Buku 076
Dengan demikian maka bersama
di dalam satu kelompok dengan Ki Lurah Branjangan, Raden Sutawijaya berusaha
untuk menahan Daksina. Meskipun Raden Sutawijaya sadar, bahwa Daksina memiliki
kemampuan yang lebih baik daripada dirinya sendiri, tetapi seperti yang pernah
di lakukan, Raden Sutawijaya tidak berdiri sendiri.
Di pihak yang lain, senapati
pangapit Panembahan Alit tertahan oleh Ki Argapati yang kini dirangkapi oleh
anak gadisnya, Pandan Wangi, karena Pandan Wangi sadar, bahwa gangguan pada kaki
ayahnya tentu akan segera kambuh lagi jika ia harus bertempur dengan
mengerahkan segenap kemampuannya. Itulah sebabnya maka ia merasa wajib selalu
berada di sampingnya.
Di bagian lain, para pemimpin
Mataram harus menahan serangan lambung yang berusaha memecah perhatian para
pemimpin pasukan Mataram dan Menoreh. Namun ternyata bahwa kekuatan serangan
pada lambung itu sama sekali tidak mampu mengatasi ketangkasan para pengawal
dari Mataram.
Demikian juga di lambung yang
lain. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru mulai melecutkan cambuknya, maka
ternyata bahwa lawan mereka tidak banyak berarti bagi gelar yang kurang
sempurna itu, sehingga serangan lambung di belahan yang terdiri dari
orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu pun tidak banyak memberikan gangguan.
Sementara itu, pasukan yang
berada di bagian belakang dari gelar yang tidak sempurna itu sama sekali tidak
mendapat gangguan apa pun. Ki Demang yang berada di bagian belakang,
benar-benar merupakan tenaga cadangan yang setiap saat dapat dipergunakan
sebaik-baiknya.
Sejenak setelah kedua pasukan
itu berbenturan, Panembahan Alit sudah merasa tekanan yang berat dari lawannya.
Namun demikian ia masih tetap merasa cukup kuat untuk melawan pasukan Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun ia segera dapat juga mengenal orang
bercambuk yang kini menahannya di ujung medan.
“Kita bertemu lagi
Panembahan,” berkata Kiai Gringsing setelah keduanya terlibat di dalam
peperangan.
“Kenapa kau turut campur?”
bertanya Panembahan Alit. “Aku kira kau mendendam ketika aku menahanmu di Alas
Tambak Baya.”
“Bukan sekedar itu,” sahut
Kiai Gringsing, “tetapi aku memang sependapat dengan Raden Sutawijaya bahwa
alas tempat gerombolanmu berpijak ini harus dihancurkan. Sudah sekian lamanya
Mataram harus mengalami gangguan-gangguan yang gila dari Panembahan Agung dan
Panembahan Alit. Hantu-hantuan, racun, dan seakan-akan kalian telah memagari
Mataram dengan kekerasan.”
“Persetan. Tetapi kali ini
kalian benar-benar telah terjerumus ke dalam sarang serigala. Kau akan mati dan
hancur disayat-sayat oleh ujung senjata kami.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Yang terdengar adalah ledakan cambuknya sehingga Panembahan Alit terkejut dan
meloncat menghindar dengan tangkasnya.
Selagi pertempuran itu
berlangsung, maka masih terdengar suara Panembahan Agung, “Cepat, tahanlah
pasukan Raden Sutawijaya. Kau dapat mempergunakan pengaruhmu. Kemudian aku akan
menyerahkan anakmu itu.”
“Sayang, Panembahan,” sahut Ki
Waskita, “aku tidak dapat melakukannya. Aku akan membebaskan anakku, tetapi tidak
untuk menjerumuskan orang lain ke dalam tanganmu.”
Terdengar raksasa itu
menggeram. Dengan nada tinggi ia kemudian berkata, “Jadi kau relakan anakmu
mati dengan cara yang mengerikan itu?”
“Kenapa mengerikan?”
“Sudah aku katakan. Aku akan
mengikat kakinya dan menjerat lehernya dengan tali yang terikat pada seekor
kuda.”
“Jika kau mengerti bahwa hal
itu mengerikan, kenapa kau lakukan?”
“Sengaja, agar kau tahu, bahwa
kau terlampau sombong dengan membiarkan anakmu mati dengan cara itu. Mungkin
kau lebih menghargai hadiah dari Raden Sutawijaya atas bantuanmu saat ini.
Mungkin dijanjikan bahwa kau kelak akan diangkat menjadi seorang pemimpin di
Mataram sehingga kau bersedia mengorbankan anakmu.”
“Aku sama sekali tidak
bermaksud mengorbankan anakku yang manja itu. Aku akan membebaskan dengan
caraku.”
“Persetan. Ia akan mati. Jika
aku tidak melihat kau berusaha mempengaruhi Raden Sutawijaya dalam hitungan ke
sepuluh, aku akan melepaskan isyarat.”
Waskita termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia sengaja memperpanjang waktu dengan berkata, “Tunggu dulu.
Aku sedang berpikir. Jangan mulai dengan hitungan itu.”
“Kau menunggu pasukanku
hancur?”
“Bukan itu, tetapi sekedar
jaminan bahwa anakku akan selamat. Apakah kau dapat menunjukkan di mana anakku
sekarang?”
“Ada padaku. Bukan aku
sendirilah yang menemukannya. Tetapi orang-orang kepercayaanku. Kami mengira
bahwa anak itu dapat kita pergunakan sebagai umpan antuk memancing kalian.
Tetapi kami sudah gagal menghancurkan kalian di mulut lembah yang sempit.
Kemudian pemainanku telah kau ganggu. Dan sekarang, satu-satunya kesempatan
adalah mempergunakan kau dan anakmu itu.”
“Aku minta jaminanmu.”
Panembahan Agung menggeram. Ia
masih belum mulai menghitung, karena Waskita sengaja memperpanjang pembicaraan.
Dalam pada itu, Waskita memang
menunggu agar usahanya untuk melepaskan anaknya dapat terlaksana lebih dahulu
sebelum Panembahan Agung menentukan sikap dan melepaskan isyarat untuk membunuh
anaknya.
Dengan petunjuk dari Ki
Waskita atas dasar isyarat yang ditangkapnya, maka Sumangkar merayap semakin
dekat dengan padepokan Panembahan Agung yang seakan-akan telah menjadi kosong.
Para penjaga dan pengawal telah dikerahkan ke medan untuk menahan arus pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Yang tinggal di padepokan itu hanyalah
beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan dan dua orang untuk menjaga
Rudita yang terikat pada tiang di ruang belakang padepokan itu. Panembahan
Agung ternyata telah kecewa menahan anak cengeng yang semula disangkanya tidak
akan mempunyai arti apa-apa, yang ternyata meleset dari perhitungannya.
Dengan demikian maka nilai
Rudita bagi Panembahan Agung itu telah mengalami beberapa kali perubahan.
Semula ketika ia menerima anak itu ia mendapat laporan, bahwa anak itu agaknya
termasuk orang yang penting, sehingga ia tidak ikut di dalam pertempuran yang
sedang berlangsung. Tetapi kemudian Panembahan Agung berpendapat, bahwa anak
itu adalah anak yang dianggapnya tidak bernilai. Cengeng dan sama sekali tidak
mengetahui apa pun juga tentang Mataram. Namun ketika anak itu akan dibunuhnya,
tanpa disadari, anak itu telah berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh,
sehingga Panembahan Agung berpendapat bahwa dari anak itu akan dapat diperas
beberapa keterangan mengenai Menoreh. Yang terakhir ternyata, Panembahan Agung
mengetahui bahwa anak itu adalah anak Jaka Raras, orang yang paling diseganinya
karena orang itu juga memiliki ilmu seperti ilmunya sendiri. Ilmu yang dapat
menjelmakan kebohongan yang paling besar yang dapat dilakukan oleh seseorang.
Tetapi ternyata bahwa di saat
yang paling genting bagi Panembahan Agung, ayah anak cengeng itu sama sekali
tidak berniat untuk menebus anaknya, karena ia tidak mau berkhianat kepada
Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka anak itu benar-benar tidak berarti lagi
baginya, sehingga agaknya lebih baik anak itu dibunuhnya saja.
Pada saat itu Sumangkar telah
berada di dalam padepokan yang sepi. Menurut Ki Waskita, anaknya ada di bagian
belakang dari padepokan itu, sehingga dengan hati-hati, ia berkisar dari balik
gerumbul ke balik gerumbul yang lain mendekati ruangan yang paling mungkin
dipergunakan untuk menahan Rudita.
Dalam pada itu, Sumangkar
menyadari, bahwa Rudita akan dapat dijadikan barang penting untuk memeras Ki
Waskita. Karena itu, maka ia pun berusaha dengan secepat-cepatnya untuk
melepaskannya.
Sumangkar menjadi
berdebar-debar ketika dilihatnya masih ada beberapa orang yang hilir-mudik di
halaman rumah induk padepokan itu. Dengan demikian, maka ia berpendapat, bahwa
pada suatu saat, jika perlu, ia memang harus mempergunakan kekerasan.
Tetapi Sumangkar maju terus
mendekati tempat yang diduganya dipergunakan untuk menyembunyikan Rudita.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka Sumangkar pun berlari dari balik gerumbul
ke sudut rumah induk itu.
Namun, ternyata tanpa
disengaja seseorang telah melihatnya. Tetapi karena orang itu tidak begitu
jelas, siapakah yang dilihatnya itu, maka ia pun mendekatinya dengan senjata
teracu.
Dalam keadaan itu, Sumangkar
tidak dapat bersembunyi lagi. Bahkan ia pun kemudian berjongkok di sudut rumah
itu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Siapa kau, he?” bertanya
orang yang mendekatinya.
Tetapi orang itu tidak dapat
bertanya untuk kedua kalinya, ketika tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung.
Dengan mata terbelalak orang
itu masih melihat Sumangkar berdiri. Namun kemudian matanya menjadi
berkunang-kunang. Dadanya serasa sesak.
Agaknya Sumangkar telah
meloncat dan memukul dada orang itu, sehingga akhirnya orang itu pun terjatuh
menelentang di tanah. Pingsan.
Dengan tergesa-gesa Sumangkar
masih sempat menarik orang itu dan menyembunyikannya di balik pintu yang
terbuka. Kemudian dengan hati-hati ia bergeser menuju ke tempat yang paling
sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Ki Waskita menurut rabaan
isyaratnya.
Sekali-sekali Sumangkar masih
harus berhenti dan berlindung di balik sudut-sudut rumah atau gerumbul-gerumbul
yang rimbun.
Ia masih berusaha untuk
menghindari kekerasan sejauh dapat dilakukan, karena ia tidak mengetahui dengan
pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di padepokan ini.
Ketika Sumangkar mendekati
rumah yang diduga sebagai tempat untuk menyembunyikan Rudita, maka ia terpaksa
bersembunyi melekat dinding ketika ia melihat seseorang justru berjalan ke
arahnya. Namun ia tidak membiarkan orang itu memberikan isyarat kepada
kawan-kawannya. Demikian orang itu sampai di sudut rumah, maka ia tidak sempat
berbuat apa pun juga. Sebuah tangan yang kuat telah mencengkam mulutnya dan
sebuah pukulan yang keras terasa mengenai tengkuknya. Setelah itu, maka ia pun
jatuh pingsan pula.
Seperti orang yang pertama,
maka orang itu pun kemudian disembunykan di balik dinding. Agaknya rumah-rumah
gubug yang bertebaran di padepokan itu sudah dikosongkan, karena orang-orangnya
berada di medan di hadapan padepokan yang terpencil dan tersembunyi itu.
Dengan hati yang
berdebar-debar Sumangkar melanjutkan langkahnya. Setiap kali ia berhenti dan
mendengarkan setiap bunyi yang mencurigakan.
Akhirnya Sumangkar berhasil
mendekati tempat yang dicarinya. Lamat-lamat ia mendengar seseorang menangis
meskipun tertahan-tahan.
“Hanya Rudita-lah yang
menangis dengan cara itu,” desis Sumangkar kepada diri sendiri.
Perlahan-lahan ia berusaha
mendekati gubug itu. Ternyata gubug itu sepi. Meskipun demikian Sumangkar
yakin, bahwa tentu ada satu atau dua orang yang menjaganya.
Selagi ia termangu-mangu,
tiba-tiba ia mendengar suara yang menggelegar dari medan. Ketika ia berpaling,
dilihatnya sesuatu telah berbenturan di langit. Sejenak Sumangkar
termangu-mangu, namun kemudian ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia sadar,
bahwa yang dilihat dan didengarnya sama sekali bukannya bentuk yang sebenarnya,
seperti dua raksasa yang berdiri di puncak bukit itu. Meskipun ia melihat juga
bayangan raksasa di sela-sela dedaunan, tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya,
karena raksasa-raksasa itu tidak akan dapat berbuat apa-apa atasnya.
Tetapi ketika ia melangkah
semakin dekat, dan berdiri di ujung dinding di belakang gubug itu, ia mendengar
bunyi yang berdesing di udara. Seperti bunyi sawangan yang kadang-kadang
dipasang pada burung merpati.
Mula-mula Sumangkar tidak
menghiraukannya. Namun kemudian ia mulai tertarik ketika ia mendengar suara
seseorang di dalam gubug itu, “Kau mendengar bunyi sawangan?”
“Ya,” jawab yang lain.
“Apakah itu suatu isyarat?”
Sejenak mereka terdiam. Namun
kemudian salah seorang berkata, “Ya. Itu tentu suatu isyarat. Bukankah
Panembahan Agung sudah berpesan, bahwa jika terdengar isyarat yang akan akan
dilontarkannya lewat bunyi, maka anak ini dapat dibunuh.”
Rudita yang agaknya mendengar
pembicaraan itu pun tiba-tiba berteriak, “Jangan, Jangan bunuh aku.”
“Diam anak gila. Semakin keras
kau berteriak, nasibmu akan menjadi semakin jelek. Aku kira Panembahan Agung
akan sependapat jika kita memilih cara yang paling baik untuk membunuhnya.”
“Jangan, jangan,” teriak anak
itu.
“Kita tunggu sejenak,”
terdengar suara dari dalam gubug itu pula, “mungkin ada isyarat lain yang lebih
jelas.”
Gubug itu menjadi sepi
sejenak. Yang terdengar hanyalah tangis Rudita yang semakin keras.
“Tutup mulutmu, tutup
mulutmu,” bentak salah seorang dari penjaganya.
Sumangkar tergeser setapak
ketika ia mendengar sebuah pukulan diikuti jerit tertahan.
“Ampun, ampun. Aku tidak
bersalah.”
“Jika kau tidak mau diam, aku
remukkan mulutmu.”
Suara tangis itu pun menurun.
Tetapi terdengar isak yang sesak. Agaknya Rudita mencoba menahan tangisnya
sekuat-kuatnya.
Sumangkar terkejut ketika ia
mendengar langkah seseorang berlari-lari. Karena itu, ia pun mencoba bergeser
dan berlindung di sudut gubug itu, di sisi yang lain dari arah suara yang
didengarnya.
Ternyata suara langkah, orang
itu telah memasuki gubug tempat Rudita ditahan.
“Aku mendapat perintah
langsung dari Panembahan Agung,” desis orang itu.
“Bagaimana mungkin. Panembahan
Agung masih berada dipuncak bukit.”
“Gila, seakan-akan kau tidak
mengenal ilmunya. Dengar, aku diperintahkan, bersama kalian membawa anak ini ke
medan. Cepat.”
“Untuk apa?”
“Untuk memaksa ayahnya
menghentikan perlawanan.”
Sejenak bilik di dalam gubug
itu menjadi sepi. Tetapi kemudian tangis Rudita seakan-akan meledak lagi.
Agaknya, ia menyadari apa yang akan terjadi atas dirinya jika ia dibawa ke
medan.
“Jangan, jangan,” Rudita
berteriak lagi. Tetapi sekali lagi suaranya terputus ketika terdengar sebuah
pukulan mengenai pipinya.
“Jika kau berteriak lagi, aku
remukkan mulutmu.”
“Tetapi jangan bawa aku ke
medan.”
“Kau tidak mempunyai pilihan.
Kau harus pergi ke medan dengan diikat pada lehermu. Setiap kali ayahmu menolak
perintah Panembahan Agung, maka tali di lehermu akan menjadi semakin mencekik
leher itu. Perlahan-lahan tali itu akan ditarik ke atas dan digantungkan pada
sebatang pohon. Jika ayahmu tetap menolak maka kau terayun-ayun di atas jurang
yang paling dalam. Tetapi tentu tidak akan lama, karena tali itu akan segera
diputuskan dan kau akan terlempar jatuh ke dalamnya. Kau tahu berapa dalam
jurang itu? Tidak kurang dari tiga puluh depa.”
“Tidak, tidak,” Rudita
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Tangannya masih terikat
sehingga ia tidak dapat berbuat lain.
Orang-orang yang menjagainya
tidak menghiraukan tangisnya lagi. Yang terdengar adalah, “Cepat. Lepaskan
talinya.”
Sumangkar menahan nafasnya
sejenak. Didekatkannya telinganya pada dinding gubug itu. Yang terdengar
kemudian adalah desir tali yang sedang dilepaskan dan tangis Rudita yang
tertahan-tahan.
Namun, Sumangkar terkejut
ketika ia mendengar langkah mendekatinya. Agaknya perhatiannya terlampau
tertuju kepada peristiwa di dalam gubug itu, sehingga ia tidak mendengar
langkah mendekati. Baru ketika orang itu sudah terlampau dekat, Sumangkar dapat
mendengar desir langkahnya dan desah nafasnya yang justru tertahan-tahan.
Tepat pada saatnya Sumangkar
berpaling. Agaknya orang itu memang sedang merunduknya. Tanpa bertanya sesuatu,
tombaknya langsung meluncur menyerang lambung.
Tetapi Sumangkar sempat
melihat mata tombak itu. Karena itu, maka ia masih sempat mengelak sehngga
ujung tombak itu langsung menubruk dinding gubug itu.
Ternyata dinding gubug itu
bukannya dinding yang kuat. Ketika ujung tombak itu membentur dinding, maka
dinding itu pun tembus dan bahkan oleh dorongan yang kuat, maka tali pengkat
dinding itu pun terputus, dan dinding itu seakan-akan telah terbuka di sudut.
Orang-orang yang berada di
dalam bilik di gubug kecil itu terkejut. Mereka melihat ujung tombak yang
menerobos masuk, kemudian seseorang melanggar dinding sehingga dinding itu
hampir roboh.
Selagi orang-orang itu
termangu-mangu, maka Sumangkar menyadari keadaannya. Ia tidak dapat
menyembunyikan diri lagi. Karena itu, maka ia harus mengambil tindakan yang
cepat.
Sejenak kemudian, maka
Sumangkar pun mulai bertindak. Selagi orang yang membentur dinding itu berusaha
untuk bangkit, maka sebuah pukulan telah mengenai tengkuknya, sehingga sekali
lagi ia jatuh terjerembab. Dan bahkan kesadarannya pun seakan-akan telah
direnggut sama sekali daripadanya. Dan ia pun jatuh pingsan karenanya.
Untuk beberapa saat Sumangkar
masih berdiri di tempatnya. Ia ragu-ragu untuk meloncat masuk. Karena itu, maka
ia masih saja berdiri di luar dinding yang hampir roboh itu.
“Jika aku masuk, maka akan
dapat mendorong orang-orang itu mempergunakan Rudita untuk memaksakan
kehendaknya,” berkata Sumangkar kepada diri sendiri, sehingga dengan demikian,
ia masih tetap berada di luar.
Ia berharap bahwa orang-orang
yang ada di dalam bilik itulah yang justru keluar dan meninggalkan Rudita.
Setidak-tidaknya, sebagian dari mereka.
Ternyata perhitungannya itu
benar. Dua orang telah meloncat keluar dengan senjata terhunus, sedang yang
seorang lagi justru sedang mengikat kembali tangan Rudita yang sudah hampir
terlepas.
“Siapa kau?” bertanya salah
seorang dari mereka.
Sumangkar tidak segera
menyahut. Bahkan ia melangkah surut sambil memandang berkeliling. Jika ada
orang lain lagi yang melihatnya, maka keadaannya akan menjadi gawat. Tetapi
rupa-rupanya padepokan itu memang sudah sepi.
“Jangan lari,” bentak salah
seorang dari orang-orang yang menunggui Rudita.
Sumangkar tidak menyahut. Ia
melangkah lagi surut. Dan seperti yang dikehendakinya, maka kedua orang itu
mengikutinya semakin jauh dari bilik Rudita.
“Siapa kau he?” bentak orang
itu lagi.
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengharap agar yang masih ada di dalam bilik itu tidak
mempergunakan Rudita.
Agaknya kedua orang itu pun
tidak sabar lagi. Karena Sumangkar tidak juga menjawab, maka salah seorang dari
mereka menggeram, “Baik Jika kau tetap membisu, maka kau akan mati tanpa
dikenal namamu.”
Kedua orang itu pun langsung
menyerang Sumangkar dengan dahsyatnya. Senjata mereka berputar dan mematuk
dengan cepatnya. Agaknya untuk menjaga Rudita, Panembahan Agung telah
menempatkan orang-orangnya yang paling terpercaya.
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sumangkar ternyata
selalu meloncat surut meskipun hanya berputar-putar di tempat itu.
Tampaknya sulit bagi Sumangkar
untuk melawan kedua orang yang menyerangnya dengan garang meskipun ia sudah
mempergunakan senjatanya.
Tetapi ia masih sempat untuk
berusaha menghindarkan diri dari setiap sentuhan senjata, meskipun ia harus
selalu berloncatan dan bergeser surut.
“Kau tidak akan dapat lari,”
bentak orang-orang itu.
Sumangkar tidak menyahut. Ia
masih melawan dengan gigih sambil terdesak terus-menerus.
“Menyerahlah, dan katakan apa
yang kau kehendaki,” berkata salah seorang dari lawannya sambil menyerangnya
terus.
Sumangkar tidak menjawab.
“ Gila, apakah kau memang
bisu?”
“Tidak,” jawab Sumangkar.
“Jadi bagaimana? Kenapa kau
tidak dapat mengatakan, untuk apa kau datang kemari? Jika kau tidak mempunyai
niat jelek, kami dapat mengampunimu.”
Sumangkar tidak menjawab lagi.
Tetapi ia masih berusaha melawan terus.
Sejenak kemudian terdengar
salah seorang dari lawannya tertawa. Katanya, “Kau tentu akan melepaskan anak
manja yang bernama Rudita itu. Apakah kau ayahnya? Tentu tidak. Jika kau
ayahnya, kau tentu sudah dibinasakan oleh Panembahan Agung, karena ayahnya
selalu mengganggunya di medan yang berat itu. Aku mendapat perintah dari
Panembahan Agung untuk membawa anak itu ke medan.”
Sumangkar sama sekali tidak menjawab.
Ia masih saja bertempur dengan gigihnya meskipun ia masih selalu terdesak
surut.
Kedua orang lawannya menjadi
semakin marah karenanya. Karena itu, maka salah seorang berkata, “Cepat, kita
selesaikan saja orang ini. Kita harus segera membawa anak cengeng itu sebelum
pasukan kita menjadi semakin terdesak. Ayah anak itu akan dapat mempengaruhi
medan, jika anaknya kita ikat pada sebatang pohon di atas jurang itu.”
Dengan demikian maka kedua
orang itu bertempur semakin sengit, dan Sumangkar pun menjadi semakin terdesak
karenanya. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan-serangan
lawannya. Dengan senjatanya ia berusaha menahan desakan kedua lawannya itu.
Tetapi meskipun Sumangkar
hampir tidak mampu berbuat apa-apa selain berloncatan, bahkan berlari-lari
surut dan melingkar-lingkar, namun ia masih berhasil membebaskan diri dari
senjata-senjata lawannya yang mematuk berganti-ganti.
Akhirnya lawan-lawannya itu
tidak sabar lagi. Salah seorang dari mereka pun berteriak, “Cepat. He, kemarilah,
jagalah agar orang ini tidak berlari-larian saja. Kita bunuh saja meskipun kita
tidak mengenal namanya. Apa boleh buat. Ia terlalu keras kepala.”
Kawannya yang dipanggil, yang
sedang menunggu Rudita, menjadi termangu-mangu. Namun ia pun melihat cara
Sumangkar berkelahi. Agaknya jika seorang lagi terjun ke arena perkelahian itu,
dan berusaha menahan agar Sumangkar tidak berlari-lari dan menghindar
melingkar-lingkar, maka usaha mereka akan cepat berhasil.
Tetapi ia masih tetap
ragu-ragu. Jika selain Sumangkar masih ada orang lain yang akan dapat mengambil
anak cengeng itu, maka Panembahan Agung tentu akan marah sekali.
Karena itu maka orang itu pun
tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Cepat, kau kemarilah. Kita
selesaikan saja orang tua ini,” teriak salah seorang lawan Sumangkar.
Tetapi orang yang menjagai
Rudita itu menjawab, “Tetapi apakah anak ini akan ditinggalkan?”
“Ia tidak akan dapat
melepaskan dirinya.”
“Bagaimana jika ada orang
lain?”
Kedua lawan Sumangkar itu
terdiam. Memang mungkin sekali ada orang lain yang dapat mengambil anak itu
selagi mereka bertempur melawan Sumangkar yang meskipun tidak menggetarkan dada
mereka, namun terlampau licin sehingga mereka masih belum dapat membunuhnya.
Untuk beberapa saat kemudian,
kedua lawannya itu mencoba berusaha tanpa orang ke tiga yang menunggui Rudita.
Tetapi Sumangkar memang terlampau licin, sehingga keduanya pun kemudian
mengambil cara lain.
Keduanya menyerang Sumangkar
dari arah yang berlawanan. Dengan demikian mereka berharap bahwa Sumangkar
tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dengan berloncatan surut.
Sumangkar memang tampaknya
mendapat kesulitan. Tetapi ia masih saja dapat menghindar dengan
loncatan-loncatan panjang dari antara kedua orang yang menyerangnya.
“Anak setan. Kau tidak akan
berhasil melarikan diri,” teriak salah seorang lawannya yang jengkel,
“menyerahlah. Kami tidak akan membunuhmu.”
Sumangkar sama sekali tidak
menjawab.
“Apakah ia memiliki aji welut
putih,” desis yang lain.
“Persetan. Tetapi ia harus
mati. Tentu ia tidak memiliki aji apa pun. Welut putih hanya sekedar untuk
melepaskan diri dari tangkapan tangan. Tetapi ia akan mati jika tersentuh
senjata.”
Tetapi meskipun dengan banyak
kesulitan, namun Sumangkar benar-benar tidak mau pergi apalagi menyerah, sehingga
salah seorang dari lawannya berteriak lagi kepada kawannya yang menjaga Rudita,
“Selarak pintu depan. Kau lewat dinding yang terbuka itu membantu kami. Dari
tiga arah, maka orang ini akan segera mati terbunuh. Kita harus segera
menghadap Panembahan Agung.”
Orang yang menjaga Rudita
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menyelarak pintu depan, dan
dengan senjata terhunus terjun ke medan yang menjengkelkan itu.
Sumangkar melihat orang itu
berlari-lari mendekati arena. Kemudian bertiga mereka mengepungnya. Dengan
penuh ketegangan mereka merundukkan senjata-senjata mereka mengarah ke dada
Sumangkar.
“Sekarang kau akan mati,”
desis salah seorang dari mereka, “jika kau tidak berkeberatan, sebut namamu.
Kelak akan ada orang yang dapat mengatakan jika seseorang mencarimu.”
Sumangkar berdiri diam. Dengan
tegang pula ia bersiaga untuk mempertahankan dirinya dari sergapan ketiga orang
yang sedang marah itu.
“Baiklah. Jika kau tidak mau
menyebut namamu, maka kau akan mati tanpa meninggalkan bekas apa pun.”
Sumangkar masih tetap diam.
Dan orang-orang itu tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Sejenak kemudian
mereka pun segera berloncatan menyerang.
Saat yang demikianlah yang
sebenarnya ditunggu oleh Sumangkar. Jika ia memberikan perlawanan dan berusaha
menentukan akhir dari perkelahian itu, tidak ada orang lagi yang dapat
mengancam Rudita dan memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka Sumangkar pun
tidak mau memperpanjang permainannya lagi.
Demikian ketiga orang itu
menyerang, maka Sumangkar pun memutar senjatanya. Sebuah trisula yang kecil
terikat pada ujung rantai, dan trisula yang lain di tangan kirinya.
Tetapi orang-orang yang
mengepungnya pun memang bukan orang-orang kebanyakan. Untuk beberapa saat
mereka masih tetap bertahan dan berusaha untuk mengalahkan orang tua yang
bersenjata aneh itu.
Namun usaha mereka sama sekali
tidak berhasil. Kini Sumangkar justru tidak berloncatan mundur lagi. Ia tetap
berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya. Bahkan rantai itu kadang-kadang
dapat digerakkan ke arah yang tidak terduga-duga.
Akhirnya ketiga orang itu
menyadari, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan orang yang disangkanya hanya mampu
berlari-lari. Mereka pun mulai sadar, bahwa ternyata Sumangkar telah memancing
mereka bertiga untuk keluar dari bilik itu. Karena itu, maka selagi masih
sempat, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bersuit nyaring. Kemudian
berteriak, “Ambil anak itu. Kita paksa orang ini berhenti dengan anak itu
pula.”
Dada Sumangkar tergetar
karenanya. Namun ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ketika orang itu
berhenti berteriak, Sumangkar mempergunakan saat yang tepat.
Hampir tidak dapat ditangkap
dengan indera wadag ketika begitu mulut orang itu terkatub, maka ia pun
terdorong surut dan jatuh terlentang di tanah. Dadanya memancarkan darah yang
merah dari lukanya. Tiga buah lubang yang meskipun tidak begitu besar, tetapi
ternyata cukup parah dan berbahaya.
Dua kawannya yang lain
terkejut melihat peristiwa itu. Tetapi mereka tidak sempat meninggalkan arena,
dan apalagi mengancam Rudita. Dalam keragu-raguan itu, keduanya dikejutkan oleh
sambaran senjata Sumangkar. Salah seorang dari mereka mengaduh tertahan. Sesaat
ia masih berdiri terhuyung-huyung, namun kemudian ia pun jatuh terbanting di
tanah.
Kawannya yang seorang menyadari
keadaannya. Karena itu ia sama sekali tidak berusaha melawan. Dengan cepatnya
ia meloncat berlari ke bilik tempat mereka mengikat Rudita. Namun nasibnya
tidak berbeda dengan kedua kawannya. Ketika ia sedang merunduk masuk lewat
dinding yang terbuka, maka terasa jari-jari yang kuat mencengkam pundaknya. Ia
tidak dapat bertahan ketika ia seakan-akan terseret keluar lagi dari bilik itu.
Ketika ia mencoba berpaling
maka ia masih sempat melihat wajah Sumangkar yang garang. Kemudian sebuah
pukulan mengenai tengkuknya.
Semuanya menjadi gelap. Dan
orang itu pun kemudian pingsan.
Ketika Sumangkar mencoba
dengan tergesa-gesa memasuki ruangan itu, ia masih melihat dua orang
berlari-lari ke arahnya. Agaknya keduanya telah mendengar suitan kawannya yang
dadanya telah berlubang. Karena itu maka ia pun harus segera mengambil sikap
agar ia tidak kehilangan kesempatan menyelamatkan Rudita yang terikat di dalam
bilik.
Sejenak Sumangkar
menimbang-nimbang. Jika ia melepaskan Rudita, mungkin ia justru akan mendapat
kesulitan dari Rudita itu sendiri, karena ia sadar, bahwa Rudita adalah seorang
yang sangat dipengaruhi oleh perasaan takut dan cemas.
Karena itu, Sumangkar tidak
segera memasuki bilik itu ia justru meloncat dan berdiri beberapa langkah dari
lubang dinding yang terbuka itu.
Kedua orang yang berlari-lari
itu sempat melihat beberapa orang kawannya yang terbaring. Karena itu, maka ia
pun langsung mengerti, bahwa orang yang berdiri di belakang gubug itu tentu
bukan orang dari pihak mereka atau bukan prajurit Pajang yang berada di dalam
lingkungan mereka bersama Daksina. Karena itulah maka mereka berdua pun
langsung menyerang dengan garangnya.
Tetapi Sumangkar yang
tergesa-gesa itu tidak memberikan banyak kesempatan kepada mereka, karena
sejenak kemudian, keduanya pun telah terbaring di tanah.
Sesaat kemudian Sumangkar pun
telah berada di dalam bilik itu. Dengan tergesa-gesa ia membuka ikatan Rudita
sambil berdesis, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirimu sendiri.
Aku akan berusaha menyelamatkan kau.”
“Tetapi, tetapi apa yang akan
kau lakukan?”
“Bersembunyi. Hanya
bersembunyi.”
“Apakah orang-orang itu tidak
akan mencari kita?”
“Kita mencari jalan untuk
menemui ayahmu. Aku sudah berjanji membawamu ke tempat yang sudah kami setujui
bersama. Karena itu, kau harus menurut petunjukku. Jika tidak, dan kau
tertangkap lagi, maka kau akan dicincang. Mengerti?”
Mengerikan sekali. Karena itu,
maka Rudita pun menjadi gemetar dan berkata terbata-bata, “Baiklah, Kiai. Kita
bersembunyi saja. Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata bukan
orang-orang yang baik.”
“Tidak semuanya.”
“Ya. Semuanya. Mereka senang
sekali berkelahi satu sama lain. Jika Pandan Wangi dan kawan-kawannya tidak
sengaja memburu orang-orang yang tidak dikenalnya untuk saling berkelahi, maka
aku tidak akan sampai ke tempat ini.”
“Sudahlah. Sekarang, ikuti
aku.”
Rudita tidak menyahut lagi.
Dengan kaki gemetar ia mencoba mengikuti langkah Sumangkar, yang dengan sangat
hati-hati keluar dari bilik itu lewat celah-celah dinding yang terbuka.
Ketika tanpa disadari kaki
Rudita menyentuh orang yang terbaring, tiba-tiba saja ia memekik. Dengan
serta-merta ia berlari memeluk lambung Sumangkar sambil berkata dengan gemetar,
“Siapa yang mati itu, Kiai, siapa?”
“Yang dua orang itu tidak
mati. Mereka hanya pingsan. Tetapi yang lain, entahlah. Mungkin mereka terbunuh
oleh senjataku. Tetapi aku tidak sengaja membunuh mereka.”
Rudita melepaskan pelukannya
sambil melangkah surut, “Kiai membunuh orang-orang itu?”
“Ya.”
“Kenapa Kiai membunuh?”
“Supaya kau tidak mati
terbunuh oleh mereka.”
Darah Rudita serasa berhenti
mengalir. Tetapi ia pun sadar bahwa sebenarnya hal itu memang dapat terjadi
atasnya. Bahkan mungkin seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang akan
membawanya kepada Panembahan Agung, bahwa ia akan digantung di atas jurang yang
dalam.
Rasa-rasanya Rudita tidak lagi
memiliki kekuatan. Tubuhnya bagaikan sudah tidak bertulang lagi. Ketakutan yang
amat sangat telah mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia melihat tidak hanya
seorang yang terbaring diam. Tetapi beberapa orang.
Dalam keadaan yang demikian
Sumangkar berkata, “Jangan kehilangan akal. Jika kau tidak mampu lagi berbuat
sesuatu, dan kau akan tetap berada di sini maka kau benar-benar akan digantung
atau dicincang. Nah, cepat, bukankah kau tidak ingin diperlakukan demikian?”
Rudita mengangguk lemah.
Tetapi ia mengikuti ketika Sumangkar kemudian melangkah meninggalkan tempat itu
dan menerobos masuk ke dalam semak-semak.
Dengan susah payah Sumangkar
membawa Rudita meninggalkan padepokan itu dan menuju ke tempat ayahnya
menunggu. Mereka menghindari daerah peperangan yang semakin bergeser mendekati
padepokan. Namun agaknya pertempuran itu masih berjalan dengan sengit dan
memerlukan waktu yang cukup panjang.
Dalam pada itu, ternyata
Panembahan Agung masih tetap dalam bentuknya. Seorang raksasa yang berdiri di
puncak bukit sambil menggeram dengan marahnya, sedang di puncak yang lain Jaka
Raras sekedar melayaninya, dalam sikap yang tenang.
“Itulah ayahmu,” berkata
Sumangkar sambil menunjuk kepada raksasa itu.
“He,” ternyata Rudita terkejut
bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya seorang
raksasa yang besar berdiri di atas bukit. Selama itu ia hanya memperhatikan
semak-semak dan duri di sepanjang jalannya. Tetapi ketika ia menengadahkan
wajahnya, maka dilihatnya bentuk yang mengerikan itu.
“Jadi raksasa itu sebenarnya
ada?” ia bertanya kepada Sumangkar. “Selama ini aku hanya menyangka bahwa
raksasa itu hanya terdapat di dalam cerita-cerita saja.”
“Memang tidak ada,” berkata
Sumangkar.
“Jadi apakah yang tampak di
puncak bukit itu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita benar-benar seorang yang rendah hati. Ia sama
sekali tidak menampakkan ilmunya yang aneh itu. Kepada anaknya pun tidak. Ia
tidak mau memberikan kesan kepada anaknya bahwa ayahnya adalah seorang
pembohong besar, yang dengan ilmunya dapat mengelabuhi banyak orang sehingga
mereka dapat kehilangan pegangan.
Tetapi dalam keadaan yang
memaksa, maka Ki Waskita telah melawan setiap bentuk semu dengan bentuk semu
pula, sehingga pasukan pengawal Menoreh dan Mataram tidak terjebak karenanya.
“Kiai,” Rudita mendesak, “jadi
apakah yang tampak itu jika keduanya bukan raksasa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Yang kita lihat itu?”
“Sebuah gambaran di dalam
angan-angan kita setelah kita dipengaruhi oleh ilmu kedua orang itu. Ilmu
Panembahan Agung dan ilmu ayahmu sendiri. Pengaruh ilmunya telah menyesatkan
kita. Apalagi pengaruh ilmu Panembahan Agung yang dengan sengaja menyesatkan
kita dengan tujuan yang jahat.”
“Aku tidak mengerti,” sahut
Rudita, “Kiai menyebut nama ayahku?”
“Sudahlah. Marilah kita
mendekati bukit itu. Aku sudah berjanji akan membawamu ke tempat itu.”
Namun langkah mereka segera
tertegun, ketika tiba saja raksasa yang berdiri di atas bukit itu tiba-tiba
tertawa sambil berkata, “Nah, apakah kau tetap pada pendirianmu Jaka Raras.
Lihatlah, aku sudah benar-benar bermaksud membunuh anakmu.”
Dan ketika mereka yang
mendengar suara itu berpaling memandang ke atas bukit, dilihatnya raksasa itu
memegangi seorang anak muda. Anak muda itu adalah Rudita.
Sejenak mereka terpaku di
tempat masing-masing. Bahkan mereka yang sedang bertempur, yang melihat Rudita
di tangan raksasa itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak dapat
membiarkan diri mereka terbunuh di peperangan, sehingga karena lawan-lawannya
masih saja menyerang, maka pasukan Mataram dan Menoreh itu pun bertempur terus
betapa mereka diganggu oleh kegelisahan yang sangat melihat Rudita di tangan
raksasa yang telah diujudkan oleh Panembahan Agung itu.
“Jaka Raras,” berkata
Panembahan Agung dalam bentuknya yang mengerikan itu, “apakah kau melihat
anakmu?”
Ki Waskita termenung sejenak.
Dipandanginya anak muda yang meronta-ronta di tangan Panembahan Agung.
“Hentikan perlawanan
orang-orang Mataram dan Menoreh. Jika tidak anakmu akan aku lemparkan ke dalam
jurang yang dalam itu. Kepalanya akan membentur batu-batu padas dan akan remuk
sama sekali. Otaknya berhamburan dan tulang-tulangnya akan patah.”
“Kau licik Panembahan,” geram
Ki Waskita.
Panembahan Agung tertawa.
Lalu, “Terserah kepadamu. Aku sudah kehilangan cara lain yang lebih sopan
daripada cara ini. Karena itu, terserah kepadamu. Aku memberi waktu kau
beberapa saat. Tetapi aku akan segera menentukan sikap.”
Jaka Raras yang juga bernama
Ki Waskita itu berdiam diri sejenak. Dipandanginya anaknya dengan wajah yang
tegang.
Dalam pada itu Rudita sendiri
memandang orang yang di dalam genggaman raksasa itu dengan tegangnya pula.
Sejenak ia berdiri membeku. Namun kemudian tubuhnya menjadi gemetar.
“Kiai, bagaimana aku dapat
melihat diriku sendiri di tangan raksasa itu?”
“Yang manakah yang kau sadari
saat ini tentang dirimu. Apakah kau merasa berdiri di sini bersama aku, atau
kau merasa dirimu digenggam oleh raksasa itu.”
“Aku merasa di sini. Tetapi
bagaimana dengan aku yang itu, Kiai?”
“Kau hanya satu. Tidak ada kau
yang lain. Kesadaranmu tentang dirimu itulah yang benar. Yang kau lihat itu
adalah kau di luar dirimu. Dan apa pun dapat berujud seperti dirimu di luar
dirimu, tetapi tanpa dapat kau kuasai dan tanpa hubungan rohani sama sekali.
Itulah yang kau lihat sekarang. Dan bentuk yang menyerupai dirimu sendiri itu
adalah kesatuan bentuk semu dari Panembahan Agung.”
Rudita menjadi bingung. Dengan
sosok mata penuh pertanyaan ia memandang Sumangkar. Dan Sumangkar pun kemudian
berkata, “Baiklah. Jika kau kurang mengerti, jangan hiraukan. Marilah kita
cepat menemui ayahmu, agar ayahmu tidak terpengaruh oleh ujudmu itu. Ayahmu
adalah seorang yang memiliki ilmu yang seimbang dengan Panembahan Agung. Tetapi
kejutan dan kegelisahannya melihat ujud anaknya, barangkali membuat
pandangannya menjadi buram. Padahal di dalam pertarungan ilmu, ayahmu
memerlukan hati yang bening. Demikian juga agaknya penglihatannya atas ujudmu
itu. Goncangan perasaannya telah membuatnya agak bingung dan gelisah, sehingga
ia tidak sempat memandang lawannya dengan cermat dengan mata hatinya.”
Rudita masih juga tidak
mengerti. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Sumangkar segera menarik
tangannya dan melangkah dengan tergesa-gesa di sela-sela gerumbul-gerumbul
liar.
“Kakiku sakit, Kiai.”
Tetapi Sumangkar tidak
menghiraukannya. Ia menarik anak muda itu semakin cepat.
“Kakiku sakit,” Rudita
mengulangi.
Dan Sumangkar menjawab, “Lebih
sakit lagi jika kau benar-benar dilemparkan ke dalam jurang itu.”
Rudita tidak menjawab lagi. Ia
berusaha untuk mempercepat langkahnya betapa kakinya digigit oleh perasaan
nyeri. Tetapi ketakutannya telah membuatnya menahan rasa sakit yang menggigit
kakinya.
Namun sekali lagi orang-orang di
lembah itu dikejutkan oleh suara tertawa. Kali ini Ki Waskita-lah yang tertawa
sambil berkata, “Panembahan Agung. Ternyata kau berhasil mengejutkan aku
sehingga aku kehilangan ketajaman penglihatanku untuk beberapa saat. Hampir
saja aku menangis melihat anakku yang kau genggam itu, Panembahan. Tetapi
akhirnya aku menyadari, bahwa kebohonganmu yang mantap itu hampir menelan aku
dan tentu anakku juga. Tetapi Panembahan, sekarang aku sempat melihat apa yang
terjadi dengan ilmuku. Dan kau tidak usah ingkar, bahwa bentuk semu yang kau
ciptakan itu tentu tidak akan dapat menguasai bentuk yang sebenarnya jika benar
anakkulah yang kau pegang dengan bentuk semumu itu. Nah, kau mengerti bahwa aku
tidak kehilangan akal? Karena itu, terserahlah kepadamu, apakah kau akan
melemparkan bentuk yang menyerupai ujud anakku itu ke dalam jurang, atau akan
kau telan sama sekali.”
“Persetan,” teriak Panembahan
Agung yang marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia telah gagal lagi.
Karena itu maka diputarnya ujud Rudita yang ada ditangannya itu kemudian
dilemparkannya membentur lereng bukit. Sebuah ledakan yang dahsyat telah
terjadi, disusul dengan api yang melonjak tinggi menelan ujud Rudita yang
terdengar berteriak-teriak sekuat-kuat tenaganya.
“Kiai, Kiai,” Rudita yang sebenarnya
pun hampir berteriak. Tetapi Sumangkar sempat menutup mulutnya sambil berkata,
“Diam saja kau. Jika terdengar oleh orang-orang Panembahan Agung, dan mereka
telah mendapat laporan bahwa kau hilang, maka mereka akan mencarimu dan
menangkapmu.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi mengerti, apakah yang harus
dilakukan dan bahkan keadaan yang sebenarnya sedang dialaminya.
Ia tidak dapat
mempertimbangkan apa pun lagi ketika kemudian Sumangkar menariknya terus
menyusup gerumbul-gerumbul perdu.
Dalam pada itu, pertempuran
yang terjadi di lembah itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang Mataram dan
Menoreh pun kemudian menyadari, bahwa yang kemudian hancur menjadi abu itu sama
sekali bukan Rudita yang sebenarnya. Kebohongan Panembahan Agung hampir saja
berhasil mengguncangkan pemusatan ilmu lawannya, Ki Waskita.
Panembahan Agung yang masih
menunggu kedatangan anak buahnya yang disuruhnya mengambil Rudita, menjadi
tidak sabar lagi. Apalagi setelah usahanya mengguncangkan ketabahan hati Ki
Waskita tidak berhasil.
Dengan demikian, maka ia harus
menilai pertempuran yang sedang terjadi itu dengan perhitungan dan pertimbangan
wajar. Ia tidak lagi dapat mempergunakan perang urat syaraf yang seakan-akan
tidak berpengaruh lagi atas orang-orang Mataram dan Menoreh.
Dengan dada yang
berdebar-debar Panembahan Agung harus melihat kenyataan. Pasukannya semakin
terdesak terus. Pemimpin-pemimpinnya sama sekali tidak berhasil menguasai
lawannya. Meskipun Panembahan Alit mampu mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing,
tetapi di bagian lain, pasukannya tidak berhasil menahan arus tekanan para
pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan tombak pendeknya
Sutawijaya berusaha mendesak lawannya dilengkapi oleh kemampuan menggerakkan senjata
Ki Lurah Branjangan. Di bagian lain Ki Argapati dan Pandan Wangi masih tetap
merupakan kekuatan yang tidak dapat ditembus oleh lawannya.
Namun semakin lama terasa kaki
Ki Argapati mulai dijalari oleh perasaan nyeri. Namun ia tidak mengeluh. Dan ia
tidak ingin membuat Pandan Wangi berkecil hati. Sehingga karena itu, maka ia
pun masih juga tetap bertempur dengan gigihnya.
Meskipun demikian, Pandan
Wangi yang bertempur bersamanya merasakan, tekanan yang semakin berat padanya.
Dengan demikian ia menyadari, bahwa tenaga ayahnya menjadi semakin susut
karenanya.
Dengan demikian, maka Pandan
Wangi pun bertempur semakin sengit. Ia ingin memaksa lawannya kehilangan
kemampuan perlawanannya sebelum ayahnya menjadi lumpuh. Jika ayahnya tidak
dapat melakukan perlawanan yang wajar, maka pertempuran itu akan menjadi sangat
berbahaya baginya.
Apalagi Putut Nantang Pati
yang harus melihat kenyataan yang dihadapinya itu menjadi sangat marah. Ia tahu
bahwa usaha Panembahan Agung telah gagal karena tanpa mereka duga, di pihak
Mataram dan Menoreh ada seorang yang memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu
Panembahan Agung, sehingga orang itu berhasil mengacaukan semua usahanya.
Dengan segala kemampuan yang
ada, Pandan Wangi mengisi kelemahan ayahnya melawan Putut Nantang Pati. Agaknya
Putut Nantang Pati sudah mengetahui kelemahan Ki Argapati, sehingga ia berusaha
untuk berkelahi dalam lingkaran yang luas, untuk memaksa Ki Argapati
berloncatan. Tetapi Pandan Wangi-lah yang kemudian berusaha mengisi jarak yang
panjang itu.
Namun Putut Nantang Pati,
seperti yang sudah pernah terjadi tidak berhasil memancing Pandan Wangi
menjauhi ayahnya dan menghancurkannya tanpa perlindungan ayahnya. Tetapi
sebaliknya Putut Nantang Pati juga tidak pernah berhasil menyerang Ki Argapati
yang sudah semakin lemah itu tanpa bantuan anak gadisnya.
Dalam pada itu, di bagian
lain, di lambung gelar yang tidak sempurna itu, beberapa orang pemimpin Mataram
di satu sisi, dan di sisi yang lain, Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa,
sudah berhasil menghancurkan, usaha lawannya untuk menyergap gelar itu dari
lambung. Pasukan Panembahan Agung yang berada di lereng perbukitan, sama sekali
tidak berhasil mengganggu gelar itu dari sebelah-menyebelah. Bahkan tanpa
mereka duga-duga mereka telah membentur kekuatan yang tiada dapat mereka lawan
sama sekali.
Pasukan yang menyerang lambung
di belahan pasukan Menoreh terkejut ketika tiba-tiba saja mereka telah dilanda
oleh ujung-ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang di sisi yang lain,
para pemimpin pengawal Mataram pun dengan cepat berhasil menghancurkan mereka.
Putut Nantang Pati tidak dapat
mengabaikan semua yang telah terjadi itu. Kemarahan yang menggelegak sampai
keubun-ubunnya serasa akan meledakkan kepalanya.
Tetapi ia tidak dapat terbuat
banyak karena ia masih harus menghadapi Ki Argapati meskipun ia mulai terganggu
oleh kakinya, beserta anak gadisnya.
Di bagian lain tumpuan dari
pertempuran itu, Panembahan Alit pun berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk
segera mengalahkan Kiai Gringsing. Namun seperti yang pernah terjadi di Alas
Tambak Baya, panembahan yang juga menyebut dirinya Tak Bernama itu tidak mampu
segera mengatasi lawannya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya cambuk Kiai
Gringsing meledak semakin dekat dengan telinganya.
Tetapi Panembahan Alit adalah
orang yang mumpuni di dalam olah kanuragan seperti Kiai Gringsing sendiri.
Karena itulah maka pertempuran di antara keduanya adalah pertempuran yang
sangat sengit. Di dalam puncak ilmu masing-masing, maka keduanya telah membuat
arena yang seakan-akan terpisah dari keseluruhan pertempuran.
Tenaga mereka bagaikan
berkembang sejalan dengan kemarahan yang berkembang di hati masing-masing.
Bahkan ranting-ranting dan batang-batang perdu di sekitar mereka telah
berpatahan dan daun-daun berguguran di tanah.
Agaknya keduanya sadar, bahwa
kali ini mereka harus bertempur mati-matian. Mereka tidak dapat membiarkan
pertempuran itu selesai tanpa akhir dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh
langkah di belakang Panembahan Alit adalah padukuhan induk yang dihuni oleh Panembahan
Agung sendiri. Jika pasukan Mataram dan Menoreh sampai ke pusat padepokan itu,
maka habislah alat pertahanan mereka yang selama ini mereka susun.
Dengan demikian, maka tinggal
ada dua pilihan bagi Panembahan Alit. Mempertahankan padepokan itu atau mati
sama sekali. Itulah sebabnya, maka ia pun bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya.
Ternyata bahwa kemampuan
Panembahan Alit tidak berada di bawah kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan agaknya
Panembahan Alit mempunyai sedikit kelebihan dari Kiai Gringsing. Panembahan
Alit di dalam keadaan yang paling sulit itu, tidak lagi menghiraukan sopan
santun di dalam perkelahian. Ia tidak lagi memikirkan bahwa apa yang dilakukan
adalah tata gerak yang kasar dan bahkan hampir liar. Namun satu hal yang
dipegangnya, bertahan sampai kemungkinan yang lain merenggutnya, mati.
Agaknya sikapnya itu sangat
berpengaruh kepada anak buahnya. Nantang Pati pun sama sekali tidak berniat
untuk mundur setapak. Apalagi karena menurut penilaiannya Argapati tidak akan
dapat lagi mendesaknya. Ia lebih banyak bertahan bersama anak gadisnya. Titik
berat gerak Ki Argapati kini berada di tangannya. Namun demikian, tangannya
tetap merupakan tangan seorang yang mumpuni di dalam olah kanuragan.
Di bagian lain, Daksina mulai
terdesak oleh Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan para pemimpin pengawal
yang telah kehilangan lawannya di lambung. Mereka melepaskan diri dari
kelompoknya dan membantu Raden Sutawijaya yang sebenarnya masih belum dapat
disejajarkan dengan kemampuan Daksina. Tetapi Daksima tidak dapat melawan
beberapa orang sekaligus di dalam kepungan orang-orang Mataram dan Menoreh.
Pengawal-pengawalnya seorang demi seorang telah berguguran dan terdesak
menjauhinya tanpa dikehendakinya.
Dalam pada itu, Rudita yang
dibimbing oleh Sumangkar, yang bahkan seakan-akan diseretnya saja di sela-sela
gerumbul-gerumbul perdu itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan
ayahnya. Namun ketika ia berada di lereng gunung alas berdiri raksasa yang
berujud seperti ayahnya, Rudita menjadi ragu-ragu.
“Ayahku bukan sebesar itu,”
katanya.
“Marilah,” berkata Sumangkar,
“jangan ragu-ragu, akulah yang akan membawamu kembali kepada ayahmu.”
“Tetapi di manakah ayah
sebenarnya jika raksasa itu hanya sekedar bentuk semu?”
“Aku mengetahui tempatnya.
Karena itu, cepatlah sedikit, agar ayahmu segera dapat mengambil tindakan jika
ia yakin bahwa kau sudah selamat.”
Meskipun dengan ragu-ragu,
namun Rudita mengikuti saja dibimbing oleh Sumangkar merayap mendekati bukit.
Sedang di bukit yang lain tampak Panembahan Agung masih berdiri dengan wajah
yang merah membara.
Sejalan dengan kemenangan demi
kemenangan yang dicapai oleh pasukan Mataram dan Menoreh, maka Panembahan Agung
yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu pun semakin menjadi cemas. Ia sadar
bahwa ia tidak dapat mempengaruhi pasukan Mataram dan Menoreh itu dengan
kebohongan-kebohongan lain, karena kegagalannya pada bagian pertama dari
pertempuran ini, telah membuat lawannya menjadi kebal. Mereka tahu pasti, bahwa
apa yang akan diujudkan dalam bentuknya yang semu itu benar-benar tidak akan
berpengaruh atas mereka.
Sementara itu Kiai Gringsing
masih bertempur dengan gigihnya. Bahkan dengan mengerahkan segenap
kemampuannya, perlahan-lahan Kiai Gringsing dapat membatasi kekasaran dan
keliaran Panembahan Alit.
Ki Argapati yang bertempur
tidak terlampau jauh dari Kiai Gringsing, melihat betapa Kiai Gringsing telah
berjuang dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang tampak sesuatu yang
mendebarkan jantung Ki Argapati. Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk
memperhatikannya terlalu lama, karena Putut Nantang Pati yang mendekati
kegoyahan sikap itu masih saja menyerangnya dengan garang. Bahkan kemudian yang
tampak pada sikap Putut itu adalah keputus-asaan atas segala kegagalan
Panembahan Agung yang selama ini dianggapnya sebagai manusia yang tidak ada
tandingnya di muka bumi. Manusia yang seakan-akan dapat mengubah alam menurut
keinginannya dan mengacaukan bentuk yang sebenarnya dengan bentuk-bentuk semu
yang tidak dapat dibedakan dengan kenyataan di dalam ujud yang terbayang oleh
pengaruh getaran ilmu yang langsung mempengaruhi pusat syaraf.
Dalam pada itu, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Prastawa tidak lagi harus bertempur mati-matian. Ia kini berada
di antara para pengawal. Cambuknya masih meledak-ledak, tetapi mereka tidak
lagi harus memeras segenap kemampuan. Apalagi Agung Sedayu yang menganggap
lawan mereka tinggal para pengawal yang tidak banyak mengetahui apa yang harus
dilakukan itu. Ia bertempur untuk sekedar menahan mereka. Sekali-sekali ia
terpaksa melukai, tetapi ia sama sekali tidak ingin membunuh lagi, setelah
dengan berat hati ia terpaksa mematahkan serangan lawan-lawannya dengan
sungguh-sungguh, dan bahkan menimbulkan kematian.
Dalam keadaan yang demikian,
sekali-sekali ia sempat melihat gurunya bertempur. Ada sesuatu yang sangat
menarik perhatiannya. Di dalam penempuran yang sangat dahsyat melawan orang
yang sudah mencapai puncak ilmunya, ternyata Kiai Gringsing memiliki sesuatu
yang masih agak asing bagi kedua muridnya. Meskipun pada dasarnya
murid-muridnya sudah memiliki ilmu itu, tetapi ada yang masih mendebarkan
jantung mereka.
Agung Sedayu pernah melihat
gurunya bertempur melawan orang-orang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Gurunya pernah bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Melawan hantu-hantu di Alas
Mentaok. Melawan banyak lagi orang-orang yang tidak terduga-duga. Bahkan Kiai
Gringsing pernah terluka di Jati Anom. Namun kali ini perkelahian di antara
kedua orang itu benar-benar merupakan perkelahian yang luar biasa.
“Agaknya Panembahan Alit bukan
saja mempergunakan ilmu olah kanuragan secara wajar,” perasaan itu tumbuh di
dalam hati kedua murid-murid Kiai Gringsing itu.
Sebenarnyalah mereka melihat,
bahwa pertempuran itu rasa-rasanya seperti tidak sewajarnya. Kadang-kadang
mereka bergerak terlampau cepat. Namun kadang-kadang mereka berdiri saja dengan
tegang sambil menggenggam senjata masing-masing.
Dalam pada itu Panembahan Alit
merasa, bahwa kali ini ia benar-benar menemukan lawan yang tidak dapat
dikalahkannya dengan segenap ilmu yang ada padanya. Seakan-akan Kiai Gringsing
dapat melakukan apa saja yang dilakukannya.
Di lingkaran perkelahian yang
lain, Putut Nantang Pati benar-benar telah dicengkam oleh perasaan putus asa.
Anak buahnya telah terdesak semakin mundur. Sedangkan ia masih belum berhasil
mengalahkan Ki Argapati dan anak gadisnya, meskipun tampaknya Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu menjadi semakin parah.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba seorang anak muda telah terjun ke dalam arena itu pula. Prastawa,
yang agaknya sudah kehilangan lawan-lawannya di lambung, tidak mau membiarkan
Pandan Wangi semakin sulit mengalami tekanan Putut Nantang Pati justru karena
Ki Argapati menjadi semakin lemah.
Kehadiran Prastawa membuat
Putut Nantang Pati menjadi semakin marah. Dengan segenap kemampuan dilambari
oleh perasaan putus asa ia mencoba memecahkan perlawanan ketiga orang itu.
Tetapi ternyata usahanya sia-sia saja. Meskipun Prastawa tidak sekuat Pandan
Wangi, namun kehadirannya benar-benar telah membuat Putut Nantang Pati
kehilangan harapan untuk memenangkan perkelahian itu. Bahkan ia telah
kehilangan harapan atas keseluruhan dari pertempuran itu.
Dan itulah sebabnya, maka ia
pun seakan-akan menjadi kehilangan akal. Dengan membabi buta ia berusaha untuk,
memecahkan kerja sama ketiga lawannya. Tetapi Putut Nantang Pati pun merasa
bahwa usaha itu tidak akan berhasil.
Dalam keadaan itu, Ki Argapati
merasa bahwa tugasnya pun menjadi semakin ringan. Prastawa dapat mengambil
sebagian dari tugasnya mengatasi serangan-serangan Putut Nantang Pati yang
menjadi semakin kasar dan liar.
Namun dalam kesempatan itu,
kadang-kadang ia masih sempat memperhitungkan Kiai Gringsing yang bertempur
melawan Panembahan Alit. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna,
Ki Argapati dapat menilai pertempuran yang sedang berlangsung antara Kiai
Gringsing dan Panembahan Alit. Meskipun Ki Argapati pada saat itu tidak akan
lagi mampu melawan Panembahan Alit karena cacatnya, namun Ki Argapati masih
mampu melihat, apakah sebenarnya yang terjadi di arena kedua orang yang pilih
tanding itu.
Ki Argapati melihat bahwa
keduanya telah sampai kepada inti ilmu masing-masing. Bahkan kadang-kadang
mereka telah sampai pada puncak tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya,
sehingga nampaknya, tenaga yang terlontar dari kedua orang itu memiliki
kekuatan yang luar biasa.
Tetapi selain dari kekaguman
Ki Argapati atas kemampuan Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang masih tetap
utuh, meskipun umur mereka menjadi semakin tua bahkan seakan-akan justru
menjadi semakin masak dan sempurna, Ki Argapati juga menjadi heran, bahwa Kiai
Gringsing selama ini telah melakukan suatu usaha yang dapat membahayakan
jiwanya. Sejak pertama kali ia melihat kehadiran orang itu di Menoreh pada saat
pertentangan berkobar di Tanah Perdikan ini, dan yang ternyata telah didahului
oleh peristiwa-peristiwa yang penting yang terjadi di Sangkal Putung, saat
Tohpati masih memiliki kekuatan, telah menimbulkan beberapa pertanyaan di
hatinya.
“Apakah yang telah mendorong
orang tua itu untuk menyabung nyawa di setiap peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di sekitar Mataram? Jika ia sekedar seorang yang memiliki kelebihan di
dalam olah kanuragan, kemudian mengambil kedua anak muda itu menjadi muridnya,
maka ia tidak akan mempertaruhkan nyawanya bagi Mataram.” Namun kemudaan,
“Apakah hanya secara kebetulan saja semuanya itu terjadi?”
Namun Ki Argapati masih tetap
menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang mendorong Kiai Gringsng itu berbuat
banyak bagi Mataram,
“Bukan hanya bagi Mataram,” Ki
Argapati melengkapi pendapatnya sendiri di dalam hati, “ia telah membantu
menegakkan Pajang di saat pasukan Jipang masih tersisa. Dan ia telah membantu
memadamkan api yang berkobar di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan kini ia berbuat
banyak sekali bagi Mataram yang sedang tumbuh itu.”
Tetapi Ki Argapati terpaksa
menghentikan angan-angannya. Ia melihat Pandan Wangi dan Prastawa menjadi
semakin sulit melawan Putut Nantang Pati yang benar-benar telah berputus asa,
meskipun beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah
kehilangan lawan-lawannya datang membantu, sehingga Putut Nantang Pati itu
seakan-akan telah dikepung oleh empat orang sekaligus, selain darinya sendiri,
dan seorang di antaranya adalah seorang anak muda bertubuh gemuk dan bersenjata
sebuah cambuk.
Sejenak Ki Argapati mengamati
pertempuran itu. Putut Nantang Pati memang seorang yang memiliki perhitungan
yang baik. Di dalam keputusasaan itu, hampir di luar sadarnya, ia masih mampu
melakukan gerak-gerak yang mengejutkan. Di dalam saat ia tidak lagi dapat
berpikir dengan baik, ia masih mampu menemukan sikap yang tidak disangka-sangka
oleh lawannya.
“Di dalam segala keadaan,
agaknya Putut Nantang Pati benar-benar sudah mapan dan menguasai ilmunya dengan
baik,” berkata Ki Gede Menoreh di dalam hatinya. Dan itulah sebabnya, maka ia
harus berada di tengah-tengah pertempuran itu meskipun ia hanya sekedar
menentukan keadaan, karena untuk langsung bertempur menghadapi Putut Nantang
Pati, kakinya menjadi semakin sakit dan lemah.
Kehadiran Swandaru di dalam
arena itu telah menggetarkan hati Putut Nantang Pati. Bunyi cambuknya itu
bagaikan suara hantu yang memanggilnya dari lubang kubur. Apalagi ketika mulai
terasa ujung cambuk menyentuh tubuhnya.
Memang tidak ada jalan untuk
keluar dari pertempuran itu. Pasukannya sudah terdesak, dan ia sendiri
seakan-akan telah dipisahkan dari pasukannya. Di sekitarnya melingkar
orang-orang Menoreh yang bersenjata telanjang teracu kepadanya.
Akhirnya, tidak ada pilihan
lain daripada Putut Nantang Pati selain mati. Dan ternyata bahwa ia tidak lagi
segan untuk melakukannya.
Demikian juga agaknya Daksina.
Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang pengawal pilihan telah
mengepungnya dan mendesaknya sampai ke tepi padas yang tegak pada kaki
pebukitan.
“Kau tidak akan dapat lari
lagi,” desis Sutawijaya, “menyerahlah. Mungkin aku masih dapat berbicara dengan
mulutku, tidak dengan senjataku, karena aku tahu Paman adalah seorang Senapati
Pajang. Di saat Pajang mulai tegak, Paman telah berjasa bagi Pajang. Barangkali
jasa Paman itu dapat mengurangi kemurkaan Ayahanda Sultan Pajang dan Ayahanda
Pemanahan.”
“Aku tidak akan memohon belas
kasihan kepada siapa pun juga. Kepada kedua ayahmu itu pun tidak,” Daksina
justru berteriak.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya, lalu, “Bukan belas kasihan, tetapi Pajang dan Mataram tidak akan
melupakan jasa seseorang. Karena itu menyerahlah. Paman tidak akan mengalami
nasib yang buruk.”
“Bohong. Aku tentu akan kau
perah seperti cucian hingga darahku kering. Kau dan ayahmu Pemanahan tentu
ingin tahu, siapa saja yang berada di pihakku.”
“Kau berprasangka. Kami telah
bersama-sama berjuang menegakkan Pajang. Karena itu, marilah. Jangan kehilangan
akal.”
Tetapi Daksina tidak
menghiraukannya. Ia masih tetap bertempur dengan gigihnya.
Para pengawal dari Mataram itu
pun masih mencoba melunakkan hati Daksina. Mereka memang berkepentingan untuk
dapat menangkap Daksina hidup. Tetapi agaknya Daksina sendiri tidak lagi
berminat untuk tetap hidup.
“Daksina,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “kau tentu mengenal aku dan beberapa orang prajurit Pajang yang ada
di sini seperti aku mengenal kau dan beberapa orang kawanmu. Kenapa kau
berkeras untuk berkelahi sampai mati jika kita dapat mencari cara penyelesaian
yang lain?”
“Persetan!” bentak Daksina.
“Jangan banyak bicara Branjangan, kau atau aku yang akan mati.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Daksina bagaikan orang mengamuk.
“Kita tangkap hidup-hidup,”
desis Sutawijaya kepada Branjangan.
Tetapi agaknya Daksina
mendengarnya sehingga dengan penuh kemarahan ia berteriak, “Sombong. Ayo
tangkap aku hidup-hidup jika kau mampu.”
Dalam pada itu, Agung Sedayu
yang sudah tidak mempunyai lawan lagi berdiri termangu-mangu. Dilihatnya
pasukan Panembahan Agung yang semakin jauh terdesak, sehingga mereka sudah
hampir memasuki padepokan induk. Sejenak ia termangu-mangu karena di sekitarnya
masih ada beberapa lingkaran perkelahian. Kiai Gringsing yang bertempur melawan
Panembahan Alit benar-benar merupakan arena pertempuran yang tidak ada
bandingnya. Pertempuran itu tentu lebih dahsyat dari saat-saat Kiai Gringsing
harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Sekilas terbayang perang tanding yang
pernah dilakukan oleh Ki Argapati melawan Ki Tambak Wedi. Tentu merupakan
pertempuran yang sangat dahsyat pula. Namun kini di samping kemampuan olah
kanuragan dan pengungkapan tenaga cadangan, di dalam pertempuran itu terasa
sesuatu telah membakar keduanya. Kemarahan dan puncak dari ilmu mereka.
Setiap kali Agung Sedayu masih
mendengar cambuk Kiai Gringsing meledak-ledak. Demikian juga cambuk Swandaru.
Karena itu, maka Agung Sedayu mulai tertarik untuk membantu salah seorang dari
mereka. Tetapi ia pasti, bahwa ia tidak akan dapat banyak berbuat di arena
pertempuran melawan Panembahan Alit.
Karena itu, perlahan-lahan
Agung Sedayu mendekati arena pertempuran melawan Putut Nantang Pati. Ia masih
melihat senjata terayun. Tetapi ketika ia mendekat, terdengar seseorang
mengaduh perlahan-lahan. Dan sekali lagi cambuk Swandaru meledak, maka suara
itu pun terulang lagi.
Agung Sedayu tertegun ketika
ia melihat darah ditubuh Putut Nantang Pati. Ternyata senjata Pandan Wangi
telah menyentuhnya, disusul oleh senjata Swandaru, sehingga dari luka di tubuh
Putut Nantang Pati itu pun meleleh darah dan menitik ke atas tanah di lembah
yang terasing itu.
Putut Nantang Pati menggeram.
Tetapi ia sudah bertekad, bahwa lembah terasing ini adalah lembah yang harus
dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa. Karena itu, maka ia sama sekali
tidak berusaha untuk menghindari maut yang sudah mulai menyentuhnya.
Serangan-serangan berikutnya
adalah serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi. Dan Putut Nantang Pati yang
menjadi semakin lemah, sama sekali tidak mampu lagi untuk menghindarkan diri
dari kematian.
Tetapi sebelum saat terakhir
datang, maka terdengar suara Ki Argapati, “Cukup. Tidak bijaksana membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya.”
“Persetan,” tiba-tiba Pulut
Nantang Pati berteriak dengan sisa tenaganya, “aku tidak akan mengharap belas
kasihan seperti itu. Aku adalah Putut Nantang Pati, murid terpercaya dari
Panembahan Agung. Jika kalian ingin membunuh aku, bunuhlah.”
“Ki Sanak,” berkata Ki
Argapati, “kematian bukan tujuan kami. Kau harus dapat mengerti, bahwa yang
kami perangi bukan kau sebagai manusia wadag. Tetapi adalah sikap dan
perbuatan. Jika wadagmu tidak mampu lagi mendukung sikap dan keinginanmu yang
salah, maka kami tidak akan berbuat banyak lagi atas wadagmu itu.”
Mata Putut Nantang Pati justru
menjadi semakin membara. Sejenak ia memandang Ki Argapati. Namun agaknya ia
benar-benar tersinggung oleh kata-kata Ki Argapati itu, sehingga ia pun
kemudian berteriak, “Kau menghina aku. Kau menghina kejantananku.”
Hampir di luar dugaan siapa
pun juga, Putut Nantang Pati yang lemah itu, didorong oleh kemarahan yang
meluap-luap, tiba-tiba saja meloncat secepat tatit di udara, menyerang Ki
Argapati, tanpa menghiraukan lawan-lawannya yang lain.
Namun sudah menjadi tekadnya,
ketika ujung pedang Pandan Wangi, ujung cambuk Swandaru dan serangan mendatar
Prastawa berbareng mengenainya. Bahkan Ki Argapati sendiri yang terkejut, tidak
mampu lagi untuk menghindar. Apalagi kakinya benar-benar terasa sangat
mengganggunya. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah mengacungkan tombak
pendeknya ke arah lawannya.
Demikianlah beberapa ujung
senjata, bersama-sama telah mengenai tubuh Putut Nantang Pati. Ia masih dapat
menggeram dan menggeliat. Tetapi kemudian ia menghembuskan nafasnya yang
penghabisan, menelungkup di atas tanah yang dipertahankannya sampai ujung hidupnya.
Agung Sedayu yang juga melihat
tubuh Putut Nantang Pati yang arang kranjang itu memalingkan wajahnya. Meskipun
ia berada di medan, tetapi ia tidak sampai hati melihat luka dan darah yang
bagaikan membalut tubuh yang terbaring itu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia pernah mendengar cerita tentang Ki Ageng Sela yang mengikuti
pencalonan senapati. Di dalam pendadaran, Ki Ageng Sela harus bertempur melawan
seekor harimau lapar di alun-alun. Dengan menaiki seekor kuda, Ki Ageng Sela
memasuki arena, diringi oleh sorak sorai prajurit yang menjadi pagar arena
dengan tombak di tangan.
Ketika sampai saatnya ia
berhasil menusuk harimau itu tepat di punggungnya, dan ketika darah yang merah
seakan-akan memancar dari luka itu. Ki Ageng Sela memalingkan wajahnya. Ia
tidak sampai hati melihat harimau itu mengaum dan mandi darah.
Namun dengan demikian,
ternyata ada orang yang lain melampauinya di dalam pendadaran itu. Bukan
kemampuannya olah senjata sambil mengendalikan seekor kuda. Tetapi orang itu
tanpa mengedipkan matanya memandang harimau korbannya yang berguling-guling
kesakitan dan kemudian mati terkapar di alun-alun diiringi sorak sorai yang
rasa-rasanya akan merobohkan langit.
Ki Ageng Sela tidak berhasil
menjadi seorang senapati. Tetapi Ki Ageng Sela sama sekali tidak menyesal,
bahkan ia masih berasa bersyukur bahwa ia tidak berhasil, karena di medan
perang, yang dibunuhnya itu tentu bukannya sekedar seekor harimau.
Agung Sedayu sekali lagi
menarik nafas dalam-dalam. Dan ia menjadi semakin yakin akan dirinya sendiri,
bahwa ia tidak akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.
Selagi merenungi keadaannya
sendiri, maka Agung Sedayu pun terkejut pula ketika ia mendengar orang-orang
Mataram bersorak. Ternyata beberapa orang yang juga berasal dari Pajang,
termasuk Raden Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan, telah berhasil mengakhiri
pertempuran itu. Seperti Putut Nantang Pati maka Daksina pun tidak mau
menyerah. Ia sadar, bahwa ia akan mengalami banyak kesulitan di Mataram, jika
ia tertangkap hidup-hidup. Ia akan mengalami perlakuan yang parah untuk diperas
keterangan dari mulutnya tentang orang-orang Pajang.
Dalam pada itu, yang masih
saja bertempur dengan gigihnya adalah Panembahan Alit. Kiai Gringsing
benar-benar mengalami kesulitan, bahkan hampir tidak mungkin untuk
mengalahkannya. Panembahan Alit memilki ilmu yang sulit diatasi. Kecepatannya
bergerak merupakan senjata yang dibanggakannya. Karena itu, maka ujung cambuk
Kiai Gringsing hampir tidak pernah berhasil menyentuhnya.
“Ilmu apa sajakah yang sedang
bertarung di arena itu,” Raden Sutawijaya pun menjadi heran. Hampir saja ia
memerintahkan pasukannya untuk bersama-sama membinasakan Panembahan Alit. Namun
Kiai Gringsing sempat berterak, “Biarkan Panembahan Alit bermain-main dengan
aku sendiri.”
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun berlangsung dengan sangat sengitnya, sementara pasukan
Panembahan Agung yang lain telah terdorong memasuki padepokannya.
Panembahan Alit pun
mengetahui, bahwa pasukannya telah terdesak dan bahkan terpisah dari padanya.
Dan ia pun mengetahui bahwa kedua senapati pengapitnya telah mati di peperangan
itu. Namun ia tidak ingin lari, tidak berbuat seperti di Alas Tambak Baya. Kali
ini ia bertempur mati-matian mengerahkan segenap ilmu yang ada padanya.
Ternyata bahwa Panembahan Alit
yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama itu berhasil mengimbangi
kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan sekali-sekali Panembahan Alit mampu mendesak
Kiai Gringsing beberapa langkah surut.
Kiai Gringsing pun sadar,
bahwa ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu begitu saja. Ia kagum
akan kecepatan bergerak lawannya, yang kadang-kadang dapat melampaui kecepatan
ujung cambuknya.
Dengan demikian, maka beberapa
orang pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh kemudian berdiri
melingkari arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang
semakin lama justru menjadi semakin seru. Bahkan mereka sudah bertekad untuk
bertempur sehari semalam, dan jika perlu lebih panjang lagi dari waktu yang
sehari semalam itu.
Namun dalam pada itu,
Panembahan Agung sendiri tidak dapat mengingkari kenyataan. Pasukan lawan
sedikit demi sedikit telah memasuki padepokannya, sehingga ia tidak akan dapat
tinggal diam.
Karena itulah, maka telah
terjadi sesuatu yang mengguncangkan keseimbangan pertempuran itu.
Di dalam cengkaman perang
tanding yang dahsyat itu, Panembahan Alit masih sempat melihat bayangan raksasa
di puncak bukit. Semakin lama bayangan itu menjadi semakin samar. Bayangan itu
tidak hilang dengan tiba-tiba, tetapi perlahan-lahan, sehingga akhirnya hilang
sama sekali.
Bukan saja Panembahan Alit,
tetapi hampir setiap orang sempat melihat raksasa yang seakan-akan
perlahan-lahan menjadi asap sehingga akhirnya.tidak lagi kasat mata.
Kepergian bayangan itu agaknya
menimbulkan kesan tersendiri. Raksasa yang lain pun tiba-tiba telah lenyap pula
dari atas bukit, meskipun dengan cara yang lain, tidak dengan perlahan-lahan.
Sumangkar yang membimbing
Rudita melihat juga bahwa kedua raksasa itu telah hilang. Karena itu dengan
bergegas ia berkata, “Rudita, ayahmu telah selesai dengan semadinya. Marilah,
cepat.”
Keduanya merayap naik di
antara batu-batu padas. Hanya beberapa langkah. Di balik sebuah gerumbul mereka
melihat Ki Waskita masih duduk di atas sebuah batu yang tersembunyi.
Rudita menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi Sumangkar berbisik, “Itu benar-benar ayahmu, bukan bentuk
semu.”
Rudita memandang Sumangkar
sejenak, namun kemudian ia berteriak, “Ayah.”
Ki Waskita pun kemudian
berdiri. Dipandanginya saja anaknya yang kemudian tertatih-tatih berlari
mendapatkannya dan langsung memeluknya sambil menangis seperti kanak-kanak.
Ki Waskita membelai kepala
anaknya yang telah hilang beberapa lamanya itu.
“Kau tidak apa-apa?” desis
ayahnya.
“Kenapa tidak apa-apa,” sahut
anaknya di sela-sela tangisnya, “aku telah diikat, disakiti dan dipaksa untuk
berbicara yang aku sendiri tidak mengerti.”
Ki Waskita menjadi semakin iba
kepada anaknya. Anak laki-lakinya yang sangat manja, yang tidak pernah
mengalami persoalan yang dapat menggoncangkan hatinya. Tiba-tiba saja ia
mengalami peristiwa yang memang sangat dahsyat, bahkan bagi mereka yang berhati
tabah sekali pun.
“Baiklah, Rudita.
Beristirahatlah di sini bersama pamanmu Sumangkar. Aku masih harus
menyelesaikan pekerjaan ini.”
“Apakah Ayah akan pergi?”
“Ya. Aku harus bertemu dengan
Panembahan Agung Agaknya ia menyingkir dari padepokannya.”
“Darimana Ayah tahu?”
“Bentuk semu yang
diciptakannya ditinggalkan begitu saja sehingga perlahan-lahan menjadi kabur
dan hilang. Ia tidak sempat menghapusnya lebih dahulu ketika ia meninggalkan
tempatnya.”
“Tetapi biar sajalah ia pergi,
Ayah?”
“Ia akan menjadi manusia yang
paling berbahaya. Kegagalannya kali ini akan menumbuhkan dendam yang semakin
dahsyat di dalam hatinya.”
“Tetapi Ayah jangan pergi.”
Ki Waskita seolah-olah tidak
menghiraukan suara anaknya. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukan anaknya sambil
berkata kepada Ki Sumangkar, “Aku titip anakku. Bawalah kepada Ki Gede Menoreh
jika ia sudah selesai. Aku harus mendapatkan Panembahan Agung, jika kita tidak
ingin melihat ia mengguncang-guncang ketenteraman bumi ini dengan ilmu
kebohongan itu.”
“Ayah,” Rudita berteriak.
“Jangan gelisah. Kau sudah
aman di sini. Tidak ada apa-apa lagi.”
“Tetapi Ayah jangan pergi.”
Ki Waskita tidak menghiraukannya.
Ia pun segera berlari menghambur dan hilang di balik gerumbul.
“Ayah, Ayah,” Rudita masih
berteriak.
“Sudahlah, Rudita. Marilah
kita pergi mendapatkan Ki Argapati.”
Rudita mencoba untuk meronta
melepaskan dirinya dari tangan Sumangkar untuk menyusul ayahnya. Tetapi
Sumangkar memeganginya semakin erat sambil membujuknya, “Rudita. Kau adalah
seorang anak muda yang sudah dewasa. Kau bukan anak-anak lagi. Anak-anak muda
sebayamu kini berada di medan dengan senjata di tangan. Kenapa kau masih saja
menangis?”
Rudita memandang Sumangkar
dengan tatapan mata yang basah. Namun anak muda itu mencoba juga untuk menahan
tangisnya yang menyesak di dadanya.
“Sudahlah,” berkata Sumangkar
kemudian, “ayahmu adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Ia
merasa mempunyai kewajiban untuk berbuat kebajikan. Karena itu, jangan kau
tahan agar usahanya untuk bertemu dengan Panembahan Agung dapat berhasil.”
Rudita tidak menyahut.
“Nah, marilah kita menemui Ki
Argapati.”
Rudita tidak meronta lagi ketika
Ki Sumangkar membimbingnya seperti membimbing anak-anak menuruni tebing dan
mendekati arena yang sudah menjadi lengang.
Namun ternyata masih ada
pertempuran yang sengit terjadi di lembah itu. Bahkan seperti ayam jantan yang
sedang bersabung, maka beberapa orang telah melingkarinya menyaksikan
perkelahian yang dahsyat itu.
Sampai saat terakhir tidak ada
tanda-tanda, bahwa Kiai Gringsing akan berhasil. Panembahan Alit bagaikan
menyimpan sarang angin di dalam dadanya. Betapa pun ia bergerak dan berloncatan,
nafasnya rasa-rasanya sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan seolah-olah tata
geraknya semakin lama menjadi semakin mapan. Meskipun Panembahan Alit adalah
seorang yang bertubuh wajar, namun ia selalu berhasil menyusup di antara
lecutan-lecutan cambuk Kiai Gringsing yang meledak-ledak di seputarnya.
Tetapi di saat-saat terakhir,
terjadilah perubahan itu. Ketika Panembahan Alit melihat bayangan raksasa di
atas bukit yang lenyap dengan perlahan-lahan, maka seolah-olah ia mendapatkan
isyarat, bahwa Panembahan Agung sudah tidak mampu lagi bertahan.
Bagi Panembahan Alit, maka
Panembahan Agung adalah tumpuan perjuangannya. Ia bertempur mati-matian dan
melakukan semua usaha selama ini untuk menggagalkan usaha membuka Alas Mentaok
karena ia berharap bahwa pada suatu saat Panembahan Agung akan dapat menjadi
Ratu Adil yang menguasai Tanah Jawa. Yang akan memerintah dengan kebesaran yang
tiada taranya, yang akan disegani oleh kawan dan lawan, dihormati oleh
bangsa-bangsa di permukaan bumi. Namun di dalam saat terakhir, pertahanan ini
agaknya tidak lagi dapat diselamatkan. Panembahan Agung sendiri agaknya telah
menjadi berputus asa, atau meninggalkan padepokan tanpa memberitahukan
kepadanya lebih dahulu.
Perasaan kecewa, menyesal, dan
cemas bercampur baur di dalam hatinya, sehingga tata geraknya pun menjadi
terpengaruh olehnya.
Pada saat-saat yang demikian
itulah maka cambuk Kiai Gringsing telah menyentuhnya tepat di lambung, sehingga
Panembahan Alit itu pun terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ternyata bahwa
setiap mata menjadi terbelalak karenanya. Ujung cambuk Kiai Gringsing yang
tiada taranya itu, sama sekali tidak berhasil melukai tubuh Panembahan Alit.
Meskipun pakaian Panembahan Alit koyak karenanya, tetapi kulitnya sama sekali
tidak tersobek, sehingga tidak setitik darah pun yang mengembun dari tubuhnya.
Bukan saja yang menyaksikan
hal itu menjadi terheran-heran. Tetapi Kiai Gringsing sendiri menjadi heran
pula. Hampir di luar sadarnya ia berdesis perlahan-lahan kepada diri sendiri,
“Orang ini agaknya memiliki ilmu kebal.”
Ternyata bukan hanya sekali
dua kali. Ujung cambuk Kiai Gringsing beberapa kali berhasil menyentuh
lawannya. Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak melukainya.
Dada Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Sepanjang petualangan yang pernah dilakukan, jarang sekali ia
menjumpai orang yang memiliki ilmu serupa ini. Ki Tambak Wedi yang menggetarkan
itu pun tidak memiliki kekebalan. Ki Argapati justru pernah terluka, dan sudah
barang tentu Sumangkar pun tidak. Namun Panembahan Alit yang juga menyebut
dirinya Panembahan Tidak Bernama ini ternyata tidak dapat dilukai oleh ujung
cambuknya.
Meskipun oleh pengaruh
perasaan sendiri, tandang Panembahan Alit seakan-akan menjadi susut, dan bahkan
beberapa kali lawannya berhasil mengenainya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa
ia akan menghentikan pertempuran itu, atau bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa
Kiai Gringsing akan berhasil mengalahkannya. Karena itulah, maka setiap orang
yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi sangat cemas. Mereka tidak dapat
membayangkan apakah yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Dengan
kemampuannya Kiai Gringsing selalu berhasil menghindari serangan lawannya,
sedang lawannya seakan-akan tidak dapat di lukai dengan senjata.
“Jika pertempuran berlangsung
terus seperti ini, maka aku kira tidak akan dapat selesai tiga hari tiga
malam,” berkata Raden Sutawijaya kepada diri sendiri.
Namun Raden Sutawijaya tidak
dapat berbuat apa-apa. Jika ia turun ke gelanggang dan tidak memiliki kemampuan
bergerak seperti Kiai Gringsing, maka ia tentu akan segera diterkam oleh
bencana karena di dalam keadaan yang pahit itu, Panembahan Alit masih tetap
seorang yang sangat berbahaya.
Dengan sepenuh tenaga Kiai
Gringsing mencoba untuk mempergunakan saat-saat yang tidak menguntungkan bagi
Panembahan Alit itu. Tetapi setiap kali ia gagal. Bahkan Kiai Gringsing pun
menjadi cemas. Jika Panembahan Alit berhasil mengatasi persoalan di dalam
dirinya, atau justru menjadi putus asa sama sekali dan bertempur membabi buta,
maka akibatnya akan pahit pula baginya. Justru karena senjatanya seakan-akan
tidak mampu menembus pertahanan kekebalan kulit Panembahan Alit itu.
Dengan demikian maka
pertempuran itu pun menjadi kian sengit. Kiai Gringsing berusaha sekuat tenaga
untuk mencoba menembus kekebalan kulit Panembahan Alit. Tetapi usahanya tidak
berhasil, karena kulit Panembahan Alit itu pun seakan-akan telah berlapis baja
Sejenak Kiai Gringsing menjadi
termangu-mangu. Bahkan kadang-kadang ia harus meloncat surut. Namun ia tidak
dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya. Lawannya tidak dapat dilukai
dengan senjatanya.
Karena itu, Kiai Gringsing
tidak dapat berbuat lain, Meskipun seakan-akan ia telah menyimpan ilmunya yang
jarang-jarang sekali dipergunakannya itu, karena ia hampir tidak pernah
menjumpai lawan yang sekuat Panembahan Alit, namun akhirnya datang saatnya ia
harus mempergunakannya lagi.
Dalam keadaan yang sangat
terdesak, Kiai Gringsing menggeretakkan giginya. Matanya menjadi merah dan
tiba-tiba saja orang-orang yang berdiri di sekeliling arena melihat perubahan
pada wajah orang tua itu. Kiai Gringsing yang berwajah lunak dan sejuk itu,
betapa pun ia dilibat oleh kesulitan di dalam pertempuran tiba-tiba menjadi
seorang yang berwajah keras seperti batu-batu padas di tebing pegunungan.
Matanya menjadi seakan-akan bersinar kemerah-merahan oleh goncangan di dalam
dirinya.
Ternyata Kiai Gringsing sedang
memusatkan segenap kemampuannya pada ilmunya yang selama ini tidak pernah
dibangunkannya lagi, setelah ia meninggalkan lingkungannya pada masa Demak masih
berkuasa. Meskipun saat itu ia masih muda, namun gurunya telah mempercayakan
sebuah ilmu yang hampir tidak dapat dicarinya duanya.
Di dalam kesulitan itulah,
maka Kiai Gringsing mencoba untuk membangunkan ilmunya. Ilmu yang masih sangat
asing meskipun bagi murid-muridnya sendiri.
Dengan sebuah loncatan panjang
Kiai Gringsing menjauhi lawannya. Kemudian dengan sepenuh kekuatan yang
terpusat pada anggauta badan wadagnya, maka Kiai Gringsing mengangkat sebelah
tangannya yang menggenggam cambuknya tinggi-tinggi menyilangkan tangan kiri di
dadanya, dan sambil menggeram ia mematangkan dirinya pada pusat kekuatan yang
ada padanya.
Pada saat itu, Ki Waskita yang
sedang berusaha mengejar Panembanan Agung yang telah meninggalkan bentuk
semunya begitu saja sehingga seperti asap lenyap perlahan-lahan, melihat dari
kejauhan sikap Kiai Gringsing itu. Sejenak ia tertegun. Sebuah getaran telah
mengguncang dadanya. Ilmu itu adalah ilmu yang dianggapnya telah tenggelam
dilanda oleh arus waktu yang keras. Namun ternyata ia masih sempat melihat
seseorang bersikap seperti yang pernah dilihatnya.
Namun Ki Waskita harus
berusaha menenangkan debar jantungnya, karena ia harus mengejar Panembahan
Agung. Dengan kemampuan mengenal isyarat di dalam dirinya, Ki Waskita dapat
menduga ke mana arah yang dilalui oleh Panembahan Agung itu.
Demikianlah maka dengan
segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Waskita berlari menyusup semak-semak dan
gerumbul-gerumbul perdu memotong arah Panembahan Agung. Ia yakin, bahwa pada
suatu saat ia tentu akan dapat menyusulnya. Jika tidak di hari itu maka di
malam hari ia akan berhasil. Dan jika tidak di malam hari, maka ia akan
mengejarnya terus, meskipun ia harus berlari sampai tiga hari tiga malam.
Langkah Ki Waskita terhenti
sejenak ketika kakinya menginjak jalan lurus yang meninggalkan padepokan induk
di lembah terasing itu. Sejenak ia memusatkan perhatiannya kepada orang yang
sedang dikejarnya. Dan tiba-tiba saja ia meloncat berlari di antara pohon-pohon
perdu dan merayap tebing pegunungan. Di antara batu-batu padas, Ki Waskita pun
kemudian mencoba memotong arah dan menyilang sebuah jalan sempit yang mendaki
pegunungan itu.
Tetapi tiba-tiba wajahnya
menjadi tegang. Ia sama sekali tidak melihat bekas-bekas kaki di jalan sempit
yang kotor itu. Karena itu maka dicobanya untuk meraba buruannya dengan
inderanya yang lain.
Terdengar Ki Waskita
menggeram. Ternyata ia telah melampaui jalur jalan yang ditempuh oleh
Panembahan Agung itu, sehingga ia terpaksa meluncur turun beberapa, langkah
dengan tergesa-gesa.
Ternyata bahwa isyarat yang
dilihatnya dapat dipercayanya ketika ia juga melihat bekas kaki yang masih
baru, menyelusuri sebuah jalan yang berbelok menyusur tebing. Panembahan Agung
ternyata menempuh jalan yang tidak diperhitungkannya dengan nalar. Tetapi alat
perabanya yang lain berhasil menyentuh jejak orang yang sangat berbahaya itu.
“Ia tidak akan dapat
menghindar dengan cepat,” berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, “aku tentu
mampu berlari lebih cepat daripadanya.”
Dengan demikian maka ia yakin
bahwa Panembahan Agung semakin lama menjadi semakin dekat daripadanya, meskipun
Ki Waskita belum melihatnya.
Sebenarnya Panembahan Agung
pun telah memperhihitungkan, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi ia merasa tidak
akan ada gunanya mengganggu Ki Waskita dengan bentuk-bentuk semu yang dapat
dibuatnya di sepanjang jejaknya, meskipun kemudian akan hilang dengan
perlahan-lahan. Panembahan Agung yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya Jaka
Raras itu akan dengan mudah mengatasi bentuk-bentuk semu yang dibuatnya.
Sehingga bentuk-bentuk semu itu justru akan mempertegas jejaknya saja. Atau
usaha untuk melindungi diri dari tangkapan isyarat pun ia tidak akan berhasil
karena jarak yang sudah terlampau dekat.
Sekali-sekali Panembahan Agung
memang mencoba untuk membuat Ki Waskita bingung. Bukan dengan menciptakan
jurang yang luas atau api yang membakar bukit, tetapi justru bentuk-bentuk yang
sederhana dan kecil. Bekas-bekas kaki yang berbelok di jalan yang sebenarnya
tidak dilaluinya.
Beberapa kali Ki Waskita
memang dapat dihambat dengan cara itu, karena semula Ki Waskita tidak menduga,
bahwa Pembahan Agung sempat melakukannya. Tetapi, ketika sekali ia disesatkan
oleh bentuk semu, yang kemudian berhasil dipunahkannya, maka untuk seterusnya
ia menjadi sangat berhati-hati. Di setiap simpangan ia melihat bekas-bekas yang
diikutinya itu dengan mata ilmunya.
Meskipun Ki Waskita selalu
berhasil menemukan bekas kaki yang benar, tetapi usaha untuk mengetahui itu
telah memerlukan waktu meskipun pendek. Dengan demikian maka Panembahan Agung
mendapat kesempatan untuk memperpanjang jarak yang telah menjadi semakin
pendek.
Tetapi akhirnya Panembahan
Agung sadar, bahwa usahanya untuk melepaskan diri itu tidak akan berhasil, ia
tahu pasti bahwa Jaka Raras mampu menyelusur jejaknya bukan saja dari
jejak-jejak kaki, tetapi juga getaran isyarat pada dirinya. Meskipun di dalam
usaha melepaskan diri Panembahan Agung sudah membatasi kemungkinan itu
sekecil-kecilnya, dengan ilmu yang ada padanya, mengaburkan setiap getaran yang
dapat dikenal oleh orang lain, namun di dalam keadaan yang sulit itu, usahanya
tidak banyak membawa hasil.
Demikianlah maka Ki Waskita
yang mengejarnya terus itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga pada
akhirnya, ketika Ki Waskita telah sampai ke puncak bukit yang rendah, ia
berhasil melihat di sela-sela semak belukar, Panembahan Agung yang sedang
melarikan diri itu.
Dengan ilmunya Ki Waskita pun
kemudian berkata dari jarak yang jauh, “Panembahan Agung, apakah kau masih akan
berusaha untuk melarikan diri?”
Panembahan Agung mengerti
bahwa suara itu bukan suara wajar Jaka Raras, seperti ia sendiri mampu
melakukannya. Tetapi suara itu telah menggetarkan jantungnya pula.
Namun Panembahan Agung itu pun
menjawab, “Jangan menakut-nakuti aku, Jaka Raras. Kau mempergunakan ilmumu.
Tetapi sebenarnya kau belum melihat aku.”
Jaka Raras tertawa. Katanya,
“Aku bukan anak kecil lagi Panembahan, seperti juga kau yang sudah berani
menyebut dirimu panembahan, bahkan panembahan yang agung. Aku tahu bahwa kau memiliki
ilmu serupa. Tetapi aku kali imi tidak sedang bermain-main. Aku telah
melihatmu. Aku kini berada di puncak bukit kecil yang tebingnya baru kau
turuni.”
Hampir di luar sadarnya,
Panembahan Agung berpaling. Dan sebenarnyalah ia melihat seseorang berdiri di
atas bukit padas itu. Bukan terbentuk seorang raksasa, tetapi seorang dalam
ujudnya yang wajar. Kecil sekali di sela-sela batu-batu besar.
“Nah, bukankah kau sudah
melihat aku? Aku yang sebenarnya. Kau tentu dapat membedakan, apakah yang kau
lihat ini bentuk yang sebenarnya atau sekedar bentuk semu saja.”
Dada Panembahan Agung menjadi
berdebar-debar. Ia tahu tenar, bahwa yang berdiri di atas bukit itu adalah Jaka
Raras. Sebenarnya Jaka Raras, bukan bentuk semu yang diciptakannya.
Karena itu untuk beberapa saat
ia tidak menyahut. Dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri dari kejaran
Jaka Raras. Meskipun ia berpengawal saat itu sedang Jaka paras hanya seorang
diri mengejarnya, tetapi ia merasa, bahwa terlampau berat agaknya untuk melawan
Jaka Raras yang sedang didera oleh kemarahan karena anaknya, telah
disembunyikannya.
“Panembahan Agung,” berkata
Jaka Raras, “berhentilah. Dan marilah kita berbicara dengan baik. Aku dapat
berbuat kasar, tetapi aku pun dapat berbuat lunak. Aku sekarang berdiri
sendiri. Anakku yang telah aku ketemukan kembali, tidak ada bersamaku sekarang.
Karena itu, jika perlu aku dapat berbuat liar atau buas. Kita memang bukan
orang-orang yang berhati sutra. Kita telah ditempa oleh kehidupan yang keras,
kasar dan bahkan liar dan buas. Jika selama ini aku menjadi seorang yang
seolah-olah baik, lembut, dan lunak, semata-mata untuk kepentingan anakku,
karena aku sadar bahwa hidup dengan cara kita, adalah hidup yang dipenuhi
dengan kegelisahan dan kecemasan, sehingga karena itu, aku sama sekali tidak
menghendaki anakku akan menempuh hidup seperti kehidupan yang pernah kita
jalani. Namun agaknya aku salah hitung, ditambah dengan kasih yang
berlebih-lebihan dari ibunya, maka anakku menjadi seorang laki-laki yang
cengeng, bodoh, dan agak sombong. Aku sendiri sudah menyalurkan ilmu yang ada
padaku pada bentuk yang bermanfaat bagi sesama. Melihat masa-masa yang dekat
dan jauh di hadapan kita tanpa mendahului dan berusaha merubah takdir dan
keharusan. Karena yang aku lihat adalah yang akan terjadi, bukan yang
diinginkan terjadi. Namun aku harus mengakui betapa piciknya pengetahuan
seseorang. Ternyata bahwa aku tidak mengerti, bahwa pada suatu saat anakku akan
hilang, karena akulah yang menganjurkannya untuk ikut berburu supaya ia sedikit
memiliki sifat seorang laki-laki.”
Panembahan Agung menjadi
berdebar-debar mendengar kata-kata Jaka Raras. Ia sadar, bahwa Jaka Raras tidak
hanya sekedar menggertaknya. Ia kenal orang itu di dalam perguruan. Jaka Raras
memang dapat berbuat keras dan kasar, bahkan liar dan buas.
“Panembahan,” berkata Jaka
Raras, “aku menunggu keputusanmu. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku kini
tidak bersama anakku, sehingga jika aku kambuh lagi kepada sifat-sifatku, maka
anakku tidak akan menjadi kecewa karena ia tidak melihat bahwa ayahnya bukannya
orang yang baik seperti yang dikenalnya. Nah, bersiaplah. Kita akan bertempur
dengan cara kita. Kemudian jika aku berhasil mengatasi kekuatan batinmu, maka
wadagmu akan hancur menjadi makanan burung gagak, karena aku dapat melampaui
kebuasan binatang yang paling buas di hutan.”
Panembahan Agung masih tetap
berdiam diri. Ia seakan-akan telah terjepit pada suatu keharusan untuk
bertempur melawan Jaka Raras. Meskipun ia tidak seorang diri, tetapi agaknya
beberapa pengawalnya itu tidak akan berarti apa-apa bagi Jaka Raras.
Tetapi sudah barang tentu
bahwa Panembahan Agung bukan seorang pengecut yang menyerah untuk diikat dan
dibawa ke Mataram sebagai seorang tawanan. Dengan demikian ia akan dapat
menjadi tontonan orang di alun-alun di negeri yang sedang tumbuh itu. Karena
itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali bertempur sampai
kemungkinan yang paling akhir.
“Panembahan Agung,” terdengar
lagi suara Jaka Raras, “kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau sedang memperhitungkan
untung dan rugi dari tindakan yang akan kau ambil?”
Panembahan Agung menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Jaka Raras, kau memang selalu menghina aku. Tetapi
sampai saat ini, hinaan itu sudah cukup banyak. Aku tidak mau lagi
mendengarnya. Sebaiknya kau tidak usah mendekati aku, karena itu akan berarti
maut bagimu. Pergilah. Jika anakmu sudah kembali padamu, baiklah. Dan segera
pergilah daripadaku, agar aku tidak terlanjur berbuat lebih banyak lagi
atasmu.”
“Ah, kau aneh, Panembahan,”
sahut Jaka Raras, lalu, “seakan-akan kita adalah orang-orang yang baru pertama
kali ini bertemu. Bukankah kita sudah saling mengenal sejak di perguruan. Dan
aku tahu pula seorang yang bernama Panembahan Cahyakusuma, yang kemudian
menyebut dirinya bernama Panembahan Agung. Jangan mencoba menakut-nakuti,
seperti aku juga tidak akan ada gunanya menakut-nakuti kau. Yang akan kita
lakukan selanjutnya ada dua pilihan. Kau menyerah atau kita bertempur sampai
mati. Mungkin kau tetapi mungkin juga aku. Tetapi itu adalah akibat yang sudah
sama-sama kita ketahui sebelumnya.”
“Jika demikian, Jaka Raras,”
berkata Panembahan Agung, “kenapa kau masih saja berbicara berkepanjangan tidak
ada habis-habisnya. Berbuatlah sesuatu. Sikapku sudah jelas, bahwa aku tidak
akan membiarkan diriku menjadi pangewan-ewan di Mataram. Aku tahu bahwa
sekarang ini selain kau mencari anakmu, kau juga berada di pihak Mataram. Dan
itulah kesalahanku yang pokok, karena aku tidak mengerti bahwa Rudita adalah
anakmu, sehingga kehadiranmu di pihak Mataram benar-benar membuat aku
kehilangan kesempatan kali ini.”
“Kau sangka tanpa aku Mataram
tidak dapat menggilasmu?” bertanya Ki Waskita. “Mungkin kehadiranku mempercepat
saja penyelesaian yang berlangsung seperti sekarang ini. Tetapi tanpa aku pun
kau tidak akan banyak berarti, karena di antara mereka terdapat orang-orang
yang tidak akan menghiraukan bentuk-bentuk semu yang gila-gilaan itu.”
“Omong kosong,” geram
Panembahan Agung, “mereka akan kebingungan dan kehilangan pegangan.”
“Jangan mimpi,” sahut Ki Waskita,
“Kiai Gringsing akan mentertawakan ular nagamu, jurangmu, dan apimu. Ki
Argapati akan menjadi acuh tidak acuh melihat raksasa yang berada di atas
bukit-bukit padasnya. Dan bentuk-bentuk apa lagi yang akan terwujud tentu tidak
akan menarik perhatian.” Jaka Raras itu berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah
Panembahan Agung. Jika kau memang memilih jalan kekerasan, kebuasan yang liar,
baiklah, aku akan segera menyusulmu.”
Panembahan Agung menggeram.
Katanya, “Datanglah. Aku akan menyambutmu.”
Jaka Raras tidak menyahut
lagi. Ia pun kemudian menghambur menuruni tebing pegunungan mendekati
Panembahan Agung yang sudah ada di lereng.
Dalam pada itu, maka
Panembahan Agung pun kemudian berkata lantang kepada pengawalnya, “Tempatkan
aku di atas jalan setapak menghadap arah ia akan datang.”
Sementara itu, Jaka Raras pun
menjadi semakin dekat. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki
kelebihan yang kadang-kadang tidak diduganya. Itulah sebabnya, maka ia pun
menjadi sangat berhati-hati.
Di dalam keadaan yang tegang
itu, Jaka Raras tidak kehilangan penguasaan atas perasaannya. Betapa pun ia
marah dan dendam karena anaknya yang mendalami perlakuan yang sangat buruk itu.
Namun ia tetap berhati-hati.
Tetapi seperti Panembahan
Agung, ia tidak akan lagi mempergunakan bentuk-bentuk semu, karena ia tahu
bahwa bentuk-bentuk yang demikian itu tidak akan ada gunanya lagi, karena
keduanya benar-benar telah berada di puncak ilmunya.
Di balik sebuah batu padas, Ki
Waskita terhenti sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. Karena
itu, maka segera dilepasnya bajunya dan dilemparkannya dari balik batu padas
itu.
Dugaannya ternyata, tidak
salah. Begitu bajunya tersembul dari balik batu padas, sebuah anak panah yang
besar telah menyambarnya.
“Hem,” Jaka Raras menarik
nafas. Jika ia sendiri yang muncul, maka dadanya tentu akan tembus. Ia tahu
benar, bahwa busur dan anak panah Panembahan Agung adalah busur dan anak panah
yang khusus. Hampir tidak ada orang yang mampu menarik busurnya yang besar itu,
selain mereka yang memiliki tenaga melampaui tenaga orang kebanyakan.
“Gila,” Panembahan Agung-lah
yang berteriak kemudian ketika ia sadar, bahwa yang dikenainya sama sekalii
bukan Jaka Raras, tetapi hanya selembar bajunya saja.
Dalam pada itu, Ki Waskita
telah meloncat menyusup gerumbul perdu dan melingkari sebuah gundukan padas
yang besar dan menjadi semakin dekat dari tempat Panembahan Agung. Tetapi ia
harus hati-hati, bahwa setiap kali anak panah Panembahan itu akan dapat
menyambar lehernya, sehingga ia tidak dapat menarik nafas sekali lagi.
Ternyata bahwa yang
membingungkan Panembahan Agung kemudian sama sekali bukan bentuk-bentuk semu.
Tetapi bentuk-bentuk wadag yang sebenarnya tidak mempunyai arti di dalam
pertempuran itu. Baju Jaka Raras jauh lebih berarti daripada bentuk-bentuk apa
pun yang mengerikan atau yang menggetarkan jantung. Ternyata Panembahan Agung
yang tidak dapat dibingungkan dengan bentuk-bentuk semu itu menjadi bingung dan
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya karena selembar baju yang telah dikenainya
dengan anak panahnya.
Kini Panembahan Agung
memusatkan perhatiannya kepada keadaan di sekelilingnya. Ia sadar, bahwa setiap
saat Jaka Raras akan muncul dan menerkamnya. Dicobanya untuk menangkap setiap
gerak dan getar dari udara di sekelilingnya. Tetapi agaknya Jaka Raras berhasil
membersihkan dirinya dari isyarat-isyarat yang akan dapat ditangkap oleh
Panembahan Agung.
Tetapi Panembahan Agung tidak
berdiri sendiri. Beberapa orang pengawal pilihannya pun segera menebar dan
menjaga segala penjuru. Mereka pun sadar, bahwa lawan Panembahan Agung kali ini
bukannya orang kebanyakan. Bahkan memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu
Panembahan Agung sendiri.
Karena itu, maka mereka pun
telah menyiapkan senjata telanjang. Setiap saat Jaka Raras muncul, maka mereka
akan beramai-ramai menyerangnya, sebelum Panembahan Agung akan mengakhiri
nyawanya dengan anak panahnya yang luar biasa itu.
Dalam pada itu, Panembahan
Agung yang dijalari oleh perasaan gelisah itu menjadi semakin tidak tenang
lagi. Ketika ia melihat sesuatu bergerak di balik segunduk batu padas, maka
tiba-tiba saja sebuah anak panah telah meluncur dengan cepatnya, seperti petir
menyambar di langit. Batu padas itu seolah-olah meledak karena hantaman anak
panah yang besar dan dengan kekuatan yang luar basa. Segumpal batu padas itu
pecah dan berserakan menghambur di sekelilingnya.
Mereka yang melihat dan
mendengar ledakan itu menahan nafas. Jika yang dikenalnya itu tubuh seseorang,
maka tubuh ini tentu akan tembus oleh anak panah raksasa itu, dan tulang-tulangnya
pun akan remuk menjadi debu.
Dalam pada itu, Ki Waskita pun
menjadi berdebar-debar. Ia sadar akan kemampuan Panembahan Agung. Karena itu,
maka ia pun harus berhati-hati.
Tetapi bagi Jaka Raras, tentu
tidak mungkin melawan Panembahan Agung yang memiliki kesaktian tiada taranya
itu hanya dengan tangannya. Karena itu, untuk beberapa saat ia menjadi
ragu-ragu sambil berjongkok di balik sebuah batu besar. Sudah bertahun-tahun ia
tidak mempergunakan senjatanya. Tetapi di dalam keadaan ini, ia tidak akan
dapat berbuat lain.
Betapa pun ia dicengkam oleh
keragu-raguan, namun akhirnya Ki Waskita itu pun melepaskan ikat pinggangnya
yang besar, yang terbuat dari kulit berlapis baja pilahan. Kemudian diurainya
sebuah rantai di bawah ikat pinggangnya dan sebuah cakram kecil bergerigi yang
diambilnya dari kantong ikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu Jaka Raras
mengaitkan rantainya pada cakram bergerigi itu. Namun akhirnya ia berkata
kepada diri sendiri, “Di dalam keadaan tanpa pilihan, aku tidak dapat berbuat
lain. Aku masih belum ingin mati. Bukan saja karena aku masih harus membentuk
anakku, tetapi jika aku mati maka akibatnya akan sangat luas. Panembahan Agung
akan menjadi gila, dan orang orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh harus
menyediakan banyak korban sebelum berhasil membinasakannya.”
Karena itu, maka Jaka Raras
pun kemudian menggeretakkan giginya, seakan-akan ingin mengusir keragu-raguan
yang masih saja menggelitiknya.
Sambil menggeram maka Ki
Waskita itu pun berkata kepada diri sendiri, “Bukan maksudku. Tetapi apa boleh
buat.”
Namun sejenak Ki Waskita
menundukkan kepalanya, bagaimana pun juga ia merasa bertanggung jawab atas
perbuatannya. Bukan saja kepada orang lain, tetapi terutama kepada Penciptanya.
Di dalam hatinya ia memohon agar jika perbuatannya itu sesat dari jalan yang
telah dipilihnya selama ini, hendaklah diampuninya, karena yang dilakukannya
itu semata-mata didorong oleh keinginannya menyelamatkan banyak orang dari
kebuasan Panembahan Agung.
Sesaat kemudian, maka Ki
Waskita itu pun membelitkan ikat pinggangnya yang berlapis baja dilengannya, ia
dapat mempergunakan ikat pinggangnya itu sebagai perisai menghadapi anak panah
Panembahan Agung.
“Tetapi anak panah itu bukan
anak panah biasa,” katanya di dalam hati, “namun ikat pinggang ini pun bukan
ikat pinggang biasa.”
Dengan demikian Ki Waskita
kini sudah siap menghadapi lawannya yang paling berat. Setelah bertahun-tahun
Ki Waskita menghindarkan diri dari tindakan kekerasan, sehingga anak
laki-lakinya sama sekali tidak membayangkan bahwa ayahnya dapat melakukan hal
serupa itu, kini terpaksa melakukannya.
“Mudah-mudahan hanya sekali
saja lagi,” desisnya.
Menjelang Ki Waskita mengatur
perasaannya dan memantapkan hatinya, maka Kiai Gringsing sudah sampai pada
puncak pertempurannya.
Tangannya yang menggenggam
cemeti itu seakan-akan telah dipenuhi dengan segenap kekuatan yang ada padanya,
dan segenap kekuatan cadangan yang mampu dihimpunnya.
Pada saat terakhir Kiai
Gringsing melihat lawannya, Panembahan Alit pun telah berada pada puncak kemampuannya
dalam ilmu kebalnya, sehingga seakan-akan mereka berdua telah sampai pada saat
yang menentukan, siepakah yang akan memenangkan pertempuran itu.
Rasa-rasanya setiap jantung
dari mereka yang berada di seputar arena itu menjadi berhenti berdenyut melihat
sikap kedua orang yang sudah sampai pada puncak ilmunya ini.
Beberapa saat keduanya masih
melakukan gerakan-gerakan kecil, seakan-akan mencari kelemahan pada lawan
masing-masing. Namun pada saatnya, keduanya sadar, bahwa pertempuran itu sudah
mendekati akhirnya, siapa pun yang akan binasa.
Karena itu, ketika keduanya
merasa bahwa mereka telah berada pada puncak kekuatannya, maka keduanya pun
mulai mempersiapkan diri, untuk membenturkan ilmu masing-masing.
Ki Argapati yang memiliki
kemampuan yang hampir sempurna itu pun menahan nafasnya. Seandainya kakinya
tidak sedang cacat, maka ia akan dapat berbuat serupa, meskipun di dalam
kenyataan terakhir, selagi Kiai Gringsing menghadapi puncak kesulitannya,
ternyata mempunyai beberapa kelebihan yang menentukan.
Demikianlah lembah yang baru
saja hiruk-pikuk oleh pertempuran yang sengit itu justru menjadi hening diam,
namun betapa setiap hati dicengkam oleh ketegangan.
Sejenak kemudian
perlahan-lahan tangan Kiai Gringsing mulai bergerak, sehingga ujung cambuknya
mulai berjuntai perlahan-lahan. Ternyata gerakan itu telah menyentuh naluri
Panembahan Alit, sehingga ia pun mulai melangkah ke samping. Tetapi ia tidak
menunggu lebih lama lagi. Ia ingin perkelahian itu segera berakhir, siapa pun
yang akan terkapar di tanah. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan
senjatanya. Sejenak ia memandang Kiai Gringsing sambil menggeram. Namun sejenak
kemudian maka senjatanya itu pun mulai teracu.
Berhentilah segala tarikan
malas dan detak jantung ketika tiba-tiba saja Panembahan Alit meloncat
menyerang Kiai Gringsing dengan loncatan yang dilambari dengan puncak ilmunya,
sehingga bagaikan loncatan petir di langit yang tidak mampu diikuti oleh mata
telanjang.
Namun Kiai Grjngsing pun sudah
mempersiapkan dirinya pula. Sekali cambuknya berputar, kemudian sebuah ayunan
yang dahsyat telah menyongsong Panembahan Alit yang masih terapung di udara
karena loncatannya.
Sebuah ledakan cambuk yang
menggelegar rasa-rasanya telah mengguncangkan lembah itu. Orang-orang yang ada di
sekitar arena itu sebelumnya telah mendengar cambuk itu meledak beberapa kali.
Tetapi ledakan yang dilontarkan oleh puncak ilmunya itu rasa-rasanya telah
memecahkan selaput telinga.
Panembahan Alit masih sempat
menggeliat. Namun ia tidak dapat menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing yang
melecutnya jauh lebih cepat dari lecutan sewajarnya.
Terdengar Panembahan Alit
menggeram. Tetapi ia masih sempat berdiri di atas kedua kakinya. Bahkan sebuah
loncatan lagi yang tidak terduga telah mendorongnya mendekati Kiai Gringsing
sambil mengacukan senjatanya.
Kiai Gringsing tidak sempat
mengelak. Karena itulah maka ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi
dadanya dengan lengannya. Betapa pun ia berusaha untuk memukul sisi pedang
lawannya, namun Panembahan Alit sempat memutar pedangnya, sehingga lengan Kiai
Gringsing tersobek karenanya.
Terdengar orang tua itu
berdesis. Sekilas ia melihat darah mengalir dari luka itu.
Namun ternyata bahwa
Panembahan Alit mampu bergerak terlalu cepat. Sekali lagi ia meloncat sambil,
mematukkan senjatanya sehingga Kiai Gringsing kehilangan kesempatan untuk kedua
kalinya. Meskipun Kiai Gringsing masih berusaha untuk mencondongkan tubuhnya,
namun pedang itu telah tergores di pundaknya.
Kiai Gringsing sadar, bahwa ia
tidak boleh kehilangan kesempatan berikutnya. Jika demikian maka ia akan
kehilangan kesempatan untuk seterusnya. Karena itu, maka selagi Panembahan Alit
menyiapkan serangan berikutnya, Kiai Gringsing sempat mendahuluinya. Sebuah
ledakan cambuk yang dilambari oleh puncak ilmunya telah menggetarkan lembah
itu. Tebing-tebing gunung bagaikan bergetar, dan dedaunan yang menguning
satu-satu berguguran di tanah.
Tetapi rasa-rasanya setiap
orang tidak mempercayai penglihatannya. Panembahan Alit masih tetap berdiri
tegak dengan senjata di tangannya. Dua ledakan cambuk yang didorong oleh
kekuatan yang tiada taranya, itu sama sekali tidak melukai kulitnya selagi
Panembahan Alit berada di puncak ilmu kebalnya pula.
Sejenak Kiai Gringsing pun
menjadi termangu-mangu. Namun ketika Panembahan Alit mulai bergerak, sekali
lagi Kiai Gringsing mendahuluinya. Cambuknya meledak sekali lagi tanpa
menghiraukan darahnya sendiri yang mengucur dari luka.
Panembahan Alit tampak
bergoyang sedikit seperti sebatang pohon raksasa yang disentuh angin. Namun
sekejap kemudian, ia ternyata masih sempat meloncat menyerang dengan pedang
terjulur.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak menyangka, bahwa Panembahan Alit masih mampu melakukan serangan yang
dahsyat itu. Karena itu, Kiai Gringsing kehilangan kesempatan sekali lagi. Kali
ini lambungnya telah sobek oleh senjata Panembahan Alit. Untunglah bahwa ia
mempergunakan ikat pinggang kulit yang tebal dan besar, sehingga dengan
menyumbatkan kainnya yang dibelitkan pada ikat pinggangnya, Kiai Gringsing
dapat mengurangi kucuran darah dan rasa sakit.
Tetapi dengan demikian tenaga
Kiai Gringsing pun menjadi semakin lemah. Pemusatan ilmunya pun mulai menjadi
kabur. Sejenak ia melihat Panembahan Alit masih berdiri tegak di hadapannya.
Dengan mata terbelalak Kiai Gringsing
melihat, bahwa kulit Panembahan Alit benar-benar tidak dapat dilukainya
meskipun ia sudah berada di puncak ilmunya. Meskipun demikian, Panembahan Alit
itu bagaikan sudah tidak berpakaian lagu. Pakaiannya ternyata telah terbakar
oleh ledakan dahsyat dari cambuk Kiai Gringsing yang dilambari oleh puncak ilmu
simpanannya.
Lembah itu benar-benar telah
dicengkam oleh keheningan yang sangat tegang. Semua orang yang berdiri
melingkari arena pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan
kekaguman di dalam hati. Di tengah-tengah arena itu berdiri dua orang yang
memiliki kelebihan yang hampir tiada bandingnya. Kiai Gringsing yang melepaskan
puncak ilmunya itu telah mampu menimbulkan kekaguman yang sangat. Ternyata
ujung cambuknya bukan saja mampu menyayat-nyayat pakaian Panembahan Alit.
Tetapi ternyata bahwa bekas cambuk itu bagaikan bara api yang mampu membakar
Panembahan itu sehingga menjadi hangus.
Namun kekaguman mereka pun
kemudian bertumpu kepada kemampuan Panembahan Alit bertahan atas ujung cambuk
Kiai Gringsing yang telah membakar pakaiannya itu. Kulitnya yang dilambari oleh
ilmu kekebalan itu sama sekali tidak terluka. Meskipun tampak juga jalur-jalur
kehitam-hitaman seakan-akan kulit itu telah disengat oleh api.
Sejenak Panembahan Alit masih
berdiri tegak dengan pedang terjulur. Kemudian tampak Panembahan itu
menggerakkan tangannya, siap untuk menusuk perut Kiai Gringsing yang sudah
menjadi semakin lemah.
Tetapi Kiai Gringsing pun
pantang menyerah. Dengan sisa puncak ilmu yang masih ada, sekali lagi ia
meledakkan cambuknya, tepat mengenai leher Panembahan Alit.
Ternyata ilmu Panembahan Alit
masih mampu bertahan. Lehernya sama sekali tidak terluka.
Tetapi orang-orang yang
berdiri di sekitar arena itu pun kemudian menyaksikan perubahan yang terjadi
pada keduanya. Kiai Gringsing yang kehilangan pemusatan ilmunya itu pun menjadi
semakin tidak berdaya. Cambuknya tidak lagi menggetarkan tebing dan meruntuhkan
dedaunan.
Namun dalam pada itu,
orang-orang itu pun melihat tatap mata Panembahan Alit seakan-akan menjadi
kosong di dalam keputus-asaannya. Ia tidak lagi berpengharapan apa pun selain
membinasakan lawannya sebelum ia sendiri menyudahi hidupnya di peperangan.
Sejenak orang-orang yang
berdiri di seputar arena itu menjadi tegang. Mereka melihat Kiai Gringsing
melangkah surut. Dan mereka pun melihat Panembahan Alit selangkah maju
mendekati dengan pedang di tangan.
Betapa pun juga, Kiai
Gringsing masih tetap siap melecutkan cemetinya, meskipun pandangan matanya
menjadi kabur. Darah yang mengalir dari lukanya telah membasahi sebagian besar
tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, lengan, dan lambung rasa-rasanya telah
menghisap semua tenaganya dan bahkan pemusatan puncak ilmunya.
Ketika Panembahan Alit
melangkah sekali lagi, maka dengan lemahnya Kiai Gringsing masih mengayunkan
cambuknya. Tetapi cambuknya tidak lagi melecut dan meledak dalam gerak sendal
pancing. Bahkan di luar kemampuan Kiai Gringsing yang lemah itu, ternyata ujung
cambuknya telah tersangkut pada tubuh Panembahan Agung.
Di saat terakhir itulah Kiai
Gringsing telah kehilangan segenap kemampuannya untuk bertahan. Matanya menjadi
berkunang-kunang. Ia sadar, bahwa terlampau banyak darah yang mengalir dari
lukanya, sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan puncak ilmunya.
Sekilas Kiai Gringsing masih
melihat Panembahan Alit yang tidak dapat dilukainya itu masih berdiri tegak
tanpa mengibaskan ujung cambuknya.
Sesaat kemudian, Kiai
Gringsing sudah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Perlahan-lahan
ia terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Ia masih mencoba berpegangan pada
tangkai cambuknya yang ujungnya tersangkut pada lawannya. Tetapi rasa-rasanya
kesadarannya menjadi semakin samar. Dan ia pun jatuh terlentang di atas tanah
dengan perlahan-lahan.
Semua orang yang menyaksikan
menahan nafas. Bakan rasa-rasanya jantung Agung Sedayu dan Swandaru akan
meledak menyaksikan hal itu. Kekalahan gurunya akan berarti kebinasaan bagi
semua orang yang ada di lembah itu, karena Panembahan Alit akan mampu
mengalahkan setiap orang dari mereka. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri
akan turun ke gelanggang.
Namun demikian, bukan saja
keduanya, tetapi semua orang yang ada di sekitar arena itu telah membulatkan
hati untuk melawan siapa pun juga tanpa menghiraukan apa pun akibatnya.
Tetapi ternyata bahwa sekali
lagi mereka dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan dada mereka. Ternyata
demikian Kai Gringsing terjatuh dan berpegangan pada tangkai cambuknya,
perlahan-lahan Panembahan Alit pun bagaikan dihisap pula oleh ujung cambuk itu.
Ternyata kemampuan jasmaniahnya terbatas pula seperti Kiai Gringsing. Meskipun
kulitnya tidak terluka, namun Panembahan Alit telah kehilangan semua
kekuatannya. Seperti Kiai Gringsing, maka perlahan-lahan Panembahan Alit pun
terjerembab jatuh di atas tanah.
Mereka yang mengerumuni arena
itu melihat, segumpal darah yang kehitam-hitaman meloncat dari mulut Panembahan
Alit itu.
Sejenak orang-orang di sekitar
arena itu terdiam mematung, namun Ki Argapati pun segera menyadari bahwa ia
harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia mendekati Kiai
Gringsing yang sudah terbaring diam. Dilekatkannya telinganya di dada orang tua
itu. Dan perlahan-lahan ia berdesis, “Aku masih mendengar detak jantungnya.”
Agung Sedayu, Swandaru dan
orang-orang lain bagaikan sadar dari mimpi mereka yang paling buruk. Mereka pun
segera berloncatan mendekatinya.
“Darah ini masih saja
mengalir,” desis Ki Argapati. Lalu, “Jika Kiai Gringsing kehabisan darah, maka
tidak ada jalan untuk menolongnya.”
Orang-orang yang ada di
sekitarnya saling berpandangan sejenak. Kiai Gringsing sendiri sudah menjadi
semakin lemah. Matanya terpejam dan nafasnya menjadi terengah-engah.
“Ki Gede,” tiba-tiba Agung
Sedayu berdesis, “biasanya Kiai Gringsing membawa obat pada kantong ikat pinggangnya.”
“O,” Ki Argapati dengan
tergesa-gesa mencari obat yang memang biasa dibawa oleh Kiai Gringsing.
Ternyata di kantong ikat
pinggang Kiai Gringsing memang terdapat beberapa bumbung kecil berisi
serbuk-serbuk obat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengatakan, yang manakah
yang harus dipergunakan.
Dalam kebingungan itu, Ki
Argapati mencoba berbisik ditelinga Kiai Gringsung, “Kiai, Kiai?”
Ternyata bahwa perlahan-lahan
Kiai Gringsing masih sempat membuka matanya. Meskipun kabur, namun ia melihat bayangan
orang-orang yang mengerumuninya.
Ki Argapati mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditunjukkannya beberapa buah bumbung di
tangannya. Bumbung kecil yang berwarna wulung, yang lain berwarna kuning dan
yang lain lagi dari ujung pring tutul yang berbintik-bintik.
Ketika Ki Argapati menunjukkan
sebuah bumbung kecil yang terbuat dari pring gading, maka Kiai Gringsing
mengangguk kecil.
Ki Argapati tidak
menyia-nyiakan waktu. Ia tahu bahwa obat yang dicarinya terdapat di dalam
bumbung kecil itu. Karena itu, maka ia pun segera membukanya dan menaburkan
serbuk berwarna putih kehitam-hitaman ke atas luka-luka di lengan, pundak dan
lambung Kiai Gringsing.
Betapa lemahnya orang tua itu,
namun ternyata perasaan sakit yang menyengat membuatnya menggeliat. Namun
kemudian orang tua itu mengatupkan bibirya rapat-rapat. Bahkan Kiai Gringsing
itu pun kemudian jatuh pingsan.
Namun dalam pada itu, ternyata
obat yang ditaburkannya di atas luka-lukanya mulai bekerja. Perlahan-lahan
darah yang mengalir itu pun menjadi mampat.
“Mudah-mudahan kita berhasil,”
desis Ki Demang yang sejak semula berdiri saja seperti patung.
“Mudah-mudahan,” desis Ki
Argapati.
Di belakang Ki Argapati,
Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sekilas terkenang ujung dari peristiwa
ini. Semula yang akan dilakukannya hanyalah sekedar berburu di hutan liar itu.
Tetapi akhirnya ia telah menyeret Tanah Perdikan Menoreh ke dalam peperangan
yang gawat. Sudah barang tentu ada beberapa orang korban yang jatuh. Dan bahkan
di hadapannya seorang tua yang memiliki ilmu hampir sempurna ini pun terbaring
diam dengan beberapa buah luka di tubuhnya.
Tetapi ketika orang-orang itu
melihat luka di tubuh Gringsing tidak lagi mengucurkan darah, mereka menjadi
agak tenang dan berpengharapan.
Dalam pada itu, barulah mereka
teringat pada tubuh yang lain yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Tubuh
Panembahan Alit.
Prastawa yang pertama-tama
menyentuh tubuh itu, menarik rafas dalam-dalam sambil berkata, “Ia sudah
meninggal.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Orang-orang yang lain telah menyibak. Dan Ki Argapati pun mendekati
tubuh yang terbaring diam itu. sementara Ki Demang Sangkal Putung masih tetap
menunggui Kiai Gringsing.
Ketika Ki Argapati meraba-raba
tubuh Panembahan Alit yang bagaikan disengat oleh bara api hampir di seluruh
tubuhnya, meskipun tubuh itu tidak terluka sama sekali, terasa betapa
kedahsyatan ilmu Kiai Gringsing telah meremukkan tulang-tulangnya.
“Panembahan Alit memang
seorang yang kebal,” berkata Ki Argapati, “tetapi ternyata bagian dalam
tubuhnya tidak mampu bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing. Ujung cambuk
yang mampu membakar pakaiannya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat dan membuat
jalur-jalur hitam di kulit yang kebal ini.”
Orang-orang yang kemudian
mengerumuni tubuh yang terbaring diam itu menjadi semakin kagum. Kagum akan
kekebalan kulit Panembahan Alit dan kagum akan kedahsyatan tenaga Kiai
Gringsing yang mampu meremukkan bagian dalam tubuh Panembahan Alit itu.
“Jika kita tidak bersama Kiai
Gringsing dan Ki Waskita,” berkata Sutawijaya kemudian dengan nada yang dalam
dan datar, “aku kira, yang akan kembali hanyalah sekedar nama-nama kita saja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia teringat Ki Waskita,
sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Ya, Ki Waskita masih belum ada di antara
kita.”
Semua orang menengadahkan
wajahnya. Mereka tidak lagi melihat bentuk-bentuk semu di sekitar lembah itu.
Karena itu, maka Pandan Wangi pun berdesis, “Masih ada seorang yang lain yang
harus dihadapi.”
“Ya, Panembahan Agung,” desis
Sutawijaya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi tampak ketegangan membayang di wajahnya. Panembahan Agung
tentu memiliki kemampuan yang setidak-tidakmya mengimbangi kemampuan Panembahan
Alit di dalam olah kanuragan, selain ilmu semunya. Dan Ki Argapati tidak lagi
dapat mengharapkan Kai Gringsing yang sudah terluka parah.
Namun dalam pada itu mereka
semuanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di antara mereka,
“Serahkan Panembahan Agung kepada Ki Waskita.”
“Ki Sumangkar,” desis beberapa
orang bersamaan. Perhatian mereka yang terpusat kepada Kiai Gringsing dan
Panembahan Alit membuat mereka tidak segera melihat kehadiran Ki Sumangkar yang
membimbing seorang anak muda.
Sumangkar tersenyum. Tetapi di
wajahnya masih nampak ketegangan yang mencengkam perasaannya. Sambil membimbing
Rudita ia melangkah maju.
“Aku telah mengambil Rudita
dari sarang mereka,” berkata Sumangkar.
“Syukurlah,” Pandan Wangi-lah
yang meloncat ke depan. Wajahnya seolah-olah memancar meskipun hanya sejenak.
“Jadi, tidak terjadi apa-apa atasmu Rudita?”
Rudita termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak mengalami sesuatu?”
bertanya Pandan Wangi seolah-olah tidak percaya.
Sekali lagi Rudita menggeleng.
Perlahan-lahan ia menjawab seolah-olah suaranya tersangkut di kerongkongannya,
“Tidak, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam sambil menekankan tangannya di dadanya, “Syukurlah. Tuhan masih
melindungi kita semua.”
Namun dalam pada itu Ki Argapati
bertanya, “Tetapi di manakah Ki Waskita?”
“Aku sudah menyerahkan anak
ini kepada ayahnya. Tetapi Ki Waskita mengembalikannya kepadaku. Ia kini sedang
berusaha untuk menemukan Panembahan Agung.”
“O,” dada Ki Argapati menjadi
berdebar-debar.
“Ia merasa berkewajiban untuk
menemukannya,” sambung Ki Sumangkar.
“Tetapi, apakah Ki Waskita
sudah siap menghadapinya dengan segala macam cara?” bertanya Ki Argapati.
“Ia cukup masak di dalam
sikap. Karena itu, ia tentu dapat mengukur dirinya sendiri sebelum ia
memutuskan untuk menemui Panembahan Agung.”
Ki Argapati tidak menyahut.
Namun nampak kecemasan membayang di wajahnya meskipun tidak dikatakannya,
karena jika dengan demikian Rudita akan menjadi semakin gelisah.
“Ki Waskita minta agar Rudita
berada di antara kita. Agaknya tidak lagi akan ada bahaya yang mengancam.
Seandainya masih ada juga, maka kita bersama-sama akan dapat melindunginya.”
Ki Argapati masih saja
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba saja Ki
Sumangkar bertanya, “Jadi bagaimana dengan Kiai Gringsing?”
Ki Argapati berpaling
memandangi tubuh Kiai Gringsing yang masih terbaring ditunggui oleh Ki Demang
Sangkal Putung.
“Lukanya sudah tidak lagi
mengucurkan darah. Tetapi ia menjadi sangat lemah.”
“Luka itu tampaknya cukup parah.”
“Ya, cukup parah.
Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Darahnya sudah terlampau banyak mengalir.”
Ki Sumangkar termenung
sejenak. Namun kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati Kiai Gringsing.
“Ia pingsan,” desis Ki
Argapati.
“Tetapi ia sudah mulai
menggerakkan pelupuk matanya,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah tidak ada setitik air
yang dapat dipercikkan ke bibirnya. Agaknya Kiai Gringsing merasa haus sekali.”
“Kita belum tahu, apakah ada
air di sekitar tempat ini. Dan seandainya di padukuhan itu ada air, apakah
airnya masih dapat kita minum tanpa kecurigaan apa pun juga.”
Ki Sumangkar menjadi
termangu-mangu. Ia sadar, bahwa segala cara dapat dipakai oleh lawan untuk
membunuh musuhnya. Dan Ki Sumangkar pun kadang-kadang masih merasa ngeri
mendengar cerita tentang racun di Alas Mentaok.
Ketika Ki Sumangkar kemudian
berjongkok di samping Kiai Gringsing, ternyata orang itu sudah mulai sadar.
Karena itu maka Ki Sumangkar pun kemudian berkata, “Jika Kiai Gringsing
mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali, kita berpengharapan besar bahwa ia
akan dapat sembuh kembali. Kiai Gringsing tentu dapat menyebut obat apakah yang
diperlukannya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Apakah tidak sebaiknya Kiai
Gringsing kita sisihkan dan kita tempatkan di tempat yang agak tenang?”
“Sebaiknya demikian. Biarlah
murid-muridnya membawanya ke bawah pepohonan yang rimbun di kaki tebing itu,”
sahut Sumangkar.
Demikianlah maka Agung Sedayu
dan Swandaru membawa Kiai Gringsing yang masih sangat lemah itu menepi. Tetapi
Kiai Gringsing ternyata sudah tidak pingsan lagi. Tetapi wajahnya masih sangat
pucat dan tubuhnya sangat lemah.
Dalam pada itu, ketika Kiai
Gringsing sudah berada di tempat yang lebih tenang, maka Ki Argapati pun mulai
menanyakan lagi tentang Ki Waskita.
“Ia pergi seorang diri.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam, lalu, “Apakah tidak sebaiknya kita menyusulnya?”
Sumangkar merenung selenak,
lalu, “Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede berada di tempat ini. Kiai Gringsing tidak
akan dapat ditinggalkan begitu saja. Biar aku sajalah yang mencari Ki Waskita.
Mungkin aku dapat menemukannya.”
Ki Argapati memandang Ki
Sumangkar sejenak, lalu, “Tugas itu cukup berbahaya, Ki Sumangkar.”
“Aku sadari. Tetapi aku sudah
berniat melakukannya,” tanpa disadari Ki Sumangkar memandang kaki Ki Gede yang
cacat, sehingga Ki Gede Menoreh memotong kata-katanya, “Aku mengerti, Ki
Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar mencemaskan kakiku.”
“Bukan, Ki Gede,” cepat-cepat
Sumangkar menyahut, “bukan hanya karena itu. Tetapi ada sebab-sebabnya yang
lain. Dan agaknya Ki Argapati memang lebih baik berada di sini.”
“Jika demikian, biarlah aku
saja yang ikut bersamamu,” berkata Sutawijaya tiba-tiba.
Ki Sumangkar memandang anak
muda itu sejenak, lalu, “Angger memimpin pasukan dari Mataram.”
Sutawijaya termenung seienak.
Kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke padepokan yang sudah benar-benar
dikuasai oleh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Maka katanya kemudian, “Di
sini sudah tidak ada apa apa lagi. Pasukan kita sudah menguasai keadaan
sepenuhnya.”
“Tetapi persoalannya belum
berarti selesai. Jika timbul sesuatu yang memerlukan keputusan Raden, maka
Raden harus berada di antara mereka.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.
Dalam pada itu Ki Sumangkar
pun kemudian berkata, “aku akan pergi sendiri. Aku serahkan Rudita kepada Ki
Argapati. Mudah-mudahan aku segera menemukannya.”
“Hati-hatilah,” pesan Ki
Argapati, “Panembahan Alit telah berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing.
Bahkan hampir saja membawanya serta ke dalam kekuasaan maut. Karena itu
Panembahan Agung tentu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Panembahan
Alit itu.”
“Baiklah, Ki Gede,” jawab
Sumangkar, “aku akan sangat berhati-hati.”
Demikianlah maka Ki Sumangkar
pun meninggalkan para pemimpin pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang
sedang menunggui Kiai Gringsing. Namun agaknya keadaan Kiai Gringsing sendiri
menjadi berangsur baik.
Dengan tergesa-gesa Sumangkar
mencoba mencari jejak yang ditinggalkan oleh Ki Waskita. Karena Ki Waskita
tidak berusaha untuk menghilangkan jejaknya, maka Ki Sumangkar dapat melihat
dengan jelas. Ranting-ranting yang patah, rerumputan yang terinjak kaki dan
jejak-jejak kaki di atas tanah berdebu di sela-sela batu padas.
Sementara itu, Panembahan
Agung masih menunggu. Beberapa orang pengawalnya yang menebar dengan penuh
kewaspadaan mengawasi segala penjuru. Setiap saat Ki Waskita yang juga disebut
Jaka Raras itu dapat meloncat menyerang.
Ki Waskita sendiri tidak
berani bertindak dengan tergesa-gesa. Ia pun menyadari bahwa Panembahan Agung
bukan orang yang dapat diabaikan kemampuannya, meskipun Jaka Raras sendiri
memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Panahnya dan kekuatan busurnya yang
besar, merupakan senjata yang sangat dahsyat. Jika anak panah itu berhasil
menyentuh tubuhnya maka tulang-tulangnya pun akan menjadi lumat karenanya.
Karena itu Ki Waskita harus
memperhitungkan sebaik-baiknya, apakah yang harus dilakukannya.
Dari tempatnya bersembunyi, ia
dapat melihat samar-samar beberapa orang pengawal Panembahan Agung, sehingga
karena itu ia harus bertindak dengan tepat. Jika pengawalnya itu dapat
mengetahui, bahwa ia bersembunyi di balik gerumbul atau batu, maka Panembahan
Agung tentu akan menghancurkan batu atau membakar gerumbul itu dengan panahnya
yang besar sekali itu.
Sejenak Ki Waskita mencari
cara yang paling baik dilakukan. Ia pun sadar, bahwa para pengawal Panembahan
Agung itu tentu bukan orang-orang kebanyakan pula. Mereka tentu dipilih di
antara pengawal yang lain.
Panembahan Agung sendiri
menjadi sangat tegang. Sudah beberapa lama ia menunggu. Rasa-rasanya bahkan
sudah terlampau lama. Tetapi Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat
dipancingnya keluar. Panembahan Agung sadar bahwa Ki Waskita yang dikenalnya
bernama Jaka Raras itu pun mempunyai perhitungan yang masak pula.
Karena itu untuk beberapa saat
lamanya, kedua belah pihak hanya saling menunggu saja. Panembahan Agung tidak
dapat mencari Ki Waskita, sedang Ki Waskita tidak segera menemukan cara untuk
menyerang, karena Panembahan Agung memiliki beberapa orang pengawal. Jika ia
menyerang juga, maka kedatangannya tentu sudah diketahui sebelumnya, dan anak
panah Panembahan Agung akan menghujaninya tanpa kesempatan untuk mengelak sama
sekali.
Dalam pada itu, Sumangkar pun
menjadi semakin dekat pula dengan arena ketegangan yang senyap itu. Dari puncak
bukit ia mencoba memandang ke tebing seberang. Sejenak Sumangkar merenung. Ia
tahu pasti, bahwa jejak Ki Waskita berhenti untuk sesaat di tempat itu.
Tiba-tiba dadanya menjadi
berdebar-debar. Di lereng, ia melihat beberapa buah bintik yang bergerak-gerak.
Ia melihat beberapa orang yang berdiri dan berjalan-jalan hilir-mudik.
“Apakah mereka itu Panembahan
Agung dengan pengawalnya?” bertanya Sumangkar di dalam hati.
Tetapi Sumangkar tidak yakin
akan penglihatannya. Kadang-kadang ia masih saja ragu-ragu, bahwa ia melihat
bentuk semu yang sebenarnya sama sekali tidak ada.
Karena itu untuk beberapa saat
Sumangkar tidak melanjutkan langkahnya. Ia masih menunggu, apakah sebenarnya
yang dilihatnya itu.
Sementara itu, Ki Waskita yang
masih saja bersembunyi di balik sebuah batu, tiba-tiba mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejengkal ia bergeser. Dilihatnya seseorang yang berdiri beberapa
langkah daripadanya, menghadap ke arah yang lain. Ketika dengan hati-hati ia
menjenguk semakin jauh, dilihatnya orang yang lain lagi dengan senjata
telanjang di tangannya.
Tiba-tiba saja Ki Waskita
bertekad untuk mulai. Ia tidak dapat berada di balik batu untuk waktu yang
tidak terbatas. Apa pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk melawan
Panembahan Agung sejadi-jadinya.
Sejenak ia memusatkan
kemampuan lahir dan batinnya. Sekali lagi ia memohon kepada Penciptanya, agar
ia mendapatkan petunjuk, apakah yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu, para pengawal
Panembahan Agung itu pun tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat seseorang
yang merunduk dari balik sebuah batu dan hilang di belakang semak-semak.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian salah seorang dari mereka berdesis, “Aku melihat sesuatu
bergerak di balik gerumbul itu.”
“Ya. Aku juga,” sahut yang
lain.
“Kita lihat, siapa yang berada
di balik gerumbul itu. Jika benar yang kita lihat itu seseorang, maka tentu orang
yang sedang kita tunggu itulah.”
Dengan hati-hati keduanya
mendekati gerumbul itu. Beberapa langkah kemudian mereka berpencar. Mereka
ingin mencapai orang yang bersembunyi itu dari dua arah.
Namun agaknya orang yang
bersembunyi itu telah melihat keduanya lebih dahulu, karena tiba-tiba saja
orang itu pun merunduk berlari meninggalkan gerumbul itu ke gerumbul yang lain.
Setelah yakin bahwa yang
ditunggunya berusaha menghindar maka salah seorang dari kedua pengawal itu
berkata lantang, “Orang itu berada di sini.”
Para pengawal yang lain pun
berlari-larian mendekatinya. Dengan tegang pengawal itu menunjuk sebuah
gerumbul perdu yang rimbun sambil berkata, “Kepung gerumbul perdu itu.”
Dalam pada itu, Panembahan
Agung pun menjadi tegang. Dari tempatnya ia tidak melihat sesuatu, sehingga
karena itu ia bertanya, “Apakah yang kalian lihat?”
“Seseorang. Tentu yang sedang
mengejar kita,” jawab salah seorang.
“Di mana?”
“Ia berlari dari balik batu
besar itu, kemudian bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul. Kita akan
mengepungnya, agar orang itu tidak dapat lolos lagi.”
Panembahan Agung menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia berkata, “Giringlah orang itu mendekat, agar aku dapat
melumatkannya dengan anak panahku.”
“Baik, Panembahan.”
“Tetapi hati-hatilah. Ia bukan
orang kebanyakan. Jika kalian tidak berhasil, berilah aku tanda sebelum kalian
semuanya punah oleh ilmunya.”
Para pengawalnya itu pun
kemudian berdiri dalam sebuah lingkaran mengepung sebuah gerumbul yang rimbun.
Selangkah demi selangkah mereka maju, sedang Panembahan Agung pun sudah siap
dengan anak panahnya.
Namun betapa terkejut
Panembahan Agung, ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan
cepatnya ia memutar tubuhnya. Dan dilihatnya Jaka Raras itu berdiri beberapa
langkah dari padanya.
“Gila,” Panembahan Agung itu
bergumam.
“Ajaklah anak buahmu mengenal
bentuk-bentuk semu itu Panembahan, agar anak buahmu tidak mengejar sekedar
bayangan yang tidak berarti.”
Panembahan Agung tidak
menjawab. Ia harus bertindak cepat menghadapi seseorang yang memiliki kelebihan
seperti Jaka Raras itu agar ia tidak menjadi korban kelambatannya. Itulah
sebabnya ia tidak menyahut lagi. Namun hampir tidak dapat dilihat dengan mata,
tangannya telah memasang anak panah pada busurnya, menarik talinya, dan sekejap
kemudian sebuah anak panah raksasa telah meluncur mengarah ke dada Jaka Raras.
Tetapi Jaka Raras pun sudah
bersiap menghadapi serangan itu. Selangkah ia bergeser, dan anak panah itu
menghantam sebuah batu padas di belakangnya sehingga pecah berantakan.
Namun Jaka Raras terkejut,
bahwa sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, anak panah kedua telah
terlepas dari busurnya. Dengan demikian Jaka Raras tidak dapat berbuat lain
daripada melemparkan dirinya sekali lagi agar anak panah itu tidak menyambar
lehernya.
Tetapi demikian kakinya
menginjak tanah berbatu padas, anak panah ketiga telah mengarah ke dadanya
pula. Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Karena itu, maka tidak ada
cara lain daripada melindungi dadanya dengan menangkis anak panah raksasa itu.
Meskipun Jaka Raras masih agak
ragu-ragu, tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Diangkatnya
tangannya yang dibalut dengan ikat pinggangnya yang berlapis baja tipis, tetapi
baja pilihan.
Sejenak kemudian terdengarlah
benturan yang sangat dahsyat. Sepercik bunga api meloncat keudara ketika mata
anak panah Panembahan Agung menghantam baja pilihan lapisan dari ikat pinggang
Ki Waskita yang dililitkan di tangannya itu.
Selangkah Ki Waskita terdesak
surut. Tetapi ternyata bahwa lapisan baja pada ikat pinggangnya tidak sobek
oleh ujung anak panah raksasa itu, meskipun tampak juga bekasnya yang lekuk
cukup dalam.
Panembahan Agung menjadi
termangu-mangu melihat kemampuan Jaka Raras. Apalagi ketika Panembahan Agung
melepaskan anak panahnya yang berikutnya.
Jaka Raras yang telah berhasil
menyiapkan dirinya, berdiri agak condong ke depan. Sebuah kakinya ditekuknya
pada lututnya sedang kakinya yang lain ditariknya sedikit ke belakang. Tangan
kirinya yang dibalut dengan ikat pinggangnya siap untuk menangkis setiap
serangan, sedang tangannya yang lain telah memutar rantainya yang pada ujungnya
disangkutkan sebuah cakram kecil yang bergerigi.
“Gila,” geram Panembahan
Agung, “kau berhasil menangkis anak panahku.”
“Panembahan,” berkata Ki
Waskita, “kita sudah menjadi semakin tua. Sebaiknya kita berbuat baik bagi
sesama. Karena itu, cobalah mengerti, bahwa tidak ada gunanya lagi kau
menumbuhkan pertengkaran di antara kita.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Panembahan Agung. “Sebentar lagi kau akan mati dan dicincang oleh
pengawal-pengawalku.”
Ki Waskita terdiam sejenak.
Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung yang agaknya sudah menyadari
kesalahan mereka.
Sejenak Ki Waskita berdiri
termangu-mangu. Dilihatnya para pengawal itu memandanginya masih dari tempat
mereka disesatkan oleh bentuk semu yang dibuat oleh Ki Waskita.
“Jaka Raras,” berkata
Panembahan Agung, “jangan menyesal bahwa kau sudah menyusul aku. Agaknya kau
benar-benar sudah jemu hidup. Jika kau sudah menemukan anakmu, sebenarnya
persoalanmu sudah selesai. Dan kau tidak perlu ikut campur dalam
persoalan-persoalan berikut.”
Ki Waskita menarik nafas.
Katanya, “Panembahan Agung. Aku sudah berjanji di dalam diriku sendiri untuk
menghentikan petualanganmu yang sesat itu. Kenapa kau tidak mendengarkan
tawaranku. Berhentilah. Dan marilah kita berbuat baik untuk tanah kelahiran
kita. Kita tahu bahwa Mataram itu kini sedang tumbuh. Apakah salahnya jika kita
justru membantu. Bukan menghalang-halangi. Sudah berapa puluh korban yang jatuh
dalam usahamu menggagalkan perkembangan Mataram karena ternyata kau sendiri
menghendakinya. Hantu-hantuanmu telah gagal. Racun yang kau sebarkan di daerah
yang sedang dibuka itu pun tidak berhasil. Kemudian kau mencoba membenturkan
Pajang dan Mataram ketika Senapati Pajang di daerah Selatan ini, Untara, sedang
melangsungkan perkawinannya. Yang terakhir kau berusaha menutup daerah yang
seharusnya sedang berkembang itu dari dunia luar. Nah, kenapa kau tidak
berpikir untuk menghentikan usahamu yang selalu gagal itu?”
“Jaka Raras,” jawab Panembahan
Agung, “setiap orang tentu mempunyai cita-cita. Aku pun mempunyai cita-cita.
Apakah yang akan aku dapatkan jika Mataram menjadi ramai dan bahkan menjadi
sebuah negeri. Aku hormat kepada Ki Gede Pemanahan, tetapi aku membenci Sutawijaya
dalam segala bentuknya. Ia adalah putra angkat Sultan Pajang. Seharusnya ia
tunduk kepada semua perintah ayah angkatnya, karena Sultan Pajang bukan saja
ayah angkatnya, tetapi juga guru dan rajanya. Tiga kedudukan yang seharusnya
memaksa Sutawijaya itu untuk tidak berbuat khianat kepada Pajang. Tetapi apa
yang dilakukannya. Ia membuka Mataram dengan tujuan yang tidak baik. Ia ingin
menghisap kebesaran Pajang ke Mataram. Dan yang terakhir, ia telah menodai
seorang gadis yang dipersiapkan untuk menjadi istri Sultan Pajang itu sendiri.
Yang seharusnya menjadi ibunya.”
Jaka Raras mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya, “Setiap orang dapat memandang Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu dari seginya masing-masing. Dan kau
memandang dari segi yang buram. Tetapi demikian juga setiap orang berhak
menyebut Sultan Pajang dengan semua kelebihan dan kekurangannya sehingga
memaksa Sutawijaya untuk berbuat sesuatu.”
“Apakah bedanya solah tingkah
Sutawijaya itu dengan yang sedang aku lakukan? Kita masing-masing ingin
mengambil alih kekuasaan Pajang. Dan kita masing-masing mempunyai cara kita
sendiri.”
“Panembahan Agung,” berkata
Jaka Raras, “apakah sebenarnya Sutawijaya itu sudah melakukan seperti yang kau
katakan? Alas Mentaok sudah resmi diserahkan kepadanya oleh ayahandanya Sultan
Pajang. Apakah salahnya jika ia membuka hutan itu dan kemudian mengusahakannya
menjadi negeri yang ramai?”
“Kau jangan berpura-pura
bodoh, Jaka Raras. Aku tahu kau memiliki ketajaman penglihatan lahir dan batin.
Kau bukan saja mampu membuat uraian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi,
kemudian membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan. Tetapi kau juga mampu
melihat dari segi yang lain dari perhitungan nalarmu. Nah, karena itu jangan
mencoba membodohkan diri sendiri.”
“Hanya karena prasangka buruk
saja kau berpendapat demikian, Panembahan Agung, yang juga bergelar Panembahan
Cahyakusuma dan pernah menyebut dirimu sendiri dengan Panembahan Panjer Bumi
atau barangkali masih ada sebutan-sebutan lain. Seharusnya kau tidak usah
berprasangka demikian. Biarlah Mataram berkembang.”
“Kau memiliki kemampuan tiada
bandingnya. Tetapi jiwamu adalah jiwa penjilat kecil yang sama sekali tidak
bercita-cita selain menggantungkan diri kepada orang lain. Kenapa kau tidak
ingin berbuat sesuatu yang dapat mengangkat derajadmu? Kenapa kau sekedar
menerima nasibmu yang buruk itu?”
“Setiap orang dapat
bercita-cita setinggi bintang. Tetapi tidak setiap orang sampai hati berbuat
onar seperti kau. Mengorbankan orang lain dan bahkan meletakkan bebanten tanpa
hitungan. Caramu telah menimbulkan kekacauan dan bahkan kau harapkan peperangan
antara Pajang dan Mataram. Apakah yang menarik dalam setiap peperangan?
Kematian, luka-luka parah yang mengerikan? Anak-anak menjadi yatim dan
perempuan menjadi janda? Adakah sepantasnya kita mencoba meraih cita-cita kita
yang setinggi bintang itu dengan alas mayat yang bertimbun-timbun?”
“Kau memang berjiwa budak
kecil yang hanya pantas menghambakan diri. Jika demikian sepanjang umurmu kau
tidak akan dapat berdiri di depan.”
“Aku tidak memerlukannya,
Panembahan Agung. Karena itu, marilah kita hentikan semuanya ini. Kau dapat
bekerja bersama kami, membangun Mataram menjadi sebuah negeri.”
“Persetan! Jangan membujuk
seperti membujuk anak kecil.”
“Jadi, apakah kita harus
bertempur?”
“Apa boleh buat. Anak panahku
pada suatu saat akan menyobek dadamu.”
Jaka Raras menarik nafas
dalam-dalam. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung berdiri termangu-mangu.
“Panembahan,” berkata Jaka
Raras, “aku terpaksa bertindak atasmu. Aku akan menghapuskan semua kemampuan
ilmumu. Jika kau tetap bertahan, maka aku minta maaf, bahwa jiwamu pun akan
serta bersama ilmumu yang kau pergunakan untuk tujuan yang sesat itu, meskipun
bukan itulah yang aku kehendaki.”
Wajah Panembahan Agung menjadi
merah padam. Ia benar-benar merasa terhina oleh Jaka Raras, seakan-akan Jaka
Raras itu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya.
Karena itu, maka ia tidak
berbicara lagi. Ia mulai lagi menghujani Jaka Raras dengan anak panah raksasa.
Tetapi seperti yang sudah terjadi, Jaka Raras berhasil menangkis setiap anak
panahnya. Sekali-sekali meloncat menghindar dan kadang-kadang memukul anak
panah itu dengan cakram yang di putarnya seperti baling-baling.
Panembahan Agung menjadi
semakin marah melihat kemampuan Jaka Raras yang seharusnya telah diketahuinya.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Kepung orang ini! Hati-hati,
jangan dikelabui lagi dengan bentuk-bentuk semu. Di hadapanku ia tidak akan
sempat membuat bentuk-bentuk yang sebenarnya tidak ada itu.”