Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak
akan muncul, Bun Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri
meja. Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan
berpegang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan
kiri menahan, menekan ujung meja, tangan kanannya memeriksa kitab yang
terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan tetapi di
dalamnya terkandung pelajaran semedhi menghimpun sinkang yang aneh, dan
di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat pedang yang
gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.
Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan
tidak ada jalan keluar baginya, berarti bahwa agaknya dia harus tinggal
di situ sampai kematian merenggutnya. Dari pada termenung memikirkan
nasib, sebagai seorang penggemar ilmu silat tentu saja kitab itu
merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan. Mulailah ia
membaca bagian pertama, bagian berlatih sinkang.
Dia sudah banyak melatih sinkang dengan cara semedhi yang berlainan,
yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari
Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai
sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara
semedhi dan melatih sinkang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab
Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara
tersendiri, sungguh pun mirip dengan cara yang diajarkan di
Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya.
Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersemedhi, ia
berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum
dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali.
Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi
perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada
seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara batu-batu, dan
mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak
gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan
banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan
baunya amis seperti darah.
Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang.
Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi
begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi
memakannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhu-nya mengenai
manusia, di antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di
telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi
pertentangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya
dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca indrianya
sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah
sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan
Suhu," jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi
pengertian itu hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak
demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut
lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat
di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut
lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga
hilanglah arti sesungguhnya dari pada makan. Maka timbullah bermacam
pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak
bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut,
melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak
bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut
atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhu-nya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalah gunakan mata, telinga,
hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya dari
pada semua anggota yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya
dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk
faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah indah dan
merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran
yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap
bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian,
hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan
sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran
Bun Beng menjadi jernih dan dapat menangkap arti dari pada ucapan
suhu-nya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di
tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya,
lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur
itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi dikuasai
nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan
tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi
sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah,
demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia
mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang
akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak
takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati
sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?
Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara
mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah
kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak
ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan
tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan
berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar
mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah
denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi, biar pun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut
tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah
akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan
aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih
terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhu-nya
lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah
yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu
khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik,
bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah
banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun
karena tentu akan tumbuh lagi. Yang jelas, jamur itu mengenyangkan
perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya
tidak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur,
dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada hari ketiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan semedhi seperti
yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar
dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia
menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia.
Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan
mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga.
Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang
ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan
Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti
Suma Han sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak
mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup paling lama setengah
tahun saja!
Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur
merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhu-nya, Bun Beng nekat
makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun
yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di
dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya. Betapa ajaibnya, kedua
racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling
membunuh! Andai kata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan
mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi ‘obat’ yang
menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam darahnya. Tentu
saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa
kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh
Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih
sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng
cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa
wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus
tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya
menjadi sesak.
Dengan tekun Bun Beng melatih sinkang menurut petunjuk kitab itu. Tiga
bulan kemudian pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali
ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang-nya meningkat secara luar
biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat dari pada sebelum ia
berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri
dengan sinkang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu
Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat
melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat
sekali.
Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia
lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya, ia
mengikuti gerakan batu itu, serta mengerahkan sinkang ke ujung tangan
yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu
ditambah sinkang-nya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu
pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sinkang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang
yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu
memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan
mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia
buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang
ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus
dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu
pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap
jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu
pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi
Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati
jurus ketiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba
saatnya ia melatih jurus ketiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu
dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya seperti yang
diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng jadi tercengang dan
termenung setelah selesai melatih jurus ketiga belas ini. Mengapa dia
bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh
lebih lihai dari pada dia itu tidak mampu?
Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sinkang-nya sudah amat tinggi,
hampir menandingi sinkang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu
gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari
jurus ketiga belas itu! Ada pun Bun Beng sendiri, biar pun tidak
mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap, namun dia
telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cin-keng
sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan
menjadi imbangannya.
Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan
lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia
telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia
sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti.
Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat
menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam
ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat
mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak
sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu,
terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang
mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang
muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah
sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu.
Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia
tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat keluar dari
situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang
setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka
kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ
terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang
dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur
itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehingga tidak
kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba
jamur yang lain.
Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk
segi lima ujungnya meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak
amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia
merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa
betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas!
Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman sekali, dan ada perasaan
girang luar biasa di dalam hatinya.
Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat
seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main.
Dorongan hasrat nafsu birahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat
dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang
seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk
melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah di depan
mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi
Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang
olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan
bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhhh... gila! Aku sudah gila...!" Ia menjambak rambutnya, menampari
dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu
berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu birahinya makan memuncak.
Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum
pernah dia alami. Dia merasa tersiksa sekali, tetapi juga diam-diam
merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak
dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi
andai kata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang
berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit
pada keesokan harinya, barulah dia terbebas dari pada siksaan menggila
itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi
tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali. Ia cepat
mandi di bawah air terjun di depan goa, membiarkan air terjun menyiram
kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan
berjanji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam
ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang
demikian mukjizat.
Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya
jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih
mengerikan lagi? Betapa pun juga, hatinya takkan pernah merasa puas
sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun
di tempat itu dan akibatnya justru menguntungkan dirinya. Dia telah
pula mencoba jamur putih yang biar pun membuat dia tersiksa hebat
semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa
salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia
sudah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andai kata jamur itu
beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat
rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti digarami!
Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat
dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdengar dari situ.
Tiba-tiba ia terbelalak, lalu memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah
dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti
berubah menjadi berlagu dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan
suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh
tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan
pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa
terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka matanya.
Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang
sekarang menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu,
begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini?
Tempat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi amat berbeda,
menjadi seperti... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia
menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti
melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah
tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni
indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di
angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang
benar-benar menakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak
sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia
tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka
dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar
wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di
depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah,
senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama,
atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh
yang amat indah, dan biar pun kepalanya ditutupi kerudung, namun
kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau...? Gak Bun Beng...?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kemarahan.
Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya
penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe,
saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia
dan sehat seperti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya
sehingga lupa akan kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang... heh-heh, saya... saya hanyut oleh air sorga,
sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini...
heh-heh..."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita
berkerudung itu, mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana
bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya,
agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak.
Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari
segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusastraan kuno yang
penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras
dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya,
memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani.
Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia
berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena
merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi
makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya
menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun
Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan
telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa
Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di
balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti.
Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari
datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan
seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Tetapi ketika tanpa
disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat
rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tak tega
untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa
pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum
mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di
sini, sudah setengah tahun. Ha-ha... sudah habis kitab itu saya
pelajari...!"
"Apa...? Kau...!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun Beng.
"Wuuutttt... heeeiiihhh!"
Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya
dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali,
tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan
mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan
dan gesitnya itu.
"Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan
berbahaya!" Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya
berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan,
seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut,
khawatir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya
menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua
benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama
sekali, semua kelihatan menyenangkan hati!
Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang
hebat dan luar biasa, lebih hebat dari pada racun dan ganja dan madat!
Racun jamur biru ini mempengaruhi sistem syaraf di dalam otak, membuat
dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan
ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan
lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini,
dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata
pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya
maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng,
karena jauh berbeda dari pada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam
kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan
pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua manusia.
Namun dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang
lain dari pada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya,
memandang tajam penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit dari
pada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya.
Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana
mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apa
lagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu?
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu
pedangnya?" Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih
belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam
jurus ketiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ketiga belas dan ke empat belas."
"Apa...?!" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan
perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum
tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah
mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu?
Ahhh, siapa mau percaya omonganmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau
tidak punya."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil
panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil
tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut..."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan
main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu,
bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama jurus ketiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan.
Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang
demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika
pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar
biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari
jurus ketiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga
Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia
mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus
itu, ketiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama
sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang
batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup,
dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari
angin pedang batu itu!
"Hebat...! Luar biasa...!" Nirahai berseru setelah Bun Beng
menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah
sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya
bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu,
agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak
mau pun menangkis.
"Cussss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak
kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia
roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan
senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan
rasa senang yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia
yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat
pedang, mulai dari jurus ketiga belas. Pemuda itu bisa memainkannya,
masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada
pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok.
Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia
harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan
sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi
terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua
Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan
mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang
dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya
memandang dengan mulut tersenyum.
Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut,
kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia tetap nekat
melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya
terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus kedua puluh dan
tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya
roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan
akhirnya ia sadar. Tanpa disengaja oleh Nirahai, totokan itu telah
membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah
Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia
akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong.
Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti
mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi
takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga
sinkang-nya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan
darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua
Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia
ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak
sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari
akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang
itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya
dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil
pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang
pingsan itu, menghampiri pintu rahasia.
Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di
sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi
kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si
Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki
pintu rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum
bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk
penghabisan kali, dia bergidik.
Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia terangsang
birahi hebat, dan jamur biru... ah, dia bergidik kalau mengingatnya.
Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana
andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang?
Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan
besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur
biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehingga
akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka
kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang
amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak
tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu
mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari
pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan
yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan
itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi!
Untung ia masih ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang.
Satu-satunya masalah yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah
suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua
Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan
siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan
menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua
Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang
itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat
sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang,
kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput,
ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan
biasa.
Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata
tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura
dan berkata,
"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti
keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat
terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa...?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya
dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu.
Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng
tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.
"Mereka berjumlah lima orang dari tingkat teratas, melihat dari warna
muka mereka yang berwarna terang. Agaknya mereka tidak mengandung maksud
baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka
berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu,
tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan
Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir
akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian
menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka
mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi
mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu,
dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal
dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan
dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus
menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah
sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai
Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada
di situ sebagai ‘tamu’ kemudian sebagai tawanan.
Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi
ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya
berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri
dari tempat duduknya, menjura ke arah ‘Sang Ketua’ dan seorang di antara
mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti
lilin, berkata,
"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia
menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan
memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan
menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit,
sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para
tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk
bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka
dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya
lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau
Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua
kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang,
harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan
kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa
mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau
Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka,
akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan
sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun
lebih, gemuk pendek, segera berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi
Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda kedua yang tubuhnya
gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani
tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan
To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua
Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah
mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami
mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu
kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini,
To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi
kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri
ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat
mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah
ada yang dapat diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah.
Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari
Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan
Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang
kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka,
menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau
Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu
Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas
maksudnya bahwa ‘Sang Ketua’ yang tiba-tiba menjadi ‘pendiam’ itu
memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi
para tamu yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang
dengan suara nyaring. "Andai kata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang
datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk
dilayaninya sendiri. Apa lagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya
rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti
menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga
untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para
pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang
tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang,
maka dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, kami
akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua
alisnya dan berkata, "Aahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi
untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita
coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri
bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi
sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan
majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk
mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan
dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan
perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk
Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat
duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi ‘Ketua’
Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata, "Thian-liong-pangcu, saya
Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon
petunjuk darimu."
Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia
menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk
seorang di antara kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai di dalam perkumpulan itu sesudah
Ketua Thian-liong-pang, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin
sekali Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi
besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka
sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti
Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang.
Ia mengharapkan agar kedua orang ‘pembantunya’ itu akan memperoleh
kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan, karena
kalau dua orang itu kalah, apa lagi dia sendiri! Dan kalau dia turun
tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan
keributan. Sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat
‘membereskan’ kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai
dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu.
Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apa lagi kalau sampai
muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia,
wah, tentu celaka dia!
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke
arah Sai-cu Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya
menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya
putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk
setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba
ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu
Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebukan kepada Si
Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi
Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata
tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata,
"Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat
terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut
lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat
melingkarkan buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan
kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi
tingkatnya di Pulau Neraka, apa lagi bersama suheng-nya saat itu menjadi
utusan Majikannya. Tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu
mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan
merupakan langkah awal yang keliru dan merugikan dalam menghadapi
pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum
dan berkata,
"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biar pun saya tidak berkesempatan, atau
mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan
denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan
kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah
oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan
menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia
tak berhasil memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu
kelihatan berkilau. "Engkau lebih tua dari pada aku, Sai-cu Lo-mo,
sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"
"Apa? Biar pun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu,
sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!"
Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang
berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi
seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak
menguntungkan.
"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak.
Tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar dan kedua tangannya bergerak
perlahan. Tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang
memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri
terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan
terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut,
warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya
mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara
berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini.
Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang
mengerahkan sinkang yang mukjizat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh
Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sinkang lawannya itu mengandung
hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang
matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan
pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah
memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari
Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan
Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan
Dewa).
Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi
tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik
turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya
tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena
semua orang maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari
sasaran.
"Haiiiitttt...ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang,
tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan
dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan
mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke
kanan kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan
garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan
pengerahan sinkang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa
pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan
itu, melihat betapa kedua tangan lawan ternyata mengeluarkan bau amis
dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan
kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sinkang yang
terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri
tidak tahu bahwa tenaga sinkang-nya kini telah meningkat sangat hebat,
dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan
tenaga sinkang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya.
Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas
serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu
Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu
menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat
pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua
Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang
diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan
mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya,
dibandingkan dengan kehebatan ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara
Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka
beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo
cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun
kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan
berjungkir balik ke belakang sampai lima kali dan kini juga sudah
berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir
sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Ia telah menggunakan pukulan yang
mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu
menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya
kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari
tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu
ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin,
tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh
hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.
"Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang
dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa.
Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu
tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun
tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya.
Betapa pun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan
membetot ke bawah sehingga biar pun dia terhuyung oleh tendangan itu,
tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja
Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song
menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo
yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahhh, orang-orang Pulau
Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka
digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat
dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali.
Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat
apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol
dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia
memusuhi keduanya ini dari pada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan
Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia
hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya,
sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir
balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song!
Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song
mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya
turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat
bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai,
untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu
sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami
sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia
berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan
terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu
memindahkan tenaga, maka dengan tenang dia menarik kepalanya ke
belakang. Begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan
sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan
tenaga sepenuhnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti
mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk
memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar
terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari ‘Ketua’
Thian-liong-pang.
"Ehhhh..., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak.
Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti
remuk rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu
memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo
saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak
menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata
pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu
pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki
sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata
lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang
diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga
meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua
kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan,
dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk! Aduhhhh...!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu
terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjatuhkan diri duduk di
atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya,
dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya
rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke
jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan
menjura, "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan
menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan
hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat
penghormatan kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap
dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas
sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang ‘ketua’ di saat
itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan
nekat ia lalu mengerahkan sinkang yang dilatihnya selama enam bulan di
dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan
menerima hantaman tenaga sinkang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak
terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya,
membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan
bajunya disertai tenaga sinkang dan... Si Gundul dari Pulau Neraka itu
terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa
kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sinkang-nya
telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu
menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya
dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sinkang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh
Thian-liong-pang dan para anggota Pulau Neraka. Melihat betapa serangan
Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si
Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu
bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat
mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil,
perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud
bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau
pangcu-nya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri.
Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya,
sengaja mendemonstrasikan sinkang-nya. Tidak tertampak kakinya bergerak,
hanya lengan bajunya dikebutkan dan... tubuhnya melayang seperti
terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua!
Melihat ini, para anggota Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan
Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat
kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai dari pada
biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan
ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah
kuburan tua itu.....
Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan
telunjuknya dan memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis,
akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang
Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni
nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk
di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena
masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"
Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami
memang sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku
sengaja menyerangnya. Pangcu-mu hebat bukan main, namun sayang, dia
menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti
ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcu-mu,
silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"
"Cihhh, sombongnya! Kau kira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang,
kepala pelayan Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"
Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali!
Hari ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh
datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang
aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!"
Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali.
Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga
kelihatan seperti seekor katak itu memiliki gerakan kaki tangan amat
cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya
seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang!
Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang
masih cantik dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam
hal ginkang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam
hal ginkang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang
dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi
Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan ginkang
sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang,
sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti
Burung Walet).
Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya
berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke
belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah
berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan
kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli ginkang
yang jauh lihai dari padanya.
Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan
kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sinkang-nya. Baik hantaman
tangan mau pun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan
bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin!
Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa
mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum
tentu dia dapat menandingi kekuatan sinkang Si Gundul yang benar-benar
kuat itu.
"Hehhh!"
Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah
lambung kiri Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki
ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok
atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali
mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi
angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia
terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini.
"Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking.
Tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong
To Tek memutar tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan
Touw-sim ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.
"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.
"Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.
"Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini ia mainkan ilmu
silatnya dengan gerak cepat Yang-cu Sin-kun, mengirim pukulan
Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan
merenggut nyawanya.
Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan,
apa lagi karena dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan
itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak
hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan
roboh oleh ‘pelayannya’ yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.
Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan
bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah,
seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak berkaki
empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar
suara melalui kerongkongan.
"Kok-kok-kok!"
Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal
berwarna putih kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas
ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan
tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa
kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia
ingin sekali menggaruk.
Pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba
diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh
lawan dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang
dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget,
mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik
beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu, akan tetapi
kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti
katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan
kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar.
Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan
ginkang-nya untuk melesat ke sana-sini, namun karena dia maklum akan
bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus mengelak
terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi
semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga
mukjizat!
Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul
itu benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan
Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari
menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang
dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia
mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat
pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan.
Betapa pun cepat gerakan Wi Siang, namun bagi Bun Beng kelihatannya
biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia
cepat menyambar lengan ‘pembantunya’ itu dan sekali sentak tubuh Wi
Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan
cepat-cepat merobek celana bagian betisnya. Ternyata kulit betisnya
telah ‘termakan’ racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol.
Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat
itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap.
Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau
membuang waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut
dengan serangan uap dari mulutnya. Tubuhnya merangkak maju dengan ‘empat
kaki’, dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk,
dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan
niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri,
cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh
tenaga sinkang-nya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar
itu.
"Kok-kok-kok...!" Si Gendut berkokok.
"Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah penyerangnya!
Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka
uap itu tidak mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan
ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia
mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan
tenaga mukjizat.
Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia
ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan
mengandung sinkang sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa
beracun yang mukjizat pula. Tentu merupakan latihan sinkang yang
disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka,
pikirnya. Maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat
membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu
memindahkan tenaga. Ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi
dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke
arah muka Si Gendut Gundul.
"Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung lengan baju Bun Beng.
"Plakkk!"
Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga
sinkang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan
bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik!
Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu
kataknya yang mukjizat, mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan
siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan
lenyap, tahu-tahu tubuh ‘ketua’ ini sudah melayang turun ke atas
punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu.
"Kok-kok-kok... ngekkkk! Brooottt!"
Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika
kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sinkang yang
membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat
menahan sehingga terdengar suara ‘ngek!’ dan tiba-tiba disambung suara
memberobot amat keras dari tubuh belakangnya!
Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang
berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang
membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa
dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang.
Terdengar suara di sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali
orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar dari ‘mulut belakang’
kakek itu benar-benar amat hebat... baunya! Akibat racun yang
terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.
Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini
digotong oleh teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah
meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia
merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama
setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan
luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan
yang amat hebat, baik dalam ginkang, sinkang, dan ilmu silat! Maka
tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap
siapa pun juga.
Chi Song terpincang-pincang menghampiri ‘ketua’ dan dengan kaki kanan
berjinjit ia menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan
oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa
ini kepada To-cu kami."
Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin
tiga orang temannya yang menggotong tubuh suheng-nya yang masih
pingsan. Tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak
berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring.
"Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To
Tek tadi terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu
terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh
panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik
jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya,
menjadi kaget, apa lagi ketika dara itu telah menerjang maju dan
menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti
pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan
dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting.
Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan
tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.
"Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba
lengannya diraba orang dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ,
menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang
Pulau Neraka.
Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana,
dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para
tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apa
lagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka
ketika menggendongnya dahulu.
Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.
"Ibu...!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya.
Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah
muncul! Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan
keributan, tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan
sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di
balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir
menjerit.
"Engkau... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan
semua tokoh Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya
masing-masing.
"Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung
Ibuku. Akan tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan... ohhh... di
mana Ibu? Kau apakan dia...?"
Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para
tokoh Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi
Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan
segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggota Thian-liong-pang
yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda
bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah
melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan
heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan
senjata di tangan mengurung Sang Ketua sendiri!
"Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi.
"Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan
Pangcu kami!" Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah
Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa
orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang
palsu!
"Nona, maafkan aku...!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.
"Kau...?!" Milana berseru kaget sekali.
Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh
luka-lukanya biar pun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar
Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya
dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu
disambar oleh Pendekar Super Sakti.
"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik
penuh duka dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka
bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari
secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es
itu.
Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di
samping rasa girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia
bertanya, "Engkau...? Bagai mana ini...? Di mana Ibu?"
"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di
bawah sana. Karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung
dan jubah ini..., maafkan aku..."
Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak
mencari ibunya yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan
tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguh pun dia dan siapa pun
juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh
Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera
menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang,
seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos.
Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong
kepada cucu keponakannya itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu
keponakan, satu-satunya keturunannya biar pun hanya cucu luar, juga dia
kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan
tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal,
hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda itu masih belum sedemikian
hebat ilmu kepandaiannya!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, Tang Wi
Siang yang bersenjata pedang, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata
golok sudah menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat
dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan
kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis
atau mendorong dan... empat orang pengeroyok itu terjengkang semuanya,
ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu
angin ribut!
Bun Beng terkejut sendiri melihat akibat tangkisan dan dorongannya. Dia
gunakan kesempatan ini untuk loncat ke atas, melalui kepala orang-orang
yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya
dan terus melesat ke luar dari ruangan itu melalui jendela.
"Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya
seorang wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang
sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar
dia, biarkan dia pergi... ahhh...!" Nirahai terhuyung dan cepat
dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya.
Semua tokoh Thian-liong-pang menghentikan gerakan mereka, menghadap
Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda
bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.
"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus
kalian akui bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang
sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"
Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua
Thian-liong-pang itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali
memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata,
"Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan
Locianpwe karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk
kecuali ingin bebas dari dalam... neraka di bawah sana."
Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua
kesalahanmu kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan
nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan
menghadiahkan apa pun yang kau minta. Ajukanlah permintaanmu, kalau
engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."
Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan
rasa permusuhan dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja
sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan
tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik,
terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua
Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,
"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Sebenarnya
teecu tidak menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan... jika
Locianpwe tak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para
tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."
Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup
pantas, bahkan cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan
mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang
tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan
mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda
dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri
terpenuhinya permintaanmu."
Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama
kemudian dia sudah keluar lagi mengiringkan lima orang ‘tamu’, di
antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu
memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh
Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan
disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih
kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka
dengan baik sungguh pun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!
Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil
berpamit dan mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa
sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata, "Selama
berbulan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan
di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."
"Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.
Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah,
alisnya berkerut dan dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka
seorang taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan membela
yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh
Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku telah salah lihat...!"
Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan penasaran.
Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.
"Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun
Beng bukanlah orang Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas
permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."
Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat.
"Ahhh, maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan
untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang,
biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku
berada di sini. Yaitu... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi
menerima, aku... ingin menyerahkan puteri tunggalku sebagai jodoh
Taihiap!"
Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya
mendengar ini. Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok
Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu
saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura
dan berkata,
"Ang-locianpwe... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe... akan
tetapi soal itu... hemm... soal jodoh... ehhh, belum terpikir olehku,
karenanya, bukan aku menolak, hanya... tak mungkin aku dapat menerima
hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa
tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."
Kakek itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga
untuk seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan
besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku
akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian,
sekali lagi kakek itu menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan
itu.
"Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak
terima kasih atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah
dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua."
Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa
tidak enak sekali akan ‘pinangan’ Ketua Bu-tong-pai tadi yang
disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana!
Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera
membubarkan anak buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh
Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya.
Bubarlah para anggota Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng
dengan penuh kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo,
termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan saat mendapat
kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat
lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu.
Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan
Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para
anak buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng
yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak
Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri
Pangcu! Biar pun dengan hati takut-takut dan berdebar tegang, beberapa
hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai menyampaikan
niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng!
Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya,
sedangkan Sai-cu Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka
dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang akan menjadi
jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan
merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan
serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita itu menjawab,
suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang
mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.
"Sai-cu Lo-mo, sudah kau pikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau
mengingat akan dirimu, dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang
di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang
tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan
tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah
keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak Liat yang merupakan
manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa
Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari
perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat terhadap Bhok
Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda itu,
melamar anakku?"
"Maafkan kelancangan saya, Pangcu..." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya
gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan
saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang
dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah
kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran
tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah seperti Gak Liat? Akan
tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.
Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata
lagi, "Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal
aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau
akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah,
mundurlah!"
Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa
sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri
keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang
pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum
pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri
itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti! Apakah
Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia bergidik,
ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima
Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar
Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani
melakukan pinangan itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa
dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana
adalah puteri Pendekar Super Sakti!
Baik Nirahai sendiri mau pun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan
mereka tadi terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi
ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu
Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana
merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat
itu, kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik air mata yang
membasahi pipinya.
Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya
bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan
Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan
sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya
masih juga memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya
yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar?
Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin,
bahkan tidak ada keinginan sama sekali menjadi isteri siapa pun juga,
tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga dia tidak tahu apakah dia
cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng
dan merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kini ibunya sendiri menghina
pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa kasihan di dalam
hatinya makin mendalam.
Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari
ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang
menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguh pun kini usaha itu telah
dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan
tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan
perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh
Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh
Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh
putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan
senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.
Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi
dari situ tanpa pamit dan biar pun Nirahai menyebar anak buahnya untuk
mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu
ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas
panjang dan menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya
dia tidak khawatir karena maklum bahwa tingkat kepandaian puterinya itu
sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat. Mengapa
puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit
begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.
********************
Pendekar Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga
muridnya, berdiri di pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu
Pulau Es yang menjemput mereka, telah menanti.
"Kwi Hong, pedang itu tidak patut kau bawa-bawa. Engkau tidak layak
memegang senjata laknat seperti itu." Pendekar Super Sakti berkata halus
sambil memandang pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung
keponakannya.
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh
kang-ouw mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu
pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis sampai
dapat? Setelah sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku,
mengapa Paman berkata demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak
mengerti."
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.
"Memang semua pendekar, baik dari golongan bersih mau pun kotor, ingin
sekali memperoleh sepasang pedang yang ampuh dan mukjizat itu, tentu
saja dengan maksud agar sepasang pedang itu dapat membantu mereka
mengangkat nama, mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari
pedang itu dengan maksud untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak
menimbulkan keributan lagi di dunia."
Tangan kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut. "Mengapa, Paman? Mengapa hendak dilenyapkan?"
"Engkau tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali.
Sungguh pun yang membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar
wanita Mutiara Hitam, namun sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh
roh jahat dari pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga
sepasang murid Mutiara Hitam pun menjadi korban saling bunuh. Akulah
yang mula-mula menemukan mereka saling bunuh, kasihan mereka..." Suma
Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis.
Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang
olehnya, melainkan wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling
dicintanya, yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia lalu menghela
napas panjang. "Aku menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang
Iblis. Kemudian sepasang pedang itu lenyap dan kini yang sebatang
terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku akan tenang kalau engkau
bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada
ilmu yang baik atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik
atau jahatnya tergantung dari pada si pemakai, bukankah demikian? Kalau
pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau
dipergunakan untuk kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman,
bukan sekali-kali saya hendak membantah kehendak Paman. Jika Paman
menghendaki, saya akan menanggalkan pedang ini dan terserah hendak Paman
apakan pedang ini. Tetapi, pedang ini adalah pemberian Bun Beng,
dan..." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan
mukanya.
Suma Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"Ah, hampir aku lupa bahwa engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong.
Engkau telah dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah
engkau mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat
muka, berkata tanpa berani menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak
tahu, Paman. Hanya... saya pikir... tidak baik kalau menyia-nyiakan
pemberian orang, apa lagi kalau dilenyapkan begitu saja... dan dia...
sudah begitu baik kepada saya ketika bertemu dengan Tan-siucai dan
Maharya, rela mengorbankan diri terluka hebat. Aihhh, mungkin sekarang
dia... dia... dia telah... mati..."
"Jangan khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia
sampai di Pulau Neraka dan menyerahkan suratku, aku yakin dia akan
tertolong. Nah, biarlah sementara ini kau bawa pedang itu, apa lagi
engkau harus menjaga keamanan Pulau Es. Aku hendak pergi mencari
Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali Hok-mo-kiam, sebab kalau
ada pedang itu padaku, aku tak khawatir lagi kalau-kalau Sepasang Pedang
Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah dan hati-hati menjaga
pulau."
Kwi Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke
utara sampai jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang
kadang-kadang lenyap oleh naik turunnya ombak, Pendekar Super Sakti lalu
membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya.
Diam-diam dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun
Beng. Dia melihat anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik
sekali. Dia tidak mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena
bukankah ayah Kwi Hong sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik
dari pada Si Setan Botak Gak Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran
itu terlalu jauh melayang karena keadaan Bun Beng sendiri belum
diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan lukanya amat berbahaya.
********************
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng mengalami
kemajuan amat pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat.
Bintang Kerajaan Mancu ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang
ketika pemerintahannya berada di tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722).
Kaisar ini ternyata adalah seorang yang berbakat dan ahli untuk menjadi
pemimpin. Dia seorang jenderal perang yang amat pandai mempergunakan
tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik dari kaum
patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu,
sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah
perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi
satu. Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih
melawan bangsa Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan
dalam tahun 1681. Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh
dibilang menguasai seluruh Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi dari
pada wangsa yang sudah-sudah.
Bangsa Mongol yang dahulu membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan
merasa kecewa oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian
keuntungan, lalu memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang
amat gigih dan kuat itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di
bawah Kaisar Kang Hsi dan akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan
dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam mengejar sisa-sisa pasukan Mongol,
bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan menguasai pula.
Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng. Batas-batasnya sampai di
seluruh Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah
selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang
mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga,
di antaranya Afganistan, Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia,
Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng
di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar upeti!
Kaisar Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam
urusan politik dan sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor
diberantas hingga pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan
penyuapan, hal yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak
pernah dapat diberantas oleh kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan
yang sehat dan jujur disusun, kaum penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman
berat dikenakan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan jahat.
Di samping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok.
Kebudayaan itu diperkembang luaskan, bahkan dia mengundang
sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli pikir untuk menduduki jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahannya. Tentu saja undangan dan sikap Kaisar ini
mendapat sambutan yang hangat dari kaum terpelajar, dan sekaligus
merubah pandangan mereka yang tadinya benci akan penjajahan terhadap
bangsa Mancu ini.
Membanjirlah kaum sastrawan dari pelbagai daerah ke Peking yang menjadi
kota raja. Mereka diterima oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai
dengan kepandaian masing-masing. Bukan hanya kaum sastrawan yang
mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini memberi kesempatan
kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai, untuk membantu
pemerintahannya, menerima mereka serta memberi kedudukan-kedudukan yang
menjamin kemewahan dan kecukupan hidup bagi mereka. Inilah sebabnya
mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya
terdiri dari pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh perang,
juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia kang-ouw.
Setelah keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah
ditumpas dan orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada
kerajaan baru ini, mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan
dalam istana. Sudah lama dia merasa tak senang dengan hilangnya
puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa besar ketika Kerajaan Mancu
sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang memberontak. Dan
semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han yang
terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Setelah Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang
Hsi mulai memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan
menyerbu Pulau Es, menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan
mencemarkan nama dan kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali
Puteri Nirahai ke lingkungan istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai
banyak sekali pembantu terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini
mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu dan
Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es.
Pada suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat
menjadi koksu dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap
Kaisar bersama dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek
yang bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi ‘orang
pertama’ di antara jagoan istana, bahwa dia pula yang membentuk barisan
pengawal kaisar istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang
lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta
Lama dari Tibet yang jarang dapat menemukan tanding.
Ketika Kaisar menerima kunjungan Koksu-nya, Kaisar memandang dengan
wajah tertarik kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu.
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berwajah tampan dan
bersikap halus berpakaian sebagai sastrawan, bersama seorang kakek India
yang berpakaian sederhana, seperti biasa kaum pertapa India, hanya kain
panjang yang dibelit-belitkan tubuh, bertelanjang kaki, dan bersorban.
Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya
adalah paman guru Sang Koksu sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini
dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya sebagai
tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki
mengangkatnya sebagai penasehat dalam urusan keamanan. Juga murid
pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki, seorang siucai yang
selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastra, diberi kedudukan,
mencatat dan mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru
dan murid ini merasa girang sekali dan berlutut menyembah menghaturkan
terima kasih.
Dengan masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan
kerajaan menjadi makin kuat, apa lagi selain Maharya dan Tan-siucai,
banyak pula orang pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi
pengawal-pengawal dan panglima-panglima pengawal.
Setelah mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya
dan dia menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk
menyerbu Pulau Es. Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini
dengan alasan bahwa Pendekar Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan
pelayaran menuju ke pulau itu berbahaya sekali. Namun, kini dengan
bantuan paman gurunya yang dalam ilmu kepandaian bahkan lebih tinggi
sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia menyanggupi perintah itu,
lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri dari
pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula.
Dari barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang
cukup besar dan kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam
pelayaran.
Berangkatlah pasukan yang terdiri dari tiga ratus orang itu, selain
dipimpin oleh para panglima pilihan, juga dikepalai sendiri oleh Bhong
Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa
orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar
melayarkan mereka menuju ke utara, seolah-olah sebuah armada yang hendak
menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar adalah, menawan Pendekar Super
Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka
melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di
pulau itu!
Tidaklah mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan
Pulau Es, akan tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda
kapal yang berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di
antara pulau-pulau yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa
mereka telah terlalu jauh ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu
terdapat Pulau Neraka yang namanya menggetarkan dunia orang gagah!
Pulau Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang
menyeramkan, dengan batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar
pulau sehingga amat berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani
mendekatinya. Namun, karena yang mereka cari adalah Pulau Es, maka lima
kapal itu tidak memperhatikan pulau-pulau lain, mereka hanya meneliti
kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna putih, yang permukaannya
tertutup es dan salju.
Setelah hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu
kapal-kapal itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang
dingin di bawah sinar bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari
atas tiang di mana terdapat penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong.
Pada waktu itu teropong merupakan barang baru yang telah dimiliki oleh
pasukan Kerajaan Ceng.
Mendengar teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan
malam itu mengepalai penjagaan, cepat meloncat dan memanjat tangga tali
menuju ke atas.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya.
"Ciangkun, harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata sambil menyerahkan teropongnya.
Bhe Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan heran! "Lekas beritahu kepada Koksu!"
Penjaga itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun
yang sedang duduk makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya
di ruangan kapal besar.
"Hamba melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda
mencorong yang aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor
kepada Taijin."
Mendengar ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama,
Thai Li Lama dan Tan-siucai segera keluar menghampiri tiang besar yang
ujung atasnya digunakan untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan
teropong.
Bergantian Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan
melayang ke atas untuk memeriksa benda aneh di timur itu dengan
teropong, sedangkan Tan-siucai terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe
Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe
Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu naik cepat sekali, seperti
berloncatan dibantu oleh tangga itu.
"Ahh, tidak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata Im-kan Seng-jin setelah turun kembali.
Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang
mencorong tertimpa sinar bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya
pulau yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan sinar
bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari
terlalu terang. Akan tetapi, sinar bulan yang lembut membuat cuaca
remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak.
"Besok pagi kita menuju ke sana. Kalau memang benar di sana letak Pulau
Es, setelah mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau.
Pasukan dibagi dan dari sekarang kita harus mengatur rencana," kata
Bhong Ji Kun.
Dia segera mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin
pasukan. Malam itu juga dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin
oleh komandan masing-masing, juga masing-masing pembantunya mengepalai
pasukan sekapal. Kapal pertama dipimpin oleh koksu sendiri, kedua oleh
Maharya, ketiga dan ke empat oleh kedua orang Lama, sedangkan kapal
terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga, mereka yang ditugaskan pindah
ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan diri, yang tidak
tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika menghadapi
pertempuran.
********************
Kwi Hong yang berlayar di atas perahunya mengaso di dalam bilik perahu,
membiarkan perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau
Es. Ketika perahu itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur
cepat menyambutnya. Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan
bertubuh tinggi besar, dan di dalam perahu penuh dengan ikan besar.
Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau
Es, sute dari Yap Sun. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tampan dan
gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di punggungnya
tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya
memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong
berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas ikan-ikannya,
kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut.
Ketika perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda
itu meloncat ke atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha
orang, ikan yang kulitnya keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan
mentah saja sudah kelihatan enak!
"Selamat datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku
berhasil mendapatkan seekor kakap merah yang sangat lezat. Nah,
kupersembahkan ikan ini kepadamu, Nona!" kata Thung Ki Lok sambil
tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan bersih.
Hati Kwi Hong sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang
dikhawatirkan keadaannya. Dia menjadi makin sebal melihat penyambutan
yang amat ramah ini. Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera
pembantu pamannya ini menaruh hati kepadanya. Sungguh pun Ki Lok tidak
pernah membuka rahasia hatinya dengan kata-kata, namun dari
gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya, jelas menyatakan
bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta kepadanya.
Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak
senang!
"Terima kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak," dia berkata sambil melompat ke darat.
Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan
mukanya, dia meloncat pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong
sambil berkata, "Biarkan kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan
panggang, bukan? Akan kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap
kau jangan makan dulu, tunggu sampai ikan ini matang dan..."
"Sudahlah, Lok-ko, kau makan sendiri ikan yang dengan susah payah kau
tangkap itu, kau makan bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima
kasih!" Kwi Hong lalu meloncat ke depan dan berlari ke tengah pulau.
Tinggal Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas
kedua lengannya, dan berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang
lenyap di antara pohon-pohon.
"Thung-kongcu, wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat,
kalau didekati terbang menjauh. Lihatlah..." Seorang di antara anak
buah Pulau Es menuding ke arah pulau.
Ki Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu.
Musim ini, di mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa
macam pohon sehingga kelihatannya lebih hidup dari pada di musim dingin
yang membuat pulau itu gundul sama sekali.
Di antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan
seorang pemuda, bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke
dalam perahu, melempar ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan
lain lalu mendayung perahunya menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang
tukang perahu itu hanya menghela napas panjang karena mereka pun maklum
bahwa seolah-olah terjadi perebutan antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui,
seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es yang diambil murid oleh
Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es untuk urusan
dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang
seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es
itu, Kwi Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang
memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan
mereka.
Pemuda yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia
berusia dua puluh enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki
Lok, akan tetapi sedang dan wajahnya tampan sekali, juga dalam hal
bicara dan mengambil hati, dia lebih pandai dari pada saingannya yang
agak kaku. Memang sifat kedua orang pemuda itu jauh berlainan, sungguh
pun keduanya sama tampan dan sama gagah.
Semenjak kecil Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang
panasnya matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan
alam di samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka
dan jujur, pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi
murid Phoa Ciok Lin dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi
karena gurunya adalah wakil Pendekar Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin
adalah murid dari iblis betina Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah
menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat, Kwee Sui juga suka
belajar ilmu sastra dan ia selalu mengenakan pakaian bersih dengan
potongan seorang sastrawan.
"Hong-moi, engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap,
mengapa tidak ikut pulang?" demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap
ramah.
Sebagai murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan
Kwi Hong dan menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang
menyebutnya nona. Ada pun semua anggota Pulau Es menyebut taihiap
(pendekat besar) kepada Suma Han yang tak pernah suka disebut Pangcu
(ketua perkumpulan) atau To-cu (majikan pulau).
"Paman masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh, engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang
paling kau sukai, Hong-moi. Apakah kau juga ingin mandi air hangat?
Biarlah kusuruh pelayan menyediakan..."
"Terima kasih, Sui-ko, tidak usah repot-repot. Jikalau aku perlu, aku
akan menyuruh sendiri," jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang
hatinya. Datang-datang dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang
pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh, engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang itu... ihhh, bolehkah aku melihatnya?"
Kwi Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa...!" Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah.
Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya,
dan ia bergidik setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis
itu tersenyum, setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan
kagum bukan main melihat Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja agaknya sudah dapat membunuh orang!"
"Hemm, tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara Siang-mo-kiam."
"Sepasang Pedang Iblis...?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar
memandang ke arah pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang
Kwi Hong. "Yang sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?"
Kwi Hong hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko.
Sudahlah, aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu
lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang Pedang Iblis..." Pemuda itu berbisik dan bergidik, tetapi
hatinya ingin sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan
yang ia dengar diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw
itu.
Setelah bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam
pelayaranku pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu
milik pemerintah dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap
Bibi suka perintahkan anak buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku
amat lelah dan ingin beristirahat."
Phoa Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah
kapal perang pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo, biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee
Sui yang ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan
Kwi Hong itu.
"Baiklah, lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa
kehendak mereka mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang
memancing keributan dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita
terlibat dalam permusuhan dengan pihak mana pun juga."
"Baik, Subo, teecu mengerti."
Setelah Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh
Pulau Es, terutama sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok,
untuk mengatur penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau,
kalau-kalau ada pihak musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua
penduduk Pulau Es, mereka melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala
kemungkinan selagi majikan mereka tidak berada di pulau.....
Sementara itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil,
meninggalkan pulau melalui celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh
penghuni Pulau Es. Biar pun pemuda ini tidak sepandai Ki Lok dalam hal
mendayung perahu, namun karena semenjak kecil dia berada di atas pulau
yang dikelilingi lautan dan karena tenaga sinkang-nya amat kuat, maka
perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia menggerakkan dayungnya. Dia
tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di situ, maka setelah
mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung perahunya ke
pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu tertidur
dalam perlindungan dua buah batu besar.
Kwee Sui pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu
suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum
tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah
sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri
hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, tetapi
ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong
juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda
itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.
Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti
pagi, dan tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang
pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan
lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin
kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan
berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong papan diikatkan di
bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh
seorang pun penjaga Pulau Es!
Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan
mengurung pulau, akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak
seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang dapat
‘berjalan’ di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan
bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apa lagi pendeta Lama ini
mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil
terikat di situ, Thian Tok Lama merasa girang sekali. Ia memang ingin
menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan
dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu
menotok jalan darah di belakang leher Kwee Sui. Pemuda ini terkejut,
terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena kedua pasang
kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara!
Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan
meluncur dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya
itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua
lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau
dilihat dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari
di atas air!
Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian
pendeta yang amat luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang
cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang
dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi.
Kalau yang datang itu adalah musuh dan memiliki orang-orang yang begini
sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apa lagi pada
waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus
berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya
karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini menawannya.
Setelah tiba di atas salah satu di antara lima kapal yang mengepung
Pulau Es, Thian Tok Lama membawa Kwee Sui langsung kepada Im-kan
Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian
indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di
kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap,
hatinya menjadi gentar.
Biar pun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada
pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah
menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja sudah mempunyai pasukan yang
lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu
begitu tinggi, apa lagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang
semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur!
Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi
bercuitan menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan... pemuda ini merasa
betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam
ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali
Pendekar Super Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan
berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih tinggi lagi dari pada Si
Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu
sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang
tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan
tombaknya di punggung Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu
Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya
kedudukan koksu ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor
dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan
diri berlutut. Pemuda ini banyak membaca tentang sejarah dan
kesusastraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan kepandaiannya untuk
mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang
dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka,
begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia hersikap
hormat sekali.
"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan
kesalahan apa sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa
yang teratur baik.
"Ha-ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya
bergerak naik turun, botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya
matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya
kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia
setengah liar, atau seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya
dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup tampan,
berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh,
orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan
mendapat kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap
untuk urusan pulau."
"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat
kalau engkau murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap
engkau tidak melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin
hamba dapat melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur
sehingga dapat ditotoknya, juga andai kata hamba tahu bahwa Losuhu
adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"
"Setelah mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun
hamba tidak akan berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit
kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba,
yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada
pemerintah."
Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm,
demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita
bicarakan kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah
engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman
berada di pulau?"
"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang
ditakuti, tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi
Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih
mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka
tentu akan dapat membantunya dengan baik.
"Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap
Sun, Paman Thung Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama
sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona
Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di
Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan
dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan orang di antara mereka
adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi
penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng
Ciu-sian-li."
"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat
memberontak dalam hati para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba
mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir
bagi Kwee Sui dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila
pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak menangkap
Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki
Pulau Es."
"Ahhhh...!" Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak
sangat cerdik, tentu dia sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya
memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf, Taijin. Akan tetapi... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"
"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana pendapatmu?"
"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap
berada di Pulau. Kalau sampai mereka melawan... aihhh, hamba tidak dapat
membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat
tinggi, juga kedua Paman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum
lagi belasan orang saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona
Kwi Hong... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa lihainya, telah
mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah
memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu
berseru, yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri,
Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu
dan semua pusaka di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi
mempercayai hamba. Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan
pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah
diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi
Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan
membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba
mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil
penyerbuan ini dan jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar
dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba
minta kepada Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau
Es..."
"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu... harap dia jangan
dilukai apa lagi dibunuh... jika menjadi tawanan supaya diserahkan
kepada hamba... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya akan
menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan
Taijin."
Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan
isi hati pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini
ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat
menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andai kata tidak ada
persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda
tinggi besar yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar
di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan
mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah
muka Kwee Sui sambil membentak.
"Manusia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari
diberi makan dan dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi
engkau ini manusia lebih hina dari pada anjing, setelah segala kebaikan
yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama
hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah
melangkah maju, akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan
dan jangan serang dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui,
"Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak
disangkanya bahwa saingannya itu berada di sini dan mendengarkan
ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki
kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang
luar biasa.
"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang
membenci hamba karena dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek
Pendekar Siluman. Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda
macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah melakukan
hal-hal yang bodoh, pikirnya. "Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk
membuat jasa kepada kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang
tadi dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui
menghampiri Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan
hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi
karena di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa.
Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita tentukan siapa di antara
kita yang hendak hidup!"
"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh,
maka berani bicara besar! Apa kau kira aku takut menghadapi macammu dan
para majikan barumu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggggg...!"
Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang
dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan
yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi, menggerakkan
pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi
segulung sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok.
Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja
ilmu silatnya lebih lihai dari pada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi,
terutama sekali ginkang-nya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang
luar biasa, membuatnya selalu tenang dan biar pun gerakan goloknya
tidak secepat gerakan pedang di tangan lawan, namun karena dia
menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia
dapat melindungi tubuhnya dengan baik.
Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat
kenyataan bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi,
lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya,
bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong
yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan
pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan kepandaian
Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda
itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk
menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh
kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga
berusaha untuk membunuh Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan
Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang diperebutkan cintanya,
dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau
dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa
Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan
cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee Sui, dan ia
hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok
mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia
terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!"
Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok.
Pemuda ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya
tarlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi
besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang
berwarna merah oleh darahnya.
Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya.
Ketika mendengar suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan
menjatuhkan diri lagi berlutut di depan koksu itu.
"Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu.
Nah, sekarang bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat
mendarat?"
"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda
dengan sobekan-sobekan kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang
aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk membujuk mereka
agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin
hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri
Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan membunuh Nona Kwi
Hong andai kata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia
untukmu. Akan tetapi selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan
pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan atau
hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang
cukup tinggi."
"Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."
"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."
"Baik!"
Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah
diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan
jantung berdebar. Biar pun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun
hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan
kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik.
Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil
dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang
pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi
Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan
dan diserahkan kepadanya, hemm... sudah pasti dia akan memaksanya
menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan
tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi
Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik dari pada ‘mati
kering’ di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi
Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.
Setelah mendapatkan perahunya, Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain
putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau
sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain
putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih
berunding dengan Kwi Hong, bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau
memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang
berniat buruk.
"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai aku menyuruh Ki
Lok pergi menyusulmu. Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya
menegurnya.
"Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.
"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Lok-te telah tewas mereka bunuh...!"
"Apa...?!" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang
tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah
tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan
tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya
mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki
Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong
yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar
betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh
musuh.
"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk
teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi
teecu dapat merayap naik dan selagi teecu hendak mencuri pembicaraan
mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan
mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung
Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik
air mata.
"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi
Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan
dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara
yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu
menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan
terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu
mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan
membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap
kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu
melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku
mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa
perlawanan?"
"Oh, tidak... tidak... mana teecu berani? Teecu cuma menyampaikan hasil
penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo
dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan
taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia
menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena
Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam.
"Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka
bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau,
melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.
"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat.
Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman dari pada Kwi Hong karena dia
adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah
menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat,
engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji
(Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan
di selatan, ada pun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi
serbuan kapal ke lima, dari mana pun datangnya. Kebetulan kita di sini
berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal
itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau
sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah,
membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan
masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya,
tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Saat ini kita
menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa
lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat
berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak
mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam
ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata
halus, "Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka
memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa.
Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja, kita akan
hancurkan mereka semua!"
"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi
langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah,
tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian
mudah terbunuh apa lagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti
pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan
mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku?
Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di
tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekali pun!" Kwee Sui
berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam
pemberian Taihiap."
Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan
pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu
melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu,
Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan
pedang yang ampuh dan mukjizat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat
ganda."
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat
berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui
menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya
pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya.
Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi,
Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak!
Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil
bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai sibuk bekerja
memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur
dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.
"Haiiii...!" Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat
sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu
adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.
"Kwee-kongcu... apa yang sedang kau lakukan itu?" Salah seorang di antara mereka menegur.
Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat
adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam. Dua
orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah
membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain
saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari
leher, terbabat Li-mo-kiam!
Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai
melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan
hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi
setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat
putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah
darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.
"Li-mo-kiam... hebat...!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu
menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu
dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju.
Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya,
kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba
terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan
tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu!
Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa
di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih
yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu.
Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan
pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas
dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat
petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat
ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan
terjadi perang yang mati-matian. Biar pun jumlah penghuni pulau kalah
banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para
penghuni menang kuat dalam tenaga sinkang.
Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih
sinkang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa
dingin yang lebih kuat dari pada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata
menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau
Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau
Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa
dingin yang menusuk tulang.
Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es
tidak dapat saling membantu karena mereka menghadapi musuh masing-masing
yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama
pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin
oleh Tan Ki atau Tan-siucai.
"Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"
"Selamanya Pulau Es tak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang
pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau
mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara kereng.
"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap
pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu
kalian pun ikut berdosa kalau melawan."
"Orang muda, engkau berpakaian seperti sastrawan, namun memimpin
pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu
banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak,
serang mereka!" Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah
anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang
jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju
dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sastrawan itu.
Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari
kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan
Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan
Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di
dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya,
dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.
"Bagus!" Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah
mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang
dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh
karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun
sehingga pedang itu berwarna hitam!
Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki
mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek
ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis,
namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka
mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur
sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang
dari lain jurusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling
serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana
setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang
kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu
lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang
merupakan orang kedua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu
silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama,
pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa
harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh ginkang dan ilmu
silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa
mukjizat dari ilmu hitam.
Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat
berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena
hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang
mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat itu. Untung bahwa sebagai pembantu
istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin
yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil
mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga
anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.
Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki
keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan
pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja
jauh lebih lihai dari pada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun
menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat
membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek Maharya menerima
pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun
mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat
ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik
Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan
Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.
"Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.
"Heh-heh-heh!" Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia
telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram
dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala
bagian ubun-ubun copot!
Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan
menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima
air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan
sinkang-nya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu
terguling!
Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es.
Di antara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri
menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan
diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata
rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali,
yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang
Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak
menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur
dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.
Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee
Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut
kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu
bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apa lagi
ketika Kwee Sui berseru.
"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja, tentu diampuni!"
Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka
semua adalah orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak
terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar
seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka
mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan
diri dengan serangan butiran-butiran es dingin.
Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis
perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang
dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biar pun Bhong Ji
Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman
gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang
amat berat, apa lagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah
pasukan pengawal yang paling kuat!
Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus
berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat
menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui.
Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan
mata dari pedang yang berlapis perak ini.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar
Siluman, Nona? Pantas... pantas... banyak pemuda yang tergila-gila
kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak
disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang
begini cantik..."
"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali, segera pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh...!"
Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona
itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat
bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia
sendiri merasa jeri terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman
gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya
sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan,
sungguh pun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan
kelihatan lemah.
Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah
Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara
senjata-senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pecut kuda yang berwarna
merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias
permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai
seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk
kuda, apa lagi di waktu dia menyiksa lawan.
Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan
keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang
pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di
dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga
meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk
melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!" Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur
turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher,
tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.
"Haiiiittt!" Kwi Hong melengking nyaring.
Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung
melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan,
mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya
hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan
cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang
terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!
"Hehhhh!" Ia mengerahkan sinkang, mengeraskan perut dan dada, menahan
pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan
tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat
kaki Kwi Hong.
Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan
pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan
tangan kirinya tidak lupa mengirimkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang
dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian.
Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini,
pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini
lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu,
melainkan terutama sekali sinkang-nya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin
gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran
hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan
berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya
kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin
luar biasa!
Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia
akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee
Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis
itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui,
mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh
kali dari pemuda itu!
Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih
mudah dari pada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat
tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah
pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat
tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak
akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biar pun koksu itu jauh lebih
berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apa lagi
untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan
Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat,
bersilat dengan hati-hati sekali.
Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam
kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mukjizat itu, agaknya dia
masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini.
Akan tetapi dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan
keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun
menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan
koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah,
karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun.
Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya
itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari
pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat,
didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es
penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan
alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng.
Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan
untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang
cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut
pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka
dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan
peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia
terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu.
Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang
berjajar seperti baris!
Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa
disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin
membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es!
Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia
terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan
hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg...!"
Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri
dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah
berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu
ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu
menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata
orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya
oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia
memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.
"Sahabat, siapa pun adanya engkau... tolonglah... tolonglah cari Taihiap..."
"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap... To-cu Pulau Es... katakan... ahhhh, katakan... Pulau Es...
diserbu pasukan pemerintah... Koksu Negara... dan si pengkhianat Kwee
Sui... pulau kami terancam... aaahhhh..." Pemuda yang gagah perkasa itu
menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng
mendengar ucapan tadi.
Bun Beng merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, kemudian mengangkat
muka memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik
pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak
ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!
Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga
perahunya meluncur cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara
hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia melihat
tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu
mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya.
Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak
mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah
pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera
memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih
itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengah pulau. Ia melihat
pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang
tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau
yang mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding
mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan
Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat
terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok
dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat.
Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.
"Sui-ko, bantu aku...!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum.
Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat
dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak,
dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia
lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki. "Engkau pengkhianat hina!"
Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit
lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan
tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang.
"Desss!"
Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong,
membuat gadis itu langsung roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh
ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena
terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan
kepandaian Bhong Ji Kun.
"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia
lolos," kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam...?"
"Sudah di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.
"Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."
Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu
dan membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia
membawa tubuh itu ke atas kapal besar.
Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau,
dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi
Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula ketika tiba-tiba muncul
Kakek Maharya yang telah mengejar sampai ke situ. Tampak Maharya marah
sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.
"Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.
Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu tertawa, tangan kirinya
mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun
berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu
yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek
itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan
kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung!
Pedang mukjizat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh
Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam
dan nyawanya melayang!
Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada
suhu-nya, "Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan
yang boleh juga."
"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga."
Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan
perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini
mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia
pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tangan
kosong.
Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok
Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh,
manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu
senang!"
Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki.
"Tranggg!" Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.
"Wah, lihai juga...!" serunya.
"Hemmm...!" Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan
angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit
dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu
meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan
musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.
Maharya memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke
belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah
menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya
bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat
ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman,
dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman
muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!
"Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.
"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget.
Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat
tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran,
dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka
ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan
kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan
telapak tangan pula.
"Plakkkk!"
Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan
itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya
memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat
gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya
menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya.
"Aeeehhhh...!" Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan,
wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin
mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!
"Serbu...!" Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju.
Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa
adanya itu, sungguh pun wajah pemuda tampan itu seperti pernah
dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi
pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng
masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng
masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"
Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang
dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar
Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak
Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar
saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah
roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke
tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah.
Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya
merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.....
"Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku
melayani bocah sombong ini!" Sambil berkata demikian, Maharya yang
merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga
sinkang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu
bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam
sekali dan kedua ujungnya yang melengkung amat runcing.
"Sing-singg-singgg...!" Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang.
Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas
dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat
Sam-po-cin-keng yang mukjizat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan
kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat
yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat
golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li
Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin
pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak
buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.
"Orang muda, engkau kini merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba
Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng
terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.
Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia
teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya
yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia telah
mengerahkan sinkang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar
tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput.
"Dar! Dar! Blengggg...!"
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asap
hitam bergulung-gulung. Beberapa orang prajurit pemerintah roboh,
bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah
benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu
menghantam tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam.
Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu.
Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan,
terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan prajurit pemerintah. Pasukan
pemerintah menjadi kacau balau, ada yang lari bersembunyi, ada yang
bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama
dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga
mereka sibuk mengelak ke sana sini.
Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia
mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh
tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri
rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka
ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga
bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu
anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio...! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya Kwi Hong?"
"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."
"Kwee Sui...?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.
"Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain
jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi
Hong!" Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari
situ.
Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera
membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah
tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di
depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan
yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggota pasukan yang
roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa menarik mundur pasukannya
dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih
banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak
tampak sama sekali.
Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak
berunding membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang
asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan
bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di
atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ
bersama selusin orang prajurit. Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan
tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan
suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan
Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan
matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan
serius.
"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan
sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum
begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga
bulan dia mampus. Bagai mana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan
kepandaiannya malah demikian hebat?"
"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong
Ji Kun sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah
pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia
Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."
"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya.
"Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang biasa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka itu selalu bertentangan dengan Pulau Es?"
Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan
perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai
jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun
berada di situ, di atas geladak, dia tidak berani naik. Melihat
musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali ia meloncat dan membuat
perhitungan.
Bhong Ji Kun dulu sudah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia
mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk
menolong Kwi Hong, jika dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia
tahu amat lihai itu, harapannya untuk menolong Kwi Hong tentu akan
buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai
jangkar, mepet di badan kapal.
"Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama dua orang Lama turun ke pulau
melakukan penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa
orang yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak
itu."
"Kebakaran...!" terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang
tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji
Kun terkejut, apa lagi ketika mendengar suara dari atas.
"Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di
tali-temali layar dekat tiang besar, tampaklah tubuh seorang wanita yang
bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kaki sedangkan kepalanya
tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di
bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih
sekali itu benar-benar amat menyeramkan, apa lagi kehadirannya dengan
cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik Maharya mau pun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita
yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran ginkang
luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka
adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali!
Siapakah wanita itu?
Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti!
Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ
membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk
mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana
telah terjadi perubahan besar sekali.
********************
Putera Lulu bernama Wan Keng In telah menjadi seorang pemuda berusia
tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena
sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan
puteranya itu, apalagi setelah mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan
Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah
Mancu.
Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu sering kali
keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biar pun
berkali-kali Lulu memarahinya namun anak yang amat manja itu selalu
melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan
tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung
sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,
"Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang
ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana
mungkin mendapatkan pusaka ini?"
Lulu mengerutkan alisnya, lalu memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kau banggakan itu?"
"Lihat, Ibu!"
"Singggg...!"
"Aihhhh...!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika
pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan langsung keluar dari
sinar pedang itu. "Itu... itu... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian,
pedang jantan, sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil
kurampas!"
"Siang-mo-kiam...!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis.
"Han-koko...! Ah, Han-koko... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu... Sepasang Pedang Iblis...!"
Keng In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut
dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko!
Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia
telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu,
ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya.
Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan
kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"
"Keng In...!"
"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia
itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia
mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa
pula Ibu sering kali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat
Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah
sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapa pun juga,
Pendekar Siluman dari Pulau Es itu sudah banyak membikin Ibu menderita,
oleh karena itu, pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan
membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng In... kau... kau tidak mengerti... jangan kau bicara demikian. Tak
perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja
kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya,
apa lagi engkau. Kau kira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super
Sakti?"
Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam
menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu,
terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin
panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan
diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah
Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."
"Singggg... cuit...!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In
sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang
luar biasa hebat dan dahsyatnya.
Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang
mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk
lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main
sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang
itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu
betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya
dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang
tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,
"Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"
Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku..., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"
Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu,
melainkan masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!"
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik
beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat,
kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang
terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi
burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil
berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia
menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biar
pun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua
sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang
gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu terkejut bukan main. Ginkang yang diperlihatkan puteranya tadi
sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat,
sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi
juga amat dahsyat, membuktikan adanya sinkang yang mengandung hawa
beracun jahat!
"Keng In! Dari mana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"
Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu,
sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam
penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa
aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid
Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi
tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu,
para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu
kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ketiga saja dari Pulau
Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa,
melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh
pertama dan kedua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah
orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan
jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."
"Hehh...? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran.
Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi
pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar
tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka
kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara
tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat
sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka.
Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."
"Dan yang kedua?"
"Menurut Suhu, orang kedua itu adalah sute-nya, seorang kakek yang aneh
sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang
sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau
bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah
Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga
mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya
yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba
kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan
semua tokoh Pulau Neraka."
"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai
mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh
pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di
sini?"
"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apa lagi
terhadap manusia lain, kecuali... eh, terhadap Pendekar Super Sakti!
Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu
menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka
hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang
Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya.
Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han
diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi
Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang
yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan
memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han!
Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu
bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk
memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma
Han. Apa lagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami
Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat dari pada
Nirahai!
Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau
Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia
cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama
Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka,
yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke
Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak
perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih,
membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau
Neraka tanpa memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak
diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua
Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan
pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han.
Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan
pemerintah terhadap pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu
terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap para penyerbu
yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan
terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu
diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak
yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh
kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata
rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada
tali layar dengan tubuh berjungkir kepada Koksu Bhong Ji Kun dan
Maharya.
"Wanita iblis...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah
senjata rahasia berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala
wanita yang menggantung di atas itu.
"Wiirrr... singggg...!"
Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa
berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini
seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan
menyerang lawan seperti benda hidup! Juga suaranya yang berdesing,
mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada
lawan.
Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan
seolah-olah tidak melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah
menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti
hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu,
terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba
kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan
kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena
diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak
sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah,
melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul
secara aneh itu.
"Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
menegur. Pembesar ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang
sembarangan, maka dia mengambil siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio
membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"
Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis
sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Akan tetapi karena
keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia
seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang
memandang dari bawah.
"Aku siapa tidak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu
ketenteraman daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang
ditinggal pergi pemiliknya!"
"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak marah.
Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya.
"Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau
Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak
pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak
mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau
Es!"
"Mengapa tidak? Jika kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!"
Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau
menentang pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau
Neraka adalah wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang
itu, dan terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di
atas tiba-tiba melayang turun seperti seekor burung menyambar. Para anak
buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka
menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan
serangan dahsyat, bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan
yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang bergagang pendek.
"Siuuuuttt... singgg!"
Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh
seorang perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar.
Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini
tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang
di udara!
Semua prajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan
tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya.
Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk
datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan,
mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian para prajurit sibuk
memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan
cambuk di tangan Koksu dan senjata bulan sabit milik kakek India, maka
ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak
prajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan
serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu
malah melangkah dekat, menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan
sinkang yang diterima Lulu dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun.
"Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa
telapak tangan kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga
semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung
cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan.
Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya
telah datang menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran
angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan
tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan
dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal kedua
yang datang mendekat.
"Dar-darrrrr...!" Dua buah senjata rahasia yang dilepasnya mengenai bilik kapal kedua sehingga menimbulkan kebakaran.
Kapal kedua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut
kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu
Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan
bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut
sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu,
tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak
sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu
Hong-in-bun-hoat yang amat lihai.
Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis
di udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra
Angin dan Awan). Tetapi setiap coretan merupakan gerak tangkisan mau pun
serangan yang mengandung tenaga sinkang mukjizat. Thian Tok Lama segera
terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun
yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat.
Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali
wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini
menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan
yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti
itu, karena andai kata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan
dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka
bertiga.
Selagi pertandingan kacau-balau untuk mengejar dan mengepung Majikan
Pulau Neraka itu terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu
berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah
lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong
Ji Kun terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru.
Para prajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui,
telah menerima perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan
menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan
para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguh
pun di geladak terjadi keributan, apa lagi ketika mendengar bahwa yang
mengacau hanyalah seorang wanita. Betapa pun lihainya musuh itu, dia
percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan
pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja
menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, kepalamu yang lebih dulu akan kuhancurkan!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak
ada aku, apa kau kira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa
semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak
mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan
mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi
seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar yang
terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!"
Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing, pengkhianat hina!"
Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu
merebahkan diri dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan
kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan
memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan
halus mau pun dengan kekerasan. Selosin orang prajurit yang berjaga juga
mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi dan
kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka
mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak
yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja.
Sebentar saja di antara mereka telah ada yang mendengkur, bahkan Kwee
Sui juga mendengkur dengan enaknya.
Melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, Kwi Hong yang tubuhnya
masih lemas akibat totokan, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua
lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun selain ikatan itu kuat
sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta.
Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya
terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang
papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah
bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah
sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah
sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttttt...!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam.
Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga
girang sekali. Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang
melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di
atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan
tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan
setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk.
Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak
manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan
air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu.
Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan
dari bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba
di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis
itu.
Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui
yang tidur mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui
seperti bukan seorang prajurit atau panglima. Segera dia dapat menduga,
agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es.
Dia meloncat dan pada saat itu, karena lupa menutup kembali penutup
papan, penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras. Para
penjaga terbangun gelagapan, dan ketika mereka melihat seorang pemuda
tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak
di tangan.
Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau...?" bentaknya. "Tangkap dia!"
Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang
biasa saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang
prajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas!
Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda
itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang
dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng
berkelebatan dan langsung terdengar pekik berturut-turut bersama
robohnya empat orang prajurit terdepan.
"Keparat!" Kwee Sui memaki dan....
"Singgg...!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para prajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang prajurit dan menerjang
maju ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biar pun dia tahu
bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia
tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian
tinggi, apa lagi dia memegang sebatang pedang mukjizat. Cepat dia
menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan
sinar kilat dan suara berdesing nyaring.
Bun Beng cepat mengelak. Walau pun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi,
namun berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut
menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan
sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang
Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan.
Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jeri, Kwee Sui tertawa dan
merasa bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak
dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang prajurit, roboh terjengkang.
Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat
membedakan roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk
membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit. Kwee Sui
girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp... auggghhh...!"
Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam
dada dan jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan
pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh
kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee
Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan
masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung!
Bun Beng cepat-cepat meloncat bangun. Sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia
sudah menyambar gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti
pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang
ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata
masih terbelalak sungguh pun nyawanya telah melayang.
Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan
dari pada ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga
yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua
potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi
Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang
lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak.
Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan segera dia... menubruk Bun
Beng sambil menangis!
Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa
disadarinya, jari tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada
di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan
menembus ke dada.
"Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau kami... ahhh... bagaimana nasib mereka...?" Kwi Hong terisak.
Tiba-tiba dia tersadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa
tangan itu membelai dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan
hal ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng,
melompat ke belakang kemudian memandang Bun Beng dengan mata terbelalak
penuh kemarahan!
"Kenapa... kenapa kau memelukku...?"
"Ehhh...!"
"Kenapa kau membelai rambutku?"
"Ohhh...!"
"Gak Bun Beng, kau... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo jawab!"
"Ehhh... ohhh... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau... kau menangis dan aku...
aku merasa bingung, ikut berduka dan terharu... kenapa kau menuduhku
kurang ajar?"
Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan,
dan ia sadar kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul
kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan
bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih
dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan
ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa
pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marah-marah tidak
karuan. Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...," lalu menangis lagi.
"Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini
sebelum mereka turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa
orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan
lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."
"Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa...?"
"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar
tangannya setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu
melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.
Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, harap kau maafkan kelakuanku tadi..."
Mereka turun ke ruangan bawah, kemudian keluar melalui lubang di badan
kapal dan meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan
yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua
kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan
malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu
menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka itu sibuk
memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.
Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat
lalu berlari cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang
mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan
perairan itu, kembali ke Pulau Neraka.
Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang
jenazahnya ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi.
Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin
yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun,
dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah
Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima
puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong
berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan
sebelah kiri dan pedang Li-mo-kiam berkilauan di tangan kanan.
"Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah
takut menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa
kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak
buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat
banyak sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau
kita melawan, biar pun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah
Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan
tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah masih kurang banyak
jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri
meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari...? Dan Istana...?"
"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau
kita melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka
tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan
dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan
terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa
pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun
tidak ingin kelak dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi
pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah tewas.
Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau
Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan
perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu
kecil.
Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tiada
kesempatan menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima
buah kapal besar itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan
tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan
paling depan. Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es terapung yang
seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan
yang hanya diketahui oleh Ciok Lin.
Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan
pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh
bukit-bukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara
bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan
anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di situ hanyalah
mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil
dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana
itu, kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan
pulau itu kini tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena
pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar
habis!
Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak
pasukan, kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang
rampasan berupa harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda
pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar
pulang ke daratan.
Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan
tetapi sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan
tebing-tebing curam dan goa-goa yang sunyi. Tempat persembunyian yang
paling aman dan tempat itu pun hanya diketahui oleh Pendekar Super
Sakti.
Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun
Beng lalu berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti.
Mereka berdiri di tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh
kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.
"Engkau hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar
dan pandang matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini
karena kedukaannya.
"Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali
Hok-mo-kiam yahg dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku
harus membuat perhitungan dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan
hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena penyerbuan
mereka ke Pulau Es."
Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda
ini, akan tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu
melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya
kepada Bun Beng sambil berkata, "Kau terimalah kembali pedang ini, Bun
Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat
berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan..."
"Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu padamu, bagaimana
dapat kuterima kembali? Ataukah... engkau tidak suka menerima
pemberianku?"
"Tidak sama sekali, akan tetapi..."
"Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak
buah Pulau Es sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di
dalam perjalananku, tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala
peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula,
Kwi Hong."
Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan
tempat itu, Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya,
dua titik air mata turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa
berat berpisah dengan pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan
pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng? Dia merasa suka, kagum,
kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat
ditinggalkan. Inikah cinta?
"Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik."
Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik
air mata dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ.
Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.
"Apa... apa maksudmu, Bibi...?"
Wanita itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya,
Hong-ji, dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang
baik, pantas mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa...
dia pun mencintamu, Hong-ji"
"Bibi...!"
"Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat
keadaan kalian orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh,
Hong-ji." Kembali dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu
seperti orang melamun. "Cinta dapat membuat orang menjadi halus
perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja, sampai
nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi
mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan
derita..."
Kwi Hong terharu memandang wanita itu. "Ahh, seperti engkau sendiri,
Bibi. Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan
dan nyawamu?"
Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang, merenung ke
arah lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak
perlu kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak?
Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan
kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu.
Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita dari pada aku, gara-gara dua
orang wanita yang dicintanya... hemmm... cinta dapat mendatangkan neraka
dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama
Gak Bun Beng, Hong-ji..."
"Bibi...!" Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua
orang itu saling peluk dan menangis, bukan hanya karena urusan cinta,
melainkan menangisi Pulau Es yang hancur berantakan.....
********************
Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan
pemerintah menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama
pemerintah telah unjuk gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia
persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua orang kang-ouw gemetar,
kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat
yang mereka duga.
Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau
Es, hanya berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya
kepada Pulau Neraka. Dia lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah
kapal dan seribu orang anggota pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara
mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan di lautan
utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa
yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka
telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu,
seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu,
kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa.
Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia
maklum bahwa tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka
lebih dulu dia memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini
Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan
sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang menduga
bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat bersembunyi dengan
mudah.
Mendengar ini Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu.
Bertahun-tahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan
Thian-liongpang untuk kelak sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk
menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh
pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya bahwa dia
merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar.
Watak wanita yang kecewa dalam cinta benar-benar sangat aneh. Dia
sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Sekarang
mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan
sakit hati! Apa lagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas
perintah kaisar sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab
penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih merasa dendam
terhadap Suma Han yang melarikannya,
maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi,
hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya.
Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa
Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang
dicari-cari!
Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia
makin penasaran lagi. Tadinya Thian-liong-pang dianggap sebagai
perkumpulan paling kuat dan yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es
dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu telah dihancurkan pemerintah,
siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang? Sekaranglah
saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw.
Setelah berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang lalu
membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan
putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan
diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa
yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan
mana yang patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini,
Thian-liong-pang memilih tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di
daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah
ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan
jauh dari kota mau pun dusun.
Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak
Thian-liong-pang telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah
pondok gubuk yang tingginya dua puluh meter. Kemudian lima puluh orang
anggota Thian-liong-pang pilihan berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu
Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para
wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang
lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya,
karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak
membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang
pula. Ada pun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu
sehari sebelumnya. Keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang
tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.
Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari
Bun Beng. Namun sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita
akan dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara
ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal
itu kepada ibunya.
Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah
berbondong-bondong pasukan orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan
partai persilatan. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti
Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lun-pai
yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh
ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang
menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai
Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran
bersih.
Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di
antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju
hitam, dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang
perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi
karena sebagian besar di antara mereka itu sudah mengenal nama
Thian-liong-pang, mereka menjadi jeri dan hanya datang untuk
melihat-lihat. Semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan
di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi
mengadakan pertemuan macam ini, apa lagi pertemuan besar ini. Ada pun
pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada
Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa
macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian
seperti iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam mau
pun putih!
Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru
datang berkuda, tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula
yang memikul ketua-ketua mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang
berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini memelihara rambut yang
dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi ada pula
yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya
atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggota
Thian-liong-pang dan para anggota perkumpulan kaum sesat. Tentu saja
peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu
mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para
hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para
anak buah Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi,
berbaris rapi menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang
dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para
orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah mau pun para tamu, tidak
menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak
luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah
yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw.
Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama
pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu
orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji
Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi
orang-orang kang-ouw, apa lagi partai-partai besar yang oleh pemerintah
bahkan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah berhasil
memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan
memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas
orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu
Thian-liong-pang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau
mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah
orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka.
Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu
berani muncul di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan
pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih
memberontak. Dengan menangkapi para penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka,
dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan pusaka-pusaka
dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong
Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya.
Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu
ini telah mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun
marah bukan main karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang
setia dan dapat diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li
Lama.....
Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam
hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi
daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh
Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka
berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di
hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan
tiba.
Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di
hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak
Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil
membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian
tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma
Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan
mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan
kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang
kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan
Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang
pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas!
Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan
tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang
dibanggakannya.
Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, dan
waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan
seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman.
Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki
kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau
harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apa lagi mengingat akan
kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan
penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh
pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan
boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam.
Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang
yang sedang mekar di dalam hutan itu. Ia berjalan perlahan, hati-hati
agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh
debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar
matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup
seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai
condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah
sini.
Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum,
kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat
kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang,
menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah
segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di
samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau
Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa
sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biar pun dia belum berhasil
membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan
dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa
melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.
"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya.
Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya
tentu seorang di antara panglima pasukan. Sambil membalikkan tubuh dia
tertawa dan berkata, "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak
gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya
adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya
sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung
ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima,
bukan pula prajurit, ia menjadi sangat terkejut.
"Engkau... siapa...?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, tetapi
segera menyangka bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan
itu.
Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"
Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi
ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari
terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan
pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa
pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya
dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.
"Plakk! Rrrttttt!"
"Heiiiii...! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget
sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di
pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu
bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya
ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan
pada matanya, pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu
pedang itu lenyap dari pinggangnya.
Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu
tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya.
Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu
sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya merampas punya orang
lain.
"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.
Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian
depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng
pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja,
kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya!
Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya,
Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota
raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini,
Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi
orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang
besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi
pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai
berpekan-pekan.
Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng
Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar
akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh
Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apa
lagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri
Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu?
Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi
aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan
mengalami kekecewaan itu?
Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk
pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari
kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia
tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang.
Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada
menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang
diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia
melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki
menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.
"Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.
Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini
bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan
menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau
bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang
membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal
mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"
"Setan! Siapa engkau...?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak penting kau ketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kau
ketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak,
yaitu Suma-taihiap."
"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khikang
sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang,
orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar
oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah
membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun
Beng.
Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan
cepat, dia pun memiliki sinkang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun
Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam
menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan
berbareng tangan kanannya menampar.
"Plakkk!"
Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan
tetapi biar pun perlahan, sudah cukup membuat Tan-siucai terbanting dan
bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya
telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot!
Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali,
namun hatinya menjadi jeri karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah
terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang
pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat,
bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini
dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang,
mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda
yang sakti itu!
"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang
Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek
Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah
lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah
pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman
adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi
denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya
merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"
Tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah
merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih
menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya
bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan
dia membentak nyaring.
"Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!"
Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan
seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi
sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan
Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu
kalau-kalau gagal.
Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng
menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi
dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia
bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk
mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam
terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.
"Trakkkkk...!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh.
Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu
masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam
keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah
seorang sastrawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi
tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apa
lagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya
membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian
dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan
perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.
"Jahanam...!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul
dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah
mengandung tenaga sinkang kuat, juga mengandung hawa mukjizat dari ilmu
hitamnya.
Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama
telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di
bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang
dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga
jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!
"Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan
Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh,
pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mukjizat.
Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada
sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya
tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba
berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia
berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang
dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah
dan rasa nyeri ini melepaskan dia dari pada ikatan pandang mata yang
melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan
telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali.
Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah
kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri
pendeta itu tengah bersiap mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia
berlutut!
"Hyyaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.
"Crokk! Auggghhhh...!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah
mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh
Hok-mo-kiam!
Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti
seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke
arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan
tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah
ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena
tendangan itu, Bun Beng takkan dapat bertahan, biar pun dia memiliki
tenaga sinkang yang bagaimana kuatnya.
Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa
ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak
merasakan nyeri dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia
meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan diri dari
tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama
sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya
atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja
pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik
yang merupakan lanjutan serangan tendangannya.
Biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat
Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh
dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu sudah
melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng,
injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung
tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena
injakan, tentu akan hancur isi perutnya!
"Crokkk...! Aaiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan
oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu menyambar dan membabat
kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li
Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya
mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras
dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di
bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri
Bun Beng!
Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara
mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini
menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk
menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat
menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam
telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng
cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta
Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya,
dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring,
dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul
punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek.
"Blukkk!"
"Auuuhhh...!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan
pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama
yang telah menjadi mayat!
Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada
menyesakkan napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah
melukainya, akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi!
Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar
bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia
menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini,
mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat
mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia
berhasil meninggalkan para pengejarnya.
Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi, Bun Beng duduk bersila di
bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, mengatur
pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sinkang-nya untuk
mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat
itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sinkang di dalam lorong
rahasia dari kitab yang dipelajari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau
terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji
Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di
tempat itu, di mana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang
sakti, bersama seribu orang prajurit pasukan pengawal, dua orang
pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama,
tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah
membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian
sute-nya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang
akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sute-nya?
"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku.
Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk
itu!" Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama
sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.
"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi
sekali," kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus
dan mengubur kedua jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang
biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di
sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang
di antara mereka yang melakukannya."
Thian Tok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan
seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani
melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan
Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya
tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."
"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.
Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."
"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.
Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa
ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia
melakukan hal-hal yang tidak lumrah."
"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar Siluman...?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya
terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat
akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu
diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!
"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan
pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan
keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan
tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu
munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan?
Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah
menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai dari pada saya,
atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin
dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."
"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"
Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau
Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah
ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan
untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar.
Andai kata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut.
Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang
pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar
Siluman!"
Biar pun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang
cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih
besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya,
setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang
kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang
dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan
teropong dan memeriksa keadaan.
Setelah semua tamu berkumpul, Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya berkata dengan suara nyaring,
"Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang
pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi
sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat
persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan
oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"
Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua
Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua
orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan
dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran
akan tetapi juga dengan hati jeri karena mereka tahu akan kelihaian
wanita itu.
Ada pun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang
dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua
Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia,
sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga
semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik
kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biar pun
tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang
wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu
berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan,
terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang
kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa seram dan menundukkan
hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang
manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!
Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri
memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang
hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan
mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat
adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan,
pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh
Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang
takkan terangkat naik!
Tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat
ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar
penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai
dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh
karena ia keluarkan dengan pengerahan khikang yang luar biasa kuatnya.
"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus
menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan
tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu
(pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta
Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk,
dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang
dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu dari
pada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"
Bukan main takaburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua
orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguh
pun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar
suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah
ucapan-ucapan,
"Omitohud..."
"Siancai...!"
Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu
memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah
bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri
ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang
lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap
merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka
yang belum pernah dia jumpai.
"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan.
Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan
tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita
semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya
akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang
mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban.
Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih
seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan
pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai
seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana
menghadapinya!"
Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.
"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana
berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat
dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu
berselimut awan kesengsaraan batin.
"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka," jawabnya pendek, lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.
Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu... begitu... begitu bencikah Ibu kepada Ayah...?"
Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang lain yang lebih kubenci di dunia ini!"
Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan
hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak
tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan
tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi
"Ibu... sangat cintakah kepada Ayah...?"
Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya
diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding
pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan
Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok
di atas.
"Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk
menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang
Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan
terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam
soal pemilihan Bengcu, dan tak akan mengakui Bengcu mana pun juga karena
Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam
permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur
perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang. Jika teguran Siauw-lim-pai
ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai
siap bertanggung jawab!"
Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut
putih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.
"Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute
kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto
mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangung
jawabkan perbuatan itu sekarang! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai
tidak akan mencampurinya!"
Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut
majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata, "Saya sebagai ketua
Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian-liong-pang yang lalu,
maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka
ini!" Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari
Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai.
Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa
kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun
tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.
"Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"
Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai
yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, "Dari Siauw-lim-pai,
Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai,
semua enam partai!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang.
"Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin
mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!"
Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, "Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!"
Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan
seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang
suheng-nya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang,
Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang
merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia
merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju
sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga
belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan
jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan
bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian
untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus.
Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!" Setelah berkata demikian tampak
tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu
bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas
orang itu.
Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka
mencabut senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang
masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur, bagaikan
seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu
menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang
menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar
diikuti pandangan mata.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan
terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga
belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka
seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua
terpelanting roboh! Tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah
tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada
yang menelungkup, ada yang miring.
Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang
menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat
percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar
telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya
roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sinkang yang amat kuat dan didahului
kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka!
Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik
kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu
dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita
itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan
pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggung
jawabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang.
Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami tidak ada
yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan
kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih
penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada
Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"
Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling
pandang, mencari ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang
selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau
Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu,
bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu.
Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan
kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah
tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka,
tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa
mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal
Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya.
"Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun
penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang
sama dengan menantang angin kosong?"
Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun.
Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan
yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati
mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang
berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan
kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh
mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu.
Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali
kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata
di balik kerudung itu menyambar-nyambar tajam.
"Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?" tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin.
Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa
tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia
menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, "Kami
adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan
ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"
"Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw,
tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian
telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka! Aku akan suka sekali
mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di
sini."
Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi
perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi
sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa
mereka diperlakukan seperti itu oleh siapa pun juga!
"Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau
Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah
pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan
dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis
Pulau Neraka dan... augghhhh...!"
Tiga orang anggota rombongan itu yang berdiri paling depan roboh dan
tewas seketika terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang
ke arah si pembicara dan dua orang temannya.
"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?"
Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!
Nirahai cepat membalikkan tubuh dan....
"Srattttttt!" Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak
memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang
bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga
orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan
tenaga dahsyat sekali!
Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia lalu berkata, "Thian Tok Lama,
kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja engkau
kirim untuk melakukan penyelidikan?" Suaranya dingin sekali akan tetapi
matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.
Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali
Ketua Thian-liong-pang ini, sebab selain kepandaiannya tinggi, ternyata
begitu bertemu telah mengenalnya!
"Benar!" jawabnya. "Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk
menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang
ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah
seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu
terbuka dan tampak... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan
dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja
hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh
kurus dan dalam keadaan... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka
mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali.
Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri,
bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan
mata terbelalak.
‘Mayat hidup’ itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti
bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati. "Uhk-uhk-uhkkk...
anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka
dan yang membunuh tiga orang itu, heh-heh... malah semua yang berani
menghina Pulau Neraka akan kubunuh."
Tiba-tiba saja mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu
‘terbang’ ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi.
Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali
cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah. Melihat
ginkang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok
Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka
bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah!
Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah
merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai
dan... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang,
diputarnya dan ditarik sehingga... kepala itu coplok, lehernya putus,
darah menyembur keluar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat,
seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga
seorang demi seorang putuslah lehernya.
Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak
maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah
mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya
mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok
masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, enam orang
panglima ini membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak
mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.
"Tak-tok... bak-buk...!" Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi
semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulet, kenyal dan
keras! Kembali empat orang telah dirangkul, ‘dicopot’ kepala mereka
dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana,
dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat
ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata
mereka dan hendak lari.
"Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama
Kakek!" Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah
dua orang panglima yang sedang lari dan... sungguh aneh, dua orang itu
biar pun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun
mereka bukannya maju ke depan melainkan... mundur ke belakang
seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat
hidup itu!
Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama
telah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah
berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru.
Kemudian, dengan pengerahan tenaga sinkang, dia memukul ke arah punggung
mayat hidup itu.
"Dessss!"
Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan
membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama
terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya
terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!
"Heh-heh-heh!" Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari
tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi. "Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang?
Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan
dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya.
"Orang tua, apakah benar engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua
Pulau Neraka?" Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena
gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, namun dia merasa jijik
berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biar pun
laki-laki itu seorang kakek.
Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya
seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal. "Banyak
orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang
yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja
Aneh Pengejar Roh)!"
"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu sekarang menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!"
Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke
arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat
bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih
hidup itu sama sekali tidak mengelak.
"Crokkkk!" Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat
menancap, dan dengan gerakan yang cepat serta aneh sekali tangan kakek
itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai.
"Aiiihhhh!" Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping,
lalu mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher
kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang
membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
"Plakk!" Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir
saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat
mengelak dengan gerakan yang amat cepat.
"Hayaaaa...! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!" Kakek itu terkekeh memuji.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji
Kun telah datang menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan
betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu
terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu,
sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu
Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.
Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam
pertentangan dengan pemerintah lalu mengundurkan diri dan pergi dari
tempat itu. Ada pun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa
pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka sudah menyambut dan
terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan tewas
menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
"Dia telah membunuh orang-orang kita!" Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai.
Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar
biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng
Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan
Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal
itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu
saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung,
sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan
kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.
"Hehhh, kau lihai...!" Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang
harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua
tangannya. Betapa pun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata
menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar
oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji
yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin
berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya.
Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya,
baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian
seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan
ginkang-nya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sinkang-nya
untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu.
Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu
adalah orang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka
lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun
menggunakan pecutnya yang langsung menyambar-nyambar ganas, berusaha
menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan
ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan
menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata,
sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang biar pun tidak dapat melukai lawan, namun
sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia
mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata
tak berani sembarangan menerima pukulan ampuh itu.
Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapa pun lihai, Cui-beng
Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, "Heh-heh-heh,
banyak orang hebat!"
Maharya yang menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu menjadi penasaran
dan ia membentak, "Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!"
Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata
Maharya.
"Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!"
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?"
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama
sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran
ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan
kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat. Anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang
bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah
orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang
dipimpin oleh para panglima! Betapa pun lihai orang-orang
Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi
keringat dan terdesak.
Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk.
Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak
buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya.
Pertandingan makin hebat dan kacau balau.
"Aku ikut...! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri
ahhh!" Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya
lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw
Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara
ngawur menerjang, membantu twa-suheng-nya dan disambut oleh Thian Tok
Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup
tentu lihai sekali, maka datang-datang dia memapakinya dengan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
"Wah berbahaya..." Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan
ilmu memindahkan tenaga. Sambil mengelak dia menghantam dari samping,
seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam
pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.
"Omitohud...!" Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan
mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga
dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga
lawan baru ini.
Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali
setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya masih
kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunyai
banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.
"Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tak akan menang melawan Si
Gundul itu. Berikan kepadaku!" Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang
mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang
dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan
terhuyung-huyung ke belakang.
Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru
tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun
Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan
rambutnya riap-riapan.
"Tua bangka gila, siapa kau?" Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
"Ha-ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya,
kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan
aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang
tinggi. Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tawa.
Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul,
seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup,
dan ji-suheng (kakak seperguruan kedua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek.
Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan
twa-suheng-nya sendiri segan menghadapi sute-nya ini yang biar pun
tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam
kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek
Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai!
Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu
pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat.
Biar pun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi
orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat
Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sute-nya kewalahan juga, apa lagi
lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng
Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka
seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai,
sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dalam diri
Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu
saja mereka menjadi repot juga!
"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar?
Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!" Tiba-tiba berkelebat
bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan.
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan
menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa
orang prajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah
terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya
tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok
dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para prajurit menjadi marah dan
berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung
pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
"Singggg... sratttt!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata
dan... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang
menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih
memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar
kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para
prajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan
tetapi juga gentar!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini
dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau
Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak
biar pun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau
manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga,
dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang hingga tubuhnya terpental,
bergulingan dan dari mulutnya terpancur darah segar.
"Eh, Sam-te, kau terluka?" Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini loncat
mendekat, langsung menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang
mengejarnya.
"Heh-heh-heh, ji-suheng, aku... aku hendak pamit... mendahuluimu..."
Kwi-bun Lo-mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!" Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat
sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri, mengelak lalu melanjutkan
pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas
empas-empis.
"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau... kau pesan apa...?"
"Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?" Kembali
Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut
Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh... akan kupesankan
untukmu, Ji-suheng... dekat aku..., heh-heh-heh..." Dan terputuslah
kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya
yang melayang.
"Aihhhh... Sam-sute, jangan lupa lho...!" Pada saat itu, Maharya sudah
menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya
sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
"Siuuuutttt... wessss...!" Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh
pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah
benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya!
Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api
yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil
tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo
dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan...
jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau
sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
"Sucouw, mari kita pergi saja!" Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhu-nya yang masih dikeroyok dua.
"Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!" Kakek telanjang itu mengomel.
Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera
Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya
kemudian mengajak suhu-nya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun
hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke
atas tanah dan... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang
gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, membuat Nirahai dan Bhong Ji
Kun terpaksa mundur lagi.....