Sejenak ketiga anak-anak muda
itu saling berdiam diri, sehingga pringgitan itu sekali lagi menjadi sepi. Dan
sekali lagi terdengar burung hantu seolah-olah merintih menggetarkan udara
malam. Di halaman daun-daun yang kuning berguguran oleh sentuhan angin lereng
bukit yang semakin keras. Gemerasak seperti gemerasaknya nafas Agung Sedayu dan
Wuranta.
Yang memecahkan keheningan itu
adalah suara Untara memberat, “Pikirkanlah. Kalian bukan lagi anak kecil yang
manja.”
Ketika Untara terdiam,
tiba-tiba udara pringgitan itu digetarkan oleh suara Wuranta setajam getar
jantungnya, “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Untara.”
Untara mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Aku kira cukup jelas.”
“Kau agaknya menganggap, bahwa
selama ini aku selalu menghindari pertemuan dengan Agung Sedayu. Kau salah
sangka. Aku tidak pernah berpikir demikian. Adalah kebetulan sekali bahwa aku
tidak bertemu dengan Adi Agung Sedayu untuk beberapa lama.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam, “Kau aneh Wuranta. Kita sudah cukup dewasa. Aku tahu benar perasaanmu.
Jangan ingkar.”
Baju Wuranta telah menjadi
basah oleh keringat. Namun ia masih berkata, “Jangan mencari-cari, Untara.
Katakan saja apa maksudmu sebenarnya.”
Untara terperanjat mendengar
kata-kata itu. Ia adalah seorang senapati perang di daerah ini. Ia adalah orang
tertinggi dalam tata keprajuritan Pajang di daerah lereng Merapi. Tetapi
kemudian disadarinya, bahwa di hadapannya duduk seorang anak muda Jati Anom.
Bukan seorang prajurit Wira Tamtama. Seorang anak muda kawannya bermain semasa
kanak-kanak, sehingga bekas-bekas pergaulan di masa kecilnya itu tidak dapat
dihapuskannya. Sikap itulah yang masih dibawa oleh Wuranta kali ini.
Sekali lagi Untara menghela
nafas dalam-dalam untuk menahan hatinya. Persoalan yang akan dibicarakannya
memang bukan masalah-masalah keprajuritan, meskipun akibatnya akan menyentuh
pula.
Wuranta merasa bahwa ruangan
itu menjadi semakin lama semakin panas, seperti tungku yang dipanasi dengan
bara api kayu mlandingan.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Untara, “Wuranta, tidak baik apabila aku terpaksa mengatakan dengan
berterus terang. Tetapi seharusnya kau dapat menangkap maksudku dan kau tidak
perlu menghindarinya lagi. Marilah persoalan ini kita selesaikan. Kemudian,
kalian akan dapat hidup seperti sedia kala. Tanpa perasaan canggung dan segan.”
Gigi Wuranta menjadi semakin
terkatup rapat untuk menahan gelora perasaannya. Dentang jantung di dadanya
serasa menjadi semakin cepat dan keras. Seperti kentong titir yang
memekik-mekik hampir-hampir mematahkan seluruh tulang iganya.
Tetapi Agung Sedayu pun tidak
pula kalah gelisahnya. Ia belum tahu, apakah yang akan dikatakan kakaknya itu
kepadanya. Tetapi menilik pembicaraannya dengan Wuranta, maka ia sudah dapat
meraba ujung dan bahkan pangkalnya.
Dengan dada yang semakin
berdebar-debar ia mendengar Untara melanjutkannya, “Apakah kau dapat mengerti?
Dan kau dapat mempertimbangkan dengan pikiran yang jernih. Tidak sekedar dengan
perasaan saja.”
Kini tubuh Wuranta menjadi
gemetar. Dipandanginya Untara dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian
terdengar Wuranta itu menggeram, ”Lalu apakah yang harus aku lakukan menurut
pertimbanganmu, Untara? Apakah aku harus minta maaf dan berjanji untuk
melupakan persoalan ini.”
“Tidak perlu,” sahut Untara,
“tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Tetapi apabila kalian melupakan
persoalan di antara kalian, maka dengan demikian sudah terlepas dari persoalan
itu.”
Wuranta tidak menjawab. Sekali
lagi tatapan matanya jatuh di atas anyaman tikar yang silang-menyilang.
Tetapi Wuranta itu kemudian
bergumam seperti kepada diri sendiri, “Apakah yang harus aku lakukan? Aku tidak
mengerti. Apakah aku setiap hari harus pergi ke mana pun bersama Adi Sedayu atau
aku harus menunggunya di banjar ini atau di kademangan Jati Anom? Dan aku juga
tidak mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh Adi Agung Sedayu dalam hal
ini.”
Tampaklah sebersit warna merah
di wajah Agung Sedayu. Sesaat ia mengangkat wajahnya. Sorot matanya menghunjam
langsung ke wajah Wuranta, seolah-olah ingin melihat apakah yang sedang
bergulat di dalam kepala anak muda itu.
Betapa dahsyatnya jantungnya
bergetar, sehingga ia tidak mampu untuk duduk mematung, mendengarkan
pembicaraan yang tidak begitu jelas baginya, yang hanya dapat diraba-rabanya
saja. Karena itu, maka terloncat katanya dengan suara gemetar, “Aku tidak tahu,
apakah yang sedang kita bicarakan.”
Kedua anak-anak muda yang
lain, Untara dan Wuranta, serentak berpaling kepadanya. Namun Wuranta kemudian
segera melontarkan pandangan matanya ke sudut pringgitan, sedang Untara menarik
nafasnya dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Seharusnya kau pun sudah
tahu. Setidak-tidaknya kau dapat merabanya.”
Agung Sedayu sendiri tidak
mengerti, kekuatan apakah yang tiba-tiba mendorongnya, sehingga ia berkata,
“Kakang ingin menyelesaikan masalah yang agaknya menyangkut diriku. Menurut
tangkapanku adalah masalah antara aku dan Kakang Wuranta. Aku tidak ingkar,
bahwa aku merasakan hubungan antara aku dan Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku
tidak tahu, siapakah yang menyebabkannya. Tetapi itu adalah kenyataan, Kakang
menghendaki persoalan ini harus segera mendapat pemecahan dalam sikap yang
cukup dewasa. Tetapi menghadapi persoalan yang harus aku hayati dengan sikap
dewasa itu aku hanya dapat meraba-raba.”
Untara terperanjat mendengar
jawaban adiknya. Jawaban yang sama sekali tidak diduga-duganya. Dengan tajam
ditatapnya wajah Agung Sedayu yang kemudian tertunduk. Seolah-olah anak muda
itu baru pertama kali ini dilihatnya.
Di dalam hati Untara bergetar
beberapa macam pertanyaan tentang adiknya itu. Namun kemudian ia berkata di
dalam hatinya itu, “Anak ini telah benar-benar meningkat menjadi dewasa. Ia
agaknya telah menemukan sesuatu pada dirinya. Sikap dan kepercayaan diri.
Mudah-mudahan ia tidak kehilangan arah.”
Wuranta pun menjadi gelisah
mendengar jawaban Agung Sedayu itu. Terasa dadanya bergetar dan wajahnya menjadi
semakin tegang.
Yang berkata kemudian adalah
Untara, “Ya, Sedayu. Kau benar. Kau harus mendengar dengan pasti apakah
persoalannya.”
Tiba-tiba Wuranta memotong,
“Kau dapat memperbesar persoalan itu, Untara. Seolah-olah persoalan yang cukup
penting dibicarakan oleh seorang senapati seperti kau. Kalau kau tidak
mempersusah dirimu dengan soal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan
jabatanmu itu, maka aku kira persoalan ini pun akan dapat selesai dengan
sendirinya.”
Untara menggelengkan kepalanya,
“Tidak, Wuranta. Meskipun kemungkinan yang demikian itu ada, tetapi kemungkinan
yang lain pun dapat terjadi. Persoalan itu akan menjadi semakin parah.”
Wajah Wuranta menjadi
kemerah-merahan.
“Sebaiknya aku berterus
terang. Kalian harus melupakan persoalan kalian,” berkata Untara kemudian,
“persoalan yang dapat mengganggu hubungan kalian, hubungan antara anak-anak
muda Jati Anom pada umumnya.”
“Ya, aku tahu,” sahut Agung
Sedayu, “aku akan melupakan persoalan itu. Tetapi persoalan yang mana?
Persoalan, bahwa aku siang tadi tidak datang menghadiri upacara pelepasan
jenazah atau persoalan lain.”
“Ah,” Untara mengerutkan
keningnya, “kau tidak memperlancar pembicaraan ini. Baiklah, aku akan
mengatakannya. Aku ingin kalian melupakan Sekar Mirah. Biarlah gadis itu
kembali ke Sangkal Putung. Kalian adalah anak-anak muda Jati Anom. Kalian
berdua termasuk orang-orang penting, terutama di lingkungan anak-anak muda.”
Wajah-wajah Agung Sedayu dan
Wuranta berubah sesaat. Wajah-wajah itu dijalari oleh warna kemerah-merahan.
Keduanya menundukkan kepalanya. Dan untuk sejenak keduanya tidak menyahut.
“Nah, aku sudah
berterus-terang. Kalian agaknya menghendaki aku berkata begitu. Dan aku sudah
mengatakannya,” Untara berkata selanjutnya. Alisnya tampak berkerut, dan ia berkata-pula,
“Sudah cukup persoalan yang disebabkan oleh gadis itu. Salah satu sebab dari
kepergian Sidanti dari Sangkal Putung adalah gadis itu pula. Kalau tidak ada
Sekar Mirah di sana, yang agaknya akan mengecewakannya, maka ia masih harus
mempertimbangkan sepuluh kali lagi untuk meninggalkan Sangkal Putung.”
Agung Sedayu dan Wuranta masih
berdiam diri. Namun dengan demikian Agung Sedayu kini telah mendapat kepastian,
bahwa dugaannya selama ini ternyata benar. Tetapi dengan demikian pula, maka
wajahnya menjadi semakin memerah. Ia menjadi malu atas persoalan yang
melibatnya. Apalagi apabila diingatnya, bahwa Wuranta adalah kawan sepermainan,
meskipun umurnya agak lebih tua sedikit daripadanya.
“Kalian tidak usah ingkar.
Kalian sama-sama mencintai gadis itu. Itulah sebabnya, maka kalian seolah-olah
menjadi bersaing. Mungkin karena Agung Sedayu telah mengenal gadis ilu lebih
dahulu, maka hubungannya menjadi agak lebih rapat dari Wuranta. Hal itulah yang
telah timbul pada kalian. Hal itu pulalah yang telah merenggangkan hubungan
kalian.”
Keduanya masih berdiam diri.
Dan Untara meneruskan, “Kemudian kalian harus bercermin pada padepokan Tambak
Wedi. Langsung atau tidak langsung, kehancuran padepokan ini sebagian
dipengaruhi pula oleh kehadiran gadis itu di sini. Perkelahian antara Sidanti
dan Alap-Alap Jalatunda adalah karena Sekar Mirah. Kemudian perkelahian itu
menjalar menjadi pertempuran yang menyala antara orang-orang Tambak Wedi dan
orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sanakeling. Nah, apakah persoalan yang
dapat ditumbuhkan oleh Sekar Mirah itu tidak juga belum berakhir? Dan kini
kalian berdua terlibat pula dalam masalah itu seperti Sidanti dan Alap-Alap
Jalatunda.”
Keduanya tidak segera menjawab.
Dengan demikian ketika Untara berhenti sejenak, maka pringgitan itu sekali lagi
menjadi sepi. Sekali lagi di kejauhan terdengar suara burung hantu. Lalu
terdengar pula anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan.
Tetapi kesepian malam itu
terasa menekan dada Agung Sedayu seperti hendak menghimpit patah tulang-tulang
iganya. Ketika ia mencoba mengangkat wajahnya dan memandangi Wuranta, maka anak
muda itu masih menundukkan kepalanya.
Terdengar kemudian suara
Untara memecah kesepian, “Bagaimana? Apakah kalian dapat mengerti? Aku
mempunyai perhitungan atas kalian berdua. Kau, Wuranta. Kau akan menjadi
seorang tetindih anak-anak muda Jati Anom. Kau akan dapat memperdalam
pengetahuanmu tentang olah kanuragan. Dan kau akan dapat menjadi tempat untuk meletakkan
dasar kekuatan Jati Anom.” Untara berhenti sejenak, lalu kepada Agung Sedayu
berkata, “Dan kau, Sedayu. Kau masih terlalu muda. Masa depanmu masih sangat
panjang. Karena itu, maka sebaiknya kau membentuk dirimu lebih dahulu sebelum
kau tertarik akan hal-hal lain. Semula aku tidak menaruh keberatan apapun atas
hubunganmu dengan Sekar Mirah. Tetapi ternyata aku melihat sendiri, bahwa
hubungan itu akan dapat mengganggumu, yang kini tampak di mataku adalah
hubunganmu dengan Wuranta sudah terganggu. Ternyata kau lebih mementingkan
gadis itu daripadanya. Sedang kau tahu, bahwa Wuranta adalah seorang yang cukup
penting dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Bahkan seakan-akan turut
menentukan permulaan yang menjadi pembuka jalan masuk ke padepokan ini.”
Meskipun Agung Sedayu sudah
menyangka, bahwa kakaknya akhirnya akan sampai juga pada persoalan dan
pendirian itu, namun kata-kata itu masih juga membuatnya terperanjat sekali.
Terasa seakan-akan dadanya sejenak menjadi pepat, dan nafasnya seolah-olah terhenti.
Untara melihat wajah adiknya
yang tiba-tiba menjadi pucat itu. Tetapi sejenak kemudian wajah yang pucat itu
menjadi merah membara. Mata Agung Sedayu seakan-akan menyala karena
desakan-desakan di dalam dadanya. Sesaat dipandangnya wajah kakaknya, sesaat
kemudian matanya hinggap pada wajah Wuranta. Tetapi anak Jati Anom itu
menundukkan wajahnya meskipun hatinya juga bergolak seperti hati Agung Sedayu.
Namun betapa hati Wuranta bergolak, tetapi ada perbedaan tingkat di antara
keduanya. Wuranta kini merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Untara itu adalah
wajar. Sebagai seorang pemimpin, ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang
tumbuh di antara orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Ketika ternyata Untara tidak
menjadi berat sebelah, tidak memihak kepada Agung Sedayu dan menyalahkannya,
maka sejak itu hati Wuranta mempunyai tangkapan lain terhadap usaha
penyelesaian yang dilakukan oleh Untara. Tiba-tiba hatinya menjadi sangat
terpengaruh oleh cara senapati muda itu. Bahkan kemudan ia menghargainya.
Ternyata Untara mempanyai sikap yang tidak disangka-sangkanya. Semula ia
menyangka, bahwa Untara pasti akan membela adiknya. Menyalahkannya dan berusaha
untuk membela kebenaran Agung Sedayu. Tetapi ternyata tidak. Untara tidak
berbuat demikian menurut penilaian Wuranta.
Bahkan Untara itu berkata,
bahwa mereka berdua, Agung Sedayu dan Wuranta bersama-sama harus melupakan
gadis itu. Gadis yang telah membuat Agung Sedayu dan Wuranta seolah-olah saling
menjauhi. Betapapun berat perasaannya, namun ia merasa bahwa hal itu sebaiknya
dilakukan. Melupakan Sekar Mirah. Dengan demikian, maka antara dirinya dan
Agung Sedayu tidak akan ada lagi batas yang menghalang-halangi seperti yang
mereka alami pada saat-saat terakhir.
Tetapi untuk melupakan Sekar
Mirah pasti akan terlampau sulit. Itulah sebabnya, maka Wuranta masih tetap
membisu sambil menundukkan kepalanya. Dadanya yang bergolak terasa menjadi
semakin pepat. Namun ia dapat mengerti pendirian Untara. Bagi Untara tidak ada
jalan yang lebih baik dari jalan yang ditempuhnya kali ini.
Berbeda dengan Wuranta, maka
pendirian Untara itu serasa telah membelah jantung Agung Sedayu. Ia tidak tahu,
kenapa tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia dihadapkan pada suatu tantangan yang
harus dijawabnya berdasarkan atas keyakinan sendiri. Apabila selama ini
pendiriannya sebagian besar tergantung kepada kakaknya, maka kali ini tiba-tiba
ia merasa kakaknya sebagai orang asing baginya. Orang yang tidak dapat mengerti
tentang dirinya dan yang tidak dapat dimengertinya.
Tetapi karena kepepatan
hatinya, karena gelora yang dahsyat melanda dadanya seperti kawah gunung
Merapi, maka untuk sejenak Agung Sedayu justru terbungkam. Hanya matanya
sajalah yang bergetar memancarkan perasaannya yang membara.
Untara dapat menangkap
perasaan adiknya. Terasa hatinya pun menjadi berdebar-debar. Adiknya kini
ternyata bukan adiknya beberapa waktu yang lalu, yang menangis sambil
berpegangan ikat pinggangnya, di perjalanan ke Sangkal Putung ketika mereka
bertemu untuk pertama kalinya dengan Alap-Alap Jalatunda dan Pandai Besi dari
Sendang Gabus. Tetapi nyala pandangan mata Agung Sedayu kini adalah pancaran
perasaan seseorang yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri.
Dengan demikian maka Untara
merasa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi adiknya ini. Adiknya yang bagi
Untara masih terlampau muda untuk menentukan sikap dan jalan hidupnya. Adiknya
yang menurut pandangan Untara masih terlampau hijau dalam pengalaman dan
pengamatan hidup. Mungkin ia sudah merasa dewasa karena keadaan yang memaksanya
bersikap dewasa. Tetapi kedewasaan yang demikian bukanlah kedewasaan yang
matang. Bahkan mungkin keyakinan diri dalam keadaan yang demikian akan dapat
menjerumuskan Agung Sedayu ke dalam tindakan yang salah dan berbahaya.
Namun untuk sesaat, mereka
seolah-olah terbungkam. Mereka tidak segera menemukan kata-kata untuk
memecahkan kesenyapan yang tegang. Hanya nafas mereka sajalah yang berdesahan
memenuhi ruangan pringgitan banjar padepokan Tambak Wedi.
Tetapi akhirnya Untara
memecahkan kesepian itu. Katanya, “Aku kira kalian dapat mengerti, bahwa tidak
ada jalan lain yang dapat kalian tempuh. Mungkin untuk sesaat, perasaan kalian
akan menjadi sakit. Kalian akan merasa kehilangan sesuatu. Tetapi sesuatu itu
memang belum pernah menjadi milik kalian. Karena itu, biarlah segera Sekar
Mirah kembali ke Sangkal Putung. Aku akan menyediakan pengawalan yang kuat
sehingga meyakinkan bahwa mereka akan selamat sampai ke kademangan itu,
meskipun seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
di perjalanan. Kalian berdua akan tetap tinggal di sini. Sebentar lagi kalian
akan berhasil melupakannya dan kalian akan segera tenggelam dalam kesibukan
yang lain. Kalian adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang cukup.
Agung Sedayu akan dapat menjadi seorang Wira Tamtama yang pilih tanding. Sedang
Wuranta akan dapat menjadi landasan kekuatan Jati Anom. Apabila semuanya itu
telah kalian capai, maka jalan hidup kalian akan kalian tentukan sendiri. Aku
adalah saudara tua Agung Sedayu. Karena itu, maka aku wajib menuntunmu.”
Dada Agung Sedayu benar-benar
akan pecah mendengar kata-kata kakaknya. Betapa ia berusaha untuk menahan
gelora di dalam dadanya, namun kegelisahannya memancar juga lewat matanya.
Bahkan segenap pergolakan di dalam dirinya.
Tetapi justru karena itu, maka
ia tidak segera dapat mengucapkan sesuatu. Agung Sedayu itu duduk saja seperti
patung mati, membeku. Namun dalam kebekuannya itu, Untara dapat membaca pada
sorot matanya, betapa hati adiknya itu sedang menyala.
Meskipun demikian, Untara
merasa wajib untuk mempertahankan pendiriannya itu. Senapati itu mengharap,
bahwa dengan demikian adiknya yang masih terlampau muda itu akan terbebas dari
pengaruh yang dapat membuatnya tetap kerdil. Menurut jalan pikiran Untara,
Agung Sedayu harus mendapatkan dahulu kesempatan yang sebak-baiknya di dalam
lapangan yang sesuai bagi seorang laki-laki. Ternyata kini Agung Sedayu telah
dapat menyingkirkan perasaan takutnya yang berlebih-lebihan, dan telah memiliki
kecakapan dan ilmu yang pantas untuk menjadi seorang prajurit. Bukan saja
seorang prajurit kebanyakan, tetapi ia mempunyai bekal yang cukup untuk dalam
waktu yang singkat menjadi seorang lurah Wira Tamtama.
Melihat wajah dan sorot mata
adiknya, Untara dapat mengetahui bahwa agaknya Agung Sedayu berpendirian lain.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menyahut, maka Untara itu pun bertanya, “Bagaimana? Apakah kalian dapat
mengerti.”
Wuranta masih menundukkan
kepalanya. Tetapi dari sikap dan pandangan matanya, Untara pun dapat mengerti,
bahwa agaknya Wuranta dapat menerima penjelasannya. Berbeda dengan adiknya,
Agung Sedayu.
Sejenak mereka bertiga
terdiam. Pringgitan itu dikuasai oleh kesenyapan. Tetapi setiap hati ketiga
anak-anak muda yang berada di dalamnya, berdentangan bagaikan seribu genta yang
berbunyi bersama-sama di dalam dada mereka.
Namun Agung Sedayu masih
berdiam diri. Wajahnya yang tegang telah menjadi basah oleh keringatnya. Terasa
keningnya berdenyut dan kepalanya menjadi pening. Seperti ketakutan baru di
kepalanya, ia mendengar kakaknya langsung bertanya kepadanya, “Bagaimana
pendirianmu, Agung Sedayu?”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Dengan sepenuh tenaga ia mencoba memenangkan hatinya. Tetapi ia tidak
segera dapat menjawab. Terlampau banyak masalah yang berdesakan di dalam
dadanya. Namun seolah-olah masalah yang terlampau banyak itu desak-mendesak berebut
dahulu, sehingga justru karena itu, maka meskipun mulutnya bergerak-gerak,
tetapi belum sepatah kata pun yang terloncat dari sela-sela bibirnya.
Karena Agung Sedayu masih
diam, maka sekali lagi Untara bertanya, “Bagaimana Agung Sedayu. Kenapa kau
diam saja?”
Agung Sedayu menggeser diri
setapak surut. Titik-titik keringat di keningnnya jatuh satu-satu di pundaknya.
Terbata-bata terdengar ia
berkata, “Kakang, aku tidak dapat melakukannya.”
Hanya itulah yang dapat
diucapkan. Beribu macam kata-kata masih tetap tersimpan di dalam hatinya.
Beribu persoalan yanq tidak terucapkan karena justru berdesakan di dalam
dadanya.
Tetapi jawabannya yang singkat
itu telah melontarkan pokok persoalan yang bergelora di dalam dadanya. Jawaban
yang singkat itu telah menyebabkan dada Untara dan Wuranta berdesir. Meskipun
Untara telah dapat meraba lewat sorot matanya, tetapi bahwa dengan tegas Agung
Sedayu menyatakan pendapatnya itu, telah mengejutkannya.
Karena itu, maka Untara itu
pun kemudian menyahut, “Agung Sedayu. Aku sudah menyangka, bahwa kau akan
menjawab demikian. Aku sudah menyangka bahwa kau pasti akan berkeberatan.
Tetapi aku yakin, bahwa kau akan mampu mengendalikan perasaanmu. Kau sudah
bukan anak-anak lagi. Kau harus sudah dapat membedakan, mana yang baik dan mana
yang buruk.”
“Kakang,” suara Agung Sedayu
masih bergetar, “aku tidak dapat.”
“Kenapa, Sedayu?” bertanya
Untara.
Dada Agung Sedayu masih
berdentangan. Dengan susah payah ia berkata, “Aku bersama Adi Swandaru pergi
dari Sangkal Putung. Aku akan kembali ke Sangkal Putung bersama-sama.”
Kata-kata Agung Sedayu masih
belum dapat tersusun baik. Ia mengatakan apa saja yang dapat dikatakannya.
Tetapi Untara dapat mengerti maksudnya. Maka jawabnya, “Itu tidak penting,
Sedayu. Kau dan Swandaru telah menemukan Sekar Mirah. Biarlah Swandaru membawa
adiknya kepada orang tuanya. Swandaru akan dapat mengatakan bahwa kau akan
tetap tinggal di Jati Anom.”
“Tidak” kata-kata Agung Sedayu
terlampau singkat.
Untara mengerutkan keningnya.
Ia masih berkata dengan tenang, “Aku kakakmu, Agung Sedayu. Selama ini kau
tidak pernah bersikap demikian terhadapku. Apalagi bersitegang tentang sesuatu
pendirian. Aku merasa bahwa aku masih bertanggung jawab terhadapmu sebagai
seorang kakak. Aku adalah pengganti ayah dan ibu.”
Mendengar kata-kata Untara
yang terakhir itu terasa dada Agung Sedayu seperti terhimpit pecahan Gunung
Merapi. Ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Ia ingin menyebut nama ayah dan
ibunya sambil berteriak sepuas-puasnya untuk mengurangi kepepatan dadanya. Tetapi
ia tidak dapat melakukannya.
Yang didengarnya kemudian
adalah suara kakaknya itu lagi, “Agung Sedayu, sebagai saudara tua aku ingin
melihat kau maju di dalam perkembangan yang wajar. Seperti Sidanti, ia mencoba
mulai di bidang keprajuritan. Tetapi sayang, ia ternyata sesat jalan sehingga
kemungkinan yang baik tertutup seluruhnya baginya. Kau akan dapat mulai dengan
itu pula. Menjadi seorang prajurit. Maka harapan akan terbuka di hadapanmu
untuk segera memanjat pada tingkat-tingkat yang tebih tinggi, karena kau
mempunyai cukup kemampuan untuk itu.”
Tetapi sekali lagi Untara
terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu, “Tidak, Kakang. Aku tidak ingin
menjadi seorang prajurit.”
Jawaban Agung Sedayu itu
benar-benar mendebarkan hati Untara. Ia belum pernah melihat sikap Agung Sedayu
yang demikian kerasnya. Namun dengan demikian, maka ia menarik kesimpulan,
bahwa pengaruh seorang gadislah yang telah membuat adiknya menjadi berkeras
kepala.
Meskipun demikian Untara masih
berusaha menahan kata-katanya. Ia masih berusaha untuk berkata dengan tenang,
“Agung Sedayu. Kenapa kau tidak ingin menjadi seorang prajurit? Setiap
laki-laki ingin dapat menjadi seorang prajurit yang baik, yang berguna bagi
negara dan tanah kelahirannya.”
Gejolak di dada Agung Sedayu
menjadi semakin bergelora. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.
“Prajurit adalah suatu
lapangan kebaktian yang paling baik bagi seorang laki-laki muda yang mempunyai
bekal yang kuat seperti kau. Ayah juga mengharap aku menjadi seorang prajurit.
Dan aku telah mencoba untuk memenuhi harapan ayah itu.”
Tetapi tanpa diduga-duga Agung
Sedayu menjawab, “Kakang, apakah ayah dan ibu juga mengharap aku menjadi
seorang prajurit?”
Sebersit warna merah merayap
di wajah Untara. Namun kemudian ia masih mencoba tersenyum. Jawabnya, “Agung
Sedayu, kalau ayah mengharap aku menjadi seorang prarjurit, maka ayah pun akan
bergembira sekali seandainya sempat melihat kau sudah berubah sifat sama
sekali, alangkah senangnya. Kau sekarang sudah tidak takut lagi terhadap
Gendruwo Bermata Satu di tikungan Randu Alas. Kau sudah tidak takut lagi
terhadap Sidanti. Alangkah senangnya.”
“Tetapi, Kakang,” suara Agung
Sedayu sendat, “ibu akan menjadi sedih kalau aku menjadi seorang prajurit.
Seandainya ibu masih ada, maka ibu pasti akan berpendirian lain.”
“Ah,” kesabaran Untara sedikit
demi sedikit menjadi larut, seperti sebongkah garam yang benamkan ke dalam air,
“itu adalah, karena kau pada waktu itu seorang penakut. Tetapi kau harus
berbangga, bahwa kau sekarang bukan lagi seorang penakut. Kau kini seorang
laki-laki penuh. Dan kau pantas untuk menjadi seorang prajurit.”
“Aku tidak ingin menjadi
seorang prajurit, Kakang.”
“He,” wajah Untara menjadi
tegang. Sedang Wuranta yang dudut membeku itu pun menjadi tegang juga. Ia kini
tinggal mendengarkan saja pembicaraan kakak beradik yang lebih condong pada
persoalan keluarga itu. “Kau harus mendengarkan nasehatku, Agung Sedayu. Aku
dapat memilih lapangan yang pantas buatmu.”
Terasa getar di dada Agung
Sedayu seolah-olah telah merontokkan iga-iganya. Ia merasakan kata-kata
kakaknya yang tajam. Perlahan-lahan tumbuhlah keseganannya kepada saudara
tuanya itu, meskipun ia tidak dapat mengerti dan menerima petunjuknya.
“Agung Sedayu. Tak ada orang
lain yang mencoba menempatkan kau di tempat yang sebaik-baiknya selain aku.
Kalau kau tidak ingin menjadi seorang prajurit, lalu kau ingin menjadi apa?”
Agung Sedayu tidak segera
dapat menjawab. Selama ini ia memang belum pernah berpikir, lapangan apakah
yang paling sesuai dengan dirinya, sifat-sifatnya, dan kemampuannya. Karena
itu, ketika kakaknya mengajukan pertanyaan itu, ia menjadi bingung.
“Coba katakan, apakah kau
sudah mempunyai pilihan?”
Perlahan-lahan Agung Sedayu
menggeleng, “Belum, Kakang.”
“Nah, kau masih belum tahu apa
yang akan kau lakukan. Kau masih belum menemukan tempat berpijak, tetapi kau
sudah menambatkan hatimu kepada seorang gadis. Coba, apa yang akan kau lakukan
dengan gadis itu. Dan apa pula yang akan terjadi dengan dirimu sendiri.”
Dada Agung Sedayu terasa
terhantam guntur yang meledak di depan hidungnya. Terasa dadanya menjadi pepat
dan nafasnya menjadi sesak. Justru karena itu, maka pikirannya menjadi gelap.
Dan ia tidak tahu, apa yang harus dikatakannya.
“Sadari, Sedayu. Sadari. Aku
adalah kakakmu. Tidak akan aku menjerumuskan kau ke dalam keadaan yang pahit.
Aku berusaha untuk membantumu, menemukan hari depan yang baik. Kau harus
mengerti.”
Ketika Untara terdiam sejenak,
maka keadaan pringgitan itu menjadi terlampau sepi. Di halaman sudah tidak
terdengar lagi suara para prajurit. Sepi. Sepi sekali.
Sejenak mereka tenggelam di
dalam angan-angan masing-masing. Betapa dinginnya malam, tetapi dada Agung
Sedayu terasa hangus terbakar. Ia sama sekali tidak dapat menerima pendirian
kakaknya. Tiba-tiba keinginannya untuk mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal
Putung justru menjadi semakin besar. Terbayang di ruang matanya, wajah gadis
itu menangis. Dengan suaranya yang pedih memanggil-manggilnya sambil
melambaikan tangannya.
Tiba-tiba hatinya berteriak,
“Aku akan pergi ke Sangkal Putung.” Tetapi mulutnya tetap terbungkam.
“Pikirkan, Agung Sedayu.
Dengarlah nasehatku. Kau seharusnya menemukan tempat untuk berpijak lebih
dahulu. Baru kemudian kau berpikir tentang seorang gadis. Apakah kau dapat
mengerti? Apalagi gadis itu telah beberapa kali membuat bencana. Langsung atau
tidak langsung, terhadap orang-orang yang menaruh perhatian atasnya. Bukankah
itu kau rasakan juga.”
Agung Sedayu tidak menjawab,
tetapi hatinya memekik tinggi, “Tidak. Tidak benar.”
“Nah. Sebaiknya kau
mendengarkan kata-kataku. Kau tetap di sini. Besok lusa kila kembali ke Jati
Anom. Mungkin kita dapat mengadakan sekedar keramaian atas kemenangan kita.
Tetapi tidak berlebih-lebihan dan tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesudah itu,
Swandaru dan Sekar Mirah akan diantarkan ke Sangkal Putung. Kau dan Wuranta
tetap berada di Jati Anom. Kalau kelak kau sudah cukup dewasa, dan cukup
mempunyai alas yang kuat, terserahlah, apa yang akan kau lakukan.”
Kata-kata kakaknya serasa
menyayat dada Agung Sedayu. Kini pendirian itu sudah tegas. Ia tidak boleh
pergi ke Sangkal Putung mengantarkan Sekar Mirah. Bahkan ia tidak boleh lagi
berhubungan dengan gadis itu.
Tetapi Agung Sedayu sama
sekali tidak dapat mendengar alasan kakaknya yang berkepanjangan itu. Tentang
umurnya yang masih terlampau muda, tentang kemungkinan-kemungkinan yang masih
panjang baginya, kesempatan untuk menjadi seorang prajurit dan lainnya lagi.
Yang berputar di kepalanya adalah pendirian kakaknya itu pasti sudah
dipengaruhi oleh Wuranta. Kehadiran Wuranta di antara mereka ternyata telah
membuat hatinya menjadi pedih.
Namun semuanya itu hanya
bergolak saja di dalam dadanya. Ia tidak dapat mengatakannya kepada kakaknya.
Sampai saat ini kakaknya ternyata masih terlampau disegani, sehingga
bagaimanapun juga hatinya bergolak, tetapi ditahannya saja di dalam dadanya,
sehingga dada itu seolah-olah akan meledak.
“Bagaimana, Agung Sedayu?”
pertanyaan itu telah menyengat telinganya, sehingga Agung Sedayu bergeser ke
samping. Ia menjadi sangat gelisah. Melampaui Wuranta pada saat melihat
kedatangannya.
Sejenak Agung Sedayu masih
juga membeku. Tetapi hatinya seakan-akan meronta-ronta ingin melepaskan diri
dari pendirian kakaknya yang sama sekali tidak dapat diterimanya itu. Betapa ia
ingin berbuat atas kehendak sendiri dan tanggung jawab sendiri seperti apa yang
dapat dilakukan oleh Swandaru dan Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar, meskipun kemudian mereka harus dimarahi justru oleh ayah-ayah mereka.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka Untara mendesaknya lagi, “Bagaimana, Sedayu, apakah kau
sependapat? Aku ingin mendengar jawabanmu. Kau tidak usah pergi ke Sangkal
Putung. Dan untuk sementara kau masih belum perlu mengadakan hubungan dengan
Sekar Mirah dan gadis mana pun juga. Umurmu masih terlampau muda.”
Alangkah sakitnya dada Agung
Sedayu. Semuanya itu bertentangan dengan kehendaknya. Tetapi ia tidak dapat
menyatakannya. Dan akhirnya ia menyadari, bahwa ia takut untuk menyatakan
perasaannya yang bergolak itu. Ia takut mengatakan apa yang sebenarnya
dikehendaki.
Ketika sekali lagi Untara
bertanya kepadanya, “Bagaimana, Sedayu?” Maka tanpa disadarinya sendiri, dengan
gemetar kepalanya mengangguk lemah.
“Kau dapat mengerti?”
Sekali lagi kepalanya
mengangguk perlahan sekali.
“Kau tetap tinggal di Jati
Anom bersama aku dan Wurata. Kau harus mendapat kesempatan untuk menjadi
seorang laki-laki. Lapangan yang paling baik adalah lapangan keprajuritan. Aku
akan dapat mencarikan kesempatan untukmu. Dan aku akan dapat menuntunmu.”
Dan sekali lagi kepala itu
mengangguk.
“Bagus, kau mengerti Agung
Sedayu. Dan ternyata kau masih Agung Sedayu yang dahulu. Kau masih tetap
seorang adik yang mengerti bahwa aku adalah pengganti ayah dan ibu.”
Kini kepala Agung Sedayu
tertunduk lemah. Jalur-jalur pandan pada anyaman tikar yang didudukinya menjadi
semakin lama semakin kabur, seperti hatinya yang tidak dapat lagi melihat
dirinya dan kehendak sendiri.
Meskipun demikian, ia masih
mendengar kakaknya berkata, “Untuk seterusnya kau pasti akan menjadi seorang
prajurit yang pilih tanding. Nah, bagaimanakah kau malam ini? Apakah kau akan
tetap tinggal di sini atau kau ingin kembali ke pondokmu? Sebaiknya untuk
seterusnya kau tetap tinggal di sini supaya kau tidak terpengaruh lagi oleh
gadis itu. Tetapi kalau malam ini kau akan kembali ke pondok itu, maka besok
pagi kau harus sudah berada di banjar ini. Seterusnya kau tidak boleh terlampau
banyak berhubungan dengan kedua kakak beradik itu. Bukan karena soal-soal lain,
bukan karena masalah keprajuritan, tetapi sekedar masalahmu. Itulah sebabnya,
supaya tidak menimbulkan salah paham, kau malam ini masih aku perbolehkan kembali
lagi ke pondok itu.”
Dada Agung Sedayu seakan-akan
terbakar menjadi abu. Hangus tanpa dapat berbuat apa-apa.
“Bagaimana, Sedayu?” bertanya
kakaknya.
Bukan saja mata Agung Sedayu,
telinganya pun seolah-olah menjadi kabur. Ia benar-benar telah kehilangan akal
dan nalar.
“Malam ini sebaiknya kau
kembali ke pondok itu. Kau harus dapat membuat alasan yang tidak menimbulkan
salah paham tentang keputusanmu untuk tidak pergi ke Sangkal Putung. Kau
mengerti?”
Agung Sedayu seolah-olah hanya
dapat menganggukkan kepalanya. Dan kali ini pun ia mengangguk.
“Kalau begitu pergilah,”
berkata kakaknya kemudian. “Hati-hati, jangan menimbulkan salah paham.”
Sekali lagi Agung Sedayu
mengangguk, tetapi ia masih duduk saja di tempatnya, sehingga kakaknya
bertanya, “Bagaimana? Kenapa kau masih duduk saja?”
“Oh,” baru Agung Sedayu serasa
sadar dari mimpinya yang dahsyat. Baru ia merasa bahwa bajunya basah oleh
keringat dinginnya.
Perlahan-lahan ia bangkit dan
berkata, “Aku akan kembali ke pondok, Kakang.”
“Hati-hati Sedayu. Kau bukan
anak-anak lagi. Jangan menumbuhkan sakit hati, supaya hubungan Sangkal Putung
dan prajurit Pajang yang masih berada di sana tidak terpengaruh oleh
kesalahanmu.”
Sedayu mengerutkan keningnya.
Kalau terjadi demikian, maka ia lagilah yang bersalah. Dan kakaknya pasti akan
mengatakan bahwa sumber kesalahan itu juga adalah hubungannya dengan Sekar
Mirah.
Karena itu, maka dada Agung
Sedayu rasa-rasanya benar-benar akan meledak. Kepalanya bertambah pening dan
nalarnya menjadi pepat, sehigga ia berdiri saja tegak seperti patung.
“He, kenapa kau tegak saja di
situ?” terdengar suara kakaknya. “Apakah masih ada yang akan kau tanyakan?”
“Oh,” Agung Sedayu tergagap.
“Tidak, Kakang. Aku minta diri.”
“Hati-hatilah,” pesan kakaknya
sekali lagi.
Agung Sedayu segera melangkah
meninggalkan pringgitan itu. Tetapi ia sama sekali tidak ingat untuk minta diri
kepada Wuranta. Baru ketika ia sudah berada di pendapa luar pintu pringgitan,
ia teringat kepadanya. Tetapi Agung Sedayu tidak melangkah kembali. Ia berjalan
terus dengan kaki gemetar di antara beberapa orang yang sudah tertidur di
pendapa. Satu dua masih terjaga dan Agung Sedayu mendengar mereka
terbatuk-batuk.
Wuranta, yang masih duduk
bersama-sama dengan Untara, ternyata merasa tersinggung juga akan sikap Agung
Sedayu, sehingga ia berkata, “Kalau hubunganku dengan adikmu itu kemudian tidak
juga dapat menjadi baik, sama sekali bukan salahku. Kau lihat sendiri bagaimana
sikapnya kepadaku. Ketika ia meninggalkan pringgitan ini ia sama sekali tidak
menyapaku. Apalagi minta diri.”
“Ia masih terlampau muda.
Perasaannya masih lebih banyak berbicara daripada pikirannya. Kau sendiri
pernah juga mengalami masa-masa di mana kau kehilangan pegangan. Sekarang kau
sudah menemukan keseimbangan. Kau harus dapat mengerti keadaan Agung Sedayu. Karena
itu kau akan dapat memaafkannya.”
Wuranta tidak menjawab.
Bagaimanapun juga, Untara adalah kakak Agung Sedayu, sehingga untuk
menyalahkannya ia agak segan-segan juga. Namun sikap Agung Sedayu itu
benar-benar menyinggung perasaannya. Justru karena di antara mereka ada
persoalan yang seakan-akan menjadi kabut yang membatasi mereka itu.
Ketika Agung Sedayu keluar
dari regol halaman bandar padepokan Tambak Wedi, maka ia seakan-akan tidak
dapat lagi menahan hatinya. Ingin ia berteriak sekeras-kerasnya. Ingin ia
menjerit dan melontarkan suaranya sampai kepuncak Gunung. Tetapi yang
dirasakannya hanyalah pepat di dadanya.
Hanya tiba-tiba saja
meledaklah geramnya seperti gelegak perut Gunung Merapi, “Tidak. Aku tidak
dapat melakukannya. Aku akan pergi ke Sangkal Putung, malam ini juga.”
Ternyata Agung Sedayu tidak
kuasa menahan dirinya. Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Untara hanya dapat
menahan anak itu di hadapannya. Tetapi setelah ia meninggalkan pringgitan, maka
ia sama sekali telah melupakan kesanggupannya yang dinyatakannya karena
perasaan segan dan takut, tetapi yang sebenarnya sama sekali tidak dapat
diterima oleh perasaannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu
seolah-olah didorong oleh desakan-desakan di dalam dadanya, langkahnya pun
menjadi semakin cepat. Bahkan ia berlari-lari kecil seperti takut kamanungsan
karena kokok ayam jantan di kejauhan.
Ia terkejut, ketika tiba-tiba
saja di perapatan ia bertemu dengan dua orang peronda yang menyapanya, “He,
siapa kau?”
Agung Sedayu berhenti sejenak,
tetapi ia tidak segera menjawab, sehingga kedua peronda itu mengulanginya,
“Siapa kau?”
Agung Sedayu menjawab dengan
malasnya, “Agung Sedayu.”
“O,” orang itu menyahut,
“Apakah kau baru dari banjar?”
“Ya,” jawab Sedayu.
Meskipun demikian, salah
seorang dari kedua peronda itu mendekati dan mengamat-amatinya dengan seksama.
“Kemana kau malam-malam begini?” bertanya peronda itu.
“Kembali ke pondokku.”
“O,” peronda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “silahkan.”
Agung Sedayu meneruskan
langkahnya. Tergesa-gesa. Dadanya serasa selalu mendesaknya untuk segera sampai
ke pondoknya, untuk kemudian mengatakan kepada Swandaru dan Sekar Mirah, bahwa
mereka harus segera bersiap. Malam ini juga pergi ke Sangkal Putung.
Ketika nyala lampu di regol
halaman pondoknya sudah dilihatnya, maka Agung Sedayu semakin mempercepat
langkahnya. Jarak yang sudah menjadi semakin pendek itu, terasa terlampau lama
dilampauinya. Ia ingin sekali loncat dan langsung sampai ke dalam pondoknya.
Karena itu, maka Agung Sedayu
itu kemudian berlari sekuat-kuatnya seolah-olah takut di kejar hantu.
Swandaru dan Sekar Mirah yang
belum juga dapat tidur terkejut mendengar langkah berlari-lari di halaman.
Swandaru segera meloncat berdiri. Tangannya tanpa disadarinya telah melekat di
hulu pedangnya.
“Siapa, Kakang?” bertanya
Sekar Mirah yang menjadi cemas.
“Duduklah, Mirah.”
Sekar Mirah yang telah berdiri
di belakang Swandaru mendesaknya, “ Siapa, Kakang?”
“Aku tidak tahu. Tenanglah.”
Tetapi kecemasan Sekar Mirah
menjadi semakin dalam mengusik jantungnya, sehingga dadanya menjadi
berdentangan.
Langkah di luar itu kini
terputus. Sejenak kemudian terdengar pintu rumah itu diketuk orang.
Swandaru melangkah mendekati
pintu. Ketika Sekar Mirah ingin mengikutinya, maka didorongnya gadis itu surut
perlahan-lahan sambil berbisik, “Jangan dekat-dekat. Mungkin aku harus menarik
pedangku.”
Wajah Sekar Mirah menjadi
berkeringat. Dan ia mendengar Swandaru menyapa, “Siapa di luar?”
Terdengar sebuah jawaban dengan
suara bergetar, “Aku, Agung Sedayu.”
“He,” Swandaru terkejut. Ia
tidak dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu terpaksa berlari-lari. Karena itu,
maka dadanya menjadi berdebar-debar. Hanya oleh hal-hal yang luar biasa
sajalah, maka Agung Sedayu terpaksa berlari. Karena itu maka cepat ia meloncat
meraih palang pintu. Sekali renggut, maka pintu itu pun telah terbuka.
Maka dilihatnya Agung Sedayu
berdiri di muka pintu dengan wajah yang pucat dan tubuh gemetar. Karena itu
maka Swandaru pun menjadi semakin cemas. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apa
yang telah terjadi, Kakang?”
Agung Sedayu yang sedang
kebingungan itu menjadi semakin bingung mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba
saja ketika ia telah berdiri di muka Swandaru dan Sekar Mirah, ia menjadi
ragu-ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi atas dirinya.
“Apa yang telah terjadi,
Kakang? Apakah Kakang sedang dalam bahaya?”
Swandaru melihat Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Dan terdengar kata-katanya perlahan, “Tidak, Adi
Swandaru. Aku tidak apa-apa.”
“Tetapi,” Swandaru berhenti
sejenak. Diamat-amatinya Agung Sedayu yang gemetar. Nafasnya masih terdengar
berkejaran lewat lubang hidungnya.
“Tetapi,” Swandaru mengulang,
“kau baru saja berlari.”
Agung Sedayu mengangguk lemah,
“Ya,” jawabnya.
“Kenapa Kakang berlari-lari?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya yang sedang terlampau gelisah dan
bingung.
”Aku akan masuk dahulu,”
desisnya tiba-tiba.
“Oh,” Swandaru tergagap,
“Marilah. Masuklah.”
Agung Sedayu itu pun kemudian
masuk ke dalam pondoknya. Swandarulah yang kemudian menutup pintu dan
menyelaraknya dengan sepotong kayu.
Agung Sedayu kemudian duduk di
amben besar yang ada di dalam ruangan itu. Ia mencoba menenteramkan hatinya dan
mencoba berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan.
Kini ia menjadi ragu-ragu
untuk berkata sesungguhnya. Hal itu pasti akan menyinggung perasaan anak-anak
muda Sangkal Putung kakak beradik itu. Dan Agung Sedayu masih sempat mengingat
kata-kata kakaknya, bahwa apabila terjadi demikian, maka hal itu akan dapat
menyulitkan kedudukan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung di bawah
pimpinan pamannya, Widura. Dan nalarnya tidak menghendaki hal itu terjadi.
Tetapi untuk tetap berdiam
diri, dan kemudian menuruti perintah kakaknya untuk tinggal di Jati Anom dan
menjadi seorang prajurit, sama sekali tidak terlintas di dalam angan-angannya.
Ia tidak ingin tinggal di Jati Anom. Ia tidak ingin lagi selalu berada
bersama-sama dengan kakaknya seperti pada masa kanak-kanaknya. Kini ia telah
berani menghadapi kehidupan ini seorang diri. Ia telah berani tampil sebagai
seorang laki-laki yang berpribadi.
Swandaru dan Sekar Mirah yang
kemudian duduk di amben itu pula menjadi heran melihat keadaan Agung Sedayu.
Mereka melihat anak muda itu pucat dan gelisah. Bahkan sekali-sekali menarik
nafas dan berdesah. Tetapi Swandaru tidak ingin mendesaknya sekali lagi. Ia
tahu, bahwa Agung Sedayu sedang kebingungan dan ia tidak ingin menambah anak
muda itu menjadi semakin bingung.
Sejenak mereka bertiga saling
berdiam diri. Meskipun Swandaru dan Sekar Mirah selalu memandangi Agung Sedayu
yang gelisah, tetapi mereka tidak bertanya sepatah katapun. Mereka hanya
menyimpan keheranan dan kecemasannya di dalam dadanya.
Di luar gemersik dedaunan
menjadi semakin keras ditiup angin lereng pegunungan yang mengalir dari
selatan. Dinginnya menembus dinding pondok yang tidak terlampau rapat, menyusup
menyentuh kulit.
Sementara itu, dada Agung
Sedayu masih saja bergolak. Dicarinya cara yang sebaik-baiknya untuk mengatakan
keadaannya tanpa menyinggung perasaan kedua kakak beradik itu, seolah-olah
mereka sama sekali sudah tidak diperlukan lagi di sini dan diusir untuk segera
pergi kembali ke Sangkal Putung.
Sekali lagi Agung Sedayu
berdesah. Kediamannya telah membuat ruangan itu semakin lama semakin tegang.
Dan untuk melepaskan ketegangan itu tiba-tiba saja terloncat dari bibirnya
pertanyaan, “Apakah kalian belum tidur?”
Kini Swandaru-lah yang menarik
nafas dalam. Pertanyaan itu memang dapat mengurangi ketegangan perasaan
masing-masing. Dengan menggelengkan kepalanya, Swandaru menjawab, “Belum,
Kakang. Kami tidak segera dapat tidur.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia kehilangan pertanyaan yang akan
diucapkannya. Karena itu, sejenak mereka terdorong di dalam kesenyapan kembali,
dan kali ini menegangkan lagi.
Baru sejenak kemudian, Agung
Sedayu dapat mengucapkan kata-kata, “Malam telah larut. Beristirahatlah.”
Swandaru mengangguk, “Kami
sebenarnya juga ingin beristirahat, tetapi kegelisahan dan malam yang terlampau
sepi ini membuat kami tidak dapat memejamkan mata.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk
pula. Ia melihat pedang Swandaru tergantung di lambungnya. Hal itu telah
mengatakan kepadanya, bahwa anak muda Sangkal Putung itu pun pasti benar-benar
sedang digelisahkan oleh sepi malam yang telah membakar perasaannya.
Setelah sekian lama Agung
Sedayu berusaha, maka ditemukannya kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
Maka katanya, “Aku sudah dapat ijin dari Kakang Untara untuk meninggalkan
padepokan ini.”
“He,” ternyata kalimatnya itu
telah mengejutkan Swandaru dan Sekar Mirah, sehingga mereka pun bergeser
mendekati. “Jadi, bagaimanakah maksudmu, Kakang? Apakah itu berarti kita tidak
ada keberatan apa pun lagi untuk segera meninggalkan padepokan ini dan kembali
ke Sangkal Putung?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Dengan susah payah ia kemudian menjawab, “Ya, begitulah.”
“Oh,” wajah Sekar Mirah segera
berseri. “Jadi kita dapat segera pulang kepada ayah dan ibu? Kalau begitu, kita
akan segera pulang ke Sangkal Putung. Bagaimana kalau sekarang?” Tetapi
kata-katanya terputus ketika tiba-tiba diingatnya, bahwa menurut kedua
anak-anak muda itu dan bahkan menurut Kiai Gringsing, Sidanti mungkin
berkeliaran di sekitar tempat itu.
Swandaru dan Agung Sedayu pun
tidak segera menyahut kata-kata Sekar Mirah itu. Bahkan sejenak mereka saling
berpandangan di dalam kediaman mereka.
Sekar Mirah yang menjadi ngeri
membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi apabila Sidanti mencegat perjalanan
mereka, menggigit bibirnja. Sekali dipandanginya wajah kakaknya Swandaru dan
sekali wajah Agung Sedayu. Seandainya Kiai Gringsing tidak pernah
mengatakannya, maka Sekar Mirah tidak akan menjadi demikian ngeri.
Tetapi tiba-tiba, baik Sekar
Mirah maupun Swandaru terkejut, ketika mereka mendengar Agung Sedayu berkata,
“Kita memang dapat segera meninggalkan tempat ini. Bahkan sekarang pun dapat.”
Kini Swandaru dan Sekar
Mirahlah yang saling berpandangan. Tiba-tiba terasa suasana menjadi demikian
tegangnya. Dengan gemetar Sekar Mirah bertanya, “Jadi kita benar-benar dapat
kembali ke Sangkal Putung sekarang?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu
pendek.
Dalam kegelapan, maka jalan
inilah yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu. Pergi meninggalkan padepokan ini
dan meninggalkan kakaknya. Ia tidak ingin tinggal di Jati Anom, apalagi menjadi
seorang prajurit. Karena itu, ia harus segera lari. Lari dari padepokan ini dan
menjauhinya.
Tetapi sikap Agung Sedayu itu
ternyata menimbulkan berbagai macam pertanyaan di dalam dada Swandaru. Semula
Agung Sedayu menyatakan keberatannya untuk segera meninggalkan padepokan ini
dengan berbagai alasan. Ketika Sekar Mirah mencoba memaksa untuk minta diantar
segera ke Sangkal Putung, maka Agung Sedayu telah mencoba menahannya. Kemudian
Kiai Gringsing pun menahan mereka itu pula. Kini tiba-tiba Agung Sedayu
sendirilah yang seakan-akan ingin segera meninggalkan padepokan ini.
Swandaru yang hampir-hampir
tidak pernah berpikir mengenai persoalan yang dapat membuatnya pening, kini
mencoba menghubungkan sikap Agung Sedayu dan apa saja yang baru terjadi
atasnya. Baru saja Agung Sedayu berlari-lari seperti orang yang sedang ketakutan
dengan wajah yang pucat. Lalu tiba-tiba kini Agung Sedayu berkeinginan untuk
segera mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal Putung.
Begitu tajamnya
pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu perasaannya, sehingga ia tidak dapat lagi
menahannya. Dengan nada datar ia bertanya, “Kakang, apakah hal itu tidak akan
menimbulkan prasangka yang kurang baik?”
“Siapakah yang akan
berprasangka?” bertanya Agung Sedayu. “Bukankah ayah dan ibumu, sudah sekian
lamanya menunggu? Bagi mereka, kedatangan kalian semakin cepat akan menjadi
semakin baik.”
“Ya,” sahut Sekar Mirah,
“semakin cepat semakin baik.”
“Nah, bukankah kau juga sudah
rindu kepada ayah ibumu?” bertanya Agung Sedayu pula.
“Tentu,” sahut Sekar Mirah,
“apabila sekarang kita memang dapat berangkat kembali ke Sangkal Putung, aku
akan senang sekali.” Sekar Mirah itu terdiam sejenak, lalu tiba-tiba suaranya
menjadi sangat perlahan-lahan, “Tetapi, bagaimana dengan Sidanti?”
“Ah,” desah Agung Sedayu, “aku
tidak takut dengan Sidanti. Aku dan kakakmu, Adi Swandaru akan menjagamu.”
“Bagaimana dengan Ki Tambak
Wedi?”
Agung Sedayu terdiam mendengar
pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Swandaru yang bulat. Tetapi sepasang mata pada
wajah itu memancarkan beribu macam pertanyaan yang bergelora di dalam dada anak
muda yang gemuk itu.
“Kakang,” berkata Swandaru,
“aku pun sebenarnya ingin segera pulang ke Sangkal Putung. Tetapi betapa tumpul
otakku, namun aku merasakan sesuatu yang tidak wajar. Aku tidak tahu, apakah
perasaanku yang tidak wajar, apakah memang sebenarnya sedang terjadi sesuatu
atasmu. Aku masih belum tahu, apakah sebabnya kau berlari-lari di halaman. Dan
sekarang aku pun masih belum tahu, apakah yang menyebabkan kau tergesa-gesa
meninggalkan padepokan ini?”
Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari, bahwa pertanyaan yang
demikian itu justru adalah pertanyaan yang wajar. Dicobanya untuk menahan
gelora di dadanya. Dan dicobanya untuk memperhitungkan keadaan yang dihadapinya
dengan tenang. Tetapi hatinya benar-benar menjadi pepat. Karena itu, sejenak ia
berdiam diri saja. Direnunginya kini sudut ruangan itu dengan pandangan mata
yang kosong.
Sekali lagi Swandaru melihat
kebingungan yang mencengkam hati Agung Sedayu. Dan sekali lagi ia tidak ingin
menambah hati anak muda itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka ia pun
tidak mendesak lagi. Kini Swandaru pun duduk merenung. Tanpa sesadarnya
tangannya telah membelai hulu pedangnya yang dibuatnya dari gading.
Sedang Sekar Mirah pun menjadi
bingung sendiri. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sebenarnya sedang
dihadapi. Tetapi seperti juga Swandaru, ia pun merasakan pula sebuah sentuhan
yang tidak sewajarnya pada perasaannya. Tetapi ia pun tidak bertanya sesuatu.
Namun sekali lagi Swandaru dan
Sekar Mirah terkejut, ketika mereka mendengar Agung Sedayu bergumam lirih,
“Tetapi aku harus segera meninggalkan padepokan ini.”
Ketika Swandaru dan Sekar
Mirah berpaling kepadanya, Sedayu masih saja merenungi sudut ruangan itu.
Sejenak Swandaru masih tetap
berdiam diri. Tetapi kini gejolak di dalam dadanya menjadi semakin tajam.
Bahkan tiba-tiba tumbuhlah berbagai masalah di dalam dadanya. Dan seperti juga
Agung Sedayu yang bergumam perlahan-lahan, maka Swandaru pun kemudian bertanya
perlahan-lahan, seperti seseorang yang sedang bergumam, “Kakang, apakah
sebenarnya yang telah terjadi? Apakah kehadiran kami, aku dan Sekar Mirah di
sini tidak dikehendaki? Dan apakah Kakang sedang mencoba menyingkirkan kami
dengan cara yang tidak kami ketahui, supaya kami tidak tersinggung karenanya?”
Meskipun kata-kata Swandaru
itu diucapkan perlahan-lahan, bahkan hampir tidak terdengar, tetapi Agung
Sedayu terperanjat karenanya. Diangkatnya kepalanya, dipandanginya wajah anak
muda yang gemuk itu. Setapak ia bergeser, dan hampir ia berteriak, “Darimana
kau mengetahuinya?”
Untunglah, bahwa mulutnya
segera dapat dikuasainya. Dan Agung Sedayu tidak mengucapkan kata-kata itu.
Sejenak Agung Sedayu berjuang
untuk menenangkan hatinya. Ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan,
maka ia menarik nafas dalam-dalam.
“Kau salah tafsir, Adi
Swandaru,” desis Agung Sedayu. Namun suaranya bernada datar dan diwarnai oleh
keragu-raguan hatinya.
Swandaru tidak segera
menyahut.
“Tidak ada seorang pun yang berpendirian
demikian di padepokan ini. Kalian di sini sama sekali tidak mengganggu siapa
pun, sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang merasa berkeberatan atas
kehadiranmu di sini.” Tetapi hati Agung Sedayu berkata lain. Ia tahu benar,
bahwa kakaknya menghendaki agar Sekar Mirah segera meninggalkan padepokan ini.
Lebih cepat lebih baik.
Besok atau lusa kakaknya akan
menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk menyatakan kebesaran hati para prajurit
Pajang dan orang-orang Jati Anom, karena mereka telah berhasil menyelesaikan
tugas-tugas mereka yang berat. Kemudian setelah itu, segera Sekar Mirah akan
diantar ke Sangkal Putung oleh sepasukan prajurit, supaya gadis itu terpisah
daripadanya, dan tidak lagi menimbulkan persoalan-persoalan di antara anak-anak
muda.
Tetapi keringat dingin mulai
mengalir di punggungnya ketika Swandaru bertanya, “Tetapi apakah sebabnya
Kakang menjadi terlampau gelisah? Kakang berbuat sesuatu yang sama sekali tidak
dapat aku mengerti, dan Kakang bersikap tidak wajar dalam tangkapanku.
Mudah-mudahan aku keliru.”
Agung Sedayu memang tidak
dapat menyembunyikan perasaannya. Cemas, gelisah dan bingung. Ia tidak mau
menuruti perintah kakaknya. Ia ingin lari malam ini meninggalkan padepokan
Tambak Wedi.
“Tetapi tidak ada tujuan lain,
selain Sangkal Putung,” katanya di dalam hati. “Untuk itu aku harus pergi
bersama-sama dengan Swandaru dan Sekar Mirah. Tetapi bagaimana aku menjelaskan
persoalan ini.”
Pengalaman Agung Sedayu yang
sedikit, tidak dapat membuka banyak kemungkinan baginya. Ia tidak dapat
perpikir untuk lari tidak ke Sangkal Putung. Lari entah ke mana. Mungkin ke
daerah Pesisir Utara. Mungkin ke Pantai Selatan, menyusur Pegunungan Kidul ke
barat atau ke timur. Agung Sedayu tidak tahu betapa luasnya bumi. Karena itu,
maka tidak ada angan-angannya untuk pergi ke Blambangan di ujung timur atau ke
Banten di ujung barat. Yang ada di kepalanya Jati Amon dan Sangkal Putung.
Kademangan Sangkal Putung, tempat tinggal Sekar Mirah dan kakaknya Swandaru
Geni. Kadang-kadang tumbuh juga angan-angannya untuk pergi sejauh-jauhnya. Ke
Mentaok atau ke daerah-daerah yang pernah disebut-sebut oleh Sutawijaja dan
Kiai Gringsing. Mangir misalnya.
Tetapi di sana Agung Sedayu
tidak akan dapat bertemu dengan Sekar Mirah. Dan selama ia pergi, maka akan banyak
sekali peristiwa yang dapat terjadi. Mungkin suatu ketika Wuranta akan pergi ke
Sangkal Putung dan membuat hubungan pula dengan Sekar Mirah. Mungkin juga suatu
ketika Sidanti akan dapat menculiknya lagi.
Karena itu, maka tidak ada
pikiran lain yang ada padanya kemudian, selain pergi mengantarkan Sekar Mirah
ke Sangkal Putung. Ia akan mengatakan persoalannya kepada pamannya Widura.
Tidak sebagai seorang prajurit di bawah perintah kakaknya Untara, tetapi
sebagai seorang paman. Ia mengharap, bahwa pengaruh pamannya akan dapat
membantunya.
“Kalau perlu aku harus membuat
tekanan terhadap Kakang Untara. Swandaru adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal
Putung. Sikapnya pasti akan berpengaruh terhadap kekuatan Pajang. Aku tidak
peduli, apakah dengan demikian aku akan dianggap bersalah oleh Kakang Untara,”
desisnya di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu itu
terperanjat ketika Swandaru berkata, “Aku dan Sekar Mirah ingin penjelasan
Kakang. Seandainya memang kehadiran kami di sini tidak dikehendaki, maka kami
bersedia untuk meninggalkan tempat ini. Tidak usah menunggu besok. Tetapi malam
ini. Aku dan Sekar Mirah tidak perlu takut terhadap Sidanti, bahkan Ki Tambak
Wedi. Untuk pergi ke Sangkal Putung ada seribu jalan. Dan Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya tidak berada di seribu tempat. Kalau memang seharusnya
kami berdua mati di tangan mereka, maka itu adalah akibat yang wajar yang tidak
perlu disesali dalam keadaan serupa ini. Adalah kesalahan ayah dan ibu pula,
bahwa mereka tidak mengirimkan sepasukan anak-anak muda untuk menjemput kami.
Karena kami yakin, bahwa Sangkal Putung dapat membangun kekuatan
pengawal-pengawal kademangan segelar sepapan. Dan sudah tentu kami berharap,
bahwa kademangan kami akan dapat mempertahankan dirinya tanpa seorang prajurit
Pajang pun di daerah kami kelak.”
“Kau salah paham, Adi,” sahut
Agung Sedayu dengan serta-merta. Tetapi ia tidak segera menemukan
kalimat-kalimat yang dapat meyakinkan Swandaru dan Sekar Mirah.
“Kalau demikian, maka apakah
yang sebenarnya terjadi?”
Agung Sedayu menjadi semakin
bingung. Akhirnya ia tidak dapat menemukan jawaban yang dianggapnya cukup baik
dan beralasan, selain daripada dirinya sendiri. Maka katanja, “Ada perselisihan
antara aku dan Kakang Untara.”
Swandaru mengerutkan alisnya,
sedang Sekar Mirah menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Apakah soalnya?” bertanya
Swandaru.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Terasa hatinya menjadi semakin tegang.
Swandaru dan Sekar Mirah pun
menjadi tidak kalah tegangnya. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh
Agung Sedayu. Kenapa kakak beradik itu tiba-tiba saja berselisih.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, dan karena desakan perasaan ingin tahu yang tidak dapat
ditahankannya, maka Swandaru mendesaknya, “Apakah yang menyebabkan kalian
berselisih?”
Agung Sedayu tidak dapat untuk
terus menerus berdiam diri tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena
itu, maka ketika ia tidak dapat mengelak lagi, maka dijawabnya saja sekenanya,
“Kakang Untara ingin aku menjadi seorang prajurit seperti dirinya.”
“He,” Swandaru mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. “Suatu kesempatan yang
sangat baik bagimu, Kakang.”
Kini Agung Sedayulah yang
terkejut. Ia tidak menyangka, bahwa demikian tanggapan Swandaru tentang tawaran
kakaknya padanya untuk menjadi seorang prajurit.
“Tetapi kenapa Kakang menjadi
tampak cemas dan gelisah? Bahkan sampai berlari-lari?”
Pertanyaan itu memang
terlampau sulit untuk dijawab. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri
lagi. Ia harus memberi penjelasan supaya tidak terjadi salah paham. Dan
penjelasan itu harus disusunnya, dikarangkannya lebih dahulu.
Sorot mata Swandaru
memancarkan ketidak-sabaran hatinya. Seolah-olah mata itu telah mendesaknya
untuk mengatakan sesuatu.
Terdengar Agung Sedayu
berdesah. Perlahan-lahan dan penuh kebimbangan ia menjawab, “Adi Swandaru.
Ternyata aku berbeda pendirian dengan Kakang Untara. Aku tidak ingin menjadi
seorang prajurit.”
“Ah,” dengan serta merta
Swandaru menyahut, “Mustahil. Mustahil seorang laki-laki yang mempunyai bekal
yang cukup menolak kesempatan untuk menjadi Wira Tamtama. Kakang, kelak aku pun
ingin menjadi seorang Wira Tamtama.”
Agung Sedayu mencoba
menganggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin. Mungkin pada suatu ketika aku pun
ingin untuk menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Tetapi tidak sekarang.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dari sela-sela bibirnya meluncur pertanyaanya, “Sekarang?”
“Ya. Kakang Untara ingin
memaksaku untuk pergi ke Pajang dan langsung menghadap Ki Gede Pemanahan. Aku
harus menunggu perintahnya untuk berbuat sesuatu, supaya aku mendapat
kepercayaan dan langsung menjadi seorang prajurit Wira Tamtama yang
terpandang.”
“Oh, kesempatan yang luar
biasa,” tiba-tiba mata Swandaru menjadi berseri-seri. Kalau saja kesempatan itu
ada juga buatnya maka ia akan menjadi sangat bergembira. Maka katanya ,
”Kakang, tolong katakan kepada Kakang Untara, bahwa aku pun ingin mendapat
kesempatan yang serupa. Aku tidak harus mulai dari tataran yang paling rendah.
Untuk itu, aku tidak terlampau berkeberatan, seandainya aku harus menjadi
seorang prajurit yang paling bawah dalam keadaan yang wajar. Tetapi biasanya
kesempatan untuk dapat merambat ketingkat yang lebih tinggi terlampau sulit.
Tetapi justru syarat-syarat itu tidak pernah diperhatikan, yang diperhatikan
adalah masalah-masalah lain. Hanya orang-orang yang terdekat dengan lurah-lurah
Wira Tamtama sajalah yang mendapat perhatian mengenai kemampuan dan
keprigelannya.”
Agung Sedayu menjadi semakin
bingung mendengar jawaban Swandaru itu. Ternyata Swandaru justru tertarik
kepada ceriteranya yang dengan susah payah disusunnya untuk melepaskan diri
dari kebingungan. Tetapi ia kini terperosok ke dalam kebingungan yang baru.
“Nah, bagaimana Kakang?”
Tiba-tiba Agung Sedayu menengadahkan
dadanya. Ia menemukan jawaban yang untuk sementara dapat membebaskannya dari
ketegangan ini. Katanya, “Justru itulah yang aku tidak mau, Adi Swandaru.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Wajahnya yang bulat menjadi berkerut merut. “Kenapa?” dengan
ragu-ragu ia bertanya.
“Aku menyadari bahwa
kesempatan yang diberikan oleh Kakang Untara itu adalah kesempatan seperti yang
kau katakan. Aku diterima menjadi seorang Wira Tamtama, bahkan mungkin seorang
yang langsung mendapat kedudukan yang baik, bukan karena jasa-jasaku sebagai
seorang prajurit. Hal itu dapat terjadi karena aku adalah adik Kakang Untara.
Aku tidak mau. Aku tidak mau. Itulah sebabnya aku harus menghindarkan diri dari
padepokan ini sebelum Kakang Untara memaksaku. Bagiku Adi Swandaru, lebih baik
menjadi seorang prajurit yang memanjat tataran demi tataran, tetapi karena
hasil keringatku sendiri daripada aku langsung mendapat kedudukan yang baik,
tetapi hanya karena aku seorang adik dari Kakang Untara. Dari seorang senapati
yang telah berjasa dapat menyelesaikan sisa-sisa orang-orang Jipang di bagian
selatan ini. Tetapi yang berjasa adalah Kakang Untara. Bukan aku. Seandainya
mendapat wisuda seharusnya juga Kakang Untara, bukan aku.”
“Oh,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar ia berdesis, “itukah
sebabnya kau ingin meninggalkan padepokan ini?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu, “aku
tidak mau. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Mungkin kelak aku ingin menjadi
seorang prajurit di sana. Pada pasukan Paman Widura.”
“Tetapi Paman Widura adalah
pamanmu pula Kakang. Kalau ternyata kau mendapat kesempatan, maka kau akan
menyangka, bahwa kesempatan itu kau terima justru kau kemanakannya.”
Agung Sedayu terdiam.
Pertanyaan ini tidak segera dapat dijawabnya. Sekali lagi ia mencoba memutar
nalarnya untuk membebaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang membuat
kepalanya menjadi pening.
Sekali lagi ruangan itu
terdampar ke dalam kesenyapan yang tegang. Tubuh Agung Sedayu telah menjadi
basah oleh keringat dingin yang seolah-olah diperas dari tubuhnya.
Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenteramkan hatinya.
Baru sejenak kemudian Agung
Sedayu menjawab, “Mungkin aku mempunyai perasaan yang demikian pula, Adi
Swandaru, tetapi pasti tidak akan terlampau tajam seperti saat ini. Apabila aku
harus memenuhi perintah Kakang Untara dan menghadap Ki Gede Pemanahan, maka
segera aku akan terlempar ke atas. Itu pasti tidak akan dapat memberi
ketenteraman di hatiku. Apalagi aku tahu, bahwa prajurit-prajurit yang kemudian
berada di bawahku adalah orang-orang yang telah berjuang cukup lama dan
mempunyai jasa yang cukup besar buat Pajang. Kemampuan dan pengalaman ada pula
yang melampaui aku. Nah, aku tidak akan dapat melakukan tugas yang demikian.”
Agung Sedayu memandangi Swandaru
Geni untuk mencoba menangkap kesan kata-katanya di hati adik seperguruannya
itu. Dan ia melihat Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu, maka
hati Agung Sedayu menjadi agak tenteram. Ia mengharap Swandaru dapat
mempercayainya.
Dan dengan tiba-tiba saja
Swandaru bertanya, “Jadi bagaimanakah maksudmu, Kakang? Apakah kau akan segera
berangkat?”
Dada Agung Sedayu kini
dihentak oleh kebimbangannya. Justru karena pertimbangan-pertimbangan yang
kemudian tumbuh di dalam hatinya. Justru karena pertanyaan Sekar Mirah tentang
Ki Tambak Wedi yang mungkin mereka temui di jalan.
“Kalau aku ingin lari dari
persoalan ini, maka akulah yang seharusnya menjumpai akibat yang betapapun
beratnya. Tidak sewajarnya aku menyeret kedua kakak beradik itu ke dalam
bencana,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi hati itu seakan-akan
diliputi oleh kegelapan. Itulah sebabnya maka pertimbangan-pertimbangannya
menjadi kabur dan ragu-ragu.
“Kakang,” terdengar Swandaru
meneruskan kata-katanya, “apabila kakang menghendaki kami ikut dengan Kakang
berangkat saat ini juga, maka kami pasti tidak akan keberatan. Kami tahu bahwa
kau sedang diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Mungkin aku dan Sekar
Mirah kurang dapat memahami caramu berpikir dan mempertimbangkan persoalanmu,
tetapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin membingungkan diriku sendiri dan
menambah kau menjadi bingung. Sekarang bagaimana pertimbanganmu? Berangkat
sekarang atau tidak? Kami akan mengikuti kau. Sebab tanpa kau di sini, maka
kami akan menjadi orang asing. Ternyata prajurit-prajurit Pajang yang di sini,
sebagian terbesar bukan prajurit-prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung.
Hanya satu dua orang sajalah yang mengenal aku dan Sekar Mirah. Selainnya
adalah orang asing bagiku, seperti aku juga orang asing bagi mereka. Karena
itu, katakanlah keputusanmu. Aku dan Sekar Mirah tidak akan menolak. Kau bagi
kami adalah orang terdekat di sini, selain Guru.”
Tetapi ternyata kata-kata
Swandaru itu membuat Agung Sedayu semakin bingung. Ia kini benar-benar tidak
tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan. Keringatnya menjadi
semakin deras mengalir di punggung dan tengkuknya. Ia sudah terperosok semakin
jauh ke dalam persoalan dan cerita yang disusunnya, namun yang semakin
membingungkannya sendiri.
Karena itu, maka ia pun sekali
lagi terbungkam. Sekali-sekali tangannya meraba keningnya mengusap titik
keringat yang menetes.
Swandaru melihat wajah Agung
Sedayu yang pucat itu. Ia pun tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Tetapi untuk
mengurangi dan meredakan ketegangan perasaan Agung Sedayu, maka Swandaru tidak
bertanya lagi.
Sekar Mirah yang duduk di
dekat Swandaru pun menjadi tidak kalah bingungnya. Ia tidak mengerti pendirian
Agung Sedayu, tetapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang telah disembunyikan
oleh anak muda itu. Dan yang disembunyikan itu menurut dugaan Sekar Mirah,
pasti menyangkut dirinya dan kakaknya Swandaru. Namun Sekar Mirah pun tidak
bertanya sesuatu. Seperti Swandaru, ia tidak ingin membuat Agung Sedayu
bertambah bingung.
Tetapi keheningan dalam
ruangan itu terasa semakin lama semakin tegang. Keringat di punggung, tengkuk,
dan kening Agung Sedayu menjadi semakin deras mengalir.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba
mereka serentak mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar langkah-langkah kaki
dekat sekali di luar dinding ruangan itu. Kemudian terdengar suara gemerisik
mendekati pintu di sepanjang dinding rumah.
Agung Sedayu dan Swandaru
tanpa berjanji segera meloncat berdiri. Tangan-tangan mereka melekat di hulu
pedang, sedang Sekar Mirah pun telah berdiri pula di belakang Swandaru.
“Ah,” tiba-tiba mereka
mendengar suara berdesah, “daerah ini kini adalah daerah yang aman. Kenapa
kalian menjadi gelisah dan mudah sekali menjadi terkejut?”
Ketiga anak-anak rnuda itu
menarik nafas dalam-dalam. Suara itu sudah amat mereka kenal. Suara Ki Tanu
Metir.
Tergopoh-gopoh Swandaru
melangkah ke pintu dan menarik selaraknya. Ketika pintu itu terbuka, mereka
melihat Ki Tanu Metir berdiri sambil tersenyum, katanya, “Hanya kegelisahan di
hati kalianlah yang telah membuat kalian menjadi cemas menanggapi setiap
persoalan. Kalian menjadi terlampau mudah terkejut dan kadang-kadang bingung.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menundukkan kepalanya. Kata-kata gurunya terasa tepat menyentuh jantung mereka
yang berdentangan.
“Duduklah. Sebaiknya kita
bersikap wajar. Kenapa kalian menjadi gelisah, cemas dan bahkan pucat seperti
melihat hantu?”
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi semakin tunduk. Perlahan-lahan mereka melangkah dan duduk kembali di
atas amben bambu, sementara Ki Tanu Metir sendirilah yang menutup pintu.
Ketika pintu sudah tertutup
rapat, maka Ki Tanu Metir itu pun kemudian melangkah ke amben itu pula dan
duduk di antara mereka. Di antara ketiga anak-anak muda yang sedang dicengkam
oleh persoalan yang tidak begitu jelas.
Demikian Ki Tanu Metir duduk,
ia bergumam, “Pintu itu tidak usah diselarak. Tidak akan ada orang yang masuk
untuk kepentingan apa pun di malam begini. Di sini, dalam keadaan ini, pasti
tidak ada pencuri, dan tidak akan ada orang-orang Jipang atau orang-orang
Tambak Wedi yang akan datang.”
Ketiga anak-anak muda itu
tidak menjawab. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia
tahu benar maksud kata-kata gurunya.
“Di luar dinginnya bukan
main,” desah gurunya itu. Tetapi tiba-tiba nada suaranya meninggi. “Tetapi
kenapa kalian? Aku lihat baju kalian menjadi basah oleh keringat. Apakah udara
di dalam rumah ini sangat panas?”
Masih belum ada yang menjawab.
“Aku kira di dalam ini pun
cukup sejuk, meskipun tidak sedingin di luar,” Ki Tanu Metir berhenti sebentar.
“He, apakah rumah ini beratap ijuk atau daun lalang? Memang kedua-duanya dapat
menahan dingin. Apabila udara dingin, maka ruangan di sini tidak akan terlampau
dingin. Tetapi apabila udara panas, ruangan ini akan menjadi cukup sejuk, tidak
seperti dipanggang di atas bara.”
Belum ada jawaban.
“Aku tidak begitu
memperhatikan. Apakah kalian melihatnya siang tadi?”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangkat wajah-wajah mereka sejenak, tetapi wajah-wajah itu tertunduk
kembali.
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam. “Kalau begitu kalian seolah-olah mandi keringat bukan karena
panasnya udara. Mungkin kalian sedang ketakutan. Begitu?”
Kini seperti berjanji keduanya
menjawab, “Tidak, Guru.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, mungkin kalian tidak sedang ketakutan.
Tidak pula sedang kepanasan. Tetapi kenapa kalian gelisah? Ketika kalian
mendengar suara kakiku berdesir di samping dinding rumah ini, kalian terkejut.
Aku mendengar gerak kalian. Kalian segera berloncatan seperti ada seorang musuh
yang mengintip. Aku pun kemudian mengintip. Dan aku melihat tangan kalian telah
melekat di hulu pedang sebelum pintu itu terbuka. Nah, apakah yang sudah
terjadi atas kalian sehingga kalian menjadi gelisah, dan bahkan seolah-olah
ketakutan? Apakah ada persoalan yang membuat kalian cemas? Ancaman dari
seseorang misalnya, atau tantangan dari orang yang kalian anggap jauh lebih
tinggi ilmu tata beladirinya daripada kalian?”
Sejenak Agung Sedayu dan
Swandaru berdiam diri. Namun kemudian hampir bersamaan mereka menggelengkan
kepala mereka, “Tidak, Guru.”
“Kalau begitu, apakah yang
telah merisaukan hati kalian?”
Sekali lagi anak-anak muda itu
terbungkam.
“Nah, aku tahu sekarang,”
berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum, “yang merisaukan itu pasti kalian
sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam, sedang Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka masih saja berdiam
diri. Tetapi yang menjawab justru Sekar Mirah, “Ya, Kiai. Yang merisaukan kami
adalah hati kami sendiri.”
Ki Tanu Metir tertawa
perlahan, “Begitulah. Karena itu jangan kau turuti perasaan hati. Setiap
persoalan pertimbangkan masak-masak dengan nalar, jangan semata-mata dengan
perasaan. Dengan demikian kalian tidak akan dicemaskan oleh hal-hal yang sama
sekali tidak perlu.”
Terdengar nafas Ajung Sedayu
semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Terengah-engah,
seolah-olah baru saja bergulat dengan hantu. Apalagi ketika gurunya berpaling
kepadanya dan langsung bertanya, “Apakah yang membuat kau menjadi cemas?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab.
“Bukankah kau baru datang dari
banjar padepokan menghadap kakakmu?”
“Ya, Guru. Aku memang baru
saja menghadap Kakang Untara di banjar.”
“Hem,” Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya, “kalau begitu, pasti ada pembicaraan yang
membuat kau bingung atau risau. Membuat kau kehilangan ketenangan dan
pertimbangan. Begitu?”
Sejenak Agung Sedayu tidak
dapat mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun bibirnya bergerak-gerak tetapi
tidak terdengar jawaban dari mulutnya.
“Baiklah, mungkin pertanyaanku
membuat kau semakin bingung,” berkata Ki Tanu Metir kemudian, “karena itu,
sekarang tenangkanlah hatimu. Sebaiknya kau pergi tidur. Angger Swandaru dan
Angger Sekar Mirah pun sebaiknya pergi tidur pula.”
Tetapi justru hal itu telah
membuat hati Agung Sedayu semakin kisruh. Apabila ia harus pergi tidur, dan
besok pagi-pagi ia masih berada di padepokan itu, maka ia akan mengatami
kesulitan yang lebih besar. Ia harus meninggalkan pondokan itu. Ia harus
bersama dengan kakaknya. Apakah yang akan dikatakannya kepada Swandaru dan
Sekar Mirah? Tetapi yang lebih menggelisahkan lagi adalah, bahwa ia tidak boleh
berhubungan dengan gadis itu. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal Putung dan
seterusnya ia harus menjadi seorang prajurit.
Sebenarnya menjadi seorang
prajurit itu sendiri sama sekali tidak menakut-nakuti hati Agung Sedayu. Yang
paling menggelisahkannya adalah kemungkinan, bahwa ia harus berpisah dengan
Sekar Mirah. Agung Sedayu yang masih muda itu tidak tahu pasti, ikatan apakah
yang ada di dalam hatinya. Ia tidak menyadari, apakah yang telah membuatnya
seperti kehilangan akal karena kemungkinan perpisahan itu.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu tidak segera dapat menjawab kata-kata gurunya, tetapi ia juga tidak
beranjak dari tempatnya untuk pergi tidur di sudut amben itu juga. Bukan saja
Agung Sedayu, tetapi Swandaru dan Sekar Mirah pun sama sekali tidak berkisar.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu, bahwa perasaan Agung Sedayu
benar-benar sedang kacau. Ia tidak dapat lagi berpikir bening, dan ia tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Usianya memang masih cukup muda dan
pengalamannya pun masih belum cukup banyak.
Karena itu, maka Ki Tanu Metir
tidak lagi sampai hati untuk membiarkan muridnya kehilangan akal. Meskipun agak
sulit juga, namun ia berusaha untuk menolong melepaskannya dari kebingungan.
Maka katanya, “Swandaru, tungguilah adikmu itu beristirahat. Biarlah aku bawa
kakakmu Agung Sedayu berjalan-jalan sebentar. Mungkin dengan demikian, ia akan
menjadi agak tenang.”
Swandaru yang telah
dibingungkan oleh keadaan itu pula, begitu saja menganggukkan kepalanya dan
menjawab, “Silahkan, Guru.”
“Baiklah. Kalau dapat, tidurlah
kalian berdua. Tidak akan ada apa-apa lagi di sini. Percayalah.”
“Ya, Guru,” jawab Swandaru.
Meskipun demikian, ia tetap tidak mengerti akan persoalan yang dihadapinya.
Ki Tanu Metir pun kemudian
membawa Agung Sedayu keluar lagi dari rumah itu. Oleh Swandaru, pintunya pun
segera ditutup kembali. Ia menyuruh Sekar Mirah untuk mencoba berbaring dan
apabila mungkin untuk tidur, supaya badannya menjadi agak segar.
“Apakah kau juga akan tidur,
Kakang?”
“Tentu, aku juga akan tidur.”
Tetapi Swandaru tidak melepas
pedangnya. Dicobanya juga berbaring di amben yang besar itu pula. Tetapi
ternyata keduanya sama sekali tidak memejamkan matanya.
Sementara itu, Ki Tanu Metir
dan Agung Sedayu telah keluar dari halaman rumah itu. Mereka terhenti ketika
mereka berpapasan dengan dua orang prajurit peronda.
“Siapa?” salah seorang dari
prajurit itu menyapa.
Ki Tanu Metir terbatuk-batuk
sedikit, kemudian jawabnya, “Aku Ngger, Tanu Metir.”
“O,” prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “malam-malam, Kiai?”
“Berjalan-jalan, Ngger. Aku
tidak dapat tidur.”
“Silahkan, Kiai,” sahut salah
seorang prajurit itu, yang kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Agung
Sedayu.
Maka keduanya pun segera
melangkahkan kaki mereka. Mereka berjalan menyusur jalan padepokan, kemudian
berbelok ke jalan-jalan sempit yang sepi.
Tetapi Ki Tanu Metir dan Agung
Sedayu masih saja berdiam diri. Ki Tanu Metir belum bertanya sesuatu, dan Agung
Sedayu tidak dapat mulai dengan sebuah percakapan apa pun.
Yang terdengar kemudian
hanyalah desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang keras. Sekali-sekali angin
lereng yang dingin bertiup menggugurkan daun-daun kering dan menebarkannya di
sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara burung kedasih yang
sedih.
Baru sejenak kemudian
terdengar Ki Tanu Metir berkata, “Aku mendengar percakapan kalian seluruhnya di
pondok, Ngger.”
Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
“Aku dapat mengerti, bahwa kau
sedang dalam kebingungan. Tetapi aku menyangka, bahwa kau tidak berkata
sebenarnya terhadap Angger Swandaru dan Sekar Mirah. Ada sesuatu yang kau
sembunyikan atau bahkan apa yang kau katakan seluruhnya tidak benar.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Setelah sekian lama ia menahan kegelisahan di dalam dadanya,
tiba-tiba ia merasa mendapat tempat untuk menumpahkannya. Ia hampir lupa, bahwa
ia mempunyai seorang guru yang akan dapat memberinya nasehat, dan sekaligus
tempat untuk meringankan beban yang menyesak di dadanya.
Karena itu, sebelum Ki Tanu
Metir mengulangi pertanyaannya, Agung Sedayu segera menjawab, “Ya, Kiai. Aku
telah berdusta. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya.”
“Ya, kau tidak dapat berkata
sebenarnya. Apakah soalnya?”
Agung Sedayu pun segera
menceriterakan pertemuannya dengan kakaknya dan Wuranta. Dikatakannya semua
dari awal sampai akhir, sehingga ia menjadi terlampau bingung dan ingin
meninggalkan padepokan malam ini juga.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Aku sudah menyangka, bahwa suatu
ketika Angger Untara akan sampai kepada keputusan itu. Beberapa kali telah
disinggungnya, seakan-akan hubungan antara Angger Agung Sedayu dan Angger Sekar
Mirah hanya akan menghambat kemajuan Angger Sedayu dan hanya akan menumbuhkan
perselisihan saja. Tetapi Angger Untara ternyata kurang bijaksana menanggapi
persoalan-persoalan yang demikian.”
Dan malam ternyata telah
menjadi terlampau jauh, sehingga tiba-tiba saja mereka telah mendengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Seperti hantu yang takut kamanungsan, tiba-tiba
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kiai,
aku harus pergi sebelum pagi. Aku tidak dapat melakukan semua perintah Kakang
Untara.”
“Yang mana yang tidak dapat
kau lakukan, Ngger?“
Agung Sedayu tiba-tiba
terdiam. Pertanyaan itu telah memaksanya untuk bertanya pula kepada diri
sendiri, “Yang manakah yang tidak dapat dilakukannya?”
“Apakah kau memang tidak ingin
menjadi seorang prajurit, atau ada persoalan lain yang lebih mengikat dari pada
itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab,
tetapi kepalanya kini tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar ketika di
dalam dadanya bergolak pengakuan, bahwa yang paling memberati dadanya adalah
perpisahan dengan Sekar Mirah itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakan kepada Ki
Tanu Metir dengan terbuka.
Sejenak keduanya terdiam.
Angin yang berhembus terasa seolah-olah menjadi semakin dingin membelai tubuh
mereka. Kokok ayam jantan pun menjadi semakin riuh pula. Ketika tanpa mereka
sadari, mereka menengadahkan wajah mereka, maka tampaklah warna kemerah merahan
di langit.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka Ki Tanu Metir-lah yang kemudian berkata, “Angger Sedayu,
aku kira Angger Agung Sedayu kini telah benar-benar menjadi seorang laki-laki.
Itulah sebabnya aku menduga, bahwa Angger tidak akan takut untuk menjadi
seorang prajurit. Sebelum Angger menjadi prajurit, Angger telah berani terjun
di medan-medan perang yang paling dahsyat. Angger telah ikut serta dalam
peperangan di Sangkal Putung dan di padepokan ini. Tetapi, agaknya yang paling
berat bagi Angger adalah keinginan Angger Untara, bahwa Angger harus memutuskan
hubungan dengan Angger Sekar Mirah. Adakah begitu?”
Betapa dinginnya malam, namun
baju Agung Sedayu telah dijalari oleh keringat yang mengalir dari punggungnya.
Terbata-bata ia menjawab, “Ya, Kiai.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam, “apakah Angger tidak dapat melakukannya untuk sementara?
Bukankah di saat-saat mendatang kesempatan masih luas bagi Angger untuk dapat
bertemu dan berhubungan dengan Angger Sekar Mirah?”
Pertanyaan itu tidak dapat
segera dijawab oleh Agung Sedayu, perpisahan dengan Sekar Mirah terasa
terlampau berat baginya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh Untara hanya
karena sekedar menyenangkan hati Wuranta. Maka hati Agung Sedayu menjadi
semakin tidak rela. Meskipun ia tahu peranan apa yang telah dilakukan oleh
Wuranta, seolah-olah kunci kemenangan peperangan di padepokan ini adalah di
tangan anak muda Jati Anom itu, namun ia tidak akan dapat melepaskan segala
macam unsur kemenangan yang lain. Itulah sebabnya, maka apabila kakaknya
terlampau memberatkan keputusannya kepada Wuranta, adalah tidak adil baginya.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka Ki Tanu Metir itu pun melanjutkan, “Nah, aku kira kau
berkeberatan bukan?”
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu
pun mengangguk.
Ki Tanu Metir yang tua itu
dapat menangkap perasaan yang bergolak di dalam dada muridnya. Betapa sakit dan
pedih. Justru dalam umurnya yang masih terlampau muda.
Tiba-tiba Agung Sedayu
mendengar gurunya bergumam, “Angger Sedayu, biarlah aku mencoba menolongmu. Aku
akan berusaha supaya kau dapat pergi ke Sangkal Putung bersama dengan Angger
Swandaru dan Angger Sekar Mirah.”
“Kiai,” hanya itulah yang
terloncat dari mulutnya.
“Ya, aku akan mencoba. Tetapi
aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil. Meskipun dengan demikian, Angger
Untara pasti akan membuat penilaian atas diriku dan dirimu, tetapi baiklah aku
mencobanya. Tetapi untuk seterusnya, kau harus dapat membawa dirimu. Sebagian
dari keinginan kakakmu harus dapat kau penuhi. Kau sebaiknya memang menjadi
seorang prajurit.”
“Ya, Guru. Aku sama sekali
tidak berkeberatan menjadi seorang prajurit. Tetapi tidak segera. Aku masih
ingin mengantar Sekar Mirah kembali kepada ayah dan ibunya seperti yang pernah
aku janjikan.”
“Baiklah. Sekarang Angger
kembali saja ke pondok Angger. Aku akan pergi ke banjar untuk berbicara dengan
Angger Untara. Aku akan berbicara dengan caraku. Mudah-mudahan Angger Untara
dapat mengerti. Jangan cemas, bahwa kau akan terpaksa membunuh, karena dicegat
oleh orang-orang yang keras kepala itu.”
“Terima kasih, Guru,” sahut
Agung Sedayu.
“Nah, kalau begitu, kita
berpisah sampai di sini. Aku akan pergi ke banjar. Kalau Angger Untara dapat
mengerti, maka setidak-tidaknya perasaanmu menjadi agak tenang karenanya.”
Maka keduanya pun segera
berpisah. Ki Tanu Metir pergi ke banjar dan Agung Sedayu kembali ke pondoknya.
Ketika ia sampai ke pintu
rumah, maka ia masih mendengar Swandaru dan Sekar Mirah bercakap-cakap. Agaknya
semalam suntuk mereka sama sekali tidak dapat tidur.
Pada saat yang hampir
bersamaan, Ki Tanu Metir pun telah sampai pula di banjar padepokan. Tetapi
banjar itu masih terlampau sepi. Hanya para penjaganya sajalah yang masih tegak
mondar-mandir di halaman, sedang sebagian yang lain duduk mengelilingi sebuah
pelita di atas ajug-ajug yang tinggi di gardu peronda.
Ketika Ki Tanu Metir sampai di
halaman, maka langit di ujung Timur telah menjadi semakin merah. Bayangan
orang-orang yang sedang bertugas itu pun telah menjadi semakin jelas.
“Ah, Kiai,” desah salah
seorang dari mereka, “masih terlampau pagi, Kiai sudah datang kemari.”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Jawabnya, “Aku takut kesiangan. Apakah Angger Untara ada?”
“Ada, Kiai, tetapi agaknya Ki
Untara masih tidur. Semalam adiknya berada di sini sampai jauh malam, sehingga
baru saja Ki Untara sempat beristirahat.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan menunggunya. Kalau begitu
lebih baik aku duduk di gardu ini. Agaknya kalian baru saja mendapat minuman
hangat.”
Para peronda itu tertawa,
“Marilah, Kiai. Air sere dan jahe. Untuk mengusir dingin.”
Ki Tanu Metir pun kemudian
duduk di antara mereka. Berbicara dengan para peronda itu. Bersenda-gurau dan
berkelakar. Namun setiap kali teringat oleh orang tua itu, muridnya yang sedang
bingung karena sikap kakaknya yang keras. Sikap seorang prajurit. Tetapi
agaknya Untara sendiri belum pernah merasakan, betapa sulitnya untuk mengurai
ikatan yang telah terlanjur membelit hati dari pertautan kasih antara dua orang
remaja. Adalah berbahaya sekali untuk mengurainya dengan paksa dan kekerasan.
Itulah sebabnya, ia harus menemui senapati muda yang hidupnya dicengkam oleh
kepatuhan yang keras akan tugas-tugasnya.
Dengan tidak terasa, maka
langit pun menjadi semakin lama semakin terang. Bintang gemintang satu-satu
lenyap dari wajah yang biru membentang dari ujung ke ujung cakrawala.
Ki Tanu Metir yang tubuhnya
telah dihangatkan oleh semangkuk air jahe, menggeliat. Dibenahinya kain
gringsingnya. Kemudian perlahan-lahan turun dari gardu.
“Ke mana, Kiai?” bertanya
salah seorang penjaga.
“Mungkin Angger Untara telah bangun,”
jawab Ki Tanu Metir.
“Aku belum melihatnya.
Biasanya, Ki Untara apabila bangun terus pergi ke sumur untuk membersihkan
diri.”
“Tetapi hari telah pagi.”
“Agaknya ia terlambat bangun.
Tidak seorang pun yang membangunkannya, karena setiap orang tahu, bahwa semalam
ia hampir tidak tertidur.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menggeliat. Katanya, “Biarlah, aku akan menunggunya di pringgitan.”
“Kalau begitu, silahkanlah,
Kiai.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
berjalan melintasi halaman. Naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan.
Untara yang baru saja
terbangun dari tidurnya terkejut melihai kehadiran Ki Tanu Metir begitu pagi.
“O, apakah Kiai semalam tidur
di banjar ini?” bertanya Untara.
“Tidak, Ngger, semalam aku
berjalan saja mengelilingi padepokan ini,”
“Dan sesudah itu Kiai langsung
datang kemari?”
Ki Tanu Metir menggeleng,
“Tidak, Ngger, aku sudah bertemu dengan Angger Agung Sedayu.”
Kening Untara segera berkerut.
Anak muda yang berotak tajam itu segera dapat mengerti, bahwa kedatangan Ki
Tanu Metir ini pasti berhubungan dengan adiknya, Agung Sedayu. Karena itu, maka
hatinya pun menjadi berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu masih saja menjadi
persoalan baginya. Agaknya anak itu telah menyampaikan persoalannya kepada
gurunya, dan gurunya kini datang kepadanya untuk berusaha merubah sikapnya.
“Tidak,” katanya di dalam
hati, “keputusanku tentang Agung Sedayu telah tetap. Ia harus menjadi seseorang
yang cukup mempunyai pegangan. Ia harus mempunyai kedudukan yang baik sebelum
ia tenggelam dalam hubungan dengan perempuan. Sekar Mirah tidak akan dapat
menjadikannya seorang laki-laki yang baik. Hubungan itu hanya akan menghambat
kemajuan-kemajuan yang seharusnya dapat dicapainya. Ia memiliki bekal yang
cukup untuk memanjat ke tempat yang setinggi-tingginya. Ia kawan baik pula dari
Adi Sutawijaya, yang pasti akan berpengaruh bagi kedudukannya.”
Untara itu tersadar ketika ia
mendengar Ki Tanu Metir bertanya, “Apakah Angger akan membersihkan diri
dahulu?”
“Oh,” Untara segera bangkit,
“agaknya aku agak kesiangan.”
“Belum,” sahut Ki Tanu Metir.
Untara pun kemudian segera
bangkit dan berjalan keluar untuk sesuci diri, bersama Ki Tanu Metir dan
Wuranta.
Sejenak kemudian maka mereka
pun telah duduk berhadapan di atas bentangan tikar pandan. Wuranta yang telah
selesai pula segera duduk di antara mereka.
“Kiai datang terlampau pagi,”
bertanya Untara, “dan aku menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin ada sesuatu
hal yang cukup penting yang akan Kiai katakan.”
“Ya,” jawab Ki Tanu Metir
pendek.
Jawaban itu telah mengejutkan
Untara dan bahkan Wuranta. Mereka tidak menyangka, bahwa jawaban Ki Tanu Metir
akan terlampau pendek dan langsung. Apalagi ketika Ki Tanu Metir kemudian
berkata, “Aku telah mendengar semuanya dari Angger Agung Sedayu tentang
keputusan Angger Untara mengenai dirinya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya masih juga
berdebar-debar. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa guru Agung Sedayu pasti
akan selalu mencampuri urusannya dengan adiknya itu, seperti juga Ki Tanu Metir
mencampuri urusan keprajuritan. Tetapi Untara tidak dapat menolak. Ki Tanu
Metir telah terlampau banyak memberikan jasa-jasanya kepadanya, sejak
peperangan-peperangan yang terjadi di Sangkal Putung. Bahkan sebelum itu.
Ketika ia hampir mati di jalan ke Sangkal Putung dari Jati Anom, di dekat
Macanan ia telah bertemu dengan Pande Besi Sendang Gabus, Alap-Alap Jalatunda
dan kawan-kawannya.
Seandainya Ki Tanu Metir tidak
melindunginya saat itu, ia pasti sudah mati dicincang oleh Plasa Ireng, dan
adiknya telah lumat oleh Alap-Alap Jalatunda.
“Tetapi sebaiknya Ki Tanu
Metir tidak mencampuri terlampau banyak persoalan keluargaku,” desisnya di
dalam hati.
Karena Untara tidak segera
menjawab, maka Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Dan adikmu, Angger Agung
Sedayu, kini menjadi sangat bingung.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak kemudian ia bertanya, “Apakah yang dibingungkannya?”
“Perintahmu, Ngger.”
“Seharusnya Agung Sedayu tidak
usah menjadi bingung. Semuanya telah jelas. Dan ketika aku bertanya kepadanya,
ia mengiakannya. Semuanya telah dimengertinya.”
“Seharusnya Angger dapat
mengerti, bahwa hal itu dilakukannya, karena ia begitu takut dan hormat kepada
Angger sebagai seorang saudara tua pengganti ibu bapa. Tetapi perintah Angger
telah menyudutkannya dalam suatu pertentangan perasaan yang hampir-hampir tidak
dapat dipecahkanya.”
Dahi Untara menjadi
berkerut-merut, karena debar di dadanya seolah-olah mengguncang jantungnya. Dan
demikian derasnya getar di dadanya itu, sehingga ia bertanya, “Apakah Kiai
tidak sependapat dengan perintahku kepada adikku itu.”
Ki Tanu Metir yang juga
menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya
wajah Untara tajam-tajam. Seolah-olah ingin membaca apa yang tersirat di wajah
anak muda Senapati Wira Tamtama, yang mendapat kekuasaan untuk menyelesaikan
masalah orang-orang Jipang di daerah selatan di sekitar Gunung Merapi.
Betapa besarnya nama Untara,
dan betapa tangguhnya ia di medan-medan perang menghadapi lawannya, tetapi
tatapan mata Ki Tanu Metir itu terasa terlampau tajam baginya, sehingga sesaat
kemudian Senapati muda itu menggeser sudut pandangnya.
Tetapi jawaban Ki Tanu Metir
telah mengejutkannya. Perlahan ia mendengar Ki Tanu Metir itu menjawab, “Aku
sependapat dengan kau, Ngger.”
Sejenak Untara justru
terbungkam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Dan didengarnya Ki
Tanu Metir itu berkata selanjutnya, “Tetapi, cara yang Angger tempuh, bagiku
terlampau tajam, sehingga Angger sama sekali tidak memberi kesempatan kepada
Angger Agung Sedayu mencari jalan yang agak lapang bagi perasaannya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ketika debar jantungnya telah menjadi agak tenang, maka ia pun
bertanya, “Jadi, bagaimanakah yang sebaiknya aku lakukan?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Untara berganti-ganti dengan
wajah Wuranta yang tegang pula. Sesaat kemudian ia berkata, “Angger adalah
seorang prajurit di medan perang. Angger terlampau biasa menjatuhkan perintah
yang langsung tanpa aling-aling. Tetapi masalah Angger Agung Sedayu, agak
berbeda dengan keadaan yang sering Angger hadapi. Seandainya Angger Agung
Sedayu melakukan juga perintah Angger Untara, namun hatinya pasti akan terluka.
Dan luka yang demikian itu akan sangat berbahaya, justru usianya yang masih
terlampau muda.”
Untara mengerutkan keningnya.
Katanya, “Apakah yang Kiai maksud? Apakah aku harus memutar balikkan
kata-kataku sehingga malahan Agung Sedayu tidak tahu maksudnya.”
“Bukan begitu, Ngger,” jawab
Ki Tanu Metir, “tetapi Angger memerlukan kebijaksanaan. Maksud Angger tercapai,
tetapi hati adik Angger itu tidak terluka karenanya. Luka yang akan dapat
menjadi cacat sepanjang hidupnya.”
“Ah, itu terlampau cengeng,
Kiai,” sahut Untara, “apabila Agung Sedayu benar-benar seorang jantan, maka hal
itu pasti tidak akan terjadi atasnya. Seorang yang berpikir cukup jauh,
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar dari yang terlampau
kecil. Bukankah Kiai mencemaskan Agung Sedayu akan menjadi patah hati? Mungkin
itu akan terjadi. Tetapi itu tidak akan lama. Ia seharusnya dapat mengatasinya.
Ia harus bangkit dan melupakan hubungan itu. Dan ia harus menyadari bahwa
hubungan itu hanya akan menghambat kemajuannya. Lahir dan batin. Dan ia akan
berhenti sampai keadaannya yang sekarang. Kemudian, ia akan kehilangan masa
depannya. Ia akan terhenti dan segera akan kawin. Menjadi seorang ayah, dan
waktu-waktunya akan hilang di sawah dan ladang. Maka, apakah artinya masa
mudanya itu baginya nanti? Mungkin ia akan dapat menjadi seorang Jagabaya.
Setinggi-tingginya seorang Demang apabila beruntung. Tetapi tidak lebih dari
itu.”
Kata-kata Untara terputus
ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Ki Tanu Metir berubah. Wajah yang telah
dilukisi oleh kerut-merut ketuaannya itu tiba-tiba menjadi tegang. Tetapi hanya
sesaat. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaannya. Dan
sejenak kemudian orang tua itu tersenyum.
“Ternyata Angger memandang
dunia ini hanya dari satu sudut,” berkata orang tua itu kemudian.
Untara mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak segera menjawab. Dibiarkannya orang tua itu meneruskannya,
“Angger memandangnya dari sudut Angger sendiri.” Sekali lagi orang tua itu terhenti,
lalu dilanjutkannya. “Aku pun hanya seorang dukun tua yang tidak berarti
apa-apa, Ngger. Bahkan mungkin jauh di bawah arti seorang Jagabaya apalagi
seorang Demang.”
“Ah,” Untara berdesah, “bukan
maksudku, Kiai. Tetapi Kiai adalah seorang yang mumpuni di dalam bidang yang
telah Kiai pilih. Kiai agaknya tidak menyia-nyiakan hari-hari Kiai di masa muda
yang sangat berharga itu, sehingga Kiai mendapatkan kemampuan Kiai seperti
sekarang. Tidak hanya di bidang pengobatan, tetapi ternyata Kiai adalah seorang
yang berilmu hampir sempurna.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam. Seleret dikenangnya masa-masa mudanya. Tetapi sekali lagi ia
mencoba mengekang perasaannya. Masa muda itu tidak begitu cerah baginya. Masa
yang ingin sekali dapat dilupakannya. Tetapi kadang-kadang kenangan atas
masa-masa itu membersit di hatinya.
“Masa-masa yang kelam,”
desisnya. “Mudah-mudahan orang lain tidak akan mengalaminya.”
Tetapi ternyata kenangannya di
masa muda yang seolah-olah selalu disembunyikannya itu, telah mendorongnya
untuk lebih banyak berbuat untuk menyelamatkan perasaan muridnya, sehingga ia
kemudian berkata, “Sudahlah, Ngger. Mungkin pendirian Angger itu pun dapat
dibenarkan. Dengan demikian maka kesempatan Angger Agung Sedayu akan lebih luas
terbuka. Tetapi apabila ia mampu mengatasi hambatan yang tumbuh di dalam
dirinya sendiri. Karena itu, Ngger, aku ingin maksud Angger itu tercapai dengan
tidak usah menyakiti hatinya.”
“Maksud Kiai?”
“Angger tidak usah dengan
tergesa-gesa melarangnya berhubungan dengan Angger Sekar Mirah.”
“Ah,” Untara berdesah, “itu
adalah hambatan yang paling besar baginya.”
“Seandainya Angger
mengingininya, tetapi jangan dilakukan dengan paksa. Angger harus mencari jalan
sebaik-baiknya untuk melakukannya. Aku mengerti maksud Angger, tetapi aku tidak
dapat sependapat dengan cara yang Angger tempuh.”
Dahi Untara menjadi
berkerut-merut mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Seandainya yang berkata
itu bukan Kiai Gringsing, yang telah banyak berjasa, tidak saja kepadanya;
tetapi juga kepada pasukan Pajang di Sangkal Putung.
Dengan demikian maka dada
Untara itu serasa menjadi pepat. Ia tidak segera dapat memilih jalan yang
sebaik-baiknya untuk menentukan sikap.
Sejenak pringgitan banjar
padepokan Tambak Wedi itu menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas
mereka yang sedang ditegangkan oleh persoalan yang mereka bicarakan.
Baru sejenak kemudian
terdengar Untara bertanya, “Lalu cara yang manakah yang Kiai anggap
sebaik-baiknya.”
“Aku mengharap agar Angger
melakukannya dengan perlahan,” jawab Ki Tanu Metir.
“Mustahil dapat terjadi,”
bantah Untara, “bahkan hubungan mereka akan menjadi semakin erat dan mendalam.
Sesudah itu tidak ada jalan lagi untuk memisahkannya. Agung Sedayu tidak lagi
dapat berpikir wajar. Seluruh hidupnya akan diikat oleh wanita itu. Badannya
dan nyawanya. Kebanggaan baginya adalah mempertahankan perempuan itu. Dan anak
itu tidak akan ingat lagi bahwa perjuangan masih jauh untuk mewujudkan Pajang
yang besar dan kuat.”
“Aku akan melakukannya,” jawab
Ki Tanu Metir tenang, namun cukup mengejutkan hati Untara, “aku akan mencoba
membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang baik, yang berguna bagi negara
dan tanah kelahiran. Aku tidak mempedulikannya, apakah ia masih akan tetap
berhubungan dengan Sekar Mirah atau tidak. Seandainya ia terpisah dari padanya
pun, maka adalah menjadi kodrat seorang laki-laki untuk memilih seorang
perempuan menjadi kawan hidupnya. Tetapi apabila keinginan Angger Untara untuk
membuat Angger Agung Sedayu seorang yang kuat dalam kedudukan dan kanuragan,
maka serahkanlah kepadaku. Maksudku, Sekar Mirah tidak akan merintanginya atau
menjadi penghalangnya, meskipun mereka masih tetap berhubungan. Seharusnya
Angger dapat membaca tabiat dan sifat Angger Sekar Mirah. Kalau yang Angger
Untara bicarakan adalah mengenai kedudukan, pangkat, jabatan dan apa lagi, maka
Angger Sekar Mirah akan dapat menjadi pendorong yang baik. Tetapi kalau soalnya
lain, maka harus diutarakan agar hal itu dapat terjadi perlahan-lahan tanpa
melukai hatinya seperti yang telah aku katakan.”
Wajah Untara menjadi semakin
tegang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu, dan Kiai Gringsing ternyata
masih melanjutkan. “Seandainya Angger ingin melihat Angger Agung Sedayu tidak
lagi berhubungan dengan Angger Sekar Mirah pun, aku akan mencoba
mengusahakannya pula, tetapi tidak dengan tiba-tiba.”
Ketegangan di dada Untara
telah memuncak. Sehingga sejenak ia kehilangan penguasaan diri. Dengan gemetar
ia berkata, “Kiai, biarlah aku mengatur jalan hidup Agung Sedayu. Aku adalah
kakaknya, pengganti ibu bapa.”
Seleret membersitlah dari
sepasang mata orang tua yang bening itu, sorot yang tajam, yang seolah-olah
langsung menghunjam ke jantung Untara. Tetapi sesaat kemudian sepasang mata itu
telah menjadi lunak kembali. Bahkan orang tua itu tersenyum sambil menjawab,
“Maaf, Ngger. Kau adalah kakak Angger Agung Sedayu, kau adalah satu-satunya
keluarganya yang tinggal. Tetapi sebaiknya Angger ingat bahwa aku adalah
gurunya.”
Dada Untara berdesir mendengar
jawaban Ki Tanu Metir itu. “Ya, orang tua itu adalah gurunya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba untuk menguasainya dirinya yang seolah-olah telah
terbakar oleh perasaan kecewanya terhadap sikap Ki Tanu Metir yang terlampau
banyak mencampuri urusannya. Tetapi orang tua itu adalah gurunya. Wewenang
seorang guru kadang-kadang melampaui wewenang orang tua sendiri terhadap
seseorang. Seseorang kadang-kadang lebih taat mematuhi perintah gurunya dari
pada orang tuanya. Dan Ki Tanu Metir itu adalah guru Agung Sedayu.
“Tetapi,” suatu pergolakan
telah terjadi di dalam dada Untara, “aku mempunyai seribu pertimbangan untuk
memisahkan Sekar Mirah dari Agung Sedayu. Kecuali untuk kepentingan Agung
Sedayu sendiri, maka persoalannya dengan Wuranta pasti tidak akan dapat selesai
dengan baik. Padahal keduanya adalah anak-anak Jati Anom. Perselisihan itu mau
tidak mau pasti akan menyentuh namaku pula, apalagi apabila keduanya menjadi lupa
diri. Sedang keduanya sama sekali tidak seimbang dalam olah kanuragan. Kalau
Agung Sedayu kehilangan pengendalian diri, maka akibatnya akan memalukan
sekali. Aku pun pasti akan terpercik pula karenanya.”
Tetapi Untara tidak dapat
segera mengatakannya. Betapa hatinya bergolak, tetapi ia masih tetap menyadari,
bahwa yang duduk itu adalah Ki Tanu Metir. Orang yang telah menyelamatkan
jiwanya, dan jiwa adiknya, Agung Sedayu.
Itulah sebabnya, maka dada
Untara itu seolah-olah akan meledak. Ia dihadapkan pada suatu persoalan yang
baginya jauh lebih rumit dari persoalan Tohpati di Sangkal Putung. Bahkan ia
mengeluh di dalam hatinya, “Seandainya tidak ada Sekar Mirah. Seandainya gadis
itu tidak terlibat dalam persoalan antara Pajang dan sisa-sisa orang Jipang.”
Sekali lagi pringgitan itu
dicengkam oleh kesepian. Tetapi betapa dada mereka dibakar oleh debar jantung
masing-masing yang bergolak seperti kawah gunung Merapi.
Titik-titik keringat telah
membasahi dahi mereka. Dan punggung mereka pun telah menjadi basah, seakan-akan
mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan yang terlampau berat.
Tetapi ternyata dari kening
Wuranta titik-titik keringat itu telah menetes satu-satu di atas tikar pandan
yang telah menjadi kekuning-kuningan. Bibirnya tampak bergetar, secepat getar
di dalam dadanya. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi serasa tersangkut
di kerongkongan, sehingga dengan demikian, maka wajahnya pun menjadi semakin
tegang.
Kiai Gringsing yang telah
cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam dadanya, dapat membaca betapa dada
anak muda itu hampir retak karena tekanan perasaan yang tidak dapat
dilimpahkannya keluar. Karena itu, maka sambil tersenyum ia berkata, “Angger
Wuranta, agaknya Angger ingin mengatakan sesuatu. Tetapi Angger merasa
terlampau berat untuk melepaskannya. Katakanlah, Ngger, supaya dadamu tidak
menjadi pepat, dan kepalamu menjadi pening. Apakah yang kau katakan itu dapat
kami mengerti atau tidak, itu adalah soal yang lain. Namun dengan demikian,
dadamu pasti akan menjadi agak lapang karenanya.
Wuranta menelan ludahnya yang
seolah-olah menyumbat kerongkongannya. Sekali dipandanginya dukun tua itu, dan
sekali senapati muda yang bernama Untara itu. Namun tatapan mata mereka
terlampau tajam baginya, sehingga anak muda Jati Anom itu menundukkan kepalanya.
Tetapi terdengar suara lirih terputus-putus, “Ya, Kiai. Aku memang ingin
mengatakan sesuatu.”
“Nah, katakanlah. Mungkin
Angger dapat membantu melepaskan keruwetan ini,” sahut Ki Tanu Metir.
Tetapi dahi Untara menjadi
semakin berkerut-merut. Apabila Wuranta menuntut supaya ia melaksanakan
keputusannya, maka perasaannya pasti akan menjadi semakin kisruh. Ternyata Ki
Tanu Metir mempunyai rencananya sendiri atas muridnya yang tidak sesuai dengan rencananya.
Persoalan itu adalah persoalan
yang paling rumit yang membebani pikirannya. Persoalan Agung Sedayu dan
Wuranta, yang berkisar di seputar gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar
Mirah, yang langsung atau tidak langsung telah menghancurkan Tambak Wedi karena
pertentangan yang tumbuh di dalam tubuh padepokan ini karena gadis itu pula.
Sehingga Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda telah berkelahi, dan yang
masing-masing telah menyeret orang-orangnya ke dalam perkelahian yang dahsyat
itu.
“Pertentangan yang demikian
itu masih akan terulang?” desisnya di dalam hati, “Apakah Agung Sedayu dan
Wuranta akan menyeret pihak masing-masing pula untuk saling bertentangan?”
Untara menahan nafasnya ketika
ia mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Silahkan Ngger, silahkan. Katakanlah.”
Wuranta menggigit bibirnya.
Keringatnya semakin deras mengalir di keningnya. Dan bajunya pun menjadi
semakin kuyup pula.
“Kiai,” terdengar suaranya
lambat sekali, “aku minta maaf.”
Kiai Gringsing dan Untara
menarik kening mereka. Kata-kata itu telah membuat mereka keheranan. Dan
terdengarlah Kiai Gringsing bertanya, “Kenapa Angger minta maaf? Bukankah sudah
seharusnya dalam suatu pembicaraan masing-masing pihak mengemukakan
pendiriannya?”
Tetapi nafas Wuranta menjadi
semakin deras mengalir. Sekali lagi ia berkata, “Aku minta maaf. Aku sama
sekali tidak bermaksud membuat kekisruhan ini.”
Ki Tanu Metir dan Untara
menjadi semakin heran. Sejenak mereka justru terdiam memandangi wajah Wuranta
yang telah dibasahi oleh keringatnya. Tetapi sejenak kemudian, Ki Tanu Metir
menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Sareh
ia berkata, “Tenanglah, Ngger. Coba katakanlah, apakah yang sebenarnya
tersimpan di hati Angger sejelas-jelasnya. Jangan ragu-ragu, dan jangan mencemaskan
apa pun akibat dari kata-katamu.”
Wuranta masih menundukkan
kepalanya. Bahkan tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran di dalam dadanya.
“Untara,” katanya
perlahan-lahan, “aku merasa bersalah, bahwa aku telah mengganggu ketenanganmu.
Selama aku mendengar pembicaraanmu dengan Ki Tanu Metir, aku merasa bahwa aku
telah berbuat kesalahan yang besar terhadap Agung Sedayu. Karena itu, maka
jangan kau hiraukan aku lagi. Aku menyadari, bahwa tidak seharusnya aku
melibatkan diri dalam hidupnya. Aku memang terlampau jauh tenggelam ke dalam
suatu dunia mimpi yang memabukkan, sehingga aku telah melupakan tata pergaulan
di antara kawan sendiri. Untara, seharusnya aku menjadi malu sekali bahwa hal
ini telah terjadi. Karena itu, hanya kepadamu dan kepada Ki Tanu Metir aku
mengaku. Pembicaraanmu yang terakhir ternyata telah membuka hatiku. Aku tidak
berhak untuk mengganggu hubungan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Aku telah
merasakan betapa pahitnya kehilangan tanpa memilikinya. Apalagi Agung Sedayu.
Agaknya hati mereka memang telah terpaut. Karena itu, lupakan saja aku. Jangan
kau hiraukan aku lagi.”
“Wuranta,” terdengar suara
Untara pun tiba-tiba menjadi bergetar. Tetapi Untara tidak meneruskan
kata-katanya.
Sekali lagi pringgitan itu
menjadi sepi. Sekali lagi nafas-nafas mereka terdengar memenuhi ruangan itu. Ki
Tanu Metir yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali tangannya
meraba-raba keningnya yang basah.
Dan sejenak kemudian, orang
tua itu berkata perlahan, “Kau memang berjiwa besar, Ngger.”
“Ah,” Wuranta berdesah. Tetapi
ia tidak berkata sesuatu.
“Hatimu yang telah terbuka itu
pasti akan banyak sekali menolong kegelapan hati kita masing-masing,” berkata
orang tua itu pula.
Tetapi Untara kemudian
berkata, “Apakah aku akan membiarkan persoalan ini berlarut-larut?”
Ki Tanu Metir berpaling
memandangi wajah Untara dengan kening yang berkerut, sedang Wuranta pun
mengangkat kepalanya pula dan berkata, “Persoalan ini telah selesai Untara. Aku
telah mengakui segala kesalahan yang telah aku lakukan. Aku tidak akan
mengganggu gugat lagi, apa pun yang akan kau lakukan atas Agung Sedayu. Tetapi
janganlah Agung Sedayu kau korbankan hanya karena ketamakanku. Kalau terpaksa
harus memutuskan hubungan, maka akulah yang sudah sewajarnya menarik diri,
sebab aku belum pernah merasakan getaran apa pun yang menghubungkan hati kami.
Hatikulah yang terlampau lemah. Mudah-mudahan, aku belum terlambat untuk
mengakui kesalahanku ini.”
Sikap Wuranta itu sama sekali
tidak diduga-duga sebelumnya oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Karena itu, maka
tanggapan mereka atas sikap Wuranta itu pun terasa aneh. Namun terbersit di
hati mereka kebesaran jiwa anak muda Jati Anom itu, meskipun terlampau
dicengkam oleh gelora perasaannya.
Ki Tanu Metir yang tua itu
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping perasaan ibanya terhadap
Wuranta, orang tua itu menjadi agak lapang pula dadanya. Dengan demikian ia
mengharap, bahwa persoalan muridnya dengan demikian akan segera selesai. Untara
tidak akan lagi diganggu oleh kemungkinan yang mencemaskannya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat meretakkan hubungan antara anak-anak muda
Jati Anom sendiri.
Untara yang dapat merasakan,
betapa pahitnya perasaan Wuranta sejenak menjadi terdiam. Ia melihat betapa
sakitnya hati Wuranta, tetapi ia merasakan juga, bahwa sikap Wuranta itu
dilambari dengan keikhlasan yang dalam. Wuranta benar-benar telah menyatakan
isi hatinya, bukan sekedar untuk memulas diri, basa-basi, atau semacam pameran
keluhuran budi. Tetapi Wuranta benar-benar ikhlas menelan kepahitan yang
dihadapinya. Setelah nalarnya mampu bekerja dengan bening, maka anak muda itu
melihat betapa ia telah dikuasai oleh ketamakan dan kesombongan tiada taranya.
Baru berapa hari ia mengenal Sekar Mirah. Ia tidak tahu perasaan apakah yang
tersimpan di dalam dada gadis itu terhadap dirinya, maka ia telah merasa berhak
untuk beriri-hati terhadap Agung Sedayu yang telah berkenalan jauh lebih lama
dengan gadis Sangkal Putung itu, bahkan di antara keduanya telah terjalin
hubungan yang betapapun lembutnya.
Namun meskipun demikian,
Untara, Senapati Perang dari prajurit Wira Tamtama itu, tiba-tiba merasa
terikat oleh keputusannya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bahwa pendiriannya itu
adalah pendirian yang sebaik-baiknya bagi adiknya.
Karena itu, maka tiba-tiba
Untara itu pun berkata, “Aku dapat mengerti Wuranta. Aku berterima kasih
kepadamu. Kau telah membantu kami untuk menentukan sikap kami terhadap Agung
Sedayu.” Untara itu berhenti sejenak. Namun Ki Tanu Metir terkejut ketika
Untara itu meneruskan, “Tetapi aku merasa, bahwa keputusanku adalah jalan yang
sebaik-baiknya bagi Agung Sedayu. Bukan saja karena aku ingin melerai
pertentangan yang ada di antara kalian, kau dan Agung Sedayu. Meskipun tidak
tampak di dalam sikap dan tindak-tanduk, tetapi hanya tersimpan di dalam hati.
Namun aku memang menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu menghindari
rintangan-rintangan yang akan dipasangnya sendiri sepanjang perjalanan
hidupnya.”
Ketika Untara berhenti
berbicara, terdengar Ki Tanu Metir berdesah. Orang tua itu bergeser setapak
maju sambil mengernyitkan alisnya.
“Hem,” orang tua itu menarik
nafasnya dalam-dalam sehingga dadanya terangkat.
Untara melihat sikap Ki Tanu
Metir dengan dada yang berdebar. Tetapi ia masih saja ingin meyakinkan orang
tua itu, bahwa Agung Sedayu masih harus membentuk dan menyusun hari depannya
sebaik-baiknya. Kalau pagi-pagi ia sudah tidak dapat melepaskan ikatan pinjung
gadis Sangkal Putung itu, maka hari depannya pasti tidak akan dapat diharapkan.
Ia tidak akan menjadi orang yang dibicarakan di istana Pajang. Mungkin ia akan
dapat menjadi seorang gegedug, seorang yang dipandang pilih tanding suatu
daerah, di suatu kademangan atau di suatu daerah tanah perdikan. Tetapi namanya
tidak akan sempat disebut-sebut di dalam sidang-sidang agung di istana Pajang,
karena tidak seorang pun yang dapat mengenalnya dengan pasti.
“Angger Untara,” berkata Ki
Tanu Metir itu kemudian, “aku dapat mengerti perasaan Angger. Aku dapat
mengerti kehendak yang sebaik-baiknya yang tersimpan di dalam hati Angger
sebagai seorang kakak terhadap adik satu-satunya. Adalah sudah sewajarnya,
apabila Angger Untara sebagai seorang saudara tua, seorang pengganti ibu bapa
ingin melihat Angger Agung Sedayu menjadi seorang besar, seorang yang
terpandang. Bahkan apabila mungkin menjadi seorang yang penting di dalam
pemerintahan.”
“Angger Untara, aku kagum akan
sikapmu itu. Seorang saudara tua yang benar-benar memikirkan nasib saudara
satu-satunya, adiknya. Meskipun sikap ini sebenarnya tumbuh dari persoalan yang
telah bergeser dari titik tumpuannya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ia tahu benar arah pembicaraan Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir ternyata dapat
mengerti maksudnya, tetapi orang tua itu tetap pada pendiriannya pula. Bahkan
orang tua itu menganggap, bahwa keputusannya itu beralaskan persoalan yang
mula-mula tidak seperti yang dinyatakannya sekarang.
“Tetapi,” Ki Tanu Metir
meneruskan, “Angger tidak melihat hati Angger Agung Sedayu. Angger memandang
dari satu segi, dan Angger tidak mencoba melihat dari celah-celah perasaan
Angger Agung Sedayu itu. Meskipun maksud Angger itu baik dan Angger nyatakan dengan
jujur, tetapi Angger kurang memberikan kesempatan kepada Angger Agung Sedayu
untuk turut serta menentukan dirinya sendiri. Angger Untara dapat memberikan
arah kepada Angger Agung Sedayu, tetapi jangan membunuh perkembangannya dengan
cara yang keras. Sudah aku katakan, Ngger, aku akan mencoba membantu Angger
Untara. Dan aku pun merasa bertanggung jawab pula atas Angger Agung Sedayu,
karena aku adalah gurunya. Baik-buruk, hitam-putih anak muda itu, pertama-tama
pasti diukur dengan kemampuan gurunya. Kalau ia gagal, akulah yang paling parah
menanggungnya. Aku pasti akan menjadi tempat untuk melemparkan hinaan dan
celaan. Akulah yang menanggung malu karenanya. Seorang guru yang tidak mampu
membentuk muridnya menjadi seorang yang baik.”
“Karena itu, Ngger, percayakan
ia kepadaku. Aku akan mengikutinya ke Sangkal Putung. Kemudian membawanya
bersama Angger Swandaru untuk meninggalkan kademangan itu. Aku ingin memberi
mereka sedikit pengalaman dalam perantauan.”
Jantung Untara serasa menjadi
semakin cepat berdentang. Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu
tidak dapat disangkalnya. Tanggung jawab atas Agung Sedayu memang lebih banyak
akan dibebankan kepada gurunya daripada kepada kakaknya.
Karena itu maka Untara itu pun
terdiam untuk beberapa saat. Tampaklah ketegangan di wajahnya menjadi semakin
memuncak.
“Angger Untara,” terdengar Ki
Tanu Metir meneruskan, “mudah-mudahan aku dapat membantu Angger, membuat Angger
Agung Sedayu menjadi seorang yang Angger harapkan. Aku akan membentuknya sesuai
dengan keadaannya dan mempersiapkannya menjadi seorang yang cukup memiliki
bekal untuk menjadi seorang yang namanya akan disebut-sebut di istana Pajang.”
“Tentang Angger Sekar Mirah
jangan kau hiraukan lagi. Aku mengharap, bahwa Angger Sekar Mirah tidak akan
menjadi penghalang, tetapi justru akan menjadi seorang yang dapat mendorong
Angger Agung Sedayu untuk meletakkan cita-citanya setinggi bintang di langit.”
Untara masih tetap berdiam
diri. Kini di dalam dadanya terjadi pergolakan yang sengit. Ia merasa berat sekali
untuk mencabut dan merubah sikapnya, namun ia dapat mengerti dan memahami
pendirian Ki Tanu Metir.
Kini sejenak mereka yang
berada di pringgitan itu saling berdiam diri. Untara mencoba mencari
kemungkinan yang sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya.
Akhirnya Senapati muda itu
berkata, “Kiai, aku dapat mengerti pendirian Kiai. Tetapi aku juga tidak dapat
melepaskan keinginanku, bahwa adikku akan menjadi orang yang mapan di hari
depannya. Karena itu Kiai, apabila Kiai merasa, bahwa Kiai dapat membantu aku,
menyelamatkan masa depan anak itu, maka aku dapat menyerahkannya kepada Kiai.
Tetapi dengan jaminan bahwa Agung Sedayu tidak akan segera terikat dalam suatu
ikatan yang dapat menutup kemungkinan-kemungkinan di masa datang.”
“Maksud Angger Untara, agar
Angger Agung Sedayu tidak segera kawin sebelum memiliki cukup bekal untuk
hidupnya. Begitu?” potong Ki Tanu Metir.
Untara menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia mengangguk, “Ya, begitulah Kiai, dan tidak lagi
mengalami kesulitan justru karena hubungannya dengan gadis itu.”
“Sebenarnya, perkawinan bukan
suatu batas bagi perkembangan seseorang. Mungkin justru di dalam masa
perkawinan itulah, seseorang mendapat dorongan untuk berbuat sesuatu,” sahut Ki
Tanu Metir, “tetapi seandainya Angger menghendaki demikian, maka aku akan
mengusahakannya. Aku akan membuatnya bersiap menghadapi masa depannya.
Seandainya ia kelak menjadi seorang prajurit, biarlah ia menjadi seorang
prajurit yang telah masak. Angger Agung Sedayu saat ini memang masih terlampau
hijau. Ia masih banyak memerlukan pengalaman untuk mengikuti Angger Untara
merayap ke tangga istana Pajang. Khususnya sebagai seorang prajurit Wira
Tamtama.”
Sekali lagi Untara terbungkam.
Ia tidak menemukan alasan untuk menyangkal pikiran Ki Tanu Metir itu. Karena
itu, maka Untara itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Kiai. Aku serahkan Agung
Sedayu kepada Kiai. Tetapi ingat, aku sebagai kakaknya, pengganti ibu-bapa,
ingin agar Agung Sedayu mendapat tempat di dalam lingkungan keprajuritan, di
mana ia akan mendapat kesempatan untuk langsung mengabdikan diri kepada
negerinya. Aku akan menyesal apabila kelak Agung Sedayu tidak lebih daripada
seorang yang hanya dapat menakut-nakuti pencuri-pencuri ayam di padesan yang
jauh dari pimpinan pemerintahan.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa cita-cita Untara melambung tinggi ke
awang-awang. Seperti cita-citanya sendiri dalam pengabdiannya terhadap negara
dan tanah kelahirannya, ia pun mengharap adiknya akan turut serta di dalam
pengabdian itu. Tetapi sebagai manusia, maka Untara tidak luput pula dari
pamrih. Ia ingin adiknya menjadi seorang yang namanya disebut-sebut di dalam
sidang-sidang di istana, seperti juga namanya sendiri selalu disebut-sebutnya.
“Baiklah, Ngger,” berkata Ki
Tanu Metir, “aku akan mencoba membantu perkembangan pribadinya, meskipun
sebagian terbesar tergantung pada Angger Agung Sedayu sendiri. Aku akan mencoba
menempuh jalan yang paling mudah bagi Angger Agung Sedayu. Kelak apabila datang
saatnya, maka aku akan datang kembali membawa Angger Agung Sedayu. Aku akan
menyerahkannya kepada Angger Untara. Seterusnya jalan akan lebih lapang bagi
Angger Agung Sedayu, apabila ia bersama dengan Angger Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Mudah-mudahan, Kiai. Semuanya
terserah kepada Kiai.” Kemudian Untara itu berpaling kepada Wuranta, “Terima
kasih akan kerelaanmu mengorbankan kepentinganmu sendiri, Wuranta. Kau telah
membantu memecahkan persoalan ini.”
Wuranta mengangkat wajahnya.
Kemudian ia berkata, “Aku seharusnya minta maaf langsung kepada Agung Sedayu,
kepadamu, dan kepada Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak cukup berani untuk
berhadapan dengan Agung Sedayu.”
“Kau cukup berjiwa besar,
Ngger. Kau telah mengatakannya kepadaku dan Angger Untara. Itu sudah cukup. Aku
akan menyampaikannya kepada Agung Sedayu,” sahut Ki Tanu Metir.
Wuranta tidak menjawab. Tetapi
kepalanya ditundukkannya.
Dan terdengar Ki Tanu Metir
berkata, “Kalau demikian, maka biarlah aku membawa anak-anak Sangkal Putung itu
pulang ke rumahnya. Seterusnya aku akan membawa Angger Agung Sedayu dan Angger
Swandaru untuk menambah pengalamannya yang masih terlampau sempit. Mungkin ada
tempat-tempat yang perlu dikunjungi. Mungkin aku akan dapat memperkenalkannya
dengan orang-orang yang namanya pernah tersebar di seluruh daerah Demak lama,
dan yang kini seakan-akan mengasingkan dirinya.”
Untara tidak segera menjawab.
Tetapi hatinya terasa berdesir juga. Terbayang di pelupuk matanya, adiknya yang
masih muda itu akan memulai dengan sesuatu kehidupan yang baru baginya.
Kehidupan yang asing sama sekali dari kehidupannya di masa kanak-kanaknya.
Dibayangkannya, di masa
kanak-anak Agung Sedayu, hampir tidak pernah terpisah dari ujung selendang
ibunya. Ke mana ibunya pergi, Agung Sedayu hampir pasti ikut bersamanya. Kalau
sekali-sekali Agung Sedayu pergi juga dengan ayahnya, maka ibunya selalu
berpesan bersungguh-sungguh, supaya anak itu nanti kembali dengan selamat
kepadanya.
Kini Agung Sedayu yang hampir
tidak pernah menjenguk keluar pagar itu, akan pergi dengan gurunya ke tempat
yang tidak menentu. Merantau untuk menambah pengalaman dan menggembleng diri.
Untara tersadar ketika ia
mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Angger Untara, aku kira tidak ada lagi
kepentingan kami di sini. Karena itu, maka biarlah kami minta diri. Kami akan
pergi ke Sangkal Putung untuk mengembalikan Sekar Mirah, kemudian mencoba
membentuk Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru untuk menjadi seorang
laki-laki dewasa.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak akan mencegah lagi, Kiai. Aku kali ini
mempercayakannya kepada Kiai. Mudah-mudahan Kiai tidak gagal. Umur Agung Sedayu
akan selalu merayap, dan tidak akan dapat diulang. Tetapi aku minta, Kiai tidak
pergi meninggalkan padepokan ini, sekarang atau besok pagi. Aku ingin, kita
bersama-sama yang telah berbuat sesuatu untuk menyelesailan pekerjaan ini,
berkumpul bersama-sama untuk mengatakan kegembiraan hati kita dan untuk
menyatakan terima-kasih kita kepada Tuhan yang telah memberikan jalan yang
lapang kepada kita. Aku ingin kita semuanya sempat melepaskan ketegangan yang
selama ini telah menghimpit hati kita, meskipun itu tidak berarti bahwa kita
akan kehilangan kewaspadaan.”
“Ah,” sahut Ki Tanu Metir,
“aku kira kami tidak perlu turut serta dalam kegembiraan itu. Bagi anak-anak
Sangkal Putung itu, kegembiraan yang paling besar kini adalah kembali kepada
ayah dan ibunya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi ia berkata, “Aku tahu, Kiai, tetapi biarlah kegembiraan kita
menjadi lengkap. Hari itu tidak akan terlampau lama. Dua tiga hari kita akan
menyelenggarakannya di Jati Anom, seperti yang telah aku katakan. Aku sudah
mengirimkan beberapa orang untuk menemui Ki Demang di Jati Anom. Sayang, bahwa
hari-hari yang kita rencanakan itu tidak dapat dilakukan besok atau lusa. Ki
Demang memerlukan persiapan untuk itu, apalagi setelah Jati Anom dikacaukan
oleh kehadiran orang-orang dari padepokan ini.
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Katanya, “Apakah Angger Untara benar-benar ingin menahan kami.”
“Tentu, Kiai. Terutama Agung
Sedayu. Aku harus melepaskannya dengan beberapa pesan yang mudah-mudahan
berguna baginya. Sebab aku telah memberikan perintah lain kepadanya. Akulah
yang akan memberitahukan perubahan itu, meskipun sebelumnya Kiai dapat mengatakan
kepadanya. Tetapi ia harus mendengar dari mulutku, bahwa perubahan itu hanyalah
sekedar perubahan cara yang harus ditempuhnya. Bukan masalahnya. Ia harus tetap
menyadari betapa pentingnya membina hari depannya.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Untara masih harus tetap menjaga kewibawaan
dirinya di hadapan adiknya itu. Dan Ki Tanu Metir tidak akan dapat
menyalahkannya. Maka jawabnya, “Kalau demikian, baiklah, Ngger. Aku akan
memberikan beberapa penjelasan pendahuluan. Biarlah Angger Agung Sedayu datang
sendiri kepada Angger Untara.”
“Baiklah, Kiai.”
“Kalau begitu, aku segera
minta diri, Ngger. Aku akan kembali ke pondok, supaya aku tidak terlambat
memberikan penerangan kepada adik Angger itu.”
Untara mengerutkan keningnya,
“Kenapakah Agung Sedayu itu, Kiai?”
“Syarafnya menjadi tegang,
hampir tidak dapat dikuasainya. Semalam ia tidak tidur sama sekali, dan
hampir-hampir saja aku tidak dapat melihatnya lagi di padepokan ini.”
“Apa yang akan dilakukan?”
tiba-tiba wajah Untaralah yang menjadi tegang.
“Kalau aku tidak segera datang
dan mendengar apa yang mereka bicarakan serta mencegahnya, maka semalam Angger
Agung Sedayu telah membawa Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah ke Sangkal
Putung.”
“Kenapa begitu?”
“Hal-hal serupa itulah yang
harus Angger ketahui. Perasaannya tidak dapat menerima tekanan dari luar,
tetapi ia tidak berani untuk berterus terang melawannya. Ia tidak berani
menolak perintah Angger Untara, tetapi ia tidak dapat melakukan perintah itu.
Maka diambilnya jalan ketiga yang mungkin akan dapat menjerumuskannya ke dalam
bencana. Kalau mereka bertiga benar-benar meninggalkan padepokan ini, dan di
ujung lereng tikungan di luar padepokan ini mereka bertemu dengan Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya, seandainya mereka masih berkeliaran di sini, maka
mereka pasti akan menjadi endog amun-amun.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dadanya menjadi berdebar-debar. Soal semacam ini baginya adalah
soal yang baru. Hal yang demikian tidak pernah terjadi di kalangan keprajuritan.
Tetapi Agung Sedayu hampir melakukannya.
“Jadikanlah hal ini suatu
pengalaman,” berkata Ki Tanu Metir.
Betapa beratnya, namun
akhirnya Untara menganggukkan kepalanya, “Ya, Kiai. Untunglah bahwa hal itu
belum terjadi.”
Dalam pada itu, dengan nada yang
dalam Wuranta berdesis, “Seandainya hal itu terjadi, dan seandainya mereka
menemui bahaya di perjalanan, maka aku adalah salah satu penyebabnya. Dan aku
pun pasti akan menyesal sepanjang hidupku.”
“Tetapi semuanya itu belum
terjadi, Ngger. Semuanya masih belum terlambat.”
Wuranta tidak menyahut. Tetapi
bintik-bintik keringat di keningnya masih menitik satu-satu. Sekali ia mengusap
wajah yang basah dengan telapak tangannya. Namun wajah itu tidak juga menjadi
kering.
“Sekarang,” berkata Ki Tanu
Metir, “kabut yang menyelimuti Angger sekalian telah tersingkap. Mudah-mudahan
hari-hari berikutnya menjadi cerah.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan-lahan, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan semuanya dapat terjadi
seperti yang kita inginkan.”
“Tetapi kita tidak boleh
menentukan, bahwa keinginan kita pasti akan terjadi, Ngger. Kita hanya dapat
berusaha sejauh-jauh mungkin. Namun akhirnya semuanya terserah kepada Yang Maha
Besar. Meskipun demikian, kita tidak dapat menunggu saja, dan keinginan kita
itu akan terpenuhi dengan sendirinya. Kita harus memohon. Dan kesungguhan dari
permohonan kita itu harus tercermin dari kesungguhan usaha kita. Kalau kita
tidak bersungguh-sungguh berusaha, maka permohonan kita itu pun tidak bersungguh-sungguh
pula, sehingga wajarlah bahwa hal itu tidak terjadi.”
“Aku mengerti, Kiai,” desis
Untara.
“Tetapi kita harus percaya,
bahwa usaha yang baik pasti akan dilindungi. Kepercayaan itulah yang terungkap
sebagai kepercayaan kepada diri sendiri. Percaya kepada kesungguhan diri
sendiri dan percaya bahwa kesungguhan itu adalah kesungguhan dari permohonan
kita, yang pasti akan didengar oleh Yang Maha Kuasa.”
Untara mengangguk-angguk dan
Wuranta pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ketika Ki Tanu Metir berhenti
berbicara, maka sekali lagi pringgitan itu menjadi sepi. Seolah-olah mereka
sedang merenungkan kata-kata Ki Tanu-Metir itu.
Mereka terkejut ketika mereka
melihat pintu pringgitan itu bergerak. Sebuah kepala tersembul dari luar dan
dengan hati-hati orang itu bertanya, “Apakah aku boleh masuk masuk?”
“Untuk apa?” bertanya Untara.
“Makan telah tersedia.”
“Oh,” Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah segenap ketegangan yang menyumbat
dadanya selama ini telah dilepaskannya.
“Bawalah masuk,” katanya
kemudian, “kita bertiga di sini.”
“Baik,” sahut orang itu.
Sejenak kemudian, orang itu
pun hilang di balik pintu. Tetapi segera muncul kembali sambil menjinjing tiga
bungkus nasi.
“Letakkanlah di situ,” berkata
Untara.
Orang itu pun segera
meletakkan ketiga bungkus nasi itu di atas gledeg bambu. Kemudian ia pun segera
meninggalkan ruangan itu.
“Marilah, Kiai. Makan telah
tersedia. Makanan medan perang, nasi tanpa lauk pauk.”
Ki Tanu Metir tertawa.
Katanya, “Di medan perang kita masih dapat mengharap rangsum makanan, Ngger.
Tetapi di perantauan, kita harus mencarinya sendiri. Bukankah begitu?”
Untara pun tersenyum pula.
“Ya, Kiai,” jawabnya. Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Marilah, Wuranta.”
Sejenak kemudian, maka
ketiganya pun telah membuka bungkusan masing-masing. Nasi putih dengan sejumput
serundeng yang terlalu kering. Sepotong kecil daging lembu dan sambal lombok
merah.
“Alangkah nikmatnya,” desis Ki
Tanu Metir, “semalam aku sama sekali tidak tidur. Karena itu, maka aku kini
merasa sangat penat dan lapar. Nasi hangat ini benar-benar telah menghangatkan
tubuhku.”
Untara tidak menyahut. Tetapi
ia tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika mereka telah selesai
makan dan minum, maka Ki Tanu Metir pun segera minta diri. Katanya, “Ah, aku
terlampau lama di sini. Aku telah minta diri untuk yang kesekian kalinya.
Untunglah, bahwa aku tidak segera pergi. Jika demikian, maka aku tidak akan
mendapat bagian nasi serundeng. Apalagi apabila nanti sampai di pondokan Angger
Agung Sedayu, rangsum telah habis, dihabiskan oleh Angger Swandaru. Maka aku
pun akan menjadi kelaparan. Sekarang, setelah aku kenyang, aku akan benar-benar
minta diri, Ngger.”
“Silahkan, Kiai,” jawab
Untara, “tetapi harapanku kali ini tergantung pada kebijaksanaan Kiai.”
“Ya, ya aku mengerti,” desis
orang tua itu, “aku harus segera sampai kepada Angger Agung Sedayu. Aku takut
kalau jantungnya menjadi terlampau tegang dan justru akan berhenti berdetak,
atau karena hatinya terlampau gelap, ia telah melakukan rencananya semalam,
pergi dari padepokan ini.”
“Silahkan, Kiai,” sahut Untara
sambil mengerutkan keningnya.
Setelah minta diri pula kepada
Wuranta, maka kali ini Ki Tanu Metir itu pun berdiri dan melangkah
perlahan-lahan meninggalkan pringgitan, diantar oleh Untara dan Wuranta sampai
ke muka pintu.
Ketika orang tua itu telah
turun dari pendapa, maka terdengar Wuranta berdesis, “Aku menjadi malu sekali,
Untara.”
“Tak seorang pun yang tahu.
Kami yang mengetahui persoalanmu, aku dan Ki Tanu Metir, dapat memahami
perasaanmu. Dan kami mengagumi kebesaran jiwamu.”
“Itu terlampau
berlebih-lebihan.”
“Jangan kau pikirkan lagi.
Semuanya telah selesai.”
“Kalau kau tetap pada
pendirianmu untuk melarang Agung Sedayu mengantar Sekar Mirah ke Sangkal
Putung, maka hatiku akan menjadi terlampau parah. Aku adalah sebab dari
persoalan ini, meskipun kau menyebut alasan-alasan yang lain, tetapi sikapku
yang gila selama ini adalah sebab yang terbesar dari keputusanmu.”
“Lupakan. Semuanya sudah
selesai.”
“Aku akan mencoba
melupakannya, Untara.”
Sesaat Untara tidak menyahut.
Dipandangnya langkah Ki Tanu Metir yang ringan di halaman banjar padepokan.
Sejenak orang tua itu berhenti di gardu peronda.
Untara tidak tahu apa yang
dibicarakan oleh Ki Tanu Metir dengan para penjaga di gardu itu, tetapi ia
melihat Ki Tanu Metir itu tertawa.
“Sebenarnya orang tua itu
adalah seorang periang,” berkata Untara di dalam hatinya.
Tanpa sesadarnya, ingatannya
merayap kembali kepada masa yang telah dilampauinya. Pada saat-saat ia terluka
dan bersembunyi di rumah dukun dari Pakuwon itu. Melihat sepintas, seseorang
tidak akan menyangka, bahwa dukun dari Dukuh Pakuwon itu adalah seorang yang
mampu mengimbangi kedahsyatan nama Ki Tambak Wedi, dan bahkan tidak akan berada
di bawah tingkatan Ki Gede Pemanahan, seorang Panglima Wira Tamtama.
“Aneh,” pikir Untara, “orang
ini seolah-olah sama sekali tidak mempunyai pamrih apapun dengan keadaan di
sekitarnya. Ia berbuat seperti yang dikehendakinya. Kalau ia bersedia
menghubungkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan duniawi, maka ia tidak
akan jauh dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dibanggakan. Baik di dalam
kedudukan maupun di dalam olah kanuragan.”
Dan keheranan itu semakin lama
semakin dalam tergores di dinding hatinya. Untara itu mengenal nama-nama
seperti Adiwijaya, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, Ki
Mancanegara, Ki Wuragil, Arya Penangsang, Mantahun, Sumangkar, Ki Tambak Wedi
dan yang lain-lain. Semuanya ada di dalam dunianya masing-masing. Semuanya
memiliki pamrihnya sendiri-sendiri. Meskipun Ki Tambak Wedi tidak berada di
dalam lingkungan istana mana pun, Demak, Pajang, atau Jipang. Juga tidak Cerbon
dan Banten, namun ia justru terlampau dikuasai oleh pamrihnya sendiri.
“Mas Karebet itu pun didorong
oleh pamrih-pamrih duniawi tertentu,” berkata Untara pula di dalam hatinya,
“terutama setelah Demak menjadi kosong. Ditambah lagi dengan dua gadis yang
dijanjikan oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat.”
Tetapi orang ini benar-benar
aneh. Ia tinggal di padukuhan yang kecil sebagai seorang dukun. Tidak lebih
daripada itu.
Untara menarik nafas
dalam-dalam.
Ia tersadar, ketika ia sudah
tidak melihat lagi Ki Tanu Metir di halaman itu. Ternyata orang tua itu telah
meninggalkan gardu.
Ketika Untara itu berpaling,
ia masih melihat Wuranta berdiri di sampingnya.
“Oh,” Untara berdesis,
“Marilah, duduklah.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi
diikutinya Untara melangkah kembali ke bentangan tikar pandan di pringgitan
itu.
Sementara itu, Ki Tanu Metir
berjalan tergesa-gesa ke pondok Agung Sedayu. Ia mencemaskan anak muda itu.
Seandainya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat menguasai perasaannya, maka ia
akan dapat berbuat hal-hal yang tidak terduga-duga. Mungkin ia akan benar-benar
membawa Swandaru dan Sekar Mirah segera pergi ke Sangkal Putung.
Tetapi orang tua itu menarik
nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah masih
ditemuinya di pondoknya, meskipun agaknya Agung Sedayu sudah hampir tidak sabar
lagi menantinya.
Belum lagi Ki Tanu Metir masuk
ke dalam rumah, maka Agung Sedayu sudah menyongsongnya sambil bertanya,
“Bagaimana, Guru. Apakah aku harus menjalani keputusan Kakang Untara itu?”
“Apakah aku tidak kau
persilahkan masuk?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Oh,” Agung Sedayu menarik
nafas. Tetapi ia benar-benar sudah tidak dapat menunggu lagi keterangan dari
gurunya itu tertunda-tunda. Dengan tergesa-gesa ia berkata, “Marilah, Kiai.
Silahkan duduk. Tetapi bagaimana dengan Kakang Untara?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat,
wajah-wajah Swandaru dan Sekar Mirah yang gelisah dan bingung.
Tiba-tiba orang tua itu
berkata sareh, “Bukankah kalian telah dirisaukan oleh hati kalian sendiri?”
Hampir bersamaan ketiganya
menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi Sekar Marah menyahut pertanyaan itu,
“Ya, Kiai, kami memang sedang dirisaukan oleh hati kami sendiri.”
“Nah, kalau demikian,
tenangkanlah hati kalian. Tidak ada alasan apa pun bagi kalian untuk menjadi
risau.”
Sejenak Swandaru dan Agung
Sedayu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak menemukan kesan yang
mencemaskan di wajah orang tua itu. Bahkan sejenak kemudian orang tua itu
bertanya. “Apakah kalian telah mendapat rangsum?”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak diharapkannya. Tetapi ia menyahut,
“Sudah, Kiai. Baru saja. Kami masih belum sempat memakannya.”
“Makanlah.”
“Kami belum lapar, Kiai,”
jawab Agung Sedayu.
“Tetapi mungkin Angger
Swandaru dan Sekar Mirah menjadi lapar.”
Keduanya bersama-sama
menggelengkan kepala mereka, “Belum, Kiai.”
“Kalau begitu akulah yang
lapar. Di banjar aku sudah mendapat makan, tetapi hanya satu bungkus. Berapa
bungkus kalian mendapat rangsum?”
Sekali lagi Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mulutnya terpaksa juga menjawab, “Empat,
Kiai. Kami minta satu untuk Kiai.”
“Bagus. Marilah kita makan.
Kita merayakan akhir dari keadaan yang selama ini telah membuat kalian menjadi
bingung. Kita akan sampai pada suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan yang
lain dari yang pernah kalian tempuh selama ini.”
BAB III.
MELINTAS HUTAN MENTAOK
Awan yang putih kemerah-merahan mengapung di langit. Matahari
yang telah perlahan-lahan turun ke punggung Gunung Merapi. Sinarnya semakin
lama menjadi semakin pudar. Burung-burung sriti terbang bergumpal-gumpal
mengitari sebatang pohon beringin. Ratusan, bahkan ribuan, sehingga seolah-olah
mendung yang gelap mengambang di langit.
Lamat-lamat terdengar
kentongan di gardu, di pintu gerbang padepokan Tambak Wedi, memecah keheningan
senja. Suaranya mengumandang memenuhi lereng Gunung Merapi. Bertalu-talu
seperti dibunyikan berulang kali.
Seorang prajurit muda yang
berdiri di depan gardu di samping regol padepokan itu berbisik kepada kawannya,
“Besok kita turun ke Jati Anom.”
“Ya,” sahut kawannya yang
masih muda pula, “suasana yang tegang selama ini akan berakhir. Kita akan
terlepas dari cara hidup yang keras dan kasar ini.”
“Di Jati Anom akan
diselenggarakan sekedar keramaian untuk menyatakan kegembiraan hati atas
kemenangan kita. Dengan hancurnya Tambak Wedi, maka seolah-olah di bagian
selatan ini telah tidak ada lagi gangguan apa pun bagi Pajang.”
Tiba-tiba kawannya mengerutkan
keningnya. Katanya, “Tetapi kita akan segera ditarik dan dikirim ke pesisir
utara. Kita harus berkelahi lagi melawan orang-orang pesisir.”
Kawannya menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Peperangan di pesisir pun sudah semakin tipis. Tidak banyak
lagi perlawanan yang harus dihadapi oleh Pajang. Setidak-tidaknya kita akan
mendapatkan beberapa hari libur, pulang ke rumah dan berada di lingkungan
keluarga. Anak dan isteri, meskipun kita kelak harus bertempur lagi.”
“Pekerjaan kita memang
berkelahi,” sahut prajurit muda yang pertama. “Kita adalah orang-orang yang
dibentuk untuk berkelahi.”
“Ya, kita memang telah
menyatakan diri kita sebagai seorang prajurit. Pekerjaan prajurit adalah
bertempur. Meskipun demikian kita adalah manusia, yang suatu ketika ingin hidup
seperti kebiasaan hidup manusia. Berkeluarga, bercakap-cakap dengan isteri dan
bermain-main dengan anak-anak.”
Tiba-tiba keduanya terperanjat
ketika di belakang mereka terdengar suara, “Siapa yang berkata bahwa prajurit
itu pekerjaannya berkelahi dan bertempur?”
“Oh, Ki Lurah,” desis kedua
prajurit itu hampir bersamaan. Ternyata di belakang mereka berdiri seorang
lurah Wira Tamtama.
“Habis, apakah yang harus kita
lakukan, Ki Lurah?” bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah Wira Tamtama itu
tersenyum. Namun ia bertanya pula, “Apabila peperangan ini telah selesai,
sisa-sisa orang-orang yang berkeras kepala, bekas pengikut Arya Penangsang
telah habis dan tidak ada lagi pertentangan di seluruh wilayah Pajang, lalu
kita para prajurit harus mencari persoalan baru supaya kita tidak menjadi
seorang penganggur?”
“Ah,” desah salah seorang
prajurit muda itu.
“Coba katakan,” bertanya lurah
Wira Tamtama itu, “apa yang harus kita kerjakan?”
Kedua prajurit itu saling
berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Bukankah jumlah
prajurit akan berangsur-angsur dikurangi, dan kita akan kehilangan pekerjaan
kita?”
Lurah Wira Tamtama itu
tersenyum, “Dan kau akan menjadi sakit hati karenanya?”
Kedua prajurit muda itu
terdiam. Sekali lagi mereka saling berpandangan.
“Coba katakan, apakah niatmu
ketika kau pertama kali memasuki lapangan ini.”
Keduanya tidak segera
menjawab.
“Apakah kalian hanya sekedar
ingin mendapat lapangan pekerjaan supaya kalian tidak menjadi penganggur? Hanya
itu?”
Kini keduanya menggeleng,
“Tidak, Ki Lurah. Aku memasuki lapangan ini oleh suatu dorongan yang kuat.”
“Katakanlah sifat dorongan
itu. Supaya kau tidak mati kelaparan? Atau supaya kau menjadi seorang yang
ditakuti oleh tetangga-tetanggamu karena kau membawa senjata di lambung? Atau
supaya kau mudah untuk mendapatkan yang kau ingini? Karena kau prajurit, maka kau
melamar gadis tetanggamu. Apabila gadis itu menolak segera kau mengancamnya,
bahwa sekelompok kawan-kawanmu akan datang dan menangkap orang tua gadis itu.
Begitu? Atau kepentingan lain, supaya kau dapat mengambil kambing, kerbau atau
apa saja kepunyaan tetanggamu yang kau ingini karena kau prajurit?”
“Tentu tidak, Ki Lurah. Tentu
tidak. Aku bukan seorang yang gila seperti itu. Seandainya ada seorang prajurit
yang hanya didorong oleh nafsunya yang demikian, maka ia telah menodai Wira
Tamtama.”
“Bagus,” potong lurah Wira
Tamtama. “Lalu dorongan apa yang telah memaksamu masuk ke dalam lingkungan
keprajuritan.”
Kedua prajurit itu mengerutkan
keningnya, “Aku tidak tahu Ki. Tetapi keinginanku menjadi seorang prajurit
demikian besarnya. Aku ingin karena aku melihat prajurit-prajurit yang lebih
dahulu daripadaku. Mereka telah banyak sekali berbuat sesuatu untuk kepentingan
orang banyak.”
Lurah Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagus. Bagus. Kau hanya tidak pandai
mengatakan. Dorongan yang demikian itu lahir karena sifat-sifat ksatria yang
ada di dalam dirimu. Kau ingin mengabdikan diri untuk kepentingan lingkunganmu,
untuk kepentingan negara dan tanah tumpah darah. Ingat, menjadi seorang
prajurit adalah menyerahkan diri dalam pengabdian. Ini adalah landasan pertama
yang harus ada di dalam dada setiap prajurit.”
Kedua prajurit yang
mendengarkan kata-kata lurah Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang mereka pun merasakan arti dari kata-kata itu, tetapi mereka tidak pandai
untuk mengatakannya.
“Nah,” lurah Wira Tamtama itu
meneruskan, “bukankah dengan demikian tugas seorang prajurit tidak hanya
berkelahi, bertempur dan berperang? Tidak setiap kali mencari persoalan supaya
ada kerja yang dilakukannya?”
Kedua prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Banyak sekali yang harus
dilakukan,” sambung lurah itu pula, “Apabila terjadi kerusuhan, kejahatan dan
sebagainya, maka prajurit pun harus berbuat untuk melindungi rakyat yang lemah.
Tetapi itu pun masih dapat disebut berkelahi atau bertempur. Yang lain
misalnya, apabila ada bencana. Bencana alam atau bencana apa pun, maka
pengabdian prajurit harus ditunjukkannya juga. Masa-masa yang sulit. Kekeringan
air atau malahan banjir.”
“Ya,” kedua prajurit itu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Itu adalah
kewajiban-kewajiban lahiriah yang tampak oleh mata kita,” berkata lurah Wira
Tamtama itu pula. “Yang lebih penting dari itu adalah menanamkan keyakinan,
bahwa prajurit adalah pengabdian. Maka semua tindak-tanduk bahkan
angan-angannya pun akan selalu berlandaskan pada keyakinan itu. Pengabdian.
Bukan sebaliknya dari itu.”
“Ya, ya, Ki Lurah,” berkata
salah seorang prajurit itu, “sekarang aku tahu bagaimana mengatakannya. Tetapi
demikian itulah yang membersit di dalam dadaku sebelum aku memasuki prajurit.”
“Sebelum memasuki dunia
keprajuritan? Lalu, sesudah itu, maka keyakinanmu justru berubah?”
“Tidak, tidak. Bukan maksudku.
Aku pun masih tetap memegang keyakinan itu.”
“Bagus,” lurah Wira Tamtama
itu berdesis. “Aku percaya kepada kalian. Nah, sebenarnya, bahwa besok kalian
akan turun ke Jati Anom. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari kalian masih
harus tetap berjaga-jaga di padepokan ini. Meskipun kemenangan kalian dapat
disebut mutlak, tetapi otak dari padepokan ini ternyata dapat melepaskan diri.”
Kedua prajurit itu menarik
nafas dalam-dalam, “Siapakah yang akan tinggal di sini?”
“Sepertiga dari seluruh
pasukan akan tinggal di sini.”
Kedua prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalian akan menerima perintah nanti malam.
Siapakah yang besok akan turun ke Jati Anom dan siapa yang tinggal. Tidak
banyak bedanya. Yang tinggal di sini pun pasti akan mendapat bagian dari
keramaian yang akan diselenggarakan di Jati Anom. Kalau tidak salah, maka ada
lima ekor lembu yang tersedia buat kalian di sini.”
Kedua prajurit itu tidak
menjawab. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk kecil.
Dan lurah prajurit itu berkata
pula, “Sepertiga dari kalian akan tinggal di sini, sepertiga di Jati Anom dan
sepertiga dari kalian diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing untuk
waktu-waktu tertentu. Demikian bergiliran, sehingga kalian pasti akan segera
mendapat giliran pula. Perintah yang serupa akan diberikan juga kepada pasukan di
Sangkal Putung. Sepertiga dari mereka akan bergiliran, kembali ke rumah
masing-masing untuk beristirahat.”
Kedua prajurit itu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, lakukanlah tugasmu
baik-baik,” berkata lurah Wira Tamtama itu kemudian, “meskipun seolah-olah
kalian sudah tidak berhadapan dengan bahaya, tetapi jangan lengah. Kalau datang
waktunya kalian bertugas di regol padepokan ini, maka tugas itu harus kalian
lakukan dengan baik. Suatu saat, kalian masih akan mendapat tugas yang cukup
berat. Membawa para tawanan ke Pajang.”
“Ya, Ki Lurah,” jawab kedua
prajurit itu hampir bersamaan.
Lurah Wira Tamtama itu pun
segera meninggalkan gardu itu. Perlahan-lahan ia berjalan menyusur jalan
padepokan untuk melihat gardu-gardu yang lain.
Perlahan-lahan pula, maka
malam pun turun menyelubungi lereng gunung Merapi. Cahaya kemerah-merahan di
puncak gunung itu pun semakin lama menjadi semakin pudar. Asapnya yang putih
kemerahan mengepul seolah-olah ingin menggapai bintang yang mulai bermunculan
satu demi satu.
Beberapa buah obor mulai
dipasang di gardu-gardu, di prapatan dan di jalan-jalan padepokan yang masih
dianggap belum aman sama sekali.
Dan malam pun menjadi semakin
malam. Sehelai-sehelai kabut yang tipis mengalir menyentuh padepokan yang
seakan-akan sedang lelap dalam tidur yang nyenyak.
Padepokan itu terbangun,
ketika ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Dari ujung ke ujung terdengar
betapa riuhnya, menyongsong warna fajar yang membayang di ujung Timur.
Ketika fajar kemudian menjadi
semakin terang, dan semua prajurit telah menunaikan kewajiban masing-masing,
maka mereka pun segera bersiap-siap untuk turun ke Jati Anom. Sepertiga dari
mereka masih harus tinggal di padepokan itu, menjaga orang-orang Jipang dan
Tambak Wedi yang terpaksa diperlakukan sebagai tawanan. Beberapa orang perwira
akan tinggal pula di padepokan itu, untuk menjaga setiap kemungkinan,
seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya datang kembali.
“Perintah segera akan
disebarkan,” berkata Untara kepada para perwira itu. “Beberapa orang prajurit
akan segara pergi ke Sangkal Putung, sebagian akan pergi ke Prambanan dan
Pangrantunan. Para prajurit di Prambanan harus mengawasi setiap gerakan yang
mencurigakan. Apalagi apabila mereka melihat gerakan yang datang dari seberang
Hutan Mentaok. Dari Mentaok misalnya, apabila dendam Sidanti benar-benar tidak
terkendali.”
Para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari bahaya yang dapat timbul
apabila Sidanti benar-benar datang membawa pasukan dari seberang Hutan Mentaok.
Tetapi kekuatan itu pasti sudah tidak akan sedahsyat apabila mereka bergabung
dengan kekuatan sisa-sisa orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
“Untunglah, bahwa
kekuatan-kekuatan yang dapat membantunya di sini sudah tidak ada lagi,” desis
salah seorang perwira.
“Ya,” sahut Untara, “aku
mempunyai perhitungan, bahwa Sidanti tidak akan berani datang membawa
pasukannya apabila perhitungannya masih jernih. Tetapi apabila Sidanti dan Ki
Tambak Wedi itu sudah menjadi mata gelap, serta mereka berhasil menghasut
Argapati, maka kemungkinan itu akan dapat terjadi.”
“Ya,” para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi apakah dengan demikian tidak berarti
suatu pemberontakan yang terang-terangan melawan Pajang, yang akibatnya akan
dapat membuat Tanah Perdikan Menoreh itu menjadi parah?”
“Pemberontakan itu memang
sudah dimulai dari Tambak Wedi ini,” sahut Untara. “Tetapi meskipun demikian,
aku tidak yakin, bahwa Argapati memiliki sifat-sifat seperti Tambak Wedi. Aku
kira Argapati telah salah memilih guru buat puteranya, yang sebenarnya memiliki
bekal yang kuat di dalam dirinya.”
“Mungkin,” sahut salah seorang
perwira, “tetapi menilik sikap Argajaya, maka Argapati pasti setidak-tidaknya
memiliki sifat serupa.”
“Mudah-mudahan tidak. Argapati
bukan keturunan seorang pemberontak. Ia seorang yang baik, yang berjasa bagi
Demak.”
Para perwira itu terdiam. Dan
Untara meneruskan, “Tetapi semua kemungkinan dapat terjadi. Kewajiban kita
adalah siaga menghadapi setiap kemungkinan, tanpa melepaskan kewaspadaan sama
sekali.”
Sekali lagi para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka
sampailah saatnya pasukan Pajang yang berada di padepokan itu sebagian turun ke
Jati Anom. Untara sendiri memimpin langsung pasukannya. Di antara pasukan yang
turun ke Jati Anom itu, terdapat beberapa orang yang bukan prajurit-prajurit
Wira Tamtama. Di bagian depan, di sisi Untara sendiri berjalan Wuranta.
Langkahnya yang lemah, serta kepalanya yang menunduk, membayangkan perasaannya
yang belum tenang benar. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya dan melihat
batu-batu yang berserakan di sebelah-menyebelah jalan yang dilaluinya, namun
kepala itu kemudian tunduk lagi.
“Kita pulang ke kampung
halaman,” desis Untara yang berjalan di sampingnya.
Wuranta berpaling, Jawabnya,
“Sesudah mengalami masa yang menggoncangkan hati.”
Untara tersenyum. Katanya,
“Pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan. Tetapi pengalaman adalah pelajaran
yang baik buat seseorang. Ia akan dapat menggurui kita di saat-saat mendatang,
supaya kita menjadi lebih berhati-hati dan lebih cermat memperhitungkan keadaan
dengan nalar.”
Wuranta tidak menjawab.
Dianggukkannya kepalanya perlahan. Tetapi kemudian ia bertanya, “Kau tidak
berkuda?”
Untara menggeleng, “Tidak.”
“Apakah sebagian dari
kuda-kuda yang dibawa oleh para prajurit itu akan ditinggalkan di padepokan
Tambak Wedi?”
“Ya, hanya sebagian saja yang
aku bawa kembali ke Jati Anom. Di sini kuda-kuda itu diperlukan. Apabila
terjadi sesuatu, maka beberapa orang harus dengan cepat menyampaikan kabar itu
ke Jati Anom.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ketika ia memandang ke
kejauhan, maka dilihatnya sebuah dataran yang lepas menghijau jauh di bawah
kakinya. Hutan yang tidak terlampau lebat, kemudian tanah yang coklat
kehijauan. Jati Anom.
Pasukan itu pun menjalar
menurut jalan kecil yang berkelok-kelok di sepanjang lereng Gunung Merapi,
seperti seekor ular raksasa yang turun dari puncak gunung yang sedang terbakar.
Dan ujung Gunung Merapi itu
pun sebenarnya sedang memerah seperti bara. Sinar matahari pagi telah mewarnai
puncak Merapi itu dengan warna darah.
Di belakang pasukan yang
meluncur lambat, berjalan Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Beberapa
langkah di belakang mereka adalah Ki Tanu Metir. Mereka seolah-olah terpisah
dari pasukan Wira Tamtama yang berjalan dalam barisan di hadapan mereka.
Meskipun di lambung kedua anak-anak muda itu tergantung juga pedang, tetapi
keduanya langsung dapat dibedakan dari para prajurit Wira Tamtama itu.
“Aku sebenarnya segera ingin
pulang ke Sangkal Putung, Kakang,” berkata Sekar Mirah kepada Swandaru.
“Aku juga, Mirah. Sebenarnya
aku gembira mendengar Kakang Agung Sedayu mengajak kita segera meninggalkan
padepokan ini apa pun alasannya. Tetapi ternyata kita masih harus merayap di
belakang barisan ini.”
“Dan kita masih harus menunggu
keramaian di Jati Anom berakhir. Apakah sebenarnya yang akan diadakan di dalam
keramaian itu? Makan bersama atau wayang beber atau tayub?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya, “Aku pun tidak tahu. Tetapi maksudnya adalah, sekedar melepaskan
ketegangan yang selama ini telah mencengkam hati kita masing-masing.”
“Tetapi aku belum terlepas
dari ketegangan itu sebelum aku bertemu dengan ibu dan ayahku,” bantah Sekar
Mirah.
“Ya, aku tahu, Mirah. Tetapi
ini adalah sekedar sopan-santun untuk menunjukkan terima kasih kita. Maksud
Kakang Untara adalah baik. Supaya kita ikut bergembira di dalam keramaian itu.
Kegembiraan yang pasti akan berkesan di hati kita, terutama kau, Mirah, setelah
kau terlepas dari tangan iblis-iblis itu.”
Sekar Mirah tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah kakaknya yang gemuk. Tetapi Swandaru itu sedang
memandangi gerumbul-gerumbul liar di sebelah jalan yang sedang mereka lalui.
Bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Agung Sedayu.
Tetapi baik Sekar Mirah maupun
Swandaru, bertanya di dalam hatinya, “Kenapa Kakang Agung Sedayu kemarin dulu
malam menjadi seperti orang bingung dan hampir-hampir membawa kami ke Sangkal
Putung?”
Tetapi keduanya tidak mengucapkan
pertanyaan itu. Keduanya menyimpannya di dalam hatinya.
Pasukan Pajang itu berjalan
semakin lama semakin menurun. Jalan menjadi semakin berkelok-kelok, menyusup di
antara batu-batu besar yang menjorok, seolah-olah menghadang di jalan yang akan
mereka lalui.
Perjalanan itu berlangsung
dengan lancar. Tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka, sehingga mereka pada
saatnya sampai ke Jati Anom dengan selamat.
Ki Demang Jati Anom menjadi
sibuk menerima pasukan Pajang itu. Beberapa anak-anak muda menyambut pasukan
itu dengan wajah berseri-seri. Apalagi ketika mereka melihat Untara dan
Wuranta. Maka tanpa menghiraukan tata barisan lagi langsung mereka mendapatkan
mereka.
“Kalian adalah anak-anak muda
Jati Anom yang luar biasa,” berkata mereka sambil mengguncang-guncang lengan
Untara dan Wuranta.
Untara sama sekali tidak ingin
mengecewakan mereka, sehingga diserahkannya barisan Wira Tamtama Pajang itu
kepada perwira bawahannya untuk mengaturnya. Sementara itu, ia melayani
kawan-kawannya semasa kanak-anak yang mengerumuninya bersama Wuranta.
Kepada Wuranta, anak-anak muda
itu berkata, “Maafkan kami Wuranta. Kami tidak tahu apa yang sedang kau lakukan
saat itu. Aku sangka kau terbujuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Ternyata kau
adalah seorang pahlawan bagi Jati Anom.”
“Ah,” Wuranta berdesah, tetapi
ia tidak menjawab.
Salah seorang dari anak muda
Jati Anom itu berkata, “Kademangan ini telah dipersiapkan untuk menyambut
kalian berdua. Untara dan Wuranta. Kalian berdua adalah anak-anak dari
kademangan ini, dan kalian berdualah yang telah berhasil memusnahkan musuh kita
itu.”
“Terima kasih,” Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang senapati, maka yang dilakukan
itu adalah sebagian dari kewajibannya. Tetapi sekali lagi Untara tidak mau
mengecewakan kawan-kawannya semasa kecil.
“Marilah, marilah,” ajak
anak-anak muda itu, “kami sudah menyediakan jamuan khusus buat kalian berdua di
kademangan.”
“Terima kasih,” sahut Untara,
“aku akan berada di antara anak buahku.”
“Mereka pun telah mendapat
sambutan secukupnya. Tetapi kami, kawan-kawan bermain semasa kanak-anak ingin
menyambutmu secara khusus, sebelum sambutan resmi besok malam diadakan di
pendapa kademangan.”
“Terima kasih,” jawab Untara
dan Wuranta hampir bersamaan.
“Jangan kecewakan kami.”
Untara akhirnya tidak dapat
menolak lagi. Dilingkari oleh anak-anak muda Jati Anom, mereka berdua dibawa
langsung ke gandok sebelah timur kademangan.
Ketika mereka masuk ke
dalamnya, maka mereka pun segera tertegun. Ternyata di gandok itu telah
tersedia makanan yang berlimpah-limpah. Nasi putih, beberapa buah ingkung ayam,
dan lauk pauk beraneka rupa.
“Kami-lah yang memasaknya,”
berkata salah seorang anak muda Jati Anom.
“Kau?” bertanya Untara.
“Maksudku, anak-anak muda dan
gadis-gadis. Kami masak khusus untuk kalian berdua, sedang perempuan-perempuan
yang lain masak untuk para prajurit.”
Dada Untara menjadi
berdebar-debar. Sambutan itu tidak disangka-sangkanya. Apalagi Wuranta. Terasa
kerongkongannya justru menjadi kering.
“Mungkin masakan ini tidak
seenak masakan yang disuguhkan bagi para prajurit. Tetapi aku kira inilah yang
paling kami banggakan. Ini adalah ungkapan dari kegembiraan dan terima kasih
kami, karena kalian berdua telah membebaskan kami dari ketakutan.”
“Bukan kami berdua. Bukan aku
dan Wuranta,” sahut Untara, “tetapi seluruh pasukan yang ada di sini, bahkan
seluruh rakyat di Jati Anom.”
“Apa yang telah kami lakukan
selain mengungsi?” bertanya salah seorang anak muda itu.
“Kalian telah mengungsi.
Kalian tidak bersedia membantu orang-orang Sidanti dan orang-orang Sanakeling,
itu adalah bantuan yang besar sekali bagi kami.”
“Ah,” desis salah seorang dari
mereka, “pujian itu berlebih-lebihan. Tetapi baiklah, kami senang mendengarnya,
Sekarang, marilah. Makanlah. Kalian pasti sedang lapar dan haus.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Wuranta. Katanya, “Kita tidak dapat menolak,
Wuranta.”
Sentuhan-sentuhan di dada
Wuranta masih terasa mendebarkan jantungnya. Perlahan-lahan ia menganggukkan
kepalanya, “Kita tidak dapat menolak.”
Mereka pun kemudian duduk di
antara anak-anak muda itu. Terdengar di sana-sini suara mereka tertawa.
Sementara itu para prajurit pun telah di tempatkan di tempat yang telah
disediakan. Pendapa, gandok yang sebelah, dan beberapa rumah di sekitar
kademangan itu.
Tetapi karena kesibukan
masing-masing, maka baik Untara maupun perwira yang diserahinya, tidak ingat
lagi bahwa di antara mereka terdapat Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sekar Mirah.
Sehingga dengan demikian,
ketika para prajurit Pajang telah mendapat tempatnya masing-masing, maka Ki
Tanu Metir, kedua muridnya, dan Sekar Mirah itu masih berada di halaman
kademangan.
Sejenak mereka berdiri
termangu-manggu. Prajurit-prajurit Pajang yang berada di halaman itu semakin
lama menjadi semakin tipis, karena masing-masing segera pergi ke pondok yang
telah disediakan untuk beristirahat.
“Kemanakah kita pergi?”
bertanya Sekar Mirah kepada kakaknya.
Swandaru tidak menjawab,
tetapi ia berpaling memandangi Agung Sedayu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam, namun ia pun tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Karena Swandaru dan Agung
Sedayu tidak menjawab, maka Sekar Mirah berkata pula, “Apakah kita memang tidak
masuk hitungan, Kakang?”
“Ah,” Ki Tanu Metir-lah yang
menyahut, “jangan berpikir begitu, Ngger. Suasana di kademangan ini masih
berada dalam keadaan perang. Sehingga semua perhatian bercurah kepada para
prajurit dan kelengkapannya. Tetapi aku yakin, bahwa mereka sama sekali tidak
bermaksud apa-apa terhadap kita. Ini adalah suatu kekhilafan yang tidak
disengaja saja.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Dan kita harus berdiri saja di sini
menunggu seseorang mempersilahkan kita?”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Ia melihat beberapa
orang perwira sibuk mengurus para prajurit itu serta beberapa pimpinan
kademangan mengatur tempat dan perlengkapannya.
“Marilah kita duduk di gardu
itu sebentar. Di sini semakin lama menjadi semakin panas.”
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya, “Aku akan tetap berdiri di sini sampai seseorang mempersilahkan
aku.”