Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 40 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 40 (Tamat)
 
Anak rajawali Jilid 40

Karenanya pemuda ini telah melatihnya dengan giat sekali. Karena ia mengetahui, jika memang dia telah berhasil menguasai benar-benar keseluruhan ilmu silat pukulannya tersebut, niscaya akan menyebabkan ia dapat menghadapi jago-jago silat yang bagaimana tangguh sekalipun. Dia akan dapat menghadapi Bun Siang Cuan ataupun jago-jago lihay lainnya.

Sesungguhnya, Ko Tie memiliki kepandaian yang sudah tinggi. Dan di kalangan pendekar-pendekar golongan muda, mungkin juga sulit dicari duanya.

Tapi yang sering membuatnya dia jadi mengalami kesulitan, justeru jika dia tengah menghadapi lawan yang tangguh terdiri dari tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan merupakan tokoh sakti di dalam rimba persilatan.

Walaupun Swat Tocu telah mendidik dan mewarisi seluruh kepandaiannya, tapi Ko Tie setiap kali menghadapi tokoh tua yang sakti, ia selalu kalah pengalaman.

Maka dari itu, sekarang Ko Tie menerima warisan ilmu pukulun “Cap-lak-kun” dari Oey Yok Su, ia berharap justeru dapat untuk menutupi kekurangannya itu. Karena dengan “Cap-lak-kun”, dia akan dapat menghadapi segala macam ilmu silat dari berbagai golongan.

Waktu menciptakan ilmu pukulannya tersebut, memang Oey Yok Su telah memikirkan dan juga mengingat-ingat seluruh ilmu silat dari berbagai pintu perguruan di seluruh daratan Tiong-goan. Karenanya, dia juga telah mencari seluruh kelemahan yang terdapat dari berbagai ilmu silat berbagai pintu perguruan itu.

Dan juga sekarang ini, memang Ko Tie pun pada dasarnya telah memiliki kepandaian yang tinggi, dasar yang kuat, sehingga ia mudah sekali mempelajari ilmu silat yang diwarisi oleh Oey Yok Su.

Hanya saja Oey Yok Su waktu pertama kali hendak menurunkan dan mengajarkan “Cap-lak-kun”nya itu, telah memesannya, agar Ko Tie sekali-kali tidak boleh mempergunakan Cap-lak-kun tersebut, jika memang ia tidak tengah terancam bahaya.

Dengan begitu, Ko Tie harus memperhatikan benar-benar apakah memang dia tengah terancam dan terdesak oleh sesuatu bahaya. Jika memang tidak, jelas ia tidak boleh sembarangan mempergunakan ilmunya tersebut.

Ko Tie juga telah memberikan janjinya kepada Oey Yok Su, bahkan ia bersumpah bahwa ia tidak akan sembarangan mempergunakan Cap-lak-kun tersebut.

Begitulah, selama setengah bulan Oey Yok Su telah mengajarkan Ko Tie ilmu Cap-lak-kunnya tersebut.

Di bagian depan telah diceritakan betapa Oey Yok Su bertempur dengan Bun Siang Cuan. Namun Oey Yok Su sama sekali tidak mempergunakan satu juruspun ilmu barunya itu.

Hal ini disebabkan Oey Yok Su berpikir, bahwa ia memang tidak bermusuhan dengan Bun Siang Cuan.

Dan juga, Bun Siang Cuan, walaupun memang lihay, tapi ia seorang yang angin-anginan. Dengan demikian telah membuat Oey Yok Su membatasi diri dalam mempergunakan sin-kang maupun ilmunya.

Jika Oey Yok Su mempergunakan Cap-lak-kun nya, niscaya dalam beberapa jurus dia sudah dapat mendesak Bun Siang Cuan. Memang Bun Siang Cuan menurut penilaian Oey Yok Su memiliki ilmu yang sudah mencapai puncaknya dan tidak bisa memiliki kepandaian yang lebih tinggi lagi.

Karena setelah memperhatikan dengan seksama, maka diketahui oleh Oey Yok Su, bahwa Bun Siang Cuan memang merupakan seorang yang melatih ilmunya secara mahir, sehingga setiap dia melatih dan meyakinkan serupa ilmu, dia tentu akan melatihnya sampai matang.

Namun ilmu tersebut tidak dapat dirobahnya. Tidak dapat dikurangi atau pun juga ditambahkan.

Dengan demikian dia hanya melatih terus, yang membuatnya semakin lama semakin mahir dengan ilmu dan jurus kepandaiannya. Sin-kangnya yang terlatih semakin tinggi dan sempurna. Tapi ia tidak mungkin bisa menambahkan tenaga dalamnya dengan latihan yang baru, yang sekiranya bisa membuat dia semakin lihay dan tangguh.

Dengan begitu, Oey Yok Su pun merasa sayang, jika dia harus merubuhkan Bun Siang Cuan, harus meruntuhkannya. Karena kepandaian yang dimiliki Oey Yok Su telah mencapai tingkat yang tinggi.

Dia bisa membayangkan juga, betapa Bun Siang Cuan sesungguhnya bersusah payah. Dan tentunya telah memakan waktu yang lama buat mempelajari ilmu silatnya itu sampai pada tingkat setinggi itu.

Karenanya Oey Yok Su merasa sayang jika harus mengalahkannya. Dan karena Bun Siang Cuan mengakui bahwa Oey Yok Su memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka puaslah hati Oey Yok Su.

Pernyataan itu saja sudah lebih dari cukup baginya untuk menunjukkan bahwa Bun Siang Cuan memang berada di bawah tingkatnya.

Memang adat Oey Yok Su aneh sekali, dan sepak terjangnya sulit diduga. Walaupun memang dalam usia yang kian lanjut itu, Oey Yok Su jauh lebih sabar namun sayangnya justeru adat ku-koaynya masih tetap juga tidak berkurang.

Karena dari itu, telah membuat Oey Yok Su semakin dikenal sebagai manusia aneh.

Sebagai bukti dari anehnya tabiat Oey Yok Su, ia telah membatalkan keinginannya buat mengobati Ko Tie. Malah dia jadi marah semakin mendengar akan perkataan-perkataan Ko Tie.

Namun akhirnya justeru dia telah mengobati Ko Tie juga, membantu mengerahkan sin-kangnya, dan malah telah mewarisi ilmu ciptaannya yang baru.

Dengan begitu, telah membuat Oey Yok Su memperlihatkan, bahwa ia seorang sungguh-sungguh aneh dan Ko Tie sendiri sampai saat itu masih juga tidak mengerti, bahwa orang tua ini masih saja memiliki adat yang begitu ku-koay.

Ko Tie mempelajari ilmu Cap-lak-kun, dengan tekun dan rajin sekali.

Latihannya akan ilmu Cap-lak-kun tersebut, telah membuatnya benar-benar jadi seorang yang pesat sekali memperoleh kemajuan buat kepandaiannya maupun tenaga dalamnya.

Di samping itu, juga latihan-latihan yang dilakukannya telah memperkuat tubuhnya, sehingga ia sembuh cepat dan bertambah segar dan juga dalam waktu yang sangat singkat.

Oey Yok Su yang melihat kemajuan yang dicapai oleh Ko Tie, jadi tambah gembira, karena memang iapun telah melihat Ko Tie memiliki tulang yang baik dan juga bakat yang luar biasa untuk ilmu silat.

Maka akhirnya Oey Yok Su menambahkan pula dengan mengajarkan Ko Tie beberapa macam ilmu dan kepandaian, yang telah diterima oleh Ko Tie dengan gembira. Karena Ko Tie tidak menyangka bahwa ia memiliki nasib demikian baik, sehingga ia bisa diwarisi ilmu dan kepandaian yang tinggi dari Oey Yok Su, seorang tokoh sakti yang boleh dibilang tidak ada duanya di dalam rimba persilatan.

Mungkin sekarang kalau Swat Tocu, guru Ko Tie, bertempur dengan Oey Yok Su, niscaya diapun tidak akan dapat menandinginya.

Terlebih lagi sekarang Oey Yok Su telah memiliki ilmu andalannya, yaitu ilmu Cap-lak-kun.

Ko Tie seperti menerima hadiah yang sangat berharga sekali. Ia begitu menghargai dan menghormati Oey Yok Su.

Jika sebelumnya ia pernah bersakit hati pada Oey Yok Su. Justeru sekarang kesannya telah terbalik jadi lain, karena ia jadi begitu menghormati dan mulai mengenal akan tabiat dan perangai Oey Yok Su.

Ko Tie merasakan, bahwa berapa belas jurus ilmu Cap-lak-kun merupakan ilmu yang benar-benar sangat menakjubkan dan sulit sekali buat dihadapi oleh siapapun juga.

Hal ini diduga oleh Ko Tie seperti itu, karena setiap kali ia berhasil mempelajari satu jurus dari Cap-lak-kun, maka dengan mengkhayalkan belaka, dia sudah dapat memastikan jika ia sendiri yang harus bertempur menghadapi ilmu itu, jelas ia tidak akan berdaya buat memunahkan ataupun juga menghadapinya dengan sebaik-baiknya. Karena setiap jurus ilmu itu memiliki kehebatan yang tersendiri.

Dan yang membuat Ko Tie benar-benar jadi kagum dan menaruh hormat yang besar kepada Oey Yok Su justeru Oey Yok Su telah berhasil memperoleh hasil ciptaannya yang begitu sempurna, yang telah digarapnya dengan sangat baik.

Sabagai seorang yang telah memiliki kepandaian silat yang tinggi, tentu saja Ko Tie pun menyukai setiap ilmu silat yang tinggi, tentu dia akan tertarik, akan menyamakannya seperti juga dia melihat batu permata yang mahal harganya.

Begitulah Ko Tie telah berlatih diri dengan giat di bawah bimbingan Oey Yok Su.

Y

Selama berlatih ilmu silat yang diajarkan Oey Yok Su, juga Ko Tie selalu teringat kepada nasib Kam Lian Cu, karena memang ia tidak mengetahuinya, entah bagaimana nasib dari gadis tersebut.

Dan juga hal itu pernah diungkapkannya kepada Oey Yok Su, dimana dia telah menceritakan apa yang telah dialaminya dan juga tentang keragu-raguan maupun kekuatirannya buat keselamatan Kam Lian Cu.

Waktu wendengar cerita perihal Kam Lian Cu, wajah Oey Yok Su muram dan bilang, “Hemmm, aku tidak menyangka bahwa gadis itu akan menerima pengalaman pahit seperti itu! Tentunya dia berada dalam ancaman......

“Ku lihat Bun Siang Cuan bukan sebangsa manusia baik-baik. Jika memang sampai gadis itu jatuh ke dalam tangannya, niscaya akan membuat keselamatan gadis itu terancam sekali.......!”

Ko Tie mengangguk.

“Benar.....!” katanya. “Menurut yang didengar Boanpwe, justeru orang she Bun itu bermaksud hendak mengambil si gadis menjadi mantunya, buat dinikahkannya dengan puteranya.”

Oey Yok Su mengerutkan keningnya, dia tampaknya tengah berpikir, sampai akhirnya dia bilang:

“Jika memang aku mengetahui akan terjadinya urusan seperti itu, tentunya aku tidak akan pergi meninggalkan tempat tersebut.....!” Dan setelah berkata begitu Oey Yok Su menghela napas berulang kali.

Dalam keadaan seperti itu, Ko Tie juga berdiam diri saja. Cuma saja hatinya semakin berkuatir buat keselamatan Kam Lian Cu. Dia tidak mengetahui apakah Kam Lian Cu berhasil meloloskan diri atau memang terjatuh ke dalam tangan si kakek tua Bun Siang Cuan.

Setelah berdiam sesaat lamanya, Oey Yok Su kemudian bilang: “Jika saja kita mengetahui ke mana perginya gadis itu, kita bisa mencarinya.......!”

Ko Tie jadi girang.

“Maukah Locianpwe membantunya.......?”

Oey Yok Su mengangguk,

“Jika memang benar gadis itu gagal melarikan diri dan terjatuh ke dalam tangan Bun Siang Cuan, tentu saja aku bersedia untuk menolonginya......!” menjawab Oey Yok Su.

Dan dia teringat, betapapun juga Kam Lian Cu memiliki banyak persamaan dengan Oey Yong puteri tunggalnya. Dan Oey Yok Su jadi tambah berkuatir terhadap keselamatan gadis itu.

“Tapi ke mana kita harus mencarinya?” begitulah gumamnya.

Ko Tie juga tampak jadi bingung sekali.

“Mudah-mudahan saja memang dia bisa meloloskan diri.....!” kata Ko Tie kemudian.

Oey Yok Su mengangguk.

“Ya, mudah-mudahan saja memang dia bisa meloloskan diri!” katanya kemudian. “Atau memang kita perlu pergi melihatnya ke tempat di mana dulu kita pernah bertemu dengan Bun Siang Cuan. Tentu dia tidak akan pergi jauh-jauh?”

Ko Tie girang, dia mengangguk cepat.

“Ya..... jika memang kita pergi ke sana, kita tentu akan dapat menemukan Bun Siang Cuan. Kita bisa menanyakan kepadanya di mana Kam Lian Cu berada……!”

Oey Yok Su mengangguk.

“Jika memang orang she Bun itu tak mau bicara, biarlah nanti aku yang akan memaksanya agar dia mau membuka mulut.......!” kata Oey Yok Su dengan suara yang ramah dan tersenyum kepada Ko Tie, sehingga senanglah hati Ko Tie.

“Kapan kita pergi ke sana, locianpwe?!” tanya Ko Tie kemudian.

“Nanti.......!” kata Oey Yok Su. “Kalau memang latihanmu pada Cap-lak-kun telah selesai.”

Ko Tie jadi bimbang.

“Jika kita tidak pergi sekarang, justeru boanpwe kuatir kalau-kalau mereka sudah tidak berada di sana. Sedangkan boanpwe saja sudah beberapa hari berada di sini!”

Oey Yok Su terdiam sejenak.

“Bagaimana Locianpwe?!” tanya Ko Tie kemudian

Akhirnya Oey Yok Su mengangguk.

“Baiklah!” jawab Tocu dari pulau Tho-hoa-to tersebut. “Mari kita pergi sekarang!”

Bukan main girangnya Ko Tie. Kepada penduduk kampung mereka mengucapkan terima kasih. Bahkan Oey Yok Su memberikan nasehat kepada mereka agar berlatih diri terus dengan rajin dan tekun ilmu silat yang telah diajarkannya.

Penduduk kampung itu berusaha menahan mereka, agar selama beberapa hari lagi berdiam di situ.

Tapi Ko Tie dan Oey Yok Su menyatakan mereka memiliki kepentingan yang perlu sekali harus diselesaikannya, karena itu mereka tidak bisa berdiam lebih lama lagi.

Begitulah Oey Yok Su berdua dengan Ko Tie telah berangkat meninggalkan tempat itu.

Y

Kam Lian Cu merasakan perutnya semakin membesar juga. Dan diapun merasakan betapa sering terjadi sesuatu yang bergerak di dalam perutnya seakan juga di dalam perutnya itu terdapat benda hidup yang sebentar bergerak ke kiri atau ke kanan, atau terkadang tidak jarang pula berputar, bagaikan di dalam perutnya terdapat bola saja!

Si pendeta telah merawatnya dengan baik hati. Dia tampaknya memang merasa berkasihan terhadap nasib si gadis.

Karena itu dia telah mencarikan buah-buahan buat si gadis, juga dia yang telah menyediakan setiap keperluan si gadis. Malah pendeta itu juga yang telah pergi ke kampung-kampung buat mencarikan baju-baju baru Kam Lian Cu.

Hari demi hari telah lewat, dan demikian juga dengan keadaan perut Kam Lian Cu yang semakin hari semakin membesar.

Tidak jarang jika tengah berada seorang diri Kam Lian Cu jadi menangis menyesali nasibnya.

Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi korban dari Bun Siang Cuan yang telah membuat dia jadi korban keganasan dari kera bulu kuning itu, di mana dia telah diperkosa!

Dengan begitu benar-benar telah membuat Kam Lian Cu sering merasa berduka dan berputus asa. Tidak jarang terpikir olehnya bahwa dia ingin sekali membunuh diri.

Hanya saja teringat betapa janin bayi di dalam perutnya itu, dia terpaksa harus membatalkan keinginannya yang tidak-tidak. Dia tidak jadi meneruskan keinginannya buat menghabisi jiwanya sendiri. Dia ingin melahirkan anaknya dan ingin melimpahkan kasih sayang kepada anaknya.

Tapi yang sering dia membuat ragu justeru dia diperkosa oleh seekor kera bulu kuning itu.

“Apakah hubungan antara kera dengan seorang manusia bisa menimbulkan kehamilan dan menyebabkan kelahiran seorang bayi. Jika memang terlahir seorang bayi, lalu bagaimana keadaan dan rupa dari janin bayi itu?”

Benar-benar Kam Lian Cu sering diliputi perasaan ragu dan dia pun tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Hanya saja hiburan-hiburan yang diberikan oleh si pendeta itu juga yang akhirnya telah membesarkan hatinya, membuat dia tidak terlalu nekad dan juga tidak melakukan sesuatu yang bukan-bukan.

Kam Lian Cu pun telah bersiap-siap untuk menerima dan menghadapi kelahiran anak di dalam perutnya itu, untuk melihatnya bagaimana bentuk dan rupa anaknya itu. Apapun bentuk dan rupa anaknya itu, tentu dia akan mengasihinya dan juga mencintainya. Walaupun bagaimana memang dia adalah ibunya dan anak itu adalah anaknya, yang perlu disayanginya.

Namun berkat hiburan dari si pendeta, Kam Lian Cu lebih tabah menghadapi kepahitan hidupnya itu.

Hari demi hari telah lewat cepat sekali, dan juga Kam Lian Cu telah melihatnya, bahwa perutnya semakin membesar juga.

Perasaan sakitnya seringkali dirasakan, walaupun dia baru hamil selama empat bulan.

Pendeta itu bahkan telah sengaja mengundang seorang bidan dari tempat yang terdekat dengan tempat itu, yaitu dari sebuah perkampungan yang terpisah tidak terlalu jauh dari mulut lembah itu.

Bidan itu segera memeriksa keadaan Kam Lian Cu, dia memperoleh kenyataan tidak terdapat kelainan pada kandungan Kam Lian Cu, semuanya normal.

“Masih lima bulan lagi, bayi ini baru akan lahir!” kata bidan itu kemudian.

Pendeta itu memberikan hadiah yang cukup banyak buat bidan tersebut. Diapun berpesan agar bidan itu tidak menceritakan kepada siapapun juga perihal mereka berdua berada di lembah ini.

Bidan itu berjanji tidak akan membocor.kan rahasia tersebut. Karena memang dia telah diberikan hadiah yang besar. Di dalam hati bidan itu cuma menduga bahwa dia memang tengah menghadapi urusan yang tidak benar.

Pasti pendeta itu telah menyeleweng dan memiliki hubungan dengan Kam Lian Cu, gadis itu, sehingga terjadi kehamilan. Dan pendeta itu memesan agar ia merahasiakan semua itu, hanya disebabkan si pendeta merasa malu!

Begitulah, jika memang telah tiba waktunya, kembali si pendeta mengundang bidan tersebut, dia telah memintanya agar memeriksa lagi keadaan Kam Lian Cu.

Di bawah pengamatan dan pengawasan bidan itu, Kam Lian Cu jadi jauh lebih tenang.

Pendeta itu menjanjikan, jika memang bidan ini telah berhasil menolong dan menyelamatkan Kam Lian Cu, ibu dan anak dari kelahiran kelak, maka ia akan dihadiahkan sepuluh tail emas.

Tentu saja bidan itu jadi benar-benar menutup mulut, karena memang dia mengharapkan sekali hadiah yang begitu besar. Walaupun bagaimana dia tidak pernah menerima hadiah sebesar itu, dan juga tidak pernah memiliki uang lebih dari satu tail emas.

Sekarang dia akan dihadiahkan 10 tail emas jika kelak dia berhasil menolongi Kam Lian Cu melahirkan. Begitulah, bidan ini bahkan tanpa dijemput oleh si pendeta sering juga datang ke lembah itu, untuk mengadakan pemeriksaan terhadap kandungan Kam Lian Cu.

Semua itu dilakukan demi kelancaran Kam Lian Cu melahirkan kelak. Berarti juga merupakan hadiah yang sepuluh tail emas itu akan jatuh dalam tangannya.

Dikala itu tampak si pendeta juga sibuk sekali telah membeli dari kampung terdekat, pakaian-pakaian untuk Kam Lian Cu dan calon bayinya.

Bukan main rasa terima kasih Kam Lian Cu terhadap pendeta yang memang telah menolonginya dengan setulus hati.

Ia melihat pendeta itu memang welas asih dan juga sangat menyayanginya. Di samping itu si pendeta berusaha untuk dapat merawatnya dengan sebaik-baiknya.

Kam Lian Cu pun telah berusaha untuk menuruti semua petuah dan nasehat yang diberikan pendeta tersebut. Hanya saja selama mengandung ini, Kam Lian Cu tidak boleh melatih sin-kang maupun ilmu silatnya.

Pendeta itu berjanji, jika memang kelak sudah melahirkan bayi tersebut, maka ia akan diajarkan ilmu silat oleh pendeta ini, yang akan mewarisi sebagian dari ilmunya. Itulah yang menjadi harapan Kam Lian Cu.

Karena jika memang dia berhasil mempelajari ilmu silat yang diwariskan kelak oleh si pendeta, berarti itu merupakan pegangan yang sangat kuat buat dia, karena dia tentunya akan dapat mempergunakannya buat membalas dendam dan sakit hatinya kepada Bun Siang Cuan, maupun Kera berbulu kuning itu.

Disamping itu, memang diapun bermasud untuk dapat melatih diri dengan sebaik-baiknya, karena ia ingin memiliki kepandaian yang sempurna dan tinggi sekali.

Dalam keadaan seperti itu, Kam Lian Cu hanya dapat berdoa, demi untuk keselamatan dirinya dan bayinya. Juga agar ia dipayungi Thian, dan dia bisa mempelajari ilmu silat yang diwarisi pendeta itu agar ia pun kelak bisa membalas dendamnya terhadap Bun Siang Cuan maupun kera bulu kuning itu, yang telah menyebabkan ia menerima aib begitu besar bagi dirinya.

Karenanya Kam Lian Cu pun setiap hari hanyalah mempelajari ilmu yang diajarkan oleh si pendeta, baik cara bersembayang maupun yang tentang baca liam-keng.

Kam Lian Cu merasakan tubuhnya kian berat dan juga perutnya kian besar.

Semakin besar perutnya itu, semakin takut juga Kam Lian Cu, yang diliputi kekuatiran, karena ia kuatir untuk menghadapi kelahiran anaknya, untuk melihat kenyataan. Dia tidak tahu juga, entah bagaimana rupa dan keadaan dari anaknya tersebut.....

Walaupun dia berusaha untuk tabah menghadapi kenyataan yang ada, tokh tidak urung Kam Lian Cu sering kali menetes air mata, menangis menyesali akan nasibnya. Dan sering juga memikirkan keadaan Ko Tie, entah bagaimana keadaan pemuda itu.

Walaupun hubungannya dengan Ko Tie belum lama, tapi sebelum terjadinya peristiwa tersebut, ia memang telah mencintai Ko Tie. Dan ia mengetahui bahwa Ko Tie pun mencintainya.

Hanya saja telah terjadi aib seperti itu, maka habislah semua impiannya. Dan juga dia pun harus menghadapi hari-hari mendatang penuh ketabahan, buat menyambut kelahiran anaknya itu……

Dan jika terpikir seperti itu, Kam Lian Cu sering berduka bukan main. Dia pun telah terpikir, jika memang kelak ia harus melahirkan dari anaknya itu ternyata memiliki rupa seperti seekor monyet dan juga keadaannya buruk sekali, maka ia akan membawa anaknya ke sebuah tempat yang sepi, untuk hidup mengasingkan diri dan merawat anaknya baik-baik.

Diapun terpikir, mungkin juga memang semua ini terjadi atas tulisan nasibnya sendiri.

Giok Hoa yang tengah melakukan perjalanan ke Kotaraja, dengan cepat sekali telah melewati dua buah perkampungan, tapi hanya singgah sebentar saja. Karena Giok Hoa tidak tertarik untuk bermalam di rumah penginapan di kampung itu, yang dilihatnya begitu kotor.

Iapun melanjutkan perjalanannya di malam hari, karena memang Giok Hoa pun tidak gentar melakukan perjalanan seorang diri di malam hari. Dia yakin bahwa kepandaiannya telah cukup tinggi.

Telah beberapa hari dia melakukan perjalanan, selama itu si gadis juga seringkali dilanda oleh kesepian yang sangat.

Tidak jarang dia pun teringat akan Ko Tie dan benar-benar membutuhkannya.

Karena itu, timbul juga selalu penyesalannya, mengapa ia harus meninggalkan Ko Tie beberapa waktu yang lalu dengan sengaja membawa adatnya belaka? Bukankah jika memang dia tidak melakukan hal itu, dan melakukan perjalanan bersama-sama dengan pemuda itu, dia akan gembira sekali?

Sekarang berada seorang diri dalam perjalanan. Giok Hoa baru merasakannya, betapapun juga memang kenyataan yang ada dia harus mengakuinya, ia sangat mencintai Ko Tie!

Juga ia mengetahui bahwa Ko Te sangat mencintainya, maka dengan adanya perpisahan seperti itu, jelas hanya merugikan dirinya dan telah membuat Giok Hoa sering menyesali akan tindakan yang telah dilakukannya.

Sekarang, walaupun dia bermaksud mencari Ko Tie pula, selalu dia gagal.

Pemuda itu sudah tidak berada di tempat semula dan juga entah telah pergi ke mana.

Untuk menghibur kedukaan dan penyesalan hatinya itu, memang Giok Hoa selalu menikmati pemandangan alam yang indah dan permai. Namun tetap saja ia tidak bisa melupakan Ko Tie, tidak juga dia bisa mengurangi kerinduan hatinya, di mana ia mengharapkan sekali dapat bertemu dengan Ko Tie.

Malam itu, udara tidak begitu cerah, tapi juga tidak turun hujan. Sekeliling jalan yang dilalui Giok Hoa gelap pekat, karena rembulan terhalang awan. Di pinggir kiri kanan dari jalan itu terdapat pohon-pohon yang tumbuh cukup lebat.

Ketika Giok Hoa tengah enak-enaknya berjalan, tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu.

Suara mendengus. Seperti seseorang yang tengah keletihan telah berlari jauh. Suara mendengus itu yang demikian mendesah memburu, didengarnya berasal dari sebelah kanannya, dari gerombolan pohon yang lebat.

Muka Giok Hoa berobah, hatinya tercekat dan dia segera berwaspada karena menduga ia akan menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan.

Suara mendengus itu masih juga didengarnya. Giok Hoa memperhatikannya.

Mendadak, dari sebelah kanannya berkelebat sesosok bayangan yang gesit sekali, kekuning-kuningan.

Dalam keadaan gelap seperti itu, gerakan sosok tubuh itu memang sulit sekali buat dilihat dengan jelas.

Sosok bayangan kuning pun telah menerjang akan menerkam Giok Hoa.

Untung saja memang Giok Hoa sejak tadi telah berwaspada, sehingga dia tidak kena diterjang oleh sosok bayangan kuning tersebut.

Cepat sekali Giok Hoa mengelak dari tubrukan sosok bayangan kuning itu. Tapi sosok bayangan kuning tersebut, yang telah menubruk tempat kosong, mengerang perlahan, dan menerjang lagi kepada Giok Hoa lebih cepat.

Giok Hoa mengeluarkan seruan tertahan. Karena mendengar erangan perlahan dari sosok bayangan kuning tersebut. Ia menduga tentunya yang menerjang dirinya adalah seekor binatang buas.

Ketika makluk berwarna kuning itu menubruknya buat ke tiga kalinya, sekali ini Giok Hoa tidak berkelit.

Dengan diam-diam dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyampoknya kuat sekali.

“Dukkkk!” tangan Giok Hoa menghantam sosok tubuh itu.

Terdengar suara pekik yang aneh. Dan mendengar suara pekik tersebut, Giok Hoa kaget.

Itulah suara seekor kera.

Giok Hoa membuka matanya lebar-lebar. Benar saja, yang ada di depannya adalah seekor kera. Kera yang berbulu kuning setinggi manusia dewasa, mengerikan sekali keadaannya.

Giok Hoa segera berpikir. Entah apa maunya kera ini, dan dilihat berulang kali ia menerjang dan menubruknya, jelas dia merupakan binatang yang buas dan bermaksud untuk menjadikan Giok Hoa sebagai korbannya.

Giok Hoa pun telah mengambil keputusan bahwa ia tidak akan segan menurunkan tangan keras kepada binatang ini, jika saja binatang ini tidak segera menyingkir.

Apa yang diduga oleh Giok Hoa memang tepat. Karena kera bulu kuning itu diiringi dengan pekiknya yang menyeramkan, telah melompat lagi.

Gerakan tubuhnya begitu cepat dan gesit sekali, di mana dia telah menerjang kepada Giok Hoa diiringi erangan dan sepasang tangan yang diulurkannya.

Kera ini bergerak jauh lebih cepat dari sebelumnya, karena tubuhnya itu telah bergerak begitu lincah dan juga sepasang tangannya terulurkan panjang sekali dengan ke sepuluh jari tangannya terpentang lebar bermaksud rupanya hendak mencengkeram Giok Hoa.

Giok Hoa tidak bisa berpikir lebih lama lagi, begitu kera tersebut menubruknya segera dia memasang kuda-kudanya. Ketika kera bulu kuning itu menerjang telah dekat, cepat sekali dia menghantam dengan sepasang tangannya.

“Bukkk, bukkk!” Dua kali terdengar suara tubuh kera itu dihantam oleh pukulan tangan Giok Hoa.

Terdengar pekik kesakitan kera tersebut, malah kera itu telah melompat ke belakang. Dia tidak menerjang lagi, karena tampaknya kera tersebut, yang meringis kesakitan dan mengeluarkan pekiknya berulang kali, tidak berani untuk menyerbu lagi menerjang Giok Hoa. Dia rupanya memang mengetahui bahwa dirinya tengah menghadapi calon korban yang bukan sembarangan.

Kera itu tidak hentinya mengeluarkan suara pekiknya yang nyaring. Walaupun dia jeri buat menyerbu lagi, namun tokh diapun tidak pergi meninggalkan Giok Hoa.

Giok Hoa tertawa dingin.

“Hemmm, kau rupanya minta dihajar lebih keras lagi?!” katanya kemudian, sambil Giok Hoa melangkah maju mendekati kera itu.

Kera tersebut memperlihatkan sikap yang jeri buat bertempur lagi dengan Giok Hoa.

Suara pekikan yang dikeluarkan Kera berbulu kuning itu semakin lama jadi semakin keras dan nyaring. Tapi Giok Hoa tidak memperdulikan, dia melangkah maju terus menghampiri.

Tadi dia telah melihatnya betapa kera ini bisa bergerak begitu lincah, tubuhnya bisa bergerak bagaikan seorang manusia yang mengerti gin-kang. Karenanya Giok Hoa tidak mau memberi hati kepadanya, dia menghampiri lebih dekat dan setelah dekat benar, barulah dia melompat sambil melancarkan serangan.

“Wuttttt! Wuttttt……!” dua kali dia memukul Kera berbulu kuning itu.

Sedangkan Kera berbulu kuning itu sama sekali tidak berusaha menangkisnya, karena memang dia tampaknya telah demikian jeri. Dan diapun segera juga melompat ke samping.......

Cuma saja penyerangan yang dilakukan Giok Hoa memang benar-benar cepat. Waktu Kera berbulu kuning itu mengelakkan diri, ternyata Giok Hoa telah menghantam lagi dengan kuat mengenai punggung kera itu, menimbulkan suara yang nyaring sekali:

“Dukkkk!” Disusul dengan Kera berbulu kuning itu bergulingan di tanah sambil mengeluarkan suara pekikan yang berulang kali.

Dalam keadaan demikian, tampak Giok Hoa tidak mau membuang-buang waktu lagi, segera dia melompat, sambil sepasang tangannya menghantam lebih dahsyat.

“Dukkk!” kembali punggung Kera berbulu kuning itu kena dihajarnya, ketika kera itu hendak melompat berdiri, sehingga tubuhnya seketika terguling-guling di tanah. Diapun tidak hentinya mengeluarkan suara pekikan.

Tampaknya suara pekikan Kera berbulu kuning itu bukan karena memekik disebabkan takut, namun dia seperti tengah memanggil kawan-kawannya.

“Hemmm, jika memang dia memanggil kawan-kawannya. jelas aku akan menghadapi kesulitan. Lebih baik aku menyingkir saja tidak perlu lebih lama melayaninya.

Karena berpikir begitu, Giok Hoa bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.

Cuma baru saja Giok Hoa memutar tubuhnya, untuk berlalu, justeru di waktu itulah tampak Kera berbulu kuning itu telah melompat bangun berdiri dan tubuhnya menyusul melesat menerjang lagi kepada Giok Hoa. Sepasang tangannya diulurkan buat mencengkeram.

Giok Hoa kaget. Itulah penyerangan yang dilakukan Kera berbulu kuning yang sangat cepat sekali.

Namun Giok Hoa tidak menjadi bingung tubuhnya bergerak dengan lincah. Dia menangkis dengan menyampokkan tangan kanannya.

Tangkisan yang dilakukannya membuat Kera berbulu kuning itu kesakitan pada pergelangan tangannya, dia mengeluarkan pekikan.

Di waktu itu Giok Hoa telah berseru, “Rupanya kau minta aku mencabut nyawamu!!”

Sambil membentak begitu, tangan Giok Hoa cepat sekali telah mencabut pedangnya. Dan tahu-tahu pedangnya telah dicekalnya, sinar pedang itu berkilauan.

Kera berbulu kuning itu, kaget bukan main melihat pedang tersebut. Dia mengeluarkan suara pekikan nyaring. Dia undur ke belakang dengan sikap ketakutan.

Segera Giok Hoa melompat untuk menikam ke dada Kera berbulu kuning tersebut.

Kera berbulu kuning itu mati-matian berusaha untuk mengelakkan diri dari tikaman itu, tapi terlambat.

“Cessssss……!” pedang itu telah menembusi lengannya, darah merah segera menyembur.

Dengan menjerit kesakitan, Kera berbulu kuning itu telah membuang dirinya bergulingan di tanah, karena dia bermaksud hendak melarikan diri.

Tapi Giok Hoa justeru sekarang tidak memberikan kesempatan kepada kera itu, dia telah menyusuli dengan tikaman lainnya.

Kera berbulu kuning itu memang tengah melompat akan melarikan diri. Karenanya punggungnya yang jadi sasaran dari serangan yang dilakukan oleh Giok Hoa telah meluncur akan menikam dengan cepat sekali, menimbulkan angin yang berkesiuran keras sekali.

Di saat jiwa Kera berbulu kuning itu terancam oleh mata pedang Giok Hoa, justeru dari arah samping berkesiuran angin yang sangat kuat sekali, sebutir batu telah membentur pedang si gadis.

“Tranggggg.......!” pedang Giok Hoa tergetar malah si gadis merasakan betapa pergelangan tangannya sakit dan telapak tangannya pedih.

Hati Giok Hoa tercekat, karena timpukan batu itu telah memperlihatkan bahwa orang yang menimpuk itu memiliki tenaga dalam atau sin-kang yang tinggi sekali.

Karenanya Giok Hoa segera mengawasi sekelilingnya diapun telah bersikap waspada sekali.

Kera berbulu kuning itu mengeluarkan suara pekikan nyaring dan telah berlari ke arah dari mana tadi batu itu menyambar pedang Giok Hoa.

Giok Hoa mengawasi dengan mata terpentang lebar-lebar, dan di waktu itu dilihatnya sesosok bayangan melompat keluar. Diikuti juga di belakangnya oleh Kera berbulu kuning tersebut.

“Hemmmm, siapa yang berani menghina Kim Go?!”” terdengar suara orang menegur dengan dingin sekali.

Giok Hoa tercekat. Orang menegur dengan suara yang sangat dingin, tapi juga merupakan pertanda bahwa orang itu memiliki sin-kang yang kuat. Dia semakin berwaspada.

Dikala itu Kera berbulu kuning telah hinggap di samping sosok tubuh itu.

Giok Hoa melihat orang itu adalah seorang kakek tua yang mungkin telah berusia tujuhpuluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya yang tumbuh panjang itu tergerai sampai ke pundaknya.

Orang tua itu juga tertegun waktu telah melihat jelas Giok Hoa.

“Aha, seorang nona manis yang cantik jelita.....!” begitu menggumam orang tua tersebut.

Giok Hoa jadi jemu melihatnya. Dia menduga kakek tua ini pasti seorang yang ceriwis maka dengan suara yang tawar dia menegurnya,

“Apakah engkau pemilik kera itu?!”

Kakek tua ini tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya: “Benar, tepat, sedikitpun tidak salah! Dan kau nona manis, apakah kau memang bersedia menjadi mantuku?”

Mendengar perkataan kakek tua itu, yang menanyakan kesediaannya buat menjadi mantunya, bukan main gusarnya Giok Hoa.

“Hemm!” mendengus Giok Hoa dengan suara yang tawar. “Apakah kau kira aku wanita murahan sehingga begitu mudah engkau mengucapkan kata-katamu itu?!”

Waktu menegur seperti itu, muka Giok Hoa merah padam.

Orang tua itu tertawa bergelak-gelak nyaring sekali. Dia bilang: “Bagus!” dan kemudian membarengi dengan perkataannya itu, dia pun melompat ke depan Giok Hoa.

Yang membuat Giok Hoa kaget, betapa sempurnanya gin-kang orang tua itu, karena ia bisa bergerak tanpa Giok Hoa bisa melihatnya cara dia bergerak dengan jelas.

“Kau harus patuh terhadap perintahku kalau tidak, kau akan menderita nona manis……!” kata orang tua itu.

Giok Hoa menindih perasaan kuatirnya, dia juga menekan perasaan marahnya, lalu bertanya dengan gusar: “Siapa kau sebenarnya?”

Orang tua itu sudah berdiri di depan Giok Hoa, tertawa dingin: “Hemmm, kau ingin mengetahui namaku, nona manis?” Dan setelah berkata begitu, dia tertawa bergelak-gelak.

“Katakan!” kata Giok Hoa.

“Aku she Bun bernama Siang Cuan! Nah, sekarang engkau telah mengetahui siapa adanya aku, dan aku harap engkau mematuhi benar segala apa yang kukatakan, agar kau tidak memperoleh kesulitan, nona manis. Engkau cocok sekali menjadi mantuku, karena mantuku yang satu itu telah melarikan diri.”

Muka Giok Hoa berobah merah, kemudian dia mengibaskan pedangnya: “Baiklah, jika memang engkau sudah tidak memiliki urusan lainnya, aku akan melanjutkan perjalananku.....!!”

Sambil berkata begitu, dengan tangan masih menggenggam pedangnya, Giok Hoa memutar tubuhnya. Dia bermaksud hendak meninggalkan tempat itu, terutama sekali meninggalkan orang tua yang dianggapnya memiliki mulut sangat kurang ajar dan kera bulu kuning itu.

Tapi Bun Siang Cuan, kakek tua yang memang ku-koay itu telah tertawa.

“Mana boleh kau pergi begitu saja?” katanya kemudian, “Aku sudah memberitahukan kepadamu, bahwa engkau cocok buat menjadi mantuku, karena itu, walaupun kau memaksa untuk pergi, tetap saja aku tidak akan mengijinkan engkau pergi.....!”

Setelah berkata begitu, tubuh si kakek tua she Bun tersebut, dengan gerakan yang sangat lincah sekali mencelat ke depan Giok Hoa.

Giok Hoa kaget, karena tahu-tahu dia melihat tangan si kakek tua telah terulur akan mencengkeram pergelangan tangannya.

Segera si gadis mengelakkan diri, pedangnya dipakai menikam.

“Hahahaha.....!” tertawa kakek tua tersebut dengan suara yang nyaring.

Tubuhnya bergerak sangat lincah dan tahu-tahu dia telah berhasil mengelakkan diri dari serangan pedang si gadis. Malah dia telah mencengkeram tangan si gadis, dan pedang Giok Hoa telah pindah ke tangan si kakek tua she Bun tersebut.

Muka Giok Hoa berobah pucat, dia melompat mundur.

Tapi kakek tua Bun Siang Cuan justeru bertindak tidak kalah cepatnya.

Waktu Giok Hoa tengah melompat mundur, justeru di saat itulah tangan si kakek tua tersebut telah berhasil menotok tubuh Giok Hoa.

Tidak ampun lagi Giok Hoa terguling di tanah, dia rebah tidak bisa bergerak.

Bukan main kaget dan kuatirnya si gadis. Dalam keadaan tertotok dan jika memang Bun Siang Cuan bermaksud hendak melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya, niscaya dia tidak akan dapat mencegahnya.

Dia mengawasi kakek tua itu, yang sambil menggoyangkan pedang di tangannya, telah datang menghampiri.

Malah diapun telah berkata: “Aku sudah mengatakan tadi kepadamu, lebih baik engkau menyerahkan diri secara baik-baik dengan menuruti setiap perintah dan kata-kataku, sehingga engkau tidak akan memperoteh kesulitan.

“Hanya saja, sayangnya engkau seorang gadis kepala batu, dengan begitu tentu saja akan membuat engkau menderita! Tapi walaupun bagaimana memang engkau harus menjadi mantuku....... kau akan menjadi calon isteri anakku.”

Setelah berkata begitu, tampak kakek tua ini telah menoleh kepada Kera berbulu kuning.

“Kim Go, layani isterimu……!” perintah kakek tua itu.

Kera bulu kuning itu, Kim Go, mengeluarkan suara pekikan yang menunjukkan dia tengah kegirangan. Dia melompat ke dekat Giok Hoa.

Bukan main kagetnya Giok Hoa. Jadi yang dimaksudkan Bun Siang Cuan sebagai anaknya, tidak lain dari Kera berbulu kuning ini? Tubuh Giok Hoa menggigil menahan rasa takut yang hebat.

Sedangkan kera itu telah mengulurkan tangannya. Dia membuka baju bagian atas Giok Hoa. Menyusul dengan mana dia juga telah membuka juga pakaian bagian bawah Giok Hoa.

Giok Hoa dalam keadaan tidak berdaya. Dia tidak bisa bergerak dan hanya mulutnya yang bisa berseru-seru: “Jangan….. jangan……!” air matanya juga telah menitik turun.

Bun Siang Cuan duduk di tepi jalan, mengawasi sambil tertawa-tawa.

Kera berbulu kuning itu juga telah membuka terus pakaian Giok Hoa. Benar-benar Giok Hoa ketakutan bercampur putus asa. Dia bisa menduga apa yang hendak dilakukan kera itu.

Namun belum lagi apa yang memalukan dan akan membuat aib yang besar buat Giok Hoa terjadi, justeru tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan.

“Binatang……!” terdengar suara mendengus yang perlahan dan dingin sekali. Menyusul dengan itu terdengar suara “Plakk!”

Batok kepala Kim Go telah kena terpukul hancur.

Kim Go tidak sempat mengeluarkan suara jeritan lagi, karena tubuhnya terkulai dan napasnya berhenti.

Giok Hoa tertolong. Tapi si kakek Bun Siang Cuan yang menyaksikan kera peliharaannya, anak angkatnya, yang sangat disayanginya itu telah mati.

Bukan main kagetnya. Dia menjerit sambil melesat bangun. Cepat sekali tubuhnya melambung ke tengah udara. Dia menghantam kepada sosok tubuh yang menolong Giok Hoa.

Waktu itu sosok tubuh tersebut telah berkata kepada Giok Hoa.

“Pakai bajumu lagi!”

Dan tangannya telah menyentil, sehingga totokan pada diri Giok Hoa terbuka dan si gadis bisa menggerakkan sepasang tangan, kaki dan tubuhnya.

Giok Hoa cepat-cepat telah memakai kembali bajunya, dan melihat yang menolonginya adalah seorang tua yang memakai baju dan topi warna hijau.

Waktu itu si kakek tua Bun Siang Cuan telah sampai di belakang laki-laki tua penolong Giok Hoa, dengan diiringi bentakan dan erangan menyeramkan. Dia menghantam.

Akan tetapi orang yang memakai baju hijau itu sama sekali tidak gentar. Malah dia telah mengibas dengan tangannya.

“Dukk!!” hebat tangkisan yang terjadi, dan seketila itu juga tubuh Bun Siang Cuan dan tubuh orang itu tergetar sangat keras.

Juga di saat itu tampak sesosok bayangan lainnya telah melompat ke samping Giok Hoa.

“Hoa-moay, apakah engkau tidak kurang suatu apa?!” tanya orang itu.

Giok Hoa terkejut bercampur girang, karena segera dia mengenalinya itulah Ko Tie. Seketika dia juga jadi malu, hampir saja dia tertimpah bencana yang sangat hebat sekali, yaitu akan diperkosa oleh seekor kera.

“Ko Tie Koko...... kau?” hanya kata-kata itu saja yang bisa diucapkannya.

Ko Tie mengangguk. “Ya.....!” sahutnya kemudian. “Dan kau tampaknya memang telah mengalami keterkejutan yang sangat hebat!”

Giok Hoa hanya mengangguk sambil menunduk malu.

Tampak Ko Tie memperhatikan, bahwa kawannya yang memakai baju hijau itu, yaitu Oey Yok Su, tengah bertempur seru melawan Bun Siang Cuan.

Oey Yok Su dan Ko Tie ternyata tiba di tempat itu secara kebetulan, karena mereka memang tengah melakukan perjalanan juga.

Betapa terkejutnya mereka waktu menyaksikan apa yang terjadi, dimana Giok Hoa akan diperkosa oleh seekor Kera berbulu kuning itu, maka Oey Yok Su tidak membuang waktu turun tangan buat menyelamatkan Giok Hoa.

Tidak tahunya kembali dia bertemu dengan Bun Siang Cuan dan sekarang mereka telah bertempur sangat dahsyat. Karena memang mereka merupakan orang-orang yang telah memiliki kepandaian sangat tinggi sekali, juga sin-kang yang telah sempurna.

Hebat cara bertempur ke dua tokoh lihay dari dunia persilatan itu, karena masing-masing telah mengeluarkan seluruh kepandaian yang mereka miliki.

Sedangkan Bun Siang Cuan sendiri merasakan, semakin lama ia semakin tertindih oleh tenaga Oey Yok Su, karena napasnya juga sekarang mulai memburu keras.

Dikala itu, Oey Yok Su melihat bahwa dia mulai dapat mendengar napas Bun Siang Cuan, semakin memperhebat pengerahan tenaga dalamnya

Ko Tie melihat Oey Yok Su menang di atas angin, diam-diam jadi girang.

Oey Yok Su memang sengaja telah mempergunakan seluruh ilmu andalannya, karana dia bermaksud untuk merubuhkan Bun Siang Cuan.

Jika dulu, dia menghargai Bun Siang Cuan sebagai seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dan dia tidak mau menurunkan tangan keras kepadanya.

Hanya saja sekarang melihat betapa ancaman yang hampir menimpah si gadis, dan perbuatan yang begitu rendah sempat membuat Oey Yok Su jadi murka bukan main.

Ko Tie cepat-cepat telah membisiki Giok Hoa: “Pergilah kau menyingkirkan diri dulu!”

Giok Hoa telah mengangguk dan meninggalkan tempat itu, karena memang dia yakin jika sampai dia tidak menyingkir dan Bun Siang Cuan menurunkan tangan kejam padanya, niscaya akan membuat dia bercelaka.

Tampak Ko Tie juga mengiringi Giok Hoa. Dia tahu, biarpun Bun Siang Cuan telah kena didesak begitu hebat oleh Oey Yok Su, namun tetap saja tidak mudah Bun Siang Cuan bisa dirubuhkan oleh Oey Yok Su, disebabkan kepandaiannya yang memang hampir berimbang dengan Oey Yok Su.

Jika pertempuran itu berlangsung terus, niscaya akan memakan waktu mungkin sampai dua hari dua malam atau mungkin juga lebih. Karenanya Ko Tie telah menganjurkan agar Giok Hoa menyingkir saja.

Hal ini lebih mempermudah buat Oey Yok Su, kalau sampai ia sudah hendak menyudahi pertempuran tersebut, dia bisa menyudahi sampai di situ saja. Sedangkan Bun Siang Cuan tentu tidak akan dapat mencari jejak Giok Hoa lagi.

Memang Oey Yok Su juga berpikir seperti itu. Melihat bahwa Ko Tie dan Giok Hoa telah menyingkir, dia jadi girang.

Dengan suara yang nyaring dia berseru: “Dengarlah orang she Bun, engkau ternyata seorang yang berhati busuk dan selalu ingin melakukan perbuatan hina dan rendah..... Karena itu, hari ini biarlah aku Oey Yok Su akan turun tangan menghajar kau!”

Sambil berkata begitu, tubuhnya berkelebat-kelebat dengan lincah sekali buat mendesak lawannya.

Sedangkan Bun Siang Cuan tertawa bergelak-gelak, dia bilang: “Hemmm, tidak mudah buat kau merubuhkan diriku! Karena akulah yang akan menghajar kau, akan membunuhmu, karena engkau telah membunuh anakku.....!”

Setelah berkata begitu, Bun Siang Cuan mengempos semangatnya, dia membalas menyerang semakin hebat.

Hanya saja memang Oey Yok Su menang seurat jika dibandingkan dengan ilmu Bun Siang Cuan membuat lawannya benar-benar terdesak.

Dikala itu terlihat betapapun juga Bun Siang Cuan, berusaha untuk mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja dia tidak bisa membendung serangan yang dilakukan oleh Oey Yok Su.

Berulang kali dia terdesak dan hampir saja dia rubuh terkena tekanan dari tenaga dalam Oey Yok Su!

Lama kelamaan tampak Bun Siang Cuan lebih banyak membela diri saja.

Waktu itu pertempuran tersebut telah berlangsung semakin hebat dan menentukan!

Dua tokoh sakti dari rimba persilatan tengah mengukur kepandaian dan tenaga. Dengan begitu, mereka telah mengeluarkan seluruh kepandaian andalannya.

Dan mereka juga tampaknya benar-benar tidak mau saling mengalah dengan keadaan seperti itu, jika saja sampai salah seorang di antara mereka rubuh, berarti mereka akan rubuh dalam keadaan terluka parah atau mati!

Bun Siang Cuan akhirnya berpikir. “Hem kau sekarang memang tidak dapat kurubuhkan biarlah…… nanti setelah kulatih lagi ilmuku, aku akan mencarimu……!”

Setelah berpikir begitu, tiba-tiba Bun Siang Cuan tertawa bergelak-gelak.

Tahu-tahu dia telah menghantam Oey Yok Su dengan serangan seperti orang kalap dan hebat sekali setiap pukulannya seperti dia hendak mengadu jiwa.

Oey Yok Su tentu saja tidak mau buat mengadu jiwa dengannya, dia mengelakkannya.

Mempergunakan kesempatan di waktu Oey Yok Su telah berkelit, tampak tubuh Bun Siang Cuan telah melompat ke belakang. Dia tertawa bergelak-gelak sambil berlari cepat sekali !

“Nanti kita bertemu lagi.......!” teriaknya.

Oey Yok Su hendak mengejar, namun dia segera teringat kepada Ko Tie dan juga Giok Hoa, maka dia membatalkan keinginannya itu dia telah memutar tubuhnya, berlari ke arah di mana tadi Ko Tie dan Giok Hoa pergi.

Y

Ko Tie telah mengajak Giok Hoa buat pergi ke sebuah tempat yang cukup aman, yaitu di antara pohon-pohon yang lebat, karena memang dia ingin mengajak si gadis bersembunyi.

Keadaan di sekitar tempat itu tampak gelap sekali. Si gadis yang berada di samping si pemuda, jadi berdebar tergoncang hatinya.

Ko Tie waktu itu telah berbisik kepadanya: “Kita tunggu Oey Locianpwe di sini saja……!”

Giok Hoa mengiyakan dengan suara yang perlahan sekali, dia malu bukan main.

Sedangkan Ko Tie telah berkata: “Hoa-moay, betapa engkau membuat aku jadi bingung karena engkau telah meninggalkan aku begitu saja.....!”

Giok Hoa tidak bisa menjawab. Dia berdiam diri saja, dengan pipinya berobah memerah dan terasa panas!

Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berlari cepat sekali tengah mendatangi.

“Kita harus bersiap-siap, mungkin juga yang datang adalah Oey Locianpwe, tapi bisa jadi juga adalah orang she Bun itu!” bisik Ko Tie.

Giok Hoa mengiakan.

Sosok bayangan itu telah berlari tiba di dekat mereka.

Ko Tie melihat orang itu mengenakan baju warna hijau. Segera juga dia mengetahui dan mengenalinya, itulah Oey Yok Su.

“Oey Locianpwe!” panggilnya dengan suara yang nyaring dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Oey Yok Su berhenti dan bertanya: “Bagaimana keadaan kalian berdua?!”

Waktu itu Giok Hoa pun telah melompat keluar, tahu-tahu dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Oey Yok Su.

“Terima kasih atas pertolongan Oey Locianpwe.....!” katanya kemudian.

Oey Yok Su memimpin bangun padanya.

Dikala itu terlihat betapapun juga, memang dia merasa simpati pada si gadis. Dia melihat gadis ini manis sekali dan cocok jika bersanding dengan Ko Tie. Maka katanya:

“Diakah gadis yang kau ceritakan dulu kepadaku, murid dari puteri angkatnya Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko?!”

“Benar.....!” menyahuti Ko Tie. “Oey Locianpwe juga telah pernah bertemu dengan Hoa-moy beberapa kali.....!”

Oey Yok Su mengangguk, memang benar dia pernah bertemu dengan gadis ini.

Ko Tie telah menceritakan, betapa Bun Siang Cuan ingin “mempergunakan” keranya untuk memperkosa Giok Hoa, dengan cara yang biadab sekali. Semua yang telah didengar dari Giok Hoa diceritakan kepada Oey Yok Su.

Muka Oey Yok Su berobah merah padam dia telah menghela napas beberapa kali.

“Sayang! Sayang sekali! Manusia dengan kepandaian seperti orang she Bun itu, yang sangat tinggi dan cukup mengagumkan, ternyata memiliki hati seperti binatang.....!”

Lalu Oey Yok Su menghela napas lagi, barulah dia mengajak Ko Tie dan Giok Hoa buat meninggalkan tempat itu.

Sepanjang perjalanan, Oey Yok Su sering menyinggung-nyinggung bahwa Ko Tie dan Giok Hoa merupakan pasangan yang sangat ideal.

Setiap kali Oey Yok Su menyinggung hal itu, maka membuat pasangan remaja itu berobah wajahnya menjadi merah, dengan pipi terasa panas sekali. Mereka jengah dan likat.

Cuma saja, pertemuan ini justeru telah menyuburkan benih cinta yang terdapat di hati mereka.

Perjalanan telah dilanjutkan terus. Hanya sayangnya Oey Yok Su tidak keburu menanyakan soal Kam Lian Cu kepada Bun Siang Cuan. Dia telah keburu melarikan diri.

“Tapi Kam Kouw-nio tentu berada di sekitar tempat ini!” kata Ko Tie dengan penuh keyakinan. “Dia tentu tidak akan menyingkirkan diri terlalu jauh……!”

Oey Yok Su mengangguk, dia menghela napas.

“Waktu kejadian itu. dimana Kam Kouw-nio melarikan diri, dia sesungguhnya bisa saja menantikan engkau di sebuah tempat. Tapi kenyataannya kau juga terluka hebat.

“Karena itu, tidak diketahui lagi, apakah ia selamat dari tangan orang she Bun itu atau tidak! Tapi jika memang dia berhasil menyelamatkan diri, tentu tidak mudah mencarinya di sekitar tempat ini.....

“Sekarang ini telah lewat dua bulan lebih. Tentu dalam dua bulan lebih dia sudah melarikan diri cukup jauh, dia bisa pergi.

“Lain jika memang dia tertawan oleh Bun Siang Cuan, maka dia tidak akan berdaya dan tentu dikurung di sebuah tempat oleh orang she Bun.......!”

“Jika begitu, kita harus mencari orang she Bun itu lagi?!” kata Ko Tie.

Oey Yok Su mengangguk.

“Tadinya aku tidak berpikir seperti itu, aku membiarkan saja dia melarikan diri. Tapi sekarang, walaupan bagaimana kita harus pergi mencarinya. Kita perlu menanyakan perihal nona Kam kepadanya, dan memaksa dia sampai mau bicara!”

Ko Tie ragu-ragu.

Kepandaian Bun Siang Cuan tidak rendah hampir setingkat dengan kepandaian Oey Yok Su. Jika memang mereka mencari orang she Bun itu lagi, dan terjadi pertempuran hebat antara Oey Yok Su dengan orang she Bun tersebut, tentunya merupakan pertempuran yang berkepanjangan, juga tidak akan ada keputusan, siapakah yang akan rubuh dan siapakah yang akan menang.

Karena itu, jika memang terjadi hal itu, berarti Oey Yok Su harus benar-benar mengeluarkan seluruh kepandaiannya, sehingga jika memang tidak dapat Oey Yok Su merubuhkan Bun Siang Cuan, kemungkinan besar mereka berdua yang akan terluka atau binasa. Tidak dapat Oey Yok Su untuk merebut kemenangan begitu saja di kala Bun Siang Cuan masih dalam keadaan segar bugar.

Dan Ko Tie menguatirkan juga buat keselamatan Oey Yok Su, karena jika Oey Yok Su harus bertempur dua hari dua malam dengan mempergunakan seluruh sin-kang dan kepandaiannya, niscaya akan membuat dia letih bukan main, berarti juga dia bisa terluka di dalam, karena usianya yang telah lanjut benar.

Maka Ko Tie ingin mencegah Oey Yok Su mencari Bun Siang Cuan. Cuma saja, sekejap kemudian dia ragu-ragu. Dia kuatir Oey Yok Su akan tersinggung karenanya.

Melihat Ko Tie berdiam diri, Giok Hoa juga jadi canggung. Diapun berdiam diri saja.

Oey Yok Su telah mengajak mereka buat berlalu dan Ko Tie berdua dengan Giok Hoa hanya ikut saja, mereka ingin mencari Kam Lian Cu.

Walaupun mereka telah mencari ke sana ke mari, Bun Siang Cuan tidak terlihat bayangannya.

Kakek tua yang tampaknya agak sinting itu ternyata telah menghilang ke mana? Hanya saja, masih terlihat bangkai kera itu, yang menggeletak diam dan tampak mengerikan sekali karena batok kepalanya yang hancur itu.

Giok Hoa menggidik melihat kera bulu kuning itu, karena jika tidak keburu Oey Yok Su dan Ko Tie tiba di tempat itu, tentu dia telah menjadi korban kera bulu kuning itu, diperkosa binatang tersebut. Dan hati Giok Hoa jadi ciut memikirkan hal itu.

Oey Yok Su menghela napas.

“Mari kita cari ke tempat lain..... Dia pasti masih berada di sekitar tempat ini……!” Segera juga Oey Yok Su berlari-lari untuk mencari Bun Siang Cuan di sekitar tempat ini.

Ko Tie berdua Giok Hoa berlari-lari mengikuti di belakang tokoh sakti tersebut.

Oey Yok Su menduga bahwa Bun Siang Cuan masih berada di sekitar tempat ini, karena dia melihat bangkai kera itu masih berada di tempatnya. Dia telah menyaksikan betapa Bun Siang Cuan sangat sayang pada kera itu, dan tentu dia akan kembali buat mengambil bangkai kera itu, yang tentunya akan dikuburnya.

Karena itu, Oey Yok Su menduga Bun Siang Cuan masih berada di sekitar tempat ini, dan dia tengah menyembunyikan diri saja di suatu tempat.

Oey Yok Su bertiga telah mencari ke sana ke mari di sekitar tempat itu. Namun tetap saja Bun Siang Cuan tidak terlihat bayangannya.

Kam Lian Cu juga tidak, berhasil mereka temui.

Ko Tie sangat penasaran sekali, dia meminta kepada Oey Yok Su, untuk beberapa lama dia harus mencari Kam Lian Cu di tempat ini.

Begitulah, selama satu bulan mereka berada di tempat tersebut. Mereka telah berkeliling ke sana ke mari, menjelajahi sekitar tempat itu. Namun orang yang mereka cari tetap saja tidak berhasil ditemui.

Sebulan lebih telah lewat, dan Giok Hoa mulai tidak sabar. Diam-diam di hatinya timbul juga perasaan cemburu. Dia mendengar dari penuturan Ko Tie bahwa Kam Lian Cu seorang gadis yang cantik sekali, diam-diam hatinya jadi jelus.

Di waktu itu, sebetulnya Giok Hoa hendak mengajak Ko Tie dan Oey Yok Su menyudahi saja pencarian mereka dan meninggalkan tempat tersebut. Hanya saja, biarpun hatinya berpikir begitu, tokh tetap saja dia tidak bisa menyampaikan isi hatinya itu. Mulutnya tidak bisa untuk mengucapkan apa yang dipikirkannya.

Karena itu, dua minggu lagi mereka telah berada di sekitar tempat tersebut.

Y

PENUTUP

Pada waktu itu tampak tubuh Oey Yok Su dengan lincah telah mencelat ke sana ke mari, di mana dia juga telah berusaha untuk mendatangi tempat-tempat yang paling sukar sekali.

Dengan mengandalkan gin-kangnya yang memang telah sempurna dan sangat mahir, Oey Yok Su tidak menemui kesulitan.

Malam tadi dia telah mengatakan kepada Ko Tie dan Giok Hoa, jika dua hari lagi mereka tidak berhasil menemukan Bun Siang Cuan maupun Kam Lian Cu, maka mereka akan meninggalkan tempat tersebut.

Ko Tie sesungguhnya berat meninggalkan tempat itu sebelum Kam Lian Cu berhasil mereka temukan. Tapi berbalik dengan Giok Hoa, yang menjadi girang mendengar keputusan Oey Yok Su.

Waktu itu Ko Tie juga telah meminta kepada burung rajawali agar bantu mencari.

Memang selama itu burung rajawali tersebut telah membantu mereka mencari jejak Bun Siang Cuan maupun Kam Lian Cu dengan terbang di angkasa, di mana dia mencari ke sana ke mari.

Ko Tie mengharapkan, dengan sisa dua hari ini, burung rajawali itu berhasil menemukan Kam Lian Cu.

Namun burung rajawali itu tetap saja tidak berhasil menemukan jejak dari orang yang tengah mereka cari.

Satu hari lagi telah lewat, dan juga di hari itu mereka gagal buat menemukan jejaknya Bun Siang Cuan maupun Kam Lian Cu.

Benar-benar Ko Tie jadi kecewa sekali……

Pada pagi keesokannya, waktu Ko Tie, Giok Hoa maupun Oey Yok Su, masih rebah menyender di sebatang pohon karena tidur mereka yang nyenyak, tiba-tiba mereka dibangunkan oleh suara pekik rajawali yang begitu nyaring.

Segera juga ke tiga orang ini melompat berdiri, dan mereka melihat burung rajawali itu tengah terbang menukik turun hinggap di atas tanah.

Sepasang sayapnya digerak-gerakan tampaknya burung rajawali itu tengah berusaha memberitahukan sesuatu.

Giok Hoa segera melompat ke punggung burungnya. Ko Tie juga melompat ke atas punggung burung itu. Segera juga burung rajawali itu terbang ke tengah udara dengan cepat sekali.

Rupanya burung rajawali ini mengajak mereka ke sebuah lembah, dan Ko Tie maupun Giok Hoa melihat lembah itu rapat sekali oleh tumbuh-tumbuhan maupun pohon yang masih liar.

Tadi Tiauw-jie atau burung rajawali ini, telah melihat seseorang di dalam lembah. Maka dia telah terbang memberitahukan kepada majikannya.

Burung rajawali itu terbang berputar-putar, tapi Giok Hoa maupun Ko Tie tidak melihat sesuatu.

Akhirnya Giok Hoa perintahkan burung rajawali itu agar terbang menukik turun di lembah tersebut.

Ko Tie dan Giok Hoa melompat turun dari punggung rajawali tersebut, dan mereka mencari-cari menyelidiki keadaan di lembah tersebut dengan teliti.

Dan Ko Tie melihat bahwa di tanah dalam lembah itu, banyak sekali terlihat bekas tapak-tapak kaki.

Seketika Ko Tie dan Giok Hoa jadi girang. Pasti lembah ini didiami manusia. Juga dilihat dari bekas tapak kaki itu, tapak kaki laki laki yang berukuran besar dan tapak kaki yang kecil, tapak kaki wanita.

Tengah mereka mencari-cari seperti itu, tiba-tiba terdengar suara orang menyebut akan kebesaran Sang Budha.

“Omitohud…… siapakah kalian dan apa maksud kalian mendatangi lembah ini?” tiba-tiba telah muncul seorang pendeta berusia limapuluh tahun lebih dari balik gerombolan pohon.

Ko Tie dan Giok Hoa terkejut.

“Maafkan Taysu!” kata Ko Tie sambil merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat. “Kami tengah mencari jejak seorang kawan, karena itu telah lancang datang ke lembah ini.....!”

“Tengah mencari kawan?!” tanya pendeta itu.

Ko Tie mengangguk.

“Benar Taysu……!”

“Siapakah kawan Sicu?!”

Ko Tie ragu-ragu. Giok Hoa pun ragu-ragu.

Si pendeta tersenyum.

“Lolap kira di sekitar lembah ini tidak terdapat orang lain…… dan lolap kira, kawan Sicu juga tidak berada di dalam lembah ini……!”

“Apakah hanya Taysu seorang diri yang berdiam di lembah ini?” tanya Ko Tie.

Muka pendeta itu berobah lagi.

Dia tentu saja tidak bisa berdusta. Dia seorang pendeta yang alim dan saleh, maka tidak dapat dia berdusta, sedangkan orang telah bertanya seperti itu, membuat dia benar-benar sangat sulit sekali.

Melihat pendeta itu tampaknya jadi kikuk dan agak bingung, Ko Tie jadi heran. Namun segera juga sambil tertawa dia bilang: “Jika memang Taysu keberatan menjelaskannya, sudahlah, kami juga tidak berani bertanya berbelit-belit……!”

Di waktu itu terlihat pendeta itu jadi kurang enak hati. Dia bilang: “Lolap tinggal di sini bersama kawan.”

“Ohhhhh…….” Baru saja Ko Tie hendak meneruskan kata-katanya, pada saat itu dari mulut lembah telah berlari-lari pesat sekali sesosok bayangan hijau!

Dialah Oey Yok Su!

Melihat Oey Yok Su, muka pendeta itu jadi berobah seketika, dia segera juga menggumam: “Mengapa dia bisa berada di tempat ini?”

Waktu itu cepat sekali Oey Yok Su telah berlari tiba di dekat si pendeta.

Si pendeta merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat kepada Oey Yok Su dan katanya: “Locianpwe sesungguhnya ini merupakan pertemuan yang sangat menggembirakan sekali! Terimalah hormat dari Yang Bun?”

Melihat pendeta itu, Oey Yok Su hanya membalas penghormatan dengan setengah membungkukkan tubuhnya.

“Jangan banyak peradatan, Yang-bun,” katanya.

Ternyata pendeta itu adalah seorang pendeta Siauw-lim-sie dari tingkat kedua. Dia memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Sering juga Yang-bun bertemu dengan Oey Yok Su, karena itu dia mengenali jago tua yang sakti tersebut.

Sekarang melihat Oey Yok Su muncul di tempat ini, dia menjadi heran bukan main.

Melihat pendeta itu hanya memandangi saja, Oey Yok Su kemudian bilang: “Taysu berada di sini, apakah dalam perjalanan?”

Si pendeta bergeleng kepala.

“Lolap berada berdua dengan kawan yang mengalami nasib sangat buruk sekali, untuk sementara waktu berdiam di sini……!” menyahuti si pendeta.

“Oh.....!” berseru Oey Yok Su. “Siapakah kawan Taysu, apakah pendeta Siauw-lim-sie juga?!”

“Bukan!” menyahuti Yang Bun Taysu. “Dia adalah seorang gadis yang malang sekali nasibnya!”

Mendengar keterangan Yang Bun Taysu itu bukan main kagetnya Ko Tie bertiga.

“Seorang gadis?” tanya Ko Tie kemudian.

Yang Bun Taysu mengangguk membenarkan, dia juga menceritakan apa yang telah dialami oleh kawannya itu, yang ternyata tidak lain Kam Lian Cu.

Mendengar Kam Lian Cu korban dari kera bulu kuning milik Bun Siang Cuan, hati Ko Tie dan Giok Hoa maupun Oey Yok Su berdebar-debar. Mereka pun merasa bahwa kawan dari si pendeta ini adalah orang yang tengah mereka cari.

“Bisakah Taysu mengajak kami bertemu dengannya?!” tanya Oey Yok Su.

Oey Yok Su merupakan orang yang sangat dihormati oleh Yang Bun Taysu, maka dia tidak memiliki alasan buat menolaknya, malah dengan segera dia mengajak mereka bertiga masuk ke dalam lembah itu lebih jauh.

Ketika dipertemukan dengan orang yang disebutkan Yang Bun Taysu, semuanya terkejut. Karena dialah Kam Lian Cu, orang yang tengah mereka cari-cari.

Kam Lian Cu menangis sedih sekali. Oey Yok Su menghiburnya. Malah menjelaskan juga bahwa Kera berbulu kuning telah dihajar mati olehnya.

“Tapi..... tapi entah apa yang akan terjadi buat hari-hariku di masa mendatang.....!” mengeluh Kam Lian Cu dalam isak tangisnya.

Ko Tie dan Giok Hoa ikut menghiburnya.

Oey Yok Su malah menawarkan, jika Kam Lian Cu bersedia, maka dia ingin mengambil anak Kam Lian Cu kelak sebagai muridnya. Karena dari itu Oey Yok Su menganjurkan Kam Lian Cu ikut dengannya pergi menetap di pulau Tho-hoa-to.

Bukan kepalang girangnya Kam Lian Cu. Terlebih lagi Yang Bun Taysu, karena dengan demikian dia bebas dari tugasnya yang sangat berat itu. Diapun yakin bahwa Kam Lian Cu benar-benar terlindung dengan berada dalam perlindungan Oey Yok Su.

Begitulah, setelah bercakap-cakap beberapa saat, merekapun berpisah. Oey Yok Su mengajak Kam Lian Cu ke Tho-hoa-to, sedangkan Yang Bun Taysu melanjutkan perjalanannya meninggalkan lembah tersebut.

Ko Tie dan Giok Hoa melakukan perjalanan kembali ke tempat guru-guru mereka, dan di sana mereka ingin meminta restu, agar mereka dinikahkan dengan resmi.

Ko Tie sesungguhnya merasa iba dan berkasihan kepada Kam Liam Cu, tapi dia tidak bilang apa-apa. Dan terhadap Giok Hoa, memang pada dasarnya dia sangat mencintai, dia tidak dapat mengelak lagi untuk lepas dari pernikahan.

Tentu guru mereka akan menyambut berita ini dengan gembira. Tiauw-jie atau burung rajawali peliharaan Giok Hoa pun telah terbang di tengah udara mengiringi perjalanan mereka sambil terus mengeluarkan pekik mengandung kegembiraan yang meluap-luap.

T A M A T

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar