43 Jebakan Racun Tiat To Hoat-ong
Melihat orang menyerang dia
dengan cara seperti itu, dia bukannya terkejut malah jadi girang. Seperti
diketahui, Ciu Pek Thong adalah seorang yang keranjingan ilmu silat. Walaupun
usianya kian hari kian bertambah tua, bukan saja sifat berandalnya yang semakin
menjadi-jadi, begitu juga keranjingannya pada ilmu silat semakin menggila, di
mana setiap hari dia juga terus berlatih, tidak ada satu haripun yang
disia-siakan begitu saja.
Sekarang memperoleh perlawanan
yang cukup berat dari Gochin Talu, semangatnya terbangun. Walaupun sudah banyak
makan asam garam dunia, juga menyadari kedatangannya ini ke istana Kaisar hanya
untuk melakukan penyelidikan belaka, namun dasarnya Loo-boan-tong si
berandalan, bukannya dia berusaha menghindari diri dari keonaran, malah, dia
jadi gatal tangannya. Apalagi sifat jagonya masih belum berkurang.
Melihat cara lawan, dia telah
mengibas tangan bajunya akan melilit tangan Gochin Talu. Kesempatan yang ada
ini untuk bertarung dengan Gochin Talu tidak disia-siakan, malah dia telah
berseru: “Jangan hanya kau seorang diri saja, karena jika kau cuma seorang,
masih tanggung! Juga kau, hei pendeta gundul, ayo maju..... ayo maju semuanya!”
Itulah tantangan yang ditujukan kepada Tiat To Hoat-ong dan orang-orangnya, dan
Loo-boan-tong menantangnya dengan muka berseri-seri.
Setelah berhasil memunahkan
tepukan telapak tangan Gochin Talu, malah Loo-boan-tong telah menerjang ke arah
lawannya sambil membentak: “Sambutlah tanganku ini!” tangan kanannya telah menghantam
dan dalam serangan pertama dia telah mempergunakan Kong-beng-kun nya yang
semuanya memiliki tujuhpuluh dua jalan atau jurus itu, bukan main dahsyatnya
cara menyerang Ciu Pek Thong.
Walaupun memiliki kepandaian
tinggi, tidak urung Gochin Talu jadi tercekat hatinya. Segera juga dia balas
menyerang dengan tangan kirinya untuk menyambuti gempuran itu. Mendadak dia
merasakan tenaga lawan sebentar ada sebentar hilang, sehingga pukulannya jadi
serba salah. Keras salah, lunak pun tidak benar.
Dia segera mengerti, bahwa
sekarang dirinya tengah menghadapi lawan terkuat selama hidupnya. Maka segera
saja dia mengeluarkan pukulan yang telah dilatih selama belasan tahun, Dengan
diiringi suara menderu-deru dia mengirim tiga pukulan berantai. Tenaga pukulan
itu demikian hebat, sehingga seperti apa yang biasa disebut bunga-bunga rontok
dan jatuh di tanah bagaikan hujan gerimis. Setelah itu dia susul pula dengan
tiga pukulan beruntun.
Mendadak terdengar suara
bentrokan tangan yang hebat sekali. Semula Gochin Talu beranggapan tenaga
lweekang Ciu Pek Thong mungkin berimbang atau menang sedikit dari dia. Namun
sesudah menyerang dua kali, hatinya jadi tercekat kaget, karena dia memperoleh
kenyataan bahwa lweekang Ciu Pek Thong masih lebih tinggi setingkat dari tenaga
dalamnya!
Gochin Talu juga tahu, jika
kurang hati-hati, dia akan jatuh dan dirobohkan kakek jenaka yang berandalan
itu. Maka dia mengempos semangatnya dan telah menyerang terus dengan tidak
sungkan-sungkan dan tanpa memperdulikan lagi sekelilingnya, karena waktu itu
dia tengah berusaha untuk dapat merebut waktu, guna merubuhkan Ciu Pek Thong
dalam waktu yang singkat. Jika mereka bertempur lebih lama, berarti akhirnya
dirinya yang akan menjadi pecundang.
“Liehay! Kau sungguh liehay,”
berseru Loo-boan-tong sambil tertawa tidak hentinya. Pertandingan seperti ini
barulah meresap di hati, sungguh menyenangkan!”
Yo Him waktu itu telah
mengerutkan alisnya dia tidak habis mengerti mengapa Loo-boan-tong masih tidak
bisa melenyapkan keberandalannya atau sedikitnya mengurangi, agar tidak
menimbulkan keonaran. Namun sekarang semuanya telah terjadi demikian, dia jadi
memutar otak untuk kelak menghadapi Tiat To Hoat-ong dan orang-orangnya itu,
jika sampai Kok-su Mongolia itu turun tangan.
Jarak tenaga pukulan ke dua
lawan itu semakin lama jadi semakin luas, sehingga banyak orang-orangnya Tiat
To Hoat-ong terpaksa mundur ke belakang.
Tidak lama kemudian, Ciu Pek
Thong sudah menggunakan seluruh jurus Khong-beng-kunnya. Walaupun dia lebih
menang dari lawannya, tetapi dia tidak bisa cepat-cepat merubuhkan lawannya
itu, karena Gochin Talu pun bukan lawan yang ringan dan bisa diremehkan.
Setelah mempergunakan seluruh
Khong-beng-kun, dan Gochin Talu masih bisa bertahan, tiba-tiba Ciu Pek Thong
tertawa panjang, dia telah merobah cara bersilatnya. Sekarang dia menyerang
dengan ilmu “memecah pikiran” yang memang telah digubahnya sendiri, yang
diciptakannya dengan sempurna. Dengan mempergunakan ilmu tersebut, dia
menyerang dengan dua macam ilmu silat, sehingga dalam sekejap Gochin Talu
seolah-olah menghadapi dua orang Ciu Pek Thong, yang membuat dia jadi sibuk
sekali dan mulai terdesak.
Jalan satu-satunya buat Gochin
Talu adalah mengempos semangatnya dan mempergunakan seluruh lweekangnya untuk
berusaha menangkis, mengelakkan dan berkelit dari terjangan dan serangan si tua
berandalan tersebut. Pertempuran itu semakin lama jadi semakin seru berlangsung
dahsyat, di mana angin pukulan menderu-deru mengurung diri ke dua orang yang
tengah mengadu kepandaian itu.
Tiat To Hoat-ong yang memang
telah pernah merasakan tangannya Loo-boan-tong, tidak kaget melihat kehebatan
Ciu Pek Thong, ia cuma kagum, bahwa Loo-boan-tong bisa memiliki ilmu yang
demikian sempurna dan hebat. Walaupun sekarang Tiat To Hoat-ong telah hampir
berhasil merampungkan pelajaran ilmu Soboc nya, tokh kenyataannya di hati kecil
Koksu itu harus mengakuinya, jika dia sendiri yang menghadapi Ciu Pek Thong,
belum tentu dia bisa menghadapinya sebanyak seribu jurus......
Diam-diam, Koksu negara inipun
jadi teringat kepada adik seperguruannya, yaitu Kim Lun Hoat-ong yang telah
terbinasa waktu ikut serta dalam penyerbuan ke Siang-yang, sebelum Mongolia
berhasil merebut Tiong-goan dan merubuhkan kerajaan Song. Kim Lun Hoat-ong
merupakan sutenya yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, dan Tiat To
Hoat-ong mengakuinya itu, dia sendiri waktu itu mungkin masih kalah satu
tingkat dari sutenya itu.
Kim Lun Hoat-ong selain mahir
ilmu silatnya, orangnyapun cerdik sekali. Namun dia akhirnya harus menemui
kebinasaan ditangan jago-jago di daratan Tiong-goan.
Jika dilihat demikian, jelas
bahwa jago-jago di daratan Tiong-goan memang umumnya merupakan jago-jago yang
hebat. Sekarang saja dia telah menyaksikan bahwa Ciu Pek Thong setelah berpisah
dengan dia beberapa lamanya, kini telah memperoleh kemajuan yang lebih hebat
dibandingkan sebelumnya.
Teringat kepada adik
seperguruannya itu, Kim Lun Hoat-ong, hati Tiat To Hoat-ong jadi berduka.
Diapun menyadari, bahwa kedatangannya ke Tiong-goan ini sesungguhnya semula
berpangkal disebabkan kebinasaan Kim Lun Hoat-ong. Dia datang ke Tiong-goan
untuk menuntut balas pada jago-jago di daratan Tiong-goan.
Namun justru Kaisar Kublai
Khan yang mengetahui perasaannya itu, telah memanfaatkannya dengan memberikan
kedudukan padanya sebagai Koksu negara, sehingga akhirnya Tiat To Hoat-ong
terlibat dalam urusan politik negaranya. Di samping itu, semakin lama dia
terlibat semakin dalam, dan dia merasakan sekarang ini sulit buat dia
melepaskan diri dari dunianya yang sekarang, dunia yang berbau politik. Dan walaupun
dia telah menerima juga murid-murid tertentu, namun di antara murid-muridnya
itu sekarang ini tidak ada seorang pun yang bisa memuaskan hatinya.
Dia ingat, Kim Lun Hoat-ong,
sang sute yang telah menutup mata itu, memiliki tiga orang murid di kala dia
masih hidup. Murid sutenya yang pertama, yaitu yang nomor satu itu memiliki
kepandaian tinggi dan kecerdikan yang boleh terpuji, karena dia paham ilmu
silat dan ilmu surat. Bakatnya sangat baik sekali, dia hendak diambil sebagai
ahliwarisnya Kim Lun Hoat-ong, yang akan menggantikan kedudukan sang guru itu.
Namun sayang sekali, apa lacur murid itu mati siang-siang dalam usia muda.
Lalu murid yang nomor dua,
yaitu Dalpa, polos dan sederhana sekali sifatnya, tetapi dia tidak berbakat
untuk menjadi seorang jago yang liehay. Murid Kim Lun Hoat-ong yang ketiga,
yaitu pangeran Hotu, tipis budi pekertinya, diapun murtad terhadap gurunya.
Semua itu telah membuat Kim Lun Hoat-ong jadi berduka.
Dia menyesal kepandaiannya
tidak bisa diwariskan kepada seorang murid yang pandai dan dapat diandalkan.
Tidakkah sayang jika kepandaian itu habis dengan begitu saja? Sampai akhirnya
dia menutup mata dengan kecewa, ketembus api.
Sekarang Tiat To Hoat-ong juga
memiliki perasaan yang sama seperti yang pernah dirasakan oleh sutenya itu. Dia
memang telah mulai menerima murid, namun tidak ada seorang pun yang bisa
mewarisi seluruh kepandaiannya. Diapun kecewa, karena dia kuatir kelak
kepandaiannya yang luar biasa, terutama kepandaiannya ilmu Soboc itu, akan
lenyap terbawa mati olehnya.....
Waktu itu, pertempuran ke dua
orang di kalangan semakin hebat saja, karena baik Ciu Pek Thong maupun Gochin
Talu telah mengempos dan mengeluarkan kepandaian mereka yang hebat. Malah waktu
itu Ciu Pek Thong yang berulang kali telah berhasil mendesak Gochin Talu, telah
mengejek berulang kali: “Mana kepandaianmu yang berarti? Jika aku harus
melayani lawan seperti kau yang hanya mempergunakan ilmu yang itu-itu juga dan
tidak ada artinya, hemmm, hemmm percuma saja akan membuang-buang tenagaku!”
Mendengar ejekan
Loo-boan-tong, Gochin Talu jadi gusar bukan main. Diam-diam dia memusatkan
seluruh lweekangnya, lalu menyahuti dengan suara yang lantang,
“Loo-boan-tong! Kau terlalu
memandang enteng padaku, Gochin Talu! Kau berkata begitu mengartikan bahwa aku
tidak mungkin nempil dan tidak ada harganya bertempur dengan kau, si
Loo-boan-tong? Huh, huh! Jika aku tidak bisa menang, aku akan segera menggorok
leher di istana Kaisar ini......!”
Dan tanpa menantikan jawaban
dari Loo-boan-tong, tampak Gochin Talu telah melompat mengirimkan pukulan.
Loo-boan-tong pun segera balas menyerang. Tapi kali ini, karena merasa memang
lawannya menggempur dia jauh lebih hebat, Loo-boan-tong tidak berani main-main
dan memandang remeh, dia telah menggunakan untuk menggertak lawannya pada
bagian-bagian yang berbahaya.
Setelah lewat lagi beberapa
puluh jurus, biarpun mereka hertempur dengan seru seperti ini dan Gochin Talu
mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya namun tetap saja dia tidak bisa
berada di atas angin, tetap Loo-boan-tong lebih menang dari dia, seperti juga
Loo-boan-tong selalu mempermainkannya.
Dalam keadaan terdesak seperti
itu, cepat luar biasa Gochin Talu telah maju setindak dan coba mengirim satu
pukulan balasan untuk mendesak Loo-boan-tong.
Tapi di luar dugaan, baru saja
tinjunya menyentuh tubuh, tiba-tiba dia merasa otot kepungan Loo-boan-tong yang
diserangnya itu telah bergerak dengan berbareng, dilain detik, tinjunya
terpental! Gochin Talu kaget tidak terkira, cepat-cepat dia melompat ke
samping.
Bahwa seorang ahli silat
mengempeskan dada dan perut untuk menghindarkan diri dari pukulan musuh adalah
peristiwa yang lumrah, namun melawan musuh dengan mempergunakan gerakan otot,
benar-benar belum pernah didengar atau dialami olehnya. Dia heran bukan main,
dan waktu itu dia pun tidak berani berayal untuk menyingkir ke pinggir.
Tiat To Hoat-ong yang melihat
kawannya telah kewalahan seperti itu menghadapi Ciu Pek Thong, dan jika memang
dipaksakan terus untuk bertempur dalam beberapa jurus lagi, tentu Gochin Talu
akan dapat dirubuhkan Ciu Pek Thong atau juga dapat dicelakainya, karena dari
itu dia menghadang di depan Ciu Pek Thong, sepasang tangannya telah
dilintangkan, dia telah bersiap-siap untuk menerima serangan. Dengan demikian,
setiap gerakan yang dilakukannya itu merupakan gerakan yang akan dapat menerima
serangan dari lawan, jika saja waktu itu Ciu Pek Thong melancarkan serangan
padanya.
Namun si bocah tua berandalan
itu tidak menyerang, dia hanya tertawa haha-hihi saja, dia juga telah bilang
dengan sikapnya yang jenaka sekali: “Pendeta gundul, apakah engkau juga ingin
mengadu tangan denganku?!”
Tiat To Hoat-ong tersenyum,
dia telah bilang dengan sikap yang diusahakan sesabar mungkin: “Ciu Tayhiap.
kepandaianmu memang hebat, dan mungkin di dalam dunia ini jarang dicari duanya
orang yang memiliki kepandaian setinggi kau! Hemmm, aku Tiat To Hoat-ong memang
harus mengakuinya bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki oleh Ciu Tayhiap,
merupakan ilmu yang luar biasa sekali......!”
Ciu Pek Thong melengak sejenak.
Dia tadinya menduga Tiat To Hoat-ong menghadang di depannya untuk bertempur,
siapa tahu Koksu Monggolia itu justru memujinya. Dan Ciu Pek Thong telah
tertawa lagi, dia bilang: “Kau mengumpak aku seperti itu tentunya kau memiliki
maksud tertentu!”
Tiat To Hoat-ong berusaha
untuk tersenyum dan dia bilang dengan suara yang sabar: “Untuk apa mengumpakmu,
Ciu Tayhiap? Bukankah memang aku telah mengatakan dari hal yang sebenarnya,
bahwa memang kepandaian yang kau miliki itu merupakan kepandaian yang sangat tinggi
sekali??”
Ciu Pek Thong telah tertawa
lagi, dia mengangguk. “Baik, baik,” katanya. “Jika memang engkau mengatakan
kepandaianku sangat tinggi, sekarang mari kita main-main beberapa jurus.....
Aku sendiri jadi ingin membuktikan, apakah memang benar-benar aku memiliki
kepandaian yang tinggi, dan dalam berapa jurus aku bisa merubuhkan dirimu,
kepala gundul.....!”
Tiat To Hoat-ong tersenyum
dipaksakan, itulah senyum mengandung kemendongkolan juga karena berulang kali
Ciu Pek Thong selalu menyebut dia dengan sebutan kepala gundul, namun Tiat To
Hoat-ong juga menindih kemendongkolannya itu, diapun berpikir, “Orang memang
liehay kepandaiannya, diapun tidak berada di bawah kepandaian dari Oey Yok Su
dan lain-lainnya. Jika memang aku bisa membujuknya agar dia mau bekerja sama
denganku, bukankah berarti suatu keuntungan yang tidak kecil? Hemmm, hemmm.
biarlah aku akan mencobanya!”
Dan setelah berpikir begitu,
Tiat To Hoat-ong juga telah bilang dengan suara yang diiringi oleh tertawanya:
“Ciu Tayhiap, di dalam hal ini tentunya engkau mau berlaku lunak padaku, agar
tidak menyerang terlalu hebat, tidak terlalu mendesakku dengan pukulan yang
mematikan, karena aku akan berusaha melayanimu beberapa jurus.....!”
Sambil berkata begitu, Tiat To
Hoat-ong bersiap-siap, dia telah mengangkat ke dua tangannya, dan mengambil
sikap menantikan serangan. Secara diam-diam Tiat To Hoat-ong juga bermaksud
untuk mengadu ilmu Soboc nya guna mencoba sampai berapa jauh kemajuan yang
telah diperolehnya selama ini.
Waktu itu Ciu Pek Thong telah
berkata dengan suara yang dingin: “Kau kepala gundul, engkau memiliki lidah
yang bercabang, aku tahu di mulut engkau memuji aku, tetapi sesungguhnya engkau
tengah menyumpahi mampus padaku.....!” Dan setelah berkata begitu, Ciu Pek
Thong menggerakkan ke dua tangannya, diapun berseru: “Ayo jaga serangan.....!”
Kali ini Ciu Pek Thong
menyerang lebih hebat jika dibandingkan ketika dia berhadapan dengan Gochin
Talu, karena memang Ciu Pek Thong sendiri pernah beberapa kali bentrok dengan
Koksu negara dari Mongolia ini. Dia telah merasakan bahwa ilmu yang dimiliki
Tiat To Hoat-ong lebih tinggi dari kepandaian Gochin Talu. Jika dalam
pertempuran kali ini Ciu Pek Thong berlaku ayal atau memandang remeh padanya,
bisa-bisa dirinya sendiri yang akan celaka di tangan Koksu itu.....!
Tiat To Hoat-ong melihat bahwa
pukulan ke dua tangan Ciu Pek Thong mengandung tenaga dalam yang luar biasa
dahsyatnya, yang bisa meremukkan tulang dan tubuh. Karena itu menyadari dirinya
tengah menghadapi seorang jago yang benar-benar memiliki ilmu yang sangat
tinggi, disamping itu juga memang Tiat To Hoat-ong baru saja sembuh dari luka
di dalamnya akibat pertempurannya dengan Swat Tocu waktu di dalam istananya
pangeran Ghalik, dengan sendirinya dia berlaku lebih hati-hati. Selama ini Tiat
To Hoat-ong telah berlatih diri dengan tekun, dia berusaha untuk menembus
tingkat berikutnya dari latihan ilmu Sobocnya itu.
Melihat tinju Ciu Pek Thong
telah menyambar datang seperti itu cepat-cepat Tiat To Hoat-ong telah berusaha
untuk mengelakkan diri ke samping kanan, dan dia menangkis dengan tangan
kirinya, tangannya beradu dengan tangan Ciu Pek Thong, terdengar suara, “Duk!”
yang keras sekali. Tiat To Hoat-ong merasakan tubuhnya tergetar, dadanya jadi
menyesak, dan dia juga merasakan dorongan yang bergelombang dari kekuatan
tenaga dorongan dari tinju Ciu Pek Thong.
Dalam keadaan seperti ini
rupanya Ciu Pek Thong juga tidak mau mensia-siakan kesempatan yang ada, karena
cepat sekali dia telah mengeluarkan seruan: “Jaga serangan.....!” kembali tinjunya
itu telah bergerak dengan beruntun, di mana dia menyerang berulang kali
mendesak Tiat To Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong melayaninya
dengan lebih banyak berkelit dan memperhatikan kepandaian Ciu Pek Thong. Jurus
demi jurus diperhatikan dengan seksama, karena dia ingin mencari kelemahan diri
Loo-boan-tong.
Dalam keadaan seperti itu
tampak Ciu Pek Thong jadi mendongkol juga, karena lawannya lebih banyak
mengelak dan berkelit belaka.
“He pendeta gundul, mengapa,
engkau tak balas menyerang?!” teriak si bocah tua bangka yang berandalan itu.
Tiat To Hoat-ong tersenyum,
dia telah menggerakkan tangan kirinya merapat pada dadanya, tangan kanannya
membarengi mendorong, dia telah mengatakan: “Ya, kau terimalah ini.....!”di
mana dia telah menyerang dengan ilmu Sobocnya.
Angin menderu-deru kuat sekali
menerjang kepada Ciu Pek Thong, dan angin pukulan yang dilakukan Tiat To
Hoat-ong sangat kuat sekali. Namun Ciu Pek Thong bisa menyambut dengan keras
dilawan keras, dia menangkis dengan berani. Berulang kali terdengar suara
benturan tangan. Namun yang terdesak adalah Tiat To Hoat-ong, diam-diam dia
harus mengakuinya, bahwa ilmu dan kepandaiannya masih kalah seurat dengan Ciu
Pek Thong,
Dalam suatu kesempatan, waktu
Ciu Pek Thong melompat mundur untuk menghindar pukulan lawannya, Tiat To
Hoat-ong telah berseru: “Tahan.....!”
Ciu Pek Thong mencilak-cilak
matanya, dia bertanya dengan suara yang tawar: “Apakah engkau mau menyudahi
pertandingan ini begini saja?!”
“Bukan,” menyahuti Tiat To
Hoat-ong. “Tetapi aku ingin menganjurkan kepadamu, agar kita beristirahat saja
dulu..... apakah usulku ini bisa diterima oleh Ciu Tayhiap?!”
“Beristirahat?!” tanya Ciu Pek
Thong sambil mementang matanya lebar-lebar.
“Ya, kita beristirahat dulu,
karena tadi Ciu Tayhiap telah bertempur dengan Gochin Talu, sahabatku itu, dan
tenagamu tentu sudah banyak terbuang karenanya. Jika sekarang kita bertempur
terus, tanpa Ciu Tayhiap beristirahat dulu, tentunya jika aku beruntung bisa
merebut kemenangan, hal itu kurang menggembirakan, di mana Ciu Tayhiap tentu
bisa saja mengatakan bahwa kemenanganku itu diperoleh secara tidak adil.....
aku merebut kemenangan itu di saat engkau sendiri tengah dalam keletihan.....!”
Ciu Pek Thong tertawa.
“Aku sebetulnya tidak lelah,
tetapi jika memang benar engkau ingin beristirahat, aku bersedia meluluskannya,
mari kau beristirahat dulu, nanti baru kita melanjutkan pula untuk mengadu
tenaga dan kepandaian.....!”
Tiat To Hoat-ong menoleh
pengawal-pengawal istana yang sedang mengepung Ciu Pek Thong. Salah seorang dari
mereka telah pergi ke dalam istana, dan tidak lama kemudian telah membawa
keluar secawan arak. Dia telah membawanya langsung kepada Ciu Pek Thong, dan
lalu mengangsurkan dengan ke dua tangannya, sikapnya menghormat sekali.
Ciu Pek Thong yang telah bertempur
banyak jurus dan telah mempergunakan banyak tenaga, dengan sendirinya merasa
haus. Sekarang orang membawakan dia secawan besar arak, maka dia menyambuti
sambil tertawa.
Tiat To Hoat-ong waktu itu
telah berkata: “Hanya itulah persembahan kami, untuk menghormati kunjungan Ciu
Tayhiap ke istana Kaisar ini.....!”
Ciu Pek Thong hanya tertawa,
kemudian dia membawa cawan itu ke dekat bibirnya untuk meneguk tehnya. Namun di
saat tepian cawan akan menempel pada bibirnya si Loo-boan-tong, tampak melesat
dua sinar dan terdengar: “Tranggggg,” cawan di tangan Ciu Pek Thong telah
hancur berantakan, dan juga isinya telah tumpah membasahi lantai.
Ciu Pek Thong terkejut. Dia
menoleh ke arah datangnya serangan gelap itu. Ternyata Yo Him yang telah
melontarkan dua batang paku kecil, malah waktu itu Yo Him telah berkata: “Ciu
Locianpwe, hati-hati, tidak boleh kau sembarangan minum barang yang
dipersembahkan mereka.....!”
Ciu Pek Thong tersadar cepat.
Dia berjingkrak dan menunduk dilihatnya batu yang digenangi oleh tumpahan arak
itu, telah berubah warnanya menjadi hitam. Maka Ciu Pek Thong jadi gusar bukan
main. “Pendeta gundul biadab dan keji, kau hendak meracuni aku, heh?”
Tiat To Hoat-ong semula tengah
girang bukan main melihat Ciu Pek Thong akan minum arak itu. Namun melihat Yo
Him telah mempergunakan paku kecil untuk menghantam hancur cawan di tangan Ciu
Pek Thong, maka gagallah dia dengan maksudnya yang ingin meracun Ciu Pek Thong.
Sekarang mendengar Ciu Pek Thong berkata begitu, dengan muka yang merah padam
karena gusar, dia telah membentak juga.
“Bagus! bagus! Sesungguhnya
manusia seperti kalian tidak ada gunanya diracuni, karena walaupun kalian
memiliki sayap, tokh kalian tidak mungkin bisa terbang meninggalkan tempat
ini.....!”
Dan berbareng dengan
perkatannya itu Tiat To Hoat-ong telah menggerakkan tangan kanannya, dia telah
mengebut dengan gerakan yang perlahan.
Namun semua orang-orangnya
mengerti, di mana mereka serentak telah bergerak mengepung rapat Ciu Pek Thong
dan Yo Him di tengah-tengah. Sedangkan Yo Him telah melompat mundur, karena dia
memang tidak ingin ikut terkepung. Tetapi jumlah dari semua orang-orang yang
mengepungnya itu, yaitu para pengawal istana, sangat banyak sekali, ratusan
orang. Kemana Yo Him meloncat, di sana telah mengepung pengawal lainnya.
Dengan demikian, Yo Him
akhirnya telah memutuskan akan melabrak barisan pengawal istana itu
bersama-sama dengan Ciu Pek Thong, di mana dia akan merubuhkan para pengawal
tersebut guna menerobos kepungan. Dia melirik kepada Ciu Pek Thong, dia juga bilang:
“Ciu Locianpwe, kita terobos saja keluar......!”
Ciu Pek Thong mengerti apa
yang dimaksudkan oleh Yo Him, dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya
berkelebat, dan sepasang tangannya telah bergerak dengan serentak, maka
terdengar lima atau enam orang pengawal itu yang menjerit, tubuhnya mereka
terpental kuat
Yo Him juga tidak tinggal
diam, karena pemuda ini telah bekerja tidak tanggung, sepasang tangan dan
kakinya telah bekerja, maka belasan orang pengawal istana telah terjungkir
balik terpental kena hantaman tangannya atau dupakan kakinya.
Tiat To Hoat-ong telah melirik
kepada Lengky Lumi dan Gochin Talu, segerti juga memberi isyarat kepada ke dua
jagonya itu agar maju untuk mengepung Ciu Pek Thong.
Melihat jumlah lawan yang
banyak seperti itu, membuat Ciu Pek Thong dan Yo Him jadi menyadari bahwa
mereka tidak boleh berlambat atau berayal menghadapi mereka. Besar kemungkinan
Tiat To Hoat-ong bisa saja memanggil pasukan lainnya untuk ikut mengepung
mereka. Jika jumlah para pengawal istana itu lebih banyak lagi, tentu mereka
akan dikepung lebih rapat dan sulit untuk bergerak.
Tidak berpikir lagi lebih
jauh, Ciu Pek Thong telah menyambar dua orang pengepungnya, dia telah
mencengkeram ke dua orang itu. Kemudian tubuhnya diayun-ayun, dibolang balingkan
menghantam para pengawal lainnya.
Tentara istana yang melihat
hal ini, segera mundur dengan cepat.
Ciu Pek Thong mempergunakan
kesempatan itu untuk melompat keluar kepungan, dia telah melompat dengan gesit,
sambil ke dua orang tawanannya diputar terus. Yo Him juga telah menyusul.
“Kejar dan tangkap
mereka.....!” Tiat To Hoat-ong pun telah berseru. Dia bukan hanya berseru
begitu saja, karena gesit bukan main tubuhnya yang tinggi besar telah mencelat
ke tengah udara bagaikan seekor burung elang yang besar. Dia telah menyambar ke
arah Ciu Pek Thong. Telapak tangannya ditepukkan ke pundak Ciu Pek Thong,
karena dia ingin menghantam pundak Ciu Pek Thong dengan ilmu pukulan Sobocnya.