Buku 072
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mencoba menerobos hutan itu, tetapi
memang terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk melingkar di sebelah
hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah kehilangan buruannya dan justru
menemukan perkemahan Pandan Wangi di pinggir hutan itu.
“Memang sulit sekali,” berkata
Sutawijaya, “tetapi jika aku menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan
lagi.”
“Sama saja bagi Raden,”
berkata Pandan Wangi, “Raden tidak akan menemukannya, meskipun Raden berusaha
mencarinya malam ini.”
Sekali lagi Sutawijaya
mengangguk sambil berkata, “Tetapi sama saja artinya. Dan arti itu adalah, aku
kehilangan lagi buruanku.”
Pandan Wangi melihat
kekecewaan yang dalam di wajah Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada yang
dapat menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu kemungkinan yang tidak
dapat diperhitungkan. Apalagi di malam hari.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Rudita yang duduk mendengarkan percakapan itu menjadi ngeri. Seandainya mereka
benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari, maka ia akan menjadi beku
karenanya.
Rudita itu terkejut ketika ia
mendengar aum harimau di tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati
Pandan Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu juga justru mengangkat
wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di
antara para pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita, meskipun ia
sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, maka mereka
pun sempat juga menghirup minuman panas yang dihidangkan oleh para pengiring
dan bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.
“Baiklah,” berkata Raden
Sutawijaya kemudian, “aku akan ikut berstirahat di sini. Besok pagi-pagi benar,
aku akan menyerahkan arah perjalananku kepada kalian. Apakah aku akan kembali
atau aku akan mencari terus orang-orang yang selalu membuat kerusuhan di
Mataram itu.”
Dan hampir di luar sadarnya
Swandaru berkata, “Bagaimana jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh
hutan ini. Mungkin mereka memang bersarang di dalam hutan ini.”
“Tergantung kepada Pandan
Wangi. Jika aku diizinkan, aku masih akan mencarinya di dalam hutan ini.
Alangkah berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku.”
Sejenak tidak ada yang
menyahut. Rudita yang duduk di sebelah Pandan Wangi menjadi termangu-mangu.
Lalu katanya, “Raden, tetapi bukankah orang-orang itu sudah tidak berada di
Mataram lagi?”
“Siapa?” bertanya Sutawijaya
pula.
“Orang-orang yang Raden cari.”
“Sudah aku katakan, mereka
telah menyeberang sungai itu, dan berada di atas Tanah Perdikan Menoreh.”
“Jika demikian sebenarnya
Raden sudah tidak perlu bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka pergi ke mana
mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti mereka sudah tidak
mengganggu daerah Mataram lagi?”
“Ya, sekarang mereka memang
tidak mengganggu daerah Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi. Atau bahkan
mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke timur dan mulai lagi
mengganggu orang-orang yang tinggal di daerah yang masih agak sepi.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Katanya, “Tentu tidak, Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka
mengetahui Raden sedang mengejarnya.”
Sutawijaya memandang Rudita
sejenak. Jawabnya kemudian, “Ya. Mereka tentu akan lari ketakutan.”
Rudita tidak mengerti
tanggapan Raden Sutawijaya yang sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia mengiakan
kata-katanya. Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.
Dalam pada itu, Agung
Sedayu-lah yang berkata, “Jika Pandan Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi
memasuki hutan ini untuk mencari jejak. Sekaligus berburu binatang buas.
Bukankah tidak banyak bedanya? Namun jika kita kurang hati-hati, kitalah yang
justru akan diburu oleh orang-orang itu, seperti kita hampir saja menjadi
mangsa seekor ular naga.”
Swandaru memandang Pandan
Wangi pula seolah-olah sedang menunggu. Ialah yang paling berwenang menentukan,
apakah ia sependapat atau tidak.
Setelah merenung sejenak, maka
Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Kita
besok pergi bersama-sama.”
“Jangan pergi,” Rudita mencoba
mencegahnya, “biarlah mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita
menunggu di sini bersama para pengiring.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya seperti kepada adiknya yang kecil ketika merengek
minta mainan, “Kau sajalah yang tinggal di sini bersama beberapa orang
pengiring yang akan menunggui kuda kita dan menyediakan makan kita seperti
sekarang ini.”
“Tetapi sebaiknya kau tidak
pergi.”
“Aku ingin pergi, Rudita.
Akulah tuan rumah di sini. Akulah yang paling pantas mengantarkan tamu-tamu
yang menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi mereka bukan tamu.
Mereka adalah orang-orang yang ingin berperang.”
“Dan kita adalah orang-orang
yang sedang berburu. Kita sudah sepakat untuk berburu di hutan liar itu,” jawab
Pandan Wangi, “dan kita sekarang mendapat kawan yang cukup banyak. Bukankah
semakin banyak kawan kita, perjalanan kita akan menjadi semakin aman?”
Rudita memandang wajah Pandan
Wangi dengan gelisah. Agaknya Pandan Wangi pun sudah tidak mau mendengarkan
kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di dalam rombongan, bukan
saja berburu di daerah yang liar, tetapi orang-orang itu rasa-rasanya seperti
orang-orang liar juga, yang sedang berkelahi melawan alam di jaman-jaman
manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di dalam jaman perburuan
tiada henti-hentinya. Membunuh dan dibunuh binatang buas dan sesama manusia.
“Kini mereka pun sedang
berburu manusia,” berkata Rudita di dalam hatinya.
Namun Rudita tidak akan dapat
mencegah orang-orang yang masih saja suka berburu itu. Sedang untuk tinggal di
perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa orang pengiring yang
tinggal tentu tidak setangkas Pandan Wangi. Dan tentu tidak akan dapat membidik
mata ular dengan lemparan tombak.
“Di daerah yang buas memang
sebaiknya berada di antara orang-orang yang garang seperti mereka itu untuk
menyelamatkan diri,” berkata Rudita di dalam hatinya.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita
kemudian, “baiklah jika demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi
jika menurut penilaianmu semakin banyak orangnya, akan menjadi semakin aman.”
Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jalan terlalu sulit di tengah-tengah hutan
itu.”
“Itulah yang menyenangkan,
Rudita. Kita sudah terlalu lama hidup dalam kesenangan. Hampir tidak pernah
berbuat apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri kita sendiri
mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini adalah cara yang baik
untuk itu.”
“Kalian memang mencari
kesulitan. Jika kalian ingin, kalian tentu dapat menyediakan uang untuk
mengupah beberapa orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian
kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng sekalipun asal uang
itu cukup banyak.”
“Juga dapat untuk berburu
orang-orang bersenjata sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa usaha itu akan
dapat hasil baik seperti yang kita harapkan,” potong Sutawijaya.
“Tentu itu bukan persoalan
kita, Raden. Jika kita sudah mengadakan pembicaraan, maka itu harus berhasil.
Jika tidak, kita tidak usah membayarnya.”
“Mungkin hal semacam itu dapat
dilakukan di dalam perburuan binatang. Sebelum kita mendapat macan loreng, kita
tidak akan memberikan upahnya,” sahut Sutawijaya. “Tetapi tidak bagi perburuan
orang-orang bersenjata.”
“Apa bedanya, Raden?” bertanya
Rudita. “Tentu kita juga tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak
berhasil menangkap orang yang kita cari.”
“Memang kita tidak usah
membayar upahnya. Tetapi kehilangan buruan, nilainya belipat dari upah yang
harus kita bayarkan,” jawab Raden Sutawijaya. “Bukan sekedar seperti binatang
buruan yang banyak jumlahnya.”
Rudita tidak menyahut lagi.
Dipandanginya saja Raden Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun tertunduk,
namun agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.
“Rudita,” berkata Sutawijaya
seperti seorang guru yang sabar mengajari muridnya yang terlampau bebal,
“setiap binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita. Macan
loreng yang satu akan sama saja nilainya dengan macan loreng yang lain. Seekor
rusa tidak banyak berbeda dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak
orang-orang bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari akan
sangat berbeda nilainya dengan sekelompok yang bersenjata di sekitar perapian
ini, meskipun aku hampir saja keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok
yang lain lagi yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan kita.
Karena itu, sulit bagi kita untuk mengupah orang-orang yang sanggup berburu
manusia bersenjata seperti pemburu-pemburunya itu sendiri, meskipun hal itu
dapat juga sekali-sekali terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan
seperti kita sekarang ini.”
Rudita tidak menjawab lagi.
Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat mencegah perburuan yang menegangkan itu.
Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan itu tanpa Pandan
Wangi.
“Bagaimana jika justru
orang-orang yang diburu itu yang akan memburu aku dan para pengiring yang tugas
di sini,” berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian sama sekali tidak
berkata apa pun juga.
Ketika Rudita kemudian
terdiam, maka yang lain mulai berbicara. Swandaru yang sudah menahan hati
terlampau lama itu berkata, “Baiklah kita mempergunakan sisa malam ini untuk
beristirahat sebelum kita besok menyelusuri hutan belukar yang lebat itu.
Dengan orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, maka hutan lebat di
pinggir Praga ini tentu tidak akan kalah berbahayanya dari Mentaok, meskipun
hutan ini tidak terlalu luas.”
“Aku sependapat,” berkata
Raden Sutawija. “Kita dapat tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang
kemudian dikepung oleh sepasukan orang-orang bersenjata itu. Dan baru akan kita
cari besok pagi.”
“Kuda-kuda kami adalah penjaga
yang paling baik. Mereka akan segera membangunkan kami jika ada seseorang yang
datang.”
“Orang-orangku akan
berjaga-jaga,” berkata Sutawijaya.
“Bagus sekali. Giliranku
adalah berjaga-jaga menjelang pagi. Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi
melakukannya. Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden Sutawijaya
dan kuda-kuda kami itu,” gumam Swandaru.
“Sst,” Agung Sedayu berdesis.
Swandaru berpaling.
Dipandanginya Agung Sedayu sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa ia
berdesis.
“Kau samakan saja mereka
dengan kuda-kuda kita,” bisik Agung Sedayu.
“O,” Swandaru menutup
mulutnya, seakan-akan ingin menahan kata-katanya yang tersisa.
Demikianlah, maka mereka pun
segera mencari tempat untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa
bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat di atas rerumputan
yang kering.
“Raden,” berkata Rudita,
“kenapa Raden berbaring di tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden
berbaring di atas tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi mempergunakan
yang selembar lainnya. Biarlah anak-anak itu mencari tempat mereka
masing-masing.”
Swandaru hanya memandang
Rudita sejenak. Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun sama sekali
tidak mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung Sedayu, dan apa lagi
Prastawa.
Tetapi ternyata bahwa
Sutawijaya menolak, katanya, “Aku biasa tidur di mana pun juga tanpa lambaran,
rumput kering adalah alas yang lebih hangat dari sehelai tikar pandan. Karena
itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama dengan yang lain.”
“Ah,” desah Rudita, “tetapi
tidak enak bagiku. Seakan-akan aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena
itu silahkan Raden tidur di sini.”
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Kau terlalu baik hati. Kau mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut
pendapatmu pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu bukan salahmu. Aku
sendirilah yang menentukan.”
Rudita tidak menyahut lagi.
Tetapi untuk beberapa lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya yang berbaring
di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para pengiringnya yang
segera bertebaran mencari tempat masing-masing. Namun demikian beberapa orang
masih tetap duduk di tempatnya untuk berjaga-jaga, karena bahaya dapat datang
setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak.
Malam itu ternyata tidak ada
sesuatu yang menarik perhatian. Agung Sedayu dan Swandaru tidak perlu lagi
bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur dengan pulasnya, karena
di perkemahan itu rasa-rasanya menjadi semakin aman dengan kehadiran Raden
Sutawijaya bersama para pengiringnya.
Namun dalam pada itu
Rudita-lah yang ternyata tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Bukan saja
karena ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut gambarannya adalah
seorang putra sultan yang berkuasa di seluruh Pajang, namun hatinya juga
digelisahkan karena besok mereka harus melanjutkan perburuan mereka. Bukan saja
berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia. Manusia yang bersenjata
lebih tajam dari taring harimau yang paling ganas.
Ketika kemudian fajar menyingsing,
maka mereka pun segera bangkit dan membenahi diri. Beberapa orang dari mereka
pun segera memperbesar nyala perapian dan menjerang air untuk minum.
Sementara itu. Pandan Wangi
pun mendahului orang-orang lain pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu.
Kemudian baru yang lain berturut-turut membersihkan diri mereka.
“Apakah kau tidak akan mandi?”
bertannya Pandan Wangi kepada Rudita.
“Aku tidak dapat pergi
sendiri. Aku belum mengetahui letaknya.”
“He, kenapa sendiri? Bukankah
semua juga pergi ke belik itu?”
“Aku tidak mau bersama dengan
mereka.”
“Kenapa?”
Rudita menggelengkan
kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, katanya, “Pandan Wangi, apakah setelah
semuanya selesai, kau mau mengantarkan aku?”
“Ah,” Pandan Wangi tidak dapat
menahan senyumnya, katanya, “apakah kau tidak malu ditertawakan oleh
orang-orang lain?”
“Mereka tidak akan
mentertawakan. Aku tidak dapat berbuat lain daripada itu.”
Pandan Wangi menjadi iba juga
kepada anak manja itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Marilah, agaknya
semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat itu, maka semuanya
tentu sudah kembali ke perkemahan ini. Tetapi sudah barang tentu aku tidak
dapat mendekati belik itu apabila yang lain baru mandi.”
“Ah, jika begitu, nanti saja
setelah mereka selesai sama sekali.”
“Itu akan membuang waktu.”
Rudita memandang wajah Pandan
Wangi dengan tatapan mata yang sayu, sehingga akhirnya Pandan Wangi berkata,
“Baiklah. Kita menunggu sejenak.”
Demikianlah, setelah langit
semakin terang barulah semuanya selesai mandi. Dan barulah Pandan Wangi
mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu mengantar anaknya
ke pakiwan di malam hari.
Ternyata Rudita hanya mencuci
mukanya. Namun demikian badannya merasa segar dan rasa-rasanya kekuatannya menjadi
bertambah-tambah.
Tetapi ia menjadi heran
melihat Pandan Wangi yang sama sekali tidak memperhatikannya. Yang diperhatikan
justru rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar belik itu.
“Apa yang menarik perhatianmu,
Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
Pandan Wangi tidak menyabut.
Tetapi sesuatu memang sangat menarik perhatiannya.
Sejenak Rudita menjadi
termangu-mangu. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang kadang-kadang berjongkok,
kadang-kadang menyibakkan dedaunan perdu.
Akhirnya Rudita justru menjadi
khawatir, sehingga sekali lagi ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang kau lihat?”
Pandan Wangi hanya berpaling
sejenak, namun kemudian ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul di sekitarnya.
Rudita meniadi semakin cemas.
Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Pandan Wangi telah kesurupan
demit belik itu?”
Tetapi sejenak kemudian,
Pandan Wangi itu memanggilnya, “Rudita, kemarilah.”
Dengan tergesa-gesa Rudita
mendekat, meskipun beberapa langkah dari Pandan Wangi ia berhenti sambil
memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak sedang kemasukan hantu.
“Apa yang kau perhatikan?”
“Kemarilah, lihatlah.”
“Apa?”
“Rerumputan ini.”
“He, kemana kau?” bertanya
Rudita ketika ia melihat Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.
“Telapak kaki di atas
rerumputan. Ranting-ranting perdu yang berpatahan.”
“Ah, tentu orang-orang yang
pergi ke belik ini lebih dahulu dari kita.”
“Mereka tidak akan sampai
sejauh ini. Semula aku menduga demikian. Tetapi ketika aku perhatikan, maka ada
sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah lewat melalui tempat
ini. Dari dalam hutan dan berbelok menyelusuri hutan perdu ini.”
“Ah, darimana kau tahu.”
“Lihat. Bekas-bekas kaki dan
ranting yang patah ini datangnya dari arah itu dan kemudian menuju ke arah ini.
Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang mungkin satu dua orang di
antara mereka singgah ke belik itu, karena ada jalur yang pergi ke sana dan
meninggalkan belik itu. Tetapi aku yakin, tentu bukan telapak kaki orang-orang
kita sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam dan pagi tadi mereka
pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak akan menyelusuri tempat ini
dalam jalur yang panjang. Tetapi mereka juga tidak sempat melihat bekas-bekas
ini karena gelap.”
“Ah, sudahlah, Pandan Wangi.
Kau telah mencari persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak perlu
mengatakan kepada siapa pun.”
“Kenapa?”
“Tentu hal-hal yang sebenarnya
bukan persoalan kita, akan dikupas, diurai dan dibicarakan panjang lebar,
kemudian mereka akan segera memburunya.”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Dan karena Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya, “Pandan
Wangi, kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya seperti binatang buas
di hutan? Siapa yang paling kuat, ialah yang berhak menentukan kehendaknya.
Apakah itu masih harus berlaku di dalam jaman ini?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling
bertengkar dan apalagi saling memburu. Tetapi bahwa manusia mempunyai sifat
mempertahankan dirinya itu adalah wajar sekali. Seperti halnya dengan kita
sekarang. Tentu kita tidak akan mencampuri persoalan orang-orang bersenjata
itu, jika mereka tidak melanggar hak kita. Kita tidak tahu, akibat apa yang
dapat timbul karena pelanggaran yang mereka lakukan di atas Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi sudah tentu akibat yang tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang
sedang mempertahankan diri.”
“Mungkin keteranganmu dapat
dimengerti Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Raden Sutawijaya? Orang-orang
yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah meninggalkan daerah Malaram.
Kenapa ia masih juga mengejarnya, dan karena itu kau pun merasa hakmu
dilanggar?”
“Rudita,” jawab Pandan Wangi,
“apa yang dilakukan itu pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan
diri. Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap orang-orang
itu, maka pelanggaran-pelanggaran masih akan terus terjadi. Orang-orang itu
masih saja akan menusuk Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak
terduga-duga. Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari mereka sebagai
satu cara untuk membela dirinya, membela daerah yang sedang dibukanya itu.”
“Dan kau tidak berbuat apa-apa
atas pelanggaran yang dilakukan olehnya pula?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu? Apakah
aku harus bertindak atas Raden Sutawijaya?”
“Tentu tidak, Pandan Wangi.
Jangan. Ia adalah putra Sultan Pajang, meskipun putra angkat.”
“Jadi bagaimana?”
“Kau dapat berbuat serupa
terhadap orang-orang lain itu. Mereka tidak mengganggu Tanah Perdikan Menoreh.
Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang itu. Kita tidak usah
mencampurinya.”
Pandan Wangi memandang Rudita
sejenak, lalu, “Sayang Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di
sini. Itulah sebabnya, aku bersedia ikut mencari mereka dan jika mungkin
menyelesaikan semua persoalannya, sehingga tidak berkepanjangan.”
Rudita memandang wajah Pandan
Wangi dengan tatapan mata yang suram. Namun ia tidak dapat memaksa Pandan Wangi
untuk mengurungkan niatnya.
Pandan Wangi sebenarnya merasa
kasian juga melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun
untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang
dianggapnya bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, agar Rudita
tidak mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi pun kemudian berkata,
“Rudita, mungkin kita tidak usah pergi ke mana pun.”
Rudita memandang Pandan Wangi
sambil bertanya, “Maksudmu?”
“Aku mengharap orang-orang itu
hanya sekedar bermalam di tempat yang tersembunyi. Pagi ini mereka akan segera
kembali lewat jalan ini pula.”
“He,” tiba-tiba saja wajah
Rudita menjadi tegang, “apakah mereka akan lewat jalan ini pula?”
“Mungkin sekali.”
Rudita menjadi gelisah.
Tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita kembali ke perkemahan kita, Pandan
Wangi.”
“Kita menunggu sebentar. Jika
mereka lewat, kita tidak perlu mencarinya lagi.”
“Kita berdua?”
“Bukankah kita mempunyai
banyak kawan?”
“Tetapi mereka tidak berada di
sini.”
“Aku akan memanggil
kawan-kawan kita, sementara kau bertempur melawan mereka, agar mereka tidak
meninggalkan tempat ini.”
“Tidak. Aku tidak ingin
berkelahi. Aku tidak sampai hati melukai apalagi membunuh sesama.”
“Jadi, kau sajalah yang
memanggil mereka. Aku yang berkelahi.”
“Jangan, jangan. Sebaiknya
kita kembali saja ke perkemahan.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau menghendaki demikian, apa boleh buat.”
Keduanya pun kemudian segera
kembali ke perkemahan. Rudita yang cemas, bahwa orang-orang yang lewat itu akan
kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia berpaling dan
berkata, “Cepatlah sedikit, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi harus menahan
senyumnya melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak mau membuat anak muda
itu menjadi semakin sakit hati.
Demikianlah, akhirnya mereka
pun sampai ke perkemahan ketika orang-orang yang ada di perapian yang masih
menyala itu sudah menghirup air minum mereka yang hangat.
Pandan Wangi dan Rudita pun
kemudian duduk pula di antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap
Swandaru dan Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas di hadapan seorang
putra Sultan Pajang. Bahkan Pandan Wangi pun agaknya menganggap Raden
Sutawijaya itu kawan bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena
itu, ia masih berdiam diri saja.
Seperti yang diduga oleh
Rudita, bahwa Pandan Wangi memang senang mencari persoalan, maka gadis itu pun
kemudian menceritakan apa yang dilihatnya itu kepada orang-orang yang ada di
sekitar perapian itu.
“Kau memang ingin mencari
perkara,” desis Rudita, “seharusnya kau diam saja.”
“Ah, aku harus mengatakannya.
Bukankah sudah menjadi keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku tidak
mengatakan, bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah yang
salah.”
“Itu lebih baik. Jika kita
tidak menemukannya, maka kita tidak akan berselisih dengan mereka.”
Pandan Wangi yang mengetahui
perasaan Rudita itu, hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya ceritanya
tentang jejak yang dilihatnya itu.
“Aku ingin melihatnya,”
tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata.
“Nanti sajalah,” cegah
Swandaru, “kita menghangatkan badan kita dengan makanan dan minuman panas ini.
Kemudian kita tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi kita sudah siap
untuk berangkat mencarinya.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempersiapkan diri. Kita akan
berangkat dan langsung memburu orang-orang itu.”
Demikianlah orang-orang yang
ada di perkemahan itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum
secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan melakukan sebuah perburuan
yang gawat.
“Makanlah, Rudita,” berkata
Pandan Wangi, “jika kau ingin ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru
kembali ke perkemahan ini, atau bahkan besok atau lusa.”
“Ah,” desah Rudita, “Ayah dan
Ibu tentu menanti kedatanganku dengan cemas.”
“Apakah kau ingin pulang lebih
dahulu? Biarlah seorang pengiring mengantarkanmu.”
“Kau sajalah, Pandan Wangi.
Antarkan aku pulang dahulu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tidak mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama
sekelompok kecil ini. Mudah-mudahan aku segera dapat kembali.”
Rudita termangu-mangu. Katanya
kemudian, “Jika kau pergi, aku pun ikut bersamamu.”
Swandaru mengangkat bahunya.
Tetapi ia tidak berkata apa pun juga. Prastawa yang menjadi semakin jemu
melihat sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.
“Jika demikian, bersiaplah.
Kita akan segera berangkat.”
Sementara itu, para pengiring
Pandan Wangi dan pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya tiga orang
saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang tertambat dan
menyiapkan makan dan minum apabila setiap saat kelompok kecil itu datang.
Sejenak kemudian, maka
sekelompok pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera
berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan yang lebat. Kini bagi
mereka yang penting tidak lagi ingin berburu binatang, tetapi mereka akan
berburu manusia. Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat untuk
membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa. Yang penting bagi mereka adalah
memelihara kedamaian di daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai itu masih
harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu keadaan yang masih
harus di tempuh.
Yang mula-mula mereka datangi
adalah belik kecil tempat mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka
ingin melihat jejak yang telah dilihat oleh Pandan Wangi.
Ternyata seperti Pandan Wangi,
mereka mengambil kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar jejak sekelompok
orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu. Tentu merekalah orang
yang sedang dicari oleh Sutawijaya. Jika orang-orang itu bukan orang-orang yang
dengan sengaja melalui jalan yang tidak diketahui orang lain, maka mereka tidak
akan mengambil jalan itu.
“Kita sudah menemukan
jejaknya,” berkata Raden Sutawijaya, kemudian, “jagalah agar kita tidak
kehilangan.
“Tetapi mereka tentu sudah
jauh sekali,” sahut Swandaru.
“Kita akan mencobanya. Tetapi
jika kita kehilangan jejak ini, kita benar-benar tidak akan dapat menduga sama
sekali, ke mana mereka akan pergi.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Seandainya kita tidak menemukan orang-orangnya, asal kita dapat menggambarkan
jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di
pinggir-pinggir tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan dapat
mengambil sikap.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Sutawijaya itu berkata seterusnya, “Nah, mumpung masih pagi.
Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai beberapa orang yang ahli di
dalam menyelusuri jejak.”
Demikianlah, maka dua orang
pengawal Sutawijaya yang dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri
jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas kaki di rerumputan
yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting perdu yang disibakkan, dan
bekas-bekas yang lain yang dapat diketemukan.
Di belakang kedua orang
penyelusur jejak itu berjalan Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di
belakangnya Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita berjalan
dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia tidak dapat berpisah lagi dengan
gadis itu. Tetapi pada saat itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang
menilai kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di dekat Pandan
Wangi.
Di belakang mereka berjalanlah
para pengawal Raden Sutawijaya dan beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan
Menoreh.
Ternyata bahwa mereka tidak
terlalu sulit untuk mengikuti jejak itu. Agaknya orang-orang yang menyingkir
dari Mataram karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang baru
tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka akan diikuti jejaknya,
ternyata mereka sama sekali tidak berusaha melakukan penyamaran atas jejak
mereka. Bahkan ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh
pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali. Luka-luka baru pada
pohon perdu itu masih mengembun getah.
Demikianlah mereka berjalan
terus. Karena mereka tidak menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka
agak lebih cepat daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan yang masih
liar itu.
“Mereka berjalan sepanjang
pinggiran hutan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang yang mengenal
jejak gerombolan itu.
“Ya. Itulah yang aneh,” sahut
Pandan Wangi yang mendengar kata-kata itu.
“Kenapa aneh?” bertanya
Sutawijaya.
“Jika kita berjalan terus
dengan arah ini, kita akan sampai ke bukit padas yang keputih-putihan itu.
Tidak ada sebuah desa pun yang terletak di kaki bukit itu.”
“Jika kita berbelok ke timur?”
“Kita akan menerobos ujung
hutan ini dan kita akan sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah hutan itu memotong
bukit yang membujur ke timur itu?”
“Bukit itu tidak sampai ke
pinggir Kali Praga.”
“Apakah yang ada di
antaranya?”
“Tidak pernah disentuh oleh kaki
manusia. Tetapi itu adalah kelanjutan hutan yang liar ini.”
“Itulah yang sangat menarik.
Di tempat yang jarang disentuh kaki manusia. Aku justru ingin melihatnya.
Mungkin di tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang kita cari.”
“Aku kira tidak,” sahut Pandan
Wangi, “daerah itu sulit sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali
tanah, maka akan keluar airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerah-merahan
dan berbau tanah kapur.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Air adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan. Mungkin air berbau tanah
kapur itu dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu tidak bagi
manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang kotor, apabila di daerah
lain masih dapat diketemukan air yang jernih dengan mudah.
Namun demikian, iring-iringan
itu masih berjalan terus. Jejak yang mereka ikuti justru menjadi semakin jelas.
Agaknya orang-orang itu menjadi semakin yakin, bahwa tidak akan ada orang lain
yang akan lewat jalan itu.
Karena itulah, maka jalan
mereka pun menjadi semakin cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal sama
sekali.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
yang memperhatikan kaadaan tempat itu dengan saksama mulai berpikir. Semakin
lama justru dilihatnya jalur yang seakan-akan sebuah jalan setapak. Rerumputan
bagaikan menyibak sebelah-menyebelah dan kadang-kadang didapatkannya
seakan-akan sebuah tangga batu cadas.
Tetapi belum lagi ia
mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya telah menggamitnya sambil berkata, “Kau
melihat sesuatu yang kurang wajar di daerah ini.”
Belum lagi Agung Sedayu
menjawab, hampir berbareng Swandaru dan Pandan Wangi berdesis, “Ya. Ada sesuatu
yang perlu mendapat perhatian.”
“Jalur ini,” sambung Agung
Sedayu.
Ternyata anak-anak muda itu
hampir berbareng merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak pada tempatnya.
Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka daerah itu menjadi semakin sulit
dilalui dan jejak pun menjadi semakin sukar ditelusuri. Tetapi ternyata yang
mereka temui adalah sebaliknya.
Karena itulah, maka mereka pun
segera berhenti. Raden Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang
kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya yang berjalan di depan.
Selain mereka, maka Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun
berkerumun pula mengelilinginya.
“Kita bersama-sama telah
melihat sesuatu yang mencurigakan,” berkata Raden Sutawijaya. “Sudah barang
tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap mereka.”
Orang-orang yang
mengerumuninya mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah salah seorang dari
kalian mengetahui makna dari keadaan ini?” bertanya Sutawijaya lebih lanjut.
Sejenak orang-orang yang
mengerumuninya berdiam diri. Orang-orang yang mengawal Sutawijaya itu tampaknya
ragu-ragu meskipun agaknya ada juga yang akan mereka katakan.
“Raden Sutawijaya,” berkata
Agung Sedayu kemudian, “agaknya kita memang sedang berjalan ke suatu tempat
yang meskipun jarang sekali, tetapi sekali-sekali pernah juga dilalui orang.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya, ia memandang kepada Pandan
Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.
“Agaknya memang demikian,”
katanya kemudian, “tetapi aku belum pernah mendengar laporan tentang daerah
ini, tentang orang-orang yang sering melalui jalan ini menuju ke tempat yang
agaknya belum aku kenal. Pegunungan itu merupakan batas dari jarak jelajah para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan hutan yang
liar yang menyilang pegunungan itu adalah daerah tidak bertuan. Maksudku,
daerah itu bukan lagi termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah
tentu masih termasuk di dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan hutan yang liar itu
pun demikian juga kedudukannya. Itulah sebabnya, kami tidak dapat mengatakan
sesuatu yang mungkin ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang masih
sangat liar dan buas. Yang mungkin tidak kalah liarnya dengan Alas Mentaok.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Hutan itu tentu masih selebat dan
seliar, dan barangkali melampaui Alas Mentaok, karena Alas Mentaok sekarang
sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu bukannya hutan yang sempit
menjelujur sepanjang Kali Praga. Menurut pengamatanku, kita sekarang sudah
menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita tempuh bukannya
sejajar dengan arus Kali Praga itu.”
“Raden benar,” sahut seorang
pengawal Pandan Wangi, “kita memang menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan
pegunungan itu pun terletak semakin jauh pula.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya beberapa ujung pegunungan yang mencuat melebihi
pumcak-puncak yang lain. Agaknya pegunungan itu pun benar-benar masih liar,
meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak terlalu tinggi.
“Kita tidak akan sampai ke
pegunungan itu,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi kita juga tidak akan segera
kembali. Kita masih akan maju mengikuti jejak ini. Tetapi kita harus lebih
berhati-hati.”
“Maksud Raden?” bertanya
Swandaru.
“Kita tidak boleh terjebak.
Karena itu, kita harus memecah iring-iringan ini menjadi dua atau tiga kelompok
kecil. Jika salah satu dari kelompok ini masuk dalam jebakan, yang lain masih
sempat berusaha menolongnya.”
Agung Sedayu yang mengerutkan
keningnya menyahut, “Bagus sekali. Kita memang sedang memasuki daerah yang aku
kira cukup berbahaya.”
“Nah, marilah kita membagi
seluruh pasukan kecil kita,” berkata Raden Sutawijaya, “menjadi dua atau tiga?”
“Dua kelompok,” sahut
Swandaru.
“Baiklah,” berkata Raden
Sutawijaya, “yang sekelompok akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di
depan. Sedang kelompok yang kedua?”
“Biarlah dipimpin oleh Pandan
Wangi,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa aku?”
“Kaulah yang membawa beberapa
orang pengiring bersamamu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia sadar, bahwa ia adalah putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
juga berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun kemudian
menyahut, “Baiklah. Aku akan berada di kelompok kedua.”
Namun tiba-tiba saja Rudita
berkata, “Kau tidak usah turut campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali
ke perkemahan. Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?”
Semua orang memandang wajah
Rudita yang pucat karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah membayangkan
berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi.
Sebenarnya setiap orang di
dalam pasukan kecil itu pun membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa mereka
akan masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan berusaha untuk
memecahkan jebakan itu dan mengetahui isinya.
“Pandan Wangi,” desis Rudita,
“kenapa kau diam saja?”
Pandan Wangi menjadi
termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi beban
saja. Di dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya untuk
mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya kembali, ia harus
menyediakan dua atau tiga orang pengiring. Bahkan di jalan kembali itu pun
Rudita dapat setiap saat diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin
orang-orang yang justru melampaui binatang buas.
“Pandan Wangi,” Rudita
mengulang. Bahkan ia pun melangkah mendekati Pandan Wangi dengan lutut gemetar
dan merengek seperti kanak-kanak.
“Rudita,” berkata Pandan
Wangi, “kau tidak mempunyai pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan
pergi terus bersama dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini,
sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau tidak usah ikut berkelahi jika kita
harus berkelahi. Tetapi kau juga jangan mengganggu kami jika kami sedang
berkelahi.”
“Apakah kau akan berkelahi?”
“Hanya satu kemungkinan. Lebih
baik lagi jika kita tidak bertemu dengan siapa pun, meskipun dengan demikian
berarti perjalanan ini sia-sia.”
Rudita tidak menyahut. Seperti
kata Pandan Wangi, ia memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia harus berjalan
terus, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun menjadi semakin
kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya mengambang di pelupuknya.
Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Aku sudah tersesat di antara orang-orang
yang tidak saja berburu binatang, tetapi ternyata juga berburu manusia.”
“Nasibmu memang jelek,
Rudita,” Prastawa yang tidak tahan lagi menjawab.
“Diam kau!” Rudita masih juga
membentak.
“Kenapa kau tidak minta mayat
lawan kita yang pertama sebagai hadiah buat Pandan Wangi,” sahut Prastawa
kemudian.
Mendengar pertanyaan itu,
terasa segenap bulu-bulu Rudita berdiri, sehingga ia tidak dapat menjawabnya.
Namun Pandan Wangi-lah yang menyahut, “Sudahlah, Prastawa. Jika demikian, maka
kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh perasaanmu saja tanpa pertimbangan
nalar. Anak ini benar-benar sedang dicengkam ketakutan yang luar biasa.”
Prastawa tidak menjawab, meskipun
ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa ia masih juga dapat menyombongkan dirinya,
seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasa di sini.” Namun ketika ia
melihat wajah anak itu semakin pucat, ia pun berkata pula di dalam hatinya,
“Sebenarnya kasihan juga Rudita itu.”
Demikianlah, maka kemudian
mereka benar-benar telah membagi seluruh pasukan kecil itu menjadi dua
kelompok.
Sekelompok dipimpin oleh Raden
Sutawijaya sendiri dengan seluruh anak buahnya, sedang kelompok yang lain
dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa,
dan para pengiring yang dibawanya dari Menoreh. Sedangkan Rudita justru menjadi
beban kelompok kedua, apabila mereka benar-benar terlibat di dalam pertempuran.
Yang sekelompok, yang dipimpin
oleh Raden Sutawijaya itu pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan
cirri-ciri baru agar kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak. Di samping
jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang mereka
ikuti, maka Raden Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka
setujui. Selain tanda-tanda itu, maka beberapa orang di dalam kelompok pertama
akan memberikan tanda-tanda khusus, apabila mereka telah terlibat di dalam
kesulitan.
“Kami membawa panah sendaren,”
berkata Pandan Wangi ketika mereka berpisah, “adalah kebiasaan kami di dalam
perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling memberikan tanda dengan
panah sendaren.”
“Baiklah,” jawab Sutawijaya,
“kami akan membawa panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami memerlukannya.”
Maka kedua kelompok itu pun
maju perlahan-lahan dalam jarak yang agak jauh, sehingga bagi orang lain tidak
segera diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu
terdapat kelompok yang lain lagi.
Di sepanjang jalan sempit yang
ditelusuri, Sutawijaja melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga ia pun
yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang dicarinya itu untuk
memancing mereka.
Dengan demikian, maka
Sutawijaya pun menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke
tempat yang terbuka.
“Kelompok di belakang kita itu
pun tidak akan dapat menyembunyikan diri, apabila mereka melintasi tempat
terbuka ini,” berkata Sutawijaya kepada pengiringnya, “sehingga dengan
demikian, orang-orang yang akan menjebak kita itu pun segera akan melihat,
bahwa kita terdiri dari dua kelompok.”
Pengiringnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang daripada mereka pun
berkata, “Kita dapat memberikan tanda, agar mereka berhenti di sini.”
“O,” Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita pun akan berhenti pula
di tempat yang terbuka itu. Jika benar mereka menjebak kita, mereka tidak akan
telaten menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka ini menyerang
kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu tetap terlindung di sini.”
Sutawijaya mengangguk-angguk
sambil memandangi medan di hadapannya. Sebuah tempat yang terbuka, meskipun
tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihatnya adalah
tapak-tapak kaki di atas rerumputan dan batang-batang ilalang yang berpatahan.
“Baiklah,” berkata Sutawiiaya,
“berilah tanda agar kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu
berhenti di sini. Kita akan berjalan terus dan kita akan berusaha memancing
mereka keluar dan menyerang kita di tempat yang terbuka. Sementara itu
orang-orang Menoreh dapat memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat
ini, jika kehadiran mereka tidak segera diketahui.”
Demikianlah, maka salah
seorang dari pengiring Raden Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di
jalur sempit itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang
sudah mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar Pandan Wangi berhenti
sejenak. Jika tidak ada isyarat lain, maka beberapa saat kemudian mereka dapat
melanjutkan perjalanan.
Setelah tanda itu siap, maka
Sutawijaya pun kemudian membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi
dengan hati-hati, sehingga mereka benar-benar sampai ke mulut lorong yang
bermuara di tempat terbuka itu.
Namun sebelum mereka melanjutkan
perjalanan yang dengan sengaja memasuki daerah terbuka itu, salah seorang yang
memiliki ketajaman pengamatan terhadap jejak-jejak berbisik, “Raden. Tidak
semua orang di dalam kelompok yang sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat
terbuka ini.”
“Darimana kau tahu?”
“Sebagian dari mereka telah
memisahkan diri. Aku dapat melihat jejak mereka, meskipun mereka berusaha
menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja mereka buat agar
menjadi jelas.”
“Dugaan kita benar. Mereka
telah menjebak kita.”
“Ya. Dan kita pun harus
berusaha menjebak mereka.”
“Bersiaplah. Kita agaknya
benar-benar harus bertempur. Orang itu memancing kita sampai ke tempat yang
jauh. Tentu mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini.”
“Tetapi kenapa justru di
daerah Menoreh?”
“Di sini, di daerah sulit yang
terpencil. Tetapi mungkin juga dengan maksud, agar kita terjerumus ke dalam
benturan senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu tidak terjadi, mereka
sudah menyiapkan jebakan buat kita.”
Para pengiringnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka akan segera sampai ke medan
yang cukup berat. Sedang beberapa orang di antara mereka, masih belum
mengetahui kemampuan orang-orang Menoreh dan anak-anak muda dari Sangkal Putung
itu, sehingga sebagian dari mereka sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran
orang-orang Menoreh yang mereka anggap sebagai pengawal-pengawal Tanah
Perdikan, yang dilakukan sekedar selingan dari kerja mereka di sawah dan
ladang.
Sejenak kemudian, maka Raden
Sutawijaya pun membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu. Namun
mereka memusatkan perhatian mereka ke arah jejak yang lain, yang menyimpang
dari jejak yang sengaja mereka tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan
menjebak mereka, maka mereka tentu akan datang dari arah itu.
Demikianlah, dengan hati-hati
pasukan kecil itu merayap maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih
saja berpura-pura mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu terlampau jelas
untuk dilihat.
Namun tiba-tiba kedua, orang
itu berhenti hampir di tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan kerut-merut
dikeningnya salah seorang dari mereka berkata, “Kita benar-benar telah dijebak.
Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan. Karena itu, kita harus bersiap. Sebentar
lagi kita akan terlibat di dalam perkelahian.”
Raden Sutawijaya mendekati
orang itu sambil bertanya, “Apakah kau melihat suatu pertanda yang lebih
pasti?”
“Jejak itu hilang di sini.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Katanya, “Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah
tempat terbuka ini? Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak yang bagaimanapun
juga mereka usahakan untuk dihilangkan.”
“Tidak ada jejak ke jurusan
lain. Benar-benar tidak ada. Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian
sempurnanya.”
“Jadi bagaimana mungkin.
Apakah mereka dapat terbang atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?”
“Tentu tidak, Raden.”
“Jadi?”
“Jalan satu-satunya adalah
melangkah mundur.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan sekilas
senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahan-lahan, “Aku memang bodoh sekali.
Aku harus lebih banyak memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya
mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu sederhana.”
Para pengiringnya pun ikut
tersenyum pula, meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya
kemudian, “kita harus menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita
berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Pandan Wangi itu telah
berada di tempatnya dan dapat melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan.
Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak berdiri
berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir tempat terbuka ini.”
“Mudah-mudahan mereka cukup
cerdas,” berkata salah seorang pengiringnya, “tetapi karena mereka adalah
pemburu-pemburu yang biasa berburu binatang, mungkin mereka mempunyai sikap
yang lain.”
Sutawijaya memandang
pengiringnya sejenak. Tetapi pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu
sama sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi.
Namun demikian, ia berusaha
untuk memberikan sedikit gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam
kelompok kedua itu. Katanya, “Mereka memang pemburu-pemburu di hutan liar.
Tetapi mereka pun pemburu-pemburu orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal,
karena sudah beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di sepanjang Kali
Praga.”
“Tetapi mereka belum pernah
menghasilkan apa-apa. Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun.”
“Orang-orang bersenjata itu
selalu berhasil melarikan diri. Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang
berusaha melarikan diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka
kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil mencapai tepi Kali
Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus sungai yang kebetulan sedang deras waktu
itu.”
“Darimana Raden tahu?”
“Seorang tukang perahu melihat
peristiwa itu, dan kemudian menceritakan kepada para peronda dari Mataram.”
Para pengiringnya,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit
gambaran, bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa, dapat juga
bertempur dengan caranya.
Sejenak kemudian kelompok
kecil itu masih melingkar-lingkar di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya
mereka sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang menunggui serangan
yang setiap saat dapat datang.
Dalam pada itu, kelompok yang
dipimpin oleh Pandan Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang
terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari tempat yang terbuka,
mereka menemukan suatu tanda, bahwa mereka harus berhenti.
“Sepotong ranting yang
menyilang ini,” berkata Pandan Wangi, “memaksa kita untuk bersiaga.”
“Kita harus berhenti di sini,”
gumam Prastawa.
“Tentu ada sesuatu yang
penting. Jika tidak, kita tidak usah berhenti di sini.”
Prastawa tidak menyahut. Yang
kemudian berbicara adalah Swandaru, “Di hadapan kita adalah suatu daerah yang
terbuka.”
Agung Sedayu yang juga melihat
tanda itu, merayap beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Mereka
berada di sana. Di tempat yang terbuka itu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun ia pun menyusup beberapa langkah maju bersama beberapa orang
yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya masih berada di
tengah-tengah tempat terbuka itu.
“Mereka tampaknya sedang
kebingungan mencari sesuatu,” berkata Prastawa.
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“tampaknya mereka kehilangan jejak.”
“Mustahil,” sahut Swandaru,
“lihat, jejak itu jelas sekali. Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun
di tempat terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas kaki
yang jelas.”
“Tetapi jejak itu agaknya
hilang di tengah-tengah.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi menilik sikap beberapa orang pengiring Sutawijaya dan
Sutawijaya sendiri, mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya mereka
memang telah kehilangan jejak itu.
Ternyata bahwa anak-anak muda
yang berada di dalam kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung
Sedayu dan Swandaru berkata, “Ternyata kita benar-benar berada di dalam
jebakan.”
Dan Swandaru meneruskan, “Apa
pun yang terjadi dengan jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi,
“jejak itu dengan sengaja memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu.
Dengan demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan, akan datang
serangan dari sekeliling tempat terbuka itu, termasuk dari tempat ini.”
“Kau benar,” berkata Agung
Sedayu, “setidak-tidaknya dari beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati
menghadapi mereka. Bahkan mungkin kita akan bertempur lebih dahulu dari
kelompok yang terjebak di tengah-tengah tempat terbuka itu.”
“Jika mereka mengambil arah
ini, agaknya memang demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil arah yang lain.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi dari sela-sela dedaunan, ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh
Sutawijaya dan para pengiringnya.
Namun bagi Agung Sedayu dan
kawan-kawannya, sikap Sutawijaya cukup mengherankan. Seharusnya mereka tidak menjadi
kebingungan, karena sejak semula mereka menyadari, bahwa mereka sedang
menelusuri jejak yang mereka duga sebagai suatu jehakan. Seharusnya mereka
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang dari segala arah.
Bahkan mereka sempat memberikan tanda kepada kelompok kedua ini, agar mereka
berhenti sebelum sampai ke tempat terbuka itu.
Namun Agung Sedayu pun
kemudian berkata, “Tentu mereka pun sedang berusaha memancing lawannya dengan
sikap yang pura-pura itu. Meskipun mungkin mereka benar-benar menjadi bingung
karena kehilangan jejak, tetapi mereka tentu tidak akan bingung menghadapi
jebakan itu.”
Swandaru, Pandan Wangi, dan
Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, bahwa jika benar
Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah jebakan, sebentar lagi tentu
akan terjadi perkelahian.
Di luar sadarnya, Agung Sedayu
pun berpaling ke arah Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas.
Sebenarnyalah, bahwa Radita
telah benar-benar menjadi ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa pembicaraan Agung
Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya yang dapat menerkam
mereka. Jika jebakan itu benar-benar telah di persiapkan, maka apakah mereka
dapat keluar dari jebakan itu?
Karena itu, sejenak kemudian
dengan lutut gemetar ia mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Pandan Wangi.
Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini? Sebaiknya kau mengambil keputusan
untuk kembali saja.”
Pandan Wangi memandang Rudita
sesaat. Ia memang merasa terganggu dengan kehadiran anak muda itu, karena Rudita
itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah yang pertama-tama akan
dibebani dengan tanggung jawab. Tetapi di dalam keadaan serupa itu, sudah
barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi kelompok yang
dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.
“Pikirkan baik-baik, Pandan
Wangi,” desak Rudita, “apakah gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang
yang tidak kita kenal itu?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Rudita. Sudah tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini
adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Kita pun wajib membersihkan daerah ini
dari orang-orang yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi sasaran mereka adalah
Mataram. Sama sekali bukan Menoreh.”
“Dan Menoreh dijadikannya
landasan mereka untuk mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian akan dapat
timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram. Apalagi jika saat ini kita
lepaskan Raden Sutawijaya itu terjebak.”
“Tetapi kenapa kita harus
mengorbankan diri sendiri?”
“Siapa yang mengorbankan diri
sendiri?”
“Kita. Jika kita mati, tumpas,
maka semua akan menyesal. Kau adalah anak satu-satunya. Jika kau mati, tidak
ada lagi garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati, maka ayah bundaku
akan meratap sepanjang sisa umurnya.”
Tetapi Pandan Wangi menyahut,
“Marilah kita tidak menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang
tidak tergantung pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib berusaha. Dan
jika kita berusaha dengan bersungguh-sungguh, maka Yang Menciptakan kita pun
akan menolong kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik.”
“Apakah kau dapat mengatakan,
yang baik bagimu apakah tentu baik bagi orang lain?”
“Ah,” jawab Pandan Wangi,
“dalam keadaan ini, kita jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup.
Aku tahu, bahwa yang baik itu mempunyai artinya masing-masing.”
“Dan kau akan mencoba memilih
sekedar baik bagimu.”
“Rudita,” Pandan Wangi menjadi
jengkel, “sudahlah. Besok kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang
buruk. Kita sekarang menghadapi kenyataan ini. Jika kau takut, baiklah kau
tetap bersembunyi di sini. Kita harus berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang
harus bersembunyi di sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang menyerang,
kita akan tetap menunggu. Sampai saatnya mereka memerlukan bantuan kita, kita
akan meloncat ke luar dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran
itu.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Namun kemudian matanya menjadi berkaca-kaca.
“Kenapa kita bersembunyi?”
tiba-tiba ia bertanya.
Pandan Wangi tidak mengerti
maksud pertanyaan itu.
Sejenak ia memandang Rudita
yang pucat. Kemudian jawabnya, “Kita merupakan tenaga cadangan. Setiap saat
kita akan menyerang mereka tanpa diduga-duga.”
“Bagaimana jika orang-orang
yang kita sangka menjebak Raden Sutawijaya itu mengetahui kehadiran kita di
sini?”
“Usaha kita akan gagal. Mereka
akan bersiap menghadapi kita juga. Mereka tidak akan dapat kita sergap.”
“Jika kita menyatakan kepada
mereka, bahwa kita tidak ikut campur?”
“Ah, tentu tidak mungkin. Kita
sudah melibatkan diri.”
Rudita merenung sejenak. Dan
tiba-tiba saja ia berkata, “Aku sudah mengambil keputusan. Kita tidak usah
turut campur. Akulah yang akan meneriakkan kepada orang-orang yang barangkali
masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut campur. Karena itu, mereka jangan
memusuhi kita.”
“Rudita,” kening Pandan Wangi
Jadi berkerut-merut.
“Itu keputusanku.”
“Jangan berbuat bodoh sekali,”
terdengar suara Agung Sedayu, “jika kau berteriak, maka rencana Raden
Sutawijaya akan kacau.”
“Aku tidak peduli.”
“Dan kita akan berganti
lawan,” desis Swandaru, “kita akan dianggap memusuhi Mataram, karena Raden
Sutawijaya adalah pimpinan tertinggi Mataram.”
“Aku tidak peduli, tetapi aku
tidak mau dibantai oleh orang yang tidak aku kenal di sini. Dan kalian
sebaiknya mendengar keputusanku ini.”
“Gila,” Prastawa menggeram.
Namun di luar dugaan mereka,
agaknya Rudita benar-benar ingin berteriak. Ia benar-benar tidak ingin terlibat
di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin meneriakkan suatu
pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut campur di dalam persoalan antara Mataram
dan orang-orang yang tidak di ketahui itu.
Sambil melingkarkan kedua
telapak tangannya di mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil menengadahkan
kepalanya.
“Rudita, jangan gila,” cegah
Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
Meskipun suara Pandan Wangi
tidak begitu keras, namun Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi tidak ada
tanda-tanda, bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi ia
menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak.
Tetapi ketika suaranya hampir
saja meloncat dari mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi
mengguncangnya sambil berdesis, “Jangan kau lakukan.”
“Jangan mencegah semua yang
sudah aku putuskan untuk aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak
mendengarkan pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa.”
“Ada perbedaannya. Aku tidak
bergantung kepadamu. Tetapi kau bergantung kepadaku di dalam keadaan ini. Bukan
maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau menyadari kedudukan kita
masing-masing di saat ini. Akulah pimpinan kelompok ini.”
“Aku sedang berusaha untuk
tidak bergantung lagi kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar oleh mereka, dan
kita tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang bergantung
kepadaku nanti.”
“Jangan kau lakukan. Aku tidak
mengijinkan kau berbuat gila itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi
sejenak. Tetapi tiba-tiba saja sekali lagi ia melingkarkan kedua telapak
tangannya sambil menengadahkan kepalanya.
Ketika sekali lagi Pandan
Wangi menggamitnya, maka ia pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.
Tetapi ketika suaranya hampir
saja meloncat dari mulutnya, Rudita itu terkejut bukan kepalang. Bahkan
kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan. Ternyata di dalam
keadaan ysng gawat itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain daripada memaksa
Rudita untuk diam. Sebuah tamparan yang cukup keras telah terayun menyentuh
pipi Rudita.
Dengan wajah yang tegang,
Rudita kemudian memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Dari
sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Kau memukul aku, Pandan Wangi.”
“Maaf, Rudita. Aku terpaksa
melakukannya.”
Mata Rudita itu pun kemudian
menjadi basah dan suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan, “Kenapa kau
melakukannya, Pandan Wangi?”
“Aku tidak ingin kita
bersama-sama binasa di sini. Aku tahu, bahwa hatimu bersih dan damai. Kau
menganggap orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak memusuhinya,
maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi kita tidak dapat bersikap seperti itu
terhadap orang-orang yang sedang kita cari sekarang ini. Apa pun yang akan kita
lakukan, maka sikap mereka akan cukup tegas. Membinasakan kita yang terperosok
ke dalam perangkapnya. Termasuk kita.”
Setitik air mengambang di
pelupuk mata anak muda itu. Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang tidak dapat
ditahankannya, “Ternyata hatimu tidak ada bedanya dengan orang-orang lain,
Pandan Wangi. Berbeda dengan namamu, maka kau sama sekali bukan sehelai daun
pandan yang wangi. Kau terlampau berprasangka dan bersikap bermusuhan, justru
dengan orang-orang yang sama sekali tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan
kepercayaan kepada sesama, sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan demikian,
maka hidupmu akan selalu dikotori dengan sikap bermusuhan dan tanpa kedamaian.
Prasangka, curiga, dan kehilangan kepercayaan.”
Pandan Wangi memandang wajah
Rudita yang merah. Air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Dan wajah yang
basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang laki-laki.
Tetapi Pandan Wangi tidak
menyahut lagi karena tiba-tiba saja Prastawa menggamitnya. Katanya, “Pandan
Wangi, lihat. Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia sudah
melihat sesuatu di sekitarnya.”
“Untunglah, bahwa orang-orang
itu tidak menyerang dari jurusan ini. Jika demikian, maka kita akan berkelahi
lebih dahulu daripada Raden Sutawijaya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, lalu
sambil berpaling kepada Rudita ia berkata, “Rudita. Kau tetap bersembunyi di
sini. Jika kau muncul juga di arena jika kita nanti terlibat di dalam
perkelahian, maka kau akan mengalami kesulitan. Ingat, jika kau masih ingin
tetap hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka kau akan mati.
Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau akan menggeliat tanpa dapat berbuat
sesuatu. Mayatmu kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih tetap menembus
sampai ke jantung. Kau mengerti?”
Mengerikan sekali. Air mata
Rudita semakin deras mengalir. Tetapi ia mengangguk, ketakutan yang sangat
telah memaksanya untuk tidak membantah lagi.
Ternyata seperti yang
dikatakan oleh Prastawa, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Raden
Sutawijaya sudah menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan
orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan demikian, maka kelompok
Pandan Wangi pun segera mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan
datang.
Sebenarnyalah Raden Sutawijaya
telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak di sekitar tempat yang terbuka itu.
Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang menyentuh
perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun mengetahui dari arah manakah lawan-lawannya
akan datang.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
menjadi tegang pula karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang
yang berusaha menjebak kelompok-kelompok itu tidak mengetahui bahwa sekelompok
kecil masih tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
Demikianlah, sejenak kemudian
perhitungan Raden Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata
telah muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun.
Dengan demikian, maka
orang-orang yang berada di tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan
diri mereka masing-masing untuk menyongsong orang-orang yang bermunculan dari
balik dedaunan, semakin lama menjadi semakin banyak.
Raden Sutawijaya menjadi
berdebar-debar melihat kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah
bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah,” tiba-tiba salah seorang
dari orang-orang yang mengepung para pengawal dari Mataram itu berkata, “baru
sekarang kita berhasil bertemu muka.”
Raden Sutawijaya mencari di
antara orang-orang yang mengepungnya itu. Namun tiba-tiba dadanya berdesir,
ketika ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil tertawa orang itu
melangkah maju mendekatinya.
“Raden,” berkata orang itu,
“di tempat ini terpaksa aku menunjukkan diri.”
“Paman Daksina?”
“Ya, Raden. Tentu Raden tidak
lupa kepadaku.”
“Apa artinya ini, Paman?”
“Apakah Raden heran melihat
kehadiran kami di sini?”
“Aku tidak mengerti.”
Terdengar suara tertawa orang
yang disebut Daksina itu. Katanya, “Aku memang berada di antara orang-orang
yang barangkali tidak kau senangi, Raden. Orang-orang yang kau anggap selama
ini mengganggu Mataram.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Barangkali Raden memang tidak
menyangka, bahwa aku ada di antara mereka. Tetapi inilah kenyataan itu. Aku
adalah salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat Mataram berkembang.
Aku akui, bahwa di antara kami masih terdapat kepentingan yang berbeda. Namun
kami telah berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri kami masing-masing
menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang bersama-sama kami sepakati tanpa
ragu-ragu, yaitu menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati.”
Raden Sutawijaya menggeram.
Katanya, “Pihak-pihak yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara
kalian?”
Orang itu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Apakah ada gunanya kau mengerti?”
“Mungkin ada.”
“Menjelang kematianmu?”
“Jika benar demikian, maka
setidak-tidaknya sebelumi aku mati, aku sudah mengerti persoalan yang
sebenarnya aku hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup dan
berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya Ayahanda Pemanahan
yang mendengar laporannya, akan bertindak tepat.”
Orang yang disebut bernama
Daksina itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Coba perhatikan di sekelilingmu,
Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih banyak. Dan aku yakin, bahwa Raden
tidak akan dapat menang melawan aku seorang lawan seorang meskipun aku belum
sesakti ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi
untuk kepentinganku kali ini mencukupilah kiranya.”
“Paman akan membunuh aku?”
“Jika mungkin, aku ingin
menangkapmu hidup-hidup.”
“Buat apa sebenarnya Paman
menangkap aku?”
“Pertanyaanmu aneh, Raden.
Yang penting bukan untuk apa, tetapi yang penting bagi kami adalah Mataram tidak
boleh berdiri seperti bentuknya sekarang.”
“Siapakah sebenarnya yang
berkeberatan? Paman belum menyebut pihak-pihak yang kau katakan.”
“Baiklah, Raden. Sebelum Raden
terbunuh di tempat yang memang sudah kami pilih ini, biarlah aku menyebutnya.
Yang pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira prajurit Pajang. Sultan
Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan Mataram kepada Ki Gede Pemanahan yang
sebenarnya dapat disebut meninggalkan tugasnya tanpa ijin Sultan sendiri.”
“Hanya itu?”
“Tidak. Tetapi masih ada
kelanjutan dari cita-cita kami yang besar. Bukan sekedar persoalan Alas
Mentaok.”
“Katakan jika kau memang ingin
digantung oleh Ayahanda Sultan atau Ayahanda Pemanahan.”
“Jangan sombong. Tidak akan
ada orangmu yang akan tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi kami, baik Mataram
maupun Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus membentuk suatu
pemerintahan baru yang lebih baik dari sekarang. Kami mencoba mengirimkan
beberapa orang utusan kepada para adipati di pesisir utara untuk mengetahui
keinginan mereka yang sebenarnya.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Jadi inilah usaha kalian di Istana
Pajang. Sebagian aku sependapat, bahwa Pajang harus dibersihkan. Dibersihkan
dari orang-orang seperti Paman dan beberapa orang perwira yang Paman katakan,
meskipun Paman belum menyebut namanya.”
“He?” Daksina mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Kau akan kecewa. Untara
yang ragu-ragu itu, justru ia memiliki kekuasaan tertinggi di daerah selatan,
sebentar lagi tidak akan menentang kehendak kami. Sampai saat ini ia masih
tetap seorang prajurit. Prajurit yang bodoh, karena otaknya terpancang di ujung
senjatanya. Tetapi sebentar lagi pasukannya akan menaikkan panji-panji, rontek,
dan umbul-umbul di dalam gelar-gelar perang yang besar melanda Mataram yang
sudah kehilangan Sutawijaya. Maka Mataram akan segera tenggelam dan hancur sama
sekali sampai tumbuhnya Mataram yang lain dalam kesatuan negara baru yang lain.
Karena itu, baik Pajang maupun Mataram tidak akan berarti apa-apa lagi bagi
kami.”
“Begitu mudahnya?”
Daksina mengerutkan keningnya.
Ternyata Sutawijaya masih tetap tenang meskipun ia sudah mengatakan beberapa
persoalan tentang rencana dan angan-angannya.
Sebenarnyalah, bahwa setelah
terkejut sejenak, maka Sutawijaya berhasil menguasai perasaannya kembali. Ia
memang tidak menyangka, bahwa di tempat yang sepi itu ia akan bertemu dengan
Daksina, salah seorang senapati di Pajang. Seorang yang pernah ikut membina
Pajang bersama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan beberapa orang lainnya. Ia
adalah orang yang dekat dengan Ki Manca yang juga berkedudukan penting di
Pajang. Namun nama Daksina tidak sebesar Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki
Juru Martani.
Meskipun demikian, kehadiran
Daksina di tempat yang sepi itu benar-benar telah menggetarkan dada Sutawijaya.
Namun dalam kesulitan itu ia berhasil menguasai dirinya, sehingga nampaknya ia
masih saja tetap tenang.
Tetapi Sutawijaya sadar, bahwa
Daksina yakin akan dapat menjebak dan menangkapnya, hidup atau mati, sehingga
ia tidak segan-segan menampilkan dirinya tanpa aling-aling. Dan apalagi dengan
berterus terang mengatakan gambaran yang diinginkannya atas Pajang dan Mataram.
“Raden,” berkata Daksina
kemudian, “kau memang berjiwa besar dan tabah menghadapi kesulitan. Tetapi
bagaimanapun juga, kebesaran jiwa dan ketabahan tidak akan dapat menolong
kesulitan yang memang melampaui batas kemampuan seseorang. Yang dapat kau
lakukan hanyalah sekedar memberikan kekaguman kepada kami, bahwa sampai saat
matinya Sutawijaya tidak mengenal takut dan menyerah. Hanya itu. Tetapi kau
tetap akan berada di dalam kekuasaan kami, hidup atau mati.”
“Begitulah. Aku memang
berharap, seandainya aku mati, maka orang yang terakhir mengagumiku hendaknya
adalah musuh-musuhku. Tetapi katakan sama sekali, siapakah golongan kedua yang
menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
Ki Daksina memandang anak
buahnya sejenak. Kemudian katanya, “Aku kali ini yakin, bahwa kau tidak akan
dapat lepas dari tangan kami. Sejauh-jauh dapat kau jangkau, tetapi ilmuku
pasti masih berada di atas kemampuanmu membela diri, sedang anak buahku lebih
banyak dari anak buahmu. Karena itu, baiklah, agar matimu agak lebih mudah
karena tidak dibebani oleh teka-teki itu.” Daksina terhenti sejenak, lalu,
“Golongan yang satu lagi adalah sekelompok orang di bawah pimpinan panembahan
yang menyebut dirinya Panembahan Agung Cahyakusuma. Ingat, namanya memang agak
berlebih-lebihan. Panembahan yang Agung.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kenapa kau tidak senang kepada nama
itu?”
“Siapa yang mengatakan bahwa
aku tidak senang pada nama itu? Nama itu bagus sekali. Dan Panembahan Agung itu
adalah pasangan yang setia di dalam rencana ini. Kami bersama-sama ingin
menghancurkan Mataram dan Pajang.”
Namun tiba-tiba saja Raden
Sutawijaya tertawa. Katanya, “Sekarang kau dapat berkata begitu. Tetapi tentu
kalian kedua belah pihak sama-sama menyakini, bahwa apabila kalian telah
berhasil, maka akan timbul pertengkaran baru di antara kalian. Baik kau, atau
barangkali di belakangmu masih ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya,
maupun Panembahan Agung itu, tentu ingin duduk di atas kedudukan yang paling
tinggi. Kalian terpaksa saling bertempur dan saling membunuh.”
“Kau salah, Raden,” berkata Daksina,
“kita sudah saling bersetuju, bahwa kami akan mendapat kedudukan kami
masing-masing. Di antara kami tentu tidak akan ada pertengkaran sama sekali.”
“Jangan membohongi diri
sendiri,” jawab Sutawijaya, lalu, “tetapi seandainya demikian, maka para adipati
di pesisir tentu akan merupakan persoalan yang rumit bagi kalian. Siapakah yang
sudi menyerahkan kepercayaan kepadamu atau kepada panembahan yang tidak dikenal
itu? Padahal para adipati di pesisir memiliki kekuatan yang jauh melampaui
pengaruh kalian. Kau sangka adipati-adipati itu sama sekali tidak mempunyai
sikap terhadap pimpinan pemerintahan? Apakah kau sangka mereka akan menundukkan
kepalanya dengan memejamkan matanya? Tentu tidak. Aku telah mengenal mereka
seorang demi seorang. Dan mereka adalah prajurit-prajurit yang berpendirian.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, itu akan kami pikirkan kemudian. Mungkin aku
memang harus menyerahkan persoalannya kepada orang yang memiliki pengaruh lebih
besar daripadaku. Mungkin memang orang-orang yang namanya dikenal seperti Ki
Juru Martani. Tetapi yang penting bagiku sekarang adalah membunuhmu?”
“Apakah tidak ada lagi yang
akan kau katakan tentang dirimu, atau tentang nama-nama lain yang ada sangkut
pautnya?”
“Tidak perlu.” Daksina
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau ingin juga berpesan sesuatu kepada
kami. Mungkin dapat kami sampaikan kepada keluargamu atau bahkan kepada
ayahandamu, Sultan Pajang?”
“Tidak. Aku tidak ingin
berpesan apa pun. Kecuali jika kau memang ingin digantung.”
Daksina tertawa. Lalu katanya,
“Apakah kau tidak memberikan pesan terakhir kepada gadis itu?”
Wajah Sutawijaya menjadi
semburat merah.
“Jangan kau sangka, bahwa
tidak ada orang yang mengerti, bahwa kau sudah berhubungan dengan gadis itu? Dan
ini akan menjadi salah satu alasan, bahwa Sultan Pajang tidak akan mencarimu,
apalagi menuntut kematianmu, jika kau hilang dari Mataram.”
“Jangan mengigau, Paman,”
suara Sutawijaya menjadi berat.
“Ha,” desis Daksina, “kau
mulai menjadi pucat. Jangan menyesal.”
Terdengar Raden Sutawijaya
menggeram. Lalu, “Persetan dengan igauanmu itu. Aku tidak peduli.”
Tetapi Daksina tertawa. Bahkan
untuk beberapa lamanya ia melepaskan suara tertawanya, sehingga berkumandang
memenuhi seluruh tempat yang terbuka itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan kawan-kawannya sampat mendengarkan pembicaraan yang tidak begitu jelas.
Namun sepatah dua patah kata mereka dapat menangkap pembicaraan Sutawijaya
dengan orang yang disebutnya Ki Daksina itu. Bahkan Agung Sedayu dan kawan-kawannya
mendengar, bahwa Daksina telah menyebut tentang seorang gadis.
Sementara itu, di sela-sela
suara tertawanya Daksina berkata, “Raden Sutawijaya, memang seorang gadis tentu
akan memilih Raden daripada Sultan Pajang yang sudah menjelang saat-saat senja
hari itu. Tetapi pada suatu saat, persoalan itu akan sangat menguntungkan bagi
kami. Seandainya Sultan masih ingin memaafkan Raden di dalam persoalan Mataram,
namun persoalan gadis dari Kalinyamat itu tentu akan membuka persoalan baru
yang menentukan, yang meskipun mula-mula tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan usaha Ki Gede Pemanahan membuka Alas Mentaok, tetapi justru persoalan
itulah yang akan menggagalkan semua impian bagi berdirinya suatu negeri yang di
sebut Mataram.”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi
semakin tegang. Dan dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang menyesak di
dadanya ia berkata, “Jangan banyak berbicara. Jika kau akan menangkap
Sutawijaya hidup atau mati, lakukanlah. Kau tidak usah menyinggung
persoalan-persoalan yang kau sendiri tidak mengetahuinya.”
“Baiklah. Jika Raden memang
tidak ingin berpesan apa pun terhadap gadis itu. Tetapi Raden harus menyadari,
sepeninggal Raden, Mataram akan segera terhapus. Sebuah benturan bersenjata
akan segera terjadi antara Mataram dan Pajang. Kami menyadari, bahwa Ki Gede
Pemanahan adalah seorang prajurit. Sepeninggal Raden, Ki Gede Pemanahan tentu
akan berbuat sesuatu. Kesaktiannya yang hampir sempurna seperti juga Sultan
Pajang sendiri, akan membuat kedua kekuasaan itu hancur.”
“Cukup! Sekarang, marilah kita
mulai. Jangan terburu-buru mimpi. Pada saatnya kau akan dicincang oleh para
adipati dari daerah Pesisir dan Bang Wetan.”
Tetapi Daksina masih saja
tertawa berkepanjangan.
Namun suara tertawanya itu
tiba-tiba terputus ketika ujung tombak Raden Sutawijaya hampir saja menyentuh
mulutnya, sehingga Daksina itu terkejut. Ternyata ia telah lengah, sehingga
hampir saja ujung tombak pendek anak muda itu tergores di wajahnya.
Ternyata Sutawijaya tidak
ingin menunda-nunda lagi. Ia pun segera memberikan perintah kepada
orang-orangnya untuk segera menyerang.
Sejenak kemudian, di
tengah-tengah tempat yang terbuka itu, telah terjadi pertempuran yang seru.
Untuk beberapa saat pertempuran itu masih belum mapan. Beberapa orang masih
berusaha mencari lawan masing-masing.
Namun dalam pada itu, ternyata
bahwa anak buah Daksina memang lebih banyak dari anak buah Sutawijaya, sehingga
dengan demikian, maka beberapa orang daripadanya harus melawan lebih dari
seorang.
Hal itu agaknya disadari
sepenuhnya oleh para pengawal dari Mataram. Karena itu, pada loncatan yang
pertama mereka telah berusaha dengan tiba-tiba saja untuk mengurangi jumlah
lawannya. Begitu mereka mulai, mereka telah langsung menusukkan senjata mereka
ke dada lawan.
Satu dua orang dari mereka
ternyata telah berhasil. Tetapi sebagian terbesar mengalami kegagalan, karena
lawan-lawan mereka pun sudah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak kemudian, barulah
pertempuran itu menjadi lebih mapan pada pihak masing-masing. Di antara mereka
adalah Sutawijaya yang bertempur melawan Daksina.
Ternyata pada benturan yang
pertama, Daksina telah dikejutkan oleh kemampuan Raden Sutawijaya yang tidak
terduga-duga. Daksina tahu sepenuhnya, bahwa Raden Sutawijaya-lah yang telah
berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang. Tetapi perkelahian itu
adalah bukan perkelahian yang wajar. Sultan Pajang sendiri akan memerlukan
waktu yang panjang untuk berperang tanding dan membinasakan Arya Penangsang.
Kekalahan Arya Penangsang dari Sutawijaya juga disebabkan karena kudanya yang
tiba-tiba saja menjadi binal dan tidak dapat dikuasainya, sehingga Sutawijaya
mendapat kesempatan untuk menusukkan tombak pusaka Pajang ke lambung Arya
Penangsang itu.
Tetapi menurut perhitungannya
waktu itu, kemampuan Sutawijaya sendiri adalah jauh di bawah kesaktian Arya
Penangsang yang memiliki keris pusaka yang dinamakannya Kiai Setan Kober.
Kini, ketika senjatanya
membentur tombak Radan Sutawijaya, bahkan bukan tombak pusaka yang
dipergunakannya untuk melukai lambung Arya Penangsang itu, ternyata terasa
tangannya bergetar.
“Setan manakah yang telah
manjing pada diri anak muda ini sehingga ia memiliki kekuatan yang begitu
besar?” bertanya Daksina di dalam hatinya.
Meskipun demikian, ketika
pertempuran itu sudah berjalan beberapa lamanya, ternyata bahwa kemampuan Raden
Sutawijaya yang sudah meningkat dengan cepatnya itu, masih belum dapat
mengimbangi kemampuan Daksina, seorang Senapati Pajang yang berpengalaman,
meskipun belum sedahsyat Ki Gede Pemanahan.
“Raden,” berkata Daksina
setelah mereka berkelahi beberapa lamanya, “apakah Raden tidak
mempertimbangkan, bahwa sebaiknya Raden menyerah saja?”
“Paman adalah seorang
prajurit,” jawab Sutawijaya, “Paman tentu tahu pendirian seorang prajurit di
peperangan.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Ternyata jawaban Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar jawaban seorang
keturunan prajurit dan dibesarkan di dalam lingkungan keprajuritan.
Karena itu, maka katanya,
“Baiklah, Raden. Jika demikian, maka kitalah yang akan berusaha. Menangkapmu
hidup atau mati.”
“Kalian hanya dapat
menyentuhku, apabila nyawaku telah terpisah dari badanku.”
“Jawaban jantan. Tetapi
agaknya kami memerlukan kau hidup.”
“Dan kau akan mempergunakan
aku untuk memeras Ayahanda Pemanahan agar langsung memusuhi Pajang. Dalam
pertentangan antara Pajang dam Mataran itulah kalian akan mengail
keuntungannya.”
“Kau memang cerdas,” desis
Daksina yang tiba-tiba saja telah meneriakkan aba-aba, “bunuh semua anak
buahnya dan tangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup.”
Tetapi anak buah Sutawijaya
pun bukan sekedar anak-anak cengeng. Meskipun mereka menyangka, bahwa jumlah
mereka telah cukup banyak, dan ternyata perwira Pajang yang durhaka itu
memiliki anak buah yang lebih banyak, namum mereka sama sekali tidak gentar.
Mereka telah berjuang dengan
sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya. Apalagi mereka tidak dapat
mengharap bantuan dari siapa pun. Bagi mereka, anak-anak Menoreh dan Sangkal
Putung yang belum begitu mereka kenal itu tidak akan banyak memberikan bantuan.
Meskipun demikian, seandainya mereka berani hadir, tentu akan dapat
setidak-tidaknya memecah perhatian anak buah Daksina.
Dalam pada itu, Raden
Sutawijaya masih juga, mencoba bertahan dengan kemampuan sendiri, meskipun
semakin lama semakin disadarinya kenyataan, bahwa ia dan anak buahnya telah
terdesak ke dalam lingkaran yang lebih sempit.
Sementara itu, di pinggir
tempat terbuka itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi semakin tegang.
Mereka melihat keadaan Raden Sutawijaya dan anak buahnya menjadi semakin gawat.
Namun demikian mereka tidak dapat mendahului isyarat yang akan diberikan oleh
Sutawijaya itu. Jika mereka memberanikan diri mendahului isyarat itu, maka
Sutawijaya yang berjiwa prajurit dan mempunyai harga diri yang besar itu akan
merasa tersinggung karenanya.
Selagi dengan tegang mereka
menyaksikan pertempuran yang semakin menyempit itu. Swandaru sempat bertanya,
“He, kau tahu gadis manakah yang telah disebut-sebut oleh orang yang bernama
Daksina, yang ternyata salah seorang perwira dari Pajang itu sendiri?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
rasa-rasanya aku mendengar seseorang menyebut Kalinyamat.”
“Gadis itu dari Kalinyamat?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Aku tidak tahu. Apakah ada hubungannya
antara Kalinyamat dan gadis itu.”
“Aku juga tidak begitu
mendengarnya. Tetapi yang jelas, agaknya ada seorang gadis di dalam istana.”
Agung Sedayu tidak menjawab
lagi. Dipandanginya perkelahian itu dengan tegangnya, dan Sutawijaya menjadi
semakin terdesak karenanya.
Dalam kesulitan itu,
Sutawijaya tidak dapat berbuat lain. Seperti yang memang sudah direncanakan,
bahwa pasukan kecilnya telah dipecah dua untuk menjawab jebakan yang mungkin
dijumpai di perjalanannya. Dan kini ia benar-benar telah terjebak, sehingga
kelompok kecil yang ditinggalkan di pinggir tempat terbuka ini harus diberi
isyarat agar mereka segera dapat ikut terjun di dalam perkelahian ini.
Dengan sebuah suitan nyaring,
Raden Sutawijaya berusaha memanggil kelompok kecil yang menurut perhitungannya
pasti sudah berada di sekitar tempat terbuka itu. Karena itu, maka ia berharap
bahwa Agung Sedayu atau salah seorang dari mereka akan dapat mendengar
isyaratnya itu, tanpa panah sendaren.
“Raden Sutawijaya memanggil
kita,” desis Prastawa.
“Ya. Aku sudah mendengar isyaratnya,”
sahut Swandaru.
“Aku menunggu pemimpin
kelompok,” berkata Agung Sedayu.
Pandan Wangi memandang
pertempuran itu sejenak. Agaknya isyarat Raden Sutawijaya telah menumbuhkan
pertanyaan pada setiap dada lawannya. Karena itu, mereka menjadi berdebar-debar
sejenak. Namun firasat mereka telah mengatakan, bahwa mereka akan mendapatkan
lawa-lawan yang baru.
Tetapi bagi beberapa orang
pengawal Raden Sutawijaya, isyarat itu tidak banyak menumbuhkan harapan. Mereka
tidak dapat mengharapkan banyak dari orang-orang Menoreh itu. Namun biarlah
mereka ikut menambah jumlah mereka di medan yang semakin sesak itu.
Sejenak kemudian maka
terdengar Pandan Wangi berkata, “Marilah. Mereka sudah menunggu kita.”
“Aku ikut bersamamu Pandan
Wangi,” desis Rudita yang ketakutan.
“Bersembunyilah di sini,”
sahut Pandan Wangi.
“Aku ikut bersamamu. Aku tidak
berani kau tinggalkan sendiri di sini.”
“Jangan ganggu aku. Kau dapat
terbunuh di peperangan itu.”
“Jangan tinggalkan aku.”
Pandan Wangi menjadi jengkel.
Tiba-tiba saja pedangnya telah teracu di dada Rudita. Terdengar ia menggeram,
“Jika kau ikuti aku selangkah saja, maka aku akan membunuhmu sendiri daripada
kau dibunuh oleh orang-orang yang menjebak Raden Sutawijaya itu.”
Wajah Rudita yang pucat
menjadi semakin pucat. Tubuhnya menjadi gemetar dan matanya yang berkaca-kaca
bagaikan bendungan yang mulai retak. Titik air mata mengalir dari pelupuknya
membasahi pipinya.
Sepercik perasaan iba
mencengkam hati Pandan Wangi. Tetapi menurut perhitungan gadis itu, yang paling
baik bagi Rudita di dalam saat yang gawat itu adalah bersembunyi saja di dalam
semak-semak. Karena itu betapa pun hatinya bergejolak, namun ia masih tetap
mengacukan pedangnya sambil berkata, “Kau tetap di sini, kau dengar?”
Rudita tidak tidak dapat menjawab.
Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk lemah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
pun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah. Pertempuran itu menjadi
semakin gawat.”
Dan Swandaru menyahut,
“Beberapa orang telah terluka. Bahkan ada yang menjadi parah.”
“Bersiaplah. Kita segera
memasuki arena.”
Demikianlah, maka sejenak
kemudian Pandan Wangi telah meloncat keluar dari gerumbul-gerumbul perdu dengan
pedang di tangan, diikuti oleh Swandaru, Agung Sedayu, Prastawa, dan para
pengiring yang menyertainya.
Kehadiran mereka telah
mengejutkan Daksina dan kawannya. Sejenak mereka memandang beberapa orang yang
berlari-lari ke tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Namun sejenak kemudian
Daksina pun tertawa, “Ha, kau ternyata cakap juga bersiasat. Kau tinggalkan
beberapa orang kawan-kawanmu di dalam gerumbul-gerumbul itu. Tetapi agaknya kau
terlambat memberikan isyarat. Beberapa pengawalmu telah terluka, dan baru
sekarang mereka muncul.”
Sutawijaya tidak menyahut.
Tetapi ia berharap bahwa kehadiran kawan-kawannya itu akan dapat menyelesaikan
pertempuran itu.
“Marilah,” berkata Daksina,
“kalian tidak usah segan-segan lagi. Beberapa orang kawan-kawanmu telah
menitikkan darah.”
Pandan Wangi tidak
menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera terjun ke dalam arena perkelahian yang
bergeser karena hadirnya orang-orang baru.
“He,” berkata Daksina
kemudian, yang masih saja bertempur seorang melawan seorang dengan Raden
Sutawijaya, “ternyata ada seorang gadis yang luar biasa.” Daksina berhenti
sejenak, lalu, “tidak ada duanya di daerah ini. Tentu kaulah yang disebut
bernama Pandan Wangi, anak satu-satunya dari Ki Gede Menoreh. Yang pada
beberapa saat yang lampau telah berhasil membunuh kakak kandungnya sendiri
karena memberontak terhadap ayahnya.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia segera melibatkan diri semakin sengit di dalam perkelahian itu.
Yang menjawab justru Prastawa
yang sudah mulai bertempur pula, “Ya. Ia adalah Pandan Wangi. Atas nama Kepala
Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya kalian menyerah kepada kami.”
Daksina memandang Prastawa
sejenak. Kemudian ia justru tertawa, “Kau menyenangkan sekali anak muda.
Siapakah kau?”
“Tidak ada artinya bagimu.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Bahkan kemudian ia meloncat surut karena serangan Raden Sutawijaya tiba-tiba
saja menjadi semakin dahsyat.
Karena itu, untuk beberapa
saat kemudian, Daksina tidak sempat memperhatikan lawan-lawannya yang baru.
Namun tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di dalam arena
itu. Dan ketika ia menghindari lawannya sejenak dan mencoba melihat salah
seorang lawan yang baru saja memasuki arena, ia terkejut karenanya. Ternyata di
antara mereka terdapat dua orang yang bersenjata cambuk.
“Orang-orang bercambuk itu,”
desisnya.
Dalam pada itu Agung Sedayu
dan Swandaru telah terlibat di dalam perkelahian pula. Dengan cambuknya mereka
mempertahankan diri dari serangan para pengikut Daksina.
Sejenak Daksina sempat
merenungi cambuk yang meledak-ledak itu. Bahkan kemudian terbersit
kata-katanya, “Jadi kalian ada di Menoreh?”
“Siapa?” bertanya Sutawijaya.
“Orang-orang bercambuk itu.”
“Apa salahnya. Apakah kau
sudah mengenal mereka?”
Daksina tidak menjawab. Tetapi
ia mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang sedang menuju ke Menoreh
beberapa hari yang lampau, ketika orang-orang yang berada di bagian timur dari
Tanah Mataram itu menjumpainya. Bahkan orang yang paling dipercaya di dalam
lingkungannya tidak berhasil mengalahkan orang-orang bercambuk itu.
“Tetapi tentu bukan anak-anak
muda ini,” berkata Daksina di dalam hatinya. “Menurut pendengaranku, di antara
mereka ada seorang yang sudah tua. Agaknya anak-anak muda ini adalah muridnya.”
Namun kemudian tumbuh pertanyaan, “Tetapi kenapa mereka dapat bertemu dengan
Sutawijaya yang sedang mengikuti jejak kami?”
Dalam kebimbangan itu, Daksina
mulai melihat perubahan yang terjadi di dalam pertempuran itu. Orang-orangnya
mulai mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang Pandan Wangi, Prastawa, dan para
pengiringnya ternyata merupakan tekanan yang berat bagi mereka. Apalagi di
sela-sela dentang senjata itu, masih juga terdengar cambuk meledak-ledak.
“Gila,” berkata Daksina di
dalam hatinya. Ia kini menyadari bahwa perhitungannya ternyata keliru. Selama
ini dengan tekun orang-orangnya selalu mengamat-amati Sutawijaya di dalam tugasnya.
Orang-orangnya sempat menghitung berapa orang pengawal Sutawijaya yang selalu
dibawanya di dalam tugas-tugas pencahariannya terhadap orang-orang bersenjata
yang telah mengganggu Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu. Menurut
perhitungannya, orang-orangnya kali ini sudah lebih dari cukup untuk menjebak
Sutawijaya. Tetapi ternyata ada sesuatu di luar perhitungannya itu.
Sebuah penyesalan telah
membersit di hati Daksina. Ia telah sedemikian yakinnya, bahwa ia akan dapat
membinasakan Sutawijaya, sehingga ia sudah menyebut beberapa buah rencana yang
sedang dipersiapkannya.
Namun Daksina itu mencoba
untuk menenteramkan hatinya sendiri. “Keterangan-keterangan itu hanyalah
sekedar keterangan-keterangan yang tidak penting. Tentu Sutawijaya sudah
menduganya. Dan aku tidak menyebut nama-nama lain yang terlibat selain
Panembahan Agung itu. Sedangkan Sutawijaya tentu tidak mengetahui siapakah
sebenarnya orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.”
Dalam pada itu, perkelahian
itu pun menjadi semakin seru. Para pengawal Raden Sutawijaya ternyata menjadi
heran melihat orang-orang Menoreh itu berkelahi. Ternyata gadis puteri Ki Ageng
Menoreh itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan melampaui kemampuan
para pengawal itu sendiri.
Semakin lama, maka semakin
jelas bagi Daksina, bahwa ia telah gagal menjebak Raden Sutawijaya. Bahkan
ialah yang agaknya telah terjebak. Dengan meninggalkan bekas jejak dari tempat
penyeberangan terus sampai ke tempat ini, ia berharap dapat menangkap anak muda
yang berani itu dan mempergunakannya untuk memeras Ki Gede Pemanahan. Tetapi
ternyata, bahwa usahanya itu tidak akan dapat berhasil di dalam keadaan yang
demikian. Daksina tidak dapat ingkar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang
memiliki banyak kelebihan.
“Apalagi gurunya,” berkata
Daksina di dalam hatinya.
Dan memang ternyata kemudian,
bahwa anak buah Daksina tidak lagi mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Setiap
kali terdengar keluhan tertahan jika ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru
mengenai lawannya. Apalagi apabila ujung-ujung pedanglah yang menusuk ke dalam
tubuh seseorang. Prastawa, anak yang masih terlalu muda itu bertempur dengan
garangnya. Sebagai seorang kemanakan Ki Argapati, maka Prastawa berhasil
menunjukkan kemampuannya. Meskipun belum terlampau tinggi, tetapi ia memiliki
bekal yang cukup di dalam pertempuran itu.
Kedatangan Pandan Wangi
beserta kelompoknya, ternyata telah berhasil menentukan akhir dari pertempuran
itu. Meskipun jumlah anak buah Daksina masih lebih banyak, namun mereka tidak
berdaya menghadapi senjata anak-anak Menoreh dan ujung cambuk Agung Sedayu dan
Swandaru.
Demikianlah, maka Daksina pun
harus mengambil keputusan. Ia tidak akan dapat menyelesaikan rencananya. Tetapi
ia tidak ingin bertempur benar-benar seperti seorang prajurit yang pantang
meninggalkan arena.
“Jika aku mundur kali ini,
bukan berarti bahwa aku kalah,” berkata Daksina di dalam hati. Meskipun ia
sendiri berhasil selalu mendesak Raden Sutawijaya, tetapi anak buahnya semakin
lama menjadi semakin susut. Dan Daksina pun sadar, bahwa pada suatu saat
orang-orang yang bercambuk itu setelah mengalahkan lawan-lawan mereka, maka
mereka pasti akan membantu Raden Sutawijaya.
“Gila,” Daksina mengumpat.
Ialah yang justru terjebak oleh kekhilafannya. Ia dengan tidak berhati-hati telah
mengatakan beberapa rahasia yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh
lingkungannya.
Sekali lagi ia menggeram di
dalam dadanya, “Untunglah aku belum menyebut nama-nama lain.”
Demikianlah maka tidak ada
pilihan lain bagi Daksina untuk menyingkir dari arena, sehingga dengan
demikian, maka ia pun segera meneriakkan sebuah aba bagi anak buahnya untuk
menghindar dari pertempuran itu.
Dengan demikian, ketika anak
buahnya mendengar perintah yang meloncat dari mulut Daksina itu pun, mereka
segera berloncatan mundur dari arena.
Ternyata mereka adalah
orang-orang yang cukup terlatih. Meskipun mereka bukan semuanya
prajurit-prajurit Pajang seperti Daksina, namun mereka mampu menempatkan diri
mereka dalam ikatan seperti sekelompok prajurit. Mereka ternyata tidak berlari
bercerai-berai. Tetapi mereka sempat mengatur pasukan sambil menarik diri.
Sudah barang tentu bahwa
Sutawijaya tidak melepaskan mereka, terutama Daksina. Namun usaha untuk
menangkapnya bukan usaha yang mudah, apalagi anak buahnya dengan sengaja telah
melindunginya.
Meskipun di dalam gerakan
surut itu beberapa orang di antara mereka telah jatuh, namun mereka sempat
mencapai daerah hutan yang agak lebat. Demikian mereka mencapai daerah yang
berpohon-pohon besar dan bergerumbul lebat, barulah mereka seakan-akan
terpecah.
Beberapa langkah Sutawijaya
masih berusaha mengejar Daksina. Tetapi ternyata medan menjadi sangat
berbahaya, sehingga ia pun kemudian terpaksa menghentikan pengejaran itu dan
memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk berkumpul.
Di dalam hutan perdu yang
semakin dalam menjadi semakin lebat, bahkan kemudian berhubungan dengan hutan
yang masih liar, akan sangat berbahaya bagi anak-buah Sutawijaya. Mereka masih
belum mengenal medan, dan mereka tidak tahu, di manakah sebenarnya sarang lawan
mereka.
“Jika sarang itu tidak begitu
jauh lagi dari tempat ini, kitalah yang kemudian benar-benar terjebak,” berkata
Raden Sutawijaya.
“Tentu,” desis Agung Sedayu,
“orang itu tidak akan tinggal diam. Jika yang disebut Panembahan Agung itu
adalah orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama, maka kita
benar-benar menghadapi bahaya.
“Atau bahkan orang lain yang
lebih tinggi kedudukannya di dalam susunan mereka,” sahut Swandaru.
“Itu perlu kita
pertimbangkan,” desis Raden Sutawijaya.
Untuk beberapa saat, anak-anak
muda itu termangu-mangu. Juga Pandan Wangi tidak segera menyatakan pendapatnya.
Ternyata mereka tidak sekedar menghadapi orang-orang yang tidak dikenal, tetapi
di daerah yang terpencil itu justru menjadi jalur yang meskipun belum mereka
ketahui dengan pasti. Tetapi agakmya mempunyai hubungan yang erat dengan sarang
orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Ada beberapa yang dapat kita
tangkap dari perburuan ini,” berkata Sutawijaya. “Kita tahu pasti, bahwa memang
ada orang di Istana Pajang yang dengan sengaja telah mengaburkan hubungan
antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“kita sudah lama menduga. Tetapi kini kita sudah menemukan beberapa orang dari
antara mereka. Bukankah yang bernama Daksina itu seorang perwira prajurit
Pajang seperti juga kakang Untara dan mertuanya?”
“Ya,” jawab Raden Sutawijaya,
“bahkan orang ini memiliki kelebihan dari Untara. Umurnya lebih tua dan
kemampuannya pun agaknya tidak kalah dari Untara, karena pengalamannya. Tetapi
ia mempunyai sifat yang kurang baik. Dan kini ternyata, bahwa ia telah
berkhianat, karena tindakannya sama sekali sekedar untuk kepentingan sendiri.
Berbeda dengan Untara. Seandainya pada suatu saat ia datang ke Mataram dengan
prajurit segelar sepapan, itu tentu karena ia seorang senapati yang sedang
menjalankan tugas.”
Yang mendengarkan keterangan
Sutawijaya itu saling berpandangan sejenak. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya tanpa disadarinya. Jika terjadi demikian, maka ia akan menghadapi
persoalan yang rumit. Untara adalah kakak kandungnya. Sedang ia tidak dapat
ingkar, bahwa hatinya lebih condong untuk melihat Mataram yang berkembang
daripada mempertahankan kehadiran Pajang.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya
kemudian, “kita masih mempunyai waktu untuk berbicara. Marilah kita kembali ke
perkemahan itu. Kita beristirahat sejenak, dan pada saat itu mungkin kita dapat
menemukan langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan.”
“Baiklah,” sahut Pandan Wangi,
“kita memang memerlukan banyak pertimbangan bagi tindakan selanjutnya, yang
mungkin tidak akan dapat kita lakukan sendiri. Aku harus melaporkan hal ini
kepada Ayah.”
“Ada baiknya. Tetapi jika aku
masih dapat mengatasi persoalannya, aku akan melakukannya,” berkata Raden
Sutawijaya.
“Tetapi daerah ini adalah daerah
Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Pandan Wangi. “Kita tidak tahu, di manakah
sarang mereka. Namun yang terjadi ini adalah di tlatah Menoreh. Dan Ayah adalah
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kamilah yang lebih berhak dan lebih dari itu,
lebih berkewajiban untuk menyelesaikannya, kecuali jika mereka telah melarikan
diri ke seberang timur Kali Praga.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kau
benar. Memang daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bagi
Pajang maka perburuan semacam ini sama sekali bukan suatu pelanggaran, selama
dipandang perlu bagi pengamanan Pajang di dalam keseluruhan.”
“Jika Raden bertindak atas
nama putra Sultan Pajang. Tetapi ternyata bahwa apa yang kita hadapi adalah
berbeda. Mungkin Daksina itu dapat juga menyebut dirinya bertindak atas
kepentingan Pajang di dalam keseluruhan, seandainya ia tidak terlanjur menyebut
usaha perlawanannya dan bahkan permusuhan terhadap Pajang dan sekaligus
Mataram,” sahut Pandan Wangi.
Terasa sesuatu bergejolak di
dada Raden Sutawijaya. Ia merasakan sindiran yang tajam itu. Bahkan Agung
Sedayu dan Swandaru pun menjadi berdebar-debar.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak
ingin membuat persoalan yang tidak dikehendakinya dengan tlatah Menoreh, yang
akan bersentuhan batas dengan Mataram. Apalagi Mataram memang belum memiliki
bentuknya yang pasti. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Memang
seharusnya Ki Argapati mengetahuinya apa yang sudah terjadi dan apa yang berada
di atas Tanah Perdikannya. Mudah-mudahan Tanah Perdikan Menoreh tidak selalu
diganggu oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti sekarang ini.”
“Tetapi usaha bersama seperti
yang sedang kita lakukan adalah menguntungkan sekali,” potong Agung Sedayu.
“Mungkin aku tidak berhak untuk berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh dan
tentang Tanah Mataram yang baru tumbuh. Tetapi demikianlah agaknya.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun tidak menghendaki pembicaraan itu menjadi semakin mendalam,
dan yang bahkan mungkin dapat menumbuhkan salah paham. Karena itu maka katanya
kemudian, “Baiklah, kita akan berbicara kemudian. Kita akan kembali ke
perkemahan.”
Demikianlah, kelompok-kelompok
itu kembali sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan dengan wajah
yang tunduk Raden Sutawijaya merenungi dua orang kawannya yang gugur, sedang
beberapa orang terluka.
“Kita bawa mereka kembali ke
Mataram. Sedang mayat orang-orang yang tidak dikenal itu, biarlah diurus oleh
kawan-kawan mereka sendiri, yang tentu akan kembali lagi kemari.”
Maka dengan demikian, mereka
pun segera meninggalkan tempat itu kembali ke perkemahan.
Namun sesuatu telah
menggetarkan hati mereka. Rudita yang bersembunyi, ternyata tidak ada di
tempatnya lagi.
“Rudita, Rudita,” Pandan Wangi
memanggilnya dengan cemas.
“Rudita,” Prastawa mengulang
lebih keras. Tetapi mereka tidak mendengar seseorang menyahut suaranya itu.
Sejenak orang-orang yang
menjadi kebingungan itu berdiri termangu-mangu. Mereka mencoba untuk melihat,
barangkali mereka menemukan jejak atau semacam petunjuk yang dapat
dipergunakannya untuk mengetahui, setidak-tidaknya untuk menduga, ke manakah
kiranya Rudita itu pergi.
Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
“Bagaimana dengan Rudita?”
Pandan Wangi menjadi sangat cemas. “Akulah yang menyuruhnya bersembunyi di
sini. Tetapi tiba-tiba anak itu hilang.”
“Apakah ia pergi ke
perkemahan?” desis Swandaru
“Ia tidak akan berani pergi ke
tempat itu sendiri.”
“Mungkin karena ia tidak tahan
lagi disiksa oleh ketakutannya yang lain, ketika ia melihat perkelahian di
tempat terbuka itu, apalagi ketika dilihatnya beberapa orang sudah terluka dan
bahkan terbunuh.”
“Suatu kemungkinan,” sahut
Prastawa.
Namun dalam pada itu Agung
Sedayu dan Raden Sutawijaya masih berusaha untuk menemukan jejak seseorang. Mereka
berdua ternyata mempunyai dugaan yang kuat bahwa Rudita telah mengalami bencana
sehingga mau tidak mau mereka harus ikut memikul tanggung jawab atas hilangnya
anak itu. Apalagi mereka telah dipengaruhi pula oleh perasaan iba dan kasihan.
Terlebih-lebih lagi Agung Sedayu yang pernah mengalami, betapa tersiksanya
dicengkam oleh perasaan takut.
Keduanya tertegun ketika
mereka melihat sesuatu. Mereka melihat beberapa helai daun yang bertebaran.
Bukan helai-helai daun kuning, tetapi helai-helai daun yang masih hijau. Bahkan
tangkai-tangkainya tampak betapa daun-daun itu telah direnggut dari batangnya.
“Kau mempunyai pendapat
tentang daun-daun itu?” bertanya Sutawijaya.
“Tentu direnggut dengan paksa.
Dan ini adalah satu-satunya jejak yang dapat kita lihat.”
“Maksudmu Rudita telah pergi
karena ketakutan?”
“Bukan begitu. Tentu seseorang
telah memaksanya, dan ia berpegangan apa saja yang dapat digenggam.”
“Satu kemungkinan. Tetapi
tentu ada jejak yang lain.”
“Itulah yang membuat aku
berdebar-debar. Tentu seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat
melakukannya seandainya begitu. Ia berhasil menghilangkan jejak, kecuali
daun-daun yang bertebaran itu, yang barangkali tidak sempat diperhatikannya.”
“Ya, Rudita tentu
meronta-ronta.”
“Tetapi kenapa tidak
berteriak?”
“Mulutnya mungkin disumbat.
Atau dengan cara-cara yang lain.”
Dalam keasyikan itu, mereka
ternyata telah mengikuti jejak beberapa langkah masuk ke dalam
gerumbul-gerumbul. Meskipun pendek, tetapi mereka dapat menduga ke arah mana
Rudita itu dibawa. Agaknya untuk memudahkan orang itu, Rudita telah dibuatnya
diam.
Pandan Wangi, Swandaru, dan
Prastawa pun ternyata kemudian mulai memperhatikan kedua orang itu.
Perlahan-lahan mereka mendekatinya dan mengamati apakah yang sedang mereka
kerjakan.
“Rudita agaknya telah dibawa
orang dengan paksa,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau menemukan jejaknya?”
bertanya Pandan Wangi.
Agung Sedayu dan Sutawijaya
pun kemudian menunjukkan beberapa helai daun yang masih hijau dan nampaknya
direnggut begitu saja dari tangkainya dan jatuh bertebaran.
“O,” desis Pandan Wangi,
“apakah daun-daun itu dapat dijadikan petunjuk?”
“Agaknya demikian, meskipun
sekedar kemungkinan. Dan orang yang membawa anak itu tentu bukan orang
kebanyakan.”
Pandan Wangi menjadi pucat.
Bukan karena ketakutan mendengar orang yang memiliki kelebihan itu, tetapi ia
menjadi sangat cemas akan nasib Rudita. Apalagi apabila Rudita jatuh ke tangan
orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Kita memang berhadapan dengan
sekelompok orang yang tangguh, tetapi licik. Itulah yang menyulitkan,” berkata
Sutawijaya.
“Tetapi Rudita adalah anak
yang tidak tahu apa-apa. Ia justru seorang anak muda yang sama sekali tidak
menyukai kekerasan meskipun sikapnya agak sombong dan tinggi hati.”
“Aku tahu. Tetapi ia tidak
dapat ingkar menghadapi kenyataan yang keras dan kasar.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Tetapi hatinya kian menjadi berdebar-debar.
“Kita harus segera kembali ke
perkemahan. Kita baru menduga-duga. Masih ada kemungkinan lain, yaitu Rudita
dengan ketakutan lari ke perkemahan itu,” berkata Agung Sedayu.
“Marilah,” desis Pandan Wangi,
“jika ia tidak ada di sana kita harus memperhitungkan langkah-langkah
berikutnya.”
Demikianlah, maka mereka pun
segera kembali ke perkemahan sambil membawa korban yang jatuh. Yang terluka dan
yang gugur. Dengan demikian, mereka tidak dapat berjalan terlalu cepat. Mereka
harus mengingat kemampuan orang-orang yang sudah hampir kehabisan darah yang
mengalir dari luka.
Namun akhirnya mereka sampai
juga ke perkemahan. Mereka melihat para pengiring Pandan Wangi sudah duduk
melepaskan lelahnya bersandar pada sebatang pohon.
Ketika mereka melihat
orang-orang yang datang itu, mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka
meloncat berdiri dan berlari-lari menyongsongnya.
“Apa yang terjadi?” hampir
berbareng mereka bertanya.
Dan pertanyaan itu telah
menggetarkan dada Panaan Wangi dan kawan-kawannya. Dengan demikian maka
seakan-akan mereka telah memberitahukan, bahwa Rudita tidak datang kepada
mereka.
Meskipun demikian, dengan
nafas yang seakan-akan mengalir semakin lambat Prastawa bertanya, “Apakah
Rudita datang kemari seorang diri?”
Para pengiring yang tinggal di
perkemahan itu menjadi termangu-magu. Mereka pun menjadi heran mendengar
pertanyaan itu. Salah seorang dari mereka bertanya, “Maksudmu Rudita yang pergi
bersamamu?”
“Ya.”
Pengiring itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak. Ia tidak datang kemari.”
Prastawa menjadi semakin
cemas. Dan Pandan Wangi pun bertambah pucat. Katanya, “Jadi, anak itu tidak
datang kemari?”
“Tidak,” jawab salah seorang
pengiring yang kemudian justru bertanya, “Tetapi, apakah yang sudah terjadi?”
“Kita bertemu dengan yang kita
cari. Kita telah bertempur.”
“O,” Para pengiring itu
mengerutkan keningnya. Di pandanginya beberapa orang yang terluka, bahkan yang
terbunuh di pertempuran. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang
datang dari seberang Kali Praga. Sedang orang-orang Menoreh sendiri tidak
begitu parah keadaannya, meskipun ada dua orang yang terluka. Tetapi tidak berat.
“Pandan Wangi,” berkata Raden
Sutawijaya, “ternyata kita tidak sedang bermain-main dan sekedar berburu
kelinci. Kita di hadapkan pada lawan yang perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi,
“hilangnya Rudita membuat keadaanku menjadi sulit. Jika kemudian timbul
persoalan antara ayah Rudita dan ayahku, maka akulah yang menjadi sebab.
Apalagi Rudita adalah sanak dari saluran darah ibuku. Bukan ayahku.”
“Mudah-mudahan kita dapat
menemukan,” jawab Sutawijaya, “aku tidak akan tinggal diam. Aku pun ikut
bertanggung jawab atas hilangnya anak itu, karena akulah yang menyebabkan
kalian berburu orang-orang bersenjata yang semula tidak kita kenal itu, tetapi
yang ternyata adalah orang-orang yang dikendalikan oleh para perwira Pajang
sendiri yang ingin berkhianat di samping ada orang-orang lain yang sengaja
memancing di air keruh.”
“Jadi, apakah yang akan Raden
lakukan?”
“Aku akan menghadap Ki
Argapati. Biarlah para pengawalku membawa kawan-kawannya yang gugur dan terluka
kembali ke Mataram dan menyampaikan persoalan ini kepada Ayahanda Ki Gede
Pemanahan. Aku memerlukan sepasukan pengawal pilihan. Kita bersama-sama mencari
Rudita. Bukan sekedar Rudita, tetapi aku juga mempunyai pamrih yang lain. Aku
harus masuk ke dalam sarang Panembahan Agung itu, agar aku dapat memadamkan
apinya, bukan sekedar asapnya. Kemudian aku tinggal memperhitungkan lawan yang
ada di Istana Pajang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Raden. Kita dapat segera
berangkat. Kita tidak boleh kehilangan waktu.”
“Ya, kita harus segera
berangkat, sebelum kita justru yang akan terjebak di sini.”
“Ya. Aku kira Daksina tidak
akan tinggal diam. Apalagi menurut pendengaranku, ia sudah mengatakan beberapa
hal mengenai rencananya.”
“Ia yakin dapat membunuh aku.
Dan itu tentu terjadi jika kalian tidak datang membantuku.”
“Ah, hanya suatu kebetulan.”
Demikianlah, maka mereka pun
segera mengatur diri. Para pengawal dari Mataram diperintahkan untuk segera
kembali ke Mataram saat itu juga, sedang yang lain berserta Raden Sutawijaya
akan pergi ke Menoreh. Persoalannya tidak dapat dihentikan sampai sekian,
apalagi agaknya Rudita benar-benar telah dibawa oleh salah seorang dari mereka.
“Kita tidak boleh terjebak di
sini oleh kekuatan yang lebih besar lagi dari Daksina dan yang barangkali akan
datang bersama-sama dengan orang yang disebutnya Panembahan Agung itu. Daksina
tentu masih berusaha untuk membungkam mulutku untuk selama-lamanya,” berkata
Sutawijaya kepada para pengawalnya. “Dan lebih dari itu, jika ia berhasil
menangkap aku hidup-hidup, maka aku akan dapat dijadikannya alat untuk memeras
Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.”
“Baiklah, Raden,” sahut
pengawal yang tertua, yang diserahi untuk memimpin kawan-kawannya, “kami akan
segera berangkat.”
“Kalian tidak perlu menerobos
hutan liar itu. Lebih baik kalian melingkar sedikit, tetapi perjalanan kalian
akan lebih lancar dan cepat.”
“Baiklah, Raden.”
“Sebentar lagi matahari akan
terbenam. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan. Jika Daksina berusaha
mencari kalian dengan menelusuri jejak kalian, maka malam yang akan segera
turun akan membantu kalian.”
“Ya, Raden.”
“Meskipun demikian, kita akan
berusaha menyesatkan jejak itu. Kita yang akan pergi ke Menoreh, akan
memberikan kesan agar jejak kita lebih jelas dari jejak kalian yang akan pergi
ke Mataram. Kita berharap, bahwa perhatian mereka akan tertarik pada jejak yang
lebih jelas itu. Untuk beberapa puluh langkah, kalian harus berusaha
menyamarkan jejak kalian sejauh dapat kalian lakukan.”
“Baiklah, Raden.”
“Nah, kita harus melakukannya
sekarang,” dan sambil berpaling kepada Pandan Wangi Sutawijaya berkata, “kita
harus cepat berkemas.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling dilihatnya Agung Sedayu, Swandaru,
Prastawa, dan para pengiringnya memperhatikan pembicaraan itu dengan saksama.
Bahkan kemudian Prastawa berkata, “Kita harus secepatnya meninggalkan tempat
ini.”
Meskipun tidak ada yang
menyahut, namun setiap hati telah sependapat dengan kata-kata Prastawa itu.
Mereka mempunyai perhitungan yang sama, bahwa Daksina akan membawa pasukan yang
lebih kuat untuk membinasakan Sutawijaya yang sudah mendengar beberapa dari
rahasia Daksina, yang dengan sombong dikatakannya. Selain daripada itu, Daksina
dan kawan-kawannya memang memerlukan Sutawijaya yang akan dapat dipakainya
untuk memeras Ki Gede Pemanahan.
Dengan mempergunakan nama Ki
Gede Pemanahan, maka kedudukan seseorang akan menjadi kuat di mata para adipati
pesisir dan Bang Wetan.
“Marilah,” berkata Sutawijaya
sambil menunggu mereka yang dengan tergesa-gesa mengemasi peralatan yang mereka
bawa, terutama orang-orang Menoreh. “Para pengawal dari Mataram sebaiknya
segera berangkat. Mungkin Daksina akan mencegat perjalanan kalian. Karena itu,
kalian harus mencari jalan lain. Sedang apabila mereka menempuh cara mengikuti
jejak kalian, kami akan mencoba menyesatkannya. Di ujung hutan itu, kalian
harus mencoba menyamarkan jejak kalian sejauh-jauhnya.”
Demikianlah, maka para pengawal
dari Mataram itu pun berangkat mendahului orang-orang Menoreh. Mereka membawa
kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka.
Seperti pesan Raden Sutawijaya
mereka menempuh jalan yang lain, yang tidak usah menerobos hutan liar itu,
seperti jalan yang akan dilalui oleh Sutawijaya dan orang-orang Menoreh
kemudian.
Setelah para pengiring Pandan
Wangi selesai mengemasi peralatannya, maka mereka pun segera berangkat
meninggalkan perkemahan itu. Karena Raden Sutawijaya tidak membawa kuda
sendiri, maka salah seorang pengawal Pandan Wangi telah meminjamkan kudanya.
Sampai di ujung hutan,
ternyata bahwa para pengawal dari Mataram itu berusaha menyamarkan jejaknya.
Dengan hati-hati mereka maju dan menghindari tempat yang gembur dan sentuhan
pada ranting-ranting perdu, sementara seseorang menyapu jejak mereka dan
menaburkan daun-daun kering untuk menyesatkan perhatian.
Dalam pada itu, para pengiring
Pandan Wangi justru menegaskan jejak mereka yang berbelok kejurusan lain. Bekas
kaki-kaki kuda dan beberapa macam benda yang sengaja mereka jatuhkan,
menunjukkan arah perjalanan mereka, ke pusat pemerintahan Tanah Perdikan
Menoreh.
Ketika matahari kemudian
terbenam, Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Ada dua kemungkinan yang sama
besar bagi para pengawalnya. Jika orang-orang Daksina benar-benar mencarinya,
dan menyelusuri jejak perjalanan para pengawalnya, mereka akan menemui
kesulitan karena gelap yang pekat. Tetapi jika mereka menempuh jalan lain dan
berhasil mencegat para pengawal itu di tempat yang tepat, maka para pengawalnya
tidak akan banyak memberikan perlawanan.
Tetapi para pengawal dari
Mataram itu pun ternyata adalah orang yang cukup berpengalaman. Mereka tidak
menyeberangi Kali Praga melalui jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh
jalan-jalan memintas yang jarang dilalui orang. Meskipun mereka agak kesulitan
mencari getek-getek penyeberangan, tetapi karena ada di antara mereka yang
sudah mengenal orang-orang yang memiliki getek-getek semacam itu, maka dengan
sedikit penjelasan, mereka pun berhasil meminjam dari mereka dan membawa getek
itu dari tempat penyeberangan yang biasa, ke tempat yang lain untuk menghindari
orang-orang Daksina yang mungkin mengejar mereka atau mencegat di tempat
penyeberangan yang mereka perhitungkan.
Sementara itu, Sutawijaya dan
kawan-kawannya beserta para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh pun berpacu
secepat-cepatnya untuk segera dapat mencapai induk Tanah Perdikan. Bukan karena
mereka ketakutan dikejar oleh Daksina, tetapi karena mereka dicemaskan oleh
nasib Rudita. Mereka harus segera dapat berhubungan dengan orang-orang tua
seperti Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Sumangkar. Tanpa mereka, maka usaha
untuk menemukan Rudita adalah sulit sekali. Dan selain daripada itu, tusukan
langsung ke sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu tentu akan
sangat berguna bagi Mataram dan juga Menoreh.
Dalam pada itu, sebenarnyalah
Daksina yang melarikan diri dari arena, berusaha untuk mendapatkan bantuan
secukupnya. Dengan orang-orangnya yang baru dan seorang yang menyebut dirinya
Putut Nantang Pati, dari padepokan yang tersembunyi, Daksina berusaha menyusul
Raden Sutawijaya.
“Apakah kita tidak menghadap
Panembahan Agung lebih dahulu ke Padepokan Medang?” bertanya Putut Nantang
Pati.
“Kita akan kehilangan mereka,
terutama Raden Sutawijaya. Perjalanan ke Padepokan Medang akan memerlukan
waktu, jarak antara padepokanmu ini sampai ke padepokan Panembahan Agung sama
jauhnya dengan menyelusuri jejak Sutawijaya sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah kita akan menyelusuri
jejaknya, atau kita akan langsung menunggunya di Kali Praga.”
“Ada beberapa tempat
penyeberangan. Kita tidak dapat menentukan, penyeberangan yang mana yang
dipilihnya.”
“Kita akan menemui kesulitan
untuk menyelusuri jejak di malam hari.”
“Kita akan berusaha. Mereka tentu
berjalan lambat, karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang terluka.”
Dengan membawa beberapa obor
mereka pun dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Sutawijaya. Tetapi mereka
memerlukan waktu, selama mereka menyiapkan diri dan mengumpulkan orang-orangnya.
Meskipun demikian, mereka pun tidak mengurungkan niatnya. Menurut perhitungan
Daksina, mereka akan dapat menyusul orang-orang Mataram itu.
Dengan cahaya obor mereka
berusaha menyelusuri jejak orang-orang Mataram dan orang-orang Menoreh. Sejak
dari arena perkelahian sehingga bekas tempat perkemahan mereka tidak menemukan
kesulitan apa pun.
“Mereka belum lama
meninggalkan tempat ini,” berkata Daksina.
“Ya,” jawab Putut Nantang
Pati, “perapian ini masih hangat.”
“Tentu setelah mereka kembali
dari arena itu.”
“Mereka sempat mengemasi
barang-barang mereka.”
“Karena itu, tentu mereka
belum terlalu jauh.”
“Bagaimana kalau kita menempuh
jalan yang kau pasang kemarin? Jejak yang berhasil menyeret Sutawijaya sampai
ke jebakan yang kau pasang?”
“Mereka tentu tidak akan
menempuh jalan itu.”
“Sayang, jebakanmu tidak
mengena.”
“Tentu bukan sekedar menyesali
diri. Kita harus menyusulnya. Jalan yang paling baik adalah menyelusuri jejak
mereka.”
Putut Nantang Pati tidak
menyahut lagi. Ia pun kemudian memandang ke dalam gelap. Cahaya obor yang
kemerah-merahan seakan-akan membuat bayangan yang bergerak-gerak di pepohonan.
“Marilah,” berkata Daksina.
Demikianlah, mereka pun
berjalan menyusuri jejak yang dapat mereka lihat di dalam cahaya obor. Beberapa
orang-orang berpengalaman mengenai jejak berjalan di paling depan. Dengan
ketajaman mata mereka, maka mereka dapat mengikuti jejak yang sengaja tidak
disembunyikan.
“Apakah mereka akan menjebak
kita seperti kita menjebak mereka? Apakah mereka dengan sengaja meninggalkan
bekas agar kita terjerumus ke dalam jerat seperti kita lakukan?” gumam Daksina.
“Tentu tidak,” sahut Putut
Nantang Pati, “bukankah mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan?
Tentu mereka memperhitungkan juga, bahwa kau akan menyusul Raden Sutawijaya,
karena bagimu Sutawijaya adalah orang yang sangat penting dan sekaligus orang
yang sudah mendengar beberapa hal tentang rencana yang sebenarnya masih
merupakan rahasia.”
“Ya.”
“Nah, marilah. Yakinlah, bahwa
kita tidak akan terjebak. Mereka tidak akan sempat mengumpulkan orang-orang
lebih banyak lagi seperti yang dapat kita lakukan. Seandainya ada satu dua
orang yang semula menunggui perkemahan ini, itu tidak akan berarti apa-apa.”
Daksina tidak menjawab. Mereka
maju dengan hati-hati menyusup hutan perdu.
“Orang-orang Menoreh agaknya
membawa kuda. Jumlahnya tidak begitu banyak,” berkata seorang yang
berpengalaman mengenali jejak.
“Ya. Di antara jejak kuda
masih ada jejak kaki.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tentu para pengiringnya mempergunakan kuda, sedang para pengawalnya
berjalan kaki, atau yang sekelompok berkuda, sedang kelompok yang lain berjalan
kaki.
Untuk beberapa saat lamanya
mereka mengikuti jejak itu. Namun pada suatu saat orang yang ada di paling
depan berhenti sejenak. Sambil merendahkan obornya ia berkata, “Aku melihat
sesuatu yang aneh di sini.”
“Ya, mereka berbelok ke
Menoreh. Semuanya. Tidak ada bekas yang lain.”
“Belum tentu jika mereka pergi
ke Menoreh.”
“Jurusan itu adalah jurusan ke
Menoreh. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang Menoreh. Agaknya mereka
akan merawat orang-orang mereka yang terluka, atau mungkin menguburkan yang
terbunuh.”
Namun tiba-tiba salah seorang
dari mereka yang mengerti jejak itu berkata, “Tidak. Tidak semuanya pergi ke
Menoreh.”
“Maksudmu?” bertanya Nantang
Pati. “Tidak ada jejak yang lain kecuali jejak yang berbelok menuju ke induk
Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi hanya jejak mereka
yang berkuda sajalah yang menuju ke Menoreh. Tidak ada jejak kaki. Mereka yang
berjalan kaki tentu tidak akan pergi ke Menoreh.”
“Lalu, ke manakah jejak kaki
yang mengikuti jejak kuda itu?”
“Jejak itu hilang.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Katanya, “Mereka akan membalas menjebak kita seperti yang sudah aku lakukan.
Apakah mereka juga melangkah surut seperti kita di tempat terbuka itu?”
Sejenak mereka yang mengamati
jejak itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, “Tidak. Inilah
jejak mereka. Mereka menaburkan dahan-dahan kering atau dedaunan yang hijau di
atas bekas kaki mereka, agar jejak itu tidak menarik perhatian. Agaknya mereka
berusaha agar jejak mereka tidak kita ketahui.”
“Jika demikian, inilah jalan
yang dilalui Raden Sutawijaya. Marilah kita ikuti. Mereka tidak akan dapat
menyamarkan jejaknya untuk perjalanan yang panjang. Pada suatu saat, jejak
mereka akan menjadi jelas.”
“Marilah, kita percepat
perjalanan ini.”
“Tetapi ternyata sulit untuk
menemukan jejak yang kita ikuti. Kita benar-benar harus meneliti, seakan-akan
sehelai daun demi sehelai.”
“Baiklah, tetapi kita maju
terus.”
Orang-orang yang sedang
mengamati jejak itu tidak menjawab. Setapak demi setapak mereka maju juga.
Namun akhirnya mereka berhasil
melampaui daerah penyamaran jejak. Setelah itu, maka jejak itu pun dapat
dikenal dengan mudah.
Daksina dan Putut Nantang Pati
menjadi semakin bernafsu. Mereka yakin bahwa jalan yang mereka temukan adalah
jalan yang benar, sehingga mereka akan segera dapat menyusul dan menangkap
Raden Sutawijaya.
“Apalagi agaknya orang-orang
Menoreh itu sudah memisahkan diri, termasuk orang-orang bercambuk itu,” berkata
Daksina kemudian.
“Darimana kau tahu?” bertanya
Putut Nanntang Pati.
“Mereka datang bersama
orang-orang Menoreh. Agaknya mereka memang menjadi tamu Ki Argapati.”
Putut itu tidak menyahut lagi.
Dengan obor di tangan orang yang berjalan di paling depan menjadi semakin lama
semakin cepat, karena ia pun mengharap untuk dapat menyusul Raden Sutawijaya.
“Ternyata mereka memilih jalan
yang tidak terduga-duga sebelumnya. Jika kita tidak mengerti jejaknva, kita tidak
akan menyangka, bahwa mereka memilih jalan yang agak sulit ini, sedangkan di
bagian lain terdapat jalan yang lebih lapang,” berkata Daksina.
“Mereka adalah orang-orang
yang cukup berpengalaman,” sahut Putut Nantang Pati.
Daksina hanya menganguk-anggukkan
kepalanya saja. Namun harapan di dadanya menjadi semakin berkembang ketika
mereka sudah melalui jalan yang berbatu-batu padas dan agak sulit dilalui
iring-iringan yang membawa orang-orang yang terluka dan apalagi beberapa sosok
mayat, tidak akan dapat berjalan terlalu cepat.
“Mereka akan menunggu di
pinggir Kali Praga,” desis salah seorang pengikut Daksina.
“Kenapa?”
“Tidak ada getek di daerah
ini. Aku tahu pasti.”
“Tetapi mereka dapat mencari
getek itu di tempat penyeberangan yang lain.”
“Belum tentu di malam hari
seperti ini. Kebanyakan mereka yang memiliki getek tidak ada di atas geteknya.
Mereka biasanya pulang dan tidur di rumah, karena tidak banyak orang
menyeberang di malam hari.”
Daksina tidak menyahut.
Kemungkinan-kemungkinan yang bermacam-macam memang dapat saja ditemuinya di
dalam perjalanan ini. Dan dalam kegelisahan itulah, maka ia pun kemudian
memerintahkan orang-orangnya berjalan lebih cepat lagi.
Dalam pada itu orang-orang
yang akan menyeberang ke Mataram itu pun ternyata dapat bekerja dengan cepat.
Kawan-kawan mereka, para pemilik getek itu pun dengan senang hati berusaha
membantu, sehingga mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk menunggu.
Namun demikian getek-getek itu
lepas dari tepi sebelah Barat, orang-orang yang ada di atasnya menjadi terkejut
karenanya. Mereka melihat beberapa buah obor menyusur jalan sempit yang baru
saja mereka lalui.
“Sapakah mereka?” desis salah
seorang pengawal dari Mataram yang sudah mulai mengarungi derasnya arus Kali
Praga.
Kawan-kawannya pun
memperhatikan obor yang mendekati dengan cepat itu. Namun mereka tidak segera
dapat mengetahui siapakah mereka.
“Tentu bukan Raden Sutawijaya
dan orang-orang Menoreh itu,” berkata pemimpin pengawal itu kemudian, “mereka
datang dengan tergesa-gesa dan tidak berada di punggung kuda.”
“Apakah orang-orang itulah
yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya akan segera menyusul kita?” desis yang
lain.
“Mungkin. Mungkin sekali,”
lalu katanya kepada para pendayung, “percepat sedikit.”
Salah seorang pendayung itu tersenyum
sambil menjawab, “Mereka tidak akan dapat mencapai kalian setelah kalian
terpisah dari tepian.”
“Tetapi mereka dapat mencari
getek-getek semacam ini.”
“Mereka memerlukan waktu.
Mereka harus pergi ke penyeberangan yang lain dan kemudian menyeberang dengan
getek-getek itu jika ada orang yang mendayungnya.”
“Mereka dapat membangunkan
para pendayung itu seperti kami membangunkan kalian.”
“Dan itu memerlukan waktu
lebih banyak lagi. Sementara itu kalian sudah sampai di tepian,” tetapi
pendayung itu kemudian bertanya. “Tetapi apakah masih ada kemungkinana mereka
menyusul kalian di daratan seberang Kali Praga?”
Ternyata pertanyaan itu
menimbulkan persoalan bagi para pengawal. Meskipun mereka berhasil mencapai
seberang, dan mendahului orang-orang yang membawa obor itu, namun memang masih
ada kemungkinan orang-orang itu dapat menyusul mereka di atas tlatah Tanah
Mataram itu sendiri, di daerah yang masih belum berpenghuni.
“Jika demikian,” tiba-tiba
pemimpin pengawal itu berkata, “Kita tidak langsung menyeberang di sini. Kita
akan mengikuti arus air dan menepi di daerah penyeberangan yang sudah memiliki
gardu-gardu pengawas. Setida-tidaknya jumlah kita akan bertambah dengan para
pengawas itu. Sementara itu, satu dua orang penghubung berkuda, dapat memanggil
bantuan pada gardu-gardu terdekat.”
“Tepat sekali,” sahut seorang
pengawal.
“Beri isyarat kepada getek
yang lain.”
Demikianlah, getek itu tidak
langsung memotong arus sungai dan mencapai tepian di seberang. Mereka mengikuti
arus Kali Praga, dan berusaha untuk menepi di daerah terdekat dengan gardu
pengawas.
Dalam pada itu, Daksina dan
orangnya yang sudah mencapai tepian menumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka
hanya dapat melihat di dalam keremangan malam, tiga getek yang menyeberangi
Kali Praga yang deras arusnya itu.
“Kita mencari getek serupa,”
desis Daksina.
“Di mana?” bertanya seorang
pengikutnya.
“Di jalan penyeberangan. Jika
para pemiliknya tidak ada, kita dapat mendayungnya sendiri menyusul mereka.”
Beberapa orang pengiringnya
menjadi termangu-mangu. Sementara itu Putut Nantang Pati justru tertawa sambil
berkata, “Kita hanya akan membuang waktu tanpa arti. Selama kita mencari getek
di tempat penambatan, mereka sudah menjadi semakin jauh, dan bahkan mereka
sudah akan meloncat ke darat.”
“Kita masih mempunyai
kesempatan. Kita kejar mereka di atas tanah mereka sendiri. Mereka tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Sekarang aku membawa orang lebih banyak lagi dari yang
telah menjebak Raden Sutawijaya tetapi gagal itu, karena kehadiran orang-orang
Menoreh dan orang-orang bercambuk. Tetapi tanpa mereka, orang Mataram itu tidak
akan dapat melawan kita.”
Tetapi Putut Nantang Pati
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada gunanya. Tentu ada gardu-gardu
peronda di seberang sungai. Mereka akan naik ke tepian di tempat yang mereka
anggap paling aman. Lihat, mereka tidak langsung melintas sungai ini. Tetapi
mereka mengkuti arus untuk beberapa saat. Tentu hal itu dilakukan dengan maksud
tertentu.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebagai seorang prajurit ia pun dapat mengerti pertimbangan Putut
Nantang Pati. Namun sebenarnya ia masih mempunyai harapan. Menurut
perhitungannya, seandainya ada juga gardu pengawas, namun tentu di dalam gardu
itu tidak akan ada sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur. Seandainya
para pengawas itu sempat membunyikan isyarat, namun agaknya Daksina akan
mempunyai waktu yang cukup untuk menangkap Sutawijaya.
Namun ternyata bahwa Putut
Nantang Pati tidak sependapat. Karena itu, maka Daksina pun tidak meneruskan niatnya.
“Kita akan segera kembali,”
berkata Putut Nantang Pati kemudian, “adalah berbahaya sekali kita mencoba
untuk menangkap Sutawijaya di atas tanah yang selama ini dipertahankannya
mati-matian.”
“Baiklah,” berkata Daksina,
“tetapi kali ini aku benar-benar mengalami kegagalan. Aku tidak dapat menangkap
Raden Sutawijaya. Aku tidak dapat meneruskan rencanaku untuk menguasai Ki Gede
Pemanahan, seperti jika Sutawijaya ada di tanganku. Dan sudah barang tentu,
jalan ke Pajang bagiku akan menjadi sangat berbahaya. Mungkin sekali Raden
Sutawijaya akan mengirimkan utusan untuk menghadap Sultan, seandainya
Sutawijaya masih segan datang sendiri. Sutawijaya dapat melaporkan semua
perbuatanku dan ceritaku kepadanya.”
“Kau memang kurang
berhati-hati,” berkata Putut Nantang Pati, “kau seharusnya belajar dari
kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Orang-orang bercambuk itu seakan-akan
ada di seluruh pelosok Mataram dan sekitarnya di setiap waktu. Seakan-akan
setiap ada usaha yang kita lakukan orang-orang bercambuk itulah yang
menggagalkannya. Usaha mengusili para pendatang dan membuka Tanah Mataram
dengan hantu-hantuan itu pun gagal. Kemudian usaha menghancurkan Mataram lewat
tangan Untara di Jati Anom, itu pun gagal karena orang-orang bercambuk itu pun
ternyata ada di dalam rumah yang biasanya dipergunakan oleh para perwira.
Kemudian usaha menutup Mataram dengan menyumbat semua jalur jalan ke Mataram
itu telah dipecah pula oleh orang-orang bercambuk itu di mulut Alas Tambak
Baya, padahal usaha itu nampaknya perlahan-lahan akan berhasil.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kegagalan-kegagalan itu memang terasa sangat pahit. Namun ia masih
tetap berharap untuk dapat menghancurkan Mataram. Ia masih mengharap, bahwa
pertentangan antara Pajang dan Mataram tidak akan dapat dihindarkan lagi.
“Baiklah,” berkata Daksina
kemudian, “aku memang kurang berhati-hati kali ini. Aku menganggap bahwa,
usahaku akan berhasil, sehingga aku mengatakan sebagian dari rahasia yang
seharusnya tetap tersimpan. Namun aku masih mengharap, bahwa gadis Kalinyamat
itu akan dapat membakar hubungan antara ayah angkat dan anaknya yang memang
sudah mulai retak.”
“Kau dapat membuktikan
hubungan itu? Sekedar cerita tentang hubungan Raden Sutawijaya dengan gadis
sengkeran Sultan Pajang itu tidak akan berarti apa-apa.”
“Sebentar lagi Sultan akan
dapat mengetahuinya tanpa ada orang lain yang mengatakannya.”
“Maksudmu?”
“Menurut penyelidikan
terakhir, gadis itu ternyata sudah mengandung.”
“He?” Putut Nantang Pati
mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian,
“Ternyata Sultan Pajang dan anak angkatnya itu tidak ada bedanya. Sutawijaya
sudah terpengaruh oleh cara hidup ayah angkatnya, bukan oleh ayahnya sendiri.
Jika benar gadis itu sudah mengandung, maka persoalannya akan menjadi semakin
cepat. Tetapi apakah Panembahan Agung sudah mengetahuinya?”
“Aku sudah mengatakannya.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jika demikian kita tidak usah cemas.
Marilah kita kembali ke padepokanku.”
“Tetapi, apakah kau tidak
mempertimbangkan, bahwa mungkin sekali Raden Sutawijaya akan kembali dengan
membawa pasukan segelar sepapan?”
“Mereka belum melihat
padepokanku. Dalam pada itu, aku akan menempatkan beberapa orang pengawas. Yang
sudah ada dapat diperbanyak untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi aku kira Raden
Sutawijaya tidak akan berbuat dengan tergesa-gesa, sehingga aku masih akan
mempunyai waktu untuk memikirkan. Setidak-tidaknya kita mempunyai jalan untuk
melarikan diri dengan aman seandainya yang datang menurut perhitungan kami
tidak terlawan.”
Daksina mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Aku akan menjadi penghuni padepokanmu, karena aku tidak
dapat kembali ke Pajang.”
Putut Nantang Pati memandang
Daksina sejenak. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Kau tidak berani
kembali ke Pajang, karena menurut dugaanmu Sutawijaya melaporkan kelakuanmu?”
“Ya.”
“Tentu tidak. Sultan Pajang
tidak akan mempercainya, karena bagi Pajang, Sutawijaya sudah tidak mendapat
kepercayaan lagi. Namun kau harus berhati-hati. Kau dapat kembali ke Pajang,
tetapi untuk sementara kau tinggal di rumah kawan-kawanmu yang terpercaya,
apabila sudah sampai waktunya kau harus kembali.”
“Masih ada waktu beberapa
pekan. Aku mendapat ijin meninggalkan tugasku untuk waktu yang cukup panjang.”
Daksina menarik nafas, kemudian, “Tetapi jika orang-orang Pajang tahu, bahwa
ternyata aku mempergunakan waktuku untuk kepentingan ini?”
“Jangan pikirkan sekarang.
Mari kita kembali.”
“Ke padepokanmu atau langsung
ke padepokan Panembahan Agung itu?”
“Ke padepokanku.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih berpaling memandang arus Kali Praga. Namun
getek-getek yang membawa orang Mataram itu sudah menjadi semakin jauh.
Pada saat Daksina, Putut
Nantang Pati, dan kawan-kawannya meninggalkan tanggul Kali Praga, maka pada
saat itu, beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padukuhan induk dari Tanah
Terdikan Menoreh. Bersama mereka adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar. Namun yang kemudian lebih senang bekerja keras membuka
Alas Mentaok yang liar dan ganas untuk membangun sebuah negeri yang besar.
Derap kaki-kaki kuda itu
mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Beberapa orang tergagap
bangun. Namun, derap kaki-kaki kuda itu pun sudah menjadi semakin jauh.
Para peronda yang ada di
gardu-gardu dengan tergesa-gesa berloncatan bangun dengan menggenggam senjata
masing-masing. Apalagi sebagian dari mereka pernah mendengar, bahwa kadang ada
orang-orang bersenjata yang tidak dikenal berkeliaran di sisi sebelah Timur
dari Tanah Perdikan Menoreh.