Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 31

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 31
 
Anak rajawali Jilid 31

Setelah berkata begitu, Auwyang Phu merogoh sakunya, tahu-tahu ia melemparkaan sebutir benda bulat yang tidak begitu besar bentuknya. Benda itu jatuh di tanah, meledak dan menyemburkan asap yang cukup besar dan tebal.

Gorgo San seketika merasakan hawa beracun yang amis sekali di sekelilingnya. Ia kaget cepat-cepat menutup jalan pernapasannya agar ia tidak menghirup udara yang mengandung racun.

Tapi, biarpun Gorgo San cepat-cepat menutup jalan pernapasannya, tetap saja ia telah menghirup sedikit dari udara beracun itu, karena kepalanya seketika terasa jadi pusing dan tubuhnya terhuyung mundur ke belakang.

Auwyang Phu tidak tinggal diam menyaksikan kesempatan baik buatnya, karena itu, dia segera juga melompat ke samping Gorgo San. Dia telah mengulurkan tangannya buat menotok Gorgo San pada jalan darah Ki-bun.

Di waktu itu Gorgo San tengah terhuyung namun ia menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, maka ia segera juga membuang dirinya buat bergulingan. Gerakannya jauh kalah cepat dengan Auwyang Phu, sebab ketika Gorgo San melompat berdiri, dilihatnya Auwyang Phu telah berdiri tersenyum-senyum sambil tangannya menimang-nimang sebuah benda, yaitu kotak kayu yang di dalamnya berisi pusaka dari Kun-lun!

Bukan main murkanya Gorgo San, karena benda itu, yang semula telah disimpan di dalam sakunya, telah dapat diambil oleh Auwyang Phu.

Di saat itu Auwyang Phu juga telah bilang dengan sikap mengejek:

“Hemmm, jika tadi aku menghendaki jiwamu, sama mudahnya seperti aku membalikkan telapak tangan! Seperti telah kukatakan, aku mau menghormati gurumu, memandang muka terang Dalpa Tacin, aku mengampuni jiwamu.....! Nah bocah, kau pergilah menggelinding pergi dari hadapanku, sebelum tuan besarmu merobah keputusannya!”

Muka Gorgo San jadi merah padam. Dia mengeluarkan erangan yang menyerupai raungan penuh kemarahan, tubuhnya melesat menerjang Auwyang Phu. Tampak menyerang dengan hebat sekali, karena ia bermaksud merebut kembali kotak kayu itu yang berisi pusaka Kun-lun itu dari tangan Auwyang Phu.

Tetapi Auwyang Phu telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat cepat sekali dan ringan seperti bayangan belaka. Ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Malah, Auwyang Phu telah memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring.

Gorgo San mana mau membiarkan Auwyang Phu pergi dengan membawa kotak kayu pusaka Kun-lun itu yang telah dirampasnya. Dengan mati-matian dia mengerahkan tenaganya, ia mengejarnya, sambil bentaknya: “Bangsat keparat, kembalikan pusaka itu kepadaku!”

Auwyang Phu tidak memperdulikan bentakan Gorgo San. Ia berlari terus dengan cepat.

Demikianlah mereka berdua jadi saling kejar mengejar dengan mengerahkan gin-kangnya masing-masing, sehingga tubuh mereka berkelebat-kelebat seperti bayangan saja, dan sepasang kaki mereka itu seperti juga tidak menginjak bumi lagi.

Sun Long dan Cie Kwang yang menyaksikan ke dua orang itu saling kejar, berusaha mengejar juga. Namun baru saja mereka mengejar belasan tombak, mereka telah tertinggal jauh sekali. Mereka telah kehilangan jejak, sampai ke dua orang dari Kun-lun ini akhirnya cuma saling pandang penuh sesal dan kecewa.

Mereka juga kuatir sekali. Jika mereka telah kembali ke tempat mereka dan memberikan laporan kepada ketua mereka mengenai kegagalan mereka melindungi pusaka yang telah dipercayakan kepada mereka, niscaya mereka akan memperoleh hukuman yang tidak ringan.

Auwyang Phu waktu itu berlari sambil tertawa-tawa, tubuhnya yang pendek itu dapat berlari gesit sekali. Sampai akhirnya ketika tiba di tegalan rumput yang cukup luas, ia berhenti dan kemudian bersiul dengan nyaring.

Gorgo San girang menyaksikan lawannya berhenti berlari, ia dapat mengejar tiba dengan segera. Ia yakin, jika memang ia merampasnya dengan mati-matian, dia tentu akan berhasil dan bisa merubuhkan Auwyang Phu.

Di waktu itulah, dari arah tegalan rumput itu terdengar suara mendesis yang aneh dan keras juga, di mana rumput-rumput telah bergerak-gerak. Bau amis dan juga bau anyir telah tercium oleh Gorgo San.

Dikala Gorgo San tiba di hadapannya, Auwyang Phu menjejakkan ke dua kakinya lagi, melompat ke belakang, berjumpalitan di tengah udara. Kemudian meluncur turun di tanah terpisah lima tombak lebih dari Gorgo San.

Dengan penasaran Gorgo San hendak mengejarnya lagi, ia baru saja hendak memakinya, sekonyong-konyong ia melihat dari gerombolan rumput, muncul puluhan ekor ular dari berbagai jenis dan ukuran.

Ada yang panjangnya sampai semeter, ada yang setengah meter ada juga yang semeter lebih…… Semuanya tengah menggeleser maju mendekati Gorgo San dan mengepungnya.

Itulah barisan ular yang sangat beracun sekali, loreng pada ular itupun merupakan belang bermacam-macam, maka menunjukkan bahwa ular beracun itu memang dari berbagai jenis, yang racunnya juga berbeda-beda.

Di waktu itu tampak Auwyang Phu tertawa bergelak-gelak kemudian dia bilang: “Nah, sekarang kau hadapilah ular-ular itu……!”

Sambil berkata begitu, Auwyang Phu kemudian bersiul lagi, nyaring sekali suara siulannya itu. Ia memang telah mewarisi kepandaian ayahnya buat menjinakkan ular-ular beracun, karena itu, ia bisa memerintah ular-ular itu sekehendak hatinya.

Mendengar suara siulannya itu, ular-ular itu telah melesat menyambar Gorgo San.

Gorgo San terkejut, ia segera mengibaskan lengan bajunya berulang kali.

Dengan caranya seperti itu, ia berhasil untuk meruntuhkan ular-ular itu yang tersampok mental dan tidak bisa mendekati dirinya.

Tapi ular-ular beracun itu sangat banyak jumlahnya, dan datang beruntun terus menerus tidak hentinya, sehingga seperti juga gelombang lautan, yang datang tidak berkeputusan, sampai akhirnya jumlah ular-ular beracun itu mungkin lebih dari ratusan ekor.

Auwyang Phu duduk bersila di atas rumput, dengan sikap seenaknya ia menyaksikan pasukannya yang istimewa itu telah mengepung dan mengeroyok Gorgo San. Dia sebentar-sebentar memperdengarkan tertawanya yang nyaring.

Gorgo San bukan kepalang murkanya, sampai memaki kalang kabutan. Tapi sambil memaki kalang kabutan seperti itu, ia pun harus mengerahkan seluruh kemampuannya buat menghadapi pasukan ular, agar ia tidak sampai terserang dan terpagut, karena sekali saja ia terkena pagutan ular itu, niscaya akan membuat ia keracunan dan juga akan membuatnya terbinasa, karena ular-ular tersebut memang merupakan ular-ular yang beracun hebat dan ganas sekali.

Gorgo San menyadari, bahwa Auwyang Phu tentu memiliki hubungan yang dekat dengan Auwyang Hong. Ia pernah mendengar cerita dari gurunya, bahwa Auwyang Hong adalah salah seorang datuk persilatan, di antara ke lima jago luar biasa di daratan Tiong-goan.

Auwyang Hong merupakan salah satu dari Ang Cit Kong, Ong Tiong Yang, Oey Yok Su dan It Teng Taysu. Dan Auwyang Hong pun sangat pandai sekali mempergunakan racun, mengendalikan pasukan ularnya.

Sekarang justeru ia tengah menghadapi pasukan ular, yang selalu mematuhi perintah Auwyang Phu, yang mengatur barisan ularnya dengan siulan-siulan nyaringnya. Terlebih lagi Auwyang Phu pun seorang yang licik sekali, sama liciknya seperti Auwyang Hong, ayahnya karena darah dan kelicikan ayahnya rupanya mewarisi juga di tubuhnya. Karena itu, ia telah mengatur barisan ularnya itu menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama mengurung Gorgo San dan sekali-kali menyerang. Sekelompok barisan ular lainnya melingkari gelanggang ruang gerak Gorgo San, menantikan kesempatan buat bantu menyerang.

Dengan begitu, walaupun gin-kang Gorgo San memang tinggi, tokh ia tidak bisa mempergunakan kegesitan tubuhnya buat melesat keluar dari gelanggang itu, karena begitu tubuhnya melesat ke tengah udara, selain ular-ular pada kelompok pertama akan ikut melesat buat memagutnya juga kelompok barisan ular yang lainnya berada dalam luar kalangan, siap menantikan meluncur turun tubuhnya, buat menyerang dengan pagutan mereka!

Dengan menggerak-gerakkan sepasang tangannya menghalau ular-ular yang menyerangnya itu pun tidak menguntungkan Gorgo San, karena pada akhirnya ia akan letih dan kehabisan tenaga, dan akan membuat dia akhirnya rubuh sendirinya karena sudah tidak memiliki tenaga lagi.

Auwyang Phu berulang kali tertawa, dan Gorgo San mendengar tertawa mengejek dari lawannya, membuat darahnya mendidih. Dia jadi mengempos seluruh semangatnya, dia pun berpikir:

“Aku tidak boleh rubuh! Walaupun bagaimana manusia keparat itu harus kumampusi!” Sambil berpikir begitu, segera juga Gorgo San telah mengeluarkan ilmu simpanannya.

Mendadak sekali, setelah berhasil mengibaskan tangannya, menyampok terpental tiga ekor ular yang berukuran sepanjang hampir semeter yang tengah melompat menerjang padanya, Gorgo San kemudian duduk bersila. Dia memutar ke dua tangannya seperti juga titiran, lalu dia juga bersiul nyaring sekali.

Suara siulannya itu mengandung kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.

Seketika, ular-ular yang tengah mengepungnya seperti terkejut dan panik kebingungan, karena sekarang ada dua macam kekuatan yang memerintah mereka.

Auwyang Phu sendiri tercekat hatinya. Jika barisan ularnya itu terkacaukan, berarti akan lolos Gorgo San. Maka dari itu ia segera melompat berdiri.

Percuma saja jika ia tidak bisa mengatur barisan ularnya ini, karena setidak-tidaknya ia adalah putera tunggal dari Auwyang Hong, See-tok, si Bisa bangkotan dari Barat, yang sangat terkenal semasa hidupnya karena memakai racun dan juga mengendalikan pasukan ularnya.

Cepat Auwyang Phu menepuk ke dua tangannya. Suara tepukan tangannya itu seperti menindih dan menembus suara siulan Gordo San, dan pasukan ular itu dengan rapih telah mundur menjauhi Gorgo San.

Gorgo San girang melihat hasil dari siulannya itu. Ia segera melompat bangun, berdiri tegak dan berkata dengan suara yang lantang,

“Hemmm, hanya sebegitu saja kepandaianmu mengatur pasukan ularmu? Barisan ular yang tidak mempunyai arti.”

Muka Auwyang Phu berobah merah padam. Yang terpenting baginya adalah pusaka Kun-lun, di dalam kotak kayu yang telah berada di tangannya, yang telah disimpan di dalam sakunya.

Sesungguhnya, dengan Gorgo San ia tidak memiliki permusuhan apa-apa. Namun akibat dari ejekan yang dilontarkan Gorgo San, membuat dia naik darahnya, meluap kemarahannya dan ia pun jadi penasaran.

“Baik! Aku akan memperhatikan kepadamu sesuatu yang tidak akan lagi membuat kau seenakmu saja menggoyangkan lidahmu itu!”

Setelah berkata begitu, Auwyang Hong bersiul nyaring tiga kali, dua kali panjang, satu kali pendek suara siulan itu. Dan kemudian rumput di belakangnya bergerak-gerak seperti dilanda sesuatu.

Lalu muncul makluk yang luar biasa seekor ular yang besar sekali, yang panjangnya sampai tiga meter lebih, ukuran tubuhnya yang sepelukan sepasang tangan. Itulah mirip-mirip dengan ular naga!

Gorgo San yang melihat ular yang luar biasa besarnya itu, jadi tercekat hatinya, tapi ia percaya, seperti tadi, ia akan berhasil mengusir ular besar itu dengan mengandalkan siulannya, yang disertai dengan tenaga sin-kangnya.

Belum lagi ular besar itu merayap lebih dekat kepadanya, ia telah bersiul nyaring.

Auwyang Phu tertawa bergelak-gelak,

“Kau boleh bersiul sekuat suaramu sampai mulutmu jontor dan monyong!” ejeknya.

Auwyang Phu berkata benar karena walaupun Gorgo San telah bersiul nyaring seperti itu, tokh tetap saja ular besar itu tidak mau berhenti merayap. Dan ular itu terus juga merayap maju menghampiri Gorgo San.

Di saat itulah terlihat Gorgo San menghadapi ancaman bahaya yang tidak kecil, karena jika saja ular itu semakin dekat dan menyerangnya, niscaya dia sulit untuk mengadakan perlawanan.

Memang mudah ia bertempur dengan tokoh rimba persilatan mana saja, yang tidak akan membuatnya gentar. Tapi jika ia harus bertempur dengan seekor ular yang berukuran besar seperti ular naga ini, benar-benar membuatnya tidak mengetahui dengan cara apa menghadapinya.

Auwyang Phu telah bersiul nyaring sekali, sampai suara siulan itu menyakiti pendengaran.

Ular besar itu tahu-tahu dengan ringan sekali telah melesat ke tengah udara, menyambar kepada Gorgo San.

Gorgo San cepat-cepat berkelit ke samping kanan. Ular itu melesat di sampingnya tidak berhasil untuk mengenai sasarannya dengan terjangan itu. Tapi ular tersebut rupanya memang sangat lihay dan terdidik baik sekali, begitu lawannya berkelit, ekornya segera menyambar dengan kuat.

“Plakkk!” Gorgo San segera merasakan benda yang berlendir menjijikkan dan keras sekali telah menghantam mukanya, mata Gorgo San seketika berkunang-kunang dengan pandangan matanya jadi kabur. Disamping itu juga Gorgo San kehilangan keseimbangan tubuhnya, karena kuda-kuda ke dua kakinya telah tergempur.

Auwyang Phu melihat ular peliharaannya itu berhasil menyampok Gorgo San dengan ekornya, jadi tertawa bergelak-gelak. Dan ia dengan sikap yang angkuh mengejeknya:

“Hemm, engkau akan mampus, manusia sombong! Tidak ada kuburan buat kau, karena engkau akan men jadi santapan ular raksasaku!”

Sedangkan Gorgo San tidak kecewa sebagai murid dari Dalpa Tacin. Walaupun bagaimana memang ia memiliki kepandaian yang tinggi, dan juga selalu berkelana di dalam rimba persilatan, jarang sekali ada orang yang bisa menandingi kepandaiannya.

Jika ia tidak terdesak oleh ular raksasa Auwyang Phu, itulah disebabkan pertempuran yang berlangsung. manusia melawan ular itu yang sangat beracun, merupakan suatu pertempuran yang janggal dan aneh, yang belum pernah dialaminya, membuat ia agak bingung. Itu pula sebabnya mengapa ia sampai tersampok oleh ekor ular tersebut!

Tapi, walaupun bagaimana memang dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi disamping itu ia pun sangat cerdik, maka sekarang setelah mengalami pengalaman yang pahit, ia tidak mau berayal lagi. Sampokan ekor ular itu yang licin berlendir menjijikan membuat ia murka.

Namun murkanya itu disertai dengan pikiran yang cepat sekali. Iapun telah memutuskan, terutama sekali ia harus dapat menghalau ular itu buat mendesak Auwyang Phu dan kemudian merebut kitab pusaka Kun-lun.

Waktu itu ular yang besar dan ganas itu telah membalikkan tubuhnya. Tubuhnya melingkar, lidahnya yang bercagak dua dan tampak begitu ramah, benar-benar sangat mengerikan sekali, juga dari ular itu menyiarkan bau amis yang menjijikkan. Ular itu tampak siap untuk menerjang lagi.

Gorgo San bersiap-siap, di antara suara tertawa mengejek dari Auwyang Phu, tampak ular tersebut tahu-tahu meluncur dengan cepat sekali hendak memagut kembali pada Gorgo San.

Gorgo San mengerahkan tenaga dalamnya pada telapak tangannya. Ia telah mengeluarkan tenaga sin-kangnya yang disalurkan pada ke dua telapak tangannya. Matanya dipentang lebar-lebar, memancarkan sinar yang mengandung hawa pembunuhan.

Ular itu pesat sekali meluncur dan akan memagut pundak Gorgo San. Kepala ular itu terulur sangat panjang, bahkan sambarannya sangat cepat sekali.

Gorgo San melihat dengan cermat, ia memiliki penglihatan yang sangat tajam. Waktu ular itu menerjang padanya dengan sambaran yang mengeluarkan berkesiuran angin yang sangat kuat, ia mengeluarkan bentakan keras, menahan hawa amis yang menerjang hidungnya, lalu menghantam dengan telapak tangan kanannya.

“Plakkkk!” kepala ular itu kena dihantamnya. Dia memukul kepala ular yang licin, berlendir menjijikkan, membuat dia menggidik, namun dia mengeraskan hatinya, walaupun bagaimana dia memang harus melumpuhkan ular itu.

Ular itu merasa pening dihantam kepalanya seperti itu oleh Gorgo San. Tubuhnya juga terlempar ke samping, kemudian menggeliat-geliat.

Hanya saja disebabkan kepala ular itu memang licin berlendir, pukulan telapak tangan Gorgo San tidak bisa menghantam dengan tepat, melejit dan ular itu tidak mati, karena pukulan Gorgo San tidak bisa meremukkan kepala ular itu. Hanya suara mendesis ular itu perlahan sambil menggeliat-geliat.

Waktu itu Auwyang Phu gusar bukan main, terhenti tertawanya, wajahnya memancarkan sinar yang mengandung kekejaman, bengis sekali. Disaat itulah ia bersiul nyaring sekali.

Gorgo San sebetulnya hendak mempergunakan kesempatan itu buat menerjang kepada Auwyang Phu, namun ia terhalang oleh puluhan ekor ular yang sudah serentak menerjang kepadanya, akibat siulan Auwyang Phu yang memerintahkan ular-ular itu menerjang pada Gorgo San.

Gorgo San jadi penasaran menghadapi ular-ular beracun itu bukanlah pekerjaan yang ringan, karena dia tidak bisa mempergunakan ilmunya secara wajar. Sedangkan ia murka karena beranggapan Auwyang Phu berlaku licik sekali, dengan mempergunakan pasukan ularnya menandakan bahwa Auwyang Phu seorang pemuda rendah hina.

Dia berteriak marah sambil menggerak-gerakkan sepasang tangannya, yang mengeluarkan kesiuran angin yang sangat hebat, melindungi sekujur tubuhnya. Tidak ada seekor ularpun yang dapat mendekati tubuhnya.

Karena setiap kali ada ular yang menerjang maju, akan tersampok oleh angin yang begitu kuat dari ke dua telapak tangan Gorgo San. Dan ular-ular itu telah terpental terpelanting di tanah.

Dalam keadaan seperti ini, Auwyang Phu tidak mau membuang waktu lagi, tahu-tahu dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya seperti terbang berlari pesat meninggalkan tempat itu. Sedangkan di saat-saat Gorgo San tengah sibuk melawan ular-ularnya, dia malah bermaksud ingin mempergunakan kesempatan ini buat melarikan diri agar dia tidak direpotkan oleh Gorgo San yang masih bersikeras hendak merebut kembali kitab pusaka Kun-lun itu.

Sun Long berdua dengan Cie Kwang waktu melihat Auwyang Phu bermaksud hendak melarikan diri, mereka jadi bingung bukan main. Mereka tengah berada dalam sikap yang serba salah.

Musuh terlalu tangguh dan mereka berdua bukan menjadi tandingannya, karenanya mereka menyadari, jika memang mereka memaksa untuk bertempur dengan Auwyang Phu, atau juga Gorgo San, niscaya mereka tidak akan sanggup menang, malah akan terluka berat, atau kemungkinan pula mereka akan menemui ajalnya.

Namun sekarang melihat Auwyang Phu hendak berlalu. Mereka cepat-cepat ingin mengejar.

Besar tanggung jawab mereka, sebab buku pusaka dari Kun-lun telah berhasil direbut kemudian jatuh di tangan Auwyang Phu. Dengan demikian jika mereka tidak berhasil mengambil pulang kitab pusaka itu merekapun akan memperoleh hukuman yang tidak ringan dari ketua mereka.

Disebabkan itu pula, tidak ada pilihan lain selain berseru: “Tuan…… tunggu……!” mereka mengejarnya dengan sekuat tenaga, sambil masih berusaha menghiba-hiba kepada Auwyang Phu agar pemuda itu berbaik hati mengembalikan bukunya.

Tapi Auwyang Phu berlari sangat cepat meninggalkan tempat itu. Dalam waktu yang singkat terlihat ia telah pergi jauh sekali.

Cie Kwang berdua dengan Sun Long telah tertinggal di belakangnya dan akhirnya malah ke dua orang Kun-lun itu tidak bisa mengetahui lagi ke mana Auwyang Phu berada, karena mereka telah kehilangan jejak orang buruannya itu.

Gorgo San yang tengah sibuk melayani serbuan ular-ular itu, bukan main murkanya. Tubuhnya menggigil keras dan ia menggerakkan sepasang tangannya ganas sekali, membuat ular-ular yang menerjang kepadanya jadi terpental.

Bahkan sebagian ada yang tubuhnya sampai putus menjadi dua potong, ada juga yang kepalanya hancur, akibat dahsyatnya tenaga pukulan yang dipergunakan oleh Gorgo San.

Cuma saja, biarpun Gorgo San telah melihat Auwyang Phu melarikan diri, tetap saja ia tidak bisa meninggalkan tempat itu buat mengejarnya, karena justeru ia tengah dilibat oleh pasukan ular Auwyang Phu. Akhirnya melihat Cie Kwang berdua Sun Long pergi juga meninggalkan tempat itu, ingin mengejar Auwyang Phu, Gorgo San jadi memaki kalang kabutan.

Setelah beberapa saat lagi, ia telah berhasil membunuh belasan ekor ular dan di saat jumlah ular yang menyerbunya sedikit, ia bersiul nyaring. Pasukan ular Auwyang Phu yang hanya tinggal belasan ekor itu, jadi tertegun sejenak. Mereka tampaknya bingung, mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi seperti hendak memperhatikan irama suara siulan tersebut, dan mereka jadi berhenti bergerak, tidak menyerang lebih jauh.

Gorgo San tidak mau membuang-buang kesempatan yang baik ini. Segera ia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya seperti juga terbang, melesat meninggalkan tempat itu. Dia menuju ke arah di mana tadi Auwyang Phu melarikan diri, karena dia penasaran dan hendak mengejar pemuda she Auwyang itu.

Di hatinya yang tengah panas dia mengutuk tidak hentinya untuk kelicikan Auwyang Phu. Dia akan bersumpah jika memang kelak ia bertemu dengan pemuda itu, dan dia berhasil mengejarnya, maka dia akan membunuhnya!

Tapi setelah berlari-lari sekian lama dengan cepat dan pesat seperti terbang, tetap saja dia tidak berhasil mengejar lawannya.

Auwyang Phu seperti telah lenyap masuk ke dalam perut bumi, tidak meninggalkan jejak.

Dengan penasaran Gorgo San mengejar tetapi setelah melewati belasan lie lagi dan tetap tidak berhasil menemui jejak Auwyang Phu, ia jadi tambah murka dan penasaran. Namun dia tidak meneruskan pengejarannya.

Sedangkan waktu dia memutar tubuhnya hendak kembali menuju ke kampung Jit-cap-li-pau, ia teringat kepada Sun Long dan Cie Kwang, ke dua orang Kun-lun itu. Mereka tentu saja tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang terlalu tinggi, tapi mereka juga tidak terlihat.

Karena itu Gongo San sejenak jadi heran. Dia lari balik kembali, karena ia pikir mungkin ke dua murid Kun-lun itu tadi tertinggal di belakang, karena dia mengejarnya memang terlalu cepat sekali bukan main, dan seperti juga dia telah berlari dengan terbang tanpa ke dua kaki menginjak bumi.

Di kala itu, ia tetap tidak melihat Sun Long dan Cie Kwang, walaupun Gorgo San telah berlari sampai puluhan lie, kembali ke arah dari mana tadi dia mendatangi.

Akhirnya, dengan uring-uringan dia memasuki kampung Jit-cap-li-pau. Dia pergi ke sebuah rumah penginapan, meminta kamar dan galak sekali menempeleng seorang pelayan yang terlambat melayani pesanan makanannya.

Benar-benar Gorgo San tengah uring-uringan, dan ia bertekad, selanjutnya akan mencurahkan seluruh perhatiannya buat mencari jejak Auwyang Phu. Ia pun bersumpah untuk berusaha membunuh Auwyang Phu jika kelak dia berhasil menemukannya.

Percuma saja ia sebagai murid tunggal Dalpa Tacin. Jika kini ia bisa dipermainkan seperti itu oleh Auwyang Phu.

Ke mana perginya Sun Long dan Cie Kwang?

Ternyata ke dua murid Kun-lun itu telah mengejar beberapa lie dan kehilangan jejak Auwyang Phu. Akhirnya tersesat mengambil arah yang berlainan sekali, karena mereka memang sudah tidak mengetahui lagi, ke arah mana mereka harus mengejar Auwyang Phu.

Untuk kembali ke tempat semula, pertama mereka ngeri dan takut kepada ular-ular Auwyang Phu yang tentu banyak yang masih hidup. Juga kuatir Gorgo San yang tengah uring-uringan, sebab kitab pusaka Kun-lun yang telah direbutnya dari tangan Sun Long dan Cie Kwang, kini telah dapat dirampas oleh Auwyang Phu malah telah dibawa pergi, meninggalkan ular-ularnya itu mengepung Gorgo San.

Kalau sampai nanti Gorgo San menumpahkan seluruh kemarahannya kepada mereka, niscaya akan membuat mereka yang repot menghadapi kemarahan murid dari Dalpa Tacin yang memiliki kepandaian tinggi itu.

Di waktu itu Gorgo San telah rebah di dalam kamar rumah penginapan, karena ia benar-benar marah dan penasaran sekali, sampai dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, selain uring-uringan tidak karuan.

Juga ia tidak bisa tidur. Dia rebah dengan mata terpentang lebar-lebar mengawasi langit-langit kamar, berulang kali dia menghela napas.

Ia teringat kepada gurunya, Dalpa Tacin. Ya, gurunya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Diapun telah mewarisi kepandaian gurunya.

Bahkan Dalpa Tacin selalu memuji muridnya sebagai murid yang pandai, yang kepandaiannya mengalami kemajuan yang pesat dan telah mewarisi seluruh kepandaian Dalpa Tacin. Karena itu, mengapa sekarang dia seperti orang bodoh, yang tidak berhasil menghadapi Auwyang Phu?

Walaupun dia telah mengetahui bahwa Auwyang Phu adalah putera Auwyang Hong, tokoh sakti dari rimba persilatan, yang memang sangat terkenal sebagai si Bisa dari Barat yang tangannya beracun, mamun tidak seharusnya dia bisa dipermainkan oleh Auwyang Phu, karena gurunya dirasakannya memiliki kepandaian yang tentu tidak berada di bawah kepandaian Auwyang Hong.

Semakin dipikirkannya, dia jadi semakin marah dan penasaran, sampai akhirnya dia tidak bisa menahan dirinya, dengan murka dia telah menghantam tepian pembaringan.

“Plakkk!” tepi pembaringan itu kena dihantam sampai sempal. Dia menghela napas.

Kemudian, karena tidak bisa tidur, dia melompat turun dari pembaringan. Dengan jengkel dikenakan kembali jubahnya, dan keluar dari kamarnya. Maksudnya hendak meninggalkan rumah penginapan ini, untuk jalan-jalan memutari kampung, menghirup udara malam yang mungkin bisa menyejukkan hatinya yang panas itu.

Tapi ketika dia keluar dari kamarnya, dia melihat pelayan tengah melayani dua orang pemuda yang wajahnya sangat tampan sekali. Segera juga hatinya jadi heran. Karena dia melihat betapa pemuda itu merupakan dua orang yang wajahnya benar-benar sangat tampan dan tubuhnya ramping.

Dilihat dari keadaan mereka, mungkin ke duanya merupakan pelajar yang lemah dan kutu buku yang tidak punya guna. Dia tertawa dingin.

Cuma hatinya mengiri sekali, karena sebelumnya ia beranggapan dirinya sangat tampan dan gagah. Karena itu, tidak disangkanya bahwa di dalam dunia ini terdapat pemuda-pemuda yang demikian tampan seperti ke dua pemuda itu.

Dengan sendirinya hatinya jadi jelus. Ia memandangi dengan sikap yang sinis.

Sedangkan salah seorang dari ke dua pemuda itu tampaknya tidak senang sekali diawasi seperti itu oleh Gorgo San, dia kemudian melirik dan mendelikan matanya.

“Hemmm!” mendengus Gorgo San tambah tidak senang, jika memang menuruti hatinya, tentu ia akan menghampiri dan menotok biji mata pemuda itu untuk dibutakan.

Sedangkan pemuda yang seorangnya lagi, yang sikapnya walaupun halus dan wajahnya tampan, namun tampak lebih jantan, telah menarik tangan kawannya.

“Jangan mencari urusan!” katanya dengan suara yang perlahan.

Namun Gorgo San mendengarnya, ia memang memiliki pendengaran yang tajam, maka Gorgo San mendengus “Hemmm!” lagi.

Kemudian Gorgo San telah memilih sebuah meja yang tidak berjauhan di sebelah kanan. Ke dua pemuda itu menantikan pelayan selesai mempersiapkan kamar mereka, ke duanya duduk di sebuah meja, memesan beberapa macam makanan. Dan meja Gorgo San dengan ke dua pemuda itu terpisah hanya dua meja kosong.

Pelayan yang membawa makanan buat ke dua pemuda itu segera datang sambil berseru: “Hidangan datang! Tentu tuan-tuan akan gembira menikmati makanan lezat seperti ini......!”

Namun, waktu lewat di dekat meja Gorgo San, pelayan itu merandek, karena Gorgo San telah berkata: “Mana pesananku?!”

“Tuan…… kuingat…… tuan….. tuan tidak memesan apa-apa…..!” kata pelayan tersebut gugup.

“Ohhh begitu!” kata Gorgo San dengan sikap yang mendongkol. “Jadi kau meremehkan tuan besarmu dan pesanku tidak dilayani? Bagus! Bagus!”

Pelayan itu jadi kikuk, dia segera bilang, “Maafkan tuan, rupanya terjadi keteledoran di pihak kami! Segera aku akan kembali untuk mencatat pesanan dari tuan…… Tunggulah sebentar, aku akan mengantarkan makanan ini dulu!”

Sambil berkata begitu, si pelayan ingin mengantarkan makanan yang dipesan ke dua pemuda di meja yang tidak jauh terpisah dari Gorgo San.

“Tunggu!” bentak Gorgo San dengan suara yang bengis.

Pelayan itu merandek, dia melirik takut-takut melihat tamunya yang seorang ini tengah marah.

“Ya? Ya?!” tanyanya tergagap.

“Karena kalian begitu meremehkan tuan besarmu, maka kau tidak dapat dimaafkan! Cepat letakan makanan itu di mejaku, aku tidak memiliki waktu banyak untuk menantikan makanan yang baru!” kata Gorgo San.

Pelayan itu kaget, ia melangkah mundur setindak.

“Ini…… ini mana boleh?!” katanya tergagap.

“Letakkan!” bentak Gorgo San sambil menepuk keras mejanya.

Pelayan itu jadi ketakutan, dia ragu-ragu kemudian dengan sikap meminta maaf dia bilang: “Makanan ini pesanan ke dua tuan itu!”

Sambil berkata begitu, si pelayan telah melirik kepada ke dua pemuda tamunya.

Sedangkan ke dua pemuda di seberang sana, yang mendengar ribut-ribut telah mengawasi kepada Gorgo San. Yang tertampan, tengah mengawasi dengan sikap tidak senang karena tampaknya memang ia tersinggung oleh sikap Gorgo San.

Namun pemuda yang seorang lagi telah membisikkan sesuatu dan mereka kemudian tidak mengawasi lebih jauh.

“Letakkan! Tulikah kau?!” bentak Gorgo San yang naik darah. Melihat sikap pelayan itu ia memang tengah uring-uring, malah ia telah bermaksud, jika saja pelayan ini kali tidak menuruti perintahnya, dia akan menghajar pelayan itu.

“Baik...... baik.....!” kata pelayan itu ketakutan, walaupun hatinya tidak senang dengan sikap Gorgo San, namun dia tidak berani membantah lagi, dia jeri melihat mata pemuda yang memancarkan sinar yang sangat tajam, maka segera dia meletakkan makanan itu di atas meja Gorgo San.

Gorgo San mendengus tertawa dingin, dan mulai makan. Pelayan itu kembali ke ruang belakang, untuk mempersiapkan makanan baru.

Ke dua pemuda itu tampak tenang-tenang saja, mereka bercakap-cakap dengan gembira, sama sekali mereka sudah tidak memperhatikan Gorgo San lagi.

Sikap yang diperlihatkan ke dua pemuda itu benar-benar membuat Gorgo San tambah sengit karena memang semula ia bermaksud mencari gara-gara, yaitu dengan memaksa meletakkan pesanan makanan dari ke dua pemuda itu di mejanya, agar pemuda-pemuda itu menegurnya, di waktu itu ia memiliki alasan untuk menghajar mereka.

Siapa tahu, ke dua pemuda itu tidak memperlihatkan reaksi dan mereka malah sekarang tampak tengah bicara satu dengan yang lain dengan gembira sekali.

Tentu saja Gorgo San tambah sengit, dia berulang kali melirik. Sedangkan pemuda yang seorang, yang bertubuh ramping dan wajahnya sangat cakap itu, sehingga tampak seperti wajah seorang wanita, sering juga melirik kepada Gorgo San. Namun jika Gorgo San melirik kepadanya, maka dia membuang pandang ke arah lain.

Bukan main mendongkolnya Gorgo San, di dalam hatinya dia berpikir: “Hemmm, kau lihat saja nanti, bagaimana aku menghajar kalian!”

Waktu itu pelayan telah datang lagi dengan membawa beberapa macam makanan dan sayur yang masih mengepul hangat. Pelayan itu bergegas berjalan sangat cepat.

Waktu akan melewati meja Gorgo San, ia melirik dengan sikap tidak senang dan bercampur kuatir. Ia kuatir kalau-kalau Gorgo San akan menghadangnya seperti tadi dan memerintahkannya meletakkan makanan tersebut di atas mejanya.

“Tunggu!” benar saja, Gorgo San telah membentaknya, membuat pelayan itu jadi merandek, dan dia melirik takut-takut.

“Ada apa, tuan besar?!” tanya pelayan tersebut dengan suara serak.

Gorgo San tertawa dingin.

“Hemmm, masakan sayur ini sungguh tengik dan tidak sedap dimakan, dan juga makanan ini bukan untuk makanan manusia, melainkan cocok untuk makanan kuda! Mengapa kau menyajikan santapan seburuk ini? Cepat angkat ini dan buang, dan letakkan makanan yang baru itu di mejaku!”

Pelayan itu berobah mukanya.

“Tuan…… mana bisa begitu……? Tadi tuan telah mengambil pesanan tuan-tuan itu. Sekarang tuan hendak mengambil pula pesanan tuan-tuan itu…… itu….. ini tentu bisa meruntuhkan nama rumah penginapan kami, dan kelak akan sepi karena tidak ada orang yang mau datang kemari.”

“Hemmm, kau terlalu rewel!” bentak Gorgo San, segera tubuhnya berdiri.

Dan ia hanya bukan berdiri, melainkan tangan kanannya cepat sekali bergerak: “Dukkk!”

Dada pelayan itu kena dihantamnya. Dengan pukulan yang perlahan, sebab Gorgo San memang sama sekali tidak mempergunakan tenaga, tapi hebat kesudahannya buat pelayan itu, karena tubuhnya kontan kejengkang dan ia terguling-guling di lantai sambil menjerit-jerit dengan makanan yang dibawanya berantakan di lantai.

Habislah kesabaran pemuda yang tampan dari ke dua tamu itu, karena mereka melihat betapa sikap Gorgo San keterlaluan sekali. Maka ia telah berdiri dengan muka yang berobah merah padam karena gusar.

Kawannya cepat-cepat menarik tangannya.

“Biarkan saja, kita tidak perlu mencari urusan!” kata kawannya, yang muka dan keadaannya lebih jantan.

Tapi kawannya menggeleng.

“Tidak bisa dibiarkan, ia sudah keterlaluan sekali! Tadi dia telah menyerobot pesanan kita, sekarang dia mash menganiaya pelayan itu karena pelayan tersebut tidak mau menuruti keinginannya buat memberikan pesanan kita pula! Hemmm, hemmm, sungguh keterlaluan.”

Kasir rumah penginapan tersebut cepat-cepat berlari menghampiri.

“Haya, jangan begitu tuan..... maafkan jika pelayan kami ada yang kurang ajar dan apa yang dilakukannya tidak berkenan di hati tuan…… Segalanya mudah diatur dan jika makanan tuan tidak sedap, biarlah nanti akan dibuatkan yang baru, yang lezat……!”

Tapi Gorgo San yang memang tengah mencari gara-gara. Melihat pemuda yang seorang itu, yang ramping dan mukanya seperti muka wanita, berdiri dari duduknya. Hatinya panas dan ia langsung ingin turun tangan untuk menghajarnya. Siapa tahu datang si kasir rumah penginapan ini.

Karenanya, kemarahan dan kemendongkolan hatinya segera juga ditumpahkan kepada kasir rumah penginapan itu. Dia lalu mengulurkan tangannya, ke lima jari tangannya terpentang, dia mencengkeram baju di bagian dada dari kasir rumah penginapan itu, sambil membentak:

“Kau juga manusia kurang ajar!”

Tahu-tahu tubuh kasir itu terlempar jauh, tubuhnya sampai terguling-guling di lantai, malah tampak juga kasir itu telah rontok giginya dan berdarah.

Dikala itu pemuda yang tubuhnya ramping sudah tidak bisa menahan diri, tubuhnya yang melompat dengan ringan telah berada di depan Gorgo San.

“Kau keterlaluan, saudara……!” katanya dengan suara yang dingin. “Kau main turun tangan dan menganiaya orang-orang yang lemah tanpa kenal aturan! Sudah engkau yang bersalah, dan engkau pula yang tidak memakai aturan, masih engkau menyiksa mereka!”

Biji mata Gorgo San mencilak, dan tampak ia mendengus dengan muka merah padam karena gusar ditegur seperti itu oleh pemuda tersebut.

“Bagus! Kau demikian usil mencampuri urusanku atau memang engkau sudah bersiap-siap untuk mampus?!” tanya Gorgo San dengan suara yang bengis.

“Hemmm!” mendengus pemuda itu, “Kau bicara seenakmu saja! Urusan mati adalah urusan Thian (Tuhan) dan bukan di tanganmu! Sekarang yang hendak kutanyakan, apakah engkau mempertanggung jawabkan perbuatanmu dan ganti rugi kepada pemilik rumah makan dan rumah penginapan ini karena sepak terjangmu?!”

“Ganti rugi? Ganti rugi apa?!” tanya Gorgo San sengaja untuk mengejek dan pura-pura tidak mengerti.

“Ganti rugi karena engkau telah menimbulkan kerusuhan di sini, dan juga menganiaya mereka! Kau harus ganti rugi pada mereka dan juga memberikan puluhan tail perak sebagai tanda penyesalanmu!”

Sambil berkata begitu, tampak pemuda itu telah memandang dengan sorot mata yang tajam kepada Gorgo San, sikapnya berani sekali.

Mata Gorgo San jadi mendelik, dan ia mengawasi dengan sinar mata yang mengandung kemendongkolan, sebab ia memang biasanya ditakuti lawan. Siapa tahu, pemuda kerempeng yang mukanya tampan seperti pemuda ini adalah seorang wanita, telah berani menegurnya seperti itu.

Karenanya ia telah mendengus dan berkata: “Ya, aku akan mengganti rugi pada mereka, tentu saja, dengan jiwamu sebagai penggantinya……!”

Sambil berkata begitu, ia menghantam dengan telapak tangannya. Gorgo San memiliki kepandaian yang tinggi dan lihay, sekarang ia tengah gusar, karenanya kini ia benar-benar telah bermaksud membunuh pemuda tampan itu dalam sekali hantam. Dengan demikian ia bisa melampiaskan kemarahan hatinya.

Tapi pemuda tampan yang berdiri di depannya tertawa dingin, dia berkelit dengan mudah waktu telapak tangan Gorgo San hampir mengenai sasarannya.

Di waktu itu Gorgo San yang memukul tempat kosong, karena pemuda itu tahu-tahu telah melesat ke samping mengelakkan diri dari hantamannya, jadi terkejut juga. Ia tidak menyangkanya, bahwa pemuda yang tampan dan tampaknya begitu lemah dan halus, merupakan seorang pemuda yang lihay.

Malah melihat kegesitan gerakannya itu, ditambah juga dengan cepatnya dan mudahnya ia menghindar dari serangan Gorgo San. Maka Gorgo San seketika dapat menduganya, pasti pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi.

Karena memang di waktu itu dia pun merasakan, dengan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh seperti itu, jelas pemuda ini mengerti ilmu silat. Dan ia tentu saja tidak boleh meremehkannya, dan harus waspada menghadapinya.

Tapi di wajahnya yang merah padam karena gusar itu, ia tetap tidak memperlihatkan perasaan heran atau terkejutnya untuk lihaynya pemuda tersebut. Karenanya, ia membarengi pula dengan dua pukulan yang gencar.

Pemuda tampan itu tertawa dingin, tahu-tahu tangan kanannya bergerak cepat sekali, di saat mana tubuhnya berkelebat dengan dibarengi tangannya bekerja.

“Dukkk! Dukkk!” terdengar dua kali suara benturan tangan yang kuat..

Dalam keadaan seperti itu, Gorgo San kembali terkejut, karena ia merasakan betapa tangkisan, pemuda itu kuat sekali. Berbeda dengan bentuk tubuhnya yang kurus ramping dan tampaknya lemah. Tangkisannya itu justeru mengandung lweekang yang tangguh sekali membuat pergelangan tangan Gorgo San tergetar.

Dengan segera Gorgo San merobah cara pertempurannya, karena, jika tadi ia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada pemuda kurus kerempeng itu, justeru sekarang ini malah menyerang lagi dengan pukulan yang bersungguh-sungguh. Dalam waktu sekejap mata saja, telah beberapa jurus mereka lewatkan.

Kawannya pemuda kurus kerempeng, pemuda seorangnya lagi, tetap duduk tidak bergerak dari tempatnya itu, ia mengawasi dengan tenang kawannya itu tengah menghadapi Gorgo San.

Gorgo San semakin penasaran. Jika sebelumnya ia menduga dalam satu atau dua jurus ia akan dapat merubuhkan lawannya yang dilihatnya sangat lemah itu.

Tidak tahunya justeru di waktu itu ia memperoleh perlawanan yang gigih. Kuat tenaga dalam dari lawannya tersebut, tangguh ilmu silatnya.

Dengan demikian membuat Gorgo San mengerahkan semangatnya, ia menyerang semakin bersungguh-sungguh. Hebat kesudahannya, tubuh mereka berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan gerakan yang lincah.

Juga di waktu itu ada beberapa meja dan kursi yang rusak terkena hantaman tangan dari ke dua orang yang tengah bertempur tersebut, yang hancur berantakan.

Kasir rumah penginapan itu jadi menjerit-jerit meminta ke dua orang itu tidak berkelahi lebih jauh, karena ia kuatir seluruh perabotan di dalam ruangan tersebut akan rusak dan hancur.

Sedangkan Gorgo San dan pemuda kurus kerempeng itu tetap saja melibatkan diri dalam pertempuran yang tidak berkesudahan, dimana terlihat Gorgo San semakin lama menyerang semakin hebat. Dan juga memang ia telah mengeluarkan ilmu andalannya.

Jika sebelumnya ia tidak memandang sebelah mata kepada lawannya itu, yang diduganya sangat lemah dan sebagai kutu buku, namun sekarang justeru ia telah mengerahkan kepandaian tingkat tingginya buat berusaha merubuhkan lawannya, karena ia memperoleh lawan yang tangguh sekali. Jika ia kurang berhati-hati justeru dirinya yang akan kena dirubuhkan atau dibinasakan oleh lawannya itu.

Karenanya, dengan cepat sekali tampak ia telah beberapa kali menyerang semakin hebat! Namun pemuda yang bertubuh kerempeng itu dapat melayaninya dengan baik, tanpa terdesak sedikitpun juga.

Sebagai seorang yang angkuh dan selalu ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan, dan sekarang tidak bisa merubuhkan pemuda kerempeng ini, membuat dia jadi penasaran sekali! Dan segera ia telah mengeluarkan cengkeraman Maut Dari Langit, ilmu yang hebat dan menjadi andalannya.

Begitu ia mempergunakan jurus-jurus ilmu cengkeraman itu, seketika pemuda kerempeng itu terdesak. Malah suatu kali, ketika ia diancam akan dicengkeram dadanya, pemuda itu mengelak dengan menunduk.

Dan dikala pemuda itu tengah menunduk, cepat sekali tangan kanan dari Gorgo San telah menyambar dan menyambak topi pemuda itu. Begitu topi terlepas, terurai rambut yang panjang!

Gorgo San seketika tertegun, tapi kemudian tertawa bergelak-gelak.

“Hahahahahaha, tidak tahunya seorang nona cantik!” katanya dengan suara yang mengejek, dia membuang topi yang telah direbutnya.

Gadis itu, yang menyamar sebagai seorang pemuda, mukanya berobah merah padam. Ia telah mengeluarkan seruan dan merangsek maju.

Namun kawannya, pemuda yang seorangnya lagi segera berseru sambil melompat maju dari tempt duduknya:

“Adik Hoa, mundurlah, biar aku yang menghadapinya......!” Dan tangan kanan pemuda ini menyambar!

“Takkk!” tangan Gorgo San kena disampoknya, sampai ia terkejut, karena tubuhnya tergetar hebat sekali. untung ia masih keburu mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga dia tidak sampai terhuyung mundur.

Gadis yang dipanggil dengan sebutan “Adik Hoa” itu telah melompat mundur dengan maka yang merah padam, karena ia masih penasaran dan marah. Tapi ia menyadari tidak mungkin ia sanggup menghadapi Gorgo San. Karena itu, ia hanya menyaksikan saja kawannya menghadapi Gorgo San.

Kawan dari si Adik Hoa itu memang lihay. Ia segera menyerang bertubi-tubi kepada Gorgo San.

Hal ini membuat Gorgo San jadi sibuk berulang kali harus menghindarkan diri dari hantaman pemuda itu. Malah yang membuat ia jadi heran, karena setiap serangan pemuda itu selalu mengandung terjangan angin yang luar biasa dahsyatnya.

Dalam keadaan seperti itu, ia berusaha untuk mengadakan perlawanan, cuma disebabkan serangan dari pemuda itu memang aneh. Setiap jurusnya selalu membingungkan dan sulit untuk diterka oleh Gorgo San, sementara waktu tidak bisa membalas menyerang.

Dia hanya main kelit dan mengelakkan saja, karena itu berulang kali ia pun harus dapat mengendalikan diri, guna mengawasi dan meneliti dengan cermat cara menyerang dari lawannya itu agar ia tidak terkena serangan aneh, yang selalu menimbulkan angin berkesiuran dingin.

Dikala ia terlihat Gorgo San telah melewati duapuluh jurus, masih ia belum dapat membalas menyerang. Dan ketika suatu kali ia melompat mundur menjauhi diri dari pemuda lawannya, ia segera berseru:

“Tahan.....!”

Pemuda itu menunda penyerangannya lebih jauh, ia mengawasi tajam.

“Hemmm, kau seorang yang tidak pernah memakai aturan selalu bertindak sewenang-wenang! Apakah kau kira, di dalam dunia ini cuma engkau seorang diri yang memiliki kepandaian tinggi?!” mengejek pemuda itu.

“Siapa kau?” tanya Gorgo San dengan suara yang tawar. “Aku tidak biasa membunuh manusia yang tidak bernama.”

“Hemmmm!” pemuda itu mendengus. “Aku she Lie bernama Ko Tie!” menjelaskan pemuda itu.

Muka Gorgo San berobah. Memang belakangan ini, ia mendengar di dalam rimba persilatan telah muncul dua orang pemuda yang tangguh, dan yang sangat lihay ilmu silatnya.

Ia segera ingin menduga bahwa Lie Ko Tie ini adalah pemuda yang didengarnya itu.

“Hemmmm, tidak tahunya engkau, yang mungkin belakangan ini telah menimbulkan kehebatan di dalam rimba persilatan!” kata Gorgo San dengan suara yang nyaring.

“Bagus! Bagus! Kita bisa bertemu di sini. Tapi ku kira, manusia seperti engkau tidak perlu kulayani terus......!”

Sambil berkata begitu, segera juga Gorgo San telah menjejakkan kakinya. Sebelumnya dia masih sempat mengerling kepada si gadis yang ternyata bukan lain dari Giok Hoa.

Hatinya tertarik sekali melihat wajah yang begitu manis dan cantik, sehingga ia sendiri tergerak hatinya. Ia cepat sekali telah meninggalkan rumah penginapan itu!

Ko Tie dan Giok Hoa, yaitu si pemuda dan si gadis, tidak mengejar. Mereka berdua memang telah tiba di tempat ini dalam perjalanan berkelana. Dan mereka tidak menyangka bertemu dengan Gorgo San.

Semula mereka menduga Gorgo San hanya sebangsa buaya darat di kampung ini. Namun siapa tahu setelah Giok Hoa bertempur dengannya, barulah mereka berdua menyadarinya bahwa Gorgo San orang Kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.

Sebenarnya Ko Tie hendak menyangka siapa sebenarnya Gorgo San, tapi justeru Gorgo San telah keburu angkat kaki.

Hal ini dilakukan oleh Gorgo San dengan memiliki alasan tersendiri.

Sebetulnya jika memang menuruti adatnya, dia tentu tidak akan menyudahi urusan itu sampai di situ saja. Tapi hatinya benar-benar tergerak waktu melihat betapa cantiknya Giok Hoa.

Ia begitu tertegun dan kesima melihat pemuda yang semula menjadi lawannya, adalah seorang gadis. Dengan demikian, ia kagum juga, bahwa si gadis bisa memiliki kepandaian begitu tinggi.

Sebagai manusia yang licik, ia segera menyadari. Jika hendak mendekati gadis itu, jelas ia telah menanamkan kesan yang tidak baik, di mana tadi dia menimbulkan kerusuhan.

Karenanya Gorgo San tidak mau menarik panjang dulu persoalan mereka. Dia menyingkir untuk mencari jalan, agar dapat kelak mendekati si gadis. Karenanya, dia segera angkat kaki dari tempat itu.

Ko Tie waktu itu diberitahukan pelayan bahwa kamar yang mereka pesan itu telah disiapkan. Sedangkan beberapa orang pelayan lainnya segera membereskan perabotan yang tadi berantakan akibat pertempuran itu.

Ko Tie memberikan sepuluh tail perak kepada kasir rumah makan merangkap rumah penginapan itu, sebagai ganti rugi atas kerusakan meja dan kursinya itu.

Kasir rumah penginapan itu mengucapkan terima kasihnya berulang kali, dia sangat bersyukur. Sedangkan pelayan-pelayan, semua melayani Ko Tie dan Giok Hoa dengan hormat, sebab mereka mengetahuinya bahwa memang muda-mudi ini sepasang pendekar yang gagah dan lihay sekali.

Juga mereka sangat kagum melihat kecantikan Giok Hoa, demikian juga buat tampannya si pemuda. Karenanya, mereka anggap, itulah pasangan yang sangat ideal dan cocok sekali.

Ko Tie dan Giok Hoa ketika berada di dalam kamar, bercakap-cakap membicarakan perihalnya Gorgo San. Waktu itu, dengan sengit Giok Hoa bilang:

“Hemmmmm, dia memang memiliki kepandaian yang tinggi, tapi hatinya kejam dan sifatnya buruk sekali, tangannya telengas. Karena dari itu, manusia seperti itulah yang jauh lebih berbahaya di bandingkan dengan penjahat-penjahat biasa.”

Ko Tie mengangguk membenarkan.

“Entah dia murid siapa?” kata pemuda itu, “Hemmm, dilihat dari kepandaiannya, dia tentunya bukannya sebangsa manusia sembarangan.

Giok Hoa mengangguk mengiyakan, dan mereka terus juga bercakap-cakap sampai jauh malam dan barulah mereka tidur.

Tengah ke duanya asyik tidur seperti itu, mendadak mereka terbangun terkejut, karena dari luar jendela terdengar suara ketukan kayu bok-hie yang beruntun, yang terdengarnya berirama, disertai oleh liam-keng seorang pendeta.

Bukan main gusarnya Ko Tie dan Giok Hoa. Ke duanya saling memandang sejenak lamanya. Karena mereka memang tidak membuka pakaian waktu tidur, dan mereka tidur dengan pakaian lengkap, dengan segera mereka bisa melompat ke dekat jendela.

Ko Tie memasang mata sejenak, dan suara bok-hie itu masih juga terdengar, dengan iringan irama liam-keng dari seorang Hweshio tua. Setelah melihat tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan, barulah Ko Tie mendorong terbuka daun jendela.

Tidak ada penyerangan. Dan pemuda ini sambil mengibaskan lengan bajunya, melompat keluar. Tidak ada penyerangan gelap juga, karena ia bisa tiba di pekarangan yang penuh dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran.

Ia melihat di antara kesunyian dan kekelaman malam, tampak seorang pendeta duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun di pekarangan rumah penginapan tersebut, tidak jauh terpisah dari jendela kamar mereka, tengah duduk bersemedhi, dengan mengetuk-ngetuk pemukul bok-hienya dan juga membaca liam-keng dengan irama yang cukup keras dan nyaring, memecahkan kesunyian malam.

Mungkin tamu-tamu lain di rumah penginapan tersebut tidak mau usil, dan mereka juga tidak mau mencari urusan, karena mereka menduganya, jika mereka melongok keluar, justeru mereka kuatir, kalau-kalau memang pendeta itu cuma memancing, padahal ia seorang penjahat. Tidak ada seorang pun dari tamu di rumah penginapan itu yang membuka jendela kamar mereka.

Pendeta itu mengangkat kepalanya perlahan-lahan, sepasang alisnya tumbuh panjang dan telah putih, demikian juga kumis dan jenggotnya yang tumbuh panjang, telah memutih. Ia mengenakan jubah warna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) berwarna merah, di mana ia telah memandang dengan mata yang tajam sekali.

Namun, mulutnya terus juga membaca liam-keng. Dikala ini ia tengah mengetuk-ngetuk kayu bok-hienya, dan Ko Tie berdua Giok Hoa berdiri mengawasinya.

“Hai!” akhirnya pendeta itu menghela napas dalam-dalam. Dia berhenti membaca liam-keng, malah ia pun tidak meneruskan ketukan pada bok-hienya, karena dia telah menatap kepada Ko Tie dan Giok Hoa bergantian, ujarnya:

“Sungguh aku seorang pendeta yang tidak tahu diri karena di tengah malam yang sunyi senyap seperti ini, telah menganggu kenyenyakan tidur tuan dan nona……!”

Ko Tie melihat, ramah suara dan kata-kata si pendeta. Namun matanya yang memancarkan sinar yang tajam itu memperlihatkan selain ia bukan pendeta sembarangan dan pasti memiliki kepandaian yang tinggi, juga tentunya ia seorang yang licik.

Bola mata itu bergerak-gerak sangat cepat sekali. Karenanya pula, Ko Tie berlaku hati-hati dan waspada.

“Siapakah Taysu?!” tanya Ko Tie sambil merangkapkan tangannya memberi hormat.

Pendeta itu tersenyum.

“Pinceng seorang pendeta kelana yang tidak ternama, karena dari itu, malu menyebutkan gelaran pinceng…..!” katanya kemudian. “Tapi karena memang kongcu telah menanyakan, maka baiklah, pinceng akan memberi tahukan juga, bahwa pinceng bergelar Kiang-lung Hweshio……!”

“Tokkk!” membarengi dengan habisnya perkataannya itu, ia telah mengetuk bok-hie nya dengan keras, suara bok-hie itu terdengar nyaring sekali dan mendengung.

Ko Tie mengawasi Kiang-lung Hweshio beberapa saat kemudian katanya: “Apakah Taysu membutuhkan kamar? Jika memang benar, kami tentu bisa membantu……!”

“Hahahaha……!” belum lagi Ko Tie selesai dengan kata-katanya itu, justeru pendeta itu tertawa bergelak-gelak nyaring sekali.

“Ya, pinceng memang seorang pendeta miskin yang berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pinceng memang tidak memiliki uang. Dan Pinceng sama sekali tidak membutuhkan tempat berteduh, ke mana saja ke dua kaki pinceng ini melangkah, ke sanalah pinceng berteduh. Karena langit merupakan rumahku dan bumi merupakan tempatku.....

“Tidak ada yang pinceng butuhkan selain uang. Dan pinceng hendak meminta derma uang, karena memang pinceng membutuhkan uang……!”

“Membutuhkan uang?!” tanya Ko Tie mengerutkan alisnya karena heran dan curiga, sebab seumurnya, belum pernah ada pendeta yang begitu berterus terang untuk meminta uang derma, tanpa malu-malu lagi.

Hal ini telah membuat Ko Tie jadi janggal mendengarnya. Memang Ko Tie mengetahui, seorang pendeta selalu meminta derma.

Tapi tentu saja caranya bukan dengan cara mengetuk bok-hie dan liam-keng di tengah malam buta seperti ini, mengganggu tidur orang lain. Dengan demikian, perbuatan seperti itu jelas merupakan suatu perbuatan yang tidak selayaknya dan agak kurang ajar.

“Tentunya kongcu dan Kouw-nio bersedia buat memberi derma uang kepada pinceng, bukankah begitu?!” tanya si pendeta sambil tersenyum.

Ko Tie mengawasi Kiang-lung Hweshio sejenak, barulah kemudian mengangguk.

“Baiklah, jika memang Taysu membutuhkan derma uang, kami bisa memberikan!” Setelah berkata begitu, Ko Tie merogoh sakunya mengeluarkan lima tail perak dan memberikan kepada pendeta itu.

Si pendeta mengerutkan alisnya yang telah memutih, kemudian dengan sikap tidak senang ia bilang: “Hanya segini saja?!”

Ko Tie tertegun.

“Berapa yang Taysu inginkan?!” tanya Ko Tie.

Kiang-lung Hweshio berdiam diri sejenak kemudian tertawa. Sinis sekali.

“Jika uang lima tail perak seperti ini, pinceng pun memiliki dan untuk uang sebesar ini, tentu saja pinceng tidak perlu meminta derma!”

“Kurang ajar sekali pendeta ini, ia seorang yang tidak mengenal budi dan terima kasih,” berkata Ko Tie di dalam hatinya dengan perasaan tidak senang. Di waktu itu, iapun bilang: “Ya, hanya sebesar itu yang bisa kami dermakan!”

“Tukkk!” tiba-tiba Kiang-lung Hweshio mengetuk kayu bok-hienya keras sekali. Suara itu terdenyar sangat nyaring, memekakkan anak telinga.

Ko Tie dan Giok Hoa tercekad juga, itulah suara diketuknya bok-hie dengan disertai sin-kang yang kuat. Dengan begitu memperlihatkan betapa si pendeta sesungguhnya memiliki sin-kang yang tinggi sekali.

“Pinceng bukan seorang pengemis, yang diberi derma hanya sebesar ini!” bilang pendeta itu kurang senang.

Barulah kemudian Kiang-lung Hweshio melanjutkan perkataannya setelah memperdengarkan dua kali tertawa dingin, “Hemm, pinceng membutuhkan tigaribu tail perak!”

“Tigaribu tail perak?!” tanya Ko Tie dengan membeliakkan matanya.

“Ya!” mengangguk Kiang-lung Hweshio sambil tersenyum.

Ko Tie tertawa, dia menggelengkan kepalanya perlahan, kemudian katanya: “Maafkan, tidak dapat kami memenuhi permintaan Taysu, karena kami berdua memang tidak memiliki uang sebanyak itu!”

“Tidak bisa!” tiba-tiba suara si pendeta berobah keras. “Tadi kalian telah berjanji akan memberikan dermanya kepada pinceng! Mengapa sekarang ini justeru kalian mengatakan tidak memiliki uang buat memberikan derma kepada pinceng?!”

Ko Tie tersenyum pahit, katanya: “Jika hanya untuk derma sekedarnya, kami bersedia memberikannya, karena memang kami memiliki kemampuan buat memberikannya. Tapi jika jumlahnya meliputi ratusan tail bahkan ribuan tail, mana mungkin kami memberikannya, sedangkan kami berdua memang tidak memiliki uang sebanyak itu!”

“Tukkk!” kembali pendeta itu mengetuk kayu bok-hienya keras sekali. Wajahnya berobah jadi bengis, dia pun tertawa dingin.

“Hemmm, bagus! Bagus! Jika memang demikian, baiklah!” katanya, “Kalian telah berjanji, tetapi tidak bisa memenuhi janji kalian. Maka sebagai ganti dari tigaribu tail perak, kalian berdua harus memberikan ke dua batok kepala kalian!”

Waktu berkata begitu, mata Kiang-lung Hweshio bersinar tajam, juga mukanya sangat bengis.

Muka Ko Tie dan Giok Hoa berobah. Mereka segera dapat menduganya bahwa pendeta itu tentunya seorang pendeta jahat dan juga memang tengah mencari gara-gara dengan mereka. Karena itu, cepat sekali, Ko Tie mundur dua langkah menjauhi si pendeta, demikian juga Giok Hoa.

Sambil masih memaksakan diri buat tersenyum, terlihat Ko Tie berkata: “Maafkan, kami tidak bisa memenuhi permintaan Taysu dan juga kami tidak bisa menemani Taysu lebih lama, karena kami masih mengantuk dan hendak tidur. Kami hanya bisa memberikan derma cuma sebesar lima tail perak itu!”

“Wuttt! wuttt! wuttt! wuttt! wuttt!” beruntun lima kali terdengar berkesiuran menyambarnya ke lima keping uang lima tail perak itu, yang menyambar cepat sekali, kepada Ko Tie dan Giok Hoa berdua.

Sambaran kepingan uang logam tersebut begitu cepat dan mengandung tenaga timpukan yang kuat sekali. Juga jalan darah yang diincar oleh timpukan uang logam tersebut tidak lain merupakan jalan darah yang berbahaya dan bisa mematikan.

Karenanya Ko Tie dan Giok Hoa serentak mengelakkan timpukan uang logam tersebut dengan lompatan yang manis dan tubuh yang diliukkan menghindar sambaran ke lima uang logam tersebut.

Kiang-lung Hweshio tertawa bergelak-gelak, dia bilang: “Aku tidak bisa menerima derma yang tidak berarti seperti itu! Jika cuma lima tail perak, berarti kalian memang hendak menghina pinceng, karena pinceng tentu dianggap kalian sebagai pengemis saja layaknya!”

Marah sekali tampaknya Kiang-lung Hweshio waktu mengucapkan kata-katanya itu.

Ko Tie dan Giok Hoa yang telah menghindarkan diri dari sambaran uang logam tersebut, berdiri tegak dengan muka memancarkan sikap kurang senang.

Malah Ko Tie yang sudah tidak bisa mengekang perasaan mendongkolnya telah berkata: “Baiklah, lalu apa yang dikehendaki oleh Tay-su?!”

Kiang-lung Hweshio terus juga tertawa bergelak-gelak. Mendadak dia mengetuk bok-hie nya.

“Tukkkk!” suara itu terdengar nyaring sekali, jauh lebih keras dari sebelumnya.

Ko Tie dan Giok Hoa kaget.

Suara ketukan pada bok-hie itu mengandung kekuatan sin-kang yang hebat sekali. Suara itu seperti juga raungan naga dan jeritan harimau, dan mendengung di telinga mereka seakan juga langit runtuh dan bumi amblas, mendengung-dengung keras sekali seakan ingin merusak dan merobek gendang telinganya.

Dengan demikian, telah membuat Ko Tie dan Giok Hoa cepat-cepat mengerahkan sin-kang mereka buat mengurangi dan mengendalikan perasaan tergetarnya dari suara ketukan bok-hie itu pada diri mereka, karena justeru suara ketukan bok-hie itu membuat hati mereka tergetar keras, disamping membuat darah mereka bergolak. Apalagi memang pendeta itu telah mengetuk pula berturut-turut empat ketukan.

Setiap ketukan pada bok-hienya memang disertai sin-kang yang kuat, saling susul, suara bok-hie itu semakin lama jadi semakin kuat dan keras. Ketukan bok-hie itu bisa melumpuhkan orang yang memiliki sin-kang masih rendah, bahkan akan membuat terluka di dalam orang yang mendengarnya.

Ko Tie dan Giok Hoa menyadari bahaya yang bisa menimpah mereka, di samping mengempos sin-kang mereka, ke dua muda mudi ini juga berwaspada untuk sewaktu-waktu menerima serangan yang akan dilancarkan oleh pendeta ini, yang tampaknya memang semakin jelas bukan sebagai pendeta baik-baik.

Dalam keadaan seperti itu tampak Ko Tie dan Giok Hoa berhasil mengendalikan diri dan tidak terpengaruh oleh suara ketukan bok-hie Kiang-lung Hweshio. Hal ini membuat si pendeta jadi heran dan memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.

Tidak biasanya orang akan sanggup untuk bertahan dari suara ketukan bok-hie nya itu. Tapi ke dua muda mudi itu tangguh sekali, sama sekali mereka tidak memperoteh kesulitan karena suara ketukan bok-hie itu. Karenanya telah mengherankan benar si pendeta.

Biasanya, walaupun korbannya memiliki lweekang yaag tinggi, mereka tentu tidak akan kuat bertahan diri dari ketukan bok-hienya. Tapi ke dua muda-mudi ini tampaknya tenang-tenang dan berwaspada saja, tapi tidak mengalami sesuatu yang merugikan mereka.

Rupanya Kiang-lung Hweshio penasaran dengan kejadian ini. Ia tidak mengetuk lebih jauh bok-hienya itu, dia bangun berdiri perlahan-lahan.

Katanya, “Jiewie tampaknya memang memiliki kepandaian yang lumayan, sehingga jiewie menjadi begitu angkuh dengan sombong sekali terhadap seorang paderi seperti pinceng……!”

Dan membarengi dengan kata-katanya sampai di situ, si pendeta telah mengibaskan tangannya. Lengan jubahnya yang lebar itu berkesiuran menderu-deru, karena telah meluncur angin yang dahsyat sekali menerjang kepada Ko Tie dan Giok Hoa.

Yang lebih hebat, angin yang menyambar bergemuruh itu menderu-deru sangat hebat sekali. Dengan demikian telah membuat si pendeta jadi bermaksud untuk sekali menyerang membunuh muda-mudi itu.

Karena kalau memang serangan itu mengenai sasaran dan lawannya merupakan manusia yang bertenaga dalam rendah, niscaya orang itu selain akan terpental, juga isi dadanya akan remuk. Disamping itu, selain akan memuntahkan darah segar, kontan seketika binasa di waktu itu juga.

Namun Ko Tie dan Giok Hoa tetap berdiri tenang di tempat mereka. Cuma Ko Tie membisikkan Giok Hoa,

“Hati-hati, sin-kang pendeta busuk ini tinggi juga!”

Dan ia tidak bisa berkata lebih jauh, karena waktu itu tenaga serangan dari si pendeta telah dekat sekali, maka Ko Tie menangkisnya dengan mempergunakan Pukulan Inti Es-nya yang dingin luar biasa.

“Dukkk! Dukkk!” dua kali terdengar suara beruntun yang sangat keras, seperti juga suara guntur yang menggelegar di tempat itu.

Ko Tie telah mewakili Giok Hoa menangkis serangan si pendeta yang meluncur pada si gadis, dan juga memunahkan tenaga pukulan si pendeta yang meluncur kepadanya.

Pendeta itu mengeluarkan suara seruan heran. Tadi ia telah mempergunakan lima bagian tenaga dalamnya, dan itu sesungguhnya sudah merupakan serangan yang hebat sekali.

Namun celakanya, justeru tampaknya serangannya itu tidak memberikan hasil sama sekali. Dengan demikian, benar-benar membuat si pendeta jadi heran.

Terlebih lagi seketika dia merasakan menyambarnya angin yang dingin sekali, seperti juga tubuhnya dibalut oleh lapisan es atau dirinya diceburkan ke dalam kolam es. Dingin bukan main.

Dalam keadaan seperti itu, segera juga Kiang-lung Hweshio telah mengempos sin-kangnya. Dia berusaha melawan hawa dingin itu dengan kekuatan sin-kangnya, agar tubuhnya tetap menjauhi panas dan tidak membekukan darahnya.

Memang dia berhasil, angin Pukulan Inti Es itu tidak mempengaruhi dirinya lagi.

Cuma saja si pendeta segera membentak bengis: “Tahan! Siapa kau sebenarnya? Masih ada hubungan apa kau dengan Swat Tocu?!”

“Hemmm!” mendengus Ko Tie dengan suara yang dingin. “Tidak perlu kau menanyakan perihal diriku, karena pendeta busuk dan jahat seperti engkau tidak berderajat buat menanyakan namaku dan juga perihal guruku!”

Bukan main murkanya si pendeta, tapi segera ia tertawa bergelak-gelak.

“Hahahaha, tidak tahunya adalah muridnya Swat Tocu! Pantas! Pantas begitu angkuh sama seperti gurunya!”

Setelah begitu, dengan muka yang bengis, Kiang-lung Hweshio telah berkata lagi: “Baiklah, sekarang aku hendak membunuhmu, bersiap-siaplah! Rupanya Sang Buddha memang maha pengasih, di mana telah diantar kehadapan pinceng murid dari musuh keparat pinceng……!”

Mendengar sampai di situ perkataan si pendeta segera Ko Tie mengambil kesimpulan, bahwa pendeta ini adalah musuh gurunya, atau lebih jelasnya memusuhi gurunya.

Karena itu mengingat kepandaian Kiang-lung Hweshio memang lihay, dia segera melirik kepada Giok Hoa, katanya:

“Adik Hoa, kau minggirlah, biarlah aku menghadapi pendeta busuk ini, agar ia tahu siapa kita sebenarnya yang merupakan manusia-manusia yang tidak mudah untuk dihina!”

Giok Hoa tidak rewel, dia segera melompat menyingkir ke tepi, keluar kalangan. Dengan tajam dia mengawasi pendeta itu, di hatinya dia berpikir, jika nanti Ko Tie ternyata tidak bisa menghadapi pendeta itu, barulah dia akan maju buat membantuinya.

Sekarang, jika ia ikut bertempur menghadapi pendeta itu, dia kuatir justeru dirinya cuma mendatangkan kesulitan buat kawannya belaka. Karena Giok Hoa mengakuinya. Walaupun kepandaiannya sendiri memang tinggi, tentu saja dia masih berada di bawah kepandaian Ko Tie, karenanya pula, dia telah menuruti permintaan Ko Tie agar ia mundur ke samping saja.

Ko Tie setelah melihat gadis itu menyingkir ke luar kalangan, berdiri tegak menghadapi Kiang-lung Hweshio, dengan sikap yang tenang dan wajah yang memperlihatkan ketegasannya dia bilang:

“Baiklah! Kau mengatakan bahwa, guruku adalah musuhmu, maka dari itu, sekarang mari kita tentukan, apakah manusia seperti engkau ini layak untuk menjadi musuh guruku!”

Setelah berkata begitu, dia bersiap-siap untuk menghadapi Kiang-lung Hweshio.

Dikala itu Kiang-lung Hweshio memandang Ko Tie dengan muka yang merah padam. Dia pun mengerang perlahan, tampaknya dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk bersiap-siap menyerang. Kemudian ia pun telah mengangkat tangan kanannya, yang siap untuk dipakai menggempur.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar