Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 062

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 062
Buku 062
“Jangan terlampau memanjakan perasaanmu. Biarkan Sedayu pergi. Memang tidak ada keharusan untuk menuntun kuda di sepanjang lorong padukuhan. Karena itu, ia melakukannya. Petugas-petugas di regol pun tidak melarangnya atau memperingatkannya.”

“Persetan,” geram prajurit muda itu, “tetapi ia sudah menghina aku.”

Juga akan menjawab. Tetapi kedua kawan prajurit itu berkata, “Ia menjadi kambuh lagi. Bukankah memang begitu sifatnya?”

“Tetapi ia harus dicegah,” sahut Juga.

“Kami sudah mencoba, tetapi ia tidak menghiraukan.”

Juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepada Sedayu. Kami akan menjadi saksi apa yang telah terjadi sebenarnya di sini. Kalau kau tidak bersedia diperlakukan demikian, terserahlah kepadamu.”

“He, apa maksudmu?” bertanya prajurit muda itu.

“Kalian adalah anak-anak muda. Agaknya kalian ingin menyelesaikan persoalan yang paling kecil sekali pun dengan cara anak muda.”

“Tetapi aku prajurit.”


“Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kalau kau mau menunjukkan kemudaanmu, kekuatanmu, lepaskan dahulu sebutan itu,” jawab Juga. Lalu, “Aku juga seorang prajurit. Tetapi aku menganggap sikapmu keliru.”

“Persetan,” dan tiba-tiba prajurit muda itu memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang seakan-akan membara, ”aku akan menghajarmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedatangannya di Jati Anom pagi ini kurang meuguntungkannya sehingga ia harus bertengkar lebih dahulu dengan seorang prajurit.

Tetapi tanpa diduga-duga Juga berkata, ”Kalau kau menganggap perlu membela diri, lakukanlah Sedayu. Kami sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Mungkin ia masih ingin mengukur, sampai di mana kemampuannya yang sebenarnya.”

Prajurit muda itu berpaling. Dipandanginya Juga dengan tajamnya. Tetapi Juga agaknya acuh tidak acuh saja. Sedang kedua kawannya yang lain justru tersenyum-senyum. Salah seorang berkata, “Anak itu memang anak bengal.”

Juga bergeser mendekatinya sambil berbisik, “Tetapi kali ini ia akan menyesal.”

Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya. ”Kenapa?” hampir berbareng mereka bertanya.

Tetapi Juga tidak menjawab. Sebuah senyum yang aneh terbayang di bibirnya.

Kedua prajurit itu pun menjadi heran. Sejenak mereka memandang wajah Juga yang aneh.

Salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, “Kau kenal anak itu?”

“Anak itu kawanku berkelahi sejak kecil. Dan aku tidak pernah kalah. Apalagi ia penakut dan cengeng di masa kanak-kanak.”

“Apakah sekarang ia masih seorang penakut dan cengeng?”

”Lihat sajalah.”

Kedua prajurit itu terdiam. Mereka memandang kedua anak muda yang saling berhadapan. Yang seorang berpakaian prajurit, yang lain tidak.

Ternyata beberapa orang yang kebetulan lewat di lorong itu menjadi tertarik pula. Mereka semula tidak menyangka bahwa prajurit-prajurit itu telah bertengkar di pinggir lorong. Namun orang-orang yang lewat kemudian mengetahui, bahwa ternyata keduanya menjadi semakin tegang.

Tetapi tidak seorang pun yang berani menegurnya. Mereka hanya memandang dari kejauhan dengan kecemasan. Sekali-sekali mereka memandang prajurit-prajurit yang berdiri didekat kedua anak-anak muda yang sedang bertengkar itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.

“Aku masih memberi kau kesempatan,” bentak prajurit yang sedang bertengkar dengan Agung Sedayu itu, “tetapi kalau kesempatan sekali ini kau sia-siakan, aku akan bertindak keras.”

Agung Sedayu tidak menjawab.

“Berjongkok dan aku akan menginjak ikat kepalamu yang harus kau bentangkan di tanah.”

Mata Agung Sedayu menjadi merah. Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterimanya. Meskipun demikian ia tidak berbuat sesuatu selain berdiri tegak di tempatnya.

“Kau tidak mau melakukan? Tidak mau? Aku menghitung sampai tiga.”

Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak.

“Satu, dua,” prajurit itulah yang menjadi tegang sekali, sedang Agung Sedayu sama sekali tidak bergerak.

“Tiga,” teriak prajurit itu.

Tetapi Agung Sedayu tetap di tempatnya.

Prajurit itu menjadi marah sekali. Sambil menggeram ia melangkah semakin dekat, ”Kau memang gila.”

Karena Agung Sedayu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, maka prajurit itu pun maju semakin dekat.

Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sambil memegang kendali kudanya ia berkata, ”Aku akan pergi saja. Aku tidak akan melayani perbuatan yang tidak pada tempatnya ini.”

”Gila, kau tidak akan dapat pergi.”

Agung Sedayu ternyata tidak sempat meloncat ke punggung kudanya karena prajurit itu tiba-tiba saja meloncat menyerangnya.

Kini tidak ada jalan lain bagi Agung Sedayu selain mempertahankan dirinya.

Sebagai seorang anak muda yang memiliki pengalaman yang cukup serta berbekal ilmu yang cukup pula. Agung Sedayu dapat menilai bobot dari serangan lawannya. Karena itu, tanpa melepaskan kendali kuda yang dipeganginya dengan tangan kiri, tangan kanannya menangkap tangan prajurit yang terayun ke keningnya. Dengan satu putaran, maka tangan itu pun terpilin ke belakang oleh putaran tubuhnya sendiri. Sedang genggaman tangan Agung Sedayu serasa himpitan besi yang meretakkan tulang-tulansnya.

Tiba-tiba saja prajurit itu berteriak kesakitan. Ia pernah mengalami latihan yang berat dan pendadaran sebelum menjadi seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba saja tangannya sekali terpilin ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.

Sambil menekankan tangan itu ke punggungnya Agung Sedayu berdesis, ”Apakah kau masih memerlukan ikat kepalaku?”

“Aduh. Jangan kau patahkan tanganku. Aduh.”

“Jawab pertanyaanku.”

“Aduh, gila kau. Juga, he, kenapa kalian diam saja?”

Kedua kawannya terkejut melihat ketangkasan Agung Sedayu yang masih tetap memegang kendali kudanya. Tetapi ketika keduanya mulai melangkah, Juga berkata, ”Biarkan ia mengenal anak muda yang akan dihinakan itu.”

“Setan kau, Juga,” teriak prajurit yang kesakitan itu.

“Salahmu. Aku sudah memperingatkan.”

Ketika Agung Sedayu menekan sedikit lagi, terdengar ia mengaduh semakin keras.

“Aku akan mematahkan tangan ini,” desis Agung Sedayu.

“Jangan, jangan.”

“Nah, kau belum menjawab. Apakah kau masih memerlukan ikat kepala?”

Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka tangan Agung Sedayu semakin keras menekan.

“Jawablah.”

“Ya, ya, eh maksudku tidak. Aku tidak akan……,” ia menyeringai semakin lebar. ”Juga, kau gila.”

“Jangan mengharap bantuan orang lain. Kau sudah memulainya. Kau juga yang harus menyelesaikan,” jawab Juga.

”Gila. Tetapi kau akan dihukum karena kau melawan seorang prajurit. Kawan-kawanku akan datang menghancurkan kau atau kau akan dibawa menghadap senapati. Mungkin kau dapat digantung karena perlawananmu ini. Kau sudah memberontak.”

“Aku tidak peduli. Tetapi jawab pertanyaanku.”

Oleh tekanan yang semakin keras, prajurit itu berteriak, ”Tidak, aku tidak memerlukannya lagi.”

Agung Sedayu pun kemudian mendorong prajurit itu sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika tangan itu dilepaskan.

“Setan alas!” prajurit itu mengumpat dengan geramnya. Wajahnya menjadi merah. Hampir saja ia menarik kerisnya. Tetapi Agung Sedayu sudah meloncat ke atas punggung kudanya dan pergi meninggalkannya.

Tetapi prajurit muda yang ditinggalkannya itu mengumpat-umpat. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa dengan satu gerakan yang sederhana, bahkan dengan satu tangan, sedang tangan yang lain masih memegang kendali kuda, ia sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi.

“Jangan lari, Pengecut!” teriak prajurit itu.

Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.

“Kita berkelahi dengan senjata.”

Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin jauh.

Karena Agung Sedayu tidak ada lagi, maka kemarahan prajurit muda itu kini ditujukan kepada Juga, yang seolah-olah telah menghalang-halangi kawan-kawannya untuk membantu.

”Kau memang gila, Juga. Kau senang melihat aku dihina orang di padukuhan ini? Apakah karena kau sudah mengenalnya sehingga kau lebih dekat dengan orang gila itu daripada kesetia-kawananmu terhadap sesama prajurit.”

“Jadi, maksudmu?”

“Hajar anak itu sampai biru bengap. Kenapa kau cegah kawan-kawan untuk membantu aku?”

“Kau menghina kedudukanmu sendiri. Kau menghina harga diri prajurit Pajang. Apakah prajurit Pajang hanya dapat berkelahi dengan curang? Kalau kau memang jantan, kau sendirilah yang harus menyelesaikannya. Bukan aku, bukan orang lain, dan bukan beramai-ramai seluruh pasukan segelar sepapan.”

“Persetan. Ternyata kau bukan kawan yang baik bagi kami. Kalau begitu, apakah kau akan menggantikannya?”

“Maksudmu berkelahi melawan kau?” bertanya Juga.

“Ya.”

“Ah,” salah seorang prajurit yang lain mencegah, ”persoalannya sudah lain sama sekali. Sudahlah. Kita bukan anak-anak lagi.”

“Tetapi ia bersikap bermusuhan terhadapku. Ia berpihak pada anak gila itu.”

“Aku memang lebih baik berkelahi dengan kau daripada melawan anak itu. Bukan karena aku kawannya sejak kecil, tetapi kami berempat tidak akan dapat menang. Bersenjata atau tidak bersenjata. Apalagi aku sama sekali tidak ingin membuat persoalan ini berkepanjangan. Bahkan mungkin kita akan dapat dilemparkan dari tugas keprajuritan.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.

“Pertama, kaulah yang bersalah. Kau bersikap kasar dan seolah-olah kau adalah onng yang paling berkuasa.”

“Bohong!”

“Tunggu. Aku belum selesai. Yang kedua, aku tidak mau berhadapan dengan senapati daerah selatan.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya, ”Gila, kenapa mesti berhadapan dengan senapati kita.”

“Anak itu, anak yang akan kau hinakan itu adalah Agung Sedayu. Ia anak Jati Anom.”

“Aku sudah tahu.”

“Senapati kita juga anak Jati Anom.”

“Aku sudah tahu.” Tetapi prajurit itu kemudian bertanya, ”Apakah unsur kampung halaman sangat mempengaruhi perasaan dan sikap senapati, sehingga apa pun persoalannya ia akan berpihak kepada orang se padukuhan?”

“Tidak. Bukan begitu. Ia adalah seorang yang berdiri tegak di atas tugas keprajuritannya. Tetapi seperti yang aku katakan, justru karena itulah ia akan bertindak terhadap kita, apabila kila bersalah, meskipun kita seorang prajurit. Tetapi lebih daripada itu, kita sudah bersalah terhadap Agung Sedayu.”

“Kenapa dengan Agung Sedayu. Apakah kelebihannya?”

“Agung Sedayu adalah adik senapati itu. Agung Sedayu adalah adik seayah dan seibu dari Untara.”

“He,” mata prajurit muda itu terbelalak karenanya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada yang sumbang ia berkata, ”Ah, kau bohong. Kau hanya akan menakut-nakuti aku.”

“Aku tidak berbohong. Keduanya adalah kawanku bermain. Dan keduanya adalah anak-anak Jati Anom ini. Selebihnya kau tahu sendiri. Dengan sebelah tangannya ia membuatmu tidak berdaya.”

Prajurit itu sejenak mematung. Dan Juga berkata selanjutnya, ”Untunglah bahwa anak itu adalah anak yang paling sabar yang pernah aku kenal. Kalau saja ia berbuat sesuatu atasmu, maka aku kira kau tidak akan mengenal matahari mencapai puncak di hari ini. Kalau saja sifat-sifat Agung Sedayu itu sama seperti Untara, maka kau pasti sudah digilasnya. Bukan saja kau, tetapi kami yang lain ini juga.”

Tubuh prajurit muda itu tiba-tiba saja menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia berkata, ”Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku sejak mula-mula?”

“Aku datang setelah kalian bertengkar. Dan aku tahu sifat-sifatmu sebelumnya, sehingga sekali-sekali kau memang perlu mendapat peringatan. Kali ini kau bertemu dengan adik Untara itu.”

“Tetapi, tetapi bagaimana dengan senapati? Apakah benar-benar aku akan diusir dari tugas keprajuritan?”

Juga menggelengkan ke palanya. Katanya, ”Kalau kau jera melakukan tindakan-tindakan yang tercela itu, kau tidak akan diapa-apakan. Aku kira Agung Sedayu bukan orang tumbak cucukan. Ia tidak akan melaporkannya kepada kakaknya. Bahkan mungkin ia akan berusaha melindungimu. Ia memang anak yang aneh menurut pendengaranku dan aku sudah melihatnya sendiri saat ini.”

Prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih membayang kegelisahan di wajahnya. Sekali ia menelan ludahnya, namun ia tidak dapat segera menenangkan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih berkata, “Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku.”

“Suatu pelajaran buatmu,” sahut Juga.

Dalam pada itu Agung Sedayu telah sampai di depan regol rumahnya. Dengan dada yang berdebar-debar, ia pun turun dari kudanya, dan dituntunnya mendekati regol itu. Beberapa orang prajurit yang berada di regol itu memandanginya dengan heran. Seorang dari prajurit-prajurit itu yang sedang bertugas jaga sambil membawa senjata, melangkah maju menyongsongnya.

“Kau akan kemana, anak muda?” bertanya prajurit itu.

“Aku akan masuk ke halaman rumah ini.”

“Apakah kau mempunyai suatu keperluan?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Mereka pasti belum tahu bahwa ia adalah pemiiik rumah itu bersama-sama dengan Untara yang mempergunakannya sebagai tempat tinggal para pemimpin pasukan Pajang di Jati Anom. Karena itu barangkali lebih baik langsung mengatakan siapakah ia sebenarnya supaya tidak timbul lagi salah paham.

“Apakah keperluanmu?” prajurit itu mendesak.

“Aku akan menemui Kakang Untara.”

”Kau akan menemui Senapati?”

“Ya.”

“Apakah keperluanmu?”

“Keperluan pribadi. Aku adalah adiknya.”

Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka yang sedang bertugas itu pun kemudian bertanya. ”Apakah kau benar-benar adik Senapati Untara?”

“Ya. Aku adik sekandungnya. Rumah ini adalah rumah kami. Dan aku akan masuk menemuinya.”

Tetapi agaknya prajurit-prajurit itu masih ragu-ragu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba mereka mendengar seorang memanggilnya, ”He, kau Sedayu?”

Semua orang berpaling. Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari mendapatkan Agung Sedayu.

“Bukankah kau Agung Sedayu?” prajurit itu mencoba meyakinkan setelah ia berdiri berhadapan.

“Ya. Aku Agung Seuayu. Kau Surat? Kau juga menjadi prajurit?”

“Ya. Aku juga menjadi prajurit.”

“Juga pun menjadi prajurit.”

“Ya, Juga menjadi prajurit juga. Di mana kau selama ini?”

“Aku pergi bertualang.”

“Dan sekarang kau pulang?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara ita Surat berkata kepada kawannya, ”Inilah Agung Sedayu. Adik sekandung Senapati kita.”

Prajurit-prajurit yang berdiri di pintu regol itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini tidak ragu-ragu. Salah seorang dari mereka ternyata telah mengenalnya.

“Aku akan menemui Kakang Untara.”

“Aku lihat ia ada di dalam. Masuklah.”

“Terima kasih.”

Agung Sedayu pun kemudian sambil menganggukkan kepalanya menuntun kudanya masuk ke halaman rumahnya yang sudah agak lama ditinggalkannya.

“Berikan kudamu,” berkata Surat.

Agung Sedayu memandanginya sejenak, lalu menyerahkan kendali kudanya kepada prajurit itu.

Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa. Ketika ia sampai di serambi pendapa ia melihat seorang perwira melintas. Sesaat perwira itu berhenti memandangnya. Tetapi perwira itu tidak menyapanya. Ia langsung melangkah meninggalkan pendapa.

Agung Sedayu menarik nafas. Ada juga perwira yang tinggi hati. Atau, karena ia menjadi seorang perwira, maka ia menjadi tinggi hati.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit-prajurit yang bertugas di regol memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.

“Aku yang memiliki rumah ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hati. ”Aku dapat berbuat apa saja sekehendakku.”

Maka Agung Sedayu pun segera melangkah naik ke pendapa. Diamat-amatinya perhiasan yang melekat di dinding yang menyekat pendapa itu dengan pringgitan. Sebuah perisai, tombak pendek yang bersilang, dan sebuah busur.

Tetapi letak hiasan itu sama sekali tidak memberikan keseimbangan bentuk bagi keseluruhan dinding itu. Agaknya senjata-senjata itu asal saja digantungkan, tanpa menghiraukan letak dan bidang.

Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar pintu berderit. Seorang perwira melangkah keluar dari pintu pringgitan. Perwira yang dilihatnya melintas tanpa menyapanya tadi.

Sejenak perwira itu berdiri keheran-heranan. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Baru kemudian ia bertanya, ”He, kenapa kau ada di situ?”

Agung Sedayu memandangnya sejenak. Lalu menjawab, ”Aku akan bertemu dengan Kakang Untara.”

“Siapa kau?”

“Agung Sedayu.”

“Siapa Agung Sedayu?”

“Adik Untara.”

Perwira itu memandanginya sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Jadi kaulah yang bernama Agung Sedayu. Adik Untara yang dikabarkan berada di Mataram?

Dada Agung Sedayu berdesir. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia menjawab tegas, ”Ya. Aku baru datang dari Mataram.”

“Bagus. Kau pasti seorang prajurit atau pengawal tanah yang baru dibuka itu. Benar?”

“Apakah Kakang Untara berkata begitu?”

Perwira itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera melangkah pergi.

Agung Sedayu menjadi terheran-heran melihat tingkah perwira itu. Ia belum pernah mengenalnya dan sebaliknya. Tetapi perwira itu sikapnya sama sekali tidak menyenangkannya. Bahkan setelah ia mengetahui, bahwa ia adalah adik Untara.

Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Kini ia tidak mau lagi berdiri termangu-mangu di pendapa. Meskipun semula ia ragu-ragu namun kemudian dibulatkannya hatinya, untuk langsung masuk ke pringgitan.

Setelah menenangkan hatinya sejenak, maka ia pun melangkah dengan hati tetap menuju ke pintu pringgitan.

Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Di muka pintu ia berpapasan dengan seorang perwira yang lain. Perwira itu pun agaknya terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu ia bertanya dengan dahi yang berkerut-merut, ”Siapa kau?”

Agung Sedayu tidak mau berputar-putar lagi. Langsung ia menjawab, ”Aku Agung Sedayu. Adik Kakang Untara.”

“O, jadi kau yang bernama Agung Sedayu?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu, ”Ya. Akulah Agung Sedayu.”

Tiba-tiba saja di luar dugaan Agung Sedayu perwira itu mempersilahkan dengan ramahnya. ”Marilah. Marilah. Kakakmu sudah menunggu. Silahkan masuk ke pringgitan. Aku akan memanggilnya. Ia berada di belakang.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, ”Terima kasih.”

Ketika perwira itu kemudian masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu menyesal karenanya, bahwa ia bersikap terlampau angkuh justru kepada perwira yang ramah. Ia menyangka, bahwa perwira ini pun akan bersikap angkuh seperti yang dijumpainya pertama-tama.

Sejenak kemudian pintu dari ruang dalam itu pun terbuka. Seorang anak muda yang tegap dan berwajah dalam melanggkahi tlundak pintu sambil memandang Agung Sedayu dengan tajamnya.

“Kakang Untara,” Agung Sedayu berdesis.

“Kau Sedayu,” suara Untara dalam.

Agung Sedayu pun kemudian dengan serta-merta mendapatkan kakaknya, yang kemudian mencengkam pundaknya. Sambil mengguncang-guncang pundak adiknya Untara bertata, ”Akhirnya kau pulang juga, Sedayu. Kau bertambah dewasa dan sorot matamu menjadi bercahaya. Aku sudah cemas bahwa aku akan kehilangan seorang adik. Tetapi ternyata bahwa kau benar-benar datang kepadaku lagi.”

Dada Agung Sedayu berguncang mendengar kata-kata kakaknya. Tetapi ia mencoba untuk tidak mempersoalkannya di hatinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dan Agung Sedayu tahu benar bagaimana kakaknya sangat mengharap kedatangannya. Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Satu-satunya saudaranya yang sejak kecil selalu dilindunginya, dibimbing dan diharapkannya untuk menjadi seorang anak muda yang baik. Kebanggaannya melonjak sejak Agung Sedayu berhasil memecahkan kungkungan ketakutan yang membalut jiwanya pada waktu itu, pada waktu ia menitikkan darahnya untuk yang pertama kali di arena perang tanding melawan Sidanti, meskipun ia masih belum berbuat sebaik-baiknya.

Karena itu untuk sesaat Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya kakaknya mengguncang-guncangnya. Dan Untara berkata seterusnya, ”Badanmu bertambah kokoh. Pasti hasil tempaan dukun tua yang baik itu. Aku berharap bahwa kau benar-benar akan menjadi seorang prajurit yang baik.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa jantungnya menjadi semakin berdebaran.

“Duduklah Sedayu,” berkata Untara kemudian.

“Terima kasih, Kakang,” jawab Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun kemudian duduk di pringgitan bersama Untara dan seorang peiwira yang memanggil Untara.

“Inilah adikku yang aku katakan itu,” berkata Untara kepada kawannya.

“Ya. Aku sudah bertanya kepadanya, dan ia mengatakan bahwa ia adalah adikmu.”

“Ia memang mempunyai sifat-sifat aneh.”

Agung Sedayu hanya dapat tersenyum ketika perwira itu tersenyum pula.

”Kapan kau datang dari petualanganmu, Sedayu?” bertanya Untara kemudian.

“Semalam, Kakang.”

Untara mengerutkan keningnya, ”Kau langsung pergi ke Sangkal Putung?”

”Ya. Karena kami pergi bersama anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Dan pagi-pagi aku sudah berangkat dari Sangkal Putung kemari. Tetapi aku tiba-tiba saja ingin melihat rumah Ki Tanu Metir, sehingga aku agak siang juga sampai di sini.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tanpa diduga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, ”Dan kau memerlukan berkelahi juga sebentar.”

“O.“

“Laporan itu sudah aku dengar.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Begitu cepat laporan itu sampai kepada kakaknya. Ia tidak melihat seorang pun yang melaporkannya. Dan ia sendiri pergi berkuda. Tetapi ternyata laporan itu datang lebih dahulu daripadanya.

”Kau heran, dari mana aku mendengar?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kami mempunyai jarring-jaring yang rapi di segala bidang. Hubungan yang cepat dan pengawasan yang rapat. Itulah sebabnya, setiap persoalan segera sampai padaku. Meskipun kau berkuda, tetapi seseorang yang berjalan memintas, lewat pekarangan akan datang lebih dahulu daripadamu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Tetapi kau sudah bersikap benar. Prajurit-prajurit muda itu memang perlu mendapat peringatan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kakaknya tidak marah kepadanya dan tidak menghubungkan persoalan itu dengan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya memang tidak mempunyai hubungan apa pun.

Sejenak kemudian beberapa orang perrwira pembantu Untara pun datang menemui Agung Sedayu pula. Dua orang yang sudah setengah umur, sedang dua orang yang lain masih muda. Tetapi Agung Sedayu tidak melihat perwira yang bersikap acuh tidak acuh kepadanya.

Setelah memperkenalkan diri mereka masing-masing, maka perwira itu pun segera bertanya beberapa hal tentang tamunya. Dan mau tidak, mau pembicaraan mereka pun berkisar pada perjalanan Agung Sedayu dan tanpa dapat menghindar lagi mereka sampai juga pada daerah yang sedang dibuka itu.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sebelum ia dapat berbicara dengan kakaknya sendiri, maka ia sudah harus berbicara dengan beberapa orang sekaligus.

“Apakah Mataram sudah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitannya?” bertanya salah seorang dari perwira itu.

“Belum seluruhnya,” jawab Agung Sedayu, ”masih banyak yang harus diatasi.”

“Apa saja yang masih menghambat perkembangan daerah itu?”

“Masih banyak. Daerah yang keras dan hutan yang lebat.”

Dan tiba-tiba saja seorang perwira yang sudah setengah umur bertanya, ”Bagaimana dengan hantu-hantu itu?”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata Pajang banyak mengetahui tentang perkembangan daerah baru itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi termangu-mangu sejenak.

“Bukankah orang-orang yang bekerja di Alas Mentaok selalu diganggu oleh hantu-hantu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Mungkin akan segera dapat diatasi.”

Perwira itu mengerutkan keningnya, ”Apakah Mataram dapat menemukan cara untuk melawan hantu-hantu itu?”

Agung Sedayu memandang Untara sejenak, tampak sebuah senyum yang membayang di bibirnya. Karena itu maka Agung Sedayu berkata, ”Laporan itu pasti sudah sampai di sini. Apa yang sebenarnya telah terjadi di Mataram.“

Perwira itu pun memandang wajah Untara pula. Keduanya tiba-tiba saja tersenyum hampir berbareng. Dengan demikian maka Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa Pajang telah mendapat laporan tentang segala, peristiwa yang terjadi di Mataram.

“Laporan itu belum lengkap,” berkata Untara, “tetapi sebagian memang sudah ada pada kami. Di samping harus mengatasi kesulitan yang timbul, dari alam yang keras, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan masih harus melawan gangguan hantu-hantu. Tetapi agaknya hantu-hantu itu lambat laun akan berhasil didesak ke luar dari Alas Mentaok. Bukankah begitu? Meskipun dengan demikian, belum berarti semua kesulitan dapat diatasi.”

Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan ia berharap bahwa demikianlah hendaknya sehingga ia tidak perlu memberikan keterangan tentang Mataram. Tetapi ternyata justru Untara-lah yang kemudian bertanya, ”Agung Sedayu, bagaimana pendapatmu tentang usaha Raden Sutawijaya itu? Apakah akan berhasil seperti yang dikehendakinya atau tidak?”

Agung Sedayu berpikir sejenak, namun kemudian ia menjawab, ”Aku tidak dapat mengatakan, Kakang. Aku tidak tahu sampai ke manakah rencana Raden Sutawijaya itu. Apakah ia akan sekedar membangun sebuah padukuhan yang besar atau sebuah kota atau yang lainnya. Kalau menurut pendengaranku Mataram itu sudah diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan, maka kemungkinan Raden Sutawijaya akan mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Tetapi Pati berkembang ke arah yang lain. Pati akan menjadi sebuah Kadipaten.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, ”Bagaimana menurut pendapatmu Sedayu, apakah Mataram mempunyai kemungkinan yang baik di hari depan.”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan dengan hati-hati ia menjawab, ”Masih tergantung sekali kepada banyak hal, Kakang. Tetapi aku tidak banyak mengetahui. Aku tidak mengetahui siapa-siapa yang berdiri di belakang Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka orang-orang yang cukup mampu membantu Ki Gede memperkembangkan daerah itu. Juga masih tergantung sekali kepada daerah yang ada di sekitamya. Terutama daerah-daerah yang lebih dahulu menjadi ramai.”

Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berbuat dengan hati-hati sekali. Mungkin karena di antara mereka terdapat beberapa orang yang belum dikenalnya dengan baik.

Tetapi tanpa diduga-duga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, ”Mudah-mudahan Ki Gede berhasil menundukkan alam yang keras itu. Mataram sudah jauh ketinggalan dari Pati.”

Sejenak Agung Sedayu terpukau oleh kata-kata itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ketegangan di dalam diri Untara menilik dari kata-katanya itu. Namun demikian Agung Sedayu pun sadar, bahwa kakaknya memiliki ketajaman sikap dan tanggapan. Sekali terloncat kata-katanya yang agak menjorok terlampau jauh, maka akan terbukalah pembicaraan mengenai Mataram dengan agak mendalam. Karena itu, Agung Sedayu berusaha membatasi pembicaraannya dalam batas-batas penglihatannya yang dangkal. Ia berharap bahwa hal-hal yang mendalam, kelak gurunyalah yang akan memberikan penjelasan.

Namun demikian Untara berkata selanjutnya, ”Mudah-mudahan Mataram segera menjadi besar dan membuktikan pula, bahwa Mataram ditangani oleh bekas senapati tertinggi di Pajang bersama putra angkat Sultan Pajang. Sehingga dengan demikian, Pajang akan menjadi semakin mantap dan tegak kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang keras.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap ungkapan kata-kata Untara. Bagaimana pun juga, memang tampak batas yang kabur. Tetapi agaknya Untara bukan seorang yang bersikap keras terhadap perkembangan daerah baru ini.

Tetapi Agung Sedayu tetap berhati-hati di dalam setiap pembicaraan. Ia berusaha mengelakkan persoalan-persoalan yang dapat melibatnya dalam pembicaraan yang mendalam.

Namun di dalam kesempatan yang tidak disangka-sangka seorang perwira yang sudah setengah umur itu berkata, ”Mudah-mudahan persoalan Mataram tidak berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat, selagi senapati didaerah selatan ini menghadapi masa-masa yang paling indah di dalam hidupnya.”

“O,” Agung Sedayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan serta-merta ia berkata, ”Aku sudah mendengar. Semula aku bingung mendengar berita itu. Telapi kini aku sudah yakin.”

“Ah,” Untara tersenyum, ”sebenarnya kurang mapan. Selagi Pajang menghadapi persoalan-persoalan yang gawat, datang pula persoalan pribadi itu. Mula-mula aku benci melihat hubungan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung. Namun akhirnya aku menyadari bahwa hal itu tidak akan terhindar dari jalan hidup seseorang. Maka supaya aku tidak menjadi sentuhan, aku akan segera memberikan jalan baginya.”

“Itulah alasannya?” bertanya Agung Sedayu. Untara tersenyum sedang beberapa orang perwira yang ada di pringgitan itu tertawa.

“Memang salah satu dari sekian banyak alasan adalah itu,” jawab Untara, “tetapi sudah tentu ada alasan-alasan yang lain yang tidak semua orang boleh mengetahuinya.”

Mereka pun tertawa semakin keras. Dan seorang perwira yang lain berkata, ”Kenapa kalian tidak menyelenggarakan perhelatan itu berbareng saja bulan depan?”

Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Namun mereka berdua pun tertawa bersamaan.

“Aku menyangka bahwa Kakang Untara tidak akan pernah dekat dengan seorang gadis. Tetapi pada suatu saat ia telah berpacu mendahului aku,” berkata Agung Sedayu sambil tertawa pula.

“Bukan salahku,” sahut Untara.

“Jadi siapa yang bersalah?”

“Paman Widura.”

“O,” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Barulah ia teringat kepada pamannya meskipun sejak dari Sangkal Putung ia sudah berhasrat untuk mengunjunginya. Karena itu maka Agung Sedayu pun berkata, ”Aku akan menengok Paman Widura. Apakah ia ada di rumah atau paman ikut di dalam kesatuan Kakang Untara ini?”

Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya, ”Paman Widura merasa telah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit. Karena itu kini ia telah mengundurkan dirinya.”

“O,” Agung Sedayu m engangguk-anggukkan kepalanya.

Sedang perwira yang telah setengah umur itu pun berkata, “Mungkin umurnya belum setua aku. Ia lebih muda satu atau dua tahun dari padaku. Tetapi beberapa waktu berselang ia telah mengundurkan diri. Bahkan rasa-rasanya seperti dengan tiba-tiba saja.”

Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Pamannya adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi pada suatu saat, ia memang wajar merasa bahwa tugasnya telah selesai.

“Ia mengharap anak-anak mudalah yang akan melanjutkan tugasnya,” berkata perwira itu. ”Ia berbangga bahwa kemanakannya telah menjabat sebagai seorang senapati yang terpercaya. Namun ia masih berharap bahwa kemanakannya yang seorang lagi akan mengikuti jejak kakaknya.”

Agung Sedayu masih tersenyum meskipun dadanya menjadi berdebar-debar. Karena itu, ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, ”Jadi, Kakang Untara akan melangsungkan perkawinan di bulan mendatang?”

Untara mengangguk. Katanya, ”Mudah-mudahan suasana tidak berubah. Semuanya telah diatur oleh Paman Widura.” Untara terdiam sejenak, lalu, ”Tetapi dari mana kau mendengarnya?”

“Di jalan padukuhan ini aku bertemu dengan Juga. Dikiranya aku sudah mengerti rencana itu.”

“Aku juga kurang mengerti,“ berkata Untara sambil tersenyum pula, ”paman Widura-lah yang paling tahu.”

“Aku akan segera menemui Paman Widura.”

“Kapan kau akan kesana?”

“Sekarang, atau sebentar lagi.”

“Ah,” desah Untara, ”kenapa tergesa-gesa? Besok atau malam nanti kita pergi bersama-sama.”

Agung Sedayu berdesir mendengar ajakan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya, sehingga kesan itu sama sekali tidak terbayang di wajahnya. Tetapi ia menjawab, ”Aku sudah terlalu lama tidak berjumpa.”

“Tetapi tidak perlu sekarang. Kau belum makan di sini,” cegah Untara.

Agung Sedayu tidak memaksa. Tetapi ia mulai dijalari oleh kegelisahan. Kakaknya pasti tidak akan membayangkan bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung hari ini. Tetapi seandainya ia tidak kembali, maka tanggapan Ki Demang Sangkal Putung beserta anak-anaknya pasti sangat tidak baik.

“Hanya Guru sajalah yang tahu keadaanku yang sebenarnya di dalam hubungan keluarga ini. Yang lain sama sekali tidak akan dapat mengerti. Mereka memandang persoalan ini dari segi mereka sendiri.”

Namun Agung Sedayu sudah merasa berjanji bahwa senja nanti ia sudah harus berada di Sangkal Putung kembali.

Meskipun kegelisahan itu terasa semakin mencengkamnya, namun Agung Sedayu masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga kegelisahan itu sama sekali tidak berkesan di hatinya.

Demikianlah maka sejenak kemudian Agung Sedayu telah mendapat hidangan dari juru madaran para perwira Pajang yang tinggal dirumah Itu. Semangkuk minuman panas dan makanan beberapa potong.

Namun dalam pada itu, selagi tangannya menyuapi mulutnya dengan makanan, Agung Sedayu masih juga berpikir, bagaimana caranya ia nanti minta diri dan memaksa kembali ke Sangkal Putung.

“Kalau saja aku tidak datang kemari,” berkata Agung Sedayu di dalam hati. Namun dijawabnya sendiri, ”Kakang Untara akan marah kepadaku kalau ia tahu bahwa aku tidak segera menemuinya setelah aku datang di Sangkal Putung. Dan apalagi hatiku pasti akan selalu digelisahkan oleh bayangan kabur yang membatasi Pajang dan Mataram. Ternyata Kakang Untara tidak bersikap keras. Jauh berbeda dari bayanganku semula. Namun yang paling mencemaskan adalah justru harapan Kakang Untara, bahwa Mataram akan merupakan tiang yang dapat memperkokoh tegaknya Pajang. Selain itu juga harapan Kakang Untara, bahwa aku akan menjadi prajurit Pajang pula.”

Karena kesibukan mulut mereka yang ada di pringgitan itu mengunyah makanan, maka mereka pun terdiam untuk sejenak. Tetapi justru karena mereka diam itulah angan-angan Agung Sedayu telah mengembara.

Namun tiba-tiba para perwira yang ada di pringgitan itu berpaling ketika mereka mendengar pintu bergerit. Seorang perwira yang lain telah muncul dari balik daun pintu. Sejenak ia berdiri diam memandang setiap orang yang ada di pringgitan itu. Perwira itu adalah perwira yang acuh tidak acuh terhadap kehadiran Agung Sedayu.

“O,” berkata Untara kemudian, ”kemarilah. Duduklah Adi Ranajaya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Perwira itu ternyata bernama Ranajaya.

Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah mendekat dan kemudian duduk pula di antara mereka.

“Ini adalah adikku,” berkata Untara.

“Ya, aku sudah mendengarnya “

“O, dari siapa kau mendengar?”

“Dari anak itu sendiri. Ia berdiri di pendapa seperti seorang yang kehilangan akal. Karena aku belum pernah melihatnya, maka aku bertanya kepadanya. Ternyata ia adalah Agung Sedayu, adik Kakang Untara.”

Untara mengerutkan keningnya.

“Ia adalah seorang pendukung berdirinya Mataram. Kedatangannya ditandai dengan pertengkaran. Ia sudah berkelahi dengan seorang prajurit anak buahku.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, ”Jangan kaget Sedayu. Kami yang tinggal di sini sudah mengenalnya baik-baik. Tetapi karena kau baru mengenalnya sekarang, kau wajib mengetahui bahwa Adi Ranajaya sangat benci kepada orang-orang yang sedang sibuk membangun Mataram. Dan adalah sifatnya, kadang-kadang kata-katanya melontar tanpa kendali.” Untara diam sejenak, lalu di pandanginya perwira yang bernama Ranajaya itu, ”Sebenarnya aku juga tidak senang mendengar kata-kata itu. Bukan karena Agung Sedayu adalah adikku. Tetapi tuduhanmu yang serta-merta, bahwa setiap orang yang datang dari Mataram adalah pendukung berdirinya Mataram dapat menimbulkan salah paham. Siapa pun yang datang.”

“Tetapi aku tidak akan mengatakan begitu, seandainya ia tidak dengan sengaja melawan dan menunjukkan kelebihannya dari seorang prajurit Pajang.”

“Itu bukan kata-kata seorang perwira. Adalah picik sekali apabila kau segera menarik kesimpulan dari percekcokan itu untuk menentukan seseorang berpihak kepada Mataram. Apalagi karena kau sudah mengetahui apakah sebabnya.” Untara terdiam sejenak, lalu, ”Tetapi apakah keberatanmu seandainya Agung Sedayu, atau katakanlah seseorang yang membantu berdirinya Mataram di Alas Mentaok itu? Katakan, apakah keberatanmu?“

Wajah perwira itu menjadi merah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Untara akan menjawabnya langsung di hadapan para perwira yang lain. Itu bukan menjadi kebiasaannya. Namun kali ini Ranajaya berpendapat bahwa Agung Sedayu adalah justru adik Untara sendiri. Biasanya Untara tidak pernah membantah apabila ia memaki-maki orang-orang Mataram, termasuk Raden Sutawijaya. Biasanya Untara hanya tersenyum dan berkata, ”Sudahlah. Jangan membuat dirimu sendiri menjadi sakit.” Tetapi kini Untara langsung mencelanya.

“Adi Ranajaya,” berkata Untara, ”soalnya tidak semudah itu untuk menjatuhkan tuduhan terhadap Mataram dan terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mataram. Kalau memang benar Mataram akan memberontak terhadap Pajang, akulah senapati di sini. Aku akan menerima perintah untuk menghancurkannya, meskipun di sana ada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Meskipun aku tahu bahwa Ki Gede Pemanahan seorang yang mumpuni, tetapi perang bukannya perang tanding. Karena itu untuk seterusnya jangan memperuncing keadaan. Selagi kita menjajagi kemauan Ki Gede Pemanahan, kau jangan menambah suasana menjadi buram. Kata-katamu itu adalah racun bagi prajurit-prajurit kecil. Bukankah aku sudah pernah memperingatkan, jangan berkata seperti itu di hadapan orang lain, selain di hadapan kami. Para perwira yang sudah mengenal watak dan tabiatmu.”

Wajah Ranajaya menjadi semakin merah. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak dapat membawa pembicaraan yang keras terhadap Mataram.

Dengan demikian, maka sejenak suasana menjadi hening, meskipun terasa ada juga ketegangan. Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan apa pun juga agar tidak menimbulkan salah paham. Tetapi ia masih tetap kagum kepada kakaknya yang mencoba berdiri di atas segala masalah yang hanya sekedar meloncat dari perasaan dan prasangka. Sebagai prajurit ia memerlukan bukti-bukti untuk menentukan suatu keputusan yang bersifat menghukum. Meskipun hanya sekedar dengan kata-kata.

Namun dalam pada itu Ranajaya mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun ia menundukkan kepalanya tetapi ia menggeram, ”Akan aku sampaikan hal ini kepada Kakang Tumenggung.”

Kehadiran Ranajaya itu ternyata membuat suasana menjadi lain. Wajah-wajah di ruangan itu tidak lagi tampak jernih dan tidak ada lagi senyum di bibir. Dengan kaku mereka mencoba melepaskan ketegangan dengan meneguk minuman dan makan sepotong makanan. Tetapi rasa-rasanya minuman dan makanan itu tidak lagi sesedap semula.

Untuk melepaskan kejanggalan di dalam pertemuan itu, tiba-tiba Agung Sedayu-lah yang memulainya, ”Kakang Untara. Apakah Kakang memperkenankan aku pergi ke rumah paman Widura sekarang saja?”

“Sekarang?” Untara mengerutkan keningnya.

“Ya, sekarang. Aku sudah terlalu rindu kepada paman dan keluarganya. Aku akan segera kembali kemari apabila aku sudah bertemu. Aku hanya akan sekedar bertemu saja.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Suasana di rumah itu memang menjadi kurang baik, dan bahkan ada terasa ketegangan di hati masing-masing. Karena itu, agaknya ada juga baiknya Agung Sedayu menyingkir sejenak, untuk nanti kembali lagi.

“Bagaimana pertimbangan Kakang,” desak Agung Sedayu.

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia menjawab, “Baiklah, Agung Sedayu. Kau boleh pergi ke pamanmu Widura. Tetapi jangan terlampau lama. Kita akan makan siang ini di sini.”

“Tetapi bagaimana kalau Paman memaksa aku untuk makan di sana?” jawab Agung Sedayu yang mencoba mencuci suasana.

“Katakan, bahwa kau sudah makan.”

“Tetapi aku dapat gagal kedua-duanya. Kepada Paman Widura aku berkata, bahwa aku sudah makan, tetapi kemudian ketika aku sampai di sini, aku tidak mendapat bagian lagi.”

Beberapa orang di antara mereka tersenyum. Tetapi perwira yang bernama Ranajaya masih menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak acuh lagi atas semua pembicaraan. Hanya karena keseganannya kepada Untara sajalah, maka ia tidak pergi meninggalkan ruang itu.

“Jangan takut,” jawab Untara kemudian, “kami akan menyediakan makan buatmu. Dua orang prajurit akan menjaganya, supaya makan persediaanmu itu tidak dicuri orang.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Lalu katanya, “Kalau begitu aku minta diri, Kakang.” Kemudian kepada perwira-perwira yang ada, Sedayu berkata, “Aku minta diri. Nanti aku akan segera kembali. Aku hanya sekedar ingin bertemu lebih dahulu. Mungkin di kesempatan lain, aku akan membicarakan hari-hari yang baik buat Kakang Untara. Bukankah hari itu masih belum ditentukan, meskipun di bulan depan.”

“Ah,” sahut seorang perwira yang lain, “tentu sudah. Tetapi ada dua atau tiga pilihan dari hari-hari terakhir di bulan depan. Bukankah begitu?” bertanya perwira itu kepada Untara.

Untara hanya tersenyum saja.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan pringgitan yang rasa-rasanya menjadi terlampau panas itu. Ketika ia berada ke pendapa, terasa udara yang segar menyentuh tubuhnya.

Untara dan beberapa orang perwira yang lain mengantarnya sampai ke tangga pendapa. Kemudian Agung Sedayu minta diri sekali lagi, “Aku akan membawa kudaku, Kakang, supaya perjalananku agak cepat.”

“Ah ada-ada saja kau, Sedayu. Selagi kau menyiapkan kudamu, kalau kau berjalan kaki, kau sudah akan sampai,” sahut Untara.

Sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, “Tetapi aku kira, masih lebih cepat di atas punggung seekor kuda.”

“Terserahlah,” desis Untara.

Agung Sedayu pun kemudian mengambil kudanya, dan menuntunnya sampai ke luar regol. Setelah ia melampaui penjagaan prajurit di regol halaman itu, ia pun segera meloncat naik ke punggung kudanya yang segera berlari ke rumah pamannya, Widura.

Kedatangan Agung Sedayu di rumah pamannya benar-benar mengejutkan. Seisi rumah menyambutnya dengan wajah-wajah yang cerah, seperti mereka menyambut anak sendiri. Bagi Widura dan keluarganya, Agung Sedayu memang seperti anak sendiri. Apalagi kini Agung Sedayu bukan lagi anak cengeng seperti ketika ia datang ke Sangkal Putung untuk yang pertama kali.

“Kau benar-benar seorang anak muda yang gagah Sedayu,” berkata Widura sambil mengguncang-guncangkan lengan Agung Sedayu. “Tubuhmu kuat dan liat. Kau pasti telah tumbuh menjadi seorang yang benar-benar dewasa.”

Agung Sedayu tidak menyahut.

“Marilah, duduklah.”

Agung Sedayu pun kemudian di bawa oleh pamannya ke pringgitan. Hampir seisi rumah ikut pula menyambutnya. Anak-anak Widura pun untuk beberapa lamanya ikut pula duduk di sebelah menyebelah Agung Sedayu.

“Kau sama sekali lain dari kau yang dahulu, Sedayu,” berkata Widura. Lalu, “Kau berkembang cepat sekali. Rasa-rasanya baru kemarin kau datang di Sangkal Putung dengan wajah pucat dan gemetar.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

“Salah paham yang timbul pada anak-anak muda Sangkal Putung waktu itu, hampir saja membawa kesulitan yang dalam bagimu.”

Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya wajah pamannya sejenak, lalu katanya, “Memang lucu sekali, Paman.”

“Kau mereka anggap sebagai seorang pahlawan. Tidak ada seorang pun yang berani melintasi jalan ke Sangkal Putung seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak. Dan barangkali, kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak akan mencoba melakukannya lagi seandainya kau menghadapi saat yang sama.”

Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia menjawab, “Tetapi Kakang Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang Untara pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi ia seorang senapati. Jarak itu akan ditempuh tanpa pengawalan sama sekali.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Untara adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anak-anak muda pada umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati, juga ia memiliki keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal Putung, sehingga meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan yang paling baik ditempuh adalah menghubungi aku di Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil pengawal-pengawalnya, karena waktunya tinggal semalam. Namun ternyata, bahwa kaulah yang berhasil menyampaikannya berita itu kepadaku, tepat pada waktunya. Kalau kau terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah selatan itu akan menjadi berbeda.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang. Peperangan di Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang khusus di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan. Terlebih-lebih dari itu, ia telah tersangkut pula pada seorang gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.

Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar. Seperti kakaknya, maka persoalan itu pasti akan ditangani oleh pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Sudah tentu, semuanya akan terserah kepada Widura dan Untara.

Tetapi Agung Sedayu masih belum dapat mengatakannya.

Meskipun demikian, ia dapat juga bertanya tentang hari-hari perkawinan Untara yang akan diselenggarakan bulan depan.

Widura tertawa. Jawabnya, “Memang sudah waktunya bagi Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya baik dan agar ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang istri yang sabar dan mengerti akan tugasnya sebagai seorang prajurit.”

Agung Sedaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bakal istrinya adalah seorang gadis yang baik. Memang agak berbeda dengan Sekar Mirah yang lincah dan gembira. Istri Untara adalah seorang gadis pendiam. Namun mudah-mudahan gadis itu akan dapat memberikan arti bagi hidup Untara yang kering dan agak kaku. Ia seakan-akan menenggelamkan diri di dalam kebekuan ketentuan seorang prajurit, sehingga dirinya sebagai seseorang di antara kehidupan yang luas agak menjadi janggal karenanya.”

Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Untara sudah kawin, maka jalan bagimu akan menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada lagi keseganan apa pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu ke jenjang perkawinan.”

“Tetapi aku masih seorang petualang, Paman. Aku belum mempunyai pegangan untuk hidup kelak. Berbeda dengan Kakang Untara.”

“Apakah yang harus menjadi pegangan? Maksudmu, kau belum memegang suatu jabatan apa pun?”

“Ya, Paman.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau adalah calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan dapat menjadi seorang prajurit, yang tidak usah mulai dari bawah sekali. Kalau kau mau, kau akan dapat kesempatan. Bukan karena kau adik Untara, tetapi karena kau memiliki kemampuan. Kau dapat menempuh pendadaran untuk langsung menjadi seorang lurah prajurit. Meskipun mula-mula kau akan memimpin suatu kelompok kecil, namun dalam waktu singkat kau akan menanjak.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Katanya, “Itulah yang merisaukan hatiku, Paman.”

“Kenapa?”

“Kakang Untara memang ingin aku menjadi seorang prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku menjadi seorang prajurit.”

Widura tidak segera menyahut.

“Tetapi sayang, Paman. Untuk saat ini, aku masih belum ingin memasuki bidang keprajuritan.”

Widura menjadi heran mendengar jawaban itu, sehingga sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa Sedayu? Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian lewat tugas seorang prajurit?”

“Tentu juga terbayang pengabdian yang dapat aku berikan kepada negeri ini, Paman. Tetapi tidak dalam saat yang singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengabdi lewat banyak saluran?”

Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya. Kau dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah keberatanmu untuk menjadi seorang prajurit? Di dalam masa-masa yang buram ini, tenagamu sangat diperlukan oleh Pajang.”

Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata pamannya juga menginginkannya menjadi seorang prajurit.

Namun tiba-tiba tanpa disadarinya sendiri, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya, “Kenapa Paman mengundurkan diri dan keprajuritan?”

Widura terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Aku sudah terlalu tua.”

“Aku melihat seorang perwira yang lebih tua dari Paman.”

“Tetapi sudah tentu waktu pengabdianku lebih panjang daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan keprajuritan setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki tugas itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi. Namun Agung Sedayu masih bertanya, “Tetapi Paman, bukankah saat-saat ini Pajang memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman, seperti kata Paman sendiri, suasananya kini sedang buram. Bukankah begitu, Paman?”

Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Ya. Mungkin tenaga Paman memang masih dibutuhkan.” Widura tidak melanjutkannya. Namun terasa sesuatu agaknya tersangkut di hatinya.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia menunggu pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura justru hanya menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya.

Karena itu maka sejenak mereka terdiam. Seakan-akan mereka kehabisan bahan untuk berbicara.

Namun untuk mengatasi kebekuan itu, tiba-tiba saja Widura berkata, “Agung Sedayu. Tunggulah sejenak. Aku harus menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk menjamumu hari ini. Kau akan makan di sini siang ini.”

Tetapi Agung Sedayu berkata cepat-cepat, “Paman, Kakang Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali. Kakang Untara menunggu aku makan siang ini bersama para perwira yang tinggal di rumah kami.”

“Benar begitu?”

“Benar, Paman. Aku mengucapkan terima kasih atas sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan membuat Kakang Untara kecewa.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kamilah yang kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus makan di sini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyimpannya lebih lama lagi, sehingga ia pun menjawab, “Nanti sore aku harus kembali ke Sangkal Pulung.”

“He, kembali ke Sangkal Putung? Bukankah kau anak Jati Anom?”

“Ya, Paman, tetapi aku sudah berjanji kepada Ki Demang dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti sebelum senja aku harus sudah berada di Sangkal Putung.”

“Ah, tentu mereka minta kau kembali. Seandainya itu tidak bersungguh-sungguh, maka mereka pasti akan sekedar mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu mereka tidak akan mengatakan kepadamu, agar kau tidak usah kembali saja.”

“Bukan, Paman. Bukan karena itu. Anak-anak muda Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul menyambut kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap aku sebagai keluarga mereka, karena aku pernah tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa lama.”

“Ya. Mungkin begitu. Mungkin kau masih tetap mereka anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau, Sangkal Putung mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang.”

“Tetapi keakraban, kekeluargaanlah yang agaknya mendorong mereka menyambut kedatanganku.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Sejak kanak-kanak, kau berada di Jati Anom dan Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun yang menyambut kedatanganmu seperti anak-anak muda Sangkal Putung. Aku tidak tahu, kenapa kau lebih dekat dengan Sangkal Putung dari Jati Anom dan Banyu Asri. Mungkin karena kau berada di Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat, sehingga anak-anak mudanya merasa senasib dengan kau, atau karena kau seorang pahlawan. Tetapi demikianlah agaknya.”

Tiba-tiba saja terkilas di angan-angan Agung Sedayu, sikap anak-anak muda Sangkal Putung yang sesungguhnya. Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang telah menggerakkan anak-anak muda Sangkal Putung sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putra Demang Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa. Seperti juga anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka hanya akan menyambutnya sebagai kawan yang sudah lama tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang tiga apabila berpapasan.

Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu justru tertunduk. Ia merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya. Ia bukan lagi anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal Putung.

“Jadi,” berkata Widura kemudian, “kau akan kembali ke Sangkal Putung hari ini?”

Begitu saja terloncat jawabnya, “Ya, Paman.”

“Dan kau sudah mengatakan kepada Untara?”

Agung Sedayu menggeleng, “Belum, Paman. Aku belum dapat mengatakannya.”

“Kalau begitu, Untara pasti menyangka, bahwa kau kini telah kembali. Pulang ke rumah sendiri.”

“Mungkin Kakang Untara berpendapat demikian, Paman. Dan itulah yang membuat aku bingung. Bagaimana aku kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan kembali lagi kemari.”

Tiba-tiba Widura tersenyum. Katanya, “Tetapi aku tidak dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku kira bukan sambutan anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang penting bagimu.”

Wajah Agung Sedayu menjadi merah sekilas. Sambil menundukkan kepalanya, ia berdesis, “Mungkin juga begitu, Paman.”

“Aku dapat mengerti, Sedayu. Tetapi barangkali berbeda dengan kakakmu. Ia merasa lebih berhak berbuat atasmu, karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin ia akan melarang kau pergi ke Sangkal Putung hari ini.”

“Tetapi aku sudah berjanji untuk kembali.”

“Tentu tidak akan ada akibat apa-apa, seandainya kau menundanya sampai besok. Asal kau benar-benar kembali. Kau tidak akan secepat itu kehilangan.”

“Tetapi ……,” Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.

“Tentu orang-orang Sangkal Putung mengetahui, bahwa kau kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali.”

Agung Sedayu tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Yang terbayang kemudian justru wajah Sekar Mirah yang memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berkelakar sambil mengunyah daging kambing.

“Mungkin anak-anak Sangkal Putung itu tidak menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan Swandaru?” persoalan itulah yang kemudian selalu mengganggunya, sehingga untuk sesaat ia merenung.

Tetapi Widura justru tertawa melihat wajah Agung Sedayu yang menegang serta keningnya yang berkerut. Katanya, “Jangan risau. Kalau kau berkata berterus-terang, maka Untara akan mengerti. Aku mengharap Untara sekarang sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal seorang gadis dan mulai mempelajari watak-wataknya.”

Agung Sedayu memandang wajah pamannya sejenak, namun kemudian ia pun tersanyum.

“Mudah-mudahan Kakang Untara mengerti,” desisnya. Lalu, “memang aku melihat perbedaan sikap Kakang Untara sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan menyambutku dengan sikap yang dingin, dan bahkan marah karena aku terlampau lama pergi, apalagi aku kembali ke Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang Untara tidak berbuat demikian. Ia menerima aku dengan ramah, meskipun ia tahu, bahwa aku baru saja bertengkar dengan prajuritnya.”

“He,” Widura-lah yang terkejut, “kau sudah mulai bertengkar?”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Ya, Paman. Aku terpaksa bertengkar.”

“Kenapa?”

Agung Sedayu pun segera menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi kepada pamannya. Bahwa ia tidak dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah dipaksakan kepadanya itu.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itu memang membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin. Tetapi ada juga baiknya mereka bertemu dengan kau.”

“Ya, Paman. Kakang Untara juga berkata demikian. Tetapi seorang perwira yang lain agaknya bersikap lain pula.”

“Siapa?

“Ranajaya,” jawab Agung Sedayu. “Mungkin ia tidak senang karena kedatanganku ditandai dengan pertengkaran dengan prajurit yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi mungkin juga karena aku datang dari Mataram, seperti yang dikatakan Kakang Untara.”

“Ranajaya,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “ia memang mempunyai sikap yang aneh. Ia merasa dirinya terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu sangat membenci perkembangan Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.”

“Aku semula menyangka, bahwa Kakang Untara pun akan bersikap demikian. Tetapi ternyata tidak. Bahkan Kakang Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di hadapan para perwira yang lain.”

“Sikapnya memang tercela,” tiba-tiba saja Widura berkata. Tetapi ia pun kemudian menelan ludahnya, seakan-akan ingin menelan kata-katanya itu kembali.

“Kenapa, Paman?”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat membuat penilaian apa pun atas mereka.”

“Bukan penilaian, Paman, tetapi aku hanya sekedar ingin medapat gambaran tentang sikap para perwira itu, agar aku dapat mencoba menyesuaikan diri.”

Widura memandang Agung Sedayu sejenak, dan tiba-tiba saja ia tersenyum, “Kau dahulu pendiam, Sedayu. Sekarang kau pandai juga memancing persoalan.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Katanya, “Aku tidak berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku benar-benar ingin mengetahui, terutama latar belakang dari sikap Ranajaya.”

Sejenak Widura merenung. Namun kemudian ia berkata, “Ada beberapa orang perwira yang tidak senang sekali melihat Mataram berkembang. Aku tidak tahu pasti apakah latar belakangnya. Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu anggapan, bahwa Mataram akan membuat dirinya kuat untuk bersaing dengan Pajang.”

“Ah,” desis Agung Sedayu, “apakah pikiran itu benar?”

Widura memandang Agung Sedayu sejenak, lalu, “Kaulah yang datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan, apakah hal itu benar atau tidak benar.”

Kini Agung Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak terlampau lama di Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan banyak.”

“Apa yang kau lihat di Mataram? Nanti kita sama-sama mengambil kesimpulan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya hal-hal yang penting saja, yang telah terjadi. Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya kepada Untara dan para perwira Pajang.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Pasti ada salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang yang dengan sengaja meniup-niupkan kesalah-pahaman itu. Beberapa perwira Pajang sendiri telah termakan oleh hembusan-hembusan ceritera tentang persiapan Mataram.”

“Apa yang dapat dipersiapkan saat ini, Paman? Mataram baru sibuk menundukkan alam. Kalau Mataram membangun kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu sendiri. Hutan yang lebat dan daerah rawa-rawa.”

“Memang masuk akal. Tetapi kau harus dapat menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas Mentaok itu sendiri dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha melawan pembukaan Alas Mentaok di medan dan usaha-usaha untuk menentangnya di istana. Tidak mustahil, bahwa ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu, apakah sikap itu ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang.”

“Maksud Paman?”

“Mereka yang menentang langsung, agaknya sudah jelas, bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede Pemanahan membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus mengadu domba antara Mataram dan Pajang, masih perlu diketahui latar belakangnya. Apakah mereka menghendaki usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang kau katakan itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.”

Agung Sedayu mendengarkan keterangan pamannya dengan saksama. Memang ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam Istana Pajang. Namun demikian, Agung Sedayu bertanya, “Paman, kalau ada usaha untuk meruntuhkan Pajang oleh orang-orang dari lingkungan istana sendiri, apakah pamrihnya?”

Widura mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, yang dengan penuh minat mendengarkan keterangannya. Lalu katanya, “Pajang memang belum mantap benar sekarang ini. Dengan demikian, maka ada saja adipati-adipati yang tidak menginginkan Pajang menjadi kuat. Kalau Pajang runtuh, siapakah di antara para adipati yang kuat, akan dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa atas tanah ini.”

“Tetapi bukankah dengan demikian, akan berarti pertumpahan darah?”

“Ya Sedayu. Mungkin kau dan mungkin juga aku, meskipun aku bekas seorang prajurit, tidak menginginkan pertumpahan darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang merasa berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan pertumpahan darah. Mungkin ada orang yang merasa berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan apabila mendapat kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai. Semakin tinggi timbunan bangkai di bawah kakinya, ia akan merasa semakin berbangga.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan kekuasaan yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah dilihatnya adalah hanya sejengkal kecil dari Pajang seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia mencoba untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pesisir dari barat menjelujur ke timur. Daerah-daerah yang diperintah oleh adipati dan tanah-tanah perdikan yang besar.

Apabila ikatan dari sekumpulan pemerintahan itu lepas, maka negara ini akan menjadi porak poranda.

“Tetapi,” tiba-tiba Widura berkata, “jangan kau pikirkan kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin buruk yang paling baik di seluruh Pajang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang seperti seseorang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya, sehingga tanpa disadarinya, Agung Sedayu mengusap matanya dengan lengan bajunya.

Sesaat mereka tidak berbicara. Tetapi angan-angan merekalah yang hilir-mudik tidak menentu, menjelajahi daerah yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.

“Ah, sudahlah,” berkata Widura kemudian, “lupakan semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal istrinya.”

Agung Sedayu tersenyum.

“Kau wajib mengenalnya baik-baik,” berkata Widura. Kemudian diceritakannya serba sedikit tentang gadis itu sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di hadapan mereka.

Samar-samar Agung Sedayu dapat membayangkan, bagaimanakah sifat dari gadis itu. Sama sekali tidak seperti Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan mempunyai harga diri yang agak berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan Wangi, yang menyerahkan dirinya kepada masa depan bagi tanah perdikannya. Seorang anak perempuan yang bakti kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan seorang gadis yang berjiwa prajurit.

Bakal istri Untara itu adalah seorang gadis pendiam. Tidak dapat bermain pedang dan olah kanuragan seperti Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi istri seorang perwira, karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat Untara menjadi seorang senapati besar dengan kelembutan hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan semua kepentingan pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang senapati.

“Setelah Untara selesai, kau akan segera menyusul,” desis Widura.

“Ah, masih terlampau cepat. Bukankah saudara sekandung tidak boleh kawin di dalam tahun yang sama?”

“Ya. Tetapi tahun ini hampir habis. Bulan depan adalah bulan terakhir dari tahun ini. Kemudian tiga bulan kemudian adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan.”

“Tidak, Paman. Tidak tiga bulan lagi. Mungkin tiga tahun atau barangkali lima tahun.”

“Mungkin kau tidak akan terpengaruh. Tetapi lain bagi Sekar Mirah.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk.

Tetapi sejenak kemudian, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Ah, aku akan minta diri, Paman. Aku akan kembali kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku dapat menemukan alasan yang baik untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Untara dapat mengerti, dan mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa pun juga.”

“Kenapa begitu tergesa-gesa?”

“Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik setiap hari.”

“Kakakmu tentu akan bertanya, kenapa kau tidak pulang saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu, baru kau pergi ke Sangkal Putung.”

“Ah, Paman,” sahut Agung Sedayu.

Pamannya hanya tersenyum. Tetapi sorot matanya memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan Agung Sedayu.

Kemudian setelah minta diri kepada seluruh keluarga pamannya, Agung Sedayu pun kembali kepada kakaknya. Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia akan minta diri nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya selain harapan, bahwa kakaknya akan dapat mengerti akan keadaannya.

Dengan demikian, maka di sepanjang jalan kepala Agung Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya berjalan perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang berjalan kaki.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada gurunya. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis kepada diri sendiri, “Apakah aku dapat mempergunakan Guru sebagai alasan untuk kembali ke Sangkal Putung? Mungkin aku dapat berkata, bahwa Guru mengharap aku malam ini menghadap. Ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.”

Agung Sedayu menarik nafas. Memang mungkin. Tetapi ia masih belum tahu pasti tanggapan Untara atas hal itu.

Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi jalan. Di antara mereka adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan yang membuatnya semakin berdebar-debar adalah di antara para prajurit itu terdapat prajurit yang menyerangnya di saat ia datang. Prajurit yang akan menghinakannya dengan menginjak ikat kepalanya.

“Ah, apa saja yang akan mereka lakukan?” Agung Sedayu berdesah di dalam dirinya. “Kenapa ada juga perwira Pajang yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?”

Tetapi Agung Sedayu tidak berhenti. Kudanya melangkah terus perlahan-lahan, semakin lama semakin dekat.

Beberapa langkah di hadapan perwira itu. Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Mungkin dengan tiba-tiba, prajurit itu berbuat sesuatu yang tidak disangka-sankanya. Tetapi mungkin juga mereka menghentikannya dan mengajaknya bertengkar.

Ternyata perwira itu benar-benar telah menghentikannya. Dengan suara datar ia berkata, “Berhentilah dulu, Agung Sedayu.”

Agung Sedayu berhenti tepat di hadapannya. Tetapi ia tidak turun dari kudanya.

“Aku akan bertanya serba sedikit,” berkata perwira itu.

“Kalau aku dapat menjawab, aku akan menjawab,” sahut Agung Sedayu.

Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Jangan terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku adalah Untara. Bukan kau. Jadi kau tidak dapat berbuat seperti Untara kepadaku. Ia berhak mencela aku. Marah kepadaku dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak.” Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Turunlah.”

“Aku memang bukan Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku juga bukan prajurit bawahanmu, sehingga kau tidak berhak memerintah aku.”

Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia masih menahan perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu bukan saja adik Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara. Ternyata prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun Agung Sedayu melawannya sambil memegang kendali kuda dengan satu tangannya.

“Kau memang terlampau sombong. Tetapi baiklah. Aku dapat berbicara dengan seseorang yang tetap duduk di atas punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya bukan? Ia adalah salah satu contoh dari kesombongan yang tiada taranya. Ia tidak pernah turun dari kudanya dengan siapa pun ia berbicara, meskipun dengan orang yang lebih tua sekalipun. Tetapi ia adalah putra angkat Sultan Pajang.”

Agung Sedayu hanya dapat menahan perasaannya yang mulai tergelitik oleh kata-kata perwira itu. Tetapi ia masih tetap duduk di atas punggung kudanya.

“Agung Sedayu,” berkata perwira itu kemudian, “aku minta kau menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya benar-benar sudah menyusun sebuah pasukan yang kuat dan siap untuk berperang?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya perwira itu sejenak, lalu, “Siapakah yang mengatakannya?”

“Aku bertanya kepadamu. Bukankah kau baru saja datang dari Mataram? Kau pasti mendengar apa yang sudah terjadi di daerah yang baru dibuka itu.”

“Aku hanya lewat.”

“Meskipun demikian, kau pasti sudah mendengar apa yang telah terjadi. Kalau yang lewat itu seorang pedagang ternak atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan tertarik kepada persoalan keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah Agung Sedayu, adik Untara yang menjadi senapati pasukan Pajang di daerah Selatan, daerah yang langsung menjadi jalur penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti memperhatikan masalah-masalah serupa itu.”

Agung Sedayu merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah paham. Dengan demikian, ia sudah membantu serba sedikit usaha pendekatan antara ayah dan anak. Antara Sultan Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka tiba-tiba saja atas kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya.

Perwira Pajang yang bernama Ranajaya itu justru surut selangkah. Dengan penuh kecurigaan ia memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.

“Apa yang kau kehendaki?” bertanya Ranajaya.

“Bukankah aku harus menjawab pertanyaanmu?” sahut Agung Sedayu. “Dan aku memang akan menjawab pertanyaan itu.”

“O,” Ranajaya maju pula selangkah. Namun ia masih tetap berhati-hati.

Agung Sedayu mengeluh di dalam hatinya. Seakan-akan Ranajaya memandangnya sebagai orang yang paling sombong dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk mengesampingkannya. Ia ingin membantu usaha pendekatan yang selalu dicoba oleh Sutawijaya

“Menurut penglihatanku,” berkata Agung Sedayu, “Mataram benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada pembukaan hutan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda persiapan prajurit, dan apalagi perlawanan terhadap pihak mana pun juga. Aku memang singgah beberapa saat di Mataram. Tetapi yang aku lihat adalah pengerahan tenaga untuk memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan mereka terdiri dari petani-petani yang hanya mengenal kapak dan parang untuk menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.”

Perwira yang bernama Ranajaya itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia tidak percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Agung Sedayu, ingat, kakakmulah yang akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung dengan Mataram. Kau harus memberikan keterangan yana benar. Mungkin sampai saat ini, kakakmu masih belum menaruh curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah berkhianat kepada Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada Untara. Meskipun kau adiknya, kau akan dapat digantungnya di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung halamanmu sendiri.”

Agung Sedayu semakin tidak senang mendengar kata-katanya. Tetapi ia tidak mau mempertajam persoalan Pajang dan Mataram. Maka katanya, “Sudahlah. Aku tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak dari yang aku ketahui. Aku memang tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya. Justru karena itu, aku tidak mau mengarang sebuah cerita untuk menyenangkan hatimu, seolah-olah bayanganmu tentang Mataram yang di pagari dengan pasukan dan ujung senjata itu, benar-benar telah terjadi.”

Ranajaya membelalakkan matanya sambil membentak, “Ingat, dengan siapa kau berbicara.”

“Dan ingat,” sahut Agung Sedayu, “aku bukan bawahanmu.”

Ranajaya menggerelakkan giginya. Geramnya, “Kau salah seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat tugas untuk mengetahui kekuatan Pajang di Jati Anom, justru karena kau adik Untara. Agaknya Untara kini benar-benar telah lengah, dan membiarkan kau berkeliaran di sini.”

Agung Sedayu menahan perasaannya yang bergolak dengan susah payah. Ternyata perwira yang bernama Ranajaya ini justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Namun mungkin, ia memang mendapat gambaran yang salah tentang Mataram. Karena itu, Agung Sedayu berkata, “Aku kira kau memang mendapat keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya. Coba katakan, siapakah yang sudah memberikan keterangan kepadamu tentang Mataram seperti yang kau gambarkan itu?”

“Jangan mencoba bersembunyi lagi. Sebentar lagi aku akan dapat membuktikan, bahwa kau memang seorang telik sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan menggantungmu di padukuhanmu sendiri.”

“Apakah kau pernah melihat Alas Mentaok?”

Perwira itu tidak segera menyahut.

“Kalau belum, apakah kau bersedia sekali-sekali pergi ke Alas Mentaok? Aku bersedia menunjukkan jalan. Kau dapat mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu oleh lalat sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau akan melihat, bahwa di Mataram tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada prajurit, dan tidak ada rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai saat ini berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak rintangan. Apakah dengan demikian Mataram sempat membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang.”

Ranajaya mengerutkan keningnya. Ia mulai menyadari bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak yang takut dengan bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara, yang memiliki banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan.

Karena itu, Ranajaya tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih sempat mengancam, “Agung Sedayu, kau harus bersikap baik di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku yang dapat menyeretmu ke tiang gantungan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sejenak ia memandang wajah Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang sangat dalam terhadap Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.

“Aku kira benar juga dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua orang yang telah berbuat curang di dalam istana. Mungkin saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira dan para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi dan kemudian panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua kadang sentana. Akhirnya Sultan Hadiwijaya sendiri akan mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan memberontak terhadap kekuasaan Pajang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Agung Sedayu seakan-akan tersadar, ketika ia mendengar Ranajaya berkata, “Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi hari ini.”

Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Sikap perwira itu benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan perasaannya dan menjawab, “Sekehendakkulah. Apakah aku akan pergi, apakah aku akan tetap di sini. Aku berada di kampung halamanku sendiri. Sejak kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa ada yang mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur jalan ini, ke sana ke mari sehari sepuluh kali.”

“Gila. Kau adalah orang yang lebih sombong lagi dari Sutawijaya.”

“Aku tidak peduli. Apakah aku melampaui kesombongan Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu atau tidak, itu adalah persoalanku.”

“Diam!” bentak perwira itu. “Jangan berani mempermainkan seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya aku tidak mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi permainan anak buahku di sini.”

“Bukan begitu kebiasaan seorang prajurit. Seorang prajurit adalah seorang yang bersikap jantan. Apakah kau mengerti arti dari sikap jantan itu?”

Tubuh perwira itu menggigil, apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Aku akan mengatakan kepada Kakang Untara, apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi seorang perwira macam kau ini. Dan aku memang tidak pernah membayangkan, bahwa ada seorang perwira Pajang yang mempunyai sifat semacam ini.”

Tetapi Agung Sedayu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan memacu kudanya meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu.

Ranajaya pun menjadi ragu-ragu. Kemarahan yang memuncak di kepalanya hampir melepaskan segala macam pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar, bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara, sehingga masih ada juga keseganannya untuk berbuat sesuatu.

“Tetapi lepas dari daerah Jati Anom, aku dapat berbuat apa pun juga di luar pengetahuan Untara. Kalau aku berbuat jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada seorang pun yang akan menuntut aku,” berkata perwira itu di dalam hatinya. Lalu sambil membusungkan dadanya ia berkata, “Tetapi seandainya Untara marah juga, aku dapat berhubungan dengan Kakang Tumenggung, yang mempunyai pengaruh tidak kalah dari Untara di istana.”

Perwira itu menggeretakkan giginya. Tetapi tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera pergi meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.

“Anak itu memang keras kepala,” desis seorang prajurit, “ia tidak saja berani menentang seorang prajurit, tetapi juga seorang perwira.”

“Ia merasa mendapat perlindungan dari kakaknya, seorang senapati,” jawab yang lain.

“Itu akan membuatnya keras kepala.”

Tetapi mereka pun kemudian terdiam, apabila sekilas melonjak di dalam hati mereka, kenyataan yang sebenarnya mereka hadapi tentang Agung sedayu itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi semakin dekat dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang belum reda, ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa disengaja telah dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan menjelang sore hari, untuk minta diri kepada kakaknya.

Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Untara dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk sebentar, maka mereka pun kemudian mulai menikmati makan siang yang sudah disediakan.

Namun selama tangannya menyuapi mulutnya, Agung Sedayu masih saja digelisahkan oleh keharusannya minta diri. Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun ke Barat.

Demikianlah, setelah selesai makan dan setelah mereka berbicara serba sedikit, mulailah Agung Sedayu mengatur hatinya, untuk menyampaikan niatnya, bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung sore itu.

Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar kembali, ketika Untara berkata, “Bilikmu semasa anak-anak masih tersedia buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu kami pergunakan, tetapi malam ini dan seterusnya akan dapat kau pakai lagi, seperti pada masa kecilmu. Bedanya, dahulu kau menempati bilik itu bersama ibu, tetapi sekarang kau harus berani tidur sendiri.”

Para perwira yang mendengar kelakar Untara itu, tertawa. Agaknya mereka telah mendengar cerita tentang Agung Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang penakut yang kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan saja karena ia tidak berani menghadapi kawan-kawannya yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut sekali kepada gelap, hantu, dan semacamnya.

Agung Sedayu sendiri tersenyum mendengarnya, meskipun debar jantungnya menjadi semakin cepat.

“Tetapi aku tidak dapat diam sampai senja,” tiba-tiba saja timbul pikiran di dalam dirinya, “sebaiknya aku berterus terang. Apapun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara terhadapku. Mudah-mudahan Kakang Untara tidak menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku dari Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan prajurit Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan Mataram. Jika demikian maka Ranajaya akan mendapat kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu.”

Karena itu, satu-satunya alasan yang akan dikemukakan oleh Agung Sedayu adalah gurunya. Gurunya minta ia kembali ke Sangkal Pulung sore ini, karena ada persoalan yang akan dibicarakan mengenai dirinya dalam hubungan guru dan murid.

“Juga mudah-mudahan tidak ada salah paham pada Kakang Untara. Kalau ia menganggap Guru pun berpihak pada Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan,” katanya pula didalam hatinya.

Karena itu, setelah suara tawa para perwira mereda, Agung Sedayu mencoba untuk mulai berbicara, mumpung Ranajaya tidak ada di dalam mangan itu. “Kakang, sebenarnya aku senang sekali bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri. Apalagi di dalam bilikku semasa kanak-kanak. Tetapi……,” Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.

“Tetapi, kenapa?” Untara bertanya.

“Bukan maksudku tidak menghargai Kakang Untara dan para perwira. Tetapi sebenarnya, bahwa sejak aku berangkat, aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus kembali ke Sangkal Putung.”

“Kembali ke Sangkal Putung?” Untara mengerutkan keningnya.

“Ya, Kakang, tidak ada apa-apa. Tetapi demikianlah pesan Guru. Besok aku akan segera kembali lagi ke mari, dan aku akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat banyak kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang.”

Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu.

Agung Sedayu pun menjadi bimbang. Bahkan kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam. Sekilas ia mencoba untuk menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya. Tetapi ia tidak tahu, kesan apakah yang membayang di wajah mereka.

Namun dengan demikian, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia menunggu jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari kakaknya itu diam saja memandangnya dengan tajam.

Ruangan itu menjadi hening, seakan-akan tidak berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar susul-menyusul. Betapa hati Agung Sedayu menggelepar. Tetapi ia masih tetap harus menunggu.

Namun Agung Sedayu yang tertunduk dalam-dalam itu terperanjat, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Untara. Justru suara tertawanya. Karena itu dengan serta-merta ia mengangkat wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah kakaknya yang tampak aneh baginya.

Sejenak kemudian, setelah suara tertawanya mereda, barulah Untara menjawab, “Kau berbohong, Sedayu.”

Berbagai perasaan bercampur baur di dada Agung Serayu. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab, “Aku tidak berbohong, Kakang.”

“Kau tentu berbohong. Kau katakan, bahwa gurumu memanggilmu sore ini?”

“Ya, ya, ya Kakang.”

Tetapi Untara tertawa pula.

Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia duduk di atas tikar yang membara. Ia bergeser sejengkal surut.

“Jangan kau sangka aku tidak tahu,” berkata Untara, “bukankah baru tadi malam kau sampai di Sangkal Putung? Dan karena kau segan kepada sanak kadang di Jati Anom, kau memaksa diri untuk datang menemui aku, yang selama ini kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi kepalanya telah tertunduk semakin dalam. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Bukan hanya karena keseganan itu. Aku ingin segera mendapat kesan tentang Kakang, bagaimana sikap Kakang terhadap Mataram.”

“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian. Karena suara Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya. “Kalau dahulu,” Untara meneruskan, “ mungkin aku akan bertanya, kenapa gurumu memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak mempercayaimu dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu. Tetapi sekarang aku bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau kau sekedar berbohong, karena kau malu mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu sekalipun yang menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi sangat gelisah, seandainya kau tidak dapat memenuhinya, karena kau berharap, bahwa gurumu mengerti kesulitanmu. Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang mengharap kau cepat kembali.”

Agung Sedayu menjadi bingung.

“Ayo, berkatalah terus terang. Jangan mencoba terbohong.”

Agung Sedayu justru menjadi semakin membeku. Dan ia menjadi bingung ketika, Untara sekali lagi tertawa berbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang perwira yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara dan melihat Agung Sedayu yang kebingungan. Namun mereka sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Untara.

“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian setelah suara tertawanya mereda, “kau tahu, dan barangkali kau mendengar dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan masa-masa menjelang perkawinanku? Nah, baru setelah aku akan kawin aku tahu, bahwa kau berbohong. Bukankah begitu? Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang memaksamu pulang, tetapi pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu pasti.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia mendengar kakaknya berkata di sela-sela suara tertawanya, “Aku akan menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras. Tetapi sekarang aku tahu, bahwa keharusan yang paling ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa, seandainya aku minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti lebih memberatkan pesan Sekar Mirah dari pesan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”

Agung Sedayu membeku sejenak. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Suatu sorongan perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah terbanting dalam suatu keadaan yang sangat asing. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa kakaknya akan bersikap demikian lunak dan lembut menghadapi keadaannya. Sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam sambil memandangi wajah Untara yang masih saja dibayangi oleh suara tertawanya.

“Ha, kau akan mungkir?”

Tetapi Agung Sedayu kini sadar, bahwa kakaknya sekedar berkelakar. Kakaknya ternyata tidak berbuat apa-apa seperti yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan tidak memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya tersinggung. Kakaknya ternyata bersikap lain sekali dengan bayangan-bayangan yang tampak di angan-angannya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun tersenyum pula, meskipun kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi ketegangan yang melonjak di hatinya kini telah lenyap.

“Aku mendapat pesan Guru,” berkata Agung Sedayu hampir tidak terdengar.

“Bohong. Kau sekarang pandai berbohong. Katakan saja terus terang, bahwa Sekar Mirah berpesan dengan bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke Sangkal Putung, karena kau baru datang semalam.” Untara masih tertawa, lalu, “Baiklah. Sampaikan salamku kepada Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua. Apalagi kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal di sana. Aku minta maaf, bahwa sampai kini aku masih belum sempat mengunjunginya karena bermacam-macam kesibukan.”

Dan seorang perwira menyahut, “Yang paling sibuk adalah persoalannya dengan Kakang Widura.”

“Ah,” Untara berdesah. Tetapi yang ada di ruang itu hampir berbareng tertawa, kecuali seorang perwira yang masih berdiri di luar pintu, Ranajaya.

Demikianlah, ternyata Agung Sedayu menemukan Untara yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu, lain sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata kakaknya sama sekali tidak berkeberatan, apabila sore itu ia kembali ke Sangkal Putung. Bahkan kakaknya dapat menebak alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah.

“Jadi, Kakang tidak berkeberatan, apabila aku kembali ke Sangkal Putung?” tiba-tiba hampir di luar sadarnya ia bertanya.

“Jadi, apakah aku harus berkeberatan?” jawab Untara sambil tersenyum.

“Tentu tidak. Memang aku mengharap Kakang tidak berkeberatan.”

“Aku mengerti kepentinganmu, Sedayu. Karena itu, aku tidak berkeberatan sama sekali. Kembalilah ke Sangkal Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah mempunyai waktu. Ajaklah mereka kemari. Kami akan menerima dengan senang hati.”

“Siapakah mereka itu?” bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur sambil tersenyum.

Untara pun tersenyum pula. Jawabnya, “Kelak kalian akan tahu.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia berjanji dalam waktu dekat, bahkan besok, ia pasti sudah ada di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini sekarang sudah aman.

“Dahulu, di dalam kemelutnya api peperangan, Agung Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung seorang diri dan apalagi di malam hari,” Untara masih bergurau juga.

Dalam pada itu, Ranajaya yang mendengar bahwa Agung Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung, telah mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu.

Tiba-tiba saja timbul rencananya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan pintu pringgitan dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang.

Sejenak kemudian, seekor kuda telah berderap melalui pintu butulan meninggalkan halaman rumah itu. Di atas punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang yang bernama Ranajaya.

Di tikungan ketika ia menjumpai sekelompok prajurit bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga orang di antaranya tergesa-gesa meninggalkan tikungan itu dan berlari-lari mengambil seekor kuda bagi masing-masing di pondok mereka.

Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang akan mereka lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.

Sementara itu, Agung Sedayu yang sudah minta diri itu pun, kemudian keluar dari rumahnya dan turun ke halaman. Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan segera meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa asing di hatinya. Asing karena tanggapan yang diterima sama sekali lain dari bayangan yang selama ini menggelisahkannya.

Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di ujung lorong, di mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda, menghentikannya. Tangannya melambai-lambai, sedangkan wajahnya tampak berkerut-merut.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ada kesan yang aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun menghentikan kudanya pula.

“Agung Sedayu,” berkata Juga, “agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata mempunyai rencananya tersendiri.”

“Apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Agaknya ia ingin melibatkan seorang perwira di dalam persoalan, yang sebenarnya dapat dianggapnya selesai.”

“Maksudmu?”

“Belum lama berselang, Ranajaya telah mendahului keluar dari padukuhan ini, yang kemudian disusul oleh ketiga orang prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara mereka adalah yang telah kau kalahkan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya Juga tidak mengerti seluruh persoalannya dengan Ranajaya. Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

Karena itu, sejenak Agung Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk menentukan sikap.

“Aku akan kembali kepada Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu, “kalau Kakang Untara tidak berkeberatan, aku akan melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak ada persoalan antara aku dan Kakang Untara. Kalau Kakang Untara berkeberatan, aku akan mengambil jalan lain ke Sangkal Putung, meskipun agak jauh.”

“Aku rasa itu adalah jalan yang sebaik-baiknya,” sahut Juga.

Agung Sedayu pun segera memutar kudanya dan berlari kembali ke rumahnya yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu.

Untara yang masih ada di pendapa terkejut, melihat adiknya kembali, sehingga karena itu, dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya.

Sejenak, Agung Sedayu ragu-ragu, karena di sebelah kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.

“Katakanlah,” berkata kakaknya setelah Agung Sedayu turun dari kudanya.

Maka dengan singkat Agung Sedayu pun mengatakan persoalannya, seperti yang dikatakan oleh Juga.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para perwira, “Marilah kita menjadi saksi. Pergilah dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani kehendaknya. Kau tidak usah cemas, bahwa ia akan menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seorang prajurit, karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan menyertakan seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu. Supaya mereka melakukan rencana yang sebenarnya, biarlah seorang prajurit saja pergi bersamamu. Prajurit yang dapat diabaikan oleh Ranajaya.”

Agung Sedayu memandang kakaknya sejenak. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban cinde emban silatan. Siapa pun yang bersalah, ia akan menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu.

Sejenak kemudian, seorang prajurit yang ditunjuk oleh Untara pun telah bersiap. Dan sekali lagi Untara berpesan, “Pergilah. Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan peperangan. Prajurit yang menyertaimu adalah seorang yang berasal dari Macanam. Ia akan mengatakan, bahwa kebetulan kalian berangkat bersama-sama dari Jati Anom.”

Agung Sedayu mengerti maksud kakaknya. Karena itu, maka ia pun segera minta diri dan berpacu ke luar padukuhan Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari Macanan.

“Perananmu hanyalah menjadi saksi sebelum Kakang Untara sampai ke tempat itu.”

“Ya.”

“Apakah Ranajaya sudah mengenalmu?”

“Ya. Ranajaya sudah mengenal aku. Ketiga prajurit yang lain itu pun mengenal aku pula.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau lambat. Sebelum senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia masih akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal Putung itu.

Ternyata apa yang dikatakan Juga itu benar. Belum terlampau jauh keduanya keluar dari Kademangan Jati Anom, maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah jalan.

Semakin dekat, Agung Sedayu melihat semakin jelas empat orang berdiri termangu-manggu di tepi jalan itu pula.

“Ternyata mereka benar-benar menunggu aku,” desis Agung Sedayu.

“Ranajaya memang mempunyai sifat yang aneh. Kawan-kawannya, para perwira Pajang, menjadi heran pula melihat sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia menjadi semakin mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian dengan Ranajaya. Ia justru menjadi semakin aneh. Semakin tua dan semakin tinggi pangkat dan jabatannya, ia seakan-akan menjadi mabuk.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi keningnya menjadi semakin berkerut-merut. Agaknya memang sulit untuk menghindarkan dirinya.

Sejenak kemudian Agung Sedayu dan prajurit dari Macanan itu menjadi kian mendekat. Dengan dada yang berdebar-debar, Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser ke tengah jalan.

Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang, ketika ia melihat prajurit yang datang bersama Agung Sedayu. Dengan geram perwira itu berkata, “Kau Japa? Kenapa kau mengawal Agung Sedayu?”

“Aku sama sekali tidak mengawal. Aku kebetulan sekali ingin menengok keluargaku di Macanan.”

“Tetapi kenapa kali ini kau berkuda? Bukankah biasanya kau berjalan kaki saja?”

“Aku prajurit dari pasukan berkuda. Apa salahnya aku pulang berkuda sekali-kali di dalam hidupku.”

“Japa. Ingat, dengan, siapa kau berbicara.”

Japa mengerutkan keningnya. Ia memang berbicara dengan seorang perwira, sehingga karena itu, ia tidak dapat menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari kudanya.

“Bersikaplah sebagai seorang prajurit terhadap seorang perwira.”

“Ya,” sahut Japa singkat sambil berdiri tegak di samping kudanya.

Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di atas punggung kudanya yang berdiri termangu-manggu.

“Japa,” berkata Ranajaya, “kalau kau memang ingin pulang ke Macanan, pulanglah.”

“Aku akan pergi bersama-sama Agung Sedayu.”

“Pergilah dahulu.”

“Aku menunggunya.”

“Kau akan mencampuri urusan kami?”

“Tidak. Aku tidak akan membuat persoalan bagi diriku sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu saja. Tidak ada niat yang lain.”

Ranajaya menjadi tidak sabar lagi. Karena katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam persoalan ini, maka akibatnya akan membuatmu menyesal sekali.”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa.”

Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biarlah. Menepilah.”

Japa pun kemudian bergeser menepi menuntun kudanya.

Dalam pada itu, Ranajaya memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan Ranajaya melihat seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang yang tidak sewajarnya.

“Agung Sedayu,” geram Ranajaya, “apakah kau tidak mau turun dari kuda?”

“Sudah aku katakan Ranajaya, itu adalah hakku. Dan sekarang aku ingin cepat-cepat sampai ke Sangkal Putung sebelum senja.”

“Kau harus turun.”

“Jangan mengganggu perjalananku. Aku tergesa-gesa.”

“Kau harus turun. Aku tahu, dengan sebelah tanganmu kau dapat mengalahkan anak buahku. Tetapi jangan kau sangka, Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak itu,” berkata Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah dikalahkan oleh Agung Sedayu hanya dengan sebelah tangannya.

“Aku percaya Ranajaya,” jawab Agung Sedayu kemudian, “aku percaya. Dan sekarang berilah jalan. Aku akan lewat. Hanya sekedar lewat.”

Tetapi Ranajaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku ingin tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau andalkan, maka kau bersikap begini sombong.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan di saat-saat ia berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap seorang perwira yang angkuh inilah yang telah menghambat perjalanannya. Sama sekali bukan karena Untara melarangnya kembali.

“Ranajaya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sebaiknya kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku berbangga, bahwa para perwira tidak membuat persoalan atasku, karena aku bertengkar dengan seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba salah seorang perwira telah berbuat serupa, seperti prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh Untara, bukan sebagai kakakku, tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah ini.”

“Urusan Untara adalah urusan keprajuritan. Ia tidak perlu mengurusi sikap-sikap sombong seperti sikapmu ini.” Ranajaya berhenti sejenak, lalu, “Dan bukankah kau sendiri yang menuntut sikap jantan di antara kita?”

Agung Sedayu merasa, bahwa ia tidak akan dapat menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya berkata, “Agung Sedayu. Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau bercerita tentang Mataram. Kau harus berkata sebenarnya. Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau tuntut itu, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?”

Agung Sedayu berpikir sejenak. Agaknya ia dapat mencoba menghindari pertengkaran, selama masalah Mataram itu dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka katanya, “Apakah yang ingin kau ketahui tentang Mataram?”

“Siapa saja yang telah dibunuh oleh Sutawijaya di daerah yang sedang dibuka? Kau tentu tahu, dan kau tentu dapat mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya.”

Dada Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi dengan demikian ia justru ingin mendengar pertanyaan Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Sepengetahuanku Ranajaya, tidak ada orang yang sengaja dibunuh. Memang ada pertempuran-pertempuran kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu pembukaan Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan.”

“Ya, sebutkan siapa saja yang terbunuh di dalam peperangan itu?”

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tentu aku tidak dapat mengatakan seorang demi seorang.”

“Bohong!” tiba-tiba Ranajaya membentak. “Pajang harus mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat. Nah, berapa ribu orang sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk melawan Pajang.”

“Inilah yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu. “Berulang kali aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit. Tidak ada.”

“Bohong! Bohong! Aku akan memaksamu berkata.”

“Tidak ada yang akan aku katakan.”

“Itulah yang aku ingin tahu sebenarnya. Kau harus menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah pimpinan mereka. Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah terbujuk oleh Sutawijaya yang curang itu. Dan di mana saja mereka menempatkan pusat-pusat pertahanannya. Jangan ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang dikirim oleh Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat dengan Sutawijaya sejak Tohpati masih berkuasa di daerah ini. Kau berdua dengan anak Demang Sangkal Putung telah mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum Pemanahan berontak dan dengan kekerasan menduduki daerah yang belum resmi diserahkan kepadanya. Hanya karena kebesaran hati Sultan Hadiwijaya, maka Pemanahan diperkenankan membuka hutan itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan Hadiwijaya itu telah disalah-artikan oleh Pemanahan, sehingga mereka menganggap Pajang sudah terlampau lemah menghadapinya.”

Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan cerita itu? Mungkin seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya akan bercerita semacam itu.”

“Kau tentu tidak akan mengatakannya. Karena itu, aku akan memaksamu. Aku akan mendengar keterangan tentang Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret kembali ke Jati Anom untuk membuktikan kepada mereka, bahwa kau adalah telik sandi yang harus kita curigai, meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik Untara.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kalau Untara meyakini, bahwa kau seorang petugas sandi dari sahabatmu yang licik dan curang itu, kau akan mendapat perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri.”

“Jadi kau ingin menunjukkan jasa yang berlebih-lebihan kepada Kakang Untara? Atau kau ingin dianggap sebagai pahlawan besar bagi Pajang?”

“Tutup mulutmu! Kalau kau ingin berbicara, berbicaralah tentang pengkhianatan Sutawijaya. Jangan berkata tentang yang lain.”

Agung Sedayu merenung sejenak, lalu, “Kalau begitu lebih baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga.”

“Gila. Aku akan memaksamu. Ayo, turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu. Aku dapat memaksa kau berkata.”

“Mungkin kau dapat memaksa aku berkata. Tetapi yang aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Tetapi hanya sekedar memenuhi keinginanmu.”

“Kau benar gila,” dan tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi merah membara. Sejenak kemudian ia beringsut maju.

Agung Sedayu tidak melihat jalan lain daripada membela diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi di atas punggung kudanya, agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil berkata, “Japa, tolong, pegangi kudaku.”

“O, anak yang malang. Kau benar-benar akan menyesal,” geram Ranajaya.

Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia sudah berusaha menghindari pertengkaran, namun ia tidak berhasil.

Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Ia tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu, ia tidak ingin terpelanting pada sasaran pertama.

Ranajaya yang benar-benar telah tidak dapat mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin mendekat. Matanya seakan-akan telah menyala. Seakan-akan ia benar-benar berhadapan dengan seorang petugas sandi dari Mataram yang berhasil menyusup di antara pasukan Pajang.

Demikianlah bagi Ranajaya, Agung Sedayu memang mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar nama itu beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba sedikit tentang Agung Sedayu.

Masih terngiang di telinganya pesan seorang Tumenggung dari Pajang, “Kau harus mencari keterangan tentang sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk. Salah seorang dari mereka adalah adik Untara.”

Sebenarnya bagi Agung Sedayu sendiri, pengenalan Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya menumbuhkan teka-teki. Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa Ranajaya tidak akan mau mengatakannya.

“Agaknya cukup banyak prajurit Pajang yang mengenal aku sejak di Sangkal Putung, sampai pecahnya padepokan Tambak Wedi,” katanya di dalam hati. “Tetapi ternyata Ranajaya telah mencari hubungan keakrabanku dengan Raden Sutawijaya saat itu dengan kedatangan dari Mataram sekarang. Apalagi aku memang pernah pergi ke Alas Mentaok, sebelum daerah itu dibuka justru bersama-sama dengan Raden Sutawijaya.”

Agaknya peristiwa-peristiwa itulah yang telah dijalin oleh Ranajaya menjadi suatu kesimpulan, bahwa kedatangannya kali ini adalah atas perintah dan tugas dari Sutawijaya.

“Untunglah, bahwa Kakang Untara mengenal aku dengan baik, sehingga ia tidak mudah percaya dengan cerita-cerita itu,” katanya pula di dalam hatinya.

Namun sementara itu. Ranajaya telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram ia menunjuk wajah Agung Sedayu, “Jangan ingkar. Aku sudah banyak mendengar perananmu, peranan orang-orang bercambuk di Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya, orang-orang yang bersenjata cambuk seperti senjatamu dan gurumu.”

“Siapa yang menyampaikan hal itu kepadamu?”

“Tidak ada gunanya kau mengerti,” Ranajaya membelalakkan matanya. “Apakah kau mengaku?”

“Aku mengaku, bahwa aku mempunyai senjata cambuk. Hanya itu.”

“Persetan,” Ranajaya agaknya sudah tidak sabar lagi. Selangkah lagi ia maju, sehingga karena itu, Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.

Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun masih terdengar Ranajaya berkata, “Kau akan terpaksa mengatakannya, anak gila.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi matanya yang tajam segera melihat kaki Ranajaya terangkat. Cepat sekali, seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia bergeser dan melingkar di atas tumit satu kakinya, sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi lambungnya. Bahkan dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul pergelangan kaki itu dengan sisi telapak tangannya. Namun agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat tangkas. Sebelum tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya, Ranajaya telah melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi Agung Sedayu. Dan begitu kaki yang terjulur itu melekat di atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil, Ranajaya melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang lain.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ranajaya benar-benar seorang perwira yang lincah. Tetapi ia tidak membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung Sedayu merendahkan dirinya. Tiba-tiba saja kakinya melingkar mendatar, hanya sejengkal di atas tanah menyapu satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih terjulur. Dengan perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang terlonjak sedikit itu menginjak tanah, sedang yang lain masih terjulur lurus, kaki Agung Sedayu telah mengenainya.

Gerakan Agung Sedayu yang cepat itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika kakinya yang menginjak tanah itu terlempar, maka ia pun jatuh pula terbanting.

Tetapi Ranajaya tidak membiarkan serangan berikutnya. Dengan cepat pula ia berguling beberapa kali menjauh. Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang meloncat. Kemudian dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya yang renggang, langsung bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Itulah sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata seorang perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan pada bagian tubuhnya, memberikan sedikit petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah seorang yang tidak saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang.

Sejenak keduanya berdiri tegak di tempatnya. Namun kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat. Memang agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain daripada kekerasan. Dan Agung Sedayu memang tidak akan menghindar lagi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.

Para prajurit yang ada di luar arena hanya dapat melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.

Sekali-sekali wajah mereka menegang, namun kemudian sebuah senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi sejenak kemudian kening mereka menjadi berkerut-merut.

Para prajurit yang mengikuti Ranajaya hampir berbareng bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terlempar beberapa langkah, karena hempasan kaki Ranajaya yang tepat mengenai lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika serangan berikutnya mengarah pelipisnya.

Japa mengikuti perkelahian itu dengan tegang pula. Tetapi tampaknya ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak terseret ke dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin panas itu.

Ranajaya yang merasa dirinya seorang perwira yang terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa Agung Sedayu tidak segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa Untara, adalah seorang prajurit linuwih. Tetapi apakah dengan demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu juga menjadi seorang yang perkasa?

Karena itu, maka Ranajaya pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera memaksa Agung Sedayu menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya tentang Mataram, tentang Alas Mentaok dan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh Sutawijaya. Jika ia berhasil, maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan Untara sendiri, bahwa adiknya ternyata adalah telik sandi yang diselusupkan oleh Sutawijaya ke belakang garis pertahanan Pajang.

Tetapi Agung Sedayu pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Semula ia memang tidak memeras kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan dan hormat kepada prajurit Pajang, apalagi seorang perwira. Tetapi karena tubuhnya semakin sering dikenai serangan-serangan Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit, akhirnya Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.

“Aku harus bersungguh-sungguh,” katanya di dalam hati, “apa pun akibatnya. Kalau tidak, maka aku akan benar-benar menjadi bengkak-bengkak.”

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak lagi mencoba menghindarkan kemungkinan yang pahit bagi perwira itu. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah perwira itu akan menjadi sangat malu, apabila ia tidak dapat memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh Agung Sedayu.

Kalau semula Agung Sedayu tidak ingin mengalahkan lawannya dengan semena-mena di hadapan prajurit-prajuritnya, maka pikiran itu pun semakin lama menjadi semakin kabur, karena serangan Ranajaya yang semakin menyakiti badannya.

Sejak itulah, maka tampak perubahan pada keseimbangan perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru Ranajaya yang semakin bernafsu untuk segera memenangkan perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak.

Hampir tidak masuk akal bagi Ranajaya, bahwa ia merasa semakin lama semakin berat melawan tandang Agung Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang jauh melampaui kemampuan yang diperkirakannya. Meskipun demikian, Ranajaya adalah seorang perwira yang berpengalaman, meskipun ia masih muda. Karena itulah, maka meskipun sekali-sekali ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan sekali-sekali masih juga dapat mengenai sasarannya.

Tetapi kini serangan Agung Sedayu mulai mengenai tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan sekeping besi yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya. Tidak hanya satu kali, dua kali. Tetapi beberapa kali.

Perkelahian itu pun semakin lama benar-benar menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha menguasai lawannya. Langkahnya semakin lincah dan cepat, sehingga seakan-akan ia berada di segala arah bagi lawannya.

Perlahan-lahan perkelahian itu pun bergeser menepi. Begitu dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah berdiri tepat di pinggir tanggul sawah yang sedang digenangi air.

Sebuah serangan Ranajaya yang cepat dan tidak terduga-duga, ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan Ranajaya itu bagaikan memecahkan dinding dadanya, sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di belakang Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur.

Tetapi Agung Sedayu tidak mau terlempar sendiri ke dalam genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia masih berhasil menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga keduanya bagaikan terlempar ke dalam air yang berwarna coklat kehitam-hitaman.

Para prajurit yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan telah membeku di tempatnya. Tetapi ketika mereka melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka mereka pun hampir serentak meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir pematang.

Tertatih-tatih keduanya berusaha meloncat berdiri. Tetapi ternyata lumpur yang kotor, yang telah melumuri seluruh tubuh dan pakaian, membuat hati mereka semakin panas. Sehingga perkelahian selanjutnya adalah benar-benar perkelahian yang menentukan, meskipun keduanya masih tidak bersenjata.

Dalam pada itu, para prajurit yang berdiri di pinggir sawah, tidak sampai hati membiarkan perwiranya berkelahi berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka melihat setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi dengan lumpur yang semakin tebal.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian salah seorang berdesis, “Apakah kita dapat membantu?”

“Tunggu. Kita harus mendapat perintah atau ijin dahulu. Kalau tidak, kita akan justru dimarahinya.”

Kawannya menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali keningnya berkerut-merut. Lumpur yang melumuri seluruh tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi para prajurit, bahwa Ranajaya selain harus bergulat melawan lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi semakin terdesak.

Agung Sedayu yang merasa, bahwa tubuhnya menjadi sangat kotor dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat untuk segera mengakhiri perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi semakin garang, meskipun ia masih juga berada di dalam lumpur.

Ternyata, bahwa Ranajaya tidak mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang prajurit yang berpengalaman, tetapi Agung Sedayu pernah mengalami medan yang bermacam-macam, sehingga karena itu, maka ia telah berhasil benar-benar menguasai lawannya, seorang perwira pasukan Pajang.

Dengan demikian, maka prajurit-prajuritnya benar-benar tidak dapat tinggal diam. Salah seorang bergerak maju sambil berkata, “Ijinkan kami ikut menangkap telik sandi itu.”

Perwira Pajang yang sedang berkelahi itu tidak segera menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat keperwiraannya, sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan prajurit-prajuritnya ikut di dalam perkelahian itu.

Kerena Ranajaya tidak menyahut, maka seorang prajurit yang lain berteriak pula, “Apakah kami diijinkan untuk ikut menangkap anak itu?”

Masih tidak ada jawaban.

Dan sekali lagi prajurit di pinggir sawah itu berkata, “Kami minta ijin itu.”

Tetapi perwira yang sedang berkelahi itu tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tidak ingin berkelahi dengan curang. Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri yang cukup, sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajurit-prajuritnya itu.

Sikap itu ternyata menumbuhkan perasaan hormat pada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang menyadari, bahwa sebentar lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya, merasa kagum, bahwa meskipun Ranajaya termasuk seorang perwira yang bengal, tetapi ia tidak mau bertempur bersama prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung Sedayu.

Tetapi prajurit-prajuritnyalah yang menjadi gelisah. Karena Ranajaya tidak menyahut, maka mereka pun akan mengambil sikap sendiri. Salah seorang berkata, “ Ki Ranajaya tidak melarang, meskipun tidak mengiakan.”

“Kita bertindak sendiri,” sahut yang lain.

Tetapi yang lain lagi berkata, “Tetapi ia adik Ki Untara.”

Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian, “Kalau benar ia telik sandi, meskipun adiknya Ki Untara, kita memang harus menangkapnya.”

Kawannya termangu-mamgu sejenak, namun kemudian, “Tanggung jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita berbuat sesuatu.”

Sejenak prajurit-prajurit itu bimbang. Namun sejenak kemudian mereka beringsut maju.

Tetapi ketika mereka benar-benar akan terjun ke dalam lumpur, mereka terhenti, karena Japa yang ada di belakang mereka berkata, “He, apakah kalian akan ikut campur?”

“Kami akan menangkap petugas sandi dari Mataram itu.”

“Jangan. Ki Ranajaya akan marah kepada kalian. Kau telah minta ijin kepadanya, tetapi ia tidak menjawab. Kau tahu harga diri seorang satria?”

Ketiga prajurit itu mengerutkan keningnya.

“Biarkanlah perkelahian itu.”

Ketiga prajurit itu merenung sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Soalnya bukan perang tanding. Tetapi kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama.”

“Tuduhan itu tidak beralasan sama sekali. Kalian harus tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah seorang yang sangat membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena itulah, maka penilaiannya terhadap kawan Raden Sutawijaya juga tidak longgar lagi. Seakan-akan semua orang yang pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya adalah musuh Pajang. Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya sendiri memusuhi Pajang?”

Ketiga prajurit itu menjadi semakin bimbang. Dan Japa berkata, “Biarlah keduanya menyelesaikan persoalan mereka. Soalnya bukan Mataram atau Pajang. Bukan telik sandi atau prajurit yang setia. Keduanya adalah anak-anak yang masih muda. Yang satu tidak mau tersinggung oleh yang lain. Itu saja. Karena itu, marilah kita sekedar menjadi saksi.”

“Ah. Kau berpikir terlampau pendek. Ki Ranajaya tidak sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Ia menyadari kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang tumbuh.”

“Itu adalah omong kosong. Percayalah, bahwa mereka keduanya adalah anak-anak muda yang sombong, angkuh dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah tersinggung. Itulah sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apa-apa. Jangan dihubungkan dengan soal-soal yang tidak kita mengerti.”

“Persetan,” sahut seorang prajurit, “tetapi kita harus berbuat sesuatu.”

Japa menggelengkan kepalanya, “Jangan. Aku tidak sependapat.”

“Tetapi kami tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.”

“Biar sajalah.”

“Kau sama sekali tidak mau membantu seorang perwira atasannya yang sedang menjalankan tugas.”

“Aku dari pasukan berkuda. Bukan dari pasukanmu. Aku memang harus hormat kepada perwira yang mana pun. Tetapi tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang agak terlampau mudah tersinggung.”

“Terserah. Tetapi kami akan membantunya.”

Tetapi Japa menggeleng, “Jangan. Kau tahu arti kata-kataku ini? Biarkan saja apa yang akan terjadi.”

Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali dipandanginya wajah Japa yang berkerut-merut, namun kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang semakin sering jatuh, terbanting ke dalam lumpur.

Sebenarnyalah, prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Mereka bertiga telah mengenal prajurit dari pasukan berkuda yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawan prajuritnya. Beberapa orang justru mengatakan, bahwa ia mempunyai aji welut putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya, namun lawan-lawannya tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus mempunyai aji lembu sekilan, sehingga seakan-akan ia menjadi kebal, meskipun oleh kekuatan yang dapat melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga dikenainya.

Tetapi sejenak kemudian Japa itu pun berkata, “Dengarlah kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan Ki Ranajaya.”

“Kau lihat, Ki Ranajaya kini terdesak. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap kami yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan, bahwa kaulah yang mencegah kami, maka kau akan menjadi sasaran kemarahannya. Meskipun kau mempunyai aji welut putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat melawan Ki Ranajaya.”

“He, siapa yang mengatakan bahwa aku mempunyai aji welut putih dan apalagi lembu sekilan? Sama sekali tidak. Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki Ranajaya akan membenarkan sikapku. Kalau ikut campur, maka itu akan berarti, bahwa kau telah menurunkan sikap satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil mengalahkan Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok kalian pasti akan dihukum oleh Ki Ranajaya, karena kalian telah menghinanya, seolah-olah perwira itu tidak dapat mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap seperti seorang laki-laki yang sebenarnya.”

Ketiga prajurit itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Lalu apa gunanya kami dibawanya serta?”

“Maksudnya, kalian akan menjadi saksi apa yang telah terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan dalam perkelahian itu, maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang lain tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan sebagai laki-laki atas kehendak masing-masing.”

Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi kini ia melihat Ranajaya terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya terbenam di dalam air yang kotor di sela-sela tanaman padi muda, yang menjadi porak-poranda dan bosah-baseh.

Dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tetapi Agung Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian itu, sehingga begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera menyerang dengan dahsyatnya. Sebuah pukulan yang tidak terelakkan telah mengenai dagunya.

Sebenarnyalah, bahwa tenaga Ranajaya telah susut. Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali lagi ia terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu memburunya. Sebuah pukulan berikutnya mengenai perutnya.

Ranajaya membungkuk kesakitan. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu mengayunkan tangannya. Kali ini mengenai bagian bawah telinganya.

Terasa kepala Ranajaya bagaikan terputar. Kini ia terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, ia pun terjatuh menelentang.

Tenaga perwira muda itu bagaikan telah terhisap habis. Kepalanya menjadi pening, dan pandangan matanya seakan-akan berputaran. Awan yang terbang di langit bagaikan runtuh menimpa dadanya.

Tetapi Ranajaya tidak pingsan, meskipun ia tidak dapat lagi bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat kepalanya dan duduk di dalam lumpur yang basah.

Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun memancarkan kemarahan yang tiada taranya.

“Kau memang gila,” perwira itu menggeram, “aku akan membunuhmu, pengkhianat.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ranajaya mengumpat-umpat.

Tetapi dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika tangan Ranajaya meraba hulu kerisnya yang kotor oleh lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku benar-benar akan membunuhmu. Segores luka di kulitmu telah cukup untuk membuatmu tidak dapat lari lagi dari tangan maut.”

Agung Sedayu memandang tangan Ranajaya dengan dada yang berdebar-debar. Perwira itu benar-benar menjadi mata gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Keris bukannya sekedar barang mainan, yang dapat dipergunakan setiap saat yang disukainya. Tetapi keris akan langsung berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila dipergunakan.

“Apakah aku juga akan mempergunakan senjata?” pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.

Meskipun Ranajaya telah menjadi semakin lemah, tetapi keris di tangannya akan langsung berbahaya bagi jiwanya. Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah barang tentu kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan di pasar-pasar.

Sejenak Agung Sedayu jadi membeku. Keragu-raguaan yang dahsyat telah mencekam dadanya.

Dalam pada itu, Ranajaya agaknya benar-benar akan menarik keris dari wrangkanya. Sejenak ia masih memandang Agung Sedayu sambil menggeram, “Kau akan menyesal. Kau tidak akan melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke Sangkal Putung pada waktunya.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Ia tidak menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar telah kehilangan pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa kerisnya akan mungkin merenggut nyawa seseorang.

Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu termangu-mangu, mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu, terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin mendekat, sehingga hampir berbareng mereka berpaling.

Tangan Ranajaya yang telah melekat di hulu kerisnya, perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu menegang, ketika ia melihat orang yang berkuda paling depan dari beberapa orang penunggang kuda yang mendekati arena. Orang itu adalah Untara.

Para prajurit yang berdiri di tepi sawah itu pun menjadi termangu-mamgu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara akan sampai ke tempat itu juga.

Dalam pada itu, ketika Untara dan beberapa orang pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah meledak suara tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat suatu permainan yang lucu sekali. Bahkan Untara yang tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-guncang.

Demikian kudanya sampai di pinggir sawah berlumpur itu, ia pun segera meloncat turun diikuti oleh para pengiringnya. Namun ia masih saja tertawa berkepanjangan.

Para pengiringnya yang semula menjadi tegang, itu pun ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran dengan lumpur yang basah itu.

“He, apakah kerja kalian di sana?” bertanya Untara sambil berdiri di pematang.

Agung Sedayu yang memang sudah mengerti, bahwa kakaknva akan menyusul segera melangkah menepi. Kakinya terbenam sampai di atas mata kakinya itu.

“Kemarilah, kemarilah. Apakah kalian termasuk golongan kerbau yang sedang berkubang?” bertanya Untara di sela-sela suara tertawanya.

Kedua orang itu tidak menjawab. Ranajaya pun kemudian melangkah pula menepi. Tetapi karena tenaganya memang sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam, maka langkahnya pun tampaknya menjadi sangat berat.

Sejenak kemudian keduanya telah berdiri di atas pematang di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

“He, apakah yang telah kalian lakukan?” bertanya Untara masih sambil tertawa.

Keduanya tidak menjawab.

“Apakah kalian mencoba berkubang, atau mandi di air yang sangat dangkal ini, atau kalian mempunyai kesibukan lain, misalnya mencari belut?”

Keduanya masih terdiam.

“Kenapa kalian diam saja?” suara Untara menurun, dan tertawanya pun sudah mereda. “Lihat, tanaman padi yang hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini mempunyai warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan?”

Ranajaya dan Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.

Untara pun kemudian berpaling kepada prajurit-prajurit yang berdiri berjajar sambil menundukkan kepala mereka pula, “He,” berkata Untara, ternyata kalian mendapat tontonan yang menyenangkan. Sayang, aku datang terlambat.”

Tidak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin tunduk. Hanya Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula, tetapi ia sempat tersenyum di dalam hati.

Dalam pada itu, Untara berkata selanjutnya, tetapi dalam nada yang berbeda, “Nah, setelah kalian puas dengan sikap jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?”

Masih tidak ada jawaban.

“Kepuasan? Kebanggaan atau apa?”

Agung Sedayu menarik nafas. Ketika ia mencoba memandang Ranajaya dengan sudut matanya, dilihatnya perwira itu masih tetap menunduk.

“Adi Ranajaya,” berkata Untara kemudian, “memang itukah yang kau kehendaki?”

Ranajaya menggigit bibirnya.

“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “kalian tentu tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat menduga, apa yang baru saja terjadi di sini. Perkelahian karena masing-masing tidak mau sedikit saja tersinggung perasaannya. Atau barang kali karena kebencian yang tidak mempunyai dasar alasan, tetapi sudah berkobar membakar urat nadi. Inilah yang kalian temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada orang yang melihat, memalukan sekali. Untunglah, bahwa saat-saat menjelang senja, hampir tidak ada orang lagi di sawah dan tidak ada orang yang kebetulan lewat di jalan ini.”

Tetapi belum lagi Untara terdiam, di kejauhan dilihatnya seseorang berjalan merunduk menjauhi tempat itu.

“He, ternyata ada juga yang menonton perkelahian ini dari jauh. Tetapi mereka pasti tidak akan berani melerai, karena di sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai, mendekat pun tidak berani.”

Semua berpaling ke arah tatapan mata Untara. Tetapi mereka tidak melihat apa pun lagi, karena orang itu sudah bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang tumbuh agak lebih besar. Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar ia tidak terlibat di dalam perkelahian yang terjadi itu.

“Tentu tidak hanya seorang itu,” berkata Untara, “karena itu, jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang prajurit tidak akan berselisih di sembarang tempat dan di sembarang waktu, karena sembarang persoalan.”

Ranajaya hanya menundukkan kepalanya saja tanpa berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk memaksa Agung Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari Mataram telah gagal, meskipun ia masih tetap berpendapat demikian, ia masih tetap menganggap bahwa justru karena Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di daerah selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa dicurigai. Dan agaknya Untara memang tidak menaruh curiga sama sekali kepada adiknya itu.

“Tetapi,” berkata Untara, “jika sudah terjadi demikian, kalian telah menjadi puas. Kalian telah melepaskan gejolak di dalam hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para perwira, jika mereka melihat seorang Ranajaya dalam pakaiannya yang aneh sekarang ini? Dan apa kata Ki Demang di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka melihat Agung Sedayu yang baru keluar dari kubangan?”

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Nah, sekarang bagaimana dengan kalian berdua?” Keduanya tidak segera menjawab.

“Apakah kalian akan tetap memakai pakaian itu, atau kalian akan berganti pakaian di sini?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar