Buku 102
Orang-orang yang membuat
lingkaran di sekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan
dicengkam oleh peristiwa yang hampir di luar nalar. Ledakan cambuk Swandaru
telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan
kepingan-kepingan baja yang melingkar di antaranya ternyata telah berhasil
menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga di
punggungnya.
Ketika darah mulai mengalir
dari luka itu, maka harimau itupun menjadi bagaikan gila. Perasaan sakit yang
tiada taranya telah mencengkamnya. Namun agaknya ia tidak mau menyerah. Dengan
garang ia menggeram, dan sekali lagi menyerang Swandaru dengan kedua kakinya
yang terjulur ke depan, dengan kuku-kuku yang tajam runcing.
Tetapi sekali lagi harimau itu
terdorong surut. Sekali lagi cambuk Swandaru meledak, langsung mengenai kepala
harimau itu.
Harimau itu terjatuh dan
berguling beberapa kali. Aumnya menghentak penuh kemarahan. Namun ledakan
cambuk Swandaru bergema lebih keras. Dan harimau itupun menggeliat kesakitan.
Disusul oleh ledakan sekali lagi, sekali lagi.
Orang-orang Sangkal Putung
berdiri mematung di seputar arena itu seperti orang yang sedang bermimpi.
Mereka melihat luka yang silang melintang menyobek kulit harimau itu.
Jalur-jalur yang panjang menganga sampai punggung.
“Mengerikan sekali” desis
Pandan Wangi memalingkan wajahnya ketika beberapa kali lagi Swandaru masih
ingin meyakinkan kedahsyatan cambuknya.
Ketika harimau itu menggeliat
sekali lagi, maka Swandaru pun maju selangkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia
mengangkat cambuknya. Ia ingin meledakkan cambuknya untuk yang terakhir kali
dan membunuh harimau itu sekaligus.
Terdengarlah ledakan yang
sangat keras bagaikan ledakan petir di langit. Dengan sepenuh tenaga cambuk
Swandaru terayun dan mengakhiri perjuangannya melawan harimau itu dalam rangka
menguji kemampuan tenaganya.
Pada saat yang hampir
bersamaan, di dalam sebuah goa yarg sepi dan terpencil, telah terdengar pula
ledakan yang sangat dahsyat mengguncang bagaikan gempa yang keras. Seonggok
batu karang telah hancur pecah menjadi debu.
Sesaat ruang di dalam goa itu
menjadi gelap, sehingga Agung Sedayu sendiri justru harus menutup hidungnya
dengan telapak tangannya. Napasnya rasa-rasanya menjadi sesak oleh debu yang
menghambur memenuhi ruangan yang diguncang oleh kedahsyatan kekuatan cambuk
Agung Sedayu.
Ketika ruangan itu kemudian
menjadi terang kembali, maka Agung Sedayu melihat kepingan-kepingan batu-batu
padas yang berserakan berhamburan di seluruh ruangan.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia telah berhasil menyalurkan tenaga cadangannya sepenuhnya pada
ujung senjatanya, sehingga ujung cambuknya yang lemas itu, telah mampu
meremukkan seonggok batu karang yang keras.
Sejenak Agung Sedayu berdiri
termangu mangu kemudian satu-satu ia melangkah dan duduk di atas sebuah batu
yang lain, merenungi kepingan batu karang yang telah dipecahkannya.
Ketika Swandaru dan
pengiringnya berpacu kembali ke Sangkal Putung sambil membawa tubuh harimau
yang terluka parah silang melintang itu, Agung Sedayu telah merenung di dalam
biliknya. Sejenak ia masih duduk termangu-mangu. Tetapi ia sadar bahwa waktunya
sudah sampai pada batas yang diberikan gurunya. Sebulan.
“Aku tinggal mempunyai waktu
semalam lagi,” berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. “Tetapi aku kira
semua yang penting sudah aku dapat, meskipun masih berharap bahwa aku akan
mendapatkan kesempatan mematangkannya lain kali. Tetapi sekarang aku sudah
berhasil membuka pintu dan memasukinya setiap saat yang aku kehendaki.”
Agung Sedayu mengusap keringat
yang membasahi keningnya. Sejenak ia masih duduk diam. Namun sejenak kemudian
iapun teringat bahwa sudah waktunya ia turun dan menanak nasi.
Karena itu, maka iapun
perlahan-lahan menuruni lubang sempit yang berbelok belok. Selagi ia merangkak
turun, ia selalu merasa seolah-olah ia sedang beristirahat barang beberapa saat
dan melihat alam di luar lingkungan dinding goa.
Ketika kemudian Agung Sedayu
berada di mulut goa untuk mencari air, maka hampir di luar sadarnya ia memperhatikan
cahaya matahari yang jatuh di atas dedaunan yang hijau rimbun di tebing sungai
yang curam itu. Sejemput angin yang berhembus menyusuri tebing sungai itu telah
mengguncang dedaunan yang bergetar satu-satu di perapian cahaya matahari.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam ia sendiri kurang mengerti, kenapa ia senang sekali memandang
cahaya matahari yang jatuh di dedaunan yang hijau segar.
Sejenak Agung Sedayu mengambil
nafas panjang sekali. Lalu melangkah ke sungai membawa mangkuk yang dibuatnya
dari pelepah upih.
Seperti yang selalu
dilakukannya, maka Agung Sedayupun kemudian menanak nasi dan menjerang air utuk
minum. Agaknya kali yang terakhir karena di hari berikutnya ia harus kembali
kepada gurunya di padepokan kecil yang telah dibangunnya.
Agung Sedayu tiba-tiba telah
dicengkam kerinduan kepada kemenakannya, Glagah Putih.
Ketika Agung Sedayu kembali ke
daiam biliknya, ia masih ingin mempergunakan sisa waktu sebaik-baiknya. Setelah
duduk merenung sejenak, maka mulailah ia dengan latihan-latihan terakhirnya
bagi kekuatan-kekuatan yang diketemukannya di dalam goa itu.
Sejenak kemudian iapun telah
duduk bersila di atas sebuah batu padas di dalam ruangan. Kedua tangannyapun
telah bersilang di dadanya. Setelah mapan, maka mulailah ia memusatkan segenap
pikiran, perasaan dan indranya dalam pemusatan kekuatannya pada sorot matanya
yang memiliki kemampuan sentuhan yang bersifat wadag.
Beberapa saat kemudian Agung
Sedayu teluh mulai dengan sentuhan-sentuhan sorot matanya meraba dinding
ruangan itu. Ia sengaja tidak mempergunakan benda-benda lain, tetapi ia ingin
mengetahui kekuatan rabaan sorot matanya pada dinding ruangan di dalam goa itu.
Sesaat kemudian nampak
ketegangan telah mencengkam Agung Sedayu. Keringatnya mulai mengalir di
kulitnya. Semakin lama nampak betapa ia telah tenggelam dalam pengerahan tenaga
pada sorot matanya yang mempunyai sifat wadag itu.
Dalam puncak kekuatannya,
perlahan-lahan nampak goresan-goresan kecil pada dinding ruangan itu. Semakin
lama menjadi semakin jelas. Sehingga akhirnya, goresan-goresan itu nampak
sebagai retak-retak yang menjalar pada dinding goa itu.
Sesaat kemudian, dalam
hentakan kekuatannya Agung Sedayu sadar, bahwa dinding goa itupun pula pecah
dan sedikit demi sedikit batu-batu padas mulai berguguran.
Kesadaran itulah, yang
kemudian mulai menahan arus kekuatannya yang lebih dahsyat lagi. Itulah yang
sebenarnya ingin diketahuinya, betapa jauhnya kekuatan matanya yang tidak
bersifat wadag, tetapi mempunyai kekuatan yang bersifat wadag itu.
Agung Sedayu menghentikan
rabaan dan sentuhan kekuatan matanya yang dahsyat itu. Ia sengaja tidak
menggunakan segenap kekuatannya, agar dinding goa itu tidak menjadi rusak
karenanya.
Ketika ia sudah selesai dengan
pemusatan kekuatannya, dan kemudian melapaskannya, terasa betapa kelelahan
telah mencengkamnya. Namun perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan mendekati
guguran padas yang runtuh dari dinding goa itu. Retak-retak yang masih melekat
pada dinding nampak tusukan-tusukan yang seolah-olah telah menghentak pada
batu-batu padas itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
pun meraba dengan tangannya. Debu yang tebalpun kemundian runtuh pula. Debu
yang melekat pada dinding yang setiap saat bertambah-tambah tebal beberapa
lapis.
Namun, ketika tangannya meraba
di tempat yang agak tinggi, pada bagian-bagian yang runtuh oleh sentuhan
matanya, ketajaman alat perabanya telah menyentuh sesuatu. Itulah sebabnya,
maka dengan berdebar-debar iapun mulai menghapus debu yang tebal pada dinding
goa itu.
Agung Sedayu terkejut. Ia melihat
beberapa buah lukisan yang lamat-lamat pada dinding goa itu, yang seakan-akan
telah hilang tertutup oleh debu yang tebal.
“Ilmu kanuragan,“ ia bergumam
dengan wajah yang tegang.
Agung Sedayu tidak sabar lagi.
Ia melepas kain panjangnya yang dengan serta merta dikibas-kibaskan pada
dinding goa itu untuk menghapus debu permukaan dinding goa yang luas.
Dengan berdebar-debar Agung
Sedayu kemudian mulai memperhatikan lukisan-lukisan itu. Dengan segera ia
mengenal, ilmu itu adalah ilmu yang sedang ditekuninya di padepokannya bersama
gurunya, Ki Waskita dan pamannya Widura.
“Ilmu yang pernah diturunkan
oleh ayah kepada kakang Untara dan yang pernah diterima oleh paman Widura,“
desisnya dengan hati yang berdebar-debar.
Dengan tergesa-gesa,
seolah-olah sedang dikejar oleh waktu yang semakin sempit, ia mulai menelusur
ilmu itu dari permulaan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam
tatarannya, serta orang yang serba sedikit telah pernah mengenal ilmu itu pula,
maka Agung Sedayupun segera mengetahui pangkal dari pada ilmu itu.
Dengan penuh gairah ia
memperhatikan setiap tingkatan ilmu yang semakin lama menjadi semakin sempurna
itu.
“O, betapa dahsyatnya. Ilmu
itu akan sampai pada unsur gerak yang paling tinggi. Dengan mengenal
lukisan-lukisan ini, maka seseorang akan mendapat tuntunan unsur-unsur gerak
dari ilmu itu sampai ketingkat terakhir.” berkata Agung Sedaya di dalam
hatinya, sementara ia melangkah terus mengelilingi dinding gua yang penuh
dengan lukisan itu. Tingkat demi tingkat, dan semakin tinggi letak lukisan itu,
semakin tinggi pula tingkat ilmu yang terlukis di dinding goa itu. Beberapa
tulisan yang terselip di antara lukisan-lukisan itu memberikan beberapa
petunjuk yang semakin jelas, bahwa orang yang melukis itu dengan sengaja telah memberikan
dasar-dasar ilmunya yang semakin meningkat dalam urutan yang paling wajar,
sampai akhirnya tentu akan mencapai puncaknya.
Akhirnya Agung Sedayu yang
sudah memiliki ilmu puncak itu tidak sabar lagi. Iapun mempercepat langkahnya.
Dengan bekal yang ada padanya, ia langsung dapat mengenali tingkatan ilmu yang
terlukis pada dinding goa itu.
Namun tiba-tiba langkahnya
tertegun. Ia sudah sampai pada lukisan-lukisan yang semakin rumit. Untunglah
bahwa ia pernah berusaha untuk mengenali dirinya sendiri lewat lukisan-lukisan
yang pernah dibuatnya di Sangkal Putung. Dengan heran ia melihat, seolah-olah
lukisan-lukisan itu telah terpancang pada dinding goa itu pula.
“Secara naluriah aku mengikuti
perkembangan ilmuku waktu itu dengan benar,” gumam Agung Sedayu.
Dibantu dengan tangannya, ia
mulai menelusur lukisan tata gerak dan sikap pemusatan tenaga dan tenaga
cadangan yang ada pada diri seseorang. Sikap puncak seperti yang baru saja
dicapainya di dalam goa itu. Bahkan ada satu lukisan itu menuntun seseorang
kepada tingkatan yang lebih tinggi, yang seolah-olah tidak lagi dapat dicapai
dengan tanpa melepaskan diri dari kewadagan.
Agung Sedayu benar-benar
menjadi tegang. Ia melihat arah ilmu itu pada suatu tingkatan yang paling sulit
dan penuh rahasia. Ia melihat seseorang mulai dengan tata gerak halusnya tanpa
menyertakan ujud wadagnya untuk melakukan sesuatu yang bersifat wadag. Seperti
rabaan sorot matanya. Namun lebih luas dan tinggi. Bukan saja sorot matanya,
tetapi seluruh dirinya yang harus melepaskan diri dari dirinya yang bersifat
wadag, meskipun untuk tujuan yang bersifat wadag pula.
Agung Sedayu benar benar
menjadi berdebar-debar, ia memperhatikan lukisan itu satu-satu. Namun semakin
lama menjadi semakin berdebar-debar. Di ujung lukisan itu, ia melihat
retak-retak dinding goa yang bahkan sebagian permukaan telah dirontokkan dengan
tatapan matanya.
“Puncak ilmu ini ada di ujung
itu,“ desis Agung Sedayu yang menjadi ragu ragu. Bahkan kemudian kakinya
bagaikan tidak mau melangkah lagi oleh kecemasannya sendiri. Dinding itu telah
runtuh di sebagian kecil oleh kekuatan sorot matanya, justru pada bagian-bagian
yang terpenting dari lukisan itu.
Agung Sedayu belum sempat
mempelajari dengan teliti lukisan-lukisan yang ada di dinding itu. Tetapi
pengamatannya yang tajam telah dapat manangkap, bahwa sikap yang nampak pada
lukisan di dinding akan sampai pada suatu puncak ilmu yang sulit untuk dicapai,
meskipun dengan dasar yang ada padanya, akan dapat dipelajarinya.
Selangkah Agung Sedayu maju.
Tangannya masih meraba lukisan-lukisan pada dinding goa itu. Ia mulai melihat
sikap yang mapan untuk sampai pada tingkat ilmu tertinggi dari cabang perguruan
ayahnya sendiri.
Tetapi ketika ia maju
selangkah lagi, hatinya bagaikan rontok oleh kekecewaan yang memuncak. Dinding
goa itu sudah retak, dan lukisan-lukisan yang terpahat pada dinding itu telah
ikut rontok pula. Justru tepat pada sikap puncak dari ilmu cabang perguruan
yang sedang diamatinya, cabang perguruan ayahnya sendiri.
Kekecewaan yang tajam telah
menusuk jantungnya, jika saja lukisan itu masih ada, ia akan mendapat tuntunan
untuk mempelajarinya lebih jauh. Meskipun ia telah sampai pada puncak ilmunya
sendiri, tetapi agaknya masih ada selapis yang lebih tinggi yang dapat
dipelajarinya dari lukisan-lukisan yang terdapat di dinding gua itu.
Tetapi kaki Agung Sedayu
bagaikan menjadi tidak berdaya sama sekali. Ketika terpandang olehnya
bagian-bagian dari lukisan itu yang patah dan pecah karena reruntuhan dinding
goa itu.
“O,” Agung Sedayu tiba-tiba
saja telah terduduk dengan lemahnya, “aku telah merusak peninggalan yang tidak
ternilai harganya ini.”
Kekecewaan, penyesalan dan
berbagai macam perasaan telah bercampur-baur di dalam dirinya. Ia merasa telah
kehilangan barang yang paling berharga. Yang dicarinya dan belum pernah
diketemukannya. Tetapi kemudian dengan penuh kesadaran ia melihat yang belum
diketemukan itu telah hilang.
Penyesalan yang menghentak
dadanya itu bagaikan telah menghisap semua kekuatan tubuhnya. Ilmunya yang
dahsyat tidak berarti sama sekali untuk melawan kekecewaan di dalam diri.
Bahkan dengan geram ia menyesali diri. “Betapa sombongnya aku. Kenapa aku telah
mencoba memecahkan dinding padas itu? Kenapa aku tidak mempergunakan batu-batu
atau sasaran lain, selain dinding goa? Kini aku telah membuat kesalahan yang
tidak bisa terampuni.”
Agung Sedayu menutup kedua
belah matanya. Yang hilang itu tidak akan dapat diketemukannya lagi.
Untuk beberapa saat Agung
Sedayu terduduk dengan lemahnya menyesali dirinya. Terasa matanya menjadi
panas, dan seakan-akan ia telah menutup pintunya sendiri bagi ilmu yang lebih
sempurna.
Sekilas ia memandang dinding
goa itu sekali lagi. Matanya yang tajam dapat melihat goresan-goresan halus
yang tidak begitu dalam pada dinding gua itu. Memang tidak begitu jelas.
Apalagi setelah tertutup debu bertahun-tahun lamanya. Lukisan itu benar-benar
telah tersembunyi.
Agung Sedayu menemukan kembali
lukisan yang tertutup debu itu baru setelah ia menemukan pula harapan terakhir.
Bagian yang terpenting.
Yang ada itu tidak berarti
apa-apa lagi, bahkan tiba-tiba Agung Sedayu menggeram, “Aku sudah mencapai
tingkat ilmu sejajar dengan ilmu tertinggi yang masih tersisa pada dinding goa
itu. Meskipun dari cabang perguruan yang lain, namun aku yakin bahwa tingkat
itu sudah aku capai. Tanpa peningkatan lagi, maka lukisan-lukisan itu sudah
tidak akan ada artinya apa-apa lagi. Daripada ilmu itu diketemukan oleh orang
lain, yang mungkin akan dapat disalah gunakan, maka sebaiknya, lukisan itu aku
hancurkan saja sama sekali.”
Agung Sedayu tiba-tiba saja
bagaikan menemukan kembali kekuatannya. Dengan hati yang geram ia meloncat
berdiri. Dengan kaki renggang dan tangan bersilang di dada, ia mulai
mempersiapkan diri. Ia ingin menghapus semua lukisan yang ada dengan tatapan
matanya.
Namun tiba-tiba saja
seolah-olah ia melihat Glagah Putih melintas dihadapan matanya. Seolah-olah ia
melihat anak muda itu mencoba mencegahnya dan bertanya, “Apakah aku tidak
berhak ikut mewarisinya ?”
Sejenak Agung Sedayu
termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Bayangan Glagah
Putih mulai bermain di angan-angannya.
“Kasihan anak itu,“ desis
Agung Sedayu, “iapun berhak mewarisi ilmu itu seperti aku dan kakang Untara.
Adalah tidak adil jika aku merusak seluruhnya. Bahwa aku telah mematahkan puncak
ilmu itu, adalah benar-benar suatu kecelakaan.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sekali lagi dipandanginya dinding goa yang runtuh itu. Justru pada
tingkat ilmu yang tertinggi.
Namun tiba-tiba sorot matahari
yang tersisa menerobos masuk pada lubang dilangit-langit goa itu, seolah-olah
ia melihat sorot yang ajaib bagi dirinya. Ia sadar, bahwa sorot itu adalah
sorot matahari. Sorot yang memancar dari benda langit yang masih tetap menjadi
rahasia. Mungkin seseorang masih akan dapat mencari beberapa unsur kejelasan
mengenai matahari itu sendiri. Tetapi dalam hubungan yang utuh dari seluruh isi
langit, maka manusia bagaikan berhadapan dengan rahasia yang maha besar dan
tidak terungkapkan.
Dan kini, kesadaran itulah
yang telah menikam jantung Agung Sedayu. Dalam alam yang kecil inipun ia masih
harus menjumpai rahasia yang tidak terungkapkan. Batas yang diperkenankan
dicapainya adalah batas yang masih ada. Seolah olah sorot matahari itu sudah
memperingatkannya. bahwa memang belum waktunya baginya untuk mengetahui rahasia
tertinggi dari ilmu itu Rahasia yang untuk sementara masih diselubungi oleh
batasan dari Sumber segala yang ada.
“Ternyata bahwa kesempatan
bagiku masih selalu dibatasi oleh kekuasaanNya,” berkata Agung Sedayu.
Dengan demikian ia justru
merasa telah bersalah bahwa ia hampir saja kehilangan akal karena puncak ilmu
yang tidak dapat dicapainya itu. Hampir saja ia melupakan keterbatasannya
sebagai manusia yang tidak lebih dari debu dalam imbangan seluruh alam.
“Betapa sombongnya aku,“
desisnya, “yang sudah aku capai rasa-rasanya masih selalu kurang tanpa
pernyataan terima kasih sama sekali untuk Sumber Kurnia ini. Seharusnya aku
berlutut dan mengucapkan terima kasih bahwa aku telah mencapai sesuatu yang
sangat berharga. Bukan sebaliknya mengumpati diri sendiri dengan tamaknya.”
Agung Sedayupun kemudian
mencoba mengendapkan hatinya, betapapun kekecewaannya kadang-kadang masih
terasa menyentuh perasaannya. Namun kemudian ia justru duduk sambil
menyilangkan tangannya. Ia merasa wajib untuk mengucapkan sukur kepada Yang
Maha Kasih, yang telah memperkenankannya membuka pintu bagi pencapaian ilmunya
yang semakin meningkat.
“Bahwa aku masih belum
diperkenankan mencapai tingkatan ilmu yang tertinggi, itu memang masih belum
waktunya,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, Agung Sedayu
dapat sekedar mengobati kekecewaannya dengan pengakuannya atas kekecilan
dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam yang besar dan apalagi dengan
penciptanya.
Dengan pengakuannya itu, maka
Agung Sedayu merasa bahwa yang perlu dilakukannya di dalam goa itu memang sudah
cukup. Tepat dalam jarak waktu yang diberikan oleh gurunya, ia dapat
menyelesaikan pencapaian yang panjang dari bagian terakhir yang paling sulit.
Bahkan ia telah sampai pada pencapaian yang penting, dengan kemampuannya
mempergunakan tenaga yang tidak bersifat wadag dalam sentuhan yang bersifat
wadag.
Dalam pada itu, Swandaru Geni
yang berlatih dengan gigihnya, telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi pula
dalam oleh kanuragan meskipun dalam segi yang berbeda dengan Agung Sedayu
sesuai dengan perhatiannya terhadap keadaan disekitarnya. Ia menjadi seorang
yang tangkas seperti kijang, tetapi kuat seperti seekor gajah. Senjatanya yang
mendapat sedikit tambahan pada juntainya, merupakan senjata yang sangat
berbahaya, karena setiap sentuhan akan dapat merobek kulit daging. Jangankan
kulit daging seseorang, bahkan seekor harimaupun tidak dapat menahan goresan
juntai cambuk yang menyobek kulitnya.
Menjelang malam purnama naik,
Kiai Gringsing duduk di pendapa padepokan kecilnya bersama Ki Waskita. Glagah
Putih masih sibuk di belakang menyalakan lampu yang akan dipasang di regol dan
pendapa padepokan itu.
“Hari ini adalah hari terakhir
yang aku berikan kepada Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak salah hitung atau tenggelam dalam
kesibukan sehingga ia tidak ingat lagi akan waktu. Jika ia menyadari saat ini,
maka ia tentu akan datang tepat pada waktunya.”
Kiai Gringsing mengangguk
angguk. Katanya, “Agung Sedayu adalah anak yang patuh. Aku percaya, jika tidak
ada halangan apapun juga, ia akan datang hari ini, selambat-lambatnya akhir
malam nanti.”
Ki Waskitapun
mengangguk-angguk. Agung Sedayu bukannya orang yang biasa mengabaikan perintah.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
memang sudah berkemas meninggalkan bilik di dalam goanya. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, maka lubang di langit-langit bilik itu sudah menjadi
buram.
Perlahan-lahan Agung Sedayupun
kemudian meninggalkan bilik itu dengan hati yang berat. Seolah-olah ia masih
ingin tinggal lebih lama lagi. Tetapi tidak dapat mengabaikan perintah gurunya,
bahwa waktu yang sebulan itu sudah lalu.
Sekali lagi ia merangkak
keluar dari lubang yang panjang dan berkelok-kelok turun ke jalur goa. Kemudian
membenahi barang barang yang masih akan dibawanya kembali. Beberapa lembar
pakaian.
Ketika Agung Sedayu melangkah
keluar dari mulut goa, terasa kakinya bagaikan menjadi lemah, seperti juga
otot-ototnya yang terasa letih sekali.
Ternyata selama di dalam goa,
Agung Sedayu telah memeras semua tenaga yang ada, sedangkan ia hampir tidak
menghiraukan makan dan minumnya. Bekal yang dibawanya, yang memang kurang
mencukupi itu, ternyata justru masih tersisa.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ketekunannya berlatih telah membuatnya
kadang-kadang lupa kepada wadagnya, kepada tubuhnya, sehingga baru di saat
terakhir terasa betapa sebenarnya lemahnya badannya.
Tetapi ternyata bahwa
kekurangan bagi tubuhnya itu tidak mempengaruhi latihan-latihan yang
dilakukannya. Seolah-olah ia mendapatkan kekuatan yang lain kecuali kekuatan
tubuhnya semata-mata. Dan ternyata bahwa ia telah dapat mempergunakan
sebaik-baiknya.
Setelah semuanya selesai, maka
Agung Sedayupun kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan goa itu. Dengan
ragu-ragu ia melangkah. Namun rasa-rasanya langkahnya menjadi semakin berat.
Ketika sekali lagi ia berhenti dan berpaling, maka dilihatnya wajah goa itu
telah disaput oleh gelapnya malam.
Namun dalam pada itu cahaya
yang kekuning-kuningan mulai merangkak naik. Bulan yang bulat telah timbul dari
balik cakrawala.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan langkahnya yang lemah ia berjalan membawa sebungkus kecil
pakaiannya menyusur tebing sungai yang curam.
Dalam perjalanan kembali ke
padepokan, mulailah Agung Sedayu membayangkan masa lampaunya. Ia memang heran
bahwa di masa kanak-kanak ia sudah pernah datang ke tempat itu bersama
kakaknya, Untara. Itu adalah sesuatu yang menimbulkan berbagai pertanyaan.
“Agaknya dengan sengaja Ayah
menunjukkan tempat ini. Ayah dengan sengaja mendorong kakang Untara dan yang
kebetulan aku waktu itu mengikutinya, pergi ke mulut goa ini, karena di
dalamnya justru terdapat tuntunan ilmu yang mencapai tingkat tertinggi itu,“
berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “tetapi kenapa Ayah tidak berterus
terang, sehingga sampai pada akhir hayatnya, Ayah tidak sempat memberitahukan
sesuatu mengenai isi goa itu?”
Tetapi pertanyaan itu akan
tetap menjadi pertanyaan. Bahkan Agung Sedayupun menjadi ragu-ragu, apakah
ayahnya juga mengetahui bahwa di dalam goa itu ada lukisan-lukisan pokok-pokok
tata gerak dan sikap dari ilmu yang dimiliki oleh ayahnya itu.
Agung Sedayu termangu-mangu.
Rasa-rasanya lukisan-lukisan itu memang belum pernah disentuh oleh seseorang
untuk waktu yang lama sekali. Menilik tataran ilmu kakaknya, maka tentu
Untarapun belum pernah melihat lukisan-lukisan ilmu di dalam goa itu.
“Rahasia yang sulit untuk
dipecahkan,“ gumam Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Karena itulah, maka untuk
sementara Agung Sedayu ingin menyimpan rahasia itu di dalam hatinya, “Mungkin
pada suatu saat ia dapat menemukan jalan pemecahan yang dapat mengungkap ruang
di dalam goa itu.”
Dalam pada itu, ketika ia
mulai mendaki tebing, terasa tubuhnya manjadi letih sekali. Dengan demikian ia
semakin menyadari, betapa keterbatasannya sebagai makhluk yang sangat kecil
itu. Betapapun tingginya pencapaian ilmu seseorang, namun ia tetap merupakan
mahkluk yang dibatasi oleh kodratnya.
“Agaknya aku terlalu tekun
berlatih, sehingga aku melupakan wadagku,“ desis Agung Sedayu.
Demikianlah, maka iapun mulai
merangkak-rangkak naik ke atas tebing yang curam. Keletihannya terasa sangat
mengganggunya. Meskipun karena tekadnya dan latihan-latihan yang pernah
dilakukan, maka akhirnya ia dapat mengatasi kesulitan itu. Dengan bantuan
cahaya bulan bulat di langit ia melihat dengan jelas, tebing yang curam dengan
batu-batu padas yang menjorok. Di bawah kakinya, nampak mengalir air yang
bening memantulkan cahaya bulan yang jauh pada aliran riak yang keputih-putihan
di sela-sela batu-batu yang besar.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan tatapan mata yang redup, seakan-akan ia mengucapkan selamat
tinggal kepada sungai, tepian dan tebing yang curam itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayupun
kemudian melanjutkan perjalanannya ke sebuah padepokan kecil di luar Kademangan
Jati Anom. Padepokan yang belum lama dibangunnya bersama Kiai Gringsing, Glagah
Putih dan dibantu oleh Ki Waskita, dengan tenaga dan bahan-bahan yang dikirim
oleh kakaknya, Ki Untara dan pamannya Ki Widura.
Tetapi Agung Sedayu masih
harus melintasi hutan yang meskipun tidak begitu lebat, tetapi cukup
memperlambat langkahnya yang kelelahan dan lemah. Untunglah bahwa di dalam
hutan itu ia tidak menemukan gangguan apapun juga. Seandainya ia bertemu dengan
binatang buas di perjalanannya, maka ia harus mengerahkan tenaga dan
kemampuannya pada saat wadagnya tidak memungkinkan.
“Mungkin aku dapat
melawannya,” berkata Agung Sedayu di dalam hati, “tetapi aku tentu akan
kehabisan tenaga sama sekali, sehingga perjalananku menjadi semakin lambat.”
Namun Agung Sedayu ternyata
dapat meninggalkan hutan itu tanpa rintangan apapun juga. Ia mendengar juga aum
harimau di kejauhan. Tetapi agaknya harimau itu tidak mencium baunya dan tidak
mengganggu perjalanannya.
Agung Sedayu masih mempunyai
waktu semalam untuk mencapai padepokannya, meskipun dengan demikian ia sudah
melampui batas waktu meskipun hanya sedikit. Tetapi agaknya gurunyapun
membatasi waktunya sampai menjelang pagi.
Perjalanan Agung Sedayu
bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Karena itu, betapa letih dan
lemahnya, ia masih mampu untuk menempuh perjalanan kembali ke padepokan
meskipun memerlukan waktu yang cukup lama.
Semakin dekat Agung Sedayu dengan
padepokannya, ia menjadi semakin berdebar-debar. Banyak yang akan dapat
disampaikan kepada gurunya, hasil dari saat-saat ia mengasingkan diri.
Pencapaian tingkat ilmu yang lebih tinggi akan menggembirakan hati gurunya.
Juga bentuk-bentuk yang lain dari berbagai macam sikap dan tata gerak akan
menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas padanya di masa depan.
Namun hatinya masih juga
berdebar-debar jika ia mengenang lukisan-lukisan pada dinding ruang di dalam
goa itu, yang justru telah hilang bagian yang terpenting dan tertinggi.
Demikianlah, akhirnya Agung
Sedayupun telah menelusuri jalan yang langsung menuju ke padepokannya. Jalan
yang tidak begitu lebar dan masih terlalu sepi. Apalagi di malam hari.
“Tetapi aku tidak kembali
dengan tangan hampa,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Langkahnya terhenti sejenak,
ketika dari kejauhan ia melihat lampu obor di regol padepokannya yang kecil.
Padepokannya yang baru ditinggalkan tidak lebih dari satu bulan, tetapi
rasa-rasanya sudah terlalu lama. Apalagi padepokan itu memang padepokan yang
masih baru baginya.
Langkahnya jadi semakin berat,
semakin ia mendekati pintu regol. Karena itu, ketika ia telah berdiri di luar
pintu, maka sekali lagi ia terhenti sejenak mengatur pernafasannya. Badannya
memang terasa sangat letih dan lemah.
Dengan ragu-ragu iapun
kemudian mendorong pintu regol padepokannya. Ternyata pintu itu tidak
diselarak, hingga iapun dengan mudah dapat membukanya.
Namun ketika ia melangkah
masuk, terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata ia masih melihat dua
orang duduk di pendapa, menghadapi lampu minyak yang masih menyala, mangkuk
minuman dan beberapa potong makanan.
“Guru masih bangun. Agaknya
dengan sengaja ia menunggu kedatanganku bersama Ki Waskita, ternyata dari persediaan
yang ada.” katanya di dalam hati.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
yang sengaja menunggu kedatangannya bersama Ki Waskita, seperti yang diduganya,
sengaja duduk di pendapa berdua sambil berbincang-bincang panjang lebar.
Mula-mula Glagah Putih ikut bersama mereka. Ialah yang menyediakan minuman dan
makanan, karena ia sendiri ingin ikut serta. Tetapi iapun ternyata letih dan
kantuk, sehingga iapun telah tertidur di sudut pendapa itu juga.
Ternyata gerit pintu regol itu
telah didengar oleh kedua orang tua yang ada di pendapa. Ketika mereka
memperhatikan keremangan bayangan regol halaman, maka mereka sudah melihat
sesosok tubuh yang perlahan-lahan memasuki halaman.
Kiai Gringsing bergeser
setapak, sementara Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang tua itu
memperhatikan sesosok yang berjalan tertatih-tatih melintasi cahaya bulan yang
jatuh di halaman.
“Ki Waskita,” desis Kiai
Gringsing. “Aku melihat kekurangan pada anak itu.”
“Nampaknya ia lemah sekali,”
sahut Ki Waskita.
Keduanya yang semula ingin
menunggu saja di pendapa, kemudian merubah niatnya. Dengan tergesa-gesa
keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan menyongsong turun ke halaman.
“Agung Sedayu,” desis Kiai
Gringsing.
Agung Sedayu mencoba
tersenyum. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening, sehingga langkahnyapun
menjadi semakin lamban.
“Kenapa kau? “ bertanya Kiai
Gringsing sambil menangkap lengannya, sementara Ki Waskita memegang lengannya
yang lain.
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ia mencoba menenangkan hatinya dan mengatur perasaannya.
Tetapi Kiai Gringsing adalah
orang yang cukup berpengalaman. Rabaan tangannya segera memberikan kesan
kepadanya, kekurangan yang ada pada muridnya. Dan agaknya demikian juga pada Ki
Waskita. Tangannya yang memegang lengan Agung Sedayu segera memberitahukan
kepadanya, bahwa tubuh Agung Sedayu menjadi sangat kurus dan lemah.
Keduanyapun kemudian memapah
Agung Sedayu naik ke pendapa dan didudukkannya di atas tikar yang putih. Kiai
Gringsingpun kemudian menuangkan minuman yang sudah agak dingin pada mangkuk
Glagah Putih dan kemudian memberikan kepada Agung Sedayu, “Minumlah. Kau letih
sekali.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Iapun kemudian menerima mangkuk itu. Namun rasa-rasanya tangannya
menjadi gemetar.
Dengan dibantu oleh Kiai
Gringsing, maka Agung Sedayupun kemudian minum beberapa teguk. Meskipun minuman
itu sudah tidak lagi cukup panas, tetapi masih memberikan kesegaran pada
tubuhnya.
“Makanlah,“ desis Ki Waskita
sambil memberikan beberapa potong makanan kepada Agung Sedayu yang letih.
Hampir di luar sadarnya, Agung
Sedayupun kemudian mengambil sepotong makanan dan dengan tangan yang gemetar,
iapun segera menyuapi mulutnya yang terasa menjadi tegang.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
masih belum bertanya sesuatu. Tetapi seolah-olah mereka sudah dihadapkan pada
peristiwa yang dapat diketahuinya dari ujung dan pangkalnya. Agung Sedayu tentu
terlalu tekun melatih diri, sehingga ia melupakan kebutuhan jasmaniahnya.
Kekurangan makan dan minum akan membuat tubuhnya menjadi lemah dan letih betapapun
tinggi ilmu seseorang. Yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri mengurangi
makan dan minum. Tetapi pada batas-batas tertentu bagi kemampuan daya tahan
wadagnya, karena makan dan minum adalah kebutuhan mutlak menurut kodratnya.
Setelah minum beberapa teguk
dan makan sepotong makanan, maka Kiai Gringsing mulai bertanya kepada muridnya
tentang keselamatannya selama dalam perjalanan yang dilakukannya tepat sampai
batas terakhir yang diberikan kepadanya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Minum yang seteguk dan makanan yang sepotong, rasa-rasanya telah
memberikan pengaruh kepada tubuhnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
bergeser sambil mencoba menjawab pertanyaan gurunya tentang keselamatannya.
“Kau kurus sekali,“ berkata
Kiai Gringsing, “waktu yang sebulan telah melarutkan kulit dagingmu.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya.
“Aku dapat menebak apa yang
kau lakukan. Kau tidak sempat, atau kurang memperhatikan wadagmu. Sebelum aku
bertanya tentang peningkatan ilmumu selama kau dalam perjalanan, maka kesan
yang aku lihat pertama-tama adalah ketidakseimbangan antara kemauanmu untuk
mencapai sesuatu dengan pemeliharaan jasmanimu yang merupakan ujud dari dirimu,
karena kau bukanlah Agung Sedayu tanpa wadagmu.”
Agung Sedayu hanya menundukkan
wajahnya saja. Ia menyadari bahwa keseimbangan itu memang kurang dipeliharanya.
“Itu bukan berarti bahwa kau
harus memanjakan wadagmu semata mata. Tetapi wadagmu terdiri dari tulang dan
daging yang memerlukan pemeliharaan yang cukup. Kau memang dapat menguranginya
dengan latihan-latihan tersendiri, tetapi dalam batas-batas yang tidak akan
dapat kau lampaui.”
“Ya guru,” jawab Agung Sedayu,
“kemudian aku menyadari. Dan aku telah mengalami akibatnya. Selanjutnya aku
akan dapat selalu mengingatnya.”
“Baiklah,“ berkata Kiai
Gringsing, “tentu banyak yang dapat kau ceritakan selama perjalananmu yang
pendek itu. Mungkin kau hanya sekedar berjalan saja sebulan penuh. Mungkin kau
berhenti di tempat-tempat tertentu. Atau mungkin kau mengalami benturan
kekerasan dengan binatang buas atau menolong orang-orang yang mengalami
kesusahan. Tetapi nampaknya kau masih terlampau lemah sekarang ini. Aku tahu,
bahwa kelemahanmu itu justru menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi
ketidakseimbangan itu tidak menguntungkanmu.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak,
lalu “Sekarang, beristirahatlah. Minumlah beberapa teguk lagi, dan makanlah
satu atau dua potong makanan. Kemudian kau mencuci kaki di pakiwan dan
beristirahatlah. Aku tidak tergesa-gesa untuk mendengarkan ceritamu yang
panjang.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Iapun kemudian minum lagi beberapa teguk dan makan sepotong
makanan. Ia sadar, dalam keadaan yang demikian, ia tidak boleh makan terlalu
banyak, agar perutnya tidak terganggu karenanya.
Seperti yang dipesankan
gurunya, maka ia tidak akan menceritakan pengalamannya saat itu. Ia memang
ingin beristirahat menjelang matahari terbit.
Namun dalam pada itu, Glagah
Putih yang tertidur di sudut pendapa ternyata telah terbangun oleh pembicaraan
mereka. Karena itu, ketika ia melihat Agung Sedayu, iapun segera melompat dan
dengan tergesa-gesa mendekatinya.
“Jangan kau ganggu dahulu
kakakmu,“ berkata Ki Waskita, “ia masih terlalu lemah.”
Glagah Putih yang mula-mula
tidak memperhatikan keadaan Agung Sedayu, mencoba mengamatinya. Dan iapun kemudian
dapat melihat dalam cahaya lampu minyak, bahwa Agung Sedayu memang nampak kurus
dan pucat.
“Apakah kau sakit kakang? “
bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menggeleng.
Katanya dalam nada datar, “Aku sehat-sehat saja.”
“Tetapi kau kurus dan pucat.”
Agung Sedayu mencoba tersenyum
betapapun kecutnya.
“Biarlah kakakmu ke pakiwan,“
potong Kiai Gringsing ketika ia melihat Glagah Putih masih akan bertanya
berkepanjangan.
Glagah Putih menarik nafas
panjang. Tetapi iapun kemudian membiarkan Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan
menuju ke pakiwan. Minuman yang diteguknya telah memberikan sedikit kesegaran
pada tubuhnya, sehingga meskipun kadang-kadang ia masih harus berpegangan
batang-batang perdu di kebun belakang, namun iapun sempat membersihkan diri dan
kemudian memasuki ruang dalam langsung ke biliknya.
Meskipun bilik itu sudah
ditinggalkannya sebulan, agaknya Glagah Putih telah memeliharanya dengan rapi,
sehingga ketika ia memasukinya, seolah-olah ia berada pada suasana sebelum ia
meninggalkan padepokan kecilnya.
Setelah berganti pakaian, maka
Agung Sedayupun mencoba membaringkan dirinya di pembaringan. Terasa alangkah
nikmatnya. Punggungnya yang bagaikan retak, rasa-rasanya dapat menjadi lurus
dan pulih kembali. Dengan berbaring ia dapat mengatur pernafasannya dan keadaan
tubuhnya yang letih sekali.
Setelah beberapa lama ia
berada di dalam goa, duduk dan bersandar batu-batu padas yang keras, maka
pembaringannya segera memberikan suasana yang lain dan nyaman. Itulah sebabnya,
maka kesadarannyapun segera menjadi kabur.
Sesaat kemudian Agung Sedayu
itupun telah tertidur nyenyak.
“Anak itu agaknya letih
sekali,“ gumam Kiai Gringsing yang ternyata telah duduk di pendapa semalam
suntuk bersama Ki Waskita, karena ternyata sejenak kemudian langit di ujung timurpun
telah menjadi kemerah-merahan.
“Aku akan mengambil air,”
desis Glagah Putih.
“Masih terlalu pagi.“ sahut
Kiai Gringsing.
“Tetapi di saat-saat begini
aku tidak akan dapat tidur lagi.”
Glagah Putih tidak menunggu
jawaban Kiai Gringsing. Iapun segera pergi ke sumur, mengambil air untuk
mengisi jambangan di pakiwan dan di dapur.
Sementara itu. Kiai Gringsing
dan Ki Waskita justru memasuki biliknya masing-masing. Meskipun mereka tidak
akan tidur menjelang fajar, namun merekapun masih sempat membaringkan dirinya
di pembaringan.
Ketika derit senggot terdengar
semakin keras, maka Kiai Gringsingpun telah bangkit pula dari pembaringannya.
Seperti biasa iapun mengambil sapu lidi, dan seperti biasanya pula ia
membersihkan halaman depan, sementara Ki Waskita mulai membersihkan longkangan.
Padepokan kecil itu
rasa-rasanya telah mulai bangun. Namun di antara penghuninya masih ada yang
tidur dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak menghiraukan orang-orang lain yang
sudah mulai sibuk dengan kerjanya sehari-hari.
Tetapi Kiai Gringsing memang
membiarkan Agung Sedayu tidur sepuas-puasnya. Dengan demikian maka keadaan
tubuhnya akan menjadi bertambah baik setelah dengan sungguh-sungguh ia melatih
diri selama sebulan.
Glagah Putih yang sedang
menimba air, tidak henti-hentinya bertanya kepada diri sendiri, apakah Agung
Sedayu sedang menderita sakit.
“Tetapi nampaknya ia memang
sakit. Pucat, kurus dan lemah sekali.” Glagah Putih mencoba menjawabnya.
Demikian nyenyaknya Agung
Sedayu tidur, maka ia baru terbangun ketika cahaya matahari yang menyusup
dinding jatuh di wajahnya. Sambil mengedip-ngedipkan matanya, ia mencoba
mengetahui waktu dengan bayangan cahaya matahari yang menyusup masuk ke dalam
biliknya.
“O, sudah terlalu siang,“
desisnya.
Perlahan lahan ia bangkit.
Tubuhnya masih terasa lemah, meskipun sudah agak menjadi segar sedikit setelah
beristirahat beberapa lamanya.
Ketika ia keluar dari
biliknya, ia mendengar kesibukan di longkangan. Dengan ragu-ragu ia menengok
lewat pintu butulan. Ternyata Ki Waskita sedang membelah kayu dengan sebuah
kapak kecil.
Sambil tersenyum Ki Waskita
menyapa Agung Sedayu yang menggosok matanya, “Kau sudah bangun Agung Sedayu.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Jawabnya, “Aku tidur terlalu nyenyak. Agaknya aku telah bangun kesiangan.”
“Sekali-sekali kau boleh
bangun kesiangan.”
“Dimanakah Glagah Putih?” ia
bertanya.
“Tengoklah di dapur. Baru saja
ia ribut kehabisan kayu bakar. Dan aku sedang membuat kayu bakar baginya.”
Agung Sedayu kemudian pergi ke
dapur. Dilihatnya Glagah Putih sedang sibuk menghembus api di perapian yang
agaknya masih terlalu basah, sehingga nyalanya agak kurang baik.
“Nafasmu akan habis,” desis
Agung Sedayu.
“O, marilah kakang.“ Glagah
Putih tiba-tiba saja telah bangkit, “semalam Kiai Gringsing mencegah aku
mengganggu kakang. Apakah kakang sedang sakit ?”
“Sudah aku katakan, aku tidak
apa-apa.”
Glagah Putih mengerutkan
keningnya. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berbicara lagi, “Apimu. Air itu
tidak akan mendidih. Dan bahkan akan berbau asap jika apimu tidak kau
nyalakan.”
“O,“ Glagah Putihpun
berjongkok lagi di muka perapian. Sekali lagi ia menghembus api itu, sehingga
matanya menjadi merah karena asap. Namun akhirnya apinya itupun menyala.
Agung Sedayupun kemudian duduk
di dekat Glagah Putih. Rasa-rasanya menyenangkan sekali duduk di muka api di
bawah periuk untuk menanak nasi. Seakan-akan Agung Sedayu sedang melepaskan
semua persoalannya dengan ilmunya yang membuatnya menjadi sangat letih.
Namun sejenak kemudian, ketika
api sudah menyala, mulailah Glagah Putih dengan pertanyaannya yang beruntun,
seolah-olah pertanyaan itu sudah disusunnya sejak beberapa hari yang lalu.
Agung Sedayu tersenyum.
Jawabnya, “Aku akan bercerita tentang perjalananku. Tetapi tidak sekarang. Aku
masih sangat letih.”
“O,” Glagah Putih menjadi
kecewa. Tetapi menilik keadaan tubuhnya. Agung Sedayu memang nampak sangat
letih.
“Perjalananku adalah
perjalanan yang menyenangkan,” berkata Agung Sedayu, “banyak manfaat yang dapat
diambil.”
Glagah Putih
mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar belum akan
menceritakan kepadanya, meskipun hanya sebagian kecil saja.
Tetapi Glagah Putih tidak
memaksanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu benar-benar sangat letih. Sehingga
karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang perjalanan Agung Sedayu dan
menyimpan keinginannya sampai saatnya Agung Sedayu bersedia menceritakan.
Sebenarnyalah Agung Sedayu
masih ingin minta banyak pertimbangan dari gurunya dan Ki Waskita tentang
pengalamannya selama ia meninggalkan padepokan. Apakah yang dapat dilakukannya
kemudian bagi dirinya dan mungkin bagi Glagah Putih.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
juga sudah menunggu kesempatan untuk mendengarkan cerita muridnya. Tetapi ia
masih dapat menunggu sampai keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik. Setelah
sehari berada di padepokan, nampaknya ia tentu akan memerlukan beberapa hari
untuk memulihkan keadaan tubuhnya yang kekurus-kurusan itu.
Di sore hari, setelah semua
pekerjaan selesai, maka Agung Sedayupun duduk di pendapa padepokan kecilnya
bersama mereka, maka Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Tentu menyenangkan
sekali jika kita duduk di pendapa sambil minum-minuman panas.”
Glagah Putih mengerutkan
keningnya. Tetapi ternyata ia cukup cerdas menangkap maksud kakaknya, sehingga
iapun kemudian meninggalkan pendapa dan pergi ke dapur.
“Aku tidak boleh ikut
mendengarkannya,“ gumamnya.
Dalam pada itu, di pendapa,
Agung Sedayu yang telah nampak lebih segar itupun mulai dengan ceritanya. Sejak
ia berangkat, semuanya yang telah terjadi, dan jarak jangkauannya atas
peningkatan ilmunya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Mereka membayangkan, apakah yang
telah terjadi atas muridnya itu, seolah-olah mereka dapat melihat sendiri, apa
yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu.
“Jadi kau tidak pergi terlalu
jauh Agung Sedayu,” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak guru. Aku tidak pergi
terlalu jauh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dalam pada itu, iapun mulai membayangkan muridnya yang
seorang lagi. Swandaru Geni. Meskipun Kiai Gringsing belum melihat hasil
peningkatan kedua muridnya itu atas ilmu yang diberikan kepada mereka, namun
Kiai Gringsing sudah dapat membayangkan perbedaan ciri dan pribadi dari ilmu
yang ada di kedua muridnya yang memang memiliki dasar kepribadian yang berbeda
itu.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam. Kiai Gringsing bertanya, “Agung Sedayu. Bagaimanakah mungkin kau
dapat menemukan goa di tebing sungai yang curam itu.”
“Sejak kecil aku pernah
melihat mulut goa itu,“ jawab Agung Sedayu.
“Sejak kecil?“ Kiai Gringsing
menjadi heran.
Agung Sedayupun kemudian
menceritakan teka-teki di dalam hatinya. Apakah pada saat itu ayahnya dengan
sengaja memberikan petunjuk kepada Untara agar ia datang dan memasuki goa itu.
Kiai Griungsing menarik nafas
dalam-dalam tetapi iapun tidak dapat menemukan jawabannya dengan pasti.
“Aku kira dugaanmu mendekati
kebenaran,” berkata gurunya, “tetapi selanjutnya Ki Sadewa tidak sempat
memberikan petunjuk lebih jauh lagi sampai saat ajalnya.”
“Jika Ayah benar mengetahuinya,
kenapa Ayah tidak pernah berterus terang, atau setidak-tidaknya cerita tentang
goa itu? Jika ceritanya memberikan arah meskipun serba sedikit, tentu kakang
Untara akan berusaha untuk mencarinya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Memang kita tahu apa yang sudah terjadi
sebenarnya. Tetapi agaknya memang ada hubungannya bahwa pada masa kanak-kanak
Untara telah menemukan mulut goa itu. tetapi yang dewasanya tidak
menghiraukannya lagi.”
“Dan aku sudah merusakkan
pahatan lukisan pada dinding goa itu Guru.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Ia mencoba menilai apa saja yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu.
Pencapaiannya yang cukup banyak, tetapi juga kekecewaan yang mencengkamnya
karena ia telah merusakkan serangkaian lukisan pada dinding goa itu.
Namun dalam pada itu, secara
keseluruhan pencapaian ilmu, ternyata Agung Sedayu pesat sekali, jauh di atas
dugaan gurunya. Gurunya sama sekali masih belum memperhitungkan bahwa Agung
Sedayu akan dapat mengembangkan ilmunya dengan sentuhan yang tidak bersifat
wadag, tetapi mempunyai akibat yang bersifat wadag dengan tatapan matanya.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah sampai pada tataran itu. Bahkan ia
agaknya sudah mulai dipengaruhi oleh lukisan yang dilihatnya, tetapi yang
bagian terpentingnya telah terhapus oleh tatapan matanya itu, karena Agung
Sedayu sudah mulai mempercakapkan tentang lontaran ilmu tanpa sentuhan wadag.
Pelepasan diri dari ujud wadag untuk melakukan perbuatan yang bersifat wadag.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Perkembangan ilmu Agung Sedayu memang jauh bersifat ke dalam.
Namun dalam pada itu, perkembangan ilmu Swandaru agaknya nampak pada
perkembangan ke luar, pada ujud jasmaniahnya yang memang memiliki kekuatan
melampaui kekuatan sewajarnya.
Ki Waskita yang mendengar pula
cerita Agung Sedayu tentang dirinya selama ia berada di dalam goa itu-pun
mengangguk-angguk. Iapun dapat membayangkan, betapa pesatnya kemajuan yang
telah dicapainya. Bahkan Agung Sedayu sudah dapat menyentuh dengan tatapan
matanya atas benda-benda dengan sifat sentuhan wadag.
“Ia masih terlalu muda,”
berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “tetapi ia sudah menguasai ilrnu yang
sangat tinggi. Untunglah bahwa sifat-sifatnya sangat menguntungkan, sehingga
ilmu yang dikuasainya agaknya tidak akan disalah gunakan.”
Agak berbeda dengan Kiai
Gringsing, maka tanggapan Ki Waskita terhadap Agung Sedayu terasa lebih baik
dari tanggapannya atas Swandaru. Kiai Gringsing yang menganggap keduanya adalah
muridnya yang berhak mendapat bekal yang sama dari padanya, agaknya mempunyai
tanggapan yang agak bersifat khusus. Kiai Gringsing selalu mencoba menganggap
keduanya sama dalam pandangannya, tanpa membeda-bedakan.
Tetapi Ki Waskita yang berdiri
di luar lingkungan keluarga perguruan kecil itu, dapat melihat dengan jarak. Ia
dapat membedakan sifat dan watak kedua murid Kiai Gringsing tanpa terikat oleh
perasaan seorang guru terhadap kedua muridnya yang harus diperlakukan sama.
Bagi Ki Waskita, Swandaru
agaknya berkembang ke arah yang kurang menguntungkan. Keberhasilannya selama
ini dan penghormatan yang meriah di saat perkawinannya, telah mendorongnya
untuk merasa dirinya terlalu besar. Dengan demikian, maka sikapnyapun agaknya
telah terpengaruh pula.
Meskipun demikian, ia bukannya
tidak melihat kekurangan pada Agung Sedayu. Jika secara jiwani ia kurang lapang
untuk memuat ilmu yang dicapainya dalam usia yang masih terlalu muda, maka
iapun akan terpengaruh olehnya. Ia akan tenggelam ke dalam dunia khayalan dan
angan-angan. Ia akan hanyut dalam pencapaian ilmu yang lebih tinggi, setingkat
demi setingkat, tanpa menghiraukan keseimbangan perkembangan diri, jasmaniah
maupun rohaniah. Sehingga apabila ia tergelincir selapis, maka syarafnya akan
dapat terganggu.
“Mudah-mudahan ia tidak
kehilangan keseimbangan dan pengamatan dirinya,” desis Ki Waskita di dalam
hatinya.
Dalam pada itu, agaknya Kiai
Gringsing masih belum ingin memberikan tanggapan langsung kepada muridnya. Ia
masih mencoba untuk mempertimbangkan lebih masak lagi apakah yang sebaiknya
dilakukan.
Namun sementara itu, Kiai
Gringsing bukannya sama sekali tidak memberikan pesan. Katanya, “Baiklah Agung
Sedayu. Masih banyak yang harus aku urai dari keteranganmu. Tetapi sementara
ini, biarlah Glagah Putih mendapat tuntunan yang lebih baik. Kau adalah orang
yang memiliki kemampuan itu. Kau dapat mengosongkan dirimu dari pengetahuan
yang kau miliki dengan sadar, sehingga dengan bersih dari segala macam
pengaruh, kau dapat menuntun Glagah Putih sesuai dengan ilmu dasar yang
dipelajarinya.”
“Tetapi sampai dimanakah
tingkat pengetahuan dan pengenalanku atas ilmu itu Guru? “ bertanya Agung
Sedayu.
“Memang tidak lebih dari
pamanmu Widura. Tetapi jika kau berbekal penglihatanmu atas lukisan pada
dinding bilik di dalam goa seperti yang kau katakan, maka kau tentu dapat
mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari pamanmu Widura dan kakakmu
Untara.“ jawab Kiai Gringsing, “sehingga pada suatu saat, jika waktunya tiba,
maka Glagah Putih akan dapat memanfaatkan lukisan-lukisan di dalam goa itu
sendiri dengan bekal yang sudah dimilikinya, sehingga ia akan dapat menyadap
ilmu itu dengan benar dan tidak tersesat.”
“Tetapi ia tidak akan pernah
dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmunya, Guru. Karena aku sudah
menghapusnya dari dinding goa itu.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggeleng. Katanya, “Belum pasti demikian. Mungkin tingkat kecerdasan Glagah
Putih memungkinkannya untuk mencapai tingkat itu dengan bahan yang sudah
dimilikinya. Atau mungkin ia menemukan sumber lain yang dapat menyempurnakan
ilmunya sampai tingkat tertinggi.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Semuanya masih akan
berlangsung Agung Sedayu. Juga mengenai dirimu sendiri. Pada suatu saat. jika
ada waktu yang baik, aku tentu ingin melihat kenyataan dari tingkat ilmumu.
Sehingga dengan demikian penilaianku atasmu menjadi pasti.”
Agung Sedayu mengangguk kecil.
Katanya, “Kapan saja Guru perintahkan, aku akan melakukannya.”
“Kau masih harus memulihkan
keadaan jasmanimu yang susut dan lemah. Pada suatu saat tubuhmu akan pulih dan
kau akan dapat menunjukkan tingkat ilmumu dengan pasti dan meyakinkan.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa dengan demikian bukan berarti bahwa
kerjanya sudah selesai. Ia masih harus berada di dalam sanggar bersama gurunya
dan Ki Waskita untuk menilai tingkat ilmunya yang terakhir. Bukan hanya satu
dua hari. Apalagi dengan kewajibannya terhadap Glagah Putih.
Sejenak kemudian, agaknya Kiai
Gringsing sudah tidak ingin lagi membicarakan peningkatan ilmu Agung Sedayu.
sehingga Agung Sedayupun kemudian pergi ke dapur memanggil Glagah Putih.
“Apakah air itu belum
mendidih?”
Meskipun sebenarnya air sudah
lama mendidih, namun Glagah Putih yang mengerti banwa pembicaraan baru saja
selesai menjawab, “Baru saja kakang.”
“Nah, Guru dan Ki Waskita
sudah menunggu.“
Glagah Putihpun kemudian menyiapkan
minuman dan kemudian membawanya ke pendapa.
Di hari berikutnya, maka Agung
Sedayupun mulai dengan kerja seperti sediakala. Namun iapun tidak lupa dengan
tuntunannya kepada Glagah Putih dalam meningkatkan ilmunya seperti pesan
gurunya. Agung Sedayu masih belum menceritakan tentang lukisan yang terdapat
pada dinding ruang didalam goa itu, agar Glagah Putih tidak tergesa-gesa
menguasai ilmu tertinggi, sehingga dapat menumbuhkan kejutan di dalam dirinya
dan ketidak seimbangan dalam urutan ilmunya itu.
Dalam pada itu, yang dilakukan
oleh Agung Sedayu adalah suatu kewajiban yang sulit. Tidak seperti kebanyakan
orang-orang yang memiliki ilmu dan ingin menurunkan ilmunya kepada muridnya,
maka Agung Sedayu justru sedang mengajarkan ilmu yang tidak dikuasainya benar
kepada orang lain.
Tetapi Agung Sedayupun sadar,
bahwa yang dilakukan itu hanyalah sekedar tataran terendah dari peningkatan
ilmu Glagah Putih, karena pada suatu saat Glagah Putih akan dapat menemukan
jalurnya tersendiri.
Namun dalam hal itu, Agung
Sedayu tidak berdiri sendiri. Pamannya, Widura selalu berusaha membantunya
meskipun ia merasa bahwa ternyata Agung Sedayu lebih banyak menguasai daripada
dirinya, meskipun Agung Sedayu telah memiliki jalur tersendiri dalam cabang
perguruan yang berbeda.
Selain usahanya meningkatkan
ilmu Glagah Putih, maka Agung Sedayupun dengan tekun melakukan pekerjaan
sehari-hari. Ia tidak terlambat pergi ke sawah, bergantian dengan Glagah Putih
menelusur air, jika parit menjadi kering. Memelihara kebun dan pohon
buah-buahan. Membersihkan rumah dan bangunan-bangunan yang ada di padepokan itu
serta memperbaiki kekurangan dan kerusakan-kerusakan kecil yang timbul
kemudian.
Sementara itu, di sebelah
menyebelah tanah persawahan Agung Sedayu, telah terbentang pula beberapa bahu
sawah. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat ijin dari Ki Demang di
Jati Anom untuk membuka tanah persawahan di bawah petunjuk Agung Sedayu
disesuaikan dengan kemungkinan penggunaan air dan pemeliharaan selanjutnya.
Bahkan ternyata kemudian,
bahwa beberapa orang anak muda seakan-akan telah memaksa untuk ikut tinggal di
padepokan kecil, karena mereka sebenarnya ingin pula mendapatkan sedikit
kemampuan dalam olah kanuragan.
“Kalian akan menjadi cantrik
di padepokanku? “ bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang sebenarnya
adalah kawan-kawannya bermain di masa kanak-kanak.
“Apapun yang harus kami
lakukan, kami tidak akan berkeberatan,“ jawab salah seorang dari mereka.
Setelah mendapat persetujuan
dari gurunya, maka Agung Sedayupun dapat memilih tiga orang di antara mereka
untuk tinggal bersamanya di padepokan kecil itu.
Dengan demikian, maka
padepokan itu menjadi semakin ramai. Tiga orang anak muda itu ternyata dengan
sungguh-sungguh ingin luluh dalam kehidupan yang berat di padepokan kecil itu.
Mereka harus memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri. Dari menanam bahan makan
mereka, sehingga menjadikan makanan itu siap untuk dimakan. Bahkan merekapun
harus dapat mencukupi kebutuhan sandang dan keperluan-keperluan lain. Kebutuhan
bagi rumah dan bangunan-bangunan yang ada, bagi kuda mereka dan bagi semua yang
diperlukan.
“Kita akan segera dilepaskan
oleh Kakang Untara dan Paman Widura,” berkata Agung Sedayu kepada anak-anak
muda itu, “sehingga kita harus dapat berdiri sendiri. Makan, minum, pakaian dan
semua kebutuhan harus kita usahakan dengan kemampuan yang ada pada kita
sendiri.”
Tetapi anak-anak muda itu
sudah menyatakan tekadnya. Satu-satunya keinginan mereka adalah mendapatkan
tuntunan dalam olah kanuragan. Meskipun tidak harus mencapai tingkat tertinggi,
namun sekedarnyalah cukup untuk membela diri.
Dari hari ke hari, maka
keadaan tubuh Agung Sedayupun menjadi berangsur pulih kembali. Ia tidak lagi
nampak pucat dan kurus. Justru pekerjaannya sehari-hari yang berat, selain di
sawah juga di sanggar, telah membuatnya nampak segar dan gembira.
Baru setelah Agung Sedayu
menjadi pulih sama sekali, gurunya mulai ingin menilai kemampuan yang dapat
dikuasainya setelah ia berusaha meningkatkan ilmunya. Meskipun dengan lesan
Agung Sedayu pernah melaporkan kepada gurunya, namun Kiai Gringsing ingin
melihat, apakah yang dikatakan itu sesuai benar dengan kenyataannya.
Karena itulah maka ia telah
menentukan waktu yang paling baik untuk mengadakan penilaian itu. Bersama Ki
Waskita, maka iapun membawa Agung Sedayu ke dalam sanggarnya, setelah lewat
tengah malam. Setelah Glagah Putih dan para cantrik di padepokan itu tidur
nyenyak.
“Agung Sedayu,“ berkata
gurunya, “tiba-tiba saja timbul niatku untuk menengok Swandaru ke Sangkal
Putung. Aku ingin juga mengadakan penilaian atas peningkatan ilmu yang
dicapainya. Namun sebelum itu, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa kemampuanmu
benar-benar telah mencapai tingkat seperti yang pernah kau katakan kepadaku.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Jika ia harus menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, maka ia
tentu akan menjadi segan. Tetapi karena hal itu diminta oleh gurunya, serta
agar gurunya dapat memberikan penilaian yang tepat, maka iapun berniat untuk
menunjukkan tingkat yang sebenarnya memang sudah dicapainya.
“Marilah Agung Sedayu,“
berkata Kiai Gringsing, “tunjukkan kepadaku. Terserah kepadamu, yang manakah
yang menurut penilaianmu cukup mewakili kemampuanmu.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Guru, apakah aku diperkenankan
menunjukkan sentuhan pandangan mataku atas sesuatu benda dalam sifat wadag.”
“Cobalah Agung Sedayu.
Pilihlah sasaran yang dapat kau pergunakan.”
Agung Sedayupun kemudian
mengambil sebongkah batu hitam dari kebun di padepokannya, Diletakkannya batu
itu di ujung sanggar. Kemudian ia duduk beberapa langkah dari batu itu. Bersila
sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
yang ingin menyaksikan kemampuan anak muda itupun duduk sebelah menyebelah.
Merekapun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Agung Sedayu mulai mengatur
pernafasannya.
Dengan hati yang
berdebar-debar kedua orang tua itu menunggu. Mereka dapat mengikuti, tingkat
pengetrapan ilmu Agung Sedayu. Sejak ia memusatkan indranya dan menyalurkan
kekuatan pada sorot matanya dengan sifat wadag untuk meraba batu yang menjadi
sasarannya.
Sejenak suasana menjadi
tegang. Agung Sedayu yang memusatkan segenap kekuatannya pada pancaran matanya
yang ditrapkan dalam sifat wadag itu menjadi semakin lama semakin tegang pula,
sehingga pada suatu saat, ketika kekuatannya mulai tersalur di sorot matanya
dalam sifat wadag, keringatnya rasa-rasanya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Namun dalam pada itu, batu
yang dipandanginya itupun mulai bergetar. Ketika Agung Sedayu seakan-akan
menghentakkan kekuatannya, maka tiba-tiba batu itupun menjadi retak dan pecah
berkeping keping.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah menyaksikan kemampuan ilmu Agung
Sedayu. Ternyata bahwa yang sebulan itu telah membuat Agung Sedayu seorang yang
benar-benar mumpuni. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, yang
jarang dimiliki oleh setiap orang.
Ketika Agung Sedayu telah
berhasil memecahkan batu itu, maka perlahan-lahan iapun mulai mengendapkan
ilmunya kembali, sehingga sejenak kemudian maka iapun telah melepaskan
pemusatan indranya dan menarik nafas dalam-dalam.
“Luar biasa Agung Sedayu,“
berkata Kiai Gringsing, “kau telah mencapai suatu tingkat di luar dugaanku. Kau
telah memiliki ilmu yang sulit dicapai. Justru kau telah dapat menemukannya
sendiri dalam pencapaian selama kau berada di dalam goa itu.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Katanya dengan nada datar, “Tetapi pencapaianku inilah yang telah
menghapuskan petunjuk pada puncak ilmu yang terlukis pada dinding goa itu
Guru.”
“Itu bukan salahmu. Tentu
setiap orang akan melakukan kesalahan yang serupa karena ketidaktahuannya.
Siapapun tidak akan mengira bahwa pada dinding goa itu terdapat lukisan tentang
ilmu yang tersusun dalam urutan yang lengkap seperti yang kau katakan itu
meskipun hanya pokok-pokoknya saja.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu.
“Sehingga dengan demikian, maka kau telah menemukan dua hasil yang sangat
penting. Peningkatan ilmumu sendiri, dan susunan ilmu Ki Sadewa yang lengkap.
Bukankah dengan demikian usaha kita untuk mewujudkan kembali jalur ilmu itu
menjadi jauh lebih mudah. Kita tidak usah bersusah payah mempelajarinya dari
bahan-bahan yang memang sangat sedikit. Dari tata gerak dasar ilmu Glagah
Putih. Dari tata gerak dan sikap Ki Widura. Kau kini dapat langsung menemukan
seluruhnya meskipun tidak dengan tingkat puncaknya. Namun untuk mencapai
kemampuan sampai selapis di bawah tingkat puncak itupun aku kira jarang yang
akan dapat melakukannya. Mudah-mudahan Glagah Putih akan dapat menjadi pewaris
yang baik dari ilmu itu, yang pada saatnya akan dapat mempelajarinya dari
unsur-unsur gerak yang terpahat di dinding goa itu. Tentu saja setelah bekalnya
cukup lengkap.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita hanya menyaksikan saja pembicaraan
antara guru dan murid itu. Ia sudah merasa ikut berbahagia atas pencapaian di
luar dugaan itu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu kini sudah menjadi
seorang anak muda yang jarang ada bandingnya.
Namun dalam pada itu, agaknya
Kiai Gringsing masih ingin melengkapi pengenalannya atas muridnya setelah
mencapai tingkat yang lebih tinggi itu dalam tata gerak dan olah kanuragan.
Karena itu maka, katanya, “Agung Sedayu, setelah aku melihat kemampuanmu dalam
unsur yang khusus dari ilmumu, maka kini aku ingin melihat, kemampuan wadagmu.
Aku ingin melihat bagaimana kau mempergunakan wadagmu dalam ungkapan ilmumu dan
penggunaannya. Mungkin kau telah meningkatkan kemampuanmu pula dalam ujud
jasmaniah, sehingga dalam sentuhan wadagmu yang langsung, kaupun mampu
menunjukkan kekuatan yang meningkat.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia memandang isi sanggar itu. Namun ia tidak menemukan
sasaran yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan peningkatan kekuatan ilmunya
yang dapat disalurkan lewat wadagnya.
“Aku dapat mendengar dan
melihat pada gerak dan getar ujung cambukmu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk
kecil. Lalu Katanya, “Baiklah guru. Aku akan mencoba menunjukkannya.”
Agung Sedayupun kemudian
segera bersiap. Sejenak kemudian ia mulai menunjukkan kemampuan jasmaninya
dengan lambaran ilmu yang sudah semakin meningkat. Ternyata bahwa ia mampu
bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Kakinya menjadi sangat lincah dan
kuat.
Untuk beberapa saat Agung
Sedayu meloncat-loncat seolah-olah kakinya tidak berjejak di atas tanah.
Gurunya memandang sambil
mengerutkan keningnya. Demikian juga Ki Waskita yang mengagumi kecepatan
bergerak Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu meloncat ke atas
sebuah amben bambu. Ia masih bergerak dengan cepatnya. Namun amben bambu yang
biasanya berderak-derak itu sama sekali tidak berguncang, bahkan sama sekali
tidak berderit.
Kedua orang tua yang
menyaksikannya benar-benar menjadi kagum. Tubuh Agung Sedayu yang bergerak
dengan cepatnya itu menjadi seakan-akan seringan kapuk kapas. Tanpa bobot.
Sejenak kemudian Agung Sedayu
telah meloncat turun dari amben bambu dan seperti pesan gurunya, ia telah
mengurai senjatanya. Sejenak senjata itu berputar di tangannya. Namun kemudian
dengan sepenuh kekuatannya ia mengayunkan cambuknya dan karena tidak ada
sasaran lain, maka iapun telah menghantam lantai sanggar itu.
Terdengarlah ledakan yang
dahsyat. Disusul dengan hamburan debu yang tiba-tiba saja telah membuat ruang
itu menjadi gelap. Sinar lampu minyak tidak mampu menembus lapisan debu yang
berhamburan memenuhi sanggarnya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
yang berada di dalam sanggar itu benar-benar telah dicengkam oleh kekaguman
yang luar biasa. Kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkirakan, dan
terlebih-lebih lagi, ternyata bahwa Agung Sedayu telah mampu menyalurkan
kekuatannya pada benda-benda yang digenggamnya, sehingga seolah-olah
benda-benda itu, khususnya senjatanya telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Sejenak sanggar itu menjadi sepi.
Agung Sedayu yang telah melepaskan segenap kekuatannya yang tersalur pada
cambuknya, berdiri tegak dalam tebaran debu yang semakin lama menjadi semakin
tipis.
Demikian juga Kiai Gringsing
dan Ki Waskita. Sambil menahan nafas mereka menunggu. Perlahan-lahan debu yang
memenuhi ruangan itu seakan-akan telah mengendap. Dan perlahan-lahan pula
muncullah bayangan Agung sedayu yang berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
renggang sambil menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya,
sedang tangan kirinya memegang ujung juntainya. Di depan kakinya menganga
sebuah jalur yang lebar dan dalam menyilang hampir dari dinding sampai ke
dinding.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
termangu-mangu sejenak. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ki Waskita melangkah
maju mendekati lubang yang menjadi pertanda betapa dahsyatnya kekuatan Agung
Sedayu.
“Luar biasa,“ desisnya di
dalam hati.
Agung Sedayu masih berdiri
termangu-mangu. Ia menunggu tanggapan gurunya atas pencapaiannya.
“Duduklah Agung Sedayu,“ berkata
gurunya kemudian.
Ketiganyapun kemudian duduk di
atas sebuah amben di pinggir sanggar itu. Perlahan-lahan udara di dalam ruang
itu telah menjadi bersih kembali. Namun rasa-rasanya di tubuh mereka yang
berada di dalam ruang itu telah melekat debu yang tebal. Terlebih-lebih karena
keringat yang mengembun.
“Sebenarnya aku tidak ingin
memuji di hadapanmu Agung Sedayu,” berkata gurunya, “tetapi aku tidak dapat
mengatakan lain kecuali kekagumanku atas tingkat yang kau capai hanya dalam
waktu satu bulan. Itulah agaknya yang menyebabkan kau menjadi kurus dan pucat,
bahkan hampir tidak bertenaga, karena kau telah kehilangan keseimbangan antara
tekad dan batas kemampuan jasmaniahmu. Untunglah bahwa kau tidak terbenam dalam
keadaan yang sulit. Kau dapat mencapai tingkat yang hampir sempurna, sementara
jasmanipun masih belum terlambat untuk disegarkan kembali.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Tetapi yang telah kau lakukan
hendaknya menjadi pengalaman. Kau telah mencapai ilmu yang sangat tinggi. Kau
telah mampu mempergunakan yang tidak bersifat wadag untuk perbuatan yang
bersifat wadag. Kekuatan jasmaniahpun telah menjadi berlipat ganda karena kau
telah mampu menguasai kekuatan cadangan di dalam dirimu, dan menguasai
benda-benda yang ada di tanganmu seperti tubuhmu sendiri, juga dalam penyaluran
kekuatan itu.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. “Namun demikian, kau tidak
dapat meninggalkan kodratmu. Itu adalah suatu syarat, bahwa betapapun juga, kau
adalah mahluk yang tidak berarti di hadapan Yang Maha Pencipta, sehingga kau
tidak akan dapat melepaskan diri dari hukum-hukumnya yang berlaku mutlak bagi
setiap manusia.”
Agung Sedayu masih tetap
menundukkan kepalanya. Namun kata-kata itu benar-benar telah meresap di dalam
hatinya. Dan iapun sadar sepenuhnya, betapa kebanggan mencengkam hati karena
pencapaian itu, namun ia tetap hanya sebutir debu di dalam alam semesta, dan
sama sekali tidak mempunyai arti khusus bagi putaran yang harus berlangsung
seperti kodratnya.
Karena itulah maka Agung
Sedayu merasa bahwa ia harus lebih menundukkan kepalanya kepada Yang Maha
Kuasa, yang telah memberikan kemampuan kepadanya, lebih banyak dari kebanyakan
orang.
Dengan demikian maka
seolah-olah Agung Sedayupun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia
akan mempergunakan kurnia itu untuk kebesaran nama-Nya di jalan yang sesuai
dengan kehendak-Nya.
Setelah beristirahat sejenak,
dan Kiai Gringsing telah memberikan penilaian dan pesan pesan, maka merekapun
kemudian meninggalkan sanggar itu. Dan setelah membersihkan diri di pakiwan.
maka masing-masing telah kembali ke dalam biliknya.
Langkah Agung Sedayu tertegun
ketika ia melihat dari sela-sela pintu biliknya, Glagah Putih masih duduk di
pembaringannya. Bahkan seakan-akan ia sedang merenungi sesuatu yang penting
baginya.
Sambil mendorong pintu ke
samping Agung Sedayu menjengukkan kepalanya. Dengan nada datar ia bertanya,
“Kau belum tidur?”
Glagah Putih menggeleng.
“Jadi kau masih duduk di situ
sejak sore?”
“Aku sudah tidur,“ jawabnya
kemudian, “tetapi aku terbangun oleh suara cambuk kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia-pun bertanya, “Kenapa kau tahu bahwa bunyi cambuk itu
adalah cambukku? Bukan cambuk Kiai Gringsing.”
“Kenapa Kiai Gringsing
bermain-main dengan cambuk lewat tengah malam seperti ini jika tidak ada
kepentingan apapun juga ?”
“Kenapa dengan aku?”
“Kakang tentu sedang berlatih.
Ketika aku menjenguk, aku melihat lampu di sanggar masih menyala terang
benderang.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Kau memang cerdik. Tidurlah. Besok kau mendapat kesempatan untuk
berlatih bersamaku.”
Glagah Putih tidak menyahut.
Namun iapun kemudian membaringkan dirinya ketika Agung Sedayu meninggalkannya
sambil menutup pintu biliknya.
Meskipun demikian ia masih
sempat bertanya, “Kau tidur dimana Kakang?”
Dari balik pintu Agung Sedayu
menjawab, “Aku tidur di belakang.”
“Apakah anak-anak di belakang
juga terbangun ?”
“Aku tidak tahu,“ jawab Agung
Sedayu.
Glagah Putih tidak bertanya
lagi. Sejenak ia mencoba mendengarkan desir langkah Agung Sedayu. Ketika ia
tidak dapat mendengar apapun juga, maka iapun mencoba untuk memejamkan matanya.
Di pagi harinya, Agung Sedayu,
Glagah Putih dan tiga orang yang menyatakan dirinya menjadi cantrik di
padepokan itupun sibuk menimbun lubang yang membujur di lantai sanggar
padepokan kecil itu. Dengan herannya mereka bertanya, kenapa di dalam sanggar
itu tiba-tiba saja telah terjadi lubang yang panjang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak
mengatakan bahwa lubang itu adalah bekas lecutan cambuknya yang didasari dengan
kekuatan yang luar biasa.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
yang didesak oleh keinginannya melihat kemajuan muridnya yang seorang lagi,
telah bersiap-siap. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian selesai
dengan pekerjaannya menimbuni lubang di dalam sanggar itu, maka Kiai
Gringsing-pun minta diri kepada mereka.
“Berapa lama guru berada di
Sangkal Putung? “ bertanya Agung Sedayu.
“Aku pernah pergi ke Sangkal
Putung dan tidak bermalam di sana. Tetapi karena kini kau ada, maka aku tidak
segan-segan meninggalkan Ki Waskita dan bermalam di Sangkal Putung barang satu
dua malam.“
Agung Sedayu
mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing melanjutkan, “Aku titipkan seisi
padepokan ini kepada Ki Waskita.”
Ki Waskita tersenyum.
Jawabnya, “Jadi aku masih belum berkesempatan untuk pulang meskipun aku sudah
lama sekali meninggalkan rumah dan pekerjaanku.“
Kiai Gringsingpun tersenyum
pula. Katanya, “Hanya untuk satu atau dua malam.”
Akhirnya seisi padepokan
itupun mengantar Kiai Gringsing sampai ke pintu gerbang dan mengikuti derap
kudanya sampai hilang di tikungan dengan tatapan mata.
“Marilah,” ajak Ki Waskita,
“aku kira Kiai Gringsing benar-benar tidak akan lama. Sementara kita masih
mempunyai kewajiban melakukan tugas kita sehari-hari di sini. Membersihkan
kebun dan halaman Memelihara tanaman dan pohon buah buahan, melihat air di
sawah, dan kerja-kerja yang lain. Kecuali itu, kita masing-masing juga
berkewajiban untuk melatih diri dalam olah kanuragan. Terutama Glagah Putih
yang akhir-akhir ini nampak semakin meningkat.”
“Ah, Ki Waskita selalu
memuji.”
“Bukan sekedar memuji. Tetapi
sebenarnyalah demikian. Perlahan-lahan kita akan menemukan urutan ilmu yang
disebut ayahmu hampir punah itu.”
Glagah Putih tidak menyahut.
Demikianlah, sepeninggal Kiai
Gringsing, penghuni padepokan kecil itupun segera tenggelam dalam kerja
masing-masing seperti yang mereka lakukan setiap hari. Kehadiran tiga orang
anak muda di padepokan itu rasa-rasanya agak meringankan kerja mereka
masing-masing. Tetapi dengan demikian berarti bahwa mereka harus bekerja lebih
keras pula untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena tiga orang anak
muda itu harus mendapat makan dan minumnya pula.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing
yang dalam perjalanan ke Sangkal Putung seorang diri, sama sekali tidak
mendapat hambatan apapun juga. Dengan selamat ia memasuki regol padukuhan induk
Kademangan Sangkal Putung, langsung menuju ke rumah Ki Demang yang sudah
dikenalnya baik-baik.
Namun tiba-tiba saja ia
tertegun. Ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun berhenti dengan
serta-merta, dan bahkan Kiai Gringsingpun langsung meloncat turun.
Di pinggir jalan padukuhan
berdiri dua orang yang terhenti pula langkahnya melihat Kiai Gringsing. Dua
orang yang agaknya sedang menempuh perjalanan jauh. Yang seorang masih muda
sedang yang lain sudah tua.
“Raden,“ bertanya Kiai
Gringsing kemudian, “apakah Raden baru saja dari Kademangan Sangkal Putung?”
Anak muda itu menggeleng
sambil menjawab, “Belum Kiai. Aku memang akan pergi ke Kademangan Sangkal
Putung. Tetapi aku dengar Kiai dan Agung Sedayu sedang tidak ada di Kademangan.
Karena itu, akupun akan langsung pergi ke padepokan kecil di dekat Jati Anom
itu.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, “Bukan sebuah padepokan. Sekedar sebuah pondokan kecil di pategalan
yang sepi.”
“Dan sekarang, apakah Kiai
akan pergi ke Kademangan?”
“Ya Raden, Aku ingin menengok
muridku yang seorang. Swandaru.”
Anak muda itu termangu-mangu.
“Apakah Raden akan singgah
sebentar di Kademangan? Akupun tidak akan lama berada di Sangkal Putung. Aku
akan segera kembali ke Karang.”
“Sepekan?”
“O, tidak Raden. Sehari atau
paling lama dua hari. Apakah Raden akan singgah juga sehari dua hari di Sangkal
Putung, kemudian bersama-sama pergi ke Karang?”
Anak muda itu termangu-mangu.
Dipandanginya orang yang sudah lanjut usia itu dengan pertanyaan di sorot
matanya.
“Agaknya tidak ada jeleknya,“
berkata orang tua itu, “jika Raden ingin singgah barang satu dua hari di
Sangkal Putung, kemudian satu dua hari di padepokan kecil itu.”
Anak muda itupun kemudian
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai, aku akan singgah. Aku kini sudah
tidak dalam perjalanan tirakat seperti yang aku lakukan saat Sangkal Putung
sedang dalam keramaian. Aku sudah kembali ke Mataram dan aku sudah selesai
dengan saat-saat tirakatku. Aku sudah boleh singgah dan tinggal di bawah atap.”
“O,“ Kiai Gringsing
mengangguk-angguk, “jadi Raden sudah selesai dan bahkan sudah kembali ke
Mataram?”
“Ya. Aku sudah berada beberapa
pekan di Mataram. Aku sudah mulai dengan berbagai macam kerja yang terbengkelai
selama aku tinggalkan, meskipun pada umumnya berjalan baik.“ Ia berhenti
sejenak, lalu, “Namun tiba-tiba saja aku telah didesak oleh keinginanku untuk
bertemu dengan Kiai dan kedua murid Kiai.”
“Terima kasih bahwa Anakmas
masih selalu ingat kepada kami,” sahut Kiai Gringsing.
“Apakah alasannya bahwa aku
akan melupakan Kiai dan kedua murid Kiai itu. Kiai sudah banyak berjasa kepada
kami. Dan kini, Kiaipun masih sedang dalam keadaan yang memberikan harapan
kepada kami atas hilangnya kedua pusaka kami dari perbendaharaan pusaka di
Mataram.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Rasa-rasanya sudah lama sekali ia terpisah dari persoalan pusaka
yang hilang dari Mataram, sehingga, tiba-tiba saja ia bagaikan terbangun dari
tidurnya dan teringat kembali akan kedua pusaka itu.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dalam saat-saat terakhir kedua muridnya sedang disibukkan oleh
persoalan sendiri. Persoalan Agung Sedayu yang sedang membentuk dirinya karena
sikap kakaknya yang keras terhadapnya. Swandaru yang merasa dirinya akan
bertanggung jawab atas dua daerah yang terpisah, yang sedang berusaha membentuk
daerahnya menjadi daerah yang kuat dan mampu menjaga diri sendiri.
Dan kini Raden Sutawijaya
datang dengan persoalan yang sudah cukup lama mereka perbincangkan, pusaka yang
hilang.
Dalam pada itu, maka Kiai
Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua orang pemimpin dari Mataram itu
bersamanya menuju ke regol Kademangan.
Beberapa orang yang melihat,
justru memberikan hormat kepada Kiai Gringsing yang menuntun kudanya. Mereka
merasa sama sekali tidak mengenal kedua orang yang berjalan bersama Kiai
Gringsing. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah orang-orang yang sedang
berjalan bersama saja atau kawan-kawan Kiai Gringsing yang juga ingin pergi ke
Kademangan dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan orang tua itu.
Ketika ketiganya memasuki
regol Kademangan, maka kehadiran Kiai Gringsing itu telah menyibukkan
orang-orang di Kademangan itu. Ki Demang dan Swandaru dengan tergesa-gesa telah
menyongsongnya, disusul oleh Ki Sumangkar.
Namun merekapun terkejut pula,
bahwa bersama dengan Kiai Gringsing telah datang pula dua orang dalam pakaian
orang kebanyakan. Namun yang sudah mereka kenal dengan sebaik-baiknya.
“Raden Sutawijaya,“ desis Ki
Demang di Sangkal Putung.
Raden Sutawijaya tersenyum.
“Marilah Raden. Marilah Ki
Juru,“ Ki Demang mempersilahkan mereka dengan tergopoh-gopoh, lalu, “marilah
Kiai. Silahkan.”
Orang-orang di Kademangan
Sangkal Putung itu menyambut tamunya dengan sibuknya. Mereka menyangka bahwa
Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang datang bersama Kiai Gringsing itu
telah berkunjung ke padepokan kecil di Karang, dan kemudian bersama-sama pergi
ke Sangkal Putung.
Namun setelah mereka duduk
sejenak dan saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka tahulah
orang-orang Sangkal Putung, bahwa Kiai Gringsing bertemu dengan kedua orang itu
di Sangkal Putung.
“Jadi Raden dan Ki Juru
sebenarnya tidak akan singgah di rumah ini?“ bertanya Ki Demang.
“Kami memang akan pergi ke
Kademangan ini Ki Demang,“ jawab Ki Juru, “adalah kebetulan saja bahwa Kiai
Gringsing yang berkuda itu mendahului perjalanan kami.“
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi iapun tersenyum dan tidak membantah keterangan Ki Juru
Martani, meskipun ia harus menahan tertawa.
Sejenak kemudian maka mereka
mulai berbicara tentang keadaan Kademangan itu. Tentang usaha Swandaru untuk
meningkatkan kemampuan para pengawal dan sudah tentu dirinya sendiri.
“Bagus sekali,“ puji Raden
Sutawijaya, “kau akan menjadi seorang pemimpin yang besar. Adalah menjadi
kewajibanmu untuk membentuk daerahmu menjadi daerah yang kuat.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Katanya, “Kami sedang mencoba Raden. Mudah-mudahan kami berhasil.”
Dengan penuh gairah, Swandaru
menyanggupi untuk memperlihatkan kemajuan Kademangannya dari beberapa segi.
Gairah anak-anak muda dalam oleh kanuragan dan usaha mereka meningkatkan
penghasilan sawah maupun pategalan. Juga usaha Swandaru untuk memberikan
kesempatan para pande besi dan orang-orang yang membuat barang-barang keperluan
sehari-hari untuk berkembang.
“Menarik sekali,“ berkata Ki
Juru Martani, “kami tentu akan senang sekali melihatnya.”
“Setelah Ki Juru beristirahat,
maka kita akan berjalan-jalan sepanjang padukuhan induk ini. Jika ada kesempatan,
kita akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang lain.”
“Senang sekali,“ jawab Raden
Sutawijaya, “tetapi aku minta bahwa kami harus tetap dalam keadaan kami seperti
ini. Jangan kau perkenalkan kami sebagai orang-orang Mataram.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Baiklah Raden. Aku mengerti.”
Dalam pada itu, Pandan Wangi
dan Sekar Mirahpun sempat menemui tamu mereka meskipun hanya sebentar. Kemudian
para pelayanpun menghidangkan jamuan bagi tamu-tamu mereka.
Setelah beristirahat dan berbicara
tentang berbagai hal, maka sampailah saatnya Swandaru ingin memperlihatkan
keadaan Kademangannya kepada tamu-tamunya, dan terutama kepada gurunya, Kiai
Gringsing.
“Silahkan Raden,“ berkata Ki
Demang, “mungkin dengan berjalan-jalan di sekeliling padukuhan induk, Angger
tidak segera menjadi jemu berada di Sangkal Putung.”
Swandaru kemudian membawa
tamu-tamunya untuk berjalan-jalan. Di regol ia berpesan kepada pengawal yang
sedang duduk di gardu. “Panggilah beberapa orang kawanmu. Aku memerlukan mereka
setelah aku berjalan-jalan mengantarkan tamu-tamuku.”
“Untuk apa?“ bertanya pengawal
itu, “apakah ada sesuatu yang penting akan terjadi ?”
“Tidak. Aku ingin
mempertunjukkan kepada guru, bahwa kalian bukan lagi tikus-tikus sawah yang
hanya dapat bersembunyi di lubang-lubang pematang.”
Pengawal itu tersenyum. Kiai
Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun tersenyum pula.
Demikianlah mereka berjalan
menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka memang melihat kemajuan yang pesat di
padukuhan itu. Di mulut jalan mereka melihat pande besi yang sedang sibuk
bekerja dengan tiga tungku perapian dalam sebuah rumah yang khusus.
“Semula mereka tidak berada di
tempat itu,“ berkata Swandaru.
Kiai Gringsing yang sudah
mengenal Sangkal Putung dengan baik memang belum pernah melihat pande besi di
ujung jalan meskipun masih di dalam lingkungan regol padukuhan.
“Mereka semula berada di rumah
masing-masing,“ berkata Swandaru meneruskan, “tetapi kerja mereka terbatas.
Kecuali peralatan yang kurang mencukupi, suara tempaan dan hiruk pikuk yang
lain, kadang-kadang dapat mengganggu tetangga. Menjelang senja, meskipun ada
pekerjaan yang tergesa-gesa mereka tidak dapat melanjutkannya, karena anak-anak
tetangga mulai naik ke pembaringan.”
“Bagus sekali,“ desis
Sutawijaya, “di sini mereka akan mendapat bimbingan dan saling bertukar
pengalaman dan pengetahuan. Juga tidak akan mengganggu tetangga-tetangga karena
tetangga yang paling dekat itupun letaknya agak berjauhan. Selebihnya, dalam
keadaan yang memaksa, mereka dapat bekerja siang dan malam.”
“Ya Raden. Di padukuhan induk
ini ada tiga orang pande besi. Tetapi hampir di setiap padukuhan yang lain-pun
terdapat pande besi seperti mereka, meskipun tingkat ketrampilan mereka tidak
sama.”
“Bagaimana dengan ketiga orang
itu?“ bertanya Ki Juru Martani.
“Hampir seimbang. Mereka
adalah orang-orang terpercaya di Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah dapat
membuat senjata yang baik. Pedang di seluruh Sangkal Putung hampir semuanya
dihasilkan oleh ketiganya. Bahkan mereka membuat pula trisula, parang dan
canggah.”
“Bagaimana dengan keris dan
tombak?”
“Tentu bukan seorang pande
besi,“ jawab Swandaru, “di seluruh Sangkal Putung hanya ada seorang empu keris.
Itupun bukan empu yang terbaik meskipun hasilnya tidak terlalu jelek.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Kiai Gringsingpun merasakan beberapa perubahan yang menggembirakan, meskipun
ada yang mencemaskan. Swandaru menekankan pembinaan Kademangannya terutama
kepada kekuatan jasmaniah. Meskipun ada juga segi-segi yang menguntungkan dalam
keseluruhan. Karena Swandaru juga memperhatikan jalan-jalan dan parit-parit.
Beberapa lama lagi mereka
masih berjalan menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Mereka melihat hampir,
di setiap lorong terdapat gardu-gardu peronda. Kentongan terdapat hampir di
setiap regol halaman.
Setelah hampir seluruh lorong
di Kademangan dilalui, maka merekapun memasuki jalan kembali ke Kademangan.
Beberapa orang yang melihat
iring-iringan kecil itu mula-mula tertarik juga untuk mengetahui. Tetapi ketika
mereka melihat di antara mereka terdapat Swandaru dan Kiai Gringsing, maka
merekapun tidak lagi menaruh banyak perhatian.
Ketika Swandaru dan
tamu-tamunya telah kembali dan duduk di pendapa Kademangan, maka mulai
berdatanganlah beberapa orang pengawal yang telah dipanggil Swandaru. Mereka
adalah pengawal-pengawal terbaik di Kademangan Sangkal Putung. Swandaru ingin
memperlihatkan kekuatan kademangannya kepada Kiai Gringsing dan terutama kepada
Sutawijaya.
“Nah, sekarang Raden, Ki Juru
dan guru dapat beristirahat. Setelah lewat tengah hari, biarlah para pengawal
mempertunjukkan kemampuan mereka mempertahankan Kademangannya.”
Ternyata bahwa kunjungan
beberapa orang di Sangkal Putung itu menjadi sangat menarik. Sutawijaya dan Ki
Juru Martani tidak mengira sama sekali, bahwa mereka akan dapat melihat
kemampuan dari para pengawal di Sangkal Putung.
Ketika Sutawijaya, Ki Juru dan
Kiai Gringsing sempat berbicara bertiga saja di pendapa, Raden Sutawijaya
bertanya, “Kiai, apakah Agung Sedayu juga mengalami kemajuan seperti Swandaru?”
“Mudah-mudahan Raden,“ jawab
Kiai Gringsing, “tetapi aku melihat keduanya mempunyai landasan kepribadian
yang berbeda. Agung Sedayu lebih banyak melihat ke dirinya sendiri, sementara
Swandaru, sesuai dengan keadaannya dan kedudukannya, lebih nampak keluar. Ia
sempat membentuk sepasukan pengawal terpilih, menggerakkan anak-anak muda di
Sangkal Putung untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam. Tetapi Agung
Sedayu tidak mempunyai kewenangan seperti Swandaru. Ia hanya dapat berbuat bagi
dirinya sendiri.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi dengan demikian maka Sangkal Putung
benar-benar telah menjadi kademangan yang kuat. Setidak-tidaknya untuk
melindungi dirinya sendiri.“ Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana
dengan Tanah Perdikan Menoreh? Ki Argapati adalah seorang yang kuat. Tetapi
umurnya yang jauh lebih tua dari Swandaru tentu menumbuhkan perbedaan gairah
perjuangan di antara mereka. Jika pada saatnya Swandaru mulai menjamah Tanah
Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu tentu akan menjadi lebih besar dari
sekarang.”
“Mudah-mudahan Raden. Mudah
mudahan Swandaru berhasil. Bukan saja menjadikan kedua daerah itu kuat, tetapi
juga mapan.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Dalam pada itu, Swandaru
dengan diam-diam telah mempersiapkan pengawalnya yang terbaik. Ia ingin
menunjukkan kepada Sutawijaya bahwa kademangannya adalah kademangan yang kuat.
“Ki Sumangkar,“ berkata
Swandaru, “jika benar Mataram ingin membuat imbangan atas Pajang yang
dikatakannya sudah tidak akan dapat berkembang lagi itu, maka Mataram harus
memperhitungkan Sangkal Putung. Aku masih meragukan, apakah Mataram yang baru
saja tumbuh itu akan dapat menyusun kekuatan sebesar Sangkal Putung.”
“Ah,“ desah Ki Sumangkar,
“kita semua sudah melihat, betapa Mataram sudah berhasil menyusun kekuatan yang
besar. Beberapa kelompok prajurit tiba-tiba saja telah diketemukan berada di
Mataram setelah meninggalkan Pajang meskipun mereka tidak menumbuhkan
keributan. Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang, yang lain
merupakan kekuatan yang besar bagi Mataram. Nama mereka mempunyai pengaruh
tersendiri. Apalagi Sultan Pajang telah dengan ikhlas menyerahkan beberapa
pusaka terbesar kepada Raden Sutawijaya, putra angkat yang dikasihinya seperti
anak sendiri. Bahkan tombak Kangjeng Kiai Pleretpun secara resmi telah berada
di Mataram.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Dengan demikian iapun sadar, bahwa meskipun terselubung, tetapi sebenarnya
Sultan Pajang sudah mengakui kehadiran Mataram di samping Pajang.
Meskipun demikian ia menjawab,
“Memang di Mataram terdapat beberapa orang prajurit yang menyatakan diri
menjadi pengawal di Mataram. Namun susunan pengawal di Mataram terdiri dari
orang-orang yang dapat dianggap baru dan kurang berpengalaman di samping
sekelompok kecil prajurit.”
“Ah, kau aneh Swandaru. Kita
pernah bersama-sama melakukan pertempuran. Kita melihat kekuatan yang besar
dari Mataram.”
“Yang kita lihat adalah
kekuatan Mataram beberapa saat yang lampau, saat Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh masih terlalu lemah, sehingga kita menyangka bahwa Mataram
adalah suatu kekuatan yang tidak terkira besarnya. Tetapi sekarang, aku
menganggapnya lain. Juga pimpinan tertinggi Mataram, Raden Sutawijaya, bukannya
seorang anak muda yang mumpuni. Setelah aku meningkatkan ilmuku, maka aku kira,
aku tidak akan kalah lagi dengan tingkat ilmunya.”
“Jangan berpikir begitu
Swandaru,“ berkata sumangkar, “Raden Sutawijaya adalah murid Sultan Pajang
sekaligus anaknya yang dikasihi. Setiap orang tahu, siapa Sultan Pajang, di
masa mudanya ia bernama Mas Karebet dan bergelar Jaka Tingkir, karena ia
tinggal di Tingkir. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat dinilai. Sehingga
orang mengatakan rabaan tangannya dapat menggugurkan gunung, sedang tatapan
matanya dapat mengeringkan lautan. Meskipun bukan sebenarnya demikian, namun
julukan itu telah dapat memberikan gambaran akan kemampuannya yang tidak
terhingga.”
“Tetapi itu adalah Sultan
Pajang. Sultan Hadiwijaya, bukan Raden Sutawijaya.“
“Aku yakin, bahwa ilmu itu
telah dimiliki oleh Raden Sutawijaya pula.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Ki Sumangkar. Sebenarnyalah bahwa aku memang
harus menentukan sikap. Sangkal Putung terletak di garis lurus antara Pajang
dan Mataram. Jika aku terombang-ambing di antara keduanya, maka aku tentu akan
tergilas oleh keadaan. Tetapi untuk menentukan sikap, diperlukan pengamatan
yang teliti.”
“Kenapa kau harus menentukan
sikap? Memang ada semacam persaingan antara Pajang dan Mataram. Tetapi itu
bukan berarti bahwa keduanya akan berhadapan dalam benturan kekuatan.”
“Tetapi kemungkinan itu dapat
dilihat sekarang. Prajurit Pajang pada umumnya tidak senang melihat
perkembangan Mataram. Sedang ada di antara mereka yang lari dan berpihak kepada
Mataram. Bukankah itu suatu pertanda buruk? Apalagi dengan hadirnya kekuatan
yang menyebut dirinya pewaris yang sah dari Kerajaan Besar Majapahit. Maka
keadaan tentu akan menjadi semakin gelap.”
“Aku ingin menasehatkan
kepadamu Swandaru,“ berkata Ki Sumangkar, “jangan terlalu bangga atas
pencapaianmu. Aku tahu, pada umumnya seseorang yang baru saja menyelesaikan
satu tingkat kemampuannya, cenderung untuk mencobanya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Katanya, “Bukan maksudku sekedar mencoba kemampuanku, tetapi justru
aku ingin menjajagi kemampuan Raden Sutawijaya.”
Ki Sumangkar menarik nafas.
Tetapi agaknya sulit baginya untuk mencegah niat Swandaru. Karena itu, maka
iapun berdiam diri. Namun ada keinginannya untuk menyampaikannya kepada Kiai Gringsing
jika ia nanti naik ke pendapa, setelah ikut menyiapkan tempat yang akan
dipergunakan oleh para pengawal untuk memperlihatkan kemampuan mereka.
Sebenarnyalah bahwa Ki
Sumangkar menjadi agak kecewa melihat sikap Swandaru. Namun seperti yang diperhitungkannya
sejak semula, agaknya Swandaru memang dipengaruhi oleh keadaan dan
kedudukannya.
“Mungkin ia bermaksud baik,“
Sumangkar mencoba menenangkan hatinya sendiri. Tetapi kemudian, “Namun aku
tidak sependapat cara-cara yang dipergunakannya.”
Dalam pada itu, para tamu yang
ada di pendapapun telah mendapat hidangan makan siang. Mereka masih sempat
berbicara panjang lebar tentang perkembangan Sangkal Putung dan Mataram. Dan
merekapun telah mulai berbicara tentang orang-orang yang menyebut diri mereka pewaris
kerajaan Majapahit.
“Pertemuan itu telah ditunda
Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin kematian beberapa orang pemimpin
mereka di Tambak Wedi, mungkin pula kegagalan mereka merampok Swandaru saat
perkawinannya, atau sebab-sebab yang lain, telah menyebabkan mereka sampai saat
ini masih belum menentukan sikap mereka menghadapi Pajang dan Mataram. Tetapi
aku mendapat keyakinan, bahwa pusaka-pusaka itu memang berada di tangan
mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Maaf Anakmas. Beberapa saat terakhir kami
tenggelam dalam kesibukan kami sendiri. Persoalan yang menyangkut hubungan
keluarga antara Agung Sedayu dan Angger Untara, antara Agung Sedayu dan
Swandaru, serta kemudian keinginan Agung Sedayu untuk meningkatkan ilmunya,
yang aku batasi waktu dari saat purnama sampai purnama berikutnya.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Jika saat itu keadaan mendesak, aku
kira aku sudah mencari Kiai, karena aku tahu, bahwa bersama Kiai Gringsing
adalah Ki Waskita, Ki Sumangkar, kedua murid Kiai dan barangkali kekuatan di
Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh dapat membantu Mataram.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi ketika kemudian Swandaru, Ki Demang dan orang-orang
Sangkal Putung yang lain ikut pula dalam pembicaraan, maka pembicaraan mereka
itupun telah mereka batasi.
Namun dalam satu kesempatan,
Ki Sumangkar telah sempat membisikkan perasaan Swandaru tentang Raden
Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu.
“Aneh,“ desis Kiai Gringsing,
“aku akan menemuinya.”
“Ia sibuk dengan
persiapannya,“ desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Sebenarnya ia dapat mengerti, bahwa pada suatu saat, Swandaru akan melakukan
sesuatu yang dianggapnya agak berlebihan. Namun, Kiai Gringsing sama sekali
tidak menduga, bahwa anak muda itu akan meragukan kemampuan Raden Sutawijaya
yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram.
“Mungkin ia tidak meragukan
kemampuan Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Sumangkar, “tetapi ia telah didorong
oleh keinginannya untuk mengetahui tingkat kemajuannya.”
“Tentu ada perasaan sombong
didalam dirinya,“ desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Perasaan yang sama telah aku temui
pula pada adiknya Sekar Mirah.”
Kiat Gringsing termenung
sejenak. Keraguannya tentang sikap batin Swandaru memang sudah tumbuh sejak
beberapa lama. Tetapi kali ini ia benar-benar kecewa.
Karena itulah, maka iapun
kemudian memerlukan menjumpai Swandaru. Dengan hati-hati telah memancing
persoalan seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar.
“Guru,“ bertanya Swandaru,
“apakah Raden Sutawijaya telah benar-benar menerima semua ilmu dari Sultan
Pajang ?”
“Tentu Swandaru. Bahkan
menurut penilaian orang banyak, Raden Sutawijaya memiliki kelebihan dari putra
Sultan sendiri. Pangeran Benawa tidak memiliki kemampuan ilmu setinggi Raden
Sutawijaya.”
“Tetapi apakah tidak ada orang
lain yang sebaya dengan Raden Sutawijaya yang dapat menyamai ilmunya?”
“Mungkin ada. Tetapi aku kira
sulit untuk mengetahui. Seandainya seseorang mengetahui bahwa ilmunya setingkat
dengan ilmu Raden Sutawijaya, apakah yang akan didapatkannya?”
“Guru. Dalam jenjang
keprajuritan, maka ketinggian ilmu tentu harus dipertimbangkan selain
pengalaman dan kecerdasan. Mungkin memang ada seorang prajurit yang memiliki
kemampuan mengatur pasukan dan pandangan yang tepat mengenai keadaan medan,
meskipun ia sendiri secara pribadi kurang memiliki ilmu kanuragan. Dan orang
yang demikian memang diperlukan. Tetapi bagi mereka yang memang memiliki ilmu
yang cukup, maka apakah ia akan dapat diabaikan begitu saja?”
“Aku tidak tahu maksudmu
Swandaru,“ bertanya Kiai Gringsing meskipun hatinya sudah semakin
berdebar-debar, “mungkin, kau sedang memperbandingkan seseorang ?”
“Tegasnya Mataram dan Sangkal
Putung. Bagaimanakah pendapat Guru seandainya aku dapat memiliki ilmu setingkat
dengan Raden Siiitawijaya? “
Kiai Gringsing menarik nafas.
Katanya, “Mungkin saja seseorang memiliki tingkat kemampuan yang menyamainya.
Tetapi kedudukan Raiden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga telah
dikuatkan oleh pengakuan Sultan. Selebihnya, namanya sudah dikenal oleh para
Adipati dari ujung barat sampai ke ujung timur wilayah Pajang dalam
keseluruhan. Bukan sekedar kota Pajang.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Tetapi ia kemudian berkata, “Guru. Seseorang dapat menaruh hormat kepada orang
lain, jika orang lain itu mempunyai kelebihan daripadanya. Bukan sekedar
kelebihan derajad yang diwarisinya. Tetapi kelebihan pada diri seseorang itu
sendiri.”
Kiai Gringsing menegang
sejenak. Lalu, “Kau terlalu ingin melihat kemajuan yang kau capai dalam waktu
terakhir Swandaru, sehingga kau ingin membuktikannya. Sayang, yang datang
pertama kali di Kademangan ini adalah justru Senopati ing Ngalaga, sehingga
bagiku sangat deksura seandainya kau ingin menjajagi kemampuan yang kau capai
pada sasaran yang seharusnya kita hormati.”
“Guru,“ jawab Swandaru,
“mungkin tanggapan orang lain berbeda dengan niat dan maksudku sebenarnya. Jika
aku ingin menjajagi kemampuan seseorang, adalah sekedar ingin memantapkan
sikapku kepadanya. Jika aku harus menghormatinya, aku akan hormat dengan ikhlas
jika orang itu memang mempunyai kelebihan daripadaku.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kau harus dapat menimbang, siapakah yang sedang
kita hadapi.”
“Justru Raden Sutawijaya
adalah orang yang paling tepat untuk aku jadikan sasaran sekarang ini. Jika ia
memiliki kelebihan daripadaku, maka aku akan menghormatinya seperti aku
menghormati Sultan Pajang, karena meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan
Sultan Pajang, namun aku yakin, bahwa ia adalah orang yang pantas dihormati.”
Tidak ada cara lagi untuk
mencegah Swandaru. Tetapi sikap itu benar-benar sangat mendebarkan jantung.
Jika Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang juga masih muda
itu salah paham, dan menganggap tindakan Swandaru itu benar-benar sebagai
tantangan, maka hatinya tentu akan terluka untuk waktu yang sangat panjang.
Banyak peristiwa yang dapat terjadi di masa-masa berikutnya. Dan seribu
kemungkinan akan dapat terjadi.
Kiai Gringsing benar-benar
menjadi cemas melihat sikap Swandaru yang di dalam perkembangan pribadinya
menjadi jauh berbeda dengan Agung Sedayu.
Sementara itu, selagi Kiai
Gringsing termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, “Para pengawal sudah siap.
Aku akan mengharap Raden Sutawijaya melihat kemajuan anak-anak muda Sangkal
Putung di dalam anggar.”
Kiai Gringsing masih akan
mencoba mencegah tingkah laku Swandaru, tetapi Swandaru telah mendahului,
“Guru, biarlah aku mendapat pegangan atas sikapku. Jika tidak, maka aku akan
selalu ragu-ragu dan tidak dapat melakukan tugas-tugasku dengan mantap.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi iapun kemudian meninggalkan Swandaru dan kembali ke pendapa.
Di pendapa ternyata Ki Demang
telah duduk pula bersama tamu-tamunya dari Mataram dan nampaknya sedang asyik
berbincang tentang kemajuan yang sudah dicapai oleh Sangkal Putung. sejak
Swandaru merasa wajib untuk ikut membinanya.
Ketika Kiai Gringsing naik ke
pendapa, Ki Sumangkar memandangnya dengan gelisah. Apalagi ketika Kiai
Gringsing kemudian menggelengkan kepalanya. Agaknya Ki Sumangkar langsung dapat
mengetahui bahwa Kiai Gringsingpun tidak dapat mencegahnya lagi.
Tetapi bagaimanapun juga,
orang-orang tua itu sealu dibayangi oleh kegelisahan. Keduanya adalah anak-anak
muda yang masih mudah disentuh olah api perasaannya.
Sejenak kemudian ternyata
Swandaru telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk melihat sanggar. Beberapa
orang pengawal telah menunggu. Mereka adalah pengawal yang terbaik yang akan di
tunjukkan kepada Raden Sutawijaya.
Ketika para tamu telah
memasuki sanggar, maka para pengawal itupun langsung dipersiapkan.
“Mereka adalah sebagian kecil
dari seluruh kekuatan Sangkal Putung yang besar,“ berkata Swandaru, “pengawal
Kademangan ini kini telah berlipat. Jauh lebih banyak dari saat Tohpati masih
berkeliaran di sekitar kademangan ini. Bukan saja jumlahnya, tetapi kemampuan
merekapun jauh lebih baik dari pengawal di masa itu,“ Swandaru memberikan
penjelasan, “bahkan selain para pengawal, maka setiap anak muda di Sangkal
Putung adalah pengawal. Dan mereka mempunyai kewajiban yang harus dipertanggung
jawabkan meskipun tidak setingkat para pengawal yang sesungguhnya. Dan
latihan-latihan bagi merekapun tidak seberat para pengawal yang diangkat dengan
resmi.”
Raden Sutawijaya mengangguk
angguk. Katanya, “Baik sekali Swandaru. Jika Sangkal Putung telah selesai, kau
akan meloncat ke Tanah Perdikan Menoreh.“
“Ya. Tentu,“ jawab Swandaru
sambil memandang Pandan Wangi yang ada di dalam sanggar itu pula, “tetapi
semuanya masih tergantung kepada Pandan Wangi.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Bahkan kepalanyapun ditundukkannya dalam-dalam.
Sementara itu, maka semua
persiapan telah selesai. Swandarupun sudah siap memberikan aba-aba kepada para
pengawal yang akan memberikan pameran kekuatan di hadapan pemimpin tertinggi
Mataram.
Dengan isyarat Swandarupun
kemudian memberikan aba-aba agar para pengawal itu mulai. Mula-mula beberapa
orang yang menunjukkan unsur-unsur gerak dasar. Tetapi yang sudah mantap.
Kemudian meningkat semakin sulit dan tinggi.
Pada tingkat selanjutnya
Swandaru telah memasang beberapa pasang pengawal yang akan menunjukkan
ketangkasannya berkelahi. Seorang lawan seorang, atau sekelompok melawan
sekelompok.
Sejenak kemudian Sutawijaya
telah terpukau. Sekali kepalanya terangguk-angguk. Bahkan kemudian desisnya,
“Luar biasa.”
Ia tersenyum melihat dua orang
anak muda yang sedang bertempur tanpa senjata. Mereka benar-benar telah
berkelahi dengan sentuhan-sentuhan lepas seperti mereka melepaskan serangan.
Tetapi nampaknya keduanya memiliki kemampuan yang setingkat, sehingga serangan
demi serangan dilontarkan tanpa mencelakai pihak masing-masing.
Sekali-sekali Swandaru
memandang wajah Raden Sutawijaya. Ia melihat kekaguman pada wajah itu. Sesaat
Swandaru menjadi bangga. Namun kemudian ia telah didorong oleh keinginannya
untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu anak muda itu.
“Ia bangga dan kagum melihat
anak-anak yang sedang bermain-main itu,“ berkata Swandaru di dalam hatinya,
“apakah dengan demikian berarti bahwa tingkat ilmu Raden Sutawijaya sendiri
belum jauh terpaut dari anak-anak itu? Jika demikian, maka ilmu Raden
Sutawijaya masih belum melampui ilmuku.”
Dengan demikian maka
keinginannya bagaikan tidak tertahan lagi. Namun ia masih menahan diri. Ia
ingin melihat kekaguman Raden Sutawijaya menyaksikan permainan para pengawal
itu untuk latihan-latihan berikutnya.
Kedua anak muda yang
seakan-akan telah bertempur dengan sungguh-sungguh itu sekali-sekali mulai
saling mengenai. Benar-benar mengenai lawannya sehingga lawannya menyeringai.
Tetapi karena kemampuan mereka seimbang, maka seakan-akan mereka telah membagi
berapa kali masing-masing harus mengenai lawannya.
Ketika keduanya seakan-akan
telah mandi keringat, maka Swandarupun menghentikannya. Ia kemudian
memerintahkan dua orang pengawal untuk mulai dengan latihan yang lain. Keduanya
akan memperlihatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata.
Sutawijaya memandang
latihan-latihan itu bagaikan tanpa berkedip. Sekali-kali ia tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Bahkan seakan-akan diluar sadarnya ia telah bertepuk.
Swandaru memperhatikan Raden
Sutawijaya dengan saksama. Namun di luar sadarnya, gurunya dan Ki Sumangkar
justru memperhatikan Swandaru dengan hati yang berdebar-debar.
Ternyata bahwa Swandaru
benar-benar ingin melakukan rencananya. Ketika orang-orang terakhir dari para
pengawalnya telah melakukan latihan-latihan yang menegangkan, maka Swandaru
telah mendekati Sutawijaya. Sambil memperhatikan orang terakhir, Swandaru
berkata, “Mereka adalah para pengawal Kademangan ini Raden.”
Raden Sutawijaya seakan-akan
terkejut mendengar. Dengan serta-merta ia berpaling dan berkata, “Ya, ya. Bagus
sekali. Mereka mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung akan
menjadi sebuah Kademangan yang kuat.”
“Ya. Mereka mempunyai ikatan
dan tanggung jawab di antara mereka dan kepada pemimpinnya. Aku telah mengajari
mereka agar mereka tunduk dan taat kepada pimpinan mereka. Juga kepadaku.”
Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya,
“Tepat. Memang mereka harus diikat oleh satu wibawa. Semakin tinggi kemampuan
mereka, maka ikatan dan tanggung jawab itu harus menjadi semakin kuat. agar
mereka tidak terlepas untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang
menguntungkan bagi mereka sendiri dan bagi kesatuan mereka. Ada satu dua saja
diantara mereka yang melakukan kesalahan dan apalagi tindakan tercela, maka
seluruh pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung akan ternoda.”
Swandaru mengangguk angguk.
Sekilas dilihatnya orang-orang yang sedang memperhatikan latihan-latihan itu.
Ia bangga karena latihan-latihan itu mendapat perhatian dari tamu-tamunya dan
gurunya.
Sementara itu. maka iapun
berkata, “ Raden. Aku menanamkan sifat kepada para pengawal dan anak-anak muda
di Sangkal Putung, bahwa mereka harus patuh kepada pemimpinnya. Tetapi itupun
merupakan tanggung-jawab yang besar bagi para pemimpin, karena ia harus
menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah pemimpin.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak begitu memperhatikan maksud kalimat Swandaru, sehingga sambil
mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya kepada para pengawal yang sedang
berlatih ia menjawab, “Itupun tepat. Seorang pemimpin harus menunjukkan sikap
dan perbuatan seorang pemimpin, sehingga wibawanya akan terpelihara.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Agaknya Raden Sutawijaya menganggap bahwa Swandaru hanya sekedar
menyatakan pendapatnya tentang sikap seorang pemimpin.
“Raden,” berkata Swandaru
kemudian, “sebenarnya yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin, bukannya
sekedar sikap dan perbuatan.”
Raden Sutawijaya masih
memperhatikan latihan-latihan dengan seksama. Yang justru menjadi sangat
gelisah adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Lalu?” bertanya Raden
Sutawijaya.
“Seorang pemimpin harus mampu
memberikan contoh yang baik.”
“Ya. Ya. Itupun tepat.”
“Jika ia seorang Senapati,
maka ia harus menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari perwira dan apalagi
prajurit-prajurit yang lain.”
“Ya. Itu sebaiknya,” jawab
Sutawijaya. Ia mulai merasa terganggu, karena perhatiannya kepada
latihan-latihan itu harus dibagi dengan mendengarkan kata-kata Swandaru.
Tetapi Swandaru berbicara
terus. “Jika seorang pemimpin tidak dapat menunjukkan kelebihannya dari
orang-orang yang berada di tingkat bawahnya, maka wibawanyapun kurang diakui,
apalagi jika ia sekedar bersandar kepada nama pemimpin yang lain.”
“Tepat,” sahut Sutawijaya.
Tetapi justru perhatiannya kepada kata-kata Swandaru semakin berkurang. Ia
tidak lagi menangkap makna dari kata-kata itu, karena latihan-latihan yang
dilihatnya meningkat semakin cepat.
Ketika Swandaru akan berbicara
lagi, Sutawijaya telah mendahului, “Berbahaya sekali. Tetapi agaknya mereka
memang sudah terlatih hampir sempurna. Senjata itu sama sekali tidak menyentuh
tubuh mereka.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia kemudian duduk semakin dekat di samping Sutawijaya.
Katanya, “Mereka sudah akan sampai ke bagian terakhir dari latihannya. Tetapi
Raden, aku ingin meneruskan kata-kataku. Tentang seorang pemimpin.”
“O, ya?“ desis Sutawijaya,
tetapi ia tidak mau kehilangan bagian-bagian terakhir yang merupakan puncak
dari latihan itu.
“Bukankah sudah sewajarnya,
bahwa para pengawal itu memandang aku sebagai pemimpinnya, sehingga mereka
menganggap aku mempunyai kelebihan dari mereka? Tetapi aku sudah membuktikannya
Raden. Aku memang mempunyai kelebihan dari mereka. Apalagi justru akulah yang
menuntun mereka sampai ketingkatnya yang sekarang.“
“Bagus sekali.”
“Tanpa menunjukkan dan
membuktikan bahwa aku mempunyai kelebihan dari mereka, maka para pengawal itu
akan mengabaikan aku, meskipun aku memang orang yang berhak memimpin mereka.”
“Ya, ya.“ Kening Raden
Sutawijaya mulai berkerut. Senjata di tangan para pengawal yang sedang berlatih
itu semakin cepat bergerak.
“Berbahaya sekali,“ desis Sutawijaya.
Swandaru menjadi kecewa.
Sutawijaya tidak memperhatikan kata-katanya. Tetapi Swandaru masih berusaha
untuk memancing Sutawijaya agar ia dapat mengerti maksudnya.
“Raden, bukankah sikap itu
sikap yang wajar?”
“Wajar sekali,“ Raden
Sutawijaya asal menjawab.
“Dan itu berlaku bagi segala
tingkat?”
“Tentu,“ jawab Raden
Sutawijaya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Iapun mulai jengkel. Sutawijaya lebih memperhatikan
latihan-latihan itu daripada persoalan yang dikemukakan. Sehingga karena itu, maka
ia lebih mendesak lagi dengan kata-kata yang lebih jelas.
“Raden, apakah Raden juga
bersikap demikian?”
“Ya, akupun bersikap demikian.
Pemimpin-pemimpinku harus membuktikan bahwa ia mempunyai kelebihan daripadaku.
Tetapi aku sudah yakin akan hal itu.”
“Apakah Raden menganggap bahwa
Sultan Pajang mempunyai kelebihan dari Raden?”
Pertanyaan itu mulai menarik
perhatian Sutawijaya. Tetapi sebagai seorang pemimpin yang berpandangan luas,
maka dalam keadaan yang masih kabur, ia tidak akan merubah tata hubungan antara
Pajang dan Mataram. Maka jawabnya sambil memperhatikan bagian terakhir dari
latihan itu. “Ya. Aku menganggap bahwa Ayahanda Sultan mempunyai kelebihan yang
jauh daripadaku.”
Swandaru mengatupkan giginya.
Hampir saja ia berteriak karena kejengkelan yang menyesak dadanya.
Tetapi ia berusaha menahan
diri.
Seperti Swandaru, maka dada
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkarpun rasa-rasanya menjadi sesak meskipun dalam
sudut perasaan yang berbeda. Mereka menjadi cemas, bahwa Swandaru benar-benar
tidak dapat mengekang diri. Justru karena Raden Sutawijaya yang tidak menduga
maksud Swandaru tidak segera dapat menangkap makna kata-katanya. Bahkan
perhatiannya benar-benar tertuju kepada latihan-latihan yang semakin dahsyat
dan mencapai puncaknya yang mendebarkan.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin membuat dadanya bertambah lapang. Tetapi ia
sama sekali tidak mundur.
Sejenak Swandarupun
memperhatikan latihan yang berlangsung dengan serunya. Senjata kedua orang yang
sedang berlatih itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun keduanya adalah
pengawal yang terampil dan menguasai senjata masing-masing.
“Raden,“ Swandaru seolah-olah
sudah tidak sabar lagi, “ternyata bahwa akupun mempunyai sikap demikian. Aku
hanya akan mengakui seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan daripadaku.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Perhatiannya kepada latihan itu mulai terbagi. Namun ia masih
bertanya, “Apakah kau merasa bahwa pimpinanmu tidak dapat mengimbangi
kemampuanmu?”
“Bukan begitu. Tetapi sekedar
membuktikan.”
“Siapa yang kau maksud? Ayahmu
atau Mertuamu?”
Pertanyaan itu benar-benar
menghentak dada Swandaru. Hampir-hampir saja ia kehilangan nalar. Untunglah,
sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih sempat menahan diri. Jawabnya dengan
suara gemetar, ”Raden. Bukankah kini aku berdiri di simpang jalan? Aku tahu
bahhwa Pajang dan Mataram mulai berselisih jalan. Dan akupun tahu, meskipun
Sultan Hadiwijaya di Pajang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan, tetapi ia
sekarang seakan-akan sudah sampai pada puncak kemampuannya di dalam
pemerintahan. Ia sudah berhenti. Ia lebih senang memperhatikan kesenangan diri
sendiri, sehingga Pajang sama sekali sudah tidak bergerak maju. Kemukten yang
dihayatinya sekarang telah menghentikan segala gerak dan perjuangan bagi tanah
ini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tetapi matanya masih tetap tertuju pada latihan yang sengit.
“Raden,” Swandaru meneruskan
niatnya itu, “aku mulai berkiblat kepada Mataram, aku melihat Mataram
berkembang pesat. Dan aku melihat sikap kepemimpinan Raden Sutawijaya yang
bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”
Kata-kata Swandaru yang
terakhir telah mengguncang dada Raden Sutawijaya. Ia mulai sadar, apakah yang
dimaksud oleh Swandaru. Sekilas ia mencoba mengingat apa saja yang sudah
dikatakan oleh Swandaru sejak anak muda itu mendekatinya.
Raden Sutawijaya yang bergelar
Senapati ing Ngalaga itupun usianya masih muda. Darahnya masih mudah mendidih
seperti pada umumnya anak-anak muda. Itulah sebabnya, ketika ia menyadari
maksud Swandaru ia telah beringsut setapak.
Tetapi disebelahnya yang lain
duduk Ki Juru Martani. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar
kata-kata Swandaru dan justru Ki Jurulah yang lebih menangkap maksud Swandaru.
Ketika Ki Juru merasakan gejolak
hati Raden Sutawijaya, maka iapun telah menggamitnya. Dengan isyarat ia
mengharap agar Raden Sutawijaya agak bersabar menanggapi sikap Swandaru itu.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas ia melihat latihan yang benar-benar sudah mencapai pada
akhirnya. Kedua orang yang sedang berlatih dengan senjata itu telah mulai
mengekang diri dan kemudian merekapun berhenti sama sekali. Dengan bangga
mereka memperhatikan orang-orang yang berada di dalam sanggar, seolah-olah
ingin mengatakan sambil menepuk dada, “Inilah aku, pengawal Kademangan Sangkal
Putung.”
Tetapi anak-anak muda yang
sedang berlatih itu tidak bersalah. Swandaru memang mengajari mereka untuk
berbangga terhadap kemampuan diri, meskipun maksudnya untuk membangkitkan
kepercayaan kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, nafas Raden
Sutawijaya terasa menyesak dadanya, justru karena ia menahan perasaannya. Namun
agaknya pengalamannya yang luas dan kedudukannya yang meyakinkan justru
membuatnya lebih tenang.
Raden Sutawijaya masih sempat
mengangguk ketika anak-anak muda yang akan mundur dari arena itu mengangguk
kepadanya. Sementara itu Swandaru berkata, “Latihan-latihan telah selesai. Kami
ingin mendapatkan penilaian dari para tamu dan Kiai Gringsing, guruku.
Sementara itu, kami akan menunggu apakah Raden Sutawijaya juga akan memberikan
penilaian. Bukan saja terhadap para pengawal, tetapi juga bagi pelatihnya.”
Terasa debar jantung
orang-orang yang mendengar kata-kata Swandaru itu terasa semakin cepat.
Terutama gurunya dan Ki Sumangkar. Apalagi ketika mereka melihat wajah Raden
Sutawijaya yang menjadi merah. Seolah-olah Swandaru telah menyatakan tantangan
dengan terbuka.
“Swandaru,“ Kiai Gringsing
masih mencoba menengahi, “bagi seorang yang memiliki ketajaman penglihatan
tentang olah kanuragan, maka ia akan langsung dapat melihat nilai dari
seseorang lewat penanganannya terhadap orang lain. Maksudku, dengan melihat
latihan-latihan ini, seseorang sudah dapat menilai juga tingkat ilmu
pelatihnya, meskipun belum dapat disebut guru.”
Swandaru termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Mungkin, Guru. Tetapi seperti yang sudah aku
katakan, biarlah aku memantapkan sikapku menanggapi saat-saat terakhir dalam
hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Swandaru,“ Kiai Gringsing
memotong, ”kau belum cukup masak untuk berbicara tentang Pajang dan Mataram
saat ini.”
Tetapi Swandaru justru
tersenyum. Katanya, “Ayah juga menganggap begitu. Aku mengerti, bahwa
orang-orang tua cenderung menganggap anak-anak muda itu terlampau bodoh. Jika
seumurku masih dianggap belum masak untuk mengikuti perkembangan hubungan
Pajang dan Mataram, maka apakah seumur Raden Sutawijaya yang hampir tidak
terpaut dari umurku itu sudah pantas diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga dan
berkedudukan di Mataram. Apalagi menerima pusaka-pusaka terpenting dari
Pajang.”
“Latar belakang kehidupanmu
dan kehidupan Raden Sutawijaya berbeda. Aku kira Raden Sutawijaya pun masih
kurang masak untuk mengetahui musim kapan para petani mulai menanam padi, dan
kapan harus menanam palawija. Raden Sutawijaya tidak akan segera mengetahui
pertanda langit bahwa musim basah akan berganti dengan musim kering, sehingga
para petani harus mulai mempersiapkan diri dengan tanaman yang tidak memerlukan
banyak air.“ jawab Kiai Gringsing.
“Dan Guru menganggap bahwa
anak petani tidak pantas unuk berbicara tentang pemerintahan? Guru, aku pernah
mendengar cerita tentang masa muda Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan
Hadiwijaya.”
Dalam pada itu, Sutawijaya
yang juga masih muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar apa yang
dimaksud oleh Swandaru. Namun sebagai seorang yang memiliki sikap dewasa,
apalagi isyarat yang diberikan oleh Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya
masih tetap menahan diri.
Betapapun dadanya bergejolak
oleh kemudaannya, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan pada sikap dan
perbuatan. Bahkan ia masih sempat tersenyum dan berkata, “Sebenarnya bukan
akulah yang harus menilai perkembangan Swandaru, tetapi tentu gurumu.”
“Bukan sekedar menilai
perkembangan ilmuku saja Raden, tetapi seperti yang aku katakan, apakah aku
telah menunjukkan sikap yang benar terhadap orang-orang yang pantas aku
hormati.”
Raden Sutawijaya menarik
nafas, sementara Kiai Gringsing berkata, “Swandaru. Sebenarnya kau harus
menjaga keseimbangan perkembangan ilmu dan kedewasaan nalarmu. Ilmumu kau rasa
maju sangat jauh, tetapi kau menanggapi perkembangan ilmumu dengan sikap
kekanak-kanakan. Jika kau sebut Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir,
maka kau harus mengerti, meskipun ia anak petani, tetapi ia sudah berada di
lingkungan istana sejak ia diketemukan oleh Sultan Demak karena ia melakukan
sesuatu yang menarik. Ia telah meloncati sebuah belumbang sambil berjongkok
justru membelakangi belumbang itu. Sejak itu ia mulai mempelajari tata
pemerintahan, meskipun kemudian ia harus keluar lagi dari istana dan mengembara
ke tempat yang jauh.“ Ia berhenti sejenak, lalu, “Apalagi masalah yang kau
hadapi akan sangat berbeda dengan perkembangan yang kau katakan dalam hal
penjajagan yang kau maksud.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia sadar, bahwa orang-orang tua tentu tidak menyetujui sikapnya.
Tetapi ia sudah yakin akan sikapnya. Jika Raden Sutawijaya tidak mempunyai
kelebihan daripadanya, maka apakah gunanya ia setiap kali menundukkan kepala
sambil memberikan hormat setinggi-tingginya meskipun ia bergelar Senopati ing
Ngalaga? Jika Senopati tertinggi yang berkedudukan di Mataram itu tidak mampu
melampui ilmunya, maka Mataram baginya akan tidak berarti apa-apa.
Karena itu maka Katanya,
“Guru. Hubungan antara aku dan Raden Sutawijaya kini adalah hubungan antara
seorang yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi dari Pajang dengan pimpinan
pasukan pengawal di Sangkal Putung. Aku sama sekali tidak ingin menentang
Senapati yang mendapat tanda kekuasaan dari Sultan Pajang. Yang aku lakukan
adalah sekedar meyakinkan, apakah aku memang harus menganggapnya sebagai
seorang pemimpin yang baik.”
Kiai Gringsing masih akan
mencegahnya. Tetapi justru Raden Sutawijaya sudah berdiri.
Ia tertegun ketika Ki Juru
menggamitnya. Namun Raden Sutawijaya itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
Sikap itu agak memberikan
ketenangan sedikit Kepada Kiai Gringsing. Dengan demikian ia mengerti, bahwa
Raden Sutawijaya menanggapinya dengan dada yang lapang, meskipun Kiai Gringsing
tidak tahu pasti perasaan apakah yang sebenarnya bergolak di dada anak muda
itu.
Sementara itu, Pandan Wangi
hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak sependapat dengan cara
yang ditempuh suaminya untuk meyakinkan diri tentang ilmunya dan tentang hubungan
antara Sangkal Putung dan Mataram dengan menjajagi kemampuan Senopati ing
Ngalaga. Baginya, siapapun yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari
Sultan adalah sah, sehingga seseorang tidak perlu mempergunakan cara-cara
seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Pandan Wangi sadar, bahwa yang terpenting
bagi Swandaru sebenarnya adalah ingin menjajagi kemampuan dirinya sendiri.
Apakah ilmunya benar-benar telah maju.
Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat mencegahnya. Betapapun ia cemas menghadapi perkembangan keadaan tetapi ia
hanya dapat membeku di tempatnya.
Sementara itu Sekar Mirah
mengangkat wajahnya. Ia bangga dengan sikap kakaknya. Orang-orang yang
mengatakan dirinya Senopati memang harus meyakinkan, apakah ia memang seseorang
yang pantas memiliki gelar itu dan memang seorang yang pantas memimpin prajurit
di medan perang.
Dalam pada itu, Sutawijaya
yang sudah berdiri itupun berjalan ke tengah arena yang baru saja dipergunakan
untuk berlatih. Dengan sikap dan pakaiannya yang sederhana, maka ia saat itu
memang tidak pantas disebut Senopati ing Ngalaga. Tetapi jika diperhatikan
betapa tajamnya sorot matanya, maka orang akan mengetahuinya, bahwa ia adalah
anak muda yang mesyimpan kemantapan di dalam dirinya.
“Swandaru,“ berkata Raden
Sutawijaya, “sebenarnya aku tidak bersedia untuk melakukan apapun juga sekarang
ini. Aku kini sedang dalam perjalanan untuk melihat-lihat keadaan dan
perkembangan daerah di sekitar Mataram setelah aku mengembara untuk waktu yang
agak lama. Tetapi jika kau memaksa, maka akupun wajib memberikan tanggapan.
Bukan karena aku cemas bahwa akan kehilangan sikap hormat dari siapapun. Tetapi
jika aku menghindar, maka kau tentu akan sangat kecewa.”
“Raden benar,“ Swandarupun
berdiri dan melangkah mendekat dengan sikap yang mantap, “dan aku harap Raden
tidak marah dengan caraku ini.”
“Sama sekali tidak,“ jawab
Raden Sutawijaya, “aku senang bahwa kau berterus terang. Tetapi jika ada
kelebihanku dari padamu, jangan dinilai sebagai sikap yang sombong. Bukankah
itu yang kau kehendaki agar kau tidak ragu-ragu menganggapku sebagai Putra
Sultan Hadiwijaya yang mendapat limpahan kekuasaan dengan gelar Senopati ing
Ngalaga dan berkedudukan di Mataram? Dengan demikian maka kedudukankupun akan
menjadi mantap. Dan karena soalnya menyangkut nama Ayahanda Sultan Hadiwijaya,
maka akupun akan membuktikan bahwa putra Sultan Hadiwijaya di Pajang yang
dipercaya untuk membina Mataram bukan seorang yang mengecewakan, sehingga
Sultan Hadiwijaya tidak dapat dipersalahkan karena mempercayai putranya yang
tidak memiliki hampir seluruh ilmunya.”
Yang mendengarkan kata-kata
Raden Sutawijaya itu menjadi berdebar-debar. Bahkan wajah Swandarupun menjadi
merah pula karenanya.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martanipun nampaknya heran mendengar kata-kata Raden Sutawijaya. Agaknya Raden
Sutawijaya tidak biasa berkata demikian tentang dirinya sendiri.
Tetapi agaknya Raden
Sutawijaya menangkap gerak perasaan Ki Juru Martani, sehingga karena itu maka
katanya, “Paman, mungkin Paman terkejut mendengar kata-kataku. Tetapi aku
mencoba untuk mempergunakan cara yang dipergunakan oleh Swandaru. Swandaru
mengharap agar aku tidak marah oleh sikapnya yang berterus terang. Akupun
mengharap pula bahwa ia tidak akan marah jika aku berterus terang. Karena itu,
mungkin aku akan berkata dengan cara yang lain jika aku berhadapan dengan
Untara misalnya, atau dengan Agung Sedayu.”
Hampir saja Swandaru
mengumpat. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Namun dalam pada itu,
terdengar giginya gemeretak oleh getar di dalam dadanya.
Dalam pada itu Pandan Wangi
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebagai seorang perempuan yang mudah
tersentuh, ia merasa betapa tajamnya sindiran Raden Sutawijaya terhadap
suaminya. Karena itu, terasa wajahnya yang tunduk itu menjadi panas. Sejak
semula ia sama sekali tidak sependapat dengan cara yang akan ditempuh oleh
suaminya untuk mengukur kemampuannya. Justru dengan Raden Sutawijaya yang
bergelar Senapati ing Ngalaga di Mataram.
Tetapi ia, seperti juga
orang-orang lain sama sekali sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak
muda itu sudah berdiri di tengah-tengah sanggar. Bahkan mereka telah bersiap
untuk melakukan penjajagan yang satu terhadap yang lain.
Namun tiba-tiba saja Raden
Sutawijaya melangkah ke tepi. Ia mengambil kerisnya yang tergantung di lambungnya,
di bawah ujung bajunya, dan menyerahkannya kepada Ki Juru Martani, “Aku titip
Paman. Dalam kelakuan orang sering melupakan pengekangan diri. Jika ada hantu
yang kebetulan lewat dan hinggap di tanganku, maka keris itu dapat berbahaya.”
Swandarupun mengerutkan
keningnya. Ia melihat Raden Sutawijaya menyerahkan senjata yang ada padanya.
Karena itu pula maka iapun mengurai cambuknya dan menyerahkannya kepada
istrinya. Katanya, “Bawalah. Aku tidak memerlukannya.”
Namun dalam sekilas itu, Kiai
Gringsing telah melihat, bahwa ujung cambuk itu telah berubah. Ada beberapa
sisipan kepingan baja pada juntai cambuk itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak
menanyakannya.
Pandan Wangi menerima cambuk
itu dan menggulungnya. Namun demikian hatinya masih tetap berdebar-debar menanggapi
keadaan yang bakal terjadi.
Sejenak kemudian kedua anak
muda itu telah berdiri berhadapan. Swandaru telah bersiap untuk mulai dengan
perkelahian yang diharapkannya akan dapat memantapkan sikapnya terhadap Raden
Sutawijaya. Namun sebenarnyalah bahwa yang terutama baginya adalah untuk
menyatakan bahwa ilmunya telah jauh meningkat, dan bahkan mungkin telah
melampui ilmu Raden Sutawijaya.
Tetapi sikap Raden Sutawijaya
bagi Swandaru sangat terasa menjengkelkan. Ia sama sekali tidak menjadi cemas
atau ragu-ragu meskipun Raden Sutawijaya belum dapat mengetahui kemajuan
ilmunya. Bahkan ia telah menjadi kagum melihat para pengawal berlatih.
“Ia mencoba menenangkan
dirinya sendiri,“ berkata Swandaru di dalam hatinya.
Tetapi yang dikatakan oleh
Sutawijaya benar-benar membuat jantungnya bagaikan terbakar, “Swandaru.
Sebenarnya aku sependapat dengan Kiai Gringsing bahwa dengan melihat latihan
hasil tuntunan yang kau berikan, meskipun bukan sebagai sikap guru terhadap
muridnya, aku sudah dapat membayangkan, sampai tingkat yang manakah ilmumu
kini. Tetapi kau masih ingin membuktikannya dan barangkali, seperti yang kau
katakan, kau ingin menjajagi ilmuku untuk memantapkan sikapmu. Namun dengan
demikian kau seakan-akan terikat oleh janji, bahwa jika ilmuku ternyata lebih
tinggi dari ilmumu, apalagi terpaut jauh, maka tidak akan ada persoalan lagi
antara Mataram dan Sangkal Putung. Karena kau telah meyakinkan, bahwa aku
memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin.”
Ki Juru Martani menggigit
bibirnya. Raden Sutawijaya benar-benar telah bersikap lain. Namun Ki Juru yang
tua itupun dapat mengerti, bahwa yang terloncat dri mulut Raden Sutawijaya itu
adalah ledakan dari kemarahan yang sebenarnya tertahan-tahan di dadanya.
“Raden,“ berkata Swandaru yang
dadanya sudah menjadi pepat, “marilah. Kita segera mulai dengan latihan yang
khusus ini.”
“Kaulah yang bermaksud
menjajagi kemampuanku. Kaulah yang harus mulai lebih dahulu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun katanya, “Baiklah Raden. Aku akan mulai lebih dahulu.”
Sutawijaya berdiri tegang
memandang anak muda yang gemuk itu. Tetapi ia telah benar-benar siap menghadapi
serangan Swandaru.