Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 05

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 05
 
Anak rajawali Jilid 05
Dilihatnya burung rajawali putih yang tengah dipangku oleh si Giok dalam keadaan sekarat.

“Apakah ular itu yang telah melukaimu?!” tanya Hok An kepada burung rajawali tersebut dengan memperlihatkan gerakan tangannya.

Burung rajawali putih itu mengeluarkan suara pekikan perlahan dan menggerakkan sayapnya, seperti juga membenarkan.

Baru saja Hok An ingin bertanya lagi, ternyata burung rajawali itu sudah tidak bisa bertahan lebih lama pula, sebab dia telah diam kaku tidak bergerak, telah mati.

“Hai! Sungguh menakjubkan sekali bisa menemui peristiwa seaneh ini.....!” menggumam Hok An.

Si Giok segera menanyakan kepadanya, apa yang telah terjadi.

Hok An segera menceritakannya apa yang telah dilihatnya.

“Seekor ular naga.....?!” tanya si Giok sambil mementang sepasang matanya lebar-lebar, tampaknya dia merasa ngeri bukan main.

Hok An mengangguk.

“Akan tetapi kau tidak perlu kuatir, itu bukan naga sungguhan, karena dia tidak memiliki tanduk. Hanya saja seekor ular yang memiliki ukuran tubuh sangat panjang dan besar!”

“Aku sering mendengar cerita naga dari ibu..... ibu memang selalu menceritakan kepadaku, bahwa di kerajaan langit terdapat naga dengan tubuhnya yang panjang dan besar! Jika naga itu marah-marah, maka dia mengamuk dan dunia kita ini akan tergetar, sampai terjadi getaran-getaran yang bisa menumbangkan gunung dan merubuhkan rumah..... benarkah itu paman Hok?!”

Hok An mengangguk.

“Ya..... itulah yang dinamakan gempa bumi. Akan tetapi itu hanya terdapat di dalam dongeng belaka, karena itu, aku sendiri belum mengetahui dengan pasti, apakah di dunia ini memang benar-benar terdapat seekor naga.

“Namun yang membuat aku heran ular itu, walaupun sangat besar, dia tidak ganas. Ular besar itu telah melihatku, tapi dia tidak menyerang. Dengan demikian, dia memang bukan merupakan seekor ular ganas! Namun mengapa burung rajawali putih itu dilukainya juga, sehingga luka disebabkan serangan burung rajawali hitam yang diderita burung rajawali putih itu bertambah parah?!”

Sesungguhnya apa yang terjadi pada diri burung rajawali putih itu sebagai berikut:

Waktu burung rajawali itu terbang berputaran di puncak gunung Hoa-san dan bertemu dengan si Giok dan Hok An, sesungguhnya burung rajawali putih itu tengah mencari tempat buat bertelur. Akan tetapi dia tidak menemukan tempat yang cocok. Setelah berputar-putar ke sana ke mari, akhirnya dia berpapasan dengan burung rajawali hitam.

Burung rajawali hitam memang terkenal ganas, dan seperti juga terdapat permusuhan yang hebat antara burung rajawali hitam dengan burung rajawali putih. Jika memang burung rajawali putih dan burung rajawali hitam saling bertemu, maka mereka akan saling serang.

Cuma saja, kali ini disebabkan burung rajawali putih itu ingin bertelur, dia tidak bisa bergerak leluasa, dengan begitu dia telah dilukai oleh burung rajawali hitam, dan jatuh di bawah angin.

Sampai akhirnya burung rajawali putih itu telah berhasil ditolong oleh Hok An.

Sesungguhnya burung rajawali putih itu pun menyadari akan maksud Hok An yang hendak mengobati luka-lukanya, namun dia sudah hampir bertelur, karenanya dia terbang cepat-cepat meninggalkan Hok An dan si Giok.

Setelah terbang ke sana ke mari, dia melihat goa yang besar dan luas itu, yang tampaknya cukup hangat. Maka segera juga burung rajawali putih itu memutuskan bahwa dia ingin bertelur di dalam goa itu. Begitulah, dia segera masuk ke dalam goa tersebut, dan bertelur. Telur tunggal.

Setelah bertelur, burung itupun mengeraminya, untuk menghangati telurnya.

Siapa tahu, belum lama dia mengeram seperti itu, didengarnya suara mendesis di belakangnya. Waktu burung rajawali putih itu menoleh dilihatnya kepala seekor ular yang sangat besar sekali.

Burung rajawali itu yang kuatir telurnya diganggu ular tersebut, segera juga menerjang ular itu buat mematuk dan mencengkeram dengan ke dua kakinya. Dia ingin mencegah ular itu mengganggu telurnya.

Seperti diketahui bahwa seekor ular paling senang memakan telur. Dan sekarang burung rajawali putih itu bermaksud melindungi telurnya itu.

Namun ular itu tidak melakukan perlawanan,dia hanya berkelit ke sana ke mari.

Cuma saja disebabkan ukuran tubuh ular itu sangat besar, gerakannya kurang leluasa dan kurang cepat, kepalanya beberapa kali kena dicakar dan juga dipatok oleh paruh burung rajawali putih itu.

Karena kesakitan, akhirnya ular besar tersebut jadi marah juga. Dengan mengeluarkan suara mendesis nyaring, dia menyampok burung rajawali itu dengan kepalanya.

Burung rajawali putih itu setiap kali kena disampok terpental oleh kepala ular itu, tubuhnya membentur ke batu dinding goa tersebut, membuat luka-luka di tubuhnya semakin parah di samping bulu-bulunya banyak rontok.

Akan tetapi, burung rajawali itu tetap saja tidak terbang pergi, dia telah menerjang lagi buat melindungi terus telurnya.

Dalam keadaan demikian, di mana burung rajawali putih itu tengah kalap, membuat dia mencakar dan mematuk sekenanya, membuat ular itu jadi tambah gusar karena kesakitan, dan herulang kali dia menyampok burung rajawali putih itu, yang tubuhnya jadi terhempas ke dinding goa dan akhirnya burung rajawali putih tersebut kehabisan tenaga juga.

Suatu kali, dengan sisa tenaganya dia menyerang ular itu. Kepala ular tersebut menyampoknya dengan kuat sekali, membuat tubuh burung rajawali itu terlempar keluar dari goanya, bahkan sampai meluncur melewati jurang.

Ular besar itu telah mendesis dengan menjulurkan kepalanya mendekati telur burung tersebut, dia mencium-ciumnya sesaat lamanya. Namun ular itu tidak memakan telur tersebut dia mengawasi itu seperti juga ular ini bimbang bukan main.

Akhirnya Ular itu membuka mulutnya, dimakannya telur tersebut, kepala ular itu masuk ke ruangan dalam goa itu lagi.

Ternyata ular tersebut memang memiliki ukuran tubuh yang sangat besar dan panjang sekali, di mana sisa tubuhnya melingkar di ruangan dalam goa tersebut.

Setelah kembali di ruangan dalam, ular tersebut mengeluarkan telur yang tadi dimakannya. Ternyata telur itu tidak pecah, malah masih utuh, diletakan di dekat perutnya yang melingkar-lingkar itu. Kemudian ular tersebut memejamkan matanya, dalam keadaan tetap melingkar seperti itu, seakan-akan ular tersebut hendak menghangati telur tersebut, seperti akan “mengerami” nya.

Sampai akhirnya Hok An masuk ke dalam goa tersebut. Karena adanya telur itu, ular tersebut tidak bergerak dari tempatnya berada.

Hok An mengajak si Giok untuk mencari tempat di sekitar puncak tersebut, karena Hok An ingin mengetahui apa yang dilakukan ular besar tersebut. Di samping itu juga, diapun menginginkan sekali inti es yang berada di kepala ular besar itu untuk diberikan dan dihadiahkan kepada si Giok.

Begitulah, setelah memperoleh sebuah goa yang cukup hangat dan mereka bisa berdiam di dalam goa terhindar dari hawa dingin dan juga bisa tidur dengan aman, Hok An dan Giok berdiam di sana selama lima hari.

Setiap hari Hok An pergi ke goanya ular besar itu. Dia ingin melihat-lihat apakah dia memiliki kesempatan buat mengambil permata yang merupakan inti es yang berada di atas kepala ular itu.

Akhirnya pada hari ke enamnya, Hok An bisa melihat telur yang tengah dierami ular tersebut, karena ular itu telah menggerakkan tubuhnya untuk memperbaiki tempat melingkarnya.

Hok An jadi heran melihat telur burung tersebut, sampai akhirnya dia menduga-duga peristiwa yang terjadi pada diri burung rajawali putih itu.

“Apakah burung rajawali putih itu telah bertelur di goa ini dan telurnya direbut ular ini, sehingga burung itu nekad bertempur dengan ular ini sampai akhirnya menemui kematian?” berpikir Hok An.

Dan lebih jauh Hok An pun berpikir, burung rajawali putih itu setelah terluka parah tentu telurnya direbut ular ini.

Cuma saja yang membuat Hok An tetap tidak mengerti, mengapa ular itu tidak segera memakan telur burung rajawali tersebut, malah diletakkan di perutnya, untuk dihangati!

Ular raksasa itu sendiripun bukannya tidak mengetahui bahwa setiap hari Hok An datang menyelinap ke dalam goanya, cuma saja ular raksasa tersebut tidak berani menggerakkan tubuhnya. Dia seperti juga kuatir kalau dia menggerakkan tubuhnya akan membuat telur yang tengah “dieraminya” itu akan pecah.

Karena dari itu, selama beberapa hari itu, walaupun Hok An selalu datang ke goanya dan ular tersebut dapat mencium bau manusia ini, tokh tetap saja dia tidak menggerakkan tubuhnya, dia membiarkan saja Hok An ngintip-ngintip kepadanya.

Dengan diperbaiki letak telur itu di bawah perutnya, ular raksasa tersebut bermaksud agar Hok An tidak bisa mencurinya. Jika memang Hok An menyerang nekad hendak mencuri telur tersebut, barulah ular raksasa itu akan menyerangnya.

Pada hari ketujuh, Hok An datang ke goa tersebut dengan mengajak si Giok, karena gadis cilik itu memaksa terus menerus agar dia diajak ikut ke goa itu.

“Aku ingin sekali melihat ular raksasa itu, paman Hok!” kata Si Giok merengek.

Maka pada hari ketujuh itulah Hok An mengajak si Giok ke goa ular raksasa itu, karena setelah enam hari mendatangi goa itu dan ular raksasa itu tidak pernah menyerangnya Hok An beranggapan tidak membahayakan jika dia mengajak si Giok buat melihat-lihat sejenak.

Dan memang, apa yang dilihat Si Giok membuatnya jadi sangat takjub sekali.

“Aneh sekali..... luar biasa!” menggumam Si Giok dengan suara yang serak, karena di samping merasa takjub melihat ular raksasa itu, diapun merasa takut dan ngeri.

Setelah melihat sekian lama, akhirnya si Giok mengajak Hok An buat kembali ke goa mereka.

Waktu mereka baru saja hendak meninggalkan goa ular raksasa tersebut, tiba-tiba di luar goa terdengar suara memekik burung-burung rajawali yang ramai sekali.

Hok An dan si Giok mengangkat kepala mereka, dan ke duanya jadi terkejut, di angkasa tampak terbang belasan ekor burung rajawali hitam sambil terbang menukik tidak hentinya.

Hati Hok An tergetar juga. Jika hanya menghadapi seekor burung rajawali hitam, seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu, di saat dia menolongi burung rajawali putih, memang dia tidak perlu jeri. Akan tetapi sekarang belasan ekor burung rajawali hitam, yang semuanya memiliki tubuh yang besar-besar dengan sayap mereka yang lebar sekali, selebar dua tombak lebih!

Bergidik juga Hok An menyaksikan belasan ekor burung rajawali hitam tersebut, yang semuanya tampak ganas-ganas. Segera juga Hok An menarik tangan si Giok, diajaknya kembali masuk ke dalam goa untuk bersembunyi di balik sebungkah batu besar di pinggir dinding goa tersebut.

Suara pekik burung rajawali hitam masih terdengar ramai, sampai akhirnya terlihat bayangan hitam di mulut goa itu, seekor burung rajawali hitam telah terbang menerobos masuk ke dalam goa itu.

Ular di dalam goa tersebut mengeluarkan suara desiran. Namun ular itu tidak bergerak dari tempatnya berada.

Burung rajawali hitam itu telah memasuki goa itu ke sebelah ruangan dalam, di mana dia melihat ular raksasa itu.

Seketika burung rajawali hitam tersebut mengeluarkan suara pekiknya berulang kali, dan kawan-kawannya beterbangan masuk. Mereka semuanya memperlihatkan sikap yang ganas sekali, dan sayap mereka yang dikibas-kibaskan seperti itu, menyebabkan debu beterbangan memenuhi seluruh goa tersebut.

Ular raksasa itupun sudah tidak bisa berdiam diri, karena salah seekor burung rajawali hitam itu telah terbang menyerang ke arahnya.

Cepat-cepat ular itu menyampok burung rajawali hitam itu dengan kepalanya, namun dia gagal, sedangkan kawan-kawan burung rajawali hitam itu telah beterbangan untuk menyerangnya.

Terjadilah pertempuran yang mengerikan antara seekor ular raksasa dengan belasan ekor burung rajawali. Itulah pertempuran yang benar-benar jarang sekali bisa disaksikan di dalam rimba persilatan.

Pertempuran di antara dua jenis binatang yang sama-sama tangguh! Yang seekor ular itu sangat beracun, sedangkan belasan ekor burung rajawali itupun merupakan binatang yang ganas bukan main.

Tubuh ular itupun telah kena dicakar dan dipatuki berulang kali, membuat ular itu kesakitan dan mengeluarkan desis marah, sehingga akhirnya ular itu telah mulai menyerang burung-burung rajawali hitam itu dengan ganas.

Karena gencarnya serangan belasan ekor burung rajawali itu, akhirnya ular itu sudah tidak dapat memikirkan telur yang tengah dieraminya. Dia melingkar dan menggeleser ke luar goa, meninggalkan telur burung rajawali putih yang tengah dieraminya itu. Kemudian mengamuk, di mana beberapa ekor burung rajawali hitam telah dapat disampok dan juga digigitnya, sehingga burung rajawali hitam itu terluka dan keracunan.

Walaupun pertama-tama memang burung-burung rajawali itu tidak merasakan akibat racun yang mulai menjalar di tubuh mereka, namun akhirnya burung-burung rajawali hitam yang keracunan itu memekik nyaring dan terbang keluar dari goa. Hanya tinggal tujuh atau delapan burung rajawali hitam yang masih menyerang ular itu bertubi-tubi dengan ganas sekali.

Ular itu sendiri telah terluka di beberapa bagian tubuhnya, akan tetapi semakin terluka ular itu telah memberikan perlawanan yang kian gigih.

Malah dalam suatu kesempatan, ular tersebut berhasil melibat seekor burung rajawali dengan tubuhnya, begitu kencang libatannya, sampai terdengar suara “Kreeekkk!” dari patah dan hancurnya tulang-tulang burung rajawali tersebut. Waktu libatannya dilepaskan, maka rajawali tersebut telah terbunuh menjadi bangkai!

Sedangkan rajawali-rajawali hitam lainnya semakin ganas, tubuh ular itu telah dipatukinya sampai terluka cukup parah.

Demikian juga dengan tenaga ular itu rupanya semakin berkurang, darah yang keluar dari tubuh ular itu tampak semakin deras dan banyak, menyebabkan darah itu bepercik di sekitar lantai goa tersebut.

Burung-burung rajawali hitam itu menyerang semakin ganas juga, rupanya rajawali-rajawali hitam itu menyadari keadaan ular raksasa tersebut semakin parah dan lemah, maka mereka tidak membiarkan ular tersebut berdiam diri, dia telah menyerang terus. Disaat mana ular itu juga semakin kalap, justru tubuhnya yang membentur-bentur dinding goa jadi terluka lebih hebat.

Menyaksikan perkelahian antara ular dengan burung-burung rajawali tersebut, Si Giok merasa ngeri bukan main. Hok An sendiri jadi bergidik.

Dia segera berpikir, walaupun bagaimana dia harus menolongi ular itu.

Setelah melihat keadaan ular itu yang semakin lemah, gerakan tubuhnya yang semakin perlahan, menyebabkan burung-burung rajawali hitam itu menyerang semakin gencar dan ganas, maka Hok An jadi nekad. Dia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi, tubuhnya mencelat keluar dari goa tersebut. Kemudian diambilnya sebatang kayu yang cukup besar.

Seekor burung rajawali hitam yang melihat gerakan Hok An, segera terbang keluar goa dan mengejar Hok An, kemudian menyerangnya.

Hok An menyadari, percuma saja dia melayani serangan burung rajawali itu dengan mengadu kekuatan. Dia hanya mengandalkan melompat ke sana ke mari dengan lincah dan akhirnya berlari masuk kembali ke dalam goa itu.

Setelah herada di tempat persembunyiannya di dekat Si Giok, dia bilang: “Aku akan membantu ular itu.....!”

Si Giok memandang heran.

“Apakah paman Hok bisa menghadapi burung-burung rajawali hitam itu?” tanyanya ragu-ragu dan merasa ngeri.

“Aku akan mempergunakan ini!” kata Hok An sambil memperlihatkan kayu yang baru saja diambilnya.

Si Giok tambah heran.

“Apa gunanya kayu itu.....? Apakah paman Hok hendak mempergunakan kayu tersebut buat memukuli rajawali-rajawali hitam itu?!”

Hok An menggeleng.

“Aku akan menyalakan api pada ujungnya, dengan api ini aku bisa melawan burung-burung rajawali hitam itu......!” menjelaskan Hok An.

Sedangkan burung rajawali yang tadi mengejar Hok An, begitu masuk ke dalam goa telah kehilangan jejak buronannya, dia tidak melihat Hok An lagi, maka dia mengeluarkan pekik nyaring dan ikut menyerang ular besar tersebut pula.

Hok An waktu itu bekerja cepat sekali, dia mempergunakan ke dua telapak tangannya, yang disaluri kekuatan lwekangnya, menggosok-gosok ujung kayu tersebut. Semakin lama semakin panas. Hal itu dilakukan Hok An buat menghilangkan kelembaban pada kayu itu, agar mudah nanti dinyalakan api pada ujungnya.

Setelah menggosok-gosok sekian lama pada ujung kayu itu dan Hok An yakin kayu di bagian dalam dari batang pohon itu telah kering, segera dikeluarkannya bibit api. Dia berusaha menyalakan api dan membakar ujung kayu itu.

Cahaya dari percikan api itu sementara membingungkan burung-burung rajawali itu, yang jadi sering bimbang dan ragu-ragu menyerang ular itu. Mereka memandang sekitarnya, seperti juga tengah menyelidiki cahaya api yang berkilat-kilat itu.

Hok An sendiri jadi tegang sendirinya. Dia tidak mudah menyalakan api pada ujung kayu tersebut. Jika sampai burung-burung rajawali hitam itu mengetahui tempat persembunyiannya, niscaya dirinya dan juga Si Giok, menghadapi ancaman yang tidak kecil. Karenanya dia berusaha terus secepatnya agar api dapat menyala di ujung kayu tersebut.

Keringat dinginpun telah mengucur deras di kening Hok An, walau keadaan di dalam goa itu cukup dingin, sampai akhirnya ujung kayu itu telah dapat menyala, api itu kecil dan semakin lama semakin besar.

Hok An menghela napas dalam-dalam dan lega. Jika saja api itu dapat menyala dengan baik-baik dan cukup besar, niscaya akan membuat dia memperoleh “senjata” yang ampuh menghadapi burung rajawali hitam itu.

Sedangkan burung-burung rajawali itu telah melihat dan mengetahui dari mana sumber cahaya api. Mereka segera meluruk terbang ke tempat persembunyian Hok An.

Waktu itu api menyala belum begitu besar. Jika Hok An menggerakkan kayunya itu buat menyerang burung-burung rajawali tersebut, niscaya akan menyebabkan api padam. Dia selanjutnya akan menghadapi bahaya yang tidak kecil tanpa senjata istimewanya tersebut.

Sedangkan dua ekor burung rajawali hitam itu telah melompat maju meluncur ke dekatnya, membuat si Giok menjerit ketakutan.

Hok An segera mengempos semangat dan tenaganya di tangan kiri, mati-matian dia menyampok dengan tangannya ke arah salah seekor burung rajawali yang di dekat si Giok.

Pukulan Hok An berhasil membuat burung itu terpental cukup jauh, rupanya burung itu pun kesakitan, dia sampai tidak berani menyerang pula.

Waktu itu burung rajawali yang seekornya lagi, mempergunakan kesempatan waktu Hok An tengah menyerang pada kawannya dia telah mematuk pundak Hok An.

Patukannya mengenai tepat, sedikit daging di pundak Hok An copot terbawa patuknya.

Hok An menjerit kesakitan, akan tetapi waktu itu api di ujung kayu telah menyala cukup besar. Tidak berayal lagi, dengan menahan sakit, Hok An telah mengibaskan api itu ke arah burung rajawali yang seekor tersebut.

Bulu-bulu burung rajawali itu seketika terbakar termakan api, dan burung rajawali itupun merasa kepanasan, terluka kebakar.

Dengan memekik kesakitan, burung rajawali itu segera terbang menjauhi, malah telah terbang keluar dari dalam goa itu.

Melihat hasil yang telah diperolehnya, walaupun pundaknya sakit sekali, Hok An girang bukan main, dia yakin pasti berhasil menolongi ular raksasa itu dari ancaman maut di bawah patukan dan cengkeraman rajawali-rajawali hitam tersebut.

Segera juga Hok An keluar dari tempat persembunyiannya, sebelum melompat keluar dia berpesan kepada Si Giok agar diam saja di situ, jangan melakukan gerakan apa-apa.

Si Giok sangat ketakutan, hampir saja gadis cilik ini menangis, karena dia merasa ngeri sekali. Sedangkan Hok An dengan kayu yang ujungnya menyala api cukup besar telah melompat keluar dan menggerakkan kayu itu kepada salah seekor burung rajawali yang tengah terbang menyerangnya.

Karena adanya api di ujung kayu tersebut, keadaan di ruangan itu bertambah terang, terangnya inti es yang seperti batu permata di atas kepala ular itu, dan juga api yang bersinar terang. Hok An bisa melihat jelas keadaan di dalam goa itu.

Burung rajawali yang diserangnya itu seketika memekik, karena bulu-bulunya termakan api dan tubuhnya juga terjilat oleh lidah api. Dengan segera burung rajawali itu kabur terbang keluar goa.

Burung-burung rajawali lainnya juga telah memekik kesakitan waktu api di ujung kayu Hok An menyambar ke arah mereka. Tanpa membuang waktu pula, segera juga sisa beberapa ekor burung rajawali hitam itu telah terbang meninggalkan tempat tersebut, mereka serabutan terbang keluar goa itu.

Hok An menghela napas lega, karena dia berhasil dengan usahanya. Senjatanya yang istimewa itu telah berhasil memukul mundur burung-burung rajawali tersebut. Namun Hok An tidak segera mematikan api di ujung kayunya itu, dia berdiam beberapa saat menantikan kalau-kalau burung-burung rajawali itu akan menerjang masuk kembali ke dalam goa.

Sedangkan ular raksasa itu rebah di tanah goa tersebut dengan kepala yang tertunduk, karena rupanya diapun gentar melihat api yang berkobar-kobar di ujung kayu di tangan Hok An.

Setelah keluar melihat rajawali-rajawali hitam itu terbang pergi jauh dan lenyap di balik awan serta beberapa ekor menggeletak di mulut goa tersebut tidak bergerak, telah mati, maka segera juga Hok An mematikan api itu. Dia kembali masuk ke dalam goa itu.

Ular itu mendesis perlahan, namun dia tidak menyerang Hok An, karena rupanya ular tersebut seperti mengerti bahwa Hok An telah menolongnya.

Sedangkan si Giok yang melihat rajawali-rajawali hitam itu telah dapat diusir oleh Hok An, diam-diam menghela napas lega, dia tidak begitu takut lagi.

Dengan segera Hok An mengumpulkan bangkai burung rajawali hitam itu. Ada lima ekor. Segera ditumpuk dihadapan ular tersebut.

“Untuk santapanmu......!” katanya.

Ular itu seperti mengerti, dia telah menggerak-gerakkan kepalanya turun naik, seperti juga dia tengah mengangguk-angguk ingin menyatakan rasa terima kasihnya.

Hok An menghela napas, dia memanggil si Giok keluar dari tempat persembunyiannya.

“Kau lihatlah Giok. Ular raksasa ini tidak ganas.....!” kata Hok An. “Dan rupanya dia ingin mengerami telur itu pula. Jika terlalu lama tidak dierami, mungkin telur itu akan gagal ditetasinya, karena hawa udara di goa ini sangat dingin sekali......”

Setelah berkata begitu, Hok An menoleh kepada ular tersebut, dia memperlihatkan gerakan sepasang tangannya seperti juga memerintahkan ular itu untuk pergi mengerami telur itu lagi.

Ular tersebut mendesis perlahan, kemudian beringsut kembali masuk ke ruangan dalam goa itu, diapun telah melingkarkan tubuhnya jadi bersusun, di mana dia telah mengerami telur itu lagi.

Hok An menghela napas, dia merasakan di dalam goa itu pengap dan juga asap dari api yang tadi dinyalakannya membuatnya sulit bernapas. Karenanya dia mengajak si Giok buat meninggalkan goa tersebut dan kembali ke goa mereka.

Di saat itu terlihat betapa ular itu telah mendesis lagi dan mengangguk-anggukkan kepalanya bagaikan dia hendak mengucapkan terima kasih kepada tuan penolongnya yang waktu itu ingin meninggalkan goa tersebut.

Sekembali ke goa mereka, Hok An segera menceritakan kepada si Giok, bahwa ular raksasa itu ternyata seekor ular yang tidak berbahaya, karena ular itu tampak tidak ganas, disamping itu juga jinak sekali.

Karena menduga telur yang tengah dierami oleh ular itu adalah telur dari burung rajawali putih, maka Hok An jadi ingin mengetahui jika telur itu telah menetas, maka yang muncul apakah seekor ular atau seekor burung rajawali putih.....

Itulah sebabnya Hok An tidak mengajak si Giok berlalu dari tempat tersebut, dengan sabar Hok An dan si Giok berdiam di dalam goa mereka......

Rombongan Rajawali hitam tidak pernah muncul, rupanya setelah mengalami kerusakan di dalam goa ular itu, mereka sudah jera dan tidak pernah ada seekor burung rajawali hitam pun yang terbang berkeliaran di sekitar puncak gunung Hoa-san sebelah barat.

Hok An pada keesokan harinya setelah pertempuran luar biasa istimewanya, di dalam goa ular itu, menengok keadaan ular raksasa tersebut. Rupanya luka ular itu mulai sembuh, karena binatang melata ini memang dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan cara menjilati atau juga dengan cara menggulingkan tubuhnya di tanah goa.

Bangkai rajawali hanya tinggal dua ekor, karena yang tiga ekor telah dimakannya. Senang juga Hok An melihat ular raksasa itu berangsur-angsur sembuh.

Dia telah kembali ke goanya dan menceritakan keadaan ular raksasa itu kepada si Giok lalu meminta si Giok buat menanti di goa itu, karena Hok An bermaksud turun gunung guna pergi ke kampung yang dekat di kaki gunung tersebut, membeli makanan buat mereka. Selama berhari-hari berada di goa, mereka hanya makan binatang hutan buruan Hok An.

Sedangkan si Giok walaupun merasa takut ditinggal sendirian di goa tersebut, namun telah menyetujui juga, sebab diapun ingin sekali mencicipi makanan lainnya selain daging-daging kelinci bakar atau burung bakar.

Memang Hok An pergi tidak lama, dia segera telah kembali dengan membawa banyak sekali barang makanan, di mana si Giok segera melahapnya dengan asyik.

Hok An juga menghabisi cukup banyak santapan tersebut, karena diapun telah menahan selera yang cukup lama memakan barang makanan yang lezat.

Lima hari mereka berdiam lagi di goa tersebut, dan telur yang dierami oleh ular raksasa itu ternyata telah menetas! Hok An mengetahui hal itu dihari ke lima menjelang sore hari, waktu dia memasuki goa ular tersebut dengan berindap-indap dan melihat makhluk kecil yang kemerah-merahan tengah bergerak-gerak perlahan di bawah perut ular raksasa itu. Sedangkan ular raksasa itu tetap melingkar dengan mata dipejamkan.

Yang membuat Hok An jadi girang, dia melihat telur yang telah ditetasi itu menghasilkan seekor anak burung rajawali, jadi bukan seekor ular.

Akan tetapi yang lebih aneh dan luar biasa walaupun telur yang ditetasi itu bukan seekor ular, ular raksasa tersebut tidak memakan anak burung itu, malah tampaknya dengan keadaan tubuhnya yang melingkar bersusun itu, ular tersebut hendak melindungi anak burung itu dari serangan hawa dingin, melindunginya dengan hangat tubuhnya.

Cepat-cepat Hok An kembali ke goanya, memberitahukan hal itu kepada si Giok. Gadis cilik ini merengek minta agar diajak ke goa ular raksasa tersebut, untuk melihat anak burung itu. Hok An tidak keberatan dan mengajaknya.

Anak burung itu mungil sekali dan belum ada bulu yang tumbuh ditubuhnya. Si Giok bukan main girang hatinya, dia telah bilang kepada Hok An:

“Apakah ular raksasa itu akan membiarkan aku nanti bermain-main dengan anak burung itu, paman Hok?!”

Hok An mengangguk.

“Tentu! Tentu! Jika memang anak burung itu telah tumbuh sayap, niscaya dia bisa terbang, dan akan keluar dari dalam goa itu. Di waktu itulah aku akan berusaha menjinakkannya, agar anak burung itu dapat diajak bermain oleh kau!” katanya.

Gembira sekali si Giok, sampai malam harinya waktu tertidur, dia mengigau dan seriagkali mengoceh menyebut-nyebut perihal anak burung rajawali itu.

Hok An sendiri satu malaman lamanya berdiam di goa itu, dia kuatir kalau-kalau ular raksasa itu setelah mengetahui yang ditetasi dari telur itu bukan seekor ular, melainkan seekor anak burung, akan segera memakannya. Maka jika memang terlihat tanda-tanda ular raksasa itu ingin memakan anak burung tersebut, Hok An akan segera mengusahakan untuk mencuri anak burung itu.

Namun selama satu malaman berdiam di goa ular itu, Hok An justeru menyaksikan pemandangan yang mengharukan sekali, di mana ular raksasa itu tampaknya sayang sekali pada anak burung itu yang telah dijilatinya, dan kemudian dilindungi dengan perutnya yang berlapis-lapis itu, agar anak burung tersebut tidak kedinginan Sedangkan anak burung tersebut telah tertidur rebah diam nyenyak sekali di perut ular itu.

Pada hari ke duanya Hok An tidak menunggui di goa ular itu lagi, karena yakin ular raksasa tersebut tidak akan mencelakai anak burung tersebut

Cuma saja, di hari-hari berikutnya Hok An selalu mengajak si Giok ke goa ular tersebut, agar Si Giok dapat melihat betapa anak burung itu mulai berkembang menjadi besar.

Hok An juga sibuk sekali mencarikan makanan untuk anak burung tersebut. Yang ajaib sekali, ular tersebut bisa memberikan makan pada anak burung tersebut, makanan dari dalam perutnya dikeluarkan dan ditumpahkan di hadapan anak burung itu, sehingga anak burung itu dapat memakan makanan yang telah menjadi bubur itu, yang terdiri dari daging.

Mungkin disebabkan anak burung itu setiap hari memakan “bubur daging”. maka pertumbuhan burung tersebut pesat sekali. Dalam waktu dua minggu saja, perkembangan tubuhnya sudah membesar. Sebulan kemudian, bulu-bulu mulai tampak bertumbuhan di sekujur tubuh burung tersebut, berwarna putih!

Jelas, anak burung ini adalah anak burung rajawali putih yang telah menemui kematiannya beberapa waktu yang lalu, dan Hok An semakin yakin, bahwa burung rajawali putih tentunya telah bertelur dan akhirnya telurnya direbut oleh ular itu.

Si Giok pun semakin girang, karena melihat perkembangan burung anak rajawali yang begitu pesat, berbeda sekali dari perkembangan anak-anak rajawali biasanya, maka si Giok seringkali berdiam di goa ular itu. Dia lebih sering bermain di goa ular itu dengan perasaan tidak takut lagi, karena menyadari bahwa ular raksasa tersebut sudah tidak membahayakan.

Sedangkan Hok An pun seringkali meninggalkan si Giok seorang diri di goa, tanpa berkuatir pula. Rupanya ular raksasa itu, walaupun tampaknya mengerikan, tokh sesungguhnya tidak membahayakan.

Juga si Giok malah belakangan ini telah berani menghampiri lebih dekat lagi ke tempat ular raksasa itu berada, di mana ular tersebut tidak memperlihatkan sikap hendak menyerang. Dengan demikian si Giok bisa mengajak anak burung rajawali itu bermain-main.

Anak burung rajawali tersebut, yang menerima didikan langsung dari seekor ular raksasa memiliki kelainan yang benar-benar menakjubkan.

Jika biasanya seekor anak burung rajawali yang telah berusia satu bulan lebih, pasti akan dapat berjalan dengan ke dua kakinya, namun anak burung rajawali ini malah berlainan sekali. Bila hendak berjalan, dia menekuk ke dua kakinya, kemudian melata dengan mempergunakan perutnya, merayap dengan cepat!

Itulah suatu keistimewaan yang benar-benar menakjubkan sekali, yang tidak mungkin dapat dimiliki oleh anak-anak burung rajawali lainnya.

Hok An sendiri yang memperhatikan perkembangan burung rajawali tersebut, ikut merasa terheran-heran dan takjub.

“Inilah suatu keajaiban dunia!” kata Hok An. “Sebenarnya dengan terjadinya seekor ular yang menetasi telur burung sudah merupakan keanehan yang tidak pernah ada..... Terlebih lagi sekarang setelah telur itu berhasil ditetasi, masih anak burung itu terpengaruh dan memiliki keakhlian buat merayap tanpa mempergunakan sepasang kakinya, di mana dia mengambil sikap seperti sikapnya seekor ular. Benar-benar merupakan kejadian yang sungguh mengherankan sekali.....”

Si Giok yang tidak mengerti akan sifat-sifat burung, hanya menduga bahwa semua anak burung pertama-tama akan berjalan dengan cara merayap dan melata seperti itu. Namun setelah dijelaskan oleh Hok An, dia jadi terkejut, tanyanya:

“Lalu jika dia telah besar, apakah anak burung ini akan dapat terbang?”

“Tentu dapat, bukankah walaupun bagaimana dia memiliki sepasang sayap yang bisa dipergunakan buat terbang!?”

Waktu itu anak burung tersebut. yang bulu-bulunya telah tumbuh semakin banyak dan berwarna putih bagaikan salju merayap dekat si Giok kemudian tidur di pangkuan gadis cilik itu.

“Lihatlah anak burung ini, sejak lahirnya selalu kau dampingi, sehingga dia jadi demikian jinak padamu.....!” kata Hok An tersenyum.

“Jadi jika burung ini telah besar dia akan menuruti perintahku, paman Hok?” tanya si Giok

Hok An mengganggukkan kepalanya.

“Akan tetapi engkau harus mendidiknya, nanti aku akan mengajari padamu, bagaimana caranya buat mendidik burung tersebut!”

Si Giok mengiyakan dan mengucapkan terima kasih.

Memang anak burung ini jinak sekali pada si Giok. Dan yang satunya seekor anak burung, sedangkan yang lainnya seorang anak manusia, mereka bergaul intim sekali, dengan perkembangan anak rajawali itu pesat sekali.

Satu keanehan lagi buat anak burung rajawali itu, karena jika anak burung rajawali lainmya hanya memakan sari makanan yang dimakan induknya, kemudian baru diberikan kepadanya, yang umumnya terdiri dari ulat-ulat kecil atau binatang-binatang kecil lainnya.

Justeru anak burung rajawali yang berada dalam asuhan ular raksasa tersebut, memiliki keistimewaan sejak baru ditetaskan. Dia telah makan sari daging yang banyak jumlahnya, sehingga tenaga anak burung rajawali itu sangat kuat, pertumbuhan tulang-tulang tubuhnya juga kokoh sekali, dan cepat tumbuh menjadi besar.

Untuk mengisi waktu senggangnya, Hok An menganjurkan pada si Giok agar mau melatih ginkang dan sekedar ilmu silat, agar gadis cilik ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang bisa dipergunakannya buat berlari di pegunungan tersebut, juga disamping itu ilmu silat yang dilatih gadis kecil itu hanya buat menjaga diri dari makhluk-makhluk liar di dalam hutan yang terdapat banyak sekali di pegunungan itu.

Karena memang tidak memiliki pekerjaan lainnya, si Giok telah melatih diri dengan tekun, cepat sekali dia memperoleh kemajuan. Dengan demikian, jika sekarang si Giok pergi ke tempat bagian lain dari puncak gunung tersebut, tidak mendatangkan kekuatiran buat Hok An.

Tanpa terasa telah lima bulan berlalu, di mana Hok An bersama si Giok berada di puncak gunung Hoa-san sebelah barat.

Anak burung rajawali tersebut juga telah tumbuh semakin besar, bulu-bulu di sekujur tubuhnya tumbuh lebat sekali dan tebal, disamping itu juga bulunya itu putih seperti salju, indah sekali, sehingga tampak burung rajawali itu gagah bukan main. Terlebih lagi memang tubuhnya memiliki pertumbuhan yang kokoh sekali.

Anak burung rajawali itu memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan anak burung rajawali biasa. Dia bisa menggerakkan tubuhnya segesit seekor ular yang melata di atas tanah, dia bisa bergerak bagaikan tengah bertempur dengan cepat sekali, di samping itu, diapun bisa terbang di tengah udara.

Waktu pertama kali anak burung rajawali ini belajar terbang sikapnya agak kaku dan belum bisa terbang tinggi. Namun setelah lewat satu bulan, dia bisa terbang dengan gesit sekali, tubuhnya itu bagaikan meteor yang terbang melesat ke sana ke mari dengan lincah.

Si Giok yang sering mengajak bermain anak burung rajawali itu di luar goa, jadi sangat girang. Malah tanpa disadarinya, dia jadi ikut mempelajari gerakan-gerakan dari anak burung rajawali itu, karena dia seringkali berlari-lari di antara jurang-jurang di puncak gunung itu bersama anak burung rajawali tersebut.

Dengan demikian tampak kemajuan yang diperoleh si Giok pun pesat sekali, dia bisa berlari lincah, hanya bedanya si Giok tidak bisa terbang seperti anak burung rajawali itu.

Hok An yang melihat kemajuan yang dicapai si Giok dan melihat gerakan tubuh gadis itu jika tengah berlari seperti gerakan seekor ular, karena tanpa sesadarnya si Giok ikut mempelajari gerak-gerik anak burung rajawali itu yang sering melata dengan perutnya seperti gerakan seekor ular.

Hubungan anak burung rajawali itu dengan ular raksasa tersebut juga intim sekali, di mana setiap kali berada dalam goa, selalu anak burung rajawali itu berada dalam lindungan perut ular itu.

Hok An jadi memiliki pekerjaan tetap, di mana dialah yang bertugas mencarikan makanan buat ular raksasa dan anak burung rajawali itu. Setiap harinya sedikitnya dia harus memperoleh seekor kambing hutan atau lima ekor kelinci hutan. Dan anak burung rajawali itu memakan “bubur daging” hasil olahan perut ular raksasa itu, yang selalu memuntahkan sebagian buat “anak”nya itu.

Memang menakjubkan sekali pertumbuhan anak rajawali itu. Dalam waktu yang hampir satu tahun, tubuh anak rajawali itu setinggi satu meter setengah, dengan lebar sayap hampir empat meter. Dia sudah dapat terbang tinggi sekali, tenaganya sangat kuat.

Tidak jarang anak rajawali tersebut telah membawa si Giok terbang mengelilingi sekitar puncak Hoa-san. Bahkan tidak jarang, Hok An pun ikut duduk bersama si Giok di punggungnya, anak rajawali itu tetap saja dapat membawa terbang dengan mudah.

Hanya satu yang merupakan hasil yang diperoleh Hok An buat jerih payahnya selama ini, yaitu anak burung rajawali yang mulai membesar itu, telah menurut dan jinak sekali terhadap semua perintah si Giok. Terlebih lagi memang sejak baru ditetasi anak burung rajawali itu telah bergaul dan bermain-main dengan si Giok, sehingga dia bisa mengerti semua keinginan si Giok.

Sedangkan si Giok juga menganggap anak burung rajawali itu sebagai kawan terdekatnya. Hidup di puncak gunung tanpa kawan dan manusia lainnya, hanya didampingi Hok An benar-benar membuat si Giok memperoleh kegembiraan karena memperoleh kawan bermain seperti anak burung rajawali itu.

Dan juga di samping itu anak rajawali yang bisa mengajaki terbang berkeliling itu membuatnya jadi girang bukan main, karena dia bisa mengajaknya buat pergi ke tempat yang indah-indah, yang mungkin sulit sekali buat dicapai oleh manusia biasa.

Boleh dibilang seluruh keadaan di puncak gunung Hoa-san telah didatangi si Giok bersama burung rajawali putih itu.

Si Giok juga telah memberikan sebuah nama kepada anak burung rajawali itu, Tiauw-jie (Anak Rajawali), sehingga jika setiap kali dia memanggil: “Tiauw-jie!” maka anak burung rajawali itu akan segera datang dan hinggap di sampingnya.

Anak burung rajawali itupun tidak boleh tertinggalan si Giok. Jika di pagi hari dia tidak melihat si Giok, segera dia yang menjemput si Giok ke goanya.

Terlebih lagi waktu suatu kali si Giok tengah sakit demam dan tidak keluar dari goanya, anak burung rajawali itu menunggui di mulut goa si Giok. Karena mulut goa itu tidak terlalu besar, maka anak burung rajawali yang memiliki pertumbuhan tubuh tinggi besar itu, tidak bisa masuk. Tiauw-jie hanya menangis saja, dengan air mata berlinang di matanya.

Hok An yang menyaksikan tingkah laku burung rajawali ini jadi terharu. Segera dia memberitahukan kepada si Giok agar si gadis pergi keluar menemui Tiauw-jie, untuk memberitahukan padanya bahwa dia hanya sakit saja dan tidak akan mengalami hal yang tidak-tidak.

Akan tetapi anak burung rajawali itu tetap saja tidak mau kembali ke goa ular, dia tetap di depan goa si Giok dan menunggui di situ, sampai keesokan paginya, malam itu dia berdiam di muka goa tanpa bergeming sedikit juga. Bukan main terharunya si Giok, dia pun semakin mencintai “sahabatnya” ini.

Begitulah, jalinan kasih sayang antara seorang anak manusia dengan seekor burung rajawali, telah terjadi jalinan kasih sayang sebagai sahabat-sahabat sejati di antara ke dua makluk itu.

Hok An yang menyaksikan tingkah laku Tiauw-jie dan si Giok, pun jadi ikut terharu, Dia melihat antara manusia dengan binatang bisa timbul kasih sayang sebagai sahabat-sahabat sejati, akan tetapi justeru di dalam lingkungan manusia khususnya, antara manusia dengan manusia disebabkan harta dan benda permata, bisa saling bunuh!

Di tempat inilah, di puncak gunung Hoa-san sebelah barat dalam usianya yang mulai tua itu, Hok An berhasil menyaksikan pemandangan dari sucinya hubungan persahabatan sejati!

Pagi itu, si Giok tengah bermain-main dengan Tiauw-jie di mulut goa ular raksasa tersebut. Waktu itulah si Giok mendengar ular raksasa itu mendesis-desis. Karena sudah terlalu lama berdiam di goa itu, maka si Giok mengerti apa maksud dari sikap ular itu, yaitu memanggilnya bersama dengan Tiauw-jie.

Tiauw-jie pun yang mengerti apa maksud panggilan “ibu” nya tersebut, segera masuk ke dalam ruangan goa itu, di mana ular raksasa itu berada. Si Giok juga ikut masuk.

Ular raksasa itu mengulurkan kepalanya, dia menyelusup-nyelusup ke tubuh Tiauw-jie, dengan penuh kasih sayang, seperti juga seorang ibu yang tengah membelai mesra dan penuh kasih sayang pada anaknya.

Sedangkan Tiauw-jie juga menyelusupkan kepalanya di antara tubuh “ibu”nya tersebut.

Setelah membelai-belai Tiauw-jie beberapa saat, di mana si Giok hanya mengawasi dengan perasaan mengiri, karena dia segera teringat kepada keadaan dirinya, yang yatim piatu, tidak memiliki ayah dan ibu lagi, yang telah meninggal semuanya. Hal ini membuat si Giok jadi memandang tertegun saja, dan diapun haus akan belaian kasih sayang seorang ibu.

Tiba-tiba kepala ular itu terjulurkan, melesat dan melilit tubuh si Giok.

Bukan main kagetnya si Giok. Belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya telah tertarik maju diseret oleh ular itu. Tetap saja lilitan ular tersebut tidak terlepas, walaupun si gadis meronta cukup kuat.

Dalam keadaan demikian si Giok jadi merasa ngeri dan takut melihat kepala ular itu berada di depan matanya, di mana dia melihat kulit yang bersisik dan berlendir.

Belum pernah ular itu memperlihatkan sikap sedemikian luar biasa, melilit tubuh si Giok. Disamping itu juga keadaan ular itu benar-benar lain dari biasanya. Matanya begitu tajam mengawasi si Giok, yang berada dekat sekali dengannya, dalam lilitannya.

Seketika si Giok sebagai manusia, dapat berpikir, mungkin juga ular ini tengah lapar dan hendak memakannya. Rasa takutnya jadi semakin menjadi-jadi, dia segera berteriak sekuat suaranya memanggil Hok An, yang waktu itu tengah berada di goa mereka.

Tiauw-jie pun kaget melihat sikap ibunya seperti itu, dia sampai maju dan memandang dengan sikap terheran-heran. Akhirnya dia telah menundukkan kepalanya, dari matanya menitik butir-butir air mata yang bening.

Melihat Tiauw-jie menangis, ular raksasa tersebut segera mendesis-desis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya dia tengah berusaha menjelaskan kepada Tiauw-jie, bahwa dia tidak bermaksud jahat kepada si Giok.

Sebagai makhluk yang sejak ditetasi selalu menerima limpahan kasih sayang ular itu, Tiauw-jie seperti mengerti apa yang dimaksudkan ular itu, dia segera mengibaskan sepasang sayapnya. Lenyap sikap dukanya kemudian keluar dan terbang mengeluarkan suara pekiknya yang nyaring, seperti seorang anak yang tengah kegirangan.

Si Giok yang mendengar suara pekik anak burung rajawali tersebut justeru jadi tambah ketakutan, karena dia menduga bahwa ular raksasa itu benar-benar bermaksud hendak mencelakainya.

Hok An sendiri yang tengah terlelap tidur di dalam goanya, terbangun kaget mendengar suara pekik Tiauw-jie yang begitu berisik. Segera Hok An keluar dari goanya, sehingga ia melihat Tiauw-jie tengah terbang sambil mengibas-ngibaskan sayapnya itu kuat-kuat, dan terus memekik tidak hentinya.

Hok An seketika tercekat hatinya, dia menduga Tiauw-jie tengah memberitahukan padanya bahwa si Giok tengah menghadapi bahaya.

“Apa yang terjadi, Tiauw-jie?!” teriak Hok An. “Di mana si Giok?”

Burung itu mendengar dipanggil Hok An, segera terbang mendekati, dengan tetap memekik, sayap kanannya telah menunjuk ke arah goa ular.

Cepat-cepat Hok An berlari ke arah goa ular itu, dia diliputi kekuatiran yang luar biasa.

Ketika sampai di goa itu, Hok An segera menerobos masuk ke dalam. Untuk kagetnya ia segera menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya seperti copot terlepas dan jantungnya seakan-akan berhenti berdetak.

“Giok.....!” serunya dengan suara yang serak

Ternyata si Giok masih berada dalam lilitan ular itu, dan tengah menangis.

Hok An segera dapat menguasai goncangan hatinya, dia bersiap-siap hendak menolongi si gadis. Tetapi tentu saja Hok An tidak bisa bergerak sembarangan, si Giok tengah berada dalam lilitan ular itu. Sekali saja ular raksasa itu mengencangkan lilitannya, niscaya seluruh tubuh dan tulang-tulang di badan si gadis akan remuk dan menemui kematiannya.

Bingung sekali Hok An sampai dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dia hanya bilang: “Jangan kau lukai Giok...... bukankah kami telah banyak membantu kalian.....?!”

Ular itu mendesis, kepalanya digerak-gerakkan seperti menggeleng. Dia bagaikan ingin mengatakan bahwa dia tidak bermaksud jahat pada si Giok. Malah kemudian kepalanya ditundukkannya menempel pada tanah di dalam goa itu.

Hok An yang tidak mengerti apa yang di maksudkan ular itu, memandang dengan hati berdebar. Dia telah nekad, walaupun bagaimana dan harus menempuh bahaya, dia akan menolongi si Giok dari lilitan ular raksasa itu. Yang terpenting sekarang bagaimana meloloskan si gadis dari lilitan ular tersebut.

Sedangkan ular raksasa itu setelah menundukkan kepalanya sampai menempel pada tanah di dasar goa tersebut, segera menjulurkan lidahnya dia seperti tengah mengeluarkan tenaganya, dan terdengar suara “krookkk, krookk!” dari lehernya. Kemudian di lidahnya itu tampak meluncur sebuah benda merah, yang berkilauan, sinarnya terang benderang. Benda merah itu sebesar buah tho, berwarna merah darah, dan jatuh di ujung lidah ular raksasa itu.

Ular itu mendesis lagi, kemudian melepaskan lilitannya pada si Giok, kepalanya telah menjulur berulang kali kepada benda merah itu seperti juga ingin mengatakan bahwa benda merah itu diberikan kepada si gadis dan agar si Giok memakannya!

Hok An yang melihat benda bulat merah yang berkilauan itu, segera tersadar.

Rupanya ular raksasa itu memang tidak bermaksud hendak meneelakai si Giok, dia ingin menghadiahkan si Giok sebuah mustika ular yang langka sekali, sebuah benda mustika yang selalu terdapat pada langit-langit ular raksasa. Dan benda mustika itu jika bisa diperoleh seorang manusia dan memakannya, maka hebatlah daya tahan tubuh manusia itu, di samping dia akan memiliki hawa murni yang hebat tanpa latihan lagi!

Hok An cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya, seperti juga ingin menyatakan penyesalannya dengan memberi hormat kepada ular itu.

Si Giok yang telah dilepas dari lilitan ular tersebut, menangis dan menubruk memeluk Hok An.

“Jangan menangis Giok..... Ular raksasa itu tidak bermaksud jahat padamu, dia ingin menghadiahkan benda mustika itu padamu!”

Setelah berkata begitu, Hok An membawa gerakan tangannya menunjuk kepada si Giok dan kemudian kepada benda mustika bulat merah itu.

Ular itu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.

Segera juga Hok An yakin bahwa ular itu memang benar-benar hendak menghadiahkan benda mustika tersebut kepada si Giok.

Segera juga Hok An maju ke depan untuk mengulurkan tangannya mengambil benda bulat merah kemilau itu.

Namun, tiba-tiba kepala ular itu menyambar ke arah tangan Hok An. Gerakannya begitu cepat, telah menyampok lengan Hok An.

Hok An yang tidak menyangka tangannya akan dibentur seperti itu, disamping kesakitan juga kaget bukan main, sampai dia melompat mundur.

Di saat itulah timbul prasangka buruk lagi pada ular raksasa tersebut.

Sedangkan ular raksasa itu telah menggerak-gerakan kepalanya seperti menunjuk pada si Giok.

Seketika Hok An baru tersadar bahwa ular raksasa itu tidak mengijinkan dia mengambil benda mustika tersebut. Siapapun tidak diijinkannya mengambil benda mustika itu dan dia hanya mengijinkan si Giok yang mengambil sendiri benda mustika itu.

Hok An juga menyadari akan hal itu, karena dia tersadar dengan cepat. Kalau dia mengulangi lagi perbuatannya yang coba-coba mewakili Si Giok mengambil mustika tersebut tentu ular raksasa itu akan menyerangnya, maka Hok An menoleh kepada si gadis, katanya:

“Giok pergilah kau mengambil benda mustika itu...... ular itu memberikan dan menghadiahkan kepadamu, maka engkau yang harus mengambilnya..... Benda mustika itu besar faedahnya buatmu..... pergilah kau mengambilnya!”

Si Giok masih takut-takut, dia tidak segera melaksanakan perintah paman Hok nya tersebut. Malah gadis cilik ini kemudian menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jangan takut, dia tidak akan melibat kau lagi!” kata Hok An yang segera menghiburnya.

Gadis cilik itu karena mengalami kekagetan yang hebat tadi di mana tubuhnya dililit ular itu, sekarang jadi takut dekat-dekat dengan ular raksasa tersebut. Dia kuatir dirinya dililit lagi dan tidak akan dilepaskan pula oleh ular raksasa tersebut.

Waktu itu Tiauw-jie telah terbang kembali masuk ke dalam goa.

Ular raksasa itu mendesis-desis, dan Tiauw-jie seperti mengerti keinginan ular itu, dia mendekati si Giok, dan mendorong-dorong tubuh si gadis dengan tubuhnya.

Akhirnya setelah Hok An memaksa agar dia mengambil lagi benda mustika itu, barulah si Giok menghampiri benda mustika itu dan mengambilnya.

Ular raksasa itu telah mengangguk-anggukkan kepalanya, tampaknya dia puas, sampai akhirnya dia juga telah menundukkan kepalanya sampai berada di dasar tanah goa tersebut, dan tidak bergerak lagi.

Hok An melihat kelakuan ular tersebut, segera menghampiri lebih dekat buat melihat apa yang akan dilakukan oleh alar raksasa itu. Tiauw-jie juga terbang menghampiri, melihat keadaan “ibunya” seperti itu, mendadak Tiauw-jie mengeluarkan pekikkan berulang kali. Suara pekikkannya itu mengandung nada kedukaan yang bukan main.

Hok An yang telah memeriksa keadaan ular raksasa tersebut, pun jadi kaget tidak terkira, karena segera dia memperoleh kenyataan ular itu telah mati!

Si Giok yang diberitahukan hal itu oleh Hok An, jadi menitikkan air mata juga. Rupanya tadi ular itu melilit dirinya memang sama sekali tidak bermaksud mencelakainya, justeru ular itu menyayanginya dan telah menghadiahkan mustika di dalam mulutnya itu!

Hok An sendiri sampai menitikkan air mata, dan akhirnya bilang kepada si Giok, “Benda mustika itu tidak satu juta orang dalam seribu tahun bisa memperolehnya, maka engkau merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang sangat beruntung! Kau telanlah! Tetapi ingat, kau tidak boleh menggigitnya, jangan sampai benda mustika itu pecah! Kau harus menelannya bulat-bulat!”

Si Giok membuka matanya lebar-lebar kemudian katanya: “Mana..... mana bisa!” tampaknya dia jijik sekali.

“Kau sesungguhnya beruntung sekali Giok, karena itu janganlah kau sia-siakan keberuntungan ini! Telanlah!” menganjurkan Hok An.

Dengan terpaksa dan sambil memejamkan matanya si Giok akhirnya memasukkan benda mustika itu. Sejak dipegangnya tadi, benda mustika itu hangat sekali, dan demikian juga waktu dia memasukkan ke dalam mulutnya, hawa hangat itu masih dapat dirasakannya.

Malah yang membuat si Giok terheran-heran, jika sebelumnya dia menduga benda mustika itu berbau amis dan memuakkan, justru dugaannya itu meleset, karena begitu benda itu masuk ke dalam mulutnya, dia merasa hangat nyaman dan benda tersebut harum sekali. Dia sendiri tidak mengetahui entah harumnya benda itu harum sejenis buah apa. Dia berusaha menelannya benda mustika tersebut.

Gagal!

Karena bentuknya yang cukup besar, maka si Giok tidak bisa menelannya. Dia telah menggelengkan kepalanya sambil memandang kepada Hok An, kemudian dengan memejamkan matanya, dia berusaha menelannya lagi benda mustika itu.

Waktu itu Hok An mengawasinya dengan hati berdebar-debar. Sebagai seorang yang berpengalaman, memang Hok An pernah mendengar cerita perihal benda mustika ular raksasa, yang biasa disebut mustika ular naga. Jika menelan benda tersebut, maka mustika itu tidak boleh sampai pecah, harus ditelan bulat-bulat sehingga mustika itu akan memberikan kemujijatan tenaga yang luar biasa pada orang yang bersangkutan.

Sedangkan mati atau hidupnya seekor ular, tergantung pada mustika itu. Jika memang mustika itu masih berada di dalam mulutnya, maka ular itu akan tetap hidup, walaupun usianya telah tua benar.

Dan sekali saja benda mustika itu dikeluarkan atau hilang dari dalam mulutnya, maka selanjutnya ular itu akan kehilangan kekuatannya dan akan mati! Karena itu, ular raksasa itu sendiri, setelah mengeluarkan benda mustika tersebut, dia hanya bisa bertahan tidak lama, di mana dia hanya dapat menantikan sampai si Giok yang mengambil sendiri benda mustika itu, kemudian diapun mati!

Jika saja benda mustika itu ditelan dalam keadaan pecah, walaupun masih ada khasiatnya, tokh tetap saja hal ini tidak sehebat apa yang bisa diperoleh jika benda mustika tersebut dalam keadaan utuh dan bulat.

Karena itu Hok An sekarang jadi tegang sendirinya waktu melihat si Giok begitu bersusah payah buat menelan bulat-bulat benda mustika itu.

Akhirnya si Giok telah mendelik-delik, karena benda mustika tersebut telah berada di tengah-tengah tenggorokannya, masuk tidak keluar pun tidak.

Melihat kelakuan gadis cilik ini, Hok An jadi tambah bingung dan gugup, dia kuatir kalau-kalau benda mustika itu akan pecah, sehingga khasiatnya berkurang. Segera juga dia mendekati dan mengusap-usap leher gadis cilik itu perlahan-lahan.

Akhirnya si Giok dapat bernapas lega, benda bulat itu dirasakannya meluncur perlahan-lahan masuk lebih dalam dan akhirnya ke dadanya dan kemudian juga ke perutnya. Sampai di perutnya, benda itu diam tidak bergerak lagi. Waktu benda itu bergerak turun, si Giok dapat merasakannya, karena benda bulat itu mengeluarkan hawa yang hangat.

Hok An juga menghela napas lega, karena dilihatnya si gadis cilik berhasil menelan benda mustika itu bulat-bulat.

“Selamat untukmu!” kata Hok An kemudian, yang disusul dengan suara tertawa bergelak-gelak.

Si Giok jadi heran melihat kelakuan paman Hok nya ini, demikian juga dengan anak rajawali itu. di mana Tiauw-jie memandang diam saja tidak mengerti, karena diapun tengah berduka atas kematian “ibunya”.

Setelah puas tertawa, barulah Hok An memberikan keterangan kepada si Giok, bahwa sesungguhnya dia merasa gembira sebab si Giok telah berhasil menelan benda mustika itu, di mana dia akan menjadi seorang wanita yang luar biasa.

Dengan adanya bantuan benda mustika itu niscaya selanjutnya si Giok lebih mudah jika ingin mempelajari ilmu silat. Juga terutama sekali, jika saja si Giok memperoleh satu-dua petunjuk buat mengendalikan hawa murni tubuhnya, dia akan segera memiliki hawa murni yang hebat.

Sekarang walaupun Si Giok belum bisa mempergunakannya, tetapi sebenarnya dia telah memiliki hawa murni yang hebat sekali yang mungkin tidak akan kalah dibandingkan dengan latihan duapuluh tahun! Hanya saja, karena si Giok tidak mengerti ilmu silat dan tidak memiliki latihan lweekang, hawa murni tersebut tidak bisa dipergunakannya.

Sedikitnya satu-dua tahun ia harus melatih diri atas petunjuk dari seorang berkepandaian tinggi, barulah ia akan bisa mengendalikan dan menyalurkan kekuatan dan kemujijatan benda mustika itu. Pertama-tama yang harus dilakukannya adalah berusaha membuka jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya, seperti Me-kong-hiat, Cie-tay-hiat, Lu-cian-hiat, dan beberapa jalan darah pokok lainnya.

Tetapi dengan ditelannya permata mujijat ular raksasa itu oleh Si Giok, berarti memang dia memiliki kesempatan buat menjadi seorang pendekar wanita yang kelak memiliki kepandaian tinggi. Hanya masalah waktu juga yang menentukannya.

Hok An memutuskan untuk mengubur ular raksasa itu di dalam goa, yaitu dengan cara membiarkan bangkai ular itu di dalam goa tersebut, lalu menutup pintu goa itu. Dengan demikian sama saja ular raksasa tersebut dikubur di dalam goanya sendiri.

Waktu ingin mengajak si Giok buat meninggalkan goa itu, tiba-tiba Hok An melihat inti es di kepala ular raksasa tersebut, yang masih bersinar terang, sehingga walaupun ular itu telah mati, keadaan di dalam goa itu tetap saja terang benderang. Hati Hok An tergerak, segera dia menghampirinya mengambil inti es itu. Ternyata inti es itu sebesar kepalan tangan, sangat dingin sekali. Diberikan kepada si Giok.

“Kantongilah..... ambillah olehmu!” kata Hok An kemudian.

“Untuk apa, paman Hok?!” tanya si Giok yang kuatir kalau-kalau nanti inti es itu disuruh untuk ditelannya juga seperti halnya batu permata mujijat merah itu.

“Buat main-main..... tidak ruginya engkau memiliki inti es mujijat itu!” menjelaskan Hok An.

Mendengar keterangan Hok An itu, barulah si Giok lebih tenang, dia mengantongi batu inti es tersebut, kemudian mengajak Tiauw-jie keluar dari goa ular.

Hok An bekerja cepat, dia telah mempergunakan batu-batu gunung, barulah dia bisa menutup pintu goa tersebut.

Begitulah, pada hari-hari selanjutnya Tiauw-jie bermain-main dengan si Giok, karena sejak kematian “ibu”nya, Tiauw-jie lebih sering bermurung diri, di mana anak rajawali tersebut telah banyak termenung berdiri terpekur, tidak ada kegembiraan buat terbang ke sana ke mari seperti hari-hari sebelumnya.

Si Giok yang melihat kemurungan sahabatnya ini, berusaha menghiburnya dengan mengajak Tiauw-jie bermain-main. Setelah lewat seminggu, maka kesedihan Tiauw-jie berkurang. Dan Tiauw-jie mulai riang kembali bermain dengan si Giok.

Sedangkan Hok An pun telah perintahkan si Giok agar setiap malam mulai mengatur jalan pernapasannya. Si Giok ternyata adalah seorang gadis cilik yang memiliki otak sangat cerdas, karena dia dapat dengan segera melakukannya dengan baik, walaupun perlahan, akan tetapi pasti dia memperoleh kemajuan.

Hanya saja yang seringkali membuat si Giok merasa terganggu, acapkali melatih hawa murninya, dia merasakan batu mujijat ular raksasa yang telah berada di dalam perutnya itu, seperti bola api saja yang menggeleser ke sana ke mari, mendatangkan perasaan yang terkadang-kadang sangat sakit.

“Jangan kuatir, itu bukan apa-apa, hanya merupakan pencarian bagi batu mujijat itu untuk memperoleh tempat yang sebaik-baiknya di dalam tubuhmu, guna dapat menempatkan dirinya secara tetap! Karena engkau memang tidak mengerti latihan lweekang, maka dari itu engkau belum bisa mengendalikannya.

“Jika nanti latihan lweekangmu telah memadai dan engkau dapat mengendalikannya, batu mujijat yang berada di dalam perutmu itu akan dapat kau kendalikan dan menempatkannya di Tay tian-hiat mu, di dekat pusar. Dengan begitu, berhasillah selanjutnya engkau memiliki kekuatan tenaga dalam yang hebat menakjubkan!”

Menjelaskan Hok An ketika si Giok menyatakan kekuatirannya bahwa batu mujijat yang berada di dalam perutnya bisa menimbulkan akibat dan hal yang tidak-tidak.

Si Giok pun agak tenang, walaupun dia masih saja, setiap kali melatih tenaga dalamnya merasakan batu mujijat itu bergerak-gerak di dalam perutnya.

Dengan begitu, si Giok juga memperoleh perasaan hangat yang seringkali menguatirkan. Karena tidak jarang dia merasakan telapak tangannya panas sekali, atau juga kakinya yang seringkali menginjak tanah sampai melesak.

Si Giok sendiri heran, entah dari mana datangnya tenaga menginjak yang kuat seperti itu. Cuma saja, yang membuat dia heran, jika dia mengulangi lagi, dia tidak berhasil, dan kekuatan mujijat membuat telapak kakinya kuat menginjak permukaan bumi melesak, hanya muncul sekali-sekali saja.

Begitulah, dengan rajin Hok An telah melatih si Giok, agar gadis cilik ini berlatih diri terus. Tanpa mereka sadari, telah setengah tahun lagi mereka berdiam di dalam gua di tebing puncak gunung Hoa-san sebelah barat itu.

Tiauw-jie memiliki tugas sendiri, yaitu dia yang selalu mencarikan kelinci ataupun kambing-kambing kecil, yang dibawa terbang setelah berhasil diburunya ke goa mereka, di mana Hok An yang akan menguliti dan memanggangnya.

Kehidupan dan penghidupan seperti itu, akhirnya membosankan si Giok juga, dia menyatakan perasaannya pada Hok An, bahwa dia bosan dan tidak memiliki kegembiraan dengan kehidupan di goa puncak gunung ini, karena dia ingin melihat keramaian.

Hok An setelah mempertahankan dua hari lamanya, akhirnya memutuskan buat mengajak si Giok meninggalkan tempat itu. Dan begitulah, setelah tiga hari lagi, merekapun meninggalkan goa di tebing gunung tersebut, dan juga Tiauw-jie diajak serta oleh mereka.

Untuk meninggalkan goa itu, cukup mereka naik di punggung Tiauw-jie yang membawanya terbang. Maka cepat sekali mereka tiba di kaki gunung Hoa-san.

Tiauw-jie sekarang sudah merupakan seekor rajawali putih yang besar dan gagah sekali, memiliki tenaga yang kuat luar biasa.

Di samping tenaganya yang kuat, Tiauw-jie juga memiliki gaya gerak yang aneh sekali. Disamping bisa mengikuti gerakan seekor ular dengan segala macam sifat dan geraknya, juga Tiauw-jie yang selalu menyaksikan Hok An sering berlatih silat di pagi hari, bisa mencangkok beberapa gerakan Hok An tersebut, walaupun gerakan Hok An dicangkoknya itu hanya mempergunakan sepasang sayapnya.

Waktu tiba di kaki gunung Hoa-san, Hok An telah mengajak si Giok dan Tiauw-jie buat pergi ke sebuah perkampungan yang berada tidak jauh dari tempat itu.

Karena tidak leluasa membawa-bawa Tiauw-jie, maka Hok An perintahkan Tiauw-jie agar terbang di tengah udara. Sedangkan Hok An dan si Giok berjalan kaki.

◄Y►

Perkampungan di kaki gunung merupakan perkampungan yang tidak begitu baik, karena umumnya penduduk di kampung itu memiliki mata pencarian sebagai pencari kayu.

Mereka memasuki sebuah warung teh, dan minum sambil makan bak-pauw di situ. Hidup di pegunungan jauh dari masyarakat ramai, umumnya selama lebih dari satu tahun lebih, membuat si Giok merasa asing berada di perkampungan tersebut. Dia melihat gadis-gadis cilik sebayanya yang umumnya berpakaian baik-baik dan bersih, maka akhirnya si Giok meminta pada Hok An agar dia dibelikan pakaian baru.

Hok An tertawa mendengar permintaan gadis cilik tersebut, yang memang telah dianggap sebagai puterinya. Dia mengajak si Giok ke tempat penjual pakaian, dan membeli beberapa perangkat pakaian yang cukup baik.

Dengan gembira si Giok salin pakaian dan kini terlihat dia merupakan seorang gadis cilik yang manis dan rambutnya juga telah disanggul rapi sekali.

“Kau seperti ibumu!” memuji Hok An. “Cantik dan manis! Karena itu, jika sejak sekarang engkau mempelajari ilmu silat, engkau tidak akan mengalami nasib seperti ibumu..... engkaupun bisa mengambil keputusan yang tegas jika menghadapi sesuatu persoalan, dengan demikian engkau tidak perlu terlalu menderita!”

Si Giok masih tidak mengerti apa maksud perkataan Hok An, hanya saja dia senang dipuji paman Hoknya tersebut.

“Giok!” kata Hok An setelah berdiam sesaat, di waktu si Giok tengah mengagumi pakaiannya tersebut. “Karena aku telah menganggap engkau seperti anak kandungku, maka aku ingin menghadiahkan nama padamu! Engkau mau menerimanya, bukan?!”

Si Giok memandang paman Hok nya, katanya: “Nama apa paman Hok?!”

“Aku ingin menambahkan namamu menjadi Giok Hoa!” menjelaskan Hok An. “Giok adalah batu kumala dan Hoa adalah bunga. Nama itu jadi memiliki arti yang luas. Engkau memiliki hati sekeras dan semurni batu kumala, suci dan agung seperti batu permata itu, namun kelembutanmu seperti harum dan indahnya bunga.....!”

Si Giok menepuk tangannya beberapa kali.

“Bagus! Bagus! Bagus paman Hok! Sekarang setelah memiliki pakaian baru, aku memiliki nama yang indah sekali!” kata si Giok kemudian.

“Nah, Giok Hoa, sekarang engkau berusia sembilan tahun, engkau telah semakin besar maka engkau harus rajin-rajin melatih tenaga dalammu itu seperti apa yang telah kuajarkan kepadamu. Kelak engkau akan menjadi seorang gadis yang agung, gagah dan lembut manis.....!” kata Hok An lagi.

Giok atau Giok Hoa, telah mengiyakan dan mengucapkan terima kasihnya.

“Sekarang kita belum lagi berhasil mencari jejak dari Bin Lung Hie, maka jika kelak kita bisa menemukan jejaknya dalam dua atau tiga tahun mendatang, di waktu itu, engkaupun telah memiliki kepandaian juga. Aku hanya bantu menangkapnya dan akan kuserahkan kepadamu buat membalas sakit hati ke dua orang tuamu.....!”

Mendengar disinggung urusan Bin Lung Hie dan kedua orang tuanya, wajah Giok Hoa berobah murung, kemudian katanya: “Paman Hok..... dulu aku memiliki prasangka buruk terhadapmu! Ternyata engkau seorang yang baik! Entah bagaimana aku bisa membalas budi kebaikanmu itu! Aku sungguh-sungguh sangat berterima kasih sekali.....!”

Hok An tersenyum, katanya dengan suara menyayangi pada gadis cilik ini: “Kau tidak usah berkata begitu..... dulu aku pernah mencintai ibumu, tetapi kami tidak berjodoh, ibumu telah menikah dengan ayahmu!

“Waktu aku mengetahui kenyataan seperti itu, di mana ibumu sudah tidak mencintai aku, dan telah menjadi milik orang lain, maka akupun memutuskan tidak akan mengganggu ketenangan dan kebahagian ibumu..... aku ingin membiarkan ibumu mengecap kebahagiaannya bersama ayahmu dan kau!

“Akan tetapi muncul Bin Lung Hie, yang menurut apa yang kudengar masih terhitung kakakmu itu, dialah yang telah menghancurkan rumah tanggamu..... karenanya, jika memang kelak engkau berhasil menangkapnya, waktu itu kau harus mempertimbangkannya. Walaupun memang engkau bersakit hati padanya disebabkan Bin Lung Hie merupakan sumber kehancuran rumah tanggamu, namun dia masih tetap kakak misanmu.....!”

Giok Hoa menunduk sedih, dia berdiam diri beberapa saat, sampai akhirnya dia mengangguk.

“Aku akan selalu ingat pesan paman Hok.....!” kata gadis cilik itu.

Banyak yang dibicarakan Hok An dengan Giok Hoa, dan akhirnya setelah cukup kenyang, merekapun meninggalkan warung teh tersebut.

Hok An mengajak Giok Hoa bermalam satu malaman di kampung itu, mereka menginap di sebuah rumah penginapan yang tidak begitu baik, namun cukupan buat mereka, karena dibandingkan dengan penghidupan mereka berada di dalam goa, kini berada di atas pembaringam yang hangat, benar-benar merupakan hal yang menyenangkan sekali.

Giok Hoa pun telah tertidur nyenyak. Hok An malam itu tidak bisa tidur, dia mengawasi gadis cilik ini, dan hatinya merasa iba dan berkasihan, karena nasib gadis cilik ini yang malang dan buruk.

Waktu lewat kentongan ke dua barulah Hok An bisa memejamkan matanya untuk tidur.

Besok paginya mereka terbangun agak siang, karena tidur di atas pembaringan rupanya nyaman sekali. Hok An mengajak Giok Hoa pergi ke pasar di kampung itu, untuk melihat keramaian. Bukan main senangnya Giok Hoa yang telah dua tahun berdiam di puncak gunung yang sepi dan tidak ada keramaian apapun juga, sekarang bisa menyaksikan semua keramaian di kampung itu.

Akan tetapi yang membuat Hok An jadi berhati-hati, dia melihat di kampung ini, di dalam pasar tersebut, banyak sekali berkeliaran orang-orang Boan, yaitu tentara negeri. Rupanya Kublai Khan, Kaisar yang telah berhasil menguasai daratan Tiongkok pada waktu itu dan tengah berkuasa, masih saja menyebarkan orang-orangnya untuk mengadakan penjagaan secara tidak langsung.

Hok An berusaha mengelakkan bentrokan dengan orang-orang Boan itu, sehingga dia berjalan selalu dengan kepala tertunduk dan membiarkan Giok Hoa menikmati keramaian yang terdapat di kampung itu.

Pasar tersebut tidak besar, hanya meliputi tiga petak yang terbagi dengan pasar induk di sebelah barat, di sebelah selatan merupakan pasar buah, bunga dan alat-alat rumah tangga, sedangkan sebelah timur terdiri pasar daging.

Akhirnya Hok An mengajak Giok Hoa ke pasar sebelah selatan, untuk melihat-lihat bunga dan buah-buahan yang tampaknya ranum-ranum dan manis. Malah Hok An telah membelikan buah tho buat Giok Hoa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar