Ci Sian merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi
bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup
selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang
semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang
lebih dari pada yang sudah-sudah. Menyaksikan suami isteri yang hidup
saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja
menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.
Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!
Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!
Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”
Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.
Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.
Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..
Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”
Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!
Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.
Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri.
“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.
Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.
Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.
Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”
Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.
“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!
“Plak! Plak!”
Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.
“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.
“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”
Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.
“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Desss....!”
Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sute-nya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sute-nya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.
“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sute-nya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.
Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.
Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.
Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.
Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.
Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.
Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.
Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.
Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.
Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.
Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.
Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.
Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.
Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.
Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.
Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.
Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?
Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.
Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.
Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.
Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.
“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.
“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.
Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.
“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”
Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.
“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.
Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.
Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.
“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“
Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”
Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!
Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.
Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”
Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!
Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”
Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.
“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.
“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.
Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”
“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.
Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!
“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”
Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”
“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”
“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”
“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.
Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”
Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”
Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?
“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”
“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.
Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.
Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.
Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.
Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.
“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.
Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”
“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”
Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”
“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”
Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”
“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.
Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.
“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.
Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.
“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.
Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”
“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.
“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”
“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”
“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.
Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.
“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”
Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”
“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.
Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.
Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!
Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.
Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.
Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.
Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.
Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.
Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.
Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.
“Lihat serangan!”
Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.
Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.
“Tringggg....!”
Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.
Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.
Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.
Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.
Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.
Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!
Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”
“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”
“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”
“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”
Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.
Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.
“Tukkk....!”
Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.
“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.
Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.
“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.
“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.
“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.
Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.
“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”
Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”
“Nama saya Suma Kian Bu....“
“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.
“Beliau adalah ayah kandung saya.”
“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”
Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.
Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”
“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.
Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.....
Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!
Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!
Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”
Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.
Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.
Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..
Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”
Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!
Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.
Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri.
“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.
Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.
Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.
Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”
Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.
“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!
“Plak! Plak!”
Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.
“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.
“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”
Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.
“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Desss....!”
Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sute-nya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sute-nya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.
“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sute-nya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.
Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.
Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.
Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.
Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.
Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.
Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.
Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.
Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.
Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.
Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.
Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.
Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.
Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.
Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.
Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.
Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?
Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.
Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.
Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.
Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.
“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.
“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.
Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.
“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”
Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.
“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.
Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.
Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.
“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“
Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”
Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!
Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.
Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”
Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!
Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”
Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.
“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.
“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.
Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”
“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.
Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!
“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”
Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”
“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”
“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”
“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.
Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”
Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”
Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?
“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”
“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.
Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.
Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.
Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.
Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.
“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.
Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”
“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”
Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”
“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”
Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”
“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.
Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.
“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.
Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.
“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.
Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”
“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.
“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”
“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”
“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.
Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.
“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”
Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”
“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.
Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.
Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!
Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.
Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.
Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.
Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.
Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.
Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.
Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.
“Lihat serangan!”
Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.
Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.
“Tringggg....!”
Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.
Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.
Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.
Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.
Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.
Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!
Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”
“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”
“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”
“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”
Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.
Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.
“Tukkk....!”
Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.
“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.
Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.
“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.
“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.
“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.
Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.
“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”
Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”
“Nama saya Suma Kian Bu....“
“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.
“Beliau adalah ayah kandung saya.”
“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”
Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.
Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”
“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.
Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.....
Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid
lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk
mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata
sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”
“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”
“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”
“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.
Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”
“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.
“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.
“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”
“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.
“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”
“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”
“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.
“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”
“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!
Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”
Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”
“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”
Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.
“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.
“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”
Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.
“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.
Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”
Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”
Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.
“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”
Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”
Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”
Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”
Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”
“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“
“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”
“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.
Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.
“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”
“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”
“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”
“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.
Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.
“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.
Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.
Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.
Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.
Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.
Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.
Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?
Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.
Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.
Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!
Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?
Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!
Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.
Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.
Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.
Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.
Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.
Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....
“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”
“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”
“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”
“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.
Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”
“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.
“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.
“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”
“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.
“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”
“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”
“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.
“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”
“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!
Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”
Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”
“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”
Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.
“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.
“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”
Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.
“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.
Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”
Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”
Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.
“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”
Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”
Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”
Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”
Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”
“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“
“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”
“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.
Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.
“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”
“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”
“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”
“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.
Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.
“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.
Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.
Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.
Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.
Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.
Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.
Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?
Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.
Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.
Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!
Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?
Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!
Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.
Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.
Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.
Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.
Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.
Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....
********************
Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.
Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.
Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.
Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.
Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.
Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.
Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!
Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!
Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.
Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.
Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu.
Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.
Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?”
“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”
Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.
“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”
Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.
Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.
Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.
Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.
“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”
Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.
Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“
“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.
“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”
“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”
“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.
Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”
Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.
“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya.”
Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”
“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”
“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!
Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”
“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.
Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.
“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”
Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”
Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”
“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.
“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”
Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di kuil.”
Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.
Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.
Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.
Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!
Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.
Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”
Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”
Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”
Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”
“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”
Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”
Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.
Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.
“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan penuh curiga.
“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.
“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”
Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”
“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.
Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.
“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.
Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.
“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”
Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.
“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.
“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”
“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”
“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”
Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”
Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.
Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!
Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.
Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!
Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.
“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”
Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?
“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba. Mengertikah?”
Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang!
Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!
Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!
Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.
Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.
“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”
Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.
“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”
Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!
“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”
Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar.
Di depan cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!
“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.
“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.
Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.
“Ehh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.
Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.
Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.
“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.
Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.
Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.
“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”
“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”
“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.
“Duk! Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.
“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.
Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.
“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.
“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.
Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.....
Su-ok maklum akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan
balas menyerang. Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan
memperoleh korban baru yang istimewa karena nyonya ini bukan wanita
sembarangan, sudah membantu temannya. Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar
dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat yang amat diandalkannya yaitu
Pat-hong Sin-kun.
Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”
“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.
Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.
Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Sekarang melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka telah diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya, biar pun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi dari pada seorang di antara mereka. Hal ini sudah sering kali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini.
Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan sekarang jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.
Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis. Dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari lainnya digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.
“Srattt....! Srattt....!”
Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari pada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan sangat hebatnya, dengan pukulan-pukulan berat yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.
Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya.
Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.
Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua masih belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lantas mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, dia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok yang aneh.
Hawa dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.
Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik dari pada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang sangat hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk bisa menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.
“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya.
Dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat, cepat keluar dari ruangan itu.
“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.
Im-kan Ngo-ok yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.
Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka akan dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang.
Melihat ini, Im-kan Ngo-ok serentak tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.
“Heh-heh-heh, bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.
“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.
Akan tetapi Su-ok tak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguh pun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan kalau dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.
Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biar pun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.
Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh itu dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.
Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!
Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biar pun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!
Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, sedangkan mukanya berubah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.
Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio mempermainkan tujuh orang hwesio itu sambil tertawa-tawa. “Heh-heh-heh, Amithaba.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-ha-ha!”
Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguh pun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalau pun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sinkang-nya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.
“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, oleh karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walau pun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.
“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri tadi bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”
“Sute, cepat bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toako-nya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.
“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.
“Wuuuuttt.... dessss....!”
Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang barusan tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!
Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lainnya mundur.”
Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.
Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.
“Dessss....!”
Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan pada saat dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.
“Plakkk!”
Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat dari pada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terasa terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya.
Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untunglah pada saat yang amat berbahaya ini Toa-ok sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.
“Desss....!”
Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.
Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Meski gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya.
Akan tetapi, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Plakkk!”
Dua telapak tangan bertemu dengan sangat dahsyatnya, dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.
Sementara itu, setelah mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.
Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.`
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”
Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ahh, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“
Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran-heran, apalagi pada saat mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.
“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”
Oleh karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.
“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”
Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”
Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.
Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, sudah banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong.
Oleh karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!
Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan seolah memperlihatkan keheranannya, “Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar sekali dan dia sangat pandai membaca sajak....“
Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”
“Amithaba....!” Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.
“Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?”
“Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?”
“Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”
“Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“
Ciong-hwesio kemudian menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.
“Im-kan Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.
“Celaka....! Kalau mereka yang menculik....”
Dan para pendekar itu dengan cepat kemudian meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan serta ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu kini telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, dan keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!
Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar semedhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?
“Amithaba....!” Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu.
Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.
“Siapa.... siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.
“Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini?”
Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok. Penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain dari pada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”
Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa seram.
“Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”
Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.
“Amithaba....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”
Orang muda itu mengangguk-angguk. “Ahhh, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang tadi menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”
Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya, “Amithaba, begitulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, dapat diculik orang dengan mudahnya.”
“Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”
Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja.
Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar? Mungkin sekali.
Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai telah menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar.
Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk segera menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang melarikan Sang Pangeran.
Sementara itu, ‘Sang Pangeran’ yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini supaya berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.
Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.
Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twako-nya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya agar pulang ke lembah.
Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya.
Sudah lama mereka berdua mendengar di dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran.
Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.
Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama pada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, tetapi urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Sang Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, mau pun dari tangan siapa pun yang mempunyai itikad buruk terhadap Pangeran itu.
Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi lalu berdandan dan mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap di dalam buntalannya, dia dan suaminya berubah menjadi hwesio-hwesio. Dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum.
Tentu saja ‘Pangeran’ yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu bersama Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, turut pula mengawal. Akan tetapi tidak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu lalu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.
“Pinceng berdua mesti menolong Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu.
Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu menggendong Pangeran dan dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal ‘Pangeran’ itu. Cu Kang Bu kemudian menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil, bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.
Oleh karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.
Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perubahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kan Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas Toaso itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu.
Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari ‘pengawalan’ lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.
Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya, kalau mungkin tanpa mereka ketahui sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan ‘pangeran’ dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu.
Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang bersiap siaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.
Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja dia merasa lelah karena dia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran.
Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan!
Bayangan itu kemudian menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun.
Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, oleh karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!
“Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu ialah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka.”
Dan sebelum Yu Hwi hilang kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!
Tentu saja Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa lagi yang mengaduk hatinya ketika ia dipondong dengan tangan Kam Hong seperti itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin dia meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon suaminya, menjadi tunangannya yang syah!
Akan tetapi ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi dan ia segera menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Kam Hong terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong berubah menjadi suara perempuan? Dia cepat melepaskan pondongannya dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya lari tadi! Akan tetapi suara itu....!
“Pangeran....,” katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”
“Pangeran! Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong!
Tentu saja pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur, masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip suara seorang wanita.
Teringatlah Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa heran. Ia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan tertinggi dan kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya.
Sekarang barulah dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita. Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran sehebat itu di dunia ini hanya seorang saja!
“Kau.... kau siapa? Dan apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak mundur.
“Apa artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan sekarang bukan hanya ingin menampar, melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!
Kam Hong mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa ‘pangeran’ ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran ia dikira menggunakan kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!
“Ah kau salah duga.... dengarlah dulu....,” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang berwatak keras itu menyerangnya terus.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”
Mendengar suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Yu Hwi, ada apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung keraguan dan juga kecurigaan.
Melihat isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Apa artinya ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”
“Dia.... dia memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.
Mendengar ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Andai kata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang. Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah maju menghadapi Kam Hong.
“Orang she Kam....,” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”
Kam Hong menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.
“Maafkanlah kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kian Liong di kota Pao-ci dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok. Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir jika harus menghadapi lima orang tangguh itu, tentu aku tak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali tidak menyangka....“
Wajah yang tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”
Yu Hwi mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
“Kalau benar, mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.
Yu Hwi mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”
“Ahhh, Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena tak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran asli! Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.
“Aku mohon maaf, baik kepada Adik Yu Hwi mau pun kepadamu, Saudara Cu,” kata Kam Hong.
“Ahhh, kami yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....,“ pria tinggi besar itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu, Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan cemburu. Sungguh memalukan sekali.”
Mendengar percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya tadi amat keterlaluan. Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu.
Maka untuk membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”
Dan memang membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.
“Sungguh aku merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”
“Lenyap?” Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Pada waktu aku membawa Pangeran keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan Toaso-ku....”
“Ahh, Subo juga ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.
Suaminya mengangguk. “Subo-mu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....,” di dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan kematian twako-nya karena perbuatan Toaso-nya yang berjinah dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara Toaso dengan keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapa pun juga ia adalah gurumu, maka aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk kuajak mencari bersama-sama. Nah, aku jumpai kalian di sini....”
“Saudara Cu, Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata, dengan tiba-tiba saja Kam Hong meloncat dan lenyap.
Suami isteri itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran. Yu Hwi cepat berganti pakaian dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi…..
Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”
“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.
Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.
Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Sekarang melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka telah diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya, biar pun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi dari pada seorang di antara mereka. Hal ini sudah sering kali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini.
Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan sekarang jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.
Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis. Dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari lainnya digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.
“Srattt....! Srattt....!”
Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari pada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan sangat hebatnya, dengan pukulan-pukulan berat yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.
Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya.
Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.
Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua masih belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lantas mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, dia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok yang aneh.
Hawa dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.
Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik dari pada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang sangat hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk bisa menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.
“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya.
Dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat, cepat keluar dari ruangan itu.
“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.
Im-kan Ngo-ok yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.
Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka akan dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang.
Melihat ini, Im-kan Ngo-ok serentak tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.
“Heh-heh-heh, bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.
“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.
Akan tetapi Su-ok tak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguh pun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan kalau dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.
Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biar pun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.
Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh itu dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.
Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!
Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biar pun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!
Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, sedangkan mukanya berubah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.
Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio mempermainkan tujuh orang hwesio itu sambil tertawa-tawa. “Heh-heh-heh, Amithaba.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-ha-ha!”
Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguh pun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalau pun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sinkang-nya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.
“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, oleh karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walau pun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.
“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri tadi bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”
“Sute, cepat bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toako-nya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.
“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.
“Wuuuuttt.... dessss....!”
Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang barusan tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!
Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lainnya mundur.”
Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.
Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.
“Dessss....!”
Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan pada saat dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.
“Plakkk!”
Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat dari pada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terasa terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya.
Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untunglah pada saat yang amat berbahaya ini Toa-ok sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.
“Desss....!”
Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.
Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Meski gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya.
Akan tetapi, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Plakkk!”
Dua telapak tangan bertemu dengan sangat dahsyatnya, dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.
Sementara itu, setelah mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.
Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.`
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”
Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ahh, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“
Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran-heran, apalagi pada saat mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.
“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”
Oleh karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.
“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”
Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”
Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.
Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, sudah banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong.
Oleh karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!
Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan seolah memperlihatkan keheranannya, “Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar sekali dan dia sangat pandai membaca sajak....“
Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”
“Amithaba....!” Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.
“Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?”
“Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?”
“Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”
“Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“
Ciong-hwesio kemudian menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.
“Im-kan Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.
“Celaka....! Kalau mereka yang menculik....”
Dan para pendekar itu dengan cepat kemudian meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan serta ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu kini telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, dan keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!
Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar semedhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?
“Amithaba....!” Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu.
Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.
“Siapa.... siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.
“Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini?”
Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok. Penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain dari pada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”
Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa seram.
“Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”
Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.
“Amithaba....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”
Orang muda itu mengangguk-angguk. “Ahhh, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang tadi menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”
Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya, “Amithaba, begitulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, dapat diculik orang dengan mudahnya.”
“Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”
Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja.
Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar? Mungkin sekali.
Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai telah menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar.
Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk segera menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang melarikan Sang Pangeran.
Sementara itu, ‘Sang Pangeran’ yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini supaya berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.
Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.
Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twako-nya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya agar pulang ke lembah.
Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya.
Sudah lama mereka berdua mendengar di dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran.
Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.
Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama pada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, tetapi urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Sang Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, mau pun dari tangan siapa pun yang mempunyai itikad buruk terhadap Pangeran itu.
Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi lalu berdandan dan mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap di dalam buntalannya, dia dan suaminya berubah menjadi hwesio-hwesio. Dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum.
Tentu saja ‘Pangeran’ yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu bersama Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, turut pula mengawal. Akan tetapi tidak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu lalu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.
“Pinceng berdua mesti menolong Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu.
Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu menggendong Pangeran dan dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal ‘Pangeran’ itu. Cu Kang Bu kemudian menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil, bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.
Oleh karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.
Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perubahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kan Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas Toaso itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu.
Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari ‘pengawalan’ lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.
Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya, kalau mungkin tanpa mereka ketahui sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan ‘pangeran’ dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu.
Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang bersiap siaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.
Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja dia merasa lelah karena dia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran.
Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan!
Bayangan itu kemudian menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun.
Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, oleh karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!
“Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu ialah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka.”
Dan sebelum Yu Hwi hilang kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!
Tentu saja Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa lagi yang mengaduk hatinya ketika ia dipondong dengan tangan Kam Hong seperti itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin dia meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon suaminya, menjadi tunangannya yang syah!
Akan tetapi ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi dan ia segera menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Kam Hong terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong berubah menjadi suara perempuan? Dia cepat melepaskan pondongannya dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya lari tadi! Akan tetapi suara itu....!
“Pangeran....,” katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”
“Pangeran! Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong!
Tentu saja pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur, masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip suara seorang wanita.
Teringatlah Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa heran. Ia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan tertinggi dan kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya.
Sekarang barulah dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita. Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran sehebat itu di dunia ini hanya seorang saja!
“Kau.... kau siapa? Dan apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak mundur.
“Apa artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan sekarang bukan hanya ingin menampar, melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!
Kam Hong mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa ‘pangeran’ ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran ia dikira menggunakan kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!
“Ah kau salah duga.... dengarlah dulu....,” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang berwatak keras itu menyerangnya terus.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”
Mendengar suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Yu Hwi, ada apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung keraguan dan juga kecurigaan.
Melihat isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Apa artinya ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”
“Dia.... dia memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.
Mendengar ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Andai kata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang. Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah maju menghadapi Kam Hong.
“Orang she Kam....,” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”
Kam Hong menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.
“Maafkanlah kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kian Liong di kota Pao-ci dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok. Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir jika harus menghadapi lima orang tangguh itu, tentu aku tak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali tidak menyangka....“
Wajah yang tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”
Yu Hwi mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
“Kalau benar, mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.
Yu Hwi mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”
“Ahhh, Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena tak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran asli! Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.
“Aku mohon maaf, baik kepada Adik Yu Hwi mau pun kepadamu, Saudara Cu,” kata Kam Hong.
“Ahhh, kami yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....,“ pria tinggi besar itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu, Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan cemburu. Sungguh memalukan sekali.”
Mendengar percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya tadi amat keterlaluan. Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu.
Maka untuk membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”
Dan memang membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.
“Sungguh aku merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”
“Lenyap?” Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Pada waktu aku membawa Pangeran keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan Toaso-ku....”
“Ahh, Subo juga ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.
Suaminya mengangguk. “Subo-mu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....,” di dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan kematian twako-nya karena perbuatan Toaso-nya yang berjinah dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara Toaso dengan keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapa pun juga ia adalah gurumu, maka aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk kuajak mencari bersama-sama. Nah, aku jumpai kalian di sini....”
“Saudara Cu, Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata, dengan tiba-tiba saja Kam Hong meloncat dan lenyap.
Suami isteri itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran. Yu Hwi cepat berganti pakaian dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi…..
********************
Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Ketika Pangeran itu bersama
hwesio tinggi besar meninggalkan kuil dan Pangeran itu menyamar sebagai
seorang hwesio pula, Pangeran Kian Liong merasa amat gembira dan juga
tegang hatinya. Baru sekarang dia mengalami peristiwa yang amat
mendebarkan, lucu dan menggelikan. Dia menyamar sebagai hwesio! Hal ini
merupakan semacam pengalaman atau permainan baru bagi Pangeran muda yang
tabah ini. Dia pernah menyamar sebagai seorang pelajar biasa, seorang
pelancong, bahkan pernah dia menyamar sebagai seorang jembel muda ketika
dia melakukan perjalanan mengembara untuk memperdalam pengalamannya dan
untuk dapat mengenal kehidupan rakyatnya secara lebih dekat lagi.
Tetapi menjadi hwesio? Baru sekarang inilah! Dia menjadi seorang hwesio
gundul tanpa kehilangan rambutnya yang panjang tebal.
Pangeran Kian Liong bersembunyi di dalam bayangan yang gelap ketika hwesio tinggi besar itu meninggalkannya dan memesan agar dia tinggal dulu di situ karena hwesio tinggi besar itu akan melihat keadaan dan membantu para hwesio menghalau pengacau yang datang menyerbu dan yang mempunyai maksud buruk dan jahat terhadap Sang Pangeran.
Tetapi, tidak lama kemudian setelah hwesio tinggi besar itu meloncat pergi, Pangeran itu merasa tidak betah tinggal menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap itu. Dia kan sudah menyamar sebagai hwesio? Siapa yang akan tahu bahwa hwesio ini adalah Pangeran Mahkota? Terdorong oleh sifatnya yang pemberani, juga oleh kesenangannya menonton pertempuran adu silat, dan tertarik oleh suara-suara perkelahian di dalam kuil itu, Pangeran Kian Liong akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke kuil kembali untuk melihat perkelahian!
Dan pada saat dia tiba di dinding pagar kuil, tiba-tiba terdengar seruan perlahan memanggilnya, “Paduka di sini, Pangeran?”
Otomatis lupa akan penyamarannya, Pangeran itu menjawab, “Benar, siapakah Anda?”
Pemuda tampan gagah itu tidak menjawab, langsung menyambar dan memanggulnya, dan melarikan diri di tempat gelap. Sebelum Pangeran itu sempat mengeluarkan suara, dua buah jari tengah telah menekan tengkuknya, membuat Pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Dan pemuda itu berlari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Sang Pangeran terpaksa harus memejamkan mata karena ngeri juga.
Menjelang pagi, barulah pemuda itu berhenti dan mereka sudah berada jauh di sebelah utara kota Pao-ci, sudah mendekati kota Thian-sui yang berada di luar perbatasan Propinsi Shan-si dan sudah termasuk dalam Propinsi Kan-su. Dan ternyata di sebuah tempat yang sunyi dalam sebuah dusun, di situ telah menanti sebuah kereta dan Pangeran Kian Liong kemudian dibawa masuk ke dalam kereta oleh pemuda yang melarikannya itu.
Di dalam kereta telah menanti tiga orang wanita cantik, dan kini, setelah ‘pemuda’ itu tidak lari lagi dan dapat dilihat wajahnya, Sang Pangeran baru maklum dan merasa terheran-heran mendapat kenyataan bahwa pemuda itu pun ternyata adalah seorang wanita! Bahkan kini dia pun teringat bahwa dia pernah melihat empat orang wanita cantik ini sebagai pembantu dan pengawal mendiang Sam-thaihouw!
Dia tidak mengenal nama mereka, tidak tahu siapakah adanya empat orang wanita cantik ini, akan tetapi dia pernah melihat mereka ini mengawal Ibu Suri Ke Tiga itu. Maka Sang Pangeran pun mengertilah bahwa dia terjatuh ke tangan orang-orang yang sangat boleh jadi memusuhinya, atau setidaknya mereka ini adalah bekas tangan kanan atau pembantu-pembantu Sam-thaihouw yang selalu menganggapnya sebagai musuh.
“Bagus sekali, A-ciu, engkau berjasa besar sekali ini. Memang aku tahu, hanya engkau di antara kita yang paling pandai menyamar,” A-hui, orang pertama dari Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) itu berkata memuji adiknya yang paling muda.
“Wah, tetapi aku merasa tegang dan ngeri, Twa-ci (Kakak Perempuan Tertua), kalau mengingat betapa orang-orang sakti berada di sana, sedang bertempur menghadapi suhu-suhu kita,” jawab A-Ciu sambil bergidik. “Untung sekali orang sakti, hwesio tinggi besar itu meninggalkan Pangeran seorang diri, kalau tidak, mana aku berani turun tangan?”
“Betapa pun juga, kita telah berhasil. Mari kita cepat membawanya pergi dari sini,” kata pula A-hui.
Mereka itu bercakap-cakap di depan Pangeran, seolah-olah Sang Pangeran itu tidak ada saja, sama sekali tak peduli bahwa Sang Pangeran mendengar semua percakapan mereka. A-ciu yang masih menyamar sebagai pria itu kini duduk di tempat kusir dan mencambuk dua ekor kuda yang segera lari menarik kereta itu. Sedangkan tiga orang cici-nya duduk di dalam kereta bersama Sang Pangeran.
Para pembaca tentu masih ingat akan Su-bi- Mo-li, empat orang wanita cantik yang menjadi murid-murld terkasih itu. Sampai sekarang pun, semuanya belum juga menikah dan masih hidup berempat sebagai petualang-petualang wanita yang namanya ditakuti oleh banyak orang kang-ouw, karena selain mereka ini amat lihai, juga mereka ini kejam dan ganas sekali.
Yang tertua bernama A-hui, kini berusia tiga puluh lima tahun dan seperti juga dahulu, ia selalu memakai baju berwarna kuning. Ada tahi lalat di dagunya dan tahi lalat ini di samping mendatangkan kemanisan pada wajahnya, juga mendatangkan bayangan kekerasan hati yang mengerikan. Orang ke dua bernama A-kiauw, berusia tiga puluh dua tahun, selalu memakai baju merah. Orang ke tiga, yang memakai baju biru bernama A-bwee, berusia tiga puluh satu tahun, sedangkan A-ciu, yang termuda berusia tiga puluh tahun, jika berpakaian biasa sebagai wanita selalu memakai baju hijau dan A-Ciu ini wajahnya manis sekali, gerak-geriknya lincah dan sedikit lebih genit dari pada kakak-kakaknya. Mereka semua merupakan ahli-ahli pedang yang lihai dan jarang mereka itu bergerak sendiri-sendiri, tentu selalu berempat.
Di dalam kereta Sang Pangeran menghadapi tiga orang wanita itu. Beberapa saat lamanya dia memandang tajam kepada mereka tanpa kata-kata. Dan tiga orang wanita itu, yang oleh orang-orang kang-ouw dinamakan iblis-iblis betina, orang-orang yang sudah terbiasa dengan segala perbuatan kejam, yang dapat membunuh orang tanpa berkedip mata, kini lebih banyak menundukkan muka, tidak dapat bertahan lama menentang pandang mata Pangeran muda itu.
Sikap Pangeran ini sungguh amat mengagumkan dan menimbulkan rasa segan dan takut. Sikap yang sedikit pun tidak membayangkan rasa takut atau khawatir, bahkan dari sepasang mata yang tajam dan jernih itu terdapat pandangan seperti orang dewasa melihat tingkah laku anak-anak nakal, bibirnya mengandung senyum bertoleransi besar, seolah-olah dia maklum sudah mengapa anak-anak di depannya itu berbuat nakal seperti itu dan sudah siap untuk memaafkan!
Akhirnya, menghadapi tiga orang wanita yang duduk bersila di depannya, yang hampir tak berani lagi mengangkat muka memandangnya karena tanpa setahunya ada wibawa keluar dari dirinya, Sang Pangeran berkata, suaranya halus namun mengandung nada teguran.
“Bukankah kalian berempat ini dulu pernah menjadi pengawal-pengawal dari mendiang Sam-thaihouw?”
Tiga orang wanita itu mengangkat kepala untuk saling pandang dan mereka itu nampak bingung dan gugup, akan tetapi terpaksa A-hui, sebagai seorang pertama yang memimpin, memberanikan hatinya yang berdebar untuk mengangkat muka memandang wajah Pangeran itu. “Benar, Pangeran....,“ jawabnya, suaranya lirih. Akan tetapi setelah ia memandang mata yang tajam dan peramah itu, keberaniannya mulai timbul kembali dan ia mulai tersenyum manis.
Pangeran Kian Liong yang tahu bahwa tiada gunanya lagi baginya untuk menyamar, karena empat orang wanita ini sudah mengenalnya, lalu melepaskan topengnya, yaitu topeng penutup muka dan kepalanya. Kepala gundul itu pun berubahlah menjadi kepala yang berambut hitam tebal, dan nampaklah wajahnya yang asli, wajah seorang pemuda tampan.
Dan kini A-hui dan dua orang adiknya memandang kagum. Sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela kereta, dan melihat pemuda yang tampan dan berwibawa, yang sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut itu, diam-diam mereka kagum dan tunduk sekali. Pangeran Kian Liong menanggalkan pula jubah pendeta dan kini sepenuhnya dia telah menjadi pangeran kembali, sungguh pun dia masih mengenakan sepatu pendeta karena sepatunya sendiri telah dipakai oleh Yu Hwi.
“Nah, katakan, apa maksud kalian melarikan aku ini? Apa yang kalian kehendaki dariku?”
Pertanyaan yang diajukan dengan kata-kata yang jelas, dengan suara yang tenang dan pandang mata yang tajam itu membuat A-hui nampak gugup.
“Kami.... kami....“ dan ia tak mampu melanjutkan kata-katanya, mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Hal ini tidaklah mengherankan. Orang yang baginya penuh keinginan, penuh dengan ambisi, adalah orang yang tidak bebas sehingga gerak-geriknya tidak lagi dapat tenang dan wajar, melainkan setiap gerak-geriknya dipengaruhi oleh keadaan batinnya yang penuh keinginan itu. Orang yang demikian inilah yang selalu menjilat-jilat di depan orang yang lebih tinggi atau yang dianggap lebih tinggi, dan selalu bersikap kejam dan menghina terhadap orang yang dianggap lebih rendah.
“Kalian disuruh oleh orang-orangnya mendiang Sam-thaihouw untuk menculikku dan kemudian membunuhku?” Pangeran Kian Liong membentaknya, suaranya masih tenang, sedikit pun tidak nampak rasa takut pada wajahnya.
“Ahh, tidak! Tidak sama sekali, Pangeran,” jawab A-hui. “Sesungguhnya.... kami.... ehh, menyelamatkan Paduka dari cengkeraman beberapa golongan yang memperebutkan Paduka. Guru-guru kami sendiri tidak tahu bahwa kami sudah berhasil.... berhasil menyelamatkan Paduka.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja kepada mereka ini. Dari kerling dan senyum mereka, dia tahu orang-orang macam apa adanya wanita-wanita ini. Ada kecabulan dan kegenitan membayang di dalam sinar mata dan senyum mulut mereka. Ada ketamakan besar terbayang dalam sinar mata itu.
“Hemm, begitukah? Ceritakan apa yang terjadi, dan mengapa kalian menyelamatkan aku, dan menyelamatkan dari apa?”
Setelah menarik napas panjang dan batuk-batuk kecil beberapa kali, menenangkan hatinya, akhirnya A-hui dapat bercerita dengan lancar, dengan sikap yang manis sekali. “Pangeran, setelah mendiang Sam-thaihouw meninggal, kami keluar dari istana. Para suhu kami, yaitu Im-kan Ngo-ok, masih terus berhubungan dengan para kaki tangan Sam-thaihouw, akan tetapi kami tidak lagi. Memang benar bahwa guru-guru kami menghendaki kami mengamat-amati Paduka dan membantu mereka untuk memberi laporan dan menanti saat baik agar mereka dapat menangkap Paduka. Dan memang kami yang melaporkan kepada mereka bahwa Paduka berada di Pao-ci, menyamar sebagai pemuda biasa dan bermalam di Kuil Hok-te-kong. Akan tetapi ketika kami melihat guru-guru kami berniat buruk terhadap Paduka, dan ketika guru-guru kami sedang berhadapan dengan orang-orang sakti yang sedang memperebutkan Paduka, yaitu di antara mereka adalah kaum patriot yang membenci Paduka karena kebangsaan Paduka, dan juga orang-orang kang-ouw yang sakit hati terhadap Sri Baginda Kaisar, maka kami mengambil jalan sendiri. Kami melihat Paduka dilarikan seorang hwesio tinggi besar yang amat lihai. Kami dapat menduga bahwa hwesio yang dipanggul itu tentulah Paduka, karena tadinya, hwesio yang mirip penyamaran Paduka adalah seorang hwesio Siauw-lim-pai yang pandai. Maka ketika Paduka ditinggal seorang diri, adik kami A-Ciu lalu melarikan Paduka, sedangkan kami bertiga bersiap di sini dengan kereta.”
Sang Pangeran mengangguk-angguk. Tentu saja dia maklum sekali bahwa di balik semua itu terkandung keinginan pribadi dari empat orang ini, karena sungguh sangat tidak boleh jadi kalau perbuatan mereka itu semata-mata hendak ‘menolong’ dirinya, melainkan hanya merupakan suatu cara untuk mencapai apa yang mereka lnginkan darinya, tentu saja!
“Sekarang, setelah kalian dapat membawaku, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Ke mana kalian hendak membawaku pergi?”
“Paduka masih terancam, karena orang-orang sakti dari beberapa golongan itu tentu masih akan terus mencari Paduka dan kalau mereka itu menemukan kami, tentu saja kami tidak mungkin akan dapat melawan mereka. Di antara mereka itu terdapat golongan guru-guru kami pula! Maka, harap Paduka suka ikut bersama kami dan akan kami sembunyikan di suatu tempat. Setelah keadaan mereda dan aman, barulah kami akan mengantar Paduka kembali ke kota raja dengan selamat.”
Sebelum memasuki kota Thian-sui, kereta itu membelok ke kanan dan di lembah Sungai Cing-ho mereka menuju ke sebuah pondok tua yang terpencil dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi sekali. Namun ketika Pangeran dipersilakan masuk, ternyata pondok itu di sebelah dalamnya bersih dan baru saja dicat, dengan perabot sederhana tapi serba baru dan bersih. Agaknya, empat orang wanita ini memang sudah mempersiapkan tempat itu kalau-kalau mereka berhasil menguasai Pangeran dan secara cerdik mereka yang pura-pura membantu guru-guru mereka itu ternyata mempunyai rencana sendiri.
Ternyata bukan hanya isi pondok itu saja yang sudah mereka persiapkan, bahkan di situ terdapat bahan-bahan masakan sehingga ketika mereka semua sudah memasuki pondok dan kereta disembunyikan di belakang pondok, empat orang wanita itu sibuk masak-masak sambil bernyanyi dan bersendau-gurau, membiarkan Sang Pangeran beristirahat di dalam sebuah kamar yang cukup bersih pula.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di tengah pondok, di mana telah diatur meja makan bundar dan masakan-masakan yang masih mengepul panas memenuhi meja.
“Silakan makan dahulu, Pangeran!” kata mereka sambil tersenyum manis. Ada yang menuangkan air teh panas, ada yang mengambilkan masakan dan lain-lain.
Pendeknya, Sang Pangeran dilayani dengan manis budi oleh mereka. Pangeran Kian Liong juga menerima pelayanan itu tanpa banyak komentar, karena dia merasa lapar dan Pangeran ini makan dan minum tanpa sungkan lagi.
Setelah selesai makan dan meja dibersihkan, barulah Pangeran Kian Liong bertanya kepada empat orang wanita itu, yang kini telah membersihkan diri dan bertukar pakaian baru, bahkan A-ciu yang tadinya menyamar sebagai seorang pemuda itu kini ternyata merupakan wanita yang tercantik di antara mereka.
“Nah, sekarang katakanlah kepadaku. Mengapa kalian mau bersusah-payah hendak menolongku? Bukankah kalian ini bekas kaki tangan Sam-thaihouw yang selalu memusuhiku? Apa pamrih kalian yang bersembunyi di balik kebaikan kalian ini? Kalian menghendaki hadiah dariku?”
Keempat orang wanita itu saling pandang, kemudian A-hui, sebagai yang tertua dan pemimpin mereka, dengan sikap manis berkata, “Terus terang saja, Pangeran, memang kami berempat mengharapkan anugerah Paduka, maka kami mati-matian menentang orang-orang sakti dan berani merebut dan menyelamatkan Paduka dari ancaman mereka.”
“Hemm, anugerah apa yang kalian kehendaki dariku?” Pangeran itu bertanya, tidak merasa heran karena memang sudah diduganya bahwa mereka ini tidak mungkin menolongnya tanpa pamrih. “Uang?”
“Tidak, Pangeran. Kami tidak membutuhkan uang. Kami hanya menghendaki agar.... Pangeran mengambil kami sebagai selir-selir Paduka.”
“Ahhh....?” Wajah Pangeran itu berubah merah, karena malu dan juga marah. “Apa.... apa alasannya maka kalian ingin menjadi selir-selirku?”
“Sejak lama kami berempat merasa amat kagum kepada Paduka, dan mencinta.... dan kami baru akan merasa berbahagia kalau dapat menjadi selir-selir Paduka yang selalu melayani Paduka dengan penuh kasih sayang....,“ kata pula A-hui dengan sikap manis.
Hampir-hampir saja Pangeran Kian Liong tertawa bergelak mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus ini. Tentu saja isi hati wanita-wanita itu sudah jelas nampak olehnya.
“Hemm, kalian tidak menghendaki uang karena kalian akan mudah saja memperoleh uang kalau kalian kehendaki, maka kalian menginginkan agar memperoleh kedudukan tinggi, dan kelak mungkin akan menjadi seperti Sam-thaihouw, mempunyai kekuasaan besar di istana, Begitukah?”
“Terserah penilaian Paduka. Tapi itulah kehendak kami, yaitu menjadi selir-selir Paduka sebagai imbalan atas pertolongan kami hari ini kepada Paduka, telah menyelamatkan Paduka dari ancaman maut di tangan musuh-musuh Paduka.”
“Kalau aku tidak mau memenuhi kehendakmu menjadi selir-selirku itu?”
“Mau tidak mau Paduka harus memenuhi keinginan kami,” kata A-hui sambil tersenyum. “Ingat, Paduka berada di tangan kami, dan betapa mudahnya bagi kami untuk membunuh Paduka sekarang juga kalau kami kehendaki!” kata A-Ciu, wanita termuda yang tadi menyamar sebagai pria.
Sang Pangeran tersenyum. “Mengancam lagi. Hehh, perempuan-perempuan bodoh, apakah kalian kira aku takut mati? Kalau aku takut mati, tak mungkin aku berada di sini. Entah sudah berapa puluh kali kematian mengancamku. Dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memaksaku melakukan sesuatu yang tidak kusukai.”
Empat orang wanita itu saling pandang dan mereka merasa gelisah juga melihat sikap yang tenang sekali dari Pangeran muda itu. Mereka seperti dapat merasakan bahwa seorang pangeran seperti ini tidak mungkin diancam dan dipaksa, maka jalan satu-satunya adalah bersikap manis dan membujuknya sampai berhasil.
“Harap Paduka maafkan kami, Pangeran,” tiba-tiba A-bwe, orang ke tiga yang berbaju biru berkata halus. “Tentu saja kami tidak akan berani mengganggu seujung rambut pun dari Paduka. Akan tetapi, sementara ini Paduka hanya tinggal bersama kami di sini, karena musuh-musuh Paduka masih berkeliaran mencari-cari Paduka.”
Pangeran Kian Liong maklum bahwa orang-orang seperti mereka ini tidak akan segan-segan untuk melakukan kekerasan, bahkan mungkin saja membunuhnya. Dia pun bukan orang bodoh yang nekat dan membiarkan mereka membunuhnya begitu saja. Dia harus mencari kesempatan untuk membebaskan diri atau menanti sampai ada orang gagah yang membebaskannya dari tangan empat wanita ini. Sementara itu, dia harus bersabar, walau pun ini bukan berarti bahwa dia akan merendahkan diri dan menuruti kemauan mereka.
“Boleh saja aku tinggal di sini asal kalian menyediakan kebutuhanku.”
“Apa kebutuhan Paduka?”
“Buku bacaan yang baik, sejarah-sejarah kuno dan kitab-kitab syair. Makan minum tiap hari yang cukup pantas, kemudian, jangan kalian menggangguku dan membiarkan aku sendirian membaca kitab.”
“Baiklah, Pangeran,” kata A-hui sambil berkedip kepada tiga orang adiknya, karena ia tahu bahwa terhadap seorang pangeran muda yang luar biasa ini mereka harus pandai bersiasat dan tidak bersikap kasar.
Biarlah Sang Pangeran merasa tenang dulu, hilang marahnya terhadap mereka dan perlahan-lahan mereka berempat akan dapat membujuk dan merayunya. Seorang pria muda seperti itu, mustahil tidak akan jatuh menghadapi rayuan maut mereka berempat, apa lagi kalau dibantu dengan obat-obat perangsang yang dapat dengan mudah mereka campurkan di dalam makanan untuk Sang Pangeran.
Demikianlah, Sang Pangeran Mahkota disembunyikan oleh empat orang wanita itu tanpa ada yang mengetahuinya dan semua pencarian yang dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi itu, baik golongan yang memusuhi Pangeran dan hendak membunuhnya, golongan patriot yang hendak menawannya, mau pun golongan pendekar yang hendak melindunginya, menjadi sia-sia belaka. Dan tersiarlah berita bahwa Pangeran Mahkota telah lenyap dari kota Pao-ci tanpa meninggalkan jejak dan berita ini yang pernah dibicarakan oleh para pimpinan Kun-lunpai kepada Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Bu Ci Sian.
Berita ini pula yang membuat para pimpinan Kun-lun-pai mengutus murid Kun-lun-pai yang pada waktu itu dianggap paling boleh diandalkan, yaitu seorang pemuda bernama Cia Han Beng, untuk mewakili Kun-lun-pai dan ikut mencari Sang Pangeran. Tentu saja pencarian dari pihak Kun-lun-pai ini mengandung maksud lain lagi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang patriotik, maka kalau mereka mencari Pangeran Mahkota, tentu dasarnya lain dan untuk kepentingan usaha mereka yang selalu ingin membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dan wakil mereka, yaitu pemuda Cia Han Beng, adalah seorang pemuda yang disakitkan hatinya oleh Kaisar Yung Ceng. Ayahnya dibunuh dan ibunya dijadikan selir Kaisar! Biar pun dendam telah dienyahkan dari batinnya, yaitu dendam pribadi, diisi dengan cita-cita patriotik untuk bangsanya, namun setidaknya peristiwa itu mempertebal sikapnya memusuhi pihak penjajah yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar yang telah menghancurkan kelurga orang tuanya.
Dengan berita tentang hilangnya Pangeran Kian Liong, maka bermunculanlah tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti dan mereka ini dapat dibagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah golongan yang hendak menangkap dan bahkan membunuh Sang Pangeran, yaitu mereka yang dulunya menjadi anak buah Sam-thaihouw seperti Im-kan Ngo-ok dan yang lain-lain. Golongan ke dua adalah para patriot yang selain hendak menyelamatkan Pangeran yang dianggapnya baik dan menguntungkan rakyat jikalau menjadi kaisar kelak, juga hendak mereka jadikan semacam sandera untuk memaksa Kaisar memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.
Golongan ke tiga adalah golongan para pembela Pangeran, yaitu selain para pembela resmi, tokoh-tokoh pembesar dan pengawal kerajaan, juga para rendekar yang tulus mencinta Pangeran itu dan hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya musuh-musuhnya tentu saja, sedangkan golongan ke empat adalah golongan orang-orang seperti Cu Kang Bu dan Yu Hwi, yaitu yang membela Pangeran sebagai pendekar-pendekar yang tidak ingin melihat perbuatan jahat dilakukan di depan mereka tanpa mereka menentangnya.
Su-bi Mo-li, empat orang wanita cantik itu, telah melakukan penyelewengan besar dan berbahaya sekali. Mereka berempat telah berani mengkhianati atau menyeleweng dari perintah lima orang Im-kan Ngo-ok, guru-guru mereka. Mereka telah membelakangi lima orang tokoh datuk besar itu dan tidak peduli lagi akan bahaya besar yang mengancam mereka kalau sampai perbuatannya ketahuan.
Semua penyelewengan bentuk apa pun juga didasari karena pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan. Itulah yang membuat kita kadang-kadang menjadi buta, tidak mengenal bahaya, seperti sekelompok laron yang tertarlk oleh sinar api sehingga tidak tahu akan bahaya dan akhirnya mati terbakar api itu sendiri.
Mengapa setiap kesibukan kita, setiap tindakan kita, selalu menyembunyikan sesuatu pamrih untuk mencapai sesuatu yang kita anggap membahagiakan? Mengapa kita selalu membayangkan telah melihat kebahagiaan tersembunyi di balik sesuatu sehingga kita mengejar-ngejar sesuatu itu dan berani mempertaruhkan segala-galanya untuk mengejar ini?
Kita bisa saja memberi nama yang muluk-muluk kepada pengejaran ini. Namakanlah ia cita-cita, ambisi dan sebagainya. Berilah alasan muluk-muluk pula bahwa pengejaran ini, cita-cita ini yang akan mengatakan kemajuan sukses, dan sebagainya. Namun dari manakah timbulnya pengejaran ini? Pengejaran ini timbul karena adanya suatu tujuan, suatu titik di ‘sana’ yang kita anggap sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan. Keinginan mencapai tujuan yang dianggap menjadi sumber kesenangan tertentu inilah yang melahirkan pengejaran. Ada yang mengejar-ngejar harta benda. Ada yang mengejar-ngejar kedudukan. Tentu saja dengan anggapan bahwa harta benda atau kedudukan itu akan mendatangkan kesenangan yang kadang-kadang dipandang sebagai kebahagiaan.
Benarkah kita akan bahagia jika sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan karena terpenuhinya keinginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita akan melihat kenyataan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita masih mengejarnya! Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang tidak akan pernah berhenti sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.
Ada pula pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah. Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar sorga dan mengejar uang sama saja. Mengejar sorga pun bagaikan mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah kesenangan, tentu saja dapat ‘dibungkus’ dengan pakaian yang bersih-bersih dan muluk-muluk.
Dan setiap pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan menginginkan sesuatu yang belum ada. Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan, karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apa pun juga. Dari sini timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan.
Kita selalu haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu jauh memandang ke depan, dengan anggapan bahwa di-SANA-lah terdapat kebahagiaan! Semua ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di SINI, dan tidak terbuai oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini?
Memang lucu dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini tergambarkan jelas oleh keadaan orang-orang yang suka memancing ikan. Mereka yang duduk di seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu melihat bunga di kebun orang lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri!
Padahal, kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan, membuat kita buta terhadap saat itu!
Su-bi Mo-li sudah mempersiapkan segala-galanya demi berhasilnya usaha mereka. Mereka bercita-cita untuk menjadi selir Pangeran, agar kelak dapat menjadi selir-selir Kaisar! Dan mereka sudah merasa yakin akan hasil usaha mereka ini. Maka mereka memperlakukan Pangeran dengan manis budi, setiap hari berusaha membujuk dan merayu Pangeran Kian Liong. Mereka bahkan secara diam-diam memberi obat-obat ke dalam makanan Pangeran itu. Dan semua ini tentu saja berhasil.
Sang Pangeran mulai merasakan adanya rangsangan birahi yang hebat, yang setiap hari semakin memuncak. Hal ini menyiksanya dengan hebat. Namun, Pangeran ini adalah seorang pemuda yang luar biasa, seorang laki-laki sejati yang tidak lemah, dan betapa pun hebat tubuhnya terpengaruh obat perangsang itu, namun batinnya masih kuat dan ia tak pernah mau tunduk! Obat perangsang itu hanya mampu mempengaruhi tubuhnya namun tidak dapat menodai batinnya, sehingga betapa pun empat orang wanita itu merayunya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan menolak kehendak mereka yang bermaksud menjerumuskannya ke dalam perjinahan dengan mereka!
Melihat kekerasan hati Pangeran yang sukar diluluhkan ini, Su-bi Mo-li menjadi kecewa sekali. Akan tetapi mereka tidak berani menambah obat-obat perangsang itu karena obat-obat itu kalau terlalu banyak dapat menjadi racun yang akan membunuh Sang Pangeran. Maka, oleh kegagalan bujuk rayu ini mereka mengatur rencana lain.
“Pangeran yang keras kepala itu sukar ditundukkan,” kata A-hui pada saat berunding dengan adik-adiknya. “Kita sudah terlanjur bertindak sendiri. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempergunakannya sebagai jalan untuk memperoleh pengampunan dan memperoleh kedudukan dari Kaisar!”
“Ahh, apa yang kau maksudkan, Toaci?” tanya A-ciu terkejut.
“Maksudku? Tiada lain jalan, kita harus menghadap Kaisar, menceritakan bahwa kita telah berhasil menyelamatkan Pangeran dari cengkeraman maut dan untuk itu kita selain minta diampuni sebagai bekas orang-orang Sam-thaihouw, juga minta diberi kedudukan, kalau mungkin sebagai orang dalam istana!”
“Aihh, ngeri aku kalau harus menghadap Kaisar!” kata A-ciu yang tahu bahwa Kaisar bukan orang sembarangan. Betapa dengan gerakan jarinya saja Kaisar bisa menyuruh tangkap dan membunuh mereka seketika tanpa ada setan yang akan menyelamatkan mereka.
“Kita akan ditangkap dan dibunuh!” kata pula A-bwee, orang ke tiga dengan wajah berubah pucat.
“Tapi, Toaci berkata benar,” kata A-kiauw, orang ke dua. “Apakah kalian lebih senang kalau bertemu dengan para suhu dan tewas di tangan mereka?”
Dua orang adiknya bergidik. Mati di tangan guru mereka, apalagi di tangan Ngo-ok, sungguh mengerikan sekali.
“Tiada pilihan lain bagi kita,” kata A-hui, “Bertemu para suhu, kita akan celaka. Akan tetapi kalau menghadap Kaisar dengan membawa Pangeran, masih ada harapan bahwa permohonan kita akan terkabul. Betapa pun juga, Sang Pangeran tentu akan menolong dan melindungi kita, bukankah kita selalu bersikap baik kepadanya?”
Para sumoi-nya setuju mendengar ucapan A-hui ini, dan pula memang mereka tidak mempunyai pilihan lagi yang lebih baik. Maka beramai-ramai mereka lalu menghadap Pangeran Kian Liong.
Sang Pangeran yang sedang asyik membaca kitab itu memandang kepada mereka dan mengerutkan alisnya.
“Hemm, Su-bi Mo-li, kalian hendak melakukan apa lagi terhadap diriku?”
Seperti telah disetujui bersama, A-hui dan para sumoi-nya lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Sang Pangeran. Pangeran Kian Liong terheran. Memang biasanya, empat orang wanita ini selalu bersikap baik, manis, bahkan kadang-kadang terlalu manis dan genit, bersikap membujuk dan merayunya. Akan tetapi belum pernah mereka memperlihatkan sikap begitu menghormat, apa lagi sampai berlutut seperti sekarang. Tahulah Sang Pangeran yang cerdas ini bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap ini, maka dia pun bersikap waspada sungguh pun dia masih tetap nampak tenang-tenang saja.
“Hamba berempat memohon ampun kepada Thaicu (Pangeran Mahkota) kalau ada kesalahan hamba sekalian selama hamba menyembunyikan dan melindungi Paduka di tempat ini,” kata A-hui mewakili adik-adiknya.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Sikap dan ucapan ini menunjukkan bahwa mereka ini agaknya sudah kehilangan akal kehabisan daya untuk merayunya, maka dengan cerdik mereka sebelumnya telah memohon ampun dan menonjolkan jasa mereka yang telah ‘melindunginya’. Akan tetapi hal itu saja sudah membuat hatinya merasa lega. Agaknya dia tidak akan terganggu lagi oleh rayuan-rayuan mereka, pikirnya.
“Kalau memang kalian merasa telah melakukan sesuatu kesalahan, sadar akan kesalahan itu dan tidak melakukan lagi, maka itulah yang terutama. Bertobat jauh lebih penting dari pada minta maaf.” Lalu dia memandang tajam dan bertanya, “Sekarang, apakah selanjutnya yang akan kalian lakukan terhadap diriku?”
“Hamba bermaksud untuk mengantar Paduka kembali ke istana Paduka di kota raja dengan naik kereta. Akan tetapi, mengingat bahwa hamba berempat pernah membantu mendiang Sam-thaihouw, maka hamba merasa takut kepada Sri Baginda Kaisar. Siapakah yang akan dapat melindungi hamba sekalian di kota raja kecuali Paduka Thaicu yang bijaksana dan budiman? Oleh karena itu, hamba sekalian menyerahkan mati hidup hamba di tangan Paduka dan mohon Paduka sudi melindungi kami atas kemarahan Sri Baginda Kaisar kepada hamba berempat nanti.”
Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Permintaan kalian cukup pantas, akan kupertimbangkan kalau kita sudah tiba di kota raja dengan selamat.”
Biar pun jawaban Sang Pangeran itu belum meyakinkan, namun empat orang wanita itu sudah merasa lega. Mereka sudah tahu akan kebijaksanaan dan kemurahan hati Pangeran ini, maka Pangeran Mahkota yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang pangeran yang budiman ini tentu tidak akan menarik kembali janjinya. Dan memang sikap mereka kini menjadi baik sekali, penuh hormat dan kegenitan mereka pun lenyap.
Malam itu mereka menjamu Pangeran dengan masakan-masakan bersih dan lezat, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan kereta dan mempersilakan Sang Pangeran naik ke dalam kereta, ditemani oleh tiga orang di antara mereka, sedangkan A-ciu yang sudah menyamar sebagai seorang pria, duduk di tempat kusir.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu untuk mengawal Sang Pangeran kembali ke kota raja. Tentu saja sebelumnya mereka telah melakukan penyelidikan dan melihat bahwa keadaan telah menjadi tenang dan dingin kembali, dan tidak nampak ada orang-orang sakti yang berkeliaran di sekitar daerah itu.
Perjalanan ini dilakukan melalui lembah Sungai Huang-ho yang subur. Di sepanjang perjalanan, Sang Pangeran sempat mengagumi keindahan dan kesuburan tanah di sepanjang lembah sungai ini dan merasa gembira sekali melihat hasil sawah ladang para petani di sepanjang perjalanan itu. Su-bi mo-li juga merasa girang dan lega karena selama melakukan perjalanan sampai selama tiga hari, tidak pernah ada gangguan terhadap mereka dan tidak pernah mereka melihat bayangan orang-orang sakti yang dulu pernah mencoba untuk memperebutkan Sang Pangeran di kota Pao-ci. Namun, perjalanan menuju ke kota raja masih jauh dan mereka baru akan merasa aman benar kalau sudah tiba di istana dan kalau Kaisar sudah benar-benar suka mengampuni mereka.
Pada hari ke empat, mereka menyeberangi Sungai Huang-ho. Dengan dua buah perahu besar, mereka membawa kereta menyeberang, dan setelah tiba di seberang, mereka melanjutkan perjalanan memasuki daerah Propinsi Shan-si, dengan maksud menuju ke kota besar Tai-goan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di jalan yang di kanan kirinya diapit oleh padang rumput yang luas.
Daerah ini merupakan daerah rawa sehingga tidak mudah ditanami oleh para petani. Karena agak rendah maka sering digenangi air sungai kalau sedang naik. Maka yang tumbuh di situ hanya rumput yang membentuk daerah itu menjadi padang rumput yang luas. Akan tetapi jalan itu menuju ke sebuah bukit yang menjanjikan suasana lebih menyenangkan, dengan kehijauan pohon-pohon yang telah nampak dari padang rumput itu.
“Kita berhenti mengaso di bukit itu,” kata Pangeran Kian Liong setelah dia menyingkap tirai depan. “Aku sudah merasa lelah dan lapar.”
“Baik, Pangeran,” jawab A-hui cepat dan ia menyuruh adiknya, A-ciu yang menjadi kusir itu untuk mempercepat jalannya kereta sampai ke bukit di depan.
Pagi tadi mereka sudah menukar kuda mereka dengan kuda-kuda baru yang segar dan kuat, maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Kalau tadi di tepi sungai masih nampak banyak orang, kini makin lama jalan yang mereka lalui menjadi semakin sepi dan akhirnya setelah kereta tiba di bukit dan memasuki daerah berhutan, tak nampak ada seorang pun manusia kecuali mereka berlima.
Pada saat melihat ada sebatang pohon besar yang daunnya amat rindang di tepi jalan, A-ciu menghentikan keretanya dan mereka lalu mempersilakan Pangeran Kian Liong untuk beristirahat dan menyuguhkan makan minum kepadanya. Semua ini dilakukan di dalam kereta saja, karena demi menjaga keamanan Sang Pangeran sendiri, Pangeran itu diminta agar tetap tinggal di dalam kereta dan tidak memperlihatkan dirinya. Bahkan tiga orang wanita itu pun hanya berani keluar kalau tidak ada orang lain. Mereka ini juga menyembunyikan diri di dalam kereta, dan hanya A-ciu seorang, yang telah menyamar sebagai seorang pemuda, yang berani memperlihatkan diri di atas tempat duduk kusir.
Mereka makan bersama. Tiga orang wanita bersama Pangeran Kian Liong di dalam kereta sedangkan A-ciu yang berpakaian pria itu di atas kereta, di tempat duduk kusir. Dengan ramah dan sopan, penuh hormat, tiga orang wanita itu melayani Pangeran Kian Liong makan minum, dan Pangeran yang sudah merasa lelah dan lapar itu pun tidak malu-malu lagi, makan dengan enaknya.
Tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan kereta itu berguncang. Pangeran Kian Liong hendak menyingkap tirai, akan tetapi lengannya di pegang oleh A-bwee, sedangkan A-hui sendiri lalu mengintai dari balik tirai. Wanita itu hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangannya ketika ia melihat bahwa A-ciu telah tewas dalam keadaan masih duduk di tempat kusir. Darah menetes-netes turun dari sebuah lubang di pelipis kepalanya!
Tentu saja A-hui terkejut, juga kedua orang adiknya yang sudah ikut mengintai. Mereka bertiga berloncatan keluar dengan marah bukan main melihat betapa adik seperguruan mereka yang paling muda itu telah dibunuh orang! Begitu melompat keluar, mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, ketika nampak berkelebatnya beberapa bayangan orang, tiga orang wanita ini menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak, mulut ternganga tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya memandang bengong kepada lima orang yang bermunculan di depan mereka itu. Im-kan Ngo-ok!
Tentu saja tubuh tiga orang wanita ini menggigil dan mereka merasa ketakutan saat berhadapan dengan lima orang guru mereka yang datang dengan lengkap itu. Mereka memang sudah saling berunding dan mengambil keputusan bahwa kalau hanya satu atau dua di antara guru-guru mereka muncul, mereka berempat akan melakukan perlawanan dengan nekad. Akan tetapi kini mereka berlima muncul semua! Dan di pihak mereka, bahkan A-ciu telah di tewaskan! Apa daya mereka? Melawan? Sama dengan membunuh diri! Maka, dengan hati penuh rasa ngeri dan takut, tiga orang wanita itu yang merasa betapa lutut kaki menggigil dan lemas, segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu sekalian.... harap ampunkan bahwa teecu telah terlambat.... tapi.... tetapi teecu sudah menawan Pangeran dan hendak menyerahkannya kepada Suhu....,“ kata A-hui, mewakili dua orang adiknya yang sudah tidak mampu mengeluarkan suara lagi itu.
“Hemm, kalian kira kami tidak tahu bahwa kamu ingin menguasai Pangeran sendiri, kemudian hendak membawa Pangeran ke istana di kota raja, juga demi memenuhi keinginan kalian sendiri? Murid-murid murtad!” bentak Sam-ok.
Mendengar ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan dan kini mengertilah mereka mengapa A-ciu telah dibunuh oleh para guru mereka ini. Kiranya rahasia mereka telah diketahui oleh lima orang sakti itu! A-bwee yang mengingat betapa Ngo-ok amat mencintanya sebagai seorang kekasih, cepat maju ke depan kaki orang termuda dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Ngo-suhu.... ampunkan teecu....!” ratapnya.
Ngo-ok tersenyum, lantas mengulurkan tangannya. Melihat ini, giranglah hati A-bwee. Kalau guru ke lima ini melindunginya, agaknya masih ada harapan baginya untuk dapat terbebas dari kematian di tangan guru-guru mereka ini. Maka ia pun dengan manja mempergunakan kecantikannya sebagai seorang wanita, bangkit dan menyerahkan diri ke dalam pelukan Ngo-ok, merangkul dan membelainya.
Jari-jari tangan itu merayap ke mana-mana, sampai ke kukunya dan tiba-tiba A-bwee mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, tubuhnya terjengkang dan tangannya, kanan dan kiri, berlepotan darah oleh karena kedua kuku ibu jari tangannya telah dicabut oleh Ngo-ok! Rasa nyeri menyelinap dan menusuk-nusuk jantungnya, membuat wanita itu merintih-rintih memelas.
Akan tetapi lima orang datuk kaum sesat itu sama sekali tidak tergerak hatinya, sama sekali tidak menaruh kasihan kepada bekas murid-murid mereka sendiri. Ngo-ok sudah memasangkan kuku-kuku tadi pada tasbehnya yang aneh, tasbeh yang terbuat dari pada ratusan kuku-kuku ibu jari para wanita yang pernah menjadi korbannya!
A-hui dan A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu menjadi putus asa dan maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.
Ketika Ngo-ok sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan membasmi orang-orang yang begini jahat?
Dia mengambil keputusan bahwa kelak, jikalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahat-penjahat seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini.
Dalam keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merasa ngeri dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mata mereka terbelalak melihat tubuh Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus mundur terhuyung. Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Han Seng!
Seperti kita ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid Kun-lun-pai yang mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini mewakili Kun-lun-pai melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, yaitu menentang pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cia Han Beng adalah ikut menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota Pao-ci itu.
Ketika Cia Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimana pun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!
Serangan Han Beng itu hebat bukan main, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa, memandang rendah kepada pemuda yang tak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu dengan seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya! Dia mengerahkan sinkang-nya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung-huyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan.
Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sinkang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.
Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng mempunyai pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhu-nya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu.
Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat. Ia tak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datang dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterima dari suhu-nya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).
Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana.
Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biar pun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukanlah merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.
“Tahan!” teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu.
Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biar pun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Sekarang dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.
“Orang muda, siapakah engkau dan juga mengapa engkau menyerang kami? Mengapa pula engkau mencampuri urusan kami?” Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan.
Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang, “Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai.”
“Ahh, kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”
“Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”
“Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami sejak dahulu tidak pernah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang tadi kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau hendak mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami”
“Mudah saja aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Walau pun di antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu.”
“Ehh, omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, kenapa engkau menyerangku?”
“Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!”
“Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”
“Tentu saja!” jawab Han Beng.
“Dan apa pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”
“Tutup mulut kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan yang tak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Oleh karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!”
“Bocah sombong!” Terdengar Ji-ok menjerit marah.
Wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit menyambar ke arah leher Han Beng.
“Cringgg....!”
Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah orang kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.
Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya berarti akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.
Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapa pun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya.
Biar pun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat. Tetapi dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu.
Betapa pun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akhirnya akan kalah. Pemuda ini mulai merasa bingung. Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.
Dari dalam keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran sekali.
Macam itukah watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja!
“Hei!, Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!”
Teriakan lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu sangat mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang kegagahan dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan meski dia selalu ingat bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar penjajah, tetapi tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang mengandung kegagahan luar biasa itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi makin penasaran dan marah. Su-ok yang telah mengalami banyak kekecewaan karena Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.
“Amithaba, Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kini kuhabiskan saja riwayatnya.” Si Gundul Pendek ini kemudian menggelinding menuju ke kereta.
Melihat ini, Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka ia memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang Pangeran. Namun, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga dirinya.
Su-ok telah berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta, memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu.
“Heh-heh-heh, Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena itu, aku akan membunuhmu sekarang juga.”
“Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih dari pada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”
“Heh-heh-heh, mengocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!” Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.
“Dessss....!”
Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang! Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas!
Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri.....
Pangeran Kian Liong bersembunyi di dalam bayangan yang gelap ketika hwesio tinggi besar itu meninggalkannya dan memesan agar dia tinggal dulu di situ karena hwesio tinggi besar itu akan melihat keadaan dan membantu para hwesio menghalau pengacau yang datang menyerbu dan yang mempunyai maksud buruk dan jahat terhadap Sang Pangeran.
Tetapi, tidak lama kemudian setelah hwesio tinggi besar itu meloncat pergi, Pangeran itu merasa tidak betah tinggal menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap itu. Dia kan sudah menyamar sebagai hwesio? Siapa yang akan tahu bahwa hwesio ini adalah Pangeran Mahkota? Terdorong oleh sifatnya yang pemberani, juga oleh kesenangannya menonton pertempuran adu silat, dan tertarik oleh suara-suara perkelahian di dalam kuil itu, Pangeran Kian Liong akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke kuil kembali untuk melihat perkelahian!
Dan pada saat dia tiba di dinding pagar kuil, tiba-tiba terdengar seruan perlahan memanggilnya, “Paduka di sini, Pangeran?”
Otomatis lupa akan penyamarannya, Pangeran itu menjawab, “Benar, siapakah Anda?”
Pemuda tampan gagah itu tidak menjawab, langsung menyambar dan memanggulnya, dan melarikan diri di tempat gelap. Sebelum Pangeran itu sempat mengeluarkan suara, dua buah jari tengah telah menekan tengkuknya, membuat Pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Dan pemuda itu berlari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Sang Pangeran terpaksa harus memejamkan mata karena ngeri juga.
Menjelang pagi, barulah pemuda itu berhenti dan mereka sudah berada jauh di sebelah utara kota Pao-ci, sudah mendekati kota Thian-sui yang berada di luar perbatasan Propinsi Shan-si dan sudah termasuk dalam Propinsi Kan-su. Dan ternyata di sebuah tempat yang sunyi dalam sebuah dusun, di situ telah menanti sebuah kereta dan Pangeran Kian Liong kemudian dibawa masuk ke dalam kereta oleh pemuda yang melarikannya itu.
Di dalam kereta telah menanti tiga orang wanita cantik, dan kini, setelah ‘pemuda’ itu tidak lari lagi dan dapat dilihat wajahnya, Sang Pangeran baru maklum dan merasa terheran-heran mendapat kenyataan bahwa pemuda itu pun ternyata adalah seorang wanita! Bahkan kini dia pun teringat bahwa dia pernah melihat empat orang wanita cantik ini sebagai pembantu dan pengawal mendiang Sam-thaihouw!
Dia tidak mengenal nama mereka, tidak tahu siapakah adanya empat orang wanita cantik ini, akan tetapi dia pernah melihat mereka ini mengawal Ibu Suri Ke Tiga itu. Maka Sang Pangeran pun mengertilah bahwa dia terjatuh ke tangan orang-orang yang sangat boleh jadi memusuhinya, atau setidaknya mereka ini adalah bekas tangan kanan atau pembantu-pembantu Sam-thaihouw yang selalu menganggapnya sebagai musuh.
“Bagus sekali, A-ciu, engkau berjasa besar sekali ini. Memang aku tahu, hanya engkau di antara kita yang paling pandai menyamar,” A-hui, orang pertama dari Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) itu berkata memuji adiknya yang paling muda.
“Wah, tetapi aku merasa tegang dan ngeri, Twa-ci (Kakak Perempuan Tertua), kalau mengingat betapa orang-orang sakti berada di sana, sedang bertempur menghadapi suhu-suhu kita,” jawab A-Ciu sambil bergidik. “Untung sekali orang sakti, hwesio tinggi besar itu meninggalkan Pangeran seorang diri, kalau tidak, mana aku berani turun tangan?”
“Betapa pun juga, kita telah berhasil. Mari kita cepat membawanya pergi dari sini,” kata pula A-hui.
Mereka itu bercakap-cakap di depan Pangeran, seolah-olah Sang Pangeran itu tidak ada saja, sama sekali tak peduli bahwa Sang Pangeran mendengar semua percakapan mereka. A-ciu yang masih menyamar sebagai pria itu kini duduk di tempat kusir dan mencambuk dua ekor kuda yang segera lari menarik kereta itu. Sedangkan tiga orang cici-nya duduk di dalam kereta bersama Sang Pangeran.
Para pembaca tentu masih ingat akan Su-bi- Mo-li, empat orang wanita cantik yang menjadi murid-murld terkasih itu. Sampai sekarang pun, semuanya belum juga menikah dan masih hidup berempat sebagai petualang-petualang wanita yang namanya ditakuti oleh banyak orang kang-ouw, karena selain mereka ini amat lihai, juga mereka ini kejam dan ganas sekali.
Yang tertua bernama A-hui, kini berusia tiga puluh lima tahun dan seperti juga dahulu, ia selalu memakai baju berwarna kuning. Ada tahi lalat di dagunya dan tahi lalat ini di samping mendatangkan kemanisan pada wajahnya, juga mendatangkan bayangan kekerasan hati yang mengerikan. Orang ke dua bernama A-kiauw, berusia tiga puluh dua tahun, selalu memakai baju merah. Orang ke tiga, yang memakai baju biru bernama A-bwee, berusia tiga puluh satu tahun, sedangkan A-ciu, yang termuda berusia tiga puluh tahun, jika berpakaian biasa sebagai wanita selalu memakai baju hijau dan A-Ciu ini wajahnya manis sekali, gerak-geriknya lincah dan sedikit lebih genit dari pada kakak-kakaknya. Mereka semua merupakan ahli-ahli pedang yang lihai dan jarang mereka itu bergerak sendiri-sendiri, tentu selalu berempat.
Di dalam kereta Sang Pangeran menghadapi tiga orang wanita itu. Beberapa saat lamanya dia memandang tajam kepada mereka tanpa kata-kata. Dan tiga orang wanita itu, yang oleh orang-orang kang-ouw dinamakan iblis-iblis betina, orang-orang yang sudah terbiasa dengan segala perbuatan kejam, yang dapat membunuh orang tanpa berkedip mata, kini lebih banyak menundukkan muka, tidak dapat bertahan lama menentang pandang mata Pangeran muda itu.
Sikap Pangeran ini sungguh amat mengagumkan dan menimbulkan rasa segan dan takut. Sikap yang sedikit pun tidak membayangkan rasa takut atau khawatir, bahkan dari sepasang mata yang tajam dan jernih itu terdapat pandangan seperti orang dewasa melihat tingkah laku anak-anak nakal, bibirnya mengandung senyum bertoleransi besar, seolah-olah dia maklum sudah mengapa anak-anak di depannya itu berbuat nakal seperti itu dan sudah siap untuk memaafkan!
Akhirnya, menghadapi tiga orang wanita yang duduk bersila di depannya, yang hampir tak berani lagi mengangkat muka memandangnya karena tanpa setahunya ada wibawa keluar dari dirinya, Sang Pangeran berkata, suaranya halus namun mengandung nada teguran.
“Bukankah kalian berempat ini dulu pernah menjadi pengawal-pengawal dari mendiang Sam-thaihouw?”
Tiga orang wanita itu mengangkat kepala untuk saling pandang dan mereka itu nampak bingung dan gugup, akan tetapi terpaksa A-hui, sebagai seorang pertama yang memimpin, memberanikan hatinya yang berdebar untuk mengangkat muka memandang wajah Pangeran itu. “Benar, Pangeran....,“ jawabnya, suaranya lirih. Akan tetapi setelah ia memandang mata yang tajam dan peramah itu, keberaniannya mulai timbul kembali dan ia mulai tersenyum manis.
Pangeran Kian Liong yang tahu bahwa tiada gunanya lagi baginya untuk menyamar, karena empat orang wanita ini sudah mengenalnya, lalu melepaskan topengnya, yaitu topeng penutup muka dan kepalanya. Kepala gundul itu pun berubahlah menjadi kepala yang berambut hitam tebal, dan nampaklah wajahnya yang asli, wajah seorang pemuda tampan.
Dan kini A-hui dan dua orang adiknya memandang kagum. Sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela kereta, dan melihat pemuda yang tampan dan berwibawa, yang sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut itu, diam-diam mereka kagum dan tunduk sekali. Pangeran Kian Liong menanggalkan pula jubah pendeta dan kini sepenuhnya dia telah menjadi pangeran kembali, sungguh pun dia masih mengenakan sepatu pendeta karena sepatunya sendiri telah dipakai oleh Yu Hwi.
“Nah, katakan, apa maksud kalian melarikan aku ini? Apa yang kalian kehendaki dariku?”
Pertanyaan yang diajukan dengan kata-kata yang jelas, dengan suara yang tenang dan pandang mata yang tajam itu membuat A-hui nampak gugup.
“Kami.... kami....“ dan ia tak mampu melanjutkan kata-katanya, mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Hal ini tidaklah mengherankan. Orang yang baginya penuh keinginan, penuh dengan ambisi, adalah orang yang tidak bebas sehingga gerak-geriknya tidak lagi dapat tenang dan wajar, melainkan setiap gerak-geriknya dipengaruhi oleh keadaan batinnya yang penuh keinginan itu. Orang yang demikian inilah yang selalu menjilat-jilat di depan orang yang lebih tinggi atau yang dianggap lebih tinggi, dan selalu bersikap kejam dan menghina terhadap orang yang dianggap lebih rendah.
“Kalian disuruh oleh orang-orangnya mendiang Sam-thaihouw untuk menculikku dan kemudian membunuhku?” Pangeran Kian Liong membentaknya, suaranya masih tenang, sedikit pun tidak nampak rasa takut pada wajahnya.
“Ahh, tidak! Tidak sama sekali, Pangeran,” jawab A-hui. “Sesungguhnya.... kami.... ehh, menyelamatkan Paduka dari cengkeraman beberapa golongan yang memperebutkan Paduka. Guru-guru kami sendiri tidak tahu bahwa kami sudah berhasil.... berhasil menyelamatkan Paduka.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja kepada mereka ini. Dari kerling dan senyum mereka, dia tahu orang-orang macam apa adanya wanita-wanita ini. Ada kecabulan dan kegenitan membayang di dalam sinar mata dan senyum mulut mereka. Ada ketamakan besar terbayang dalam sinar mata itu.
“Hemm, begitukah? Ceritakan apa yang terjadi, dan mengapa kalian menyelamatkan aku, dan menyelamatkan dari apa?”
Setelah menarik napas panjang dan batuk-batuk kecil beberapa kali, menenangkan hatinya, akhirnya A-hui dapat bercerita dengan lancar, dengan sikap yang manis sekali. “Pangeran, setelah mendiang Sam-thaihouw meninggal, kami keluar dari istana. Para suhu kami, yaitu Im-kan Ngo-ok, masih terus berhubungan dengan para kaki tangan Sam-thaihouw, akan tetapi kami tidak lagi. Memang benar bahwa guru-guru kami menghendaki kami mengamat-amati Paduka dan membantu mereka untuk memberi laporan dan menanti saat baik agar mereka dapat menangkap Paduka. Dan memang kami yang melaporkan kepada mereka bahwa Paduka berada di Pao-ci, menyamar sebagai pemuda biasa dan bermalam di Kuil Hok-te-kong. Akan tetapi ketika kami melihat guru-guru kami berniat buruk terhadap Paduka, dan ketika guru-guru kami sedang berhadapan dengan orang-orang sakti yang sedang memperebutkan Paduka, yaitu di antara mereka adalah kaum patriot yang membenci Paduka karena kebangsaan Paduka, dan juga orang-orang kang-ouw yang sakit hati terhadap Sri Baginda Kaisar, maka kami mengambil jalan sendiri. Kami melihat Paduka dilarikan seorang hwesio tinggi besar yang amat lihai. Kami dapat menduga bahwa hwesio yang dipanggul itu tentulah Paduka, karena tadinya, hwesio yang mirip penyamaran Paduka adalah seorang hwesio Siauw-lim-pai yang pandai. Maka ketika Paduka ditinggal seorang diri, adik kami A-Ciu lalu melarikan Paduka, sedangkan kami bertiga bersiap di sini dengan kereta.”
Sang Pangeran mengangguk-angguk. Tentu saja dia maklum sekali bahwa di balik semua itu terkandung keinginan pribadi dari empat orang ini, karena sungguh sangat tidak boleh jadi kalau perbuatan mereka itu semata-mata hendak ‘menolong’ dirinya, melainkan hanya merupakan suatu cara untuk mencapai apa yang mereka lnginkan darinya, tentu saja!
“Sekarang, setelah kalian dapat membawaku, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Ke mana kalian hendak membawaku pergi?”
“Paduka masih terancam, karena orang-orang sakti dari beberapa golongan itu tentu masih akan terus mencari Paduka dan kalau mereka itu menemukan kami, tentu saja kami tidak mungkin akan dapat melawan mereka. Di antara mereka itu terdapat golongan guru-guru kami pula! Maka, harap Paduka suka ikut bersama kami dan akan kami sembunyikan di suatu tempat. Setelah keadaan mereda dan aman, barulah kami akan mengantar Paduka kembali ke kota raja dengan selamat.”
Sebelum memasuki kota Thian-sui, kereta itu membelok ke kanan dan di lembah Sungai Cing-ho mereka menuju ke sebuah pondok tua yang terpencil dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi sekali. Namun ketika Pangeran dipersilakan masuk, ternyata pondok itu di sebelah dalamnya bersih dan baru saja dicat, dengan perabot sederhana tapi serba baru dan bersih. Agaknya, empat orang wanita ini memang sudah mempersiapkan tempat itu kalau-kalau mereka berhasil menguasai Pangeran dan secara cerdik mereka yang pura-pura membantu guru-guru mereka itu ternyata mempunyai rencana sendiri.
Ternyata bukan hanya isi pondok itu saja yang sudah mereka persiapkan, bahkan di situ terdapat bahan-bahan masakan sehingga ketika mereka semua sudah memasuki pondok dan kereta disembunyikan di belakang pondok, empat orang wanita itu sibuk masak-masak sambil bernyanyi dan bersendau-gurau, membiarkan Sang Pangeran beristirahat di dalam sebuah kamar yang cukup bersih pula.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di tengah pondok, di mana telah diatur meja makan bundar dan masakan-masakan yang masih mengepul panas memenuhi meja.
“Silakan makan dahulu, Pangeran!” kata mereka sambil tersenyum manis. Ada yang menuangkan air teh panas, ada yang mengambilkan masakan dan lain-lain.
Pendeknya, Sang Pangeran dilayani dengan manis budi oleh mereka. Pangeran Kian Liong juga menerima pelayanan itu tanpa banyak komentar, karena dia merasa lapar dan Pangeran ini makan dan minum tanpa sungkan lagi.
Setelah selesai makan dan meja dibersihkan, barulah Pangeran Kian Liong bertanya kepada empat orang wanita itu, yang kini telah membersihkan diri dan bertukar pakaian baru, bahkan A-ciu yang tadinya menyamar sebagai seorang pemuda itu kini ternyata merupakan wanita yang tercantik di antara mereka.
“Nah, sekarang katakanlah kepadaku. Mengapa kalian mau bersusah-payah hendak menolongku? Bukankah kalian ini bekas kaki tangan Sam-thaihouw yang selalu memusuhiku? Apa pamrih kalian yang bersembunyi di balik kebaikan kalian ini? Kalian menghendaki hadiah dariku?”
Keempat orang wanita itu saling pandang, kemudian A-hui, sebagai yang tertua dan pemimpin mereka, dengan sikap manis berkata, “Terus terang saja, Pangeran, memang kami berempat mengharapkan anugerah Paduka, maka kami mati-matian menentang orang-orang sakti dan berani merebut dan menyelamatkan Paduka dari ancaman mereka.”
“Hemm, anugerah apa yang kalian kehendaki dariku?” Pangeran itu bertanya, tidak merasa heran karena memang sudah diduganya bahwa mereka ini tidak mungkin menolongnya tanpa pamrih. “Uang?”
“Tidak, Pangeran. Kami tidak membutuhkan uang. Kami hanya menghendaki agar.... Pangeran mengambil kami sebagai selir-selir Paduka.”
“Ahhh....?” Wajah Pangeran itu berubah merah, karena malu dan juga marah. “Apa.... apa alasannya maka kalian ingin menjadi selir-selirku?”
“Sejak lama kami berempat merasa amat kagum kepada Paduka, dan mencinta.... dan kami baru akan merasa berbahagia kalau dapat menjadi selir-selir Paduka yang selalu melayani Paduka dengan penuh kasih sayang....,“ kata pula A-hui dengan sikap manis.
Hampir-hampir saja Pangeran Kian Liong tertawa bergelak mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus ini. Tentu saja isi hati wanita-wanita itu sudah jelas nampak olehnya.
“Hemm, kalian tidak menghendaki uang karena kalian akan mudah saja memperoleh uang kalau kalian kehendaki, maka kalian menginginkan agar memperoleh kedudukan tinggi, dan kelak mungkin akan menjadi seperti Sam-thaihouw, mempunyai kekuasaan besar di istana, Begitukah?”
“Terserah penilaian Paduka. Tapi itulah kehendak kami, yaitu menjadi selir-selir Paduka sebagai imbalan atas pertolongan kami hari ini kepada Paduka, telah menyelamatkan Paduka dari ancaman maut di tangan musuh-musuh Paduka.”
“Kalau aku tidak mau memenuhi kehendakmu menjadi selir-selirku itu?”
“Mau tidak mau Paduka harus memenuhi keinginan kami,” kata A-hui sambil tersenyum. “Ingat, Paduka berada di tangan kami, dan betapa mudahnya bagi kami untuk membunuh Paduka sekarang juga kalau kami kehendaki!” kata A-Ciu, wanita termuda yang tadi menyamar sebagai pria.
Sang Pangeran tersenyum. “Mengancam lagi. Hehh, perempuan-perempuan bodoh, apakah kalian kira aku takut mati? Kalau aku takut mati, tak mungkin aku berada di sini. Entah sudah berapa puluh kali kematian mengancamku. Dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memaksaku melakukan sesuatu yang tidak kusukai.”
Empat orang wanita itu saling pandang dan mereka merasa gelisah juga melihat sikap yang tenang sekali dari Pangeran muda itu. Mereka seperti dapat merasakan bahwa seorang pangeran seperti ini tidak mungkin diancam dan dipaksa, maka jalan satu-satunya adalah bersikap manis dan membujuknya sampai berhasil.
“Harap Paduka maafkan kami, Pangeran,” tiba-tiba A-bwe, orang ke tiga yang berbaju biru berkata halus. “Tentu saja kami tidak akan berani mengganggu seujung rambut pun dari Paduka. Akan tetapi, sementara ini Paduka hanya tinggal bersama kami di sini, karena musuh-musuh Paduka masih berkeliaran mencari-cari Paduka.”
Pangeran Kian Liong maklum bahwa orang-orang seperti mereka ini tidak akan segan-segan untuk melakukan kekerasan, bahkan mungkin saja membunuhnya. Dia pun bukan orang bodoh yang nekat dan membiarkan mereka membunuhnya begitu saja. Dia harus mencari kesempatan untuk membebaskan diri atau menanti sampai ada orang gagah yang membebaskannya dari tangan empat wanita ini. Sementara itu, dia harus bersabar, walau pun ini bukan berarti bahwa dia akan merendahkan diri dan menuruti kemauan mereka.
“Boleh saja aku tinggal di sini asal kalian menyediakan kebutuhanku.”
“Apa kebutuhan Paduka?”
“Buku bacaan yang baik, sejarah-sejarah kuno dan kitab-kitab syair. Makan minum tiap hari yang cukup pantas, kemudian, jangan kalian menggangguku dan membiarkan aku sendirian membaca kitab.”
“Baiklah, Pangeran,” kata A-hui sambil berkedip kepada tiga orang adiknya, karena ia tahu bahwa terhadap seorang pangeran muda yang luar biasa ini mereka harus pandai bersiasat dan tidak bersikap kasar.
Biarlah Sang Pangeran merasa tenang dulu, hilang marahnya terhadap mereka dan perlahan-lahan mereka berempat akan dapat membujuk dan merayunya. Seorang pria muda seperti itu, mustahil tidak akan jatuh menghadapi rayuan maut mereka berempat, apa lagi kalau dibantu dengan obat-obat perangsang yang dapat dengan mudah mereka campurkan di dalam makanan untuk Sang Pangeran.
Demikianlah, Sang Pangeran Mahkota disembunyikan oleh empat orang wanita itu tanpa ada yang mengetahuinya dan semua pencarian yang dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi itu, baik golongan yang memusuhi Pangeran dan hendak membunuhnya, golongan patriot yang hendak menawannya, mau pun golongan pendekar yang hendak melindunginya, menjadi sia-sia belaka. Dan tersiarlah berita bahwa Pangeran Mahkota telah lenyap dari kota Pao-ci tanpa meninggalkan jejak dan berita ini yang pernah dibicarakan oleh para pimpinan Kun-lunpai kepada Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Bu Ci Sian.
Berita ini pula yang membuat para pimpinan Kun-lun-pai mengutus murid Kun-lun-pai yang pada waktu itu dianggap paling boleh diandalkan, yaitu seorang pemuda bernama Cia Han Beng, untuk mewakili Kun-lun-pai dan ikut mencari Sang Pangeran. Tentu saja pencarian dari pihak Kun-lun-pai ini mengandung maksud lain lagi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang patriotik, maka kalau mereka mencari Pangeran Mahkota, tentu dasarnya lain dan untuk kepentingan usaha mereka yang selalu ingin membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dan wakil mereka, yaitu pemuda Cia Han Beng, adalah seorang pemuda yang disakitkan hatinya oleh Kaisar Yung Ceng. Ayahnya dibunuh dan ibunya dijadikan selir Kaisar! Biar pun dendam telah dienyahkan dari batinnya, yaitu dendam pribadi, diisi dengan cita-cita patriotik untuk bangsanya, namun setidaknya peristiwa itu mempertebal sikapnya memusuhi pihak penjajah yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar yang telah menghancurkan kelurga orang tuanya.
Dengan berita tentang hilangnya Pangeran Kian Liong, maka bermunculanlah tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti dan mereka ini dapat dibagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah golongan yang hendak menangkap dan bahkan membunuh Sang Pangeran, yaitu mereka yang dulunya menjadi anak buah Sam-thaihouw seperti Im-kan Ngo-ok dan yang lain-lain. Golongan ke dua adalah para patriot yang selain hendak menyelamatkan Pangeran yang dianggapnya baik dan menguntungkan rakyat jikalau menjadi kaisar kelak, juga hendak mereka jadikan semacam sandera untuk memaksa Kaisar memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.
Golongan ke tiga adalah golongan para pembela Pangeran, yaitu selain para pembela resmi, tokoh-tokoh pembesar dan pengawal kerajaan, juga para rendekar yang tulus mencinta Pangeran itu dan hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya musuh-musuhnya tentu saja, sedangkan golongan ke empat adalah golongan orang-orang seperti Cu Kang Bu dan Yu Hwi, yaitu yang membela Pangeran sebagai pendekar-pendekar yang tidak ingin melihat perbuatan jahat dilakukan di depan mereka tanpa mereka menentangnya.
Su-bi Mo-li, empat orang wanita cantik itu, telah melakukan penyelewengan besar dan berbahaya sekali. Mereka berempat telah berani mengkhianati atau menyeleweng dari perintah lima orang Im-kan Ngo-ok, guru-guru mereka. Mereka telah membelakangi lima orang tokoh datuk besar itu dan tidak peduli lagi akan bahaya besar yang mengancam mereka kalau sampai perbuatannya ketahuan.
Semua penyelewengan bentuk apa pun juga didasari karena pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan. Itulah yang membuat kita kadang-kadang menjadi buta, tidak mengenal bahaya, seperti sekelompok laron yang tertarlk oleh sinar api sehingga tidak tahu akan bahaya dan akhirnya mati terbakar api itu sendiri.
Mengapa setiap kesibukan kita, setiap tindakan kita, selalu menyembunyikan sesuatu pamrih untuk mencapai sesuatu yang kita anggap membahagiakan? Mengapa kita selalu membayangkan telah melihat kebahagiaan tersembunyi di balik sesuatu sehingga kita mengejar-ngejar sesuatu itu dan berani mempertaruhkan segala-galanya untuk mengejar ini?
Kita bisa saja memberi nama yang muluk-muluk kepada pengejaran ini. Namakanlah ia cita-cita, ambisi dan sebagainya. Berilah alasan muluk-muluk pula bahwa pengejaran ini, cita-cita ini yang akan mengatakan kemajuan sukses, dan sebagainya. Namun dari manakah timbulnya pengejaran ini? Pengejaran ini timbul karena adanya suatu tujuan, suatu titik di ‘sana’ yang kita anggap sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan. Keinginan mencapai tujuan yang dianggap menjadi sumber kesenangan tertentu inilah yang melahirkan pengejaran. Ada yang mengejar-ngejar harta benda. Ada yang mengejar-ngejar kedudukan. Tentu saja dengan anggapan bahwa harta benda atau kedudukan itu akan mendatangkan kesenangan yang kadang-kadang dipandang sebagai kebahagiaan.
Benarkah kita akan bahagia jika sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan karena terpenuhinya keinginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita akan melihat kenyataan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita masih mengejarnya! Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang tidak akan pernah berhenti sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.
Ada pula pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah. Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar sorga dan mengejar uang sama saja. Mengejar sorga pun bagaikan mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah kesenangan, tentu saja dapat ‘dibungkus’ dengan pakaian yang bersih-bersih dan muluk-muluk.
Dan setiap pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan menginginkan sesuatu yang belum ada. Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan, karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apa pun juga. Dari sini timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan.
Kita selalu haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu jauh memandang ke depan, dengan anggapan bahwa di-SANA-lah terdapat kebahagiaan! Semua ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di SINI, dan tidak terbuai oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini?
Memang lucu dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini tergambarkan jelas oleh keadaan orang-orang yang suka memancing ikan. Mereka yang duduk di seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu melihat bunga di kebun orang lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri!
Padahal, kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan, membuat kita buta terhadap saat itu!
Su-bi Mo-li sudah mempersiapkan segala-galanya demi berhasilnya usaha mereka. Mereka bercita-cita untuk menjadi selir Pangeran, agar kelak dapat menjadi selir-selir Kaisar! Dan mereka sudah merasa yakin akan hasil usaha mereka ini. Maka mereka memperlakukan Pangeran dengan manis budi, setiap hari berusaha membujuk dan merayu Pangeran Kian Liong. Mereka bahkan secara diam-diam memberi obat-obat ke dalam makanan Pangeran itu. Dan semua ini tentu saja berhasil.
Sang Pangeran mulai merasakan adanya rangsangan birahi yang hebat, yang setiap hari semakin memuncak. Hal ini menyiksanya dengan hebat. Namun, Pangeran ini adalah seorang pemuda yang luar biasa, seorang laki-laki sejati yang tidak lemah, dan betapa pun hebat tubuhnya terpengaruh obat perangsang itu, namun batinnya masih kuat dan ia tak pernah mau tunduk! Obat perangsang itu hanya mampu mempengaruhi tubuhnya namun tidak dapat menodai batinnya, sehingga betapa pun empat orang wanita itu merayunya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan menolak kehendak mereka yang bermaksud menjerumuskannya ke dalam perjinahan dengan mereka!
Melihat kekerasan hati Pangeran yang sukar diluluhkan ini, Su-bi Mo-li menjadi kecewa sekali. Akan tetapi mereka tidak berani menambah obat-obat perangsang itu karena obat-obat itu kalau terlalu banyak dapat menjadi racun yang akan membunuh Sang Pangeran. Maka, oleh kegagalan bujuk rayu ini mereka mengatur rencana lain.
“Pangeran yang keras kepala itu sukar ditundukkan,” kata A-hui pada saat berunding dengan adik-adiknya. “Kita sudah terlanjur bertindak sendiri. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempergunakannya sebagai jalan untuk memperoleh pengampunan dan memperoleh kedudukan dari Kaisar!”
“Ahh, apa yang kau maksudkan, Toaci?” tanya A-ciu terkejut.
“Maksudku? Tiada lain jalan, kita harus menghadap Kaisar, menceritakan bahwa kita telah berhasil menyelamatkan Pangeran dari cengkeraman maut dan untuk itu kita selain minta diampuni sebagai bekas orang-orang Sam-thaihouw, juga minta diberi kedudukan, kalau mungkin sebagai orang dalam istana!”
“Aihh, ngeri aku kalau harus menghadap Kaisar!” kata A-ciu yang tahu bahwa Kaisar bukan orang sembarangan. Betapa dengan gerakan jarinya saja Kaisar bisa menyuruh tangkap dan membunuh mereka seketika tanpa ada setan yang akan menyelamatkan mereka.
“Kita akan ditangkap dan dibunuh!” kata pula A-bwee, orang ke tiga dengan wajah berubah pucat.
“Tapi, Toaci berkata benar,” kata A-kiauw, orang ke dua. “Apakah kalian lebih senang kalau bertemu dengan para suhu dan tewas di tangan mereka?”
Dua orang adiknya bergidik. Mati di tangan guru mereka, apalagi di tangan Ngo-ok, sungguh mengerikan sekali.
“Tiada pilihan lain bagi kita,” kata A-hui, “Bertemu para suhu, kita akan celaka. Akan tetapi kalau menghadap Kaisar dengan membawa Pangeran, masih ada harapan bahwa permohonan kita akan terkabul. Betapa pun juga, Sang Pangeran tentu akan menolong dan melindungi kita, bukankah kita selalu bersikap baik kepadanya?”
Para sumoi-nya setuju mendengar ucapan A-hui ini, dan pula memang mereka tidak mempunyai pilihan lagi yang lebih baik. Maka beramai-ramai mereka lalu menghadap Pangeran Kian Liong.
Sang Pangeran yang sedang asyik membaca kitab itu memandang kepada mereka dan mengerutkan alisnya.
“Hemm, Su-bi Mo-li, kalian hendak melakukan apa lagi terhadap diriku?”
Seperti telah disetujui bersama, A-hui dan para sumoi-nya lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Sang Pangeran. Pangeran Kian Liong terheran. Memang biasanya, empat orang wanita ini selalu bersikap baik, manis, bahkan kadang-kadang terlalu manis dan genit, bersikap membujuk dan merayunya. Akan tetapi belum pernah mereka memperlihatkan sikap begitu menghormat, apa lagi sampai berlutut seperti sekarang. Tahulah Sang Pangeran yang cerdas ini bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap ini, maka dia pun bersikap waspada sungguh pun dia masih tetap nampak tenang-tenang saja.
“Hamba berempat memohon ampun kepada Thaicu (Pangeran Mahkota) kalau ada kesalahan hamba sekalian selama hamba menyembunyikan dan melindungi Paduka di tempat ini,” kata A-hui mewakili adik-adiknya.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Sikap dan ucapan ini menunjukkan bahwa mereka ini agaknya sudah kehilangan akal kehabisan daya untuk merayunya, maka dengan cerdik mereka sebelumnya telah memohon ampun dan menonjolkan jasa mereka yang telah ‘melindunginya’. Akan tetapi hal itu saja sudah membuat hatinya merasa lega. Agaknya dia tidak akan terganggu lagi oleh rayuan-rayuan mereka, pikirnya.
“Kalau memang kalian merasa telah melakukan sesuatu kesalahan, sadar akan kesalahan itu dan tidak melakukan lagi, maka itulah yang terutama. Bertobat jauh lebih penting dari pada minta maaf.” Lalu dia memandang tajam dan bertanya, “Sekarang, apakah selanjutnya yang akan kalian lakukan terhadap diriku?”
“Hamba bermaksud untuk mengantar Paduka kembali ke istana Paduka di kota raja dengan naik kereta. Akan tetapi, mengingat bahwa hamba berempat pernah membantu mendiang Sam-thaihouw, maka hamba merasa takut kepada Sri Baginda Kaisar. Siapakah yang akan dapat melindungi hamba sekalian di kota raja kecuali Paduka Thaicu yang bijaksana dan budiman? Oleh karena itu, hamba sekalian menyerahkan mati hidup hamba di tangan Paduka dan mohon Paduka sudi melindungi kami atas kemarahan Sri Baginda Kaisar kepada hamba berempat nanti.”
Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Permintaan kalian cukup pantas, akan kupertimbangkan kalau kita sudah tiba di kota raja dengan selamat.”
Biar pun jawaban Sang Pangeran itu belum meyakinkan, namun empat orang wanita itu sudah merasa lega. Mereka sudah tahu akan kebijaksanaan dan kemurahan hati Pangeran ini, maka Pangeran Mahkota yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang pangeran yang budiman ini tentu tidak akan menarik kembali janjinya. Dan memang sikap mereka kini menjadi baik sekali, penuh hormat dan kegenitan mereka pun lenyap.
Malam itu mereka menjamu Pangeran dengan masakan-masakan bersih dan lezat, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan kereta dan mempersilakan Sang Pangeran naik ke dalam kereta, ditemani oleh tiga orang di antara mereka, sedangkan A-ciu yang sudah menyamar sebagai seorang pria, duduk di tempat kusir.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu untuk mengawal Sang Pangeran kembali ke kota raja. Tentu saja sebelumnya mereka telah melakukan penyelidikan dan melihat bahwa keadaan telah menjadi tenang dan dingin kembali, dan tidak nampak ada orang-orang sakti yang berkeliaran di sekitar daerah itu.
Perjalanan ini dilakukan melalui lembah Sungai Huang-ho yang subur. Di sepanjang perjalanan, Sang Pangeran sempat mengagumi keindahan dan kesuburan tanah di sepanjang lembah sungai ini dan merasa gembira sekali melihat hasil sawah ladang para petani di sepanjang perjalanan itu. Su-bi mo-li juga merasa girang dan lega karena selama melakukan perjalanan sampai selama tiga hari, tidak pernah ada gangguan terhadap mereka dan tidak pernah mereka melihat bayangan orang-orang sakti yang dulu pernah mencoba untuk memperebutkan Sang Pangeran di kota Pao-ci. Namun, perjalanan menuju ke kota raja masih jauh dan mereka baru akan merasa aman benar kalau sudah tiba di istana dan kalau Kaisar sudah benar-benar suka mengampuni mereka.
Pada hari ke empat, mereka menyeberangi Sungai Huang-ho. Dengan dua buah perahu besar, mereka membawa kereta menyeberang, dan setelah tiba di seberang, mereka melanjutkan perjalanan memasuki daerah Propinsi Shan-si, dengan maksud menuju ke kota besar Tai-goan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di jalan yang di kanan kirinya diapit oleh padang rumput yang luas.
Daerah ini merupakan daerah rawa sehingga tidak mudah ditanami oleh para petani. Karena agak rendah maka sering digenangi air sungai kalau sedang naik. Maka yang tumbuh di situ hanya rumput yang membentuk daerah itu menjadi padang rumput yang luas. Akan tetapi jalan itu menuju ke sebuah bukit yang menjanjikan suasana lebih menyenangkan, dengan kehijauan pohon-pohon yang telah nampak dari padang rumput itu.
“Kita berhenti mengaso di bukit itu,” kata Pangeran Kian Liong setelah dia menyingkap tirai depan. “Aku sudah merasa lelah dan lapar.”
“Baik, Pangeran,” jawab A-hui cepat dan ia menyuruh adiknya, A-ciu yang menjadi kusir itu untuk mempercepat jalannya kereta sampai ke bukit di depan.
Pagi tadi mereka sudah menukar kuda mereka dengan kuda-kuda baru yang segar dan kuat, maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Kalau tadi di tepi sungai masih nampak banyak orang, kini makin lama jalan yang mereka lalui menjadi semakin sepi dan akhirnya setelah kereta tiba di bukit dan memasuki daerah berhutan, tak nampak ada seorang pun manusia kecuali mereka berlima.
Pada saat melihat ada sebatang pohon besar yang daunnya amat rindang di tepi jalan, A-ciu menghentikan keretanya dan mereka lalu mempersilakan Pangeran Kian Liong untuk beristirahat dan menyuguhkan makan minum kepadanya. Semua ini dilakukan di dalam kereta saja, karena demi menjaga keamanan Sang Pangeran sendiri, Pangeran itu diminta agar tetap tinggal di dalam kereta dan tidak memperlihatkan dirinya. Bahkan tiga orang wanita itu pun hanya berani keluar kalau tidak ada orang lain. Mereka ini juga menyembunyikan diri di dalam kereta, dan hanya A-ciu seorang, yang telah menyamar sebagai seorang pemuda, yang berani memperlihatkan diri di atas tempat duduk kusir.
Mereka makan bersama. Tiga orang wanita bersama Pangeran Kian Liong di dalam kereta sedangkan A-ciu yang berpakaian pria itu di atas kereta, di tempat duduk kusir. Dengan ramah dan sopan, penuh hormat, tiga orang wanita itu melayani Pangeran Kian Liong makan minum, dan Pangeran yang sudah merasa lelah dan lapar itu pun tidak malu-malu lagi, makan dengan enaknya.
Tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan kereta itu berguncang. Pangeran Kian Liong hendak menyingkap tirai, akan tetapi lengannya di pegang oleh A-bwee, sedangkan A-hui sendiri lalu mengintai dari balik tirai. Wanita itu hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangannya ketika ia melihat bahwa A-ciu telah tewas dalam keadaan masih duduk di tempat kusir. Darah menetes-netes turun dari sebuah lubang di pelipis kepalanya!
Tentu saja A-hui terkejut, juga kedua orang adiknya yang sudah ikut mengintai. Mereka bertiga berloncatan keluar dengan marah bukan main melihat betapa adik seperguruan mereka yang paling muda itu telah dibunuh orang! Begitu melompat keluar, mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, ketika nampak berkelebatnya beberapa bayangan orang, tiga orang wanita ini menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak, mulut ternganga tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya memandang bengong kepada lima orang yang bermunculan di depan mereka itu. Im-kan Ngo-ok!
Tentu saja tubuh tiga orang wanita ini menggigil dan mereka merasa ketakutan saat berhadapan dengan lima orang guru mereka yang datang dengan lengkap itu. Mereka memang sudah saling berunding dan mengambil keputusan bahwa kalau hanya satu atau dua di antara guru-guru mereka muncul, mereka berempat akan melakukan perlawanan dengan nekad. Akan tetapi kini mereka berlima muncul semua! Dan di pihak mereka, bahkan A-ciu telah di tewaskan! Apa daya mereka? Melawan? Sama dengan membunuh diri! Maka, dengan hati penuh rasa ngeri dan takut, tiga orang wanita itu yang merasa betapa lutut kaki menggigil dan lemas, segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu sekalian.... harap ampunkan bahwa teecu telah terlambat.... tapi.... tetapi teecu sudah menawan Pangeran dan hendak menyerahkannya kepada Suhu....,“ kata A-hui, mewakili dua orang adiknya yang sudah tidak mampu mengeluarkan suara lagi itu.
“Hemm, kalian kira kami tidak tahu bahwa kamu ingin menguasai Pangeran sendiri, kemudian hendak membawa Pangeran ke istana di kota raja, juga demi memenuhi keinginan kalian sendiri? Murid-murid murtad!” bentak Sam-ok.
Mendengar ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan dan kini mengertilah mereka mengapa A-ciu telah dibunuh oleh para guru mereka ini. Kiranya rahasia mereka telah diketahui oleh lima orang sakti itu! A-bwee yang mengingat betapa Ngo-ok amat mencintanya sebagai seorang kekasih, cepat maju ke depan kaki orang termuda dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Ngo-suhu.... ampunkan teecu....!” ratapnya.
Ngo-ok tersenyum, lantas mengulurkan tangannya. Melihat ini, giranglah hati A-bwee. Kalau guru ke lima ini melindunginya, agaknya masih ada harapan baginya untuk dapat terbebas dari kematian di tangan guru-guru mereka ini. Maka ia pun dengan manja mempergunakan kecantikannya sebagai seorang wanita, bangkit dan menyerahkan diri ke dalam pelukan Ngo-ok, merangkul dan membelainya.
Jari-jari tangan itu merayap ke mana-mana, sampai ke kukunya dan tiba-tiba A-bwee mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, tubuhnya terjengkang dan tangannya, kanan dan kiri, berlepotan darah oleh karena kedua kuku ibu jari tangannya telah dicabut oleh Ngo-ok! Rasa nyeri menyelinap dan menusuk-nusuk jantungnya, membuat wanita itu merintih-rintih memelas.
Akan tetapi lima orang datuk kaum sesat itu sama sekali tidak tergerak hatinya, sama sekali tidak menaruh kasihan kepada bekas murid-murid mereka sendiri. Ngo-ok sudah memasangkan kuku-kuku tadi pada tasbehnya yang aneh, tasbeh yang terbuat dari pada ratusan kuku-kuku ibu jari para wanita yang pernah menjadi korbannya!
A-hui dan A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu menjadi putus asa dan maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.
Ketika Ngo-ok sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan membasmi orang-orang yang begini jahat?
Dia mengambil keputusan bahwa kelak, jikalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahat-penjahat seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini.
Dalam keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merasa ngeri dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mata mereka terbelalak melihat tubuh Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus mundur terhuyung. Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Han Seng!
Seperti kita ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid Kun-lun-pai yang mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini mewakili Kun-lun-pai melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, yaitu menentang pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cia Han Beng adalah ikut menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota Pao-ci itu.
Ketika Cia Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimana pun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!
Serangan Han Beng itu hebat bukan main, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa, memandang rendah kepada pemuda yang tak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu dengan seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya! Dia mengerahkan sinkang-nya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung-huyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan.
Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sinkang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.
Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng mempunyai pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhu-nya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu.
Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat. Ia tak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datang dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterima dari suhu-nya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).
Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana.
Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biar pun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukanlah merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.
“Tahan!” teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu.
Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biar pun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Sekarang dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.
“Orang muda, siapakah engkau dan juga mengapa engkau menyerang kami? Mengapa pula engkau mencampuri urusan kami?” Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan.
Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang, “Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai.”
“Ahh, kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”
“Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”
“Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami sejak dahulu tidak pernah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang tadi kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau hendak mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami”
“Mudah saja aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Walau pun di antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu.”
“Ehh, omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, kenapa engkau menyerangku?”
“Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!”
“Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”
“Tentu saja!” jawab Han Beng.
“Dan apa pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”
“Tutup mulut kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan yang tak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Oleh karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!”
“Bocah sombong!” Terdengar Ji-ok menjerit marah.
Wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit menyambar ke arah leher Han Beng.
“Cringgg....!”
Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah orang kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.
Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya berarti akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.
Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapa pun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya.
Biar pun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat. Tetapi dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu.
Betapa pun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akhirnya akan kalah. Pemuda ini mulai merasa bingung. Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.
Dari dalam keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran sekali.
Macam itukah watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja!
“Hei!, Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!”
Teriakan lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu sangat mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang kegagahan dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan meski dia selalu ingat bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar penjajah, tetapi tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang mengandung kegagahan luar biasa itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi makin penasaran dan marah. Su-ok yang telah mengalami banyak kekecewaan karena Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.
“Amithaba, Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kini kuhabiskan saja riwayatnya.” Si Gundul Pendek ini kemudian menggelinding menuju ke kereta.
Melihat ini, Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka ia memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang Pangeran. Namun, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga dirinya.
Su-ok telah berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta, memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu.
“Heh-heh-heh, Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena itu, aku akan membunuhmu sekarang juga.”
“Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih dari pada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”
“Heh-heh-heh, mengocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!” Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.
“Dessss....!”
Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang! Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas!
Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri.....
Dara itu bukan lain adalah Ci Sian! Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi saat melihat Su-ok mendekati kereta dan mengancam Sang Pangeran, dia cepat menyambar dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat itu. Oleh karena dia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia telah mengerahkan khikang-nya ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu terlempar.
Su-ok yang sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Sekarang Ci Sian sudah menerjang dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis menggunakan Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok.
Terkejutlah Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang lihai, biar pun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya. Biarlah, Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini. Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh.
Cia Han Beng merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang, dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali dengan dara ini! Meski pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu, akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian Sian pada pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.
“Nona, terima kasih atas bantuanmu!” serunya dan kini pedangnya makin hebat gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat.
Ci Sian tidak menjawab, melainkan memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya. Kalau dulu mereka berpibu, sekarang mereka seolah-olah bersaing mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang mengalami kerugian dalam hal ini adalah Im-kan Ngo-ok! Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda Kun-lun-pai itu.
Setelah dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring.
“Haiiiitttt....!”
Pedangnya menyambar ganas, tahu-tahu nampak darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu. Kini ujung pedang pemuda itu menembus lehernya, maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok!
Hal ini membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali. Tidak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang paling sering cekcok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya, menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada Han Beng. Namun Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan nampak sinar emas itu terpecah menjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah menotok dan mengenai pelipis Su-ok!
“Prokkk....!”
Tubuh Su-ok terjengkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak. Sama seperti Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas. Kini tiga orang kakek dan nenek itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan Su-ok dan Ngo-ok.
Maka Toa-ok mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri.
Ci Sian yang merasa penasaran itu hendak mengejar, tetapi Han Beng menahannya.
“Harap jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran.”
Teringatlah Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini berbahaya sekali.
“Biar lain kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,” katanya.
Melihat sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan menjura dengan senyum kagum.
“Ah, sudah banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main. Bolehkah aku mengenai siapa Taihiap dan Lihiap, agar aku dapat mengucapkan terima kasihku?”
Melihat sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa heran dan kagum. Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati, bersikap ramah dan rendah hati.
Akan tetapi, biar pun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu, keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula. Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya, yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada Pangeran ini.
“Kalian tentu telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,” kembali Sang Pangeran berkata dengan ramah. “Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun dapat mengenal nama kalian.”
Ci Sian sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. “Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian.”
“Ah, Nona Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok.”
“Belum tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi Pangeran?” kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak membalas ucapan Sang Pangeran.
“Taihiap, bolehkah aku mengetahui namamu?”
Han Beng mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah pemuda ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula. Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong, seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!
“Pangeran, seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti saya.”
“Ahh....!” Pangeran Kian Liong tertegun.
Dan dari sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya. Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas panjang penuh hati sesal.
Melihat sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu, Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.
“Cia-enghiong,” kata Ci Sian, suaranya agak dingin. “Mengapa engkau bersikap seperti orang tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah kepada kita?”
“Maaf, bagaimana pun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,” jawab Han Beng tanpa peduli bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.
“Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa tadi engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?” Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.
“Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tak pernah membenci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, namun sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela walau pun harus mengorbankan nyawaku.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya, suaranya lantang.
“Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”
“Membawanya kembali ke istana di kota raja?”
Pemuda itu menggeleng kepala, “Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat.”
“Sebagai tawanan para patriot?”
Pemuda itu mengangguk.
“Aku yang akan menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada.
Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”
“Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, mau pun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!”
Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka. “Ahh, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini....“
Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum. “Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak dijadikan rebutan. Banyak orang menilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun! Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apa pun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak pernah menganggapnya buruk, karena aku pun tak pernah menyalah gunakan kedudukan. Dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku.”
“Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng segera membantah. “Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan kemudian berusaha mengenyahkan penjajah?”
Pangeran itu tersenyum. “Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apa pun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka.”
“Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.
Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam.
Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang, “Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapa pun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekali pun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”
Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapa pun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai dari pada Ci Sian sekali pun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta pada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.
“Sudahlah, aku tak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!” Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu.
Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. “Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam....”
“Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... ehhh, patut dikasihani.”
Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu. “Ahhh, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....”
Dara itu mengangguk.
Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang telah diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok.”
“Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”
“Dan engkau, Nona Bu?”
“Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot.”
“Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?”
“Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman mala petaka.”
“Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?”
“Mengantar Paduka menuju ke kota raja.”
Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri.
“Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?” Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.
“Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”
“Dan engkau?”
“Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya.”
“Ke manakah, Nona?”
“Ke mana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”
“Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?”
Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti. “Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”
Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!
“Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi.”
“Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang.”
Pangeran itu tak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua berdampingan menunggang kuda, tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar.
Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!
“Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”
Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.
“Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”
Terpaksa Ci Sian menjawab singkat, “Dia.... dia itu ayah kandung saya.”
“Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan penjahat-penjahat Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”
“Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?”
“Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”
Ci Sian maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu? Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan Sang Pangeran.
“Ibu saya telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!” Dan ia pun cemberut lalu mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang.
Sang Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biar pun masih amat muda, akan tetapi sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah. Agaknya dara itu telah tak beribu dan tidak setuju ayahnya yang mempunyai banyak isteri itu. Dan diam-diam dia pun tersenyum. Dia tahu bahwa Bu-taihiap adalah seorang pria yang suka akan wanita, tampan gagah dan banyak pula wanita yang tergila-gila kepadanya.
Seorang pria pengejar wanita, hidung belang akan tetapi bertanggung-jawab. Dia pun menarik napas panjang. Ada perbedaan antara pria seperti Bu-taihiap dengan Kaisar atau pembesar-pembesar yang mengumpulkan banyak selir. Selir-selir itu tidak ada ubahnya binatang-binatang peliharaan yang dibeli dengan kemuliaan atau harta. Akan tetapi, wanita-wanita yang menjadi isteri Bu-taihiap adalah karena tertarik, dan karena saling mencinta. Keduanya tentu ada baiknya dan ada buruknya.
Para selir yang tertarik oleh kemuliaan dan harta memang dapat hidup rukun akan tetapi mereka melayani suami mereka hanya dengan kemesraan palsu belaka. Sebaliknya, para isteri pria seperti Bu-taihiap itu semua mencintanya, akan tetapi tentu saja tidak dapat hidup rukun satu sama lain, dan akibatnya sang suami yang selalu menghadapi isteri-isteri yang penuh cemburu dan keluarganya menjadi retak. Contohnya adalah keluarga pendekar Bu ini. Puteri kandungnya sendiri, dara yang lincah jenaka dan gagah perkasa, yang sebenarnya tentu dapat menjadi seorang puteri yang mencinta ayah kandungnya, kini agaknya membenci keluarga ayahnya.
Dan di dalam perjalanan mereka itu tidak terjadi gangguan. Agaknya setelah Im-kan Ngo-ok kalah, bahkan dua orang di antara mereka tewas, tidak ada lagi yang berani mencari dan mencoba untuk mengganggu Sang Pangeran. Agaknya para tokoh golongan sesat sudah mendengar akan tewasnya dua orang dari Im-kan Ngo-ok. Hal ini amat mengejutkan hati mereka dan mereka menjadi gentar, maklum bahwa Sang Pangeran dilindungi oleh orang-orang yang benar-benar amat sakti.
Pada suatu hari, selagi Sang Pangeran dan Ci Sian berkuda dengan perlahan-lahan seenaknya sambil menikmati pemandangan indah dari lereng sebuah bukit, tiba-tiba Pangeran Kian Liong melihat jauh di bawah sana ada debu mengebul tinggi dan kemudian nampak pasukan besar tentara kerajaan berbaris. Dia merasa heran sekali.
“Hemm, itu adalah pasukan kerajaan yang cukup besar jumlahnya!” katanya kepada Ci Sian. “Pemimpinnya bahkan seorang pangeran, dapat kulihat dari corak benderanya.”
“Ada terjadi apakah, Pangeran?” tanya Ci Sian. “Apakah sudah terjadi perang? Dengan siapa?” Ci Sian teringat akan perang antara tentara kerajaan melawan tentara Nepal di daerah Tibet.
“Entahlah. Menurut pendengaranku, tidak ada perang, bahkan tak ada pemberontakan yang perlu dipadamkan setelah Jenderal Kao berhasil memadamkan pemberontakan di barat.”
“Jenderal Kao Cin Liong?” Ci Sian bertanya.
“Benar! Ehhh, apakah engkau sudah mengenalnya, Nona?”
Ci Sian tersenyum. “Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran. Bahkan saya bertemu dengan dia ketika dia sedang menyamar dan menyusup ke dalam benteng musuh, yaitu benteng pasukan Nepal.”
“Ahhh? Lain kali harap kau ceritakan tentang hal itu, Nona Bu. Sekarang, kita harus mengikuti pasukan itu. Ingin kuketahui apa yang hendak mereka lakukan.”
“Bagaimana kalau kita mengejar dan menyusulnya, kemudian Paduka dapat bertanya kepada komandannya?”
“Tidak, aku tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi mereka itu tentu bergerak atas perintah atasan. Aku hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.”
Dan mereka berdua pun melarikan kuda untuk mengikuti pasukan besar itu. Dan di sepanjang jalan, dengan hati penuh kemarahan dan kedukaan, Sang Pangeran melihat bekas tangan para anak buah pasukan itu. Perampasan-perampasan, pemukulan-pemukulan, perbuatan-perbuatan kurang ajar terhadap wanita-wanita.
Biar pun belum sampai terjadi perkosaan atau pembunuhan, namun sikap pasukan itu sungguh memalukan, bukan merupakan sikap pasukan yang berdisiplin dan baik, dan sikap seperti itu hanya memancing kebencian rakyat terhadap pemerintah! Diam-diam Sang Pangeran mencatat semua bekas tangan pasukan itu untuk kelak dia laporkan dan dia tuntut agar komandan pasukan yang lengah dan tidak berdisiplin itu menerima hukuman atau setidaknya menerima teguran dan penurunan pangkat, sedangkan para anak buah pasukannya menerima hukuman yang cukup keras.
Ci Sian sibuk mengumpulkan data-data dan bukti-bukti tentang keburukan sikap serta sepak terjang para pasukan itu dengan bertanya-tanya kepada para penghuni dusun-dusun di sepanjang jalan yang dilalui pasukan.
Ternyata pasukan itu berjumlah seribu orang dan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal yang berkepandaian tinggi! Mendengarkan ciri-ciri dari Pangeran dan jenderal itu, tahulah Sang Pangeran, siapa mereka.
Pangeran yang memimpin itu adalah seorang keponakan ayahnya, seorang pangeran yang usianya sudah tiga puluh lima tahun dan terkenal memiliki ilmu silat cukup tinggi, bernama Pangeran Seng Goan Ong, sedangkan dua orang jenderal itu pun terkenal memiliki kepandaian yang hebat.
Yang seorang adalah Jenderal Tang Sen Hoat, yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar bertenaga gajah, sedangkan jenderal ke dua adalah Jenderal Boan Ciong, seorang jenderal berusia hampir lima puluh tahun yang selain ahli dalam ilmu siasat perang, juga memiliki ilmu silat tinggi pula.
Diam-diam Sang Pangeran merasa heran. Kalau menghadapi pemberontakan, kenapa yang dikirim hanya seribu orang pasukan, akan tetapi pemimpinnya sampai seorang pangeran dan dua orang jenderal? Dan dua orang jenderal itu pun bukan ahli-ahli perang, melainkan pelatih-pelatih. Jenderal Tang ialah seorang pelatih silat, sedangkan Jenderal Boan pelatih ilmu perang. Pangeran Seng Goan Ong juga terkenal sebagai seorang penasehat dalam hal latihan-latihan ketangkasan bagi para pasukan pengawal istana.
Karena ingin sekali tahu, maka Pangeran Kian Liong mengajak Ci Sian untuk terus mengikuti barisan itu sehingga mereka membuat perjalanan menyimpang, bahkan kini makin meninggalkan kota raja. Akan tetapi Ci Sian juga merasa gembira saja karena Pangeran ini merupakan teman seperjalanan yang mengasyikkan, pandai bicara, dan sikapnya amat baik dan menyenangkan. Dia seolah-olah merasa sejak lama telah mengenal Pangeran itu dan mereka bagaikan dua orang sahabat baik, atau seperti saudara saja.
Hubungan antar manusia memang akan menjadi sesuatu yang amat indah dan akrab kalau yang berhubungan itu adalah dua orang manusianya tanpa mengikut sertakan segala macam embel-embelnya. Namun sungguh sayang sekali. Kita selalu melupakan segi kemanusiaannya pada seseorang dan kita lebih mementingkan embel-embelnya itu ialah kedudukannya, harta bendanya, kemampuannya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya.
Kita selalu menilai manusia dari embel-embelnya itulah, maka tidaklah mengherankan apabila hubungan antara manusia merupakan hubungan yang palsu, hubungan antara dua orang munafik. Yang berhubungan hanyalah gambaran-gambaran yang kita bentuk berdasarkan embel-embel itu, bukan hubungan antara dua manusia yang sebenarnya. Hubungan antara dua gambaran manusia ini selalu mendatangkan konflik.
Kalau kita masing-masing menelanjangi diri dari pada segala embel-embel itu, kalau kita memandang orang lain tanpa disertai gambaran embel-embel itu, maka yang tinggal hanyalah manusianya, tanpa perbedaan, dan dalam hubungan antara manusia seperti ini, tanpa embel-embel lagi, barulah tercipta sesuatu yang disinari cinta kasih, karena lenyapnya gambaran-gambaran itu melenyapkan pula pamrih yang bersembunyi di balik hubungan itu. Dan sekali timbul pamrih, apa pun yang kita lakukan adalah palsu!
********************
Biara Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai.
Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, oleh karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio saja yang patut mempelajari ilmu silat.
Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan sejenis kekuasaan pula.
Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Namun, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berubahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu akhirnya mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biar pun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak.
Oleh karena itu, mereka kemudian mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. Ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.
Pimpinan Siauw-lim-pai juga mengadakan ujian diam-diam dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja.
Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak-anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana tiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggota Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu adalah pelajaran pokok atau dasar bagi mereka!
Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sinkang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sinkang yang amat kuat.
Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya.
Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam cara latihan diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut ‘mengasah pedang bermata dua’ karena hasilnya ada dua macam. Pertama, tanpa sadar si murid telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.
Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda!
Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga jika ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.
Bermacam ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali.
Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas saat bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang pada dasarnya mencontoh gerakan binatang itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyelundup dan menyusup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai semua gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, bersikap angker dan galak.
“Apa yang kalian lakukan di sini?!” bentak hwesio tinggi besar itu.
Dua orang pemuda itu amat terkejut. Seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.
“Dukkkk!”
Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.
“Dukkk.... plakkk!”
Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah.
“Siapa kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini?!”
Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.
“Kalian pengkhianat....!” bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang.
Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.
“Hui Sian Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”
“Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”
“Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”
Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, ia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka kesempatan baginya!
Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhu-nya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!
Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!
Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh lagi.
Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Ada pun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.
Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.
Kali ini pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang tidak berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci? Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.
Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetapi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!
Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera.
Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid-murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang.
Banjir darah terjadi di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemujaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biar pun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.
Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersemedhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biar pun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.
Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggota pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!
Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.
Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andai kata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!
Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang berada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran.
Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Sang Pangeran akan dapat menyelamatkan diri? Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar.
Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat. Ci Sian sendiri merasa ngeri sekali menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat dari pada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun dapat memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai.
Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walau pun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian yang gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan!
Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu cita-cita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!
Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh sekali di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah mau pun yang dijajah, yang diserang atau yang menyerang, pendeknya pihak-pihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman.
Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditarik untuk menjadi prajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil dari pada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biar pun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong.
Dan bagaimana kalau kalah? Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.
Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalah gunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu.....