Buku 050
Wajah Swandaru menjadi merah
padam. Sambil bersungut-sungut ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Ketika ia
melihat Agung Sedayu masih juga tersenyum, Swandaru bergumam, “Tidak. Aku tidak
sedang sakit.”
Gurunya tidak segera menyahut.
Kini dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih juga tersenyum.
“Benar, Guru. Adi Swandaru
sedang sakit. Tetapi yang sakit bukan badannya.”
Gurunya menjadi tegang. Dengan
nada yang tinggi ia bertanya, “Ya Swandaru, kau sakit? Tetapi yang sakit bukan
badanmu?”
Kini sadarlah Swandaru yang
gemuk itu, bahwa gurunya pun agaknya telah dengan sengaja mengganggunya. Karena
itu maka jawabnya, “Ya. Yang sakit bukan badanku. Tetapi ingatanku.”
Kiai Gringsing dan Agung
Sedayu pun kemudian tertawa, sedang Swandaru masih juga bersungut-sungut. Namun
akhirnya Kiai Gringsing berkata, “Baiklah. Kalau demikian biarlah Angger
Swandaru berada di sini. Aku agak kurang menghiraukan perasaannya. Tetapi kini
aku mengerti, bahwa memang sebaiknya Anakmas Swandaru tidak ikut serta. Ia
memang perlu beristirahat sepekan dua pekan.”
Swandaru tidak menjawab.
Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang melemparkan tatapan matanya jauh-jauh.
“Angger Agung Sedayu akan
pergi sendiri bersama pasukan kecil itu mengantarkan Ki Argajaya karena hal itu
memang diperlukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Baik Guru,” jawab Agung
Sedayu. Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika terdengar suara Sekar Mirah,
“Aku akan ikut serta bersama Kakang Agung Sedayu menggantikan Kakang Swandaru
di dalam pasukan itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, seolah-olah ia berkata,
“Apakah kita akan dapat mengijinkannya?”
Ki Sumangkar pun kemudian
menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kau perlu ikut
bersamanya?” Sumangkar bertanya.
“Ya, Guru,” jawab Sekar Mirah,
“Kakang Swandaru merasa perlu untuk tinggal.”
“Tetapi,” berkata Kiai
Gringsing, “aku menjadi bingung. Di mana aku harus berada. Aku tinggal di sini
atau aku harus pergi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah?”
“Kenapa Kiai harus pergi
bersama aku dan Kakang Agung Sedayu atau menunggui Kakang Swandaru?”
Kiai Gringsing tidak dapat
segera menjawab. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Sumangkar, orang tua itu
pun menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memerlukannya. Adalah
kurang bijaksana bahwa yang tua-tua membiarkan anak-anak muda itu tanpa
pengawasan, justru mereka telah menyatakan diri mereka saling mengikat.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar
kemudian, “aku akan ikut bersama Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan agaknya anak-anak muda itu pun kemudian
menyadari, kenapa orang-orang tua itu menjadi bingung untuk melepaskan mereka
pergi berdua saja.
Dengan demikian, maka meskipun
dengan alasan yang lain, Ki Sumangkar turut serta bersama dengan Agung Sedayu
dan Sekar Mirah di dalam pasukan kecil yang mengantarkan Ki Argajaya. Atas
pendapat Kiai Gringsing, Ki Argapati pun tidak berkeberatan, bahwa kedua orang
itu pun pergi bersama Agung Sedayu untuk membantu kesulitan yang mungkin
timbul.
Maka setelah pasukan kecil itu
bersiap seluruhnya, mereka pun kemudian berangkat meninggalkan induk padukuhan.
Agaknya rombongan kecil itu
memang benar-benar telah menarik perhatian. Beberapa orang yang melihatnya
segera memberitahukan kepada tetangga-tetangganya, bahwa sekelompok pasukan
pengawal Menoreh telah lewat mengantarkan Ki Argajaya.
“He,” desis seseorang yang
melihat pasukan itu, “bukankah di antara mereka itu terdapat Ki Argajaya?”
“Ya, Ki Argajaya? Apakah ia
akan dibawa ke tempat hukumannya yang baru?”
“Mungkin, ia akan digantung di
bawah Puncang Kembar.”
“Tidak,” seseorang menggeleng,
“tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menjalani hukuman. Mungkin ia akan
dibebaskan. Bukankah Ki Argapati telah menyerukan pengampunan umum?”
Orang-orang itu pun saling
berpadangan. Salah seorang yang tidak mau berteka-teki tiba-tiba berteriak,
“He, akan dibawa ke mana orang itu?”
Hampir segenap isi rombongan
kecil itu berpaling. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
“Apakah orang itu akan
digantung di bawah Pucang Kembar?” teriak orang itu pula.
Tidak seorang pun juga yang
menjawabnya. Namun, pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaan Ki
Argajaya. Kini ia menyadari, betapa tanggapan rakyat Menoreh kepadanya. Kepada
perbuatan yang telah dilakukannya.
Karena itu, maka kepalanya
yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sebuah pengakuan yang mendalam telah
menusuk-nusuk jantungnya. Apalagi ketika dilihatnya sawah-sawah yang kering dan
tidak terpelihara. Di sana-sini para petani sedang sibuk memperbaiki parit
sehingga mereka masih belum sempat menanami sawahnya yang memang tidak dapat
dikerjakannya selama peperangan berkecamuk.
Hatinya berdesir tajam ketika
mereka melewati sebuah regol yang sudah menjadi abu dan belum sempat
diperbaiki. Para pengawal terpaksa mendampingi Ki Argajaya ketika mereka
melihat anak-anak muda yang berkumpul di ujung jalan padukuhannya itu
berteriak, “Ha, inilah salah seorang yang telah membakar regol kita.”
“Bukan hanya regol kita,”
teriak yang lain, “tetapi ia sudah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Terasa dada Ki Argajaya
menjadi semakin pepat. Tetapi ia sudah menemukan pengakuan yang pasrah. Ia
memang telah melakukan semua kesalahan itu, sehingga ia harus menelan kepahitan
perasaan itu tanpa dapat mengelak lagi.
Karena itu maka ia pun
kemudian berjalan dengan kepala yang tetap tunduk. Seakan-akan ia tidak berani
lagi memandang Tanah Perdikan Menoreh yang porak poranda itu.
“Apakah kita masih akan
berjalan jauh?” tiba-tiba salah seorang pengawal berdesis.
Pemimpin pengawal dan
kawan-kawannya pun segera berpaling kepadanya. Sudah tentu ia tahu bahwa mereka
masih akan berjalan beberapa lama lagi, melintasi beberapa buah bulak dan
padukuhan.
“Kenapa?” bertanya pemimpin
pengawal.
“Kenapa kita harus
mengantarkannya pulang? Apakah orang itu belum pernah melihat jalan di daerah
ini?”
Dada Argajaya berdesir.
Ternyata bukan saja orang-orang di tepi-tepi jalan yang mengumpatnya. Bahkan di
dalam pasukan pengawal ini pun terselip perasaan itu.
Pemimpin pengawal itu pun
menjadi berdebar-debar pula. Dugaannya ternyata tidak jauh keliru. Kalau
perasaan itu berkembang, maka keadaan akan menjadi panas. Karena itu
cepat-cepat ia menjawab, “Itu bukan persoalan kita. Kita mengemban perintah Ki
Gede Menoreh, apa pun alasannya.”
Ternyata usahanya untuk
sementara berhasil. Pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut, sedang
orang-orang lain yamg mulai dijalari oleh perasaan yang serupa, yang agaknya
sudah mulai akan terangkat oleh pertanyaan seorang kawannya itu, menjadi
terbungkam. Mereka menghormati Kepala Tanah Perdikannya, sehingga mereka patuh
menjalani tugas yang dibebankan kepada mereka. Mengantarkan Ki Argajaya dengan
selamat sampai di rumahnya, kemudian mengawal rumah itu untuk sementara sampai
petugas yang akan menggantikan mereka datang.
Dalam pada itu, di balik
gerumbul-gerumbul liar agak di tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara,
beberapa orang melihat iring-iringan itu dengan wajah yang tegang. Salah
seorang daripadanya adalah seorang anak laki-laki yang masih sangat muda.
“Kemana mereka akan pergi?”
salah seorang dari mereka itu berdesis.
“Ini adalah suatu pameran
kebaikan hati Ki Argapati. Mungkin ini adalah satu dari sekian banyak orang
yang diampuninya dalam rangka pengampunan umum yang telah diteriakkan oleh
Kepala Tanah Perdikan yang nyaris terbunuh itu.”
Anak yang masih sangat muda
yang ada di antara mereka tidak segera dapat menyambung pembicaraan
kawan-kawannya. Ia melihat, bahwa di antara rombongan itu adalah ayahnya.
“Bukankah itu Ki Argajaya?”
desis seorang kawannya. Anak muda itu mengangguk.
“Agaknya Ayah akan diantarkan
pulang,” desisnya.
“Pulang? Atau mungkin ke suatu
tujuan yang tidak diketahui.”
“Jalan ini adalah jalan
pulang. Mungkin Ayah telah mengucapkan sumpah untuk tetap setia kepada Ki Gede.
Atau janji-janji yang lain.”
“Mungkin. Mungkin juga Ki
Argajaya akan menjadi alat yang baik untuk menangkap kita.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Dan kawannya berkata seterusnya, “Aku tidak mengira bahwa Ki
Argajaya akan bersedia melakukannya.”
“Apakah kau yakin bahwa Ayah
akan berbuat demikian?”
“Lalu apalagi?”
“Apakah Ayah tidak sedang
dibawa ke suatu tempat untuk menjalani hukuman?”
“Aku sependapat dengan kau.
Jalan ini adalah jalan pulang bagi Ki Argajaya.”
Anak muda itu terdiam.
“Kita mengangkat senjata
justru karena kita membela pendirian Ki Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi.
Aku menaruh hormat yang tinggi kepada Sidanti yang memilih mati dari segala
keadaan yang lain. Ia tidak menyerah meskipun ia berhadapan langsung dengan Ki
Argapati, yang meskipun orang itu adalah ayahnya sendiri. Itu adalah suatu
sikap yang jantan.”
Anak muda itu menjadi tegang.
“Tetapi Ki Argajaya memilih
jalan lain.”
“Persetan orang itu,” geram
anak muda itu, “aku akan memilih jalan seperti Kakang Sidanti, meskipun ia
adalah ayahku sendiri. Tetapi Ayah sudah ingkar pada perjuangan kita. Kita
sudah terlanjur menyingsingkan lengan baju kita. Kini ayah menyerahkan diri
seperti seorang pengecut.”
“Kita akan berhenti bertempur
kalau kita sudah mati. Seandainya kita menyerah sekalipun, apakah jaminannya
bahwa kita akan benar-benar diampuni seperti Ki Argajaya? Seandainya Ki
Argajaya tidak akan dipergunakan sebagai alat untuk menjerat kita, aku kira
Argapati tidak akan bersikap begitu lunak kepadanya.”
“Kita akan memilih waktu. Aku
mengenal halaman rumahku dengan baik. Pasti jauh lebih baik dari
pengawal-pengawal yang bodoh itu, sehingga meskipun halaman rumah itu dijaga,
aku pasti akan dapat memasukinya.”
“Kita tidak akan ingkar pada
perjuangan yang sudah kita letakkan. Kalau kita tidak berputus asa, maka lambat
laun kita akan mendapat pengikut pula. Kita harus menumbuhkan ketidakpuasan
rakyat kepada keadaan yang berkembang kemudian.”
“Aku akan pulang pada suatu
saat,” desis anak muda itu, “aku akan menemui Ayah di rumah. Kalau Ayah
berkeras hati, apa boleh buat. Kakang Sidanti juga mati di tangan ayahnya.
Bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Sidanti mati dibunuh adiknya
selagi ia beradu di hadapan ayahnya.”
“Itu tentu sudah diatur
sebelumnya.”
Mereka pun kemudian terdiam
sejenak. Mereka memandang iring-iringan. itu semakin lama menjadi semakin jauh.
“Persetan dengan mereka,” anak
muda itu menggeram pula, “akan datang saatnya kita menuntut.”
“Ya, kita yang sudah
dikorbankannya, kemudian ditinggalkannya dalam keadaan yang sulit ini.”
Sekelompok orang-orang itu pun
masih memandangi iring-iringan itu untuk sejenak. Namun kemudian mereka segera
bergeser dan menghilang di antara tetanaman liar yang tumbuh di sana sini.
Mereka sudah berketetapan untuk membalas sakit hati mereka yang mereka
tanggungkan selama ini. Kekalahan yang bertubi-tubi dan apalagi kini mereka,
merasa tidak berharga sama sekali. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk dapat
sekedar mengobati sakit hati itu adalah melakukan kekerasan. Siapa pun
korbannya. Dan kini mereka telah menemukan sasaran yang menggairahkan. Ki
Argajaya yang telah mereka anggap berkhianat.
Ki Argajaya sendiri merasa
bahwa ia memang berada di dalam keadaan yang sulit. Ternyata Ki Argapati bukan
hanya sekedar ingin mengawasinya, tetapi kecemasan Kepala Tanah Perdikan itu
kini benar-benar dapat dirasakannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam
lingkungan para pengawal sendiri ada orang-orang seperti yang dicemaskannya
itu, meskipua agaknya pemimpin pengawal telah menunjukkan sikapnya yang baik.
Demikianlah iring-iringan itu
semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Argajaya. Tetapi semakin banyak
pula mereka melihat wajah-wajah yang tidak puas dan bahkan memancarkan dendam
di hati mereka.
Dengan hati yang
berdebar-debar Ki Argajaya kemudian memasuki regol padukuhannya. Iring-iringan
itu berhenti sejenak di depan regol karena para pengawal padukuhan itu ingin
mendengar keputusan Ki Argapati tentang adiknya itu.
“Ki Argajaya sudah diampuni
kesalahannya, seperti juga orang-orang lain yang mendengar seruan Ki Argapati,”
pemimpin rombongan pengawal yang mengantarkan Ki Argajaya itu menjelaskan.
Pemimpin pengawal padukuhan
itu memandang Ki Argajaya dari ujung kakinya sampai ke ikat kepalanya,
seakan-akan belum pernah melihat sebelumnya. Dengan nada yang kecut ia
bertanya, “Benarkah begitu Ki Argajaya?”
Ki Argajaya merasakan nada
yang pahit itu menyentuh perasaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun
juga. Sambil nengangguk ia menjawab, “Ya demikianlah agaknya.”
“Apakah Ki Argajaya tidak
memegang tekad perlawanan seperti Sidanti yang mati oleh adiknya sendiri?”
“Aku mengalami perkembangan
tanggapan terhadap keadaanku dan keadaan Tanah ini. Ini adalah sikap yang
membuat aku dimaafkan oleh Kakang Argapati.”
“Ternyata Sidanti agak lebih
jantan dari Ki Argajaya. Ia mati menggenggam tanggung jawab.”
“Aku mengalami perkembangan
perasaan, pikiran, dan tanggapan. Ini adalah pertanda bahwa aku masih hidup,
seperti orang-orang lain pula. Kadang-kadang keputusan yang telah dibuat hari
ini akan disesali di keesokan harinya.”
“Huh, kau memang pandai
menyusun kalimat-kalimat itu. Tetapi kau bagi kami tidak lebih dari seorang
pengecut.”
Ki Argajaya tidak menjawab. Ia
harus menerima penghinaan yang langsung menusuk jantungnya itu.
Pemimpin pengawal yang
mengantarkannya pun tidak menyahut. Ia menyadari keadaan yang sedang
dihadapinya. Kalau ia ikut campur dalam pembicaraan itu, maka suasananya tidak
akan menjadi semakin baik. Karena itu ia telah membatasi dirinya untuk
membiarkan Ki Argajaya menjawab sendiri pertanyaan itu selama pembicaraan itu
tidak berbahaya bagi segala pihak.
“Bukankah sekarang kau akan
pulang ke rumahmu?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Ya,” jawab Ki Argajaya.
Tiba-tiba pemimpin pengawal
itu menyingkir sambil menbungkukkan kepalanya dalam-dalam, “Silahkan, Tuanku.”
Sekali lagi dada Ki Argajaya
berdesir. Tetapi sekali lagi ia harus menelan penghinaan itu.
Sejenak kemudian maka
iring-iringan itu pun melanjutkan perjalanannya. Yang menarik perhatian bagi
para pengawal bukan saja Ki Argajaya, tetapi seorang gadis yang ada di dalam
iring-iringan itu.
“Siapakah gadis itu?” desis
salah seorang dari mereka.
Yang lain menggelengkan
kepalanya, “Aku pernah melihatnya di rumah Ki Argapati. Mungkin gadis itu kawan
Pandan Wangi dari daerah lain, atau mungkin masih ada hubungan keluarga
dengannya.”
“Gadis itu datang dari Sangkal
Putung,” berkata yang lain. “Gadis itu adalah adik gembala muda yang gemuk,
yang ikut membantu kita menumpas pemberontakan Sidanti.”
“Darimana kau tahu.”
“Semua orang mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu.”
“Kau memang selalu
ketinggalan.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Kemudian ia pun berdesis, “Kenapa ia ikut bersama iring-iringan
ini?”
“Entahlah. Aku tidak tahu.
Nanti aku tanyakan kepadanya. Mungkin ia memang mencari aku.”
“Huh, sebaiknya sekali-sekali
kau melihat bayangan wajahmu di dalam air. Kau akan tahu bahwa kau sama sekali
tidak berbentuk.”
Mereka terdiam ketika mereka
melihat pemimpin pengawal di padukuhan itu berjalan di depan mereka sambil
bersungut-sungut. Ia masih menyesali Ki Argajaya yang telah membakar Tanah
Perdikan ini dan meninggalkan bekas yang sukar untuk dihapuskan. Sekarang,
agaknya ia telah dibebaskan dari segala tuntutan.
Tetapi ternyata pemimpin
pengawal itu kemudian berhenti. Ditatapnya para pengawal yang sedang berbicara
itu. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa gadis Sangkal Putung yang bernama
Sekar Mirah itu ada pula di dalam rombongan ini?”
Pengawal-pengawal itu
menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu,” salah seorang dari mereka menjawab.
Pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya.
“He, ada juga perhatiannya
kepada gadis itu,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya tidak menjawab.
Dipandanginya saja langkah pemimpin pengawal itu. Kemudian mereka pun saling
berpandangan satu sama lain. Tetapi mereka tidak berbicara apa pun lagi.
Sementara itu, Ki Argajaya
bersama para pengawal yang mengantarkannya menjadi semakin dekat dengan halaman
rumahnya. Namun ternyata dada Argajaya menjadi kian berdebar-debar. Rumah itu
baginya serasa menjadi asing.
Di rumah itulah ia mula-mula
bersama Sidanti dan Ki Tambak Wedi merencanakan perlawanan. Pengawal-pengawal
yang tinggal di sekitar rumahnya adalah inti dari pasukannya. Apalagi ketika
Sidanti menunjukkan beberapa kelebihannya bersama gurunya, maka seakan-akan
semakin yakinlah perjuangan mereka untuk mendapatkan kemenangan.
Kemudian berdatanganlah
orang-orang dari luar tlatah Menoreh yang akan ikut serta di dalam pertarungan
antara keluarga itu. Meskipun Ki Argajaya sadar, bahwa mereka tidak akan lebih
baik dari perampok-perampok yang melihat medan yang lunak di dalam kemelutnya
peperangan, namun Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi merasa, bahwa pada
akhirnya mereka akan dapat menguasai orang-orang itu.
Ternyata bahwa pergaruh mereka
semakin lama menjadi semakin besar, sehingga mereka berhasil merebut padukuhan
induk dan mendesak Ki Argapati.
Tetapi akhir dari semuanya itu
adalah seperti yang disaksikannya kini. Kuburan yang menjadi semakin padat,
sawah yang terbengkelai dan permusuhan yang tersebar di mana-mana.
Ki Argajaya seakan-akan
tersedar dari lamunannya ketika ia sampai di muka regol rumahnya. Terasa
dadanya berdesir tajam sekali. Rumah yang ditinggalkannya beberapa saat itu
menjadi seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kotor, sepi, dan
pintu pringgitan yang tertutup rapat. Tiang-tiang pendapa yang tegak kaku itu
bagaikan tubuh-tubuh yang tegang menunggu berakhirnya masa yang pahit.
“Kita sudah sampai,” desis
pemimpin pengawal itu, “kami persilahkan Ki Argajaya masuk bersama tamu-tamu
itu. Kami akan mengawal di halaman depan dan halaman belakang.”
Ki Argajaya menjadi
termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa yang disebutnya sebagai tamu-tamunya
adalah Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan gurunya.
“Kenapa mereka ikut kemari?”
katanya di dalam hati, meskipun ia menyadari bahwa mereka harus membantu
pemimpin pengawal apabila ia menghadapi kesulitan.
“Silahkan,” pemimpin pengawal
itu mengulangi.
“Terima kasih,” sahut
Argajaya. Kemudian kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Sumangkar ia berkata,
“Marilah. Aku persilahkan kalian melihat-lihat rumah yang menjadi seperti tanah
pekuburan ini.”
Tetapi Agung Sedayu menyahut,
“Aku akan berada di antara para pengawal, karena aku merupakan bagian dari
mereka selagi aku berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Argajaya mengerutkan
keningnya. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Silahkanlah Ki Sumangkar dan
kau Sekar Mirah. Kawanilah Ki Argajaya yang barangkali akan menjadi kesepian.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Dipandanginya muridnya sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Baiklah. Aku dan Sekar Mirah akan mengawani Ki Argajaya.”
Maka ditinggalkannya Agung
Sedayu bersama para pengawal di luar. Ki Sumangkar mengerti, bahwa Agung Sedayu
memang ditugaskan untuk mengawani pemimpin pengawal yang mungkin pada suatu
saat akan mengalami kesulitan dari anak buahnya sendiri.
Dikawani oleh Ki Sumangkar dan
Sekar Mirah, Ki Argajaya pun kemudian naik ke pendapa. Seperti orang asing ia
memandang ke sekitarnya dengan berbagai pertanyaan di dalam hatinya. Tiba-tiba
saja tangannya menjadi gemetar ketika ia meraba pintu pringgitan yang tertutup.
Perlahan-lahan Ki Argajaya
mengetuk pintu rumahnya. Sekali, dua kali. Tetapi ia tidak mendengar jawaban.
Ketukan itu pun semakin lama
menjadi semakin keras. Namun masih belum juga terdengar jawaban.
Ki Argajaya menjadi gelisah.
“Apakah istriku tidak di rumah?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia
tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnyalah Ki Argajaya
tidak mengetahui, bahwa istrinya benar-benar sudah berada di puncak
ketakutannya. Setiap kali pintu diketuk, maka setiap kali hatinya serasa
tersayat. Kalau ia membukakan pintu, maka yang ditemuinya adalah orang-orang
yang selalu menggetarkan perasaannya.
Kadang-kadang para pengawal
Tanah Perdikan, muncul dengan senjata terhunus sambil menggeram, “Aku melihat
seseorang bersembunyi di rumah ini.”
Tanpa menunggu jawabnya, para
pengawal itu pun langsung memasuki rumahnya dan menggeledah setiap sudut.
Tetapi karena tidak diketemukan sesuatu, mereka pun pergi sambil
bersungut-sungut.
Namun di saat lain, yang
tiba-tiba saja menyusup masuk pada saat pintu dibuka adalah sisa-sisa
orang-orang suaminya. Dengan kasar mereka minta persediaan apa saja yang ada.
Katanya, “Anakmulah yang memerlukan semua itu.”
Dengan demikian maka perasaan
perempuan yang menjadi semakin tua itu bagaikan ilalang yang diombang-ambingkan
oleh angin prahara. Tanpa pegangan.
Kini setiap ketukan pintu
terasa bagaikan pisau yang menyengat jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi
berani bangkit dari amben bambu di ruang dalam.
“Kalau aku tidak membuka pintu
itu, mereka pasti akan mengelilingi rumah ini,” desisnya. Dan perempuan itu
memang membiarkan pintu samping rumahnya tetap terbuka. Siang dan malam. Ia
tidak perlu lagi membuka pintu, seandainya laki-laki yang kasar dari pihak mana
pun juga ingin memasuki rumahnya.
Namun Ki Argajaya tidak mengetahui,
bahwa pintu samping itu terbuka. Karena itu ia pun mengetuk semakin lama
semakin keras
Nyi Argajaya yang mendengar
ketukan itu pun menjadi gelisah pula. Orang-orang yang biasa datang ke rumahnya
sudah mengetahui, bahwa pintu sebelah selalu terbuka.
Tetapi Nyai Argajaya masih
tetap duduk di tempatnya. Dicobanya untuk menduga-duga siapakah kira-kira yang
telah mengetuk pintunya itu semakin lama justru menjadi semakin keras.
“Mungkin para pengawal
padukuhan ini baru saja diganti dengan orang-orang baru,” katanya di dalam
hati, “mereka masih belum tahu bahwa pintu disebelah selalu terbuka.”
Nyai Argajaya menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia memutuskan, “Biar sajalah. Kalau mereka
mau memecah pintu, biarlah pintu itu dipecah. Kalau salah seorang dari mereka
sempat menengok ke samping, mereka pasti akan melihat pintu terbuka.”
Ki Argajaya yang sedang
mengetok pintu itu pun menjadi gelisah pula. Bahkan ia berkata di dalam
hatinya, “Apakah rumah ini benar-benar sudah kosong?”
Tetapi ia tidak berani
membenarkan angan-angannya itu. “Tidak,” ia membantah sendiri di dalam hatinya
pula, “istriku pasti masih berada di rumah ini.”
Karena itu, maka sekali lagi
ia mengetuk semakin keras. Kali ini ia memanggil istrinya dengan suara yang
gemetar, “Nyai, Nyai. Apakah kau tidak ada di rumah?”
Ternyata suara itu didengar
oleh Nyai Argajaya. Semula ia tidak dapat mengenal lagi suara itu. Namun lambat
laun, warna suara yang semula kabur itu, menjadi semakin lama semakin jelas di
depan mata hatinya.
“Nyai, Nyai.”
Tiba-tiba Nyai Argajaya
menjadi berdebar-debar. Ia tidak percaya lagi pada pendengarnya yang sudah
terlampau sering keliru. Namun demikian, suara ini terlampau menarik baginya,
sehingga dipasangnya pendengarannya baik-baik.
“Nyai, Nyai.”
Terasa darah perempuan tua
yang sudah hampir membeku itu menjadi hangat kembali. Kini ia mulai
berpengharapan, bahwa ia tidak salah lagi dengan pendengarannya kali ini.
Perlahan-lahan ia berdiri dan
berjalan selangkah-selangkah mendekati pintu. Dengan suara parau tiba-tiba saja
ia bertanya, “Siapa di luar?”
Jawaban itu telah menyentuh
perasaan Ki Argajaya, sehingga dengan serta-merta ia menjawab, “Aku, Nyai.
Argajaya.”
Dada perempuan tua itu
berdesir. Tetapi ia tidak segera yakin akan pendengarannya. Sekian lama ia
mengalami kekecewaan. Dan kali ini ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia benar-benar
mendengar suara itu.
“Aku, Nyai. Bukakan pintu.”
Kini Nyai Argajaya menjadi
semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu adalah suara suaminya. Karena itu,
maka dengan tergesa-gesa ia pergi ke pintu pringgitan. Dengan tergesa-gesa pula
dilontarkannya selarak, sehingga suaranya berderak-derak di lantai.
Dengan serta-merta, perempuan
itu membuka daun pintu. Namun hampir saja ia menjadi pingsan ketika yang
berdiri di hadapannya adalah seorang laki-laki yang tidak dikenal. Sumangkar.
“O,” terdengar ia mengeluh,
“apa lagi yang akan datang di rumah ini.”
Namun sebelum ia kehilangan
tenaganya, terasa daun pintu itu terdorong ke samping. Ketika pintu itu terbuka
lebar, barulah ia melihat orang-orang lain yang berdiri di luar. Seorang gadis
muda dan seorang laki-laki yang pucat.
“Kakang. Kakang Argajaya.
Benarkah?”
“Ya, Nyai. Aku Argajaya.”
“O,” tiba-tiba perempuan itu
memekik sambil berlari ke arah suaminya.
“Akhirnya kau pulang juga.”
Ki Argajaya memeluk isterinya
yang menangis. Ia tidak menghiraukan lagi, siapa saja yang ada di tempat itu.
Tetapi ia ingin menumpahkan segala macam kepahitan, kepedihan, dan berbagai
perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Lewat air matanya yang seperti
terperas dari pusat jantungnya, Nyai Argajaya menangis sejadi-jadinya.
Ki Argajaya dapat mengerti,
betapa berat penderitaan yang dialami oleh istrinya saat ia tidak ada di rumah.
Pasti tidak kurang pedihnya dari yang dialaminya sendiri.
“Sudahlah, Nyai,” Ki Argajaya
berusaha menenteramkan hati istrinya itu, “kita mempunyai dua orang tamu.”
Tetapi Nyai Argajaya
seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Ia masih belum puas menumpahkan
segala macam perasaan yang selama ini menyumbat dadanya.
Ki Sumangkar hanya dapat
menundukkan kepalanya, sedang Sekar Mirah melemparkan tatapan matanya
jauh-jauh. Betapa keras hatinya, tetapi ia pun seorang gadis, sehingga terasa
matanya menjadi panas mendengar tangis Nyai Argajaya yang memelas.
Seperti kepada Sidanti,
kebencian Sekar Mirah kepada Argajaya pun pernah sampai ke puncak ubun-ubunnya.
Namun melihat keadaannya, ia tidak dapat mempertahankan perasaannya itu.
Seperti pada saat ia melihat mayat Sidanti terbujur di lantai bermandi darah,
maka kini ia menjadi iba hati melihat pertemuan dua orang tua yang telah
mengalami kepahitan hidup masing-masing.
“Sudahlah, Nyai,” Argajaya
masih berusaha menenteramkan hati istrinya meskipun tenggorokannya sendiri
serasa tersumbat.
“Anakmu, Kakang,” desis
perempuan itu.
“Bagaimana dengan anak itu,”
bertanya suaminya.
“Ia masih belum kembali.”
“Sama sekali?”
“Ya, sama sekali. Tetapi aku
memang pernah melihatnya, hanya seperti bayangan hantu yang tampak sekejap lalu
menghilang lagi.”
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam.
Lalu ia pun bertanya, “Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?”
“Dengan perempuan tua itu,
pemomong anakmu.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ia masih di sini?”
“Ia mengawani aku dalam
keadaan apa pun.”
“Di mana ia sekarang?”
“Ia berada di rumah belakang.
Jarang-jarang sekali ia masuk ke dalam kalau aku tidak memanggilnya.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dihadapinya keluarganya yang porak-poranda
seperti Tanah Perdikan Menoreh ini pula. Dengan demikian ia menjadi semakin
menyadari, bahwa akibat dari sikap yang keras yang telah menyalakan api
peperangan di Tanah ini benar-benar tidak bermanfaat bagi siapa pun.
Mereka pun kemudian
bersama-sama duduk di atas sebuah amben yang besar di ruang dalam. Seperti
halamannya, maka rumah itu pun seakan-akan sama sekali tidak berpenghuni. Kotor
dan tidak terawat.
“Maaf,” desis Nyai Argajaya,
“kami tidak dapat menerima kalian dengan cara yang lebih baik.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa, Nyai. Di dalam
masa-masa seperti ini, kita tidak akan dapat menuntut terlampau banyak. Kita
harus memahami keadaan.”
“Tetapi rumah ini benar-benar
menjadi rumah hantu.”
Ki Sumangkar tersenyum. “Aku
sudah terbiasa berada di tengah-tengah peperangan.”
Ki Argajaya mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba sorot matanya seakan-akan bertanya tentang laki-laki
tua yang mengawani Sekar Mirah itu.
“Maksudku,” dengan serta-merta
Sumangkar menyambung, “aku sudah sering mengalami masa-masa yang pahit. Aku
melihat bergesernya kekuasaan dari Denak ke Pajang. Kemudian pergolakan yang
seakan-akan tidak ada henti-hentinya antara Pajang dan Jipang. Dengan demikian,
aku dapat banyak melihat akibat dari peperangan.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Perang itu pasti lebih dahsyat dari yang kita alami di ini.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Terkenang olehnya sekilas, betapa ia tinggal di hutan-hutan dan di
pategalan-pategalan yang terbengkelai, pada saat ia mengikuti pasukan Tohpati
yang sudah kehilangan arah perjuangannya.
Katanya di dalam hati, “Perang
itu di mana-mana sama. Yang menimbulkan kematian, kekerasan, dan penyimpangan
dari sifat-sifat kemanusiaan yang wajar.”
Sejenak Sumangkar menundukkan
kepalanya. Argajaya hanyut ke dalam suatu kenangan yang mendebarkan. Ia
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Nyai Argajaya berdiri sambil berkata,
“Maaf, aku akan ke dapur sejenak.”
“Jangan menjadi sibuk karena
kedatangan kami,” jawab Sumangkar.
Nyai Argajaya menarik nafas,
“Hanya airlah yang akan dapat aku sediakan untuk menjamu tamu-tamu kami
sekarang.”
“Itu sudah cukup. Dan
anggaplah bahwa kami sama sekali bukan tamu. Kami akan tinggal di sini beberapa
hari.”
“He,” Nyai Argajaya
terperanjat. Kemudian ditatapnya wajah suaminya, seolah-olah ia minta
pertimbangan.
“Ya,” berkata Ki Argajaya,
“mereka datang bersama sepasukan kecil pengawal, mengawani aku di perjalanan.
Mereka akan tinggal di sini untuk beberapa lama, untuk melindungi aku dan
keluargaku dari dendam yang mungkin tumbuh di pihak-pihak yang terlibat dalam
pertengkaran di atas Tanah Perdikan ini.”
“Tetapi,” Nyai Argajaya tidak
melanjutkan kata-katanya.
Ki Argajaya ternyata menangkap
kegelisahan di dalam hati isterinya. Katanya, “Kita tidak usah malu mengatakan,
bahwa kita tidak akan dapat menjamu mereka selama mereka ada di rumah ini.
Bukankah begitu.”
Perempuan itu ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.
“Bukan tanggungan kita, Nyai,”
berkata Ki Argajaya kemudian. “Mereka akan mendapat rangsum mereka dari dapur-dapur
yang khusus dibuat untuk anggota-anggota pengawal yang bertugas di seluruh
Tanah Perdikan ini.”
Perempuan itu
mengangguk-angguk pula. Tetapi kini ditatapnya wajah kedua orang tamunya itu.
Dan agaknya Ki Argajaya pun menangkap maksudnya. Katanya, “Kedua tamu kita ini
pun akan mendapat bagian dari mereka.”
Nyai Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Syukurlah. Aku tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Keadaanku sudah terlampau parah. Aku hanya mempunyai persediaan yang
sangat terbatas. Itu pun aku dapatkan dengan susah payah. Perempuan tua
pemomong anakmu itulah yang mencari untuk kami di sini, dengan menukarkan
macam-macam barang yang ada dengan beras dan jagung.”
Ki Argajaya mengerutkan
keningnya. Ia menjadi semakin menyadari kepahitan hidup istrinya selama ini.
“Kami berdua jangan menjadi
beban yang membuat Nyai terlampau sibuk,” ulang Sumangkar kemudian. “Kami sudah
mendapat bagian kami di antara pasukan pengawal. Tetapi hanya karena kami
termasuk orang-orang yang agak lain dari anggauta pengawal yang lain, maka kami
telah dipersilahkan masuk ke dalam rumah ini oleh Ki Argajaya.”
Nyai Argajaya menjadi heran,
dan bahkan Ki Argajaya pun bertanya-tanya di dalam hatinya, “Apakah kelainan
itu?”
Dan Ki Sumangkar pun
meneruskan, “Perbedaan itu adalah, karena aku adalah seorang tua yang
barangkali tidak lagi dapat berbuat terlampau banyak seperti anak-anak muda,
sedang anakku ini adalah seorang gadis.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap keningnya ia berkata, “Aku sudah
menjadi bingung, karena aku tidak dapat melihat kelainan itu. Justru sekarang
aku baru menyadari akan hal itu. Aku hanya menganggap bahwa kalian adalah
tamu-tamu kami. Tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Sumangkar tersenyum.
Katanya, “Karena itu, silahkan Nyai duduk saja di sini. Kita dapat berbicara
tentang banyak hal yang kita alami masing-masing selama ini.
“Terima kasih, tetapi aku akan
merebus air,” Nyai Argajaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal
adalah Sumangkar, Sekar Mirah, dari Argajaya. Namun sejenak mereka hanya saling
berdiam diri, meskipun di dalam dada masing-masing menggelepar berbagai masalah
yang sedang mereka hadapi di saat-saat yang akan segera datang.
Dalam pada itu, para pengawal
segera mencari tempatnya masing-masing tanpa menunggu Ki Argajaya. Mereka
seakan-akan mengerti, bahwa Ki Argajaya tidak akan sempat menunjukkan tempat
bagi mereka. Karena itu sebagian dari mereka pun segera naik ke pendapa, dan
yang lain duduk-duduk di serambi gandok.
“Apakah di sini tidak ada
selembar tikar pun?” desis salah seorang pengawal.
Yang lain, yang duduk di
tangga mengerutkan keningnya. Katanya, “Huh, di sini kita akan mengalami
kejemuan selama beberapa hari.”
“Beberapa hari?”
“Ya. Apa kau sangka nanti sore
kau dapat pulang ke rumah istrimu?”
Kawannya hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam.
“Kalau tidak ada tikar di
sini, kita akan tidur di lantai.”
“Tidak. Aku akan mencari
belarak, dan aku akan membuat ketepe. Apa bedanya dengan tikar?”
Kawannya tidak menyahut.
Sambil menguap ia bersandar pada sebuah tiang. Tetapi sejenak kemudian
digeleng-gelengkannya kepalanya. Desisnya, “Aku sudah mulai mengantuk.”
“Persetan dengan Ki Argajaya.
Biar saja kalau orang ini dirampok rakyat seperti macan di alun-alun. Apakah
keberatannya? Mungkin karena ia adik Ki Argapati. Tetapi ia sudah melawan
kakaknya itu. Apa lagi yang harus disayangkan?”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Namun wajah-wajah mereka telah membayangkan kelesuan. Sejak perang
berkecamuk, para pengawal itu seakan-akan belum pernah beristirahat sepenuhnya.
Setiap kali mereka masih harus bergilir menjaga daerah-daerah yang terpencil.
Dan kini mereka harus mengawal orang yang telah membakar Tanah Perdikan ini
menjadi abu.
Namun perintah yang mereka
terima harus mereka kerjakan. Betapa pun beratnya, mereka harus melakukannya di
halaman yang kotor dan menjemukan itu pula. Dengan hati yang berat mereka harus
mendengarkan nama mereka disebut oleh pimpinan mereka untuk berjaga-jaga pada
waktu-waktu tertentu, berganti-gantian di depan regol halaman dan di bagian
belakang rumah itu.
“Kita mencari tikar di gerbang
padukuhan ini. Barangkali para pengawal di sana mempunyai kelebihan,” berkata
salah seorang dari antara pengawal itu. “Aku mengantuk sekali. Nanti malam aku
bertugas. Sekarang aku akan tidur.”
“Carilah. Kalau ada, aku ikut
tidur.”
Tetapi yang lain berkata, “Aku
akan bertanya kepada Ki Argajaya, apakah di rumah ini tidak ada tikar sama
sekali, meskipun tikar lama.”
Demikianlah, maka para
pengawal itu pun mulai menempatkan dirinya. Tanpa dipersilahkan oleh Ki
Argajaya yang masih belum mapan benar meskipun di rumah sendiri, para pengawal
itu mencari tempatnya masing-masing. Mereka mencari sendiri tikar di rumah itu.
Ternyata mereka masih menemukan beberapa helai dan bahkan ada di antaranya yang
masih baru. Di antara para pengawal itu adalah Agung Sedayu yang selalu dibawa
berbincang oleh pimpinan pengawal itu, sementara Sumangkar dan Sekar Mirah yang
menjadi tamu Ki Argajaya itu mendapat tempat di ruang dalam.
“Bilik kami terlampau kotor,”
berkata Nyai Argajaya, “sehingga malam ini masih belum dapat dipergunakan.”
“Sudahlah,” sahut Sumangkar,
“biarlah aku tidur di amben ini bersama-sama dengan Ki Argajaya, sedang Sekar
Mirah dapat saja tidur di sembarang tempat di dalam rumah ini.”
“Biarlah ia tidur di dalam
bilik yang sering aku pergunakan sehari-hari. Aku akan tidur di bilik sebelah,”
berkata Nyai Argajaya.
“Dimana pun aku dapat tidur,”
berkata Sekar Mirah. Demikianlah sambil minum dan makan ubi rebus mereka
mencoba untuk berbicara wajar, meskipun kadang-kadang terasa juga pembicaraan
mereka membeku.
Sekar Mirah yang sama sekali
tidak mengetahui keadaan rumah itu, tanpa prasangka apa pun kemudian memasuki
bilik yang diperuntukkan baginya. Bilik Nyai Argajaya.
Ketika malam pun kemudian
turun, menyelubungi pedukuhan itu maka masing-masing segera mengambil tempatnya
untuk beristirahat. Ki Sumangkar dan Ki Argajaya mempergunakan amben besar di
ruang tengah, sedang Nyai Argajaya tidur di bilik di sebelah bilik Sekar Mirah,
meskipun masih belum bersih benar.
Dalam pada itu, serombongan
orang-orang yang benar-benar sudah tidak dapat berpikir jernih, masih berusaha
mendekati rumah Ki Argajaya. Mereka itu justru dipimpin oleh seorang anak muda,
putera Ki Argajaya sendiri.
“Aku harus dapat bertemu
dengan Ayah dan Ibu malam ini,” berkata anak muda itu.
“Berbahaya sekali,” desis
kawannya, “kenapa kita tidak menunggu kesempatan lain yang lebih baik.”
“Terlampau lama. Aku kira
pengawal-pengawal itu akan tetap berada di rumah itu untuk beberapa hari.”
“Tetapi tidak di hari
pertama,” kawannya masih mencoba meyakinkan. “Mereka masih segar, dan mereka
masih berada di puncak kewaspadaan.”
“Sudah aku katakan, aku
mengenal halaman rumah itu lebih baik dari siapa pun. Tidak seorang pun yang mengetahui
lubang di atap rumah itu. Aku dapat masuk lewat lubang itu langsung ke bilik
dalam.”
“Tetapi seluruh halaman
diawasi oleh para pengawal.”
“Mereka tidak akan dapat
melihat segala sudut. Mereka tidak akan melihat jalur yang telah dibuat di
balik-balik gerumbul di halaman samping di antara pagar batu dan lumbung yang
kosong itu.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Tetapi ia menjadi cemas, bahwa kali ini mereka tidak akan dapat
lolos lagi.
“Di siang hari pun beberapa
orang di antara kita berhasil melepaskan diri dari pengawal-pengawal yang bodoh
itu. Apalagi malam yang gelap seperti ini.”
Kawan-kawannya saling
berpandangan sejenak. Namun sorot mata mereka masih juga dapat memancarkan
kecemasan. Meskipun mereka selama ini seakan-akan sudah tidak berperhitungan
lagi, namun untuk memasuki halaman itu pada malam pertama dari kehadiran Ki
Argajaya, merupakan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
“Apakah kalian takut?”
tiba-tiba anak muda itu bertanya.
“Bukan, bukan karena takut,”
jawab salah seorang kawannya, “tetapi kita masih dapat berbuat banyak. Kenapa
kita harus membunuh diri?”
“Huh, kalian memang sudah
menjadi pengecut. Kalau kalian memang tidak berani masuk, biar aku sajalah yang
memasuki halaman rumah itu.”
“Sudah aku katakan, kami tidak
takut. Tetapi itu suatu tindakan yang kurang bijaksana.”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku
yakin bahwa tidak seorang pun yang akan melihat aku memasuki halaman rumah itu
dan bahkan sampai aku masuk ke bilik dalam, bilik ibu.”
Kawan-kawannya tidak segera
menjawab. Tetapi kekhawatiran yang sangat, tidak dapat mereka sembunyikan.
Tiba-tiba salah seorang dari
mereka berkata, “Baiklah, kalau kau memang berkeras untuk bertemu dengan ayah
dan ibumu. Tetapi bagaimana kalau ada di antara para pengawal itu yang tidur di
dalam rumahmu, sehingga ia dapat membahayakan kedatanganmu.”
“Kalau hanya dua atau tiga
orang pengawal, biarlah, aku akan menyelesaikan.”
“Tetapi hal itu akan memanggil
pengawal-pengawal yang lain di luar rumah.”
“O, sejak kapan kalian mulai
ragu-ragu untuk melakukan sesuatu tindakan? Kalau kita semua berpikir serupa
itu, kita tidak akan sempat melakukan apa-apa. Sebaiknya kita menyerah saja
memenuhi panggilan Ki Argapati. Kita akan diampuni dan kita tidak akan dituntut
apa pun juga. Tetapi dengan demikian kita sudah berkhianat terhadap perjuangan
kita, terhadap Kakang Sidanti yang gagah berani dan gurunya Ki Tambak Wedi. Di
dalam bilik yang dijaga ketat Kakang Sidanti masih melakukan perlawanan.”
“Benar,” sahut seorang yang
sudah agak tua, “tetapi manakah yang penting. Berhasil memasuki rumah itu dan
menemui ayah dan ibumu, entah akibat apa yang timbul dari pertemuan itu, atau
hanya sekedar menunjukkan keberanian?”
Anak muda itu tidak menjawab.
“Kalau kau hanya ingin sekedar
menunjukkan keberanian, marilah kita serang rumah itu dari depan. Tetapi kalau
kau ingin bertemu dengan ayah ibu, biarlah kita berpikir sejenak, cara yang
sebaik-baiknya kita tempuh.”
Anak muda itu tidak segera
menyahut. Dipandanginya wajah kawannya yang sudah agak tua itu.
“Bagaimana?”
“Aku ingin bertemu dengan ayah
dan ibu, meskipun kalau pembicaraan kita tidak berhasil, aku akan mengambil
sikap tegas.”
“Nah, kalau begitu, kita harus
membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau kita memang seorang pemberani, biarlah
kita mati, tetapi kalau persoalan yang ingin, kita lakukan itu sesudah selesai.
Dalam hal ini, setelah kau berhasil bertemu dengan ayah dan ibumu.”
“Ibu tidak bersalah,” berkata
anak muda itu, “tetapi Ayah sudah berkhianat.”
“Terserahlah menurut
penilaianmu. Kami tidak berani mengambil sikap, karena kami tidak tahu pasti
bagaimana tanggapanmu atas kelakuan ayahmu itu.”
“Sikapku tegas. Ayah sudah
mengkhianati perjuangan kami.”
“Lalu maksudmu?”
“Ayah harus memilih. Berada di
pihak kami dengan meninggalkan rumah itu, menembus penjagaan atas dirinya, atau
………” suaranya terputus.
“Atau,” desak kawannya.
“Mati sajalah seperti Kakang
Sidanti.”
“Tidak mungkin. Ayahmu tidak
akan mungkin mati jantan seperti Sidanti. Kalau ia kau bunuh misalnya, maka ia
akan menjadi semakin hina.”
“Memang ia pantas dihinakan.”
Kawannya itu tidak menyahut
lagi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap saling
berdiam diri.
“Marilah,” berkata anak muda
itu.
“Tunggu lewat tengah malam,
kalau kau memang tidak dapat dicegah lagi.”
Anak muda itu hampir tidak
dapat menyabarkan dirinya lagi. Tetapi kali ini ia menurut. Ia akan memasuki
rumahnya lewat tengah malam, langsung memanjat dan masuk ke dalam lewat lubang
yang memang sudah disediakan di atas atap, langsung memasuki bilik tidur
ibunya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ada di
dalam bilik itu kini sama sekali bukan ibunya lagi, tetapi seorang gadis dari
Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.
Demikianlah maka mereka
menunggu dengan gelisah, sampai bintang Gubug Penceng condong kebBarat. Putra
Ki Argajaya itu hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Setiap kali dibelainya
hulu pedangnya sambil menggeram.
Namun ia masih harus duduk
termenung beberapa saat lagi lamanya.
Angin malam yang dingin
bertiup semakin lama semakin basah. Di kejauhan terdengar suara burung kedasih
mengusik sepinya malam. Sedang bintang yang gemerlapan tergantung menebar di
seluruh dataran langit yang luas.
Anak muda yang sedang menunggu
itu rasa-rasanya sudah tidak dapat bersabar lagi. Bintang Gubug Penceng di atas
ujung Selatan rasa-rasanya tergeser terlampau lamban.
“Apakah ini belum tengah
malam,” anak muda itu bertanya.
“Kira-kira saat ini baru
tengah malam,” jawab yang lain.
“Aku akan pergi. Sendiri.”
Kawan-kawannya saling
berpandangan sejenak. Agaknya anak itu sudah dihinggapi oleh kemarahan yang
tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga ia terlampau bernafsu untuk
melakukan rencananya itu tanpa menghiraukan apa pun juga.
“Kalian menunggu aku di sini.”
“Jangan tergesa-gesa,” berkata
kawannya yang sudah agak tua, “kau tidak boleh pergi sendiri. Itu sangat
berbahaya bagimu.”
“Tetapi kemungkinan untuk
diketahui oleh para penjaga itu menjadi semakin berkurang. Aku dapat mencari
jalan sebabnya untuk dapat sampai ke dalam bilik ibu. Kalau ada orang lain yang
ikut bersamamu, maka ia hanya akan mengganggu saja.”
“Jangan kehilangan akal. Kalau
kau mempunyai kawan meskipun hanya seorang, maka kau akan dapat berbincang
tentang sesuatu hal yang harus segera kau putuskan. Apalagi, kalau kau harus
melawan beberapa orang sekaligus di dalam rumah itu. Kau mempunyai kawan pula
agar perkelahian itu cepat selesai sebelum para pengawal yang lain
mengetahuinya.”
Anak muda itu merenung
sejenak. Tetapi ia tidak segera mengambil keputusan. Bahkan ia bertanya, “Kalau
aku membawa seorang kawan, siapakah yang akan pergi bersamaku?”
“Kaulah yang harus memilih.
Siapakah yang paling kau percaya di antara kami.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata lemah, “Orang itu sudah mati.”
“Jangan kau hiraukan lagi si
kurus yang sudah dibunuh oleh orang asing itu. Sekarang, pilihlah di antara
kami yang masih ada. Kami tidak kalah tangguh dari si kurus itu.”
Anak itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dipandanginya seorang anak yang masih muda pula, meskipun
agak lebih tua dari dirinya sendiri. Seorang anak muda yang berbadan kekar dan
berdada bidang, meskipun tidak terlampau tinggi.
“Kau sajalah,” berkata putera
Ki Argajaya.
“Tepat,” jawab kawannya yang
sudah agak tua, “orang ini adalah orang yang paling baik di antara kami.”
“Badak itu memang akan berguna
bagimu,” desis kawannya yang lain.
Anak muda yang bertubuh kekar
itu tersenyum. Ia merasa mendapat kehormatan dari kawan-kawannya yang lain. Dan
ia kemudian menjawab, “Aku senang sekali ikut bersamamu. Aku ingin melihat,
apakah para pengawal yang ada di rumahmu itu sudah ada yang aku kenal.”
“Jangan mencari perkara.
Kalian pergi untuk menemui Ki Argajaya. Itulah masalahnya. Bukan melihat
pengawal yang lagi berjaga-jaga. Bukan menantang mereka berkelahi. Terserahlah
kalau persoalan yang sebenarnya telah selesai. Tetapi yang penting, kalian
dapat bertemu dengan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya bersedia meninggalkan
rumahnya dan bergabung bersama kita, maka lambat laun kita pasti akan berhasil
menyusun kekuatan lebih baik dari yang ada sekarang. Bahkan mungkin akan dapat
mengimbangi kekuatan Argapati lagi.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya peperangan yang
baru saja terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Peperangan yang telah
menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyatnya.
Tetapi kalau perjuangannya
menang, Ki Argajaya berhasil mengusir kakaknya, maka garis kekuasaan Menoreh
akan berpindah pada garis keturunan keluarganya. Apalagi Sidanti kini sudah
tidak ada lagi. Maka tanggung jawab perjuangan berpindah ke tangannya.
Anak yang masih terlalu muda
itu merasa, sepeninggal Sidanti ialah yang harus memimpin perjuangan. Namun
kadang-kadang ia mengeluh di dalam hati. “Kakang Sidanti didampingi sepenuhnya
oleh gurunya, bahkan sampai mengorbankan nyawanya. Tetapi aku tidak mendapat
perlindungan dari siapa pun. Bahkan Ayah telah berkhianat.”
“Nah, hati-hatilah. Perjuangan
kita masih panjang. Kalau kalian gagal, maka semuanya akan berhenti sampai di
sini. Kita harus menelan semua kekalahan, semua hinaan dan semua kesalahan,”
terdengar kawannya yang sudah agak tua itu memperingatkan.
“Tunggulah kalian di sini. Aku
akan pergi sekarang.”
“Sudah tentu kami tidak akan
sekedar menunggu. Kami akan memancing perhatian para pengawal itu. Pengawal
yang ada di regol padukuhan, dan pengawal yang ada di halaman rumah Ki
Argajaya.”
“Apa yang akan kalian
lakukan.”
“Bermain-main.”
“Ya, tetapi apa yang akan
kalian perbuat.”
“Kami akan membakar rumah di
pojok desa itu. Semua perhatian akan tertumpah kepada api yang menyala.”
“Tidak ada gunanya. Itu adalah
tugas para pengawal di regol padukuhan dan kawan-kawannya. Yang ada di halaman
rumah ayah itu pasti tidak akan beranjak. Mereka justru akan menjadi semakin
bersiaga.”
“Tentu. Tetapi perhatian
mereka sepenuhnya akan tertuju kepada api itu. Dua orang di antara kami akan
menyerang halaman rumah itu dari depan dengan panah.”
“Kalian tidak akan mendapatkan
apa-apa. Mereka pasti akan berlindung.”
“Soalnya bukan mengenai
sasaran, tetapi menarik perhatian. Mereka memang akan bersiaga. Tetapi aku
berani bertaruh kepala, bahwa perhatian mereka tertuju kepada lawan di luar
halaman. Kalau kalian menyusup di dalam gerumbul-gerumbul di sebelah kandang,
dan naik ke atap rumah itu, pasti tidak akan mereka duga sama sekali.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya
“Masuklah ke halaman rumah itu
setelah api mulai menyala,” berkata orang yang sudah agak tua itu. “Ingat.
Tepat pada saat api mulai menyala. Mereka belum sempat memikirkan apa-apa,
selain memperhatikan api itu. Baru kemudian mereka akan bersikap. Dalam pada
itu kau sudah ada di atas atap. Setidak-tidaknya kau sudah ada di halaman itu.
Serangan kami kemudian akan menarik perhatian mereka selanjutnya, sehingga kau
akan selamat memasuki rumah itu.”
“Baiklah. Aku harap Ibu tidak
akan mengganggu aku, karena aku akan langsung sampai ke biliknya.” Anak itu
berhenti sejenak, lalu, “Cepat, lakukanlah rencana kalian itu.”
Kawan-kawannya kemudian segera
meninggalkannya. Mereka pergi ke sasaran yang telah mereka pilih. Sebuah rumah
di pojok desa.
Dengan tanpa mendapat
kesulitan sama sekali masing-masing dapat mendekati sasaran mereka dengan
segera. Para pengawal hanya berada di sekitar regol padukuhan, sedang mereka
yang mengawal Ki Argajaya sama sekali tidak beranjak dari halaman rumah itu,
kecuali penghubungnya yang kadang-kadang pergi mengambil kebutuhan-kebutuhan
lain bagi mereka dan seisi halaman itu, termasuk Ki Argajaya dan keluarganya.
Memang kadang-kadang para
pengawal di regol padukuhan itu melepaskan sekelompok kecil orang-orangnya
untuk meronda dan berkeliling seluruh padukuhan, namun itu terjadi hanya tiga
kali dalam semalam suntuk, sehingga tidak akan terlampau sulit untuk menghindari
mereka.
Karena itu, maka kawan-kawan
putera Ki Argajaya itu pun segera mencapai rumah yang telah mereka tandai.
Rumah kecil dan beratap ilalang.
“Sekarang?” bertanya salah
seorang dari mereka perlahan-lahan.
Orang yang sudah setengah tua
menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Apakah isi rumah itu sudah tidur?”
“Sudah.”
“Berapa orang?”
“Hanya dua orang. Seorang
laki-laki setengah umur dengan seorang anaknya, seorang laki-laki muda yang
malas.”
“Tidak ada perempuan?”
Kawannya menggeleng, “Tidak
ada. Istri laki-laki itu sudah meninggal hampir tiga bulan yang lalu.”
Laki-laki setengah tua itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa yang
akan memancing para pengawal di rumah Ki Argajaya dengan panah?”
“Tentu dua di antara kami,”
jawab salah seorang dari mereka.
Orang tua itu pun kemudian
menunjuk kedua orang yang dimaksud. Katanya, “Hati-hatilah. Mendekatlah lewat
jalan depan. Tetapi kalian harus segera melarikan diri kalau kalian masih belum
jemu menjalani tata kehidupan yang kau tempuh selama ini.”
“Aku akan lepas dari segala
akibat serangan itu,” berkata salah seorang dari keduanya yang ditunjuk itu.
“Jangan terlampau sombong,”
desis kawannya yang lain. Tetapi orang itu hanya tersenyum saja. Sambil
menimang busurnya ia pun kemudian berdesis, “Aku pergi sekarang.”
Maka dua orang dari antara
mereka itu pun segera memisahkan diri. Dengan hati-hati mereka menyusup di
antara rimbunnya dedaunan di kebun-kebun, mendekati halaman rumah Ki Argajaya
justru dari jurusan depan.
Sejenak kemudian maka mereka
pun telah siap di tempatnya. Dengan dada berdebar-debar mereka menunggu api
yang akan segera menyala di sudut desa.
Orang tua yang sudah siap
membakar rumah itu pun masih sempat berkata, “Bangunkan pemilik rumah ini.”
“Kenapa?”
“Supaya mereka selamat
meninggalkan rumahnya yang terbakar.”
Kawan-kawannya menjadi heran.
Namun salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “He, sejak kapan kau
menjadi seorang yang luhur budi? Justru kami ingin membakarnya hidup-hidup.
Nyalakan lebih dahulu dinding di sekitar pintu depan dan pintu butulan, supaya
orang itu tidak dapat lari.”
“Orang itu tidak tahu apa-apa.
Bukankah seorang laki-laki setengah tua dan anaknya yang malas.”
“Justru karena kemalasannya
itulah ia pantas dibakar hidup-hidup karena anak itu sama sekali tidak
berguna.”
Orang tua itu tidak menyahut
lagi. Tiba-tiba saja ia menghentakkan kakinya pada dinding rumah atap yang
kecil itu sambil berkata, “He, bangun, cepat!”
Orang yang ada di dalam rumah
itu terkejut. Sayup-sayup ia mendengar suara di luar rumahnya.
“Siapa?”
Tetapi sudah tidak ada jawaban
lagi. Yang didengarnya adalah gemericik api yang mulai menjilat sudut rumahnya.
Orang tua yang ada di dalam
rumah itu pun terkejut bukan kepalang. Dengan serta-merta ia terloncat dari
pembaringannya. Dengan tubuh gemetar ia pergi ke amben di sudut. Anaknya
laki-laki masih saja tidur dengan nyenyaknya.
““He, bangun, bangun. Rumah
ini terbakar.”
Anaknya masih sempat
menggeliat, kemudian berkisar setapak sambil melingkarkan tubuhnya kembali.
“Bangun, bangun. Rumah kita
terbakar.” Diguncang-guncangnya tubuh anaknya yang masih saja berusaha untuk
meneruskan mimpinya.
Akhirnya anak itu terbangun
juga. Tetapi ia menjadi agak bingung. Terheran-heran ia melihat ayahnya
menariknya dari pembaringannya, “Cepat, rumah kita terbakar.”
Sebuah ledakan bambu telah
mengejutkannya. Barulah ia kini sadar, bahwa rumahnya telah mulai dimakan api.
Dengan tergesa-gesa ia pun
bangkit. Tetapi api sudah cukup besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk
dipadamkannya. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menyambar pakaian
mereka yang sudah kumal di sampiran, kemudian segera berlari-lari ke luar
rumah. Di emper depan orang tua itu masih melihat kentongan kecilnya
bergantungan, terayun-ayun seperti sedang dibuai. Dengan serta-merta ia mencari
sepotong kayu, dan dipukulnya kentongannya itu sekuat-kuat tenaganya, tiga kali
berturut-turut.
Ternyata, api itu benar-benar
dapat menggoncangkan kesenyapan malam. Sejenak kemudian suara kentongan itu pun
menjalar sampai ke telinga para peronda di gardu padukuhan.
“Kebakaran,” desis salah
seorang dan mereka, lalu, “lihat api sudah mulai naik.”
“Marilah kita lihat.”
“Hati-hati,” tiba-tiba
pemimpinnya memperingatkan, “pergilah dengan kelompokmu. Yang lain tetap
tinggal di sini. Aku yakin bahwa ada kesengajaan untuk memancing kami
sekarang.”
Para pengawal itu tertegun
sejenak. Dari sorot mata mereka, terasa bahwa timbul berbagai pertanyaan di
dalam dada. Sekilas mereka memandang api yang menjadi semakin besar, kemudian
mereka pandangi wajah pemimpin mereka yang tegang.
“Maksudku,” berkata pemimpin
itu, “kalian harus pergi ke tempat itu dalam kesiagaan tempur, bukan seperti
rombongan orang-orang ingin melihat tayub. Mengerti?”
Para pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terkejut ketika justru pemimpinnya yang
kemudian mendesak mereka, “Cepat! Jangan terlampau lamban berpikir.”
Maka sekelompok pengawal pun
segera bersiaga. Dengan senjata masing-masing mereka berangkat ke tempat api
yang semakin lama menjadi semakin besar.
Pemimpin pengawal di regol
padukuhan itu sebelah-menyebelah, segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya
sesuatu memang telah terjadi, tepat pada saat Ki Argajaya siang tadi kembali ke
rumahnya.
“Mungkin mereka melakukan
gerakan dengan seluruh kekuatan mereka yang tersisa,” berkata pemimpin pengawal
di padukuhan itu. “Tetapi kita tidak tahu pasti apakah maksud mereka. Apakah
mereka ingin mengambil Ki Argajaya untuk memperkuat kedudukan mereka, atau
justru mereka ingin, melepaskan dendam karena Ki Argajaya mereka anggap
berkhianat.”
Para pemimpin kelompok yang
mendengarkan penjelasan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cepat, hubungi para pengawal
di pintu regol di ujung jalan yang lain dari padukuhan ini. Tutup semua pintu.
Tidak seorang pun boleh masuk atau keluar. Awasi segala sudut sejauh dapat
dijangkau.”
Dengan demikian maka para
pengawal di padukuhan itu pun menjadi sibuk. Beberapa kelompok-kelompok kecil
segera memencar dengan alat-alat yang dapat memberikan tanda setiap saat di
samping senjata-senjata mereka yang siap di tangan.
Pada saat yang bersamaan,
pengawal yang sedang bertugas berjaga-jaga di depan regol halaman Ki Argajaya
pun melihat api itu. Sejenak mereka termangu-mangu, namun sejenak kemudian
mereka pun sadar, bahwa mereka harus melaporkannya. Maka salah seorang dari
mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa menemui pemimpinnya.
Ternyata api itu sudah
mengejutkan seisi halaman. Para pengawal, yang segera bersiap di halaman,
terpaku melihat nyala api yang semakin lama menjadi semakin besar.
“Semua bersiaga di tempat
masing-masing seperti yang sudah ditentukan, apabila keadaan menjadi panas,”
perintah pemimpin pengawal itu.
Perintah itu tidak perlu
diulangi. Maka para pengawal itu pun segera memencar ke tempat-tempat yang
memang sudah ditentukan di dalam halaman. Mereka mengerti, bahwa mereka tidak
dapat keluar dari halaman itu, apa pun yang terjadi, kecuali keadaan sudah
sangat memaksa. Tugas mereka adalah di dalam halaman rumah Ki Argajaya, karena
di luar halaman rumah itu sudah menjadi tanggung jawab para pengawal yang di
tempatkan di padukuhan itu.
Namun para pengawal itu
tiba-tiba terkejut ketika, mereka mendengar anak panah berdesing tepat di atas
kepala mereka. Dengan gerak naluriah, maka para pengawal pun segera mencari
perlindungan. Di balik-balik pepohonan atau di balik pagar batu, yang mengitari
halaman.
“Gila,” desis pemimpin
pengawal, “apakah orang-orang itu ingin membunuh dirinya?”
Agung Sedayu yang berada di
dekat pemimpin pengawal itu tidak segera menyahut. Ia mengetahui tepat, dari
mana arah anak panah itu.
Beberapa anak panah yang lain
pun segera menyusul, meluncur dari arah yang berbeda-beda, seolah-olah beberapa
orang telah mengepung halaman rumah Ki Argajaya.
Pemimpin pengawal itu menjadi
tegang. Terdengar ia berdesis, “Berapa orang kira-kira yang datang menyerang
halaman ini?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Dicobanya mengamati dengan cermat, dari mana saja anak panah itu
meluncur.
Namun akhirnya Agung Sedayu
berkata, “Tidak lebih dari dua atau tiga orang.”
“He,” pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya.
“Mereka berpindah-pindah
tempat.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak dapat mengejar mereka.
Nanti dapat terjadi salah paham, apabila para pengawal di regol padukuhan itu
pun sudah melakukan pengejaran.”
“Ya, kita bertahan di batas
halaman ini,” sahut Agung Sedayu.
Karena itu, maka para pengawal
itu pun tetap tinggal di tempat masing-masing. Di belakang pepohonan, dedaunan
yang rimbun di balik dinding-dinding batu dan di belakang regol.
Namun sejenak kemudian anak
panah itu pun menjadi semakin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Mereka sudah berhenti,” desis
pemimpin pengawal.
“Mungkin. Tetapi mungkin pula
mereka menunggu sasaran.”
Pemimpin pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan berada di halaman,”
desis Agung Sedayu.
“Jangan,” jawab pemimpin itu,
“berbahaya.”
“Tidak. Aku akan membawa
perisai.”
“Apa perisaimu itu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi dilepaskannya ikat kepalanya. Ujungnya dibalutkannya pada tangan
kirinya. Katanya, “Tunggulah di sini.”
Pemimpin pengawal itu menjadi
berdebar-debar. Dipandanginya saja Agung Sedayu berjalan dengan tenangnya ke
tengah-tengah halaman rumah Ki Argajaya.
Meskipun disaput oleh
keremangan malam, namun bayangannya masih juga tampak dari jarak yang agak
jauh.
Dan ternyata bahwa orang-orang
yang melontarkan anak panah itu masih belum meninggalkan halaman itu. Mereka
mengerutkan kening mereka, ketika tampak seseorang yang dengan tenangnya justru
menampakkan dirinya.
Sejenak kedua orang yang
melontarkan anak panah itu memandangi bayangan di halaman dengan herannya.
Apalagi ketika bayangan itu kemudian berhenti di tengah-tengah halaman sambil
menengadahkah dadanya.
“He, apakah di antara mereka
ada juga orang yang membunuh diri,” pertanyaan itu melonjak di dalam dada kedua
orang yang sedang bersembunyi dengan anak-panah yang siap diluncurkan.
Tetapi ternyata bayangan yang
hitam di halaman itu tidak segera beranjak pergi.
Salah seorang dari kedua orang
yang sudah siap dengan busur dan anak panah itu pun mendekati kawannya.
Perlahan ia berbisik, “He, kau lihat orang aneh itu?”
“Ya,” sahut kawannya.
“Apa katamu tentang orang
itu?”
“Mungkin ia sedang memancing
anak panah kami, agar mereka mengetahui arah tempat kami bersembunyi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Lalu bagaimana dengan kita?”
“Kita tinggalkan tempat ini.”
Kawannya mengangguk-angguk
pula. Namun katanya, “Tetapi orang itu tampaknya sengaja menghina kami. Apakah
kita tidak mencoba yang seorang itu, kemudian kita dengan segera pergi?”
Kawannya terdiam sejenak.
Lalu, “Terserah kepadamu.”
Yang tangannya menjadi gatal
itu mengerutkan keningnya. Kemudian diangkatnya busurnya. Dengan cermat
dibidiknya bayangan orang yang ada di tengah-tengah halaman itu.
“Aku ingin mengenai dadanya.
Bidikanku tidak pernah meleset apabila sasaran itu tetap di tempatnya.”
Kawannya tidak menjawab.
Dipandanginya kawannya yang telah mulai menarik tali busurnya sambil menahan
nafas.
Sejenak kemudian anak panah
itu meluncur secepat tatit menyambar bayangan hitam di halaman. Suaranya
berdesing di dalam gelapnya malam.
Agung Sedayu yang sudah
terlatih baik segala alat inderanya, segera mendengar desing anak panah.
Meskipun malam masih tetap kelam, namun oleh ketajaman pendengaran dan tatapan
matanya, Agung Sedayu segera dapat mengerti dengan pasti, dari mana dan kemana
anak panah itu meluncur. Karena itu, maka segera ia mengibaskan ikat kepalanya
berputaran di depan dadanya, sambil memiringkan tubuhnya.
Hampir tidak masuk akal,
tetapi para pengawal dan bahkan mereka yang sedang bersembunyi dengan busur dan
anak-panah itu, kemudian melihat panahnya tersangkut pada ikat kepala yang sedang
berputar itu.
“He,” desis salah seorang dari
kedua orang yang sedang bersembunyi itu, “apa yang kau lihat?”
“Ia mengibaskan selembar
kain.”
“Dan anak panah itu?”
“Agaknya tersangkut pada kain
itu.” Ia berhenti, lalu, “Lihat ia rupa-rupanya ia sedang mencabut anak panah
itu.”
“Setan alas!” geram salah
seorang dari mereka. “Siapakah orang itu?”
“Kita harus segera pergi.
Kalau tidak, kita akan dapat dijebaknya. Orang itu benar-benar luar biasa?”
“Apakah orang itu Ki
Argajaya?”
Kawannya menggelengkan
kepalanya, “Tidak jelas. Tetapi menilik tinggi tubuhnya, agaknya bukan.”
Keduanya tidak berkata-kata
lagi. Tetapi seperti berjanji mereka pun segera bergeser menjauhi tempat itu.
Ketika mereka telah berada di halaman yang rimbun di rumah sebelah, salah
seorang dari mereka berdesis, “Kita harus menjauh secepatnya.”
Keduanya pun kemudian dengan
tergesa-gesa merangkak di antara pepohonan menjauhi rumah Ki Argajaya. Mereka
sadar, bahwa di padukuhan itu, para peronda pasti sedang berkeliaran, menilik
tanda yang bergema. Bunyi kentongan, tiga-tiga ganda berturut-turut.
“Hati-hati,” desis salah
seorang dari keduanya, “jangan sampai terjebak oleh para peronda yang pasti
sedang menyusuri semua jalan-jalan di seluruh padukuhan ini.”
Kawannya tidak menjawab.
Tetapi ia berdesis sambil meletakkan jari-jarinya di depan bibirnya yang
terkatup.
Sejenak mereka membeku.
Lamat-lamat mereka mendengar desir langkah semakin lama semakin dekat.
Keduanya segera berlindung
semakin rapat, sambil menahan nafas. Di sebuah lorong sempit di depan mereka,
beberapa orang peronda berjalan perlahan-lahan. Bahkan kedua orang itu
mendengar mereka berbicara, “Kalau kita dapat menangkap salah seorang dan
mereka, kita cincang saja di mulut pedukuhan, supaya yang lain menjadi jera.”
“Kita gantung pada kedua
kakinya, dan kepalanya dijungkir di bawah. Sepantasnya mereka mendapat hukuman
picis.”
Kedua orang yang bersembunyi
itu menjadi ngeri pula karenanya, sehingga karena itu, serasa tubuh mereka
berkerut semakin kecil.
Mereka menarik nafas
dalam-dalam, ketika para peronda itu menjadi semakin jauh, akhirnya desir
langkah mereka sudah tidak terdengar lagi.
“Cepat, kita seberangi lorong
itu,” Kawannya tidak menjawab, namun mereka berdua pun segera menyusup
menyeberangi lorong kecil itu.
Sementara itu, perhatian para
pengawal di rumah Ki Argajaya benar-benar sedang dicengkam oleh serangan anak
panah di halaman depan, sehingga seperti yang diperhitungkan oleh kawan-kawan
putera Ki Argajaya, mereka hampir tidak menaruh perhatian sama sekali kepada
segerumbul perdu yang rimbun di samping kandang. Mereka benar-benar tidak
melihat, ketika dua orang anak muda meloncati dinding batu dan bersembunyi di
dalam gerambul itu.
Meskipun ada beberapa orang
penjaga di halaman belakang, namun mereka pun sedang dipengaruhi oleh
kemungkinan serangan-serangan anak panah yang tiba-tiba saja dapat menyambar
mereka seperti yang terjadi di halaman depan.
Dalam saat-saat yang demikian
itulah dua orang anak muda yang berada di balik gerumbul-gerumbul perdu itu
berkisar selangkah demi selangkah mendekati sudut rumah. Seperti yang mereka
harapkan, maka perhatian para penjaga benar-benar telah terampas oleh api dan
serangan anak panah yang tidak mereka ketahui dari mana asalnya.
Agung Sedayu yang berada di
halaman depan pun sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam pengawasan yang
demikian rapatnya, masih juga ada seseorang yang berani memasuki halaman,
sehingga karena itu, maka ia pun tidak menduga sama sekali, bahwa ada dua orang
yang kini sedang memanjat sisi rumah di sebelah kandang.
Meskipun para pengawal sama
sekali tidak menjadi lengah, tetapi mereka benar-benar tidak melihat dua orang
yang dengan susah payah telah berhasil naik ke atas atap. Perhatian para
pengawal masih tetap tertuju kepada setiap kemungkinan yang datang dari luar
dinding halaman. Yang mereka bayangkan adalah kemungkinan serangan
kekuatan-kekuatan terakhir dari sisa-sisa pasukan Sidanti.
Sejenak kemudian, pemimpin
pengawal yang ada di halaman depan rumah Ki Argajaya melihat beberapa peronda
mendatanginya. Kemudian salah seorang peronda itu bertanya, “Bukankah halaman
ini tidak mendapat gangguan?”
“Pada dasarnya tidak,” jawab
pemimpin pengawal.
“Kenapa pada dasarnya?”
“Ada beberapa anak panah yang
meluncur ke halaman. Tetapi kemudian terhenti.”
“Jadi ada orang-orang yang
telah menyerang kalian dengan anak panah?”
“Hanya dua atau tiga orang,”
sahut Agung Sedayu.
“Di mana mereka sekarang?”
“Kami tidak tahu. Aku kira
mereka sudah melarikan diri.
“Kalian membiarkan saja mereka
lari?”
“Kami tidak dapat keluar dari
halaman ini. Kami tidak ingin terjadi salah paham dengan kalian. Di dalam gelap
kadang-kadang kita sukar membedakan, siapakah yang kita hadapi.”
Para peronda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan mencarinya di
seluruh padukuhan,” berkata peronda itu, “tetapi jangan kalian harapkan, kami
dapat menemukan mereka. Masih ada satu dua orang yang bersedia menyembunyikan
orang-orang itu, atau barangkah mereka sudah meloncati dinding pedukuhan yang
sekian panjangnya, yang sudah tentu tidak dapat kami awasi seluruhnya dalam
waktu yang bersamaan.”
Pemimpin pengawal di halaman
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti betapa sulitnya tugas para
pengawal padukuhan itu, karena pada suatu waktu ia pun pernah bertugas di
padakuhan itu pula.
Ketika para peronda itu pergi,
maka pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu duduk di tangga pendapa rumah yang
sepi itu tanpa berprasangka apa pun. Apalagi menyangka, bahwa kini dua orang
anak-anak muda di atas atap itu sudah merambat mendekati sebuah lubang yang
memang sudah mereka buat, tepat di atas bilik yang malam itu dipergunakan oleh
Sekar Mirah.
Dengan hati-hati keduanya
berusaha membuka lubang itu. Sekali-sekali mereka mengamati suara-suara yang masih
mungkin terdengar di dalam rumah. Namun agaknya rumah itu sudah sepi.
“Apakah mereka tidak terbangun
oleh suara kentongan?” bisik kawannya.
“Mungkin, kita masih harus
menunggu sejenak.”
Kawannya pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat tergesa-gesa masuk ke dalam
bilik itu. Memang kemungkinan bahwa isi rumah itu terbangun adalah besar
sekali.
Tetapi rumah itu agaknya
benar-benar sudah dicengkam oleh kesenyapan. Lelah dan kantuk agaknya telah
menguasai seluruh isinya. Apalagi mereka mempercayai para pengawal yang ada di
luar rumah itu sepenuhnya, sehingga tidak seorang pun dari isi rumah itu yang
keluar meskipun mereka mendengar juga suara kentongan di kejauhan.
“Tak ada apa-apa di halaman,”
perasaan itulah yang telah tumbuh di setiap dada orang-orang yang ada di dalam
rumah itu.
Setelah menunggu sejenak, dan
kedua anak-anak muda yang ada di atas atap itu tidak mendengar suara apa-apa
sama sekali, maka mulailah mereka mencoba memasuki bilik dalam. Dalam
keremangan cahaya lampu yang kemerahan, dari lubang atap, kedua anak-anak muda
itu melihat seorang perempuan yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Ibu masih tidur nyenyak,”
desis putra Ki Argajaya.
“Hati-hati, jangan
mengejutkannya. Kalau ibumu terkejut, mungkin sekali ia akan berteriak.”
Putra Ki Argajaya itu
menganggukkan kepalanya. Perlahan ia mengikatkan ujung sebuah tali yang memang
sudah dibawanya. Kemudian dengan hati-hati sekali ia meluncur ke bawah, tepat
di sudut bilik. Dengan tangannya ia memberikan isyarat kepada kawannya, dan
kawannya itu pun meluncur pula ke bawah.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Dipandanginya saja tubuh yang sebagian terbesar ditutup oleh selimut,
sebuah kain panjang. Apalagi perempuan yang sedang tidur itu membelakangi kedua
anak-anak muda itu, sehingga mereka tidak segera mengenalinya.
“Apakah kita biarkan saja Ibu
tidur, dan kita langsung mencari Ayah,” desis putra Ki Argajaya.
“Tidak. Sebaiknya ibumu kau
bangunkan supaya ia tidak terkejut dan justru berteriak-teriak.”
Sejenak anak muda itu berpikir.
Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Baiklah.”
Perlahan-lahan ia maju
selangkah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat perempuan itu bergerak.
Dan bahkan darahnya tersirap ketika ia mendengar suara, “Kalian tidak usah
membangunkan aku.”
Putra Ki Argajaya itu surut
selangkah. Matanya terbelalak ketika ia kemudian melihat siapakah yang tidur di
dalam bilik itu.
Sekar Mirah yang ternyata
mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi di atas biliknya, kemudian dua
orang meluncur turun itu, perlahan-lahan bangkit dan duduk di bibir
pembaringan.
Kedua anak muda yang memasuki
bilik itu pun seakan-akan membeku di tempatnya. Sejenak mereka terpesona
melihat seorang gadis cantik berada di bilik itu, bilik yang biasanya dipakai
oleh ibunya.
Sekar Mirah yang duduk di
pembaringan itu masih saja duduk di tempatnya. Dipandanginya kedua anak muda
yang terheran-heran itu sambil tersenyum.
“Siapakah kau?” desis putra Ki
Argajaya.
“Aku kira kaulah putra Ki
Argajaya yang selama ini seakan-akan telah menghilang.”
“Siapa kau?” ulang putra Ki
Argajaya itu, “dan kenapa kau ada di sini.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Dipandanginya saja anak muda yang berdiri termangu-mangu itu. Anak
muda yang berperawakan sedang, namun dengan sorot mata yang berapi-api.
“Kalau saja anak ini sempat
memelihara dirinya, ia adalah anak muda yang tampan,” desis Sekar Mirah di
dalam hati.
“He, kau belum menjawab.”
“Aku,” Sekar Mirah memiringkan
kepalanya, “aku adalah tamu Ki Argajaya. Apakah kau belum tahu bahwa ayahmu sudah
pulang hari ini.”
Anak muda itu tidak menjawab.
Hatinya menjadi semakin berdebar-debar setiap kali ia melihat gadis itu
tersenyum.
Tiba-tiba saja, kawannya
menggamitnya sambil bertanya, “Apakah gadis itu bukan saudaramu. Saudara yang
datang dari jauh atau dari mana pun juga?”
Putra Ki Argajaya itu
menggelengkan kepalanya.
“Jadi kau belum mengenalnya
dan sama sekali tidak ada hubungan apa pun?”
Sekali lagi anak muda itu
menggeleng.
Sekar Mirah yang masih duduk
di pinggir pembaringan itu memandangnya dengan seksama. Di dalam hatinya ia
berkata, “Anak ini memang agak mirip dengan Sidanti. Sorot matanya yang
berapi-api, bibirnya yang terkatup dan apanya lagi?” Sekar Mirah menarik nafas,
“Keduanya adalah saudara sepupu.”
Tetapi Sekar Mirah sama sekali
tidak mengerti bahwa sebenarnya anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan
Sidanti.
“Jadi siapa gadis ini,” kawan
putra Ki Argajaya itu bertanya.
Putra Ki Argajaya itu
menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku baru melihatnya.”
“Aku sudah mengenalmu. Bukankah
kau bernama Prastawa,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
“Kau tentu mendengar dari Ayah
atau Ibu.”
Sekar Mirah tertawa Dan
tiba-tiba saja ia berkata, “Silahkan. Jangan berdiri saja di situ. Apakah kau
ingin bertamu dengan ayahmu? Ia ada di ruang dalam. Tidur di amben besar itu
bersama seorang tamu yang lain.”
“Siapakah tamu yang lain itu?”
“Ayahku.”’
“Kau datang bersama ayahmu?”
“Ya.”
“Siapakah kau sebenarnya?”
Sekar Mirah tertawa, “Apakah
begitu penting bagimu untuk mengetahui namaku.”
Prastawa, putra Ki Argajaya
itu mengerutkan keningnya. Sikap Sekar Mirah dirasakannya sangat aneh. Gadis
itu sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan.
Namun di luar dugaan kawan
Prastawa itu pun kemudian berkata, “Prastawa. Kalau gadis ini memang bukan
sanak-kadangmu, kenapa ia berada di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab
Prastawa.
“Kalau begitu, biarlah aku
mengurusnya.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. “Maksudmu?” ia bertanya.
Kawannya tiba-tiba saja
tertawa, meskipun tidak bersuara. Katanya, “Ia terlampau cantik.”
“Lalu apa yang akan kau
lakukan?” bertanya Prastawa.
Kawannya masih tertawa. Lalu,
“Apakah kita akan menemui Ki Argajaya lebih dahulu? Aku kira lebih baik kau
menemuinya sendiri. Kau dapat berbicara dengan leluasa.”
“Lalu kau?”
“Aku tinggal di sini,
mengawani gadis ini. Aku dapat mencegahnya kalau ia berteriak dan mengejutkan
para penjaga.”
Putra Ki Argajaya itu
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Tetapi aku belum melihat Ibu.”
“Nah, carilah ibumu. Katakan
maksudmu. Tetapi sebaiknya kau berbuat seperti seorang anak terhadap orang
tuamu. Berbicara dengan baik dan sopan. Aku yakin, bahwa ayahmu akan mengerti,
bahwa perjuangan kita masih panjang.”
“Kau terpancang pada
kepentinganmu sendiri.”
“Bukankah kau sejak semula akan
pergi sendiri? Tetapi pertimbangan keamanan dirimulah yang membawa aku kemari.
Tetapi agaknya tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam rumah ini.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Dan ia melihat kawannya itu melangkah mendekati Sekar Mirah, “Kau
sudah terdampar ke suatu tempat yang barangkali tidak pernah kau impikan.”
“Kenapa,” bertanya Sekar Mirah
tanpa beranjak dari tempatnya.
“Kau sangat diperlukan di
sini. Kalau kau tetap tinggal di rumah ini, sedang di halaman rumah ini
berkerumun serigala-serigala lapar, maka nasibmu tidak akan berketentuan.”
“Aku datang bersama Ayah.”
“Siapa ayahmu.”
“Ya ayahku.”
“Kalau ia mencoba menghalangi
mereka, ayahmulah yang akan disingkirkannya dahulu.” Anak muda itu berhenti
sebentar. Sambil berpaling kepada putra Ki Argajaya ia berkata, “Pergilah ke
ayahmu. Aku akan menyelamatkan gadis ini. Kau masih terlampau muda untuk
memikirkan seorang gadis cantik ini.”
Putra Ki Argajaya termenung
sejenak. Dipandanginya wajah kawannya yang aneh, kemudian ditatapnya Sekar
Mirah yang masih tersenyum-senyum saja.
“Apa yang kau tunggu?”
bertanya kawan Prastawa itu.
“Aku tidak mengerti, kenapa
gadis itu di sini.”
“Jangan hiraukan. Biarlah aku
yang mengurusnya. Sekarang kau temui ibu dan kemudian ayahmu.”
Sekali lagi Prastawa memandang
wajah Sekar Mirah. Ia tidak dapat mengerti, kenapa sikapnya begitu ramah
menerima kedatangan orang yang belum dikenalnya, di tempat yang asing baginya.
“Jangan tunggu sampai pagi,”
desis kawannya.
Prastawa menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan menemui Ibu dan Ayah. Tetapi kalau aku
tidak dapat berbicara dengan mulutku, maka aku akan berbicara dengan
senjataku.”
“Pertimbangkan baik-baik.”
“Aku sudah mengerti.”
“Terserahlah,” ternyata
kawannya itu sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi apa yang akan dilakukan
oleh putra Ki Argajaya itu. Perhatiannya seluruhnya telah ditumpahkannya kepada
Sekar Mirah yang masih duduk di tempatnya.
“Hati-hatilah dengan gadis
itu,” putra Ki Argajaya masih berpesan, “jangan sampai ia dapat mengganggu
acara kita.”
“Serahkan kepadaku. Tetapi kau
pun harus berhati-hati pula.”
Putra Ki Argajaya itu pun
kemudian dengan sangat hati-hati menyibakkan pintu lereg di bilik itu. Ternyata
ruang dalam rumah itu pun sudah sepi. Cahaya lampu minyak yang remang-remang
sama sekali tidak menyentuh seorang pun yang masih terbangun.
“He, kenapa kau belum juga
keluar?” kawannya berdesis.
Putra Ki Argajaya itu
berpaling. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Namun kawannya menjadi tidak sabar
lagi. Kalau saja ia tidak sadar akan tugasnya, maka anak muda itu sudah
dilemparkannya ke luar bilik.
“Bukankah kita sudah yakin
bahwa rumah ini sepi. Aku tidak mendengar apa-apa.”
“Bukankah aku harus
berhati-hati?” sahut Prastawa.
Kawannya mengangguk kecil,
meskipun ia mengumpat-umpat di dalam hati. Namun ketika sekilas dipandanginya
Sekar Mirah masih saja duduk tenang di tempatnya, ia menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan putra Ki
Argajaya itu pun kemudian melangkah ke luar. Dengan ragu-ragu ia memandang
berkeliling. Sebuah pertanyaan terbersit di hatinya, “Di manakah Ibu tidur?”
Tetapi ketika ia melihat lampu
yang kecil menyala di bilik sebelah, ia pun segera mengetahuinya, bahwa ibunya
ada di dalam bilik itu.
“Aku harus menemuinya dahulu,
supaya Ibu tidak berteriak-teriak.”
Prastawa pun kemudian dengan
sangat hati-hati melangkah melintasi ruangan dalam menuju ke pembaringan
ibunya. Perlahan-lahan pula ia menarik daun pintunya, kemudian melangkah masuk.
Sementara itu, kawannya masih
berdiri tegak di hadapan Sekar Mirah yang belum berkisar dari tempatnya.
“He, siapakah sebenarnya kau?”
bertanya anak muda itu.
“Siapa aku itu tidak penting
buatmu. Apakah yang kau kehendaki dari aku? Aku bukan orang padukuhan ini,
bukan penghuni rumah ini sehingga aku tidak akan dapat memberikan banyak
keterangan yang kau ingini.”
“Aku tidak memerlukan
keterangan apa pun.”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Kau.”
“Aku?”
“Ya. Aku ingin membawamu ke
luar dari rumah ini.”
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya, “Tidak mungkin. Ayahku ada di rumah ini dan di halaman rumah ini
bertebaran para pengawal.”
“Bodoh kau. Aku dapat masuk
tanpa mereka ketahui.”
“Kau memanjat?”
“Ya. Aku memanjat atap rumah
ini, kemudian turun dengan tali itu.”
“Aku tidak dapat memanjat.”
“Aku dapat mendukungmu. Lihat,
tubuhku hampir sebesar tubuh gajah.”
“Akan kau bawa ke mana aku
nanti?”
Anak muda itu terdiam sejenak.
Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Sekar Mirah.
“Ke mana?” Sekar Mirah
mengulang.
Anak muda itu termenung
sejenak. Sudah lama ia meninggalkan rumahnya. Sudah tentu ia tidak dapat pulang
sambil membawa seorang gadis. Seandainya demikian, maka ia pasti akan segera
ditangkap oleh para pengawal yang sekarang sudah menguasai hampir semua
sudut-sudut Tanah Perdikan ini.
“Apakah kau mempunyai rumah?”
Tanpa sesadarnya anak muda itu
mengangguk, “Ya. Aku punya rumah.”
“Rumahmu sebesar ini?”
“Ya, rumahku sebesar ini.”
“Dan aku akan kau bawa ke
rumahmu?”
Anak muda itu menjadi kian
bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus menjawab.
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Kemudian terdengar ia berdesah, “Kau tidak mau mengatakan, ke mana
aku akan kau bawa.”
Tiba-tiba wajah anak muda itu
menjadi tegang. Katanya, “Kau aku bawa ke tempatku sekarang.”
“Kau tentu tinggal bersama
kawan-kawanmu. Dan aku akan kau ambil dari daerah serigala lapar dan kau
masukkan ke dalam kandang harimau yang juga kelaparan?”
Anak muda itu menjadi semakin
bingung. Memang tidak mungkin baginya untuk membawa gadis itu ke sarang
persembunyiannya. Di sana terdapat banyak sekali laki-laki yang liar seperti
dirinya sendiri. Kehadiran Sekar Mirah di antara mereka pasti hanya akan
menimbulkan keonaran saja.
Karena itu, maka untuk sejenak
laki-laki yang bertubuh seperti seekor badak itu berpikir sejenak.
Sekali-sekali ditatapnya wajah Sekar Mirah di bawah remang-remang sorot lampu
minyak yang redup.
Dan tiba-tiba tanpa sesadarnya
laki-laki muda itu bertanya, “Lalu bagaimana sebaiknya?”
Sekar Mirah tersenyum.
Katanya, “Kaulah yang menentukan, bagaimana sebaiknya.”
Laki-laki itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun kemudiaan katanya, “Kau ikut aku. Aku tidak tahu ke
mana kau akan aku bawa.”
“He, kau aneh sekali.”
“Tidak. Ini bukan hal yang
aneh. Aku memerlukan kau dan aku tidak mau dibingungkan oleh tempat dan segala
macam.”
“Jadi bagaimana?”
Wajah anak muda itu tiba-tiba
menjadi merah. “Ayo, ikut aku.”
“Kau belum mengatakan, ke
mana.”
“Jangan bertanya lagi. Kita
harus segera keluar dari tempat ini.”
“Jangan tergesa-gesa.
Duduklah. Bukankah kau masih menunggu putra Ki Argajaya.”
“Tidak, aku tidak menunggu
lagi.”
Sekar Mirah tertawa. Katanya,
“Kau seperti anak-anak yang lapar melihat ibunya membawa makanan.”
“Jangan membuat darahku
semakin menggelegak.”
“Duduklah.”
“Tidak, Kita harus segera
pergi.
“Anak muda,” berkata Sekar
Mirah kemudian, “kalau kau memang tidak mempunyai tempat tinggal, kenapa kau
tidak menetap di sini saja? Rumah ini terlampau besar untuk dihuni keluarga Ki
Argajaya yang sudah terpecah-pecah itu. Mungkin rumah ini dahulu sangat baik
dan bersih. Dihuni oleh beberapa orang sanak saudara dan pelayan-pelayan yang
sanggup memelihara rumah ini.
“Jangan mengigau,” potong anak
muda itu, “ayo, ikut aku. Berdirilah.”
Tetapi Sekar Mirah masih saja
tersenyum di tempatnya.
“Kau aneh,” berkata Sekar
Mirah, “kau ingin membawa aku tanpa mengerti ke mana kau akan pergi. Sudah aku
katakan tinggallah di sini. Atau, aku yang akan membawamu?”
“He?”
“Aku hanya mempunyai seorang
saudara laki-laki. Kau dapat aku jadikan saudaraku yang kedua. Aku mempunyai
kakak, dan kau akan menjadi adikku.”
“Gila. Gila kau,” tiba-tiba
anak muda itu mengumpat-umpat.
“Kau sendirilah yang
berteriak. Kalau seisi rumah ini bangun, itu bukan salahku.”
“Aku memerlukan kau tidak
sebagai saudara. Aku memerlukan kau sebagai seorang perempuan,” laki-laki itu
menjadi tegang. Lalu, “Ikut aku. Cepat!”
Agaknya ia sudah tidak sabar
lagi. Selangkah ia maju menyambar lengan Sekar Mirah dan menariknya. Sekar
Mirah tidak melawan. Ia pun terseret beberapa langkah. Namun kemudian tangan
anak muda itu dikibaskannya, sehingga pegangannya pun terlepas.
“Kau menyakiti aku,” desis
Sekar Mirah.
Namun anak muda itu menjadi
heran karenanya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah cukup kuat untuk
mengibaskan tangannya, dan apalagi setelah gadis itu berdiri, matanya
seakan-akan tidak berkedip lagi memandangi pakaian Sekar Mirah.
“Kenapa kau termenung?”
bertanya Sekar Mirah.
“Pakaianmu.”
“Kenapa pakaianku?”
Anak muda itu tidak segera
menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kenapa kau berpakaian seperti itu.”
“Kenapa? Ya, kenapa? Bukankah
aku berpakaian biasa?”
Hati anak muda itu kini
menjadi semakin berdebaran. Pakaian Sekar Mirah bukanlah pakaian gadis-gadis
sewajarnya. Di atas Tanah Perdikan ini, hanya Pandan Wangi sajalah gadis yang
mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Sekar Mirah itu. Karena pakaian
itu semula ditutupinya dengan kain panjang yang dipergunakannya sebagai
selimut, maka anak muda itu tidak begitu memperhatikannya. Namun agaknya cara
berpakaian gadis ini telah menunjukkan suatu ciri yang lain dari gadis-gadis
kebanyakan.
“Kenapa kau termenung? Apakah
kau tidak mau aku bawa pulang, dan aku jadikan adik laki-laki.”
Jantung anak muda itu kini
menjadi semakin cepat berdentang. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Persetan
dengan kau. Aku tidak peduli siapa kau dan kenapa kau berpakaian seperti
seorang laki-laki. Tetapi aku tahu pasti, kau seorang gadis. Dengan demikian
aku memerlukan kau. Mau tidak mau, kau harus aku bawa ke luar dari tempat ini.
Aku dapat membuat kau pingsan, kemudian aku dukung kau ke luar dari dalam bilik
ini lewat atap.”
“Aku tidak dapat membayangkan,
apakah kau benar-benar dapat melakukannya. Kalau tanganmu memegangi tubuhku,
bagaimana kau dapat memanjat.”
“Gila,” anak muda itu
menggeram. Matanya menjadi nanar memperhatikan barang-barang yang ada di dalam
bilik itu. Ia ingin mendapat alat yang dapat dipakainya untuk memanjat atap.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu kecuali sebuah geledeg bambu yang tua.
“Nah, apakah kau menemukan
jalan keluar.”
“Gila,” ia menggeram, dan
tiba-tiba ia menjadi liar, “aku tidak akan membawamu ke luar.”
“Lalu?”
“Aku memerlukan kau sekarang.”
“Gila,” tiba-tiba wajah Sekar
Mirah menjadi merah, “sebaiknya kau pikirkan setiap kalimat yang kau ucapkan.”
“Persetan. Jangan banyak
tingkah, supaya aku tidak menjadi kasar.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya, ketika ia melihat anak muda itu melangkah maju. Matanya seakan-akan
telah menyala dan nafasnya menjadi terengah-engah.
Sekar Mirah surut selangkah.
Tetapi ia tidak dapat mundur lagi karena ia sudah berdiri melekat pinggir
pembaringannya. Karena itu, ia hanya dapat berdiri dengan tegang memandangi
anak muda yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat itu.
Sekar Mirah menjadi ngeri juga
melihat sorot mata anak muda itu, sehingga kulitnya serasa meremang. Terkenang
sesaat tingkah laku Alap-alap Jalatunda di Padepokan Tambak Wedi, ketika ia
diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung.
Tetapi Sekar Mirah sekarang
bukanlah Sekar Mirah yang dahulu.
Anak muda itu menjadi semakin
dekat kepadanya. Terdengar kemudian ia berdesis, “Kau lebih baik tidak menolak.
Aku memang tidak akan dapat membawamu ke mana saja. Tetapi sekarang kita cukup
waktu. Prastawa masih harus menyelesaikan persoalannya dengan ayah dan ibunya.”
Tetapi Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau jangan menjadi gila dan liar. Ingat, di
sekitar rumah ini para pengawal bertebaran di segala sudut dan hampir di setiap
jengkal tanah.”
“Aku tidak peduli.”
“Jangan,” desis Sekar Mirah.
Namun orang itu justru menjadi
semakin liar. Matanya menjadi merah dan dadanya berdentangan tidak menentu.
“Jangan menolak.”
“Jangan.”
“Aku tidak dapat dicegah
lagi.”
“Aku dapat berteriak.”
“Aku akan membungkam mulutmu.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Menilik sorot matanya, anak muda itu memang tidak akan dapat dicegah
lagi.
Belum lagi Sekar Mirah berbuat
apa-apa, maka tiba-tiba saja anak muda itu meloncat menerkamnya. Menurut
perhitungannya. Sekar Mirah tidak akan dapat lolos lagi, karena ia sudah
berdiri melekat pembaringan.
Tetapi anak muda itu terkejut,
ketika tanpa disangka-sangka ia merasa tangannya yang terulur itu terdorong ke
samping. Demikian keras dan apalagi didorong oleh kekuatannva sendiri, sehingga
anak muda itu terhuyung-huyung membentur dinding kayu.
“He,” bertanya Sekar Mirah,
“kenapa kau?”
Anak muda itu menggeram.
Tetapi otaknya telah menjadi gelap sehingga ia tidak segera dapat menilai apa
yang telah terjadi. Karena itu, maka sekali lagi ia bersiap. Dengan tangan
gemetar ia menunjuk wajah Sekar Mirah, “Kau mau mengelak, he? Kaulah yang
memulainya, sehingga kau tidak akan dapat menghentikannya sekarang sebelum aku
menjadi puas.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan tikar di pinggir
pembaringannya. Di situlah senjatanya disimpan.
“Aku belum tahu, apakah yang
dapat dilakukan oleh anak ini,” katanya di dalam hati. “Tetapi agaknya ia sudah
kehilangan akal, sehingga tidak akan terlampau sulit mengurusnya.”
Sebenarnyalah bahwa anak muda
itu sudah kehilangan akal. Ia sudah tidak tahu lagi apa saja yang mungkin dapat
terjadi.
Sementara itu, Prastawa dengan
ragu-ragu berdiri di sisi pembaringan ibunya. Tampaknya ibunya tidur terlampau
nyenyak. Selama ini Nyai Argajaya memang tidak pernah dapat tidur senyenyak
itu. Namun agaknya kedatangan suaminya telah membuat hatinya menjadi lebih
tenteram, meskipun masih juga dibayangi oleh ketidak-tentuan. Karena itulah
maka malam itu ia dapat tidur dengan nyenyaknya.
Sekali-sekali Prastawa
menjulurkan tangannya untuk membangunkannya, namun setiap kali tangannya itu
ditariknya kembali. Betapa pun juga perempuan yang tidur itu adalah ibunya.
Tetapi ketika teringat akan
maksudnya memasuki rumah itu, maka anak muda itu pun menggeretakkan giginya,
seolah-olah ia sedang mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam dirinya untuk
mengatasi getar perasaannya sebagai seorang anak.
Sejenak ia masih diam
mematung. Namun sejenak kemudian ia melangkah maju. Dengan tangan gemetar
akhirnya ia menyentuh kaki ibunya yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
Sentuhan itu agaknya telah
membagunkan ibunya. Dikedip-kedipkannya matanya yang buram. Seperti bermimpi ia
melihat anaknya berdiri tegak di hadapannya.
“Kau, kaukah itu?”
“Ya, Ibu.”
“O,” dengan serta-merta ibunya
bangkit, lalu katanya, “kali ini kau tidak boleh pergi lagi, Prastawa. Ayahmu
telah kembali. Apakah kau sudah mengetahuinya.”
“Sudah, Ibu.”
“Kau sudah menemuinya?”
Anak muda itu menggelengkan
kepalanya.
“Ayahmu ada di ruang dalam,”
tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, “Dari mana
kau masuk?”
“Dari lubang itu.”
“Dan kau turun di bilik ibu?”
“Ya, Ibu.”
“Di bilik itu ada seorang
gadis yang sedang tidur. Aku lupa mengatakannya, bahwa di atas atap ada sebuah
lubang yang dapat ditutup dan dibuka. O, kalau ia tahu, ia pasti akan sangat
terkejut.”
“Gadis itu sudah tahu, Ibu.”
“He, dan gadis itu tidak
berteriak?”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya, Tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Ya, gadis itu
tidak berteriak. Tampaknya gadis itu seolah-olah justru menunggu kedatangan
kami. Aneh.”
“Bagaimana dengan gadis itu?
Apakah kau …….” suara ibunya terputus.
“Maksud ibu, aku telah
membunuhnya?”
Ibunya mengangguk lemah.
“Tidak, Ibu. Gadis itu masih
ada di dalam biliknya. Ia tidak terkejut sama sekali melihat kehadiranku.”
Nyai Argajaya mengerutkan
keningnya. Sejenak ia terdiam sambil menatap wajah anaknya, seakan-akan ia
tidak percaya pada keterangannya.
“Aku berkata sebenarnya, Ibu,”
seolah-olah anaknya itu pun mengerti apa yang tersirat di dalam hatinya.
“Lalu apakah yang dilakukannya
sekarang?”
“Ia masih ada di dalam bilik
itu bersama seorang kawanku.”
“He? Jadi kau datang tidak
seorang diri?”
“Tidak. Aku datang bersama
kawanku. Ia ada di dalam bilik bersama gadis itu.”
“Lalu, lalu apakah yang mereka
lakukan? Maksudku, apakah anak muda itu telah membunuh atau mengancam gadis
itu?”
“Tetapi gadis itu bersikap
baik kepada kami. Ia mengetahui kami memasuki ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum
ia mempersilahkan kami.”
“Ah,” Nyai Argajaya menjadi
bingung, “aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Sudahlah, jangan hiraukan
gadis itu. Ia sudah ada yang mengawaninya. Agaknya gadis itu pun senang
mendapatkan seorang kawan.”
“Tentu tidak. Aku tidak
percaya bahwa ia senang mendapatkan kawan. Kawan itu adalah kawan-kawanmu. Aku
mengenal mereka.” Ibunya berhenti sejenak, “Sedang aku, orang tua ini pun ngeri
melihat kawan-kawanmu dan sikapnya yang liar.”
“Ibu.”
“Tetapi, bukankah kau tidak
akan pergi lagi dari rumah ini? Kalau kawanmu itu bersedia, biarlah ia tinggal
di sini pula, asal ia tidak membuat keributan. Biarlah ayahmu yang
menanggungnya.”
“Tidak!” tiba-tiba anak itu
membentak, sehingga ibunya terkejut karenanya.
“O,” Prastawa tergagap, “bukan
maksudku mengejutkan Ibu. Tetapi kami tidak akan menetap. Kami datang untuk
menjemput ayah agar ayah bersedia membantu kami.”
“Prastawa,” ibunya terkejut
bukan buatan sehingga kemudian ia berdiri saja dengan mulut ternganga.
“Ibu tidak usah menyingkirkannya.
Ini adalah persoalan laki-laki. Kami sudah terlanjur mengangkat senjata.
Ayahlah yang pertama-tama telah memulainya. Tetapi kini kamilah yang mendapat
kesulitan karena Kakang Sidanti sudah terbunuh, orang-orang lain yang memimpin
perjuangan ini pun telah terbunuh pula. Apakah Ayah akan sampai hati mendapat
pengampunan dari Ki Argapati, lalu duduk memeluk lutut di rumah ini sementara
sisa-sisa pasukannya berkeliaran dan selalu dikejar-kejar saja oleh para
pengawal Menoreh?”
“Jangan. Jangan, Anakku. Baik
kau mau pun ayahmu, sebaiknya tidak memulainya lagi. Aku sudah cukup lama
menderita karena pertengkaran antara Kakang Argapati dengan ayahmu itu.”
“Ibu adalah seorang perempuan.
Ibu tidak banyak mengerti, kenapa kami berperang.”
“Apakah kau sendiri mengerti
kenapa kalian berperang?”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Kemudian menarik nafas dalam.
“Tidak, Anakku. Kau tidak
boleh terseret oleh arus yang tidak kau mengerti,” berkata ibunya. “Aku yakin
kalau ayahmu dahulu mempunyai sesuatu pamrih kenapa ia memulainya. Tetapi kini
ayahmu sudah berhasil menempatkan dirinya di dalam suatu keadaan yang mau tidak
mau harus diakuinya sebagai suatu kenyataan.”
Prastawa berdiri mematung.
Ditatapnya nyala api yang bergetar disentuh angin malam yang bertiup menyusup
dinding.
Tiba-tiba ia menggeram,
“Hatiku sudah terbakar. Hati ini sudah terlanjur menyala, dan tidak akan dapat
dipadamkan lagi.”
“Jangan begitu, Anakku. Jangan
mengeraskan hati di jalan yang sesat.”
“Aku tidak pernah merasa sesat
jalan. Ayahlah yang membawa aku memasuki ujung jalan ini. Dan sekarang, aku
harus berjalan sampai ke ujung yang lain.”
“Kau keliru. Ayahmu telah
melihat jalan simpang yang dapat menyelamatkan dirinya.”
“Ayah hanya sekedar
mementingkan diri sendiri.”
“Tidak, justru keselamatan
rakyat Menoreh yang tersisa. Yang tidak ikut menjadi abu karena api yang telah
membakar Tanah Perdikan ini.”
“Itu sikap pengecut.”
Dan tiba-tiba keduanya
terkejut ketika mereka mendengar suara yang serak di muka pintu, “Jadi kau
datang untuk menjemput ayahmu sebagai seorang pengecut.”
Prastawa dan ibunya serentak
berpaling. Dada mereka berdesir ketika mereka melihat Ki Argajaya berdiri di
muka pintu dengan wajah yang suram.
Sejenak Prastawa terdiam.
Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ya. Ayah seorang pengecut.”
Di luar dugaannya, Ki Argajaya
menganggukkan kepalanya, “Ya, aku memang seorang pengecut. Ternyata aku tidak
berani melihat Tanah ini menjadi semakin lumat setelah kini menjadi abu.”
“Bohong! Ayah hanya sekedar
mementingkan diri sendiri. Keselamatan Ayah sendiri.”
“Prastawa,” suara ayahnya
merendah, “marilah, duduklah di ruang dalam. Kita akan berbicara dengan baik.
Aku dapat berbicara sebagai seorang ayah, dan kau sebagai seorang anak
laki-laki.”
“Tidak. Itu tidak perlu. Aku
hanya menuntut agar Ayah tetap ikut di dalam perjuangan ini. Kenapa Ayah tidak
meneruskan perjuangannya sampai saat terakhir seperti Kakang Sidanti dan Ki
Tambak Wedi? Nama mereka akan tetap dikenang. Kalau kami mendapat kemenangan,
maka akan dibuat masing-masing sebuah patung dan akan dipasang di gapura induk
padukuhan Menoreh.”
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Sejak sekian lama anaknya berada di dalam lingkungan itu, sehingga
hatinya telah menjadi beku, terselubung oleh keputus-asaan yang menyeretnya ke
dalam keadaannya itu. Tanpa harapan dan cita-cita.
Penyesalan yang dalam telah
menikam jantung Ki Argajaya. Anak itu tinggallah satu-satunya anaknya sejak
anak perempuannya meninggal dunia. Tetapi ia sendiri telah menjerumuskannya ke
dalam suatu keadaan yang hitam kelam, sehingga anak itu sendiri tidak dapat
melihat hari depannya sama sekali.
“Aku memang salah langkah,”
katanya di dalam hati. “Maksudku memang merintis jalan bagi anak itu. Tetapi,
karena aku tidak berjalan di jalan yang benar, akhirnya aku justru terpelanting
ke dalam keadaan yang sangat pahit.”
Ki Argajaya terkejut ketika ia
mendengar anaknya berkata, “Bagaimana, Ayah? Apakah Ayah sependapat dengan aku,
bahwa perjuangan ini harus diteruskan?”
“Prastawa,” suara Ki Argajaya
merendah, “marilah duduk di sini. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?”
“Aku tergesa-gesa. Kawanku
menunggu aku di bilik ibu.”
“He,” Ki Argajaya mengerutkan
keningnya, “maksudmu, kau membawa seorang kawan yang kini berada di bilik itu.”
“Ya. Biarlah ia menunggui gadis
itu. Kami tidak tahu, apakah yang dapat dilakukannya. Apakah ia akan berteriak,
atau ia memang mengharapkan kedatangan seorang laki-laki.”
Ki Argajaya termenung sejenak.
Lalu, “Marilah, kau dan kawanmu aku persilahkan duduk sebentar. Yang kita
bicarakan adalah masalah yang penting. Sudah tentu tidak dengan cara ini.
Berdiri dengan tegang di tengah-tengah pintu.”
Prastawa merenung sejenak.
Namun kemudian ia menggeleng sambil menghentakkan perasaan sendiri yang mulai
tersentuh-sentuh kata-kata orang tuanya, “Tidak. Aku tidak akan duduk. Aku
tetap di sini.”
“Tetapi kawanmu itu Prastawa.
Sebaiknya kita berbicara sambil mengendapkan perasaan sendiri yang mulai
terbuka sehingga aku mengerti keadaanmu yang sebenarnya dan kau mengerti
keadaanku yang sebenarnya. Dengan demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan
daripadanya.”
Prastawa masih termenung.
“Marilah,” ayahnya pun
kemudian menarik tangan anak itu. Selangkah Prastawa mengikutinya. Tetapi
kemudan ia menyentakkan tangannya sambil berkata, “Tidak! Aku tidak mau.”
Ki Argajaya berdiri membeku.
Ditatapnya wajah anak itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Sudah sewajarnya ia bersikap
begitu,” berkata di dalam hati. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ia telah
menjerumuskan anaknya ke dalam keadaannya yang sekarang.
Tetapi Prastawa itu tidak
dapat mengelak ketika ibunya mendekatinya dan berbisik di telinganya, “Marilah
bersama ibu, Ngger.”
Prastawa tidak mempunyai
kekuatan yang cukup untuk mengibaskan tangan ibunya. Meskipun ia mencoba
bertahan di tempatnya, ketika ibunya menariknya, namun kemudian Prastawa pun
melangkah mengikutinya.
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia melangkah di belakang anaknya yang berjalan bersama ibunya ke
ruang tengah.
“O, Kiai sudah bangun?”
bertanya Nyai Argajaya.
“Apakah ada tamu malam-malam
begini?” bertanya Sumangkar yang telah duduk di pinggir amben.
“Anakku, Kiai,” jawab Nyai
Argajaya yang masih membimbing Prastawa.
“O,” Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ini tamu ayahmu, Ngger,”
berkata Nyai Argajaya kepada anaknya.
“Apakah orang ini termasuk
pengawal yang mengawasi Ayah di sini?”
“Ia tamuku, Prastawa,” sahut
ayahnya. “Ia bukan orang Menoreh.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia melangkah surut sambil berkata, “Inikah orang-orang
asing yang ikut campur dalam persoalan Menoreh?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Aku belum lama berada di
sini, Anakmas. Aku datang setelah keadaan menjadi baik kembali. Bahkan aku
tidak melihat apa yang telah terjadi di sini.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Ha, sekarang aku tahu. Kau dan anak perempuan itu
pasti datang bersama Ayah dan para pengawal. Tentu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Memang aku dan anakku datang bersama Ki Argajaya. Tetapi kami tidak
ikut campur tentang keadaan di atas Tanah Perdikan ini.”
“Sudahlah, Ngger,” berkata
ibunya, “jangan hiraukan apa pun juga. Duduklah. Rumah ini adalah rumahmu, milikmu.
Sekarang kau berada di rumahmu sendiri. Karena itu jangan gelisah.”
Prastawa masih tetap berdiri
di tempatnya.
“Duduklah. Marilah kita
berbicara. Apakah kita akan menemukan persesuaian atau tidak, terserahlah
kepada keadaan nanti. Tetapi marilah kita mulai dengan hati yang bening, niat
yang baik dan harapan-harapan yang dapat memberikan ketenteraman hati. Terutama
perempuan-perempuan tua seperti aku.”
Prastawa masih berdiri di
tempatnya. Tetapi perlahan-lahan ia berdesis, “Aku tidak datang seorang diri.”
“Marilah kita panggil kawanmu
itu.”
“Ia ada di dalam bilik Ibu.”
Dada Nyai Argajaya menjadi
berdebar-debar. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar. Tetapi kemudian ia berkata,
“Marilah, bersama Ibu.”
Keduanya pun kemudian berjalan
ke bilik yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dalam pada itu, detak jantung Nyai
Argajaya menjadi semakin cepat. Ia tidak berani membayangkan apa yang telah
terjadi di dalam bilik itu.
“Seandainya kawan Prastawa
menjadi gila dan liar, maka malanglah nasib gadis itu.”
Tetapi Nyai Argajaya tidak
mengatakannya, meskipun semakin dekat mereka dengan daun pintu yang tertutup
hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Sejenak kemudian mereka sudah
berdiri di depan pintu. Mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari
dalam. Sepi.
Putra Ki Argajaya pun menjadi
termangu-mangu. Kawannya memang bukan seorang anak muda yang jinak. Orang itu
kadang-kadang dapat berbuat liar dan bahkan dapat menjadi buas.
“Apakah yang dilakukan oleh
kawanmu itu?” bisik Nyai Argajaya.
Prastawa tidak menyahut.
Tetapi perlahan-lahan diketuknya pintu bilik yang tertutup itu.
Tetapi agaknya Nyai Argajaya
tidak sabar menunggu. Dengan suara serak ia berkata, “Buka, bukalah.”
Seperti didorong oleh sesuatu
yang tidak dimengertinya. Prastawa pun mendorong pintu bilik itu sehingga
menganga lebar.
Sejenak mereka berdua
dicengkam oleh pemandangan, yang membingungkan sehingga nafas mereka terhenti.
Dengan mata terbelalak mereka menyaksikan peristiwa yaag sama sekali tidak
mereka duga.
“Bagaimana hal ini dapat
terjadi?” desis Nyai Argajaya. Prastawa pun kemudian maju selangkah. Diamatinya
sesosok tubuh yang terbaring di lantai. Pingsan.
“Apa yang sudah kau lakukan
atasnya,” putra Ki Argajaya itu bertanya.
Sejenak bilik itu dicengkam
oleh kesenyapan. Namun kemudian terdengar jawaban, “Aku tidak sengaja. Aku
hanya menyentuh dadanya. Aku kira ia mempunyai kekuatan yang dapat
dibanggakan.”
Nyai Argajaya masih
memandanginya dengan mulut ternganga. Ternyata gadis yang menempati biliknya
itu adalah seorang gadis yang luar basa. Dengan tenangnya gadis itu duduk di
pinggir pembaringannya.
“Aku hanya sekedar membela
diri,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. “Ia akan melakukan perbuatan yang
terkutuk. Aku menolak tubuhnya. Tetapi ia menerkam seperti serigala lapar. Tanpa
aku sengaja, agaknya aku sudah memukul dadanya. Hanya sekali, dan kawanmu ini
menjadi pingsan.”
Prastawa menggeram. Tiba-tiba
saja ia membentak, “Perempuan gila. Kau sangka kau dapat menakut-nakuti aku
dengan ceritamu itu. Kau pasti telah membujuknya sehingga ia menjadi lengah.
Kemudian selagi ia lengah, kau sudah mengkhianatinya.”
Sekar Mirah menggeleng,
“Tidak. Bukan begitu. Aku sama sekali tidak berbuat curang. Aku menyerangnya
beradu dada. Bahkan anak inilah yang telah menyerang aku lebih dahulu.”
“Aku tidak percaya. Kau harus
menebus dosamu itu.”
“He, kenapa kau marah
kepadaku?” berkata Sekar Mirah, “Kenapa kau tidak menghukum kawanmu yang
bertindak tidak sepantasnya?”
“Bohong! Bohong kau!”
Tiba-tiba saja Prastawa
meloncat maju selangkah ke depan Sekar Mirah sambil berkata, “Jangan ingkar.
Kau tidak dapat lari lagi.”
“Prastawa,” panggil ibunya,
“kenapa kau menjadi gila? Gadis ini adalah tamuku.”
“Aku tidak peduli. Tetapi ia
sudah mengkhianati kawanku. Itu berarti mengkhianati aku pula.”
“Tidak. Kau belum mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Jangan terburu nafsu.”
“Aku akan menghukumnya.”
Tiba-tiba mereka pun tertegun.
Serentak mereka berpaling. Di muka pintu telah berdiri Ki Argajaya dan
Sumangkar.
“Gadis itu tamuku, Prastawa.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak
peduli. Ia sudah menghina kawanku. Itu berarti aku dan seluruh kelompokku
terhina pula.”
“Kawanmulah yang mencari
perkara,” berkata Sekar Mirah. “Kalau ia dapat berlaku sedikit sopan, maka aku
kira tidak akan terjadi sesuatu atasnya.”
Tetapi Prastawa sudah tidak
mendengarkan lagi. Sambil menggeram ia beringsut setapak, “Aku akan menuntut.”
“Prastawa,” desis Ki Argajaya.
Namun mereka menjadi heran
ketika Ki Sumangkar justru berkata, “Apakah kau benar-benar berbuat salah,
Sekar Mirah.”
“Tidak. Aku hanya sekedar
membela diri.”
“Tidak mungkin,” potong
Prastawa. “Kawanku adalah seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup.
Apakah gadis ini dapat membuatnya pingsan tanpa perlawanan apa pun? Aku sudah
pasti, ia telah merayunya, kemudian melakukan perbuatan yang menyinggung
perasaan ini.”
“Jangan berprasangka,
Prastawa,” sahut Ki Argajaya.
“Aku tidak peduli. Jangankan
gadis yang tidak aku kenal. Seisi rumah ini, bahkan Ayah sekalipun, apabila
berani menghalang-halangi aku, aku tidak akan memaafkannya.”
Ketika Ki Argajaya akan
menjawab lagi, Ki Sumangkar menggamitnya sambil berkata, “Baiklah. Kalau anakku
memang bersalah, kau dapat menghukumnya. Tetapi hukuman apa yang akan kau
berikan?”
Pertanyaan itu telah membuat
Prastawa menjadi bingung. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah yang
sedang memandanginya pula, sehingga tatapan mata mereka bertemu.
Dengan serta-merta keduanya
melemparkan pandangan matanya ke samping. Namun untuk melepaskan desir
jantungnya yang serasa menekan seisi dada, anak muda itu berkata, “Aku akan
membunuhnya.”
“Benarkah begitu?” bertanya
Sumangkar.
Prastawa menjadi ragu-ragu.
Dan sebelum ia sempat menjawab, ibunya berkata, “Kau jangan kehilangan akal
anakku. Jangan berbuat sebodoh itu.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Ia mencoba untuk bertahan pada pendiriannya. Tetapi sesuatu telah
mengaburkannya, sehingga untuk sesaat ia hanya berdiam diri saja.
“Sudahlah. Marilah kita rawat
kawanmu itu,” berkata ibunya.
Namun justru dengan demikian,
harga diri Prastawa tumbuh kembali, bahkan mencengkam dengan dahsyat. Katanya,
“Aku akan menghukumnya. Benar-benar menghukumnya dengan caraku. Aku akan
membawanya kepada kawan-kawanku dan memberitahukan kepada mereka apa yang sudah
terjadi. Terserahlah kepada mereka, apa yang akan mereka lakukan atas gadis ini
sebagai hukumannya.”
Kata-kata Prastawa itu
benar-benar telah mengejutkan ibu dan ayahnya. Namun justru dengan demikian
mereka untuk sesaat terdiam mematung. Dengan mata yang hampir tidak berkedip
dipandanginya anaknya, kemudian Sekar Mirah dan Sumangkar.
Namun dalam keadaan yang
demikian itu Sumangkar justru tersenyum, katanya, “Kau mempersulit dirimu
sendiri, Anak Muda. Bagaimana kau dapat membawanya ke luar dari ruangan ini?”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Memang tidak mudah membawa gadis itu keluar dari lingkungan para
pengawal di halaman rumah ini.
“Sudahlah, Prastawa,” berkata
ibunya. “Kau selalu dibayangi oleh dendam yang tidak kunjung padam. Kini tamu
yang tidak mengerti apa pun yang terjadi di atas rumah ini, kau jadikan sasaran
perasaan dendammu itu.”
“He, apakah gadis ini tidak
berbuat apa-apa? Ia sudah merayu kawanku, kemudian mencelakakannya?”
“Tentu tidak,” berkata
Sumangkar. “Anakku tidak akan berbuat demikian. Aku yakin bahwa ia tidak
berbohong.”
“Aku yakin ia berbohong.
Kawanku bukan seorang anak ingusan yang begitu saja dapat dibuatnya pingsan.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia merenung, apakah yang harus dikatakan. Namun kemudian
ia tersenyum pula, “Bagaimana gadis itu harus membuktikan bahwa ia berkata
sebenarnya? Kalau kawanmu ini nanti sadar, barangkali kau dapat melihatnya
sendiri, bahwa anak gadisku itu tidak berbohong.”
Tetapi Prastawa tidak
mendengarkannya. Tiba-tiba ia menarik pedangnya dan langsung meloncat maju mendekati
Sekar Mirah lebih dekat lagi. Tiba-tiba pula ujung pedangnya sudah merunduk ke
dada gadis itu.
“Nah, lihat. Aku mempunyai
cara yang menarik untuk membawanya ke luar,” berkata Prastawa.
Semuanya yang menyaksikan hal
itu terkejut bukan buatan. Sekar Mirah sendiri pun terkejut pula. Hampir saja
ia meloncat dan menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Tetapi sebagai
isyarat Sumangkar menggeleng lemah. Sehingga dengan demikian Sekar Mirah pun
mengurungkan niatnya. Namun matanya kini tidak berkisar dari tangan anak muda
itu. Setiap gerakan yang terlontar di luar sadarnya mungkin sekali akan merobek
dada gadis itu. Karena itu Sekar Mirah menjadi tegang dan siap untuk melakukan
segala usaha untuk menyelamatkan diri apabila keadaan memaksanya.
Sejenak ia memandang Prastawa,
kemudian gurunya yang berkerut-merut. Namun tatapan matanya segera kembali ke
tangan putra Ki Argajaya.
“Prastawa,” berkata ibunya,
“apakah kau benar-benar sudah kehilangan akal.”
“Tidak. Aku akan membawa gadis
ini. Tidak seorang pun yang akan berani mengganggu aku, apabila dengan ujung
pedang aku menggiringnya ke luar halaman. Setiap tindakan yang mencurigakan,
akibatnya akan menimpa gadis yang malang ini.”
Sejenak mereka termangu-mangu.
Ujung senjata Prastawa telah bergetar seperti getar di dalam jantungnya.
Dengan nada yang tinggi ia
berkata, “Ayo, tolonglah kawanku itu, supaya ia segera sadar. Aku akan segera
meninggalkan tempat terkutuk ini. Mungkin gadis ini akan berguna di
persembunyianku.”
Dada Ki Argajaya dan
isteterinya menjadi berdentangan karenanya. Namun Sumangkar tampaknya masih
tetap tenang. Ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan terlampau banyak mendapat
kesulitan.
“Berdirilah,” berkata
Prastawa.
Sumangkar mengangguk kecil
kepada Sekar Mirah. Ia akan mendapat lebih banyak kesempatan, apabila Prastawa
akan membawanya ke luar bilik.
Sekar Mirah pun kemudian
berdiri. Seperti yang diduga oleh Sumangkar, Prastawa pun berkata, “Keluar dari
bilik ini, supaya kawanku itu segera mendapat pertolongan.”
Sekar Mirah tidak membantah.
Ia melangkah maju mengitari tubuh yang masih terbaring di lantai bilik itu.
Dengan sudut matanya ia memandang gulungan ujung tikar di pembaringan, tempat
ia menyimpan senjatanya.
Sumangkar mengerti iyarat itu,
dan ia pun menganggukkan kepalanya.
“Biarlah aku tolong anak muda
ini,” berkata Sumangkar. Ki Argajaya ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bukan
orang yang terlampau bodoh menghadapi keadaan itu. Ia menyadari keadaan Sekar
Mirah, sehingga ia pun tanggap akan keadaan, bahwa Sekar Mirah memang memiliki
kemampuan untuk menjaga dirinya.
Dengan berbagai cara,
Sumangkar menolong kawan Prastawa. Digosoknya telinga orang itu dengan minyak,
kemudian diangkatnya tangannya tinggi-tinggi berulang kali.
Sejenak kemudian orang itu pun
menarik nafas. Perlahan-lahan ia bergerak. Ketika ia membuka matanya, ia
terkejut melihat beberapa orang berdiri di sampingnya. Mula-mula kabur, seperti
bayangan-bayangan raksasa yang berdiri dekat di sisinya. Namun kemudian
pandangan matanya menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat Ki
Argajaya, Nyai Argajaya, dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, sedang
Sekar Mirah dan Prastawa tidak ada di dalam bilik itu.
Dengan kekuatannya yang belum
pulih kembali ia mencoba berdiri. Tertatih-tatih ia berpegangan pada tiang
pintu.
“Di mana Prastawa?” ia
menggeram.
Prastawa yang berada di luar
pintu mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun menjawab, “Aku di sini. Gadis
keparat itu ada di sini pula.”
“O,” kawannya berdesis.
Sejenak ia menggosok-gosok matanya, kemudian katanya, “aku telah lengah ketika
ia memukul dadaku.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Ki Argajaya, isterinya, dan Sumangkar membiarkannya ketika anak muda
itu dengan langkah yang belum tegak benar keluar dari bilik itu. Sejenak ia
berdiri termangu-mangu. kemudian sambil memandangi Sekar Mirah ia berkata,
“Bagus. Kau berhasil menguasai gadis itu. Ia ternyata terlampau garang.”
Sekar Mirah masih berdiri di
tempatnya. Sekali-sekali ia memandang tangan Prastawa, dan kadang-kadang
dipandanginya wajah anak muda yang baru saja sadar dari pingsan itu.
Gadis itu masih saja
ragu-ragu, apa yang akan dilakukannya. Dalam pada itu, Ki Argajaya bersama
isterinya dan Sumangkar pun telah keluar pula dari dalam bilik.
“Prastawa,” berkata ibunya,
“sekali lagi aku mengharap, kau jangan dibayangi oleh perasaan dendammu.
Duduklah, dan berbicaralah dengan ayahmu. Di saat terakhir keadaan Tanah
Perdikan ini sudah berangsur menjadi baik, tetapi apakah tidak demikian dengan
seisi rumah ini? Apalagi kini kau membuat persoalan baru dengan tamu-tamu
ayahmu.”
“Aku tidak peduli,” jawab
Prastawa. “Sudah aku katakan, aku tidak akan menghentikan perjuangan. Sekarang
aku akan mendengar keputusan Ayah sebelum aku pergi membawa gadis ini.”
“Keputusan tentang apa,
Prastawa?” bertanya ayahnya.
“Ayah harus pergi bersama
dengan kami meneruskan perjuangan yang masih jauh dan belum selesai ini.
Sepeninggal Kakang Sidanti dan gurunya, akulah yang mengambil alih pimpinan
sebelum Ayah dapat melakukannya.”
“O, kau masih belum melihat
kenyataan ini,” berkata ayahnya. “Jangan keras hati seperti Sidanti.”
“Ia seorang yang teguh pada
pendiriannya. Apakah aku harus berbuat seperti Ayah? Seperti seorang pengecut.”
“Prastawa,” berkata Ki
Argajaya, “dengarlah. Kita sebaiknya berbicara dengan tenang.”
“Tidak, dan aku tidak akan
melepaskan gadis ini.”
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Prastawa, aku adalah ayahmu. Kau
wajib mendengar kata-kataku.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Aku memang bersalah
membawamu dalam kekalutan di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi itu suatu
kekhilafan. Kini sudah tiba saatnya kita berani menilai diri kita sendiri.
Dengan demikian kita akan dapat menentukan sikap yang sebaik-baiknya.
Sebaik-baiknya bagi kita sendiri dan terutama sebaik-baiknya bagi Tanah
Perdikan Menoreh. Apakah yang dapat kau capai dengan petualangan yang tidak
kunjung selesai itu, selagi dendam masih tetap menyala di hati? Prastawa, api
yang membakar Tanah ini sudah padam. Tetapi api dendam di dadamu masih tetap
kau hembus-hembus dengan segala macam alasan.”
Prastawa termenung sejenak.
Namun kemudian ia menjawab, “Ayah mengajari aku memberontak terhadap Paman
Argapati. Dan kini Ayah mengajari aku mengkhianati kawan-kawanku.”
Jantung Argajaya serasa
tertusuk ujung duri. Sakit sekali. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil
menjawab. “Kalau sikapku kau artikan demikian, kau tidak terlampau salah.
Tetapi aku harus melihat alasan dari kedua sikapku itu. Yang pertama, aku
mengajarimu memberontak karena aku dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali.
Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk dihormati, dan nafsu lain-lain yang
sebenarnya hanya sekedar nafsu pemanjaan badani. Kini aku menyadari, bahwa
nafsu pemanjaan badani itulah yang sebenarnya telah menyeret aku ke dalam
jurang yang kelam seperti sekarang. Dan kau yang masih memiliki hari depan yang
jauh lebih panjang dari hari-hariku sendiri, ikut pula terjerumus ke dalam masa
yang gelap.” Ki Argajaya berhenti sejenak, lalu, “Prastawa, sebenarnya apa yang
aku lakukan itu semata-mata karena aku ingin melihat kau mendapat tempat yang
baik di hari depanmu. Tetapi yang aku dapatkan justru sebaliknya.”
Prastawa merasakan suatu
sentuhan di hatinya. Sebenarnya ia menyimpan juga suatu pengakuan di dalam
hatinya, bahwa ayahnya telah melakukan sesuatu yang berbahaya untuk dirinya,
untuk hari depannya. Tetapi usaha itu gagal, dan yang didapatinya adalah
sebaliknya.
“Nah, kemudian terserah
kepadamu, Prastawa. Apakah kau mau mendengar atau tidak. Menurut pendapatku,
seumurmu itu sudah cukup dewasa untuk menilai keadaan. Apakah ayahmu
benar-benar seorang pengkhianat seperti yang kau katakan, seorang pengecut,
seorang pemberontak dan apa lagi, atau kau melihat sesuatu yang lain dari
sebutan-sebutan itu.”
Prastawa tidak menyahut.
Tampak keningnya berkerut-merut. Dengan hati yang suram ia mencoba menilai
keadaan yang sedang dihadapinya.
Namun tiba-tiba ia mendengar
kawannya berkata, “Prastawa, jangan terpengaruh. Kau harus tetap bersikap
jantan seperti Sidanti. Kalau Ki Argajaya akan berkhianat, biarlah ia berkhianat.
Tetapi kita harus tetap di dalam garis perjuangan yang panjang. Pantang
menyerah. Kita tidak segera akan mati besok atau lusa karena dimakan oleh umur.
Kita masih cukup muda. Kita masih mempunyai banyak kesempatan. Hanya
orang-orang pikun sajalah yang menyerah begitu saja kepada keadaan.”
Bagaimana pun juga, darah Ki
Argajaya berdesir mendengar kata-kata itu. Anak muda itu bukan anaknya. Bukan
sanak dan bukan kadang. Namun demikian ia masih menahan diri. Kalau ia berbuat
sesuatu atas anak muda itu, maka ia akan menggugah kemarahan Prastawa yang
agaknya sudah mulai tersentuh oleh kata-katanya.
Tetapi ucapan kawannya itu
telah melemparkan Prastawa kembali ke dalam suatu dunia yang gelap tanpa arah.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Benar. Aku bukan anak-anak yang
dapat dibujuk dengan cara apa pun. Aku sudah dewasa, dan aku sudah cukup mampu
menentukan sikap,” ia berhenti sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya dan ibunya
berganti-ganti. Kemudian, “Aku tetap pada pendirianku. Ayah harus memilih. Ikut
aku sebagai pejuang atau tinggal di sini sebagai pengkhianat. Namun dengan
demikian Ayah harus menyadari hukuman apakah yang dapat diberikan kepada
seorang pengkhianat.”
“Prastawa,” suara ibunyalah
yang melengking dengan gemetar, “jangan berkata begitu. Kau tidak dapat
melepaskan diri dari aliran darah ayah dan ibumu dalam tubuhmu. Kau adalah
anakku dan anak ayahmu pula. Apa pun yang kami lakukan, aku dan ayahmu, tetapi
kau adalah anak kami.”
Sekali lagi Prastawa terdiam.
Ia memang tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Ia adalah anak ayah dan
ibunya. Bagaimana pun juga, dan apa pun yang telah mereka lakukan.
Namun dalam kebimbangan itu ia
mendengar kawannya berkata, “Lalu, apakah akibat dari hubungan itu di dalam
perjuangan ini. Argapati telah membunuh anaknya. Apakah Argapati tidak tahu
bahwa Sidanti itu anaknya, dan apa pun yang telah dilakukannya, ia adalah
anaknya, yang dialiri oleh darahnya?”
Terasa dada Argajaya
terguncang. Meskipun ia dibebaskan oleh kakaknya dari segala tuntutan karena pengampunan,
namun hukuman ini terasa amat menyiksanya. Anaknya sendiri sama sekali tidak
menghargainya lagi. Bahkan anak itu telah mengancam untuk membunuhnya.
“Nah, apa katamu?” bertanya
kawan Prastawa itu.
“Kakang Argapati tidak
membunuhnya,” berkata Argajaya dengan suara yang serak.
“Omong kosong! Aku yakin,
pasti Argapati sendiri yang membunuhnya karena anaknya telah dianggapnya
berkhianat kepadanya.”
“Tidak. Yang membunuh Sidanti
adalah Pandan Wangi. Itu pun tidak disengajanya. Ia tidak dapat menghindari
hentakan gerak naluriahnya saat itu ketika justru Sidanti-lah yang akan
membunuh Ki Argapati.”
“Seandainya benar, itu adalah
perbuatan jantan. Dan Prastawa pun harus berani berbuat demikian.”
Ki Argajaya menekan dadanya
dengan telapak tangannya.
“Nah, apa katamu sekarang,”
anak muda kawan Prastawa itu kini berdiri bertolak pinggang. “Kalian tidak akan
dapat berbuat banyak. Gadis ini dapat mati tanpa arti sama sekali, kalau kalian
mencoba untuk berbuat sesuatu. Kini sekali lagi kita akan menguji kejantanan Ki
Argajaya. Apakah ia berani menghadapi pertanggungan jawab ini, atau gadis
inilah yang akan dijadikannya korban, untuk menyelamatkan dirinya.”
“Prastawa,” suara ibunya
seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “kau jangan mendengarkan kata-kata
iblis itu.”
Prastawa mengerutkan
keningnya.
“Kau adalah anakku. Aku
mengandungmu, kemudian melahirkan kau dengan susah payah, dibayangi maut. Tidak
ubahnya seperti orang yang sedang berperang melawan musuh yang tidak tampak.”
“Maksud Ibu, musuh itu adalah
aku yang akan lahir?”
“Bukan. Bukan begitu
maksudku.”
“Jadi, aku sudah menyusahkan
Ibu?”
“Tidak. Juga tidak,” jawab
ibunya. “Aku menyambut kedatanganmu dengan harapan dan cita-cita, bahwa ada
seseorang yang akan menyambung hidup kami kelak. Sakit dan cemas itu adalah
tebusan dari harapan itu. Dan aku dengan senang hati telah menjalaninya.”
“Lalu, apa maksud, Ibu
mengatakannya?”
“Prastawa, kemudian aku dan
ayahmu mengasuhmu. Membesarkan kau dengan cinta kasih. Apakah kau menyadari?
Kalau kau sedang sakit, semalam suntuk aku mendukungmu, karena kau tidak mau
diajak oleh orang lain. Dan apakah kau sangka ayahmu dapat tidur sekejap pun?
Ayahmu adalah orang terhormat waktu itu. Ia mempunyai banyak pelayan dan
pembantu. Ayahmu hampir tidak pernah turun ke sawah kalau bukan karena
keinginannya. Tetapi menunggui kau sakit, Prastawa, ayahmu tidak dapat menyuruh
salah seorang pembantunya, atau bahkan sepuluh atau lima-puluh orang sekalipun.
Kalau aku mendukungmu disaat kau sakit, ayahmu duduk betapa pun lelah dan
kantuknya, sampai saatnya kau tertidur. Dan hal ini harus dilakukannya sendiri,
seperti yang dikehendakinya.”
Prastawa tidak segera
menjawab. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk. Meskipun samara-samar, ia masih
dapat mengingat masa-masa kecilnya itu.
Tetapi sekali lagi kawannya
berkata, “Itu bukan salah Prastawa. Ia tidak minta dilahirkan. Ia tidak minta
dipelihara dengan susah payah. Bukankah salah orang tuanya pula apabila ia
lahir di dunia ini? Semua yang kalian lakukan, juga yang dilakukan oleh ayah
dan ibuku atasku, adalah tanggung jawab orang-orang tua yang telah melahirkan
kami.”
“O,” ibu Prastawa menutup
mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya, meskipun terdengar kata-katanya,
“itukah anggapan anak-anak muda sekarang terhadap orang tuanya?”
“Sudah tentu,” jawab anak muda
itu. “Kalian telah melahirkan kami, maka kalian pulalah yang harus memenuhi
kebutuhan kami. Seperti kini yang diperlukan oleh Prastawa. Hal ini tidak akan
terjadi apabila Prastawa tidak dilahirkan dan Ki Argajaya tidak menuntunnya ke
jalan yang sekarang dilaluinya.”
Dada Ki Argajaya menjadi
semakin pedih. Namun ternyata isterinya masih juga berkata, “Terserahlah
pendapat apa yang ada di dalam kepalamu, Anak Muda, tetapi aku ingin mengajari
anakku, bahwa bukan sekedar kemauan kamilah yang telah melahirkannya. Seperti
adanya isi dunia ini, maka adanya seseorang merupakan bagian daripadanya. Kami
adalah lantaran-lantaran atas kelahiran anak-anak kami. Tetapi asal
kelahirannya sama sekali bukan dari kami. Memang kami dapat mencegah diri kami,
agar kami tidak menjadi lantaran kelahiran seseorang dengan usaha-usaha
badaniah, misalnya seseorang yang tidak kawin, tetapi kewajiban manusia adalah
mempertahankan adanya manusia di muka bumi seperti yang dikehendaki oleh
Penciptanya. Prastawa, sebaiknya kau tidak mengikuti jalan pikiran duniawi itu.
Jalan pikiran yang sama sekali tidak mempertimbangkan sumber hidup manusia itu
sendiri. Tuhan mempercayai manusia untuk melahirkan manusia baru dengan
kewajiban-kewajiban yang memang dibebankan kepadanya, tetapi manusia-manusia
baru itu pun wajib menghargai lantaran kelahirannya atas kekuasaan Tuhan dan
atas kepercayaan Tuhan. Bukankah begitu? Dan itu adalah orang tuamu. Ayah dan
ibumu. Kalau kau merendahkan harga diri ayah dan ibumu, maka kau telah
merendahkan kepercayaan sumber hidupmu atas kedua orang tuamu itu,
lantaran-lantaran yang telah dipilihnya.”
Dada Prastawa menjadi
berdebar-debar. Yang mengucapkan kata-kata itu adalah ibunya. Ibu yang
melahirkannya.
Namun dalam pada itu kawan
Prastawa itu pun menjadi berdebar pula. Kalau Prastawa terpengaruh oleh orang
tuanya, maka ia akan mengalami kesulitan. Ia akan tersudut dan mungkin ia akan
ditangkap.
Karena itu, maka ia masih
berusaha membakar hati Prastawa. Katanya, “Itulah pendapat orang-orang tua,
Prastawa. Ia menganggap bahwa kami, anak-anak muda adalah alat-alat untuk
memuaskan diri. Orang-orang tua sama sekali tidak berbuat apa-apa atas kita
tanpa niat mementingkan dirinya sendiri. Mereka ingin mendapat tempat
bergantung. Kalau mereka berusaha agar kita menjadi manusia yang baik,
terhormat dan bahkan kaya raya, adalah karena kepentingan mereka sendiri.
Orang-orang tua itu akan mendapat pujian, dan kelak mendapat tempat di hari
tuanya. Itulah sebabnya mereka bersusah payah berusaha agar kita menjadi
manusia yang melampaui manusia lainnya. Seperti ayahmu yang menginginkan kau
menjadi Kepala Tanah Perdikan ini misalnya. Sama sekali bukan karena kau, bukan
karena kepentinganmu, tetapi karena nafsunya sendiri. Nafsu memuaskan diri sendiri
itulah.”
“O,” desis ibu Prastawa,
“bagaimana kau sampai pada pikiran itu?”
“Kenapa tidak? Ternyata
orang-orang tualah yang berusaha menentukan jalan hidup anak-anaknya. Kalau
mereka benar-benar mencintai anaknya tanpa pamrih, mereka pasti akan mengikuti
jalan pikiran anak-anak muda dan berjuang untuk mereka sesuai dengan jalan,
cara, dan cita-cita yang mereka kehendaki. Di sini anak menjadi tujuan
pengabdian, bukan alat-alat membanggakan dan memuaskan diri sendiri.”
“Jadi menurut pikiranmu, kasih
dan cinta orang tua itu akan melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbagan,
dan asal memberikan kepuasan bagi anak-anak mereka? Tidak, Anak Muda. Cinta
bukanlah sekedar membenarkan semua perbuatan, memanjakan, dan tanpa arah. Itu
salah. Aku memang mempunyai pamrih atas anakku. Tetapi itu untuk kepentingan
anakku kelak. Bukan sekedar pamrih pribadi. Kalau aku sekedar memanjakan pamrih
pribadi, aku dapat menahan kebaikan kepada orang-orang lain, tanpa memerlukan
seorang anak pun.”
“Bohong! Semuanya bohong!” anak
muda itu memotong. Lalu, “Sekarang, Prastawa, sebelum iblis merasuk ke dalam
hatimu. Mari, kita keluar dari rumah ini. Sekarang kau harus bertanya, apakah
Ki Argajaya bersedia pergi bersama kita atau tidak. Gadis ini akan menjadi
tanggungan.”
Kini Prastawa telah
benar-benar dicengkam oleh suatu keragu-raguan. Karena itu ia tidak menjawab.
Pedangnya sudah tidak lurus lagi mengarah ke lambung Sekar Mirah.
Sekali-sekali terbayang
perjuangan yang dianggapnya masih belum selesai. Namun kemudian terngiang kata-kata
ibunya, dan bayangan-bayangan di masa kecilnya. Alangkah sejuknya barada di
dalam pelukan ayah dan ibu. Apakah kini ia harus melawan keduanya dan menyakiti
bukan saja hatinya tetapi juga tubuhnya.
Kawan Prastawa menjadi semakin
cemas melihat keragu-raguan itu, melihat wajah Prastawa yang menjadi suram dan
tunduk.
“O, agaknya racun itu telah
mencengkam perasaan anak itu,” berkata kawan Prastawa di dalam hatinya. Karena
itu, maka ia pun segera mencari jalan untuk melepaskan dirinya, seandainya Prastawa
benar-benar telah terpengaruh oleh kata-kata ayah dan ibunya.
Dalam keheningan itu,
tiba-tiba saja kawan Prastawa itu meloncat merampas pedang di tangan putra Ki
Argajaya yang sedang merenung itu. Dengan wajah yang tegang diacungkannya ujung
pedang itu ke lambung Sekar Mirah sambil berkata, “Akulah yang kini
menguasainya.”
Prastawa sendiri terkejut.
Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya sudah berpindah tangan. Selangkah ia
terdorong ke samping, kemudian ia tinggal dapat menyaksikan kawannya yang kini
menguasai keadaan.
“Semua orang harus menurut
perintahku. Kalau tidak, gadis ini akan menjadi korban.”
“Tunggu,” berkata Prastawa.
“Aku tidak yakin bahwa kau
mempunyai hati yang teguh.”
Prastawa terdiam sementara
kawannya berkata pula, “Kau Prastawa, kau harus mengikuti aku bersama ayahmu.”
Ki Argajaya berdiri saja
membeku. Sejenak dipandanginya wajah Sekar Mirah, kemudian wajah Sumangkar.
Sedang isterinya menjadi pucat dan gemetar.
“Aku tidak sedang
bermain-main. Kalian tidak akan dapat mempengaruhi aku seperti mempengaruhi
Prastawa, karena aku bukan apa-apamu.”
“Tetapi dengarlah,” berkata Ki
Argajaya. “Di luar rumah ini sepasukan prajurit sedang berjaga-jaga.”
“Aku tidak peduli. Aku
menguasai gadis ini. Kalau seorang pun dari mereka tidak tunduk kepada
perintahku, maka gadis ini akan mati.”
“Kenapa aku yang akan mati?”
tiba-tiba Sekar Mirah bertanya.
“Bodoh. Diam kau, jangan
mencoba bertingkah lagi. Aku sekarang sudah siap. Kalau kau sendiri berbuat
aneh, kau pun akan mati.”
“Kalau tidak, apakah aku akan
kau bawa ke sarangmu?”
“Ya, bersama Prastawa dan Ki
Argajaya.”
“Jauh?”
“Diam kau. Jangan banyak
berbicara.”
Tetapi sebelum anak muda itu
selesai membentak, terasa pedangnya bergetar. Kekuatan yang besar telah
mendorong pedangnya ke samping. Ketika ia sadar, maka Sekar Mirah itu telah
meloncat beberapa langkah daripadanya.
“Gila, kau sudah gila,” geram
anak muda itu.
Kini setiap orang berloncatan
menepi. Nyai Argajaya yang ketakutan berdiri di belakang suaminya yang berdiri
tegak seperti tonggak.
Anak muda itu kini berdiri
melekat dinding dengan pedang terjulur lurus ke depan. Dengan mata yang liar ia
berkata, “Kalian benar-benar telah menjadi gila, terutama gadis itu. Aku akan
membunuhmu kemudian membunuh setiap orang di dalam ruangan ini.”
“Jangan kehilangan akal,”
berkata Sekar Mirah. “Bukankah kau mengenal Ki Argajaya?”
Anak muda itu seakan-akan
tidak mendengar kata-kata Sekar Mirah. Setapak ia bergeser mendekati Sekar
Mirah. Tetapi Sekar Mirah pun bergeser pula ke samping.
“Kau tidak akan dapat lari,”
geram anak muda itu. Sekar Mirah tidak menjawab kata-kata itu, namun justru ia
berkata, “Kau seharusnya mengenal kemampuan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya
kehilangan kesabaran, maka ia akan segera bertindak atasmu.”
“Persetan. Tetapi aku pun
bukan tikus clurut. Aku adalah satu-satunya orang yang bersenjata di ruang
ini,” anak muda itu kemudian berpaling kepada Prastawa. “Prastawa, cepat
tentukan, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau juga akan berkhianat kepada
perjuangan kita?”
Sebelum Prastawa menjawab,
terdengar suara Ki Argajaya, “Prastawa. Memang benar. Kau harus segera
menentukan sikap. Kalau kau memutuskan untuk segera kembali kepada ayah dan
ibumu, maka soal anak itu bukanlah soal yang sulit, meskipun ia bersenjata. Tetapi
kalau kau benar-benar menganggap aku pengkhianat, dan seharusnya aku dibunuh,
maka biarlah aku tidak akan melawan kalau kau memang menghendaki. Tetapi aku
memang tidak akan dapat berdiri di pihak mereka yang tidak mau melihat
kenyataan.”
Prastawa berdiri membeku di
tempatnya. Seakan-akan terjadi benturan yang dahsyat di dalam dadanya.
“Cepat!” anak muda itu
membentaknya.
Wajah Prastawa menjadi tegang.
Dari keningnya menitik keringat dingin. Sejenak dipandanginya anak muda itu
kemudian ayahnya dan ibunya.
“Kaulah yang membawa aku
kemari, Prastawa. Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di sini karena
pengkhianatanmu.”
Ruangan itu pun kemudian
serasa dibakar oleh kesenyapan vaag pengap. Dada mereka menjadi sesak, dan
darah mereka seakan-akan menjadi semakin lambat mengalir. Kini setiap mata
hinggap pada wajah Prastawa yang tegang dan basah oleh keringat.
Degup jantung anak muda yang
memegang pedang itu pun menjadi semakin cepat. Ia hampir tidak sabar lagi
menunggu keputusan Prastawa. Sedang Prastawa masih saja diamuk oleh
kebimbangan.
Dalam kesenyapan itu terdengar
suara Nyai Argajaya, “Prastawa, jangan hanyut pada suatu perasaan sekedar untuk
mempertahankan harga dirimu, karena kau tidak mau disebut seorang pengkhianat.
Kau harus dapat membedakan, siapakah yang menyebutmu demikian. Kalau yang
menyebutmu seorang pengkhianat itu sendiri tidak mengerti tentang dirinya
sendiri, apakah kau akan terpengaruh karenanya.”
“Diam, diam kau!” potong anak
muda itu. Hampir saja ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi
langkahnya tertahan karena perempuan itu berdiri di belakang Ki Argajaya. Dan
hampir setiap orang di Menoreh mengetahui, bahwa Ki Argajaya memiliki kemampuan
yang tidak dapat diabaikan.
Kedua anak-anak muda di
ruangan itu, Prastawa dan kawannya, sama-sama menjadi tegang. Tubuh mereka
telah basah oleh keringat.
“Cepat, tentukan sikapmu,”
geram anak muda itu.
Sekali lagi, semua perhatian
telah terampas oleh Prastawa. Wajah-wajah yang tegang memandanginya dengan
tajamnya, seolah-olah mereka langsung ingin melihat isi dada anak muda itu.
Ketika Prastawa menggerakkan
kepalanya, seakan-akan semua orang berhenti bernafas.
Setelah melampaui perjuangan
yang dahsyat di dalam dirinya, meskipun dengan penuh keragu-raguan. Prastawa
menggelengkan kepalanya sambil berkata lambat hampir tidak terdengar, “Aku
tidak dapat melakukannya.”
“He,” anak muda itu
terbelalak, “maksudmu?”
“Aku terikat oleh sesuatu yang
tidak aku mengerti.”
“Jadi?”
“Aku tinggal di sini.”
“Gila. Gila kau, Prastawa,”
wajah anak muda itu menjadi merah padam, serta matanya menjadi bertambah liar.
Sejenak dipandanginya Prastawa yang berdiri di atas kakinya yang renggang.
Kemudian Ki Argajaya yang sudah bersiaga. Di belakangnya, Nyai Argajaya yang
menjadi kian berdebar-debar. Selangkah daripadanva, seorang tua vang tidak
dikenalnya yang disebut-sebut sebagai ayah gadis itu. Dan yang terakhir, anak
muda itu memandang Sekar Mirah dengan nafas terengah-engah.
Sekar Mirah berdiri tidak
begitu jauh daripadanya. Meskipun semuanya tidak bersenjata, tetapi ia harus
dapat menguasai orang yang dianggapnya paling lemah. Anak muda itu mengenal
kemampuan Prastawa, kemudian Ki Argajaya. Laki-laki tua itu tidak akan banyak
artinya baginya. Dan apabila ia dapat menguasai Sekar Mirah, maka gadis itu akan
dapat dipakainya untuk perisai.
Tiba-tiba saja anak muda itu
meloncat ke arah Sekar Mirah. Ia ingin mengancam gadis itu dengan ujung
pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata, “Jangan mencoba melawan.”
Tetapi alangkah terkejutnya,
ketika ternyata gadis itu mampu meloncat secepat loncatannya. Ketika ia
menjejakkan kakinya di lantai, maka Sekar Mirah telah berada beberapa langkah
daripadanya.
“Gila. Apakah kau mencoba
melarikan diri?” geramnya. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Terbersit niat di
dalam hatinya, untuk menghentikan permainan itu. Anak itu tidak boleh terlampau
lama mengalami ketegangan yang dapat membuatnya menjadi benar-benar gila.
Karena itu, justru selangkah
ia maju. Katanya, “Jangan menjadi liar. Sudah aku katakan, sebaiknya kau tinggal
di sini. Aku kira, kau akan diterimanya pula, apabila kau benar-benar
menghentikan segala macam tingkah yang dapat mengganggu ketenteraman Tanah
Perdikan ini.”
“Persetan!” anak muda itu
tiba-tiba berteriak. Ia tidak menghiraukan lagi para pengawal yang mungkin
mendengarnya dari halaman. “Aku bunuh kau. Kita akan mati bersama-sama.”
Dengan garangnya anak muda itu
meloncat maju. Kali ini ia tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar
mengayunkan pedangnya, menyerang Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah sudah
bersiaga. Ia mampu melihat gelagat, bahwa anak muda itu akan menyerangnya
apabila ia sudah kehilangan akal.
Karena itu, serangan anak muda
itu tidak mengejutkannya. Meskipun ia tidak bersenjata, tetapi murid Sumangkar
yang berguru dengan tekun itu, tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengelak,
sehingga serangan anak muda itu sama sekali tidak menyentuh apa pun.
Dengan kemarahan yang membakar
dadanya, anak muda itu menggeram. Dengan menghentakkan kakinya ia meloncat
menghadapi Sekar Mirah yang menghindar ke samping.
Tetapi sama sekali tidak
disangkanya, bahwa gadis itu mampu bergerak lebih cepat, daripadanya. Ketika ia
menyadari keadaannya, gadis itu telah menghantam pergelangan tangannya sehingga
ia tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya, sehingga pedang itu pun
terpelanting jatuh.
Betapa tangannya seolah-olah
tersengat oleh bara api. Dengan serta-merta ia menarik tangannya sambil
mengerang kesakitan. Tetapi belum lagi ia sempat mengusap pergelangan
tangannya, terasa tubuhnya terdorong kuat sekali, sehingga terhuyung-huyung ia
melangkah surut.
“Gila kau,” anak muda itu
mengumpat ketika ia melihat Sekar Mirah memungut pedangnya. Tetapi ketika ia
siap melompat maju untuk mencegahnya, langkahnya terhenti, karena tiba-tiba
saja ujung pedang itu sudah mengarah ke dadanya.
“Kalau kau meloncat maju, maka
ujung pedang ini akan tertancap di dadamu,” desis Sekar Mirah.
Anak muda itu tegak bagaikan
patung. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang cantik itu dengan sorot mata yang
aneh. Wajah yang cantik itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi wajah yang
menakutkan. Seperti wajah seorang dewi maut yang sudah siap untuk menarikan
tari maut dengan sepucuk pedang.
Tetapi Sekar Mirah tidak
beranjak dari tempatnya.
“Prastawa,” desis anak muda
itu, “kau telah mengkhianati kawan-kawanmu pula.”
Prastawa tidak menjawab. Ia
masih dicengkam oleh keraguan. Ia tidak mengerti manakah yang sebaiknya
dipilih. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan yang membujur lurus
dan panjang sekali, seakan-akan sama-sama tidak berujung.
“Apakah kau sengaja menjebak
aku di rumah ini?” bertanya kawannya.
Prastawa masih berdiri
mematung.
Wajah anak muda itu pun
menjadi semakin nanar. Ketakutan yang betapa pun lambatnya, kini telah mulai
menyentuh jantungnya. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang ternyata,
terlampau garang, segarang seekor harimau betina. Itulah agaknya, maka ia tidak
takut berada di kandang serigala. Di sebelah lain Argajaya berdiri tegak dengan
tatapan wajah yang menggetarkan jantung. Di sebelahnya, orang tua yang disebut
ayah gadis yang garang itu. Agaknya ia tidak segarang anak gadisnya. Sedang di
sebelah lain berdiri termangu-mangu seorang anak yang masih terlampau muda,
yang justru membawanya masuk ke dalam sarang harimau ini.
Tiba-tiba anak muda itu tidak
dapat lagi mengendalikan ketakutan yang sudah mencengkam dadanya. Ia tidak mau
mati begitu saja. Ia masih akan berusaha di dalam keputus-asaan, untuk keluar
dari rumah terkutuk ini.
Karena itu, maka sejenak ia
mencoba berpikir. Kemana ia harus melarikan diri, sementara orang-orang yang
berdiri di sekitarnya itu seolah-olah telah berubah menjadi sekelompok iblis
yang menakutkan, yang siap menerkamnya dan merobek-robek tubuhnya.
Ketika ia tidak lagi dapat
menahan ledakan di dadanya, tiba-tiba ia melompat. Sekilas ia teringat pada
seutas tali yang masih masih menggantung di dalam bilik dalam.
“He, apakah kau akan lari?”
bertanya Sekar Mirah.
Tetapi anak muda itu sama
sekali tidak menghiraukannya lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia meloncat
masuk ke dalam bilik itu.
Sementara itu, para pengawal
yang berada di halaman, lamat-lamat mendengar keributan di dalam rumah. Agung
Sedayu yang duduk di sebelah pimpinan pengawal berdesis, “He, kau mendengar
sesuatu di dalam?”
“Ya.”
“Apakah mungkin terjadi keributan?”
Pemimpin pengawal itu
ragu-ragu sejenak. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya. “Kaulah yang lebih
mengenal gadis dan gurunya itu.”
“Aku kira tidak akan ada
keributan. Tetapi baiklah kita melihatnya.”
Ketika keduanya berdiri,
mereka menjadi heran. Mereka memang mendengar keributan. Namun mereka tidak
dapat dengan tergesa-gesa memasuki ruangan dalam. Sejenak mereka berdiri di
pendapa. Kalau terjadi sesuatu, maka pasti salah satu pihak akan memanggil
mereka.
Anak muda yang berlari itu pun
kemudian meloncat masuk ke dalam bilik. Semula ia mencoba untuk menutup pintu
bilik, tetapi terlambat karena Sekar Mirah telah berada beberapa langkah saja
di belakangnya. Karena itu, maka ia harus cepat mencapai tali yang masih
tergantung. Tali yang dipergunakan sebagai alat untuk turun masuk ke dalam
neraka ini.
Dengan segenap kekuatan dan
kemampuan yang ada, anak muda itu pun segera menggapai ujung tali itu. Ternyata
ia memang cakap memanjat.
Tetapi anak muda itu mengumpat
keras-keras ketika tubuhnya terhempas dilantai. Agaknya Sekar Mirah telah
meloncat ke atas pembaringannya, kemudian sekali lagi meloncat sambil
mengayunkan pedang yang dibawanya memutuskan tali yang masih terjuntai itu,
tepat di atas tangan anak muda yang sedang memanjat itu.
Namun demikian, anak muda itu
tidak berhenti sampai sekian. Sekali lagi ia meloncat ke luar dan berlari ke
arah pintu.
“Ia tidak akan lolos. Biarlah
para pengawal menangkapnya,” desis Sekar Mirah.
Argajaya yang telah siap untuk
menangkapnya, telah tertegun mendengar desis Sekar Mirah, sejenak ia berdiri
termangu melihat anak muda itu berlari ke pringgitan.
Agung Sedayu yamg berada di
pendapa bersama pemimpin pengawal itu pun menjadi semakin berdebar-debar
mendengar derap orang berlari. Kini mereka tidak dapat menunggu lagi. Meskipun
tidak seorang pun yang memanggil mereka, namun keduanya tanpa berjanji telah
melangkah ke pintu.
Ketika Agung Sedayu berdiri
tepat di muka pintu, ia mendengar seseorang membuka selarak dengan
tergesa-gesa.
Agung Sedayu menjadi semakin curiga.
Kini ia berdiri di muka pintu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja pintu
itu terbuka dan seseorang telah melanggarnya.
Karena Agung Sedayu tidak
menduga sama sekali, maka ia pun tidak menghindari benturan itu. Begitu
tiba-tiba sehingga Agung Sedayu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak
muda yang juga terkejut itu pun seakan-akan telah terlempar masuk kembali ke
pringgitan dan jatuh terbanting di lantai.
Dengan serta-merta ia pun
bangkit. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kini ia berdiri di muka
Agung Sedayu dan pemimpin pengawal yang sudah meraba hulu pedangnya.
“Siapakah anak ini?” bertanya
pemimpin pengawal itu kepada Argajaya yang berdiri termangu-mangu.
Sebelum Argajaya menjawab,
Sekar Mirah yang masih memegang pedang, maju beberapa langkah. Sambil tersenyum
ia berkata, “Kami mendapat dua orang tamu malam ini. Tetapi tamu yang seorang
ini agaknya tidak kerasan tinggal di sini.”
Agung Sedayu dan pemimpin
pengawal itu mengedarkan tatapan matanya berkeliling. Dilihatnya seorang anak
muda yang lain berdiri termangu-mangu dekat di depan dinding bilik di ruang
dalam. Dari lubang pintu yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam mereka
melihat anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka menarik nafas dalam-dalam,
ketika ia melihat Sumangkar berdiri beberapa langkah daripadanya.