Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 23

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 23
 
Anak rajawali Jilid 23

Cing Kiang Wie tersenyum, kemudian setelah meneguk araknya dia bilang: “Kang Laote, engkau tampaknya terlalu berhati-hati sekali. Malah menurutku, engkau keterlaluan lagi dalam berwaspada, karena engkau terlalu memandang tinggi para pemberontak itu!

“Sesungguhnya, menurut hematku, para pemberontak itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka semuanya merupakan gentong-gentong nasi tidak punya guna!

“Hemmm, jelas untuk pertama kali mereka mengutus orang-orangnya, pasti orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang mereka segani. Dan jika mereka itu telah dapat kita obrak-abrik, hemm, nyali mereka akan ciut…… Selanjutnya jelas mereka tidak berani sembarangan mengirim orang!”

Setelah berkata begitu, Cing Kiang Wie tertawa bergelak-gelak.

Sedangkan Kang Wei mengangguk-angguk beberapa kali.

“Mudah-mudahan saja begitu…… karena walaupun bagaimana memang akupun mengharapkan tugas ini dapat kita selesaikan secepatnya, agar kita bisa kembali ke istana, buat melanjutkan tugas kita di sana…….!”

Ke duanya tertawa bergelak-gelak tampaknya riang sekali. Selesai sarapan pagi, mereka meninggalkan rumah penginapan itu, buat jalan-jalan berputaran di dalam kota Lam-yang.

Banyak orang-orang yang mengawasi mereka, tetapi ke dua perwira kerajaan ini justeru mengambil sikap acuh tak acuh. Mereka sengaja tidak menyamar, karena mereka hendak memancing para orang gagah yang tergabung dalam perhimpunan yang diadakan Tang Bun.

Sambil berputaran di kota itu, Cing Kiang Wie dan Kang Wei pun menyerap-nyerapi menyelidiki tentang kekuatan kaum pemberontak itu. Tetapi jarang sekali penduduk yang mau bicara, mereka takut kerembet-rembet.

Setelah menjelang lohor, barulah ke dua orang perwira ini kembali ke rumah penginapan buat mengasoh.

Sore harinya, mereka berkeliling di kota Lam-yang lagi, malah mereka telah datangi daerah-daerah di luar kota tersebut, untuk melihat-lihat keadaan di sekitar tempat itu.

Di waktu itulah mereka memperoleh kenyataan, penduduk kota tersebut seperti juga tidak menyukai kehadiran mereka. Namun ke dua perwira kerajaan ini tidak memperdulikannya. Dan setiap tentara kerajaan Boan yang bertemu dengan mereka, tentu akan memperlihatkan sikap yang sangat menghormat sekali.

Demikian juga para pembesar kota itu, yang mereka temui, semuanya jadi sibuk mempersiapkan jamuan dan memperlakukan ke dua perwira tersebut dengan hormat sekali.

Puas hati Cing Kiang Wie dan Kang Wei melihat penyambutan para pembesar yang ada di Lam-yang, karena diam-diam merekapun perintahkan para pembesar itu buat setiap saat mempersiapkan tentara kerajaan, jika memang dibutuhkan. Ke dua perwira tinggi ini akan meminta bantuan untuk membasmi para pemberontak itu.

Jumlah tentara yang ada di Lam-yang, karena letaknya berdekatan dengan Siang-yang dan merupakan kota yang sangat penting, hampir meliputi sepuluhribu orang. Karenanya Kiang Wie dan Kang Wei yakin jika sewaktu-waktu mereka memerlukannya tentu mereka bisa mengerahkan tenaga tentara kerajaan yang cukup besar.

Menjelang malam, Cing Kiang Wie dan Kang Wei bersiap-siap untuk memulai kerja mereka. Dimana mereka telah menyalin pakaian dengan pakaian Ya-heng-ie, yang selalu dikenakan oleh orang-orang yang berjalan malam.

Waktu mereka tengah salin pakaian, Cing Kiang Wie bilang, “Malam ini kita mulai bekerja. Menurut laporan yang telah ada pada kita, pemimpin dari para pemberontak itu berdiam di luar kota, di sebuah rumah yang sangat besar. Tetapi anggota perkumpulan tersebut tidak berkumpul di sana semuanya, karena mereka telah dipecah menjadi sepuluh bagian, yang kekuatannya terpencar-pencar.

“Jika memang kita satroni mereka, niscaya mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan yang berarti. Yang terpenting kita harus menangkap atau membinasakan pemimpin pemberontak itu yang kabarnya bernama Tang Bun!”

Kang Wei mengangguk mengiyakan. Dan mereka telah siap buat berangkat pergi menyelidiki keadaan pemberontak.

Memang sejak pagi sampai sore seharian mereka mengelilingi kota tersebut. Tidak banyak memperoleh keterangan yang berhasil mereka kumpulkan, karena memang penduduk jarang ada yang mau bicara banyak dengan mereka.

Dan merekapun tidak marah, karena mereka berkeliling kota seperti itu dengan sengaja mengenakan pakaian keperwiraan mereka cuma buat pancingan belaka, menarik perhatian dari kaum pemberontak agar mengetahui dua orang tokoh kerajaan berada di kota Lam-yang, dan mereka menjadi panik!

Begitu kentongan ke dua dipalu, segera Cing Kiang Wie dan Kang Wei meninggalkan kamar rumah penginapan. Mereka telah mengambil jalan di atas genting rumah penduduk. Mereka memiliki gin-kang yang sangat tinggi.

Dengan demikian mereka dengan mudah bisa melewati ratusan rumah penduduk tanpa rintangan suatu apapun juga. Malah di waktu itu mereka telah berada di luar pintu kota.

Keadaan di sekitar tempat itu sepi sekali, ke duanya saling pandang sambil tersenyum.

“Kita mulai memasuki kandang macan, kita harus waspada!” pesan Kang Wei, yang selalu hati-hati.

Cing Kiang Wie tersenyum congkak, tapi dia mengangguk.

Begitulah, ke duanya berlari-lari lagi.

Tetapi tengah mereka melesat ringan dan lincah, dari depan mereka tampak mendatangi seorang lelaki tua berusia limapuluh tahun, dengan tubuh bungkuk, tengah memikul dua bakul padi. Tampaknya orang tua itu lemah dan kelelahan sekali. Keringat memenuhi wajah dan tubuhnya, diapun terbungkuk-bungkuk seperti itu, karena dia memang telah berusia lanjut sekali.

Cing Kiang Wie dan Kang Wei ketika melihat jelas orang tersebut merupakan seorang tua yang tidak punya guna, mereka ingin melanjutkan perjalanan mereka. Namun orang tua itu memikul padinya di tengah jalan, dan ketika mereka hendak melewati. tahu-tahu orang tua itu seperti hendak menurunkan pikulannya, sehingga melintang.

Untung Cing Kiang Wie dan Kang Wei memiliki mata yang awas dan cepat sekali mereka dapat menahan lari mereka sehingga tidak sampai menubruk ujung pikulan itu, yang ternyata dibuat dari besi!

Cing Kiang Wie yang memang berdarah panas, segera membentak bengis: “Tua bangka yang mau mampus, mengapa melintang di tengah jalan?!”

Orang tua itu menghapus keringatnya, dia bilang, “Maaf..... lohu (aku orang tua) sangat lelah dan ingin istirahat! Apa salahnya lohu, sehingga tampaknya tuan-tuan begitu marah?!”

Cing Kiang Wie mendongkol sekali. Dia mengulurkan tangan kanannya mendorong tubuh orang tua itu.

Seketika tubuh orang tua tersebut bergulingan di tanah, terkena dorongan tersebut.

“Tua bangka kerbau tidak punya guna!” menggumam Cing Kiang Wie kemudian kepada kawannya, karena tadi dia mendorong tidak disertai tenaga dalamnya, telah membuat orang tua itu jungkir-balik. Dia menduga tentunya orang tua itu benar-benar seorang tua yang tidak punya guna dan sangat lemah.

Kang Wei mengangguk, katanya: “Mengapa harus melayani dia? Mari kita pergi!”

Tetapi baru saja Cing Kiang Wie ingin menyahuti, di waktu itu orang tua tersebut berteriak nyaring mengandung kemarahan.

“Manusia-manusia jahat...... aku tidak bersalah apa-apa, kalian telah menurunkan tangan keji padaku seorang tua yang tidak berdaya! Thian tentu mengutuk kalian!”

Cing Kiang Wie jadi mendongkol lagi, dia menghampiri, dan mengayunkan kaki kanannya, menendang dengan kuat ke dada orang tua itu.

Orang tua itu seperti ketakutan, dia memasang ke dua tangannya, mendorong ke depan.

“Ihhhh!” Cing Kiang Wie berseru kaget. Sebab di waktu itu dia merasakan kakinya yang tengah meluncur itu seperti didorong oleh suatu kekuatan yang sangat hebat sekali, dan tubuhnya terdorong kuat.

Beruntung memang Cing Kiang Wie lihay. Biarpun begitu mendadak dia terdorong hebat, namun segera dia bisa mengerahkan tenaga dalamnya. Kakinya yang satu menjejak tanah, maka tubuhnya melesat cepat sekali melambung empat tombak lebih!

“Bekuk dia!” teriak Cing Kiang Wie kepada Kang Wei. “Dia hanya pura-pura tidak mengerti ilmu silat!”

Kang Wei juga kaget melihat kuatnya dorongan ke dua tangan kakek tua itu, karena kawannya, yang diketahuinya memiliki kepandaian yang tangguh, telah terdorong begitu jauh. Tanpa berkata apa-apa dia telah melompat sambil menghantam dengan telapak tangannya.

Namun orang tua itu berbeda dengan tadi, tampaknya lemah dan tengah keletihan, justeru sekarang telah melompat berdiri sambil mengelak dari pukulan tangan Kang Wei kemudian teriaknya:

“Ohhh, kalian perampok-perampok tidak kenal malu! Orang setua aku masih juga ingin dirampok oleh kalian!”

Bukan main mendongkolnya Cing Kiang Wie dan Kang Wei. Mereka membentak bengis dan serentak menghantam kakek itu. Tetapi justeru kakek tua tersebut tahu-tahu telah memutar pikulannya, yang menderu-deru kuat sekali!

Cin Kiang Wie dan Kang Wei terkejut, mereka cepat-cepat melompat mundur menjauhi diri. Tangan mereka sebat sekali mencabut keluar senjata masing-masing.

Setelah saling pandang satu dengan lain, ke dua perwira tentara kerajaan ini menerjang kepada si kakek. Pedang Cing Kiang Wie meluncur sangat hebat sekali menikam ke arah tenggorokan kakek tua itu, sedangkan pecut Kang Wei juga meluncur mengandung kekuatan lweekang yang dahsyat, karena mereka menyerang tidak tanggung-tanggung.

Akan tetapi rupanya kakek tua itu bukan seorang sembarangan. Sikapnya telah berobah sama sekali dibandingkan dengan tadi, di mana dia memang tadi begitu lemah seperti seorang kakek yang sudah tidak punya guna. Namun sekarang berdiri tegap tidak bungkuk dan ke dua tangannya memegang tongkat besinya, yang diputarnya menyampok senjata lawannya yang menyambar dengan beruntun.

“Trangggg…… tranggggg….. taaarrrr!” terdengar berulang kali suara itu karena benturan senjata Cing Kiang Wie dan Kang Wei.

Seketika ke dua perwira itu kaget, karena disaat senjata mereka saling bentur, tangan mereka tergetar. Walaupun tidak menyebabkan telapak tangan mereka sakit, tokh setidak-tidaknya telah membuktikan bahwa kekuatan tenaga dalam kakek tua itu tidak rendah.

Ke dua perwira tinggi kerajaan tersebut juga menyadari, bahwa kakek tua ini hanyalah menipu mereka menyamar sebagai kakek tua penjual padi belaka. Padahal sesungguhnya kakek tua tersebut seorang yang tangguh!

Seketika mereka menduga jika memang bukan seorang begal, tentunya kakek tua tersebut adalah salah seorang anggota pemberontak.

“Hemm, jangan engkau mencari-cari alasan, karena kami telah mengetahui siapa engkau sebenarnya!”

Sambil berkata begitu, cepat sekali dia telah menghantam dengan pecutnya, di mana Kang Wei menyerang dengan kekuatan delapan bagian, sehingga pecut itu mendesing mengeluarkan suara yang menderu sangat dahsyat sekali ujung pecutnya itu menyambar berkelit seperti juga ancaman seekor ular.

Kakek tua itu benar-benar lihay, dia sama sekali tidak gentar menghadapi pecut lawannya, dia malah memutar tongkatnya itu. Ujung pecut lawannya telah melibat tongkatnya, dan Kang Wei hendak menariknya dengan gerakan yang sangat kuat.

Namun tongkat atau pikulan besi kakek tua itu tidak bergeming, karena si kakek telah mengerahkan tenaga dalamnya. Mereka jadi saling mengerahkan kekuatan sin-kang, saling menarik dan menahan. Jika Kang Wei menarik dengan kekuatan yang luar biasa, justeru kakek tua itu bertahan dengan kuda-kuda ke dua kaki yang kokoh sekali.

Kang Wei jadi mendongkol dan marah sekali. Dia juga penasaran, karena sebelumnya dia meremehkan kakek tua itu, siapa tahu justru tenaga dalam kakek tua itu sangat kuat sekali tidak berada di sebelah bawah kekuatan tenaga dalamnya!

Sedangkan Cing Kiang Wie tidak mau membuang-buang waktu. Ketika melihat Kang Wei tidak dapat mengatasi lawan mereka yang tua itu, segera juga dia mencelat dengan pedangnya buat menyerang membantui Kang Wei. Pedangnya itu berkelebat seperti juga seekor naga putih, yang mengincar bagian berbahaya di pundak kakek tua tersebut.

Kakek tua itu tengah mengerahkan tenaga dalamnya buat melawan daya tarik Kang Wei, dan sekarang dia diserang oleh Cing Kiang Wie, jika memang dia tidak menghindar atau menangkis, tentu dirinya akan terancam bahaya yang tidak kecil.

Dalam keadaan seperti itu, segera juga dia berseru nyaring, dan tahu-tahu pikulan besinya telah dimiringkan. Dia melepaskan cekalannya pada gagang pikulan yang satu, kemudian tubuhnya itu bergerak menarik pikulannya, dengan demikian lilitan cambuk lawannya dapat dilepaskan.

Dikala itu serangan pedang Cing Kiang Wie tiba, dia menyampok dengan pikulannya.

“Tranggg……!” pedang dan pikulan tersebut membentur kuat sekali, lelatu api terlihat berpijar terang.

Cing Kiang Wie merasakan tangannya tergetar keras, namun dia tidak mau memberikan waktu sedikitpun kepada kakek itu buat bernapas memperbaiki diri dan kedudukannya. Pedangnya menyambar lagi bertubi-tubi sampai empat kali tikaman.

“Tranggg..... tranggg…… tranggg..... tranggg..........!” Empat kali terdengar suara benturan yang sangat kuat, karena empat kali kakek tua itu dapat menangkis pedang lawannya. Cing Kiang Wie melompat mundur, dia berdiri di sisi Kang Wei, yang waktu itu memang sudah tidak menyerang lagi.

“Tua bangka yang tidak kenal mampus, perkenalkan namamu, karena kami paling anti untuk membunuh manusia tidak bernama!” bentak Cing Kiang Wie kemudian.

Kakek tua itu tertawa terkekeh, kemudian dia bilang dengan suara yang tawar: “Hemm..... kalian ingin mengetahui siapa aku? Baik! Dengarkanlah baik-baik, karena aku kuatir kalian kaget mendengar siapa adanya aku, kalian berdua tidak bisa pulang ke istana buat melaporkan kepada Kaisar kalian……!”

Tetapi biarpun kakek tua itu mengatakan bahwa dia akan memberitahukan namanya, namun dia tidak menyebutkan siapa adanya dia.

Cing Kiang Wie dan Kang Wei merasakan dirinya dipermainkan, segera Kang Wei membentak dengan suara bengis: “Katakanlah, siapa kau sebenarnya!”

“Aku she Liang dan bernama Tie,” kata orang tua itu sambil memperdengarkan tertawa dingin, sikapnya gagah sekali, dia telah mencekal tongkatnya kuat-kuat menantikan serangan dari ke dua lawannya.

“Liang Tie? Oho, kiranya Kiu-cie-tung-hiap (Pandekar Tongkat Sembilan Jari)!” berseru Kang Wei dengan diiringi suara bergelaknya. “Tidak kami sangka, hari ini kami memiliki nasib baik bisa bertemu dengan Kiu-cie-tung-hiap yang menjagoi daerah selatan!”

Apa yang dikatakan Kang Wei memang tidak salah, sebab Kiu-cie-tung-hiap Liang Tie merupakan seorang jago yang malang melintang disegani di daerah Selatan. Sejauh itu dia jarang sekali memperlihatkan diri.

Siapa tahu, justeru malam ini ke dua perwira tinggi kerajaan telah dihadangnya. Tidak terlihat perasaan jeri sedikitpun juga pada wajah ke dua perwira itu, walaupun mereka memang telah mengetahui siapa lawan mereka, seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki nama tidak kecil di dalam kalangan Kang-ouw dan terkenal dengan ilmu tongkatnya.

Di waktu itu Kiu-cie-tung-hiap Liang Tie tertawa bergelak, kemudian katanya dengan suara yang dingin: “Benar! Benar! Justeru hari ini memang aku telah memutuskan, bahwa sekarang aku akan mempertaruhkan jiwaku dengan kalian berdua!”

Sambil berkata begitu, Liang Tie tidak membuang-buang waktu, tubuhnya telah melesat sangat cepat luar biasa, tongkatnya itu, yang menyerupai pikulan, menderu-deru sangat dahsyat sekali, ujungnya menyambar kepada Kang Wei.

Kang Wei mendengus, dia mempergunakan cambuknya buat balas menyerang. Namun belum lagi ujung tongkat Liang Tie mengenai Kang Wei, justeru di lain saat dia telah menarik pulang serangannya itu, batal menyerang Kang Wei.

Kemudian dia menggerakkan tongkatnya dengan ujungnya yang lain menyambar kepada Cing Kiang Wei kuat dan mendatangkan derunya angin. Seperti gelombang yang datang menerjang, membuat Cing Kiang Wie tergetar oleh angin serangan ujung tongkat lawannya.

Namun dia seorang pendekar ahli pedang yang sangat liehay sekali, dengan segera dia memutar pedangnya, sama sekali dia tidak menjadi gugup, pedangnya itu bagaikan telah berobah menjadi satu dengan tubuhnya, bergulung-gulung sinar putih keperak-perakan, sehingga jangankan senjata lawan, sedangkan jika waktu itu ada siraman air, tentu tidak setetes air pun yang akan dapat menerobos masuk ke dalam pertahanannya itu.

“Trangggg, trangggg.......!” terdengar beberapa kali terbentunya pedang dan tongkat Kakek tua itu. Namun tetap saja Cing Kiang Wie memutar pedangnya.

Dalam waktu yang singkat, telah lebih limapuluh jurus mereka bertiga bertempur.

Kakek tua itu boleh tangguh, tetapi menghadapi ke dua orang lawannya yang kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya, membuat dia terdesak juga. Dan perlahan-lahan kakek Liang Tie telah berada di bawah angin, dia hanya dapat main kelit saja sebab beberapa kali dia terdesak hebat.

Liang Tie sendiri memaklumi, jika memang bertempur terus dengan cara seperti itu, akhirnya dengan dikeroyok ke dua perwira tinggi tersebut, jelas dia akan dapat di rubuhkan. Karena dari itu, dia telah mengeluarkan seruan yang nyaring sekali, suara seruannya itu bergema di sekitar tempat itu.

Bersamaan dengan seruan kakek tua itu, tampak mendatangi pesat sekali dari tempat yang gelap dua sosok tubuh yang gerakannya sangat gesit. Di tangan ke dua sosok tubuh itu masing-masing mencekal sebatang pedang, dan mereka tidak bicara, begitu datang, segera menerjang dan menyerang Cing Kiang Wie dan Kang Wei.

Liang Tie sendiri telah berteriak: “Bunuh saja ke dua anjing ini!” Dengan bersemangat tongkatnya telah menyerang bertubi-tubi dengan jurus hebat dan bisa mematikan kalau mengenai sasarannya.

Sedangkan Kiang Wie dan Kang Wei, jadi terkejut. Melihat kepandaian Liang Tie dan ke dua orang yang baru datang itu, mereka yakin, tentunya ketiga orang-orang ini tidak bisa dihadapi begitu saja, jumlah mereka belum tentu bertiga, bisa saja di tempat lain tengah bersembunyi kawan-kawan Liang Tie yang lainnya.

Karena berpikir begitu, Cing Kiang Wie dan Kang Wei telah memperhebat serangan mereka secara bergantian sebentar kepada Liang Tie, lalu kepada ke dua kawan kakek tersebut.

Pertempuran terus berlangsung dengan seru, mereka bergerak sangat lincah dan cepat sekali sehingga tubuh mereka seperti juga bayangan.

“Manusia-manusia tidak malu!” bentak Liang Tie. “Hari ini adalah hari kematian kalian! Lebih baik-baik kalian berdoa kepada Thian, untuk memohon dosa kalian diringankan.”

Sambil mengejek seperti itu, tampak Liang Tie telah menyerang tambah hebat, tongkatnya seperti juga berobah menjadi sepuluh batang, menyambar-nyambar dengan hebat dan gencar sekali.

“Jangan sombong, hari ini justeru kami datang ke Lam-yang buat memberantas kalian! Tentunya kalian bertiga adalah anjing-anjing pemberontak yang hari ini akan kami kirim ke neraka! Terimalah serangan.....!”

Sambil memaki begitu,Cing Kiang Wie yang memang berdarah panas, telah menyerang dengan hebat. Pedangnya itu berkelebat-kelebat sangat cepat disamping juga disertai oleh tenaga lweekang yang tinggi sekali.

Sedangkan Kang Wei yang jarang bicara, dia cuma mengerahkan seluruh kepandaiannya berusaha untuk merubuhkan salah seorang lawannya.

Walaupun dia telah mengeluarkan ilmu cambuknya, tokh tetap saja dia tidak berhasil untuk merubuhkan salah seorang lawannya. Hal ini membuatnya jadi penasaran sekali, dan dia telah menggerakkan cambuknya semakin cepat dan kuat, seperti juga sambaran gelombang yang saling susul.

Dalam keadaan seperti itu, ke lima orang ini, dua lawan tiga, tengah mengerahkan seluruh ilmu simpanan mereka, karena mereka mengetahui, jika mereka tidak berusaha merubuhkan lawan mereka lebih dulu, keselamatan mereka yang bisa terancam. Karena dari itu, cepat sekali mereka telah memusatkan seluruh perhatian mereka, berusaha merubuhkan lawan mereka dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Dikala itu Cing Kiang Wie rupanya sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Waktu dia melihat kesempatan, di mana Liang Tie tengah menyerang dengan tongkatnya kepada Kang Wei, tanpa membuang-buang waktu lagi, segera pedangnya itu menikam ke pundak lawannya.

Liang Tie juga terkejut, dia memang tengah memusatkan seluruh perhatiannya kepada Kang Wei, tahu-tahu pedang lawannya telah begitu dekat. Dia mengeluarkan suara seruan tertahan, dan berusaha menyampok dengan tongkatnya.

Tapi gagal. Tongkatnya hanya dapat membuat tubuh Cing Kiang Wie bergoyang-goyang, dan di saat itu mata pedang Cing Kiang Wie menikam merobek baju di lengannya. Dengan demikian membuat Liang Tie jadi terhuyung mundur dengan muka yang pucat.

Ke dua kawan Liang Tie ikut terkejut dan tidak berayal lagi segera menyerang Cing Kiang Wie. Mereka kuatir kalau saja Liang Tie disusul dengan serangan lainnya.

Begitulah, dengan menahan sakit pada lengan kanannya. Liang Tie tetap memutar tongkatnya, dia telah berusaha merubuhkan salah seorang lawannya.

Dalam keadaan seperti ini, tubuh mereka bergerak-gerak seperti juga bayangan belaka. Kalau saja kebetulan di waktu itu ada orang yang lewat di tempat tersebut, niscaya akan menduga bahwa sosok-sosok tubuh yang tengah berkelebat-kelebat itu adalah hantu penunggu tempat tersebut!

Liang Tie semakin lama semakin lemas karena itu, ketika suatu kali Cing Kiang Wie menikam lagi kepadanya, dengan tikaman lurus ke arah dadanya. Dia terlambat menyampok dengan tongkatnya, maka seketika pundaknya terluka tertikam cukup dalam oleh pedang lawannya. Dia terhuyung mundur dan rubuh terduduk. Tongkatnya terlepas dari tangannya jatuh di sisinya. Muka Liang Tie pucat pias.

Salah seorang kawan Liang Tie mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya melesat ke tengah udara, pedangnya dipakai menikam punggung Cing Kiang Wie.

Waktu itu Cing Kiang Wie tengah gembira, sebab melihat si kakek Liang Tie telah berhasil dirubuhkannya. Dia bermaksud akan menyusuli dengan tikaman berikutnya. Namun tiba-tiba dia merasakan di punggungnya, telah menyambar angin tajam, tanpa menoleh lagi dia menangkis ke arah belakangnya, pedangnya segera dapat menyampok pedang lawannya, terdengar suara “tranggg” yang nyaring sekali.

Tangan Cing Kiang Wie tergetar, dan dia merasakan telapak tangannya pedih. Demikian juga lawannya, telah melompat mundur dengan cepat sekali.

Lawan Cing Kiang Wie tadi, karena menguatirkan keselamatan Liang Tie. telah menikam dengan sepenuh tenaganya. Itulah sebabnya mengapa Cing Kiang Wie telah merasakan telapak tangannya sakit sedangkan dia sendiri tubuhnya jadi terhuyung mundur waktu pedangnya kena ditangkis oleh Cing Kiang Wie.

Kang Wei tengah dilibat oleh lawannya yang seorang lainnya. Ilmu silat orang tersebut juga tidak lemah, karena dia tampaknya mempergunakan ilmu pedang dari Kun-lun-kiam-hoat. Tentunya dia salah seorang murid Kun-lun-pay.

Beberapa kali orang itu merangsek dengan menempuh jarak dekat sekali. Dia main rapat seperti itu karena mengetahui jika mereka terpisah cukup jauh, berarti Kang Wei yang meraih keuntungan tidak kecil. Cambuknya memang panjang, tentu saja dia malah lebih leluasa jika mereka bertempur terpisah dalam jarak yang cukup jauh.

Lawannya yang cerdik justeru tidak mau bertempur dengan jarak jauh, dia telah merangsek terus makin dekat, sehingga Kang Wei tidak leluasa buat menyerang dia dengan cambuknya, malah dia menyerang hebat mempergunakan pedangnya, membuat Kang Wei berulang kali harus mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari serangan lawannya.

Tapi Kang Wei juga bukannya seorang yang tolol, dia berusaha agar lawannya itu tidak bisa main dekat terus. Dalam suatu kesempatan, setelah dia mengancam lawannya dengan totokan kepada pundaknya, dengan ringan sekali dia menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat ke tengah udara dan berjumpalitan, begitu ke dua kakinya hingga di tanah, segera dia menjejak lagi, sehingga tubuhnya melompat mundur lebih jauh.

Setelah hinggap di tanah, dia terpisah cukup jauh dengan lawannya, maka dia membarengi dengan cambuknya yang menyambar kepada lawannya dengan gencar dan beruntun. Dengan demikian dia tidak memberikan kesempatan kepada lawannya buat merangsek main dekat lagi. Dia telah menyerang beruntun seperti itu, membuat lawannya yang sekarang sibuk sekali berkelit ke sana ke mari tanpa bisa membalas menyerang, karena ukuran pedangnya yang tidak begitu panjang seperti cambuk lawannya, tidak bisa menikam dari jarak yang jauh.

Liang Tie yang melihat keadaan seperti itu segera merogoh sakunya, tahu-tahu dia telah menimpukkan sebuah benda hitam ke arah Cing Kiang Wie.

Cing Kiang Wie menduga senjata rahasia, dia berkelit. Benda hitam bulat itu terbanting di tanah di dekat sampingnya. Terdengar suara ledakan dan di sekitar tempat itu diselubungi asap yang tebal.

“Kang Laote, hati-hati!” teriak Cing Kiang Wie, yang kuatir lawan-lawannya mempergunakan senjata rahasia buat menyerang membokong pada mereka.

Kang Wei sendiri terkejut karena tahu-tahu tempat itu tertutup gelap oleh asap. Dia jadi kelabakan dibuatnya, dan buat melindungi dirinya dari bokongan lawannya, dia memutar cambuknya dengan cepat. Dan setelah memutar cambuknya beberapa waktu, di kala asap semakin tipis, dia hanya melihat Cing Kiang Wie yang berdiri dengan penuh kewaspadaan.

Sedangkan ke tiga orang lawan mereka sudah tidak terlihat lagi mata hidungnya. Diwaktu itu Liang Tie dan ke dua kawannya entah telah pergi ke mana.

Liang Tie rupanya mempergunakan kesempatan di saat alat peledaknya itu menaburkan asap, telah melarikan diri dengan ke dua orang kawannya itu. Maka begitu asap itu menipis, di waktu Cing Kiang Wie dan Kang Wei bisa melihat lebih jelas, maka mereka sudah tidak melihat ke tiga orang lawan mereka.

Di waktu itu Kang Wei segera melompat ke dekat Cing Kiang Wie. “Cing Toako...... mereka cukup tinggi kepandaiannya…… kita selanjutnya harus lebih hati-hati, boleh jadi akan banyak orang-orang setangguh mereka akan mengeroyok kita!”

Cing Kiang Wie yang masih penasaran mendengus, dia bilang: “Hemmmmm, biarlah semuanya muncul. Nanti akan kuberesi semuanya!”

Baru saja dia berkata begitu, dari tempat gelap terdengar suara tertawa dingin.

“Hemmm, bicara sih memang enak, cuma menggoyangkan lidah!” kata orang itu dengan suara yang dingin mengandung ejekan. “Tetapi justeru aku telah melihat dan menyaksikan dengan mataku sendiri, bahwa kalian merupakan anjing-anjing tidak punya guna!”

Cing Kiang Wie dan Kang Wei bersiap-siap dengan senjata mereka, karena mengetahui bahwa di tempat gelap itu telah bersembunyi lawan baru. Tentunya lawan itu memiliki gin-kang dan kepandaian yang tinggi, entah seorang diri atau berkumpul dengan kawan-kawannya dalam jumlah yang banyak.

“Siapa kau, mengapa menyembunyikan ekor, terus tidak mau memperlihatkan diri?!” bentak Kang Wie dengan suara yang menyeramkan dan bengis.

“Hemmmm, sejak tadi aku telah memperlihatkan diri, kalian berdua yang merupakan anjing-anjing kudis buta, mana bisa melihat? Sungguh kasihan!

“Cing dan Kang Ciangkun, rupanya kalian telah melupakan asalmu, merupakan kacang yang lupa pada kulit, sehingga kalian benar-benar memang ingin berkhianat dan telah bekerja di bawah tindasan dari kaum penjajah itu!

“Hahahaha, yang seorang adalah komandan dari Gie-lim-kun, sedangkan yang seorang adalah Komandan Kim-ie-wie sekarang telah diutus buat membasmi kawan-kawannya sendiri, buat menumpas orang-orang sebangsanya....... Hahaha! Sungguh perbuatan yang sangat bagus!”

Waktu orang itu mengejek seperti itu, Kiang Wie dan Kang Wei kaget bukan main, karena orang itu mengetahui bahwa mereka adalah komandan dari Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie.

“Siapa kau, cepat perlihatkan dirimu! Jangan bersikap pengecut seperti itu hanya menyembunyikan ekor.....!” bentak Cing Kiang Wie yang habis sabar.

“Aku di sini……!” menyahuti orang itu, yang segera melangkah keluar dari tempat gelap itu. Segera terlihat seorang kakek tua dengan pakaian penuh tambalan.

“Hemmm, engkau pengemis busuk?!” bentak Cing Kiang Wie setelah melihat kakek pengemis tersebut yang tampaknya dikenalnya. “Thio Kim Beng! Mengapa engkau demikian usil mencampuri urusan Kami? Atau memang engkau sudah bosan hidup! Lebih baik engkau meninggalkan pekerjaan hina yang setiap hari buat makan saja harus mengemis ke sana ke mari meminta belas kasihan orang!

“Jika memang engkau mengetahui selatan, maka kami akan memperkenalkan kau kepada Hong-siang. Akan kami pujikan engkau sehingga bisa memperoleh pangkat dan harta! Kau memiliki kepandaian yang tinggi tetapi menjadi pengemis yang hina, apakah engkau tidak merasa harus dibuat sayang dan merasa hina?”

Pengemis tua yang baru muncul itu ternyata memang tidak lain dari Thio Kim Beng, tertawa mendengus ketika mendengar ejekan Cing Kiang Wie yang menyerupai juga bujukan buatnya!

“Justeru aku tidak mau menjadi manusia hina dina seperti kalian! Aku lebih baik mengemis dari pada harus mengkhianati bangsa sendiri!”

“Setan manusia tidak tahu diuntung!” bentak Cing Kiang Wie tidak bisa mempertahankan kemarahannya, tubuhnya dengan gesit sekali telah menerjang dan menikam dengan pedangnya kepada pengemis tua itu.

Cing Kiang Wie mengetahui bahwa Thio Kim Beng merupakan tokoh Kay-pang yang memiliki kepandaian tinggi, karena telah cukup lama dia mendengar ketenaran nama pengemis tua itu, yang liehay ilmunya. Karena dari itu, dia menikamnya dengan hati-hati dan penuh perhitungan.

Dalam keadaan seperti itu, si pengemis tua Thio Kim Beng sama sekali tidak berusaha mengelak, dia berdiri tenang, cuma tongkat bambu hijaunya belaka yang digerakkan perlahan menyampok pedang lawannya.

Memang tongkat di tangan pengemis tua itu terbuat dari bambu hijau, akan tetapi di tangan Tnio Kim Beng, tongkat bambu hijau tersebut menjadi kuat sekali, sehingga waktu saling bentur dengan pedang lawannya, bambu hijau itu seperti juga baja kuatnya, segera tergetar tangan dari lawannya.

Cing Kiang Wie cepat-cepat menarik pulang pedangnya, beruntun tiga kali dia menyerang. Hebat tikamannya dan dia juga mempergunakan jurus-jurus simpanan dari ilmu pedangnya.

Thio Kim Beng sekarang tidak bisa berdiri diam di tempatnya seperti tadi dengan lincah dia menghiadarkan diri berulang kali. Tapi sejauh itu dia belum balas menyerang.

Kang Wei juga tidak mau membuang-buang waktu, tubuhnya melesat cepat sekali, di mana dia telah menyerang dengan hebat, cambuknya itu membelatar tidak hentinya, menimbulkan suara yang seperti juga hendak merobek-robek keheningan malam.

Thio Kim Beng sama sekali tidak jeri biarpun dikeroyok dua orang lawan tangguh. Tubuhnya dengan lincah telah bergerak ke sana ke mari, malah tongkat bambu hijaunya itu bergerak sangat hebat, mengancam ke dua lawannya secara bergantian.

Setiap kali bambu hijau di tangan si kakek pengemis tersebut meluncur menyerang, maka yang diincar sebagai sasarannya adalah bagian-bagian yang bisa mematikan di tubuh lawannya

Cing Kiang Wie dan Kang Wei yang memang telah mengetahui Thio Kim Beng merupakan tokoh Kay-pang yang memiliki ilmu lihay, menyerang dengan penuh perhitungan. Dalam waktu yang singkat, ke tiga orang itu, satu lawan dua, telah melewati enampuluh jurus lebih.

Dan di waktu itu juga, Thio Kim Beng merobah cara bertempurnya. Jika sebelumnya dia lebih banyak berkelit dan hanya membalas menyerang sekali-kali saja, justeru belakangan ini, tongkat bambu hijaunya itu beruntun telah menyerang, dengan cara menotok, menabas dan mengemplang. Tentu saja semua serangannya itu bukan serangan sembarangan, karena disertai dengan lweekang yang sangat kuat!

Hebat bukan main pengemis ini, karena walaupun ke dua orang lawannya yang mengeroyok itu merupakan lawan-lawan yang tangguh memiliki kepandaian tinggi, dia sama sekali tidak terdesak, dia bisa memberikan perlawanan dengan baik-baik.

Bambu hijau di tangannya berobah menjadi senjata yang ampuh dan hebat sekali mendesak ke dua lawannya.

Diam-diam Cing Kiang Wie berpikir di dalam hatinya: “Jika memang pengemis ini termasuk salah seorang anggota pemberontak itu, niscaya akan merepotkan sekali, tentu masih banyak jago-jago lainnya yang berada di belakang pengemis ini! Hemmm, jika demikian, tentu dengan hanya berdua Kang Wei, tidak mungkin kami berdua bisa meneruskan tugas ini……”

Karena berpikir begitu, semangat bertempur dari Cing Kiang Wie menurun, menyebabkan dia semakin terdesak.

Sedangkan Kang Wei semakin ganas dengan cambuknya, karena dia berusaha menyerang Thio Kim Beng dengan cambuknya bertambah hebat.

Setiap kali cambuknya itu bergerak, angin tajam menyambar Thio Kim Beng, tapi selalu cambuk itu bisa dielakkan atau dihalau oleh tongkat bambu hijau si pengemis tua tersebut.

Ketika suatu kali Thio Kim Beng tengah menyampok dengan tongkat bambu hijaunya, tiba-tiba cambuk Kang Wei telah melibatnya, kemudian Kang Wei telah menggentaknya dengan kuat.

Si pengemis tua telah mengerahkan tenaga lweekangnya, dia mencekal kuat sekali, dengan demikian tongkatnya tidak sampai kena dirampas.

Di saat itu, mereka telah berusaha mengerahkan tenaga dalam masing-masing. Si pengemis tua juga berusaha untuk mempertahankan tongkatnya, sedangkan Kang Wei berusaha menariknya terus. Ke dua orang ini jadi mengadu kekuatan sin-kang masing-masing dan mereka telah berusaha untuk dapat menindih kekuatan lawannya.

Di antara dua kekuatan tersebut, yang saling menarik satu dengan yang lainnya, tampak Cing Kiang Wie bermaksud hendak menarik keuntungan dari keadaan seperti itu. Dia telah melompat dengan cepat sekali, menikam ke punggung si pengemis.

Tikamannya itu juga merupakan tikaman yang sangat dahsyat sekali. Pedangnya itu tergeletar, sehingga tampaknya pedang tersebut seperti juga telah berobah menjadi puluhan batang.

Thio Kim Beng memperdengarkan dengusan, dia tidak jeri. Dia masih tetap mencekal tongkat bambu hijaunya, dan waktu mata pedang Cing Kiang Wie hampir mengenai pundaknya, segera dia membungkukan tubuhnya sedikit, kaki kanannya bergerak menendang.

Sebat sekali tendangannya, mengincar ketiak lawannya. Jika memang Cing Kiang Wie tidak menarik tikamannya, niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak ringan.

Karena dari itu Cing Kiang Wie yang rupanya mengenal bahaya tengah mengancam dirinya, segera juga dia telah menarik pulang pedangnya.

Kang Wei mempergunakan kesempatan itu telah menggentak dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya.

Thio Kim Beng sendiri melakukan gerakannya tadi dengan penuh perhitungan, di mana dia mengetahui, kalau saja dia berusaha menahan terus tongkatnya, niscaya kuda-kuda ke dua kakinya tergempur, karena tadi dia mempergunakan kaki kanannya buat menendang, sehingga kekuatan ke dua kakinya tidak sepenuhnya lagi.

Dan di waktu dia merasakan tarikan yang kuat sekali dari Kang Wei, dia juga tidak membuang-buang waktu, segera menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat dengan cepat sekali meluncur di tengah udara, dan ujung tongkatnya dipakai buat menotok biji mata lawannya!

Bukan main kagetnya Kang Wei, karena dia tidak menyangka bahwa lawannya bisa berlaku senekad seperti itu.

Dia sendiri bersenjata cambuk, karena dia menarik kuat sekali, dan lawannya tidak memberikan tenaga melawan, juga di waktu itu dia telah meluncur mendatangi, maka cambuk itu jadi kendor dan tidak bisa dipergunakan menahan meluncurnya tongkat lawannya. Sedangkan mata tongkat itu, ujung yang tajam dan runcing sekali, tengah mengancam ke arah matanya.

Tampak Kang Wei berusaha menghindar dengan membuang diri ke samping kanannya, tapi dia tidak sampai perlu bergulingan di tanah, dia hanya terhuyung dengan tubuh terbungkuk, kemudian dengan mengempos semangatnya, dia menggentak tangannya, maka cambuknya telah membeletar menghantam ke punggung si pengemis.

Thio Kim Beng sendiri juga tidak menyangka bahwa serangannya yang begitu tiba-tiba masih bisa gagal dan dia sekarang diserang lawannya. Dia sudah tidak bisa menghindar dari cambuk lawannya, karena di waktu itu tubuhnya sendiri tengah melambung di tengah udara.

“Tarrr!” punggungnya kena dihantam oleh cambuk Kang Wei. Memang pedih dan sakit bukan main, namun dia masih bisa hinggap di tanah dengan ke dua kakinya. Dia memutar tongkatnya, untuk melindungi tubuhnya menjaga kalau-kalau ke dua lawannya itu akan menyusuli dengan serangan lainnya.

Dikala itu memang Cing Kiang Wie yang penasaran, tengah menubruk dan menyerang lagi dengan pedangnya, tapi semua serangannya itu kena ditangkis dan dihalau oleh ujung tongkat si pengemis.

Kang Wei yang juga tengah diliputi perasaan marah sebab matanya tadi hampir saja kena ditotok buta oleh ujung tongkat si pengemis. Maka begitu dia berhasil menghantam punggung si pengemis dengan cambuknya, dia jadi girang bukan main, semangatnya terbangun. Cambuknya itu menyambar-nyambar tidak hentinya menyerang Thio Kim Beng.

Sedangkan Thio Kim Beng terus memutar tongkatnya, sehingga senjata lawan-lawannya, tidak ada yang bisa menerobos pertahanannya itu.

Malam semakin larut, ramainya suara benturan senjata mereka telah terdengar berulang kali. Sedangkan Kang Wei waktu itu sudah memaki:

“Jika kami tidak dapat membunuhmu, tua bangka mesum, hemmm, hemmm, selanjutnya kami akan meletakkan jabatan dan mengundurkan diri buat hidup mengasingkan diri duapuluh tahun meyakinkan ilmu silat kami!”

Setelah berteriak begitu, cepat sekali cambuknya seperti hujan gencarnya, menyerang tidak hentinya ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Thio Kim Beng.

Kepandaian Kang Wei memang telah mencapai tingkat yang tinggi. Dengan demikian dia dapat membuat cambuknya itu lemas, juga dengan mempergunakan sin-kangnya dapat menjadikan cambuk itu keras, tegak dan lurus yang bisa dipakai menotok. Karena dari itu, betapa berbahayanya senjata tesebut.

Jika di waktu lemas, dia bisa mempergunakannya buat membelit merampas senjata lawan atau juga melibat leher lawannya. Kalau sampai berhasil demikian, selain senjata lawan kemungkinan besar bisa dirampas, juga akan membuat leher lawan menjadi putus, kena tercekik oleh cambuknya yang luar biasa. Dan dikala diluruskan karena pengerahan tenaga lweekangnya, membuat cambuk itu sepertt pentungan yang dapat dipakai buat menotok jalan darah yang mematikan.

Di waktu itu Thio Kim Beng mengempos semangatnya. Dia telah mengadakan pembelaan diri yang rapat.

Di dalam hatinya si pengemis berpikir juga: “Hemm, ternyata tidak percuma nama besar mereka yang cukup menggetarkan rimba persilatan kepandaian mereka ternyata memang benar-benar tangguh..... aku harus menghadapi mereka lebih hati-hati!”

Thio Kim Beng berpikir seperti itu, karena dia telah merasakan, walaupun dia telah mempergunakan seluruh kepandaiannya tokh dia masih tidak bisa mendesak ke dua lawannya.

Malah sebaliknya, tampaknya dia yang terdesak. Karena dari itu, dia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya dan ilmu tongkatnya.

Sementara itu Thio Kim Beng telah membatasi diri buat tidak menyerang ke dua lawannya, dia hanya berkelit dan mengelak ke sana ke mari. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, tenaga lweekang yang dipergunakannya juga sangat kuat luar biasa.

Begitulah, dalam waktu yang singkat, ke tiga orang itu telah bertempur ratusan jurus.

Sedangkan Thio Kim Beng suatu kali berseru nyaring, dia memutar tongkatnya itu dalam bentuk garis tengah yang cukup lebar, memaksa ke dua lawannya berhenti menyerangnya karena mereka harus melompat mundur menjauhi diri dari tongkat si pengemis yang lihay.

“Berhenti, ada yang ingin kukatakan!” teriak si pengemis dengan suara yang nyaring.

Cing Kiang Wie dan Kang Wei memang tidak menyerang lagi, mereka masing-masing menahan senjata mereka.

Cing Kiang Wie dengan suara menghina berkata mengejek. “Hemmmm, sekarang engkau baru mengetahui akan kelihayan kami, sehingga engkau ingin mengatakan memohon ampun dari kami agar membiarkan engkau pergi! Bukankah begitu!”

Diejek seperti itu, Thio Kim Beng tidak memperlihatkan sikap marah. Dia hanya mendengus memperdengarkan suara tertawa dingin. Lalu katanya dengan sikap yang sangat menghina:

“Sesungguhnya, jika memang aku jeri pada kalian, tentu aku tidak akan menghadang mencari urusan dengan kalian. Dan jika memang kalian berdua merasa kepandaian kalian telah tangguh, memiliki nama besar di dalam kalangan Kang-ouw, apakah dengan cara mengeroyok seperti ini tidak menurunkan pamor kalian?

“Hemmm, memang kalian bicara enak saja.......... Bagaimana jika kalian maju satu-satu, kita bertempur buat menentukan siapa di antara kita yang benar-benar memiliki kepandaian sejati?!”

Sambil berkata begitu, segera si pengemis mengibas-ngibas tongkat bambu hijaunya, seperti juga dia tengah menantang dengan sikap menghina.

Bukan kepalang gusarnya Cing Kiang Wie dan Kang Wei, karena mereka berdua dianggap sebagai manusia-manusia pengecut oleh pengemis tersebut. Maka Cing Kiang Wie telah membentak:

“Baik! Baik! Mari kita bertempur sampai ada penentuannya!”

Dan dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat dengan cepat sekali. Dia menghampiri si pengemis dan bersikap menyerang dengan pedangnya.

“Cing Toako, tunggu!” panggil Kang Wie

Cing Kiang Wie yang baru saja hendak merangsek, mendengar panggilan rekannya, segera menahan pedangnya, dia menoleh.

Kang Wie melambaikan tangannya. “Ke marilah Cing Toako…… Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu!”

Cing Kiang Wie waktu itu tengah gusar bukan main, namun terhadap rekannya ini, walaupun memang lebih muda usianya, tapi dia menaruh rasa segannya dan menghormati. Karena dari itu, dia tidak menerjang terus, dia telah membatalkan maksud hendak menyerang si pengemis. Melainkan dia menjejakkan kakinya mencelat mundur kembali ke sisi Kang Wei.

Sedangkan Kang Wei telah menarik tangannya, membawa Cing Kiang Wie mundur jauh dari si pengemis, kemudian mereka berdua tampak bisik-bisik.

Cing Kiang Wie tampak ragu, namun tidak lama kemudian mengangguk-angguk beberapa.

Kang Wei tersenyum puas dan menepuk-nepuk pundaknya.

Thio Kim Beng hanya memperhatikan sambil memperdengarkan tertawa mengejek, sampai akhirnya ketika dia melihat ke dua perwira tinggi kerajaan itu mash kasak-kusuk saja, hilang kesabarannya. Dia mengejek:

“Mengapa kasuk-kusuk seperti wanita saja? Ayo…… mari kita main-main buat menentukan siapa di antara kita yang lebih kosen! Hemmm, atau memang kalian jeri dan bermaksud hendak angkat kaki!”

Bukan Cing Kiang Wie yang melayani ejekan si pengemis, melainkan Kang Wei yang telah melangkah maju mendekati pengemis itu. Dia bilang dengan suara yang lantang dan nyaring:

“Dengarlah Thio Kim Beng! Memang kami akui kepandaianmu tidak rendah! Sayang sekali engkau mensia-siakan kesempatan baik, di mana engkau lebih mau hidup sebagai manusia hina, karena jika saja engkau bisa mengetahui, betapa nikmatnya hidup sebagai seorang pembesar tinggi, tentu engkau akan berlutut memohon-mohon kepada kami, agar kami memujikan engkau kepada Hong-siang! Hemmm, tapi kami selalu ingin berbuat baik terhadap siapa saja!

“Terhadap engkau juga, Thio Kim Beng! Jika memang engkau bersedia menerima uluran tangan kami, di mana engkau bersedia menerima pertolongan kami, maka kami bisa mengangkat derajatmu…… Engkau tidak akan menjadi rendah lagi, tidak akan menjadi manusia hina, di mana setiap hari hanya kerjanya memohon belas kasihan orang lain! Sedangkan engkau sendiri memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

“Sekali saja kami pujikan engkau di hadapan Hong-siang, tentu engkau akan menerima pangkat yang tinggi…… Dengan demikian selanjutnya engkau bisa hidup senang! Bagaimana, engkau mau kami pujikan kepada Hong-siang?”

Mendengar perkataan Kang Wei, Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak.

“Sungguh suatu penawaran yang menarik!” katanya kemudian, lalu tertawa bergelak-gelak lagi.

Kang Wei tersenyum, karena dia menduga hati si pengemis telah tergerak.

“Bagaimana, apakah engkau setuju agar kami memujikan engkau di hadapan Hong-siang. Jangan kuatir, kami tidak akan menuntut budi kepadamu, karena bukankah engkaupun akan menjadi rekan kami yang baik?” kata Kang Wei kemudian dengan tersenyum-senyum dan mengawasi si pengemis tua Thio Kim Beng dengan sorot mata yang tajam.

Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak, sedangkan Kang Wei dan Cing Kiang Wie menantikan jawabannya sambil mengawasi dengan sorot mata yang tajam. Mereka yakin pengemis tua Kay-pang ini akan dapat dipengaruhi oleh mereka.

Bukankah sekarang ia merupakan pengemis melarat yang tidak memiliki apa-apa, yang hidupnya bersengsara dan selalu harus mengemis dan menghiba memohon akan belas kasihan orang?

Jelas di dalam perkumpulan Kay-pang walaupun bagaimana enaknya dan tinggi derajatnya, tetap saja dia harus hidup sebagai pengemis yang melarat, yang tidak mungkin dapat menikmati keasyikan dunia ini. Sedangkan jika ia bekerja kepada kerajaan, memperoleh pangkat dan kedudukan serta harta yang berlimpah, niscaya setiap hari, setiap detik, ia akan hidup bahagia dan senang, di mana sekelilingnya dilimpahi oleh kemewahan.

Namun dugaan ke dua orang perwira tinggi kerajaan tersebut ternyata meleset sama sekali, di mana setelah tertawa bergelak-gelak tampak betapa Thio Kim Beng telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat sangat cepat di mana tongkat bambu hijaunya telah digerakkan buat menotok dahsyat kepada Kang Wei yang berdiri paling dekat dengannya.

“Aku justeru menginginkan jiwa kalian berdua!” berseru pengemis tua Kay-pang itu.

Kang Wei tidak menyangka Thio Kim Beng akan menyerangnya mendadak begitu. Dia pun berdiri dalam jarak dekat sekali, membuatnya kaget dan cepat-cepat berkelit, cuma saja, karena dia diserang begitu cepat, juga Thio Kim Beng mempergunakan jurus ilmu tongkatnya yang paling liehay, biarpun Kang Wei telah mengelak secepat-cepatnya, tetap saja pundaknya kena tergores oleh ujung tongkat Thio Kim Beng.

Dengan muka merah padam memandang gusar, Kang Wei berkata bengis: “Pengemis tidak tahu diuntung. Kami bermaksud buat mengajak engkau ke dunia kesenangan, tapi engkau tetap memilih kemelaratan. Baiklah, kami akan melayani keinginanmu buat pergi ke neraka. Kami akan berusaha tidak mengecewakan harapan engkau!”

Sambil herkara begitu cambuknya bergerak menggeletar sangat nyaring menyambar kepada Thio Kim Beng, demikian juga pedang Cing Kiang Wie.

Mereka bertiga bertempur lagi dengan seru, sedangkan Thio Kim Beng berulangkali memperdengarkan suara tertawa bergelak mengejek.

“Hemmm, walaupun kami menempuh kehidupan ini dengan cara mengemis, tetapi kami jauh lebih berharga dari pada kalian anjing-anjing pengkhianat bangsa! Kami lebih mulia, kami lebih luhur dari jiwa kalian yang kotor……!”

Kang Wei dan Kiang Wie tidak memperdulikan ejekan si pengemis, mereka berusaha menyerang semakin hebat buat mendesak pengemis itu, namun disebabkan kepandaian Thio Kim Beng memang hebat dan tinggi sekali sulit mereka mendesak pengemis itu apa lagi untuk merubuhkannya. Dalam waktu yang sangat singkat tigapuluh jurus lebih telah dilewatkan.

Thio Kim Beng memang sesungguhnya merupakan pengemis yang berhati luhur dan setiap tindakannya juga sangat mulia. Itulah sebabnya mengapa Yeh-lu Chi, pangcu Kay-pang telah mengangkatnya sebagai salah seorang Tiang-lo, untuk berkelana dan memeriksa cabang-cabang Kay-pang, guna meneliti apakah di antara anggota-anggota Kay-pang ada yang menyeleweng dan melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Thio Kim Beng selain duduk sebagai salah seorang Tiang-lo pengemis, di dalam rimba persilatan iapun sangat dihargai sekali oleh jago-jago rimba persilatan. Dengan kepandaiannya yang tinggi, sulit sekali orang menandinginya.

Karena dari itu, diapun boleh dibilang hampir sama sekali jarang bertempur bersungguh-sungguh. Di dalam perkumpulan Kay-pang ia memiliki kekuasaan yang sangat besar sekali, kekuasaan buat menghukum berat kepada anggota Kay-pang yang diketahuinya menyeleweng, tanpa perlu meminta pertimbangan dari Pangcu.

Waktu di Heng-san bertemu dengan Swat Tocu sebagai seorang tokoh Kay-pang, walaupun ia mengetahui Swat Tocu seorang tokoh sakti dalam rimba persilatan, namun si pengemis tua ini masih memiliki harga diri sehingga dia tidak mau terlalu menyembah-nyembah bersikap bermuka kepada Swat Tocu.

Ia mengambil sikap yang wajar saja. Siapa tahu justeru Swat Tocu tengah uring-uringan, sehingga ia kena diperlakukan kurang baik dari Swat Tocu.

Seumur hidupnya, barulah kali itu, Thio Kim Beng memperoleh perlakuan seperti itu. Jika menuruti hati kecilnya, dia akan bertempur sampai mati menyerang Swat Tocu, buat menebus perlakuan Swat Tocu yang dianggapnya sangat menghinanya.

Akan tetapi pertimbangan ratio atau pemikiran yang sehat, telah menyebabkan dia akhirnya surut sendirinya meninggalkan tempat itu. Walaupun di dalam hatinya dia masih menaruh perasaaan penasaran dan tekad, kelak suatu saat dia akan mengadu ilmu dengan Swat Tocu.

Memang di dalam hati kecilnya juga si pengemis mengakui dan mengagumi kepandaian Swat Tocu. Dia jika bertempur dengan Swat Tocu, sehingga terluka atau terbinasa, pasti akan menanam permusuhan di kalangan Kay-pang. Semua anggota Kay-pang pasti akan memusuhi Swat Tocu dan akan berusaha membalas sakit hati Thio Kim Beng.

Hal itulah yang tidak diinginkan oleh Thio Kim Beng, karena akan membuat Kay-pang akan mengalami kerusakan tidak kecil. Bukankah Swat Tocu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan lihay sekali?

Juga pertimbangan lainnya bahwa Swat Tocu merupakan seorang tokoh sakti rimba persilatan yang memiliki hubungan dekat dengan Sin-tiauw-tay-hiap, salah seorang tokoh sakti yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Pangcu Kay-pang.

Itulah, dengan menelan penasaran dan kemendongkolan hatinya, Thio Kim Beng meninggalkan Heng-san. Dia berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya.

Sampai akhirnya dia mendengar perihal perjuangan orang-orang gagah di Lam-yang, maka dia menuju ke kota itu. Dia menyaksikan persiapan-persiapan yang tengah dilakukan oleh orang-orang gagah pecinta negeri, yang bercita-cita ingin berjuang mengusir penjajah.

Hati Thio Kim Beng gembira karena senang sekali dia mengetahui masih cukup banyak para Ho-han pencinta negeri yang ingin berjuang buat mengusir penjajah! Dan diam¬-diam dia mengikuti perkembangan yang ada pada perhimpunan itu.

Hati Thio Kim Beng tambah gembira setelah mengetahui bahwa para pemimpin orang-orang gagah itu, yang hendak melakukan perjuangan tersebut, adalah seorang yang benar-benar berjiwa patriot. Karena dari itu, dia bertekad, jika saja sudah tiba waktunya, tentu ia akan membantu perjuangan orang-orang gagah itu.

Jika memang diperlukan, diapun akan meminta ijin dari pangcunya dan semua Tiang-lo Kay-pang buat mengerahkan anggota-anggota Kay-pang, guna mengadakan, perlawanan kepada kerajaan penjajah, membantu perjuangan pada Ho-han itu, agar perjuangan para pencinta negeri tersebut berhasil dengan baik. Terlebih lagi memang mengingat Kay-pang sangat dimusuhi Kublai Khan, kaisar Mongolia yang telah berhasil menguasai daratan Tiong-goan sebagai penjajah.

Tapi, pada suatu malam, ketika pengemis tua yang gagah ini tengah tidur di dahan sebatang pohon dalam hutan itu, dia sempat menyaksikan pertempuran Liang Tie bertiga dengan Cing Kiang Wie dan Kang Wei, membuatnya jadi gusar sekali, karena mengetahui Cing Kiang Wie dan Kang Wei adalah orang-orang kerajaan, bangsa Han yang bekerja kepada kerajaan Mongolia sebagai Komandan Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie.

Setelah Liang Tie bertiga mengundurkan diri, buat mencegah Cing Kiang Wie mengejar, Thio Kim Beng muncul memperlihatkan diri dan bertempur dengan ke dua perwira kerajaan tersebut.

Cing Kiang Wie semakin lama semakin penasaran, dia berdua dengan rekannya, Kang Wei, yang memiliki kepandaian setingkat dengannya, namun masih tidak bisa merubuhkan pengemis itu. Jagankan buat merubuhkan atau membinasakannya, sedangkan mendesak saja mereka pun masih belum sanggup, dimana mereka bertempur sama berimbang.

Akhirnya Kang Wei berseru: “Baiklah, karena kami masih memiliki urusan penting, kami tidak bisa menemani engkau terlalu lama! Jika memang engkau mau, merobah pikiran menerima tawaran kami buat kami pujikan engkau kepada Hong-siang, kau boleh datang ke kota raja menemui, nanti kami membantu kau?”

Sambil berkata begitu, tampak Kang Wei telah memutar cambuknya cepat sekali seperti titiran, dan dia melompat ke belakang menjauhi diri dari Thio Kim Beng.

Sedangkan Cing Kiang Wie juga telah membarengi melompat menjauhi diri dari lawannya.

Si pengemis tua Thio Kim Beng sama sekali tidak mengejar, dia berdiri tegak dengan tongkat bambu hijaunya yang digerak-gerakkan dan tertawa bergelak: “Manusia-manusia hina dina bangsa pengecut tidak kenal malu!” Mencaci pengemis tersebut.

Kang Wei dan Cing Kiang Wie tidak memperdulikan makian si pengemis, mereka telah berlari-lari pesat buat kembali ke dalam kota. Mereka batal buat menyatroni sarang dari kaum pemberontak. Dan mereka kembali ke rumah penginapan.

Thio Kim Beng melihat ketiga lawannya melarikan diri, dia tertawa bergelak-gelak senang karena merasa telah dapat mempermainkan ke dua perwira kerajaan tersebut. Tapi setelah puas tertawa dia menghela napas dalam-dalam.

“Tampaknya Kublai Khan memang tidak bermaksud main-main menumpas semua orang-orang gagah di daratan Tiong-goan, karena ke dua orang itu saja telah memiliki kepandaian yang tinggi, dan terus di istana Kublai Khan masih terdapat para pahlawannya yang memiliki kepandaian lebih liehay, baik dari orang Han bangsa hina dina yang berkhianat menganggap Kublai Khan sebagai majikannya, atau juga jago-jago Mongolia yang dibawanya.

Tampaknya memang tidak mudah buat para orang-orang gagah itu melakukan perjuangan, sebab mereka akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil. Menghadapi ke dua orang perwira itu tadi saja jika memang bukan kepandaianku benar-benar tinggi, tentu sulit aku menghadapi keroyokan mereka berdua!

Kembali Thio Kim Beng menghela napas dalam-dalam setelah menggumam seperti dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat ke atas cabang pohon, dan merebahkan tubuhnya di situ buat tidur.

Malam semakin larut dan keadaan di dalam hutan itu sepi sekali, hanya terdengar suara binatang malam belaka yang berdiam di dalam hutan, di mana binatang hutan yang tengah berkeliaran mencari mangsa atau burung-burung yang terbang pindah tempat. Namun pengemis tua itu yakin, ke dua perwira tersebut tidak akan muncul lagi……!

Y

Apa yang diduga oleh Thio Kim Beng memang benar, karena Cing Kiang Wie dan Kang Wei langsung pulang ke rumah penginapan mereka, di mana ke dua perwira tersebut telah merundingkannya, langkah-langkah apa yang harus mereka lakukan.

Ke duanya merupakan komandan pasukan khusus dari istana Kaisar, dengan demikian, mereka sangat cerdik dan licik. Melihat apa yang baru ini mereka alami, telah memperlihatkan di antara para pemberontak itu memang banyak yang memiliki kepandaian tinggi. Si pengemis tua Thio Kim Beng justeru mereka duga sebagai salah seorang anggota pemberontak itu.

“Memang benar apa yang diduga oleh Hong-siang sebelumnya, Kay-pang merupakan perkumpulan yang cukup membahayakan. Karena jika Kay-pang dibiarkan terus hidup, berarti sama saja dengan duri di dalam daging…… Tidak terlalu mengherankan jika belum lama yang lalu Hong-siang telah perintahkan agar semua orang-orang Kay-pang disapu bersih!

“Seperti kita telah alami tadi, si pengemis tua itu pasti tokoh Kay-pang. Dia bekerja buat pemberontak-pemberontak itu! Karenanya, kita pun harus melaporkan semuanya ini kepada Hong-siang, agar Hong-siang lebih memperkeras lagi perintahnya dalam membasmi Kay-pang! Hemmm…… hemmm!”

Tampaknya Kang Wei bukan main kecewa dan marahnya. Karena dia penasaran sekali tadi bersama-sama dengan Cing Kiang Wie, di mana mereka di istana Kaisar merupakan jago-jago yang sangat disegani dan kepandaian mereka tinggi sekali, ternyata tidak sanggup buat merubuhkan si pengemis tua Kay-pang itu, sedangkan buat mendesak Thio Kim Beng saja mereka pun tidak dapat.

Cing Kiang Wie pun sangat penasaran. Dia sampai memukul meja berulang kali, buat melampiaskan kemendongkolannya itu. Dia bilang dengan hati diliputi perasaan gusar dan penasaran:

“Kita harus berusaha menangkapnya! Agar kita bisa menggusurnya kehadapan Kaisar. Jika memang kita pulang tanpa menggusur orang-orang dari kaum pemberontak tersebut, niscaya kepercayaan Hong-siang pada kita akan berkurang.........!”

“Tapi mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Di luar dugaan kita sebelumnya, bahwa kita berdua akan dapat mengacaukan mereka ternyata kita tidak memiliki kesanggupan ke arah itu...... Karenanya, kita harus mempergunakan taktik lain yaitu kita harus dapat mengerahkan pasukan yang cukup besar, guna menumpas kaum pemberontak!”

Cing Kiang Wie menghela napas dalam-dalam, wajahnya murung sekali.

“Hemm, sebelum berangkat kita telah berjanji pada Hong-siang, bahwa kita berdua akan sanggup mengobrak-abrik kaum pemberontak itu, namun kenyataan yang ada sekarang ini justeru memperlihatkan, kita tidak memiliki kesanggupan ke arah itu.....!” katanya kecewa.

Kang Wei tersenyum, bilangnya:

“Bukan tidak ada kesanggupan buat mengobrak-abrik mereka. Tapi jika memang kita harus mempertaruhkan jiwa menempuh bahaya yang terlalu besar, buat apa? Jika kita gugur, paling tidak hanya dapat penghargaan dari Hong-siang, lalu kedudukan kita akan diganti oleh orang lain!

“Dengan demikian masih tidak apa-apa, tapi jika kita dapat lolos dari pada kematian, kemudian kira bercacad. Bukankah seumur hidup kita akan menyesal!

“Kekuatan tentara kerajaan sangat besar, kita minta pada Hong-siang agar mengerahkan pasukan perang dalam jumlah besar. Niscaya kaum pemberontak itu dapat ditumpas. Mustahil kekuatan angkatan perang Kaisar tidak dapat menumpas mereka, yang jumlahnya hanya sekian ribu orang? Sedangkan Tiong-goan saja telah dapat direbut oleh Hong-siang.....!”

Cing Kiang Wie beranggapan kata-kata kawannya itu ada benarnya juga, karenanya dia mengangguk beberapa kali. Dia bilang kemudian:

“Hanya saja justeru Hong-siang tidak menginginkan penumpasan secara besar-besaran, sehingga menimbulkan kekuatiran dan kekacauan di kalangan rakyat! Sekarang Hong-siang tengah memupuk simpati rakyat, agar rakyat menyukai kerajaan yang diperintahnya, dan rakyat tidak memiliki perasaan kurang senang pada Hong-siang!

“Secara politiknya, memang kita dapat menerima apa yang digariskan dalam kebijaksanaan Hong-siang. Biar bagaimana Kay-pang harus dilenyapkan, ditumpas habis, karena hanya merupakan manusia-manusia melarat yang merongrong belaka!”

Begitulah, ke dua Komandan dari Gie-lim-kun dan Kim-ie-wie telah berunding.

Akhirnya mereka sepakat buat coba-coba menghimpun pasukan tentara kerajaan yang berada di Lam-yang, guna dikerahkan menumpas kaum pemberontak.

Memang dari Kaisar, merekapun telah menerima kuasa sepenuhnya, dimana mereka dapat mempergunakan tentara kerajaan yang ada di Lam-yang jika mereka membutuhkan dalam menumpas kaum pemberontak. Tadinya hanya disebabkan harga diri belaka menyebabkan mereka yakin dengan berdua saja dapat mengacaukan kaum pemberontak dan menangkap pemimpinnya, karena mereka yakin kepandaian mereka yang tinggi.

Namun apa jadinya? Belum lagi mereka tiba di sarang pemberontak itu mereka telah menghadapi banyak kesukaran dan ke dua perwira kerajaan itu baru memaklumi bawa mereka tidak mungkin berhasil jika memang hanya bekerja berdua belaka. Disebabkan itu pula akhirnya mereka memutuskan buat memakai tentara kerajaan di Lam-yang, yang jumlahnya lebih dari sepuluhribu orang, untuk menumpas kaum pemberontak.

Jika memang usaha itu gagal, maka mereka baru akan kembali kekota raja, buat melaporkan kepada Hong-siang, dan meminta Kaisar bertindak lebih tegas dengan perintahkan Menteri Angkatan Perangnya yaitu Peng-po-siang-sie, buat mengerahkan pasukan perang dalam jumlah yang besar dan kuat, buat menumpas kaum pemberontak itu!

Y

Pagi itu cerah sekali dengan matahari memancarkan sinarnya yang cemerlang. Dalam kota Lam-yang tampak tenang seperti biasa tidak terlihat sesuatu yang menarik perhatian rakyat.

Namun di balik tembok-tembok yang tinggi dari beberapa gedung dan markas pembesar kerajaan, terlihat kesibukan yang sangat. Karena semuanya tengah mengadakan pertemuan, buat merundingkan permintaan dari Cing Kiang Wie dan Kang Wei, agar mengerahkan pasukan tentara kerajaan menumpas kaum pemberontak.

Para pembesar di kota Lam-yang, umumnya memang hendak bermuka-muka, mereka bermaksud buat mendirikan pahala, agar memperoleh pujian dari Kaisar dan memperoleh kenaikan pangkat, sehingga kedudukan mereka lebih tinggi.

Itulah sebabnya, mengapa setelah mereka diperlihatkan firman Kaisar, agar mereka membantu Cing Kiang Wie dan Kang Wei dalam hal mengerahkan pasukan angkatan perang di Lam-yang, mereka bekerja sibuk sekali mengatur segala sesuatunya.

Para tentara kerajaan yang sebelumnya menganggur, di mana mereka sebelumnya hanya mondar-mandir di kota Lam-yang tanpa memiliki pekerjaan apapun juga, sekarang tampak mulai sibuk, mengatur diri dalam kesatuan-kesatuan mereka masing-masing, karena tidak lama lagi mereka akan dikerahkan buat menumpas pasukan para pemberontak yang diduga berjumlah limaribu orang itu!

Memang Cing Kiang Wie dan Kang Wei telah berpesan, agar semua persiapan itu dilakukan dengan cermat sekali dan rahasia, karena jangan sampai kaum pemberontak itu mengendus dan mengetahui mereka akan diserang buat ditumpas dengan kekerasan.

Sekali saja rencana akan penyerbuan tersebut bocor, niscaya akan membuat kaum pemberontak itu mengadakan persiapan. Berarti tentara kerajaan itu akan menghadapi kesukaran tidak sedikit, juga perlawanan yang lebih berat.

Cing Kiang Wie dan Kang Wei memang bermaksud membuka serangan secara mendadak dan tiba-tiba sekali, agar kaum pemberontak itu, tidak memiliki persiapan lagi, hingga mereka pun akan dapat ditumpas dengan mudah.

Semuanya dilakukan dengan tertutup, sampai penduduk Lam-yang sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui. Tentara kerajaan di kota tersebut tengah dipersiapkan buat perang!

Dalam keadaan seperti itulah Cing Kiang Wie dan Kang Wei memperlihatkan keterampilan mereka. Ke dua orang ini memang merupakan komandan dari pasukan khusus di istana yang menjamin keselamatan Kaisar, karena dari itu, segala macam taktik dan cara mereka banyak sekali.

Dalam rencana penumpasan pemberontak, mereka juga telah mentrapkan cara-cara mereka, pasukan dibagi menjadi delapan bagian. Setiap bagian terdiri dari seribu orang. Dengan demikian, mereka akan menyerang dari delapan penjuru, hal ini memperkecil kesempatan kaum pemberontak melarikan diri dari kepungan mereka kelak.

Juga, agar kaum pemberontak tidak bisa menduga berapa besar kekuatan tentara kerajaan yang dikerahkan. Sehingga para pemberontak hanya dapat menduga bahwa tentara kerajaan yang dikerahkan hanya seribu orang belaka. Dan tahu-tahu dari berbagai penjuru telah bermunculan pula tentara kerajaan dalam jumlah besar.

Taktik yang dipergunakan oleh Kiang Wie dan Kang Wei merupakan cara pat-kwa. Mereka juga bermaksud menyediakan duaribu orang tentara kerajaan buat menyerang dari garis depan.

Begitulah, semua rencana dan taktik telah diatur, dan Cing Kiang Wie berdua dengan Kang Wei yakin, kaum pemberontak itu dapat ditumpas. Sedikitnya dapat dihancurkan.

Terlebih lagi, perlengkapan senjata dari para tentara kerajaan diperlengkapi dengan senjata-senjata yang baik dan lengkap, termasuk juga setiap tentara kerajaan selalu membawa golok, dan senjata rahasia, juga harus membawa panah!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar