Buku 062
“Jangan terlampau memanjakan
perasaanmu. Biarkan Sedayu pergi. Memang tidak ada keharusan untuk menuntun
kuda di sepanjang lorong padukuhan. Karena itu, ia melakukannya.
Petugas-petugas di regol pun tidak melarangnya atau memperingatkannya.”
“Persetan,” geram prajurit
muda itu, “tetapi ia sudah menghina aku.”
Juga akan menjawab. Tetapi
kedua kawan prajurit itu berkata, “Ia menjadi kambuh lagi. Bukankah memang
begitu sifatnya?”
“Tetapi ia harus dicegah,”
sahut Juga.
“Kami sudah mencoba, tetapi ia
tidak menghiraukan.”
Juga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepada Sedayu. Kami akan
menjadi saksi apa yang telah terjadi sebenarnya di sini. Kalau kau tidak
bersedia diperlakukan demikian, terserahlah kepadamu.”
“He, apa maksudmu?” bertanya
prajurit muda itu.
“Kalian adalah anak-anak muda.
Agaknya kalian ingin menyelesaikan persoalan yang paling kecil sekali pun
dengan cara anak muda.”
“Tetapi aku prajurit.”
“Itulah kesalahanmu yang
terbesar. Kalau kau mau menunjukkan kemudaanmu, kekuatanmu, lepaskan dahulu
sebutan itu,” jawab Juga. Lalu, “Aku juga seorang prajurit. Tetapi aku
menganggap sikapmu keliru.”
“Persetan,” dan tiba-tiba
prajurit muda itu memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang
seakan-akan membara, ”aku akan menghajarmu.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kedatangannya di Jati Anom pagi ini kurang
meuguntungkannya sehingga ia harus bertengkar lebih dahulu dengan seorang
prajurit.
Tetapi tanpa diduga-duga Juga
berkata, ”Kalau kau menganggap perlu membela diri, lakukanlah Sedayu. Kami
sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Mungkin ia masih ingin mengukur, sampai di mana kemampuannya yang sebenarnya.”
Prajurit muda itu berpaling.
Dipandanginya Juga dengan tajamnya. Tetapi Juga agaknya acuh tidak acuh saja.
Sedang kedua kawannya yang lain justru tersenyum-senyum. Salah seorang berkata,
“Anak itu memang anak bengal.”
Juga bergeser mendekatinya
sambil berbisik, “Tetapi kali ini ia akan menyesal.”
Kedua prajurit itu mengerutkan
keningnya. ”Kenapa?” hampir berbareng mereka bertanya.
Tetapi Juga tidak menjawab.
Sebuah senyum yang aneh terbayang di bibirnya.
Kedua prajurit itu pun menjadi
heran. Sejenak mereka memandang wajah Juga yang aneh.
Salah seorang dari kedua
prajurit itu bertanya, “Kau kenal anak itu?”
“Anak itu kawanku berkelahi
sejak kecil. Dan aku tidak pernah kalah. Apalagi ia penakut dan cengeng di masa
kanak-kanak.”
“Apakah sekarang ia masih
seorang penakut dan cengeng?”
”Lihat sajalah.”
Kedua prajurit itu terdiam.
Mereka memandang kedua anak muda yang saling berhadapan. Yang seorang
berpakaian prajurit, yang lain tidak.
Ternyata beberapa orang yang
kebetulan lewat di lorong itu menjadi tertarik pula. Mereka semula tidak
menyangka bahwa prajurit-prajurit itu telah bertengkar di pinggir lorong. Namun
orang-orang yang lewat kemudian mengetahui, bahwa ternyata keduanya menjadi
semakin tegang.
Tetapi tidak seorang pun yang
berani menegurnya. Mereka hanya memandang dari kejauhan dengan kecemasan.
Sekali-sekali mereka memandang prajurit-prajurit yang berdiri didekat kedua
anak-anak muda yang sedang bertengkar itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.
“Aku masih memberi kau
kesempatan,” bentak prajurit yang sedang bertengkar dengan Agung Sedayu itu,
“tetapi kalau kesempatan sekali ini kau sia-siakan, aku akan bertindak keras.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Berjongkok dan aku akan
menginjak ikat kepalamu yang harus kau bentangkan di tanah.”
Mata Agung Sedayu menjadi
merah. Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterimanya. Meskipun demikian ia
tidak berbuat sesuatu selain berdiri tegak di tempatnya.
“Kau tidak mau melakukan?
Tidak mau? Aku menghitung sampai tiga.”
Agung Sedayu masih tetap
berdiri tegak.
“Satu, dua,” prajurit itulah
yang menjadi tegang sekali, sedang Agung Sedayu sama sekali tidak bergerak.
“Tiga,” teriak prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu tetap di
tempatnya.
Prajurit itu menjadi marah
sekali. Sambil menggeram ia melangkah semakin dekat, ”Kau memang gila.”
Karena Agung Sedayu sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya, maka prajurit itu pun maju semakin dekat.
Tetapi tiba-tiba saja Agung
Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sambil memegang kendali kudanya ia
berkata, ”Aku akan pergi saja. Aku tidak akan melayani perbuatan yang tidak
pada tempatnya ini.”
”Gila, kau tidak akan dapat
pergi.”
Agung Sedayu ternyata tidak
sempat meloncat ke punggung kudanya karena prajurit itu tiba-tiba saja meloncat
menyerangnya.
Kini tidak ada jalan lain bagi
Agung Sedayu selain mempertahankan dirinya.
Sebagai seorang anak muda yang
memiliki pengalaman yang cukup serta berbekal ilmu yang cukup pula. Agung
Sedayu dapat menilai bobot dari serangan lawannya. Karena itu, tanpa melepaskan
kendali kuda yang dipeganginya dengan tangan kiri, tangan kanannya menangkap
tangan prajurit yang terayun ke keningnya. Dengan satu putaran, maka tangan itu
pun terpilin ke belakang oleh putaran tubuhnya sendiri. Sedang genggaman tangan
Agung Sedayu serasa himpitan besi yang meretakkan tulang-tulansnya.
Tiba-tiba saja prajurit itu
berteriak kesakitan. Ia pernah mengalami latihan yang berat dan pendadaran
sebelum menjadi seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba saja tangannya sekali
terpilin ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Sambil menekankan tangan itu
ke punggungnya Agung Sedayu berdesis, ”Apakah kau masih memerlukan ikat
kepalaku?”
“Aduh. Jangan kau patahkan
tanganku. Aduh.”
“Jawab pertanyaanku.”
“Aduh, gila kau. Juga, he,
kenapa kalian diam saja?”
Kedua kawannya terkejut
melihat ketangkasan Agung Sedayu yang masih tetap memegang kendali kudanya.
Tetapi ketika keduanya mulai melangkah, Juga berkata, ”Biarkan ia mengenal anak
muda yang akan dihinakan itu.”
“Setan kau, Juga,” teriak
prajurit yang kesakitan itu.
“Salahmu. Aku sudah memperingatkan.”
Ketika Agung Sedayu menekan
sedikit lagi, terdengar ia mengaduh semakin keras.
“Aku akan mematahkan tangan
ini,” desis Agung Sedayu.
“Jangan, jangan.”
“Nah, kau belum menjawab.
Apakah kau masih memerlukan ikat kepala?”
Karena prajurit itu tidak
segera menjawab, maka tangan Agung Sedayu semakin keras menekan.
“Jawablah.”
“Ya, ya, eh maksudku tidak.
Aku tidak akan……,” ia menyeringai semakin lebar. ”Juga, kau gila.”
“Jangan mengharap bantuan
orang lain. Kau sudah memulainya. Kau juga yang harus menyelesaikan,” jawab
Juga.
”Gila. Tetapi kau akan dihukum
karena kau melawan seorang prajurit. Kawan-kawanku akan datang menghancurkan
kau atau kau akan dibawa menghadap senapati. Mungkin kau dapat digantung karena
perlawananmu ini. Kau sudah memberontak.”
“Aku tidak peduli. Tetapi
jawab pertanyaanku.”
Oleh tekanan yang semakin
keras, prajurit itu berteriak, ”Tidak, aku tidak memerlukannya lagi.”
Agung Sedayu pun kemudian
mendorong prajurit itu sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika tangan
itu dilepaskan.
“Setan alas!” prajurit itu
mengumpat dengan geramnya. Wajahnya menjadi merah. Hampir saja ia menarik
kerisnya. Tetapi Agung Sedayu sudah meloncat ke atas punggung kudanya dan pergi
meninggalkannya.
Tetapi prajurit muda yang
ditinggalkannya itu mengumpat-umpat. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa
dengan satu gerakan yang sederhana, bahkan dengan satu tangan, sedang tangan
yang lain masih memegang kendali kuda, ia sudah tidak mampu melakukan
perlawanan lagi.
“Jangan lari, Pengecut!”
teriak prajurit itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak
menghiraukannya.
“Kita berkelahi dengan
senjata.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi
semakin jauh.
Karena Agung Sedayu tidak ada
lagi, maka kemarahan prajurit muda itu kini ditujukan kepada Juga, yang seolah-olah
telah menghalang-halangi kawan-kawannya untuk membantu.
”Kau memang gila, Juga. Kau
senang melihat aku dihina orang di padukuhan ini? Apakah karena kau sudah
mengenalnya sehingga kau lebih dekat dengan orang gila itu daripada
kesetia-kawananmu terhadap sesama prajurit.”
“Jadi, maksudmu?”
“Hajar anak itu sampai biru
bengap. Kenapa kau cegah kawan-kawan untuk membantu aku?”
“Kau menghina kedudukanmu
sendiri. Kau menghina harga diri prajurit Pajang. Apakah prajurit Pajang hanya
dapat berkelahi dengan curang? Kalau kau memang jantan, kau sendirilah yang
harus menyelesaikannya. Bukan aku, bukan orang lain, dan bukan beramai-ramai
seluruh pasukan segelar sepapan.”
“Persetan. Ternyata kau bukan
kawan yang baik bagi kami. Kalau begitu, apakah kau akan menggantikannya?”
“Maksudmu berkelahi melawan
kau?” bertanya Juga.
“Ya.”
“Ah,” salah seorang prajurit
yang lain mencegah, ”persoalannya sudah lain sama sekali. Sudahlah. Kita bukan
anak-anak lagi.”
“Tetapi ia bersikap bermusuhan
terhadapku. Ia berpihak pada anak gila itu.”
“Aku memang lebih baik
berkelahi dengan kau daripada melawan anak itu. Bukan karena aku kawannya sejak
kecil, tetapi kami berempat tidak akan dapat menang. Bersenjata atau tidak
bersenjata. Apalagi aku sama sekali tidak ingin membuat persoalan ini
berkepanjangan. Bahkan mungkin kita akan dapat dilemparkan dari tugas
keprajuritan.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.
“Pertama, kaulah yang
bersalah. Kau bersikap kasar dan seolah-olah kau adalah onng yang paling
berkuasa.”
“Bohong!”
“Tunggu. Aku belum selesai.
Yang kedua, aku tidak mau berhadapan dengan senapati daerah selatan.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Katanya, ”Gila, kenapa mesti berhadapan dengan senapati kita.”
“Anak itu, anak yang akan kau hinakan
itu adalah Agung Sedayu. Ia anak Jati Anom.”
“Aku sudah tahu.”
“Senapati kita juga anak Jati
Anom.”
“Aku sudah tahu.” Tetapi
prajurit itu kemudian bertanya, ”Apakah unsur kampung halaman sangat
mempengaruhi perasaan dan sikap senapati, sehingga apa pun persoalannya ia akan
berpihak kepada orang se padukuhan?”
“Tidak. Bukan begitu. Ia
adalah seorang yang berdiri tegak di atas tugas keprajuritannya. Tetapi seperti
yang aku katakan, justru karena itulah ia akan bertindak terhadap kita, apabila
kila bersalah, meskipun kita seorang prajurit. Tetapi lebih daripada itu, kita
sudah bersalah terhadap Agung Sedayu.”
“Kenapa dengan Agung Sedayu.
Apakah kelebihannya?”
“Agung Sedayu adalah adik
senapati itu. Agung Sedayu adalah adik seayah dan seibu dari Untara.”
“He,” mata prajurit muda itu
terbelalak karenanya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada
yang sumbang ia berkata, ”Ah, kau bohong. Kau hanya akan menakut-nakuti aku.”
“Aku tidak berbohong. Keduanya
adalah kawanku bermain. Dan keduanya adalah anak-anak Jati Anom ini. Selebihnya
kau tahu sendiri. Dengan sebelah tangannya ia membuatmu tidak berdaya.”
Prajurit itu sejenak mematung.
Dan Juga berkata selanjutnya, ”Untunglah bahwa anak itu adalah anak yang paling
sabar yang pernah aku kenal. Kalau saja ia berbuat sesuatu atasmu, maka aku
kira kau tidak akan mengenal matahari mencapai puncak di hari ini. Kalau saja
sifat-sifat Agung Sedayu itu sama seperti Untara, maka kau pasti sudah
digilasnya. Bukan saja kau, tetapi kami yang lain ini juga.”
Tubuh prajurit muda itu
tiba-tiba saja menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia berkata, ”Kenapa kau
tidak memberitahukan kepadaku sejak mula-mula?”
“Aku datang setelah kalian
bertengkar. Dan aku tahu sifat-sifatmu sebelumnya, sehingga sekali-sekali kau
memang perlu mendapat peringatan. Kali ini kau bertemu dengan adik Untara itu.”
“Tetapi, tetapi bagaimana
dengan senapati? Apakah benar-benar aku akan diusir dari tugas keprajuritan?”
Juga menggelengkan ke palanya.
Katanya, ”Kalau kau jera melakukan tindakan-tindakan yang tercela itu, kau
tidak akan diapa-apakan. Aku kira Agung Sedayu bukan orang tumbak cucukan. Ia
tidak akan melaporkannya kepada kakaknya. Bahkan mungkin ia akan berusaha
melindungimu. Ia memang anak yang aneh menurut pendengaranku dan aku sudah
melihatnya sendiri saat ini.”
Prajurit muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih membayang kegelisahan di wajahnya.
Sekali ia menelan ludahnya, namun ia tidak dapat segera menenangkan hatinya.
Bahkan setiap kali ia masih berkata, “Kenapa kau tidak memberitahukan
kepadaku.”
“Suatu pelajaran buatmu,”
sahut Juga.
Dalam pada itu Agung Sedayu
telah sampai di depan regol rumahnya. Dengan dada yang berdebar-debar, ia pun
turun dari kudanya, dan dituntunnya mendekati regol itu. Beberapa orang
prajurit yang berada di regol itu memandanginya dengan heran. Seorang dari
prajurit-prajurit itu yang sedang bertugas jaga sambil membawa senjata,
melangkah maju menyongsongnya.
“Kau akan kemana, anak muda?”
bertanya prajurit itu.
“Aku akan masuk ke halaman
rumah ini.”
“Apakah kau mempunyai suatu
keperluan?”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Mereka pasti belum tahu bahwa ia adalah pemiiik rumah itu bersama-sama
dengan Untara yang mempergunakannya sebagai tempat tinggal para pemimpin
pasukan Pajang di Jati Anom. Karena itu barangkali lebih baik langsung
mengatakan siapakah ia sebenarnya supaya tidak timbul lagi salah paham.
“Apakah keperluanmu?” prajurit
itu mendesak.
“Aku akan menemui Kakang
Untara.”
”Kau akan menemui Senapati?”
“Ya.”
“Apakah keperluanmu?”
“Keperluan pribadi. Aku adalah
adiknya.”
Para prajurit itu saling
berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka yang sedang bertugas itu pun
kemudian bertanya. ”Apakah kau benar-benar adik Senapati Untara?”
“Ya. Aku adik sekandungnya.
Rumah ini adalah rumah kami. Dan aku akan masuk menemuinya.”
Tetapi agaknya
prajurit-prajurit itu masih ragu-ragu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba mereka
mendengar seorang memanggilnya, ”He, kau Sedayu?”
Semua orang berpaling.
Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari mendapatkan Agung Sedayu.
“Bukankah kau Agung Sedayu?”
prajurit itu mencoba meyakinkan setelah ia berdiri berhadapan.
“Ya. Aku Agung Seuayu. Kau
Surat? Kau juga menjadi prajurit?”
“Ya. Aku juga menjadi
prajurit.”
“Juga pun menjadi prajurit.”
“Ya, Juga menjadi prajurit
juga. Di mana kau selama ini?”
“Aku pergi bertualang.”
“Dan sekarang kau pulang?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sementara ita Surat berkata kepada kawannya, ”Inilah Agung Sedayu.
Adik sekandung Senapati kita.”
Prajurit-prajurit yang berdiri
di pintu regol itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini tidak ragu-ragu.
Salah seorang dari mereka ternyata telah mengenalnya.
“Aku akan menemui Kakang
Untara.”
“Aku lihat ia ada di dalam.
Masuklah.”
“Terima kasih.”
Agung Sedayu pun kemudian
sambil menganggukkan kepalanya menuntun kudanya masuk ke halaman rumahnya yang
sudah agak lama ditinggalkannya.
“Berikan kudamu,” berkata
Surat.
Agung Sedayu memandanginya
sejenak, lalu menyerahkan kendali kudanya kepada prajurit itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
berjalan melintasi pendapa. Ketika ia sampai di serambi pendapa ia melihat
seorang perwira melintas. Sesaat perwira itu berhenti memandangnya. Tetapi
perwira itu tidak menyapanya. Ia langsung melangkah meninggalkan pendapa.
Agung Sedayu menarik nafas.
Ada juga perwira yang tinggi hati. Atau, karena ia menjadi seorang perwira,
maka ia menjadi tinggi hati.
Agung Sedayu berdiri
termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit-prajurit yang
bertugas di regol memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
“Aku yang memiliki rumah ini,”
berkata Agung Sedayu di dalam hati. ”Aku dapat berbuat apa saja sekehendakku.”
Maka Agung Sedayu pun segera
melangkah naik ke pendapa. Diamat-amatinya perhiasan yang melekat di dinding
yang menyekat pendapa itu dengan pringgitan. Sebuah perisai, tombak pendek yang
bersilang, dan sebuah busur.
Tetapi letak hiasan itu sama
sekali tidak memberikan keseimbangan bentuk bagi keseluruhan dinding itu.
Agaknya senjata-senjata itu asal saja digantungkan, tanpa menghiraukan letak
dan bidang.
Agung Sedayu berpaling ketika
ia mendengar pintu berderit. Seorang perwira melangkah keluar dari pintu
pringgitan. Perwira yang dilihatnya melintas tanpa menyapanya tadi.
Sejenak perwira itu berdiri
keheran-heranan. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Baru kemudian ia
bertanya, ”He, kenapa kau ada di situ?”
Agung Sedayu memandangnya
sejenak. Lalu menjawab, ”Aku akan bertemu dengan Kakang Untara.”
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu.”
“Siapa Agung Sedayu?”
“Adik Untara.”
Perwira itu memandanginya
sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Jadi kaulah yang bernama Agung
Sedayu. Adik Untara yang dikabarkan berada di Mataram?
Dada Agung Sedayu berdesir.
Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia menjawab tegas, ”Ya. Aku baru
datang dari Mataram.”
“Bagus. Kau pasti seorang
prajurit atau pengawal tanah yang baru dibuka itu. Benar?”
“Apakah Kakang Untara berkata
begitu?”
Perwira itu terdiam sejenak.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkata apa pun juga, ia pun
segera melangkah pergi.
Agung Sedayu menjadi
terheran-heran melihat tingkah perwira itu. Ia belum pernah mengenalnya dan
sebaliknya. Tetapi perwira itu sikapnya sama sekali tidak menyenangkannya. Bahkan
setelah ia mengetahui, bahwa ia adalah adik Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak
menghiraukannya. Kini ia tidak mau lagi berdiri termangu-mangu di pendapa.
Meskipun semula ia ragu-ragu namun kemudian dibulatkannya hatinya, untuk
langsung masuk ke pringgitan.
Setelah menenangkan hatinya
sejenak, maka ia pun melangkah dengan hati tetap menuju ke pintu pringgitan.
Tetapi sekali lagi langkahnya
terhenti. Di muka pintu ia berpapasan dengan seorang perwira yang lain. Perwira
itu pun agaknya terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu ia bertanya
dengan dahi yang berkerut-merut, ”Siapa kau?”
Agung Sedayu tidak mau
berputar-putar lagi. Langsung ia menjawab, ”Aku Agung Sedayu. Adik Kakang
Untara.”
“O, jadi kau yang bernama
Agung Sedayu?”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Lalu, ”Ya. Akulah Agung Sedayu.”
Tiba-tiba saja di luar dugaan
Agung Sedayu perwira itu mempersilahkan dengan ramahnya. ”Marilah. Marilah.
Kakakmu sudah menunggu. Silahkan masuk ke pringgitan. Aku akan memanggilnya. Ia
berada di belakang.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, ”Terima kasih.”
Ketika perwira itu kemudian
masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu menyesal karenanya, bahwa ia bersikap
terlampau angkuh justru kepada perwira yang ramah. Ia menyangka, bahwa perwira
ini pun akan bersikap angkuh seperti yang dijumpainya pertama-tama.
Sejenak kemudian pintu dari
ruang dalam itu pun terbuka. Seorang anak muda yang tegap dan berwajah dalam
melanggkahi tlundak pintu sambil memandang Agung Sedayu dengan tajamnya.
“Kakang Untara,” Agung Sedayu
berdesis.
“Kau Sedayu,” suara Untara
dalam.
Agung Sedayu pun kemudian
dengan serta-merta mendapatkan kakaknya, yang kemudian mencengkam pundaknya.
Sambil mengguncang-guncang pundak adiknya Untara bertata, ”Akhirnya kau pulang
juga, Sedayu. Kau bertambah dewasa dan sorot matamu menjadi bercahaya. Aku
sudah cemas bahwa aku akan kehilangan seorang adik. Tetapi ternyata bahwa kau
benar-benar datang kepadaku lagi.”
Dada Agung Sedayu berguncang
mendengar kata-kata kakaknya. Tetapi ia mencoba untuk tidak mempersoalkannya di
hatinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dan Agung Sedayu tahu benar bagaimana
kakaknya sangat mengharap kedatangannya. Agung Sedayu adalah satu-satunya
adiknya. Satu-satunya saudaranya yang sejak kecil selalu dilindunginya,
dibimbing dan diharapkannya untuk menjadi seorang anak muda yang baik.
Kebanggaannya melonjak sejak Agung Sedayu berhasil memecahkan kungkungan
ketakutan yang membalut jiwanya pada waktu itu, pada waktu ia menitikkan
darahnya untuk yang pertama kali di arena perang tanding melawan Sidanti,
meskipun ia masih belum berbuat sebaik-baiknya.
Karena itu untuk sesaat Agung
Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya kakaknya mengguncang-guncangnya. Dan Untara
berkata seterusnya, ”Badanmu bertambah kokoh. Pasti hasil tempaan dukun tua
yang baik itu. Aku berharap bahwa kau benar-benar akan menjadi seorang prajurit
yang baik.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi terasa jantungnya menjadi semakin berdebaran.
“Duduklah Sedayu,” berkata
Untara kemudian.
“Terima kasih, Kakang,” jawab
Agung Sedayu.
Agung Sedayu pun kemudian
duduk di pringgitan bersama Untara dan seorang peiwira yang memanggil Untara.
“Inilah adikku yang aku
katakan itu,” berkata Untara kepada kawannya.
“Ya. Aku sudah bertanya
kepadanya, dan ia mengatakan bahwa ia adalah adikmu.”
“Ia memang mempunyai
sifat-sifat aneh.”
Agung Sedayu hanya dapat
tersenyum ketika perwira itu tersenyum pula.
”Kapan kau datang dari
petualanganmu, Sedayu?” bertanya Untara kemudian.
“Semalam, Kakang.”
Untara mengerutkan keningnya,
”Kau langsung pergi ke Sangkal Putung?”
”Ya. Karena kami pergi bersama
anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Dan pagi-pagi aku sudah berangkat dari
Sangkal Putung kemari. Tetapi aku tiba-tiba saja ingin melihat rumah Ki Tanu
Metir, sehingga aku agak siang juga sampai di sini.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan tanpa diduga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, ”Dan kau
memerlukan berkelahi juga sebentar.”
“O.“
“Laporan itu sudah aku
dengar.”
Agung Sedayu terdiam sejenak.
Begitu cepat laporan itu sampai kepada kakaknya. Ia tidak melihat seorang pun
yang melaporkannya. Dan ia sendiri pergi berkuda. Tetapi ternyata laporan itu
datang lebih dahulu daripadanya.
”Kau heran, dari mana aku
mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Kami mempunyai jarring-jaring
yang rapi di segala bidang. Hubungan yang cepat dan pengawasan yang rapat.
Itulah sebabnya, setiap persoalan segera sampai padaku. Meskipun kau berkuda,
tetapi seseorang yang berjalan memintas, lewat pekarangan akan datang lebih
dahulu daripadamu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Tetapi kau sudah bersikap
benar. Prajurit-prajurit muda itu memang perlu mendapat peringatan.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kakaknya tidak marah kepadanya dan tidak menghubungkan
persoalan itu dengan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya memang tidak
mempunyai hubungan apa pun.
Sejenak kemudian beberapa
orang perrwira pembantu Untara pun datang menemui Agung Sedayu pula. Dua orang
yang sudah setengah umur, sedang dua orang yang lain masih muda. Tetapi Agung
Sedayu tidak melihat perwira yang bersikap acuh tidak acuh kepadanya.
Setelah memperkenalkan diri
mereka masing-masing, maka perwira itu pun segera bertanya beberapa hal tentang
tamunya. Dan mau tidak, mau pembicaraan mereka pun berkisar pada perjalanan
Agung Sedayu dan tanpa dapat menghindar lagi mereka sampai juga pada daerah
yang sedang dibuka itu.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Sebelum ia dapat berbicara dengan kakaknya sendiri, maka ia
sudah harus berbicara dengan beberapa orang sekaligus.
“Apakah Mataram sudah berhasil
mengatasi kesulitan-kesulitannya?” bertanya salah seorang dari perwira itu.
“Belum seluruhnya,” jawab
Agung Sedayu, ”masih banyak yang harus diatasi.”
“Apa saja yang masih
menghambat perkembangan daerah itu?”
“Masih banyak. Daerah yang
keras dan hutan yang lebat.”
Dan tiba-tiba saja seorang
perwira yang sudah setengah umur bertanya, ”Bagaimana dengan hantu-hantu itu?”
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Ternyata Pajang banyak mengetahui tentang perkembangan daerah
baru itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi termangu-mangu
sejenak.
“Bukankah orang-orang yang
bekerja di Alas Mentaok selalu diganggu oleh hantu-hantu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, ”Mungkin akan segera dapat diatasi.”
Perwira itu mengerutkan
keningnya, ”Apakah Mataram dapat menemukan cara untuk melawan hantu-hantu itu?”
Agung Sedayu memandang Untara
sejenak, tampak sebuah senyum yang membayang di bibirnya. Karena itu maka Agung
Sedayu berkata, ”Laporan itu pasti sudah sampai di sini. Apa yang sebenarnya
telah terjadi di Mataram.“
Perwira itu pun memandang
wajah Untara pula. Keduanya tiba-tiba saja tersenyum hampir berbareng. Dengan
demikian maka Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa Pajang telah mendapat
laporan tentang segala, peristiwa yang terjadi di Mataram.
“Laporan itu belum lengkap,”
berkata Untara, “tetapi sebagian memang sudah ada pada kami. Di samping harus
mengatasi kesulitan yang timbul, dari alam yang keras, Raden Sutawijaya dan Ki
Gede Pemanahan masih harus melawan gangguan hantu-hantu. Tetapi agaknya
hantu-hantu itu lambat laun akan berhasil didesak ke luar dari Alas Mentaok.
Bukankah begitu? Meskipun dengan demikian, belum berarti semua kesulitan dapat
diatasi.”
Agung Sedayu hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan ia berharap bahwa demikianlah
hendaknya sehingga ia tidak perlu memberikan keterangan tentang Mataram. Tetapi
ternyata justru Untara-lah yang kemudian bertanya, ”Agung Sedayu, bagaimana
pendapatmu tentang usaha Raden Sutawijaya itu? Apakah akan berhasil seperti
yang dikehendakinya atau tidak?”
Agung Sedayu berpikir sejenak,
namun kemudian ia menjawab, ”Aku tidak dapat mengatakan, Kakang. Aku tidak tahu
sampai ke manakah rencana Raden Sutawijaya itu. Apakah ia akan sekedar
membangun sebuah padukuhan yang besar atau sebuah kota atau yang lainnya. Kalau
menurut pendengaranku Mataram itu sudah diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan,
maka kemungkinan Raden Sutawijaya akan mendapatkan bentuk Tanah Perdikan.
Tetapi Pati berkembang ke arah yang lain. Pati akan menjadi sebuah Kadipaten.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, ”Bagaimana menurut pendapatmu Sedayu, apakah
Mataram mempunyai kemungkinan yang baik di hari depan.”
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Dan dengan hati-hati ia menjawab, ”Masih tergantung sekali
kepada banyak hal, Kakang. Tetapi aku tidak banyak mengetahui. Aku tidak
mengetahui siapa-siapa yang berdiri di belakang Ki Gede Pemanahan. Apakah
mereka orang-orang yang cukup mampu membantu Ki Gede memperkembangkan daerah
itu. Juga masih tergantung sekali kepada daerah yang ada di sekitamya. Terutama
daerah-daerah yang lebih dahulu menjadi ramai.”
Untara masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berbuat dengan hati-hati sekali. Mungkin
karena di antara mereka terdapat beberapa orang yang belum dikenalnya dengan
baik.
Tetapi tanpa diduga-duga oleh
Agung Sedayu, Untara berkata, ”Mudah-mudahan Ki Gede berhasil menundukkan alam
yang keras itu. Mataram sudah jauh ketinggalan dari Pati.”
Sejenak Agung Sedayu terpukau
oleh kata-kata itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ketegangan di dalam diri
Untara menilik dari kata-katanya itu. Namun demikian Agung Sedayu pun sadar,
bahwa kakaknya memiliki ketajaman sikap dan tanggapan. Sekali terloncat
kata-katanya yang agak menjorok terlampau jauh, maka akan terbukalah
pembicaraan mengenai Mataram dengan agak mendalam. Karena itu, Agung Sedayu
berusaha membatasi pembicaraannya dalam batas-batas penglihatannya yang
dangkal. Ia berharap bahwa hal-hal yang mendalam, kelak gurunyalah yang akan
memberikan penjelasan.
Namun demikian Untara berkata
selanjutnya, ”Mudah-mudahan Mataram segera menjadi besar dan membuktikan pula,
bahwa Mataram ditangani oleh bekas senapati tertinggi di Pajang bersama putra
angkat Sultan Pajang. Sehingga dengan demikian, Pajang akan menjadi semakin
mantap dan tegak kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang keras.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat menangkap ungkapan kata-kata Untara. Bagaimana pun juga,
memang tampak batas yang kabur. Tetapi agaknya Untara bukan seorang yang
bersikap keras terhadap perkembangan daerah baru ini.
Tetapi Agung Sedayu tetap
berhati-hati di dalam setiap pembicaraan. Ia berusaha mengelakkan
persoalan-persoalan yang dapat melibatnya dalam pembicaraan yang mendalam.
Namun di dalam kesempatan yang
tidak disangka-sangka seorang perwira yang sudah setengah umur itu berkata,
”Mudah-mudahan persoalan Mataram tidak berkembang ke arah yang tidak kita
kehendaki. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat, selagi senapati didaerah
selatan ini menghadapi masa-masa yang paling indah di dalam hidupnya.”
“O,” Agung Sedayu tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan serta-merta ia berkata, ”Aku sudah
mendengar. Semula aku bingung mendengar berita itu. Telapi kini aku sudah
yakin.”
“Ah,” Untara tersenyum,
”sebenarnya kurang mapan. Selagi Pajang menghadapi persoalan-persoalan yang
gawat, datang pula persoalan pribadi itu. Mula-mula aku benci melihat hubungan
Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung. Namun akhirnya aku menyadari bahwa
hal itu tidak akan terhindar dari jalan hidup seseorang. Maka supaya aku tidak
menjadi sentuhan, aku akan segera memberikan jalan baginya.”
“Itulah alasannya?” bertanya
Agung Sedayu. Untara tersenyum sedang beberapa orang perwira yang ada di
pringgitan itu tertawa.
“Memang salah satu dari sekian
banyak alasan adalah itu,” jawab Untara, “tetapi sudah tentu ada alasan-alasan
yang lain yang tidak semua orang boleh mengetahuinya.”
Mereka pun tertawa semakin
keras. Dan seorang perwira yang lain berkata, ”Kenapa kalian tidak
menyelenggarakan perhelatan itu berbareng saja bulan depan?”
Untara memandang Agung Sedayu
sejenak. Namun mereka berdua pun tertawa bersamaan.
“Aku menyangka bahwa Kakang
Untara tidak akan pernah dekat dengan seorang gadis. Tetapi pada suatu saat ia
telah berpacu mendahului aku,” berkata Agung Sedayu sambil tertawa pula.
“Bukan salahku,” sahut Untara.
“Jadi siapa yang bersalah?”
“Paman Widura.”
“O,” Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Barulah ia teringat kepada pamannya meskipun sejak dari Sangkal
Putung ia sudah berhasrat untuk mengunjunginya. Karena itu maka Agung Sedayu
pun berkata, ”Aku akan menengok Paman Widura. Apakah ia ada di rumah atau paman
ikut di dalam kesatuan Kakang Untara ini?”
Untara mengerutkan keningnya.
Jawabnya, ”Paman Widura merasa telah terlampau tua untuk menjadi seorang
prajurit. Karena itu kini ia telah mengundurkan dirinya.”
“O,” Agung Sedayu m
engangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang perwira yang telah
setengah umur itu pun berkata, “Mungkin umurnya belum setua aku. Ia lebih muda
satu atau dua tahun dari padaku. Tetapi beberapa waktu berselang ia telah
mengundurkan diri. Bahkan rasa-rasanya seperti dengan tiba-tiba saja.”
Agung Sedayu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pamannya adalah seorang prajurit yang baik.
Tetapi pada suatu saat, ia memang wajar merasa bahwa tugasnya telah selesai.
“Ia mengharap anak-anak
mudalah yang akan melanjutkan tugasnya,” berkata perwira itu. ”Ia berbangga
bahwa kemanakannya telah menjabat sebagai seorang senapati yang terpercaya.
Namun ia masih berharap bahwa kemanakannya yang seorang lagi akan mengikuti
jejak kakaknya.”
Agung Sedayu masih tersenyum
meskipun dadanya menjadi berdebar-debar. Karena itu, ia berusaha untuk
mengalihkan pembicaraan, ”Jadi, Kakang Untara akan melangsungkan perkawinan di
bulan mendatang?”
Untara mengangguk. Katanya,
”Mudah-mudahan suasana tidak berubah. Semuanya telah diatur oleh Paman Widura.”
Untara terdiam sejenak, lalu, ”Tetapi dari mana kau mendengarnya?”
“Di jalan padukuhan ini aku
bertemu dengan Juga. Dikiranya aku sudah mengerti rencana itu.”
“Aku juga kurang mengerti,“
berkata Untara sambil tersenyum pula, ”paman Widura-lah yang paling tahu.”
“Aku akan segera menemui Paman
Widura.”
“Kapan kau akan kesana?”
“Sekarang, atau sebentar
lagi.”
“Ah,” desah Untara, ”kenapa
tergesa-gesa? Besok atau malam nanti kita pergi bersama-sama.”
Agung Sedayu berdesir
mendengar ajakan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya, sehingga
kesan itu sama sekali tidak terbayang di wajahnya. Tetapi ia menjawab, ”Aku
sudah terlalu lama tidak berjumpa.”
“Tetapi tidak perlu sekarang.
Kau belum makan di sini,” cegah Untara.
Agung Sedayu tidak memaksa.
Tetapi ia mulai dijalari oleh kegelisahan. Kakaknya pasti tidak akan
membayangkan bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung hari ini. Tetapi
seandainya ia tidak kembali, maka tanggapan Ki Demang Sangkal Putung beserta
anak-anaknya pasti sangat tidak baik.
“Hanya Guru sajalah yang tahu
keadaanku yang sebenarnya di dalam hubungan keluarga ini. Yang lain sama sekali
tidak akan dapat mengerti. Mereka memandang persoalan ini dari segi mereka
sendiri.”
Namun Agung Sedayu sudah
merasa berjanji bahwa senja nanti ia sudah harus berada di Sangkal Putung
kembali.
Meskipun kegelisahan itu
terasa semakin mencengkamnya, namun Agung Sedayu masih berhasil menguasai
perasaannya, sehingga kegelisahan itu sama sekali tidak berkesan di hatinya.
Demikianlah maka sejenak
kemudian Agung Sedayu telah mendapat hidangan dari juru madaran para perwira
Pajang yang tinggal dirumah Itu. Semangkuk minuman panas dan makanan beberapa
potong.
Namun dalam pada itu, selagi
tangannya menyuapi mulutnya dengan makanan, Agung Sedayu masih juga berpikir,
bagaimana caranya ia nanti minta diri dan memaksa kembali ke Sangkal Putung.
“Kalau saja aku tidak datang
kemari,” berkata Agung Sedayu di dalam hati. Namun dijawabnya sendiri, ”Kakang
Untara akan marah kepadaku kalau ia tahu bahwa aku tidak segera menemuinya
setelah aku datang di Sangkal Putung. Dan apalagi hatiku pasti akan selalu
digelisahkan oleh bayangan kabur yang membatasi Pajang dan Mataram. Ternyata
Kakang Untara tidak bersikap keras. Jauh berbeda dari bayanganku semula. Namun
yang paling mencemaskan adalah justru harapan Kakang Untara, bahwa Mataram akan
merupakan tiang yang dapat memperkokoh tegaknya Pajang. Selain itu juga harapan
Kakang Untara, bahwa aku akan menjadi prajurit Pajang pula.”
Karena kesibukan mulut mereka
yang ada di pringgitan itu mengunyah makanan, maka mereka pun terdiam untuk
sejenak. Tetapi justru karena mereka diam itulah angan-angan Agung Sedayu telah
mengembara.
Namun tiba-tiba para perwira
yang ada di pringgitan itu berpaling ketika mereka mendengar pintu bergerit.
Seorang perwira yang lain telah muncul dari balik daun pintu. Sejenak ia
berdiri diam memandang setiap orang yang ada di pringgitan itu. Perwira itu
adalah perwira yang acuh tidak acuh terhadap kehadiran Agung Sedayu.
“O,” berkata Untara kemudian,
”kemarilah. Duduklah Adi Ranajaya.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Perwira itu ternyata bernama Ranajaya.
Ranajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia pun melangkah mendekat dan kemudian duduk pula di antara
mereka.
“Ini adalah adikku,” berkata
Untara.
“Ya, aku sudah mendengarnya “
“O, dari siapa kau mendengar?”
“Dari anak itu sendiri. Ia
berdiri di pendapa seperti seorang yang kehilangan akal. Karena aku belum
pernah melihatnya, maka aku bertanya kepadanya. Ternyata ia adalah Agung
Sedayu, adik Kakang Untara.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Ia adalah seorang pendukung
berdirinya Mataram. Kedatangannya ditandai dengan pertengkaran. Ia sudah
berkelahi dengan seorang prajurit anak buahku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia berkata, ”Jangan kaget Sedayu. Kami yang tinggal di sini sudah
mengenalnya baik-baik. Tetapi karena kau baru mengenalnya sekarang, kau wajib
mengetahui bahwa Adi Ranajaya sangat benci kepada orang-orang yang sedang sibuk
membangun Mataram. Dan adalah sifatnya, kadang-kadang kata-katanya melontar
tanpa kendali.” Untara diam sejenak, lalu di pandanginya perwira yang bernama
Ranajaya itu, ”Sebenarnya aku juga tidak senang mendengar kata-kata itu. Bukan
karena Agung Sedayu adalah adikku. Tetapi tuduhanmu yang serta-merta, bahwa
setiap orang yang datang dari Mataram adalah pendukung berdirinya Mataram dapat
menimbulkan salah paham. Siapa pun yang datang.”
“Tetapi aku tidak akan
mengatakan begitu, seandainya ia tidak dengan sengaja melawan dan menunjukkan
kelebihannya dari seorang prajurit Pajang.”
“Itu bukan kata-kata seorang
perwira. Adalah picik sekali apabila kau segera menarik kesimpulan dari
percekcokan itu untuk menentukan seseorang berpihak kepada Mataram. Apalagi
karena kau sudah mengetahui apakah sebabnya.” Untara terdiam sejenak, lalu,
”Tetapi apakah keberatanmu seandainya Agung Sedayu, atau katakanlah seseorang
yang membantu berdirinya Mataram di Alas Mentaok itu? Katakan, apakah
keberatanmu?“
Wajah perwira itu menjadi
merah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Untara akan menjawabnya langsung di
hadapan para perwira yang lain. Itu bukan menjadi kebiasaannya. Namun kali ini
Ranajaya berpendapat bahwa Agung Sedayu adalah justru adik Untara sendiri.
Biasanya Untara tidak pernah membantah apabila ia memaki-maki orang-orang
Mataram, termasuk Raden Sutawijaya. Biasanya Untara hanya tersenyum dan
berkata, ”Sudahlah. Jangan membuat dirimu sendiri menjadi sakit.” Tetapi kini
Untara langsung mencelanya.
“Adi Ranajaya,” berkata
Untara, ”soalnya tidak semudah itu untuk menjatuhkan tuduhan terhadap Mataram
dan terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mataram. Kalau memang
benar Mataram akan memberontak terhadap Pajang, akulah senapati di sini. Aku
akan menerima perintah untuk menghancurkannya, meskipun di sana ada Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Meskipun aku tahu bahwa Ki Gede Pemanahan
seorang yang mumpuni, tetapi perang bukannya perang tanding. Karena itu untuk
seterusnya jangan memperuncing keadaan. Selagi kita menjajagi kemauan Ki Gede
Pemanahan, kau jangan menambah suasana menjadi buram. Kata-katamu itu adalah
racun bagi prajurit-prajurit kecil. Bukankah aku sudah pernah memperingatkan,
jangan berkata seperti itu di hadapan orang lain, selain di hadapan kami. Para
perwira yang sudah mengenal watak dan tabiatmu.”
Wajah Ranajaya menjadi semakin
merah. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak dapat
membawa pembicaraan yang keras terhadap Mataram.
Dengan demikian, maka sejenak
suasana menjadi hening, meskipun terasa ada juga ketegangan. Agung Sedayu sama
sekali tidak ingin mengatakan apa pun juga agar tidak menimbulkan salah paham.
Tetapi ia masih tetap kagum kepada kakaknya yang mencoba berdiri di atas segala
masalah yang hanya sekedar meloncat dari perasaan dan prasangka. Sebagai
prajurit ia memerlukan bukti-bukti untuk menentukan suatu keputusan yang
bersifat menghukum. Meskipun hanya sekedar dengan kata-kata.
Namun dalam pada itu Ranajaya
mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun ia menundukkan kepalanya tetapi ia
menggeram, ”Akan aku sampaikan hal ini kepada Kakang Tumenggung.”
Kehadiran Ranajaya itu
ternyata membuat suasana menjadi lain. Wajah-wajah di ruangan itu tidak lagi
tampak jernih dan tidak ada lagi senyum di bibir. Dengan kaku mereka mencoba
melepaskan ketegangan dengan meneguk minuman dan makan sepotong makanan. Tetapi
rasa-rasanya minuman dan makanan itu tidak lagi sesedap semula.
Untuk melepaskan kejanggalan
di dalam pertemuan itu, tiba-tiba Agung Sedayu-lah yang memulainya, ”Kakang
Untara. Apakah Kakang memperkenankan aku pergi ke rumah paman Widura sekarang
saja?”
“Sekarang?” Untara mengerutkan
keningnya.
“Ya, sekarang. Aku sudah
terlalu rindu kepada paman dan keluarganya. Aku akan segera kembali kemari
apabila aku sudah bertemu. Aku hanya akan sekedar bertemu saja.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Suasana di rumah itu memang menjadi kurang baik, dan bahkan ada
terasa ketegangan di hati masing-masing. Karena itu, agaknya ada juga baiknya
Agung Sedayu menyingkir sejenak, untuk nanti kembali lagi.
“Bagaimana pertimbangan
Kakang,” desak Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian ia menjawab, “Baiklah, Agung Sedayu. Kau boleh
pergi ke pamanmu Widura. Tetapi jangan terlampau lama. Kita akan makan siang
ini di sini.”
“Tetapi bagaimana kalau Paman
memaksa aku untuk makan di sana?” jawab Agung Sedayu yang mencoba mencuci
suasana.
“Katakan, bahwa kau sudah
makan.”
“Tetapi aku dapat gagal
kedua-duanya. Kepada Paman Widura aku berkata, bahwa aku sudah makan, tetapi
kemudian ketika aku sampai di sini, aku tidak mendapat bagian lagi.”
Beberapa orang di antara
mereka tersenyum. Tetapi perwira yang bernama Ranajaya masih menundukkan
kepalanya. Ia sama sekali tidak acuh lagi atas semua pembicaraan. Hanya karena
keseganannya kepada Untara sajalah, maka ia tidak pergi meninggalkan ruang itu.
“Jangan takut,” jawab Untara
kemudian, “kami akan menyediakan makan buatmu. Dua orang prajurit akan
menjaganya, supaya makan persediaanmu itu tidak dicuri orang.”
Agung Sedayu pun tersenyum
pula. Lalu katanya, “Kalau begitu aku minta diri, Kakang.” Kemudian kepada
perwira-perwira yang ada, Sedayu berkata, “Aku minta diri. Nanti aku akan
segera kembali. Aku hanya sekedar ingin bertemu lebih dahulu. Mungkin di
kesempatan lain, aku akan membicarakan hari-hari yang baik buat Kakang Untara.
Bukankah hari itu masih belum ditentukan, meskipun di bulan depan.”
“Ah,” sahut seorang perwira
yang lain, “tentu sudah. Tetapi ada dua atau tiga pilihan dari hari-hari
terakhir di bulan depan. Bukankah begitu?” bertanya perwira itu kepada Untara.
Untara hanya tersenyum saja.
Sejenak kemudian, maka Agung
Sedayu pun meninggalkan pringgitan yang rasa-rasanya menjadi terlampau panas
itu. Ketika ia berada ke pendapa, terasa udara yang segar menyentuh tubuhnya.
Untara dan beberapa orang
perwira yang lain mengantarnya sampai ke tangga pendapa. Kemudian Agung Sedayu
minta diri sekali lagi, “Aku akan membawa kudaku, Kakang, supaya perjalananku
agak cepat.”
“Ah ada-ada saja kau, Sedayu.
Selagi kau menyiapkan kudamu, kalau kau berjalan kaki, kau sudah akan sampai,”
sahut Untara.
Sambil tersenyum Agung Sedayu
menjawab, “Tetapi aku kira, masih lebih cepat di atas punggung seekor kuda.”
“Terserahlah,” desis Untara.
Agung Sedayu pun kemudian
mengambil kudanya, dan menuntunnya sampai ke luar regol. Setelah ia melampaui
penjagaan prajurit di regol halaman itu, ia pun segera meloncat naik ke
punggung kudanya yang segera berlari ke rumah pamannya, Widura.
Kedatangan Agung Sedayu di
rumah pamannya benar-benar mengejutkan. Seisi rumah menyambutnya dengan
wajah-wajah yang cerah, seperti mereka menyambut anak sendiri. Bagi Widura dan
keluarganya, Agung Sedayu memang seperti anak sendiri. Apalagi kini Agung
Sedayu bukan lagi anak cengeng seperti ketika ia datang ke Sangkal Putung untuk
yang pertama kali.
“Kau benar-benar seorang anak
muda yang gagah Sedayu,” berkata Widura sambil mengguncang-guncangkan lengan
Agung Sedayu. “Tubuhmu kuat dan liat. Kau pasti telah tumbuh menjadi seorang
yang benar-benar dewasa.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Marilah, duduklah.”
Agung Sedayu pun kemudian di
bawa oleh pamannya ke pringgitan. Hampir seisi rumah ikut pula menyambutnya.
Anak-anak Widura pun untuk beberapa lamanya ikut pula duduk di sebelah
menyebelah Agung Sedayu.
“Kau sama sekali lain dari kau
yang dahulu, Sedayu,” berkata Widura. Lalu, “Kau berkembang cepat sekali.
Rasa-rasanya baru kemarin kau datang di Sangkal Putung dengan wajah pucat dan
gemetar.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya.
“Salah paham yang timbul pada
anak-anak muda Sangkal Putung waktu itu, hampir saja membawa kesulitan yang
dalam bagimu.”
Agung Sedayu tersenyum.
Dipandanginya wajah pamannya sejenak, lalu katanya, “Memang lucu sekali,
Paman.”
“Kau mereka anggap sebagai
seorang pahlawan. Tidak ada seorang pun yang berani melintasi jalan ke Sangkal
Putung seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak. Dan barangkali,
kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak akan mencoba melakukannya lagi
seandainya kau menghadapi saat yang sama.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi
ia menjawab, “Tetapi Kakang Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang
Untara pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi ia seorang senapati.
Jarak itu akan ditempuh tanpa pengawalan sama sekali.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Untara adalah
seorang anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anak-anak muda pada
umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati,
juga ia memiliki keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung
jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal Putung, sehingga
meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan yang paling baik ditempuh adalah
menghubungi aku di Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil
pengawal-pengawalnya, karena waktunya tinggal semalam. Namun ternyata, bahwa
kaulah yang berhasil menyampaikannya berita itu kepadaku, tepat pada waktunya.
Kalau kau terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah selatan itu akan
menjadi berbeda.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya
meremang. Peperangan di Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang khusus
di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan. Terlebih-lebih dari itu, ia
telah tersangkut pula pada seorang gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar
Mirah.
Tiba-tiba saja dadanya menjadi
berdebar-debar. Seperti kakaknya, maka persoalan itu pasti akan ditangani oleh
pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Sudah tentu, semuanya akan
terserah kepada Widura dan Untara.
Tetapi Agung Sedayu masih
belum dapat mengatakannya.
Meskipun demikian, ia dapat
juga bertanya tentang hari-hari perkawinan Untara yang akan diselenggarakan
bulan depan.
Widura tertawa. Jawabnya,
“Memang sudah waktunya bagi Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya
baik dan agar ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang istri yang sabar dan
mengerti akan tugasnya sebagai seorang prajurit.”
Agung Sedaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bakal istrinya adalah seorang
gadis yang baik. Memang agak berbeda dengan Sekar Mirah yang lincah dan
gembira. Istri Untara adalah seorang gadis pendiam. Namun mudah-mudahan gadis
itu akan dapat memberikan arti bagi hidup Untara yang kering dan agak kaku. Ia
seakan-akan menenggelamkan diri di dalam kebekuan ketentuan seorang prajurit,
sehingga dirinya sebagai seseorang di antara kehidupan yang luas agak menjadi
janggal karenanya.”
Agung Sedayu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Untara sudah kawin,
maka jalan bagimu akan menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada lagi keseganan
apa pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu ke jenjang
perkawinan.”
“Tetapi aku masih seorang
petualang, Paman. Aku belum mempunyai pegangan untuk hidup kelak. Berbeda dengan
Kakang Untara.”
“Apakah yang harus menjadi
pegangan? Maksudmu, kau belum memegang suatu jabatan apa pun?”
“Ya, Paman.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kau adalah calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan
dapat menjadi seorang prajurit, yang tidak usah mulai dari bawah sekali. Kalau
kau mau, kau akan dapat kesempatan. Bukan karena kau adik Untara, tetapi karena
kau memiliki kemampuan. Kau dapat menempuh pendadaran untuk langsung menjadi
seorang lurah prajurit. Meskipun mula-mula kau akan memimpin suatu kelompok
kecil, namun dalam waktu singkat kau akan menanjak.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Katanya, “Itulah yang merisaukan
hatiku, Paman.”
“Kenapa?”
“Kakang Untara memang ingin
aku menjadi seorang prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku menjadi
seorang prajurit.”
Widura tidak segera menyahut.
“Tetapi sayang, Paman. Untuk
saat ini, aku masih belum ingin memasuki bidang keprajuritan.”
Widura menjadi heran mendengar
jawaban itu, sehingga sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa Sedayu?
Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian lewat tugas seorang
prajurit?”
“Tentu juga terbayang
pengabdian yang dapat aku berikan kepada negeri ini, Paman. Tetapi tidak dalam
saat yang singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengabdi
lewat banyak saluran?”
Widura mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Ya, ya. Kau dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah
keberatanmu untuk menjadi seorang prajurit? Di dalam masa-masa yang buram ini,
tenagamu sangat diperlukan oleh Pajang.”
Agung Sedayu tidak dapat
segera menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata
pamannya juga menginginkannya menjadi seorang prajurit.
Namun tiba-tiba tanpa
disadarinya sendiri, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya, “Kenapa Paman
mengundurkan diri dan keprajuritan?”
Widura terkejut mendengar
pertanyaan itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Aku sudah terlalu
tua.”
“Aku melihat seorang perwira
yang lebih tua dari Paman.”
“Tetapi sudah tentu waktu
pengabdianku lebih panjang daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan
keprajuritan setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki
tugas itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi.
Namun Agung Sedayu masih bertanya, “Tetapi Paman, bukankah saat-saat ini Pajang
memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman, seperti kata Paman sendiri,
suasananya kini sedang buram. Bukankah begitu, Paman?”
Widura pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Jawabnya, “Ya. Mungkin tenaga Paman memang masih dibutuhkan.”
Widura tidak melanjutkannya. Namun terasa sesuatu agaknya tersangkut di
hatinya.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya, ia menunggu pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura justru hanya
menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya.
Karena itu maka sejenak mereka
terdiam. Seakan-akan mereka kehabisan bahan untuk berbicara.
Namun untuk mengatasi kebekuan
itu, tiba-tiba saja Widura berkata, “Agung Sedayu. Tunggulah sejenak. Aku harus
menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk menjamumu hari ini. Kau akan
makan di sini siang ini.”
Tetapi Agung Sedayu berkata
cepat-cepat, “Paman, Kakang Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali.
Kakang Untara menunggu aku makan siang ini bersama para perwira yang tinggal di
rumah kami.”
“Benar begitu?”
“Benar, Paman. Aku mengucapkan
terima kasih atas sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan membuat Kakang
Untara kecewa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Kamilah yang kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus makan di
sini.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyimpannya lebih lama lagi, sehingga ia pun
menjawab, “Nanti sore aku harus kembali ke Sangkal Pulung.”
“He, kembali ke Sangkal
Putung? Bukankah kau anak Jati Anom?”
“Ya, Paman, tetapi aku sudah
berjanji kepada Ki Demang dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti sebelum senja
aku harus sudah berada di Sangkal Putung.”
“Ah, tentu mereka minta kau
kembali. Seandainya itu tidak bersungguh-sungguh, maka mereka pasti akan
sekedar mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu mereka tidak akan
mengatakan kepadamu, agar kau tidak usah kembali saja.”
“Bukan, Paman. Bukan karena
itu. Anak-anak muda Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul menyambut
kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap aku sebagai keluarga
mereka, karena aku pernah tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa lama.”
“Ya. Mungkin begitu. Mungkin
kau masih tetap mereka anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau, Sangkal Putung
mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang.”
“Tetapi keakraban,
kekeluargaanlah yang agaknya mendorong mereka menyambut kedatanganku.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Sejak kanak-kanak, kau berada di Jati Anom
dan Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun yang menyambut kedatanganmu seperti
anak-anak muda Sangkal Putung. Aku tidak tahu, kenapa kau lebih dekat dengan
Sangkal Putung dari Jati Anom dan Banyu Asri. Mungkin karena kau berada di
Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat, sehingga anak-anak mudanya merasa
senasib dengan kau, atau karena kau seorang pahlawan. Tetapi demikianlah
agaknya.”
Tiba-tiba saja terkilas di
angan-angan Agung Sedayu, sikap anak-anak muda Sangkal Putung yang
sesungguhnya. Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut
kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang telah menggerakkan
anak-anak muda Sangkal Putung sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putra
Demang Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa. Seperti juga
anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka hanya akan menyambutnya sebagai
kawan yang sudah lama tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang
tiga apabila berpapasan.
Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu
justru tertunduk. Ia merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya.
Ia bukan lagi anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal Putung.
“Jadi,” berkata Widura
kemudian, “kau akan kembali ke Sangkal Putung hari ini?”
Begitu saja terloncat
jawabnya, “Ya, Paman.”
“Dan kau sudah mengatakan
kepada Untara?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Belum, Paman. Aku belum dapat mengatakannya.”
“Kalau begitu, Untara pasti
menyangka, bahwa kau kini telah kembali. Pulang ke rumah sendiri.”
“Mungkin Kakang Untara
berpendapat demikian, Paman. Dan itulah yang membuat aku bingung. Bagaimana aku
kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan kembali lagi
kemari.”
Tiba-tiba Widura tersenyum.
Katanya, “Tetapi aku tidak dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku
kira bukan sambutan anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang penting bagimu.”
Wajah Agung Sedayu menjadi
merah sekilas. Sambil menundukkan kepalanya, ia berdesis, “Mungkin juga begitu,
Paman.”
“Aku dapat mengerti, Sedayu.
Tetapi barangkali berbeda dengan kakakmu. Ia merasa lebih berhak berbuat
atasmu, karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin ia
akan melarang kau pergi ke Sangkal Putung hari ini.”
“Tetapi aku sudah berjanji
untuk kembali.”
“Tentu tidak akan ada akibat
apa-apa, seandainya kau menundanya sampai besok. Asal kau benar-benar kembali.
Kau tidak akan secepat itu kehilangan.”
“Tetapi ……,” Agung Sedayu
menjadi semakin tunduk.
“Tentu orang-orang Sangkal
Putung mengetahui, bahwa kau kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak
saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali.”
Agung Sedayu tiba-tiba menjadi
berdebar-debar. Yang terbayang kemudian justru wajah Sekar Mirah yang
memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak muda Sangkal Putung yang
berkelakar sambil mengunyah daging kambing.
“Mungkin anak-anak Sangkal
Putung itu tidak menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah
dan Swandaru?” persoalan itulah yang kemudian selalu mengganggunya, sehingga
untuk sesaat ia merenung.
Tetapi Widura justru tertawa
melihat wajah Agung Sedayu yang menegang serta keningnya yang berkerut.
Katanya, “Jangan risau. Kalau kau berkata berterus-terang, maka Untara akan
mengerti. Aku mengharap Untara sekarang sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal
seorang gadis dan mulai mempelajari watak-wataknya.”
Agung Sedayu memandang wajah
pamannya sejenak, namun kemudian ia pun tersanyum.
“Mudah-mudahan Kakang Untara
mengerti,” desisnya. Lalu, “memang aku melihat perbedaan sikap Kakang Untara
sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan menyambutku dengan sikap yang
dingin, dan bahkan marah karena aku terlampau lama pergi, apalagi aku kembali
ke Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang Untara tidak berbuat
demikian. Ia menerima aku dengan ramah, meskipun ia tahu, bahwa aku baru saja
bertengkar dengan prajuritnya.”
“He,” Widura-lah yang
terkejut, “kau sudah mulai bertengkar?”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
“Ya, Paman. Aku terpaksa
bertengkar.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu pun segera
menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi kepada pamannya. Bahwa ia
tidak dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah dipaksakan kepadanya
itu.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Itu memang membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin.
Tetapi ada juga baiknya mereka bertemu dengan kau.”
“Ya, Paman. Kakang Untara juga
berkata demikian. Tetapi seorang perwira yang lain agaknya bersikap lain pula.”
“Siapa?
“Ranajaya,” jawab Agung
Sedayu. “Mungkin ia tidak senang karena kedatanganku ditandai dengan
pertengkaran dengan prajurit yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi mungkin
juga karena aku datang dari Mataram, seperti yang dikatakan Kakang Untara.”
“Ranajaya,” Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya, “ia memang mempunyai sikap yang aneh. Ia merasa
dirinya terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu sangat membenci
perkembangan Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.”
“Aku semula menyangka, bahwa
Kakang Untara pun akan bersikap demikian. Tetapi ternyata tidak. Bahkan Kakang
Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di hadapan para perwira yang
lain.”
“Sikapnya memang tercela,”
tiba-tiba saja Widura berkata. Tetapi ia pun kemudian menelan ludahnya,
seakan-akan ingin menelan kata-katanya itu kembali.
“Kenapa, Paman?”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat
membuat penilaian apa pun atas mereka.”
“Bukan penilaian, Paman,
tetapi aku hanya sekedar ingin medapat gambaran tentang sikap para perwira itu,
agar aku dapat mencoba menyesuaikan diri.”
Widura memandang Agung Sedayu
sejenak, dan tiba-tiba saja ia tersenyum, “Kau dahulu pendiam, Sedayu. Sekarang
kau pandai juga memancing persoalan.”
Agung Sedayu pun tersenyum
pula. Katanya, “Aku tidak berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku
benar-benar ingin mengetahui, terutama latar belakang dari sikap Ranajaya.”
Sejenak Widura merenung. Namun
kemudian ia berkata, “Ada beberapa orang perwira yang tidak senang sekali
melihat Mataram berkembang. Aku tidak tahu pasti apakah latar belakangnya.
Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu anggapan, bahwa Mataram akan membuat
dirinya kuat untuk bersaing dengan Pajang.”
“Ah,” desis Agung Sedayu,
“apakah pikiran itu benar?”
Widura memandang Agung Sedayu
sejenak, lalu, “Kaulah yang datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan,
apakah hal itu benar atau tidak benar.”
Kini Agung Sedayu-lah yang
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak terlampau
lama di Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan banyak.”
“Apa yang kau lihat di
Mataram? Nanti kita sama-sama mengambil kesimpulan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya hal-hal yang penting
saja, yang telah terjadi. Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya
kepada Untara dan para perwira Pajang.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Pasti ada salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang
yang dengan sengaja meniup-niupkan kesalah-pahaman itu. Beberapa perwira Pajang
sendiri telah termakan oleh hembusan-hembusan ceritera tentang persiapan
Mataram.”
“Apa yang dapat dipersiapkan
saat ini, Paman? Mataram baru sibuk menundukkan alam. Kalau Mataram membangun
kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu sendiri. Hutan yang
lebat dan daerah rawa-rawa.”
“Memang masuk akal. Tetapi kau
harus dapat menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas Mentaok itu sendiri
dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha melawan pembukaan Alas
Mentaok di medan dan usaha-usaha untuk menentangnya di istana. Tidak mustahil,
bahwa ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu, apakah sikap itu
ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang.”
“Maksud Paman?”
“Mereka yang menentang
langsung, agaknya sudah jelas, bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede Pemanahan
membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus mengadu domba antara
Mataram dan Pajang, masih perlu diketahui latar belakangnya. Apakah mereka
menghendaki usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang kau katakan
itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.”
Agung Sedayu mendengarkan
keterangan pamannya dengan saksama. Memang ada beberapa kemungkinan yang dapat
terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam Istana Pajang. Namun
demikian, Agung Sedayu bertanya, “Paman, kalau ada usaha untuk meruntuhkan
Pajang oleh orang-orang dari lingkungan istana sendiri, apakah pamrihnya?”
Widura mengerutkan keningnya.
Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, yang dengan penuh minat mendengarkan
keterangannya. Lalu katanya, “Pajang memang belum mantap benar sekarang ini.
Dengan demikian, maka ada saja adipati-adipati yang tidak menginginkan Pajang
menjadi kuat. Kalau Pajang runtuh, siapakah di antara para adipati yang kuat,
akan dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa atas tanah ini.”
“Tetapi bukankah dengan
demikian, akan berarti pertumpahan darah?”
“Ya Sedayu. Mungkin kau dan
mungkin juga aku, meskipun aku bekas seorang prajurit, tidak menginginkan
pertumpahan darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang merasa
berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan pertumpahan darah. Mungkin ada
orang yang merasa berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan apabila mendapat
kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai. Semakin tinggi timbunan bangkai di
bawah kakinya, ia akan merasa semakin berbangga.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan
kekuasaan yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah dilihatnya adalah
hanya sejengkal kecil dari Pajang seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia
mencoba untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pesisir dari barat
menjelujur ke timur. Daerah-daerah yang diperintah oleh adipati dan tanah-tanah
perdikan yang besar.
Apabila ikatan dari sekumpulan
pemerintahan itu lepas, maka negara ini akan menjadi porak poranda.
“Tetapi,” tiba-tiba Widura
berkata, “jangan kau pikirkan kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin
buruk yang paling baik di seluruh Pajang.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Rasa-rasanya memang seperti seseorang yang baru saja terbangun
dari sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya, sehingga tanpa
disadarinya, Agung Sedayu mengusap matanya dengan lengan bajunya.
Sesaat mereka tidak berbicara.
Tetapi angan-angan merekalah yang hilir-mudik tidak menentu, menjelajahi daerah
yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.
“Ah, sudahlah,” berkata Widura
kemudian, “lupakan semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal istrinya.”
Agung Sedayu tersenyum.
“Kau wajib mengenalnya
baik-baik,” berkata Widura. Kemudian diceritakannya serba sedikit tentang gadis
itu sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di hadapan mereka.
Samar-samar Agung Sedayu dapat
membayangkan, bagaimanakah sifat dari gadis itu. Sama sekali tidak seperti
Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan mempunyai harga diri yang agak
berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan Wangi, yang menyerahkan dirinya
kepada masa depan bagi tanah perdikannya. Seorang anak perempuan yang bakti
kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan seorang gadis yang berjiwa prajurit.
Bakal istri Untara itu adalah
seorang gadis pendiam. Tidak dapat bermain pedang dan olah kanuragan seperti
Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi istri seorang perwira,
karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat Untara menjadi seorang senapati besar
dengan kelembutan hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan semua kepentingan
pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang senapati.
“Setelah Untara selesai, kau
akan segera menyusul,” desis Widura.
“Ah, masih terlampau cepat.
Bukankah saudara sekandung tidak boleh kawin di dalam tahun yang sama?”
“Ya. Tetapi tahun ini hampir
habis. Bulan depan adalah bulan terakhir dari tahun ini. Kemudian tiga bulan
kemudian adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan.”
“Tidak, Paman. Tidak tiga
bulan lagi. Mungkin tiga tahun atau barangkali lima tahun.”
“Mungkin kau tidak akan
terpengaruh. Tetapi lain bagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Tetapi sejenak kemudian,
tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Ah, aku akan minta diri, Paman. Aku akan
kembali kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku dapat menemukan alasan yang
baik untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Untara dapat
mengerti, dan mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa pun juga.”
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Jarak antara Sangkal Putung
dan Jati Anom tidak terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik setiap hari.”
“Kakakmu tentu akan bertanya,
kenapa kau tidak pulang saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu, baru kau pergi
ke Sangkal Putung.”
“Ah, Paman,” sahut Agung
Sedayu.
Pamannya hanya tersenyum.
Tetapi sorot matanya memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan Agung
Sedayu.
Kemudian setelah minta diri
kepada seluruh keluarga pamannya, Agung Sedayu pun kembali kepada kakaknya.
Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia akan minta diri
nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya selain harapan, bahwa kakaknya
akan dapat mengerti akan keadaannya.
Dengan demikian, maka di
sepanjang jalan kepala Agung Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya
berjalan perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang berjalan
kaki.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
teringat kepada gurunya. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berdesis kepada diri sendiri, “Apakah aku dapat mempergunakan Guru sebagai
alasan untuk kembali ke Sangkal Putung? Mungkin aku dapat berkata, bahwa Guru
mengharap aku malam ini menghadap. Ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Memang mungkin. Tetapi ia masih belum tahu pasti tanggapan Untara atas hal itu.
Tetapi Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar, ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi
jalan. Di antara mereka adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan yang
membuatnya semakin berdebar-debar adalah di antara para prajurit itu terdapat
prajurit yang menyerangnya di saat ia datang. Prajurit yang akan menghinakannya
dengan menginjak ikat kepalanya.
“Ah, apa saja yang akan mereka
lakukan?” Agung Sedayu berdesah di dalam dirinya. “Kenapa ada juga perwira
Pajang yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?”
Tetapi Agung Sedayu tidak
berhenti. Kudanya melangkah terus perlahan-lahan, semakin lama semakin dekat.
Beberapa langkah di hadapan perwira
itu. Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan
dilakukannya. Mungkin dengan tiba-tiba, prajurit itu berbuat sesuatu yang tidak
disangka-sankanya. Tetapi mungkin juga mereka menghentikannya dan mengajaknya
bertengkar.
Ternyata perwira itu
benar-benar telah menghentikannya. Dengan suara datar ia berkata, “Berhentilah
dulu, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu berhenti tepat di
hadapannya. Tetapi ia tidak turun dari kudanya.
“Aku akan bertanya serba
sedikit,” berkata perwira itu.
“Kalau aku dapat menjawab, aku
akan menjawab,” sahut Agung Sedayu.
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Jangan terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku
adalah Untara. Bukan kau. Jadi kau tidak dapat berbuat seperti Untara kepadaku.
Ia berhak mencela aku. Marah kepadaku dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak.”
Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Turunlah.”
“Aku memang bukan Kakang
Untara,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku juga bukan prajurit bawahanmu,
sehingga kau tidak berhak memerintah aku.”
Wajah perwira itu menjadi
merah. Tetapi ia masih menahan perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu bukan
saja adik Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara. Ternyata
prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun Agung Sedayu
melawannya sambil memegang kendali kuda dengan satu tangannya.
“Kau memang terlampau sombong.
Tetapi baiklah. Aku dapat berbicara dengan seseorang yang tetap duduk di atas
punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya bukan? Ia adalah salah satu
contoh dari kesombongan yang tiada taranya. Ia tidak pernah turun dari kudanya
dengan siapa pun ia berbicara, meskipun dengan orang yang lebih tua sekalipun.
Tetapi ia adalah putra angkat Sultan Pajang.”
Agung Sedayu hanya dapat
menahan perasaannya yang mulai tergelitik oleh kata-kata perwira itu. Tetapi ia
masih tetap duduk di atas punggung kudanya.
“Agung Sedayu,” berkata
perwira itu kemudian, “aku minta kau menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya
benar-benar sudah menyusun sebuah pasukan yang kuat dan siap untuk berperang?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dipandanginya perwira itu sejenak, lalu, “Siapakah yang
mengatakannya?”
“Aku bertanya kepadamu.
Bukankah kau baru saja datang dari Mataram? Kau pasti mendengar apa yang sudah
terjadi di daerah yang baru dibuka itu.”
“Aku hanya lewat.”
“Meskipun demikian, kau pasti
sudah mendengar apa yang telah terjadi. Kalau yang lewat itu seorang pedagang
ternak atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan tertarik kepada persoalan
keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah Agung Sedayu, adik Untara yang menjadi
senapati pasukan Pajang di daerah Selatan, daerah yang langsung menjadi jalur
penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti memperhatikan masalah-masalah
serupa itu.”
Agung Sedayu merenung sejenak.
Namun tiba-tiba ia merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah paham. Dengan demikian,
ia sudah membantu serba sedikit usaha pendekatan antara ayah dan anak. Antara
Sultan Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka tiba-tiba saja atas
kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya.
Perwira Pajang yang bernama
Ranajaya itu justru surut selangkah. Dengan penuh kecurigaan ia memandang Agung
Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.
“Apa yang kau kehendaki?”
bertanya Ranajaya.
“Bukankah aku harus menjawab
pertanyaanmu?” sahut Agung Sedayu. “Dan aku memang akan menjawab pertanyaan
itu.”
“O,” Ranajaya maju pula
selangkah. Namun ia masih tetap berhati-hati.
Agung Sedayu mengeluh di dalam
hatinya. Seakan-akan Ranajaya memandangnya sebagai orang yang paling sombong
dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk mengesampingkannya. Ia ingin
membantu usaha pendekatan yang selalu dicoba oleh Sutawijaya
“Menurut penglihatanku,”
berkata Agung Sedayu, “Mataram benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada
pembukaan hutan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda persiapan prajurit, dan
apalagi perlawanan terhadap pihak mana pun juga. Aku memang singgah beberapa
saat di Mataram. Tetapi yang aku lihat adalah pengerahan tenaga untuk
memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan mereka terdiri dari petani-petani yang
hanya mengenal kapak dan parang untuk menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.”
Perwira yang bernama Ranajaya
itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia tidak
percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Agung
Sedayu, ingat, kakakmulah yang akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung
dengan Mataram. Kau harus memberikan keterangan yana benar. Mungkin sampai saat
ini, kakakmu masih belum menaruh curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau
memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah berkhianat
kepada Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada Untara. Meskipun kau adiknya,
kau akan dapat digantungnya di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung
halamanmu sendiri.”
Agung Sedayu semakin tidak
senang mendengar kata-katanya. Tetapi ia tidak mau mempertajam persoalan Pajang
dan Mataram. Maka katanya, “Sudahlah. Aku tidak dapat memberikan keterangan
lebih banyak dari yang aku ketahui. Aku memang tidak akan mengatakan yang tidak
sebenarnya. Justru karena itu, aku tidak mau mengarang sebuah cerita untuk
menyenangkan hatimu, seolah-olah bayanganmu tentang Mataram yang di pagari
dengan pasukan dan ujung senjata itu, benar-benar telah terjadi.”
Ranajaya membelalakkan matanya
sambil membentak, “Ingat, dengan siapa kau berbicara.”
“Dan ingat,” sahut Agung
Sedayu, “aku bukan bawahanmu.”
Ranajaya menggerelakkan
giginya. Geramnya, “Kau salah seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat
tugas untuk mengetahui kekuatan Pajang di Jati Anom, justru karena kau adik
Untara. Agaknya Untara kini benar-benar telah lengah, dan membiarkan kau
berkeliaran di sini.”
Agung Sedayu menahan perasaannya
yang bergolak dengan susah payah. Ternyata perwira yang bernama Ranajaya ini
justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu dibayangi oleh kecemasan dan
ketakutan. Namun mungkin, ia memang mendapat gambaran yang salah tentang
Mataram. Karena itu, Agung Sedayu berkata, “Aku kira kau memang mendapat
keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya. Coba katakan, siapakah yang sudah
memberikan keterangan kepadamu tentang Mataram seperti yang kau gambarkan itu?”
“Jangan mencoba bersembunyi
lagi. Sebentar lagi aku akan dapat membuktikan, bahwa kau memang seorang telik
sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan menggantungmu di
padukuhanmu sendiri.”
“Apakah kau pernah melihat
Alas Mentaok?”
Perwira itu tidak segera
menyahut.
“Kalau belum, apakah kau
bersedia sekali-sekali pergi ke Alas Mentaok? Aku bersedia menunjukkan jalan.
Kau dapat mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu oleh lalat
sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau akan melihat, bahwa di
Mataram tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada prajurit,
dan tidak ada rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai saat ini
berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak rintangan. Apakah dengan
demikian Mataram sempat membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di
sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang.”
Ranajaya mengerutkan
keningnya. Ia mulai menyadari bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak yang takut
dengan bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara, yang memiliki
banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan.
Karena itu, Ranajaya tidak
bertanya lagi. Tetapi ia masih sempat mengancam, “Agung Sedayu, kau harus
bersikap baik di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku yang
dapat menyeretmu ke tiang gantungan.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sejenak ia memandang wajah
Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang sangat dalam terhadap
Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.
“Aku kira benar juga
dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua orang yang telah berbuat curang di dalam
istana. Mungkin saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira dan
para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi dan kemudian
panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua kadang sentana. Akhirnya Sultan
Hadiwijaya sendiri akan mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan
memberontak terhadap kekuasaan Pajang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Agung Sedayu seakan-akan
tersadar, ketika ia mendengar Ranajaya berkata, “Pergilah. Aku tidak memerlukan
kau lagi hari ini.”
Terasa dada Agung Sedayu
berdesir. Sikap perwira itu benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia masih
berusaha untuk menahan perasaannya dan menjawab, “Sekehendakkulah. Apakah aku
akan pergi, apakah aku akan tetap di sini. Aku berada di kampung halamanku
sendiri. Sejak kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa ada yang
mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur jalan ini, ke sana ke
mari sehari sepuluh kali.”
“Gila. Kau adalah orang yang
lebih sombong lagi dari Sutawijaya.”
“Aku tidak peduli. Apakah aku
melampaui kesombongan Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu atau tidak, itu
adalah persoalanku.”
“Diam!” bentak perwira itu.
“Jangan berani mempermainkan seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya
aku tidak mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi permainan anak
buahku di sini.”
“Bukan begitu kebiasaan
seorang prajurit. Seorang prajurit adalah seorang yang bersikap jantan. Apakah
kau mengerti arti dari sikap jantan itu?”
Tubuh perwira itu menggigil,
apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Aku akan mengatakan kepada Kakang Untara,
apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi seorang perwira macam kau ini. Dan
aku memang tidak pernah membayangkan, bahwa ada seorang perwira Pajang yang
mempunyai sifat semacam ini.”
Tetapi Agung Sedayu tidak
menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan memacu kudanya
meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu.
Ranajaya pun menjadi
ragu-ragu. Kemarahan yang memuncak di kepalanya hampir melepaskan segala macam
pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar, bahwa Agung Sedayu
adalah adik Untara, sehingga masih ada juga keseganannya untuk berbuat sesuatu.
“Tetapi lepas dari daerah Jati
Anom, aku dapat berbuat apa pun juga di luar pengetahuan Untara. Kalau aku
berbuat jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada seorang pun yang
akan menuntut aku,” berkata perwira itu di dalam hatinya. Lalu sambil
membusungkan dadanya ia berkata, “Tetapi seandainya Untara marah juga, aku
dapat berhubungan dengan Kakang Tumenggung, yang mempunyai pengaruh tidak kalah
dari Untara di istana.”
Perwira itu menggeretakkan
giginya. Tetapi tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera pergi meninggalkan
tempat itu diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.
“Anak itu memang keras
kepala,” desis seorang prajurit, “ia tidak saja berani menentang seorang
prajurit, tetapi juga seorang perwira.”
“Ia merasa mendapat
perlindungan dari kakaknya, seorang senapati,” jawab yang lain.
“Itu akan membuatnya keras
kepala.”
Tetapi mereka pun kemudian
terdiam, apabila sekilas melonjak di dalam hati mereka, kenyataan yang
sebenarnya mereka hadapi tentang Agung sedayu itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
pun menjadi semakin dekat dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang belum
reda, ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa disengaja telah
dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan menjelang sore hari, untuk minta diri
kepada kakaknya.
Ternyata kedatangannya memang
sudah ditunggu oleh Untara dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk
sebentar, maka mereka pun kemudian mulai menikmati makan siang yang sudah
disediakan.
Namun selama tangannya
menyuapi mulutnya, Agung Sedayu masih saja digelisahkan oleh keharusannya minta
diri. Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun ke Barat.
Demikianlah, setelah selesai
makan dan setelah mereka berbicara serba sedikit, mulailah Agung Sedayu
mengatur hatinya, untuk menyampaikan niatnya, bahwa ia akan kembali ke Sangkal
Putung sore itu.
Tetapi hatinya menjadi
berdebar-debar kembali, ketika Untara berkata, “Bilikmu semasa anak-anak masih
tersedia buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu kami pergunakan, tetapi
malam ini dan seterusnya akan dapat kau pakai lagi, seperti pada masa kecilmu. Bedanya,
dahulu kau menempati bilik itu bersama ibu, tetapi sekarang kau harus berani
tidur sendiri.”
Para perwira yang mendengar
kelakar Untara itu, tertawa. Agaknya mereka telah mendengar cerita tentang
Agung Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang penakut yang
kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan saja karena ia tidak berani
menghadapi kawan-kawannya yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut sekali
kepada gelap, hantu, dan semacamnya.
Agung Sedayu sendiri tersenyum
mendengarnya, meskipun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Tetapi aku tidak dapat diam
sampai senja,” tiba-tiba saja timbul pikiran di dalam dirinya, “sebaiknya aku
berterus terang. Apapun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara terhadapku.
Mudah-mudahan Kakang Untara tidak menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku
dari Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan prajurit
Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan Mataram. Jika demikian maka
Ranajaya akan mendapat kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu.”
Karena itu, satu-satunya
alasan yang akan dikemukakan oleh Agung Sedayu adalah gurunya. Gurunya minta ia
kembali ke Sangkal Pulung sore ini, karena ada persoalan yang akan dibicarakan
mengenai dirinya dalam hubungan guru dan murid.
“Juga mudah-mudahan tidak ada
salah paham pada Kakang Untara. Kalau ia menganggap Guru pun berpihak pada
Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan,” katanya pula didalam hatinya.
Karena itu, setelah suara tawa
para perwira mereda, Agung Sedayu mencoba untuk mulai berbicara, mumpung
Ranajaya tidak ada di dalam mangan itu. “Kakang, sebenarnya aku senang sekali
bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri. Apalagi di dalam bilikku semasa
kanak-kanak. Tetapi……,” Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
“Tetapi, kenapa?” Untara
bertanya.
“Bukan maksudku tidak
menghargai Kakang Untara dan para perwira. Tetapi sebenarnya, bahwa sejak aku
berangkat, aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus kembali ke
Sangkal Putung.”
“Kembali ke Sangkal Putung?”
Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, Kakang, tidak ada
apa-apa. Tetapi demikianlah pesan Guru. Besok aku akan segera kembali lagi ke
mari, dan aku akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat banyak
kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang.”
Untara memandang Agung Sedayu
sejenak. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu.
Agung Sedayu pun menjadi
bimbang. Bahkan kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam. Sekilas ia mencoba
untuk menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya. Tetapi ia tidak
tahu, kesan apakah yang membayang di wajah mereka.
Namun dengan demikian, maka
dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia menunggu
jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari kakaknya itu diam saja
memandangnya dengan tajam.
Ruangan itu menjadi hening,
seakan-akan tidak berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar
susul-menyusul. Betapa hati Agung Sedayu menggelepar. Tetapi ia masih tetap
harus menunggu.
Namun Agung Sedayu yang
tertunduk dalam-dalam itu terperanjat, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara
Untara. Justru suara tertawanya. Karena itu dengan serta-merta ia mengangkat
wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah kakaknya yang tampak
aneh baginya.
Sejenak kemudian, setelah
suara tertawanya mereda, barulah Untara menjawab, “Kau berbohong, Sedayu.”
Berbagai perasaan bercampur
baur di dada Agung Serayu. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersimpan
di hati kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab, “Aku tidak berbohong,
Kakang.”
“Kau tentu berbohong. Kau
katakan, bahwa gurumu memanggilmu sore ini?”
“Ya, ya, ya Kakang.”
Tetapi Untara tertawa pula.
Agung Sedayu benar-benar
menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia duduk di atas tikar yang membara. Ia bergeser
sejengkal surut.
“Jangan kau sangka aku tidak
tahu,” berkata Untara, “bukankah baru tadi malam kau sampai di Sangkal Putung?
Dan karena kau segan kepada sanak kadang di Jati Anom, kau memaksa diri untuk
datang menemui aku, yang selama ini kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi kepalanya telah tertunduk semakin dalam. Namun di dalam hatinya ia
berkata, “Bukan hanya karena keseganan itu. Aku ingin segera mendapat kesan
tentang Kakang, bagaimana sikap Kakang terhadap Mataram.”
“Agung Sedayu,” berkata Untara
kemudian. Karena suara Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka Agung Sedayu pun
mengangkat wajahnya. “Kalau dahulu,” Untara meneruskan, “ mungkin aku akan
bertanya, kenapa gurumu memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak mempercayaimu
dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu. Tetapi sekarang aku
bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau kau sekedar berbohong, karena kau malu
mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu sekalipun yang
menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi sangat gelisah,
seandainya kau tidak dapat memenuhinya, karena kau berharap, bahwa gurumu
mengerti kesulitanmu. Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang mengharap kau
cepat kembali.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Ayo, berkatalah terus terang.
Jangan mencoba terbohong.”
Agung Sedayu justru menjadi
semakin membeku. Dan ia menjadi bingung ketika, Untara sekali lagi tertawa
berbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang perwira
yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara dan melihat Agung Sedayu yang
kebingungan. Namun mereka sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang
dipikirkan oleh Untara.
“Agung Sedayu,” berkata Untara
kemudian setelah suara tertawanya mereda, “kau tahu, dan barangkali kau
mendengar dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan masa-masa
menjelang perkawinanku? Nah, baru setelah aku akan kawin aku tahu, bahwa kau berbohong.
Bukankah begitu? Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang memaksamu pulang, tetapi
pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu pasti.”
Dada Agung Sedayu berdesir.
Tetapi ia mendengar kakaknya berkata di sela-sela suara tertawanya, “Aku akan
menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras. Tetapi sekarang aku tahu,
bahwa keharusan yang paling ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama
sekali tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa, seandainya aku
minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti lebih memberatkan pesan Sekar
Mirah dari pesan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”
Agung Sedayu membeku sejenak.
Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Suatu sorongan
perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah terbanting dalam suatu
keadaan yang sangat asing. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa kakaknya akan
bersikap demikian lunak dan lembut menghadapi keadaannya. Sehingga karena itu,
sejenak ia terbungkam sambil memandangi wajah Untara yang masih saja dibayangi
oleh suara tertawanya.
“Ha, kau akan mungkir?”
Tetapi Agung Sedayu kini
sadar, bahwa kakaknya sekedar berkelakar. Kakaknya ternyata tidak berbuat
apa-apa seperti yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan tidak
memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya tersinggung. Kakaknya ternyata
bersikap lain sekali dengan bayangan-bayangan yang tampak di angan-angannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu
pun tersenyum pula, meskipun kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi ketegangan
yang melonjak di hatinya kini telah lenyap.
“Aku mendapat pesan Guru,”
berkata Agung Sedayu hampir tidak terdengar.
“Bohong. Kau sekarang pandai
berbohong. Katakan saja terus terang, bahwa Sekar Mirah berpesan dengan
bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke Sangkal Putung, karena
kau baru datang semalam.” Untara masih tertawa, lalu, “Baiklah. Sampaikan
salamku kepada Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua. Apalagi
kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal di sana. Aku minta maaf, bahwa
sampai kini aku masih belum sempat mengunjunginya karena bermacam-macam
kesibukan.”
Dan seorang perwira menyahut,
“Yang paling sibuk adalah persoalannya dengan Kakang Widura.”
“Ah,” Untara berdesah. Tetapi
yang ada di ruang itu hampir berbareng tertawa, kecuali seorang perwira yang
masih berdiri di luar pintu, Ranajaya.
Demikianlah, ternyata Agung
Sedayu menemukan Untara yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu,
lain sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata kakaknya sama sekali
tidak berkeberatan, apabila sore itu ia kembali ke Sangkal Putung. Bahkan
kakaknya dapat menebak alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi gelisah
ketika matahari menjadi semakin rendah.
“Jadi, Kakang tidak
berkeberatan, apabila aku kembali ke Sangkal Putung?” tiba-tiba hampir di luar
sadarnya ia bertanya.
“Jadi, apakah aku harus
berkeberatan?” jawab Untara sambil tersenyum.
“Tentu tidak. Memang aku
mengharap Kakang tidak berkeberatan.”
“Aku mengerti kepentinganmu,
Sedayu. Karena itu, aku tidak berkeberatan sama sekali. Kembalilah ke Sangkal
Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah mempunyai waktu. Ajaklah
mereka kemari. Kami akan menerima dengan senang hati.”
“Siapakah mereka itu?”
bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur sambil tersenyum.
Untara pun tersenyum pula.
Jawabnya, “Kelak kalian akan tahu.”
Demikianlah, Agung Sedayu pun
segera minta diri. Ia berjanji dalam waktu dekat, bahkan besok, ia pasti sudah
ada di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal Putung tidak terlampau
jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini sekarang sudah aman.
“Dahulu, di dalam kemelutnya
api peperangan, Agung Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung seorang diri dan
apalagi di malam hari,” Untara masih bergurau juga.
Dalam pada itu, Ranajaya yang
mendengar bahwa Agung Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung, telah mengurungkan
niatnya untuk masuk ke ruangan itu.
Tiba-tiba saja timbul
rencananya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan
pintu pringgitan dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang.
Sejenak kemudian, seekor kuda
telah berderap melalui pintu butulan meninggalkan halaman rumah itu. Di atas
punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang yang bernama Ranajaya.
Di tikungan ketika ia
menjumpai sekelompok prajurit bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga
orang di antaranya tergesa-gesa meninggalkan tikungan itu dan berlari-lari
mengambil seekor kuda bagi masing-masing di pondok mereka.
Tidak seorang pun yang tahu,
apakah yang akan mereka lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu
yang sudah minta diri itu pun, kemudian keluar dari rumahnya dan turun ke
halaman. Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan segera
meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa asing di hatinya. Asing
karena tanggapan yang diterima sama sekali lain dari bayangan yang selama ini
menggelisahkannya.
Namun dalam pada itu, ketika
ia sampai di ujung lorong, di mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda,
menghentikannya. Tangannya melambai-lambai, sedangkan wajahnya tampak
berkerut-merut.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Ada kesan yang aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu,
maka Agung Sedayu pun menghentikan kudanya pula.
“Agung Sedayu,” berkata Juga,
“agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata
mempunyai rencananya tersendiri.”
“Apa?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya ia ingin melibatkan
seorang perwira di dalam persoalan, yang sebenarnya dapat dianggapnya selesai.”
“Maksudmu?”
“Belum lama berselang,
Ranajaya telah mendahului keluar dari padukuhan ini, yang kemudian disusul oleh
ketiga orang prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara mereka adalah
yang telah kau kalahkan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Agaknya Juga tidak mengerti seluruh persoalannya dengan Ranajaya.
Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Karena itu, sejenak Agung
Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk
menentukan sikap.
“Aku akan kembali kepada
Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu, “kalau Kakang Untara tidak berkeberatan,
aku akan melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak ada persoalan antara aku dan
Kakang Untara. Kalau Kakang Untara berkeberatan, aku akan mengambil jalan lain
ke Sangkal Putung, meskipun agak jauh.”
“Aku rasa itu adalah jalan
yang sebaik-baiknya,” sahut Juga.
Agung Sedayu pun segera
memutar kudanya dan berlari kembali ke rumahnya yang dipergunakan sebagai
tempat tinggal para perwira itu.
Untara yang masih ada di
pendapa terkejut, melihat adiknya kembali, sehingga karena itu, dengan
tergesa-gesa ia menyongsongnya.
Sejenak, Agung Sedayu
ragu-ragu, karena di sebelah kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.
“Katakanlah,” berkata kakaknya
setelah Agung Sedayu turun dari kudanya.
Maka dengan singkat Agung
Sedayu pun mengatakan persoalannya, seperti yang dikatakan oleh Juga.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para perwira, “Marilah kita menjadi saksi.
Pergilah dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani kehendaknya. Kau tidak
usah cemas, bahwa ia akan menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seorang
prajurit, karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan menyertakan
seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu. Supaya mereka melakukan rencana
yang sebenarnya, biarlah seorang prajurit saja pergi bersamamu. Prajurit yang
dapat diabaikan oleh Ranajaya.”
Agung Sedayu memandang
kakaknya sejenak. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban cinde emban silatan.
Siapa pun yang bersalah, ia akan menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu.
Sejenak kemudian, seorang
prajurit yang ditunjuk oleh Untara pun telah bersiap. Dan sekali lagi Untara
berpesan, “Pergilah. Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan
peperangan. Prajurit yang menyertaimu adalah seorang yang berasal dari Macanam.
Ia akan mengatakan, bahwa kebetulan kalian berangkat bersama-sama dari Jati
Anom.”
Agung Sedayu mengerti maksud
kakaknya. Karena itu, maka ia pun segera minta diri dan berpacu ke luar
padukuhan Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari Macanan.
“Perananmu hanyalah menjadi
saksi sebelum Kakang Untara sampai ke tempat itu.”
“Ya.”
“Apakah Ranajaya sudah
mengenalmu?”
“Ya. Ranajaya sudah mengenal
aku. Ketiga prajurit yang lain itu pun mengenal aku pula.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau
lambat. Sebelum senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia masih
akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal Putung itu.
Ternyata apa yang dikatakan
Juga itu benar. Belum terlampau jauh keduanya keluar dari Kademangan Jati Anom,
maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah jalan.
Semakin dekat, Agung Sedayu
melihat semakin jelas empat orang berdiri termangu-manggu di tepi jalan itu
pula.
“Ternyata mereka benar-benar
menunggu aku,” desis Agung Sedayu.
“Ranajaya memang mempunyai
sifat yang aneh. Kawan-kawannya, para perwira Pajang, menjadi heran pula
melihat sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia menjadi semakin
mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian dengan Ranajaya. Ia justru menjadi
semakin aneh. Semakin tua dan semakin tinggi pangkat dan jabatannya, ia
seakan-akan menjadi mabuk.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi keningnya menjadi semakin
berkerut-merut. Agaknya memang sulit untuk menghindarkan dirinya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu
dan prajurit dari Macanan itu menjadi kian mendekat. Dengan dada yang berdebar-debar,
Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser ke tengah jalan.
Tetapi tiba-tiba wajahnya
menjadi tegang, ketika ia melihat prajurit yang datang bersama Agung Sedayu.
Dengan geram perwira itu berkata, “Kau Japa? Kenapa kau mengawal Agung Sedayu?”
“Aku sama sekali tidak
mengawal. Aku kebetulan sekali ingin menengok keluargaku di Macanan.”
“Tetapi kenapa kali ini kau
berkuda? Bukankah biasanya kau berjalan kaki saja?”
“Aku prajurit dari pasukan
berkuda. Apa salahnya aku pulang berkuda sekali-kali di dalam hidupku.”
“Japa. Ingat, dengan, siapa
kau berbicara.”
Japa mengerutkan keningnya. Ia
memang berbicara dengan seorang perwira, sehingga karena itu, ia tidak dapat
menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari kudanya.
“Bersikaplah sebagai seorang
prajurit terhadap seorang perwira.”
“Ya,” sahut Japa singkat
sambil berdiri tegak di samping kudanya.
Tetapi dalam pada itu, Agung
Sedayu masih tetap duduk di atas punggung kudanya yang berdiri termangu-manggu.
“Japa,” berkata Ranajaya,
“kalau kau memang ingin pulang ke Macanan, pulanglah.”
“Aku akan pergi bersama-sama
Agung Sedayu.”
“Pergilah dahulu.”
“Aku menunggunya.”
“Kau akan mencampuri urusan
kami?”
“Tidak. Aku tidak akan membuat
persoalan bagi diriku sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu saja. Tidak ada
niat yang lain.”
Ranajaya menjadi tidak sabar
lagi. Karena katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam
persoalan ini, maka akibatnya akan membuatmu menyesal sekali.”
“Aku tidak akan berbuat
apa-apa.”
Ranajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Biarlah. Menepilah.”
Japa pun kemudian bergeser
menepi menuntun kudanya.
Dalam pada itu, Ranajaya
memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan Ranajaya
melihat seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang yang tidak
sewajarnya.
“Agung Sedayu,” geram
Ranajaya, “apakah kau tidak mau turun dari kuda?”
“Sudah aku katakan Ranajaya,
itu adalah hakku. Dan sekarang aku ingin cepat-cepat sampai ke Sangkal Putung
sebelum senja.”
“Kau harus turun.”
“Jangan mengganggu
perjalananku. Aku tergesa-gesa.”
“Kau harus turun. Aku tahu,
dengan sebelah tanganmu kau dapat mengalahkan anak buahku. Tetapi jangan kau
sangka, Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak itu,” berkata
Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah dikalahkan oleh Agung Sedayu hanya
dengan sebelah tangannya.
“Aku percaya Ranajaya,” jawab
Agung Sedayu kemudian, “aku percaya. Dan sekarang berilah jalan. Aku akan
lewat. Hanya sekedar lewat.”
Tetapi Ranajaya menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku ingin tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau
andalkan, maka kau bersikap begini sombong.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan di
saat-saat ia berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap seorang perwira
yang angkuh inilah yang telah menghambat perjalanannya. Sama sekali bukan
karena Untara melarangnya kembali.
“Ranajaya,” berkata Agung
Sedayu kemudian, “sebaiknya kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku
berbangga, bahwa para perwira tidak membuat persoalan atasku, karena aku
bertengkar dengan seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba salah seorang perwira
telah berbuat serupa, seperti prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh
Untara, bukan sebagai kakakku, tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah ini.”
“Urusan Untara adalah urusan
keprajuritan. Ia tidak perlu mengurusi sikap-sikap sombong seperti sikapmu
ini.” Ranajaya berhenti sejenak, lalu, “Dan bukankah kau sendiri yang menuntut
sikap jantan di antara kita?”
Agung Sedayu merasa, bahwa ia
tidak akan dapat menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya berkata, “Agung
Sedayu. Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau bercerita tentang Mataram.
Kau harus berkata sebenarnya. Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau
tuntut itu, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?”
Agung Sedayu berpikir sejenak.
Agaknya ia dapat mencoba menghindari pertengkaran, selama masalah Mataram itu
dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka katanya, “Apakah yang
ingin kau ketahui tentang Mataram?”
“Siapa saja yang telah dibunuh
oleh Sutawijaya di daerah yang sedang dibuka? Kau tentu tahu, dan kau tentu
dapat mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya.”
Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar pertanyaan itu. Tetapi dengan demikian ia justru ingin mendengar
pertanyaan Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab,
“Sepengetahuanku Ranajaya, tidak ada orang yang sengaja dibunuh. Memang ada
pertempuran-pertempuran kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu pembukaan
Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan.”
“Ya, sebutkan siapa saja yang
terbunuh di dalam peperangan itu?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. “Tentu aku tidak dapat mengatakan seorang demi seorang.”
“Bohong!” tiba-tiba Ranajaya
membentak. “Pajang harus mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat.
Nah, berapa ribu orang sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk melawan Pajang.”
“Inilah yang berbahaya,”
berkata Agung Sedayu. “Berulang kali aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit.
Tidak ada.”
“Bohong! Bohong! Aku akan
memaksamu berkata.”
“Tidak ada yang akan aku
katakan.”
“Itulah yang aku ingin tahu
sebenarnya. Kau harus menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah pimpinan mereka.
Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah terbujuk oleh Sutawijaya yang
curang itu. Dan di mana saja mereka menempatkan pusat-pusat pertahanannya.
Jangan ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang dikirim oleh
Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat dengan Sutawijaya sejak
Tohpati masih berkuasa di daerah ini. Kau berdua dengan anak Demang Sangkal
Putung telah mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum Pemanahan berontak dan
dengan kekerasan menduduki daerah yang belum resmi diserahkan kepadanya. Hanya karena
kebesaran hati Sultan Hadiwijaya, maka Pemanahan diperkenankan membuka hutan
itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan Hadiwijaya itu telah disalah-artikan
oleh Pemanahan, sehingga mereka menganggap Pajang sudah terlampau lemah
menghadapinya.”
Tetapi Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan
cerita itu? Mungkin seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya akan bercerita
semacam itu.”
“Kau tentu tidak akan
mengatakannya. Karena itu, aku akan memaksamu. Aku akan mendengar keterangan
tentang Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret kembali ke Jati
Anom untuk membuktikan kepada mereka, bahwa kau adalah telik sandi yang harus
kita curigai, meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik Untara.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Kalau Untara meyakini, bahwa
kau seorang petugas sandi dari sahabatmu yang licik dan curang itu, kau akan
mendapat perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri.”
“Jadi kau ingin menunjukkan
jasa yang berlebih-lebihan kepada Kakang Untara? Atau kau ingin dianggap
sebagai pahlawan besar bagi Pajang?”
“Tutup mulutmu! Kalau kau
ingin berbicara, berbicaralah tentang pengkhianatan Sutawijaya. Jangan berkata
tentang yang lain.”
Agung Sedayu merenung sejenak,
lalu, “Kalau begitu lebih baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga.”
“Gila. Aku akan memaksamu.
Ayo, turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu. Aku dapat memaksa kau
berkata.”
“Mungkin kau dapat memaksa aku
berkata. Tetapi yang aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Tetapi
hanya sekedar memenuhi keinginanmu.”
“Kau benar gila,” dan
tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi merah membara. Sejenak kemudian ia
beringsut maju.
Agung Sedayu tidak melihat
jalan lain daripada membela diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi di atas
punggung kudanya, agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu. Karena
itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil berkata, “Japa, tolong,
pegangi kudaku.”
“O, anak yang malang. Kau
benar-benar akan menyesal,” geram Ranajaya.
Agung Sedayu tidak mempunyai
pilihan lain. Meskipun ia sudah berusaha menghindari pertengkaran, namun ia
tidak berhasil.
Karena itu, maka ia pun segera
mempersiapkan dirinya. Ia tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu,
ia tidak ingin terpelanting pada sasaran pertama.
Ranajaya yang benar-benar
telah tidak dapat mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin
mendekat. Matanya seakan-akan telah menyala. Seakan-akan ia benar-benar
berhadapan dengan seorang petugas sandi dari Mataram yang berhasil menyusup di
antara pasukan Pajang.
Demikianlah bagi Ranajaya,
Agung Sedayu memang mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar nama itu
beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba sedikit tentang Agung Sedayu.
Masih terngiang di telinganya
pesan seorang Tumenggung dari Pajang, “Kau harus mencari keterangan tentang
sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk. Salah seorang dari mereka
adalah adik Untara.”
Sebenarnya bagi Agung Sedayu
sendiri, pengenalan Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya menumbuhkan
teka-teki. Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa Ranajaya tidak
akan mau mengatakannya.
“Agaknya cukup banyak prajurit
Pajang yang mengenal aku sejak di Sangkal Putung, sampai pecahnya padepokan
Tambak Wedi,” katanya di dalam hati. “Tetapi ternyata Ranajaya telah mencari
hubungan keakrabanku dengan Raden Sutawijaya saat itu dengan kedatangan dari
Mataram sekarang. Apalagi aku memang pernah pergi ke Alas Mentaok, sebelum
daerah itu dibuka justru bersama-sama dengan Raden Sutawijaya.”
Agaknya peristiwa-peristiwa
itulah yang telah dijalin oleh Ranajaya menjadi suatu kesimpulan, bahwa
kedatangannya kali ini adalah atas perintah dan tugas dari Sutawijaya.
“Untunglah, bahwa Kakang
Untara mengenal aku dengan baik, sehingga ia tidak mudah percaya dengan
cerita-cerita itu,” katanya pula di dalam hatinya.
Namun sementara itu. Ranajaya
telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram ia menunjuk
wajah Agung Sedayu, “Jangan ingkar. Aku sudah banyak mendengar perananmu,
peranan orang-orang bercambuk di Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya,
orang-orang yang bersenjata cambuk seperti senjatamu dan gurumu.”
“Siapa yang menyampaikan hal
itu kepadamu?”
“Tidak ada gunanya kau mengerti,”
Ranajaya membelalakkan matanya. “Apakah kau mengaku?”
“Aku mengaku, bahwa aku
mempunyai senjata cambuk. Hanya itu.”
“Persetan,” Ranajaya agaknya
sudah tidak sabar lagi. Selangkah lagi ia maju, sehingga karena itu, Agung
Sedayu pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.
Agung Sedayu tidak perlu
menunggu terlalu lama. Namun masih terdengar Ranajaya berkata, “Kau akan
terpaksa mengatakannya, anak gila.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi matanya yang tajam segera melihat kaki Ranajaya terangkat. Cepat sekali,
seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
tinggal diam. Dengan cepat pula ia bergeser dan melingkar di atas tumit satu
kakinya, sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi lambungnya. Bahkan
dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul pergelangan kaki itu dengan sisi
telapak tangannya. Namun agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat tangkas.
Sebelum tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya, Ranajaya telah
melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi Agung Sedayu. Dan begitu kaki yang
terjulur itu melekat di atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil, Ranajaya
melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang lain.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ranajaya benar-benar seorang perwira yang lincah. Tetapi ia tidak
membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung Sedayu merendahkan
dirinya. Tiba-tiba saja kakinya melingkar mendatar, hanya sejengkal di atas
tanah menyapu satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih terjulur. Dengan
perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang terlonjak sedikit itu
menginjak tanah, sedang yang lain masih terjulur lurus, kaki Agung Sedayu telah
mengenainya.
Gerakan Agung Sedayu yang
cepat itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika
kakinya yang menginjak tanah itu terlempar, maka ia pun jatuh pula terbanting.
Tetapi Ranajaya tidak
membiarkan serangan berikutnya. Dengan cepat pula ia berguling beberapa kali
menjauh. Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang meloncat. Kemudian
dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya yang renggang, langsung bersiap
menghadapi setiap kemungkinan.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Itulah sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata seorang
perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan pada bagian tubuhnya,
memberikan sedikit petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah seorang
yang tidak saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat. Sehingga
dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi
kemungkinan-kemungkinan mendatang.
Sejenak keduanya berdiri tegak
di tempatnya. Namun kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat.
Memang agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain daripada kekerasan. Dan
Agung Sedayu memang tidak akan menghindar lagi.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing
adalah seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Para prajurit yang ada di luar
arena hanya dapat melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali wajah mereka
menegang, namun kemudian sebuah senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi
sejenak kemudian kening mereka menjadi berkerut-merut.
Para prajurit yang mengikuti
Ranajaya hampir berbareng bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu
terlempar beberapa langkah, karena hempasan kaki Ranajaya yang tepat mengenai
lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika
serangan berikutnya mengarah pelipisnya.
Japa mengikuti perkelahian itu
dengan tegang pula. Tetapi tampaknya ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak
terseret ke dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin panas itu.
Ranajaya yang merasa dirinya
seorang perwira yang terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa Agung
Sedayu tidak segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa Untara, adalah seorang
prajurit linuwih. Tetapi apakah dengan demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu
juga menjadi seorang yang perkasa?
Karena itu, maka Ranajaya pun
segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera memaksa Agung Sedayu
menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya tentang Mataram, tentang Alas
Mentaok dan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh Sutawijaya. Jika ia
berhasil, maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan Untara sendiri, bahwa
adiknya ternyata adalah telik sandi yang diselusupkan oleh Sutawijaya ke
belakang garis pertahanan Pajang.
Tetapi Agung Sedayu pun
semakin lama menjadi semakin panas pula. Semula ia memang tidak memeras
kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan dan hormat kepada
prajurit Pajang, apalagi seorang perwira. Tetapi karena tubuhnya semakin sering
dikenai serangan-serangan Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit, akhirnya
Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.
“Aku harus
bersungguh-sungguh,” katanya di dalam hati, “apa pun akibatnya. Kalau tidak,
maka aku akan benar-benar menjadi bengkak-bengkak.”
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Agung Sedayu pun
kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak lagi mencoba
menghindarkan kemungkinan yang pahit bagi perwira itu. Ia tidak lagi
menghiraukan, apakah perwira itu akan menjadi sangat malu, apabila ia tidak
dapat memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh
Agung Sedayu.
Kalau semula Agung Sedayu
tidak ingin mengalahkan lawannya dengan semena-mena di hadapan
prajurit-prajuritnya, maka pikiran itu pun semakin lama menjadi semakin kabur,
karena serangan Ranajaya yang semakin menyakiti badannya.
Sejak itulah, maka tampak
perubahan pada keseimbangan perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun kemudian
mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru Ranajaya yang semakin bernafsu
untuk segera memenangkan perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak.
Hampir tidak masuk akal bagi
Ranajaya, bahwa ia merasa semakin lama semakin berat melawan tandang Agung
Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang jauh melampaui kemampuan
yang diperkirakannya. Meskipun demikian, Ranajaya adalah seorang perwira yang
berpengalaman, meskipun ia masih muda. Karena itulah, maka meskipun
sekali-sekali ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu melakukan perlawanan
sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan sekali-sekali masih juga dapat
mengenai sasarannya.
Tetapi kini serangan Agung
Sedayu mulai mengenai tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan
sekeping besi yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya. Tidak hanya satu
kali, dua kali. Tetapi beberapa kali.
Perkelahian itu pun semakin
lama benar-benar menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha
menguasai lawannya. Langkahnya semakin lincah dan cepat, sehingga seakan-akan
ia berada di segala arah bagi lawannya.
Perlahan-lahan perkelahian itu
pun bergeser menepi. Begitu dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka
telah berdiri tepat di pinggir tanggul sawah yang sedang digenangi air.
Sebuah serangan Ranajaya yang
cepat dan tidak terduga-duga, ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung
Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan Ranajaya itu bagaikan
memecahkan dinding dadanya, sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di
belakang Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau
terlempar sendiri ke dalam genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia masih
berhasil menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga keduanya bagaikan
terlempar ke dalam air yang berwarna coklat kehitam-hitaman.
Para prajurit yang menyaksikan
perkelahian itu, seakan-akan telah membeku di tempatnya. Tetapi ketika mereka
melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka mereka pun hampir serentak
meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir pematang.
Tertatih-tatih keduanya
berusaha meloncat berdiri. Tetapi ternyata lumpur yang kotor, yang telah
melumuri seluruh tubuh dan pakaian, membuat hati mereka semakin panas. Sehingga
perkelahian selanjutnya adalah benar-benar perkelahian yang menentukan,
meskipun keduanya masih tidak bersenjata.
Dalam pada itu, para prajurit
yang berdiri di pinggir sawah, tidak sampai hati membiarkan perwiranya
berkelahi berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka melihat
setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi dengan lumpur yang semakin
tebal.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun sejenak kemudian salah seorang berdesis, “Apakah kita dapat membantu?”
“Tunggu. Kita harus mendapat
perintah atau ijin dahulu. Kalau tidak, kita akan justru dimarahinya.”
Kawannya menjadi
termangu-mangu. Namun setiap kali keningnya berkerut-merut. Lumpur yang
melumuri seluruh tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin
tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi para prajurit, bahwa
Ranajaya selain harus bergulat melawan lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi
semakin terdesak.
Agung Sedayu yang merasa,
bahwa tubuhnya menjadi sangat kotor dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat
untuk segera mengakhiri perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi semakin
garang, meskipun ia masih juga berada di dalam lumpur.
Ternyata, bahwa Ranajaya tidak
mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang prajurit
yang berpengalaman, tetapi Agung Sedayu pernah mengalami medan yang
bermacam-macam, sehingga karena itu, maka ia telah berhasil benar-benar
menguasai lawannya, seorang perwira pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka
prajurit-prajuritnya benar-benar tidak dapat tinggal diam. Salah seorang
bergerak maju sambil berkata, “Ijinkan kami ikut menangkap telik sandi itu.”
Perwira Pajang yang sedang
berkelahi itu tidak segera menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat
keperwiraannya, sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan
prajurit-prajuritnya ikut di dalam perkelahian itu.
Kerena Ranajaya tidak
menyahut, maka seorang prajurit yang lain berteriak pula, “Apakah kami
diijinkan untuk ikut menangkap anak itu?”
Masih tidak ada jawaban.
Dan sekali lagi prajurit di
pinggir sawah itu berkata, “Kami minta ijin itu.”
Tetapi perwira yang sedang
berkelahi itu tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tidak ingin berkelahi dengan
curang. Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri yang cukup,
sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajurit-prajuritnya itu.
Sikap itu ternyata menumbuhkan
perasaan hormat pada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang menyadari, bahwa sebentar
lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya, merasa kagum, bahwa meskipun
Ranajaya termasuk seorang perwira yang bengal, tetapi ia tidak mau bertempur
bersama prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung Sedayu.
Tetapi prajurit-prajuritnyalah
yang menjadi gelisah. Karena Ranajaya tidak menyahut, maka mereka pun akan
mengambil sikap sendiri. Salah seorang berkata, “ Ki Ranajaya tidak melarang,
meskipun tidak mengiakan.”
“Kita bertindak sendiri,”
sahut yang lain.
Tetapi yang lain lagi berkata,
“Tetapi ia adik Ki Untara.”
Sejenak prajurit-prajurit itu
menjadi ragu-ragu. Namun kemudian, “Kalau benar ia telik sandi, meskipun
adiknya Ki Untara, kita memang harus menangkapnya.”
Kawannya termangu-mamgu
sejenak, namun kemudian, “Tanggung jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita
berbuat sesuatu.”
Sejenak prajurit-prajurit itu
bimbang. Namun sejenak kemudian mereka beringsut maju.
Tetapi ketika mereka
benar-benar akan terjun ke dalam lumpur, mereka terhenti, karena Japa yang ada
di belakang mereka berkata, “He, apakah kalian akan ikut campur?”
“Kami akan menangkap petugas
sandi dari Mataram itu.”
“Jangan. Ki Ranajaya akan
marah kepada kalian. Kau telah minta ijin kepadanya, tetapi ia tidak menjawab.
Kau tahu harga diri seorang satria?”
Ketiga prajurit itu
mengerutkan keningnya.
“Biarkanlah perkelahian itu.”
Ketiga prajurit itu merenung
sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Soalnya bukan perang
tanding. Tetapi kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama.”
“Tuduhan itu tidak beralasan
sama sekali. Kalian harus tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah seorang yang sangat
membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena itulah, maka penilaiannya
terhadap kawan Raden Sutawijaya juga tidak longgar lagi. Seakan-akan semua
orang yang pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya adalah musuh Pajang.
Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya sendiri memusuhi Pajang?”
Ketiga prajurit itu menjadi
semakin bimbang. Dan Japa berkata, “Biarlah keduanya menyelesaikan persoalan
mereka. Soalnya bukan Mataram atau Pajang. Bukan telik sandi atau prajurit yang
setia. Keduanya adalah anak-anak yang masih muda. Yang satu tidak mau
tersinggung oleh yang lain. Itu saja. Karena itu, marilah kita sekedar menjadi
saksi.”
“Ah. Kau berpikir terlampau
pendek. Ki Ranajaya tidak sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Ia
menyadari kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang tumbuh.”
“Itu adalah omong kosong.
Percayalah, bahwa mereka keduanya adalah anak-anak muda yang sombong, angkuh
dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah tersinggung. Itulah
sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apa-apa. Jangan dihubungkan dengan soal-soal
yang tidak kita mengerti.”
“Persetan,” sahut seorang
prajurit, “tetapi kita harus berbuat sesuatu.”
Japa menggelengkan kepalanya,
“Jangan. Aku tidak sependapat.”
“Tetapi kami tidak dapat
membiarkan hal ini terjadi.”
“Biar sajalah.”
“Kau sama sekali tidak mau
membantu seorang perwira atasannya yang sedang menjalankan tugas.”
“Aku dari pasukan berkuda.
Bukan dari pasukanmu. Aku memang harus hormat kepada perwira yang mana pun.
Tetapi tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang agak terlampau
mudah tersinggung.”
“Terserah. Tetapi kami akan
membantunya.”
Tetapi Japa menggeleng,
“Jangan. Kau tahu arti kata-kataku ini? Biarkan saja apa yang akan terjadi.”
Ketiga prajurit itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Sekali dipandanginya wajah Japa yang berkerut-merut,
namun kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang semakin sering jatuh,
terbanting ke dalam lumpur.
Sebenarnyalah,
prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Mereka bertiga telah mengenal prajurit
dari pasukan berkuda yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan
dari kawan-kawan prajuritnya. Beberapa orang justru mengatakan, bahwa ia
mempunyai aji welut putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya,
namun lawan-lawannya tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus mempunyai
aji lembu sekilan, sehingga seakan-akan ia menjadi kebal, meskipun oleh
kekuatan yang dapat melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga
dikenainya.
Tetapi sejenak kemudian Japa
itu pun berkata, “Dengarlah kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan
Ki Ranajaya.”
“Kau lihat, Ki Ranajaya kini
terdesak. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap kami
yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan, bahwa kaulah yang
mencegah kami, maka kau akan menjadi sasaran kemarahannya. Meskipun kau
mempunyai aji welut putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat
melawan Ki Ranajaya.”
“He, siapa yang mengatakan
bahwa aku mempunyai aji welut putih dan apalagi lembu sekilan? Sama sekali
tidak. Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki Ranajaya akan
membenarkan sikapku. Kalau ikut campur, maka itu akan berarti, bahwa kau telah
menurunkan sikap satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil mengalahkan
Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok kalian pasti akan dihukum
oleh Ki Ranajaya, karena kalian telah menghinanya, seolah-olah perwira itu
tidak dapat mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap seperti seorang
laki-laki yang sebenarnya.”
Ketiga prajurit itu menjadi
bingung. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Lalu apa gunanya kami
dibawanya serta?”
“Maksudnya, kalian akan
menjadi saksi apa yang telah terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan dalam
perkelahian itu, maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang lain
tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan sebagai laki-laki atas
kehendak masing-masing.”
Ketiga prajurit itu menjadi
termangu-mangu. Tetapi kini ia melihat Ranajaya terlempar beberapa langkah dan
jatuh terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya terbenam di dalam air
yang kotor di sela-sela tanaman padi muda, yang menjadi porak-poranda dan
bosah-baseh.
Dengan susah payah ia berusaha
berdiri. Tetapi Agung Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian
itu, sehingga begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera menyerang dengan dahsyatnya.
Sebuah pukulan yang tidak terelakkan telah mengenai dagunya.
Sebenarnyalah, bahwa tenaga
Ranajaya telah susut. Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu
dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali lagi ia
terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu memburunya. Sebuah pukulan
berikutnya mengenai perutnya.
Ranajaya membungkuk kesakitan.
Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu mengayunkan
tangannya. Kali ini mengenai bagian bawah telinganya.
Terasa kepala Ranajaya
bagaikan terputar. Kini ia terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya
lagi, ia pun terjatuh menelentang.
Tenaga perwira muda itu
bagaikan telah terhisap habis. Kepalanya menjadi pening, dan pandangan matanya
seakan-akan berputaran. Awan yang terbang di langit bagaikan runtuh menimpa
dadanya.
Tetapi Ranajaya tidak pingsan,
meskipun ia tidak dapat lagi bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat
kepalanya dan duduk di dalam lumpur yang basah.
Agung Sedayu berdiri tegak
dengan kaki renggang. Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun
memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Kau memang gila,” perwira itu
menggeram, “aku akan membunuhmu, pengkhianat.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Dibiarkannya Ranajaya mengumpat-umpat.
Tetapi dada Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar, ketika tangan Ranajaya meraba hulu kerisnya yang kotor
oleh lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku benar-benar akan
membunuhmu. Segores luka di kulitmu telah cukup untuk membuatmu tidak dapat lari
lagi dari tangan maut.”
Agung Sedayu memandang tangan
Ranajaya dengan dada yang berdebar-debar. Perwira itu benar-benar menjadi mata
gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Keris bukannya sekedar
barang mainan, yang dapat dipergunakan setiap saat yang disukainya. Tetapi
keris akan langsung berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila dipergunakan.
“Apakah aku juga akan
mempergunakan senjata?” pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.
Meskipun Ranajaya telah
menjadi semakin lemah, tetapi keris di tangannya akan langsung berbahaya bagi
jiwanya. Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah barang tentu
kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan di pasar-pasar.
Sejenak Agung Sedayu jadi
membeku. Keragu-raguaan yang dahsyat telah mencekam dadanya.
Dalam pada itu, Ranajaya
agaknya benar-benar akan menarik keris dari wrangkanya. Sejenak ia masih
memandang Agung Sedayu sambil menggeram, “Kau akan menyesal. Kau tidak akan
melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke Sangkal Putung pada waktunya.”
Agung Sedayu benar-benar
menjadi bingung. Ia tidak menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar telah
kehilangan pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa kerisnya akan
mungkin merenggut nyawa seseorang.
Namun dalam pada itu, selagi Agung
Sedayu termangu-mangu, mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu,
terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin mendekat, sehingga
hampir berbareng mereka berpaling.
Tangan Ranajaya yang telah
melekat di hulu kerisnya, perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu
menegang, ketika ia melihat orang yang berkuda paling depan dari beberapa orang
penunggang kuda yang mendekati arena. Orang itu adalah Untara.
Para prajurit yang berdiri di
tepi sawah itu pun menjadi termangu-mamgu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara
akan sampai ke tempat itu juga.
Dalam pada itu, ketika Untara
dan beberapa orang pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah
meledak suara tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat suatu permainan yang lucu
sekali. Bahkan Untara yang tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi
perutnya yang berguncang-guncang.
Demikian kudanya sampai di
pinggir sawah berlumpur itu, ia pun segera meloncat turun diikuti oleh para
pengiringnya. Namun ia masih saja tertawa berkepanjangan.
Para pengiringnya yang semula
menjadi tegang, itu pun ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran
dengan lumpur yang basah itu.
“He, apakah kerja kalian di
sana?” bertanya Untara sambil berdiri di pematang.
Agung Sedayu yang memang sudah
mengerti, bahwa kakaknva akan menyusul segera melangkah menepi. Kakinya
terbenam sampai di atas mata kakinya itu.
“Kemarilah, kemarilah. Apakah
kalian termasuk golongan kerbau yang sedang berkubang?” bertanya Untara di
sela-sela suara tertawanya.
Kedua orang itu tidak
menjawab. Ranajaya pun kemudian melangkah pula menepi. Tetapi karena tenaganya
memang sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam, maka langkahnya pun
tampaknya menjadi sangat berat.
Sejenak kemudian keduanya
telah berdiri di atas pematang di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi
keduanya menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“He, apakah yang telah kalian
lakukan?” bertanya Untara masih sambil tertawa.
Keduanya tidak menjawab.
“Apakah kalian mencoba
berkubang, atau mandi di air yang sangat dangkal ini, atau kalian mempunyai
kesibukan lain, misalnya mencari belut?”
Keduanya masih terdiam.
“Kenapa kalian diam saja?”
suara Untara menurun, dan tertawanya pun sudah mereda. “Lihat, tanaman padi
yang hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini mempunyai
warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan?”
Ranajaya dan Agung Sedayu
masih tetap berdiam diri.
Untara pun kemudian berpaling
kepada prajurit-prajurit yang berdiri berjajar sambil menundukkan kepala mereka
pula, “He,” berkata Untara, ternyata kalian mendapat tontonan yang
menyenangkan. Sayang, aku datang terlambat.”
Tidak seorang pun yang berani
mengangkat kepalanya. Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin tunduk. Hanya
Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula, tetapi ia sempat
tersenyum di dalam hati.
Dalam pada itu, Untara berkata
selanjutnya, tetapi dalam nada yang berbeda, “Nah, setelah kalian puas dengan
sikap jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?”
Masih tidak ada jawaban.
“Kepuasan? Kebanggaan atau
apa?”
Agung Sedayu menarik nafas.
Ketika ia mencoba memandang Ranajaya dengan sudut matanya, dilihatnya perwira
itu masih tetap menunduk.
“Adi Ranajaya,” berkata Untara
kemudian, “memang itukah yang kau kehendaki?”
Ranajaya menggigit bibirnya.
“Baiklah,” berkata Untara
kemudian, “kalian tentu tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat
menduga, apa yang baru saja terjadi di sini. Perkelahian karena masing-masing
tidak mau sedikit saja tersinggung perasaannya. Atau barang kali karena
kebencian yang tidak mempunyai dasar alasan, tetapi sudah berkobar membakar
urat nadi. Inilah yang kalian temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada
orang yang melihat, memalukan sekali. Untunglah, bahwa saat-saat menjelang
senja, hampir tidak ada orang lagi di sawah dan tidak ada orang yang kebetulan
lewat di jalan ini.”
Tetapi belum lagi Untara
terdiam, di kejauhan dilihatnya seseorang berjalan merunduk menjauhi tempat
itu.
“He, ternyata ada juga yang
menonton perkelahian ini dari jauh. Tetapi mereka pasti tidak akan berani
melerai, karena di sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai,
mendekat pun tidak berani.”
Semua berpaling ke arah
tatapan mata Untara. Tetapi mereka tidak melihat apa pun lagi, karena orang itu
sudah bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang tumbuh agak lebih besar.
Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar ia tidak terlibat di dalam
perkelahian yang terjadi itu.
“Tentu tidak hanya seorang
itu,” berkata Untara, “karena itu, jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang
prajurit tidak akan berselisih di sembarang tempat dan di sembarang waktu,
karena sembarang persoalan.”
Ranajaya hanya menundukkan
kepalanya saja tanpa berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk memaksa Agung
Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari Mataram telah gagal,
meskipun ia masih tetap berpendapat demikian, ia masih tetap menganggap bahwa
justru karena Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di daerah
selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa dicurigai.
Dan agaknya Untara memang tidak menaruh curiga sama sekali kepada adiknya itu.
“Tetapi,” berkata Untara,
“jika sudah terjadi demikian, kalian telah menjadi puas. Kalian telah
melepaskan gejolak di dalam hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah
kalian bayangkan sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para perwira, jika
mereka melihat seorang Ranajaya dalam pakaiannya yang aneh sekarang ini? Dan
apa kata Ki Demang di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka
melihat Agung Sedayu yang baru keluar dari kubangan?”
Tidak seorang pun yang
menyahut.
“Nah, sekarang bagaimana
dengan kalian berdua?” Keduanya tidak segera menjawab.
“Apakah kalian akan tetap
memakai pakaian itu, atau kalian akan berganti pakaian di sini?”