Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 07

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 07
 
Anak rajawali Jilid 07
Mereka heran, ke mana saja mereka pergi burung rajawali putih itu tetap mengikuti saja. Setelah berlari setengah harian, Yo Him dan Sasana berhasil membawa Hok An dan Giok Hoa sampai di lamping gunung Hoa-san. Barulah mereka berhenti dan menurunkan Hok An dan Giok Hoa yang direbahkan di tanah.

Sesungguhnya Yo Him dan Sasana berada di perkampungan itu secara kebetulan saja. Mereka tengah berkelana dan singgah di kampung tersebut.

Dan mereka secara kebetulan mendengar cerita dari mulut ke mulut penduduk kampung itu, betapa belum lama yang lalu ada seorang laki-laki tua dan seorang gadis cilik telah ditangkap oleh beberapa orang tentara Boan yang berpakaian sipil.

Memang penduduk kampung itu selalu diliputi ketakutan belakangan ini, di mana cukup banyak orang-orang yang ditangkapi oleh pasukan tentara Boan tersebut, yang katanya sebagai pengalaman dan penjaga ketertiban kampung itu, banyak juga penduduk itu ditangkap-tangkapi walaupun tidak memiliki kesalahan apapun.

Malah banyak juga penduduk yang mengetahui, setiap orang yang ditangkap itu akan disiksa hebat sekali, karena ada beberapa orang di antara mereka, yang telah disiksa setengah mati, dibebaskan. Namun keadaannya sudah tidak seperti manusia lagi, bercacad sana sini dan keadaannya mengenaskan sekali. Selanjutnya tidak bisa melakukan pekerjaan apa-apa lagi buat mereka, hanya keluarganya yang merawatnya.

Maka dari itu, sekarang di pasar itu telah ditangkap laki-laki tua itu dengan seorang gadis cilik, maka penduduk kampung merasa kasihan sekali pada mereka, yang diketahui oleh penduduk kampung tersebut tentunya bukan anggota Kay-pang atau orang-orang partai pengemis. Walaupun lelaki itu mesum, namun dia tetap rapi dan tidak ada tambalannya. Terlebih lagi gadis cilik itu yang mengenakan pakaian baru.

Yang membuat penduduk kampung itu ramai membicarakan urusan penangkapan itu, karena mereka semuanya merasa kasihan dan bisa membayangkan, betapa gadis cilik itupun akan menjadi korban keganasan tentara Boan itu, di mana gadis cilik itu akan disiksa hebat sekali.

Semula Yo Him maupun Sasana kurang begitu memperhatikan bisik-bisik penduduk kampung itu. Mereka baru memperhatikannya lebih serius waktu di rumah makan, di saat mereka bersantap, beberapa orang pelayan bisik-bisik dengan wajah yang murung.

“Jika memang keadaan seperti ini berlarut-larut, niscaya semua penduduk kampung ini terancam keselamatannya!” kata salah seorang di antara pelayan-pelayan rumah makan tersebut.

“Benar orang-orang Boan itu bisa saja sekehendak hatinya menangkap orang yang kurang mereka senangi, lalu menyiksanya. Dengan begitu, siapa saja tidak akan dapat mempertahankan hak-hak azasi dirinya, maupun menjamin keselamatan dan jiwanya masing-masing, setiap detik bisa saja maut menjemputnya dengan siksaan yang entah berapa hebatnya.”

“Ya,” kata pelayan lainnya. “Beberapa orang yang telah ditangkap tanpa bersalah, kemudian disiksa hebat, waktu mereka dibebaskan kembali, keadaan mereka sudah tidak mirip-miripnya manusia lagi, segala apapun juga tidak bisa mereka kerjakan pula, karena mereka diwaktu itu sudah bercacad hebat. Di samping itupun mereka sudah tidak bisa menggerakkan sepasang tangan dan kaki, tidak bisa melihat dengan baik mempergunakan mata mereka, dan bicaranya juga tergagap.

“Entah siksaan apa yang telah dijatuhkan oleh orang-orang Boan itu kepada orang-orang tersebut! Aku sendiri sampai berpikir, suatu waktu mungkin aku sendiri yang akan ditangkap oleh orang-orang Boan itu dan akan disiksa seperti itu juga, tanpa memiliki kesalahan apapun!”

Para pelayan itu menghela napas dalam-dalam.

“Aku hanya merasa kasihan pada gadis cilik itu, yang ditangkap bersama-sama dengan lelaki setengah tua yang bersamanya, tentu mereka berdua akan disiksa hebat sekali! Aku tahu benar, dan merekapun bukan dari golongan Kay-pang (pengemis), seperti yang selama ini dicari-cari oleh orang-orang Boan tersebut. Akan tetapi tokh mereka tetap saja ditangkap dan pasti mereka akan mengalami siksaan yang hebat sekali.....!” kata salah seorang pelayan itu pula.

Muka mereka murung sekali. Dan perhatian Yo Him serta Sasana jadi tertarik oleh pembicaraan para pelayan tersebut, karena memang sejak tadi mereka telah mendengarnya perihal penangkapan terhadap diri gadis cilik itu dan lelaki setengah baya yang sesungguhnya tidak bersalah itu.

Dengan demikian, Yo Him dan Sasana jadi bertanya-tanya. Entah apa yang telah terjadi di perkampungan ini, sehingga tampaknya semua penduduk kampung tersebut dikuasai oleh kegelisahan seperti itu.

Sampai akhirnya Sasana telah menganjurkan Yo Him agar mereka pergi ke tempat orang-orang Boan tersebut, buat membebaskan si gadis cilik dan lelaki tua yang diduga adalah ayah gadis cilik tersebut.

Yo Him pun menyatakan persetujuannya, karena memang dia tertarik sekali mendengar urusan penasaran itu. Malah lebih jauh Yo Him dan Sasana mendengar percakapan para pelayan itu.

“Pembesar Kwee Tayjin yang memimpin orang-orang Boan itu, memiliki kepandaian yang tinggi, karena dari itu, jika kita hendak melawan, dengan mempergunakan kekerasan, kukuatir nanti membawa akibat yang tidak baik-baik untuk kita semua......!”

“Sttt......!” waktu dia baru berkata sampai di situ, kawannya telah memberi isyarat, kemudian saling memandang ke sekeliling mereka. Selanjutnya, mereka tidak bercakap-cakap pula, apalagi mereka melihat Yo Him dan Sasana mengawasi ke arah mereka. Karenanya, para pelayan tersebut bubar.

“Apakah lebih baik kita menanyakan urusan itu pada para pelayan tersebut?” tanya Sasana.

Yo Him menggeleng, dia tidak menyetujuinya.

“Nanti bisa menyebabkan mereka ketakutan, lebih baik-baik kita bertanya-tanya saja di luar, tempat beradanya markas dari pembesar orang-orang Boan itu, yaitu Kwee Tayjin!”

Sasana menyetujui usul Yo Him. Begitulah mereka telah meninggalkan rumah makan tersebut. Dengan bertanya-tanya pada beberapa orang penduduk, walaupun dengan perasaan segan dan takut-takut, penduduk yang ditanya Yo Him memberitahukan tempat kediaman dari panglima orang-orang Boan itu.

Disebabkan itu pula mengapa Yo Him dan Sasana bisa tiba di tempat kediaman Kwee Tayjin dan telah menolongi Hok An serta Giok Hoa.

Sekarang, setelah berhasil menolongi Giok Hoa dan Hok An, Yo Him dan Sasana telah membawanya pergi keluar perkampungan cukup jauh. Malah mereka telah membawanya sampai ke lamping gunung Hoa-san tersebut.

Dan kini mereka beristirahat dengan merebahkan Giok Hoa dan Hok An di tanah, karena mereka melihat betapa luka yang diderita oleh Hok An sangat parah.

Cuma saja mereka sangat bersyukur sekali bahwa Giok Hoa tidak terluka dan belum teraniaya. Karena dari itu Yo Him telah mengambil tempat obatnya, dia mengeluarkan semacam obat bubuk, dan memborehkan pada kaki dan bagian lainnya anggota tubuh Hok An yang terluka. Bahkan mulutnya yang telah rusak karena siksaan orang-orangnya Kwee Tayjin itu, telah diobatinya.

“Dilihat dari parahnya luka yang diderita orang ini, mungkin dalam waktu satu bulan keadaannya baru bisa pulih kembali.....!” kata Yo Him, seperti juga berkata kepada dirinya sendiri.

Sasana membenarkan, dan dia telah membantu membalut luka pada kaki Hok An, Sedangkan Giok Hoa juga diurus oleh Sasana.

Begitulah, setelah Giok Hoa tersadar dari pingsannya. Sasana mengajaknya bercakap-cakap. Memang Sasana puteri dari seorang pangeran Boan juga, yaitu pangeran Ghalik, akan tetapi karena kematian ayahnya dan juga karena telah tertanam di dalam hatinya perasaan antipati terhadap orang-orang Boan.

Dia sekarang benar-benar berdiri di pihak orang-orang Han. Apalagi sekarang ini dia menyaksikan kekejaman dari orang-orang Boan itu, yang telah menyiksa sekehendak hati mereka dengan ganas dan buas, menyebabkan Sasana jadi semakin membenci orang-orang Boan.

Giok Hoa yang mengetahui dirinya dan juga Hok An telah ditolong oleh Yo Him dan Sasana, jadi girang dan berulang kali mengucapkan rasa syukurnya dan juga terima kasihnya. Sedangkan Hok An sendiri masih pingsan, karena dia menderita terlalu hebat, membuat dia tidak bisa segera tersadar dengan cepat.

Yo Him telah berusaha menyadarkan Hok An. Namun usahanya itu tetap gagal, karena Hok An tetap pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya Yo Him telah menotok beberapa jalan darah di tubuh Hok An. untuk menyadarkan laki-laki itu.

“Apakah dia ayahmu?!” tanya Sasana kepada Giok Hoa.

“Bukan...... dia pamanku, Cie-cie..... paman Hok An!” menjelaskan Giok Hoa.

“Mengapa kalian bisa ditangkap orang-orang Boan itu?!” tanya Sasana lagi.

“Kami sendiri tidak mengetahui, kami tidak pernah berbuat suatu kesalahanpun juga, akan tetapi orang-orang Boan itu justeru telah menangkap kami, bahkan orang-orang Boan itu memaksa paman Hok agar mau mengakui bahwa kami dari Kay-pang..... Aku sendiri tidak mengetahui, entah apa maksud mereka dengan yang disebut Kay-pang itu!”

Sasana tersenyum, kemudian menghela napas dalam-dalam.

“Sudahlah adikku, kau jangan terlalu bersedih!” menghibur Sasana, karena dilihatnya mata Giok Hoa telah memerah, seperti juga gadis cilik itu akan menangis.

Sedangkan Giok Hoa telah mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

“Jika tidak ada Cie-cie dan Koko itu, niscaya aku berdua dengan paman Hok akan teraniaya lebih hebat di tangan orang-orang Boan itu.....!” kata Giok Hoa pula.

Sasana menghela napas lagi, dia mengusap-usap punggung Giok Hoa, katanya: “Memang sekarang ini orang-orang Boan tampaknya tengah mengganas, di mana mereka mengumbar angkara murka mereka tanpa memikirkan keselamatan dan kepentingan rakyat! Memang orang-orang Boan tengah melakukan pengejaran terhadap orang-orang Kay-pang, di mana setiap anggota Kay-pang akan ditangkap mereka dan disiksa hebat......!”

“Sebenarnya Cie-cie, apakah itu Kay-pang?” tanya Giok Hoa masih tidak mengerti. “Paman Hok diperintahkannya agar mengaku sebagai orang Kay-pang dan selanjutnya dijanjikannya tidak akan disiksanya lebih jauh.”

Sasana memandang gadis cilik ini sejenak, usianya masih terlalu kecil. Jika memang dia menceritakan sejelas-jelasnya, belum tentu gadis cilik ini bisa mengerti akan ceritanya tersebut dan juga duduk persoalannya. Maka dia telah berpikir untuk memberikan penjelasan singkat saja.

Namun belum lagi Sasana menceritakan segalanya, waktu itu Hok An telah mengeluarkan suara keluhan dan tersadar dari pingsannya. Dia mengeluh dan merintih kesakitan, sebab, begitu dia siuman dari pingsannya, seketika dia menderita kesakitan yang hebat sekali, membuat dia sangat menderita.

“Tenang..... tenang.....!” menghibur Yo Him segera. Dan juga pemuda ini mengeluarkan botol obatnya, diberikan beberapa butir kepada Hok An, yang segera diperintahkannya agar menelan pil tersebut.

“Kau akan segera sembuh, dan pil itu akan mengurangi penderitaan dan perasaan sakitmu.....!” menjelaskan Yo Him.

Hok An belum bisa mengucapkan suatu apa pun juga dengan jelas, karena mulut dan bibirnya yang bengkak besar juga pecah-pecah, di samping bagian dalam mulutnya terluka hebat sekali. Dengan demikian membuat Hok An tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.

Sedangkan Giok Hoa yang melihat paman Hok nya itu telah siuman dari pingsannya, segera memburunya, sambil menangis dia ingin menubruk untuk memeluk paman Hok nya itu.

Akan tetapi Yo Him mencegahnya.

“Jangan ganggu dia dulu, biarkan dia tertidur..... dia menderita luka yang parah sekali. Jika dia tidak bisa berdiam dengan tenang, lukanya itu akan membuatnya menderita hebat sekali. Maka dari itu nona kecil, biarkan saja dia beristirahat dulu, buat menenangkan hatinya. Siksaan yang dialaminya itu pasti telah membuat goncangan jiwa yang tidak ringan bagi dirinya......!”

Giok Hoa bisa dibujuk Yo Him, dan dia telah mengangguk sambil menghapus air mata nya.

“Koko..... apakah paman Hok ku itu akan sembuh seperti sedia kala?” tanya Giok Hoa.

Yo Him mengangguk sambil tersenyum.

“Ya, ya, ya...... memang dia akan sembuh kembali seperti sediakala. Dan juga dia akan dapat bicara dan berjalan seperti biasa serta mengasuhmu karena dari itu, nona engkau tidak perlu terlalu kuatir..... pergilah engkau bercakap-cakap dengan Cie-ciemu.....”

Giok Hoa mengucapkan terima kasih, segera juga dia berlalu untuk menghampiri Sasana. Dan diapun setelah duduk bertanya lagi, “Cie-cie..... sesungguhnya apakah itu Kay-pang.....?”

Sasana tersenyum.

“Baiklah adikku, aku akan menjelaskan serba singkat saja, agar kau mengerti duduknya persoalan!” kata Sasana kemudian.

“Sesungguhnya Kay-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang mengumpulkan dan mengorganisasikan pengemis-pengemis di seluruh daratan Tiong-goan ini. Karena terjadi suatu gerakan, di mana Kay-pang berusaha menumpas bangsa Boan yang menjajah negeri kalian maka telah terbunuh Koksu negara Mongolia juga beberapa orang gagah lainnya dari Mongolia.

“Dengan demikian Kaisar Boan itu telah perintahkan semua pasukannya untuk memusuhi Kay-pang juga mengeluarkan firman, untuk menangkap-nangkapi orang Kay-pang. Dan kalian berdua telah dituduh sebagai orang-orang Kay-pang, lalu ditangkap dan disiksa......! Hemm, itulah pekerjaan dari manusia-manusia tidak punya guna, karena para tentara negeri yang telah menerima perintah dari atasannya, yang menerima firman dari Kaisar, maka mereka bekerja dengan serabutan.

“Semua orang yang mereka curigai akan ditangkap, bahkan orang-orang yang tidak bersalah tentu akan ditangkap dan disiksa, maka semua orang penduduk di kampung itu membenci orang-orang Boan tersebut, di mana beberapa orang penduduk kampung itu telah ada yang ditangkap dan menderita hebat karena disiksa, padahal mereka tidak bersalah sama sekali.

Giok Hoa mendengar cerita Sasana dengan sepasang mata yang terpentang lebar-lebar mengawasi Sasana, dia tidak mengerti, mengapa justeru pengemis-pengemis yang harus dimusuhi Kaisar Boan itu.

Sedangkan Sasana telah berkata lagi: “Sekarang..... sekarang ini memang banyak sekali orang yang menderita karena firman dari Kaisar Boan tersebut. Tentara negeri yang tidak punya guna dan tidak bisa bekerja dengan baik-baik, sehingga mereka tidak berhasil menangkap-nangkapi orang-orang Kay-pang, segera asal tangkap saja penduduk biasa, yang mereka tuduh sebagai anggota Kay-pang, kemudian memberikan laporan ke atasan mereka, berapa banyak orang “Kay-pang” yang telah mereka tangkap-tangkapi itu. Yang akhirnya menjadi korban justeru adalah penduduk setempat juga, yang akhirnya telah disiksa dengan hebat oleh mereka, yang dipaksa agar mau mengakui sebagai orang-orang Kay-pang......”

Giok Hoa mengangguk-angguk beberapa kali, katanya dengan penasaran: “Pantas mereka telah memaksa paman Hok agar mau mengaku sebagai orang Kay-pang..... Tidak tahunya mereka itu semuanya merupakan manusia-manusia tidak punya guna yang tidak bisa melaksanakan firman Kaisar mereka, guna menangkap-nangkapi orang-orang Kay-pang.

“Lalu mereka telah menangkapi orang orang yang tidak bersalah dan tidak berdaya yang akan mereka paksa untuk mengaku sebagai orang Kay-pang. Dengan demikian di mata atasan mereka, semua orang-orang Boan itu bisa bekerja dengan baik-baik dan mereka telah berhasil menangkap cukup banyak orang-orang Kay-pang!”

“Benar adikku, apa yang kau katakan itu memang tepat sekali!” kata Sasana. “Memang begitulah kejadian yang sebenarnya......” Setelah berkata begitu, Sasana menghela napasnya dalam-dalam.

Yo Him waktu itu tengah mengawasi Hok An yang kini telah tertidur nyenyak, karena memang obat yang diberikan olehnya tadi mengandung bius, dan dapat membuat seseorang yang memakan obat itu akan tertidur nyenyak, guna mengurangi penderitaannya dari sakit yang dideritanya. Sekarang melihat Hok An telah tertidur nyenyak, dengan bibir yang bengkak besar dan keadaannya yang sangat mengenaskan sekali, telah membuat Yo Him hampir saja menitikkan air mata.

Sedangkan Sasana sendiri berusaha menghibur Giok Hoa.

Disaat itu, Yo Him menghela napas dalam-dalam dan bangkit dari duduknya. Dia telah menghampiri Sasana, katanya: “Keadaannya cukup parah, sulit bagi kita menyembuhkan keseluruhannya tanpa memiliki obat-obat yang manjur benar- benar..... Apakah kita lebih baik membawanya ke kota yang terdekat dengan tempat ini, agar dapat seorang tabib mengobatinya dengan baik?”

Sasana tidak segera menyahuti, dia berdiam diri beberapa saat, sampai akhirnya dia telah bilang: “Jika memang demikian, bukankah pada akhirnya hanya akan membuat orang ini terancam bahaya yang tidak kecil, karena dia tentu mengalami suatu keadaan yang sangat menguatirkan sekali..... Tentu akan membuat orang-orang Boan yang mengejarnya pasti akan menyelidikinya di sekitar tempat ini. Kalau memang terjadi seperti itu, niscaya akan membuat jiwanya benar-benar terancam.

“Walaupun kita berusaha untuk melindunginya, akan tetapi tetap saja suatu waktu, setelah dia berpisah dari kita, akan terancam sekali. Karena dia selanjutnya pasti bercacad dan kepandaiannyapun berkurang banyak sekali, disebabkan luka-lukanya seperti ini benar-benar akan membuat dia tidak berdaya jika menghadapi musuh.....

“Gadis kecil itupun tidak bisa melindunginya dengan baik, maka jika memang dia kita tinggalkan bersama gadis cilik tersebut, niscaya akan membuat mereka berdua seperti ditinggal di mulut macan saja.....”

Yo Him tertegun sejenak, dia telah memandang jauh sekali, sepasang alisnya mengkerut dalam-dalam, rupanya dia tengah berpikir keras sekali, sampai akhirnya Yo Him bilang lagi dengan suara ragu-ragu:

“Jika memang demikian, baiklah! Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti, akan tetapi aku kurang yakin bahwa dia hanya sembuh karena obat-obat perbekalan kita ini, yang sangat terbatas sekali.....

“Jika saja sekarang ini kita benar-benar memiliki obat yang benar-benar mujarab, niscaya kita bisa menyembuhkannya dengan baik. Kemungkinan besar kita pun tentu bisa akan melindunginya agar ilmu silatnya tidak sampai lenyap......!”

Sasana menghela napas dalam-dalam.

“Kita lihat saja bagaimana nasibnya. Jika memang ilmu silat dan kepandaiannya lenyap, itulah nasibnya yang buruk sekali. Akan tetapi, didalam hal ini jelas kita harus berusaha untuk melindunginya dalam waktu sementara ini, karena itu, selama dia belum sembuh dan kita belum yakin bahwa orang ini dan gadis cilik itu dalam keadaan aman tidak terancam bahaya di tangan orang-orang Boan itu, barulah kita meninggalkannya!”

Yo Him menyetujui saran yang diberikan Sasana, diapun telah berkata dengan suara yang mengandung penyesalan:

“Hanya saja, aku tidak pernah membayangkan bahwa Kaisar Mongolia itu bisa memiliki hati yang demikian telengas mendatangkan penderitaan tidak ringan buat penduduk daratan Tiong-goan! Jika keadaan ini berlangsung terus, niscaya akan menimbulkan kebencian di hati rakyat..... Dan kukira tidak mungkin Kaisar Kublai Khan dapat bertakhta lebih lama lagi di daratan Tiong-goan ini.”

Sasana hanya menghela napas. “Semua ini hanya disebabkan memang Kaisar itu di dampingi manusia-manusia berhati iblis! Kaisar tentunya telah berhasil dipengaruhi mereka, di mana para Kan-sin (penjilat) itu telah membujuk Kaisar dengan berbagai jalan dan usaha, dengan demikian Kaisar telah menempuh jalan yang salah!

“Memang sebelumnya pasukan perang Kaisar Mongolia sangat kuat sekali. Kaisar pun selalu ikut turun tangan memimpin dalam medan peperangan. Namun sekarang setelah memperoleh kemenangan buat pihaknya, maka dia telah terlena oleh wanita-wanita cantik dan arak..... Jika keadaan seperti ini berlangsung terus, niscaya kerajaan Boan ini tidak berusia panjang dan akan runtuh......”

Begitulah Yo Him dan Sasana bercakap-cakap membicarakan situasi waktu itu di daratan Tiong-goan dan segala apa yang mereka saksikan akhir ini dalam pengembaraan mereka.

Sedangkan Giok Hoa yang tengah berduka karena memikiri keadaan dan keselamatan paman Hok nya tersebut, hanya mendengarkan saja percakapan Yo Him dengan Sasana. Pertama-tama memang dia tidak mengerti urusan yang dibicarakan ke dua orang ini, sebab lainnya dia memang tengah berduka dan tidak berhasrat buat ikut bercakap-cakap.

Sampai akhirnya Yo Him telah menoleh memandang Giok Hoa, katanya: “Beruntung bahwa kau belum sempat disiksa oleh orang-orang Boan itu.....!”

Giok Hoa mengangguk, katanya: “Semua ini berkat pertolongan Koko dan Cie-cie.....!”

Yo Him tersenyum.

“Sebenarnya, ke manakah tujuan kalian!” tanyanya lagi.

“Kami baru saja turun dari gunung Hoa-san, dan bermaksud akan berkelana.....” menjelaskan Giok Hoa dengan jujur: “Dan kami juga....”

Akan tetapi baru saja Giok Hoa berkata sampai di situ, di atas udara tampak melayang-layang sebuah bayangan putih yang besar. Di mana akhirnya setelah ditegasi, ternyata itulah seekor burung rajawali yang memiliki ukuran tubuh sangat besar, dengan sepasang sayap yang lebar. Bukan main girangnya Giok Hoa.

Sedangkan Sasana telah berkata kepada Yo Him: “Sejak tadi burung rajawali putih ini selalu membuntuti kita..... entah apa yang diinginkannya.....”

Baru saja Yo Him ingin menyahuti, tiba tiba Giok Hoa telah bersiul nyaring, disusul kemudian panggilannya: “Tiauw-jie ke mari kau.....”

Dan Giok Hoa yang tampaknya begitu girang, dengan wajah yang berseri-seri, melambai-lambaikan tangannya memanggil burung rajawali berbulu putih seperti seputih salju tersebut.

Burung rajawali putih itu seperti juga mengerti panggilan Giok Hoa, karena burung tersebut sambil mengeluarkan pekik yang nyaring, telah terbang turun dan hinggap di samping Giok Hoa. Waktu dia terbang turun dan hinggap di tanah, maka debu-debu beterbangan, akibat kuatnya gerakan sepasang sayapnya yang menimbulkan angin yang menderu-deru.

Sedangkan Yo Him dan Sasana hanya memandang dengan takjub dan heran, betapa rajawali itu telah menyelesapkan kepalanya ke dalam pelukan Giok Hoa.

Giok Hoa sambil menangis telah mengusap-usap kepala burung rajawali itu.

“Tiauw-jie..... Tiauw-jie...... paman Hok telah disiksa dan dianiaya oleh orang-orang Boan. Keadaannya sangat mengenaskan sekali.....!” kata Giok Hoa kemudian di antara sendat tangisnya.

Tiauw-jie mengeluarkan suara pekik yang perlahan, namun sangat panjang, rupanya dia ikut bersedih hati.

Giok Hoa menunjuk ke arah di mana Hok An tengah rebah dalam keadaan tidur. Tiauw-jie segera juga menghampiri Hok An, kemudian berdiri di samping Hok An dengan air mata berlinang. Diapun memperdengarkan suara pekik yang perlahan sekali.

Menyaksikan semua itu, Yo Him dan Sasana jadi sangat terharu. Dia telah menyaksikan betapa burung rajawali itu seperti juga sikap seorang manusia, yang dapat berduka melihat sahabat atau majikannya yang terluka begitu berat.

Memang Yo Him seringkali mendengar cerita dari ibunya, bahwa dulu ayahnya memiliki seekor rajawali sebagai sahabatnya di mana burung rajawali tersebut sangat liehay sekali ilmu silatnya, burung rajawali itulah yang mengajarkan Yo Ko, ayah Yo Him, berbagai ilmu silat yang liehay.

Begitu juga perihal Kwee Ceng dan Oey Yong, yang memiliki sepasang burung rajawali putih yang sangat jinak dan penurut sekali, telah sering didengar oleh Yo Him.

Sekarang ini justeru disaksikan oleh Yo Him dan isterinya, seekor burung rajawali yang demikian jinak dan juga setia sekali, maka bukan main tertariknya hati Yo Him dan Sasana.

Sedangkan Giok Hoa juga telah menghampiri lebih dekat, berdiri di samping burung rajawali itu.

“Orang-orang Boan itu yang telah menganiaya paman Hok sampai keadaannya demikian mengenaskan.....!” kata Giok Hoa sambil menangis terus dengan berduka sekali.

Setelah memandangi Hok An yang tengah tertidur nyenyak, burung rajawali itu, Tiauw-jie, menoleh kepada Giok Hoa, kemudian mengeluarkan suara pekikan yang perlahan, seperti juga burung itu tengah menanyakan siapa saja orang-orang Boan yang telah menganiaya Hok An.

Giok Hoa seperti juga mengerti, dia telah berkata dengan suara yang menggumam, seperti juga berkata kepada dirinya sendiri. “Kami telah masuk ke dalam perkampungan itu, dan ditangkap oleh orang-orang Boan itu, di mana akhirnya paman Hok dianiaya hebat oleh orang-orang Boan itu. Jika saja Cie-cie dan Koko ini tidak menolongi kami, akupun hampir saja disiksa mereka!”

Burung rajawali tersebut mengeluarkan suara pekik perlahan, sedangkan Giok Hoa memandang ragu-ragu. Rupanya burung rajawali itu meminta agar Giok Hoa naik ke punggungnya.

Akhirnya Giok Hoa menoleh kepada Yo Him dan Sasana, katanya: “Koko dan Cie-cie, Tiauw-jie meminta agar aku mengantarkannya ke kampung itu untuk menunjukkan padanya siapa orang yang telah menganiaya paman Hok ini.....!”

Yo Him dan Sasana jadi heran, memandang takjub.

“Akan tetapi kalian akan menghadapi bahaya yang tidak kecil bagaimana jika burung rajawali itu tidak sanggup menghadapi orang-orang Boan itu, atau terpanah, tentu kau juga akan menghadapi bahaya yang cukup besar.....!” kata Sasana kemudian.

Tetapi burung rajawali itu berulang kali mengeluark.an suara pekik, sampai akhirnya Giok Hoa telah berkata: “Baiklah! Baiklah! Sabar..... aku akan ikut dengan kau.....!”

Setelah berkata begitu, Giok Hoa kemudian berkata lagi kepada Yo Him dan Sasana: “Koko dan Cie-cie, aku hanya akan pergi menunjukkan pada Tiauw-jie di mana letak rumah orang-orang Boan itu, setelah itu aku akan dibawa terbang ke mari lagi. Dan Tiauw-jie akan kembali sendiri ke sana, di mana ia ingin membalas sakit hati paman Hok..... walaupun bagaimana keinginan Tiauw-jie tidak bisa dihalangi lagi.....!”

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Yo Him mengangguk.

“Baiklah, pergilah kau, akan tetapi hati-hatilah, dan cepat kembali!” kata Yo Him.

“Him Koko.....!” seru Sasana ragu-ragu.

“Tidak apa-apa..... bukankah adik kecil itu akan segera diterbangkan kembali ke mari? Biarlah mereka pergi.....!” kata Yo Him kemudian.

Giok Hoa tidak berayal pula melompat naik ke punggung burung rajawalinya, kemudian melambaikan tangannya kepada Yo Him dan Sasana.

Sedangkan Tiauw-jie mulai mementangkan sepasang sayapnya, dia telah terbang membawa Giok Hoa di punggungnya. Semakin lama semakin tinggi, dia terbang menuju ke arah perkampungan itu lagi.

Yo Him dan Sasana yang melihat betapa burung rajawali itu terbang semakin tinggi, jadi merasa ngeri. Dilihatnya Giok Hoa merangkul leher burung rajawali tersebut, dan Sasana kuatir kalau-kalau Giok Hoa terjatuh. Sampai akhirnya Tiauw-jie dan Giok Hoa telah lenyap dari pandangan mata mereka.

Waktu itu Tiauw-jie memang telah terbang semakin tinggi, dan kemudian sampai di atas perkampungan tersebut. Dia terbang berputar-putar.

Giok Hoa mengawasi ke bawah, dan akhirnya dia menepuk kepala burung itu perlahan sekali dengan tangan kanannya, seperti juga mengusap, kemudian dia membisikkan: “Itulah rumah orang-orang yang telah mencelakai paman Hok, itu di depan pintu, mereka itulah yang telah menganiaya paman Hok.....!”

Tiauw-jie terbang lebih rendah, sehingga Giok Hoa bisa menunjukkan rumah yang dimaksudkannya itu lebih jelas pula. Setelah itu Tiauw-jie terbang pulang kembali ke lamping gunung Hoa-san, di mana menanti Yo Him dan Sasana. Sedangkan Hok An masih dalam keadaan tertidur nyenyak.

Tiauw-jie setelah menurunkan Giok Hoa, segera terbang kembali ke arah perkampungan itu.

“Apa yang akan dilakukan Tiauw-jie?!” tanya Yo Him dan Sasana hampir berbareng, karena mereka heran dan menduga-duga apa yang dapat dilakukan oleh burung rajawali tersebut.

“Dia ingin membalas sakit hati paman Hok, tentu Tiauw-jie akan mengamuk di sana!” menjelaskan Giok Hoa.

Apa yang diduga oleh Giok Hoa memang tidak meleset, karena waktu itu Tiauw-jie telah tiba di atas perkampungan itu. Dia terbang berapa kali memutarinya, dan ketika berada di atas gedung dari orang-orang Boan itu, tiba-tiba Tiauw-jie memekik nyaring, tubuhnya meluncur ke bawah dengan pesat. Kemudian waktu tiba dekat genting rumah, sayap kanannya menghantam dengan hebat.

“Prakk.....!” sayap itu menghantam genting bangunan dengan kuat, dan disusul dengan suara hiruk pikuk runtuhnya genting-genting rumah itu, yang telah digempur dengan tamparan yang kuat sekali dari sayap Tiauw-jie.

Malah Tiauw-jie pun bukan hanya menampar satu kali saja. Dia terbang menukik dan menampar lagi, malah ke dua sayapnya itu bergantian telah menghantami rumah tersebut yang jadi porak-poranda.

Di dalam rumah itu terdengar suara ribut-ribut, di mana terlihat betapa beberapa orang berlari-lari keluar dari dalam rumah itu.

Tiauw-jie tidak mensia-siakan kesempatan tersebut, segera ia terbang menukik rendah, sayap kanannya menampar ke arah rombongan orang-orang Boan yang berlari-lari keluar dari rumah tersebut.

Sampokan sayap Tiauw-jie dahsyat luar biasa, orang-orang Boan itu segera terjungkir balik. Malah Tiauw-jie bukan hanya menampar dengan sayapnya saja, waktu orang-orang itu jungkir balik karena diterjang angin sampokan sayap burung rajawali tersebut, Tiauw-jie telah meluncur turun terus, dia mematoki mereka.

Seketika juga orang-orang Boan itu menjerit-jerit kesakitan dan ketakutan. Demikian juga waktu Tiauw-jie mempergunakan kakinya mencengkeram dua orang Boan itu, yang dibawa terbang tinggi, ke dua orang itu menjerit-jerit kesakitan dan ketakutan.

Namun kuku-kuku dari kaki Tiauw-jie sangat kuat menghujam ke dalam tubuh mereka, begitu kuat, sehingga mereka tidak bisa melepaskan diri. Sedangkan Tiauw-jie setelah merasa cukup tinggi membawa terbang ke dua orang tersebut, segera melepaskan cengkeramannya. Seketika tubuh orang itn meluncur jatuh ke bawah dengan jerit ketakutan mereka setengah mati.

Ke dua sosok tubuh orang Boan itu terbanting hebat sekali di atas tanah, dan tidak bergerak pula, diam tidak bernapas, karena mereka telah menjadi mayat.

Tiauw-jie masih tidak puas, masih juga terbang meluncur lagi! Dilihatnya orang-orang Boan yang lainnya tengah berusaha melarikan diri, karena mereka ketakutan kalau-kalau merekapun mengalami nasib sama halnya dengan ke dua kawan mereka, dicengkeram dan dibawa terbang tinggi-tinggi, lalu dilemparkan ke bawah!

Tiauw-jie bergerak cepat sekali, namun orang-orang itu telah keburu mencari tempat persembunyian di rumah penduduk lainnya. Hanya satu orang saja yang berhasil dicengkeram oleh kaki kiri Tiauw-jie. Tanpa buang waktu dan memperdulikan orang itu menjerit-jerit meminta tolong kepada dewa dan Thian, agar dia tidak dilepaskan burung rajawali putih itu dalam ketinggian yang sangat tinggi, Tiauw-jie telah membubung tinggi sekali.

Kemudian setelah terbang cukup tinggi, orang itu dilepaskan kembali meluncur jatuh ke bawah, terbanting keras sekali di tanah, dengan menggeliat karena tulang-tulang di tubuhnya hancur, orang itu kemudian mengejang kaku diam tak bergerak.

Tiauw-jie rupanya masih belum puas, dia mengamuk terus menghancurkan rumah itu, dengan mempergunakan terjangan sayapnya. Tiauw-jie telah menyammpok ke sana ke mari.

Tidak seorangpun dari orang-orang Boan itu yang berani keluar memperlihatkan diri.

Setelah puas mengamuk seperti itu, akhirnya Tiauw-jie terbang meninggalkan tempat tersebut. Dia kembali ke tempat di mana Yo Him, Sasana, Giok Hoa dan Hok An berada.

Setibanya di tempat Hok An berbaring dalam keadaan tertidur nyenyak, burung rajawali putih itu mengeluarkan suara pekik yang nyaring, dari matanya tampak menitik butir-butir air mata yang bening.

Giok Hoa menghampirinya, mengelus-elus lehernya sambil gadis cilik itu telah bertanya, “Apakah kau berhasil membalas sakit hati paman Hok?”

Tiauw-jie mengangguk-angguk seperti juga dia mengerti pertanyaan yang diajukan Giok Hoa.

Malah kemudian kepala burung rajawali tersebut telah digerak-gerakan seperti juga menunjuk ke arah punggungnya, sambil mengeluarkan suara pekikan perlahan. Hal itu menunjukkan bahwa ia meminta Giok Hoa agar naik kembali ke punggungnya.

Giok Hoa menuruti, dia naik kepunggung burung rajawali tersebut, setelah itu Tiauw-jie mengajaknya terbang menuju ke perkampungan itu.

Setibanya melayang di udara di atas perkampungan tersebut, Giok Hoa bisa melihat betapa gedungnya orang-orang Boan itu telah hancur porak poranda, dan juga ada tiga sosok mayat yang menggeletak di jalanan.

Sebenarnya waktu itu ada beberapa orang Boan yang hendak mengangkut ke tiga sosok mayat kawan-kawan mereka yang telah terbinasa karena terbanting hebat. Namun melihat munculnya Tiauw-jie pula, mereka melarikan diri buat mencari tempat perlindungan menyelamatkan diri masing-masing dengan meninggalkan ke tiga kawan mereka yang menggeletak telah menjadi mayat itu!

Terhibur juga hati Giok Hoa menyaksikan itu, dia menepuk-nepuk leher rajawalinya.

“Hebat sekali kau Tiauw-jie!” katanya memuji. “Kau telah membalaskan sakit hati paman Hok, walaupun tidak keseluruhannya, akan tetapi kau telah mengurangi rasa penasaran paman Hok. Kau hebat sekali......!”

Tiauw-jie memekik, kemudian terbang kembali ke tempat Yo Him dan Sasana berada.

Setelah turun dari punggung burung rajawali putih itu, Giok Hoa menceritakan apa yang dilihatnya itu pada ke dua penolongnya tersebut.

Yo Him jadi tersenyum mendengar semua itu dan diam-diam merasa kagum atas kesetiaan burung rajawali putih tersebut terhadap majikannya.

Sasana sendiri telah menepuk-nepuk tangannya, katanya: “Sungguh hebat burungmu itu, adikku!” pujinya. “Dia sangat setia..... dan tenaganya sangat dahsyat sekali!”

Giok Hoa jadi senang juga, kesedihannya berkurang. Namun waktu teringat pada luka-luka yang diderita oleh Hok An, dia kembali menjadi sedih, tanyanya: “Cie-cie..... apakah paman Hok akan sembuh kembali seperti sedia kala?”

Sasana mengangguk sambil tersenyum.

“Jangan kuatir, paman Hokmu itu akan kami usahakan supaya sembuh..... tenangkanlah hatimu!” menghibur Sasana.

Giok Hoa mengucapkan terima kasih.

Tiauw-jie memekik perlahan, dengan kepala yang digerakkan mengangguk beberapa kali kepada Yo Him dan Sasana, seperti juga burung rajawali ini ingin ikut menyatakan rasa syukur dan terima kasihnya bahwa Yo Him dan Sasana telah menolongi Hok An dan Giok Hoa.

Yo Him dan Sasana yang melihat kelakuan burung rajawali tersebut jadi tertawa.

“Akh, burung yang jinak, dan setia sekali!” kata Yo Him dan kemudian melangkah menghampiri Hok An, dan memeriksa keadaan Hok An.

Diperoleh kenyataan Hok An masih tertidur nyenyak sekali, dan pada wajahnya tidak terlihat penderitaan kesakitan pula. Perlahan-lahan Yo Him telah menaburkan obat bubuk, obat luka miliknya pada luka di kaki dan di tubuh Hok An. Juga kemudian mengobati bibir Hok An.

“Kita harus menanti selama satu bulan, sampai luka paman Hok mu ini sembuh, barulah kita bisa meninggalkan tempat ini.....” kata Yo Him.

Giok Hoa mengangguk sambil mengucapkan terima kasihnya pula.

Yo Him segera juga membuat sebuah tenda terdiri dari daun-daun dan cabang-cabang pohon agar Hok An tidak terkena embun di pagi atau di malam hari.

Sedangkan buat Giok Hoa, Yo Him dan Sasana bertiga, telah dibuat sebuah tenda yang ukurannya lebih besar.

Yo Him bekerja cepat sekali, karena dia telah dapat menyelesaikan semuanya itu dengan segera.

Tiauw-jie juga tidak tinggal diam. Waktu Yo Him bekerja, dia telah terbang ke sana ke mari. Tidak lama kemudian Tiauw-jie telah kembali, di mana ia membawa seekor kelinci. Kemudian Tiauw-jie pergi lagi, waktu kembali ia membawa kambing hutan yang cukup besar.

Ketika Tiauw-jie ingin terbang pula, Yo Him jadi repot memberitahukan pada Giok Hoa, bahwa binatang buruan itu telah lebih dari cukup buat mereka.

“Beritahukan burung rajawali itu agar tidak memburu binatang lainnya lagi..... itupun telah lebih dari cukup buat kita! Terlalu banyak pun tidak akan termakan dan hanya akan menjadi busuk belaka......!”

Giok Hoa segera memanggil Tiauw-jie, dan sambil menepuk-nepuk leher burung itu, dia telah memberitahukan pesan Yo Him, agar Tiauw-jie tidak pergi memburu binatang hutan pula.

Tiauw-jie memang jinak dan seperti mengerti apa yang dikatakan Giok Hoa. Karena dia sambil mengeluarkan suara pekik perlahan kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati tempat Hok An. Dan berdiri di situ, dengan kepala tertunduk memandangi Hok An, bagaikan burung rajawali ini tengah berduka sekali dan menguatirkan keselamatan Hok An.

Giok Hoa pun menemaninya, berdiri di samping burung rajawali putihnya.

Yo Him dan Sasana membiarkan Giok Hoa dan burung rajawali itu menemani Hok An yang masih tertidur nyenyak, sedangkan mereka berdua sibuk sekali menguliti ke dua binatang buruan yang telah ditangkap oleh Tiauw-jie.

Dalam waktu yang singkat saja, ke dua ekor binatang itu, kelinci dan kambing hutan, telah dikuliti. Sebagian dipanggang buat makan mereka, sedangkan sisanya telah dikeringkan, untuk santapan mereka di waktu-waktu berikutnya nanti.

Giok Hoa tidak memiliki selera makan, dia hanya makan sedikit sekali. Sedangkan Tiauw-jie sama sekali tidak mau makan, hanya tampak dia selalu menitikkan air mata di samping Hok An yang masih tertidur nyenyak.

Setelah menemani beberapa saat, Yo Him dan Sasana bermaksud beristirahat, namun tiba-tiba Hok An tersadar dari tidurnya, dia merintih kesakitan.

Cepat-cepat Yo Him dan Sasana melompat ke dekatnya. Hok An masih saja merintih tidak hentinya. Malah dia mengigau dengan suhu tubuhnya yang naik tinggi jadi panas luar biasa.

Yo Him dan Sasana jadi agak bingung juga, karena melihat keadaan Hok An yang seperti itu. Dengan tubuh yang panas sekali dan juga selalu mengigau dengan perkataan-perkataan yang sudah ngaco, maka membuat Yo Him dan Sasana tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Hanya saja Yo Him dan Sasana mengetahuinya bahwa keadaan Hok An gawat sekali.

Waktu itu Tiauw-jie pun memperlihatkan sikap bergelisah sekali, malah burung rajawali itu telah berulang kali mengeluarkan suara pekikan perlahan-lahan, agar Hok An mendengarnya. Namun benar-benar Hok An seperti lupa diri, dia seperti juga telah tidak ingat suatu apapun, karena dia masih tetap mengigau dan tubuhnya tetap panas sekali.

Yo Him telah mengeluarkan tempat penyimpanan obatnya. Dari bermacam-macam obat yang dimilikinya, Yo Him telah memilih beberapa butir, dan kemudian memakannya pada Hok An, dengan cara memaksa memasukkan pil-pil tersebut ke dalam mulut Hok An, lalu memegang rahang Hok An.

Hanya saja, Yo Him harus berlaku hati-hati sekali, mulut Hok An tengah terluka hebat, bengkak dan pecah-pecah. Karena dari itu, dia telah melakukan segalanya dengan perlahan, satu kali saja luka-luka di bibir Hok An tersentuh, pasti akan mendatangkan rasa sakit yang luar biasa hebatnya.

Juga Yo Him setelah berhasil “memaksa” Hok An menelan pil-pil obat tersebut, mengeluarkan obat lukanya. Dia menaburkan pada luka di kaki Hok An lagi, dia berusaha agar luka pada kaki Hok An tidak sampai inpeksi yang bisa mengganggu kesehatannya.

Giok Hoa jadi bingung bukan main, dia menangis terus menerus dengan memanggil-manggil paman Hok nya tersebut. Kemudian diapun telah meminta kepada Sasana, agar menolongi paman Hok nya itu, memohonnya berulang kali.

“Kami pasti akan menolongi pamanmu itu, pasti adikku!” kata Sasana. “Kau jangan berduka, tenanglah, karena kami pasti akan menolongi pamanmu itu.....!”

Giok Hoa karena terlalu berduka, dia telah menghampiri Tiauw-jie, kemudian merangkul leher burung rajawalinya. Burung rajawali itupun menitikkan air mata, tampaknya diapun bingung sekali melihat Hok An menderita seperti itu.

Setelah diberi obat oleh Yo Him, berangsur-angsur Hok An tidak terlalu menderita lagi, karena rintihannya tidak sekeras semula. Yo Him agak tenang melihat Hok An tidak menderita sehebat tadi. Namun iapun mengetahui bahwa Hok An tidak bisa disembuhkannya, di samping persediaan obatnya tidak akan sanggup mengobati luka sehebat itu, juga Yo Him tidak mengetahui bagaimana caranya menyembuhkan luka separah tersebut.

Obat-obat yang dimiliki oleh Yo Him memang dapat mengurangi penderitaan Hok An, namun tidak mungkin dapat menyembuhkan keseluruhan luka-luka yang diderita oleh Hok An. Bayangkan saja, Hok An saat itu telah tersiksa begitu hebat. Kuku-kuku jari tangannya yang telah dicabuti semuanya, juga waktu itu bibirnya telah membengkak besar dengan gigi-gigi yang pada rontok, di samping kakinya yang terbakar hangus.

Sasana yang melihat suaminya termenung seperti itu, jadi mendekati, katanya: “Yo Him, apakah orang ini dapat ditolong?”

Yo Him menghela napas, dia melirik pada Sasana, kemudian menoleh memandag pada Giok Hoa yang waktu itu tengah menangis sambil merangkul leher Tiauw-jie, sedangkan burung rajawali itu sendiri menitikkan air mata.

“Sudahlah, memang walaupun bagaimana kita harus mencari seorang tabib yang pandai. Kita harus berusaha menolongi orang ini! Persediaan obatku terbatas sekali, tidak bisa menyembuhkan luka sehebat ini! Obat-obat yang kita miliki hanya dapat mengurangi penderitaan dan rasa sakitnya saja. Itu hanya sekejap belaka dan kemudian dia akan menderita hebat lagi......!”

“Lalu langkah-langkah apa yang ingin kau ambil untuk menolongi orang ini?” tanya Sasana.

“Jika kita meminta pertolongan kepada tabib sembarangan itupun akan percuma, karena tabib-tabib kampung memiliki obat-obat yang biasa saja, karena itu, tidak dapat kita andalkan. Dan yang terutama sekali kita harus berusaha mencari seorang tabib yang benar-benar tangguh, dengan mana kita minta pertolongannya buat bantu menyembuhkan luka-luka yang diderita orang ini.....! Tetapi di mana kita bisa mencari tabib pandai yang kita kehendaki itu? Dan siapa tabib itu?!”

Sasana dan Yo Him jadi bingung sendirinya, karena mencari tabib pandai yang dapat mengobati luka Hok An benar-benar tidak mudah.

Hok An masih juga merintih kesakitan, karena obat penenang yang diberikan Yo Him telah habis daya tahannya.

Giok Hoa jadi menangis semakin sedih sambil memanggil-manggil: “Paman Hok! Paman Hok!” dan Tiauw-jie juga memekik perlahan, seperti juga ingin mengatakan bahwa ia ikut berduka cita.

Yo Him memeriksa keadaan Hok An, hatinya jadi semakin berduka, karena dilihatnya Hok an telah mengalami keadaan yang benar-benar sangat menderita dan parah sekali lukanya, di samping itu, terlihat betapapun memang perkembangan kesehatannya telah terganggu, karena di saat itu Hok An telah mengigau tidak hentinya, bicaranya melantur, diapun telah menggumam dengan suara yang tidak jelas, suhu panas tubuhnya sangat tinggi sekali, sehingga bagaikan di dalam tubuhnya itu terdapat api, dan anehnya, walaupun suhu panas tubuhnya begitu tinggi, tokh ia mengguman: “Dingin-dingin......!”

Yo Him mengkerutkan sepasang alisnya berpikir keras waktu melihat keadaan Hok An seperti itu. Ia mengerti bahwa Hok An tengah terluka parah dan kini tubuhnya terserang demam yang tinggi.

Jika keadaannya ini berlangsung terus, tidak segera ditolong dan diobati, niscaya akan menyebabkan dia menemui kematian. Maka Yo Him telah berpikir keras, berusaha hendak mendayakan menolong Hok An.

Giok Hoa waktu itu mendekati Yo Him, katanya: “Koko...... apakah paman Hok masih dapat ditolong..... Koko.....? Jelaskanlah apakah paman Hok masih dapat ditolong?” Dan berkata sampai di situ, Giok Hoa telah menangis berduka sekali.

“Baiklah, aku akan pergi mencari tabib pandai yang sekiranya bisa mengobati lukanya. mudah-mudahan saja di sekitar tempat ini terdapat tabib pandai yang bisa mengobati lukanya tersebut! Terus terang saja, adikku, persediaan obatku hanya dapat menyembuhkan luka-luka yang ringan. Jika luka yang sedemikian berat dan parah masih tidak memiliki khasiat yang cukup hebat. Karena itu aku harus mencari tabib pandai yang dapat mengobati luka dari paman Hok mu ini......!”

Sasana sendiri jadi ikut bingung. Tanyanya, “Ke mana kau hendak mencari tabib pandai itu, Yo Him?!”

“Coba saja aku akan mengelilingi pegunungan Hoa-san ini, siapa tahu aku bisa bertemu dengan seorang tabib sakti yang hidup menyendiri di tempat sunyi seperti ini. Bukankah banyak orang-orang pandai yang hidup mengasingkan diri dan menyepi di gunung-gunung? “ kata Yo Him.”

Sasana tidak yakin bahwa Yo Him akan herhasil bertemu dengan seorang tabib yang pandai, karena di tempat tersebut merupakan tempat yang sulit sekali bertemu dengan manusia. Memang merekapun sering kali mendengar, bahkan mengetahui seperti kedua orang tua Yo Him dan beberapa jago-jago tua di dalam rimba persilatan, yang hidup mengasingkan diri di tempat yang sulit sekali dicapai oleh orang-orang lainnya. Maka sekarang siapa tahu di Hoa-san ini mereka bisa bertemu dengan seorang sakti yang memiliki obat mujarab?

Yo Him telah bersiap-siap hendak berangkat, dia memesan kepada Sasana, agar berhati-hati menjaga Hok An dan berusaha menghibur Giok Hoa. Setelah itu barulah Yo Him berangkat untuk mengelilingi pegunungan Hoa-san tersebut.

Hanya saja, setelah lewat sekian lama, Yo Him kembali dengan tangan kosong.

“Tidak ada seorang manusia pun yang berhasil kujumpai di puncak gunung ini.....” kata Yo Him kemudian.

Sasana dan Giok Hoa jadi lesu, sedangkan keadaan Hok An tampaknya tambah parah juga.

Yo Him telah mengawasi Hok An dengan sepasang alis mengkerut, sampai akhirnya dia bilang: “Jika terpaksa kita harus membawa paman Hok ini untuk pergi ke kota, di sana kita bisa mengusahakan seorang tabib yang cukup pandai......

“Tetapi dari tempat ini buat mencapai kota cukup jauh, karena itu, kita membutuhkan waktu yang cukup lama dan mungkin paman Hok An tersebut sudah tidak bisa bertahan lebih jauh dan keburu menghembuskan napasnya......”

Memang mereka menghadapi kesulitan yang tidak ringan dalam berusaha menolongi Hok An dari keadaan lukanya yang begitu parah. Giok Hoa yang mendengar keterangan Yo Him itu jadi menangis tambah sedih. Karena dulu dia telah ditinggal mati oleh ayah dan ibunya. Dan sekarang satu-satunya orang yang mengkasihi dan menyayanginya, jiwanya dalam keadaan sekarat.

Karenanya dia jadi berduka saja. Jika sampai Hok An menghembuskan napasnya yang terakhir, berarti akan kehilangan pula Giok Hoa akan orang yang telah mengasihaninya. Selanjutnya, dia benar-benar menjadi seorang anak yatim piatu, tangisnya semakin terisak-isak juga.

Yo Him dan Sasana bersiap-siap untuk berangkat membawa Hok An ke kota yang terdekat dari tempat itu, untuk mencari tabib pandai. Setidak-tidaknya masih ada harapan, kalau-kalau tabib pandai di kota bisa memiliki simpanan obat yang lebih mujarab dan dapat menyembuhkan luka parah Hok An.

Yo Him yang telah membawa Hok An dengan hati-hati, sedangkan Giok Hoa telah digendong oleh Sasana. Tiauw-jie terbang di udara untuk melihat-lihat apakah di depan mereka terdapat kota yang ingin mereka tuju sebagai tempat pertama yang akan mereka datangi.

Sebagai penunjuk jalan, Tiauw-jie terbang lebih dulu dan Giok Hoa telah memerintahkan padanya agar jika memang Tiauw-jie melihat kota itu. Dia harus segera terbang kembali untuk memberitahukan pada mereka.

Begitulah Yo Him, Sasana dan Giok Hoa telah menuruni lamping gunung itu. Yo Him dengan menggendong Hok An yang dalam keadaan setengah pingsan itu, agak sulit juga, walaupun ginkangnya telah tinggi.

Hal ini disebabkan Yo Him harus bergerak perlahan-lahan, agar tidak menimbulkan goncangan yang keras buat Hok An yang lukanya begitu parah. Jika terjadi goncangan. niscaya dapat menimbulkan penderitaan sakit yang sangat hebat bagi Hok An.

Sedangkan Giok Hoa selama digendong oleh Sasana telah menangis tidak hentinya, karena ia merasa berduka. Disamping itu memang iapun menguatirkan sekali keselamatan jiwa dari paman Hok nya itu.

Gadis cilik ini merasa berkasihan sekali terhadap penderitaan dari paman Hok nya tersebut maka dengan menangis seperti itu, gadis cilik tersebut dapat juga mengurangi perasaan jengkelnya. Terlebih lagi memang Sasana telah berulang kali memberikan nasehat dan bujukan agar Giok Hoa tidak perlu terlalu kuatir seperti itu, karena paman Hok nya itu akan diusahakan untuk dapat disembuhkan.

Memang mereka akan berusaha sekuat kemampuan mereka, jika tokh paman Hok itu tidak bisa disembuhkan juga ditolong inilah hanya masalah nasib dan takdir belaka. Yang terpenting menurut Sasana, ia harus dapat menolonginya dengan sekuat kemampuannya.

Dan juga Yo Him tengah berjuang untuk dapat menyelamatkan jiwa dari paman Hok itu. Dan meminta agar Giok Hoa dapat bersikap lebih tenang, agar dapat memberikan ketenangan kepada Yo Him dan Sasana, untuk mengobati dan mencurahkan seluruh perhatiannya pada usaha mengobati Hok An.

Giok Hoa akhirnya dapat dibujuk juga, dia tidak menangis. Dan dia merasakan tubuhnya melayang-layang di gendong Sasana, berlari dengan cepat sekali di lamping gunung itu.

Di kejauhan tampak Tiauw-jie tengah terbang melayang-layang dengan ringan. Burung rajawali itu sebentar terbang jauh sekali, tetapi kemudian terbang kembali ke dekat rombongan Giok Hoa. Tampaknya burung itupun bergelisah sekali.

Dan memang terlihat, burung itu berusaha untuk dapat menemukan sebuah kota atau perkampungan di dekat-dekat tempat tersebut. Sejauh itu, Tiauw-jie masih belum berhasil dengan usahanya tersebut.

Sedangkan Yo Him telah mengambil ke jurusan selatan, ia yakin di bagian selatan dari gunung ini akan terdapat sebuah perkampungan. Untuk mencapai sebuah kota, tentu masih memerlukan waktu yang cukup lama.

Benar saja, tidak lama kemudian tampak Tiauw-jie terbang di atas mereka sambil bercicit tidak hentinya, mengepak-ngepakkan sayapnya dengan kuat.

Giok Hoa melihat ke atas. Ketika melihat Tiauw-jie seperti itu, segera juga Giok Hoa berkata: “Mungkin di sebelah depan terdapat sebuah perkampungan.....!”

“Ya.....!” Sasana membenarkan dugaan Giok Hoa. Iapun tampaknya gembira, tentu memang di sebelah depan terdapat sebuah perkampungan yang telah dilihatnya.

“Hanya saja yang masih jadi tanda tanya, apakah di kampung itu kita dapat menemukan seorang tabib yang pandai?”

Dan sambil berkata begitu Sasana mempercepat larinya mendekati Yo Him.

“Yo Him, di depan mungkin ada perkampungan. Tiauw-jie telah memberitahukannya.....!” teriak Sasana.

Yo Him mengangguk, dan dia telah berkata juga dengan suara yang nyaring: “Benar, mari kita lihat, mudah-mudahan saja di kampung itu kita bisa berjumpa dengan seorang tabib yang pandai.....”

Waktu itu Tiauw-jie telah terbang menukik semakin ke bawah dan memekik semakin keras. Giok Hoa melambaikan tangannya dan burung rajawali putih itu telah terbang menukik semakin ke bawah, ke dekat Sasana yang tengah menggendong Giok Hoa.

“Apakah di depan sana terdapat sebuah perkampungan?” tanya Giok Hoa.

Rajawali putih itu memekik sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali, dan sikapnya itu membenarkan bahwa dia memang telah melihat sebuah perkampungan. Dia seperti juga mengerti akan pertanyaan Giok Hoa.

Sedangkan Giok Hoa telah menoleh kepada Sasana, katanya: “Benar Cie-cie di depan sana tentu terdapat sebuah perkampungan...... ohhh, mudah-mudahan saja kita bisa bertemu dengan seorang tabib yang pandai, sehingga paman Hok dapat tertolong.....”

Sasana mengangguk, katanya: “Mudah-mudahan saja paman Hok itu akan dapat ditolong.....”

Sedangkan Yo Him masih mempergunakan ginkangnya buat melakukan perjalanan lebih cepat lagi. Dan Sasana pun telah mempergunakan ginkangnya, dia berlari-lari sambil menggendong Giok Hoa.

Tiauw-jie yang terbang di tengah udara, sebentar-sebentar mengeluarkan suara pekiknya, tampaknya dia ceperti ingin memimpin orang-orang itu, ke jurusan mana terdapatnya perkampungan itu.

Benar saja, setelah berlari-lari sekian lama, akhirnya Yo Him melihat di depannya terdapat sebuah pintu perkampungan yang tidak begitu besar dan tidak terlalu ramai. Sebuah perkampungan di kaki gunung yang penduduknya tidak begitu banyak.

Hanya tampak beberapa orang yang berada di pintu kampung, di samping itu juga terlihat dua orang wanita pada rumah pertama di pintu kampung itu yang tengah merapikan padi-padi yang baru saja ditumbuknya.

Yo Him segera menghampiri seorang laki-laki setengah baya yang berada di dekat pintu kampung itu. Tanyanya dengan segera mengenai tabib yang dicarinya, dan siapa saja di kampung ini tabib pandai dan bisa mengobati penyakit yang cukup parah seperti yang diderita oleh Hok An.

Orang itu mengawasi keadaan Hok An berapa saat lamanya, sampai akhirnya dia telah menunjuk ke arah barat kampung itu. “Di sana ada tabib Ho yang memang cukup pandai, ia biasa mengobati penyakit-penyakit yang bagaimana sulit sekalipun, hanya saja bayarannya sangat tinggi......!”

“Soal biaya dan pembayarannya tidak terlalu kami pikirkan, yang terpenting kami bisa bertemu dengan seorang tabib yang benar-benar pandai dan akan sanggup mengobati luka-luka yang diderita kawan kami ini!” kata Yo Him.

“Tentu tabib itu akan dapat mengobatinya,” kata lelaki tua itu. “Kami semua penduduk kampung ini, jika sakit tentu akan meminta bantuan Ho Sin-se. Hanya saja, justeru biaya pengobatannya yang mahal, membuat kami sering kali jika tidak terpaksa benar menderita penyakit yang berat, kami tidak berobat kepadanya dan berusaha mengobati sendiri penyakit kami. Jika sudah tidak tertahan barulah kami pergi kepada Ho Sin-se untuk berobat.

“Dengan demikian, kami dengan hanya sekali pergi saja telah sembuh, walaupun harus membayar tinggi sekali. Satu botol dari obat Ho Sin-se terkadang bisa berharga sampai belasan tail perak!”

Waktu menceritakan perihal Ho Sin-se, lelaki itu juga memperhatikan keadaan Hok An, akhirnya ia melihat keadaan Hok An yang benar-benar terluka sangat parah. Dia telah berseru perlahan, kemudian menyambung perkataannya lagi,

“Sebenarnya, penyakit apapun juga akan sanggup diobati oleh Ho Sin-se, hanya saja, tentu biaya yang harus kalian keluarkan sangat besar sekali. Penyakit yang diderita kawan kalian ini tampaknya demikian parah...... Jika saja dia bisa sembuh, tentu sedikitnya harus menelan biaya ratusan tail. Lihatlah, lukanya begitu parah......!”

Yo Him tersenyum. “Dapatkah paman memberitahukan kepada kami di mana tempat tinggal dari Hoa Sin-se dengan tepat, sehingga kami tidak perlu terlalu mencari-cari lagi?”

Lelaki setengah baya itu ragu-ragu, tampaknya dia keberatan jika harus mengantarkan sendiri orang-orang asing ini ke rumah Ho Sin-se.

Namun Yo Him telah cepat-cepat merogoh sakunya mengeluartan dua tail perak, diselesapi ke tangan laki-laki setengah baya tersebut, sehingga wajah laki-laki itu berobah jadi cerah.

“Tentu, tentu saja mau!” katanya dengan segera. “Mari ikut denganku, aku akan memberitahukan rumah Ho Sin-se. Tentu kalian akan segera memperoleh pertolongannya. Mudah-mudahan saja kalian bisa bertemu dengan Ho Sin-se dan bicara langsung dengannya. Biasanya Ho Sin-se suka keluar rumah selama seminggu atau dua minggu, mencari obat-obatan di puncak gunung.....”

Lalu dengan bersemangat laki-laki setengah baya ini telah menuju ke arah barat dari perkampungan tersebut. Ia tampaknya girang dan bersemangat sekali.

Yo Him dan Sasana mengikutinya dengan segera. Mendengar dari cerita laki-laki setengah baya ini, tentunya memang tabib yang diceritakan oleh laki-laki ini, merupakan tabib yang cukup pandai. Hanya saja Yo Him masih ragu-ragu, apakah seorang tabib kampung dapat mengobati penyakit seberat yang diderita oleh Hok An.

Tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Hanya saja dari jauh telah tercium bau obat-obatan dan ramuan lainnya. Dan Yo Him segera dapat menduganya bahwa rumah tersebut tentunya rumah tabib yang diberitahukan laki-laki setengah baya itu.

Benar saja, laki-laki setengah baya tersebut telah menghampiri pintu rumah dan mengetuknya perlahan-lahan. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan muncul seorang lelaki tua berusia hampir tujuhpuluh tahun.

“Ho Sin-se ada tamu!” kata laki-laki setengah baya itu sambil memberi hormat. “Tuan-tuan ini ingin bertemu dengan Ho Sin-se untuk minta pertolongan......!”

Tabib itu memiliki potongan muka tiga persegi yang lancip pada dagunya, matanya seperti mata tikus sipit sekali, memancarkan kelicikan jiwanya. Karena itu, segera juga Yo Him dan Sasana memiliki perasaan kurang menyukai tabib yang tampaknya licik itu.

Sedangkan tabib itu, telah mengawasi tamu-tamunya, sampai akhirnya dengan sikap yang agak angkuh katanya: “Baik, masuklah..... sesungguhnya aku sedang sibuk!”

Yo Him melangkah masuk membawa Hok An, sedangkan Sasana mengucapkan terima kasih kepada laki-laki setengah baya yang telah mengantarkan mereka. Dan laki-laki setengah baya itu telah pergi meninggalkan rumah Ho Sin-se sambil tersenyum berseri, karena ia memperoleh hadiah yang cukup besar.

Tiauw-jie terbang di atas rumah Ho Sin-se berputaran beberapa kali, memekik perlahan, dan kemudian hinggap di pekarangan rumah tabib tersebut.

Yo Him melihat ruangannya cukup bersih, hanya saja tampak tiga buah lemari obat yang semuanya penuh berisi obat. Juga terlihat betapa tabib tua itu telah menghampiri mejanya, dia duduk di kursinya, sambil tanyanya dengan sikapnya yang tetap angkuh:

“Orang yang kau bawa itukah yang ingin diobati? Kecelakaan apa yang dialaminya sehingga bisa terluka seperti itu?”

Yo Him telah mengangguk sambil tersenyum, katanya: “Kami ingin meminta pertolongan Sin-se, harap Sin-se mau mengobati teman kami ini..... lukanya cukup parah......”

Ho Sin-se telah menunjuk ke arah pembaringan kayu yang berukuran tidak begitu besar, katanya: “Rebahkanlah di sana!”

Yo Him menurut, walaupun hatinya tidak menyukai sikap Ho Sin-se yang agak angkuh, namun ia memang tengah mengharapkan pertolongan dari tabib ini, maka dia menurut saja. Hok An telah direbahkannya di pembaringan kecil itu perlahan-lahan. Sedangkan Hok An masih juga merintih dan melantur, menggumam tidak hentinya seperti orang mengigau.

Ho Sin-se telah menoleh kepada Sasana yang masih menggendong Giok Hoa tanyanya lagi:

“Dan kalian? Apakah kalian terluka dan sakit?!”

Sasana cepat-cepat menggeleng.

“Tidak Sin-se..... kami hanya mengantar saja!” menyahuti Sasana.

“Jika begitu, kalian berdua tunggu saja di luar!” kata tabib itu dengan wajah yang dingin dan sikap angkuh.

Mendongkol sekali Sasana, namun ia menahan diri dan menekan perasaan mendongkolnya. Dia membawa Giok Hoa keluar.

Ho Sin-se telah menutup pintu rumahnya, kemudian baru menghampiri pembaringan. Ia tidak segera memeriksa keadaan Hok An, hanya sambil mengusap-usap dagunya ia memperhatikan keadaan Hok An. sampai akhirnya dia bilang: “Tampaknya ia terluka tidak ringan!”

“Ya..... karena itu kami telah membawanya pada Sin-se untuk minta diobati.....!” me nyahuti Yo Him.

Sedangkan Ho Sin-se itu masih mengusap-usap dagunya, dia melirik kepada Yo Him.

“Obat-obatnya sangat mahal. Untuk menyembuhkan orang ini memerlukan obat-obat utama yang memiliki harga sangat tinggi. Sanggupkah kalian membayarnya?!” tanya tabib itu lagi.

Yo Him mendongkol sekali, tetapi ia mengangguk dengan segera.

“Ya, sanggup, Sin-se! Katakanlah, berapa yang harus kami bayar?!” tanya Yo Him.

“Tidak banyak, hanya tiga ratus tail perak?” sahut tabib itu sambil melirik Yo Him.

Wajah Yo Him berobah. Tabib ini benar-benar keterlaluan sekali. Tigaratus tail perak, bukanlah jumlah yang sedikit. Dengan membayar tigaratus tail perak, itulah suatu hal yang tidak pernah terjadi dalam ilmu pengobatan, karena semahal-mahalnya seorang tabib, tidak akan menuntut uang pembayaran setinggi itu, paling tidak hanya sepuluh tail perak.

Namun sekarang Ho Sin-se meminta tigaratus tail perak, ini merupakan suatu sikap yang dianggap Yo Him keterlaluan. Semula Yo Him menduga paling tinggi tabib ini meminta limapuluh tail perak.

Melihat Yo Him berdiam diri saja, tabib itu tertawa tawar, katanya: “Sudah kuduga, kalian tentu tidak akan memiliki uang sebanyak itu! Tanpa memiliki uang, tentu kawanmu ini tidak akan kuobati..... bawalah dia pergi ke tabib yang lainnya!”

Setelah berkata begitu, tabib itu memutar tubuhnya untuk kembali ke mejanya.

Bukan main mengkal dan gusarnya hati Yo Him melihat tingkah laku tabib itu. Tahu- tahu tangan kanan Yo Him terulur mencengkeram pundak tabib itu, kemudian menghentaknya sambil bentaknya nyaring: “Apakah kau tidak mau mengobati kawanku ini?”

Tabib itu kesakitan, tubuhnya terhuyung karena hentakan itu, dia telah mendelik pada Yo Him.

“Mana ada aturan seperti ini kau memaksa aku tanpa memiliki uang untuk mengobati luka kawanmu yang begitu parah? Atau memang kalian ini penjahat-penjahat besar yang tengah dikejar oleh yang berwajib?”

Merah padam muka Yo Him karena gusar dia mengulurkan tangannya lebih ke depan, tubuh tabib itu terjungkel terbanting di lantai.

“Cepat obati luka kawanku itu, atau engkau akan kusiksa sehingga mati tidak, hidup pun tidak. Aku ingin lihat, sebagai seorang tabib apakah engkau akan dapat mengobati dirimu sendiri?”

Muka tabib itu jadi pucat namun dia gusar sekali, dia bilang: “Keluar.....! Kalian keluar dari rumahku atau aku akan segera melaporkan kepada yang berwajib agar kalian ditangkap dan memperoleh hukuman.....!”

Yo Him tertawa dingin.

“Sin-se, kau telah memasang tarip yang terlalu tinggi dan yang tidak-tidak! Tidak mungkin hanya mengobati kawanku ini memerlukan biaya tigaratus tail perak.....” Dan Yo Him mengambil sikap mengalah dan agak lunak.

Tabib itu telah merangkak berdiri, dengan marah dia bilang:

“Kau ingin meminta bantuanku, kawanmu terluka begitu berat, dan untuk menyembuhkannya memerlukan obat-obat yang utama dan langka dan jarang sekali bisa diperoleh, karena itu memiliki harga yang tinggi. Aku tidak memaksa kalian, jika memang kalian sanggup membayar, aku akan mengobati kawanmu ini, tetapi jika tidak kuat membayar, silahkan membawa kawanmu ini ke tabib yang lainnya......!”

Habislah kesabaran Yo Him, dia telah melangkah maju mendekati tabib itu. Tabib itu yang menyangka Yo Him ingin menyiksanya, jadi mundur beberapa langkah ke belakang sambil berseru-seru:

“Kau jangan main hakim sendiri, keluar..... jangan memaksaku dengan kekerasan, karena aku akan melaporkan kepada yang berwajib..... keluar! Ayo keluar! Aku tidak senang menerima tamu sekasar engkau.....!”

Tetapi Yo Him tidak memperdulikan sikap tabib itu, ia menghampiri semakin dekat. Tahu-tahu tangan kanan Yo Him telah mencengkeram pergelangan tangan tabib itu.

“Cepat kau katakan! Kau mau mengobati luka kawanku ini atau tidak? Atau tulang pergelangan tanganmu ini akan kuremas menjadi hancur!”

“Jadi..... jadi kau mengancam?!” Sin-se itu ketakutan bercampur marah.

“Aku bukan mengancam, aku akan membuktikannya meremas pergelangan tanganmu sampai tulang pergelangan tanganmu hancur dan selanjutnya engkau tidak mungkin dapat meramu obat-obatmu lagi..... Atau memang kau mau mengobati kawanku itu dan aku tidak akan menganiayamu.....!”

“Jadi..... jadi..... kau ingin bayar berapa? Kau..... kau..... berapa uang yang kau miliki?!” tanya tabib itu, walaupun ketakutan, ia masih ingin mengetahuinya, berapa besar akan dibayar oleh Yo Him atas pengobatannya itu.

“Akan kuberikan limapuluh tail perak jika memang engkau dapat menyembuhkan seluruh luka kawanku itu!” kata Yo Him, “Kukira itu suatu jumlah yang sangat besar.....!”

Tabib itu menggeleng-geleng kepalanya, katanya kemudian:

“Lepaskan cekalanmu! Lepaskan cekalanmu! Jika engkau memaksa aku tetap mengobati kawanmu dengan biaya limapuluh tail perak, hal itu bisa kulakukan. Hanya saja terus terang kukatakan kepadamu, tidak mungkin aku bisa mengobatinya dengan mempergunakan obat utama yang mujarab, sehingga dia jangan harap dapat sembuh keseluruhannya. Inilah yang tidak kuinginkan, jika mempergunakan obat-obat biasa saja, tentu kawanmu tidak akan sembuh diobati olehku, nama baikku akan runtuh!”

Yo Him mendongkol sekali melihat kelicikan tabib ini. Namun pemuda ini sudah tidak sabar, katanya: “Ayo cepat kau obati luka kawanku itu.....! Baiklah, jika memang engkau menghendaki tigaratus tail perak, aku akan memberikannya, tetapi ada syaratnya......!”

Tabib itu mementang matanya lebar-lebar.

“Kau bisa membayar tigaratus tail perak?!” ia tanya dengan wajah berseri-seri, tampak dia girang. “Benarkah kau memiliki uang sebanyak itu?”

Yo Him mengangguk, dia merogoh sakunya mengeluarkan Goan-po, kemudian diletakkan di atas meja.

“Goan-po ini seberat seratus tail mas, dengan demikian jadi berjumlah sepuluhribu tail perak! Nah, jika memang kau bisa mengobati kawanku itu sampai sembuh benar, kau boleh mengambil goan-po itu.....!” kata Yo Him

Bola mata tabib itu jadi mencilak-cilak, dia tidak menyangkanya bahwa pemuda yang pakaiannya begitu kotor dan mesum bisa memiliki uang sebanyak ini. Dia mengawasi Goan-po itu beberapa saat, sampai akhirnya dia melirik kepada Yo Him, katanya: “Apakah..... apakah uang ini diperoleh kau dengan cara merampok?!”

Naik darah Yo Him, tangan kanannya digerakkan untuk menempeleng mulut tabib itu. Namun sebelum mengenai sasarannya, Yo Him membatalkan maksudnya menampar tabib itu, katanya:

“Nah sekarang kau jangan rewel, cepat obati kawanku itu! Ingat ada syaratnya. Jika kau gagal, uang ini akan kuambil lagi, malah engkau harus membayar tigaratus tail perak!”

Tabib itu jadi memandang bimbang, rupanya dia ragu-ragu, kemudian katanya: “Soal sembuh atau tidaknya kawanmu ini tidak bisa kukatakan apa-apa, itu tergantung pada nasibnya. Jika dia masih berumur panjang, tentu dia akan sembuh, tetapi jika memang umurnya hanya sampai disini saja, tentu dia akan meninggal.... dan kau tidak bisa mempersalahkan aku. Aku hanya akan berusaha mengobatinya.....!”

Yo Him tertawa dingin, kemudian katanya: “Engkau sendiri yang telah meminta agar aku membayar sebesar tigaratus tail! Tetapi sekarang justeru aku membayar kepadamu dengan sepuluhribu tail perak!

“Jika memang engkau tidak bisa mengobati, engkau harus menanggung risikonya. Karenanya, kau tidak perlu rewel. Cepat obati kawanku itu! Jika kau berhasil menyembuhkannya, kau boleh mengambil uang itu!”

Tabib itu justeru jadi ragu-ragu, dia melirik kepada Yo Him beberapa kali, kemudian mengangguk.

“Baiklah..... kau harus menunggu di luar!” kata tabib itu.

Kembali Yo Him mendongkol dia menggeleng dengan cepat. “Tidak!” serunya. “Cepat kau obati kawanku itu, jangan rewel. Aku akan menunggui di sini!!”

Setelah berkata begitu Yo Him mendorong tubuh tabib itu.

Sesungguhnya Yo Him mendorong tanpa mempergunakan tenaga, namun tubuh tabib itu justeru hampir terjungkal..... Beruntung tangannya masih sempat menahan di tepi pembaringan kayu itu, sehingga dia tidak sampai terjungkal di lantai. Bukan main marahnya tabib itu, ia memaki tidak hentinya.

Yo Him tertawa tawar.

“Sekarang cepat kau obati kawanku itu,” katanya dingin tidak memperdulikan sikap si tabib itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar