Anak rajawali Jilid 23
Cing Kiang Wie tersenyum,
kemudian setelah meneguk araknya dia bilang: “Kang Laote, engkau tampaknya
terlalu berhati-hati sekali. Malah menurutku, engkau keterlaluan lagi dalam
berwaspada, karena engkau terlalu memandang tinggi para pemberontak itu!
“Sesungguhnya, menurut
hematku, para pemberontak itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka
semuanya merupakan gentong-gentong nasi tidak punya guna!
“Hemmm, jelas untuk pertama
kali mereka mengutus orang-orangnya, pasti orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi, yang mereka segani. Dan jika mereka itu telah dapat kita obrak-abrik,
hemm, nyali mereka akan ciut…… Selanjutnya jelas mereka tidak berani
sembarangan mengirim orang!”
Setelah berkata begitu, Cing
Kiang Wie tertawa bergelak-gelak.
Sedangkan Kang Wei
mengangguk-angguk beberapa kali.
“Mudah-mudahan saja begitu……
karena walaupun bagaimana memang akupun mengharapkan tugas ini dapat kita
selesaikan secepatnya, agar kita bisa kembali ke istana, buat melanjutkan tugas
kita di sana…….!”
Ke duanya tertawa
bergelak-gelak tampaknya riang sekali. Selesai sarapan pagi, mereka
meninggalkan rumah penginapan itu, buat jalan-jalan berputaran di dalam kota
Lam-yang.
Banyak orang-orang yang
mengawasi mereka, tetapi ke dua perwira kerajaan ini justeru mengambil sikap
acuh tak acuh. Mereka sengaja tidak menyamar, karena mereka hendak memancing
para orang gagah yang tergabung dalam perhimpunan yang diadakan Tang Bun.
Sambil berputaran di kota itu,
Cing Kiang Wie dan Kang Wei pun menyerap-nyerapi menyelidiki tentang kekuatan
kaum pemberontak itu. Tetapi jarang sekali penduduk yang mau bicara, mereka
takut kerembet-rembet.
Setelah menjelang lohor,
barulah ke dua orang perwira ini kembali ke rumah penginapan buat mengasoh.
Sore harinya, mereka
berkeliling di kota Lam-yang lagi, malah mereka telah datangi daerah-daerah di
luar kota tersebut, untuk melihat-lihat keadaan di sekitar tempat itu.
Di waktu itulah mereka
memperoleh kenyataan, penduduk kota tersebut seperti juga tidak menyukai kehadiran
mereka. Namun ke dua perwira kerajaan ini tidak memperdulikannya. Dan setiap
tentara kerajaan Boan yang bertemu dengan mereka, tentu akan memperlihatkan
sikap yang sangat menghormat sekali.
Demikian juga para pembesar
kota itu, yang mereka temui, semuanya jadi sibuk mempersiapkan jamuan dan
memperlakukan ke dua perwira tersebut dengan hormat sekali.
Puas hati Cing Kiang Wie dan
Kang Wei melihat penyambutan para pembesar yang ada di Lam-yang, karena
diam-diam merekapun perintahkan para pembesar itu buat setiap saat
mempersiapkan tentara kerajaan, jika memang dibutuhkan. Ke dua perwira tinggi
ini akan meminta bantuan untuk membasmi para pemberontak itu.
Jumlah tentara yang ada di
Lam-yang, karena letaknya berdekatan dengan Siang-yang dan merupakan kota yang
sangat penting, hampir meliputi sepuluhribu orang. Karenanya Kiang Wie dan Kang
Wei yakin jika sewaktu-waktu mereka memerlukannya tentu mereka bisa mengerahkan
tenaga tentara kerajaan yang cukup besar.
Menjelang malam, Cing Kiang
Wie dan Kang Wei bersiap-siap untuk memulai kerja mereka. Dimana mereka telah
menyalin pakaian dengan pakaian Ya-heng-ie, yang selalu dikenakan oleh
orang-orang yang berjalan malam.
Waktu mereka tengah salin
pakaian, Cing Kiang Wie bilang, “Malam ini kita mulai bekerja. Menurut laporan
yang telah ada pada kita, pemimpin dari para pemberontak itu berdiam di luar
kota, di sebuah rumah yang sangat besar. Tetapi anggota perkumpulan tersebut
tidak berkumpul di sana semuanya, karena mereka telah dipecah menjadi sepuluh
bagian, yang kekuatannya terpencar-pencar.
“Jika memang kita satroni
mereka, niscaya mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan yang berarti.
Yang terpenting kita harus menangkap atau membinasakan pemimpin pemberontak itu
yang kabarnya bernama Tang Bun!”
Kang Wei mengangguk
mengiyakan. Dan mereka telah siap buat berangkat pergi menyelidiki keadaan
pemberontak.
Memang sejak pagi sampai sore
seharian mereka mengelilingi kota tersebut. Tidak banyak memperoleh keterangan
yang berhasil mereka kumpulkan, karena memang penduduk jarang ada yang mau
bicara banyak dengan mereka.
Dan merekapun tidak marah,
karena mereka berkeliling kota seperti itu dengan sengaja mengenakan pakaian
keperwiraan mereka cuma buat pancingan belaka, menarik perhatian dari kaum
pemberontak agar mengetahui dua orang tokoh kerajaan berada di kota Lam-yang,
dan mereka menjadi panik!
Begitu kentongan ke dua
dipalu, segera Cing Kiang Wie dan Kang Wei meninggalkan kamar rumah penginapan.
Mereka telah mengambil jalan di atas genting rumah penduduk. Mereka memiliki
gin-kang yang sangat tinggi.
Dengan demikian mereka dengan
mudah bisa melewati ratusan rumah penduduk tanpa rintangan suatu apapun juga.
Malah di waktu itu mereka telah berada di luar pintu kota.
Keadaan di sekitar tempat itu
sepi sekali, ke duanya saling pandang sambil tersenyum.
“Kita mulai memasuki kandang
macan, kita harus waspada!” pesan Kang Wei, yang selalu hati-hati.
Cing Kiang Wie tersenyum
congkak, tapi dia mengangguk.
Begitulah, ke duanya
berlari-lari lagi.
Tetapi tengah mereka melesat
ringan dan lincah, dari depan mereka tampak mendatangi seorang lelaki tua
berusia limapuluh tahun, dengan tubuh bungkuk, tengah memikul dua bakul padi.
Tampaknya orang tua itu lemah dan kelelahan sekali. Keringat memenuhi wajah dan
tubuhnya, diapun terbungkuk-bungkuk seperti itu, karena dia memang telah
berusia lanjut sekali.
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
ketika melihat jelas orang tersebut merupakan seorang tua yang tidak punya
guna, mereka ingin melanjutkan perjalanan mereka. Namun orang tua itu memikul
padinya di tengah jalan, dan ketika mereka hendak melewati. tahu-tahu orang tua
itu seperti hendak menurunkan pikulannya, sehingga melintang.
Untung Cing Kiang Wie dan Kang
Wei memiliki mata yang awas dan cepat sekali mereka dapat menahan lari mereka
sehingga tidak sampai menubruk ujung pikulan itu, yang ternyata dibuat dari
besi!
Cing Kiang Wie yang memang
berdarah panas, segera membentak bengis: “Tua bangka yang mau mampus, mengapa
melintang di tengah jalan?!”
Orang tua itu menghapus
keringatnya, dia bilang, “Maaf..... lohu (aku orang tua) sangat lelah dan ingin
istirahat! Apa salahnya lohu, sehingga tampaknya tuan-tuan begitu marah?!”
Cing Kiang Wie mendongkol
sekali. Dia mengulurkan tangan kanannya mendorong tubuh orang tua itu.
Seketika tubuh orang tua
tersebut bergulingan di tanah, terkena dorongan tersebut.
“Tua bangka kerbau tidak punya
guna!” menggumam Cing Kiang Wie kemudian kepada kawannya, karena tadi dia
mendorong tidak disertai tenaga dalamnya, telah membuat orang tua itu
jungkir-balik. Dia menduga tentunya orang tua itu benar-benar seorang tua yang
tidak punya guna dan sangat lemah.
Kang Wei mengangguk, katanya:
“Mengapa harus melayani dia? Mari kita pergi!”
Tetapi baru saja Cing Kiang
Wie ingin menyahuti, di waktu itu orang tua tersebut berteriak nyaring
mengandung kemarahan.
“Manusia-manusia jahat......
aku tidak bersalah apa-apa, kalian telah menurunkan tangan keji padaku seorang
tua yang tidak berdaya! Thian tentu mengutuk kalian!”
Cing Kiang Wie jadi mendongkol
lagi, dia menghampiri, dan mengayunkan kaki kanannya, menendang dengan kuat ke
dada orang tua itu.
Orang tua itu seperti
ketakutan, dia memasang ke dua tangannya, mendorong ke depan.
“Ihhhh!” Cing Kiang Wie
berseru kaget. Sebab di waktu itu dia merasakan kakinya yang tengah meluncur
itu seperti didorong oleh suatu kekuatan yang sangat hebat sekali, dan tubuhnya
terdorong kuat.
Beruntung memang Cing Kiang
Wie lihay. Biarpun begitu mendadak dia terdorong hebat, namun segera dia bisa
mengerahkan tenaga dalamnya. Kakinya yang satu menjejak tanah, maka tubuhnya
melesat cepat sekali melambung empat tombak lebih!
“Bekuk dia!” teriak Cing Kiang
Wie kepada Kang Wei. “Dia hanya pura-pura tidak mengerti ilmu silat!”
Kang Wei juga kaget melihat
kuatnya dorongan ke dua tangan kakek tua itu, karena kawannya, yang
diketahuinya memiliki kepandaian yang tangguh, telah terdorong begitu jauh.
Tanpa berkata apa-apa dia telah melompat sambil menghantam dengan telapak
tangannya.
Namun orang tua itu berbeda
dengan tadi, tampaknya lemah dan tengah keletihan, justeru sekarang telah
melompat berdiri sambil mengelak dari pukulan tangan Kang Wei kemudian
teriaknya:
“Ohhh, kalian
perampok-perampok tidak kenal malu! Orang setua aku masih juga ingin dirampok
oleh kalian!”
Bukan main mendongkolnya Cing
Kiang Wie dan Kang Wei. Mereka membentak bengis dan serentak menghantam kakek
itu. Tetapi justeru kakek tua tersebut tahu-tahu telah memutar pikulannya, yang
menderu-deru kuat sekali!
Cin Kiang Wie dan Kang Wei
terkejut, mereka cepat-cepat melompat mundur menjauhi diri. Tangan mereka sebat
sekali mencabut keluar senjata masing-masing.
Setelah saling pandang satu
dengan lain, ke dua perwira tentara kerajaan ini menerjang kepada si kakek.
Pedang Cing Kiang Wie meluncur sangat hebat sekali menikam ke arah tenggorokan
kakek tua itu, sedangkan pecut Kang Wei juga meluncur mengandung kekuatan
lweekang yang dahsyat, karena mereka menyerang tidak tanggung-tanggung.
Akan tetapi rupanya kakek tua
itu bukan seorang sembarangan. Sikapnya telah berobah sama sekali dibandingkan
dengan tadi, di mana dia memang tadi begitu lemah seperti seorang kakek yang
sudah tidak punya guna. Namun sekarang berdiri tegap tidak bungkuk dan ke dua
tangannya memegang tongkat besinya, yang diputarnya menyampok senjata lawannya
yang menyambar dengan beruntun.
“Trangggg…… tranggggg…..
taaarrrr!” terdengar berulang kali suara itu karena benturan senjata Cing Kiang
Wie dan Kang Wei.
Seketika ke dua perwira itu
kaget, karena disaat senjata mereka saling bentur, tangan mereka tergetar.
Walaupun tidak menyebabkan telapak tangan mereka sakit, tokh setidak-tidaknya
telah membuktikan bahwa kekuatan tenaga dalam kakek tua itu tidak rendah.
Ke dua perwira tinggi kerajaan
tersebut juga menyadari, bahwa kakek tua ini hanyalah menipu mereka menyamar
sebagai kakek tua penjual padi belaka. Padahal sesungguhnya kakek tua tersebut
seorang yang tangguh!
Seketika mereka menduga jika
memang bukan seorang begal, tentunya kakek tua tersebut adalah salah seorang
anggota pemberontak.
“Hemm, jangan engkau
mencari-cari alasan, karena kami telah mengetahui siapa engkau sebenarnya!”
Sambil berkata begitu, cepat
sekali dia telah menghantam dengan pecutnya, di mana Kang Wei menyerang dengan
kekuatan delapan bagian, sehingga pecut itu mendesing mengeluarkan suara yang
menderu sangat dahsyat sekali ujung pecutnya itu menyambar berkelit seperti
juga ancaman seekor ular.
Kakek tua itu benar-benar
lihay, dia sama sekali tidak gentar menghadapi pecut lawannya, dia malah
memutar tongkatnya itu. Ujung pecut lawannya telah melibat tongkatnya, dan Kang
Wei hendak menariknya dengan gerakan yang sangat kuat.
Namun tongkat atau pikulan
besi kakek tua itu tidak bergeming, karena si kakek telah mengerahkan tenaga
dalamnya. Mereka jadi saling mengerahkan kekuatan sin-kang, saling menarik dan
menahan. Jika Kang Wei menarik dengan kekuatan yang luar biasa, justeru kakek
tua itu bertahan dengan kuda-kuda ke dua kaki yang kokoh sekali.
Kang Wei jadi mendongkol dan
marah sekali. Dia juga penasaran, karena sebelumnya dia meremehkan kakek tua
itu, siapa tahu justru tenaga dalam kakek tua itu sangat kuat sekali tidak
berada di sebelah bawah kekuatan tenaga dalamnya!
Sedangkan Cing Kiang Wie tidak
mau membuang-buang waktu. Ketika melihat Kang Wei tidak dapat mengatasi lawan
mereka yang tua itu, segera juga dia mencelat dengan pedangnya buat menyerang
membantui Kang Wei. Pedangnya itu berkelebat seperti juga seekor naga putih,
yang mengincar bagian berbahaya di pundak kakek tua tersebut.
Kakek tua itu tengah
mengerahkan tenaga dalamnya buat melawan daya tarik Kang Wei, dan sekarang dia
diserang oleh Cing Kiang Wie, jika memang dia tidak menghindar atau menangkis,
tentu dirinya akan terancam bahaya yang tidak kecil.
Dalam keadaan seperti itu,
segera juga dia berseru nyaring, dan tahu-tahu pikulan besinya telah
dimiringkan. Dia melepaskan cekalannya pada gagang pikulan yang satu, kemudian
tubuhnya itu bergerak menarik pikulannya, dengan demikian lilitan cambuk
lawannya dapat dilepaskan.
Dikala itu serangan pedang
Cing Kiang Wie tiba, dia menyampok dengan pikulannya.
“Tranggg……!” pedang dan
pikulan tersebut membentur kuat sekali, lelatu api terlihat berpijar terang.
Cing Kiang Wie merasakan
tangannya tergetar keras, namun dia tidak mau memberikan waktu sedikitpun
kepada kakek itu buat bernapas memperbaiki diri dan kedudukannya. Pedangnya
menyambar lagi bertubi-tubi sampai empat kali tikaman.
“Tranggg..... tranggg……
tranggg..... tranggg..........!” Empat kali terdengar suara benturan yang
sangat kuat, karena empat kali kakek tua itu dapat menangkis pedang lawannya.
Cing Kiang Wie melompat mundur, dia berdiri di sisi Kang Wei, yang waktu itu
memang sudah tidak menyerang lagi.
“Tua bangka yang tidak kenal
mampus, perkenalkan namamu, karena kami paling anti untuk membunuh manusia
tidak bernama!” bentak Cing Kiang Wie kemudian.
Kakek tua itu tertawa
terkekeh, kemudian dia bilang dengan suara yang tawar: “Hemm..... kalian ingin
mengetahui siapa aku? Baik! Dengarkanlah baik-baik, karena aku kuatir kalian
kaget mendengar siapa adanya aku, kalian berdua tidak bisa pulang ke istana
buat melaporkan kepada Kaisar kalian……!”
Tetapi biarpun kakek tua itu
mengatakan bahwa dia akan memberitahukan namanya, namun dia tidak menyebutkan
siapa adanya dia.
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
merasakan dirinya dipermainkan, segera Kang Wei membentak dengan suara bengis:
“Katakanlah, siapa kau sebenarnya!”
“Aku she Liang dan bernama
Tie,” kata orang tua itu sambil memperdengarkan tertawa dingin, sikapnya gagah
sekali, dia telah mencekal tongkatnya kuat-kuat menantikan serangan dari ke dua
lawannya.
“Liang Tie? Oho, kiranya
Kiu-cie-tung-hiap (Pandekar Tongkat Sembilan Jari)!” berseru Kang Wei dengan
diiringi suara bergelaknya. “Tidak kami sangka, hari ini kami memiliki nasib
baik bisa bertemu dengan Kiu-cie-tung-hiap yang menjagoi daerah selatan!”
Apa yang dikatakan Kang Wei
memang tidak salah, sebab Kiu-cie-tung-hiap Liang Tie merupakan seorang jago
yang malang melintang disegani di daerah Selatan. Sejauh itu dia jarang sekali
memperlihatkan diri.
Siapa tahu, justeru malam ini
ke dua perwira tinggi kerajaan telah dihadangnya. Tidak terlihat perasaan jeri
sedikitpun juga pada wajah ke dua perwira itu, walaupun mereka memang telah
mengetahui siapa lawan mereka, seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki
nama tidak kecil di dalam kalangan Kang-ouw dan terkenal dengan ilmu
tongkatnya.
Di waktu itu Kiu-cie-tung-hiap
Liang Tie tertawa bergelak, kemudian katanya dengan suara yang dingin: “Benar!
Benar! Justeru hari ini memang aku telah memutuskan, bahwa sekarang aku akan
mempertaruhkan jiwaku dengan kalian berdua!”
Sambil berkata begitu, Liang
Tie tidak membuang-buang waktu, tubuhnya telah melesat sangat cepat luar biasa,
tongkatnya itu, yang menyerupai pikulan, menderu-deru sangat dahsyat sekali,
ujungnya menyambar kepada Kang Wei.
Kang Wei mendengus, dia
mempergunakan cambuknya buat balas menyerang. Namun belum lagi ujung tongkat
Liang Tie mengenai Kang Wei, justeru di lain saat dia telah menarik pulang
serangannya itu, batal menyerang Kang Wei.
Kemudian dia menggerakkan
tongkatnya dengan ujungnya yang lain menyambar kepada Cing Kiang Wei kuat dan
mendatangkan derunya angin. Seperti gelombang yang datang menerjang, membuat
Cing Kiang Wie tergetar oleh angin serangan ujung tongkat lawannya.
Namun dia seorang pendekar
ahli pedang yang sangat liehay sekali, dengan segera dia memutar pedangnya,
sama sekali dia tidak menjadi gugup, pedangnya itu bagaikan telah berobah
menjadi satu dengan tubuhnya, bergulung-gulung sinar putih keperak-perakan,
sehingga jangankan senjata lawan, sedangkan jika waktu itu ada siraman air,
tentu tidak setetes air pun yang akan dapat menerobos masuk ke dalam
pertahanannya itu.
“Trangggg, trangggg.......!”
terdengar beberapa kali terbentunya pedang dan tongkat Kakek tua itu. Namun
tetap saja Cing Kiang Wie memutar pedangnya.
Dalam waktu yang singkat,
telah lebih limapuluh jurus mereka bertiga bertempur.
Kakek tua itu boleh tangguh,
tetapi menghadapi ke dua orang lawannya yang kepandaiannya tidak berada di
sebelah bawah kepandaiannya, membuat dia terdesak juga. Dan perlahan-lahan
kakek Liang Tie telah berada di bawah angin, dia hanya dapat main kelit saja
sebab beberapa kali dia terdesak hebat.
Liang Tie sendiri memaklumi,
jika memang bertempur terus dengan cara seperti itu, akhirnya dengan dikeroyok
ke dua perwira tinggi tersebut, jelas dia akan dapat di rubuhkan. Karena dari
itu, dia telah mengeluarkan seruan yang nyaring sekali, suara seruannya itu
bergema di sekitar tempat itu.
Bersamaan dengan seruan kakek
tua itu, tampak mendatangi pesat sekali dari tempat yang gelap dua sosok tubuh
yang gerakannya sangat gesit. Di tangan ke dua sosok tubuh itu masing-masing
mencekal sebatang pedang, dan mereka tidak bicara, begitu datang, segera
menerjang dan menyerang Cing Kiang Wie dan Kang Wei.
Liang Tie sendiri telah
berteriak: “Bunuh saja ke dua anjing ini!” Dengan bersemangat tongkatnya telah
menyerang bertubi-tubi dengan jurus hebat dan bisa mematikan kalau mengenai
sasarannya.
Sedangkan Kiang Wie dan Kang
Wei, jadi terkejut. Melihat kepandaian Liang Tie dan ke dua orang yang baru
datang itu, mereka yakin, tentunya ketiga orang-orang ini tidak bisa dihadapi
begitu saja, jumlah mereka belum tentu bertiga, bisa saja di tempat lain tengah
bersembunyi kawan-kawan Liang Tie yang lainnya.
Karena berpikir begitu, Cing
Kiang Wie dan Kang Wei telah memperhebat serangan mereka secara bergantian
sebentar kepada Liang Tie, lalu kepada ke dua kawan kakek tersebut.
Pertempuran terus berlangsung
dengan seru, mereka bergerak sangat lincah dan cepat sekali sehingga tubuh
mereka seperti juga bayangan.
“Manusia-manusia tidak malu!”
bentak Liang Tie. “Hari ini adalah hari kematian kalian! Lebih baik-baik kalian
berdoa kepada Thian, untuk memohon dosa kalian diringankan.”
Sambil mengejek seperti itu,
tampak Liang Tie telah menyerang tambah hebat, tongkatnya seperti juga berobah
menjadi sepuluh batang, menyambar-nyambar dengan hebat dan gencar sekali.
“Jangan sombong, hari ini
justeru kami datang ke Lam-yang buat memberantas kalian! Tentunya kalian
bertiga adalah anjing-anjing pemberontak yang hari ini akan kami kirim ke
neraka! Terimalah serangan.....!”
Sambil memaki begitu,Cing
Kiang Wie yang memang berdarah panas, telah menyerang dengan hebat. Pedangnya
itu berkelebat-kelebat sangat cepat disamping juga disertai oleh tenaga
lweekang yang tinggi sekali.
Sedangkan Kang Wei yang jarang
bicara, dia cuma mengerahkan seluruh kepandaiannya berusaha untuk merubuhkan
salah seorang lawannya.
Walaupun dia telah
mengeluarkan ilmu cambuknya, tokh tetap saja dia tidak berhasil untuk
merubuhkan salah seorang lawannya. Hal ini membuatnya jadi penasaran sekali,
dan dia telah menggerakkan cambuknya semakin cepat dan kuat, seperti juga
sambaran gelombang yang saling susul.
Dalam keadaan seperti itu, ke
lima orang ini, dua lawan tiga, tengah mengerahkan seluruh ilmu simpanan
mereka, karena mereka mengetahui, jika mereka tidak berusaha merubuhkan lawan
mereka lebih dulu, keselamatan mereka yang bisa terancam. Karena dari itu,
cepat sekali mereka telah memusatkan seluruh perhatian mereka, berusaha
merubuhkan lawan mereka dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dikala itu Cing Kiang Wie
rupanya sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Waktu dia melihat kesempatan, di
mana Liang Tie tengah menyerang dengan tongkatnya kepada Kang Wei, tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera pedangnya itu menikam ke pundak lawannya.
Liang Tie juga terkejut, dia
memang tengah memusatkan seluruh perhatiannya kepada Kang Wei, tahu-tahu pedang
lawannya telah begitu dekat. Dia mengeluarkan suara seruan tertahan, dan
berusaha menyampok dengan tongkatnya.
Tapi gagal. Tongkatnya hanya
dapat membuat tubuh Cing Kiang Wie bergoyang-goyang, dan di saat itu mata
pedang Cing Kiang Wie menikam merobek baju di lengannya. Dengan demikian
membuat Liang Tie jadi terhuyung mundur dengan muka yang pucat.
Ke dua kawan Liang Tie ikut
terkejut dan tidak berayal lagi segera menyerang Cing Kiang Wie. Mereka kuatir
kalau saja Liang Tie disusul dengan serangan lainnya.
Begitulah, dengan menahan
sakit pada lengan kanannya. Liang Tie tetap memutar tongkatnya, dia telah
berusaha merubuhkan salah seorang lawannya.
Dalam keadaan seperti ini, tubuh
mereka bergerak-gerak seperti juga bayangan belaka. Kalau saja kebetulan di
waktu itu ada orang yang lewat di tempat tersebut, niscaya akan menduga bahwa
sosok-sosok tubuh yang tengah berkelebat-kelebat itu adalah hantu penunggu
tempat tersebut!
Liang Tie semakin lama semakin
lemas karena itu, ketika suatu kali Cing Kiang Wie menikam lagi kepadanya,
dengan tikaman lurus ke arah dadanya. Dia terlambat menyampok dengan
tongkatnya, maka seketika pundaknya terluka tertikam cukup dalam oleh pedang
lawannya. Dia terhuyung mundur dan rubuh terduduk. Tongkatnya terlepas dari
tangannya jatuh di sisinya. Muka Liang Tie pucat pias.
Salah seorang kawan Liang Tie
mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya melesat ke tengah udara, pedangnya
dipakai menikam punggung Cing Kiang Wie.
Waktu itu Cing Kiang Wie
tengah gembira, sebab melihat si kakek Liang Tie telah berhasil dirubuhkannya.
Dia bermaksud akan menyusuli dengan tikaman berikutnya. Namun tiba-tiba dia
merasakan di punggungnya, telah menyambar angin tajam, tanpa menoleh lagi dia
menangkis ke arah belakangnya, pedangnya segera dapat menyampok pedang
lawannya, terdengar suara “tranggg” yang nyaring sekali.
Tangan Cing Kiang Wie
tergetar, dan dia merasakan telapak tangannya pedih. Demikian juga lawannya,
telah melompat mundur dengan cepat sekali.
Lawan Cing Kiang Wie tadi,
karena menguatirkan keselamatan Liang Tie. telah menikam dengan sepenuh
tenaganya. Itulah sebabnya mengapa Cing Kiang Wie telah merasakan telapak
tangannya sakit sedangkan dia sendiri tubuhnya jadi terhuyung mundur waktu
pedangnya kena ditangkis oleh Cing Kiang Wie.
Kang Wei tengah dilibat oleh
lawannya yang seorang lainnya. Ilmu silat orang tersebut juga tidak lemah,
karena dia tampaknya mempergunakan ilmu pedang dari Kun-lun-kiam-hoat. Tentunya
dia salah seorang murid Kun-lun-pay.
Beberapa kali orang itu
merangsek dengan menempuh jarak dekat sekali. Dia main rapat seperti itu karena
mengetahui jika mereka terpisah cukup jauh, berarti Kang Wei yang meraih
keuntungan tidak kecil. Cambuknya memang panjang, tentu saja dia malah lebih
leluasa jika mereka bertempur terpisah dalam jarak yang cukup jauh.
Lawannya yang cerdik justeru
tidak mau bertempur dengan jarak jauh, dia telah merangsek terus makin dekat,
sehingga Kang Wei tidak leluasa buat menyerang dia dengan cambuknya, malah dia
menyerang hebat mempergunakan pedangnya, membuat Kang Wei berulang kali harus
mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari serangan lawannya.
Tapi Kang Wei juga bukannya
seorang yang tolol, dia berusaha agar lawannya itu tidak bisa main dekat terus.
Dalam suatu kesempatan, setelah dia mengancam lawannya dengan totokan kepada
pundaknya, dengan ringan sekali dia menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat ke
tengah udara dan berjumpalitan, begitu ke dua kakinya hingga di tanah, segera
dia menjejak lagi, sehingga tubuhnya melompat mundur lebih jauh.
Setelah hinggap di tanah, dia
terpisah cukup jauh dengan lawannya, maka dia membarengi dengan cambuknya yang
menyambar kepada lawannya dengan gencar dan beruntun. Dengan demikian dia tidak
memberikan kesempatan kepada lawannya buat merangsek main dekat lagi. Dia telah
menyerang beruntun seperti itu, membuat lawannya yang sekarang sibuk sekali
berkelit ke sana ke mari tanpa bisa membalas menyerang, karena ukuran pedangnya
yang tidak begitu panjang seperti cambuk lawannya, tidak bisa menikam dari
jarak yang jauh.
Liang Tie yang melihat keadaan
seperti itu segera merogoh sakunya, tahu-tahu dia telah menimpukkan sebuah
benda hitam ke arah Cing Kiang Wie.
Cing Kiang Wie menduga senjata
rahasia, dia berkelit. Benda hitam bulat itu terbanting di tanah di dekat
sampingnya. Terdengar suara ledakan dan di sekitar tempat itu diselubungi asap
yang tebal.
“Kang Laote, hati-hati!”
teriak Cing Kiang Wie, yang kuatir lawan-lawannya mempergunakan senjata rahasia
buat menyerang membokong pada mereka.
Kang Wei sendiri terkejut
karena tahu-tahu tempat itu tertutup gelap oleh asap. Dia jadi kelabakan
dibuatnya, dan buat melindungi dirinya dari bokongan lawannya, dia memutar
cambuknya dengan cepat. Dan setelah memutar cambuknya beberapa waktu, di kala
asap semakin tipis, dia hanya melihat Cing Kiang Wie yang berdiri dengan penuh
kewaspadaan.
Sedangkan ke tiga orang lawan
mereka sudah tidak terlihat lagi mata hidungnya. Diwaktu itu Liang Tie dan ke
dua kawannya entah telah pergi ke mana.
Liang Tie rupanya
mempergunakan kesempatan di saat alat peledaknya itu menaburkan asap, telah
melarikan diri dengan ke dua orang kawannya itu. Maka begitu asap itu menipis,
di waktu Cing Kiang Wie dan Kang Wei bisa melihat lebih jelas, maka mereka
sudah tidak melihat ke tiga orang lawan mereka.
Di waktu itu Kang Wei segera
melompat ke dekat Cing Kiang Wie. “Cing Toako...... mereka cukup tinggi
kepandaiannya…… kita selanjutnya harus lebih hati-hati, boleh jadi akan banyak
orang-orang setangguh mereka akan mengeroyok kita!”
Cing Kiang Wie yang masih
penasaran mendengus, dia bilang: “Hemmmmm, biarlah semuanya muncul. Nanti akan
kuberesi semuanya!”
Baru saja dia berkata begitu,
dari tempat gelap terdengar suara tertawa dingin.
“Hemmm, bicara sih memang
enak, cuma menggoyangkan lidah!” kata orang itu dengan suara yang dingin
mengandung ejekan. “Tetapi justeru aku telah melihat dan menyaksikan dengan
mataku sendiri, bahwa kalian merupakan anjing-anjing tidak punya guna!”
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
bersiap-siap dengan senjata mereka, karena mengetahui bahwa di tempat gelap itu
telah bersembunyi lawan baru. Tentunya lawan itu memiliki gin-kang dan
kepandaian yang tinggi, entah seorang diri atau berkumpul dengan kawan-kawannya
dalam jumlah yang banyak.
“Siapa kau, mengapa
menyembunyikan ekor, terus tidak mau memperlihatkan diri?!” bentak Kang Wie
dengan suara yang menyeramkan dan bengis.
“Hemmmm, sejak tadi aku telah
memperlihatkan diri, kalian berdua yang merupakan anjing-anjing kudis buta,
mana bisa melihat? Sungguh kasihan!
“Cing dan Kang Ciangkun,
rupanya kalian telah melupakan asalmu, merupakan kacang yang lupa pada kulit,
sehingga kalian benar-benar memang ingin berkhianat dan telah bekerja di bawah
tindasan dari kaum penjajah itu!
“Hahahaha, yang seorang adalah
komandan dari Gie-lim-kun, sedangkan yang seorang adalah Komandan Kim-ie-wie
sekarang telah diutus buat membasmi kawan-kawannya sendiri, buat menumpas
orang-orang sebangsanya....... Hahaha! Sungguh perbuatan yang sangat bagus!”
Waktu orang itu mengejek
seperti itu, Kiang Wie dan Kang Wei kaget bukan main, karena orang itu
mengetahui bahwa mereka adalah komandan dari Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie.
“Siapa kau, cepat perlihatkan
dirimu! Jangan bersikap pengecut seperti itu hanya menyembunyikan ekor.....!”
bentak Cing Kiang Wie yang habis sabar.
“Aku di sini……!” menyahuti
orang itu, yang segera melangkah keluar dari tempat gelap itu. Segera terlihat
seorang kakek tua dengan pakaian penuh tambalan.
“Hemmm, engkau pengemis
busuk?!” bentak Cing Kiang Wie setelah melihat kakek pengemis tersebut yang
tampaknya dikenalnya. “Thio Kim Beng! Mengapa engkau demikian usil mencampuri
urusan Kami? Atau memang engkau sudah bosan hidup! Lebih baik engkau
meninggalkan pekerjaan hina yang setiap hari buat makan saja harus mengemis ke
sana ke mari meminta belas kasihan orang!
“Jika memang engkau mengetahui
selatan, maka kami akan memperkenalkan kau kepada Hong-siang. Akan kami pujikan
engkau sehingga bisa memperoleh pangkat dan harta! Kau memiliki kepandaian yang
tinggi tetapi menjadi pengemis yang hina, apakah engkau tidak merasa harus
dibuat sayang dan merasa hina?”
Pengemis tua yang baru muncul
itu ternyata memang tidak lain dari Thio Kim Beng, tertawa mendengus ketika
mendengar ejekan Cing Kiang Wie yang menyerupai juga bujukan buatnya!
“Justeru aku tidak mau menjadi
manusia hina dina seperti kalian! Aku lebih baik mengemis dari pada harus
mengkhianati bangsa sendiri!”
“Setan manusia tidak tahu
diuntung!” bentak Cing Kiang Wie tidak bisa mempertahankan kemarahannya,
tubuhnya dengan gesit sekali telah menerjang dan menikam dengan pedangnya
kepada pengemis tua itu.
Cing Kiang Wie mengetahui
bahwa Thio Kim Beng merupakan tokoh Kay-pang yang memiliki kepandaian tinggi,
karena telah cukup lama dia mendengar ketenaran nama pengemis tua itu, yang
liehay ilmunya. Karena dari itu, dia menikamnya dengan hati-hati dan penuh
perhitungan.
Dalam keadaan seperti itu, si
pengemis tua Thio Kim Beng sama sekali tidak berusaha mengelak, dia berdiri tenang,
cuma tongkat bambu hijaunya belaka yang digerakkan perlahan menyampok pedang
lawannya.
Memang tongkat di tangan
pengemis tua itu terbuat dari bambu hijau, akan tetapi di tangan Tnio Kim Beng,
tongkat bambu hijau tersebut menjadi kuat sekali, sehingga waktu saling bentur
dengan pedang lawannya, bambu hijau itu seperti juga baja kuatnya, segera
tergetar tangan dari lawannya.
Cing Kiang Wie cepat-cepat
menarik pulang pedangnya, beruntun tiga kali dia menyerang. Hebat tikamannya
dan dia juga mempergunakan jurus-jurus simpanan dari ilmu pedangnya.
Thio Kim Beng sekarang tidak
bisa berdiri diam di tempatnya seperti tadi dengan lincah dia menghiadarkan
diri berulang kali. Tapi sejauh itu dia belum balas menyerang.
Kang Wei juga tidak mau
membuang-buang waktu, tubuhnya melesat cepat sekali, di mana dia telah
menyerang dengan hebat, cambuknya itu membelatar tidak hentinya, menimbulkan
suara yang seperti juga hendak merobek-robek keheningan malam.
Thio Kim Beng sama sekali
tidak jeri biarpun dikeroyok dua orang lawan tangguh. Tubuhnya dengan lincah
telah bergerak ke sana ke mari, malah tongkat bambu hijaunya itu bergerak
sangat hebat, mengancam ke dua lawannya secara bergantian.
Setiap kali bambu hijau di
tangan si kakek pengemis tersebut meluncur menyerang, maka yang diincar sebagai
sasarannya adalah bagian-bagian yang bisa mematikan di tubuh lawannya
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
yang memang telah mengetahui Thio Kim Beng merupakan tokoh Kay-pang yang
memiliki ilmu lihay, menyerang dengan penuh perhitungan. Dalam waktu yang
singkat, ke tiga orang itu, satu lawan dua, telah melewati enampuluh jurus
lebih.
Dan di waktu itu juga, Thio
Kim Beng merobah cara bertempurnya. Jika sebelumnya dia lebih banyak berkelit
dan hanya membalas menyerang sekali-kali saja, justeru belakangan ini, tongkat
bambu hijaunya itu beruntun telah menyerang, dengan cara menotok, menabas dan
mengemplang. Tentu saja semua serangannya itu bukan serangan sembarangan,
karena disertai dengan lweekang yang sangat kuat!
Hebat bukan main pengemis ini,
karena walaupun ke dua orang lawannya yang mengeroyok itu merupakan lawan-lawan
yang tangguh memiliki kepandaian tinggi, dia sama sekali tidak terdesak, dia
bisa memberikan perlawanan dengan baik-baik.
Bambu hijau di tangannya
berobah menjadi senjata yang ampuh dan hebat sekali mendesak ke dua lawannya.
Diam-diam Cing Kiang Wie
berpikir di dalam hatinya: “Jika memang pengemis ini termasuk salah seorang
anggota pemberontak itu, niscaya akan merepotkan sekali, tentu masih banyak
jago-jago lainnya yang berada di belakang pengemis ini! Hemmm, jika demikian,
tentu dengan hanya berdua Kang Wei, tidak mungkin kami berdua bisa meneruskan
tugas ini……”
Karena berpikir begitu,
semangat bertempur dari Cing Kiang Wie menurun, menyebabkan dia semakin
terdesak.
Sedangkan Kang Wei semakin
ganas dengan cambuknya, karena dia berusaha menyerang Thio Kim Beng dengan
cambuknya bertambah hebat.
Setiap kali cambuknya itu
bergerak, angin tajam menyambar Thio Kim Beng, tapi selalu cambuk itu bisa
dielakkan atau dihalau oleh tongkat bambu hijau si pengemis tua tersebut.
Ketika suatu kali Thio Kim
Beng tengah menyampok dengan tongkat bambu hijaunya, tiba-tiba cambuk Kang Wei
telah melibatnya, kemudian Kang Wei telah menggentaknya dengan kuat.
Si pengemis tua telah mengerahkan
tenaga lweekangnya, dia mencekal kuat sekali, dengan demikian tongkatnya tidak
sampai kena dirampas.
Di saat itu, mereka telah
berusaha mengerahkan tenaga dalam masing-masing. Si pengemis tua juga berusaha
untuk mempertahankan tongkatnya, sedangkan Kang Wei berusaha menariknya terus.
Ke dua orang ini jadi mengadu kekuatan sin-kang masing-masing dan mereka telah
berusaha untuk dapat menindih kekuatan lawannya.
Di antara dua kekuatan
tersebut, yang saling menarik satu dengan yang lainnya, tampak Cing Kiang Wie
bermaksud hendak menarik keuntungan dari keadaan seperti itu. Dia telah
melompat dengan cepat sekali, menikam ke punggung si pengemis.
Tikamannya itu juga merupakan
tikaman yang sangat dahsyat sekali. Pedangnya itu tergeletar, sehingga
tampaknya pedang tersebut seperti juga telah berobah menjadi puluhan batang.
Thio Kim Beng memperdengarkan
dengusan, dia tidak jeri. Dia masih tetap mencekal tongkat bambu hijaunya, dan
waktu mata pedang Cing Kiang Wie hampir mengenai pundaknya, segera dia membungkukan
tubuhnya sedikit, kaki kanannya bergerak menendang.
Sebat sekali tendangannya,
mengincar ketiak lawannya. Jika memang Cing Kiang Wie tidak menarik tikamannya,
niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak ringan.
Karena dari itu Cing Kiang Wie
yang rupanya mengenal bahaya tengah mengancam dirinya, segera juga dia telah
menarik pulang pedangnya.
Kang Wei mempergunakan
kesempatan itu telah menggentak dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya.
Thio Kim Beng sendiri
melakukan gerakannya tadi dengan penuh perhitungan, di mana dia mengetahui,
kalau saja dia berusaha menahan terus tongkatnya, niscaya kuda-kuda ke dua
kakinya tergempur, karena tadi dia mempergunakan kaki kanannya buat menendang,
sehingga kekuatan ke dua kakinya tidak sepenuhnya lagi.
Dan di waktu dia merasakan
tarikan yang kuat sekali dari Kang Wei, dia juga tidak membuang-buang waktu,
segera menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat dengan cepat sekali
meluncur di tengah udara, dan ujung tongkatnya dipakai buat menotok biji mata
lawannya!
Bukan main kagetnya Kang Wei,
karena dia tidak menyangka bahwa lawannya bisa berlaku senekad seperti itu.
Dia sendiri bersenjata cambuk,
karena dia menarik kuat sekali, dan lawannya tidak memberikan tenaga melawan,
juga di waktu itu dia telah meluncur mendatangi, maka cambuk itu jadi kendor
dan tidak bisa dipergunakan menahan meluncurnya tongkat lawannya. Sedangkan
mata tongkat itu, ujung yang tajam dan runcing sekali, tengah mengancam ke arah
matanya.
Tampak Kang Wei berusaha
menghindar dengan membuang diri ke samping kanannya, tapi dia tidak sampai
perlu bergulingan di tanah, dia hanya terhuyung dengan tubuh terbungkuk,
kemudian dengan mengempos semangatnya, dia menggentak tangannya, maka cambuknya
telah membeletar menghantam ke punggung si pengemis.
Thio Kim Beng sendiri juga
tidak menyangka bahwa serangannya yang begitu tiba-tiba masih bisa gagal dan
dia sekarang diserang lawannya. Dia sudah tidak bisa menghindar dari cambuk
lawannya, karena di waktu itu tubuhnya sendiri tengah melambung di tengah udara.
“Tarrr!” punggungnya kena
dihantam oleh cambuk Kang Wei. Memang pedih dan sakit bukan main, namun dia
masih bisa hinggap di tanah dengan ke dua kakinya. Dia memutar tongkatnya,
untuk melindungi tubuhnya menjaga kalau-kalau ke dua lawannya itu akan menyusuli
dengan serangan lainnya.
Dikala itu memang Cing Kiang
Wie yang penasaran, tengah menubruk dan menyerang lagi dengan pedangnya, tapi
semua serangannya itu kena ditangkis dan dihalau oleh ujung tongkat si
pengemis.
Kang Wei yang juga tengah
diliputi perasaan marah sebab matanya tadi hampir saja kena ditotok buta oleh
ujung tongkat si pengemis. Maka begitu dia berhasil menghantam punggung si
pengemis dengan cambuknya, dia jadi girang bukan main, semangatnya terbangun.
Cambuknya itu menyambar-nyambar tidak hentinya menyerang Thio Kim Beng.
Sedangkan Thio Kim Beng terus
memutar tongkatnya, sehingga senjata lawan-lawannya, tidak ada yang bisa
menerobos pertahanannya itu.
Malam semakin larut, ramainya
suara benturan senjata mereka telah terdengar berulang kali. Sedangkan Kang Wei
waktu itu sudah memaki:
“Jika kami tidak dapat
membunuhmu, tua bangka mesum, hemmm, hemmm, selanjutnya kami akan meletakkan
jabatan dan mengundurkan diri buat hidup mengasingkan diri duapuluh tahun
meyakinkan ilmu silat kami!”
Setelah berteriak begitu,
cepat sekali cambuknya seperti hujan gencarnya, menyerang tidak hentinya ke
bagian-bagian yang mematikan di tubuh Thio Kim Beng.
Kepandaian Kang Wei memang
telah mencapai tingkat yang tinggi. Dengan demikian dia dapat membuat cambuknya
itu lemas, juga dengan mempergunakan sin-kangnya dapat menjadikan cambuk itu
keras, tegak dan lurus yang bisa dipakai menotok. Karena dari itu, betapa
berbahayanya senjata tesebut.
Jika di waktu lemas, dia bisa
mempergunakannya buat membelit merampas senjata lawan atau juga melibat leher
lawannya. Kalau sampai berhasil demikian, selain senjata lawan kemungkinan
besar bisa dirampas, juga akan membuat leher lawan menjadi putus, kena tercekik
oleh cambuknya yang luar biasa. Dan dikala diluruskan karena pengerahan tenaga
lweekangnya, membuat cambuk itu sepertt pentungan yang dapat dipakai buat
menotok jalan darah yang mematikan.
Di waktu itu Thio Kim Beng
mengempos semangatnya. Dia telah mengadakan pembelaan diri yang rapat.
Di dalam hatinya si pengemis
berpikir juga: “Hemm, ternyata tidak percuma nama besar mereka yang cukup
menggetarkan rimba persilatan kepandaian mereka ternyata memang benar-benar
tangguh..... aku harus menghadapi mereka lebih hati-hati!”
Thio Kim Beng berpikir seperti
itu, karena dia telah merasakan, walaupun dia telah mempergunakan seluruh
kepandaiannya tokh dia masih tidak bisa mendesak ke dua lawannya.
Malah sebaliknya, tampaknya
dia yang terdesak. Karena dari itu, dia telah mengerahkan seluruh tenaga
lweekangnya dan ilmu tongkatnya.
Sementara itu Thio Kim Beng
telah membatasi diri buat tidak menyerang ke dua lawannya, dia hanya berkelit
dan mengelak ke sana ke mari. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, tenaga
lweekang yang dipergunakannya juga sangat kuat luar biasa.
Begitulah, dalam waktu yang
singkat, ke tiga orang itu telah bertempur ratusan jurus.
Sedangkan Thio Kim Beng suatu
kali berseru nyaring, dia memutar tongkatnya itu dalam bentuk garis tengah yang
cukup lebar, memaksa ke dua lawannya berhenti menyerangnya karena mereka harus
melompat mundur menjauhi diri dari tongkat si pengemis yang lihay.
“Berhenti, ada yang ingin
kukatakan!” teriak si pengemis dengan suara yang nyaring.
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
memang tidak menyerang lagi, mereka masing-masing menahan senjata mereka.
Cing Kiang Wie dengan suara
menghina berkata mengejek. “Hemmmm, sekarang engkau baru mengetahui akan
kelihayan kami, sehingga engkau ingin mengatakan memohon ampun dari kami agar
membiarkan engkau pergi! Bukankah begitu!”
Diejek seperti itu, Thio Kim
Beng tidak memperlihatkan sikap marah. Dia hanya mendengus memperdengarkan
suara tertawa dingin. Lalu katanya dengan sikap yang sangat menghina:
“Sesungguhnya, jika memang aku
jeri pada kalian, tentu aku tidak akan menghadang mencari urusan dengan kalian.
Dan jika memang kalian berdua merasa kepandaian kalian telah tangguh, memiliki
nama besar di dalam kalangan Kang-ouw, apakah dengan cara mengeroyok seperti
ini tidak menurunkan pamor kalian?
“Hemmm, memang kalian bicara
enak saja.......... Bagaimana jika kalian maju satu-satu, kita bertempur buat
menentukan siapa di antara kita yang benar-benar memiliki kepandaian sejati?!”
Sambil berkata begitu, segera
si pengemis mengibas-ngibas tongkat bambu hijaunya, seperti juga dia tengah
menantang dengan sikap menghina.
Bukan kepalang gusarnya Cing
Kiang Wie dan Kang Wei, karena mereka berdua dianggap sebagai manusia-manusia
pengecut oleh pengemis tersebut. Maka Cing Kiang Wie telah membentak:
“Baik! Baik! Mari kita
bertempur sampai ada penentuannya!”
Dan dia telah menjejakkan
kakinya, tubuhnya mencelat dengan cepat sekali. Dia menghampiri si pengemis dan
bersikap menyerang dengan pedangnya.
“Cing Toako, tunggu!” panggil
Kang Wie
Cing Kiang Wie yang baru saja
hendak merangsek, mendengar panggilan rekannya, segera menahan pedangnya, dia
menoleh.
Kang Wie melambaikan
tangannya. “Ke marilah Cing Toako…… Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu!”
Cing Kiang Wie waktu itu
tengah gusar bukan main, namun terhadap rekannya ini, walaupun memang lebih
muda usianya, tapi dia menaruh rasa segannya dan menghormati. Karena dari itu,
dia tidak menerjang terus, dia telah membatalkan maksud hendak menyerang si
pengemis. Melainkan dia menjejakkan kakinya mencelat mundur kembali ke sisi
Kang Wei.
Sedangkan Kang Wei telah
menarik tangannya, membawa Cing Kiang Wie mundur jauh dari si pengemis,
kemudian mereka berdua tampak bisik-bisik.
Cing Kiang Wie tampak ragu,
namun tidak lama kemudian mengangguk-angguk beberapa.
Kang Wei tersenyum puas dan
menepuk-nepuk pundaknya.
Thio Kim Beng hanya
memperhatikan sambil memperdengarkan tertawa mengejek, sampai akhirnya ketika
dia melihat ke dua perwira tinggi kerajaan itu mash kasak-kusuk saja, hilang
kesabarannya. Dia mengejek:
“Mengapa kasuk-kusuk seperti
wanita saja? Ayo…… mari kita main-main buat menentukan siapa di antara kita
yang lebih kosen! Hemmm, atau memang kalian jeri dan bermaksud hendak angkat
kaki!”
Bukan Cing Kiang Wie yang
melayani ejekan si pengemis, melainkan Kang Wei yang telah melangkah maju
mendekati pengemis itu. Dia bilang dengan suara yang lantang dan nyaring:
“Dengarlah Thio Kim Beng!
Memang kami akui kepandaianmu tidak rendah! Sayang sekali engkau mensia-siakan
kesempatan baik, di mana engkau lebih mau hidup sebagai manusia hina, karena
jika saja engkau bisa mengetahui, betapa nikmatnya hidup sebagai seorang
pembesar tinggi, tentu engkau akan berlutut memohon-mohon kepada kami, agar
kami memujikan engkau kepada Hong-siang! Hemmm, tapi kami selalu ingin berbuat
baik terhadap siapa saja!
“Terhadap engkau juga, Thio
Kim Beng! Jika memang engkau bersedia menerima uluran tangan kami, di mana
engkau bersedia menerima pertolongan kami, maka kami bisa mengangkat
derajatmu…… Engkau tidak akan menjadi rendah lagi, tidak akan menjadi manusia
hina, di mana setiap hari hanya kerjanya memohon belas kasihan orang lain!
Sedangkan engkau sendiri memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
“Sekali saja kami pujikan
engkau di hadapan Hong-siang, tentu engkau akan menerima pangkat yang tinggi……
Dengan demikian selanjutnya engkau bisa hidup senang! Bagaimana, engkau mau
kami pujikan kepada Hong-siang?”
Mendengar perkataan Kang Wei,
Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak.
“Sungguh suatu penawaran yang
menarik!” katanya kemudian, lalu tertawa bergelak-gelak lagi.
Kang Wei tersenyum, karena dia
menduga hati si pengemis telah tergerak.
“Bagaimana, apakah engkau
setuju agar kami memujikan engkau di hadapan Hong-siang. Jangan kuatir, kami
tidak akan menuntut budi kepadamu, karena bukankah engkaupun akan menjadi rekan
kami yang baik?” kata Kang Wei kemudian dengan tersenyum-senyum dan mengawasi
si pengemis tua Thio Kim Beng dengan sorot mata yang tajam.
Thio Kim Beng tertawa
bergelak-gelak, sedangkan Kang Wei dan Cing Kiang Wie menantikan jawabannya
sambil mengawasi dengan sorot mata yang tajam. Mereka yakin pengemis tua
Kay-pang ini akan dapat dipengaruhi oleh mereka.
Bukankah sekarang ia merupakan
pengemis melarat yang tidak memiliki apa-apa, yang hidupnya bersengsara dan
selalu harus mengemis dan menghiba memohon akan belas kasihan orang?
Jelas di dalam perkumpulan
Kay-pang walaupun bagaimana enaknya dan tinggi derajatnya, tetap saja dia harus
hidup sebagai pengemis yang melarat, yang tidak mungkin dapat menikmati
keasyikan dunia ini. Sedangkan jika ia bekerja kepada kerajaan, memperoleh
pangkat dan kedudukan serta harta yang berlimpah, niscaya setiap hari, setiap
detik, ia akan hidup bahagia dan senang, di mana sekelilingnya dilimpahi oleh
kemewahan.
Namun dugaan ke dua orang
perwira tinggi kerajaan tersebut ternyata meleset sama sekali, di mana setelah
tertawa bergelak-gelak tampak betapa Thio Kim Beng telah menjejakkan ke dua
kakinya, tubuhnya melesat sangat cepat di mana tongkat bambu hijaunya telah
digerakkan buat menotok dahsyat kepada Kang Wei yang berdiri paling dekat
dengannya.
“Aku justeru menginginkan jiwa
kalian berdua!” berseru pengemis tua Kay-pang itu.
Kang Wei tidak menyangka Thio
Kim Beng akan menyerangnya mendadak begitu. Dia pun berdiri dalam jarak dekat
sekali, membuatnya kaget dan cepat-cepat berkelit, cuma saja, karena dia
diserang begitu cepat, juga Thio Kim Beng mempergunakan jurus ilmu tongkatnya
yang paling liehay, biarpun Kang Wei telah mengelak secepat-cepatnya, tetap
saja pundaknya kena tergores oleh ujung tongkat Thio Kim Beng.
Dengan muka merah padam
memandang gusar, Kang Wei berkata bengis: “Pengemis tidak tahu diuntung. Kami
bermaksud buat mengajak engkau ke dunia kesenangan, tapi engkau tetap memilih
kemelaratan. Baiklah, kami akan melayani keinginanmu buat pergi ke neraka. Kami
akan berusaha tidak mengecewakan harapan engkau!”
Sambil herkara begitu
cambuknya bergerak menggeletar sangat nyaring menyambar kepada Thio Kim Beng,
demikian juga pedang Cing Kiang Wie.
Mereka bertiga bertempur lagi
dengan seru, sedangkan Thio Kim Beng berulangkali memperdengarkan suara tertawa
bergelak mengejek.
“Hemmm, walaupun kami menempuh
kehidupan ini dengan cara mengemis, tetapi kami jauh lebih berharga dari pada
kalian anjing-anjing pengkhianat bangsa! Kami lebih mulia, kami lebih luhur
dari jiwa kalian yang kotor……!”
Kang Wei dan Kiang Wie tidak
memperdulikan ejekan si pengemis, mereka berusaha menyerang semakin hebat buat
mendesak pengemis itu, namun disebabkan kepandaian Thio Kim Beng memang hebat
dan tinggi sekali sulit mereka mendesak pengemis itu apa lagi untuk
merubuhkannya. Dalam waktu yang sangat singkat tigapuluh jurus lebih telah
dilewatkan.
Thio Kim Beng memang
sesungguhnya merupakan pengemis yang berhati luhur dan setiap tindakannya juga
sangat mulia. Itulah sebabnya mengapa Yeh-lu Chi, pangcu Kay-pang telah
mengangkatnya sebagai salah seorang Tiang-lo, untuk berkelana dan memeriksa
cabang-cabang Kay-pang, guna meneliti apakah di antara anggota-anggota Kay-pang
ada yang menyeleweng dan melakukan tindakan yang tidak terpuji.
Thio Kim Beng selain duduk
sebagai salah seorang Tiang-lo pengemis, di dalam rimba persilatan iapun sangat
dihargai sekali oleh jago-jago rimba persilatan. Dengan kepandaiannya yang
tinggi, sulit sekali orang menandinginya.
Karena dari itu, diapun boleh
dibilang hampir sama sekali jarang bertempur bersungguh-sungguh. Di dalam
perkumpulan Kay-pang ia memiliki kekuasaan yang sangat besar sekali, kekuasaan
buat menghukum berat kepada anggota Kay-pang yang diketahuinya menyeleweng,
tanpa perlu meminta pertimbangan dari Pangcu.
Waktu di Heng-san bertemu
dengan Swat Tocu sebagai seorang tokoh Kay-pang, walaupun ia mengetahui Swat
Tocu seorang tokoh sakti dalam rimba persilatan, namun si pengemis tua ini
masih memiliki harga diri sehingga dia tidak mau terlalu menyembah-nyembah bersikap
bermuka kepada Swat Tocu.
Ia mengambil sikap yang wajar
saja. Siapa tahu justeru Swat Tocu tengah uring-uringan, sehingga ia kena
diperlakukan kurang baik dari Swat Tocu.
Seumur hidupnya, barulah kali
itu, Thio Kim Beng memperoleh perlakuan seperti itu. Jika menuruti hati
kecilnya, dia akan bertempur sampai mati menyerang Swat Tocu, buat menebus
perlakuan Swat Tocu yang dianggapnya sangat menghinanya.
Akan tetapi pertimbangan ratio
atau pemikiran yang sehat, telah menyebabkan dia akhirnya surut sendirinya
meninggalkan tempat itu. Walaupun di dalam hatinya dia masih menaruh perasaaan
penasaran dan tekad, kelak suatu saat dia akan mengadu ilmu dengan Swat Tocu.
Memang di dalam hati kecilnya
juga si pengemis mengakui dan mengagumi kepandaian Swat Tocu. Dia jika
bertempur dengan Swat Tocu, sehingga terluka atau terbinasa, pasti akan menanam
permusuhan di kalangan Kay-pang. Semua anggota Kay-pang pasti akan memusuhi
Swat Tocu dan akan berusaha membalas sakit hati Thio Kim Beng.
Hal itulah yang tidak diinginkan
oleh Thio Kim Beng, karena akan membuat Kay-pang akan mengalami kerusakan tidak
kecil. Bukankah Swat Tocu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan lihay
sekali?
Juga pertimbangan lainnya
bahwa Swat Tocu merupakan seorang tokoh sakti rimba persilatan yang memiliki
hubungan dekat dengan Sin-tiauw-tay-hiap, salah seorang tokoh sakti yang
memiliki hubungan sangat dekat dengan Pangcu Kay-pang.
Itulah, dengan menelan
penasaran dan kemendongkolan hatinya, Thio Kim Beng meninggalkan Heng-san. Dia
berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya.
Sampai akhirnya dia mendengar
perihal perjuangan orang-orang gagah di Lam-yang, maka dia menuju ke kota itu.
Dia menyaksikan persiapan-persiapan yang tengah dilakukan oleh orang-orang
gagah pecinta negeri, yang bercita-cita ingin berjuang mengusir penjajah.
Hati Thio Kim Beng gembira
karena senang sekali dia mengetahui masih cukup banyak para Ho-han pencinta
negeri yang ingin berjuang buat mengusir penjajah! Dan diam¬-diam dia mengikuti
perkembangan yang ada pada perhimpunan itu.
Hati Thio Kim Beng tambah
gembira setelah mengetahui bahwa para pemimpin orang-orang gagah itu, yang
hendak melakukan perjuangan tersebut, adalah seorang yang benar-benar berjiwa
patriot. Karena dari itu, dia bertekad, jika saja sudah tiba waktunya, tentu ia
akan membantu perjuangan orang-orang gagah itu.
Jika memang diperlukan, diapun
akan meminta ijin dari pangcunya dan semua Tiang-lo Kay-pang buat mengerahkan
anggota-anggota Kay-pang, guna mengadakan, perlawanan kepada kerajaan penjajah,
membantu perjuangan pada Ho-han itu, agar perjuangan para pencinta negeri
tersebut berhasil dengan baik. Terlebih lagi memang mengingat Kay-pang sangat
dimusuhi Kublai Khan, kaisar Mongolia yang telah berhasil menguasai daratan
Tiong-goan sebagai penjajah.
Tapi, pada suatu malam, ketika
pengemis tua yang gagah ini tengah tidur di dahan sebatang pohon dalam hutan
itu, dia sempat menyaksikan pertempuran Liang Tie bertiga dengan Cing Kiang Wie
dan Kang Wei, membuatnya jadi gusar sekali, karena mengetahui Cing Kiang Wie
dan Kang Wei adalah orang-orang kerajaan, bangsa Han yang bekerja kepada
kerajaan Mongolia sebagai Komandan Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie.
Setelah Liang Tie bertiga
mengundurkan diri, buat mencegah Cing Kiang Wie mengejar, Thio Kim Beng muncul
memperlihatkan diri dan bertempur dengan ke dua perwira kerajaan tersebut.
Cing Kiang Wie semakin lama
semakin penasaran, dia berdua dengan rekannya, Kang Wei, yang memiliki
kepandaian setingkat dengannya, namun masih tidak bisa merubuhkan pengemis itu.
Jagankan buat merubuhkan atau membinasakannya, sedangkan mendesak saja mereka
pun masih belum sanggup, dimana mereka bertempur sama berimbang.
Akhirnya Kang Wei berseru:
“Baiklah, karena kami masih memiliki urusan penting, kami tidak bisa menemani engkau
terlalu lama! Jika memang engkau mau, merobah pikiran menerima tawaran kami
buat kami pujikan engkau kepada Hong-siang, kau boleh datang ke kota raja
menemui, nanti kami membantu kau?”
Sambil berkata begitu, tampak
Kang Wei telah memutar cambuknya cepat sekali seperti titiran, dan dia melompat
ke belakang menjauhi diri dari Thio Kim Beng.
Sedangkan Cing Kiang Wie juga
telah membarengi melompat menjauhi diri dari lawannya.
Si pengemis tua Thio Kim Beng
sama sekali tidak mengejar, dia berdiri tegak dengan tongkat bambu hijaunya
yang digerak-gerakkan dan tertawa bergelak: “Manusia-manusia hina dina bangsa
pengecut tidak kenal malu!” Mencaci pengemis tersebut.
Kang Wei dan Cing Kiang Wie
tidak memperdulikan makian si pengemis, mereka telah berlari-lari pesat buat
kembali ke dalam kota. Mereka batal buat menyatroni sarang dari kaum
pemberontak. Dan mereka kembali ke rumah penginapan.
Thio Kim Beng melihat ketiga
lawannya melarikan diri, dia tertawa bergelak-gelak senang karena merasa telah
dapat mempermainkan ke dua perwira kerajaan tersebut. Tapi setelah puas tertawa
dia menghela napas dalam-dalam.
“Tampaknya Kublai Khan memang
tidak bermaksud main-main menumpas semua orang-orang gagah di daratan
Tiong-goan, karena ke dua orang itu saja telah memiliki kepandaian yang tinggi,
dan terus di istana Kublai Khan masih terdapat para pahlawannya yang memiliki
kepandaian lebih liehay, baik dari orang Han bangsa hina dina yang berkhianat
menganggap Kublai Khan sebagai majikannya, atau juga jago-jago Mongolia yang
dibawanya.
Tampaknya memang tidak mudah
buat para orang-orang gagah itu melakukan perjuangan, sebab mereka akan
menghadapi kesulitan yang tidak kecil. Menghadapi ke dua orang perwira itu tadi
saja jika memang bukan kepandaianku benar-benar tinggi, tentu sulit aku
menghadapi keroyokan mereka berdua!
Kembali Thio Kim Beng menghela
napas dalam-dalam setelah menggumam seperti dia menjejakkan ke dua kakinya,
tubuhnya melompat ke atas cabang pohon, dan merebahkan tubuhnya di situ buat
tidur.
Malam semakin larut dan
keadaan di dalam hutan itu sepi sekali, hanya terdengar suara binatang malam
belaka yang berdiam di dalam hutan, di mana binatang hutan yang tengah
berkeliaran mencari mangsa atau burung-burung yang terbang pindah tempat. Namun
pengemis tua itu yakin, ke dua perwira tersebut tidak akan muncul lagi……!
◄Y►
Apa yang diduga oleh Thio Kim
Beng memang benar, karena Cing Kiang Wie dan Kang Wei langsung pulang ke rumah
penginapan mereka, di mana ke dua perwira tersebut telah merundingkannya,
langkah-langkah apa yang harus mereka lakukan.
Ke duanya merupakan komandan
pasukan khusus dari istana Kaisar, dengan demikian, mereka sangat cerdik dan
licik. Melihat apa yang baru ini mereka alami, telah memperlihatkan di antara
para pemberontak itu memang banyak yang memiliki kepandaian tinggi. Si pengemis
tua Thio Kim Beng justeru mereka duga sebagai salah seorang anggota pemberontak
itu.
“Memang benar apa yang diduga
oleh Hong-siang sebelumnya, Kay-pang merupakan perkumpulan yang cukup
membahayakan. Karena jika Kay-pang dibiarkan terus hidup, berarti sama saja
dengan duri di dalam daging…… Tidak terlalu mengherankan jika belum lama yang
lalu Hong-siang telah perintahkan agar semua orang-orang Kay-pang disapu
bersih!
“Seperti kita telah alami
tadi, si pengemis tua itu pasti tokoh Kay-pang. Dia bekerja buat
pemberontak-pemberontak itu! Karenanya, kita pun harus melaporkan semuanya ini
kepada Hong-siang, agar Hong-siang lebih memperkeras lagi perintahnya dalam
membasmi Kay-pang! Hemmm…… hemmm!”
Tampaknya Kang Wei bukan main
kecewa dan marahnya. Karena dia penasaran sekali tadi bersama-sama dengan Cing
Kiang Wie, di mana mereka di istana Kaisar merupakan jago-jago yang sangat
disegani dan kepandaian mereka tinggi sekali, ternyata tidak sanggup buat
merubuhkan si pengemis tua Kay-pang itu, sedangkan buat mendesak Thio Kim Beng
saja mereka pun tidak dapat.
Cing Kiang Wie pun sangat
penasaran. Dia sampai memukul meja berulang kali, buat melampiaskan
kemendongkolannya itu. Dia bilang dengan hati diliputi perasaan gusar dan
penasaran:
“Kita harus berusaha
menangkapnya! Agar kita bisa menggusurnya kehadapan Kaisar. Jika memang kita
pulang tanpa menggusur orang-orang dari kaum pemberontak tersebut, niscaya
kepercayaan Hong-siang pada kita akan berkurang.........!”
“Tapi mereka terdiri dari
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Di luar dugaan kita sebelumnya,
bahwa kita berdua akan dapat mengacaukan mereka ternyata kita tidak memiliki
kesanggupan ke arah itu...... Karenanya, kita harus mempergunakan taktik lain
yaitu kita harus dapat mengerahkan pasukan yang cukup besar, guna menumpas kaum
pemberontak!”
Cing Kiang Wie menghela napas
dalam-dalam, wajahnya murung sekali.
“Hemm, sebelum berangkat kita
telah berjanji pada Hong-siang, bahwa kita berdua akan sanggup mengobrak-abrik
kaum pemberontak itu, namun kenyataan yang ada sekarang ini justeru
memperlihatkan, kita tidak memiliki kesanggupan ke arah itu.....!” katanya
kecewa.
Kang Wei tersenyum, bilangnya:
“Bukan tidak ada kesanggupan
buat mengobrak-abrik mereka. Tapi jika memang kita harus mempertaruhkan jiwa
menempuh bahaya yang terlalu besar, buat apa? Jika kita gugur, paling tidak
hanya dapat penghargaan dari Hong-siang, lalu kedudukan kita akan diganti oleh
orang lain!
“Dengan demikian masih tidak
apa-apa, tapi jika kita dapat lolos dari pada kematian, kemudian kira bercacad.
Bukankah seumur hidup kita akan menyesal!
“Kekuatan tentara kerajaan
sangat besar, kita minta pada Hong-siang agar mengerahkan pasukan perang dalam
jumlah besar. Niscaya kaum pemberontak itu dapat ditumpas. Mustahil kekuatan
angkatan perang Kaisar tidak dapat menumpas mereka, yang jumlahnya hanya sekian
ribu orang? Sedangkan Tiong-goan saja telah dapat direbut oleh
Hong-siang.....!”
Cing Kiang Wie beranggapan
kata-kata kawannya itu ada benarnya juga, karenanya dia mengangguk beberapa
kali. Dia bilang kemudian:
“Hanya saja justeru Hong-siang
tidak menginginkan penumpasan secara besar-besaran, sehingga menimbulkan
kekuatiran dan kekacauan di kalangan rakyat! Sekarang Hong-siang tengah memupuk
simpati rakyat, agar rakyat menyukai kerajaan yang diperintahnya, dan rakyat
tidak memiliki perasaan kurang senang pada Hong-siang!
“Secara politiknya, memang
kita dapat menerima apa yang digariskan dalam kebijaksanaan Hong-siang. Biar
bagaimana Kay-pang harus dilenyapkan, ditumpas habis, karena hanya merupakan
manusia-manusia melarat yang merongrong belaka!”
Begitulah, ke dua Komandan
dari Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie telah berunding.
Akhirnya mereka sepakat buat
coba-coba menghimpun pasukan tentara kerajaan yang berada di Lam-yang, guna
dikerahkan menumpas kaum pemberontak.
Memang dari Kaisar, merekapun
telah menerima kuasa sepenuhnya, dimana mereka dapat mempergunakan tentara
kerajaan yang ada di Lam-yang jika mereka membutuhkan dalam menumpas kaum
pemberontak. Tadinya hanya disebabkan harga diri belaka menyebabkan mereka
yakin dengan berdua saja dapat mengacaukan kaum pemberontak dan menangkap
pemimpinnya, karena mereka yakin kepandaian mereka yang tinggi.
Namun apa jadinya? Belum lagi
mereka tiba di sarang pemberontak itu mereka telah menghadapi banyak kesukaran
dan ke dua perwira kerajaan itu baru memaklumi bawa mereka tidak mungkin
berhasil jika memang hanya bekerja berdua belaka. Disebabkan itu pula akhirnya
mereka memutuskan buat memakai tentara kerajaan di Lam-yang, yang jumlahnya
lebih dari sepuluhribu orang, untuk menumpas kaum pemberontak.
Jika memang usaha itu gagal,
maka mereka baru akan kembali kekota raja, buat melaporkan kepada Hong-siang,
dan meminta Kaisar bertindak lebih tegas dengan perintahkan Menteri Angkatan
Perangnya yaitu Peng-po-siang-sie, buat mengerahkan pasukan perang dalam jumlah
yang besar dan kuat, buat menumpas kaum pemberontak itu!
◄Y►
Pagi itu cerah sekali dengan
matahari memancarkan sinarnya yang cemerlang. Dalam kota Lam-yang tampak tenang
seperti biasa tidak terlihat sesuatu yang menarik perhatian rakyat.
Namun di balik tembok-tembok
yang tinggi dari beberapa gedung dan markas pembesar kerajaan, terlihat
kesibukan yang sangat. Karena semuanya tengah mengadakan pertemuan, buat
merundingkan permintaan dari Cing Kiang Wie dan Kang Wei, agar mengerahkan
pasukan tentara kerajaan menumpas kaum pemberontak.
Para pembesar di kota
Lam-yang, umumnya memang hendak bermuka-muka, mereka bermaksud buat mendirikan
pahala, agar memperoleh pujian dari Kaisar dan memperoleh kenaikan pangkat,
sehingga kedudukan mereka lebih tinggi.
Itulah sebabnya, mengapa
setelah mereka diperlihatkan firman Kaisar, agar mereka membantu Cing Kiang Wie
dan Kang Wei dalam hal mengerahkan pasukan angkatan perang di Lam-yang, mereka
bekerja sibuk sekali mengatur segala sesuatunya.
Para tentara kerajaan yang
sebelumnya menganggur, di mana mereka sebelumnya hanya mondar-mandir di kota
Lam-yang tanpa memiliki pekerjaan apapun juga, sekarang tampak mulai sibuk,
mengatur diri dalam kesatuan-kesatuan mereka masing-masing, karena tidak lama
lagi mereka akan dikerahkan buat menumpas pasukan para pemberontak yang diduga
berjumlah limaribu orang itu!
Memang Cing Kiang Wie dan Kang
Wei telah berpesan, agar semua persiapan itu dilakukan dengan cermat sekali dan
rahasia, karena jangan sampai kaum pemberontak itu mengendus dan mengetahui
mereka akan diserang buat ditumpas dengan kekerasan.
Sekali saja rencana akan
penyerbuan tersebut bocor, niscaya akan membuat kaum pemberontak itu mengadakan
persiapan. Berarti tentara kerajaan itu akan menghadapi kesukaran tidak
sedikit, juga perlawanan yang lebih berat.
Cing Kiang Wie dan Kang Wei
memang bermaksud membuka serangan secara mendadak dan tiba-tiba sekali, agar
kaum pemberontak itu, tidak memiliki persiapan lagi, hingga mereka pun akan
dapat ditumpas dengan mudah.
Semuanya dilakukan dengan
tertutup, sampai penduduk Lam-yang sendiri tidak menyadari dan tidak
mengetahui. Tentara kerajaan di kota tersebut tengah dipersiapkan buat perang!
Dalam keadaan seperti itulah
Cing Kiang Wie dan Kang Wei memperlihatkan keterampilan mereka. Ke dua orang
ini memang merupakan komandan dari pasukan khusus di istana yang menjamin
keselamatan Kaisar, karena dari itu, segala macam taktik dan cara mereka banyak
sekali.
Dalam rencana penumpasan
pemberontak, mereka juga telah mentrapkan cara-cara mereka, pasukan dibagi
menjadi delapan bagian. Setiap bagian terdiri dari seribu orang. Dengan
demikian, mereka akan menyerang dari delapan penjuru, hal ini memperkecil
kesempatan kaum pemberontak melarikan diri dari kepungan mereka kelak.
Juga, agar kaum pemberontak
tidak bisa menduga berapa besar kekuatan tentara kerajaan yang dikerahkan.
Sehingga para pemberontak hanya dapat menduga bahwa tentara kerajaan yang
dikerahkan hanya seribu orang belaka. Dan tahu-tahu dari berbagai penjuru telah
bermunculan pula tentara kerajaan dalam jumlah besar.
Taktik yang dipergunakan oleh
Kiang Wie dan Kang Wei merupakan cara pat-kwa. Mereka juga bermaksud
menyediakan duaribu orang tentara kerajaan buat menyerang dari garis depan.
Begitulah, semua rencana dan
taktik telah diatur, dan Cing Kiang Wie berdua dengan Kang Wei yakin, kaum
pemberontak itu dapat ditumpas. Sedikitnya dapat dihancurkan.
Terlebih lagi, perlengkapan
senjata dari para tentara kerajaan diperlengkapi dengan senjata-senjata yang
baik dan lengkap, termasuk juga setiap tentara kerajaan selalu membawa golok,
dan senjata rahasia, juga harus membawa panah!