Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 105

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 105
Buku 105
“Jika tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.“ desis Agung Sedayu.

“Tentu agak aneh.”

“Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit ke daerah ini?,“ bertanya Agung Sedayu.

“Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat suatu keterangan tentang kejahatan atau semacamnya di daerah ini. Sebanyak-banyaknya Pajang akan mengirimkan satu dua orang untuk ikut mengatur tindakan yang akan diambil oleh Untara.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Marilah. Kita harus siap berpacu. Lebih baik kita berusaha melepaskan diri dari tangan mereka jika mereka mengejar kita, apabila mereka melihat kita muncul di bulak sebelah.”

“Jarak cukup jauh. Kita akan mendapat kesempatan untuk menghilang di ujung hutan sebelah,“ desis Ki Waskita.

Ketiga orang itupun kemudian membenahi diri. Mereka mungkin harus berpacu sekencang-kencangnya di jalan kecil di seberang padukuhan jika perwira-perwira itu mengejar mereka.

Sejenak kemudian merekapun mulai dengan perjalanan cepat mereka. Kuda-kuda mereka yang tegar mulai berpacu melingkari padukuhan kecil yang sepi.


Orang-orang di padukuhan itu melihat mereka dengan heran. Tetapi tidak seorangpun yang bertanya. Bahkan anak-anak kecil berlari-larian menepi ketika tiga ekor kuda berlari kencang melintasi jalan-jalan di pinggir padukuhan.

Seperti yang mereka rencanakan, maka merekapun berpacu melingkari padukuhan kecil, kemudian melintas melalui jalan di sisi yang lain melingkar kembali menuju ke Sangkal Putung.

“Kita sudah hampir sampai k ebulak panjang. Jika keempat orang itu masih ada di tempatnya, mereka akan melihat kita berlari di sini,“ desis Kiai Gringsing.

“Apa boleh buat,“ berkata Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, mereka tiba-tiba saja terkejut ketika mereka mendengar sayup-sayup suara anak panah sendaren yang mengaum di udara mengarah ke tempat para perwira yang menghentikan mereka di balik padukuhan kecil itu.

Suara panah sendaren itu benar-benar telah menimbulkan kecurigaan yang sangat di hati Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu. Jika panah sendaren itu diberikan bagi para perwira yang telah mereka jumpai, itu berarti persoalannya menjadi gawat. Prajurit-prajurit yang dikatakan melakukan pemeriksaan itu tentu menemukan sesuatu yang penting dan mungkin berbahaya.

Tetapi mungkin juga sendaren itu diterbangkan oleh orang-orang yang bersembunyi di beberapa padukuhan, yang justru sedang dicari oleh para prajurit Pajang itu. Agaknya mereka dengan demikian ingin memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, agar mereka menghindar jika masih ada kesempatan.

Namun bagaimanapun juga, persoalannya memang sangat menarik untuk diketahui.

“Kita akan memacu kuda kita lepas bulak panjang itu. Apapun yang akan terjadi, terpaksa kita lakukan. Persoalannya menjadi sangat menarik bagi kita,“ berkata Kiai Gringsing.

Sejenak kemudian mereka telah melecut kuda masing-masing dan berpacu secepat-cepatnya melintasi bulak yang barangkali dapat dilihat oleh keempat prajurit yang menghentikan mereka.

Ketika mereka benar-benar muncul dibulak panjang, yang pertama-tama mereka lihat adalah jalan yang semula mereka lewati. Jalan besar yang menuju ke Sangkal Putung.

Sekali lagi mereka terkejut. Ternyata keempat perwira itupun sedang berpacu menuju ke arah Sangkal Putung, sehingga dengan demikian mereka tidak melihat Kiai Gringsing dan kedua orang kawannya yang berpacu searah, tetapi lewat jalan yang lebih kecil.

Karena mereka berada di bulak yang panjang, maka pandangan mereka sama sekali tidak terhalang. Batang padi yang tumbuh subur tidak cukup tiggi untuk menutupi derap kuda yang sedang berpacu dengan melontarkan debu yang keputih-putihan.

Yang terjadi itu memang sangat menarik perhatian. Seakan-akan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu sedang dihadapkan pada sebuah teka-teki yang sangat menarik, tetapi juga mendebarkan hati.

“Di ujung bulak jalan ini akan menjadi semakin jauh dari jalan besar itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Yang akan dapat memisahkan kita dari peristiwa yang tentu akan sangat menarik,“ sahut Ki Waskita hampir berteriak karena jarak mereka yang agak berjauhan.

Kiai Gringsing termangu-mangu, sementara kudanya berlari terus.

Ketika mereka melihat jalan sempit melintas, maka Kiai Gringsing tiba-tiba saja memberikan isyarat bahwa ia akan berbelok.

“Jalan itu akan sampai ke jalan besar itu lagi,“ teriak Agung Sedayu yang ada di paling belakang.

Tetapi Kiai Gringsing nampaknya tidak menghiraukannya. Ketika kudanya menjadi semakin dekat dengan jalan kecil yang memintas itu, maka iapun segera bersiap-siap untuk membelok, sehingga kecepatan derap kudanya menjadi agak berkurang.

Ki Waskita agaknya sependapat dengan Kiai Gringsing. Yang mereka hadapi adalah peristiwa yang menarik. Prajurit-prajurit Pajang itu telah berbuat sesuatu yang tidak seharusnya mereka lakukan menurut pertimbangannya.

Karena Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah berbelok pada jalan sempit yang memintas itu, maka Agung Sedayupun tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti mereka. Namun karena jalan terlalu sempat, maka kuda mereka tidak dapat berlari terlalu kencang. Meskipun demikian keinginan mereka untuk melihat apa yang telah terjadi, memaksa mereka sekali-kali melecut kudanya pula.

Sesaat kemudin maka ketiga orang itupun telah berada di jalan besar yang semula mereka lalui. Keempat perwira Pajang itu telah jauh di hadapan mereka, sehingga hanya debu yang terlontar dari kaki kuda mereka sajalah yang nampak mengepul tinggi.

Dengan kecepatan penuh ketiga ekor kuda itu berlari mengikuti para perwira yang mencurigakan itu. Bulak panjang itu ternyata hanya mereka tempuh dalam waktu yang pendek. Sesaat lagi mereka akan sampai ke sebuah padukuhan. Namun padukuhan itupun tidak terlalu besar sehingga kemudian mereka akan muncul lagi di bulak persawahan yang cukup panjang pula, sementara mereka akan menjadi semakin dekat dengan hutan kecil yang membujur di sepanjang jalan.

Kiai Gringsing yang berada di paling depan, seakan-akan tidak sabar lagi mengikuti derap kaki kudanya. Seolah-olah ia ingin segera meloncat dengan langkah yang sangat panjang, menyusul keempat perwira yang mendahului mereka.

Ketika mereka memasuki padukuhan, maka mereka terpaksa memperlambat kuda mereka, agar tidak menimbulkan persoalan dengan orang-orang padukuhan itu. Jika ada anak-anak sedang berada di pinggir jalan, atau sekelompok orang-orang yang sedang berada di mulut lorong, maka lari kuda yang terlampau kencang akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri.

Demikian mereka memasuki padukuhan, maka mereka sama sekali tidak melihat kesan-kesan yang menunjukkan, bahwa daerah itu sedang ada di bawah pengawasan sekolompok prajurit yang sedang melakukan pemeriksaan.

Mereka melihat kehidupan yang wajar seperti yang terjadi sehari-hari. Bahkan karena itu, maka derap kaki kuda merekalah yang telah menarik perhatian. Apalagi orang-orang itu baru saja melihat empat orang berpacu pula melintas jalan padukuhan mereka.

Tetapi betapa terkejutnya Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu ketika mereka muncul di mulut lorong, saat mereka meninggalkan padukuhan itu. Di tengah-tengah bulak mereka melihat, beberapa orang berkuda sedang berkerumun melingkar.

“Siapakah yang sedang berkerumun itu?“ di luar sadarnya Agung Sedayu berteriak.

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi ia memberikan isyarat agar kedua orang yang berada di belakangnya memperlambat derap kaki kudanya.

Ki Waskita yang berada di belakang Kiai Gringsing segera bergeser ke sampingnya, sementara Agung Sedayu mendesak semakin dekat.

Ketiga orang itu masih maju mendekati sekelompok orang berkuda yang berkerumun di tengah bulak. Di tengah lingkaran itu terdapat dua orang berkuda pula, yang agaknya sedang dalam kebingungan.

Namun ternyata bahwa orang-orang yang sedang berkerumun itu melihat kedatangan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu. Dengan serta merta salah seorang dari mereka berkata, ”Ada tiga orang berkuda mendekat.”

Keempat orang perwira yang telah menghentikan dan menyuruh Kiai Gringsing kembali saja ke Jati Anom mengerutkan keningnya. Ternyata ia segera dapat mengenal, bahwa ketiga orang itu adalah tiga orang yang telah dihentikannya.

“Gila, kenapa mereka menyusul?“ desis salah seorang dari keempat orang perwira itu.

“Siapakah mereka ?“

“Aku telah menghentikan mereka dan menyuruh mereka kembali. Tetapi agaknya mereka tidak kembali, tetapi mencari jalan lain. Sekarang mereka harus terlibat dalam persoalan ini.“

“Apa boleh buat,“ sahut yang lain. “Merekapun harus kita bawa bersama kedua orang ini.”

Namun orang-orang yang berkerumun itu terkejut ketika salah seorang dari dua orang yang terkurung itu berdesis, ”Kiai Gringsing.”

“Yang mana kau sebut,“ salah seorang yang mengepungnya membentak.

“Salah seorang dari ketiga orang itu. Yang seorang adalah Ki Waskita, sedang anak muda itu adalah Agung Sedayu, adik Untara.”

Wajah orang-orang yang mengepung itu menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan.

Namun semuanya sudah terlanjur. Karena itu, pemimpin kelompok itupun segera berkata mengatasi kebingungan itu, “Siapapun mereka, kita akan menangkapnya dan membawanya ke Pring Sewu.”

Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat Kiai Gringsing semakin lama semakin dekat. Sementara Kiai Gringsing dan kawan-kawannyapun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, Ki Sumangkar dan Swandaru telah berada di dalam kepungan para perwira itu.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu yang cukup cerdas itupun segera dapat menilai keadaan. Agaknya yang mereka cemaskan itu akan terjadi. Seperti yang dikatakan Untara, memang ada beberapa orang yang sedang mencari Sumangkar.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu justru mempercepat kudanya mendekati lingkaran orang yang berpakaian seperti sekelompok prajurit Pajang.

“Gila,“ perwira yang telah menghentikan Kiai Gringsing itulah yang pertama-tama berkata, “kau berusaha menipu kami. Tetapi kau telah terjebak dan nasibmu berada di tangan kami.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Sumangkar dan Swandaru yang mengangguk kepadanya.

“Siapakah mereka Ki Sumangkar?“ bertanya Kiai Gringsing tanpa menjawab kata-kata perwira itu.

Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab, “Aku belum mengenal mereka Kiai. Mungkin aku sudah pernah melihat satu dua orang yang sebaya dengan umurku di antara mereka, tetapi aku tidak mengenalnya lagi, apakah mereka benar-benar perwira-perwira dari keprajuritan di Pajang.”

“Kami prajurit-prajurit Pajang,“ teriak salah seorang dari para perwira itu.

“Setiap orang dapat mengaku dirinya prajurit. Tetapi sifat seorang prajuritlah yang menentukan apakah benar kalian seorang prajurit atau bukan. Pakaian dan kelengkapan yang ada pada kalian sama sekali tidak berarti apa-apa, selain ciri-ciri lahiriah. Tetapi yang penting adalah watak, sikap dan perbuatan kalian,“ berkata Sumangkar.

“Persetan. Kau menghina kami,“ geram salah seorang dari mereka.

“Dengarlah,“ berkata Sumangkar lebih lanjut,“ aku tidak percaya bahwa kalian adalah prajurit-prajurit Pajang. Kalian sama sekali tidak bersikap seperti seorang prajurit. Apalagi seorang perwira. Karena itu justru aku ingin bertanya, darimanakah kalian mendapatkan pakaian dan kelengkapan seorang perwira?”

“Gila. Aku adalah perwira prajurit Pajang.”

“Mungkin kau memang seorang perwira seperti kawan-kawanmu yang lain. Tetapi jiwamu dan tingkah lakumu sama sekali bukan jiwa dan tingkah laku seorang perwira.”

“Cukup,“ teriak yang lain, “kau telah berada di dalam kekuasaan kami. Jangan banyak bicara. Ikutlah kami kemana saja kami perintahkan.”

Ki Sumangkar termangu-mangu. Tetapi Kiai Gringsing telah mendahului, “Baiklah Ki Sanak. Kami tidak dapat mengelak. Jika saja kalian tidak berjumlah sepuluh orang, mungkin kami akan menentukan sikap lain.”

“Jangan ribut. Ikutlah kami. Jangan mencoba membuat persoalan yang akan dapat memperpendek umur kalian.”

“Tidak Ki Sanak. Kami tidak akan berbuat apa-apa.“ Kiai Gringsing menjawab. Kemudian iapun bertanya, “Apakah kami akan kalian bawa menghadap Ki Untara?”

“Tidak.”

“O, jadi kami harus pergi ke Pajang?”

Perwira itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jangan banyak cakap. Ikutlah kami.”

Swandaru memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya. Tetapi ia heran melihat wajah Ki Sumangkar yang kemudian justru menjadi bening.

“Ikut sajalah,” desis Ki Sumangkar.

Swandaru termangu-mangu. Tetapi ketika ia melihat Ki Waskita dan Agung Sedayu sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun, maka iapun berdiam diri meskipun dengan penuh kebimbangan.

“Cepatlah,“ geram pemimpin orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itu, “kita akan menyusur jalan ini, kemudian berbelok ke kanan.”

“Ke kanan,“ bertanya Kiai Gringsing, “apakah kita tidak akan ke Pajang?”

Prajurit-prajurit itu termangu-mangu. Tetapi yang agaknya pemimpin mereka menjawab, “Kemanapun kalian akan kami bawa, kalian tidak akan dapat ingkar. Bahkan apapun yang akan kami lakukan atas kalian.”

Kiai Gringsing tidak bertanya lagi.

Sejenak kemudian, maka merekapun segera diperintahkan untuk mengikuti jalan yang dikehendaki oleh prajurit-prajurit itu. Seperti yang mereka katakan, mereka sama sekali tidak menuju ke Jati Anom dan tidak pula menuju ke Pajang.

Untuk tidak terlalu menarik perhatian, maka prajurit-prajurit Pajang itu telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Mereka membagi diri dan orang-orang yang dibawanya menjadi tiga kelompok yang terpisah beberapa puluh langkah.

Kiai Gringsing menjadi agak berdebar-debar. Untunglah jarak mereka tidak terlalu jauh, sehingga jika perlu teriakannya akan didengar oleh kelompok yang terpisah itu.

Ternyata mereka memintas lewat jalan sempit yang akan membelah daerah yang berhutan meskipun tidak terlalu lebat, seperti hutan yang terdapat di sebelah Kademangan Sangkal Putung. Namun kemudian mereka akan menyusuri daerah yang sepi, daerah padang ilalang yang belum digarap. Setelah menyusup beberapa daerah perdu yang lebat, mereka akan sampai ke ujung Alas Tambak Baya yang jarang disentuh kaki manusia, yang terpisah oleh lebatnya hutan yang buas dan liar dari jalan yang biasa dilalui menuju ke Mataram.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawannya segera mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya prajurit-prajurit Pajang itu. Agaknya seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Gringsing, mereka akan menyingkirkan Sumangkar yang telah mendengar beberapa bagian dari rencana mereka di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia mengikuti saja dengan patuh, seakan-akan ia sama sekali tidak menyadari apa yang bakal terjadi.

Di tengah-tengah padang ilalang, di seberang hutan yang tidak terlalu pepat, Kiai Gringsing melihat pemimpin kelompok itu mulai berbicara dengan sungguh-sungguh dengan beberapa orang kepercayaannya. Tetapi ternyata mereka belum menentukan sikap apapun juga.

Baru ketika mereka sampai di daerah perdu yang lebat, maka Kiai Gringsing merasa perlu untuk berhati-hati.

Di antara pohon-pohon perdu yang lebat, maka iring-iringan itupun kemudian berhenti. Pemimpin kelompok itupun kemudian memanggil orang-orangnya sambil berkata, ”Kita akan berbicara.”

Sejenak kemudian orang-orangnyapun telah berkumpul sambil mengawasi Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.

“Berkumpullah di antara kami,” berkata pemimpin kelompok itu.

Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar, Agung Sedayu dan Swandarupun segera berkumpul di kelilingi oleh sepuluh orang prajurit Pajang yang mengawalnya.

“Aku tidak mengerti,“ berkata Kiai Gringsing, “apakah yang akan kalian lakukan atas kami. Bahwa kami menjadi curiga itu sudah sewajarnya. Bahkan kini menjadi semakin sangsi bahwa kalian benar-benar prajurit Pajang.”

“Siapapun kami, itu bukan soal kalian.”

“Dan kalian belum menjawab pertanyaan Ki Sumangkar, darimanakah kalian mendapatkan pakaian prajurit itu.”

“Kami memang prajurit Pajang,“ geram seorang yang berpakaian perwira.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kau memang seorang perwira yang gagah dan apalagi masih muda. Tetapi keperwiraanmu hanyalah sekedar karena kau mengenakan pakaian seorang perwira. Tidak menyusup sampai ke tulang sungsummu.”

“Diam,“ bentak perwira muda itu. Lalu katanya kepada pemimpin kelompoknya, “kita akan segera mulai.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan segera mulai.”

“Apakah yang akan kalian mulai?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya dengan curiga.

“Dengarlah,“ berkata pemimpin kelompok itu, “yang memaksa kami melakukan semuanya ini adalah karena tingkah Ki Sumangkar.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tepat. Aku sudah mendengar tentang hal itu dari Ki Untara.”

“Untara,“ pemimpin kelompok itu menjadi heran berbareng dengan Ki Sumangkar sendiri.

“Katakanlah Agung Sedayu.“ minta Kiai Gringsing.

Agung Sedayupun kemudian mengatakan, apakah yang disebut oleh kakaknya petugas-petugas sandi dari Pajang yang mengetahui persoalan yang terjadi di bulak antara Sangkal Putung dan Jati Anom.

“Menurut pertimbangan kami, maka sebagian dari kalian memang benar prajurit-prajurit Pajang. Tetapi prajurit-prajurit yang sudah mulai dengan rencana pengkhianatan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “dan menurut perhitungan kami pula, kalian tentu akan mencari dan membungkam Ki Sumangkar sebelum Ki Sumangkar benar-benar menghadap Kakang Untara, karena laporan Ki Sumangkar akan mempersempit daerah gerak kalian. Apalagi jika Kakang Untara memutuskan untuk ikut serta memasuki lembah itu dengan prajuritnya.”

“Tutup mulutmu,“ teriak seorang perwira muda. Tetapi pemimpin kelompok itu berkata, “Teruskan sampai tuntas. Aku ingin mendengar pendapatmu sebelum kami menentukan nasibmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Itulah sebabnya kami tergesa-gesa pergi ke Sangkal Putung. Maksud kami, kami harus mencegah kepergian Ki Sumangkar, karena di sepanjang jalan, keadaan serupa itu mungkin sekali terjadi.”

“Dan itu sudah terjadi,“ desis pemimpin kelompok itu, “kami sudah menunggu hampir dua hari dua malam. Kami berusaha untuk dapat menjumpai Ki Sumangkar seorang diri atau saat-saat terpisah dari pengawal Sangkal Putung. Baru hari ini kami menemukan kesempatan itu. Sayang bahwa kalian telah melibatkan diri sengaja atau tidak.”

Agung Sedayu mengangguk angguk. Dipandanginya Ki Sumangkar sejenak. Lalu katanya kemudian, “Dan hari ini maksud kalian itu akan kalian lakukan.”

“Ya. Kami akan meyakinkan diri bahwa Untara tidak akan mendengar laporan dari Ki Sumangkar. Kami memang memperhitungkan bahwa Ki Sumangkar akan pergi menghadap Untara di Jati Anom. Itulah sebabnya kami diperintahkan untuk menunggunya sampai kapanpun. Ternyata kami tidak terlalu lama berada di hutan-hutan di sekitar Sangkal Putung. Petugas rahasia kami telah melihat Ki Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung hari ini.”

“Sekarang kita sudah bertemu,“ berkata Ki Sumangkar, “memang agaknya agak berbeda dengan perhitungan kalian. Dengan sepuluh orang kalian akan dengan mudah membunuhku. Tetapi sekarang aku tidak sendiri. Disini ada Kiai Gringsing dan dua muridnya. Selebihnya ada pula Ki Waskita.”

“Aku tahu bahwa dalam keadaan ini kita harus berbuat lebih banyak daripada yang kita rencanakan. Tetapi kalian berlima jangan terlampau sombong dan merasa bahwa kalian dapat melawan kami bersepuluh,“ berkata pemimpin kelompok itu, “tetapi maksud kami bukanlah untuk membunuh Ki Sumangkar. Tetapi semata-mata berbuat sesuatu agar Ki Sumangkar tidak sempat menyampaikan laporan kepada Ki Untara.”

“Memang ada beberapa cara. Salah satu diantaranya adalah membunuhnya,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi cara yang manakah yang akan kau lakukan?”

“Aku akan menawarkan cara yang terbaik bagi kalian. Kami akan membawa kalian menghadap pemimpin kami, Ialah yang akan menentukan apakah yang akan kami lakukan atas kalian. Tetapi jika kalian bersedia berada di antara kami, maka nyawa kalian tentu akan diselamatkan.”

“Gila,“ Swandarulah yang tidak sabar dengan pembicaraan itu, “kau sangka kami tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab di tempat kami masing-masing.”

Pemimpin kelompok itu menjawab dengan tenang, “Tentu kami tidak akan mempedulikan apakah kau mempunyai kewajiban atau tidak. Yang penting bagi kami adalah pengamanan semua rencana kami.”

“Akupun tidak peduli dengan rencanamu. Jika saja Guru tidak memberikan isyarat kepadaku, aku tidak akan mau kalian bawa ke tempat ini.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku salah. Aku kira kita akan dibawa kesuatu tempat yang dapat kita anggap penting. Tempat-tempat semacam itu akan memberikan banyak petunjuk kepada kita. Tetapi ternyata bahwa kita hanya dibawa ke tengah hutan seperti ini.”

“Jangan banyak berbicara lagi Ki Sanak,” suara pemimpin kelompok itu menjadi semakin keras, “kami tidak mempunyai banyak waktu. Kami memang ingin menawarkan beberapa cara penyelesaian. Kalian boleh memilih.”

“Aku akan kembali ke Kademangan Sangkal Putung,“ geram Swandaru.

“Itu tidak mungkin,“ jawab pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku sebagai prajurit Pajang itu. “Kalian sudah terlanjur terlibat dalam persoalan yang mungkin tidak kalian kehendaki. Tetapi kalian tidak dapat mengelak. Nasib kalian telah membawa kalian kemari.”

“Aku tidak peduli,” Swandarupun berteriak pula.

“Ki Sanak,“ pemimpin kelompok itu masih mencoba untuk menahan diri, “kalian sudah berada di tangan kami. Jika kami membawa kalian kemari, semata-mata untuk menghindari ketegangan yang akan mencengkam orang-orang di padukuhan di sekitar tempat peristiwa ini terjadi. Tetapi di sini tidak seorangpun yang akan melihat apa yang terjadi. Juga seandainya kami membunuh kalian berlima dan melemparkan mayat kalian begitu saja.”

“Mentertawakan sekali,“ Swandaru menjawab dengan nada tinggi, “kalian tentu sudah pernah mendengar nama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Apakah yang akan kalian lakukan?”

“Benar. Tetapi kamipun sudah bersiap menghadapinya. Kami bukannya prajurit Pajang yang baru kemarin mengalami pendadaran. Tetapi kami sudah mendapat kepercayaan dan melangkahi jenjang keperwiraan. Selebihnya di antara kami terdapat Kiai Jambu Sirik dari pesisir Lor dan Kiai Senadarma dari kaki Gunung Wilis.”

Ki Waskita yang tidak banyak berbicara itu tiba-tiba menyahut, “Rencana kalian benar-benar merupakan rencana yang besar. Aku kira kalian telah berhasil menghimpun kekuatan Pajang dan Mataram di Kota Rajanya masing-masing. Kalian berhasil mengumpulkan nama orang-orang sakti. Tetapi kalian ternyata tidak mempunyai sikap dan langkah yang dapat menguntungkan rencana kalian dalam keseluruhan. Coba bayangkan, jika saja orang-orangmu tidak mati satu persatu, maka kumpulan orang-orang sakti itu akan mengerikan sekali. Tetapi satu-satu orang-orang kalian mati. Di pinggir Kali Praga, di Jati Anom saat Untara kawin, di bekas padepokan Tambak Wedi, di Sangkal Putung dan di berbagai tempat yang lain.”

“Kau benar Ki Sanak,“ seorang yang berkumis putih menyahut, “aku pun merasakan kekeliruan itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami akan mengurungkan niat kami membunuh Ki Sumangkar. Kami sadar, Ki Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang. Dan bahkan sekarang kami sadar, bahwa kami berhadapan dengan orang bercambuk dengan murid-muridnya. Dan satu lagi Ki Sanak yang belum kami kenal namun yang nampaknya juga memiliki kemampuan raksasa.”

“Baiklah,“ Swandaru berteriak, “mari kita saling berbunuhan. Aku tidak peduli siapakah kalian, darimana asalnya dan hubungan kalian dengan orang-orang gila yang bermimpi untuk menemukan warisan Majapahit itu. Sekarang, marilah kita mulai. Apakah kita akan bertempur di atas punggung kuda atau kita akan turun dari kuda masing-masing.”

“Kau anak muda yang berani,“ jawab orang berkumis putih, “akulah yang bernama Kiai Jambu Sirik. Aku juga mempunyai seorang murid seperti kau ini.”

“Cukup,“ Swandaru membentak, “kita akan bertempur sekarang.”

Pemimpin kelompok orang-orang yang berpakaian prajurit itu menjawab, “kita akan bertempur di atas kaki kita masing-masung.”

Swandaru ternyata adalah orang yang paling tidak sabar. Iapun langsung meloncat turun dari kudanya. Namun ia masih sempat menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu.

Yang lainpun segera berloncatan turun pula dan seperti Swandaru merekapun menambatkan kuda masing-masing.

“Yang telah terjadi akan terulang pula kali ini,“ geram Swandaru, “kalian akan kehilangan beberapa orang terbaik. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma adalah nama yang hanya sempat disebut beberapa kali dalam pergolakan yang akan terjadi kemudian.”

Orang yang bernama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma itupun mengerutkan keningnya. Swandaru bagi mereka adalah anak muda yang aneh. Nampaknya ia terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga tanpa ragu-ragu sedikitpun ia akan menghadapi jumlah yang dua kali lipat.

“Anak muda,“ berkata Kiai Jambu Sirik, “kau memang anak muda yang luar biasa. Ternyata kau mempunyai beberapa kelebihan dari muridku yang aku katakan itu, meskipun belum tentu bahwa kemampuanmu dapat mengimbanginya.”

“Aku akan melawan gurumu,“ potong Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas. Sekilas dilihatnya Agung Sedayu yang hanya berdiri diam meskipun ia tidak menjadi lengah karenanya.

“Aku masih menawarkan sekali lagi,“ berkata pemimpin kelompok itu, ”ikutlah kami.”

“Menarik sekali. Tetapi sayang sekali bahwa kalian bukanlah prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya, yang memegang kekuasaan untuk melakukan tugas demikian.”

“Aku benar-benar seorang perwira prajurit Pajang,“ jawab pemimpinnya.

“Tetapi kau tidak sedang bertugas dalam jabatanmu,“ potong Swandaru, “justru kau sedang merusak sendi-sendi ketertiban keprajuritan Pajang. Dan sudah tentu bahwa Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma itu bukannya prajurit-prajurit Pajang pula apapun jabatannya.”

Pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itupun menjadi tegang. Katanya, “Apapun yang kau katakan, katakanlah. Kesempatan terakhir yang aku berikan telah kalian sia-siakan. Sekarang bersiaplah untuk mati. Kami sepuluh orang, akan bertempur melawan kalian berlima. Siapapun kalian, maka kami bersepuluh tentu akan segera menyelesaikan tugas kami. Kami terpaksa membunuh adik Untara pula, karena ia berada di antara kalian dan mengetahui apa yang sudah terjadi dengan Sumangkar.”

“Kalian akan melakukannya berulang kali,“ potong Ki Waskita tiba-tiba, “untuk membungkam orang yang melihat kejahatanmu, maka kau harus melakukan kejahatan itu lagi. Dan itu akan berlaku terus-menerus sehingga kejahatan yang kau lakukan tidak akan berkeputusan.”

“Itu sudah kami kehendaki,“ jawab pemimpin kelompok itu sambil memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, maka kelima orang itupun telah berada di dalam kepungan sepuluh orang yang menyebut diri mereka prajurit-prajurit Pajang itu.

Wajah Swandaru yang tegang, nampak semakin membara oleh kemarahan yang bergejolak di dadanya. Namun di samping kemarahan yang membakar jantung itu, sepercik kegembiraan nampak pula di sorot mata anak muda itu. Karena dengan demikian ia akan sempat menjajagi kemampuannya dalam perkelahian yang sebenarnya. Bukan sekedar permainan dengan Raden Sutawijaya.

Swandaru yakin bahwa tidak semua dari kesepuluh orang itu memiliki kemampuan yang setingkat. Karena itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menilai di tingkat manakah kemampuannya itu dibandingkan dengan orang-orang yang dianggap sudah mendapat kepercayaan dari lingkungan orang-orang berilmu.

Dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing sependapat dengan orang-orang tua yang ada di pihaknya meskipun mereka tidak berjanji, bahwa mereka akan bertempur dalam satu lingkaran, meskipun dalam jarak yang tidak saling berdekatan. Dengan demikian maka mereka akan dapat saling membantu apabila tidak ada keseimbangan kekuatan di antara mereka dengan lawan-lawan mereka yang berjumlah dua kali lipat.

Dengan isyarat Kiai Gringsing menempatkan kedua muridnya pada kedua sisinya. Agung Sedayu di sebelah kiri dan Swandaru di sebelah kanan. Kemudian Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengisi bagian lingkaran yang lain, beradu punggung dengan Kiai Gringsing.

Lawan-lawannyapun kemudian mengambil tempat pula, seolah-olah merekapun telah mangatur diri. Menurut pendapat mereka, Ki Sumangkar adalah orang yang paling berbahaya karena ia adalah saudara seperguruan Patih Mentahun. Kemudian orang bercambuk itupun telah mereka dengar pula namanya, bahwa ia memiliki kemampuan yang setingkat dengan Sumangkar.

Selebihnya, Ki Waskita masih belum banyak mereka ketahui dan kedua anak muda murid Kiai Gringsing itupun masih mereka anggap anak-anak yang sedang tumbuh.

Agaknya orang-orang yang telah berhadapan dalam arena perkelahian itu tidak mau membuang waktu lagi. Merekapun langsung telah menggenggam senjata masing-masing dan siap untuk dipergunakan.

Tetapi ternyata semua orang yang sedang berhadapan itu terkejut, ketika tanpa diduga-duga Swandaru telah mulai dengan serangannya yang dasyat. Cambuknya tiba-tiba saja meledak bersamaan dengan sebuah loncatan maju dengan secepatnya.

Terdengar seseorang mengeluh. Balum lagi pertempuran itu mulai, Swandaru telah berhasil melukai seorang lawannya meskipun tidak begitu parah, karena ia sempat mengelak. Namun betis kakinya bagaikan disentuh oleh pedang yang sangat tajam, meskipun hanya sentuhan kecil.

“Anak gila,” orang itu berteriak.

Namun pemimpinnya berkata, “Obatilah dahulu. Luka kecil itu dapat berbahaya bagimu. Sementara itu, kekuatan kami agaknya tidak akan berkurang.”

Swandaru yang merasa berhasil, telah mulai lagi dengan ledakkan cambuknya. Tetapi ternyata semua lawannya telah bersiap-siap menghadapinya, sehingga karena itu, serangannya yang berikut sama sekali tidak mengenai lawannya.

Kemarahan yang semakin panas telah membakar dada Swandaru. Kegagalannya telah mendorongnya untuk mencoba lagi, melontarkan serangan kepada lawan-lawannya yang terdekat.

Namun dalam pada itu, langkahnya tertegun karena ia melihat lawannya mulai mengatur diri dalam lingkaran yang rapi. Mereka tidak lagi bergerak dengan liar tanpa hubungan yang satu dengan yang lain.

Namun justru karena itulah, maka Swandaru tidak dapat lagi sekedar mencari kesempatan pada kelengahan lawannya. Ia harus benar-benar bertempur membenturkan ilmu kanuragan. Kecepatan bergerak dan ketangkasan diperlukan menghadapi lawannya yang jumlahnya berlipat itu. Apalagi di antara lawan-lawannya terdapat orang-orang yang bernama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma.

Sejenak kemudian perkelahian itupun telah menjadi semakin dahsyat. Ternyata Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma adalah orang-orang yang benar-benar pantas untuk mendapat tugas membinasakan Sumangkar. Mereka ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika saja Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak tergesa-gesa berusaha menjumpai Sumangkar, maka akibatnya tentu akan sangat parah bagi Sumangkar dan Swandaru.

“Untunglah,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “jika kami sekedar menunggu Ki Sumangkar dan Swandaru di padepokan kecil itu, maka kami untuk selamanya tidak akan dapat bertemu lagi dengan mereka.”

Namun dalam pada itu, tekanan lawan-lawannya mulai terasa. Itulah sebabnya, maka Agung Sedayupun harus bersiap-siap mengerahkan ilmunya untuk menghadapi lawannya.

Ternyata Agung Sedayu yang telah mesu raga didalam goa yang terpisah dari kehidupan itu telah membentuknya menjadi seseorang yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari masa sebelumnya.

Adalah mengejutkan sekali, bahwa pada pertempuran yang sengit itu, Agung Sedayu justru dapat menilai ilmunya dengan saksama. Serangan-serangannya yang lepas dari ujung senjatanya, meskipun bagi Agung Sedayu sendiri masih merupakan penjajagan, sehingga belum dilontarkannya dengan segenap tenaga dan ilmu yang telah dikuasainya, namun Agung Sedayu sendiri merasa, betapa kemajuan yang telah dicapainya itu benar-benar suatu kurnia yang tiada taranya.

“Aku telah menerima kemurahan-Nya. Karena itu, aku harus mempergunakan di jalan-Nya.” ucapan syukur itu telah melonjak di dalam hati Agung Sedayu.

Sementara itu pertempuran yang sengit itu menjadi semakin sengit. Namun sementara itu, selagi mereka sedang berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita seakan-akan telah mempergunakan waktunya barang sekejap untuk menilik ilmu Agung Sedayu dan Swandaru yang telah meningkat itu.

Namun dalam pada itu, Swandaru dan Agung Sedayu sendiri, dengan diam-diam telah saling menjajagi, sampai di manakah kemajuan yang telah mereka capai masing-masing.

Agung Sedayu yang lebih mendalami ilmunya dari segi batinnya, tidak segera menampakkan penguasaan kemajuannya pada segi tata gerak dan lontaran-lontaran serangannya. Namun perlahan-lahan tetapi pasti, bahwa ujung cambuknya semakin lama seakan-akan menjadi semakin berat dan tajam, sehingga setiap sentuhan akan mempunyai akibat yang sangat pahit bagi lawannya.

Agak berbeda dengan Agung Sedayu, kekuatan Swandaru yang sudah jauh meningkat itupun segera nampak pada pertempuran yang semakin sengit itu. Ledakan-ledakan cambuknya bagaikan membakar udara di seputarnya. Ujung cambuknya yang telah dilingkari dengan beberapa karah dan ditambahnya dengan kepingan-kepingan baja, menjadikan senjatanya itu semakin berbahaya.

Kemajuan kedua anak muda itu tidak terlepas dari pengamatan Kiai Gringsing. Ia bangga atas kemajuan yang telah dicapai oleh murid-muridnya. Tetapi iapun cemas menghadapi perkembangan nalar, cita-cita dan harapan masa depan Swandaru yang mulai melonjak-lonjak.

Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat mempergunakan waktunya terlalu lama untuk menilai murid-muridnya saja. Serangan lawan-lawannya ternyata semakin lama menjadi semakin berat. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma ternyata memusatkan serangan mereka kepada Ki Sumangkar. Agaknya keduanyalah yang telah mendapat tugas untuk membinasakan orang tua bekas seorang pemimpin yang disegani dari Jipang itu.

Tetapi Sumangkar yang sadar akan bahaya yang mulai mendekatinya itu telah mengerahkan kemampuannya pula. Meskipun ia tidak lagi mempergunakan senjata perguruannya yang telah diberikan kepada Sekar Mirah, namun trisulanya telah menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Meskipun demikian, terasa tekanan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin berat bagi Sumangkar, sehingga iapun harus sudah memeras keringat untuk mempertahankan dirinya. Hanya karena Ki Waskita berada disisinya, maka kadang-kadang Ki Waskitapun sempat mengganggu serangan kedua orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi itu.

Namun sementara itu, karena puncak kekuatan lawannya yang sepuluh orang dipusatkan kepada Ki Sumangkar, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya, kadang-kadang masih sempat mendesak lawannya dan bahkan sekali-kali mereka dapat memecahkan kepungan mereka. Namun Kiai Gringsing dan kedua muridnya segera menempatkan diri kembali ke dalam lingkaran pertahanan mereka.

Kesepuluh orang yang bertempur melawan lima orang itu mulai berkeringat. Bukan saja karena mereka telah mengerahkan tenaga, namun mereka mulai gelisah, bahwa mereka seakan-akan sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan lawannya. Bahkan kedua anak-anak muda itupun rasa-rasanya mampu menempatkan diri dalam pertempuran di lingkungan orang berilmu itu.

“Mereka telah memiliki bekal yang cukup tinggi,“ desis pemimpin kelompok itu di dalam hati. Namun demikian, ia sendiri justru ingin meyakinkan, apakah anak muda yang bernama Agung Sedayu dan kebetulan adalah adik Untara itu dapat bertahan lebih lama lagi.

Karena itulah, maka pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itu memusatkan serangannya kepada Agung Sedayu yang mulai menyusun segenap kekuatannya menghadapi lawan yang sangat berat karena jumlahnya yang lipat itu.

Dalam pada itu, Swandaru yang memiliki kekuatan raksasa itupun segera mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau membiarkan dirinya dan kawan-kawannya sekedar bertahan dari serangan-serangan yang semakin menekan.

Karena itulah, maka suara cambuknyapun kemudian meledak semakin keras. Beberapa langkah ia mengambil jarak dari gurunya, agar ia dapat leluasa mempermainkan juntai cambuknya yang berkarah dan diseling oleh kepingan-kepingan baja yang melingkar bagaikan cincin -cincin yang tajam.

Lawan-lawannya menjadi heran melihat kecepatan dan kekuatannya. Swandaru masih terlalu muda. Namun kemampuannya benar-benar dapat dibanggakan, sehingga karena itulah, maka lawan-lawannya agak sulit untuk mendekatinya karena putaran ujung cambuk yang seakan-akan melindunginya.

Diantara kedua muridnya. Kiai Gringsing sendiri bertempur sambil memperhitungkan segenap kemungkinan. Beberapa kali ia telah gagal menangkap satu dua orang di antara mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit.

Namun kali ini Kiai Gringsing maish harus menimbang-nimbang. Lawannya berjumlah dua kali lipat. Karena itulah ia belum berani merencanakan untuk dapat menangkap mereka hidup-hidup. Yang pertama-tama harus diperhitungkan, bagaimana ia harus mempertahankan diri melawan kekuatan yang terasa semakin menekan.

Yang paling berat adalah Ki Sumangkar. Kiai Jambu Srik dan Kiai Senadarma benar-benar tidak menahan diri. Tidak ada perasaan segan sama sekali untuk langsung berusaha membunuh Ki Sumangkar yang mereka anggap sangat berbahaya.

Ki Waskita merasakan tekanan yang berat pada Ki Sumangkar. Meskipun ia sendiri masih melihat kemungkinan-kemungkinan yang baik untuk menghindar dari pelukan maut, namun secara keseluruhan ia masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan.

Karena itulah, maka tiba-tiba saja Ki Waskita itu berteriak, “Jangan terkejut jika hantu-hantu Alas Mentaok ini bangkit dan membantu kami.”

Tidak ada seorangpun yang tahu maksudnya dengan segera. Tetapi lambat laun, Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya mulai menduga, bahwa Ki Waskita akan bermain-main dengan ilmu semunya.

Ternyata seperti yang mereka duga, sejenak kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Semakin lama semakin dekat arena perkelahian yang sengit itu.

Ketika kemudian muncul beberapa ekor kuda, ternyata bahwa penunggang-penunggangnya adalah pengawal-pengawal Mataram yang bertubuh tinggi kekar dengan senjata yang dahsyat di tangan masing-masing. Semuanya membawa sebuah bindi yang besar dan bergerigi seperti duri kemarung.

Dengan cepat kuda-kuda itupun segera berlari melingkari arena perkelahian itu. Orang-orang yang ada di punggungnya, mengacu-acukan senjata mereka siap untuk menghantam siapapun juga yang dihendaki.

Namun Ki Waskita dan kawan-kawannya termangu-mangu ketika mereka mendengar Kiai Jambu Sirik tertawa, “Jangan bermain seperti anak-anak. Permainan semu itu tidak akan banyak berarti bagi kami semuanya.”

Sementara itu pemimpin kelompok itupun menyahut, ”Ternyata ada orang yang dapat bermain-main dengan bayang-bayang. Permainan itu sendiri tidak berhabaya bagi kami. Tetapi orang yang dapat bermain dengan bayangan semu itu tentu termasuk orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.”

Ki Waskita menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa permainan semunya tidak akan memberikan pengaruh seperti yang diharapkannya. Sehingga karena itu, maka orang-orang berkuda itupun kemudian bagaikan diusirnya pergi. Satu-satu mereka meninggalkan arena dan hilang dibalik gerumbul-gerumbul perdu.

Kiai Senadarma kemudian berkata, “Lebih baik kita beradu ilmu kanuragan di dalam keadaan seperti ini, tanpa permainan hantu-hantuan dan semacamnya.”

Tidak seorangpun yang menyahut. Ki Waskita sama sekali tidak ingin lagi membuat bentuk-bentuk semu, karena ilmu itu sama sekai tidak berarti bagi lawan-lawannya.

Pertempuran selanjutnya adalah benturan antara ketrampilan dalam olah kanuragan. Sekali lagi setiap orang di dalam kepungan itu harus melawan dua orang lawan. Dan kembali lagi yang merasa terberat di antara mereka adalah Ki Sumangkar.

Tetapi seperti yang diduga oleh Swandaru, bahwa kekuatan lawan-lawannya tidak sama yang seorang dengan yang lain. Itulah sebabnya maka setelah masing-masing pihak mengerahkan segenap kemampuannya, maka lingkaran kepungan itu tidak lagi merata.

Kiai Gringsing yang beradu punggung dengan Ki Sumangkar tidak akan dapat membiarkan keadaan yang sulit itu berlangsung terus. Meskipun ia tidak melihat dengan jelas, karena kedudukannya, namun ia merasa bahwa Sumangkar setiap kali telah terdesak. Beberapa kali Sumangkar bergeser semakin dekat di punggungnya. Dengan demikian ia terpaksa berusaha menghentakkan lawannya dan mendesaknya maju.

Namun ternyata bahwa lawan Kiai Gringsing bukannya lawan sekuat Kiai Jambu Sirik atau Kiai Senadarma. Sejenak kemudian, ketika cambuk Kiai Gringsing telah meledak dengan dahsyatnya, seolah-olah mengungkit nada dari dasar bumi, terasalah, bahwa ia mulai menguasai kedua lawannya. Meskipun ledakan cambuknya tidak sekeras ledakan cambuk Swandaru menurut pendengaran telinga wadag. tetapi rasa-rasanya suara cambuk Kiai Gringsing telah melontarkan nada yang langsung dapat mengiris pendengaran batin seseorang.

Orang-orang yang bertempur melingkari Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu justru meremang. Ternyata mereka dapat merasakan, betapa dahsyatnya kekuatan yang tersimpan di dalam ledakan cambuk yang suaranya justru tidak terlalu kerasa dalam pendengaran telinga wadag.

Namun merekapun meremang pula jika mereka mendengar suara cambuk Swandaru yang mengguntur bagaikan memecahkan selaput telinga. Meskipun berbeda dengan sentuhan suara cambuk Kiai Gringsing, tetapi orang-orang yang mengepungnya dapat membayangkan, bahwa Swandaru memang memiliki kekuatan raksasa.

Yang masih terdengar seperti ledakkan cambuk sewajarnya adalah cambuk Agung Sedayu. Ketika ia mendengar suara cambuk gurunya dan ledakkan cambuk Swandaru, maka sadarlah anak muda itu, bahwa pertempuran itu benar-benar telah mencapai puncaknya.

Karena itulah maka Agung Sedayupun tidak akan dapat bertempur sekedar mempertahankan diri.

Kiai Gringsing yang bertempur di sampingnya mulai memperhatikan kedua muridnya. Ledakan cambuk Swandaru telah memberikan pertanda arah kemajuan ilmunya. Dan Swandaru sendiripun diam-diam ingin mengetahui, apakah yang sudah dicapai oleh Agung Sedayu selama waktu-waktu yang terakhir.

Dalam ketegangan itu, ternyata kedua murid Kiai Gringsing itu masih sempat, seakan-akan saling memperbandingkan ilmunya. Meskipun Agung Sedayu mempunyai sifat yang berbeda dari Swandaru, tetapi ada juga perasaan ingin tahu, apakah saudara seperguruannya juga telah mencapai kemajuan. Dan ternyata bahwa Swandaru telah menunjukkan apa yang dimilikinya.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin gawat, maka Agung Sedayupun tidak dapat berbuat lain, kecuali mengerahkan ilmu yang ada padanya. Apalagi terasa pula olehnya bahwa Ki Sumangkar telah terdesak semakin berat oleh dua orang yang agaknya memiliki ilmu yang meyakinkan untuk melenyapkan saudara seperguruan Patih Mantahun, prajurit terbaik dari Jipang di samping Arya Penangsang sendiri.

Sejenak kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu telah mengejutkan lawan-lawannya pula. Ketika ia merasa bahwa saatnya telah tiba untuk mengerahkan kemampuannya, maka mulailah Agung Sedayu membangunkan kekuatannya dan menyalurkannya lewat ujung cambuknya.

Itulah sebabnya, ketika kemudian cambuknya meledak, terasa bulu-bulu tengkuk lawannya semakin meremang. Ledakkan cambuk Agung Sedayu bagaikan ledakkan yang menghentak di setiap jantung yang mendengarnya. Ledakan yang seolah-olah telah mengguncang dan merontokkan seluruh isi dada. Seperti ledakan cambuk Kiai Gringsing, ledakkan cambuk Agung Sedayu langsung menusuk ke pendengaran yang lebih dalam dari telinga wadag.

Hentakn kemampuan Agung Sedayu itu memang telah mengejutkan setiap orang di dalam lingkaran kepungan itu. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang memiliki ilmu yang masak itupun menjadi berdebar-debar. Jika ledakan itu berasal dari cambuk Kiai Gringsing, mereka memang sudah menduga, bahwa Kiai Gringsing yang disebut orang bercambuk itu memiliki ilmu yang tinggi, yang harus dilawan bersama-sama jika mereka telah menyelesaikan Ki Sumangkar. Tetapi bahwa anak muda adik Untara itupun memiliki kedahsyatan ilmu seperti itu, adalah benar-benar di luar dugaan, karena Agung Sedayu adalah anak yang masih sangat muda menurut penilaian umur dibandingkan dengan mereka yang ada di arena pertempuran itu.

Ternyata bukan lawan lawan Agung Sedayu sajalah yang terkejut. Ki Sumangkar dan Swandarupun telah terkejut pula. Mereka baru sadar, bahwa Agung Sedayu memang bukannya Agung Sedayu yang dahulu. Seperti juga Swandaru yang meningkat dengan cepat menurut arah perkembangannya, ternyata Agung Sedayupun telah berkembang sangat pesat di dalam pengolahan ilmunya.

Cambuk Agung Sedayu bukan saja telah menggetarkan isi dada mereka yang mendengarnya. Tetapi rasa-rasanya udarapun telah bergetar dan pepohonan bagaikan terguncang oleh lontaran kekuatan yang saling berpengaruh antara dunia kecil di dalam diri Agung Sedayu dengan dunia yang besar yang terbentang tanpa batas.

Namun keterkejutan lawan-lawannya itu ternyata telah mendorong mereka untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Mereka tidak mau terperosok ke dalam kesulitan seperti yang dialami oleh orang-orang kuat di antara mereka sebelumnya.

Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Meskipun lawan mereka termasuk orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun sebenarnyalah bahwa kemampuan mereka tidak setingkat. Bahkan sejenak kemudian, Ki Waskita dapat menduga, bahwa tidak semua orang di dalam lingkungan lawannya itu dapat menangkap penglihatan yang hanya semu atas penunggang penunggang kuda yang baru saja mengelilingi lingkaran pertempuran itu. Hanya karena beberapa orang kawannya meneriakkan hal itu, maka mereka menyadari apa yang sedang mereka hadapi.

Swandaru yang bertenaga raksasa itupun dengan kekuatannya yang mengagumkan telah mengayunkan cambuknya dengan dahsyatnya. Beberapa kali ia berhasil mendesak lawannya yang ternyata tidak memiliki ilmu setinggi Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma.

Namun yang mengejutkan mereka, adalah ketika kemudian terdengar seseorang berdesis menahan pedih, agaknya Ki Waskita yang bertempur disamping Ki Sumangkar yang terdesak terus, telah mengerahkan segenap ilmunya. Dan ternyata bahwa lawannyapun bukannya orang terkuat di antara kelompoknya.

Dalam pada itu seseorang telah terdesak mundur. Dengan tergesa-gesa ia berusaha mengobati luka yang tergores di lengannya, sementara kawannya yang bertempur melawan Ki Waskita masih bertahan terus. Tetapi Ki Waskita tidak berhasil mendesaknya dan memecahkan kepungan karena Kiai Senadarma segera membantunya.

Tetapi di pihak lain, Kiai Gringsing yang tidak lagi meragukan kedua muridnya, menganggap bahwa arena pertempuran yang luas dengan senjata cambuknya akan lebih menguntungkan, meskipun Ki Sumangkar masih harus selalu dibayangi karena lawan-lawannya yang sangat kuat.

Itulah sebabnya, maka Kiai Gringsinglah yang kemudian mendesak semakin dahsyat dan berusaha memecahkan kepungan lawannya untuk mendapatkan arena yang lebih baik.

Agung Sedayu yang menyadari sikap gurunyapun segera membantunya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka iapun berhasil mendesak kedua orang lawannya.

Dengan demikian maka kepungan itupun menjadi semakin longgar. Swandaru mendapat kesempatan lebih banyak untuk mengayunkan senjatanya yang seolah-olah bergerigi. Dan ternyata bahwa iapun telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Ki Waskita yang telah berhasil melukai seorang lawannya, mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk membantu Ki Sumangkar. Meskipun ia tidak dapat bergerak dengan leluasa karena lawannya yang terluka masih mencoba turun lagi ke arena, namun dalam rangkaian tata geraknya, ia selalu berusaha untuk mengurangi tekanan atas Ki Sumangkar.

Namun sejenak kemudian, orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itulah yang mulai menjadi gelisah. Ternyata jumlah mereka yang sepuluh orang itu masih terlampau sedikit untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka akan dapat berhasil dengan tugasnya.

“Tetapi perhitungan kami, jumlah itu hanyalah sekedar untuk membunuh Sumangkar,“ berkata orang yang menyebut dirinya pemimpin prajurit Pajang itu kepada diri sendiri. “Adalah di luar perhitungan bahwa kemudian datang pula orang-orang bercambuk dan muridnya, serta seorang kawannya.”

Tetapi semuanya sudah terjadi. Pertempuran itu sudah menjadi semakin sengit. Ledakan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ternyata telah membuat hati mereka menjadi kecut.

Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang berusaha mempercepat tugasnya, telah dipengaruhi pula oleh tata gerak Ki Waskita. Meskipun lawannya yang terluka telah berusaha mengobati dan memampatkan darah yang mengalir, namun ia sudah tidak mampu bertempur seperti saat-saat ia mulai. Sehingga karena itulah, maka Ki Waskita sempat untuk melibatkan diri dalam arena perkelahian Ki Sumangkar. Bahkan kemudian ternyata bahwa keduanya berhasil menyatukan diri dan bertempur berpasangan.

“Gila,“ geram Kiai Jambu Sirik.

Namun ia sama sekali tidak dapat mencegahnya.

Karena itulah maka ia mencoba melihat perkelahian itu dalam keseluruhan. Namun Kiai Jambu Sirik itu terkejut ketika ia melihat Kiai Gringsing telah menguasai kedua lawannya. Cambuknya seolah-olah telah mengurung dengan ledakan-ledakan yang dahsyat. Juntai cambuknya yang berputaran bagaikan segulung asap yang siap menelan kedua lawannya yang semakin terdesak.

Demikian pula Agung Sedayu yang masih muda itu. Cambuknyapun mampu melontarkan serangan yang mengerikan dan menguasai kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itu sudah menyentuh lawannya dengan meninggalkan sesobek luka yang memanjang.

Lawan-lawannya hampir tidak percaya, bahwa sentuhan yang seolah-olah hanya sentuhan kecil saja itu telah mengiris kulit dan dagingnya. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu seakan-akan begitu tajamnya, sehingga luka yang membekas ditubuhnya mula-mula sama sekali tidak terasa. Baru ketika darah sudah menetes, maka perasaan pedih mulai menggigit kulit.

Swandaru bertempur lebih garang lagi. Tetapi sentuhan ujung senjatanya memang sudah meyakinkan, sehingga justru tidak mengejutkan seperti ujung cambuk Agung Sedayu. Gerak yang kuat dan kasar dari Swandaru benar-benar telah mendesak lawannya. Mereka sadar sepenuhnya, jika ujung cambuk Swandaru mengenai mereka, maka tulang mereka akan dapat diremukkannya.

Dalam pertempuran yang sengit itu. Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Ki Waskita telah dikejutkan oleh keluhan tertahan. Ki Sumangkar yang menjadi pusat serangan lawannya, tiba-tiba terdorong surut. Dengan wajah yang merah ia melihat darah yang mulai mewarnai pakaiannya yang mengalir dari lukanya di pundak kirinya.

“Gila,“ Sumangkar menggeram. Tetapi luka itu telah terasa sangat pedih dan hampir melumpuhkan tangan kirinya.

Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang melihat luka di pundak Sumangkar itu mendesak semakin kuat. Bahkan tata gerak mereka sudah menjadi semakin kasar dan liar. Apa saja telah mereka lakukan untuk memenangkan perkelahian itu.

Ki Waskita segera dapat menguasai dirinya. Ia sadar, bahwa Ki Sumangkar benar-benar dalam bahaya. Karena itulah, maka ia harus cepat mengambil sikap.

Dengan hentakan tenaganya, maka Ki Waskita mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Selagi kedua lawannya masih ikut serta menikmati kemenangan Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma, maka Ki Waskita telah langsung menyerangnya. Sekali lagi orang yang telah terluka segores itupun terlempar mundur. Lukanya yang kemudian bukanlah luka yang sekedar menimbulkan perasaan pedih di kulitnya, tetapi lambungnya bagaikan tersobek dari sisi sampai kesisi lainnya.

Sementara itu. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma berusaha mendesak terus. Sekali lagi Sumangkar terlempar dan bahkan terpaksa menjatuhkan diri sambil berguling menjauhi lawannya, ketika terasa lengannyapun telah tergores senjata.

Namun pada saat yang tepat, Ki Waskita meloncat meninggalkan lawannya dan menahan serangan Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang hampir saja berhasil mengakhiri perlawanan Sumangkar. Meskipun demikian, agaknya keduanya bagaikan telah mempersiapkan suatu rencana penyelesaian yang matang. Kiai Senadarmalah yang kemudian berusaha menghambat Ki Waskita dan disusul oleh seorang lawan Ki Waskita yang lain, sementara Kiai Jambu Sirik telah siap menyelesaikan tugasnya, memburu Ki Sumangkar dan menusuk dadanya saat ia berusaha untuk bangkit.

Tetapi pada saat itu. Kiai Gringsing berhasil melihat keadaan itu. Itulah sebabnya, maka gulungan ujung cambuknya telah mendesak kedua lawannya dengan dahsyatnya.

Namun waktu terlalu sempit baginya. Karena itulah maka Kiai Gringsing tidak mempunyai pertimbangan lain. Dengan kemampuan yang ada padanya, maka iapun menyerang lawannya dengan serta merta, sehingga lawanya tidak berhasil menghindarinya.

Hampir di luar pengamatannya, maka Kiai Gringsing telah menghentakkan cambuk ke arah dua lawannya. Dan yang terdengar kemudian adalah teriakan nyaring yang menggetarkan setiap hati.

Justru karena itulah, maka Kiai Gringsing tertegun sejenak. Kedua lawannya itupun kemudian terlempar dengan kerasnya, dan jatuh di tanah dengan darah yang bagaikan diperas di luka mereka yang menyilang dada.

Tetapi waktu memang terlampau sempit. Saat itulah Kiai Jambu Sirik telah mengangkat senjata siap menghunjam di dada Ki Sumangkar yang sedang mencoba untuk meloncat bangkit.

Wajah Ki Sumangkar menegang sejenak ketika ia melihat senjata Kiai Jambu Sirik. Dengan susah payah ia berusaha menggapai tangkai trisulanya dan berusaha menangkis senjata lawannya.

Namun keadaan Ki Sumangkar benar-benar tidak menguntungkan. Dengan ayunan senjatanya. Kiai Jambu Sirik dapat memancing Sumangkar untuk bergeser. Dan tepat pada saatnya, Kiai Jambu Sirik meloncat ke sisi sebelah kiri sambil berteriak, “Akhirnya aku berhasil menyelesaikan perlawananmu.”

Sumangkar benar-benar dalam kesulitan. Tangan kirinya yang menjadi semakin lemah tidak mampu lagi untuk mengangkat senjatanya menangkis serangan yang meluncur dengan cepatnya ke arah lambungnya.

Tidak ada yang nampaknya sempat menolong. Kiai Gringsing baru saja menarik cambuknya dan jaraknya agak terlalu jauh. Sedangkan Agung Sedayu yang berdiri lebih dekat, masih sibuk melayani kedua orang lawannya.

Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak dapat membiarkan pembunuhan itu terjadi. Itulah sebabnya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan lawannya sambil mengayunkan cambuknya ke arah pergelangan tangan Kiai Jambu Sirik.

Ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu masih sempat menyentuh pergelangan tangan Kiai Jambu Sirik dari jarak yang tepat sepanjang juntai cambuknya.

Pada saat Kiai Jambu Sirik memusatkan perhatian pada saat kemenangannya, ternyata bahwa ia menjadi agak lengah. Apalagi ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu masih sempat melakukan serangan itu.

Itulah sebabnya, maka ujung cambuk Agung Sedayu itu bagaikan menahan tangannya yang sedang terjulur. Tiba-tiba saja ia melihat segores luka telah menganga di pergelangan tangannya yang gagal mencapai lambung Sumangkar dengan ujung senjatanya.

“Setan alas,“ ia mengumpat.

Tetapi bersamaan dengan itu, terdengar Agung Sedayu mengeluh tertahan. Pada saat ia berusaha menyelamatkan Sumangkar, ternyata serangan lawannya tidak dapat dihindarinya, sehingga sebuah tusukan telah menggores punggung.

Sumangkar yang terlepas dari tusukan senjata Kiai Jambu Sirik segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia telah terluka tidak hanya di satu tempat, tetapi ia masih mempunyai kemampuan sekedar untuk membela diri.

Dalam pada itu. Agung Sedayulah yang justru dalam kesulitan. Ketika ia berusaha menjauhi lawannya, ternyata bahwa mereka telah memburunya. Dengan geram mereka bertekad untuk membunuh Agung Sedayu yang telah menggagalkan usaha Kiai Jambu Sirik untuk membunuh Ki Sumangkar.

Namun pada saat itu. Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari kedua lawannya yang sudah terbaring di tanah. Dengan loncatan panjang ia kemudian telah berada di dekat muridnya yang terluka. Ketika kemudian ujung cambuknya berputar, maka kedua lawan Agung Sedayu terpaksa bergeser menjauh.

Dengan demikian maka pertempuran yang sudah diwarnai dengan darah itu menjadi semakin seru. Swandarupun sudah mulai terdesak oleh kedua lawannya. Meskipun suara cambuknya bagaikan memecahkan selaput telinga, tetapi ternyata bahwa kedua lawannya memiliki kemampuan yang cukup untuk bersama-sama mendesaknya.

Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsing seakan-akan telah terlepas dari lawan-lawannya. Sesaat ia masih bertempur bersama Agung Sedayu. Namun itu tidak berlangsung terlalu lama. Sejenak kemudian lawan Agung Sedayu yang seorang itupun telah terdesak dan ledakan berikutnya, membuatnya seakan-akan telah lumpuh. Ternyata Kiai Gringsing berhasil mengenainya meskipun dengan pertimbangan yang lebih baik dari saat ia menyingkirkan kedua lawannya.

Agung Sedayu yang sudah terluka di punggung itu masih sempat bertempur untuk mempertahankan diri. Lawannya yang tinggal seorang itu harus mengakui, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.

Meskipun demikian luka di punggungnya terasa bagaikan menyengatnya setiap saat. Darah yang mengalir membuat tenaganya jauh susut dari kemampuannya yang sebenarnya.

Tetapi Agung Sedayu yang muda itu telah berhasil menguasai puncak ilmunya. Dan itu ternyata bahwa ia mampu bertahan melawan dua orang yang dianggap cukup berilmu di dalam lingkungannya.

Itulah sebabnya, bahwa dengan luka di punggung, ia masih mampu menyalurkan kekuatannya pada ujung senjatanya, sehingga cambuknya masih merupakan senjata yang sangat berbahaya.

Yang terjadi kemudian adalah penyelesaian yang semakin pasti. Kiai Gringsing dengan tanpa kesulitan telah membantu mengurangi lawan Swandaru yang bertempur semakin sulit. Ketika yang seorang dari kedua lawannya itu terpaksa melawan Kiai Gringsing, maka Swandaru mulai dengan dada yang gemuruh mendesak lawannya tanpa ampun.

Dalam pada itu, Ki Sumangkar yang terluka cukup parah itupun ternyata mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri dari serangan Kiai Jambu Sirik. Namun Kiai Gringsing tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk melumpuhkan lawannya. Sebuah serangannya telah melemparkan lawannya sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit dan apalagi bertempur. Dengan nafas terengah-engah ia berusaha untuk duduk bersandar sebatang pohon perdu.

Sementara itu, Kiai Gringsing telah berada di antara arena perkelahian antara Ki Sumangkar dengan Kiai Jambu Sirik, dengan daerah perkelahian Ki Waskita melawan Kiai Senadarma dan seorang yang berpakaian seperti seorang perwira prajurit Pajang. Sedangkan di lingkaran perkelahian yang lain, Agung Sedayu yang luka itu masih mempertahankan dirinya.

Pertempuran itupun agaknya telah sampai kepuncaknya. Swandaru yang bertempur dengan kemarahan yang menghentak di dadanya tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada lawannya. Dengan sengaja Swandaru ingin menilai, apakah ilmunya sudah jauh meningkat.

Ternyata orang yang melawannya itu belumlah sekuat Raden Sutawijaya dari Mataram. Ternyata ia selalu terdesak dan bahkan kemudian ujung cambuk Swandaru telah mulai meraba tubuhnya.

“Kau masih belum setangkas orang-orang yang pantas mengenakan pakaian seorang perwira Pajang,“ berkata Swandaru.

Orang itu menggeram, tapi sebenarnyalah bahwa ia tidak mampu mengimbangi kecepatan bergerak dan kekuatan raksasa anak muda yang gemuk itu.

Swandaru yang merasa lawannya menjadi semakin terdesak, sama sekali tidak memberinya kesempatan. Seperti saat-saat yang lalu, kemarahannya benar-benar tidak terkendalikan lagi. Ketika ujung cambuknya sekali lagi menyobek kulit lawannya, Swandaru justru menjadi semakin bernafsu.

Dalam pada itu Agung Sedayu masih bertahan terus. Lawannya yang seorang itu justru pemimpin kelompok yang sudah menjadi semakin lemah. Namun ia masih berhasil mendesak Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu masih belum dapat dikuasainya.

Kiai Gringsing dengan cepat berhasil mengurangi lawan Ki Waskita. Ia sengaja melakukannya lebih dahulu agar Ki Waskita dapat segera menyelesaikan lawannya yang bernama Kiai Senadarma.

Sebenarnyalah orang-orang terkuat di antara mereka yang menyebut dirinya perwira Pajang itupun telah merasakan, bahwa mereka tidak akan dapat bertahan terus. Itulah sebabnya, maka mereka telah berusaha untuk melakukan sesuatu yang licik. Terutama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma.

“Aku bukan orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa ini,“ berkata Kiai Senadarma di dalam hatinya.

Karena itulah, maka ketika menurut penilaiannya, tidak ada harapan lagi untuk dapat memenuhi tugasnya, membunuh Sumangkar dan apalagi orang-orang lain yang ada di tempat itu, maka iapun telah memilih untuk melarikan diri dari arena.

Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing berada di arena pertempuran antara Agung Sedayu yang terluka melawan pemimpin kelompok prajurit Pajang yang telah mendapat tugas untuk membinasakan Sumangkar, Kiai Senadarma telah memberikan isyarat kepada Kiai Jambu Sirik. Dengan hentakan terakhir ia menyerang Ki Waskita dengan teriakan nyaring. Namun sebenarnyalah teriakan itu merupakan suatu pertanda bahwa ia tidak akan mampu lagi bertahan lebih lama.

Sementara Ki Waskita berusaha menghindar dan mencoba mengamati apakah lawannya menentukan suatu sikap dalam perlawanannya. Kiai Senadarma telah meloncat meninggalkannya disusul oleh Kiai Jambu Sirik.

Sikap itu benar-benar telah mengejutkan. Karena itu untuk sesaat Ki Waskita justru termangu-mangu, sedangkan Ki Sumangkar yang terluka itu tidak lagi mampu untuk mengejar lawannya.

Namun Ki Waskita berpikir cepat. Ia tidak sempat memburu Kiai Senadarma. Namun ia justru lebih dekat dengan Kiai Jambu Sirik yang berlari meninggalkan Sumangkar. Karena itulah, maka iapun segera berlari mengejar Kiai Jambu Sirik.

Kiai Jambu Sirik mengumpat. Ia tidak dapat langsung menuju ke kudanya, karena ia masih harus bertempur melawan Ki Waskita.

Sementara itu Agung Sedayu yang bertempur melawan pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya para perwira dari Pajang itu, segera menyerahkan lawannya kepada Kiai Gringsing. Dengan serta merta iapun segera berlari meninggalkan arena. Sejenak ia berdiri tegak dengan tangan yang bersilang di dada. Ia melihat Kiai Senadarma telah meloncat ke punggung kudanya.

Pada saat terakhir, Agung Sedayu telah membangunkan kekuatan yang tersalur dari tatapan matanya. Kekuatan yang tidak kasat mata tetapi mempunyai rabaan wadag.

Sentuhan itu benar-benar telah mengejutkan kuda Kiai Senadarma sehingga kuda itu melonjak sambil meringkik keras-keras.

Kiai Senadarma yang tidak menyangka itupun terkejut pula. Ia tidak mengira bahwa sentuhan tatapan mata Agung Sedayu itu telah menyakiti kudanya, sehingga kuda itu bagaikan gila.

Dengan sekuat tenaga Kiai Senadarma berusaha untuk menguasai kudanya. Namun tiba-tiba terasa sebuah kekuatan telah menghentakkan tangannya yang memegang kendali, sehingga justru karena kudanya yang bagaikan gila itu, Kiai Senadarma telah kehilangan keseimbangan.

Dengan kerasnya Kiai Senadarma telah terlempar dari punggung kudanya dan jatuh terguling di tanah.

Agung Sedayu yang telah melepaskan sentuhan tatapan matanya atas kuda Kiai Senadarma itu telah membuat kuda itu meloncat berlari tanpa mengenal arah untuk menghindari perasaan sakit yang menyengat pahanya.

Kiai Senadarma adalah orang yang mumpuni dalam olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka ketika ia terlempar jatuh, ia masih sempat menempatkan diri, sehingga lehernya tidak patah.

Tetapi ketika ia kemudian meloncat berdiri, Agung Sedayu yang terluka di punggungnya dan Ki Sumangkar yang terluka pula, telah berdiri di dekatnya.

“Jangan lari,“ suara Sumangkar terengah-engah. Wajahnya telah menjadi pucat karena darah yang mengalir semakin banyak.

Kiai Senadarma menggeram, ia mengumpati kudanya yang tiba-tiba menjadi binal itu. Namun kemudian ia mengumpati Sumangkar, “Kau memang ingin mati. Lukamu parah dan darahmu hampir habis terperas.”

“Aku masih sanggup bertempur,“ berkata Ki Sumangkar.

Kiai Senadarma menggeram. Namun wajahnya menjadi tegang ketika ia melihat Swandaru bagaikan orang kesurupan, telah membunuh lawannya dengan ujung cambuknya.

“Tinggalkan lawanmu,“ teriak Kiai Gringsing yang sudah menguasai lawannya pula kepada Swandaru, “kau dengar perintahku?”

Swandaru memang mendengar perintah gurunya. Dengan tegang ia berdiri tegak di sebelah tubuh yang terbaring diam.

“Aku harus yakin, bahwa ia sudah mati,“ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing masih bertempur melawan pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku perwira Pajang itu, yang semula telah bertempur melawan Agung Sedayu.

Bagi mereka yang pernah melihat Swandaru bertempur di ujung hutan di dekat Sangkal Putung, tiba-tiba saja telah terkenang pula apa yang telah terjadi, sehingga Pandan Wangi telah memeluknya untuk mencegah Swandaru berbuat lebih bengis lagi terhadap musuhnya yang sudah tidak berdaya.

Dan yang terjadi itu benar-benar telah mencemaskan hati orang-orang tua.

Kiai Gringsing yang tidak terlalu berat lagi menghadapi lawannya menjawab, “Kau tidak perlu membunuh lawanmu Swandaru. Jika ia sudah tidak berdaya, maka kau sudah menjadi seorang pemenang.”

“Tetapi Guru juga telah membunuh dua orang lawan sekaligus,” teriak Swandaru.

Hampir saja senjata lawan Kiai Gringsing mengenainya, justru karena Kiai Gringsing terkejut mendengar kata-kata Swandaru. Dengan hati yang berdebar-debar ia menjawab sambil bertempur terus, “Aku tidak sengaja melakukannya. Hal itu terjadi justru karena aku tidak tepat mengendalikan diri oleh tekanan lawan yang kuat.”

Swandaru tidak menjawab lagi. Ditinggalkannya lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu.

Perlahan-lahan ia mendekati Agung Sedayu dan Ki Sumangkar yang berdiri berhadapan dengan Kiai Senadarma.

Ternyata, bahwa yang telah terjadi benar benar telah menggetarkan hati Kiai Senadarma yang perkasa itu. Ia melihat kemungkinan yang sudah pudar sama sekali. Apalagi ketika ia melihat Kiai Jambu Sirik. Yang mendapat tekanan yang tidak teratasi oleh Ki Waskita.

Dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi itu, Kiai Senadarma telah mengambil keputusan yang tidak terduga. Dengan suara lantang maka iapun berkata, “Aku menyerah.”

Pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku perwira Pajang itu terkejut mendengar keputusan Kiai Senadarma itu, sehingga di luar sadarnya ia berkata, “Pengecut. Apa janjimu Kiai Senadarma ?”

“Tidak ada gunanya. Aku melihat orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Jati Anom ini bukannya orang-orang gila seperti anak muda yang gemuk itu. Aku berharap bahwa hidupku akan selamat. Mungkin aku akan diserahkan kepada Untara atau kepada siapapun juga. Tetapi aku tidak mempunyai sangkut paut sebelumnya. Apalagi aku dalam perkelahian ini masih belum membunuh seorangpun.”

Pemimpin prajurit itu menggeram. Namun ia tidak mau menyerah seperti Kiai Senadarma. Dengan sisa tenaganya ia masih bertempur terus melawan Kiai Gringsing.

Sementara itu Kiai Jambu Sirikpun merasa dirinya tidak akan dapat mengatasi lawannya. Karena itu maka seperti Kiai Senadarma ia berkata, “Aku juga menyerah. Perjalananku yang jauh ternyata sia-sia. Petugas sandi Pajang ternyata tidak mampu memberikan keterangan yang benar untuk memperhitungkan keberhasilan tugas kita. Jika bahan yang kami terima salah, maka tugas kamipun tidak akan dapat berhasil seperti yang kita lihat sekarang.”

“Gila,“ sahut pemimpin kelompok yang masih saja bertempur meskipun ia terdesak.

Ki Waskita perlahan-lahan berusaha melepaskan lawannya yang menyerah. Apalagi kemudian ternyata bahwa Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik telah melemparkan senjata-senjata mereka dan berdiri tegak dengan kedua tangannya terkulai.

Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Swandaru memandang wajah keduanya berganti-ganti. Kemudian terdengar ia menggeram, “Pengecut. Seharusnya kalian berdua dibunuh seperti orang yang luka arang keranjang itu.”

Tetapi Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik sama sekali tidak menyahut. Ia menyadari, bahwa sikap Kiai Gringsing. Ki Waskita dan orang yang ingin mereka bunuh itu akan berbeda dengan Swandaru.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing masih bertempur melawan pemimpin kelompok para perwira dari Pajang itu. Namun tidak ada yang dapat dilakukan oleh pemimpin kelompok itu. Dalam segala hal ia berada di bawah kemampuan Kiai Gringsing. Meskipun pemimpin kelompok itu dapat menembus bayangan semu yang dibuat oleh Ki Waskita, namun menghadapi ilmu kanuragan Kiai Gringsing, ia tidak berhasil mempertahankan diri.

Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Beberapa saat orang itu masih bertahan meskipun dalam kesulitan yang pasti tidak akan teratasi. Namun dil uar kemampuan Kiai Gringsing untuk mencegahnya, maka orang itu telah menarik kerisnya. Keris yang kecil saja dan terselip di lambung kiri. Agaknya keris itu merupakan senjata pusakanya yang dipergunakan dalam keadaan yang khusus, tetapi tidak mungkin dalam perang seperti yang telah terjadi.

Kiai Gringsing tertegun melihat keris yang tidak lebih dari sejengkal itu. Dengan hati-hati ia telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan dengan penggunaan pusaka kecil itu.

Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja orang itu telah menggoreskan keris itu di pergelangan tangannya sendiri sambil berteriak, “Kalian tidak akan dapat menangkap aku hidup-hidup. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Dan aku akan menjadi tawanan yang akan kalian peras sampai darahku kering, untuk memberitahukan segala sesuatu tentang rencana yang sudah tersusun rapi itu.”

Kiai Gringsing maju setapak. Tetapi ia tidak berani segera mendekat. Ia tahu, keris itu tentu telah direndam dalam warangan yang kuat sehingga goresan kecil itu telah cukup mampu untuk membunuh.

Tetapi Kiai Gringsing masih berusaha. Jika orang itu bersedia, ia mempunyai kekuatan untuk menyembuhkannya, karena iapun memiliki obat penawar racun yang kuat.

“Ki Sanak. Kematianmu sia-sia. Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik akan dapat memberikan banyak keterangan. Dan agaknya ia tidak berkeberatan melakukannya. Karena itu, jika kau bersedia, aku dapat mencoba mengobati luka racunmu itu.”

Pemimpin sekelompok orang-orang yang mengaku sebagai perwira prajurit Pajang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis lambat, “Tidak. Aku akan mati. Dan itu memang aku kehendaki. Tidak seorangpun dapat mencegah kematianku, karena kematian bagiku tentu akan jauh lebih baik daripada aku jatuh ke tangan Untara.”

Kiai Gringsing termangu-mangu ketika ia maju selangkah, maka orang itu masih sempat mengacukan kerisnya kepadanya, “Segores kecil dari ujung kerisku, akan dapat membawamu ke dalam pelukan maut.”

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Kau tidak dapat membunuhku dengan racun apapun juga. Aku adalah orang yang biasa bermain dengan racun.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi tubuhnya menjadi semakin gemetar dan wajahnya bertambah pucat.

Ketika Kiai Gringsing mendekat lagi selangkah, orang itu sudah mulai terhuyung-huyung sambil berdesis “Mendekatlah. Aku akan mendapat kawan untuk pergi ke dunia lain.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia maju lagi selangkah.

Agaknya orang itu sudah mulai dicengkam oleh racun yang kuat di tubuhnya. Badannya mulai menjadi kejang, sehingga ia tidak lagi mampu untuk berdiri tegak. Karena itulah maka iapun kemudian jatuh pada lututnya, dan dengan nada yang patah-patah ia berkata, “Mari. Mari Ki Sanak, mendekatlah.”

Kiai Gringsing memang mendekat. Namun tiba-tiba saja dil uar kecepatan pengamatan seseorang, ujung cambuknya telah menggelepar dan menyangkut tangan orang itu sehingga keris itupun telah terlempar jatuh.

“Gila,“ geram orang itu.

Namun, demikian orang itu berusaha dengan tangan gemetar menggapai kerisnya, Kiai Gringsing telah meloncat menangkap dan mendorongnya sehingga orang itu terbaring di tanah.

Ki Waskita, Ki Sumangkar yang terluka parah, Agung Sedayu yang terluka pula dan Swandaru, tidak beranjak dari tempatnya. Meskipun mereka ingin membantu Kiai Gringsing, namun orang-orang yang masih sanggup untuk melarikan diri itu memerlukan pengawasan. Sementara itu Ki Sumangkar dan Agung Sedayu sudah tidak akan mampu berbuat banyak karena lukanya.

Tetapi, agaknya Kiai Gringsing sudah terlambat. Demikian ia berhasil menangkap tangan orang itu dan memeriksa luka di pergelangannya, orang itu sudah kejang seluruh tubuhnya.

Noda-noda biru seolah-olah telah tumbuh di seluruh wajah kulitnya. Bahkan kemudian nampak warna-warna merah diantara noda-noda yang kebiru-biruan.

“Racun yang keras sekali,“ desisnya.

Tak ada jalan untuk menolongnya, karena orang itupun kemudian telah meninggal.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Gringsingpun kemudian berdiri. Langkahnya yang lesu telah membawanya mendekati Sumangkar. Ia sadar bahwa Ki Sumangkar dan Agung Sedayupun memerlukan pertolongannya segera.

“Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “awasilah kedua orang itu. Mereka sudah tidak bersenjata.”

Swandaru mengangguk sambil menjawab, “Baik Guru. Aku akan mengawasinya. Siapa yang ingin mencoba melarikan diri, akan mengalami nasib yang buruk seperti seorang kawannya itu.”

Tetapi dalam pada itu terdengar Kiai Senadarma berkata, “Aku tidak akan lari Ki Sanak. Aku sudah menyerah. Mungkin itu suatu sikap pengecut. Karena itu, aku tidak akan melakukan sikap serupa untuk kedua kalinya dengan melarikan diri. Apalagi aku sudah melepaskan senjataku. Aku kira demikian pula dengan Kiai Jambu Sirik.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Aku percaya Ki Sanak. Tetapi dalam arena seperti ini, setiap pihak harus tetap berhati-hati.”

“Aku mengerti Ki Sanak. Sudahlah, silahkan mengobati luka-luka Ki Sumangkar yang parah. Aku gagal membunuhnya. Karena itu, biarlah ia segera sembuh.”

Ki Sumangkar menggeram menahan gejolak hatinya. Tetapi juga menahan sakit pada luka-lukanya.

Karena luka Sumangkar lebih parah dari Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing telah mengobatinya lebih dahulu. Baru kemudian ia mengobati Agung Sedayu dan lawan-lawannya yang terluka parah.

“Kita masih mempunyai tugas Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing.

“Apalagi Guru?”

“Menguburkan mereka yang terbunuh.”

Swandaru menggeram. Kemudian katanya, “Biarlah kedua orang itu menguburkan kawan-kawannya.”

“Kita tidak boleh membuang waktu,“ sahut Kiai Gringsing, “setiap saat sekarang ini sangat berharga. Kita harus segera berbuat sesuatu atas orang-orang yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Jika orang-orang ini tidak segera datang melaporkan hasil tugasnya pada saat yang sudah diperhitungkan, maka mereka tentu akan mengetahui, bahwa telah terjadi sesuatu atas mereka.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Biarlah kedua orang itu membantu kita.”

“Kami tidak berkeberatan,“ berkata Kiai Senadarma.

Kiai Gringsingpun kemudian menggali beberapa buah lubang yang tidak terlalu dalam dengan pedang dan parang yang ada di arena perkelahian itu. Kemudian beberapa sosok mayat yang ada pun dikuburkannya berjajar.

Swandaru menjadi heran, bahwa Kiai Gringsing telah membuat sepuluh tanda seolah-olah ada sepuluh orang yang dikuburkan di hutan itu. Namun sebelum ia bertanya. Kiai Gringsing telah menjelaskan, “Aku berharap, jika ada di antara mereka yang menemukan arena ini, mereka akan mengira, bahwa sepuluh orang yang mereka tugaskan itu telah terbunuh semuanya.”

“Kenapa begitu?“ bertanya Swandaru.

“Mereka akan sedikit terhibur, bahwa rahasia mereka akan ikut terkubur pula bersama orang-orang mereka yang terbunuh.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Senadarma berkata, “Tetapi orang-orang di lembah itu tidak sebodoh yang kau duga.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar, “Aku mengerti Ki Sanak. Di antara mereka tentu ada orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi. Tetapi semua usaha memang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini. Kegagalan kalian membunuh Ki Sumangkar tentu merupakan persoalan yang besar bagi mereka. Mereka masih merasa segan jika Untara terlibat ke dalam persoalan ini. Tetapi ketahuilah bahwa kami memang tidak ingin melibatkan Untara ke dalamnya.”

Kiai Senadarma menjadi heran. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Kiai Gringsing berkata, “Marilah, kita harus segera berbuat sesuatu.”

Ki Sumangkar yang terluka itu termangu-mangu. Katanya, “Kegagalan ini tentu akan diikuti oleh tindakan-tindakan yang lain. Apakah yang dapat kita lakukan kemudian dalam waktu yang dekat?”

Kiai Gringsing memandang Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik sejenak. Memang ada keseganan untuk berbicara diantara mereka.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera bergumam, “Kita akan secepatnya ke Mataram.”

“Mataram,“ desis Kiai Jambu Sirik.

“Ya. Kita akan bertemu dengan Raden Sutawijaya. Semua persoalannya akan di selesaikan oleh senapati muda itu.”

Kiai Jambu Sirik menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Kiai Gringsingpun kemudian mempersiapkan diri. Ki Waskita melepaskan kuda-kuda yang tidak akan dipergunakan. Sementara yang lainpun telah berada di sebelah kudanya masing-masing.

“Kita akan segera berangkat. Perjalanan kita mungkin akan menarik perhatian. Tetapi kita harus berusaha untuk mengurangi sejauh dapat dilakukan. Karena itu, kita harus menyembunyikan segala macam tanda-tanda luka dan sikap yang dapat menimbulkan kesan yang aneh bagi orang-orang yang akan berpapasan dengan kita,“ berkata Kiai Gringsing, lalu, “kami masih mengajukan permintaan kepada Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma. Kami mohon jangan menimbulkan kesulitan kami di perjalanan dan kesulitan bagi diri kalian sendiri.”

Kiai Senadarma tersenyum. Katanya, “Aku sudah menyerahkan nasibku kepada senapati muda dari Mataram itu.”

“Kami tidak yakin bahwa yang kau katakan itu benar-benar sampai ke dasar hatimu. Kau bukan anak-anak lagi. Kau tentu mempunyai perhitungan yang rumit untuk dimengerti.”

Kiai Senadarma mengangguk. Katanya, “Kau benar. Tetapi ternyata aku berhadapan dengan orang-orang yang lain dari dugaanku semula. Aku kira aku adalah orang yang tidak ada duanya di muka bumi. Bahkan para senapati dan perwira prajurit Pajang yang sebenarnya masih memerlukan aku. Tetapi ternyata di sini aku bertemu dengan orang-orang yang tidak masuk akal menurut penilaianku. Karena itu, aku tidak akan berbuat apapun juga yang tentu akan sia-sia.”

“Marilah,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan pergi ke Mataram. Biarlah kuda-kuda yang lain hilang di dalam hutan dan diketemukan oleh siapapun juga di saat lain.”

Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti perintah-perintah orang yang telah menawannya. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi kawan-kawannya yang masih hidup, semuanya telah terluka.

Meskipun demikian, di perjalanan itu, setiap orang berusaha menghilangkan kesan yang dapat menarik perhatian orang-orang lain yang berpapasan apabila mereka masuk ke jalan raya yang menuju ke Mataram.

Sejenak kemudian kuda-kuda itupun telah berlari meninggalkan arena perkelahian yang merah oleh darah. Sejenak mereka masih menyusup hutan. Namun mereka sedang menuju ke jalan raya yang menghubungkan Mataram dengan daerah di sekitarnya.

Demikian mereka mencapai jalan raya, maka kuda-kuda merekapun berlari semakin cepat meskipun tidak berpacu seperti dikejar hantu. Kiai Gringsing masih selalu menjaga, agar perjalanan sekelompok orang-orang yang parah itu tidak menarik perhatian.

Sebenarnyalah bahwa di perjalanan, sekelompok orang-orang berkuda itu tidak banyak menarik perhatian. Ada di antara mereka yang mengenakan pakaian perwira prajurit Pajang. Beberapa orang mengira bahwa sekelompok perwira sedang bepergian dengan kawan-kawannya menuju ke Mataram dalam hubungan yang tidak perlu mereka ketahui.

Tetapi ketika iring-iringan kecil itu memasuki Mataram, maka persoalannya jadi berbeda. Para penjaga regol telah tertarik melihat beberapa orang perwira Pajang mendekatinya.

Kiai Gringsing yang berada di paling depanpun kemudian berhenti di depan regol. Ia berharap bahwa para pengawal Mataram yang bertugas itu sudah ada yang mengenalnya.

Ternyata harapannya itu terjadi. Seorang pemimpin pengawal itu dengan tergopoh-gopoh mendapatkannya.

“Kiai,“ orang itu menyapanya.

Kiai Gringsing meloncat turun dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kami akan menghadap Senepati Ing Ngalaga.”

Pemimpin pengawal itu memandang, orang-orang yang datang bersama Kiai Gringsing itu seorang demi seorang. Dari sorot matanya nampak terpercik pertanyaan yang agak rumit di hatinya.

Sebelum orang itu bertanya, Kiai Gringsing mendahului berbisik di telinga pemimpin pengawal itu, “Aku membawa beberapa orang tawanan. Ki Sumangkar dan Agung Sedayu terluka.”

“Apa yang terjadi Kiai? “ pemimpin itu bertanya.

“Berilah kami kesempatan untuk menghadap.“

Pemimpin itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah. Aku akan mengantar Kiai langsung menghadap.”

Setelah minta diri dan memberikan beberapa pesan kepada kawan-kawannya maka pemimpin pengawal itu telah membawa Kiai Gringsing dan kelompok kecilnya menuju ke rumah Senapati di pusat Kota Mataram yang semakin berkembang.

Justru setelah mereka berada di jalan-jalan kota, mereka tidak dapat lagi berusaha menyembunyikan kenyataan. Mereka tidak dapat berpacu cepat-cepat, sehingga beberapa orang telah memandangi mereka dengan heran.

Kedatangan Kiai Gringsing bersama sekelompok kecil orang-orang berkuda itu telah mengejutkan para pemimpin di Mataram. Apalagi ketika mereka melihat, beberapa orang di antara mereka telah terluka.

Senepati Ing Ngalaga yang kebetulan ada di rumahnya, dengan tergesa-gesa pula turun dari pendapa untuk menyongsong tamunya diikuti oleh Ki Juru Martani.

“Kiai,“ desis Raden Sutawijaya.

Kiai Gringsing dan kawan-kawannyapun menuntun kudanya memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya, kecuali mereka yang terluka parah.

Ki Sumangkar yang kemudian mencoba turun dari kudanya pula, tiba-tiba saja telah terhuyung-huyung. Untunglah Ki Waskita cepat menangkapnya dan membantunya berjalan, sementara Agung Sedayu masih dapat berjalan sendiri.

“Apa yang terjadi Kiai,“ Sutawijaya menjadi tegang.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia mengatakan sesuatu tentang kedatangannya, yang pertama-tama diserahkan adalah para tawanan yang datang bersamanya.

“Kedua orang itu adalah Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik. Dua orang yang tidak ada bandingnya. Mereka mempunyai kemampuan yang sempurna,“ berkata Kai Gringsing, “namun agaknya keduanya tidak ingin pertentangan berkelanjutan sehingga keduanya memilih menyerah daripada bertempur berkepanjangan.”

Kiai Senadarma menarik nafas dalam-dalam. Cara Kiai Gringsing memperkenalkannya sangat menarik. Namun justru karena itulah maka sepercik pengakuan telah meloncat dari bibirnya, “Kami memang menyerah Raden. Tetapi bukan karena kesadaran yang tumbuh dihati kami. Tetapi kami yang disebut-sebut pilih tanding, ternyata bukan lawan yang berarti bagi Kiai Gringsing.”

Ki Juru Martani yang kemudian ikut membantu Ki Sumangkar, berkata, “Marilah. Silahkan naik. Kita akan berbicara di pendapa. Agaknya luka Ki Sumangkar agak parah. Sedangkan Angger Agung Sedayupun telah terluka pula.”

“Silahkan Kiai,“ sahut Kiai Jambu Sirik, “tetapi kami adalah tawanan yang harus dimasukkan ke dalam barak tertutup.”

Raden Sutawijaya memandang Kiai Gringsing dengan termangu-mangu. Tetapi ketika Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, maka Raden Sulawijayapun telah memerintahkan seorang pemimpin pengawal beserta beberapa orang untuk membawa para tawanan itu ke tempatnya, termasuk mereka yang terluka.

Dalam pada itu, Ki Sumangkar yang dibantu oleh Ki Waskita dan Ki Juru telah berjalan naik ke pendapa, mendahului yang lain. Baru kemudian disusul oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru.

Demikian mereka duduk di pendapa, maka Kiai Gringsingpun mulai menceritakan apa yang telah terjadi, sehingga Ki Sumangkar dan Agung Sedayu telah terluka.

“Jadi keduanya adalah orang-orang yang dipercaya untuk membunuh Ki Sumangkar?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Ya. Dan kita harus menilai peristiwa ini dalam hubungan keseluruhan.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun ia melihat, bahwa segalanya harus segera mendapatkan penanganan. Ia tidak dapat menunda-nunda lagi. Orang-orang yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu sudah bertindak sangat jauh.

Dari Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mendengar, alasan apakah yang telah mendorong orang-orang dari lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu berusaha membunuh Ki Sumangkar.

“Kita harus segera bertindak,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin Untara akan mendengarnya dan mendahului kita, tanpa mengetahui bahwa pusaka-pusaka itu ada di antara mereka.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berbicara tentang pusaka-pusaka itu, ia telah berkata, “Tetapi menilik keadaan Ki Sumangkar, apakah sebaiknya Ki Sumangkar tidak berbaring saja dahulu di dalam bilik di gandok? Mungkin dengan demikian, keadaan Ki Sumangkar akan segera bertambah baik.”

Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, “Aku sudah berangsur baik. Obat Kiai Gringsing memang obat yang sangat baik. Apalagi setelah minum seteguk. Tubuhku akan merasa segera segar kembali.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Sumangkar tentu ingin mendengar apa yang akan mereka bicarakan, sehingga karena itu maka Ki Juru tidak memaksanya.

Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka mulailah mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Mereka sadar, bahwa semuanya harus berlangsung cepat. Jika persoalan ini didengar Untara dalam sudut pandangan yang tersendiri, maka Untara tentu akan bergerak lebih cepat dari Mataram.

“Aku kira pada masa-masa terakhir, Untara tentu selalu didampingi oleh orang-orang yang berada di dalam pengaruh mereka yang merasa dirinya keturunan dan pewaris kerajaan Majapahit. Setidak-tidaknya para perwira bawahan Untara, yang berada di bawah pengaruh orang-orang itu akan selalu mengawasi, apakah Ki Sumangkar telah datang melaporkan peristiwa itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “dan sekarang adalah tugas kita untuk mencari penyelesaian. Jika orang-orang yang ditugaskan membunuh Ki Sumangkar itu tidak kembali pada saatnya, maka akan segera dilakukan tindakan-tindakan yang mungkin mengejutkan kita.”

“Ya Raden. Tetapi bahwa tidak seorangpun dari kesepuluh orang petugas yang berhasil lolos dan menyampaikan laporan yang sebenarnya telah terjadi, maka mereka masih harus meraba-raba dan memperhitungkan apa yang telah terjadi itu. Sementara petugas mereka akan selalu berada di sisi Untara untuk melihat dan mendengar apakah Ki Sumangkar telah melaporkan semuanya ini kepada senapati di lereng Gunung Merapi itu.”

“Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya, “silahkan Kiai beristirahat sejenak di gandok. Aku akan memanggil beberapa orang terpenting dari Mataram. Kita harus sudah mulai membicarakan tindakan selanjutnya, untuk seterusnya memasuki lembah itu, sebelum mereka pergi dan mencari tempat lain yang mungkin lebih sulit kita capai.”

Sesaat berikutnya, maka tamu-tamu Raden Sutawijaya itupun segera dipersilahkan beristirahat di gandok. Sementara Raden Sutawijaya memerintahkan memanggil orang terpentingnya yang sangat terbatas.

Di gandok Kiai Gringsing masih harus melihat luka Ki Sumangkar yang memang agak parah serta luka Agung Sedayu di punggungnya. Sementara Ki Sumangkar sendiri sempat berbaring untuk beristirahat.

Dalam pada itu, Swandaru yang duduk di serambi sambil memandang pepohonan yang diguncang angin, sampai berangan-angan di luar sadarnya. Ia mempunyai kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Agung Sedayu, saudara tua seperguruannya, ternyata telah terluka di dalam perkelahian itu. Luka yang jika tidak segera jatuh dalam perawatan Kiai Gringsing yang mempunyai pengetahuan cukup tentang obat-obatan, tentu merupakan luka yang berbahaya pula.

“Suatu kenyataan dalam perbandingan ilmu,“ berkata Swandaru kepada diri sendiri, “ternyata aku mempunyai kelebihan dari kakang Agung Sedayu. Aku dapat membebaskan diri dari kedua lawanku. Segores lukapun tidak ada di dalam tubuhku. Bahkan pakaiankupun sama sekali tidak tersentuh senjata. Tetapi Kakang Agung Sedayu telah terluka di punggungnya.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Menurut pendapat Swandaru, ternyata bahwa Agung Sedayu masih terlalu lemah berada di antara kekuatan-kekuatan raksasa termasuk dirinya.

“Kakang Agung Sedayu masih harus menekuni ilmunya tiga atau empat bulan lagi supaya dapat menempatkan diri di antara kami,“ berkata Swandaru di dalam dirinya sendiri, “itupun harus dilakukannya siang dan malam tanpa melakukan tugas-tugas yang lain.”

Bagi Swandaru, luka-luka yang terdapat pada Ki Sumangkar adalah wajar karena kedua lawannya yang bernama Kiai Senadama dan Kiai Jambu Sirik adalah orang-orang sakti yang memang dikirim khusus untuk membunuhnya.

Tetapi kebanggaan itu cukup disimpannya saja di dalam hati. Ia tidak perlu lagi menjajagi ilmu Agung Sedayu seperti saat ia menjajagi ilmu Raden Sutawijaya.

Demikianlah maka setelah beberapa orang hadir di pendapa, maka Raden Sutawijayapun memanggil tamu-tamunya yang berada di gandok. Meskipun Raden Sutawijaya mempersilahkan Ki Sumangkar dan Agung Sedayu untuk beristirahat saja di dalam biliknya, tetapi keduanya berkeras ingin ikut mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh para pemimpin Mataram bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita.

Beberapa pendapat telah dinyatakan di dalam pembicaraan itu. Namun semuanya menghendaki agar Mataram cepat bertindak. Memang Mataram dapat menyerahkannya atau bekerja bersama dengan Untara, tetapi Mataram masih harus mempertanggung jawabkan kedua pusaka yang hilang itu.

“Kita tidak boleh terlambat. Jika pembicaraan mereka kemudian dipindahkan ke Nusakambangan atau tempat-tempat lain yang jauh, maka tugas kita akan bertambah sulit,“ berkata Raden Sutawijaya, “kini mereka berada di lembah itu karena menurut pertimbangan mereka tempat itu merupakan tempat yang paling baik. Mungkin mereka memperhitungkan untuk segera dapat mencapai Pajang dan merampas tahta dan istana. Atau mungkin masih ada perhitungan lain. Namun pada suatu saat, jika keadaan mereka anggap tidak menguntungkan lagi, maka mereka tentu akan meninggalkan lembah itu.”

Para pemimpin Mataram itu mengangguk-angguk. Tidak ada seorangpun yang berselisih pendapat. Bahkan Ki Juru Martani. seorang penasehat yang paling bijaksana di Mataram telah mengambil kesimpulan yang sama pula.

“Nah, jika demikian kita akan mulai,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi sudah barang tentu Mataram tidak dapat berdiri sendiri.”

Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar segera menangkap maksudnya. Karena itu, mereka hanya mengangguk-angguk saja ketika Raden Sutawijaya meneruskan, “Kami di Mataram ternyata masih memerlukan bantuan kekuatan dari orang-orang terdekat. Tetapi bukan pasukan Pajang.”

Swandarupun sadar, bahwa yang dimaksud tentu kekuatan dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, karena Raden Sutawijaya memang pernah mengatakannya meskipun belum bersungguh-sungguh seperti saat itu.

Karena itu, sebelum Sutawijaya mengatakannya, Swandaru telah memotong, “Kami akan membantu Raden. Barangkali di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh cukup kekuatan untuk menyumbat lembah itu dari dua arah.”

“Terima kasih,“ sahut Raden Sutawijaya. Lalu, “Soalnya sekarang, apakah hal itu segera dapat dilakukan.”

“Tentu Raden,” jawab Swandaru, “aku akan kembali ke Sangkal Putung dan menyiapkan pasukan pengawal yang kuat. Karena kini Sangkal Putung telah memiliki kekuatan yang berlipat dari saat-saat kami harus menghadapi Tohpati, yang bergelar Macam Kepatihan itu, sehingga saat itu kami masih memerlukan bantuan prajurit Pajang.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memotong kata-kata muridnya.

“Terima kasih,“ Raden Sutawijayapun sudah memahami sifat dan watak Swandaru, “aku yakin bahwa Sangkal Putung dapat digerakkan setiap saat. Tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Aku kira tidak ada kesulitan apa, meskipun aku masih harus menghadap Paman Argapati.”

“Swandaru,“ potong Kiai Gringsing, “sebaiknya kita membagi kerja. Raden Sutawijaya akan menyiapkan pasukan pengawal Sangkal Putung. Biarlah Ki Waskita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu akan dapat menyelesaikan persoalannya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Terserahlah kepada Raden Sutawijaya.”

Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sesaat, Ia memang melihat sesuatu yang agak suram di wajah orang tua itu. Tetapi Kiai Gringsing masih mempunyai keyakinan, bahwa Ki Waskita tidak akan berkeberatan.

“Mudah-mudahan Ki Waskita dapat memandang masalah ini terpisah dari sikapnya terhadap Radden Sutawijaya yang agak kurang mantap,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Agaknya Kiai Gringsing dapat membaca perasaan Ki Waskita dari kerut di keningnya, meskipun tidak jelas bagi orang lain.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya di dalam hati.

Namun seperti yang diharapkan oleh Kiai .Gringsing, Ki Waskita ingin mencari keseimbangan perasaan menghadapi masalah itu. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Baiklah Kiai. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk membicarakannya dengan Ki Gede.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kita semuanya tentu akan berterima kasih kepada Ki Waskita. Dengan demikian, maka kita akan segera dapat mengatur persiapan untuk melakukannya, sebelum orang-orang di lembah itu menyadari keadaan mereka.”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kapan saja aku harus berangkat, aku akan berangkat.”

“Kita akan berangkat bersama-sama. Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh dan Swandaru ke Sangkal Putung. Tetapi agar perjalanan Swandaru tidak seorang diri, aku akan menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terima kasih guru. Aku senang sekali guru bersedia menyertai perjalananku. Tetapi bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu?”

“Biarlah ia beristirahat di sini bersama Ki Sumangkar. Dengan demikian, maka luka-lukanya akan segera sembuh.”

Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya, “Lukaku tidak seberapa parah. Aku dapat menyertai perjalanan kemanapun. Ke Sangkal Putung atau ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sebaiknya kau beristirahat saja Ngger,“ berkata Ki Waskita, “biarlah kami melakukan tugas ini.”

“Aku tidak apa-apa. Memang aku terluka. Tetapi tidak mempengaruhi perjalananku sekiranya aku ikut serta.”

Ki Waskita termangu-mangu. Ternyata Agung Sedayu berkeras untuk ikut serta. Katanya, “Jika Guru pergi bersama Adi Swandaru, maka biarlah aku menyertai Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan ke Menoreh adalah perjalanan tamasya yang menyenangkan. Lewat bulak-bulak di antara batang-batang padi yang hijau, menyusuri dataran di hadapan sederet pegunungan.”

Raden Sutawijaya yang mengetahui luka di tubuh Agung Sedayu mencoba mencegahnya pula. Tetapi Agung Sedayu lebih senang duduk di punggung kudanya dari pada menunggu dengan gelisah.

“Terserahlah kepada Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian, “jika badanmu merasa cukup kuat. Aku kira, tidak ada keberatannya jika kau berkeras untuk ikut ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Waskita.”

Agung Sedayu memandang Ki Sumangkar sekilas.

Namun Ki Sumangkar yang terluka agak parah itu berkata, “Biarlah aku saja yang tinggal, di sini. Aku benar-benar ingin beristirahat. Tidur sambil merenungi diri.”

Ki Juru tersenyum. Katanya, “Ki Sumangkar akan mempunyai banyak kawan di sini. Jika Ki Sumangkar masih senang bermain macanan, akupun mempunyai kesenangan bermain macanan pula.”

Ki Sumangkarpun tersenyum pula. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat menyertai perjalanan kemanapun juga karena luka-lukanya. Karena itu ia lebih senang tinggal di Mataram untuk memulihkan kekuatannya dan menyembuhkan luka-lukanya. Jika benar-benar akan segera terjadi benturan kekuatan, maka ia berharap bahwa luka-lukanya itu akan sudah sembuh.

Demikianlah, maka telah menjadi keputusan bahwa Swandaru yang disertai oleh Kiai Gringsing akan pergi ke Sangkal Putung, sedangkan Ki Waskita dan Agung Sedayu akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pembicaraan yang agak panjang, maka Raden Sutawijaya mengambil kesimpulan, bahwa kehadiran pasukan Sangkal Putung di mulut lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menyinggung wewenang Untara.

“Tetapi akhirnya ia akan mengetahui juga,“ berkata Swandaru, namun kemudian, “meskipun bagiku, tidak ada keberatannya jika ia menganggap bahwa aku telah melanggar wewenangnya.”

“Ah, jangan begitu Swandaru, “potong Kiai Gringsing, “memang akhirnya Untara akan mengetahuinya juga. Tetapi kita tidak akan berahasia lagi tentang hilangnya kedua pusaka itu justru apabila pusaka itu telah berada di tangan kita. Kita harus menjelaskan bahwa kita tidak dapat menghubungi Untara sebelumnya, justru karena kita menghormati wibawa Sultan Pajang. Hilangnya pusaka itu adalah pertanda yang kurang baik. Bukan pertanda bagi masa depan Mataram, tetapi Mataram tidak dapat ingkar bahwa perawatan pusaka itu masih kurang teliti. Padahal pusaka-pusaka yang hilang itu adalah pusaka yang terpenting bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang.”

Swandaru tidak menjawab karena yang mengucapkan kata-kata itu adalah gurunya, meskipun nampak, bahwa hatinya masih juga bergetar.

“Jadi, apakah yang harus aku lakukan?“ Swandaru justru bertanya.

“Sebaiknya kau bawa pasukanmu ke Mataram lebih dahulu,“ berkata Raden Sutawijaya, “itupun harus kau lakukan dalam gelombang demi gelombang. Sehingga barangkali kau memerlukan waktu yang agak panjang.”

“Semalam?“ potong Swandaru.

“Mungkin. Sampai orang terakhir memasuki kota Mataram. Sementara orang pertama akan berangkat setelah gelap.”

Swandaru mengangguk-angguk, meskipun sebenarnya ia kurang sependapat, bahwa seolah-olah Untara benar-benar merupakan orang yang paling disegani di daerah Selatan itu. Namun ia tidak mau membantah sikap gurunya, apalagi di hadapan orang lain.

Sementara itu, Mataram memutuskan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh apabila Ki Argapati tidak berkeberatan, akan ditempatkan langsung di mulut lembah bagian barat untuk menutup kemungkinan pusaka-pusaka yang sedang mereka cari itu dilarikan ke arah barat.

Setelah semua pembicaraan dan pesan disampaikan, maka mereka mengambil keputusan, bahwa di fajar berikutnya, masing-masing akan berangkat menurut tujuannya. Swandaru dan Kiai Gringsing ke Sangkal Putung, dan Agung Sedayu akan menyertai Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun bagi Ki Waskita yang akan menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh masih harus mengirimkan utusan apabila Ki Gede telah mengambil keputusan, apapun keputusan itu. Bersedia atau tidak bersedia membantu Mataram menemukan pusaka-pusaka yang hilang dan sekaligus menghancurkan sebuah gerombolan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram.

Bagi Kiai Gringsing, maka tugas itu merupakan kewajiban bagi dirinya sendiri, kecuali kesediaannya membantu Mataram. Baginya, orang-orang yang menyebut dirinya berhak mewarisi kerajaan Majapahit itu memang menimbulkan persoalan yang khusus di dalam hatinya.

Demikianlah, maka sejak saat keputusan itu diambil oleh para pemimpin Mataram bersama tamu-tamunya yang datang dari Sangkal Putung itu, maka Mataram mulai mempersiapkan diri untuk suatu perjuangan yang berat. Raden Sutawijaya masih ingin bertemu dengan beberapa orang tawanan yang dibawa oleh Kiai Gringsing meskipun ia sadar, bahwa orang-orang terpenting dari para tawanan itu tentu akan sulit untuk disadap keterangannya.

Meskipun demikian Raden Sutawijaya merasa perlu untuk mencobanya, “Besok, jika Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah ada di perjalanan, maka aku akan memanggil kedua orang itu,” berkata Raden Sutawijaya.

“Mudah-mudahan keterangan yang mereka berikan akan dapat meratakan jalan menuju ke lembah itu,“ sahut Kiai Gringsing.

Hampir semalam suntuk, maka rumah Raden Sutawijaya itu seakan-akan tidak tertidur sama sekali. Orang-orang tua masih saja sibuk dengan uraian dan tanggapan masing-masing. Hanya Ki Sumangkar sajalah yang merasa perlu untuk banyak beristirahat. Meskipun iapun tidak dapat tidur dengan nyenyak bukan karena sakit pada lukanya, tetapi karena kegelisahannya.

Namun demikian menjelang fajar, mereka masih sempat tidur sejenak, sebelum sesaat kemudian mereka telah terbangun karena kokok ayam yang riuh di belakang rumah.

Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Waskita dan Ki Sumangkar telah terbangun pula. Mereka pergi ke pakiwan dan mempersiapkan diri untuk suatu perjalanan, selain Ki Sumangkar.

Setelah minum minuman panas beberapa teguk dan sedikit makanan, maka merekapun segera berangkat menuju ke tujuan masing-masing.

Agung Sedayu yang menyertai Ki Waskita telah dibekali dengan obat bagi lukanya. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun apabila tidak mendapat perawatan yang cukup, maka luka itu akan dapat membengkak dan menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh bagi kesehatan Agung Sedayu.

Namun demikian, agaknya Ki Waskita selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan Agung Sedayu. Mereka tidak berpacu terlalu cepat. Apalagi matahari masih belum menyingsing, meskipun langit di ujung timur sudah menjadi semakin merah.

Dalam pada itu, Swandaru lebih meyakini perjalanannya bahwa ia tidak akan menjumpai kesulitan apapun. Bahkan ia menjadi gembira, bahwa dengan demikian ia akan dapat melihat kemampuan para pengawal Kademangan Sangkal Putung dalam pertempuran yang sesungguhnya.

“Aku akan dapat menunjukkan, bahwa para pengawal Sangkal Putung bukan sekedar pengawal yang hanya dapat menghiasi Kademangannya dengan berdiri di sebelah menyebelah regol,“ berkata Swandaru di dalam hatinya.

Namun ternyata bahwa Swandaru tidak dapat menahan gejolak hatinya yang tersimpan. Karena itulah maka yang dikatakan di dalam hatinya itu akhirnya terlontar pula kepada gurunya.

“Guru,“ katanya, “mungkin akan jatuh korban dalam pertempuran yang mungkin akan terjadi di lembah. Tetapi pertempuran itu merupakan pertempuran yang sangat menarik bagi para pengawal yang belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar pendapat Swandaru itu. Namun iapun menjawab, “Tetapi kali ini kita akan berhadapan dengan lawan yang kuat Swandaru. Kita tidak tahu pasti, betapa besarnya kekuatan yang ada di perut lembah itu.”

“Sangkal Putung akan mengerahkan kekuatannya. Dan kekuatan Sangkal Putung tidak akan dapat diabaikan oleh kekuatan yang manapun,“ berkata Swandaru.

“Aku tahu Swandaru. Tetapi para pengawal muda di Sangkal Putung itu masih belum berpengalaman menghadapi pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, biarlah di antara mereka terdapat para pengawal yang telah banyak makan garamnya pertempuran.”

“Tentu Guru. Para pengawal yang pernah mengalami tekanan Tohpati akan ikut serta. Mereka merupakan otak dari pertempuran yang bakal datang. Tetapi anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang melampaui mereka adalah tangan mereka yang kuat dan trampil mempermainkan senjata.”

Kiai Gringsing mengagguk-angguk. Tetapi ada sesuatu yang agak mencemaskannya. Namun demikian, ia percaya bahwa para pengawal Sangkal Putung yang agak lebih muda dari Swandaru sendiri memiliki kemampuan oleh kanuragan melampaui mereka yang mendahuluinya berada di dalam lingkungan para pengawal.

“Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “meskipun aku dapat berbangga dengan para pengawal, tetapi masih ada yang sebenarnya aku cemaskan.”

“Apa yang kau cemaskan Swandaru?“ bertanya Kiai Gringsing.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Meskipun agak ragu-ragu namun ia menjawab juga, “Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing justru terkejut mendengar jawaban itu. Sambil berpaling memandang wajah Swandaru yang kemerah-merahan oleh cahaya pagi yang mulai memancar di timur ia bertanya, “Kenapa dengan Agung Sedayu? Lukanya tidak begitu mencemaskan. Dalam satu dua hari, luka itu tentu tidak akan berpengaruh lagi, meskipun belum sembuh sama sekali. Jika kemudian lewat sepekan, setelah lembah itu dikepung, ia harus bertempur, luka itu tidak akan mengganggu lagi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang jauh kedepan. Memandang pagi yang cerah seperti cerahnya hari depannya sendiri.

Baru sejenak kemudian ia berkata, “Guru. Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua bagiku dalam perguruan ini. Meskipun jika kemudian ia benar-benar akan kawin dengan adikku, tetapi tetap suadara seperguruanku dalam urutan yang lebih tua,“ Swandaru berhenti sejenak, lalu, “tetapi agaknya kemajuannya tidak sepesat yang kita harapkan. Bagaimana juga, seharusnya Kakang Agung Sedayu mempunyai beberapa kelebihan daripadaku. Dalam keadaan khusus aku wajib minta bantuan, bahkan perlindungannya. Tetapi agaknya perkembangan ilmunya sangat tersendat-sendat, sehingga dalam pertempuran yang baru saja terjadi, terpaksa Kakang Agung Sedayu mengorbankan punggungnya. Untunglah bahwa aku benar-benar sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, sehingga keadaanku ternyata lebih baik dari keadaan Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Swandaru itu. Bahkan kemudian iapun menarik nafas panjang sekali, seakan-akan ia sedang berjuang untuk menenteramkan hatinya. Sementera Swandaru masih meneruskan, “Guru. Ketika aku bertemu dengan Kakang Agung Sedayu di hari-hari pertama, aku sudah mengaguminya. Ia mampu membidik sasaran yang aku lemparkan ke udara. Ia berhasil melampui Sidanti yang sombong dan besar kepala saat itu. Tetapi kini, nampaknya ia justru tidak lagi berhasil meningkatkan ilmunya itu.”

Kiai Gringsing kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah menduga bahwa Swandaru pada suatu saat tentu ingin mendapat kepastian perbandingan ilmunya dengan Agung Sedayu.

Karena itu, maka pertempuran yang sudah terjadi itu ada pula baiknya bagi kedua saudara seperguruan itu. Dengan demikian Swandaru tidak perlu menantang Agung Sedayu seperti yang pernah dilakukannya terhadap Raden Sutawijaya.

“Tetapi,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Swandaru telah mendapat gambaran yang salah. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dari Agung Sedayu. Meskipun Swandaru maju pesat, namun agaknya ia masih selapis di bawah kemampuan Agung Sedayu yang bukan saja secara wadag berhasil menguasai ilmunya, tetapi dalam hubungan antara yang wadag dan yang halus di dalam dan di luar dirinya dalam lingkungan Kuasa Yang Maha Besar.”

Dalam pada itu ada semacam kegelisahan di hati Kiai Gringsing. Dalam perbandingan ilmu, seharusnya Swandaru tidak boleh mempunyai perhitungan yang keliru. Ia harus melihat kenyataan bahwa ia masih belum menyamai kakak seperguruannya.

“Sebaiknya ia mengetahui, dan aku harus berkata berterus terang. Tetapi terhadap Swandaru aku harus sangat berhati-hati dan memilih waktu yang paling tepat. Jika salah paham, maka Swandaru tentu akan memaksa untuk menjajagi ilmu Agung Sedayu pada kesempatan-kesempatan yang mungkin justru merugikan.” berkata Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri. Dan itulah sebabnya, maka Kiai Gringsing hanya menahan kegelisahan itu di dalam hatinya.

Dalam perjalanan selanjutnya, sekali-kali Swandaru masih menyinggung tentang kakak seperguruannya. Namun kemudian sebagian dari pembicaraannya diberatkan pada kemungkinan yang harus dilakukannya untuk menghadapi orang-orang yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

“Kau harus menyadari, betapa besar kekuatan mereka Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “untuk mencegat iring-iringan saat kau kawin, mereka sudah berhasil mengerahkan kekuatan di luar lingkungan mereka sebesar itu. Apalagi induk pasukan mereka yang dipimpin langsung oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dua diantara mereka sudah kita temui. Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik. Keduanya tentu bukan puncak kekuatan yang ada di lembah itu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kitapun memiliki kekuatan yang sangat besar. Selain pasukan pengawal dari Sangkal Putung, akan datang pula pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu kekuatan yang akan langsung memasuki lembah itu adalah pasukan Mataram sendiri.”

Kiai Grinsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku tidak yakin bahwa kekuatan Mataram cukup besar menghadapi mereka.”

“Jadi bagaimana pendapat Guru?”

“Pasukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menorehpun harus bergerak maju memasuki lembah itu dari dua arah. Mereka tidak boleh sekedar menunggu di mulut lembah. Jika demikian, maka apabila terjadi kesulitan dengan pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat segera membantu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ia memang lebih senang berbuat demikian. Jika ia ikut memasuki lembah, maka ia akan dapat langsung berhadapan dengan lawan. Dalam pertempuran itu ia dapat memamerkan kemampuan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang tidak akan kalah dari pasukan pengawal Mataram maupun prajurit-prajurit Pajang.

“Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “aku kira sebaiknya memang demikian. Semakin dekat dan sempit ruang gerak mereka, maka kemungkinan pusaka-pusaka itu lolos menjadi semakin kecil.”

“Tepat Swandaru. Tetapi kaupun harus mempersiapkan pasukanmu sebaik-baiknya.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Pasukan Pengawal Sangkal Putung tentu tidak akan mengecewakan. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman, sedang yang lain adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan jasmaniah dan ilmu kanuragan yang tinggi.”

Kini Gringsing tidak membantah. Ia memang sudah melihat, bahwa kemampuan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung telah meningkat semakin jauh.

Dalam pada itu, maka di arah yang lain, Ki Waskita berkuda bersama Agung Sedayu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak berpacu terlalu cepat, karena punggung Agung Sedayu masih terasa pedih meskipun sudah jauh berkurang.

“Tidak banyak perubahan yang terjadi di sini,“ berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita melanjutkan, “memang agak berbeda dari Kademangan Sangkal Putung.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia memang melihat beberapa perbedaan meskipun baru melihat wajahnya. Di Sangkal Putung nampak betapa gejolak darah muda yang mengalir di tubuh Swandaru yang seolah-olah telah mengaliri Kademangannya pula. Sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh nampaknya semakin lama justru menjadi semakin sepi. Ki Argapati nampaknya telah kehilangan gairahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh sepeninggal anak gadisnya yang kawin dengan Swandaru di Sangkal Putung.

“Paman,“ berkata Agung Sedayu, “rasa-rasanya Tanah Perdikan ini menjadi semakin sepi. Mungkin sekedar perasaanku sajalah yang menjadi sepi, karena aku mengetahui, seolah-olah Ki Argapati telah hidup dalam kesunyian di rumahnya yang besar. Anak gadis satu-satunya tidak ada lagi di rumah itu.”

“Mungkin rumah itu memang menjadi sepi,“ sahut Ki Waskita, “tetapi Ki Argapati sebenarnya dapat mengisi kesepiannya dengan kerja.”

“Mungkin pula sebaliknya,“ sahut Agung Sedayu. “Menoreh benar-benar telah berubah.”

“Ya. Dan sebentar lagi kita akan melihat, apakah Ki Gede Menoreh benar-benar telah berubah.”

Perjalanan itu memang agak terasa lambat karena keadaan Agung Sedayu. Namun dengan demikian mereka seakan-akan mendapat kesempatan untuk melihat keadaan di Tanah Perdidkan Menoreh.

Selama mereka dalam perjalanan setelah mereka menyeberangi sungai Praga, mereka tidak lagi melihat pasukan pengawal melintas di jalan-jalan di antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat parit yang mengering di atas tanggul sebuah sungai kecil.

“Benar-benar suatu kemunduran,” di luar sadarnya Agung Sedayu berguman.

“Apa Ngger?“ bertanya Ki Waskita.

“Parit itu Paman. Seharusnya parit itu tidak akan kering. Berapa kotak sawah telah kehilangan kesempatan panen di musim kemarau.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Di Tanah Perdikan ini ada seorang anak muda yang seharusnya dapat membakar Tanah ini seperti Swandaru di Sangkal Putung.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun sebelum ia bertanya, Ki Waskita sudah menyebutnya, “Apakah Prastawa tidak dapat berbuat seperti Swandaru di Sangkal Putung?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Ada perbedaan yang barangkali menentukan Paman. Prastawa adalah anak Ki Argajaya yang sekarang seakan-akan telah mengasingkan diri oleh penyesalan. Mungkin sikap dan keadaan ayahnya itu sangat berpengaruh atas Prastawa.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Menilik sikap dan watak Prastawa, ia tidak akan banyak terikat oleh keadaan ayahnya. Tetapi agaknya Prastawa memang agak lain dari Swandaru.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia menjadi semakin resah melihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh yang nampak memang agak mundur.

Dalam pada itu, maka perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka benar-benar menjadi prihatin. Tanah Perdikan Menoreh memang mengalami kemunduran. Apalagi dibanding dengan Kademangan Sangkal Putung.

“Jika saatnya Swandaru memerintah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan ini tentu akan segera berubah,“ desis Ki Waskita.

Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat dua ekor kuda yang terikat pada tiang sebuah gardu, sementara dua orang pengawal sedang duduk bersandar sambil terkantuk-kantuk.

“Itulah mereka sekarang,“ berkata Agung Sedayu.

“Perubahan ini terjadi terlalu cepat,“ berkata Ki Waskita “ mudah-mudahan tidak menyeluruh dalam tata kehidupan Tanah Perdikan ini. Menilik sawah yang hijau, agaknya para petani masih tetap rajin pada kerja mereka di sawah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar dan cemas. Sebuah pertanyaan telah melonjak di dalam hatinya, “Apakah Tanah Perdikan ini masih sanggup melakukan kerja besar menghadapi orang-orang di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?”

Kedua pengawal yang berada di gardu itu sama sekali tidak menghiraukannya. Agaknya mereka adalah dua orang pengawas yang bertugas untuk meronda. Tetapi mereka lebih senang duduk terkantuk-kantuk di gardu daripada berkeliling di atas punggung kuda.

Agaknya ketenangan di Tanah Perdidkan Menoreh telah membantu membuat para pengawal bertambah malas. Mereka merasa tidak perlu lagi bekerja keras, karena tidak ada persoalan-persoalan yang harus mereka pecahkan.

Akhirnya, Ki Waskita dan Agung Sedayu telah memasuki padukuhan induk. Beberapa orang yang melihatnya segera menyapanya. Masih tetap ramah dan dengan wajah yang jernih.

Ternyata kedatangan kedua orang itu memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh telah membuat para pangawal yang berada di gardu di depan regol halaman, menjadi terkejut karenanya. Salah seorang dari mereka dengan serta merta segera melaporkannya kepada Ki Gede yang kebetulan ada di rumah, sementara yang lain telah mempersilahkan keduanya memasuki halaman.

Seorang pengawal dengan tergopoh-gopoh telah menerima kendali kuda mereka dan membawa ke sisi halaman.

Berita kedatangan keduanya telah diterima oleh Ki Gede dengan perasaan yang sangat gembira. Rasa-rasanya sudah lama ia terpisah dari sebuah lingkungan yang tidak begitu jelas baginya. Dan kini, ada seseorang yang datang menengoknya dalam keterasingan itu.

Dengan tergesa-gesa Ki Gede turun menjemput tamunya. Sebuah tawa yang riang menghias bibirnya.

“Marilah. Masuklah naik kependapa. Aku senang sekali melihat Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sudi mengunjungi tempat yang senyap ini.”

Ki Waskitapun tertawa juga, sementara Agung Sedayu tersenyum meskipun terasa sesuatu bergejolak di dalam hati.

Rumah Ki Gede Menoreh memang memberikan kesan kesepian dan keterasingan.

Kegembiraan Ki Gede nampak pada sikap, wajah dan kata-katanya. Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Ki Gedepun sambil tertawa telah bertanya tentang keselamatan kedua tamunya dan keluarga yang mereka tinggalkan.

“Syukurlah jika semuanya selamat,“ berkata Ki Gede kemudian. Namun katanya selanjutnya, “Meskipun demikian, kedatangan Ki Waskita hanya berdua saja dengan Agung Sedayu membuat aku agak berdebar-debar juga. Kenapa tidak bersama Kiai Gringsing dan Swandaru.”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Kami memang sudah menduga bahwa hal itu dapat membuat Ki Gede menjadi cemas. Tetapi tidak ada persoalan apapun yang perlu dicemaskan.”

“Jadi, bagaimana dengan Swandaru?“

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Gede. Sebenarnya aku ingin bercerita agak panjang. Tetapi yang terpenting sajalah yang perlu Ki Gede ketahui.”

Tiba-tiba saja dahi Ki Gede berkerut. Sementara Ki Waskita langsung menceritakan keperluannya datang ke Tanah Perdikan Menoreh.

“O,“ Ki Gede mengangguk-angguk, “baiklah. Baiklah. Jika persoalannya begitu gawat, biarlah nanti setelah Ki Waskita dan Agung Sedayu beristirahat, kita akan membicarakannya.“

Dengan demikian maka Ki Gede telah menunda pembicaraan. Apalagi ketika kemudian hidangan telah disuguhkan.

Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sempat beristirahat di gandok kanan. Ia masih sempat mempergunakan waktunya untuk minta agar Ki Waskita mengobati lukanya agar cepat sembuh dan pulih kembali. Apalagi Agung Sedayu sadar, bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi tugas yang gawat dan berat.

Baru di sore hari, Ki Gede Menoreh memerlukan berbicara dengan sungguh-sungguh bersama Ki Waskita dan Agung Sedayu. Namun agaknya Ki Gede sudah menduga, tugas apa yang akan disangkutkan kepadanya menghadapi perkembangan keadaan.

“Aku tidak akan ingkar,“ berkata Ki Argapati, “semuanya memang harus dilakukan. Lambat atau cepat. Dan agaknya kini telah sampai waktunya untuk mulai dengan pekerjaan besar itu.”

“Ya Ki Gede. Agaknya Mataram tidak akan dapat menunda lagi agar pusaka itu tidak terlepas dari tangannya.”

“Baiklah. Apakah yang harus aku lakukan?”

“Menyumbat mulut lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu dari arah barat.”

Ki Gede Menarik nafas dalam-dalam. Untuk tugas itu diperlukan kekuatan yang cukup. Bukan saja jumlahnya, tetapi juga kemampuan setiap orang dalam pasukan itu.

Agaknya Ki Waskita melihat kebimbangan di hati Ki Gede. Bukan karena ia segan melakukannya atau bahkan mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi ada semacam pengakuan bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami banyak kemunduran yang cepat dalam waktu singkat.

“Ki Waskita,“ berkata Ki Gede dengan nada yang datar, “aku tidak akan ingkar seperti yang aku katakan. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kemampuan pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah mundur. Aku sudah terlalu tua untuk berbuat terlalu banyak. Apalagi kini aku hanya seorang diri.”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Ki Gede. Kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak surut. Mungkin yang terjadi adalah kemunduran gairah perjuangan mereka menghadapi kehidupan. Justru karena Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin tenang dan tenteram.”

“Mungkin Ki Waskita. Tetapi kesendirianku juga berpengaruh atas kemunduran itu.”

“Bagaimana dengan Prastawa?,“ bertanya Agung Sedayu dengan serta merta.

“Ia adalah anak yang baik. Tetapi ia memerlukan banyak sentuhan. Ia masih terlalu muda, sehingga masih banyak harus mendapat tuntunan dalam banyak hal.”

Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak lagi tentang Prastawa. Ia masih belum tahu pasti, bagaimanakah sikap Ki Gede sesungguhnya terhadap anak muda yang pernah memusuhinya itu, meskipun dalam saat terakhir nampaknya ia sudah menjadi berangsur jinak.

“Ki Gede,“ berkata Ki Waskita kemudian, “tugas ini harus kita laksanakan dalam waktu singkat. Jika peristiwa Ki Sumangkar itu sampai pada pimpinan orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu, maka persoalannya akan berkembang dengan cepat.”

“Baiklah Ki Waskita. Aku akan mencoba bekerja dengan cepat. Tetapi aku memerlukan bantuan. Mungkin Angger Agung Sedayu dapat membantuku.”

“Tentu,“ jawab Ki Waskita, “jika Angger Agung Sedayu setuju, biarlah ia tetap disini. Aku akan kembali ke Mataram uantuk mendapatkan perintah terakhir, karena untuk melakukan satu gerakan diperlukan satu perintah. Pasukan Kademangan Sangkal Putung akan dibawa ke Mataram lebih dahulu sebelum menuju ke mulut lembah itu di sebelah timur.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar