Anak rajawali Jilid 25
Si gadis menghela napas.
Memang inilah pengalaman pertama kali buat Giok Hoa, kehilangan Pauw-hoknya
karena dipancing oleh maling itu dengan cara yang licik.
Sedangkan Ko Tie kemudian
menghibur si gadis. Dan katanya, masih bagus barang-barang seperti itu mudah
dibeli lagi, seperti pakaian dan barang-barang perhiasan lainnya.
Dan juga, sebagai seorang yang
berhati besar, Giok Hoa dapat menerima bujukan Ko Tie, hanya perasaan
mendongkol belaka yang masih berada di dasar hatinya.
Begitulah, Ko Tie telah
kembali ke kamarnya, sedangkan si gadis tidak bisa segera tidur, karena dia
masih resah diliputi kemendongkolannya!
Menjelang fajar, barulah si
gadis dapat memejamkan matanya. Tidur tidak terlalu nyenyak, sebab tidak lama
kemudian dia telah terbangun.
Di waktu itu Ko Tie pun telah
memesan makanan kepada pelayan, ia menemani si gadis bercakap-cakap. Dan
setelah santapan pagi mereka berkeliling di kota itu, karena mereka bermaksud
ingin menyelidiki juga, kalau-kalau saja mereka beruntung masih dapat mencari
jejak si pencuri.
Tipis sekali harapan buat
dapat membekuk pencuri tangan panjang itu, namun mereka tokh menghabisi waktu
mereka sampai sore berkeliling di kota tersebut. Mereka juga berusaha
menyelidiki di antara para pelayan rumah penginapan maupun rumah makan yang
mereka singgahi, bertanya-tanya, siapakah sekiranya maling yang paling pandai
di kota ini.
Tapi para pelayan dari rumah
makan maupun rumah penginapan tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka hanya
mengatakan tidak tahu. Rupanya mereka memang tidak mau cari penyakit, karena
jika memang mereka menyebutkan, dikuatirkan justeru mereka akan
kerembet-rembet.
Sore hari barulah mereka
kembali ke rumah penginapan dan merasa letih sekali. Giok Hoa telah kembali ke
kamarnya buat beristirahat.
Ko Tie sendiri karena iseng,
akhirnya telah keluar pula dari rumah penginapan, buat melihat-lihat keramaian
di Lam-yang menjelang malam. Memang cukup ramai, di mana banyak para pedagang
menjajakan barang-barang mereka. Dari berbagai tempat terdengar irama musik dan
tertawa wanita-wanita pelesiran.
Dan Ko Tie tidak tertarik
dengan semua keramaian itu, karena hatinya waktu itu tengah berpikir hendak
mengetahui entah siapa maling yang telah mengambil buntalan Giok Hoa.
Memang jika dilihat bahwa
mereka berada di kota yang cukup ramai seperti Lam-yang. Dan tentu di kota yang
ramai seperti itu tentu saja berkeliaran banyak sekali buaya darat dan
maling-maling bertangan panjang.
Karenanya jika memang buntalan
Giok Hoa diambil oleh maling bertangan panjang, niscaya caranya bukan demikian.
Maling-maling bekerja bukan dengan cara memancing terlebih dulu Giok Hoa sampai
keluar kota, kemudian baru mengambil pauw-hok si gadis.
Dan juga menurut Giok Hoa
walaupun ia telah mengerahkan seluruh gin-kangnya, tetap saja ia tidak berhasil
mengejar maling itu, yang tampaknya memiliki gin-kang sangat tinggi sekali.
Sedangkan kepandaian Giok Hoa juga tidak rendah. Dia seorang gadis yang
memiliki kepandaian tidak bisa diremehkan.
Lalu siapa orang liehay itu,
yang mengambil pauw-hok Giok Hoa? Melihat kepandaiannya yang tinggi seperti
itu, jelas maling itu bukan maling biasa, dan tentu ia pun memiliki
maksud-maksud tertentu.
Karena berpikir dan memiliki
dugaan seperti itu, penasaran sekali hati Ko Tie ingin mengetahui siapa
sebenarnya orang yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.
Memang maksudnya keluar dari
rumah penginapan buat mencari angin karena iseng dan menyaksikan keramaian di
waktu malam di kota Lam-yang ini. Tapi ia sendiri, tanpa disadarinya, sambil
menyelidiki juga, menyerap-nyerapi siapakah orang yang telah mengambil pauw-hok
Giok Hoa.
Waktu itu Ko Tie sedang
berjalan di tengah keramaian kota Lam-yang tersebut. Tiba-tiba dia merasakan
pundaknya dibentur seseorang.
Bukan benturan sembarangan.
Benturan yang memiliki lweekang yang kuat, karena Ko Tie merasakan tubuhnya
seperti juga ditubruk sesuatu yang keras sekali, membuat tubuhnya hampir saja
terhuyung mundur kalau saja memang diwaktu itu ia tidak segera memperkuat
kuda-kuda ke dua kakinya.
Segera Ko Tie menoleh kepada
yang membenturnya. Orang itu gesit sekali menyelusup di antara orang ramai.
Namun Ko Tie tidak mau berayal, segera mengejarnya.
Cepat sekali orang buruannya
itu menyelinap ke sana ke mari. Dia telah meninggalkan Ko Tie cukup jauh.
Di tempat ramai seperti itu
memang agak sulit buat Ko Tie melakukan pengejaran. Dan juga, disaat itu memang
tampaknya merupakan hal yang menambah kecurigaan buat Ko Tie, orang yang tengah
dikejarnya memiliki gin-kang yang tinggi, karena ia dapat berlari sangat cepat.
Cuma saja, yang membuat Ko Tie
jadi tambah curiga, justeru orang itu memakai pakaian yang bertambal sulam,
yang memang jelas dia merupakan seorang pengemis. Sedangkan menurut Giok Hoa,
orang yang pernah memancingnya keluar kota dan memiliki gin-kang yang tinggi
tampaknya seperti pengemis!
Teringat akan hal itu, hati Ko
Tie jadi girang, mungkin pengemis ini yang telah mencuri Pauw-hok Giok Hoa.
Segera juga si pemuda mengerahkan gin-kangnya, mengempos semangatnya dan dia
berlari secepat kilat.
Ko Tie tidak memperdulikan ia
menubruk beberapa orang yang hampir terpelanting dan memaki-makinya, karena Ko
Tie bermaksud untuk dapat mengejar pengemis itu, yang kecurigaannya semakin
kuat juga, bahwa pengemis itulah yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.
Sedangkan pengemis yang tadi
sengaja membentur pundak Ko Tie, telah berlari semakin cepat, dia menuju keluar
kota.
Ko Tie kuatir jika ia
lambat-lambat akan kehilangan jejak orang buruannya, karena ia mengejar semakin
cepat. Di waktu itu dia telah membentur pundak seorang gadis yang telah
terhuyung satu langkah dan memaki:
“Manusia tidak tahu
aturan...... berhenti kau!” Dan gadis itu menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya
melesat sambil tangan kanannya bergerak menghantam ke punggung Ko Tie.
Dia adalah seorang gadis yang
sangat cantik, berusia duapuluh tahun lebih sedikit. Rambutnya disanggul besar,
dengan pakaian ringkas terbuat dari bahan sutera berwarna hijau daun, dan
tubuhnya sangat lincah sekali, dengan di pundaknya tersembul gagang pedang.
Dilihatnya dari cara
berpakaiannya itu, jelas gadis itu merupakan seorang yang memiliki kepandaian
tidak rendah dan pengembara di dalam rimba persilatan.
Ko Tie sendiri waktu membentur
pundak gadis itu, ia sama sekali tidak memperhatikan, karena memang ia tengah
berlari secepat-cepatnya. Ia bermaksud hendak mengejar dan menyandak pengemis
buruannya itu. Dan ia pun berusaha membekuknya nanti, guna mendesaknya agar
mengembalikan pauw-hok Giok Hoa.
Tahu-tahu ia merasakan dari
belakangnya menyambar kesiuran angin yang kuat sekali, membuatnya kaget dan
heran. Namun sebagai pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan terlatih dengan
baik, segera juga ia dapat mengatasi keadaan. Segera tangan kanannya menyampok
ke belakang buat menangkis serangan membokong dari belakangnya itu.
“Dukkk!” tangan Ko Tie
menyampok tangan si gadis itu, kuat sekali.
Dan juga telah membuat Ko Tie
jadi terhuyung satu langkah, sedangkan si gadis itu juga telah terlempar sampai
dua langkah. Mereka jadi berdiri berhadapan.
“Kau......?!” Ko Tie berseru
keras, karena dia tidak mengenali siapa adanya gadis ini, yang tahu-tahu telah
menyerangnya dengan pukulan yang kuat itu. Kalau saja orang yang diserangnya
tadi seorang yang tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, niscaya akan membuat
orang itu terlempar dan terluka di dalam yang parah sekali.
“Mengapa kau menyerangku
sekeji itu?!”
Gadis itu berdiri dengan mata
mendelik dan mulut monyong cemberut marah! Matanya itu juga memancarkan sinar
yang tajam mengandung kemarahan.
“Kau masih bertanya mengapa
aku menyerangmu? Hemmmm, aturan mana yang kau pergunakan berlari-lari seperti
babi buta menubruki orang-orang di tempat keramaian ini?!” Bengis pertanyaan si
gadis.
Ko Tie segera tersadar,
walaupun hatinya masih mendongkol, namun cepat dia membungkukkan tubuhnya
memberi hormat, katanya:
“Maafkanlah, aku tadi tengah
mengejar penjahat...... mungkin tanpa disengaja telah menabrak nona……!”
Melihat Ko Tie meminta maaf
dan mendengar pemuda ini tengah mengejar penjahat, wajah si gadis yang semula
memancarkan sinar yang penuh kemarahan, sekarang berobah berangsur menjadi
biasa lagi, walaupun dia memang masih mendongkol.
“Kau tengah mengejar penjahat?
Penjahat mana? Apa yang dilakukannya?” tanya gadis itu.
Mendengar pertanyaan gadis
tersebut. Ko Tie tersadar cepat sekali, dia telah menoleh memandang
sekelilingnya. Pengemis yang dikejarnya tadi telah hilang tanpa jejak!
“Aiiii!” berseru Ko Tie
terkejut dan kecewa sekali.
“Kenapa?” tanya si gadis
melihat sikap Ko Tie seperti itu.
“Dia telah hilang…..!” kata Ko
Tie, “Hai, aku terlambat buat mengejarnya…..!”
Melihat sinar mata Ko Tie yang
melirik kepadanya, gadis itu menyadari bahwa dirinya disesali pemuda ini, yang
tentu merasa dirinya terganggu dengan adanya si gadis, karena seperti telah
menghalang-halanginya si pemuda, membuat dia gagal mengejar penjahat yang
menjadi buruannya.
“Hemmm, engkau ingin
mempersalahkan diriku, karena aku, engkau gagal mengejar penjahat itu?” tanya
si gadis sambil mendengus.
Ko Tie nyengir, dia bilang:
“Mana berani….. mana berani! Cuma saja, karena memang aku harus berurusan
dengan nona, membuat aku kehilangan jejak.......!”
“Jika demikian, sekarang kau
katakan. Engkau tidak puas bukan karena perbuatanku?” kata si gadis. “Engkau
merasa dirugikan karena aku menyerangmu?”
Ko Tie tertawa.
“Tidak, tidak…..!” katanya.
“Nah, selamat tinggal nona..........!”
Sambil berkata demikian, Ko
Tie menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya berkelebat ringan sekali meninggalkan
si gadis, karena ia yakin percuma saja ia melayani gadis tersebut.
Si gadis hendak mencegah,
namun akhirnya dia membatalkannya sendiri. Dia hanya mendengus saja sambil
mengawasi Ko Tie yang akhirnya lenyap dari pandangannya. Dan dia sendiri di
dalam hatinya berpikir, entah siapa pemuda itu adanya, yang tampaknya lihay dan
memiliki kepandaian tidak rendah disamping memang tampan?!
Ko Tie yang berlari-lari pesat
sekali berusaha mengejar mencari jejak si pengemis. Ia telah memandang
sekeliling tempat yang dilaluinya.
Tapi si pengemis yang tadi
dikejarnya sudah tidak terlihat bayangannya. Waktu sampai di pintu kota, di
mana keadaan di tempat itu tidak seramai di tengah-tengah pusat kota Lam-yang,
Ko Tie tetap tidak melihat bayangan si pengemis.
Ia jadi mendongkol dan
jengkel, dia sampai banting-banting kaki, karena ia sangat menyesali tadi, yang
telah membuat dia gagal mengejar pengemis itu.
Tapi begitu dia menyesali si
gadis, seketika ia teringat bahwa gadis itu sesungguhnya seorang gadis yang
cantik, mulutnya yang dimonyongkan cemberut marah, matanya mendelik lebar karena
gusar dan sikapnya yang gagah, wajahnya yang cantik dengan pipi kemerah-merahan
disebabkan marah. Sungguh seorang gadis yang cantik sekali!
Dan tadi Ko Tie tidak sempat
memperhatikan keadaan si gadis. Sekarang dia baru teringat, bahwa tadi dia sampai
lupa menanyakan nama si gadis. Dan dia tidak mengetahui juga, siapa yang
tampaknya memiliki kepandaian tidak rendah itu?
Di waktu itulah dia telah
berpikir, ingin kembali ke tempat tadi di mana dia bertemu dengan gadis itu,
guna bercakap-cakap dengannya.
Waktu Ko Tie memutar tubuhnya,
tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin.
“Dasar pemuda mata keranjang,
begitu melihat gadis cantik, segera juga matanya jadi panjang.....!” tiba-tiba
terdengar orang yang mengejeknya dari tempat gelap.
Kaget Ko Tie oleh teguran dan
ejekan tersebut, dia memutar tubuhnya, dengan mata yang tajam dia mengawasi ke
tempat di mana datangnya suara ejekan itu.
Tampak berkelebat sesosok
bayangan yang berlari cepat sekali meninggalkan tempat tersebut. Ko Tie
menjejakkan ke dua kakinya sekali gus dan dia mengejarnya dengan segera.
“Siapa kau? Berhenti!” berseru
Ko Tie sambil mengempos semangatnya.
Tapi sosok tubuh itu, dalam
kegelapan malam di tempat tersebut terus juga berlari ke arah luar kota dengan
lincah dan gesit sekali, tubuhnya seperti terbang dan ke dua kakinya seperti
tidak menginjak tanah.
Ko Tie yang memiliki mata
awas, segera melihat pakaian orang itu penuh tambalan. Dialah si pengemis yang
tengah dikejarnya! Dan segera juga Ko Tie mengempos semangatnya dia mengejar dengan
secepat-cepatnya.
Cuma saja di hatinya segera
timbul kecurigaan, apa maksud pengemis itu, sengaja membentur pundaknya
kemudian melarikan diri, dan lalu, setelah Ko Tie tidak berhasil mengejarnya,
di waktu dia ke hilangan jejak, justeru pengemis itu telah memperlihatkan diri
lagi dan berlari buat menyingkirkan diri dari dia!
Dan Ko Tie bukannya pemuda
yang tolol. Dia segera dapat menduga pasti ini merupakan pancingan pula dari
pengemis itu.
Siapakah pengemis itu? Apa
maksudnya memancingnya seperti ini? Apa pula yang telah disiapkan buat
mencelakai Ko Tie? Atau di suatu tempat telah berkumpul kawan-kawan si pengemis
dalam jumlah yang banyak?
Banyak pikiran dan dugaan yang
berkecamuk di dalam benak Ko Tie, waktu dia tengah mengejar. Dia semakin mencurigai
si pengemis. Tapi biarpun Ko Tie telah mengejar dengan mengempos seluruh
gin-kang yang dimilikinya, tetap saja dia tidak berhasil mengejar pengemis itu,
jarak mereka masih terpisah cukup jauh.
Hal ini membuat Ko Tie
penasaran, dengan segera ia mempergunakan ilmu berlari tunggalnya, yaitu ilmu
lari di atas es! Dia mengejar dengan tubuh seperti terbang di udara, di mana
tubuhnya itu melesat sangat cepat dan gesit sekali, dalam waktu yang singkat Ko
Tie telah berhasil memperpendek jarak pisah mereka.
Pengemis yang tengah
dikejarnya itu terdengar berseru tertahan, rupanya dia kaget tahu Ko Tie telah
berhasil mengejarnya semakin dekat.
Segera juga si pengemis
mengempos semangatnya berlari semakin cepat. Dan dia berusaha menjauhi diri
lagi dari Ko Tie.
Namun dia tidak berhasil,
sebab Ko Tie mengejarnya semakin dekat. Dengan mempergunakan ilmu berlari
tunggalnya, yang memang menjadi andalan dari Swat Tocu dan telah diwarisi
kepada Ko Tie, membuat pemuda itu dapat mengejar dengan cepat sekali. Ilmu
andalan ini jika memang tidak diperlukan sekali tentu tidak dipergunakan oleh
Ko Tie.
Si pengemis akhirnya menyadari
bahwa dia tokh akan tercandak juga. Karenanya dia tidak bermaksud menyingkirkan
diri lagi, dia telah berhenti dan menantikan Ko Tie tiba.
Cepat sekali Ko Tie tiba
dihadapan pengemis itu, dan pemuda ini juga dengan bantuan sinar rembulan,
telah bisa melibat jelas muka tersebut, dia pun segera mengenali siapa adanya
jadi terkejut dan heran.
“Ihhh, kiranya Thio Kim Beng
Locianpwe. Apakah..... apakah selama ini dalam keadaan baik-baik saja, Thio
Locianpwee?” tanya Ko Tie sambil segera merangkapkan sepasang tangannya,
memberi hormat kepada tokoh Kay-pang itu, karena pemuda ini menyadari bahwa ia
tengah berhadapan dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi dan tidak bisa ia
bersikap kurang ajar.
Pengemis tua itu, Thio Kim
Beng tertawa bergelak-gelak,
“Memang tidak salah Swat Tocu
memiliki nama besar, dan ia memang memiliki rejeki yang baik sekali, ia bisa
memiliki murid sepandai engkau! Ha, rupanya kata-kata tua yang bilang: “Guru
emas muridpun permata!” merupakan kata-kata yang tepat! Nah, Kongcu, apa
maksudmu sejak tadi kau mengejar-ngejar diriku?!”
Ditegur seperti itu, muka Ko
Tie berobah memerah, dia jadi malu, karena itu cepat-cepat ia menjawab: “Jika…..
jika memang tidak salah, bukankah tadi locianpwe yang telah membentur pundak
boanpwe?”
Thio Kim Beng memperlibatkan
sikap seperti heran.
“Membentur pundakmu? Kapan?!”
tanya Thio Kim Beng sambil memperlihatkan sikap tidak mengerti dan sepasang matanya
terbuka lebar-lebar.
Ko Tie segera menceritakan apa
yang dialaminya.
Thio Kim Beng tertawa
bergelak-gelak.
“Kongcu, jika memang benar aku
yang membentur pundakmu, dan sekarang setelah engkau berhasil mengejarku,
apakah engkau ingin menghajar habis-habisan aku si pengemis tua yang melarat
ini?” tanyanya.
Ditegur seperti itu, muka Ko
Tie berobah marah lagi.
“Bukan begitu, cuma saja
memang boanpwe ingin mengetahui siapakah sebenarnya yang telah membentur begitu
keras kepada boanpwe dan juga dalam hal ini tentu saja merupakan urusan di luar
dugaan.
“Sama sekali boanpwe tidak
menyangka bahwa orang yang telah membentur boanpwe tidak lain dari locianpwe.
Dengan demikian..... maafkan locianpwe dan boanpwe juga hendak kembali ke rumah
penginapan......!”
“Tunggu dulu......!” cegah
Thio Kim Beng segera. “Kau telah turun gunung, dan tampaknya, gurumu tidak
bersama-sama dengan kau….. benarkah itu?”
Ko Tie jadi batal memutar
tubuhnya, dia menoleh kepada si pengemis sambil mengangguk.
“Benar locianpwe...... memang
benar suhu berada di Heng-san dan boanpwe saja yang telah turun gunung!”
menyahuti Ko Tie.
“Lalu gadis itu….. yang jika
tidak salah adalah muridnya Yo Kouw-nio. Bukankah dia melakukan perjalanan
bersama kau?”tanya Thio Kim Beng pula.
Pipi Ko Tie seketika berobah
memerah karena diwaktu itu ia merasa likat sekali. Sedangkan si pengemis tua
tertawa bergelak-gelak.
“Mengapa harus malu. Bukankan
memang hubungan guru kalian sangat baik? Dan juga kalian tampaknya sebabat
sekali, di mana cocok yang satu tampan, yang seorang cantik jelita!
“Hanya saja, kukira, engkau
memang seorang pemuda mata keranjang. Begitu melihat gadis lain yang parasnya
cantik, matamu seketika jadi panjang……!”
Muka Ko Tie jadi berobah
semakin merah. Dia segera menjura memberi hormat kepada si pengemis: “Locianpwe
bergurau,” katanya.
Thio Kim Beng memperlihatkan
sikap bersungguh-sungguh, dia bilang:
“Aku bukan tengah bergurau.
Dan juga aku bicara dari hal yang sebenarnya! Aku paling benci pemuda-pemuda
ceriwis. Karena dari itu, jika memang aku mengetahui engkau pemuda ceriwis,
cisssss, aku tentu tidak akan memandang lagi muka gurumu, akan kuhajar
habis-habisan……!”
Muka Ko Tie berobah semakin
memerah.
“Boanpwe mana berani buat
berlaku ceriwis? Locianpwe hanya bergurau!” katanya kemudian dengan pipi yang
berobah semakin merah.
Memang gadis yang ditemuinya
tadi sangat cantik. Namun juga merupakan seorang gadis yang agak galak dengan
muka yang cemberut marah, di mana hati Ko Tie sesungguhnya cuma tertarik saja,
tapi dia tidak memiliki pikiran lainnya.
Waktu itu tampak si pengemis
tua Thio Kim Beng telah berkata lagi, setelah tertawa bergelak-gelak:
“Baiklah, jika memang engkau
bukan seorang pemuda ceriwis, aku bersedia untuk bicara dengan engkau! Mengapa
di malam ini engkau berkeliaran di dalam kota, tanpa mengajak kawanmu itu?”
“Dia….. dia telah tidur,
locianpwee!” kata Ko Tie dengan suara tidak lancar karena malu, di mana memang
yang dimaksudkannya dengan dia, tidak lain Giok Hoa. “Karena iseng boanpwe
telah keluar dari rumah penginapan buat menyaksikan keramaian di kota Lam-yang
ini……!”
“Hemmmmm, tentunya engkau
hendak mencari gadis-gadis yang cantik, bukan?!” mengejek Thio Kim Beng, yang
tetap menggoda Ko Tie.
Muka si pemuda tambah merah,
dia menggeleng cepat sambil katanya: “Locianpwe hanya bergurau saja, sama
sekali boanpwe tidak memiliki pikiran seburuk itu!”
“Baiklah! Lalu, apa acaramu?
Mau engkau hendak mencari hiburan?! Jangan memandang rendah padaku, walaupun
aku si pengemis tua miskin, tapi aku bisa mengajakmu ke tempat-tempat hiburan
kelas satu jika memang engkau menghendaki!”
Ko Tie menggeleng perlahan.
“Terima kasih locianpwe…..
terima kasih!” katanya berulang kali. “Terima kasih atas kebaikan hati
locianpwee, tapi sungguh sayang sekali, boanpwe hendak kembali ke rumah
penginapan!”
“Akh, engkau menolak tawaran
yang mengembirakan itu!” kata si pengemis sambil tertawa. “Atau memang engkau
menyangka aku tidak memiliki uang buat menjamumu?!” Dan setelah berkata begitu,
Thio Kim Beng merogoh sakunya, mengeluarkan serenceng uang.
“Lihatlah, uang ini bukannya
berjumlah sedikit?”
Ko Tie tersenyum.
“Ya, memang boanpwe juga telah
memaklumi bahwa locianpwe memiliki uang tidak sedikit. Tapi seperti tadi
boanpwe katakan bahwa boanpwe hendak kembali ke rumah penginapan!”
Mendadak sekali si pengemis
tua itu tertawa bergelak-gelak sambil memasukkan uangnya ke dalam sakunya.
“Hemmmmm, rupanya memang
engkau ingin cepat-cepat bertemu dengan gadis pujaanmu itu? Oho..........
engkau rupanya sudah sangat rindu, meninggalkannya sejenak saja, engkau sudah
sibuk sekali ingin cepat-cepat kembali agar dapat selalu di sisinya!”
Setelah berkata begitu,
kembali pengemis tua ini tertawa bergelak.
Di waktu itu Ko Tie jadi
kurang senang melihat pengemis tua ini selalu menggodanya, bahkan godaannya itu
menjurus kepada sindiran belaka. Maka ia berpikir buat tidak melayani pengemis
tua itu lebih lama lagi, dia merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat
sambil katanya:
“Baiklah locianpwe, boanpwe
ingin pergi dulu……!” Dan tanpa menantikan jawaban si pengemis tua itu, Ko Tie
memutar tubuhnya buat berlalu.
Thio Kim Beng berhenti tertawa
melihat pemuda itu ingin pergi, dia bilang: “Tunggu dulu! Apakah engkau tidak
mau mengambil kembali pauw-hok kawanmu itu!”
Ko Tie tercekat hatinya,
segera timbul kecurigaannya, segera dia memutar tubuhnya.
“Jadi….. jadi locianpwe.....
mengetahui hal itu?” tanya Ko Tie sambit memandang tajam sekali, sesungguhnya
dia ingin bertanya, “Sesungguhnya locianpwe yang mengambil pauw-hok itu!”
Hanya dia menggantinya dengan
“mengetahui hal itu” karena dianggapnya tidak sopan dan kurang pantas kepada
pengemis itu hal tersebut ditanyakan langsung olehnya.
Thio Kim Beng tertawa
bergelak, dan kemudian katanya:
“Tentu….. tentu saja aku
mengetahui! Memang aku yang mengetahui sebenar-benarnya urusan itu! Malah
pauw-hok itu berada di tanganku! Bukankah ini pauw-hok milik kawanmu?” Sambil
berkata demikian si pengemis mengeluarkan buntalan Giok Hoa dari balik bajunya.
Ko Tie memang mengenali
pauw-hok itu adalah milik Giok Hoa. Ia telah memandang sejenak kepada pauw-hok
itu, kemudian Thio Kim Beng, dia bilang:
“Kalau begitu, sudikah kiranya
locianpwe mengembalikan pauw-hok itu, agar nanti aku yang menyampaikannya
kepada nona Giok Hoa!”
Thio Kim Beng memperlihatkan
sikap serius, dia menggelengkan kepalanya beberapa kali, katanya:
“Tidak! Tidak! Tidak bisa
kuserahkan kepadamu…… Aku harus menyerahkannya langsung kepada gadis itu! Dan
jika engkau menginginkan pauw-hok ini, agar dapat nama di mata gadismu, hemmm,
hemmm, engkau boleh mengambilnya dari tanganku!”
“Jadi...... jadi locianpwe
yang telah mengambil pauw-hok tersebut, dengan memancing nona Giok Hoa ke luar
kota, dan kemudian pauw-hoknya disambar?” menegaskan Ko Tie.
Thio Kim Beng mengangguk,
katanya: “Benar...... memang aku yang melakukannya!”
Muka Ko Tie jadi memancarkan
sikap tidak senang, dia bilang: “Hemmmm, apakah locianpwe tidak merasakan bahwa
tindakan seperti itu adalah tindakan seorang Siauw-cut?!”
Thio Kim Beng tidak tertawa
lagi, matanya bersinar tajam.
“Aku kau anggap sebagai
Siauw-cut?!” tegurnya dengan suara tidak senang.
“Ya, jika memang locianpwe
melakukan hal seperti itu, tentu saja tindakan seperti itu merupakan tindakan
seorang Siauw-cut! Seorang manusia, akan memperoleh nama baik atau nama buruk,
tergantung dari tindakannya, dari perbuatannya.....!”
Menyahuti Ko Tie tegas dan
berani, karena sekarang pemuda ini merasa kurang senang pada pengemis tua itu,
yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.
Waktu itu tampak Thio Kim Beng
tertawa dingin katanya: “Engkau bocah yang masih bau kencur ingin menasehati
aku? Ohhh, sombongnya! Hemmmm, seperti gurumu yang congkak itu, engkaupun
tampaknya murid yang berkepala besar.
“Guru dengan murid sama
seperti setali tiga uang…..! Dan juga, aku memang ingin melihat, berapa tinggi
kepandaian yang engkau miliki, sehingga engkau berani berkepala besar seperti
itu?”
Sambil berkata begitu, tampak
Thio Kim Beng telah memasukkan buntalannya itu ke dalam bajunya. Ia memandang
kepada Ko Tie dengan sorot mata yang mengandung tantangan.
Sedangkan Ko Tie sendiri waktu
itu bertekad, walaupun bagaimana ia harus dapat merebut pauw-hok dari tangan
Thio Kim Beng. Maka ia telah memutuskan.
Ia harus menempur pengemis
itu, dan juga berusaha merebutnya, dengan kekerasan kalau saja Thio Kim Beng
tidak mau menyerahkan dan mengembalikan pauw-hok tersebut. Memang Ko Tie juga
tidak senang waktu memperoleh kenyataan Thio Kim Beng lah yang menjadi
malingnya yang mengambil pauw-hok Giok Hoa.
“Baik-baik locianpwe,
maafkanlah boanpwe yang akan bertindak kurang ajar, di mana boanpwe akan
berusaha merampas pulang buntalan kawan boanpwe!” Sambil berkata begitu Ko Tie
bersiap-siap buat menyerang.
“Ya, silahkan engkau
menyerang!” kata Thio Kim Beng dengan suara nyaring. “Mari...... mari, memang
aku hendak melihat, berapa tinggi kepandaian yang engkau miliki!”
Setelah berkata begitu, si
pengemis tua Thio Kim Beng mengibaskan tangannya. Dari telapak tangannya
berkesiuran angin yang kuat.
Melihat itu, Ko Tie segera
juga menyadari bahwa si pengemis juga akan bersungguh-sungguh, di mana ia akan
mengeluarkan kepandaiannya untuk mempertahankan buntalan itu. Dan Ko Tie juga
yakin, bahwa ia harus dapat merebutnya dengan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Setelah menjura satu kali
lagi, Ko Tie tahu-tahu melompat sambil mengayunkan ke dua tangannya. Dia
mempergunakan sekaligus ilmu pukulan Inti Es sehingga angin berkesiuran
bercampur hawa dingin.
“Bagus!” berseru Thio Kim
Beng, yang cepat sekali melesat ke samping, di mana ia dapat mengelakkannya
dengan mudah.
Cuma saja hatinya terkejut,
karena ia tidak menyangka bahwa Ko Tie, telah berhasil mewarisi kepandaian
gurunya. Ilmu pukulan andalan Swat Tocu adalah Inti Esnya.
Dan sekarang justeru Ko Tie
menyerangnya dengan ilmu pukulan tersebut. Dengan demikian, membuat si pengemis
tua merasa kagum.
Usia Ko Tie belumlah lebih
dari duapuluh lima tahun, dan juga dia merupakan pemuda remaja karenanya,
dengan demikian tenaga dalam seperti yang sekarang dipergunakannya, merupakan
hal yang menakjubkan, kuat dan juga lihay sekali.
Ko Tie tidak menghentikan
pukulannya, karena melihat pukulan pertamanya gagal, dia membarengi dengan
pukulan berikutnya, di mana berulang kali dia menyerang kepada si pengemis tua.
Thio Kim Beng mengelak ke sana
ke mari, dan juga dia berhasil untuk mengejek si pemuda memanaskan hatinya,
sehingga Ko Tie semakin lama menyerangnya semakin gencar.
Satu kali, dengan cepat sekali
telapak tangan Ko Tie menyambar ke pundak lawannya. Si pengemis tua itu malah
tidak mengelak. Dia berdiri tegak di tempatnya, dan menangkis dengan tangannya.
“Bukkkk!” terdengar suara
benturan yang dahsyat, sehingga tubuh ke dua orang itu terhuyung. Tubuh Ko Tie
terhuyung dua langkah.
Ko Tie segera tersadar bahwa
tenaga dalam Thio Kim Beng masih berada di atasnya satu tingkat. Dengan
demikian ia harus lebih hati-hati menghadapinya. Dan dia pun harus mengerahkan
seluruh sin-kang yang dimilikinya.
Demikian juga halnya dengan
Thio Kim Beng, dia telah menyadari. Biarpun usia pemuda ini masih remaja, namun
kepandaiannya tidak lemah, hanya terpaut satu tingkat di bawah sin-kangnya.
Juga pemuda itu memiliki ilmu
yang aneh dan sulit sekali diterka, karena merupakan ilmu-ilmu warisan Swat
Tocu yang liehay. Sebab itu, kemungkinan Ko Tie akan dapat menambal kelemahan
pada sin-kangnya yang kalah kuat dibandingkan dengan sin-kang Thio Kim Beng,
dia pasti akan dapat menjadi lawan yang sulit dirubuhkan oleh Thio Kim Beng.
Thio Kim Beng segera mengempos
semangatnya, ia berseru nyaring dan tampak lengan kanannya telah menyerang,
disusul dengan tangan kirinya yang menyambar cepat sekali. Begitu kuatnya
tenaga serangan dari Thio Kim Beng, angin pukulannya menderu-deru dahsyat
menyerang kepada Ko Tie.
Ko Tie sendiri tidak berani
berayal, tubuhnya bergerak ringan sekali seperti juga bayangan. Sepasang
tangannya meluncur ke sana ke mari mengandung sin-kang yang dahsyat dan juga
hawa yang dingin sekali.
Sedangkan waktu itu Thio Kim
Beng tengah penasaran, tadinya dia bermaksud mempermainkan Ko Tie. Dia yakin
kepandaian pemuda ini tentunya tidaklah terlalu tinggi dan mudah saja dia
mempermainkannya.
Siapa tahu, setelah mereka
mengadu tenaga bertempur dengan seru, semakin lama Thio Kim Beng merasakan
bahwa tidak mudah buat merubuhkan Ko Tie, karena memang dia merupakan pemuda
yang tangguh.
Maka segera Thio Kim Beng
mengempos semangatnya. Di iringi dengan bentakan nyaring, dia berusaha mendesak
Ko Tie.
Ko Tie mempertahankan diri
dengan kuat sampai akhirnya tenaga mereka saling bentur berulang kali.
“Dukkk, dukkk, dukkk!” Dan
tubuh mereka berdua tampak sering terpisah dalam jarak tertentu dan kemudian
merapat kembali.
Mengadu kekuatan sin-kang di
antara ke dua orang itu memang bukan cara mengadu ringan, karenanya telah
meminta tenaga yang tidak sedikit dan melelahkan. Thio Kim Beng sendiri
merasakan betapa tubuhnya telah mengeluarkan asap tipis, dan keringat juga
membanjiri tubuh maupun mukanya.
Ko Tie tidak terkecuali, dia
merasakan tubuhnya lelah dan napasnya memburu. Ia menyadari jika saja mereka
bertempur lebih lama pula tentu dirinya yang akan jatuh di bawah angin.
Karenanya, sambil bertempur Ko
Tie telah memutar otak, berusaha mencari jalan keluar, agar cepat-cepat dapat
merubuhkan Thio Kim Beng. Dia pun telah mengeluarkan seluruh kepandaian yang
dimilikinya, berusaha untuk dapat mendesak pengemis itu, dan sin-kang yang
dipergunakannya merupakan sin-kang kelas satu.
Mereka telah dua kali terpisah
dalam jarak yang cukup jauh. Namun ke duanya tidak memiliki kesempatan buat
beristirahat atau mengatur pernapasan, karena mereka telah merapat lagi saling
menyerang!
Ko Tie waktu berusaha
menghindar dari telapak tangan kiri Thio Kim Beng. Mendadak saja tenaga
serangan dari Thio Kim Beng telah lenyap, dan menyusul dengan tangan kanan dari
pengemis itu menyambar cepat sekali.
“Tukkkkk!” Pundak Ko Tie telah
kena di hantam dengan hebat oleh tangan kanan si pengemis sehingga tubuh Ko Tie
terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, dan dia telah merasakan matanya
berkunang-kunang.
Belum lagi Ko Tie berhasil
buat menguasai diri, dia telah diserang pula. Tangan Thio Kim Beng telah
menyambar dengan pukulan yang mengandung maut.
Ko Tie merasakan sambaran
angin pukulan lawannya, biarpun dia masih merasakan matanya berkunang-kunang,
dia tidak mau berayal, dia membungkukkan tubuhnya berkelit dengan segera.
“Dukkkk!” kembali terdengar
pundak Ko Tie kena dihantam telapak tangan si pengemis lagi.
Tubuh Ko Tie terhuyung sampai
empat langkah, dan dia mengeluh juga, karena dia merasakan tenaga pada tangan
kanannya telah punah, akibat pukulan tersebut. Dengan demikian membuat dia
harus berusaha mengempos semangatnya buat menyingkirkan diri cukup jauh dari
Thio Kim Beng.
Apa yang dilakukannya itu
ternyata sama sekali tidak banyak membantu. Thio Kim Beng membarengi
menyusulnya dan menghantam lagi karena Thio Kim Beng tidak mau memberikan
kesempatan kepada Ko Tie mengumpulkan tenaga dan meluruskan pernapasannya.
Waktu itu Ko Tie merasakan
sambaran angin pukulan Thio Kim Beng. Dia sendiri juga tengah merasakan
pundaknya sakit bukan main, pakaian di bagian pundaknya telah robek akibat
pukulan yang kuat itu.
Dia mencelos hatinya waktu
telapak tangan lawannya menyambar ke arah batok kepalanya.
“Hemm, aku tidak sangka dia
seorang pengemis yang bertangan keji.....” berpikir Ko Tie, karena dia
menyadari, jika saja telapak tangan lawannya itu berhasil mengenai batok
kepalanya, niscaya dia akan menemui kematian dengan batok kepala yang hancur
remuk.
Maka Ko Tie tidak berani
berayal, dia berseru nyaring, seperti mengamuk, dia menghantam kuat sekali ke
depan dengan tangan kirinya berulang kali, sehingga terdengar suara
“…..derrr….!”
Angin pukulannya menghantam
batang pohon maupun bumi, dan membuat sementara itu Thio Kim Beng tidak bisa
bergerak lebih dekat padanya, karena iapun harus berkelit dari pukulan Inti Es
yang dilakukan Ko Tie dengan nekad.
Di waktu itu Ko Tie sendiri
juga mempergunakan kesempatan itu buat melompat mundur menjauhi diri dari Thio
Kim Beng. Tangan kanannya seperti kehilangan tenaga, karena pundaknya telah
terkena hantaman telapak tangan Thio Kim Beng. Dan ia bermaksud akan
menyingkirkan diri saja dari si pengemis, buat merawat luka pada pundaknya dan
nanti baru mencari pengemis itu pula.
Namun Thio Kim Beng yang
hendak menguji pemuda itu, tidak ingin memberikan kesempatan padanya bernapas
lebih jauh. Dia melompat dan menyerang dengan gencar sekali, memaksa Ko Tie
melayaninya terus.
Semakin lama Ko Tie semakin
jatuh di bawah angin. Lawannya memang merupakan salah seorang tokoh Kay-pang,
dengan demikian dia harus menyerahkan seluruh tenaganya. Dalam keadaan terluka
seperti itu, membuatnya harus dapat melayani musuh sebaik-baiknya.
Satu kali saja ia terserang
hebat, niscaya akan membuatnya terluka berat atau terbinasa.
Di waktu itu, Ko Tie juga
telah berusaha untuk berseru: “Locianpwe….. dengar dulu!”
Tapi si pengemis Thio Kim Beng
sama sekali tidak mengacuhkan perkataan Ko Tie. Melihat pemuda itu terdesak
hebat, dia tidak membuang-buang waktu lagi, menyerang dengan gencar dan
dahsyat.
Karena dari itu, Ko Tie
semakin terdesak dan juga telah membuat hal itu jadi berlangsung dengan
menegangkan karena Ko Tie tengah terancam bahaya yang tidak kecil. Jika saja
Thio Kim Beng bersungguh-sungguh buat mencelakai Ko Tie, mempergunakan
kesempatan Ko Tie mulai tidak berdaya dan jatuh di bawah angin, jelas akan
membuat dia bisa melakukan pembunuhan yang mudah terhadap diri Ko Tie.
Ko Tie sendiri menyadarinya,
bahwa ia tengah menghadapi lawan yang tangguh, dimana dia memang telah jatuh di
bawah angin dan tidak mungkin akan dapat menghadapi terus lawannya ini.
Tengah Ko Tie terdesak seperti
itu, tahu-tahu dari tempat gelap berkelebat sesosok bayangan disertai sinar
putih keperak-perakkan yang menyilaukan mata, karena terlihat betapa sinar
keperak-perakan itu terpantul oleh cahaya rembulan bergulung-gulung menyambar
kepada Thio Kim Beng.
Sedangkan Thio Kim Beng
sendiri tidak menyangka betapa di waktu itu ada seseorang yang akan
menyerangnya dengan pedang. Dan ia telah menduga tentunya penyerangnya ini
adalah Giok Hoa, yang ingin membantui Ko Tie. Pedang itu tampak bergulung-gulung
menerjang sangat kuat dan liehay sekali mengandung maut kepada Thio Kim Beng.
Thio Kim Beng yang mengetahui
tikaman tersebut, yang datang bergulung-gulung begitu rapat tentunya bukan
tikaman sembarangan, segera menghindarkan diri, karena memang di waktu itu dia
tak mungkin menangkis dengan tangannya.
Gulungan pedang itu menyambar
terus dengan cepat dan hebat tidak henti-henti mengikuti ke mana saja tubuh si
pengemis bergerak.
Sekarang Thio Kim Beng telah
menyambar sebatang ranting, yang dipergunakan menangkis pedang itu. Ranting itu
memang akan terbabat putus, kalau saja dipergunakan oleh orang lain, yang
memiliki lweekang yang rendah.
Tapi berbeda sekali di tangan
Thio Kim Beng, yang memang memiliki sin-kang sangat kuat sekali, karenanya dia
bisa menyalurkan kekuatan lweekangnya kepada ranting itu, yang berobah jadi
keras seperti juga baja.
“Tranggg.........!” pedang itu
seketika tertangkis kuat sekali. Dan juga pedang di tangan si gadis telah
terpental, dan tersampok hampir saja terlepas dari cekalannya.
Di saat seperti itulah segera
juga terlihat betapa gadis yang menolongi Ko Tie tidak lain adalah gadis yang
bertemu dengan Ko Tie tadi di dalam kota Lam-yang, si gadis yang terbentur
pundaknya oleh si pemuda.
Dia berdiri gagah sekali,
dengan wajahnya yang cantik, dan rambutnya tergulung besar serta bajunya yang
terbuat dari sutera hijau.
Dikala itu Thio Kim Beng
berkata mengejek: “Hu, tidak tahunya kau? Hemmm, tentunya engkau telah jatuh
hati pada pemuda tampan itu, bukan?
“Baiklah, mari, mari! Engkau
maju bersama pemuda itu…… Aku akan memperlihatkan kepadamu, bahwa Thio Kim Beng
bukan sembarangan orang yang bisa diserang begitu saja oleh orang tidak ternama
seperti kau.”
Si gadis memperlihatkan sikap
kurang senang, bentaknya: “Pengemis busuk, engkau terlalu memandang rendah
kepada nona besarmu! Lihatlah! Kam Lian Cu akan memperlihatkan kepadamu, bahwa
ilmu pedang keluarga Kam, Kam-liong-kiam-hwat (ilmu Pedang Naga keluarga Kam)
bukanlah ilmu pedang yang bisa diremehkan!”
Belum lagi kata-katanya itu
selesai diucapkannya, tampak tubuh gadis itu bergerak sangat gesit dengan
pedang yang menyambar-nyambar dengan hebat dan cepat sekali. Dalam keadaan
seperti itu, terlihat juga bahwa pedangnya itu bergulung-gulung dalam bentuk
sinar putih yang menyilaukan mata.
Dengan cepat Thio Kim Beng
telah memutar ranting di tangannya. Ia menangkis beberapa kali, bahkan dengan
mempergunakan ranting di tangannya, dia berusaha menotok beberapa jalan darah
di tubuh si gadis.
Kam Lian Cu bergerak sangat
lincah sekali karena dia mempergunakan pedangnya dengan jurus yang tidak bisa
diremehkan. Pedang di tangannya tergetar dan berobah menjadi seperti puluhan
batang pedang yang mengancam di sekujur tubuh lawannya. Thio Kim Beng sendiri
jadi heran.
“Gadis ini masih berusia muda,
dan ilmu pedangnya demikian liehay, sesungguhnya dia puteri tokoh persilatan
mana?!” berpikir Thio Kim Beng di dalam hatinya.
Dia juga tidak bisa berayal
lagi bersilat dengan gin-kang yang menakjubkan, karena jika ia berlaku lambat
sedikit saja, dia bisa menjadi korban tikaman pedang lawannya. Karena dari itu,
dia mempergunakan rantingnya yang bergerak dengan cepat sekali.
Setiap jurus yang
dipergunakannya mengandung sin-kang yang bisa membuat si gadis terdesak mundur.
Atau jika saling bentur dengan pedang gadis itu dan si gadis kurang mengerahkan
tenaga lweekangnya, niscaya akan menyebabkan pedang si gadis bisa terlepas dari
cekalannya.
Waktu itu Kam Lian Cu pun
menyadari, dia tengah menghadapi pengemis tangguh. Maka dia mempergunakan ilmu
pedang andalannya yang benar-benar paling tangguh.
Dalam waktu yang singkat
sekali, telah limapuluh jurus yang mereka lewati, dan mereka masih tidak
memperlihatkan tanda-tanda di salah satu pihak akan rubuh.
Di antara berkesiurannya angin
serangan ranting di tangan Thio Kim Beng dan pedang si gadis menderu-deru itu,
Ko Tie berdiri di pinggiran menyaksikan jalannya pertempuran yang seru itu.
Iapun merasa sangat kagum atas kepandaian gadis itu, ilmu pedangnya yang tidak
rendah.
“Entah siapa adanya dia..... tadi
dia menyebutkan namanya sebagai Kam Lian Cu..... dialah seorang gadis yang
cantik sekali, dan diapun berusaha menolongi aku dengan bertempur hebat pada
Thio Kim Beng……!”
Dan Ko Tie jadi mengawasi
terus tanpa berkedip kepada jalannya pertempuran itu.
Dikala itu tampak bahwa Thio
Kim Beng sendiri mulai ragu-ragu dan bimbang buat menghadapi terus gadis ini.
Malah satu kali, setelah memutar ranting di tangannya dengan cepat, sehingga
ranting itu bergulung-gulung mengelilingi dirinya, membuat gadis itu tidak bisa
mendesaknya lebih jauh.
Dia membarengi melompat ke
belakang dengan ringan sekali. Kemudian katanya: “Aku tidak bisa menemanimu
lebih lama lagi, selamat tinggal, nanti kita akan bertemu pula…..!”
Dan Thio Kim Beng tertawa
bergelak-gelak. Tubuhnya melesat sangat cepat. Dia telah berlari-lari seperti
terbang meninggalkan tempat itu.
Kam Lian Cu bermaksud
mengejarnya, tetapi melihat kegesitan si pengemis dia kira percuma saja dia
mengejar. Jika tokh dia mengejar, akan memakan waktu yang cukup lama buat dapat
menyandak pengemis itu.
“Pengemis tidak tahu malu!”
memaki si gadis kemudian sambil memasukkan pedangnya ke dalam sarung.
Ko Tie menghampirinya, karena
tangan kanannya seperti tidak bertenaga. Ko Tie hanya menjura dengan tangan
kirinya, mengucapkan terima kasihnya atas pertolongan si gadis.
“Jika nona terlambat datang,
tentu aku telah celaka di tangan pengemis tua itu…..!” kata Ko Tie.
“Ya, kebetulan saja aku lewat
di tempat ini dan menyaksikan kalian bertempur…..!” menyahuti si gadis sambil tersenyum.
Waktu pertemuannya di dalam
kota Lam-yang, si gadis tidak pernah bersenyum. Sekali ini dia tersenyum,
membuat wajahnya yang memang cantik semakin cantik saja.
“Siapakah engkau Kongcu!!”
tanya gadis itu lagi waktu melihat Ko Tie memandang bengong kepadanya mengagumi
akan kecantikan wajah si gadis.
Ko Tie tersadar dari
tertegunnya, mukanya seketika berobah memerah, dia merasa malu bukan main,
cepat-cepat dia bilang:
“Siauwte she Lie bernama Ko
Tie……! Dan jika memang Kouw-nio tidak keberatan, dapatkah Kouw-nio
memberitahukan siapa guru Kouw-nio?”
Si gadis memain bola matanya,
dia bilang, “Guruku ialah ayahku!” menyahuti dia kemudian.
“Kam Kouw-nio….. tampaknya
ilmu pedang keluarga Kam merupakan ilmu pedang yang hebat sekali dan memang
jelas bahwa keluarga Kam tentunya merupakan tokoh-tokoh persilatan ahli
kiam-hoat…... Siauwte benar-benar merasa kagum sekali tadi telah sempat
menyaksikan ilmu pedang yang sangat hebat itu!”
Si gadis tersenyum pula
katanya: “Engkau terlalu memuji! Sesungguhnya ilmu pedangku biasa saja. Cuma
kepandaian pengemis itulah merupakan kepandaian yang buruk...... Mengapa kau
bertempur dengannya?”
Ko Tie memandang ragu pada si
gadis, tapi kemudian dia bilang: “Sesungguhnya dia seorang pencuri yang telah
berhasil membawa pauw-hok kawanku! Dialah yang telah kukejar sehingga membentur
pundak nona…… dan Kam kouw-nio, ke manakah tujuanmu?”
“Aku tengah singgah di
Lam-yang, dan bermaksud akan berdiam di kota ini selama empat hari! Dan kau,
Lie Kongcu?!”
“Akupun hersama kawanku tengah
singgah di Lam-yang beberapa hari.....!” menjelaskan Ko Tie.
Begitulah, ke duanya sambil
bercakap-cakap telah kembali ke Lam-yang. Ko Tie juga bermaksud memperkenalkan
Lian Cu kepada Giok Hoa.
Mereka bercakap-cakap seperti
juga pasangan sahabat yang telah lama tidak bertemu dan sekarang mereka telah
saling jumpa. Gadis she Kam itu ternyata seorang gadis yang periang dan pandai
bicara. Tidak terlihat kecanggungan padanya, karena dia telah biasa dalam
pergaulan antara lelaki dan wanita, sehingga sikapnya agak bebas.
Sedangkan Ko Tie pun memang
menyukai sikap gadis ini yang tampaknya selalu bicara dengan bebas, polos, dan
tidak pernah menutup-nutupi segala sesuatu dalam percakapan mereka. Malah
tampaknya gadis inipun sangat lincah dan agak licik!
Kam Lian Cu memang puteri
seorang ahli pedang yang ternama sekali di dalam rimba persilatan.
Kam-liong-kiam-hwat merupakan ilmu pedang yang sangat langkah sekali di dalam
rimba persilatan, yang telah menjagoi rimba persilatan seratus tahun yang lalu.
Namun, keluarga Kam itu akhirnya menghilang dari dunia persilatan, hidup
mengasingkan diri.
Dengan demikian ilmu pedang
itupun seperti dilupakan orang. Jago-jago muda tidak ada yang mengetahui bahwa
Kam-liong-kiam-hwat merupakan ilmu pedang yang hebat, karenanya mereka itu sama
sekali menganggap ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang biasa.
Sekarang justeru Kam Lian Cu,
sebagai puteri dari keluarga Kam itu, yang telah mewarisi kepandaian ilmu
pedang keluarganya, telah merantau. Dan Ko Tie telah sempat menyaksikan, ilmu
pedang si gadis merupakan ilmu pedang yang liehay sekali.
Cuma saja, biarpun tangguh,
gadis itu masih kurang pengalaman dan latihan! Jika latihan si gadis telah
cukup, tentu dia akan dapat mempergunakan ilmu pedangnya itu lebih sempurna.
Waktu sampai di dalam kota
Lam-yang, Ko Tie mengajak si gadis buat singgah di rumah penginapannya. Tapi
Giok Hoa ternyata tidak ada. Akhirnya Lian Cu mengatakan ia tidak dapat menanti
lebih lama lagi, karena ia harus melanjutkan perjalanannya. Mereka pun
berpisah.
◄Y►
Mengapa Giok Hoa sampai tidak
ada di rumah penginapan. Marilah kita tengok keadaan Giok Hoa sepeninggal Ko
Tie.
Giok Hoa sejak tadi
gulak-gulik di pembaringannya. Hatinya resah sekali. Walaupun dia memang merasa
lelah sekali, tokh dia tidak tertidur.
Setelah rebah sekian lama di
pembaringannya, dia turun dari pembaringannya. Dia memasang pendengarannya pada
dinding kamar pemisah kamarnya dengan kamar Ko Tie.
Hening dan sunyi sekali, tidak
terdengar suara apapun juga. Tampaknya Ko Tie telah tidur
Karena dari itu,
perlahan-lahan si gadis telah mengulurkan tangannya membuka jendela kamarnya.
Hari telah malam, dan dia melompat keluar dari kamarnya dengan gesit, lalu
menutup kembali jendela kamarnya, dan dia berlari-lari ringan sekali di
genting-genting rumah penduduk.
Maksudnya dia hendak
menyelidiki lagi siapa maling yang menggondol pauw-hoknya. Ia tidak mau
merepotkan Ko Tie.
Jika ia memberitahukan pada Ko
Tie tentang maksudnya ingin menyelidiki lagi siapa maling pauw-hoknya itu, dia
merasa malu. Sebab waktu diketahui dia telah terkena pancingan si maling
meninggalkan kamarnya, membuat maling itu dapat menggondol pauw-hoknya, membuat
si gadis merasa malu sekali kepada Ko Tie.
Itulah sebabnya malam ini dia
ingin berusaha menyelidiki jejak maling itu. Jika dia bisa mengambil pulang
pauw-hoknya tentu dia tidak akan hilang muka di hadapan Ko Tie. Rasa penasaran
itu juga membuat dia tidak bisa tidur dan akhirnya meninggalkan kamarnya dengan
mengambil jalan di atas genting rumah penduduk.
Dia memang lihay, dia bisa
berlari-lari dengan lincah. Rembulan diwaktu itu telah tergantung di atas
langit. Keadaan di kota Lam-yang cukup ramai.
Namun Giok Hoa tidak tertarik
buat menyaksikan keramaian itu. Dia telah berlari-lari terus di atas genting
rumah penduduk, berkelebat-kelebat seperti sesosok bayangan.
Orang-orang yang ada dijalan
raya tidak bisa melihat dengan jelas. Dia hanya merupakan bayangan yang
berkelebat-kelebat ke sana ke mari begitu gesit.
Setelah berlari-lari sekian
lama, tetap saja si gadis tidak mengetahui, ke mana dia harus mencari jejak
maling itu. Hanya terpikir olehnya, bahwa dia hendak mencari pengemis, buat
menangkap dan menanyai keterangan darinya.
Karena seperti yang telah
dilihatnya, bahwa orang yang memancingnya keluar meninggalkan kamarnya itu,
mengenakan pakaian penuh tambalan, tentunya dia dari kalangan pengemis.
Tengah si gadis berlari-lari
di atas genting rumah penduduk, hari telah semakin larut malam. Sampai
akhirnya, baru saja Giok Hoa hendak melompat turun ke jalan raya, mendadak saja
dia melihat di seberang sana, di atas genting rumah penduduk, berkelebat
sesosok bayangan hitam yang cepat sekali.
Giok Hoa merasa heran, entah
siapa sosok bayangan itu, yang melakukan jalan malam dan juga telah bergerak
begitu gesit. Dia tentunya memiliki gin-kang yang tidak rendah. Cepat-cepat
Giok Hoa mendekam di atas genting mengawasi sosok bayangan itu.
Sosok bayangan hitam tersebut
berlari-lari sangat lincah ke sebelah barat kota Lam- yang. Si gadis hati-hati
sekali mengikutinya.
Melihat gerak-gerik sosok
bayangan tersebut, benar-benar Giok Hoa bercuriga. Dia menduga orang tersebut
jelas bukan orang baik-baik.
Malah gadis ini segera juga
berpikir, apakah tidak mungkin orang yang telah menggondol pauw-hoknya adalah
sosok bayangan ini? Bukankah diapun memiliki kepandaian yang sangat tinggi
sehingga di atas genting rumah penduduk dia bisa berlari-lari begitu lincah dan
gesit?
Karena berpikir seperti itu,
semangat Giok Hoa terbangun dan dia mengikuti semakin dekat pada sosok bayangan
itu. Tidak ada kesulitan buat Giok Hoa. Dia bisa mengikuti orang itu dengan
baik-baik dan hati-hati sekali tanpa orang yang diikutinya itu mengetahui
dirinya tengah dibuntuti.
Setelah sampai di sebuah rumah
yang cukup besar, di mana sosok bayangan hitam itu berhenti dan berdiri tegak
di atas genting rumah tersebut. Dia mengawasi sekelilingnya dengan sikap
berwaspada sekali.
Ia rupanya tengah
memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu, kalau-kalau ada seseorang yang
membuntutinya, juga tengah mempelajari sekitar tempat tersebut.
Giok Hoa mendekam di atas
genting sebuah rumah penduduk di seberang rumah tempat beradanya sosok tubuh
itu. Di bawah sorot sinar rembulan, dia melihat itulah seorang pemuda berusia
duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun, dengan tubuh yang tegap, mengenakan
pakaian serba hitam, dan juga pada pundaknya terlihat tersembul dua gagang
pedang yang berkilauan keperak-perakan terkena sinar rembulan.
Setelah mengawasi
sekelilingnya tampak pemuda berpakaian serba hitam tersebut telah tersenyum
kecil, tampaknya dia puas bahwa keadaan di sekitar tempat itu sangat sepi.
Melihat sikap dan gerak-gerik
orang tersebut, segera juga Giok Hoa dapat menduga bahwa pemuda itu niscaya
bukan seorang baik-baik dan jujur.
Wajahnya yang tampan, matanya
yang bersinar tajam memperlihatkan kelicikan, demikian juga dengan senyumnya
itu, yang mengandung kelicikan bukan main.
Di waktu itu Giok Hoa
menyaksikan dengan tubuh yang ringan, pemuda berpakaian serba hitam itu
melompat turun ke dalam gedung tersebut.
Giok Hoa cepat-cepat keluar
dari balik genting rumah penduduk tempat ia bersembunyi. Cepat sekali dia
melesat menghampiri rumah di mana pemuda berbaju hitam itu berada.
Dengan menggantungkan kakinya
pada payon rumah tersebut, Giok Hoa leluasa bisa mengikuti gerak-gerik pemuda
itu, karena Giok Hoa ingin mengetahui apa yang dilakukan pemuda tersebut.
Pemuda tersebut menghampiri ke
arah jendela kamar yang berada di tengah ruangan, yang api penerangan kamar itu
telah dipadamkan. Dia sama sekali tidak mengintai, malainkan dia mengeluarkan
sehelai kertas, kemudian melemparkannya masuk ke dalam kamar itu.
Terdengar suara seruan
perlahan dari dalam kamar, seruan seorang wanita.
Giok Hoa jadi semakin heran.
Dugaannya ternyata meleset.
Tadinya dia menduga bahwa
pemuda berpakaian serba hitam itu adalah pemuda Jai-hwa-cat, seorang pemetik
bunga, yang selalu memperkosa isteri maupun anak gadis penduduk, dengan cara
mempergunakan asap obat tidur, sehingga korbannya tidak sadarkan diri.
Tapi dugaannya itu melesat
sama sekali, dan pemuda itu bukannya mengeluarkan asap obat tidurnya, malah
telah melemparkan secarik kertas ke dalam kamar lewat jendela itu.
Dia juga tampaknya tidak
melakukan sesuatu usaha, seperti mengintai ke dalam kamar atau membongkar
jendela kamar tersebut. Dan dari dalam kamar itu justeru terdengar suara seruan
tertahan dari seorang wanita.
Apa yang tengah dilakukan
pemuda itu?
Benar-benar Giok Hoa jadi
bingung dan menduga-duga. Dia sampai ingin menduga, atau pemuda berpakaian
hitam itu tengah mengunjungi kekasihnya?
Apakah orang di dalam kamar
itu, si wanita yang mengeluarkan seruan itu adalah kekasih pemuda tersebut?
Mungkin hubungan mereka ditentang ke dua orang tua si gadis, sehingga pemuda
ini perlu mendatangi kekasihnya secara bergelap seperti itu?
Tengah Giok Hoa menduga-duga
sambil memasang mata dengan tajam, daun jendela kamar terbuka. Dari dalam kamar
itu melompat sesosok tubuh, yang sama gesitnya.
Giok Hoa jadi semakin heran,
wanita itu adalah seorang wanita berusia antara empatpuluh tahun lebih, namun
pada wajahnya itu masih terdapat sisa-sisa kecantikan yang dimilikinya.
“Akh.......!” berseru pemuda
itu dengan suara tertahan, tampaknya terkejut. “Kau.....!”
Wanita setengah baya baru
keluar dari dalam kamar tertawa dingin.
“Ya, memang aku! Kau terkejut?
Mengapa harus kaget seperti itu?!” tanya wanita setengah baya tersebut, dengan
sikap mengejek.
Pemuda itu cepat sekali dapat
menenangkan goncangan hatinya. Dia merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat
kepada wanita setengah baya tersebut. Katanya: “Maafkan..... apakah kau
baik-baik saja, locianpwe?!”
“Hemmmm, kau masih menanyakan
kesehatanku? Bagus! Bagus! Tapi kukira, perhatianmu itu tidak menyebabkan
engkau lolos dari hukuman yang akan kujatuhi padamu!”
Muka pemuda itu berobah
memerah, kemudian pucat, tapi dengan suara yang tenang dan juga ia berusaha
buat bersikap biasa saja, tanpa memperlihatkan kemendongkolan dan kemarahan
hatinya, pada saat itu bilangnya dengan sabar.
“Locianpwe, mengapa locianpwe
hendak menghukumku? Bukankah di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi?”
“Murid murtad?” teriak si
wanita setengah baya itu. “Aku justeru hendak mewakili gurumu untuk menghukum
kau!”
Sambil berkata begitu, dengan
gerakan yang sangat gesit sekali, tubuhnya tahu-tahu telah berada di depan si
pemuda. Dia mengulurkan tangannya hendak mencekal pergelangan tangan kanan
pemuda itu.
Tapi pemuda berpakaian serba
hitam itu telah menarik tangannya terlepas dari cekalan si nenek, dia bilang:
“Kau jangan terlalu
mendesakku, locianpwe…… Antara aku dengan bekas guruku itu sudah tidak terdapat
hubungan apa-apa lagi!” Sambil berkata begitu tampak si pemuda juga hendak
memutar tubuhnya ingin berlalu.
Tapi wanita setengah baya itu
semakin gusar, bentaknya nyaring: “Murid murtad seperti engkau harus dihajar
mampus! Terimalah kematianmu!”
Sambil membentak begitu, cepat
sekali tubuhnya melesat ke samping si pemuda. Dia memang memiliki gin-kangnya
yang sangat tinggi.
Karena dari itu, dia dapat
bergerak dengan lincah sekali. Dia telah berhasil berada di dekat si pemuda
sambil tangan kanannya dipergunakan untuk menghantam kepala si pemuda itu.
Pemuda itu merasakan sambaran
angin pukulan. Dia memiringkan kepalanya, dia berhasil menghindar dari pukulan
wanita setengah baya tersebut.
Cepat sekali, tanpa berani
berayal pula pemuda itu telah melompat buat melarikan diri.
“Ingin kabur ke mana kau?”
bentak wanita setengah baya tersebut, segera juga tubuhnya telah bergerak
menyusul.
Tapi pemuda itu menggerakkan
gin-kangnya dia berusaha berlari menjauhi diri dari wanita setengah baya yang
galak itu. Dan wanita setengah baya itu tetap mengejarnya.
Giok Hoa semakin tertarik
menyaksikan urusan ini, dia menduga itulah urusan dalam sebuah pintu perguruan
silat. Sesungguhnya, memang diketahuinya di dalam rimba persilatan ada
peraturan, orang dari luar pintu perguruan yang tengah timbul gelombang, tidak
boleh mencampurinya, akan tetapi Giok Hoa tertarik sekali, sehingga dia pun
segera mengikutinya dengan hati-hati.
Waktu itu pemuda berpakaian
hitam tersebut telah berlari kurang lebih puluhan lie, dan hampir tiba di pintu
kota. Namun wanita setengah baya itu, yang sejak tadi tengah mengejarnya dan
berlari dengan gin-kang yang tinggi sekali, dalam waktu yang singkat telah bisa
memperdekat jarak pisah mereka.
Tiba-tiba tubuhnya seperti
seekor burung elang, menyambar kepada si pemuda. Tangan kanannya bergerak
memukul dengan lweekang yang dahsyat.
Angin pukulan itu berkesiuran
sangat kuat sekali, dan juga menyambar mendatangkan maut, yang bisa merenggut
nyawa pemuda itu kalau saja si pemuda terkena serangan tersebut.
Tapi si pemuda yang menyadari
bahaya yang tengah mengancam dirinya, tidak mau berdiam diri saja. Dia berusaha
buat menangkisnya sambil menahan larinya.
“Dukkkkk!” kuat sekali tangan
mereka saling bentur, tampak tubuh si pemuda tergetar dan terpental tiga
langkah, tapi tidak sampai terguling.
Sedangkan pada saat si nenek
yang tubuhnya hanya tergoncang, kemudian melompat buat menyerang lagi! Pukulan
yang kali ini dilakukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan pukulan
sebelumnya.
Dengan demikian membuat pemuda
itu berusaha hendak menangkis lagi dengan memusatkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya.
Dikala itu, si nenek menarik
pulang tangannya, dia batal buat menyerang lebih jauh, dan tahu-tahu tangan
kirinya yang telah menyambar lagi, menerjang kepada dada pemuda itu.
“Ihhhh!” pemuda tersebut
berseru tertahan, dia berusaha mengelakkan pukulan itu sambil menarik pulang
tangannya yang tadi ingin menangkis, tubuhnya mengelak ke samping.
Namun gerakannya itu kalah cepat
dibandingkan tibanya tangan si wanita setengah baya, sebab dia telah kena
terserempet, dadanya sakit bukan main, dia sampai menjerit dan tubuhnya
terhuyung mundur.
“Hemmmm, murid murtad,
sekarang tiba waktumu untuk dibinasakan, guna menebus dosamu!” berseru wanita
setengah baya itu, dengan sorot mata yang mengandung hawa pembunuhan, sikapnya
mengancam sekali.
Sedangkan pemuda berpakaian
serba hitam tersebut segera juga sambil meringis menahan sakit, melompat buat
melarikan diri. Namun nenek itu juga telah melompat sebat, tangan kanannya
diulurkan, untuk menghantam lagi.
Si pemuda menyadari bahwa dia
sudah tidak berdaya buat menghadapi tenaga pukulan wanita itu. Ke dua tangannya
bergerak ke punggungnya, cepat sekali dia telah mencabut keluar ke dua pedangnya,
di mana sepasang pedang tersebut bergerak secepat kilat dalam bentuk gulungan,
sinar keperak-perakan.
Si nenek juga mengetahui,
tidak bisa ia menyerang terus, karena dia pun tidak mau tangannya jika kena
ditabas pedang lawannya, yang akan membuat tangannya itu bisa buntung.
Di waktu itu, si pemuda
merangsek terus, sepasang pedangnya bergerak-gerak sangat cepat sekali, angin
berkesiuran menderu-deru. Dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dalamnya dan
juga jurus-jurus yang liehay sekali, karena mengetahui lawan yang tengah
dihadapinya adalah seorang lawan yang tangguh luar biasa.
Terlihat tubuh si pemuda
berulang kali melompat untuk melarikan diri, acapkali setelah berhasil mendesak
lawannya dengan sepasang pedangnya, dia melompat menjauhi diri, dan berusaha
memutar tubuhnya untuk melarikan diri.
Sayangnya wanita setengah baya
itu justeru memiliki gin-kang yang tinggi sekali, sehingga dia selalu dapat
mengejarnya dan menyerang dengan sepasang tangannya. Dengan demikian sama
sekali dia tidak memberikan kesempatan sedikitpun juga kepada pemuda itu buat
melarikan diri.
Pemuda itu rupanya jadi naik
darah juga. Dia jadi nekad, karena menyadari wanita setengah baya seorang yang
sangat tangguh, sehingga sulit buat dia melarikan diri.
Disebabkan itulah, dia telah
berusaha untuk menyerang bertubi-tubi dengan pedangnya, di mana ke dua pedang
itu beruntun menikam dan menabas tidak hentinya, mendesak wanita setengah baya
itu.
Biarpun menghadapi sepasang
pedang pemuda itu dengan bertangan kosong, dan setiap kali didesak wanita
setengah baya itu melompat mundur menghindarkan diri, tetap saja dia berada di
bawah angin. Karena begitu si pemuda selesai menyerangnya, diapun akan balas
menyerang dengan sepasang tangannya, yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan
sepasang pedang pemuda tersebut.
Di waktu itu terlihat jelas
sekali, si pemuda mulai gugup. Dia mempergunakan seluruh tenaganya pada
pedangnya itu yang berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan lincah dan penuh
hawa pembunuhan, namun tetap saja dia tidak bisa mendesak wanita setengah baya
itu.
“Hemmmmmmm, murid murtad,
walaupun bagaimana hari ini adalah hari kematian mu......... Aku akan mewakili
gurumu, buat mengambil jiwa murtadmu.....!”
Sambil berseru begitu,
tiba-tiba gerakan tubuh wanita setengah baya itu berobah, tubuhnya seperti
bayangan mengelilingi pemuda tersebut, sehingga pemuda itu tambah bingung.
Jika tadi dia masih bisa
mempergunakan sepasang pedangnya buat menyerang dahsyat kepada wanita setengah
baya itu, tapi sekarang justeru dia jadi bingung kehilangan sasaran. Dia tidak
bisa mengetahui dengan pasti di arah mana si wanita setengah baya itu berada.
Hal ini disebabkan wanita
setengah baya itu yang tengah mengelilinginya bergerak terlalu cepat, sehingga
tubuhnya jadi seperti bertambah menjadi lima atau enam orang.
Sebentar berada di sebelah
kiri, sebentar di sebelah kanan atau di samping lalu di belakang. Dengan
begitu, si pemuda tambah bingung.
Buat sementara dia hanya
membuka matanya lebar-lebar, mengawasi dengan hati yang berdebar, tanpa
menyerang, karena dia ingin melihat dulu sesungguhnya di mana arah yang tepat
beradanya si wanita setengah baya itu.
Giok Hoa yang mendekam di atas
genting menyaksikan hal itu segera dapat menduga bahwa pemuda itu dalam
duapuluh jurus lagi akan dapat dirubuhkan oleh lawannya.
Dan dugaan Giok Hoa ternyata
tidak meleset, karena setelah lewat tujuh jurus pula tahu-tahu tubuh wanita
setengah baya itu berkelebat sambil mengulurkan tangan kanannya bentaknya:
“Lepaskan…….!”
Muka pemuda itu jadi pucat,
karena ke dua pedangnya tahu-tahu telah lenyap dari cekalannya, dimana dia
berdiri mematung, karena sepasang pedangnya telah dirampas wanita setengah baya
itu, dengan cara yang sangat menakjubkan sekali, atas kelihayan tangan wanita
setengah baya tersebut.
Wanita setengah baya itu
tertawa mengejek, dia mengerahkan tenaganya. Sepasang pedang itu telah patah
menjadi empat potong.
“Hemmm, sudah kukatakan bahwa
hari ini adalah hari kematianmu…..!” berkata wanita setengah baya itu dengan
suara yang menyeramkan. “Murid murtad, sekarang kau bersiap-siaplah buat
menerima kematian……!”
Sambil berkata begitu, tampak
wanita setengah baya itu melangkah perlahan-lahan menghampiri si pemuda dengan
sikap mengancam memancarkan hawa pembunuhan.
Pemuda itu menyadari bahwa dia
sudah tidak berdaya buat menghadapi wanita setengah baya itu. Dia berusaha
untuk memutar tubuhnya, dia masih ingin angkat kaki.
Wanita setengah baya itu
mengeluarkan tertawa dingin, tubuhnya melompat gesit sekali. Dia berhasil
mengejar pemuda tersebut.
Habislah tenaga pemuda itu.
Karena jambakan tangan wanita setengah baya yang disertai dengan lweekang yang
tinggi, memijit jalan darah Kie-kiat si pemuda, sehingga begitu jalan darahnya
kena dicekal, seketika punahlah tenaga pemuda itu. Dia tidak bisa meronta lagi.
Wanita setengah baya itu
tertawa mengejek,
“Hemmmmm…… kemana engkau
hendak melarikan?!” mengejek si wanita setengah tua itu. “Jika aku telah turun
tangan, hemmmmm, hemmmmm, murid murtad seperti engkau memang sudah tidak bisa
diberikan kesempatan buat hidup terus di dalam dunia ini.....!”
Pemuda itu lemah dan pecah
nyalinya. Dia menyadari, sekarang sulit sekali buat dia melarikan diri, lolos
dari tangan si wanita setengah baya. Karena dari itu, dia bermaksud untuk
meminta pengampunan saja dari wanita setengah baya itu
“Jangan…… jangan
membunuhku...... aku bersumpah akan merobah kelakuanku……!” sesambatan pemuda
itu.
Tapi wanita setengah baya itu
tertawa dingin.
“Hemm, murid murtad seperti
engkau mana pantas diampuni? Engkau harus mampus dan juga engkau tidak bisa
dibiarkan hidup lebih lama lagi di dalam dunia ini, karena hanya akan
menimbulkan malapetaka bagi orang orang lainnya…… Gurumu telah memberikan
mandatnya, agar aku mewakilinya memusnahkan engkau, seorang murid murtad yang
paling kurang ajar……!”
Si pemuda mengeluh di dalam
hatinya, karena dia menyadari bahwa wanita setengah baya itu akan turun tangan
bersungguh-sungguh, apa lagi di waktu itu tampak wanita setengah baya tersebut
telah mengangkat tangan kanannya. Dia bersiap hendak menghajar batok kepala
pemuda itu.
Sekali saja telapak tangan itu
singgah di batok kepala pemuda itu, niscaya si pemuda akan kehilangan jiwanya
dengan kepala yang remuk hancur.
Dikala itu Giok Hoa sendiri
melihat wanita setengah baya yang tangguh itu ingin membunuh si pemuda, yang
sudah tidak berdaya itu, hatinya tidak senang. Dia pikir, jika tokh wanita
setengah baya itu hendak menghukum si pemuda, yang mungkin telah melakukan
perbuatan yang mendurhakai pintu perguruannya, bisa saja ia menjatuhi hukuman
dengan membuat bercacat si pemuda, agar kelak dikemudian hari dia tidak bisa
melakukan kejahatan lagi.
Tapi justeru dalam keadaan
seperti itu, di saat Giok Hoa hendak melompat keluar dari tempatnya
bersembunyi, tampak sesosok bayangan melesat keluar dari tempat yang gelap di
atas rumah penduduk.
“Jangan mencelakai dia……!”
terdengar teriakan seorang gadis.
Orang yang baru muncul itu
memang seorang, dengan baju berwarna kuning gading, wajahnya cantik sekali.
Usianya mungkin baru tujuhbelas tahun.
“Jangan mencelakai dia
Locianpwe…… aku mohon, janganlah mencelakai dia.......!”