Buku 041
Sementara itu, Ki Tambak Wedi
masih saja sibuk mencari orang yang telah mengganggunya. Tetapi seperti hantu,
orang itu menghilang tanpa meninggalkan bekas apa pun.
“Pasti bukan orang
kebanyakan,” desisnya. Dan tiba-tiba saja diingatnya orang yang telah
mengintainya, ketika ia menunggu orang-orang berkuda itu.
“Kalau orang ini yang
mengintai itu, maka apakah yang dapat dilakukan oleh kedua orang-orangku yang
akan mencoba menangkapnya?” gumam Tambak Wedi itu pula.
“Aku akan melihatnya,” orang itu
tiba-tiba menggeram. Tanpa berkata apa pun juga kepada orang-orangnya, maka ia
pun segera meloncat kembali ke tempatnya menunggu orang-orang berkuda itu.
Beberapa pengikutnya yang melihatnya, segera berlari-lari mengikutinya, dengan
berbagai macam pertanyaan di dalam hati.
Ki Tambak Wedi itu hampir saja
menginjak salah seorang yang sedang terbaring diam. Dengan serta-merta iblis
tua itu berjongkok dan meraba dada orang yang terbaring itu.
“Ia masih hidup,” desisnya.
“Siapakah itu Kiai?” bertanya
salah seorang pengikutnya.
“Buka matamu, siapa orang
ini.”
Orang yang bertanya itu
mengerutkan keningnya. Kemudian digeretakkannya giginya ketika ia mengetahui
bahwa yang terbaring itu adalah kawannya.
“Yang seorang ada di sini!”
tiba-tiba seorang yang lain berteriak.
Ki Tambak Wedi-lah yang
kemudian menggeretakkan giginya pula. “Bawa kemari,” katanya.
Kemudian keduanya pun
dibaringkan berjajar di atas rerumputan yang kering. Dengan teliti Ki Tambak
Wedi mencoba melihat, kenapa keduanya menjadi pingsan.
Dengan pengetahuan yang ada
padanya, Ki Tambak Wedi memijit-mijit di bagian-bagian yang dianggapnya
penting. Di punggung, kemudian ditelusurnya sampai ke bagian lehernya. Ketika
Ki Tambak Wedi menyentuh di bawah ketiak salah seorang dari keduanya, maka orang
itu menggeliat.
Perlahan-lahan orang itu
membuka matanya. Sejenak ia masih belum dapat bangkit karena dunia ini rasanya
seperti berputar.
“He, bangkitlah. Katakan apa
yang telah terjadi dengan kau dan kawanmu itu.”
“Kepalaku seperti berputar,” desisnya
perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi menggeram.
Sekali lagi ditelusurinya punggung orang itu. Ketika tersentuh simpul keseimbangannya, maka orang itu pun
terlonjak.
“Bagaimana?” bertanya Ki
Tambak Wedi.
“Ya, sudah jauh berkurang.
Tetapi perutku menjadi mual.”
“Persetan dengan perutmu!”
bentak Ki Tambak Wedi. “Katakan, siapa yang telah membuatmu pingsan.”
“Aku tidak tahu. Aku hanya
melihat dua sosok bayangan hitam.”
“Dua?”
“Ya. Yang seorang telah
membuat kawanku itu pingsan tanpa aku ketahui sebabnya. Bayangan itu langsung
menerkam dan membantingnya jatuh. Keduanya berguling sejenak. Tetapi yang
bangkit kemudian hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman itu.”
“Gila kau. Dalam gelap
semuanya tampak hitam. Tetapi bagaimana dengan kau.”
“Bayangan yang satu lagi,
telah membuat aku pingsan pula. Ia menyusup di bawah ayunan pedangku. Kemudian
terasa tanganku seperti terlepas dan tengkukku serasa tebal. Aku kemudian tidak
tahu apa-apa lagi.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Cerita orang itu sangat menarik perhatiannya. Ternyata selain orang
yang mencegat pasukan berkuda itu, masih juga ada orang lain yang bukan orang
kebanyakan.
Namun tiba-tiba Ki Tambak Wedi
itu bertanya, “Dua orang kau bilang?”
“Ya Kiai, dua orang.”
“Katakan, bagaimana bentuk kedua
orang itu.”
Orang itu mencoba
mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya
Kiai. Terlampau gelap untuk mengenal wajah-wajah mereka.”
“Aku tidak bertanya tentang
wajahnya. Katakan, apakah mereka masih muda, tinggi atau pendek, atau kurus,
gemuk dan apa lagi yang dapat kau sebutkan.”
Sekali lagi orang itu
merenung. Kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat menyebutkan Kiai. Aku tidak
melihatnya dengan jelas.”
“Gila. Kau sudah menjadi gila.
Apakah kau juga tidak dapat menyebutkan jenis senjata yang mereka pakai.”
“Mereka sama sekali tidak
bersenjata.”
“O, kau memang sudah gila. Kau
memang sudah gila.” Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Sambil menggeretakkan giginya ia menghentakkan kakinya.
Orang-orangnya sama sekali
tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya menundukkan
kepalanya. Tidak seorang pun yang bergerak, meskipun sekedar ujung jari
kakinya.
“Kita menggabungkan diri
dengan pasukan Sidanti,” geram Ki Tambak Wedi. “Aku akan berbicara dengan anak
itu.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu
jawaban apa pun. Diayunkannya langkahnya ke luar dari rimbunnya dedaunan.
Sambil berjalan ia berkata, “Bawa orang yang pingsan itu kedua-duanya kembali.
Mereka hanya akan mengganggu saja.”
“Baik Kiai,” jawab salah
seorang dari mereka.
Maka beberapa orang kemudian
mendapat tugas mengantar kedua orang itu kembali ke induk kademangan yang telah
diduduki Sidanti. Meskipun yang seorang telah dapat berjalan sendiri, tetapi ia
masih memerlukan bantuan dua orang kawan-kawannya.
Sementara itu, malam pun
menjadi kian gelap pula. Ki Tambak Wedi menarik nafas ketika ia melihat
beberapa buah obor telah berada di depan mulut regol desa, tempat pemusatan
pasukan Argapati, meskipun tidak terlampau dekat. Seperti biasanya, pasukan Ki
Tambak Wedi itu memperlihatkan dirinya. Ternyata usaha itu sedikit demi sedikit
berpengaruh pula. Beberapa orang yang berada di dalam lingkungan pring ori itu
sudah mulai bertanya-tanya, “Apakah sampai akhir hidupku, aku tidak akan sempat
keluar dari tempat ini? Siang malam kami selalu diburu oleh kecemasan. Mungkin
pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu
ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin mereka
akan berusaha membakar pring-pring ori ini dan menghanguskan segala isinya.”
Dan yang lain bergumam dalam
hati, “Apakah sebenarnya yang harus kami pertahankan ini? Ternyata sama sekali
bukan Menoreh, tetapi Ki Argapati. Dan karena itu, maka setiap malam kita harus
berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan. Sedangkan kita tidak tahu pasti,
apakah perbedaan yang akan kita lihat, apabila kita berada di bawah kekuasaan
Ki Argapati dan kekuasaan Sidanti. Bahkan mungkin anak muda itu dapat
memberikan suasana yang baru bagi tanah ini.”
Agaknya pikiran-pikiran itu
tidak hanya menghinggapi satu dua orang. Tetapi mereka masih tetap menyimpan di
dalam hatinya, meskipun dari hari ke hari, mereka mengalami suasana yang penuh
ketegangan, kecemasan, dan kemudian kejemuan.
Tampaknya permusuhan ini tidak
akan segera berakhir, meskipun persediaan makan mereka menjadi semakin tipis.
Namun sebagian lagi
berpendirian lain, meskipun berpijak pada kejemuan pula. Beberapa pengawal muda
berkata satu sama lain, “Apakah untungnya kita menunggu. Lebih baik kita keluar
dari penjara ini. Apa pun yang akan terjadi. Kita serang saja pusat pertahanan
Sidanti. Kalau kita menang, menanglah kita. Kalau kita hancur segeralah kita
binasa daripada menunggu tanpa batas seperti sekarang ini.”
“Kita menunggu Ki Argapati
sembuh,” desis yang lain.
“Ya, aku tahu. Tetapi kapan Ki
Argapati itu akan sembuh?”
“Tanpa Ki Argapati, siapakah
yang akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi?”
“Meskipun ia bersenjata petir
dan berperisai gunung sekalipun namun tenaganya pasti terbatas juga. Kita lawan
orang tua itu bersama-sama. Maka ia pun pada saatnya akan mati.”
“Demikianlah kalau kita,
seluruh pasukan itu, bertempur melawan Ki Tambak Wedi seorang diri. Tetapi
ternyata kita berperang melawan sejumlah orang yang seimbang dengan jumlah
orang di pasukan kita.”
Lawannya berbicara terdiam
sejenak. Namun sepasang mata nya memancarkan kejemuannya yang hampir tidak
tertanggungkan.
Malam ini mereka dihadapkan
lagi pada sepasukan orang-orang Sidanti yang mengepung padesan tempat pemusatan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Seperti di saat-saat yang lewat,
beberapa obor terpancang beberapa patok dari desa, melengkung, di hadapan mulut
gerbang. Satu-satu obor yang lain agaknya melingkar di seputar padesan itu
pula.
Yang sibuk dibicarakan saat
itu adalah pasukan berkuda yang terpaksa masuk kembali ke dalam regol. Beberapa
orang telah menghadap Samekta, Wrahasta, dan beberapa orang pemimpin yang lain.
“Tidak seorang pun tahu,
siapakah orang itu,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.
Samekta mengerutkan keningnya.
“Seorang dari kami, telah
dikenai oleh Ki Tambak Wedi, kami tidak sempat membawanya kembali. Mungkin
besok siang, aku akan mengambilnya.”
Wrahasta menggeram. Katanya,
“Kenapa kau percaya kepada orang itu?”
“Kata-katanya meyakinkan. Dan
sebenarnya bahwa kami tidak akan dapat berbuat terlampau banyak bila kami
benar-benar berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Dalam jarak yang cukup jauh,
seorang kawan kami telah gugur, dan seekor kuda kami mati pula terkena lemparan
besi itu.”
Wrahasta terdiam. Tetapi ia
masih saja menggeram menahan kemarahan.
Tetapi para pemimpin pasukan
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tidak dapat menyalahkan pemimpin pasukan
berkuda itu. Ternyata bahwa salah seorang dari mereka memang telah gugur, dan
seekor kuda telah mati.
Beberapa orang dari anggauta
pasukan berkuda itu pun mengatakan bahwa mereka tidak dapat melihat, betapa
cepatnya semua itu terjadi. Yang mereka ketahui kemudian, korban-korban itu
telah jatuh.
“Dengan demikian,” berkata
Samekta kemudian, “apakah Ki Tambak Wedi masih juga memperhitungkan lagi cerita
tentang orang-orang bercambuk di dalam pasukan berkuda itu?”
Wrahasta menundukkan wajahnya.
Tetapi ia menggeram, “Kita tidak perlu menggantungkan diri kita kepada siapa
pun.”
“Bukan itu maksudku,” jawab
Samekta. “Selama ini agaknya Ki Tambak Wedi memperhitungkan gerakan pasukan
berkuda itu. Mungkin pengaruh dari gerakan itulah yang menunda kenapa Ki Tambak
Wedi masih belum berbuat sesuatu selain mempengaruhi kebulatan tekad kami
dengan obor-obor itu hampir di setiap malam. Namun kini agaknya ia telah yakin.
Ia memerlukan mengetahui, siapakah sebenarnya yang berada di dalam pasukan
berkuda itu.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Ternyata cambuk-cambuk itu telah memanggil Ki
Tambak Wedi. Bukan orang-orang bercambuk itu.”
“Tetapi orang bercambuk itu
pun telah datang. Kami mengharap besok mereka akan memasuki padesan ini.”
“Apa yang dapat kita harapkan
dari mereka?”
“Setidak-tidaknya pengobatan
atas Ki Argapati.”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Tidak banyak gunanya. Orang bercambuk itu tidak dapat membuat Ki
Argapati sembuh dalam waktu satu malam. Bagaimana kalau besok atau lusa Ki
Tambak Wedi menyerang?”
“Tetapi usaha itu harus
dilakukan,” sahut Samekta.
Wrahasta tidak menjawab lagi.
Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan yang baik buat orang orang
bercambuk itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Ki Argapati harus segera tahu. Aku
akan menghadap.”
“Baiklah,” jawab Samekta,
“sampaikan laporan ini. Atau bawa sajalah pemimpin pasukan berkuda itu.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Akan aku bawa anak itu.”
Wrahasta pun kemudian pergi
bersama pemimpin pasukan berkuda menghadap Ki Argapati, sedangkan Samekta pergi
ke regol desa, menemui para peronda. Samekta memperingatkan mereka, agar mereka
menjadi semakin berhati-hati. Agaknya dalam waktu yang singkat, keadaan akan
menjadi semakin panas. Semua senjata harus dipersiapkan. Jebakan-jebakan dan
senjata-senjata jarak jauh. Alat-alat pelontar lembing dan busur-busur.
Sementara itu Ki Tambak Wedi
duduk di antara para pemimpin pasukannya. Sidanti, Argajaya, dan dua orang
dukun-dukun yang selalu beserta dengan mereka, Ki Wasi dan Ki Muni, yang tidak
saja pandai mengobati luka-luka, tetapi mereka pun membawa senjata di lambung
mereka. Mereka agaknya siap pula untuk bertempur. Ki Wasi membawa sepasang
trisula bertangkai pendek, sedang Ki Muni bersenjata sebilah pedang yang
lengkung. Pedang yang didapatnya dari seorang perantau asing yang mengembara.
Suatu ketika Ki Muni pernah berguru kepadanya tentang ilmu obat-obatan dan
bahkan tentang olah kanuragan. Pedang itu diterimanya dari gurunya itu,
meskipun ia belum berhasil mempelajari ilmunya dengan sempurna. Itulah sebabnya
maka pedang itu dianggapnya sebagai pedang yang keramat.
“Tak ada duanya di seluruh
daerah Pajang dan bahkan seluruh kerajaan Demak lama,” katanya dengan bangga.
“Pedang ini datang dari suatu negara yang sangat jauh. Negara di seberang
lautan. Lautan air dan lautan pasir.”
Ki Tambak Wedi selalu
mengumpat di dalam hatinya apabila ia mendengarnya. Sebagai seorang yang jauh
menyimpan pengalaman dan pengetahuan, maka sudah tentu ia terlampau muak
mendengar kebanggaan yang berlebih-lebihan itu. Di pesisir terutama, ia pernah
melihat pedang serupa itu lebih dari segerobag. Orang-orang asing kadang-kadang
menukarkan senjata-senjata serupa itu dengan senjata-senjata orang Demak.
Sekedar untuk kenang-kenangan.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
pernah ingin mempersoalkannya. Apalagi kini, ia mempunyai masalah yang cukup
penting untuk dibicarakan.
“Apakah Guru tidak dapat
mengenalnya?” bertanya Sidanti.
“Jarak itu tidak terlampau
dekat. Apalagi di malam hari. Aku seolah-olah hanya melihat sesosok bayangan
yang kehitam-hitaman.”
“Bukankah Guru mendengar
suaranya? Suara itu mungkin pernah guru dengar sebelumnya.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan
kepalanya, katanya, “Suara itu adalah suara yang parau meskipun bernada
tinggi.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Namun kemudian Argajaya bertanya, “Lalu bagaimana dengan yang dua orang itu?”
“Tak ada gambaran sama sekali.
Orang-orang yang dibuatnya pingsan hanya dapat melihatnya sebagai bayangan yang
hitam.”
“Ya, Kiai. Mungkin tidak ada
petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyebut keduanya.
Tetapi jumlah mereka menimbulkan kecurigaanku.”
“Kenapa dengan jumlah itu?”
bertanya Sidanti.
“Seorang guru dan dua orang
murid.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri “Aku memang
sudah menduga meskipun pada saat orang-orang berkuda itu melarikan diri, aku
masih mendengar ledakan-ledakan cambuk di antara mereka.”
“Apakah maksud Guru mengatakan
bahwa orang-orang bercambuk itu ada di antara pasukan berkuda, dan yang dua
orang itu orang lain lagi?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Tidak begitu. Namun aku belum menemukan keyakinan. Tetapi aku condong pada
pikiran itu. Bahwa yang menghentikan pasukan berkuda itu adalah gurunya dan
yang dua orang itu adalah murid-muridnya yang sama gilanya dengan gurunya.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak segera berkata apa pun. Angan-angannya baru dipenuhi
oleh berbagai macam dugaan dan pertimbangan.
Yang tidak segera mengerti
pembicaraan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sejenak kemudian mereka mengerutkan
keningnya.
Ki Muni, yang tidak dapat
menahan hati lagi, segera bertanya, “Siapakah yang kalian bicarakan itu?”
Ki Tambak Wedi menjadi
ragu-ragu sejenak. Mula-mula ia ingin berkata terus terang. Tetapi apabila cerita
tentang orang-orang bercambuk itu meluas, dan seolah-olah Ki Tambak Wedi
sendiri sudah membenarkan, maka hal itu pasti akan mempengaruhi keberanian
orang-orangnya. Karena itu, maka kemudian ia menjawab, “Mereka pasti
orang-orang yang ingin mengail ikan di air yang sedang keruh.”
“Tetapi menilik cerita Kiai,
seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus disegani.”
“Aku tidak dapat mengenal
mereka dengan jelas. Dan apa yang terjadi itu pun bukan ukuran yang sebenarnya.
Pada suatu ketika aku ingin bertemu langsung dengan mereka, untuk mengetahui
apakah aku pantas menundukkan kepala, atau semuanya itu hanya sekedar sebuah
permainan yang licik dari Argapati.”
Meskipun jawaban itu tidak
memberinya kepuasan, tetapi ia tidak mendesak lagi. Namun ia bergumam seperti
kepada diri sendiri, “Apakah kita akan menunggu sampai Argapati sembuh?”
“Apakah Argapati itu tidak
jadi mati?” Sidanti memotong.
Ki Muni membelalakkan matanya.
Sindiran itu sangat menyakitkan hatinya. Seolah-olah Sidanti mengejeknya, bahwa
perhitungannya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.
“Siapa yang melihat bahwa
Argapati masih hidup?” ia membantah. “Mungkin Argapati memang sudah mati.
Tetapi karena orang-orang Menoreh yang berpihak kepadanya cukup licik, sehingga
mereka dapat melindungi rahasia itu serapat-rapatnya.”
“Kita tidak boleh mimpi. Kita
harus berani menghadapi kenyataan.”
“Siapa yang mengingkari
kenyataan?” Ki Muni menjadi tegang, dan bahkan hampir-hampir ia berteriak
seandainya Ki Tambak Wedi tidak menengahi, “Kenapa kita ribut? Ada atau tidak
ada Argapati, kita tidak boleh cemas. Argapati hanya seorang diri. Sejauh-jauh
yang dapat dilakukan tentu sangat terbatas. Orang kedua adalah Pandan Wangi.
Sedang yang lainnya, sama sekali tidak banyak berarti.”
“Apakah Ki Tambak Wedi telah
melupakan ceritera Ki Peda Sura tentang dirinya?”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Terlintas dalam kepalanya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi, apabila ia menunda waktu terlampau lama. Tetapi untuk bergerak
sekarang, ia tidak dapat membuat perbandingan yang setepat-tepatnya. Tidak
seorang pun dari petugas sandinya yang tahu pasti tentang keadaan Ki Argapati.
Tidak seorang pun yang dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang-orang
bercambuk di dalam lingkungan pasukan berkuda itu dan siapa pula yang telah
berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi kesimpulan Ki Tambak Wedi, yang paling
mungkin adalah permainan Argapati, sedang orang-orang bercambuk yang sebenarnya
justru bukan yang berada dalam pasukan berkuda itu.
Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi
menjawab, Sidanti telah mendahului, “Kenapa kita tidak berbuat sekarang juga,
Guru?”
“Nah,” tiba-tiba Ki Muni
memotong, “bukankah kau juga membenarkan pendapatku? Apalagi yang kita tunggu?”
“Omong kosong,” wajah Sidanti
pun menjadi merah. “Aku selalu berpendirian demikian. Sama sekali bukan
membenarkan pendapatmu.”
“Kau terlampau sombong, Anak
Muda. Kenapa kau tidak mau mengakui, bahwa sebenarnya akulah yang pertama-tama
berpendapat demikian.”
“Tidak,” tiba-tiba Sidanti
menggeram.
Namun segera gurunya berkata,
“Kejemuan telah membuat kalian menjadi gila. Aku tahu, bahwa bukan hanya kalian
berdua saja yang berpendapat demikian, tetapi kita seluruhnya menghendakinya.”
Sidanti menggeretakkan
giginya. Sedang Ki Muni kemudian berjalan hilir-mudik sambil bergeramang tidak
menentu.
“Kalau memang begitu,”
Argajaya-lah yang berkata, “Kenapa kita menunggu lebih lama lagi? Bukankah
sekarang kita sudah berdiri di ambang pintu.”
“Itu tidak mungkin,” sahut Ki
Tambak Wedi, “Kita tidak bersiap untuk melakukan penyerangan. Kekuatan kita
hanya kita siapkan untuk melakukan pengepungan seperti biasa. Beberapa bagian
untuk menjebak apabila pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih setia
kepada Argapati itu berusaha menolong pasukan berkudanya. Tetapi semua rencana
itu telah rusak. Dan kita tidak dapat merubah rencana itu dengan tiba-tiba.
Sebab yang kita hadapi adalah kekuatan. Kekuatan yang masih menjadi teka-teki.
Dalam peperangan kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Bukan sekedar
untung-untungan.”
Argajaya mengedarkan pandangan
matanya ke sekelilingnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Kita tidak boleh
menunggu sampai orang-orang kita diterkam oleh kejemuan yang tidak terkendali.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agaknya sesuatu telah berkembang di kepalanya.
Tiba-tiba orang tua itu
berkata, “Baik. Baik. Aku akan melakukannya sekarang.”
“Apa, Guru?” bertanya Sidanti
dengan serta-merta.
“Kita akan menyerang.”
“Sekarang?”
“Ya sekarang.”
Kini Sidanti, Argajaya, Ki
Wasi, dan Ki Muni-lah yang menjadi heran atas keputusan yang tiba-tiba itu.
Bahkan menurut Ki Tambak Wedi sendiri, pasukanmya tidak bersiap untuk
melakukannya. Namun tiba-tiba orang tua itu berubah pendirian.
“Apakah hal itu dilakukan
sekedar melepaskan kejengkelannya saja,” pertanyaan itu mengganggu pikiran
Sidanti. “Jika demikian kita akan terlibat dalam suatu perbuatan yang dapat
membahayakan kita sendiri.”
Tetapi Sidanti tidak segera menyatakan
pikirannya itu. Dipandanginya saja gurunya yang kemudian menengadahkan
kepalanya. Silir angin malam telah menggerakkan juntai rambutnya yang sudah
keputih-putihan di bawah ikat kepalanya.
Dengan nada yang berat ia
berkata, “Sidanti kita akan menyerang malam ini.”
Wajah Sidanti menjadi tegang.
“Bukankah kau ingin berbuat
demikian seperti orang-orang lain menginginkannya pula?”
Dengan dada berdebar-debar
Sidanti menjawab, “Tidak, Guru, kalau itu hanya sekedar menuruti perasaan tanpa
perhitungan.”
“Bagus,” sahut gurunya.
“Tetapi marilah kita membuat perhitungan yang lain.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
“Kalau kita menyerang malam
ini, mungkin kita akan dapat memancing keterangan tentang kekuatan yang ada
didalam lindungan pring ori itu. Yang penting, apakah orang-orang yang aneh,
yang aku jumpai pada saat aku mencegat orang-orang berkuda itu, akan hadir
juga. Aku kira sampai saat ini mereka berada di luar benteng ori.”
“Tetapi apakah kekuatan kita
siap untuk menghadapinya?”
“Kenapa tidak? Kita sumbat
mulut desa itu keempatnya. Kita tidak bersungguh-sungguh untuk merebutnya malam
ini. Apakah kau mengerti?”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu maksud gurunya. Gerakan ini adalah sekedar pameran kekuatan
dan memancing keterangan tentang orang-orang bercambuk itu.
Argajaya yang dapat menangkap
juga maksud Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun
ia masih tetap ragu-ragu, apakah mereka akan dapat berhasil.
“Permainan Kiai mengandung
bahaya yang cukup besar,” desis Argajaya.
“Memang. Tetapi seandainya
mereka benar-benar keluar dari benteng mereka itu pun, kita akan
menghancurkannya. Karena itu kita harus siap menunggui setiap mulut desa itu di
empat penjuru. Sebagian terbesar akan datang dari sebelah kiri.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kita akan mundur pada saat
kita yakin bahwa keterangan yang kita perlukan sudah kita dapatkan.”
Sekali lagi Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah kita coba. Tetapi setiap pemimpin
kelompok harus tahu benar rencana ini supaya mereka tidak membuat kesalahan.”
“Tentu,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Sekarang kumpulkan mereka.”
“Baiklah,” sahut Argajaya,
yang kemudian bersama-sama dengan Sidanti memanggil semua pemimpin kelompok di
dalam pasukannya.
Mereka mendapat petunjuk-petunjuk
dengan singkat, apa saja yang harus mereka lakukan. Mendekati desa itu, dan
menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh. Menjaga setiap regol, dan apabila
para pengawal keluar juga, perintah Ki Tambak Wedi adalah, menghancurkan
mereka.
“Tetapi kita tidak akan
merebut kedudukan mereka sekarang.”
“Kenapa?” potong Ki Muni,
“Apabila mungkin, hal itu baik juga kita lakukan. Kita rebut pemusatan pasukan
mereka dan kita akan mengerti, apakah Argapati memang masih hidup atau sudah
mati.”
“Tidak mungkin dalam keadaan
kita saat ini. Kita tidak cukup banyak membawa senjata untuk kepentingan itu.
Kita harus dapat melawan para pengawal yang bersarang di atas ranting pring
ori, dengan alat-alat pelempar lembing dan bahkan pelempar batu itu.”
“Kalau kita mendekat, mereka
akan menyerang kita dengan cara yang sama.”
Ki Tambak Wedi menjadi jengkel
mendengar kata-kata Ki Muni itu, tetapi ia masih mencoba menahannya. Dan
dicobanya untuk memberikan penjelasan , “Ki Muni, serangan-serangan yang
demikian memang sebagian ditujukan keluar regol. Tetapi ujung-ujung lembing,
panah dan batu-batu itu terutama diarahkan ke mulut regol. Begitu kita membuka
regol, dan pasukan kita berusaha menerobos masuk, maka terjadilah hujan
lembing, panah dan batu di seberang pintu itu.”
Ki Muni mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang bersiaplah.
Kita akan segera mulai. Tetapi ingat, aku akan memberikan tanda, agar kita
dapat bersama-sama menarik diri. Sidanti dan Argajaya selain mengawasi pasukan
ini, juga berusaha melihat, apakah orang-orang gila itu mendekati medan.
Apabila mereka benar-benar datang, kedua anak-anak gila itu adalah lawan
kalian. Serahkan yang tua kepadaku. Kita harus menyelesaikan mereka saat ini
juga. Kita akan mendapat bantuan dari beberapa orang di dalam pasukan kita.
Antara lain Ki Wasi dan Ki Muni. Sudah tentu kita akan membinasakannya. Sesudah
itu, maka kita tidak akan berteka-teki lagi.”
Sidanti dan Argajaya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sedang Ki Wasi yang tidak mengerti apa yang
dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapakah yang Kiai maksudkan
dengan mereka itu?”
“Kita sedang ingin melihat,
apakah mereka benar-benar orang-orang yang disebut orang-orang bercambuk itu.”
Ki Wasi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku dapat mengerti cara yang Kiai
tempuh. Mudah-mudahan kita berhasil. Kita akan segera sampai pada babak
seterusnya dari peperangan ini. Semakin cepat kita selesai pasti akan semakin
baik.”
“Kenapa?” bertanya Ki Muni.
“Lalu kau akan diangkat menjadi senapati? Atau dukun pribadi Sidanti?”
“Ah,” Ki Wasi berdesah, “bukan
itu. Semakin cepat, maka korban akan menjadi semakin sedikit.
Kekejaman-kekejaman yang terjadi akan segera berakhir, dan ketakutan pun tidak
akan berkepanjangan.”
“He?” Ki Muni menarik
keningnya, kemudian terdengar ia tertawa, “Kau benar-benar seorang pengabdi
kemanusiaan yang paling baik Ki Wasi, tetapi tanpa kekejaman dan kekerasan kita
tidak akan berarti apa-apa lagi. Tidak ada lagi orang yang sakit parah yang
memerlukan pertolonganmu dan pertolonganku.”
“Pikiranmu telah benar-benar
terbalik,” sahut Ki Wasi, yang terpotong oleh kata-kata Ki Tambak Wedi,
“Sudahlah, apa pun titik pandangan kalian. Sekarang kita siapkan diri kita
masing-masing. Untuk membuat kegaduhan di pihak mereka, lontarkan obor-obor itu
kepada mereka. Kalau mungkin ke sarang-sarang pasukan yang berada di
ranting-ranting pring ori itu, bahkan apabila mungkin kita bakar saja regol
desa itu.”
Ki Wasi mengerutkan keningnya.
Sejenak dipandanginya Ki Tambak Wedi, dan sejenak kemudian Ki Muni. Tetapi ia
tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun.
Sementara itu, Sidanti dan
Argajaya yang menjadi muak mendengar setiap kata-kata Ki Muni telah
mempersiapkan diri. Pesan-pesan terakhir telah diberikannya dan para pemimpin
kelompok pun telah memahami apa yang harus mereka lakukan.
“Kita menghangatkan suasana.
Kita tidak boleh terlampau lama tertidur. Serangan kali ini akan mematangkan
sikap kita dan akan segera membawa kita ke pertempuran yang sebenarnya,”
berkata Sidanti kepada para pemimpin kelompok itu. Kemudian, “Sekarang
kembalilah kepada orang-orang kalian masing-masing. Kita akan segera mulai.”
Para pemimpin kelompok itu pun
segera, menyampaikan perintah itu kepada kelompok masing-masing. Berbagai
tanggapan terbayang di wajah mereka. Apalagi mereka yang datang ke Tanah ini
dengan berbagai macam pamrih pribadi.
“Ki Tambak Wedi ternyata bukan
seorang yang cukup cakap memimpin peperangan,” salah seorang berdesis. “Kenapa
kita harus menunda lagi seandainya hari ini kita dapat memasuki padesan itu?”
“Korban terlampau banyak,”
jawab yang lain, “Kita tidak bersiap sepenuhnya untuk melakukan itu.”
“Kalau kita tidak bersiap
kenapa hal ini kita lakukan?”
“Sudah dikatakan, Ki Tambak
Wedi ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang sebenarnya di antara kedua
pasukan yang berhadapan ini.”
“Orang tua itu terlampau
banyak pertimbangan. Apa salahnya kita memasuki sarang lawan itu meskipun
terlampau banyak korban? Semakin banyak korban akan menjadi semakin baik bagi
kita. Kekayaan yang tersimpan di dalamnya akan kita bagi, menjadi bagian-bagian
yang lebih sedikit.”
“Ah,“ yang lain berdesah,
sedang orang yang pertama tersenyum aneh. Senyum yang mempunyai berbagai macam
arti.
Sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi telah bersiap. Dengan dada tengadah ia berdiri memandangi pintu regol di
kejauhan. Lampu minyak yang redup tergantung pada teritis regol yang tertutup
itu, meskipun ada satu dua orang yang berjaga-jaga di luar.
“Kita lakukan sekarang,“ geram
Ki Tambak Wedi. Kepada Sidanti dan Argajaya ia berkata, “Jangan lengah. Awasi
seluruh medan, kalau kelinci-kelinci itu tampak hadir. Hanya kalianlah yang
tahu, apakah mereka ikut campur atau tidak.”
Sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi itu pun melontarkan tanda, bahwa pasukannya harus bergerak. Tiga orang
telah melontarkan panah berapi bersama-sama.
Penjaga di muka regol desa
melihat api itu pula. Dengan dada berdebar-debar mereka memandang api yang
seolah-olah terbang ke kebiruan langit. Ketika api itu meluncur dan jatuh di
atas tanah persawahan yang kering, maka sadarlah mereka, bahwa sesuatu akan
terjadi.
“Kita harus memberikan
laporan.”
Kawannya tidak segera
menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia melihat obor-obor telah
mulai bergerak. “Lihat, mereka mulai maju mendekat.”
Yang lain pun menjadi tegang
pula. Katanya, “Cepat. laporkan gerakan itu. Aku akan mengawasinya.”
Kawannya tidak menjawab lagi.
Segera ia menyelinap masuk kedalam regol dan lari menghambur menemui
pimpinannya.
“Apakah kau tidak sedang
bermimpi?“ bertanya pemimpinnya.
“Aku berkata sebenarnya.”
Pemimpinnya pun segera
meloncat dan berlari keluar regol. Yang dilihatnya kemudian seakan-akan
menghentikan jantungnya. Barisan obor yang bergerak semakin lama semakin dekat.
Jauh lebih banyak dari yang biasa dilihatnya. Karena sebenarnyalah bahwa Ki
Tambak Wedi telah memerintahkan semua membawa obor-obor cadangan yang
disediakan untuk menyambung obor-obor yang telah kehabisan minyak, dan
semuanya, harus dinyalakan.
“Cepat, sampaikan kepada Ki
Samekta dan Wrahasta.”
Seorang penghubung segera
berlari menemui Samekta, sedang pemimpin pengawal yang sedang bertugas itu
berdiri dengan tangan gemetar di luar regol. Tanpa sesadarnya tangannya telah
meraba hulu pedangnya.
Sejenak kemudian Samekta
sendiri telah berdiri di muka pintu regol bersama Wrahasta dan beberapa
pemimpin pengawal yang lain. Dengan wajah yang tegang ia mengawasi gerakan
sepasukan obor yang merayap mendekati pertahanannya.
“Siapkan semua pasukan,“
perintahnya. “Semua laki-laki yang masih mungkin memegang senjata harus bersiap
pula. Agaknya mereka memusatkan serangan mereka ke regol ini. Karena itu,
berikan beberapa kelompok kecil sebagai pengawas saja di regol-regol yang lain.
Tetapi mereka harus berhati-hati. Jangan sampai mereka terjebak. Regol-regol
harus tetap tertutup rapat. Tidak seorang pun dari pasukan pengawal yang
dibenarkan keluar dari lingkungan ini. Lawan agaknya cukup banyak. Kalau kita
terpancing keluar, maka kita akan dihancurkan seluruhnya tanpa dapat berbuat
apa pun.“ Samekta berhenti sejenak, kemudian, ”Semua pengawal yang melayani
alat-alat pelontar senjata jarak jauh harus bersiap di tempatnya. Kalau mereka
mencoba memecah pintu regol, maka semua kekuatan yang ada harus dikerahkan.
Mereka harus dihancurkan sebanyak-banyaknya begitu mereka berdesak-desakan
masuk. Para pengawal harus menjaga sisa dari mereka yang dapat lolos dari
patukan senjata-senjata jarak jauh itu.”
Semua orang yang mendengar
perintah itu menganggukkan kepala mereka. Meskipun tidak sepatah kata yang
keluar dari mulut, namun mereka telah menyatakan kesediaan mereka di dalam
hati. Justru mereka yang ragu-ragu selama ini menjadi mantap kembali. Apalagi
anak-anak muda yang hampir saja diterkam oleh kejemuan, maka kedatangan lawan mereka
itu seolah-olah telah memberikan udara baru bagi mereka.
Sejenak kemudian maka para
pemimpin kelompok telah siap untuk menjalankan tugas masing-masing. Sebelum
mereka meninggalkan regol, mereka masih mendengar Samekta berpesan, “Belum
perlu membunyikan tanda apa pun. Masih ada waktu untuk mencapai segala sudut
desa ini. Khusus untuk Ki Kerti, kita akan mengirim kabar dengan panah
sendaren.”
Wrahasta yang berdiri di
samping Samekta mengerutkan dahinya. Setelah para pemimpin kelompok itu pergi
ke kelompoknya masing-masing, serta menyiapkan diri untuk melakukan perintah
Samekta, maka kini masih ada satu soal yang menyangkut di hati pemimpin pasukan
pengawal itu.
Dengan ragu-ragu Wrahasta
berdesis, “Apakah yang akan kita katakan kepada Ki Argapati yang sedang terluka
itu?”
Samekta tidak segera menjawab.
Tetapi tampak kebimbangan yang dalam membayang di wajahnya. Kalau hal ini
diberitahukan kepada Ki Argapati, maka Samekta yang sudah mengenal watak Kepala
Daerah Perdikannya itu, pasti tidak akan dapat mencegahnya lagi, apabila Ki
Argapati itu sendiri akan turun ke medan perang. Tetapi apabila Ki Argapati itu
tidak diberitahukannya, maka apabila ia gagal mempertahankan desa ini, segala
kesalahan pasti akan ditimpakannya kepadanya. Ki Argapati pasti tidak akan
dapat memaafkannya, kenapa ia tidak menyampaikan persoalan yang penting sekali
ini kepada Kepala Tanah Perdikan.
Dengan demikian, maka pemimpin
pengawal itu telah diamuk oleh keragu-raguan yang tidak segera dapat
dipecahkannya.
“Bagaimana pendapatmu,
Wrahasta?”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku merasa
bahwa apa pun yang kita lakukan adalah salah.”
“Masalah ini tidak kita
persoalkan sebelumnya. Kini kita langsung menghadapi persoalan yang tidak dapat
dipertimbangkan terlampau lama.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia memandang obor-obor yang masih saja bergerak maju, seperti
sejuta kunang yang sedang merayap di atas padang ilalang, ia menarik nafas
panjang-panjang. Katanya, “Mereka menjadi semakin dekat.”
Tanpa sesadarnya Samekta
berpaling. Ditatapnya pring ori yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam.
Tetapi ia tahu, bahwa di belakang carangnya yang rimbun itu, tersembunyi para
pengawal dengan alat-alat pelontar lembing, busur-busur yang besar dan bahkan
pelontar batu-batu.
“Kita tidak dapat berdiam di
sini untuk seterusnya,” desis Wrahasta. “Kita harus berada di dalam regol, dan
pintu regol itu akan kita tutup dan kita selarak kuat-kuat.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya, kita akan segera masuk. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”
Wrahasta termenung sejenak.
Tetapi ia kemudian menggelengkan kepalanya, “Kesalahan kita adalah, kita
menunggu sampai serangan itu benar-benar datang. Selama ini kita seakan-akan
dibius oleh dugaan, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan melakukan serangan itu
segera dalam gelar yang serupa itu.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Katanya, “Gelar yang dipakainya kini pun agaknya masih kurang menguntungkan.
Kalau aku, maka gelar yang lebih baik akan aku pergunakan.”
Wrahasta tidak menjawab.
Dipandanginya saja obor-obor yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.
“Kita berbicara dengan Angger
Pandan Wangi,“ tiba-tiba Samekta bergumam. “Kita akan mendapat bahan tentang Ki
Gede Menoreh. Kita akan dapat mempertimbangkannya, apakah kita akan
melaporkannya atau tidak.”
“Ya, kita menemui gadis itu.
Tetapi waktu kita tidak terlalu banyak.”
Samekta dan Wrahasta pun
segera masuk ke dalam sambil berkata kepada para penjaga, “Pintu regol ini pun
harus segera ditutup. Kalian pun harus masuk pula. Tidak seorang pun boleh di
luar regol.”
“Baik,“ jawab pemimpin
pengawal yang sedang bertugas, “pada saatnya kami pun akan segera masuk.”
Samekta dan Wrahasta dengan
tergesa-gesa segera berusaha menemui Pandan Wangi. Mereka tidak dapat menunda
lagi karena obor-obor di luar lingkungan pring ori telah menjadi semakin dekat.
“Bagaimana dengan Ki
Argapati?“ bertanya Samekta.
“Ayah telah menjadi semakin
baik. Setelah obatnya diperbaharui maka Ayah menjadi semakin ringan. Beberapa
kali ia bangun dan bahkan berjalan-jalan beberapa langkah di seputar biliknya.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Apa pun yang akan
mereka lakukan terhadap Ki Argapati, namun Pandan Wangi sendiri harus
mengetahuinya apa yang telah terjadi di luar regol padesan ini. Karena itu,
maka Samekta itu pun kemudian berceritera tentang obor-obor yang telah mulai
bergerak mendekati regol.
Wajah Pandan Wangi segera
menjadi tegang dan kemerahan. Sejenak ia terdiam. Kemudian terdengar ia
menggeram, “Kakang Sidanti telah benar-benar lupa diri.” Lalu, “Baiklah, aku
akan pergi ke regol desa.”
”Bukan itu yang penting Pandan
Wangi. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian ia berkata,
“Biarlah ayah beristirahat. Kalau keadaan menjadi terlampau parah, kita akan
memberitahutkannya. Kalau tidak, kita tidak perlu membuatnya gelisah.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pertimbangan Pandan Wangi itu cukup bijaksana. Karena itu, maka
katanya, “Beritahukan para pengawal itu Pandan Wangi, agar mereka tidak membuat
kesalahan.”
“Baiklah, aku akan melarang
mereka untuk menyampaikan semua berita tentang lawan kepada Ayah,“ sahut Pandan
Wangi.
Setelah semua pengawal rumah
itu dipesannya, maka Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya.
“Apakah kau harus pergi,
Wangi.”
“Sebentar, Ayah. Aku ingin
melihat keadaan sejenak.”
“Apakah kau mendapat firasat bahwa
sesuatu telah terjadi?”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Tetapi ia menjawab, ”Tidak, Ayah. Tidak ada apa-apa, selain suatu keinginan
yang wajar untuk keluar sejenak dan melihat keadaan para pengawal.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Pergilah, tetapi jangan terlampau
lama.”
”Terima kasih, Ayah. Aku ingin
menemui para pemimpin pengawal di tempat mereka.”
Sejenak kemudian Pandan Wangi
itu pun telah menghambur ke halaman menemui Samekta dan Wrahasta. Mereka
kemudian bersama-sama pergi ke regol desa yang kini telah tertutup rapat-rapat.
Pemimpin penjaga yang berada
di depan pintu regol di bagian dalam segera melaporkan kepada Samekta bahwa
lawan telah berada beberapa langkah saja di depan regol itu.
“Aku akan melihatnya,” desis
Samekta.
Maka pemimpin pengawal Tanah
Perdikan itu pun segera pergi ke samping regol diikuti oleh Wrahasta dan Pandan
Wangi. Dengan sebuah tangga pendek mereka memanjat ke atas, dan di atas sebuah
anjang-anjang bambu mereka dapat melihat gerakan pasukan Sidanti yang menjadi
semakin dekat.
“Semua bersiap,“ Samekta
memberikan aba-aba.
Maka semua orang pun bersiap
di tempat masing-masing. Semua alat pelontar, baik yang ditempatkan di atas
carang-carang ori, maupun yang berada di balik-balik dinding halaman, semua
telah tertuju ke mulut regol yang kini masih tertutup rapat. Sedang sebagian
yang ada di sisi regol, mengarah ke mulut bagian luar dari regol itu.
Di belakang alat-alat pelontar
itu, pasukan pengawal tanah perdikan sudah siap dengan senjata masing-masing.
Sebagian berada di balik dinding-dinding batu, namun ada di antara mereka yang
duduk di atas cabang-cabang pohon dengan busur di tangan mereka.
Pandan Wangi dan Wrahasta pun
telah berada di atas anjang-anjang bambu itu pula. Sekali-sekali terdengar
mereka menggeram. Wajah Pandan Wangi menjadi merah seperti terbakar. Kedua
tangannya telah hinggap di hulu sepasang pedangnya.
Sejenak kemudian maka pasukan
Sidanti pun telah berada di depan mulut regol menebar dalam gelar yang tidak
terlampau luas. Beberapa orang yang berdiri di paling depan tampak seolah-olah
seekor harimau yang sedang merunduk mangsanya, perlahan-lahan mereka maju,
namun pasti.
Dada Samekta menjadi
berdebar-debar. Ia masih belum dapat melihat, siapakah yang berdiri di pusat paruh
pasukan lawannya.
Beberapa langkah dari pintu
regol pasukan lawan itu berhenti. Kemudian seseorang yang berwajah keras
seperti batu-batu padas, berkumis dan berjanggut, berhidung lengkung seperti
paruh burung betet, maju ke depan. Itulah Ki Tambak Wedi, pemimpin dari seluruh
pasukan lawan yang kini berada di mulut regol.
Sejenak kemudian orang tua itu
terhenti. Dipandanginya pintu regol yang tertutup rapat-rapat. Kemudian lampu
yang masih menyala di luar. Lalu dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan
di samping regol.
Seandainya bukan Ki Tambak
Wedi, dan seandainya matanya tidak setajam mata burung hantu, ia tidak akan
melihat apa pun di balik carang ori dalam kegelapan itu. Tetapi agaknya Ki
Tambak Wedi tidak dapat dikelabuhi lagi. Sambil menunjuk ke arah para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan Menoreh ia berkata, “He, siapakah yang memegang
pimpinan kali ini?”
Dada Samekta berdesir. Namun
ia tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi dapat melihatnya dengan jelas.
“He, siapa yang memegang
pimpinan?”
Debar di dada Samekta masih
belum mereda. Ia bukan seorang yang merasa dirinya kurang bernilai untuk
memimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Sebagai seorang yang telah memiliki
pengalaman yang berpuluh tahun, ia yakin, bahwa ia mampu memegang pimpinan dalam
keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi ketika ia berhadapan
dengan Ki Tambak Wedi, terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.
Namun agaknya bukan hanya
Samekta sendiri yang dihinggapi oleh perasaan yang aneh. Setiap pengawal yang
berada di atas cabang-cabang pering ori, yang melihat orang tua itu berdiri
dengan kaki merenggang di luar regol yang tertutup rapat itu, hati mereka pun
berdesir. Serasa mereka melihat hantu yang datang dari lereng Gunung Merapi,
siap untuk menyebarkan maut. Apalagi ketika mereka melihat di tangan hantu tua
itu tergenggam sebuah nenggala yang mengerikan.
“He, apakah kalian tuli?“
teriak Ki Tambak Wedi, “atau bisu, atau mati ketakutan?”
Samekta menggeram. Ia tidak
dapat berdiam diri untuk seterusnya. Karena itu, ia melangkah setapak maju
sambil menggeretakkan giginya, seakan-akan mencari sandaran kekuatan untuk
menjawab pertanyaan Ki Tambak Wedi itu.
Tetapi terasa darahnya
tiba-tiba saja berhenti mengalir. Bukan saja Samekta, namun juga Wrahasta,
Pandan Wangi, dan bahkan semua orang yang kemudian mendengar suara tertawa
perlahan-lahan. Dalam kegelapan mereka kemudian melihat sebuah bayangan yang
meloncat dari belakang rimbunnya carang ori di sisi regol yang lain ke atas
bubungan atap. Kemudian bayangan itu berhenti tepat di tengah-tengah bubungan
regol itu.
Hampir tidak percaya setiap
pengawal tanah perdikan menyaksikan bayangan yang berdiri dengan teguhnya
sambil menggenggam sebuah tombak pendek.
Di sela-sela detak jantumg
para pemimpin dan para pengawal, mereka mendengar bayangan itu berkata, “Sudah
tentu, akulah yang memimpin pasukanku, Ki Tambak Wedi.”
Sejenak suasana dicengkam oleh
kesenyapan yang menegangkan. Semua mata kini hinggap pada bayangan yang berdiri
di bubungan atap dengan tombak pendek di tangannya.
Seperti orang yang mengigau
terdengar suara Pandan Wangi lambat, “Ayah. Kenapa ayah berada di situ?”
Samekta yang masih belum dapat
menenangkan dirinya berpaling. Dengan telapak tangannya ia menekan dadanya
sambil berdesis, “Agaknya Ki Argapati mengetahui apa yang telah terjadi.”
“Tetapi,“ gumam Wrahasta,
“bagaimana dengan lukanya itu?”
Tidak seorang pun yang dapat
menjawab semua pertanyaan itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak
Wedi, ”He, kau Argapati. Apakah luka-lukamu sudah sembuh? Ternyata kau
benar-benar seorang yang mempunyai nyawa rangkap, atau kau menyimpan seorang
dukun yang tidak ada duanya di muka bumi?”
Terdengar Ki Argapati tertawa
perlahan-lahan. Jawabnya, ”Tidak ada yang mustahil terjadi di muka bumi ini
apabila Tuhan berkenan, Tambak Wedi. Aku masih mendapat kurnia umur beberapa
waktu lagi. Apa pun caranya, namun aku telah mendapat kesembuhan daripada-Nya.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi kehadiran Ki Argapati itu ternyata telah mempengaruhinya. Bukan saja
dirinya sendiri, tetapi Sidanti, Argajaya, Ki Wasi dan apalagi Ki Muni, menjadi
membatu di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesosok hantu yang berdiri di
atas bubungan atap regol.
Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh pun sangat terpengaruh pula oleh kehadiran Kepala Tanah Perdikannya
itu. Apabila semula mereka menjadi kecut melihat Ki Tambak Wedi yang berdiri
tegak dengan nenggala di tangannya di muka regol desa itu sambil
memanggil-manggil pimpinan pasukan pengawal, maka dada mereka kini serasa
tersiram embun. Sehingga kecemasan, keragu-raguan apalagi ketakutan telah
terusir. Di samping Ki Argapati, semua anggauta pasukan pengawal, bahkan setiap
laki-laki yang dengan suka rela telah menyatakan diri ikut berperang, tidak
lagi akan mengenal takut, meskipun ujung senjata lawan akan membelah dada
mereka.
“Ki Argapati,“ terdengar suara
Ki Tambak Wedi, ”apabila benar kau telah berhasil mengatasi lukamu, maka
sebaiknya kau membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar untuk selanjutnya.
Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada tindakan bodoh seperti yang kau
lakukan kali ini? Apa artinya beberapa buah desa kecil yang kau duduki
sekarang? Kalau kita mengepungmu siang dan malam, maka kalian akan mati
kelaparan. Tetapi kami masih dapat berpikir bening, bahwa orang-orang yang terperosok
ke dalam kedunguan karena kesetiaannya yang mati kepadamu itulah, maka kami
masih tetap memberi kesempatan kepada kalian untuk merampas bahan makanan dari
desa-desa di sekitar sarangmu ini. Karena itu, apakah kau tidak pernah berpikir
untuk mengakhiri tindakan yang bodoh ini? Aku menjamin bahwa kau akan tetap
diperlakukan dengan baik dan dihormati. Kami tidak akan melakukan tindakan apa
pun terhadap orang-orang yang kini tetap setia kepadamu. Sehingga dengan
demikian, penyelesaian akan segera dapat dicapai.“
Ki Argapati tidak segera
menjawab. Tetapi ia tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Kalau bukan kau yang
mengatakannya, Ki Tambak Wedi, mungkin aku akan percaya. Tetapi karena kau yang
mengucapkannya, maka ceritamu itu tidak lebih dari kata-kata banyolan dalam
pertunjukan tari topeng.”
Jawaban itu telah membakar
dada Ki Tambak Wedi. Tetapi ia masih berusaha menguasai perasaannya. “Kalau
begitu, Ki Argapati, apakah aku harus mempergunakan kekerasan?”
“Kenapa kau bertanya
kepadaku?”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baiklah,“ geramnya. Orang tua itu pun kemudian mengangkat
tangannya. Digerakkannya tangan itu melingkar sekali, kemudian diayunkannya
tangannya maju ke depan.
Sesaat kemudian maka obor-obor
pun mulai bergerak pula perlahan-lahan. Yang memimpin pasukan itu adalah Ki
Wasi dan Ki Muni. Sidanti dan Argajaya, meskipun ikut di dalam pasukan itu,
tetapi mereka tidak berdiri di ujung barisan. Kecuali mereka tidak merasa perlu
untuk menampakkan diri, mereka masih mempunyai tugas untuk mengawasi seandainya
orang-orang yang sedang mereka cari itu benar-benar hadir di dalam peperangan.
Ki Argapati yang melihat
obor-obor itu telah mulai bergerak, menarik nafas dalam. Sesaat kemudian ia
berpaling, seakan-akan ingin melihat apakah orang-orangnya telah siap pula
menyambut kedatangan lawan.
“Kita tidak akan menunggu lagi
bukan, Ki Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi. Lalu, “Kecuali apabila kau
merubah pendirianmu.”
“Memang,” jawab Ki Argapati,
“kita tidak perlu menunggu siapa pun. Kita akan segera mulai.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Tetapi ia pun kemudian melangkah surut menyongsong pasukannya yang bergerak
semakin maju.
Ki Argapati pun kemudian
meninggalkan tempatnya pula. Tetapi ia tidak kembali ke tempat darimana ia
meloncat ke bubungan atap regol itu. Tetapi ia kemudian pergi mendapatkan
Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan para pemimpin yang lain.
“Apakah kalian telah siap?”
bertanya Ki Argapati.
“Maaf Ki Gede. Bukan maksud
kami meninggalkan Ki Gede. Tetapi kami tidak sampai hati mengganggu Ki Gede
yang masih belum sehat benar.”
“Aku tahu maksudmu. Karena
itu, kita tidak perlu mempersoalkannya lagi.”
“Tetapi dari mana Ayah
mengetahui hal ini?“ bertanya Pandan Wangi.
“Aku menaruh curiga atas
kepergianmu yang tiba-tiba. Kemudian aku keluar halaman dan bertanya kepada
orang-orang yang sibuk hilir-mudik di sepanjang jalan.”
Pandan Wangi menarik nafas.
Yang dipesannya hanyalah para pengawal yang menjaga rumah itu, tetapi sudah
tentu ia tidak akan dapat berpesan kepada setiap orang.
“Sekarang,“ berkata Ki
Argapati, “kita akan mulai. Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk
melawan kali ini, dan mempertahankan tempat ini. Kalau kita terusir dari tempat
ini, maka kehancuran sudah berada di ambang pintu.”
Samekta menganggukkan kepalanya.
Kemudian diberikannya isyarat kepada setiap kelompok. Beberapa penghubung telah
tersebar, membawa perintah pemimpin pasukan pengawal itu.
Namun sementara itu, Pandan
Wangi terkejut ketika ia melihat ayahnya menyeringai sambil memegangi dadanya.
Dengan cemas ia mendekat dan bertanya terbata-bata, “Kenapa dengan luka itu,
Ayah?”
“Tidak apa-apa.”
“Seharusnya Ayah masih
beristirahat. Dan kami memang ingin mempersilahkan Ayah beristirahat.”
“Aku harus ada di sini Pandan
Wangi,“ jawab ayahnya, “meskipun aku belum sehat benar.“ Orang tua itu berhenti
sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya. Ketika tidak dilihatnya
orang lain kecuali Samekta dan Wrahasta, yang berada di dekatnya, maka ia
berkata lirih, “Aku harus ada di peperangan ini meskipun aku belum cukup kuat
untuk bertempur. Aku tidak dapat membiarkan para pengawal menjadi ketakutan
melihat Ki Tambak Wedi. Kehadiranku akan memperbesar hati mereka dan memperkuat
perlawanan mereka.“ Ki Argapati berhenti sejenak. Sekali lagi ia menyeringai menahan
sakit yang mulai menyentuh lukanya kembali.
Pandan Wangi, Samekta, dan
Wrahasta menjadi cemas melihat keadaan Ki Argapati. Namun di dalam hati mereka
menjadi semakin menundukkan kepala mereka. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak
menghiraukan keadaannya sendiri. Tetapi ia lebih memelihara ketahanan hati para
pengawal. Sebab ia yakin, bahwa kehadirannya akan sangat berpengaruh pada
perasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, tetapi Ki
Argapati tidak akan dapat dibiarkan menjadi korban, selama hal itu masih dapat
dihindarinya.
“Pandan Wangi,“ berkata Ki
Argapati, “sebentar lagi kedua pasukan yang berhadapan ini akan berbenturan.
Aku akan turun. Aku akan menunggu di bawah, di dalam regol. Kalau Ki Tambak
Wedi berkeras akan memecahkan regol itu, dan memasuki padesan ini, apa boleh
buat. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat bertempur sendiri. Aku memerlukan
beberapa orang kawan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi.”
“Aku akan berkelahi di samping
Ayah,“ jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Baik, Wangi. Tetapi sekedar dengan kau, kita masih belum akan dapat
mengatasinya.”
“Kita buat sekelompok kecil
pengawal pilihan buat melawannya, Ayah.”
“Kita harus segera
mempersiapkan. Aku melihat Ki Wasi dan Ki Muni di barisan lawan. Adalah tugasmu
Samekta dan Wrahasta, meskipun aku perlu memperingatkan, bahwa kalian
masing-masing tidak akan dapat melawan seorang lawan seorang.”
“Ya, Ki Gede,” sahut keduanya
hampir bersamaan.
“Mudah-mudahan mereka tidak
akan memasuki desa ini. Aku melihat gelar mereka kurang lengkap untuk melawan
alat-alat pelontar yang telah siap di depan regol itu.”
“Mudah-mudahan, Ki Gede.”
“Baiklah, aku akan turun
bersama Pandan Wangi. Awasi keadaan dan kaulah yang akan memberikan
perintah-perintah berikutnya. Aku telah cukup berusaha. Ki Tambak Wedi harus
membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah ia melihat aku. Demikian juga
orang-orangnya. Aku berusaha sejauh-jauh dapat aku lakukan, membuat kesan bahwa
lukaku sudah tidak berbahaya lagi.”
“Silahkan, Ki Gede,“ sahut
Wrahasta, “kami akan berusaha sejauh mungkin.”
Ki Argapati dan Pandan
Wangipun segera turun dari tempatnya. Mereka mengambil tempat di pinggir jalan
beberapa puluh langkah dari regol, di belakang para pengawal yang telah siap
dengan alat-alat pelontar dan busur-busur.
Sejenak kemudian pasukan Ki
Tambak Wedi pun menjadi semakin dekat. Obor-obor mereka menjadi semakin jelas
menerangi wajah-wajah yang tegang. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi memberikan
isyarat dengan tangannya dan disambut oleh setiap pemimpin di dalam pasukannya,
maka kemudian terdengar mereka bersorak gegap gempita. Langkah mereka menjadi
semakin cepat dan obor mereka pun terangkat tinggi-tinggi sambil
mengacung-acungkan senjata pula.
Mereka yang berperisai segera
mengambil tempat di depan untuk melindungi lontaran-lontaran senjata jarak
jauh. Kemudian diikuti oleh mereka yang bersenjatakan pedang dan tombak.
Samekta menjadi berdebar-debar
melihat arus pasukan Ki Tambak Wedi. Pasukan itu memusatkan serangannya pada
regol desa, dan sedikit menebar sebelah-menyebelah sebagai sayap pasukannya.
Agaknya mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat menerobos masuk lewat pagar
pring ori. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah regol-regol desa.
Ketika pasukan itu telah
berada dalam jarak jangkau alat-alat pelontar lembing, maka Samekta segera
melepaskan perintah. Sejenak kemudian, maka dari sela-sela carang-carang ori
itu meluncurlah berpuluh-puluh lembing menghujani pasukan Ki Tambak Wedi.
Ki Tambak Wedi memang sudah
menduga, bahwa mereka pada saatnya harus melawan senjata-senjata itu. Karena
itu, maka mereka yang membawa perisai segera mengambil tempat dan berusaha
menangkis serangan-serangan itu. Tetapi lembing itu meluncur terlampau keras,
sehingga kadang-kadang beberapa orang yang kurang kuat, tergetar dan terdorong
surut beberapa langkah ketika perisai-perisai mereka membentur lembing yang
meluncur dengan derasnya.
Tetapi arus pasukan itu
ternyata cukup deras. Meskipun satu-satu korban berjatuhan, namun mereka sama
sekali tidak dapat ditahan lagi. Apalagi ketika pasukan panah Ki Tambak Wedi
telah mengambil tempatnya dan membalas serangan-serangan itu dengan anak-anak
panah mereka. Meskipun para pengawal berperisai carang ori yang rimbun, namun
satu dua di antara anak-anak panah itu berhasil menembus dan melukai para
pengawal.
“Pecah pintu itu,“ teriak Ki
Tambak Wedi yang memimpin langsung pasukannya.
Beberapa orang kemudian
berlari-lari semakin dekat ke arah pintu regol. Bersama-sama mereka berusaha
memecah pintu itu. Mereka mendorong sekuat-kuat tenaga mereka bersama-sama.
Sementara kawan-kawan mereka melindungi mereka dengan serangan anak-anak panah
kepada para pengawal.
Tetapi pintu regol itu adalah
pintu yang sangat kuat, sehingga usaha itu pun tidak segera dapat berhasil.
“Cepat, pecahkan pintu,“
perintah Ki Tambak Wedi.
Ki Wasi dan Ki Muni yang telah
berdiri di muka pintu, itu menggelengkan kepalanya, “Terlampau sulit,“ katanya,
“pintu ini terlampau kuat.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Sementara itu anak-anak panah meluncur terus dari kedua belah pihak.
Bahkan kemudian beberapa orang telah mulai melontarkan obor mereka ke dalam
pagar rumpun bambu ori.
”Bakar regol itu,” teriak Ki
Tambak Wedi kemudian.
Ki Wasi mengerutkan keningnya.
Namun perintah itu telah menjalar dari setiap mulut, “Bakar, bakar.”
Beberapa orang yang berusaha
memecahkan pintu itu pun segera meloncat surut. Yang kemudian melangkah maju
adalah mereka yang membawa obor di tangan mereka. Sambil berteriak-teriak
mereka melemparkan obor-obor mereka ke pintu regol. Minyak yang ada di dalam
obor-obor itu pun kemudian tumpah dan mengalir membasahi tlundak pintu. Sedang
obor-obor itu pun saling membakar satu sama lain.
Dengan cepatnya maka api pun
segera berkobar. Yang mula-mula terbakar adalah bumbung-bumbung bambu tangkai
obor yang telah basah oleh minyak. Namun kemudian tlundak pintu yang sudah
diperciki oleh minyak itu pun mulai terbakar pula. Sedikit demi sedikit, api
merambat tanpa dicegah sama sekali.
Para pengawal yang melihat api
mulai menjilat regol mereka segera bergerak. Tetapi Ki Gede Menoreh mencegah
mereka sambil berkata, “Jangan mendekat. Kalian akan terpancing. Kalau kalian
berusaha memadamkan api itu, maka kalian tidak akan dapat melihat api itu
padam, karena leher kalian akan terpenggal.”
Para pengawal pun segera
mengurungkan niatnya. Sekali-sekali mereka memandang Samekta dan Wrahasta di
tempatnya. Tetapi agaknya mereka pun sependapat dengan Ki Gede Menoreh meskipun
mereka belum membicarakannya. Ternyata bahwa Samekta pun sama sekali tidak
memberikan perintah apa pun.
Sejenak kemudian maka api pun
segera berkobar semakin tinggi. Pintu regol itu sedikit demi sedikit termakan
oleh api yang melonjak sampai ke bubungan. Dan sejenak kemudian maka regol desa
itu telah menjadi seonggok api yang berkobar-kobar seolah-olah akan menjilat
langit.
Cahaya merah yang seram telah
memancar ke sekitar. Onggokan api itu menyentuh wajah-wajah yang tegang di
dalam dan di luar regol. Pasukan kedua belah pihak seolah-olah membatu di
tempat masing-masing.
Namun Samekta dan Wrahasta
beserta beberapa orang pengawal yang bertengger di atas anjang-anjang dengan
alat-alat pelontar mereka, sebelah-menyebelah regol itu, tidak dapat menahan
panas api itu lagi. Mereka terpaksa beringsut dan menjauh.
“Panggil Samekta,” perintah Ki
Gede.
Seorang pengawal pun kemudian
menemui Samekta yang basah oleh keringatnya yang seakan-akan terperas dari
dalam tubuhnya.
Dengan tergesa-gesa ia pergi
menghadap Ki Argapati.
“Pimpin pasukanmu dari tempat
ini. Aku akan mendampingimu,“ berkata Ki Argapati.
“Tetapi apakah Ki Gede tidak
beristirahat saja dahulu.”
Ki Argapati menggeleng. Justru
nyala api itu seakan-akan telah menyingkirkan segala perasaan sakitnya.
Bagaimanapun juga, maka ia harus menyiapkan diri, dalam keadaannya itu, untuk
mempertahankan pemusatan pasukannya.
Samekta dan Wrahasta pun
kemudian berdiri sebelah menyebelah Ki Argapati dan Pandan Wangi. Di tangan
mereka telah tergenggam senjata masing-masing yang telanjang.
Sekilas Samekta melihat para
pengawal yang kepanasan berdiri berlindung di balik pagar-pagar batu. Namun
mereka tetap berada di tempat. Mereka tidak mau meninggalkan alat-alat pelontar
lembing dan busur besar mereka. Apabila api itu nanti mereda, dan pasukan lawan
akan menerobos masuk, maka adalah menjadi kewajiban mereka untuk menahan arus
itu. Apabila mereka gagal mengurangi derasnya arus lawan, maka para pengawal
yang telah siap menunggu, setengah lingkaran di dalam regol itu pun pasti akan
pecah, seperti pecahnya bendungan oleh banjir bandang. Karena itu, maka mereka
merasa bertanggung jawab untuk menahan mereka sekuat-kuat tenaga.
Selama api itu masih berkobar,
maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melampauinya. Baik memasuki maupun
keluar dari desa ini. Karena itu, selama api masih berkobar, mereka di kedua
pihak hanya dapat menunggu. Sekali-sekali masih juga ada lontaran-lontaran
lembing dari para pengawal di sebelah-menyebelah regol, namun jarak mereka
menjadi terlampau jauh karena mereka tidak tahan lagi terhadap panasnya api.
“Jangan terpancing keluar,“
desis Ki Argapati.
“Aku sudah mengeluarkan
perintah itu,” sahut Samekta.
“Bagus. Apabila kita
terpancing keluar dan menghalangi setiap alat pelontar itu, maka kita akan
dibinasakan.”
“Ya,“ Samekta mengangguk.
Tetapi tatapan matanya tidak berkisar dari api yang seolah-olah menari-nari
dalam buaian angin yang silir.
Sejenak kemudian, api pun
mulai mereda. Karena itu, maka setiap orang di dalam regol segera mempersiapkan
diri. Mereka harus mempergunakan setiap kekuatan untuk menahan arus pasukan
Tambak Wedi. Mereka harus mengurangi jumlah mereka sebanyak-banyaknya.
Namun baik Ki Argapati, maupun
Samekta dan para pemimpin yang lain tidak mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi pun
telah mengeluarkan perintah agar pasukannya pun jangan melampaui regol yang
sedang terbakar itu.
“Terlampau berbahaya. Kita
akan terlampau banyak memberikan korban, karena kita tidak mempersiapkan
peralatan untuk itu.”
Ki Muni mengerutkan dahinya.
Tetapi ia tidak membantah. Dalam keadaan serupa itu, Ki Tambak Wedi pasti tidak
akan dapat diajaknya untuk bergurau. Orang tua itu pasti akan segera menjadi
muak mendengar ia membual.
Tetapi meskipun demikian, ia
bertanya, “Lalu apakah yang akan kita lakukan sesudah api itu padam?”
“Kita mengharap Argapati
membawa pasukannya keluar.”
Ki Muni mengerutkan keningnya.
Tetapi ia terdiam sambil mengawasi api yang semakin susut.
Ketika mereka telah dapat
memandang melangkahi nyala api yang sudah menjadi semakin kecil, maka dalam
keremangan cahaya kemerah-merahan, dalam jarak beberapa puluh langkah di luar
dan di dalam regol, kedua pasukan itu saling dapat melihat, siapakah yang
berdiri memegang pimpinan.
Ki Tambak Wedi menggeram
ketika ia melihat samara-samar Ki Argapati berdiri tegak di samping puterinya
yang telah menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian pemimpin pasukan pengawal,
Samekta dan Wrahasta.
“Tidak seorang pun yang dapat
dibanggakan di dalam pasukan Argapati itu selain ia sendiri,“ tanpa sesadarnya
Ki Tambak Wedi menggeram.
“Nah, kenapa kita tidak akan
memasuki regol?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Kemudian dengan agak keras ia menyahut, “Kita bukan orang-orang yang
paling bodoh di medan peperangan. Sudah aku katakan, korban akan terlampau
banyak. Aku yakin bahwa aku akan dapat hidup, tetapi belum tentu dengan kau.”
Wajah Ki Muni yang
kemerah-merahan karena sentuhan sinar api, menjadi semakin merah membara.
Seandainya yang berkata demikian itu bukan Ki Tambak Wedi, maka ia pasti tidak
akan membiarkan dirinya terhina. Tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia harus
berpikir untuk kesekian kalinya sebelum ia berbuat sesuatu.
Karena itu, maka yang
terdengar adalah gemeretak giginya. Namun ia tidak menjawab lagi. Kini matanya
yang tajam memandang api yang semakin lama semakin surut, dan lamat-lamat
dilihatnya pula Argapati berdiri tegak dengan tombok pendeknya di samping
puterinya yang cantik Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu seakan-akan sama
sekali bukan seorang gadis lagi. Dengan sepasang pedang di tangannya, Pandan
Wangi itu bagaikan bunga pandan yang dikitari oleh seonggok duri-duri yang
tajam.
Di samping ayah beranak itu,
berdirilah para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan. Hampir semuanya sudah
dikenal oleh Ki Muni, Samekta, Wrahasta, dan yang lain lagi. Mereka bukannya
orang-orang yang berhati seringkih batang ilalang. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang berpendirian teguh.
Ki Argapati yang berdiri di
dalam regol pun melihat, siapa yang berada di pasukan lawan. Ia melihat pula
betapa Ki Tambak Wedi dengan tegang memandang api yang semakin surut. Di
sebelah-menyebelah berdiri kedua orang yang dikenalnya dengan baik pula, Ki
Wasi dan Ki Muni.
Sebagai seorang yang memiliki
pengamatan yang tajam, maka Ki Argapati melihat, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak berhasrat untuk memasuki pedesan itu setelah api mereda.
Karena itu, maka ia menjadi ragu-ragu di dalam hati, apakah sebenarnya yang
akan dilakukan oleh iblis dari lereng Gunung Merapi itu.
Meskipun demikian Ki Argapati
tidak dapat lengah. Ia harus tetap berada dalam kesiagaan yang tertinggi.
Mungkin Ki Tambak Wedi sengaja membuat gelar yang meragukan lawannya, tetapi
kemudian dengan tiba-tiba memukul tanpa ampun.
Bahwa Sidanti dan Argajaya
tidak tampak di dalam pasukan itu pun membuatnya agak bercuriga. Sehingga
perlahan-lahan ia bertanya kepada Samekta, “Bagaimana dengan regol-regol
samping yang lain.”
“Aku telah menempatkan
pengawasan yang cukup Ki Gede. Kalau terjadi sesuatu di sana, mereka pasti akan
memberikan isyarat.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Aku tidak melihat Sidanti dan Argajaya di ujung barisan
mereka.”
“Mungkin mereka masing-masing
memimpin sayap pasukan itu.”
Ki Argapati
mengangguk-angukkan kepalanya. Tetapi terasa hatinya menjadi terlampau pedih.
Jauh lebih pedih dari luka badaniah di dadanya. Adiknya sendiri ternyata telah
melawannya pula. Bahkan anak yang sejak kecil dipeliharanya, betapapun ia
menghadapi kenyataan yang paling pahit. Kini, seperti memelihara anak-anak
harimau, ia harus berhadapan sebagai lawan, setelah harimau itu menjadi besar
dan kuat.
Sementara itu, agak jauh dari
nyala api regol yang telah susut, tiga orang berdiri termangu-mangu di
tempatnya. Seakan-akan tanpa berkedip mereka memandangi keadaan yang sedang
berkembang di sebelah menyebelah regol yang sedang dimakan api itu.
Dengan tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka berkata, ”Apalagi yang kita tunggu?”
Seorang tua yang ada di antara
mereka berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Guru,“ sahut orang yang
pertama, seorang anak muda yang gemuk, “buat apa Guru memanggil aku dan
berlari-lari kemari? Aku kira lebih baik berbaring di gubug itu daripada
berdiri di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, ”Kita melihat keadaan. Kalau kita tergesa-gesa
berbuat sesuatu, mungkin kita akan melakukan kesalahan. Karena itu, kita harus
memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Apakah tindakan kita itu
menguntungkan atau justru sebaliknya.”
“Tetapi sebentar lagi api itu
akan padam. Pasukan Tambak Wedi akan segera menghambur masuk ke dalam desa itu
dan memecahkan pertahanan Argapati. Betapapun juga Ki Argapati masih dalam
keadaan luka. Sudah tentu ia tidak akan dapat berhadapan dengan Ki Tambak
Wedi.”
“Tambak Wedi bukan iblis
Gupala,“ jawab orang tua itu, “ia adalah manusia biasa seperti kita. Ujung
lembing yang dilontarkan dari alat-alat pelontar itu, apabila mengenainya, akan
menyobek kulitnya pula. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari orang
kebanyakan karena ia mesu diri, namun pada suatu batas tertentu, ia pun akan
dapat dilumpuhkan.”
“Meskipun demikian, Guru,“
sahut Gupala, “ia mempunyai pasukan pula. Pasukannyalah yang akan dijadikannya
perisai dari serangan-serangan lembing dan anak panah.”
“Kau benar. Tetapi aku kira
Tambak Wedi bukan seorang yang terlampau bodoh untuk mengorbankan terlampau
banyak orang-orangnya. Aku tidak melihat persiapan yang cukup untuk memasuki
regol itu.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu ”Seandainya demikian, Tambak
Wedi masih memerlukan waktu. Seandainya api itu padam, maka Tambak Wedi masih
harus menunggu lagi. Orang-orangnya tidak akan dapat berjalan di atas bara
sementara alat-alat pelontar dari dalam regol menyerang mereka seperti hujan.
Kalau memang itu yang dikehendakinya aku tidak tahu.”
Gupala menarik keningnya. Ia
tidak berani membantah lagi. Betapapun hatinya bergolak, namun ia berdiri saja
dengan gelisahnya. Sekali-sekali dirabanya cambuknya yang melingkar di lambung.
Namun kemudian ditimang-timangnya sehelai pedang yang didapatkannya dari lawannya.
“Seandainya Ki Tambak Wedi
memang merencanakan untuk masuk ke dalam lingkungan bambu ori itu, maka
pasukannya pasti dilengkapi dengan perisai jauh lebih banyak dari yang ada
sekarang.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sedang anak muda yang seorang lagi berdiri saja seolah-olah membeku.
Namun hatinya dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan. Meskipun ia tidak
berkata sepatah kata pun, namun sebenarnya perasaannya tidak jauh berbeda
dengan adik seperguruannya. Tetapi ia masih dapat menahan diri tanpa menyatakan
perasaannya itu.
Sejenak mereka bertiga terdiam
sambil menahan nafas. Api yang menelan regol desa itu sudah menjadi semakin
surut. Namun belum ada tanda-tanda, bahwa Ki Tambak Wedi akan menyerang
memasuki pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Aku hampir pasti bahwa Ki
Tambak Wedi tidak akan memasuki regol,“ berkata orang tua itu tiba-tiba.
Kedua anak-anak muda yang
berdiri di sisinya menganggukkan kepala mereka. Mereka pun tidak melihat
tanda-tanda itu. Namun mereka tidak menyahut.
Dalam pada itu, baik
orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi maupun Ki Argapati, dengan susah
payah menahan diri masing-masing untuk tidak terdorong oleh perasaan mereka.
Tangan-tangan mereka telah gemetar dan dada mereka pun telah bergelora. Tetapi
masing-masing tidak akan dapat melanggar perintah dari pemimpin tertinggi
mereka, bahwa masing-masing tidak boleh melangkahi regol yang kini telah
menjadi bara.
Kedua belah pihak berdiri
termangu-mangu menunggu perkembangan keadaan. Ki Tambak Wedi mengharap para
pengawal itu terpancing keluar. Apabila demikian, maka mereka akan dapat
dibinasakan, karena kekuatan Ki Tambak Wedi tidak akan berkurang karena
serangan-serangan alat-alat pelontar yang cukup berbahaya itu.
Sedangkan Ki Argapati mengharap
pasukan Ki Tambak Wedi itu memasuki pertahanannya. Selama mereka
meloncat-loncat menghindari bara yang akan menyengat kaki mereka, maka
alat-alat pelontar lembing, busur-busur dan bahkan bandil-bandil besar akan
dapat mengurangi kekuatan lawan.
Tetapi hingga api menjadi
semakin surut, dan bahkan hampir padam kedua belah pihak sama sekali tidak
bergerak. Mereka berdiri di tempat masing-masing dalam kesiagaan penuh.
Sekali-kali terdengar beberapa
dari mereka menggeram. Tangan-tangan mereka menjadi gemetar dan kaki-kaki
mereka seakan-akan tidak dapat mereka tahankan lagi untuk meloncat menyergap
lawan yang telah berada di depan hidung mereka.
“Argapati,” tiba-tiba
terdengar suara Ki Tambak Wedi melengking. “Kenapa kau tidak berbuat sesuatu
pada saat kami membakar regol pertahananmu? Apakah regol itu memang sudah tidak
kau perlukan lagi atau kau sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk
mencegahnya?”
Yang terdengar adalah geram
Wrahasta dan para pengawal yang lain. Namun Ki Argapati sendiri tersenyum sambil
menjawab keras-keras, “Masuklah Ki Tambak Wedi. Pintu kami telah terbuka. Apa
yang kau tunggu lagi? Bukankah kau ingin merebut kedudukan kami yang terakhir
ini? Ayolah, jangan segan-segan kalau kau memang merasa cukup mampu.”
“Persetan!” jawab Ki Tambak
Wedi. “Kau sangka aku tidak dapat merebutnya dalam sekejap?”
“Kenapa tidak kau lakukan?
Apakah kau belum mempersiapkan perisai yang cukup untuk menerobos pasukan
pelontar lembing kami? Atau kau merasa bahwa sampai orangmu yang terakhir pasti
akan terhenti di regol yang telah menjadi abu itu?”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Kemudian terdengar ia berteriak, “He. Apakah lukamu masih belum sembuh benar?”
“Kenapa kau bertanya tentang
lukaku? Ki Tambak Wedi, aku sudah siap menyambutmu. Marilah, aku persilahkan
kalian masuk.”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Namun dicobanya untuk melihat wajah-wajah di sekitar Ki Argapati pada
sisa-sisa cahaya api yang telah memusnahkan regol desa itu. Tetapi ia tidak
menemukan orang yang dicarinya.
Karena itu, setelah ia yakin,
bahwa yang dicarinya tidak ada, maka ia tidak merasa perlu untuk berada di
tempat itu terlampau lama. Ia telah memberikan kejutan yang pasti akan
berpengaruh pada para pengawal. Karena itu, maka orang tua itu pun kemudian
berkata lantang, “Tidak Argapati. Kali ini aku tidak akan singgah di desa yang
sunyi dan mati ini. Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah
orang-orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang tebal. Kami datang sekedar
memberi kau peringatan. Tetapi kalau kau masih juga berlaku bodoh, maka aku
tidak akan memaafkanmu lagi. Karena itu, dengarlah Argapati. Malam ini aku
merasa perlu untuk mengasihani kau dan orang-orangmu yang tidak tahu-menahu
alasan apakah yang kau pegang sampai saat ini, sehingga kau masih tetap berkepala
batu. Tetapi aku tidak akan berbuat demikian untuk seterusnya. Aku akan
mengepung tempat ini rapat-rapat dalam dua hari dua malam. Kalau kau tidak
berubah pendirianmu, maka pada hari yang ketiga, bukan saja regolmu yang kami
bakar, tetapi kami akan membakar seluruh rumpun pering ori ini. Memang sulit
untuk membakar rumpun bambu yang masih berdiri. Tetapi kami yakin bahwa kami
mampu melakukannya. Seterusnya, desa yang sunyi dan mati ini akan menjadi
kuburan yang luas bagi kalian yang dungu.”
Wrahasta, yang darahnya masih
terlampau cepat mendidih, tidak dapat bersikap terlampau tenang seperti Ki
Argapati. Tetapi ketika ia bergerak maju, tangan Ki Argapati menggamitnya.
Dengan wajah yang tegang Wrahasta memandang Ki Argapati yang masih saja
tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hinaan itu ditanggapinya acuh tak acuh
saja.
“Tenanglah,” desis Ki
Argapati. Kemudian kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Apa pun yang kau katakan,
Ki Tambak Wedi. Tetapi kami tahu apakah yang sebenarnya telah menahanmu.
Meskipun demikian, terserahlah kepadamu. Kalau kau ingin kembali dahulu,
mempersiapkan dirimu, silahkanlah. Aku akan menunggu. Sehari, dua hari, atau
hari yang ketiga seperti yang kau katakan.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi ia mempunyai cukup pengalaman, sehingga ia tidak mudah lagi dibakar oleh
perasaannya, seperti juga Ki Argapati. Karena itu, maka jawabnya, “Baiklah. Aku
akan kembali. Di hari ketiga, aku akan datang. Mudah-mudahan kau sudah sembuh.
Sehingga kau tidak akan mengecewakan aku.”
Ki Argapati tidak menjawab.
Dengan tajamnya diawasinya segala macam gerak gerik iblis dari lereng Gunung
Merapi itu. Namun agaknya Ki Tambak Wedi benar-benar menarik pasukannya.
Selangkah demi selangkah mereka mundur. Semakin lama semakin jauh dari mulut
lorong yang sudah tidak beregol lagi.
Sementara itu Ki Muni
mendekatinya sambil berkata, “Kenapa kita harus menunggu tiga hari lagi? Itu
sikap yang sangat bodoh.”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Justru kepalanya tertunduk seolah-olah sedang menghitung langkah
kakinya. Namun agaknya ia sedang berpikir tentang pasukannya dan pasukan
Argapati. Dengan cermat ia mencoba menilai keseimbangan kedua pasukan itu.
“Ki Tambak Wedi,” Ki Muni yang
masih mengikutinya bertanya lagi, “kenapa kita menunggu tiga hari lagi? Telah
di dayung jaring dilepaskan. Belum tentu kalau kelak akan menetas.”
Ki Tambak Wedi berpaling,
tetapi ia tidak segera menjawab.
“Bukankah semudah meremas
ranti?” berkata Ki Muni pula. “Sekarang kita melepaskannya dan memberitahukan
untuk datang lagi pada hari yang ketiga. O, alangkah bodohnya. Kita sendirilah
yang meminta kepada mereka untuk menggali lubang kubur kita.”
“Cukup!” tiba-tiba Ki Tambak
Wedi menggeram. “Aku kira kau mampu berpikir Ki Muni, ternyata kau lebih bodoh
dari orang-orang Menoreh itu. Apa kau sangka aku sudah gila, dengan melakukan
kebodohan itu? Aku tidak akan menunggu sampai tiga hari seperti yang aku
katakan. Hanya kerbaulah yang menyerahkan hidungnya untuk dicocok,”
“Jadi?”
“Aku akan segera mempersiapkan
pasukan. Begitu aku siap, aku akan kembali. Besok atau selambat-lambatnya lusa.
Tetapi sebelum hari ketiga. Aku harap Argapati benar-benar bodoh sehingga
menunggu sampai hari yang aku katakan.”
Ki Muni mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “O, akulah yang
bodoh.”
“Tetapi,” tiba-tiba Ki Wasi
memotong, “itu bukan kebodohan. Ki Argapati adalah seorang laki-laki yang
jujur. Ia tidak pernah bertindak licik. Karena itu, maka orang seperti Ki
Argapati terlampau mudah ditipu dan dijebak.”
Ki Tambak Wedi tertegun
sejenak, sementara Ki Wasi melanjutkan, “Seperti saat-saat yang telah
ditentukan di bawah Pucang Kembar.”
“Itu bukan suatu kelicikan,”
bantah Ki Tambak Wedi, “dalam peperangan kita dapat bersiasat. Kita tidak harus
bertempur seorang lawan seorang sampai orang yang terakhir. Itu terlampau
bodoh. Dalam peperangan kita dapat saja membunuh siapa saja dalam barisan
lawan. Mungkin aku akan membunuh seorang pengawal yang tidak berarti, atau
Pandan Wangi harus berkelahi perpasangan melawan Ki Peda Sura. Apakah itu
licik? Pengecut dan tidak jantan? Soal pribadi adalah lain dengan soal
peperangan. Di peperangan tidak ada pantangan untuk membuat siasat dengan cara
apa pun.”
Ki Wasi tidak menyahut. Ia
takut kalau kemudian dapat menimbulkan salah paham. Karena itu, maka ia pun
berdiam diri sambil melangkah menjauhi regol yang kini telah menjadi abu.
Beberapa langkah kemudian,
Sidanti dan Argajaya telah menunggu. Tanpa ditanya lagi Sidanti segera berkata,
“Aku tidak melihat seorang pun mendekati medan.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira semua itu adalah sekedar
permainan Ki Argapati saja dengan membuat beberapa orang bercambuk untuk
mengecilkan hati kami. Kini aku yakin, tidak ada orang bercambuk di tlatah
Menoreh. Orang yang menghentikan pasukan berkuda dan yang berhasil menghindari
gelang-gelang besiku pasti Ki Argapati yang menyamar menjadi orang yang tidak
dikenal.”
Sidanti tidak menyahut. Tanpa
sesadarnya ia berpaling ke arah Ki Argajaya. Tetapi Ki Argajaya pun tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
“Nah, kalau begitu,” berkata
Ki Tambak Wedi, “kita sudah pasti. Kita akan menghancurkan mereka di dalam
sarangnya. Begitu kita sampai di induk kademangan, kita harus segera menyiapkan
diri. Kita akan segera kembali dengan kelengkapan yang matang untuk memasuki
pertahanan mereka, menembus jaring-jaring alat-alat pelontar yang mereka pasang
di sebelah-menyebelah pintu masuk.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sekarang kita kembali. Tidak
ada waktu untuk beristirahat lagi. Sejak malam ini kita harus mempersiapkan
semua alat-alat yang pasti akan kita perlukan. Kalau mungkin besok malam kita
pergi, atau selambat-lambatnya lusa. Kita akan memilih saat yang
sebaik-baiknya.”
Tidak ada seorang pun lagi
yang menjawab. Semua berjalan dengan kepala tunduk sambil menahan kecewa di
hati masing-masing. Apalagi beberapa yang sudah membayangkan, kemungkinan
memecah pertahanan itu, dan menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya,
yang dikumpulkan oleh orang-orang Menoreh yang sedang mengungsi.
Sementara itu, Gupala, Gupita,
dan gurunya masih berdiri saja di tempatnya. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya gurunya berkata, “Bukankah dugaan kita tepat. Ki Tambak Wedi tidak
akan memasuki regol itu malam ini. Tetapi dengan demikian ia sudah mendapat
gambaran tentang kekuatan kedua belah pihak. Menurut perhitungan Ki Tambak
Wedi. Ki Argapati sudah mengerahkan semua kekuatannya di hadapan regol yang
terbakar itu. Agaknya usahanya itu berhasil, dan dengan demikian, Ki Tambak
Wedi tinggal menghitung orang-orangnya, apakah ia merasa mampu untuk memecah
pertahanan lawannya itu.”
Gupala dan Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita tidak tahu, kapan
Tambak Wedi akan kembali,” gumam Gupita kemudian.
“Pasti secepatnya,” jawab
gurunya. “Tetapi kita memang tidak tahu, kapankah secepatnya itu.”
Gupala yang sejak tadi berdiam
diri saja sambil mengawasi bara yang sudah hampir padam, tiba-tiba menguap.
Katanya, “Aku benar-benar sudah mengantuk. Perang gagal itu membuat aku serasa
sakit dada. Untunglah aku tidak ada di antara mereka. Kalau aku ada di antara
mereka mungkin aku sudah pingsan.”
“Nah, bukankah kau sudah
mengaku sendiri?” sahut gurunya. “Itulah sebabnya, aku kurang memberimu
kesempatan. Kau mudah sekali menjadi pingsan. Apalagi kalau kau melihat bukan
sekedar perang gagal.”
“Apa itu guru?” bertanya
Gupala.
“Yang lain. Tentu yang bukan
sejenis peperangan. Putri Kepala Tanah Perdikan itu barangkali.”
Sekali lagi Gupala menguap.
Diusap-usapnya keningnya sambil berkata, “Gadis itu pasti dipingit.”
Gurunya tidak menyahut, tetapi
ia tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya yang gemuk itu. Namun agaknya Gupala
tidak banyak menaruh perhatian.
“Gadis itu membawa sepasang
pedang,” desis Gupita.
Gupala berpaling. “Kenapa
dengan sepasang pedang?”
“Kalau gadis itu dipingit di
dalam bilik buat apa kira-kira sepasang pedang itu?”
Gupala mengerinyitkan alisnya.
Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Ya. Gadis itu tentu tidak
dipingit.”
Gupita pun tertawa pula.
Sekilas terbayang wajah gadis itu.
“Lalu, apakah yang akan kita
kerjakan sekarang?” tiba-tiba saja Gupala bertanya.
“Kembali,” jawab gurunya.
Gupala menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya, “Lebih baik tidur di rumah daripada digigit nyamuk di
sini.”
“Tetapi di rumah kita tidak
dapat melihat regol desa itu terbakar,” sahut Gupita.
“Aku juga dapat membakar
regol,” jawab Gupala.
Gupita tidak menjawab lagi.
Gurunya ternyata telah melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke gubug
mereka. Kedua muridnya itu pun kemudian mengikutinya pula.
Sementara itu, yang berada di
dalam lingkaran pring ori, ternyata dicengkam oleh kekecewaan pula. Mereka
mengharap Ki Tambak Wedi memasuki desanya, kemudian pasukannya akan dihujani
dengan alat-alat pelontar lembing dan busur-busur besar yang telah mereka
persiapkan. Tetapi ternyata pasukan Ki Tambak Wedi itu ditarik mundur.
Tetapi dalam pada itu, ketika
Ki Tambak Wedi dan pasukannya telah hilang di dalam kegelapan, terasa dada Ki
Argapati seakan-akan retak. Terasa pedih dan nyeri menyayat sampai ke pusat
jantung, sehingga sejenak ia memejamkan matanya sambil berdesis. Kedua
tangannya memegang dadanya yang sakit itu setelah menyerahkan tombaknya kepada
putrinya.
“Ayah, kenapa Ayah?”
“Dadaku,” sahut Ayahnya perlahan-lahan
sekali. Dengan sekuat tenaga Ki Argapati bertahan supaya tidak menimbulkan
kesan yang kurang baik pada orang-orangnya.
“Bagaimana dengan luka Ayah.”
Ki Argapati menggeleng.
Katanya, “Aku akan beristirahat supaya pada saatnya aku dapat menghadapi Tambak
Wedi.”
Dengan gelisah Pandan Wangi
kemudian mengikuti ayahnya yang berjalan lambat sekali kembali ke rumah tempat
ia menumpang. Tetapi Ki Argapati tidak mau menimbulkan kesan, bahwa ia tidak
mampu untuk berjalan sendiri sampai ke rumah itu. Apabila demikian, maka anak
buahnya pasti akan bertanya, “Lalu, apakah ia dapat bertempur melawan Ki Tambak
Wedi?”
Betapapun dadanya dihentak
oleh pedih dan nyeri, namun ia berusaha berjalan sendiri, meskipun
perlahan-lahan. Tetapi Ki Argapati itu terkejut ketika tangannya terasa menjadi
hangat. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka jantungnya berdesir. Ia
melihat sepercik warna merah di telapak tangannya itu.
“Hem,” ia menarik nafas
dalam-dalam, “agaknya luka ini berdarah lagi.”
Namun meskipun demikian, Ki
Argapati tidak mengatakannya kepada siapa pun juga. Dengan sekuat tenaganya ia
bertahan untuk tetap berjalan sendiri sampai ke dalam biliknya.
Wrahasta dan Samekta yang
mengikutinya, masuk pula ke dalam bilik itu. Tetapi belum lagi mereka duduk, Ki
Argapati telah berkata, “Awasilah orang-orangmu. Jangan kau tinggalkan mereka
sekejap pun. Salah seorang dari kalian harus ada di antara mereka.” Ki Argapati
itu diam sejenak. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana Kerti sekarang?”
“Ia berada bersama pasukan
yang melindungi para pengungsi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.
“Ki Gede,” berkata Samekta,
“aku minta diri. Kalau Ki Gede memerlukan sesuatu, aku harap Ki Gede
memanggil.”
“Baik,” jawab Ki Gede singkat.
Maka sejenak kemudian Samekta
dan Wrahasta pun minta diri, kembali ke tempat para pemimpin pasukannya
berkumpul.
Sepeninggal Samekta, Wrahasta
dan para pemimpin yang mengikutinya, Ki Argapati segera merebahkan dirinya di
pembaringannya. Sambil menyeringai ia berkata, “Pandan Wangi. Tolonglah,
ambilkan semangkuk air panas. Aku akan melihat lukaku. Mungkin luka ini akan
kambuh lagi. Karena itu, sebelumnya aku akan membersihkannya dan memberinya
obat yang baru.”
Pandan Wangi pun segera berlari
ke belakang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, namun ia sama sekali tidak
canggung melakukan perintah ayahnya. Sejenak kemudian, maka gadis itu pun telah
membantu ayahnya membuka baju dan kemudian membersihkan luka-lukanya yang
ternyata memang mulai berdarah lagi meskipun tidak terlampau banyak.
Dengan hati-hati Ki Argapati
membersihkan luka itu, kemudian menaburinya dengan obat yang baru.
Sejenak, luka itu justru
terasa seolah-olah terbakar. Namun kemudian perasaan itu pun semakin susut. Akhirnya,
ia merasa bahwa luka-lukanya akan menjadi segera baik kembali. Meskipun
demikian Ki Argapati tidak mau bangkit lagi dari pembaringannya.
Pandan Wangi lah yang kemudian
menjadi penghubung antara ayahnya dan Samekta apabila diperlukan. Tetapi sebagian
terbesar waktunya, dipergunakannya untuk menunggui ayahnya. Melayaninya dan
membantunya apabila diperlukan.
Demikianlah setiap pihak
mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Ki Tambak Wedi dengan persiapannya
untuk merebut pemusatan pasukan Argapati. Gembala tua dengan dua orang muridnya
yang menghitung-hitung waktu, kapan mereka harus mulai turun di medan terbuka.
Sedang Ki Argapati masih sibuk dengan luka-lukanya, meskipun ia sama sekali
tidak mengabaikan pertahanannya.
Namun di samping pihak-pihak itu,
tanpa diketahui oleh mereka, seorang anak muda bersama dua orang yang lain
telah memasuki tlatah Menoreh dengan diam-diam.
Dengan ragu-ragu mereka
berjalan melalui desa-desa kecil dan pedukuhan yang agak besar di daerah Tanah
Perdikan Menoreh.
Namun suasananya telah membuat
mereka menjadi ragu-ragu. Desa demi desa yang telah mereka lalui, membayangkan
suasana yang suram. Kecemasan dan ketakutan mewarnai kehidupan
penghuni-penghuninya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan
keterangan tentang Tanah Perdikan yang besar ini.
“Paman,” berkata anak muda
itu, “aku tidak mengerti, kenapa suasana daerah ini menjadi sangat asing?”
Kedua pengikutnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ngger,” jawab salah seorang dari mereka.
“Aku bercuriga.”
“Agaknya kedatangan Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya ke tanah ini telah membuat suasana menjadi tegang,”
“Apakah Tanah Perdikan ini
sedang mengadakan persiapan untuk suatu tindakan balasan terhadap Pajang?”
Anak muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kita akan terjerumus ke dalam suatu pusaran
yang tidak menentu. Apabila benar Argapati akan membela anaknya dan berhadapan
dengan Pajang, maka kita akan berdiri di atas persimpangan jalan yang sulit.
Kita tidak akan dapat berpihak kepada Pajang, tetapi juga tidak kepada
Menoreh.”
Kedua pengikutnya itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku ingin bertemu
lebih dahulu dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya.”
“Apakah Angger pasti bahwa
mereka ada di sini?”
“Hampir pasti.”
Kedua pengikutnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu salah seorang dari mereka berkata,
“Tetapi, kemana kita harus mencari mereka di Tanah seluas ini?”
“Aku ingin tahu, apakah yang
sudah terjadi di atas Tanah ini.”
“Ya, seharusnya kita tahu, di
mana kita berada dan dalam keadaan bagaimana.”
Anak muda itu tidak menjawab.
Namun kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka, dan berusaha mendengar
apa yang telah terjadi.
Betapapun sulitnya, namun
akhirnya mereka mengetahui, apakah yang sebenarnya terjadi di atas Tanah
Perdikan ini, bahwa anak laki-laki Ki Argapati telah melawan ayahnya sendiri.
“Hampir tidak masuk akal,”
desis anak muda itu, “agaknya Argapati begitu setianya terhadap Pajang,
sehingga ia bersedia mengorbankan anak laki-lakinya sendiri.”
Kedua pengikutnya tidak
menjawab, tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak mengerti, apakah
yang telah mendorong Argapati untuk mengambil sikap itu.”
“Mungkin Argapati tidak ingin
melihat Tanahnya berbenturan dengan Pajang. Menurut perhitungannya, maka
Menoreh pasti akan hancur betapapun besarnya tanah perdikan ini. Argapati tidak
akan berani melihat mayat yang akan berhamburan di segala sudut tanah
perdikannya yang kaya ini.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bergumam, “Atau karena
Argapati tidak berani melihat, ia sendiri akan tergeser dari kedudukannya.
Kalau ia melawan Pajang, maka atas wewenang yang ada sekarang, Pajang dapat
mencabut hak yang telah diterima oleh Argapati dari raja-raja sebelumnya, atau
hak yang diberikan oleh Pajang sendiri.”
Kedua pengikutnya tidak
menjawab.
“Aku harus mendapat lebih
banyak keterangan mengenai tanah ini. Tetapi aku harus bertemu dengan Kiai
Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru.”
“Kita harus mencari mereka.
Kita harus menjelajahi Tanah ini dari ujung sampai ke ujung.”
Anak muda itu tersenyum.
Katanya, “Kau agaknya sama sekali tidak berminat.”
“Bukan, bukan begitu maksudku,
Ngger. Tetapi aku sekedar memperingatkan, bahwa pekerjaan ini bukanlah
pekerjaan yang ringan.”
Anak muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku akan menghindarkan diri dari kemungkinan
terlibat dalam persoalan di Tanah Perdikan ini untuk sementara, sampai aku
dapat meyakinkan diri bahwa ada perlunya aku mencampurinya. Karena itu, maka
kita harus mempersiapkan diri untuk tinggal di Tanah ini sebagai apa pun juga.
Kita akan mencari tempat yang tersendiri, membuat tempat tinggal yang sederhana
dan sambil menunggu keadaan di tanah ini menjadi tenang, aku akan mencari Kiai
Gringsing.”
Kedua pengikutnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah mengenal betul anak muda itu,
sehingga mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengiakannya.
Dengan demikian, maka
ketiganya pun segera mencari tempat yang baik untuk membuat gubug, sekedar
melindungkan diri dari panas dan embun. Namun mereka juga tidak mau tinggal di
tempat yang terlalu dekat dengan padesan, yang dapat menumbuhkan banyak
persoalan pada diri mereka. Mereka lebih senang tinggal di pinggir hutan yang
tidak terlampau lebat. Mereka sadar, bahwa setiap saat seekor binatang yang
buas akan lewat di dekat gubug mereka. Tetapi mereka, apalagi bersama-sama,
seorang demi seorang pun sama sekali tidak akan gentar. Mereka dengan senjata
masing-masing akan dapat melawan harimau atau jenis binatang yang lain. Sedang
seandainya ada sekawanan anjing hutan yang berjumlah ratusan sehingga mereka
tidak akan mampu mengusirnya, maka mereka akan dapat memanjat batang-batang
pohon dengan tangkasnya.
Dari tempat itulah, mereka
akan mencari seseorang yang mereka sebut bernama Kiai Gringsing, Agung Sedayu,
dan Swandaru Geni, yang menurut pendengaran mereka berada di tlatah Menoreh.
Sementara itu di sebuah gubug
yang lain, seorang gembala tua duduk melingkari perapian berdama dua orang
murid-muridnya. Mereka hampir tidak sabar menunggu ujung malam yang terasa
terlampau panjang.
“Tidurlah kalian,” berkata
orang tua itu. Tetapi kedua muridnya menggeleng. Anak yang gemuk sambil
mengusap matanya berkata, “Sebentar lagi, Guru.”
Karena itu, maka mereka
bertiga tidak beranjak dari tempatnya. Mereka duduk sambil memeluk lututnya.
Sekali-sekali anak muda yang gemuk itu masih saja menguap sambil mengusap-usap
matanya. Tetapi ia masih juga duduk di tempatnya.
“Tidurlah, Gupala,” berkata
gurunya sekali lagi.
Gupala menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia bangkit berdiri. Dengan malasnya ia berjalan ke kebun di
samping gubugnya. Di cabutnya beberapa batang pohon ketela. Meskipun masih
belum cukup besar, namun ubinya dibawa juga dan dimasukkannya ke dalam bara api
perapiannya.
“Tiba-tiba saja aku menjadi
lapar,” desisnya.
Anak muda yang seorang lagi,
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Kau masih juga sempat merasakan
lapar.”
Gupala tidak menyahut, namun
tangannya sibuk dengan menimbuni ubinya dengan abu yang panas.
Dengan demikian maka mereka
pun terlempar dalam kesenyapan, Gupita duduk diam sambil memandangi api yang
masih menyala di beberapa bagian. Kemudian dipandanginya abu yang teronggok di
atas bara, tempat timbunan ubi Gupala.
Namun kedua anak-anak muda itu
terkejut ketika mereka melihat guru mereka memiringkan kepalanya. Kemudaan
menundukkan wajahnya. Tetapi dengan demikian kedua muridnya mengerti, bahwa
gurunya sedang memperhatikan sesuatu.
Kedua anak-anak muda itu pun
kemudian memusatkan pendengaran mereka seperti yang dilakukan oleh gurunya. Dan
sebenarnyalah mereka mendengar desir langkah kaki semakin lama semakin
mendekat.
Dengan isyarat gurunya
memberitahukan kepada kedua muridnya supaya bersiaga. Mungkin mereka akan
menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga sebelumnya.
Ternyata langkah kaki itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat. Namun, gembala tua itu seakan-akan sama
sekali tidak mengacuhkannya. Kedua muridnya pun masih duduk di tempatnya.
Tetapi di bawah kain panjang, tangan-tangan mereka meraba-raba senjata yang
melingkar di bawah baju mereka, meskipun mereka menancapkan golok di samping
tempat duduk masing-masing. Golok yang mereka dapatkan dari lawan-lawan mereka
yang menjadi pingsan ketika mereka berkelahi.
Langkah kaki itu menjadi
semakin dekat. Dekat sekali. Ternyata bahwa langkah kaki itu sudah cukup
memberitahukan, bahwa yang datang itu pun bukan orang kebanyakan.
Seperti yang telah mereka
perhitungkan, maka tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari dalam
gerumbul-gerumbul liar di halaman itu. Dengan sebuah tombak pendek tertunduk
seorang anak muda berjalan mendekati mereka sambil berkata, “Jangan berbuat
sesuatu. Aku tidak bermaksud jahat.”
Dalam keremangan api yang
kemerah-merahan ketiganya serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak muda
yang berdiri di paling depan, kemudian dua orang lain di belakangnya.
Laki-laki tua di samping
perapian itu mengerutkan keningnya. Meskipun hanya lamat-lamat, namun ia dapat
melihat wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta ia terloncat berdiri
sambil berdesis, “Angger Mas Ngabehi Loring Pasar. Benarkah?”
Anak muda itu tertegun. Cahaya
api yang suram itu telah menjadi semakin suram, sehingga untuk sejenak ia
berdiri saja termangu-mangu. Namun sejenak kemudian anak muda itu berkata,
“Kiai, kaukah itu, Kiai?”
Orang tua itu tidak segera
menjawab. Kedua muridnya pun kini telah berdiri pula dengan tegangnya. Bahkan
anak muda yang gemuk, yang sedang menunggui ubinya, telah menyambar tangkai
golok di sampingnya. Namun mereka pun kemudian berdiri dengan tegangnya
memandangi anak muda yang bersenjatakan sebuah tombak pendek. Pada tangkai
tombak itu berjuntai seutas tali yang berwarna kuning keemasan.
“He,” tiba-tiba Gupala
berteriak, “jadi Tuan telah mendapatkan tali semacam itu lagi?”
Gurunya berpaling sambil
mengerutkan alisnya. Ternyata perhatian Gupala pertama justru kepada tali yang
berwarna keemasan itu.
“Terlalu kau,” gumam Gupita,
Tapi Gupala tidak
memperhatikannya. Beberapa langkah ia maju. Dengan wajah berseri-seri ia
berkata, “Tuan agaknya sengaja menyusul kami. Taliku yang berwarna emas itu
ketinggalan pada tangkai pedangku yang terbuat dari gading. Sekarang Tuan akan
memberikannya lagi kepadaku bukan?”
Wajah anak muda yang
bersenjata tombak itu pun menjadi berseri-seri pula. Dengan nada yang tinggi ia
berkata, “He, ternyata aku menemukan kalian di sini.”
“Marilah,” berkata gembala tua
itu, “kami persilahkan kalian duduk di sini saja. Gubug kami tidak akan dapat
memuat kita bersama-sama.”
“Terima kasih. Aku lebih
senang duduk menghangatkan badan di samping perapian itu.”
“Marilah,” sahut orang tua
itu.
Anak muda itu memberi isyarat
kepada kedua kawannya untuk mendekat. Mereka pun kemudian bersama-sama duduk,
melingkar di tepi perapian yang justru telah hampir padam. Namun Gupita
kemudian menaburkan seonggok ranting-ranting kecil ke atasnya, sehingga api pun
segera berkobar kembali.
“He,” teriak Gupala, “ubiku
akan menjadi abu.”
Gupita tidak menyahut. Tetapi
ia pun duduk di dekat perapian itu juga, sementara Gupala sibuk menyingkirkan
ubi bakarnya.
“Kenapa Angger berada di
tempat ini?” bertanya gembala tua itu kemudian kepada Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Aku sengaja mencari kalian.”
“Dari manakah Angger tahu,
bahwa kami berada di sini?”
“Aku telah singgah ke Sangkal
Putung.”
“Maksudku, dari mana angger
tahu, bahwa aku tinggal di halaman ini bersama kedua anak-anak yang bengal
ini,”
“O, itu hanya suatu kebetulan,
Kiai. Hampir semalam suntuk aku berjalan mengitari Tanah Perdikan ini setelah
aku melihat kedua pasukan ayah dan anak itu saling berhadapan di muka regol
pertahanan Argapati. Karena pertempuran itu urung, maka aku telah berjalan
kemana saja tanpa tujuan, sampai aku melihat perapian ini.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Sesaat dipandanginya wajah kawan-kawan Mas Ngabehi Loring Pasar. Dua
orang yang agaknya cukup dapat dipercaya untuk mengawasi anak muda itu melawat
ke daerah yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara
lingkungan sendiri.
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar dan yang juga
bernama Sutawijaya itu memperkenalkan, “Kiai, yang tinggi berkumis tipis itu
adalah Paman Hanggapati, sedang yang agak pendek itu Paman Dipasanga.”
“Kami memperkenalkan diri
kami, Ngger,” berkata gembala tua itu kemudian, “kedua anak-anak ini adalah
anak-anak angkatku, Gupala dan Gupita.”
“He?” Sutawijaya yang bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengerutkan keningnya. “Permainan apa lagi yang
sedang Kiai lakukan?”
“Kenapa?” bertanya orang tua
itu.
“Bagaimana dengan nama-nama
itu?”
“Demikianlah nama-nama yang
kami pergunakan di atas Tanah Menoreh ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Jadi Kiai mengajari murid Kiai berdua
ini untuk bermain sembunyi-sembunyian seperti yang sering Kiai lakukan
sendiri?”
“Ah,” gembala tua itu
berdesah, namun kemudian ia tersenyum sambil menunjuk ke arah kandang di
samping gubugnya. “Kami adalah peternak yang miskin. Atau lebih tepat kami
adalah gembala-gembala kambing itu.”
“Ya, ya. Aku percaya. Suatu
ketika Kiai adalah seorang gembala, lain kali seorang dukun dan kemudian
seorang senapati di peperangan. Lalu apa lagi di hari-hari mendatang, Kiai?”
Gembala tua itu tertawa.
Bahkan kedua muridnya pun tertawa pula. Apalagi ketika mereka mendengar
Sutawijaya berkata, “Agaknya kedua murid-murid Kiai itu pun berbakat.”
“Tuan juga,” tiba-tiba Gupala
menyahut, “siapakah yang pernah mempergunakan nama Sutajia di Prambanan?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian masih ingat?” bertanya
Sutawijaya.
“Argajaya ada di sini,” sahut
Gupita, “dan ia berpihak kepada Sidanti.”
“Aku sudah mendengar,” jawab
Sutawijaya. “Peristiwa di Tanah ini telah membuat aku menjadi agak bingung.
Karena itu aku mencari Kiai yang menurut pendengaranku berada di Menoreh pula.
Agaknya Kiai telah berada di sini lebih lama daripadaku, sehingga Kiai akan
dapat memberikan lebih banyak petunjuk kepadaku.”
“Tidak terlampau banyak,
Ngger. Aku hanya tahu, Argapati tidak dapat memenuhi keinginan anaknya untuk
melawan Pajang. Agaknya Argajaya yang sudah terlibat dalam persoalan Sidanti,
merasa terjepit. Namun akhirnya ia memutuskan untuk berpihak kepada Sidanti
yang bersama-sama telah langsung menentang kekuasaan Pajang di Tambak Wedi.
Mereka sudah tidak dapat ingkar lagi karena mereka dengan sengaja telah melawan
Angger Untara, sebagai seorang Senapati dari Pajang.”
“Ya, ya. Aku sudah mendengar.”
“Nah, begitulah menurut
pendengaran kami, apa yang terjadi di atas tanah perdikan ini.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu, apakah yang telah Kiai lakukan di sini?”
Yang menjawab adalah Gupala,
“Menggembala kambing. Berlari-lari untuk bersembunyi dan mengintip perselisihan
ini dari kejauhan.”
“Ah,” gurunya berdesah. Tetapi
kemudian mereka tersenyum bersama-sama.
“Ya, itulah yang telah kami
kerjakan di sini, Ngger.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian tampaklah keningnya
berkerut-merut. Kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai akan berpihak?”
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sutawijaya yang menjadi bersungguh-sungguh.
Karena itu, orang tua itu pun menyadari bahwa Sutawijaya benar-benar ingin tahu
pendiriannya. Sehingga dengan demikian maka gembala tua itu pun menjawab, “Ya,
Ngger. Kami sudah memutuskan untuk berpihak.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku sudah menduga, kepada siapa Kiai akan
berpihak.”
“Memang tidak sukar untuk
menebak. Kami juga tidak dapat melihat kekasaran dan ketamakan menguasai Tanah
ini. Lebih daripada itu aku dapat mengerti pendirian Argapati. Itulah soalnya.”
“Agaknya Argapati lebih sayang
kepada jabatannya dari pada anak laki-laki tunggalnya.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. “Maksud Angger?”
“Menurut perhitungan wajar,
apa pun yang akan terjadi, Argapati pasti akan melindungi anak laki-lakinya dan
adiknya. Tetapi Argapati berbuat sebaliknya. Justru ia bertempur melawan
keduanya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah keadaannya. Tetapi aku kira
keadaan ini tidak dimulai dari persoalan Sidanti dan Argajaya.” Orang tua itu
berhenti sejenak. Lalu, “Apakah pada saat ada perang tanding di bawah Pucang
Kembar, Angger sudah berada di Tanah ini?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. “Perang tanding yang mana yang Kiai maksud?”
“Antara Argapati dan Ki Tambak
Wedi?”
Sutawijaya menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Aku tidak tahu. Memang mungkin aku belum ada di Tanah ini.”
“Perang tanding itu telah
menimbulkan persoalan bagi kami. Sudah tentu sebabnya bukan sekedar apakah
Argapati akan berpihak kepada Sidanti atau bukan, karena agaknya soal itu
adalah soal lama bagi keduanya.”
Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar
sadarnya ia berdesis, “Kesetiaan Argapati yang berlebih-lebihan kepada Pajang
akan menyulitkan kedudukanku.”
“He?” hampir bersamaan gembala
tua dan murid-muridnya bergeser maju.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Ia menyadari bahwa ia telah terdorong untuk mengucapkannya. Tetapi
ia tidak menyesal. Keadaannya sendiri memang telah semakin meningkat pula,
meskipun tidak menimbulkan benturan-benturan seperti yang terjadi di Menoreh
kini.
“Angger Sutawijaya,” berkata
gembala tua itu, “kenapa Argapati itu akan dapat menyulitkan kedudukan Angger?
Seharusnya Angger berterima kasih kepadanya, bahwa ia telah meletakkan tugas di
atas segala-galanya, bahkan di atas kepentingan anaknya sendiri.”
Sutawijaya tidak segera
menjawab. Sekilas dipandanginya kedua kawan-kawannya yang duduk tepekur
memandangi api di perapian yang sudah menjadi semakin pudar pula.
Dan tiba-tiba saja Sutawijaya
berdesis, “Aku memang mempunyai persoalan dengan Pajang,” anak muda itu
berhenti sebentar karena hampir bersamaan Hanggapati dan Dipasanga mengangkat
wajahnya.
“Mereka adalah kawan-kawan
baikku, Paman,” berkata Sutawijaya kepada kedua kawannya itu. “Aku tidak perlu
bercuriga kepada mereka, meskipun seandainya pendirian mereka tidak sejalan
dengan pendirianku. Mereka adalah orang-orang jantan dan tidak dengan mudah
dapat berkhianat.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam, sedang kedua muridnya pun saling berpandangan sejenak.
“Maaf,” berkata Sutawijaya
kemudian kepada ketiga guru dan murid itu, “demikianlah pendirianku. Dan aku
lebih senang berkata terus terang daripada menyimpannya di dalam dada.”
“Itu suatu sikap yang
terpuji,” sahut gembala tua itu.
“Terima kasih. Suatu kehormatan
bagiku. Kiai ingin mendengar persoalanku?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba ia merasa canggung menghadapi Sutawijaya kali ini, tidak
seperti beberapa waktu yang lampau. Namun ia menjawab, “Apabila Angger tidak
berkeberatan.”
“Baiklah,” Sutawijaya berhenti
sejenak mengamati kedua murid gembala tua itu. Lalu, “Ayahanda telah
meninggalkan istana Pajang.”
“He?” ketiganya terperanjat.
“Siapa yang Angger maksud?”
bertanya gembala tua itu.
“Bukan Ayahanda Hadiwijaya
yang sekarang telah bergelar Sultan. Tetapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Tiba-tiba wajah gembala tua
itu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia kepada pendengarannya sendiri.
Tanpa sesadarnya ditatapnya wajah kedua kawan Sutawijaya itu berganti-ganti.
“Benarkah begitu?” ia
berdesis.
Berbareng keduanya mengangguk.
“Dimana sekarang Ayahanda Ki
Gede Pemanahan?” bertanya gembala tua itu.
“Ayahanda telah kembali ke
Sela, setelah meletakkan semua jabatan Istana.”
“Aneh, Ngger. Itu aneh sekali.
Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi? Aku rasa-rasanya seperti orang
bermimpi. Atau aku berhadapan dengan orang lain?”
“Tidak, Kiai. Kiai tidak
bermimpi dan Kiai benar-benar berhadapan dengan Sutawijaya. Namun aku tidak
tahu lagi, apakah gelarku sudah dicabut oleh Ayahanda Sultan Pajang, karena aku
mengikuti ayah kembali ke Sela.”
Gembala tua itu tidak segera
menyahut. Tetapi wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sekali
dipandanginya wajah-wajah muridnya. Dan murid-muridnya itu pun terheran-heran
pula mendengar keterangan Sutawijaya.
Ternyata, keadaan memang
berkembang terlampau cerpat di mana-mana. Tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh,
tetapi juga di Pajang. Berita tentang perginya Ki Gede Pemanahan dari Pajang,
belum terdengar dari atas Tanah perbukitan ini. Tetapi sebentar lagi Ki Tambak
Wedi pasti akan mendengarnya pula. Orang-orangnya sebagian adalah orang-orang
liar yang berkeliaran di mana saja. Mungkin di antara mereka ada yang mempunyai
kawan-kawannya di Pajang atau di daerah-daerah lain yang berdekatan dengan Pajang.
Betapa Pajang berusaha menyimpan rahasia ini, seandainya kepergian Ki Gede
Pemanahan dianggap sebagai suatu rahasia, namun seluruh negeri pada saatnya
pasti akan mendengarnya juga.
Dan sejenak kemudian dengan
nada datar gembala tua itu bertanya, “Kenapa Ayahanda Ki Gede Pemanahan
meninggalkan istana, Ngger? Apakah Ki Gede Pemanahan merasa bahwa segala
tugasnya sudah selesai untuk kemudian menarik diri dan menyepi di Sela, ataukah
ada sebab-sebab lain?”
“Kira-kira begitulah Kiai.
Ayah merasa menjadi semakin tua. Tetapi ada juga sebab-sebab lain yang
mendorongnya untuk semakin cepat meninggalkan Ayahanda Sultan Hadiwijaya.”
Gembala tua itu tidak
menjawab. Ditatapnya mata Sutawijaya tajam-tajam. Namun sorot matanya itulah
yang memancarkan seribu pertanyaan di dalam dadanya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya,
“kenapa Kiai tidak bertanya, apakah sebab-sebab yang mendorong Ayahanda Ki Gede
Pemanahan untuk meletakkan jabatannya sebagai Panglima Wira Tamtama?”
“Angger sudah tahu, bahwa
pertanyaan itu ada di dalam dadaku.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, aku sudah tahu. Sebab-sebab itu mungkin
akan mentertawakan sekali.” Ia berhenti sebentar, lalu, “Begini Kiai. Mungkin
Kiai sudah mendengar bahwa mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang adalah
Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi.”
“Bukankah Angger Sutawijaya
yang melakukannya?”
“Aku hanya sekedar alat.
Tetapi boleh juga dikatakan demikian. Namun secara resmi dilaporkan, bahwa yang
telah membunuh Arya Penangsang adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi.”
“Juga suatu cara untuk
mendapatkan kedua bagian Tanah yang disanggupkan. Pati dan Alas Mentaok.”
“Dugaan Kiai tepat. Sebab
kalau aku yang membunuh Arya Penangsang, semua hadiah akan dibatalkan. Karena
aku adalah putera angkat Sultan Hadiwijaya sendiri.”
“Ya.”
“Nah, ternyata bumi Pati sudah
lama diserahkan. Begitu Arya Penangsang gugur, begitu bumi Pati diserahkan.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dengan sudut matanya ia mencoba
melihat wajah kedua muridnya. Dan gembala tua itu melihat wajah-wajah itu
menjadi tegang.
“Tetapi,” Sutawijaya
meneruskan, “tidak demikian halnya dengan Alas Mentaok. Pati yang sudah terbuka
dan sudah menjadi semakin ramai segera dapat mulai digarap, tetapi Mentaok yang
masih berupa hutan belukar, masih harus menunggu. Menunggu tanpa batas. Dengan
demikian maka Mentaok pasti akan menjadi semakin jauh ketinggalan dari Pati.”
Sejenak Gupala dan Gupita
saling berpandangan. Sedang gurunya yang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ketiganya tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun
Sutawijaya seakan-akan tanggap atas perasaan ketiganya, sehingga ia
meneruskannya, “Memang, tampaknya tidak lebih dari perasaan iri hati. Bukankah
begitu, Kiai?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata, “Angger Sutawijaya. Memang tanggapan
yang demikian itu mungkin sekali. Tetapi apakah masih ada alasan lain yang
mendorong Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang? Sebab menurut hematku, kalau
hanya sekedar Tanah Mentaok maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan mengambil
keputusan itu.”
“Kiai,” berkata Sutawijaya,
“ayahanda memandang soal itu bukan sekedar dari persoalan Tanah Mentaok itu
sendiri. Tetapi dengan demikian Sultan Hadiwijaya telah ingkar. Ingkar janji.
Sebagai seorang Raja, maka ingkar janji adalah pantangan yang harus dijauhi.“
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Angger. Apakah tidak
mungkin, bahwa Sultan Hadiwijaya menganggap bahwa bukan saja Tanah Mentaok yang
kelak akan jatuh ke tangan Angger, meskipun lewat Ki Gede Pemanahan, karena
tidak ada orang lain yang pasti akan menerimanya. Tetapi bahkan seluruh Pajang
akan jatuh ke tangan Angger Sutawijaya.”
“Apakah aku harus menutup mata
dari suatu kenyataan bahwa di istana ada Adimas Pangeran Benawa?”
“Apakah ada tanda-tanda bahwa
tahta kelak akan diwarisi oleh Pangeran itu?”
“Pertanyaan Kiai agak aneh.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berdiam diri. Sehingga dengan
demikian keadaan menjadi hening. Hanya desah nafas mereka sajalah yang
terdengar di sela-sela desir angin malam.
Gupala dan Gupita menundukkan
kepala mereka memandangi api yang hampir padam. Sekali-sekali Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak dapat mengerti, kenapa Ki
Gede Pemanahan meninggalkan Pajang, apabila masalahnya hanya sekedar masalah
Tanah Mentaok. Meskipun ia mencoba meyakinkan kata-kata Sutawijaya, bahwa
masalahnya bukan Tanah Mentaok itu sendiri, tetapi bahwa Sultan telah ingkar
itulah yang telah membuat Ki Gede Pemanahan menjadi kecewa.
Dalam keheningan itu terdengar
Sutawijaya bertanya, “Bagaimanakah tanggapan Kiai mengenai masalah ini?”
Gembala tua itu
mengangguk-angguk. “Aku memerlukan waktu, Ngger. Aku kira Angger Sutawijaya
juga tidak tergesa-gesa. Mungkin aku akan terpaksa menyelesaikan masalah Tanah
Perdikan ini dahulu, baru aku dapat mencoba memberikan pertimbanganku.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Agaknya Kiai sudah terlanjur terlibat di
dalam persoalan ini. Tetapi persoalan Tanah ini mau tidak mau harus menjadi
perhitunganku juga. Alas Mentaok akan berada di tengah-tengah, di antara Pajang
dengan Untara di Jati Anom di sebelah Timur, dan kesetiaan Argapati di sebelah
Barat.”
“Ah,” gembala tua itu
berdesah, “Angger terlampau cepat mengambil kesimpulan itu. Aku kira Ki Gede
Pemanahan sendiri pun tidak akan dengan tergesa-gesa mengambil kesimpulan yang
demikian.”
“Tetapi bukankah sudah jelas.”
“Lalu, apakah maksud Angger,
Tanah ini harus jatuh ke tangan orang-orang yang menentang kekuasaan Pajang?
Sidanti dan Argajaya misalnya?”
Sutawijaya tidak segera
menjawab.
“Kalau demikian, maka Angger
sudah terdorong ke dalam suatu sikap yang mementingkan diri sendiri. Angger
tidak melihat apa yang telah terjadi di atas Tanah ini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Katanya, “Bukan maksudku demikian, Kiai. Aku tahu sifat-sifat
Sidanti, Argajaya, dan gurunya Ki Tambak Wedi. Mereka sama sekali tidak dapat
dibawa berbincang dan bertindak untuk kepentingan bersama karena justru mereka
mementingkan diri mereka sendiri. Namun sudah tentu bahwa aku juga tidak dapat
berdiam diri, apabila Tanah ini terlampau setia berpihak kepada Pajang dan
menghalang-halangi perkembangan Tanah Mentaok kelak apabila sudah diserahkan
kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan?”
Tiba-tiba gembala tua itu
tersenyum. Katanya, “Ternyata kau masih terlampau muda, Ngger. Apakah demikian
juga pendirian Ayahanda Ki Gede Pemanahan?”
Sutawijaya menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak tahu benar, Kiai. Tetapi kepergian ayah ke Sela bukan berarti
bahwa ayah telah melepaskan tuntutannya atas Tanah Mentaok. Kepergian ayah
adalah suatu usaha untuk mempercepat penyerahan itu.”
“Ya. Kemudian Ayahanda Ki Gede
Pemanahan akan membuka Mentaok untuk menjadi suatu pedukuhan. Tentu saja dengan
harapan bahwa kelak akan menjadi sebuah kota yang ramai. Melampaui Tanah
Perdikan Menoreh dan melampaui Mangir. Bukankah begitu?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, Ngger. Aku akan
mencoba memberikan pendapatku lain kali. Tetapi bagiku adalah merupakan suatu
keharusan untuk membantu Argapati melepaskan diri dari kesulitan ini. Sidanti
bukanlah seorang yang pantas untuk menjadi besar. Ia dalam sikapnya tidak
sekedar menentang Sultan Hadiwijaya. Tetapi ia menentang kekuasaan yang lebih
tinggi dari kekuasaannya, justru karena ia sendiri ingin berkuasa.”
“Terserahlah, Kiai. Tetapi
setidak-tidaknya Menoreh tidak mempersulit kedudukanku kelak.”
“Aku akan mencoba
menyampaikannya kepada Argapati. Tetapi, apakah terbayang di dalam angan-angan
Angger Sutawijaya bahwa suatu ketika akan timbul masalah antara Mentaok dan
Pajang?”
Sutawijaya tidak segera dapat
menjawab. Pertanyaan itu membuatnya berdebar-debar. Sehingga dengan demikian
untuk sejenak ia berdiam diri.
Kembali kesepian mencengkam
suasana. Angin yang sejuk mengusap dahi-dahi yang dibasahi oleh keringat,
betapapun dinginnya malam. Api perapian di hadapan mereka telah menjadi semakin
pudar. Bayangan merah yang samar-samar memulas wajah-wajah yang tegang.
Dengan sebuah tongkat kecil
Gupala mengais abu yang masih membara. Tetapi ia tidak bergeser dari tempatnya.
Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang menahan senyum. Ternyata ubi yang
dibenamkannya di dalam abu itu telah menjadi arang.
“Kiai,” kemudian terdengar
suara Sutawijaya, “aku tidak mengharapkan pertentangan antara Mentaok dan
Pajang kelak. Sama sekali tidak. Ayahanda Ki Gede Pemanahan maupun Ayahanda
Sultan Hadiwijaya pun pasti tidak.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Syukurlah. Pertentangan itu tidak ada gunanya.
Kecuali …………”
“Kecuali, kecuali apa, Kiai?”
“Ah,” gembala tua itu
berdesah. “Tidak. Tidak ada kecualinya. Pertentangan dalam bentuk apa pun tidak
menguntungkan.”
Sutawijaya menggigit bibirnya.
Tetapi ia tidak dapat memaksa gembala tua itu untuk berbicara. Karena itu, maka
anak muda itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Yang mula-mula berbicara
adalah gembala tua itu, “Demikianlah, Ngger. Angger telah mengetahui apa yang
kira-kira akan aku kerjakan. Sesudah Menoreh ini selesai, maka aku akan mencoba
bertemu dengan Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
“Tentu ayah akan menjadi
senang sekali. Beberapa kali ayah bertanya tentang Kiai. Setiap kali ayah
bertanya tentang bentuk dan gambaran tubuh Kiai. Dan setiap kali ayah selalu
mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Apakah Ayahanda tidak berkata
apa pun tentang aku?”
Sutawijaya menggeleng. “Tidak
terucapkan. Tetapi aku melihat ayah berbicara di dalam hatinya tentang seorang
dukun tua, seorang senapati, seorang pengembara dan seorang gembala.”
Gembala tua itu tersenyum. Di
angguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
Sementara itu, di langit telah
membayang warna-warna merah. Satu-satu bintang yang bergayutan tenggelam dalam
kebiruan wajahnya.
Gupita dan Gupala yang telah
merasa terlampau lelah, selama mereka duduk saja mendengarkan pembicaraan
gurunya, melihat fajar yang sebentar lagi akan pecah.
“Kiai,” berkata Sutawijaya
kemudian, “baiklah aku kembali sebelum terang. Aku harus mencari jalan yang
sepi, supaya kehadiranku di sini tidak diketahui orang, atau justru menambah
persoalan.”
“Kemana Angger akan kembali?”
“Aku membuat sebuah gubug di
pinggir hutan di ujung Tanah Perdikan ini.”
“Tinggallah di sini, Ngger.
Kita bersama-sama adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di
tanah perdikan ini.”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Dipandanginya wajah kedua kawan-kawannya. Tetapi kedua kawannya itu
pun tidak memberikan tanggapan apapun.
“Apakah Angger meninggalkan
sesuatu di gubug Angger itu?”
Sutawijaya menggelengkan
kepalanya. “Tidak Kiai.”
“Kalau begitu tinggallah di
sini. Di sini ada beberapa ekor kambing yang dapat mengawani Angger. Apabila
nanti matahari naik, maka kami bertiga akan segera meninggalkan tempat ini.
Yang paling memberati hati kami adalah kambing-kambing itu. Nah, apabila Angger
bersedia memeliharanya, tinggallah di sini untuk beberapa hari.”
“Akan kemanakah Kiai bertiga?”
“Kami akan menemui Ki
Argapati. Kami sudah tidak dapat menunda-nunda waktu lagi. Menurut
perhitunganku, Ki Tambak Wedi pasti akan segera kembali setelah ia menjajagi
kekuatan lawannya.”
“Ya. Dan Kiai akan ikut serta
secara langsung?”
“Ya.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun tidak terucapkan, namun terbaca di wajahnya, bahwa ia
kurang sependapat dengan sikap itu.
“Anak muda ini sedang dibakar
oleh suatu cita-cita,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Ia ingin
melihat Alas Mentaok menjadi suatu kota yang besar. Tetapi ia tidak mengerti
apa yang telah terjadi sebenarnya di atas Tanah Perdikan ini. Agaknya Angger Sutawijaya
lebih senang melihat keduanya menjadi lemah agar seterusnya tidak mengganggu
perkembangan Mentaok di masa-masa mendatang. Tetapi aku mengharap pendirian itu
akan segera berubah. Keinginannya melihat sebuah kota yang baru yang dapat
menyamai Pajang dan melampaui Pati, terlampau membakar darah mudanya.
Mudah-mudahan keinginan itu akan segera mengendap sehingga ia dapat melihat
masa depannya dengan wajar. Meskipun Sultan Hadiwijaya bukanlah seseorang yang
pantas dianggap mampu mengendalikan suatu pemerintahan negara yang besar.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun tanpa sesadarnya telah melintas di dalam angan-angannya
kenangan tentang dirinya sendiri. Dirinya sendiri bukan sebagai seorang dukun
miskin di dukuh Pakuwon, bukan sebagai seorang pengembara yang menyusuri
jalan-jalan sempit, bukan sebagai seorang guru yang berusaha keras menurunkan
ilmunya sebagai suatu peninggalan dari perguruannya terhadap kedua muridnya,
bukan pula sebagai seorang gembala di atas Tanah Perdikan yang sedang dibakar
oleh kemelutnya api perselisihan di antara mereka sendiri. Tetapi dirinya di
masa mudanya.
“Hem,” orang tua itu berdesah.
Lamat-lamat ia mendengar suara jauh di dasar hatinya, “Memang Sultan Hadiwijaya
tidak akan dapat dipertahankan untuk seterusnya. Tetapi tidak pantas apabila
aku tampil lagi di gelanggang pemerintahan dalam keadaan seperti ini. Aku sudah
memutuskan semua jalur-jalur yang menuju ke arah itu, dan aku telah menempatkan
diriku pada tempat yang sekarang ini.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia menengadahkan wajahnya sambil berkata, “Hampir
pagi.”
Tanpa sesadarnya kedua orang
muridnya pun mengangkat kepalanya memandangi cahaya yang memerah di Timur.
Kemudian dipandanginya wajah gurunya yang suram. Namun mereka berdua sama
sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Angger Sutawijaya,” berkata
gembala tua itu, “silahkan tinggal di sini. Daerah ini cukup sepi dan hampir
tidak pernah diinjak orang. Dekat tempat ini mengalir sebuah sungai yang
meskipun kecil, tetapi airnya bening dan mencukupi kebutuhan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Kiai, aku akan tinggal di
sini. Aku akan memelihara kambing-kambing itu, karena aku pun dapat menggembala
dan menyabit rumput. Tetapi sebaiknya Kiai tidak usah menghitung, berapa ekor
kambing yang Kiai tinggalkan, sebab apabila Kiai kembali kelak, jumlah itu
pasti sudah berkurang.”
“Kenapa?”
“Kadang-kadang kami disentuh
pula oleh keinginan untuk memanggangnya,” jawab Sutawijaya sambil tersenyum.
“Silahkan, Ngger. Aku tidak
berkeberatan.”
“Kebetulan sekali,” gumam
Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada kedua kawan-kawannya, “kita tinggal di
sini.”
Sementara itu, gembala tua itu
pun segera minta diri untuk pergi ke sungai lebih dahulu. Sebelum berangkat ia
harus mempersiapkan dirinya. Gembala tua itu bersama dua orang muridnya, tidak
akan dapat mengirakan berapa lama ia akan tinggal bersama pasukan Argapati.
Di sepanjang jalan ke sungai,
gembala tua itu selalu digelisahkan oleh perasaan sendiri. Apakah yang
sebaiknya dikatakan kepada Argapati tentang dirinya. Apakah ia harus
berterus-terang ataukah ia masih harus berselimut sejauh-jauh mungkin.
“Kedua murid-muridku itu tidak
mengenal aku,” desisnya, “tetapi mungkin Argapati dapat menebak, siapakah aku
ini. Argapati pasti sudah mengenal guru, seorang yang bersenjata cambuk. Dan
Argapati mungkin akan dapat mengingat hari-hari itu, semasa aku masih muda.
Namun ia pasti belum mengerti, siapakah aku sebenarnya.”
Keragu-raguan itu selalu membayanginya
selama ia berendam diri di dalam sungai, kemudian setelah ia berpakaian,
menyelesaikan kewajibannya dan kemudian melangkah kembali ke gubugnya.
Di jalan setapak dari sungai
itu ia bertemu dengan Gupala yang dengan bersungut-sungut berkata kepadanya,
“Ubiku menjadi arang.”
Gembala itu tersenyum.
Jawabnya, “Masih ada ubi yang lain.”
“Semuanya telah aku masukkan
ke dalam api.”
“Masih melekat, pada
batangnya. Bukankah kau dapat mencabut lagi?”
Gupala tertawa. Kemudian ia
berlari menghambur ke sungai.
Beberapa langkah lagi orang
tua itu bertemu dengan Gupita. Agaknya perhatiannya lain dari adik
seperguruannya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Sikap Sutawijaya agak
aneh, Guru. Apakah ia ingin melihat Pajang runtuh?”
“Tidak. Tidak begitu, Gupita.
Yang menjadi tujuan Angger Sutawijaya bukan itu. Yang penting baginya adalah,
Mentaok menjadi besar. Kalau Mentaok justru akan menjadi besar karena Pajang,
maka pasti tidak akan ada pertentangan antara Pajang dan Mentaok.”
Gupita menundukkan wajahnya. Tampak
sesuatu bergolak di dalam hatinya, sehingga seakan-akan di luar sadamya ia
bergumam, “Akhirnya kita sampai pada sifat manusia itu sendiri, Guru.”
“Bagaimana?” bertanya gurunya.
“Mereka selalu memburu
kepentingan diri sendiri. Mereka menempatkan kepentingan sendiri di atas
kepentingan yang lain. Seperti apa yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya dengan
menyingkirkan Arya Penangsang. Arya Penangsang sendiri dan sekarang Sutawijaya.
Sebelum kemelut api yang membakar tanah ini padam, kita sudah melihat sepercik
api di hutan Mentaok. Di sini telah terjadi geseran kepentingan, dan kelak di
Mentaok akan terjadi pula.”
“Kita belum pantas untuk
mencemaskannya sekarang. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.”
“Mudah-mudahan, Guru,” jawab
Gupita. “Tetapi seperti yang pernah Guru ceriterakan, bahwa api yang membakar
seluruh Pajang dan Jipang sebenarnya adalah percikan api yang menyala di dalam
dada orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kenapa Sultan Hadiwijaya
dengan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menghancurkan Jipang?”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, pamrih pribadi.”
“Bukankah Guru pernah
berceritera tentang dua orang gadis di Gunung Danaraja, yang melayani Kanjeng
Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang dan bertirai rambutnya sendiri saja.”
“Kau dapat melihat Gupita,
bahwa pergulatan pamrih pribadi dari orang-orang yang kebetulan memegang
kekuasaan, akan berakibat jauh sekali. Yang terlibat bukan sekedar orang-orang
itu sendiri, tetapi mereka akan menyeret setiap orang di dalam lingkungan
kekuasaannya.”
“Seperti yang kita lihat di
Menoreh kini, Guru, bukankah begitu?”
“Ya.”
“Dan kita akan terseret pula
di dalamnya.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Kita akan terjun ke dalamnya. Sudah tentu
dengan kepentingan kita juga. Gupala mempunyai kepentingan atas Tanahnya
sendiri, supaya tidak selalu terancam oleh bahaya yang dapat datang dari Barat,
apabila Tanah ini dikuasai Sidanti dan berhasrat untuk maju ke Timur, melawan
Pajang. Dan kau?”
“Aku tidak mempunyai kepentingan
apa-apa.”
Gurunya mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tersenyum. “Gadis itu? Bukankah kau menjadi hampir gila
ketika gadis itu dibawa Sidanti ke Tambak Wedi? Bukankah kau ingin hidup
tenteram tanpa dibayangi lagi oleh hantu yang setiap saat dapat mengganggu
ketenteraman hidup itu kelak sesudah kalian berkeluarga?”
Gupita menundukkan kepalanya.
“Aku pun mempunyai pamrih.
Meskipun tidak sejelas Angger Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya, dan yang lain
lagi. Aku berkepentingan agar Argapati tidak melepaskan haknya.”
Gupita masih menundukkan
kepalanya.
“Sudahlah. Pergilah ke sungai
dan bersiaplah. Kita akan pergi ke pusat pertahanan Argapati. Kita akan
langsung melibatkan diri kita masing-masing.”
Gupita tidak menjawab, tetapi
ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika gurunya kemudian
meneruskan langkahnya kembali ke gubugnya, maka Gupita pun berjalan pula ke
sungai. Namun kepalanya masih juga tertunduk dalam-dalam.
Kedua anak-anak muda itu,
setelah selesai bersiap dan berkemas, segera kembali duduk bersama-sama dengan
gurunya, Sutawijaya dan kawan-kawannya. Agaknya gurunya telah minta diri kepada
Sutawijaya untuk segera pergi menemui Argapati seperti yang telah dijanjikan.
“Aku mengharap bahwa api di
atas bukit ini segera padam, Ngger,” berkata orang tua itu. “Apabila mungkin
tanpa korban yang berarti. Tetapi menilik sikap-sikap yang mutlak di kedua
belah pihak, agaknya salah satu memang harus menjadi korban.”
“Sudah tentu, Kiai tidak ingin
bahwa tempat Kiai berpihaklah yang akan menjadi korban itu,” berkata
Sutawijaya.
“Sudah tentu, Ngger. Kalau aku
melepaskannya untuk dikorbankan aku tidak akan berpihak kepadanya.
Setidak-tidaknya aku tidak akan mencampurinya. Tetapi aku sudah berkeputusan.
Tanah perdikan ini akan lebih berarti apabila Argapati sendirilah yang
memegangnya. Tentu saja tidak sempurna. Namun adalah jauh lebih baik daripada
apabila Sidanti yang menguasainya. Lebih baik bagi rakyat tanah perdikan ini
sendiri. Lebih baik bagi daerah-daerah tetangganya dan sudah tentu akan lebih
baik bagi Mentaok yang baru akan berkembang.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Sudah tentu Mentaok kelak
tidak akan sekedar menjadi tanah perdikan. Aku tidak tahu apakah rencana Sultan
Hadiwijaya tentang tahta, karena memang ada Pangeran Benawa di istana Pajang
sekarang. Tetapi seandainya Pajang akan temurun kepada Pangeran yang lemah hati
itu, Angger akan melihat Mentaok menjadi sebuah kadipaten yang besar.”
Sutawijaya tidak menyahut.
Tetapi ia merenungkan kata-kata orang tua itu. Agaknya ia dapat mengerti jalan
pikirannya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu matahari telah
meloncat ke punggung bukit. Sinarnya yang masih kemerah-merahan terserak-serak
di atas pepohonan di hutan-hutan rindang.
“Aku masih mempunyai beberapa
ontong jagung, Ngger,” berkata gembala tua itu. “Aku sendiri dan kedua
anak-anak ini tidak biasa makan terlampau pagi. Apabila nanti Angger
memerlukannya, kami persilahkan untuk mempergunakannya. Di belakang dan di
samping rumah ini Angger dapat menemukan batang-batang ubi kayu yang telah
cukup besar meskipun belum masanya. Tetapi satu dua, Angger akan dapat memetik
ubinya.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan
tinggal di rumah ini. Selebihnya aku akan mencoba menilai semua keterangan
Kiai. Mudah-mudahain dapat menumbuhkan harapan bagiku dan bagi Mentaok. Dan
mudah-mudahan pula Mentaok benar-benar akan diserahkan.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kami akan minta diri, Ngger.
Baik-baiklah di tempat ini. Aku menitipkan semua yang ada di halaman ini.”
“Yang ada hanya beberapa ekor
kambing itu,” Gupala memotong.
“Ya, beberapa ekor kambing
itu,” sambung gembala tua itu.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku usahakan menjaga dan menggembalakannya
seperti kalian menggembala. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan kalian hitung
jumlah kambing-kambing itu.”
Orang tua itu tersenyum. “Aku
tidak pernah mengerti dengan pasti jumlah kambing-kambingku.”
“Syukurlah,” desis Sutawijaya.
Sejenak kemudian, maka gembala
tua itu pun segera meninggalkan gubugnya diikuti oleh kedua muridnya. Namun
sebelum mereka berangkat, Gupala sempat mendekati Sutawijaya sambil berkata,
“Juntai kuning itu sama sekali tidak berarti bagi tuan. Sebaiknya tuan berikan
saja kepadaku.”
“He,” jawab Sutawijaya,
“bukankah kau pernah menerimanya dari padaku?”
“Tertinggal di hulu pedangku.”
“Kalian tidak membawa
senjata?”
“Bukan pedang.”
“Lalu buat apa tali ini
bagimu?”
“Kalung.”
Sutawijaya tersenyum. Tetapi
dilepasnya juga tali kekuning-kuningan yang berjuntai di tangkai tombak
pendeknya. Sambil menyerahkannya ia berkata, “Kalau kelak aku membawanya lagi,
aku sudah tidak akan memberikannya kepadamu.”
Gupala tersenyum. Katanya,
“Terima kasih.” Dan di lingkarkannya tali yang berwarna kuning keemasan itu di
lehernya, berjuntai sampai ke lambungnya. Kemudian ujungnya dikaitkannya pada
ikat pinggangnya.
“Kalau aku Bima, aku akan
memakai kalung seekor ulat welang sebesar betis.”
“Kau selalu mengada-ngada,”
desis Gupita.
Gupala tersenyum, kemudian ia
minta diri sambil berkata, “Tinggallah Tuan di sini. Kalau suatu hari Tuan
menyembelih kambing, jangan yang berwarna putih mulus.”
Ketika matahari merambat
semakin tinggi, ketiganya telah berada di perjalanan menyusuri pinggir hutan
yang tipis. Mereka harus mencari jalan, agar mereka tidak menjumpai rintangan
apa pun di perjalanan. Mereka harus menghindari pula kemungkinan,
petugas-petugas sandi yang disebar oleh Sidanti dapat menemuinya, sehingga
keadaan akan berkembang ke arah yang lain dari yang telah mereka perhitungkan.
Namun yang masih menjadi
masalah bagi gembala tua itu adalah dirinya sendiri. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Aku akan berusaha sejauh-jauhnya
untuk menyatakan diriku seperti sekarang ini. Entahlah, apa saja tanggapan
Argapati terhadapku nanti. Tetapi Tanah ini harus diselamatkan. Mudah-mudahan
kehadiran kami akan dapat membantu Ki Argapati.”
Dengan hati-hati mereka
melangkah terus. Menyusup dari antara pepohonan yang satu ke yang lain,
menyusur pinggir hutan, dan kemudian lewat di tengah-tengah pategalan yang
tidak digarap.
Semakin dekat ketiganya ke
pusat pertahanan Argapati, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi
Gupita. Ia merasa, bahwa persoalan yang timbul antara dirinya dan Wrahasta
tanpa diketahui sebab-sebabnya, agaknya akan berkepanjangan.
“Anak muda yang bertubuh
raksasa itu telah mengancam aku,” katanya di dalam hati, “aku tidak boleh
kembali ke padukuhan itu.” Gupita menarik nafas. Namun kemudian ia berkata
seterusnya di dalam hatinya itu. “Tetapi aku tidak dapat tinggal di luar. Aku
harus ikut masuk bersama guru dan Adi Gupala.”
Akhirnya Gupita itu pun
membulatkan tekadnya. Apa pun yang akan terjadi atas dirinya. “Aku sama sekali
tidak mempunyai maksud-maksud yang tidak baik,” katanya pula di dalam hatinya.
“Meskipun mungkin benar kata guru, bahwa apa yang kita lakukan ini terdorong
oleh pamrih-pamrih pribadi, namun aku tidak akan membuat orang lain mengalami
kesulitan. Justru dalam kepentingan yang bersamaan pula kita bekerja
bersama-sama.”
Yang sama sekali seakan-akan
tidak mempunyai persoalan adalah justru Gupala. Ia melangkah dengan mantap dan
ketetapan di dalam hati. Sidanti harus dihancurkan. Selama Sidanti masih ada,
ia pasti akan selalu mengancam ketenteraman kademangannya. Dan bahkan mungkin
akan mengancam ketenteraman hidup keluarganya.
Sekilas-kilas diingatnya
kata-katanya kepada adiknya pada saat ia akan berangkat, “Aku akan
membunuhnya.” Dan diingatnya pula kata-katanya selagi ia menenteramkan hati
adiknya, “Laki-laki itu terlampau rendah hati. Ia tidak akan berkata, ‘Aku akan
kembali dengan membawa kepala Sidanti.’ Tidak. Tetapi ia hanya sekedar berkata,
‘Mudah-mudahan aku akan kembali dengan selamat.’”
Gupala tersenyum sendiri.
Sekarang mereka telah berada dekat sekali dengan medan pertempuran itu. Apabila
Ki Argapati tidak berkeberatan, maka ia akan segera ikut terjun di dalam
peperangan.
Anak yang gemuk itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Rasa-rasanya telah rindu melihat dan mengalami
benturan senjata.
“Hem, aku tidak membawa pedang
berhulu gading itu,” desahnya di dalam hati, “aku harus berkelahi dengan
cambuk. Tetapi cambuk ini tidak dapat langsung menyobek dada lawan dan
menumpahkan darahnya. Cambuk ini hanya dapat menumbuhkan luka-luka kecil dan
membuat lawan-lawanku menyeringai menahan sakit. Sejauh-jauh yang dapat aku
lakukan adalah mematahkan tulang lawan, tetapi bagiku sebenarnya lebih mantap
mengayunkan pedang daripada sekedar cambuk kuda.” Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Itulah ciri guru. Ia
tidak senang membunuh lawannya sekaligus apabila tidak terlampau mendesak. Dan
demikian pulalah watak jenis senjatanya.”
Ketika matahari telah merambat
semakin tinggi, sampai ke ujung pepohonan, maka gembala tua bersama kedua
muridnya sudah menjadi semakin dekat. Kini mereka berada beberapa puluh langkah
saja dari bekas regol yang telah terbakar. Mereka berjalan membungkuk-bungkuk
di antara batang-batang ilalang. Semakin lama semakin dekat.
Dari kejauhan mereka melihat
beberapa orang sedang sibuk membuat regol darurat. Mereka menanam lurus
melandingan sebesar betis setinggi regol yang telah terbakar. Ujungnya
diruncingkan dan diikat berjajar tiga lapis. Kemudian di tengah-tengah diberinya
sebuah pintu lereg yang besar dan kuat, sekuat pintu regol mereka yang telah
terbakar.
“Regol darurat itu tidak akan
mudah terbakar semudah regol yang lama,” desis Gupala.
“Ya, kayu-kayunya kayu basah
dan regol itu tidak memakai atap dan dinding papan yang kering,” sahut Gupita.
Sementara itu gurunya masih
saja merenung memandangi orang-orang yang sedang bekerja dengan sepenuh hati.
“Apakah kita akan memasuki
padesan itu sekarang?” bertanya Gupala.
Gurunya berpaling ke arah
Gupita, seolah-olah ia minta pertimbangan dari anak muda itu.
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berdesis, “Aku tidak menyebut waktu. Pagi atau siang atau
sore.”
“Marilah kita masuk,” berkata
gurunya, “aku ingin segera melihat luka Ki Argapati yang sebenarnya.”
Gupita mengangguk pula.
“Marilah. Aku kira tidak akan ada kesulitan lagi bagi Guru dan Adi Gupala.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Lalu bagaimana dengan kau sendiri?”
“Mudah-mudahan anak muda yang
bertubuh raksasa itu tidak membuat persoalan lagi.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi ia tidak berbicara lagi.
Mereka bertiga pun kemudian
berjalan perlahan-lahan namun dengan penuh kewaspadaan mendekati regol darurat
yang sedang dibuat itu. Semakin lama semakin dekat.
“Mereka telah melihat kita,” desis
gembala tua itu.
“Ya,” sahut Gupita,
“mudah-mudahan bukan Wrahasta yang memimpin pekerjaan itu.”
Sejenak kemudian mereka
melihat lima orang keluar dari regol yang sedang mereka buat, berjalan
menyongsong ketiga orang gembala itu.
“Siapakah kalian?” bertanya
salah seorang dari kelima orang itu ketika mereka menjadi semakin dekat.
Gupita-lah yang melangkah maju
sambil menjawab, “Aku Gupita. Aku yang kemarin telah datang ke padukuhan ini.”
“Oh,” sahut orang itu, “kaukah
yang berusaha mengobati Ki Argapati?”
“Ya, ayahku inilah.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamat-amatinya ketiga orang gembala itu
berganti-ganti. Kemudian kepada salah seorang dari mereka ia berkata,
“Sampaikan kepada Ki Samekta, bahwa dukun itu telah datang.”
Ketika orang itu melangkah ke
regol yang sedang mereka buat itu, orang yang pertama berkata, “Kita menunggu
disini.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, kenapa para pengawal menjadi
sangat berhati-hati. Bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, keadaan memang
terasa terlampau gawat, sehingga setiap persoalan harus ditanggapinya dengan
sangat berhati-hati.
Sejenak kemudian, mereka
melihat seseorang keluar dari padukuhan itu diantar oleh pengawal yang tadi
memberitahukan kehadiran gembala tua itu beserta kedua anak-anak muridnya.
Orang itu ternyata adalah Samekta.
“Itulah, Ki Samekta telah
datang.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih saja digelisahkan tentang dirinya
sendiri apabila nanti ia harus bertemu dengan Argapati.
“Kalau tidak hari ini, juga
besok atau lusa aku akan bertemu. Sudah tentu aku tidak akan menunggunya sampai
Argapati mati, baik oleh lukanya maupun di dalam peperangan,” berkata gembala
tua itu di dalam hatinya.
Samekta yang menjadi semakin
dekat itu pun menganggukkan kepalanya. Sementara itu gembala tua itu pun
mengangguk hormat.
“Ternyata Kiai benar-benar
datang hari ini,” berkata Samekta. “Kami memang mengharap sekali kedatanganmu.
Sebelum kau melihat lukanya, kau telah mampu mengobatinya, apalagi apabila kau
melihat sendiri luka itu.”
“Mudah-mudahan,” jawab gembala
tua itu sambil membungkukkan punggungnya, “aku akan sekedar berusaha.
Mudah-mudahan usaha itu dapat berhasil.”
“Marilah, Kiai. Aku kira Ki
Argapati pun telah menunggu pula.”
“Terima kasih.”
“Anakmu yang seorang itu telah
aku kenal. Karena itu, kedatanganmu tidak perlu melampaui pemeriksaan yang
sulit.”
“Terima kasih. Adalah menjadi
pekerjaanku untuk mengobati setiap luka. Luka siapa pun juga oleh apa pun
juga.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Namun kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Ya. Ya. Adalah menjadi
kewajiban seorang dukun untuk mengobati orang-orang yang terluka. Marilah.”
Gembala tua itu pun kemudian
melangkah mengikuti Samekta. Di belakang, kedua anaknya berjalan dengan kepala
menunduk. Di belakang keduanya, para pengawal melangkah dengan tegapnya,
mengikuti iring-iringan kecil itu.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat dengan regol yang sedang dikerjakan itu, hati Gupita menjadi
berdebar-debar. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di tengah jalan
sambil bertolak pinggang.
“Orang itukah dukun yang
dikatakan akan mencoba mengobati luka Ki Argapati?” bertanya anak muda yang
bertubuh raksasa itu.
Samekta menganggukkan
kepalanya, “Ya. Inilah orangnya.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi sorot matanya serasa membakar jantung Gupita. Ia merasa bahwa
anak muda yang bertubuh raksasa itu selalu mengawasinya.
“Kami akan membawanya langsung
menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Apakah kau sudah yakin Paman
Samekta?”
Samekta heran mendengar
pertanyaan itu, justru di hadapan orang yang berkepentingan. Namun demikian ia
menjawab, “Ya, aku sudah yakin.”
“Baiklah. Mudah-mudahan ia
berhasil,” gumam Wrahasta.
Samekta berhenti sejenak.
Dipandanginya wajah Wrahasta yang agaknya menjadi acuh tidak acuh. Namun
sejenak kemudian, Samekta pun meneruskan langkahnya diikuti oleh gembala tua
itu, dan kemudian di belakangnya adalah kedua murid-muridnya.
Ketika Gupita melangkah tepat
di depan Wrahasta, terdengar anak yang bertubuh raksasa itu menggeram, “Kau
akan menyesal bahwa kau telah mengabaikan pesanku. Kehadiranmu di sini sama
sekali tidak kami kehendaki.”
Gupita mengerutkan dahinya.
Namun ia tidak menjawab sepatah kata pun. Diayunkannya kakinya melangkah
mengikuti gurunya dan adik seperguruannya. Meskipun demikian, kata-kata
Wrahasta itu terasa sebagai sebuah ancaman baginya.
Gembala tua itu diantar oleh
Samekta langsung menuju ke tempat Ki Argapati. Semakin dekat dengan rumah yang
di tempatinya, hati gembala tua itu menjadi semakin berdebar-debar.
Sejenak kemudian mereka telah
memasuki halaman. Sebelum mereka masuk ke rumah, maka Samekta-lah yang
mendahuluinya, menyampaikan berita itu kepada Ki Gede, bahwa dukun tua beserta
anak-anaknya itu telah datang.
Namun ketika Samekta itu
keluar dari rumah itu, ia berkata, “Sayang, Ki Argapati sedang tidur. Apakah
aku harus membangunkannya?”
“O jangan. Biarlah Ki Argapati
tidur sebanyak-banyaknya. Itu akan sangat bermanfaat bagi luka-lukanya yang
parah.”
“Kalau begitu, silahkan kalian
menunggu di pendapa.”
Ketiga orang itu pun kemudian
dibawa naik ke pendapa. Bersama Samekta mereka duduk di atas sehelai tikar
pandan yang putih. Sambil menunggu Ki Argapati, maka gembala tua itu
bercakap-cakap tentang luka itu dengan Ki Samekta.
Sementara itu pintu yang
memisahkan pendapa dan pringgitan berderit. Kemudian muncullah seorang gadis
dengan sepasang pedang di lambungnya. Tetapi kali ini ia tidak menggenggam hulu
pedangnya, atau kendali seekor kuda yang tegar, atau sebuah busur dan anak
panah. Yang kali ini dipegangnya adalah beberapa buah mangkuk di dalam nampan
kayu.
Ternyata gadis itu tidak hanya
sigap mempemainkan sepasang pedangnya, namun ia pandai juga melayani tamu
dengan menghidangkan minum dan makanan.
Gupala yang berpaling ketika
ia mendengar pintu bergerit, memandang gadis itu dengan tanpa berkedip. Bahkan
dengan mulut ternganga ia mengikuti segala gerak-geriknya. Langkahnya, kemudian
dengan hati-hati berjongkok untuk meletakkan mangkuk itu satu demi satu. Kemudian
surut selangkah, berdiri perlahan-lahan dan akhirnya hilang kembali di balik
pintu.
Demikian gadis itu hilang
ditelan pintu, maka Gupala pun menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu sangat
berkesan di hatinya. Langkahnya lembut sebagai seorang gadis dengan nampan kayu
di tangan. Tetapi agaknya cukup meyakinkan di medan peperangan.
Tanpa sesadarnya Gupala
berpaling memandang wajah Gupita. Anak muda yang gemuk itu mengumpat-umpat di
dalam hatinya ketika ia melihat Gupita tersenyum kepadanya.
Ketika kemudian Samekta sedang
asyik bercakap-cakap dengan gurunya, Gupala bergeser mendekati Gupita. Dengan
berbisik-bisik ia bertanya, “He, itukah gadis yang kau katakan bertempur
melawan Ki Peda Sura?”
Gupita menggeleng. “Bukan.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya perlahan-lahan hampir berdesis, “Bukankah gadis itu putri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Pandan Wangi?”
Sekali lagi Gupita
menggelengkan kepalanya. “Bukan.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata, “Gadis itu membawa sepasang pedang.”
“Ada beberapa puluh gadis di
Tanah Perdikan ini yang membawa sepasang pedang, karena Pandan Wangi memang
membuat sepasukan pengawal yang terdiri dari gadis-gadis dan
perempuan-perempuan muda. Semuanya membawa pedang rangkap.”
Gupala menggigit bibirnya.
Tetapi ia tidak berbicara lagi. Meskipun demikian, berbagai pertanyaan bergelut
di hatinya. Namun ketika terlihat olehnya Gupita tersenyum-senyum, maka ia
berbisik, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Tentu, aku berkata sebenarnya.
Kalau kau ingin melihat, nanti aku bawa kau kepada pasukan berpedang rangkap
itu.”
Sekali lagi Gupala terdiam.
Dengan dada yang berdebar-debar ia berharap agar gadis yang berpedang rangkap
itu keluar lagi dari pringgitan. Tetapi daun pintu itu sama sekali tidak
bergerak.
Akhirnya Gupala menjadi jemu
menunggu. Perhatiannya kini ditujukan kepada percakapan antara gurunya dan Ki
Samekta yang agaknya sangat menarik.
“Semalam agaknya luka itu
kambuh kembali,” berkata Samekta.
“Seharusnya Ki Gede banyak beristirahat,”
“Ya, Ki Gede menyadarinya.
Tetapi keadaan sangat mendesak. Seandainya Ki Gede tidak muncul malam itu, aku
tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kalau kau mampu
menolongnya, tolonglah. Kalau Ki Gede dapat segera sembuh, maka kami akan tetap
berpengharapan untuk dapat merebut tanah ini. Tanpa Ki Gede, kami di sini tidak
akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura
yang pasti akan segera sembuh pula.” Ki Samekta tiba-tiba berhenti sejenak,
lalu tiba-tiba, “He, bukankah anakmu itu mampu bertempur melawan Ki Peda Sura
bersama Angger Pandan Wangi?”
Gembala tua itu mengangguk.
“Ya, ia hanya sekedar membantu. Agaknya Angger Pandan Wangi memang seorang
gadis pilih tanding.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Angger Pandan Wangi sudah menceriterakan semuanya. Kita
memang tidak dapat menyangsikannya. Dalam bentrokan karena salah paham antara
anakmu yang bernama Gupita itu melawan Angger Wrahasta, ternyata anakmu cukup
berjiwa besar dan menunjukkan kemampuan yang luar biasa.”
Gembala tua itu tidak segera
menyahut. Dipandanginya wajah Gupita sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, “Hanya suatu kebetulan,”
“Tidak. Bukan suatu kebetulan.
Karena anakmu sudah mulai, maka aku akan minta ijin kepadamu, agar anakmu kau
perbolehkan ikut serta di dalam peperangan yang tengah membakar Tanah Perdikan
ini. Hanya satu orang yang dapat kami banggakan di dalam lingkungan kami. Hanya
Angger Pandan Wangi. Lalu siapakah yang harus bertempur melawan Angger Sidanti,
Argajaya dan Ki Peda Sura?”
“Jangan dinilai terlampau
tinggi. Mereka hanya sekedar gembala-gembala yang tidak berarti. Namun bukan
berarti bahwa kami tidak bersedia untuk ikut melibatkan diri kami, meskipun
kami tidak berkepentingan secara langsung.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, kalian sama sekali memang tidak berkepentingan, karena
aku yakin bahwa kalian memang bukan orang-orang Menoreh.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, “Kalau kalian memang
orang-orang Menoreh, maka kalian pasti merasa bahwa kalian akan berkepentingan
langsung untuk ikut serta menyelesaikan masalah ini.”
Sambil menganggukkan kepalanya
orang tua itu berkata, “Demikianlah. Namun kami memang sudah terlanjur terlibat
di dalamnya.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu. Dilemparkannya tatapan
matanya jauh ke seberang halaman, menyentuh panasnya matahari yang menari-nari
di dedaunan.
Sejenak kemudian, maka Samekta
itu pun berkata, “Cobalah aku akan melihat, apakah Ki Gede sudah bangun.”
Sepeninggal Samekta, gembala
tua itu menarik nafas. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia dan kedua muridnya
harus terjun di arena. Namun bagaimanakah bentuknya? Apakah memang sudah sampai
saatnya Ki Tambak Wedi mengetahui kehadirannya?
Ketiganya berpaling ketika
mereka mendengar pintu berderit. Sesaat kemudian Samekta telah berdiri di muka
pintu itu sambil berkata, “Ki Gede telah bangun. Kalian ditunggu di dalam
bilik.”
Gembala tua itu menganggukkan
kepalanya. “Baiklah, kami akan segera datang.”
Ketiganya kemudian berdiri dan
melangkahkan kakinya meskipun ragu-ragu. Mereka berjalan di belakang Samekta,
memasuki pringgitan, kemudian langsung ke dalam. “Marilah, masuklah,” ajak
Samekta.
Maka mereka pun kemudian masuk
ke dalam sebuah bilik. Di dalam bilik itu Ki Argapati berbaring di atas
pembaringannya ditunggui oleh anak gadisnya, Pandan Wangi.
Begitu mereka masuk, maka
tiba-tiba tangan Gupala mencengkam lengan Gupita. Meskipun tidak menimbulkan
kesan apa pun, tetapi Gupita berdesis, “He, sakit.”
“Ayo, tunjukkanlah kepadaku,
di manakah pasukan gadis-gadis berpedang rangkap itu.”
Tetapi Gupita tidak menjawab.
Ia hanya berdesis saja sambil mengibaskan lengannya yang dicengkam oleh Gupala.
Namun Gupala tidak melepaskannya.
“Bukankah kau bilang bahwa
gadis itu bukan Pandan Wangi? Bukankah kau berjanji untuk melihat pasukan
gadis-gadis berpedang rangkap?”
“Ssst,” Gupita berbisik,
“jangan ribut.”
“Tetapi kau belum menjawab.”
“Baiklah, aku mengatakan yang
sebenarnya. Gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”
Gupala menarik nafas. Kemudian
dilepaskannya tangan Gupita sambil berkata perlahan-lahan, “Sejak aku melihat
aku sudah pasti, bahwa gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”
“He, jangan ribut. Lihat,
gadis itu selalu memandangmu. Dan lihat, agaknya Ki Argapati akan berusaha
bangkit.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Ia melihat Ki Argapati berusaha untuk bangkit dan bertahan dengan kedua belah
tangannya.
“Jangan, Ki Gede,” gembala tua
itu mencoba mencegah. “Silahkan Ki Gede berbaring saja.”
“Oh,” Ki Gede berdesah. “Maaf.
Aku menerima kalian dengan cara yang barangkali kurang sopan.”
“Tetapi Ki Gede memang
memerlukan berbaring.”
“Ya, sejak tadi malam lukaku
terasa kambuh kembali.”
“Karena itu, Ki Gede harus
banyak beristirahat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia mencoba memiringkan tubuhnya.
Dengan tajamnya diamatinya gembala tua yang masih saja berdiri di samping
Samekta.
“Kaukah ayah kedua anak-anak
muda ini?”
“Ya, Ki Gede. Akulah.”
“Jadi, Kiai pulalah yang telah
memberi aku obat sampai beberapa kali?”
“Dua kali,”
“Terima kasih, Kiai.
Kedatangan Kiai memang aku harapkan sekali. Mudah-mudahan Kiai bersedia
menolong aku.”
“Aku akan berusaha. Adalah
kewajibanku untuk menolong siapa saja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia terdiam, namun tampak di wajahnya
bahwa ada sesuatu yang menyangkut di hatinya. Dipandanginya berganti-ganti
gembala tua itu dan kedua murid-muridnya. Katanya kemudian, “Aku pernah melihat
yang seorang itu di padukuhan ini, sedang yang lain di bawah Pucang Kembar.
Bukankah mereka itu yang kau suruh memberikan obat kepadaku?”
“Ya, Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya ia memang menahan sesuatu di dalam dadanya. Namun akhirnya
ia berkata, “Samekta, bawalah kedua anak-anak muda itu ke pendapa. Aku ingin
berbicara dengan orang tua ini,”
Samekta mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia menjawab, “Baiklah, Ki
Gede.” Kemudian kepada Gupala dan Gupita ia berkata, “Marilah anak-anak muda,
kita kembali ke pendapa.”
Gupita menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Baik, Tuan.” Kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”
Gupala menjadi kecewa. Ia
lebih senang berada di dalam ruang itu meskipun ia harus berdiri saja sehari
penuh. Tetapi ia pun harus melakukannya, mengikuti Samekta keluar dari ruangan
itu.
Sepeninggal Samekta dan kedua
anak-anak muda itu, maka Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan gembala tua
itu untuk duduk pada sebuah dingklik kayu.