Anak rajawali Jilid 28
Ciu Yang Cin pun ikut
menyaksikan, maka sendirinya muka begal itu jadi pucat. Hebat ilmu pedang si
”pemuda”. Coba dia membalas menyerang, tentu mudah saja dia merebut kemenangan.
Juga pisuwsu lainnya ikut jadi
kagum.
Sebentar saja sudah lewat
delapan jurus. Hati Siam Ki berdebaran. Wajahnya telah jadi guram dan memerah.
Ia heran dan penasaran sekali. Ia jadi berkuatir.
Ia berduka juga ketika ia
berpikir akan runtuhlah namanya. Sudah delapan jurus tanpa ada hasilnya.
Tinggal lagi dua jurus. Bagaimana hasilnya.
“Akh, habislah aku, habislah
aku..........!” pikirnya pada akhirnya ia jadi putus asa.
Tepat disaat jago ini mau
menyerang untuk kesembilan kalinya, mendadak terlihat lari datang tujuh orang,
gerakannya sangat cepat. Dengan melompat dari tempat yang tinggi sampailah
orang-orang tersebut di antara mereka ini.
Giok Hoa dan Siam Ki mundur
sendirinya.
Ketika Ciu Yang Cin telah
melihat jelas rombongan itu, ia jadi berseru kegirangan: “Kauw Supek!”
Giok Hoa sebaliknya mengawasi
tajam, sehingga dia dapat melihat jelas mereka itu.
Empat orang adalah orang-orang
tua yang kepalanya lanang, lanang juga alis dan kumisnya. Bajunya serupa, yaitu
baju panjang berwarna kuning, cuma wajah mereka.
Yang satu belang mukanya, pipi
kirinya warna merah ungu, banyak bekas tapaknya. Yang kedua matanya besar-besar
sipit, yang ketiga mukanya keriputan dan kulit muka itu seperti juga permukaan
kawah gunung berapi. Sedangkan yang ke empat seorang pendeta muka celong dan
mata yang tajam.
Tiga yang pertama berusia
pertengahan, berdiri di belakang yang bermata celong itu. Dan tiga orang
lainnya lagi berdiri di belakang ke empat orang tersebut.
Tiga orang yang lainnya itu
berusia pertengahan juga, pakaian mereka hitam semuanya. Wajahnya licin.
Setelah berseru memanggil, Ciu
Yang Cin melompat menghampiri ke empat orang tua itu, guna memberi hormat.
Si muka belang tertawa dan
bertanya, “Ciu Hiantit, apakah gurumu baik-baik saja?” Kemudian matanya
menyapu, lantas ia menegaskan pertanyaannya: “Mengapa kalian bentrok?”
“Terima kasih supek, guruku
baik!” menyahuti Yang Cin sambil berdiri dengan sikap yang amat menghormat
sekali! Ke dua tangannya diturunkan lurus. Setelah itu ia memberikan
keterangannya.
Orang yang mukanya belang
tersebut memperdengarkan suara tertawanya.
“Sudah beberapa puluh tahun
aku tidak turun gunung. Aku tidak sangka sekarang ada beberapa bocah yang
berani menyebut dirinya sebagai ahli pedang!” katanya, jumawa sekali. “Dan
orangpun berani berebutan!”
Lagi sekali setelah berkata
begitu ia tertawa keras dan lama.
Ke tiga orang tua lainnya
berdiam saja, wajahnya dingin, sehingga mereka mirip dengan pendeta-pendeta
mayat hidup.....
Waktu itu wajah Boan Siam Ki
berobah, rupanya ia mendongkol sekali. Karena ia menyadari, kata-kata si
pendeta muka belang itu ditujukan buat dirinya juga.
Tong Teng Bun sendiri segera
menghampiri Ko Tie.
“Aku telah mendengar berita,
dari Tiong-goan muncul banyak sekali jago-jago muda!” Terdengar lagi pendeta
muka belang itu telah meneruskan kata-katanya! “Aku Kauw Hie Hweshio, terpaksa
harus turun gunung untuk membuktikannya sendiri.....!”
Ko Tie tertawa dingin,
sikapnya memandang ringan kepada para pendeta itu. Giok Hoa yang mendengar
kekasihnya tertawa dingin sampai melirik padanya.
Si pendeta muka belang tertawa
nyaring, dia bilang lagi: “Tidak perduli kalian pandai mempergunakan pedang dan
memiliki kepandaian yang tinggi, tetap saja aku tidak akan membiarkan kalian
malang melintang sesumbar sekehendak hati di dalam rimba persilatan!”
“Hemmm!” Ko Tie sengaja
memperkeras tertawa dinginnya, dan dengusannya.
Pendeta muka belang menoleh
mengawasi tajam kepada Ko Tie, karena ia mendengar suara dengusan itu, kemudian
dia bilang:
“Inilah yang disebut anak
kijang tidak gentar pada harimau!”
Dan ia melirik kepada Giok
Hoa, lalu tertawa, katanya lagi: “Ke dua bocah ini sangat tampan sekali! Jika
kaIian berpikir untuk menjadi jago, baiklah lewat lagi satu tahun kalian cari
aku si orang tua di puncak Ku-ing-hong di gunung Bie San!”
Setelah berkata, dia melompat
dengan gesit sekali, diikuti oleh enam orang di belakangnya. Maka dalam waktu
sebentar saja mereka sudah memisahkan diri beberapa puluh tombak.
Berulang kali Ko Tie
memperdengarkan suara, “Hemmm!” seraya ia mengawasi terus dengan tajam.
“Bie Laote,” kata Tong Teng
Bun, yang tidak mengerti sikap pemuda ini, “Ke empat orang itu adalah
orang-orang yang empatpuluh tahun lalu merupakan orang-orang terhebat, yang
dapat merubuhkan lima orang pendeta sakti dari Siauw-lim-sie.
“Juga mereka telah memperoleh
nama di puncak Hoa-san. Cuma saja, ia rupanya masih jeri berurusan dengan Lima
Jago Luar Biasa, yaitu Oey Yok Su, Ong Tiong Yang, Ang Cit Kong, It Teng Taysu
dan Auwyang Hong!
“Nama mereka menggetarkan
rimba persilatan! Semenjak waktu itu mereka berempat hidup menyendiri, tidak
pernah mereka turun gunung.
Sekarang mereka telah turun
gunung, tentunya mereka ingin melakukan yang hebat! Menurut penglihatanku,
tentunya dunia rimba persilatan akan bermandikan darah lagi......!”
“Hemmm!” Ko Tie tersenyum, tapi
tidak mengucapkan kata-kata apapun.
Waktu itu Boan Siam Ki
menghadapi Giok Hoa, sambil tertawa ia bilang: “Laote, ilmu pedangmu benar
lihay, aku kagum sekali! Baiklah, dengan memandang kau, mau aku menyudahi
perselisihanku dengan Tong Lo-piauwtauw. Sampai bertemu pula!”
Ia memutar tubuhnya segera ia
ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu.
Selama itu Ciu Yang Cin semua
sudah tidak terlihat lagi, sekalipun bayangannya.
Tong Teng Bun memandang ke
sekitarnya, ia mengerutkan alisnya.
“Ciu Yang Cin seorang manusia
yang sangat licik!” ia bilang. “Tadi dia angkat kaki karena dia melihat
gelagat! Dilain kali, Laote baiklah kalian waspada.”
“Terima kasih!” kata Ko Tie
menyahuti. “Sekarang ini jalanan sudah aman, karena keretaku dapat jalan lebih
cepat. Ijinkanlah kami berjalan lebih dulu, agar kami dapat cepat tiba di
Lok-yang. Lain waktu, bila ada kesempatan, pasti kami akan pergi berkunjung
untuk unjuk hormat pada Tong Lo-piauwtauw.”
Tong Teng Bun tampak berat
berpisah dengan Ko Tie dan Giok Hoa.
“Aku harap laote berdua datang
dengan pasti, karena aku si tua sangat mengharapkan dan menanti sekali!”
katanya.
Ko Tie terharu, ia dipanggil
laote, iapun malu sendirinya. Tidak dapat ia dipanggil dengan sebutan adik,
seperti itu. Seharusnya ia dipanggil sebagai seorang boanpwe yang tingkatnya
jauh di bawah jago tua tersebut.
Bersama Giok Hoa, ia telah
naik ke keretanya. Ia tersenyum waktu keretanya itu bergerak berangkat.
Kereta dilarikan ke arah
kecamatan Tiang-tie. Angin berhembus keras sekali, sedangkan hawa udara dingin
bukan main, karena waktu itu hujan salju mulai turun bagaikan kapas yang
berguguran ke bumi.
Langit bersinar layung dan
sangat indah dengan warna putih salju yang tengah turun tipis, sehingga
sepanjang mata memandang, segala apa menjadi putih. Hanya warna putih belaka
yang menyilaukan mata terlihat!
◄Y►
Hari itu tanggal lima bulan
pertama, akan tetapi di gunung Hong-san tidak terdapat suasana musim semi.
Puncak gunung penuh dengan salju, pohon-pohon gundul atau kering.
Hanya sang angin yang
memberikan hawa dingin di samping dinginnya salju. Burung-burungpun tak
terdengar suaranya. Suasana tetap merupakan suasana musim dingin.
Justeru waktu itu di jalan
pegunungan terdapat dua orang pemuda yang tengah berlari-lari gesit sekali,
juga pakaian mereka sama, warnanya abu-abu. Di punggung masing-masing
tergemblok pedang.
Kepala mereka tertutup kopiah
bulu. Muka mereka dilapisi dengan topeng kulit yang tipis dan buatannya sangat
indah. Yang beda dari mereka ialah seorang lebih langsing tubuhnya.
Mereka berdua tidak bicara
satu dengan yang lainnya. Setelah melintasi rimba jurang barulah mereka
berhenti di depannya sebuah goa.
Namanya goa, sebenarnya sebuah
selokan besar yang lebarnya dua tombak, Berliku-liku, ada airnya mengalir,
airnya pun jernih sehingga tampak dasarnya.
Memandangi selokan tersebut,
pemuda yang seorangnya bersenandung dengan suara perlahan dan lembut sekali:
“Air yang jernih sebenarnya
tidak ada kedukaan,
adalah sang angin yang membuat
mukanya berkerut-kerut.....
Gunung hijau sebenarnya tidak
tua,
adalah sang salju yang membuat
kepalanya putih……”
Pemuda yang seorang tertawa,
dia bilang, “Engko Tie, kau hebat! Di waktu seperti ini kau masih memiliki
kegembiraan untuk bersyair! Sebenarnya juga selokan ini indah sekali, maka aku
percaya di dekat sini pasti ada rumah orang..... Menurut dugaanku, sarang Kwee
Lu, si bangsat tengik itu, tidak jauh dari sekitar tempat ini.”
Si pemuda berhenti
bersenandung, dia tertawa. Dialah Ko Tie. Dan yang seorang lagi itu adalah Giok
Hoa, kekasihnya, yang memang menyamar selama dalam perjalanan sebagai pria.
“Mari kita jalan mengikuti
selokan ini?” katanya, “Sarang Kwee Lu tentu tidak jauh dari di tempat sejauh
sepuluh lie di sekitar tempat ini!”
Ia menengadah ke atas, melihat
cuaca. Ia menduga waktu sudah mendekati tengah hari.
Kawannya itu mengangguk
setuju, segera mereka berjalan bersama di tepian selokan yang mirip sungai
kecil.
Mereka berada di Hong-san,
duapuluh lima lie di selatan kota Lok-yang, di kota mana mereka telah tiba. Dan
segera mereka bekerja mencari tempat berdiamnya Kwee Lu.
Justeru waktu mereka tiba di
kota Lok-yang, mereka telah mendengar sepak terjang Kwee Lu, seorang tokoh
rimba persilatan yang termasuk dalam golongan sesat. Iblis yang sangat telengas
malang melintang di tempat ini.
Karena dari itu, Ko Tie dan
Giok Hoa bermaksud mencari iblis yang telah membanjirkan darah tidak sedikit ke
bumi karena haus akan korban-korbannya!
Mereka melakukan perjalanan
mengikuti selokan itu dengan bernyanyi-nyanyi kecil dan juga sering
menyelinginya dengan tertawa mereka yang cerah. Mereka pun telah banyak
berbicara mengenai hubungan mereka berdua.
Ko Tie berjalan di sebelah
belakang si gadis. Ia sendiri sering bimbang hatinya, yang tergoncang sangat
keras sekali, melihat lenggok dan lenggang gadis pujaannya ini, yang sangat
menggiurkan. Betapa cantiknya Giok Hoa.
Tiba-tiba Giok Hoa berseru
perlahan: “Engko Tie, coba kau lihat……!” tangan si gadis pun telah menunjuk ke
suatu arah.
Ko Tie memandang ke arah yang
ditunjuk itu. Di sana, tidak jauh dari ujung selokan, terdapat jurang. Dan dari
jurang itu meluncur air tumpah yang cukup deras, jatuhnya keras, suaranya
nyaring bergemuruh, berkumandang di lembah.
Karena waktu itu angin utara
berhembus santer, suaranya berisik di antara daun-daun dan cabang pohon di
rimba situ. Suara berisik itu sering tersamar. Itulah sebabnya mengapa mereka
tidak dapat mendengarnya dari jauh-jauh.
Juga uap air merupakan seperti
mega yang tebal, sehingga tidak mudah untuk melihat jelas di sekitar air tumpah
itu.
Ko Tie memandang tajam sekian
lama. Di balik uap air terjun itu, ia melihat sebidang tempat bagaikan paso. Di
tengah-tengah tempat itu ada sekelompok bangunan rumah yang cukup rapi
letaknya.
Giok Hoa tidak dapat melihat
sejelas Ko Tie. Si pemuda jauh lebih mahir, tenaga dalamnya, itulah sebabnya
mengapa Ko Tie bisa melihat lebih jelas.
“Pastilah itu sarangnya si
bangsat Kwee Lu!” kata Ko Tie girang setelah mengawasi sekian lama. “Mari kita
pergi melihatnya!” Ia segera juga menarik tangan si gadis, guna diajaknya
berlari separuh diseret.
Giok Hoa pun mulai dapat
melihat lebih jelas, hatinya memukul keras.
Setelah datang lebih dekat,
dengan berani Ko Tie mengajak si gadis melompat turun ke tempat yang tadi
mereka awasi itu, yang diduga adalah sarangnya Kwee Lu.
Justru di waktu itu
terdengarlah seruan yang nyaring sekali: “Tahan.....!”
Ke duanya segera juga menunda
gerakan mereka, bahkan mereka telah mengawasi arah dari mana datangnya suara
bentakan itu.
Segera dari sisi air terjun
terlihat muncul tiga sosok tubuh yang merupakan tiga orang berusia pertengahan,
yang tubuhnya kurus dan semua matanya tajam serta bengis. Salah seorang di
antaranya memiliki apa yang
biasanya disebut sebagai kumis kambing gunung.
“Tuan-tuan, mengapa kalian
tidak dengar kata?” Orang itu menegur, dengan suara yang bengis.
“Kami memanggil beberapa kali,
mengapa kalian diam saja? Apakah kalian mengira Kwee-san-cung tempat yang depat
didatangi oleh sembarangan orang?”
Suara orang itu keras dan
dingin, juga di balik nada kata-katanya itu terdapat sikap tekeburnya. Ia tidak
memandang sebelah mata pada Ko Tie dan Giok Hoa.
Ko Tie jadi tidak senang, ia
malah sengaja memperdengarkan suara tertawa dingin.
“Tuan, mengapa kau bicara
begitu tidak tahu aturan?” ia malah balik menegur, “Kau dengar sendiri, suara
air terjun demikian berisik, mana kami bisa mendengar teriakanmu yang seperti
suara nyamuk?”
Orang yang kumisnya seperti
kambing gunung itu jadi gusar bukan main, tapi dia tertawa bergelak dengan nada
yang hebat sekali, bengis dan mengandung kekejaman hatinya.
“Bocah ingusan keparat, kau
benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!” Dia bilang kemudian
dengan suara mengguntur.
“Kami Sam-lang-hun (Arwah Tiga
Serigala) bukanlah sahabat dari orang-orang Kwee-san-cung itu! Hemmm, bahkan
kami adalah musuh dari Kwee Lu!
“Kami telah berlaku baik hati
mencegah kalian, agar kalian tidak memasuki tempat mereka. Kalian tahu, jika
kalian lompat turun dan memasuki tempat itu tiga lie, kalian akan terbinasa
oleh panah beracun!
“Lagipula di sana, kecuali
Kwee Lu, ada lagi dua orang yang sangat lihay sekali. Ialah dua orang tokoh
rimba persilatan yang sangat ternama!
“Kami mengetahui tentunya
kedatangan kalian ke mari untuk berurusan dengan pihak Kwee Lu. Karena itu kami
hendak mencapaikan lidah, agar kalian tidak tertimpah bencana!”
Dua orang kawannya yang lain
tertawa.
“Tuan-tuan jangan kecil hati!”
kata salah seorang di antara mereka, “Bagaimana jika kita bekerja sama?
Sebenarnya kamipun memiliki urusan dengan pihak Kwee-san-cung!”
Ko Tie tersenyum, karena
mereka adalah musuh Kwee Lu. Dengan mengajak bekerja sama, jelas mereka hendak
mempergunakan dan memperalat tenaga Ko Tie dan Giok Hoa berdua.
Maka dari itu iapun telah
berpikir mengapa justeru ia bersama Giok Hoa tidak mau mempergunakan kesempatan
ini untuk memanfaatkan tenaga mereka bertiga itu?
“Sam-wi, siapakah kalian?”
tanyanya kemudian. “Apakah Sam-wi mau, menyebutkan she dan nama kalian yang
mulia? Sam-wi bersedia bekerja sama, tolong Sam-wi utarakan bagaimana caranya
itu?”
“Kami Sam-lang-hun, dan aku
bernama Liang An. Ini adikku yang kedua, Liang Ie, dan ini yang bungsu bernama
Liang Oh,” menjelaskan orang dengan kumis seperti kumis kambing gunung, sambil
menunjuk kepada ke dua orang kawannya. “Dan ji-wi berdua siapa?”
Ko Tie memberi hormat.
“Terima kasih, itulah
nama-nama yang telah lama kudengar sangat terkenal sekali,” katanya.
“Aku sendiri she Bie bernama
Lim, dan ini adik angkatku. Ia she Un dan bernama Lie.”
Giok Hoa berdiam saja, ia sama
sekali tidak mengucapkan sepatah perkataan pun juga. Hanya di dalam hatinya ia
memuji akan hebatnya engko Tie nya ini bersandiwara.
“Oh Bie Siauwhiap dan Un
Siauwhiap!” kata Liang An. “Aku girang sekali dengan pertemuan ini!” kemudian
ia berhenti sebentar, baru kemudian ia menambahkan.
“Waktu kami belum datang ke
mari, telah kami dengar perihal lihaynya Kwee Lu! Maka dari itu, walaupun kita
bekerja sama berlima, kalau memang kita tidak berhati-hati, tentu kita tidak
akan berhasil. Sulit untuk diperoleh hasil yang memuaskan.....!”
Ko Tie mengawasi ke rimba di
samping kanannya, sikapnya acuh tak acuh, dengan segera ia berpaling lagi.
“Segala apa di dunia ini
tergantung kepada usaha manusia,” katanya sambil tersenyum. “Jika orang main
jeri, takut kepala dan takut ekornya, lebih baik orang jangan datang kemari!”
Liang An jengah, mukanya
berobah merah dan kemudian memperlihatkan sinar mata yang licik sekali!
Justru dikala itu di sebelah
kanan mereka terdengar suara tertawa mengejek. Segera melompat keluar seorang tosu
dengan wajah menyeramkan.
Dia melompat ke dekat
Sam-lang-hun, tetapi dia tidak memandang mata kepada ketiga jago tersebut. Dia
bahkan bertindak secara angkuh dan sangat jumawa sekali.
Dia bukan menghadapi mereka,
justeru ia memandang ringan kepada Ko Tie dan menegurnya dengan bengis: “Bocah
busuk tidak tahu mampus, besar sekali mulutmu! Benarkah kau percaya di
Kwee-san-cung tidak ada orang yang dapat menguasai kau?”
“Tua bangka, siapa kau?”
menegur Giok Hoa yang tidak mau kalah dengan tosu itu.
Tosu itu menjadi gusar sekali,
segera saja ia mengeluarkan sepuluh jari tangannya.
Melihat penyerangan tosu itu,
Sam-lang-hun terkejut bukan main, sampai mereka mundur tiga tindak.
Dengan melihat sepuluh jari
tangan yang hitam dari tosu itu, Sam-lang-hun segera teringat kepada seseorang.
Mereka jadi takut luar biasa, bahkan Liang An segera bertanya:
“Bukankah........ bukankah kau
Cap-hek-cie Mo-ie Cinjin!?”
Tosu itu, yang disebut
Cap-hek-cie, sepuluh jari hitam, Mo-ie Cinjin, memperdengarkan suara tertawa mengejek
perlahan, sedangkan sepuluh jarinya itu perlahan-lahan, ujung jari tersebut
bergerak. Rupanya pertanyaan ini telah menahan gerakan tangannya.
“Eh bocah, ternyata matamu
tajam!” ia menyahuti, segera ia maju lagi. Sekarang dengan langkah kakinya, yang
melangkah setindak demi setindak.
Mo-ie Cinjin memang sangat
terkenal sekali untuk kekejaman hatinya dan telengas tangannya. Dia maju tanpa
bisa diterka apa sasaran penyerangannya. Sikapnya itu dapat membuat orang
bingung menerkanya.
Begitu memang biasanya.
Setelah datang dekat, barulah dia akan menyerang dengan yang sesungguhnya.
Bahkan setiap kali ia
menyerang, tentu serangannya dengan tiba-tiba dan gerakannya sangat aneh
sekali, membuat setiap lawannya harus celaka. Sebab sepuluh jari tangannya yang
hitam itupun mengandung racun yang dapat bekerja dengan cepat.
Waktu itu, angin gunung
berhembus keras ditambah berisiknya suara air terjun.
Sam-lang-hun mengawasi dengan
muka yang muram, hati mereka tegang bukan main.
Giok Hoa bersikap
sungguh-sungguh, ia mengawasi dengan penuh kewaspadaan menantikan serangan.
Ko Tie menonton dengan ke dua
tangan digendong dan mukanya tetap tenang, hanya tersenyum tawar.
Tiba-tiba tangan Cap-hek-cie
Mo-ie Cinjin bergerak menyambar ke muka Giok Hoa.
“Ahh!” menjerit Sam-lang-hun,
karena terlalu kaget melihat cepatnya serangan itu!
Mo-ie Cinjin berhenti di depan
Giok Hoa, tidak ada satu kaki jaraknya, maka dari itu tangannya dapat meluncur
ke muka si pemuda, dengan cepat sekali.
Akan tetapi belum lagi si
gadis bergerak, Ko Tie yang berdiri di sisinya sudah berseru sambil tangannya
menyambar ke dua lengan Mo-ie Cinjin. Dia menyambar luar biasa cepatnya karena
dia mempergunakan jurus Tie-liong-ciu atau “Mengekang Naga”.
“Krekkk,” demikianlah
terdengar suara keras di tempat itu, maka patahlah lengan Mo-ie Cinjin.
Menyusul dengan itu sebelah
kaki si pemuda terangkat naik, tubuhnya Mo-ie Cinjin segera terpental melayang
di tengah udara. Dari mulutnya terdengar jeritan dahsyat sekali. Tubuhnya itu
jatuh ke dalam rimba jauhnya belasan tombak.
Sam-lang-hun heran bukan
kepalang. Bukankah Mo-ie Cinjin sangat lihay dan terkenal sekali akan
kekejamannya dan ilmunya yang sangat tinggi? Mengapa dia bisa rubuh dalam hanya
satu gebrakan saja?
Mereka pun terkejut. Coba tadi
Liang An, toako mereka, main gila terhadap pemuda itu. Bukankah berarti bahwa
toako mereka sudah pergi ke neraka? Untung saja tadi, Liang Oh telah menengahi
mereka.
Sam-lang-hun telah banyak
pengalaman! Dan mereka menganggap sepasang pemuda ini masih hijau. Dengan usia
mereka yang masih muda seperti itu, tentu kepandaian mereka belum seberapa.
Mereka juga berpikir lebih
baik ke dua pihak bekerja sama, agar ke dua pemuda itu yang maju di depan.
Mereka sendiri akan jadi si nelayan yang menerima hasil yang menguntungkan.
Sekarang ternyata ke dua
orang, pemuda itu sangat lihay luar biasa. Mereka segera bertukar siasat!
“Sungguh kau sangat lihay
sekali, Bie Siauwhiap,” kata Liang An, mengumpak!
Ko Tie berdiam saja, demikian
pula halnya dengan Giok Hoa, yang tidak melayani pujian itu.
Liang An melihat ke dua pemuda
itu berdiam diri saja, wajah mereka bersungguh-sungguh, ia mengetahui apa yang
harus dilakukannya. Ia tertawa dan berkata:
“Ji-wi, kami bertiga kenal
baik tempat ini, mari kami yang membuka jalan!”
Ia segera melambai kepada ke
dua orang saudaranya, dan terus berjalan di sebelah depan.
Dengan segera mereka bertiga
melompat turun ke bawah!
Sebelum menyusul tiga orang
itu, Giok Hoa mencekal lengan engko Tie nya.
“EngKo Tie, hebat gerakan
tanganmu tadi!” pujinya perlahan. “Dapatkah kau memberikan petunjuk kepadaku?!”
“Baiklah!” sahut Ko Tie.
Tapi ia bukan segera
mengajari, sebaliknya ia mencekal tangan si gadis, untuk ditarik, maka dilain
saat mereka sudah bersama-sama lompat turun ke bawah. Di situ si pemuda membawa
kawannya ke dalam pepohonan yang sangat lebat.
“Begini!” katanya. “Ia
mempelajari jurus yang tadi, jurus “Memutuskan Otot, Memotong Nadi”, yang
terdiri dari tiga gerakan.
Giok Hoa girang bukan
kepalang, terlebih lagi ketika ia segera dapat mempergunakannya. Ia memang
sangat cerdas, sedang satu jurus dengan tiga gerakan adalah pelajaran yang
sangat luar biasa sekali.
“Jurus ini dapat dipergunakan
berbareng denpan ilmu apapun juga. Dengan begitu, engkau dapat merubuhkan lawan
dengan mudah!
“Kau cerdik adikku, tentu kau
dapat menjalankannya tanpa petunjuk lebih jauh dariku. Nah, mari kira menerobos
maju!”
Pemuda itu melompat ke depan,
diikuti si gadis yang sangat lincah sekali.
Sedangkan Sam-lang-hun telah
pergi jauh, mereka tidak terlihat bayangannya. Namun Ko Tie berdua dapat
mengikuti tapak kaki mereka di tanah.
Kwee-san-cung dari Kwee Lu
memiliki hawa udara yang istimewa. Di sini sekalipun musim dingin, matahari
keluar seperti biasa dan hawanya hangat.
Di pihak lain, di dalam tiga
musim semi, panas dan rontok, seluruh hari tampak kabut, jarang ada satu hari
saja yang cuacanya cerah. Maka itu, tempat ini menyenangkan sekali untuk
ditinggali. Letaknya rendah, tapi hawanya tidak lembab dan demak menyenangkan
sekali.
Di saat mereka tengah menerobos
maju, Ko Tie dan Giok Hoa mendengar suara bentakan-bentakan yang samar-samar.
Si pemuda memegang tangan
kawannya buat diajak berhenti. Ia pun segera berkata perlahan:
“Rupanya Sam-lang-hun kena
dipergoki. Kita belum mengetahui maksud mereka bertiga. Lebih baik kita jangan
terlalu sembrono turun tangan.
“Mari kita maju dengan jalan
di atas pohon. Lebih dulu kita harus melihat orang-orang lihay macam apa saja
yang berada di Kwee-san-cung!”
Giok Hoa menyatakan setuju
dengan saran pemuda ini, ia kagum sekali untuk ketelitian Ko Tie.
Setelah mereka maju lagi
beberapa saat, Giok Hoa mengemukakan pikirannya: “Engko Tie,” katanya.
“Bukankah kau berjanji akan bekerja sama dengan Sam-lang-hun? Aku pikir, lebih
baik kita bekerja begini saja.
“Kau pergi menghampiri mereka,
buat membantui mereka, sedangkan aku menantikan agak jauh. Jika memang aku
gagal dengan usaha kita, kita bertemu di muka air terjun itu! Bagaimana, kau
setuju?”
“Jadi kau ingin menanti sambil
bekerja, menyelesaikan anak buah orang she Kwee itu dengan jalan menyelusup
dari belakang?”
“Itulah yang kupikirkan! Kau
pandai sekali menerka, engko Tie,” menyahuti si gadis sambil mengangguk dengan
pipi yang berobah merah.
“Baiklah,” mengangguk Ko Tie.
Begitulah, mereka segera
berpisah. Ko Tie maju terus, sedangkan Giok Hoa mengambil jalan memutar.
Ko Tie menanti sampai si gadis
sudah tidak terlihat lagi, barulah dia pergi ke arah dari mana
bentakan-bentakan tadi datangnya. Segera juga ia telah tiba di sana, tetapi ia
menyembunyikan diri di belakang lebatnya pohon-pohonan.
Pertempuran tengah berlangsung
antara Sam-lang-hun dengan beberapa orang. Sekarang mereka tidak lagi saling
membentak, hanya tubuh mereka yang berkelebat ke sana ke mari dengan lincah dan
gesit sekali. Masing-masing juga telah mengeluarkan ilmu andalan mereka, buat
mendesak dan merubuhkan lawan.
Di antara lawan dari
Sam-lang-hun, terdapat seorang wanita tua, yang tubuhnya pendek dan kurus,
mukanya telah keriputan, rambutnya juga telah ubanan semua, tangannya mencekal
sebatang tongkat panjang berkepala naga-nagaan. Matanya sangat tajam dan
tubuhnya dapat bergerak sangat lincah sekali, menunjukkan bahwa ia memang
sangat lihay!
Dalam keadaan seperti itu, Ko
Tie tidak memperlihatkan diri. Ia ingin menyaksikan dulu, berapa tinggi
kepandaian dari Sam-lang-hun, maka dari itu, ia hanya berdiam diri saja.
Liang An tengah menggerakkan
tangan kirinya dengan jurus “Kunci Besi Tenggelam di Sungai” untuk menutup
tangan kanan lawan lain, ia juga telah membarengi dengan menggerakkan tangan kanannya
meninju kepada lawan. Ia telah mengerahkan tenaganya dan mempergunakan
kecepatannya, sedang kakinya melangkah mengiringinya.
Lawannya terkejut. Itulah
tidak disangkanya. Tidak keburu ia menangkis. Maka itu ia melengak, lompat
jumpalitan, setelah menaruh kaki di tanah, ia menekuk ke dua dengkulnya guna
memasang kuda-kuda itu. Dengan demikian iapun dapat mempertahankan diri agar
tidak rubuh.
Liang Ie beradat keras,
perangainya berangasan, ingin sekali ia segera merubuhkan lawannya dan tidak
mau memberikan kesempatan kepada lawannya. Maka ia merangsek dengan hebat.
Tangan kanannya diajukan ke
muka, untuk menghajar lagi. Jika ia berhasil, pastilah patah atau remuk
tulang-tulang dada lawannya.
Sedangkan lawan Liang An bukan
musuh ringan, di mana ia pun sempat memasang kuda-kuda, ia mendesak Liang An.
Dua lawan Liang Ie pun sama kuatnya, ia telah menggeser tubuhnya, tangan
kirinya menangkis, tangan kanannya membalas menyerang, dengan ke dua jari
tangannya ia menotok jalan darah Khi-hay-hiat dari penyerangnya yang galak itu.
Liang Ie terkejut. Waktu itu
Liang An pun terkejut sekali, karena ia melihat betapa dirinya tengah terdesak,
lalu menyaksikan Liang Ie pun terancam keselamatan jiwanya.
Terlebih lagi Liang Ie. Ia
tidak menyangka musuhnya demikian hebat. Ia menarik pulang tangannya sebelum
mengenai sasarannya, dan memakai untuk menangkis berbareng dengan mana iapun
melompat ke kiri.
Waktu itu lawannya ingin
menyelamatkan diri. Ia juga melompat ke kanan dengan gesit.
Sedangkan Ko Tie yang tengah
menyaksikan semua itu, telah memuji akan kebolehan dari Liang An dan
kawan-kawannya. Kepandaian mereka memang tidak rendah.
Setelah itu terdengar tertawa
dingin dari Liang An, yang tertawanya menyeramkan sekali.
“Aku tidak menyangka, bahwa
Thian-san-ngo-kui (Lima Setan dari Thian-san) merupakan manusia tidak tahu
malu. Namanya yang begitu terkenal di dalam kalangan Kang-ouw ternyata hanya
sia-sia belaka, karena mereka merupakan manusia yang tidak tahu malu, yaitu
hitam memakan hitam!
“Sekarang cepat kalian mengeluarkan
peti emas dan mutiara untuk membeber itu di muka kaum rimba persilatan. Dengan
demikian ada jalan buat kalian berdamai dengan kami Sam-lang-hun!”
Mendengar perkataan Liang An
itu, diam-diam Ko Tie berkata di dalam hatinya “Hemmmmm, kiranya kalian
merupakan satu bangsa dan satu aliran! Jika begitu, Sam-lang-hun juga bukan
sebangsa manusia baik-baik!”
Di saat itu lawan Liang An
telah tertawa lebar keras sekali. Iapun telah menyambut perkataan lawannya
dengan tertawa mengejek dan sikap tidak memandang sebelah mata.
“Saudara Liang, kau keliru!
Harta itu bagian yang menemukannya, dan siapa yang memperolehnya, dialah yang
lihay! Kalian harus menyesalkan kepandaian kalian yang memang tidak mahir dan
dangkal! Barang yang telah diperoleh dan telah berhasil dirampas kembali!
“Siapakah yang hendak kalian
sesalkan? Bahkan di waktu itu, karena mengingat kalian sesama rekan, maka kami
sudah tidak mau mencelakai kalian!
“Siapa duga sekarang.
Perbuatan baik-baik dari kami tidak memperoleh balasan yang baik. Buktinya
kalian berani datang kemari!
“Hemmmm, kalian muncul ke mari
untuk mengacau! Karena itu, apakah kalian berpikir bahwa kalian semua dapat
berdiam lama-lama di sini?!”
Liang An jadi gusar bukan
main, hanya belum lagi ia membuka mulut, ia sudah didului oleh Liang Oh. Dia
memang paling sabar di antara Sam-lang-hun, tapi sekarang tidak menguasai diri
lagi. Ia segera juga melompat ke depan musuh dan berkata nyaring:
“Kau mengatakan bahwa kami
rekanmu, siapakah sebenarnya rekanmu? Kami Sam-lang-hun, kamilah laki-laki
sejati! Benar kami menjadi penjahat dan mengambil aliran hitam, tapi cuma
merampas harta. Kami biasa menghindar untuk melukai atau membunuh orang!
“Kami tidak seperti kalian,
orang-orang dengan muka manusia tetapi berhati binatang! Bukan saja kalian
telah merampas barang yang diperoleh kami, malah kalian juga sudah membunuh
habis tua dan muda.
“Segera kalian memfitnah kami!
Apakah maksud yang sebenarnya dari kalian?!”
Baru saja Liang Oh menutup
mulutnya, lawannya sangat murka, dan melangkah maju. Namun nenek-nenek tua yang
bersamanya telah melompat ke depan. Ia berada lima tombak jauhnya, tapi sekejap
mata saja ia telah sampai di dekat Liang Oh.
Menyaksikan kegesitan nenek
tua tersebut, bukan main kagumnya Ko Tie. Itulah gin-kang yang benar-benar
sangat tinggi.
Sedangkan lima orang lawan
dari Sam-lang-hun dengan mata yang mendelik bengis mata mereka memancarkan
sinar yang mengandung hawa pembunuhan.
Waktu itu si nenek tua telah
berkata dengan sikap dan suara yang aseran.
“Sahabat-sahabat, kalian masih
belum mengetahui aturan yang diadakan di Kwee-san-cung ini,” katanya kemudian
dengan suara yang dingin.
“Adalah aturan kami, setelah
bekerja, kami harus menutup mulut orang, guna mencegah ancaman malapetaka di
belakang hari! Kalian tokh bukan orang-orang yang tersangkut dalam persoalan
tersebut. Buat apa tampil ke muka, untuk mendesak kami?
“Benar apa yang dikatakan
anakku ini, maka cepatlah kalian angkat kaki berlalu dari sini. Karena semakin
cepat kalian angkat kaki, semakin baik pula buat kalian! Hari ini aku si nenek
tua tidak mau membuka larangan membunuh.”
Belum lagi Liang An atau juga
salah seorang di antara ke dua saudaranya itu, menjawab akan perkataan nenek
tua tersebut, dari arah rumah terlihat seseorang berlari-lari mendatangi.
Setelah datang dekat, dia berbisik kepada salah seorang lawan Liang An tadi.
Dia tampaknya jadi kaget bukan main.
“Ibu....., ada bahaya di rumah
kita!” ia bilang dengan segera. “Anak Su, keadaannya terancam sekali! Ia telah
diculik! Sam-lang-hun tidak dapat dibiarkan hidup, maka dari itu cepatlah
bereskan mereka!”
Muka Thian-san-ngo-kui tampak
berobah bengis, ia terkejut berbareng marah sekali. Dengan tiba-tiba saja
mereka telah mengambil sikap mengepung.
Sedangkan si nenek tua itupun
telah menggerakkan tongkatnya, melintang menyerang kepada Sam-lang-hun. Ia
mempergunakan jurus “Naga gusar menggoyangkan ekor”. Hebat serangan itu,
anginnya tongkat tersebut sampai menderu-deru dahsyat sekali.
Sam-lang-hun tidak menyangka
mereka akan diserang secara begitu. Ketika itu mereka tengah berbaris bertiga.
Tapi mereka tabah dan cukup lihay, dengan serentak mereka melompat mundur, lalu
menghunus senjata masing-masing.
Waktu itu Ko Tie melihat salah
seorang dari Thian-san-ngo-kui telah berlari ke arah rumah. Ia menduga tentunya
Giok Hoa yang berhasil untuk mengacaukan keadaan di dalam rumah itu.
Ia segera bermaksud untuk
menyusul. Akan tetapi belum lagi ia bertindak, ia ingat pesan si gadis, untuk
tidak melenyapkan kepercayaan terhadap Sam-lang-hun.
Sekarang ia memperoleh
kenyataan, walaupun sama-sama beraliran hitam dan dari kalangan penjahat,
Sam-lang-hun berbeda dari Thian-san-ngo-kui tampaknya memang memiliki tangan
yang telengas dan hati yang kejam sekali.
Ketika Ko Tie tengah berpikir
seperti itu, ia melihat si nenek sudah menyerang hebat kepada Sam-lang-hun,
yang seperti dikurung oleh tongkatnya nenek tersebut. Jago wanita yang sudah
tua itu mau menuruti perkataan dari Thian-san-ngo-kui, karena ia tidak hendak
memberikan kesempatan hidup lagi kepada Sam-lang-hun, di mana ia menyerang
begitu hebat, karena ia bermaksud untuk membunuh ke tiga orang itu.
Sedangkan Sam-lang-hun
benar-benar lihay. Dengan segera mereka mengadakan perlawanan. Merekapun tidak
sudi kena dikepung. Serangan mereka ganas semuanya.
Demikianlah mereka bertempur
sampai belasan jurus.
Rupanya, setelah berselang
sesaat lagi, habislah sabarnya nenek tua itu. Dia bilang dengan suara yang
nyaring:
“Kalian bertiga tidak tahu
gelagat harus mundur atau maju. Maka kalian jangan sesalkan aku si wanita tua
tidak mau berbuat baik lagi!”
Kata-kata itu dibarengi dengan
rambutnya pada menegak berdiri dan ke dua matanya bersinar sangat bengis.
“Hemmm,” Sam-lang-hun
mendengus. Bukannya mereka mundur, malah mereka berusaha merangsek maju.
Walaupun begitu, maka mereka
tenang. Hati mereka saja yang gentar melihat kelihayan nenek tua tersebut.
Mereka berusaha menghadapi
serangan si nenek tua itu dengan sebaik-baiknya, dengan tenang, tapi di dalam
hati, mereka gentar dan kuatir sekali. Sebab memang mereka mengetahui
kepandaian nenek tua ini berada di atas kepandaiannya.
Si nenek tua itu telah segera
membuktikan ancamannya. Ia menyerang dengan tangan kanannya, yang diluncurkan
dengan cepat sekali.
Sam-lang-hun segera merasakan
tubuhnya seperti tertolak keras, sehingga tubuh mereka terhuyung, hanya
sedikit, mereka berdiri pula dengan tegak. Liang An menyerang dengan
Coa-tauw-pian, cambuknya yang berkepala ular-ularan. Ia mencari jalan darah
Kie-bun. Sedangkan Liang Ie telah mempergunakan tempulingnya, yaitu
Sam-leng-ngo Bie-ce, menikam ke jalan darah Hok-kiat.
Dan Liang Oh, dengan sebat
sekali telah mempergunakan tombak Long-gee-sok, menusuk jalan darah Giok-cim di
batok kepala, untuk mana ia sudah mencelat dengan gerakan tubuh yang sangat
ringan ke belakang si nenek. Maka terancamlah nenek tua itu.
Tidak kecewa nenek tua itu
menjadi jago di kalangan Kang-ouw yang disegani. Walaupun ia seorang wanita
yang usianya sudah lanjut, hatinya tabah, tubuhnyapun cukup gesit, di samping
memang kepandaiannya sangat tinggi.
Ia telah memutar tongkat
dengan jurus “Badai Mengibas Yang-liu”, dengan begitu, satu kali bergerak saja
ia dapat menutup dirinya membuat gagal serangan dari ke tiga orang lawannya,
walaupun serangan ke tiga lawannya itu merupakan serangan yang hebat sekali dan
seharusnya sulit dipunahkan.
Waktu itu jago tertua dari
Thian-san-ngo-kui telah pergi jauh, ia segera disusul dengan tiga orang jago
Thian-san-ngo-kui lainnya. Mereka berempat meninggalkan tempat itu, karena
mereka yakin nenek tua itu akan dapat menghadapi dan melayani Sam-lang-hun.
Yang masih menanti adalah
beberapa orang anak buah mereka, yang umumnya mengagumi akan ilmu tongkat nenek
tua tersebut. Dan juga Thian-san-ngo-kui yang terkecil, yang tetap berdiam di
situ, Thian-san-ngo-kui yang ke lima yang bungsu.
Sam-lang-hun terkejut sekali.
Ilmu silat musuh mereka yang tua ini membuat mereka tidak dapat menyerang
masuk.
Senjata mereka juga setiap
kali tertangkis tentu terpental, sehingga sering-sering tubuh mereka jadi
terbuka. Mereka tahu itulah ancaman bahaya yang tidak kecil buat mereka.
Dugaan dari Sam-lang-hun,
cepat juga jadi kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan sanggup menghadapi
nenek tua tersebut, yang sangat lihay. Tidak berselang lama, tampak si nenek
tua itu tanpa ingin memperlambat waktu lagi, telah meluncurkan tangan kanannya,
dari kanan ke kiri, ia menabas dengan jurus “Menyapu Tentara Seribu Jiwa”.
Untuk merubuhkan ke tiga musuhnya itu, ia berpikir untuk tidak berlaku sungkan
lagi dan tentu saja dibutuhkan tangan besi.
Sam-lang-hun kaget tidak
terkira, semuanya segera juga melompat mundur. Disaat itulah, senjata mereka
sudah tersampok mental, sehingga tubuh mereka jadi kosong. Mereka semua
melompat dengan cepat akan tetapi angin pukulan dari nenek tua itu tokh tetap saja
mengenai pundak mereka……
Tiba-tiba sekali terdengarlah
suara siulan yang jernih dan panjang. Dikala Sam-lang-hun terancam bahaya
terlihat sesosok tubuh melompat bagaikan terbang, sehingga dia tampaknya
seperti bayangan.
Dikala itu Sam-lang-hun jadi kaget
dan heran. Mereka bebas dari serangan angin pukulan si nenek yang begitu hebat.
Tubuh mereka juga terpental tiga tombak, sehingga mau atau tidak mereka
terhuyung, dan akhirnya rubuh.
Walaupun demikian mereka,
mereka tidak takut bahkan mereka merasa lega hati. Jelas, mereka telah
ditolongi oleh seseorang, keluar dari pintu akherat.
Setelah melompat bangun dan
melihatnya, mereka jadi girang. Di depannya si nenek berdiri si pemuda yang
mereka ketahui sangat lihay.
Dialah Ko Tie, yang berdiri
tenang, sedangkan si nenek tua itu telah mendelik padanya. Namun Ko Tie berdiri
dengah sepasang tangan yang digendong, sikapnya sabar sekali, hanya wajahnya
belaka yang tampak keren dan berwibawa.
Si nenek tua sudah kena
dipaksa mundur sampai dua tindak ke belakang. Karenanya dia heran dan
tercengang bukan main. Dia merasakan bahwa tenaga dalam pemuda ini kuat luar
biasa.
Waktu dia mengawasi pemuda
yang berdiri di depannya dia bertambah heran. Dia melihat orang yang masih
berusia muda sekali. Tentu saja dia tidak mengetahui orang tengah memakai
topeng. Dia pun jadi murka bukan main.
“Bocah, hendaklah kau
mencampuri urusanku si orang tua?” dia menegur bengis.
Ko Tie tertawa, ia sikap
memandang remeh kepada nenek tua itu.
Sedangkan nenek tua itu
menantikan jawaban. Sambil menanti, ia mengawasi tajam, bengis dan sinar
matanya mengandung hawa pembunuhan.
Dia benar-benar tidak puas
terhadap pemuda ini, untuk sikapnya yang menghina itu. Tapi dia tidak dapat
membaca hati orang dan juga tidak tahu siapa pemuda ini, tidak mengetahui asal
usulnya.
Ko Tie berkata juga kemudian,
dengan suara yang tawar dan perlahan.
“Nenek tua, bukankah engkau
yang di dalam rimba persilatan dinamakan Jie Sian (Dewi Kedua)?” tanya Ko Tie
kemudian dengan sikap yang tawar!
“Dan kukira, aku tidak akan
perduli dengan urusan kalian! Aku tidak mau tahu apa urusan kalian ke dua belah
pihak. Aku datang untuk urusan lain.
“Aku hendak bertanya kepada
kau. Apakah dengan mengandalkan kepandaianmu itu, yang kau anggap sangat lihay,
engkau satu-satunya orang yang paling pandai dan memiliki kepandaian tertinggi
di dalam rimba persilatan?”
Waktu itu angin berhembus dan
membawa hawa hangat. Sinar matahari memancar cukup keras. Hawanya panas!
Akan tetapi tanpa merasa,
nenek tua itu menggigil keras, seperti juga ia tengah kedinginan, karena ia
memang sangat murka bukan main. Sedapat mungkin ia berusaha bersikap tenang
menindih kemarahannya yang seakan juga hendak meledakkan dadanya, membuat
tubuhnya itu menggigil.
“Benar! Jika engkau tidak
berhasil merubuhkan aku, berarti akulah satu-satunya orang terpandai di dalam
kalangan Kang-ouw!
“Tapi kukira engkau tidak
layak untuk beradu tangan dengan nenekmu. Engkau perlu kembali lagi kepangkuan
ibumu, buat minta menetek!
“Hemmm, bocah masih bau popok,
ternyata engkau tidak mengenal tingginya langit dan tebalnya bumi! Baiklah!
Justru aku yang akan membuka matamu, agar engkau mengetahuinya. Betapapun juga,
memang engkau perlu memperoleh hajaran yang pantas.....”
Kata-katanya itu belum lagi
habis nenek tua tersebut, yang disebut oleh orang rimba persilatan sebagai Jie
Sian, sudah tidak bisa membendung lagi kemarahan hatinya. Ia telah membentak
bengis, mengandung hawa pembunuhan, disusul dengan tubuhnya yang melesat gesit
sekali, tubuhnya seperti bayangan, tangan kirinya telah menyerang, angin
serangan itu berkesiuran dahsyat, sedangkan tongkatnya itupun menderu-deru
dengan hebat.
Dengan demikian, tampaknya
memang nenek tua itu, bermaksud sekali menyerang dia sudah bisa membunuh Ko
Tie.
Ko Tie tetap berdiri tenang di
tempatnya. Walaupun Jie Sian telah melompat dalam jarak yang begitu dekat
dengannya.
Malah, angin serangan tangan
kirinya dan tongkatnya telah mulai menerjang dirinya dengan dahsyat. Ko Tie
hanya memperhatikan dengan sinar mata yang sangat tajam sekali kepada nenek tua
itu di mana ia ingin menantikan sampai serangan dari nenek tua itu benar-benar
dekat dengannya.
Setelah serangan nenek tua
tersebut dekat sekali, Ko Tie tidak berdiam diri terus. Karena iapun untuk
mempertahankan diri telah membarengi ketika Jie Sian menarik dengan keras, ia
mengerahkan tenaga di tiga jarinya. Lalu:
“Takkk!” maka patahlah ujung
tongkat sepanjang lima dim. Ia terus melemparkan patahan itu, yang terbang
meayambar batang pohon yang tidak jauh dari mereka, menancap masuk ke dalamnya!
Semua orang yang menyaksikan
kejadian itu jadi kaget dan heran. Semuanya sampai menahan napas dan muka
mereka pun telah berobah.
Diam-diam Jie Sian menyedot
napas dingin. Benar-benar ia tidak menyangkanya. Karena itu, mendadak sekali ia
melemparkan tongkatnya yang sudah buntung, dengan ke dua kakinya segera
menjejak tanah. Ia melompat mundur ke luar dari kalangan.
Disaat semua orang heran
menyaksikan sikap si nenek Jie Sian, waktu itu Ko Tie segera berpikir: “Kukira
aku telah cukup melayaninya. Aku tidak perlu buang-buang waktu untuk ini!”
Karena berpikir seperti itu,
segera juga Ko Tie mengeluarkan siulannya yang nyaring. Tahu-tahu tangan
kanannya telah bergerak lagi, mengibas dengan mempergunakan Tenaga Inti Es nya,
yang menimbulkan sambaran angin yang sedingin es.
Kemudian tubuhnya juga melesat
tidak menghiraukan nyonya tua ini, ia melompat buat terus lari ke arah rumah.
Bagaikan terbang melayang ia lewat di depan nyonya tersebut.
Jie Sian terkejut sekali,
karena tubuhnya menggigil kedinginan. Sambaran angin kibasan tangan dari Ko Tie
mendatangkan hawa yang sedingin es. Ia memang memiliki lweekang yang tinggi,
maka ia masih bisa mempertahankan diri tidak sampai rubuh.
Yang membuat ia lebih kaget
lagi, sekarang anak buahnya yang berada di belakangnya, dengan mengeluarkan
suara jeritan yang lirih, terjungkal rubuh dengan tubuh yang kaku dan juga
telah diselubungi oleh lapisan es yang tipis! Itulah akibat anak buah Jie Sian
kena disambar oleh angin pukulan Inti Es nya Ko Tie.
Dan kembali Jie Sian lebih
kaget, sebab waktu itu tubuh Ko Tie berkelebat di depannya seperti bayangan
saja. Belum lagi ia bisa berpikir, di waktu itu si pemuda telah pergi jauh!
Tapi sebagai seorang jago tua
yang memiliki kepandaian tinggi, Jie Sian dapat menentukan dalam waktu yang
singkat, apa yang harus dilakukannya! Ia melompat dengan gesit menyusul Ko Tie,
dan tangan kanannya menghantam punggung Ko Tie.
Namun Ko Tie tidak
menghiraukan serangan itu, ia cuma menangkis ke belakang dengan tangan kirinya,
ke dua kakinya berlari terus.
Akibatnya memang hebat buat
Jie Sian. Ia menyerang sangat keras sekali, kesudahannya ia sendiri yang
tertolak mundur dua tindak, sampai dia menjerit saking kagetnya, heran dan
kagum sekali.
Sekarang Jie Sian tidak
tercengang lagi, maka itu, iapun segera mengejar pula. Karena kini ia diliputi
penasaran dan murka yang bukan main.
Waktu itu di dalam
Kwee-san-cung terlihat asap mengepul di empat penjuru, api tampak mulai
berkobar-kobar tinggi sekali.
Ko Tie segera sampai di dalam.
Ia mendapatkan sebuah rumah yang besar dan indah, yang tiang-tiangnya
berukiran, tetapi tidak sempat ia menikmati itu semua, ia masuk terus mencari
Giok Hoa.
Ia telah `menemui beberapa
orang yang rebah di lantai, tangan dan kaki mereka patah, tapi jiwa mereka
belum lenyap. Hanya darah berlepotan. Di antara mereka juga terdengar rintihan
yang menyayatkan hati.
Ia mengerti pasti Giok Hoa
sudah membuka pantangan membunuh dengan mengerjakan pedangnya. Waktu Ko Tie
masuk lebih jauh ke dalam, ia masih menemukan orang-orang yang terluka, mungkin
sebanyak limapuluh orang. Di antaranya ada beberapa orang wanita, yang semuanya
merintih dan menangis.
Di sudut tembok, di luar, ia
melihat seorang anak kecil tengah merengket ketakutan. Ia menghampiri dan
bertanya dengan bengis sekali.
“Apakah kau melihat seorang
nona…… akh…… seorang pemuda yang membawa pedang?”
Hampir ia membuka rahasia Giok
Hoa. Bukankah Giok Hoa telah menyamar sebagai seorang pemuda?
Bocah itu tengah ketakutan
bukan main. Dia juga merengket sambil menangis, maka dari itu tidak bisa ia
menyahuti pertanyaan Ko Tie. Tubuhnya menggigil dan matanya yang basah oleh air
mata itu terbuka lebar-lebar.
“Kau mau bicara atau tidak?”
bentak Ko Tie dengan sikap bengis.
Anak kecil itu tambah
ketakutan, tapi sekarang dapat juga ia berkata: “Jangan gusar tuan..... jangan
bunuh aku…… dia telah membawa puteri Su……. Ia pergi lari cepat sekali!”
“Dia lari ke mana?” tanya Ko
Tie menegaskan.
“Aku….. aku tidak tahu……
setelah melukai orang, ia pergi……. aku hanya melihat ke empat Chung-cu muda
bersama dua tosu mengejarnya, dan baru saja Chung-cu (kepala kampung) pergi
menyusul.”
Ko Tie segera menduga, tentu
yang dimaksudkan dengan bocah itu sebagai Chung-cu adalah Kwee Lu. Ia
mengangguk dan tanpa membuang waktu lagi, segera tubuhnya melesat untuk
meninggalkan tempat itu.
Di belakangnya Jie Sian
bersama orang-orangnya tengah berlari menyusul! Wanita tua itu
berteriak-teriak,
“Binatang, kau telah membunuh
orang dan membakar rumah, apakah kau dapat meloloskan diri secara demikian
mudah?”
Ko Tie mengerutkan alis!
Kedatangannya Giok Hoa ke tempat ini adalah untuk membasmi orang-orang Kwee Lu!
Tapi tentu saja yang
terpenting sekali adalah Kwee Lu, sedangkan anak buahnya hanya bisa dinasehati
dan dibubarkan, tidak perlu mereka dibunuh. Namun melihat betapa Jie Sian dan
anak buahnya mengejar terus, habislah kesabaran Ko Tie.
Ia berhenti berlari. Kemudian
dengan segera ia memutar tubuhnya. Ia telah melompat ke depan Jie Sian!
Bukannya dia menyingkir,
sekarang malah dia telah memapaknya, dimana begitu ke dua kakinya hinggap,
seketika ia menghantam dengan saling susul mempergunakan ke dua tangannya.
Dan sekali ini memang Ko Tie
tidak tanggung-tanggung dalam mempergunakan Pukulan Inti Es nya, di mana dari
kedua telapak tangannya itu menyambar angin yang sangat dingin sekali, dan
membuat semua orang pengejarnya jadi menggigil keras.
Ma1ah dua orang di antara
mereka yang memang kepandaiannya paling rendah, telah rubuh terjungkal, di mana
mereka terbungkus oleh lapisan es yang tipis. Merekapun pingsan tidak sadarkan
diri.
Jie Sian menggigil, namun ia
bisa menolak hawa dingin itu dengan mengerahkan lweekangnya. Dia berusaha untuk
mengejar terus, maju ke depan.
Waktu itu jarak mereka memang
terpisah tidak begitu jauh. Dengan bengis dan bernafsu sekali Jie Sian
menghantam saling susul dengan ke dua tangannya.
Dia telah mempergunakan
sebagian terbesar tenaga dalamnya, karena memang dia tengah penasaran dan juga
murka sekali. Itulah sebabnya dia menghendaki dengan pukulannya ini dapat membunuh
Ko Tie.
Ko Tie mendengus
memperdengarkan suara tertawa dingin. Tahu-tahu ke dua tangan pemuda itu
memapak tangan nenek tua itu, cepat dan sebat sekali, sukar diikuti oleh
pandangan mata. Bahkan Jie Sian sendiri tidak bisa melihat jelas arah sambaran
ke dua tangan pemuda itu, yang tahu-tahu telah berhasil mencekal kuat sekali ke
dua pergelangan tangannya!
Waktu Ko Tie mengempos
semangatnya, maka terdengarlah suara “Kreekkk, kreekkk,” berulangkali.
Tulang-tulang di seluruh tubuh Jie Sian telah patah dan hancur.
Waktu Ko Tie melepaskan
cekalannya,tubuh nenek tua itu lunglai lesu tidak bergerak lagi. Setelah
terbanting di tanah napasnya telah putus!
Semua orang Kwee-san-cung
berdiri tertegun, ngeri dan gentar. Mereka tidak menyangka pemuda ini demikian
tangguh. Mereka berdiam sejenak, sampai akhirnya tersadar waktu Ko Tie
membentak dengan suara dan sikap bengis:
“Kalian jika tidak mau
cepat-cepat meninggalkan dunia kejahatan ini, dan insyaf menjadi manusia benar,
maka kalian akan menemui kematian yang sama mengerikan seperti nenek tua itu!”
Tidak berjanji lebih dulu,
anak buah Kwee san-cung seketika menekuk lututnya. Dan mereka telah sesambatan
meminta jiwa mereka diampuni.
Di antara mereka bahkan ada
yang menangis menyebut-nyebut anak isterinya, dan mohon diampuni.
“Baiklah!” kata Ko Tie
kemudian. “Memang aku menghendaki agar kalian insaf dan menyadari apa yang
selama ini kalian lakukan adalah salah. Karena dari itu, jika memaag kalian mau
tersadar dari kekeliruan itu, kalian akan kuampuni! Pergilah!
“Tapi ingat, kalau kelak
kalian bertemu denganku lagi, dan ternyata kalian masih bergelimang di antara
kejahatan, di waktu itu aku tidak akan mengampuni lagi kalian……!”
Semua anak buah Kwee-san-cung
mengucapkan terima kasih mereka! Baru saja mereka bangkit dan hendak
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba sekali Ko Tie membentak: “Tahan!”
Muka mereka seketika berobah
pucat, tubuh mereka menggigil, karena mereka menduga Ko Tie telah merobah
keputusannya.
“Kalian juga mengajak
kawan-kawan kalian yang lainnya untuk insyaf dengan segera meninggalkan tempat
ini! Dalam waktu dekat ini, jika aku masih melihat ada orang di Kwee-san-cung
ini, berarti dialah seorang yang tidak mau insyaf dan dia perlu dibinasakan!”
Semua anak buah Kwee-san-cung
itu mengiyakan, tergesa-gesa mereka berlalu buat mengemasi barang-barang
mereka, sambil mengajak kawan-kawan mereka yang lainnya.
Ko Tie telah mendengar juga
bahwa Kwee Lu merupakan seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi dia tidak
memandang sebelah mata.
Karena ia yakin akan dapat
merubuhkan orang she Kwee itu, yang selama ini merupakan momok buat penduduk di
sekitar tempat itu, main bunuh, memperkosa dan merampok. Itulah sebabnya
mengapa Ko Tie bersama Giok Hoa telah memutuskan datang ke sarangnya Kwee Lu
buat menumpasnya.
Setelah melihat semua anak
buah Kwee-san-cung itu pergi, Ko Tie berlari lagi dengan pesat, di mana ia
hendak mencari Giok Hoa.
Waktu itu berkelebat sesosok
bayangan yang gesit sekali, dibarengi juga dengan berkelebat sinar putih di
depan muka Ko Tie. Itulah penyerangan dengan senjata tajam.
Ko Tie awas dan iapun memang
lihay, karenanya segera juga ia menyentil.
Ternyata golok yang menyambar
kepadanya kena disentil jauh terpental dari mukanya, hampir saja terlepas dari
cekalan orang yang baru muncul itu. Terdengar seruan tertahannya.
Ko Tie sekarang telah
melihatnya, penyerangnya itu, tidak lain adalah seorang lelaki tua berusia
antara limapuluh lima tahun, dengan kumis dan jenggot yang telah berwarna putih
semuanya, juga tampak betapa mukanya bengis sekali.
“Hemmm, kau kira mudah lolos
dari Kwee-san-cung?” bentak orang tua itu. “Cepat katakan, di mana kawanmu yang
menculik anakku itu?”
Seketika Ko Tie menduganya,
tentunya orang tua ini, adalah Kwee Lu. Dan yang diculik oleh Giok Hoa tentunya
puterinya, yaitu yang disebut sebagai anak Su.
Dengan tertawa dingin, Ko Tie
telah berkata tawar: “Ohh. kiranya aku tengah berhadapan dengan seorang
pendekar besar Kwee Lu, bukankah benar dugaanku?”
“Tidak salah! Jangan harap kau
bisa lolos dari tanganku! Kwee Lu bukan seorang mudah diperhina dan
dipermainkan!”menjawab orang itu bengis, dan memang dia tidak lain dari Kwee
Lu.
Sambil tertawa keras, tubuh Ko
Tie tergoncang. Ia kemudian bilang, tidak kalah bengisnya:
“Bagus! Memang engkau tengah
kucari! Telah luber dari takaran kejahatan yang engkau lakukan, karena itu,
engkau harus dihajar dan dimusnahkan!”
Setelah berkata begitu, Ko Tie
kembali memperdengarkan suara tertawa mengejek, sama sekali dia tidak memandang
sebelah mata kepada orang she Kwee ini.
Kwee Lu tidak membuang waktu
lagi. Disertai raungannya yang penuh kemurkaan, mukanya juga merah padam karena
marah. Goloknya telah berkelebat berulang kali menyambar kepada Ko Tie.
Ko Tie menghindari serangan
senjata lawan. Di dalam hatinya ia berpikir: “Hemmm, memang tidak kecewa ia
memiliki nama yang cukup ditakuti, tidak tahunya ilmu goloknya memang hebat
juga!”
Setelah berpikir begitu,
dengan ringan, tubuh Ko Tie tahu-tahu berkelebatan seperti mengelilingi Kwee
Lu, membuat mata Kwee Lu jadi kabur dan berkunang-kunang. Dia kaget tidak
terkira.
Dan belum lagi dia bisa
memutuskan apa yang harus dilakukannya, selain memutar goloknya buat menutup
dirinya, di saat itulah terlihat betapa tubuh Ko Tie telah melambung tinggi
sekali ke tengah udara. Dan tahu-tahu telapak tangan kanan Ko Tie telah menepuk
pundak Kwee Lu.
Tepukan yang dilakukan Ko Tie
tampaknya perlahan, akan tetapi kesudahannya memang sangat luar biasa sekali.
Di mana jalan darah yang ditepuk oleh Ko Tie adalah jalan darah Kie-bun,
sehingga seketika dari mutut Kwee Lu menyembur darah yang banyak sekali.
Matanya mendelik, mulutnya
terbuka dan lidahnya terjulur ke luar. Kemudian ia rubuh terguling di tanah
tanpa bernapas lagi!
Ko Tie mengeluarkan tertawa
yang nyaring, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat tersebut.
Berlari belum lagi begitu
jauh, tampak beberapa sosok tubuh tengah berlari dengan gesit sekali, disertai
juga dengan bentakan-bentakan mereka yang sangat berisik sekali.
Waktu Ko Tie menegasi,
ternyata Giok Hoa sambil menggendong seorang gadis kecil berusia tiga atau
empat tahun. Dengan di tangan kanannya tercekal sebatang pedang yang diputarnya
sangat cepat bergulung-gulung, tengah berlari dengan dikejar oleh empat orang.
Mereka tidak lain dari Thian-san-ngo-kui, empat orang dari ke lima
Thian-san-ngo-kui.
Tanpa membuang waktu lagi Ko
Tie menjejak ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke depan seperti bayangan saja.
Dengan tidak diketahui lagi oleh ke empat orang Thian-san-ngo-kui segera juga
tubuhnya meluncur turun dengan ke dua tangannya bekerja.
“Aduhhhh! Aduhhh!” beruntun
terdengar suara jeritan dari ke empat orang Thian-san-ngo-kui, karena tubuh
mereka segera terjungkal rubuh dan terbinasa!
Giok Hoa girang bukan main
ketika melihat munculnya Ko Tie.
“Engko Tie!” berseru si gadis,
yang segera menghampiri.
“Mengapa kau menculik anaknya
Kwee Lu?” bertanya Ko Tie tidak mengerti.
“Dia…... dia akan kupergunakan
sebagai pancingan, karena tadi penjagaan di dalam sangat ketat sekali, aku
sengaja menculiknya buat perisai belaka……!” menjelaskan Giok Hoa sambil
tersenyum.
Ko Tie mengangguk tanda
mengerti.
Giok Hoa waktu itu menurunkan
gadis kecil itu, Ko Tie telah menceritakan bahwa ia telah membereskan Jie Sian,
juga Kwee Lu. Hanya tinggal Thian-san-ngo-kui yang bungsu, yang belum kelihatan
mata hidungnya.
“Dia tentu bersembunyi, karena
dia mengetahui, tidak mungkin dia bisa menghadapi kita!” begitu kata Giok Hoa
menjelaskan.
“Ya!” Ko Tie mengangguk,
“Tapi, kita telah cukup menumpas Kwee Lu dengan pembantu-pembantunya. Anak buahnya
telah kuperintahkan agar bubar, tentu tidak ada kejahatan yang terjadi lagi di
sekitar tempat ini.....”
Baru saja Ko Tie berkata
sampai di situ, mendadak dia merasakan sambaran angin yang kuat sekali dari
arah belakangnya. Ia lihay, tanpa menoleh, dengan menekuk kaki kanannya,
tahu-tahu tubuhnya itu berjongkok sambil berputar dan tangan kanannya meluncur
ke atas, dengan ke lima jari tangannya terbuka.
“Bukkkk!” nyaring sekali
telapak tangan Ko Tie telah menghantam dada penyerang gelap itu, yang rupanya
hendak membokongnya. Karena ia menyerang dengan melompat, telak sekali telapak
tangan Ko Tie menghantam dadanya.
Tulang dadanya juga terdengar
berbunyi, tubuhnya ambruk di tanah. Dia tidak lain adalah Thian-san-ngo-kui
yang ke lima, yang bungsu.
Ko Tie menghela napas.
“Tugas kita telah
selesai....!” kata Ko Tie kemudian. “Tapi bagaimana dengan anak ini? Kwee Lu
sudah.....!”Ko Tie tidak meneruskan perkataannya, karena dia telah menoleh
mengawasi gadis kecil itu.
Sedangkan Giok Hoa
menggaruk-garuk kepalanya.
“Kupikir ada baiknya dia kita
serahkan kepada salah seorang penduduk di sekitar tempat ini!” berkata Giok Hoa
kemudian.
“Dengan demikian, ada baiknya
juga buat anak ini, karena ayahnyapun ia kelak akan menjadi manusia yang jahat.
Untung dia telah dapat disingkirkan dari ayahnya, yang telah berhasil kita
tumpas. Kalau memang anak ini memperoleh didikan dan bimbingan dari orang yang
baik-baik, kelak tentunya dia menjadi gadis yang manis dan jiwanya baik…...!”
Ko Tie menyetujui pikiran Giok
Hoa. Ia segera mengajak si gadis buat meneruskan perjalanan mereka meninggalkan
tempat itu.
Mendadak sekali berlari-lari
mendatangi tiga orang, yang berseru-seru: “Ji-wi Siauwhiap, jangan pergi dulu!”
Ko Tie dan Giok Hoa menoleh.
Tidak lain ke tiga orang itu adalah Sam-lang-hun.
Cepat sekali mereka tiba di
depan Ko Tie dan Giok Hoa. Mereka tersenyum-senyum, di mana baju mereka tampak
berat dan padat terisi sesuatu.
Ko Tie tersenyum, karena
segera juga ia dapat menduganya. Tentunya di saku mereka itu terisi barang-barang
permata rampasan mereka di dalam rumah Kwee Lu.
“Berkat bantuan jiwi siauwhiap
berdua, maka kami berhasil memperoleh bagian kami!” berkata mereka dengan
tersenyum-senyum.
“Dan memang kami bermaksud
hendak menyatakan terima kasih kami kepada ji-wi siauwhiap berdua”.
Ko Tie tetap tersenyum, dia
menepuk ke tiga orang itu bergantian, sambil katanya: “Tidak usah! Tidak usah!
Dilain waktu kalian harus hidup baik-baik, tidak melakukan kejahatan lagi!”
Justeru tepukan dari Ko Tie
membuat tubuh Sam-lang-hun seketika menjadi lemas. Liang An yang ditepuk paling
dulu, segera juga meloso terduduk di tanah, mukanya pucat, kemudian disusul
dengan Liang Ie dan Liang Oh!
“Harta yang ada disaku kalian,
boleh di bawa, buat bekal kalian berdagang dan menuntut penghidupan yang baik!”
kata Ko Tie lagi. “Kalian sebangsa dengan Kwee Lu, seharusnya kalian juga
menerima hukuman yang sama beratnya! Tapi aku hanya memusnahkan kepandaian
kalian, agar kelak kalian hidup baik-baik!”
Setelah berkata begitu, Ko Tie
menarik tangan Giok Hoa, mereka melesat lenyap dari pandangan Sam-lang-hun.
Sedangkan Giok Hoa berlari sambil menggendong gadis kecil itu, puteri Kwee Lu,
yang bernama Kwee Su.
Sam-lang-hun berdiri bengong,
setelah mereka merangkak bangun, mereka tertegun tidak bisa melangkah, karena
merasakan tubuh mereka lemas. Maka mereka hanya bisa mengawasi ke arah mana
tadi Ko Tie dan Giok Hoa pergi.
Dan juga, memang terlihat
jelas sekali, bahwa ke dua pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa
sekali, yang baru pertama kali mereka saksikan seumur hidup mereka.
Di dalam hati mereka berjanji,
kelak untuk menuntut penghidupan baik-baik, karena tidak ada bagusnya buat
mereka, kalau memang mereka masih berkecimpung dalam dunia kejahatan. Sebab
sekarang mereka telah memiliki harta yang cukup buat berdagang dan hidup
baik-baik……
Angin di Kwee-san-cung dingin
sekali, samar-samar terdengar suara air terjun……
◄Y►
Waktu itu musim semi,
pohon-pohon tampak mulai bermekaran dengan indah dan segar. Seluruh
perkampungan Bu-ciu terlihat permai oleh bunga beraneka ragam, yang mulai
bersemi dan juga tampaknya memang seluruh kota penuh oleh keindahan yang ada,
juga wajah penduduk tampak begitu berseri-seri.
Dari arah jurusan barat
Bu-ciu, terlihat dua orang penunggang kuda. Merupakan dua orang pemuda yang
mirip dengan dua orang pemuda kembar. Masing-masing mengenakan baju abu-abu.
Muka mereka sama-sama tampan, sikap mereka sangat gagah.
Hanya mereka memiliki
perbedaan cuma satu, yaitu yang seorang bertubuh langsing, Mereka tidak lain
dari Ko Tie dan Giok Hoa, yang baru tiba di daerah Bu-ciu tersebut, setelah
melakukan perjalanan setengah bulan lebih dari Kwee-san-chung.
Kwee Su telah dititipkan
kepada seorang wanita setengah baya, penduduk di kaki gunung yang bersedia
merawat Kwee Su. Dengan begitu Ko Tie dan Giok Hoa bisa melanjutkan perjalanan
mereka. Dengan gembira.
Memang melakukan perjalanan di
musim semi, di saat bunga bermekaran dan juga hawa udara mulai hangat,
merupakan hal yang menyenangkan sekali. Banyak yang dibicarakan muda-mudi ini
dengan gembira sekali, terdengar tertawa mereka yang mengisi kesunyian
perjalanan mereka.
Hati mereka telah semakin
terpaut dengan sekian lamanya mereka melakukan perjalanan bersama. Ko Tie
semakin mencintai si gadis pujaan hatinya.
Giok Hoa pun semakin tambah
berpengalaman setelah berkelana sekian lama dalam rimba persilatan. Kini iapun
menyadari bahwa ia membutuhkan dan mencintai sekali engko Tie nya tersebut.
Mereka merencanakan buat
singgah di Bu-ciu, beristirahat beberapa hari di sana.
Tanpa Ko Tie dan Giok Hoa
sadari bahwa nama mereka sudah menggemparkan dunia persilatan, karena mereka
telah melakukan beberapa pekerjaan besar dengan menumpas para penjahat. Dan
merekapun telah membuat orang-orang rimba persilatan banyak membicarakan mereka.
Dibasminya Kwee Lu dengan anak
buahnya, tersiar luas sekali. Banyak orang rimba persilatan yang merasa heran,
bahwa telah muncul jago-jago rimba persilatan memiliki kepandaian tinggi
seperti mereka, padahal usia mereka masih muda sekali. Kematian Jie Sian pun
telah menggoncangkan rimba persilatan, karena nenek tua itu adalah seorang
tokoh rimba persilatan yang memiliki nama sangat terkenal.
Terlebih lagi seorang dari
Thian-san-ngo-kui, yaitu yang bungsu sempat meloloskan diri. Ia telah
menceritakan kepada kawan-kawannya dari aliran hitam tentang kemalangan
pihaknya dan kematian Jie Sian.
Tidak mengherankan, diwaktu
itu banyak juga orang-orang dari aliran hitam yang berusaha untuk mencari jejak
Ko Tie dan Giok Hoa, karena mereka hendak membalas sakit hati Kwee Lu dan Jie
Sian.
Nama Ko Tie dan Giok Hoa pun
semakin terkenal. Cuma saja, disebabkan mereka hanya dikenal sebagai “Bie
Siauwhiap dan Un Siauwhiap” seperti yang mereka perkenalkan diri kepada
Sam-lang-hun, dengan demikian dalam rimba persilatan cuma mengenal Bie Un
Ji-hiap.
Tidak seorang pun yang
mengetahui siapa sebenarnya mereka berdua, pemuda luar biasa itu.
Sam-lang-hun cuma menceritakan
kepada kawan-kawannya, betapa Ko Tie dan Giok Hoa melumpuhkan Kwee-san-chung
dengan mudah sekali, mendatangkan kagum luar biasa di kalangan kawan-kawan
Sam-lang-hun.
Memang dimusnahkannya
kepandaian mereka membuat Sam-lang-hun bersakit hati, namun mereka jeri buat
menuntut balas. Banyak kawan-kawannya yang menganjurkan agar Sam-lang-hun
meminta kesediaan dari orang-orang rimba hijau untuk mencari Ko Tie dan Giok
Hoa membalaskan sakit hati mereka.
Namun usul itu telah ditolak
oleh Sam-lang-hun karena mereka yakin, kawan-kawannya itu tidak mungkin bisa
menghadapi Ko Tie dan Giok Hoa.
Demikianlah, Ko Tie dari Giok
Hoa yang tidak mengetahui pergolakan yang tengah terjadi di belakang mereka,
yang tengah mencari jejak mereka dan berusaha menyelidiki siapa mereka
sebenarnya, telah melakukan perjalanan dengan gembira.
Waktu tiba di Bu-ciu, Ko Tie
mengajak Giok Hoa mencari rumah penginapan. Setelah mereka memperoleh sebuah
kamar yang memiliki dua buah pembaringan, mereka memesan makanan yang
enak-enak. Sambil bercakap-cakap dengan gembira, mereka bersantap di dekat
jendela maka dari mana mereka bisa memandang keluar, ke jalan raya.
Menjelang malam, Giok Hoa
mengajak Ko Tie untuk jalan-jalan menyaksikan keramaian kota, dan Ko Tie tidak
menolaknya. Memang sepasang muda mudi yang tengah dilanda asmara itu selalu
saja merasa gembira dan asyik dengan percakapan yang mesra dan juga
menggembirakan, di mana merekapun membicarakan tentang hubungan, juga tentang
masa depan mereka, tentang segala macam hal.
Keadaan di kota Bu-ciu memang
ramai, karena penduduk kota tersebut padat. Di samping itu memang juga terlihat
jelas penduduk kota banyak yang berdagang sampai jauh malam, toko-toko tidak
segera tutup walaupun malam telah cukup larut.
Terlebih lagi rumah makan dan
tempat pelesiran, di mana mereka membuka semalam suntuk. Banyak orang yang
berkumpul di rumah makan di antara sahabat-sahabatnya buat bercakap-cakap,
dengan gembira.
Disamping itu, banyak juga
pengemis yang berkeliaran di kota, terutama sekali di rumah-rumah makan, karena
mereka mengharapkan sekali memperoleh makanan sisa.
Ko Tie dan Giok Hoa telah
mengelilingi kota tersebut sampai mendekati tengah malam. Mereka mendatangi
tempat-tempat yang memiliki pemandangan yang indah permai. Di samping itu
mereka juga telah pergi ke sebuah rumah makan, untuk bersantap malam dengan
perlahan-lahan, bercakap-cakap mesra dan juga membicarakan segala yang serba
indah.
Dilihat dari sikap mereka
berdua, ke duanya seperti sudah tidak pernah dipusingkan oleh urusan rimba
persilatan. Mereka tidak mirip-miripnya sebagai orang Kang-ouw, malah lebih
tidak cocok lagi sebagai orang-orang yang baru-baru ini menggemparkan rimba
persilatan dengan sepak terjang mereka.