Anak rajawali Jilid 40
Karenanya pemuda ini telah
melatihnya dengan giat sekali. Karena ia mengetahui, jika memang dia telah
berhasil menguasai benar-benar keseluruhan ilmu silat pukulannya tersebut,
niscaya akan menyebabkan ia dapat menghadapi jago-jago silat yang bagaimana
tangguh sekalipun. Dia akan dapat menghadapi Bun Siang Cuan ataupun jago-jago
lihay lainnya.
Sesungguhnya, Ko Tie memiliki
kepandaian yang sudah tinggi. Dan di kalangan pendekar-pendekar golongan muda,
mungkin juga sulit dicari duanya.
Tapi yang sering membuatnya
dia jadi mengalami kesulitan, justeru jika dia tengah menghadapi lawan yang
tangguh terdiri dari tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan merupakan tokoh
sakti di dalam rimba persilatan.
Walaupun Swat Tocu telah
mendidik dan mewarisi seluruh kepandaiannya, tapi Ko Tie setiap kali menghadapi
tokoh tua yang sakti, ia selalu kalah pengalaman.
Maka dari itu, sekarang Ko Tie
menerima warisan ilmu pukulun “Cap-lak-kun” dari Oey Yok Su, ia berharap
justeru dapat untuk menutupi kekurangannya itu. Karena dengan “Cap-lak-kun”,
dia akan dapat menghadapi segala macam ilmu silat dari berbagai golongan.
Waktu menciptakan ilmu
pukulannya tersebut, memang Oey Yok Su telah memikirkan dan juga
mengingat-ingat seluruh ilmu silat dari berbagai pintu perguruan di seluruh
daratan Tiong-goan. Karenanya, dia juga telah mencari seluruh kelemahan yang
terdapat dari berbagai ilmu silat berbagai pintu perguruan itu.
Dan juga sekarang ini, memang
Ko Tie pun pada dasarnya telah memiliki kepandaian yang tinggi, dasar yang
kuat, sehingga ia mudah sekali mempelajari ilmu silat yang diwarisi oleh Oey
Yok Su.
Hanya saja Oey Yok Su waktu
pertama kali hendak menurunkan dan mengajarkan “Cap-lak-kun”nya itu, telah
memesannya, agar Ko Tie sekali-kali tidak boleh mempergunakan Cap-lak-kun
tersebut, jika memang ia tidak tengah terancam bahaya.
Dengan begitu, Ko Tie harus
memperhatikan benar-benar apakah memang dia tengah terancam dan terdesak oleh
sesuatu bahaya. Jika memang tidak, jelas ia tidak boleh sembarangan
mempergunakan ilmunya tersebut.
Ko Tie juga telah memberikan
janjinya kepada Oey Yok Su, bahkan ia bersumpah bahwa ia tidak akan sembarangan
mempergunakan Cap-lak-kun tersebut.
Begitulah, selama setengah
bulan Oey Yok Su telah mengajarkan Ko Tie ilmu Cap-lak-kunnya tersebut.
Di bagian depan telah
diceritakan betapa Oey Yok Su bertempur dengan Bun Siang Cuan. Namun Oey Yok Su
sama sekali tidak mempergunakan satu juruspun ilmu barunya itu.
Hal ini disebabkan Oey Yok Su
berpikir, bahwa ia memang tidak bermusuhan dengan Bun Siang Cuan.
Dan juga, Bun Siang Cuan,
walaupun memang lihay, tapi ia seorang yang angin-anginan. Dengan demikian
telah membuat Oey Yok Su membatasi diri dalam mempergunakan sin-kang maupun
ilmunya.
Jika Oey Yok Su mempergunakan Cap-lak-kun
nya, niscaya dalam beberapa jurus dia sudah dapat mendesak Bun Siang Cuan.
Memang Bun Siang Cuan menurut penilaian Oey Yok Su memiliki ilmu yang sudah
mencapai puncaknya dan tidak bisa memiliki kepandaian yang lebih tinggi lagi.
Karena setelah memperhatikan
dengan seksama, maka diketahui oleh Oey Yok Su, bahwa Bun Siang Cuan memang
merupakan seorang yang melatih ilmunya secara mahir, sehingga setiap dia
melatih dan meyakinkan serupa ilmu, dia tentu akan melatihnya sampai matang.
Namun ilmu tersebut tidak
dapat dirobahnya. Tidak dapat dikurangi atau pun juga ditambahkan.
Dengan demikian dia hanya
melatih terus, yang membuatnya semakin lama semakin mahir dengan ilmu dan jurus
kepandaiannya. Sin-kangnya yang terlatih semakin tinggi dan sempurna. Tapi ia
tidak mungkin bisa menambahkan tenaga dalamnya dengan latihan yang baru, yang
sekiranya bisa membuat dia semakin lihay dan tangguh.
Dengan begitu, Oey Yok Su pun
merasa sayang, jika dia harus merubuhkan Bun Siang Cuan, harus meruntuhkannya.
Karena kepandaian yang dimiliki Oey Yok Su telah mencapai tingkat yang tinggi.
Dia bisa membayangkan juga,
betapa Bun Siang Cuan sesungguhnya bersusah payah. Dan tentunya telah memakan
waktu yang lama buat mempelajari ilmu silatnya itu sampai pada tingkat setinggi
itu.
Karenanya Oey Yok Su merasa
sayang jika harus mengalahkannya. Dan karena Bun Siang Cuan mengakui bahwa Oey
Yok Su memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka puaslah hati Oey Yok
Su.
Pernyataan itu saja sudah
lebih dari cukup baginya untuk menunjukkan bahwa Bun Siang Cuan memang berada
di bawah tingkatnya.
Memang adat Oey Yok Su aneh
sekali, dan sepak terjangnya sulit diduga. Walaupun memang dalam usia yang kian
lanjut itu, Oey Yok Su jauh lebih sabar namun sayangnya justeru adat ku-koaynya
masih tetap juga tidak berkurang.
Karena dari itu, telah membuat
Oey Yok Su semakin dikenal sebagai manusia aneh.
Sebagai bukti dari anehnya
tabiat Oey Yok Su, ia telah membatalkan keinginannya buat mengobati Ko Tie.
Malah dia jadi marah semakin mendengar akan perkataan-perkataan Ko Tie.
Namun akhirnya justeru dia
telah mengobati Ko Tie juga, membantu mengerahkan sin-kangnya, dan malah telah
mewarisi ilmu ciptaannya yang baru.
Dengan begitu, telah membuat
Oey Yok Su memperlihatkan, bahwa ia seorang sungguh-sungguh aneh dan Ko Tie
sendiri sampai saat itu masih juga tidak mengerti, bahwa orang tua ini masih
saja memiliki adat yang begitu ku-koay.
Ko Tie mempelajari ilmu
Cap-lak-kun, dengan tekun dan rajin sekali.
Latihannya akan ilmu
Cap-lak-kun tersebut, telah membuatnya benar-benar jadi seorang yang pesat
sekali memperoleh kemajuan buat kepandaiannya maupun tenaga dalamnya.
Di samping itu, juga
latihan-latihan yang dilakukannya telah memperkuat tubuhnya, sehingga ia sembuh
cepat dan bertambah segar dan juga dalam waktu yang sangat singkat.
Oey Yok Su yang melihat
kemajuan yang dicapai oleh Ko Tie, jadi tambah gembira, karena memang iapun
telah melihat Ko Tie memiliki tulang yang baik dan juga bakat yang luar biasa
untuk ilmu silat.
Maka akhirnya Oey Yok Su
menambahkan pula dengan mengajarkan Ko Tie beberapa macam ilmu dan kepandaian,
yang telah diterima oleh Ko Tie dengan gembira. Karena Ko Tie tidak menyangka
bahwa ia memiliki nasib demikian baik, sehingga ia bisa diwarisi ilmu dan
kepandaian yang tinggi dari Oey Yok Su, seorang tokoh sakti yang boleh dibilang
tidak ada duanya di dalam rimba persilatan.
Mungkin sekarang kalau Swat
Tocu, guru Ko Tie, bertempur dengan Oey Yok Su, niscaya diapun tidak akan dapat
menandinginya.
Terlebih lagi sekarang Oey Yok
Su telah memiliki ilmu andalannya, yaitu ilmu Cap-lak-kun.
Ko Tie seperti menerima hadiah
yang sangat berharga sekali. Ia begitu menghargai dan menghormati Oey Yok Su.
Jika sebelumnya ia pernah
bersakit hati pada Oey Yok Su. Justeru sekarang kesannya telah terbalik jadi
lain, karena ia jadi begitu menghormati dan mulai mengenal akan tabiat dan
perangai Oey Yok Su.
Ko Tie merasakan, bahwa berapa
belas jurus ilmu Cap-lak-kun merupakan ilmu yang benar-benar sangat menakjubkan
dan sulit sekali buat dihadapi oleh siapapun juga.
Hal ini diduga oleh Ko Tie
seperti itu, karena setiap kali ia berhasil mempelajari satu jurus dari
Cap-lak-kun, maka dengan mengkhayalkan belaka, dia sudah dapat memastikan jika
ia sendiri yang harus bertempur menghadapi ilmu itu, jelas ia tidak akan
berdaya buat memunahkan ataupun juga menghadapinya dengan sebaik-baiknya.
Karena setiap jurus ilmu itu memiliki kehebatan yang tersendiri.
Dan yang membuat Ko Tie
benar-benar jadi kagum dan menaruh hormat yang besar kepada Oey Yok Su justeru
Oey Yok Su telah berhasil memperoleh hasil ciptaannya yang begitu sempurna,
yang telah digarapnya dengan sangat baik.
Sabagai seorang yang telah
memiliki kepandaian silat yang tinggi, tentu saja Ko Tie pun menyukai setiap
ilmu silat yang tinggi, tentu dia akan tertarik, akan menyamakannya seperti
juga dia melihat batu permata yang mahal harganya.
Begitulah Ko Tie telah
berlatih diri dengan giat di bawah bimbingan Oey Yok Su.
◄Y►
Selama berlatih ilmu silat
yang diajarkan Oey Yok Su, juga Ko Tie selalu teringat kepada nasib Kam Lian
Cu, karena memang ia tidak mengetahuinya, entah bagaimana nasib dari gadis
tersebut.
Dan juga hal itu pernah
diungkapkannya kepada Oey Yok Su, dimana dia telah menceritakan apa yang telah
dialaminya dan juga tentang keragu-raguan maupun kekuatirannya buat keselamatan
Kam Lian Cu.
Waktu wendengar cerita perihal
Kam Lian Cu, wajah Oey Yok Su muram dan bilang, “Hemmm, aku tidak menyangka
bahwa gadis itu akan menerima pengalaman pahit seperti itu! Tentunya dia berada
dalam ancaman......
“Ku lihat Bun Siang Cuan bukan
sebangsa manusia baik-baik. Jika memang sampai gadis itu jatuh ke dalam
tangannya, niscaya akan membuat keselamatan gadis itu terancam sekali.......!”
Ko Tie mengangguk.
“Benar.....!” katanya. “Menurut
yang didengar Boanpwe, justeru orang she Bun itu bermaksud hendak mengambil si
gadis menjadi mantunya, buat dinikahkannya dengan puteranya.”
Oey Yok Su mengerutkan
keningnya, dia tampaknya tengah berpikir, sampai akhirnya dia bilang:
“Jika memang aku mengetahui
akan terjadinya urusan seperti itu, tentunya aku tidak akan pergi meninggalkan
tempat tersebut.....!” Dan setelah berkata begitu Oey Yok Su menghela napas
berulang kali.
Dalam keadaan seperti itu, Ko
Tie juga berdiam diri saja. Cuma saja hatinya semakin berkuatir buat
keselamatan Kam Lian Cu. Dia tidak mengetahui apakah Kam Lian Cu berhasil
meloloskan diri atau memang terjatuh ke dalam tangan si kakek tua Bun Siang
Cuan.
Setelah berdiam sesaat
lamanya, Oey Yok Su kemudian bilang: “Jika saja kita mengetahui ke mana
perginya gadis itu, kita bisa mencarinya.......!”
Ko Tie jadi girang.
“Maukah Locianpwe
membantunya.......?”
Oey Yok Su mengangguk,
“Jika memang benar gadis itu
gagal melarikan diri dan terjatuh ke dalam tangan Bun Siang Cuan, tentu saja
aku bersedia untuk menolonginya......!” menjawab Oey Yok Su.
Dan dia teringat, betapapun
juga Kam Lian Cu memiliki banyak persamaan dengan Oey Yong puteri tunggalnya.
Dan Oey Yok Su jadi tambah berkuatir terhadap keselamatan gadis itu.
“Tapi ke mana kita harus
mencarinya?” begitulah gumamnya.
Ko Tie juga tampak jadi
bingung sekali.
“Mudah-mudahan saja memang dia
bisa meloloskan diri.....!” kata Ko Tie kemudian.
Oey Yok Su mengangguk.
“Ya, mudah-mudahan saja memang
dia bisa meloloskan diri!” katanya kemudian. “Atau memang kita perlu pergi
melihatnya ke tempat di mana dulu kita pernah bertemu dengan Bun Siang Cuan.
Tentu dia tidak akan pergi jauh-jauh?”
Ko Tie girang, dia mengangguk
cepat.
“Ya..... jika memang kita
pergi ke sana, kita tentu akan dapat menemukan Bun Siang Cuan. Kita bisa
menanyakan kepadanya di mana Kam Lian Cu berada……!”
Oey Yok Su mengangguk.
“Jika memang orang she Bun itu
tak mau bicara, biarlah nanti aku yang akan memaksanya agar dia mau membuka
mulut.......!” kata Oey Yok Su dengan suara yang ramah dan tersenyum kepada Ko
Tie, sehingga senanglah hati Ko Tie.
“Kapan kita pergi ke sana,
locianpwe?!” tanya Ko Tie kemudian.
“Nanti.......!” kata Oey Yok
Su. “Kalau memang latihanmu pada Cap-lak-kun telah selesai.”
Ko Tie jadi bimbang.
“Jika kita tidak pergi
sekarang, justeru boanpwe kuatir kalau-kalau mereka sudah tidak berada di sana.
Sedangkan boanpwe saja sudah beberapa hari berada di sini!”
Oey Yok Su terdiam sejenak.
“Bagaimana Locianpwe?!” tanya
Ko Tie kemudian
Akhirnya Oey Yok Su
mengangguk.
“Baiklah!” jawab Tocu dari
pulau Tho-hoa-to tersebut. “Mari kita pergi sekarang!”
Bukan main girangnya Ko Tie.
Kepada penduduk kampung mereka mengucapkan terima kasih. Bahkan Oey Yok Su
memberikan nasehat kepada mereka agar berlatih diri terus dengan rajin dan
tekun ilmu silat yang telah diajarkannya.
Penduduk kampung itu berusaha
menahan mereka, agar selama beberapa hari lagi berdiam di situ.
Tapi Ko Tie dan Oey Yok Su
menyatakan mereka memiliki kepentingan yang perlu sekali harus diselesaikannya,
karena itu mereka tidak bisa berdiam lebih lama lagi.
Begitulah Oey Yok Su berdua
dengan Ko Tie telah berangkat meninggalkan tempat itu.
◄Y►
Kam Lian Cu merasakan perutnya
semakin membesar juga. Dan diapun merasakan betapa sering terjadi sesuatu yang
bergerak di dalam perutnya seakan juga di dalam perutnya itu terdapat benda
hidup yang sebentar bergerak ke kiri atau ke kanan, atau terkadang tidak jarang
pula berputar, bagaikan di dalam perutnya terdapat bola saja!
Si pendeta telah merawatnya
dengan baik hati. Dia tampaknya memang merasa berkasihan terhadap nasib si
gadis.
Karena itu dia telah
mencarikan buah-buahan buat si gadis, juga dia yang telah menyediakan setiap
keperluan si gadis. Malah pendeta itu juga yang telah pergi ke kampung-kampung
buat mencarikan baju-baju baru Kam Lian Cu.
Hari demi hari telah lewat,
dan demikian juga dengan keadaan perut Kam Lian Cu yang semakin hari semakin
membesar.
Tidak jarang jika tengah
berada seorang diri Kam Lian Cu jadi menangis menyesali nasibnya.
Dia tidak menyangka bahwa dia
akan menjadi korban dari Bun Siang Cuan yang telah membuat dia jadi korban
keganasan dari kera bulu kuning itu, di mana dia telah diperkosa!
Dengan begitu benar-benar
telah membuat Kam Lian Cu sering merasa berduka dan berputus asa. Tidak jarang
terpikir olehnya bahwa dia ingin sekali membunuh diri.
Hanya saja teringat betapa
janin bayi di dalam perutnya itu, dia terpaksa harus membatalkan keinginannya
yang tidak-tidak. Dia tidak jadi meneruskan keinginannya buat menghabisi
jiwanya sendiri. Dia ingin melahirkan anaknya dan ingin melimpahkan kasih
sayang kepada anaknya.
Tapi yang sering dia membuat
ragu justeru dia diperkosa oleh seekor kera bulu kuning itu.
“Apakah hubungan antara kera
dengan seorang manusia bisa menimbulkan kehamilan dan menyebabkan kelahiran
seorang bayi. Jika memang terlahir seorang bayi, lalu bagaimana keadaan dan
rupa dari janin bayi itu?”
Benar-benar Kam Lian Cu sering
diliputi perasaan ragu dan dia pun tidak mengetahui apa yang harus
dilakukannya.
Hanya saja hiburan-hiburan
yang diberikan oleh si pendeta itu juga yang akhirnya telah membesarkan
hatinya, membuat dia tidak terlalu nekad dan juga tidak melakukan sesuatu yang
bukan-bukan.
Kam Lian Cu pun telah
bersiap-siap untuk menerima dan menghadapi kelahiran anak di dalam perutnya
itu, untuk melihatnya bagaimana bentuk dan rupa anaknya itu. Apapun bentuk dan
rupa anaknya itu, tentu dia akan mengasihinya dan juga mencintainya. Walaupun
bagaimana memang dia adalah ibunya dan anak itu adalah anaknya, yang perlu
disayanginya.
Namun berkat hiburan dari si
pendeta, Kam Lian Cu lebih tabah menghadapi kepahitan hidupnya itu.
Hari demi hari telah lewat
cepat sekali, dan juga Kam Lian Cu telah melihatnya, bahwa perutnya semakin
membesar juga.
Perasaan sakitnya seringkali
dirasakan, walaupun dia baru hamil selama empat bulan.
Pendeta itu bahkan telah
sengaja mengundang seorang bidan dari tempat yang terdekat dengan tempat itu,
yaitu dari sebuah perkampungan yang terpisah tidak terlalu jauh dari mulut
lembah itu.
Bidan itu segera memeriksa
keadaan Kam Lian Cu, dia memperoleh kenyataan tidak terdapat kelainan pada
kandungan Kam Lian Cu, semuanya normal.
“Masih lima bulan lagi, bayi
ini baru akan lahir!” kata bidan itu kemudian.
Pendeta itu memberikan hadiah
yang cukup banyak buat bidan tersebut. Diapun berpesan agar bidan itu tidak
menceritakan kepada siapapun juga perihal mereka berdua berada di lembah ini.
Bidan itu berjanji tidak akan
membocor.kan rahasia tersebut. Karena memang dia telah diberikan hadiah yang
besar. Di dalam hati bidan itu cuma menduga bahwa dia memang tengah menghadapi
urusan yang tidak benar.
Pasti pendeta itu telah
menyeleweng dan memiliki hubungan dengan Kam Lian Cu, gadis itu, sehingga
terjadi kehamilan. Dan pendeta itu memesan agar ia merahasiakan semua itu,
hanya disebabkan si pendeta merasa malu!
Begitulah, jika memang telah
tiba waktunya, kembali si pendeta mengundang bidan tersebut, dia telah
memintanya agar memeriksa lagi keadaan Kam Lian Cu.
Di bawah pengamatan dan
pengawasan bidan itu, Kam Lian Cu jadi jauh lebih tenang.
Pendeta itu menjanjikan, jika
memang bidan ini telah berhasil menolong dan menyelamatkan Kam Lian Cu, ibu dan
anak dari kelahiran kelak, maka ia akan dihadiahkan sepuluh tail emas.
Tentu saja bidan itu jadi
benar-benar menutup mulut, karena memang dia mengharapkan sekali hadiah yang
begitu besar. Walaupun bagaimana dia tidak pernah menerima hadiah sebesar itu,
dan juga tidak pernah memiliki uang lebih dari satu tail emas.
Sekarang dia akan dihadiahkan
10 tail emas jika kelak dia berhasil menolongi Kam Lian Cu melahirkan.
Begitulah, bidan ini bahkan tanpa dijemput oleh si pendeta sering juga datang
ke lembah itu, untuk mengadakan pemeriksaan terhadap kandungan Kam Lian Cu.
Semua itu dilakukan demi
kelancaran Kam Lian Cu melahirkan kelak. Berarti juga merupakan hadiah yang
sepuluh tail emas itu akan jatuh dalam tangannya.
Dikala itu tampak si pendeta
juga sibuk sekali telah membeli dari kampung terdekat, pakaian-pakaian untuk
Kam Lian Cu dan calon bayinya.
Bukan main rasa terima kasih
Kam Lian Cu terhadap pendeta yang memang telah menolonginya dengan setulus
hati.
Ia melihat pendeta itu memang
welas asih dan juga sangat menyayanginya. Di samping itu si pendeta berusaha
untuk dapat merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Kam Lian Cu pun telah berusaha
untuk menuruti semua petuah dan nasehat yang diberikan pendeta tersebut. Hanya
saja selama mengandung ini, Kam Lian Cu tidak boleh melatih sin-kang maupun
ilmu silatnya.
Pendeta itu berjanji, jika
memang kelak sudah melahirkan bayi tersebut, maka ia akan diajarkan ilmu silat
oleh pendeta ini, yang akan mewarisi sebagian dari ilmunya. Itulah yang menjadi
harapan Kam Lian Cu.
Karena jika memang dia
berhasil mempelajari ilmu silat yang diwariskan kelak oleh si pendeta, berarti
itu merupakan pegangan yang sangat kuat buat dia, karena dia tentunya akan
dapat mempergunakannya buat membalas dendam dan sakit hatinya kepada Bun Siang
Cuan, maupun Kera berbulu kuning itu.
Disamping itu, memang diapun
bermasud untuk dapat melatih diri dengan sebaik-baiknya, karena ia ingin
memiliki kepandaian yang sempurna dan tinggi sekali.
Dalam keadaan seperti itu, Kam
Lian Cu hanya dapat berdoa, demi untuk keselamatan dirinya dan bayinya. Juga
agar ia dipayungi Thian, dan dia bisa mempelajari ilmu silat yang diwarisi
pendeta itu agar ia pun kelak bisa membalas dendamnya terhadap Bun Siang Cuan
maupun kera bulu kuning itu, yang telah menyebabkan ia menerima aib begitu
besar bagi dirinya.
Karenanya Kam Lian Cu pun
setiap hari hanyalah mempelajari ilmu yang diajarkan oleh si pendeta, baik cara
bersembayang maupun yang tentang baca liam-keng.
Kam Lian Cu merasakan tubuhnya
kian berat dan juga perutnya kian besar.
Semakin besar perutnya itu,
semakin takut juga Kam Lian Cu, yang diliputi kekuatiran, karena ia kuatir
untuk menghadapi kelahiran anaknya, untuk melihat kenyataan. Dia tidak tahu
juga, entah bagaimana rupa dan keadaan dari anaknya tersebut.....
Walaupun dia berusaha untuk
tabah menghadapi kenyataan yang ada, tokh tidak urung Kam Lian Cu sering kali
menetes air mata, menangis menyesali akan nasibnya. Dan sering juga memikirkan
keadaan Ko Tie, entah bagaimana keadaan pemuda itu.
Walaupun hubungannya dengan Ko
Tie belum lama, tapi sebelum terjadinya peristiwa tersebut, ia memang telah
mencintai Ko Tie. Dan ia mengetahui bahwa Ko Tie pun mencintainya.
Hanya saja telah terjadi aib
seperti itu, maka habislah semua impiannya. Dan juga dia pun harus menghadapi
hari-hari mendatang penuh ketabahan, buat menyambut kelahiran anaknya itu……
Dan jika terpikir seperti itu,
Kam Lian Cu sering berduka bukan main. Dia pun telah terpikir, jika memang
kelak ia harus melahirkan dari anaknya itu ternyata memiliki rupa seperti
seekor monyet dan juga keadaannya buruk sekali, maka ia akan membawa anaknya ke
sebuah tempat yang sepi, untuk hidup mengasingkan diri dan merawat anaknya
baik-baik.
Diapun terpikir, mungkin juga
memang semua ini terjadi atas tulisan nasibnya sendiri.
Giok Hoa yang tengah melakukan
perjalanan ke Kotaraja, dengan cepat sekali telah melewati dua buah
perkampungan, tapi hanya singgah sebentar saja. Karena Giok Hoa tidak tertarik
untuk bermalam di rumah penginapan di kampung itu, yang dilihatnya begitu
kotor.
Iapun melanjutkan
perjalanannya di malam hari, karena memang Giok Hoa pun tidak gentar melakukan
perjalanan seorang diri di malam hari. Dia yakin bahwa kepandaiannya telah
cukup tinggi.
Telah beberapa hari dia
melakukan perjalanan, selama itu si gadis juga seringkali dilanda oleh kesepian
yang sangat.
Tidak jarang dia pun teringat
akan Ko Tie dan benar-benar membutuhkannya.
Karena itu, timbul juga selalu
penyesalannya, mengapa ia harus meninggalkan Ko Tie beberapa waktu yang lalu
dengan sengaja membawa adatnya belaka? Bukankah jika memang dia tidak melakukan
hal itu, dan melakukan perjalanan bersama-sama dengan pemuda itu, dia akan
gembira sekali?
Sekarang berada seorang diri
dalam perjalanan. Giok Hoa baru merasakannya, betapapun juga memang kenyataan
yang ada dia harus mengakuinya, ia sangat mencintai Ko Tie!
Juga ia mengetahui bahwa Ko Te
sangat mencintainya, maka dengan adanya perpisahan seperti itu, jelas hanya
merugikan dirinya dan telah membuat Giok Hoa sering menyesali akan tindakan
yang telah dilakukannya.
Sekarang, walaupun dia
bermaksud mencari Ko Tie pula, selalu dia gagal.
Pemuda itu sudah tidak berada
di tempat semula dan juga entah telah pergi ke mana.
Untuk menghibur kedukaan dan
penyesalan hatinya itu, memang Giok Hoa selalu menikmati pemandangan alam yang
indah dan permai. Namun tetap saja ia tidak bisa melupakan Ko Tie, tidak juga
dia bisa mengurangi kerinduan hatinya, di mana ia mengharapkan sekali dapat
bertemu dengan Ko Tie.
Malam itu, udara tidak begitu
cerah, tapi juga tidak turun hujan. Sekeliling jalan yang dilalui Giok Hoa
gelap pekat, karena rembulan terhalang awan. Di pinggir kiri kanan dari jalan
itu terdapat pohon-pohon yang tumbuh cukup lebat.
Ketika Giok Hoa tengah
enak-enaknya berjalan, tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu.
Suara mendengus. Seperti
seseorang yang tengah keletihan telah berlari jauh. Suara mendengus itu yang
demikian mendesah memburu, didengarnya berasal dari sebelah kanannya, dari
gerombolan pohon yang lebat.
Muka Giok Hoa berobah, hatinya
tercekat dan dia segera berwaspada karena menduga ia akan menghadapi sesuatu
yang tidak diinginkan.
Suara mendengus itu masih juga
didengarnya. Giok Hoa memperhatikannya.
Mendadak, dari sebelah
kanannya berkelebat sesosok bayangan yang gesit sekali, kekuning-kuningan.
Dalam keadaan gelap seperti
itu, gerakan sosok tubuh itu memang sulit sekali buat dilihat dengan jelas.
Sosok bayangan kuning pun
telah menerjang akan menerkam Giok Hoa.
Untung saja memang Giok Hoa
sejak tadi telah berwaspada, sehingga dia tidak kena diterjang oleh sosok
bayangan kuning tersebut.
Cepat sekali Giok Hoa mengelak
dari tubrukan sosok bayangan kuning itu. Tapi sosok bayangan kuning tersebut,
yang telah menubruk tempat kosong, mengerang perlahan, dan menerjang lagi
kepada Giok Hoa lebih cepat.
Giok Hoa mengeluarkan seruan
tertahan. Karena mendengar erangan perlahan dari sosok bayangan kuning
tersebut. Ia menduga tentunya yang menerjang dirinya adalah seekor binatang
buas.
Ketika makluk berwarna kuning
itu menubruknya buat ke tiga kalinya, sekali ini Giok Hoa tidak berkelit.
Dengan diam-diam dia telah
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyampoknya kuat sekali.
“Dukkkk!” tangan Giok Hoa
menghantam sosok tubuh itu.
Terdengar suara pekik yang
aneh. Dan mendengar suara pekik tersebut, Giok Hoa kaget.
Itulah suara seekor kera.
Giok Hoa membuka matanya
lebar-lebar. Benar saja, yang ada di depannya adalah seekor kera. Kera yang
berbulu kuning setinggi manusia dewasa, mengerikan sekali keadaannya.
Giok Hoa segera berpikir.
Entah apa maunya kera ini, dan dilihat berulang kali ia menerjang dan menubruknya,
jelas dia merupakan binatang yang buas dan bermaksud untuk menjadikan Giok Hoa
sebagai korbannya.
Giok Hoa pun telah mengambil
keputusan bahwa ia tidak akan segan menurunkan tangan keras kepada binatang
ini, jika saja binatang ini tidak segera menyingkir.
Apa yang diduga oleh Giok Hoa
memang tepat. Karena kera bulu kuning itu diiringi dengan pekiknya yang
menyeramkan, telah melompat lagi.
Gerakan tubuhnya begitu cepat
dan gesit sekali, di mana dia telah menerjang kepada Giok Hoa diiringi erangan
dan sepasang tangan yang diulurkannya.
Kera ini bergerak jauh lebih
cepat dari sebelumnya, karena tubuhnya itu telah bergerak begitu lincah dan
juga sepasang tangannya terulurkan panjang sekali dengan ke sepuluh jari
tangannya terpentang lebar bermaksud rupanya hendak mencengkeram Giok Hoa.
Giok Hoa tidak bisa berpikir
lebih lama lagi, begitu kera tersebut menubruknya segera dia memasang
kuda-kudanya. Ketika kera bulu kuning itu menerjang telah dekat, cepat sekali
dia menghantam dengan sepasang tangannya.
“Bukkk, bukkk!” Dua kali
terdengar suara tubuh kera itu dihantam oleh pukulan tangan Giok Hoa.
Terdengar pekik kesakitan kera
tersebut, malah kera itu telah melompat ke belakang. Dia tidak menerjang lagi,
karena tampaknya kera tersebut, yang meringis kesakitan dan mengeluarkan
pekiknya berulang kali, tidak berani untuk menyerbu lagi menerjang Giok Hoa.
Dia rupanya memang mengetahui bahwa dirinya tengah menghadapi calon korban yang
bukan sembarangan.
Kera itu tidak hentinya
mengeluarkan suara pekiknya yang nyaring. Walaupun dia jeri buat menyerbu lagi,
namun tokh diapun tidak pergi meninggalkan Giok Hoa.
Giok Hoa tertawa dingin.
“Hemmm, kau rupanya minta
dihajar lebih keras lagi?!” katanya kemudian, sambil Giok Hoa melangkah maju
mendekati kera itu.
Kera tersebut memperlihatkan
sikap yang jeri buat bertempur lagi dengan Giok Hoa.
Suara pekikan yang dikeluarkan
Kera berbulu kuning itu semakin lama jadi semakin keras dan nyaring. Tapi Giok
Hoa tidak memperdulikan, dia melangkah maju terus menghampiri.
Tadi dia telah melihatnya
betapa kera ini bisa bergerak begitu lincah, tubuhnya bisa bergerak bagaikan
seorang manusia yang mengerti gin-kang. Karenanya Giok Hoa tidak mau memberi
hati kepadanya, dia menghampiri lebih dekat dan setelah dekat benar, barulah
dia melompat sambil melancarkan serangan.
“Wuttttt! Wuttttt……!” dua kali
dia memukul Kera berbulu kuning itu.
Sedangkan Kera berbulu kuning
itu sama sekali tidak berusaha menangkisnya, karena memang dia tampaknya telah
demikian jeri. Dan diapun segera juga melompat ke samping.......
Cuma saja penyerangan yang
dilakukan Giok Hoa memang benar-benar cepat. Waktu Kera berbulu kuning itu
mengelakkan diri, ternyata Giok Hoa telah menghantam lagi dengan kuat mengenai
punggung kera itu, menimbulkan suara yang nyaring sekali:
“Dukkkk!” Disusul dengan Kera
berbulu kuning itu bergulingan di tanah sambil mengeluarkan suara pekikan yang
berulang kali.
Dalam keadaan demikian, tampak
Giok Hoa tidak mau membuang-buang waktu lagi, segera dia melompat, sambil sepasang
tangannya menghantam lebih dahsyat.
“Dukkk!” kembali punggung Kera
berbulu kuning itu kena dihajarnya, ketika kera itu hendak melompat berdiri,
sehingga tubuhnya seketika terguling-guling di tanah. Diapun tidak hentinya
mengeluarkan suara pekikan.
Tampaknya suara pekikan Kera
berbulu kuning itu bukan karena memekik disebabkan takut, namun dia seperti
tengah memanggil kawan-kawannya.
“Hemmm, jika memang dia
memanggil kawan-kawannya. jelas aku akan menghadapi kesulitan. Lebih baik aku
menyingkir saja tidak perlu lebih lama melayaninya.
Karena berpikir begitu, Giok
Hoa bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.
Cuma baru saja Giok Hoa
memutar tubuhnya, untuk berlalu, justeru di waktu itulah tampak Kera berbulu
kuning itu telah melompat bangun berdiri dan tubuhnya menyusul melesat
menerjang lagi kepada Giok Hoa. Sepasang tangannya diulurkan buat mencengkeram.
Giok Hoa kaget. Itulah
penyerangan yang dilakukan Kera berbulu kuning yang sangat cepat sekali.
Namun Giok Hoa tidak menjadi
bingung tubuhnya bergerak dengan lincah. Dia menangkis dengan menyampokkan
tangan kanannya.
Tangkisan yang dilakukannya
membuat Kera berbulu kuning itu kesakitan pada pergelangan tangannya, dia
mengeluarkan pekikan.
Di waktu itu Giok Hoa telah
berseru, “Rupanya kau minta aku mencabut nyawamu!!”
Sambil membentak begitu,
tangan Giok Hoa cepat sekali telah mencabut pedangnya. Dan tahu-tahu pedangnya
telah dicekalnya, sinar pedang itu berkilauan.
Kera berbulu kuning itu, kaget
bukan main melihat pedang tersebut. Dia mengeluarkan suara pekikan nyaring. Dia
undur ke belakang dengan sikap ketakutan.
Segera Giok Hoa melompat untuk
menikam ke dada Kera berbulu kuning tersebut.
Kera berbulu kuning itu
mati-matian berusaha untuk mengelakkan diri dari tikaman itu, tapi terlambat.
“Cessssss……!” pedang itu telah
menembusi lengannya, darah merah segera menyembur.
Dengan menjerit kesakitan,
Kera berbulu kuning itu telah membuang dirinya bergulingan di tanah, karena dia
bermaksud hendak melarikan diri.
Tapi Giok Hoa justeru sekarang
tidak memberikan kesempatan kepada kera itu, dia telah menyusuli dengan tikaman
lainnya.
Kera berbulu kuning itu memang
tengah melompat akan melarikan diri. Karenanya punggungnya yang jadi sasaran
dari serangan yang dilakukan oleh Giok Hoa telah meluncur akan menikam dengan
cepat sekali, menimbulkan angin yang berkesiuran keras sekali.
Di saat jiwa Kera berbulu
kuning itu terancam oleh mata pedang Giok Hoa, justeru dari arah samping
berkesiuran angin yang sangat kuat sekali, sebutir batu telah membentur pedang
si gadis.
“Tranggggg.......!” pedang
Giok Hoa tergetar malah si gadis merasakan betapa pergelangan tangannya sakit
dan telapak tangannya pedih.
Hati Giok Hoa tercekat, karena
timpukan batu itu telah memperlihatkan bahwa orang yang menimpuk itu memiliki
tenaga dalam atau sin-kang yang tinggi sekali.
Karenanya Giok Hoa segera
mengawasi sekelilingnya diapun telah bersikap waspada sekali.
Kera berbulu kuning itu
mengeluarkan suara pekikan nyaring dan telah berlari ke arah dari mana tadi
batu itu menyambar pedang Giok Hoa.
Giok Hoa mengawasi dengan mata
terpentang lebar-lebar, dan di waktu itu dilihatnya sesosok bayangan melompat
keluar. Diikuti juga di belakangnya oleh Kera berbulu kuning tersebut.
“Hemmmm, siapa yang berani
menghina Kim Go?!”” terdengar suara orang menegur dengan dingin sekali.
Giok Hoa tercekat. Orang
menegur dengan suara yang sangat dingin, tapi juga merupakan pertanda bahwa
orang itu memiliki sin-kang yang kuat. Dia semakin berwaspada.
Dikala itu Kera berbulu kuning
telah hinggap di samping sosok tubuh itu.
Giok Hoa melihat orang itu
adalah seorang kakek tua yang mungkin telah berusia tujuhpuluh tahun lebih,
rambut dan jenggotnya yang tumbuh panjang itu tergerai sampai ke pundaknya.
Orang tua itu juga tertegun
waktu telah melihat jelas Giok Hoa.
“Aha, seorang nona manis yang
cantik jelita.....!” begitu menggumam orang tua tersebut.
Giok Hoa jadi jemu melihatnya.
Dia menduga kakek tua ini pasti seorang yang ceriwis maka dengan suara yang
tawar dia menegurnya,
“Apakah engkau pemilik kera
itu?!”
Kakek tua ini tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya: “Benar, tepat, sedikitpun tidak salah! Dan kau
nona manis, apakah kau memang bersedia menjadi mantuku?”
Mendengar perkataan kakek tua
itu, yang menanyakan kesediaannya buat menjadi mantunya, bukan main gusarnya
Giok Hoa.
“Hemm!” mendengus Giok Hoa
dengan suara yang tawar. “Apakah kau kira aku wanita murahan sehingga begitu
mudah engkau mengucapkan kata-katamu itu?!”
Waktu menegur seperti itu,
muka Giok Hoa merah padam.
Orang tua itu tertawa
bergelak-gelak nyaring sekali. Dia bilang: “Bagus!” dan kemudian membarengi
dengan perkataannya itu, dia pun melompat ke depan Giok Hoa.
Yang membuat Giok Hoa kaget,
betapa sempurnanya gin-kang orang tua itu, karena ia bisa bergerak tanpa Giok
Hoa bisa melihatnya cara dia bergerak dengan jelas.
“Kau harus patuh terhadap
perintahku kalau tidak, kau akan menderita nona manis……!” kata orang tua itu.
Giok Hoa menindih perasaan
kuatirnya, dia juga menekan perasaan marahnya, lalu bertanya dengan gusar:
“Siapa kau sebenarnya?”
Orang tua itu sudah berdiri di
depan Giok Hoa, tertawa dingin: “Hemmm, kau ingin mengetahui namaku, nona
manis?” Dan setelah berkata begitu, dia tertawa bergelak-gelak.
“Katakan!” kata Giok Hoa.
“Aku she Bun bernama Siang
Cuan! Nah, sekarang engkau telah mengetahui siapa adanya aku, dan aku harap
engkau mematuhi benar segala apa yang kukatakan, agar kau tidak memperoleh
kesulitan, nona manis. Engkau cocok sekali menjadi mantuku, karena mantuku yang
satu itu telah melarikan diri.”
Muka Giok Hoa berobah merah,
kemudian dia mengibaskan pedangnya: “Baiklah, jika memang engkau sudah tidak
memiliki urusan lainnya, aku akan melanjutkan perjalananku.....!!”
Sambil berkata begitu, dengan
tangan masih menggenggam pedangnya, Giok Hoa memutar tubuhnya. Dia bermaksud
hendak meninggalkan tempat itu, terutama sekali meninggalkan orang tua yang
dianggapnya memiliki mulut sangat kurang ajar dan kera bulu kuning itu.
Tapi Bun Siang Cuan, kakek tua
yang memang ku-koay itu telah tertawa.
“Mana boleh kau pergi begitu
saja?” katanya kemudian, “Aku sudah memberitahukan kepadamu, bahwa engkau cocok
buat menjadi mantuku, karena itu, walaupun kau memaksa untuk pergi, tetap saja
aku tidak akan mengijinkan engkau pergi.....!”
Setelah berkata begitu, tubuh
si kakek tua she Bun tersebut, dengan gerakan yang sangat lincah sekali
mencelat ke depan Giok Hoa.
Giok Hoa kaget, karena
tahu-tahu dia melihat tangan si kakek tua telah terulur akan mencengkeram
pergelangan tangannya.
Segera si gadis mengelakkan
diri, pedangnya dipakai menikam.
“Hahahaha.....!” tertawa kakek
tua tersebut dengan suara yang nyaring.
Tubuhnya bergerak sangat
lincah dan tahu-tahu dia telah berhasil mengelakkan diri dari serangan pedang
si gadis. Malah dia telah mencengkeram tangan si gadis, dan pedang Giok Hoa
telah pindah ke tangan si kakek tua she Bun tersebut.
Muka Giok Hoa berobah pucat,
dia melompat mundur.
Tapi kakek tua Bun Siang Cuan
justeru bertindak tidak kalah cepatnya.
Waktu Giok Hoa tengah melompat
mundur, justeru di saat itulah tangan si kakek tua tersebut telah berhasil
menotok tubuh Giok Hoa.
Tidak ampun lagi Giok Hoa
terguling di tanah, dia rebah tidak bisa bergerak.
Bukan main kaget dan kuatirnya
si gadis. Dalam keadaan tertotok dan jika memang Bun Siang Cuan bermaksud
hendak melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya, niscaya dia tidak akan
dapat mencegahnya.
Dia mengawasi kakek tua itu,
yang sambil menggoyangkan pedang di tangannya, telah datang menghampiri.
Malah diapun telah berkata:
“Aku sudah mengatakan tadi kepadamu, lebih baik engkau menyerahkan diri secara
baik-baik dengan menuruti setiap perintah dan kata-kataku, sehingga engkau
tidak akan memperoteh kesulitan.
“Hanya saja, sayangnya engkau
seorang gadis kepala batu, dengan begitu tentu saja akan membuat engkau
menderita! Tapi walaupun bagaimana memang engkau harus menjadi mantuku.......
kau akan menjadi calon isteri anakku.”
Setelah berkata begitu, tampak
kakek tua ini telah menoleh kepada Kera berbulu kuning.
“Kim Go, layani isterimu……!”
perintah kakek tua itu.
Kera bulu kuning itu, Kim Go,
mengeluarkan suara pekikan yang menunjukkan dia tengah kegirangan. Dia melompat
ke dekat Giok Hoa.
Bukan main kagetnya Giok Hoa.
Jadi yang dimaksudkan Bun Siang Cuan sebagai anaknya, tidak lain dari Kera
berbulu kuning ini? Tubuh Giok Hoa menggigil menahan rasa takut yang hebat.
Sedangkan kera itu telah
mengulurkan tangannya. Dia membuka baju bagian atas Giok Hoa. Menyusul dengan
mana dia juga telah membuka juga pakaian bagian bawah Giok Hoa.
Giok Hoa dalam keadaan tidak
berdaya. Dia tidak bisa bergerak dan hanya mulutnya yang bisa berseru-seru:
“Jangan….. jangan……!” air matanya juga telah menitik turun.
Bun Siang Cuan duduk di tepi
jalan, mengawasi sambil tertawa-tawa.
Kera berbulu kuning itu juga
telah membuka terus pakaian Giok Hoa. Benar-benar Giok Hoa ketakutan bercampur
putus asa. Dia bisa menduga apa yang hendak dilakukan kera itu.
Namun belum lagi apa yang
memalukan dan akan membuat aib yang besar buat Giok Hoa terjadi, justeru tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan.
“Binatang……!” terdengar suara
mendengus yang perlahan dan dingin sekali. Menyusul dengan itu terdengar suara
“Plakk!”
Batok kepala Kim Go telah kena
terpukul hancur.
Kim Go tidak sempat
mengeluarkan suara jeritan lagi, karena tubuhnya terkulai dan napasnya
berhenti.
Giok Hoa tertolong. Tapi si
kakek Bun Siang Cuan yang menyaksikan kera peliharaannya, anak angkatnya, yang
sangat disayanginya itu telah mati.
Bukan main kagetnya. Dia
menjerit sambil melesat bangun. Cepat sekali tubuhnya melambung ke tengah
udara. Dia menghantam kepada sosok tubuh yang menolong Giok Hoa.
Waktu itu sosok tubuh tersebut
telah berkata kepada Giok Hoa.
“Pakai bajumu lagi!”
Dan tangannya telah menyentil,
sehingga totokan pada diri Giok Hoa terbuka dan si gadis bisa menggerakkan
sepasang tangan, kaki dan tubuhnya.
Giok Hoa cepat-cepat telah
memakai kembali bajunya, dan melihat yang menolonginya adalah seorang tua yang
memakai baju dan topi warna hijau.
Waktu itu si kakek tua Bun
Siang Cuan telah sampai di belakang laki-laki tua penolong Giok Hoa, dengan
diiringi bentakan dan erangan menyeramkan. Dia menghantam.
Akan tetapi orang yang memakai
baju hijau itu sama sekali tidak gentar. Malah dia telah mengibas dengan
tangannya.
“Dukk!!” hebat tangkisan yang
terjadi, dan seketila itu juga tubuh Bun Siang Cuan dan tubuh orang itu
tergetar sangat keras.
Juga di saat itu tampak
sesosok bayangan lainnya telah melompat ke samping Giok Hoa.
“Hoa-moay, apakah engkau tidak
kurang suatu apa?!” tanya orang itu.
Giok Hoa terkejut bercampur
girang, karena segera dia mengenalinya itulah Ko Tie. Seketika dia juga jadi
malu, hampir saja dia tertimpah bencana yang sangat hebat sekali, yaitu akan
diperkosa oleh seekor kera.
“Ko Tie Koko...... kau?” hanya
kata-kata itu saja yang bisa diucapkannya.
Ko Tie mengangguk. “Ya.....!”
sahutnya kemudian. “Dan kau tampaknya memang telah mengalami keterkejutan yang
sangat hebat!”
Giok Hoa hanya mengangguk
sambil menunduk malu.
Tampak Ko Tie memperhatikan,
bahwa kawannya yang memakai baju hijau itu, yaitu Oey Yok Su, tengah bertempur
seru melawan Bun Siang Cuan.
Oey Yok Su dan Ko Tie ternyata
tiba di tempat itu secara kebetulan, karena mereka memang tengah melakukan
perjalanan juga.
Betapa terkejutnya mereka
waktu menyaksikan apa yang terjadi, dimana Giok Hoa akan diperkosa oleh seekor
Kera berbulu kuning itu, maka Oey Yok Su tidak membuang waktu turun tangan buat
menyelamatkan Giok Hoa.
Tidak tahunya kembali dia
bertemu dengan Bun Siang Cuan dan sekarang mereka telah bertempur sangat
dahsyat. Karena memang mereka merupakan orang-orang yang telah memiliki
kepandaian sangat tinggi sekali, juga sin-kang yang telah sempurna.
Hebat cara bertempur ke dua
tokoh lihay dari dunia persilatan itu, karena masing-masing telah mengeluarkan
seluruh kepandaian yang mereka miliki.
Sedangkan Bun Siang Cuan
sendiri merasakan, semakin lama ia semakin tertindih oleh tenaga Oey Yok Su,
karena napasnya juga sekarang mulai memburu keras.
Dikala itu, Oey Yok Su melihat
bahwa dia mulai dapat mendengar napas Bun Siang Cuan, semakin memperhebat
pengerahan tenaga dalamnya
Ko Tie melihat Oey Yok Su
menang di atas angin, diam-diam jadi girang.
Oey Yok Su memang sengaja
telah mempergunakan seluruh ilmu andalannya, karana dia bermaksud untuk merubuhkan
Bun Siang Cuan.
Jika dulu, dia menghargai Bun
Siang Cuan sebagai seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dan dia
tidak mau menurunkan tangan keras kepadanya.
Hanya saja sekarang melihat
betapa ancaman yang hampir menimpah si gadis, dan perbuatan yang begitu rendah
sempat membuat Oey Yok Su jadi murka bukan main.
Ko Tie cepat-cepat telah
membisiki Giok Hoa: “Pergilah kau menyingkirkan diri dulu!”
Giok Hoa telah mengangguk dan
meninggalkan tempat itu, karena memang dia yakin jika sampai dia tidak
menyingkir dan Bun Siang Cuan menurunkan tangan kejam padanya, niscaya akan
membuat dia bercelaka.
Tampak Ko Tie juga mengiringi
Giok Hoa. Dia tahu, biarpun Bun Siang Cuan telah kena didesak begitu hebat oleh
Oey Yok Su, namun tetap saja tidak mudah Bun Siang Cuan bisa dirubuhkan oleh
Oey Yok Su, disebabkan kepandaiannya yang memang hampir berimbang dengan Oey
Yok Su.
Jika pertempuran itu
berlangsung terus, niscaya akan memakan waktu mungkin sampai dua hari dua malam
atau mungkin juga lebih. Karenanya Ko Tie telah menganjurkan agar Giok Hoa
menyingkir saja.
Hal ini lebih mempermudah buat
Oey Yok Su, kalau sampai ia sudah hendak menyudahi pertempuran tersebut, dia
bisa menyudahi sampai di situ saja. Sedangkan Bun Siang Cuan tentu tidak akan
dapat mencari jejak Giok Hoa lagi.
Memang Oey Yok Su juga
berpikir seperti itu. Melihat bahwa Ko Tie dan Giok Hoa telah menyingkir, dia
jadi girang.
Dengan suara yang nyaring dia
berseru: “Dengarlah orang she Bun, engkau ternyata seorang yang berhati busuk
dan selalu ingin melakukan perbuatan hina dan rendah..... Karena itu, hari ini
biarlah aku Oey Yok Su akan turun tangan menghajar kau!”
Sambil berkata begitu,
tubuhnya berkelebat-kelebat dengan lincah sekali buat mendesak lawannya.
Sedangkan Bun Siang Cuan
tertawa bergelak-gelak, dia bilang: “Hemmm, tidak mudah buat kau merubuhkan
diriku! Karena akulah yang akan menghajar kau, akan membunuhmu, karena engkau
telah membunuh anakku.....!”
Setelah berkata begitu, Bun
Siang Cuan mengempos semangatnya, dia membalas menyerang semakin hebat.
Hanya saja memang Oey Yok Su
menang seurat jika dibandingkan dengan ilmu Bun Siang Cuan membuat lawannya
benar-benar terdesak.
Dikala itu terlihat betapapun
juga Bun Siang Cuan, berusaha untuk mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun
tetap saja dia tidak bisa membendung serangan yang dilakukan oleh Oey Yok Su.
Berulang kali dia terdesak dan
hampir saja dia rubuh terkena tekanan dari tenaga dalam Oey Yok Su!
Lama kelamaan tampak Bun Siang
Cuan lebih banyak membela diri saja.
Waktu itu pertempuran tersebut
telah berlangsung semakin hebat dan menentukan!
Dua tokoh sakti dari rimba
persilatan tengah mengukur kepandaian dan tenaga. Dengan begitu, mereka telah
mengeluarkan seluruh kepandaian andalannya.
Dan mereka juga tampaknya
benar-benar tidak mau saling mengalah dengan keadaan seperti itu, jika saja
sampai salah seorang di antara mereka rubuh, berarti mereka akan rubuh dalam
keadaan terluka parah atau mati!
Bun Siang Cuan akhirnya
berpikir. “Hem kau sekarang memang tidak dapat kurubuhkan biarlah…… nanti
setelah kulatih lagi ilmuku, aku akan mencarimu……!”
Setelah berpikir begitu,
tiba-tiba Bun Siang Cuan tertawa bergelak-gelak.
Tahu-tahu dia telah menghantam
Oey Yok Su dengan serangan seperti orang kalap dan hebat sekali setiap
pukulannya seperti dia hendak mengadu jiwa.
Oey Yok Su tentu saja tidak
mau buat mengadu jiwa dengannya, dia mengelakkannya.
Mempergunakan kesempatan di
waktu Oey Yok Su telah berkelit, tampak tubuh Bun Siang Cuan telah melompat ke
belakang. Dia tertawa bergelak-gelak sambil berlari cepat sekali !
“Nanti kita bertemu
lagi.......!” teriaknya.
Oey Yok Su hendak mengejar,
namun dia segera teringat kepada Ko Tie dan juga Giok Hoa, maka dia membatalkan
keinginannya itu dia telah memutar tubuhnya, berlari ke arah di mana tadi Ko
Tie dan Giok Hoa pergi.
◄Y►
Ko Tie telah mengajak Giok Hoa
buat pergi ke sebuah tempat yang cukup aman, yaitu di antara pohon-pohon yang
lebat, karena memang dia ingin mengajak si gadis bersembunyi.
Keadaan di sekitar tempat itu
tampak gelap sekali. Si gadis yang berada di samping si pemuda, jadi berdebar
tergoncang hatinya.
Ko Tie waktu itu telah
berbisik kepadanya: “Kita tunggu Oey Locianpwe di sini saja……!”
Giok Hoa mengiyakan dengan
suara yang perlahan sekali, dia malu bukan main.
Sedangkan Ko Tie telah
berkata: “Hoa-moay, betapa engkau membuat aku jadi bingung karena engkau telah
meninggalkan aku begitu saja.....!”
Giok Hoa tidak bisa menjawab.
Dia berdiam diri saja, dengan pipinya berobah memerah dan terasa panas!
Tiba-tiba terlihat sesosok
bayangan berlari cepat sekali tengah mendatangi.
“Kita harus bersiap-siap,
mungkin juga yang datang adalah Oey Locianpwe, tapi bisa jadi juga adalah orang
she Bun itu!” bisik Ko Tie.
Giok Hoa mengiakan.
Sosok bayangan itu telah
berlari tiba di dekat mereka.
Ko Tie melihat orang itu
mengenakan baju warna hijau. Segera juga dia mengetahui dan mengenalinya,
itulah Oey Yok Su.
“Oey Locianpwe!” panggilnya
dengan suara yang nyaring dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Oey Yok Su berhenti dan
bertanya: “Bagaimana keadaan kalian berdua?!”
Waktu itu Giok Hoa pun telah
melompat keluar, tahu-tahu dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Oey Yok
Su.
“Terima kasih atas pertolongan
Oey Locianpwe.....!” katanya kemudian.
Oey Yok Su memimpin bangun
padanya.
Dikala itu terlihat betapapun
juga, memang dia merasa simpati pada si gadis. Dia melihat gadis ini manis
sekali dan cocok jika bersanding dengan Ko Tie. Maka katanya:
“Diakah gadis yang kau
ceritakan dulu kepadaku, murid dari puteri angkatnya Sin-tiauw-tay-hiap Yo
Ko?!”
“Benar.....!” menyahuti Ko
Tie. “Oey Locianpwe juga telah pernah bertemu dengan Hoa-moy beberapa
kali.....!”
Oey Yok Su mengangguk, memang
benar dia pernah bertemu dengan gadis ini.
Ko Tie telah menceritakan,
betapa Bun Siang Cuan ingin “mempergunakan” keranya untuk memperkosa Giok Hoa,
dengan cara yang biadab sekali. Semua yang telah didengar dari Giok Hoa
diceritakan kepada Oey Yok Su.
Muka Oey Yok Su berobah merah
padam dia telah menghela napas beberapa kali.
“Sayang! Sayang sekali!
Manusia dengan kepandaian seperti orang she Bun itu, yang sangat tinggi dan
cukup mengagumkan, ternyata memiliki hati seperti binatang.....!”
Lalu Oey Yok Su menghela napas
lagi, barulah dia mengajak Ko Tie dan Giok Hoa buat meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan, Oey Yok
Su sering menyinggung-nyinggung bahwa Ko Tie dan Giok Hoa merupakan pasangan
yang sangat ideal.
Setiap kali Oey Yok Su
menyinggung hal itu, maka membuat pasangan remaja itu berobah wajahnya menjadi
merah, dengan pipi terasa panas sekali. Mereka jengah dan likat.
Cuma saja, pertemuan ini
justeru telah menyuburkan benih cinta yang terdapat di hati mereka.
Perjalanan telah dilanjutkan
terus. Hanya sayangnya Oey Yok Su tidak keburu menanyakan soal Kam Lian Cu
kepada Bun Siang Cuan. Dia telah keburu melarikan diri.
“Tapi Kam Kouw-nio tentu
berada di sekitar tempat ini!” kata Ko Tie dengan penuh keyakinan. “Dia tentu
tidak akan menyingkirkan diri terlalu jauh……!”
Oey Yok Su mengangguk, dia
menghela napas.
“Waktu kejadian itu. dimana
Kam Kouw-nio melarikan diri, dia sesungguhnya bisa saja menantikan engkau di
sebuah tempat. Tapi kenyataannya kau juga terluka hebat.
“Karena itu, tidak diketahui
lagi, apakah ia selamat dari tangan orang she Bun itu atau tidak! Tapi jika
memang dia berhasil menyelamatkan diri, tentu tidak mudah mencarinya di sekitar
tempat ini.....
“Sekarang ini telah lewat dua
bulan lebih. Tentu dalam dua bulan lebih dia sudah melarikan diri cukup jauh,
dia bisa pergi.
“Lain jika memang dia tertawan
oleh Bun Siang Cuan, maka dia tidak akan berdaya dan tentu dikurung di sebuah
tempat oleh orang she Bun.......!”
“Jika begitu, kita harus
mencari orang she Bun itu lagi?!” kata Ko Tie.
Oey Yok Su mengangguk.
“Tadinya aku tidak berpikir
seperti itu, aku membiarkan saja dia melarikan diri. Tapi sekarang, walaupan
bagaimana kita harus pergi mencarinya. Kita perlu menanyakan perihal nona Kam
kepadanya, dan memaksa dia sampai mau bicara!”
Ko Tie ragu-ragu.
Kepandaian Bun Siang Cuan tidak
rendah hampir setingkat dengan kepandaian Oey Yok Su. Jika memang mereka
mencari orang she Bun itu lagi, dan terjadi pertempuran hebat antara Oey Yok Su
dengan orang she Bun tersebut, tentunya merupakan pertempuran yang
berkepanjangan, juga tidak akan ada keputusan, siapakah yang akan rubuh dan
siapakah yang akan menang.
Karena itu, jika memang
terjadi hal itu, berarti Oey Yok Su harus benar-benar mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, sehingga jika memang tidak dapat Oey Yok Su merubuhkan Bun Siang
Cuan, kemungkinan besar mereka berdua yang akan terluka atau binasa. Tidak
dapat Oey Yok Su untuk merebut kemenangan begitu saja di kala Bun Siang Cuan
masih dalam keadaan segar bugar.
Dan Ko Tie menguatirkan juga
buat keselamatan Oey Yok Su, karena jika Oey Yok Su harus bertempur dua hari
dua malam dengan mempergunakan seluruh sin-kang dan kepandaiannya, niscaya akan
membuat dia letih bukan main, berarti juga dia bisa terluka di dalam, karena
usianya yang telah lanjut benar.
Maka Ko Tie ingin mencegah Oey
Yok Su mencari Bun Siang Cuan. Cuma saja, sekejap kemudian dia ragu-ragu. Dia
kuatir Oey Yok Su akan tersinggung karenanya.
Melihat Ko Tie berdiam diri,
Giok Hoa juga jadi canggung. Diapun berdiam diri saja.
Oey Yok Su telah mengajak
mereka buat berlalu dan Ko Tie berdua dengan Giok Hoa hanya ikut saja, mereka
ingin mencari Kam Lian Cu.
Walaupun mereka telah mencari
ke sana ke mari, Bun Siang Cuan tidak terlihat bayangannya.
Kakek tua yang tampaknya agak
sinting itu ternyata telah menghilang ke mana? Hanya saja, masih terlihat
bangkai kera itu, yang menggeletak diam dan tampak mengerikan sekali karena
batok kepalanya yang hancur itu.
Giok Hoa menggidik melihat
kera bulu kuning itu, karena jika tidak keburu Oey Yok Su dan Ko Tie tiba di
tempat itu, tentu dia telah menjadi korban kera bulu kuning itu, diperkosa
binatang tersebut. Dan hati Giok Hoa jadi ciut memikirkan hal itu.
Oey Yok Su menghela napas.
“Mari kita cari ke tempat
lain..... Dia pasti masih berada di sekitar tempat ini……!” Segera juga Oey Yok Su
berlari-lari untuk mencari Bun Siang Cuan di sekitar tempat ini.
Ko Tie berdua Giok Hoa
berlari-lari mengikuti di belakang tokoh sakti tersebut.
Oey Yok Su menduga bahwa Bun
Siang Cuan masih berada di sekitar tempat ini, karena dia melihat bangkai kera
itu masih berada di tempatnya. Dia telah menyaksikan betapa Bun Siang Cuan
sangat sayang pada kera itu, dan tentu dia akan kembali buat mengambil bangkai
kera itu, yang tentunya akan dikuburnya.
Karena itu, Oey Yok Su menduga
Bun Siang Cuan masih berada di sekitar tempat ini, dan dia tengah
menyembunyikan diri saja di suatu tempat.
Oey Yok Su bertiga telah
mencari ke sana ke mari di sekitar tempat itu. Namun tetap saja Bun Siang Cuan
tidak terlihat bayangannya.
Kam Lian Cu juga tidak,
berhasil mereka temui.
Ko Tie sangat penasaran
sekali, dia meminta kepada Oey Yok Su, untuk beberapa lama dia harus mencari
Kam Lian Cu di tempat ini.
Begitulah, selama satu bulan
mereka berada di tempat tersebut. Mereka telah berkeliling ke sana ke mari,
menjelajahi sekitar tempat itu. Namun orang yang mereka cari tetap saja tidak
berhasil ditemui.
Sebulan lebih telah lewat, dan
Giok Hoa mulai tidak sabar. Diam-diam di hatinya timbul juga perasaan cemburu.
Dia mendengar dari penuturan Ko Tie bahwa Kam Lian Cu seorang gadis yang cantik
sekali, diam-diam hatinya jadi jelus.
Di waktu itu, sebetulnya Giok
Hoa hendak mengajak Ko Tie dan Oey Yok Su menyudahi saja pencarian mereka dan
meninggalkan tempat tersebut. Hanya saja, biarpun hatinya berpikir begitu, tokh
tetap saja dia tidak bisa menyampaikan isi hatinya itu. Mulutnya tidak bisa
untuk mengucapkan apa yang dipikirkannya.
Karena itu, dua minggu lagi
mereka telah berada di sekitar tempat tersebut.
◄Y►
PENUTUP
Pada waktu itu tampak tubuh
Oey Yok Su dengan lincah telah mencelat ke sana ke mari, di mana dia juga telah
berusaha untuk mendatangi tempat-tempat yang paling sukar sekali.
Dengan mengandalkan
gin-kangnya yang memang telah sempurna dan sangat mahir, Oey Yok Su tidak
menemui kesulitan.
Malam tadi dia telah mengatakan
kepada Ko Tie dan Giok Hoa, jika dua hari lagi mereka tidak berhasil menemukan
Bun Siang Cuan maupun Kam Lian Cu, maka mereka akan meninggalkan tempat
tersebut.
Ko Tie sesungguhnya berat
meninggalkan tempat itu sebelum Kam Lian Cu berhasil mereka temukan. Tapi
berbalik dengan Giok Hoa, yang menjadi girang mendengar keputusan Oey Yok Su.
Waktu itu Ko Tie juga telah
meminta kepada burung rajawali agar bantu mencari.
Memang selama itu burung
rajawali tersebut telah membantu mereka mencari jejak Bun Siang Cuan maupun Kam
Lian Cu dengan terbang di angkasa, di mana dia mencari ke sana ke mari.
Ko Tie mengharapkan, dengan
sisa dua hari ini, burung rajawali itu berhasil menemukan Kam Lian Cu.
Namun burung rajawali itu
tetap saja tidak berhasil menemukan jejak dari orang yang tengah mereka cari.
Satu hari lagi telah lewat,
dan juga di hari itu mereka gagal buat menemukan jejaknya Bun Siang Cuan maupun
Kam Lian Cu.
Benar-benar Ko Tie jadi kecewa
sekali……
Pada pagi keesokannya, waktu
Ko Tie, Giok Hoa maupun Oey Yok Su, masih rebah menyender di sebatang pohon
karena tidur mereka yang nyenyak, tiba-tiba mereka dibangunkan oleh suara pekik
rajawali yang begitu nyaring.
Segera juga ke tiga orang ini
melompat berdiri, dan mereka melihat burung rajawali itu tengah terbang menukik
turun hinggap di atas tanah.
Sepasang sayapnya
digerak-gerakan tampaknya burung rajawali itu tengah berusaha memberitahukan
sesuatu.
Giok Hoa segera melompat ke
punggung burungnya. Ko Tie juga melompat ke atas punggung burung itu. Segera
juga burung rajawali itu terbang ke tengah udara dengan cepat sekali.
Rupanya burung rajawali ini
mengajak mereka ke sebuah lembah, dan Ko Tie maupun Giok Hoa melihat lembah itu
rapat sekali oleh tumbuh-tumbuhan maupun pohon yang masih liar.
Tadi Tiauw-jie atau burung
rajawali ini, telah melihat seseorang di dalam lembah. Maka dia telah terbang
memberitahukan kepada majikannya.
Burung rajawali itu terbang
berputar-putar, tapi Giok Hoa maupun Ko Tie tidak melihat sesuatu.
Akhirnya Giok Hoa perintahkan
burung rajawali itu agar terbang menukik turun di lembah tersebut.
Ko Tie dan Giok Hoa melompat
turun dari punggung rajawali tersebut, dan mereka mencari-cari menyelidiki
keadaan di lembah tersebut dengan teliti.
Dan Ko Tie melihat bahwa di
tanah dalam lembah itu, banyak sekali terlihat bekas tapak-tapak kaki.
Seketika Ko Tie dan Giok Hoa
jadi girang. Pasti lembah ini didiami manusia. Juga dilihat dari bekas tapak
kaki itu, tapak kaki laki laki yang berukuran besar dan tapak kaki yang kecil,
tapak kaki wanita.
Tengah mereka mencari-cari
seperti itu, tiba-tiba terdengar suara orang menyebut akan kebesaran Sang
Budha.
“Omitohud…… siapakah kalian
dan apa maksud kalian mendatangi lembah ini?” tiba-tiba telah muncul seorang
pendeta berusia limapuluh tahun lebih dari balik gerombolan pohon.
Ko Tie dan Giok Hoa terkejut.
“Maafkan Taysu!” kata Ko Tie
sambil merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat. “Kami tengah mencari
jejak seorang kawan, karena itu telah lancang datang ke lembah ini.....!”
“Tengah mencari kawan?!” tanya
pendeta itu.
Ko Tie mengangguk.
“Benar Taysu……!”
“Siapakah kawan Sicu?!”
Ko Tie ragu-ragu. Giok Hoa pun
ragu-ragu.
Si pendeta tersenyum.
“Lolap kira di sekitar lembah
ini tidak terdapat orang lain…… dan lolap kira, kawan Sicu juga tidak berada di
dalam lembah ini……!”
“Apakah hanya Taysu seorang
diri yang berdiam di lembah ini?” tanya Ko Tie.
Muka pendeta itu berobah lagi.
Dia tentu saja tidak bisa
berdusta. Dia seorang pendeta yang alim dan saleh, maka tidak dapat dia
berdusta, sedangkan orang telah bertanya seperti itu, membuat dia benar-benar
sangat sulit sekali.
Melihat pendeta itu tampaknya
jadi kikuk dan agak bingung, Ko Tie jadi heran. Namun segera juga sambil
tertawa dia bilang: “Jika memang Taysu keberatan menjelaskannya, sudahlah, kami
juga tidak berani bertanya berbelit-belit……!”
Di waktu itu terlihat pendeta
itu jadi kurang enak hati. Dia bilang: “Lolap tinggal di sini bersama kawan.”
“Ohhhhh…….” Baru saja Ko Tie
hendak meneruskan kata-katanya, pada saat itu dari mulut lembah telah
berlari-lari pesat sekali sesosok bayangan hijau!
Dialah Oey Yok Su!
Melihat Oey Yok Su, muka
pendeta itu jadi berobah seketika, dia segera juga menggumam: “Mengapa dia bisa
berada di tempat ini?”
Waktu itu cepat sekali Oey Yok
Su telah berlari tiba di dekat si pendeta.
Si pendeta merangkapkan
sepasang tangannya memberi hormat kepada Oey Yok Su dan katanya: “Locianpwe
sesungguhnya ini merupakan pertemuan yang sangat menggembirakan sekali!
Terimalah hormat dari Yang Bun?”
Melihat pendeta itu, Oey Yok
Su hanya membalas penghormatan dengan setengah membungkukkan tubuhnya.
“Jangan banyak peradatan,
Yang-bun,” katanya.
Ternyata pendeta itu adalah
seorang pendeta Siauw-lim-sie dari tingkat kedua. Dia memang memiliki
kepandaian yang sangat tinggi.
Sering juga Yang-bun bertemu
dengan Oey Yok Su, karena itu dia mengenali jago tua yang sakti tersebut.
Sekarang melihat Oey Yok Su
muncul di tempat ini, dia menjadi heran bukan main.
Melihat pendeta itu hanya
memandangi saja, Oey Yok Su kemudian bilang: “Taysu berada di sini, apakah
dalam perjalanan?”
Si pendeta bergeleng kepala.
“Lolap berada berdua dengan
kawan yang mengalami nasib sangat buruk sekali, untuk sementara waktu berdiam
di sini……!” menyahuti si pendeta.
“Oh.....!” berseru Oey Yok Su.
“Siapakah kawan Taysu, apakah pendeta Siauw-lim-sie juga?!”
“Bukan!” menyahuti Yang Bun
Taysu. “Dia adalah seorang gadis yang malang sekali nasibnya!”
Mendengar keterangan Yang Bun
Taysu itu bukan main kagetnya Ko Tie bertiga.
“Seorang gadis?” tanya Ko Tie
kemudian.
Yang Bun Taysu mengangguk
membenarkan, dia juga menceritakan apa yang telah dialami oleh kawannya itu,
yang ternyata tidak lain Kam Lian Cu.
Mendengar Kam Lian Cu korban
dari kera bulu kuning milik Bun Siang Cuan, hati Ko Tie dan Giok Hoa maupun Oey
Yok Su berdebar-debar. Mereka pun merasa bahwa kawan dari si pendeta ini adalah
orang yang tengah mereka cari.
“Bisakah Taysu mengajak kami
bertemu dengannya?!” tanya Oey Yok Su.
Oey Yok Su merupakan orang
yang sangat dihormati oleh Yang Bun Taysu, maka dia tidak memiliki alasan buat
menolaknya, malah dengan segera dia mengajak mereka bertiga masuk ke dalam
lembah itu lebih jauh.
Ketika dipertemukan dengan
orang yang disebutkan Yang Bun Taysu, semuanya terkejut. Karena dialah Kam Lian
Cu, orang yang tengah mereka cari-cari.
Kam Lian Cu menangis sedih
sekali. Oey Yok Su menghiburnya. Malah menjelaskan juga bahwa Kera berbulu
kuning telah dihajar mati olehnya.
“Tapi..... tapi entah apa yang
akan terjadi buat hari-hariku di masa mendatang.....!” mengeluh Kam Lian Cu
dalam isak tangisnya.
Ko Tie dan Giok Hoa ikut
menghiburnya.
Oey Yok Su malah menawarkan,
jika Kam Lian Cu bersedia, maka dia ingin mengambil anak Kam Lian Cu kelak
sebagai muridnya. Karena dari itu Oey Yok Su menganjurkan Kam Lian Cu ikut
dengannya pergi menetap di pulau Tho-hoa-to.
Bukan kepalang girangnya Kam
Lian Cu. Terlebih lagi Yang Bun Taysu, karena dengan demikian dia bebas dari
tugasnya yang sangat berat itu. Diapun yakin bahwa Kam Lian Cu benar-benar
terlindung dengan berada dalam perlindungan Oey Yok Su.
Begitulah, setelah
bercakap-cakap beberapa saat, merekapun berpisah. Oey Yok Su mengajak Kam Lian
Cu ke Tho-hoa-to, sedangkan Yang Bun Taysu melanjutkan perjalanannya
meninggalkan lembah tersebut.
Ko Tie dan Giok Hoa melakukan
perjalanan kembali ke tempat guru-guru mereka, dan di sana mereka ingin meminta
restu, agar mereka dinikahkan dengan resmi.
Ko Tie sesungguhnya merasa iba
dan berkasihan kepada Kam Liam Cu, tapi dia tidak bilang apa-apa. Dan terhadap
Giok Hoa, memang pada dasarnya dia sangat mencintai, dia tidak dapat mengelak
lagi untuk lepas dari pernikahan.
Tentu guru mereka akan
menyambut berita ini dengan gembira. Tiauw-jie atau burung rajawali peliharaan
Giok Hoa pun telah terbang di tengah udara mengiringi perjalanan mereka sambil
terus mengeluarkan pekik mengandung kegembiraan yang meluap-luap.
T A M A T