Buku 068
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Sekilas ia memandang Ki Sumangkar. Dan jawabnya kemudian, “Tidak
banyak. Hanya sekedar hadiah untuk bakal menantunya.”
“O, jadi Ki Demang Sangkal
Putung akan pergi ke bakal menantunya di Menoreh?”
“Ya.”
Penjual itu tertawa. Katanya,
“Kenapa kau membuat dirimu sendiri bingung, dengan cerita bahwa kau akan pergi
ke Mataram? Mungkin kau mencoba untuk menghilangkan jejak kepergianmu. Jika di
sini ada perampok atau setidak-tidaknya orang-orangnya, mereka tidak tahu pasti
kemana kau akan pergi.”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia mengangguk, “Ya, ya, begitulah.”
“Nah, sekarang pergilah dengan
aman. Turutlah nasehat kami.”
“Terima kasih. Jika kau tidak
berbaik hati memberitahukan hal itu kepada kami, maka kami tentu akan melewati
jalan yang berbahaya itu, dan kami akan terjebak ke dalam sarang para penyamun.
Barang-barang Ki Demang yang tidak seberapa nilainya, yang akan diberikan
kepada bakal menantunya itu, tentu akan dirampasnya.”
“Ya. Sekarang, pergilah lewat
jalan yang aku katakan.”
“Terima kasih.”
“Tetapi, apakah kalian
memerlukan bekal di perjalanan kalian?”
“O, hanya sedikit, karena kami
sudah membawanya.”
“Ambillah.”
Kiai Gringsing menjadi heran,
sehingga ia pun bertanya, “Apakah maksudmu, aku membeli bekal padamu?”
“Ambillah. Kau tidak usah
membeli. Jualanku tinggal sisanya. Aku sudah mendapat banyak untung sampai hari
ini.”
“Ah, jangan begitu.”
“Ambillah menurut
kebutuhanmu.”
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia pun mengambil beberapa macam makanan. Lalu sambil
mengangguk-angguk ia berkata, “Kau baik sekali. Mudah-mudahan, kebaikanmu akan
berbuah sesuai menurut nilainya.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar
pun kemudian meninggalkan penjual itu. Tetapi, Kiai Gringsing-lah yang membawa
makanan yang diambilnya dari dagangan orang yang memberinya banyak petunjuk
itu.
Ketika ia kemudian mendapatkan
Ki Demang, maka dikatakanlah semua pesan penjual makanan dan beberapa macam
bahan yang sering dibutuhkan di dalam perjalanan yang panjang, apalagi lewat
hutan yang lebat.
Ki Demang termangu-mangu
sejenak mendengar semua pesan itu. Namun kemudian katanya, “Jadi, kita akan
berjalan lewat jalan yang ditunjukkan itu?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. “Ya. Kita akan pergi lewat jalan yang ditunjukkan itu.”
“Dan bekal itu?” Ki Demang
ragu-ragu. “Maksudku, orang itu terlampau baik hati kepada kita.”
“Ya. Ia tahu bahwa Ki Demang
akan pergi ke Menoreh, dan aku katakan kepadanya bahwa Ki Demang membawa
sekedar hadiah buat bakal menantunya.”
“Ah,” Ki Demang berdesah.
“Sudahlah, marilah kita
berangkat sebelum ada seorang perampok yang datang kemari.”
Ki Demang, Agung Sedayu dan
Swandaru menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun
segera meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan meneruskan perjalanan,
lewat jalan yang ditunjukkan oleh penjual di warung itu.
“Guru,” tiba-tiba Agung Sedayu
berkata, “aku merasakan sesuatu yang tidak wajar pada perjalanan kita ini.
Apakah benar jalan yang kita lalui ini, jalan yang paling aman?”
“Padukuhan ini terlampau
lengang,” desis Swandaru, “Apakah padukuhan ini masih dihuni orang?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Itulah yang menarik. Dan karena hal yang tidak wajar, dan kelengangan
padukuhan inilah aku mau mendengarkan petunjuk orang itu.”
“Maksud Guru, menghindari
penyamun?”
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Kita adalah petualang yang gatal tangan. Tetapi bukan itu maksudku.
Jika kita bertemu dengan penyamun, maka kita akan mendapat keterangan tentang
mereka.”
“Aku tidak mengerti, bagaimana
maksud Kiai sebenarnya?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing pun
mengamat-amati makanan yang dibawanya sejenak. Namun makanan itu pun kemudian
dilemparkannya jauh-jauh.
“Aku tidak yakin bahwa makanan
itu tidak mengandung racun yang sangat lemah, dan dapat memberikan pengaruh
atas tenaga kita, sehingga pada suatu saat kita akan kehilangan segenap
kemampuan kita.”
“O,”
“Jelasnya, Ki Demang. Aku
berprasangka, mudah-mudahan prasangka ini keliru,” Kiai Gringsing berhenti sejenak.
Lalu, “Bahwa orang itu telah menjerumuskan kita ke dalam sarang perampok.
Padukuhan ini adalah padukuhan yang kosong. Rumah, halaman dan kebun tampak
kotor dan tidak terpelihara. Aku tidak melihat seorang pun yang ada di dalam
rumahnya. Sawah yang berada di dekat padukuhan ini pun menjadi bera dan tidak
ditanami lagi. Tentu padukuhan ini sudah dikosongkan oleh penduduknya dan
mereka mengungsi ke padukuhan-padukuhan lain, meskipun mereka masih bekerja di
sawah yang agak jauh dari padukuhan ini.”
“O. Dan kita sengaja
menjerumuskan diri?”
“Sekedar didorong oleh
perasaan ingin tahu. Tetapi mungkin gunanya lebih dari itu.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti,
dan kemudian wajah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun sebelum ia berkata sesuatu,
Swandaru sudah mendahuluinya, “Kita akan mendapat mainan, Ayah. Apa salahnya
kita mencari perampok-perampok itu?”
“Ah, bukankah kita akan
melamar seorang gadis? Marilah kita hindari semua kemungkinan yang dapat
menghambat perjalanan. Aku bukannya menjadi takut terhadap perampok. Aku lebih
takut kepada anjing-anjing liar itu seandainya masih ada. Ketika aku mendengar
cerita tentang anjing liar, aku benar-benar menjadi gemetar. Alangkah sakitnya
digigit oleh berpuluh-puluh anjing tanpa berbuat sesuatu. Tetapi terhadap para
perampok, seandainya terpaksa kita bertemu, apa boleh buat. Aku juga membawa
senjata,” Ki Demang berhenti sejenak. Tanpa disadarinya dirabanya hulu
pedangnya yang tersangkut di bawah sehelai kain di punggung kuda di bawah
pelana, sehingga senjata itu tidak begitu tampak dari kejauhan. Lalu katanya,
“Tetapi jika kita tahu benar bahwa kita akan bertemu dengan sekelompok
perampok, apa gunanya kita berjalan terus lewat jalan ini? Apakah tidak lebih
baik jika kita mengambil jalan lain yang lebih aman dan tidak mengganggu
kepergian kita, untuk suatu keperluan yang sangat penting ini?”
Swandaru yang merasa
berkepentingan itu pun mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih juga ragu-ragu.
Sebenarnya ia ingin juga cepat-cepat sampai ke Menoreh tanpa gangguan apa pun.
Tetapi perampok-perampok itu pun tentu sangat menarik hati. Apalagi apabila di
antara mereka ada orang-orang yang dapat dianggap penting dari antara mereka.
Kiai Gringsing yang
mengangguk-angguk, kemudian menjawab setelah merenung sejenak, “Ki Demang
memang benar. Tetapi bagi kita, persoalan perampok itu bukannya sekedar
perampok biasa. Perampok itu tentu ada hubungannya dengan berdirinya Mataram.
Sebagai daerah yang baru tumbuh, ternyata Mataram menghadapi banyak sekali
tantangan. Dimana-mana, orang-orang yang tidak senang terhadap Mataram dengan
serentak telah melakukan kegiatannya. Sudah barang tentu semuanya dijalin dalam
satu puncak kekuasaan dari mereka itu. Terlebih-lebih lagi, beberapa orang
senapati tertinggi Pajang benar-benar tidak mau melihat kehadiran Mataram
sebagai suatu daerah yang kuat. Tentu banayak alasan yang dapat dikemukakan.
Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak ingin melihat Raden
Sutawijaya memiliki kekuasaan, karena ia adalah orang yang besar. Jika ia
mempunyai bekal kekuasaan atas suatu daerah yang betapa kecilnya, maka ia pasti
akan dapat mengembangkan kekuasaan itu dengan baik. Ada pula di antara mereka
adalah prajurit-prajurit, yang semata-mata mengemban tugas. Di antara mereka
adalah Untara. Ia merasa ikut membina Pajang sejak berdirinya. Karena itu, maka
ia tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari ikatan yang terjalin,
antara dirinya dengan Pajang. Yang lain adalah orang-orang yang berjiwa kerdil
dan dengki, sehingga mereka menjadi iri melihat perkembangan Mataram, sedang
yang masih harus di cari sebabnya adalah orang-orang yang langsung merintangi
pembukaan hutan itu, di hutan itu sendiri. Mungkin mereka adalah orang-orang
yang sebelumnya sudah bertempat tinggal di daerah itu atau di
padukuhan-padukuhan di sekitar Alas Mentaok dan sudah mempersiapkan diri untuk
membuka hutan itu. Tetapi, sudah barang tentu mereka merasa dihalangi oleh
usaha Raden Sutawijaya. Namun semua itu barulah sekedar dugaan.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Tetapi seperti Swandaru, ia menjadi ragu-ragu. ia berdiri di antara
kepentingannya sendiri dan kepentingan yang lebih besar.
“Nah, apakah Ki Demang dapat
sepakat dengan perjalanan ini?”
Ki Demang tidak segera
menyahut. Di antara, mereka terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Sudah
tentu bahwa keduanya adalah pelindung yang baik. Apalagi Ki Demang sendiri
bukan sekedar seorang yang harus pasrah diri dalam perlindungan orang lain, karena
ia pun mampu pula berkelahi. Tetapi setiap kali ia menjadi gelisah. Jika
sesuatu terjadi di perjalanan, apakah yang akan dilakukan kemudian?
Namun akhirnya, Ki Demang
tidak dapat mengelak lagi. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyatakan
pendapatnya lagi, tetapi menurut tatapan mata mereka, keduanya ingin mencoba
untuk meneruskan perjalanan lewat jalan sempit itu.
“Baiklah,” berkata Ki Demang,
“aku akan mengikuti kalian. Aku percaya bahwa kalian sudah membuat perhitungan
yang sebaik-baiknya.”
“Mudah-mudahan semua
angan-angan dan prasangka kami tidak benar, Ki Demang.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah, kita melihat apa yang ada di depan kita.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Demang sejenak. Lalu katanya, “Kita akan berusaha, bahwa apa yang kita lakukan
ini tidak mengganggu perjalanan kita, karena pada pokoknya kita sedang pergi ke
Menoreh. Apa yang terjadi ini hanyalah sekedar gejolak di permukaan air saja.
Tetapi arusnya tetap menuju ke muara.”
Ki Demang memandang wajah Kiai
Gringsing sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku sudah
terlalu tua untuk bertualang.”
“Umurku lebih tua.”
“Bukan umur. Tetapi jiwa kita
masing-masing. Aku adalah seorang Demang yang biasa bekerja di satu tempat yang
ajeg, tidak berkeliling kemana-mana. Dan cara hidup yang demikian itulah, yang
agaknya membuat jiwaku lebih tua dari Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tersenyum, sedang Swandaru tertawa pendek. Dipandanginya wajah
ayahnya yang memang masih nampak lebih muda dari Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar. Bahkan katanya, “Kebiasaan Ayah memang hanya menunggui banjar dan
bendungan di Sangkal Putung.”
“Bukan begitu, Ki Demang,”
berkata Ki Sumangkar, “kita memang mempunyai pekerjaan dan kebiasaan kita
masing-masing. Itulah justru yang membuat kehidupan ini menjadi sangat
menarik.”
Ki Demang pun tersenyum pula.
Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Demikianlah, mereka meneruskan
perjalanan melingkar padukuhan yang sepi, kemudian menyusuri jalan sempit di
bulak yang tidak ditanami. Tetapi bulak itu pun tidak begitu luas. Kemudian,
mereka mengikuti jalan itu berbelok menuju ke Alas Tambak Baya.
Tetapi jalan yang mereka lalui
itu agaknya memang hampir tidak pernah disentuh kaki. Rerumputan liar dan
dedaunan yang dilemparkan oleh pepohonan di sebelah-menyebelah jalan itu, sama
sekali tidak menyibak.
Meskipun demikian, agaknya
sesuatu telah menarik perhatian Kiai Gringsing, Dilihatnya batang-batang rumput
yang patah, dan di antara dedaunan kuning yang runtuh, kadang-kadang tampak
juga bekas kaki yang belum terlalu lama pada tanah yang gembur lembab.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun kemudian menggamit Ki Sumangkar dan memperlihatkan bekas-bekas
yang menarik perhatiannya itu, sambil berjalan terus perlahan-lahan.
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Aku juga melihat.”
Kedua orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Demang yang
tampak bersungguh-sungguh dan wajah kedua anak-anak muda yang justru menjadi
cerah. Ternyata udara terbuka membuat mereka menjadi gembira. Mereka dapat
melihat alam yang luas dan rasa-rasanya hati mereka pun menjadi lapang,
selapang bulak yang tidak ditanami itu.
Tetapi kedua anak-anak muda
itu beserta Ki Demang tertegun, ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar yang berkuda di paling depan berhenti sejenak. Tampaknya mereka
sedang mengamat-amati jalan di depan kaki-kaki kuda mereka.
“Ada apa, Kiai?” bertanya Ki
Demang.
Kiai Gringsing berpaling.
Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku hanya melihat
bahwa dekat sebelum kita, ada juga orang yang lewat jalan ini. Tentu atas
petunjuk penjual itu.”
“O.”
“Aku semakin yakin, bahwa
orang yang menunggui warung itu bukan orang yang baik hati seperti kita duga
semula. Padukuhan yang berubah cepat sekali sejak kami lewat terakhir kalinya,
memberikan kesan yang menarik, sehingga kita memang harus berhati-hati.
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian ia pun menyahut, “Baiklah. Aku akan berhati-hati.
Tetapi mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, tidak akan mengganggu rencana
perjalanan kita yang sebenarnya.”
“Aku rasa memang tidak, Ki
Demang.”
Ki Demang tidak menyahut lagi.
Namun sekali ia berpaling. Di belakangnya, Agung Sedayu dan Swandaru
menengadahkan kepalanya sambil memandang ke kejauhan. Memandang sinar matahari
yang menjadi semakin terik, membakar wajah bulak yang tidak ditanami.
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Rasa-rasanya ia memang sudah dipagari oleh kekuatan yang dapat
dipercaya. Namun demikian, baginya lebih baik tidak bertemu dan berkelahi
dengan siapa pun daripada harus terganggu, meskipun tidak terlalu lama.
“Tetapi bagaimanakah jika
kekuatan perampok itu melampaui kekuatan kami?” ia berdesah di dalam hati.
Tetapi Ki Demang tidak mau memikirkannya lagi. Bukan karena ia menjadi
ketakutan. Tetapi, ia tidak ingkar bahwa ia menjadi cemas.
“Jika aku tidak sedang dalam
perjalanan yang penting,” katanya di dalam hati, Ki Demang bukannya orang yang
menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika Tohpati mengancam kademangannya.
Bahkan bersama para pengawal kademangan yang masih muda-muda dan beberapa orang
laki-laki yang tidak ingin melihat kademangannya ditelan oleh pasukan Tohpati,
Ki Demang maju juga ke medan.
Tetapi yang mencemaskannya
kini, adalah justru kepentingan perjalanannya itu. Namun agaknya kawan-kawannya
seperjalanan adalah petualang-petualang yang selalu tertarik pada
persoalan-persoalan yang mendebarkan. Termasuk anaknya yang menjadi murid Kiai
Gringsing. Bahkan jika diijinkan, anaknya perempuan akan berbuat serupa pula.
Namun sebenarnya, jika Kiai
Gringsing tertarik kepada perampok-perampok itu, bukan semata-mata karena darah
petualangannya. Sebenarnya ia pun telah dicengkam oleh kecemasan. Betapa
beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh daerah yang sedang tumbuh itu.
“Kenapa aku ikut berprihatin
atas Mataram?” kadang ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa pun ia mencoba
menyembunyikan perasaannya, tetapi terhadap dirinya sendiri ia harus berkata
dengan jujur, bahwa sebenarnyalah ia kecewa terhadap Pajang sekarang. Pajang
yang dahulu diharapkan dapat menjadi pelita dan pemersatu daerah-daerah yang
bertebaran di tanah ini. Tetapi agaknya Sultan Pajang tidak akan berhasil,
karena kemudian ia terbenam dalam kamukten yang berlebih-lebihan, meskipun di
masa mudanya ia adalah anak muda yang sangat prihatin. Seorang anak muda yang
seakan-akan selalu tidur berselimut embun di sawah, yang beratapkan langit yang
luas.
Tetapi Kiai Gringsing selalu
mencoba menghindarkan diri dari setiap dorongan untuk berbuat lebih jauh lagi.
Bahkan kadang-kadang ia mencoba menasehati dirinya sendiri, “Apakah artinya kau
seorang diri. Seorang dukun tua, yang tersisih dari percaturan pemerintah sejak
Demak masih berdiri?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dan ia terperanjat ketika ia mendengar suara sawangan berdesing di
atas kepalanya.
Dengan serta-merta Kiai
Gringsing menengadahkan wajahnya. Tetapi dedaunan di sebelah-menyebelah jalan
yang rimbun menutup pandangannya, sehingga ia tidak dapat melihat seekor
merpati yang terbang dengan sawangan itu. Ketika ia maju beberapa langkah dan
berhenti di tempat terbuka, suara sawangan itu telah menjadi semakin jauh.
“Merpati dengan sawangan,” ia
berdesis.
“Ya,” sahut Ki Sumangkar,
“ketika aku masih kanak-kanak, aku senang juga bermain dengan burung merpati
yang diberi sawangan, sehingga seolah-olah kita mendengar desing yang tiada
putus-putusnya di udara.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjadi heran dan bertanya, “Apakah
Kiai juga senang bermain sawangan?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sebelum ia menjawab Swandaru pun berkata pula, “Aku mempunyai banyak sawangan
di rumah. Tetapi burung merpatiku sudah hampir habis disembelih. Ayah dan Ibu
ternyata benci kepada burung merpati, karena merusak genting dan mengotori
dinding.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menengadahkan kepalanya karena
suara itu terdengar lagi, semakin lama semakin dekat.
“Aku pernah mendengar isyarat
semacam ini.” katanya.
“Isyarat?” bertanya Ki Demang.
“Aku kira di padukuhan yang
kosong, tidak ada anak-anak yang bermain sawangan.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya, “Memang agak aneh bahwa di sini
ada seekor merpati dengan sebuah sawangan.”
“Maksud Kiai, apakah merpati
ini suatu isyarat bagi para perampok itu?”
“Boleh jadi. Orang-orang di
pinggir padukuhan itulah yang melepaskannya, untuk memberitahukan bahwa di jalan
ini lewat beberapa orang yang dapat dijadikan korbannya.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Jadi menurut dugaan,
Kiai, kita sudah hampir berpapasan dengan perampok-perampok itu?”
“Sekedar dugaan. Sebentar lagi
kita memasuki hutan yang semakin lebat. Memang mungkin sekali kita ditunggu
oleh para perampok itu di mulut hutan.
Ki Demang memandang hutan yang
terbentang di hadapannya. Kemudian ia pun berdesah, “Jika memang jalan itu yang
harus kita tempuh, apa boleh buat.”
Hampir di luar sadarnya,
disentuhnya tangkal pedangnya yang mencuat dari balik sehelai kain di punggung
kudanya, di bawah pelana.
Kiai Gringsing dapat membaca
perasaan Ki Demang. Sebagai orang tua yang membawa anak laki-lakinya melamar,
maka sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin menjumpai gangguan berupa apa pun
juga. Tetapi bagi Kiai Gringsing, rasa-rasanya orang-orang itu perlu
ditemuinya. Jika mungkin untuk sekedar bertanya-jawab apabila mereka mengetahui
serba sedikit tentang diri mereka dan orang-orang yang berdiri di belakang
mereka. Menurut perhitungannya, maka para perampok itu tidak akan mengganggu
perjalanannya ke Menoreh dan apalagi merintanginya. Mungkin memang ada
persoalan yang harus di atasinya, tetapi persoalan-persoalan itu tidak akan
banyak mempunyai arti.
Meskipun demikian, Kiai
Gringsing tetap berhati-hati. Memang mungkin sekali, bahwa perampok yang
dijumpainya adalah segerombolan orang-orang yang kuat dan yang mendapat
kepercayaan untuk memagari Mataram, agar Mataram tidak lagi dapat terlalu
banyak menarik perhatian orang, sehingga dalam waktu yang singkat akan dapat
menjadi sebuah negeri yang ramai.
Demikianlah, maka bagi Kiai
Gringsing suara sawangan merpati itu adalah meyakinkan sekali. Ia pernah
mendengar isyarat yang sama. Dan kini dihubungkan dengan kecurigaaannya kepada
orang-orang yang pernah ditemuinya, maka suara sawangan itu adalah suara yang
merupakan isyarat juga baginya, agar ia berhati-hati.
Karena itu, ketika mereka
menjadi semakin dekat dengan mulut lorong yang menyusup ke dalam hutan, maka
Kiai Gringsing pun kemudian merubah urut-urutan perjalanan mereka. Yang di
paling depan dari mereka adalah Kiai Gringsing. Tetapi mereka tidak lagi
berjajar dua, tetapi beriringan seorang demi seorang.
Di belakang Kiai Gringsing
adalah Swandaru, kemudian Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang Ki Demang
adalah Agung Sedayu dan di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Ki
Sumangkar.
“Urut kacang,” desis Swandaru.
Agung Sedayu yang berada di
belakang Ki Demang menjawab, “Jalan memang terlampau sempit.”
“Mungkin kita harus turun dari
punggung kuda,” sahut Ki Sumangkar yang ada di paling belakang.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak berkata apa pun. Dengan penuh perhatian dipandanginya hutan yang lebat di
hadapannya. Beberapa langkah lagi mereka akan menyusuri hutan perdu yang
sempit, kemudian mereka akan segera memasuki hutan yang pepat.
“Berhati-hatilah,” desis Kiai
Gringsing ketika mereka telah berada di antara gerumbul-gerumbul perdu.
Swandaru yang berkuda di belakang
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ada semacam kegembiraan yang tidak
dikenalnya di dalam hatinya. Ternyata bahwa anak muda itu memang memiliki jiwa
petualangan. Kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dan keras seakan-akan
membuatnya semakin gairah menghadapi perjalanan itu. Bagi Swandaru ternyata
petualangan dan seorang istri memiliki daya tariknya masing-masing, sehingga ia
ingin menempuh kedua-duanya.
Ki Demang yang berada di
belakang Swandaru menjadi berdebar-debar. Di dalam setiap benturan kekerasan,
sesuatu dapat terjadi kematian atas setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Mungkin dirinya sendiri, mungkin Swandaru, atau kedua-duanya. Dengan demikian
maka perjalanan ini adalah perjalanan yang sia-sia. Namun ia tidak dapat
menentang kematian setiap orang di dalam rombongannya yang kecil itu.
Karena itu, sebagai seorang
yang memiliki kepercayaan kepada Yang Menjadikannya, maka Ki Demang itu pun
berdoa di dalam hatinya, agar perjalanan itu mendapat perlindungan-Nya,
Dalam pada itu, wajah Agung
Sedayu pun nampak bersungguh-sungguh. Berbeda dengan Swandaru, maka yang
dipersoalkan oleh Agung Sedayu di dalam hatinya adalah, kesulitan-kesulitan
yang banyak dihadapi oleh Mataram. Apakah sebabnya maka orang-orang itu masih
saja berusaha menggagalkan usaha Raden Sutawijaya untuk membina daerah yang
sedang tumbuh ini? Apakah salahnya jika Mataram menjadi ramai seperti kota-kota
lain di dalam wilayah Pajang?
Masih terngiang di telinganya
keterangan gurunya, bahwa Pajang memusatkan perhatiannya kepada perkembangan
Mataram, dan yang justru beberapa orang menganggapnya sebagai lawan, karena
Mataram memiliki seorang Raden Sutawijaya. Pengaruh Raden Sutawijaya akan dapat
menyuramkan kebesaran cahaya yang pernah dipancarkan oleh seorang anak, yang
bernama Jaka Tingkir dan disebut Mas Karebet, yang kemudian menduduki tahta
Pajang.
Di luar kehendaknya sendiri,
ternyata Agung Sedayu tertarik sekali pada perkembangan Mataram. Ia bahkan
menjadi kagum melihat kemauan yang keras dari Raden Sutawijaya yang didorong oleh
ayahnya, Ki Gede Pemanahan, untuk mengatasi setiap kesulitan. Bahkan menurut
penilaian Agung Sedayu, setiap kesulitan yang dihadapinya, merupakan pendorong
yang kuat bagi Raden Sutawijaya.
Di paling belakang dari
iring-iringan itu adalah Sumangkar. Persoalan yang dihadapinya di saat-saat
terakhir, membuatnya kehilangan gairah untuk memikirkan masalah-masalah yang
menyangkut pemerintahan. Yang ada di dalam hatinya kemudian adalah, jika benar
mereka akan menghadapi segerombolan perampok yang mengganggu kemungkinan
pertumbuhan Mataram, maka perampok-perampok itu harus dimusnahkan. Baik Mataram
maupun Pajang tentu tidak akan mendapat keuntungan dari sikap keras yang tidak
dilandasi oleh kepentingan yang luas dan jauh, selain kepentingan bagi diri
sendiri dan gerombolannya. Bahkan di sejajari dengan usaha-usaha untuk mengadu
domba antara Pajang dan Mataram.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian iring-iringan itu sudah sampai ke mulut lorong yang menghunjam ke
dalam hutan Tambak Baya. Lorong itu adalah lorong yang agaknya memang jarang
sekali dilalui orang, selain mereka yang terjerumus karena petunjuk orang-orang
yang memang dipasang oleh para perampok, atau satu dua orang-orang yang mencari
kayu bakar di hutan-hutan.
Dengan angan-angan dan
persoalan yang berbeda-beda di dalam hati masing-masing, maka mereka pun mulai
memasuki hutan itu. Meskipun di bagian tepi dari hutan Tambak Baya itu masih
belum merupakan hutan yang lebat pepat, namun sudah terasa bahwa udara mulai
menjadi lembab.
Sekali-sekali mereka masih
mendengar sawangan merpati yang terbang melingkar-lingkar di atas mereka.
Sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Namun dugaan Kiai Gringsing,
bahwa dihadapan iring-iringan kecil itu sudah ada sekelompok orang yang
mendahului menjadi semakin kuat, karena bekas-bekasnya tampak semakin nyata.
Ranting-ranting yang patah dan batang-batang rerumputan liar yang terinjak kaki
di sepanjang jalan itu.
“Agaknya sudah ada pula orang
yang terjerumus ke dalam neraka ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Namun ia sama sekali tidak mengatakannya, meskipun menurut dugaan Kiai
Gringsing, kawan-kawan seperjalanannya mengetahui pula bekas-bekas itu,
terutama Ki Sumangkar.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Swandaru bertanya, “Guru, apakah Guru sudah mengenal jalan ini?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku baru kali ini melalui jalan ini, meskipun jalan ini
agaknya sudah lama ada, dan bahkan sekarang sudah tidak dipergunakan lagi.
Tetapi aku kira jalan ini bukan jalan yang harus dilalui untuk pergi ke
Mataram.”
“Jadi, apakah kita akan dapat
menemukan jalan keluar dari hutan ini? Meskipun hutan ini tidak seluas Mentaok,
tetapi hutan ini cukup lebat.”
“Asal kita tidak kehilangan
kiblat. Selagi matahari masih ada di langit, kita akan dapat mengetahui arah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Tetapi bagaimana jika jalan ini kemudian
terputus. Apakah kita harus menyusup hutan di antara sulur-sulur kayu dan
menyibakkan dedaunan yang rimbun? Dengan demikian, maka seperti kata Paman
Sumangkar, bukan kita naik punggung kuda, tetapi kuda-kuda itu akan menjadi
beban selama perjalanan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengerti pertanyaan muridnya itu. Namun
jawabnya, “Kita melihat keadaan yang akan kita hadapi.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Gurunya ternyata tidak menjawab pertanyaannya. Dan mereka
bersama-sama masih harus menunggu dan melihat, apa yang mereka hadapi kemudian.
Dengan demikian, maka Swandaru
tidak bertanya lagi. Sambil maju terus ia memandang keadaan di sekitarnya,
rasa-rasanya memang ada sesuatu di perjalanan itu. Bahkan nalurinya mengatakan
bahwa beberapa pasang mata seakan-akan sedang mengintip di balik dedaunan.
Belum lagi mereka menusuk jauh
ke dalam, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara yang aneh, tidak
jauh dihadapan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun memperlambat langkah
kudanya. Didengarnya suara itu dengan saksama. Seperti yang pernah dikenalnya
dalam keadaan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu, orang-orang yang
bersembunyi di hutan Mentaok dan mungkin juga yang bersembunyi di hutan Tambak
Baya ini telah membuat berbagai macam keadaan yang membuat seseorang menjadi
bingung.
Semakin dekat, ternyata bahwa
suara itu adalah suara merintih seseorang. Semakin lama semakin dekat. Bahkan
bukan saja seseorang yang merintih-rintih, tetapi orang itu benar-benar
berteriak minta tolong.
Sejenak kemudian mereka pun
melihat seseorang berlari-lari terhuyung-huyung dari arah yang berlawanan. Di
tubuhnya terdapat noda-noda darah yang masih basah.
“Lihat!” Ki Demang hampir
berteriak pula.
“Tunggu,” cegah Kiai
Gringsing, “kami pernah tertipu oleh keadaan yang serupa. Kita pernah melihat
orang, yang luka parah dengan darah di seluruh tubuhnya, ternyata orang itu
sama sekali tidak terluka. Dan darah itu sama sekali bukan darah yang
sebenarnya.”
Orang yang berlari-lari itu
ketika melihat iring-iringan orang berkuda, maka seakan-akan mendapatkan tenaga
baru untuk berlari-lari mendekat. Suaranya yang telah parau masih terdengar,
“Tolong, tolonglah kami.”
“Ia tidak sendiri,” desis
Swandaru. Kiai Gringsing pun justru telah berhenti. Dengan, sigapnya ia
meloncat turun. Ketika orang yang berlari-lari itu mendekatinya sambil
memegangi lambungnya. Kiai Gringsing berkata, “Berhenti di situ.”
Orang itu terkejut. Tetapi ia
berkata terputus-putus, “Tolong. Tolonglah kami.”
“Apakah kau terluka?”
“Ya, Ki Sanak. Aku terluka
parah. Tiga orang kawanku masih terjebak. Mereka berkelahi melawan beberapa orang
penyamun.”
“Jangan mendekat,” cegah Kiai
Gringsing pula. “Berdiri di situ. Akulah yang akan mendekat.”
Orang yang pucat itu menjadi
semakin heran. Tetapi ia berhenti juga sambil berpegangan sebatang pohon.
Kiai Gringsing pun segera
melangkah mendekatinya. Di amat-amatinya orang itu sejenak. Kemudian,
“Tunjukkan lukamu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian ia menunjuk lambungnya,
“Singsingkan bajumu.”
Orang itu menjadi semakin
termangu-mangu. Tetapi ia menyingsingkan bajunya pula.
Dari balik baju itu Kiai
Gringsing melihat lambungnya tergores oleh ujung senjata tajam. Kali ini ia
tidak akan tertipu lagi. Dari luka itu pula darahnya telah menitik. Benar-benar
darahnya. Bukan sekedar warna merah.
Karena itu maka Kiai Gringsing
pun segera mendekatinya. Diamatinya luka itu sejenak. Dan ia pun yakin bahwa
kali ini ia tidak tertipu lagi. Orang yang dihadapinya itu adalah benar-benar
orang yang terluka. Dan ia tidak menganggap bahwa orang itu telah dengan
sengaja melukai dirinya sendiri begitu parah untuk menjebaknya.
“Kenapa kau, Ki Sanak?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Penyamun. Kami telah dicegat
di balik tikungan itu.”
“Kau bertempur melawan
mereka?”
“Kami ingin menyelamatkan
barang kami. Tetapi kami tidak dapat bertahan. Aku terluka dan melarikan diri.
Mungkin aku sedang mereka cari sekarang.”
“Tidak sulit mencarimu.
Tetesan darah di tubuhmu membawa mereka segera datang kemari.”
“Lindungi kami.”
“Kami harus berkelahi melawan
mereka?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian tatapan matanya yang pasrah itu pun menjadi redup.
Katanya, “Apa boleh buat. Jika kalian tidak dapat melindungi aku karena kalian
tidak ingin terlibat dalam perkelahian, aku tidak dapat memaksa. Nasibku
sebentar lagi akan ditentukan oleh mereka, apabila mereka menemukan jejakku.”
“Mereka pasti akan menemukan.
Bagaimana Ki Sanak dapat lari?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kami tiba-tiba saja telah
disergap. Beberapa orang dari kami telah berkelahi. Meskipun kami berusaha
keras, tetapi kami tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami
berlari-larian ke segala arah mencari keselamatan diri kami masing-masing.
Beberapa orang penyamun telah mengejar kami berpencaran. Sedang tiga orang di
antara kami tidak sempat berlari. Dan mereka masih bertahan melawan seorang penyamun.
Sedang penyamun-penyamun yang lain mengejar kami yang berpencaran. Aku dapat
menyelipkan diriku di antara dedaunan dan kemudian lari sampai ke tempat ini.
Aku tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawanku yang lain.”
“Ada berapa orang penyamun
yang mencegatmu? “
“Empat orang. Tetapi tiga
orang dari kami tidak dapat mengalahkan seorang dari mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata jumlah penyamun itu tidak banyak.
“Berapa jumlah kawan Ki Sanak
seluruhnya?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Kami berlima, sedang
rombongan yang lain berempat.”
“Maksudmu rombongan yang
lain?”
“Kami terdiri dari dua
rombongan yang bersama-sama akan pergi ke Mataram. Jumlah kami seluruhnya
sembilan orang.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula, “Kalian sembilan orang tidak
dapat melawan hanya empat orang?”
“Tetapi yang empat orang itu
adalah orang-orang yang luar biasa. Ketika aku bersembunyi, aku masih melihat
tiga orang di antara kami yang terikat dalam suatu perkelahian, melawan seorang
saja dari antara mereka, karena yang tiga dari mereka sedang berpencaran
mengejar kami. Tetapi, tiga orang kawan kami itu tidak berdaya. Mungkin mereka
kini sudah berlari pula. Atau mati.”
Sejenak Kiai Gringsing
memandangi wajah yang pucat itu. Kemudian berpaling kepada Sumangkar sambil
berkata, “Di hadapan kita ada empat orang penyamun.”
Sumangkar yang ada di paling
belakangpun kemudian maju mendekati Kiai Gringsing. Ia pun mengamati orang yang
terluka itu dengan saksama. Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Marilah kita
berjalan terus.”
“Kalian akan berjalan terus?”
bertanya orang yang terluka itu.
“Ya. Kami akan berjalan
terus,” sahut Ki Sumangkar.
“Kalian akan membantu kami?”
“Tergantung kepada keadaan
yang akan kita hadapi.”
“O,” orang itu menjadi sedikit
kecewa.
“Sekarang,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “cobalah mengobati lukamu itu.”
“Obat apakah yang harus aku
pergunakan sekarang? Aku sama sekali tidak membawa obat apa pun juga.”
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil
sebuah bumbung kecil, berisi obat bagi luka-luka baru. Kemudian ditaburkannya
serbuk dari bumbung itu pada luka di lambung yang cukup panjang. Meskipun
goresan itu tidak terlalu dalam, namun jika tidak segera mendapat pengobatan,
maka luka itu akan dapat berbahaya bagi orang itu.
Orang itu menjadi
terheran-heran, bahwa tanpa disangka-sangka ia telah bertemu dengan seseorang
yang dapat mengobati lukanya. Dengan demikian ia mulai bertanya-tanya kepada
diri sendiri, “Siapakah orang-orang berkuda ini?”
Namun, baru saja Kiai
Gringsing selesai mengobati orang itu, dilihatnya sesosok bayangan di kejauhan.
Hanya sekilas, karena bayangan itu segera berlindung di balik dedaunan.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing kemudian berkata, “Kita diamati oleh beberapa orang.”
“Siapa?” bertanya Ki Sumangkar
yang kebetulan tidak melihat bayangan itu.
“Apakah Adi Sumangkar
memperhatikan para petani yang ada di gardu?”
“Ya.”
“Apakah kesan yang kau dapat?”
“Aku mencurigainya.
Petani-petani itu seakan-akan sedang berisirahat. Tetapi tidak ada sawah yang
dikerjakan di dekat gardu itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Kita akan berhadapan dengan
orang-orang yang akan mengejar orang yang terluka ini, dan orang-orang yang
memang ditugaskan mengikuti kita.”
“Ya.”
“Nah, tempatkan diri kalian
masing-masing,” berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Tidak menguntungkan jika kita
berada di punggung kuda di daerah yang pepat seperti ini.”
Ki Sumangkar menganggukkan
kepalanya.
Sejenak kemudian, maka mereka pun
telah berloncatan turun. Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung
pun segera menambatkan kuda mereka, seperti juga Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar.
“Mau tidak mau perjalanan ini
akan terganggu,” desis Ki Demang.
“Maaf, Ki Demang,” berkata Kiai
Gringsing, “mudah-mudahan tidak memerlukan waktu terlalu lama.”
Ki Demang pun menganggukkan
kepalanya. Ia masih saja berdiri di sisi kudanya, karena senjatanya tersangkut
pada pelana kudanya, terlindung oleh selembar kain di bawah pelana itu.
Sejenak mereka menunggu,
sedang orang yang terluka itu duduk sambil menyeringai menahan panas oleh obat
yang diberikan Kiai Gringsing pada lukanya. Namun kegelisahan di hatinya bahkan
telah mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Ternyata kami tidak dapat
maju lagi,” bisik Ki Sumangkar kepada orang itu, “Kami menghadapi persoalan
kami sendiri. Mudah-mudahan kawan-kawanmu selamat.”
Orang itu dapat mengerti.
Karena itu maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sejenak kemudian, mereka
terkejut ketika mereka mendengar derap orang berlari-lari kejar mengejar.
Kemudian muncullah seseorang yang berlari sekencang-kencangnya, menuju ke arah
mereka.
“Itu seorang dari kawan kami,”
desis orang yang terluka itu. Lalu sambil melambaikan tangannya ia memanggil,
“Aku di sini.”
“Sst,” desis Kiai Gringsing.
Orang itu terkejut mendengar
desis Kiai Gringsing. Tetapi dalam pada itu kawannya sudah mendengar dan
melihatnya, sehingga karena itu, maka dengan serta-merta ia pun berlari
mendatanginya.
Sejenak kemudian muncullah
orang yang mengejarnya. Ketika orang itu melihat buruannya berlari di antara
beberapa orang, maka ia pun segera berhenti.
Orang yang baru saja datang
sambil berlari-lari itu berhenti di samping kawannya yang terluka dengan nafas
terengah-engah. Tanpa menghiraukan orang lain ia bertanya, “Kau sudah ada di
sini?”
“Ya. Aku bertemu dengan
orang-orang ini.”
“Ia berteriak-teriak,” sahut
Kiai Gringsing, “untunglah bahwa yang mendengar suaranya adalah kami bukan
orang-orang yang mencarinya.”
“Aku bingung dan ketakutan.”
“Kau terluka?” bertanya
kawannya. Orang yang terluka itu mengangguk.
Namun dalam pada itu, orang
yang mengejarnya tertawa sambil berkata, “Tidak ada jalan untuk lari. Karena
itu, dengan telaten kami mencari kalian seorang demi seorang.”
Semua orang memandanginya
dengan tajamnya. Tetapi tidak seorang pun yang segera menyahut.
“Jika kalian keluar dari hutan
ini, kalian bukan berarti terlepas dari tangan kami,” orang yang mengejar itu
berkata selanjutnya. Lalu, “Bahkan bukan saja kalian yang sudah terlanjur
berada di tangan kami, tetapi orang-orang yang baru datang dengan mengendarai
kuda itu pun tidak akan dapat meninggalkan kami dengan selamat. Jangan menyesal
bahwa kalian telah berada di dalam kekuasaan kami. Hutan Tambak Baya dan Mentaok
adalah kerajaan kami.”
“Siapakah sebenarnya kalian,
Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada yang dapat mengenal
kami dengan tepat. Kami adalah orang-orang yang tidak bernama dan tidak
bertempat tinggal. Istana kami adalah hutan ini. Dan kalian telah masuk ke
dalam lingkungan kami, sehingga kalian tidak akan dapat keluar lagi. Mungkin
masih ada cara bagi kalian antuk menyelamatkan diri, tetapi barangkali
memerlukan suatu perjanjian yang matang.”
“Apa maksudmu?”
“Apakah kalian membawa harta
benda? Mungkin bekal kalian atau mungkin barang dagangan?”
“Jika tidak?”
“Nyawa kalian-lah yang kami
perlukan. Atau, dua orang di antara kalian menjadi tawanan kami. Keduanya akan
kami bebaskan kemudian, jika yang lain dapat menebusnya dengan uang atau emas
atau apa pun yang kami tentukan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Sumangkar yang berdiri sambil
menyilangkan tangan di dadanya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri
sebelah-menyebelah Ki Demang yang termangu-mangu di sisi kudanya.
“Nah, apakah yang akan kalian
pilih? Atau, barangkali kalian sekarang sudah membawa barang-barang yang
cukup?”
“Jika kami membawa
barang-barang yang cukup, apakah kami dapat meneruskan perjalanan kami ke
Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak. Kalian boleh pergi,
tetapi kalian harus kembali, tidak terus ke Mataram atau kemana pun juga.
Kalian hanya dapat kembali tanpa pilihan yang lain. Sedangkan apabila kalian
tidak membawa apa-apa, dan tidak bersedia menyerahkan dua orang sebagai
tanggungan, maka kalian semuanya akan kami bunuh.”
“Apakah keberatan kalian jika
kami pergi ke Mataram?”
“Tentu tidak ada. Tetapi kami
berhak untuk menentukan kemana kalian harus pergi, karena daerah ini adalah
kerajaan kami. Apa yang kami katakan harus kalian lakukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya dua orang yang berhasil
melepaskan diri dari tangan para perampok itu, dan kini ada di antara
rombongannya. Namun sekilas terbayang tiga orang yang berusaha berkelahi mati-matian,
tetapi tidak berhasil mengalahkan hanya seorang lawan.
Tetapi menurut perhitungan
Kiai Gringsing, jika orang-orang itu berhasil melarikan diri, maka mereka pasti
akan sampai ke tempat ini karena jalan ini adalah jalan keluar dari hutan
Tambak Baya, kecuali mereka yang tersesat dan kehilangan arah. Karena itu, maka
Kiai Gringsing sengaja memperpanjang waktu sambil menunggu orang-orang lain
yang mungkin akan berdatangan.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “kenapa kalian mengganggu perjalanan kami dan perjalanan
rombongan-rombongan yang lebih dahulu dari kami? Jika kalian sekedar penyamun
yang memerlukan harta benda, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan jika
kami berjalan terus ke Mataram.”
“Kami bukan orang yang paling
bodoh di muka bumi,” jawab orang itu, “tentu kalian dapat bercerita kepada
orang-orang Mataram tentang kami.”
“Apakah jika kami kembali ke
asal kami, kami tidak dapat bercerita tentang kalian?”
“Aku tidak peduli. Dan mereka
yang mendengar ceritamu itu, tidak akan berani lewat jalan ini pergi ke
Mataram.”
“Apakah dengan demikian kalian
tidak kehilangan mata pencaharian? Bukankah semakin banyak orang yang lewat,
rejeki kalian menjadi semakin banyak?”
Wajah orang itu menegang
sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa, “Kalian cukup cerdas. Tetapi sayang,
bahwa aku tidak peduli pada pendapat kalian itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah orang yang belum dikenalnya
itu sejenak. Ternyata wajah itu menyimpan ungkapan sikap yang keras dan kasar.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “apakah sebenarnya maksud kalian dengan tingkah laku kalian
di hutan Tambak Baya ini? Manakah yang lebih penting bagi kalian, menyamun
untuk mendapatkan harta benda, atau menahan arus manusia yang mengalir ke Mataram?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Dan kembali wajahnya menegang. Katanya, “Terlalu banyak yang ingin
kau ketahui. Sekarang, apakah kau membawa barang-barang berharga?”
Kiai Gringsing memandang ke
tikungan. Masih belum ada orang lain yang datang. Karena itu ia masih mencoba
memperpanjang waktu, “Apakah sebenarnya yang kau maksud dengan barang-barang
berharga? Pakaian atau uang.”
“Apa saja. Pakaian, uang, emas
atau intan berlian atau kuda-kudamu yang tegar itu.”
“Yang jelas dapat kau lihat
adalah kuda-kuda kami. Tetapi sayang, bahwa kuda kami akan kami pakai untuk
meneruskan perjalanan. Apakah ada yang lain yang kau kehendaki?”
“Nyawa kalian. Memang
sebaiknya nyawa kalian. Jika kalian mati terbunuh, maka semua barang yang
kalian bawa akan menjadi milik kami. Juga kuda-kuda itu.”
“Kau hanya seorang diri. Kami
berlima dan sekarang bertujuh, meskipun yang seorang telah terluka. Tetapi, ia
masih mampu berkelahi melawanmu.”
Tiba-tiba saja orang itu
tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Kau sangka aku hanya seorang diri?”
Kiai Gringsing masih belum
menjawab ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berlari-lari. Tetapi
langkahnya tertegun sejenak ketika ia melihat sekelompok orang yang berdiri di
jalan sempit itu.
Dan ternyata orang itu adalah
salah seorang dari kawan-kawan orang yang terluka itu, sehingga sekali lagi ia
memanggil sambil melambaikan tangannya, “Aku di sini.”
Dengan ragu-ragu orang itu
mendekat. Ternyata di belakangnya diikuti oleh seorang lagi.
“Kemarilah,” berkata orang
yang terluka itu. Penyamun yang mengejar orang-orang itu pun memandang kedua
orang yang datang itu. Katanya kemudian, “Baiklah, kalian berkumpul di sini.
Dengan demikian kami akan lebih mudah menyelesaikannya.”
Kiai Gringsing memandang kedua
orang yang datang itu sejenak. Ketika keduanya sudah dekat, ia pun bertanya,
“Dimana kawan-kawanmu?”
Kedua orang itu menggeleng.
Salah seorang menjawab, “Aku tidak tahu.”
“Kami akan mencari mereka,”
penyamun itulah yang menyahut. Lalu diletakkannya jari-jarinya ke dalam
mulutnya. Ketika ia meniup, terdengarlah suara suitan yang nyaring, yang
gemanya seakan-akan memenuhi Hutan Tambak Baya.
“Apa yang akan kau lakukan?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Aku memanggil kawan-kawanku.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ketika ia menebarkan pandangannya, dilihatnya beberapa sosok
bayangan yang bergerak-gerak. Kemudian muncullah beberapa orang mendekati
mereka. Empat orang lagi.
Tetapi selain empat orang itu,
masih ada lagi seorang yang datang sambil mendorong dua orang yang sudah tidak
berdaya. Bahkan yang seorang agaknya telah terluka, meskipun tidak parah.
“Itu kawan kami,” desis orang
yang terluka.
“Ya.” sahut yang lain.
“Mereka adalah kawan-kawanmu,”
berkata penyamun itu. Lalu, “Kumpulkan mereka di sini,” katanya lantang kepada
kawannya yang mendorong kedua orang itu dengan punggung tombak pendeknya.
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Lalu, “Mereka akan berkumpul lagi dan kami harus berkelahi lagi.”
“Kumpulkan mereka. Kami tidak
akan membuat kesalahan serupa, membiarkan orang-orang semacam mereka itu
berlari bercerai-berai. Kami akan mengepung mereka dan membunuh mereka di dalam
lingkaran kepungan kami. Kecuali jika mereka dapat memenuhi syarat-syarat
kami.”
“Tidak akan dapat mereka
penuhi,” berkata yang baru datang sambil mendorong kedua tawanannya, “sebaiknya
mereka dibunuh saja.”
“Kami akan membunuh mereka
beramai-ramai. Ada berapa orang yang sudah terkumpul?”
Tidak ada seorang pun yang
menjawab. Tetapi orang itu telah menghitungnya dan bergumam, “Enam orang. Masih
ada tiga orang yang belum kami ketemukan.”
“Yang seorang sudah mati. Aku
berkelahi melawan tiga di antara mereka. Inilah yang dua. Hampir saja aku
membunuhnya. Tetapi aku mendengar isyaratmu.”
“Apakah kau berada dekat
sekali dari tempat ini?”
“Aku menggiring orang ini.
Maksudku, mereka akan kami bawa keluar hutan ini dan menggantungkan tubuhnya di
mulut lorong, sampai keduanya mati dengan sendirinya. Keduanya adalah orang
yang paling sombong yang pernah aku temui.”
Yang mendengar kata-kata itu
menjadi ngeri. Agaknya mereka adalah orang-orang yang dapat membunuh dengan
hati yang dingin, seperti mereka sedang menebas pohon pisang yang sedang
berbuah.
“Nah,” berkata penyamun yang
bersuit itu, “kumpulkan mereka. Apa masih ada yang lain?”
“Mudah-mudahan yang lain belum
terbunuh. Kawan-kawan kami sedang mencari mereka.”
Penyamun itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandang ke tikungan. Seakan-akan
ia pun sedang menunggu kawan-kawannya yang lain. Karena tidak seorang pun yang
tampak, maka sekali lagi ia bersuit lebih keras lagi.
Dari kejauhan terdengar suara
suitan yang serupa. Agaknya kawan-kawannya mendengar isyaratnya dan menjawab
isyarat itu dengan suitan pula.
Beberapa saat mereka menunggu.
Kiai Gringsing masih tetap berdiri di tempatnya. Demikian pula Ki Sumangkar, Ki
Demang, Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang orang-orang yang berdatangan kemudian
menjadi semakin gelisah karenanya.
Sejenak kemudian, muncullah
dua orang yang lain, hampir berbareng. Yang seorang menggiring seorang tawanan
yang sudah hampir tidak dapat berjalan lagi, sedang yang lain datang seorang
diri.
“Nah, kumpulkan mereka,”
berkata penyamun yang pertama-tama datang, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
“Buat apa?” bertanya yang
menggiringnya.
“Kami akan membunuh
beramai-ramai. Semuanya ada tujuh orang ditambah dengan lima. Dua belas orang.”
orang itu berhenti sejenak. Lalu, “Manakah yang seorang?”
“Belum kami ketemukan. Ia
pasti bersembunyi di dalam hutan. Tersesat atau keluar lewat belukar. Tetapi ia
tidak akan dapat hidup. Jika ia keluar hutan, maka ia akan ditangkap juga,
sedang apabila ia masih tetap ada di dalam hutan yang lebat, maka ia akan
menjadi mangsa binatang buas nanti malam.”
Pemimpin penyamun itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jika demikian, kita tidak menunggunya.
Berapa orangkah kita semuanya?”
Para penyamun itu menghitung
jumlah mereka sendiri. Lalu, “Delapan orang.”
Pemimpin penyamun itu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Kami semua ada delapan
orang. Yang kita hadapi lima orang, dengan tujuh orang yang sudah hampir mati.”
“Yang sudah lelah silahkan
beristirahat,” berkata seorang penyamun yang lain, “kami masih segar dan
senjata kami belum bernoda darah. Kami berempatlah yang akan menyelesaikan
semuanya.”
“Aku belum membunuh!” teriak
yang lain, yang datang seorang diri. “Aku akan ikut beramai-ramai sekarang.”
“Semua akan ikut,” jawab
pemimpin penyamun itu, “tetapi aku ingin kepastian, apakah orang-orang berkuda
itu mau memenuhi permintaan kami?”
Para penyamun itu terdiam.
“Bagaimana, Ki Sanak?”
bertanya pemimpin penyamun itu kepada Kiai Gringsing, “Bawalah kepada kami
beberapa keping emas dan perak. Kami memberi waktu dua hari dengan dua orang
tanggungan. Tanggungan yang kami pilih adalah kedua anak-anak muda itu.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“tentu tidak mungkin. Mereka adalah cucu-cucu kami yang akan melanjutkan
kelangsungan hidup nama kami.”
“Terserahlah kepada kalian.
Jika kalian membawa emas itu, maka keduanya akan kami bebaskan.”
“Kami agak kurang percaya
menilik sikap dan kata-kata kalian. Jika kami datang membawa tebusan, maka kami
pun pasti akan kalian bunuh.”
Pemimpin penyamun itu
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Kau terlampau berprasangka, kakek tua. Jika demikian, maka tidak ada pilihan
lagi dari kalian selain mati. Kami, yang delapan orang ini akan beramai-ramai
membunuh kalian. Melawan atau tidak melawan.”
“Itu tidak
berperikemanusiaan.”
“Kami memang tidak
berperikemanusiaan. Tetapi tidak apalah. Agaknya cukup menyenangkan berburu
manusia seperti kalian. Nah, apakah kalian bersenjata?”
Kiai Gringsing menggeleng.
Jawabnya, “Kami tidak bersenjata.”
“Kalau begitu, kami akan
memberi kalian senjata. Pedang atau tombak atau senjata apakah yang kalian
pilih?”
Kiai Gringsing terdiam
sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata, “Bukankah yang berdiri di sana itu, petani
yang duduk di gardu ketika aku lewat?”
Orang yang ditunjuk Kiai
Gringsing itu tersenyum. Katanya, “Kau masih dapat mengenali aku. Ingatanmu
baik sekali, Kakek. Aku memang yang tadi duduk di gardu itu. Tetapi aku bukan
petani seperti yang kau sangka. Aku adalah salah seorang dari penyamun-penyamun
yang kebetulan sudah lama ingin memiliki seekor kuda yang tegar seperti kudamu
itu.”
“Kalian adalah penjahat-penjahat
yang licik. Tentu penjual makanan itu pun kawanmu pula. Ia-lah yang
menjerumuskan kami lewat jalan ini. Ternyata kalian sudah menunggu kami di
sini. Orang itu memang berusaha menjebak kami.”
Hampir berbareng
penyamun-penyamun itu tertawa, Pemimpinnya berkata, “Kau menyenangkan sekali,
Kakek tua. Sayang sebentar lagi kau akan mati. Tetapi sebaiknya kau mati paling
akhir. Aku senang mendengar kau berkicau seperti seekor burung.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi tanpa diduga-duga, ternyata Swandaru tidak lagi dapat menahan
perasaannya. Tiba-tiba saja dengan lantang ia menjawab. “Kalian akan kecewa.
Meskipun Kakek ini sebangsa burung, tetapi bukan jenis burung berkicau. Kakek
ini adalah seekor burung kedasih, yang suaranya menggemakan kematian. Nah,
apakah kalian siap untuk mati?”
Kata-kata Swandaru itu memang
mengejutkan sekali. Bahkan Kiai Gringsing sendiri pun terkejut karenanya.
Tetapi sifat-sifat itulah memang yang menonjol pada muridnya yang gemuk itu.
Sejenak, para penyamun yang
berdiri bertebaran itu menjadi termangu-mangu. Seakan-akan mereka tidak percaya
pada pendengarannya, bahwa anak muda yang gemuk itu telah berkata tentang
kematian. Bukan kematian orang-orang yang ketakutan itu, tetapi kematian para
penyamun.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar sudah tidak dapat mencegah lagi. Agaknya benturan yang keras akan
segera terjadi. Salah seorang dari penyamun itu ternyata tidak dapat dilawan
oleh tiga orang sekaligus, bahkan salah seorang dari ketiga lawannya itu telah
terbunuh dan yang dua lainnya, dikuasainya dengan mutlak. Dan sekarang yang ada
di sekitarnya adalah delapan orang penyamun. Sedang rombongan Kiai Gringsing
bersama orang-orang yang seakan-akan sudah tidak berdaya lagi itu berjumlah
lima dan tujuh orang. Namun yang tujuh orang itu sama sekali sudah tidak
bersenjata.
Dalam pada itu,
penyamun-penyamun itu pun telah bergeger maju. Ternyata kata-kata Swandaru itu
membuat mereka marah. Pemimpin penyamun itu pun kemudian berkata, “Jadi kalian
benar-benar akan melawan?”
Kiai Gringsing-lah yang
cepat-cepat menjawab, “Apakah kalian benar-benar akan memberi senjata kepada
kami, agar kalian mendapat perlawanan yang kalian kehendaki? Berilah senjata
itu jika benar-benar kalian ingin berkelahi.”
Wajah pemimpin penyamun itu
menjadi merah. Tiba-tiba ia berteriak, “Hati-hatilah! Orang-orang ini ternyata
lebih sombong dari orang-orang yang baru saja kalian hancurkan itu.”“
“Berikan kami senjata,
terutama orang-orang yang baru saja kalian kalahkan. Agaknya kalian telah
melucuti senjatanya.”
“Persetan!”
“Kalian akan ingkar?” bertanya
Ki Sumangkar. “Itulah ciri dari sifat dan watak kalian. Demikian juga agaknya
jika kami menyerahkan tebusan berupa apa pun juga.”
“Diam, diam!” pemimpin
penyamun itu berteriak.
“Kenapa kami harus diam? Kita
sudah mendapat gambaran yang jelas dari keadaan yang akan kita hadapi.”
Swandaru-lah yang menyahut, “Kalian akan membunuh kami. Diam atau tidak,
persoalan yang kami hadapi akan serupa saja. Karena itu, jangan risau bahwa
kami berbuat sekehendak kami.”
Para penyamun itu tidak dapat
menahan kemarahan mereka lagi. Pemimpin penyamun itu tiba-tiba meneriakkan
perintah, “Kepung mereka! Jangan seorang pun yang dapat lepas. Kita sudah
kehilangan seorang dari kelinci-kelinci itu.”
“Tetapi, tetapi,” tiba-tiba
salah seorang dari orang-orang yang sudah tidak berdaya itu berkata dengan
gemetar, “kami sudah menyerah. Apakah kami dapat menyingkir dan tidak ikut
campur lagi?”
“Kami akan membunuh kalian
semua!” teriak pemimpin penyamun itu dengan marahnya.
“Kenapa kalian ketakutan?”
bertanya Kiai Gringsing kepada orang itu, “Kalian semula hanya sembilan orang.
Sekarang jumlah kita semua bertambah menjadi duabelas orang.”
“Kami sudah tidak bersenjata
dan jumlah lawan kita pun berlipat. Tadi, kami sembilan orang melawan empat
orang. Apalagi dalam keadaan kami yang parah, dan apakah kalian juga mampu
berkelahi seperti kami?”
“Mungkin tidak. Tetapi kami
mempunyai harga diri. Jika kami harus mati, kami harus mati dengan dada
tengadah. Tetapi kami sama sekali tidak akan pasrah untuk mati. Kami akan
melawan, dan kamilah yang akan membunuh mereka.”
“Gila!” teriak tiga orang
penyamun hampir berbareng. Dan pemimpin mereka berkata, “Bersiaplah untuk mati.
Tetapi kami telah menentukan cara mati yang paling baik bagi orang-orang yang
sombong seperti kalian. Kami akan mengikat kaki kalian pada sebatang dahan di
dalam hutan. Kepala kalian akan diraih oleh seekor harimau yang ganas dari
bawah atau seekor ular menyelusur pada tali pengikat kaki kalian itu. Mungkin
juga semut salaka yang akan menyerang kalian dan menyerap darah kalian sampai
kering, dan makan daging kalian sehingga yang akan tinggal bergantungan adalah
kerangka yang kering.”
Kata-kata itu telah mendirikan
bulu roma. Bahkan Swandaru pun berdesis, “Mengerikan sekali. Tetapi bagaimana
jika terjadi sebaliknya? Kalian-lah yang akan kami gantungkan pada dahan kayu
di hutan ini atau kami ikat dan kami seret di belakang kuda kami?”
“Jangan beri kesempatan mereka
berbicara lagi!” teriak pemimpin penyamun yang marah itu.
Serentak para penyamun itu
mulai bergerak dari segala arah, sehingga Kiai Gringsing pun harus menyesuaikan
dirinya. Kelima orang itu pun segera berpencar. Ki Demang tidak mempunyai
pilihan lain daripada berkelahi, meskipun kadang-kadang sepercik kecemasan
merayapi hatinya.
Agaknya Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tidak sampai hati, untuk melepaskan Ki Demang begitu saja menghadapi
lawan-lawannya, sehingga karena itu meskipun merasa tidak saling berjanji,
keduanya berdiri di sebelah-menyebelah. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru dengan
gerak naluriah telah menghadapi para penyamun dari arah yang lain. Kelimanya
sama sekali tidak mempedulikan lagi, apakah orang-orang yang sudah patah
keberaniannya sama sekali itu akan membantu mereka atau tidak.
Ketika para penyamun itu kemudian
mengacu-acukan senjata mereka, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Bukankah Ki
Demang membawa senjata?”
“Ya,” sahut Ki Demang. Dengan
tergesa-gesa, ia pun kemudian mencabut pedangnya jang tersangkut di punggung
kudanya.
“He!” teriak pemimpin penyamun,
“ternyata kalian bersenjata.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Demang sejenak, lalu memandang pemimpin penyamun itu sambil berkata, “Apakah
salahnya jika kami bersenjata? Sebenarnya kami sudah tahu bahwa kami akan
bertemu dengan penyamun di sini. Sejak kami bertemu dengan seseorang yang
mencurigakan, kami sudah merasa bahwa kami harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Apalagi ketika kami berbicara dengan penjual makanan yang
menunjukkan jalan ini kepada kami, jalan yang kami tahu, bahwa bukan jalan yang
seharusnya kami lalui. Kami pun tahu bahwa para petani itu sama sekali, bukan
petani wajar, karena di sekitar padukuhan yang sudah tidak berpenghuni ini,
tidak ada sawah yang sedang digarap. Kami pun curiga atas pemberian penjual
makanan yang menurut dugaan kami pasti mengandung sesuatu yang tidak wajar
pula. Nah, apakah kata kalian jika sebenarnya kami sudah siap untuk berkelahi?”
“Persetan!” pemimpin penyamun
itu menjadi merah padam. Dan sebelum ia melanjutkan, Swandaru telah mendahului,
“Menyesal bahwa kawan-kawan kami yang terdahulu tidak menunggu kami, karena
mereka tidak tahu bahwa kami akan lewat. Tetapi sebaiknya sekarang mereka tidak
pasrah pada nasibnya yang malang.”
Orang-orang yang terdahulu,
yang telah dikalahkan mutlak itu menjadi bimbang. Tetapi mereka sama sekali
sudah tidak bersenjata. Bahkan ada di antara mereka yang sudah luka-luka.
Agaknya Ki Sumangkar dapat
menangkap gejolak hati mereka. Karena itu maka katanya, “Jika kalian sudah
tidak bersenjata, kalian dapat mempergunakan apa saja, batu, potongan kayu yang
bertebaran itu, atau apa pun juga. Tetapi yang penting adalah keberanian kalian
mempertahankan diri. Daripada kalian mati tanpa perlawanan, maka alangkah
baiknya jika kalian masih menunjukkan sedikit kejantanan. Mati dalam perlawanan.”
“Persetan!” potong pemimpin
penyamun yang marah, “Siapa yang melawan, kematiannya pasti akan sangat
menyedihkan. Tetapi siapa yang menyerah, nasibnya akan dipertimbangkan.”
“Ha!” Swandaru hampir
berteriak, “Kalian sudah mulai cemas bahwa kami semuanya akan bangkit melawan
kalian, meskipun bersenjata sepotong kayu. Meskipun sepotong kayu, jika kami
mampu mempergunakannya, maka yang sepotong itu tidak akan dapat dikalahkan oleh
pedang atau sebatang tombak pendek atau aku lihat di antara kalian ada yang
membawa sepasang bindi bergigi. Tampaknya memang mengerikan, tetapi itu tidak
lebih dari sepotong dahan randu alas yang berduri.”
“Sebentar lagi kalian tidak
akan dapat mengigau!” teriak pemimpin penyamun. Lalu, “Apakah yang ditunggu
lagi. Bunuh semuanya dengan cara yang sudah aku katakan. Mati perlahan-lahan.”
Tetapi Swandaru justru
tertawa. Katanya, “Jika kalian menusuk dadaku dengan tombak, maka aku akan
mati. Nah, kalian boleh menggantungkan mayatku pada sebatang pohon, apakah
dengan kaki di atas atau di bawah atau di samping, aku sudah tidak akan dapat
mengetahuinya.”
“Diam, diam!” lalu perintahnya
kepada orang-orangnya, “Bunuh semuanya! Tetapi biarkan anak gemuk yang gila ini
hidup.”
“Terima kasih!” Swandaru pun
berteriak.
Tetapi Swandaru tidak dapat
berkata lebih banyak lagi, karena kedelapan penyamun itu pun bersama-sama
berloncatan menyerang.
Ki Demang-lah yang menjadi
sangat cemas, bukan saja karena dirinya sendiri, tetapi terutama justru karena
anaknya yang membuat pemimpin penyamun itu menjadi marah sekali.
Sejenak kemudian, maka mereka
pun telah terlibat dalam suatu perkelahian. Kiai Gringsing dan kedua muridnya
terpaksa mengurai senjata mereka, cambuk yang berjuntai panjang, sedang Ki
Sumangkar pun telah memutar trisulanya yang terikat pada seutas rantai, sedang
pasangannya digenggamnya dengan tangan kirinya.
“Gila!” teriak pemimpin
penyamun ketika mereka melihat jenis senjataa itu.
Orang-orang yang ketakutan itu
pun mulai tergugah hatinya. Mereka mulai dijalari oleh harapan, bahwa orang-orang
yang baru datang itu dapat membantu mereka menyelamatkan diri, karena agaknya
kelima orang itu memang sudah siap untuk berkelahi.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka segera memungut sepotong kayu yang
banyak berserakan di hutan itu. Dengan kayu itu, ia bertekad untuk
nempertahankan diri bersama-sama dengan kelima orang berkuda yang baru datang
dan yang kemudian telah terlibat dalam perkelahian dengan para penyamun.
Dengan demikian, maka
kawan-kawannya pun segera mengikutinya pula. Dahan-dahan yang kering itu
merupakan senjata yang cukup untuk sekedar bertahan di sela-sela dentang
senjata beradu dan ledakan cambuk Kiai Gringsing dan murid-muridnya. Bahkan ada
di antara mereka yang menggenggam sepasang dahan kayu yang tidak terlalu
panjang, tetapi ada yang membawa sebatang dahan yang lurus sepanjang tombak
pendek. Meskipun ujung kayu itu tidak seruncing tombak, tetapi jika ia berhasil
memukul lawannya, maka pukulan itu akan cukup membuat lawannya menjadi pingsan.
Usaha mempersenjatai diri itu
ternyata telah membuat para penyamun menjadi semakin marah. Tetapi mereka tidak
dapat berbuat sekehendak hati, karena orang-orang itu telah mulai mengadakan
perlawanan lagi. Apalagi kini di samping mereka terdapat beberapa orang yang
ternyata memiliki kemampuan yang tidak mereka sangka-sangka.
Kemarahan para penyamun itu
pun segera mereka tumpahkan terutama kepada Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
Tetapi ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak disela-sela desing trisula Sumangkar,
maka penyamun-penyamun itu harus mengakui betapa dahsyatnya lawan-lawan mereka
saat itu.
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya beserta Ki Sumangkar pun segera melayani lawan-lawan mereka. Ki Demang
justru telah bertempur dengan pedangnya, karena seorang penyamun yang marah
meloncat menyerangnya.
Namun demikian, meskipun
orang-orang yang semula ketakutan itu sudah mempersenjatai diri, namun mereka
hampir tidak berarti sama sekali di dalam perkelahian yang menjadi semakin
seru. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing bersama kawan-kawannya harus
berkelahi melawan kedelapan orang itu. Hanya kadang-kadang saja, orang-orang
yang bersenjata kayu itu dapat juga mengganggu para penyamun itu dengan
serangan-serangan yang tidak berbahaya bagi mereka.
Dengan demikian maka para
penyamun itu pun kemudian memusatkan kekuatan mereka kepada Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya. Orang-orang yang bersenjata kayu itu sama sekali tidak akan
berdaya jika kelima orang itu sudah dapat dilumpuhkan.
Ternyata kemudian di dalam
perkelahian yang berlangsung semakin sengit, Kiai Gringsing dan kawan-kawannya
mengetahui, bahwa lawan-lawannya sama sekali bukan orang-orang yang berilmu
tinggi. Jika seorang dari mereka dapat mengalahkan tiga orang sekaligus, itu
bukan karena mereka memiliki kelebihan yang luar biasa, tetapi ketiga orang
lawannya lah yang sama sekali tidak memiliki keberanian yang cukup untuk
bertempur terus.
Karena itulah, maka kedelapan
orang itu sama sekali tidak dapat menguasai lawannya, meskipun Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar tidak menunjukkan kelebihan yang ada padanya. Mereka berkelahi
seperti lawan-lawannya. Tata geraknya sederhana dan kadang-kadang tanpa arti.
Mereka sekedar mempertahankan diri dan memancing segenap tenaga lawannya, agar
mereka menjadi lelah dan akan dapat mereka kuasai tanpa membunuh seorang pun
dari mereka.
Tanpa perintah yang
terucapkan, Swandaru dan Agung Sedayu dapat mengerti isyarat yang diberikan
oleh gurunya. Sedang Ki Sumangkar sempat juga berbisik di telinga Ki Demang,
“Jangan membunuh lawan.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak. Tetapi sebagai seorang Demang yang pernah berhadapan dengan prajurit
di bawah pimpinan Tohpati, maka ia pun mampu menjaga dirinya.
Demikianlah, berganti-ganti
mereka berlima melibatkan diri melawan satu atau dua orang penyamun sekaligus.
Agung Sedayu dan Swandaru pun tidak berbuat terlampau kasar terhadap
lawan-lawan mereka. Apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Orang-orang yang semula
ketakutan dan yang kemudian bersenjatakan kayu-kayu yang mereka pungut di antara
batang-kayu, sama sekali tidak mendapat kesempatan lagi. Kelima orang yang
bergerak dalam lingkaran yang sempit di sekitar mereka itu bagaikan pagar yang
rapat sekali, dan terdiri dari berpuluh-puluh orang dengan senjatanya
masing-masing.
Ki Demang pun harus
menyesuaikan diri dengan cara lawan-lawannya berkelahi. Mereka bergeser di
seputar lingkaran, sehingga lawan-lawannya tidak dapat memusatkan serangannya
terhadap seseorang.
Ternyata bahwa kedelapan
penyamun itu tidak berdaya menghadapi kelima orang itu. Meskipun kelima orang
itu tidak memberikan serangan yang berbahaya, namun mereka tidak tahu apa yang
sebaiknya mereka lakukan terhadap orang-orang itu.
Dalam pada itu, lawan-lawannya
pun menjadi semakin lama semakin bingung bercampur marah. Mereka menganggap
bahwa lawan-lawan mereka itu pun akan segera dapat mereka binasakan. Namun
ternyata bahwa mereka hampir kehilangan nalar untuk mengalahkan mereka.
Swandaru yang biasanya tidak
dapat mengendalikan diri, ternyata saat itu sama sekali tidak bernafsu untuk
berbuat lebih banyak dari bertahan dan membiarkan lawan-lawannya menjadi lelah.
Demikian juga Agung Sedayu.
Namun selagi Swandaru sambil
tersenyum meledakkan cambuknya, ia sempat melihat seseorang yang meloncat dari
sebuah dahan ke dahan yang lain. Demikian lincahnya seperti seekor kera yang
besar sekali sedang bermain-main di antara pepohonan hutan.
Terasa dada Swandaru menjadi
berdebar-debar. Ia hanya dapat melihat sepintas karena kebetulan orang itu
berada di arah pandangannya, sedangkan gurunya dan Ki Sumangkar sedang
menghadap ke arah lain. Ayahnya bahkan sedang melawan orang yang berdiri
berlawanan arah dengan lawannya. Dan Agung Sedayu pun tidak sedang memandang ke
arah itu.
“Apakah penglihatanku benar?”
ia bertanya di dalam hatinya, sehingga selagi ia merenungi bayangan itu, hampir
saja senjata lawannya menyentuh hidungnya.
Swandaru terkejut ketika
sebuah bindi berdesing di depan wajahnya. Untunglah ia masih sempat mengelak.
Namun dengan demikian, dengan gerak naluriah ia menyerang lawannya. Ujung
cambuknya berhasil membelit pergelangan tangan, dan ketika ia menghentakkan
cambuknya, orang itu pun terseret beberapa langkah dan kemudian jatuh
berguling. Bindi yang hampir mengenai Swandaru itu pun terlepas dari tangannya.
Ketika ia bangkit dan meloncat
surut, dilihatnya tangannya terkelupas dan mulai membasah darah.
“Gila!” ia berteriak.
Swandaru tidak mengacuhkannya.
Selagi lawannya masih sedang memperbaiki keadaannya, ia mencoba memandang ke
arah bayangan yang dilihatnya. Tetapi ia tidak melihat apa-apa lagi.
Karena itu, agar
kawan-kawannya menyiapkan diri menghadapi keadaan yang tiba-tiba saja dapat
mempengaruhi perkelahian itu, maka ia pun berkata, “Guru, apakah Guru melihat
sesuatu di luar arena perkelahian ini?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Cambuknya dengan mudah dapat menahan lawan-lawannya. Dengan
pandangannya yang tajam ia mencoba mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi ia
tidak dapat melihat sesuatu.
“Di arah ini, Guru,” berkata
Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing tidak dapat
begitu saja berpaling, karena bagaimanapun juga ia sedang berhadapan dengan dua
orang lawan. Sehingga karena itu, maka ia pun menjawab, “Kau kemari.”
Swandaru menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Aku
akan datang, Guru.”
Belum lagi gema suaranya
berhenti, maka cambuknya segera meledak mendorong lawannya beberapa langkah
surut. Bahkan kemudian jatuh berguling di tanah, sedang ketika cambuk itu
sekali lagi meledak, lawannya yang seorang lagi memekik kesakitan. Ujung cambuk
Agung Sedayu membelit kakinya dan oleh hentakan yang keras, maka yang seorang
itu pun terbanting jatuh pula.
Sementara itu, Agung Sedayu
segera meloncat meninggalkan lawannya dan menggantikan kedudukan Kiai Gringsing
melawan dua orang yang lain.
Dalam pada itu, ketika kedua
orang lawan Agung Sedayu yang terjatuh itu bangkit, maka yang berdiri dihadapan
mereka adalah Kiai Gringsing yang juga bersenjata cambuk.
Kedua orang itu masih
menyeringai sejenak. Yang seorang kakinya menjadi merah oleh darah yang meleleh
dari lukanya. Sedang yang lain telah kehilangan pedangnya, sehingga ia
membutuhkan waktu sejenak untuk mencarinya.
Sambil bertempur melawan kedua
lawannya, Kiai Gringsing mencoba mengawasi pepohonan yang semakin dalam menyusup
ke dalam hutan, tampaknya semakin lebat.
Tetapi ternyata, pandangan
mata Kiai Gringsing benar-benar tajam. Setiap gerakan dahan pepohonan tidak
lepas dari pengawasannya, sehingga akhirnya ia melihat pula sesosok bayangan
yang duduk, di atas dahan hanya beberapa langkah dari arena perkelahian,
berlindung di balik rimbunnya dedaunan dan sulur-sulur yang bergayutan.
Kiai Gringsing menarik nafas.
Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Bahkan ia masih bertempur dengan kedua
lawannya, seolah-olah ia masih belum melihat orang yang bersembunyi sambil
memperhatikan perkelahian itu.
Meskipun Kiai Gringsing tidak
melihat orang itu dengan jelas, namun menilik sikapnya ia dapat menduga, bahwa
orang itu adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup, setidak-tidaknya ia
adalah orang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.
Dengan demikian, Kiai
Gringsing harus berhati-hati. Keadaan agaknya akan menjadi semakin gawat. Namun
selagi orang itu masih duduk diam, Kiai Gringsing pun tidak berbuat sesuatu. Ia
masih saja melayani lawannya seperti sebelumnya.
Namun hatinya berdesir ketika
ia melihat gerak yang lain di kejauhan. Ternyata selain orang yang duduk
mem-perhatikan perkelahian itu, masih ada orang lain yang sedang mengawasi
pula.
Tetapi ketika Kiai Gringsing melihat
bahwa orang yang duduk itu sekali-sekali berpaling dan tidak membuat gerak yang
mencurigakan, maka Kiai Gringsing mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kawan.
Dengan demikian, Kiai
Gringsing harus menjadi semakin berhati-hati. Ternyata bahwa sejenak kemudian,
lawan mereka akan bertambah. Bahkan bertambah dengan dua orang yang pasti
memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang telah berada di arena perkelahian.
Selagi Kiai Gringsing mencoba
menemukan dugaan yang lebih dekat lagi atas kedua orang itu, tiba-tiba saja
Swandaru berkata lantang, “Apakah Guru sudah melihatnya?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Jawabnya kemudian, “Apakah kau benar-benar melihat sesuatu?”
“Ya, Guru. Aku melihat sesuatu
bergerak-gerak di kejauhan.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Sekilas ia melihat lagi bayangan yang bergerak semakin dekat.
“Aku melihat lagi, Kiai,”
Swandaru hampir berteriak. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
yang dilihat Swandaru adalah justru orang yang berada di kejauhan. Bukan orang
yang duduk di atas dahan itu.
“Jika demikian, orang ini
benar-benar orang yang harus diperhitungkan,” berkata Kiai Gringsing kepada
diri sendiri. Bahwa ia dapat hadir di tempat itu tanpa diketahuinya adalah
pertanda, bahwa orang itu adalah orang yang cukup mempunyai bekal dalam olah
kanuragan. Meskipun pada saat ia mendekat agaknya Kiai Gringsing sedang sibuk
melayani lawannya, apalagi ia sedang menghadap ke arah lain, namun orang itu
adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
“Ternyata mereka datang
berdua,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian,
maka banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
“Ternyata bahwa kami tidak
dapat melewati mereka begitu saja,” berkata Kiai Gringsing pula di dalam
hatinya, “tentu Ki Demang menjadi semakin cemas. Apalagi jika terjadi sesuatu.
Jika perjalanan ini urung, maka ia pasti akan menjadi kecewa sekali dan akulah
yang akan dipersalahkannya.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun harus berusaha, bahwa apa yang akan dihadapinya ini, tidak akan
mengurungkan perjalanan mereka ke Menoreh.
“Tetapi kedua orang itu cukup
mendebarkan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Kiai
Gringsing tampaknya masih tidak begitu menghiraukannya. Tetapi sekali-sekali ia
memandang juga ke atas dahan itu dengan sudut matanya.
Sejenak kemudian, ketika
Swandaru sekali lagi melihat, ia pun berkata, “Sekarang orang itu menjadi
semakin dekat.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
“ia menjadi semakin dekat.”
Sumangkar, Agung Sedayu dan Ki
Demang sebenarnya tertarik juga untuk melihat. Tetapi mereka harus melawan
orang-orang yang menyerang mereka dari jurusan lain, sedang orang-orang yang
bersenjatakan kayu itu hampir tidak dapat membantu mereka sama sekali.
Agung Sedayu yang masih muda
itu akhirnya tidak dapat menahan diri. Meskipun ia bukan seorang yang cepat
kehilangan pengamatan diri, namun keinginannya untuk melihat orang yang
dikatakan oleh Swandaru itu telah memaksanya untuk segera mengalahkan lawannya,
setidak-tidaknya mendesak mereka jauh-jauh.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian cambuknya menggelepar keras sekali. Dengan cepatnya ia memutarnya
sekali lagi, dan ketika cambuk itu meledak pula, maka terdengar suara seseorang
mengaduh.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia sama sekali tidak bertempur dengan menunjukkan kemampuannya
yang sebenarnya. Bahkan sebagian kecil saja yang dipergunakannya untuk melawan
para penyamun itu. Karena itu ketika ia mendengar cambuk Agung Sedayu meledak,
tahulah ia bahwa Agung Sedayu-lah yang tidak telaten kali ini. Bukan Swandaru.
Namun Kiai Gringsing pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu pasti ingin segera
dapat melihat orang yang disebut oleh Swandaru itu.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
mencegahnya. Hal itu memang sudah waktunya terjadi. Bahkan semakin cepat
menarik perhatian orang-orang yang bergayutan di pepohonan itu, menjadi semakin
baik pula.
Ternyata bahwa Agung Sedayu
mendesak lawannya dengan dahsyatnya. Ia tidak memerlukan waktu yang panjang.
Ketika sekali lagi cambuknya meledak, sekali lagi lawannya harus menyeringai
menahan sakit sambil mengeluh tertahan.
Namun cambuk Agung Sedayu
menjadi semakin sering meledak. Dengan demikian, maka lawan-lawannya itu pun
menjadi semakin sering mengaduh. Di tubuhnya telah tergores jalur-jalur merah
silang-melintang. Dengan demikian, maka keduanya menjadi ragu-ragu untuk
mendekatinya.
Dalam kesempatan-kesempatan
itulah Agung Sedayu mencoba berpaling. Tetapi ia tidak segera dapat melihat
orang yang di katakan oleh Swandaru itu. Namun dengan demikian maka Agung
Sedayu pun menjadi semakin jengkel, sehingga cambuknya pun menjadi semakin
garang pula.
Ternyata bahwa tindakan Agung
Sedayu itu, serta noda-noda darah pada tubuh lawan-lawannya telah menarik
perhatian orang yang duduk di atas dahan sambil memperhatikan pertempuran yang
menjadi semakin cepat. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian terdengar
suaranya, “Kau memang dahsyat sekali anak muda.”
Agung Sedayu terkejut,
mendengar suara itu. Demikian juga Sumangkar dan Ki Demang. Karena mereka tidak
melihat, mereka menyangka bahwa yang disebut oleh Swandaru itu tidak berada
pada jarak sedekat itu.
Bahkan Swandaru sendiri pun
terkejut pula. Yang dilihatnya adalah orang lain, dan tiba-tiba ia mendengar
suara tidak begitu jauh dari arena.
“He, apakah ada yang lain?”
bertanya Swandaru tanpa sesadarnya.
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Memang ada yang lain. Yang kau lihat adalah seorang kawanku.”
“O, jadi kalian berdua?”
bertanya Swandaru.
“Ya. Kami datang berdua.
Dengan delapan orang yang sudah bertempur lebih dahulu, kami adalah sepuluh
orang.”
“Bagus,” Swandaru-lah yang
menjawab, “setiap orang dari kami akan berkelahi melawan dua orang.”
“Tetapi orang itu tertawa
pula. Katanya, “Jangan terlampau sombong. Bagaimana jika kami berdua saja yang
akan turun ke arena? Biarlah delapan orang-orang kami itu menonton sambil
mengepung kalian, jika ada di antara kalian yang akan melarikan diri.”
“He,” Swandaru meloncat surut
setelah meledakkan cambuknya beberapa kali dan mendorong lawan-lawannya.
Katanya, “Turunlah. Aku ingin melihat tampangmu.”
“Persetan!” orang itu
menggeram. Tetapi ia pun kemudian tertawa lagi, “Kau menyenangkan anak muda.
Tetapi sayang, bahwa karena itulah maka kau akan menjadi seorang anak
peliharaan di tempat kami.”
Swandaru tidak segera menjawab.
Tetapi cambuknya meledak keras sekali, sehingga kedua lawannya berloncatan
surut. Baru kemudian Swandaru berkata, “Turunlah. Aku ingin melihat wajahmu.”
“Apakah kau tidak melihat
sekarang?”
“Terlindung oleh sulur-sulur
kayu.”
“Baiklah. Aku akan turun,”
lalu katanya kepada anak buahnya, “jangan menyerang korban-korbanmu lebih
dahulu. Biarlah mereka mepunyai kesempatan mengenal wajahku. Mundurlah supaya
mereka tidak berprasangka.”
Para penyamun itu pun segera
berloncatan mundur. Bukan saja karena perintah orang yang bertengger di atas
dahan itu, tetapi justru karena sebenarnya mereka menjadi ketakutan mendengar
ledakan cambuk dan desing trisula Sumangkar, meskipun ujung trisula itu sama
sekali belum pernah menyentuh lawan-lawannya.
Sejenak kemudian, orang yang
berada di atas dahan itu pun segera meloncat turun. Demikian Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya melihat wajahnya, maka hati mereka pun bergejolak.
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu memandanginya. Namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman,
maka ia pun segera dapat menenangkan hatinya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “aku tidak menyangka bahwa kau adalah orang yang justru
memegang pimpinan di daerah ini.”
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku pun tidak menyangka, bahwa kau yang tua itulah yang memimpin
kawan-kawanmu. Bukan Ki Demang yang kau katakan itu.”
Ki Sumangkar pun kemudian
menyahut pula, “Jadi warung itu merupakan kedok yang bagus sekali bagimu, Ki
Sanak.”
Orang itu tertawa sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Demikianlah. Aku memang mempergunakannya
sebagai kedok yang baik sekali.”
Agung Sedayu, Swandaru dan Ki
Demang memandanginya dengan heran pula. Namun mereka pun kemudian dapat
menenangkan diri mereka sendiri. Namun Agung Sedayu masih juga berdesis sambil
mendekati Ki Demang, “Penunggu warung itu, Ki Demang.”
“Ya, penunggu warung. Tentu
tidak seorang pun mengira bahwa ia memiliki kemampuan yang begitu tinggi.”
“Guru sudah mencurigainya.
Tetapi karena ia tidak mempunyai alasan yang lain, maka guru tentu tidak menyangka
bahwa ia-lah justru yang memimpin perampokan ini. Dan ternyata bahwa ia sendiri
mempunyai kemampuan yang begitu tinggi.”
“Ya. Kita harus berhati-hati.
Bagaimanapun juga hal ini pasti akan mengganggu perjalanan kita,
setidak-tidaknya memperpanjang waktu.”
“Tetapi tentu tidak dapat kita
hindari. Jika orang itu yang memimpin perampokan, maka kita pasti akan
mengalaminya lewat jalan manapun, karena ia pasti akan dapat mengatur
orang-orangnya.”
“Ya, ya. Kau benar. Kita tidak
dapat menghindarinya lewat jalan yang manapun.”
Keduanya pun terdiam, ketika
mereka mendengar orang yang semula dikenalnya sebagai penunggu warung itu
berkata, “Ternyata firasatmu baik Ki, Sanak. Aku tahu bahwa makanan yang aku
berikan tidak kau makan sama sekali.”
“Terima kasih,” sahut Kiai
Gringsing. Lalu, “Tetapi justru kebaikan yang berlebih-lebihan itu dapat
menimbulkan kecurigaan. Bukankah hampir tidak pernah terjadi, seorang penunggu
atau katakanlah penjual makanan yang begitu baik hati memberi bekal perjalanan
kepada orang lewat tanpa alasan?”
Orang itu tertawa. Katanya,
“Tetapi karena kau mampu berpikir itulah agaknya maka kau menolak pemberianku,
meskipun tidak berterus terang. Kau terima juga makanan itu meskipun kemudian
kau buang. Tetapi ada juga yang dengan lahapnya dimakan dan akibatnya mereka
tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti. Mereka menjadi sesak nafas dan
kehilangan kekuatan.”
“Apakah setiap orang lewat kau
beri bekal makanan buatanmu itu?”
“Tidak. Hanya orang-orang
khusus saja. Seperti kau yang sudah mencurigai aku, maka aku pun sebenarnya
agak curiga juga kepadamu. Terutama Ki Demang itu. Aku melihat sesuatu di balik
pelana kudanya. Dan ternyata dugaanku benar. Senjata. Seorang Demang yang
bersenjata sudah tentu berbahaya sekali. Ternyata dugaanku tidak salah.
Meskipun agaknya Ki Demang bertempur seperti acuh tidak acuh, namun tidak
seorang pun yang mampu mendekatinya,” orang itu berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi, ternyata kemudian bahwa bukan saja Ki Demang, tetapi anak muda yang
gemuk yang banyak berbicara itu pun mempunyai kemampuan yang cukup baik,
sehingga dengan demikian, maka kalian berlima mampu bertahan melawan kedelapan
orang anak buahku.”
“Terima kasih atas pujian itu.
Tetapi adalah wajar, bahwa kami harus berjuang mempertahankan diri dan harta
benda kami yang cukup banyak jumlahnya, karena kami pergi untuk melamar seorang
gadis dan membawa oleh-oleh untuknya.”
Orang yang semula bertengger
di atas pohon itu tertawa. Katanya, “Seperti kau mencurigai pemberianku, aku
pun jadi curiga akan ceritamu. Dalam keadaan yang demikian gawat bagimu, kau
masih juga mengatakan bahwa kau membawa harta benda yang cukup banyak
jumlahnya. Bukankah itu benar-benar mencurigakan?”
Kiai Gringsing pun tersenyum.
Lalu katanya, “Baiklah. Dengan demikian kita memang sudah saling mencurigai.
Kita masing-masing memang sudah siap untuk berdiri berseberangan. Kau hendak
menyamun kami, dan kami pun ingin mempertahankan diri dan milik kami.
Setidak-tidaknya kuda-kuda kami yang tegar.”
“Baiklah. Aku percaya bahwa
kau dapat mengalahkan dua tiga orang anak buahku sekaligus setiap orang. Tetapi
kau belum mengenal aku dan seorang sahabatku, kami memang orang-orang baru di
sini. Tetapi kami mendapat tugas yang berat sekali.”
“Kau sadari tugasmu sebagai
seorang penyamun. Apakah penyamun mempunyai ikatan yang luas sekali, sehingga
kau mendapat perintah untuk bertugas di sini?”
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Demikianlah agaknya. Tetapi kami bukanlah penyamun kebanyakan. Kami adalah
pagar bagi Mataram.”
“Seperti yang kau katakan. Kau
ingin memagari Mataram dan memisahkannya dari dunia luar. Nah, siapakah yang
memegang kendali dari antara kalian? Apakah kau pemimpin tertinggi dari gerakan
yang ingin memperkecil arti Mataram?”
“Eh, kau salah duga. Tentu
bukan aku, karena aku hanya sekedar menjalankan perintah. Tetapi meskipun
demikian, aku mempunyai wewenang yang luas di sini. Beberapa orang yang
bertugas di sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok tidak dapat berbuat banyak
menghadapi Mataram. Sekarang aku akan mencoba dengan caraku.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi persoalan yang dikatakan oleh orang itu
adalah persoalan yang sudah diduganya. Kiai Gringsing ingin mendengar
keterangan yang lebih dalam lagi. Tetapi sulitlah dapat di harapkan dari orang
itu. Meskipun demikian ia masih juga mencobanya, “Ki Sanak. Meskipun kau
berhasil di sini, tetapi jalan ke Mataram bukan hanya satu jalur. Dari selatan,
dari barat, dan dari utara masih tetap terbuka.”
“Semua jalan sudah ditutup.
Tetapi menurut perhitungan kami, jalan yang menghadap langsung ke Pajang ini
adalah jalan yang paling penting. Karena itu, aku-lah yang ditugaskannya di
sini.”
“O, kalau begitu Ki Sanak
adalah orang yang paling dipercaya dari lingkunganmu.”
Orang itu tersenyum. Katanya,
“Ya. Akulah orang yang paling dipercaya.”
“Masih adakah orang yang
melampauimu?”-
“Tidak. Tidak ada lagi orang
yang melampaui aku.”
“Yang menugaskan kau di sini?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Mungkin. Satu-satunya orang yang mungkin melampaui aku.”
“Kenapa mungkin?”
“Ia hanya memiliki pengaruh.
Jika aku dan pemimpin kami itu harus bertempur, maka aku kira, aku tidak akan
dapat dikalahkannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi harapan untuk mendapat penjelasan dari orang ini, baik
sebelum maupun seandainya ia berhasil menangkapnya, akan sia-sia saja. Seperti
juga yang pernah terjadi, mereka adalah orang-orang yang teguh memegang
rahasia. Kiai Damar, Kiai Telapak jalak, orang-orang yang menyerang rumah
Untara yang dihuni oleh para perwira Pajang dan tentu juga orang-orang ini.
“Tetapi setidak-tidaknya aku
harus membuka jalur ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Jika
orang-orang itu masih ada di jalur ini, maka hubungan dengan Mataram pasti akan
benar-benar terputus. Prajurit-prajurit yang meronda tidak akan dapat
memecahkan masalah ini, karena mereka hanya sekedar lewat dan segera kembali ke
Mataram. Dan jika terjadi benturan senjata, maka prajurit Mataram itu tidak
akan dapat mengalahkan orang-orang ini, terutama penjual makanan itu.”
Dalam pada itu, maka orang itu
pun kemudian berkata, “Nah, sekarang kalian yang sudah terlanjur mengetahui
beberapa hal tentang kami dan usaha kami, tidak akan dapat keluar lagi dari
hutan ini.”
“Jangan meramalkan yang belum
terjadi.”
Orang itu tertawa. Katanya,
“Aku tidak pernah ikut campur dalam setiap perampokan dan kadang-kadang
pembantaian. Tetapi kali ini, ternyata orang-orangku tidak mampu melaku-kannya.
Karena itu, aku sendiri harus turun tangan. Jika tidak, maka pagar yang kami
buat pasti akan dapat kau tembus. Apakah kau akan pergi ke Menoreh atau ke
Mataram?”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Ketika ia kemudian melihat orang yang satu lagi dengan jelas, maka orang itu
adalah orang yang mula-mula bertanya kepadanya, di saat ia beristirahat sebelum
sampai ke tepi hutan Tambak Baya.
“Nah, jangan menyesal, bahwa
kami harus menjalankan tugas kami. Kami mendapat kebebasan mempergunakan cara
yang paling kami sukai untuk membantai korban-korban kami. Adalah kebetulan
sekali bahwa yang paling menarik dari kalian adalah anak muda yang gemuk itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi ketika ia berpaling kepada Ki Demang, dilihatnya wajah itu menjadi
berkerut merut.
Namun, itu adalah wajar
sekali. Ki Demang sedang dalam perjalanan untuk melamar seorang gadis justru
untuk Swandaru. Dan kini Swandaru yang menjadi pusat sasaran para penyamun itu.
Meskipun demikian Ki Demang
percaya, bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pasti tidak akan tinggal diam.
Dalam pada itu, penjual
makanan yang ternyata adalah pemimpin dari para penyamun itu maju selangkah
sambil berkata, “Kami akan segera melakukan tugas kami. Kami akan membunuh
kalian. Tetapi anak yang gemuk itu akan menjalaninya yang terakhir kali.”
Tetapi adalah di luar dugaan
bahwa Swandaru menyahut, “Sejak tadi kau hanya berbicara saja tanpa berbuat
sesuatu. Ayo, kita segera menentukan siapakah yang akan terbantai. Kami atau
kalian.”
Orang yang ternyata memimpin
para penyamun itu mengerutkan keningnya, namun ia pun tertawa, “Kau memang
menyenangkan sekali.”
“Persetan!” Swandaru menjadi
tidak sabar lagi. Orang itu masih saja tertawa. Tetapi suara tertawanya
terputus ketika cambuk Swandaru tiba-tiba saja meledak.
“Anak setan!” pemimpin
penyamun itu menggeram. Namun Kiai Gringsing-lah yang menyahut, “Marilah, Ki
Sanak. Kita sudah bersiap.”
Orang itu memandang Kiai
Gringsing dengan sorot mata yang menyala. Dengan isyarat ia memanggil kawannya
yang paling dipercaya. Katanya, “Marilah kita selesaikan orang-orang ini.”
Kiai Gringsing melihat orang
itu meloncat mendekat. Karena itu, maka ia pun berkata, “Marilah, Adi
Sumangkar. Kita yang tua-tua sajalah yang sebaiknya melayani tamu-tamu kita
kali ini,” lalu katanya kepada Swandaru dan Agung Sedayu, “Kalian mempunyai
tugas khusus. Kedelapan orang itu tentu tidak akan hanya sekedar menonton. Jika
mereka berbuat sesuatu, adalah bagianmu.”
Mendengar kata-kata gurunya
itu, Swandaru menjadi kecewa. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Aku ingin
bahwa aku-lah yang mendapat kesempatan membantai penjual makanan yang licik itu.”
Tetapi gurunya menyahut,
“Jangan kalian biarkan kedelapan orang itu mengganggu kami. Kami ingin
berkelahi seperti kami sedang melagukan tembang macapat.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia mengerti bahwa gurunya tentu berpendirian lain. Karena itu maka
katanya di dalam hati, “Orang itu tentu orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi menurut pendapat guru, sehingga aku tidak diperkenankan untuk bertempur
melawannya.”
Dalam pada itu, Sumangkar pun
telah menyiapkan dirinya di samping Kiai Gimgsing. Seperti Kiai Gringsing maka
Sumangkar pun melihat, bahwa kedua orang itu bukan orang-orang kebanyakan dan
bukan pula seperti penyamun-penyamun yang lain.
Orang yang semula menunggui
warung itu pun kemudian berkata, “Kalian akan menyesal. Tetapi apa boleh buat.
Aku harus menyelesaikan kalian di sini. Kalian sudah membuat aku marah dan
tentu jualanku sekarang sudah habis dicuri orang, karena tidak ada yang
menungguinya.”
Tanpa diduga-duga Swandaru
menjawab, “Jika daganganmu habis dicuri orang, maka pencurinya tentu anak
buahmu sendiri, karena di sini sama sekali tidak ada orang lain.”
“Persetan!” orang itu
memotong. Namun sebelum orang itu berbicara, Kiai Gringsing telah mendekat
selangkah sambil berkata, “Bersiaplah. Jangan membual kepada anak-anak. Kita sudah
berjanji untuk berkelahi dan mempertaruhkan nyawa.”
Orang itu menggeram. Lalu
tiba-tiba saja ia berteriak, “Beri aku senjata. Cepat. Beri aku senjata.
Agaknya untuk membunuh orang ini diperlukan senjata.”
Sejenak para penyamun itu
saling berpandangan. Dan orang itu sekali lagi berteriak, “Berikan senjata itu
kepadaku. Apakah kalian tuli? He, yang memegang sepasang bindi. Berikan
kepadaku sebuah. Dan kau yang memegang pedang dan pisau belati panjang. Berikan
pisau itu kepadaku. Aku akan membunuh orang ini dengan bindi dan pisau belati.”
Orang yang memegang sepasang
bindi itu pun segera berlari-lari kepadanya, dan menyerahkan sebuah dari
sepasang bindinya, sedang yang membawa sebuah pedang dan pisau belati panjang
pun datang pula kepadanya menyerahkan pisau belatinya.
“Nah, aku kini sudah
bersenjata dan kalian masih juga bersenjata. Aku akan membunuh orang tua ini,
dan kalian harus membunuh anak-anak muda itu beserta Ki Demang. Kemudian
tikus-tikus yang lain itu pun harus kau bunuh pula.” lalu ia pun berpaling
kepada kawannya yang telah siap melawan Sumangkar, “Bunuh pulalah orang yang
membawa senjata aneh itu. Seakan-akan ia adalah seorang petualang yang biasa
membelah dada orang dengan trisulanya itu.”
Orang yang diajak berbicara
itu mengangguk dan menjawab, “Senjatanya memang sangat menarik. Tetapi orang
itu sama sekali tidak menarik bagiku. Apakah kau pernah mendengar tentang
orang-orang bercambuk yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
Penjual yang menjadi pemimpin
para penyamun itu mengerutkan keningnya. Katanya, “O, aku memang pernah
mendengar, tetapi aku tidak menghiraukannya. Apakah orang-orang itu adalah
orang yang sedang kita hadapi sekarang ini?”
“Aku kira.”
“Persetan! Jika demikian,
mereka benar-benar harus dibunuh,” lalu ia pun berteriak kepada para penyamun
yang lain, “Cepat, bunuhlah anak-anak muda itu dengan Ki Demang sekali. Mereka
tidak berhak lagi keluar dari hutan ini. Kemudian kalian harus menjaga agar
kedua orang tua-tua ini tidak dapat lari. Karena, merekalah agaknya yang telah
membunuh Kiai Damar, mengaku atau tidak mengaku.”
Para penyamun itu pun segera
bergeser maju. Kini mereka berdelapan hanya tinggal menghadapi tiga orang lagi,
karena yang dua, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah terikat kepada kedua
orang yang sudah bersiap pula menyerangnya.
Swandaru menggeram ketika ia
melihat tiga orang mendekatinya. Ia harus berkelahi melawan tiga orang itu.
Sedangkan Agung Sedayu pun harus berhadapan dengan tiga orang pula, dan Ki
Demang dengan pedangnya berhadapan dengan dua orang penyamun.
Ternyata Swandaru tidak
menunggu mereka menyerang. Sejenak kemudian terdengar cambuknya meledak. Ia-lah
yang lebih dahulu mulai menyerang lawan-lawannya.
Ledakan cambuk Swandaru
bagaikan aba-aba setiap orang yang ada di tempat itu. Semuanya pun segera
berloncatan dan menghadapi lawan masing-masing.
Ki Demang tidak lagi dapat
berpikir lain daripada bertempur. Mau tidak mau, perkelahian memang harus
terjadi karena orang-orang yang berada di mulut hutan itu ternyata adalah
orang-orang yang sengaja menghalang-halangi, tetapi menakut-nakuti dengan
membunuh orang-orang lain, yang lebih dahulu melalui jalan itu.
Sejenak kemudian, maka Ki
Demang pun telah bertempur mati-matian. Tetapi karena ia memiliki pengalaman
yang cukup, maka dua orang lawannya bukannya lawan yang dapat membahayakan
jiwanya, meskipun ia harus memeras tenaga. Namun demikian, jika perkelahian itu
berlangsung lama, maka nafasnya-lah yang agaknya akan mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, Swandaru dan
Agung Sedayu pun segera berloncatan dengan lincahnya. Karena mereka mencemaskan
nasib Ki Demang di Sangkal Putung, maka mereka pun tidak lagi sekedar melayani
lawannya seperti yang telah di lakukannya. Kini mereka benar-benar harus segera
membinasakan lawannya sebelum dirinya sendiri.
Karena itulah, maka tandang
Swandaru dan Agung Sedayu tidak lagi seperti saat mereka bertempur sebelumnya.
Kini mereka memeras segenap kemampuan yang ada. Selain lawannya memang menjadi
lebih banyak, maka mereka harus berpacu dengan waktu. Mereka tidak tahu, apakah
Ki Demang mampu mempertahankan dirinya melawan kedua orang itu, sedangkan
apakah gurunya dan Ki Sumangkar dapat mengimbangi lawannya itu pun, masih
merupakan pertanyaan yang besar bagi keduanya. Meskipun kedua anak-anak muda
itu tidak berjanji, tetapi mereka menganggap bahwa semakin cepat mereka
menyelesaikan tugas mereka, itu akan berarti semakin baik buat dirinya sendiri
dan buat orang lain yang memerlukan pertolongan.
Dengan demikian, maka sejenak
kemudian pertempuran itu pun meningkat menjadi semakin seru. Untuk melawan
Swandaru dan Agung Sedayu yang bertempur seperti banteng yang terluka itu,
lawan-lawannya pun telah memeras kemampuan yang ada pada mereka.
Dalam pada itu Ki Demang pun
harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kedua lawannya ternyata
memiliki pikiran yang serupa dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Jika Ki Demang
itu segera dapat dibinasakan, maka mereka berdua pun akan segera dapat membantu
kawan-kawannya yang lain.
Namun ternyata, meskipun
umurnya sudah menjadi semakin tua, Ki Demang cukup tangkas untuk mempertahankan
dirinya. Kadang-kadang ia memang harus berloncatan surut. Tetapi kemudian, ia
segera menemukan keseimbangan yang mantap untuk bertahan.
Swandaru-lah yang setiap kali
menggeram jika ia melihat ayahnya harus bergeser surut. Namun lawannya pun
tidak dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Meskipun di antara mereka
terdapat orang yang telah terluka, tetapi perlawanannya masih tetap harus
diperhitungkan.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar pun telah terlibat di dalam pertempuran yang sengit. Ternyata
penjual makanan itu bukan sekedar menakut-nakuti dengan sikap dan kata-katanya.
Dengan sebuah bindi dan sebuah pisau belati panjang ia bertempur melawan Kiai
Gringsing yang mempergunakan cambuknya. Setiap kali cambuk itu meledak bagaikan
memecahkan selaput telinga. Namun orang yang memegang bindi dan pisau belati
panjang itu setiap kali tertawa sambil berkata, “Tenagamu dahsyat sekali, Ki
Sanak.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ternyata ia benar-benar menemukan lawan yang cukup tangguh, sehingga
dengan demikian ia menjadi heran, bahwa orang-orang yang berhimpun untuk
menentang berdirinya Mataram itu terdiri dari orang-orang yang pilih tanding.
Jika mereka bergabung menjadi satu dan menyusun sebuah pasukan yang besar, maka
kekuatannya pasti akan menggetarkan Pajang maupun Mataram. Yang pernah
dikenalnya dari lingkungan mereka adalah Kiai Damar, Kiai Telapak Jalak,
seorang yang telah menyerang rumah Untara yang dihuni oleh para perwira bersama
pemimpin gerombolan penyerang itu, dan kini dua orang lagi yang belum dikenal
namanya.
“Delapan orang,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya, “adalah sulit sekali bagi Mataram untuk mendapatkan
delapan orang seperti orang-orang ini. Di Mataram yang dapat aku ketahui
hanyalah Ki Gede Pemanahan sendiri dan yang masih sedang berkembang adalah
Raden Sutawijaya. Meskipun barangkali Mataram dapat menyusun kelompok-kelompok
yang kuat untuk melawan mereka, tetapi Mataram pasti akan mengalami kesulitan.”
Tetapi untunglah bahwa mereka
tidak bergerak dalam irama yang mantap, sehingga kemampuan mereka pun agaknya
terpecah-pecah.
Dalam perkelahian yang sengit,
maka Kiai Gringsing kemudian benar-benar harus berhati-hati. Lawannya kali ini
adalah seorang yang dapat bergerak secepat tatit, sehingga kadang-kadang ujung
cambuknya tidak dapat mengejarnya, bahkan kadang-kadang, angin yang berdesir
karena ayunan bindi orang itu telah terasa di kening Kiai Gringsing. Sedikit
saja ia lengah, maka kepalanya pasti dipecahkan oleh lawannya itu.
“Benar-benar di luar
dugaanku,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, “jika terjadi sesuatu atas
salah seorang dari kami, maka akulah yang bertanggung jawab.”
Namun, selagi ia sempat
melihat dengan sudut matanya Swandaru dan Agung Sedayu, hatinya menjadi sedikit
tenang, meskipun Ki Demang Sangkal Putung kadang-kadang membuatnya tegang.
Lawan Ki Sumangkar pun
ternyata seorang yang tangguh. Tetapi Ki Sumangkar tidak mengalami tekanan yang
terlampau berat seperti Kiai Gringsing. Meskipun orang itu mampu mengimbangi
tata gerak Ki Sumangkar, namun keduanya masih juga harus berjuang untuk
menentukan siapakah yang akan menang, dengan kemungkinan yang lebih baik pada
Ki Sumangkar, jika Ki Sumangkar tidak berbuat kesalahan. Setiap kali, Ki
Sumangkar dengan senjatanya yang dahsyat itu, berhasil mendorong lawannya
surut. Tetapi kemudian lawannya itu pun segera memperbaiki keadaannya. Dalam
keadaan yang sulit, lawannya mencoba bertahan dengan senjatanya yang aneh pula.
Dua batang tongkat pendek yang tajam di kedua ujungnya, sehingga seakan-akan ia
mempergunakan empat buah mata tombak yang runcing.
“Ternyata kami tidak dapat
melampaui penyamun-penyamun ini dengan tanpa berjuang mati-matian,” berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya. Apalagi ternyata lawannya memang memiliki
kemampuan yang mendebarkan. Senjatanya itu setiap kali rasa-rasanya telah
menyentuh kulit Kiai Gringsing.
Bahkan Gringsing terkejut
ketika terasa sebuah sentuhan telah menyentuh lengan bajunya. Dengan gerak
naluriah ia melangkah surut. Jika bindi itu menyentuh tangannya, maka tulangnya
pasti akan remuk, dan seterusnya kepalanya-lah yang akan dipecah oleh lawannya
itu.
Karena itulah, maka Kiai
Gringsing menjadi semakin berhati-hati dan sekaligus berjuang semakin dahsyat.
Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup dan ilmu yang tinggi ia pun
segera berusaha menyesuaikan dirinya, tanpa melupakan kemungkinan waktu yang
lama dari pertempuran itu, sehingga ia pun harus mengatur pernafasan sejak
permulaan.
Dengan demikian, maka
pertempuran antara Kiai Gringsing dengan lawannya itu pun meningkat semakin
dahsyat. Keduanya memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan, sehingga
karena itu, maka arena perkelahian mereka pun seakan-akan menjadi ajang angin
pusaran yang sangat dahsyat. Pohon-pohon perdu pun berserakan dan
ranting-ranting berpatahan. Senjata Kiai Gringsing meledak memekakkan telinga
disela-sela desing bindi dan pisau belati panjang yang bagaikan melontarkan
arus angin yang tiada taranya.
Dan perkelahian itu pun
kemudian bagaikan tidak dapat dinilai lagi. Gerak tangan dan kaki mereka tidak
lagi dapat diikuti dengan mata telanjang.
Ternyata Ki Sumangkar menjadi
cemas melihat perkelahian itu. Di Jati Anom Kiai Gringsing telah dapat dilukai,
sedang di saat-saat sebelumnya, Kiai Gringsing hampir selalu dapat langsung
menguasai lawannya. Dan sekarang ia menjumpai lawan yang seakan-akan lebih
tinggi lagi ilmunya dari lawan-lawan sebelumnya.
Tetapi dalam pada itu,
Sumangkar sendiri masih terlibat dalam perkelahian yang dahsyat. Ternyata
lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya untuk berusaha secepatnya
mengakhiri perkelahian. Tetapi ternyata bahwa Sumangkar bukan lawan yang dapat
ditentukan nasibnya.
Di lingkaran yang lain, Agung
Sedayu dan Swandaru bertempur mati-matian pula untuk segera mengalahkan
lawan-lawan mereka, seperti juga Ki Demang yang sudah mengerahkan semua
kemampuannya melawan penyamun-penyamun itu.
Dengan hati yang
berdebar-debar, tetapi juga dengan kemarahan yang mencengkam, Swandaru memutar cambuknya
seperti baling-baling, sedang cambuk Agung Sedayu menyambar-nyambar seperti
puluhan cambuk yang berterbangan di udara.
Orang-orang lain yang
bersenjatakan potongan-potongan kayu, sama sekali tidak mampu lagi melibatkan
diri di dalam perkelahian itu. Hanya kadang-kadang saja mereka mengayun-ayunkan
kayu di tangan mereka apabila para penyamun itu terdesak. Tetapi mereka segera
melangkah surut apabila penyamun-penyamun itu memandang mereka dengan tatapan
mata yang marah.
“Kepung mereka!” teriak Swandaru,
“Jangan biarkan mereka lari.”
Orang-orang itu termangu-mangu
sejenak. Lalu terdengar suara Swandaru itu lagi, “Mereka juga mengepung kita
dan berusaha agar kita tidak dapat keluar dari hutan ini. Jangan takut. Aku ada
di antara kalian. Jika mereka akan menyerang kalian, maka punggungnya akan aku
sobek dengan ujung cambukku.”
Orang-orang yang sudah hampir
kehilangan keberaniannya sama sekali itu saling berpandangan. Tetapi mereka
tidak segera berbuat apa-apa. Karena itu, maka Swandaru berteriak lagi,
“Berbuatlah sesuatu. Jika kita berhasil membunuh mereka, kita akan selamat.
Tetapi jika tidak, kita lah yang akan digantung di mulut lorong ini dengan kaki
kita di atas, dan dibiarkannya kita mati perlahan-lahan atau digapai oleh
seekor harimau yang akan melubangi kepala kita dengan taring-taringnya.”
Mereka masih saja
termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata pula sambil bertempur,
“Seorang kawanmu telah mati di tangan mereka. Kawanmu itu telah menjadi banten
perjuangan kalian untuk melepaskan diri.”
Ternyata kata-kata itu telah
menyentuh hati mereka. Karena itu, mereka pun kemudian berpencaran, meskipun
mereka tidak berani berdiri sendiri. Mereka telah berdiri terbagi menjadi tiga
kelompok kecil yang masing-masing mencoba menjaga lawan-lawan Agung Sedayu,
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Bagus!” teriak Swandaru,
“Kalian dapat memukul kepala mereka dengan tongkat-tongkat kayu kalian.”
Tetapi, orang-orang itu masih
saja berdiri termangu-mangu. Mereka tidak berani menerjunkan diri di dalam
arena perkelahian itu. Apalagi mereka yang telah terluka. Namun tampak di wajah
mereka, sepercik keberanian mulai tumbuh. Juga karena seorang kawan mereka
telah terbunuh, sehingga korban yang telah jatuh itu mendorong mereka untuk
menuntut balas.
Yang kemudian segera menguasai
lawan-lawannya justru adalah Agung Sedayu. Sebuah serangan mendatar membuat
ketiga lawannya berloncatan mundur. Namun tiba-tiba seorang dari mereka segera
meloncat begitu ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di depan wajahnya. Tombak
pendeknya berputar sekali, lalu mematuk leher anak muda itu. Tetapi Agung
Sedayu pun cepat mengelak, ia sempat meloncat ke samping dan kemudian berputar
setengah lingkaran. Tetapi pada saat itu, sebuah bindi melayang menyambar
ubun-ubunnya. Dengan demikian, Agung Sedayu terpaksa meloncat lagi. Namun
seorang lawannya yang lain mengayunkan pedangnya langsung menebas lehernya.
Agung Sedayu tidak sempat
meloncat lagi. Tetapi ia merendahkan diri untuk mengelakkan pedang itu.
Pada saat yang gawat itulah,
Agung Sedayu melihat ujung tombak lawannya melayang ke lambungnya.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ia harus bertindak tepat. Dalam waktu sekejap, ia harus menentukan
suatu langkah untuk membebaskan dirinya dari lawan-lawannya yang semakin
garang.
Agung Sedayu bergeser sedikit
surut. Ia masih tetap merendahkan dirinya. Namun tiba-tiba ia berputar di atas
tumitnya, dan sekali lagi cambuknya berputar pula mendatar. Lawan-lawannya
segera berloncatan surut. Tetapi orang yang sedang meloncat dengan ujung tombak
terjulur itu tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia sedang melayang laju ke
depan.
Yang dapat dilakukannya
kemudian adalah berusaha menangkis ujung cambuk yang terayun tepat kepadanya.
Karena itulah, maka tombaknya
pun segera dirundukkannya. Dengan sebuah hentakan, ia ingin menghentikan ayunan
cambuk Agung Sedayu. Namun dengan demikian, maka terjadilah benturan antara dua
senjata itu, sehingga ujung cambuk Agung Sedayu pun langsung membelit tangkai
tombak itu.
Agung Sedayu yang sudah
memperhitungkannya itu pun segera menarik ujung cambuknya sendal pancing.
Dengan sepenuh kekuatannya, ia menghentakkan cambuknya demikian tiba-tiba,
sehingga lawannya tidak mampu lagi menguasai senjatanya.
Senjata itu pun kemudian
terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah, lawannya sama sekali
tidak mampu bertahan untuk tetap menggenggam tangkai tombaknya itu.
Agung Sedayu melihat
kesempatan terbuka baginya. Karena itu, ia tidak menyia-nyiakannya. Sekejap
kemudian, maka ia pun segera meloncat menyerang lawannya yang sudah tidak
bersenjata itu.
Tetapi ternyata, bahwa
kawan-kawan penyamun itu tidak membiarkan kawannya itu menjadi sasaran serangan
Agung Sedayu tanpa melakukan perlawanan. Hampir berbareng mereka menyerang
dengan ujung senjata yang terjulur lurus ke depan.
Agung Sedayu melihat serangan
yang datang dengan dahsyatnya itu. Sekali lagi ia memutar cambuknya untuk
mempertahankan jaraknya dari penyamun-penyamun itu. Namun tiba-tiba saja dengan
cambuk yang masih berputar, Agung Sedayu meloncat langsung dengan garangnya,
menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata itu.
Lawannya masih berusaha
mengelak. Dengan tangkas ia meloncat surut sambil merendahkan dirinya
dalam-dalam, di bawah putaran cambuk Agung Sedayu.
Namun, ternyata yang
mengenainya sama sekali bukan ujung cambuk Agung Sedayu. Selagi cambuknya masih
berputar, dan orang itu telah terbebas dari sambaran ujung cambuk yang
berdesing di atas kepalanya, namun tiba-tiba saja terdengar keluhan yang
tertahan. Ternyata kaki Agung Sedayu-lah yang menyambar orang yang sedang
merunduk itu, sehingga ia terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh
berguling di tanah. Demikian kerasnya tendangan kaki Agung Sedayu, sehingga
terasa tulang-tulang iganya menjadi remuk karenanya, dan karena itulah, maka ia
tidak lagi mampu untuk bangkit dan ikut memberikan perlawanan.
Dengan demikian, maka lawannya
telah berkurang dengan seorang, yang justru merupakan penggerak dari perlawanan
mereka.
Dengan demikian, maka
perlawanan yang kemudian-pun menjadi jauh lebih lemah. Dua orang yang masih
tetap bertempur itu hampir tidak mempunyai kesempatan lagi. Dan Agung Sedayu
pun tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Keadaan masih cukup gawat. Ia melihat
betapa Ki Demang bertahan mati-matian sehingga keringatnya telah membasahi seluruh
tubuh dan pakaiannya.
Namun dalam pada itu, selagi
Agung Sedayu berusaha mengakhiri perlawanan kedua penyamun yang lain, ia
mendengar seseorang memekik kesakitan. Ia masih sempat memalingkan wajahnya dan
melihat seorang lawan Swandaru terlempar dari arena dan jatuh di tanah dengan
darah yang meleleh dari luka di lambungnya. Ternyata Swandaru telah berhasil
mengenai lambung lawannya dengan ujung cambuknya dan dengan sebuah tarikan yang
menghentak, maka karah-karah besi di ujung cambuk itu telah melukai lambung
lawannya.
Sesaat kemudian, Agung Sedayu
pun mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera menjatuhkan
lawan-lawannya yang lain. Dan usaha itu tidak terlampau sulit baginya. Seorang
demi seorang, maka lawannya itu pun berhasil di lumpuhkannya. Yang seorang
menjadi pingsan karena keningnya telah disambar oleh ujung cambuk Agung Sedayu,
sedang yang lain tidak mampu lagi melakukan perlawanan karena kakinya
rasa-rasanya patah karenanya.
Berbeda dengan Agung Sedayu,
Swandaru masih bertempur melawan kedua lawannya, yang agaknya dengan gigih
melakukan perlawananan. Keduanya mulai berlari-lari mengelilingi pepohonan
hutan, mereka memanfaatkan rimbunnya dedaunan dan batang perdu yang tumbuh
liar.
“Licik!” geram Swandaru yang
menjadi marah karenanya.
Tetapi lawan-lawannya tidak
menghiraukannya. Mereka masih menyerang, dan kemudian berlari-larian menjauh.
Agung Sedayu yang sudah
selesai dengan lawan-lawannya, melihat cara yang licik itu. Karena itu, maka ia
pun segera meloncat memburu salah seorang dari mereka sambil berkata,
“Selesaikanlah yang seorang itu. Aku akan menyelesaikan yang seorang lagi.”
Swandaru berpaling, dilihatnya
Agung Sedayu telah bebas dari lawan-lawannya. Tetapi ia menyahut, “Bebaskan Ki
Demang dari kedua lawannya. Aku akan menyelesaikan cecurut-cecurut ini.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Kemudian dipandanginya arena pertempuran antara Ki Demang melawan
kedua orang penyamun yang bertempur mati-matian.
Ki Demang memang tidak dapat
segera dikalahkan. Bahkan serangan-serangan Ki Demang adalah serangan-serangan
yang berbahaya. Tetapi lawannya pun bertempur dengan gigihnya, sehingga Ki
Demang harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Karena itulah, maka
nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan keringatnya membasahi seluruh
permukaan kulit tubuhnya.
Agung Sedayu menarik nafas
panjang. Meskipun Ki Demang memiliki pengalaman dan ilmu yang dapat mengimbangi
lawannya, namun agaknya nafas Ki Demang-lah yang pada suatu saat pasti akan
mengganggunya.
Karena itu, maka Agung Sedayu
pun kemudian selangkah demi selangkah mendekati Ki Demang di Sangkal Putung.
Dengan saksama ia memandang kedua lawan Ki Demang itu berganti-ganti. Dan bagi
Agung Sedayu keduanya tidak memiliki kelebihan apa pun juga. Kedua lawan Ki
Demang itu tidak lebih baik dari ketiga lawannya yang telah dikalahkannya.
Namun dalam pada itu, langkah
Agung Sedayu itu terasa bagaikan hentakan-hentakan di dalam dada kedua lawan Ki
Demang. Mereka sadar, bahwa ternyata Agung Sedayu bukan seorang anak muda
kebanyakan, yang menggigil melihat senjata berputar. Ternyata Agung Sedayu itu
memiliki kemampuan yang sangat mengejutkan para penyamun itu.
Tetapi para penyamun itu tidak
dapat berbuat apa pun juga. Langkah Agung Sedayu sama sekali tidak ada yang
menghalanginya lagi. Selangkah demi selangkah ia mendekat dan setiap langkahnya
membuat nafas para penyamun itu menjadi semakin sesak.
Ternyata kegelisahan para
penyamun itu telah mempengaruhi sikapnya. Perlawanannya pun menjadi kacau,
se-hingga mereka tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada ujung-ujung
senjatanya.
Pada saat yang demikian
itulah, Ki Demang menghentakkan semua kemampuan yang ada padanya. Pedangnya
berputar cepat sekali, dan kemudian meliuk mematuk dengan dahsyatnya.
Sesaat kemudian terdengar jerit
terputus. Ternyata pedang itu telah menembus dada seorang lawannya.
Darah yang merah memancar dari
luka itu. Sesaat ia masih dapat berdiri, namun sesaat kemudian tubuhnya itu pun
roboh, seperti robohnya sebatang kayu yang mati.
Kawannya tercengang memandang
tubuh yang terguling tanpa berdaya sama sekali itu. Bahkan sejenak kemudian,
setiap orang yang menyaksikan, dapat memastikan bahwa orang yang terbaring itu
sudah tidak bernafas lagi.
Penyamun yang seorang itu
berdiri termangu-mangu. Sejenak ia kebingungan. Dipandangnya Ki Demang di
Sangkal Putung berdiri dengan pedang telanjang di tangan. Pedang yang sudah
dilumuri dengan darah kawannya. Dan ketika Ia sempat berpaling, beberapa
langkah di sampmgnya, dilihatnya anak muda bercambuk itu berdiri termangu-mangu.
Rasa-rasanya nyawanya telah
berada di ujung ubun-ubunnya. Ketika ia sempat memandang perkelahian yang
terjadi beberapa langkah dari mereka, hatinya menjadi semakin berkeriput.
Ternyata penjual makanan, yang selama ini menjadi kebanggaan para penyamun itu,
masih belum dapat mengalahkan Kiai Gringsing yang tua itu. Bahkan agaknya
perkelahian itu masih akan berlangsung lama. Sehingga dengan demikian, ia tidak
akan dapat mengharapkan perlindungan dari penjual di warung yang sebenarnya
adalah pemimpinnya itu.
“Kenapa ada juga orang yang
mampu bertempur melawannya?” berkata penyamun itu di dalam hatinya.
Namun ia kemudian tidak sempat
berpikir lagi. Kini, Ki Demang dengan pedang di tangan dan Agung Sedayu sudah
menjadi semakin dekat.
Di tempat lain, Sumangkar pun
bertempur mati-matian untuk mempertahankan dirinya dan sekali-sekali berusaha
menyerang lawannya langsung ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia masih juga
belum berhasil, sehingga pertempuran itu masih juga berlangsung dengan
sengitnya.
Karena itulah, maka penyamun
itu menjadi putus asa. Ia merasa tidak akan dapat berbuat sesuatu melawan Ki
Demang dan anak muda yang bersenjata cambuk itu. Sehingga sejenak kemudian,
maka dilemparkannya senjatanya di tanah sambil berteriak, “Aku menyerah. Jangan
bunuh aku dengan cara yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu memandang orang
itu dengan tajamnya. Namun terhadap seseorang yang sudah melemparkan
senjatanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Kau menyerah?” ia bertanya
dengan nada yang datar.
“Ya, aku menyerah.”
Agung Sedayu mendekatinya.
Kemudian ditariknya orang itu sambil berkata kepada orang-orang yang sudah
kehilangan keberanian, meskipun mereka masih menggenggam potongan-potongan kayu
di tangannya. “Ambillah orang ini dan Ikatlah. Ikatlah dengan lulup kayu atau
dengan kain panjangnya sendiri.”
Orang-orang itu termangu-mangu
sejenak. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Ia tidak akan berbuat apa-apa.
Aku akan menunggui kalian.”
Mereka masih termangu-mangu
sejenak. Agung Sedayu yang tidak sabar, kemudian mendorong orang yang sudah
tidak bersenjata itu, sehingga jatuh terjerembab di antara mereka yang
bersenjatakan kayu kering itu.
Tiba-tiba saja salah seorang
dari mereka bangkit dengan garangnya sambil berkata, “Bunuh. Bunuh saja orang
ini.”
“Ya. Bunuh saja,” yang lain
menyahut.
Ketika mereka mulai mengangkat
kayunya, Agung Sedayu berteriak, “Jangan kau bunuh! Aku menyuruh kalian
mengikat tangannya.”
“Tetapi mereka telah membunuh
kawanku,” jawab salah seorang.
“Tetapi ia sudah menyerah.”
“Aku tidak peduli,” dan yang
lain menyahut pula, “Aku tidak peduli. Ia sudah membunuh. Kami pun akan
membunuhnya pula. Hutang harta membayar harta, hutang nyawa membayar nyawa.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Ia mengerti bahwa ledakan perasaan orang-orang yang selama ini
ketakutan itu membuat mereka kehilangan pertimbangan.
Sebelum Agung Sedayu terbuat
sesuatu, orang-orang itu pun telah berteriak-teriak pula, “Biarlah aku yang
membunuhnya.” Dan yang lain, “Pukul saja kepalanya.”
Orang yang sudah menyerah itu
menjadi semakin ketakutan. Terbayang di wajahnya, betapa ia kehilangan dirinya
sendiri. Sama sekali tidak tampak kegarangan dan kekejaman yang pernah
dilakukannya.
“Jangan bunuh aku, jangan
bunuh aku.” orang itu surut ke belakang dan berjongkok dihadapan Agung Sedayu
sambil memohon, “Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku.”
Agung Sedayu memandanginya
dengan keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati. Jika ia mencoba melindungi
orang itu, apakah tidak akan timbul salah paham dan justru persoalan baru dengan
orang-orang yang akan membunuhnya?
Sekilas Agung Sedayu sempat
melihat Swandaru yang masih bertempur melawan para penyamun yang berlari-larian
mengitari pepohonan dan rumpun-rumpun perdu yang liar. Kemudian dipandanginya
sejenak wajah Ki Demang yang masih tegang.
“Ampuni aku, ampuni aku,”
penyamun itu merengek seperti anak-anak yang memaksa ibunya untuk membelikan
baju yang baru.
“Tidak ada kesempatan lagi
bagimu!” teriak orang-yang marah itu.
Namun dalam pada itu Agung
Sedayu bertanya kepadanya, “Apakah kau masih tetap ingin hidup?”
“Ya. Aku masih ingin hidup.”
“Kau ketakutan melihat
potongan-potongan kayu yang terayun-ayun itu?”
“Ya. Aku takut sekali.”
“Apakah kau tidak pernah
membayangkan, begitulah perasaan takut itu mencengkam hati?”
“Aku takut sekali.”
“Apakah kau tidak pernah
membayangkan, bahwa orang lain yang ketakutan, seperti juga yang kau alami saat
ini? Bahkan seandainya ada orang yang kau gantung, dengan kakinya di atas dan
kau biarkan kepalanya diraih oleh kuku-kuku harimau, mempunyai perasaan takut
melampaui perasaanmu sekarang.”
“Bukan aku, bukan aku-lah yang
mengikat.”
“Siapakah yang mengikat,
tetapi betapa tidak senangnya dihinggapi oleh perasaan takut. Perasaan takut
memang dapat menyiksa seseorang melampaui mati itu sendiri. Dan kau sekarang
pun sedang ketakutan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Jangan biarkan aku dibunuh,
jangan.”
“Aku ingin kau mendalami
perasaan takut. Hayatilah sebaik-baiknya agar kau tidak akan pernah melupakan,
bagaimana seseorang yang sedang ketakutan. Dengan demikian di kesempatan yang
mana pun juga, apabila kau masih akan tetap hidup, kau tidak akan membuat orang
lain menjadi takut.”
“Tidak, aku tidak akan
menakut-nakuti orang lagi.”
“Aku tidak yakin kalau kau
berkata dari dalam lubuk hatimu. Kau hanya sekedar mengucapkan kata-kata tanpa
memikirkan arti dari kata-katamu.”
Orang itu memandang Agung
Sedayu sejenak, dan ia masih mendengar orang-orang lain berteriak-teriak,
“Serahkan kepada kami.”
Orang itu telah benar-benar
menjadi ketakutan. Keringat dingin mengalir membasahi segenap pakaiannya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia merasa bahwa orang itu telah benar-benar merasakan betapa
tersiksanya seseorang yang dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka katanya
kepada orang-orang yang melingkarinya dengan tongkat-tongkat kayu yang
terayun-ayun, “Sudahlah. Kita akan mengikatnya. Biarlah ia tetap hidup dalam
ketakutan. Kami akan menyerahkannya kepada para peronda dari Mataram.”
“Tidak, kami akan
membunuhnya.”
“Aku tidak sependapat.”
“Aku tidak peduli. Aku ingin
membunuhnya.”
Orang-orang itu pun kemudian
berdesakan maju. Wajah mereka menjadi tegang dan tatapan mata mereka yang
merah, memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Jika demikian,” berkata Agung
Sedayu kemudian, “aku tidak akan ikut campur lagi. Terserahlah kepada kalian.
Biarlah ia mengambil senjatanya. Dan aku akan mengajak semua kawan-kawanku
pergi,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Lihat, saudaraku yang gemuk itu masih belum
berhasil mengalahkan lawannya, yang bertempur sambil berputar-putar dengan
liciknya. Biarlah ia melepaskan kedua orang itu dan menyerahkan kepada kalian.”
Orang-orang itu pun tiba-tiba
telah terdiam.
“Kemudian aku akan memanggil
orang-orang tua yang sedang bertempur itu pula. Biarlah kalian menyelesaikannya.”
Orang-orang itu pun menjadi
semakin diam.
Namun dalam pada itu,
terdengar Swandaru berkata, “Kakang. Jangan biarkan orang-orang ini melarikan
diri. Ke-napa kau masih saja berdiri di situ?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Baiklah.” Namun kemudian kepada orang-orang di
sekitarnya ia bertanya, “Nah, cepat pilih. Mengikat orang ini atau kami
semuanya akan meninggalkan gelanggang.”
Orang-orang itu tidak segera
menjawab.
“Cepat. Katakan. Aku tidak
mempunyai waktu lagi. Aku harus segera mengambil keputusan. Jawab, ya atau
tidak. Jika kau ingin mengikatnya, jawablah ya. Cepat.”
Orang-orang itu masih
termangu-mangu. Di wajah mereka masih tampak dendam yang tidak mudah
terhapuskan. Sementara Swandaru telah berteriak sekali lagi, “Jangan biarkan
mereka lari.”
Agung Sedayu menjadi
termangu-mangu. Namun sebelum ia meninggalkan orang-orang itu, Ki Demang-lah
yang telah lebih dahulu bergeser. Suara Swandaru bagaikan membangunkannya dari
sebuah mimpi melihat penyamun yang sedang ketakutan. Dan ketakutan itu adalah
bencana, yang paling dahsyat di dalam hidup seseorang.
Dengan tergesa-gesa Ki Demang
pun kemudian berlari ke arena pertempuran yang luas, karena lawan Swandaru
masih saja selalu berputar-putar.
Dengan loncatan panjang ia
mencoba memotong gerakan salah seorang penyamun yang sedang mengitari sebuah
gerumbul perdu, sedang yang lain sedang mencoba menyerang Swandaru dari
samping.
Penyamun itu pun segera
berhenti. Sekilas dipandanginya pedang Ki Demang yang masih berlumuran darah
yang mulai membeku.
Terasa sesuatu meremang di
tengkuknya. Namun sebelum ada perintah untuk menyingkir, penyamun itu masih
harus berjuang mati-matian. Adalah pengkhianat, penyamun yang menyerah dengan
ketakutan seperti lawan Ki Demang, yang kini berdiri berjongkok dihadapan Agung
Sedayu itu.
Karena betapa dadanya
dicengkam oleh kecemasan, namun kedua penyamun yang tidak ingin menjadi
pengkhianat itu masih juga berusaha untuk berjuang terus. Yang seorang melawan
Swandaru, sedang yang lain melawan Ki Demang.
Dengan demikian maka Swandaru
tidak memerlukan waktu yang lama untuk menguasai lawannya. Ledakan cambuknya
segera membuat lawannya terbanting jatuh.
Ketika ujung cambuk Swandaru
kemudian membelit pergelangan kaki lawannya itu dan menariknya, maka penyamun itu
telah terseret beberapa langkah mendekati Swandaru.
Dengan susah payah, penyamun
itu berusaha meloncat bangkit. Tetapi ketika ia berdiri, ternyata tangan
Swandaru telah mendorongnya, dan sekali lagi ia terjatuh di tanah.
“Jangan bangkit lagi!” bentak Swandaru
sambil menginjak tangan penyamun yang masih menggenggam senjatanya itu.
“Persetan!” penyamun itu
menggeram. Tetapi suaranya segera terputus, karena cambuk Swandaru meledak
tepat di depan wajahnya.
“Lepaskan senjatamu, atau aku
menyobek wajahmu dengan ujung cambukku.”
Orang itu memandang Swandaru
sejenak. Tetapi sudah tidak ada jalan lain baginya kecuali melepaskan
senjatanya.
Pada saat itu, orang-orang
yang bersenjata potongan-potongan kayu itu pun telah melepaskan niatnya untuk
membunuh. Mereka pun kemudian mengikat tangan penyamun yang menyerah itu pada
sebatang pohon, sementara Agung Sedayu berjalan mendekati Ki Demang yang masih
berkelahi.
Betapa kuatnya ikatan yang ada
di antara para penyamun itu, dan betapa dalam ketaatan mereka terhadap pemimpin-pemimpinnya,
namun penyamun yang sedang bertempur melawan Ki Demang itu pun sama sekali
tidak berdaya untuk bertahan terus. Apalagi ketika Agung Sedayu telah berdiri
di sebelah arena itu.
Dalam pada itu, Sumangkar
masih berjuang mati-matian untuk dapat mengatasi lawannya. Bahkan kemudian
orang tua yang pernah berada di istana Kepatihan Jipang itu masih harus memeras
segenap kemampuannya. Namun dengan demikian, maka Sumangkar tidak mempunyai
cara lain untuk mengakhiri pertempuran itu, selain benar-benar melumpuhkan
lawannya, dan jika terpaksa, maka ia harus membunuhnya.
Dengan demikian, maka
senjatanya yang dahsyat itu pun segera berputar semakin cepat. Sekali-sekali
trisula kecilnya di ujung rantai itu meliuk dan menyambar mendatar. Bahkan
sekali-sekali mematuk dengan dahsyatnya.
Lawannya pun telah berjuang
mati-matian untuk mempertahankan diri. Seperti para penyamun yang lain, ia
tidak menyangka bahwa ia akan menjumpai lawan sekuat itu.
Jika saja Sumangkar
mempergunakan senjatanya yang diterimanya dari gurunya, sebuah tongkat baja
putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan, maka namanya akan segera
dikenal kembali sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun. Tetapi Sumangkar
memang ingin melupakan semuanya itu, sehingga senjatanya itu pun telah
diserahkannya kepada muridnya. Dan kini ia justru mempergunakan senjata yang
mengerikan bagi lawan-lawannya, meskipun bagi Sumangkar sendiri, senjatanya ini
tidak sedahsyat senjatanya, yang diterima dari gurunya itu.
Ketika serangan Sumangkar
menjadi semakin dahsyat, maka semakin jelas, bahwa lawannya kadang menjadi
gugup, sehingga Sumangkar yang telah memeras segenap kemampuannya itu,
mempergunakan setiap kesempatan untuk mengakhiri perkelahian, sebelum nafasnya
sendiri terputus karenanya.
Dan pengerahan segenap
kemampuan Sumangkar itu, telah melahirkan serangan-serangan yang sangat
berbahaya bagi lawannya. Hanya karena lawannya pun orang yang memiliki
kelebihan di dalam olah kanuragan, maka ia masih juga dapat mengelak dan
menghindari serangan-serangan itu.
Tetapi Sumangkar yang
benar-benar telah dikuasai oleh nafas pertempuran, tidak lagi dapat berbuat
lain daripada berjuang sejauh-jauh dapat dilakukan. Segala ilmu dan kemampuan
yang ada padanya telah dicurahkan dan behkan telah diperasnya habis-habisan,
“Aku tidak boleh menunggu sampai nafasku putus,” katanya di dalam hati.
Dengan serangan yang
menghentak-hentak, Sumangkar pun kemudian mendesak lawannya semakin dahsyat,
sehingga lawannya pun menjadi semakin terdesak karenanya. Ujung trisula
Sumangkar semakin lama serasa menjadi semakin dekat mengitari tubuhnya yang
basah oleh keringat.
Namun menghadapi serangan
Sumangkar yang semakin dahsyat itu, lawannya pun berjuang semakin keras pula.
Bahkan untuk sesaat, lawannya itu telah melakukan tindakan untung-untungan.
Jika ia berhasil, ia akan dapat mengatasi kemampuan Sumangkar. Jika tidak, maka
semuanya masih harus diperhitungkan lagi.
Dengan demikian, maka serangan
yang dilakukannya adalah serangan yang dahsyat sekali. Sedahsyat angin prahara
yang melanda pepohonan.
Sumangkar terkejut mengalami
serangan itu. Sesaat ia terdesak. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa
lawannya telah mencurahkan segenap kemampuannya untuk sesaat. Sesaat yang
diharapkan dapat menentukan akhir dari perkelahian itu.
Dengan demikian, Sumangkar pun
harus mengimbanginya pula. Dikerahkannya pula segenap tenaga, kekuatan,
kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Ia pun melakukan pertimbangan yang sama
seperti lawannya. Jika ia berhasil, maka perkelahian ini akan berakhir. Jika
tidak, maka ia akan mungkin sekali terjerumus ke dalam kesulitan.
Karena itulah, maka sejenak
kemudian telah terjadi benturan dua ilmu yang sangat dahsyat. Benturan antara
dua kekuatan puncak yang sukar dicari bandingnya.
Orang-orang yang ada di sekitarnya
sempat menyaksikan benturan kekuatan yang dahsyat itu. Bahkan Kiai Gringsing
dan lawannya, yang mempunyai kepentingan yang sama untuk menyaksikan akhir dari
pertempuran itu, telah dengan sendirinya mengendorkan pertempuran yang terjadi
di antara mereka.
Agung Sedayu, Swandaru, Ki
Demang di Sangkal Putung pun telah dicengkam pula oleh kecemasan, sedang
orang-orang lain memandang puncak pertempuran itu dengan mulut ternganga.
Sejenak kemudian, keduanya
hampir tidak lagi dapat dilihat dengan mata telanjang. Keduanya berputar
seperti angin pusaran dalam selubung bayangan senjata masing-masing.
Namun sejenak kemudian, di
balik selubung putaran senjata itu terdengar suara tertahan. Sebuah keluhan.
Tetapi tidak terlontar seluruhnya.
Yang menyaksikan pertempuran
itu menjadi termangu-mangu. Mereka menunggu sejenak dengan tegangnya. Dan yang
sejenak itu rasa-rasanya bagaikan tanpa akhir.
Tetapi sejenak kemudian,
mereka mulai dapat melihat apa yang telah terjadi. Keduanya mulai tampak
semakin jelas. Namun seorang dari keduanya mulai terhuyung-huyung surut.
Dan sejenak kemudian semuanya
menjadi jelas. Sumangkar berdiri tegak dengan pangkal rantainya di dalam
genggaman. Meskipun demikian, tampaklah segores luka di pundaknya, sehingga di
lengannya meleleh titik darah yang merah.
Namun dalam pada itu, lawannya
terbungkuk sambil memegangi dadanya. Tangannya dan lengannya menjadi basah oleh
darahnya yang memancar dari luka di dada itu.
Sejenak orang itu masih
berdiri di atas kedua kakinya. Dengan matanya yang redup dipandanginya wajah
Sumangkar yang tegang.
“Kau, kau menang,” suaranya
dalam dan datar, “aku tidak menyangka, bahwa aku akan bertemu dengan orang
semacam kau. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kau menentukan sikap dan
berpihak Pajang atau Mataram.”
“Apakah kau juga berpihak?”
bertanya Sumangkar. Orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak berpihak.
Tetapi aku menentukan pihakku sendiri.”
“Aku juga menentukan sikapku
sendiri. Aku pun heran bahwa di dalam keadaan seperti ini, kau masih saja
berkeliaran di hutan. Kenapa, kau tidak berada di Pajang atau Mataram seperti
yang kau katakan itu? Dan apakah pihak yang kau tentukan sendiri itu akan
berhasil mengatasi kekuasaan Mataram dan Pajang?”
“Tidak sebodoh itu. Tetapi
ceritanya terlampau panjang, dan umurku terlampau pendek.”
“Sebut, siapakah kau dan
siapakah pemimpinmu tertinggi sebelum kau mati. Kau akan menebus dosamu, dan
jalanmu akan menjadi lapang.”
Tampak wajah itu ragu-ragu
sejenak, tetapi ia pun kemudian menyeringai menahan sakit.
“Kau menang,” suaranya semakin
sendat, “tetapi sampai akhir hayatku, aku tidak akan mengakui adanya Mataram,
meskipun aku tidak berdiri di pihak Pajang.”
“Jadi, jadi?” Sumangkar
meloncat mendekatinya dan mencoba menahan tubuh itu.
Tetapi, tubuh itu sudah terlampau
lemah. Trisula Sumangkar menusuk dadanya terlampau dalam. Tiga bekas luka
berderet di dada itu.
“Sebut nama pemimpinmu,” bisik
Sumangkar.
Tetapi orang itu sudah tidak
menyahut. Sejenak ia masih menggeliat. Tetapi kemudian, Sumangkar mendengar tarikan
nafasnya yang terakhir.
Perlahan-lahan Sumangkar
meletakkan tubuh itu. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia berpaling,
terdengar suara gemerasak yang tiba-tiba saja mengejutkan dan mengejutkan
setiap orang yang sedang terpukau oleh peristiwa itu.
Serentak mereka berpaling, dan
serentak mereka melihat lawan Kiai Gringsing meloncat meninggalkan arena.
Kiai Gringsing ternyata tidak
mau melepaskan lawannya. Secepat loncatan lawannya, ia pun segera memburunya,
menyusup dedaunan perdu di hutan yang liar itu.
Demikianlah, mereka pun segera
berkejar-kejaran. Kiai Gringsing berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk
mengejar lawannya dan apabila mungkin menangkapnya. Tetapi ternyata bahwa
kemampuan lawannya tidak berada di bawah kemampuannya.
Bahkan Sumangkar yang telah
meletakkan lawannya itu pun berusaha untuk ikut mengejarnya pula. Sumangkar
adalah seorang yang memiliki kecepatan berlari yang tinggi. Karena itu, ia
ingin membantu Kiai Gringsing mengejar orang yang sedang meninggalkan arena itu.
Tetapi ternyata bahwa
kedua-duanya tidak berhasil. Bahkan selagi mereka berkejar-kejaran, Kiai
Gringsing masih mendengar suara tertawanya di sela-sela gemerisik dedaunan,
“Orang bercambuk, kali ini kau menang. Tetapi bukan aku kalah perang tanding
melawanmu. Kawan-kawanku lah yang ternyata tidak mampu mengimbangi
orang-orangmu. Namun aku sendiri sama sekali tidak gentar melawan kau dan
kawanmu yang berhasil membunuh kepercayaanku itu. Tetapi jangan kau kira bahwa
usaha kami akan berhenti sampai di sini. Kami akan berusaha terus, sehingga
Mataram ini tenggelam dalam kesombongan Sutawijaya dan Pemanahan sendiri.”
“Siapakah kau sebenarnya?”
bertanya Kiai Gringsing sambil mengejar terus.
“Aku adalah seorang Panembahan
yang tidak bernama.”
“Apakah kepentinganmu dengan
Mataram?”
Yang didengar oleh Kiai
Gringsing hanyalah suara tertawanya saja yang berkepanjangan. Tetapi ia tidak
lagi dapat melihat orangnya. Bahkan Kiai Gringsing telah kehilangan arah ketika
suara tertawanya itu berhenti.
Akhirnya, Kiai Gringsing pun
berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sebagai seorang yang mumpuni, maka
ia pun harus mengakui bahwa lawannya kali ini adalah orang yang mempunyai
kelebihan dari sesamanya.
Sejenak kemudian, Sumangkar
pun mendekatinya. Ia pun masih juga terengah-engah. Setelah bertempur memeras
tenaga, ia masih harus berlari-larian di antara pepohonan.
“Luar biasa,” ia berdesis di
antara desah nafasnya.
“Ya, luar biasa,” sahut Kiai
Gringsing.
“Jika ia tersusul, belum tentu
kita dapat menangkapnya,” berkata Sumangkar kemudian.
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “aku tidak begitu pasti. Tetapi dari sikap dan tandangnya,
ia tentu orang yang yakin akan dirinya. Yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan
yang tidak mudah terkalahkan oleh siapa pun juga,” Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Lalu, “Tetapi apakah Adi Sumangkar melihat sesuatu yang dapat dikenal
pada orang itu?”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak melihatnya, Kiai. Tetapi samar-samar menilik
tata geraknya, aku seolah-olah pernah melihatnya, meskipun hampir berubah sama
sekali.”
“Nah, itulah yang ingin aku
katakan,” sahut Kiai Gringsing, “sesuatu yang samar tampak pada tata gerak
itu.”
Ki Sumangkar tidak menyahut,
tetapi tatapan matanya mengambang ke kejauhan, menembus rimbunnya
gerumbul-gerumbul liar di dalam hutan itu.
“Marilah,” berkata Kiai
Gringsing, “kita kembali kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”
“Marilah,” sahut Ki Sumangkar,
“Mataram ternyata menghadapi tantangan yang sangat berat. Mudah-mudahan, Ki
Gede Pemanahan sanggup mengatasinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Mungkin ia dapat mengenal pula tata
gerak, Adi Sumangkar dan barangkali aku.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apa boleh buat. Kita sudah terlanjur
berdiri berseberangan di dalam persoalan Mataram. Tentu kita masing-masing akan
bertanggung jawab seandainya dugaan kami ini benar.”
“Ya, jika hal itu benar,”
desis Kiai Gringsing.
Keduanya pun kemudian
melangkah kembali ke arena perkelahian yang sudah menjadi sepi. Yang masih ada
adalah orang-orang yang menyerah dan yang sudah dilumpuhkan.
Ketika Kiai Gringsing dan
Sumangkar datang kembali, maka Ki Demang pun segera bertanya, “Bagaimana dengan
orang itu?”
“Kami tidak dapat menemukannya,”
desis Kiai Gringsing, “ia memiliki kemampuan yang tinggi. Dan karena itu,
berhasil melarikan darinya pula.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Desisnya, “Jika demikian, orang itu tentu berbahaya sekali.”
“Ya,” Ki Sumangkar-lah yang
menyahut, “orang itu memang berbahaya sekali.”
Ki Demang tidak segera berkata
sesuatu. Demikian pula Swandaru dan Agung Sedayu. Mereka menundukkan kepala
seakan-akan sesuatu sedang mereka pikirkan.
Namun dalam pada itu,
terdengar Kiai Gringsing berkata, “Adi Sumangkar, baiklah lukamu itu diobati
lebih dahulu. Meskipun luka itu tidak berbahaya, tetapi jika terlambat, maka
luka itu dapat menjadi luka yang sulit disembuhkan. Apalagi luka bekas goresan
senjata.”
“Luka ini tidak terlalu dalam.
Menilik darah yang mengalir, senjata itu tentu tidak beracun,” sahut Ki
Sumangkar.
“Atau beracun lemah sekali.
Tetapi racun yang lemah dapat berkerja perlahan-lahan sekali. Karena itu, lebih
baik aku mengobatinya.”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Namun ia masih juga memandang berkeliling, kepada orang-orang yang
ada di sekitarnya dan kepada beberapa orang penyamun yang masih hidup dan sudah
mereka kuasai sepenuhnya itu.
Hampir di luar sadarnya Ki
Sumangkar pun berkata, “Lalu, kita apakan mereka itu? Apakah kita akan melepaskannya
atau membawanya ke Menoreh?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang itu memang merupakan persoalan bagi
mereka. Sudah barang tentu mereka tidak akan dapat melepaskannya, karena
ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Jika mereka
dilepaskan dan dapat dijumpai kembali oleh pemimpinnya yang berhasil melarikan
diri itu, maka mereka akan menjadi orang yang lebih berbahaya lagi bagi rakyat
di sekitar daerah itu dan bagi lalu lintas pada umumnya.
“Guru,” tiba-tiba Agung Sedayu
berkata, “bukankah kadang-kadang ada peronda dari Mataram yang lewat di jalur
jalan ke Mataram itu?”
“Menurut pemimpin penyamun ini
memang demikian.”
“Apakah kita dapat
mempercayainya? Jika hal itu tidak benar, maka aku kira pemimpin penyamun itu
tidak akan menjerumuskan kita ke jalan ini.”
“Memang masuk akal,” desis
Sumangkar, “tetapi jarak kedatangan mereka tidak kita ketahui dan tidak dapat
ditentukan.”