37 Perjalanan Pangeran Ke Kotaraja
Sasana mengangguk.
“Sayang guruku tidak ikut
serta......!” menggumam si gadis.
“Aku berada di sini!”
tiba-tiba terdengar suara orang berseru sambil tertawa “hahaha, hihihi.”
Sasana dan orang-orang lainnya
yang berada di tempat tersebut terkejut, mereka telah menoleh ke atas dari mana
asal suara itu.
Terlihat seorang tengah duduk
di wuwungan dengan sikap seenaknya sambil tertawa-tawa. Orang itu memiliki
kumis dan jenggot yang telah memutih, yang tumbuh panjang sampai menutupi
seluruh tubuhnya. Rambutnya juga dibiarkan tumbuh panjang. Ternyata orang
tersebut tak lain dari Ciu Pek Thong!
“Suhu!” teriak Sasana dengan
perasaan girang yang meluap-luap.
“Ciu Locianpwe!” berseru Yo
Him yang ikut girang juga.
Dengan adanya si berandal
jenaka ini, tentu urusan jadi lebih mudah diatur.
Waktu itu Ciu Pek Thong telah
berkata dengan suara yang riang, di antara suara tertawanya yang “hahaha,
hihihi,” bilangnya,
“Aku telah tinggal selama
beberapa tahun di dalam istananya pangeran Ghalik, selama itu aku makan dan
tidur gratis tanpa perlu bayar! Hmm, walaupun dia adalah pangeran Mongolia,
namun aku berhutang budi pada pangeran. Adalah pantas jika sekarang aku
membalas budi kebaikan pangeran Ghalik.....!” membarengi dengan habisnya perkataan
Ciu Pek Thong, tampak tubuh Ciu Pek Thong telah melompat turun dengan gerakan
yang ringan sekali.
Kala itu Sim Sie Thaykam dan
para pahlawannya istana kaisar telah memandang dengan bengis dan semuanya
bersiap-siap dengan memegang senjata tajam. Ketika melihat tubuh Ciu Pek Thong
meluncurkan turun menyambar ke bawah, mereka jadi terkejut dan segera juga
beberapa orang pahlawan telah menyerbu maju untuk menyerang Ciu Pek Thong
dengan senjata tajam mereka.
Tapi Ciu Pek Thong tetap
meluncur turun dengan cepat sekali, ke dua tangannya telah digerakkan untuk
mengebut lima orang pahlawan itu terpental. Tubuh Ciu Pek Thong tetap meluncur.
Dengan perlahan dia mendorong
pundaknya Sim Thaykam, sehingga membuat orang kebiri itu terguling-guling di
lantai sambil berseru-seru, dengan suara yang mengandung kemarahan bukan main
dan juga perintahkan para pahlawan istana Kaisar agar segera mengepung Ciu Pek
Thong untuk membekuknya.
Tapi mereka semua itu mana
bisa menghadapi si tua berandalan yang jenaka itu? Dengan mengeluarkan suara
tertawa yang nyaring, “hahaha, hihihi,” Ciu Pek Thong telah sampai di samping
pangeran Ghalik, di mana dia telah mengulurkan tangannya dan ketika Pangeran
Ghalik tengah berdiri bengong seperti itu, dia telah merangkul pinggang Pangeran
Ghalik. Dalam waktu yang singkat sekali, Ciu Pek Thong telah mencelat membawa
kabur pangeran Ghalik.
Gerakan Ciu Pek Thong begitu
gesit dan cepat sehingga tak bisa dirintangi.
Dalam keadaan seperti inilah,
tampak para pahlawan istana Kaisar telah berlari-lari mengejar sambil
berteriak-teriak, “Tangkap pemberontak! Tangkap pemberontak!”
Namun ketika tiba di luar
rumah penginapan Ciu Pek Thong dan pangeran Ghalik lenyap dari pandangan
mereka.
Sim Thaykam jadi mengamuk
penuh kemarahan juga membentak para pahlawan Kaisar itu perintahkan mereka
untuk menangkap Yo Him dan Sasana, serta Hek Pek Siang-sat dengan para
pahlawannya pangeran Ghalik yang berjumlah enam orang itu.
Namun Yo Him dan Sasana
memiliki kepandaian yang tinggi, mereka mudah sekali menerobos kepungan itu
sampai di luar rumah penginapan, sedangkan Hek Pek Siang-sat pun telah
mempergunakan kepandaiannya merubuhkan para pahlawan Kaisar yang merintangi
jalan mereka.
Pek Siang-sat sendiri yang
tengah murka terhadap Sim Thaykam, ketika lewat di samping Sim Thaykam, telah
mengayunkan tangannya.
“Bukk!” tubuh Sim Thaykam
telah terpental keras sekali dan ambruk di lantai bergulingan tidak bisa
berkutik lagi karena telah pingsan.
Begitulah Yo Him, Sasana, Hek
Pek Siang-sat dan keenam pahlawannya Pangeran Ghalik telah menyingkirkan diri
berlari-lari gesit sekali keluar kota.......
Tidak ada seorangpun para
pahlawan Kaisar yang dibawa oleh Sim Thaykam yang dapat menghalangi mereka.
Bukan main marahnya Sim Thaykam, dia telah mencaci maki beberapa saat lamanya
sampai akhirnya mengajak para pahlawan Kaisar untuk itu kembali ke kota raja
guna memberikan laporan pada Kaisar.
Sesungguhnya, jika saja Kaisar
mau mendengar petunjuk Tiat To Hoat-ong, tentu sulit buat pangeran Ghalik
terlolos dari tangan mereka. Karena Tiat To Hoat-ong telah meminta kepada
Kaisar agar mengikut sertakan para pahlawannya, jago-jago silat yang memiliki
kepandaian tinggi. Namun Kaisar telah menolak permintaan Koksu tersebut.
Menurut Kaisar, pangeran
Ghalik yang masih terikat darah sebagai saudara sepupunya, tentu tidak akan
membangkang terhadap firmannya. Karena itu, Kaisar hanya perintahkan para
pahlawan Kaisar untuk ikut serta mengiringi Sim Thaykam.
Tapi hasil yang diperoleh
adalah kegagalan belaka. Tapi inipun cukup menggembirakan Koksu negara itu,
karena Tiat To Hoat-ong segera bisa menyebar racun yang lebih hebat pada
Kaisar, di mana ia melaporkan hal-hal yang tidak benar pada Kaisar mengenai
sepak terjang pangeran Ghalik, yang dikatakannya telah berserikat dengan
Sin-tiauw-tay-hiap dan para pendekar yang pernah membantu kerajaan Song, ingin
melakukan suatu pemberontakan pada Kaisar.
Karena hasutan seperti itulah,
maka kaisar telah mengambil tindakan seperlunya. Para panglima dan jenderal
yang diketahui merupakan orang-orangnya pangeran Ghalik yang memimpin berbagai
pasukan angkatan perang telah dicopot dan dipecat dari jabatannya, digantikan
oleh orang-orang kepercayaan Kaisar lainnya, yang menjadi kaki tangan Koksu.
Terlebih lagi dengan
terjadinya peristiwa di mana pangeran Ghalik tidak mau menerima firman dan
telah melarikan diri ditolong oleh kawan-kawannya, di mana Sim Thaykam juga
menceritakan di dalam rombongan pangeran Ghalik itu terdapat juga Yo Him putera
Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko.
Hasutan Koksu negara itu makin
termakan oleh Kaisar yang semakin mempercayai keterangan palsu Koksu tersebut.
Karena itu, setelah Sim Thaykam melaporkan kegagalannya menunaikan tugas untuk
“menangkap” dan membawa pangeran Ghalik ke kota raja, Kaisar telah
bersungguh-sungguh menghadapi masalah ini.
Dikerahkannya beberapa orang
pahlawan pilihan dari istana Kaisar untuk memimpin pasukan melakukan pengejaran
menangkap pangeran Ghalik. Juga disamping itu kaisar telah memerintahkan pada
Tiat To Hoat-ong agar Koksu ini memimpin jago-jago yang berada di bawah
kekuasaannya untuk segera melakukan pengejaran pada pangeran Ghalik, guna
menangkapnya.
Tentu saja perintah itu
menggembirakan Koksu tersebut, di mana dia telah dapat memiliki kekuasaan yang
penuh untuk menangkap pangeran Ghalik. Maka dua hari kemudian, Tiat To Hoat-ong
telah berangkat diiringi oleh Gochin Talu, Lengky Lumi dan lain-lainnya
melakukan pengejaran pada pangeran Ghalik.
Selama berada d istana Kaisar,
memang Tiat To Hoat-ong telah menyembuhkan luka dalamnya. Di mana semangat dan
tenaga murninya telah terkumpulkan kembali, sehingga pendeta Mongolia yang
menjadi Koksu negara tersebut bersemangat sekali. Dia yakin dengan dibantu oleh
jago-jagonya tentu dia bisa menangkap pangeran Ghalik.
Hanya yang dikuatirkan oleh
Tiat To Hoat-ong cuma Swat Tocu saja. Jika memang Swat Tocu merupakan orangnya
pangeran Ghalik, tentu Koksu ini menemui kesulitan yang tidak kecil guna
menangkap pangeran itu, yang telah dicap sebagai pemberontak......!
◄Y►
Ternyata Ciu Pek Thong memang
telah mengikuti rombongan pangeran Ghalik diam-diam.
Sasana ketika ingin berangkat
telah memberitahukan maksudnya yang ingin ikut serta ke kota raja mengiringi
ayahnya. Dan Ciu Pek Thong hanya tertawa-tawa saja tidak memberikan sambutan
apa-apa.
Namun setelah tiga hari
keberangkatan muridnya itu di mana Ciu Pek Thong, dilayani oleh para pelayan
wanita istana pangeran Ghalik dengan baik sekali menimbulkan kebosanan juga
pada si tua berandalan yang jenaka ini. Dia memang seorang yang jenaka dan
gemar bermain, maka lewat tiga hari tanpa muridnya, tanpa mendengar
dongeng-dongeng, membuat dia jadi bosan berada terus menerus di istana pangeran
Ghalik.
Akhirnya ia pergi meninggalkan
istana. Karena memang Ciu Pek Thong memiliki ginkang yang sangat sempurna
sekali, sampai Oey Yok Su, Auwyang Hong pun sulit untuk menandingi ginkangnya
itu, dia bisa menyusul rombongan pangeran Ghalik dengan cepat.
Tapi Ciu Pek Thong memangnya
berandalan dan jenaka, dia tidak segera memperlihatkan diri hanya mengikuti
terus rombongan pangeran Ghalik. Dia ingin mengejutkan muridnya.
Siapa tahu, justru terjadi
urusan Sim Thaykam yang membawa firman Kaisar, yang hendak menangkap pangeran
Ghalik. Dengan demikian memaksa Ciu Pek Thong harus memperlihatkan diri
menolongi pangeran Ghalik.
Ciu Pek Thong memang memiliki
kepandaian yang telah mencapai tingkat yang tinggi dan puncak kesempurnaan.
Dengan mengandalkan kepandaiannya itu, dia telah berhasil menyelamatkan
pangeran Ghalik, yang telah dibawa lari keluar kota tersebut.
Pangeran Ghalik sendiri yang
berada dalam kempitan Ciu Pek Thong telah berseru: “Ciu locianpwe! Berhenti
dahulu, ada yang hendak kukatakan padamu!”
Namun Ciu Pek Thong lari terus
dengan tidak mengurangi kecepatannya, malah dia telah menyahutinya: “Hemmm, apa
yang hendak dibicarakan lagi? Engkau memang ingin menggantikan puterimu untuk
menceritakan sebuah dongeng kepadaku?”
“Ada urusan yang penting
sekali yang perlu kukatakan padamu!” sahut pangeran Ghalik.
“Nanti jika kita telah tiba di
tempat yang aman, barulah kita bercakap-cakap. Syukur jika memang engkaupun
memiliki banyak cerita dongeng yang bisa ceritakan kepadaku!”
Dan Ciu Pek Thong telah
berlari terus dengan cepat sekali. Dalam waktu yang singkat hampir limapuluh
lie dilaluinya.
Waktu itulah Ciu Pek Thong
baru menghentikan larinya di muka sebuah rumah penduduk, dia menurunkan
pangeran Ghalik dari kempitannya.
“Kita mengasoh di sini!” kata
Ciu Pek Thong.
“Tapi kau telah membawaku ke
tempat sedemikian jauh. Tentu......!” kata pangeran Ghalik.
Dia melihat walaupun berlari
cepat dalam jarak begitu jauh, Ciu Pek Thong tetap tenang dan napasnya tidak
memburu sama sekali. Sedangkan pangeran Ghalik sendiri, yang sejak tadi hanya
berada dalam kempitan Cia Pek-thong, namun karena dibawa lari sehingga tubuhnya
terguncang terus menerus. merasakan napasnya memburu.
Maka diam-diam pangeran Ghalik
tambah menaruh perasaan kagum pada jago tua tersebut.
“Tentu, tentu apa?!” tanya Ciu
Pek Thong sambil tertawa.
“Tentu mereka tidak bisa
menyusul kita!” menyahuti pangeran Ghalik.
Ciu Pek Thong tertawa
tergelak-gelak.
“Apakah memang kau
menginginkan manusia-manusia busuk itu bisa mengejar kita?!”tanyanya kemudian
setelah puas tertawa.
“Bukan begitu maksudku!”
menyahuti pangeran Ghalik cepat. “Maksudku Yo kongcu dan yang lain-lainnya itu
bersama dengan puteriku, tentu mereka tidak mencari kita, karena kita berada di
tempat yang demikian jauh, terlebih lagi ginkang mereka tentunya tidak sehebat
yang dimiliki Ciu Locianpwe!”
Mendengar perkataan pangeran
Ghalik, Ciu Pek Thong jadi berhenti tertawa dia memandang bengong. Kemudian dia
mengangkat tangannya mencabuti kumisnya itu dengan sikap seperti sedang
berpikir keras.
“Benar juga, apa yang kau
katakan pangeran!” kata Ciu Pek Thong kemudian. “Kita telah meninggalkan kota
itu terlalu jauh...... ai, ai, tentu mereka tidak akan dapat menyusul ke mari
sebab setelah mencari-cari kita belasan lie jauhnya, mereka akan mengambil arah
lain! Celaka! Sungguh celaka!” sambil berkata begitu, Ciu Pek Thong telah
berjingkrak-jingkrak.
Waktu Ciu Pek Thong berjingkrak-jingkrak
seperti itu dan pangeran Ghalik ingin berkata lagi, pintu rumah penduduk itu
terbuka. Dari dalam keluar seorang lelaki tua, karena dia mendengar suara
ribut-ribut di luar rumahnya.
“Ohhhh, ada tamu!” kata tuan
rumah itu dengan ramah. “Silahkan masuk silahkan masuk!”
Tapi Ciu Pek Thong telah
menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata: “Tidak, tidak, aku ada
urusan penting! Celaka! Celaka! Sungguh celaka.”
Tuan rumah yang sudah lanjut
usia itu jadi bengong saja mengawasi tamu-tamunya yang agak istimewa ini.
“Apanya yang celaka?' tanya
tuan rumah itu waktu melihat Ciu Pek Thong masih berjingkrakan menyebut-nyebut
celaka.
“Ada yang celaka! Ada yang
celaka!” menyahuti Ciu Pek Thong.
“Siapa yang celaka!” tanya
tuan rumah itu tambah tidak mengerti.
“Aku dan pangeran!” menyahuti
Ciu Pek Thong.
“Kau dan pangeran '? Pangeran
mana?” tanya tuan rumah tambah heran.
“Aku dan pangeran Ghalik,
celaka.”
“Apakah kalian bertemu
perampok?” tanya tuan rumah lagi.
“Tidak! Bukan!” menyahuti Ciu
Pek Thong. “Tapi kami justru telah melarikan diri terlalu jauh......!”
“Melarikan diri? Melarikan
diri untuk menghindarkan apa?!” tanya tuan rumah itu lagi, tambah heran, juga
sangat tertarik sekali. ”Apakah tidak lebih tuan-tuan singgah dulu untuk beristirahat
sambil minum teh?!”
Ciu Pek Thong menggelengkan
kepalanya berulang kali, kemudian katanya: “Tidak, aku sedang menghadapi urusan
yang bisa membuat aku celaka!”
“Apakah memang jiwa kalian
tengah terancam bahaya?!” tanya orang tua itu. “Jika memang benar, apakah tidak
lebih baik kalian bersembunyi di rumahku.”
Ciu Pek Thong berhenti
berjingkrak kemudian memandang tuan rumah itu dengan sepasang mata terpentang
lebar-lebar.
“Bersembunyi di rumahmu? Ohhh,
justru aku tengah ingin kembali untuk menemui orang-orang itu! Karena jika
tidak berhasil bertemu dengan mereka, celakalah aku..... karena aku tidak bisa
mendengar dongeng-dongeng lagi, cerita-cerita yang menarik itu!”
Tuan rumah jadi bengong
bercampur heran dan lucu, dia telah bertanya dengan suara yang ragu-ragu,
“Tidak bisa mendengar cerita saja merupakan hal yang celaka? Ohhhhhh,
benar-benar merupakan urusan yang mengherankan sekali!”
“Aku telah meninggalkan
muridku cukup jauh, jika itu murid-muridku itu tidak bisa menyusul ke mari.
Karena itu, jika memang kami tidak bisa bertemu lagi, jelas aku bisa celaka,
nasibku jadi buruk, karena untuk selanjutnya aku tidak bisa mendengar muridku
bercerita, menceritakan dongeng-dongeng yang sangat menarik sekali!”
“Jika begitu kalian bisa
menunggu di sini saja, aku akan menyediakan air teh pada kalian, untuk
beristirahat dulu! Bagaimana? Bukankah nanti jika muridmu telah menyusul ke
mari, tuan, kalian murid dan guru bisa bertemu kembali, bukan?”
“Tidak, aku harus kembali
menemui mereka!” menyahuti Ciu Pek Thong.
Dan baru saja perkataannya itu
habis diucapkan, mendadak dia mengulurkan tangannya, tubuhnya telah melompat
dengan gesit sekali, dia berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Tuan rumah itu jadi bengong,
karena tahu tahu tubuh Ciu Pek Thong yang mengempit pangeran Ghalik, telah
lenyap dari pandangan matanya, menghilang begitu cepat, bagaikan setan saja
yang berkelebat lenyap.
Setelah tersadar dari
tertegunnya orang tua empunya rumah bergidik sendirinya, dia menyangka telah
bertemu hantu di siang hari bolong, maka dia cepat-cepat menutup pintu
rumahnya. untuk segera dipalangnya kuat-kuat......!
◄Y►
Ciu Pek Thong telah membawa
pangeran Ghalik berlari-lari cepat sekali, kembali ke jurusan dari mana tadi
mereka mendatangi. Berlari-lari sekian lama, sampai tigapuluh lie lebih mereka
masih belum bertemu dengan rombongan Yo Him.
“Apakah mereka telah ditawan
oleh Sim Thaykam?” menggumam pangeran Ghalik dengan suara mengandung
kekuatiran.
“Apa kau bilang!” tanya Ciu
Pek Thong sambil menahan larinya.
“Aku kuatir...... aku
kuatir......!” kata pangeran Ghalik dengan wajah muram.
“Kau kuatir, kuatir apa?”
tanya si tua berandalan jenaka itu. “Apa yang dikuatirkan pangeran!”
“Aku kuatir mereka tidak bisa
meloloskan diri dari orang-orangnya Sim Kong-kong!” menyahuti pangeran Ghalik.
“Sim Kong-kong, orang kebiri
itu!” tanya Ciu Pek Thong. “Dan kau kuatir para pahlawan yang jadi pengiringnya
itu akan berhasil menangkap muridku dan juga pemuda she Yo itu......?!”
“Ya...... tentu sudah terjadi
pertempuran yang hebat di antara mereka! Sedangkan Hek Pek Siang-sat dan keenam
orang pahlawanku itu mereka merupakan pengikutku yang setia, tak mungkin
berkhianat dan menyerah pada Sim Kong-kong......! Namun keselamatan puteriku
itu......”
“Mari kita kembali saja ke
sana......!” kata Ciu Pek Thong tidak sabaran. “Jika terjadi sesuatu pada
muridku atau Yo Him, hem, hem, biarlah Sim Kong-kong itu kucabuti seluruh bulu
di tubuhnya!”
“Tunggu dulu, lihat itu!
Apakah bukan mereka!” kata pangeran Ghalik sambil menunjuk ke arah kanannya.
Ciu Pek Thong menoleh dan
melihat serombongan orang yang tengah berlari-lari dengan cepat sekali.
Ciu Pek Thong berjingkrak
kegirangan, diapun telah melepaskan kempitannya pangeran Ghalik dan berseru:
“Benar! itulah muridku! Hai muridku, cepat kau ke mari untuk menceritakan
dongeng-dongeng menarik untukku!” Teriakan terakhir dari Ciu Pek Thung sangat
nyaring sekali karena dia berteriak dengan mempergunakan lweekangnya.
Rombongan yang tengah
berlari-lari itu mendatangi memang tidak lain dari pada Yo Him, Sasana, Hek Pek
Siang-sat dan ke enam orang pahlawannya pangeran Ghalik!
Rombongan pangeran Ghalik
setelah berunding untuk mencari jalan keluar yang baik nanti menghadapi Tiat To
Hoat-ong dan orang-orangnya, akhirnya mereka melakukan perjalanan ke kota raja.
Memang pangeran Ghalik
menyadarinya, jika dalam waktu-waktu sekarang dia menghadap Kaisar, tentu
Kaisar yang tengah berada dalam pengaruh Tiat To Hoat-ong akan menjatuhkan
hukuman mati padanya tanpa mempertimbangkan lagi akan hal itu dan tidak
memperdulikan benar atau tidaknya dosa pangeran Ghalik seperti yang difitnah
oleh Tiat To Hoat-ong.
Namun sebagai seorang pangeran
dan panglima yang memiliki kekuasaan atas semua angkatan perang Mongolia,
Boan-ciu. jelas dia memiliki bawahan-bawahan yang bekerja di bawah perintahnya.
Jika dianggap sebagai pengkhianat dan pemberontak, jelas bawahannya itu akan
bercelaka juga.
Demikianlah ancaman bahaya
untuk semua orang-orang bawahannya itu, dan pangeran Ghalik tidak bisa
membiarkan begitu saja. Walaupun harus menempuh bahaya yang tidak kecil, tokh
dia mengajak rombongannya untuk pergi ke kota raja, dan disamping nanti mencari
jalan untuk bertemu dengan kaisar dan memberikan pengertian kepada rajanya itu.
Ciu Pek Thong si bocah tua
bangkotan yang jenaka yang semakin tua semakin jadi keberandalannya itu, hanya
menyetujuinya saja. Malah dia gembira bukan main, karena melakukan perjalanan
ke kota raja yang menurut dia di kota raja tentu dia akan menyaksikan banyak
keramaian.
Sasana dan Yo Him sesungguhnya
tidak menyetujui keinginan pangeran Ghalik, karena menurut mereka dengan pergi
ke kota raja berarti mereka menghampiri maut, sedikitnya mencari kesulitan
untuk mereka. Sasana beranggapan, sekarang ini bukanlah waktunya yang tepat
untuk menghadap Kaisar.