Sampai di gubug Alap-Alap
Jalatunda Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya
telinganya sambil bergumam lirih, “Siapa itu Paman?”
Sumangkar menarik pundaknya
tinggi-tinggi. Katanya, “Itulah Raden, gambaran kehidupan kita.”
Tohpati menggeram. Didengarnya
sekali lagi suara tertawa perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian
terdengar suara Alap-Alap Jalatunda yang muda itu, “Jangan merajuk anak muda.
Tinggalkan istrimu disini. Ia tidak akan berkurang cantiknya.”
Yang terdengar kemudian
ringkik perempuan. Katanya, “Kembalilah dulu Kang, aku ingin tinggal di sini
dahulu.”
Tohpati itu kemudian melihat
anak muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah
diajaknya bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan bernama
Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah yang suram.
Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata, “Kang, aku akan segera
kembali membawa sepotong daging rusa untuk Kakang. Bukankah Kakang senang makan
daging rusa?”
Laki-laki itu mengangguk. Dan
kembali ia berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya
dan Alap-Alap Jalatunda. Di antara suara tertawa itu terdengar Nyai Pinan
berkata, “Suamiku adalah laki-laki yang baik hati”
Laki-laki muda yang bertubuh
kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan
kembali.
Tetapi alangkah terkejutnya
ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia
berpaling, maka tubuhnya terputar dengan kuatnya.
Laki-laki itu sesaat
seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia
bertambah terkejut lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah
memancarkan sinar api yang merah membara.
Laki-laki muda itu tidak
mengerti apa yang harus dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia menyeringai
ketika tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang serasa akan
meremukkan tulangnya.
“Kembali masuk ke dalam gubug
itu” teriak Tohpati dengan suara parau dan gemetar, sehingga suaranya
seolah-olah telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah. “Masuk kembali
ke gubug itu. Seret perempuan itu keluar. Perempuan yang pernah kau larikan
dari suaminya.”
Laki-laki muda yang tinggi
kurus dan berkumis jarang itu menjadi semakin bingung. Ia kini benar-benar
kehilangan akal. Dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan mulut
ternganga.
“Ayo masuk kembali ke dalam
gubug itu” teriak Macan Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu benar-benar
menjadi kebingungan, sehingga tanpa sesadarnya terloncat jawabannya, “Tetapi
Tuan, ia masih ingin tinggal di sana.”
“Ambil perempuan gila itu.
Seret keluar kalau tidak mau dilemparkan dari perkemahan ini.”
Otak laki-laki kurus itu kini
seolah-olah menjadi seperti baling-baling yang dipermainkan angin. Kalau angin
itu bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin kencang berputar, dan
tidak mampu untuk mencoba berhenti dengan sendirinya.
Dalam kebingungan itu
tiba-tiba terdengar suara Alap-Alap Jalatunda dengan garangnya, “He, siapa di
luar?”
Laki-laki kurus itu tidak
dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa terbungkam, sehingga sekali lagi
terdengar suara Alap-Alap Jalatunda. “Siapakah laki-laki gila yang
mengumpat-ngumpat itu?”
Demikian marahnya Macan
Kepatihan mendengar kata-kata itu sehingga bibirnya menjadi gemetar, dan bahkan
tak sepatah katapun yang dapat melontar dari bibirnya.
Dalam pada itu terdengar suara
perempuan dari dalam bilik itu, “Ah, jangan marah Kang. Tunggulah di luar.
Sebentar lagi antarkan aku kembali ke gubug suamiku.”
Bukan main marahnya Macan
Kepatihan itu. Dan kemarahannya itu benar-benar menimbulkan keheranan pada
Sumangkar yang tua.
Apa yang terjadi itu bukanlah
barang baru di dalam perkemahan ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak pernah
menaruh perhatian atasnya. Namun tiba-tiba ada suatu perubahan pada sikapnya.
Perubahan yang tak dapat diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya
kini Macan Kepatihan itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya.
Karena itu, maka tiba-tiba
Tohpati itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali ia meloncat mendekati
gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang sudut gubug itu berderak patah,
dan runtuhlah sudut gubug Alap-Alap Jalatunda.
Mendengar suara berderak-derak
itu, alangkah terkejutnya Alap-Alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan tangkasnya
anak muda itu meloncat ke pintu dan dengan sebuah loncatan yang panjang ia
telah berdiri tegak di luar pintu.
Tetapi alangkah terkejutnya
Alap-Alap yang garang itu. Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta
sebuah tangan terjulur ke arahnya dan dengan kuatnya menggenggam leher bajunya.
Alangkah kuatnya tangan itu. Alap-Alap Jalatunda itu serasa kehilangan segenap
kekuatannya ketika tangan itu menariknya.
Sebelum Alap-Alap Jalatunda
sadar akan keadaannya, maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini
ia terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak menggenggam bajunya lagi,
sehingga Alap-Alap itu terbanting jatuh. Namun sebenarnya tubuh Alap-Alap
Jalatunda itu sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka segera ia
meloncat berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh.
Kini barulah ia melihat
siapakah laki-laki yang telah menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh
tinggi kekar berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan.
Ketika disadarinya siapa yang
berdiri di hadapannya itu, maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia tidak lagi
bersikap garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata, “Maafkan aku
Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada di sini.”
Terdengar gigi Macan Kepatihan
gemeretak menahan kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya ia memandangi
wajah Alap-alap Jalatunda yang tunduk.
Seandainya pada saat itu
Alap-Alap Jalatunda berkata sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi
bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap untuk memukul mulut
Alap-Alap Jalatunda itu. Namun untunglah bahwa Sumangkar sempat menenangkannya.
Katanya, “Sudahlah Ngger, biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap orang di
perkemahan ini. Anak muda itu telah menyesal.”
Tohpati tidak menjawab.
Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ternyata di sekitar tempat itu
telah berdiri berkerumun beberapa orang. Di ujung berdiri seseorang dengan
mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia tegak dengan wajah tegang,
namun mulutnya masih saja mengunyah daging menjangan yang belum sempat
ditelannya.
Tohpati itu kemudian melangkah
selangkah maju. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke dalam kekelaman malam,
kekelaman hutan di sekitarnya. “Perempuan yang jahat. Pergi dari sini. Kaulah
yang membawa sial dalam laskar kami.”
“Raden” cegah Sumangkar
hati-hati. “Biarkan perempuan ini di sini. Tempatkanlah perempuan itu pada
suaminya. Jangan meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka suaminyalah yang
akan menjadi gantinya.”
Betapa marahnya Macan Kepatihan,
namun naluri kepemimpinannya segera merayapi otaknya. Karena itu, maka katanya,
“Paman benar. Perempuan itu tidak boleh meninggalkan tempat ini.”
Kemudian katanya kepada
laki-laki kurus berkumis jarang, “Kau menjaga istrimu di gubug ini. Biarlah
Alap-Alap gila itu mencari tempat lain. Kalau istrimu sampai meninggalkan
tempat ini, maka lehermu menjadi taruhannya.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa
istrinya tidak boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan
dihukum, apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan dilakukan oleh Macan
Kepatihan itu? Tetapi ia hanya mampu menjawab, “Ya, ya Tuan.”
Namun Sumangkar yang
berpengalaman itu dapat membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya
perempuan itu benar-benar meninggalkan perkemahan itu. Perkemahan yang dengan
hati-hati dipersiapkan khusus untuk tujuan yang penting. Perkemahan yang
dibangun dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang yang
terpencar di segala penjuru. Kalau perempuan itu lepas dengan luka di hatinya,
maka perkemahan itu pasti segera akan hancur. Sebab tidak mustahil, tempat
itupun akan segera diketahui oleh Untara dan Widura.
Untunglah bahwa Tohpati segera
menyadari pula keadaan itu, sehingga orang-orang Untara belum dapat mengetahui
dengan pasti letak perkemahan itu. Hubungan-hubungan yang dibuat dengan
orang-orang dalam masih terlalu sulit dan kesempatan untuk itu masih belum
dapat diperoleh. Yang baru diketahui oleh orang-orang Untara adalah persiapan-persiapan
dan kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar. Pemusatan kekuatan di
sekitar daerah yang sudah dikenal. Namun secara pasti, tempat itu belum dapat
diketahui. Apalagi tempat ini belum lama dibangun, setelah beberapa puluh kali
berpindah-pindah.
Nyai Pinan kemudian menjadi
ketakutan bukan alang kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis minta ampun.
Bahkan ketika ia hampir sampai di hadapan Tohpati, maka segera ia menjatuhkan
dirinya menelungkup. Namun Tohpati tidak menghiraukannya. Sekali lagi matanya
beredar di antara orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil menahan gelora
hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata, “Aku tidak mau melihat perbuatan
terkutuk berulang di perkemahan ini.”
Dan sebelum gema suaranya
lenyap dalam kekelaman malam, maka segera Tohpati itu melangkah pergi. Beberapa
orang menyibak ke samping memberinya jalan. Tanpa menoleh Tohpati berjalan
masuk ked alam malam yang gelap. Di belakangnya Sumangkar berjalan cepat-cepat.
Di ujung perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih sebuah golok pembelah
kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung, maka perjalanan itu bukanlah
perjalanan tamasya di malam purnama. Sehingga karena itu, maka golok itu akan
sangat bermanfaat baginya apabila ditemuinya bahaya di perjalanan.
Sepeninggal Tohpati,
Sanakeling melangkah maju. Mulutnya yang masih mengunyah daging menjangan itu
berkata, “Apakah yang kau lakukan Alap-Alap kecil?”
Alap-Alap Jalatunda
menundukkan wajahnya. Terasa darah yang seakan-akan menggelegak, namun ia tidak
berani berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa telah terjadi suatu
perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu.
Meskipun Pratanda yang juga
bergelar Alap-Alap Jalatunda itu belum menjawab, namun dengan melihat Nyai
Pinan yang masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat menduga apa yang
telah terjadi. Karena itu, maka gumamnya di dalam mulutnya, “Hem, karena itu
aku tidak mau berurusan dengan perempuan. Perempuan dimana-mana dapat
menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian indah dan
menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia ini dapat berubah menjadi neraka
juga karena perempuan. Nah Alap-Alap kecil, jangan menyesal. Yang sudah biarlah
terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya, bahwa Macan Kepatihan yang garang itu
membenci perempuan.”
Alap-Alap Jalatunda mengangkat
wajahnya. Dilihatnya Sanakeling masih menggerak-gerakkan mulutnya. Tetapi
Alap-Alap Jalatunda tidak berkata apa-apa. Dengan langkah yang gontai ia
berjalan meninggalkan tempat itu.
“Mau kemana?” bertanya
Sanakeling.
“Tidak kemana-mana” sahut
Alap-alap Jalatunda.
“Kau tidak boleh menempati
gubug yang hampir roboh itu. Tidurlah di tempatku bersama orang-orangku.”
Alap-alap Jalatunda
menggeleng. Katanya “Aku akan tidur bersama orang-orangku sendiri.”
Sanakeling dengan susah payah
menelan segumpal daging yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat terasa
kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan daging itu melalui lehernya
ia berkata, “Terserahlah, tetapi aku akan berbicara kepadamu. Datanglah ke gubugku.”
“Tentang apa?” bertanya
Alap-Alap Jalatunda.
“Tidak tentang perempuan”
sahut Sanakeling.
“Ah” desah Alap-alap
Jalatunda. “Tentang apa?”
Sanakeling memandang Alap-Alap
Jalatunda dengan tajamnya. Ia tidak senang mendengar Alap-Alap itu berkata
tajam kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab, “Tentang kedudukan kita dan
Sangkal Putung. Pergilah.”
“Apa yang akan kita
bicarakan?”
“Pergilah ke gubugku” desak
Sanakeling.
“Kita bicara di sini saja”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Katanya, “He, apakah kau sudah menjadi gila?”
Alap-Alap Jalatunda tidak
memperdulikannya. Selangkah ia berjalan ke samping sambil bergumam, “Aku akan
pergi.”
“Pergilah ke tempatku. Aku
perlu berbicara tentang berbagai persoalan.”
Alap-Alap Jalatunda yang
sedang dibakar oleh gejolak hatinya itu menjawab dengan jengkelnya,
“Berbicaralah di sini.”
Sanakeling menjadi marah pula
karenanya. Selangkah ia maju sambil menggeram perlahan-lahan, “Alap-Alap kecil.
Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu. Jangan membuat persoalan
baru. Pergi ke gubug itu, atau kau aku tampar mulutmu di muka anak buahmu. Aku
masih merasa berbaik hati kepadamu bahwa aku memperingatkanmu perlahan-lahan.”
Langkah Alap-Alap Jalatunda
itu terhenti. Alangkah sakit hatinya mendengar geram itu. Tetapi ketika
dilihatnya mata Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun, hatinya menjadi
kecut. Disadarinya kini kekecilannya di antara para pemimpin Jipang. Sanakeling
adalah orang yang garang, segarang Plasa Ireng yang telah mati dibunuh oleh
Sidanti dengan luka arang kranjang di tubuhnya.
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda terpaksa menahan gelora di dadanya. Ditelannya kepahitan itu meskipun
hatinya tidak ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek, “Ya, aku akan pergi
ke sana.”
Sanakeling menarik nafas panjang.
Namun matanya masih saja menyalakan kemarahannya. Dengan langkah yang berat ia
berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan perempuan yang masih saja
menangis sambil duduk di tanah, “Ingat semua kata-kata Macan Kepatihan supaya
nyawamu tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan itu. Sekali kepalamu
tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti akan berhamburan. Nah, masuklah
ke gubug itu dan jangan meninggalkan tempat ini.”
“Baik Tuan. Aku tidak berani
melanggar perintah itu” tangis Nyai Pinan.
Sanakeling itupun kemudian
kembali ke gubugnya. Ia dapat mengerti juga kenapa Nyai Pinan tidak boleh
meninggalkan tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya bagi rahasia
gerombolannya.
Alap-Alap Jalatundapun tidak
dapat berbuat lain daripada datang memenuhi permintaan Sanakeling. Ia sudah
dapat membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh Sanakeling itu. Persiapan
untuk menyerbu kembali Sangkal Putung.
Dalam pada itu, Tohpati
berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin
segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang dibangunnya sebagai
landasannya untuk meloncat ke daerah perbekalan yang subur, Sangkal Putung.
Namun perkemahan itu telah menumbuhkan kebencian padanya. Tempat yang terkutuk.
Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan liar yang benar-benar
menjemukan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi di dalam dirinya, bahwa baru
sekarang ia merasa muak melihat perbuatan-perbuatan itu. Bukankah sebelumnya
telah diketahui, setidak-tidaknya pernah didengarnya bahwa hal-hal semacam itu
pernah dan bahkan sering terjadi? Kenapa pada saat itu ia tidak berbuat
apa-apa? Kenapa pada saat itu dibiarkannya kemaksiatan semacam itu tumbuh
seenaknya?
Macan Kepatihan itu menggeram.
Ketika ia berpaling dilihatnya Sumangkar berjalan beberapa langkah di
belakangnya sambil menjinjing sebilah golok.
“Apakah yang paman bawa itu?”
“Golok” sahut Sumangkar.
“Untuk apa?”
“Tongkat” jawabnya pendek.
Tohpati mengerutkan keningnya
dan memperlambat langkahnya, sehingga Sumangkarpun berjalan lebih lambat pula.
Sekali-sekali Macan Kepatihan
itu berpaling dan akhirnya ia berkata, “Golok itu terlampau pendek untuk
dijadikan tongkat.”
Sumangkar terkejut mendengar
kata-kata itu. Cepat ia mencari jawaban yang lain, katanya, “Tidak Ngger. Bukan
tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat dipakai untuk
menerabas dahan-dahan yang mengganggu jalan.”
Tohpati itu tersenyum. Katanya
dengan nada datar, “Paman ternyata memerlukan juga senjata.”
Sumangkar tidak menjawab.
Ternyata Macan Kepatihan itu dapat menebak maksudnya. Namun bukankah ia akan
pergi ke daerah lawan? Maka adalah kewajibannya untuk berhati-hati. Meskipun
demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia masih saja berjalan di belakang
Tohpati sampai mereka muncul dari balik rimbunnya dedaunan yang agak lebat.
Demikianlah mereka
melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Tohpati menarik nafas lega, seolah-olah
ia telah keluar dari suatu daerah yang dibencinya. Suatu daerah yang sama
sekali tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar dari suatu tempat yang
padat pepat sehingga menyesakkan nafasnya.
Ketika Tohpati menengadahkan
wajahnya, di langit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang
putih hanyut dibawa arus angin yang lembut.
Sekali lagi Tohpati menarik
nafas dalam-dalam. Bulan itu tampaknya sangat asing baginya. Sudah beberapa
tahun ia melupakan keindahan bulan, langit yang sumeblak, bintang-bintang dan
bahkan melupakan apa saja yang dapat memberinya kesegaran seperti malam ini. Angin
yang lembut dan daun-daun yang bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut
itu.
“Hem” desahnya.
Sumangkar melangkah lebih
cepat lagi, sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan itu. Ketika ia
mendengar Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa.
Tohpati masih mengagumi
kesegaran angin malam dan kelembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup
kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit di garis
cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat Gunung Merapi
menyentuh langit.
“Paman” tiba-tiba terdengar
Tohpati itu berkata. “Umurku sudah cukup banyak Paman. Sudah sepertiga abad.
Tetapi aku merasa tiba-tiba menjadi orang asing di sini. Asing dari alam di
sekitarku ini.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pertanyaan itu telah mengatakan kepadanya, bahwa terjadi sesuatu
pergolakan di dalam dada murid saudara seperguruannya itu. Namun Sumangkar
menjawab, “Mungkin Angger merasa asing. Tetapi alam yang Raden anggap asing
ini, adalah alam yang sehari-hari telah memeluk Angger dalam rangkumannya. Alam
ini mengenal Angger dengan baik. Sebab Angger adalah bagian daripadanya. Angger
telah lahir dari sumber yang sama.”
Tohpati berdesir mendengar
kata-kata Sumangkar itu. Tiba-tiba disadarinya bahwa alam adalah saudara
kandungnya. Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan,
matahari dan seluruh isi angkasa. Semuanya telah tercipta oleh sabda yang Maha
Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecilnya dibandingkan
dengan seluruh kebesaran alam ini.
Tetapi selama ini Tohpati
tidak pernah mengingat sumbernya lagi. Yang diingatnya sehari-hari adalah nafsu
yang menyala-nyala di dalam dadanya untuk memusnahkan lawan. Membunuh dan
menghancurkan. Membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata.
Sekali lagi Tohpati
menengadahkan wajahnya. Bulan itu masih memancar di langit, dan bintang-bintang
masih bergayutan pada dataran yang biru.
“Paman” gumam Macan Kepatihan
itu perlahan-lahan. “Besok kita akan mulai dengan persiapan yang terakhir.
Mudah-mudahan kita akan dapat merebut daerah perbekalan itu kali ini.”
Sumangkar berpaling. Kata-kata
itu sama sekali tidak bernafsu seperti arti katanya. Tohpati itu seakan-akan
berkata asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu Sumangkar tidak segera
menjawab. Dibiarkannya Tohpati berkata pula, “Besok kita akan mulai lagi dengan
suatu gerakan. Aku mengharap lusa kita telah berada di Sangkal Putung.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya pendek, “Ya Ngger.”
Tohpati sama sekali tidak
tertarik kepada jawaban Sumangkar. Bahkan seolah-olah tidak didengarnya. Ia
masih saja berkata seterusnya, “Besok aku akan mulai dengan
pembunuhan-pembunuhan dan kematian-kematian baru. Besok aku mengadakan benturan
benturan antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang mengalir dari sumber
yang satu.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia tahu benar apa yang terkandung di dalam hati Macan
Kepatihan itu. Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata, “Besok itu
belum terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok
bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk menentukan
hari besok. Hari kita sendiri.”
“Ya” sahut Tohpati. “Paman
benar. Tetapi apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan
tentang hari sekarang dan hari kemarin. Apakah dan siapakah kita sekarang dan
kemarin. Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok.”
“Ya. Kita sendiri adalah
kelanjutan dari masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang kita lakukan besok
harus senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin” sahut Sumangkar. “Dengan
demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan di dalam diri manusia. Tetapi
perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena pekerjaan
yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim dan berbudi.
Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat di luar batas kemanusiaan.”
“Seorang pahlawan di
medan-medan perang, suatu ketika memilih jalan hidupnya di dapur-dapur dan di
sudut-sudut perapian” potong Tohpati.
“Ya, itupun suatu perkembangan
yang terjadi di dalam diri manusia” sahut Sumangkar.
Tohpati mengerutkan keningnya.
Sejenak ia berdiam diri. Ditatapnya padang rumput yang sempit di hadapannya,
kemudian di seberang padang rumput itu terdapat sawah-sawah yang tidak pernah
di tanami selama kerusuhan terjadi di daerah ini. Para petani yang memilikinya
menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap saat laskat Jipang yang liar
sering memerangi mereka.
Ketika mereka melangkah
semakin jauh ke dalam padang itu, kembali Tohpati berkata tanpa berpaling,
“Paman, apakah Paman puas dengan keadaan Paman sekarang?”
“Puas tentang apa, Ngger?”
“Tentang keadaan Paman. Paman
yang pernah dikagumi di garis perang, kini tidak lebih dari seorang juru masak
di dapur.”
“Aku puas Ngger. Aku puas
bahwa aku untuk sekian lamanya berhasil meletakkan senjataku dan menggantinya
dengan pisau dapur dan golok pembelah kayu ini.”
Macan Kepatihan mengerutkan
keningnya. Terasa sesuatu menggeram di dalam rongga dadanya, tetapi ia
ragu-ragu untuk mengutarakannya.
Namun yang terloncat dari
bibirnya adalah, “Paman adalah seorang yang berhati goyah. Paman telah
meletakkan suatu tekad perjuangan. Namun Paman berhenti di tengah jalan.”
“Raden” sahut Sumangkar
perlahan-lahan. “Aku memang pernah meletakkan suatu tekad. Tetapi aku bukan
orang yang buta pada keadaan. Orang yang dengan membabi buta pula berbuat hanya
karena sudah terlanjur. Sebenarnya Ngger, terus terang, sejak Arya Penangsang
dan Pamanda Patih Mantahun melakukan rangkaian-rangkaian pembunuhan, sejak itu
hatiku telah goyah. Tetapi aku pada saat itu tidak yakin, hatiku dapat goyah.
Aku tidak percaya pada setiap persoalan yang timbul di dalam diriku. Dan aku
telah berusaha untuk membutakan mataku dan berbuat seperti yang sudah mulai aku
lakukan. Tetapi akhirnya aku menyadari keadaanku. Aku tidak dapat membohongi
perasaanku terus memerus. Aku jemu pada peperangan.”
“Jangan berkata begitu” potong
Tohpati. Langkahnyapun terhenti dan dengan pandangan yang tajam ditatapnya mata
Sumangkar. Namun kini Sumangkar tidak lagi menundukkan wajahnya. Bahkan
langsung dipandangnya biji mata Tohpati yang seakan-akan menyala itu. Pandangan
mata seorang yang sudah lanjut usia.
Tohpatilah yang kemudian
berpaling. Meskipun demikian ia bergumam,“Paman jangan mencoba melemahkan
hatiku. Apakah Paman ingin memaksa aku untuk berbuat seperti Paman itu.
Meletakkan senjata ini dan merunduk-runduk kepada orang Pajang untuk menjadi
juru masak atau pekatik.”
“Tidak” sahut Sumangkar
“Angger tidak dan akupun tidak.”
“Lalu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Sudah pasti ia tidak dapat
mengatakan kepada Tohpati meskipun ia tahu bahwa hati Macan Kepatihan yang
garang itu sedang goncang.
Tetapi Sumangkar itu terkejut
ketika tiba-tiba ia mendengar Tohpati berkata, “Paman, aku bukan pengecut. Aku
bukan orang yang takut melihat beberapa kekalahan kecil. Dan aku tak akan dapat
digoyahkan oleh keadaan yang bagaimanapun juga. Lusa apabila Sanakeling telah
berhasil mengumpulkan segenap orang-orang kita, maka aku benar-benar akan
menghancur-lumatkan Sangkal Putung. Kali ini yang terakhir. Kalau aku tidak
berhasil menguasai Sangkal Putung, maka lebih baik Sangkal Putung itu aku
binasakan. Rumah-rumahnya, sawah-sawahnya dan segala kekayaan yang ada di
dalamnya. Buat apa aku menyayangkan kehancurannya, kalau aku tidak dapat
memanfaatkannya.”
Sumangkar memandangi wajah
Tohpati dalam keremangan cahaya bulan. Dilihatnya Macan Kepatihan itu kemudian
menggigit bibirnya dan terdengar ia menggeram.
“Hem” Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam, meskipun ia tidak segera mengucapkan kata-kata.
“Kenapa Paman berdesah?”
bertanya Tohpati
“Tidak” sahut Sumangkar. “Aku
tidak berdesah. Aku sedang menyesal.”
“Apa yang Paman sesali?”
“Angger sudah mulai berkelahi
dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat kewajaran di dalam
diri Angger, tetapi Angger tidak mau.”
“Bohong” teriak Tohpati
tiba-tiba. Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa disangka-sangka ia
melangkah maju mendekati Sumangkar sambil menundingnya, “Jangan berkhianat
terhadap pimpinanmu Paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku.”
“Kekuatan hati seseorang tidak
harus ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta. Mungkin Angger
mampu menghancurkan Sangkal Putung. Tetapi itu perbuatan putus asa. Angger
benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu jiwa akan
kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian apabila sawah-sawahnya
dihancurkan. Mereka akan kelaparan dan mereka akan mati sia-sia.”
“Itu adalah akibat dari
kekerasan kepala mereka. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka harus
menyerah?”
“Siapakah yang keras kepala?
Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?”
“Setan” potong Tohpati. “Paman
benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya Paman ada di
dalam barisanku.”
“Apakah aku harus pergi ke
Pajang?”
“Tidak, tidak dalam barisanku
dan tidak boleh pergi ke Pajang. Sebab dengan demikian maka pengkhianatan Paman
akan menjadi sempurna.”
“Jadi, apa yang harus aku
kerjakan?”
Sejenak Tohpati terbungkam.
Yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang terengah-engah. Tetapi tiba-tiba
ia berteriak, “Mati, kau harus mati.”
“He?” Sumangkar terkejut
mendengar kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya seakan-akan terkunci.
Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil menguasai dirinya kembali
sepenuhnya.
Bahkan Sumangkar itu kemudian
tersenyum. Ditatapnya mata Tohpati seolah-olah orang tua itu ingin memandang
tembus ke dalam pusat jantungnya. Dengan tenangnya Sumangkar itu kemudian
menjawab “Angger, apakah Angger bermaksud membunuh aku?”
Pertanyaan itu menghantam dada
Tohpati sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang iganya. Sesaat
Tohpati terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan kekuatannya
untuk menjawab, hanya sepatah kata, “Ya.”
Kembali Sumangkar tersenyum.
Senyum yang menggoncangkan hati Macan yang garang itu. Di mata Tohpati,
Sumangkar yang berdiri di hadapannya itu bukan lagi seorang juru masak yang
malas, namun Sumangkar itu kini berdiri dengan wajah tengadah. Sumangkar tu
kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan.
Sumangkar yang pernah dikenalnya dahulu.
Karena itu dada Tohpati
menjadi berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak
dengan wajah yang tegang, menghadapi orang tua itu.
Mendengar jawaban Tohpati yang
pendek itu, Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berkata, “Raden, aku adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Kepatihan masih
hidup aku adalah abdi kepatihan. Kalau aku kebetulan menjadi saudara
seperguruan Gusti Patih itu bukanlah soal dalam hubungan antara hamba dan
gustinya. Kini Angger adalah pimpinan laskar Jipang sepeninggal Arya
Penangsang. Dalam hal inipun siapa Sumangkar dan siapa Tohpati bukan juga
menjadi soal.”
“Diam” potong Tohpati dengan
suara bergetar. “Kubunuh kau.”
Tetapi ia terkejut ketika ia
melihat Sumangkar meletakkan golok pembelah kayu di tangannya dan selangkah ia
maju mendekatinya. “Marilah Ngger. Seperti juga Pamanda Kepatihan, Sumangkar
dapat pula dibunuh dan mati untuk tidak bangkit kembali. Hanya dongeng-dongeng
ngayawara saja yang mengatakan bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati memiliki
nyawa rangkap sepuluh.”
Macan Kepatihan itu kemudian
menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bahkan kemudian selangkah ia berjalan ke
samping, dan dengan lemahnya menjatuhkan dirinya duduk di atas rerumputan liar.
Sumangkarpun kemudian duduk
pula di sampingnya. Kini ia sudah yakin apa yang terjadi di dalam diri Tohpati
itu. Kini ia yakin bahwa Tohpati telah menemukan nilai-nilai yang lain dari apa
yang dimilikinya selama ini.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Sumangkar sengaja membiarkan Tohpati meyakinkan dirinya sendiri, sebelum
ia membantunya.
Malam menjadi semakin lama
semakin dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan
membeku. Bagaimana di dalam dada mereka telah bergolak dengan riuhnya,
berbagai-bagai pertimbangan dan angan-angan.
“Paman” berkata Tohpati
kemudian. “Sejak aku memanggil Paman Sumangkar, sebenarnya aku sudah dilanda
oleh perasaan yang tidak menentu. Itulah sebabnya aku menunda penyerangan ke
Sangkal Putung sampai beberapa kali. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian
terus-menerus. Aku tidak dapat membiarkan anak buahku mejadi jemu dan semakin
liar. Tetapi tiba-tiba aku kehilangan keberanian untuk menyerang Sangkal
Putung.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Iapun menjadi terharu mendengar pengakuan itu. Pengakuan seorang
pemimpin yang teguh hati serta seorang yang memiliki keberanian dan kemampuan
yang cukup. Namun orang itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang berlawanan
dengan tekad serta kemauannya.
Dalam keremangan malam di
bawah cahaya bulan sepotong, Sumangkar melihat kegelisahan wajah Tohpati.
Tampaklah betapa ia menyesali keadaan dan menyesali kenyataan. Tetapi kenyataan
itu telah dihadapkan di muka wajahnya.
Tohpati benar-benar bukan
seekor binatang liar yang tidak mempunyai jantung. Betapa ia keras dan buas di
dalam medan-medan peperangan, namun ia memiliki perasaan yang utuh. Karena
itulah, maka ia dapat mengerti beberapa keberatan yang dikatakan oleh orang
lain kepadanya. Yang dikatakan oleh orang tua di atas batu-batu di tengah
sungai beberapa hari yang lalu, dan apa yang dikatakan Sumangkar sejak lama
kepadanya.
Meskipun ia telah berusaha
menindas perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya, meskipun ia tidak ingin
terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu, namun sebenarnya hatinya selalu
tersentuh-sentuh. Setiap kali ia pulang dari peperangan, setiap kali ia kembali
dari nganglang, dan setiap kali ia melihat kekerasan, apalagi atas penduduk
yang tidak banyak mengetahui seluk beluk pertentangan antara Pajang dan Jipang,
hatinya selalu terganggu.
Puncak dari gangguan di
hatinya adalah orang tua di tengah-tengah kali itu, dan selanjutnya kata-kata
Sumangkar itu sendiri. Sehingga seandainya benar Untara dan Widura mengatakan,
bahwa pertentangan ini menjadi amat menjemukan, adalah benar. Kalau seseorang
mengatakan bahwa pertentangan ini hanya akan menyengsarakan rakyat, adalah
beralasan. Dan sejak ia melakukan pembunuhan yang pertama atas Sunan Prawata,
apalagi ketika Sumangkar mendengar Ratu Kalinyamat bertapa tanpa mengenakan
pakaian apapun selain rambutnya sendiri sebagai suatu penolakan, sebagai suatu
jerit seorang wanita atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi pada suaminya.
Namun Sumangkarpun mencoba mengingkari perasaan sendiri pada waktu itu.
Demikianlah meskipun Tohpati
itu duduk diam seperti patung, namun hatinya bergolak dahsyat. Sedahsyat
pusaran di muara sungai yang sedang banjir bandang.
Tiba-tiba Tohpati itu
mengeluh. “Aku kini sampai pada suatu titik yang terkatung-katung di
tengah-tengah gumulan ombak yang tidak menentu. Aku tidak dapat terus, tetapi
aku tidak dapat kembali.”
Sumangkar merasakan kesulitan
itu. Sumangkar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Tohpati benar-benar tidak dapat
maju tetapi juga tidak dapat kembali. Meskipun demikian ia mencoba menjajagi
hati anak muda yang perkasa itu. “Angger tidak usah terus dan tidak usah
kembali. Angger dapat mencoba berhenti. Tetapi Angger harus membiarkan orang
lain kembali.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang benar, ia dapat menghilang dan tidak muncul kembali. Ia dapat
menganjurkan orang lain untuk menghentikan perlawanan. Tetapi kenyataannya
tidak dapat membenarkannya. Ia tidak mau lari dari kenyataan yang bagaimanapun
pahitnya. Karena itu, Tohpati itu menggeleng lemah. “Tidak Paman, tidak.”
Sumangkarpun tahu, bahwa
Tohpati tidak akan dapat menyetujuinya. Tetapi ia tidak mempunyai pendapat lain
yang dapat dikemukakan saat itu, sehingga sejenak ia terdiam.
Kembali mereka diamuk oleh
kegelisahan di hati masing-masing. Kembali mereka dicengkam oleh kesepian di
padang rumput yang tidak terlalu luas itu. Suara cengkerik terdengar
mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik
binatang-binatang hutan mengejutkan.
Dalam keheningan malam itu
tiba-tiba Sumangkar menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di hatinya,
sehingga duduknya bergeser beberapa jari. Matanya yang tajam, menembus
keremangan malam menusuk ke kejauhan.
Sumangkar menarik nafas. Ia
berpaling ketika terdengar Tohpati menggeram perlahan-lahan. Tetapi Sumangkar
itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Tohpati bergumam
perlahan-lahan, “Dua orang berjalan di ujung padang ini.”
“Ya, aku melihatnya.”
“Siapa Paman, apakah orang itu
orang-orang kita?”
“Entahlah Ngger. Apakah angger
memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu
pekerjaan?”
“Aku tidak. Entahlah kalau
Sanakeling. Atau Alap-Alap Jalatunda atau yang lain. Mungkin juga para pengawas
yang telah dikirim lebih dahulu.”
Meskipun demikian, firasat
Sumangkar yang tua itu memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu akan dapat
membawa bahaya. Dengan demikian maka Sumangkar beringsut sejengkal demi
sejengkal untuk meraih golok pembelah kayu yang diletakkannya.
“Apakah paman memerlukan benda
itu?”
“Aku tidak tahu Ngger,
mudah-mudahan tidak.”
“Mudah-mudahan. Tetapi orang
itu datang dari jurusan yang lain dari setiap jurusan yang akan dilalui para
pengawas ke Sangkal Putung. Juga sama sekali bukan jurusan orang-orang Pajang
yang berada di Sangkal Putung.”
“Mungkin mereka memilih jalan
yang melingkar demi keamanan mereka.”
“Mungkin.”
Sumangkar memandang kedua
bayangan itu dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya
mereka belum melihat Sumangkar berdua dengan Tohpati yang sedang duduk.
“Bagaimana kalau mereka
orang-orang Pajang paman?”
“Apakah Angger akan
membiarkannya?”
“Tidak, aku tidak dapat
membiarkan mereka mengetahui kedudukan kami. Aku tidak dapat membiarkan
orang-orangku dihancurkan oleh orang-orang Pajang dalam peperangan.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sudah tentu Tohpati tidak akan berbuat demikian. Tidak akan
membiarkan orang-orangnya hancur disergap oleh lawannya, betapapun juga.
Maka kalau benar kedua orang
itu orang Pajang, maka kedua orang itu pasti mendapat tugas untuk menyelidiki
pertahanan laskar Jipang.
Sumangkar dan Tohpati kemudian
saling berdiam diri. Bahkan nafas merekapun seakan-akan mereka tahankan, agar
kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh kedua orang itu.
“Kalau orang-orang itu orang
Pajang” bisik Tohpati perlahan-lahan sekali, “alangkah beraninya.”
Sumangkar mengangguk, tetapi
ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka
bukan orang-orang kita” sambung Tohpati hampir tak terdengar.
Sekali lagi Sumangkar
mengangguk.
Dada mereka tiba-tiba berdesir
ketika melihat kedua orang itu berhenti sesaat. Namun kemudian mereka melangkah
kembali. Tetapi mereka kini tidak menuruti arah mereka semula. Menyilang garis
pandangan Tohpati. Jantung Tohpati hampir-hampir berhenti berdenyut, ketika
dilihatnya kedua orang itu berjalan ke arahnya.
“Mereka kemari” bisik Tohpati.
Sumangkar menarik nafas
panjang-panjang “Tak ada gunanya untuk menyembunyikan diri dan mengintai
mereka. Mereka telah melihat kehadiran kita.”
“Belum tentu. Mungkin suatu
kebetulan.”
Sumangkar menggeleng. “Aku
yakin.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apabila demikian maka kedua orang itu pasti dua orang yang terlalu
percaya kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka sengaja mendatanginya.
Terkaan Sumangkar itu sesaat
kemudian ternyata terbukti. Kedua orang itu berhenti berjalan, dan salah
seorang daripada mereka berkata “Siapa yang duduk disitu?”
Tohpati menjadi bimbang
sesaat. Ditatapnya wajah Sumangkar untuk mendapatkan pertimbangan. Ketika
Sumangkar menganggukan kepalanya, maka Macan Kepatihan itupun segera menjawab,
“Aku disini, siapa kalian?”
“Aku siapa?” desak salah
seorang yang berdiri itu.
“Kau siapa?” Jawab Tohpati.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Kedua orang itu masih tegak seperti patung. Dalam keremangan cahaya
bulan, mereka tempaknya seperti bayangan hitam yang menakutkan.
Tohpati menjadi semakin
berdebar-debar ketika kedua orang itu melangkah kembali. Dan bahkan
mendekatinya.
“Berhenti” teriak Tohpati
“Kalau tidak, aku akan menyerang kalian dengan senjata jarak jauh.”
“Apa kau membawa panah?”
terdengar suara diantara mereka.
“Tulup” sahut Tohpati. “Aku
lulut biji tulupku dengan getah pohon luwing dan bisa serangga. Kalian akan
mati terkena sentuh saja.”
“Jangan terlalu kejam” sahut
suara itu pula.
“Karena itu jawab, siapa
kalian?”
Tohpati terkejut ketika
kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara tertawa itu
terdengarlah kata-kata, “Menyerang dengan tulup bukanlah pekerjaan yang mudah.
Bagaimanakah kalau aku berlari melingkar-lingkar.”
Sesaat Tohpati tidak menjawab.
Sebenarnya ia tidak membawa tulup. Kalau orang itu berlari melingkar-lingkar, maka
ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan berlari melingkar-lingkar
sedangkan apabila mereka berjalan perlahan-lahan dalam garis yang lurus
sekalipun ia tidak akan dapat menyerang dari jarak yang jauh. Sebenarnya
Tohpatipun tidak perlu menyerangnya dari jarak yang jauh. Namun ia hanya ingin
menggertaknya dan segera mengetahui siapakah mereka itu. Tetapi ternyata orang
itu orang yang berani dan tidak gentar mendengar ancamannya.
Namun tiba-tiba terasa
Sumangkar merebut tongkat bajanya. Demikian tiba-tiba sehingga Tohpati tidak
sempat menahannya. Sebelum Tohpati itu menyadari, Sumangkar telah meletakkan
ujung tongkat itu di muka mulutnya sambil berjongkok. Dengan suara parau
Sumangkar berteriak, “Nah cobalah. Berlarilah melingkar-lingkar. Salah seorang
dari kalian berdua akan mati. Aku tidak akan memperdulikan yang seorang lagi.”
Kedua orang yang berdiri
beberapa puluh langkah dari mereka itupun terdiam. Baru sejenak kemudian
terdengar salah seorang berkata, “Bagus. Kalian benar-benar dapat mempergunakan
tulup. Kalian tidak akan dapat dibingungkan oleh bayangan kami berdua yang
berlari melingkar-lingkar. Tetapi kami benar-benar tidak akan berbuat jahat
terhadap kalian, siapapun kalian berdua itu.”
“Kalau demikian, sebut namamu”
sahut Sumangkar.
Orang itu diam sesaat, dan
kemudian terdengar ia menyebutkan sebuah nama, “Supita, namaku Supita dan
kawanku ini bernama Sukra.”
Sumangkar menarik nafas
panjang-panjang. Bahkan hampir ia tertawa mendengar orang-orang itu menyebutkan
namanya. Sekali ia berpaling memandang wajah Tohpati. Agaknya Tohpatipun
sependapat dengan pikirannya, sehingga karena itu terdengar Tohpati menjawab
lantang, “Namaku Patra dan kawanku bernama Dadi. Nah apakah kau puas mendengar
nama-nama kami?”
Orang itu terdengar tertawa.
Suaranya berderai melingkar-lingkar membentur dinding hutan dan menggema
kembali berulang-ulang. Katanya, “Adakah gunanya kita menyebutkan nama
masing-masing?”
Sumangkar menyahut, “Nama-nama
yang kami sebut, mungkin jauh lebih baik dari nama kalian sebenarnya. Nah
apakah maksudmu datang kemari.”
“Apakah kita dapat berbicara
perlahan-lahan” berkata orang itu.
Sumangkar tidak segera
menyahut. Ditatapnya wajah Tohpati seakan-akan menyerahkan segenap persoalan
kepadanya. Namun Tohpati tidak dapat berbuat lain daripada menerima orang itu.
Seandainya orang itu lari sekalipun pasti akan di kejarnya. Dan kini orang itu
bersedia datang kepadanya.
Karena itu, maka Tohpati
menjawab tegas, “Datanglah, supaya aku tidak mengejarmu.”
Sekali lagi terdengar salah
seorang daripadanya tertawa. Sejenak kemudian kedua bayangan itu bergerak maju
perlahan-lahan penuh kewaspadaan.
Tohpati dan Sumangkarpun
segera berdiri. Diserahkannya tongkat Tohpati kembali. Tongkat ciri kebesaran,
keperkasaan dan kewibawaan Macan Kepatihan, sehingga kawan maupun lawan
mengenal tongkat itu seperti mengenal pemiliknya sendiri.
Semakin dekat kedua bayangan
itu, hati mereka masing-masing baik yang menunggu maupun yang mendatangi,
saling berdebaran. Semakin dekat, maka wujud masing-masing menjadi semakin
jelas di bawah cahaya keremangan bulan sepotong yang menggantung di antara
bintang-bintang di langit.
Ketika bayangan itu sudah
cukup dekat, maka terdengarlah Tohpati menggeram keras. Selangkah ia maju dan
tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Bayangan itupun kemudian berhenti beberapa
langkah daripadanya.
Yang terdengar adalah suara
Macan Kepatihan itu parau, “Kau. Kau guru dan murid lereng Merapi. He, apa
kerjamu di sini Tambak Wedi?”
Terdengar orang itu, yang tak
lain adalah Ki Tambak Wedi dan Sidanti, menarik nafas perlahan-lahan. Dengan
menganggukkan kepalanya Ki Tambak Wedi menjawab “Selamat malam Angger Macan
Kepatihan. Apakah Angger pernah melihat muridku?”
“Hampir kupecahkan dadanya
dengan tongkatku ini kalau paman Widura tidak menyelamatkannya. Nah, sekarang
kalian datang untuk memberi kesempatan kepadaku menyelesaikan pekerjaan itu?”
“Jangan marah. Dengarlah dulu
maksud kedatangan kami” berkata Ki Tambak Wedi. Sesaat ia berpaling kepada
Sumangkar yang berdiri di belakang Tohpati. Tampaknya alisnya berkerut, dan
dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Sumangkar?”
Sumangkar tertawa pendek. Kini
ia maju selangkah. Goloknya terselip pada ikat pinggangnya. Sambil mengangguk
ia menjawab, “Ya, Kakang Tambak Wedi. Agaknya Kakang masih ingat kepadaku.”
“Ah. Aku tidak akan dapat
melupakan kalian. Sepasang murid perguruan Kedung Jati.”
“Huh” potong Tohpati. “Kau
juga tidak lupa kepada guruku?”
“Tentu tidak Angger. Aku
adalah kawan seiring dengan almarhum Patih Mantahun.”
“Omong kosong. Kau tinggalkan
Paman dalam kesulitan. Bahkan kemudian aku temui muridmu di Sangkal Putung
dalam laskar paman Widura.”
Tambak Wedi terbahak-bahak.
Sahutnya, “Angger keliru. Angger keliru. Muridku berada di Sangkal Putung
dengan tugasnya sendiri. Apakah Angger tidak mendengar bahwa Untara terluka?”
“Untara?”
Tambak Wedi mengangguk penuh
kebanggaan. ”Ya, Angger Untara terluka. Hampir-hampir membawa nyawanya.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Kemudian terdengar ia bertanya, “Apakah hubungan luka Untara itu dengan Paman
Tambak Wedi?”
“Ada sangkut paut yang erat
dengan perjuanganmu, Ngger” jawab Tambak Wedi. “Karena itulah maka aku sengaja
menemuimu. Maksudku aku akan datang ke perkemahanmu.”
“Apakah Paman Tambak Wedi tahu
letak perkemahan kami?”
“Aku tidak tahu tepat. Tetapi
aku kira-kira saja letak perkemahan itu.”
Macan Kepatihan menggeram.
“Kau sedang memata-matai perkemahan kami untuk kepentingan Untara?”
“Tidak Ngger, tidak” potong
Tambak Wedi cepat-cepat. “Aku datang untuk keperluan yang cukup penting.”
“Apa itu?”
“Apakah Angger dapat menerima
kami di perkemahan Angger?”
Tohpati menggeleng. Dengan
tegas ia berkata, “Tidak. Di sini Paman dapat mengatakan keperluan itu.”
Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa tetapi ia tahu keberatan Macan
Kepatihan. Karena itu ia berkata, “Angger. Luka Untara adalah bukti, bahwa
sebenarnya aku tidak pernah meninggalkan pamanmu Patih Mantahun.”
“Apakah hubungannya?”
“Sidantilah yang melakukannya
atas petunjukku.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Desisnya, “Tetapi Untara masih hidup. Ia masih berkeliaran, bahkan sampai ke
Benda dan sekitarnya.”
“Sidanti salah hitung.
Disangkanya serangannya berhasil, karena itu tidak diulanginya.”
“Omong kosong. Mungkin benar
Sidanti melukai Untara, sebagai suatu cara untuk berpura-pura mengusir atau
mengejar Sidanti. Sidanti akan lari kepadaku. Namun dalam pada itu, segala
rahasiaku akan jatuh ke tangan Untara.”
“Tidak Angger. Tidak.
Sebenarnya Untara dan Sidanti telah bermusuhan. Aku memang memberikan beberapa
petunjuk. Bukankah aku sahabat Pamanda Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Dan dibiarkannya Tambak Wedi berkata, “Namun sayang. Tugas Sidanti itu tidak
dapat selesai dengan baik.”
“Apa sebabnya Sidanti melukai
Untara?”
“Untara adalah pemimpin laskar
Pajang di lereng Merapi ini. Sedangkan lereng Merapi ini adalah kekuasaan Ki
Tambak Wedi. Apalagi Untara adalah lawan sahabat Tambak Wedi, Patih Mantahun.”
Tohpati menarik alisnya.
Sesaat ia terdiam. Dicobanya untuk menimbang kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun
kemudian terdengar Sumangkar berkata, “Muridmu yang bernama Sidanti itu,
berusaha membunuh Untara karena daerah kekuasaanmu dikuasai pula olehnya,
begitu?”
“Ya. Sebagian begitu.”
“Kalau demikian, maka kalian
telah terlibat dalam persoalan kalian sendiri” sahut Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Sumangkar. Namun sejenak kemudian ia tersenyum
sambil berkata, “Hem, Adi Sumangkar, jangan menarik garis dari kepentingan yang
saling mendorong itu. Aku mendendamnya karena ia berada di dalam daerah
kekuasaanku, tetapi aku tidak akan berbuat demikian terhadap Angger Macan
Kepatihan, meskipun Angger itu berada di lereng Merapi pula.”
Namun kata-kata itu segera
disahut oleh Tohpati, “Jangan mengelabuhi aku Paman. Seorang pimpinan Jipang
telah di bunuh oleh Sidanti.”
Hati Sidanti menjadi
berdebar-debar karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak ikut campur dalam
percakapan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempunyai kepentingan, atau
benar-benar seperti anak-anak yang sedang dibicarakan nasibnya oleh ayah
bundanya.
Yang menjawab kemudian adalah
Ki Tambak Wedi, “Ya, Angger. Hal itu terpaksa dilakukan. Maksudnya untuk
menghilangkan jejak dibunuhnya Untara, sehingga Sidanti tidak pernah
meninggalkan Sangkal Putung dan dapat berbuat serupa terhadap pemimpin-pemimpin
yang lain.”
“Hem” geram Tohpati. “Jadi
Sidanti membunuh Plasa Ireng hanya sekedar untuk mendapat kepercayaan. Jadi
Plasa Ireng itu nilainya tidak lebih dari alat untuk mendapat kepercayaan.
Seandainya demikian, kenapa Sidanti kemudian melukainya arang kranjang meskipun
Plasa Ireng telah terbunuh? Itu benar-benar suatu kekejaman. Kekejaman yang
tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang beradab. Orang-orangku yang kalian
sebut liar itupun jarang-jarang yang berbuat demikian.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menarik nafas. Ia terdorong dalam kesulitan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal.
Maka katanya, “Angger, memang sulit untuk menjawab pertanyaan Angger. Memang
sukar untuk menjelaskan sikap kami. Tetapi biarlah aku coba urut-urutannya.
Sidanti menggabungkan diri dalam kelaskaran Pajang dan berhasil memilih Sangkal
Putung sebagai daerah garis perangnya, kenapa tidak ditempat lain? Karena aku
yakin bahwa suatu ketika Untara akan hadir di tempat itu. Kemudian Sidanti akan
membunuh pimpinan-pimpinan Pajang itu satu demi satu tanpa kecurigaan. Baru
kemudian setelah selasai pekerjaannya, ia akan memberitahukan kepada Angger.
Sebab apabila sebelum itu Angger telah menyadari kedudukan Sidanti, serta orang
lain mendengarnya, maka jiwa Sidanti sendiri akan terancam. Karena itulah, maka
Sidanti selalu berusaha menjadi orang yang tampaknya paling gigih di Sangkal
Putung sebagai usaha untuk menyelubungi dirinya. Tetapi usahanya itu tidak dapat
sempurna. Suatu ketika usaha itu diketahui setelah Untara hampir mati. Sayang
ia dapat sadar kembali dan mengatakan siapa yang telah berusaha untuk
membunuhnya. Nah, sekarang tidak ada lagi cara lain untuk berjuang selain
melalui garis perang yang langsung berhadapan. Karena itu Sidanti aku bawa
kemari. Mungkin dapat Angger pergunakan untuk ganti yang telah terbunuh itu.”
Tohpati mendengarkan kata-kata
Tambak Wedi itu dengan wajah yang tegang. Sepercik harapan timbul di dalam
hatinya. Mungkin Sidanti tidak benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh Ki
Tambak Wedi itu, namun dengan hadirnya Sidanti di perkemahannya, pasti akan
mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Mungkin ia masih harus mencoba kesetiaannya
sekali dua kali dengan pangawasan yang ketat. Namun apabila kemudian ternyata
kata-kata Tambak Wedi itu benar, maka ia akan mendapat kekuatan baru di samping
berkurangnya kekuatan di Sangkal Putung.
Tetapi tidak demikian yang
terlintas di otak Sumangkar. Ia tidak dapat menerima Sidanti apapun alasannya.
Ia tidak mau melihat Sidanti mengkhianati Tohpati. Menusuk dari belakang atau
perbuatan apapun yang akan mencelakakannya. Tetapi seandainya Sidanti
benar-benar ingin bekerja sama dengan Tohpatipun sama sekali tidak
dikehendakinya. Dengan demikian maka peperangan ini akan semakin riuh. Dengan
kekuatan baru mungkin Tohpati akan melupakan persoalan-perasoaan yang sudah
timbul di dalam kepalanya. Hal itu akan menghanyutkan kejemuannya terhadap
perang, seandainya ia mendapat kemenangan baru saat-saat terakhir nanti. Dengan
demikian penderitaan akan berjalan semakin lama. Usaha yang sia-sia dan putus
asa inipun akan berjalan semakin lama pula. Korban yang berjatuhan akan menjadi
semakin banyak. Korban-korban dari mereka yang sama sekali tidak tahu sudut
tepinya peristiwa antara Pajang dan Jipang.
Karena itu, ketika
diketahuinya Tohpati menjadi ragu-ragu maka Sumangkar itupun menjadi cemas.
Sehingga ketika Tohpati tidak segera menjawab, berkatalah Sumangkar sambil
tertawa lirih, “Sebuah dongeng yang bagus Kakang Tambak Wedi.”
Tambak Wedi terkajut mendengar
tanggapan Sumangkar itu. Karena itu, maka segera wajahnya menjadi tegang.
Suaranyapun menjadi tegang pula. Katanya, “Adi Sumangkar. Apakah Adi tidak
percaya pada muridku, murid Ki Tambak Wedi.”
“Kakang, bagaimana aku akan
percaya. Ingatkah Kakang apa yang telah Kakang lakukan pada saat-saat Ki Patih
Mantahun terjepit antara dua pasukan Pajang yang kuat, yang dipimpin langsung
oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, segera sepeninggal Arya Penangsang.
Alangkah ngerinya. Patih itu berjuang mati-matian tanpa mengenal takut meskipun
usianya telah lanjut. Nah, apa kerjamu waktu itu Ki Tambak Wedi? Seandainya kau
tidak meninggalkannya waktu itu, setidak-tidaknya Patih Mantahun akan dapat
meloloskan dirinya.”
Wajah Tambak Wedi menjadi
merah semerah bara. Untunglah malam yang remang-remang telah melindunginya,
sehingga perubahan wajah itu tidak segera diketahui oleh Tohpati. Namun
demikian terasa dadanya bergetar dan suaranyapun gemetar pula. “Adi. Adi
terlalu berparasangka. Aku sudah menasehatkan untuk meninggalkan pertempuran
kepada Kakang Mantahun waktu itu. Tetapi ia menolak.”
Mendengar jawaban Tambak Wedi
Sumangkar tertawa. Dengan menengadahkan wajahnya ia berkata, “Kata-katamu aneh
Kakang. Pada saat perang antara Jipang dan Pajang pecah, setelah Arya
Penangsang gagal membunuh Karebet karena ia memiliki Aji Lembu Sekilan, maka
kau hampir-hampir tak pernah tampak lagi di Kepatihan Jipang. Apalagi setelah
laskar Jipang terdesak dan Arya Penangsang terbunuh. Sehingga tidak mungkin kau
berada di sekitar Kakang Mantahun pada saat menjelang ajalnya. Ketahuilah,
bahwa Kakang Mantahun meninggal dalam pangkuanku, setelah menyingkir dari
peperangan. Namun laskar Pajang berhasil merebut jenazahnya.”
Tubuh Tambak Wedi menjadi
gemetar menahan marah. Meskipun demikian ditenangkannya hatinya sejauh mungkin.
Ia masih mengharap Macan Kepatihan menerima muridnya. Karena itu, maka katanya,
“Angger Macan Kepatihan, terserahlah dalam penilaian Angger. Tetapi kalau
Angger mau bekerja bersama Sidanti, maka aku janjikan bahwa tenagaku akan aku
serahkan pula. Angger pasti percaya, bahwa Untara, Widura, Agung Sedayu dan
siapa lagi, biarlah mereka maju bersama-sama, maka mereka akan terbunuh olehku,
asal laskar Jipang membebaskan aku dari laskar Pajang yang pasti akan membantu
pemimpin-pemimpinnya.”
Dentang jantung Tohpati
seakan-akan menjadi semakin cepat. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya
memandang Sumangkar, namun Sumangkar tidak sedang memandangnya. Bahkan
Sumangkar itu agaknya benar-benar menyerahkan persoalan itu kepadanya. Namun
percakapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah memberinya banyak bahan.
Dikenangnya apa yang pernah
dilakukan oleh Ki Tambak Wedi itu atas gurunya, Patih Mantahun. Dikenangnya
pula saat Sidanti datang menyongsongnya, benar-benar bukan sedang bermain-main.
Dikenangnya bentuk mayat Plasa Ireng yang sobek di punggungnya arang kranjang.
Ya, dikenangnya semuanya.
Sehingga kemudian Tohpati itu
menjawab, “Paman Tambak Wedi, aku tidak dapat percaya, bahwa Sidanti akan melakukan
kerjasama yang jujur. Pada saat Adipati Jipang sedang berusaha merebut
kekuasaan dengan kekuatan yang agaknya cukup, Paman berada di pihak kami.
Tetapi demikian Jipang terdesak oleh kekuatan Pajang yang tak terduga-duga,
murid Paman itu berada di pihak Pajang. Apakah sekarang ada persoalan baru yang
telah menyebabkan Sidanti berbalik pendirian lagi?”
“Sudah aku katakan sebabnya
Ngger, bukan benar-benar berpihak pada Untara.”
Tohpati menggeram, kemudian
katanya sambil menggeleng, “Aku semakin yakin, bahwa kejujurannya tidak dapat
dipercaya. Mungkin ia berselisih dengan Untara atau dengan Widura. Jangan
disangka bahwa aku akan terjebak.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram keras. Tubuhnya menjadi semakin gemetar oleh kemarahannya yang
semakin memuncak. Namun lebih dari Ki Tambak Wedi yang sudah tua itu, Sidanti
tidak dapat melawan kemarahannya. Karena itu dengan lantang ia mendahului
gurunya, “Guru. Kenapa kita harus mengemis belas kasihannya?”
Mendengar kata-kata Sidanti
itu, maka telinga Macan Kepatihan serasa tersentuh api. Sekali ia
menggeretakkan giginya, kemudian setapak ia melangkah maju sambil menunjuk
wajah Sidanti, “Kau ternyata lebih jantan dari gurumu. Nah, sekarang
bersikaplah jantan untuk seterusnya.”
“Baik” sahut Sidanti dengan
beraninya. Diangkatnya dadanya sambil berkata, “Aku juga memiliki harga diri,
Tohpati yang perkasa. Jangan disangka, bahwa hidup matiku ada di tanganmu.”
Ki Tambak Wedipun kemudian
telah benar-benar kehilangan setiap kesempatan untuk menggabungkan Sidanti pada
kekuatan Tohpati untuk membalas dendam kepada Untara beserta laskarnya.
Alangkah kecewanya ketika semua rencananya dapat ditebak oleh Sumangkar, dan
karena itu, maka di dalam hatinya, Ki Tambak Wedi itu mengumpat tiada habisnya.
Diumpatinya Sumangkar, dan bahkan Ki Tambak Wedi itu berjanji, bahwa Sumangkar
itu harus dilenyapkannya.
Kini muridnya telah kehilangan
kesabaran dan merasa tersinggung harga dirinya. Maka keadaan akan dapat
berkembang ke arah yang tidak dikehendakinya. Namun ia tidak perlu mengkhawatirkan
Sidanti. Selama ini anak muda itu telah ditempanya terus menerus. Mudah-mudahan
telah dicapainya suatu tingkatan yang dapat menyamai Macan Kepatihan itu.
Bukankah pada saat mereka bertempur di Sangkal Putung, kekuatan mereka tidak
terpaut terlalu banyak. Ki Tambak Wedi itupun bahkan dengan bernafsu mendorong
muridnya untuk masuk ke dalam pertengkaran yang lebih dalam, sehingga ia akan
mendapat kesempatan untuk membinasakan Sumangkar yang telah merusak segenap
rencananya.
Macan Kepatihan itupun menjadi
marah bukan buatan. Tangannyapun kemudian menjadi gemetar dan dengan
serta-merta ia berkata, “Siapkan senjatamu. Tohpati akan mengayunkan tongkatnya
pada gerakan yang pertama.”
Sidanti tidak menjawab.
selangkah ia meloncat kesamping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya, dan
tiba-tiba kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek.
Dalam pada itu Ki Tambak Wedi
berkata, “Angger Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku
tidak dapat menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak akan
bersedia menelan hinaan.”
“Persetan” sahut Tohpati.
“Dengan membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung.”
Sidanti sama sekali tidak
berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan di muka dadanya.
Namun Tohpati masih juga
menggeram, “Manakah senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih tetap diam.
Hanya di dalam hatinya ia berkata, “Peduli apa kau dengan senjata yang
tertinggal di Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku cukup kuat dengan senjata
yang sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu.”
Kediaman Sidanti benar-benar
telah membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya. Karena itu segera
ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja putihnya.
Tetapi Sidanti telah
benar-benar bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati terayun ke kepalanya, Sidanti
sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Sidanti itu telah pernah bertempur
dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati telah diketahuinya.
Sidanti yakin bahwa selama ini
Tohpati pasti tidak akan sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah
dimilikinya. Karena itu sengaja ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya serangan
itu dengan kedua pedang pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti ingin menunjukkan,
bahwa kini kekuatannya tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu, setelah
dengan tekun ia melatih diri sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang
tidak terlalu parah segera dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada
itu Sidanti yang menyimpan dendam di hatinya, segera berusaha untuk menambah
ilmunya. Dendam kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus
ditumpahkan.
Kini tiba-tiba Sidanti
menemukan lawan yang tidak disangka-sangka. Namun lawan inipun sedahsyat orang
yang didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia harus berjuang sekuat-kuat
tenaganya.
Ketika tongkat baja putih
Tohpati membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing
senjata-senjata itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung rimba.
Demikian dahsyatnya sehingga bunga-bunga api memercik ke udara.
Tohpati terkejut mengalami
benturan senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap di tempatnya, dan
kedua senjatanya masih di tangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda murid
Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Alangkah marahnya Macan
Kepatihan. Terasa bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak muda itu kini
dapat mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat putihnya.
Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa lawannya kini
bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau.
Meskipun demikian, sebenarnya
tangan Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan, merasakan arus
kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan menggeretakkan
giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu, meskipun tangannya terasa
nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa, bahwa kekuatan Macan Kepatihan
masih belum dapat dikembarinya, namun ia masih dapat membanggakan kelincahannya
dan ketajaman ujung pedangnya. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat
merobek kulit Macan Kepatihan itu. Namun apabila ia tersentuh kepala tongkat
Tohpati yang kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu, maka
tulang-tulangnyapun akan dipecahkan.
Demikianlah maka mereka segera
terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah
meloncat-loncat di sekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang sedang
menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor harimau yang
garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya melawan sambaran-sambaran
pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan tongkat putihnya, dan
sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh lawannya. Namun Sidanti
benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat disentuhnya.
Perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itupun menjadi semakin
garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua senjatanya
dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru. Dengan
kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh tubuh Tohpati
meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang runcing itu telah
berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil meneteskan darah. Tetapi
darah yang menetes dari luka itu bahkan telah membakar kemarahan Tohpati.
Wajahnya yang membara seakan-akan menyala dalam kegelapan. Sehingga
tandangnyapun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi untuk sesaat
berdiri mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih juga ragu-ragu,
apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian Ia tersenyum. Ia telah
menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum dapat menyamai Tohpati
sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati berbuat kesalahan-kesalahan
kecil yang dapat membantu Sidanti Seandainya tidak sekalipun, maka ia tidak
perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan dikalahkan oleh lawannya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian
mengangguk-angguk sambil bergumam, “Itulah murid Ki Tambak Wedi. He, Adi
Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang memperhatikan
perkelahian itu berpaling. Jawabnya, “Ya, Kakang dapat berbangga karenanya.
Umurnya masih cukup muda, sehingga perkembangannya di hari depan akan menjadi
semakin menggemparkan lereng Merapi.”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata, “Siapakah yang akan
menang di antara mereka?”
“Aku tidak tahu” jawab
Sumangkar pula. “Mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
muridmu masih harus belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia
dapat mensejajarkan diri dengan Angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi
meskipun demikian, bukan berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk
memenangkan perkelahian ini.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Perkelahian diantara keduanya masih berjalan dengan serunya. Bahkan
semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar. Tetapi semakin seru
perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati adalah seorang yang
pilih tanding.
“Kau lihat perkembangan
perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya kembali sambil menjawab, “Apakah kau sedang bergembira karena kau
melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
tertawa. Tertawa berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Di antara suara
tertawanya terdengar ia berkata, “Meskipun tampak kekurangan pada muridku,
namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk menanti aku membunuhmu, Adi.”
Mendengar suara tertawa dan
kata-kata Ki Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki Tambak Wedi masih
tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu. Namun Sumangkar sama
sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar kata-kataku
Adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak. “Bahwa aku akan membunuhmu?”
Sumangkar mengangguk perlahan,
“Ya, aku mendengar” sahutnya.
Namun ancaman Ki Tambak Wedi
itu telah mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur dengan Sidanti,
sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia menggeram, “Ki
Tambak Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti. Paman
Sumangkar tidak akan ikut campur dalam hal ini.”
“Benar Ngger, pamanmu
Sumangkar tidak ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti menghalangi
aku seandainya aku ingin membunuh Angger pula bersama-sama dengan muridku.
Karena itu maafkan aku Ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu untuk
membunuh Angger Macan Kepatihan yang perkasa akan menjadi semudah seperti
membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa di dada, atau lebih
baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh Macan Kepatihan. Kepala
Angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan oleh
Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah pangkat Senapati dari Wira
Tamtama Pajang. Kalau mereka yang membunuh Adipati Jipang mendapat Mentaok dan
Pati, maka kami akan memilih daerah di sebelah barat Mentaok, atau daerah
Wanakerta di sebelah Pajang. Dari daerah-daerah itu kami akan dapat
menguasainya, atau apabila kami mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus
jantung Pajang.”
“Diam” teriak Tohpati keras
sekali. Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi. Namun suara
itu ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi. “Bukankah itu suatu rencana yang
bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada Angger Tohpati. Siapakah yang
akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati Jipang itu didalam laskar
angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk dada melawan mereka. Karena itu
jangan menyesal.”
“Persetan dengan ocehanmu
Tambak Wedi. Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo, majulah bersama
Sidanti, Macan Kepatihan bukan seorang pengecut.”
Suara tawa Ki Tambak Wedi
semakin berkepanjangan. Katanya, “Nah, kenapa Angger menolak uluran tangan
kami? Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami dapat membagi tanah Demak ini?
Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang dan Demak beserta daerah
pesisir lainnya.”
“Kau jangan banyak bicara
pemimpi tua. Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat mengantuk dan
mimpi seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk melawanmu. Apalagi
Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini.”
“Jangan sombong Ngger, jangan
membual. Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa kau menjadi berputus
asa menjelang saat kematianmu yang nista.”
Mendengar hinaan itu Macan
Kepatihan menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka tandangnya menjadi
terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu sebaik-baiknya,
menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya.
Macan Kepatihan menggeram
keras sekali untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah akan meledakkan
dadanya. Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja mengganggunya.
Namun disela suara tertawa Ki
Tambak Wedi itu kemudian terdengar Sumangkar berkata, “Angger Tohpati, kenapa
Angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat kesempatan untuk
memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden, maka Sidanti benar-benar
sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan tongkat Angger. Namun karena Angger
terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi, maka Sidanti itu mampu bernafas kembali.”
Sekali lagi Tohpati menggeram.
Kata-kata Sumangkar telah memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan.
Namun dalam pada itu kembali suara Ki Tambak Wedi, “Suatu peringatan yang baik.
Peringatan yang terakhir dari Adi Sumangkar. Setelah ini maka Adi akan mati aku
cekik, dan Angger Tohpati akan mati pula untuk kemudian aku penggal lehernya.”
Kembali kegelisahan merambat
di hati Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang kepada Tohpati,
“Jangan hiraukan aku Ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik? Karena
itu aku selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai murid Kedung
Jati, sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka golok ini akan dapat aku
pergunakan untuk membelah dada Ki Tambak Wedi yang sombong. Bukankah Sumangkar
murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tidak kalah besarnya dari perguruan
lereng Merapi?”
“Setan” desis Ki Tambak Wedi.
Kini Ki Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya wajah Sumangkar di
dalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang setenang awan yang
berlayar lembut di kebiruan langit. “Kau merasa dirimu setingkat dengan Ki
Tambak Wedi?”
Sumangkar tidak menghiraukan
pertanyaan itu, namun kepada Tohpati ia berkata, “Cekiklah Sidanti itu Raden.
Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua itu dengan golokku.”
Ternyata kata-kata Sumangkar
itu memberi juga ketenangan pada Macan Kepatihan. Disadarinya kemudian, bahwa
Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya sendiri, sehingga karena itu Macan
Kepatihan itu tersenyum sendiri atas kegelisahan yang mencengkam dadanya.
Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru masak yang malas itu? Ia bukan
seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah seorang murid dari perguruan Kedung
Jati seperti juga gurunya sendiri. Patih Mantahun yang sakti.
Dalam pada itu terdengar Ki
Tambak Wedi berkata, “Cecurut yang malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup.
Bukankah Ki Tambak Wedi telah terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar tersenyum. Jawabnya,
“Perguruan Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa
rangkapan di dalam tubuhnya.”
Ki Tambak Wedi menggeram penuh
kemarahan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan telah menemukan
keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya, “Kau juga pandai
membual Adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan nyawa rangkap di
dalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati terbunuh meskipun harus
bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi atau Ki Juru Mertani
ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring Pasar.”
Sumangkarlah yang kini tertawa
menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab, “Kau salah Kakang. Mantahun waktu
itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia benar-benar harus melawan lima
orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Karebet, Juru Mertani dan
Sutawijaya dengan Kiai Pered di tangannya. Nah, karena itulah maka ketiga
nyawanya terpaksa dilepaskan.”
“Setan belang” umpat Ki Tambak
Wedi. “Jangan banyak bicara. Sekarang kau harus dienyahkan.”
Sumangkar memutar tubuhnya
menghadap Ki Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji matanya akan
meloncat dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam ketenangan. Ia tahu,
bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia tidak
bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus bertahan, sampai Macan Kepatihan
menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia akan dapat menghindar bersama-sama
dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap bahwa ia akan mampu melakukannya,
bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan Macan Kepatihan.
Karena itu ketika Ki Tambak
Wedi memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar, “Kakang, aku sudah siap. Kali
ini akupun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau berhasil
membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu mencekik
lehermu itu.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Sumangkar. Namun
Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan
senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus
disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena itu maka
sambil menghindar ia berkata, “Kakang, sebenarnya aku sama sekali tidak
menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus
memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila aku letakkan. Sebab
aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu golok ini untuk membelah kayu
bakar.”
Tetapi Sumangkar itu terkejut
ketika terasa goloknya menyentuh benda keras di tangan Ki Tambak Wedi. Barulah
kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu lereng Merapi itu tergenggam
sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki Tambak Wedi menyambar
golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat menyadarinya, sehingga
goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Sumangkar tidak
dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan
segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya.
Maka dalam keremangan cahaya
bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin
sengit. Ki Tambak Wedi yang menjadi amat marah itupun bertempur dengan darah
yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu adalah sumber
kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya
sangat marah. Karena itu, maka Ki Tambak Wedipun segera berusaha untuk
menyingkirkan Sumangkar supaya muridnya dapat membunuh Tohpati meskipun ia
harus membantunya.
Pikirannya yang tiba-tiba saja
timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti kematian itu ke Pajang, sangat
mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Sidanti akan mendapat kepercayaan
melampaui kepercayaan yang telah di dapat Untara, sebab apabila ia berhasil,
maka telah membawa bukti kesetiannya, sedang Untara dan Widura yang telah
berjuang berbulan-bulan di Sangkal Putung sama sekali tidak mampu menangkap
Macan Kepatihan hidup atau mati.
Tetapi Sumangkar ternyata
bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin
dahsyat, maka gerakannyapun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid kedua dari
perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua
tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Sumangkar
tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya. Meskipun golok itu golok pembelah
kayu yang tidak setajam pedang Sidanti, namun di tangan Sumangkar senjata itu
merupakan senjata yang cukup berbahaya.
Bulan di langit beredar dengan
lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir ke utara dihembus angin lembah yang
lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara
hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap
lubang-lubang di permukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah
menjadi basah, maka gerak merekapun menjadi semakin cepat dan semakin lincah.
Sidanti kini benar-benar telah
menemukan nilai-nilai baru di dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat
memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya
membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk
yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar
dengan sepasang pedang pendeknya.
Tohpati kini terpaksa
melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung
melihat gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang yang memiliki
pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil
menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung
pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini
ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Ki
Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa olehnya, bahwa keduanyapun mempunyai
ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah
perhatiannya, mencemaskan nasib Sumangkar.
Demikianlah, mereka berempat
telah memeras tenaga masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa
murid kedua perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun
senjata yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun
senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang
umurnya.
Golok yang kehitam-hitaman
ditangannya itu, berputaran, sekali mematuk, sekali menebas menyambar seperti
hendak menebang roboh tubuh Ki Tambak Wedi itu. Namun hampir di setiap
kesempatan Ki Tambak Wedi dengan beraninya memukul golok lawannya dengan
tangannya yang terlindung oleh sepasang gelang baja. Dalam benturan-benturan
yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik ke udara. Setiap kali
terjadi benturan, senjata Sumangkar, golok pembelah kayunya mengalami luka di
bagian tajamnya, sehingga kemudian mata golok yang memang bukan senjata buatan
khusus itu, menjadi semacam mata gergaji. Namun dengan demikian, maka setiap
goresan akan mampu menyobek kulit dengan bekas yang tersayat-sayat.
Ki Tambak Wedipun kemudian
terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Sumangkar. Namun
Sumangkar tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang, Tetapi
sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya, tenaga murid kedua perguruan
Kedung Jati. Goloknya kadang-kadang menyambar dalam genggaman tangan kanannya,
namun kemudian mematuk dalam kelincahan tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Ki Tambak
Wedi tak habis-habisnya mengumpat. Tetapi lawannya sama sekali tidak takut
mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Sumangkar melawannya tanpa
mengenal lelah.
Keduanya adalah orang-orang
sakti yang pilih tanding. Keduanya adalah orang-orang tua yang telah hampir
merasa dirinya harus beristirahat dan menyerahkan segala persoalan kepada
mereka yang masih muda. Namun pada saat-saat terkhir, mereka masih harus
melindungi anak-anak muda yang mereka anggap akan dapat meneruskan umur mereka.
Ki Tambak Wedi, seorang guru yang terlalu bangga akan muridnya dan terlalu jauh
jangkaunya, sedang Sumangkar melihat Tohpati adalah penerus perguruannya, lewat
kakak seperguruan. Karena itu maka seandainya anak muda itu lenyap, lenyap
pulalah ajaran-ajaran perguruan Kedung Jati yang pernah terkenal karena orang
menyangka bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati tidak dapat mati, karena
memiliki nyawa rangkap. Sedang perguruan lereng Merapi yang terkenal
seakan-akan setiap muridnya mampu menangkap angin.
Di pihak lain, Sidanti
bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Kepatihan. Kali ini ia akan
menebus kekalahannya pada saat ia berhadapan dengan Macan Kepatihan itu.
Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Tohpati. Membawa kepalanya
ke Pajang dan mengharap hadiah daripadanya, seperti hadiah yang akan diterima
oleh mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, tanah Mentaok dan Pati.
Kalau ia membunuh Macan Kepatihan, maka setidak-tidaknya ia akan menerima
hadiah separo dari mereka yang membunuh Arya Penangsang.
Dengan harapan itu, serta
pangkat yang akan melampaui pangkat Untara, maka Sidanti berjuang sekuat-kuat
tenaganya.
Namun ternyata Macan Kepatihan
tidak menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Tohpati seakan-akan
menjadi semakin segar. Tongkatnya menjadi semakin cepat bergerak
menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur diudara.
Mula-mula Sidanti berbangga
dengan kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya
mampu meneteskan darah dari tubuh Tohpati. Namun kemudian terasa, bahwa
kulitnya pasti menjadi merah biru pula. Setiap sentuhan ujung tongkat Macan
Kepatihan yang berbentuk tengkorak itu, seakan-akan benar-benar memecahkan
tulangnya. Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan
langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan tongkat lawannya,
namun terasa tongkat itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin
sering. Sehingga dengan demikian, maka Sidanti kemudian tidak lagi dapat
membanggakan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin
lincah disaat-saat terakhir, namun lawannyapun ternyata cukup tangguh untuk
mengimbanginya.
Karena itulah maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah ke
garis cakrawala di ujung barat, maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok
kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu,
dan mereka masing-masing berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum
pasangannya dapat dikalahkan.
Tetapi kemudian, perkelahian
itu menjadi terganggu karenanya. Di kejauhan mereka melihat tiga bayangan yang
bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang datang
mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Ki Tambak Wedi maupun
Sumangkar bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang
yang mendatangi itu. Tohpati dan Sidantipun kemudian melihat mereka pula.
Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat
menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian antara hidup
dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak, maka
keseimbangan perkelahian itu akan terganggu.
Sesaat Tohpati menggeram keras
sekali. Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga cadangan
yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan tenaganya dan
berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat selesai. Tetapi kalau
tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu kelelahan dan mungkin ia
akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ketiga bayangan yang
menjadi semakin dekat itu benar-benar mengganggunya.
Akibatnya terasa pula oleh
Sidanti. Serangan Macan Kepatihan menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin
prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan menggugurkan
daun-daunnya. Sekali Sidanti terpaksa meloncat surut, namun Tohpati mengejarnya
terus.
Serangan Tohpati itu serasa
benar-benar menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan
demikian maka Sidantipun terseret ke dalam pencurahan segenap tenaga, segenap
kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah
baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Tohpati yang
seperti lesus itu.
Pada saat-saat terakhir, Ki
Tambak Wedi sebenarnya telah menemukan segi-segi lawannya. Betapapun saktinya
Sumangkar, namun pada orang tua itu masih terdapat beberapa kelemahan. Apalagi
ketika pada saat-saat terakhir ia lebih senang tinggal di dapur saja, maka
nafsunya untuk bertempur tidak sehangat Ki Tambak Wedi lagi. Meskipun Sumangkar
mampu mengimbangi hampir setiap usaha Ki Tambak Wedi untuk menembus
pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Ki Tambak Wedi masih selapis
berada di atas Sumangkar.
Tetapi pada saat yang
demikian, pada saat Ki Tambak Wedi memperkuat tekanannya untuk segera
mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Tohpati, maka pada
saat yang demikian itu pula, Sidanti terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Ki Tambak Wedi
itu. “Macan Kepatihan benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang
garang.”
Dengan menggeram keras sekali
ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Sumangkar, ketika dengan tangan
kirinya ia memukul golok Sumangkar ke samping, dan dengan tangannya yang lain,
Ki Tambak Wedi berusaha memecahkan kepala lawannya itu. Namun usahanya masih
belum berhasil, Sumangkar masih mampu menggenggam golok itu di tangannya, dan
masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan Ki
Tambak Wedi yang berlapis baja itu terbang beberapa jari dari kepalanya. Sesaat
kemudian ketika Ki Tambak Wedi berusaha menerkamnya, maka Sumangkar sudah mampu
mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan goloknya di muka dadanya. Bahkan
kemudian ketika Ki Tambak Wedi mengurungkan serangannya, Sumangkarlah yang
meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek.
Namun kembali Ki Tambak Wedi
mengumpat di dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam
kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun
karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun di dalam
perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk menyelamatkan
muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya.
Dengan lantang kemudian ia
berkata, “Ayo, meskipun Macan Kepatihan bukan muridmu Sumangkar, namun ia
adalah murid saudara seperguruanmu, sehingga ilmumu berdua bersumber dari
perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri,
marilah, aku beri kesempatan kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan
senang juga melayanimu dengan cara itu.”
“Kau licik” sahut Sumangkar.
“Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik
ajalnya.”
“Persetan, aku sobek mulutmu
itu.”
“Silakanlah Kakang” jawab
Sumangkar.
Ki Tambak Wedi menggeretakkan
giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Sumangkar dan
berlari ke arah Sidanti yang semakin terdesak. Dengan demikian maka Sumangkar
tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Ki Tambak Wedi itu.
Sesaat kemudian maka mereka
terlibat dalam pertempuran berpasangan. Mula-mula Sumangkar dan Tohpati agak
canggung juga menyesuaikan diri masing-masing, namun karena mereka bersumber
pada ilmu yang sama, maka segera mereka menemukan titik-titik yang dapat membuka
kemungkinan-kemungkinan seterusnya.
Dalam pada itu, ketika mereka
telah luluh dalam satu lingkaran perkelahian, maka bayangan yang datang
mendekati mereka menjadi semakin dekat. Mereka berjalan perlahan-lahan dengan
penuh kebimbangan. Setapak mereka maju, dan sesaat mereka berhenti. Sejenak
mereka maju lagi, namun dua tiga langkah mereka kembali tegak mengawasi
perkelahian yang semakin seru.
“Mereka bertempur berpasangan”
berkata salah seorang dari mereka.
“Ya. Salah satu pihak sedang
mencari keseimbangan” jawab yang lain.
“Siapakah mereka?”
Tak seorangpun yang dapat
menjawab. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita mendekat.”
Mereka berjalan maju lagi.
Langkah mereka terayun satu-satu di antara rumput-rumput liar. Ragu-ragu dan
penuh kewaspadaan, Namun kemudian mereka berhenti pada jarak yang tidak terlalu
dekat.
“Dahsyat” terdengar salah
seorang bergumam.
“Ya” sahut yang lain.
Dan yang lain lagi berkata,
“Aku sangka, mereka adalah guru dan murid saling berpasangan. Dua perguruan
bertemu di padang rumput ini.”
Namun sesaat kemudian mereka
bertiga mengerutkan kening mereka. Hampir bersamaan mereka dapat melihat
semakin jelas ketika mereka sudah menjadi lebih dekat lagi.
Perlahan-lahan di sela deru
angin malam terdengar salah seorang berdesis, “Macan Kepatihan.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Tongkat baja putihnya, yang berkilat-kilat di keremangan cahaya
bulan yang hampir tenggelam telah menunjukkan kepada mereka, siapakah salah
seorang dari mereka yang sedang bertempur itu.
Namun kemudian timbullah
kebimbangan di hati mereka bertiga. Salah seorang berkata, “Macan Kepatihan
bertempur berpasangan. Siapakah yang seorang itu? Bukankah guru Macan Kepatihan
itu Patih Mantahun? Dan Patih Mantahun itu telah mati terbunuh?”
Salah seorang bergumam lirih,
“Perguruan Kedung Jati terkenal, bahwa murid-muridnya mampu menyimpan nyawa
rangkap di dalam tubuhnya.”
“Aku juga mendengar itu” sahut
yang lain.
Tetapi yang seorang lagi
tertawa perlahan-lahan. Gumamnya, “Sebuah dongeng untuk menidurkan anak-anak di
senja hari.”
Kedua orang yang lain saling
berpandangan sesaat, seolah-olah mereka tidak mengerti, kenapa yang seorang itu
sama sekali tidak menaruh perhatian atas berita tentang nyawa yang rangkap itu.
“Apakah kalian percaya bahwa
ada seorang yang mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam dirinya? Aji Pancasona
barangkali? Nah, kalau kalian percaya, atau setidak-tidaknya bimbang akan hal
itu, mulailah sejak ini menganggap bahwa itu hanya sebuah dongengan
semata-mata. Dan hal itupun terbukti pula, bahwa Patih Mantahun tidak lagi
bangkit dari kuburnya.”
Kedua orang yang lain kini
berdiam diri. Namun mata mereka tajam menatap pasangan-pasangan yang sedang
bertempur dengan serunya. Dalam keremangan cahaya bulan, maka mereka
seolah-olah hanya melihat bayangan-bayangan hitam yang berputaran dan
berbenturan, di sela-sela cahaya keputih-putihan yang memantul dari tongkat
putih Macan Kepatihan dan sekali-sekali gemerlapnya pedang Sidanti. Golok
Sumangkar yang kehitam-hitaman bahkan di sana sini tampak berkarat, sama sekali
tidak mampu memantulkan cahaya bulan yang semakin rendah.
“Apakah kalian ingin melihat
lebih jelas?” terdengar salah seorang bertanya.
“Marilah Kiai” jawab yang
lain.
Orang yang mengajak itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kainnya yang bercorak gringsing menutupi
sebagian tubuhnya sedang kedua orang yang lain, berjalan di belakangnya dengan
penuh kewaspadaan. Mereka adalah dua orang anak muda yang sebaya. Yang seorang
bertubuh sedang dan yang lain pendek gemuk hampir bulat. Di lambung mereka
masing-masing tergantung sehelai pedang. Namun di lambung orang yang berjalan
di paling depan, dan juga kedua anak-anak muda itu, melingkar sebuah cambuk
yang bertangkai pendek dan berujung janget.
Ternyata orang yang pertama,
yang berkain gringsing itu, telah menuntun mereka untuk mempergunakan senjata,
ciri perguruannya, di samping senjata yang disukainya. Cambuk yang bertangkai
tidak lebih dari sejengkal dan ujungnya berjuntai agak panjang, terbuat dari
tambang kulit yang sangat kuat beranyam rangkap tiga ganda. Lemas namun kuatnya
bukan main.
Tiba-tiba orang yang berkain
gringsing itu berkata, “Kemarilah Ngger.”
Kedua anak muda yang berjalan
dibelakangnya segera berdiri di sampingnya sebelah menyebelah.
“Apakah kalian kenal yang seorang
lagi?”
Keduanya mengerutkan kening
mereka dan mempertajam pandangan mata mereka. Tiba-tiba mereka berdesis,
“Sidanti”
“Ya, Sidanti” berkata orang
yang berkain gringsing. “Yang seorang pasti Ki Tambak Wedi.”
Dua orang anak muda, Agung
Sedayu dan Swandaru, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perlahan-lahan mereka
berdesis, “Kiai, lalu siapakah yang seorang lagi, pasangan Macan Kepatihan
itu?”
Kiai Gringsing, yang oleh
murid-muridnya lebih dikenal dengan nama Ki Tanu Metir menjawab, “Aku belum
tahu, siapakah orang itu. Aku masih belum dapat mengenalnya. Seandainya ia
adalah seorang yang telah pernah terkenal di daerah ini, atau daerah Pajang,
mungkin aku dapat menyebut namanya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menjadi semakin berani. Apabila
salah satu pihak dari mereka adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sedang dipihak
lain dalam keadaan yang seimbang melayaninya, maka bersama guru mereka, mereka
tidak akan menjadi cemas lagi siapapun yang sedang bertempur itu. Karena itu
maka Agung Sedayu kemudian berkata, “Marilah kita dekati Kiai. Aku ingin
melihat dengan pasti siapakah yang tengah bertempur itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, “Marilah. Tetapi
berhati-hatilah. Siapa tahu bahwa mereka akan memilih lawan. Dan pilihan itu
jatuh kepada kita.”
Swandaru tersenyum. Selangkah
ia maju. Tetapi ia segera berhenti ketika ia melihat perkelahian itu cepat
bergeser dari tempatnya.
“Kenapa?” desisnya. “Apakah
ada perubahan dari keseimbangan mereka?”
Tetapi ternyata perkelahian
itu segera berjalan kembali dengan sengitnya.
Mereka hanya bergerak sekedar
menemukan bentuk yang baru dari daerah perkelahian serta letak pasangan dari
antara mereka.
Namun waktu yang sesaat itu
telah menggoncangkan hati Kiai Gringsing. Pada saat yang demikian itu, ia
mengenal, siapakah seorang lagi, yang selama ini menjadi teka-teki di antara
murid-muridnya. Namun untuk meyakinkannya, ia dengan serta-merta melangkah maju
lagi beberapa langkah, sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat, bahkan
terlalu dekat.
Yang sedang bertempur itupun
kemudian terkejut melihat kehadiran mereka yang terlalu dekat itu. Apalagi
dengan demikian segera mereka mengenal siapakah orang-orang yang datang
mendekat. Yang pertama-tama berteriak diantara mereka adalah justru Ki Tambak
Wedi. “He, orang yang menamakan diri Kiai Gringsing, apakah kerjamu di sini?”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Matanya sedang menekuni gerak seorang lagi di antara mereka yang selama ini tak
pernah disangkanya akan bertemu kembali. Tiba-tiba terdengar ia bergumam,
“Sumangkar, murid kedua dari perguruan Kedung Jati.”
“He, siapakah kau?” sahut
Sumangkar yang mendengar namanya disebut-sebut.
“Bertanyalah kepada Ki Tambak
Wedi” sahut Kiai Gringsing.
“Aku mendengar ia menyebutmu
Kiai Gringsing. Siapakah sebenarnya kau ini?”
“Itulah aku sebenarnya.”
Sumangkar masih mau berkata
lagi. Tetapi tiba-tiba terdengar Tohpati berteriak, “He, bukankah kalian
orang-orang yang aku temukan di tengah kali itu? Yang gemuk itu, yang satunya
dan apakah kau orang tua itu pula?”
“Ya, akulah itu” jawab Kiai
Gringsing.
Ternyata dada Tohpati berdesir
mendengar pengakuan itu, meskipun hal itu telah diketahuinya atau
setidak-tidaknya telah digambarkannya. Sehingga karena itu ia berkata, “Aku
sudah menyangka. Kalau aku tahu bahwa kalian orang-orang aneh dari Sangkal
Putung, maka pada saat itu kalian pasti telah aku bunuh.”
“Apa salah kami?” teriak Kiai
Gringsing. “Dan karena itu pula agaknya waktu itu kami tidak mengaku orang-orang
aneh.”
“Gila!” teriak Tohpati.
“Jangan mengigau, nanti akan datang giliran kalian untuk aku bunuh setelah
musuh-musuhku ini mati.”
Yang terdengar adalah suara
tertawa Ki Tambak Wedi. Sementara itu mereka basih bertempur dengan serunya.
Dan di antara derai tertawa itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Jangan
sombong Macan Kepatihan yang gagah perkasa. Mungkin kalian berdua mampu
membunuh kami, tetapi orang-orang itu?”
Macan Kepatihan benar-benar
terkejut mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi yang biasanya terlalu menyombongkan
diri. Tetapi ia tidak segera bertanya lagi. Tekanan Ki Tambak Wedi bahkan
menjadi semakin mendesak.
Dalam kesibukan perkelahian
itu yang terdengar kemudian adalah geram Sidanti penuh kemarahan. “Agung
Sedayu, musuh bebuyutan, apakah kau sudah jemu hidup sehingga kau berani
mendatangi tempat ini, dimana aku dan guruku sedang berpesta? Kedatanganmu akan
merupakan hadiah terbesar bagiku sesudah kepala Tohpati malam ini.”
Ketika Agung Sedayu hampir
membuka mulutnya untuk menjawab maka terasa lengannya digamit oleh gurunya.
Dengan serta-merta ia mengurungkan niatnya sambil berpaling kepada gurunya,
untuk mendapat penjelasan. Namun Kiai Gringsing itu hanya mengangkat dagunya ke
arah perkelahian itu. Dalam kebimbangan Agung Sedayu menuruti arah itu. Barulah
kemudian ia tahu maksud gurunya, bahwa kata-kata Sidanti itu pasti akan
menyinggung perasaan Tohpati pula. Dan Kiai Gringsing mengharap biarlah Macan
Kepatihan itulah yang menjawab.
Sebenarnyalah kemudian Macan
Kepatihan menggeram, “Gila kau Sidanti, kau sangka bahwa Macan Kepatihan sama
murahnya dengan kepalamu?”
“Jangan marah Ngger” sahut Ki
Tambak Wedi. “Sidanti hanya berkata sebenarnya.”
Betapa marahnya Macan
Kepatihan mendengar penghinaan itu. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata
tenang, “He orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, kau lihat, bahwa di
tempat ini terjadi dua macam perkelahian? Yang pertama perkelahian jasmaniah.
Kami masing-masing telah bertempur dengan sekuat-kuat tenaga kami, namun belum
ada di antara kami yang dapat dikalahkan oleh pihak yang lain. Sedang
perkelahian yang kedua adalah perkelahian mulut. Kami masing-masing mencoba
saling menyombongkan diri kami. Kami masing-masing berkata bahwa kami akan
membunuh lawan-lawan kami. Kalau itu mampu kami lakukan, maka sudah pasti kami
lakukan. Tetapi ternyata seperti yang kau lihat. Kami masih bertempur
mati-matian sehingga kami harus tertawa mendengar suara kami sendiri. Karena
itu Kiai, kalau Kiai masih ingin menonton, menontonlah dengan tenang. Waktu masih
panjang. Kalau ada diantara kami yang akan memusuhi Kiai, maka itu masih harus
melalui waktu yang cukup banyak untuk mengalahkan lawan-lawan kami.”
Ki Tambak Wedi dan Sidanti
menggeram mendengar kata-kata itu, bahkan Tohpati sendiri menggertakkan giginya.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi berteriak-teriak dan saling mengancam.
Mereka kini memusatkan tenaga mereka dalam pertempuran yang terjadi. Namun
meskipun demikian hati mereka telah digelisahkan oleh kehadiran Kiai Gringsing
dengan murid-muridnya. Mereka mempunyai persoalan sendiri-sendiri terhadap
mereka. Tohpati menyadari bahwa di antara orang-orang itu terdapat orang-orang
Sangkal Putung. Namun justru karena itu ia mulai menimbang-nimbang. Kalau tidak
ada persoalan di antara mereka dengan Sidanti, maka mereka pasti akan membantu
Sidanti. Karena itu maka kehadiran mereka benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Dalam pada itu, Ki Tambak
Wedipun menjadi gelisah. Disadarinya bahwa orang yang menyebut dirinya Kiai
Gringsing itu tidak dapat dikalahkan. Ternyata Kiai Gringsing telah mengambil
lawan Sidanti menjadi muridnya. Dengan demikian maka apabila terpaksa mereka
harus berhadapan saat itu, maka tidak akan dapat memberinya kesempatan apa-apa.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Kiai Gringsing. Kiai Gringsing senang mendengar kejujuran sikap
Sumangkar, sehingga menyahut, “Kau benar-benar murid kedua perguruan Kedung
Jati yang perkasa. Aku terpaksa tertawa mendengar pengakuanmu. Dan aku akan
mencoba memenuhinya. Duduk di sini sambil melihat kalian berkelahi.”
“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi,
namun suaranya segera tenggelam dalam kata-kata Sumangkar, “Silakan Kiai,
silakan. Kiai akan dapat menilai, sampai sejauh mana kemungkinan yang ada di
kedua belah pihak. Dan kira-kira Kiai akan lebih senang melawan pihak yang
mana? Bukankah dengan demikian Kiai dapat berbuat sesuatu?”
Kembali Kiai Gringsing
tertawa. Jawabnya, “Tidak, aku tidak berpihak. Aku tidak akan berpihak pada
yang lemah untuk nanti mendapatkan lawan yang lemah itu.”
Sumangkar tertawa pendek.
Sekali ia harus meloncat ke samping untuk menghindari sambaran tangan Ki Tambak
Wedi. Namun ia harus segera menggeliat pula, ketika dilihatnya pedang Sidanti
menjulur mematuk lambungnya. Namun ketika Ki Tambak Wedi akan menyerangnya
kembali, segera Sumangkar meloncat dan memutar golok di tangannya. Ia tidak
perlu memperhatikan Sidanti lagi, karena dengan serta-merta, tongkat Macan
Kepatihan menyambar lengan anak muda itu, sehingga ia terpaksa meloncat surut.
Namun dalam pada itu,
timbullah banyak pertimbangan di kepala Tohpati. Seandainya perkelahian itu
dibiarkannya berjalan dalam keseimbangan, maka semalam suntuk mereka pasti
tidak akan menemukan penyelesaian. Bahkan mungkin pada saat-saat mereka hampir
mati kekelahan, pada saat itulah Kiai Gringsing baru tampil ke gelanggang.
Karena itu, maka segera timbul
banyak pertimbangan di kepala Macan Kepatihan. Ia sendiri tidak yakin, apakah
yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing. Apakah ia akan berpihak ataukah ia
akan melawan segala pihak. Namun keadaannya pasti akan menjadi paling baik.
Seperti tantangan Sumangkar, Kiai Gringsing dapat berpihak yang dianggapnya
paling lemah untuk membinasakan yang kuat, supaya apabila kemudian terpaksa
bagi Kiai Gringsing untuk bertempur, maka musuhnya adalah pihak yang lemah.
Namun agaknya permusuhan telah
terjadi antara Kiai Gringsing dan Ki Tambak Wedi seperti halnya murid-muridnya
di kedua belah pihak. Apakah permusuhan itulah yang menyebabkan Sidanti
meninggalkan Sangkal Putung? Sekali-sekali terlintas juga di dalam benaknya
untuk melawan saja Kiai Gringsing bersama muridnya itu bersama-sama dengan
Sidanti dan gurunya dalam satu gabungan kekuatan, maka pasti Kiai Gringsing
dapat dikalahkan. Namun kemudian Tohpati itu menjadi ragu-ragu pula. Meskipun
hatinya cenderung berbuat demikian. Sebab apabila yang tinggal adalah mereka
berempat, maka kekuatan mereka pasti akan tetap seimbang.
Dalam keragu-raguan itu
tiba-tiba Tohpati mendengar tawaran Ki Tambak Wedi yang agaknya mempunyai
pikiran yang sama, sehingga tawaran itu benar-benar mengejutkan Macan
Kepatihan. “He, Angger Tohpati yang perwira. Orang baru itu adalah musuhku
bebuyutan. Sedangkan apa yang kita lakukan adalah suatu permainan yang tidak
berarti apa-apa. Karena itu, apakah tidak sebaiknya kita hentikan permainan
ini, dan kita binasakan saja lawan kita yang berbahaya itu bersama-sama.
Kemudian baiklah permainan ini kita lanjutkan kembali?”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Semula ia tidak yakin akan tawaran Ki Tambak Wedi, namun kemudian tampaklah
serangan-serangan Ki Tambak Wedi mengendor, sehingga Tohpati menjadi ragu-ragu
dan bertanya, “Apakah pertimbanganmu?”
Ki Tambak Wedi tertawa.
Jawabnya, “Sebenarnyalah kita sudah dapat mengetahui keadaan kita
masing-masing. Juga Kiai Gringsing itu pasti tahu, kenapa kita akan menyatukan
kekuatan kita. Bukankah dengan demikian kita akan dapat meneruskan permainan
ini tanpa terganggu dan tanpa menunggu kemungkinan yang paling buruk?
Membiarkan Kiai Gringsing menunggu kita masing-masing mati kelelahan?”
Sekali lagi Tohpati dilanda
oleh keragu-raguan. Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu yang mendengar
tawaran Ki Tambak Wedi itu segera meraba hulu pedang masing-masing. Tanpa
berpikir akibat yang akan terjadi maka tiba-tiba Swandaru tertawa sambil
berkata, “Kiai, kita akan mendapat latihan yang baik.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba
ia menjadi cemas. Mungkin Agung Sedayu dapat mempertahankan dirinya melawan
Sidanti atau Tohpati sekalipun dalam taraf kekuatannya kini setelah ia maju
dengan pesatnya.
Namun Swandaru masih belum
dapat disejajarkan dengan salah seorang dari mereka. Apalagi kalau kekuatan
mereka digabung, maka Sumangkar dan Ki Tambak Wedi akan menjadi lawan yang amat
berat meskipun kekuatan mereka telah menunjukkan tanda-tanda menurun karena
perjuangan yang berat di antara mereka.
Tetapi Swandaru yang sedang
berkembang itu tidak dapat menimbang berat ringan orang-orang yang dihadapinya.
Ia masih dalam tingkatan ingin mencoba segala kemampuan yang ada di dalam
dirinya. Apalagi kini di hadapannya berdiri Sidanti dan Tohpati. Ia ingin
menakar diri. Apakah kekuatannya sudah seimbang dengan Tohpati atau Sidanti?
Dalam kesibukan berpikir itu,
Kiai Gringsing mendengar Sumangkar menjawab tawaran Ki Tambak Wedi sebelum
Tohpati mengambil keputusan, “Ki Tambak Wedi, di hadapan kami berdiri Ki Tambak
Wedi dan Sidanti. Kini datang Kiai Gringsing dengan kedua muridnya, anak-anak
Sangkal Putung. Adakah itu suatu kebetulan? Apakah Ki Tambak Wedi sudah
menyediakan perangkap untuk menjebak kami berdua?”
Ingatan Tohpati benar-benar
seperti tersengat lebah mendengar kata-kata itu. Alangkah mengejutkan meskipun
seharusnya kemungkinan itu telah dipertimbangkannya. Ya, seandainya mereka
telah merencanakan itu, alangkah bodohnya. Kalau ia menerima tawaran Ki Tambak
Wedi, kemudian Ki Tambak Wedi dan Sidanti mengkhianatinya dalam perkelahian
itu, maka membunuh Tohpati akan sama mudahnya dengan memijat biji ranti.
Karena itu tiba-tiba Tohpati
menggeram dengan marahnya. Katanya, “Hem. Ternyata kalian adalah orang-orang
yang sangat licik. Kalian berpura-pura saling bertentangan antara kedua pihak
guru dan murid sekali. Tetapi ternyata kalian telah menjebak kami. Tetapi
jangan kalian sangka Tohpati akan menyerah. Tohpati hanya menyerah apabila
Tohpati telah menjadi mayat.”
Ki Tambak Wedi mengumpat di
dalam hatinya. Sumangkar benar-benar gila. Beberapa kali ia merusak usahanya.
Kini orang itu telah menempatkannya pada kesulitan pula. Karena itu ia
berteriak, “Sumangkar, kau adalah biang keladi dari kehancuran Macan Kepatihan.
Kini kau menolak tawaranku. Baiklah marilah kita teruskan perkelahian ini.
Siapa yang menang, biarlah ia menjadi korban berikutnya dari kebodohanmu. Dan
kita berempat akan mati di lapangan rumput ini. Apa katamu?”
“Lebih baik demikian Ki Tambak
Wedi” sahut Sumangkar. “Lebih baik kita mati berempat di sini daripada hanya
kami saja berdua. Setuju.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram. Rupanya kesempatan untuk bersama-sama menghancurkan Kiai Gringsing
telah benar-benar tertutup baginya, sehingga tidak ada pilihan lain daripada
meneruskan perkelahian itu mati-matian.
Tetapi sejak saat itu Tohpati
selalu dihantui oleh kemungkinan yang sangat pahit. Terjebak oleh perangkap Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing bersama-sama. Karena itu maka otaknya bekerja
dengan sibuknya, di samping tenaganya yang berjuang melawan lawan-lawannya, ia
harus menemukan jalan untuk melepaskan diri seandainya Kiai Gringsing dan kedua
anak muda Sangkal Putung itu mulai menyerangnya pula dengan cara apapun.
Karena itulah maka Tohpati
harus menemukan suatu cara untuk mengusir mereka dari padang rumput ini. Bukan
karena ia takut untuk bertempur sampai mati, tetapi ia tidak mau mati meringkuk
dalam perangkap lawannya.
Tiba-tiba dalam kesibukan
pertempuran itu Tohpati memasukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam mulutnya,
dan sesaat kemudian terdengarlah ia bersuit nyaring membelah sepi malam.
Sekali suaranya seolah-olah
meluncur memenuhi padang rumput, bahkan terpantul oleh bukit di kejauhan
melengking berkali-kali.
Ki Tambak Wedi terkejut
mendengar suara itu. Bahkan semua orang yang mendengarnya, termasuk Sumangkar.
Namun sebelum mereka menyadari keadaan mereka, terdengar kembali suitan Tohpati
untuk kedua kalinya dan sesaat kemudian untuk ketiga kalinya.
“Gila!” teriak Sidanti.
“Apakah yang kau lakukan pengecut?”
“Mari, mari Ki Tambak Wedi dan
Kiai Gringsing, majulah bersama-sama. Cobalah tangkap Tohpati dan Sumangkar
malam ini.”
“Kau panggil anak buahmu?”
bertanya Sidanti
“Itu adalah hakku.”
“Pengecut, kau tidak berani
berkelahi sebagai seorang laki-laki.”
“Aku adalah pemimpin pasukan
Jipang. Aku tdiak mau masuk ke dalam perangkap kalian. Apakah aku harus
membiarkan kalian berbuat licik, berusaha memasukkan kami berdua ke dalam
perangkap? Sedang aku, Macan Kepatihan sebagai pemimpin pasukan tidak boleh
memanggil pasukannya?”
“Gila” desis Ki Tambak Wedi.
Namun sebelum mereka sempat
berkata lagi, kembali terdengar Tohpati bersuit. Kali ini berkepanjangan.
“Apa artinya?” gumam Ki Tambak
Wedi.
Macan Kepatihan tertawa.
Katanya, “Orang-orangku harus menangkap kalian hidup-hidup.”
“Kau benar-benar licik seperti
setan” geram Ki Tambak Wedi.
Tohpati tidak menjawab, namun
tongkatnya berputar semakin cepat menyambar lawan-lawannya.
Dalam pada itu timbullah
pikiran baru di dalam benak Ki Tambak Wedi. Kalau pasukan Tohpati segera datang
dan membantu, maka keseimbangan akan segera berubah. Betapapun lemahnya orang
seorang dalam pasukan Tohpati, namun mereka pasti akan mampu menambah kekuatan
kedua orang yang tak dapat mereka kalahkan bersama dengan Sidanti. Karena itu,
maka tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeram, “Bagus Tohpati, karena kau tidak
menepati kejantananmu, maka biarlah aku melepaskan kesempatan kali ini
memenggal lehermu, memenggal leher adik gurumu. Tetapi ingatlah, aku pasti akan
datang untuk kedua kalinya.”
“Pengecut” terdengar suara
Tohpati. “Kau akan lari?”
“Bukan aku yang licik.”
“Tidak ada kesempatan.
Perintahku, mengepung tempat ini dan merapat dari jarak yang agak jauh, supaya
setiap usaha untuk lari dapat digagalkan.”
“Persetan, laskarmu akan aku
tumpas kalau berani menghalangi aku.”
Macan Kepatihan itu tertawa
berkepanjangan. Katanya, “Jangan mengigau. Umurmu tidak akan lebih dari umur
bintang pagi yang baru terbit itu.”
Ki Tambak Wedi menggeram
sekali lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada muridnya, “Musuh kita kali ini licik
seperti demit. Tak ada gunanya kita menjual kejantanan diri, menghadapi
setan-setan pengecut itu. Marilah kita tinggalkan padang rumput ini, kita
mencari kesempatan di lain kali.”
“Tunggulah sebentar” cegah
Sumangkar. “Aku belum selesai.”
“Persetan” sahut Ki Tambak
Wedi yang menyangka bahwa Sumangkar ingin memperlambatnya, sehingga laskar
Jipang cukup waktu untuk mengepung mereka.
Sesaat kemudian Ki Tambak Wedi
dan Sidanti itu berloncatan menarik diri masing-masing, kemudian segera mereka
berlari meninggalkan gelanggang sebelum mereka terjebak dalam kepungan laskar
Macan Kepatihan.
Kegelisahan itu sebenarnya
tidak saja melanda Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Kiai Gringsingpun ternyata
terpaksa berpikir menghadapi keadaan itu. Seandainya laskar Jipang yang
sarangnya mungkin tidak jauh dari tempat ini benar-benar datang, maka mereka
benar-benar berada dalam kesulitan. Sebab Kiai Gringsing seperti juga Ki Tambak
Wedi menyadari, bahwa di dalam laskar Tohpati itu ada orang-orang seperti
Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, dan orang-orang lain yang tidak jauh
tingkatnya dari mereka itu. Di samping Sumangkar dan Tohpati, maka mereka pasti
akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya.
Sekali dua kali Kiai Gringsing
menimbang-nimbang. Diamat-amatinya muridnya. Ia menjadi cemas apabila ia
menatap Swandaru yang gemuk itu. Anak itu kurang perhitungan. Ia merasa
tenaganya terlampau kuat, sehingga ia tidak pernah mempertimbangkan kekuatan
lawan-lawannya.
Karena itu maka ketika
dilihatnya Ki Tambak Wedi melarikan dirinya, tiba-tiba Kiai Gringsing
berteriak, “Angger Macan Kepatihan dan Sumangkar yang perkasa. Aku kali ini
lebih berkepentingan dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Karena itu biarlah aku
mengejar mereka. Mudah-mudahan lain kali aku dan murid-muridku dapat menjumpai
kalian berdua dalam kesempatan seperti ini.”
“Kau juga mau lari?” teriak
Macan Kepatihan.
Kiai Gringsing tertawa, tetapi
ia sudah meloncat sambil berkata kepada murid-muridnya, “Jangan lepaskan
Sidanti.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tidak sempat bertanya lebih banyak. Segera merekapun berloncatan mengikuti Ki
Tanu Metir mengejar Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Tohpati dan Sumangkar melihat
mereka berlari-larian meninggalkan lapangan rumput sambil tertawa. “Hem”
geramnya, “Aku sudah hampir kehabisan akal.”
Sumangkar tidak segera
menyahut. Ia masih memandang ke dalam malam yang semakin gelap, karena bulan
yang terbelah telah lenyap di balik pepohonan.
Baru setelah mereka lenyap
dari pandangan mata Sumangkar, maka berkatalah orang tua itu kepada
Tohpati, “Semula aku tidak tahu, apakah
maksud Angger sebenarnya.”
Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kita tidak akan dapat melawan mereka semuanya
apabila mereka benar-benar ingin menjebak kita.”
“Ya, dan Angger telah membuat
permainan yang baik sekali. Ternyata mereka semuanya pergi meninggalkan kita.
Mereka menyangka bahwa Angger benar-benar memanggil anak buah Angger.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia berkata bersungguh-sungguh. “Tetapi ada sesuatu
yang tidak wajar Paman. Aku sangka, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing
benar-benar tidak akan bekerja bersama-sama, meskipun kita harus berhati-hati
terhadap dugaan itu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku juga menyangka demikian. Bahkan aku
menyangka diantara mereka benar-benar ada persoalan yang telah membawa mereka
dalam suatu keadaan permusuhan.”
“Nah, bukankah kalau demikian
kita akan dapat mempergunakan salah satu pihak untuk keuntungan kita? Sidanti
misalnya?”
“Belum pasti Ngger. Belum
pasti kalau Sidanti dan Ki Tambak Wedi akan dapat memberi keuntungan kepada
Angger. Kalau sekali ia telah meninggalkan kesetiannya kepada kesatuannya dan
berpihak kepada lawannya, maka orang yang demikian adalah orang yang
benar-benar tidak dapat dipercaya. Mungkin ia akan memperalat kita untuk
kepentingannya, kemudian menghancurkan kita sendiri. Gurunya, Ki Tambak Wedi,
bukankah contoh yang sangat baik bagi sifat Sidanti itu?”
“Aku akan dapat
mempergunakannya dimana perlu Paman, jangan sebaliknya.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Kembali dadanya dirayapi oleh kecemasan. Mungkin Tohpati akan dapat
mempergunakan Sidanti tanpa mencelakakan dirinya. Mungkin kemudian Sidanti akan
dapat dibinasakan oleh Tohpati apabila ada tanda-tanda ia akan mengkhianatinya.
Namun dengan demikian, maka keadaan akan menjadi semakin parah. Peperangan akan
menjadi semakin berlarut-larut.
Karena itu, maka diberanikan
dirinya berkata, “Raden, apakah Raden dapat bekerja sama dengan anak muda itu?
Setiap kali Angger malahan akan kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Angger setiap kali hanya akan mengawasinya saja. Pekerjaan itu pasti akan
menjemukan sekali. Dan bukankah dengan demikian Angger akan memperluas
kesulitan rakyat Jipang dan Pajang sendiri?”
Tohpati menundukkan wajahnya.
Tiba-tiba hatinya bergetar cepat sekali. Teringatlah ia kini, akan apa yang
mengganggunya akhir-akhir ini. Kesadaran diri atas segala yang telah berlaku
dan akan dilakukan benar-benar mengganggunya siang dan malam. Perang,
kebencian, kekerasan dan permusuhan merajalela.
Sesaat kemudian terdorong
dalam suatu kesepian yang pekat. Malam menjadi sangat gelapnya. Di langit
bintang-bintang masih bercanda dengan awan yang mengalir dihanyutkan oleh angin
yang lembut.
Sementara itu Ki Tambak Wedi
dan Sidanti berlari kencang-kencang meninggalkan padang rumput itu. Mereka
benar-benar menyangka bahwa Tohpati sedang memanggil anak buahnya. Apabila
demikian, maka mereka pasti akan dibinasakan. Binasa dalam keadaan yang
benar-benar mengecewakan.
Apalagi ketika mereka
berpaling, mereka melihat tiga buah bayangan mengejarnya, maka segera mereka
mempercepat langkah mereka. Sesaat kemudian mereka telah menyelinap ke dalam
gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalamnya.
Kiai Gringsing yang berlari
sambil menunggu murid-muridnya ternyata kehilangan jejak. Karena itu, maka
segera mereka berhenti di antara gerumbul-gerumbul perdu. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kiai Gringsing bergumam, “Hilang, mereka hilang di sini.”
“Marilah kita cari Kiai” ajak
Swandaru.
Swandaru benar-benar tidak
melihat bahaya yang dapat menyergapnya apabila mereka mencari. Ki Tambak Wedi
akan dapat menerkam muridnya satu persatu. Bagi Kiai Gringsing sendiri, maka
bahaya itu tidak akan sampai membinasakannya. Namun bagaimana dengan Swandaru
dan Agung Sedayu? Ki Tambak Wedi dan Sidanti dapat berada di setiap kegelapan
di balik gerumbul-gerumbul itu. Dengan ujung-ujung pedangnya Sidanti dapat
mendahuluinya. Apalagi Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Sangat berbahaya Swandaru,
terutama bagimu dan bagi Agung Sedayu.”
“Kalau demikian, lalu apa yang
harus kita lakukan Kiai?”
Kiai Gringsing berdiam diri
untuk sejenak. Ia tahu pasti bahwa Swandaru menjadi kecewa. Jauh lebih kecewa
dari Agung Sedayu, sebab ia kehilangan kesempatan untuk mencoba ilmunya.
Sehingga Ki Tanu Metir dengan sangat hati-hati mencoba melunakkan hatinya,
“Kita kehilangan lawan Swandaru.”
“Tetapi kita tidak
mencarinya.”
“Di setiap ujung daun-daun
perdu itu mungkin sekali kau temukan ujung pedang Sidanti atau ujung-ujung jari
Ki Tambak Wedi.”
“Tetapi dengan demikian mereka
tidak berlaku jantan.”
“Mungkin demikian, namun
apakah yang dapat kita katakan dengan kejantanan itu apabila lambung kita telah
tembus oleh pedangnya. Dan bukankah sangat sulit untuk mencari dua orang saja
di antara gerumbul-gerumbul liar itu?. Mungkin mereka tidak menunggu kita dengan
ujung pedang, tetapi mereka kini telah hilang menyusur gerumbul-gerumbul itu
masuk ke dalam hutan. Nah, apakah dengan demikian kita tidak hanya akan
membuang waktu?”
“Apakah kita akan kembali ke
tempat Tohpati?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Setiap kemungkinan untuk dapat
bertemu semua pihak telah hilang. Seandainya Tohpati benar-benar memanggil anak
buahnya, maka kita akan masuk ke dalam perangkapnya. Seandainya Macan Kepatihan
hanya menakut-nakuti Ki Tambak Wedi dan muridnya, maka kini ia pasti sudah
pergi.”
“Ternyata bukan Ki Tambak Wedi
dan Sidanti saja yang menjadi ketakutan Kiai, kita juga menjadi ketakutan dan
lari terbirit-birit.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Ia tahu benar perasaan muridnya yang seorang itu. Swandaru menjadi
sangat kecewa, bahwa ia tidak berhasil mendapat tempat untuk mencoba segala
macam ilmu yang selama ini dipelajarinya.
Maka berkatalah dukun tua itu,
“Swandaru, kita harus mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi
atas perbuatan kita. Kita bukan orang-orang yang memiliki kekhususan yang
berlebih-lebihan. Bukan orang yang tak pernah melihat kelemahan diri. Apabila
demikian Ngger, maka kita telah mulai dengan langkah yang sangat berbahaya.”
“Tetapi kita bukan
pengecut-pengecut Kiai. Bukankah kita anak-anak jantan yang pantang menghindari
kesulitan?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Ya, apabila kesulitan itu
berada di jalan kita, maka kita tidak boleh menghindar. Kita harus mencoba
mengatasinya. Tetapi bukan kita mencari kesulitan apabila kesulitan itu sama
sekali tidak akan berarti apa-apa bagi kita.”
“Kiai, baik Sidanti maupun
Tohpati adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi Sangkal Putung. Kenapa
mereka kita lepaskan setelah mereka berada di ujung hidung kita? Apakah dengan
demikian kita tidak hanya malas mengatasi kesulitan yang bakal datang?”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Muridnya yang seorang ini memang keras hati. Dalam kekerasan itu maka apabila
mendapat menyaluran yang tepat, maka Swandaru akan dapat menjadi seorang
prajurit yang nggegirisi. Tetapi ternyata bahwa akalnya masih belum mampu
mempertimbangkan setiap kemungkinan dari tindakannya.
“Swandaru” jawab Ki Tanu
Metir. “Sebaiknya mulai saat ini belajarlah menilai diri sendiri secara wajar.
Jangan terlalu menghargai kekuatan sendiri berlebih-lebihan. Dengan demikian
kita akan mudah terjerumus ke dalam tindak yang kurang bijaksana. Coba
hitunglah, apa yang dapat kita lakukan bertiga dan apa yang dilakukan oleh
Tohpati berdua ditambah dengan laskarnya yang bakal datang. Kita tidak tahu
berapa orang, tiga, enam, sepuluh atau lebih. Diantaranya akan datang
Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, dan orang-orang lain yang cukup berbahaya bagi
kita. Nah, kita harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
kalau kita bertempur melawan mereka”
“Jadi kita tidak berani
menghadapi mereka itu?”
“Ada bedanya Swandaru” jawab
Ki Tanu Metir. “Ada perbedaan antara seorang pengecut dan seorang yang
memperhitungkan kekuatan diri. Seseorang dapat saja meninggalkan perkelahian
dan pertempuran dalam keadaan tertentu. Kalau kita meninggalkan Tohpati yang
memanggil laskarnya, maka kita sama sekali bukan pengecut. Tohpatilah yang
mulai. Sebab ia memanggil orang banyak untuk menghadapi kita bertiga. Dan kita
tidak mau membunuh diri kita. Seorang pemberani bukanlah seorang yang membabi
buta dan membunuh diri sendiri.”
Swandaru terdiam sesaat. Ia
dapat mengerti keterangan gurunya itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berguman, “Ya, aku mengerti Kiai.”
“Bagus, ingatlah untuk
seterusnya” sahut Kiai Gringsing.
Swandaru tidak menjawab. Ia
dapat mengerti keterangan gurunya, namun di hati kecilnya tumbuhlah perasaan
yang aneh. Seolah-olah ia sedang melarikan diri dari suatu tugas yang harus
diselesaikan.
Ketika malam yang hening
merambat makin jauh, maka bergumamlah Kiai Gringsing, “Kita kembali ke
kademangan. Ada sesuatu yang harus kita sampaikan kepada Angger Widura dan
Angger Untara. Perjalanan kita kali ini menangkap suatu peristiwa yang tidak
kita duga-duga sebelumnya. Sidanti dan Tohpati berdiri berhadapan langsung
sebagai lawan.”
“Apakah yang penting dari
peristiwa ini Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Mereka tidak bekerja bersama”
sahut Kiai Gringsing. “Mungkin hal ini baik bagi Sangkal Putung. Tetapi mungkin
buruk pula. Sidanti dapat membentuk suatu gerombolan baru yang akan mempersulit
keadaan. Ki Tambak Wedi mempunyai pengaruh yang kuat di lereng Merapi ini.”
Kedua murid Ki Tanu Metir itu
terdiam. Berbagai persoalan hilir mudik di dalam kepala mereka. Swandaru masih
merasa aneh tentang dirinya, sedang Agung Sedayu dapat berpikir lebih tenang
dan memandang lebih jauh. Sifat-sifatnya di masa anak-anaknya ternyata ikut
membantu mengekangnya menghindari bentrokan-bentrokan yang sama sekali tidak perlu.
Untunglah bahwa setelah ia berhasil memecahkan dinding yang mengungkungnya
dalam dunia ketakutan, ia tidak kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa ia
berada di dekat kakaknya yang dapat memberinya petunjuk-petunjuk, untunglah
bahwa gurunya adalah seorang dukun yang banyak sekali berusaha menyembuhkan
orang-orang sakit, bukan sebaliknya membuat orang menjadi sakit.
Sejenak kemudian maka
merekapun meninggalkan padang rumput itu, dan kembali ke kademangan Sangkal
Putung.
Pada saat itu Tohpati dan Sumangkar
telah pula melangkah pergi. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka ke
Sangkal Putung. Tetapi mereka bermaksud kembali ke sarang mereka. Tohpati
berjalan dengan wajah tertunduk, sedang di sampingnya Sumangkar berjalan sambil
mengamat-amati goloknya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Besok aku akan mengalami
kesulitan.”
“Apa?” Tohpati terkejut
mendengar keluhan itu.
Sambil menunjukkan goloknya
Sumangkar berkata, “Mata golokku menjadi pecah-pecah. Aku tidak dapat lagi
mempergunakannya untuk membelah kayu.”
“Oh” Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Kalau bukan Sumangkar yang berkata demikian, maka orang itu pasti
sudah ditamparnya. Namun tiba-tiba untuk melepaskan kejengkelannya Tohpati itu
berkata lantang, “Besok aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk yang terakhir
kalinya.”
Sumangkarlah kini yang
terkejut. “Besok? Apakah Aangger sudah cukup siap?”
Tohpati tidak segera menjawab.
Ia melangkah semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin panjang, sehingga
Sumangkar terpaksa berkali-kali mempercepat langkahnya pula.
Ketika Tohpati tidak segera
menjawab pertanyaannya maka sekali lagi Sumangkar bertanya, “Angger, apakah
Angger besok dapat menyiapkan laskar Jipang untuk menyerang Sangkal Putung?”
“Aku telah siap sejak pecah
perang Jipang dan Pajang” geram Tohpati tanpa berpaling.
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba terasa sesuatu pada dinding Tohpati itu. Meskipun demikian
Sumangkar mencemaskan nasib Macan Kepatihan itu pula sehingga ia berkata,
“Mungkin Angger Tohpati sendiri telah siap sejak lama. Tetapi apakah laskar
Angger, dan pimpinan-pimpinan yang lain telah siap pula?”
“Aku tidak peduli apakah
mereka sudah siap atau belum. Besok aku akan menyerbu Sangkal Putung. Untuk
yang terakhir kalinya.”
“Kenapa yang terakhir kalinya
ngger?”
“Aku sudah jemu pada
peperangan ini. Aku sudah jemu melihat pepati. Aku sudah jemu melihat darah dan
penderitaan. ”
Dada Sumangkar berdesir
mendengar jawaban itu. Ia sendiri adalah orang yang jemu menghadapi persoalan
yang seakan-akan tidak berpangkal dan tidak berujung. Tetapi ia melihat pada
dada Tohpati itu membayang keputus-asaan dan kekecewaan yang meluap-luap.
Di samping Widura dan Untara,
kini ia mengenal lawan yang baru, yang cukup berbahaya pula laginya. Bukan
Sidanti, tetapi Ki Tambak Wedi. Ia tidak akan dapat menggantungkan nasibnya
terus menerus kepada Sumangkar, paman gurunya itu. Bahkan kemudian diketahuinya
pula bahwa di Sangkal Putung ada orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing
yang memiliki ilmu sejajar dengan Ki Tambak Wedi, sehingga orang itu berani
menonton perkelahian yang sedang berlangsung di antara mereka. Di antara ilmu
yang bersumber dari Kedung Jati melawan ilmu yang bersumber dari lereng Merapi.
Persoalan-persoalan yang
tumbuh di dalam perkemahannya, persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitarnya
telah mendorong Tohpati dalam keadaan yang sulit. Tetapi semuanya itu tidak
akan menggoncangkan tekadnya, seandainya tidak ada persoalan-persoalan yang
tumbuh di dalam dadanya sendiri. Beberapa hari ia telah diganggu oleh
pertimbangan-pertimbangan yang membingungkannya. Pertimbangan-pertimbangan yang
tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Tak pernah sehelai bulunyapun yang
meremang, apabila ia melihat darah, mayat, mendengar pekik rintih dan tangis.
Dadanya sama sekali tidak tergetar melihat pedang yang berlumur darah dan
bahkan tubuh yang terpisah-pisah. Namun tiba-tiba kini ia merasa ngeri hanya
mengenangkan itu semua. Mengenangkan kembali dan tidak sedang menghayatinya.
“Setan” geramnya.
Sumangkar berjalan
terloncat-loncat di sampingnya. Ketika ia mendengar Tohpati menggeram, maka
sekali lagi ia bertanya, “Kenapa Angger menjadi jemu?”
Sekali lagi Tohpati menggeram.
Katanya, “Kenapa Paman bertanya? Paman adalah salah satu sebab dari kejemuan
itu. Paman telah membujuk aku. Paman telah memperlemah tekadku. Dan Paman pasti
akan menyetujui pendapatku. Peperangan ini harus segera berakhir. Pajang atau
Jipang yang akan hancur.”
Dada Sumangkar benar-benar
bergetar mendengar jawaban itu. Sehingga cepat-cepat ia menjawab, “Angger telah
memilih jalan yang sama sekali tidak tepat.”
Langkah Tohpati terhenti
mendengar perkataan Sumangkar itu. Dengan tajamnya ia memandang wajah orang tua
itu dengan sinar kemarahan yang menyala-nyala, “Apakah yang kau katakan Paman?”
“Angger mencoba menempuh jalan
yang salah.”
“Kenapa?”
“Angger telah meninggalkan
segenap perhitungan seorang senapati.”
“Apa gunanya
perhitungan-perhitungan itu lagi? Bukankah Paman juga menghendaki supaya kami
cepat hancur dan peperangan berhenti?”
“Tidak.”
“Paman” geram Tohpati. “Paman
sudah tua. Dan perkataan Paman sama sekali tidak dapat di dengar dengan pasti.
Apa yang paman kehendaki sebetulnya? Jangan mencla-mencle.”
“Tidak, aku tetap pada
pendirianku. Aku menghendaki peperangan segera berakhir. Tetapi aku tidak
menghendaki laskar Jipang membunuh dirinya.”
“Apa pedulimu Paman. Hidupku
adalah wewenangku. Kalau besok aku menyerbu Sangkal Putung sebagai sulung
menjelang api, dan kemudian aku akan binasa karenanya, namun peperangan akan
berhenti, bukankah Paman akan tertawa pula karenanya? Paman akan tertawa
melihat mayat Tohpati dipenggal kepalanya dan diseret sepanjang jalan raya
Pajang untuk dipertontonkan kepada rakyat. Dan Paman akan tertawa melihat
Untara mendapat hadiah serupa dengan yang diterima oleh Pemanahan dan Penjawi?”
“Angger salah terka. Aku tidak
ingin melihat Angger membunuh diri bersama seluruh laskar.”
“Apa pedulimu? Apa pedulimu.
He? Nyawa ini adalah nyawaku. Hidup ini adalah hidupku sendiri.”
“Aku tidak keberatan kalau
Raden membunuh diri dengan cara itu. Tetapi jangan membinasakan laskar Angger
itu. Jangan membawa mereka terjun ke dalam lembah kengerian itu.”
“Diam, diam kau tua bangka!”
teriak Tohpati dengan marahnya sehingga tongkatnya terayun-ayun menunjuk ke
arah kepala Sumangkar. Tetapi kini Sumangkar tidak meletakkan goloknya, tidak
menyerahkan kepalanya sambil ngapurancang. Tetapi orang tua itu tiba-tiba
meloncat surut sambil mempersiapkan dirinya. Benar-benar bukan Sumangkar juru
masak yang malas, tetapi Sumangkar yang telah berhasil mengimbangi kekuatan hantu
lereng Merapi.
Mata Tohpati terbelalak
karenanya, seakan-akan ingin meloncat dari pelupuknya. Betapa dadanya menjadi
bergelora seolah-olah akan meledak melihat sikap Sumangkar itu. Melihat
Sumangkar menyilangkan goloknya dimuka dadanya dan siap menghadapi setiap
kemungkinan.
Sejenak kemudian tubuhnya
menjadi gemetar karena marahnya. Tongkatnya yang putih berkilauan itupun
bergetar dalam genggaman tangannya. Sambil menunjuk dengan tongkatnya itu Macan
Kepatihan menbentak, “He, Sumangkar, apakah kau akan berani melawan Macan
Kepatihan?”
“Hem” Sumangkar berdesah.
“Angger Macan Kepatihan, meskipun Angger bernyawa rangkap berkadang dewa-dewa
di langit, namun kau tidak akan mampu melawan Sumangkar.”
“Persetan dengan kesombonganmu
itu tetapi kau telah berbuat kesalahan terhadap pemimpinmu di sini.”
“Apa salahku? Aku mencoba
mengatakan apa yang baik bagiku. Bagi pendirianku. Apakah itu salah? Kalau kau
tidak mau mendengarkan nasehatku, jangan kau dengar. Berbuatlah sesuka hatimu.
Kau bukan anakku, bukan cucuku. Kau bagiku tidak lebih dari murid saudara
seperguruanku. Apakah kau akan mati pancang, ataukah mati digilas guntur dari
langit, aku tidak akan kehilangan. Tetapi sebagai orang tua aku ingin melihat,
kalau kau mati, matilah dengan hormat. Kalau kau jemu melihat penderitaan,
jangan kau jerumuskan anak buahmu dalam penderitaan. Kalau kau jemu melihat
pepati, jangan kau bawa anak buahmu ke dalam lembah kematian. Kau dapat berbuat
banyak, namun orang akan menilai apa yang telah kau lakukan. Apalagi kalau kau sudah
memutuskan untuk pergi ke Sangkal Putung yang terakhir kalinya. Maka nilaimu
sebagai seorang pemimpin akan terletak pada saat-saat yang demikian itu.”
Tohpati menjadi seolah-olah
terbungkam. Ia tidak mampu menjawab kata-kata Sumangkar itu. Dan bahkan kepalanyapun
terkulai tunduk menghunjam ke tanah di muka kakinya. Tongkatnyapun kemudian
tertunduk dengan lemahnya.
Terdengar Tohpati menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Maafkan aku paman.”
Sesaat mereka terhentak
kedalam kesenyapan. Angin malam yang lembut mengusap mahkota dedaunan. Suaranya
yang gemerisik seolah-olah suara tembang yang sangat rawan di kejauhan.
Dalam keheningan malam itu
terdengar suara Tohpati berat. “Maafkan aku Paman. Ternyata aku telah
kehilangan akal.”
“Jangan menyesal Ngger” sahut
Sumangkar sambil mendekati Tohpati yang masih berdiri di tempatnya. “Aku hanya
ingin memberimu peringatan. Rupa-rupanya dengan cara yang wajar, kau tidak
dapat mendengar kata-kataku. Mungkin dinding hatimu yang kisruh itu
hampir-hampir telah tertutup rapat oleh kebingungan dan kekecewaan, sehingga
aku harus menjebolnya dengan sedikit permainan yang agak kasar.”
“Tidak Paman” sahut Tohpati.
“Aku berterima kasih kepada Paman. Paman telah menarik aku kembali pada tempat
yang sewajarnya bagiku. Aku akan dapat tegak kembali sebagai seorang kesatria
dari Kepatihan Jipang. Aku bukan sebangsa cecurut yang kerdil menghadapi
kesulitan. Terima kasih Paman. Akan aku pikirkan nasehat Paman. Aku akan
kembali ke Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya, tetapi tidak besok. Aku
akan berbicara dengan Sanakeling.”
Sumangkar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Bagus. Angger adalah seorang
pemimpin. Angger tidak boleh kehilangan kebeningan pikiran. Kepadamu tergantung
beratus-ratus nyawa anak buahmu. Sedang pada beratus-ratus nyawa itu tergantung
beribu-ribu jiwa keluarganya.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Marilah kita kembali ke perkemahan.”
Sumangkar mengangguk kecil.
“Marilah” katanya.
Sepanjang jalan kembali itu
mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka terbenam dalam
kesibukan pikiran masing-masing.
Begitu sampai ke baraknya,
segera Tohpati berteriak kepada seseorang yang berada di samping barak itu
untuk berjaga-jaga, “He, panggil Sanakeling kemari.”
Orang itu mengangguk hormat
sambil menjawab, “Baik Raden.”
Sepeninggal orang itu maka
berkatalah Sumangkar, “Aku akan kembali ke barakku Raden. Silakan Raden
membicarakan persoalan ini dengan para pemimpin laskar Jipang.”
“Tidak Paman” sahut Tohpati.
“Paman tetap disini.”
Sumangkar menggeleng lemah.
“Aku hanya akan mengganggu saja Ngger. Mungkin aku akan menambah persoalan yang
akan Angger bicarakan. Mungkin aku tidak dapat menahan mulutku, apabila aku
mendengar persoalan-persoalan yang aku tidak sependapat. Karena itu, aku tidak
akan mencampuri persoalan-persoalan para pemimpin. Aku hanya akan tunduk pada
setiap perintah. Mudah-mudahan Angger tetap pada kejernihan hati.”
“Nasehat Paman sangat kami
perlukan”
“Tetapi aku adalah orang tua
Ngger. Aku sudah tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan anak-anak muda
seperti Angger Sanakeling, Angger Alap-Alap Jalatunda dan beberapa orang yang
lain. Tetapi aku akan menjalankan setiap perintah.”
Sumangkar benar-benar tidak
mau lagi tinggal di barak Tohpati. Karena itu maka Macan Kepatihan terpaksa
membiarkannya pergi meninggalkannya dan berjalan tersuruk-suruk di antara
beberapa barak kembali menuju ke baraknya sendiri. Sebuah barak doyong beratap
daun-daun ilalang, bertiang bambu muda dan berdinding anyaman bambu pula.
Di dalam barak itu ditemuinya
beberapa orang tidur mendengkur di atas tumpukan ilalang kering. Ketika salah
seorang membuka matanya terdengar suaranya parau, “Dari mana kau, Paman
Sumangkar?”
“Berjalan-jalan” sahut
Sumangkar.
“Tidurlah, hari telah jauh
malam, bahkan hampir menjelang pagi. Besok kau terlambat bangun. Kenapa golok
itu kau bawa kemari?”
“Golokku rusak.”
“Kenapa?”
“Tulang-tulang harimau yang
keras telah memecahkan di bagian tajamnya.”
Orang yang terbangun itu menguap
sekali, lalu sahutnya, “Apakah kau mendapat seekor harimau?”
“Hanya tulang-tulangnya” sahut
Sumangkar.
“Huh” orang itu mencibirkan
bibirnya. “Jangan membual, sekarang tidurlah,”
“Aku belum mengantuk.”
Orang itu, yang mengenal
Sumangkar tidak lebih dari seorang juru masak yang malas mengumpat. Katanya,
“Pemalas tua. Besok kau pasti akan terlambat bangun. Kalau kau tidak dapat
menyiapkan makan kami, maka kepalamu akan aku gunduli.”
“Bukankah tidak aku sendiri
juru masak di perkemahan ini?” bantah Sumangkar.
“Tetapi kaulah yang paling
malas di antara mereka. Dan kemalasanmu akan dapat menjalar ke segenap orang.”
“Bukankah itu bukan salahku.”
“Diam. Sekarang kau tidur.
Kalau tidak aku sumbat mulutmu dengan ilalang.”
Sumangkar tidak menjawab. Segera
ia merebahkan dirinya di atas tumpukan ilalang itu pula.
“Nah. Begitulah” gumam orang
yang membentak-bentaknya.
Sumangkar hanya tersenyum.
“Biarlah ia mendapat kepuasan” katanya dalam hati. “Kasihan orang itu.
Jarang-jarang ia menemukan kepuasan seperti ini. Apa salahnya aku menyenangkan
hatinya?”
Lamat-lamat masih terdengar
orang itu berkata, “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka kau
benar-benar akan menyesal seumur hidupmu.”
Sumangkar masih saja berdiam
diri. Dan orang itupun masih saja bergumam untuk melepaskan kepuasannya. Ia
mengumpat Sumangkar sepuas-puasnya. Akhirnya orang itupun terdiam. Ketika
Sumangkar mengangkat kepalanya, dilihatnya orang itu tidur mendekur menikmati
mimpi yang indah.
“Kasihan” desis Sumangkar.
“Anak itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk membentak-bentak orang lain
kecuali aku dan para juru masak. Para pemimpin lebih banyak membentak-bentaknya
daripada memberinya hati.”
Tetapi sejenak kemudian
Sumangkar itupun benar-benar merasa sangat penat. Matanya mulai diganggu oleh
kantuk yang amat sangat, sehingga sejenak kemudian orang tua itupun tertidur
pula di atas batang-batang ilalang kering.
Dalam pada itu, penjaga yang
mendapat perintah dari Tohpati untuk memanggil Sanakeling telah melakukan
pekerjaannya. Betapa Sanakeling mengumpat tidak habis-habisnya. Matanya yang
seolah-olah melekat itu benar-benar mengganggunya.
“Kenapa tidak menunggu sampai
esok” keluhnya. Tetapi ia tidak dapat membantah panggilan itu. Sanakeling tahu,
bahwa agaknya Macan Kepatihan sedang diganggu oleh perasaan yang tidak
menyenangkannya. Sehingga Alap-Alap Jalatunda mengalami perlakuan yang
sedemikian buruknya. Karena itu, maka betapapun juga, Sanakeling berjalan pula
ke barak Tohpati.
Sedangkan Tohpati hampir tidak
sabar menunggu kedatangan Sanakeling. Mondar-mandir ia berjalan di dalam ruang
yang sempit itu. Ketika itu ia mendengar langkah seorang di luar pintu, maka
segera ia menyapa, “Kau Sanakeling?”
“Ya Raden.”
“Duduklah.”
Sanakeling melangkah memasuki
ruangan yang diterangi oleh pelita yang samar. Meskipun demikian, betapa
terkejutnya Sanakeling melihat tubuh Tohpati. Di beberapa tempat dilihatnya
goresan-goresan dan darah yang telah kering.
“Kenapa luka itu?” bertanya
Sanakeling dengan serta-merta.
Macan Kepatihan menggeram.
Dipandanginya goresan-goresan itu. Tetapi sama sekali luka-luka itu tak terasa
lagi.
“Kakang bertempur?” bertanya
Sanakeling.
“Ya” sahut Tohpati pendek.
“Dengan orang-orang Sangkal
Putung?”
Tohpati menggeleng. “Tidak”
sahutnya, “Dengan Sidanti.”
“Sidanti?” ulang Sanakeling.
“Jadi benar dengan orang Sangkal Putung.”
“Tidak.” Macan Kepatihan
mencoba menjelaskan, “Sidanti sudah tidak lagi di Sangkal Putung. Agaknya ada
pertentangan di antara mereka.”
“Oh” Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi kenapa Kakang bertempur melawan Sidanti
itu? Apakah dengan demikian Kakang tidak dapat mengambil keuntungan dari
pertentangan itu?”
“Sidanti telah berkhianat atas
kesatuan dan kesetiaannya. Dimanapun ia berada maka ia akan berbuat hal yang
serupa. Anak itu memang ingin menggabungkan kekuatannya dengan kita. Namun aku
menolaknya.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tersirat pula kekecewaan hatinya. Segera
ia mengetahui apa yang agaknya terjadi. Tohpati dan Sidanti pasti telah
bertempur. Tetapi luka-luka itu benar-benar mengherankannya, sehingga ia
bertanya, “Apakah Sidanti seorang diri?”
“Tidak, bersama gurunya.”
“Oh” Sanakeling
mengangguk-angguk kembali. Ia kini dapat membayangkan semakin jelas perkelahian
yang terjadi antara Tohpati dan Sumangkar melawan Sidanti dan Ki Tambak Wedi.
Namun ia masih juga diliputi
oleh perasaan kecewa. Kalau saja Sidanti dapat berada di pihaknya, maka orang
itu akan dapat menambah banyak kekuatan pada kesatuan Jipang. Sudah pasti bahwa
Ki Tambak Wedi akan membantunya pula. Mungkin pengaruh yang dimilikinya atas
orang-orang di lereng Merapi akan menambah jumlah kekuatan mereka.
Tetapi ia tidak berani
menanyakannya kepada Tohpati. Besok atau kapan saja apabila ada kesempatan ia
ingin menemui Sidanti dan membawanya dalam lingkungan mereka. Namun di antara
kekecewaan yang merayapi hatinya, Sanakeling menjadi heran pula. Agaknya
Sumangkar yang tua itu masih saja memiliki ketangguhan yang dapat dibanggakan,
meskipun selama ini ia lebih senang berada di muka perapian menanak nasi.
Sanakeling itupun kemudian
duduk di sebuah bale-bale bambu. Ia masih memandangi tubuh Tohpati yang
tergores oleh ujung pedang di beberapa tempat.
“Sidanti menjadi semakin maju”
desisnya. “Agaknya gurunya selalu mengolahnya.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka Sidanti akan lebih baik
baginya.
Namun seolah-olah Tohpati
mengetahui apa yang tersirat di dalam kepala Sanakeling itu. Maka katanya,
“Tetapi betapapun baiknya anak itu, namun ia tidak dapat kita jadikan kawan.
Suatu ketika ia pasti akan menerkam kita sendiri.”
Sanakeling tidak menjawab. Ia
mengangguk lemah.
“Nah, lupakanlah Sidanti dan
Ki Tambak Wedi itu” berkata Tohpati tiba-tiba. “Kewajiban kita adalah menyerang
Sangkal Putung. Bagaimanamun juga kepergian Sidanti pasti akan mengurangi
kekuatan Sangkal Putung. Aku tidak tahu, apakah laskar Sangkal Putung terpecah
atau tidak. Syukurlah kalau ada sebagian dari mereka pergi mengikuti Sidanti,
tetapi ukuran kita laskar Sangkal Putung masih utuh.”
“Ya” sahut Sanakeling. Ia
menjadi gembira mendengar pendapat Macan Kepatihan itu. Laskarnya sudah terlalu
lama menunggu sehingga ia takut apabila akan timbul kejemuan di kalangan
mereka. Kejemuan itu sudah pasti akan sangat membahayakan. Mereka akan dapat
berbuat aneh-aneh untuk mengisi kekosongan waktu mereka. Dan kadang-kadang akan
sangat merugikan. Kadang-kadang mereka berpencaran ke desa-desa dan dengan
demikian maka kadang-kadang ada di antara mereka yang dapat ditangkap oleh
laskar Pajang.
“Bagaimana pendapatmu?”
bertanya Macan Kepatihan itu kemudian.
“Sangat menarik. Aku sudah
lama mengharap keputusan itu. Agaknya Kakang selalu ragu-ragu. Sekarang apabila
Kakang telah menemukan keputusan, maka keputusan itu harus segera dilaksanakan.
Tidak ditunda-tunda lagi. Aku juga sudah membuat perintah untuk bersiap. Tetapi
karena aku ragu-ragu bahwa Kakang akan menundanya lagi, maka perintahku belum
perintah terakhir, belum perintah kepastian.”
“Sekarang aku sudah pasti.
Kita harus secepatnya pergi ke Sangkal Putung, bagaimana kalau besok?”
“He?” mata Sanakeling
terbelak. Namun kemudian ia tersenyum, “Tidak mungkin. Besok aku baru mengambil
keputusan tentang perintah yang akan aku berikan. Besok perintah itu pula baru
akan dijalankan. Besok malam secepat-cepatnya laskar itu baru siap. Sedang
kalau ada beberapa kelambatan maka laskar itu baru akan siap lusa. Sehingga
sehari sesudah itu kita baru akan dapat mulai dengan setiap rencana penyerangan
yang baik. Bukankah Kakang telah beberapa kali mengalami kegagalan? Apakah
Kakang Raden Tohpati harus gagal lagi nanti?”
“Tidak. Kali ini harus kali
yang terakhir.”
Sanakeling tertawa. Sahutnya
“Bagus. Karena itu persiapan kita harus benar-benar masak. Bukankah kita harus
mendapatkan Sangkal Putung sebagai tempat perbekalan? Kalau kita menduduki
Sangkal Putung, maka kita harus dapat memanfaatkannya. Lumbung kademangan itu
harus dapat segera kita singkirkan. Kita duduki tempat itu sejauh dapat kita
pertahankan. Meskipun kakang akan melepaskan beberapa kepentingan di daerah selatan
ini kelak, namun apa yang ada di daerah yang subur dan kaya itu harus
benar-benar bermanfaat bagi kita. Korban telah banyak jatuh untuk merebut
daerah itu.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terbayanglahh apa saja yang pernah dilakukan untuk merebut daerah
ini. Bahkan akhirnya dirinya sendirlilah yang memimpin pasukan Jipang untuk
menguasai daerah yang kaya. Kaya akan hasil bumi, sehingga lumbung-lumbung
Sangkal Putung penuh dengan padi. Dan kaya akan berbagai macam benda-benda
berharga. Penduduk Sangkal Putung terkenal sebagai penduduk yang senang sekali
menyimpan barang-barang berharga. Perhiasan, ternak dan benda-benda lainnya.
Tetapi meskipun ia sendiri
yang memimpin laskar Jipang di daerah Sangkal Putung, namun ia belum berhasil
untuk merebutnya. Belum berhasil untuk menguasai kekayaan yang tersimpan di
dalamnya. Dan Pajangpun agaknya tidak mau melepaskan daerah itu, sehingga
ditempatkannya Untara untuk mencoba melindunginya.
Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Sejak Arya Jipang dan kemudian Patih Mantahun terbunuh di
peperangan, maka korban masih saja berjatuhan. Satu demi satu dan bahkan
sepuluh dua puluh sekaligus. Peperangan masih saja terjadi di mana-mana.
Gerombolan kecil-kecil dari sisa-sisa laskar Jipang masih bergerak terus,
meskipun demikian mereka tidak lebih dari gerombolan-gerombolan perampok dan
penyamun. Tetapi karena mereka masih merasa terikat oleh seorang pemimpin yang
mereka segani, maka mereka masih belum melepaskan diri dari kelaskaran mereka.
Kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka masih mengikat mereka untuk merasa
wajib melakukan perang untuk seterusnya. Dan karena itulah maka di mana-mana
masih timbul pepati.
Sedang pemimpin itu adalah
dirinya sendiri, Tohpati.
Tohpati menggigit bibirnya. Ia
berterima kasih kepada kesetiaan itu. Ia merasa betapa dirinya mendapat
kehormatan untuk mengikat sekian banyak manusia dalam satu ikatan. Tetapi ia
merasa bahwa dirinyalah sumber dari setiap akibat dari kesetiaan itu. Akibat
yang kadang-kadang tidak dikehendakinya.
Ruangan itu untuk sejenak
dikuasai oleh kesepian. Masing-masing terbenam dalam angan-angan sendiri.
Angan-angan yang bertolak dari gejolak perasaan yang berbeda-beda. Sanakeling
masih dikuasai oleh nafsu untuk memiliki segenap kekayaan yang ada di Sangkal
Putung. Kekayaan yang mungkin masih akan dapat membantu gerakan-gerakan yang
mereka lakukan. Dan kekayaan yang mungkin dapat dimilikinya. Bahkan mungkin
untuk dirinya sendiri. Mungkin akan ditemuinya perhiasan-perhiasan yang sangat
berharga. Gelang, kalung atau pendok emas tretes berlian. Atau apa saja yang
dapat dimilikinya sendiri.
Sesaat mereka masih tetap
membisu. Sanakeling masih saja berangan-angan tentang kekayaan yang akan dapat
dirampasnya dari Sangkal Putung, sedang Tohpati berjejak pada pendapat yang
berbeda. Pendapat seorang pemimpin yang melihat kenyataan-kenyataan dari laskar
yang dipimpinnya, perkembangan keadaan dan perhitungan-perhitungan atas
masa-masa yang akan datang.
Malam yang hening itu kemudian
dipecahkan oleh suara Sanakeling penuh nafsu, “Kakang, baiklah aku kembali
kebarakku. Aku berjanji bahwa orang-orangku dan orang-orang baru yang telah aku
panggil dari daerah utara akan merupakan kekuatan yang dapat dibanggakan.
Sangkal Putung kini ternyata telah berkurang kekuatan, sedang kekuatan kita bertambah.
Menurut perhitunganku maka kekuatan yang telah ada disini ditambah dengan
kekuatan-keuatan baru, akan dapat melanda Sangkal Putung dan menghancurkannya.
Laskar dari utara itu kelak akan kembali dengan perbekalan untuk mereka, sedang
laskar di daerah inipun akan dapat memperkuat diri dengan semua yang akan kita
dapatkan dari Sangkal Putung.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Ia tidak menanggapi angan-angan Sanakeling itu, tetapi ia berkata, “Kembalilah.
Aku tidak dapat menunggu lebih lama dari waktu yang kau katakan.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi timbullah keheranannya atas sikap
Tohpati itu. Beberapa kali ia menunda penyerangan sehingga laskarnya tercerai
berai kembali, namun tiba-tiba kini Macan Kepatihan itu menjadi sangat tergesa-gesa.
“Mungkin Raden Tohpati melihat
kelemahan Sangkal Putung kini” pikirnya.
Sanakeling itu kemudian
berdiri. Dilihatnya halaman barak itu. Gelapnya masih menghitam.
“Aku akan kembali” katanya.
“Kembalilah. Ingat-ingat
perintahku.”
“Baik” sahut Sanakeling sambil
melangkah meninggalkan ruangan itu. Di sepanjang jarak yang ditempuhnya, bahkan
sampai ke tempatnya dan ketika ia telah membaringkan dirinya, dirasakannya
beberapa keanehan pada pemimpinnya itu. Ia melihat wajahnya yang murung, dan
kadang-kadang perbuatan-perbuatan yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
Dalam keseluruhannya,
tampaklah Tohpati menjadi sangat gelisah. Tetapi Sanakeling tidak
mempedulikannya. Mungkin Tohpati sedang diganggu oleh beberapa persoalan yang
bersifat pribadi. Mungkin ia kesal pada kegagalan-kegagalan yang dialaminya,
atau mungkin Tohpati sedang membuat rencana-rencana baru yang belum
dimengertinya.
Pada hari berikutnya, maka
tampaklah kesibukan di perkemahan itu. Beberapa orang berjalan hilir mudik dari
satu barak ke barak yang lain, sedang beberapa orang lagi pergi meninggalkan
perkemahan itu di atas punggung-punggung kuda. Mereka harus pergi berpencaran
mencari tempat-tempat yang tersebar dari kawan-kawan mereka.
Gerombolan-gerombolan yang seolah-olah liar dan melakukan berbagai perbuatan
yang kadang-kadang benar-benar kasar dan menakutkan. Perampokan, perampasan dan
sebagainya. Kadang-kadang hanya sekedar untuk memberikan kesan bahwa keadaan
sedemikian buruknya, tetapi kadang-kadang mereka benar-benar melakukannya untuk
memperpanjang hidup mereka.
Dalam pada itu Sangkal
Putungpun telah disibukkan pula oleh persoalan yang dibawa Kiai Gringsing
beserta murid-muridnya. Untara dan Widura yang mendengarkan cerita Ki Tanu
Metir menjadi berlega hati, bahwa kekuatan Sidanti pada saat yang pendek masih
belum mungkin bergabung dengan kekuatan Tohpati. Meskipun demikian di saat-saat
yang akan datang, mereka merasa, bahwa pekerjaan mereka akan menjadi semakin
berat. Apakah Sidanti dan Tohpati menemukan titik-titik persamaan dan kemudian
dapat bekerja sama, apakah Sidanti dengan Ki Tambak Wedi akan menyusun kekuatan
baru untuk menggagalkan semua rencananya. Kalau demikian, maka Sidanti pasti
hanya akan sekedar membalas dendam, dan mungkin setelah usaha Untara dan Widura
gagal di Sangkal Putung, Sidanti akan menjual jasa melenyapkan Tohpati.
“Tetapi kedudukan Tohpati
cukup kuat ngger” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Untara, Widura dan bahkan Ki
Demang Sangkal Putung yang ikut pula mendengarkan segenap cerita itu
mengerutkan kening-kening mereka. Terdengarlah kemudian Untara bertanya,
“Bukankah kita sudah mengetahui kekuatan mereka?”
“Ternyata ada yang belum
Angger ketahui.”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
Ki Tanu Metir memandang mereka
satu demi satu. Kemudian katanya, “Murid kedua dari Kedung Jati ternyata ada di
antara mereka.”
“Siapa?” desak Untara
“Angger pasti sudah pernah
dengar namanya, Sumangkar.”
“Sumangkar” Untara dan Widura
hampir bersamaan mengulang nama itu.
“Ya” berkata Untara
seterusnya. “Aku pernah mendengar nama itu, dan pernah pula melihat dan bertemu
dengan orang itu di kepatihan Jipang. Bukankah Paman Sumangkar itu adik
seperguruan Paman Mantahun?”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Yang terdengar kemudian adalah suara Widura. “Nama itu cukup
mengejutkan hampir seperti nama Patih Matahun sendiri. Tetapi kenapa selama ini
orang itu tidak pernah hadir di dalam setiap pertempuran? Bukankah dengan
tenaganya maka Sangkal Putung pasti sudah dapat dipatahkan sejak serangan yang
pertama?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah. Aku tidak tahu. Apakah Sumangkar
belum lama berada di antara mereka, apakah ada sebab-sebab lain.”
Namun ternyata berita itu
benar-benar telah menyebabkan Untara dan Widura berpikir keras. Kalau pada
saat-saat mendatang orang itu hadir pula dalam pertempuran, maka keadaan
Sangkal Putung pasti akan sangat berbahaya.
Tetapi tiba-tiba Untara
tersenyum. Katanya, “Sumangkar benar-benar berbahaya bagi kita di sini
seandainya ia ikut bertempur bersama Tohpati, kecuali Kiai Gringsing bersedia
menolong kami.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Untara itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil
menjawab, “Hem, apakah aku harus melibatkan diriku langsung dalam pertengkaran
antara Pajang dan Jipang?”
“Adalah menjadi kewajiban kita
bersama untuk berbuat demikian Kiai” sahut Untara. “Seperti Sumangkar merasa
wajib pula untuk melindungi Tohpati.”
“Ya, Angger benar. Angger tahu
pasti pendirian Sumangkar dalam pertentangan antara Jipang dan Pajang.
Sumangkar adalah orang kedua setelah Mantahun dalam perguruannya, sedang orang
kedua setelah Mantahun dalam tata kelaskaran Jipang adalah Tohpati itu sendiri.
Sehingga mau tidak mau, maka Sumangkar adalah orang yang langsung
berkepentingan atas Tohpati itu. Baik Tohpati sebagai pemimpinnya maupun
Tohpati sebagai murid saudara seperguruannya.”
Mendengar jawaban itu, Untara
mengerutkan keningnya. Widura yang duduk di samping Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil memijit-mijit betis.
“Ya” desah Untara. “Kiai
benar. Seharusnya aku tidak melibatkan Kiai dalam pertentangan yang belum pasti
Kiai setujui. Sebenarnyalah bahwa aku belum tahu pasti pendirian Kiai dalam
pertentangan antara Pajang dan Jipang.”
Kiai Gringsing itupun tertawa.
Sahutnya, “Jangan menangkap kata-kataku itu terlalu tajam Ngger. Meskipun aku
termasuk orang yang menjadi bersedih hati melihat pertentangan yang
berlarut-larut antara orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang, namun aku
melihat kenyataan-kenyataan yang kini berlangsung. Akupun tidak akan dapat
melihat kelaliman dan kekerasan berlangsung terus-menerus. Aku tidak menutup
mata, bahwa laskar Jipang yang putus asa itu menjadi liar dan berbuat banyak
hal yang terkutuk. Karena itu akupun tidak akan mengingkari tugasku untuk
membantu mencegah perbuatan-perbuatan itu.”
Tiba-tiba wajah Untara dan
Widura menjadi cerah. Meskipun Kiai Gringsing tidak menjanjikan sesuatu dengan
jelas, namun apa yang dikatakannya adalah jaminan, bahwa apabila Sumangkar
turut campur pula dalam pertempuran yang akan datang, dalam setiap pertempuran
yang pasti akan berlangsung lagi, maka Kiai Gringsing akan dapat menjadi
lawannya yang cukup berbahaya bagi murid kedua setelah Mantahun dari perguruan
Kedung Jati itu.