Anak rajawali Jilid 21
Memang kepandaian mereka
tampaknya setingkat, ke duanya memiliki ilmu silat maupun sin-kang yang
berimbang. Hanya saja jika diteliti benar-benar, kepandaian Thio Kim Beng masih
menang seurat dari Cek Tian.
Cek Tian hanya memiliki ilmu
yang hebat luar biasa seperti Ha-mo-kang. Tetapi dia kurang meyakinkannya
sampai mahir benar, dia juga tidak memperoleh bimbingan waktu mempelajari
kepandaiannya, membuat dia kurang pengalaman bertempur.
Sekarang menghadapi
serangan-serangan Thio Kim Beng yang begitu gencar, membuatnya mulai terdesak.
Biarpun dia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dia masih juga sering
terdesak.
Beruntung dia memiliki mujijat
seperti Ha-mo-kang, dengan kepala di bawah dan sepasang kaki di atas. Jika
tidak, tentu Thio Kim Beng sudah dapat mendesaknya lebih hebat.
Sekarang, dengan tubuh
terbalik itu tentu saja membuat Thio Kim Beng sementara itu kehilangan sasaran.
Semua jalan darah di tubuh lawannya jadi terbalik, dan setiap jurus yang
dipergunakannya itu jadi terbalik menuju ke sasarannya. Jika harus menotok ke
pundak, justeru dia jadi menotok ke arah kaki lawannya, demikian pula
sebaliknya.
Tetapi setelah memperhatikan
cara bertempur lawannya, berangsur-angsur dia mulai dapat mengusai diri dan
telah bisa melihat kelemahan lawannya. Karena dari itu, segera juga dia
memperhebat serangannya dengan mengincar bagian di tengah, yaitu perut Cek
Tian.
Tengah merupakan bagian yang
paling penting dalam suatu pertempuran, karena dapat ke bawah dan dapat ke
atas. Dengan mengambil kelemahan lawannya di situ, Thio Kim Beng bisa mengancam
terus menerus dengan tongkat bambu hijaunya, tanpa perlu bingung disebabkan
lawannya bertempur dengan cara terbalik seperti itu. Disamping itu juga
terlihat betapa serangan-serangan yang dilakukan oleh Cek Tian kian lemah,
rupanya nenek tua itu mulai kehabisan napas dan tenaga, dia sudah letih.
Sedangkan Thio Kim Beng
sendiri, walaupun cukup lelah, daya tahannya jauh lebih kuat dibandingkan
dengan si nenek Cek Tian. Karenanya, dia telah mengempos semangatnya, dan
berusaha menyerang semakin lama semakin gencar, tidak mau memberikan kesempatan
sedikitpun kepada Cek Tian buat merobah kedudukan dan posisi dirinya!
Cek Tian menyadarinya, jika
bertempur terus menerus seperti itu, akhirnya dia yang bisa rubuh di tangan
lawannya, karena setelah ratusan jurus dia merasakan bahwa kepandaiannya masih
berada di bawah kepandaian Thio Kim Beng.
Maka cepat-cepat Cek Tian
memperhebat serangan Ha-mo-kang nya, juga dia berusaha untuk mencari kelemahan
lawannya. Namun tetap saja Cek Tian yang terdesak dengan hebat oleh tongkat
lawannya.
Dikala itu Cek Tian menarik
napas dalam-dalam, tiba-tiba sekali dia menghantam dengan ke dua telapak
tangannya. Itulah jurus terhebat dari Ha-mo-kang, membuat angin gempuran itu
dahsyat sekali menerjang Thio Kim Beng.
Thio Kim Beng sendiri tidak
berani menangkis dengan kekerasan. Dia menyadari betapa hebatnya Ha-mo-kang,
terlebih lagi si nenek Cek Tian sekarang ini telah menyerangnya begitu hebat,
membuatnya dia tak mau mempertaruhkan jiwanya dengan tangkisan keras dilawan
keras.
Cepat-cepat dia berkelit,
tubuhnya melesat lincah sekali, membarengi dengan itu tongkatnya menyambar
mengancam ubun-ubun dekat kening si nenek Cek Tian.
Itulah serangan yang mengambil
arah vertikal, karena tongkat dari pengemis tua itu menuju ke bawah, dimana
kepala si nenek Cek Tian memang menempel pada bumi. Justeru dia menyerang
ubun-ubun dekat kening depan si nenek, dengan demikian dia berharap bisa
menotok jalan data Kiu-kie-hiat si nenek, yang berada tujuh dim di atas
alisnya.
Tetapi Cek Tian benar-benar
liehay, dia tidak mau membiarkan keningnya kena diserang begitu saja. Cepat
sekali dia telah memutar tubuhnya, yang berputar-putar seperti juga gangsing.
Dia telah membalas menghantam lagi dengan tangan kirinya, dari mulutnya
terdengar suara “krokkk, krokkk”!
Thio Kim Beng kali ini sudah
tidak memiliki kesempatan buat menghindar dari tenaga lawan. Karenanya dia
menangkis.
“Bukkk!” hebat sekali tenaga
mereka saling bentur, dan tubuh si nenek terpental. Dia terpental sambil
berbareng tubuhnya melesat dan jatuh hinggap ditumpukan salju dalam keadaan
berjongkok, malah dari mulutnya terdengar suara “krokk, krokk,” seperti juga
seekor kodok besar, dan ke dua tangannya telah mendorong kuat sekali kepada
Thio Kim Beng.
Thio Kim Beng waktu itu
terhuyung tiga langkah ke belakang, dan baru saja berhasil memperbaiki
kuda-kuda ke dua kakinya, di saat itulah tenaga Ha-mo-kang dari Cek Tian telah
menyambar datang, dan menuju ke arah dadanya. Walaupun serangan itu belum tiba,
baru menyambar angin permulaannya, Thio Kimbeng merasakan napasnya sesak bukan
main, ia kaget, dan segera mengempos semangatnya, dia berkelit cepat-cepat
menghindar, dari tenaga Ha-mo-kang lawan.
“Memang tidak percuma ilmu
Ha-mo-kang yang diciptakan Auwyang Hong, hebat sekali! Hemmmm, nenek tua sialan
ini tampaknya belum lagi dapat menguasai Ha-mo-kang itu sepenuhnya. Jika saja
Auwyang Hong yang mempergunakan Ha-mo-kang tersebut, niscaya siang-siang aku
sudah dapat dirubuhkan!”
Begitulah yang dipikir Thio
Kim Beng. Dia sendiri di samping kagum, pun merasa jeri juga dengan Ha-mo-kang.
Cuma saja, disebabkan dia
menyadari bahwa lawannya itu kurang sepenuhnya menguasai ilmu tersebut, maka
dia tidak menjadi gentar buat bertempur terus. Coba jika berhadapan dengan
Auwyang Hong, tentu siang-siang Thio Kim Beng akan angkat kaki, atau jika dia
keras kepala, niscaya jiwanya sudah melayang siang-siang oleh si Bisa Bangkotan
itu……!”
Ko Tie menyaksikan jalan
pertempuran di antara ke dua tokoh sakti itu semakin lama semakin hebat, jadi
menahan napas. Dia tidak mengerti di tempat ini bisa muncul dua orang yang
berkepandaian begitu tinggi, dan dia berusaha untuk memperhatikan dengan cermat
sekali, buat melihat dengan sungguh-sungguh setiap jurus yang dipergunakan ke
dua orang tersebut, karena setidaknya, apa yang dilihatnya ini merupakan
tambahan pengalaman buat Ko Tie.
Di waktu itu Ko Tie juga telah
berusaha untuk bersembunyi terus tanpa ada gerakan. Sedikit saja dia
mengeluarkan suara dan ke dua orang tua yang tengah bertempur hebat itu
mengetahui, tentu dia akan memperoleh kesulitan.
Sudah menjadi peraturan di
dalam kalangan Kang-ouw, seseorang tidak bisa mencuri lihat atau bersembunyi
untuk mengintip pertempuran dari orang lain. Hal itu merupakan suatu perbuatan
yang rendah dan hina. Karenanya, Ko Tie tidak ingin jika perbuatannya kali ini
sampai diketahui oleh ke dua orang yang tengah bertempur dengan dahsyat itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan
si pengemis Thio Kim Beng, yang berseru dengan suara yang nyaring sekali:
“Hemmm..... walaupun engkau mengeluarkan seluruh kepandaianmu, tetap saja
engkau akan rubuh di tanganku! Baik! Baik! Kau pergunakanlah seluruh
kepandaianmu.....!”
Sambil berkata begitu, segera
juga Thio Kim Beng memutar tongkat bambu hijaunya, dia telah memutarnya dengan
dahsyat menimbulkan kesiuran angin yang menderu-deru hebat sekali. Dia juga
telah melangkah maju, berusaha untuk merangsek kepada si wanita tua tersebut.
Dikala itu, tampak Cek Tian
berusaha mengempos seluruh kekuatannya. Dia masih berada dalam keadaan
berjongkok seperti seekor kodok besar, di mana ke dua tangannya telah
dilonjorkan dan mendorong dengan kuat sebanyak dua kali.
Tetapi Thio Kim Beng
benar-benar lihay, dia bisa menghadapi gempuran itu dengan mudah, tubuhnya berkelebat
ke sana ke mari dan dia telah memunahkan tenaga serangan dari Ha-mo-kang
lawannya.
Thio Kim Beng pun bukan hanya
berkelit saja, tongkatnya tahu-tahu sudah meluncur. Sekarang nenek tua Cek Tian
dalam keadaan berjongkok, dengan sendirinya dia bisa menyerang lebih leluasa.
Ujung tongkat bambu hijaunya itu telah mengincar mata dari nenek tua tersebut.
Walaupun Ha-mo-kang Cek Tian
cukup hebat, namun gin-kangnya masih di bawah gin-kang Thio Kim Beng. Sekarang
melihat tongkat lawannya meluncur akan menikam matanya, dia tidak berani
berayal.
Segera dia menjejakkan ke dua
tangannya, telapak tangannya menghantam bumi, maka tubuhnya seperti juga seekor
kodok besar yang tengah melompat, melesat sangat ringan sekali sejauh dua
tombak lebih.
Thio Kim Beng sama sekali
tidak mau memberikan kesempatan. Dia juga telah menyusul, tongkat bambu
hijaunya itu telah menyambar secepat kilat, tenaga dalam yang disalurkan kepada
tongkatnya itu juga hebat sekali, menimbulkan angin yang berkesiuran, tetap
saja ujung tongkatnya yang tajam itu mengincar mata Cek Tian.
Cek Tian gusar bukan main, dia
mendorong pula ke dua telapak tangannya dalam keadaan tetap berjongkok, dimana
dari mulutnya terdengar “krokkk, krokkk,” tidak hentinya. Dari ke dua telapak
tangannya itu meluncur kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali.
Dia tengah didesak lawannya
dengan ujung tongkat yang mengincar matanya, karenanya, dia bermaksud akan
membendung serangan lawan dengan hantaman Ha-mo-kang yang sekuat tenaganya.
Jika memang lawannya meneruskan tikaman mata tongkatnya itu buat mencukil biji
mata Cek Tian, berarti serangan Ha-mo-kang Cek Tian akan mengenai Thio Kim
Beng. Dia akan terluka matanya dan menjadi buta, tetapi dia bisa membunuh
lawannya. Itulah perhitungan yang masuk dari Cek Tian, yang mempertaruhkan biji
matanya.
Tetapi Thio Kim Beng mana mau
berlaku nekad seperti itu, dia melompat mundur sambil menarik pulang
tongkatnya. Dengan demikian mereka berdua telah terpisah dalam jarak yang cukup
jauh. Ke duanya saling pandang satu dengan yang lain bersiap-siap untuk saling
terjang menerjang lagi guna merubuhkan lawan mereka.
Keadaan pada waktu itu jadi
tegang. Ko Tie yang bersembunyi di balik batu gunung, menyaksikan ke dua tokoh
sakti itu yang tengah saling pandang mencari kesempatan buat mulai menyerang
lagi, jadi berdebar juga.
Karena dia mengetahui, sekali
ini ke dua jago yang berkepandaian tinggi tersebut tengah mengincar kelemahan
lawannya dan berusaha mencari kesempatan guna menyerang terlebih dulu. Juga
ilmu yang akan mereka pergunakan tentunya bukanlah ilmu yang sembarangan,
setidaknya mereka sekali ini akan mempergunakan ilmu simpanan mereka.
Di waktu itulah tampak Cek
Tian telah mengerang, dia mengangkat ke dua tangannya lurus-lurus ke depan,
sikapnya masih berjongkok seperti seekor kodok besar, matanya memancarkan sinar
yang tajam sekali. Tubuhnya tergetar keras, karena dia tengah mengerahkan
seluruh kekuatan lweekangnya, di mana dia ber maksud sekali ini menyerang
berhasil merubuhkan lawannya.
Thio Kim Beng pun tidak berani
berayal, tongkat bambu hijaunya telah dilintangkan di depan dadanya. Dia telah
mengawasi sikap Cek Tian dengan mata yang bersinar tajam juga. Dia menantikan
penyerangan lawannya sambil mengempos semangatnya, memperhatikan juga
kalau-kalau ada kelemahan dalam gerakan Cek Tian ini.
Di saat itulah, di antara
berkelebatnya tongkat bambu hijau Thio Kim Beng, tampak Cek Tian juga menyerang
hebat mempergunakan ke dua telapak tangannya.
“Takk, dukkk, bukk!” terdengar
tiga kali suara benturan yang nyaring.
Suara yang pertama adalah
suara terbenturnya tongkat bambu hijau Thio Kim Beng yang kena ditangkis oleh
Cek Tian, sedangkan suara yang ke dua merupakan suara terbenturnya dua kekuatan
antara tenaga dalam Cek Tian dengan tenaga dalam Thio Kim Beng.
Dan suara yang ke tiga
merupakan suara tubuh Cek Tian yang kena dihantam oleh telapak tangan kiri Thio
Kim Beng, sehingga tubuh si nenek tua yang tangguh itu terpental bergulingan di
atas tumpukan salju!
Namun dasarnya memang dia
tangguh sekali, dia bisa melentik bangun dengan segera, sambil menghantam lagi
dengan ke dua telapak tangannya, di mana dia masih mengambil sikap seekor kodok
besar, berjongkok mempergunakan Ha-mo-kang nya! Angin berkesiuran menderu-deru.
Thio Kim Beng sendiri tidak
berani segera memapaki serangan lawannya kali ini. Tadi saja, waktu tenaganya
saling bentur dengan tenaga dalam Cek Tian, telapak tangannya yang mencekal
tongkat bambu hijaunya tergetar keras dan terasa pedih, juga tubuhnya
tergoncang hebat sekali.
Biarpun dia berhasil
menghantam Cek Tian dengan telapak tangan kirinya, dia sendiri tidak urung kena
disampok oleh kekuatan tenaga dalam Ha-mo-kang lawannya. Beruntung dia memang,
telah menutup tubuhnya dengan kekuatan sin-kang nya, sehingga biarpun dia kena
diterjang oleh tenaga dalam lawan, tokh tetap saja dia tidak sampai terluka
parah.
Dalam keadaan seperti itu,
terlihat Thio Kim Beng cepat-cepat menjejakkan ke dua kakinya. Dia tidak mau
menyambuti tenaga serangan dari Cek Tian. Dengan demikian pukulan yang hebat
itu jatuh di tempat kosong.
Cek Tian penasaran dan murka
sekali. Tadi dia telah kena terpukul.
Memang benar pukulan itu tidak
sampai melukai dia dan juga tidak sampai membuat dia bercacad, akan tetapi dia
penasaran sekali. Dia telah terguling-guling akibat serangan lawannya.
Karena, sebagai seorang
wanita, yang umumnya memang sering diliputi oleh perasaan penasaran jika belum
berhasil mencapai sesuatu yang dikehendaki. Maka demikian pula halnya dengan
Cek Tian, dia jadi begitu penasaran dan biar bagaimana bertekad hendak menyerang
binasa pada lawannya itu.
Demikianlah, setelah
pukulannya itu dapat dihindarkan oleh lawannya, dia segera melompat dengan
sikap seperti seekor kodok dan telah menyerang lagi dengan hebat. Serangan itu
datang saling susul, tampaknya dia kalap sekali, dan sekarang dia sudah tidak
memperdulikan lagi keselamatan dirinya!
Wajah nenek tua Cek Tian
tampak menyeramkan sekali, dengan sepasang mata mendelik memancarkan sinar yang
menakutkan. Di wajahnya terbayang hawa nafsu membunuh yang besar sekali karena
dalam kenekadannya itu, benar-benar dia kalap dan penasaran hendak membinasakan
lawannya, walaupun dengan cara dan jalan bagaimana. Itulah sebabnya dia telah
mempergunakan seluruh tenaga lwekangnya buat menyerang sehebat-hebatnya kepada
Thio Kim Beng.
Berlainan dengan Cek Tian,
justeru Thio Kim Beng tidak mau membuang jiwa percuma secara konyol. Karena
dari itu, dia berulang kali berkelit, tiga kali dia berkelit dan pada serangan
ke empat kali, mau atau tidak terpaksa dia harus menangkisnya, karena Cek Tian mendesaknya
terus beruntun dengan pukulan-pukulan Ha-mo-kang yang dahsyat.
Dalam keadaan seperti itu,
Thio Kim Beng mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya dan menangkisnya,
memperdengarkan, suara benturan yang keras dari saling benturnya tangan mereka,
di mana tangan mereka tidak segera terpisah lagi. Ke duanya berdiri tegak
dengan kuda-kuda ke dua kaki yang kokoh mereka mengadu kekuatan tenaga dalam
mereka buat saling lebih mendahului merubuhkan lawan masing-masing.
Sebetulnya Thio Kim Beng jika
ingin mempergunakan tongkat di tangan kanannya. Dia bisa melakukannya buat
menotok atau menghantam Cek Tian, tokh dia tidak melakukannya sebab jika
lweekang terpecah dan dibagi ke tangan kanan, berarti dia yang akan tertindih
oleh kekuatan tangan lawannya.
Karena dari itu, dia telah
bertahan terus, dan malah berusaha mengerahkan tenaganya, untuk dapat
merubuhkan Cek Tian dengan hanya tangan kirinya sedangkan tongkat bambu
hijaunya tetap saja tergantung tidak dipergunakan untuk menyerang!
Ko Tie menyaksikan ke dua
orang tokoh sakti yang tengah mengadu kekuatan dan berada dalam saat-saat yang
menentukan sekali, karena jika memang mereka lengah dan tertindih kekuatan
tenaga dalam lawan, salah seorang akan terluka parah sekali.
Bertempur dengan mempergunakan
lweekang sesungguhnya jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan bertempur
mempergunakan senjata tajam, sebab begitu tertindih kekuatan tenaga dalam
lawan, atau memang tenaga dalam mereka itu buyar, niscaya hawa murni mereka
juga akan musnah. Dan di saat itu mereka akan terluka hebat, bahkan kemungkinan
besar akan menemui kematian.
Karena dari itu pula mengapa
Thio Kim Beng tidak berani membagi kekuatan tenaga dalamnya pada tangannya yang
satu. Dia membiarkan tongkat bambu hijaunya tergantung saja karena dia tidak
mau mengambil resiko dengan memecahkan kekuatan tenaga dalamnya yang mungkin
akan menyebabkan dia terdesak oleh kekuatan tenaga dalam lawannya!
Ko Tie sendiri agak bingung
juga, tentu saja dia tidak menghendaki jika sampai ke dua orang tokoh sakti itu
ke dua-duanya terluka. Dan diapun hendak menolongi memisahkan mereka, tapi
kepandaiannya jelas masih berada di bawah kepandaian ke dua orang itu, sin-kang
nya juga masih kalah.
Karena dari itu, jika dia
menyelinap di antara dua kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya itu,
niscaya hanya akan menyebabkan dia yang bercelaka! Akhirnya Ko Tie hanya
mengawasi bingung saja, dilihatnya dari kepala Thio Kim Beng maupun Cek Tian
telah mengepul uap yang semakin lama semakin tebal, dan juga keringat di sekujur
tubuh mereka telah membasahi pakaian.
Waktu Ko Tie tengah bingung
buat memisahkan ke dua orang itu, justeru di saat itu di tengah udara terdengar
suara pekik burung rajawali putih, pekik yang nyaring sekali.
Ko Tie jadi girang.
Cepat-cepat dia menoleh ke atas.
Benar saja, burung rajawali
putih yang berukuran besar itu, tengah terbang mendatangi cepat sekali. Hanya
saja keadaan burung rajawali itu agak luar biasa, bulu-bulunya tampak tidak
rata lagi, telah banyak yang rontok, membuat Ko Tie jadi kaget tak terkira.
Segera Ko Tie bersiul nyaring.
Burung rajawali putih itu yang tengah terbang pesat sekali karena ingin
cepat-cepat memberitahukan kepada Yo Kouw-nio bahwa majikannya, Giok Hoa,
tengah terancam jiwanya di tangan Auwyang Phu.
Dan dia segera melihat Ko Tie.
Dengan pekik nyaring karena gembira, burung rajawali putih tersebut segera
terbang menukik turun menghampiri Ko Tie, dan setelah hinggap dia
mengibas-ngibaskan sayapnya.
Melihat kelakuan burung
rajawali putih itu dan juga keadaan bulunya yang pada rontok tersebut, segera
Ko Tie mengetahui, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Giok Hoa. Segera juga
dia menepuk-nepuk leher burung itu, dia perintahkan agar burung tersebut segera
pergi ke tempat Yo Kouw-nio.
Yo Kouw-nio ketika melihat Ko
Tie yang turun dari punggung burung rajawali putih yang telah membawanya
terbang tadi, kaget tidak terkira. Karena dia segera memiliki perasaan tidak
enak melihat keadaan burung rajawali putih yang tidak keruan itu.
Ko Tie menceritakan, mungkin
Giok Hoa mengalami ancaman bahaya. Juga burung rajawali putih itu tentu telah
dianiaya seseorang.
Yang membuat Ko Tie jadi agak
bingung, dia pun tidak melihat biruang salju. Dia menanya kepada rajawali putih
itu, namun sikap dan gerak burung itu tidak dimengerti olehnya. Memang sikap
dan gerak-gerik burung rajawali tersebut hanya bisa dimengerti oleh Giok Hoa
seorang, majikannya.
Dikala itu, Yo Kouw-nio tidak
membuang-buang waktu segera melompat ke punggung burung rajawali putih
tersebut, dia perintahkan burung rajawali putih itu membawanya terbang ke
tempat di mana beradanya Giok Hoa.
Swat Tocu segera berlari pesat
sekali, mengikuti ke arah mana burung rajawali putih itu terbang. Ko Tie juga
mengikutinya.
Swat Tocu menguatirkan sekali
keselamatan biruang saljunya. Karena dari itu, dia tidak membuang-buang waktu
mengikuti burung rajawali putih karena dia menduga tentunya biruang salju
tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil berdua dengan Giok Hoa.
Ko Tie sendiri berdebar-debar
hatinya.
Cek Tian dan Thio Kim Beng
yang tadi mendengar suara pekik burung rajawali putih tiba-tiba dengan
berbareng, dan serentak, ke duanya telah menarik pulang tenaga mereka, dan ke
duanya menjauhi diri saling pandang. Mereka kemudian melihat Ko Tie, yang telah
melompat ke punggung burung rajawali putih tersebut, terbang!
Ke dua tokoh sakti rimba
persilatan tersebut heran bukan main karena mereka tidak mengenali siapa adanya
Ko Tie dan juga mereka merasa aneh melihat rajawali putih yang begitu jinak. Di
saat itulah tampak, betapa ke dua tokoh sakti ini jadi penasaran.
Setelah saling pandang dan
melihat Ko Tie dibawa terbang oleh burung rajawali putih tersebut, segera juga
ke duanya menjejakkan kaki mereka berlari-lari mengikuti rajawali putih
tersebut. Dan mereka melihat Ko Tie dan Swat Tocu, yang mengikuti rajawali
putih itu seperti juga sebagai penunjuk jalannya.
Cek Tian dan Thio Kim Beng
semakin penasaran, mereka mengikuti terus.
Yo Kouw-nio yang duduk di
punggung burung rajawali putih itu, telah mengawasi sekelilingnya, dimana dia
berusaha untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya, kalau-kalau Giok Hoa
terlihat olehnya. Burung rajawali putih itu masih terbang dengan cepat, dan di
waktu itulah terlihat betapa burung rajawali putih telah menukik ke sebuah
tonjolan batu gunung.
Yo Kouw-nio segera menyaksikan
peristiwa yang mengejutkannya. Dia memang melihat Giok Hoa, tetapi dalam
keadaan tidak berdaya, karena tertotok, dan juga disaat itu terlihat dia tengah
terancam, karena mukanya tengah diincar dan dirusak oleh mata pedang di tangan
Auwyang Phu.
Tidak berayal lagi, tangan Yo
Kouw-nio bergerak, dia melontarkan sebatang jarum Bwee-hoa-ciam.
Jarum itu segera menyambar
pesat sekali. Terdengar suara “Tranggg”!
Pedang di tangan Auwyang Phu
yang tengah meluncur ke arah muka Giok Hoa, dan si gadis tengah menutup
mukanya, tampak terpental, dan tergetar keras sekali, sehingga membuat Auwyang
Phu kaget bukan main.
Benar dia mencekal pedang itu
tidak terlalu kuat dan keras, namun dia memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan
disentuh sebatang jarum Bwe-hoa-ciam, pedang itu bisa mencong dan tangannya
tergetar benar-benar membuat Auwyang Phu jadi kaget tidak terkira. Itulah
timpukan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.
Cepat-cepat Auwyang Phu
menoleh, dia melihat Yo Kouw-nio yang melompat turun dari punggung rajawali
yang tadi telah dibabak belurkannya. Auwyang Phu melengak sejenak, tapi segera
dia tertawa bergelak-gelak.
“Oho...... oho...... kiranya
wanita cantik lagi! Ha, tampaknya burung celaka itu memang memiliki banyak
sekali wanita-wanita cantik, walaupun usiamu tampaknya lebih tua dari wanita
ini……!” Sambil berkata begitu, pedangnya di tunjuk kepada Giok Hoa
Yo Kouw-nio tidak berkata
apa-apa, dia cepat menghampiri Giok Hoa, berjongkok di sampingnya, dan membuka
totokan pada tubuhnya. Namun maksudnya tidak kesampaian begitu dia menotok,
jalan darah itu tidak terbuka.
Sedangkan Auwyang Phu sendiri
tertawa bergelak-gelak, sama sekali dia tidak berusaha mencegah perbuatan Yo
Kouw-nio. Dia tidak berusaha untuk menghalanginya dan hanya tertawa
bergelak-gelak.
“Hebat! Kau rupanya pandai
ilmu tiam-hiat, bukan? Coba bukalah!” kata Auwyang Phu dengan suara yang
nyaring.
Yo Kouw-nio berobah mukanya,
karena dia penasaran sekali dan malu gagal membuka totokan pada muridnya. Dia
mencoba dua kali, mengurut dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Giok Hoa.
Tetap saja gagal.
Malah Giok Hoa tampak
meringis. sebab bukan terbuka jalan darah yang tertotok, malah tampaknya dia
menderita kesakitan yang tidak ringan.
Segera Yo Kouw-nio
menghentikan usahanya membuka totokan pada Giok Hoa. Dia berdiri dan memandang
kepada Auwyang Phu dengan suara yang dingin dia bilang: “Cepat kau buka totokan
itu, jangan sekali-kali kau bermaksud berbuat kurang ajar padaku……!”
“Siapa kau?” tanya Auwyang Phu
setelah tertawa bergelak-gelak.
“Aku…… aku orang she
Yo!”menyahuti Yo Kouw-nio dengan sikap ragu, sebetulnya dia bermaksud hendak
menyebutkan namanya, namun karena dia berpikir Auwyang Phu tentu bukan sebangsa
manusia baik-baik, dia hanya menyebutkan dia orang she Yo belaka!
“Hahaha!” tertawa Auwyang Phu
dengan suara yang nyaring sekali, kemudian melanjutkan: “Bagus! Kiranya memang
tidak salah gadis itu tadi telah mempergunakan pedang Giok-lie-kiam-hoat! Dan
engkau rupanya memang masih mempunyai hubungan dengan si buntung Yo Ko!”
Muka Yo Kouw-nio berobah
mendengar ayahnya disebut si buntung, tahu-tahu tubuhnya ber kelebat, tangan
kanannya menampar ke mulut Auwyang Phu.
Auwyang Phu waktu mengetahui
wanita yang ada di hadapannya adalah orang she Yo yang memiliki hubungan dengan
Sin-tiauw-tay-hiap, sejak tadi dia telah bersiap-siap.
Sekarang melihat Yo Kouw-nio
dengan gesit bergerak ingin menampar mulutnya, segera dia mengelak. Tubuhnya
lincah sekali melompat ke samping.
“Hahaha…… jangan terlalu galak
seperti itu!” ejeknya. “Mari kita bicara dulu?”
Bola mata Yo Kouw-nio terbuka
lebar-lebar mendelik kepada Auwyang Phu, bukan main penasaran dan bencinya
kepada pemuda ini yang telah menghina ayah angkatnya. Dia berusaha menahan
kemarahannya, bentaknya: “Katakan siapa kau.”
“Aku? Aku orang she Auwyang…..
tentu kau tidak asing dengan she tersebut, bukan? Namaku hanya tunggal, yaitu
Phu! Akulah Auwyang Phu, putera sejati dari Auwyang Hong!”
Berobah muka Yo Kouw-nio
melihat lagak pemuda itu berbicara, dan juga mendengar ia adalah putera Auwyang
Hong. Inilah aneh dan sulit sekali bisa dipercaya oleh pendengarannya.
Setelah tertegun beberapa
saat, dia bertanya: “Jadi…… jadi engkau puteranya Auwyang Hong Locianpwe?!”
Auwyang Phu memperlihatkan sikap
congkak. Dia mengangguk segera, “Tepat! Sedikitpun tidak meleset! Memang aku
putera Auwyang Hong! Putera sejati! Kau dengar, aku putera sejati Auwyang Hong.
yang telah mewarisi seluruh kehebatan ayahku!” Dan setelah berkata begitu ia
tertawa bergelak-gelak lagi.
Sedangkan Yo Kouw-nio menghela
napas.
“Auwyang Hong Locianpwe dengan
ayahku memiliki hubungan yang baik. Karena itu, memandang ayahmu, aku bersedia
buat menyudahi urusan sampai di sini saja, dan cepat kau bebaskan totokanmu
pada muridku itu......” kata Yo Kouw-nio sambil menghela napas mengalah.
Tetapi Auwyang Phu justeru
jadi sebaliknya, dia menduga Yo Kouw-nio gentar dan jeri begitu mendengar dia
adalah puteranya Auwyang Hong.
“Hmmm, jadi engkau adalah
puteri si buntung Yo Ko?” tanyanya dengan sikap mengejek.
Meluap lagi darah Yo Kouw-nio.
“Mulutmu jangan kurang ajar!”
bentaknya. “Atau memang engkau minta aku menghajarnya agar kelak engkau dapat
bersikap lebih sopan dan baik-baik?”
Melihat Yo Kouw-nio gusar
Auwyang Phu sama sekali tidak jeri, malah dia tertawa tergelak-gelak dengan
sikap yang angkuh sekali.
“Hemmm, engkau marah? Baik!
Baik-baik! Aku memang selalu menyebut ayahmu itu dengan sebutan si buntung Yo
Ko! Lalu sekarang apa yang hendak kau lakukan?!”
Yo Kouw-nio sudah tidak, bisa
menahan dirinya lagi mendengar perkataan dan sikapnya Auwyang Phu seperti itu.
Tahu-tahu tubuhnya melesat dan tangan kanannya bergerak kembali berusaha
menempeleng mulut Auwyang Phu.
“Menghajar mulutmu!” teriaknya
gusar.
Tetapi kali ini Auwyang Phu sama
sekali tidak berkelit, malah dia telah menangkis dengan pedang rampasannya.
Tentu saja tangan Yo Kouw-nio
akan terkutungkan, jika saja ia menyerang terus. Cepat-cepat dia menahan
tangannya, namun bukan buat berdiam diri, melainkan dengan segera dia telah
membarengi menghantam lagi.
Auwyang Phu kagum juga melihat
kesebatan tangan Yo Kouw-nio,
“Bagus!” berseru pemuda itu
dengan suara nyaring dan tubuhnya melejit ke sana ke mari, berkelit dari
serangan-serangan Yo Kouw-nio yang gencar. Malah dia juga mempergunakan
pedangnya, berusaha buat balas menyerang. Setiap serangannya cukup baik.
Tetapi Yo Kouw-nio adalah
pewaris dari ilmu pedang nomor wahid di masa ini, yaitu Giok-lie-kiam-hoat,
sehingga mana bisa Auwyang Phu mendesaknya dengan serangan pedang tersebut.
Segera juga Yo Kouw-nio berhasil mendesaknya.
Memang Auwyang Phu kurang
sekali memperhatikan ilmu pedang, dia lebih mementing kan ilmu Ha-mo-kang nya.
Sekarang merasakan dirinya terdesak hebat, dia segera membuang pedangnya,
tahu-tahu dia berjongkok dan ke dua tangannya dilonjorkan mendorong ke depan.
Di waktu itu Yo Kouw-nio justeru tengah menerjang ke dekatnya.
Yo Kouw-nio kaget juga
merasakan dorongan tenaga yang kuat bukan main, dia merasakan napasnya sesak.
Segera juga Yo Kouw-nio mengetahui bahwa itulah suatu kekuatan yang tidak boleh
diremehkan. Segera berkelit ke samping batal menyerang pemuda ceriwis tersebut.
Dikala itu Auwyang Phu bukan
hanya menyerang satu kali saja, dalam sikap masih berjongkok dia telah
menghantam lagi lebih kuat.
Berulang kali tenaga dari
serangan Ha-mo-kang tersebut telah menyambar kepada Yo- Kouw-nio. Beruntung
memang Yo Kouw-nio memiliki gin-kang yang sangat tinggi, sehingga dia berhasil
mengelakkan serangan-serangan Auwyang Phu.
Cuma saja Yo Kouw-nio
penasaran bukan main, dan suatu kali dia ingin juga mengetahui sesungguhnya
berapa kekuatan lweekang pemuda itu.
Ketika melihat Auwyang Phu
tengah melonjorkan sepasang tangannya, dia menangkisnya dengan mempergunakan
lweekangnya.
Dengan demikian, dua tenaga sin-kang
segera bentrok dahsyat sekali.
Tubuh Yo Kouw-nio
bergoyang-goyang namun tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Sedangkan Auwyang
Phu sampai terpental dalam posisi masih berjongkok. Cuma saja, ketika dia
meluncur turun, seketika dia hinggap di tanah dengan keadaan dan posisi seperti
semula, yaitu dia tetap berjongkok,
Malah Auwyang Phu telah
membarengi dengan pukulan lagi, kuat sekali tenaga pukulannya itu, karena dia
mempergunakan jurus yang hebat dari Ha-mo-kang dengan mengerahkan sebagian
terbesar sin-kangnya. Angin dorongan ke dua telapak tangannya itu berkesiuran
sangat dahsyat,
Tubuh Yo Kouw-nio melompat ke
tengah udara, sehingga angin serangan Ha-mo-kang tersebut menyambar terus dan
menghantam sebungkah batu.
Terdengar suara menggelegar yang
nyaring sekali, bungkahan batu tersebut seketika hancur berantakan dan telah
menjadi puing-puing, Waktu bungkahan batu tersebut kena diserang tenaga
Ha-mo-kang, sekitar tempat itu terasa tergetar.
“Phu-jie!” Tiba-tiba terdengar
suara seorang wanita berseru nyaring. Tidak lain yang berseru itu adalah Cek
Tian.
Sedangkan di depan Cek Tian
terlihat Swat Tocu dan Ko Tie yang berdiri dengan muka merah padam, karena tocu
pulau es itu telah melihatnya bahwa biruang saljunya rebah pingsan tidak
sadarkan diri. Sedangkan Ko Tie segera melompat ke samping biruang salju, buat
memeriksa keadaannya, sehingga dia memperoleh kenyataan biruang salju itu
terluka di dalam yang tidak ringan.
Segera juga Auwyang Phu dengan
gembira berlari menghampiri ibunya. “Ibu…..!” panggilnya.
Di samping ibunya, tampak
terpisah tidak begitu jauh, seorang pengemis tua, yang mengawasi Auwyang Phu
dengan sorot mata yang tajam sekali.
Yo Kouw-nio segera menoleh ke
arah Swat Tocu, katanya: “Swat Locianpwe, dialah yang telah melukai biruang saljumu
dan rajawali putih itu! Bahkan Giok Hoa telah dilukainya!”
Swat Tocu tidak mengucapkan
apa-apa, dia hanya mendegus, tahu-tahu tubuhnya telah melesat, ke dua tangannya
diulurkannya. Dia telah melompat ke arah Auwyang Phu, karena dia bermaksud akan
mencengkeram punggung Auwyang Phu. Itulah disebabkan Swat Tocu terlalu gusar.
Sedangkan Cek Tian menyaksikan
Swat Tocu dengan marah hendak mencengkeram anaknya, tidak mau tinggal diam.
Cepat sekali dia berseru sambil menyampok tangan Swat Tocu.
Dia mengetahui siapa adanya
Swat Tocu dan telah mengetahui juga berapa tinggi kepandaian yang dimiliki tocu
tersebut. Karena dari itu, dia menangkis dengan mengeluarkan tenaga yang cukup
tangguh.
Swat Tocu sama sekali tidak
berusaha menarik kembali tangannya, sehingga tangannya itu saling bentur dengan
tangan Cek Tian.
Namun, apa jadinya?
Tubuh Swat Tocu sendiri
terpental mundur sedikit, sedangkan tubuh Cek Tian telah terhuyung sampat empat
langkah. Hal ini mengejutkan Auwyang Phu, dia mencekal lengan ibunya, muka Cek
Tian berobah memucat.
“Ibu..... apakah engkau tidak
apa-apa?!” tanya Auwyang Phu dengan kuatir dan telah melirik kepada Swat Tocu
dengan sorot mata yang bengis sekali.
Cek Tian menggeleng perlahan,
kemudian dia telah berkata: “Hati-hatilah terhadap dia, dialah Swat Tocu……!”
Auwyang Phu seperti tidak
mendengar peringatan ibunya, karena telah menjejakkan sepasang kakinya, dia
hinggap di tanah dengan ke dua kaki tertekuk, di mana dia berjongkok dengan
sikap seperti seekor kodok besar, kemudian ke dua tangannya dilonjorkan dan dia
mendorong dengan perlahan!
Swat Tocu tidak memandang
sebelah mata pada pemuda itu. Dia telah menyampok dengan tangan.
“Dukkk.....!” tubuh Swat Tocu
tergoncang juga, namun dia tidak sampai tergeser dari tempatnya berdiri, cuma
di waktu itu dia telah tertawa dingin menyaksikan betapa tubuh Auwyang Phu
terpental berjumpalitan di tengah udara beberapa kali, baru meluncur turun.
Itulah disebabkan kuatnya
tenaga serangan dari Swat Tocu. Dan Auwyang Phu sendiri merasakan kepalanya
pusing. Untung dia memiliki lweekang yang cukup tinggi, membuat dia tidak
sampai kena dirubuhkan oleh sampokan tangan Swat Tocu.
Sedangkan Swat Tocu mendengus,
wajahnya menyeramkan karena marah, dia bilang: “Hem, engkau harus membayar
sakit hati Swat-him-ji (Anak biruang es), yang telah kau celakai……!” Sambil
berkata begitu, segera juga dia melompat ke samping Auwyang Phu, sambil
menggerakkan tangannya.
Tetapi Auwyang Phu, yang
sekarang menyadari bahwa Swat Tocu adalah seorang tokoh sakti yang memiliki
kepandaian tinggi, tidak mau memperdulikan serangan Swat Tocu, dia telah
menyingkir.
Dua kali Swat Tocu menyerang,
tetapi tidak berhasil mengenainya.
Waktu satu kali lagi Swat Tocu
menghantam, dan Auwyang Phu sudah tidak memiliki kesempatan buat mengelakkan
serangan itu. Segera dia berjungkir balik, kepala di bawah dan sepasang kaki di
atas!
Swat Tocu jadi terkejut juga
melihat cara bertempur lawannya, buat sejenak dia tertegun.
Dikala itu, cepat sekali
Auwyang Phu membarengi dengan serangannya, karena dia ingin mempergunakan
kesempatan di saat lawannya tengah tertegun seperti itu buat merubuhkannya.
Swat Tocu tersadar dengan
segera, dia mendengus, dan dia mengibaskan tangannya. Tetapi sekali ini tubuh
Auwyang Phu tidak terpental hanya terputar-putar seperti gangsing.
Swat Tocu jadi mendongkol
melihat kelicikan lawannya, berulang kali dia menghantam dengan kekuatannya
yang sangat hebat, ilmu pukulan Inti Es nya.
Dengan demikian, tubuh Auwyang
Phu berulang kali berputar-putar. Dia memang menguasai Ha-mo-kang, tetapi yang
membuat dia tidak tahan adalah hawa dingin yang seperti ingin membekukan
dirinya. Sedangkan terputar-putar seperti itu tidak membawa akibat buruk
padanya, malah dia merasa nyaman sekali bisa berputar semakin cepat, darahnya
jadi terbalik dan lebih deras turun ke kepala, sehingga tenaga Ha-mo-kangnya
jadi semakin hebat dan kuat.
Sedangkan Swat Tocu sendiri
diam-diam berpikir: “Siapakah anak itu? Tampaknya dia mahir sekali
mempergunakan ilmu Ha-mo-kang ini, yang kabarnya dulu menjadi ilmu andalan
Auwyang Hong?”
Sambil berpikir begitu, Swat
Tocu juga tidak tinggal diam diri, karena dia telah menyusuli dengan
serangannya yang beruntun.
Cek Tian menyaksikan anaknya
didesak terus oleh Swat Tocu, dia tidak bisa membiarkan, karena dia kuatir puteranya
itu nanti kena dicelakai oleh Swat Tocu. Maka dia melompat dengan gesit
menghadang di depan Swat Tocu, katanya:
“Kau jangan mengganggu anakku!
Nah, hadapilah aku!”
Sambil berkata begitu, nyonya
tua tersebut telah menekuk ke dua kakinya, dia menyerang dengan mempergunakan
ke dua telapak tangannya. Angin dari pukulan Ha-mo-kang nya itu berkesiuran
menderu-deru, dan telah mendorong sedikit Swat Tocu, satu langkah, karena Tocu
dari pulau salju ini tidak menyangka akan diserang seperti itu.
Terlebih lagi memang Cek Tian
telah lebih baik menguasai Ha-mo-kang, dibandingkan dengan anaknya. Dan diapun
lebih banyak pengalamannya.
Swat Tocu tidak segera
membalas menyerang, dengan mata mendelik bentaknya. “Kalian masih memiliki
hubungan apa dengan Auwyang Hong, si See-tok, bisa bangkotan itu?”
Mendengar pertanyaan Swat Tocu
itu, Cek Tian tertawa dingin.
“Auwyang Hong adalah suamiku.
Dan dia adalah putera Auwyang Hong!” Sambil berkata begitu, Cek Tian telah
menunjuk kepada Auwyang Phu.
Swat Tocu mengelak.
“Auwyang Hong mempunyai isteri
dan anak?!” tanyanya kemudian dengan sikap terheran-heran!
Cek Tian tertawa dingin.
“Mengapa engkau harus heran,
bukankah Auwyang Hong juga seorang manusia biasa, dia wajar memiliki isteri dan
anak. Mengapa engkau harus terheran-heran seperti itu? Apa anehnya!!”
Disanggapi seperti itu, wajah
Swat Tocu jadi berobah memerah, tetapi kemudian dia tertawa dingin, dia bilang
dengan suara yang tawar:
“Hemmm, aku memang tidak
heran. Cuma justeru aku tidak percaya bahwa wanita seperti engkau, yang hanya
pantas menjadi pelayannya bisa menjadi isterinya! Yang aku ketahui, di
Pek-to-san, di gunung Auwyang Hong berkuasa, pelayan-pelayannya terdiri dari
wanita-wanita cantik, yang semuanya berpakaian putih!
Mengapa seorang wanita buruk
seperti engkau diambil sebagai isterinya? Lihat saja hasilnya! Anaknya jadi
buruk tidak karuan macam seperti juga muka seekor monyet dengan tubuhnya yang
pendek mirip seekor kera!”
Itulah hinaan yang seumur
hidupnya baru pertama kali Cek Tian terima. Dia memang paling pantang dirinya
dihina. Walaupun mengetahui Swat Tocu memiliki kepandaian yang lebih tinggi
darinya, dia jadi nekad.
Waktu itu Swat Tocu tengah
meneruskan kata-katanya: “Yang kuketahui Auwyang Hong memiliki tubuh yang
tinggi besar dan tegap, maka dari itu alangkah lucu dan anehnya, jika anaknya
justeru bertubuh pendek dan cebol seperti dia, dengan muka yang begitu buruk
seperti monyet……!”
Berkata sampai di situ Swat
Tocu tidak bisa meneruskan perkataannya, karena diiringi bentakan mengandung
kekalapan tampak Cek Tian telah menerjang, dengan sepasang tangannya mendorong
hebat sekali mempergunakan salah satu jurus Ha-mo-kang, ke dua kakinya juga
dalam keadaan tertekuk dalam-dalam, mengambil sikap seperti seekor kodok.
Swat Tocu merasakan menderu-derunya
angin serangan yang kuat sekali, Dia juga seorang yang memiliki tabiat aneh,
mana mau dia mengalah terhadap Cek Tian?
Karena dari itu, segera dia
memperkuat kuda-kuda ke dua kakinya. Begitu dia merasakan angin serangan Cek
Tian hampir tiba, dia malah balas menyerang dengan pukulan Inti Es nya. Maka
terdengar suara benturan yang keras disusul dengan jerit kaget Cek Tian, karena
tubuhnya telah terpental dan ambruk di tanah.
Walaupun dia tidak sampai
pingsan, Cek Tian tidak bisa segera bangun, dia meringis sambil mengerang-erang
kesakitan.
Auwyang Phu kaget tidak
terkira dan cepat-cepat memburu kepada ibunya. Dia berusaha membantu
membangunkan ibunya, dengan matanya sebentar-sebentar melirik kepada Swat Tocu
penuh kemarahan, karena dia sendiri telah mendengar langsung hinaan dari Swat
Tocu!
Swat Tocu sendiri terhuyung
dua langkah akibat benturan tenaga dalamnya. Diam-diam dia kaget juga, dia
berkata di dalam hatinya:
“Ternyata Ha-mo-kang Auwyang
Hong bukan semacam ilmu sembarangan…… benar-benar berbahaya! Jika memang
Auwyang Hong sendiri mempergunakan Ha-mo-kang nya itu niscaya belum tentu dia
bisa merubuhkan Auwyang Hong. Maka dia jadi bersikap hati-hati.
Walaupun Cek Tian memang tidak
bisa disamakan dengan Auwyang Hong, tokh Ha-mo-kang nya itu lihay sekali.
Di waktu itu terlihat Auwyang
Phu setelah membantui ibunya bangun, segera melompat kepada Swat Tocu. Kalap
sekali pemuda itu, ia menyerang kepada Swat Tocu.
Sedangkan Swat Tocu sendiri
tengah panas terhadap pemuda ini, yang diketahuinya telah melukai biruang
saljunya. Segera juga tanpa menyingkir dia menantikan serangan Auwyang Phu.
Sengaja dia membiarkan dadanya
yang telah diselubungi oleh lapisan kekuatan sin- kangnya dihantam tangan
Auwyang Phu, kemudian sebat sekali tangan kanan yang satunya menghantam ke arah
iga Auwyang Phu!
Segera melengking suara jerit
kesakitan Auwyang Phu, tubuhnya “terbang” ke tengah udara, terbanting di atas
tanah dengan kesakitan, sebab di waktu itu lengannya dan beberapa tulang iganya
telah patah!
Swat Tocu tampak puas, dengan
langkah lebar dia menghampiri Ko Tie yang tengah menguruti biruang salju, yang
waktu itu mulai tersadar. Auwyang Phu sendiri telah merangkak bangun, namun
tidak berani menyusul buat menyerang lagi.
Swat Tocu duduk di samping
biruang salju, dia mengurutinya sambil mengempos lweekang nya. Cepat sekali
binatang itu jadi segar dan mengerang, lalu melompat berdiri.
Seperti juga sikap seorang
manusia layaknya, setelah berdiri, biruang salju itu sambil mengeluarkan suara
lirih dia memberi hormat dengan menekuk ke dua kakinya, mendekam di tanah, dan
menganggukkan kepalanya. Lalu dia berdiri lagi, dan suaranya berobah menandakan
dia sangat marah menunjuk-nunjuk kepada Auwyang Phu. Seperti juga biruang salju
ini tengah mengadukan apa yang telah dialaminya dihajar babak belur oleh
Auwyang Phu.
Swat Tocu mengangguk dan
kemudian mengulapkan tangannya, biruang salju itu jadi berdiri di sampingnya.
Yo Kouw-nio sendiri telah
berusaha membebaskan lagi totokan pada muridnya, namun selalu gagal dan Giok
Hoa malah semakin kesakitan.
Ko Tie melihat hal itu, segera
berkata bahwa dia bisa membuka totokan tersebut.
Yo Kouw-nio girang dan meminta
bantuan pemuda itu. Ko Tie meminta Yo Kouw-nio membalikkan tubuh si gadis, dan
punggungnya telah ditepuk dua kali oleh Ko Tie, kemudian ditotok satu kali.
Waktu Ko Tie menotok dan
menepuk pundak gadis tersebut, mukanya berobah merah dan terasa panas. Dia
likat sendirinya, karena di dekatnya Yo Kouw-nio tengah mengawasi. Memang
benar, dia tidak menyentuh kulit tubuh si gadis, karena gadis itu tetap memakai
baju, namun tentu saja hal itu mendatangkan rasa malu dirinya.
Giok Hoa mengeluarkan jeritan
perlahan dan terbebas dari totokan.
Yo Kouw-nio telah menghampiri
untuk memayang bangun si gadis. Tapi gadis itu masih lemas sekali, dia
bergelendot pada pundak gurunya.
Dikala itu terlihat Ko Tie
sebetulnya hendak membantu guna memayang si gadis namun akhirnya dia
membatalkan maksudnya karena dia teringat perbuatan itu telah kurang pantas.
Sedangkan saat itu Swat Tocu telah
menoleh kepada Yo Kouw-nio, katanya: “Apakah bocah itu akan dibikin bercacad!”
Sambil berkata dengan suara seperti itu Swat Tocu juga menunjuk kepada Auwyang
Phu.
Cek Tian sambil menahan sakit,
sebab dia terluka di dalam tidak ringan, berusaha memaksakan diri, menghampiri
anaknya, kemudian membantu Auwyang Phu berdiri. Nenek tua itu kemudian
mengawasi Swat Tocu penuh dendam.
“Swat Tocu, kali ini kami
runtuh di tanganmu, tetapi kelak kami akan mencarimu, buat melakukan
perhitungan yang pantas! Tidak ada keturunan Auwyang Hong yang mau menyudahi
urusan hanya begitu saja.......!” Waktu berkata begitu muka Cek Tian tampak
bengis sekali.
Swat Tocu tertawa dingin,
katanya dengan suara tawar:
“Hemmm, engkau masih coba-coba
berpikir kelak membalas dendam?” Setelah mengejek begitu Swat Tocu menoleh
kepada Ko Tie, perintahnya: “Hajar dia!”
Ko Tie mengetahui bahwa
kepandaian Cek Tian berada di atas kepandaiannya, namun dia melihat Cek Tian
sekarang dalam keadaan terluka di dalam. Diapun memang tidak berani membantah
perintah gurunya, segera melompat ke dekat Cek Tian di mana dia segera
menghantam kepada Cek Tian.
Waktu itu ke dua tangan Cek
Tian tengah dipergunakan buat memayang puteranya dan sekarang melihat Ko Tie
menyerang ke arah belakang punggungnya dengan pukulan yang tidak ringan. Dia
segera melepaskan cekalan tangan kanannya, dan menangkis.
“Dukkk!” Cek Tian bersama
anaknya terhuyung, namun tidak sampai rubuh, Sedangkan Ko Tie merasakan
tangannya kesemutan. Rupanya tangkisan nenek tua Cek Tian benar-benar sangat
kuat sekali,
Ko Tie menyusuli pula dengan
pukulan yang ke dua. Kali ini Ko Tie memukul lebih kuat lagi dari semula! Dia
malu jika sampai tidak bisa memukul Cek Tian.
Padahal nenek tua itu terluka
di tangan gurunya dan Ko Tie tidak berhasil memenuhi perintah gurunya. Itulah
sebabnya dia memukul semakin kuat lebih-lebih ia teringat biruang saljunya
telah dilukai oleh pemuda bertubuh pendek yang menjadi anak Cek Tian,
kemarahannya meluap.
Auwyang Phu mengejek dengan
menahan sakit: “Hemmmm, manusia apa kau yang hanya berani memukul terhadap
orang yang terluka?!”
Diejek seperti itu mendadak
sekali Ko Tie menahan meluncur tangannya.
Swat Tocu juga tersinggung
oleh kata-kata itu, dia bilang: “Baik-baik sekarang jiwa kalian ibu dan anak
kutitipkan pada batok kepala kalian? Tetapi nanti, aku yang akan mencari
kalian, jika kalian telah berada dalam keadaan sehat dan tidak terluka, aku
yang akan mencabut nyawa kalian......... Nah pergilah, jangan menunggu aku
sampai berobah pikiran lagi…..!”
Mendengar perkataan Swat Tocu,
tanpa berayal Cek Tian mengajak anaknya berlalu meninggalkan tempat tersebut,
hanya matanya yang sekilas masih memandang penuh kebencian kepada Swat Tocu, Ko
Tie, Yo Kouw-nio dan Giok Hoa.
Waktu Cek Tian tengah memayang
anaknya, mendadak dia merasakan sambaran angin yang kuat sekali. Dia gusar
bukan main, dia menduga Swat Tocu menarik pulang kata-katanya dan menyerangnya.
Tetapi segera dia merasa nyeri, karena punggungnya kena dicengkeram benda
tajam.
Waktu dia melirik, ternyata
yang mencengkeram pundaknya adalah rajawali putih. Sengit sekali Cek Tian telah
menghantam burung rajawali putih itu, namun burung tersebut telah terbang
tinggi sekali, sehingga pukulan Cek Tian jatuh di tempat kosong.
Dengan menahan sakit, terpaksa
Cek Tian menelan semuanya itu, yang dianggapnya, merupakan hinaan yang tidak
akan terlupakan, dan dia bersumpah di dalam hatinya, kelak jika memang
kesehatannya telah pulih, dia akan mencari Swat Tocu dan yang lainnya, guna
melampiaskan sakit hatinya.
Setelah Cek Tian dan puteranya
telah lenyap meninggalkan tempat tersebut, Swat Tocu menoleh kepada Thio Kim
Beng, pengemis tua yang sejak tadi berdiri dengan berdiam diri saja.
“Pengemis busuk tua bangka,
apakah engkau dari Kay-pang?” tegurnya dengan suara tawar sekali.
Thio Kim Beng seperti baru
tersadar, dia tertawa menyeringai.
“Benar dan tentunya anda
adalah Swat Tocu yang sangat terkenal itu! Waktu dalam pertemuan rapat besar
Kay-pang, jika tidak salah Tocu ikut hadir.......”
“Tajam sekali ingatanmu!” kata
Swat Tocu, tawar suaranya.
Sedangkan Thio Kim Beng telah
menghampiri, merangkapkan tangannya memberi hormat: “Harap Tocu menerima
hormatku!”
“Hemmm, tidak usah, jangan!”
kata Swat Tocu sambil mengibaskan tangannya, dia menolak pemberian hormat
pengemis itu. Kibasan tangan yang dilakukan Swat Tocu mengandung kekuatan
tenaga dalam yang sangat dahsyat, walaupun dia hanya mengibas perlahan saja.
Pengemis tua mengetahui, bahwa
dia tengah dicoba sin-kang nya. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi
tentu saja dia tidak mau membiarkan dirinya dirubuhkan dengan mudah.
Diapun berpikir: “Hemmm,
apakah engkau kira dengan terkenal sebagai tokoh sakti di kalangan Kang-ouw,
engkau dapat bertindak sewenang-wenang di hadapanku?”
Diapun tetap membungkukkan tubuhnya,
cuma saja dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menangkis.
“Bukkkk!” Dua kekuatan tenaga
raksasa telah saling bentur. Tubuh Swat Tocu bergoyang-goyang, namun dia tidak
tergeser dari tempatnya berada.
Tetapi pengemis itu, justeru
dia merasakan dadanya sakit bukan main. Mati-matian dia mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya, dia memang tidak mau sampai rubuh dan dipandang hina
oleh Swat Tocu, walaupun dia merasa berat sekali menerima pukulan begitu berat
dari Swat Tocu, namun dia bertahan. Akibatnya, ketika dia membuka mulutnya, dia
memuntahkan darah segar dua kali!
Yo Kouw-nio berobah mukanya,
dia segera menghampiri Swat Tocu.
“Swat Locianpwe, dapatkah Swat
Locianpwe bermurah hati terhadap locianpwe ini? Kay-pang merupakan golongan
kita juga…… Ayahku dengan ketua Kay-pang masih memiliki hubungan yang sangat
baik sekali. Dengan memandang muka ayahku, sudilah kiranya locianpwe bermurah
hati!”
Swat Tocu yang tengah
uring-uringan, karena biruang saljunya telah dilukai orang dan juga melihat tempat
di mana dia telah merasa cocok buat dipergunakan sebagai tempat mengasingkan
diri, ternyata sudah didatangi orang dari berbagai golongan, yaitu Cek Tian
bersama anaknya, juga sekarang pengemis tua Thio Kim Beng ini.
Karena dari itu Swat Tocu
tidak mau tahu siapa adanya Thio Kim Beng, dia telah mengibas dengan kekuatan
sin-kangnya. Coba jika memang Thio Kim Beng tidak berusaha mengadakan
perlawanan tentu Swat Tocu akan menarik pulang tenaga dalamnya.
Justeru Thio Kim Beng telah
membalas menangkisnya dengan kuat. Swat Tocu jadi mendongkol dan meneruskan
tenaga kibasannya itu, yang akhirnya membuat Thio Kim Beng terluka di dalam.
Dan memang begitulah tabiat ku-koay dari Swat Tocu.
“Baik, memandang muka terang
ayahmu, aku sudi memaafkan anjing itu! Nah, pergilah kau cepat menggelinding
dari depan mataku!” bentak Swat Tocu kepada Thio Kim Beng.
Pengemis ini meringis. Seumur
hidupnya, belum pernah dia diperlakukan orang sedemikian rupa. Sakit sekali
hatinya.
Namun diapun menyadari bahwa
Swat Tocu seorang sakti dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dalam
keadaan terluka seperti ini lebih-lebih tidak mungkin dia melawan. Maka dengan
mata memancarkan penasaran dan sakit hati, dia telah memutar tubuhnya, dengan
meringis dia bilang kepada Yo Kouw-nio:
“Yo Kouw-nio, terima kasih
atas kemurahan hatimu. Aku si pengemis tua Thio Kim Beng pasti tidak akan
melupakan budi kebaikanmu itu, juga tidak akan begitu mudah menghabisi suatu
urusan penasaran begitu saja! Selamat tinggal!”
Setelah berkata begitu, dengan
menahan sakit pada dadanya, dengan terseok-seok, pengemis tua yang telah kena
getahnya dari kemarahan Swat Tocu, meninggalkan tempat tersebut.
Yo Kouw-nio menghela napas.
Dia berusaha tertawa, katanya: “Swat Lociaapwe, mari kita pulang aku telah
memasakkan beberapa macam hidangan, tentu kau akan doyan sekali…….”
Swat Tocu hanya menggerendeng
saja, dia bangun berdiri dan mengikuti Yo Kouw-nio yang memayang Giok Hoa buat
kembali ke rumahnya. Ko Tie bersama biruang salju mengikuti di belakang mereka.
Sedangkan burung rajawali
putih terbang di tengah udara, sambil memekik beberapa kali ke dua sayapnya
yang bulunya mengalami kerusakan, karena telah banyak yang rontok, telah
dikibas-kibaskannya. Dan seringkali dia mengetuarkan pekik, pekik penasaran, sebab
dia hanya bisa mencengkeram sekali saja pada pundak Cek Tian, tetapi Auwyang
Phu tidak sempat dicengkeramnya, buat melampiaskan penasaran dan sakit hatinya
karena telah dibikin babak belur oleh puteranya Auwyang Hong
Tiga hari lamanya Giok Hoa
menerima perawatan dari gurunya, barulah kesehatannya berangsur-angsur pulih
kembali. Memang waktu totokan pada tubuhnya dibuka, dia sudah bisa bicara dan
bergerak, walaupun masih lemas dan tenaganya seperti telah lenyap.
Yo Kouw-nio mengetahui, jika
Giok Hoa tidak memperoleh perawatan yang cermat darinya, niscaya akan
menyebabkannya mengalami gangguan pada sin-kangnya, yang akan lenyap sebagian.
Disebabkan itulah Yo Kouw-nio telah merawatnya selama tiga hari. Di saat itulah
baru kesehatan Giok Hoa pulih keseluruhannya.
Pada hari ke tiga, di malam
hari rembulan tergantung di langit terang sekali, Giok Hoa tengah melangkah
perlahan-lahan. Dia berjalan di luar rumah, dan mengawasi puncak gunung yang
menjulang tinggi sekali, di mana hawa pun agak dingin. Tetapi gadis ini yang
wajahnya telah memerah sehat dan juga hanya mengenakan baju tipis belaka, sama
sekali tidak merasa dingin.
Dikala itu, ia pun bernyanyi
perlahan-lahan, bersenandung, dan lantas dia berpikir, alangkah girangnya jika
saja gurunya mengijinkan dia berkelana turun gunung, di mana dia bisa melihat
bermacam-macam keramaian.
Seperti pengalamannya yang
dirubuhkan oleh Auwyang Phu, hal itu merupakan salah satu pendorong buat dia
berpikir untuk berkelana. Karena itu membuktikan bahwa dia memang kurang pengalaman,
pemuda cebol itu berhasil merubuhkannya dengan mudah.
Biarpun dia berlatih terus
selama sepuluh tahun, tentu kemajuan yang dicapainya tidak akan sehebat itu.
Pengalaman juga yang akan menempa dia.
Sedang si gadis termenung
seperti itu, di dengarnya suara pekik burung rajawali putihnya, yang terdengar
dari kejauhan. Entah apa yang tengah dilakukan burung rajawali putih itu, yang
tentu tengah kesepian sendirian juga!
Giok Hoa menghela napas
dalam-dalam, dia jadi bingung. Untuk menyampaikan isi hatinya kepada gurunya,
diapun tidak bisa, tentu hatinya tidak akan tenang, karena dia berat
meninggalkan gurunya.
Tetapi buat tinggal terus di
tempat ini, ia tidak bisa. Ia membutuhkan pengalaman. Telah belasan tahun dia
hidup selalu di tempat-tempat yang sunyi dan terpencil.
Dan sekarang, dia telah
menyaksikan, betapa Auwyang Phu yang memiliki kepandaian tinggi, Cek Tian yang
juga kepandaiannya begitu tinggi, di samping si pengemis tua, yang tentunya
memiliki kepandaian tidak di bawah Cek Tian.
“Apa yang kau lamunkan,
Hoa-moay?!” tiba-tiba di belakangnya ada yang menegur dengan suara yang halus.
Dia kenal benar suara itu.
Pipinya segera berobah menjadi merah, dia tidak menoleh, cuma menundukkan
kepalanya.
“Engkaukah, Ko Tie Koko?!”
tanyanya dengan suara yang perlahan.
“Ya……!” menyahuti Ko Tie, yang
memang mendatangi si gadis.
Secara kebetulan Ko Tie waktu
itu sulit buat tidur, dan diapun ingin sekali menikmati malam di puncak punung
Heng-san. Setiap hari, pikirannya selalu tergoda oleh bayang- bayang si gadis.
Terlebih lagi tiga hari
belakangan ini, membuat dia selalu gelisah.
Dari gurunya dia belum
memperoleh kepastian, apakah gurunya akan memutuskan menetap di puncak Heng-san
atau memang akan menolaknya pilihan Ko Tie kali ini dan mencari tempat lain?
Karena dari itu, Ko Tie jadi tidak tenang.
Jika memang gurunya merasa
tidak cocok dengan puncak Heng-san, niscaya ia akan diajak gurunya buat pergi
meninggalkan Heng-san dan jelas itupun berarti dia akan berpisah dengan Giok
Hoa, gadis yang cantik manis yang telah menusuk kalbunya dengan lirikannya,
senyumnya dan parasnya yang begitu menawan.
Kegelisahan seperti itu
membuat, Ko Tie jadi tidak tenang, dan dia seakan juga hendak mendesak gurunya
agar cepat-cepat memberikan keputusannya, agar dia tidak tersiksa seperti itu.
Menunggu memang merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan.
Karena MENUNGGU merupakan
pekerjaan yang terlalu menyiksa, walaupun BERAPA lama atau cepatnya menunggu
tetap saja merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan dan terlalu menyiksa
menggelisahkan sekali.
Malam itu, karena tidak dapat
tidur lagi, Ko Tie telah keluar dari kamarnya. Waktu dia tiba di luar, justeru
dia melihat Giok Hoa yang tengah melangkah perlahan-lahan keluar dari rumah
tersebut juga.
Gadis itu tampaknya tengah melamun,
sehingga dia tidak mengetahui bahwa Ko Tie tengah mengikutinya. Ko Tie
sebetulnya hendak memanggilnya, namun melihat sikap dan wajah Giok Hoa yang
luar biasa, menyebabkan dia hanya mengikuti saja.
Setelah sampai di luar, di
tempat yang cukup jauh terpisah dari rumah Yo Kouw-nio, Ko Tie melihat gadis
tersebut melamun tertegun di tempatnya. Malah kemudian menghela napas
dalam-dalam, seperti juga Giok Hoa tengah tertekan perasaannya oleh sesuatu
yang menyusahkan hatinya.
Dilihatnya wajah Giok Hoa yang
begitu cantik manis dan menawan sekali, di bawah sinar rembulan, sehingga Ko
Tie tidak bisa menahan perasaannya lagi, dan diapun tidak ingin melihat gadis
pujaan hatinya bersusah hati, dia menegurnya.
“Kau tengah bersusah hati,
adikku?!” tanya Ko Tie setelah berdiri di dekat si gadis.
Giok Hoa tetap menunduk, dia
amat malu karena sajak tadi dia tidak tahu Ko Tie berada di dekatnya.
“Ko Tie Koko, mengapa engkau
mengikuti aku? Kau memata-matai aku heh?” tanya Giok Hoa kemudian, dengan suara
yang perlahan dan kepalanya tetap menunduk.
Ko Tie jadi tergagap ditanya
seperti itu, segera dia bilang:
“Adikku, kau jangan memiliki
dugaan jelek seperti itu kepadaku. Karena aku sama sekali bukan bermaksud
mengikutimu, aku hanya kebetulan saja tidak dapat tidur. Hatiku juga tengah
gelisah, maka aku keluar dalam kamarku dengan maksud untuk menenangkan
perasaanku, menghirup udara malam.
“Siapa tahu aku melihat
engkaupun berada di luar rumah. Aku ingin segera menegurmu, tetapi aku kuatir
mengganggu ketenanganmu!
“Dan tadi aku melihat engkau
begitu bersusah hati, sehingga aku ingin sekali mengetahui, kesusahan apakah
yang tengah engkau alami. Siapa tahu aku bisa membantumu, jika engkau bersedia
menceritakan kepadaku?”
Giok Hoa tidak segera
menyahuti, dia menghela napas lagi dalam-dalam, baru kemudian bilangnya dengan
suara yang agak lirih:
“Ko Tie Koko.......!”
Dan gadis itu mengangkat
kepalanya perlahan-lahan, dia memandang Ko Tie beberapa saat lamanya. Ko Tie
membalas tatapan matanya, mata mereka saling pandang, diakhiri Giok Hoa yang
menunduk lagi.
“Adikku, apa yang hendak kau
katakan, katakanlah! Aku akan menjadi pendengar yang sangat baik!” kata Ko Tie
dengan sikap ingin mengetahui.
Bola mata Giok Hoa yang jeli
dan indah itu terang seperti cermin atau permukaan air danau berkilat-kilat
menatap kepada Ko Tie. Sampai akhirnya dia bilang:
“Ko Tie Koko tadi engkau
mengatakan bahwa engkau juga tengah resah dan tidak tenang. Sesungguhnya apakah
yang membuat engkau tidak tenang? Kau ceritakanlah dulu kegelisahanmu, nanti
aku akan memberitahukan kegelisahanku!”
Ko Tie tertegun sejenak,
pipinya segera berobah merah dan dia jadi salah tingkah.
“Ini…… ini........!” katanya
tergagap.
Giok Hoa mengawasi heran
padanya.
“Ko Tie Koko…… katakanlah.....
apakah engkau keberatan buat menceritakan kepadaku kesusahan hatimu?!” tanya
Giok Hoa.
Ko Tie semakin merah pipinya,
yang terasa panas seperti terbakar.
“Adikku..... ini….. ini……!”
katanya dengan suara tergagap.
“Baiklah Ko Tie Koko, rupanya
engkau memang tidak menganggap aku sebagai orang yang dekat denganmu, sehingga
kesusahan hatimu itu kau keberatan buat menceritakannya kepadaku, guna bertukar
pikiran! Maafkanlah atas pertanyaanku tadi yang begitu lancang ingin mengetahui
urusanmu……!” Setelah berkata begitu Giok Hoa menghela napas dalam-dalam.
Ko Tie jadi gugup dan segera
dia berkata, “Adikku, kau jangan salah mengerti, dengarlah dulu, aku akan
menceritakannya persoalanku itu……!”
Tapi Giok Hoa telah menggeleng
perlahan sambil tersenyum, dia bilang: “Sudahlah Ko Tie Koko, akupun tidak akan
memaksa memberitahukan persoalanmu itu kepadaku! Baiklah hari telah terlalu
malam, aku ingin masuk tidur!”
Dan sambil berkata begitu, si
gadis tersenyum, manis sekali, sambil melirik kepada Ko Tie dia juga memutar
tubuhnya untuk kembali ke rumah Yo Kouw-nio.
Ko Tie bertambah gugup, dan
karena kuatir gadis itu benar-benar meninggalkannya dia sampai melupakan adat
istiadat antara seorang pria dengan seorang gadis, dia mengulurkan tangannya,
mencekal lengan si gadis.
“Tunggu dulu adikku.........
dengarlah dulu, aku akan menjelaskannya kepadamu!” kata Ko Tie tergopoh-gopoh.
Giok Hoa jadi berobah merah
mukanya, dia menunduk malu dan pipinya itu terasa panas sekali. Ia menarik
lengannya yang dipegang si pemuda.
Ko Tie tambah gugup.
“Maaf......... maafkan, aku
bukan maksud berbuat kurang ajar.......!” katanya tergagap.
Si gadis tersenyum.
“Jika memang kau bersedia
menjelaskan persoalanmu itu, katakanlah, Ko Tie Koko……” kata Giok Hoa kemudian,
lembut sekali suaranya.
Melihat si gadis tidak marah,
malah senyumnya begitu manis menggetarkan hatinya, hati Ko Tie terhibur juga,
dia masih bilang: “Adikku, maafkanlah…… atas kekurang ajaranku tadi, tapi aku
sungguh-sungguh memang tidak sengaja.”
“Sudahlah Ko Tie Koko.....
bukankah engkau berjanji akan memberitahukan kesulitanmu itu ?!” kata Giok Hoa.
“Oya, benar!” kata Ko Tie,
sedangkan di hatinya dia mengutuk dirinya, mengapa dia jadi gugup, sikapnya
jadi seperti seorang pemuda yang dungu saja.
Dan dia menyesali dirinya,
mengapa menghadapi Giok Hoa dia jadi bingung seperti itu. Sedangkan jika berada
dalam suatu pertempuran, biarpun menghadapi lawan yang bagaimana tangguh, dia
tidak pernah menjadi gugup.
Dikala itu, Giok Hoa yang
melihat pemuda itu masih saja gugup, telah berkata: “Ko Tie Koko, mengapa masih
belum menjelaskan persoalanmu itu? Apakah memang engkau keberatan buat
menjelaskannya?”
Ko Tie jadi tambah gelagapan
dibuatnya.
“Ya, ya, aku akan segera
memberitahukannya,” katanya. “Sesungguhnya….. sesungguhnya aku tengah memikirkan,
apakah guruku merasa cccok atau tidak buat berdiam di puncak Heng-san ini!”
Akhirnya Ko Tie berhasil juga
menjelaskannya. “Karena selama tiga hari ini guruku tidak pernah memberitahukan
kepadaku, apakah ia merasa cocok atau tidak dengan tempat ini!”
“Mengapa engkau tidak
menanyakan saja langsung kepada gurumu itu?” tanya Giok Hoa sambil tersenyum
manis sekali.
Ko Tie tidak segera menyahuti,
dia memandang si gadis dengan sepasang mata terbuka lebar-lebar.
Si gadis juga telah balas
memandangnya. Jeli sekali matanya yang bening bersinar itu, dan juga senyumnya
yang begitu manis. Walaupun mulut mereka masing-masing tidak mengucapkan
kata-kata, namun sinar mata mereka bicara lebih banyak dari seribu atau sejuta
kata......!
Akhirnya Ko Tie menunduk.
“Aku...... adikku, aku tidak
memiliki keberanian buat menanyakan kepada suhu!”
“Mengapa begitu?!” tanya Giok
Hoa.
Kembali Ko Tie mengangkat
kepalanya memandang si gadis, lalu dengan suara perlahan dia bilang: “Aku……
kuatir suhu marah.”
“Mengapa suhumu itu akan
marah? Bukankah gurumu yang telah perintahkan engkau agar mencari tempat yang
cocok buat dia hidup mengasingkan diri di saat menjelang hari tuanya! Dan
sekarang engkau telah menunjukkan puncak gunung Heng-san ini. Maka mengapa
engkau takut disesali? Bukankah engkau ingin mengetahui gurumu itu merasa cocok
atau tidak dengan tempat ini?!”
“Benar, memang seharusnya
begitu……!” kata Ko Tie tambah bimbang. Sulit sekali buat dia menjelaskan
persoalan yang sebenarnya
“Lalu mengapa engkau tidak
menanyakannya kepada gurumu, jika engkau sendiri telah mengetahui memang begitu
seharusnya?”
Ko Tie berobah mukanya menjadi
merah dan pipinya terasa panas, dia juga merasakan telapak tangannya dingin
sekali, berkeringat. Benar-benar dia menyesali dan mengutuki dirinya yang tidak
berani segera menjelaskan terus terang kepada si gadis urusan yang
sesungguhnya.
Dia jadi begitu gugup dan
pengecut. Dan biarpun hatinya memaki kalang kabutan: “Ko Tie! Ko Tie! Mengapa
engkau seperti pemuda dungu? Katakan saja dengan tenang dan terang, apa
sebenarnya urusan?!”