Beruang Salju Bab 39 Pulau Harapan Ketua Kay-pang

Beruang Salju Bab 39 Pulau Harapan Ketua Kay-pang
39 Pulau Harapan Ketua Kay-pang

Bukan main kagetnya Yeh-lu Chi yang melihat gulungan angin topan yang bergulung-gulung itu. Jika kapal mereka masuk ke dalam lingkaran gulungan angin itu niscaya kapal ini tidak dapat selamat dan akan tergulung karam karenanya.

Tanpa memperdulikan segala apa lagi, Yeh-lu Chi telah menjejakkan kakinya, dia melompat masuk ke ruang bawah kapal itu, untuk memeluk puterinya dengan kuat dan meminta Kwee Hu memegang tangannya dengan kuat.

Kwee Hu sesungguhnya memiliki kepandaian yang tinggi dan hanya satu tingkat di bawah kepandaian suaminya. Namun menghadapi bahaya seperti itu, di mana mereka terancam akan terkubur di dasar lautan, jika saja kapal ini karam, terutama memang mereka pun bersama-sama puteri tunggal mereka yang sangat dikasihi, Kwee Hu pun jadi panik sekali.

“Tenang mari kita mencari kapal penolong....!” kata Yeh-lu Chi.

Dan belum lagi dia menyelesaikan perkataannya itu, tiba-tiba telah terdengar suara benturan yang keras, dibarengi dengan suara patahnya papan atau kayu. Di waktu itu kapal itu juga telah tergoncang hebat sekali.

Syukur Yeh-lu Chi dan Kwee Hu memiliki ginkang yang telah sempurna, mereka menancapkan kuda-kuda ke dua kaki mereka. Tubuh mereka tidak sampai terlempar terguling, walaupun kapal itu telah tergoncang begitu hebat. Yeh-lu Chi sendiri telah memeluk kuat-kuat puterinya, karena dia kuatir pelukannya itu akan terlepas.

Saat itu, terdengar suara benturan keras lagi disusul dengan suara jeritan dari beberapa orang yang tengah panik dan rupanya banyak penumpang kapal itu, saudagar maupun pemilik dan anak kapal itu yang telah terlempar dari kapal mereka. Di saat mana anak buah dari Kiam-mo-pang juga sebagian telah terlempar ke laut, di mana mereka diseret gelombang yang sangat besar sekali.

Waktu itu, Yeh-lu Chi melihat bahwa goncangan di kapal itu semakin keras dan hebat. Dengan demikian telah membuat Yeh-lu Chi melompat ke samping isterinya, dia mengulur tangan kanannya, dia mencekal tangan isterinya, agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya kapal itu hancur atau karam, dia bisa tetap berkumpul dengan isteri dan puterinya untuk menyelamatkan diri.

Dengan demikian, Yeh-lu Chi juga telah bilang kepada Kwee Hu: “Engkau harus berusaha dengan mempergunakan ilmu ginkangmu, aku akan mencari sebuah kapal untuk kita pergunakan menyelamatkan diri, adik Hu.....!”

Setelah berkata begitu, tampak Yeh-lu Chi dengan menggendong puterinya si Kie itu, yang telah menangis karena kaget mengalami kepanikan seperti itu, juga dengan tangan yang satu tetap mencekal lengan Kwee Hu, melompat gesit sekali. Kwee Hu menuruti pesan suaminya, dia mempergunakan ginkangnya, sehingga tubuhnya jadi ringan sekali waktu suaminya mengajaknya melompat seperti itu.

Tapi ketika Yeh-lu Chi bersama isteri dan puterinya telah tiba di atas kapal itu, rupanya topan dan badai yang menerjang itu tengah bergolak hebat sekali dengan gulungan angin yang membuat kapal itu berputar-putar. Muka Yeh-lu Chi jadi pucat pias, dia segera menekan lengan isternya, dia bilang: “Duduk..... duduk bersemadhi..... duduk!”

Kwee Hu menuruti permintaan suaminya, dia duduk, dan di waktu itu tampak Yeh-lu Chi telah melompat mengambil sebuah tambang dan telah mengikat tubuh Kwee Hu dengan beberapa libatan. Lalu Yeh-lu Chi bekerja lagi dengan cepat. Sambil tangannya yang satu memeluki puterinya, tangannya yang lain telah mengikat dirinya sendiri.

Dengan demikian tidak lama kemudian waktu angin yang bergulung-gulung itu tiba dan kapal itu berputar, Yeh-lu Chi, Kwee Hu, tidak terlempar dari tempatnya berada. Hanya saja, kepala mereka jadi pusing bukan main, mata mereka jadi nanar, karena kapal di mana mereka berada itu seperti juga sebuah kulit kacang yang telah berputar-putar tidak hentinya tergulung oleh angin yang kuat dan keras bergulung-gulung itu.

Yeh-lu Chi jadi mengeluh, karena dilihat dalam suasana yang begitu hiruk pikuk dan juga sekitarnya gelap oleh kabut yang tebal, si Kie puterinya, telah pingsan tidak sadarkan diri! Sedangkan Kwee Hu waktu itu menutup matanya rapat-rapat, untuk mengendalikan tubuhnya agar tidak terseret keluar oleh gulungan angin hebat itu.

Cepat-cepat dengan mempergunakan tangan kanannya, Yeh-lu Chi mengurut-uruti punggung puterinya, dan si Kie memang telah tersadar kembali.

Waktu itu, putaran pada kapal tersebut telah mulai perlahan, karena memang hembusan angin bergulung hebat itu telah lewat laut..... Lautpun tidak lama kemudian menjadi tenang kembali.

Setelah menanti sekian lama, dan setelah yakin semuanya tenang dan bahaya telah lewat, Yeh-lu Chi membuka ikatan pada tubuhnya. Diapun lalu membuka ikatan pada tubuh Kwee Hu, menyerahkan puterinya pada isterinya, di waktu mana Kwee Hu masih merasakan kepalanya itu pusing dan matanya berkunang-kunang, karena terputar-putar terus menerus waktu kapal itu diperintahkan oleh gulungan angin.

Namun sebagai pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi, cepat sekali dia dapat mengusai diri. Dan Yeh-lu Chi sendiri dengan mengerahkan lweekangnya, telah berhasil pulih kesegarannya. Dia melompat keluar, dan waktu berada di tingkat atas kapal itu, dia jadi menjublek!

Kapal di mana mereka berada ternyata telah mengalami kerusakan yang hebat sekali, di kapal itupun tidak terlihat seorang manusia pun juga. Semua barang telah terbawa pergi oleh gulungan angin. Hanya sebuah perahu kecil yang masih terikat kuat di tubuh kapal itu!

Kapal inipun tampaknya tidak lama lagi akan karam, mengalami banyak kebocoran di berbagai tempat. Dan di waktu itu kapal tersebut pun tengah masuk ke dalam laut perlahan-lahan. Walaupun lemah, namun Yeh-lu Chi melihat ancaman seperti itu, telah melompat ke perahu kecil itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, dia membuka ikatan pada perahu tersebut, dan lalu menjemput Kwee Hu dan puterinya, meminta agar isterinya itu membawa puterinya melompat ke perahu kacil itu. Yeh-lu Chi menyusul kemudian.

Waktu perahu kecil itu telah belayar beberapa lie, maka tampak kapal itu telah karam sebagian besar, hanya terlihat sisa-sisa dari puncak tiang layarnya..... Semua penghuni kapal itu telah tersapu bersih dibawa oleh hembusan angin topan bergulung itu. Entah di mana mereka berada pada waktu ini, tapi besar kemungkinan semuanya telah berada di dasar lautan menjadi sahabatnya Hay-long-ong, si raja laut itu......”

Yeh-lu Chi telah menghela napas beberapa kali, hatinya lega karena dia dan istri maupun puterinya telah berhasil selamat dari bencana hebat itu..... inipun berkat ilmu silat mereka yang memang telah tinggi serta sempurna. Coba jika mereka memiliki kepandaian yang tanggung-tanggung, niscaya mereka pun akan mengalami nasib seperti penumpang-penumpang kapal yang lainnya.....

Berhari-hari Yeh-lu Chi bersama Kwee Hu, si Kie, puterinya itu, terombang-ambing di kapal kecil itu tanpa makan, minum atau memiliki sepotong barang lainnya. Karena dalam keadaan panik dan tergesa-gesa, Yeh-lu Chi sudah tak sempat untuk mengurusi segalanya itu, mengambil barang makanan atau lainnya. Karena waktu itu yang dipikirkan hanyalah bagaimana dapat memindahkan isteri dan puterinya itu ke perahu kecil tersebut, meninggalkan kapal besar yang akan karam itu......

Maka, jika dalam satu-dua hari ini mereka tidak berhasil menemukan daratan, niscaya mereka akan menemui kematian juga, di mana biarpun mereka telah berhasil menyelamatkan diri dari bencana yang baru lewat itu, namun ancaman bencana lainnya, yaitu mati kelaparan dan kehausan telah mengancam lagi. Juga selama dua hari ini, Yeh-lu Chi, Kwee Hu dan si Kie merasakan tubuh mereka semakin lemah saja..... yang kasihan adalah puteri Yeh-lu Chi itu, yaitu Yeh-lu Kie, mengalami penderitaan yang tidak ringan.

Namun anak ini rupanya memang memiliki daya tahan yang agak luar biasa. Juga memiliki sifat yang riang, di kala berlayar dengan perahu kecil itu, justru dia jadi girang dapat menyaksikan ikan-ikan yang berlompatan di laut. Memang dengan ikan-ikan itulah akhirnya Yeh-lu Chi berpikir untuk mengisi perut.

Rasa lapar itulah yang membuat pikirannya terbuka, dan akhirnya dia berusaha menangkap beberapa ekor ikan dan memakannya mentah-mentah, tanpa memperdulikan perasaan jijik dan amisnya ikan-ikan tersebut......

Semula Kwee Hu tidak bisa menelan daging ikan mentah itu, namun perasaan lapar dan haus juga yang menyebabkan dia memaksa diri untuk memakannya juga. Walaupun dengan sedikit rasa agak asin......

Semula berhari-hari mereka terombang-ambing di laut merupakan hal yang sangat menjengkel sekali. Mereka bisa mengatasi rasa lapar dan haus mereka dengan menangkap ikan yang dijadikan santapan mereka, memakan daging dan ikan mentah, yang setidak-tidaknya bisa mengurangi rasa lapar dan haus mereka.....

Jika siang mereka kepanasan dan sangat menderita sekali, karena tidak memiliki pakaian atau kain yang bisa dipergunakan sebagai pelindung, dan kalau malam mereka disiksa oleh hawa yang dingin luar biasa. Untuk melindungi Yeh-lu Kie, puteri mereka dari serangan terik matahari di siang hari, Yeh-lu Chi telah mempergunakan baju luarnya untuk melindungi kepala puterinya itu.

Siang itu, keringat telah membasahi sekujur tubuh mereka baik Yeh-lu Chi, Kwee Hu maupun Yeh-lu Kie. Mereka sangat menderita sekali. Dan waktu itu, Yeh-lu Kie juga merasakan tubuhnya lemas bukan main.

Setiap hari dia hanya ikut makan ikan mentah, tapi karena dia terlalu merasa jijik dan amis, ikan tersebut tidak bisa ditelannya, dia sulit sekali memakan ikan itu. Dan jika tokh dia berhasil memakannya, itu hanya sepotong demi sepotong kecil saja dengan memaksakan diri, memijit hidungnya, untuk mengurangi bau amis tersebut.

Tetapi, dikala siang itu Kwee Hu dan Yeh-lu Chi tengah rebah lesu, dan juga Yeh-lu Kie tengah duduk terpekur, tiba-tiba dia melihat sesuatu.

“Ayah, lihat! Ibu..... kau lihat.....!” berseru anak itu dengan suara yang nyaring, diapun telah berdiri sehingga menimbulkan goncangan di perahu mereka.

Kwee Hu dan Yeh-lu Chi terkejut, mereka menyangka bahwa anak mereka ini telah melihat sesuatu ancaman dari semacam makhluk laut yang berbahaya. Mereka berdua telah duduk.

Ternyata yang ditunjuk oleh Yeh-lu Kie adalah semacam benda mengambang meluncur mendatangi ke arah perahu mereka, dan benda itu berkilauan tertimpa cahaya matahari. Setelah datang dekat, tiba-tiba muka Yeh-lu Chi berobah berseri-seri girang sekali.

“Gumpalan es!” berseru Yeh-lu Chi.

Kwee Hu juga bersorak girang, dia telah bilang: “Kita akan tertolong......!”

Yeh-lu Chi menantikan gumpalan es yang tidak begitu besar meluncur datang lebih dekat, dan ketika akan lewat di sisi perahunya, Yeh-lu Chi telah menyambarnya mengambil potongan es itu.

“Kita bisa mencairkannya untuk minum kita!” kata Yeh-lu Chi.

Kwee Hu mengangguk.

Hanya yang membuat mereka jadi bingung, mereka tidak memiliki cawan maupun barang lainnya yang dipergunakan menampung cairan es itu. Akhirnya Yeh-lu Chi telah meminta puterinya agar dongak ke atas sambil membuka mulutnya. Es itu lalu dicekalnya, dan Yeh-lu Chi mengerahkan lweekangnya. Dari telapak tangannya tersalur hawa yang panas, es itu jadi mencair, dan tetes demi tetes telah masuk ke dalam mulut puterinya.

Dengan cara seperti itulah mereka bergantian “minum” cairan es tersebut. Dan tidak lama kemudian, mereka telah bertemu dengan kepingan-kepingan es yang lebih banyak jumlahnya, ada empat potong!

“Kita pasti akan tertolong, tidak jauh dari tempat ini tentu terdapat sebuah pulau......!” kata Yeh-lu Chi. “Dengan adanya pecahan es ini, berarti tidak jauh lagi dari tempat ini terdapat sebuah tempat yang dapat kita singgahi. Cuma saja kita tidak mengetahui, entah sekarang ini kita berada di mana dan pulau di depan itu entah pulau apa......!”

Perahu terus meluncur terus, dan pecahan kepingan es semakin banyak, malah ukurannya pun besar-besar. Perahu mereka sering membentur pecahan kepingan es tersebut.

Karena kuatir perahu mereka akan terbentur bocor atau hancur oleh kepingan es yang semakin banyak dan besar itu, Yeh-lu Chi terpaksa mempergunakan baju luarnya untuk digulung seperti cambuk, lalu dengan mempergunakan lweekangnya, dia membuat gulungan baju itu keras seperti baja.

Dengan itulah dia telah menyampok setiap kepingan es yang akan membentur perahunya. Dan malah, dengan menotol pada permukaan kepingan itu mempergunakan ujung gulungan bajunya, perahunya meluncur maju semakin cepat memiliki tenaga dorongan......

Tidak lama kemudian, di depan mereka tampak sesuatu yang membuat mereka suami isteri jadi girang bukan main, yaitu tampak sebuah pulau yang luas sekali, di mana seluruh permukaan pulau itu diselubungi oleh salju dan juga perahu mereka sulit untuk maju terus terhalang oleh kepingan es yang besar-besar ukurannya. Pulau yang tertutup salju itu merupakan sebuab pulau yang memancarkan sinar berkilauan, sehingga tampaknya dari kejauhan seperti juga berkilauannya batu permata yang memancarkan warna-warni beraneka warna......

“Kita tidak bisa mempergunakan terus perahu ini!” kata Yeh-lu Chi. “Biarlah aku akan menggendong si Kie, dan kau adik Hu, segera kau pergunakanlah ginkangmu untuk berjalan di atas permukaan kepingan es itu! Ingatlah kau harus hati-hati.... Jika kau salah perhitungan, kau akan tergelincir......!”

Kwee Hu mengangguk. Begitulah, sepasang suami isteri tersebut, dengan Yeh-lu Chi menggendong puterinya, telah berlari-lari di atas permukaan kepingan es itu. Mereka dapat bergerak dengan gesit sekali, karena memang mereka memiliki ginkang yang tinggi sekali. Dengan demikian, dengan bersusah payah, namun akhirnya tokh mereka telah bisa mendapat tepian pulau tersebut.

Waktu itu sinar matahari memancarkan cahayanya yang terik, namun anehnya, es-es yang membeku di pulau itu tidak mencair. Dan dibantu dengan hawa dingin yang dipancarkan dari kepingan-kepingan es itu, maka Yeh-lu Chi bersama Kwee Hu dan puteri mereka tidak terlalu tersiksa oleh teriknya matahari.

Hanya saja yang membuat mereka jadi tidak bergembira, mereka memperoleh kenyataan pulau tersebut hanya merupakan pulau salju yang kosong belaka. Sejauh mata memandang permukaan pulau tersebut dibungkus oleh salju, tidak ada pohon ataupun sesuatu yang hidup di pulau ini. Berarti mereka telah terdampar di pulau es yang kosong, berarti mereka sama saja tidak akan tertolong dari ancaman kematian, malah jika malam di pulau es ini tentu akan jauh lebih dingin dibandingkan jika mereka berada di perahu mereka.....

Tapi Yeh-lu Chi tidak berputus asa, dia yakin, di dalam pulau itu tentu terdapat suatu tempat yang bisa dipergunakan berteduh. Dan untuk melewati hari-hari, bisa saja mereka memakan akan hasil tangkapannya. Begitulah sambil menggendong puterinya, Yeh-lu Chi telah mengajak Kwee Hu memasuki pulau itu lebih jauh. Sangat licin sekali dan sulit perjalanan yang mereka lakukan.

Setelah menyusuri empatbelas lie lebih tiba-tiba pasangan suami isteri jadi berdiri menjublek dengan muka yang berobah memancarkan kegembiraan. Dan Kwee Hu, setelah tersadar dari tertegunnya itu, sambil tertawa keras, telah menubruk dan memeluk suami dan puterinya.

Demikian juga halnya dengan Yeh-lu Chi, dia jadi gembira bukan main. Karena di hadapan mereka ternyata terbentang sebuah tempat yang berbeda sekali dibandingkan dengan keadaan pulau di sebelah depan itu. Mereka melihat hamparan lapangan rumput yang tumbuh subur, melihat pohon-pohon bunga yang tumbuh subur dan batang-batangnya agak pendek, dengan pohon bunga yang tumbuh segar, sehingga tampaknya tempat itu indah luar biasa. Disamping batu gunung yang menonjol, terdapat sebuah pancuran air, yang mirip dengan air terjun, walaupun air terjun ini tidak begitu tinggi.

Setelah bersorak-sorak kegirangan dan Yeh-lu Kie telah turun dari gendongannya, Yeh-lu Chi bersama Kwe Hu berlari-lari di lapangan rumput itu, demikian juga Yeh-lu Kie, yang telah bergulingan gembira di lapangan rumput itu.

Waktu itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang anak kecil menegur: “Hei, hei, apa yang kalian lakukan?”

Kwee Hu dan Yeh-lu Chi yang waktu itu tengah gembira, sama sekali tidak menyangka bahwa pulau ini ada penghuninya juga. Mereka memang tengah dikuasai kegembiraan yang meluap-luap, sehingga perhatian mereka pada sekelilingnya tidak ada sama sekali, dan setelah ditegur oleh orang itu, barulah mereka tersadar dengan terkejut.

Mereka menoleh, dihadapan mereka berdiri seorang anak lelaki berusia lima atau enam tahun, tengah memandang heran kepada mereka. Anak lelaki itu memiliki paras muka yang cakap, dengan kulit yang putih dan pipi yang memerah sehat.

Waktu itu, diapun tidak hentinya mengawasinya Yeh-lu Chi dan Kwee Hu. Ketika dia melihat Yeh-lu Kie, dan si gadis cilik ini tengah mengawasinya juga, anak lelaki itu tampaknya menjadi gembira, dia telah melangkah menghampiri si gadis kecil.

“Hei, siapa kau...:?” tanya lelaki itu. “Bagaimana kalian bisa tiba di pulau ini?!”

Yeh-lu Kie sendiri telah berhari-hari terombang-ambingkan oleh lautan yang demikian menjemukan, di samping itu diapun telah menderita tidak sedikit disebabkan bencana yang telah dialami bersama ayah dan ibunya. Kini, dia bisa berada di tempat yang begitu indah, dan hawa udaranya yang nyaman hangat, juga memperoleh seorang teman cilik yang sama usianya seperti dia, maka kegembiraannya terbangun.

Cepat dia pun menjawab sambil tertawa: “Koko apakah engkau tinggal disini?!”

Anak lelaki itu mengangguk.

“Benar, aku bersama suhu berdiam di sini!” menyahuti anak lelaki itu. “Bagaimana kalian bisa datang ke mari?!”

Yeh-lu Kie telah menunjuk kepada ayah dan ibunya: “Ayah dan ibuku yang telah mengajakku ke mari...... kami menemui bencana di laut, kapal kami telah rusak dan karam, sehingga akhirnya kami terdampar di pulau ini......!”

“Menurut Suhu, tidak diperkenankan siapa pun menginjak pulau ini, siapa juga tidak diperbolehkan untuk datang ke pulau ini, dan kalian sekarang telah datang ke tempat ini, tentu Suhu akan marah dan bergusar.....!” Anak itu telah berkata lagi, dia seperti tidak memperdulikan Kwee Hu dan Yeh-lu Chi, hanya bicara kepada Yeh-lu Kie.

Mendengar perkataan anak lelaki itu, Yeh-lu Chi telah menghampiri anak tersebut, dia memegang pundaknya dan menepuk perlahan, sambil katanya disertai senyumnya: “Anak siapakah namamu....., dan siapakah suhumu....?!”

Anak itu telah mengangkat kepalanya, dia mengawasi Yeh-lu Chi beberapa saat, dilihatnya wajah Yeh-lu Chi tidak ada tanda-tanda seperti seorang manusia jahat, maka senang hati anak itu untuk menjawab pertanyaannya.

“Aku she Lie..... namaku Ko Tie.....!” menyahut anak tersebut. “Dan Suhu...... nama Suhu tidak boleh kuberitahukan!”

“Mengapa begitu? tanya Yeh-lu Chi. “Kami bukan orang jahat, kami hanya kebetulan saja terdampar di sini, maka dari itu kau tidak perlu takut dan berkuatir, karena kami tidak bermaksud jahat. Siapakah Suhumu? Bisakah kami bertemu dengannya? Kau tentu tersedia mengajak kami untuk bertemu dengan Suhumu itu.”

Tapi Lie Ko Tie, anak itu telah mengelengkan kepalanya.

Yeh-lu Chi menoleh kepada Kwee Hu dan Kwee Hu mengerti apa maksud suaminya itu. Dia telah menghampiri anak itu, dipegang pundaknya dengan ramah sekali, dia telah bertanya halus: “Anak, kami tengah mengalami bencana tidak kecil, sehingga kami telah terdampar di pulau ini. Jelas memang kami harus pergi menemui gurumu itu untuk menghunjuk hormat kepadanya, agar jangan sampai kami nanti disebut sebagai manusia-manusia tidak tahu aturan!”

Lie Ko Tie mengangkat kepalanya dia menatap Yeh-lu Chi dan Kwee Hu bergantian sampai akhirnya dia menggeleng lagi.

“Tidak..... Suhu telah berpesan kepadaku, kepada siapa juga aku tidak boleh memberitahukan siapa nama Suhu, juga tidak boleh mengajak orang luar untuk bertemu dengan Suhu.....!” menyahuti Lie Ko Tie kemudian. “Lebih baik kalian meninggalkan pulau ini saja, karena jika Suhu mengetahui kedatangan kalian ke mari, tentu kalian akan dihukumnya...!”

Kwee Hu bersenyum. Dia memang sebagai orang Kangouw, tentu saja mengetahui, bahwa hal itu memang lumrah, bahwa seorang pemilik pulau tentu tidak senang jika pulaunya didatangi oleh seseorang asing yang tidak dikenalnya. Bukankah sifat kakeknyapun sama saja dengan sifat pemilik pulau salju ini, di mana kakeknya tidak akan membiarkan seseorang tidak dikenal datang ke Tho-hoa-to??

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar