Anak rajawali Jilid 31
Setelah berkata begitu,
Auwyang Phu merogoh sakunya, tahu-tahu ia melemparkaan sebutir benda bulat yang
tidak begitu besar bentuknya. Benda itu jatuh di tanah, meledak dan
menyemburkan asap yang cukup besar dan tebal.
Gorgo San seketika merasakan
hawa beracun yang amis sekali di sekelilingnya. Ia kaget cepat-cepat menutup
jalan pernapasannya agar ia tidak menghirup udara yang mengandung racun.
Tapi, biarpun Gorgo San
cepat-cepat menutup jalan pernapasannya, tetap saja ia telah menghirup sedikit
dari udara beracun itu, karena kepalanya seketika terasa jadi pusing dan
tubuhnya terhuyung mundur ke belakang.
Auwyang Phu tidak tinggal diam
menyaksikan kesempatan baik buatnya, karena itu, dia segera juga melompat ke
samping Gorgo San. Dia telah mengulurkan tangannya buat menotok Gorgo San pada
jalan darah Ki-bun.
Di waktu itu Gorgo San tengah
terhuyung namun ia menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, maka ia
segera juga membuang dirinya buat bergulingan. Gerakannya jauh kalah cepat
dengan Auwyang Phu, sebab ketika Gorgo San melompat berdiri, dilihatnya Auwyang
Phu telah berdiri tersenyum-senyum sambil tangannya menimang-nimang sebuah
benda, yaitu kotak kayu yang di dalamnya berisi pusaka dari Kun-lun!
Bukan main murkanya Gorgo San,
karena benda itu, yang semula telah disimpan di dalam sakunya, telah dapat
diambil oleh Auwyang Phu.
Di saat itu Auwyang Phu juga
telah bilang dengan sikap mengejek:
“Hemmm, jika tadi aku
menghendaki jiwamu, sama mudahnya seperti aku membalikkan telapak tangan!
Seperti telah kukatakan, aku mau menghormati gurumu, memandang muka terang
Dalpa Tacin, aku mengampuni jiwamu.....! Nah bocah, kau pergilah menggelinding
pergi dari hadapanku, sebelum tuan besarmu merobah keputusannya!”
Muka Gorgo San jadi merah
padam. Dia mengeluarkan erangan yang menyerupai raungan penuh kemarahan,
tubuhnya melesat menerjang Auwyang Phu. Tampak menyerang dengan hebat sekali,
karena ia bermaksud merebut kembali kotak kayu itu yang berisi pusaka Kun-lun
itu dari tangan Auwyang Phu.
Tetapi Auwyang Phu telah
menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat cepat sekali dan ringan seperti
bayangan belaka. Ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Malah, Auwyang Phu telah
memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring.
Gorgo San mana mau membiarkan
Auwyang Phu pergi dengan membawa kotak kayu pusaka Kun-lun itu yang telah
dirampasnya. Dengan mati-matian dia mengerahkan tenaganya, ia mengejarnya,
sambil bentaknya: “Bangsat keparat, kembalikan pusaka itu kepadaku!”
Auwyang Phu tidak memperdulikan
bentakan Gorgo San. Ia berlari terus dengan cepat.
Demikianlah mereka berdua jadi
saling kejar mengejar dengan mengerahkan gin-kangnya masing-masing, sehingga
tubuh mereka berkelebat-kelebat seperti bayangan saja, dan sepasang kaki mereka
itu seperti juga tidak menginjak bumi lagi.
Sun Long dan Cie Kwang yang
menyaksikan ke dua orang itu saling kejar, berusaha mengejar juga. Namun baru
saja mereka mengejar belasan tombak, mereka telah tertinggal jauh sekali.
Mereka telah kehilangan jejak, sampai ke dua orang dari Kun-lun ini akhirnya
cuma saling pandang penuh sesal dan kecewa.
Mereka juga kuatir sekali.
Jika mereka telah kembali ke tempat mereka dan memberikan laporan kepada ketua
mereka mengenai kegagalan mereka melindungi pusaka yang telah dipercayakan
kepada mereka, niscaya mereka akan memperoleh hukuman yang tidak ringan.
Auwyang Phu waktu itu berlari
sambil tertawa-tawa, tubuhnya yang pendek itu dapat berlari gesit sekali.
Sampai akhirnya ketika tiba di tegalan rumput yang cukup luas, ia berhenti dan
kemudian bersiul dengan nyaring.
Gorgo San girang menyaksikan
lawannya berhenti berlari, ia dapat mengejar tiba dengan segera. Ia yakin, jika
memang ia merampasnya dengan mati-matian, dia tentu akan berhasil dan bisa
merubuhkan Auwyang Phu.
Di waktu itulah, dari arah
tegalan rumput itu terdengar suara mendesis yang aneh dan keras juga, di mana
rumput-rumput telah bergerak-gerak. Bau amis dan juga bau anyir telah tercium
oleh Gorgo San.
Dikala Gorgo San tiba di
hadapannya, Auwyang Phu menjejakkan ke dua kakinya lagi, melompat ke belakang,
berjumpalitan di tengah udara. Kemudian meluncur turun di tanah terpisah lima
tombak lebih dari Gorgo San.
Dengan penasaran Gorgo San
hendak mengejarnya lagi, ia baru saja hendak memakinya, sekonyong-konyong ia melihat
dari gerombolan rumput, muncul puluhan ekor ular dari berbagai jenis dan
ukuran.
Ada yang panjangnya sampai
semeter, ada yang setengah meter ada juga yang semeter lebih…… Semuanya tengah
menggeleser maju mendekati Gorgo San dan mengepungnya.
Itulah barisan ular yang
sangat beracun sekali, loreng pada ular itupun merupakan belang bermacam-macam,
maka menunjukkan bahwa ular beracun itu memang dari berbagai jenis, yang
racunnya juga berbeda-beda.
Di waktu itu tampak Auwyang
Phu tertawa bergelak-gelak kemudian dia bilang: “Nah, sekarang kau hadapilah
ular-ular itu……!”
Sambil berkata begitu, Auwyang
Phu kemudian bersiul lagi, nyaring sekali suara siulannya itu. Ia memang telah
mewarisi kepandaian ayahnya buat menjinakkan ular-ular beracun, karena itu, ia
bisa memerintah ular-ular itu sekehendak hatinya.
Mendengar suara siulannya itu,
ular-ular itu telah melesat menyambar Gorgo San.
Gorgo San terkejut, ia segera
mengibaskan lengan bajunya berulang kali.
Dengan caranya seperti itu, ia
berhasil untuk meruntuhkan ular-ular itu yang tersampok mental dan tidak bisa
mendekati dirinya.
Tapi ular-ular beracun itu
sangat banyak jumlahnya, dan datang beruntun terus menerus tidak hentinya,
sehingga seperti juga gelombang lautan, yang datang tidak berkeputusan, sampai
akhirnya jumlah ular-ular beracun itu mungkin lebih dari ratusan ekor.
Auwyang Phu duduk bersila di
atas rumput, dengan sikap seenaknya ia menyaksikan pasukannya yang istimewa itu
telah mengepung dan mengeroyok Gorgo San. Dia sebentar-sebentar memperdengarkan
tertawanya yang nyaring.
Gorgo San bukan kepalang
murkanya, sampai memaki kalang kabutan. Tapi sambil memaki kalang kabutan
seperti itu, ia pun harus mengerahkan seluruh kemampuannya buat menghadapi
pasukan ular, agar ia tidak sampai terserang dan terpagut, karena sekali saja
ia terkena pagutan ular itu, niscaya akan membuat ia keracunan dan juga akan
membuatnya terbinasa, karena ular-ular tersebut memang merupakan ular-ular yang
beracun hebat dan ganas sekali.
Gorgo San menyadari, bahwa
Auwyang Phu tentu memiliki hubungan yang dekat dengan Auwyang Hong. Ia pernah
mendengar cerita dari gurunya, bahwa Auwyang Hong adalah salah seorang datuk
persilatan, di antara ke lima jago luar biasa di daratan Tiong-goan.
Auwyang Hong merupakan salah
satu dari Ang Cit Kong, Ong Tiong Yang, Oey Yok Su dan It Teng Taysu. Dan
Auwyang Hong pun sangat pandai sekali mempergunakan racun, mengendalikan
pasukan ularnya.
Sekarang justeru ia tengah
menghadapi pasukan ular, yang selalu mematuhi perintah Auwyang Phu, yang
mengatur barisan ularnya dengan siulan-siulan nyaringnya. Terlebih lagi Auwyang
Phu pun seorang yang licik sekali, sama liciknya seperti Auwyang Hong, ayahnya
karena darah dan kelicikan ayahnya rupanya mewarisi juga di tubuhnya. Karena
itu, ia telah mengatur barisan ularnya itu menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama mengurung
Gorgo San dan sekali-kali menyerang. Sekelompok barisan ular lainnya melingkari
gelanggang ruang gerak Gorgo San, menantikan kesempatan buat bantu menyerang.
Dengan begitu, walaupun
gin-kang Gorgo San memang tinggi, tokh ia tidak bisa mempergunakan kegesitan
tubuhnya buat melesat keluar dari gelanggang itu, karena begitu tubuhnya
melesat ke tengah udara, selain ular-ular pada kelompok pertama akan ikut
melesat buat memagutnya juga kelompok barisan ular yang lainnya berada dalam
luar kalangan, siap menantikan meluncur turun tubuhnya, buat menyerang dengan
pagutan mereka!
Dengan menggerak-gerakkan
sepasang tangannya menghalau ular-ular yang menyerangnya itu pun tidak
menguntungkan Gorgo San, karena pada akhirnya ia akan letih dan kehabisan
tenaga, dan akan membuat dia akhirnya rubuh sendirinya karena sudah tidak
memiliki tenaga lagi.
Auwyang Phu berulang kali
tertawa, dan Gorgo San mendengar tertawa mengejek dari lawannya, membuat darahnya
mendidih. Dia jadi mengempos seluruh semangatnya, dia pun berpikir:
“Aku tidak boleh rubuh!
Walaupun bagaimana manusia keparat itu harus kumampusi!” Sambil berpikir
begitu, segera juga Gorgo San telah mengeluarkan ilmu simpanannya.
Mendadak sekali, setelah
berhasil mengibaskan tangannya, menyampok terpental tiga ekor ular yang
berukuran sepanjang hampir semeter yang tengah melompat menerjang padanya,
Gorgo San kemudian duduk bersila. Dia memutar ke dua tangannya seperti juga
titiran, lalu dia juga bersiul nyaring sekali.
Suara siulannya itu mengandung
kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.
Seketika, ular-ular yang
tengah mengepungnya seperti terkejut dan panik kebingungan, karena sekarang ada
dua macam kekuatan yang memerintah mereka.
Auwyang Phu sendiri tercekat
hatinya. Jika barisan ularnya itu terkacaukan, berarti akan lolos Gorgo San.
Maka dari itu ia segera melompat berdiri.
Percuma saja jika ia tidak
bisa mengatur barisan ularnya ini, karena setidak-tidaknya ia adalah putera
tunggal dari Auwyang Hong, See-tok, si Bisa bangkotan dari Barat, yang sangat
terkenal semasa hidupnya karena memakai racun dan juga mengendalikan pasukan
ularnya.
Cepat Auwyang Phu menepuk ke
dua tangannya. Suara tepukan tangannya itu seperti menindih dan menembus suara
siulan Gordo San, dan pasukan ular itu dengan rapih telah mundur menjauhi Gorgo
San.
Gorgo San girang melihat hasil
dari siulannya itu. Ia segera melompat bangun, berdiri tegak dan berkata dengan
suara yang lantang,
“Hemmm, hanya sebegitu saja
kepandaianmu mengatur pasukan ularmu? Barisan ular yang tidak mempunyai arti.”
Muka Auwyang Phu berobah merah
padam. Yang terpenting baginya adalah pusaka Kun-lun, di dalam kotak kayu yang
telah berada di tangannya, yang telah disimpan di dalam sakunya.
Sesungguhnya, dengan Gorgo San
ia tidak memiliki permusuhan apa-apa. Namun akibat dari ejekan yang dilontarkan
Gorgo San, membuat dia naik darahnya, meluap kemarahannya dan ia pun jadi
penasaran.
“Baik! Aku akan memperhatikan
kepadamu sesuatu yang tidak akan lagi membuat kau seenakmu saja menggoyangkan
lidahmu itu!”
Setelah berkata begitu,
Auwyang Hong bersiul nyaring tiga kali, dua kali panjang, satu kali pendek
suara siulan itu. Dan kemudian rumput di belakangnya bergerak-gerak seperti
dilanda sesuatu.
Lalu muncul makluk yang luar
biasa seekor ular yang besar sekali, yang panjangnya sampai tiga meter lebih,
ukuran tubuhnya yang sepelukan sepasang tangan. Itulah mirip-mirip dengan ular
naga!
Gorgo San yang melihat ular
yang luar biasa besarnya itu, jadi tercekat hatinya, tapi ia percaya, seperti
tadi, ia akan berhasil mengusir ular besar itu dengan mengandalkan siulannya,
yang disertai dengan tenaga sin-kangnya.
Belum lagi ular besar itu
merayap lebih dekat kepadanya, ia telah bersiul nyaring.
Auwyang Phu tertawa
bergelak-gelak,
“Kau boleh bersiul sekuat
suaramu sampai mulutmu jontor dan monyong!” ejeknya.
Auwyang Phu berkata benar
karena walaupun Gorgo San telah bersiul nyaring seperti itu, tokh tetap saja
ular besar itu tidak mau berhenti merayap. Dan ular itu terus juga merayap maju
menghampiri Gorgo San.
Di saat itulah terlihat Gorgo
San menghadapi ancaman bahaya yang tidak kecil, karena jika saja ular itu
semakin dekat dan menyerangnya, niscaya dia sulit untuk mengadakan perlawanan.
Memang mudah ia bertempur
dengan tokoh rimba persilatan mana saja, yang tidak akan membuatnya gentar.
Tapi jika ia harus bertempur dengan seekor ular yang berukuran besar seperti
ular naga ini, benar-benar membuatnya tidak mengetahui dengan cara apa
menghadapinya.
Auwyang Phu telah bersiul
nyaring sekali, sampai suara siulan itu menyakiti pendengaran.
Ular besar itu tahu-tahu
dengan ringan sekali telah melesat ke tengah udara, menyambar kepada Gorgo San.
Gorgo San cepat-cepat berkelit
ke samping kanan. Ular itu melesat di sampingnya tidak berhasil untuk mengenai
sasarannya dengan terjangan itu. Tapi ular tersebut rupanya memang sangat lihay
dan terdidik baik sekali, begitu lawannya berkelit, ekornya segera menyambar
dengan kuat.
“Plakkk!” Gorgo San segera
merasakan benda yang berlendir menjijikkan dan keras sekali telah menghantam
mukanya, mata Gorgo San seketika berkunang-kunang dengan pandangan matanya jadi
kabur. Disamping itu juga Gorgo San kehilangan keseimbangan tubuhnya, karena
kuda-kuda ke dua kakinya telah tergempur.
Auwyang Phu melihat ular
peliharaannya itu berhasil menyampok Gorgo San dengan ekornya, jadi tertawa
bergelak-gelak. Dan ia dengan sikap yang angkuh mengejeknya:
“Hemm, engkau akan mampus,
manusia sombong! Tidak ada kuburan buat kau, karena engkau akan men jadi
santapan ular raksasaku!”
Sedangkan Gorgo San tidak
kecewa sebagai murid dari Dalpa Tacin. Walaupun bagaimana memang ia memiliki
kepandaian yang tinggi, dan juga selalu berkelana di dalam rimba persilatan,
jarang sekali ada orang yang bisa menandingi kepandaiannya.
Jika ia tidak terdesak oleh
ular raksasa Auwyang Phu, itulah disebabkan pertempuran yang berlangsung.
manusia melawan ular itu yang sangat beracun, merupakan suatu pertempuran yang
janggal dan aneh, yang belum pernah dialaminya, membuat ia agak bingung. Itu
pula sebabnya mengapa ia sampai tersampok oleh ekor ular tersebut!
Tapi, walaupun bagaimana
memang dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi disamping itu ia pun sangat
cerdik, maka sekarang setelah mengalami pengalaman yang pahit, ia tidak mau
berayal lagi. Sampokan ekor ular itu yang licin berlendir menjijikan membuat ia
murka.
Namun murkanya itu disertai
dengan pikiran yang cepat sekali. Iapun telah memutuskan, terutama sekali ia
harus dapat menghalau ular itu buat mendesak Auwyang Phu dan kemudian merebut
kitab pusaka Kun-lun.
Waktu itu ular yang besar dan
ganas itu telah membalikkan tubuhnya. Tubuhnya melingkar, lidahnya yang
bercagak dua dan tampak begitu ramah, benar-benar sangat mengerikan sekali,
juga dari ular itu menyiarkan bau amis yang menjijikkan. Ular itu tampak siap
untuk menerjang lagi.
Gorgo San bersiap-siap, di
antara suara tertawa mengejek dari Auwyang Phu, tampak ular tersebut tahu-tahu
meluncur dengan cepat sekali hendak memagut kembali pada Gorgo San.
Gorgo San mengerahkan tenaga
dalamnya pada telapak tangannya. Ia telah mengeluarkan tenaga sin-kangnya yang
disalurkan pada ke dua telapak tangannya. Matanya dipentang lebar-lebar,
memancarkan sinar yang mengandung hawa pembunuhan.
Ular itu pesat sekali meluncur
dan akan memagut pundak Gorgo San. Kepala ular itu terulur sangat panjang,
bahkan sambarannya sangat cepat sekali.
Gorgo San melihat dengan
cermat, ia memiliki penglihatan yang sangat tajam. Waktu ular itu menerjang
padanya dengan sambaran yang mengeluarkan berkesiuran angin yang sangat kuat,
ia mengeluarkan bentakan keras, menahan hawa amis yang menerjang hidungnya,
lalu menghantam dengan telapak tangan kanannya.
“Plakkkk!” kepala ular itu
kena dihantamnya. Dia memukul kepala ular yang licin, berlendir menjijikkan,
membuat dia menggidik, namun dia mengeraskan hatinya, walaupun bagaimana dia
memang harus melumpuhkan ular itu.
Ular itu merasa pening
dihantam kepalanya seperti itu oleh Gorgo San. Tubuhnya juga terlempar ke
samping, kemudian menggeliat-geliat.
Hanya saja disebabkan kepala
ular itu memang licin berlendir, pukulan telapak tangan Gorgo San tidak bisa
menghantam dengan tepat, melejit dan ular itu tidak mati, karena pukulan Gorgo
San tidak bisa meremukkan kepala ular itu. Hanya suara mendesis ular itu
perlahan sambil menggeliat-geliat.
Waktu itu Auwyang Phu gusar
bukan main, terhenti tertawanya, wajahnya memancarkan sinar yang mengandung
kekejaman, bengis sekali. Disaat itulah ia bersiul nyaring sekali.
Gorgo San sebetulnya hendak
mempergunakan kesempatan itu buat menerjang kepada Auwyang Phu, namun ia
terhalang oleh puluhan ekor ular yang sudah serentak menerjang kepadanya,
akibat siulan Auwyang Phu yang memerintahkan ular-ular itu menerjang pada Gorgo
San.
Gorgo San jadi penasaran
menghadapi ular-ular beracun itu bukanlah pekerjaan yang ringan, karena dia
tidak bisa mempergunakan ilmunya secara wajar. Sedangkan ia murka karena
beranggapan Auwyang Phu berlaku licik sekali, dengan mempergunakan pasukan
ularnya menandakan bahwa Auwyang Phu seorang pemuda rendah hina.
Dia berteriak marah sambil
menggerak-gerakkan sepasang tangannya, yang mengeluarkan kesiuran angin yang
sangat hebat, melindungi sekujur tubuhnya. Tidak ada seekor ularpun yang dapat
mendekati tubuhnya.
Karena setiap kali ada ular
yang menerjang maju, akan tersampok oleh angin yang begitu kuat dari ke dua
telapak tangan Gorgo San. Dan ular-ular itu telah terpental terpelanting di
tanah.
Dalam keadaan seperti ini,
Auwyang Phu tidak mau membuang waktu lagi, tahu-tahu dia menjejakkan ke dua
kakinya, tubuhnya seperti terbang berlari pesat meninggalkan tempat itu.
Sedangkan di saat-saat Gorgo San tengah sibuk melawan ular-ularnya, dia malah
bermaksud ingin mempergunakan kesempatan ini buat melarikan diri agar dia tidak
direpotkan oleh Gorgo San yang masih bersikeras hendak merebut kembali kitab
pusaka Kun-lun itu.
Sun Long berdua dengan Cie
Kwang waktu melihat Auwyang Phu bermaksud hendak melarikan diri, mereka jadi
bingung bukan main. Mereka tengah berada dalam sikap yang serba salah.
Musuh terlalu tangguh dan
mereka berdua bukan menjadi tandingannya, karenanya mereka menyadari, jika
memang mereka memaksa untuk bertempur dengan Auwyang Phu, atau juga Gorgo San,
niscaya mereka tidak akan sanggup menang, malah akan terluka berat, atau kemungkinan
pula mereka akan menemui ajalnya.
Namun sekarang melihat Auwyang
Phu hendak berlalu. Mereka cepat-cepat ingin mengejar.
Besar tanggung jawab mereka,
sebab buku pusaka dari Kun-lun telah berhasil direbut kemudian jatuh di tangan
Auwyang Phu. Dengan demikian jika mereka tidak berhasil mengambil pulang kitab
pusaka itu merekapun akan memperoleh hukuman yang tidak ringan dari ketua
mereka.
Disebabkan itu pula, tidak ada
pilihan lain selain berseru: “Tuan…… tunggu……!” mereka mengejarnya dengan sekuat
tenaga, sambil masih berusaha menghiba-hiba kepada Auwyang Phu agar pemuda itu
berbaik hati mengembalikan bukunya.
Tapi Auwyang Phu berlari
sangat cepat meninggalkan tempat itu. Dalam waktu yang singkat terlihat ia
telah pergi jauh sekali.
Cie Kwang berdua dengan Sun
Long telah tertinggal di belakangnya dan akhirnya malah ke dua orang Kun-lun
itu tidak bisa mengetahui lagi ke mana Auwyang Phu berada, karena mereka telah
kehilangan jejak orang buruannya itu.
Gorgo San yang tengah sibuk
melayani serbuan ular-ular itu, bukan main murkanya. Tubuhnya menggigil keras
dan ia menggerakkan sepasang tangannya ganas sekali, membuat ular-ular yang
menerjang kepadanya jadi terpental.
Bahkan sebagian ada yang
tubuhnya sampai putus menjadi dua potong, ada juga yang kepalanya hancur,
akibat dahsyatnya tenaga pukulan yang dipergunakan oleh Gorgo San.
Cuma saja, biarpun Gorgo San
telah melihat Auwyang Phu melarikan diri, tetap saja ia tidak bisa meninggalkan
tempat itu buat mengejarnya, karena justeru ia tengah dilibat oleh pasukan ular
Auwyang Phu. Akhirnya melihat Cie Kwang berdua Sun Long pergi juga meninggalkan
tempat itu, ingin mengejar Auwyang Phu, Gorgo San jadi memaki kalang kabutan.
Setelah beberapa saat lagi, ia
telah berhasil membunuh belasan ekor ular dan di saat jumlah ular yang
menyerbunya sedikit, ia bersiul nyaring. Pasukan ular Auwyang Phu yang hanya
tinggal belasan ekor itu, jadi tertegun sejenak. Mereka tampaknya bingung,
mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi seperti hendak memperhatikan irama suara
siulan tersebut, dan mereka jadi berhenti bergerak, tidak menyerang lebih jauh.
Gorgo San tidak mau
membuang-buang kesempatan yang baik ini. Segera ia menjejakkan ke dua kakinya,
tubuhnya seperti juga terbang, melesat meninggalkan tempat itu. Dia menuju ke
arah di mana tadi Auwyang Phu melarikan diri, karena dia penasaran dan hendak
mengejar pemuda she Auwyang itu.
Di hatinya yang tengah panas
dia mengutuk tidak hentinya untuk kelicikan Auwyang Phu. Dia akan bersumpah
jika memang kelak ia bertemu dengan pemuda itu, dan dia berhasil mengejarnya,
maka dia akan membunuhnya!
Tapi setelah berlari-lari
sekian lama dengan cepat dan pesat seperti terbang, tetap saja dia tidak
berhasil mengejar lawannya.
Auwyang Phu seperti telah
lenyap masuk ke dalam perut bumi, tidak meninggalkan jejak.
Dengan penasaran Gorgo San
mengejar tetapi setelah melewati belasan lie lagi dan tetap tidak berhasil
menemui jejak Auwyang Phu, ia jadi tambah murka dan penasaran. Namun dia tidak
meneruskan pengejarannya.
Sedangkan waktu dia memutar
tubuhnya hendak kembali menuju ke kampung Jit-cap-li-pau, ia teringat kepada
Sun Long dan Cie Kwang, ke dua orang Kun-lun itu. Mereka tentu saja tidak
memiliki ilmu meringankan tubuh yang terlalu tinggi, tapi mereka juga tidak
terlihat.
Karena itu Gongo San sejenak
jadi heran. Dia lari balik kembali, karena ia pikir mungkin ke dua murid
Kun-lun itu tadi tertinggal di belakang, karena dia mengejarnya memang terlalu
cepat sekali bukan main, dan seperti juga dia telah berlari dengan terbang
tanpa ke dua kaki menginjak bumi.
Di kala itu, ia tetap tidak
melihat Sun Long dan Cie Kwang, walaupun Gorgo San telah berlari sampai puluhan
lie, kembali ke arah dari mana tadi dia mendatangi.
Akhirnya, dengan uring-uringan
dia memasuki kampung Jit-cap-li-pau. Dia pergi ke sebuah rumah penginapan,
meminta kamar dan galak sekali menempeleng seorang pelayan yang terlambat
melayani pesanan makanannya.
Benar-benar Gorgo San tengah
uring-uringan, dan ia bertekad, selanjutnya akan mencurahkan seluruh
perhatiannya buat mencari jejak Auwyang Phu. Ia pun bersumpah untuk berusaha
membunuh Auwyang Phu jika kelak dia berhasil menemukannya.
Percuma saja ia sebagai murid
tunggal Dalpa Tacin. Jika kini ia bisa dipermainkan seperti itu oleh Auwyang
Phu.
Ke mana perginya Sun Long dan
Cie Kwang?
Ternyata ke dua murid Kun-lun
itu telah mengejar beberapa lie dan kehilangan jejak Auwyang Phu. Akhirnya
tersesat mengambil arah yang berlainan sekali, karena mereka memang sudah tidak
mengetahui lagi, ke arah mana mereka harus mengejar Auwyang Phu.
Untuk kembali ke tempat
semula, pertama mereka ngeri dan takut kepada ular-ular Auwyang Phu yang tentu
banyak yang masih hidup. Juga kuatir Gorgo San yang tengah uring-uringan, sebab
kitab pusaka Kun-lun yang telah direbutnya dari tangan Sun Long dan Cie Kwang,
kini telah dapat dirampas oleh Auwyang Phu malah telah dibawa pergi,
meninggalkan ular-ularnya itu mengepung Gorgo San.
Kalau sampai nanti Gorgo San
menumpahkan seluruh kemarahannya kepada mereka, niscaya akan membuat mereka
yang repot menghadapi kemarahan murid dari Dalpa Tacin yang memiliki kepandaian
tinggi itu.
Di waktu itu Gorgo San telah
rebah di dalam kamar rumah penginapan, karena ia benar-benar marah dan
penasaran sekali, sampai dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, selain
uring-uringan tidak karuan.
Juga ia tidak bisa tidur. Dia
rebah dengan mata terpentang lebar-lebar mengawasi langit-langit kamar,
berulang kali dia menghela napas.
Ia teringat kepada gurunya,
Dalpa Tacin. Ya, gurunya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Diapun
telah mewarisi kepandaian gurunya.
Bahkan Dalpa Tacin selalu
memuji muridnya sebagai murid yang pandai, yang kepandaiannya mengalami
kemajuan yang pesat dan telah mewarisi seluruh kepandaian Dalpa Tacin. Karena
itu, mengapa sekarang dia seperti orang bodoh, yang tidak berhasil menghadapi
Auwyang Phu?
Walaupun dia telah mengetahui
bahwa Auwyang Phu adalah putera Auwyang Hong, tokoh sakti dari rimba
persilatan, yang memang sangat terkenal sebagai si Bisa dari Barat yang
tangannya beracun, mamun tidak seharusnya dia bisa dipermainkan oleh Auwyang
Phu, karena gurunya dirasakannya memiliki kepandaian yang tentu tidak berada di
bawah kepandaian Auwyang Hong.
Semakin dipikirkannya, dia
jadi semakin marah dan penasaran, sampai akhirnya dia tidak bisa menahan
dirinya, dengan murka dia telah menghantam tepian pembaringan.
“Plakkk!” tepi pembaringan itu
kena dihantam sampai sempal. Dia menghela napas.
Kemudian, karena tidak bisa
tidur, dia melompat turun dari pembaringan. Dengan jengkel dikenakan kembali
jubahnya, dan keluar dari kamarnya. Maksudnya hendak meninggalkan rumah
penginapan ini, untuk jalan-jalan memutari kampung, menghirup udara malam yang
mungkin bisa menyejukkan hatinya yang panas itu.
Tapi ketika dia keluar dari
kamarnya, dia melihat pelayan tengah melayani dua orang pemuda yang wajahnya
sangat tampan sekali. Segera juga hatinya jadi heran. Karena dia melihat betapa
pemuda itu merupakan dua orang yang wajahnya benar-benar sangat tampan dan
tubuhnya ramping.
Dilihat dari keadaan mereka,
mungkin ke duanya merupakan pelajar yang lemah dan kutu buku yang tidak punya
guna. Dia tertawa dingin.
Cuma hatinya mengiri sekali,
karena sebelumnya ia beranggapan dirinya sangat tampan dan gagah. Karena itu,
tidak disangkanya bahwa di dalam dunia ini terdapat pemuda-pemuda yang demikian
tampan seperti ke dua pemuda itu.
Dengan sendirinya hatinya jadi
jelus. Ia memandangi dengan sikap yang sinis.
Sedangkan salah seorang dari
ke dua pemuda itu tampaknya tidak senang sekali diawasi seperti itu oleh Gorgo
San, dia kemudian melirik dan mendelikan matanya.
“Hemmm!” mendengus Gorgo San
tambah tidak senang, jika memang menuruti hatinya, tentu ia akan menghampiri
dan menotok biji mata pemuda itu untuk dibutakan.
Sedangkan pemuda yang
seorangnya lagi, yang sikapnya walaupun halus dan wajahnya tampan, namun tampak
lebih jantan, telah menarik tangan kawannya.
“Jangan mencari urusan!”
katanya dengan suara yang perlahan.
Namun Gorgo San mendengarnya,
ia memang memiliki pendengaran yang tajam, maka Gorgo San mendengus “Hemmm!”
lagi.
Kemudian Gorgo San telah
memilih sebuah meja yang tidak berjauhan di sebelah kanan. Ke dua pemuda itu
menantikan pelayan selesai mempersiapkan kamar mereka, ke duanya duduk di
sebuah meja, memesan beberapa macam makanan. Dan meja Gorgo San dengan ke dua
pemuda itu terpisah hanya dua meja kosong.
Pelayan yang membawa makanan
buat ke dua pemuda itu segera datang sambil berseru: “Hidangan datang! Tentu
tuan-tuan akan gembira menikmati makanan lezat seperti ini......!”
Namun, waktu lewat di dekat
meja Gorgo San, pelayan itu merandek, karena Gorgo San telah berkata: “Mana
pesananku?!”
“Tuan…… kuingat…… tuan….. tuan
tidak memesan apa-apa…..!” kata pelayan tersebut gugup.
“Ohhh begitu!” kata Gorgo San
dengan sikap yang mendongkol. “Jadi kau meremehkan tuan besarmu dan pesanku
tidak dilayani? Bagus! Bagus!”
Pelayan itu jadi kikuk, dia
segera bilang, “Maafkan tuan, rupanya terjadi keteledoran di pihak kami! Segera
aku akan kembali untuk mencatat pesanan dari tuan…… Tunggulah sebentar, aku
akan mengantarkan makanan ini dulu!”
Sambil berkata begitu, si
pelayan ingin mengantarkan makanan yang dipesan ke dua pemuda di meja yang
tidak jauh terpisah dari Gorgo San.
“Tunggu!” bentak Gorgo San
dengan suara yang bengis.
Pelayan itu merandek, dia
melirik takut-takut melihat tamunya yang seorang ini tengah marah.
“Ya? Ya?!” tanyanya tergagap.
“Karena kalian begitu
meremehkan tuan besarmu, maka kau tidak dapat dimaafkan! Cepat letakan makanan
itu di mejaku, aku tidak memiliki waktu banyak untuk menantikan makanan yang
baru!” kata Gorgo San.
Pelayan itu kaget, ia
melangkah mundur setindak.
“Ini…… ini mana boleh?!”
katanya tergagap.
“Letakkan!” bentak Gorgo San
sambil menepuk keras mejanya.
Pelayan itu jadi ketakutan,
dia ragu-ragu kemudian dengan sikap meminta maaf dia bilang: “Makanan ini
pesanan ke dua tuan itu!”
Sambil berkata begitu, si
pelayan telah melirik kepada ke dua pemuda tamunya.
Sedangkan ke dua pemuda di
seberang sana, yang mendengar ribut-ribut telah mengawasi kepada Gorgo San.
Yang tertampan, tengah mengawasi dengan sikap tidak senang karena tampaknya
memang ia tersinggung oleh sikap Gorgo San.
Namun pemuda yang seorang lagi
telah membisikkan sesuatu dan mereka kemudian tidak mengawasi lebih jauh.
“Letakkan! Tulikah kau?!”
bentak Gorgo San yang naik darah. Melihat sikap pelayan itu ia memang tengah
uring-uring, malah ia telah bermaksud, jika saja pelayan ini kali tidak
menuruti perintahnya, dia akan menghajar pelayan itu.
“Baik...... baik.....!” kata
pelayan itu ketakutan, walaupun hatinya tidak senang dengan sikap Gorgo San,
namun dia tidak berani membantah lagi, dia jeri melihat mata pemuda yang
memancarkan sinar yang sangat tajam, maka segera dia meletakkan makanan itu di
atas meja Gorgo San.
Gorgo San mendengus tertawa
dingin, dan mulai makan. Pelayan itu kembali ke ruang belakang, untuk
mempersiapkan makanan baru.
Ke dua pemuda itu tampak
tenang-tenang saja, mereka bercakap-cakap dengan gembira, sama sekali mereka
sudah tidak memperhatikan Gorgo San lagi.
Sikap yang diperlihatkan ke
dua pemuda itu benar-benar membuat Gorgo San tambah sengit karena memang semula
ia bermaksud mencari gara-gara, yaitu dengan memaksa meletakkan pesanan makanan
dari ke dua pemuda itu di mejanya, agar pemuda-pemuda itu menegurnya, di waktu
itu ia memiliki alasan untuk menghajar mereka.
Siapa tahu, ke dua pemuda itu
tidak memperlihatkan reaksi dan mereka malah sekarang tampak tengah bicara satu
dengan yang lain dengan gembira sekali.
Tentu saja Gorgo San tambah
sengit, dia berulang kali melirik. Sedangkan pemuda yang seorang, yang bertubuh
ramping dan wajahnya sangat cakap itu, sehingga tampak seperti wajah seorang
wanita, sering juga melirik kepada Gorgo San. Namun jika Gorgo San melirik
kepadanya, maka dia membuang pandang ke arah lain.
Bukan main mendongkolnya Gorgo
San, di dalam hatinya dia berpikir: “Hemmm, kau lihat saja nanti, bagaimana aku
menghajar kalian!”
Waktu itu pelayan telah datang
lagi dengan membawa beberapa macam makanan dan sayur yang masih mengepul
hangat. Pelayan itu bergegas berjalan sangat cepat.
Waktu akan melewati meja Gorgo
San, ia melirik dengan sikap tidak senang dan bercampur kuatir. Ia kuatir
kalau-kalau Gorgo San akan menghadangnya seperti tadi dan memerintahkannya
meletakkan makanan tersebut di atas mejanya.
“Tunggu!” benar saja, Gorgo
San telah membentaknya, membuat pelayan itu jadi merandek, dan dia melirik
takut-takut.
“Ada apa, tuan besar?!” tanya
pelayan tersebut dengan suara serak.
Gorgo San tertawa dingin.
“Hemmm, masakan sayur ini
sungguh tengik dan tidak sedap dimakan, dan juga makanan ini bukan untuk
makanan manusia, melainkan cocok untuk makanan kuda! Mengapa kau menyajikan
santapan seburuk ini? Cepat angkat ini dan buang, dan letakkan makanan yang
baru itu di mejaku!”
Pelayan itu berobah mukanya.
“Tuan…… mana bisa begitu……?
Tadi tuan telah mengambil pesanan tuan-tuan itu. Sekarang tuan hendak mengambil
pula pesanan tuan-tuan itu…… itu….. ini tentu bisa meruntuhkan nama rumah
penginapan kami, dan kelak akan sepi karena tidak ada orang yang mau datang
kemari.”
“Hemmm, kau terlalu rewel!”
bentak Gorgo San, segera tubuhnya berdiri.
Dan ia hanya bukan berdiri,
melainkan tangan kanannya cepat sekali bergerak: “Dukkk!”
Dada pelayan itu kena
dihantamnya. Dengan pukulan yang perlahan, sebab Gorgo San memang sama sekali
tidak mempergunakan tenaga, tapi hebat kesudahannya buat pelayan itu, karena
tubuhnya kontan kejengkang dan ia terguling-guling di lantai sambil
menjerit-jerit dengan makanan yang dibawanya berantakan di lantai.
Habislah kesabaran pemuda yang
tampan dari ke dua tamu itu, karena mereka melihat betapa sikap Gorgo San
keterlaluan sekali. Maka ia telah berdiri dengan muka yang berobah merah padam
karena gusar.
Kawannya cepat-cepat menarik
tangannya.
“Biarkan saja, kita tidak
perlu mencari urusan!” kata kawannya, yang muka dan keadaannya lebih jantan.
Tapi kawannya menggeleng.
“Tidak bisa dibiarkan, ia
sudah keterlaluan sekali! Tadi dia telah menyerobot pesanan kita, sekarang dia
mash menganiaya pelayan itu karena pelayan tersebut tidak mau menuruti
keinginannya buat memberikan pesanan kita pula! Hemmm, hemmm, sungguh
keterlaluan.”
Kasir rumah penginapan
tersebut cepat-cepat berlari menghampiri.
“Haya, jangan begitu tuan.....
maafkan jika pelayan kami ada yang kurang ajar dan apa yang dilakukannya tidak
berkenan di hati tuan…… Segalanya mudah diatur dan jika makanan tuan tidak
sedap, biarlah nanti akan dibuatkan yang baru, yang lezat……!”
Tapi Gorgo San yang memang
tengah mencari gara-gara. Melihat pemuda yang seorang itu, yang ramping dan
mukanya seperti muka wanita, berdiri dari duduknya. Hatinya panas dan ia
langsung ingin turun tangan untuk menghajarnya. Siapa tahu datang si kasir
rumah penginapan ini.
Karenanya, kemarahan dan
kemendongkolan hatinya segera juga ditumpahkan kepada kasir rumah penginapan
itu. Dia lalu mengulurkan tangannya, ke lima jari tangannya terpentang, dia
mencengkeram baju di bagian dada dari kasir rumah penginapan itu, sambil
membentak:
“Kau juga manusia kurang
ajar!”
Tahu-tahu tubuh kasir itu
terlempar jauh, tubuhnya sampai terguling-guling di lantai, malah tampak juga
kasir itu telah rontok giginya dan berdarah.
Dikala itu pemuda yang
tubuhnya ramping sudah tidak bisa menahan diri, tubuhnya yang melompat dengan
ringan telah berada di depan Gorgo San.
“Kau keterlaluan, saudara……!”
katanya dengan suara yang dingin. “Kau main turun tangan dan menganiaya
orang-orang yang lemah tanpa kenal aturan! Sudah engkau yang bersalah, dan
engkau pula yang tidak memakai aturan, masih engkau menyiksa mereka!”
Biji mata Gorgo San mencilak,
dan tampak ia mendengus dengan muka merah padam karena gusar ditegur seperti
itu oleh pemuda tersebut.
“Bagus! Kau demikian usil
mencampuri urusanku atau memang engkau sudah bersiap-siap untuk mampus?!” tanya
Gorgo San dengan suara yang bengis.
“Hemmm!” mendengus pemuda itu,
“Kau bicara seenakmu saja! Urusan mati adalah urusan Thian (Tuhan) dan bukan di
tanganmu! Sekarang yang hendak kutanyakan, apakah engkau mempertanggung
jawabkan perbuatanmu dan ganti rugi kepada pemilik rumah makan dan rumah
penginapan ini karena sepak terjangmu?!”
“Ganti rugi? Ganti rugi apa?!”
tanya Gorgo San sengaja untuk mengejek dan pura-pura tidak mengerti.
“Ganti rugi karena engkau
telah menimbulkan kerusuhan di sini, dan juga menganiaya mereka! Kau harus ganti
rugi pada mereka dan juga memberikan puluhan tail perak sebagai tanda
penyesalanmu!”
Sambil berkata begitu, tampak
pemuda itu telah memandang dengan sorot mata yang tajam kepada Gorgo San,
sikapnya berani sekali.
Mata Gorgo San jadi mendelik,
dan ia mengawasi dengan sinar mata yang mengandung kemendongkolan, sebab ia
memang biasanya ditakuti lawan. Siapa tahu, pemuda kerempeng yang mukanya
tampan seperti pemuda ini adalah seorang wanita, telah berani menegurnya
seperti itu.
Karenanya ia telah mendengus
dan berkata: “Ya, aku akan mengganti rugi pada mereka, tentu saja, dengan
jiwamu sebagai penggantinya……!”
Sambil berkata begitu, ia
menghantam dengan telapak tangannya. Gorgo San memiliki kepandaian yang tinggi
dan lihay, sekarang ia tengah gusar, karenanya kini ia benar-benar telah
bermaksud membunuh pemuda tampan itu dalam sekali hantam. Dengan demikian ia
bisa melampiaskan kemarahan hatinya.
Tapi pemuda tampan yang
berdiri di depannya tertawa dingin, dia berkelit dengan mudah waktu telapak
tangan Gorgo San hampir mengenai sasarannya.
Di waktu itu Gorgo San yang
memukul tempat kosong, karena pemuda itu tahu-tahu telah melesat ke samping
mengelakkan diri dari hantamannya, jadi terkejut juga. Ia tidak menyangkanya,
bahwa pemuda yang tampan dan tampaknya begitu lemah dan halus, merupakan
seorang pemuda yang lihay.
Malah melihat kegesitan
gerakannya itu, ditambah juga dengan cepatnya dan mudahnya ia menghindar dari
serangan Gorgo San. Maka Gorgo San seketika dapat menduganya, pasti pemuda ini
memiliki kepandaian yang tinggi.
Karena memang di waktu itu dia
pun merasakan, dengan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh seperti itu, jelas
pemuda ini mengerti ilmu silat. Dan ia tentu saja tidak boleh meremehkannya,
dan harus waspada menghadapinya.
Tapi di wajahnya yang merah
padam karena gusar itu, ia tetap tidak memperlihatkan perasaan heran atau
terkejutnya untuk lihaynya pemuda tersebut. Karenanya, ia membarengi pula
dengan dua pukulan yang gencar.
Pemuda tampan itu tertawa
dingin, tahu-tahu tangan kanannya bergerak cepat sekali, di saat mana tubuhnya
berkelebat dengan dibarengi tangannya bekerja.
“Dukkk! Dukkk!” terdengar dua
kali suara benturan tangan yang kuat..
Dalam keadaan seperti itu,
Gorgo San kembali terkejut, karena ia merasakan betapa tangkisan, pemuda itu
kuat sekali. Berbeda dengan bentuk tubuhnya yang kurus ramping dan tampaknya
lemah. Tangkisannya itu justeru mengandung lweekang yang tangguh sekali membuat
pergelangan tangan Gorgo San tergetar.
Dengan segera Gorgo San
merobah cara pertempurannya, karena, jika tadi ia sama sekali tidak memandang
sebelah mata kepada pemuda kurus kerempeng itu, justeru sekarang ini malah
menyerang lagi dengan pukulan yang bersungguh-sungguh. Dalam waktu sekejap mata
saja, telah beberapa jurus mereka lewatkan.
Kawannya pemuda kurus
kerempeng, pemuda seorangnya lagi, tetap duduk tidak bergerak dari tempatnya
itu, ia mengawasi dengan tenang kawannya itu tengah menghadapi Gorgo San.
Gorgo San semakin penasaran.
Jika sebelumnya ia menduga dalam satu atau dua jurus ia akan dapat merubuhkan
lawannya yang dilihatnya sangat lemah itu.
Tidak tahunya justeru di waktu
itu ia memperoleh perlawanan yang gigih. Kuat tenaga dalam dari lawannya
tersebut, tangguh ilmu silatnya.
Dengan demikian membuat Gorgo
San mengerahkan semangatnya, ia menyerang semakin bersungguh-sungguh. Hebat
kesudahannya, tubuh mereka berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan gerakan
yang lincah.
Juga di waktu itu ada beberapa
meja dan kursi yang rusak terkena hantaman tangan dari ke dua orang yang tengah
bertempur tersebut, yang hancur berantakan.
Kasir rumah penginapan itu
jadi menjerit-jerit meminta ke dua orang itu tidak berkelahi lebih jauh, karena
ia kuatir seluruh perabotan di dalam ruangan tersebut akan rusak dan hancur.
Sedangkan Gorgo San dan pemuda
kurus kerempeng itu tetap saja melibatkan diri dalam pertempuran yang tidak
berkesudahan, dimana terlihat Gorgo San semakin lama menyerang semakin hebat.
Dan juga memang ia telah mengeluarkan ilmu andalannya.
Jika sebelumnya ia tidak
memandang sebelah mata kepada lawannya itu, yang diduganya sangat lemah dan
sebagai kutu buku, namun sekarang justeru ia telah mengerahkan kepandaian
tingkat tingginya buat berusaha merubuhkan lawannya, karena ia memperoleh lawan
yang tangguh sekali. Jika ia kurang berhati-hati justeru dirinya yang akan kena
dirubuhkan atau dibinasakan oleh lawannya itu.
Karenanya, dengan cepat sekali
tampak ia telah beberapa kali menyerang semakin hebat! Namun pemuda yang
bertubuh kerempeng itu dapat melayaninya dengan baik, tanpa terdesak sedikitpun
juga.
Sebagai seorang yang angkuh
dan selalu ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan, dan sekarang tidak bisa
merubuhkan pemuda kerempeng ini, membuat dia jadi penasaran sekali! Dan segera
ia telah mengeluarkan cengkeraman Maut Dari Langit, ilmu yang hebat dan menjadi
andalannya.
Begitu ia mempergunakan
jurus-jurus ilmu cengkeraman itu, seketika pemuda kerempeng itu terdesak. Malah
suatu kali, ketika ia diancam akan dicengkeram dadanya, pemuda itu mengelak
dengan menunduk.
Dan dikala pemuda itu tengah
menunduk, cepat sekali tangan kanan dari Gorgo San telah menyambar dan
menyambak topi pemuda itu. Begitu topi terlepas, terurai rambut yang panjang!
Gorgo San seketika tertegun,
tapi kemudian tertawa bergelak-gelak.
“Hahahahahaha, tidak tahunya
seorang nona cantik!” katanya dengan suara yang mengejek, dia membuang topi
yang telah direbutnya.
Gadis itu, yang menyamar
sebagai seorang pemuda, mukanya berobah merah padam. Ia telah mengeluarkan
seruan dan merangsek maju.
Namun kawannya, pemuda yang
seorangnya lagi segera berseru sambil melompat maju dari tempt duduknya:
“Adik Hoa, mundurlah, biar aku
yang menghadapinya......!” Dan tangan kanan pemuda ini menyambar!
“Takkk!” tangan Gorgo San kena
disampoknya, sampai ia terkejut, karena tubuhnya tergetar hebat sekali. untung
ia masih keburu mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga dia tidak sampai
terhuyung mundur.
Gadis yang dipanggil dengan
sebutan “Adik Hoa” itu telah melompat mundur dengan maka yang merah padam,
karena ia masih penasaran dan marah. Tapi ia menyadari tidak mungkin ia sanggup
menghadapi Gorgo San. Karena itu, ia hanya menyaksikan saja kawannya menghadapi
Gorgo San.
Kawan dari si Adik Hoa itu
memang lihay. Ia segera menyerang bertubi-tubi kepada Gorgo San.
Hal ini membuat Gorgo San jadi
sibuk berulang kali harus menghindarkan diri dari hantaman pemuda itu. Malah
yang membuat ia jadi heran, karena setiap serangan pemuda itu selalu mengandung
terjangan angin yang luar biasa dahsyatnya.
Dalam keadaan seperti itu, ia
berusaha untuk mengadakan perlawanan, cuma disebabkan serangan dari pemuda itu
memang aneh. Setiap jurusnya selalu membingungkan dan sulit untuk diterka oleh
Gorgo San, sementara waktu tidak bisa membalas menyerang.
Dia hanya main kelit dan
mengelakkan saja, karena itu berulang kali ia pun harus dapat mengendalikan
diri, guna mengawasi dan meneliti dengan cermat cara menyerang dari lawannya
itu agar ia tidak terkena serangan aneh, yang selalu menimbulkan angin
berkesiuran dingin.
Dikala ia terlihat Gorgo San
telah melewati duapuluh jurus, masih ia belum dapat membalas menyerang. Dan
ketika suatu kali ia melompat mundur menjauhi diri dari pemuda lawannya, ia
segera berseru:
“Tahan.....!”
Pemuda itu menunda
penyerangannya lebih jauh, ia mengawasi tajam.
“Hemmm, kau seorang yang tidak
pernah memakai aturan selalu bertindak sewenang-wenang! Apakah kau kira, di
dalam dunia ini cuma engkau seorang diri yang memiliki kepandaian tinggi?!”
mengejek pemuda itu.
“Siapa kau?” tanya Gorgo San
dengan suara yang tawar. “Aku tidak biasa membunuh manusia yang tidak bernama.”
“Hemmmm!” pemuda itu
mendengus. “Aku she Lie bernama Ko Tie!” menjelaskan pemuda itu.
Muka Gorgo San berobah. Memang
belakangan ini, ia mendengar di dalam rimba persilatan telah muncul dua orang
pemuda yang tangguh, dan yang sangat lihay ilmu silatnya.
Ia segera ingin menduga bahwa
Lie Ko Tie ini adalah pemuda yang didengarnya itu.
“Hemmmm, tidak tahunya engkau,
yang mungkin belakangan ini telah menimbulkan kehebatan di dalam rimba
persilatan!” kata Gorgo San dengan suara yang nyaring.
“Bagus! Bagus! Kita bisa
bertemu di sini. Tapi ku kira, manusia seperti engkau tidak perlu kulayani
terus......!”
Sambil berkata begitu, segera
juga Gorgo San telah menjejakkan kakinya. Sebelumnya dia masih sempat mengerling
kepada si gadis yang ternyata bukan lain dari Giok Hoa.
Hatinya tertarik sekali
melihat wajah yang begitu manis dan cantik, sehingga ia sendiri tergerak
hatinya. Ia cepat sekali telah meninggalkan rumah penginapan itu!
Ko Tie dan Giok Hoa, yaitu si
pemuda dan si gadis, tidak mengejar. Mereka berdua memang telah tiba di tempat
ini dalam perjalanan berkelana. Dan mereka tidak menyangka bertemu dengan Gorgo
San.
Semula mereka menduga Gorgo
San hanya sebangsa buaya darat di kampung ini. Namun siapa tahu setelah Giok
Hoa bertempur dengannya, barulah mereka berdua menyadarinya bahwa Gorgo San
orang Kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.
Sebenarnya Ko Tie hendak
menyangka siapa sebenarnya Gorgo San, tapi justeru Gorgo San telah keburu
angkat kaki.
Hal ini dilakukan oleh Gorgo
San dengan memiliki alasan tersendiri.
Sebetulnya jika memang
menuruti adatnya, dia tentu tidak akan menyudahi urusan itu sampai di situ
saja. Tapi hatinya benar-benar tergerak waktu melihat betapa cantiknya Giok
Hoa.
Ia begitu tertegun dan kesima
melihat pemuda yang semula menjadi lawannya, adalah seorang gadis. Dengan
demikian, ia kagum juga, bahwa si gadis bisa memiliki kepandaian begitu tinggi.
Sebagai manusia yang licik, ia
segera menyadari. Jika hendak mendekati gadis itu, jelas ia telah menanamkan
kesan yang tidak baik, di mana tadi dia menimbulkan kerusuhan.
Karenanya Gorgo San tidak mau
menarik panjang dulu persoalan mereka. Dia menyingkir untuk mencari jalan, agar
dapat kelak mendekati si gadis. Karenanya, dia segera angkat kaki dari tempat
itu.
Ko Tie waktu itu diberitahukan
pelayan bahwa kamar yang mereka pesan itu telah disiapkan. Sedangkan beberapa
orang pelayan lainnya segera membereskan perabotan yang tadi berantakan akibat
pertempuran itu.
Ko Tie memberikan sepuluh tail
perak kepada kasir rumah makan merangkap rumah penginapan itu, sebagai ganti
rugi atas kerusakan meja dan kursinya itu.
Kasir rumah penginapan itu
mengucapkan terima kasihnya berulang kali, dia sangat bersyukur. Sedangkan
pelayan-pelayan, semua melayani Ko Tie dan Giok Hoa dengan hormat, sebab mereka
mengetahuinya bahwa memang muda-mudi ini sepasang pendekar yang gagah dan lihay
sekali.
Juga mereka sangat kagum
melihat kecantikan Giok Hoa, demikian juga buat tampannya si pemuda. Karenanya,
mereka anggap, itulah pasangan yang sangat ideal dan cocok sekali.
Ko Tie dan Giok Hoa ketika
berada di dalam kamar, bercakap-cakap membicarakan perihalnya Gorgo San. Waktu
itu, dengan sengit Giok Hoa bilang:
“Hemmmmm, dia memang memiliki
kepandaian yang tinggi, tapi hatinya kejam dan sifatnya buruk sekali, tangannya
telengas. Karena dari itu, manusia seperti itulah yang jauh lebih berbahaya di
bandingkan dengan penjahat-penjahat biasa.”
Ko Tie mengangguk membenarkan.
“Entah dia murid siapa?” kata
pemuda itu, “Hemmm, dilihat dari kepandaiannya, dia tentunya bukannya sebangsa
manusia sembarangan.
Giok Hoa mengangguk
mengiyakan, dan mereka terus juga bercakap-cakap sampai jauh malam dan barulah
mereka tidur.
Tengah ke duanya asyik tidur
seperti itu, mendadak mereka terbangun terkejut, karena dari luar jendela
terdengar suara ketukan kayu bok-hie yang beruntun, yang terdengarnya berirama,
disertai oleh liam-keng seorang pendeta.
Bukan main gusarnya Ko Tie dan
Giok Hoa. Ke duanya saling memandang sejenak lamanya. Karena mereka memang
tidak membuka pakaian waktu tidur, dan mereka tidur dengan pakaian lengkap,
dengan segera mereka bisa melompat ke dekat jendela.
Ko Tie memasang mata sejenak,
dan suara bok-hie itu masih juga terdengar, dengan iringan irama liam-keng dari
seorang Hweshio tua. Setelah melihat tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan,
barulah Ko Tie mendorong terbuka daun jendela.
Tidak ada penyerangan. Dan
pemuda ini sambil mengibaskan lengan bajunya, melompat keluar. Tidak ada
penyerangan gelap juga, karena ia bisa tiba di pekarangan yang penuh dengan
bunga-bunga yang tengah bermekaran.
Ia melihat di antara kesunyian
dan kekelaman malam, tampak seorang pendeta duduk di bawah sebatang pohon yang
rimbun di pekarangan rumah penginapan tersebut, tidak jauh terpisah dari
jendela kamar mereka, tengah duduk bersemedhi, dengan mengetuk-ngetuk pemukul
bok-hienya dan juga membaca liam-keng dengan irama yang cukup keras dan
nyaring, memecahkan kesunyian malam.
Mungkin tamu-tamu lain di
rumah penginapan tersebut tidak mau usil, dan mereka juga tidak mau mencari
urusan, karena mereka menduganya, jika mereka melongok keluar, justeru mereka
kuatir, kalau-kalau memang pendeta itu cuma memancing, padahal ia seorang
penjahat. Tidak ada seorang pun dari tamu di rumah penginapan itu yang membuka
jendela kamar mereka.
Pendeta itu mengangkat
kepalanya perlahan-lahan, sepasang alisnya tumbuh panjang dan telah putih,
demikian juga kumis dan jenggotnya yang tumbuh panjang, telah memutih. Ia
mengenakan jubah warna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) berwarna
merah, di mana ia telah memandang dengan mata yang tajam sekali.
Namun, mulutnya terus juga
membaca liam-keng. Dikala ini ia tengah mengetuk-ngetuk kayu bok-hienya, dan Ko
Tie berdua Giok Hoa berdiri mengawasinya.
“Hai!” akhirnya pendeta itu
menghela napas dalam-dalam. Dia berhenti membaca liam-keng, malah ia pun tidak
meneruskan ketukan pada bok-hienya, karena dia telah menatap kepada Ko Tie dan
Giok Hoa bergantian, ujarnya:
“Sungguh aku seorang pendeta
yang tidak tahu diri karena di tengah malam yang sunyi senyap seperti ini,
telah menganggu kenyenyakan tidur tuan dan nona……!”
Ko Tie melihat, ramah suara
dan kata-kata si pendeta. Namun matanya yang memancarkan sinar yang tajam itu
memperlihatkan selain ia bukan pendeta sembarangan dan pasti memiliki
kepandaian yang tinggi, juga tentunya ia seorang yang licik.
Bola mata itu bergerak-gerak
sangat cepat sekali. Karenanya pula, Ko Tie berlaku hati-hati dan waspada.
“Siapakah Taysu?!” tanya Ko
Tie sambil merangkapkan tangannya memberi hormat.
Pendeta itu tersenyum.
“Pinceng seorang pendeta
kelana yang tidak ternama, karena dari itu, malu menyebutkan gelaran
pinceng…..!” katanya kemudian. “Tapi karena memang kongcu telah menanyakan,
maka baiklah, pinceng akan memberi tahukan juga, bahwa pinceng bergelar
Kiang-lung Hweshio……!”
“Tokkk!” membarengi dengan
habisnya perkataannya itu, ia telah mengetuk bok-hie nya dengan keras, suara
bok-hie itu terdengar nyaring sekali dan mendengung.
Ko Tie mengawasi Kiang-lung Hweshio
beberapa saat kemudian katanya: “Apakah Taysu membutuhkan kamar? Jika memang
benar, kami tentu bisa membantu……!”
“Hahahaha……!” belum lagi Ko
Tie selesai dengan kata-katanya itu, justeru pendeta itu tertawa bergelak-gelak
nyaring sekali.
“Ya, pinceng memang seorang
pendeta miskin yang berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Pinceng memang tidak memiliki uang. Dan Pinceng sama sekali tidak membutuhkan
tempat berteduh, ke mana saja ke dua kaki pinceng ini melangkah, ke sanalah
pinceng berteduh. Karena langit merupakan rumahku dan bumi merupakan
tempatku.....
“Tidak ada yang pinceng
butuhkan selain uang. Dan pinceng hendak meminta derma uang, karena memang
pinceng membutuhkan uang……!”
“Membutuhkan uang?!” tanya Ko
Tie mengerutkan alisnya karena heran dan curiga, sebab seumurnya, belum pernah
ada pendeta yang begitu berterus terang untuk meminta uang derma, tanpa
malu-malu lagi.
Hal ini telah membuat Ko Tie
jadi janggal mendengarnya. Memang Ko Tie mengetahui, seorang pendeta selalu
meminta derma.
Tapi tentu saja caranya bukan
dengan cara mengetuk bok-hie dan liam-keng di tengah malam buta seperti ini,
mengganggu tidur orang lain. Dengan demikian, perbuatan seperti itu jelas
merupakan suatu perbuatan yang tidak selayaknya dan agak kurang ajar.
“Tentunya kongcu dan Kouw-nio
bersedia buat memberi derma uang kepada pinceng, bukankah begitu?!” tanya si
pendeta sambil tersenyum.
Ko Tie mengawasi Kiang-lung
Hweshio sejenak, barulah kemudian mengangguk.
“Baiklah, jika memang Taysu
membutuhkan derma uang, kami bisa memberikan!” Setelah berkata begitu, Ko Tie
merogoh sakunya mengeluarkan lima tail perak dan memberikan kepada pendeta itu.
Si pendeta mengerutkan alisnya
yang telah memutih, kemudian dengan sikap tidak senang ia bilang: “Hanya segini
saja?!”
Ko Tie tertegun.
“Berapa yang Taysu inginkan?!”
tanya Ko Tie.
Kiang-lung Hweshio berdiam
diri sejenak kemudian tertawa. Sinis sekali.
“Jika uang lima tail perak
seperti ini, pinceng pun memiliki dan untuk uang sebesar ini, tentu saja
pinceng tidak perlu meminta derma!”
“Kurang ajar sekali pendeta
ini, ia seorang yang tidak mengenal budi dan terima kasih,” berkata Ko Tie di
dalam hatinya dengan perasaan tidak senang. Di waktu itu, iapun bilang: “Ya,
hanya sebesar itu yang bisa kami dermakan!”
“Tukkk!” tiba-tiba Kiang-lung
Hweshio mengetuk kayu bok-hienya keras sekali. Suara itu terdenyar sangat
nyaring, memekakkan anak telinga.
Ko Tie dan Giok Hoa tercekad
juga, itulah suara diketuknya bok-hie dengan disertai sin-kang yang kuat.
Dengan begitu memperlihatkan betapa si pendeta sesungguhnya memiliki sin-kang
yang tinggi sekali.
“Pinceng bukan seorang
pengemis, yang diberi derma hanya sebesar ini!” bilang pendeta itu kurang
senang.
Barulah kemudian Kiang-lung
Hweshio melanjutkan perkataannya setelah memperdengarkan dua kali tertawa
dingin, “Hemm, pinceng membutuhkan tigaribu tail perak!”
“Tigaribu tail perak?!” tanya
Ko Tie dengan membeliakkan matanya.
“Ya!” mengangguk Kiang-lung
Hweshio sambil tersenyum.
Ko Tie tertawa, dia
menggelengkan kepalanya perlahan, kemudian katanya: “Maafkan, tidak dapat kami
memenuhi permintaan Taysu, karena kami berdua memang tidak memiliki uang
sebanyak itu!”
“Tidak bisa!” tiba-tiba suara
si pendeta berobah keras. “Tadi kalian telah berjanji akan memberikan dermanya
kepada pinceng! Mengapa sekarang ini justeru kalian mengatakan tidak memiliki
uang buat memberikan derma kepada pinceng?!”
Ko Tie tersenyum pahit,
katanya: “Jika hanya untuk derma sekedarnya, kami bersedia memberikannya,
karena memang kami memiliki kemampuan buat memberikannya. Tapi jika jumlahnya
meliputi ratusan tail bahkan ribuan tail, mana mungkin kami memberikannya,
sedangkan kami berdua memang tidak memiliki uang sebanyak itu!”
“Tukkk!” kembali pendeta itu
mengetuk kayu bok-hienya keras sekali. Wajahnya berobah jadi bengis, dia pun
tertawa dingin.
“Hemmm, bagus! Bagus! Jika
memang demikian, baiklah!” katanya, “Kalian telah berjanji, tetapi tidak bisa
memenuhi janji kalian. Maka sebagai ganti dari tigaribu tail perak, kalian
berdua harus memberikan ke dua batok kepala kalian!”
Waktu berkata begitu, mata
Kiang-lung Hweshio bersinar tajam, juga mukanya sangat bengis.
Muka Ko Tie dan Giok Hoa
berobah. Mereka segera dapat menduganya bahwa pendeta itu tentunya seorang
pendeta jahat dan juga memang tengah mencari gara-gara dengan mereka. Karena
itu, cepat sekali, Ko Tie mundur dua langkah menjauhi si pendeta, demikian juga
Giok Hoa.
Sambil masih memaksakan diri
buat tersenyum, terlihat Ko Tie berkata: “Maafkan, kami tidak bisa memenuhi
permintaan Taysu dan juga kami tidak bisa menemani Taysu lebih lama, karena
kami masih mengantuk dan hendak tidur. Kami hanya bisa memberikan derma cuma
sebesar lima tail perak itu!”
“Wuttt! wuttt! wuttt! wuttt!
wuttt!” beruntun lima kali terdengar berkesiuran menyambarnya ke lima keping
uang lima tail perak itu, yang menyambar cepat sekali, kepada Ko Tie dan Giok
Hoa berdua.
Sambaran kepingan uang logam
tersebut begitu cepat dan mengandung tenaga timpukan yang kuat sekali. Juga
jalan darah yang diincar oleh timpukan uang logam tersebut tidak lain merupakan
jalan darah yang berbahaya dan bisa mematikan.
Karenanya Ko Tie dan Giok Hoa
serentak mengelakkan timpukan uang logam tersebut dengan lompatan yang manis
dan tubuh yang diliukkan menghindar sambaran ke lima uang logam tersebut.
Kiang-lung Hweshio tertawa
bergelak-gelak, dia bilang: “Aku tidak bisa menerima derma yang tidak berarti
seperti itu! Jika cuma lima tail perak, berarti kalian memang hendak menghina
pinceng, karena pinceng tentu dianggap kalian sebagai pengemis saja layaknya!”
Marah sekali tampaknya
Kiang-lung Hweshio waktu mengucapkan kata-katanya itu.
Ko Tie dan Giok Hoa yang telah
menghindarkan diri dari sambaran uang logam tersebut, berdiri tegak dengan muka
memancarkan sikap kurang senang.
Malah Ko Tie yang sudah tidak
bisa mengekang perasaan mendongkolnya telah berkata: “Baiklah, lalu apa yang
dikehendaki oleh Tay-su?!”
Kiang-lung Hweshio terus juga
tertawa bergelak-gelak. Mendadak dia mengetuk bok-hie nya.
“Tukkkk!” suara itu terdengar
nyaring sekali, jauh lebih keras dari sebelumnya.
Ko Tie dan Giok Hoa kaget.
Suara ketukan pada bok-hie itu
mengandung kekuatan sin-kang yang hebat sekali. Suara itu seperti juga raungan
naga dan jeritan harimau, dan mendengung di telinga mereka seakan juga langit
runtuh dan bumi amblas, mendengung-dengung keras sekali seakan ingin merusak
dan merobek gendang telinganya.
Dengan demikian, telah membuat
Ko Tie dan Giok Hoa cepat-cepat mengerahkan sin-kang mereka buat mengurangi dan
mengendalikan perasaan tergetarnya dari suara ketukan bok-hie itu pada diri
mereka, karena justeru suara ketukan bok-hie itu membuat hati mereka tergetar
keras, disamping membuat darah mereka bergolak. Apalagi memang pendeta itu
telah mengetuk pula berturut-turut empat ketukan.
Setiap ketukan pada bok-hienya
memang disertai sin-kang yang kuat, saling susul, suara bok-hie itu semakin
lama jadi semakin kuat dan keras. Ketukan bok-hie itu bisa melumpuhkan orang
yang memiliki sin-kang masih rendah, bahkan akan membuat terluka di dalam orang
yang mendengarnya.
Ko Tie dan Giok Hoa menyadari
bahaya yang bisa menimpah mereka, di samping mengempos sin-kang mereka, ke dua
muda mudi ini juga berwaspada untuk sewaktu-waktu menerima serangan yang akan
dilancarkan oleh pendeta ini, yang tampaknya memang semakin jelas bukan sebagai
pendeta baik-baik.
Dalam keadaan seperti itu
tampak Ko Tie dan Giok Hoa berhasil mengendalikan diri dan tidak terpengaruh
oleh suara ketukan bok-hie Kiang-lung Hweshio. Hal ini membuat si pendeta jadi
heran dan memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.
Tidak biasanya orang akan
sanggup untuk bertahan dari suara ketukan bok-hie nya itu. Tapi ke dua muda
mudi itu tangguh sekali, sama sekali mereka tidak memperoteh kesulitan karena
suara ketukan bok-hie itu. Karenanya telah mengherankan benar si pendeta.
Biasanya, walaupun korbannya
memiliki lweekang yaag tinggi, mereka tentu tidak akan kuat bertahan diri dari
ketukan bok-hienya. Tapi ke dua muda-mudi ini tampaknya tenang-tenang dan
berwaspada saja, tapi tidak mengalami sesuatu yang merugikan mereka.
Rupanya Kiang-lung Hweshio
penasaran dengan kejadian ini. Ia tidak mengetuk lebih jauh bok-hienya itu, dia
bangun berdiri perlahan-lahan.
Katanya, “Jiewie tampaknya
memang memiliki kepandaian yang lumayan, sehingga jiewie menjadi begitu angkuh
dengan sombong sekali terhadap seorang paderi seperti pinceng……!”
Dan membarengi dengan
kata-katanya sampai di situ, si pendeta telah mengibaskan tangannya. Lengan
jubahnya yang lebar itu berkesiuran menderu-deru, karena telah meluncur angin
yang dahsyat sekali menerjang kepada Ko Tie dan Giok Hoa.
Yang lebih hebat, angin yang
menyambar bergemuruh itu menderu-deru sangat hebat sekali. Dengan demikian
telah membuat si pendeta jadi bermaksud untuk sekali menyerang membunuh
muda-mudi itu.
Karena kalau memang serangan
itu mengenai sasaran dan lawannya merupakan manusia yang bertenaga dalam
rendah, niscaya orang itu selain akan terpental, juga isi dadanya akan remuk.
Disamping itu, selain akan memuntahkan darah segar, kontan seketika binasa di waktu
itu juga.
Namun Ko Tie dan Giok Hoa
tetap berdiri tenang di tempat mereka. Cuma Ko Tie membisikkan Giok Hoa,
“Hati-hati, sin-kang pendeta
busuk ini tinggi juga!”
Dan ia tidak bisa berkata
lebih jauh, karena waktu itu tenaga serangan dari si pendeta telah dekat
sekali, maka Ko Tie menangkisnya dengan mempergunakan Pukulan Inti Es-nya yang
dingin luar biasa.
“Dukkk! Dukkk!” dua kali
terdengar suara beruntun yang sangat keras, seperti juga suara guntur yang
menggelegar di tempat itu.
Ko Tie telah mewakili Giok Hoa
menangkis serangan si pendeta yang meluncur pada si gadis, dan juga memunahkan
tenaga pukulan si pendeta yang meluncur kepadanya.
Pendeta itu mengeluarkan suara
seruan heran. Tadi ia telah mempergunakan lima bagian tenaga dalamnya, dan itu
sesungguhnya sudah merupakan serangan yang hebat sekali.
Namun celakanya, justeru
tampaknya serangannya itu tidak memberikan hasil sama sekali. Dengan demikian,
benar-benar membuat si pendeta jadi heran.
Terlebih lagi seketika dia
merasakan menyambarnya angin yang dingin sekali, seperti juga tubuhnya dibalut
oleh lapisan es atau dirinya diceburkan ke dalam kolam es. Dingin bukan main.
Dalam keadaan seperti itu,
segera juga Kiang-lung Hweshio telah mengempos sin-kangnya. Dia berusaha
melawan hawa dingin itu dengan kekuatan sin-kangnya, agar tubuhnya tetap
menjauhi panas dan tidak membekukan darahnya.
Memang dia berhasil, angin
Pukulan Inti Es itu tidak mempengaruhi dirinya lagi.
Cuma saja si pendeta segera
membentak bengis: “Tahan! Siapa kau sebenarnya? Masih ada hubungan apa kau
dengan Swat Tocu?!”
“Hemmm!” mendengus Ko Tie
dengan suara yang dingin. “Tidak perlu kau menanyakan perihal diriku, karena
pendeta busuk dan jahat seperti engkau tidak berderajat buat menanyakan namaku
dan juga perihal guruku!”
Bukan main murkanya si
pendeta, tapi segera ia tertawa bergelak-gelak.
“Hahahaha, tidak tahunya
adalah muridnya Swat Tocu! Pantas! Pantas begitu angkuh sama seperti gurunya!”
Setelah begitu, dengan muka
yang bengis, Kiang-lung Hweshio telah berkata lagi: “Baiklah, sekarang aku
hendak membunuhmu, bersiap-siaplah! Rupanya Sang Buddha memang maha pengasih,
di mana telah diantar kehadapan pinceng murid dari musuh keparat pinceng……!”
Mendengar sampai di situ
perkataan si pendeta segera Ko Tie mengambil kesimpulan, bahwa pendeta ini
adalah musuh gurunya, atau lebih jelasnya memusuhi gurunya.
Karena itu mengingat
kepandaian Kiang-lung Hweshio memang lihay, dia segera melirik kepada Giok Hoa,
katanya:
“Adik Hoa, kau minggirlah,
biarlah aku menghadapi pendeta busuk ini, agar ia tahu siapa kita sebenarnya
yang merupakan manusia-manusia yang tidak mudah untuk dihina!”
Giok Hoa tidak rewel, dia
segera melompat menyingkir ke tepi, keluar kalangan. Dengan tajam dia mengawasi
pendeta itu, di hatinya dia berpikir, jika nanti Ko Tie ternyata tidak bisa
menghadapi pendeta itu, barulah dia akan maju buat membantuinya.
Sekarang, jika ia ikut
bertempur menghadapi pendeta itu, dia kuatir justeru dirinya cuma mendatangkan
kesulitan buat kawannya belaka. Karena Giok Hoa mengakuinya. Walaupun
kepandaiannya sendiri memang tinggi, tentu saja dia masih berada di bawah
kepandaian Ko Tie, karenanya pula, dia telah menuruti permintaan Ko Tie agar ia
mundur ke samping saja.
Ko Tie setelah melihat gadis
itu menyingkir ke luar kalangan, berdiri tegak menghadapi Kiang-lung Hweshio,
dengan sikap yang tenang dan wajah yang memperlihatkan ketegasannya dia bilang:
“Baiklah! Kau mengatakan
bahwa, guruku adalah musuhmu, maka dari itu, sekarang mari kita tentukan,
apakah manusia seperti engkau ini layak untuk menjadi musuh guruku!”
Setelah berkata begitu, dia
bersiap-siap untuk menghadapi Kiang-lung Hweshio.
Dikala itu Kiang-lung Hweshio
memandang Ko Tie dengan muka yang merah padam. Dia pun mengerang perlahan,
tampaknya dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk bersiap-siap
menyerang. Kemudian ia pun telah mengangkat tangan kanannya, yang siap untuk
dipakai menggempur.