Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 04

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 04
 
Anak rajawali Jilid 04
Dengan ke dua telapak tangan yang digerakkannya pulang pergi seperti itu, membuat angin yang berkesiuran pun sangat kuat sekali. Semakin lama semakin kering dan kuat bagaikan hembusan angin di gurun pasir. Dan keringat di tubuh See-bun semakin deras mengucur keluar, dia seperti juga dimasukkan ke dalam perapian dan terpanggang panasnya angin serangan Tong-ling yang begitu kering.

Lam-siong pun tidak tinggal diam. Dia telah memilih sehelai daun teratai di dekat See-bun, kemudian ikut pula buat mengerahkan kekuatan tenaga dalam dan hawa murninya, sepasang tangannya itu bergerak-gerak dengan lincah juga. Namun berbeda dengan angin serangan Tong-ling yang kering dan tandus, seperti api perapian, dia telah menyerang dengan serangan yang dingin seperti es.

Dengan begitu, hawa angin serangan yang memiliki sifat-sifat berlawanan membuat See-bun menerima tindihan yang kurang menggembirakan.

Pak-kiang sendiri, yang tidak menerima serangan langsung merasakan tubuhnya seperti dibakar oleh api gurun yang tandus dan dinginnya es di kutub.

Begitulah, ke empat orang aneh itu tengah mengadu kepandaian mereka, sedangkan Hok An yang berdiam di tempatnya berdiri terpaku memandang takjub atas semua peristiwa yang dapat disaksikannya itu.

Dengan ke empat orang itu mengadu kekuatan tenaga dalam, maka keadaan di sekitar tempat itu hanya terdengar suara “srrr, wuttt, derrr” dari suara angin serangan tenaga dalam ke empat orang itu.

Angin pukulan itu juga merupakan angin yang cukup kuat menggoncangkan permukaan air empang yang jadi bergerak-gerak.

Dari sebelah selatan empang itu, tiba-tiba tampak mendatangi seorang lelaki berusia masih muda sekali, baru berumur duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun, mengenakan pakaian pelajar berwarna putih, dengan kopiah Siauw-yau-kin nya yang berwarna putih, dan sepatunya pun berwarna putih. Sambil melangkah perlahan-lahan, dia menggoyang-goyangkan kipasnya, yang juga berwarna putih, hanya saja terdapat lukisan yang terdiri dari warna merah dan hijau serta kuning, warna-warna yang tampak manis dalam keadaan serba putih di dekatnya seperti itu. Sikap pelajar itu tenang sekali, dia sambil mengipas dan melangkah seperti juga seorang yang benar-benar tengah kesima menikmati keindahan di sekitar tempat itu.

Hok An mengawasi pelajar itu, dia tidak kenal, dan tidak mengetahui entah siapa pelajar itu. Hok An hanya menduga tentunya pelajar ini tentunya tengah pesiar di tempat tersebut.

Cepat-cepat Hok An menjejakan ke dua kakinya, tubuhnya melompat ke dekat pelajar itu.

Pelajar itu terkejut, dia mundur dua langkah ke belakang sambil melipat dan menutup kipasnya.

“Jangan lewat di tempat ini, lebih baik kau kembali saja!” kata Hok An sambil menunjuk ke tengah empang itu. “Lihatlah, di sana tengah ada orang yang sedang bertempur!”

Pemuda pelajar itu tidak bilang suatu apapun juga, dia hanya mementang matanya lebar-lebar menoleh memandang ke tengah empang, sampai dia bisa melihat See-bun berempat dengan Pak-kiang, Tong-ling dan Lam-siong tengah saling mengadu kekuatan.

“Ihhh!” pemuda itu mengeluarkan suara tertahan.

“Benar-benar menakjubkan, seperti juga tengah menyaksikan sebuah peristiwa di dalam dongeng saja! Sungguh menarik! Sungguh menarik!”

Melihat pemuda pelajar itu seperti seorang yang tolol dan tidak mengenal bahaya yang bisa mengancam dirinya, Hok An jadi banting-banting kakinya, katanya: “Kau jangan berayal lagi, jika nanti mereka telah selesai bertempur dan juga kalau saja mereka hendak mengganggumu, niscaya engkau akan memperoleh kesukaran yang tidak kecil..... cepat kau pergi meninggalkan tempat ini..... jangan berayal.....!”

Pelajar itu melihat Hok An sibuk demikian rupa, telah membuka matanya lebar-lebar menatap Hok An, kemudian dia membuka lipatan kipasnya, dia tertawa, katanya sambil mengipas perlahan-lahan.

“Kau tampaknya begitu menguatirkan keselamatanku, menganjurkan agar aku segera meninggalkan tempat ini! Akan tetapi Siauwte melihat engkau sendiri berada di tempat ini dan tidak cepat-cepat meninggalkan tempat ini, jika memang benar ke empat orang itu merupakan manusia-manusia kurang baik......?!”

Hok An mendongkol sekali melihat pemuda pelajar ini demikian tolol.

“Jika aku memiliki kepandaian yang sekiranya bisa dipergunakan melindungi diriku! Sedangkan engkau hanya seorang pelajar lemah, jika memang nanti engkau memperoleh kesukaran, niscaya engkau akan memperoleh bahaya yang tidak kecil buat keselamatan dirimu....., cepat kau berlalu sebelum terlambat!”

Akan tetapi pemuda pelajar itu telah menggeleng.

“Pemandangan yang terdapat di daerah ini sangat menarik sekali. Sekarang juga terdapat pemandangan yang luar biasa, aneh dan menarik hati, di mana empat orang dapat duduk di atas daun teratai di permukaan air empang! Bukankah itu merupakan tontonan yang sangat menarik sekali dan tidak mudah untuk bisa melihatnya dalam kesempatan lainnya? Mengapa justeru aku harus meninggalkan tontonan bagus yang menarik hati ini?”

Sambil berkata begitu, pelajar tersebut, tanpa memperdulikan Hok An, telah melangkah menghampiri tepi empang sambil menggerakkan kipasnya perlahan-lahan, mengipas dengan sikap yang tenang sekali.

Hok An tertegun mendengar jawaban dan sikap terakhir dari pelajar baju putih itu. Dia akhirnya menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Pemuda dungu.....!” menggumam Hok An, dan dia tidak memaksa lagi pemuda baju putih itu buat meninggalkan tempat tersebut.

Sedangkan pelajar baju putih itu berdiri di tepi empang memperhatikan ke empat orang, yang tengah mengukur ilmu tersebut. Tampaknya pelajar ini tertarik sekali.

See-bun waktu itu telah mengempos dan mempergunakan hawa murninya yang paling tinggi, demikian juga ke tiga orang lawannya, masing-masing mengerahkan tenaga murni mereka yang tertinggi, karena mereka berusaha untuk saling tindih. Mereka berempat mempergunakan kekuatan tenaga murni yang seluruhnya dari Tan-tian, maka mereka jadi tidak menggerakkan tangan lagi, cukup asal tangan mereka dapat saling menempel, maka hawa murni itu bisa disalurkan buat menyerang lawan.

Melihat ke empat orang yang tengah bertanding di tengah permukaan air empang, pemuda pelajar tersebut jadi heran, karena ke empat orang itu duduk diam bersemedhi dengan tubuh diam tidak bergerak, hanya saja dari atas kepala mereka masing-masing mengepul uap yang tipis.

“Hemm, mereka berempat tentunya tengah berdoa.....!” menggumam pelajar berbaju putih tersebut. “Coba, aku lihat, apakah mereka akan kaget jika permukaan air empang itu bergerak dan menyebabkan daun teratai, mereka yang duduki itu bergerak-gerak?!”

Setelah menggumam seperti itu, pelajar berbaju putih itu membungkuk mengambil beberapa batu kerikil.

Melihat apa yang dilakukan pelajar baju putih itu, Hok An kaget.

“Hei, kau cari mati?!” bentak Hok An perlahan, sambil tubuhnya telah melompat ke dekat pelajar baju putih itu, berusaha merebut batu-batu kerikil di tangan pelajar baju putih itu.

Namun pelajar baju putih tersebut seperti tidak mendengar bentakan perlahan Hok An, dia membungkukkan tubuhnya lagi, mengambil dua butir batu kerikil.

Karena pelajar baju putih itu demikian tiba-tiba membungkukkan tubuhnya lagi, sambaran tangan Hok An jatuh di tempat kosong, tidak berhasil merebut batu kerikil di tangan pemuda pelajar baju putih tersebut.

Sedangkan pelajar baju putih itu telah berdiri tegak lagi, dia memperlihatkan sikap terheran-heran.

“Mengapa kau tampaknya begitu gugup!” tanyanya kemudian memperlihatkan sikap heran karena Hok An tengah memandangnya tajam sekali, juga tampaknya Hok An seperti tengah kebingungan.

“Kau ingin mencari mati?!” kata Hok An dengan suara perlahan, akan tetapi nadanya mengandung kegugupan. “Jika engkau melemparkan batu itu ke empang dan menyebabkan ke empat orang yang tengah mengadu kepandaian tersebut merasa terganggu, jiwamu sulit dilindungi lagi!”

“Kenapa?!” tanya pelajar baju putih itu seperti orang yang benar-benar tolol.

Muka Hok An jadi berobah merah karena mendongkol menghadapi sikap tolol pelajar ini.

“Tentu saja mereka akan membunuhmu, karena kau telah mengganggu ketenangan mereka dalam mengadu ilmu!” menyahuti Hok An.

Pemuda pelajar itu tertawa.

“Kau jangan takut-takuti aku.....” katanya kemudian. “Aku tidak percaya mereka bisa membunuhku! Justeru aku ingin melihat, betapa sekarang mereka tengah duduk di atas daun teratai, di permukaan air empang itu. Jika aku menimpukkan batu ini, air empang itu bergerak, dan daun teratai yang mereka duduki itu bergerak, apakah mereka akan gugup dan cepat-cepat naik kedarat?!”

Bukan main kagetnya Hok An.

“Gila kau!” bentak Hok An. “Kau jangan mencari penyakit..... karena jika ke empat orang telah gusar dan marah. walaupun aku bersedia menolongmu, akan tetapi aku tentu tidak berdaya buat menolongi dirimu.....!”

Pemuda pelajar itu tersenyum, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya, menimpukkan batu kerikil yang tadi diambilnya. Sekali meluncur dua butir.

Bahkan batu kerikil itu jatuh tepat di pinggiran daun teratai yang diduduki See-bun, sehingga air empang itu muncrat dan membuat daun teratai yang tengah diduduki oleh See-bun jadi bergoyang-goyang.

Waktu itu See-bun tengah mengerahkan tenaga dalam dan hawa murni tingkat tinggi, sebetulnya perhatiannya tidak boleh terpecah.

Sekarang daun teratai tempat dia duduk itu bergoyang, sesungguhnya See-bun merasa heran, namun dia tidak membuka matanya, dia tetap memusatkan seluruh perhatiannya buat mengempos semangatnya

Akan tetapi pelajar itu, yang telah membuat Hok An jadi kaget tak terkira, dan belum lagi Hok An sempat buat menegur dan mencegah perbuatannya, pelajar itu mengulangi lagi timpukan batu kerikilnya itu. Kali ini jatuh di samping daun teratai Pak-kiang, di mana Pak-kiang pun tidak berani membuka matanya walaupun merasakan teratai yang didudukinya itu bergoyang-goyang.

Hok An sudah tidak bisa menahan diri.

“Hai, gila kau?!” bentak Hok An sambil menerjang dan berusaha merebut batu kerikil yang masih bersisa dan terdapat di tangan pelajar baju putih itu.

Pelajar baju putih itu telah mundur tiga tindak.

“Kau jangan kurang ajar!” bentaknya berani dan tenang sekali. “Aku tidak mengganggu dirimu, akan tetapi sejak tadi kau selalu mengganggu diriku, selalu melarang aku agar tidak menikmati pemandangan indah di tempat ini? Jika memang engkau kuatir nanti dianiaya ke empat orang itu, pergilah engkau yang angkat kaki meninggalkan tempat ini......!”

Pipi Hok An berobah merah.

“Semua ini demi keselamatan dirimu!” kata Hok An. “Aku kasihan jika engkau teraniaya dan terbinasa di tangan keempat orang itu.

Pelajar itu tersenyum tawar, katanya: “Aku tidak membutuhkan kasihanmu..... kukira aku cukup makan dan cukup pakaian, tidak patut dikasihani orang!”

Disanggapi seperti itu, muka Hok An berobah merah lagi. Bukan main mendongkolnya.

“Hemm, pelajar tidak berbudi!” pikir Hok An. Walaupun mendongkol, namun dia tidak memiliki alasan buat bersikeras melarang pelajar baju putih itu menimpukkan batu kerikilnya.

Sedangkan pelajar baju putih itu seperti sudah tidak ingin melayani Hok An, dia berdiri membelakangi Hok An, tangan kanannya bergerak,

“Plunggg, plunggg!” beberapa butir batu kerikil telah melayang dan jatuh tenggelam di empang itu.

Akan tetapi ke empat orang itu tetap saja dengan sikap mereka, duduk di atas daun teratai tanpa bergerak dan dengan sepasang mata tetap terpejamkan.

Pelajar baju putih itu tertawa-tawa girang.

“Jika melihat mereka seperti juga melihat empat orang dewa yang tengah duduk bersemedhi di atas daun teratai!” kata pelajar itu sambil menoleh dan melirik pada Hok An.

Hok An mengambil sikap seperti tuli tidak mendengar perkataan pemuda itu. Dia mendongkol karena tadi disanggapi seperti itu oleh pemuda tersebut, maka sekarang dia yang tidak mau melayani pelajar itu.

Melihat Hok An berdiam diri saja, pelajar berbaju putih itu tidak tersinggung, dia tertawa lagi, kemudian langan kanannya melontarkan batu kerikilnya lagi, sehingga batu itu meluncur dengan cepat.

Kali ini, mungkin juga karena perhitungan tenaga menimpuknya tidak tepat, batu kerikil tersebut tidak jatuh di permukaan air empang, melainkan meluncur dan menghantam kepada Pak-kiang. Agak keras benturan itu, sampai terdengar suara “Tukkk!”

Hok An tercekat hatinya, tetapi dia hanya melirik kepada pelajar tersebut, sedangkan pelajar itu tampak kaget melihat batu yang ditimpukkannya mengenai kepala Pak-kiang.

“Ohhh, maaf, maaf, aku tidak sengaja!” Pelajar itu berseru-seru sendirinya.

Pak-kiang sesungguhnya masih bermaksud hendak menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya guna meneruskan pertandingan mengukur tenaga dan kepandaian itu. Namun disebabkan kali ini kepalanya yang terkena timpukan batu kerikil itu, walaupun tidak terlalu sakit, Pak-kiang jadi gusar juga, karena menduga ada orang yang hendak mempermainkannya dan mengganggunya. Dia telah menarik pulang hawa murninya, dia bermaksud untuk memisahkan diri.

Setelah hawa murni itu berhasil ditariknya pulang ke Tan-tian, Pak-kiang melompat berdiri. Kebetulan waktu itu si pelajar tengah menimpuk lagi.

Tadi dia menimpuk agak rendah dan mengenai kepala Pak-kiang. Karena sekali ini pelajar itu menimpuk agak ke atas. Siapa tahu, waktu batu itu tengah meluncur, justru Pak-kiang tengah berdiri. Keruan saja kepalanya telah dihantam batu kerikil itu pula.

Hati Hok An tergoncang juga menyaksikan semua itu, diam-diam dia jadi menguatirkan keselamatan si pelajar. Walaupun tadi dilihatnya pelajar baju putih ini seorang yang tidak berbudi, namun sebagai seorang rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, dia mengetahui siapa adanya Pak-kiang. Sedangkan pelajar itu tampaknya lemah dan tidak mengerti ilmu silat. Sekali saja Pak-kiang menggerakkan tangannya, niscaya pelajar itu akan terluka hebat atau terbinasa.

Pak-kiang waktu merasakan kepalanya disambar batu kerikil itu lagi, segera memutar tubuhnya, sehingga ia melihat Hok An dan pelajar baju putih itu tengah berdiri di tepi empang. Dan mata Pak-kiang yang tajam dapat melihat di tangan pelajar baju putih itu masih terdapat sisa beberapa butir batu kerikil.

Dengan wajah yang memerah, Pak-kiang menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melesat ke darat ke dekat pelajar itu. Dengan mendongkol dan sikap sengit, dia menegur di saat dia melompati salah satu daun teratai yang berada di tepi empang itu:

“Apakah engkau yang menggangguku?!”

Pelajar itu memandang Pak-kiang dengan mulut terpentang lebar, rupanya dia takjub melihat Pak-kiang dengan beberapa kali lompatan dan menotol daun-daun teratai cepat sekali telah bisa berada di dekatnya

Melihat pelajar itu tidak menyahuti, Pak-kiang tambah mendongkol. Dia menoleh kepada Hok An: “Dia atau engkau yang telah menimpukkan batu pada kepalaku, heh?!”

Hok An jadi serba salah, cepat-cepat dia merangkapkan ke dua tangannya, katanya: “Maafkan, pelajar itu, tampaknya agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat, tadi dia tanpa sengaja telah menimpukkan batu mengenai kepala Lojinke.....!”

Pak-kiang memperdengarkan suara tertawa dingin.

“Agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat?!” katanya. “Hemmm, kentut kosong, saja kau! Jika memang dia tidak memiliki kepandaian ilmu silat, mana mungkin dia bisa menimpukkan batu itu mengenai kepalaku?!”

Hok An tertegun mendengar perkataan Pak-kiang, kemudian menoleh kepada pelajar itu, baru kemudian memandang Pak-kiang lagi.

“Mungkin hanya kebetulan saja.....!” katanya.

“Kebetulan? Dia kawanmu? Kau hendak membelanya, bukan?” kata Pak-kiang jadi gusar. “Terus terang saja kukatakan, walaupun bagaimana, aku tidak bisa mempercayai perkataanmu! Walaupun ini akan memalukan dan meruntuhkan namaku, tetapi memang sebenarnya terjadi! Timpukan batu kerikilnya tidak bersuara, dan menyambar tahu-tahu menghantam kepalaku!

“Jika memang dia tidak mengerti ilmu silat dan tidak memiliki lweekang, tidak mungkin dia bisa menimpukkan batu tanpa menimbulkan suara..... Lagi pula, aku pun memiliki pendengaran yang tajam, tentu aku bisa merasakan berkesiuran angin serangan atau mendengar suara mendesir menyambarnya batu itu.....

“Akan tetapi tadi, batu itu, dua kali pula aku tidak mendengar suara menyambarnya batu tersebut..... Jika memang bukannya pemuda pelajar itu memiliki lweekang, mana mungkin dia bisa menimpukkan batu kerikil tersebut dengan cara seperti itu?!”

Setelah berkata begitu, tampak Pak-kiang mengawasi pelajar baju putih itu dengan sorot mata yang tajam sekali, dan sikap menyelidiki.

Sedangkan pelajar baju putih itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar, dia malah tertawa-tawa dengan sikap yang tenang. Diapun malah menghampiri Pak-kiang, katanya:

“Maaf! Sungguh-sungguh tadi Siauwte tidak bermaksud untuk menimpuk kepala Lojinke..... Siauwte hanya bermaksud menimpuk air empang itu belaka..... akan tetapi tanpa disengaja tetah mengenai kepala Lojinke! Maaf! Maaf!”

Setelah berkata begitu, pelajar tersebut merangkapkan ke dua tangannya, dia menjura memberi hormat.

Setelah mengawasi sekian lama, akhirnya Pak-kiang berkata: “Baik! Aku memaafkan mu!” Sambil berkata begitu berbareng tangan kanannya telah mengibas. Gerakannya perlahan sekali, akan tetapi dia telah mempergunakan lima bagian tenaga dalamnya.

Hok An yang menyaksikan itu jadi menguatirkan sekali keselamatan jiwa pelajar tersebut.

Namun pelajar tesebut telah berdiri tegak waktu Pak-kiang menggerakkan tangannya. Diapun tengah tersenyum, tangan kanannya dimajukan memperlihatkan dua butir batu kerikil yang masih berada di telapak tangannya.

“Masih ada dua butir lagi.....!” katanya sambil melangkah maju menghampiri Pak- kiang. Dia menghampiri ke arah sebelah kanan Pak-kiang.

Gerakan langkahnya dilakukannya tepat dan berbareng dengan gerakan tangan Pak- kiang, sehingga angin kibasan tangan Pak- kiang jatuh di tempat kosong, sebab pemuda pelajar itu telah berada di sebelah kanannya.

Semua itu terjadi seperti juga tidak disengaja oleh pelajar tersebut, malah waktu itu dia telah menyambungi perkataannya:

“Sesungguhnya Siauwte masih ingin menimpuk air empang itu dengan sisa ke dua butir batu kerikil ini. Tapi dengan adanya kejadian ini hati Siauwte jadi tidak enak.....!” dan pelajar baju putih itu telah membuang batu kerikilnya ke tepi empang.

Bukan main mendongkolnya Pak-kiang, dia merasa dipermainkan pemuda pelajar itu. Akan tetapi di samping mendongkol, hati Pak-kiang pun tercekat, karena gesitnya pemuda itu menghindarkan diri dari kibasannya, walaupun gerakan si pemuda pelajar dilakukannya seperti tidak disengaja.

Sedangkan pelajar berbaju putih itu membawa sikap tetap tenang, seperti juga dia tidak jeri menghadapi Pak-kiang, seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan, karena pemuda pelajar itu masih juga tertawa-tawa, lalu katanya,

“Jangan marah-marah seperti itu, karena aku tidak sengaja menimpuk kepalamu, Lojinke..... Bukankah akupun telah meminta maaf?! Hu Hu! Ada ajaran Locu, jika seseorang meminta maaf kepadamu, berikan maafmu itu. Dan sekarang mengapa Lojinke seperti juga tidak hendak memaafkan Siauwte?”

Jelas dengan berkata seperti itu, pelajar berbaju putih tersebut hendak mengejek Pak-kiang. Akan tetapi Pak-kiang tidak memperdulikan ejekan tersebut, malah disertai suara mengerang perlahan, dia maju lagi buat mencengkeram pemuda baju putih itu.

Waktu pemuda pelajar berbaju putih itu mengelakkan serangannya, Pak-kiang tidak meneruskan meluncurnya tangannya, dia telah menotok dengan jari telunjuk tangan kirinya. Dari ujung jari telunjuk itu meluncur angin serangan yang kuat sekali, menuju ke arah dada pemuda pelajar berbaju putih itu.

Serangan Pak-kiang yang pertama tadi ternyata hanya merupakan gertakan belaka, waktu pelajar itu berusaha berkelit, justeru dia membarengi dengan serangan yang sesungguhnya

Pelajar itu memang agak terkejut menerima serangan seperti itu, karena Pak-kiang bukan lawan biasa. Namun pelajar ini masih dapat bergerak cepat sekali, dia bisa menghindarkan diri.

Cuma saja, karena Pak-kiang pun bukan lawan sembarangan, walaupun pelajar itu telah berkelit cepat luar biasa, tokh tetap saja dia masih kena terdorong oleh tenaga totokan tangan Pak-kiang. Beruntung, pelajar itu masih sempat mengempos semangat dan tenaganya buat memperkuat kuda-kuda ke dua kakinya, sehingga dia tidak perlu sampai kejengkang ke belakang dan hanya terdorong mundur dua tindak.

Itu telah cukup buat Pak-kiang, karena dia membarengi buat menyerang lagi dengan caranya yang luar biasa.

Pelajar berbaju putih itu menyadari, bahwa dia tidak boleh main-main dan berayal menghadapi Pak-kiang, karena Pak-kiang bukanlah sebangsa lawan yang dapat dihadapi dengan mudah. Cepat sekali pelajar itu membuka kipasnya, mempergunakan kipasnya itu yang telah disalurkan hawa murninya untuk menyampok tangan kanan Pak-kiang yang tengah meluncur ke arahnya.

“Oho, oho..... rupanya hebat juga kepandaianmu!” kata Pak-kiang sambil menarik pulang tangannya sebelum kipas itu membentur tangannya.

Hanya saja, begitu dia menarik pulang tangan kanannya, segera juga kakinya digeser, dia menghantam dengan sikut tangan kanannya ke arah iga pemuda pelajar berbaju putih itu. Gerakannya begitu cepat, dia hendak “makan” pemuda pelajar itu dengan cara yang tidak diduga oleh siapapun juga, karena gerakan yang dilakukan oleh Pak-kiang merupakan serangan yang sulit sekali dilakukan oleh orang sembarangan.

Karenanya, dalam keadaan seperti ini, tampak pemuda pelajar itu sendiri agak kaget. Namun dasarnya nakal, dia cepat sekali dapat menghindarkan diri dan melompat sejauh dua tombak. Cuma saja buat kagetnya, belum lagi sepasang kakinya hinggap di atas tanah, Pak-kiang telah menyerang dengan ke dua telapak tangannya, yang didorongkan ke arah pemuda pelajar itu.

Kali ini benar-benar hati pemuda pelajar tersebut terkesiap, karena di saat itu tubuhnya segera juga terjengkang ke belakang, akibat dorongan ke dua telapak tangan Pak-kiang.

Baru saja Pak-kiang hendak menyusul lagi dengan dorongan berikutnya, karena dia tidak mau membuang-buang kesempatan, di waktu itulah terlihat betapa ke tiga orang tokoh persilatan lainnya, yaitu See-bun, Tong-ling dan Lam-siong telah melompat naik ke daratan juga. Mereka bertiga hampir berbareng berkata:

“Sungguh tidak tahu malu! Sungguh tidak tahu malu! Mengapa kau harus melayani seorang anak masih hijau seperti dia?!”

Pak-kiang kaget diejek seperti itu, rupanya dia tersadar cepat sekali. Dia nyengir pahit, kemudian katanya: “Benar! Benar.....! Mengapa aku harus melayani setan cilik ini? Tetapi kegembiraan kita telah terganggu! Kali ini belum lagi kita bisa puas mengadu ilmu telah diganggu setan cilik ini! Tentunya kita harus bersabar selama lima tahun pula, sampai nanti kita saling bertemu lagi.....?”

See-bun mengangguk.

“Ya, hitung-hitung kita sekarang seri dan tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah!” katanya.

“Hitung-hitung bagaimana?!” tanya Tong-ling sambil memperlihatkan sinis. “Apakah kau ingin mengartikan bahwa jika tidak ada setan cilik itu kau yang akan muncul sebagai pemenang dan sekarang engkau hanya mengalah, maka engkau mempergunakan kata hitung-hitung?!”

See-bun tertawa terbahak-bahak.

“Ya, kukira begitulah kira-kira!” katanya.

“Tidak bisa!” kata Tong-ling dengan suara yang nyaring. “Jika memang engkau beranggapan seperti itu, lebih baik kita lanjutkan terus pertempuran kita kali ini, sampai kita memperoleh kepastian, siapakah di antara kita sebenarnya yang akan memperoleh kemenangan dan siapa yang akan jatuh sebagai pecundang?!”

See-bun tertawa tawar.

“Dengan disaksikan setan cilik itu dan juga.....” berkata sampai di situ, dia menoleh ke pada Hok An, katanya lagi: “Juga disaksikan oleh setan melarat itu? Hu! Hu! Bagaimana mungkin kita bisa bermain-main dengan gembira, karena tentu mereka berdua akan mengganggu kesenangan kita.....!”

Ke empat tokoh itu berdiam diri sejenak, sampai akhirnya See-bun berkata: “Ya, kita seri..... nanti lima tahun lagi barulah kita menentukan siapa yang menang, dan siapa yang kalah.”

Setelah berkata begitu, tiba-tiba tangan See-bun bergerak, dia telah melontarkan tiga batang jarum yang berukuran cukup besar kepada Tong-ling, Pak-kiang dan Lam-siong.

Ke tiga orang itu tidak berkelit, mereka hanya menantikan sampai jarum yang menyambar ke arah mereka itu hampir tiba, barulah ke tiga orang tersebut mengibaskan tangannya.

Kembali Hok An menyaksikan pemandangan aneh luar biasa! jarum-jarum yang dikebut oleh ke tiga orang itu, mendadak menjadi cair..... luluh, seperti juga jarum itu terkena hawa yang panas bukan main!

Itu menunjukkan bahwa lweekang ke empat orang itu memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Sambaran jarum yang cepat dan kuat itu mereka tidak elakkan saja, melainkan telah disampok dan membuat jarum itu yang terbuat dari baja jadi luluh! Bagaimana jika seoraag manusia yang dikibaskan seperti itu oleh mereka? Tentu tubuh manusia itu akan hangus dan hancur karenanya.

Lam-siong pun tidak tinggal diam, dia telah menggerakkan tangannya melontarkan tiga butir pelor yang meluncur kepada ke tiga orang lawannya.

Sama seperti tadi, See-bun bersama dua tokoh lainnya itu telah mengibaskan tangan mereka, pelor besi itu menjadi luluh juga. Bergantian Pak-kiang dan Tong-ling pun telah melemparkan paku baja dan panah besi. Akan tetapi telah luluh pula.

Rupanya dengan cara bergantian melemparkan senjata rahasia itu, mereka ingin memperlihatkan lweekang mereka masing-masing memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali!

Hok An hanya memandang terpaku di tempatnya, demikian juga dengan pelajar berbaju putih itu, dia telah berdiri dengan hati terkesiap.

Jika sebelumnya, walaupun menyaksikan ke empat orang tokoh rimba persilatan itu, Lam-siong, Pak-kiang, Tong-ling dan See-bun dapat bergerak lincah sekali di atas daun teratai yang mengambang di permukaan air empang, dia hanya menduga mungkin ginkang ke empat orang itu sudah tinggi dan terlatih baik!

Akan tetapi setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, di depan puncak hidungnya, barulah pemuda pelajar berbaju putih itu menyadarinya, bahwa kepandaian ke empat orang itu sudah sulit dijajakinya. Sehingga tidak mudah baginya untuk dapat menandingi ke empat orang itu. Walaupun pelajar berbaju putih itu yakin bahwa dirinya pun memiliki kepandaian yang tinggi tokh belum sampai pada tingkat yang dapat meluluhkan jarum atau pelor baja, yang tengah menyambar kepadanya dengan hanya mengibaskan tangannya!”

Dengan begitu, pemuda pelajar berbaju putih itu merasa kagum dan takjub, dia jadi berdiam diri saja. Sedangkan ke empat tokoh rimba persilatan itu yang masing-masing memiliki sifat yang aneh sekali, telah melompat dengan ringan, tahu-tahu lenyap.

Memang selamanya Pak-kiang, See-bun, Tong-ling dan Lam-siong hanya ingin mengerahkan seluruh perhatian mereka pada kepandaian mereka berempat saja, dan tidak pernah mau diusili orang lain dan juga tidak mau mengusili orang lain! Karena itu, mereka berempat dengan segera meninggalkan tempat tersebut setelah melihat pemuda pelajar itu dan Hok An mengganggunya.

◄Y►

Lama juga Hok An berdiri di tempatnya, sampai pemuda pelajar berbaju putih itu telah menghampirinya, dia menjurah dan katanya: “Siauwte Lie Ko Tie mengunjuk hormat buat Locianpwee. Bolehkah Siauwte mengetahui siapa adanya Locianpwe? Tadi Locianpwe bermaksud baik pada Siauwte, sungguh membuat Siauwte merasa berterima kasih, karena Locianpwe memikiri keselamatan Siauwte.....!”

Dan tampak pemuda pelajar itu, yang tidak lain dari Lie Ko Tie, telah menjurah tiga kali, memberi hormat kepada Hok An dengan bungkukkan tubuh yang dalam.

Hok An cepat-cepat membalas hormat pemuda itu, katanya sambil tertawa. “Tadinya kukira engkau tidak memiliki kepandaian apa-apa..... Sungguh pandai sekali engkau berpura-pura tidak mengerti ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya, engkau sebenarnya seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Jika saja tadi aku yang diserang seperti itu oleh orang yang tampaknya galak itu, tentu aku tidak bisa mengelakkan diri. Sungguh membuatku jadi kagum sekali padamu, kongcu......!”

Lie Ko Tie segera mengeluarkan kata-kata merendahkan diri, kemudian baru berkata lagi: “Ke empat orang itu benar-benar aneh sekali, di samping kepandaian mereka yang tinggi luar biasa. Apakah Locianpwe mengetahui siapa adanya mereka?!”

Hok An mengangguk, kemudian katanya: “Ya, aku hanya mengetahui sedikit saja. Mereka itu terdiri dari See-bun, Pak-kiang, Tong-ling dan Lam-siong. Ke empat orang itu memang merupakan orang yang memiliki perangai sangat aneh sekali, karena mereka tidak pernah mau mencampuri urusan di dalam rimba persilatan.

“Mereka hanya saling mengadu kepandaian dengan sesama mereka berempat. Maka walaupun mereka merupakan tokoh rimba persilatan yang sebenarnya memiliki kepandaian sangat tinggi sekali, tokh mereka tidak banyak dikenal orang.....!”

Pemuda pelajar itu Lie Ko Tie, mengangguk dengan meleletkan lidahnya.

“Sungguh beruntung aku tidak sampai dihajar mereka!” katanya. “Jika saja mereka berempat menyerangku dengan cara mengeroyok, jangan harap aku masih bisa hidup sampai sekarang ini!!”

Hok An tersenyum.

“Kongcu ingin pergi ke mana?!” tanyanya

“Hanya mengikuti ke mana saja sepasang kakiku ini mengajak.....!” kata Ko Tie. “Dan Locianpwe.....?”

“Akupun tidak mengetahui harus pergi ke mana, karena aku sedang bingung.....”

“Sedang bingung?” tanya Ko Tie heran dan memandang tajam pada Hok An. “Locianpwe memiliki kepandaian yang tinggi, dan juga tampaknya seorang yang memiliki perangai dan adat yang bebas. Mengapa harus bingung, bukankah di delapan penjuru di dunia ini adalah tempat kita?!”

Hok An menghela napas.

“Ya, jika memang aku seorang diri, aku tidak bingung......!” katanya.

“Bukankah Locianpwee hanya seorang diri,.....?” tanya Ko Tie.

“Ya..... memang sekarang seorang diri, akan tetapi bersamaku ikut seorang gadis cilik!” kata Hok An.

“Ikut dengan Locianpwee seorang gadis cilik?!” tanya Ko Tie mengulangi pertanyaannya dengan heran.

“Ya.........!”

“Di mana gadis cilik itu?!”

“Disana..... mari kita ke sana....., aku telah meninggalkannya cukup lama.....!” kata Hok An yang segera teringat kepada si Giok yang tengah tertidur dan ditinggalkannya cukup lama.

Segera juga Hok An tanpa menantikan jawaban pemuda she Lie itu, telah memutar tubuhnya, dia berlari cepat sekali untuk kembali ke tempat di mana dia meninggalkan si Giok.

Sedangkan pemuda pelajar itupun telah mengikutinya, dia tertarik dan ingin mengetahui sesungguhnya apa yang membingungkan Hok An.

Setelah berlari beberapa saat, sampailah Hok An di tempat si Giok berada, sedangkan Ko Tie juga telah melihat seorang gadis cilik yang masih tertidur di bawah sebatang pohon. Wajahnya manis, akan tetapi pada wajahnya itu memancar sinar kedukaan yang mendalam.

“Gadis cilik inikah yang Locianpwe maksudkan?!” tanya Ko Tie.

Hok An mengangguk

“Nasibnya sangat buruk, kasihan sekali si Giok ini!” kata Hok An.

“Kenapa?!” tanya Ko Tie.

Setelah memandang ragu kepada pemuda she Lie tersebut, akhirnya Hok An menceritakan apa yang telah menimpah keluarga Bin Wan-gwee.

Lie Ko Tie menghela napas.

“Di dunia ini ternyata masih bisa terdapat manusia sekejam itu......!” menggumam Lie Ko Tie dengan suara yang serak, kemudian dia telah bilang lagi kepada Hok An: “Locianpwe, sekarang di mana pemuda she Bin yang kejam dan bertangan telengas itu?!”

“Aku sendiri tengah mencari jejaknya, hanya saja sampai sekarang belum berhasil menemukan jejaknya.....!” menjelaskan Hok An dengan wajah yang murung.

Ko Tie menghela napas.

“Baiklah Locianpwe..... aku akan bantu menyelidikinya, jika dalam perjalananku nanti aku bisa bertemu dengan pemuda she Bin itu, aku akan segera menghajarnya, karena orang seperti pemuda she Bin tersebut sangat membahayakan keselamatan umum dan orang banyak.”

Hok An girang hatinya agak terhibur, segera dia mengucapkan terima kasih.

Begitulah, setelah bercakap-cakap beberapa saat lagi, Ko Tie minta diri dan melanjutkan perjalanannya. Hanya saja, waktu dia ingin berlalu, sekali lagi dia menoleh kepada si Giok, hatinya tergerak dan merasa kasihan sekali terhadap diri gadis cilik tersebut.

Hok An kemudian duduk di samping si Giok, setelah Ko Tie berlalu. Dia bersenandung perlahan-lahan, dan sikapnya itu seperti juga sikap seorang ayah yang tengah menina bobokan anaknya, penuh kasih sayang.

Lama juga si Giok tertidur, sampai akhirnya dia terbangun dan melihat Hok An tengah duduk di sampingnya. Gadis cilik tersebut telah duduk, sambil tanyanya: “Paman..... kau tidak beristirahat?!”

Hok An tersenyum sambil menggeleng.

“Cepat sekali kau terbangun, apakah masih letih?!” tanya Hok An.

Si Giok telah mesem, katanya: “Sudah tidak letih lagi paman.....!”

“Jika begitu, mari kita melanjutkan perjalanan, apakah engkau masih lapar?!” tanya Hok An pula.

Si Giok menggeleng, dia menepuk perutnya.

“Masih kenyang.....!” katanya.

Mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pula. Dan diwaktu itu terlihat betapa Hok An sangat menyayangi dan mengasihi si Giok, yang sangat diperhatikan segala kebutuhannya. Karena perasaan duka yang mendalam, di mana wanita yang sangat dicintainya telah tiada, seluruh kasih sayangaya dicurahkan untuk si Giok, hanya saja kasih sayangnya kali ini merupakan kasih sayang seorang ayah terhadap puterinya.....

◄Y►

Hok An mengajak si Giok untuk berkelana di dalam rimba persilatan, menyelidiki jejak Bin Lung Hie. Sejauh itu Bin Lung Hie seperti telah lenyap masuk ke dalam bumi, sehingga sama sekali tidak terdengar kabar berita mengenai diri pemuda she Bin tersebut.

Hok An sebagai seorang yang berpengalaman dalam rimba persilatan sesungguhnya mengetahui alasan yang tepat tidak berhasilnya dia menyelidiki jejak Bin Lung Hie, karena pemuda itu merupakan seorang yang tidak ternama di dalam rimba persilatan.

Dengan demikian tidak banyak orang-orang kalangan Kangouw yang mengetahui perihal dirinya. Itulah sebabnya mengapa Hok An memperoleh kesulitan buat menemui jejak pemuda she Bin tersebut.

Hok An berduka sekali dan bersakit hati karena kematian Un Kim Hoa, wanita yang sangat dicintainya itu dan telah binasa gara-gara Bin Lung Hie, karenanya walaupun sulit mencari jejak Bin Lung Hie, tetap juga Hok An berkelana di dalam rimba persilatan buat mencari jejaknya.

Si Giok yang memperoleh perlakuan penuh kasih sayang dan dimanjakan oleh Hok An semakin lama jadi semakin menurut dan menyadari bahwa Hok An tidak bermaksud jahat padanya, karenanya rasa takutnya juga telah mulai lenyap tidak menguasai diri gadis cilik ini pula.

Malah dalam berbagai kesempatan, Hok An seringkali menceritakan betapa ia mempunyai hubungan yang intim dengan Un Kim Hoa. Hanya saja disebabkan usia si Giok terlalu kecil, dia hanya mengerti bahwa Hok An memang sangat baik pada ibunya, mereka seperti merupakan kawan baik belaka!

Akhirnya Hok An mengajak si Giok sampai di gunung Hoa-san, sebuah gunung yang memiliki sejarah dalam rimba persilatan, karena di gunung inilah seringkali orang-orang gagah ternama dalam rimba persilatan, yaitu Lima Jago Luar Biasa telah mengadakan pertemuan dan mengadu ilmu.

Dan riwayat dari ke Lima Jago Luar Biasa itu yaitu See-tok, Oey Yok Su dan juga Ong Tiong Yang, Ang Cit Kong maupun It Teng Taysu, telah dua kali mengadakan pertemuan di Hoa-san ini, terkenal dengan sebutan Hoa-san-lun-kiam.

Akan tetapi waktu Hok An dan si Giok sampai di gunung Hoa-san tampak sepi dan sunyi sekali, mereka juga tidak bertemu dengan seorang manusia pun juga. Keadaan yang begitu tenang, dengan pohon-pohon yang tumbuh subur sekali, dan udara yang nyaman, benar-benar merupakan tempat yang sangat menyenangkan sekali.

Si Giok itupun sangat senang sekali, dia berlari-lari di gunung tersebut sambil tertawa-tawa, karena dia berhasil mengejar beberapa ekor kupu-kupu, yang ditangkapnya kemudian dilepaskannya kembali. Juga dia memetik beberapa kuntum bunga hutan yang terdapat di situ yang diciumnya dan tampaknya gadis cilik ini jadi terbuka hatinya dia gembira sekali.

Dalam keadaan seperti itu, hati Hok An terharu bukan main. Dia berpikir, jika saja ibu gadis tersebut tidak terbunuh oleh Bin Lung Hie, niscaya gadis cilik ini lebih bahagia lagi, betapa dia akan memperoleh kasih sayang dari ibunya sehingga gadis cilik tersebut, si Giok, memperoleh pertumbuhan yang wajar. Akan tetapi sekarang justeru puteri hartawan kaya yang sekarang jadi berkelana bersamanya, hanya dapat bergembira seorang diri dengan ditemani oleh dirinya.

Begitulah, Hok An membiarkan si Giok berlari-lari naik ke puncak gunung Hoa-san, ssmakin lama semakin tinggi. Hanya sekali-kali saja Hok An berseru: “Giok hati-hati..... jangan terlalu kencang larimu, nanti engkau tergelincir.....!”

Namun si Giok tetap lincah dan tertawa-tawa dengan riang berlari-lari mendaki terus. Tampaknya berada di gunung Hoa-san ini benar-benar menyenangkan hati gadis cilik tersebut, yang terhibur karena alamnya yang indah dan nyaman, penuh dengan bermacam-macam pohon bunga. Dengan demikian, telah membuat Hok An pun ikut terhibur melihat gadis cilik itu yang bergembira ria.

Tengah si Giok berlari-lari kencang tiba-tiba ada bayangan hitam yang besar berkelebat, kemudian bayangan hitam itu bergeser ke arah barat dari gunung tersebut. Segera juga si Giok mengangkat kepalanya, dan gadis cilik itu jadi berseru girang.

“Paman Hok! Paman Hok! Lihatlah! Lihatlah!” serunya dengan gembira.

Hok An segera melesat ke samping si gadis, karena dia kuatir kalau-kalau ada ancaman sesuatu pada diri gadis cilik ini.

“Kenapa Giok?” tanya Hok An dengan suara berkuatir sekali.

Si Giok menunjuk ke atas, di mana tampak terbang seekor burung rajawali putih, dengan bentuk tubuhnya yang sangat besar sekali.

“Lihatlah paman Hok..... betapa indahnya burung rajawali putih itu.....!” kata si Giok dengan gembira. “Jika saja aku, bisa berkawan dengannya dan bisa naik di punggungnya sehingga bisa diajak terbang bersamanya, oohh, betapa menggembirakan sekali!”

“Kau mau naik di punggung burung rajawali itu?!” tanya Hok An

“Ya paman, untuk terbang bersamanya!” kata si Giok dengan suara mengandung pengharapan dan juga kegembiraan.

“Jika begitu, biarlah akan kutangkap dan kuperintahkan nanti agar burung rajawali itu membawamu terbang di tengah udara!” kata Hok An.

“Ohh....., jangan paman..... jangan.....!” mencegah si Giok.

“Kenapa?!” tanya Hok An heran dan mengawasi si gadis cilik tersebut.

Si Giok tidak tertawa, dia memperlihatkan sikap sungguh-sungguh.

“Jika paman Hok menangkapnya, nanti burung itu bersedih, dia tentu membenciku..... Jika memang dia membenci paman dan aku, niscaya diapun tidak bersedia membawaku terbang! Terlebih lagi, jika sampai burung itu dipaksa tidak berdaya. Bukankah harus dikasihani......?!”

Hok An tersenyum.

“Dia hanya seekor burung belaka....., jika kita tidak menjinakkannya, tidak mungkin dia akan menurut!” kata Hok An berusaha menjelaskan kepada si Giok.

Si Giok menggeleng.

“Jangan Paman..... nanti burung itu bersedih!” katanya, tetap mencegah. “Atau jika nanti paman berusaha menjinakkannya dan dia melawan, niscaya paman akan mempersakiti dia! Jangan paman..... biarlah burung itu pergi, aku tidak mau naik di punggungnya lagi...... biarlah burung itu pergi!”

Hok An menghela napas.

“Giok! Giok!” pikir Hok An di dalam hatinya. “Betapa mulia dan luhurnya jiwamu sama seperti ibumu waktu berpacaran denganku..... Betapa lembut dan penuh kasih sayang terhadap makluk manapun juga! Hanya saja aku heran, mengapa setelah menikah dengan Bin Wan-gwe, ibumu itu jadi tidak acuh sama sekali padaku, seperti juga dihatinya tidak berbekas sisa cinta kasih kami di masa lalu?!”

Sesungguhnya, apa yang dirasakan oleh Hok An merupakan hal yang biasa saja. Hanya saja, disebabkan Hok An lebih menitik beratkan kepada soal perasaan, maka dia lebih cenderung ingin melihat sambutan yang hangat dari Un Kim Hoa.

Mengingat dia telah memperjuangkan sekian tahun mencari-cari Un Kim Hoa, dan akhirnya waktu bertemu, setelah bersengsara sekian tahun, dia memperoleh sambutan yang tawar dari Un Kim Hoa, sehingga menyebabkan dia kecewa. Sebenarnya, memang demikianlah kewajaran yang ada.

Walaupun bagaimana mesranya pasangan muda-mudi yang berkasih-kasihan, akan tetapi jika hubungan terputus dan si gadis menikah dengan orang lain, tentu saja dia harus menghargai suaminya. Tidak bisa pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu membuat dia menyambut dengan hangat.

Walaupun dihatinya timbul pergolakan melihat bekas pacarnya, kekasih yang dulu sangat dicintainya, gadis yang telah menjadi isteri orang lain tersebut akan menindih dalam-dalam perasaannya itu. Semua itu faktor yang terpenting adalah rasa tanggung jawab bahwa ia telah menjadi milik orang lain.

Maka jika saja Hok An menyadari hal itu, niscaya dia tidak akan kecewa seperti itu. Memang dimasa berpacaran dapat memperoleh sambutan yang hangat panas, dan sambutan yang dingin belakangan ini diterimanya adalah merupakan hal yang wajar.

Waktu itu burung rajawali putih, yang seluruh bulunya berwarna putih mulus bagaikan gumpalan salju tersebut, telah berputar-putar beterbangan di sekitar tempat itu. Si Giok mengawasinya dengan hati yang ingin sekali berkawan dengan burung rajawali tersebut. Hanya saja disebabkan dia kuatir kalau-kalau nanti Hok An mempersakiti burung itu buat memaksanya agar menjadi jinak, si Giok akhirnya menekan keinginannya sendiri dan lebih rela jika burung rajawali itu dilepaskan pergi.

Burung rajawali itu telah terbang seputaran lagi, kemudian mengeluarkan suara pekikan dan terbang menjauh ke arah barat, ke arah dari mana tadi dia mendatangi.

Hok An menghela napas.

“Seekor burung rajawali yang bagus dan menarik sekali dengan bulunya yang putih bagaikan salju.....!” menggumam Hok An.

Si Giok mengawasi burung rajawali putih itu terbang menjauh dan akhirnya lenyap di balik awan. Dia berlari-lari lagi dengan sikap tidak gembira seperti tadi.

Hok An yang selalu memperhatikan gerak gerik si Giok, jadi merasa kasihan padanya. Dia mengetahui bahwa si Giok ingin sekali untuk dapat terbang di punggung burung rajawali putih itu. Maka diam-diam Hok An bertekad, ia akan menangkap burung rajawali putih itu dan menjinakkannya, agar kelak dapat membawa si Giok terbang di tengah udara.

Begitulah, mereka telah berada di dekat sebuah hutan kecil di dekat puncak gunung Hoa-san tersebut. Karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali jurang-jurang yang cukup dalam, maka Hok An melarang si Giok berlari-lari lebih jauh. Dia kuatir kalau-kalau si Giok tergelincir dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang.

Mereka mengaso di bawah sebungkah batu besar yang di sampingnya tumbuh subur sekali pohon-pohon bambu. Hawa udara di tempat itu nyaman dan sejuk sekali.

Sejak bertemu dengan burung rajawali putih si Giok lebih banyak duduk berdiam diri. Dia berobah jadi seorang gadis pemurung, dan jarang sekali bicara.

Perobahan yang terjadi pada diri gadis cilik ini membuat Hok An pun berkurang kegembiraannya.

“Giok.....!” panggil Hok An ketika melihat si Giok tengah duduk termenung.

Si Giok menoleh dan coba memaksakan diri tersenyum, tanyanya: “Ada apa paman Hok?!”

“Kau tengah memikiri burung rajawali putih itu, bukan?!” tanya Hok An.

Si gadis memandang tertegun kepada Hok An, tampaknya dia ragu-ragu, sampai akhirnya dia mengangguk.

“Ya.....!” dia mengakui juga. “Burung rajawali itu indah sekali, jika saja Giok bisa berteman dan bermain dengannya, tentu aku merasa gembira sekali!”

Hok An terharu. Itulah perasaan yang biasa terdapat pada diri setiap anak kecil, Memang anak-anak umumnya senang bermain-main.

Namun dalam usia sekecil itu justeru si Giok telah mengembara berkelana bersama Hok An, sehingga dia tidak memiliki kesempatan buat bermain-main dengan anak-anak sebayanya. Dia selalu bermain seorang diri, dan hanya ditemani oleh Hok An. Karena dari itu, terhadap burung rajawali berbulu putih itu, jelas keinginan si Giok untuk dapat berteman dan bermain dengan rajawali putih tersebut, mengganggu perasaannya.

Si Giok telah berdiri dari duduknya, katanya: “Paman Hok, Giok ingin pergi ke tempat itu dulu.....!” Dia mennnjuk ke arah bungkahan batu yang cukup tinggi.

Hok An mengangguk.

“Hati-hati..... kau jangan sampai tergelincir.....!” kata Hok An yang berpesan begitu, karena di tempat tersebut cukup bahaya buat si Giok yang tidak memiliki ginkang sama sekali, sekali saja tergelincir tentu dia akan terjerumus ke dalam jurang atau jatuh dari tempat yang tinggi.

Si gadis mengangguk, dengan berlari-lari kecil, gadis cilik tersebut telah pergi kebungkahan batu itu. Dia menaiki dengan cukup bersusah payah ke atas batu yang cukup tinggi itu.

Setelah berhasil berada di atas bungkahan batu yang cukup tinggi tersebut, si Giok memandang sekitarnya, dilihatnya pemandangan di sekitar tempat itu memang menarik dan indah sekali.

Tengah si gadis memandang kiri dan kanan seperti ingin menghibur diri dan melupakan burung rajawali putih yang selalu menggoda hatinya, tiba-tiba gadis cilik itu melihat sesuatu di tengah udara. Dua titik yang tampak terbang pesat sekali menghampiri ke arah tempatnya berada. Titik yang satu merupakan titik hitam, sedangkan titik yang satunya lagi merupakan titik putih, yang setelah dekat baru terlihat jelas.

“Paman Hok! Paman Hok!” tiba-tiba si Giok berteriak-teriak. “Lihatlah paman Hok..... Cepat! Cepat!”

Bagaikan terbang Hok An telah melesat ke arah bungkahan batu itu. Dengan sekali menjejak kakinya, tubuhnya telah melambung naik ke puncak batu tersebut. “Dia kuatir kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam keselamatan si Giok.

“Ada apa Giok?!” tanya Hok An berkuatir bukan main sambil mengawasi sekelilingnya.

“Lihatlah paman Hok.....!” menyahuti si gadis sambil mununjuk ke arah dua titik itu. “Burung rajawali putih itu yang tadi..... di belakangnya mengejar burung rajawali lainnya, yang berbulu hitam.....!”

Hok An mengikuti arah yang ditunjuk si Giok. Dilihatnya memang di angkasa tengah terbang burung rajawali putih itu, yang dikejar cepat sekali oleh burung rajawali hitam, yang tubuhnya lebih besar dari burung rajawali putih.

Bahkan burung rajawali hitam itu tampaknya ganas sekali, burung itu terbang cepat sekali seperti juga hendak mencengkeram dengan ke dua kakinya, atau juga mematok.

Burung rajawali putih itu sambil terbang beberapa kali mengelakkan diri dari patukan burung rajawali hitam tersebut, akan tetapi tampaknya burung rajawali putih itu sudah letih sekali.

Cuma saja disebabkan burung rajawali hitam itu selalu mengejarnya dan juga terbang cepat sekali, ke mana saja burung rajawali putih tersebut terbang, tentu dia terkejar dan sampai akhirnya setelah terbang lagi sekian lama dia berada di dekat tempat di mana si Giok dan Hok An berada. Burung rajawali hitam itu tidak bisa membiarkan burung rajawali putih terbang lebih lanjut. Dia telah menghadang, terpaksa burung rajawali putih itu memberikan perlawanan.

Pertempuran yang terjadi di antara kedua ekor burung rajawali itu, burung rajawali putih dengan burung rajawali hitam, berlangsung seru sekali. Mereka mempergunakan sepasang kaki buat mencakar atau juga mencengkeram, mempergunakan patok mereka buat mematok lawannya, juga mereka mempergunakan kibasan sayap mereka yang kuat sekali.

Cuma saja rupanya burung rajawali putih itu sudah letih bukan main, walaupun mati-matian dia memberikan perlawanan, tokh dia terdesak sekali, di mana berulang kali dia telah kena dicakar dan dipatok oleh burung rajawali hitam tersebut.

Dengan begitu, pertempuran ke dua ekor burung rajawali itu telah barlangsung pincang. Burung rajawali putih lebih sering terkena, serangan dari burung rajawali hitam, dan terdengan suara pekikannya yang berulang kali.

Akan tetapi, disebabkan burung rajawali putih itu sudah tidak berdaya menyingkir, jalan satu-satunya dia hanya mati-matian mengadakan perlawanan terus. Tubuhnya juga telah banyak yang terluka, karena di antara bulu-bulunya yang putih itu, tampak warna merah darah.

Di antara pertempuran ke dua burung rajawali itu juga tampak bulu-bulu ke dua burung tersebut yang telah bercopotan, terbang di tengah udara, dibawa oleh hembusan angin beterbangan ke sana kemari. Yang paling banyak bulu-bulu putih, dari burung rajawali putih yang bulunya rontok cukup banyak.

Menyaksikan lagi sekian lama, si Giok rupanya sudah tak bisa menahan kekuatiran hatinya, segera dia berkata kepada Hok An: “Paman Hok..... cepat kau tolongi burung itu..... burung rajawali hitam itu sangat jahat sekali....., lihatlah, burung rajawali putih itu tidak berdaya..... Jika dia terus juga memaksakan diri buat melakukan pertempuran dan perlawanan kepada burung rajawali hitam itu, niscaya akhirnya dia akan terbinasa dipatoki burung rajawali hitam itu.....!”

Hok An mengiyakan beberapa kali, namun diapun bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya buat menolongi burung rajawali putih itu. Walaupun bagaimana tingginya ginkang Hok An, tidak mungkin dia bisa melompat ke udara dalam ketinggian di mana sepasang burung rajawali itu, rajawali hitam dan putih tengah bertarung.

Namun, diapun memang tidak bisa membiarkan begitu saja burung rajawali putih yang sudah tidak berdaya tersebut dianiaya terus oleh burung rajawali hitam itu. Akhirnya, setelah si Giok memaksanya beberapa kali buat menolongi burung rajawali putih itu, Hok An teringat sesuatu. Dia segera bersiul nyaring sekali. Suara siulan tersebut melengking nyaring seperti bergema di sekitar tempat itu.

Burung rajawali putih yang mendengar suara siulan Hok An, seperti juga tertarik perhatiannya, dia mengeluarkan suara pekikan, tahu-tahu dia meninggalkan lawannya, yaitu burung rajawali hitam, tubuhnya telah terbang menukik dengan pesat sekali menghampiri Hok An.

Sedangkan Hok An yang melihat usahanya memanggil burung rajawali putih itu berhasil, jadi girang. Tampaknya burung rajawali putih ini cerdik sekali, di mana dia seperti mengerti bahwa Hok An bermaksud menolongnya, hanya saja disebabkan Hok An tidak bisa terbang seperti dia, maka burung rajawali putih itu sengaja terbang menukik ke tempat Hok An. dengan harapan rajawali hitam itu tentu akan mengejarnya.

Benar saja, burung rajawali hitam tersebut tidak membiarkan burung rajawali putih tersebut melepaskan diri darinya, karena sama cepatnya burung rajawali hitam tersebut telah menukik juga, dia mengejarnya.

Hok An segera mengerahkan tenaga lweekangnya, dia menantikan sampai burung raja wali putih itu hinggap di sebuah batu di dekatnya, dan burung rajawali hitam itu telah menukik turun akan terbang menyambar burung rajawali putih, di saat itulah Hok An telah membarengi dengan sampokan ke dua tangannya sekaligus.

Sampokan tangan Hok An sesungguhnya mengandung tenaga yang dahsyat. Akan tetapi menghantam burung rajawali hitam tersebut, dia hanya berhasil menahan meluncurnya burung rajawali itu dan mendorongnya sedikit saja. Kemudian tanpa kurang suatu apapun juga dengan memekik marah, burung rajawali hitam itu menyambar kepada Hok An, menggerakkan sayap kanannya menyampok kepala Hok An.

Kibasan sayap burung rajawali hitam tersebut kuat sekali, karena kibasan itu membuat tubuh Hok An seperti diterjang oleh suatu kekuatan yang sangat hebat, sampai Hok An hampir saja terpelanting, jika dia tidak keburu mengerahkan tenaganya pada ke dua kakinya dengan tipu “Memberatkan Tubuh Selaksa Kati”.

Sedangkan burung rajawali hitam itu telah terbang menukik lagi ketika melihat Hok An tidak terpelanting oleh kibasan sayapnya. Dia telah menyambar akan mematok pula, hebat cara dia menyerang. Burung rajawali hitam tersebut pun penuh perhitungan dia tidak berani datang terlalu dekat, dia memisahkan diri dalam jarak tertentu karena dia rupanya kuatir juga akan sampokan tangan Hok An.

Hok An melihat cara burung rajawali hitam itu menyerang dirinya, diam-diam terkejut, karena cara menyerang burung rajawali hitam tersebut seperti juga memiliki perhitungan. Diam-diam Hok An jadi kagum sekali, karena seekor burung rajawali ternyata bisa menyerang dengan taktik dan penuh perhitungan, pula tenaga sampokan dari sepasang sayap burung rajawali tersebut sangat kuat sekali.

“Aku tidak bisa melayaninya dengan kekerasan, karena akan sia-sia belaka merubuhkannya! Jika dia kesakitan dapat kuserang, diapun akan dapat terbang pergi..... aku harus mempergunakan taktik lainnya.....!”

Karena berpikir begitu, maka Hok An tidak berusaha menangkis sampokan sayap dari burung rajawali hitam tersebut. Dia menantikan sampai rajawali hitam itu terbang menukik lebih dekat lagi, dan ketika burung rajawali hitam tersebut bermaksud akan terbang naik pula.

Kesempatan ini dipergunakan Hok An menjejakkan sepasang kakinya, dengan cepat sekali dia telah melesat ke tengah udara, dan tubuhnya berjumpalitan. Kemudian hinggap di punggung burung rajawali hitam itu, dengan sepasang tangan memeluk leher burung rajawali itu.

Bukan main kagetnya burung rajawali tersebut, sampai memekik-mekik dan membawa Hok An terbang tinggi. Burung rajawali ini juga sebentar terbang menukik, lalu terbang naik ke atas pula, miring ke kiri dan ke kanan, mengipas-ngipaskan sepasang sayapnya, seakan juga dia tengah berusaha buat menjatuhkan Hok An dari atas punggungnya.

Akan tetapi usaha burung rajawali hitam tersebut tidak berhasil, karena Hok An tetap saja memeluk kuat-kuat leher burung rajawali hitam itu, demikian juga sepasang kakinya telah melingkari perut burung rajawali itu. Walaupun burung rajawali hitam itu melakukan gerakan-gerakan menukik yang tajam, tokh tetap saja dia tidak berhasil menjatuhkan Hok An dari atas punggungnya.

Hok An mengerahkan tenaganya, dia memeluk lebih keras, di samping sepasang kakinya menjepit lebih kuat juga.

Burung rajawali hitam itu memekik-mekik karena merasakan lehernya seperti tercekik kuat sekali, sulit buat bernapas. Dan semakin lama cekikan di lehernya semakin kuat juga, membuat dia jadi lemas sendirinya. Tubuhnya akhirnya terbang meluncur ke bawah sebuah jurang, terus juga meluncur dengan gerakan seperti sudah tidak bisa mengendalikan tubuhnya, sayapnya itu telah mengibas-ngibas kacau sekali.....

Hok An girang, yakin bahwa tidak lama lagi dia akan berhasil buat merubuhkan lawannya ini, maka semangatnya terbangun dan dia juga terus merangkul semakin kuat, dia tidak mau mengendorkan lingkaran tangan dan jepitan kakinya.

Benar-benar burung rajawali hitam itu sulit bernapas, sehingga dia jadi begitu panik dan telah terbang turun ke dasar jurang, kemudian bergulingan di dasar jurang itu.

Hok An terkejut, dia tidak menyangka. bahwa burung rajawali hitam ini memiliki akal seperti itu, dia jadi bingung juga. Batu-batu yang tersampok sepasang sayap burung rajawali hitam tersebut beterbangan, demikian juga debu beterbangan menghalangi pandangan matanya.

Akhirnya terpaksa Hok An melepaskan rangkulan pada leher burung rajawali itu, demikian juga jepitan ke dua kakinya. Tubuhnya dengan ringan melesat menjauhi burung rajawali hitam tersebut.

Sedangkan burung rajawali hitam itu merasakan lingkaran dan cekikan di lehernya telah mengendor, dan kemudian terlepas, juga jepitan ke dua kaki Hok An telah terlepas tanpa membuang-buang waktu lagi, dia terbang naik pula dengan cepat, sambil memekik nyaring marah sekali.

Namun pelajaran pahit yang tadi dialaminya benar-benar membuat burung rajawali hitam itu tidak berani terlalu lama berada di tempat itu. Begitu dia terbang keluar dari dasar jurang, dia terbang ke arah barat, sambil memekik tidak hentinya, sampai akhirnya dia telah terbang pergi jauh, lenyap di dalam gumpalan awan.

Hok An tersenyum, dilihatnya tebing jurang itu sangat tinggi sekali. Dia bersiul nyaring.

Burung rajawali putih itu seperti mengerti apa maksud siulan Hok An, karena cepat sekali dia terbang menukik turun ke dalam jurang. Kemudian Hok An dengan duduk di- punggung burung rajawali putih, telah dibawa terbang naik ke atas jurang itu.

Setelah Hok An melompat turun, burung rajawali putih itu berdiri di hadapan Hok An dan si Giok kepala ditundukkan tiga kali seperti juga menyatakan terima kasihnya.

“Kau terluka cukup berat, mari kuobati.....!” kata Hok An.

Tetapi burung rajawali putih itu tidak mengerti apa yang dikatakan Hok An. Dia telah memekik nyaring, kemudian mementang sepasang sayapnya dan terbang meninggalkan tempat tersebut, akhirnya lenyap dari pandangan mata Hok An dan si Giok.

Hok An menghela napas dalam-dalam, tampaknya dia menyesal tidak bisa mengobati burung rajawali putih itu, yang terluka cukup berat. Jika memang burung rajawali putih itu tidak segera diobati, dikuatirkan dia akan mengalami hal yang tidak diinginkan.

Sedangkan si Giok jadi termenung, dia murung sekali. Rupanya gadis cilik ini memikirkan benar keselamatan burung rajawali putih itu, sampai dia tidak banyak bicara. Walaupun Hok An berusaha menghiburnya, akan tetapi selanjutnya si Giok jadi pemurung dan pendiam.

Akhirnya Hok An mengambil suatu keputusan katanya kepada si Giok: “Mari kita lihat keadaan burung rajawali putih itu! Dia terbang ke arah puncak di sebelah barat, kita pergi ke sana mencari sarangnya..... Siapa tahu kita berhasil menemui tempat kediamannya, sehingga kita bisa mengobatinya!”

Mendengar perkataan Hok An itu, barulah wajah si Giok berseri-seri, dia jadi girang dan bersemangat.

“Bisakah kita menemui tempat kediaman burung rajawali putih itu, paman Hok?!” tanya si gadis cilik.

“Ya, mudah-mudahan kita berhasil!” kata Hok An.

Begitulah dengan si gadis digendong di belakangnya, Hok An telah berlari-lari menuju ke arah puncak sebelah barat di gunung itu. Namun perjalanan di puncak gunung itu sulit sekali dan berbahaya, karenanya Hok An tidak bisa melakukan perjalanan dengan cepat, di mana akhirnya dia memerlukan waktu satu harian buat dapat tiba di sebelah barat puncak gunung itu.

Keadaan di sebelah barat puncak gunung itu ternyata sama indahnya dengan keadaan di sebelah selatan. Hanya saja keadaan di sana lebih banyak terdapat batu-batu gunung yang tertutup salju, dan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu sedikit sekali.

Hok An mengajak si Giok mencari sarang burung rajawali putih itu. Dia berusaha mencari di berbagai goa-goa yang terdapat di dinding jurang yang terdapat di tempat tersebut. Akan tetapi sejauh itu mereka tidak juga berhasil untuk memperoleh tempat kediaman burung rajawali putih itu.

Tiba-tiba si Giok melihat sesuatu di kejauhan, dia menunjuk sambil berseru: “Paman Hok lihat!”

Hok An melihat ke arah tempat yang ditunjuk si Giok, di atas tumpukan salju terlihat seekor burung menggeletak diam. Karena bulunya yang berwarna putih, maka tidak mudah dilihat begitu saja. Ternyata burung yang menggeletak di atas tumpukan salju tersebut tidak lain dari burung rajawali berbulu putih itu.

Bagaikan terbang Hok An mengajak si Giok menghampiri burung rajawali putih tersebut. Dan setelah berada di dekatnya, ternyata burung rajawali tersebut dalam keadaan terluka yang parah sekali.

Diam-diam Hok An jadi terheran-heran. Waktu tadi terluka oleh serangan burung rajawali hitam, luka burung rajawali putih ini tidak demikian hebat. Sekarang tampaknya benar-benar dia tertuka parah sekali. Segera Hok An memeriksanya.

Burung rajawali putih itu belum mati, sayapnya masih bergerak perlahan-lahan. Waktu melihat Hok An dan si Giok, tampaknya burung rajawali putih tersebut terbangun semangatnya dan girang, dia mengeluarkan suara memekik yang perlahan dan lemah.

Hok An segera bertanya: “Siapakah yang telah melukaimu lagi?!”

Burung rajawali itu hanya memekik dan menggerakkan sayapnya menunjuk ke arah tebing jurang di sebelah kanannya, dia seperti menunjuk ke arah sana.

Hok An memandang ke arah jurusan yang ditunjuk oleh burung rajawali itu. Dia melihat sebuah goa yang sangat besar sekali.

“Disana? Yang melukaimu berada di sana......?!” tanya Hok An.

Burung rajawali putih itu memekik perlahan dan lemah sekali, seperti juga dia membenarkan perkataan Hok An.

Cepat-cepat Hok An menoleh kepada si Giok, katanya: “Kau tunggu disini Giok..... Temanilah burung rajawali itu, agar dia tidak beku kedinginan.....!”

Si Giok mengiyakan dan duduk di sebuah batu yang saljunya telah disingkirkannya, kemudian Hok An menggendong burung rajawali tersebut yang diletakkan di dekat si Giok, agar memperoleh hawa hangat.

Si gadis dengan penuh kasih sayang merangkul burung rajawali tersebut. Hok An juga telah mengeluarkan obat bubuk yang kemudian ditaburkan ke seluruh luka-luka di tubuh burung rajawali tersebut.

Burung rajawali putih itu seperti juga mengerti bahwa ke dua manusia ini tidak bermaksud jahat padanya, dia rebah diam saja.

Selesai mengobati luka burung rajawali itu Hok An berkata kepada Si Giok: “Aku ingin pergi ke sana buat memeriksa keadaan di dalam goa itu..... Aku akan segera kembali, kau tunggu saja di sini.....”

Si gadis cilik mengiyakan.

Hok An segera mempergunakan ginkangnya buat pergi ke goa itu. Dia memang memperoleh banyak kesulitan, sebab dinding dari tebing yang terselubung oleh salju itu licin dan sulit sekali didaki, hanya dengan mengandalkan ginkangnya yang cukup tinggi, Hok An berhasil juga mencapai pintu goa tersebut, setelah mendaki memakan waktu yang cukup lama.

Ternyata goa tersebut sangat lebar dan besar sekali, liangnya sampai sebesar rumah.

Dengan hati berdebar-debar Hok An memasuki goa tersebut, karena hatinya menduga mungkin goa tersebut merupakan goa atau sarangnya burung rajawali hitam.

Ketika melihat keadaan, di dalam goa, dia bertambah heran. Di goa itu tidak terdapat binatang apapun juga, malah di atas tanah tampak legokan yang cukup dalam, seperti juga di tempat itu telah dilalui oleh sesuatu yang berat.

Dengan hati masih bertanya-tanya Hok An memasuki terus goa tersebut, sampai akhirnya dia tiba di sebuah ruangan, yang luas dan lebar sekali.

Yang membuat Hok An bertambah heran, sebelum dia sampai di ruangan dalam goa itu, dia telah melihat sinar yang bercahaya terang dari dalam ruangan itu.

“Apakah di dalam goa ini ada seseorang manusia sakti yang hidup menyendiri?” pikir Hok An yang melihat api penerangan di dalam ruangan itu.

Akan tetapi waktu Hok An telah tiba di depan ruangan dalam itu, dia jadi berdiri menjublek.

Apa yang dilihatnya? Ternyata cahaya terang yang berada di dalam ruangan tersebut bukan berasal dari sinar api lilin, melainkan cahaya sinar yang kemilau dari kepala seekor ular yang berukuran besar sekali.

Ular itu memiliki lingkaran tubuhnya dua kali paha manusia, dengan panjangnya mungkin duapuluh meter, tengah melingkar di dalam ruangan tersebut dan mengawasi ke arah mulut ruangan itu menatap tajam sekali kepada Hok An.

Cepat-cepat Hok An mundur, karena dia kuatir ular itu akan menyerangnya.

Ular raksasa tersebut berdiam diri saja. Sama sekali dia tidak bergerak dari tempatnya itu. Dia hanya mendesis perlahan.

Hok An mengintai dan melihat dengan teliti, dia ingin mengetahui apa yang ingin dilakukan ular itu. Namun melihat ular itu berdiam diri saja Hok An tambah heran.

Biasanya makhluk berbisa seperti ular ini, terlebih lagi ular raksasa, jika melihat mangsanya niscaya akan segera menyerang buat dijadikan santapannya. Tetapi mengapa ular raksasa tersebut malah berdiam diri saja, dan cuma mengeluarkan suara mendesisnya belaka?

Setelah mengawasi sekian lama, akhirnya Hok An memberanikan diri buat muncul di ambang pintu ruangan itu lagi. Dan ular itu mendesis pula, namun tetap tidak menyerang, hanya matanya mengawasi tajam.

Di atas kepalanya seperti juga ada mahkota yang di tengah-tengahnya terdapat batu permata yang bersinar terang sekali! Ternyata, setelah Hok An memperhatikan sekian lama, mahkota yang berada di atas tumpukan kepala ular itu merupakan salju yang telah mengeras dan menjadi semacam batu! Mungkin terlalu lamanya es itu berada di kepala ular raksasa itu, sampai menjadi batu!

Hok An segera dapat menduganya, mungkin juga ular raksasa ini telah bertapa lama sekali, dengan tidak bergerak-gerak, sampai salju yang menutupi kepalanya itu berobah menjadi batu, dan mungkin juga, batu permata yang bersinar kemilau di atas kepalanya itu, merupakan inti es yang telah berobah menjadi batu, sehingga memancarkan sinarnya yang begitu terang kemilau.

Diam-diam Hok An jadi bertanya-tanya di dalam hatinya, apa yang dilihatnya seperti juga berada dalam dongeng-dongeng belaka, seoker ular yang bertapa, dengan batu permata yang kemilau.

“Jika demikian, di dalam dunia ternyata benar-benar terdapat ular naga.....?” berpikir Hok An di dalam hatinya. “Jika ular raksasa ini tidak bisa disebut seekor naga, karena dia tidak bertanduk..... dia hanya seekor ular belaka.....!”

Ular raksasa itu mendesis lagi dengan suara perlahan, tubuhnya bergerak, bukan buat menyerang Hok An, hanya memperbaiki lingkaran tubuhnya itu.

Hok An sendiri yang melihat ular raksasa itu menggerakkan tubuhnya bagian atasnya cepat-cepat bersiap hendak mengelakkan diri dari pintu ruangan tersebut, karena dia kuatir ular raksasa itu mendadak sekali menyerangnya

Waktu itu tampak ular tersebut telah memejamkan matanya seakan-akan tidak mau memperdulikan Hok An pula.

Hok An juga merasa ngeri jika harus berada lama-lama di dalam goa tersebut. Setelah menguasai dirinya beberapa saat segera dia keluar dari goa itu, dan kembali ke tempat si Giok berada.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar