05 Upaya Penculikan Anak Yatim
Kedua tojin tersebut melihat
gerakan Sung Ceng Siansu, dan mereka juga mengetahui maksud dari pendeta jenaka
itu yang hendak menjepit pedang mereka. Namun mereka tidak berdaya untuk
mengelakkan pedang mereka dari jepitan si hwesio, karena gerakan yang dilakukan
oleh Sung Ceng Siansu sangat cepat, sehingga mereka hanya bisa melihat
meluncurnya kedua tangan Sung Ceng Siansu.
Tahu-tahu mereka telah kena
dipermainkan oleh hwesio jenaka itu, di mana ketika pedang mereka masing-masing
kena dijepit oleh jari tangan Sung Ceng Siansu, tahu-tahu Bo Liang Cinjin dan
Po San Cinjin merasakan tubuh mereka terangkat terapung di tengah udara,
berputar-putar tidak hentinya. Karena dengan menjepit pedang kedua lawannya
itu, Sung Ceng Siansu telah mengerahkan lweekangnya, dan kemudian lewat ke dua
badan pedang itu, ia mengangkat naik kedua tubuh tojin itu.
Kedua tojin itu kaget bukan
kepalang, mereka mengeluarkan suara seruan nyaring, berusaha memberatkan tubuh
mereka guna turun ke lantai pula. Namun mereka seperti tidak berdaya lagi,
tubuh mereka tetap melayang terapung di tengah udara.
Kedua tojin itu menyadari,
mereka baru bisa menghindarkan diri dari libatan tenaga lweekang Sung Ceng
Siansu, jika saja mereka melepaskan pedang masing-masing. Namun dengan
melepaskan pedang, berarti mereka telah menampar muka sendiri, karena bagi
orang-orang persilatan, senjata sama dengan jiwa mereka. Dengan terlepasnya
senjata mereka, berarti pamor dan nama baik mereka runtuh dengan sendirinya, dan
sulit untuk mengangkat kepala lagi.
Itulah sebabnya. Untuk
beberapa saat lamanya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi ragu-ragu dan
bimbang untuk melepaskan senjata mereka. Berulang kali hud-tim mereka berusaha
menghantam ke arah kepala dan pundak si hwesio jenaka itu.
Namun Sung Ceng Siansu sambil
tertawa hahahahaha tidak hentinya menggerakkan dua tangannya itu, yang jari
tangannya menjepit pedang kedua lawannya itu. Kepalanya yang gundul pelontos
telah digerakkan miring ke kiri dan ke kanan cepat sekali, menghindari dengan
mudah setiap kali kebutan hud-tim dari kedua tojin muda itu tiba.
Memang terdapat kesulitan yang
tidak kecil buat Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin. Pedang mereka berukuran
panjang, dengan begitu hud-tim mereka yang berukuran lebih pendek dari pedang
mereka, jadi selalu gagal mencapai sasaran yang mereka kehendaki.
Lie Su Han yang menyaksikan
dari jarak tiga tombak lebih, merasakan berkesiuran angin dari meluncurnya ke
dua tubuh tojin itu, yang tetap melayang-layang terapung di tengah udara.
Betapa kagumnya Lie Su Han, sehingga ia memuji tidak hentinya. Kepandaian yang
telah diperlihatkan oleh Sung Ceng Siansu memang menakjubkan, dan menurut Lie
Su Han mungkin hanya gurunya, yaitu Bu Siang Siansu yang dapat menandinginya.
Sung Ceng Siansu rupanya
menganggap bahwa telah cukup mempermainkan ke dua tojin itu karena setelah
memutar tubuh ke dua tojin itu beberapa saat lamanya pula, tahu-tahu Sung Ceng
Siansu telah menghentak ke dua tangannya. Pedang Bo Liang Cinjin patah tiga,
dan pedang Po San Cinjin patah dua. Tubuh mereka terlempar ke tengah udara.
Mati-matian Bo Liang Cinjin
dan Po San Cinjin berusaha menguasai tubuh mereka, sehingga mereka jatuh tanpa
terbanting, ke dua kaki mereka terlebih dulu tiba di lantai. Namun karena
disebabkan mereka tadi telah diputar-putar, sehingga mereka merasa pening, mata
mereka juga berkunang-kunang. Begitu kaki mereka menginjak lantai, tubuh mereka
terhuyung-huyung lama, sampai akhirnya ke dua tojin itu bisa menguasai tubuh
mereka tidak terhuyung lagi.
Ke sembilan tentara Mongolia
yang tadi telah pingsan dibanting oleh Sung Ceng Siansu, kini telah tersadar
dan berdiri di samping dengan hati yang kecut. Nyali mereka telah pecah karena
mereka menyadari jika mereka maju lagi, niscaya mereka akan menderita siksaan
yang jauh lebih hebat lagi dari hwesio yang kepandaiannya tinggi itu. Buktinya
ke dua tojin yang berkepandaian sangat tinggi yang mereka andalkan, telah
berhasil dipermainkan oleh hwesio tersebut.
Sung Ceng Siansu telah
melompat berdiri, tetapi tidak hentinya tertawa.
“Apakah kalian masih hendak
main-main dengan Siauw-ceng?” tanya pendeta itu.
Muka Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin berobah merah, mereka penasaran dan marah sekali, tetapi mereka juga
dapat melihat keadaan. Walaupun mereka penasaran, tokh disebabkan mereka
menyadari tidak akan dapat melayani pendeta tersebut, mereka memutuskan untuk
menyudahi pertempuran itu. Segera Bo Liang Cinjin berkata:
“Baiklah, kali ini kami
dirubuhkan olehmu, tetapi kelak Pinto berdua akan mencarimu untuk meminta
petunjuk pula......!” dan setelah berkata begitu, Bo Liang Cinjin melirik
kepada Po San Cinjin, memberikan isyarat kepada kakak seperguruannya itu guna
berlalu. Begitu juga ke dua tojin ini telah mengangkat tangannya untuk memberi
tanda kepada sembilan tentara Mongolia yang tadi datang bersama mereka, untuk
berlalu meninggalkan tempat tersebut.
Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu
tertawa bergelak-gelak dengan sikapnya yang jenaka, ia menoleh kepada Lie Su
Han waktu Bo Liang Cinjin dan kawan-kawannya itu berlalu dari ruangan makan
rumah penginapan tersebut.
“Anak muda, apakah engkau
tidak mengalami cidera di dalam tubuh....?” tanya Sung Ceng Siansu di antara
suara tertawanya itu.
Lie Su Han cepat-cepat
merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat, dan ia berkata dengan sikap
sangat berterima kasih: “Terima kasih atas pertolongan yang diberikan Taysu....
Siauwte hanya terluka luar saja. Luka yang tidak begitu berarti dan nanti
setelah diobati, tentu akan sembuh dengan cepat.....”
“Bagus!” kata Sung Ceng Siansu
kemudian dengan suara yang nyaring. Lalu mengeluarkan kayu bok-hienya yang
kemudian diketuk-ketuk, “kukira akupun harus berlalu......!”
Lie Su Han nenyatakan terima
kasihnya lagi dan ia mengantarkan Sung Ceng Siansu sampai di muka pintu rumah
penginapan tersebut.
Tetapi waktu pendeta jenaka
itu hendak berlalu sambil mengetukkan terus kayu bok-hienya terdengar suara
jeritan tertahan dari seorang anak kecil.
Cepat sekali Lie Su Han dan
Sung Ceng Siansu menoleh mereka melihat sosok tubuh melompat ke jendela dan
lenyap di luar. Sosok tubuh itu yang berpakaian berwarna jingga, tangannya
mengempit sesosok tubuh kecil lainnya. Tetapi mata Sung Ceng Siansu dan Lie Su
Han yang tajam seketika mengenal bahwa anak kecil yang berada dalam kempitan
orang berpakaian jingga itu adalah Lie Ko Tie keponakan Lie Su Han.
Bukan main kagetnya Lie Su
Han, gesit sekali ia melompat menyusul ke arah jendela itu di mana ia melompat
keluar untuk menggejar orang yang menculik Lie Ko Tie.
Sung Ceng Siansu yang batal
pergi meninggalkan tempat itu telah melayang melompat juga ke jendela itu dan
ia telah melayang dengan ringan sekali. Empat kali menjejakkan kakinya di
lantai seketika itu juga ia berhasil melampaui Lie Su Han.
Orang yang berpakaian baju
warna jingga itu ternyata memiliki ginkang yang tinggi sekali. Walaupun di
tangan kanannya mengempit Lie Ko Tie tetapi ia bisa bergerak dengan ringan
sekali di mana ia telah melompat ke genting rumah penduduk lainnya.
Sung Ceng Siansu boleh
memiliki ginkang yang mahir tetapi kenyataan ia tidak bisa mengejarnya dengan
segera, jarak mereka masih terpisah cukup jauh.
Lie Su Han yang memiliki
ginkang di bawah ginkang Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu tertinggal jauh sekali.
Bukan main berkuatirnya Lie Su
Han, ia sampai mengucurkan keringat dingin, dan juga di waktu itu ia seperti
melupakan luka-luka yang terdapat di sekujur tubuhnya. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga yang ada padanya, ia berlari cepat sekali. Dan beberapa kali,
karena tergesa-gesa seperti itu, keseimbangan berat ke dua kakinya sering tidak
terkendalikan dan menginjak pecah beberapa genting rumah penduduk.
Sung Ceng Siansu yang dijuluki
orang rimba persilatan sebagai Bi-lek-hud, si Buddha tertawa itu, sekarang ini
jadi tidak bisa tertawa. Ia heran dan kaget juga di dalam hatinya melihat orang
yang menculik Lie Ko Tie ternyata tidak berhasil dicandaknya dengan segera.
Karena penasaran, Sung Ceng Siansu mengempos semangatnya dan telah mengerahkan
tenaganya, tubuhnya yang bulat gemuk itu berlari secepat terbang.
Orang yang berpakaian jingga
itu berlari menuju ke arah pintu Go-may. Ia berlari begitu cepat sekali,
sehingga setibanya di pintu kota tersebut, di mana ada belasan orang tentara
Mongolia yang menjaga pintu kota tersebut hendak menegurnya. Tapi tubuh lelaki
berpakaian jingga tersebut telah melesat melewati mereka dengan ringan,
sehingga belasan penjaga itu hanya berdiri tertegun saja, dengan hati
bertanya-tanya apakah mereka bertemu hantu di siang hari bolong seperti itu.
Dan belum lagi lenyap heran
mereka, waktu itu telah berkelebat pula sesosok tubuh yang gemuk dan telah
lenyap dari pandangan mata mereka dalam waktu yang singkat. Itulah Sung Ceng
Siansu yang juga mengejar lelaki berpakaian jingga keluar dari kota Siang-yang.
Lie Su Han yang memiliki
ginkang tidak setinggi Sung Ceng Siansu tidak bisa melewati barisan penjaga
kota tersebut begitu saja, karena diapun tengah dalam keadaan terluka napasnya
juga memburu keras sekali. Belasan penjaga pintu kota itu telah menghadangnya.
Lie Su Han mengeluh, karena
jika ia melayani belasan penjaga pintu tersebut, tentu akan membuang waktu
saja, dan berarti juga ia akan semakin tertinggal oleh penculik Lie Ko Ti dan
Sung Ceng Siansu.
Tetapi sekarang belasan
penjaga pintu kota itu telah menghadangnya, dengan demikian Lie Su Han mau atau
tidak harus berusaha melewati mereka, karena jika tidak tentu banyak kerewelan.
Untuk mengambil jalan memutar lewat pintu kota lainnya tentu akan membuang
waktu.
“Berhenti......!” bentak
beberapa tentara penjaga pintu kota tersebut ketika melihat Lie Su Han berlari
semakin dekat.
Lie Su Han tidak mengurangi
kecepatan berlarinya, ia terus juga berlari dengan gesit sekali. Hanya
diam-diam Lie Su Han telah menyalurkan kekuatan lweekangnya pada ke dua
tangannya. Dan waktu tiba di hadapan para penjaga pintu kota tersebut,
tangannya beruntun bergerak, maka terlemparlah lima orang dari tentara penjaga
pintu kota tersebut, sisanya terkejut. Tetapi sewaktu mereka hendak mengangkat
tombak dan golok mereka waktu itu Lie Su Han telah menggerakkan pula ke dua
tangannya. Empat orang lagi dari tentara Mongolia penjaga pintu kota tersebut
terlempar ke udara. Sisanya dua orang, mereka semua ciut nyalinya dan tidak
berani menghalangi Lie Su Han pula. Maka cepat sekali Lie Su Han telah melewati
mereka dan berlari terus keluar kota Siang-yang.
Penculik Lie Ko Tie yang
memiliki ginkang mahir itu, masih terus berlari cepat sekali, dalam waktu
sekejap mata saja telah limapuluh lie lebih dilewatinya, namun Sung Ceng Siansu
yang penasaran melihat ia masih belum bisa mengejarnya. Suatu kali di waktu
jarak mereka terpisah belasan tombak, Sung Ceng Siansu mengayunkan tangan
kanannya, maka melesatlah besi pengetuk kayu bok-hienya.
Lemparan besi pengetuk kayu
bok-hie itu disertai dengan kekuatan lweekang yang hebat, hal mana bagaikan
sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, maka besi pengetuk kayu itu
menyambar ke arah punggung lelaki berpakaian jingga itu.
Penculik Lie Ko Tie tidak
menghentikan larinya, hanya tangan kirinya telah dikebutkan ke belakang.
Gerakan yang dilakukannya itu luar biasa kuatnya, karena batang besi pengetuk
kayu bok-hie tersebut bisa disampoknya terpental ke samping kanan.
Namun disebabkan gerakannya
itu, membuat larinya penculik tersebut terlambat beberapa detik saja. Dan juga
pada waktu yang lainnya beberapa detik itu justru telah dapat dipergunakan
sebaik mungkin oleh Sung Ceng Siansu. Karena waktu itu si pendeta yang digelari
orang rimba persilatan dengan julukan Bi-lek-hud tersebut, telah menjejakkan
kakinya, tubuhnya melompat cepat sekali dan berada di dekat penculik itu, hanya
terpisah dua tombak lebih.
Penculik Lie Ko Tie masih
berusaha melarikan diri, tetapi justru di waktu itulah Sung Ceng Siansu telah
menggerakkan tangan kanannya menghantam kepada penculik itu dengan pukulan Pek-kong-ciang.
Sehingga walaupun mereka terpisah masih dua tombak lebih, tokh angin pukulan
itu bisa menghancurkan batu, apalagi hanya punggung manusia. Penculik Lie Ko
Tie terpaksa harus mengelakkan gempuran itu dengan memandekkan tubuhnya, yang
dibungkukkan dan dimiringkan juga ke kiri.
Dengan demikian ia bisa
menghindarkan diri dari terjangan tenaga gempuran Sung Ceng Siansu. Namun
akibat berkelitnya dia, kesempatan itu dipergunakan Sung Ceng Siansu untuk
melompat ke hadapan penculik tersebut menghadang jalan larinya.
“Hahahahaha......!” pendeta
jenaka ini tertawa keras bergelak-gelak, kini ia baru bisa tertawa karena telah
berhasil mengejar penculik tersebut. “Rupanya engkau akhirnya harus mengakui
juga, bahwa aku Sung Ceng Siansu masih lebih menang di atasmu.....”
Sambil berkata begitu, Sung
Ceng Siansu mengawasi si penculik. Ternyata dia seorang lelaki yang wajahnya
kurus panjang, dengan kumis dan jenggot yang tipis pendek, dan mata yang
terbuka besar menclos agak keluar, seperti juga mata ikan koki, mulutnya kecil,
monyong seperti mului tikus. Usianya mungkin sudah limapuluh tahun. Waktu itu
si penculik tersebut telah berkata dengan marah: “Pendeta gundul, kau mencari
mampus heh?”
Dan penculik berpakaian jingga
tersebut juga bukan hanya berkata begitu saja, dengan tangan kirinya ia telah
mendorong kepada Sung Ceng Siansu, ke arah dada pendeta tersebut. Dorongan itu
mengandung tenaga yang kuat sekali, menerjang seperti datangnya gelombang laut
yang saling susul.
Sung Ceng Siansu tertawa
keras, tubuhnya yang bulat itu telah melompat ke tengah udara, ke dua kakinya
ditekuk, dan ke dua tangannya memeluk ke dua kakinya tersebut, dan seperti bola
bundar, tubuh si pendeta yang gemuk itu telah berputar di tengah udara,
tahu-tahu meluncur menyambar ke arah dada si penculik.
Penculik tersebut terkejut. Ia
mengetahui hebatnya cara menyerang Sung Ceng Siansu, maka ia tidak bisa
meremehkannya. Tetapi waktu itu ia sudah tidak memiliki waktu yang banyak guna
menghindarkan diri. Dan jalan satu-satunya, ia mengangkat tubuh Lie Ko Tie yang
telah dalam keadaan tertotok tidak bisa bargerak, untuk diangsurkan menerima
terjangan kepala gundulnya Sung Ceng Siansu.
Kaget bukan main Sung Ceng
Siansu.
“Perbuatan licik......!”
berseru Sung Ceng Siansu dengan gusar, tetapi ia tidak bisa membendung meluncur
tubuhnya, yang kepalanya akan menerjang penculik itu. Hanya jalan satu satunya
si pendeta memusatkan kekuatan lweekangnya untuk memiringkan tubuhnya, yang
segera merobah arah terjangannya, melewati sisi tubuh penculik tersebut dan
meluncur terus di mana kepalanya kemudian menghantam batang pohon yang sebesar
mulut mangkok sehingga menimbulkan suara yang nyaring sekali, dan yang luar
biasa batang pohon tersebut segera patah dan tumbang. Sedangkan Sung Ceng
Siansu sendiri seperti tidak mengalami sesuatu apapun juga, telah berdiri.
Penculik Lie Ko Tie yang melihat kesempatan itu telah mengempit Lie Ko Tie dan
bermaksud hendak melarikan diri lagi.
Tetapi Sung Ceng Siansu telah
mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak, sambil katanya: “Aduh anak
manis..... aduh anak manis...... jangan pergi dulu. Kepalaku yang alot dan atos
ini belum lagi mencium tubuhmu......!” sambil berseru Sung Ceng Siansu telah
menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat pula dengan sikap seperti tadi. Yaitu
ke dua kaki ditekuknya dan ke dua tangan memeluk ke dua kaki tersebut, tubuhnya
yang berputar di tengah udara seperti sebuah bola itu telah meluncur
menyerudukkan kepalanya ke arah punggung penculik Lie Ko Tie.
Penculik Lie Ko Tie rupanya
jadi mendongkol juga karena didesak terus menerus seperti itu. Tahu-tahu ia
telah melemparkan tubuh Lie Ko Tie dari gendongannya, di mana tubuh Lie Ko Tie
memang dalam keadaan tertotok dan tidak bisa bergerak itu, telah terlempar
jatuh di bawah batang pohon yang tadi tumbang terkena terjangan kepala Sung
Ceng Siansu.
Rupanya penculik Lie Ko Tie
mempergunakan lweekangnya yang disalurkan pada ke dua telapak tangannya itu,
untuk menahan terjangan kepala botaknya Sung Ceng Siansu.
“Dukkk!” kuat sekali benturan
yang terjadi antara batok kepala Sung Ceng Siansu dengan ke dua telapak tangan
penculik tersebut.
Kesudahannya memang luar biasa
karena ke dua telapak tangan penculik itu tidak kuat menahan terjangan kepala
botaknya Sung Ceng Siansu, di mana ke dua tangannya itu telah tertekuk,
terdorong kuat sekali oleh terjangan kepala Sung Ceng Siansu.
Dan yang celaka lagi, kepala
botaknya Sung Ceng Siansu terus menyambar meluncur ke arah dadanya penculik
tersebut.
Bukan main terkejutnya
penculik tersebut. Ia sampai mengeluarkan suara seruan kaget, dan mati-matian
ia telah mengelakkan diri dengan menjejakkan ke dua kakinya. Dan tubuhnya telah
melayang ke tengah udara, untuk menghindarkan diri dari terjangan kepala Sung
Ceng Siansu, sehingga terjangan kepala Sung Ceng Siansu tidak berhasil mengenai
sasarannya, dan hanya mengenai paha dari peculik tersebut.
“Aduhhh......!” penculik
tersebut telah mengeluarkan suara jeritan dan tubuhnya hampir saja terjungkal,
namun ia masih bisa menguasai tubuhnya supaya tidak rubuh.
Untung saja tadi terjangan
kepala botaknya Sung Ceng Siansu tidak mengenai tepat pas paha dari penculik
tersebut, hanya menyerempet saja. Jika mengenai tepat, jelas tulang paha
penculik tersebut akan hancur karenanya.
Di saat itu, segera terlihat
Sung Ceng Siansu sambil tertawa bergelak-gelak telah menjejakkan kakinya,
tubuhnya telah melompat lagi ke tengah udara, dan ke dua kakinya ditekuk pula,
dengan sepasang tangannya dipelukkan pada ke dua kakinya itu. Dengan demiklan,
seperti sebuah bola bulat, ia telah menerjang pula cepat sekali. Kali ini
sasaran Sung Ceng Siansu tetap dada penculik tersebut.
Karena telah menyaksikan
betapa hebatnya kekuatan batok kepala dari Sung Ceng Siansu, penculik tersebut
tidak berani berayal lagi. Tahu-tahu tangan kanannya telah merabah pinggangnya,
dan ia telah mencabut keluar sebatang seruling perak, yang berkilauan putih
menyilaukan mata.
Dengan mempergunakan seruling
itu dengan jurus Naga Keluar dari Goa, tampak seruling itu digerakkan menotok
ke arah batok kepala Sung Ceng Siansu. Serulingnya itu telah menyambar tepat di
jurusan ubun-ubun kepala Sung Ceng Siansu.
Perlu diketahui, walaupun
bagaimana kedot dan kuatnya kepala seseorang yang telah dilatih dengan baik,
dan juga dilindungi oleh lweekang yang kuat, namun kenyataannya bagian yang paling
lemah dan tidak mungkin dilatih dengan sering itu menjadi kebal dan kuat,
adalah bagian ubun-ubun kepala, di mana merupakan bagian yang terlemah untuk
setiap manusia.
Melihat cara menotok dari
lawannya, Sung Ceng Siansu tertawa bergelak-gelak sambil menundukkan kepalanya
lebih dalam. Dengan demikian ia tetap menyeruduk begitu tetapi jurusan totokan
ujung seruling lawannya jatuh bukan pada ubun-ubun kepalanya, hanya mengenai
belakang kepalanya, sehingga menimbulkan suara yang nyaring, “Tukkk!” tetapi
kepala Sung Ceng Siansu tidak terluka dan masih tetap menyeruduk.
Bukan main kagetnya si
penculik itu, karena tidak menyangka serangan serulingnya itu akan gagal, dan
terjangan kepala pendeta tersebut, yang bisa mematikan itu, tetap meluncur ke
arah dadanya. Terpaksa, ia menggeser ke dua kakinya, tubuhnya telah melompat
minggir untuk meloloskan diri dari terjangan kepala si hwesio jenaka itu.
Tetapi Sung Ceng Siansu begitu
gagal dengan terjangannya, segera menyusul lagi dengan terjangan berikutnya.
Tubuh pendeta jenaka tersebut
seperti juga sebuah bola yang melayang-layang ke sana ke mari dengan cepat,
menyambar berulang kali kepada si penculik.
Namun penculik tersebut juga
cukup lihay walaupun ia terdesak tetapi tidak sampai terkena terjangan
tersebut. Dengan demikian, dia masih bisa mempertahankan diri.
Mempergunakan kesempatan waktu
si penculik tengah menghindarkan diri dari terjangan kepalanya, tubuhnya Sung
Ceng Siansu telah meluncur terus, dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyambar
tubuh Lie Ko Tie yang menggeletak di bawah batang pohon yang telah tumbang itu.
Si penculik gusar sekali
apalagi ia melihat Sung Ceng Siansu telah mengempit Lie Ko Tie.
“Lepaskan anak itu......!”
bentak penculik tersebut, dan serulingnya segera menyambar berulang kali dengan
gerakan yang cepat dan mengandung kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.