Beruang Salju Bab 61 Gawat Darurat Wie Liang Tocu

Beruang Salju Bab 61 Gawat Darurat Wie Liang Tocu
61 Gawat Darurat Wie Liang Tocu

Karenanya secara diam-diam dia telah menguntitnya dan berusaha mendengarkan percakapan mereka. Siapa tahu justru ketika Tiat To Hoat-ong tengah asyik mendengarkan secara diam-diam percakapan Gochin Talu dan Lengky Lumi, waktu itu muncul Wie Liang Tocu.

Semula Tiat To Hoat-ong yang telah mendengarkan perundingan ke dua orang itu, mengetahui Gochin Talu dan Lengky Lumi memberikan laporan yang sebenarnya. Melihat kedatangan Wie Liang Tocu, salah seorang tokoh Kay-pang, Tiat To Hoat-ong bermaksud segera keluar untuk menempurnya. Namun akhirnya Koksu yang licin dan licik ini segera berobah pikirannya.

Dia ingin melihat bagaimana tindakan dan cara Gochin Talu serta Lengky Lumi menghadapi tokoh Kay-pang tersebut, untuk mengetahui kesungguhan diri dari ke dua orang itu dalam mengabdikan diri pada pihak kerajaan.

Itulah sebabnya membuat Tiat To Hoat-ong berdiam diri saja menyaksikan betapa Gochin Talu dan Lengky Lumi terdesak hebat oleh Wie Liang Tocu, akhirnya Gochin Talu dan Lengky Lumi terancam jiwanya di tangan pengemis tua itu. Barulah Tiat To Hoat-ong muncul untuk melindunginya.

Teringat akan semua peristiwa yang dialaminya tadi, Wie Liang Tocu menghela napas dalam-dalam.

Dia merasa heran bahwa Koksu negara Mongolia tersebut memiliki kepandaian yang begitu hebat. Sama sekali diluar dugaannya, karena dia telah mendengar akan kehebatan kepandaian Koksu tersebut, akan tetapi Wie Liang Tocu merasa yakin banwa tidak mungkin Koksu itu dapat merubuhi dan melukai padanya.

Namun kenyataannya berlainan sekali dengan keyakinannya itu. Mereka telah bertempur cukup banyak jurus, dan memang dirinya tidak dibinasakan oleh Tiat To Hoat-ong dengan mudah. Hanya saja sekarang Wie Liang Tocu telah terluka demikian berat. Dengan demikian Wie Liang Tocu menghela napas beberapa kali menyesali dirinya mengapa kepandaiannya tidak terlatih lebih sempurna lagi.

“Tetapi..... diapun pasti terluka di dalam!” menghibur Wie Liang Tocu pada dirinya sendiri karena dia yakin, walaupun dirinya sendiri telah terluka cukup parah seperti ini, akan tetapi Tiat To Hoat-ong pun tidak terhindar dari luka di dalam yang cukup parah.

Karena Wie Liang Tocu jadi jauh lebih tenang dan dia memusatkan seluruh tenaga murninya untuk berusaha menyembuhkan luka di dalam tubuhnya. Yang paling utama adalah berusaha melancarkan pula pernapasannya, karena jika hawa murni dapat dikumpulkan menjadi bulat kembali, dengan demikian mudah sekali baginya untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya. Sayangnya justru tenaga murninya itu telah terpecahkan buyar, dengan begitu pula agak sulit buat Wie Liang Tocu menyembuhkan luka di dalam tubuhnya.

Angin malam berhembus dingin sekali, menerjang kepada Wie Liang Tocu.

Tetapi Wie Liang Tocu tidak memperdulikannya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan berusaha keras untuk menyalurkan seluruh hawa murninya.

Berangsur-angsur memang Tianglo dari Kay-pang ini berhasil juga untuk menyatukan kembali seluruh hawa murninya yang pecah tergempur oleh kekuatan tenaga dalam Tiat To Hoat-ong. Dan walaupun demikian dia tidak bisa segera mempergunakan kekuatan tenaga murninya itu, karena inti dari hawa murninya itu belum lagi dapat dikumpulkan bulat menjadi satu.

Wie Liang Tocu mengakhiri usahanya untuk mempersatukan kembali tenaga dalamnya yang semula buyar, dia beristirahat dan duduk menyandar di batu tersebut. Menurut dugaannya, mungkin memakan waktu sampai satu bulan dia harus bersemedhi setiap harinya sepuluh jam guna memulihkan kesehatannya. Untung saja luka di dalam tubuh yang di deritanya itu tidak terlalu parah sehingga tidak sampai membuat dia bercacat karenanya.

Wie Liang Tocu waktu itu melihat rembulan mulai condong ke arah barat.

Tidak lama lagi memang terlihat matahari fajar telah mulai memancarkan sinarnya yang kemerah-merahan. Angin pagi yang berhembus mengenai dirinya terasa mulai hangat.

Agak lama juga Wie Liang Tocu berdiam diri di situ, dia beristirahat sejenak lamanya lagi baru kemudian berusaha untuk bangun berdiri. Akhirnya dia berdiri sendiri. Akan tetapi sepasang kakinya masih gemetaran lemas tidak bertenaga.

Cepat-cepat Wie Liang Tocu duduk pula, karena dia tidak mau terlalu memaksakan diri, karena jika dia terlampau mengerahkan seluruh kekuatannya, bisa membuat dia terluka di dalam yang tidak ringan. Maka Wie Liang Tocu telah duduk bersemedhi kembali.

Di antara kesunyian pagi seperti itu, tiba-tiba pendengaran Wie Liang Tocu yang sangat tajam mendengar suara langkah kaki seseorang yang tengah menghampiri ke arah tempat di mana dia berada.

Wajah Wie Liang Tocu berobah, karena menduga tentunya Tiat To Hoat-ong yang telah perintahkan kaki tangannya melakukan pengejaran terhadap dirinya.

“Keadaanku sedang demikian lemah. Jika mereka berhasil mencariku dan menemui jejakku niscaya aku akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.....!” diam-diam Wie Liang Tocu membathin di dalam hatinya. “Akan tetapi, biarlah aku akan mengadu jiwa dengan mereka. Jika memang aku bisa membinasakan tiga orang dari mereka, itupun sudah lebih dari cukup sebagai imbalannya......!”

Karena berpikir seperti itu, diliputi oleh semangat untuk berbuat nekad, Wie Liang Tocu sudah tidak memperdulikan akan kesehatan tubuhnya yang belum pulih. Dia menyalurkan seluruh sisa kekuatan tenaga dalamnya, kemudian memusatkan pada ke dua telapak tangannya. Karena Wie Liang Tocu bermaksud begitu lawan memperlihatkan diri, dia akan menyerangnya dengan hebat untuk mengadu jiwa.

Suara langkah kaki semakin dekat juga. Malah Wie Liang Tocu yang memiliki pendengaran sangat tajam seketika mengetahui bahwa suara langkah kaki itu bukan hanya seorang saja, sedikitnya terdiri dari empat orang.

Menyadari bahaya yang mengancam keselamatan dirinya membuat Wie Liang Tocu selain berbuat nekad dan bersiap sedia untuk menghadapi kematian bersama-sama dengan lawan-lawannya itu, juga dia telah berpikir keras untuk mencari daya lain yang sekiranya lebih baik.

Saat itu Wie Liang Tocu mendengar suara langkah kaki itu semakin dekat juga. Dia membuka matanya lebar-lebar mengawasi ke arah dari mana didengarnya suara langkah kaki itu mendekati. Dan akhirnya dilihatnya beberapa sosok bayangan yang telah munculnya dari bagian sebelah kanannya.

Wie Liang Tocu mengempos semangatnya. Dia mengawasi lebih tajam lagi menantikan kesempatan untuk mendahului lawannya yang akan dibinasakannya dengan satu kali pukulan maut dari seluruh sisa tenaga yang masih dimilikinya.

Ke empat sosok bayangan tubuh yang muncul itu ternyata empat orang laki-laki bertubuh kurus, dengan usia yang tidak sama. Ada yang berusia limapuluh tahun lebih, ada yang berusia empatpuluh lima tahun, akan tetapi yang termuda di antara mereka, ada yang berusia empatpuluh tahun. Ke empat orang itu berpakaian compang camping, pakaian mereka penuh tambalan.

Wie Liang Tocu waktu melihat ke empat orang tersebut, yang ternyata merupakan empat orang pengemis, ia mengeluarkan seruan tertahan karena heran dan girang.

“Wie Liang Tocu.....!” berseru ke empat orang itu yang melihat Wie Liang Tocu dengan kegirangan yang meluap-luap. “Kami mencari Wie Liang Tocu kemana-mana dengan bersusah payah, kiranya Wie Liang Tocu berada di sini, terimalah hormat kami!”

Wie Liang Tocu sudah tidak sempat mendengar terus perkataan ke empat pengemis itu, karena dirasakan seluruh tenaganya telah habis. Tubuhnya lemah dan dia lunglai tidak sadarkan diri, pingsan.

Ke empat orang pengemis itu terkejut melihat keadaan Wie Liang Tocu.

Salah seorang di antara mereka segera maju untuk memeriksanya, dan mereka jadi saling pandang satu dengan yang lainnya. Waktu mereka memperoleh kenyataan Wie Liang Tocu terluka di dalam yang tidak ringan, juga tampaknya Tianglo dari Kay-pang ini pun dalam keadaan pingsan disebabkan kehabisan tenaga.

Tanpa berjanji terlebih dulu, mereka telah mengangkat tubuh pemimpin mereka ini. Dua orang mengangkat kaki, dua orang lagi mengangkat punggung Wie Liang Tocu, yang mereka bawa lari dengan gesit sekali.

Wie Liang Tocu sendiri tidak mengetahui bagaimana kelanjutan dari pertemuan dengan ke empat orang pengemis itu. Dia hanya merasakan dirinya melayang-layang, dan kemudian pandangan matanya gelap sekali, lenyaplah kesadarannya.....

Y

Ke empat orang pengemis tersebut lain dari ke empat orang tokoh Kay-pang yang memiliki tingkatan delapan karung, mereka memiliki kepandaian yang tidak lemah. Akan tetapi mereka pun tidak berani sembarangan untuk berusaha mengobati Tianglo mereka ini dengan mempergunakan lweekang masing-masing, walaupun mereka telah melihatnya bahwa Wie Liang Tocu terluka di dalam yang cukup berat.

Karena itu mereka cepat-cepat membawa Wie Liang Tocu ke tempat mereka, untuk menemui salah seorang tokoh Kay-pang, agar tokoh Kay-pang itu, yang memiliki lweekang berada di atas tingkatan mereka, dapat mengobati luka Wie Liang Tocu.

Dengan berlari-lari cepat di pagi itu, dalam waktu sekejap mata saja telah puluhan lie yang mereka lalui dan telah meninggalkan kota raja semakin jauh juga.

Memang Wie Liang Tocu tengah dicari oleh pihak Kay-pang, karena sebagai tianglo tentu saja kehadirannya di tempat rapat besar Kay-pang sangat diperlukan sekali. Karena itu, banyak murid-murid Kay-pang yang telah diperintahkan untuk mencari Wie Liang Tocu guna diundang hadir di Hou-ciu, dalam rapat besar Kay-pang yang akan diselenggarakan malaman Cap-go di bulan mendatang.

Siapa sangka, ke empat pengemis delapan karung itu, telah berhasil menemui Wie Liang Tocu, di saat Tianglo itu tengah dalam keadaan sekarat, karena terluka begitu parah. Disamping girang, juga ke empat murid Kay-pang tersebut berkuatir sekali. Mereka begitu bergegas untuk kembali ke tempatnya membawa Wie Liang Tocu.

Setelah berlari-lari lagi sejenak lamanya, waktu mendekati tengah hari, sampailah mereka di muka sebuah dusun.

Dusun itu tidak terlalu besar, rumah penduduk di situpun tidak padat, satu dengan yang lainnya terpisah cukup jauh, sehingga keadaan di tempat itu tenang sekali. Dan ke empat murid Kay-pang itu telah melarikan Wie Liang Tocu ke arah selatan dari dusun tersebut, di mana akhirnya, di permukaan sebuah bukit, dekat kaki bukit sebelah barat, berdiri sebuah kuil yang tidak begitu besar.

Kuil tersebut adalah kuil tua yang merupakan tempat sembahyang penduduk dusun itu. Akan tetapi disebabkan tidak ada yang merawatnya, kuil tua itu semakin rusak dan ada bagiannya yang telah gugur. Maka semakin sedikit sekali orang-orang dusun tersebut yang datang bersembahyang di kuil itu.

Akhirnya kuil tua itu merupakan kuil tua yang kosong dengan tidak terawat sama sekali. Dan dengan demikian segera juga kuil itu dijadikan tempat berkumpul dari anggota-anggota Kay-pang yang berada di sekitar kota itu.

Dan sekarang ke empat pengemis delapan karung itu telah membawa Wie Liang Tocu ke kuil tua tersebut, karena memang mereka ingin menemui seorang tokoh Kay-pang yang didengarnya berada di kuil tersebut.

Ketika ke empat pengemis tingkat delapan karung yang membawa Wie Liang Tocu tiba di muka kuil tersebut, mereka melihatnya bahwa di depan kuil duduk bersemedhi dua orang pengemis muda. Ke dua pengemis muda itu walaupun tampaknya tidur sesungguhnya tidak tidur.

Merekalah dua orang penjaga dari golongan Kay-pang kalau ada orang asing yang datang ke kuil tersebut. Karenanya, begitu mereka melihat empat orang pengemis Kay-pang dari tingkat delapan karung mendatangi, mereka terkejut dan cepat-cepat melompat bangun untuk berlutut di hadapan ke empat pengemis itu.

“Jangan banyak peradatan!” perintah salah seorang dari ke empat pengemis itu. “Cepat beritahukan kedatangan kami kepada Sam-cie-sin-kay!”

Sam-cie-sin-kay adalah Pengemis Sakti dengan Tiga Jari, yang di dalam kalangan Kang-ouw sangat terkenal sekali, sebab kepandaiannya yang sangat tinggi. Akan tetapi perangai pengemis tersebut sangat aneh. Setiap turun tangan dia selalu tidak pilih bulu dan mengambil sikap keras.

Hanya kepada murid-murid Kay-pang belaka Sam-cie-sin-kay bersedia menolong kesulitan si murid Kay-pang. Akan tetapi untuk orang luar, walaupun orang itu menangis sambil berlutut memohon agar dirinya ditolong dari suatu kesulitan, tidak nantinya Sam-cie-sin-kay mau menolonginya.

Ke dua murid Kay-pang itu, yang merupakan murid Kay-pang tingkat tiga karung telah mengiyakan cepat sekali. Mereka mempersilahkan dulu ke empat pengemis itu agar masuk ke dalam kuil, lalu mereka berlari ke dalam untuk memberikan laporan.

Tidak lama kemudian keluar seorang pengemis tua berusia limapuluh tahun lebih, dengan langkah lebar. Di belakangnya mengikuti pengemis yang tadi.

Ke empat pengemis delapan karung itu di waktu melihat si pengemis tua tersebut, cepat-cepat merangkapkan sepasang tangan masing-masing, karena mereka telah meletakkan Wie Liang Tocu yang rebah pingsan di atas sebuah kursi panjang.

“Harap Toako menerima hormat kami,” kata ke empat pengemis itu berbareng. “Kami datang dengan membawa sedikit persoalan buat partai kita!”

Pengemis tua yang baru keluar itu tidak lain dari Sam-cie-sin-kay. Dia cepat-cepat membalas hormat ke empat pengemis yang tingkatannya di dalam Kay-pang setingkat dengannya.

“Jangan terlalu banyak peradatan, walaupun bencana apa saja yang terjadi, tentu membuat Sam-cie-sin-kay mempertaruhkan jiwanya guna membela Kay-pang!” Setelah berkata begitu Sam-cie-sin-kay dengan memperlihatkan sikap sungguh-sungguh telah berkata lagi: “Nah, sekarang katakanlah, apakah sekiranya persoalan yang kalian sebutkan tadi?!”

Ke empat pengemis itu kembali memberi hormat. Walaupun Sam-cie-sin-kay merupakan tokoh Kay-pang tingkat delapan karung sama halnya dengan mereka, akan tetapi justru ke empat pengemis tersebut mengindahkan sekali Sam-cie-sin-kay yang memiliki suatu keahlian yang melebihi mereka, bahkan memiliki ilmu andalan yaitu ilmu pengobatan yang sangat hebat. Setiap anggota Kay-pang yang terluka bagaimana berat dan parahnya tentu akan dapat disembuhkan oleh Sam-cie-sin-kay.

“Kami ingin minta pertolongan dari Toako guna menyembuhkan Wie Liang Tocu Tianglo.....!” menjelaskan salah seorang dari ke empat pengemis itu.

Mendengar disebutnya Wie Liang Tocu Tianglo, wajah Sam-cie-sin-kay berobah, bola matanya mencilak memain tidak henti-hentinya.

“Wie Liang Tocu Tianglo? Apa yang telah terjadi pada diri Wie Tianglo!” Waktu bertanya begitu, bola mata Sam-cie-sin-kay melirik kepada Wie Liang Tocu yang rebah pingsan di kursi panjang.

Diapun bukan hanya melirik saja, dengan gerakan yang ringan sekali dia nelompat ke samping Wie Liang Tocu, kemudian mengeluarkan seruan kaget, katanya dengan murka: “Siapa yang demikian kurang ajar telah berani melukai Wie Tianglo sedemikian rupa?” Suaranya menggeledek sekali.

Ke empat pengemis yang membawa Wie Liang Tocu jadi terkejut, mereka cepat-cepat merangkapkan tangan masing-masing memberi hormat.

“Maafkan dan ampunilah kami murid-murid yang tidak punya guna, sehingga kami hanya kebetulan belaka menemui Wie Tianglo dalam keadaan yang telah terluka parah. Belum lagi kami sempat untuk memberi hormat dan meminta keterangan, Wie Tianglo telah jatuh pingsan di depan sebuah hutan belukar.....

“Dengan demikian kami tidak mengetahui siapa yang telah melukai Wie Tianglo! Tetapi jika memang Wie Tianglo telah tertolong dan tersadar dari pingsannya, tentu Wie Tianglo dapat memberikan keterangan siapa yang telah menganiaya dirinya! Kami berempat bersumpah, walaupun harus membuang jiwa di dalam kobaran api dan rendaman minyak yang mendidih, kami akan mempertaruhkan jiwa kami untuk membalaskan sakit hati Wie Tianglo!”

Bola mata Sam-cie-sin-kay mencilak beberapa saat, kemudian katanya dengan semangat yang terbangun: “Kukira kalian membawa persoalan apa! Tidak tahunya persoalan Wie Tianglo! Jangankan kalian yang meminta pertolongan dan bantuanku agar menolongi Wie Tianglo, jika tidak meminta, itu sudah jadi kewajibanku untuk menyelamatkan jiwa Wie Tianglo.....!” Setelah berkata begitu Sam-cie-sin-kay cepat-cepat memeriksa keadaan Wie Tianglo.

Setelah sekian lama memeriksa dia memperoleh kcnyataan bahwa luka di dalam tubuh Wie Tianglo sangat parah sekali, karena banyak urat-urat halusnya yang telah hancur dan putus. Dengan demikian, hawa murninya tidak dapat diatur seperti semula. Disamping itu pula memang hawa murni dari Wie Tianglo tampak mengalir kacau sekali, tidak teratur. Jantungnya berdegup lemah sekali dan darahnya beredar acak-acakan.

Selesai memeriksa, Sam-cie-sin-kay menghela napas.

“Entah siapa yang memiliki tangan begitu telengas melukai Wie Tianglo, dengan cara seperti ini.....?!” menggumam Sam-cie-sin-kay dengan suara mengandung kemarahan.

“Apakah Wie Tianglo masih bisa diselamatkan, Toako?!” tanya ke empat pengemis itu dengan suara berkuatir sekali.

Sam-cie-sin-kay tidak segera menyahuti, dia berdiam diri bagaikan berpikir keras. mulutnya menggumam perlahan: “Sam-cie-hiat yang hancur, Bo-liang-hiat yang putus, Tiang-ku-hiat yang remuk dan beberapa jalan darah terpenting di tubuh yang tersumbat. Semua itu merupakan tanda-tanda dari korban keganasan ilmu tenaga dalam yang dahsyat! Entah siapa yang telah turunkan tangan demikian keji pada Wie Tianglo dan siapa orang liehay itu.....!” Sambil menggumam seperti itu, tidak hentinya Sam-cie-sin-kay memeriksa terus tubuh Wie Liang Tocu

Akhirnya, sambil bangkit, dia menghela napas, katanya kepada ke empat pengemis yang membawa Wie Tianglo padanya.

“Walaupun tidak sampai menemui kematian akan kukuatirkan luka Wie Tianglo akan membuatnya bercacad seumur hidup.....!” kata Sam-cie-sin-kay.

“Apakah...... apakah Toako tidak bisa menolongnya agar Wie Tianglo sembuh tanpa kurang suatu apapun juga?” tanya ke empat pengemis itu. Mereka seperti juga memohon kepada Sam-cie-sin-kay, karena mereka mengetahui benar bahwa Sam-cie-sin-kay mengerti dan liehay ilmu pengobatannya.

Sam-cie-sin-kay menghela napas lagi, tampak dia seperti berpikir lama sekali. Baru kemudian dia berkata lagi: “Aku akan berusaha untuk menolongi jiwa Wie Tianglo, walaupun dengan cara pengobatan yang akan kutempuh itu kemungkinan bisa mengorbankan sebagian dari tenaga lweekangku, hal itu tidak menjadi soal. Namun yang tengah kupikirkan, jika saja pengobatan seperti itu gagal, tentu akan membuat Wie Tianglo cacat seumur hidup! Ada satu ramuan obat yang bisa meringankan luka Wie Tianglo dan hanya satu-satunya di dunia obat tersebut yang bisa menyalamatkan jiwa Wie Tianglo.....!”

“Obat apakah itu Toako?” tanya ke empat pengemis tersebut serentak.

“Obat itu sangat sulit diperoleh, hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun! Karena itu, jarang sekali, boleh dibilang hampir sama sekali tidak ada orang yang memiliki obat tersebut.....! Karena itu, untuk memperoleh obat itu, jika tidak secara kebetulan, jangan harap kita bisa memperolehnya......!”

“Katakanlah Toako, obat apakah itu? Kami berempat akan berusaha mencari sahabat-sahabat kami. Seumpama di antara mereka ada yang menyimpan obat yang toako maksudkan! Yang terpenting jiwa Wie Tianglo dapat diselamatkan.....!”

Sam-cie-sin-kay menghela napas tagi, dia tersenyum pahit, katanya kemudian: “Memang kalian berempat mungkin memiliki banyak sahabat dan bisa saja meminta pertolongan dan bantuan mereka kalau-kalau mereka menyimpan obat yang kumaksudkan itu! Tetapi aku yakin, walaupun kalian mengelilingi seluruh permukaan dunia ini untuk mencari sahabat-sahabat kalian, belum tentu obat itu berhasil ditemukan......!”

Setelah berkata begitu, Sam-cie-sin-kay menghela napas lagi berulang kali, wajahnya muram sekali.

Ke empat pengemis itu tampak penasaran, tanya mereka dengan serentak: “Tetapi tidak ada salahnya jika Toako memberitahukan kami obat apakah yang ingin dipergunakan itu, dan tidak salahnya juga, jika kami berusaha mencarinya!”

“Tetapi percuma dan akan sia-sia. Dalam waktu dua kali duapuluh empat jam pengobatan terhadap diri Wie Tianglo sudah harus dilakukan. Jika terlambat satu hari saja, berarti keselamatan jiwanya sulit ditolong lagi..... Maka dari itu, untuk memperoleh obat mujarab tersebut, bagaimana mungkin kalian bisa menemuinya hanya dalam dua hari saja?!”

Muka ke empat pengemis itu berobah pucat, merekapun tampaknya jadi muram sekali.

Malah salah seorang di antara mereka, telah duduk numprah di lantai dan menangis menggerung-gerung. Di antara ke empat pengemis itu mungkin dialah yang paling lemah hati dan perasaannya, sehingga tanpa malu-malu lagi, karena terlalu berkuatir dan berduka memikirkan keselamatan jiwa Wie Tianglo, dia menangis terisak-isak.

Waktu itu Sam-cie-sin-kay telah menghiburnya.

“Sudahlah, kalian jangan berduka seperti itu! Aku akan berusaha untuk menolongi jiwa Wie Tianglo! Kita berusaha, tentang berhasil atau tidaknya usaha kita, saja serahkan kepada Thian!”

Setelah berkata begitu Sam-cie-sin-kay perintahkan pada pengemis tingkat tiga karung itu untuk mempersiapkan kamar buat ke empat tamunya, ke empat pengemis yang sama tinggi tingkatnya dengan dia dan juga sebuah kamar untuk Wie Liang Tocu.

Pengemis tingkat tiga karung itu bekerja cepat sekali, karena sebentar kemudian dia telah datang melapor kepada Sam-cie-sin-kay bahwa kamar yang disiapkan untuk Wie Lieng Tocu dan ke empat pengemis itu telah selesai dan telah dibersihkan maka dengan dibantu oleh ke empat pengemis Kay-pang itu, Sam-cie-sin-kay mengangkat Wie Tianglo ke sebuah kamar.

Wie Tianglo adalah seorang tokoh Kay-pang dia telah menggemblok sembilan lapis karung, dengan demikian berada satu tingkat di atas kedudukan Sam-cie-sin-kay. Dengan begitu pula, Sam-cie-sin-kay ingin berusaha sedapat mungkin untuk menolongi jiwa Tianglonya ini.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar