Anak rajawali Jilid 24
Jika diperlukan, Cing Kiang
Wie dan Kang Wei hendak menjadikan pasukan tentara kerajaan itu sebagai barisan
pemanah. Buat penyediaan anak panah, jelas sangat banyak sekali.
Di gudang senjata dalam Kota
Lam-yang, belum lagi mencukupi, segera dibuat anak-anak panah dengan
mengerahkan ahli-ahli panah, sehingga meminta waktu buat menyiapkan anak-anak
panah itu dengan jumlah yang diinginkan selama seminggu lamanya.
Tetapi persiapan yang diadakan
buat penyerbuan kepada sarang pemberontak itu telah matang benar. Juga Kiang
Wie dan Kang Wei telah perintahkan beberapa orang ahli silat kelas satu yang
membantu An-busu atau Penguasa Kota Lam-yang, buat pergi menyelidiki, juga
puluhan orang tentara yang terampil diperintahkan mengadakan penyelidikan di
sekitar Kota Lam-yang.
Laporan-laporan telah sampai
di tangan Cing Kiang Wie dan Kang Wei, mereka mempelajari semua laporan itu.
Dan mereka memperoleh kesimpulan bahwa para pemberontak itu tidak
memperlihatkan tanda-tanda mengadakan persiapan buat menyambut penyerbuan itu,
membuktikan juga bahwa kaum pemberontak itu rupanya belum lagi mengetahui
perihal rencana penyerbuan tersebut.
“Bagus!” berseru Cing Kiang
Wie dengan suara nyaring. “Inilah sangat baik sekali…… karena dengan mereka
tidak bersiap-siap, kita akan dapat menghancurkan mereka lebih mudah!”
Kang Wei juga
mengangguk-angguk senang, mereka bekerja dengan dibantu oleh beberapa orang
panglima perang yang berada di Kota Lam-yang.
Karena Cing Kiang Wie berdua
membawa firman kaisar yang memberikan kekuasaan sepenuhnya pada mereka, semua
panglima perang di kota itu dan juga semua perwira tingginya, tunduk pada
perintah Cing Kiang Wie berdua. Mereka berdua sebagai panglima tertingginya
dalam penyerangan kepada kaum pemberontak itu, dan semuanya harus patuh.
◄Y►
Pengemis tua Thio Kim Beng
ketika matahari memancarkan sinarnya cukup terang, baru terbangun dari
tidurnya. Dia teringat semalam telah bertempur dengan ke dua orang perwira
tinggi kerajaan, yaitu Cing Kiang Wie dan Kang Wei, yang masing-masing memiliki
kepandaian lihay sekali.
Dengan begitu, besar dugaan
dari Thio Kim Beng, ke dua orang tersebut tentu kembali ke Lam-yang buat
menghimpun kekuatan. Dan dalam beberapa hari akan menimbulkan kekacauan lagi,
guna memusuhi orang-orang gagah yang bermaksud berjuang mengusir kaum penjajah.
Karena dari itu, setelah
berlatih ilmu tongkatnya beberapa saat di dalam hutan itu, buat mempersegarkan
dirinya, tampak Thio Kim Beng dengan tubuh yang agak dibungkukkan, dan langkah
yang perlahan-lahan ke luar dari hutan itu. Dia menuju ke Kota Lam-yang, karena
memang Thio Kim Beng bermaksud menyelusup ke dalam kota buat melakukan
penyelidikan.
Dalam keadaan seperti ini,
Thio Kim Beng memang telah bermaksud menyelidiki segalanya, yang kelak hasil
penyelidikannya itu akan disampaikan kepada kaum orang gagah yang tengah
berjuang untuk membela tanah air mereka yang terjajah.
Di dalam Kota Lam-yang ramai
sekali. Penduduk tampak dalam keadaan seperti biasa, di mana mereka berdagang,
bekerja dan rumah-rumah makan tetap buka seperti biasanya.
Thio Kim Beng tidak melihat
ada kelainan di dalam kota, dan juga tidak terlihat kegiatan-kegiatan dalam
menghadapi sesuatu kerusuhan. Mereka, semua penduduk itu dalam keadaan tenang
saja, melakukan tugas mereka masing-masing.
Tetapi sebagai seorang
berpengalaman, Thio Kim Beng segera memaklumi, bahwa pihak tentara kerajaan
tentu tengah mempersiapkan diri diam-diam. Mungkin mereka tidak ingin diketahui
oleh rakyat tentang maksud mereka yang ingin menumpas kaum pemberontak.
Mereka tidak menginginkan jika
rakyat mengetahui akan menimbulkan kekacauan, dan kemungkinan besar, sebagian
besar dari rakyat, akan berpihak kepada para orang gagah pembela tanah air,
berbalik mengadakan perlawanan kepada tentara kerajaan di Lam-yang. Dengan
demikian akibat itu membuat tentara kerajaan menghadapi lawan yang tidak
sedikit.
Jika saja seluruh rakyat di
Lam-yang mengadakan kerja sama yang kompak dan mempersatukan diri mengadakan
perlawanan kepada tentara kerajaan, niscaya mereka akan merupakan suatu
kekuatan yang tidak kecil. Penduduk Kota Lam-yang hampir meliputi duapuluh ribu
jiwa lebih……!”
“Aku harus menyelidikinya di
tempat-tempat para pembesar Boan, di markas-markas mereka……!” berpikir Thio Kim
Beng.
Dan dia segera berusaha menyelidiki
di mana kantor-kantor Kerajaan Pemerintah Boan, terutama sekali pembesar yang
khusus mengurus tentara kerajaan.
Namun di saat dia tengah
berjalan di jalan raya, dengan tubuh yang sengaja dibungkukkan dan kepala
tertunduk dalam-dalam, sebab dia tidak mau kalau sampai ada orang yang
mengenalinya, terutama sekali Cing Kiang Wie daa Kang Wei, dia terpikir lainnya
lagi.
“Atau lebih baik aku pergi
menyelidiki di rumah-rumah makan. Bukankah banyak kaum pembesar yang
bersenang-senang di rumah makan, meminum arak sampai mabok dan kemudian
mengoceh tidak karuan. Dengan demikian tentu akan membuat mereka mengeluarkan
segala apa yang mereka ketahui…..
“Karena dari itu, walaupun
bagaimana jelas aku bisa mengorek keterangan yang lebih jelas lagi. Aku bisa menawannya,
dan kemudian mengkompresnya, memaksanya agar dia memberikan keterangan yang
lebih terperinci! Para Pembesar Boan-ciu umumnya merupakan gentong-gentong nasi
yang sayang akan jiwanya. Mereka tentu akan ketakutan setengah mati dan
menceritakan sejelas-jelasnya apa yang mereka ketahui…..!”
Karena berpikir begitu, segera
juga Thio Kim Beng mengalihkan langkah kakinya, menuju kepada sebuah rumah
makan yang terletak tidak jauh dari jalan itu.
Rumah makan itu memasang merek
“Ang-tiauw-tiam”, merupakan sebuah rumah makan yang tidak terlalu besar. Namun
di rumah makan yang bertingkat dua tersebut, sangat ramai sekali. Dan disamping
itu, memang tampaknya orang-orang yang berkunjung ke rumah makan tersebut
terdiri dari bermacam-macam golongan.
Thio Kim Beng berdiri di depan
pintu rumah makan itu, di sebelah pinggir kanan dia berdiri dengan tubuh yang
dibungkukkan walaupun matanya tajam mengawasi keadaan di sekitarnya. Dia telah
pura-pura berdiri di situ seperti tengah menantikan sisa makanan yang akan diberikan
pelayan.
Dua orang pelayan melihat
kehadirannya Thio Kim Beng, tampaknya tidak senang.
Mereka beranggapan tentu
dengan adanya pengemis mesum dan kotor itu, merupakan halangan yang tidak kecil
buat rumah makan ini, di mana para tamu tentu akan merasa segan buat memasuki
rumah makan tersebut. Karenanya, ke dua nelayan itu menghampiri Thio Kim Beng,
katanya dengan sikap tidak senang:
“Pengemis bau, jika engkau
menghendaki makanan, engkau jangan menghalangi jalan masuk di pintu ini.
Pergilah engkau di samping sana! Jika nanti telah ada sisa makanan, kami tentu
akan memberikannya kepadamu! Jika engkau berdiri di sini, tentu para tamu akan
segan masuk ke rumah makan kami! Selain kami akan rugi, juga sisa makanan tidak
ada!”
Thio Kim Beng menyeringai, dan
ia berkata dengan suara yang sabar:
“Sebetulnya..... di dalam hal
itu merupakan urusan yang tidak terlalu penting, karena biar bagaimana jelas
aku tidak akan mengganggu para tamu..... karena dari itu, biarlah aku di sini.
Siapa tahu ada tamu yang memang berkasihan kepadaku, dan akan memberikan derma
dan amal mereka……!”
Setelah berkata begitu,
kembali Thio Kim Beng tertawa menyeringai, katanya: “Tuan-tuan, tentu sangat
baik hati dan membiarkan aku mencari hidup di sini bukan?”
Ke dua pelayan itu mengerutkan
sepasang alisnya, tadi mereka berusaha mengusir pengemis tua ini dengan baik
hati, dengan cara yang halus, agar pengemis itu tidak tersinggung. Namun
sekarang melihat Thio Kim Beng bersikeras untuk berdiri di depan pintu itu.
Karena dari tempatnya itu Thio
Kim Beng memang dapat melihat jelas semua tamu yang berada di dalam rumah makan
tersebut, tidak mau pindah tempat beranjak dari situ, membuat ke dua pelayan
itu tambah tidak senang, maka mereka berdua hampir berbareng telah berkata
dengan suara yang tidak senang:
“Jika memang engkau tidak bisa
diberitahukan dengan baik-baik, kami akan menyingkirkan engkau dengan cara
paksa!”
Thio Kim Beng tertawa.
“Jangan begitu tuan-tuan…… aku
si pengemis melarat hanya mencari sekedar hidup di sini.....” katanya kemudian
seperti juga pengemis yang tidak berdaya.
Salah seorang pelayan itu
mengulurkan tangannya. Dia mencekal tangan Thio Kim Beng maksudnya hendak
menarik Thio Kim Beng menyingkir ke samping rumah makan itu.
Thio Kim Beng membiarkan
tangannya dicekal, sama sekali dia tidak memberikan perlawanan. Sampai akhirnya
waktu pelayan itu menariknya dengan kuat, dia jadi kaget sendirinya.
Pelayan itu sampai
mengeluarkan suara seruan tertahan. Karena biarpun dia menarik cukup kuat,
pengemis tua yang kurus kering dan tampaknya lemah itu tidak bergeming dari
tempatnya. Pelayan itu segera menariknya lebih kuat lagi, namun tetap saja
tidak bisa me narik tubuh si pengemis tua tersebut.
Kawannya, pelayan yang
seorangnya lagi, ketika melihat rekannya tidak dapat menarik pengemis tua itu,
segera bantu menariknya.
Tetap saja Thio Kim Beng
berdiri tenang-tenang di tempatnya, tubuhnya tidak bergeming. Dia membiarkan
saja ke dua pelayan itu menarik-nariknya, namun dia sama sekali tidak bergeming
atau beranjak dari tempatnya berada.
Ke dua pelayan itu jadi tambah
penasaran. Mereka segera mengerahkan seluruh tenaga mereka, tapi tetap saja,
walau mereka menariknya dengan kuat, tidak berhasil menarik pengemis tersebut.
Malah tidak lama kemudian,
mereka merasakan dari lengan pengemis tua itu, yang dicekal oleh tangan mereka,
seperti mengepul hawa panas bukan main, sehingga ke dua pelayan itu merasakan
tangannya pedih sekali.
Kaget dan heran, ke dua
pelayan itu melepaskan cekalan mereka dan memandang termangu-mangu kepada pengemis
tua itu. Hati kecil mereka segera menduga bahwa pengemis tua di hadapan mereka
itu tentunya seorang pengemis yang tangguh dan memiliki ilmu yang lihay, karena
segera juga ke dua pelayan rumah makan itu menduga, tentunya pengemis ini
anggota Kay-pang.
Memang banyak orang telah
mengetahui, umumnya pengemis yang masuk dalam anggota Kay-pang, dan mereka juga
biasanya memiliki kepandaian yang tidak rendah. Karena memiliki dugaan
tersebut, ke dua pelayan itu, yang telah gagal dengan usaha mereka buat menarik
menyingkir pengemis tua tersebut, memandang dengan sorot mata tidak senang,
tapi mereka tidak berani memaksa Thio Kim Beng menyingkir lagi.
Si pengemis tua
tersenyum-senyum belaka.
Waktu itulah tampak di jalan
raya berlari-lari dua ekor kuda, yang berhenti di depan rumah makan tersebut.
Ke dua penunggang kuda tersebut adalah sepasang muda-mudi.
Seorang pemuda yang tampan dan
gagah dengan seorang gadis jelita yang tampak keren dengan gagang pedang
tersembul dari pundaknya! Matanya jeli, hidungnya bangir dan bibirnya tipis
yang selalu tersenyum, namun memperlihatkan kekerasan hatinya.
Mereka melompat ringan sekali
turun dari kudanya masing-masing dan si pelayan telah menghampiri mereka buat
menerima kuda ke dua tamu ini.
Thio Kim Beng melihat sepasang
muda-mudi tersebut, jadi tercekat hatinya. Dia kenal dengan mereka. Ternyata ke
dua pemuda-pemudi tersebut yang bertemu dengannya di puncak Heng-san.
Siapakah mereka? Tentu pembaca
telah dapat menduganya.
Benar! Mereka adalah Ko Tie
dan Giok Hoa! Mengapa mereka tiba-tiba sekali bisa berada di Lam-yang? Dan
melakukan perjalanan tampaknya hanya berdua?
Ini ada ceritanya tersendiri.
◄Y►
Seperti diketahui Giok Hoa
ingin sekali merantau, namun tidak berani mengemukakannya di hadapan gurunya
mengenai maksudnya itu. Karenanya, ia selalu gelisah sendirinya, sampai pada
malam itu dia telah mengutarakan isi hatinya dan perasaannya pada Ko Tie.
Sedangkan Ko Tie pada malam
itu juga telah membuka isi hatinya, malah lebih dari segalanya. Dia telah
menyatakan perasaan cintanya pada gadis tersebut yang memang telah dapat
menggetarkan kalbu dan jiwanya!
Pagi itu Ko Tie terbangun agak
siang dan dia baru saja salin pakaian. Gurunya telah duduk menghadapinya dengan
tatapan mata yang agak luar biasa.
Gurunya duduk di pembaringannya,
yang berseberangan dengan pembaringan Ko Tie. Dia menyaksikan muridnya tengah
salin pakaian, sampai akhirnya setelah Ko Tie selesai dan waktu muridnya itu
canggung ditatapi terus seperti itu, Swat Tocu telah tersenyum memanggilnya.
“Ko Tie, ke mari kau!”
panggilnya sambil menunjuk ke sampingnya, agar pemuda itu duduk di tepi
pembaringan di dekatnya.
Ko Tie menghampiri gurunya,
dia memberi hormat sambil menanyakan kesehatan gurunya. Barulah dia duduk di
dekat gurunya dengan hati agak berdebar.
“Aku ingin menyampaikan
sesuatu kepadamu!” kata Swat Tocu.
“Silahkan suhu!”
“Kulihat beberapa hari ini
engkan gelisah sekali, apa yang engkau rasakan?!”
Merah muka Ko Tie mendengar
pertanyaan gurunya seperti itu, cepat-cepat dia memaksakan diri buat tersenyum,
katanya: “Tidak suhu..... tidak...... tidak ada yang dipikirkan tecu!”
kata-kata itu agak tergetar, karena dia kuatir justeru rahasia hatinya
diketahui gurunya.
Swat Tocu tersenyum.
“Muridku, aku sebagai gurumu,
telah cukup lama hidup bersamamu. Aku telah mengenal tabiat dan watakmu,
sifat-sifatmu! Karena dari itu, engkau jangan coba-coba mendustai aku! Dan aku
pun ingin menanyakan kepadamu, apakah menurut anggapanmu puncak Heng-san ini
sesuai denganku……!”
“Tecu...... tecu tidak
mengetahui dengan pasti, tetapi menurut tecu justeru tempat ini cukup baik!”
“Bagus! Jika demikian. Apakah
engkau menghendaki kita tinggal di sini?!”
Mendengar perkataan “kita”
yang diucapkan gurunya dengan tekanan nada yang lebih panjang, mulut Ko Tie
berobah merah lagi.
“Terserah pada suhu, jika
memang suhu cocok dengan tempat ini, tecu hanya menurut saja. Tapi menurut tecu
memang tempat ini cukup baik buat suhu.....!”
“Hemmmm, engkau memperlihatkan
Heng-san sebagai tempat yang baik buatku. Apakah dibalik semua ini terkandung
maksud-maksud tertentu?”
Pipi Ko Tie berobah merah
lagi.
“Ti…… tidak suhu!”
“Sungguh?!”
Ko Tie tidak berani berdusta,
memang sejak dia dididik oleh Swat Tocu, dia mengenal baik watak gurunya ini,
yang paling tidak senang jika dia berdusta. Maka dia segera juga bangun dari
duduknya, dan menekuk ke dua kakinya, dia berlutut di hadapan gurunya.
“Suhu..... ampunilah tecu,
memang sesungguhnya tecu mengharapkan suhu dapat menerima Heng-san sebagai
tempat hidup mengasingkan diri melewati hari tua, itu memang menjadi harapan
tecu!”
“Mengapa begitu?!”
“Karena…… karena tempat ini
sangat indah dan cocok sekiranya dipergunakan sebagai tempat mengasingkan
diri.”
“Bohong.....!” kata Swat Tocu
tersenyum, tapi tidak memperlihatkan kemarahan pada wajahnya. “Engkau telah
mendustai aku lagi!”
Muka Ko Tie berobah merah
untuk sekian kalinya, hatinya berdebar.
“Sesungguhnya suhu……
sesungguhnya suhu, jika memang kita tinggal di puncak Heng-san, kita tidak akan
kesepian, karena di sini ada Yo Cici dan Giok...... Giok Hoa!”
“Hemm, memang telah kuduga!”
kata Swat Tocu sambil mengangguk-angguk.
Ko Tie tetap berlutut tanpa
berani mengangkat kepalanya menatap gurunya, hatinya tergoncang keras dan dia
sangat malu sekali terpaksa telah membuka isi hatinya.
“Sesungguhnya, aku mengerti
bahwa engkau adalah seorang pemuda, yang tentu tidak dapat hidup senang dan
gembira di tempat yang sunyi! Itu memang kuketahui! Dan engkaupun memang perlu
merantau, buat menambah pengetahuan dan pengalaman!
“Dengan mempelajari kepandaian
yang tinggi, tetapi tanpa pengalaman, maka kepandaian yang telah engkau
pelajari itu, tidak ada gunanya! Juga kepandaian yang liehay setelah engkau
miliki tanpa diamalkan melakukan perbuatan menolong orang-orang yang
membutuhkan pertolongan dan bantuanmu, itulah bukan perbuatan seorang
ho-han...... Karenanya, akupun ingin menyampaikan kepadamu, bahwa aku memang
merasa cocok dengan tempat ini!”
“Suhu?!” Ko Tie mengangkat
kepalanya memandang kepada gurunya, “Benarkah…… benarkah itu, suhu?”
“Ya……” mengangguk Swat Tocu.
“Aku memang telah menetapkan untuk berdiam di puncak Heng-san ini……!”
“Oh suhu……!” Ko Tie girang
bukan main.
“Bangunlah muridku, duduklah
di sini, aku ingin menyampaikan kepadamu banyak persoalan dan kata-kata!”
Ko Tie bangun dari
berlututnya, dia telah duduk di samping gurunya.
Swat Tocu memandanginya
beberapa saat barulah dia bilang:
“Muridku, engkau seorang
pemuda yang cerdik dan juga memiliki kepandaian yang tinggi! Karena dari itu,
engkau harus pandai-pandai membawa diri! Engkaupun seorang pemuda yang tampan,
yang tentu banyak sekali gadis-gadis yang menghendakimu...... hanya satu
pesanku, untuk sementara ini, engkau tidak boleh melibatkan diri dalam
percintaan!
“Engkau boleh mencintai
seorang gadis, tetapi engkau tidak boleh membiarkan dirimu dilibat oleh cinta!
Engkau masih memerlukan waktu yang cukup panjang, guna berjuang! Tahukah
engkau, bahwa di daratan Tiong-goan sekarang ini banyak para penjajah?
“Waktu aku berada dalam
perjalanan ke Heng-san, aku telah bertemu seorang sahabat lama. Dia menyatakan
keinginannya memohon agar aku turun tangan membantu perhimpunan orang gagah,
guna membantu mereka berjuang!
“Sayang hatiku telah tawar.
Aku hanya ingin hidup menyendiri di sini...... Namun biarpun aku menolak
permintaannya, aku telah mengatakan kepada sahabatku itu, bahwa aku akan
mengirim muridku sebagai wakilku!”
Ko Tie mengawasi gurunya
beberapa saat lamanya kemudian dia bilang: “Jika demikian...... jika demikian
suhu hendak perintahkan tecu pergi turun gunung buat membantu Ho-han itu?”
“Tidak salah!” menyahuti Swat
Tocu. “Karena dari itu, ingatlah pesanku, bahwa sekarang ini bukan waktunya
buat bermain cinta!”
Pipi Ko Tie terasa panas, dia
merasa telah tersindir oleh gurunya.
“Ya, ya……!” menyahuti pemuda
itu.
“Dengarlah baik-baik Ko Tie!
Aku telah melihat gerak-gerikmu, atau juga gerak-gerik Giok Hoa. Di antara
kalian berdua seperti juga masing-masing memiliki perasaan sama!
“Aku mengetahui bahwa kalian
merupakan remaja yang membutuhkan cinta kasih. Kalian juga wajar jika saling
menyintai!
“Tetapi yang engkau harus
ingat, kalian tidak boleh terperosok oleh perbuatan hina. Karena itu, kau harus
menjaga hubunganmu dengan nona Giok Hoa baik-baik! Kelak jika memang telah
waktunya dan di waktu itu engkau telah mengenal lebih baik lagi sifat-sifat
dari nona Giok Hoa, barulah kalian menikah! Mengertikah engkau, Ko Tie?”
Ko Tie mengangguk.
“Mengerti suhu……!” menyahuti
Ko Tie sambil menunduk.
“Sekarang ini yang terpenting
engkau harus mengerahkan seluruh perhatianmu buat membantu perjuangan para
Ho-han, yang akan berusaha mengusir kaum penjajah itu……!” menegaskan Swat Tocu.
“Engkau tentu ingat betapa
perjuangan Kay-pang, juga perjuangan para tokoh-tokoh sakti seperti
Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko, Kwee Ceng, Oey Yok Su, dan lain-lainnya. Karena dari
itu, sebagai murid tunggalku, engkau harus memperlihatkan kepada dunia, bahwa
Swat Tocu tidak percuma memelihara dan mendidik seorang murid, sebab muridnya
itu akan menjadi manusia yang berjiwa luhur dan lihay, yang berjuang membantu
para kaum pendekar dalam hal mengusir penjajah! Engkau harus menjadi manusia
yang memiliki jiwa yang bersih dan dihormati di dalam rimba persilatan!”
Mendengar kata-kata gurunya
yang terakhir, yang nada suaranya semakin meninggi. Ko Tie terkejut. Belum
pernah gurunya bicara bersungguh-sungguh seperti itu, karenanya dia cepat-cepat
bangun dari duduknya dan telah berlutut lagi.
“Ko Tie berjanji akan
mengingat selalu pesan suhu, juga tecu akan segera melaksanakan perintah suhu
guna membantu kaum pendekar mengusir penjajah.....
“Tecu berusaha akan menjaga
nama baik suhu, berusaha untuk memiliki nama yang bersih di dalam rimba
persilatan. Jika memang tecu terpengaruh suatu perbuatan yang tidak baik,
biarlah tecu mati dengan tubuh tidak diterima langit dan bumi!”
“Bagus! Bangunlah muridku!”
kata Swat Tocu kemudian sambil mengusap kepala muridnya. “Dengan demikian,
engkau tentu tidak akan mengecewakan harapanku.......!”
Ko Tie telah duduk di samping
gurunya lagi, di waktu itu Swat Tocu telah berkata pula.
“Ko.Ti, sebetulnya, aku
menginginkan engkau menjadi seorang yang terpandai di dalam rimba persilatan
agar semua orang melihat Swat Tocu bukan orang sembarangan dalam mendidik
murid, di mana engkau berhasil muncul sebagai pendekar muda, yang walaupun usianya
masih muda, namun kepandaiannya sudah luar biasa!
“Karena itu, engkau juga harus
membuktikan, betapapun engkau memang akan sekuat tenaga membantu para pendekar
itu! Kemuliaan dan juga nama baik, merupakan hal yang terpenting, karena dari
sanalah tercermin akan jiwamu yang baik……!”
“Tecu akan mengingat selalu
nasehat suhu!”
“Ya, dan engkau lusa boleh
turun gunung dan kau boleh pamitan pada Yo Kouw-nio dan muridnya itu! Dan untuk
sementara waktu ini, engkau harus menindih perasaanmu. Tidak boleh engkau
menuruti hati kecilmu belaka, yang belum lagi dapat melakukan perbuatan besar
engkau bermain cinta!”
“Tecu akan mematuhi pesan
suhu!” kata Ko Tie.
Waktu Ko Tie ingin memohon
pamit kepada gurunya buat keluar dari kamarnya, tiba-tiba terdengar suara langkah
yang ringan, dan pintu kamar diketuk seseorang dari luar.
“Swat Locianpwe........
bisakah boanpwe mengganggu sebentar?” terdengar suara Yo Kouw-nio, dari luar
kamar.
Swat Tocu kaget dia menyahuti
dengan segera: “Ya, ya, rupanya Yo Kouw-nio mempunyai persoalan yang penting!
Ko Tie, cepat bukakan pintu buat Yo Kouw-nio!”
Segera juga tanpa berayal Ko
Tie membuka daun pintu kamar. Tampak Yo Kouw-nio dengan pakaian serba kuning,
tengah berdiri tersenyum. Ko Tie memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan
masuk.
Setelah memberi hormat kepada
Swat Tocu, Yo Kouw-nio duduk di kursi yang disediakan Ko Tie.
“Swat Locianpwe, ada sedikit
persoalan yang hendak kusampaikan kepadamu dengan empat mata saja. Bisakah?”
tanya Yo Kouw-nio sambil melirik ke arah Ko Tie.
Swat Tocu mengangguk,
sedangkan Ko Tie sendiri mengetahui bahwa Yo Kouw-nio tentunya ingin
menyampaikan sesuatu yang penting hanya empat mata dengan gurunya. Walaupun
hatinya bertanya-tanya entah apa yang ingin disampaikan Yo Kouw-nio kepada
gurunya. Dia telah memberi hormat kepada Swat Tocu dan Yo Kouw-nio, lalu keluar
dari kamar.
Setelah Ko Tie mengundurkan
diri, Yo Kouw-nio tersenyum, belum lagi dia bicara. Swat Tocu telah bilang:
“Yo Kouw-nio. silahkan kau
mengemukakan apa yang ingin kau sampaikan? Tampaknya urusan yang cukup
penting……!”
Yo Kouw-nio mengangguk.
“Semua ini menyangkut urusan
muridku…… Giok Hoa!” menjelaskan Yo Kouw-nio.
Muka Swat Tocu berobah. Dia
kaget dan heran. Dia pun segera memiliki dugaan yang tidak baik, bahwa Ko Tie
tentu telah melakukan sesuatu yang kurang ajar pada Giok Hoa, sehingga gurunya
si gadis perlu buat menyampaikan teguran padanya.
Dengan muka merah ia tertegun
sejenak. Namun segera Swat Tocu bisa mengendalikan hati pada perasaannya.
“Yo Kouw-nio, ceritakanlah,
apakah muridku...... Ko Tie, telah melakukan sesuatu….. sesuatu yang kurang
ajar dan hina pada muridmu?”
Yo Kouw-nio cepat sekali
menggelengkan kepalanya sambil mengulap-ulapkan tangannya.
“Ohhh, bukan….. bukan.....!”
katanya cepat. “Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan murid locianpwe!”
Tenang hati Swat Tocu.
Ketegangannya yang menguatirkan Ko Tie melakukan sesuatu yang hina dan bisa
memalukannya jadi hilang.
Sambil tersenyum dia bilang:
“Nah, sekarang Yo Kouw-nio silahkan menyampaikan urusan yang ingin kau
ceritakan itu!”
“Maafkan sebelumnya locianpwe
karena ini sebenarnya merupakan urusan dalam rumah tangga perguruan boanpwe,
tapi karena adanya locianpwee di sini, maka boanpwe bermaksud hendak meminta
pertimbangan dari locianpwe mengenai murid Boanpwe itu!
“Sesungguhnya selama beberapa
hari belakangan ini, boanpwe telah memperhatikan murid boanpwe, dia tampak
selalu gelisah. Tadi pagi, boanpwe telah mendesaknya dan dia baru mengakuinya
terus terang…… bahwa dia……!”
“Kenapa?!” tanya Swat Tocu mulai
tidak tenang. Dia menduga murid Yo Kouw-nio mengakui telah menjalin hubungan
mesra dengan Ko Tie.
“Dia mengatakan, bahwa dia
ingin sekali pergi merantau, untuk mencari pengalaman!” menjawab Yo Kouw-nio.
“Oh begitu?!” Swat Tocu
bernapas lega.
“Ya..... dan boanpwe berpikir,
memang keinginannya itu wajar, juga sangat bagus. Bukankah seseorang yang telah
selesai mempelajari ilmu silat, harus berkelana, buat mencari pengalaman,
disamping juga mengamalkan kepandaiannya itu, melakukan perbuatan yang mulia
menolong orang-orang yang tengah dalam kesulitan? Karena dari itu juga, boanpwe
ingin meminta pendapat locianpwe!”
“Bukankah kau bisa saja
membiarkan dia turun gunung, dengan pesan setiap tahun dia harus kembali ke
puncak Heng-san ini buat menjengukmu?” kata Swat Tocu.
“Bukan begitu
locianpwe.......... Persoalannya bukan demikian! Jika tokh kelak dia menjenguk
boanpwe selama dua tahun sekali, boanpwe juga tidak keberatan! Tetapi Giok Hoa
belum pernah turun gunung, dia belum pernah berkelana, dia tidak mengenal dunia
luar……
“Terlebih lagi sekarang ini,
di mana dia harus merantau seorang diri. Tentu sangat membahayakan dirinya! Dia
belum memiliki pengalaman yang berarti.”
“Maksudmu?”
“Karena dari itu…… boanpwe
meminta pertimbangan locianpwe….. Maafkan locianpwe atas kelancangan boanpwe.
“Bagaimana jika memang murid
locianpwe, Ko Tie, ikut serta dengan murid boanpwe, menemani sementara waktu
membimbingnya. Agar murid boanpwe itu tidak seperti si buta menunggang kuda,
yang tidak mengetahui arah tujuan? Bukankah murid locianpwe memang selalu
berkelana dan telah memiliki pengalaman yang walaupun belum banyak, namun
setidaknya dia telah mengenal keadaan di dalam rimba persilatan……”
Swat Tocu mengangguk-angguk
mengerti. Dia berpikir sejenak lamanya sampai akhirnya dia bilang:
“Baiklah! Nanti aku akan
perintahkan Ko Tie agar dia pergi menemani Giok Hoa selama muridmu itu ingin
merantau! Tetapi tentu saja, kita berdua harus memesannya, agar mereka tidak
terlalu rapat dikala merantau, karena jika mereka berdua berhubungan terlampau
bebas, akan menyebabkan kita yang sibuk jika kelak Giok Hoa membawa tambur
sebelum nikah!”
Pipi Yo Kouw-nio berobah merah
mendengar kelakar Swat Tocu, tapi dia tersenyum mengiringi tertawa Swat Tocu.
Waktu itu Swat Tocu setelah tertawa,
dia bilang lagi.
“Dan yang terpenting sekali
adalah engkau yang harus memberikan nasehat-nasehat kepada muridmu itu, nona
Yo……! Karena walaupun bagaimana, dia yang harus membatasi diri, agar dia tidak
bergaul terlalu rapat dengan Ko Tie….
“Dengan nona Giok Hoa
membatasi diri, tentu tidak akan terjadi hal-hal yang tidak menggembirakan!
Bukankah begitu Yo Kouw-nio?”
Yo Kouw-nio mengangguk
mengiyakan.
Begitulah, ke dua orang ini Yo
Kouw-nio dan Swat Tocu telah merundingkan lebih jauh bagaimana ingin mengatur
dan menasehati murid-murid mereka. Tapi di antara mereka telah dicapai kata
sepakat, bahwa mereka akan memerintahkan murid-murid mereka turun gunung.
Lebih jauh Swat Tocu juga
menjelaskan kepada Yo Kouw-nio, bahwa dia telah memilih puncak Heng-san sebagai
tempatnya, di mana dalam tiga hari ini dia ingin membangun sebuah rumah
sederhana di puncak gunung Heng-san, karena dia memang bermaksud menetap di
sana. Hidup mengasingkan diri di tempat hening dan sunyi itu, menjadi
tetangganya Yo Kouw-nio.
Yo Kouw-nio menyambut gembira
niat dari pendekar tua yang sakti itu, di mana diapun telah menyatakan
kesediaannya buat membantu Swat Tocu membangun rumahnya di puncak gunung
Heng-san.
“Terima kasih, tidak usah,
karena aku bersama dengan Ko Tie saja telah cukup. Dalam dua hari rumah
sederhana itu telah sudah selesai dibangun dan Ko Tie boleh segera menemani
muridmu turun gunung.......!”
Yo Kouw-nio mengangguk, dia
pun pamitan sambil memberi hormat, karena dia bermaksud akan memberitahukan
kepada muridnya. Keinginan muridnya dapat dikabulkan, asalkan muridnya itu
turun gunung didampingi oleh Ko Tie.
Juga dia bermaksud akan
memberikan nasehat-nasehat kepada Giok Hoa. Agar muridnya itu kelak kalau
merantau berdua dengan Ko Tie, dapat menjaga harga dirinya sebagai seorang
gadis.
Dapat juga membatasi diri
tidak terlalu bebas bergaul dengan Ko Tie. Walaupun sang guru ini juga
menyatakan pada muridnya itu, bahwa dia tidak keberatan kalau antara Giok Hoa
dengan Ko Tie terjalin hubungan yang baik.
Sedangkan Giok Hoa waktu
mendengar gurunya meluluskan permintaannya, buat turun gunung dan merantau,
bukan main girangnya. Dia sampai menangis dan mengucapkan terima kasihnya tidak
hentinya.
Swat Tocu siang itu
bersama-sama Ko Tie membangun rumah di puncak Heng-san. Sebuah rumah yang
sederhana sekali, juga mempergunakan batu gunung dan kayu-kayu yang terdapat di
sekitar tempat itu.
Karena kepandaian dan tenaga
mereka yang luar biasa, pekerjaan itu dapat dilakukan mereka dengan mudah dan
cepat. Dalam dua hari saja, telah rampung sebuah rumah sederhana yang pantas
buat ditinggali oleh Swat Tocu agar tidak kedinginan dan kepanasan.
Di dalam itu Swat Tocu telah
memesan kepada Ko Tie bahwa besok pagi muridnya boleh turun gunung. Namun
diapun menyampaikannya, bahwa bersama Ko Tie akan ikut serta Giok Hoa, yang
akan turun gunung guna mencari pengalaman.
Berulang kali Swat Tocu
menasehati muridnya, agar baik-baik menjaga diri dan memelihara hubungan
baiknya dengan Giok Hoa, berhubungan tidak terlalu bebas dan tidak mendatangkan
aib dan malu buat gurunya.
Ko Tie berjanji, hatinya
bersorak girang, karena dia akan turun gunung berdua dengan Giok Hoa! Apa yang
sama sekali tidak pernah diduganya!
Karena dari itu, dia berlutut
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pada gurunya. Hanya saja dia masih bisa
menahan diri tidak sampai mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati gurunya
yang ternyata telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga membuat dia bisa
turun gunung dan berkelana berdua dengan Giok Hoa.
Giok Hoa sendiripun tak menyangka
bahwa gurunya akan mengijinkannya turun gunung, malah Ko Tie yang katanya akan
menemani si gadis, yang akan merupakan teman seperjalanan yang pasti
menggembirakan dan menyenangkan itu.
Begitulah, sepasang muda mudi
pada keesokan harinya, telah turun gunung. Masing-masing telah mengucapkan
selamat berpisah kepada guru mereka.
Giok Hoa sendiri menitikkan
butir-butir air mata, karena terharu juga buat berpisah dengan gurunya.
Hanya saja justeru
keinginannya buat berkelana memang jauh lebih besar menggebu-gebu di hatinya,
membuat dia menguatkan hatinya untuk berpisah sementara dengan gurunya.
Setelah sampai di sebuah
kampung di kaki gunung Heng-san, mereka membeli dua ekor kuda. Mereka melakukan
perjalanan dengan menunggang kuda.
Dan Ko Tie banyak bercerita
mengenai dunia persilatan, yang didengari oleh si gadis dengan gembira. Banyak
yang mereka percakapkan, karena ada saja yang selalu ditanyakan si gadis.
Tampaknya Giok Hoa gembira
sekali, karena sekarang dia bisa melihat betapa dunia yang terbuka lebar,
membutuhkan dia dengan kepandaiannya guna melakukan perbuatan-perbuatan mulia
dan luhur, membela orang-orang yang tengah dalam kesulitan…… Apalagi sekarang
di sisinya ada Ko Tie, dengan demikian jelas akan membuat dia tidak memperoleh
kesulitan dalam melaksanakan tugasnya berkelana di dalam rimba persilatan.
Ko Tie sendiri, karena telah
menerima nasehat dan pesan dari gurunya, walaupun dia girang dapat melakukan
perjalanan berdua dengan si gadis pujaan hatinya, dia membatasi diri, tidak
berani bersikap lebih dari antara sesama dua orang sahabat belaka.
Giok Hoa sendiri juga telah
menerima nasehat dari gurunya, diapun membatasi diri.
Karena dari itu, selama dalam
perjalanan, mereka tampaknya seperti juga kakak dan adik saja. Hubungan mereka
dan sikap mereka hanya terbatas sebagai sikap seorang sahabat terhadap
kawannya.
Setiap mereka singgah di rumah
penginapan, mereka mengambil dua kamar. Ko Tie satu kamar, juga Giok Hoa satu
kamar. Dan tentu saja, kalau seandainya Ko Tie memesan satu kamar, Giok Hoa
yang akan menentangnya.
Hanya saja, sejauh itu tidak
pernah terjadi Ko Tie menginginkan mereka tidur sekamar, karena Ko Tie selalu
berpesan agar pelayan mempersiapkan dua kamar tanpa memperdulikan pandangan
heran dari pelayan dan para tamu, yang melihat sepasang muda mudi ini berpisah
kamar, karena setiap mereka datang di suatu tempat, banyak yang menduga, jika
mereka berdua bukan kakak beradik tentunya sepasang suami-isteri muda.
Banyak juga yang mereka
lakukan selama dalam perjalanan, yaitu membela orang-orang yang tengah dalam
kesulitan, dengan demikian menambah kegembiraan Giok Hoa, karena gadis ini baru
pertama kali merantau.
Ko Tie juga banyak sekali
memberitahukan tentang peraturan-peraturan di dalam rimba persilatan, yaitu
tidak dapat sembarangan seseorang mencampuri urusan balas dendam dari golongan
yang satu dengan golongan yang lain.
Dan semua ini merupakan salah
satu pantangan dari orang-orang yang berkelana di dalam rimba persilatan. Apa
lagi mencampuri dendam pribadi, akan membuat timbulnya salah pengertian yang
memungkinkan orang tersebut yang bermaksud baik mencampuri urusan itu, akan
dimusuhi ke dua belah pihak!
Justeru sekarang mereka tiba
di Lam-yang dan gadis itu merasa telah lapar mengajak Ko Tie singgah di sebuah
rumah makan. Siapa tahu kedatangan mereka dilihat oleh Thio Kim Beng, yang
kenal siapa mereka!
Pengemis tua itu menundukkan
kepalanya dalam-dalam, agar Ko Tie dan Giok Hoa tidak melihatnya.
Si gadis dan Ko Tie telah
memasuki rumah makan itu. Benar mereka melewati si pengemis tua yang berdiri di
pinggir pintu, tapi mereka tidak melihat siapa adanya pengemis tua itu, sebab
mereka memang tidak memperhatikannya.
Thio Kim Beng sendiri
mengenali bahwa pemuda itu adalah Ko Tie, murid dari Swat Tocu, orang yang
telah membuat dia penasaran. Sedangkan si gadis itu adalah muridnya Yo
Kouw-nio, si gadis anak angkatnya Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko.
Seketika itu juga melihat Ko
Tie dan Giok Hoa, timbul penasarannya, karena dia segera ingat betapa ia
diperlakukan tidak pantas oleh Swat Tocu. Karenanya, timbul juga sifat
isengnya.
Dia ingin mempermainkan muda
mudi itu. Segera juga dia telah menyingkir dan meninggalkan rumah makan
tersebut.
Dikala itu, pelayan telah
melayani Ko Tie dan Giok Hoa, ke dua tamu ini yang berpakaian sangat bersih,
dan juga tampaknya merupakan orang-orang yang memiliki uang tidak sedikit,
telah dilayani oleh pelayan dengan hormat sekali.
Memang dugaan pelayan itu
tidak meleset karena tidak lama kemudian, setelah bersantap Giok Hoa
menghadiahkan pelayan itu dua tail.
“Dimana rumah penginapan yang
cukup baik di kota ini?” tanya Giok Hoa setelah dia memberikan hadiahnya itu.
“Ohhh, banyak nona, banyak!”
kata pelayan itu segera. “Tiga rumah terpisah dari rumah makan ini, terdapat
sebuah rumah penginapan yang cukup baik, kamarnya bersih-bersih!”
Giok Hoa mengangguk. Dan dia
mengajak Ko Tie buat meninggalkan rumah makan itu.
Waktu itu, Ko Tie telah
membereskan pauw-hoknya, dia kemudian menentengnya. Mereka keluar dari rumah
makan. Namun dari arah luar, ketika mereka tengah melewati pintu, mendatangi
seorang pemuda berpakaian necis dan sikapnya keagung-agungan.
Di belakang orang itu
mengikuti beberapa orang laki-laki bertubuh tegap. Lagak orang yang berpakaian
mewah itu, sangat tengik sekali. Dan malah, dia berjalan di tengah-tengah tanpa
memperdulikan dari dalam tengah keluar Giok Hoa dan Ko Tie, sehingga pundaknya
terbentur sedikit oleh Ko Tie.
“Ehhhh, manusia kurang ajar?
Mengapa kau berani begitu kurang ajar tidak mau menyingkir melihat tuan mudamu
ingin masuk, sehingga engkau telah mengotori bajuku?!” bentak pemuda berpakaian
mewah tersebut.
Ko Tie tersenyum, dia bilang:
“Maafkan, kamipun kebetulan sekali hendak keluar....... Kami tidak sengaja,
maklum pintu ini memang tidak terlalu besar.....!”
Tetapi pemuda yang berpakaian
mewah itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, tidak mau mengerti juga.
Baru saja dia mau memaki, dia melihat Giok Hoa, yang cantik jelita.
Bola matanya seketika memain,
dan dia batal memaki lebih jauh. Dia malah tersenyum katanya: “Eh, eh, kukira
siapa, tidak tahunya dengan seorang nona manis! adikmu? Atau memang kawanmu?”
Ko Tie melihat lagak pemuda
itu yang demikian ceriwis, jadi mendongkol bukan main. Dia tidak menyukai
pemuda itu, dan dia telah berkata: “Ya, adikku……!” Sambil hendak berjalan
meninggalkan pemuda tersebut.
Sikap Ko Tie yang acuh tak
acuh, membuat pemuda itu mendongkol lagi. Dia menarik lengan baju Ko Tie,
sambil menggentak dan membentak: “Tunggu dulu! Apakah setelah bersalah kepada
tuan mudamu engkau hendak pergi begitu saja tanpa meminta maaf dengan menjura
sebanyak tiga kali?!”
Tubuh Ko Tie tertarik
perlahan. Sikap kasar dari pemuda ini membuat Ko Tie pun tambah tidak senang.
Dia telah memutar tubuhnya
menghadapi pemuda itu, katanya: “Ini adalah rumah makan umum, dan pintu ini
memang satu. Jika saling bersentuhan apa salahnya? Mengapa engkau bertindak
keterlaluan seperti itu? Aturan mana yang engkau pergunakan?!”
Mendengar teguran Ko Tie yang
sama sekali tidak memperlihatkan perasaan jeri atau takut padanya, pemuda
berpakaian mewah tersebut melengak, namun segera dia tersadar dari tertawa
bergelak-gelak.
“Bagus! Bagus! Rupanya engkau
belum mengenal siapa tuan mudamu ini, heh?” kata pemuda itu dengan congkak dan
membusungkan dadanya.
Ko Tie tersenyum sinis,
katanya: “Ya, memang kami belum lagi mengetahui siapa kau, dan jika engkau mau
memperkenalkan diri, sebutkanlah namamu, karena kami juga ingin sekali
mengetahui sebenarnya siapa engkau ini seorang pemuda yang congkak dan tidak
tahu aturan!”
“Apa kau bilang? Kau berani
berbuat kurang ajar di hadapan majikan kami?” berseru seorang lelaki bertubuh
tinggi tegap yang berada di dekat pemuda itu. Malah sambil membentak dia
mengulurkan tangan kanannya, bermaksud mencengkeram baju di dada Ko Tie.
Ko Tie memiringkan tubuhnya
sedikit. Jambretan tangan itu gagal mengenai sasarannya dan jatuh di tempat
kosong. Hal ini membuat orang itu jadi penasaran.
“Ehhhh…… engkau berani
melawan, heh?” bentaknya, tinju tangan kirinya melayang akan menghantam muka Ko
Tie.
Tindakan orang ini sudah
melampaui batas, karenanya Ko Tie juga tidak bisa berdiam diri dan mengalah
terus. Dia memiringkan kepalanya, menghindar dari tinju orang itu dan
membarengi dengan itu, cepat sekali tangan kirinya menyampok.
“Dukkkk!” tubuh orang tersebut
seketika kena disampoknya terpental keras sekali dan terbanting di tanah. Dalam
keadaan seperti itu segera juga tampak, tubuh orang itu menggelepar-gelepar di
tanah tanpa bisa segera bangun, seperti orang ayan.
Dan juga, dia mengerang-erang
kesakitan. Dari mulutnya telah memuntahkan darah, hidungnya juga mengucurkan
darah. Sebab waktu dia jatuh terjerembab akibat terkena sampokan tangan Ko Tie,
dia mencium tanah, sehingga hidungnya bocor dan darah mengucur keluar!
Bukan main kagetnya pemuda
berpakaian perlente itu. Dia memandang tersenyum dan mundur dua langkah karena
kuatir Ko Tie memukulnya.
Sedangkan empat orang
laki-laki lainnya yang semuanya bertubuh tinggi tegap, tampaknya pengawal
pemuda itu, segera melompat mengurung Ko Tie. Merekapun bergerak buat menyerang
Ko Tie.
Tapi Ko Tie bersikap tenang
sekali. Dia telah menggerakkan pauw-hoknya, menghantam sekaligus ke empat orang
itu sehingga jungkir balik semuanya.
Pemuda berpakaian perlente itu
semakin ketakutan, dia tidak menyangka Ko Tie merupakan seorang pemuda yang
tangguh.
“Kau….. kau berani memukul
anak buah Cin Wan-gwe?” bentak seorang tukang pukul pemuda itu, yang telah
melompat bangun. “Benar-benar engkau mencari mampus!”
“Hemmm, aturan apa yang kalian
pergunakan sehingga malang melintang sekehendak kalian dan juga turun tangan
mau memukul orang tidak pada tempatnya?!” tegur Ko Tie.
Orang yang bertubuh tinggi
tegap itu, yang tadi membentak, dengan muka merah padam dan menakutkan telah
mencabut goloknya. Dengan goloknya dia membacok.
Semua orang yang menyaksikan
hal ini mengeluarkan jerit kaget, begitu juga para pelayan dan tamu-tamu di
rumah makan atau orang-orang yang kebetulan lewat di depan rumah makan tersebut
menyaksikan peristiwa tersebut.
Sedangkan pemuda berpakaian
perlente itu tampak senang, hilang kagetnya, karena melihat anak buahnya
mempergunakan goloknya. Dia yakin pemuda yang tangguh itu dapat dilukainya.
Giok Hoa berdiri di pinggir,
dengan tenang dia mengerti segala macam bangsa buaya darat ini tak mungkin
berdaya menghadapi Ko Tie. Dan Ko Tie tentunya tidak akan memperoleh kesulitan.
Maka dari itu si gadis tetap berdiri tenang-tenang di tempatnya.
Ko Tie melihat menyambarnya
golok, sama sekali dia tidak berusaha menyingkir, dia mengawasi saja golok yang
tengah meluncur menyambar kepada dirinya.
Setelah golok itu menyambar
dekat, tahu-tahu Ko Tie mengulurkan tangannya. Dia mementang ke dua jari
tangannya, jari telunjuk dan jari tengah, menjepit golok itu.
Para pelayan rumah makan dan
para tamu kaget tidak terhingga. Mereka membayangkan tentu tangan Ko Tie akan
terbabat pecah dan robek oleh golok itu. Karenanya, mereka sampai ada yang
menutup matanya dengan tangan tidak berani menyaksikan lebih jauh dan juga
mereka telah mengeluarkau seruan tertahan.
Di kala itu golok yang telah
dijepit oleh Ko Tie ternyata tidak bisa bergerak lebih jauh lagi, karena golok
itu seperti telah dijepit oleh jepit besi.
Orang yang tadi membacok itu
kaget. Dia semula girang karena melihat pemuda lawannya mengulurkan jari
tangannya hendak menjepit goloknya. Dia mengerahkan tenaganya lebih besar,
sehingga golok itu menyambar lebih cepat. Dia yakin tangan pemuda itu akan
buntung terbelah dua.
Tapi kagetnya tidak terkira
waktu goloknya itu terjepit sangat kuat sekali oleh jari tangan Ko Tie seperti
juga goloknya tengah dijepit oleh japitan besi, sama sekali tidak bisa
bergerak.
Mati-matian dia menarik
goloknya itu, agar terlepas dari jepitan jari tangan pemuda tersebut tapi tetap
saja tidak berhasil. Golok itu telah terjepit kuat sekali.
Bahkan diwaktu itu telah
beberapa kali dia menambah tenaganya, mengemposnya dengan kuat, namun tetap
tidak berhasil, membuat dia tambah penasaran dan mulai jeri.
Ko Tie tertawa dingin,
katanya: “Hemmm manusia kejam, dengan sembarangan engkau memainkan senjata
tajam buat bertindak sewenang-wenang. Jika saja orang yang engkau serang itu
seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, tentu ia telah bercelaka dan
terjadi urusan jiwa...... maka manusia seperti engkau harus dihajar.......!”
Sambil berkata begitu, Ko Tie
telah mengerahkan tenaga dalamnya pada ke dua jari telunjuk dan jari tengahnya.
Dia menggentaknya sedikit, maka terdengar suara “Tranggg!” nyaring sekali golok
itu telah menjadi patah dua.
Semua orang yang menyaksikan
peristiwa tersebut jadi memandang bengong. Mereka kaget dan kagum, sebab dengan
hanya menggunakan jari tangannya, Ko Tie bisa mematahkan golok tersebut.
Pemuda berpakaian parlente itu
juga jadi ciut nyalinya, dia segera tersadar bahwa Ko Tie merupakan seorang
yang tangguh dan tentunya bukan pemuda sembarangan.
Kawan-kawan orang bertubuh
tinggi besar itu juga tergetar hati mereka, dan nyalinya telah ciut. Mereka
tidak berani maju menyerang lagi, semuanya hanya memandang bengong.
Ko Tie sendiri tanpa menoleh
lagi telah mengajak Giok Hoa buat berlalu meninggalkan rumah makan tersebut.
Semua orang hanya mengawasi bengong saja.
Ko Tie mengajak Giok Hoa
sambil menuntun kuda mereka masing-masing, pergi ke rumah penginapan yang letaknya
tidak jauh dari rumah makan itu, hanya terpisah empat rumah saja. Mereka
meminta pada pelayan rumah penginapan tersebut, agar disiapkan dua kamar untuk
mereka.
Pelayan rumah penginapan itu
juga tadi waktu ada ribut-ribut telah keluar melihatnya dan mengetahui bahwa Ko
Tie seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Biasanya tidak ada
seorangpun di kota ini yang berani melawan anak buah Cin Wan-gwe, pemuda
berpakaian perlente itu.
Namun Ko Tie dengan mudah
merubuhkan anak buah dari Cin Wan-gwe itu. Dengan demikian pelayan tersebut
memperlakukannya dengan hormat sekali.
Ko Tie dan Giok Hoa memperoleh
dua kamar yang saling sebelah menyebelah. Dan mereka duduk bercakap-cakap di
luar kamar, di sebuah meja yang memang disediakan oleh penginapan tersebut.
Tengah mereka bercakap-cakap
menceritakan kelancangan pemuda kurang ajar dan juga anak buahnya itu tiba-tiba
pelayan rumah penginapan yang tadi melayani mereka, telah berlari-lari masuk.
Wajahnya pucat pias, sikapnya yang gugup bukan main. Dia berkata dengan
terbata-bata:
“Celaka Kongcu, Kouw-nio……
celaka...... mereka….. mereka datang……!”
Ko Tie tersenyum.
“Tenanglah, katakanlah apa
yang terjadi!” kata Ko Tie kemudian menenangkan pelayan itu.
Pelayan tersebut dengan wajah
masih pucat dan tubuh mengigil takut, telah berkata dengan suara masih
tergagap.
“Cin Wan-gwe..... mereka
datang......! Cin Wan-gwe datang bersama belasan orang tukang pukulnya.
Semuanya membekal senjata tajam. Mereka..... mereka galak sekali, tentu rumah
penginapan ini akan mengalami kerusakan…..
“Harap Kongcu dan Kouw-nio
segera angkat kaki saja meninggalkan rumah penginapan ini melalui jendela!
Karena mereka sekarang masih berada di luar!
“Jika memang kalian tidak
sempat melarikan diri, niscaya akan menyebabkan mereka keburu masuk, kalian
tidak akan dapat menyelamatkan jiwa masing-masing…… Mereka biasa membunuh
manusia seperti membunuh binatang.....!”
Ko Tie tersenyum dan berterima
kasih atas maksud baik pelayan itu, yang menganjurkannya agar melarikan diri,
dan menghindar dari Cin Wan-gwe dan orang-orangnya itu. Dia merogoh sakunya,
mengeluarkan lima tail perak.
“Ini untukmu, Lopeh…… terima
kasih buat kebaikan hatimu!” kata Ko Tie.
Pelayan itu jadi bengong,
mukanya masih pucat, dia mengawasi Ko Tie dan uang di tangannya.
“Ini..... ini……!” katanya
gugup sekali, karena pemuda ini bukan cepat-cepat mengajak si gadis melarikan
diri dengan ketakutan, malah dengan tersenyum tenang telah menghadiahkannya
uang banyak itu.
“Ambillah, kami akan
menghadapi mereka, Lopeh jangan kuatir, kami tidak akan mengalami sesuatu yang
tidak enak……!”
Baru saja Ko Tie berkata
sampai di situ, telah terdengar suara berisik dari luar rumah penginapan.
Disusul juga kemudian dengan
seruan. “Mana anjing kurap itu.....! Hari ini tentu kami akan memperlihatkan
bahwa Cin Wan-gwe bukan sebangsa manusia yang mudah dihina!”
Dan tampak belasan tubuh
menerobos masuk ke dalam rumah penginapan,
Beberapa tamu yang kebetulan
berada di ruangan tersebut, segera melarikan diri masuk ke dalam kamar mereka
masing-masing.
Ko Tie dengan tenang melangkah
maju mendekati orang-orang itu, katanya: “Aku di sini…… apa yang diinginkan
oleh kalian heh? Atau memang tadi kurang puas dan minta dihajar lagi?!”
Belasan orang itu mengeluarkan
seruan yang berisik sekali, mereka umumnya memiliki wajah yang sangat galak dan
tubuh tinggi besar:
“Itu dia…… anjing kurap tidak
tahu diuntung, kau akan kami cincang……!”
Sambil berkata begitu, dua
orang anak buah Cin Wan-gwe telah melompat ke depan Ko Tie, golok di tangan
mereka menyambar cepat sekali, akan membacok kepada pemuda itu.
Ko Tie bersikap tenang, begitu
golok menyambar datang, ke dua tangannya bergerak sebat sekali. Dia telah
menepuk ke dua tangan orang itu, yang seketika lenyap tenaganya, karena
masing-masing merasakan tangan mereka seperti semper dan golok mereka terlepas
dari cekalan masing-masing, berkontrang jatuh di lantai.
Belum lagi ke dua orang itu
mengetahui apa-apa, ke dua tinju Ko Tie telah meluncur, masing-masing singgah
di dada dari lawannya, sehingga tubuh ke dua orang itu terpental sambil
mengeluarkan suara jeritan yang mengandung kesakitan. Mereka telah terbanting
di lantai dan mengerang-erang kesakitan tidak bisa segera bangun.
Sedangkan waktu itu, beberapa
orang kawannya dengan segera menerjang maju. Mereka membacok dan menabas dengan
berbagai senjata tajam. Tetapi Ko Tie dengan lincah mengelakkan ke sana ke mari
dari sambaran senjata tajam lawan-lawannya itu.
Dengan demikian, lawannya
seperti juga kehilangan sasaran, karena di waktu itu tubuh Ko Tie berkelebat-kelebat
dan tidak bisa dilihat dengan jelas.
Disaat itulah Ko Tie turun
tangan. Mereka telah dipukulnya seorang demi seorang, yang pada malang
melintang jungkir balik terbanting di lantai.
Suara jeritan mereka juga
terdengar beruntun saling susul. Dalam waktu yang singkat belasan orang itu
telah malang melintang menggeletak di lantai tidak bisa bergerak, karena
semuanya pingsan.
Saat itu, Cin Wan-gwe, waktu
datangnya dengan membusungkan dada dan angkuh, sekarang nyalinya pecah dan
ketakutan setelah menyaksikan belasan orang tukang pukulnya menggeletak malang
melintang di lantai tanpa berdaya. Dia berdiri dengan tubuh menggigil keras
sekali.
Tadi memang dia penasaran dan
telah membawa belasan tukang pukulnya buat membunuh Ko Tie, namun ia tidak
menyangka bahwa pemuda itu memang tangguh sekali. Karena di dalam waktu yang
sangat singkat sekali Ko Tie telah berhasil merubuhkan orang-orangnya. Jelas
hal ini membuat dia berbalik jadi ketakutan bukan main.
Ko Tie tertawa dingin,
tubuhnya melesat sangat cepat sekali. Tangannya diulurkan menjambret baju orang
she Cin itu yang segera diangkat dan dibantingnya di atas lantai sehingga Cin
Wan-gwe itu menjerit-jerit kesakitan. Dia juga meraung meminta ampun.
Tapi Ko Tie telah menginjak
tubuhnya membuat Cin Wan-gwe tidak bisa merangkak bangun. Dan dia memohon tidak
hentinya kepada Ko Tie agar dia jangan disiksa.
Di waktu itu Ko Tie tertawa
dingin, dia bilang: “Engkau biang keladinya, dan engkau yang harus dibunuh!”
Bukan main ketakutannya Cin
Wan-gwe. Biasanya dia merupakan seorang hartawan kaya yang muda usia, paling
galak dan bertindak sewenang-wenang di kota Lam-yang.
Tidak ada yang ditakutinya,
karena dia memang memiliki banyak sekali kaki tangan dan tukang pukul yang
selalu siap buat menindas orang-orang yang tidak disukai oleh Cin Wan-gwe.
Malah, diapun telah mempergunakan kekuatan uangnya buat mempengaruhi para
pembesar.
Dengan demikian, dia bisa saja
menjebloskan orang-orang yang tidak disukainya itu ke dalam penjara. Dan itulah
yang akhirnya membuat Cin Wan-gwe jadi tambah kepala besar dan dia telah malang
melintang di kota Lam-yang sebagai cabang atas yang ditakuti dan disegani
penduduk.
Ketika dia berusia belasan
tahun, ayahnya yang kaya raya telah meninggal dunia. Dengan demikian membuat
warisan orang tuanya jatuh di tangannya. Tapi dia tidak mempergunakan uang
warisan itu dengan baik-baik, malah dia berfoya-foya dan juga telah memelihara
tukang pukul yang banyak sekali jumlahnya.
Dimana dengan mengandalkan
uangnya, dan juga dengan usianya yang masih muda, Cin Wan-gwe telah malang
melintang. Selama itu memang tidak ada orang yang berani menentangnya.
Tapi sekarang ini, siapa tahu
justeru dia telah kena batunya, dengan demikian membuatnya benar-benar
ketakutan, sebab Ko Tie merupakan pemuda yang tangguh sekali.
Belasan orang tukang pukulnya
yang lengkap dengan senjata tajam mereka, dengan mudah sekali telah dirubuhkan
oleh Ko Tie. Dan sekarang Ko Tie mengatakan bahwa dia hendak membunuh Cin
Wan-gwe ini, membuatnya jadi ketakutan bukan main.
“Ampun…… aku tidak berani
bertindak jahat lagi….. aku akan merobah kelakuanku yang buruk...... dan aku
akan menghadiahkan Siauwhiap uang yang cukup banyak……!” sesambatan si pemuda
she Cin yang kaya raya namun buruk hati dan sifatnya itu.
“Plakkkk!” muka Cin Wan-gwe telah
ditampar Ko Tie.
Mata Cin Wan-gwe
berkunang-kunang, kepalanya juga jadi mabok, karena tamparan itu keras sekali.
Malah dia merasa sakit pada mulutnya, karena bibirnya telah pecah akibat
kuatnya tamparan itu dan dua giginya telah copot sebagian.
“Baik! Kali ini aku mengampuni
jiwa anjingmu, tapi ingat, jika memang suatu saat engkau melakukan perbuatan
yang tidak baik…… hemmmmm, hemmmm, walaupun di waktu itu engkau sesambatan
memohon-mohon pengampunan dariku, tentu aku tidak akan mengampuni jiwa busukmu.....!
Mengerti?”
“Mengerti…… terima kasih
Siauwhiap..... terima kasih!” kata Cin Wan-gwe sesambatan. Hatinya lega juga
mendengar dia akan diampuni. “Aku berjanji akan merobah kelakuanku dan tidak
akan melakukan kejahatan lagi!”
Baru saja dia berkata begitu,
dia menjerit, “Aduhhhhh!” yang keras sekali, karena kaki kanan Ko Tie telah
melayang menendangnya, sehingga tubuh Cin Wan-gwe terpental keluar pintu rumah
penginapan tersebut.
Dengan tenang Ko Tie mengajak
Giok Hoa kembali ke tempat duduk mereka.
Sedangkan belasan orang anak
buah Cin Wan-gwe telah tersadar. Mereka juga cepat-cepat angkat kaki, karena
menyadari bahwa lawan mereka merupakan pemuda yang tangguh, yang sulit sekali
dihadapi.
Giok Hoa tertawa geli.
“Sungguh lucu manusia-manusia
busuk itu. Terhadap orang yang lemah, mereka memperlihatkan taring, tetapi jika
kena batunya mereka menjadi manusia yang paling pengecut di dalam dunia
ini.....!”
“Ya, demikianlah keadaan di
dalam dunia persilatan. Karena dari itu, betapa pentingnya seseorang mempelajari
ilmu silat yang tinggi, sehingga tidak akan menerima perlakuan yang bisa
membuatnya penasaran!” menyahuti Ko Tie
Setelah bercakap-cakap lagi
beberapa saat, akhirnya mereka berpisahan buat kembali ke kamar masing-masing,
untuk beristirahat.
◄Y►
Malam itu keadaan di luar
rumah penginapan di kota Lam-yang sangat sepi. Tamu-tamu di rumah penginapan
itu juga telah terlelap di dalam tidur mereka, dan dibuai oleh mimpi-mimpi yang
mengasyikkan.
Ko Tie sendiri telah tertidur
nyenyak, mereka seharian suntuk melakukan perjalanan yang cukup melelahkan.
Karena dari itu, Ko Tie telah tertidur lelap begitu dia merebahkan tubuhnya di
pembaringan.
Tapi Giok Hoa justeru belum
bisa tidur, walaupun dia telah memejamkan matanya rapat-rapat dan berusaha
tidur. Entah mengapa, timbul perasaan rindunya kepada gurunya, Yo Kouw-nio.
Telah sebulan mereka berpisah, dan sekarang barulah Giok Hoa merasakan, betapa
dia merindukan untuk bersama-sama dengan gurunya, bercakap cakap dengan
gembira.
Dan juga Giok Hoa tengah memikirkan,
betapa di dalam rimba persilatan dia menemui sekali peristiwa-peristiwa yang
semula belum pernah dia menyaksikannya.
“Ya, dengan berkelana seperti
ini, memang aku akan bertambah pengalaman, tetapi akupun harus berusaha
menegakkan keadilan! Dengan demikian, aku tidak mengecewakan harapan suhu, agar
aku menjadi seorang yang berbudi luhur dan mulia menegakkan nama besar suhu dan
perguruanku.........! Ya, memang aku harus berusaha menjaga nama baik suhu,
agar tidak sampai ternoda oleh perbuatan yang tidak terpuji.....!”
Sambil berkata begitu, si
gadis tersenyum manis sambil memandangi langit-langit, karena di saat itu dia
segera teringat kepada Ko Tie.
Dulu waktu mereka masih berada
di puncak Heng-san, Ko Tie pernah menyampaikan isi hatinya.
Dan sekarang, mereka telah
melakukan perjalanan berkelana hanya berdua. Namun sejauh itu Ko Tie
memperlihatkan sikap yang sopan dan lembut, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda bahwa dia ingin bersikap kurang ajar padanya.
Memang dia pun merasakan,
bahwa dia memiliki perasaan aneh terhadap Ko Tie. Cuma saja, dia ingat benar
akan nasehat gurunya, yang berpesan agar dia baik-baik menjaga diri, dan
walaupun dia tidak dilarang bergaul intim dan akrab dengan Ko Tie, tetapi harus
memiliki batas-batas.
Waktu menasehati dirinya,
gurunya juga telah memohon satu janji darinya, yaitu Giok Hoa tidak akan
mencemarkan nama baik-baik gurunya dan dapat menjaga diri baik-baik!
“Suhu…… tentu saja aku akan
dapat menjaga diri baik-baik! Memang aku menyukai Ko Tie Koko....... tetapi,
jelas aku akan menghajarnya jika saja dia berani berlaku tidak baik dan kurang
ajar padaku, jika perlu membunuhnya!” menggumam gadis itu sambil tersenyum
manis.
Dan berkelana berdua dengan Ko
Tie, pemuda yang disenanginya itu, benar-benar membawa kegembiraan buatnya.
Karena dari itu, dia sendiri semakin kerasan buat berkelana di dalam rimba
persilatan.
Rasa rindu kepada gurunya
berangsur mulai berkurang pula, karena dia telah dapat mengendalikan hati dan
perasaannya. Si gadis memejamkan matanya dan coba tidur.
Di luar rumah penginapan itu,
kegelapan malam, tampak sesosok bayangan berlari-lari lincah sekali di atas
genting. Gerakannya begitu ringan, sehingga kakinya, setiap kali hinggap di
genting rumah penduduk dan akhirnya berada di atas genting rumah penginapan
tersebut, sama sekali tidak memperdengarkan suara sedikit pun juga. Itu telah
membuktikan bahwa gin-kang orang tersebut tinggi dan mahir sekali.
Satu demi satu jendela kamar
di rumah penginapan itu diperiksanya. Dia seperti tengah mencari-cari dan
menyelidiki seseorang yang menginap di rumah penginapan tersebut.
Sampai akhirnya dia mengintai
kamar di mana Giok Hoa berada. Bibir sosok bayangan itu tersenyum, ternyata, di
bawah sinar rembulan, dia adalah seorang pengemis tua yang tidak lain dari pada
Thio Kim Beng!
Kedatangannya di rumah
penginapan ini di malam hari, memang dia hendak mempermainkan Giok Hoa dan Ko
Tie. Dia sengaja menyatroni kamar si gadis.
Di waktu itu, dia juga melihat
api penerangan kamar si gadis belum dipadamkan. Bibir si gadis tengah
tersenyum-senyum, dengan sepasang mata yang tertutup rapat, tampaknya ada
sesuatu yang tengah dipikirkan oleh si gadis, yang sangat menyenangkan sekali,
sehingga dia tersenyum-senyum begitu.
Thio Kim Beng mengangkat
tangannya, dia mengetuk tiga kali jendela si gadis.
“Selamat malam, nona……!”
panggilnya dengan suara perlahan.
Tapi semua itu sempat membuat
Giok Hoa melompat dari pembaringannya, seperti juga disengat oleh kalajengking,
dengan muka berobah sebentar merah dan sebentar pucat dia telah memandang tajam
ke arah jendela! Diapun berada dalam sikap bersiap-siap buat menghadapi
kemungkinan serangan menggelap dan membokong!
Thio Kim Beng yang masih
berdiam di luar jendela kamar si gadis, telah memperdengarkan tertawanya,
katanya: “Mengapa terkejut nona manis……!”
Giok Hoa tidak bisa menahan
diri lebih lama lagi. Dia menyambar pedangnya, kebetulan memang dia belum salin
pakaian.
Cepat sekali tubuhnya melesat
ke jendela kamarnya, di bukanya sambil memutar pedangnya buat melindungi dirinya
dari serangan membokong, kemudian tubuhnya melesat keluar dengan muka merah
padam karena marah!
Di bawah cahaya rembulan yang
redup, dilihatnya sesosok bayangan tengah berlari menjauhi diri.
“Kejarlah jika engkau berani!”
tantang sosok bayangan itu, yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas.
Giok Hoa penasaran, segera
juga dia berlari dengan cepat sekali, tubuhnya bagaikan bayangan melesat
mengejar orang itu. Namun sosok bayangan itu berlari dengan pesat sekali.
Semakin cepat Giok Hoa
mengejarnya, semakin cepat pula dia berlari. Begitulah jarak di antara mereka
tetap terpisah dalam jarak yang tertentu, di mana gadis ini tidak bisa
menghampiri jarak antara mereka.
Semakin lama Giok Hoa semakin
penasaran, dan dia telah mengempos seluruh gin-kang nya, berlari sekuat
tenaganya berusaha mengejar sosok tubuh itu. Sampai akhirnya dia mengejar di
luar kola Lam-yang.
Waktu melompat keluar dari
perbentengan kota, sesungguhnya Giok Hoa sudah ragu-ragu. Namun sosok tubuh itu
terus juga mengejeknya membuat gadis ini jadi tambah penasaran dan marah.
Tanpa memikirkan sesuatu
apapun lagi, dia telah mengejarnya dengan pedang terhunus tercekal di tangan
kanannya, siap akan dipergunakan menyerang kepada sosok tubuh tersebut, jika
saja ia berhasil mengejarnya.
Tapi sosok tubuh tersebut
berlari ke arah hutan lebat, dan kemudian hilang tidak tampak jejaknya pula.
Giok Hoa semakin penasaran, dia mencari-cari di sekitar hutan itu.
Namun sudah sekian lama,
akhirnya dia kembali ke rumah penginapan dengan jengkel sekali, sebab merasa
telah dipermainkan oleh orang yang tidak dikenalnya itu. Dia mengetuk pintu
kamar Ko Tie waktu tiba di rumah penginapan, karena ia memang bermaksud hendak
memberitahukan kepada Ko Tie apa yang telah dialaminya itu.
Ko Tie bangun dengan segera,
iapun tampak tidur tanpa membuka pakaiannya, karena ia masih berpakaian
lengkap, dan dapat membuka pintu kamarnya dalam waktu yang singkat sekali.
Dengan napas masih memburu, si
gadis telah menceritakan apa yang telah dialaminya. Dan juga telah dikatakannya,
bahwa orang yang mengganggunya itu tampaknya dilihat dari bentuk tubuhnya
adalah seorang laki-laki tua.
“Malah, jika memang tidak
salah, aku telah melihat samar-samar. Dia adalah seorang pengemis, karena dalam
kegelapan malam kulihat pakaiannya itu penuh tambalan!” Menambahkan gadis
tersebut.
Ko Tie tampak terkejut, diapun
berseru: “Celaka!”
“Kenapa?” tanya si gadis, yang
memandang heran kepada Ko Tie, di mana wajah Ko Tie memperlihatkan ketegangan.
“Cepat kita harus memeriksa
kamarmu! Ku duga engkau telah dipancing orang lain…..!” Menjelaskan Ko Tie
sambil menarik tangan si gadis.
Sedangkan Giok Hoa mengikuti
saja, dia membuka pintu kamarnya. Keadaan di dalam kamarnya masih tetap seperti
semula, tidak ada perobahan. Dan juga terlihat daun jendela masih terbuka
lebar, dari mana bersilir angin yang sejuk sekali.
“Cepat kau periksa apakah di
antara barang-barangmu ada yang hilang?” kata Ko Tie kemudian, sambil memandang
sekelilingnya.
Giok Hoa heran, tapi dia
sangat cerdik, maka cepat sekali dia bisa mengerti apa yang dikuatirkan Ko Tie.
Dia segera pergi ke tepi pembaringannya, buat memeriksa buntalannya. Namun, si
gadis jadi berseru kaget. Dan dia telah menoleh kepada Ko Tie dengan wajah yang
berobah pucat.
“Barangku…… pauw-hokku telah
hilang.....” kata si gadis kemudian.
Ko Tie menghela napas
dalam-dalam.
“Tentu orang yang memancingmu
itu bukan orang baik-baik. Tentunya dia si pencuri tangan panjang…… Dia sengaja
memancing kau meninggalkan kamar ini dengan tipu “Memancing Harimau
Meninggalkan Sarangnya”, dan dia berhasil.
“Engkau telah kena
diperdayanya, di mana engkau kena dipancing meninggalkan kamar ini, kemudian
dia menghilang, meninggalkan engkau kembali ke kamar ini buat menggasak
barang-barangmu!
“Maka dari itu, di lain waktu
engkau harus lebih waspada dan hati-hati! Demikianlah di dalam rimba persilatan
memang seringkali terjadi urusan seperti ini…… karena itu, jika saja kita
kurang berhati-hati, niscaya akan membuat engkau akhirnya menderita
kerugian-kerugian yang tidak kecil!
“Ini bagus, hanya pauw-hokmu
saja yang hilang, karena di dalam pauw-hokmu itu tidak terdapat barang berharga
yang harus dilindungi! Jika memang engkau membawa mustika yang harus
dilindungi, sekarang kena diambil pencuri tangan panjang itu, bagaimana engkau
bisa mempertanggung jawabkannya?!”
Si gadis tampak bersedih dan
juga bercampur marah, dengan geram katanya: “Jika memang aku berhasil mencari
jejak pencuri laknat itu, akan kupatahkan batang lehernya.....!”
Ko Tie tertawa kecil.
“Kita sulit mencari jejaknya,
karena dia telah membawa kabur pauw-hokmu, tentu ia tidak berani berkeliaran di
tempat ini lagi! Sehingga bagaimana kita harus mencarinya?”