Ketika Sumangkar menghentakkan
tangkai parang itu, maka yang kemudian berada didalam genggamannya hanyalah
tinggal tangkainya saja. Ternyata parang itu patah. Kekuatan Sumangkar dan
jepitan batang kayu yang ditebasnya ternyata melampaui kekuatan parang pembelah
kayu itu.
“Ah,” sekali terdengar Sekar
Mirah berdesah.
“Patah ngger ,” Sumangkar berkata
lirih, “aku tidak sengaja mematahkannya.”
Sekar Mirah masih saja berdiri
tegak mematung. Ia sedang terpukau oleh penglihatannya yang dianggapnya tidak
masuk akal.
“Kekuatan apakah yang
tersimpan di dalam tubuh orang tua ini ?”
katanya di dalam hati.
Dan ia mendengar Sumangkar
berkata, “Kalau parang ini tidak patah ngger, aku akan memotong kayu itu.
Tetapi parang ini telah patah.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia
masih berdiri membeku.
“Apakah kau heran?” bertanya
Sumangkar.
Tanpa sesadarnya Sekar Mirah
menganggukkan kepalanya.
“Tidak mengherankan sama
sekali,” berkata Sumangkar kemudian, “kaupun akan dapat melakukannya Mirah.”
“He?” alis Sekar Mirah
terangkat, sekali lagi ia tidak percaya kepada inderanya. Apakah benar ia mendengar
Sumangkar berkata, “Kau pun akan dapat .melakukannya Mirah.”
Dan Sumangkar itu berkata
seterusnya, “Aku tidak berbohong. Kalau kau ingin dapat berbuat demikian, maka
kaupun akan dapat melakukannya.”
“Apakah Kiai bergurau?” desis
Sekar Mirah kemudian.
Sumangkar lersenyum. Jawabnya,
“Tidak Ngger, aku tidak bergurau. Apakah kau sangka bahwa sejak lahir aku dapat
melakukan hal yang demikian itu? Apakah kau sangka bahwa sejak kanak-kanak Kiai
Gringsing mampu melecutkan cambuknya seperti ledakan guntur di langit? Apakah
kau sangka bahwa Ki Tambak Wedi mampu memecahkan dada lawannya hanya dengan
lemparan gelang-gelang besi atau Ki Gede Pemanahan mampu memecah regol
Kadipaten Jipang dengan sehelai keris yang kecil saja, kerisnya yang bernama
Kiai Naga Kumala, sejak mereka Iahir?”
Sekali lagi Sekar Mirah
berdiri mematung. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.
“Nah, bagaimanakah perasaanmu?
Heran atau curiga bahwa aku dan orang-orang tua seperti aku ini telah kerasukan
setan? Tidak Mirah. Kami tidak mencari kekuatan tenaga jasmaniah dan tenaga
tersimpan di dalam diri kami masing-masing ini dengan bantuan setan-setan.
Tidak. Dengan demikian kita telah menentang sumber kekuatan itu sendiri.
Meskipun ada juga orang yang mencarinya dalam dunia yang hitam, tetapi betapa
besar tenaga yang dapat dilahirkan oleh kekuatan hitam, namun Yang Maha Kuat,
Yang Maha Kuasa, adalah sumber dari semua yang ada. Juga sumber dari kekuatan
yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Karena itu jangan menyangka bahwa
kami harus mencari kekuatan semacam ini kemana-mana. Sebab pada dasarnya
kekuatan itu telah ada di dalam diri kami masing-masing. Soalnya, apakah kita
mampu mengungkapkannya atau tidak.”
Sekar Mirah masih berdiri
ditempatnya. Bahkan tanpa berkedip ditatapnya wajah Ki Sumangkar. Dan ia
mendengar orang tua itu meneruskannya, “Sekar Mirah. Kita tinggal memohon
kepada Sumber Kekuatan di dalam diri, kepada Yang Maha Tinggi, apakah kita
diperkenankan mempelajari kekuatan di dalam diri kita, kemudian mengenalnya dan
mengungkapkannya.” Sekali Iagi Ki Sumangkar itu berhenti berbicara. Dilihatnya
Sekar Mirah dengan penuh minat mendengarkannya.
“Karena itu,“ berkata
Sumangkar pula, “kita tidak perlu mencari apapun di luar Sumbernya. Kita tidak
perlu mencari kekuatan di lereng-lereng
gunung, di gua-gua yang singup, di samping batu-batu yang besar atau di
bawah pohon-pohon yang rimbun dan angker. Tidak. Sebab Sumber dari segala Hidup
dan Kekuatan itu seolah-olah mata air yang mengalir ke segenap penjuru. Ke
segenap saluran. Dan kita adalah salah satu dari saluran yang diciptakannya
pula. Dengan demikian apabila kita membuka bendungan, segera aliran itu akan
membasahi diri kita. Soalnya, apakah kita mampu membuka bendungan itu cukup
lebar. Dan untuk melakukannya, untuk mendapatkan aliran yang cukup, kita harus
berusaha dan memohon. Berusaha dan memohon. Berusaha sebagai kenyataan
kesungguhan dari permohonan itu. Dan itu tidak perlu dilakukan di tempat-tempat
yang angker. Kita dapat melakukannya di sembarang tempat. Bahkan di tengah-tengah
pasar sekalipun asal kita mampu memusatkan kehendak dan setiap getaran di dalam
diri, untuk melakukannya.”
Sekali lagi Sumangkar
berhenti. Seakan-akan ia ingin mengetahui, apakah Sekar Mirah dapat menangkap
dan mengendapkan kata-katanya. Sejenak kemudian Sumangkar itu berkata pula.
“Tetapi Ngger, kadang-kadang kita memang memerlukan tempat yang sepi dan
tersendiri. Bukan karena kita memerlukari bantuan kekuatan-kekuatan yang ada
dalam kesepian dan kesendirian, bukan karena kita tidak percaya bahwa Sumber
kita cukup kuat, sehingga kita mencari sumber yang lain meskipun sumber itu
dialiri oleh kekuatan hitam, tidak. Kalau kita menyepi dan menyendiri itu
adalah sekedar usaha supaya pemusatan pikiran dan seluruh kehendak dapat
menjadi bulat dan bersungguh-sungguh menghadap kepada Sumber Hidup kita untuk
memohon agar kita diperkenankan mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang ada di
dalam diri kita atas kurnia-Nya. Sudah tentu, dengan janji di dalam diri, bahwa
tujuan daripadanyapun tidak menyimpang dari jalan yang ditunjukkannya.”
Perlahan-lahan Sumangkar
melihat Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya meskipun ia tidak
seluruhnya dapat mengerti keterangan Sumangkar itu, namun ia dapat merasakan
dan menghayatinya. Meskipun dari sorot matanya, Sumangkar masih melihat
keragu-raguan.
“Apakah kau ragu-ragu Ngger?”
orang tua itu bertanya. “Mungkin kau bertanya di dalam hati, seandainya
demikian, kenapa kekuatan-kekuatan itu sering berbenturan?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi sebagian terbesar dari dugaan Ki Sumangkar itu benar. Ia memang
menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.
“Sekar Mirah,” berkata
Sumangkar itu pula, “seandainya kita bersama-sama memiliki pengertian yang sama
dan penilaian yang sama tentang kebenaran, maka kita pasti tidak akan
bertengkar satu sama lain kecuali dengan orang-orang yang sengaja mengambil
kekuatan dari dunia yang hitam. Tetapi kenyataan yang terjadi, kita yang merasa
diri kita bersama-sama mencari kekuatan dari Sumber hidup kita, masih juga
berbenturan. Itulah kekurangan manusia. Betapapun manusia merasa dirinya
mumpuni, tetapi manusia tidak akan dapat mengenal kebenaran yang mutlak.
Rahasia kebenaran ini tidak akan dapat dikuasal oleh manusia yang manapun, selagi
ia masih terikat dengan hidup duniawinya. Adalah picik sekali, apabila
seseorang menganggap dirinya benar mutlak dan oran lain salah mutlak Tetapi
sekali lagi kita dihadapkan pada kekurangan manusia, kebodohan, kekerdilan dan
kesombongannya. Meskipun disadarinya juga bahwa tidak dapat digayuhnya
kebenaran yang mutlak, namun selalu saja kita saling menyalahkan orang lain dan
menggenggam kebenaran menurut penilaian diri.”
Wajah Sekar Mirah menjadi
semakin tegang. Ia mencoba mengerti arti kata-kata Sumangkar. Namun tidak
seluruhnya dapat dicernakannya. Meskipun demikian, ia dapat menjajagi maksud Ki
Sumangkar.
“Nah Mirah,” berkata Sumangkar
itu kemudian, “aku terlampau banyak berbicara. Aku bukan orang yang bersih
dalam hidupku. Aku adalah seseorang yang baru saja mendapat pengampunan karena
aku ikut melawan kekuasaan Pajang karena kebodohan dan kesombonganku.”
Orang tua itu berhenti
sejenak, tetapi dari sorot matanya terpancar perasaan yang aneh. Namun tidak
terucapkan. Sebenarnya bahwa di dalam dada Sumangkar tersimpan pula perasaan
yang tidak dapat lepas daripadanya, bahwa orang-orang Pajangpun seperti juga
dengan dirinya, bodoh dan sombong. Sehingga benturan diantara saudara, Pajang
dan Jipang dapat terjadi.
Tetapi Sumangkar itu
menggelengkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan kata Ki Gede
Pemanahan itu benar, bahwa ia bertempur tidak karena perasaan benci. Ia
bertempur karena cintanya kepada sesama, kepada orang-orang Pajang dan Jipang,
kepada rakyat Demak seluruhnya. Agar mereka terlepas dari kekuasaan yang tidak
sewajamya. Tetapi bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan itu masih juga tidak
dapat melepaskan diri dari hidup duniawinya.”
Sumangkar itu terkejut ketika
tiba-tiba saja ia mendengar suara Sekar Mirah bertanya kepadanya, “Kiai, apakah
Kiai berkata sebenarnya bahwa akupun dapat melakukan seperli yang Kiai lakukan
itu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Ya, ya Ngger. Kau akan dapat berbuat seperti
itu apabila kau berkeinginan dengan sungguh-sungguh.”
“Tentu Kiai, aku berkeinginan
sungguh-sungguh. Apakah aku dapat belajar untuk itu?”
Sumangkar tersenyum, jawabnya,
“Apakah kau ingin belajar?”
“Ya Kiai. Aku ingin. Aku tidak
mau menjadi seseorang yang hanya dapat menggantungkan diriku sendiri kepada
orang lain. Kepada ayah dan kepada kakang Swandaru. Kalau aku dapat berdiri
sendiri, setidak-tidaknya menjaga diriku sendiri, maka aku akan senang sekali.”
“Ya Ngger. Tetapi sebelumnya
kau harus mengetahuinya, bahwa sebelum sampai ketingkatan itu, kau harus bekerja
keras. Belajar dan berlatih. Kau akan masuk ke dalam cara hidup yang berbeda
dengan yang selama ini kau jalani. Kau tidak akan lagi tenggelam dalam
kesibukan di dapur, meskipun itu tidak akan dapat kau tinggalkan sebagai
seorang gadis. Betapapun juga, kau tetap seorang gadis yang harus melakukan
pekerjaan dari seorang gadis dan kelak seorang ibu. Tetapi sebagian waktumu
akan kau pergunakan untuk belajar dan berlatih. Kau akan menjadi lelah dan
bermandikan keringat. Kau akan kehilangan banyak waktu untuk bermain-main
dengan gadis-gadis sebayamu. Kau akan kehilangan waktu untuk membuat permainan
Nini Towong, untuk melihat siwur yang melonjak-lonjak, karena kau sendiriIah
yang harus melonjak-lonjak.”
“Ya Kiai. Tentu aku sanggup
melakukannya. Aku sudah semakin besar, dan aku sudah tidak pantas lagi ikut
bermain Nini Towong. Bahkan permainan apapun lainnya.”
Sumangkar terdiam sejenak.
Dipandanginya wajah gadis itu. Lalu katanya, “Tetapi kau adalah seorang gadis
Ngger. Kau tidak dapat mengambil
keputusan sendiri seperti kakakmu Swandaru. Kau harus minta ijin kepada ayah
dan ibumu.”
“Ah, itu tidak perlu Kiai. Aku
sudah cukup dewasa untuk menentukan jalanku sendiri.”
Sekar Mirah menjadi kecewa
ketika ia melihat Sumangkar menggelengkan kepalanya. “Ini bukan sekedar
bermain-main Ngger. Kau harus menjalani cara hidup yang jauh berbeda. Dan untuk
itu ayah dan ibumu harus tahu dan mengijinkannya.”
“Tidak perlu Kiai. Tidak perlu.
Bagaimana seandainya ayah dan ibu tidak mengijinkannya.”
“Kalau ayah dan ibumu tidak
mengijinkannya, kaupun harus mundur.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mau
mundur. Aku harus berjalan terus seperti yang aku inginkan.”
“Ini adalah ujianmu yang
pertama Sekar Mirah. Untuk menjadi seorang murid yang baik, kau harus
menunjukkan sikap yang baik. Akupun akan mencoba memilih murid yang baik, yang
patuh kepada guru dan orang tuanya. Apabila terhadap guru dan orang tuanya
sudah tidak ada kepatuhan, maka apakah ia kelak akan dapat mematuhi segala
macam nasehat dan petunjuk dari guru dan orangtua itu, apabila kita telah
berpisah? Katakan misalnya, apabila aku yang tua ini dan ayah bundamu telah
tiada ?”
“Oh,” Sekar Mirah berdesah
perlahan sekali. Sumangkar tidak segera melanjutkan kata-katanya. Dilihatnya
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Kata-kata Sumangkar itu ternyata tepat
menyentuh dinding-dinding hatinya. Karena itu, maka untuk sesaat mulutnya
seakan-akan terbungkam.
“Nah, Sekar Mirah,” kemudian
Ki Sumangkar berkata perlahan-lahan, “cobalah berbicara dengan ayah dan ibu.
Kalau kau mampu menjelaskan keinginanmu dan perasaanmu, maka aku kira mereka
tidak akan berkeberatan. Tetapi ingat, sebagai seorang anak kau harus patuh
terhadap orang tua. Itu adalah pernyataan terima kasihmu kepada mereka yang
telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan kau. Kau mengerti?”
“Ya Kiai,” sahut Sekar Mirah
Iambat sekali, suaranya seakan-akan bergetar di dalam kerongkongannya saja.
“Aku akan minta ijin kepada ayah dan ibu.”
“Kalau kau dapatkan ijin itu
Mirah, maka kita akan segera mulai, sebelum aku menjadi semakin keriput dan
tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Kakakmu Swandaru selalu memilih tempat di
samping Gunung Gowok untuk berlatih. Tempat itu cukup luas dan sepi. Hampir tidak
menarik perhatian dan terlindung pula.”
“Ya Kiai. Sekarang juga aku
akan menemui ayah dan ibu.”
“Hati-hati. Jangan memaksa dan
menyakiti hatinya. Bagi Sangkal Putung masih belum lazim seorang gadis
mempelajari ilmu bela diri. Karena itulah maka kau pasti akan menghadapi banyak
kesulitan. Tetapi apabila ayah dan ibumu mengijinkannya, maka kesulitan itu
satu-satu akan kau langkahi.”
“Ya Kiai.”
“Sekarang cobalah minta ijin
ayah dan ibumu. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa kau selalu terancam
bahaya. Kalau kau sedikit banyak mampu menjaga dirimu sendiri, maka ayah dan
ibumu tidak selalu gelisah apabila kau tidak berada disisi mereka.”
“Baiklah Kiai,” sahut Sekar
Mirah, “aku akan berkata kepada ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku diijinkan.”
Gadis itupun segera
meninggalkan Ki Sumangkar mencari ayah dan ibunya.
Kedua orang tuanya itu
terkejut melihat sikapnya yang tampak gelisah dan tergesa-gesa.
“Apakah yang terjadi ?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu
yang penting kepada ayah dan ibu bersama-sama,” Sekar Mirah berkata dengan
serta merta tanpa kata-kata pendahuluan.
“Apakah yang penting itu?”
“Tentang diriku. Bukankah aku
sudah besar.”
Kedua orang tuanya mengerutkan
alisnya. Mereka menduga-duga maksud perkataan anaknya. Yang mula-mula tergetar
didada mereka adalah, Sekar Mirah merasa dirinya seorang gadis dewasa dalam
hubungannya dengan Agung Sedayu.
“Bukankah begitu ayah.
Bukankah aku sudah cukup dewasa.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kalau kau sudah dewasa, lalu apakah maksudmu Mirah, kau
adalah seorang gadis. Meskipun kau sudah dewasa, kau tetap seorang gadis.”
Dada Sekar Mirah berdesir
mendengar jawaban ayahnya. Terbata-bata ia berkata, “Justru aku seorang gadis
ayah.”
“Oh,” ayahnya menjadi heran
mendengar jawabnya, “kenapa justru seorang gadis. Seorang gadis harus bersikap
sopan dan halus. Kau tidak boleh berbuat
sekehendak hatimu Mirah, betapapun perasaanmu dicengkam oleh suatu
keinginan.”
“Apakah sebenarnya perbedaan
seorang gadis dan seorang anak laki-laki ? Ayah, aku memerlukannya. Hidupku
selama ini selalu diancam oleh bahaya.”
“Maksudmu Sidanti?”
“Ya, ayah. Aku harus mendapat
ketenteraman, Karena itulah aku akan melakukannya.”
“Apapun yang terjadi atas
dirimu Mirah. Tetapi itu tidak pantas. Kau tidak dapat berbuat sehendak hatimu,
menuruti perasaanmu. Kau seorang gadis. Ingat, kau seorang gadis. Aku sudah
selalu memperingatkan kau, bahwa ada perbedaan menurut tata kesopanan antara
seorang gadis dan seorang anak laki-laki. Tata kesopanan itu sampai saat ini
masih kita junjung tinggi. Kalau kau kemudian kehilangan sifat-sifatmu sebagai
seorang gadis, maka alangkah cemarnya namamu dan nama keluargamu. Kau menjadi
gadis yang tidak berharga lagi.”
“Ayah,” potong Sekar Mirah,
“kenapa dengan demikian aku menjadi tidak berharga, bahkan mencemarkan nama
ayah dan ibu, bahkan seluruh keluarga? Tidak ayah, bahkan sebaliknya, Aku akan
mengangkat nama keluarga. Lebih daripada Itu, aku tidak akan selalu
menggantungkan nasibku kepada ayah, ibu dan kakang Swandaru Geni.”
“Tetapi caramu, Mirah. Caramu,
yang tidak aku setujui. Kau adalah seorang gadis. Sekali lagi, kau adalah
seorang gadis. Kau mempunyai sifat kodrat yang berbeda dengan seorang anak
laki-laki. Kau mempunyai kedudukan yang telah diatur dalam adat dan kebiasaan.
Kau harus tunduk Mirah.”
“Oh, terlalu. Itu terlalu
sekali ayah.” tiba-tiba Sekar Mirah tidak dapat mengendalikan perasaannya. Air
matanya mulai meleleh di pipinya.
“Mirah,” terdengar suara ibu
Sekar Mirah sareh, “ingatlah Mirah, meskipun kau hanya anak seorang Demang,
tetapi kau harus tetap menjaga namamu Aku tidak menolak pilihanmu itu Mirah,
tetapi lebih baik kau diam. Lebih baik kau tidak berbuat sesuatu lebih dahulu.”
“Bagaimana hal itu dapat
terjadi ibu, kalau aku hanya berdiam diri. Tidak. Aku harus berbuat sesuatu.
Aku harus berbuat supaya itu dapat terjadi.”
“Tidak Mirah,” Ki Demang
Sangkal Putung pun kemudian menjadi semakin keras. “Kau tidak boleh berbuat
apa-apa. Kau harus menunggu. Kalau benar
Agung Sedayu dan kau telah bersepakat untuk hidup bersama, biarlah ia
datang kepadaku, bersama dengan kakaknya atau pamannya. Ia harus menyatakan
kenginannya lebih dahulu. Baru kau berbuat sesuatu. Sebelum itu, aku melarang
kau berbuat apapun untuk kepentingan itu.”
Hampir-hampir Sekar Mirah memekik mendengar kata-kata
ayahnya Sejenak ia berusaha menahan gelora di dadanya. Kedua tangannya menutup
wajahnya yang menjadi kemerah-merahan.
Ibunya terkejut melihat
tanggapan yang tiba-tiba terjadi pada anaknya. Seolah-olah kata-kata ayahnya
telah langsung memukul perasaannya, sehingga anak itu merasa terguncang
karenanya. Karena itu, maka runtuhlah ibanya. Sebagai seorang ibu, maka
perasaannya menjadi lebih cepat cair daripada ayahnya. PerIahan-lahan Nyi
Demang bergeser mendekatinya dan membelai rambutnya. Katanya sareh, “Tenangkan
hatimu Mirah.”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu masih menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya.
“Kami bermaksud baik Mirah,”
berkata ibunya pula, “bukan maksud kami melarangmu.”
Sekar Mirah masih berdiam
diri.
Yang terdengar adalah suara
ayahnya berat, “Aku terpaksa, Mirah. Aku terpaksa berbuat demikian untuk
kepentinganmu dan kepentingan keluargaku. Siapapun Angger Agung Sedayu,
seandainya ia putra Sultan sekalipun, ia harus tahu menempatkan dirinya sebagai
seorang laki-laki.”
Kedua suami istri itu terkejut
bukan buatan ketika mereka melihat Sekar Mirah itu tiba-tiba meloncat. Dengan
sekuat-kuat tenaganya dicubitnya lengan ayahnya. Tidak hanya sekali, tetapi
berkali-kali. Hampir berteriak gadis itu berkata, “Ayah berbicara sekehendak
Ayah saja. Aku tidak tahu apa yang Ayah katakan.”
“Mirah, Mirah,” ayahnya
mengaduh, “jangan Mirah. Tetapi kenapa kau sebenarnya ?”
Ibunya yang duduk dengan mulut
ternganga tidak dapat berbuat apa-apa, seolah-olah ia menjadi beku ditempatnya.
“Mirah, kenapa kau?”
Ayahnyapun kemudian hampir berteriak pula kesakitan. “Dengarlah aku. Tenanglah.
Jangan mengamuk begitu.”
“Ayah berbicara sekehendak
sendiri, menurut kesenangan ayah saja. Aku sama sekali tidak berbicara tentang
Agung Sedayu. Apa peduliku atas anak muda itu Aku berbicara tentang diriku
sendiri. Tentang Sekar Mirah. Tidak tentang orang lain.”
Ki Demang Sangkal Putung suami
isteri menjadi bingung. Mereka saling berpandangan sejenak. Ketika Sekar Mirah
kemudian menjadi tenang dan duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam Ki
Demang bertanya, “Aku tidak mengerti Mirah. Aku tidak mengerti sikapmu kali
ini.
“Aku juga tidak mengerti apa
yang ayah katakan.”
“Mirah,” ayahnya mengerutkan
keningnya, “bukankah kau mengatakan bahwa kau kini sudah dewasa?”
“Ya, dan apakah hubungannya
antara kedewasaanku dengan Agung Sedayu?”
Sekali lagi Ki Demang Sangkal
Putung menjadi terdiam. Sekali lagi kedua suami isteri itu saling memandang
dengan sorot mata yang memancarkan seribu macam pertanyaan yang bergetar di
dalam dada mereka.
“Ayah,“ tiba-tiba suara Sekar Mirah menjadi renyah
dan tiba-tiba saja gadis itu tidak menangis lagi. “Aku tidak berbicara tentang
orang lain. Aku berbicara tentang diriku sendiri.”
Ayahnya masih belum menjawab.
“Aku ingin dapat melindungi
diriku sendiri ayah. Setiap waktu aku terancam bahaya, aku ingin dapat
menyelamatkan diriku sendiri. Setidak-tidaknya aku dapat memperpanjang waktu
sebelum aku mendapatkan pertolongan.”
Ayahnya masih tetap berdiam
diri.
“Aku sudah menemui Ki
Sumangkar.”
Ayah dan ibunya mengerutkan
keningnya.
“Ayah dan ibu jangan cemas,
aku tidak akan ngunggah-unggahi untuk melamar Ki Sumangkar.”
“Ah,” ayahnya berdesah.
“Ki Sumangkar telah menyatakan
kesanggupannya untuk menuntun aku dalam tata bela diri. Asal ayah dan ibu
mengijinkan.”
Ki Demang suami isteri menarik
nafas dalam-dalam.
“Ki Sumangkar pun telah
berjanji untuk melakukannya di tempat yang terasing. Seperti yang sering
dilakukan oleh kakang Swandaru, di dekat Gunung Gowok.”
“Oh,” sekali lagi ayahnya
berdesah, “kau membuat kepalaku hampir terlepas Mirah. Kau membuat aku dan
ibumu menjadi sangat bingung.”
“Salah ayah dan ibu sendiri.
Aku belum selesai berbicara, ayah dan ibu seolah-olah telah tahu persoalannya.
Akupun ternyata keliru menangkap kata-kata ayah dan ibu.”
“Kau tidak mengatakannya
tentang itu, tentang ilmu tata bela diri.”
“Aku kira ayah telah mengerti
maksudku, atau mendengar ketika aku berbicara dengan Ki Sumangkar, sehingga
dengan tergesa-gesa ayah melarang.”
Ki Demang menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Kau memang selalu membuat kepalaku menjadi pening, sejak Sidanti
ada di halaman ini. Kemudian kehadiran angger Agung Sedayu. Lalu kau hilang, dan
sekarang kau membuat aku hampir kehilangan akal.”
“Nah, bukankah sekarang ayah
tahu persoalannya? Mudahnya, aku akan berguru kepada Ki Sumangkar. Meskipun aku
seorang gadis. Tetapi hal ini akan dapat dirahasiakan. Tidak ada orang lain
yang mengetahuinya. Setidaknya, orang yang mengetahuinya sangat terbatas.” Sekar Mirah berhenti sebentar,
lalu, “Boleh ayah. Boleh bukan?”
“Hem,” ayahnya menggigit
bibirnya, “kau aneh Mirah. Sebenarnya hal yang kau sebut itupun tidak biasa
dilakukan oleh gadis-gadis.”
Wajah Sekar Mirah yang sudah
mulai cerah, kini menjadi suram kembali. Dipandanginya wajah ayahnya yang
tampaknya masih disaput oleh kebingungan dan keragu-raguan.
Seperti anak-anak yang dihadapkan pada teka-teki yang sangat
sulit, kedua suami isteri itu duduk tanpa berkisar sejengkalpun. Kadang-kadang
mereka saling berpandangan dan kadang-kadang ibu Sekar Mirah itu memandangi
wajah puterinya dengan mulut ternganga. Sedang Ki Demangpun selalu
bertanya-tanya di dalam dirinya “Apakah sebenarnya kemauan anak ini ?”
Sejenak kemudian mereka
mendengar suara Sekar Mirah, “Jadi bagaimana ayah, boleh bukan? Aku akan dapat
banyak berbuat untuk diriku sendiri, untuk keluarga, bahkan untuk Sangkal
Putung. Bukankah dengan demikian aku tidak akan merendahkan namaku dan nama
keluargaku. Meskipun hal ini masih belum biasa terjadi, tetapi bukankah tidak
menjadi pantangan seperti orang gadis yang melamar laki-laki bakal suaminya?”
“Ah,” sekali lagi Ki Demang
berdesah.
“Boleh bukan ayah ?”
Ki Demang Sangkal Pulung yang
masih saja ragu-ragu dan bingung itu akhirnya tidak dapat lagi mengelakkan
desakan Sekar Mirah yang mengalir seperti bendungan pecah. Sehingga akhir ia
berkata, “Baiklah Mirah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi jaga dirimu baik-baik.
Sekali lagi aku peringatkan, kau seorang gadis. Kau harus tetap dapat menjaga
dirimu sebagai seorang gadis. Meskipun seandainya kemudian kau berhasil
memperoleh ilmu tata bela diri yang baik, tetapi kau tidak boleh melupakan
dirimu sendiri. Kau harus tetap memegang adat kesopanan dalam tindak tanduk,
tingkah laku dan tutur kata. Aku tidak akan berbangga melihat kau, sebagai
seorang gadis, meskipun kau memiliki kecakapan seperti Iaki-laki dalam tata
bela diri, tetapi lalu bersikap seperti Iaki. Apalagi apabila kau menjadi
sombong dan setiap saat ingin mencari saluran untuk menunjukkan kelebihanmu.”
“Itulah ayah, aku telah
mengatakan, bahwa aku telah dewasa, telah cukup mengerti untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan tentang baik dan buruk. Dewasa tidak saja dalam
pengertian bentuk jasmaniah, tetapi juga dewasa dalam berpikir dan berbuat.”
“Kata-katamu seperti kata-kata
orang dewasa yang sebenarnya. Baiklah Mirah. Tetapi ingat selalu pesan ayah dan
ibu. Kau tetap seorang gadis, meskipun kau mampu menangkap angin.”
“Tentu ayah, aku tidak akan
berubah menjadi laki-laki. Aku tetap seorang gadis.”
“Maksudku dengan tingkah laku
seorang gadis. Dengan sikap dan sifat seorang gadis. Kau mengerti ?”
“Tentu ayah. Aku mengerti,”
sahut Sekar Mirah dengan serta merta. Lalu, “Sekarang aku akan menemui Ki
Sumangkar, Ayah. Aku akan berkata kepadanya bahwa ayah tidak berkeberatan.”
“Tunggu Mirah. Aku masih belum
selesai.”
“Apa lagi ayah? Aku sudah
cukup. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Sumangkar.”
“Tunggu Mirah,” potong
ayahnya. Tetapi Sekar Mirah telah meloncat. berdiri. Ketika beberapa langkah ia
berlari, ia mendengar ayahnya berkata, “Itu pertanda bahwa kau masih belum
dewasa Mirah.”
Sekar Mirah tertegun dimuka
pintu. Perlahan-lahan ia memutar diri menghadap kepada ayahnya. Dan ia
mendengar ayahnya berkata, “Kau sebenarnya masih terlampau kanak-kanak. Kau
masih belum dapat mengendapkan perasaanmu dan berbuat dengan tenang. Kau masih
selalu dikuasai oleh perasaanmu yang melonjak-lonjak itu Mirah.”
Dada Sekar Mirah menjadi
berdebar-debar.
“Tetapi baiklah. Kau
ingat-ingat saja pesan ayah dan ibu dan bahkan kata-katamu sendiri, bahwa kau
telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Ya ayah,” sahut Sekar Mirah.
“Pergilah. Hati-hati.”
“Terimakasih ayah.” Sekar
Mirah itupun kemudian melangkah keluar. Tetapi ia tidak berlari-lari lagi.
Langkahnya dibuatnya menjadi perlahan-lahan namun mantap. Ia ingin menjadi
seseorang yang benar-benar telah dewasa,
tindak tanduk dan cara berpikir.
Sumangkar bergembira pula
mendengar keputusan ayah dan ibu Sekar Mirah. Sambil tersenyum ia berkata,
“Akupun akan menemui ayah dan ibumu ngger. Aku harus berbicara dengan mereka
supaya kelak tidak ada persoalan yang dapat mengejutkannya.”
“Silahkan Kiai,” jawab Sekar Mirah,” tetapi cepatlah. Aku
tidak sabar lagi. Aku merasa bahwa diriku seakan-akan telah mampu berbuat apa
saja.”
“Jangan tergesa-gesa. Kau
memerlukan waktu. Tidak hanya sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun.”
“Berapapun waktu yang diperlukan,
tetapi bukankah lebih cepat lebih baik ?”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Sumangkar tertawa, “Baiklah.
Tetapi aku harus bertemu dengan ayah dan ibumu dahulu.”
Ternyata Sumangkar melakukan
apa yang dikatakannya. Ia memerlukan secara khusus menemui Ki Demang Sangkal
Putung suami isteri. Bahkan Widura diberitahukannya pula.
“Kami tidak berkeberatan,”
berkata ayah dan ibu Sekar Mirah. “Tetapi kami menuntut agar Sekar Mirah tidak
kehilangan sifat-sifat kegadisannya dan kelak sifat-sifat keibuannya.”
“Aku akan mencobanya,” sahut
Sumangkar.
“Mudah-mudahan Paman
berhasil,” sela Widura, “sebab Sekar Mirah kelak akan berhubungan dengan
seorang laki-laki sebagai suami isteri. Kadang-kadang di dalam hubungan
keluarga sering terjadi persoalan-persoalan kecil yang harus dipecahkan. Kalau
Sekar Mirah kehilangan sifat keibuannya, maka tidak mustahil akan terjadi
pertempuran kecil-kecilan di dalam lingkungan keluarga itu. Kalau keduanya
kemudian lupa diri, akibatnya akan berbahaya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti sikap Widura, karena mau tidak mau pemimpin
pasukan Pajang di Sangkal Putung itu kelak akan berkepentingan. Sumangkar
bukannya tidak tahu hubungan yang ada antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Sebagai paman Agung Sedayu, Widura ingin mendapat gambaran yang baik bagi
kemenakannya kelak. Karena itu, Sekar Mirah yang apabila tidak ada perubahan
sikap dari kedua anak muda itu, akan menjadi menantu kemenakannya,
diharapkannya akan menjadi seorang isteri yang baik, seorang ibu yang dapat
mengerti tentang kedudukannya sebagai seorang ibu. Widura tahu benar
sifat-sifat Agung Sedayu. Sifat yang lebih banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat
kanak-kanak yang dekat dengan ibunya.
“Angger Widura,” berkata
Sumangkar kemudian, “aku akan berusaha sejauh mungkin, bahwa ilmu tata bela
diri yang akan dipelajarinya tidak menghilangkan sifat-sifat keibuannya. Angger
benar, bahwa apabila seorang gadis telah kehilangan sifat-sifatnya, maka ia
tidak akan dapat menjadi ibu yang baik kelak. Padahal hari depan dari
Kademangan ini dan dari seluruh Pajang, terletak ditangan angkatan yang bakal
datang. Dan angkatan yang bakal datang itu akan lahir dari ibu-ibu.”
“Tepat,” sahut Widura, “kalau
ibu-ibu tidak lagi dapat berbuat seperti seorang ibu, maka apakah yang akan
terjadi pada masa-masa mendatang? Bagaimanakah dengan anak-anak yang bakal
dilahirkan? Meskipun tidak seluruhnya akan dibebankan pada pertanggungan jawab
seorang ibu, tetapi orang yang terdekat dari kanak-kanak dimasa kecilnya adalah
ibu. Ibulah yang pertama-tama meletakkan dasar kejiwaan pada kanak-kanak itu.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi agak berlega hati karena ternyata
Sumangkar dapat mengerti maksudnya, bahkan Widura pun telah menambah penjelasan
sesuai dengan keinginannya.
“Mudah-mudahan Sekar Mirah
tidak melepaskan diri dari tanggungjawab itu. Kelak, kalau ia menjadi seorang
ibu, ia tidak hanya sekedar menjadi seorang ibu tanpa menghiraukan keibuannya.
Apapun yang dapat dilakukan di luar dinding halaman rumahnya, tetapi yang
terpenting adalah rumah itu bagi seorang ibu. Kita tidak akan dapat berbicara
tentang angkatan mendatang tanpa berbicara tentang orang tua-tua yang mengisi
angkatan kini. Kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti tanpa berbicara
tentang angkatan sebelumnya, Argapati, isterinya dan Ki Tambak Wedi. Dan kita
tidak akan dapat berbicara tentang angkatan mendatang tanpa berbicara tenang
anak-anak muda kini. Semakin tipis perhatian kita terhadap angkatan mendatang
karena kesibukan kita dengan persoalan kita sendiri, maka semakin suramlah
masa-masa mendatang itu,” gumam Widura seolah-olah ditujukan kepada diri
sendiri. Dan tiba-tiba saja mendesak di dadanya kerinduannya kepada
keluarganya. Apakah ia termasuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab kepada
masa datang karena tidak sempat mendidik anak-anaknya? Dalam melakukan
kewajibannya sebagai seorang prajurit, maka ia lebih banyak berada di luar
rumahnya.
“Tetapi aku percaya kepada
istriku,” desis Widura di dalam hatinya. “Istriku mengerti akan tugasku. Ia
telah menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang istri prajurit. Ia telah
menyisihkan segala macam kesenangan diri, meskipun istriku masih terhitung
belum terlampau jauh dari masa-masa mudanya.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi tidak semua istri dari mereka yang tidak sempat berada di
lingkungan keluarganya berbuat baik. Istri-istri yang terlampau sering
ditinggalkan oleh suaminya, karena tugas-tugasnya, dan kemudian istri-istri itu
tenggelam dalam kesibukan sendiri, maka anak-anak yang lahir dari keadaan yang
demikian itu kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dan anak-anak itu akan
melakukan apa saja yang disenanginya. Baik atau buruk.
Demikianlah, maka Ki Demang
Sangkal Putung telah mempercayakan Sekar Mirah kepada Sumangkar. Ki Demang
Sangkal Putung suami istri mengharap, bahwa Sumangkar akan benar-benar berhasil
membuat anaknya menjadi seorang gadis yang mempunyai kecakapan yang baik untuk
membela dirinya, tetapi tanpa melepaskan diri dari suasana kegadisannya.
Ternyata kepercayaan ini
menjadi terlampau berat bagi Sumangkar. Apalagi pada dasarnya Sekar Mirah
adalah seorang gadis yang terlampau manja, terlampau menghargai dirinya sendiri
melampaui orang Iain. Namun dengan sabar dan tekun Sumangkar menuntunnya.
Seperti yang dilakukan oleh
Kiai Gringsing, Sumangkar setiap kali membawa Sekar Mirah ke Gunung Gowok yang
kecil. Disamping puntuk itulah Sekar Mirah mulai menekuni ilmu yang diberikan
oleh Sumangkar. Karena Sekar Mirah sama sekali belum mengenal ilmu semacam itu,
maka Ki Sumangkar terpaksa menuntunnya dari permulaan sekali.
Tetapi Sekar Mirah benar-benar
seorang gadis yang mentakjubkan. Tekadnya yang bulat telah banyak membantunya.
Apapun yang harus dilakukan, dilakukannya dengan baik tanpa menghiraukan
keadaan dirinya. Gadis itu seolah-olah tidak mengenal lelah. Tenaganya ternyata
cukup kuat. Yang terpenting dari segalanya adalah kemauannya yang
menyala-nyala.
Ia tidak mau untuk seterusnya
selalu dihantui saja oleh Sidanti. Ia tidak mau bahwa pada suatu ketika ia akan
diculik dan disembunyikan. Bahkan mungkin Sidanti yang telah kehilangan akal
akan menjadi buas. Tidak saja menculik dan menyembunyikan, tetapi ia tidak mau
membiarkan Sekar Mirah hilang lagi dari tangannya.
Itulah yang mendorong Sekar
Mirah keras tanpa mengenal lelah. Kapan saja gurunya menyuruhnya. Dan apa saja
yang harus dilakukannya. Hasratnya yang sangat besar telah membuatnya menjadi
seorang murid yang sangat patuh. Seorang murid yang dengan tekun dan
sebaik-baiknya melakukan perintah gurunya. Tetapi yang paling menarik bagi
Sekar Mirah adalah latihan-latihan jasmaniah. Ia tidak begitu tertarik kepada
nasehat-nasehat gurunya, meskipun tampaknya gadis itu mendengarkan dengan baik
segala petuah Sumangkar.
Tetapi Sumangkar yang tua
itupun cukup tajam menangkap sikap muridnya. Karena itu ia tidak pernah
mempergunakan waktu-waktu yang khusus untuk memberikan petunjuk kepada Sekar
Mirah tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Sebab jika demikian, maka
Sekar Mirah menjadi gelisah. Ia ingin gurunya segera selesai dengan petunjuk-petunjuknya.
Ia tergesa-gesa untuk segera mulai dengan latihan-latihan jasmaniah dan
petunjuk-petunjuk tentang latihannya.
Sumangkar menyelipkan
nasehat-nasehatnya justru pada saat Sekar Mirah sedang dibakar oleh gairah
latihannya. Setiap kali, tidak jemu-jemunya. Setiap kali Sumangkar
mempergunakan waktu-waktu yang sebaik-baiknya untuk kepentingan hari depan
Sekar Mirah itu sendiri. Sumangkar tahu, bahwa kemauan yang keras dari gadis
itu, selain karena sifatnya yang memang keras, juga karena dendam yang membakar
dadanya. Dendam dan kecemasan, bahwa Sidanti akan datang lagi untuk
mengambilnya. Tetapi bukan saja itu, bukan saja dendam dan kecemasan. Sekar
Mirah juga diamuk oleh perasaan kecewanya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu,
orang yang telah berhasil menangkap hatinya, tetapi tidak bersikap seperti yang
dikehendakinya. Ia ingin kelak menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa meskipun
ia bukan seorang laki-laki, tetapi ia akan dapat lebih bersikap jantan daripada
Agung Sedayu yang seolah-olah selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan
kebimbangan. Agung Sedayu yang diharapkannya itu ternyata tidak memberi
kepuasan sikap kepadanya. Kepergiannya sama sekali tidak membayangkan tekadnya
yang membaja untuk menangkap Sidanti, hidup atau mati. Bahkan yang diucapkannya
adalah, “Mudah-mudahan aku selamat Mirah.”
“O ,” Sekar Mirah setiap kali
berdesis, “kalau kau hanya ingin selamat Sedayu, baiklah kau tinggal di dapur,
menanak atau mengupas kulit melinjo. Tetapi tidak bagi laki-laki jantan. Ia
tidak hanya sekedar berbuat supaya selamat. Tetapi seorang laki-laki harus
berteriak lantang sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. ‘Gunung akan aku
runtuhkan, dan laut akan aku keringkan.’ Tetapi Agung Sedayu tidak berkata
demikian. Tidak.” Sekar Mirah kian kecewa karena angan-angannya sendiri, lalu,
“Biarlah aku lah kelak yang akan berkata kepadanya: Akulah yang akan membawa
kepala Sidanti kepadamu, kakang.”
Semula, Sumangkar yang tua itu
memang dirambati oleh kecemasan melihat dendam yang membara dihati Sekar Mirah.
Ternyata latihan-latihan dan hasratnya telah didorong oleh perasaannya itu.
Tetapi Sumangkar akhirnya menemukan juga cara, setidak-tidaknya untuk
mengurangi api dendam yang telah mendidihkan darah gadis Sangkal Putung itu.
Betapapun lambatnya.
Sementara itu, tiga sosok
tubuh yang berjalan tertatih-tatih berada di dalam padatnya hutan Mentaok.
Semakin lama semakin jauh. Wajah-wajah mereka yang tegang membayangkan dendam
yang menyala di dalam dada mereka.
Mereka adalah Ki Tambak Wedi,
Argajaya, dan Sidanti. Langkah mereka terasa terlampau berat, dan sekali-sekali
Sidanti bergumam di dalam mulutnya, “Kenapa kita tidak bertemu dengan
orang-orang gila yang sering menyamun di hutan ini ?”
“Untuk apa kau mencari
mereka?” bertanya gurunya.
“Aku ingin melepaskan perasaan
yang menekan dan hampir memecahkan dadaku.”
“Kau ingin membunuh, asal
membunuh saja?
“Supaya aku tidak mati karena
dadaku sendiri yang seolah-olah mencekik jalan pernafasanku.”
Gurunya tidak menjawab. Mereka
masih berjalan maju perIahan-lahan karena jalan yang mereka Ialui adalah hutan
yang padat, yang dipenuhi oleh bermacam-macam tumbuh-tumbuhanan yang paling
besar hingga yang paling kecil. Yang merambat dan berduri yang roboh malang
melintang.
“Perjalanan ini telah
benar-benar menyiksaku guru,” desis Sidanti itu kemudian.
“Aku sudah berkata kepadamu,
bahwa perjalanan yang kita lakukan sama sekali bukan perjalanan yang akan
memberi harapan bagi kita. Bukankah aku pernah mengatakan, apakah tidak lebih
baik berbuat sesuatu, tanpa mengganggu ayahmu Argapati.”
“Bukan, bukan itu maksudku
guru,” cepat-cepat Sidanti membantah. “Aku justru menjadi tersiksa karena
perjalanan yang sepi. Aku tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan perasaanku
yang menyesak ini.”
Gurunya tidak menyahut.
Dipandanginya kemladean yang menyangkut di cabang-cabang pepohonan. Kemladean
yang menjadi semakin rimbun, tetapi batang-batang yang ditempelinya menjadi
semakin keras.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
berdesis, “Bagaimana luka dipundakmu?”
“Sudah sembuh sama sekali
guru. Bekasnya sudah hampir hilang sama sekali.”
Kemudian mereka terdiam.
Argajaya sama sekali tidak bernafsu untuk ikut berbicara. Ia berjalan saja
sambil menundukkan kepalanya. Tetapi meskipun demikian, hatinya tidak juga dapat
melupakan dendam yang menyala. Kekalahannya yang terjadi berturut-turut
benar-benar telah membuatnya mendendam sampai keujung ubun-ubun.
Tetapi mereka adalah laki-laki
yang luar biasa. Laki-laki yang memiliki banyak kelebihan dari laki-laki lain.
Karena itu, maka betapapun lebatnya hutan Mentaok, namun mereka sama sekali
tidak gentar. Bahkan Sidanti menjadi terlampau kecewa karena perjalanan itu
dirasanya terlampau sepi dan menjemukan. Ia akan menjadi senang sekali
seandainya mereka bertemu dengan sekelompok penyamun.
Namun mereka tidak
menjumpainya.
Meskipun Ki Tambak Wedi dan
Argajaya tidak berkata sesuatu, tetapi mereka menjadi heran pula, bahwa hutan
ini serasa terlampau sepi. Biasanya, meskipun hanya sekali dua kali, mereka
pasti bertemu dengan gerombolan-gerombolan penyamun yang selalu mengganggu
diperjalanan.
Tetapi kali ini, sejak mereka
memasuki hutan Tambak Baya serasa hutan-hutan ini menjadi sesepi tanah
pekuburan.
“Kemanakah orang-orang yang
biasanya berkeliaran di hutan-hutan ini? Daruka misalnya? Apakah mereka telah
mati semuanya saling berkelahi diantara mereka?” desis Ki Tambak Wedi di dalam
hatinya. Tetapi pertanyaan itu tidak dapat dicari jawabnya. Penyamun-penyamun
yang paling kecilpun sama sekali tidak mereka jumpai pula diperjalanan itu.
Namun sejenak kemudian
angan-angan Ki Tambak Wedi sudah tidak lagi terikat kepada hutan yang sedang
dilaluinya. Berbeda dengan Sidanti, yang menyimpan harapan didalam dirinya.
Semakin dekat dengan kampung halamannya, ia menjadi semakin segar. Tetapi
kening Ki Tambak Wedi tampak semakin berkerut-merut. Banyak sekali persoalan
yang bergulat didalam dirinya. Keragu-raguan, cemas, gelisah dan
ketidaktentuan. Setiap kali teringat olehnya nama Argapati, maka setiap kali
dadanya berdesir.
“Kita akan segera keluar dari
hutan ini guru,” gumam Sidanti kemudian.
Seperti orang yang tersedar
dari mimpi yang mencemaskan, Ki Tambak Wedi menyahut, “Ya, ya. Kita akan segera
keluar dari hutan ini.”
“Kita akan segera dapat
melepaskan diri dari siksaan dendam yang mencengkam dada kita,” Argajaya yang
tidak banyak berbicara disepanjang perjalanan itu menyambung.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Tetapi wajahnya dilukisi oleh kebimbangan hatinya yang semakin dalam.
“Bukan demikian Kiai ?”
bertanya Argajaya.
“Ya, ya, demikianlah
hendaknya.”
“Apakah Kiai masih juga
ragu-ragu”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab.
“Aku mengenal kakang Argapati
luar dan dalamnya. Aku adalah adiknya. Kakang Argapati adalah seorang yang
percaya kepada diri sendiri. Orang yang memiliki pengamatan yang tajam terhadap
persoalan yang dihadapinya. Kalau Sidanti kelak mengatakan apa yang telah
terjadi, dan Kiai membenarkannya, maka aku tidak akan ragu-ragu. Sidanti adalah
putera satu-satunya bagi kakang Argapati. Ada seorang saudaranya, tetapi ia
adalah seorang gadis. Dan kebanggaan kakang Argapati pasti tertumpah kepada
Sidanti. Itulah sebabnya maka Sidanti diserahkannya kepada Kiai, karena kakang
Argapati merasa bahwa Kiai lebih banyak menyimpan kemungkinan bagi Sidanti
dihari depannya.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itu tiba-tiba
meredup. Orang tua itu tidak berpaling kearah Argajaya dan muridnya. Tetapi
matanya menatap kekejauhan, menembus sela-sela dedaunan yang rimbun. Dan hatinyalah
yang menyahut tanpa diucapkannya. “Tidak. Kau tidak tahu Argapati seluruhnya,
meskipun kau adiknya.”
Argajaya heran melihat sikap
Ki Tambak Wedi. Kalau Argapati telah menyerahkan Sidanti ke dalam tangannya,
berarti Argapati mempunyai kepercayaan yang besar kepadanya. Dari hal itu
terjadi karena Argapati pasti sudah mengenal Ki Tambak Wedi dengan baik dan
sebaliknya. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi kini sedang dicengkam oleh
kebimbangan.
“Mungkin Ki Tambak Wedi merasa
bahwa ia telah gagal membentuk Sidanti menjadi seorang yang berpangkat di dalam
tata keprajuritan Pajang,” berkata Argajaya di dalam hatinya, “tetapi hal itu
sangat tergantung kepada banyak hal. Tidak dapat disalahkan kepada Ki Tambak
Wedi sepenuhnya.”
Sejenak mereka kemudian saling
berdiam diri. Kadang-kadang mereka diganggu oleh suara binatang-binatang hutan
yang maraung dikejauhan. Tetapi sebagian besar dari mereka, binatang-binatang
buas itu, keluar dari sarang mereka di malam hari.
Dalam keheningan itu terdengar
Sidanti bergumam. “Kalau kita sudah keluar dari hutan ini, maka kita akan
berjalan lebih cepat. Tetapi sebelum kita masuk ke Menoreh, kita harus menjadi
orang-orang yang pantas berjalan di tanah perdikan ayahku itu.”
“Kau akan mencari pakaian
disepanjang jalan?” bertanya Argajaya.
“Ya, tidak hanya untuk aku
sendiri, tetapi untuk Guru dan Paman juga.”
Argajaya tidak menyahut lagi
sedang gurunyapun masih berdiam diri. Dengan pakaian mereka yang kumal itu
ternyata mereka tidak terlampau banyak menarik perhatian orang. Hanya karena
mereka membawa senjata yang agak tidak lazim dibawa oleh orang-orang padesan
sajalah yang kadang-kadang membuat beberapa orang mengawasi mereka sampai
beberapa langkah. Orang-orang padesan, hampir setiap orang, memang selalu
membawa golok. Bukan saja senjata untuk menghadapi binatang-binatang buas yang
memang sering datang ke sawah dan ladang mereka, tetapi juga untuk memotong dan
menebas kayu. Golok atau parang itu selalu terselip di pinggang mereka di dalam
wrangka yang sederhana.
Tetapi ketiga orang ini
membawa senjata-senjata yang lain. Pedang, tombak pendek dan senjata yang
disembunyikan di dalam selongsong kain putih.
Beberapa orang dapat mencoba
menjawab pertanyaan yang bergelut di dalam dada mereka tentang ketiga orang
itu. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang hutan. Tetapi yang lain mencurigai
mereka sebagai orang-orang jahat yang berkeliaran mencari sasaran yang baik.
Tetapi apabila mereka telah
sampai di kampung halaman sendiri, maka pakaian yang kumal dan bernoda darah
itu akan justru menjadi pembicaraan. Mungkin mereka membuat tanggapan-tanggapan
kehendak mereka sendiri. Mungkin mereka mengagumi, tetapi mungkin mencurigai.
Perjalanan seterusnya di dalam
hutan itu hampir tidak menjumpai persoalan-persoalan yang berarti. Mereka hanya
menjumpai rintangan-rintangan alam yang ketat dan padat. Tetapi mereka tidak
bertemu dengan penyamun atau perampok-perampok kecil. Tetapi justru membuat
mereka menjadi heran.
Akhirnya mereka itupun keluar
dari hutan itu. Harapan Sidanti untuk bertemu dengan seseorang atau
segerombolan penyamun tidak terpenuhi sampai pohon yang terakhir mereka
lampaui. Sidanti tidak mendapat tempat untuk menumpahkan kemarah yang terendam
di dalam dada bersama dendam dan kebencian.
“Sidanti,” berkata gurunya
ketika mereka telah berada sebuah lapangan perdu. “Aku tidak ingin mengecewakan
kau. Tetapi aku juga tidak ingin perjalanan ini terganggu. Kau jangan mencari-cari
persoalan saja disepanjang jalan. Kau dapat berbuat sesuka hatimu di hutan
Mentaok terhadap gerombolan penyamun dan perampok. Tetapi kau tidak dapat
berbuat demikian dengan orang-orang lain yang akan kau jumpai diperjalanan ini.
Kita akan segera menginjak padesan dan pedukuhan. Beberapa Kademangan dan sudah
ada yang mengenal kau, atau angger Argajaya sebagai putera dan adik Kepala
Tanah Perdikan Menoreh. Kalau kau berbuat sesuka hatimu yang akan dapat
menyakitkan hati mereka, maka berita itu akan segera tersebar sampai kepada
orang Menoreh, mungkin akan sampai pula kepada keluargamu. Kepada ayahmu,
Argapati.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tetapi ia menjawab, “Aku masih memerlukan pakaian tiga pengadeg guru. Buat aku,
paman Argajaya, dan Guru.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Pendapat ini memang ada benarnya. Ia tidak akan dapat masuk ke
tlatah Menoreh dengan keadaannya. Karena itu maka ia tidak segera dapat
menjawab.
“Bagaimana Guru?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam, Tetapi persoalan itu telah memukul dadanya seperti tangan-tangan
yang keras dan kuat. Seorang yang mempunyai nama yang menakutkan dilereng
Gunung Merapi terpaksa melakukan perampasan yang tidak berarti sekedar untuk
berganti pakaian. Perbuatan itu tidak ubahnya dengan perbuaian pencuri-pencuri
ayam yang takut kelaparan Tetapi keadaannya memang memerlukannya.
“Apakah tidak ada jalan lain
Sidanti?”
“Membeli ? Atau menukarkan
senjata kita?” sahut Sidanti yang hampir-hampir tenggelam dalam arus
perasaannya.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam. Hampir-hampir ia membentak anak muda yang kasar itu. Tetapi
ia sadar, bahwa Sidanti sedang dicengkam oleh kekecewaan yang bertubi-tubi.
Karena itu maka anak itu akan dapat menjadi semakin berputus asa apabila ia
ikut pula menyakitkan hatinya.
Sesaat kemudian orang tua itu
bertanya, “Lalu cara apakah yang akan kau lakukan Sidanti, seperti caramu yang
pernah kau perbuat untuk mendapatkan bajumu itu?”
“Aku akan berbuat baik guru,
tetapi kalau orang itu menentang maksudku, maka aku akan berbuat dengan
kekerasan.”
“Hem,” sekali lagi Ki Tambak
Wedi menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak melihat cara lain,”
gumam Sidanti.
Ki Tambak Wedi tidak menyahut
lagi. Akhirnya ia tidak lagi mau memikirkannya. Kepalanya sendiri sudah cukup
pening memikirkan apa yang akan terjadi nanti sesudah ia bertemu dengan
Argapati. Pertemuan yang menggetarkan jantungnya. Banyak persoalan-persolan yang
terpendam di dalam dadanya. Tetapi apakah dengan kegagalan Sidanti ini, ia
tidak akan menjadi semakin terdesak ke dalam keadaan yang paling menyakitkan
hati?
Mereka kemudian berjalan
sambil berdiam diri. Masing-masing menyelusuri angan-angan sendiri. Tetapi ada
kesamaan di antara mereka, kecewa, dendam, benci, dan kecemasan menghadapi masa
datang.
Di sepanjang jalan, Sidanti
mencoba untuk menemukan rumah yang mungkin dapat dimasuknya. Rumah yang di
dalamnya tersimpan pakaian yang diperlukan. Tetapi agaknya rumah yang
bertebaran di padukuhan-padukuhan dan padesan-padesan kecil yang dilampauinya,
tidak lebih dari rumah-rumah petani yang kekurangan.
“Gila,” gumamnya, lalu,
“apakah tidak ada seorangpun yang cukup mampu untuk menyimpan tiga pengadeg
pakaian?“
Gurunya dan pamannya tidak
menyahut. Betapapun juga perasaan mereka masih terlampau berat untuk melakukan
perampasan yang hina itu.
“Aku sudah tidak peduli lagi,”
geram Sidanti, “tetapi aku harus masuk ke tanah ayahku sebagai putera Kepala
Daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Tetapi disepanjang perjalanan
mereka, mereka benar-benar tidak menjumpainya. Padesan demi padesan, sehingga
mereka telah menjadi semakin dekat dengan tlatah Menoreh.
“Gila,” Sidanti menjadi
semakin jengkel. “Di depan kita terbentang hutan rindang. Hutan perburuan dari
keluarga kita. Kalau aku belum mendapatkan pakaian, bagaimanakah kalau aku
bertemu dengan keluarga Menoreh di perburuan itu.”
“Kalau demikian, tidak
apa-apa,” sahut Argajaya, “adalah kebetulan sekali. Mereka akan dapat mengerti
keadaan kita yang sebenarnya. Merekalah yang harus mencari pakaian untuk kita
sebelum orang-orang Menoreh melihat kita. Kita masuk ke Tanah Perdikan kita
sebagai seorang anggota keluarga kakang Argapati.”
“Tetapi apa kata Ayah tentang
kita?”
“Tidak apa-apa. Justru kakang
Argapati akan mengerti yang sebenarnya telah terjadi dan mempercepat tindakan
yang akan diambilnya.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih juga heran melihat gurunya berwajah semakin muram.
Gurunya sama sekali tidak membayangkan harapan bahwa setelah mereka sampai di
Menoreh maka mereka akan menemukan suatu kekuatan untuk melepaskan dendam yang
membara di pusar jantung mereka. Bahkan semakin dekat dengan Pegunungan
Menoreh, maka ia menjadi semakin diam dan penuh dengan kebimbangan.
Ternyata teka-teki itu telah
menggelisahkan hati Sidanti pula. Namun Sidanti tidak akan dapat memaksa
gurunya untuk mengatakan. la masih tetap menyangka bahwa gurunya merasa cemas
tentang nasibnya, karena ternyata ia tidak dapat maju dalam keprajuritan
Pajang, bahkan kini ia tersingkir sebagai buruan.
Satu-satu padesan telah mereka
lampaui. Akhirnya mereka sampai ke hutan yang tidak begitu lebat. Hutan yang
sengaja dipelihara untuk menjadi tempat berburu keluarga Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.
Sidanti mengenal daerah ini
sebaik-baiknya. Ia sendiri sering melakukan perburuan di hutan ini dahulu,
ketika ia masih terlampau muda, sebelum ia mengikuti gurunya ke padepokan
Tambak Wedi. Meskipun itu telah bertahun-tahun lampau tetapi seolah-olah baru kemarin
terjadi. Derap kaki-kaki kudanya dan beberapa orang pengiringnya memecah
kesunyian butan ini. Beberapa ujung panah berterbangan mengejar
binatang-binatang buruan yang berlari ketakutan.
“Hem,” Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. “Itu telah terjadi beberapa tahun yang lampau. Paman masih muda
dan cekatan. Aku masih terlampau muda,” katanya di dalam batin.
Sidanti menggigit bibirnya
seperti kenangan yang menggigit jantungnya. “Menyenangkan sekali,” desisnya.
Namun kemudian Sidanti
meninggalkan tanah perdikan ini. Meninggalkan ayahnya, tanah kelahiran dan
kawan-kawan bermain lebih dari sepuluh tahun yang lampau.
Seolah-olah terngiang kembali
pesan ayahnya ketika ia telah siap berangkat bersama gurunya ke padepokan
Tambak Wedi, “Sidanti, kau adalah harapan masa depan dari Tanah Perdikan ini.
Kau harus mampu membawa dirimu. Kau harus menurut segala petunjuk dan perintah
gurumu, supaya kau tidak tersesat jalan.”
“Ah,“ Sidanti mengeluh. Apa
yang sudah terjadi atas dirinya? Siapakah yang bersalah? Sidanti sendiri, atau
gurunya, atau kedua-duanya?
Sidanti tidak berani mencari
jawab. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir kenangan yang
mengejar-ngejarnya. Ia ingin berdiri diatas kenyataannya. Dan ia akan melangkah
ke depan dari keadaan yang ada kini. Ia tidak dapat berangan-angan dan tidak
dapat melangkah surut kebeberapa tahun yang lampau. Tidak. Ia harus maju,
seperti majunya waktu.
Sidanti tersadar ketika ia
mendengar Argajaya berkata, “Kita harus bermalam di jalan semalam lagi, Kiai.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Ngger. Tetapi kalau kita ingin
berjalan tanpa diketahui orang, justru dimalam hari.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya Kiai, di malam hari kita dapat berjalan dengan aman,
tanpa diketahui oleh siapapun juga. Sebelum fajar kita akan sudah sampai di
rumah kakang Argapati.”
Tetapi tiba-tiba Sidanti itu
memotong, “Tetapi aku tidak ingin masuk ke halaman rumah ayahku dengan keadaan
serupa ini. Aku harus pantas menjadi seorang anak yang tidak memalukan orang
tua. Mungkin para peronda melihat kita, dan mereka akan berbicara kepada
orang-orang lain. Tidak sampai sehari semalam seluruh tanah perdikan akan
berkata, ‘Sidanti datang ke rumahnya kembali sebagai seorang pengemis yang
paling malang.’ Tidak, aku tidak mau.”
“Lalu apa yang akan kau
lakukan? Merampas pakaian di tanah sendiri?”
“Aku dapat menyamar. Menutup
mukaku dengan ikat kepala supaya aku tidak dikenal orang.”
“Mungkin karena kau sudah lama
tidak berada di tanah ini. Tetapi bagaimana dengan aku?”
“Paman tidak perlu ikut.
Biarlah aku lakukan sendiri.“
“Kau memang keras kepala
Sidanti.” desis gurunya. Sidanti tidak menyahut. Tetapi gurunya menangkap sorot
matanya. Ia tidak akan mengurungkan niatnya yang seolah-olah telah bulat,
mencari pakaian yang baik untuk mereka bertiga.
“Bukan main anak ini,” desah
Argajaya di dalam hatinya. Mereka telah berada di tlatah tanah sendiri.
Bagaimana mungkin mereka dapat melakukannya. Apabila kemudian diketahui, bahwa
yang melakukan itu adalah Sidanti, putera Argapati Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, lalu dimana Argapati harus menyembunyikan wajahnya.
Tetapi Sidanti benar-benar
tidak mau mundur.
Ketika matahari menjadi
semakin dalam terbenam di balik cakrawala, mereka telah sampai di ujung hutan
itu. Sejenak lagi mereka akan keluar dan sampai ke padesan tlatah Menoreh. Padesan
yang subur, yang diantara penghuninya ada beberapa orang yang cukup memberi
kesempatan kepada Sidanti melakukan niatnya.
“Anak ini tidak dapat dicegah
lagi,” desis Argajaya, “mudah-mudahan anak ini tidak melakukannya di rumah Kiai
Sentol. Orang itu mengenal baik-baik siapakah aku. Aku sering singgah di
rumahnya jika aku pergi berburu. Bahkan kakang Argapatipun tinggal di rumah itu
pula untuk beristirahat setiap kali ia pergi berburu.”
“Kita berjalan terus guru,”
desis Sidanti. Ia sudah tidak lagi banyak membuat pertimbangan-pertimbangan.
Apalagi gurunya tidak sampai hati untuk menyakiti perasaan murid satu-satunya
itu, sehingga dibiarkannya saja muridnya itu untuk menentukan sikapnya.
“Semakin malam semakin baik. Aku akan mendapatkan pakaian itu. Siapa yang
mencoba menentang, harus aku selesaikan.”
“Pakaian itu akan dikenal
orang Sidanti. Bahwa pakaian itu milik seseorang. Apalagi kalau orang itu
mencarinya dan orang lain mengatakan bahwa pakaian itu dipakai oleh Sidanti,
pamannya, dan gurunya,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kita berjalan di malam hari.
Sebelum pagi kita harus sudah sampai di rumah. Dan kita akan segera mengganti
pakaian yang kita rampas itu, untuk dibakar.”
Ki Tambak Wedi hanya dapat
menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban muridnya. Sidanti memang keras
kepala. Ia benar-benar tidak mau masuk ke halaman rumahnya dengan pakaian yang
tidak pantas. Harga dirinya telah memaksanya untuk berkeras kepala, meskipun
cara yang akan ditempuhnya dapat justru berakibat sebaliknya. Tetapi gurunya tidak
akan dapat mencegahnya. Karena itu, maka sekali lagi Tambak Wedi membiarkannya
saja berbuat sesuka hatinya, seperti yang dikehendakinya. Sikap Ki Tambak Wedi
yang demikian, yang berulang kali telah dilakukan, untuk menanggapi
persoalan-persoalan yang kecil maupun yang besar yang dilakukan oleh Sidanti,
ternyata menjadi pendorong bagi anak itu untuk menjadi semakin keras kepala.
Sejenak kemudian mereka
terdiam. Hanya Iangkah-langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik di atas
tanah berbatu-batu. Sekali-sekali angin malam yang dingln berhembus mengusap
tubuh-tubuh mereka yang berkeringat.
“Daerah ini masih belum banyak
berubah sejak saat terakhir aku menjenguk keluargaku beberapa tahun yang lalu,”
desis Sidanti kemudian untuk menghilangkan ketegangan yang mencengkam
jantungnya.
“Ya,” sahut pamannya, “belum
banyak perubahan. Jalan ini masih juga berdebu. Padesan yang kita lalui adalah
padesan seperti lima tahun yang lalu.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia bergumam , “He, bukankah di ujung padesan ini ada sebuah rumah
joglo yang besar dan baik?”
Dada Argajaya berdesir. Rumah
joglo di ujung padesan ini adalah rumah Ki Sentol.
“Bukankah begitu pamam? Rumah
itu cukup besar dan cukup bersih, sehingga isinyapun aku kira cukup banyak. He,
bukankah kita pernah singgah di rumah itu pada saat-saat kita berburu dahulu?”
“Selalu Sidanti. Ayahmu selalu
singgah di rumah itu apabila pergi berburu. Bahkan sekali-sekali bermalam pula
disitu. Aku selalu singgah pula di rumah itu.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba pula ia berdesis, “Aku akan mencari pakaian di rumah itu.”
“Sidanti,” dengan serta merta
pamannya memotong, “jangan.”
“Kenapa?”
“Rumah itu selalu didatangi
oleh keluarga ayahmu. Rumah itu seolah-olah telah menjadi pesanggrahan bagi
keluarga kita apabila kita pergi berburu di hutan perburuan itu. Kau jangan
menyakiti hatinya. Ia akan dapat menyampaikannya kepada kakang Argapati. Dan
kau pasti tahu, bahwa kakang Argapati tidak senang kepada perbuatan-perbuatan
yang demikian.”
“Tetapi orang itu tidak akan
tahu siapa aku.”
“Jangan. Meskipun orang itu
tidak tahu siapa kau karena kau dapat menutup wajahmu dengan ikat kepalamu
misalnya atau dengan apapun, tetapi seandainya perbuatanmu itu tidak dapat
diketahui orang meskipun lambat laun, maka kau pasti akan menyesal.”
“Bagailmana akan dapat
diketahui Paman? Sudahlah, jangan menjadi cemas. Aku tidak akan merampok apapun
kecuali tiga pengadeg pakaian. Sesudah itu, kita akan berjalan dimalam hari.
Kita masuk ke halaman rumah untuk menemui ayah sebagai orang-orang yang pantas
menyebut dirinya keluarganya. Keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“Terserah kepadamu Sidanti. Tetapi
jangan di rumah itu.”
“Aku tidak ingin kehilangan
kesempatan kali ini, Paman. Kalau aku melepaskannya, mungkin untuk waktu yang
lama aku tidak akan menemukan rumah sebaik itu. Semakin dekat dengan rumahku,
maka aku akan menjadi kian sulit. Orang-orang di situ akan menjadi semakin
besar kemungkinannya untuk mengenal aku.”
Argajaya menarik nafas dalam?
Anak ini memang keras kepala.
“Sidanti, kalau kau hanya
ingin tiga pengadeg pakaian saja maka aku kira kau tidak perlu masuk ke rumah
joglo di ujung padesan itu. Rumah-rumah di desa ini cukup baik dan kemungkinan
kau menemukan pakaian itu cukup besar.”
“Tetapi pakaian-pakaian kumal
seperti yang kita pakai ini. Tidak. Aku harus mendapat pakaian yang pantas
dipakai oleh seorang putera Kepala Tanah Perdikan, Pamannya, dan Gurunya.”
“Terserahlah kepadamu. Aku
tidak akan ikut serta.”
“Akan aku lakukan sendiri.
Paman dan Guru sebaiknya menunggu saja di tempat yang terlindung. Aku yakin
orang itu tidak akan mengenal aku.”
Argajaya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Anak ini memang anak bengal. Sejak kanak-kanak.
Rupanya Sidanti benar-benar
akan melakukan maksudnya. Ketika mereka telah sampai di dekat rumah ujung
jalan, yang terpancang di tengah-tengah halaman yang luas, ia berhenti.
Kemudian dilepaskannya ikat kepalanya untuk menutupi wajahnya. Perlahan-lahan
ia berdesis, “Tunggulah aku di luar desa ini paman. Aku akan membawa pakaian
untuk paman dan guru. Aku akan masuk ke rumah ini untuk mencarinya.”
“Sidanti,” nada suara gurunya
terlampau datar dan dalam. Sesuatu agaknya telah terlampau memberati hatinya.
“Aku kira kau tidak hanya sekedar ingin masuk ke rumahmu sebagai seorang putera
Argapati yang besar itu. Tetapi hatimu juga telah dikoyak oleh dendam yang
tidak dapat kau tahankan lagi. Tetapi Sidanti. Aku pesan kepadamu, jangan
berbuat-terlampau kasar. Tanah ini, adalah tanah ayahmu. Tanahmu sendiri. Dan
kau telah sampai hati untuk menodainya. Kau telah terlampau mementingkan dirimu
sendiri. Sidanti, jangan sampai kau terdorong oleh dendam di dalam dadamu
sehingga kau kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu yang semakin
menambah parah luka di dalam hati kita, supaya aku tidak kehilangan kesabaran
dan bertindak sendiri atasmu yang keras kepala itu.”
Dada Sidanti berdentang
mendengar ancamah gurunya itu. Sejenak wajahnya memerah seperti soga. Tetapi
wajah itu kemudian menjadi pucat dan berkeringat. Ia sadar, bahwa gurunya telah
hampir kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia tidak berani membantahnya. Ia
kenal benar sifat gurunya. Apabila ia kehilangan pengamatan diri, maka ia pasti
benar-benar akan bertindak.
Karena Sidanti tidak segera
menjawab, Ki Tambak Wedi menggeram, “Kau mengerti Sidanti?”
“Ya Guru,” sahut anak muda
itu.
Ki Tambak Wedi kemudian tidak
berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat, diikuti oleh Argajaya. Mereka
seolah-olah tidak menghiraukan lagi, apa yang akan dilakukan oleh Sidanti.
Sidanti masih berdebar-debar
mengingat kata-kata gurunya. Tetapi ia merasa, bahwa gurunya masih memberinya
kesempatan. Karena itu, maka ia tidak mengikuti gurunya keluar dari desa. Ia
tetap pada niatnya untuk mendapatkan pakaian, supaya ia pantas masuk ke dalam
rumah ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar dan kaya.
Sidanti kemudian berdiri
termangu-mangu di muka regol halaman yang luas itu. Sejenak ia masih melihat
bayangan gurunya dan pamannya berjalan menjauh. Tetapi bayangan itu kemudian
seolah-olah lenyap ditelan gelap.
“Mereka akan menunggu aku di
luar desa ini,” gumam Sidanti.
Ketika kedua bayangan itu
telah hilang, maka terasa dada Sidanti menjadi lapang. Seolah-olah ia sudah
tidak terikat lagi kepada kedua orang itu. Kini ia merasa bebas untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya.
Sejenak ia berdiri tegak
memandangi pintu regol halaman yang tertutup. Terasa dadanya diganggu oleh
debar jantungnya yang menjadi semakin cepat. Tetapi sejenak kemudian ia sudah
berhasil menguasai perasaannya.
Perlanan-lahan ia melangkah
maju. Kini tubuhnya menjadi kemerah-merahan oleh sinar oncor yang terpasang di
regol halaman. Namun terasa halaman itu terlampau sepi. la tidak melihat
seorangpun yang berjalan di halaman. Sepi.
Dengan tangannya Sidanti
menyentuh pintu regol. Ternyata pintu regol itu tidak dipalang dari dalam.
Dengan hati-hati pintu itu didorongnya. Dan dengan hati-hati pula ia melangkah
masuk.
Halaman rumah itu benar-benar
sepi. Yang terdengar hanyalah gemerisik angin yang membelai dedaunan.
Sidanti merasa aneh. Ia adalah
seorang yang hampir tidak pernah diganggu oleh perasaan takut. Tetapi kali ini
merasakan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah diintai
oleh sepasang mata yang selalu mengikutinya di dalam gelapnya malam.
“Aku diganggu oleh
perasaanku,” katanya di dalam hati, “ini adalah akibat dari pesan guru dan
keragu-raguan Paman. Rumah ini adalah rumah Ki Sentol. Rumah seseorang yang
telah mengenal keluargaku dengan baik. Tetapi kalau aku lampaui rumah ini, maka
belum tentu aku akan menjumpai rumah seperti ini. Rumah yang menyimpan pakaian
yang pantas untuk kami bertiga.”
Sidanti masih berdiri tegak
ditempatnya. Kini ia menjadi ragu-ragu. Justru karena itu, maka perasaannya
menjadi semakin mengganggunya. Seolah-olah di balik kegelapan itu benar-benar
memancar sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya.
“Gila,” geram Sidanti, “aku
tidak takut. Biar seisi desa ini keluar dari rumahnya, mengeroyok aku
bersama-sama, aku tidak akan takut.” Terdengar anak muda itu menggeretakkan
giginya. Tetapi ia mendengar suara di dalam dirinya. “Ya, kau akan mampu
membunuh semua laki-laki seisi desa ini. Tetapi kalau masih ada yang hidup
seorang saja di antara mereka. Dan mengenal bahwa kau adalah Sidanti, putera
Kepala Tanah Perdikan ini, maka apakah kira-kira kata orang tentang dirimu,
tentang Sidanti putera Ki Gede Menoreh yang perkasa, yang disegani oleh
rakyatnya?”
Sidanti menggelengkan
kepalanya. Ia mencoba mengusir perasaan yang membelit jantungnya. Ia ingin
membebaskan dirinya dari kegelisahan dan kebimbangan.
“Aku harus dapat melakukannya.
Aku bukan laki-laki cengeng. Aku hanya memerlukan pakaian itu. Tidak yang
lain-lain.”
Sekali lagi Sidanti
menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia melangkah. Tetapi tidak mendekati pendapa
yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Dengan tergesa-gesa ia
meloncat ke tempat yang gelap terlindung oleh dedaunan.
“Setan,” ia menggeram, ”kenapa
aku bersembunyi. Aku harus naik ke pendapa. Mengetuk pintu dan berkata terus
terang. Aku membutuhkan tiga pengadeg pakaian yang baik. Itu saja. Sidanti
mencoba mengatur detak jantungnya. Disapunya halaman itu dengan sorot matanya.
Ia tidak melihat sesuatu. Ya, matanya tidak melihat sesuatu. Tetapi perasaannya
selalu memperingatkan kepadanya, bahwa sepasang mata sedang mengintainya.
“Siapa? Siapa?” giginya sekali
lagi bergemeretak.
Darahnya tersirap ketika
tiba-tiba ia dikejutkan oleh ringkik kuda dikejauhan. Di dalam kandang, di
belakang rumah.
“Gila,” ia menggeram pula, “suara
kuda itu mengejutkan aku. Kalau sekali lagi ia meringkik, aku patahkan
lehernya.”
Tiba-tiba debar di dadanya
semakin keras memukul dinding jantungnya. “Apakah Ki Sentol atau seseorang
anggota keluarganya sedang berada di kandang kuda itu?”
“Tidak. Aku harus datang
sebagai laki-laki. Aku harus mengetuk pintu dan berkata berterus terang.”
Sidanti kemudian membulatkan
tekadnya. la tidak akan gentar menghadapi apapun. Dengan langkah yang berat ia
berjalan ke pendapa. Tetapi meskipun demikian, ia seolah-olah merasa bahwa
seseorang sedang memandangnya. Firasat itu biasanya tidak terlampau jauh menyimpang.
Dan sebenarnyalah bahwa
sepasang mata yang tajam sedang memandanginya dari ujung gandok rumah itu, dari
tempat yang gelap.
Sepasang mata itu melihat
bayangan yang mencurigakan masuk ke dalam halaman. Meskipun tidak begitu jelas,
tetapi mata itu melihat bahwa bayangan yang masuk regol itu menutup wajahnya
dengan ikat kepalanya. Cahaya lampu yang redup di regol itu dan sinar yang
lemah yang meloncat dari pendapa, sedikit dapat membantunya.
Adalah kebetulan sekali bahwa
karena udara yang sesak ia berada di luar gandok rumah itu untuk mengisap
sejuknya nafas malam di antara dedaunan yang bergoyang disentuh angin yang
silir. Ketika ia melihat sesosok tubuh muncul dari balik pintu regol halaman,
maka segera ia meloncat dengan lincahnya ke tempat yang terlindung. Apalagi
ketika ia melihat orang yang masuk ke halaman itu terlampau mencurigakan.
Dengan tajamnya ia mengikuti
segala gerak Sidanti. Ia melihat Sidanti berdiri terrmangu-mangu. Ia melihat
Sidanti meloncat ke tempat yang gelap. Kemudian ia melihat Sidanti berjalan
lambat ke pendapa.
“Siapakah yang ingin berbuat
gila itu?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
Sejenak ia masih berdiri
mematung. Tetapi ia sama sekali tidak melepaskan Sidanti dengan pandangan
matanya yang bulat tajam.
Tanpa disengajanya tangannya
meraba lambungnya. Kiri dan kanan. Sepasang pedang yang tipis tergantung di
kedua belah sisi. Sepasang pedang yang hampir tidak pernah terlepas
daripadanya, meskipun ia sedang tidur sekali pun jika tidak di rumahnya
sendiri.
Dan malam ini ia tidak berada
di rumahnya sendiri, ia adalah tamu Ki Sentol, pemilik rumah itu. Ia mendapat
tempat di gandok bersama tiga orang temannya. Tetapi ia sendiri, berada di
biliknya. Ketiga kawannya berada di bilik yang lain, sehingga saat itu ia sendiri
pulalah yang berada di luar gandok.
Kini ia melihat Sidanti itu
berdiri di depan tangga pendapa. Ia melihat di lambung Sidanti itu pun
tergantung sebilah pedang. Tetapi ia tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi
di balik ikat kepalanya.
“Apakah aku harus menunggu
orang itu naik ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, atau berbuat apa
saja?” katanya di dalam hati.
Sejenak ia menjadi ragu-ragu.
Tetapi akhirnya ia berdesis lambat, “Aku harus mencegah sebelum ia naik. Lebih
baik aku selesaikan saja orang itu sendiri. Mudah-mudahan aku tidak memerlukan
kawan untuk menangkapnya dan menyerahkannya Kepada Ki Sentol nanti untuk
diselesaikan.”
Tetapi ternyata orang yang
bermata bulat tajam itu masih ragu-ragu. Apakah orang ini orang Ki Sentol
sendiri?
“Mustahil,” gumamnya,
“sikapnya dan tutup di wajahnya itu meyakinkan, bahwa orang itu bermaksud
jahat.”
Akhirnya orang itu membulatkan
hatinya. Ia harus menahan orang yang memakai tutup di wajahnya itu. Karena itu,
maka segera ia membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan bajunya, kain
panjangnya dan dikuatkannya ikat pinggangnya.
“Aku harus mendapat gambaran
tentang kemampuan orang itu,” katanya di dalam hati.
Maka diambilnya sebutir batu
kerikil sebesar biji rambutan. Dengan kerikil itu ia ingin mengetahui, siapakah
yang akan dilawannya.
Ketika ia sudah mendapatkan
kerikil itu, maka segera ia meloncat dari kegelapan. Dengan teguhnya ia berdiri
di alas kedua kakinya yang merenggang. Ia mengharap bahwa orang yang bertutup
di wajahnya itu mendengar langkahnya.
Ternyata harapannya tidak
sia-sia. Sidanti yang mendengar langkah halus itu segera meloncat, memutar
tubuhnya dan menghadap ke arah suara itu. Darahnya tersirap ketika ia melihat
sesosok bayangan berada di kegelapan.
Sebelum ia sempat berbuat
sesuatu, matanya yang tajam telah menangkap sebutir benda yang terbang dengan
kecepatan yang luar biasa menyambar dadanya.
Tetapi Sidanti adalah murid
satu-satunya dari perguruan Tambak Wedi. Sehingga kali ini pun ia sama sekali
tidak mengecewakan.
Betapa pun cepat terbang
sebutir batu kerikil itu, namun ternyata Sidanti mampu bergerak lebih cepat. Ia
menarik sebelah kakinya, dan dengan gerak yang tidak terlampau banyak, ia
memiringkan tubuhnya. Kerikil itu terbang senyari dari dadanya.
“Betapa tangkasnya,” berkata
orang yang melemparnya di dalam hatinya. Namun dengan demikian ia menyadari,
dengan siapa ia berhadapan. Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepala itu
ternyata seorang yang tangkas, setangkas kijang.
Tetapi orang itu tidak gentar.
Ketangkasan Sidanti merupakan peringatan baginya, bahwa ia harus berhati-hati.
Sidanti, yang berhasil
membebaskan dirinya dari sambaran batu kerikil, sejenak menjadi bingung. Bukan
karena ia menjadi cemas atau takut. Tetapi ia merasa bahwa seseorang melihatnya
dan langsung menyerangnya. Orang itu tidak memberinya banyak kesempatan. Dengan
hadirnya orang itu, maka rencananya menjadi bubrah. Gambaran di dalam otaknya
adalah dengan sekali bentak Ki Sentol akan menjadi ketakutan dan tidak banyak
persoalan lagi yang dikemukakan, langsung akan diberikannya tiga pengadeg
pakaian. Tetapi ternyata orang itu, yang berdiri di dalam keremangan malam
telah menyerangnya?
Sidanti menjadi ragu-ragu. Ia
mencemaskan dirinya bukan karena takut menghadapi sepasang pedang. Tetapi,
bagaimanakah kalau dirinya kemudian dikenal.
Dadanya menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia melihat bayangan yang membawa sepasang pedang di kedua
lambungnya itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya.
Sidanti, seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup, segera dapat mengetahui, bahwa orang yang berjalan itu
memiliki kepercayaan yang kuat kepada dirinya sendiri. Langkahnya yang tetap
dan pandangannya yang lurus ke depan. Tetapi jarak mereka masih belum terlampau
dekat. Karena itu, Sidanti masih belum dapat melihat bayangan itu dengan jelas.
Tetapi Sidanti tidak dapat
berpikir terlampau lama. Ia semakin di desak oleh kecemasan di dalam dirinya.
Ia sama sekali tidak takut menghadapi orang itu betapa tinggi ilmunya, yang
paling dicemaskannya adalah apabila kemudian dirinya dapat dikenali sebagai
Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka ia harus
segera mengambil keputusan. Ia harus segera berbuat sesuatu.
Ternyata sikap bayangan dalam
kegelapan yang masih melangkah satu-satu mendekatinya itu benar-benar telah
membakar dadanya. Kegelisahan yang bercampur-baur dengan darah mudanya, melihat
seseorang yang terlampau yakin kepada kekuatan sendiri, ternyata segera menyala
memanasi jantungnya. Meskipun demikian ia masih ingat pesan gurunya yang tajam
dengan ancaman. Karena itu, maka ia masih berusaha mengekang dirinya. Namun kegelisahan
yang paling tajam menghunjam di dadanya adalah kegelisahan tentang dirinya.
Bahwa ia adalah Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Hem,” desisnya kemudian, “aku
harus menutup mulutnya. Orang itu harus diam dan tidak usah turut campur dalam
persoalan ini. Orang-orang di rumah ini harus tidak tahu siapa aku. Kalau orang
ini mendapat kesempatan terlampau banyak ia akan dapat mengganggu rencanaku.”
Sidanti yang kebingungan itu
kemudian mengambil keputusan yang dirasanya paling aman. Meskipun ia masih
mengingat pesan gurunya namun ia perlu membuat orang ini diam, meskipun tidak
membunuhnya.
“Aku harus membuatnya pingsan
untuk waktu yang cukup lama.”
Dengan keputusan itu, maka
Sidanti tidak lagi menunggunya di halaman rumah itu. Selagi orang itu belum
masuk ke dalam cahaya lampu yang lemah di halaman, Sidanti segera meloncat
menyongsongnya.
“Mumpung masih berada di
kegelapan. Aku mengharap, ia tidak dapat mengenali sama sekali siapa aku.”
Ternyata orang itu terkejut
melihat sikap orang yang bertutup wajahnya itu. Ia tidak menyangka bahwa orang
akan menyerangnya. Karena itu, maka langkahnya terhenti.
Tetapi serangan Sidanti datang
terlampau cepat, sehingga kesempatan bayangan yang berpedang sepasang itu
sangat kecil. Serangan yang tidak terduga-duga dan gerak yang terlampau cepat,
membuatnya agak bingung. Karena itu, maka satu-satunya yang dapat dilakukannya
adalah menghindari jauh-jauh supaya ia mendapat waktu untuk mengatur
perlawanannya.
Dengan demikian maka orang itu
menjadi semakin masuk kembali ke dalam kegelapan. Loncatannya yang lincah dan
cepat, telah melemparkannya ke dalam bayangan yang kelam.
Tetapi Sidanti ternyata tidak
ingin memberinya kesempatan. Tanpa berkata sepatah kata pun serangannya datang
beruntun. Ia ingin menjatuhkan orang itu, membuatnya pingsan dan
meninggalkannya di dalam gelap. Ia ingin mendapat kesempatan untuk masuk ke
dalam rumah Ki Sentol dan segera meninggalkannya.
Serangan Sidanti yang datang
membadai itu telah mendorong lawannya semakin dalam. Orang itu berloncatan kian
kemari untuk menghindari serangan-serangan Sidanti. Tetapi ternyata geraknya
cukup cepat dan cekatan sehingga beberapa saat kemudian, ia telah menemukan
keseimbangan perlawanannya.
“Setan,” geram Sidanti. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan seseorang yang dapat
menghindari serangan-angannya yang datang beruntun. Ternyata orang ini memiliki
ilmu yang cukup untuk melawannya.
Dengan demikian Sidanti
menjadi semakin gelisah. Kalau ia tidak segera dapat menguasai lawannya, maka
akibatnya akan sangat menyulitkannya. Apabila datang orang-orang lain,
menyaksikan perkelahian itu, apalagi kemudian mengenalnya, maka ia akan
kehilangan namanya. Bahkan mungkin ayahnya pun akan terlampau marah kepadanya.
Juga gurunya sendiri, Ki Tambak Wedi.
“Aku harus segera berhasil,”
desisnya.
Tetapi perkelahian itu menjadi
semakin seru. Orang itu benar-benar dapat mengimbangi ketangkasan dan kecepatan
bergerak Sidanti.
Dalam kegelapan malam, dan
dalam kegelapan pikiran, Sidanti tidak sempat memperhatikan wajah orang itu. Ia
merasakan sesuatu yang agak aneh pada lawannya. Tenaganya tidak terlampau kuat,
tetapi kecepatannya melampaui kecepatan sambaran burung sikatan. Dalam
perkelahian yang segera menjadi semakin sengit, Sidanti belum dapat mengenali
ilmu yang dipakai oleh lawannya. Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa
orang ini sama sekali bukan murid Ki Tanu Metir. Bukan Agung Sedayu, apalagi
Swandaru, yang mempunyai ciri tubuh yang khusus dan akan langsung dapat
dikenalinya.
Sekali-kali Sidanti ingin juga
melihat wajah lawannya. Tetapi dalam gerakan-akan yang cepat, apalagi di dalam
kelamnya malam dan terlindung oleh dedaunan, maka wajah itu tidak segera jelas
baginya.
Semakin lama perkelahian itu
berlangsung, dada Sidanti menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahannya. Bahkan
kadang-kadang tumbuh samar-samar sifat-sifatnya yang keras. Sekali-kali
berdenyut di nadinya keinginan untuk membunuh saja lawannya itu. Dengan
demikian ia akan segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi setiap kali ia
selalu teringat kepada pesan gurunya. Pesan yang disertai dengan ancaman yang
tajam.
Karena itu, maka di samping
bertahan terhadap serangan-serangan lawannya yang cepat, Sidanti harus juga
bertahan terhadap perasaan sendiri. Ia harus berusaha untuk tetap sadar, bahwa
gurunya tidak ingin persoalan ini melibatkan dirinya ke dalam keadaan yang
semakin parah. Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati. Berbuat tanpa
kehilangan keseimbangan.”
Namun ternyata lawannya bukan
lawan yang dapat dianggapnya ringan. Sidanti sama sekali tidak menyangka, bahwa
di daerah ini dijumpainya seseorang yang memiliki kecakapan tata bela diri
setinggi itu. Kegelisahan yang membakar dada Sidanti semakin lama menjadi
semakin panas. Kadang-kadang terasa di dalam hatinya, penyesalan atas
keterlanjuran. Kini ia terlibat dalam keadaan yang sulit. Kalau ia kehilangan
pengamatan diri, maka mungkin ia akan melakukan perbuatan yang membuat gurunya
sangat marah kepadanya.
Sementara itu perkelahian
mereka menjadi semakin seru. Ternyata orang yang berpedang rangkap itu
benar-benar lincah. Langkahnya ringan dan cekatan. Serangan-serangannya
berbahaya, langsung menuju ke bagian tubuh Sidanti yang berbahaya.
“Bukan main,” Sidanti berdesah
di dalam dadanya, “seandainya guru tidak berpesan wanti-wanti.”
Namun seandainya demikian,
maka Sidanti pasti tidak akan dapat juga menyelesaikan perkelahian itu dengan
segera. Meskipun seandainya Sidanti mengerahkan segenap tenaganya, tanpa
mencemaskan nasib lawannya sekali pun, maka Sidanti pasti akan memerlukan waktu
yang lama.
Sekali-sekali timbul juga
niatnya untuk bertanya, siapakah orang yang telah mengganggu rencananya itu.
Tetapi ia takut, bahwa suaranya akan dapat dikenal, sehingga lawannya itu dapat
mengetahuinya, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi
tanpa bertanya kepada lawannya itu, ia selalu diganggu saja oleh pertanyaan di
dalam dadanya. “Siapakah orang ini, siapakah orang ini?”
“Tetapi,” gumam Sidanti
kemudian di dalam hati, “seandainya aku bertanya, orang itu pun pasti tidak
akan menyebut dirinya.”
Dengan demikian, Sidanti sudah
tidak ingin lagi bertanya atau mengucapkan sepatah kata pun. Ia takut kalau
justru dengan demikian orang itu dapat mengenalnya. Yang dilakukan kemudian
adalah mendesak lawannya sekuat kemampuannya. Ia harus dapat menguasainya,
menjatuhkannya dan membuatnya pingsan.
Tetapi lawannya ternyata tidak
menyerahkan dirinya begitu saja. Semakin sengit datangnya serangan-angan
Sidanti, maka perlawanan orang itu pun menjadi semakin gigih.
Ternyata, bukan Sidanti
sajalah yang diganggu oleh pertanyaan tentang lawannya. Orang yang berpedang
rangkap itu pun ternyata bertanya-tanya juga di dalam hatinya, siapakah orang
yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu? Orang itu pun sama sekali tidak
menyangka, bahwa rumah ini akan didatangi oleh seseorang yang memiliki ilmu
berkelahi yang demikian tinggi. Bahkan setelah mereka berkelahi beberapa lama,
orang itu mengakui di dalam hatinya, bahwa apabila perkelahian itu berlangsung
lama, ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya yang wajahnya
tertutup oleh ikat kepalanya.
“Tetapi aku belum tahu, apakah
ia juga seorang ahli bermain pedang,” desisnya di dalam hati.
Namun sampai sekian lama,
mereka berdua masih belum menarik pedang mereka dari wrangkanya.
Sidanti merasa bahwa pedang di
tangannya akan sangat berbahaya. Kalau ia kehilangan pengamatan diri maka akan
terulang lagilah nasib Plasa Ireng dan Alap-Alap Jalatunda. Tetapi apabila
demikian, kali ini gurunya pasti tidak akan memaafkannya lagi.
Tetapi akhirnya Sidanti tidak
dapat mengelak lagi. Ia terkejut ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja
telah menggenggam sepasang pedangnya di kedua tangannya. Geraknya terlampau
cepat, hampir tidak dapat dilihat oleh mata.
Dada Sidanti berdesir. Ia
sadar bahwa lawannya adalah seorang yang cakap mempergunakan senjatanya.
Ketika sejenak mereka
terhenti, Sidanti mencoba untuk mengamati wajah lawannya. Tetapi sekali lagi ia
terperanjat. Sebelum ia sempat memandang wajah itu, matanya telah melekat di
ujung pedang lawannya. Ujung pedang yang bergerak seperti tatit di udara
menyambar pundaknya.
Dengan dada yang
berdebar-debar Sidanti meloncat menghindari sambaran senjata itu. Tetapi
ternyata serangan itu tidak terhenti sampai sekian. Ujung pedang lawannya itu
pun segera mengejarnya. Hampir berbareng kedua mata pedang itu mematuk kedua
pundaknya.
Berkali-kali Sidanti harus
berloncatan menghindar sebelum akhirnya ia memutuskan, bahwa ia pun harus
mempergunakan pedangnya.
Demikianlah sesaat kemudian
keduanya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Sidanti dengan
pedang tunggal, sedang lawannya mempergunakan sepasang pedangnya yang tipis.
Dengan demikian maka
perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mampu bergerak
secepat kilat yang menyambar-nyambar. Keduanya lincah dan cekatan.
Dalam pada itu, perhatian
Sidanti terhadap lawannya semakin lama menjadi semakin besar. Ia melihat
beberapa kelainan pada lawannya itu. Lawannya hampir tidak pernah membentur
serangan. Sidanti menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak sebesar kekuatannya.
Tetapi lebih dari pada itu. Betapa pun mereka terlibat dalam perkelahian yang
sengit, namun gerak lawannya yang cepat cekatan itu mengandung suatu unsur yang
tidak dimengertinya. Membingungkan, tetapi ia melihat seolah-olah lawannya itu
berubah menjadi seorang penari yang mampu menggerakkan berpasang-pasang pedang
bersama-sama.
Sidanti adalah seorang anak
muda yang berpengalaman, ia pernah berkelahi melawan orang-orang dengan
bermacam-macam watak dan kebiasaan. Ia pernah berkelahi melawan Plasa Ireng
yang tangguh tanggon seperti seekor badak. Ia pernah berkelahi melawan
Alap-Alap yang kasar tetapi trengginas, dengan senjatanya yang
menyambar-nyambar seperti angin pusaran melilit tubuhnya. Ia pernah berkelahi melawan
Agung Sedayu yang lincah cekatan. Geraknya cepat dan membingungkan. Dan ia
pernah pula berkelahi dengan orang lain, bahkan dengan Tohpati dan Untara.
Tetapi ia belum pernah melawan
seseorang seperti yang dilawannya kini. Orang-orang yang pernah berkelahi
dengannya, menang atau kalah, dengan sifat pembawaan dan ilmunya masing-masing,
namun di antara mereka ada beberapa persamaan. Mereka adalah orang-orang kuat
dan tangguh. Mereka mempergunakan kecepatan dan kekuatan. Mereka dengan tegas
melawan serangan-serangan yang dilancarkannya, bahkan kadang-kadang sengaja
membenturkan senjata-senjata mereka.
Namun orang ini mempunyai
sifat dan watak yang jauh berbeda. Geraknya hampir tidak menunjukkan
sifat-sifat kekerasan meskipun cepatnya seperti tatit menyambar di langit.
Gerak tangannya tampaknya lembut selembut tangan penari. Kakinya yang lincah
melontar-lontarkan tubuhnya seringan kapas, dalam gerak yang luwes. Tiba-tiba
Sidanti menggeram di dalam dadanya, “Ia seorang perempuan dalam pakaian
laki-laki.”
Tetapi Sidanti tidak bertanya
sepatah kata pun. Namun tanggapannya terhadap lawannya telah membuatnya
bertambah gelisah. Semakin ia yakin bahwa lawannya adalah seorang perempuan,
maka dadanya menjadi semakin berdebar.
“Aku tidak segera dapat
mengalahkan perempuan ini,” ia menggeram di dalam dadanya. “Ada juga perempuan
yang garang seperti orang ini. Tetapi meskipun ia dapat memutar gunung, namun
ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Sidanti. Aku harus
menguasainya, membuatnya kehilangan kesadaran, kemudian melakukan rencanaku
sebaik-baiknya.”
Dengan demikian Sidanti
menjadi semakin bernafsu. Geraknya menjadi semakin cepat. Ia masih tetap sadar,
bahwa ia tidak akan membuat dirinya menjadi semakin parah dengan membunuh orang
di halaman rumah Ki Sentol, di halaman Tanah Perdikannya sendiri, atas orang
yang belum dikenalnya.
Tetapi ternyata ilmu pedang
perempuan itu sangat baik. Kedua senjata itu seakan-akan digerakkan oleh satu
kekuatan dalam keserasian yang sempurna. Hampir-hampir Sidanti tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk melawannya. Tetapi Sidanti memiliki beberapa
kelebihan. Sidanti merasa bahwa kekuatannya lebih besar dari kekuatan lawannya,
sehingga justru setiap kali ia tidak berusaha menghindar atau memukul senjata
lawannya ke samping untuk menghapuskan kekuatan ayunannya, tetapi Sidanti
sengaja melawan dalam benturan yang mantap.
Setiap kali ia merasakan bahwa
tenaga lawannya tidak dapat mengimbangi tenaganya. Setiap kali senjata lawannya
terdorong beberapa jengkal. Tetapi ternyata lawannya menyadari pula keadaannya,
sehingga karena itu, setiap kali terjadi benturan, maka lawannya tidak bertahan
pada kekuatannya. Tetapi ia selalu berusaha memunahkan tenaga lawannya dengan
perlawanan tenaganya yang liat, kemudian melepaskannya ke samping.
Dengan cara itulah, maka
beberapa kali Sidanti gagal untuk melontarkan senjata lawannya. Betapa pun
besar tenaganya, tetapi ia tidak dapat melepaskan sepasang senjata lawannya itu
dari sepasang tangannya.
“Perempuan ini benar keras
kepala,” desah Sidanti di dalam hatinya.
Namun setiap kali ia masih
harus berjuang melawan perasaan sendiri. Setiap kali hatinya menyala memanaskan
darahnya, setiap kali ia teringat kepada pesan gurunya.
“Tetapi siapakah sebenarnya
perempuan ini?” desah Sidanti di dalam hatinya. “Adalah sangat mengherankan
bahwa seorang perempuan di daerah ini mampu melawan aku sampai sekian lama.
Meskipun aku yakin bahwa ilmunya masih berada selapis di bawah ilmuku, tetapi
tidaklah mudah untuk mengalahkannya tanpa melukainya. Kalau aku tidak mengingat
pesan guru, maka aku kira aku akan dapat lebih cepat melakukannya, meskipun
dengan susah payah. Tetapi apakah ia hanya seorang diri?”
Sidanti semakin lama menjadi
semakin cemas tentang dirinya. Bukan tentang hidup dan matinya, tetapi justru
ia cemas apabila dirinya kemudian akan dapat dikenal sebagai Sidanti, Putera
Argapati.
“Ah,” sekali lagi ia berdesah,
“kalau ia masih tetap berkeras kepala, apa boleh buat. Aku kira guru sudah
tidak melihat lagi apa yang aku kerjakan. Aku tidak dapat selamanya hanya
berusaha mempertahankan diri dan menyerang tempat-tempat yang sama sekali tidak
berbahaya. Suatu saat aku harus mengarahkan ujung pedangku ke arah jantungnya.”
Perkelahian itu kemudian
berlangsung semakin sengit. Ternyata Sidanti harus mengagumi kelincahan
perempuan itu. Lincah dan cekatan seperti anak rusa yang bermain-main di
rerumputan.
Sidanti yang telah bekerja
memeras segala macam kemampuannya pun masih belum dapat menguasai lawan itu
sepenuhnya. Apalagi apabila tiba-tiba datang satu dua orang seperti perempuan
itu.
Namun bagaimana pun juga
Sidanti tidak akan meninggalkan arena.
Sementara itu Ki Tambak Wedi
dan Argajaya berdiri termangu-mangu di ujung desa menunggu Sidanti. Tetapi
untuk sekian lamanya anak itu tidak muncul-muncul dari mulut lorong padesan.
“Apa saja yang dilakukan oleh
anak gila itu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ia keras kepala sejak
kanak-anak,” sahut Argajaya.
“Anak itu sudah terlampau
lama. Apakah yang telah terjadi?”
Argajaya tidak segera
menjawab. Tetapi ia pun diganggu pula oleh kegelisahan. Seperti Ki Tambak Wedi,
ia pun menganggap bahwa Sidanti sudah cukup lama mereka tinggalkan. Kalau ia
segera mengetuk pintu, masuk, dan dengan lancar menerima tiga pengadeg pakaian,
maka waktu yang dipergunakannya telah cukup lama.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
pun bergumam, “Aku tidak dapat melepaskan anak itu tanpa pengawasan. Aku akan
melihatnya apa saja yang sudah dikerjakan. Mudah-mudahan ia tidak berbuat
sesuatu yang dapat mencemarkan namanya dan nama ayahnya, Argapati yang bergelar
Ki Gede Menoreh.”
“Aku juga mencemaskannya. Anak
itu memang anak bengal sejak kanak-anak.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Kemudian ia berkata, “Aku akan kembali ke rumah Ki Sentol.”
“Aku ikut bersama Kiai.”
“Terserahlah kepadamu, Ngger.”
“Aku juga ingin melihat apa
yang terjadi.”
“Marilah.”
Keduanya segera melangkah
kembali. Tetapi mereka tidak ingin dilihat orang. Mereka segera menyusup ke
dalam gelapnya bayangan dedaunan yang rimbun di dalam kelamnya malam.
Perlahan-lahan mereka merayap
semakin dekat dengan halaman rumah di ujung lorong padesan itu. Dari kejauhan
mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak melihat kesibukan
apa pun. Mereka tidak melihat orang-orang di dalam rumah itu terbangun, membuat
kegaduhan sehingga Sidanti harus bertindak kasar.
“Halaman itu tampaknya sepi
saja, Kiai,” gumam Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Ternyata telinganya jauh lebih tajam dari telinga Argajaya. Meskipun
ia masih belum melihat sesuatu tetapi ia mendengar gemerincingnya senjata
beradu.
“Kita harus mendekat, Ngger,”
desis Ki Tambak Wedi, “ada sesuatu yang tidak wajar.”
“Apakah Kiai melihat sesuatu?”
Keduanya pun kemudian
melangkah semakin dekat. Kini halaman rumah itu tampak semakin jelas Tetapi
halaman itu masih juga tampak sepi. Tidak ada keributan dan tidak ada
kegaduhan.
Namun tiba-tiba Argajaya mengangkat
wajahnya. Katanya, “Aku mendengar sesuatu, Kiai.”
“Apakah baru sekarang Angger
mendengarnya?”
“Tidak. Tetapi aku kurang
memperhatikannya. Aku sangka bunyi itu bukan seperti yang aku dengar sekarang.”
“Apakah yang Angger dengar
sekarang?”
“Perkelahian. Senjata beradu.
Tetapi tidak terlampau sering. Aku menduga bahwa salah seorang dari mereka
merasa bahwa kekuatan mereka tidak seimbang. Tetapi orang yang merasa lebih
lemah itu pasti memiliki kelebihan lain.”
“Pendengaran Angger cukup
baik. Aku sependapat. Dan salah seorang dari kedua orang yang berkelahi itu
pasti Sidanti.”
Argajaya menggangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku pun berpendapat demikian,” desisnya.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam. “Sidanti memang terlampau sulit untuk dikendalikan. Kalau ia
membuat sedikit saja kesalahan di sini, maka akibatnya akan menjadi terlampau
berat baginya. Ayahnya pasti akan menjadi sangat marah.”
“Mudah-mudahan ia belum
dikenal sebagai Sidanti.”
“Marilah kita mendekat, Ngger.
Aturlah langkah dan nalarmu supaya tidak mengganggu perkelahian itu. Aku ingin
melihat siapakah yang sedang berkelahi melawan Angger Sidanti itu.”
Argajaya mengerti maksud Ki
Tambak Wedi. Ia harus berhati-hati supaya tidak mengejutkan orang-orang yang
sedang berkelahi. Sebab dengan demikian, maka akibatnya akan sangat mengganggu
dan mungkin sama sekali tidak mereka kehendaki. Apalagi Argajaya adalah orang
yang banyak dikenal di padesan itu, apalagi oleh Ki Sentol sendiri.
“Aku tidak menyangka bahwa di
daerah ini ada seseorang yang mampu bertahan terhadap Sidanti sedemikian lama,”
bisik Ki Tambak Wedi. “Namun justru karena itu, kita harus segera mendekat,
supaya seandainya Sidanti kehilangan pengamatan diri, kita sempat mencegahnya.”
“Aku, seorang dari Tanah
Perdikan ini pun heran, bahwa di padesan ini ada seseorang yang mampu berkelahi
melawan Sidanti.”
Keduanya terdiam. Mereka
menjadi semakin dekat, dengan halaman rumah Ki Sentol. Dentang senjata beradu
itu pun menjadi semakin keras. Semakin sering. Tetapi telinga-telinga yang
cukup terlatih akan segera mengerti, bahwa salah seorang dari kedua orang yang
bertempur itu pasti selalu menghindari benturan-benturan kekuatan. Dengan
demikian maka benturan-benturan itu tidak beradu terlampau keras dan terlampau
sering. Bunyi benturan itu pun menjadi tidak terlampau keras.
Telinga Ki Tambak Wedi yang
tajam setajam pandangan matanya, segera menuntunnya kemana ia harus pergi.
Mereka tidak memasuki halaman itu lewat regol yang telah terbuka. Tetapi mereka
mencari tempat yang gelap di bawah rimbunnya dedaunan, untuk meloncati pagar
batu yang tidak terlampau tinggi, masuk ke dalam halaman. Ketika mereka sudah
berada di halaman, maka langkah mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka
merayap setapak demi setapak maju, sehingga akhirnya mereka dapat melihat di
dalam kegelapan dua bayangan yang sedang berkelahi.
Sekilas, mereka berdua segera
mengetahui, bahwa yang seorang dari mereka adalah Sidanti. Keadaannya ternyata
lebih baik dari keadaan lawannya. Namun adalah mengherankan, bahwa lawannya
mampu bertahan sekian lamanya.
Sejenak kedua orang itu
terpaku di tempatnya. Dengan tajamnya mereka memandangi perkelahian yang tengah
berlangsung di dalam gelapnya malam. Kilatan cahaya langit di kejauhan yang
sudah tidak berdaya, tampak menari-nari pada mata-mata pedang yang sedang
bergerak-gerak dengan cepatnya. Namun mereka yang sedang berkelahi itu sendiri,
hampir tidak dapat dilihat bentuknya.
Ternyata perkelahian itu
semakin menarik perhatian Ki Tambak Wedi dan Argajaya. Perlahan-lahan tetapi
pasti mereka dapat mengenali orang yang sedang berkelahi melawan Sidanti.
Meskipun mereka masih
bertempur, di tempat yang kelam, namun kedua orang yang mengintai mereka, dapat
mengenal mereka masing-masing dari tata geraknya. Apalagi Ki Tambak Wedi yang
mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Kecuali ia segera dapat mengenal
Sidanti yang mempergunakan ilmu dari Tambak Wedi dengan baiknya, maka ia pun
segera mengenal ilmu lawan Sidanti itu.
“Angger,” perlahan Ki Tambak
Wedi berdesis. “perkelahian yang menarik. Meskipun mereka telah hampir sampai
pada penggunaan puncak ilmu yang mereka miliki, namun perkelahian itu sama
sekali tidak terjadi dengan banyak keributan. Orang-orang yang tidur di dalam rumah
itu pun tidak terbangun karenanya.”
“Ya, Kiai,” jawab Argajaya.
“Tetapi ada yang lebih menarik
daripada itu,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya.
Argajaya berpaling. Di dalam
gelap malam ia mencoba menangkap maksud kata-kata yang tersirat di wajah orang
tua itu. Tetapi ia tidak berhasil.
“Apakah yang lebih menarik
itu, Kiai.”
“Lawan Sidanti.”
“Ya. Aku pun tertarik pula
kepadanya. Bukankah ia seorang gadis?”
Ki Tambak Wedi menggangguk,
“Ya, ia memang seorang gadis. Tetapi itu pun kurang menarik bagiku. Yang paling
menarik adalah bagaimana caranya melawan Sidanti.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. “ Bagaimana menurut pertimbangan Kiai?”
“Seharusnya kau tidak bertanya
demikian, Ngger. Kau pasti sudah mengenalinya. Tata gerak itu adalah tata gerak
yang sudah seharusnya kau kenal. Cabang perguruan itu pun pasti akan
menunjukkan, setidak-tidaknya membatasi persoalannya.”
Argajaya menahan nafasnya. Ia
memang sudah menduga siapakah gadis yang sedang berkelahi itu. Ia mengenalnya
menilik tata geraknya. Tetapi bukan itu saja. Ia mengenal gadis itu dengan
baik. Tetapi ia tidak menyangka bahwa gadis itu mempunyai kecakapan yang hampir
sejajar dengan Sidanti.
“Bukankah ilmu itu ilmu cabang
perguruan Menoreh? Aku kira kau mengenal, bahwa ilmu itu adalah ilmu Argapati
yang bergelar Ki Gede Menoreh. Bukankah Angger sendiri sebagian terpercik oleh
ilmu dari cabang perguruan itu meskipun Angger tidak bersaudara seperguruan dengan
kakak Angger, Argapati?”
“Kami seperguruan Kiai, tetapi
jarak yang membatasi kami cukup jauh.”
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Tidak. Kalian bukan seperguruan. Angger memang pernah mendapat ilmu itu,
tetapi yang terbesar tersimpan pada diri Angger bukan perguruan yang sama
dengan perguruan Argapati.”
Argajaya mengganggukkan
kepalanya.
“Tetapi gadis itu adalah
seorang gadis yang menyimpan ilmu dari cabang perguruan Menoreh. Kau lihat
bukan?”
“Ya, Kiai. Aku mengenalnya
seperti aku mengenal Sidanti. Tatapi dalam pakaian laki-laki aku semula agak
kabur karenanya. Tetapi kini aku sudah yakin, bahwa aku tidak akan salah lagi.”
Ki Tambak Wedi
menggangguk-anggukkan kepalanya, “Luar biasa. Ilmu yang dimilikinya belum
matang benar. Seharusnya ia bukan lawan yang terlampau berat bagi Sidanti.
Mungkin Sidanti sudah mengenal bahwa lawannya seorang gadis.”
“Sidanti harus mengenalnya.
Tetapi pakaian laki-lakinya apalagi mereka berkelahi di dalam gelap itulah yang
menyebabkan Sidanti tidak segera mengetahui dengan siapa ia sedang berkelahi.
Tetapi ternyata Kakang Argapati telah membuat suatu teka-teki. Aku tidak pernah
melihat anak itu berlatih sama sekali. Tetapi tiba-tiba aku melihatnya ia sudah
berada dalam tataran yang demikian tinggi. Aku melihatnya sehari-hari sebagai
seorang gadis pendiam dan pemalu. Tetapi dalam pakaian laki-laki ternyata ia
cukup garang.”
“Kau mengenal gadis itu,
Ngger, bukan hanya sekedar mengenal tata geraknya?”
“Tentu,” kata-kata Argajaya
terputus karena mereka mendengar suara yang lain dari suara perkelahian itu.
Karena itu maka segera mereka terdiam. Mereka menjadi semakin berhati-hati dan
mencoba untuk menangkap apa saja yang terjadi.
Tiba-tiba dada mereka
bergetar. Mereka melihat tiga orang berloncatan dari belakang gandok. Mereka
segera berlari ke depan dan berhenti sejenak sambil menebarkan pandangan mata
mereka.
“Di sana, aku sudah mendengar
gemerincing senjata,” salah seorang dari mereka berkata lantang.
Ketiganya segera menghadap ke
arah suara yang mereka dengar. Suara gemerincing senjata. Gemerincingnya pedang
Sidanti yang beradu dengan sepasang senjata lawannya.
Ternyata Sidanti juga
mendengar suara itu. Terasa betapa dadanya bergelora. Sesaat ia menjadi
bingung. Apakah yang akan dilakukannya? Melawan mereka dan membunuh mereka satu
per satu? Kalau ia tidak ragu-ragu, dan tidak tertahan oleh pesan gurunya,
lawannya itu pun telah binasa. Ia ingin mengalahkannya dan sekedar membuatnya
pingsan tanpa menggores kulitnya dengan ujung pedangnya. Tetapi justru dengan
demikian keadaannya menjadi semakin sulit.
Kehadiran ketiga orang itu
telah mencemaskan hati Ki Tambak Wedi pula. Kalau Sidanti menjadi bingung, maka
ia pasti akan berbuat di luar perhitungan. Mungkin ia menjadi mata gelap. Ia
akan berusaha untuk membinasakan lawan-lawannya tanpa pertimbangan lain, asal
mereka tidak dapat mengenalnya. Tidak dapat mengetahui bahwa yang menutupi
wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Sidanti, putera Argapati.
Ternyata Argajaya pun berpikir
demikian pula. Tetapi ia menjadi lebih cemas lagi, karena ia yakin bahwa ia
mengerti benar, siapakah gadis lawan Sidanti itu.
“Kiai,” Argajaya itu kemudian
berdesis, “perkelahian itu harus dicegah.”
“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi,
“aku akan membuat mereka kehilangan lawannya. Aku akan mengambil dan
menyingkirkan Sidanti.”
“Mereka akan mengejar.”
“Aku terpaksa menghilangkan
kesadaran mereka untuk sementara. Hanya sekedar memberi kesempatan Sidanti
melarikan diri.”
“Tetapi gadis itu?”
“Oh, siapakah gadis itu.
Angger belum mengatakannya.”
“Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi,” ulang Ki
Tambak Wedi sambil mengerutkan keningnya, “Pandan Wangi kau bilang?”
“Ya.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir.
Sejenak ia termangu-mangu. Nama itu telah mengejutkannya. Meskipun ia tidak
begitu mengenal anak itu seperti ia mengenal Sidanti, tetapi Pandan Wangi
adalah gadis yang dikenalnya dengan baik di masa kanak-anaknya. Tetapi karena
sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu, apalagi kini ia mengenakan pakaian
laki-laki, maka ia menjadi lupa kepadanya.
“Bukankah Kiai pernah
mengenalnya dahulu.”
“Ya, ya. Aku pernah
mengenalnya. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah lama sekali tidak
mengunjungi Argapati. Itulah sebabnya aku melihat ilmu Argapati ada padanya.”
“Lalu, apakah yang akan kita
lakukan sekarang.”
Ki Tambak Wedi terdiam
sejenak. Ia melihat ketiga orang yang berlari-lari itu sudah berada di samping
tempat perkelahian antara Sidanti dan gadis yang bernama Pandan Wangi itu.
“Aku menjadi agak bingung.
Tetapi sebaiknya perkelahian yang lebih seru harus dicegah.” Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah Sidanti mengenal gadis itu?”
“Melihat perkelahian itu, aku
kira Sidanti belum mengenalnya. Apalagi kini,” Argajaya menjadi tegang, “lihat
Kiai, Sidanti hampir menjadi mata gelap.”
Ketika Ki Tambak Wedi
memandang perkelahian itu, ternyata ia melihat tekanan Sidanti menjadi semakin
dahsyat. Ia tampaknya telah kehilangan segala pengamatan diri karena ia
kehilangan akal. Ia tidak menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindar
dan karena kecemasannya bahwa dirinya akan dikenal. Dengan demikian, maka ia
tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia harus melawan dan berusaha menutup mulut
orang-orang itu bagaimana pun caranya. Memang ada juga terbersit pikiran di
kepalanya untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali kakinya akan melontarkan
dirinya menghindari perkelahian itu, perasaan harga dirinya telah mengekangnya,
sehingga setiap kali ia menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia tidak mendapat
kesempatan lagi, ketika ketiga orang yang baru datang itu mengepungnya.
“Jangan diberi kesempatan
untuk melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka, “kita harus tahu,
siapakah orang ini.”
Sidanti hanya dapat
menggeretakkan giginya. Ia selalu saja dibayangi oleh kecemasan tentang dirinya
sendiri. Ia tidak berani mengucapkan kata-kata supaya suaranya tidak dikenal.
Ketika ketiga orang itu sudah
menarik senjata masing-masing, maka Sidanti tidak akan dapat berbuat lain.
Melawan, kalau terpaksa, ya kalau terpaksa apa boleh buat. Pedangnya akan
membuat penyelesaian.
Tetapi ketika ketiga orang itu
sudah mulai menggerakkan pedangnya, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa di
belakang gerumbul yang rimbun. Tanpa berjanji mereka berloncatan menjauhi
lawan-lawannya untuk mendapat kesempatan berpaling. Meskipun pedang-pedang
mereka siap untuk bergetar, tetapi mereka memerlukan juga menunggu, siapakah
yang akan ke luar dari dalam rimbunnya gerumbul itu?
Yang kemudian muncul di dalam
kegelapan itu adalah dua bayangan sosok tubuh yang hitam. Mereka tidak segera
dapat mengenal. Namun sejenak kemudian salah seorang dari kedua orang itu
berkata sambil tertawa, “Cukup Sidanti. Permainan yang menyenangkan.”
Sidanti terkejut bukan buatan.
Ia mengenal suara itu, suara pamannya, Argajaya. Tetapi pamannya telah menyebut
namanya, sedang ia sendiri mati-matian menyembunyikan dirinya dari pengenalan
orang-orang itu.
Tetapi bukan saja Sidanti yang
terkejut bukan kepalang, ternyata lawannya yang bernama Pandan Wangi itu pun
terperanjat bukan main, sehingga seolah-olah darahnya berhenti mengalir.
“Paman, Pamankah ini?”
bertanya suara wanita itu.
“Ya, aku pamanmu, Pandan
Wangi.”
“Pandan Wangi,” hampir-hampir
Sidanti berteriak, tetapi suaranya tertahan di dadanya. Tetapi dengan demikian
ia menjadi seolah-olah membeku di tempatnya. Nama itu benar-benar telah
mengejutkannya. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan untuk memandangi wajah
lawannya, maka ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Wajah itu masih
belum jelas baginya. Tetapi karena gadis lawannya itu berdiri diam, maka
kesempatan untuk mengenalinya menjadi semakin luas.
Kedua bayangan yang ternyata
Argajaya dan Ki Tambak Wedi itu sudah menjadi semakin dekat. Dan terdengar lagi
Argajaya berkata, “Aku telah melihat dengan senang hati kalian bermain-main.
Jangan marah Pandan Wangi. Sidanti sengaja ingin melihat, apakah kau sudah
cukup baik menguasai ilmu pedang rangkap dari Perguruan Menoreh itu.”
Kedua orang yang baru saja
bertempur itu terpukau diam-diam, mereka tidak segera mengerti, apakah yang
sebenarnya mereka hadapi. Mereka hanya berdiri saja memandangi langkah Argajaya
dan Ki Tambak Wedi mendekati mereka.
“Pandan Wangi,” berkata
Argajaya kemudian, “Sidanti telah terlampau lama, bahkan bertahun-tahun tidak
bertemu dengan kau karena kakakmu itu sedang menuntut ilmu di padepokan Tambak
Wedi. Ketika kakakmu menjejakkan kakinya di Tanah Perdikan ini, untuk pertama
kali setelah bertahun-tahun tidak melihatnya, maka yang pertama-tama ditemuinya
adalah kau dalam pakaianmu yang aneh itu. Sehingga timbulah niatnya untuk
mengganggumu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah orang yang baru saja berkelahi
melawannya, ia masih melihat wajah itu bertutup ikat kepala.
“Bukalah penyamaranmu,
Sidanti,” berkata Argajaya, “bukankah kau tidak perlu lagi memakainya? Kau
sudah cukup mengganggu adikmu dengan cara itu. Sekarang bukalah. Kau sudah
terlampau lama membuat adikmu berdebar-debar.”
Sidanti masih belum tahu
benar, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh paman dan gurunya. Tetapi ia tidak
dapat membantah lagi. Dengan ragu-ragu dibukanya tutup wajahnya.
“Nah, bukankah ia seorang anak
muda yang bernama Sidanti, putra Kakang Argapati?” desis Argajaya sambil
tertawa. “Apakah kau sudah tidak dapat mengenal wajah kakakmu lagi, Pandan
Wangi? Aneh. Sidanti tidak banyak mengalami perubahan. Sedang kau, yang sedang
tumbuh dalam masa-masa yang paling cepat, tidak dapat mengelabui kakakmu, walau
pun kau memakai pakaian yang aneh itu pula.”
“Tetapi,” tergagap Pandan
Wangi berkata, “tetapi dari mana Paman tahu kalau aku berada di sini?”
“Bukankah kau sering berada di
tempat ini?”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu.
Tetapi Argajaya pun menjadi berdebar-debar. Pertanyaan yang aneh-aneh dapat
membuatnya bingung untuk mencari jawab.
“Tetapi,” Pandan Wangi masih
ingin bertanya lagi, tetapi Argajaya mendahului, “Lihatlah baik-baik. Itu
adalah kakakmu Sidanti.”
Pandan Wangi berpaling sekali
lagi memandangi wajah Sidanti yang kini sudah tidak tertutup lagi. Meskipun
sudah lama mereka tidak bertemu, tetapi garis wajah itu samar-samar dapat
dikenalinya.
“Marilah kita pergi ke
halaman. Cahaya lampu itu akan segera memperkenalkan kalian.”
Argajaya segera membimbing
Pandan Wangi berjalan mendahului yang lain pergi ke halaman. Kepada kedua orang
pengawal Pandan Wangi yang juga sudah dikenalnya, Argajaya berkata, “Marilah
ikut aku.”
Mereka tidak membantah lagi.
Mereka segera berjalan ke halaman depan rumah Ki Sentol yang cukup luas.
Yang tinggal di dalam
kegelapan adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Ketika jarak mereka menjadi
semakin jauh dengan Argajaya dan orang-orang Menoreh yang lain, maka Ki Tambak
Wedi berbisik, “Tidak ada cara lain. Lebih baik kau berpura-pura mencoba adikmu
untuk melihat ilmunya, atau sengaja mengganggunya.”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia menjadi jelas maksud paman dan gurunya. Namun meskipun
demikian ia berkata, “Tetapi pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi akan
membingungkan aku, Guru, seperti yang ditanyakannya kepada Paman Argajaya,
kenapa kita mengetahui bahwa Pandan Wangi ada di sini.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Kemudian ia bertanya, “Di mana kau temui anak itu?”
“Ia menghampiri aku di halaman
ini ketika aku akan naik ke pendapa. Tetapi karena aku takut dikenal di dalam
cahaya lampu minyak di pendapa, akulah yang menyerangnya di dalam gelap.”
“Di mana ia berada, atau dari
mana ia datang.”
“Dari arah gandok.”
“Tiga orang pengawalnya datang
dari belakang gandok itu pula. Kalau begitu mereka pasti di tempatkan di gandok
itu sebagai tamu. Nah, katakan bahwa kau telah mengintainya dari luar gandok.”
“Tetapi kenapa aku masuk ke
halaman ini dan sampai ke gandok itu.”
“Bukankah tempat ini
seakan-akan menjadi pesanggrahan keluargamu. Katakan, kau memang sedang
melihat-lihat apakah ada salah seorang anggota keluargamu yang sedang berada di
sini.”
Sidanti menggangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun hatinya masih berdebar-debar. Ternyata gadis itu adalah
adiknya. Adiknya sendiri. Tetapi sudah sekian lama ia tidak bertemu, sejak yang
terakhir ia mengunjungi kampung halamannya. Apalagi dalam pakaian laki-laki di
dalam kegelapan pula.
“Aneh,” desisnya tiba-tiba,
“ia mampu berkelahi.”
“Kau tidak mengenal ilmu itu?”
“Tidak.”
“Ilmu ayahmu. Ilmu Argapati.
Memang ayahmu tidak mau membimbingmu, dan menyerahkannya kepadaku.”
“Kenapa, Guru?” bertanya
Sidanti.
Pertanyaan itu telah memukul jantung
Ki Tambak Wedi. Ia menyesal bahwa ia telah terlanjur mengatakan sesuatu yang
tersimpan di dalam hatinya. “Seharusnya aku tidak mengatakannya,” desisnya di
dalam hati.
“Kenapa, Guru, kenapa ayah
tidak mau mengajari aku, tetapi ayah justru mengajari Pandan Wangi, seorang
gadis?”
Dada Ki Tambak Wedi menjadi
semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus menjawab. Katanya, “Itu adalah cara
ayahmu untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh. Ayahmu merasa bahwa aku
mempunyai kemampuan yang seimbang. Maka dititipkannya kau kepadaku, dan
diturunkannya ilmunya kepada Pandan Wangi. Bukankah dengan demikian kau dan
Pandan Wangi akan mampu bersama-sama menyusun ilmu yang lengkap dan mengagumkan
kelak?”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Memang hal yang demikian itu mungkin saja terjadi, tetapi masih juga kurang
dapat dipahami. Kenapa ayahnya menempuh cara itu untuk memperkaya ilmu
Perguruan Menoreh? Kenapa ayahnya, Argapati tidak saja bersama-sama dengan Ki
Tambak Wedi menyusun suatu ilmu yang mencakup berbagai macam unsur dari kedua
cabang perguruan yang memiliki nama yang cukup besar itu? Apabila demikian, dan
mereka dapat menemukan unsur-unsur yang dapat dipadukan dalam suatu bentuk yang
baru, maka ilmu itu akan menggemparkan seluruh Demak.
Tetapi kenapa yang ditempuh
oleh ayahnya adalah jalan yang terlampau jauh? Menyerahkannya kepada Ki Tambak
Wedi dan menurunkan ilmunya kepada Pandan Wangi, adik perempuannya, kemudian
baru dicari kemungkinan untuk memadukan kedua ilmu itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu
meronta-ronta di dalam dadanya. Tetapi ketika ia ingin menyatakannya,
didengarnya Ki Tambak Wedi berkata, “Marilah kita pergi ke halaman itu. Lihat,
mereka telah menunggu kita.”
Sidanti berpaling. Di dalam
keremangan cahaya lampu di halaman ia melihat pamannya, Pandan Wangi dan
pengawal-pengawalnya berdiri tegak. Mereka agaknya memang sedang menunggunya.
Sidanti mengikuti saja di
belakangnya ketika gurunya melangkah ke halaman. Namun ia berdesis, “Aku pasti
akan dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi. Bahkan mungkin
apabila orang-orang lain di dalam rumah ini terbangun.”
“Kau harus cepar berpikir.
Carilah jawaban yang paling mungkin. Kadang-kadang kau harus berusaha memotong
pertanyaan mereka. Dan kita seharusnya tidak terlampau lama tinggal di rumah
ini. Malam ini juga kita akan meneruskan perjalanan.”
“Tetapi bagaimana dengan
pakaian kita, Kiai. Pakaian kita terlampau lusuh dan kotor.”
“Jangan hiraukan. Kau dapat
membuat ceritera-ceritera lucu tentang hutan Mentaok. Demikian pula tentang
luka di pundakmu yang sudah hampir sembuh sama sekali itu.”
Dada Sidanti menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dengan orang-orang Menoreh yang
telah agak lama ditinggalkannya.
Namun kemudian cahaya lampu
telah menolongnya untuk mengenali wajah gadis yang telah mampu melawannya itu.
Meskipun anak itu telah tumbuh dengan suburnya, serta berpakaian laki-laki
namun Sidanti telah mulai dapat mengenalnya. Anak itu memang Pandan Wangi.
Tetapi ternyata Pandan
Wangi-lah yang lebih dahulu menegurnya. Hampir berteriak ia memanggil, “Kakang
Sidanti, bukankah kau benar-benar Kakang Sidanti?”
Sidanti mengganggukkan
kepalanya. Tetapi suaranya tersendat di kerongkongan, sehingga jawabnya
terlampau pendek, “Ya.”
Pandan Wangi tertegun sejenak.
Tetapi semakin, dekat semakin jelas baginya, bahwa orang yang semula menutup
wajahnya dengan ikat kepalanya itu adalah Sidanti. Sidanti yang telah menyarungkan
pedangnya itu mendekatinya dengan penuh kebimbangan.
Pandan Wangi yang kemudian
yakin bahwa orang itu adalah kakaknya berkata pula, “Kau mengganggu aku,
Kakang. Aku hampir berteriak-teriak memanggil Paman Kerti untuk menangkapmu.”
Sidanti mendekati adiknya
dengan dada yang berdebar-debar, tetapi ia memaksa bibirnya untuk tersenyum,
“Aku senang melihat kau marah,” katanya. Namun sikapnya masih juga canggung.
“Tetapi kau telah menyakiti
tanganku.”
“Kenapa dengan tanganmu?”
“Tidak apa-apa, tetapi untuk
mempertahankan pedangku, tanganku terasa terlampau nyeri. Kau
bersungguh-sungguh berusaha melepaskan genggaman pedangku.”
Terdengar Argajaya tertawa.
Katanya, “Kakakmu hampir tidak percaya bahwa kau benar-benar mampu berkelahi.
Aku yang hampir setiap hari melihat kau bermain-main dakon dan jirak, tidak
tahu sama sekali, bahwa kau mampu bermain-main dengan pedang. Ayahmu
benar-benar aneh, Wangi. Aku menjadi pening memikirkannya. Kapan saja kau
menyisihkan waktumu untuk berlatih?”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Ia adalah seorang gadis yang baru mekar. Pujian pamannya telah
membuat wajahnya menjadi kemerah-merahan.
“Tetapi sarungkanlah sepasang
pedangmu itu,” berkata Argajaya kemudian.
“Oh,” Pandan Wangi baru sadar,
bahwa ia masih menggenggam sepasang pedangnya.
“Orang yang wajahnya bertutup
ikat kepala itu kini sudah tidak akan berani lagi menyerangmu, karena di sini
ada Kerti dan kedua kawannya.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
semakin kemerah-merahan. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pengawalnya,
seorang yang sudah setengah tua, yang bernama Kerti.
“Aku tidak menyangka,” Kerti
itu berkata, “bahwa aku akan berjumpa dengan Angger Sidanti di sini, dan aku
juga tidak bermimpi menyaksikan Angger Pandan Wangi mampu bertempur setangkas
itu. Aku, pamomongnya dihadapkan pada suatu kenyataan yang mengejutkan.”
“Ah, kau juga mengganggu aku,
Paman.”
“Benar Angger Sidanti. Adikmu,
Angger Pandan Wangi memang luar biasa. Aku memang pernah melihat Angger Pandan
Wangi berlatih, tetapi tidak berlatih bermain pedang. Angger Pandan Wangi
selalu berlatih memanah. Dan malam ini aku mengantarkannya untuk berburu nanti
lewat lengah malam. Tetapi tanpa aku duga, bahwa aku akan bertemu dengan Angger
Sidanti dan sekaligus melihat kedua bersaudara ini memamerkan ilmunya
masing-masing.”
“Aku tidak ingin memamerkan
kecakapan itu, Paman,” potong Pandan Wangi.
“Ya, ya. Maksudku, aku melihat
Anggger berdua adalah anak-anak muda yang luar biasa. Lebih-lebih Angger Sidanti.
Bukan main. Meskipun agaknya Angger tidak bersungguh-sungguh, tetapi aku
menjadi ngeri karenanya.”
Sidanti tersenyum, meskipun
senyumnya masih juga hambar, ia memang sudah mengenal Kerti sebagai seorang
yang meskipun sudah setengah umur, tetapi masih juga senang bergurau dan
jenaka. Dan orang itu masih berkata lagi, “Ketika aku melihat Angger bertempur
melawan Angger Pandan Wangi, aku menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Aku
dan kedua kawanku ini sebenarnya harus mengawal Angger Pandan Wangi, tetapi
ternyata kamilah yang dikawal olehnya, karena kami tidak berani ikut campur
melawan Angger Sidanti.”
“Ah,” hampir bersamaan Sidanti
dan Pandan Wangi berdesah.
“Sekarang,” Kerti itu berkata,
“kita akan membangunkan Ki Sentol. Aku ingin memperkenalkannya dengan Angger
Sidanti.”
“Aku sudah mengenalnya.”
“O, tetapi Angger Sidanti yang
dahulu. Bukan Angger Sidanti yang sekarang.”
“Terima kasih, Paman Kerti,
tetapi aku segera ingin menghadap Ayah.”
“He?” Kerti itu mengerutkan
keningnya, “jadi Angger mampir di halaman ini hanya sekedar ingin mengganggu
Angger Pandan Wangi?”
Sidanti menjadi ragu-ragu
sejenak. Ketika ia berpaling kepada gurunya kemudian kepada pamannya, ia tidak
segera mendapat kesan apa pun dari kedua orang itu, sementara Kerti telah
menyambung kata-katanya, “Kau memang senang bergurau sejak kanak-anak, Ngger.
Marilah singgah ke rumah ini. Ki Sentol akan sangat bergembira melihat Angger.”
Sidanti masih belum dapat
menyahut.
“Ki Sentol akan menjadi kagum
mendengar ceritera tentang Angger Sidanti, dan Angger Pandan Wangi.”
Sidanti masih juga diam.
Tetapi Argajayalah yang menyahut. “Terima kasih Kerti. Kami sekarang tidak
sedang bertamasya mengantarkan Sidanti berburu. Tetapi kami membawa seorang
tamu yang akan bertemu dengan Kakang Argapati.”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi, guru
Sidanti.”
“Oh, yang mana?”
“Kenapa, kau bertanya?” sahut
Argajaya, “Kami hanya bertiga. Kau mengenal aku dan Sidanti.”
“Oh,” tiba-tiba Kerti
mengganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada Ki Tambak Wedi. Sekilas dilihatnya
wajah orang tua dari lereng Gunung Merapi itu. Terasa sebuah desir yang lembut
menggores dadanya. Mata yang tajam setajam mata burung hantu di dalam
kegelapan, hidung yang mancung, kumis yang hitam dan garis-garis wajah yang
tegas tergores di sisi matanya yang seolah-olah menyala.
Namun segera ia berkata,
“Kalau demikian, aku memang harus membangunkan Ki Sentol. Seharusnya aku sudah
tahu, bahwa yang datang sekarang adalah Angger Sidanti bersama gurunya. Aku
yang sudah terlampau lama berada di Menoreh, seharusnya sudah mengetahui bahwa
guru Angger Sidanti berada di sini.” Kerti berhenti sejenak, lalu kepada Ki
Tambak Wedi ia berkata, “Maafkan aku, Kiai. Aku adalah seorang yang tidak tahu
diri. Tetapi agaknya aku memang belum pernah melihat Kiai di Menoreh, meskipun
agaknya Kiai sering berkunjung kepada Ki Gede Menoreh.”
Tiba-tiba wajah Ki Tambak Wedi
menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian ia telah berhasil
menguasai dirinya. Bahkan ia telah dapat memaksa bibirnya untuk tersenyum, “Ya.
Aku memang jarang sekali datang ke Menoreh. Argapatilah yang sering berkunjung
kepadaku, atau Angger Argajaya.”
Kerti menggangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak melihat dada Ki Tambak Wedi yang bergetar justru
karena pertanyaannya. Ki Tambak Wedi seolah-olah dihadapkan kepada suatu
pertanyaan yang menggores dinding jantungnya, menumbuhkan luka yang tidak akan
dapat sembuh seumurnya. “Ya, kenapa aku seolah-olah tidak berani lagi datang ke
Menoreh? Bukan hanya sekarang, tetapi bertahun-tahun yang lalu. Sejak Sidanti
masih seorang kanak-anak.”
Tetapi kini Ki Tambak Wedi
ingin menyembunyikan deburan perasaannya itu. Sekali lagi ia memaksa bibirnya
tersenyum dan berkata, “Nah, karena itulah maka aku segera ingin bertemu dengan
Ki Gede Menoreh. Sebaiknya kalian tidak usah bersusah payah membangunkan
pemilik rumah ini.”
“Itu aneh. Aneh sekali, Kiai,”
sahut Kerti, “marilah, Ki Sentol sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi hari
sudah jauh malam.”
“Kami sengaja berjalan malam
hari,” desis Argajaya.
“Kenapa?”
“Kami baru saja menempuh
perjalanan yang jauh. Sidanti perlu memperluas pengalaman dengan sebuah
perjalanan hampir mengelilingi seluruh daerah Demak lama. Dalam pakaian yang
kusut ini, perjalanan kami menjadi lancar. Kini, akhir dari perjalanan itu
adalah menghadap Kakang Argapati.”
“Apakah Paman ikut dalam
perjalanan itu?” bertanya Pandan Wangi tiba-tiba.
“Tentu. Aku pun ingin
memperluas pengalaman.”
“Begitu cepat.”
“Kenapa?” Argajaya mengerutkan
keningnya.
“Berapa lamakah Paman
meninggalkan Menoreh?”
Argajaya terdiam sejenak.
Pertanyaan itu memaksanya untuk berpikir. Tetapi segera ia menjawab, “Bukankah
aku sudah cukup lama pergi? Aku mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Begitu
aku sampai di Tambak Wedi, Sidanti sudah siap untuk memulai dengan
perjalanannya.”
Pandan Wangi
menggangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Di manakah
kedua orang yang pergi bersama Paman dari Menoreh itu?”
Dada Argajaya berdesir
mendengar pertanyaan itu. Dan sekali lagi ia harus berbohong. “Orang-orang itu
masih berada di Tambak Wedi. Mereka tidak ikut dalam perjalanan kami.”
Ternyata Pandan Wangi hanya
menggangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia sama sekali tidak berprasangka
apa-apa. Ia sama sekali tidak membayangkan bahwa di padepokan Tambak Wedi telah
terjadi pertempuran yang sengit. Pandan Wangi sama sekali tidak membayangkan
bahwa kedua orang itu telah menjadi korban kelicikan Ki Tambak Wedi, yang
mengorbankan orang-orang lain untuk keselamatannya. Kedua orang itu ternyata
terbunuh dalam peperangan yang kisruh di Tambak Wedi melawan prajurit-prajurit
Pajang.
Argajaya, yang memang tidak
ingin mendengar berbagai pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawabnya, segera
berkata, “Nah, aku kira keperluan kami sudah cukup. Kami akan meneruskan
perjalanan. Bukankah begitu, Kiai?”
“Ya, ya Ngger. Kita akan
meneruskan perjalanan.”
“Tetapi itu aneh sekali.
Kalian telah berada di halaman rumah ini. Tetapi kenapa kalian tidak singgah,
meskipun hanya sepenginang.”
“Terima kasih, Kerti,” jawab
Argajaya, “sampaikan salamku kepada Ki Sentol. Lain kali aku akan datang dalam
keadaan yang lebih baik. Ki Sentol pasti akan heran melihat pakaianku yang
jelek dan kotor ini.”
Sebelum Kerti menjawab, tanpa
disangka Pandan Wangi bertanya, “Apakah Paman dan Kakang Sidanti sama sekali
tidak membawa ganti pakaian?”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Pertanyaan yang tidak berarti itu justru membingungkannya. Namun
dalam kebingungannya ia mendengar Ki Tambak Wedi menjawab sambil tertawa itu,
“Tidak lazim, Ngger. Tidak lazim kita membawa pakaian dalam perantauan. Kalau
kita sedang pergi bertamasya atau berburu seperti Angger ini, maka kita wajib
membawa ganti pakaian. Tetapi perjalanan kami mempunyai bentuk yang lain.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menggangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia tidak mempunyai prasangka apa
pun terhadap jawaban itu.
“Sekarang, kami minta diri,”
berkata Argajaya. Tetapi belum lagi mereka beranjak dari tempatnya, tiba-tiba
pintu rumah Ki Sentol terbuka. Ternyata mereka yang berada di rumah itu telah
terbangun karena percakapan di halaman. Apalagi suara Kerti yang agak lebih keras
dari suara orang-orang lain.
Ketika sepercik sinar meloncat
ke luar dari sela-sela pintu yang terbuka, terdengar Argajaya berdesah. Untuk
seterusnya apakah ia dapat meninggalkan halaman rumah itu tanpa singgah lebih
dahulu meskipun hanya sebentar? Tetapi yang sebentar itu mungkin akan dapat
membuat kepalanya pening. Jawaban-jawaban yang salah akan dapat membuat
orang-orang itu semakin banyak bertanya.
“Siapa di halaman?” terdengar
suara orang tua itu dalam nada yang tinggi.
Sebelum orang lain menjawab, yang
pertama-tama terdengar adalah suara Kerti melengking, “He, Ki Sentol. Di sini
hadir seorang tamu yang akan menyenangkan hatimu.”
“Siapa?”
Terdengar Argajaya mengeluh
pendek. Dan ia mendengar Kerti menjawab, “Kemarilah, dan kau akan melihatnya.”
Mereka kemudian melihat
seorang laki-laki tua berjalan perlahan-lahan mendekat melintasi pendapa.
Perlahan-lahan pula ia turun sambil memandang dengan tajamnya. Dilihatnya
beberapa orang berdiri di halaman rumahnya, di muka pendapa. Ia segera dapat
mengenal salah seorang yang berteriak memanggilnya, Kerti. Tetapi yang lain
masih, belum jelas baginya.
Semakin dekat dengan
orang-orang yang berdiri di halaman itu, maka Ki Sentol menjadi semakin jelas
melihat mereka. Yang kemudian dikenalinya adalah Pandan Wangi yang berpakaian
laki-laki. Anak itu memang selalu mengenakan pakaian itu apabila ia pergi
berburu. Yang dua orang lagi adalah pengawal Pandan Wangi di samping Kerti.
Tetapi siapakah yang lain?
“Ki Sentol,” berkata Kerti
kemudian, “Ki Argajaya datang berkunjung.”
“He” orang tua itu terkejut,
“benarkah?”
“Kemarilah.”
Kini langkah Ki Sentol menjadi
tergesa-gesa. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka segera dikenalnya wajah
itu, Argajaya.
Namun Ki Sentol merasa heran
dengan penglihatannya sendiri. Ia melihat perbedaan pada adik Kepala Tanah
Perdikan itu. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang lain itu.
Agaknya Kerti melihat sorot
mata keheranan dari Ki Sentol. Segera ia tanggap, dan berkata, “Kau heran
melihat pakaian Ki Argajaya?”
Ki Sentol sejenak tidak
bergerak dan tidak mengucapkan kata-kata. Dipandanginya saja Argajaya
tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian baru ia berkata, “Ya. Di situlah
perbedaannya. Aku melihat sesuatu yang aneh padamu, Ngger. Ternyata pakaianmu.
Pakaianmu sama sekali bukan pakaian seorang adik dari Ki Gede Menoreh. Kusut,
kumal dan bahkan ada beberapa bagian yang telah sobek.”
Argajaya memaksa dirinya untuk
tertawa. Katanya, “Itu tidak penting. Yang penting bagiku adalah segera
menghadap Kakang Argapati.”
“He? Kau bergurau. Marilah,
maaf, aku lupa mempersilahkan. Tetapi siapakah yang lain?”
“Apakah Ki Sentol telah
benar-benar lupa dengan anak muda ini?”
“Siapa?”
“Sidanti.”
“He,” orang tua itu
terperanjat. Selangkah ia maju. Dicengkamnya kedua pundak anak muda itu, lalu
diguncang-guncangnya. “Bukan main. Kau Angger Sidanti yang dahulu sering
berkunjung ke tempat ini juga?”
“Ya, Kiai,” sahut Sidanti,
“meskipun ada beberapa macam perubahan kecil, tetapi aku masih mengenal rumah
ini.”
“Bagus, bagus. Marilah singgah
dahulu. Aku menjamu kalian.” Tetapi orang tua itu terperanjat ketika ia melihat
tamu-tamunya menggeleng, “Terima kasih. Kami harus meneruskan perjalanan.”
Sejenak Ki Sentol berdiri saja
dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, kenapa Argajaya tidak bersedia
singgah ke rumahnya, sehingga kemudian terloncat pertanyaannya, “Lalu apakah
maksud Angger datang kemari di malam-malam begini kalau Angger tidak bersedia
singgah ke rumah?”
“Kami hanya kebetulan saja
lewat, Kiai.”
“Tetapi Angger sudah masuk ke
halaman rumah ini.”
“Maaf, Kiai. Sidantilah yang
mula-mula masuk ke halaman. Ia hanya ingin sekedar melihat apakah ada
keluarganya yang sedang bermalam di sini dalam perburuannya. Ternyata ia
melihat adiknya dan tiba-tiba saja timbul keinginan padanya untuk mengganggu
Pandan Wangi.”
Ki Sentol menjadi semakin
bingung. Dan ia mendengar Argajaya itu berkata seterusnya, “Kami sebenarnya
sedang dalam sebuah perjalanan. Kami merantau mengelilingi daerah yang luas
untuk menambah pengalaman. Karena itu, kami tidak dapat singgah di sini.
Kecuali pakaian kami yang tidak pantas karena perantauan itu, kami juga membawa
seorang tamu yang ingin segera bertemu dengan Kakang Argapati.”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi, guru
Sidanti.”
“Oh,” Ki Sentol mengerutkan
keningnya, “kalau begitu kalian harus singgah. Harus!” Lalu orang tua itu
membungkuk hormat kepada Ki Tambak Wedi, “Maafkan Kiai, aku tidak tahu
sebelumnya. Marilah, singgahlah sebentar saja ke rumah ini.”
“Terima kasih,” jawab Ki
Tambak Wedi, “pakaian kami tidak pantas sama sekali untuk singgah ke rumah Ki
Sentol. Lain kali kami akan datang lagi. Kalau kami singgah malam ini, maka
besok pagi kami tidak akan berani meneruskan perjalanan di daerah kelahiran
Sidanti ini. Berbeda dengan tempat-tempat lain, tempat di mana orang-orang
tidak mengenal kami, maka pakaian kami memperlancar perjalanan kami.”
“Oh,” Ki Sentol
menggangguk-anggukkan kepalanya, “kalau itu yang Kiai pikirkan, mungkin juga
Angger Argajaya dan Angger Sidanti jangan cemas. Besok kalian akan meninggalkan
rumah ini dengan pakaian yang pantas. Bukankah kalian keluarga terdekat dari Ki
Gede Menoreh.”
Sejenak Ki Tambak Wedi
terdiam. Tawaran itu sudah pasti akan sangat menggembirakan Sidanti. Tetapi ia
mendengar Argajaya menjawab, “Terima kasih, Kiai. Itu sama sekali tidak perlu.
Kami akan berjalan di malam hari.”
“Tidak. Tidak. Tidak boleh
jadi. Kalian harus singgah dan besok kalian akan pergi dengan pakaian yang
pantas.”
Argajaya menarik nafas dalam.
Ketika dipandangnya wajah Sidanti, maka dilihatnya anak muda itu mengganggukkan
kepalanya.
“Hem,” desis Argajaya di dalam
hatinya, “anak ini telah kehilangan harga dirinya. Bukankah tidak pantas sama
sekali kalau aku dan Sidanti terang-terangan menerima pemberian dari Ki
Sentol.”
Namun dalam pada itu, Sidanti
berkata di dalam hatinya, “Ah, kenapa Paman telah tidak menghiraukan lagi harga
dirinya, sehingga Paman tidak memerlukan pakaian yang lebih baik untuk memasuki
halaman rumah ayah?”
Tetapi mereka tidak sempat
lagi menolak ketika kemudian Ki Sentol langsung memegangi tangan Sidanti dan
ditariknya anak muda itu sambil berkata, “Aku harus memaksa kalian. Kalau perlu
dengan kekerasan. Kalian harus singgah di rumahku malam ini. Besok kalian boleh
pergi. Jangan takut berjalan di siang hari karena aku akan menyediakan pakaian
yang paling baik untuk kalian.” Lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Marilah
Kiai, marilah singgah di rumah yang jelek ini.” Dan kepada yang lain Ki Sentol
berkata, “Marilah, marilah Angger Argajaya dan kau Pandan Wangi, marilah
menemui kakakmu yang aneh ini.”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia berjalan pula naik ke pendapa dan kemudian hilang di
dalam rumah Ki Sentol bersama yang lain.
Betapapun juga, pertemuan itu
merupakan saat yang penuh ketegangan bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya. Setiap kali mereka harus menciptakan jawaban-jawaban atas pertanyaan
yang kadang-kadang membuat mereka pening. Mereka harus sangat berhati-hati. Apalagi
terhadap Pandan Wangi. Pertanyaan-pertanyaannya yang sederhana sering membuat
Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti menjadi bingung. Untunglah bahwa Ki
Tambak Wedi dan Argajaya ternyata memiliki kecakapan untuk menyusun ceritera
khayal yang cukup baik dan menarik.
Ketegangan itu akhirnya
diakhiri dengan permintaan Argajaya untuk pergi ke perigi. “Aku akan mandi
dahulu, Kiai. Supaya tubuhku yang kotor ini, tidak mengotori lantai rumah ini.”
“Ah,” Ki Sentol berdesah,
“baiklah, Ngger.” Lalu orang itu tiba-tiba berteriak memanggil isterinya.
Katanya, “Sediakan tiga pengadeg pakaian yang paling baik untuk tamu-tamuku.”
Sekali lagi dada Argajaya
berdesir. Katanya, “Terima kasih, Kiai. Kalau aku tidak dapat menolak, maka
lain kali aku akan menukarnya dengan pakaian yang serupa.”
“Jangan pikirkan itu, Ngger.
Jangan kau pikirkan.”
Dan ternyata bahwa malam itu
mereka telah mendapat pakaian yang baik dan pantas kecuali makan dan minum.
Sidanti menjadi agak berlega hati. Besok ia akan dapat masuk ke halaman rumahnya
dengan wajah tengadah.
Malam itu Pandan Wangi tidak
jadi pergi berburu setelah lewat tengah malam. Bahkan ia pun kemudian pergi
tidur, supaya besok ia dapat bangun pagi-pagi dan ikut mengantar kakaknya
pulang ke rumahnya.
Malam itu, meskipun mendapat
tempat yang baik, Ki Tambak Wedi tidak dapat memejamkan matanya. Kenangannya
terbang ke masa silamnya yang jauh. Masa silam yang tidak dapat terhapus dari
kenangannya. Apalagi apabila teraba olehnya bekas luka di bahu dan sebuah
goresan di dadanya. Maka seakan-akan terbayang kembali perkelahian antara hidup
dan mati, yang pernah terjadi antara dirinya dan Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh.
Ki Tambak Wedi terloncat
berdiri. Dihentakkannya kakinya untuk mengusir kenangan yang seolah-olah
mengungkat kembali kepahitan hidup yang pernah dialaminya dan yang membekas di
hatinya untuk sepanjang umurnya. Tetapi orang tua itu pun kemudian dengan lesu
menjatuhkan dirinya duduk di atas pembaringanmya. Ditundukkannya kepalanya
dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Kenapa aku tidak berhasil melupakannya?”
Semakin keras ia berusaha
bahkan tampak semakin jelas di dalam angan-angannya, apa yang pernah terjadi.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dibaringkannya tubuhnya. Tetapi tidak lama kemudian
ia mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang ketiga kalinya.
“Hampir pagi,” desisnya. Orang
tua itu seakan-akan tidak sabar lagi menunggu matahari melonjak dari cakrawala.
Terasa betapa malam bertambah panjang.
Namun akhirnya sinar pagi yang
cerah memancar di langit. Burung-burung liar berkicau bersahutan, seolah-olah
berlomba memujikan kidung yang manis, bahwa mereka masih sempat menikmati hari
baru dalam kurnia kasih yang mulus. Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
seolah-olah ia ingin menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya setelah
semalam-malaman nafasnya disesakkan oleh kenangan yang pahit. Dengan wajah
tengadah kini ia berdiri di belakang rumah Ki Sentol dalam panasnya matatahari
pagi. Dipandanginya berkas-berkas sinar yang menyusup di sela-sela dedaunan,
keputih-putihan seperti awan yang berwarna cerah.
Pagi itu Ki Tambak Wedi,
Argajaya dan Sidanti sudah tidak dapat ditahan lagi. Ketika Ki Tambak Wedi,
Argajaya, dan Sidanti selesai berkemas, maka segera mereka minta diri untuk
meneruskan perjalanan. Bagaimanapun juga Ki Sentol mencoba menahan mereka, namun
mereka terpaksa meninggalkan rumah itu. Sidanti segera ingin sampai ke
rumahnya, melihat semuanya yang telah cukup lama ditinggalkannya. Bahkan Pandan
Wangi pun memutuskan untuk ikut pulang bersama dengan kakaknya. Ia tidak
meneruskan rencananya, berburu di hutan peliharaan.
Ketika matahari memanjat
langit semakin tinggi, serombongan orang-orang yang baru saja meninggalkan
rumah Ki Sentol itu telah ke luar dari padukuhan. Mereka kini berjalan di jalan
persawahan yang sempit, berurutan. Sekali-sekali mereka berpaling memandangi
sekumpulan kuntul yang berterbangan, dalam warnanya yang putih, seperti kapas
yang bergumpal-gumpal terbang dihanyutkan angin yang kencang.
Tidak banyak yang mereka
percakapkan dalam perjalanan itu. Sidanti dan Argajaya masih selalu menghindari
pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi yang kadang-kadang sukar untuk menemukan
jawabnya, sehingga Pandan Wangi itu menjadi heran. Kakaknya, Sidanti beberapa
tahun lampau bukanlah seorang pendiam. Bahkan pamannya itu pun seakan-akan
bukan pamannya beberapa waktu yang lalu, yang pergi membawa dua orang pengawal
ke sebelah timur Gunung Merapi. Pamannya sekarang tiba-tiba saja berubah
menjadi seorang pendiam dan kadang-kadang menjadi gugup.
Tetapi Pandan Wangi tidak
berprasangka apa-apa. Ia hanya menganggap bahwa perjalanan yang lama telah
membuat mereka menjadi terlampau lelah. Karena itu ia berusaha untuk
menyesuaikan dirinya. Ia pun tidak terlampau banyak bertanya, meskipun di dalam
dadanya tertahan keinginan tahu yang besar, apa sajakah yang telah mereka lihat
dan mereka dengar, apalagi yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan mereka.
Tetapi yang paling diam di
antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Ia berjalan di paling depan dengan kepala
tunduk. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat wajahnya dan memandang
berkeliling, memandang daun padi yang hijau, air yang mengalir di parit yang
menggenangi sawah sejauh mata memandang. Burung kuntul yang putih berterbangan
berkelompok, berputar-putar untuk kemudian pecah seolah-olah rontok jatuh ke
dalam air. Satu-satu hinggap pada kaki-kakinya yang panjang untuk mencari
makanan mereka di dalam air.
Semakin dekat dengan rumah
Sidanti, wajah Ki Tambak Wedi tampak menjadi semakin tegang. Perjalanan itu pun
menjadi semakin senyap. Hanya langkah kaki-kaki mereka sajalah yang terdengar
gemerisik pada daun-daun rumput liar yang kering.
Dalam ketegangan itu mereka
sama sekali tidak menyadari, telah berapa lama mereka berjalan. Mereka tidak
menyadari bahwa matahari telah condong ke barat. Panas yang menyengat tubuh
mereka, sama sekali tidak terasa. Bahkan keringat yang membasahi tubuh mereka
pun hampir-hampir tidak pernah mereka usap. Debu yang kotor yang berterbangan
oleh kaki-kaki mereka, telah hinggap di tubuh dan pakaian mereka.
Mereka menjadi semakin berdebar-debar
ketika di kejauhan, di seberang bulak yang panjang di kaki Pegunungan Menoreh
tampak rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Di muka rumah itu terbentang
sebuah halaman yang luas. Kemudian, di luar sepasang regol halaman, masih
didapatinya sebuah lapangan yang cukup luas. Alun-alun Menoreh. Meskipun tidak
seluas alun-alun Pajang, bahkan belum mencapai separonya, tetapi rumah Sidanti
itu tampak benar-benar sebuah rumah seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar.
Tanpa disengaja, Ki Tambak
Wedi berpaling. Ketika Sidanti melihat wajah orang tua itu, hatinya ikut
berdebar-debar pula. Wajah itu memancarkan kesan yang mendebarkan hatinya.
Tetapi sekali lagi ia menekankan anggapannya, bahwa Ki Tambak Wedi menjadi jemu
karena dirinya, karena kegagalan yang pernah dialami.
“Seharusnya kecemasan Guru
tidak boleh berlebih-lebihan,” berkata Sidanti di dalam hatinya. Tetapi ia
tidak dapat mengatakannya kepada gurunya, Ki Tambak Wedi.
Dengan demikian maka mereka
masih saja terbenam dalam kediaman. Masing-masing sibuk dengan angan-angan
sendiri. Namun semakin dekat mereka dengan rumah Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh, maka hati mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi karena
langkah-langkah mereka, maka rumah itu pun menjadi semakin dekat, sejalan dengan
matahari yang menggantung di langit semakin mendekati punggung-punggung bukit
di sebelah Barat.
Tiba-tiba dalam kediaman itu
Kerti bergumam, “Kita sudah hampir sampai.”
Argajaya berpaling. Dilihatnya
wajah Kerti yang cerah, seolah-olah tidak pernah ada persoalan apa pun di dalam
benaknya.
“He,” berkata Kerti lebih
lanjut kepada seorang kawannya, “Pergilah mendahului. Beritahukan kepada Ki
Gede, bahwa akan datang tamu dari Padepokan Tambak Wedi.”
“Ah,” desis Ki Tambak Wedi
tanpa berpaling, “tidak perlu. Nanti Argapati akan melihatnya sendiri.”
“Biarlah, Kiai. Biarlah
orang-orang di rumah itu tidak terkejut. Dan biarlah mereka siap untuk
menyambut kedatangan Kiai di daerah bukit Menoreh ini.”
Ki Tambak Wedi tidak menyahut.
Ketika ia melihat seseorang berlari-lari kecil mendahului perjalannya, ia
seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja.
Pandan Wangi sendiri kemudian
berjalan saja di dalam kediamannya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
Ia menyadi bingung dan canggung menghadapi kakak dan pamannya yang seakan-akan
selalu mengelakkan pembicaraan.
“Apakah sikapku menjemukan
mereka?” ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Dengan demikian maka Pandan
Wangi yang ragu-ragu menghadapi kakak dan pamannya itu pun menjadi selalu
terdiam pula.
Namun kini mereka telah berada
beberapa puluh langkah saja dari alun-alun Menoreh. Sejenak lagi mereka akan
memasuki lapangan rumput itu dan beberapa puluh langkah pula mereka akan sampai
ke regol halaman rumah Sidanti yang besar dan berhalaman luas.
Ki Tambak Wedi menjadi semakin
berdebar-debar ketika tiba-tiba ia melihat beberapa orang keluar dari regol
halaman rumah yang berdiri tegak di hadapannya, di seberang alun-alun. Dan
debar di dadanya semakin keras ketika di antara orang-orang itu berdiri seorang
laki-laki yang hampir sebaya dengan umurnya. Bertubuh tinggi tegap berdada
bidang. Wajahnya yang keras memancarkan kekerasan hatinya pula. Sedang sorot
matanya yang tajam melukiskan ketajaman pikirannya.
Orang yang bertubuh tinggi
tegap itu berdiri sambil mengerutkan keningnya. Rambutnya yang sudah berseling
putih beberapa helai, tampak selembar-selembar dibelai angin. Ikat kepalanya
yang dikenakan dengan tergesa-gesa tidak menutup ke seluruhan rambutnya yang
panjang, yang disanggulkannya dengan tergesa-gesa pula. Adalah menjadi
kebiasaannya untuk membiarkan rambutnya terurai apabila ia sedang beristirahat
di rumahnya. Dibiarkannya dadanya yang bidang itu bertelanjang. Bulu-bulu
dadanya yang lebat tumbuh dengan suburnya. Sehelai kain panjang disangkutkannya
di pundaknya. Dan dikenakannya sebuah celana hitam sepanjang betisnya. Sebuah
sisir yang lengkung tersangkut pada rambutnya yang tebal dan lebat.
Ketika ia mendengar bahwa ada
tamu yang akan datang, maka segera ia berkemas. Dikenakannya dengan
tergesa-gesa bajunya dan disanggulkannya rambutnya. Ikat kepalanya yang selalu
disangkutkan di lehernya, segera dikenakannya pula. Dan dengan sigapnya ia
melangkah ke luar rumahnya dan terus ke halaman.
Sekali-kali tangannya
diangkatnya untuk memilin kumisnya yang lebat. Orang itu adalah Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh.
Argapati memandangi
serombongan orang-orang yang berjalan di alun-alun dengan tajamnya. Segera ia
dapat mengenalinya satu-satu. Namun wajahnya segera berubah ketika ia melihat
orang tua yang berjalan di samping Sidanti, Ki Tambak Wedi.
Tetapi perubahan wajahnya itu
sama sekali tidak membekas ketika kemudian orang yang bertubuh tinggi tegap itu
tersenyum. Dengan tenangnya ia melangkah maju, menyongsong tamunya. Meskipun
tamunya masih belum dekat benar, terdengar Argapati menyapanya dengan suara
yang berat, “Ha, agaknya burung perenjak yang manis telah menuntunmu kemari,
Paguhan, eh, maksudku Ki Tambak Wedi.”
Tampak kening Ki Tambak Wedi berkerut.
Namun kemudian ia tersenyum pula sambil menjawab, “Aku ternyata salah jalan,
Argapati. Aku sama sekali tidak ingin datang mengunjungimu.”
Keduanya tertawa. Ketika jarak
mereka menjadi semakin dekat, segera keduanya mengulurkan kedua tangan mereka
masing-masing, menggenggam lengan dan mengguncang-guncangnya.
“Kau memang awet muda,
Argapati,” desis Ki Tambak Wedi.
Argapati tersenyum sambil
menggangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku selalu jejamu, Tambak Wedi.
Tetapi meskipun demikian rambutku sudah diwarnai oleh rambut putih.”
Pertemuan itu nampaknya begitu
akrab dan menyenangkan. Sidanti yang masih berdiri di samping gurunya menjadi
heran. Kenapa selama di perjalanan gurunya tampak terlampau muram dan cemas.
Semakin dekat dengan rumah ayahnya, gurunya menjadi semakin pendiam. Ternyata
sambutan ayahnya pun sama sekali tidak membayangkan peristiwa apa pun yang dapat
mengeruhkan pertemuan itu.
“Apakah mungkin Ayah akan
marah kepada Guru nanti apabila ia mendengar tentang keadaanku?” pertanyaan itu
bergelut di dalam dada Sidanti. Namun ia tidak, dapat menemukan jawabnya.
Dalam pada itu, ayahnya segera
menegurnya pula dengan ramah, menegur pamannya Argajaya dan adiknya Pandan
Wangi. Dan sejenak kemudian maka Argapati telah mempersilahkan tamu-tamunya
memasuki halaman rumahnya dan naik ke pendapa yang luas.
Ternyata kesan yang didapat
oleh Sidanti dalam pertemuan itu, sama sekali bertentangan dengan kegelisahan
dan kediaman gurunya di sepanjang jalan. Namun meskipun demikian gurunya sama
sekali masih belum menyinggung tentang sebab-sebab Sidanti terpaksa pulang
kembali ke Menoreh. Selama ini gurunya masih mengatakannya bahwa kedatangan ini
adalah sekedar kerinduan yang tidak tertahankan untuk melihat kampung halaman,
justru ketika Argajaya mengunjungi Tambak Wedi.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi
memotong, “Tetapi bukankah Paman mengatakan bahwa Paman, Kakang Sidanti, dan Ki
Tambak Wedi baru saja mengadakan perjalanan yang panjang, dan kali ini sekedar
singgah saja?”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Tetapi ia kemudian tertawa, “Kau salah Pandan Wangi. Kami memang
baru saja mengadakan perjalanan. Tiba-tiba kami dihinggapi oleh keinginan yang
tak tertahankan untuk melihat kampung halaman. Begitulah.”
Pandan Wangi
menggangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali memang tidak berprasangka. Ia
percaya bahwa mereka sedang dalam perjalanan dan dibakar oleh kerinduan kepada
kampung halaman, sehingga mereka memerlukan singgah meskipun hanya sebentar
langsung sebelum mereka kembali ke Tambak Wedi. Ternyata dari pakaian yang
mereka pergunakan pada saat mereka berada di rumah Ki Sentol.
“Tetapi mereka datang dari
arah Hutan Mentaok. Bukankah Tambak Wedi terletak jauh di seberang Hutan
Mentaok?” sebuah pertanyaan tiba-tiba saja menyentuh hatinya. Namun pertanyaan
itu dijawabnya sendiri, “Itu tidak penting. Dari mana pun mereka datang mereka
dapat mengambil arah itu.”
Argajaya menjadi berlega hati
ketika ia melihat Pandan Wangi menggangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya, “Apakah kalian sedang dalam
perjalanan yang jauh?”
Sejenak Argajaya tidak
menyahut. Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan sorot mata yang memancarkan
kecemasan hati. Seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan, bagaimana harus
menjawab pertanyaan itu.
Ki Tambak Wedi melihat
kecemasan yang membayang di wajah Argajaya. Karena itu maka ia pun segera
memutar otaknya. Ia harus dapat menjawab pertanyaan itu tanpa menimbulkan
kecurigaan. Maka katanya, “Ya, Argapati. Kami memang sedang dalam perjalanan.
Kami sedang melihat-lihat betapa luasnya tanah ini. Kami daki gunung-gunung
yang tinggi dan kami turuni jurang-jurang yang dalam. Sidanti memerlukan
pengalaman itu.”
Argapati menggangguk-anggukkan
kepalanya. “Bagus,” katanya kemudian. “Bagus. Pengalaman adalah guru yang baik.
Kau memang memerlukannya Sidanti. Kau memerlukan pengalaman yang banyak sekali
sebelum kau menjadi seorang prajurit yang baik. Tetapi dengan demikian apakah
kau tidak meninggalkan tugasmu sebagai seorang prajurit Pajang.”
Sidanti menjadi
berdebar-debar. Ternyata pertanyaan ayahnya menjadi berkepanjangan. Dan kali
ini ia menjadi benar-benar kebingungan untuk mencari jawab.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
harus menjawab pertanyaan itu. “Akulah yang minta ijin untuknya, Argapati. Aku
melihat Sidanti masih terlampau hijau. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan
dari kawan-kawannya prajurit, tetapi ternyata bahwa pengalamannya tidak banyak
bedanya dengan prajurit-prajurit yang lain, yang harus menunggu perintah untuk
berbuat sesuatu. Karena itu Sidanti memerlukan keseimbangan. Kelebihannya dalam
tata bela diri harus diimbangi dengan kecepatan berpikir dan bertindak. Dengan
demikian maka barulah ia dapat disebut seorang prajurit yang baik. Tidak hanya
sekedar mampu menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya oleh atasannya,
tetapi ia mampu menentukan sikap menghadapi keadaan yang tiba-tiba.”
“Bagus, bagus,” Argapati
menggangguk-angguk lebih cepat lagi. “Kau memang seorang anak yang baik, yang
mempunyai hari depan yang baik pula. Di bawah asuhan seorang yang tepat, kau
akan menjadi seorang yang tidak ada duanya di seluruh Pajang. Tetapi bagaimana
dengan keadaan Sangkal Putung? Apakah daerah itu telah memungkinkan untuk
ditinggalkannya?”
“Sangkal Putung telah menjadi
baik kembali. Sepeninggal Tohpati, maka tidak ada lagi kekuatan yang dapat
mengganggu.”
“Oh, jadi benar Angger Tohpati
telah dapat dipatahkan.”
“Ia terbunuh di dalam
peperangan.”
“Siapakah yang membunuhnya?”
Ki Tambak Wedi menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun ia kemudian berkata, “Angger Untara.”
“Ah,” Argapati berdesah, “aku
kira kau akan menyebut nama Sidanti, Paguhan.”
“Sidanti telah mengalaminya
juga bertempur melawan Tohpati. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali.”
“Apakah ia masih belum dapat
mengalahkannya?”
“Aku tidak dapat mengatakan
demikian Argapati, tetapi mereka belum pernah mendapat kesempatan perang
tanding yang tidak terganggu oleh hiruk pikuk pertempuran. Juga Angger Widura
tidak dapat mengalahkan Tohpati dalam perang yang demikian. Kesempatan untuk
itu memang terlampau sempit. Baru ketika senapati muda yang bernama Untara itu
berhadapan langsung dengan Tohpati, kesempatan itu didapatkannya.”
Argapati sekali lagi
menggangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Aku tidak menyesal bahwa kau masih
belum mengalahkan Tohpati, Sidanti. Apalagi kemudian yang berhasil membunuh
Angger Tohpati adalah Angger Untara sendiri. Seandainya Tohpati terbunuh oleh
orang lain, maka kau harus malu, bahwa bukan kau yang telah melakukannya.”
Sidanti sendiri hanya dapat
menundukkan kepalanya. Debar dadanya menjadi semakin mengguncang jantungnya. Ia
merasa seolah-olah sedang bergantung pada sebuah ranting yang kering.
Tetapi seperti Pandan Wangi,
Argapati pun sama sekali tidak berprasangka sama sekali, bahwa baik Ki Tambak
Wedi, Argajaya, dan Sidanti telah terdorong semakin jauh ke dalam
ceritera-ceritera yang mereka khayalkan bersama.
Untuk menutupi kebohongan yang
pernah mereka katakan sebelumnya, maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
Argapati dan Pandan Wangi, mereka harus membuat kebohongan-kebohongan baru,
semakin lama semakin banyak dan semakin banyak.
Hanya karena kecepatan mereka
berpikir, maka seolah-olah ceritera mereka itu benar-benar hidup. Meskipun
mereka tidak berjanji lebih dahulu, dan tidak menyiapkan kerangka ceritera yang
harus mereka katakan, namun mereka berusaha untuk saling menyesuaikan diri.
Meskipun demikian, mereka terpaksa menjadi semakin gelisah.
Pertanyaan-pertanyaan Argapati menjadi semakin sulit untuk mereka jawab.
Sidanti sendiri semakin lama
menjadi semakin diam. Tidak banyak yang dapat dikatakannya tentang
perjalanannya mengelilingi daerah Demak lama. Bahkan ia berdoa, agar ayahnya
tidak bertanya tentang daerah-daerah yang belum pernah dilihatnya.
“He, Sidanti,” tegur Argapati,
“kenapa kau diam saja. Apakah Ki Tambak Wedi telah merubahmu menjadi seorang
pendiam? Ayo, ceriterakanlah apa yang pernah kau alami. Aku akan menjadi bangga
mendengar ceriteramu. Kau pasti pernah bertempur dengan serombongan penjahat,
segerombolan perampok atau sekelompok orang-orang yang menyalahgunakan
kekuasaannya untuk kepentingan diri, kemudian memeras orang-orang yang menjadi
reh-rehannya. Kau pasti telah banyak berbuat selain menghadapi orang-orang
Jipang yang agaknya sulit untuk mengerti keadaan yang sebenarnya telah
dihadapkan di muka hidung mereka.”
Keringat dingin mengalir di
segenap lubang-lubang kulit Sidanti. Wajahnya menjadi tegang, dan kerongkongan
menjadi pepat. Untunglah bahwa gurunya membantunya. Berkata Ki Tambak Wedi,
“Anak itu terlampau lelah. Pengalaman yang pertama ini agaknya terlampau berat
baginya. Argapati, suruhlah anak itu tidur atau beristirahat atau apa pun.
Besok pagi ia akan dapat berceritera seperti seekor burung yang segar disinari
matahari pagi.”
Argapati tertawa.
Dipandanginya wajah Sidanti yang tunduk. Katanya, “Ya, barangkali kau terlampau
payah, Sidanti. Meskipun kau jauh lebih muda dari gurumu, tetapi jalan
pernafasanmu dan otot bebayumu masih belum mendapatkan latihan yang mantap,
sehingga kau terlampau cepat menjadi lelah.”
Mendengar kata-kata Argapati
itu, Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah Argapati
menyindirnya, bahwa ia kurang berhasil menuntun anak muda itu. Tetapi ia
mendengar Argapati itu meneruskan, “Betapapun baiknya latihan-latihan yang
telah kau jalani, tetapi perjalanan yang pertama apalagi dalam jarak yang
demikian jauh, memang merupakan latihan yang terlampau berat buat kau.
Seharusnya kau mengalami perjalanan-perjalanan yang lebih ringan. Tetapi
agaknya memang sudah menjadi adat gurumu.” Argapati berhenti sejenak, lalu
kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Bukankah begitu Paguhan? Kau tidak pernah
telaten mengurusi persoalan-persoalan kecil. Kau ingin cepat langsung pada
persoalan yang kau ingini. Tanpa banyak pendahuluan dan pengantar.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Namun ia tersenyum, “Mungkin begitu, Argapati. Aku sendiri sulit
untuk menilai diri. Tetapi aku memang tidak telaten berjalan dengan langkah
kecil-kecil. Aku ingin meloncat sejauh jangkauanku.”
Argapati tertawa pula, “Kau
masih belum berubah.” Lalu kepada Sidanti ia berkata, “Beristirahatlah. Besok
kau akan dijamu oleh anak-anak muda yang paling terkemuka di Tanah Perdikan
ini. Para pemimpin Pengawal Tanah ini. Kau pasti akan mendapat seribu macam
pertanyaan. Mungkin ada yang menyenangkan hatimu, tetapi pasti ada pula
pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan bagimu. Setiap orang tertarik pada
persoalan yang berbeda-beda. Ada yang ingin supaya kau berceritera tentang
perkelahian-perkelahian yang pernah kau alami, ada yang ingin mendengar apakah
kau bertemu dengan gadis-gadis cantik di perjalananmu, atau kau pernah melihat
apa saja yang tidak ada di Menoreh, atau kau menjumpai jenis makanan yang
paling enak yang pernah dibuat orang. Nah, malam ini persiapkan saja semua
jawabannya.”
Sidanti yang tunduk itu
mengganggukkan kepalanya, “Ya, Ayah. Aku akan mencoba.”
“Bagus,” kemudian kepada
Pandan Wangi ia berkata, “bawalah kakakmu untuk beristirahat. Sediakan gandok
kulon untuknya dan gurunya.”
“Ya, Ayah,” sahut Pandan Wangi
sambil berdiri. Kemudian ia melangkah pergi memanggil pelayannya untuk
membersihkan gandok kulon.
Ketika kemudian Sidanti
meninggalkan pertemuan itu, maka serasa ia terlepas dari sebuah kungkungan yang
menyekat nafasnya. Begitu ia menginjakkan kakinya di halaman, begitu ia menarik
nafas dalam-dalam. Terasa betapa sejuknya udara tanah kelahiran. Terasa betapa
nyamannya silir angin di kampung halaman.
Sidanti berhenti sejenak
ketika ia sampai ke depan pintu gandok. Dipalingkannya wajahnya. Ditebarkannya
pandangan matanya ke sekelilingnya, hingga pada hijaunya pepohonan.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir.
Rumah ini, rumah ayahnya, terasa begitu asing baginya. Meskipun sudah lama ia
tidak pulang kembali ke rumah ini, tetapi rumah ini adalah rumah ayahnya.
Rumahnya sendiri.
Persoalan yang mereka
bicarakan di pendapa itu telah melemparkannya pada suatu keadaan yang tidak
disangka-sangkanya. Bayangan dan angan-angannya tentang rumah ini sama sekali
berbeda dengan apa yang dijumpainya. Di sepanjang jalan ia berharap, bahwa
begitu ayahnya mendengar tentang keadaannya, maka segera berbunyi tengara untuk
menyiapkan pasukan di seluruh Tanah Perdikan yang besar ini.
Tetapi ketika ia sudah sampai
di Menoreh, sudah berhadapan dengan ayahnya Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh, maka ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak
menyenangkannya sama sekali. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa pembicaraan
mereka berkisar ke dalam suatu khayalan yang menjemukan.
“Benar-benar gila,” gumamnya
di dalam hatinya, “peristiwa di rumah Ki Sentol telah menyeret aku ke dalam
keadaan yang sangat jelek. Apakah Guru dan Paman akan terus menerus bertahan
pada keterangannya. Apakah kami akan terus menerus berbohong tanpa ujung dan
pangkal? Semakin jauh kami terlibat dalam kebohongan yang gila itu, keadaan
kami pasti akan semakin sulit. Mungkin ayah pun akan tersinggung pula apabila
ia kelak terdampar pada suatu kenyataan tentang keadaanku, Guru dan Paman
Argajaya yang sebenarnya.” Sidanti menggeretakkan giginya. “Kami harus berterus
terang. Kami harus berterus terang supaya aku tidak disiksa oleh kebohongan
itu.”
Sidanti masih saja berdiri di
depan pintu gandok kulon. Ia masih saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat.
Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Sentol benar-benar telah membuatnya sangat
sulit. Pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi telah mulai mendorong pamannya untuk
membuat ceritera khayal. Lalu gurunya dan dirinya sendiri.
“Gila, gila,” ia menggeram.
Tetapi Sidanti itu terkejut
ketika ia mendengar suara halus di belakangnya, “Marilah, Kakang. Bilikmu telah
kami siapkan. Kau dan gurumu akan tidur di gandok malam ini. Mungkin juga Paman
Argajaya. Tetapi agaknya paman akan segera pulang setelah sekian lama
meninggalkan bibi dan adik-adik di rumah dalam kecemasan.”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Ketika terpandang wajah adiknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada
Sekar Mirah. Gadis Sangkal Putung yang telah merusak segala rencananya, segala
cita-citanya dan segala-galanya.
Tetapi ia melihat perbedaan
pada kedua gadis itu. Sekar Mirah adalah gadis yang dibakar oleh gairah hidup
yang menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun Sekar Mirah tidak mampu
menggenggam pedang seperti adiknya, Pandan Wangi. Tetapi Sekar Mirah mempunyai
beberapa kelebihan dari adiknya ini. Adalah kebetulan bahwa Pandan Wangi adalah
puteri Argapati. Mungkin tanpa dikehendaki oleh gadis itu sendiri, ayahnya
telah mengajarinya dalam ilmu tata beladiri. Menurunkan ilmu dari cabang
perguruan Menoreh.
“Tidak. Aku melihat bahwa
darah ayah mengalir pada tubuh Pandan Wangi. Ia cukup lincah, cukup cekatan dan
cerdas untuk menghadapi keadaan yang tiba-tiba,” katanya di dalam hati.
Pandan Wangi yang masih saja
berdiri di dalam gandok menjadi termangu-mangu. Ia menjadi heran kenapa
kakaknya memandanginya seperti belum pernah melihatnya, sehingga wajahnya pun
kemudian ditundukkannya.
“Pandan Wangi masih saja
seorang gadis pemalu,” berkata Sidanti pula di dalam hatinya.