Mereka pun kemudian memungut
busur-busur mereka, menyilangkannya di punggungnya. Endong, tempat anak panah merekapun
segera mereka ikat pada pinggang masing-masing. Di kiri tergantung pedang dan
di kanan tergantung endong-endong itu, kecuali Sutawijaya yang bersenjatakan
tombak.
Ketiganya kemudian dengan
hati-hati berjalan menjauhi perapian mereka. Agung Sedayu dan Swandaru telah
menarik pedang-pedang mereka dari sarungnya. Kalau seseorang sengaja menarik
perhatian mereka dengan sebuah perapian, maka menghadapi mereka harus cukup
waspada.
Dengan penuh kewaspadaan
mereka kemudian memasuki rimbunnya pepohonan di sekeliling halaman yang sempit
dan kotor itu. Dengan senjata siap di tangan, selangkah-selangkah mereka maju.
Segera mereka pun mengetahui, dari manakah sumber cahaya yang memancar, membuat
bayangan yang kemerah-merahan pada pepohonan dan dedaunan.
“Dari situlah sumber cahaya
itu” desis Swandaru.
“Ya,” sahut Sutawijaya
perlahan-lahan, “marilah kita lihat.”
Ketika mereka maju beberapa
langkah lagi, maka segera mereka menjadi semakin jelas arah api yang telah
mengganggu itu. Dan beberapa langkah lagi, maka langkah mereka pun terhenti.
Ternyata kini mereka berdiri beberapa langkah dari sebuah halaman yang lain,
halaman serupa dengan halaman tempat mereka beristirahat. Tetapi halaman ini
ternyata lebih luas. Dalam cahaya api yang menyala-nyala itu mereka melihat
gubug-gubug yang lebih banyak dan di antaranya ada beberapa gubug yang agak
lebih besar dari gubug-gubug yang telah mereka lihat lebih dahulu.
“Hem,” bisik Sutawijaya,
“bukankah dugaan kita benar, bahwa di sekitar tempat kita berhenti masih ada
perkemahan yang lain. Inilah perkemahan itu.”
“Ternyata masih ada
penghuninya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Orang yang keras kepala.
Kenapa ia tidak saja menyerah bersama-sama dengan Sumangkar?”
“Tetapi kenapa ia tidak pergi
bersama dengan Sanakeling dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi” sahut Agung
Sedayu pula.
Sutawijaya terdiam. Di dalam
hatinya pun timbul pula pertanyaan yang serupa, apabila orang itu adalah orang
Jipang yang tidak ingin menyerah, kenapa ia tidak bergabung saja dengan
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda? Apakah ada golongan yang berpendirian lain
lagi di kalangan orang-orang Jipang itu?
Anak-anak muda itu sejenak
berdiam diri. Dari kegelapan mereka melihat perapian yang sedang menyala, yang
membakar seonggok kayu, dedaunan dan ilalang yang kering.
“Tetapi apakah maksud mereka
membuat perapian itu?” terdengar Sutawijaya berdesis.
“Seperti kita,” sahut
Swandaru, “menahan dingin dan mengusir nyamuk.”
“Apakah mereka tidak melihat
perapian kita?” bertanya Agung Sedayu.
“Ada dua kemungkinan. Mereka
tidak melihat perapian kita, atau mereka sengaja memanggil kita kemari” sahut
Sutawijaya.
“Hem” Swandaru tiba-tiba
menggeram. Ujung pedangnya telah mulai bergetar. “Siapa yang berani mencoba
memanggil kita kemari?”
“Itu baru dugaan” berkata
Sutawijaya kemudian.
“Tetapi dugaan itu adalah
kemungkinan yang paling dekat” sahut Swandaru. “Mustahil mereka tidak melihat
perapian kita yang tidak kalah besarnya dari perapian mereka. Kita dapat
melihat cahaya perapian ini. Tentu mereka pun melihat cahaya perapian kita dari
sela-sela pepohonan.”
Kembali mereka terdiam. Namun
mereka menjadi semakin berhati-hati.
“Kita berpencar,” tiba-tiba
terdengar suara Sutawijaya, “tetapi jangan terlampau jauh. Kita harus mencapai
satu sama lain dalam beberapa loncatan. Kita belum tahu, siapakah yang berada
di hadapan kita. Mungkin juga Tambak Wedi sengaja menjebak kita. Sesaat kita
tunggu, apakah yang akan terjadi.”
Kedua kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera mereka pun memisahkan diri, namun tidak
begitu jauh. Masing-masing bersembunyi di dalam bayangan pepohonan yang gelap.
Dengan berdebar-debar mereka
menunggu. Tetapi tak seorang pun yang berada di dekat perapian itu. Mula-mula
mereka menyangka, bahwa orang-orang di dalam perkemahan itu, atau sisa-sisanya,
sedang masuk ke dalam salah satu dari pada kemah-kemah itu, atau pergi untuk
sesuatu keperluan. Tetapi setelah agak lama mereka menunggu, maka tidak seorang
pun juga yang datang.
Debar di dalam dada ketiga
anak-anak muda itu menjadi semakin cepat. Hampir-hampir mereka menjadi
kehilangan kesabaran, menunggu di dalam tempat yang gelap, dikerumuni oleh
nyamuk-nyamuk liar yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Leher, tangan dan
kaki-kaki mereka menjadi gatal-gatal karena gigitan nyamuk-nyamuk itu.
Swandaru menjadi gelisah
karenanya. Ia mengumpat di dalam hatinya. Bahkan terasa bahwa seseorang atau
beberapa orang dengan sengaja mempermainkan mereka.
Darah di dalam tubuh Swandaru
itu serasa menjadi mendidih karenanya. Beberapa kali terdengar ia menggeram.
Bahkan ujung pedangnya kemudian dihentak-hentakkannya pada sebatang pohon di
sampingnya. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan diri lagi. Dengan hati-hati
ia merayap kembali mendekati Sutawijaya.
Sutawijaja terkejut mendengar
gemerisik di sampingnya. Cepat ia bersiaga. Ketika ia melihat sebuah bayangan
mendekatinya segera tombaknya ditundukkannya.
“Eh, apakah Tuan tidak
mengenal aku lagi?” desis Swandaru.
“O,” Sutawijaya menarik nafas,
“kenapa kau kembali? Apakah ada sesuatu?”
Swandaru menggeleng, “Aku
tidak sabar lagi. Darahku hampir habis dihisap nyamuk. Maka menurut
pertimbanganku, lebih baik kita dekati saja gubug-gubug itu.”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Tetapi ia belum menemukan suatu sikap yang baik untuk mengatasi
kebingungan mereka. “Panggil Agung Sedayu,” bisik Sutawijaya.
“Aku memanggilnya?” bertanya
Swandaru. “Aku datang ke sana atau aku meneriakkan namanya?”
“Jangan berteriak. Tetapi
apakah kau tahu tempatnya bersembunyi meskipun tidak terlampau jauh.”
Swandaru menggelengkan
kepalanya.
Mereka berdua menjadi
kebingungan. Mereka tidak mempunyai cara yang khusus, atau mereka tidak
membicarakan tanda-tanda yang perlu apabila mereka saling memerlukan. Cara
satu-satunya adalah berteriak memanggil. Tetapi dengan demikian, maka suaranya
pasti akan didengar dari dalam gubug-gubug itu.
Dalam kebingungan Swandaru
berkata, “Aku akan berteriak saja.”
“Bagaimana kalau orang-orang
di dalam gubug itu mendengarnya?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak berkeberatan.
Apakah Tuan berkeberatan? Lebih baik mereka segera tahu kehadiran kita. Kalau
mereka memang sengaja memanggil kita, maka kita telah menyatakan diri kita.
Sedangkan kaIau mereka tidak melihat perapian kita dan tidak tahu bahwa kita di
sini, biarlah mereka menjadi tahu.”
Agaknya Sutawijaya pun telah
menjadi jemu menunggu. Karena itu maka katanya, “Panggillah.”
Swandaru tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera ia berteriak memanggil nama Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut menerima
panggilan itu. Ia menyangka bahwa terjadi sesuatu dengan saudara
seperguruannya, sehingga dengan serta merta ia meloncat berlari ke arah suara
Swandaru. Tetapi ia menjadi heran ketika mereka melihat Swandaru dan Sutawijaya
masih saja berdiri bersandar sebatang pohon yang besar.
“Kenapa kau berteriak-teriak
adi Swandaru?” bertanya Sedayu.
“Aku telah jemu menunggu”
jawab Swandaru.
Kini mereka bertiga telah
berkumpul kembali. Tetapi mereka masih belum tahu apa yang akan mereka lakukan.
Mereka sengaja berbicara keras-keras, tetapi mereka belum melihat seorang pun
yang keluar dari dalam perkemahan di halaman itu.
Tetapi mereka dengan demikian
telah menemukan suatu pengalaman, bahwa apabila mereka sengaja memisahkan diri,
mereka harus mempunyai tanda yang dapat mereka pakai untuk menyatakan pikiran
mereka. Mungkin mereka harus berkumpul kembali, atau mungkin mereka harus tetap
di tempatnya sambil bersembunyi. Dalam pertempuran mereka telah biasa
mempergunakan tanda-tanda sandi, tetapi ketika mereka berada dalam keadaan
seperti saat itu, di mana mereka harus mengatur diri sendiri, maka mereka telah
melupakannya. Sebab di dalam barisan, mereka tinggal mempergunakan tanda-tanda
yang telah disiapkan oleh pemimpin mereka.
Yang terdengar kemudian adalah
Sutawijaya menggeram. Iapun telah kehilangan kesabarannya. Desisnya, “Apakah
kita yang datang kepada mereka? Kita lihat setiap perkemahan satu demi satu
sehingga kita menemukan beberapa orang atau seorang yang mungkin membuat
perapian itu?”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak segera menjawab. Namun mereka pun telah kehabisan kesabarannya pula.
“Pasti ada beberapa orang atau
setidak-tidaknya seorang di dekat tempat ini” gumam Sutawijaya. “Tidak mungkin
kerangka, setan atau apapun memerlukan membuat perapian.”
“Mereka memang tidak
memerlukan, Tuan,” sahut Swandaru, “tetapi mereka hanya ingin mengganggu kita.”
“Apakah kau percaya?”
Sejenak Swandaru berbimbang.
Namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Tidak.”
“Nah, kalau begitu pasti
seseorang telah menyalakan api dan perapian itu.”
“Tetapi siapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Kita tidak tahu.”
“Maksudku, siapakah yang telah
berani membuat perapian itu? Menurut perhitunganku, orang itu pasti dengan
sengaja membuatnya. Mustahil kalau orang ini tidak tahu, bahwa kita telah
membuat perapian di sebelah. Dengan demikian maka, kita akan dapat menduga,
bahwa orang itu dengan sengaja dan setelah diperhitungkan, ingin melawan kita
bertiga.”
“Apakah kita akan menyingkir?”
bertanya Swandaru.
“Apakah kita harus berkelahi?”
sahut Agung Sedayu.
“Kalian berdua sama-sama
benar. Kita tidak harus mencari persoalan, tetapi kita juga tidak boleh lari
apabila kita menjumpai persoalan yang melibat kita dalam suatu keharusan
mempertahankan diri. Kali ini, kita pun harus mempertahankan diri kita dari
tekanan perasaan ini. Kita tidak mau menjadi permainan.”
Sutawijaya berhenti sejenak.
Dicobanya menembus kepekatan malam di sekitarnya. Tetapi nyala api yang
membentur pepohonan tidak mampu mencapai jarak yang terlampau jauh. Di ujung
cahaya api perapian itu, Sutawijaya melihat bayangan nyala api dari perapian
yang telah mereka buat bertiga.
Tiba-tiba Sutawijaya itu
berkata, “Aku mempunyai pendapat. Kita masuki perkemahan itu. Kalau kita
bertemu dengan seseorang, maka orang itu kita tanya, apakah ia ingin berbuat
jahat kepada kita atau tidak. Kalau menilik sikap, perbuatan, dan kata-katanya
ia orang yang baik, maka kita tidak perlu berkelahi. Tetapi kalau orang itu
sengaja mempermainkan kita apalagi berbuat jahat, maka ia harus kita tangkap.
Besok orang itu kita bawa ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak jadi ke Alas
Mentaok?” bertanya Swandaru.
“Kalau kita mendapatkan
tawanan, kita harus kembali dahulu ke Benda” sahut Sutawijaya.
“Akan membuang waktu. Kita
ikat saja orang itu di sini. Besok kalau kita kembali, kita bawa ia ke Sangkal
Putung.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia tertawa, katanya, “Berapa hari kita akan berada di
perjalanan? Orang itu pasti akan sudah mati kelaparan dan kehausan. Bukankah
dengan demikian kita telah menyiksanya?”
Swandaru terdiam. Tetapi ia
tidak senang apabila mereka harus kembali. Namun kemudian ia tertawa ketika
Sutawijaya berkata, “Bagaimana kalau kita yang ditangkap, diikat di sini untuk
beberapa hari? Kita belum tahu siapa yang kita hadapi. Kita belum tahu, apakah
kita yang akan mengikat atau kita yang akan diikat.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun
kemudian tertawa.
Namun dalam pada itu Agung
Sedayu berkata, “Aku sependapat dengan Tuan. Kita melihat setiap perkemahan.
Kalau kita temui seseorang, maka kita mempertimbangkan, siapakah orang itu?”
“Baik,” sahut Swandaru, “aku
pun sependapat.”
“Kita harus bersedia
menghadapi setiap kemungkinan. Mengikat orang itu, membawanya ke Sangkal
Putung, atau kitalah yang akan diikat di sini untuk menjadi mangsa binatang
buas.”
“Baik, kita terima
kemungkinan-kemungkinan itu. Marilah” berkata Swadaru sambil melangkahkan
kakinya. la telah benar-benar dibakar oleh kejengkelan dan ketidaksabaran.
Sutawijaya dan Agung Sedayu
pun segera mengikutinya di belakang. Dengan penuh kewaspadaan mereka berjalan.
Senjata-senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Kemana kita?” bertanya
Swandaru.
“Ke perkemahan itu” jawab
Sutawijaya.
“Perkemahan yang mana?”
“Salah satu dari padanya.
Pilihlah.”
Swandaru segera memilih gubug
yang paling ujung. Pintu gubug itu menganga lebar. Namun di dalamnya
seolah-olah dilapisi sehelai tirai yang hitam pekat.
“Tunggu,” berkata Agung
Sedayu, “kita harus berhati-hati. Marilah kita bawa obor.”
Langkah Swandaru tertegun.
Pendapat Agung Sedayu memang baik. Bukan berarti mereka ketakutan, namun mereka
memang harus berhati-hati.
Agung Sedayu pun segera
berlari ke samping gubug itu. Diraihnya atap ilalang segenggam, dan kemudian ia
pun pergi ke perapian yang menyala-nyala itu, untuk menyalakan obornya.
“Perapian ini pun masih baru,”
desisnya kepada diri sendiri, “orang yang membuat perapian pasti masih ada di
sekitar tempat ini.”
Kemudian dengan obor di
tangan, ia kembali kepada kedua orang kawannya dan berjalan bersama-sama ke
gubug yang paling ujung. Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu,
setapak demi setapak. Namun gubug itu agaknya terlampau sepi. Tak ada suara
apapun.
“Kosong” desis Swandaru.
“Marilah kita lihat ke dalam”
berkata Sutawijaya.
“Mari” sahut kedua kawannya
hampir bersamaan.
“Tetapi hati-hatilah, siapa
tahu, seseorang menanti kita dengan pedang terhunus, atau ujung tombak di sisi
pintu.”
Sejenak mereka bertiga pun
berdiri tegang di muka pintu yang menganga lebar itu. Mereka menjadi ragu-ragu.
Namun tiba-tiba Sutawijaya itu pun meloncat surut selangkah, kemudian dengan
menghentakkan kakinya ia meloncat maju sambil mengayunkan sebelah kakinya
menghantam uger-uger lawang yang terbuat dari sebatang bambu. Maka terdengarlah
suara berderak. Uger-uger itu pun menjadi berantakan, bahkan dinding di sisi
pintu itu pun roboh pula ke dalam.
Sutawijaya dan kedua kawannya
menarik nafas panjang ketika dinding bambu gubug itu telah menganga. Kini
mereka dapat melihat leluasa ke dalamnya. Tak ada apapun di dalam gubug itu
selain sebuah amben bambu yang agak lebar, seonggok jerami kering dan sebuah
jagrak bambu pula. Di sudut mereka melihat sebuah sosok kendi dan sebuah
tlundak lampu.
“Kosong” desis Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru hampir bersamaan.
“Apakah gubug-gubug yang lain
juga kosong?” gumam Swandaru.
“Aku kira semua gubug kosong,
kecuali satu, tempat orang yang menyalakan perapian itu bersembunyi. Mungkin di
dalam gubug itu bersembunyi lebih dari satu orang. Mungkin hanya satu orang,
tetapi orang itu bernama Tambak Wedi.”
Mereka bertiga tertawa. Namun
nadanya terlampau hambar.
“Mari kita lihat satu demi
satu,” ajak Sutawijaya, “kalau kita raga-ragu memasukinya, kita rusakkan
pintunya seperti gubug ini.”
“Marilah” jawab kedua kawannya
serentak.
Kini kembali mereka melangkah
ke gubug berikutnya. Dengan cara yang sama, Sutawijaya merusak pintunya, dan
tanpa memasukinya, mereka segera dapat melihat bahwa gubug-gubug itu ternyata
tidak berisi.
Berkali-kali hal yang serupa
dilakukan oleh Sutawijaya. Ketika ia menjadi lelah, maka kini Swandaru-lah yang
harus merusaki pintu. Dengan pedangnya ia menghantam setiap uger-uger pintu,
kemudian mendorong dindingnya sehingga roboh. Tetapi mereka belum juga
menemukan seseorang.
Akhirnya Swandaru pun menjadi
jemu pula. Katanya, “Sekarang giliranmu Kakang Agung Sedayu. Kaulah yang harus
merusak dinding gubug-gubug berikutnya, biarlah aku yang membawa obor.”
Agung Sedayu pun melangkah
beberapa tindak. Sampai di muka sebuah pintu, maka ia tidak segera meloncat
menghantam tiang-tiang pintunya, atau dengan pedangnya memukul uger-uger pintu
itu. Tetapi dengan tenangnya ia memutuskan tali-tali yang sudah lapuk dengan
ujung pedangnya. Ketika beberapa tali telah diputusnya dengan mudah, maka
dengan ujung pedangnya ia mendorong dinding bambu itu. Dan dinding yang ringkih
itu pun robohlah ke dalam.
Sutawijaya tertawa
terbahak-bahak melihat cara Agung Sedayu itu. “Hebat” teriaknya. Swandaru pun
berteriak pula dengan serta merta, “Alangkah malasnya kau, Kakang.”
“Aku dapat mencapai hasil yang
sama seperti yang kalian lakukan. Tetapi aku tidak perlu membuang tenaga
seperti kalian. Bukankah yang aku kerjakan tidak lebih jelek dari yang kalian
lakukan. Waktunya pun tidak jauh lebih lama?”
“Aku tidak telaten” gumam
Swandaru.
“ltu adalah pertanda, bahwa
kau memikirkan apa yang akan kau lakukan dengan baik. Itu adalah kebiasaan yang
bagus sekali. Membuang tenaga sekecil-kecilnya untuk mencapai hasil yang
sebanyak-banyaknya.”
Kembali mereka bertiga
tertawa.
“Ayo, kita teruskan kerja
kita. Masih ada beberapa gubug lagi” ajak Swandaru.
Mereka bertiga pun segera
melangkahkan kaki-kaki mereka dengan segannya. Kejemuan dan kejengkelan telah
melanda dada mereka seperti angin ribut. Namun mereka belum menemukan seseorang.
Berkali-kali mereka memandangi perapian itu, dan perapian itu pun masih juga
menyala. Beberapa potong kayu telah menjadi bara, namun onggokan kayu itu masih
cukup banyak, sehingga apinya pun masih juga menjilat ke udara. Namun semakin
lama lidah api itu pun menjadi semakin susut pula.
Akhirnya ketiga anak-anak muda
itupun menyelesaikan pekerjaannya. Seluruh gubug-gubug yang ada telah
dimasukinya. Gubug yang paling besar, yang pernah dipergunakan oleh Tohpati pun
telah mereka masuki pula. Namun mereka tidak menemukan sesuatu.
“Gila,” Swandaru
mengumpat-umpat tak habis-habisnya, “siapakah yang bermain gila-gilaan ini.
Kenapa ia bersembunyi?”
“Jangan mengumpat-umpat,”
cegah Sutawijaya, “kalau orang yang menyalakan api itu melihat kau
mengumpat-umpat ia akan menjadi bergembira sekali.”
Swandaru terdiam. Namun hanya
mulutnya. Hatinya masih saja mengumpat-umpat tak henti-hentinya. la merasa
sedang dipermainkan oleh seseorang.
“Kita cari orang itu sampai
ketemu. Kita bongkar hutan ini untuk mencarinya” teriak Swandaru itu tiba-tiba
untuk melepaskan kejengkelannya.
“Kau amat bernafsu, Swandaru”
desis Sutawijaya.
“Aku merasa menjadi permainan
kali ini. Aku pun harus mampu membalas, mempermainkannya.”
Sutawijaya tertawa. Agung
Sedayu pun tertawa pula sambil berkata, “Jangankan mempermainkan, mencari pun
kita tidak mampu.”
Swandaru tidak menjawab,
tetapi terdengar ia menggeram.
“Kita coba untuk menemukan”
berkata Sutawijaya kemudian.
“Apakah Tuan juga telah
dibakar oleh nafsu mempermainkannya?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya tertawa. Ragu-ragu
ia menjawab, “Aku pun menjadi jengkel juga, tetapi aku tidak akan membongkar
hutan ini.”
Tiba-tiba Swandaru menyela,
“Marilah kita cari. Dengan berbicara tak habis-habisnya kita tidak akan dapat
menemukannya.”
“Kemana lagi kita akan
mencari?”
Swandaru tertegun sejenak.
Iapun tidak tahu kemana harus mencari orang yang telah membuat perapian itu.
Gubug-gubug sudah seluruhnya dilihatnya. Kalau orang itu telah masuk ke dalam
hutan, alangkah sukarnya untuk menemukannya di antara batang-batang pohon yang
besar dan gerumbul-gerumbul yang lebat.
Swandaru yang sedang dibakar
oleh perasaan jengkel dan marah itu kemudian bertolak pinggang sambil berteriak
keras-keras, “He, siapa yang bersembunyi itu? Siapa? Pengecut, penakut atau
orang yang licik, yang akan menyerang dari tempat yang tersembunyi atau
menunggu kami menjadi lengah? He, siapa? Siapa…? Siapa di situ…?”
Suara Swandaru menggetarkan
udara malam di dalam hutan itu. Suara itu seakan-akan menyelusur setiap dahan
dan ranting, menggema ke segenap penjuru. Anak burung-burung liar yang sedang
tidur nyenyak di dalam sarangnya, menjadi terkejut dan mengangkat kepala-kepala
mereka. Sedang sayap-sayap induknya menjadi semakin lekat menutupi tubuhnya,
seakan-akan di kejauhan telah menggelegar guruh yang memberikan pertanda,
bahaya sedang mengancam anak-anak mereka.
Alangkah kecewanya Swandaru.
Suaranya menggema berulang-ulang. Tetapi kemudian lenyap ditelan gelapnya
malam. Sekali dua kali ia mengulangi, tetapi akhirnya ia menjadi lelah sendiri.
Sutawijaya dan Agung Sedayu
tertawa berkepanjangan, sehingga tubuh-tubuh mereka berguncang-guncang. Mereka
seolah-olah melihat sebuah pertunjukan yang lucu sekali. Swandaru yang gemuk
bulat bertolak pinggang sambil berteriak-teriak sampai serak.
“Bagaimana?” bertanya Agung
Sedayu.
“Suaraku hampir habis”
jawabnya parau.
Kembali kedua kawannya tertawa
keras-keras.
“Kau memang aneh” berkata
Sutawijaya. “Kalau orang itu ingin keluar dari persembunyiannya, maka kau tidak
perlu berteriak-teriak memanggilnya.”
“Menjengkelkan sekali” geram
Swandaru. “Apakah setan itu Ki Tambak Wedi sendiri?”
“Tak seorang pun tahu” sahut
Sutawijaya. “Jangan terlampau tenggelam dalam kejemuan, kejengkelan dan
kemarahan. Marilah kita kembali ke perapian kita sendiri. Kita memang tidak
mencari musuh. Tetapi apabila musuh itu datang, kita sambut dengan senang
hati.”
“Apakah kita menunggu mereka
menerkam kita selagi kita tidur?”
“Salah kita apabila kita tidur
bersama-sama. Adalah haknya untuk berbuat demikian.”
Swandaru menarik nafas
panjang-panjang. “Marilah” geramnya.
Kini mereka bertiga
melangkahkan kaki mereka kembali ke perapian mereka sendiri. Meskipun demikian,
mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Tombak Sutawijaya siap untuk mematuk
setiap bahaya yang mendatanginya, sedang pedang Agung Sedayu dan Swandaru pun
masih juga dalam genggaman.
Mereka kini sudah tidak
memerlukan obor lagi. Sejak gubuk yang terakhir mereka tinggalkan obor mereka
telah mereka buang. Apalagi kini mereka menyusup di antara semak-semak dan
pepohonan. Mereka justru berusaha untuk menghindarkan diri dari setiap mata
yang mencoba mengintainya.
Mereka bertiga menemukan
perapian yang mereka tinggalkan masih menyala, meskipun lidah apinya tidak lagi
menggapai dedaunan di atas perapian itu. Namun api itu masih cukup terang untuk
menerangi keadaan di sekelilingnya.
Namun tiba-tiba kembali
Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut. Ia melihat sesuatu yang tidak ada pada
saat mereka meninggalkan tempat itu. Di samping perapian itu mereka ketemukan
sebuah lincak bambu kecil.
“Hem,” Swandaru menggeram
kembali, “siapa yang bermain-main hantu-hantuan ini?”
“Jangan hiraukan,” berkata
Sutawijaya, “kita berterima kasih, bahwa kita mendapat tempat duduk yang baik,
bahkan tempat untuk berbaring. Sekarang, marilah kita mulai giliran yang
pertama. Siapa yang tidur lebih dahulu? Lincak ini hanya cukup untuk seorang
dan yang lain harus duduk sambil berjaga-jaga. Kau Swandaru, yang ingin tidur
lebih dahulu?”
“Baik,” sahut Swandaru dengan
serta merta, “biarlah kepalaku tidak pecah karena permainan ini.”
“Tidurlah,” sahut Sutawijaya,
“biarlah aku dan Agung Sedayu berjaga-jaga. Nanti kau akan kami bangunkan dan
salah seorang dari kami akan tidur pula sejenak.”
Swandaru tidak menjawab.
Setelah menyarungkan pedangnya dan melepas busur yang menyilang di punggungnya
ia segera berbaring.
Angin malam berhembus semakin
dingin, seolah-olah menghunjam sampai ke tulang. Tetapi api perapian yang masih
juga menyala, meskipun semakin susut, telah menolong ketiga anak-anak muda itu.
Namun apabila mereka berdiri dan berjalan agak menjauh, terasalah betapa
dinginnya udara malam.
Suara burung hantu
melengking-lengking di kejauhan, disahut oleh gonggong anjing-anjing liar
berebut makan.
Sutawijaya dan Agung Sedayu
yang masih duduk di amben bambu itu terkejut ketika sejenak kemudian mereka
telah mendengar Swandaru mendengkur.
“Bukan main,” desis
Sutawijaya, “anak itu sudah tidur.”
Agung Sedayu tersenyum,
“Itulah mungkin sebabnya Adi Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti itu.”
Sutawijaya tersenyum pula.
Tetapi ia tidak menjawab.
Mereka berdua merasa, bahwa
ada seseorang berada di sekeliling tempat itu. Tetapi mereka tidak dapat
menemukannya. Karena itu maka mereka berdua sama sekali tidak melepaskan
kewaspadaan. Setiap gerak yang mencurigakan, setiap suara gemerisik dan setiap
apa saja, selalu mendapat perhatian mereka dengan saksama.
Sementara itu, pada saat yang
bersamaan di Sangkal Putung, di pendapa banjar desa, Ki Gede Pemanahan duduk
dihadap oleh Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin
prajurit Pajang dan pemimpin Sangkal Putung. Banyak yang telah mereka dengar,
nasehat-nasehat, pendapat-pendapat, dan sindiran-sindiran yang pantas mendapat
perhatian dari para pemimpin itu.
Akhirnya Ki Gede Pemanahan itu
berkata, “Aku berbangga atas hasil kerja Untara, tetapi terakhir aku kecewa
atas ketergesa-gesaannya, sehingga terjadi beberapa peristiwa yang cukup
berbahaya bagiku dan bahkan bagi Sangkal Putung sendiri. Tetapi itu bukan salah
Untara seluruhnya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak turut campur, maka aku kira keadaannya
akan sangat berbeda. Sehingga untuk seterusnya, Ki Tambak Wedi harus mendapat
perhatian yang cukup banyak. Karena itu Untara, ada dua hal yang akan aku
sampaikan kepadamu sekarang. Yang pertama ada persoalan yang telah aku bawa
dari Pajang, sedang soal yang kedua adalah persoalan yang baru aku temukan
setelah aku sampai di Sangkal Putung.”
Untara mengangkat wajahnya.
Ditatapnya wajah panglimanya itu, namun kemudian ia pun segera menundukkan
wajahnya kembali. Tetapi terasa kini hatinya menjadi berdebar-debar. Mungkin ia
telah dinggap berbuat suatu kesalahan yang besar dengan peristiwa yang hampir
saja membuat bencana bagi Ki Gede Pemanahan beserta para pengawalnya.
Untara itu pun kemudian
menunggu Ki Gede Pemanahan melanjutkan kata-katanya dengan hati yang gelisah.
Beberapa titik keringat telah membasahi keningnya.
Sejenak pendapa itu menjadi
hening. Semua orang menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan
itu.
Ketika angin menyusup ke dalam
pendapa banjar desa itu, maka lampu minyak yang melekat pada tiang-tiang
pendapa itu pun bergerak-gerak dengan lemahnya.
“Untara,” berkata Ki Gede
Pemanaham itu pula, “sejak dari Pajang aku telah membawa sesuatu untukmu.
Sesuatu bukan saja atas kehendakku sendiri, tetapi aku membawanya dari Adipati
Pajang sendiri.”
Jantung Untara terasa menjadi
semakin cepat berdenyut. Dan ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata seterusnya,
“Adipati Pajang merasa berterima kasih kepadamu, karena kau telah bekerja
sebaik-baiknya untuk kepentingan Pajang. Seperti juga Adipati Pajang berterima
kasih kepada mereka yang dianggap dapat mengalahkan Arya Penangsang dan Patih
Mantahun, maka kau yang telah berhasil membunuh Macan Kepatihan pun mendapat
perhatian Adipati Pajang sebagai seseorang yang telah memberikan jasa yang
sebaik-baiknya kepada Pajang. Meskipun Sangkal Putung adalah sebuah kademangan
yang kecil dibandingkan dengan Pajang keseluruhan, namun bahaya yang
ditimbulkan Macan Kepatihan sebenarnya bukan saja terbatas di sekitar Sangkal
Putung. Macan itu akan dapat berkeliaran di seluruh Kadipaten Pajang, bekas
Kadipaten Jipang, bahkan di seluruh bekas wilayah Demak. Itulah sebabnya, maka
kemenangan yang kau dapatkan di kademangan ini mendapat perhatian khusus dari
Adipati Pajang.”
Kembali Ki Gede Pemanahan
berhenti sesaat, Dan kepala Untara yang tundukpun menjadi semakin tunduk. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perhatian yang sedemikian
besarnya dari Adipati Pajang sendiri.
“Untara,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “aku belum tahu, apa yang akan kau terima sebagai pernyataan terima
kasih itu dari Adipati Pajang. Tetapi adalah wajar apabila kemudian setelah
semua tugasmu selesai, kau akan mendapat sebuah pangkat yang lebih baik,
tumenggung misalnya.”
Untara terkejut mendengar nama
pangkat itu. Ia adalah seorang yang sama sekali tidak pernah mengharapkan
mendapat pangkat setinggi itu. Kalau ia merayap menurut tingkat yang wajar,
maka pangkat itu masih berjarak beberapa lapis lagi daripadanya. Namun dengan
membunuh Tohpati ia langsung meloncati beberapa lapis itu. Tumenggung,
tumenggung dalam pangkat keprajuritan adalah pangkat yang cukup tinggi. Dengan
pangkat itu ia tidak saja akan menjadi senapati kecil seperti yang dijabatnya
kini. Ia akan menjadi seorang senapati dengan pasukan segelar sepapan. Tetapi
Ki Gede itu mengatakan bahwa Ki Gede sendiri belum tahu pasti apakah yang akan
diterimanya dari Adipati Pajang. Pangkat itu barulah dugaan Ki Gede Pemanahan
sendiri. Dan pangkat itu baru akan diterimanya kelak. Tetapi dugaan itu adalah
dugaan seorang Panglima Wira Tamtama, bukan sekedar dugaannya sendiri, atau
dugaan pamannya, Widura.
Bahkan kemudian Ki Gede
Pemanahan itu berkata pula, “Apa yang kau lakukan Untara, adalah lebih sulit
dari apa yang harus dilakukan oleh seorang tumenggung.”
Untara tidak dapat menjawab
sama sekali. Mulutnya serasa terbungkam dan darahnya beredar semakin cepat.
Yang berkata kemudian adalah
Ki Gede Pemanahan kembali, “Untara, seorang Tumenggung Wira Tamtama, mendapat
prajurit segelar sepapan, yang telah siap melakukan perintah. Kau di sini hanya
mempergunakan sepasukan Wira Tamtama yang dipimpin oleh pamanmu Widura.
Kemudian kau dan pamanmulah yang membentuk pasukan segelar sepapan dengan
tenaga yang kalian persiapkan sendiri. Anak-anak muda Sangkal Putung. Namun kau
telah berhasil melawan Tohpati yang pada saat terakhir telah mengumpulkan
sisa-sisa laskarnya yang tersebar.”
Untara masih berdiam diri.
“Adalah sepantasnya bahwa kau
berhak menerima anugerah itu.”
Untara menggigit bibirnya.
Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Ki Gede. Adalah tidak mungkin aku lakukan
semua itu apabila aku berdiri sendiri. Apa yang aku lakukan adalah sebagian
saja dari apa yang kami lakukan bersama. Prajurit Wira Tamtama Pajang dan
hampir setiap laki-laki di Sangkal Putung. Bahkan perempuan-perempuan
kademangan ini pun bekerja pula untuk kepentingan bersama. Makanan yang
disediakan untuk kami dan banyak lagi keperluan-keperluan kami yang lain.
Karena itu, setiap anugerah untukku adalah sepantasnya apabila diserahkan untuk
kepentingan kami bersama. Aku, Paman Widura beserta pasukannya yang lebih
dahulu telah berjuang melawan Tohpati di Sangkal Putung ini, Ki Demang, dan
setiap orang di Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum
mendengar jawaban Untara itu. Katanya kemudian, “Kau benar Untara. Dan hal itu
telah diketahuinya pula oleh Adipati Pajang. Seluruh Sangkal Putung akan
mendapat kehormatan pula. Mungkin Sangkal Putung akan menerima berbagai macam
hadiah yang langsung dapat dimanfaatkan oleh kademangan ini. Mungkin alat-alat pertanian,
mungkin ternak dan iwen dan mungkin anugerah-anugerah yang lain. Tetapi kau
yang menangani kematian Tohpati telah mendapat perhatian khusus dari Adipati
Pajang. Meskipun kau sama sekali tidak menginginkan hadiah itu Untara, tetapi
hal yang serupa itulah yang telah menggerakkan Sidanti untuk berbuat hal yang
aneh-aneh. Semula ia ingin bahwa kematian Tohpati adalah akibat dari
senjatanya. Tetapi ia gagal.”
Untara kini terdiam kembali.
la mencoba untuk mengerti setiap kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan.
Dan Ki Gede itu berkata terus, “Kemudian Widura pun akan mendapat bagiannya
pula. Aku juga belum tahu apa yang akan kau terima, tetapi pesan itu telah aku
bawa pula.” Ki Gede Pemanahan itu terdiam sejenak, lalu sambungnya, “Tetapi
sebelum semuanya itu berlangsung, sebelum kalian menerima hadiah yang telah
dijanjikan, maka aku ingin menyampaikan persoalan yang kedua yang baru aku
temukan setelah aku berada di Sangkal Putung ini.”
Debar di dalam dada Untara pun
menjadi semakin cepat kembali. Persoalan inipun agaknya tidak kalah pentingnya
dengan persoalan yang pertama, namun nadanya agaknya amat jauh berbeda.
Persoalan yang dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan, baru diketemukan di Sangkal
Putung.
“Untara,” berkata Ki Gede
Pemanahan seterusnya, “aku sependapat dengan laporanmu, bahwa persoalan di
Sangkal Putung telah delapan dari sepuluh bagian selesai. Tetapi kemudian
tumbuh persoalan baru yang apabila dijumlahkan maka apa yang telah kau
selesaikan dengan terbunuhnya Tohpati barulah lima dari sepuluh bagian. Bahkan
mungkin kurang daripada itu. Sebab sepeninggal Tohpati tumbuhlah Sidanti dan
bahkan gurunya Ki Tambak Wedi di samping sebagian dari laskar Tohpati sendiri.
Tetapi ini bukan salahmu. Keadaan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki
bersama. Karena itu Untara, maka pekerjaanmu kali ini terpaksa belum dapat
diakhiri. Mungkin Widura yang telah lebih lama berada di Sangkal Putung akan
dapat beristirahat bersama pasukannya di kademangan ini, sebab pergolakan
kemudian harus kau geser ke tempat lain.”
Untara mengangkat wajahnya.
Dadanya berdesir mendengar penjelasan itu. Sekilas ia telah berhasil menangkap
maksud Ki Gede Pemanahan, namun kemudian Ki Gede itu menjelaskan, “Untara,
tegasnya aku akan menjatuhkan perintah kepadamu dan kepada Widura. Widura
sementara masih harus tetap berada di Sangkal Putung bersama pasukannya.
Mungkin satu dua orang sisa laskar Jipang masih akan merayap kemari. Tetapi
sebaliknya aku akan memberikan perintah kepada Untara untuk meninggalkan
Sangkal Putung. Kau jangan menunggu Ki Tambak Wedi dan Sidanti datang ke tempat
ini atau membuat huru hara di tempat lain, di sekitar lereng Gunung Merapi.
Karena itu kau harus mendekat. Bukankah kau berasal dari Jati Anom? Nah, kau
harus tinggal di sana bersama sepasukan Wira Tamtama yang akan aku kirimkan
dari Pajang. Bukan pasukan yang telah berada di Sangkal Putung. Dengan pasukan
itu kau tidak harus bertahan, tetapi kau harus berusaha merebut setiap
kedudukan Ki Tambak Wedi. Aku mengharap dengan pasukan itu kau mampu melakukannya,
meskipun di antaranya aku tidak akan memasang seseorang yang mampu mengimbangi
Ki Tambak Wedi. Aku mengharap kau berhasil menghubungi Kiai Gringsing yang
menurut laporanmu, akan dapat setidak-tidaknya memperkecil arti Ki Tambak Wedi,
atau kalau tidak, maka kau harus membuat pasangan-pasangan yang mampu menahan
setiap perbuatan hantu lereng Merapi itu.”
Untara merasa bahwa dadanya
bergelora oleh berbagai perasan yang saling berdesak-desakan. Ia merasa bahwa
ia telah membuat banyak kesalahan dengan laporan yang telah dikirimnya. Karena
itu maka di dalam sudut hatinya ia pun merasa bahwa seolah-olah ia harus
melakukan suatu hukuman karena kesalahan itu. Tetapi bertentangan dengan
perasaan itu, maka di sudut hatinya yang lain ia merasa mendapat kepercayaan
yang tidak terhingga. Ia merasa bahwa karena ia telah berhasil membunuh
Tohpati, maka pekerjaan yang berat itu hanya pantas dipercayakan kepadanya.
Karena gelora di dalam dadanya
itulah, maka Untara justru terdiam. Keringat yang dingin telah membasahi seluruh
punggungnya. Di sampingnya, Widura pun menjadi gelisah pula. Ada juga
kebanggaan membersit di hatinya, tetapi seperti juga Untara, ia sama sekali
tidak mengharapkan hadiah atau penghargaan apapun atas perjuangannya.
Ketika malam menjadi semakin
malam, maka Ki Gede Pemanahan pun segera akan menutup pertemuan itu.
Diulanginya sekali lagi perintahnya, “Untara, ingat, kau mempunyai tugas yang
mungkin justru lebih berat. Kita belum tahu, apakah kekuatan yang dihimpun oleh
Ki Tambak Wedi bersama Sanakeling tidak justru lebih kuat dari kekuatan Tohpati
di sini. Kau harus mulai lagi seperti pamanmu di Sangkal Putung. Menghimpun
anak muda Jati Anom untuk memperkuat prajurit Pajang yang akan aku kirimkan
kemudian. Dengan kekuatan itu kau harus berhadapan dengan Tambak Wedi. Kau
pasti sudah mengenal Jati Anom dengan baik karena daerah itu adalah daerah
kelahiranmu.”
Untara tidak menjawab. Tetapi
Jati Anom bukan daerah seperti Sangkal Putung. Jati Anom adalah daerah yang
tidak mengalami tekanan seberat Sangkal Putung, sehingga anak muda Jati Anom
belum tergugah hatinya. Mungkin sekali dua kali daerah itu pernah dilintasi
oleh orang-orang Tohpati, Sanakeling, atau Plasa Ireng, atau bekas orang-orang
Pande Besi Sendang Gabus, atau yang lain lagi. Tetapi orang-orang itu hanya
lewat dan mungkin sekali dua kali melakukan perampokan. Menghadapi orang-orang
itu, biasanya anak-anak muda Jati Anom bersikap diam. Mereka tidak mau terlibat
dalam perkelahian dengan mereka, sebab anak-anak muda itu tahu, bahwa apabila
orang-orang Jipang itu mendendam mereka, maka kademangan Jati Anom akan dapat
dihancurkan.
Tetapi apabila kelak ada
prajurit Pajang di daerah itu, maka keadaannya pasti akan berbeda, seperti juga
daerah Sangkal Putung kini. Jati Anom seterusnya akan menjadi garis pertama
untuk menghadapi Ki Tambak Wedi yang bertempat di padepokannya, di lereng Gunung
Merapi. Justru di atas Kademangan Jati Anom.
“Untara,” berkata Ki Gede
Pemanahan itu pula, “aku akan mengirimkan prajurit Wira Tamtama di bawah
pimpinan Pidaksa. Aku akan mengirimnya langsung ke mari, supaya kau dapat
membawanya ke Jati Anom bersama kau sendiri. Sementara pekerjaanmu untuk
mengawasi daerah-daerah lain di sekitar Gunung Merapi dapat kau lepaskan.
Pusatkan perhatianmu kepada Tambak Wedi. Kalau keadaan Sangkal Putung
benar-benar telah aman, maka aku ijinkan kau minta kepada pamanmu sebagian dari
prajuritnya apabila kau perlukan, sesudah kau memberitahukannya kepadaku.”
Untara menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menjawab, “Terima kasih atas kepercayaan itu Ki
Gede. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”
“Tiga hari setelah aku sampai
di Pajang lusa, maka prajurit itu akan berangkat dari Pajang.”
Untara terkejut mendengar
perintah itu. Tiga hari setelah Ki Gede Pemanahan sampai di Pajang. Itu berarti
lima hari sejak malam ini.
“Hem,” Untara menarik nafas
dalam-dalam, “terlampau cepat.”
Agaknya Ki Gede dapat menebak
hati Untara. Katanya, “Melawan Tambak Wedi harus dilakukan dengan
secepat-cepatnya. Kau harus sudah mulai sebelum Tambak Wedi mampu menghimpun
orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Kau harus lebih dahulu menguasai
anak-anak muda di sekitar Jati Anom, Banyu Asri, Sendang Gabus, Tangkil, dan
lebih-lebih ke arah Barat. Ingat, pengaruh Ki Tambak Wedi cukup besar di
seberang hutan Bode.”
Untara menganggukkan kepalanya
kembali. Katanya, “Ya, Ki Gede, padepokan Ki Tambak Wedi menurut pendengaranku
berada di sebelah barat hutan Bode.”
“Ya. Kau pasti telah
mengetahuinya pula. Dan kau pasti pernah pula pergi ke hutan itu.”
“Ya, Ki Gede” sahut Untara.
Dan Untara itupun segera mengenang kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia sering
pergi dengan ayahnya berburu ke hutan Bode. Hutan yang mempunyai sebuah batu
yang sangat besar, hampir berbentuk seekor kerbau, sehingga orang menamakannya
hutan Kebo Gede. Tetapi saat itu, Ki Tambak Wedi belum mencengkamkan pengaruhnya
di daerah itu, meskipun orang itu mungkin telah berkeliaran di sekitar lereng
Merapi. Apabila ayahnya masih ada, mungkin ayahnya akan dapat bercerita banyak
tentang Ki Tambak Wedi itu.
Kemudian setelah sejenak lagi
mereka berbincang berkatalah Ki Gede, “Aku kira persoalanku sudah cukup. Aku
akan beristirahat. Besok aku menunggu prajurit berkuda dari Pajang dan lusa aku
akan kembali. Ingat tiga hari sejak itu, aku akan mengirimkan Pidaksa kemari
beserta pasukannya. Dan Widura masih tetap berada di Sangkal Putung. Mungkin
kau dapat beristirahat setelah sekian lama kau berjuang melawan Tohpati, tetapi
mungkin pula kau harus bekerja keras, apabila sepeninggal Untara, orang-orang
Jipang itu kembali. Dalam keadaan yang demikian kau dapat segera menghubungi
Untara di Jati Anom.”
Widura itu pun menganggukkan
kepalanya pula sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Aku akan melakukan sebaik-baiknya
pula.”
Sejenak kemudian maka
pertemuan itupun selesai. Ki Gede segera ditempatkan di ruang dalam banjar
desa. Bukan sebuah pembaringan yang bagus, tetapi sebuah pembaringan di depan
garis perang. Sebuah amben bambu beralaskan tikar pandan. Tetapi ki Gede
Pemanahan adalah prajurit yang namanya dibesarkan di garis-garis perang, bukan
di belakang pintu Kadipaten Pajang. Karena itu apa yang ditemuinya kini sama
sekali tidak mengejutkannya.
Ketika Ki Gede Pemanahan
membaringkan diri, kembali ia terkenang kepada puteranya. Terdengar Ki Gede
berdesis perlahan, “Anak bengal. Di mana ia bermalam sekarang.”
Pada saat yang demikian itu
Sutawijaya sedang berusaha membangunkan Swandaru yang masih saja tidur dengan
nyenyaknya.
Swandaru terkejut dan kemudian
meloncat dari pembaringannya. Dengan gugup ia bertanya, “Ada apa?”
Sutawijaya tertawa, katanya,
“Ah, seorang anak muda seperti kau pasti seorang anak muda yang tangkas. Kau
mampu bangun sekaligus meloncat dari pembaringan dan bersiap untuk berkelahi.”
Swandaru mengusap matanya.
Dilihatnya Sutawijaya dan Agung Sedayu duduk di pembaringan itu pula. Perapian
mereka kini sudah tidak menyala sebesar semula lagi. Tetapi perapian itu kini
nyalanya telah jauh susut.
“Kau tidur terlampau nyenyak
Adi” desis Agung Sedayu.
“Ya” jawabnya pendek.
Tertatih-tatih ia melangkah dan kemudian duduk di pembaringan itu pula.
“Sudah saatnya kau bangun”
berkata Sutawijaya.
“Alangkah nikmatnya tidur di
samping perapian” Gumam Swandaru. “Apakah tidak ada hantu yang mengunjungi
kalian?”
“Ada” sahut Sutawijaya.
“Sayang kau tidak melihatnya. Hantu perempuan yang sangat cantik.”
“Sayang” desah Swandaru sambil
menguap. Kemudian katanya, “Sekarang siapakah yang akan tidur?”
“Siapa?” sahut Sutawijaya.
“Silahkan,” jawab Agung Sedayu,
“aku tidak kantuk sekarang. Mudah-mudahan nanti.”
“Baik,” berkata Sutawijaya,
“akulah yang akan tidur. Tolong bangunkan aku kalau hantu itu nanti datang
kembali.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tersenyum.
Demikianlah maka Sutawijaya
kini membaringkan dirinya. Iapun ternyata cepat tertidur pula, meskipun tidak
secepat Swandaru. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini berjaga-jaga sambil
memanasi tubuh mereka di samping perapian. Sekali-sekali Agung Sedayu dan
Swandaru mencari potongan-potongan kayu dan sampah ditaburkan di atas perapian
yang kini menjadi seolah-olah seonggok bara semerah darah.
Tetapi seperti ujung malam
yang telah mereka lampaui, maka keduanya sama sekali tidak melihat dan
mendengar apapun, selain suara binatang hutan dan bunyi desir angin di
dedaunan. Bahkan ketika kemudian Sutawijaya terbangun dengan sendirinya dan
pada saat Agung Sedayu beristirahat, mereka sama sekali tidak mengalami
sesuatu.
Ketika kemudian matahari
mengembang di kaki bukit di sebelah Timur, maka ketiga anak-anak muda itupun
menarik nafas lega. Mereka seakan-akan telah terlepas dari sebuah ketegangan
hampir semalam suntuk.
Dengan nada yang datar
Swandaru berkata, “Hem, siapakah yang telah bermain gila-gilaan semalam?
Ternyata tak seorang pun yang kami temui di sini. Apakah siang ini kita akan
melanjutkan berusaha untuk menemukannya?”
“Tak ada gunanya,” jawab
Sutawijaya, “lebih baik kita mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan.
Kecuali apabila kita menjumpainya.”
“Kita harus mendapatkan air”
tiba-tiba terdengar Agung Sedayu memotong.
“Ya kita mencari air” Sahut
Swandaru.
“Pasti ada air di dekat tempat
ini. Kalau tidak Macan Kepatihan pasti tidak memilih tempat ini untuk membuat
perkemahan” berkata Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sependapat dengan Sutawijaya. Karena itu
Swandaru segera menjawab, “Mari kita mencari air. Mencuci muka dan minum
sepuas-puasnya, sebagai ganti makan pagi.”
Sutawijaya tersenyum. “Jangan
takut. Kita akan mencari makan pagi. Hutan ini pasti berbaik hati kepada kita.
Nah, Sekarang biarlah kita pegang busur kita. Kita akan mencari binatang
buruan.”
“Bagus,” sahut Agung Sedayu,
“sudah lama aku tidak pergi berburu.”
“Aku juga. Sudah hampir dua
puluh tahun aku tidak pergi berburu” berkata Swandaru.
“Berapa tahunkah umurmu?”
bertanya Sutawijaya.
“Lewat delapan belas” sahut
Swandaru.
“Kenapa sudah hampir dua puluh
tahun kau tidak pernah berburu?”
“Bukankah demikian? Sejak bayi
aku belum pernah berburu. Bukankah hampir duapuluh tahun?”
Sutawijaya tertawa, ia senang
mendengar kelakar itu.
“Marilah” ajak Sutawijaya
kemudian. “Tetapi bagaimana aku menyangkutkan tombakku? Tali tombak ini telah
kau minta Swandaru.”
Swandaru mengamat-amati
pedangnya. la melihat juntai benang yang kekuning-kuningan. Benang yang
didapatkannya dari Sutawijaya. Tetapi ia merasa sayang untuk melepas benang itu
dari hulu pedangnya.
Tetapi ternyata Sutawijaya
tidak minta Swandaru untuk melepasnya. Katanya, “Bukankah kau sudah hampir
duapuluh tahun tidak berburu Swandaru? Dengan demikian kau pasti sudah menjadi
canggung. Mungkin kau sudah tidak ingat lagi, bagaimana kau harus mengikuti
jejak binatang buruanmu, kemudian mengintainya dan melepaskan anak panah. Nah,
sebaiknya kau melihat cara kami berburu lebih dahulu. Dan, maaf, tolong bawa
tombakku.”
“Uh” sungut Swandaru. Tetapi
ia tidak dapat menolak, diterimanya tombak pendek Sutawijaya. Tetapi sesaat
Swandaru seolah-olah menjadi tegang. Terasa sesuatu bergetar di tangannya,
seperti ada sesuatu mengalir dari tombak itu. “Hem” katanya dalam hati. “Tombak
yang demikian inilah yang disebut tombak yang baik.”
Tetapi yang didengarnya
kemudian adalah suara Sutawijaya mengejutkannya, “Ayo. Senjatamu sudah lengkap.
Pedang di lambung, tombak di tangan dan busur di punggung. Siapa yang berani
melawanmu sekarang?”
Agung Sedayu tertawa mendengar
gurau itu. Sekedar untuk melupakan orang yang semalam mengganggu mereka dengan
perapiannya. Tetapi Swandaru sendiri mencibir sambil bersungut-sungut, “Huh.
Akulah yang menjadi ganti karena kalian tidak membawa pedati. Ayo siapa lagi
yang akan memberi aku muatan?”
Sekarang bukan saja Agung
Sedayu tetapi juga Sutawijaya tertawa terbahak-bahak. Di antara derai tertawanya
ia berkata, “Jangan marah Swandaru. Nanti aku carikan buruan yang sesuai dengan
seleramu. Apakah kira-kira yang kau senangi?”
“Daging kambing” sahut
Swandaru.
“Hem,” gumam Sutawijaya,
“mudah-mudahan di dalam hutan ini aku dapat menjumpai gerombolan kambing liar.
Tetapi kalau tidak ada kambing nanti aku akan menangkap kelinci. Bukankah kau
gemar pula daging kelinci?”
“Daripada makan daging kelinci
bagiku lebih baik makan daun mlandingan muda.”
Kembali Sutawijaya dan Agung
Sedayu tertawa.
“Marilah. Nanti
binatang-binatang buruan habis berlarian mendengar kita ribut saja di sini”
ajak Sutawijaya kemudian.
Ketiganya kemudian terdiam.
Dengan busur dan anak panah di tangan, mereka kemudian menyusup ke dalam hutan
mencari binatang buruan untuk makan pagi mereka.
Ternyata Sutawijaya cukup
tangkas dan Agung Sedayu adalah pembidik yang benar-benar mengagumkan. Ketika
mereka menjumpai seekor kijang muda, maka keduanya segera dapat menguasainya
dan mengenainya.
Demikianlah mereka kemudian
kembali duduk mengelilingi perapian yang masih membara. Bahkan Swandaru telah
menambahnya dengan potongan-potongan kayu dan akar-akaran. Dengan lahapnya
mereka kemudian menikmati daging panggang yang baru saja mereka tangkap.
Setelah mereka membersihkan
diri dan minum sepuas-puasnya pada sebuah belik di dekat perkemahan itu maka,
segera mereka mempersiapkan diri mereka untuk meneruskan perjalanan.
Sinar matahari yang sudah
menanjak semakin tinggi, satu-satu berhasil menembus rimbunnya dedaunan dan
jatuh bertebaran di atas tanah yang lembab. Sekali-sekali mereka harus
menyeberangi parit-parit yang mengalir di antara akar-akar kayu-kayuan di dalam
hutan itu.
Hutan itu meskipun tidak
terlampau tebal, namun cukup luas. Mereka menyusur di bawah pepohonan yang
besar dan kadang-kadang harus menyusup di bawah rimbunnya belukar. Tetapi
perjalanan itu telah menyenangkan hati ketiga anak-anak muda itu. Agung Sedayu
kini telah melupakan kecemasnnya apabila kakaknya akan marah kepadanya. Bahkan
kemudian mereka menjadi gembira seperti anak-anak domba yang lepas di lapangan
rumput yang hijau.
Ketika matahari telah mulai
menurun di belahan barat, maka mereka telah hampir menembus ujung hutan dan
sampai ke padang terbuka. Padang yang ditumbuhi oleh ilalang liar dan
gerumbul-gerumbul perdu di samping beberapa jenis pohon yang agak besar
lainnya.
Ketika mereka keluar dari
hutan itu dan menginjakkan kaki mereka di padang ilalang, maka serentak mereka
menengadahkan wajah-wajah mereka.
“Hem, matahari telah turun”
gumam Sutawijaya.
“Kita terlampau siang
berangkat” sahut Agung Sedayu.
“Kau terlalu lama menggenggam
tulang paha kijang itu” sambung Swandaru.
Ketiganya tersenyum.
“Menilik daerah ini, kita akan
segera sampai ke daerah persawahan atau pategalan” berkata Sutawijaya.
“Ya. Kita akan segera sampai
ke padesan.”
“Apakah kita akan memasuki
padesan itu?” bertanya Swandaru.
“Lebih baik tidak. Kita akan
mendapat banyak kesulitan. Mungkin kita dicurigai, atau bahkan mungkin kita
tidak boleh meneruskan perjalanan. Mungkin mereka menyangka kita adalah
sisa-sisa orang-orang Jipang. Menurut pendengaranku ada beberapa orang prajurit
Pajang yang ditempatkan di Kademangan Prambanan. Tetapi tidak banyak. Dan aku
belum tahu, manakah yang bernama Prambanan itu.”
“Aku tahu” sahut Swandaru.
“Bukankah di Prambanan ada bangunan yang terkenal. Hampir orang di seluruh
pelosok Demak tahu, bahwa di Kademangan Prambanan ada candi yang bernama Candi
Jonggrang.”
“Aku juga pernah mendengar,”
sahut Sutawijaya, “apalagi kalian yang asal kalian tidak terlampau jauh dari
daerah itu. Tetapi di manakah letak candi itu?”
Swandaru menggelengkan
kepalanya. “Aku belum tahu” jawabnya.
“Mungkin kita akan sampai juga
ke candi itu tanpa kita kehendaki, tetapi mungkin pula tidak” berkata
Sutawijaya.
“Tetapi candi itu cukup
tinggi. Dari kejauhan kita akan dapat melihatnya. Kecuali apabila kita berada
di sebelah desa yang dapat menutup pandangan mata kita.”
“Kita tidak berkepentingan
dengan candi itu. Kita akan berjalan terus. Kita akan mencoba menghindari
padesan. Tetapi apabila kita kemalaman di jalan, mungkin kita memerlukan desa
terdekat untuk bermalam” berkata Sutawijaya kemudian.
Kedua kawan-kawannya
sependapat. Mereka akan menghindari banyak pertanyaan. Dengan senjata di
lambung mereka serta busur di punggung, maka setiap orang yang melihat mereka
pasti akan bercuriga. Karena itu mereka telah bersepakat untuk berjalan
sejauh-jauhnya dari padesan yang akan mereka jumpai.
“Lewat Prambanan kita akan
sampai ke Candi Sari, kemudian Cupu Watu, baru kita akan sampai ke daerah hutan
yang lebih lebat dari hutan yang telah kita lewati” berkata Sutawijaya.
“Apakah kita akan bermalam di
hutan itu lagi?” bertanya Swandaru.
Mereka bertiga menatap padang
yang terbentang di hadapannya. Sebuah padang ilalang yang cukup luas.
“Kita belum akan sampai ke
hutan Tambak Baya apabila malam turun,” berkata Sutawijaya. “Lihat di hadapan
kita masih terbentang padang yang agak luas, kemudian kita akan sampai ke bulak
persawahan. Baru kita akan memasuki desa-desa pertama dari Kademangan
Prambanan. Belum lagi kita sampai ke ujung kademangan yang lain, maka kita
pasti sudah harus mencari tempat untuk bermalam.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agung Sedayu memandang bukit-bukit yang membujur di sebelah Selatan,
seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Menurut cerita,” berkata
Sutawijaya, “di bukit itu telah terjadi suatu peristiwa yang dahsyat pada jaman
pemerintahan Prabu Baka.”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Teringatlah ia kepada cerita ibunya yang dahulu selalu memanjakannya, yang
lebih senang melihat Agung Sedayu bertekun dengan rontal daripada dengan
pedang. “Candi Prambanan adalah akhir dari peristiwa itu.”
“Dan patung Rara Jonggrang
adalah patung yang cantik sekali” sambung Swandaru yang pernah mendengar cerita
itu pula.
“Sekarang,” berkata
Sutawijaya, “kita akan menyusur di sebelah bukit itu untuk menghindarkan diri
dari kecurigaan seseorang. Apakah kalian sependapat?”
Kedua kawan-kawannya
mengangguk. Hampir bersamaan mereka menjawab, “Ya, kami sependapat.”
Mereka pun kemudian berjalan
ke arah bukit yang membentang di sebelah selatan padang ilalang itu. Padang
yang menarik perhatian Sutawijaya. Apalagi ketika kemudian mereka melihat tanah
pategalan dan persawahan yang hijau subur di sebelah padang ilalang yang
semakin lama menjadi semakin tipis.
“Daerah ini adalah daerah yang
sangat subur” gumam Sutawijaya.
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“tidak kalah subur dengan daerah Sangkal Putung.”
“Menurut pendengaranku, tanah
ini mendapat air dari sungai di sebelah Candi Prambanan, Sungai Opak” berkata
Sutawijaya itu pula.
Kedua kawan-kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka hanya tertarik pada tanah yang
subur, tanaman yang hijau dan rumpun-rumpun yang segar.
Tiba-tiba terdengar Swandaru
berdesis, “Kalau tanah ini sesubur Sangkal Putung, kenapa orang-orang Jipang
tidak ingin memiliki tanah dan kademangan ini pula?”
“Siapa tahu” sahut Agung
Sedayu. “Mungkin daerah ini pun mendapat tekanan-tekanan yang serupa dengan
Sangkal Putung.”
“Tidak,” potong Sutawijaya,
“aku kira tidak, sebab Tohpati, Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, dan sebelum
itu juga Pande Besi Sendang Gabus berada di sekitar Sangkal Putung.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya” katanya lirih.
Sejenak mereka terdiam.
Kaki-kaki mereka melangkah di antara batang-batang ilalang yang sudah semakin
tipis. Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang sempit. Di
seberang padang rumput itu, maka terbentanglah tanah persawahan dan pategalan
yang hijau. Di sana-sini mereka melihat padesan yang segar bermunculan di
antara batang-batang padi yang sedang berbunga.
“Ada perbedaan antara
Prambanan dan Sangkal Putung” berkata Sutawijaya kemudian. “Yang mungkin
mempengaruhi perhitungan Tohpati adalah letak dari kedua kademangan ini. Yang
kedua, Sangkal Putung agak lebih besar dari Prambanan dan lebih padat pula,
daripada yang tersimpan di dalam perut Kademangan Prambanan. Agaknya Prambanan
tidak memiliki kekayaan seperti Sangkal Putung. Ternak, iwen, lumbung-lumbung
yang padat dan hampir setiap orang di Pajang dan Jipang tahu, bahwa orang-orang
Sangkal Putung adalah selain petani yang rajin, juga pedagang yang ulet,
sehingga menurut perhitungan Tohpati, di Sangkal Putung, akan banyak dijumpai
emas dan permata. Kepentingan Tohpati yang lain, karena Sangkal Putung lebih
padat daripada Prambanan, maka Sangkal Putung akan dijadikan panjatan
perlawanan atas Pajang. Mungkin Tohpati akan dapat memanfaatkan penduduk
Sangkal Putung dengan sebaik-baiknya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata terus,
“Tetapi tidak mustahil, bahwa apabila mereka gagal menduduki Sangkal Putung,
maka mereka akan memperhatikan tempat-tempat lain. Tempat-tempat yang cukup
baik, tetapi yang terlepas dari pengawasan prajurit-prajurit Pajang. Tetapi aku
kira Prambanan pun berada di bawah pengawasan langsung dari beberapa orang
prajurit.”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di dalam hati Swandaru merasa
bangga, bahwa kademangannya, kademangan yang dipimpin oleh ayahnya ternyata
mempunyai beberapa keistimewaan dari kademangan-kademangan lain. Jati Anom,
Prambanan dan beberapa kademangan yang lain, bukanlah kademangan yang dapat
dinilai sebesar kademangannya.
Tetapi berbeda dengan angan-angan
yang berputar di kepala Sutawijaya. Pandangannya atas kademangan ini ternyata
jauh melampaui masa yang dilihatnya kini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan.
Sehingga apabila ayahnya nanti mampu membuka hutan Mentaok, maka adalah menjadi
kewajibannya untuk menjadikan daerah itu daerah yang besar. Daerah yang
memiliki kedudukan yang kuat dan memiliki sumber kekayaan yang cukup. Prambanan
adalah daerah yang cukup subur. Dan daerah ini tidak terlampau jauh dengan alas
Mentaok yang dijanjikan olah Adipati Pajang kepada ayahnya.
Namun Sutawijaya menyimpan
angan-angan itu di dalam kepalanya. Ia sama sekali tidak menyatakan kepada
kedua kawannya. Gambaran-gambaran tentang masa depan itu dibiarkan tumbuh dan
berkembang di dalam hatinya sendiri.
Demikianlah mereka berjalan
terus ke arah Barat. Dilingkarinya pategalan dan tanah-tanah persawahan. Mereka
berjalan di padang alang-alang di sisi-sisi bukit kecil yang menbujur di
sebelah selatan Prambanan.
“Itulah Candi Jonggrang”
berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Hem, itulah candi yang terkenal
itu.”
Swandaru mengerutkan wajahnya.
Tetapi ia tidak berkata suatu apapun.
Ketika matahari semakin lama
menjadi semakin rendah, maka berkatalah Sutawijaya kemudian, “Hampir senja.
Apakah kita akan bermalam di padang ilalang, ataukah kita ingin mencari
penginapan di desa yang terdekat. Lihat, desa itu adalah desa kecil yang
terpencil. Mungkin kita akan dapat mencari sekedar tempat untuk bermalam.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak segera menjawab. Ditatapnya sebuah desa kecil yang terpencil agak di
sebelah barat Candi Prambanan. Desa itu dipisahkan oleh sebuah bulak yang agak
panjang, yang ditumbuhi oleh batang-batang padi yang hijau subur. Namun desa
kecil itu sendiri dilingkari oleh tanaman yang segar pula. Daun-daun yang hijau
menjadi kemerah-merahan karena sinar matahari yang hampir terbenam di ujung
barat.
“Bagaimana?” desak Sutawijaya.
“Kalau kita ingin bermalam di desa itu, maka biarlah kita menunggu gelap. Kita
memasuki desa itu setelah tidak banyak orang yang akan melihat kita. Kita pilih
rumah yang paling ujung. Dan kita minta bermalam apabila pemiliknya tidak
keberatan.”
“Dengan segala macam senjata
ini?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Tidak. Kita mencari tempat yang agak baik untuk
menyembunyikan senjata-senjata ini.”
“Bagaimana kalu
senjata-senjata kita dicuri orang?” bertanya Swandaru.
“Tidak kita letakkan di
sembarang tempat. Kita sembunyikan di tempat yang kita yakin, bahwa
senjata-senjata itu tidak dilihat orang.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Agung Sedayu menjawab, “Baiklah. Tanpa
senjata di tangan kita tidak akan menakut-nakuti penduduk desa itu. Tetapi
apakah jawab kita apabila mereka bertanya siapakah kita dan apakah kepentingan
kita di desa mereka?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Ya, apakah keperluan kita?”
Mereka pun kemudian terdiam.
Mereka sedang mencari-cari jawab apabila mereka mendapat pertanyaan tentang
diri mereka.
“Baiklah kita katakan, bahwa
kita adalah orang-orang Mangir. Kita baru saja bepergian ke Sangkal Putung,
bagaimana?” berkata Sutawijaya.
“Kita belum pernah melihat
daerah itu. Bagaimana kalau orang yang kita temui itu mengenal Mangir dengan
baik dan bertanya beberapa hal tentang Mangir?” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya termenung. Matahari
di sebelah Barat telah menjadi semakin rendah.
“Kita bermalam di padang
ilalang ini saja” katanya kemudian.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Katanya, “Dingin. Sudah tentu kita tidak dapat membuat perapian
kalau kita tidak ingin menarik perhatian orang-orang Prambanan.”
“Ya, kau benar,” jawab
Sutawijaya, “dingin dan banyak sekali nyamuk. Memang lebih senang tidur di
dalam rumah.”
“Kita perhitungkan setiap
kemungkinan. Manakah yang lebih baik. Kedinginan di ladang ini atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka berikan” berkata Agung Sedayu.
“Oh, aku terbalik menjawab”
berkata Sutawijaya. “Kita adalah anak-anak Sangkal Putung yang akan pergi ke
Mangir. Kita akan dapat menjawab segala pertanyaan mengenai Sangkal Putung.
Tetapi apabila mereka bertanya tentang Mangir, biarlah kita jawab, bahwa kita belum
pernah pergi ke Mangir.”
“Apakah keperluan kita ke
Mangir?” bertanya Swandaru.
“Apa saja,” jawab Sutawijaya,
“mencari paman kita atau kakak kita?”
“Baik, kita adalah anak-anak
Sangkal Putung” sahut Swandaru kemudian.
“Kita saudara-saudara sepupu,”
berkata Sutawijaya, “panggil aku kakang. Agung Sedayu menjadi penengah di
antara kita dan Swandaru adalah saudara sepupu yang lahir dari saudara termuda
di antara orang tua kita.”
Swandaru tertawa. Katanya,
“Kenapa aku yang termuda?”
“Demikianlah sepantasnya”
jawab Sutawijaya.
“Muda dalam urutan saudara
sepupu tidaklah mesti yang paling muda umurnya” sahut Swandaru.
“Apakah kita akan berbantahan
mengenai umur untuk kepentingan ini?” bertanya Sutawijaya.
Kedua kawannya tertawa,
“Baiklah” desis Swandaru.
“Marilah, kita dekati desa
itu. Kau lihat pohon gayam yang besar itu? Kita sembunyikan senjata kita ke
atasnya. Aku sangka tak seorang pun yang akan melihatnya.”
“Ya, apabila senja telah
menjadi gelap.”
Mereka bertiga pun kemudian
berjalan ke utara. Merka telah melampaui arah Candi Jonggrang. Mereka menuju
sebuah desa kecil di sebelah barat candi itu, desa yang terpisah oleh sebuah
bulak yang agak panjang.
Pada saat yang bersamaan, di
Sangkal Putung berderap kaki-kaki kuda prajurit-prajurit Wira Tamtama dari
Pajang yang akan menjemput Ki Gede Pemanahan dengan membawa orang-orang Jipang.
Besok mereka akan kembali bersama sebagian dari pasukan Widura di Sangkal
Putung, sedang sebagian yang lain harus tetap tinggal di Sangkal Putung untuk
menjaga setiap kemungkinan. Orang-orang Widura itu akan kembali ke Sangkal
Putung bersama pasukan yang dipimpin oleh Pidaksa yang akan ditempatkan di
bawah kekuasaan Untara untuk menyelesaikan sisa-sisa orang-orang Jipang itu
sama sekali.
Ki Gede Pemanahan yang gelisah
karena puteranya pergi tanpa sepengetahuannya, terpaksa tidak dapat berbuat
apapun juga. Ia harus segera kembali ke Pajang yang sedang mengembangkan
dirinya. Pada saat ini Kerajaan Demak sedang kosong sepeninggal Sultan
Trenggana. Timbulnya berbagai pertentangan di antara putera-putera dan
kemenakannya telah memberi peluang kepada beberapa orang yang tidak senang
menyaksikan Demak bangkit kembali. Apalagi melihat kebangkitan keturunannya.
Ki Gede itu hanya dapat
berpesan kepada Untara dan Widura untuk kelak menyuruh anaknya segera kembali
ke Pajang. Bukan saja dirinya sendiri yang menjadi gelisah, tetapi pasti
Adipati Adiwijaya pun menjadi gelisah pula.
“Anak itu menggangu
pekerjaanku saja” gumamnya. Tetapi kemudian diteruskan, “Yah, tetapi ia telah
berjasa pula kepada Pajang.”
Malam itu Ki Gede Pemanahan
telah mempersiapkan dirinya untuk besok pada saat matahari terbit, berangkat
dengan pengawalan yang kuat, membawa orang-orang Jipang yang menyadari
kekeliruan yang selama ini mereka lakukan.
Dan pada saat itu, ketika
matahari telah tenggelam di balik cakrawala, maka Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru telah berada di bawah pohon gayam yang cukup besar. Mereka ingin
menyimpan senjata-senjata mereka di atas pohon itu, supaya kehadiran mereka ke
desa di ujung Kademangan Prambanan tidak mencurigakan.
“Siapakah yang memanjat?”
bertanya Sutawijaya.
“Siapa?” sahut Agung Sedayu.
“Berikan senjata kalian. Aku
akan memanjatnya” desis Swandaru.
Kedua kawannya tertawa. Ketika
mereka melihat Swandaru melipat lengan bajunya serta menyingsingkan kain
panjangnya, maka kedua kawannya pun segera melepas senjata mereka.
“Apakah kau dapat membawa
sekaligus?” bertanya Agung Sedayu.
“Tentu tidak. Aku akan
memanjat untuk kepentingan kalian, tetapi tolong, berikan senjata-senjata itu
apabila aku sudah berada di atas pohon gayam ini,” jawabnya.
“Uh, kalau begitu sama saja
bagiku. Lebih baik kita memanjat bersama-sama. Ayo, biarlah aku membawa
sebagian dari senjata-senjata itu” berkata Agung Sedayu.
Swandarulah yang kemudian
tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sebagian dari senjata-senjata mereka
ia memanjat. Dibawanya pedangnya sendiri, busur serta endong panahnya, dan
tombak Sutawijaya, sedang Agung Sedayu membawa senjata-senjatanya sendiri
dengan busur dan endong panah Sutawijaya.
Dengan hati-hati mereka
menyangkutkan senjata-senjata itu pada cabang-cabang yang kuat dan rimbun.
Mengikatnya dan kemudian mereka pun turun dengan hati-hati supaya gerakan-gerakan
mereka tidak menjatuhkan senjata-senjata mereka yang terikat pada cabang-cabang
pohon gayam itu.
Sutawijaya yang berdiri di
bawah mengawasi keadaan dengan seksama. Kalau-kalau ada seseorang yang
mengintai mereka bertiga. Tatapi sampai kedua anak-anak muda itu turun dari
pohon gayam itu, tidak seorang pun yang dilihatnya.
“Aku kira tak seorang pun yang
melihat kita di sini” desis Sutawijaya. “Apalagi setelah hari menjadi gelap.
Kini marilah kita pergi ke desa itu.”
“Marilah” sahut keduanya.
Tetapi segera langkah mereka
terhenti. Dalam keremangan malam mereka melihat bayangan semakin lama menjadi
semakin dekat. Tidak hanya seorang. Tetapi dua dan bahkan tiga orang.
Ketiga anak muda itu menjadi
berdebar-debar. Bukan karena mereka takut, namun apabila ada orang yang melihat
perbuatan mereka, maka pasti akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan
persoalan. Apabila mereka harus mengalami perselisihan, senjata-senjata mereka
kini telah tersangkut di atas pohon gayam itu.
Bayangan-bayangan itu semakin
lama menjadi semakin dekat. Kemudian terdengarlah suara mereka bercakap-cakap.
Tidak begitu jelas, tetapi percakapan mereka berjalan lancar.
“Mereka belum melihat kita”
desis Sutawijaya perlahan-lahan.
“Ya, Tuan, mereka belum
melihat kita” sahut Agung Sedayu.
“Jangan panggil aku Tuan.
Panggil aku kakang.”
“Ya, Kakang” ulang Agung
Sedayu.
Tiba-tiba tiga orang yang
berjalan itu pun tertegun. Mereka kini melihat ketiga anak-anak muda yang
berdiri di pinggir jalan di bawah pohon gayam. Karena itu salah seorang dari
mereka segera bertanya, “Siapakah kalian di situ?”
Ketiga anak-anak muda itu sejenak
menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Sutawijaya menjawab, “Aku, Paman.”
“Aku siapa?”
Kembali Sutawijaya menjadi
bingung. Lebih baik baginya untuk tidak mempergunakan namanya sendiri, supaya
tidak mengganggunya. Sebab mungkin seseorang telah mendengar nama itu.
“Siapa?” bertanya orang itu
pula.
“Aku, Suta, Paman.”
“Suta, Suta siapa?”
“Suta, ya Suta. Sutajia.”
“Sutajia,” ulang orang itu,
“aku belum pernah mendengar namamu.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru pun menjadi bingung. Meskipun mereka telah merencanakan, apa yang
harus mereka katakan, namun menghadapi pertanyaan itu mereka masih harus
berpikir sejenak.
Karena mereka bertiga tidak
segera menjawab, maka orang itu mendesak, “He, Sutajia, siapakah kau?”
Sutawijaya menjawab
terbata-bata, “Memang mungkin, Paman. Mungkin Paman belum pernah mendengar
namaku. Aku bukan orang Prambanan.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Pantas. Aku belum pernah mendengar nama itu.
Tetapi meskipun kau bukan orang Prambanan, namun namamu itu cukup aneh.
Sutajia. Nama yang terasa tidak cukup lengkap.”
Dada Sutawijaya menjadi
berdebar-debar. Seakan-akan orang yang berbicara itu mengerti keadaan dirinya
sepenuhnya. Namun kemudian ia menjadi berlega hati ketika orang itu bertanya,
“Dari manakah kalian datang?”
“Kami datang dari Sangkal
Putung, Paman,” sahut Sutawijaya.
“Siapa kedua kawanmu itu?”
“Mereka adalah adik sepupuku.
Yang bertubuh sedang bernama Agung Sedayu dan yang gemuk bernama Swandaru
Geni.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya kembali. Gumamnya, “Nama itu adalah nama-nama yang bagus, Agung
Sedayu dan Swandaru Geni. Nama itu adalah nama lengkap dan berwibawa. Tidak
seperti namamu sendiri Sutajia.”
“Demikianlah orang tua kami
memberi nama kepada kami masing-masing, Paman.”
Dan orang itu pun bertanya
pula, “Kalian datang dari Sangkal Putung menurut katamu? Tetapi ke manakah
kalian akan pergi?”
“Ya, Paman. Kami datang dari
Sangkal Putung. Sedang kami ingin pergi ke Magir.”
“Mangir, he? Mangir di
seberang hutan Mentaok?”
“Ya, Paman.”
“Apakah kalian tidak sedang
bermimpi?”
“Tidak, Paman.”
Orang itu mengangguk-anggukan
kepalanya pula. Seolah-olah lehernya terlampau lentur.
“Apakah kalian sudah
mengetahui jalan yang harus kalian tempuh?”
“Sudah, Paman. Kami akan
melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan kemudian hutan Tambak Baya.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Pandangan wajahnya membayangkan keragu-raguan hatinya. Tetapi ia
tidak mempunyai kepentingan atas ketiga anak-anak muda itu. Karena itu maka
sambil lalu orang itu bertanya, “Apakah malam ini kau akan bermalam di bawah pohon
ini?”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi setelah mereka saling berpandangan, berkatalah Sutawijaya,
“Tidak, Paman. Terlampau dingin. Tetapi kami tidak mempunyai keluarga di daerah
ini.”
“Lalu?” bertanya orang itu
pendek.
“Sebenarnya kami ingin pergi
ke desa itu. Mungkin ada seseorang yang menaruh belas kasihan kepada kami, dan
mengijinkan kami bermalam semalam ini, meskipun kami harus tidur di atas
kandang.”
Orang itu tertawa. Ia
berpaling kepada kedua kawannya. Kemudian katanya, “Kalian bertiga akan pergi
ke Mangir di sebelah hutan Mentaok, tetapi kalian takut kedinginan di udara
terbuka. Apakah kalian tahu, bahwa hutan Tambak Baya itu menyimpan bahaya yang
jauh lebih besar daripada udara yang dingin? Apalagi alas Mentaok?”
Sutawijaya terdiam. Tetapi
pertanyaan itu masuk di dalam akalnya.
“Tetapi aku kasihan melihat
kalian bertiga” berkata orang itu. “Untunglah bahwa keadaan telah menjadi baik,
sehingga kami tidak ragu-ragu lagi membawa kalian menginap di rumah kami.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Prambanan pun pernah mengalami masa
yang kurang baik. Tetapi ternyata masa yang kurang baik itu telah lampau.
“Bawa anak-anak ini ke rumah,
Bawa” berkata orang itu. Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, “Keduanya
adalah anak-anakku. Yang tua bernama Bawa dan yang muda bernama Supa.”
Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mari, ikut aku” ajak Bawa.
Tetapi nada suaranya agak berbeda dengan nada suara ayahnya. Tetapi Sutawijaya
dan kedua kawan-kawannya mula-mula tidak memperhatikannya.
“Pulanglah dahulu” berkata
orang itu kepada kedua anaknya, “Aku masih akan menyusur parit ini. Apakah
kalian masih ada waktu?”
“Tidak Ayah. Aku harus segera
pulang. Kawan-kawan pasti sudah menanti di halaman banjar desa.”
“Apakah kerja kalian di sana?
Bukankah lebih baik bagi kalian pergi ke pategalan sebentar untuk menengok
tanaman kalian. Mungkin ada binatang yang merusak mentimun itu.”
“Aku tidak sempat, Ayah.”
“Hem,” orang tua itu menarik
nafas, “ada-ada saja kerjamu sekarang ini. Bagaimana kau, Supa?”
“Aku juga tidak dapat Ayah.
Aku juga harus pergi ke halaman banjar desa itu.”
“Terlalu. Jadi aku juga yang harus
pergi ke sana? Sesudah menyusur air ini, aku masih harus pergi ke ladang
mentimun itu?”
“Terserah kepada Ayah.
Bagaimana kalau ladang itu tidak usah ditengok? Aku kira hampir tidak ada
gunanya. Demikian kita meninggalkannya setelah kita bersusah payah menengoknya,
maka babi hutan itu datang merusaknya.”
“Memang sebaiknya ladang itu
kita tunggu apabila buahnya telah menjadi besar seperti sekarang. Kalianlah
yang harus membantu untuk menunggui ladang itu.”
Kedua anak muda itu
bersungut-sungut. Ternyata mereka sama sekali tidak tertarik akan pekerjaan
yang disebut oleh ayahnya, menunggui ladang.
Anak muda yang bernama Bawa,
yang tertua kemudian manjawab, “Pekerjaan itu sangat menjemukan, Ayah.”
“Aku tidak dapat melakukannya.
Anak-anak muda yang lain bergembira di banjar desa, apakah aku harus kedinginan
di ladang mentimun?”
Ayahnya tidak menyahut.
Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.
“Ayo” berkata Bawa kemudian.
“Kalau kalian mau ikut kami, marilah ikut.”
Bawa tidak menunggu ketiga
anak-anak Sangkal Putung itu menjawab. Langsung ia melangkah pergi,
meninggalkan ayahnya berdiri termanggu-maggu. Adiknya, Supa, segera mengikuti
pula berjalan di belakang kakaknya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
masih belum bergerak dari tempatnya. Sekali-sekali mereka memandang orang tua
yang masih berdiri tegak di tempatnya dan sekali-sekali mereka menatap kedua
anak-anaknya yang berjalan dengan langkah yang tetap.
Ketiga anak-anak muda itu
terkejut ketika orang tua itu berkata, “Ikutlah. Tidurlah di gandok wetan atau
di tempat lain yang akan ditunjukkan oleh anak-anakku. Mereka sendiri akan
pergi ke banjar desa.”
“Apakah Paman tidak pulang?”
tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Aku akan pergi menyusur parit
ini ke timur. Seperti kalian dengar, aku masih harus pergi ke ladang untuk
melihat tanaman. Binatang-binatang liar kadang-kadang merusak tanaman di
ladang, meskipun tidak terlampau sering.”
Kembali Sutawijaya menjadi
ragu-ragu. Ketika ia memandangi wajah kedua orang temannya, maka wajah-wajah
mereka pun memancarkan keragu-raguan pula. Akhirnya Sutawijaya itu pun berkata,
“Paman. Kami akan pergi bersama Paman.”
“Uh,” sahut orang itu, “belum
tentu tengah malam aku sampai ke rumah.”
“Biarlah. Biarlah kami tengah
malam sampai ke rumah Paman. Tetapi bukankah Paman yang mempunyai rumah itu?
Lebih baik bagi kami apabila kami datang ke rumah Paman sesudah Paman berada di
rumah.”
“Istriku ada di rumah.”
“Tetapi bibi belum mengenal
kami dan putera-putera Paman agaknya terlampau tergesa-gesa.”
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kalian, kalau kalian ingin
kedinginan di sepanjang parit ini.”
“Kami juga anak-anak ladang”
tiba-tiba Swandaru menyela. “Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami
tidak akan canggung lagi berjalan di sepanjang pematang.”
Orang tua itu
mengangguk-angguk, katanya, “Kalau demikian terserahlah.”
“Marilah” akhirnya ia berkata
sambil melangkahkan kakinya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru pun berjalan mengikutinya pula. Meskipun Swandarulah yang berkata
bahwa mereka adalah anak ladang, namun ia pulalah yang bersungut-sungut sambil
berbisik, “Tuan, kenapa kita mengikutinya? Kenapa kita tidak pergi bersama
kedua anaknya. Kita tidak akan kedinginan di tengah-tengah sawah seperti ini.
Mungkin oleh bibi, istri orang ini sudah dijamu dengan air sere hangat.”
Sutawijaya tersenyum.
Jawabnya, “Kami adalah anak-anak ladang. Kami pun sering menyusur parit. Karena
itu, kami tidak akan canggung lagi berjalan di pematang.”
“Ah” desah Swandaru.
Agung Sedayu yang mendengar
pembicaraan itu pun tertawa tertahan. Tetapi sebenarnya ia pun telah merasa
cukup lelah. Karena itu, maka dengan malasnya ia menguap sambil berkata, “Aku
bukan anak ladang. Karena itu aku kedinginan.”
“Ssst” desis Sutawijaya.
“Kalian tidak tahu maksudku. Aku ingin mendengar cerita tentang daerah ini.
Bukankah orang itu tadi mengatakan, bahwa keadaan kini telah menjadi baik?
Apakah yang telah terjadi sebelumnya?”
“Oh” kedua kawannya
mengangguk-anggukan kepala mereka. Betapa pun dinginnya, namun mereka kini
tidak lagi berdesah di dalam hati.
Ketiga anak-anak muda itu
mengikuti orang tua itu berjalan di sepanjang pematang di tepi parit. Alangkah
dinginnya apabila kaki-kaki mereka terkena percikan air yang mengalir di
sepanjang parit itu. Sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah bendungan kecil
yang membagi parit itu menjadi dua buah saluran yang mengalir ke arah yang
berbeda.
“Aku akan menutup salah satu
daripadanya” berkata orang tua itu. “Tanah di sebelah ini seharusnya telah
kenyang. Karena itu, maka airnya akan dipergunakan untuk belahan yang lain.”
Sutawijaya dan kedua kawannya
sama sekali tidak menyahut, tetapi mereka berdiri dekat di belakang orang tua
yang terbungkuk-bungkuk mencangkul tanah berpasir untuk menutup salah sebuah
dari kedua saluran itu.
Dari bendungan kecil itu,
mereka segera ke ladang di sebelah padesan kecil yang semula akan disinggahi
oleh Sutawijaya dengan kawan-kawannya. Pategalan mentimun yang subur yang sudah
mulai berbuah.
Ketika mereka kemudian
duduk-duduk di rerumputan di sebelah tanaman di ladang itu, maka mulailah
Sutawijaya bertanya, “Paman, apakah desa ini termasuk Kademanangan Prambanan?”
“Ya, ya” sahut orang tua itu.
“Daerah ini adalah daerah Kademangan Prambanan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Siapa nama, Paman?”
Orang Prambanan itu tersenyum
mendengar pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Apakah kalian ingin juga mengetahui
namaku?”
“Tentu, Paman, supaya besok
aku dapat mengatakan kepada setiap orang di Sangkal Putung, bahwa di Prambanan
aku bermalam di rumah Paman.”
Orang itu kini tertawa.
Jawabnya, “Namaku Astra.”
“Astra” ulang Sutawijaya.
“Ya.”
“Hanya itu?”
“Ya, kenapa?”
“Mendengar namaku, Sutajia,
Paman menjadi heran. Menurut Paman, nama itu belum lengkap. Tetapi nama Paman
bagiku justru terlampau pendek. Bukankah itu lebih pendek dari namaku?”
Orang yang bernama Astra itu
tertawa pula. Katanya, “Tetapi namaku meskipun pendek, kedengarannya tidak aneh
seperti namamu.”
Sutawijaya tertawa. Yang lain
pun ikut tersenyum pula.
Tiba-tiba Sutawijaya bertanya,
“Kenapa putera-putera Paman tidak mau membantu Paman ke sawah dan ladang?”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian setelah terdiam sejenak ia menjawab, “Hal ini terjadi
belum terlalu lama. Dahulu anak-anakku adalah anak-anak yang rajin. Bahkan aku
hampir tidak pernah ke sawah. Merekalah yang menyelesaikan semua pekerjaan.
Tetapi sekarang tiba-tiba mereka menjadi malas, setelah di banjar desa sering
diadakan permainan tayuban.”
“Tayuban” Sutawijaya, Agung
Sedayu, dan Swandaru mengulang hampir bersamaan.
“Ya, tayuban. Setelah keadaan
kademangan ini menjadi baik, maka aneh-anehlah tingkah laku anak-anak muda yang
kehilangan kegiatan dan tidak mendapat penyaluran yang sewajarnya.”
“Apa saja yang mereka
lakukan?” bertanya Agung Sedayu.
“Macam-macam. Berjalan-jalan
berbondong-bondong mengelilingi kademangan di senja hari. Kemudian
berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang mereka menyembelih kambing,
bahkan lembu tanpa sebab. Mereka makan-makan tanpa batas. Gadis-gadis tidak mau
ketinggalan. Merekalah yang memasak daging kambing atau lembu atau kerbau.
Kemudian sambil berkelakuan aneh-aneh mereka habiskan waktu mereka
semalam-malaman.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Sekali mereka bertiga saling berpandangan. Kemudian terdengar
Swandaru bertanya, “Apakah orang tua mereka tidak berbuat sesuatu?”
“Kau lihat sendiri, bagaimana
sikap anak-anakku terhadapku. Apakah aku harus memukulnya? Kalau aku berbuat
demikian, mereka pasti akan melawan, dan aku pasti akan mati mereka cekik
bersama-sama.”
Sorot mata Swandaru tiba-tiba
menjadi aneh. Ia adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itu ia
menaruh minat yang sangat besar mendengar cerita itu.
“Kenapa terjadi demikian,
Paman Astra?” bertanya Swandaru. “Bukankah menurut Paman hal itu baru saja
terjadi. Maksudku belum terlampau lama.”
“Ya, memang demikian. Baru
saja, sejak keadaan Prambanan menjadi baik kembali.”
“Apakah yang pernah terjadi di
Prambanan, Paman?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira pernah terjadi pula
di Sangkal Putung. Apakah tidak demikian? Sisa-sisa laskar Arya Penangsang,
beberapa orang dari mereka selalu berkeliaran di sekitar daerah ini. Hal itulah
yang menyebabkan beberapa orang prajurit Pajang ditempatkan di kademangan ini.”
Sutawijaya dan kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tiba-tiba mereka lenyap dari
daerah ini seperti ditelan hantu. Beberapa waktu yang lalu mereka masih
berkeliaran di sekitar kademangan ini.”
“Sejak kapan mereka tidak
menampakkan diri lagi, Paman?”
“Dua tiga bulan, kurang
lebih.”
Sutawijaya dan kedua kawannya
saling berpandangan. Dua bulan. Persiapan Tohpati yang terakhir berlangsung
dalam waktu yang lama dan cukup masak. Mungkin orang-orang Jipang di Prambanan
harus berkumpul di Sangkal Putung untuk memperkuat serangan yang terakhir itu.
Mungkin pula sejak serangan yang gagal sebelumnya, pada saat Tohpati membawa
orang-orangnya datang di malam hari.
Tetapi tak seorang pun dari
mereka yang mengatakannya kepada Astra. Mereka masih saja berteka-teki di dalam
dada masing-masing.
“Lalu apakah hubungannya
dengan perbuatan anak-anak muda di Prambanan ini, Paman.”
“Mereka mendapat tuntunan dari
para prajurit Pajang untuk menjaga kademangannya. Prajurit Pajang sendiri tidak
dapat mencukupi. Namun sebagian besar dari anak-anak muda itu belum pernah
mengalami pertempuran yang sebenarnya. Mereka hanya berkeliling kademangan,
meronda sambil membawa segala macam senjata. Kalau ada sesuatu terjadi, mereka
segera berlindung di belakang para prajurit Pajang dan kawan-kawannya yang
lebih berani. Untunglah, jumlah orang-orang Jipang itu pun tidak seberapa
banyak, sehingga bagi Prambanan, mereka belum merupakan bahaya yang benar-benar
dapat menggoncangkan ketenteraman kademangan ini.”
Ketiga anak-anak muda yang
mendengarkan cerita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ini adalah suatu
perbedaan antara anak-anak muda Prambanan dan anak-anak muda Sangkal Putung.
Anak-anak muda Sangkal Putung hampir seluruhnya telah mengalami pertempuran
berkali-kali dengan orang Jipang. Bahkan korban pun telah berjatuhan.
“Tetapi kenapa mereka sekarang
berbuat aneh-aneh?” bertanya Agung Sedayu.
“Kini sebagian besar prajurit
Pajang pun telah ditarik. Pengawasan atas anak-anak muda itu menjadi jauh
berkurang. Anak-anak muda yang dirinya mendapat kekuasaan itu, tiba-tiba menjadi
mabuk. Mabuk atas kekuasaan yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang untuk
menjaga keamanan kademangan ini. Dengan pedang di lambung, mereka ditakuti.
Karena itu, maka mereka kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan yang
aneh-aneh itu.”
Ketiga anak-anak muda itu
merasa aneh mendengar cerita Astra. Hati mereka segera tersentuh, dan perhatian
mereka pun menjadi sangat tertarik kepada peristiwa itu.
Dalam pada itu Astra bercerita
terus, “Sekarang anak-anak muda itu telah jauh terdorong ke dalam perbuatan-perbuatan
yang lebih berbahaya. Di antaranya kedua anakku. Mungkin kalian dapat
menyalahkan aku dan orang-orang tua. Tetapi aku yang mengalaminya sendiri
merasa, bahwa habislah akalku untuk mengendalikan kedua anak-anakku itu.
Apalagi di antara kami orang tua-tua, memang ada yang justru menjadi bangga
melihat kelakuan anak-anaknya. Seolah-olah anaknya telah menjadi seorang
pahlawan.”
“Aneh” desis Sutawijaya dengan
serta-merta.
“Ya, aneh” sahut Agung Sedayu
dan Swandaru hampir bersamaan. Mereka adalah pemuda-pemuda pula. Tetapi mereka
tidak dapat membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh anak-anak sebayanya
di Kademangan Prambanan.
“Apakah tidak ada tindakan
yang dapat dilakukan?” bertanya Sutawijaya.
Astra menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Sulit. Sulit sekali.
Mungkin dapat juga dilakukan tindak kekerasan. Tetapi anak-anak muda itu merasa
diri mereka pahlawan-pahlawan dan mereka pun pasti akan melawan dengan
kekerasan pula. Apakah yang kira-kira akan terjadi di Prambanan? Bencana ini
akan jauh lebih dahsyat daripada bencana yang dapat ditimbulkan oleh
orang-orang Jipang.”
“Ya, Paman benar” sahut
Sutawijaya.
“Kami hampir kehilangan akal
untuk mengatasinya” berkata orang tua itu pula.
“Bagaimana dengan pamong
kademangan ini? Bapak Demang misalnya atau Bapak Jagabaya?”
“He” tiba-tiba orang itu
tersentak. Katanya kemudian, “Kenapa kau ributkan kademangan ini? Terserahlah
kepada Bapak Demang dan Bapak Jagabaya.”
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya
terdiam. Namun timbullah keinginan mereka untuk melihat, apakah yang telah
terjadi di Banjar Desa Kademangan Prambanan? Karena itu, tanpa bersetuju lebih
dahulu, hampir bersamaan Agung Sedayu dan Sutawijaya berkata, “Apakah kita akan
melihat?”
“Apakah yang akan kalian
lihat?” bertanya Astra.
“Apa yang terjadi di banjar
desa.”
“Apakah kalian akan membawa
kebiasaan itu ke Sangkal Putung, supaya para pemudanya mempunyai kebiasaan
serupa pula?”
“Tidak” sahut Swandaru
cepat-cepat. “Kami hanya ingin melihatnya.”
Orang tua itu tersenyum.
Katanya, “Apalagi kini di kademangan ini sedang kedatangan beberapa orang tamu.
Dua atau tiga orang, aku kurang tahu.”
“Tamu?” bertanya ketiga
anak-anak muda itu serta merta.
“Ya, tamu dari seberang hutan
Mentaok.”
Sutawijaya dan kedua kawannya
terkejut mendengar jawaban itu. Dengan terbata-bata Agung Sedayu bertanya,
“Seberang hutan Mentaok? Maksud Paman, tamu itu datang dari daerah di seberang
hutan Mentaok?”
“Ya, kenapa kau terkejut?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian jawabnya,
“Tidak apa-apa? Kami terpengaruh oleh tujuan kami sendiri. Kami ingin pergi ke
hutan itu, dan kami mendengar nama Mentaok, Paman sebut-sebut.”
“Oh” Astra mengangguk-anggukan
kepalanya. “Mereka adalah utusan dari Daerah Perdikan Menoreh.”
“Bukit Menoreh maksud Paman?”
Orang itu mengangguk,
“Demikian yang aku dengar. Aku tidak tahu kebenarannya.”
Ketiga anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Mereka telah dua malam berada
di tempat ini. Dan mungkin kalian akan terkejut mendengarnya, tamu-tamu itu
akan pergi ke Sangkal Putung.”
Swandaru menggigit bibirnya,
tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dada anak-anak muda itu
tersimpan bergabai macam pertanyaan. Kalau mereka utusan Kepala Daerah Perdikan
Menoreh, maka mereka pasti mempunyai sangkut paut dengan kepala daerah perdikan
itu. Daerah Perdikan Menoreh adalah tanah kelahiran Sidanti.
“Sangat menarik perhatian”
gumam Agung Sedayu. “Justru kami datang dari daerah Sangkal Putung.”
“Kapan mereka akan berangkat
ke Sangkal Putung?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak tahu. Tetapi
tamu-tamu itu agaknya kerasan di sini. Mereka pun masih muda-muda, semuda
kalian bertiga. Kalau terpaut umur, maka tidak akan lebih dari tiga empat
tahun.”
Alangkah menarik hati cerita
itu bagi ketiga anak-anak muda itu. Keinginan mereka untuk melihat apa yang
terjadi di Prambanan semakin mencengkam hati mereka. Namun mereka tidak segera
menyatakannya. Bahkan Sutawijaya itu bertanya, “Kalau di kedemangan ini ada
tamu, apakah anak-anak mudanya masih juga mengadakan tayub di banjar desa?”
“Tamu-tamu itu pun mempunyai
kesukaan serupa.”
“Oh” Sutawijaya menarik
nafasnya dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan para
prajurit dari Pajang yang masih tinggal di sini?”
“He” kembali orang itu
tersentak. “Kenapa kalian ributkan kademangan ini? Itu bukan urusan kalian,
bukan urusanku dan bukan urusan istriku. Urusanku sebenarnya hanyalah berkisar
pada anak-anakku yang menjadi mursal pula.”
“Paman keliru” sahut
Sutawijaya tiba-tiba. “Keadaan kademangan ini adalah tanggung jawab segenap
penghuninya. Tanggung jawab Bapak Demang, Bapak Jagabaya, Bapak Kabayan, Bapak
Pamong-Pamong yang lain dan tanggung jawab Paman pula.”
Orang itu membelalakkan
matanya. Ia sebenarnya sependapat dengan Sutawijaya yang menamakan dirinya
Sutajia. Tetapi karena yang mengucapkan itu seorang anak muda yang ingin
menumpang tidur kepadanya, dan seorang anak muda yang disangkanya betul-betul
anak Sangkal Putung saja, dengan pakaian yang kusut, setelah mereka
mengenakannya selama dua hari terakhir siang dan malam, maka Astra menjadi
heran.
Dengan penuh selidik ia
bertanya, “Darimana kau bisa berbicara seolah-olah kau ini seorang pemimpin
pemerintahan?”
“Aku hanya sering
mendengarnya, Paman. Bapak Demang Sangkal Putung sering mengatakan demikian.”
“Oh” Astra
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Bapak Demang Prambanan
tidak pernah berkata demikian?”
“Tentu. Tentu. Bapak Demang
adalah seorang demang yang baik. Tetapi apakah ia dapat berbuat banyak di
antara para pamong yang berbuat tidak baik? Di antara orang-orang tua yang
berbangga melihat anak-anaknya berbuat edan-edanan? Bahkan bukan saja Bapak
Demang, ada juga beberapa anak-anak muda yang menangis di dalam hatinya melihat
perkembangan keadaan. Tetapi tidak mendapat kesempatan apa-apa.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru duduk tepekur, tetapi
ia mendengar setiap pembicaraan dengan penuh minat.
“Seperti anak-anakku” berkata
Astra pula. “Aku sudah hampir menjadi gila memikirkannya. Seandainya ada
kekuatan yang mampu memperingatkannya, meskipun seandainya anakku harus
mengalami pelajaran yang agak berat, aku akan berterima kasih.”
Ketiga anak-anak muda yang
datang dari Sangkal Putung itu berdiam sejenak. Dan Astra berkata pula, “Tetapi
sayang, anak-anak muda yang masih menyadari keadaan, jumlahnya tidak terlampau
banyak, dan mereka tidak mempunyai banyak kelebihan dari anak-anakku yang
bengal itu.”
Sutawijaya-lah yang kemudian
bertanya, “Paman, Paman belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana dengan
prajurit-prajurit Pajang?”
Orang itu terdiam sejenak.
Tiba-tiba ia berkata, “He, aku sudah selesai dengan pekerjaan di sini. Tidak
ada binatang-binatang liar yang mengganggu ladangku. Ayo, kita kembali.
Bukankah kau bermalam di rumahku?”
Sutawijaya mengangguk-angguk,
“Ya Paman” jawabnya. Tetapi setiap kali ia kecewa. Pertanyaannya belum
terjawab. Sebagai seorang putera Panglima yang pernah ikut serta dalam barisan
Wira Tamtama justru menghadapi lawan yang terberat, yaitu Arya Penangsang itu
sendiri, maka ia terkait akan adanya beberapa orang prajurit di Prambanan.
Tetapi mereka tidak mendapat
kesempatan untuk bertanya lagi. Astra segera berdiri, memanggul cangkulnya dan
berjalan menyusur pinggiran ladangnya. Katanya, “Kita lewat jurusan ini.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru segera mengikutinya di belakang. Namun agaknya masih belum puas. Di
sepanjang jalan ia masih bertanya, “Dan bagaimana dengan tamu-tamu dari
Menoreh?”
“Tidak apa-apa. Mereka tidak
apa-apa” jawab Astra pendek.
Sutawijaya menjadi benar-benar
kecewa. Tiba-tiba ia berkata, “Paman. Kami ingin pergi ke banjar desa. Di
kademangan kami hampir tidak pernah kami lihat keramaian apapun. Apabila di
sini kebetulan ada keramaian di banjar desa, maka betapa besar keinginan kami
untuk melihatnya.”
“Huh, sebaiknya kalian tidak
melihatnya.”
“Kenapa?”
Astra tidak menjawab. Tetapi
ia berkata, “Bukankah kalian akan bermalam di rumahku? Jarang aku bertemu
dengan anak-anak muda seperti kalian. Aku jarang bercakap-cakap dengan
anak-anakku sendiri.”
“Tentu Paman. Aku akan
mengikuti sampai ke rumah Paman. Kemudian kami akan mohon ijin untuk pergi ke
banjar desa. Dengan demikian kami telah mengenal rumah Paman, supaya kami tidak
usah mencari-cari apabila kami kembali dari banjar desa.”
Astra mengangguk-anggukan
kepalanya, “Baiklah” gumamnya.
Kemudian mereka saling berdiam
diri. Mereka berjalan di sepanjang pategalan. Di sini mereka melihat beberapa
orang duduk di ladang semangka, menungguinya pula.
“Dari ladang Kakang?” tegur
salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut Astra, “aku tidak
dapat menungguinya malam ini. Anak-anak pun tidak. Tolong, apabila kalian
melihat binatang atau anak-anak nakal merusak masuk.”
“Baik, Kakang” jawab orang
itu. “Tetapi bukankah Supa dan Bawa telah mau ikut ke sawah bersama Kakang?”
“Mereka hanya mau melewatinya
tanpa membasahi kaki-kaki mereka dengan air parit. Mereka tergesa-gesa pergi ke
banjar desa. Apakah anak-anak kalian juga pergi ke sana?
“Ah, aku tidak peduli lagi.
Mereka telah menjadi gila. Tetapi bukankah Supa dan Bawa yang berjalan bersama
Kakang itu.”
“Bukan, sama sekali bukan.
Anak-anak ini adalah kemenakanku yang baru saja datang dari Sangkal Putung.”
“O” orang yang duduk-duduk
tidak bertanya lagi. Astra dan ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu
berjalan terus menyusur jalan kecil di tengah-tengah ladang, menyusup di dalam
gelapnya malam.
Di pinggir desa kecil di ujung
kademangan itulah terletak rumah Astra. Sebuah rumah joglo yang tidak terlampau
besar. Tetapi menilik bentuknya dan coraknya, maka Astra bukan termasuk orang
yang dapat disebut miskin. Di sisi rumah itu, mereka melihat sebuah pedati
lembu di samping sebuah kandang.
“Inilah rumahku,” berkata
Astra, “mungkin tidak sebagus rumah-rumah di Sangkal Putung.”
Ketika mereka berempat
menginjakkan kaki-kaki mereka di halaman rumah itu, maka Sutawijaya dan kedua
kawannya tertegun sejenak. Ketika mereka saling berpandangan, maka tanpa mereka
kehendaki mereka mengangguk-anggukan kepala mereka.
“Mari anak-anak” ajak Astra.
“Paman,” berkata Sutawijaya,
“kami sebenarnya ingin untuk melihat banjar desa Prambanan. Kini kami telah
mengetahui rumah Paman. Nanti dari banjar desa kami akan datang kemari. Tetapi
kami tidak perlu membuat Paman dan Bibi menjadi sibuk. Biarlah kami nanti tidur
di pendapa ini saja apabila Paman mengijinkan.”
“He?” Astra mengerutkan
keningnya, “pergilah ke banjar desa kalau kalian benar-benar ingin. Tetapi
marilah singgah sebentar. Kalian tidak akan terlambat. Keramaian itu baru akan
mencapai puncaknya nanti menjelang tengah malam.”
“Terima kasih Paman. Kami
ingin melihat sejak keramaian ini baru dimulai.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah kalian pernah melihat
orang berkelahi?”
Ketiga anak-anak muda itu terkejut.
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Apakah di Sangkal Putung ada
juga anak-anak muda sering berkelahi di antara mereka, di antara sesama?”
Swandaru dan kawan-kawannya
menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu Astra berkata, “Kalau kalian
belum pernah melihat anak-anak muda berkelahi, sebaiknya kalian tidak usah
melihat, daripada kalian menjadi ketakutan.”
“Apakah akan ada pertandingan
berkelahi di banjar desa?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak. Tetapi artinya hampir
sama. Hampir setiap kali ada keramaian semacam ini, anak-anak muda selalu bikin
ribut. Ada-ada saja yang mereka persoalkan. Dan sering terjadi mereka berkelahi
di antara mereka karena soal-soal tetek bengek.”
Ketiga anak-anak muda itu
justru semakin ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di banjar desa. Karena
itu maka Sutawijaya menjawab, “Kalau kami tidak ikut campur dalam setiap
perselisihan, maka aku kira kami tidak akan terlibat, Paman.”
“Mudah-mudahan. Kalau kau
ngeri melihat mereka berkelahi, maka sebaiknya kalian segera pergi dan kembali
kemari.”
“Baik, Paman” sahut mereka
hampir serentak.
Astra itu pun kemudian memberi
mereka ancar-ancar ke mana mereka harus pergi. “Kalau kau melihat lampu obor
yang terang benderang seperti siang, maka itulah banjar desa.”
“Terima kasih, Paman” sahut
mereka bersamaan pula.
Sejenak kemudian mereka telah
meninggalkan halaman rumah Astra dengan pertanyaan yang memenuhi dada. Cerita
Astra sangat menarik perhatian mereka. Mereka pun menyadari mungkin Astra telah
membumbui ceritanya terlampau banyak. Namun sedikit banyak cerita itu pasti
mengandung kebenaran.
Ada beberapa hal yang sangat
menarik perhatian ketiga anak-anak muda itu. Tingkah laku sebagian anak-anak
muda Prambanan, yang menurut Astra mereka terpaksa menangis di dalam hati
melihat sikap kawan-kawannya. Kemudian apakah yang akan dilakukan oleh para
pamong kademangan dan lebih-lebih menarik lagi, bagaimanakah sikap beberapa
orang prajurit Pajang yang masih ada di Prambanan? Yang tidak kalah menariknya
adalah cerita tentang tamu-tamu dari Menoreh. Tamu-tamu yang mau tidak mau
pasti menyangkut nama Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Nama orang tua Sidanti.
Karena itu, maka tiba-tiba
mereka tergesa-gesa. Tanpa mereka sengaja langkah mereka pun menjadi semakin
cepat. Jarak yang harus mereka tempuh tidak terlampau jauh. Jalan yang harus
mereka lalui adalah jalan itu juga, tanpa berbelok. Mereka akan melewati sebuah
desa sebelum mereka akan sampai ke bulak yang pendek. Di sebelah bulak yang
pendek itulah terletak induk Kademangan Prambanan. Dan di desa itulah terletak
banjar desa. Tidak terlampau jauh dari sebuah bangunan yang sangat terkenal,
Candi Jonggrang.
Waktu yang mereka perlukan
tidak terlalu banyak. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke ujung
lorong memasuki desa yang pertama.
Demikian mereka sampai ke
ujung desa, maka Sutawijaya mengamit kedua kawan-kawannya. Agung Sedayu dan
Swandaru berpaling. Hampir bersamaan mereka mengangguk ketika mereka mendengar
Sutawijaya berbisik, “Kau lihat beberapa orang berdiri di pinggir jalan di
bawah lampu gardu itu?”
Melihat sikap mereka, hati
ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar bukan
sikap yang wajar. Tetapi mereka bertiga tidak mempunyai kepentingan dengan
mereka. Karena itu mereka sama sekali tidak memperhatikannya.
Anak-anak muda yang berkerumun
di sebelah gardu itu mamandangi mereka bertiga dengan berbagai pertanyaan di
dalam hati. Seorang yang duduk di sisi jalan tiba-tiba berdiri dan bertolak
pinggang. Tetapi ia tidak bertanya apapun. Kawannya yang berjongkok di atas
dinding halaman, meloncat turun sambil bergumam, “He, apakah akan ada tamu
lagi?”
“Huh,” sahut yang lain yang
berbaring di atas dinding halaman yang sempit di sisi jalan yang lain, “aku
kira mereka adalah gembala-gembala dari kademangan lain. Mungkin mereka ingin
mendapat sisa-sisa makanan di banjar desa.”
Hampir serentak pemuda-pemuda
itu tertawa. Bahkan seorang di antara mereka berjalan ke tengah lorong,
sementara Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin dekat.
Dengan tingkah yang
dibuat-buat anak muda itu mengawasi Sutawijaya dan kawan-kawannya. Kemudian
katanya, “Kalian benar. Bukan anak-anak Prambanan. Mereka adalah anak-anak
kelaparan. Wajahnya pucat dan pakainnya kusut kumal.”
“Biarkan mereka lewat. Tak ada
kepentingan dengan anak-anak kecingkrangan” berkata yang lain.
Sutawijaya tidak tahu,
bagaimanakah tanggapan anak-anak muda itu sebenarnya atas dirinya dan kedua
kawan-kawannya, tetapi terasa untuk memancing perselisihan. Sutawijaya sendiri
menyadari bahwa pakaiannya pasti lebih baik dari pakaian seorang anak yang disebut
kecingkrangan. Meskipun setelah dipakainya selama ini tanpa dicuci telah
dilekati oleh banyak debu dan kotoran serta menjadi kusut. Juga pakaian Agung
Sedayu dan Swandaru adalah pakaian yang meskipun sederhana, tetapi cukup baik.
Tetapi pakaian itu pun telah menjadi kusut.
Sutawijaya sama sekali tidak
menanggapi kata-kata itu. Ia percaya bahwa Agung Sedayu akan bersikap demikian.
Tetapi yang agak dicemaskan adalah Swandaru. Agung Sedayu pun mempunyai
perasaan yang serupa. Ia mengharap di dalam hatinya agar Swandaru dapat sedikit
mengendalikan dirinya.
Namun ternyata Swandaru
bersikap acuh tak acuh. Ia berjalan saja tanpa berpaling.
Ketika mereka bertiga melewati
anak-anak muda itu, dan beberapa langkah membelakangi mereka, terdengar
seolah-olah meledak, suara tertawa mereka tergelak-gelak. Terdengar di antara
suara tertawa itu salah seorang berkata, “Apakah mereka anak-anak Temu Agal,
atau anak Kepuh?”
“Kami belum pernah
melihatnya,” sahut yang lain, “tetapi aku menjadi kasihan melihat sikap mereka,
seperti tikus masuk ke dalam sarang kucing.”
Swandaru dan Agung Sedayu
masih juga mencemaskan sikap Swandaru. Anak muda itu agak mudah tersinggung.
Tetapi ketika mereka berdua berpaling, memandangi wajah Swandaru mereka melihat
anak yang gemuk itu tersenyum, katanya perlahan-lahan, “Aku senang melihat
sikap anak-anak itu.”
“Apa yang kau senangi?”
bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan pula.
“Seperti sebuah pertunjukan
lelucon. Seperti raksasa-raksasa di dalam hutan melihat Raden Arjuna lewat.”
“He, kau sangka kau seperti
Raden Arjuna” potong Sutawijaya.
“Ya, aku seperti Raden Arjuna bersama-sama
dengan punakawannya.”
“Huh” Agung Sedayu menyahut.
“Kaulah yang pantas menjadi Semar.”
Ketiganya tertawa. Tetapi
mereka cukup mengerti, bahwa mereka harus menahan suara tertawanya supaya tidak
menyinggung perasaan anak-anak muda yang masih belum terlampau jauh.
Namun dengan demikian, mereka
mendapat sekedar gambaran tentang anak-anak muda yang dikatakan oleh Astra.
Selain kedua putra-putranya sendiri, Supa dan Bawa, maka anak-anak yang berada
di tepi jalan itu adalah contoh yang cukup baik.
“Pantaslah apabila sering
terjadi perkelahian di sini” desis Sutawijaya. “Apabila gerombolan itu bertemu
dengan gerombolan yang lain, maka kemungkinan timbulnya bentrokan pasti mudah
sekali.”
“Tetapi,” potong Swandaru,
“apabila kekuatan mereka seimbang, maka mereka pasti ragu-ragu untuk mulai.”
Sutawijaya tersenyum. “Ya”
jawabnya.
Ketika kemudian mereka
berpaling, maka anak-anak muda itu telah jauh berada di belakang mereka. Namun
satu-satu mereka masih juga bertemu dengan anak-anak muda yang lain, yang
agaknya sedang berjalan ke gardu itu berkumpul dengan teman-temannya.
Lepas dari desa itu mereka
sampai di sebuah bulak yang pendek. Di seberang bulak itulah terletak induk
Kademangan Prambanan.
Ketika mereka sampai di sebuah
simpangan di tengah-tengah bulak itu, kembali mereka melihat segerombolan
anak-anak muda dari arah yang lain. Anak muda yang bertingkah laku mirip dengan
anak-anak yang bergerombol di samping gardu yang telah mereka lampaui.
Tetapi anak-anak muda ini
bersikap acuh tak acuh saja terhadap Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya,
seperti mereka tidak melihatnya.
Beberapa langkah kemudian
terdengar Swandaru berbisik, “Sikap mereka terhadap kita agak berbeda.”
“Bukan karena mereka
menghormati kita,” sahut Agung Sedayu, “tetapi justru mereka menganggap kita
tidak berarti apa-apa bagi mereka.”
Semakin dekat dengan induk
Kademangan Prambanan, jalan-jalan menjadi bertambah ramai. Anak-anak muda
berjalan bersimpang-siur dalam tingkah laku yang aneh-aneh. Namun ada pula di
antara mereka yang bersikap lain. Bersikap wajar, meskipun mereka juga berada
dalam gerombolan tersendiri.
“Adalah tidak bijaksana, dalam
keadaan seperti ini diadakan keramaian di kademangan ini” gumam Sutawijaya.
“Ya. Terlalu berat akibat yang
dapat terjadi” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin karena mereka
menerima beberapa tamu” desis Swandaru.
Mereka pun kemudian terdiam.
Di kejauhan mereka melihat dari celah-celah dedaunan, sinar obor yang
terang-benderang seperti siang.
“Itulah banjar desa” berkata
Agung Sedayu. “Ternyata tidak terlalu dalam masuk ke induk kademangan.”
Kedua kawan-kawannya tidak
menjawab. Tetapi mereka memperhatikan pula sinar obor yang bertebaran di sebuah
halaman yang cukup luas, sebuah lapangan rumput di muka Banjar Desa Prambanan.
Di halaman itu telah banyak
berkumpul anak-anak muda dan orang-orang di sekitar banjar desa itu. Bukan saja
anak-anak muda, tetapi orang-orang yang setengah baya pun banyak juga yang
duduk-duduk di tepi lapangan kecil itu. Bahkan orang berjualan pun banyak
bertebaran di sana-sini.
Agung Sedayu dan Swandaru
melihat suasana banjar desa itu dengan perasaan yang aneh. Selain di sana-sini
dilihatnya beberapa anak-anak muda dengan tingkah laku yang tidak wajar, maka
keramaian itu sendiri telah membuat suasana yang berlawanan di dalam dada
mereka.
Apa yang selama ini mereka
lihat adalah Banjar Desa Sangkal Putung yang selalu ramai pula. Tetapi banjar
desa itu diramaikan oleh prajurit-prajurit yang memandi senjata, beserta
anak-anak muda Sangkal Putung yang selalu bersiaga menghadapi bahaya. Sedang
kali ini, ia melihat suasana sebuah banjar desa yang jauh dengan Banjar Desa
Sangkal Putung.
Sutawijaya dan kawan-kawannya
kemudian memilih tempat yang agak terlindung oleh bayangan tetumbuhan. Kemudian
duduk sambil melihat-lihat berbagai macam sikap dan tingkah laku anak-anak muda
di sana-sini.
Di pendapa mereka melihat
sederet gamelan dan tikar yang dibentangkan di sisi yang lain, bertentangan
dengan letak gamelan. Di situlah nanti para tamu dan orang-orang penting dari
Prambanan akan duduk menikmati pertunjukan.
Sutawijaya yang sering melihat
keramaian di tempat-tempat yang lebih besar, sama sekali tidak tertarik pada
pertunjukan yang akan dihidangkan. Apalagi apabila kemudian akan dilakukan pula
tarian tayub yang dapat menjadikan suasana menjadi panas. Tetapi yang menarik
perhatiannya adalah keadaan dan suasana pada saat itu. Hampir tidak sabar ia
menunggu para tamu, para pemimpin kademangan dan mungkin juga para pemimpin
prajurit Pajang yang berada di Prambanan, meskipun hanya satu atau dua orang.
Sejenak kemudian, gamelan
telah mulai dibunyikan. Beberapa orang yang berdiri bertebaran mulai merayap
maju mendekati pendapa banjar desa.
Sutawijaya dan kedua kawannya
belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih duduk-duduk sambil melepaskan lelah
setelah mereka berjalan hampir sehari penuh melampaui hutan, gerumbul-gerumbul
liar dan semak-semak ilalang.
Baru ketika beberapa orang
keluar dari pinggiran banjar desa, Sutawijaya mengangkat wajahnya. Katanya
berlahan-lahan, “Itulah mereka.”
Tetapi mereka tidak dapat
melihat wajah-wajah orang-orang yang keluar dari pringgitan dan duduk di atas
tikar pandan yang telah terbentang di pendapa. Tetapi menilik pakaian mereka,
segera Sutawijaya dapat mengenal, bahwa di antara mereka ada dua orang prajurit
Pajang.
“Itulah mereka” desisnya. “Dua
orang itu pasti prajurit Pajang.”
“Ya” sahut Agung Sedayu dan
Swandaru hampir bersamaan. Pakaian itu mirip dengan pakaian Untara dan Widura
apabila mereka mengenakan pakaian resmi mereka. Pakaian kebesaran mereka
sebagai prajurit Wira Tamtama Pajang.
“Mari kita mendekat. Aku ingin
melihat wajahnya. Mungkin aku mengenalnya” ajak Sutawijaya.
Mereka pun kemudian berdiri.
Perlahan-lahan mereka maju di antara para penonton yang lain. Mereka selalu
berhati-hati supaya tidak menyingung perasaan anak-anak muda yang bertingkah
laku kurang pada tempatnya itu.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat berdiri di sisi pendapa, maka segera dapat melihat siapa yang duduk di
atas tikar di pendapa itu. Selain dua orang prajurit itu, masih ada beberapa
orang yang tampaknya mendapat kehormatan di antara mereka. Mereka adalah tiga
orang anak-anak muda, meskipun agak lebih tua sedikit dari Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya.
Segera mereka dapat menebak,
bahwa ketiga anak-anak muda itulah yang dimaksud oleh Astra, tamu dari bukit
Menoreh. Utusan pribadi Kepala Daerah Perdikan Menoreh.
Di belakang para tamu itu
duduk beberapa orang pemimpin Kademangan Prambanan, di antaranya beberapa orang
anak-anak muda yang berpakaian rapi dan baik.
Sutawijaya ingin mendapat
beberapa penjelasan tentang orang-orang itu, tetapi tak ada orang tempat
bertanya. Ia tidak dapat bertanya kepada siapa orang yang ada di sekitarnya,
sebab dengan demikian akan menimbulkan kecurigaan dan mungkin hal-hal yang
tidak dikehendakinya. Karena itu, maka Sutawijaya itu pun untuk sejenak berdiam
diri sambil mencoba mengamati wajah-wajah mereka lebih seksama.
Kemudian digamitnya kedua
kawannya sambil berbisik, “Aku telah mengenal kedua prajurit itu. Mereka adalah
Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka bukan orang yang cukup penting, mungkin
karena keadaan Prambanan telah cukup baik, sehingga orang-orang itulah yang
ditinggalkannya di sini.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu berkata,
“Keadaan Prambanan saat ini justru sangat berbahaya. Bukan karena sisa-sisa
laskar Tohpati, tetapi karena keadaan kademangan ini sendiri.”
“Kau benar, tetapi aku kira,
pimpinan pemerintahan di Pajang belum mendengar persoalan ini. Banyak persoalan
yang tidak segera diketahui oleh atasan atau bawahan, sesuai dengan salurannya.
Coba, apa katamu tentang orang-orang Menoreh itu? Apakah menurut dugaanmu
mereka telah mendengar keadaan Sidanti?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya, “Aku kira belum” jawabnya. “Apabila sudah, ia tidak akan duduk
begitu rapat dan ramah dengan kedua prajurit Pajang itu.”
“Kau benar” sahut Sutawijaya.
“Ternyata para prajurit Pajang itu pun pasti belum mendengar pula. Sebab
menilik sikap mereka, maka mereka pun sangat rapat dan ramah pula menanggapi
tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Mereka bertiga pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sesaat kemudian mereka pun berpaling ketika
mereka mendengar seseorang menyapa beberapa orang kawannya yang berdiri di
belakang Sutawijaya. “Mari Kakang, kawan-kawan ada di sebelah gerbang.”
Kawan-kawannya yang berdiri di
belakang Sutawijaya berpaling. Di samping mereka berdiri seorang pemuda
bertubuh tinggi kekar. Berkumis melintang dan berjambang panjang.
Sutawijaya dan kawan-kawannya
melihat perbedaan sikap di antara mereka. Anak-anak muda yang mengajak
anak-anak yang berdiri di belakang mereka yang bertubuh tinggi kekar itu,
agaknya adalah anak-anak muda yang sedang dijangkiti penyakit aneh-aneh, sedang
mereka yang disapanya tampaknya agak lebih tenang dan dewasa.
Sementara itu Sutawijaya
mendengar anak-anak muda yang berdiri di belakangnya menjawab, “Kami di sini
saja. Kami akan menonton pertunjukan di pendapa.”
Anak muda yang menyapanya
tertawa, “Kami pun akan menonton, Kakang.”
“Baik, silahkan.”
Anak muda yang pertama tertawa
terbahak-bahak sehingga beberapa orang berpaling kepadanya, tetapi anak muda
itu sama sekali tidak memperdulikannya.
“Kalian adalah anak-anak
malaikat” katanya sambil tertawa.
Anak-anak muda yang sejak
semula berdiri di belakang Sutawijaya tidak menjawab. Kini perhatian mereka
telah mereka arahkan kembali ke pendapa banjar desa.
“Kami akan mendapat kesempatan
bertemu dengan tamu-tamu dari Menoreh, Kakang” berkata anak muda berkumis
melintang dan berjambang panjang itu.
“Silahkan. Silahkan” sahut
yang berdiri yang berdiri di belakang Sutawijaya..
Kembali anak muda itu tertawa.
Kemudian katanya, “Kami telah berusaha untuk menyenangkan hati tamu-tamu kita.
Aku telah menghubungi beberapa orang gadis yang akan menemani kita nanti
menemui tamu-tamu kita. Dan gadis-gadis itu pun menjadi bergembira pula.”
Sutawijaya melihat beberapa
orang pemuda itu terkejut. Tetapi sesat kemudian salah seorang dari mereka
menjawab, “Silahkan, Adi.”
“Kakang tidak ikut bergembira
bersama kami? Anak-anak muda dari Sembojan kali ini mendapat kesempatan terbaik
dibanding dengan anak-anak muda dari pedesaan yang lain, di samping anak-anak
induk kademangan ini sendiri.”
“Bagus, tetapi kami tidak ikut
dengan kalian.”
Kembali anak muda itu tertawa
terbahak-bahak. Kembali beberapa orang berpaling memandangnya. Tetapi anak muda
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan ketika ia melangkah pergi pun
suara tertawanya masih terdengar mengumandang.
Ketika anak muda itu telah
pergi, maka Sutawijaya mendengar anak-anak yang berdiri di belakannya bergumam,
“Anak itu sangat menyedihkan tetua padesaan kami.”
“Memalukan dan pasti akan
menimbulkan persoalan dengan anak-anak muda dari padesan yang lain.”
Belum lagi mereka berhenti
berbicara, maka mereka telah melihat dua orang pemuda yang lain dengan tingkah
laku yang memuakkan menyuruk di antara penonton. Salah seorang dari mereka
berkata, “Di mana?”
“Aku mendengar suara
tertawanya. Di sini.”
“Siapa?”
“Anak Sembojan.”
“Anak itu pasti Bunar. Anak
yang tinggi berkumis melintang. Hem. Kalau anak itu belum dihajar, ia pasti
masih saja merasa pahlawan di antara kawan-kawannya. Anak-anak Sembojan harus
menyadari bahwa anak-anak Telaga Kembar mampu mengatasi mereka.”
Sutawijaya dan kawan-kawannya
menjadi berdebar-debar. Mereka tahu betul, bahwa di belakangnya masih berdiri
anak-anak Sembojan yang menolak diajak oleh anak muda yang tinggi kekar itu.
Kalau anak-anak itu menjadi marah mendengar tantangan itu, maka akibanya memang
tidak baik. Tetapi ternyata anak-anak muda di belakang Sutawijaya itu
seakan-akan tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak muda Telaga
Kembar itu.
Ketika anak-anak muda itu
pergi, Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tidak mereka sengaja mereka
bertiga bersama-sama berdesah.
“Lucu” bisik Sutawijaya.
“Apakah Sembojan dan Telaga Kembar itu keduanya termasuk Kademangan Prambanan?
Kalau demikian, Prambanan memang sedang mengalami bencana. Lalu apakah kerja
prajurit-prajurit Pajang itu di sini?”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menyahut. Pertanyaan itu berputar pula di dalam kepalanya. Alangkah jauh
bedanya dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Dari ujung Kademangan yang satu
sampai ujung kademangan yang lain, semuanya dapat dikendalikannya dalam satu
perjuangan menahan arus laskar Tohpati.
“Tetapi,” berkata Swandaru di
dalam hatinya, “apabila bahaya itu telah berlalu, apakah anak-anak muda Sangkal
Putung akan mengalami nasib seperti Prambanan?”
“Beruntunglah aku melihat
kejadian ini” gumamnya pula dalam hatinya. “Aku mendapat pelajaran yang sangat
berharga sehingga aku akan dapat memperhitungkannya kelak. Mudah-mudahan aku
akan dapat mencegahnya keadaan serupa ini.”
Dalam pada tiu terdengar Agung
Sedayu berkata perlahan-lahan, “Tetapi di antara mereka masih ada juga yang
menyadari keadaan. Anak-anak muda di belakang kita itu agaknya bersikap lain
dengan kawan-kawannya.”
Sutawijaya dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar Sutawijaya berkata, “Kita menunggu
kesempatan. Aku ingin bertanya beberapa hal kepada mereka.”
“Tetapi hati-hatilah” sahut
Swandaru.
“Tentu. Jangan-jangan kita
disangkanya anak-anak muda dari kademangan lain yang akan mengganggu mereka
pula.”
Ketiganya kemudian terdiam.
Suara gamelan di pendapa telah mulai memenuhi udara. Di atas tikar pandan,
mereka melihat para tamu bergurau dan bergembira.
Sutawijaya dan kedua kawannya
masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-kali mereka berpaling dan anak-anak
muda Sembojan itu pun masih juga berdiri tenang-tenang.
Sedikit demi sedikit
Sutawijaya dan kawan-kawannya kemudian beringsut surut mendekati anak-anak
Sembojan itu tanpa menimbulkan perhatian sama sekali. Ketika mereka sudah
berdiri di samping anak-anak Sembojan maka kembali mereka berdiam diri. Tetapi
meskipun mereka memandangi orang-orang yang berada di atas pendapa, para tamu,
prajurit-prajurit Pajang, para pemimpin kademangan, dan para penabuh gamelan,
namun perhatian mereka sama sekali tidak tertuju ke sana.
Sejenak kemudian pertunjukan
pun dimulai. Sebuah tarian tunggal, petikan dari cerita Panji dan Kirana pada
masa kerajaan-kerajaan Jenggala.
Terdengar para penonton
bersorak. Tetapi suara mereka tenggelam dalam suara hiruk-pikuk anak-anak muda
yang berteriak tidak menentu.
Sutawijaya dan kedua kawannya
heran mendengar suara hiruk-pikuk itu. Namun suara itu pun kemudian mereda dan
akhirnya lenyap pula. Yang terdengar kemudian adalah suara gamelan yang
memenuhi halaman.
“Kenapa mereka
berteriak-teriak?” berbisik Sutawijaya tanpa sesadarnya.
“Entahlah” sahut Agung Sedayu
dan Swandaru hampir bersamaan.
Mereka kemudian terdiam ketika
mereka meyadari bahwa pemuda-pemuda Sembojan yang berdiri di samping mereka itu
memperhatikannya. Bahkan terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah
kalian heran mendengar hiruk-pikuk itu?”
Ketiga anak muda itu terdiam
sesaat. Mereka menjadi ragu untuk menjawab. Namun karena mereka tidak segera
menjawab terdengar kembali pertanyaan itu, “Apakah kalian heran?”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Mereka mengharap Sutawijaya yang mereka
anggap tertua di antara mereka untuk menjawabnya.
Sutawijaya pun sebenarnya
masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja.
Sehingga akhirnya terpaksa ia menjawab, “Ya, Ki Sanak. Aku menjadi heran
mendengar suara-suara itu.”
Anak Sembojan itu tidak segera
menyahut. Bahkan salah seorang dari mereka melangkah mendekat sambil
mengamat-amati wajah Sutawijaya. Ia bertanya, “Dari manakah kalian?”
Agaknya anak muda dari
Sembojan itu agak disilaukan oleh sinar obor yang memancar dari pendapa, sedang
Sutawijaya agak terlindung oleh bayangan orang-orang yang berdiri di mukanya.
Kembali Sutawijaya menjadi
ragu-ragu. Tetapi kembali ia terdesak dalam suatu keadaan, bahwa ia harus
menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, “Kami datang dari Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung,” anak muda
itu mengulangi, “aku pernah mendengar nama padesan itu. Apakah Sangkal Putung
juga sebuah kademangan?”
“Ya” jawab Sutawijaya.
“Sangkal Putung adalah sebuah kademangan di seberang hutan di sebelah timur
Prambanan.”
“Oh. Kalian datang dari jauh.
Di manakah kalian bermalam di sini?”
“Di rumah Paman Astra” sahut
Sutawijaya.
“Oh” Anak-anak Sembojan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Maksudmu Astra yang mempunyai dua orang putra
bernama Supa dan Bawa?”
“Ya” jawab Sutawijaya pula.
Anak-anak muda itu menarik
nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka bertanya kembali, “Kenapa kalian
tidak pergi bersama Supa dan Bawa?”
Pertanyaan itu memang sulit
untuk dijawab. Karena itu kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
“Bukankah Supa dan Bawa hadir
juga di halaman ini?”
“Ya” sahut Sutawijaya. “Tetapi
kami tidak dapat datang bersama mereka.”
Anak-anak muda Sembojan itu
mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Kini mereka mencoba
mengikuti setiap gerak penari di pendapa banjar desa. Tetapi kemudian
Sutawijayalah yang bertanya, “Ki Sanak, apakah pertunjukan semacam ini sering
dilakukan di Prambanan?”
Salah seorang dari anak-anak
Sembojan itu menjawab, “Tidak terlalu sering. Tetapi sekali-kali diadakan juga.
Kali ini kademangan kami mendapat tamu dari bukit Menoreh, yang seterusnya akan
pergi ke lereng Gunung Merapi, menemui putera Kepala Daerah Perdikan Menoreh
yang berguru pada seorang guru yang sakti tiada taranya, yang bernama Sidanti.”
“Apakah keramaian ini
diselenggarakan untuk menghormatinya?”
“Ya, sebagian.”
“Orang-orang kami sendiri
memang senang sekali mengadakan keramaian.”
Sutawijaya terdiam sejenak.
Keinginannya untuk mengetahui beberapa hal mengenai Kademangan ini semakin
mendesaknya. Tetapi ia masih mencoba untuk menahan diri menunggu kesempatan
yang sebaik-baiknya.
Pertunjukan itu pun berjalan
terus. Penari di atas pendapa banjar desa masih menari dengan baiknya.
Menarikan tari tunggal.
Dalam pada itu terdengar
Sutawijaya bertanya kepada anak muda Sembojan yang berdiri di sampingnya,
“Apakah keramaian semacam ini tidak menimbulkan kecemasan pada para pemimpin
kademangan ini?”
Anak muda Sembojan itu
berpaling. Kini anak muda itulah yang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi
ketika beberapa saat ia masih berdiam diri, terdengar seorang yang agak lebih
tua dari padanya berkata, “Apakah kau menjadi cemas? Apakah yang kau cemaskan?”
Sutawijaya heran mendengar
pertanyaan itu. Ia yakin bahwa anak-anak muda Sembojan itu tahu benar yang
dimaksudkannya. Tetapi mereka masih bertanya, apakah yang dicemaskan. Namun
akhirnya terasa oleh Sutawijaya, bahwa pertanyaan itu adalah sekedar pelepasan
perasaan yang menekan anak-anak muda Sembojan itu. Maka jawab Sutawijaya,
“Banyak yang dapat aku cemaskan Ki Sanak. Terutama anak-anak muda yang berada
di halaman ini.”
Anak-anak muda Sembojan itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya mereka tertarik benar kepada
Sutawijaya dan kedua kawannya sehingga salah seorang dari mereka bertanya,
“Siapakah nama-nama kalian?”
“Namaku Sutajia” jawab
Sutawijaya. “Kedua ini adalah adik sepupuku. Yang ini Agung Sedayu dan yang
gemuk bernama Swandaru.”
Anak-anak Sembojan itu
menganguk-anggukkan kepalanya. Mereka tertegun ketika mendengar Sutawijaya
bertanya, “Dan siapakah nama-nama kalian?”
Anak muda yang nampaknya
tertua di antara mereka menjawab, “Namaku Haspada.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia tidak menanyakan nama anak-anak muda
yang lain. Satu di antara mereka telah cukup baginya, meskipun mungkin ia masih
memerlukan nama yang lain.
“Apakah Kakang Haspada berasal
dari Sembojan?” bertanya Sutawijaya kemudian.
Anak muda yang bernama Haspada
itu memandangnya sejenak, kemudian dijawabnya, “Ya, kenapa?”
“Bukankah anak muda yang
mengajak Kakang tadi juga berasal dari Sembojan?”
Haspada mengerutkan keningnya.
Katanya, “Ya, ya. Anak muda yang tinggi berkumis?”
“Ya.”
“Ya. Ia anak Sembojan pula.
Namanya Bunar. Kenapa?”
“Kenapa Kakang tidak ikut
bersama kawan-kawan anak-anak Sembojan yang lain?”
Haspada mengerutkan keningnya
pula. Ditatapnya wajah Sutawijaya lebih tajam lagi. Kemudian dijawabnya, “Kau
mendengar percakapan kami?”
“Ya, kami mendengar percakapan
kalian. Kami juga mendengar percakapan anak-anak Telaga Kembar.”
“Pantas kalian menjadi cemas.
Memang kami pun menjadi cemas seperti kalian. Sebenarnyalah setiap kali ada
keramaian maka setiap kali kami menjadi cemas.”
“Kenapa keramaian ini diadakan
juga?”
“Keramaian adalah kegemaran
anak-anak muda dan orang-orang tua di kademangan ini meskipun bagi kami sangat
mencemaskan. Tetapi mereka menganggap bahwa keramaian semacam ini akan memberi
gairah kerja kepada mereka. Keramaian ini dapat memberikan kegembiraan dan
pertanda bahwa kademangan kami adalah kademangan yang hidup.”
“Hidup dalam kecemasan adalah
tidak menyenangkan” sahut Sutawijaya.
“Memang demikian buat sebagian
orang. Tetapi sebagian orang yang lain menyenangi cara hidup yang demikian
itu.”
“Aku kira Kakang tidak senang
dengan cara itu?”
Haspada terkejut. Dengan
serta-merta ia bertanya, “Kenapa? Kenapa kau tahu aku tidak menyenanginya?”
“Kakang tidak berada di antara
mereka. Di antara anak-anak muda semacam Bunar.”
Haspada mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mulai tertarik pada anak muda Sangkal Putung itu. Meskipun kedua
kawan-kawannya yang lain tidak ikut dalam pembicaraan itu, namun wajah-wajah
mereka menunjukkan, bahwa hati mereka tersentuh oleh kata-katanya.
Tiba-tiba mereka terkejut
ketika mendengar suara riuh di antara para penonton. Kembali terdengar
anak-anak muda berteriak-teriak tak menentu. Ketika mereka mengangkat
wajah-wajah mereka, maka penari di pendapa banjar desa telah tidak lagi menari.
Penari itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya kepada para tamu. Sejenak
kemudian penari itu pun meninggalkan pendapa masuk ke dalam.
Suara yang gemuruh terdengar
dari segenap sudut halaman. Suara itu sama sekali bukan bernada kekaguman atau
kebanggaan atas penari yang baru saja menari. Tetapi suara itu asal saja
melontar berebut keras. Bahkan kadang-kadang terdengar ucapan-ucapan yang
kurang menyenangkan dari antara mereka.
Demikianlah kemudian
berlangsung pertunjukan demi pertunjukan. Dan demikian pula suara sorak gemuruh
yang menyertainya sahut-menyahut, semakin lama semakin memekakkan telinga, dan
bahkan semakin lama semakin menggelitik perasaan. Dan malam pun semakin lama
semakin dalam.
“Bukan main” gumam Sutawijaya.
“Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman ini.”
“Aku menjadi ngeri,” sahut
Agung Sedayu, “seperti berdiri di tengah-tengah sungai yang sebentar lagi akan
banjir.”
Swandaru tersenyum. Katanya,
“Kenapa kau tidak menepi?”
Kedua kawannya pun tersenyum
pula. Sutawijayalah yang menjawab, “Di arus air banjir kita akan banyak
mendapat ikan. Bukankah begitu?”
Keduanya terdiam ketika
Haspada bertanya, “Apakah kalian senang melihat suasana ini?”
“Lucu sekali,” sahut
Sutawijaya, “aku tidak pernah menjumpai suasana ini di Sangkal Putung.”
“Aku anak Sembojan sejak lahir
pun merasakan keganjilan itu. Apalagi kalian. Mudah-mudahan suasana ini tidak
meningkat. Tetapi adalah kesalahan orang-orang tua juga apabila mereka nanti
menutup acara dengan tayuban. Suasana segera akan meningkat menjadi panas.
Dalam keadaan yang demikian itu akan dapat banyak terjadi hal-hal yang lebih
ganjil lagi. Mudah-mudahan orang-orang tua menyadarinya, sehingga mereka tidak
menyelenggarakan tayuban. Tetapi harapan itu sangat tipis. Orang-orang tua kita
sebagian telah mabuk pula.”
Suara anak muda itu terputus
ketika tiba-tiba suara gamelan seolah-olah memekik tinggi dan meluncurlah irama
yang mulai menjadi hangat.
Tanpa disengaja Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru serentak berpaling ke arah Haspada, yang wajahnya
tiba-tiba berkerut-merut.
“Gila,” geramnya, “kalau
anak-anak muda di Prambanan ini menjadi liar, sebagian adalah kesalahan
orang-orang tua pula.”
“Apakah yang akan datang?”
bertanya Agung Sedayu. “Irama terlampau panas.”
“Tayub. Tayub. Kalian akan
melihat beberapa orang perempuan penari naik ke atas pendapa itu. Mereka akan
menari semakin lama semakin panas. Satu-persatu para tamu akan berdiri dan ikut
menari. Tetapi apabila mereka telah dicengkam oleh mabuk tuak, maka mereka
tidak akan sabar menunggu giliran mereka. Mereka akan berebut dahulu dan
kadang-kadang mereka tidak lagi memperdulikan orang lain. Dengan demikian
kalian akan melihat pertunjukan yang gila di atas pendapa itu. Sedang kegilaan
yang serupa akan terjadi pula di halaman ini” berkata Haspada dengan nada yang
aneh, terasa getaran dadanya terlontar pada kata-katanya. Betapa muaknya ia
melihat peristiwa itu.
“Lebih baik kalian
meninggalkan halaman ini” katanya kepada Sutawijaya dan kedua kawannya.
“Apakah kalian juga akan
pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak sampai hati
meninggalkan mereka dalam keadaan yang gila ini. Meskipun hatiku sakit, tetapi
aku merasa wajib untuk tetap berada di sini. Mungkin aku dapat melihat sesuatu
yang perlu dicegah. Aku tidak peduli seandainya anka-anak muda itu saling mencekik
di antara mereka. Bahkan di antara mereka para tamu dan prajurit-prajurit
Pajang itu. Tetapi aku ingin mencegah korban yang tidak pada tempatnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang
ditanyakan kepada Paman Astra tetapi belum mendapat jawaban, “Apakah
prajurit-prajurit Pajang itu tidak akan berbuat sesuatu seandainya timbul
hal-hal yang tidak diinginkan?”
“Jumlah mereka terlampau
sedikit.”
“Berapa?”
“Tidak lebih dari sepuluh
orang.”
“Jumlah itu sudah cukup”
tiba-tiba Sutawijaya memotong kata-kata Haspada sehingga anak Sembojan itu
menjadi heran.
“Oh” Sutawijaya menyadari
dirinya, bahwa kini ia adalah anak Sangkal Putung, sehingga cepat-cepat ia
memperbaiki kata-katanya .
“Maksudku, apakah sepuluh orang
prajurit itu tidak mampu mencegah kerusuhan yang dapat terjadi?”
“Mereka tidak sempat
melakukannya.”
“Kenapa?”
“Lihatlah” berkata Haspada
sambil menunjuk ke atas pendapa.
Dada Sutawijaya berdesir
ketika ia melihat kedua orang prajurit yang duduk di pendapa mewakili
kawan-kawannya itu dengan tertawa-tawa sedang menghirup tuak. Kemudian mengisi
mangkuknya kembali dan sekali lagi mangkuk itu dikosongkannya.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan, apakah yang sebenarnya terjadi di
Kademangan ini. Ternyata beberapa orang prajurit Pajang yang ditinggalkan di
daerah ini sama sekali tidak mampu melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah
terseret oleh arus yang melanda anak-anak muda di Kademangan Prambanan. Tuak,
mabuk dan kemudian tayub.
Dan mereka tidak perlu
menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian maka para tamu, para pemimpin
Kademangan Prambanan, dan para prajurit itu pun telah menjadi mabuk. Satu demi
satu mereka berdiri dan menari-nari tanpa ujung pangkal. Sekali-sekali orang
berikutnya tidak sabar lagi menunggu dan dengan serta-merta menarik sampur yang
masih dipergunakan oleh orang lain. Sehingga akhirnya, mereka tidak lagi saling
menunggu. Berebutan mereka berdiri dan berebutan mereka menari.
Alangkah memuakkan. Ternyata
rombongan penari-penari itu pun telah biasa melayani keadaan serupa itu. Ketika
para tamu tidak lagi dapat menunggu gilirannya menerima sampur, maka
bermunculan beberapa orang penari naik ke pendapa itu pula. Penari-penari
perempuan dengan solahnya masing-masing. Dan lagu yang megiringinya pun menjadi
semakin panas, semakin panas. Gendang yang memimpin irama gamelan menjadi
semakin keras dan cepat, sehingga pendapa itu kini benar-benar telah menjadi
hiruk-pikuk, tanpa dapat dikendalikan.
“Apakah kalian tidak
meninggalkan halaman ini saja, Ki Sanak” bertanya Haspada kepada Sutawijaya.
“Kenapa?”
“Kalian belum dikenal di sini.
Mungkin hal-hal yang tidak menyenangkan dapat terjadi. Kami, meskipun tidak
berada di dalam lingkungan anak-anak Sembojan, tetapi setiap anak muda, hampir
telah mengenal, sehingga kemungkinan untuk diperlakukan kurang wajar adalah
tipis sekali. Mereka tahu, siapakah Haspada selama Prambanan dalam bahaya
karena orang-orang Jipang beberapa saat berselang. Dan mereka tidak
melupakannya sampai kini.”
“Terima kasih atas peringatan
itu” sahut Sutawijaya. “Tetapi kami ingin melihat apa yang terjadi. Mungkin
kami dapat bersembunyi di belakang kalian.”
“Selama aku dapat berbuat
sesuatu, akan berbuat. Tetapi dalam keadaan yang ribut, mungkin aku tidak lagi
sempat berbuat sesuatu.”
“Terima kasih. Tetapi maaf,
kami ingin melihat keadaan ini sampai selesai. Mungkin kami dapat bersembunyi
di dalam semak-semak di sebelah.”
“Bersembunyilah”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru kemudian beringsut dari tempatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak
bersembunyi. Mereka hanya berlindung di tempat yang cukup gelap sambil melihat
apa yang akan terjadi. Namun mereka menjadi heran ketika mereka sudah tidak
melihat lagi orang-orang yang tadi berjualan memenuhi halaman. Agaknya mereka
sudah terlalu biasa melihat keadaan serupa, sehingga mereka telah dapat
memperhitungkan keadaan dengan baik.
Dari tempat mereka, Sutawijaya
dan kawan-kawannya dapat melihat sebagian besar dari halaman dan pendapa banjar
desa. Mereka dapat melihat orang-orang di pendapa menari-nari seperti mereka
sudah tidak sadar lagi akan diri mereka, di antara para penari tayub. Dan
ledek-ledek itu pun menari lebih hangat lagi meskipun malam menjadi semakin
dingin.
“Hem,” gumam Sutawijaya,
“inilah puncak dari keramaian yang hebat ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru
belum pernah melihat keramaian yang berakhir seperti ini. Sehingga sejenak
mereka berdiri seolah-olah membeku.
“Apakah kalian menjadi heran?”
bertanya Sutawijaya.
“Bukan main” gumam Agung
Sedayu. “Apakah orang-orang yang berada di pendapa itu tidak malu?”
“Kepada siapa mereka harus
malu?” bertanya Sutawijaya.
“Kepada para penonton di
halaman itu.”
“Para penonton yang mana ?”
Ketika Agung Sedayu dan
Swandaru memperhatikan setiap orang di halaman itu, maka dadanya menjadi
semakin berdebar-debar. Hampir tak seorang pun lagi memperhatikan orang-orang
yang berada di pendapa itu. Irama yang panas dari suara gamelan di pendapa
telah membawa para penonton di halaman menjadi panas pula. Mereka pun
menari-nari di antara mereka, dan yang mendirikan bulu roma ketiga anak-anak
muda dari Sangkal Putung itu adalah, bahwa di antara mereka yang berada di
halaman terdapat gadis-gadis.
“Gila” desis Swandaru. “Kalau
gadis-gadis itu adik-adikku, aku cekik lehernya sampai mampus.”
“Aneh” sahut Agung Sedayu.
Kemudian sejenak mereka
terpesona oleh hiruk-pikuk yang aneh itu. Halaman banjar desa itu benar-benar
seperti sebuah danau yang dilanda angin pusaran. Bergejolak tidak menentu.
Anak-anak muda di halaman itu
pun mengalir ke segenap arah, berpapasan satu sama lain sambil menari-nari.
Bergandeng-gandengan tangan dan dorong-mendorong.
Tiba-tiba Sutawijaya dan kedua
kawannya terkejut ketika mereka mendengar suara yang kacau di sudut halaman.
Kemudian terdengar teriakan tinggi.
“Apa itu?” desis Swandaru.
Ketiganya mengangkat
wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat halaman itu menjadi rebut
karena teriakan itu. Mereka yang sedang gila masih juga gila menari-nari. Dan
agak di kegelapan Sutawijaya masih juga melihat Haspada berdiri saja di
tempatnya bersama empat orang temannya.
Terdengar Sutawijaya berkata,
“Mereka sama sekali tidak memperdulikannya” bisik Sutawijaya.
“Agaknya perkelahian semacam
itu sudah terlampau biasa dalam keadaan serupa ini. Sehingga bukan merupakan
hal yang menarik perhatian lagi” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun
mereda dengan sendirinya.
Tetapi sejenak kemudian mereka
dikejutkan oleh suara langkah orang berlari-lari. Sejenak kemudian mereka
melihat beberapa anak-anak muda berlari lewat di hadapan mereka. Namun karena
mereka amat tergesa-gesa sehingga mereka tidak memperhatikan ketiga anak-anak
muda yang berlindung di dalam gelap itu. Namun dari mereka yang berlari-lari
itu Sutawijaya dengan kawan-kawannya mendengar mereka berkata perlahan-lahan,
“Huh, gila. Beberapa orang prajurit Pajang memihak mereka.”
“Ya. Kalau saja anak-anak
Sembojan itu dibiarkan, maka mereka akan dapat kami tundukkan malam ini” sahut
yang lain.
Ketika anak-anak itu merasa
bahwa tak seorang pun mengejar-ngejar mereka, maka mereka berhenti hanya
beberapa langkah daripada ketiga anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung
itu. Tetapi yang segera mereka lihat, bukanlah Sutawijaya dan kawan-kawannya
namun yang pertama-tama menarik perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda
yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
“He, apakah mereka anak-anak
Sembojan?” terdengar salah seorang dari mereka berdesis.
“Ya.”
“Kenapa tidak berada di dalam
lingkungan kawan-kawannya?”
“Entahlah.”
“Mereka terlampau sombong.
Marilah kita ambil kelima anak-anak itu.”
“Untuk apa?”
“Kita akan melepaskan kalau
anak-anak Sembojan mengakui kemenangan kita.”
Terdengar beberapa orang dari
mereka tertawa. Kemudian salah seorang berkata lagi. “Satu orang pergi kepada
mereka. Pancing mereka kemari.”
“Sulit” sahut yang lain. “Kita
datang bersama-sama selagi kawan-kawan mereka berada di sisi yang lain dari
pendapa ini.”
“Di sebelah itu adalah
anak-anak dari induk kademangan.”
“Mereka tidak akan turut
campur, kecuali kalau kita berbuat sesuatu atas anak induk kademangan.”
“Kalau mereka melibatkan diri,
kita harus lari meninggalkan halaman ini. Di manakah sebagian kawan-kawan kita
yang lain.”
“Di belakang banjar desa.
Apabila perlu kita akan memberi mereka tanda.”
“Marilah” terdengar keputusan
jatuh.
Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Apakah yang akan mereka lakukan atas
Haspada dan keempat kawan-kawannya.
Dengan cemas Sutawijaya
melihat anak-anak itu perlahan-lahan mendekati Haspada. Beberapa langkah
daripadanya beberapa anak-anak muda itu berhenti.
Sutawijaya yang ingin melihat
apa yang terjadi, segera beringsut mendekati, diikuti oleh Agung Sedayu dan
Swandaru.
Haspada yang berdiri diam di
tempatnya, hampir-hampir tidak menyangka sama sekali, bahwa anak-anak Tlaga
Kembar sedang mendekatinya. Mereka masih berdiri memperhatikan orang-orang yang
berada di pendapa banjar desa, yang kini telah menjadi seperti sebuah
pertunjukan liar. Bahkan satu dua orang telah tidak ada lagi di pendapa itu.
Merayap-rayap ke tempat-tempat yang lain.
Haspada dan kawan-kawannya itu
terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat anak-anak Tlaga Kembar itu mengepungnya.
Terdengar salah seorang anak muda Tlaga Kembar itu berkata, “Jangan ribut.
Kalian ikut kami ke Tlaga Kembar.”
Kelima anak-anak muda Sembojan
itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar Haspada menjawab, “Apakah
kepentinganmu dengan aku, Dadi?”
Anak muda Tlaga Kembar yang
bernama Dadi tiba-tiba terkejut. Diamatinya wajah Haspada dengan seksama, lalu
katanya, “Kau. Haspada?”
“Ya. Aku. Kenapa? Apakah kau
sedang mencari anak-anak Sembojan?”
“Ya. Ya” sahut Dadi tergagap.
“Aku juga anak Sembojan.”
“Tetapi bukan kau, Haspada.”
“Kenapa?”
“Kenapa kau berada di tempat
ini?” bertanya Dadi, anak Tlaga Kembar itu.
“Pertanyaanmu aneh. Bukankah
kau juga berada di tempat ini?”
Dadi menjadi bingung. Ketika
ia memandang berkeliling, ia pun melihat kawan-kawannya menjadi bingung pula.
Haspadalah yang berkata, “Apa kepentinganmu dengan anak-anak Sembojan?”
Dadi tidak menjawab lain
daripada mengatakan sebenarnya, “Kami berkelahi.”
“Bagus. Aku sudah menyangka
bahwa kalian akan berkelahi. Apakah kalian dikalahkan? Dan kalian akan mencari
korban anak-anak Sembojan yang lain meskipun tidak ikut berkelahi?”
“Tidak Haspada, kami tidak
akan berbuat apa-apa denganmu.”
“Kebetulan yang berdiri di
sini adalah aku. Seandainya keempat kawan-kawanku ini tanpa aku?”
Dadi terdiam. Namun salah
seorang yang lain menjawab terputus-putus, “Anak-anak Sembojan yang lain tidak
jujur, Haspada.”
“Kenapa?”
“Mereka mencari bantuan pada
prajurit-prajurit Pajang.”
“Aku tidak mau tahu. Uruslah
perkara itu sendiri. Berkelahilah kalau kalian ingin berkelahi. Aku pun tidak
akan memihak anak-anak Sembojan yang gila itu, seperti kalian telah menjadi
gila pula. Coba katakan kepada kami, apa yang akan dilakukan oleh Trapsila atas
kalian, apabila ia melihat anak-anak muda Tlaga Kembar berbuat serusuh itu.
Trapsila pasti akan bersikap seperti aku menghadapi anak-anak Sembojan.
Meskipun Trapsila adalah anak Tlaga Kembar, tetapi ia pasti akan muak melihat
kalian berbuat seperti ini.”
Anak-anak Tlaga Kembar itu
terdiam. Trapsila bagi mereka adalah anak muda yang disegani, seperti Haspada
bagi anak-anak Sembojan. Bukan saja bagi anak-anak sedesanya, tetapi bagi
anak-anak muda Prambanan pada umumya. Namun jumlah anak-anak yang demikian itu
sangat sedikit. Mereka adalah anak-anak muda yang berani, yang dengan gigih
telah berjuang melawan orang-orang yang memihak Arya Penangsang, bersama
beberapa orang prajurit Pajang. Tetapi yang kini seolah-olah mereka sama sekali
tidak mendapat tempat lagi di Kademangan Prambanan. Prajurit-prajurit
kawan-kawan mereka telah sebagian besar ditarik kembali ke Pajang. Yang tinggal
adalah prajurit-prajurit yang ternyata dapat dimabukkan oleh tayub dan tuak.
Tiba-tiba anak-anak Tlaga
Kembar itu menjadi gelisah ketika mereka mendengar suara rebut di halaman itu.
Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa anak-anak muda berjalan
tergesa-gesa ke arah mereka. Anak-anak itu adalah anak-anak Sembojan.
“Mereka mengejar kita” desis
Dadi.
“Marilah kita lari” ajak
kawannya yang lain.
“Tinggallah di sini” berkata
Haspada.
“Kita harus berkelahi lagi.
Mereka datang terlampau banyak, dan di antara mereka ada tiga empat orang
prajurit Pajang.”
“Tinggallah di sini. Aku tidak
senang apabila Trapsila mendapat kesan yang jelek atas anak-anak Sembojan,
apalagi aku berada di tempat ini pula. Trapsila adalah sahabatku. Sembojan dan
Tlaga Kembar adalah sama-sama wilayah Kademangan Prambanan.”
Anak-anak Tlaga Kembar itu
tidak menyahut. Meskipun demikian mereka berkisar berdiri di belakang Haspada
dan keempat kawan-kawannya.
Yang datang itu adalah
benar-benar anak-anak Sembojan. Paling depan berdiri Bunar, anak muda yang
tinggi kekar, berkumis melintang. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika ia melihat
Haspada berdiri di antara anak-anak Tlaga Kembar.
“Kakang, kau berada di antara
mereka?” bertanya Bunar. “Atau mereka berusaha menangkap Kakang.”
“Kedua-duanya tidak benar”
sahut Haspada. “Aku menonton keramaian di halaman ini, mereka menonton pula.”
“Tetapi kami berkepentingan
dengan mereka, Kakang” berkata Bunar pula.
Haspada memandang Bunar dengan
wajah yang tegang. Jawabnya, “Tinggalkan mereka Bunar. Jangan ada
persoalan-persoalan yang gila di antara anak-anak muda. Kalian telah membuat
ribut. Lihat ada berapa kelompok pemuda di halaman ini. Mereka pun akan berbuat
gila pula seperti kalian. Dan halaman ini akan kacau. Mungkin ada satu dua
orang yang terluka. Yang luka itu akan menimbulkan dendam di antara kalian.”
“Tetapi mereka mendahului,
Kakang.”
“Tinggalkan mereka. Berbuatlah
gila sesama kalian, tetapi jangan berkelahi.”
Bunar terdiam. Ia tidak berani
membantah lagi. Tetapi dari antara anak-anak Sembojan itu tampil seorang yang
bertubuh raksasa dan berpakaian seorang prajurit. Ia adalah prajurit Pajang.
Haspada menjadi semakin
tegang. Ia menyesal bahwa prajurit-prajurit itu telah berpihak, meskipun
berpihak pada anak-anak muda sepadukuhan dengan dirinya sendiri.
“Haspada,” geram prajurit itu,
“jangan banyak mulut. Biarlah kami menyelesaikan urusan kami dengan anak-anak
Tlaga Kembar itu.”
“Apakah anak-anak Tlaga Kembar
mempunyai urusan dengan kau, Paman?” bertanya Haspada.
Prajurit itu terdiam sejenak.
Tetapi selangkah ia terhuyung ke samping.
“Gila” desis Haspada di dalam
hatinya “Prajurit itu telah menjadi mabuk. Matanya telah meredup dan bibirnya
bergetaran. Sulitlah berbicara dengan orang mabuk.”
Namun kecuali prajurit yang
mabuk itu, tampil seorang lagi yang lebih kecil. Orang itu sama sekali tidak
mabuk karena tuak. Dengan tajamnya ia berkata, “Haspada, jangan kau banggakan
perjuanganmu yang tidak berarti itu. Kau sama sekali belum seorang pahlawan.
Karena itu, kau sebaiknya menyingkir saja sebelum kami kehilangan kesabaran.
Bukankah kau berasal dari Sembojan pula? Kenapa justeru kau berpihak kepada
anak-anak Tlaga Kembar?”
“Apakah aku berpihak?” Haspada
menjawab. “Kalianlah yang berpihak. Apakah bagi Pajang Sembojan dan Tlaga
Kembar itu mempunyai kedudukan yang berbeda? Bagiku tidak, Paman. Tidak. Aku
berdiri di mana saja. Tlaga Kembar, Sembojan, Prambanan. Bahkan kademangan yang
lain pun sama pula bagiku. Semuanya wilayah Pajang.”
Prajurit-prajurit Pajang itu
menjadi semkain marah. Mereka tidak dapat mengingkari kata-kata Haspada, tetapi
mereka juga tidak mau ditundukkan. Haspada hanyalah anak padukuhan Sembojan.
Sedang mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Karena itu, maka prajurit yang
kecil itu membentak, “Jangan banyak mulut! Aku tidak peduli siapakah Haspada.”
Wajah Haspada pun menjadi
merah membara. Namun dadanya menjadi seolah-olah sesak. Ia mencoba mencegah
perkelahian yang timbul di halaman itu, tetapi apakah ia sendiri harus
berkelahi?
Dalam keragu-raguan itu
terdengar prajurit itu berkata lagi, “Ayo. Pergilah Haspada!”
Belum lagi Haspada menjawab,
dari antara para penonton itu telah timbul banyak perhatian, karena di antara
mereka terlibat beberapa orang prajurit. Anak-anak muda berlari-larian
mengerumuninya. Anak-anak muda induk Kademangan Prambanan pun telah berada di
tempat itu pula. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah yang kalian
persoalkan?”
Tak seorang pun yang menjawab.
Anak Sembojan tidak dan anak-anak Tlaga Kembar pun tidak.
“Ya,” tiba-tiba Haspada
seperti tersadar dari mimpinya, “apakah yang sebenarnya kalian persoalkan?”
Juga tak ada jawaban.
Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar masih saja terbungkam. Bahkan
prajurit-prajurit Pajang yang marah itu terdiam pula.
Tiba-tiba sekali lagi mereka
digoncangkan oleh kedatangan dua orang yang belum mereka kenal sebaik-baiknya.
Namun beberapa orang segera menyibak. Beberapa orang di antara mereka telah
mengetahuinya, bahwa kedua orang itu adalah tamu-tamu dari Menoreh.
“Apa yang terjadi?” salah
seorang bertanya.
Juga tak seorang pun menjawab.
“Aku tidak berkepentingan dengan
keributan ini,” katanya pula, “tetapi, manakah janjimu itu?” bertanya tamu itu
kepada Bunar.
Wajah Bunar menjadi merah.
Sejenak ia tidak menjawab seperti juga anak-anak muda yang lain terbungkam.
“Mana, he?”
“Itulah,” jawab Bunar
kemudian, “kami belum dapat mengambilnya dari tangan anak-anak Tlaga Kembar.”
“He?” wajah tamu-tamu itu
menjadi tegang. Sekali mereka berpaling ke pendapa. Dilihatnya seorang kawannya
berdiri di tangga sambil mengawasi mereka.
“Maksudmu?” berkata salah
seorang dari mereka itu pula.
“Anak-anak yang kami janjikan
ternyata dibawa oleh anak-anak muda Tlaga Kembar.”
Kini wajah kedua tamu itu
menjadi merah. Terdengar gigi mereka gemeretak dan berkata tajam. “Kalian tidak
dapat menghormati tamu-tamu kalian. Apakah kalian sengaja membuat kami kecewa?
Buat apa kalian membawa kami melihat anak-anak itu di rumahnya sore tadi.
Ketika kami sudah menjadi mabuk oleh wajahnya, kalian sengaja
menyembunyikannya.”
“Bukan maksud kami” jawab
Bunar. “Kami sedang berusaha untuk mengambilnya. Inilah mereka anak-anak Tlaga
Kembar. Beberapa orang prajurit Pajang bersedia membantu kami.”
Mata tamu-tamu dari bukit
Menoreh itu kini seakan-akan menyala memandangi anak-anak Tlaga Kembar. Salah
seorang dari mereka terdengar menggeram. “Hem. Ternyata kalian sengaja membuat
onar ya.”
“Bukan hanya mereka”
Haspadalah yang menjawab. “Anak-anak Sembojan itu pun sengaja membuat onar
pula.”
Tamu dari Bukit Menoreh itu
tertegun sejenak. Mereka menjadi heran melihat Haspada. Anak ini mempunyai
perbawa yang agak berbeda dengan kawan-kawannya.
Tetapi Haspada itu pun
terkejut ketika dari antara anak-anak muda yang berkerumun terdengar suara,
“Biarkanlah, Kakang. Biarkanlah anak-anak Tlaga Kembar. Sekali-sekali mereka
memang perlu mendapat sedikit pelajaran.”
Semua kepala berpaling ke arah
suara itu. Dan mereka pun segera melihat seorang yang bertubuh agak kecil.
Namun dari matanya memancar kebesaran hatinya.
“Adi Trapsila” desis Haspada.
“Ya. Aku sudah melihat sejak
semula apa yang terjadi” katanya.
Terdengar suara bergeremang di
antara anak-anak muda itu. Anak-anak Tlaga Kembar saling berbisik di antara
mereka, dan anak-anak Sembojan menjadi cemas. Apabila Trapsila dan Haspada
bersama-sama berada di pihak Tlaga Kembar, maka anak-anak induk kademangan
pasti akan terpengaruh. Mereka semuanya telah mengenal siapa Haspada dan siapa
Trapsila.
“Tetapi, Adi, apakah kita akan
membiarkan perkelahian ini terjadi?” bertanya Haspada kemudian.
Trapsila melangkah maju.
Beberapa orang menyingkir, seakan-akan memberi jalan kepada anak muda Tlaga
Kembar yang bernama Trapsila itu.
Trapsila itu pun kemudian
berdiri di antara anak-anak muda yang berkerumun. Antara anak-anak muda
Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar. Berhadap-hadapan dengan Haspada.
Ketika ia berpaling dipandanginya prajurit Pajang yang bertubuh raksasa dan
kawannya yang lebih kecil. Di belakang prajurit itu masih dilihatnya prajurit
Pajang yang lain.
Tiba-tiba hiruk-pikuk si
sekeliling tempat itu menjadi terdiam. Seolah-olah semuanya ingin mendengarkan
Trapsila itu berkata seterusnya. Hanya hiruk-pikuk di atas pendapa masih juga
berlangsung. Mereka sama sekali tidak memperdulikan apa yang terjadi di
halaman, seakan-akan halaman itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun
dengan pendapa banjar desa. Persoalan di halaman adalah persoalan anak-anak
muda atau orang-orang kecil di sekitar banjar desa. Para pemimpin itu sama
sekali tidak mau mengotori tangannya dengan soal-soal yang remeh. Bagi mereka
lebih baik meneruskan menikmati tayub yang semakin menggila daripada soal-soal
yang bagi mereka sama sekali tidak berarti itu.
Bahkan mereka sudah tidak melihat
lagi, bahwa tamu-tamu mereka dari Menoreh sudah tidak ada di antara mereka.
Yang tinggal di pendapa itu hanya seorang saja yang sudah berdiri di tangga.
Dan yang seorang itu pun hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu kedua
kawan-kawannya yang sedang mencari anak-anak Sembojan yang sudah terlanjur
membuat janji dengan mereka.
Haspada pun berdiam diri.
Kemudian anak muda Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
bergumam, “Kau benar, Adi. Persoalan ini adalah persoalan yang memalukan.”
“Persetan!” desis tamu dari
Menoreh. “Kalau kalian tidak akan turut campur menepilah. He, siapa anak-anak
yang merasa dirinya seperti panglima bagi anak-anak Sembojan dan anak-anak
Tlaga Kembar ini?” bertanya kedua tamu itu kemudian kepada prajurit Pajang yang
bertubuh agak kecil.
Dan prajurit itu menjawab,
“Namanya Haspada dan Trapsila.”
“Ya, aku sudah mendengar.
Tetapi apakah kedudukannya?”
“Tidak ada kedudukan apapun
yang dipangkunya.”
“Kenapa ia agaknya disegani?”
Prajurit itu terdiam. Ia tidak
ingin mengatakan bahwa keduanya pernah berjuang dengan gigih melawan sisa-sisa
laskar Arya Jipang bersama beberapa anak-anak muda Sembojan, Tlaga Kembar,
anak-anak muda induk Kademangan Prambanan, dan beberapa lagi dari desa-desa
yang lain, namun jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Kalau ada yang lain,
maka mereka tidak segigih mereka itu.
Ternyata tamu-tamu dari
Menoreh itu merasa tersinggung atas anggapan bahwa persoalan yang mereka hadapi
adalah persoalan yang memalukan, sehingga dengan kasar mereka berkata,
“Sekarang selesaikan persoalan ini. Kalau kedua anak-anak muda ini ingin
mengenal kami, biarlah mereka sekali lagi mengatakan bahwa persoalan yang kami
hadapi adalah persoalan yang memalukan.”
“Merekalah yang memalukan”
sahut prajurit yang bertubuh raksasa itu sambil berdiri terhuyung-huyung.
“Mereka memang harus dihajar lebih dahulu sebelum anak-anak Tlaga Kembar yang
lain.”
Haspada dan Trapsila memang
tidak ingin terjadinya perselisihan, apalagi dalam soal yang mereka anggap
memalukan. Karena itu, maka terdengar Trapsila berkata, “Selesaikanlah urusan
kalian. Kami tidak akan turut campur.”
Anak-anak Tlaga Kembar yang
medengar kata-kata itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak akan dapat melawan
anak-anak Sembojan yang dibantu oleh beberapa orang prajurit dan kini bertambah
lagi dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Karena itu, maka mereka pun bersiap
untuk menghilang di antara mereka yang sedang berkerumun. Mereka harus mencoba
melarikan diri, supaya tubuh mereka tidak babak-belur, dan muka mereka tidak
menjadi bengkak-bengkak.
Namun dalam keadaan yang
demikian itu terdengar salah seorang anak muda dari induk kademangan berkata,
“Tidak adil. Jangan ada prajurit yang ikut campur.”
“Setan!” desis prajurit yang
bertubuh raksasa. “Siapa kau berani mencoba melawan prajurit Pajang.”
Anak muda itu tidak segera
menjawab. Tetapi ia berpaling mencari seseorang. Dan dari antara mereka tampak
sesorang mendesak maju sambil berkata lantang, “Aku. Aku yang berani.”
“Siapa. Siapa, he?” prajurit
yang kecil itu pun menjadi marah sekali. Tetapi kemudian matanya terbelalak
ketika dari antara anak-anak muda induk kademangan itu muncul seseorang yang
masih berteriak lantang, “Akulah orangnya.”