Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 37

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 37
 
Anak rajawali Jilid 37

Telapak tangan Ko Tie diletakkan pada telapak tangan si kakek tua, kemudian kakek tua itu mengerahkan sin-kangnya.

Tenaga dalam kakek tua meluncur keluar dari telapak tangannya, mengalir masuk ke dalam telapak tangan Ko Tie.

Dikala itu Ko Tie merasakan segulungan hawa yang hangat memasuki telapak tangannya.

Mendadak sekali Ko Tie merasakan kepalanya pusing, dadanya seperti mau meledak, karena hawa panas yang memasuki telapak tangan itu seperti juga mengaduk-aduk dada dan perutnya, yang seperti juga jungkir balik.

Dengan mengeluarkan suara jeritan yang nyaring, tampak Ko Tie tidak sadarkan diri. Pingsan.

Kam Lian Cu kaget tidak terkira, dia segera menghampiri menjerit pada si kakek: “Kau….. kau..... kau telah mencelakainya!” teriaknya

Kakek tua itu menggelengkan kepalanya.

“Tenang, dia tidak akan mengalami sesuatu apapun juga......!” kata kakek tua itu.

“Dia hanya tidak kuat menerima tekanan hawa murni dariku!”

Kam Lian Cu mengangguk.

“Kalau begitu..... kalau begitu dia akan dapat disembuhkan?!” tanyanya.

“Ya.....!” mengangguk kakek tua itu.

Segera juga kakek itu telah mengerahkan tenaga dalamnya lagi, mengempos hawa murninya.

Ko Tie dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, tapi hawa murni yang dikirim oleh kakek tua itu telah menorobos masuk ke dalam tubuhnya lewat telapak tangannya.

Malah hawa murni itu telah menerjang beberapa jalan darah di dalam tubuh Ko Tie, yang semula telah tersumbat.

Dengan terbukanya beberapa jalan darah yang tadi tersumbat itu, Ko Tie segera tersadar dari pingsannya.

Tapi begitu dia membuka matanya, dia menjerit lagi, dan jatuh pingsan pula.

Hal ini disebabkan begitu Ko Tie membuka matanya, segera dia merasakan kesakitan yang hebat pada dada perutnya, seperti juga di dalam perutnya itu terdapat sesuatu yang telah membuat isi perutnya diremas-remas.

Sedangkan Kam Lian Cu tambah bimbang dan kuatir.

“Apakah..... apakah dia tidak akan celaka oleh perbuatanmu ini?!” tanya si gadis.

Kam Lian Cu bertanya begitu, karena dia kuatir, kalau-kalau memang nanti Ko Tie jadi terbiasa karena cara pengobatan si kakek yang tidak benar.

Sedangkan Kakek itu telah menggelengkan kepalanya tanpa menyahuti, dia mengerahkan terus tenaga dalamnya.

Lewat lagi setengah jam, segera juga tampak dari sekujur tubuh Ko Tie menitik butir-butir keringat yang deras sekali.

Dan tidak lama lagi, Ko Tie telah tersadar dari pingsannya, dia telah mengeluarkan suara seruan. Tapi sekarang dia tidak menderita kesakitan yang hebat seperti tadi.

Dia juga tidak menderita kesakitan yang membuatnya pingsan. Dia hanya merasakan sekujur tubuhnya lemas, dan panas bukan main, karena hawa sin-kang yang dikirim oleh si kakek tua.

Kakek tua itu pun memperlihatkan sikap gembira, wajahnya berseri-seri, karena dia mengetahui usahanya itu telah berhasil.

“Jika dia telah berhasil diselamatkan, selanjutnya cuma memberikan pertolongan agar lweekang yang telah dimilikinya itu tidak lenyap dan punah!

Kam Lian Cu mengangguk, diam-diam dia girang juga melihat Ko Tie dapat diobati oleh kakek tua itu.

Ko Tie sendiri merasakan semakin lama hawa panas di dalam tubuhnya semakin meningkat, dan akhirnya dia merasakan sesuatu di lehernya.

“Uwahhh!” Dia telah memuntahkan gumpalan darah yang telah menghitam.

“Selamat!” berseru kakek tua itu, setelah si pemuda memuntahkan gumpalan darah itu.

Dan kakek itu menyudahi pengiriman sin-kangnya.

Kam Lian Cu mecoleh kepada Ko Tie, katanya dengan suara ragu-ragu berkuatir sekali.

“Apakah keadaanmu, jauh lebih baik?!”

Ko Tie mengangguk lemah.

“Ya…… tapi aku merasakan sekujur tubuhku sangat lemas sekali......!”

Kam Lian Cu memaksakan diri buat tersenyum untuk menghibur si pemuda.

“Dalam seminggu keadaanmu akan pulih sebagaimana biasa……!” katanya.

Waktu itu si kakek telah berkata kepada Kam Lian Cu: “Dan sekarang kau! Kau harus ikut aku dulu ke tempatku…… nanti aku akan melanjutkan pula mengobati pemuda itu.

Kam Lian Cu gugup bukan main.

“Tidak! Aku tidak mau!” katanya sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Tidak mau? Bukankah tadi engkau telah berjanji, jika aku mengobati pemuda itu, maka kau bersedia menjadi isteri puteraku?!” tanya si kakek, matanya memandang bengis sekali.

Kam Lian Cu jadi tambah bimbang, dia menyahutinya: “Kau sendiri yang berjanji bahwa engkau akan mengobati pemuda itu sampai sembuh...... Sekarang dia belum sembuh, bagaimana mungkin kita bisa meninggalkannya?

“Kalau memang kita meninggalkannya, niscaya dia akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan di tempat ini, kalau memang kita meninggalkannya seorang diri. Jika ada bahaya yang mengancamnya tentu dia tidak bisa menghadapinya, karena dalam keadaan terluka parah seperti itu……!”

“Jadi……!” bola mata kakek tua itu terbuka lebar-lebar.

“Ya, aku menginginkan kau mengobati pemuda ini sampai benar-benar sembuh, barulah itu akan ikut bersama kau untuk pergi ke tempatmu buat menikah dengan puteramu!”

Muka kakek tua itu berobah, tapi dia tampak jadi ragu-ragu. Akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah mari kita obati dia sampai sembuh, tapi setelah itu engkau tidak boleh mengajukan alasan-alasan lainnya lagi!” katanya.

Kim Lian Cu cuma mengangguk.

Begitulah, kakek tua tersebut, yang aneh dan tampaknya agak sinting, berusaha mengobati Ko Tie.

Selama itu Kam Lian Cu selalu gelisah, karena dia tidak mengetahui bagaimana nasibnya selanjutnya.

Tapi yang nembuat dia terhibur, dia melihat kian lama kesehatan Ko Tie memang mengalami kemajuan. Ko Tie telah mulai sehat menjelang pada hari ke tiga.

Y

Selama kakek tua yang aneh itu mengobati Ko Tie, selalu pula Kam Lian Cu diganggu oleh kera berbulu kuning itu, yang berusaha mendekati si gadis dengan mengeluarkan suara yang aneh sekali seperti suara mendesis, seperti suara mengerang.

Kam Lian Cu setiap kali didekati oleh kera bulu kuning yang setinggi manusia itu, selalu jadi jijik. Jika memang dia tidak memikirkan keselamatan Ko Tie dan takut kalau kakek tua itu jadi marah, tentu Kam Lian Cu sudah menikam mati kera itu.

Terlebih lagi dia teringat betapa kera ini telah berusaha untuk memperkosanya. Dan jika teringat akan hal itu, maka dia selalu bermaksud membunuh kera tersebut.

“Tapi jika aku membunuhnya kelak pun masih belum terlambat,” berpikir Kam Lian Cu akhirnya. “Jika memang aku terpaksa akhirnya harus menjadi isteri putera kakek tua keparat ini, maka di waktu itu akan membunuh kera ini pun masih belum lagi terlambat!”

Karena berpikir begitu, hati Kam Lian Cu jadi lebih tenang. Dan diapun telah berusaha untuk mengendalikan diri. Setiap kali didekati kera bulu kuning itu, dia selalu menyingkir tidak melakukan reaksi apa-apa, dia hanya mendekati si kakek tua.

Dan kalau sampai tangan kera bulu kuning itu jail, memegang-megang tubuhnya, dia membentaknya minta kepada kakek tua itu agar mengusir kera itu dan tidak akan mengganggunya.

Sedangkan kakek tua tersebut hanya tertawa-tawa dan menganggapnya lucu. Tapi selalu juga dia menuruti permintaan Kam Lian Cu, dia selalu mengusir kera itu.

Kera itu pergi dengan penasaran, sikapnya memperlihatkan bahwa dia tidak puas. Hal ini disebabkan kera itu memang sangat ingin sekali dekat selalu dengan Kam Lian Cu.

Dia pun memang begitu bernafsu berahi pada gadis ini, sikapnya seperti seorang pemuda yang tengah tergila-gila pada seorang gadis cantik.

Pada hari ke enam, tampak Ko Tie jauh lebih sehat. Sekarang dia telah dapat menggerakkan sepasang tangan dan kakinya dengan leluasa.

Bukan main girangnya Kam Lian Cu. Dia mengharap Ko Tie memang benar-benar dapat diselamatkannya.

Ko Tie pada malam hari ke lima telah bersilat. Dia merasakan gerakannya cukup gesit.

Hanya saja, justeru di waktu itu, dia bersilat dengan tenaga yang terus kosong, karena dia belum bisa menyalurkan kekuatan tenaga lweekangnya.

Segera dia mengetahui, bahwa tenaga lweekangnya terancam akan musnah.

Tapi kakek tua itu yang melihat si pemuda termenung, dia bilang: “Kau jangan kuatir, setelah seminggu kekuatanmu akan pulih kembali sebagaimana biasa! Tapi ingat jangan sekali-sekali kau berusaha untuk menjadi lawanku dan memusuhiku, sehingga aku terpaksa turun tangan buat memusnahkan lagi kepandaianmu itu!”

Waktu berkata begitu, sikap kakek tua itu sungguh-sungguh, matanya juga memancarkan sinar yang tajam sekali.

“Ada lagi syaratnya!” kata kakek tua tersebut. “Jika memang telah sembuh dari lukamu, pada hari ke delapan, di mana lweekangmu telah pulih kembali, maka harus meninggalkan tempat ini! Aku tidak mau melihat tampangmu lebih lama lagi!”

Ko Tie tidak menyahuti, dia hanya mengangguk saja. Dan dia berusaha untuk menyalurkan pernapasannya, dia mengempos sin-kangnya. Tetap saja hawa murninya itu tidak dapat dikendalikannya.

Karena itu, dia hanya dapat menghela napas, dia kuatir kalau-kalau kakek tua itu gagal dengan janjinya, bahwa dia akan pulih dengan sin-kang yang utuh.

Namun pada hari ketujuhnya, justeru setelah seminggu ia diobati oleh kakek tua tersebut, dia merasakan sin-kangnya mulai dapat dikendalikan. Pernapasannya telah dapat disalurkan dengan lancar, sin-kangnya juga sudah dapat dikerahkan kepada Tan-tian.

Dengan dapatnya hawa murni itu dikerahkan kepada Tan-tiannya, berarti Ko Tie telah sembuh seluruhnya.

Sekarang yang tinggal cumalah beristirahat selama beberapa hari lagi, untuk memulihkan kesehatannya benar-benar, dan sembuhlah Ko Tie.

Tapi justeru di waktu itu, pada sore harinya, kakek tua itu telah berkata: “Sekarang kau telah sembuh, karena itu, kuingatkan kepadamu, mulai besok aku sudah tidak mau melihat tampangmu lagi! Kau sudah harus angkat kaki meninggalkan tempat ini!”

Ko Tie mengangguk.

“Baik, aku memang akan melanjutkan perjalananku! Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh kau, Locianpwe!”

“Aku tidak mengharapkan terima kasihmu, aku cuma mengharapkan setelah kau sembuh seperti sekarang, engkau tidak menimbulkan kesulitan buatku!”

Muka Ko Tie berobah merah.

Di dalam hatinya dia memang tengah memikirkan, Setelah sin-kangnya kumpul, dan ia sembuh, maka dia akan menghadapi kakek tua itu untuk mencegah kakek itu memaksa Kam Lian Cu menjadi mantunya. Maka dia telah berusaha untuk mempercepat mengerahkan sin-kangnya.

Dan Ko Tie berpikir, setelah lewat satu hari lagi, di waktu itu tentunya dia telah leluasa untuk mengerahkan sin-kangnya, sehingga dia dengan leluasa akan dapat mempergunakan kepandaiannya, buat menghadapi kakek tua itu.

Justeru di saat itu si kakek tua telah berkata dengan suara yang mengandung nada mengejek dan juga seperti telah mengetahui isi hatinya, membuat Ko Tie jadi jengah juga.

Sebagai seorang yang selalu tegak pada aliran putih..... yaitu jalan pek-to, maka dia tentu saja menghormati kebaikan dan membenci kejahatan. Sekarang dia telah diselamatkan jiwanya oleh kakek tua itu, karenanya dia sangat berterima kasih sekali pada kakek tua tersebut.

Dan jika memang dia bermaksud hendak menolongi Kam Lian Cu, maka dia harus menentang kakek tua itu, berarti dia melakukan kebaikan dibalas dengan kejahatan. Inilah yang membuat hati Ko Tie jadi bimbang dan tidak bisa segera mengambil keputusan.

Kam Lian Cu pun girang melihat Ko Tie telah sembuh. Waktu si kakek tua dan kera bulu kuning berada di tempat yang terpisah cukup jauh, maka si gadis telah berkata: “Malam ini kita akan berusaha melarikan diri dari mereka!”

Ko Tie mengangguk ragu-ragu.

Waktu itu, tampak kakek tua tersebut telah melangkah menghampiri, dia bilang kepada Kam Lian Cu.

“Mari sekarang kita melakukan perjalanan, untuk dapat tiba di tempatku lebih cepat lagi! Kukira kawanmu itu telah sembuh, dan besok dia bisa melakukan perjalanan meninggalkan tempat ini, kau sudah tidak perlu menguatirkan keadaannya!!”

Hati Kam Lian Cu tercekat.

“Tidak!” katanya. “Aku ingin menantikan sampai kawanku ini pergi dulu dari tempat ini, sehingga membuktikan bahwa dia benar-benar telah sembuh.......!”

“Hemmm!” mendengus kakek tua itu. “Kau terlalu mencari-cari alasan saja......!”

“Tapi aku telah berjanji padamu, bahwa aku akan menuruti keinginanmu, asalkan kawanku jadi benar-benar dapat disembuhkannya! Sekarang dia telah sembuh, tapi dia belum lagi sembuh keseluruhannya. Dan jika dia telah bisa meninggalkan tempat ini, berarti dia benar-benar telah sembuh!”

Kakek tua itu itu tidak mau membantah dan berdebat dengan si gadis. Ia mengangguk dan mengajak si kera bulu kuning buat tidur di atas sebatang pohon, nyenyak sekali tampaknya tidur mereka.

“Hemmm, tampaknya tak mudah kita melarikan diri dari mereka..... karena kakek tua itu walaupun dia tertidur, tokh dia memiliki ilmu tinggi dan pendengaran yang sangat tajam sekali! Karena itu, jika memang kita ingin melarikan diri, maka kita harus menantikan menjelang tengah malam.....!” bisik Ko Tie kepada Kam Lian Cu, dengan suara yang perlahan sekali.
Kam Lian Cu mengangguk.

Sedangkan Ko Tie untuk melihat apakah tenaga dalamnya telah pulih, ia mengambil sebongkah batu yang dikepalnya dalam cengkeraman tangan kanannya. Iapun kemudian mengerahkan tenaga dalamnya.

Seketika terdengar suara yang perlahan sekali, ternyata batu dalam kepalannya itu telah menjadi remuk dan hancur menjadi bubuk, dengan demikian telah membuat Ko Tie girang bukan main, karena lweekangnya memang telah pulih sebagaimana biasa dan dia dapat mempergunakannya dengan sebaik mungkin.

Kam Lian Cu melirik.

“Aku telah berhasil!” bisik Ko Tie kemudian dengan suara yang perlahan.

Kam Lian Cu juga girang.

“Jika demikian kita berdua tentu akan dapat menghadapi kakek keparat itu......!” kata Kam Lian Cu.

Ko Tie mengangguk.

“Ya, kukira jika kita maju berdua, kakek tua itu masih dapat kita hadapi!”

“Tapi….?!” Kam Lian Cu tampak ragu-ragu.

Ko Tie jadi heran.

“Kenapa?!” tanyanya.

“Kakek tua itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali dan sukar juga kita menghadapinya, terlebih lagi mengingat kau baru saja sembuh dari lukamu! Kalau kau mengeluarkan tenaga berlebihan untuk menghadapinya, niscaya akan menyebabkan lukamu itu akan kambuh kembali……!”

Ko Tie juga menyadari apa yang dikatakan oleh Kam Lian Cu memang benar. Jika kelak ia menghadapi kakek tua yang lihay itu, dan mempergunakan tenaga yang berlebihan, niscaya akan membuat dia akan terlalu memaksakan mempergunakan tenaganya itu. Dan ini akan merugikan dirinya, di samping itu kemungkinan dirinya akan kembali pula terluka di dalam.

Melihat Ko Tie tidak menyahuti, hanya berdiam diri saja, Kam Lian Cu mengawasinya ia melibat pemuda jadi tampak muram, tentunya ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.

“Kenapa?!” tanya si gadis perlahan.

“Benar juga apa yang kau katakan, nona Kam……!” kata Ko Tie. “Memang dilihat demikian, sulit kita menghadapi kakek tua itu walaupun kita maju serentak berdua……!”

Kam Lian Cu menghela napas.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin.

“Walaupun kalian melatih diri selama duapuluh tahun lagi, jangan harap kalian bisa menghadapi diriku!” terdengar suara kakek baju kuning itu.

Tercekat hati Ko Tie dan Kam Lian Cu.

Rupanya pembicaraan mereka, walaupun hanya bisik-bisik belaka, telah diketahui oleh kakek tua tersebut. Maka Ko Tie dan Kam Lian Cu akhirnya hanya berdiam diri sambil saling pandang.

Memang tidak mudah buat mereka berdua menghadapi kakek tua tersebut. Dan hal ini mereka menyadarinya.

Akan tetapi, juga Ko Tie tidak akan membiarkan Kam Lian Cu dibawa oleh kakek tua itu, yang katanya ingin mengawinkan gadis itu dengan puteranya.

Demikian juga halnya dengan Kam Lian Cu, tentu si gadis lebih baik mati dari pada dipaksakan seperti itu oleh si kakek tua, karena putera si kakek pun ia tidak mengetahui bagaimana rupa dan bentuknya.

Dengan melihat keadaan si kakek seperti itu, maka Kam Lian Cu telah bisa membayangkannya, bahwa putera dari kakek tersebut juga bukankah seorang yang tampan.

Di samping itu, yang dikuatirkan oleh Kam Lian Cu dan Ko Tie kalau-kalau putera si kakek itu yang sempat datang ke tempat ini, berarti mereka akan menghadapi kesulitan yang lebih besar, karena memang putera si kakek niscaya memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Sedang Ko Tie dan Kam Lian Cu bengong saling pandang tanpa berkata apa-apa lagi, karena pendengaran si kakek tua yang memang sangat tajam itu, maka ia pun rupanya telah memasang telinga bukannya tidur, membuat Kam Lian Cu dan Ko Tie sempit sekali memiliki kesempatan untuk dapat melarikan diri.

Di samping itu Kam Lian Cu pun menyadari, bahwa jika kakek tua itu bermaksud membawanya dengan cara paksa, tentu dia tidak akan berdaya mengadakan perlawanan.

Bisa saja kakek tua itu menotoknya dan membawanya pergi dalam keadaan dia tidak berdaya seperti itu.

Sedangkan Ko Tie walaupun berkepandaian tinggi, tetapi dia baru saja sembuh dari lukanya, jika sampai dia mengerahkan tenaga dalamnya terlalu berlebihan, niscaya akan membuat dia terancam bahaya yang tidak kecil.

Malah kepandaian kakek tua itu juga setinggi dan selihay Oey Yok Su. Bagaimana mungkin Ko Tie bisa menghadapinya. Karena itu, segera juga Kam Lian Cu menangis.

Tampaknya gadis ini memang sangat bingung sekali.

Ko Tie melihat si gadis menangis, segera menghiburnya, katanya: “Kau jangan bersusah hati, walaupun bagaimana aku akan membelamu, nona Kam……!”

“Tapi..... tapi dia terlalu lihay.....!” menangis Kam Lian Cu.

Ko Tie menghela napas.

Ia menyadari apa yang dikatakan oleh Kam Lian Cu memang benar, yaitu kepandaian kakek tua itu sangat lihay, tapi iapun bersedia buat mengadu jiwa guna melindungi si gadis.

Dalam hal ini, Ko Tie juga tengah memperhitungkan, dengan cara apa dia bisa melawan dan menghadapi kakek tua itu. Maka sekali lagi Ko Tie telah mengambil sebungkah batu, dia meremasnya, sehingga batu itu kembali remuk dan menjadi hancur seperti juga bubuk.

Di saat itulah tampak si kakek melompat turun dari atas pohon, katanya dingin: “Hemm, lwekangmu belum lagi pulih keseluruhannya, jika sampai kau mengeluarkan dan mempergunakan tenaga yang berlebihan, niscaya akan membuat kau terluka di dalam yang lebih parah lagi!”

Muka Ko Tie berobah, sedangkan Kam Lian Cu memandang kuatir sekali.

Yang di kuatirkan Kim Lian Cu dari Ko Tie, kakek tua itu merobah pikiran dan menyerang mereka.

Tapi Ko Tie diam-diam telah memusatkan tenaga dalamnya, dia telah berwaspada dan bersiap sedia, karena walaupun ia menyadari kakek tua itu memiliki kepandaian tinggi, tokh buat belasan jurus dia masih bisa menghadapinya.

Dia ingin berusaha, untuk dapat menghadapi kakek tua itu, di mana dia akan berusaha mengerahkan seluruh kepandaiannya dan juga tenaganya. Di waktu dia menghadapi kakek tua tersebut, dia akan berusaha membujuk si gadis agar melarikan diri.

Jika memang Kam Lian Cu melarikan diri, tentunya kakek tua itu akan berusaha buat mengejarnya, dia akan meninggalkan Ko Tie. Tapi Ko Tie akan melibatnya terus, sehingga kakek tua itu tidak leluasa mengejarnya.

Di saat-saat seperti itu, si gadis she Kam tentunya sudah melarikan diri jauh sekali.

Ko Tie pun akan dapat melarikan diri dengan melepaskan si kakek mengejar Kam Lian Cu, sedangkan Kam Lian Cu niscaya akan dapat mengatur sedemikian rupa, agar dia tidak meninggalkan jejak buat si kakek.

Karena berpikir begitu, Ko Tie diam-diam telah memusatkan tenaga dalamnya pada ke dua tangannya.

Tapi kakek baju kuning itu sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh dan kembali ke tempatnya, tubuhnya melesat dan rebah di cabang pohon dekat kera bulu kuning itu.

Ko Tie menghela napas lega.

Segera juga Ko Tie pun menceritakan kepada Kam Lian Cu tentang rencananya agar si gadis melarikan diri dengan segera begitu dia menghadang si kakek.

Tapi Kam Lian Cu menggeleng.

Dengan suara yang sangat perlahan karena kuatir kakek tua itu dapat mendengar percakapan mereka seperti tadi, Kam Lian Cu bilang: “Tidak...... tidak mau aku mengorbankan dirimu demi keselamatanku…….!”

Ko Tie tersenyum.

“Tapi kakek tua itu niscaya akan bertempur setengah hati denganku. Begitu dia melihat engkau melarikan diri, tentu dia tidak bisa mencurahkan seluruh perhatinnya kepada pertempuran itu, dia niscaya akan berusaha mengejarmu.

“Sedangkan engkau dapat melarikan diri jauh sekali, karena aku akan melibatnya terus, juga aku tidak akan terlalu berat menghadapi kakek tua itu, karena dia niscaya jadi panik dan akan segera tergesa-gesa berusaha mengejar dirimu.....!”

Mendengar keterangan yang diberikan Ko Tie, Kam Lian Cu diam termenung sejenak.

Namun akhirnya ia mengangguk mengerti, karena ia pun berpikir sama seperti Ko Tie

“Ya…… baiklah! Sebelumnya aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu.....!” kata si gadis dengan suara mengandung perasaan terima kasih sekali kepada si pemuda.

Mereka saling pandang, dan hati mereka saling berbisik lewat sinar mata mereka. Karena walaupun mereka tidak mengucapkan sepatah perkataan pun juga, tokh kenyataaanya mereka itu telah mengetahui akan isi hati masing-masing lewat sinar mata mereka.

Ko Tie malah telah mengulurkan tangannya dia menggenggam tangan si gadis, menggenggamnya mesra dan lembut sekali, meremasnya perlahan-lahan.

Memang si gadis cantik sekali. Ia malah lebih cantik dari Giok Hoa.

Ko Tie di waktu itu teringat kepada Giok Hoa, yang lincah dan juga adatnya menarik sekali. Tapi Kam Lian Cu justeru memiliki sifat yang berbeda dengan Giok Hoa.

Jika Giok Hoa bagaikan bunga Botan, maka Kam Lian Cu bagaikan bunga Pek-lian, teratai yang lembut, halus dan juga mesra sekali, yang masing-masing memiliki perbedaan antara Giok Hoa dengan Kam Lian Cu, karena satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Waktu itu terdengar kakek baju kuning telah mendehem, rupanya ia mengetahui perasaan muda-mudi itu.

Muka Kam Lian Cu berobah jadi merah, dia segera menarik tangannya. Ko Tie juga merasakan pipinya panas sekali karena malu.

Keadaan di tempat itu sunyi sekali.

“Lebih baik-baik kita berusaha sekarang, kau mencoba melarikan diri, dan aku yang akan menghadangnya……!” bisik Ko Tie perlahan.

“Jika kera bulu kuning itu mengejar dan merintangiku, bukankah aku tidak dapat melarikan diri lebih cepat dari apa yang direncanakan?!” tanya Kam Lian Cu.

Ko Tie diam.

Mereka jadi berpikir keras sekali.

Dalam keheningan di malam hari seperti itu, mendadak terdengar suara pekik yang aneh dari tengah-tengah angkasa. Suara pekik itu nyaring sekali.

Ko Tie jadi girang bukan main. Dia mengenali suara itu, tapi ia tidak yakin dengan dugaannya.

“Apakah benar dia?!” pikir Ko Tie di dalam hatinya. “Tidak mungkin….. mungkin jupa hanya kebetulan saja suaranya yang sama.....!”

Kembali terdengar suara pekik dan menggeleparnya sayap yang sangat kuat, menderu-deru.

Kakek baju kuning itu melompat turun dari cabang pohon karena dia heran dan terkejut. Dia mengawasi ke atas, untuk melibat sesuatu yang besar dan tengah terbang melayang-layang di tengah udara.

Ko Tie bersiul nyaring.

Dia sengaja bersiul begitu untuk mencoba saja, apakah benar suara pekik itu berasal dari burung rajawali peliharaan Giok Hoa! Dia memang kenal dengan burung itu, suaranyapun dikenal baik-baik olehnya.

Selama bersama-sama Giok Hoa dulu di puncak gunung, iapun selalu bermain dengan burung rajawali yang luar biasa itu. Cuma saja Ko Tie tidak yakin bahwa burung itu bisa muncul di sini.

Namun apa yang diragukannya itu akhirnya buyar, karena memang begitu dia bersiul suara pekik itu menyahuti semakin keras dan suara menggeleparnya sayap yang menimbulkan angin menderu-deru kuat sekali terdengar.

Ko Tie jadi girang.

“Binatang apa itu?!” tanya Kam Lian Cu dengan sikap yang berkuatir.

“Burung rajawali..... aku kenal baik dengannya, dan ia pun jinak sekali, bisa di perintah……!” kata Ko Tie memberitahukannya. “Jika memang benar Pek-jie, maka kita akan tertolong...... karena dia akan dapat membantu kita.....!”

Kam Lian Cu memandang heran. Sedangkan Ko Tie bersiul lagi tiga kali. Dia bersiul dengan meniru suara yang biasa Giok Hoa siulkan buat memanggil burung rajawali itu.

Sesosok bayangan yang besar telah meluncur turun dari atas angkasa. Dan hinggap tepat di samping Ko Tie.

Benar saja, itulah burung rajawali peliharaan Giok Hoa. Burung itu tampak girang bertemu dengan Ko Tie, dia menggesek-gesekkan kepalanya pada lengan Ko Tie.

Kakek baju kuning itu memandang dengan mata terbeliak lebar-lebar. Dia heran melihat burung rajawali yang demikian besar dan tampak kuat dan gagah. Yang membuat dia lebih heran justeru burung rajawali itu seperti menurut sekali pada Ko Tie, yang bisa memanggilnya dengan siulan belaka.

Ko Tie waktu itu tertawa perlahan, dia bilang: “Hemmm, sekarang kau telah datang buat membantu! Nah nona Kam, kau bisa naik ke atas punggungnya, Pek-jie akan membawamu pergi terbang ke tengah udara!”

Kakek baju kuning itu kaget, dia melompat menghampiri.

“Kau…… kalian ingin melarikan diri?!” tegurnya dengan suara yang dingin dan mengandung kemarahan.

Ko Tie baru saja menyahuti, Pek-jie yang melihat sikap mengancam dari kakek baju kuning itu, telah mengibaskan sayap kanannya, gerakannya tidak di sangka-sangka dan di luar dugaan. Juga dari sayapnya itu mengeluarkan suara berkesiuran angin yang sangat dahsyat menerjang kepada kakek baju kuning itu.

Kakek baju kuning tersebut tengah melompat maju buat mendekati Ko Tie, tapi mendadak sekali dia merasakan serangkum angin yang sangat kuat mendorong dirinya.

Kakek itu kaget dan heran. Namun dia cepat sekali telah merangkapkan ke dua tangannya, dan mendorong.

Kakek tua itu rupanya tidak memandang sebelah mata terhadap sampokan sayap burung rajawali itu, karena dia yakin, begitu dia mendorong dengan kekuatan tenaga dalamnya, berapa kuatnya tenaga burung itu sekalipun, tentunya dia akan terdorong terpental.

Namun burung rajawali itu tetap saja berdiri tepat di tempatnya. Benturan tenaga yang terjadi membuat kakek baju kuning itu yang kaget, karena tubuhnya tergetar dan dia hampir saja terhuyung mundur, kalau saja dia tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya pada kakinya. Kemudian si kakek telah mendorongkan telapak tangannya pula dengan mengerahkan sin-kangnya lebih kuat.

Kali ini sayap burung rajawali tersebut telah terdorong, dan burung itu terpekik, dia segera membarengi buat terbang ke tengah udara.

Sedangkan kakek baju kuning ini segera mengetahui bahwa burung rajawali putih yang tubuhnya sangat besar itu bukanlah burung rajawali sembarangan. Iapun bersikap lebih hati-hati.

Ko Tie waktu itu telah mengambil keputusan yang cepat sekali.

“Nona Kam, cepat kau lari……!” berseru Ko Tie dengan suara yang nyaring, tubuhnya segera membarengi melompat ke dekat kakek baju kuning itu.

Kam Lian Cu bimbang sejenak, dia kemudian memutar tubuhnya, berlari dengan cepat sekali. Dia pikir, tentunya dengan ada burung rajawali itu, Ko Tie akan dapat menghadapi kakek tua baju kuning lebih baik lagi.

Malah kemungkinan nanti Ko Tie akan dapat duduk di punggung rajawali itu, terbang ke tengah udara sehingga dapat meloloskan diri dari kakek baju kuning itu.

Dengan mengerahkan ginkangnya, ilmu meringankan tubuhnya, Kam Lian Cu berlari cepat sekali.

Kakek baju kuning itu berjingkrak karena kagetnya melihat si gadis hendak melarikan diri.

“Hei, mau ke mana kau?!” teriak kakek baju kuning itu bengis sekali. Tubuhnya juga melesat dan ia bermaksud mengejar.

Tapi belum lagi dia bergerak, dari arah belakangnya telah menyambar serangkum angin yang kuat sekali.

Itulah serangan yang dilakukan oleh Ko Tie.

Waktu si gadis she Kam melesat buat memelarikan diri, Ko Tie memang telah mengerahkan tenaga dalamnya.

Dan waktu dia melihat kakek itu hendak mengejar Kam Lian Cu, tanpa membuang-buang waktu lagi segera juga ia melompat dam menghantam dengan sebagian besar lweekangnya.

Hantamannya itu memang dahsyat, dan kakek ini mengetahuinya dengan merasakan berkesiuran angin serangan itu. Ia tidak berani menyambutinya.

Segera juga dia berhenti dan membatalkan maksudnya untuk mengejar Kam Lian Cu. Dengan segera ia menangkisnya.

“Dukk!” Ko Tie merasakan tangannya seperti akan patah oleh tangkisan yang dilakukan kakek itu.

Namun Ko Tie nekad, mati-matian dia menahan rasa sakit itu dan menghantam lagi dengan kekuatan sepenuhnya, dia ingin berusaha mencegah kakek itu mengejar Kam Lian Cu.

Kakek tua itu mendongkol bukan main, karena dia mengerti bahwa Ko Tie bermaksud hendak membendungnya dan melibatnya agar dia tidak memiliki kesempatan mengejar si gadis.

Segera juga dia menangkis lagi, sekali ini dengan kekuatan yang jauh lebih hebat. Dan iapun kemudian membarengi dengan menyerang pula.

Ko Tie kaget. Waktu tangkisan ke dua saling bentur dengan serangannya, dia merasakan tenaga kakek tua itu kuat sekali, tulang pergelangan tangannya semakin sakit. Dia belum lagi bisa melompat mundur menjauhi diri, dirinya telah dihantam begitu kuat oleh kakek tua tersebut.

Terpaksa Ko Tie mengempos seluruh kekuatannya, karena dia bermaksud menangkisnya.

Cuma saja Ko Tie menyadari, kali ini tentu dia tidak akan berhasil membendung kekuatan tenaga dalam si kakek.

“Bukkk……!” tangan mereka saling bentur lagi. Ko Tie menggigit bibirnya. Dia merasakan tangannya seperti semper tidak dapat digunakan lagi untuk menyerang, sulit untuk diangkat dan juga sakitnya luar biasa, bagaikan tidak memiliki tenaga lagi.

Ko Tie bingung, jika memang dia tidak berhasil melibat kakek tersebut, niscaya akan membuat kakek itu dapat mengejar Kam Lian Cu. Hanya saja, cepat sekali dia bersiul. Burung rajawali itu pun rupanya mengerti apa tugasnya.

Dengan disertai pekikannya yang nyaring, burung rajawali itu telah menerjang kepada si kakek.

Kuat sekali sampokan ke dua sayapnya.

Kakek tua itu kaget dan juga sangat murka sekali. Dia berseru nyaring dan telah menghantam berulang kali dengan ke dua tangannya.

Dia pun berkelit mengelakkan diri ke sana ke mari. Apa yang dilakukannya itu benar-benar sangat cepat sekali, namun burung rajawali itu pun cukup tangguh.

Yang membuat kakek itu bertambah heran, dia melibat burung rajawali itu bergerak seperti juga dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu silat, karena tampaknya burung rajawali itu bagaikan mengerti ilmu silat.

Maka untuk sesaat lamanya kakek tua itu dapat dilibat oleh si burung rajawali.

Jika memang menghadapi burung rajawali biasa saja, tentu dengan cepat dan mudah kakek tua itu akan dapat merubuhkannya.

Hanya saja sayangnya, justeru burung rajawali itu memiliki keluar biasaan dari burung rajawali lainnya. Selain pandai berkelit ke sana ke mari, setiap sampokan dari sepasang sayapnya seperti juga serangan tangan seorang ahli silat yang berbahaya, belum lagi disebabkan tenaga burung rajawali itu yang memang sangat kuat sekali.

Dikala itu terlihat kakek tua itu tambah gusar, berulang kali dia membentak bengis sambil menyerang dengan tenaga dalam yang bisa mematikan.

Burung rajawali itu memang terdesak, namun dia patuh terhadap perintah Ko Tie, dia terus juga melibat kakek tua itu, menerjang dengan segala kehebatannya.

Kera bulu kuning mengeluarkan pekikannya, dia berlari untuk mengejar Kam Lian Cu.

Tapi kera itu tidak bisa berbuat banyak. Dia berlari baru beberapa tombak, di hadapannya telah menghadang Ko Tie, yang membarengi tanpa membentak atau juga mengeluarkan suara lainnya, telah menghantamnya.

Ko Tie memukul dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya yang tadi saling bentur dengan tangan si kakek menjadi seperti semper tidak memiliki kekuatan tenaga lagi, tapi tangan kirinya itu pun tidak kalah hebatnya karena dia menghantam dengan disertai kekuatan lweekangnya.

Walaupun kera bulu kuning itu memiliki ilmu silat yang rupanya diajarkan oleh si kakek tua itu, dan juga sangat gesit, tokh dia tidak bisa menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri Ko Tie, yang mengenai telak sekali dadanya.

Dengan diiringi pekik kesakitan dan kaget, kera itu terjungkal bergulingan di tanah.

Ko Tie tidak memberikan kesempatan kera itu bernapas, ia melompat ke tempat kera tersebut, sambil menghantam dengan tangan kirinya pula.

Kera itu telah merasakan betapa kuatnya serangan Ko Tie, sehingga dadanya kena dihantam telak dan dia menderita kesakitan, begitu bangun, tidak berani menghadapi Ko Tie, dia telah memutar tubuhnya, berlari ke sana ke mari.

Ko Tie tersenyum puas. Dengan demikian, berarti Kam Lian Cu akan dapat melarikan diri dengan leluasa.

Di waktu itu, burung rajawali yang menghadapi si kakek menghadapi kesulitan.

Serangan si kakek luar biasa sekali. Ia duduk bersimpuh di tanah. Ke dua tangannya itu saja yang bergerak ke sana ke mari!

Setiap hantaman tangannya mengandung kekuatan yang dahsyat sehingga burung rajawali itu tidak berani mendekatinya. Bahkan akhirnya burung rajawali itu telah terbang berputar-putar di atas si kakek sekali-kali dia menerjang turun, menukik dengan ke dua cakarnya siap mencengkeram.

Tapi memang kakek itu hebat, dengan cara bertempurnya seperti itu dia bisa menghadapi rajawali tersebut, malah suatu kali, waktu burung rajawali itu menukik turun, kakek tersebut telah menantikan dengan mata terpentang lebar-lebar.

Dia tidak menyerang dulu, dia menantikan sampai burung rajawali itu menukik dekat sekali, dan sayap burung itu tengah meluncur akan mengibas kepadanya. Setelah jaraknya terpisah tidak begitu jauh, segera juga kakek tua tersebut menghantamkan tangannya kepada sayap burung rajawali tersebut!

“Bukkk!” telak sekali hantaman itu mengenai burung rajawali itu, pada sayapnya, sehingga burung rajawali itu memekik kesakitan dan terbang tinggi sekali. Sayapnya itu ternyata kena di hantam sangat hebat, sampai beberapa helai bulu sayapnya telah rontok dan terbang jatuh ke tanah.

Ko Tie kaget tidak terkira melihat burung rajawali sakti yang biasanya sangat tangguh, menghadapi kakek itu, telah dibuat tak berdaya.

Burung rajawali itu, yang menderita kesakitan karena sayapnya telah patah, hanya mengeluarkan suara pekik yang nyaring berulang kali, terbang di udara tanpa berani menukik turun lagi.

Ko Tie segera melompat ke dekat kakek tua itu, dia menghantam dengan tangan kirinya. Apa yang dilakukan Ko Tie sangat nekad sekali, karena dia seperti juga sudah tidak memikirkan lagi keselamatan dirinya, dia menghantam dengan sepenuh tenaganya.

Kakek tua itu tertawa dingin, tangan kanannya telah menangkis.

“Dukk, dukk.....!” Tubuh Ko Tie terpental dan bergulingan di tanah.

Seketika Ko Tie merasakan dadanya sakit sekali ketika dia merangkak bangun!

Kakek tua itu telah melompat berdiri, dia menggerakkan tangannya menyentil sebutir batu.

Batu itu menghantam telak sekali jalan darah Hu-hiang-hiat si pemuda. Seketika Ko Tie merasakan sekujur tubuhnya lemas tidak hertenaga, mendatangkan rasa sakit yang bukan main, bagaikan tubuhnya dikoyak-koyak dan juga seluruh isi tubuhnya, perut dan dadanya, seperti menjadi hancur.

Dengan mengeluarkan suara keluhan, seketika dia pingsan tidak sadarkan diri..... Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Tadi memang dia tidak sanggup mengelakkan diri dari lontaran batu sentilan kakek tua itu, karena memang dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dengan lincah, dadanya tengah sakit. Terlebih lagi setelah ia tertotok seperti itu, membuatnya benar-benar jadi tidak berdaya dan pingsan tidak ingat orang.......!

Kakek tua itu segera juga menepuk tangannya. Kera bulu kuning berlari menghampirinya.

Bersama dengan binatang peliharaannya, segera kakek tua itu melarikan diri..... untuk mengejar Kam Lian Cu, karena dianggapnya bahwa sebelum burung rajawali itu sempat untuk menyerang nekad kepadanya, lebih baik dia melarikan diri dan mengejar Kam Lian Cu. Kera bulu kuning berlari-lari di belakangnya, mengikuti sambil berulang kali mengeluarkan suara pekiknya yang sangat nyaring.

Burung rajawali itu tidak mengejar si kakek karena dia menyaksikan bagaimana Ko Tie telah rubuh di tanah dan kemudian diam tidak bergerak, pingsan. Segera juga burung rajawali itu telah meluncur turun, hinggap di samping Ko Tie, sambil mengeluarkan suara pekik yang perlahan, seperti juga tengah merintih sedih.

Burung rajawali itu tidak berdaya untuk menyembuhkan Ko Tie, juga dia tidak berhasil untuk menyadari Ko Tie dari pingsannya. Dia hanya diam disamping pemuda itu dengan berulang kali mengeluarkan suara pekik yang lirih, ikut menyatakan tengah bersusah hati atas kemalangan pemuda ini.

Tiauw-jie sebetulnya tengah berusaha mencari majikannya, yaitu Giok Hoa. Setiap kali dia terbang berkeliling di suatu tempat, dia mengeluarkan suara pekiknya dengan harapan bahwa majikannya akan mendengarnya. Siapa tahu, justeru dia bertemu dengan Ko Tie dan justeru mengalami, peristiwa seperti ini…….!”

Ko Tie masih rebah pingsan di tempatnya, dalam keadaan tertotok dan juga terluka di dalam, karena tadi dia telah mempergunakan tenaga yang melebihi takaran, juga memang dia baru saja sembuh. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan melewati takaran, membuat peredaran darahnya bergolak, pernapasannya jadi seperti tersumbat, dan akhirnya luka di dalam itu telah bergolak kembali. Dia terluka yang tidak ringan.

Itulah sebabnya mengapa totokan kakek tua baju kuning itu sempat telah membuatnya pingsan tidak sadarkan diri akibat penderitaan sakit yang luar biasa hebatnya yang membuat dia seperti juga merasakan tubuhnya bagaikan dikoyak-koyak……

Y

Siapakah kakek tua baju kuning itu, yang kepandaiannya sangat lihay dan setingkat dengan kepandaian Oey Yok Su? Dengan melihat kepandaiannya itu saja, kita sudah menduganya bahwa kakek baju kuning itu bukanlah orang sembarangan. Dia setingkat dalam kedudukannya dengan Oey Yok Su dan tokoh sakti dalam rimba persilatan yang lainnya.

Hanya saja, dulu-dulu mengapa dia tidak pernah muncul memperlihatkan diri? Mengapa waktu Lima Jago Luar Biasa memperebutkan gelar jago nomor satu, dia tidak pernah menampakkan diri, dan tidak pernah tersiar berita tentang dirinya.

Padahal Oey Yok Su memiliki pengalaman sangat luas pun tidak kenal padanya, hanya kagum buat kepandaiannya yang memang sangat tinggi dan tidak berada di bawah kepandaiannya.

Sekarang diapun bermaksud untuk mengambil Kam Lian Cu sebagai mantunya, dia telah bentrok dengan Oey Yok Su, dan membuat Ko Tie tidak berdaya, padahal kepandaian Ko Tie pun tidaklah rendah. Lalu membuat burung rajawali itupun tidak berdaya untuk mencegah keinginannya buat mengejar Kam Lian Cu.

Sesungguhnya, dia seorang jago yang memiliki kepandaian benar-benar sangat hebat. Dia hanya saja, tidak pernah mau memperlihatkan diri di dalam rimba persilatan.

Perihal perebutan gelar sebagai Jago nomor satu oleh Lima Jago luar Biasa, memang telah didengarnya. Namun dia tidak tertarik buat mengambil bagian.

Dia hidup sebagai manusia biasa, hanya setiap hari, setiap waktu, setiap menit, dia lebih mementingkan berlatih diri. Tidak terlalu mengherankan jika ia bisa memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Karena tidak ada waktu yang luang dan disia-siakan begitu saja.

Diapun kini telah menjadi seorang tokoh rimba persilatan yang sulit dicari tandingannya.

Sedangkan Oey Yok Su yang memiliki kepandaian sudah mencapai tingkat paling sempurna, telah tidak berdaya buat merubuhkannya, hanya saja kakek tua itu belaka yang mengakui bahwa kepandaiannya berada di bawah kepandaian Oey Yok Su, tapi sesungguhnya, walaupun mereka bertempur beberapa hari lamanya, belum tentu Oey Yok Su bisa merubuhkannya.

Orang tua itu she Bun dan bernama Siang Cuan. Dia sejak muda memang senang sekali akan ilmu silat, dan juga telah melatih diri.

Ayahnya seorang hartawan kaya raya. Tapi ketika orang tuanya mati, dan harta warisan jatuh ke tangannya, ia mempergunakan uangnya buat mengundang puluhan orang guru silat, yang melatihnya dengan sepenuh perhatian. Kemudian dengan uangnya itu ia juga telah berkelana mencari-cari guru yang pandai.

Memang setiap kali ia mempelajari ilmu silat, ia berhasil mempelajarinya dengan mudah sekali, karena ia selain sangat cerdas pun memang memiliki bakat yang sangat baik sehingga setiap ilmu silat yang diajarkan kepadanya selalu dapat dicernakannya dengan cepat.

Namun sejauh itu Bun Siang Cuan tidak juga puas dengan hasil yang telah di capainya. Ia terus juga mencari guru-guru pandai, sampai akhirnya ia mendatangi Siauw-lim-sie.

Tapi ia ditolak karena Hong-thio Siauw-lim-sie beranggapan seorang seperti Bun Siang Cuan yang begitu besar keinginannya buat mempelajari ilmu silat, dan juga diwaktu itu telah memiliki berbagai macam ilmu silat yang campur aduk, merupakan “bahan” yang tidak baik buat dididik Siauw-lim-sie.

Permintaannya ditolaknya, walaupun Bun Siang Cuan berulang kali telah datang buat memohon agar dirinya diterima menjadi murid Siauw-lim-sie.

Akhirnya Bun Siang Cuan bersakit hati karena tolakan Siauw-lim-sie. Iapun bertekad walaupun bagaimana dia harus mempelajari ilmu silat yang tinggi, guna membuktikan kelak kepada Siauw-lim-sie, bahwa ia sesungguhnya merupakan murid yang baik sekali buat dididik.

Di waktu itu, ia telah berlatih dengan tekun. Tekadnya semakin kuat untuk memperoleh kepandaian yang tinggi.

Kemajuan yang dicapai oleh Bun Siang Cuan memang pesat sekali. Dia telah berhasil untuk memupuk ilmunya, yang dari berbagai dan campur aduk itu menjadi semacam ilmu yang berkombinasi, membuat diapun tidak mudah untuk dirubuhkan oleh lawan yang berkepandaian tanggung-tanggung. Malah cukup banyak jago-jago rimba persilatan yang punya nama di dalam kalangan Kang-ouw telah dirubuhkannya.

Hanya saja, disebabkan nafsunya yang begitu besar untuk dapat merubuhkan orang rimba persilatan sebanyak mungkin, disamping untuk mempelajari ilmu silat Bun Siang Cuan pun jadi memiliki musuh yang tidak sedikit, membuatnya sering dikejar-kejar oleh jago-jago Kang-ouw ternama.

Untuk menghadapi jago-jago ternama itu jelas Bun Siang Cuan belum lagi memiliki kemampuan, sehingga dia telah melarikan diri ke berbagai tempat.

Di samping itu, tekadnya untuk mempelajari ilmu silat semakin kuat. Dia baru mengerti, betapa pentingnya ilmu silat, karena dengan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tentu dia perlu jeri lagi kepada jago-jago rimba persilatan.

Dikala dia melarikan diri ke perbatasan Sin-kiang, ia bertemu dengan seorang tua, yang ternyata merupakan seorang tokoh sakti Tibet. Hanya saja jago tua yang aneh itu tidak mau memberitahukan namanya, dia cuma menurunkan ilmu silatnya tanpa bersedia Bun Siang Cuan memanggilnya sebagai guru.

Dengan demikian telah membuat Bun Siang Cuan memperoleh kepandaian yang beberapa lipat lebih tinggi dari sebelumnya. Hatinya jadi besar dan dia pun segera juga kembali ke daratan Tiong-goan.

Dia mencari musuh-musuhnya. Dia berhasil merubuhkan beberapa orang di- antara mereka.

Hanya sebagian lagi dari musuh-musuhnya itu bekerja sama dan melakukan pengejaran padanya. Dikeroyok oleh jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu membuat Bun Siang Cuan tidak berdaya lagi dan dia melarikan diri pula.

Karenanya, dia bermaksud menyingkir dari Tiong-goan, buat pergi ke Tibet, dengan harapan di sana tentu dia bisa bertemu dengan orang-orang pandai seperti gurunya.

Sepuluh tahun ia berada di Tibet, memang cukup banyak orang pandai di sana yang menurunkan kepandaian kepadanya! Tapi ketika ia kembali ke daratan Tionggoan, ternyata kepandaiannya itu tidak berarti apa-apa.

Hal ini membuat dia berduka, karena musuh-musuhnya juga semakin maju dengan kepandaian mereka.

Bun Siang Cuan segera berpikir bahwa ia harus benar-benar memperoleh semacam ilmu yang hebat, barulah dia bisa memiliki kepandaian yang tidak tertandingkan.

Waktu ia menyingkirkan diri lagi ke Nepal, ia berkenalan dengan seorang gadis. Mereka jatuh cinta dan menikah.

Ternyata ayah gadis itu, seorang kakek tua, merupakan seorang jago terpendam dari Nepal yang sudah siang-siang menyimpan pedang dan mengasingkan diri. Mengetahui mantunya senang mempelajari ilmu silat, dia mengajari lagi, membuat kepandaian Bun Siang Cuan memperoleh kemajuan lagi.

“Tapi ilmu silat tidak ada batasnya, sampai kapanpun kau mempelajarinya, tidak mungkin hanya engkau seorang diri yang memiliki kepandaian tinggi, sebab banyak juga orang lain yang mati-matian mempelajari ilmu silat……!

“Aku memiliki sejilid kitab ilmu silat kuno yang belum pernah kupelajari. Jika memang kau menginginkannya, aku akan menghadiahkannya kepadamu. Usiamu masih muda, kau boleh mempelajarinya.....

“Tapi ada ancaman pada kitab itu, jika seseorang yang tidak kuat mempelajari isi kitab itu, jika umpamanya orang itu melatihnya salah dan tersesat, orang itu akan sinting dan gila..... Karenanya jika memang engkau merasa belum memiliki kepandaian dan kesangggupan buat mempelajari isi kitab itu, kau jangan mempelajarinya dulu……!”

Begitulah pesan mertua Bun Siang Cuan sebelum meninggal dunia karena sakitnya yang berat.

Bukan kepalang girangnya Bu Siang Cuan menerima kitab pusaka tersebut.

Diapun segera mulai mempelajari.

Baru mempelajari beberapa jurus saja, kepandaiannya sudah mengalami kemajuan yang hebat dan menakjubkan, seperti langit dengan bumi dibandingkan dengan kepandaiannya di waktu yang lalu.

Semangat Bun Siang Cuan terbangun, dia mati-matian mempelajari kitab itu.

Kepandaiannya menjadi luar biasa. Cuma saja, dia jadi melupakan isterinya, yang membuat isterinya jadi berduka dilanda kesepian, karena Bun Siang Cuan lebih sering mengurung diri buat mempelajari ilmu silatnya.

Tidak jarang sampai setengah tahun Bun Siang Cuan tidak menyentuh isterinya.

Dengan demikian berangsur-angsur isterinya menjadi merana dan akhirnya jatuh sakit ketika ia dalam keadaan mengandung muda.

Bukan main berdukanya Bun Siang Cuan. Dia dapat dua pilihan menyudahi dulu latihannya pada ilmu silat di kitab pusaka itu atau memang dia kehilangan isteri dan calon anaknya.

Tapi desakan jiwanya yang ingin memperoleh ilmu silat yang tinggi demikian kuat. Dia hanya sempat lima hari menghentikan latihannya, setelah itu ia giat lagi berlatih ilmu silatnya.

Isterinya kecewa bukan main, sehingga akhirnya dia menderita sakit yang semakin parah, yang membuatnya meninggal dunia.

Bukan main kaget dan berdukanya Bun Siang Cuan, dia menangis menggerung-gerung sampai beberapa hari lamanya. Dan ia menyesali, sekarang biarpun ia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tokh percuma saja. Dia telah kehilangan orang yang disayanginya, juga kehilangan calon anaknya.

Demikian berdukanya, sehingga selama beberapa tahun dia berkelana dan tidak pernah melatih diri.

Akhirnya, karena terlalu memikirkan calon anaknya yang lenyap dengan kematian isterinya akibat kurangnya perhatiannya, Bun Siang Cuan bermaksud mengambil seorang anak. Dia tidak ingin menikah lagi, cuma saja dia pun tidak tahu anak siapa yang pantas diambil sebagai anaknya.

Pada suatu hari, ketika ia berjalan-jalan di sebuah hutan, dia melihat kera yang tengah melahirkan. Kera itu agak luar biasa, berbulu kuning. Dan di lihatnya anak kera itupun bersih sekali. Maka segera tanpa dipikir panjang, dia menculik anak kera itu, kemudian dianggap sebagai anaknya!

Sejak saat itu, Bun Siang Cuan dengan “Anaknya” yang diberi nama Kim Go (Monyet Emas) itu, berdiam di dalam hutan yang sepi dan terpencil. Dia melatih ilmu silatnya terus dengan giat dan tidak pernah menampakkan diri di dalam rimba persilatan.

Demikian juga kepada Kim Go telah diturunkan pelajaran ilmu silat. Sayangnya Kim Go hanya seekor monyet yang tidak bisa menerima dengan baik dan sempurna akan ilmu silat yang diajarkan Bun Siang Cuan.

Begitulah, tanpa dirasa puluhan tahun telah lewat. Dan selama itu Bun Siang Cuan tidak pernah menampakkan diri di dunia persilatan. Usianya telah lanjut, rambutnya semua telah berobah putih dan Kim Go pun telah berusia puluhan tahun.

Mengenai monyet berbulu kuning itu, dia memang sejenis monyet yang memiliki usia panjang dan juga hidup dengan sikap dan kelakuan seperti manusia. Dia memang merupakan monyet yang sangat aneh sekali, sehingga biarpun berusia puluhan tahun, dia masih tampak kuat dan sehat.

Begitulah ayah dan “Anak” telah hidup dengan tenteram di hutan itu.

Sampai akhirnya, timbul juga keinginan di hati Bun Siang Cuan untuk melihat-lihat keadaan di dunia luar.

Dia mengajak “Anaknya” untuk meninggalkan hutan itu. Dia lalu mendengar perihal Oey Yok Su berlima dengan Ong Tiong Yang, Auwyang Hong, It Teng Taysu dan Ang Cit Kong, yang selalu bertanding untuk memperebutkan gelar siapa yang tertinggi kepandaiannya.

Hati Bun Siang Cuan telah tawar, dia tidak berselera untuk ikut mencampuri urusan tersebut.

Karena itu, dia telah hidup menyendiri lagi. Puluhan tahun telah lewat lagi, dia hidup dalam suasana yang sepi dan terasing bersama Kim Go.

Sampai akhirnya siapa sangka, dia bersama Kim Go telah bertemu dengan Oey Yok Su.

Mengetahui orang yang dijumpainya adalah Oey Yok Su, segera juga kumat lagi penyakit-penyakit lamanya. Ia ingin mencoba kepandaian yang telah dipelajarinya dari kitab pusaka yang diterimanya dari mertuanya. Ternyata kepandaiannya memang tinggi, karena Oey Yok Su tidak mudah buat merubuhkannya.

Dan semua peristiwa yang terjadi telah diikuti oleh anda sekalian di bagian depan.

Sekarang mari kita ikuti Bun Siang Cuan yang tengah mengejar Kam Lian Cu. Dia berlari begitu pesat, tubuhnya seperti terbang, dan juga kera bulu kuning itu, telah mengikutinya dengan sama cepatnya.

Kam Lian Cu telah melarikan diri dengan sekuat tenaganya mengerahkan ginkangnya, dia bermaksud untuk pergi sejauh mungkin, agar lolos dari tangan Bun Siang Cuan.

Tapi siapa sangka, belum lagi dia berlari terlalu jauh, dia telah melihat Bun Siang Cuan yang tengah mengejarnya, berlari-lari bersama si monyet bulu kuning itu.

Bukan main kagetnya Kam Lian Cu.

Semula ia menduga Ko Tie dengan dibantu oleh burung rajawali itu, tentu akan dapat menghadapi Bun Siang Cuan.

Siapa tahu, justeru kini Bun Siang Cuan tengah berlari-lari mengejarnya, juga di belakang Bun Siang Cuan tampak si kera bulu kuning yang dibenci oleh si gadis.

Mati-matian dia berusaha berlari lebih cepat lagi, untuk dapat menyingkirkan diri.

Tapi dia ternyata tidak bisa melepaskan diri dari kejaran Bun Siang Cuan, karena beberapa saat kemudian Bun Siang Cuan telah berhasil mengejarnya dan hanya terpisah beberapa tombak lagi.

“Berhenti, atau aku akan turun tangan mencelakai kau……!” bentak Bun Siang Cuan.

Tapi Kam Lian Cu mana mau berhenti berlari, dia terus juga mengerahkan gin-kangnya buat berlari semakin cepat.

Bun Siang Cuan rupanya jadi mendongkol, dia menggerakkan tangan kanannya. Seketika serangkum angin menyerang Kam Lian Cu, menotok jalan darahnya.

Si gadis yang tengah mati-matian berlari mempergunakan seluruh tenaganya, jadi kaget waktu merasakan tubuhnya jadi lemas tidak bertenaga, dan dia terjungkel rubuh bergulingan di tanah.

Waktu Kam Lian Cu menyadari apa yang terjadi, Bun Siang Cuan bersama Kim Go, kera bulu kuning itu, telah berdiri di sampingnya. Kera itu menyeringai seperti seorang pemuda yang bernafsu birahi terhadap seorang gadis cantik jelita.

Dikala itu tampak Bun Siang Cuan tertawa bergelak-gelak.

“Walaupun bagaimana kau tidak mungkin bisa terlepas dari tanganku……!” katanya kemudian. “Hemmm, walaupun bagaimana engkau harus menjadi mantuku, harus menikah dengan puteraku......!”

Si gadis she Kam jadi mengeluh, tapi dia benar-benar tidak berdaya.

“Bebaskan aku, aku akan menuruti semua keinginanmu baik-baik!” kata Kam Lian Cu kemudian.

Si kakek she Bun menggelengkan kepalanya.

“Tidak!” katanya sambil menyeringai. “Kau tentu akan menimbulkan kesulitan lagi.....!”

Setelah berkata begitu, Bun Siang Cuan membungkukkan tubuhnya, dia mengepit tubuh si gadis, dan berlari-lari meninggalkan tempat itu.

Kera bulu kuning telah mengikuti di belakangnya sampai mengeluarkan suara pekikan, pekik kegirangan.

Di waktu itu, tampak Bun Siang Cuan telah berlari pesat sekali, karena dia ingin cepat-cepat tiba di tempat kediamannya, di hutan yang sepi itu.

Tidak lama kemudian tibalah dia di dalam hutan tempat tinggalnya, di depan sebuah goa yang cukup dalam.

Bun Siang Cuan telah melemparkan tubuh si gadis ke dalam goa sampai tubuh si gadis terguling-guling.

“Baik-baiklah kau beristirahat di situ, mantuku!” katanya kemudian dengan suara yang tawar.

“Tunggu dulu!” teriak Kam Lian Cu ketika melihat kakek itu hendak meninggalkannya..... Dia kuatir nanti ši kera bulu kuning mengganggunya lagi.

“Apa?!” tanya Bun Siang Cuan.

“Bebaskan aku, aku tidak akan melarikan diri! Sebagai calon mantumu, apakah pantas aku diperlakukan seperti ini?!” kata Kam Lian Cu.

Kakek tua she Bun itu termenung sejenak tampaknya dia tengah berpikir keras.

Namun akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah…..!” katanya. “Jika memang demikian, kau berjanji memang tidak akan melarikan diri, aku bersedia untuk membebaskan dirimu! Tapi ingat, jika sekali lagi kau mencoba untuk melarikan diri, niscaya kelak aku sulit mempercayai perkataanmu lagi dan aku akan menotok terus kau sampai tidak berdaya!”

Si gadis berdiam saja.

Bun Siang Cuan menghampiri dan membebaskan totokannya, sehingga Kam Lian Cu bisa menggerakkan tangan dan tubuhnya. Dia duduk.

“Kau tunggu di sini, aku ingin mengambil makanan buat kau!” kata Bun Siang Cuan.

Kam Lian Cu cuma mengangguk saja, karena dia memang tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

Sedangkan Bun Siang Cuan telah meninggalkan tempat itu, kera bulu kuning telah mengawasi Kam Lian Cu dengan sorot mata yang tajam berdiri di luar goa.

Kam Lian Cu ngeri kalau saja kera itu menerjang masuk dan hendak memperkosanya. Namun dia tentu akan dapat memberikan perlawanan karena kera itu tidaklah terlalu lihay baginya, juga dia tidak dalam keadaan tertotok.

Kera bulu kuning itu, rupanya memang tahu penyakit, karena dia tidak berusaha memasuki goa itu. Dia menyadarinya, jika memang dia berusaha menerjang juga memasuki goa itu, niscaya akan dihajar oleh si gadis. Sedangkan kepandaiannya memang tidak dapat menandingi gadis itu, di mana selain dia pernah dilukai oleh Kim Lian Cu, juga dia pernah dihajar oleh gadis itu sampai tidak berdaya.

Kera itu cuma mengawasi Kam Lian Cu dengan sorot mata yang meagandung nafsu berahi yang kuat sekali……

Tidak lama kemudian Bun Siang Cuan telah tiba di tempat itu lagi, dia membawa beberapa macam buah-buahan.

Diberikannya kepada Kam Lian Cu. “Kau makanlah, untuk menyegarkan dirimu!” katanya kemudian.

Kam Lian Cu mengawasi bimbang, namun akhirnya dia menerima juga pemberian itu. Dia memakannya perlahan-lahan.

Kim Go juga memakan beberapa buah yang di bawa Bun Siang Cuan. Dia masih tetap mengawasi si gadis dengan mata yang memancarkan sinar mengandung berahi.

Waktu itu Kam Lian Cu teringat, segera tanyanya: “Mana puteramu.....?!”

Si kakek tertawa.

“Nanti aku akan beritahukan……!” katanya sambil melirik kepada Kim Go.

Bun Siang Cuan tiba-tiba saja merasa malu, buat memberitahukan kepada Kam Lian Cu, bahwa yang disebut puteranya adalah Kim Go, kera bulu kuning itu.....

Kam Lian Cu heran melihat sikap si kakek tua itu, dia memakan terus buah-buahan itu.

Sampai akhirnya kakek tua itu bilang:

“Sekarang kukira telah tiba waktunya aku memberitahukan kepadamu, bahwa puteraku itu, sesungguhnya memang buruk tubuhnya, tapi hatinya memang sangat baik, maka jika telah kuperkenalkan kalian, kau harus memperlakukannya baik-baik!”

Kam Lian Cu tertawa dingin. Si gadis telah berpikir, jika memang putera kakek itu kelak telah diperkenalkan dia merupakan seorang laki-laki yang kasar, dia lebih baik bunuh diri saja.

Sedangkan kakek tua itu telah berkata lagi: “Kau mau mengetahuinya sekarang? Mau kenal calon suamimu?”

Kam Lian Cu mengangguk saja.

Si kakek tampak ragu-ragu.

“Aku..... aku.......!” katanya penuh kebimbangan.

Kam Lian Cu tambah heran melihat sikap kakek tua itu, segera juga dia menduga, pasti ada sesuatu yang hebat pada diri puteranya itu.

“Kenapa?” tanya Kam Lian Cu.

Kakek tua itu masih juga ragu-ragu.

“Sebetulnya…… sebetulnya……!” kata kakek itu kemudian.

“Sebetulnya kenapa?!!”

Kakek tua itu masih ragu-ragu.

“Jika memang aku memperkenalkannya, apakah engkau tidak akan mencela puteraku itu. Karena kau harus mengerti, jika kau mengeluarkan kata-kata yang melukai hatiku, aku akan membunuhmu.....!” kata kakek tua tersebut.

Kam Lian Cu cuma mendengus saja.

Melihat si gadis tidak menyahuti, kakek tua itu bertanya lagi: “Apakah sekarang saja kau ingin diperkenalkan dengan anakku itu?!”

Kam Lian Cu cuma mengangguk.

“Inilah anakku…… Kim Go!” kata si kakek kemudian sambil menunjuk kepada kera bulu kuning itu, yang tampaknya jadi malu-malu dan menunduk.

Sedangkan Kim Go waktu itu juga terus dengan sikapnya seperti itu, dan berbeda dengan Kam Lian Cu, yang melihat kakek tua itu menunjuk kepada Kim Go, seketika dia telah memandang dengan mata terpentang lebar-lebar. Seakan juga Kam Lian Cu tidak mempercayai apa yang didengarnya.

“Itu..... itu anakmu?!” kata Kam Lian Cu kemudian setelah bersadar, suaranya tak lancar!

Si kakek jadi tegang sendirinya, dia mengangguk.

“Ya..... memang dialah puteraku, namanya Kim Go.”

Muka Kam Lian Cu berobah merah karena marah bukan main! Dia hendak dikawinkan dengan seekor monyet? Dianggap apakah dia sebenarnya oleh kakek tua itu?

Dan akhirnya Kam Lian Cu tertawa bergelak-gelak.

“Kau mungkin telah sinting? Mana mungkin aku hendak dikawinkan dengan seekor kera?” kata si gadis kemudian dengan suara yang nyaring, di antara kemarahan dan isak tangis yang ditahannya, karena Kam Lian Cu merasakan, itulah suatu penghinaan yang luar biasa hebatnya buat dia.

Muka kakek tua itu berobah.

“Kau?” tampaknya dia marah sekali, “Jangan kau sekali-sekali menghina Kim Go!”

“Hemmm, aku lebih baik mati dari pada harus kawin dengan seekor kera.....!” kata Kam Lian Cu dengan suara yang nyaring.

Muka Bun Siang Cuan berobah dia mengawasi tajam kapada Kam Lian Cu.

“Kau.....kau mengatakan lebih baik engkau mati dari pada menikah dengan anakku?” tanya Bun Siang Cuan dengan suara yang bengis.

Kam Lian Cu serasa ingin menjerit menangis sejadi-jadinya, karena benar-benar dia merasa terhina sekali, di mana dia akan dinikahkan dengan seekor kera.

Tapi dia mengetahui bahwa dia dalam keadaan tidak berdaya, karena ia tidak mungkin bisa menghadapi kakek tua itu.

Maka dari itu, Kam Lian Cu sudah tidak berhasil menahan hatinya, kesedihannya dan kemarahannya, dia menangis sejadi-jadinya. Diapun berpikir, paling tidak jika memang kakek tua itu marah, maka dia akan dibunuh. Akhirnya karena terlalu sedih, dia jatuh pingsan.......

Y

Kini mari kita melihat dulu keadaan Ko Tie, yang rebah dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri. Di sampingnya tampak rajawali yang setia itu berdiam dengan sekali-kali memperdengarkan suaranya yang lirih.

Rupanya rajawali tersebut juga sangat prihatin dengan keadaan Ko Tie, yang diketahuinya merupakan kawan baik dari majikannya, yaitu Giok Hoa.

Di waktu itu Ko Tie masih dalam keadaan pingsan, mukanya pucat pias.

Sedangkan waktu beredar terus, keadaan di tempat itu telah terang oleh sinar matahari fajar, yang memancarkan sinarnya sehingga membuat tempat itu jadi hangat.

Ko Tie masih juga belum sadar dari pingsannya, membuat rajawali itu tambah bingung. Sedangkan sayap kanan dari burung rajawali itu masih juga patah dan mendatangkan rasa sakit yang tidak sedikit buat rajawali itu.

Namun karena memikirkan keselamatan Ko Tie, telah membuat rajawali itu seperti juga sudah tidak merasakan lagi perasaan sakit pada sayapnya, pada ujung tulang sayapnya itu, yang patah akibat hantaman tangan Bun Siang Cuan.

Waktu itu perlahan-lahan Ko Tie telah bergerak dan mengeluarkan suara keluhan. Matanya juga bergerak-gerak pelupuknya, dan kemudian terbuka.

Namun begitu dia membuka matanya dan tersadar, Ko Tie menggerakkan tubuhnya, segera ia mengeluarkan suara jeritan. Dia rebah kembali dengan mengeluarkan suara keluhan.

Rupanya waktu Ko Tie hendak berusaha bangun, dadanya dirasakan sakit bukan main.

Akibat totokan yang dilakukan oleh Bun Siang Cuan, telah membuat peredaran darahnya tidak lancar. Itu pun karena dia dapat menggerakkan tubuhnya karena totokan itu telah punah sendirinya dan lewatnya sang waktu.

Sedangkan burung rajawali tersebut seketika melihat Ko Tie telah bergerak dan tersadar dari pingsannya, jadi sangat girang. Dia mengeluarkan pekik yang cukup nyaring.

Mendengar pekik burung rajawali itu, Ko Tie menoleh dan melirik melihat burung raja wali itu.

Dia tersenyum, karena hatinya terhibur juga bahwa rajawali itu masih berada di dekatnya. Dan ia segera bersiul, memberitahukan kepada burung itu, bahwa dia dalam keadaan terluka yang cukup parah.

Burung rajawali itu seperti juga mengerti arti siulan itu, dia mengeluarkan suara pekik yang lirih dan perlahan sekali, mengangguk-anggukan kepalanya.

Di waktu itu tampak Ko Tie telah berusaha untuk bangun lagi. Namun sekali lagi dia mengeluh, karena begitu dia menggerakkan tubuhnya, seketika ia merasakan tubuhnya pada sakit, serasa tulang-tulangnya hendak bercopotan, dada dan isi perutnya seperti terbalik, sehingga dia gagal buat bangun, dan tetap saja rebah di tempatnya itu.

Burung rajawali itu telah menggesek-gesekkan kepalanya ke dada Ko Tie, seakan juga memang burung rajawali itu hendak menghiburnya.

Sedangkan Ko Tie berpikir keras.

Dia telah melihat keadaan di tempat itu sepi sekali. Jika memang ia rebah terus di situ dalam keadaan tidak terdaya, di samping memang lukanya akan semakin parah, juga akan membuat dia mati kelaparan. Burung rajawali iapun tidak mungkin dapat melakukan sesuatu buat menolonginya.

Dikala itu burung rajawali tersebut berusaha menggerak-gerakkan sayapnya buat terbang. Tapi dirasakan sayap kanannya itu sakit bukan main setiap kali dia menggerakkannya.

Ko Tie hanya bisa mengawasi saja.

Diam-diam pemuda ini memikirkan dan menguatirkan sekali keselamatan Kam Lian Cu.

Entah bagaimana nasib si gadis, karena dia tidak mengetahui apakah Kam Lian Cu dapat melarikan diri dari kejaran si kakek Bun Siang Cuan, atau memang dia gagal dan kena dibekuk oleh kakek tersebut. Karena itu, hati Ko Tie pun jadi tidak tenang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar