Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 21

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 21
 
Anak rajawali Jilid 21

Memang kepandaian mereka tampaknya setingkat, ke duanya memiliki ilmu silat maupun sin-kang yang berimbang. Hanya saja jika diteliti benar-benar, kepandaian Thio Kim Beng masih menang seurat dari Cek Tian.

Cek Tian hanya memiliki ilmu yang hebat luar biasa seperti Ha-mo-kang. Tetapi dia kurang meyakinkannya sampai mahir benar, dia juga tidak memperoleh bimbingan waktu mempelajari kepandaiannya, membuat dia kurang pengalaman bertempur.

Sekarang menghadapi serangan-serangan Thio Kim Beng yang begitu gencar, membuatnya mulai terdesak. Biarpun dia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dia masih juga sering terdesak.

Beruntung dia memiliki mujijat seperti Ha-mo-kang, dengan kepala di bawah dan sepasang kaki di atas. Jika tidak, tentu Thio Kim Beng sudah dapat mendesaknya lebih hebat.

Sekarang, dengan tubuh terbalik itu tentu saja membuat Thio Kim Beng sementara itu kehilangan sasaran. Semua jalan darah di tubuh lawannya jadi terbalik, dan setiap jurus yang dipergunakannya itu jadi terbalik menuju ke sasarannya. Jika harus menotok ke pundak, justeru dia jadi menotok ke arah kaki lawannya, demikian pula sebaliknya.

Tetapi setelah memperhatikan cara bertempur lawannya, berangsur-angsur dia mulai dapat mengusai diri dan telah bisa melihat kelemahan lawannya. Karena dari itu, segera juga dia memperhebat serangannya dengan mengincar bagian di tengah, yaitu perut Cek Tian.

Tengah merupakan bagian yang paling penting dalam suatu pertempuran, karena dapat ke bawah dan dapat ke atas. Dengan mengambil kelemahan lawannya di situ, Thio Kim Beng bisa mengancam terus menerus dengan tongkat bambu hijaunya, tanpa perlu bingung disebabkan lawannya bertempur dengan cara terbalik seperti itu. Disamping itu juga terlihat betapa serangan-serangan yang dilakukan oleh Cek Tian kian lemah, rupanya nenek tua itu mulai kehabisan napas dan tenaga, dia sudah letih.

Sedangkan Thio Kim Beng sendiri, walaupun cukup lelah, daya tahannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan si nenek Cek Tian. Karenanya, dia telah mengempos semangatnya, dan berusaha menyerang semakin lama semakin gencar, tidak mau memberikan kesempatan sedikitpun kepada Cek Tian buat merobah kedudukan dan posisi dirinya!

Cek Tian menyadarinya, jika bertempur terus menerus seperti itu, akhirnya dia yang bisa rubuh di tangan lawannya, karena setelah ratusan jurus dia merasakan bahwa kepandaiannya masih berada di bawah kepandaian Thio Kim Beng.

Maka cepat-cepat Cek Tian memperhebat serangan Ha-mo-kang nya, juga dia berusaha untuk mencari kelemahan lawannya. Namun tetap saja Cek Tian yang terdesak dengan hebat oleh tongkat lawannya.

Dikala itu Cek Tian menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba sekali dia menghantam dengan ke dua telapak tangannya. Itulah jurus terhebat dari Ha-mo-kang, membuat angin gempuran itu dahsyat sekali menerjang Thio Kim Beng.

Thio Kim Beng sendiri tidak berani menangkis dengan kekerasan. Dia menyadari betapa hebatnya Ha-mo-kang, terlebih lagi si nenek Cek Tian sekarang ini telah menyerangnya begitu hebat, membuatnya dia tak mau mempertaruhkan jiwanya dengan tangkisan keras dilawan keras.

Cepat-cepat dia berkelit, tubuhnya melesat lincah sekali, membarengi dengan itu tongkatnya menyambar mengancam ubun-ubun dekat kening si nenek Cek Tian.

Itulah serangan yang mengambil arah vertikal, karena tongkat dari pengemis tua itu menuju ke bawah, dimana kepala si nenek Cek Tian memang menempel pada bumi. Justeru dia menyerang ubun-ubun dekat kening depan si nenek, dengan demikian dia berharap bisa menotok jalan data Kiu-kie-hiat si nenek, yang berada tujuh dim di atas alisnya.

Tetapi Cek Tian benar-benar liehay, dia tidak mau membiarkan keningnya kena diserang begitu saja. Cepat sekali dia telah memutar tubuhnya, yang berputar-putar seperti juga gangsing. Dia telah membalas menghantam lagi dengan tangan kirinya, dari mulutnya terdengar suara “krokkk, krokkk”!

Thio Kim Beng kali ini sudah tidak memiliki kesempatan buat menghindar dari tenaga lawan. Karenanya dia menangkis.

“Bukkk!” hebat sekali tenaga mereka saling bentur, dan tubuh si nenek terpental. Dia terpental sambil berbareng tubuhnya melesat dan jatuh hinggap ditumpukan salju dalam keadaan berjongkok, malah dari mulutnya terdengar suara “krokk, krokk,” seperti juga seekor kodok besar, dan ke dua tangannya telah mendorong kuat sekali kepada Thio Kim Beng.

Thio Kim Beng waktu itu terhuyung tiga langkah ke belakang, dan baru saja berhasil memperbaiki kuda-kuda ke dua kakinya, di saat itulah tenaga Ha-mo-kang dari Cek Tian telah menyambar datang, dan menuju ke arah dadanya. Walaupun serangan itu belum tiba, baru menyambar angin permulaannya, Thio Kimbeng merasakan napasnya sesak bukan main, ia kaget, dan segera mengempos semangatnya, dia berkelit cepat-cepat menghindar, dari tenaga Ha-mo-kang lawan.

“Memang tidak percuma ilmu Ha-mo-kang yang diciptakan Auwyang Hong, hebat sekali! Hemmmm, nenek tua sialan ini tampaknya belum lagi dapat menguasai Ha-mo-kang itu sepenuhnya. Jika saja Auwyang Hong yang mempergunakan Ha-mo-kang tersebut, niscaya siang-siang aku sudah dapat dirubuhkan!”

Begitulah yang dipikir Thio Kim Beng. Dia sendiri di samping kagum, pun merasa jeri juga dengan Ha-mo-kang.

Cuma saja, disebabkan dia menyadari bahwa lawannya itu kurang sepenuhnya menguasai ilmu tersebut, maka dia tidak menjadi gentar buat bertempur terus. Coba jika berhadapan dengan Auwyang Hong, tentu siang-siang Thio Kim Beng akan angkat kaki, atau jika dia keras kepala, niscaya jiwanya sudah melayang siang-siang oleh si Bisa Bangkotan itu……!”

Ko Tie menyaksikan jalan pertempuran di antara ke dua tokoh sakti itu semakin lama semakin hebat, jadi menahan napas. Dia tidak mengerti di tempat ini bisa muncul dua orang yang berkepandaian begitu tinggi, dan dia berusaha untuk memperhatikan dengan cermat sekali, buat melihat dengan sungguh-sungguh setiap jurus yang dipergunakan ke dua orang tersebut, karena setidaknya, apa yang dilihatnya ini merupakan tambahan pengalaman buat Ko Tie.

Di waktu itu Ko Tie juga telah berusaha untuk bersembunyi terus tanpa ada gerakan. Sedikit saja dia mengeluarkan suara dan ke dua orang tua yang tengah bertempur hebat itu mengetahui, tentu dia akan memperoleh kesulitan.

Sudah menjadi peraturan di dalam kalangan Kang-ouw, seseorang tidak bisa mencuri lihat atau bersembunyi untuk mengintip pertempuran dari orang lain. Hal itu merupakan suatu perbuatan yang rendah dan hina. Karenanya, Ko Tie tidak ingin jika perbuatannya kali ini sampai diketahui oleh ke dua orang yang tengah bertempur dengan dahsyat itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan si pengemis Thio Kim Beng, yang berseru dengan suara yang nyaring sekali: “Hemmm..... walaupun engkau mengeluarkan seluruh kepandaianmu, tetap saja engkau akan rubuh di tanganku! Baik! Baik! Kau pergunakanlah seluruh kepandaianmu.....!”

Sambil berkata begitu, segera juga Thio Kim Beng memutar tongkat bambu hijaunya, dia telah memutarnya dengan dahsyat menimbulkan kesiuran angin yang menderu-deru hebat sekali. Dia juga telah melangkah maju, berusaha untuk merangsek kepada si wanita tua tersebut.

Dikala itu, tampak Cek Tian berusaha mengempos seluruh kekuatannya. Dia masih berada dalam keadaan berjongkok seperti seekor kodok besar, di mana ke dua tangannya telah dilonjorkan dan mendorong dengan kuat sebanyak dua kali.

Tetapi Thio Kim Beng benar-benar lihay, dia bisa menghadapi gempuran itu dengan mudah, tubuhnya berkelebat ke sana ke mari dan dia telah memunahkan tenaga serangan dari Ha-mo-kang lawannya.

Thio Kim Beng pun bukan hanya berkelit saja, tongkatnya tahu-tahu sudah meluncur. Sekarang nenek tua Cek Tian dalam keadaan berjongkok, dengan sendirinya dia bisa menyerang lebih leluasa. Ujung tongkat bambu hijaunya itu telah mengincar mata dari nenek tua tersebut.

Walaupun Ha-mo-kang Cek Tian cukup hebat, namun gin-kangnya masih di bawah gin-kang Thio Kim Beng. Sekarang melihat tongkat lawannya meluncur akan menikam matanya, dia tidak berani berayal.

Segera dia menjejakkan ke dua tangannya, telapak tangannya menghantam bumi, maka tubuhnya seperti juga seekor kodok besar yang tengah melompat, melesat sangat ringan sekali sejauh dua tombak lebih.

Thio Kim Beng sama sekali tidak mau memberikan kesempatan. Dia juga telah menyusul, tongkat bambu hijaunya itu telah menyambar secepat kilat, tenaga dalam yang disalurkan kepada tongkatnya itu juga hebat sekali, menimbulkan angin yang berkesiuran, tetap saja ujung tongkatnya yang tajam itu mengincar mata Cek Tian.

Cek Tian gusar bukan main, dia mendorong pula ke dua telapak tangannya dalam keadaan tetap berjongkok, dimana dari mulutnya terdengar “krokkk, krokkk,” tidak hentinya. Dari ke dua telapak tangannya itu meluncur kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali.

Dia tengah didesak lawannya dengan ujung tongkat yang mengincar matanya, karenanya, dia bermaksud akan membendung serangan lawan dengan hantaman Ha-mo-kang yang sekuat tenaganya. Jika memang lawannya meneruskan tikaman mata tongkatnya itu buat mencukil biji mata Cek Tian, berarti serangan Ha-mo-kang Cek Tian akan mengenai Thio Kim Beng. Dia akan terluka matanya dan menjadi buta, tetapi dia bisa membunuh lawannya. Itulah perhitungan yang masuk dari Cek Tian, yang mempertaruhkan biji matanya.

Tetapi Thio Kim Beng mana mau berlaku nekad seperti itu, dia melompat mundur sambil menarik pulang tongkatnya. Dengan demikian mereka berdua telah terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Ke duanya saling pandang satu dengan yang lain bersiap-siap untuk saling terjang menerjang lagi guna merubuhkan lawan mereka.

Keadaan pada waktu itu jadi tegang. Ko Tie yang bersembunyi di balik batu gunung, menyaksikan ke dua tokoh sakti itu yang tengah saling pandang mencari kesempatan buat mulai menyerang lagi, jadi berdebar juga.

Karena dia mengetahui, sekali ini ke dua jago yang berkepandaian tinggi tersebut tengah mengincar kelemahan lawannya dan berusaha mencari kesempatan guna menyerang terlebih dulu. Juga ilmu yang akan mereka pergunakan tentunya bukanlah ilmu yang sembarangan, setidaknya mereka sekali ini akan mempergunakan ilmu simpanan mereka.

Di waktu itulah tampak Cek Tian telah mengerang, dia mengangkat ke dua tangannya lurus-lurus ke depan, sikapnya masih berjongkok seperti seekor kodok besar, matanya memancarkan sinar yang tajam sekali. Tubuhnya tergetar keras, karena dia tengah mengerahkan seluruh kekuatan lweekangnya, di mana dia ber maksud sekali ini menyerang berhasil merubuhkan lawannya.

Thio Kim Beng pun tidak berani berayal, tongkat bambu hijaunya telah dilintangkan di depan dadanya. Dia telah mengawasi sikap Cek Tian dengan mata yang bersinar tajam juga. Dia menantikan penyerangan lawannya sambil mengempos semangatnya, memperhatikan juga kalau-kalau ada kelemahan dalam gerakan Cek Tian ini.

Di saat itulah, di antara berkelebatnya tongkat bambu hijau Thio Kim Beng, tampak Cek Tian juga menyerang hebat mempergunakan ke dua telapak tangannya.

“Takk, dukkk, bukk!” terdengar tiga kali suara benturan yang nyaring.

Suara yang pertama adalah suara terbenturnya tongkat bambu hijau Thio Kim Beng yang kena ditangkis oleh Cek Tian, sedangkan suara yang ke dua merupakan suara terbenturnya dua kekuatan antara tenaga dalam Cek Tian dengan tenaga dalam Thio Kim Beng.

Dan suara yang ke tiga merupakan suara tubuh Cek Tian yang kena dihantam oleh telapak tangan kiri Thio Kim Beng, sehingga tubuh si nenek tua yang tangguh itu terpental bergulingan di atas tumpukan salju!

Namun dasarnya memang dia tangguh sekali, dia bisa melentik bangun dengan segera, sambil menghantam lagi dengan ke dua telapak tangannya, di mana dia masih mengambil sikap seekor kodok besar, berjongkok mempergunakan Ha-mo-kang nya! Angin berkesiuran menderu-deru.

Thio Kim Beng sendiri tidak berani segera memapaki serangan lawannya kali ini. Tadi saja, waktu tenaganya saling bentur dengan tenaga dalam Cek Tian, telapak tangannya yang mencekal tongkat bambu hijaunya tergetar keras dan terasa pedih, juga tubuhnya tergoncang hebat sekali.

Biarpun dia berhasil menghantam Cek Tian dengan telapak tangan kirinya, dia sendiri tidak urung kena disampok oleh kekuatan tenaga dalam Ha-mo-kang lawannya. Beruntung dia memang, telah menutup tubuhnya dengan kekuatan sin-kang nya, sehingga biarpun dia kena diterjang oleh tenaga dalam lawan, tokh tetap saja dia tidak sampai terluka parah.

Dalam keadaan seperti itu, terlihat Thio Kim Beng cepat-cepat menjejakkan ke dua kakinya. Dia tidak mau menyambuti tenaga serangan dari Cek Tian. Dengan demikian pukulan yang hebat itu jatuh di tempat kosong.

Cek Tian penasaran dan murka sekali. Tadi dia telah kena terpukul.

Memang benar pukulan itu tidak sampai melukai dia dan juga tidak sampai membuat dia bercacad, akan tetapi dia penasaran sekali. Dia telah terguling-guling akibat serangan lawannya.

Karena, sebagai seorang wanita, yang umumnya memang sering diliputi oleh perasaan penasaran jika belum berhasil mencapai sesuatu yang dikehendaki. Maka demikian pula halnya dengan Cek Tian, dia jadi begitu penasaran dan biar bagaimana bertekad hendak menyerang binasa pada lawannya itu.

Demikianlah, setelah pukulannya itu dapat dihindarkan oleh lawannya, dia segera melompat dengan sikap seperti seekor kodok dan telah menyerang lagi dengan hebat. Serangan itu datang saling susul, tampaknya dia kalap sekali, dan sekarang dia sudah tidak memperdulikan lagi keselamatan dirinya!

Wajah nenek tua Cek Tian tampak menyeramkan sekali, dengan sepasang mata mendelik memancarkan sinar yang menakutkan. Di wajahnya terbayang hawa nafsu membunuh yang besar sekali karena dalam kenekadannya itu, benar-benar dia kalap dan penasaran hendak membinasakan lawannya, walaupun dengan cara dan jalan bagaimana. Itulah sebabnya dia telah mempergunakan seluruh tenaga lwekangnya buat menyerang sehebat-hebatnya kepada Thio Kim Beng.

Berlainan dengan Cek Tian, justeru Thio Kim Beng tidak mau membuang jiwa percuma secara konyol. Karena dari itu, dia berulang kali berkelit, tiga kali dia berkelit dan pada serangan ke empat kali, mau atau tidak terpaksa dia harus menangkisnya, karena Cek Tian mendesaknya terus beruntun dengan pukulan-pukulan Ha-mo-kang yang dahsyat.

Dalam keadaan seperti itu, Thio Kim Beng mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya dan menangkisnya, memperdengarkan, suara benturan yang keras dari saling benturnya tangan mereka, di mana tangan mereka tidak segera terpisah lagi. Ke duanya berdiri tegak dengan kuda-kuda ke dua kaki yang kokoh mereka mengadu kekuatan tenaga dalam mereka buat saling lebih mendahului merubuhkan lawan masing-masing.

Sebetulnya Thio Kim Beng jika ingin mempergunakan tongkat di tangan kanannya. Dia bisa melakukannya buat menotok atau menghantam Cek Tian, tokh dia tidak melakukannya sebab jika lweekang terpecah dan dibagi ke tangan kanan, berarti dia yang akan tertindih oleh kekuatan tangan lawannya.

Karena dari itu, dia telah bertahan terus, dan malah berusaha mengerahkan tenaganya, untuk dapat merubuhkan Cek Tian dengan hanya tangan kirinya sedangkan tongkat bambu hijaunya tetap saja tergantung tidak dipergunakan untuk menyerang!

Ko Tie menyaksikan ke dua orang tokoh sakti yang tengah mengadu kekuatan dan berada dalam saat-saat yang menentukan sekali, karena jika memang mereka lengah dan tertindih kekuatan tenaga dalam lawan, salah seorang akan terluka parah sekali.

Bertempur dengan mempergunakan lweekang sesungguhnya jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan bertempur mempergunakan senjata tajam, sebab begitu tertindih kekuatan tenaga dalam lawan, atau memang tenaga dalam mereka itu buyar, niscaya hawa murni mereka juga akan musnah. Dan di saat itu mereka akan terluka hebat, bahkan kemungkinan besar akan menemui kematian.

Karena dari itu pula mengapa Thio Kim Beng tidak berani membagi kekuatan tenaga dalamnya pada tangannya yang satu. Dia membiarkan tongkat bambu hijaunya tergantung saja karena dia tidak mau mengambil resiko dengan memecahkan kekuatan tenaga dalamnya yang mungkin akan menyebabkan dia terdesak oleh kekuatan tenaga dalam lawannya!

Ko Tie sendiri agak bingung juga, tentu saja dia tidak menghendaki jika sampai ke dua orang tokoh sakti itu ke dua-duanya terluka. Dan diapun hendak menolongi memisahkan mereka, tapi kepandaiannya jelas masih berada di bawah kepandaian ke dua orang itu, sin-kang nya juga masih kalah.

Karena dari itu, jika dia menyelinap di antara dua kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya itu, niscaya hanya akan menyebabkan dia yang bercelaka! Akhirnya Ko Tie hanya mengawasi bingung saja, dilihatnya dari kepala Thio Kim Beng maupun Cek Tian telah mengepul uap yang semakin lama semakin tebal, dan juga keringat di sekujur tubuh mereka telah membasahi pakaian.

Waktu Ko Tie tengah bingung buat memisahkan ke dua orang itu, justeru di saat itu di tengah udara terdengar suara pekik burung rajawali putih, pekik yang nyaring sekali.

Ko Tie jadi girang. Cepat-cepat dia menoleh ke atas.

Benar saja, burung rajawali putih yang berukuran besar itu, tengah terbang mendatangi cepat sekali. Hanya saja keadaan burung rajawali itu agak luar biasa, bulu-bulunya tampak tidak rata lagi, telah banyak yang rontok, membuat Ko Tie jadi kaget tak terkira.

Segera Ko Tie bersiul nyaring. Burung rajawali putih itu yang tengah terbang pesat sekali karena ingin cepat-cepat memberitahukan kepada Yo Kouw-nio bahwa majikannya, Giok Hoa, tengah terancam jiwanya di tangan Auwyang Phu.

Dan dia segera melihat Ko Tie. Dengan pekik nyaring karena gembira, burung rajawali putih tersebut segera terbang menukik turun menghampiri Ko Tie, dan setelah hinggap dia mengibas-ngibaskan sayapnya.

Melihat kelakuan burung rajawali putih itu dan juga keadaan bulunya yang pada rontok tersebut, segera Ko Tie mengetahui, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Giok Hoa. Segera juga dia menepuk-nepuk leher burung itu, dia perintahkan agar burung tersebut segera pergi ke tempat Yo Kouw-nio.

Yo Kouw-nio ketika melihat Ko Tie yang turun dari punggung burung rajawali putih yang telah membawanya terbang tadi, kaget tidak terkira. Karena dia segera memiliki perasaan tidak enak melihat keadaan burung rajawali putih yang tidak keruan itu.

Ko Tie menceritakan, mungkin Giok Hoa mengalami ancaman bahaya. Juga burung rajawali putih itu tentu telah dianiaya seseorang.

Yang membuat Ko Tie jadi agak bingung, dia pun tidak melihat biruang salju. Dia menanya kepada rajawali putih itu, namun sikap dan gerak burung itu tidak dimengerti olehnya. Memang sikap dan gerak-gerik burung rajawali tersebut hanya bisa dimengerti oleh Giok Hoa seorang, majikannya.

Dikala itu, Yo Kouw-nio tidak membuang-buang waktu segera melompat ke punggung burung rajawali putih tersebut, dia perintahkan burung rajawali putih itu membawanya terbang ke tempat di mana beradanya Giok Hoa.

Swat Tocu segera berlari pesat sekali, mengikuti ke arah mana burung rajawali putih itu terbang. Ko Tie juga mengikutinya.

Swat Tocu menguatirkan sekali keselamatan biruang saljunya. Karena dari itu, dia tidak membuang-buang waktu mengikuti burung rajawali putih karena dia menduga tentunya biruang salju tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil berdua dengan Giok Hoa.

Ko Tie sendiri berdebar-debar hatinya.

Cek Tian dan Thio Kim Beng yang tadi mendengar suara pekik burung rajawali putih tiba-tiba dengan berbareng, dan serentak, ke duanya telah menarik pulang tenaga mereka, dan ke duanya menjauhi diri saling pandang. Mereka kemudian melihat Ko Tie, yang telah melompat ke punggung burung rajawali putih tersebut, terbang!

Ke dua tokoh sakti rimba persilatan tersebut heran bukan main karena mereka tidak mengenali siapa adanya Ko Tie dan juga mereka merasa aneh melihat rajawali putih yang begitu jinak. Di saat itulah tampak, betapa ke dua tokoh sakti ini jadi penasaran.

Setelah saling pandang dan melihat Ko Tie dibawa terbang oleh burung rajawali putih tersebut, segera juga ke duanya menjejakkan kaki mereka berlari-lari mengikuti rajawali putih tersebut. Dan mereka melihat Ko Tie dan Swat Tocu, yang mengikuti rajawali putih itu seperti juga sebagai penunjuk jalannya.

Cek Tian dan Thio Kim Beng semakin penasaran, mereka mengikuti terus.

Yo Kouw-nio yang duduk di punggung burung rajawali putih itu, telah mengawasi sekelilingnya, dimana dia berusaha untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya, kalau-kalau Giok Hoa terlihat olehnya. Burung rajawali putih itu masih terbang dengan cepat, dan di waktu itulah terlihat betapa burung rajawali putih telah menukik ke sebuah tonjolan batu gunung.

Yo Kouw-nio segera menyaksikan peristiwa yang mengejutkannya. Dia memang melihat Giok Hoa, tetapi dalam keadaan tidak berdaya, karena tertotok, dan juga disaat itu terlihat dia tengah terancam, karena mukanya tengah diincar dan dirusak oleh mata pedang di tangan Auwyang Phu.

Tidak berayal lagi, tangan Yo Kouw-nio bergerak, dia melontarkan sebatang jarum Bwee-hoa-ciam.

Jarum itu segera menyambar pesat sekali. Terdengar suara “Tranggg”!

Pedang di tangan Auwyang Phu yang tengah meluncur ke arah muka Giok Hoa, dan si gadis tengah menutup mukanya, tampak terpental, dan tergetar keras sekali, sehingga membuat Auwyang Phu kaget bukan main.

Benar dia mencekal pedang itu tidak terlalu kuat dan keras, namun dia memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan disentuh sebatang jarum Bwe-hoa-ciam, pedang itu bisa mencong dan tangannya tergetar benar-benar membuat Auwyang Phu jadi kaget tidak terkira. Itulah timpukan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.

Cepat-cepat Auwyang Phu menoleh, dia melihat Yo Kouw-nio yang melompat turun dari punggung rajawali yang tadi telah dibabak belurkannya. Auwyang Phu melengak sejenak, tapi segera dia tertawa bergelak-gelak.

“Oho...... oho...... kiranya wanita cantik lagi! Ha, tampaknya burung celaka itu memang memiliki banyak sekali wanita-wanita cantik, walaupun usiamu tampaknya lebih tua dari wanita ini……!” Sambil berkata begitu, pedangnya di tunjuk kepada Giok Hoa

Yo Kouw-nio tidak berkata apa-apa, dia cepat menghampiri Giok Hoa, berjongkok di sampingnya, dan membuka totokan pada tubuhnya. Namun maksudnya tidak kesampaian begitu dia menotok, jalan darah itu tidak terbuka.

Sedangkan Auwyang Phu sendiri tertawa bergelak-gelak, sama sekali dia tidak berusaha mencegah perbuatan Yo Kouw-nio. Dia tidak berusaha untuk menghalanginya dan hanya tertawa bergelak-gelak.

“Hebat! Kau rupanya pandai ilmu tiam-hiat, bukan? Coba bukalah!” kata Auwyang Phu dengan suara yang nyaring.

Yo Kouw-nio berobah mukanya, karena dia penasaran sekali dan malu gagal membuka totokan pada muridnya. Dia mencoba dua kali, mengurut dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Giok Hoa. Tetap saja gagal.

Malah Giok Hoa tampak meringis. sebab bukan terbuka jalan darah yang tertotok, malah tampaknya dia menderita kesakitan yang tidak ringan.

Segera Yo Kouw-nio menghentikan usahanya membuka totokan pada Giok Hoa. Dia berdiri dan memandang kepada Auwyang Phu dengan suara yang dingin dia bilang: “Cepat kau buka totokan itu, jangan sekali-kali kau bermaksud berbuat kurang ajar padaku……!”

“Siapa kau?” tanya Auwyang Phu setelah tertawa bergelak-gelak.

“Aku…… aku orang she Yo!”menyahuti Yo Kouw-nio dengan sikap ragu, sebetulnya dia bermaksud hendak menyebutkan namanya, namun karena dia berpikir Auwyang Phu tentu bukan sebangsa manusia baik-baik, dia hanya menyebutkan dia orang she Yo belaka!

“Hahaha!” tertawa Auwyang Phu dengan suara yang nyaring sekali, kemudian melanjutkan: “Bagus! Kiranya memang tidak salah gadis itu tadi telah mempergunakan pedang Giok-lie-kiam-hoat! Dan engkau rupanya memang masih mempunyai hubungan dengan si buntung Yo Ko!”

Muka Yo Kouw-nio berobah mendengar ayahnya disebut si buntung, tahu-tahu tubuhnya ber kelebat, tangan kanannya menampar ke mulut Auwyang Phu.

Auwyang Phu waktu mengetahui wanita yang ada di hadapannya adalah orang she Yo yang memiliki hubungan dengan Sin-tiauw-tay-hiap, sejak tadi dia telah bersiap-siap.

Sekarang melihat Yo Kouw-nio dengan gesit bergerak ingin menampar mulutnya, segera dia mengelak. Tubuhnya lincah sekali melompat ke samping.

“Hahaha…… jangan terlalu galak seperti itu!” ejeknya. “Mari kita bicara dulu?”

Bola mata Yo Kouw-nio terbuka lebar-lebar mendelik kepada Auwyang Phu, bukan main penasaran dan bencinya kepada pemuda ini yang telah menghina ayah angkatnya. Dia berusaha menahan kemarahannya, bentaknya: “Katakan siapa kau.”

“Aku? Aku orang she Auwyang….. tentu kau tidak asing dengan she tersebut, bukan? Namaku hanya tunggal, yaitu Phu! Akulah Auwyang Phu, putera sejati dari Auwyang Hong!”

Berobah muka Yo Kouw-nio melihat lagak pemuda itu berbicara, dan juga mendengar ia adalah putera Auwyang Hong. Inilah aneh dan sulit sekali bisa dipercaya oleh pendengarannya.

Setelah tertegun beberapa saat, dia bertanya: “Jadi…… jadi engkau puteranya Auwyang Hong Locianpwe?!”

Auwyang Phu memperlihatkan sikap congkak. Dia mengangguk segera, “Tepat! Sedikitpun tidak meleset! Memang aku putera Auwyang Hong! Putera sejati! Kau dengar, aku putera sejati Auwyang Hong. yang telah mewarisi seluruh kehebatan ayahku!” Dan setelah berkata begitu ia tertawa bergelak-gelak lagi.

Sedangkan Yo Kouw-nio menghela napas.

“Auwyang Hong Locianpwe dengan ayahku memiliki hubungan yang baik. Karena itu, memandang ayahmu, aku bersedia buat menyudahi urusan sampai di sini saja, dan cepat kau bebaskan totokanmu pada muridku itu......” kata Yo Kouw-nio sambil menghela napas mengalah.

Tetapi Auwyang Phu justeru jadi sebaliknya, dia menduga Yo Kouw-nio gentar dan jeri begitu mendengar dia adalah puteranya Auwyang Hong.

“Hmmm, jadi engkau adalah puteri si buntung Yo Ko?” tanyanya dengan sikap mengejek.

Meluap lagi darah Yo Kouw-nio.

“Mulutmu jangan kurang ajar!” bentaknya. “Atau memang engkau minta aku menghajarnya agar kelak engkau dapat bersikap lebih sopan dan baik-baik?”

Melihat Yo Kouw-nio gusar Auwyang Phu sama sekali tidak jeri, malah dia tertawa tergelak-gelak dengan sikap yang angkuh sekali.

“Hemmm, engkau marah? Baik! Baik-baik! Aku memang selalu menyebut ayahmu itu dengan sebutan si buntung Yo Ko! Lalu sekarang apa yang hendak kau lakukan?!”

Yo Kouw-nio sudah tidak, bisa menahan dirinya lagi mendengar perkataan dan sikapnya Auwyang Phu seperti itu. Tahu-tahu tubuhnya melesat dan tangan kanannya bergerak kembali berusaha menempeleng mulut Auwyang Phu.

“Menghajar mulutmu!” teriaknya gusar.

Tetapi kali ini Auwyang Phu sama sekali tidak berkelit, malah dia telah menangkis dengan pedang rampasannya.

Tentu saja tangan Yo Kouw-nio akan terkutungkan, jika saja ia menyerang terus. Cepat-cepat dia menahan tangannya, namun bukan buat berdiam diri, melainkan dengan segera dia telah membarengi menghantam lagi.

Auwyang Phu kagum juga melihat kesebatan tangan Yo Kouw-nio,

“Bagus!” berseru pemuda itu dengan suara nyaring dan tubuhnya melejit ke sana ke mari, berkelit dari serangan-serangan Yo Kouw-nio yang gencar. Malah dia juga mempergunakan pedangnya, berusaha buat balas menyerang. Setiap serangannya cukup baik.

Tetapi Yo Kouw-nio adalah pewaris dari ilmu pedang nomor wahid di masa ini, yaitu Giok-lie-kiam-hoat, sehingga mana bisa Auwyang Phu mendesaknya dengan serangan pedang tersebut. Segera juga Yo Kouw-nio berhasil mendesaknya.

Memang Auwyang Phu kurang sekali memperhatikan ilmu pedang, dia lebih mementing kan ilmu Ha-mo-kang nya. Sekarang merasakan dirinya terdesak hebat, dia segera membuang pedangnya, tahu-tahu dia berjongkok dan ke dua tangannya dilonjorkan mendorong ke depan. Di waktu itu Yo Kouw-nio justeru tengah menerjang ke dekatnya.

Yo Kouw-nio kaget juga merasakan dorongan tenaga yang kuat bukan main, dia merasakan napasnya sesak. Segera juga Yo Kouw-nio mengetahui bahwa itulah suatu kekuatan yang tidak boleh diremehkan. Segera berkelit ke samping batal menyerang pemuda ceriwis tersebut.

Dikala itu Auwyang Phu bukan hanya menyerang satu kali saja, dalam sikap masih berjongkok dia telah menghantam lagi lebih kuat.

Berulang kali tenaga dari serangan Ha-mo-kang tersebut telah menyambar kepada Yo- Kouw-nio. Beruntung memang Yo Kouw-nio memiliki gin-kang yang sangat tinggi, sehingga dia berhasil mengelakkan serangan-serangan Auwyang Phu.

Cuma saja Yo Kouw-nio penasaran bukan main, dan suatu kali dia ingin juga mengetahui sesungguhnya berapa kekuatan lweekang pemuda itu.

Ketika melihat Auwyang Phu tengah melonjorkan sepasang tangannya, dia menangkisnya dengan mempergunakan lweekangnya.

Dengan demikian, dua tenaga sin-kang segera bentrok dahsyat sekali.

Tubuh Yo Kouw-nio bergoyang-goyang namun tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Sedangkan Auwyang Phu sampai terpental dalam posisi masih berjongkok. Cuma saja, ketika dia meluncur turun, seketika dia hinggap di tanah dengan keadaan dan posisi seperti semula, yaitu dia tetap berjongkok,

Malah Auwyang Phu telah membarengi dengan pukulan lagi, kuat sekali tenaga pukulannya itu, karena dia mempergunakan jurus yang hebat dari Ha-mo-kang dengan mengerahkan sebagian terbesar sin-kangnya. Angin dorongan ke dua telapak tangannya itu berkesiuran sangat dahsyat,

Tubuh Yo Kouw-nio melompat ke tengah udara, sehingga angin serangan Ha-mo-kang tersebut menyambar terus dan menghantam sebungkah batu.

Terdengar suara menggelegar yang nyaring sekali, bungkahan batu tersebut seketika hancur berantakan dan telah menjadi puing-puing, Waktu bungkahan batu tersebut kena diserang tenaga Ha-mo-kang, sekitar tempat itu terasa tergetar.

“Phu-jie!” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru nyaring. Tidak lain yang berseru itu adalah Cek Tian.

Sedangkan di depan Cek Tian terlihat Swat Tocu dan Ko Tie yang berdiri dengan muka merah padam, karena tocu pulau es itu telah melihatnya bahwa biruang saljunya rebah pingsan tidak sadarkan diri. Sedangkan Ko Tie segera melompat ke samping biruang salju, buat memeriksa keadaannya, sehingga dia memperoleh kenyataan biruang salju itu terluka di dalam yang tidak ringan.

Segera juga Auwyang Phu dengan gembira berlari menghampiri ibunya. “Ibu…..!” panggilnya.

Di samping ibunya, tampak terpisah tidak begitu jauh, seorang pengemis tua, yang mengawasi Auwyang Phu dengan sorot mata yang tajam sekali.

Yo Kouw-nio segera menoleh ke arah Swat Tocu, katanya: “Swat Locianpwe, dialah yang telah melukai biruang saljumu dan rajawali putih itu! Bahkan Giok Hoa telah dilukainya!”

Swat Tocu tidak mengucapkan apa-apa, dia hanya mendegus, tahu-tahu tubuhnya telah melesat, ke dua tangannya diulurkannya. Dia telah melompat ke arah Auwyang Phu, karena dia bermaksud akan mencengkeram punggung Auwyang Phu. Itulah disebabkan Swat Tocu terlalu gusar.

Sedangkan Cek Tian menyaksikan Swat Tocu dengan marah hendak mencengkeram anaknya, tidak mau tinggal diam. Cepat sekali dia berseru sambil menyampok tangan Swat Tocu.

Dia mengetahui siapa adanya Swat Tocu dan telah mengetahui juga berapa tinggi kepandaian yang dimiliki tocu tersebut. Karena dari itu, dia menangkis dengan mengeluarkan tenaga yang cukup tangguh.

Swat Tocu sama sekali tidak berusaha menarik kembali tangannya, sehingga tangannya itu saling bentur dengan tangan Cek Tian.

Namun, apa jadinya?

Tubuh Swat Tocu sendiri terpental mundur sedikit, sedangkan tubuh Cek Tian telah terhuyung sampat empat langkah. Hal ini mengejutkan Auwyang Phu, dia mencekal lengan ibunya, muka Cek Tian berobah memucat.

“Ibu..... apakah engkau tidak apa-apa?!” tanya Auwyang Phu dengan kuatir dan telah melirik kepada Swat Tocu dengan sorot mata yang bengis sekali.

Cek Tian menggeleng perlahan, kemudian dia telah berkata: “Hati-hatilah terhadap dia, dialah Swat Tocu……!”

Auwyang Phu seperti tidak mendengar peringatan ibunya, karena telah menjejakkan sepasang kakinya, dia hinggap di tanah dengan ke dua kaki tertekuk, di mana dia berjongkok dengan sikap seperti seekor kodok besar, kemudian ke dua tangannya dilonjorkan dan dia mendorong dengan perlahan!

Swat Tocu tidak memandang sebelah mata pada pemuda itu. Dia telah menyampok dengan tangan.

“Dukkk.....!” tubuh Swat Tocu tergoncang juga, namun dia tidak sampai tergeser dari tempatnya berdiri, cuma di waktu itu dia telah tertawa dingin menyaksikan betapa tubuh Auwyang Phu terpental berjumpalitan di tengah udara beberapa kali, baru meluncur turun.

Itulah disebabkan kuatnya tenaga serangan dari Swat Tocu. Dan Auwyang Phu sendiri merasakan kepalanya pusing. Untung dia memiliki lweekang yang cukup tinggi, membuat dia tidak sampai kena dirubuhkan oleh sampokan tangan Swat Tocu.

Sedangkan Swat Tocu mendengus, wajahnya menyeramkan karena marah, dia bilang: “Hem, engkau harus membayar sakit hati Swat-him-ji (Anak biruang es), yang telah kau celakai……!” Sambil berkata begitu, segera juga dia melompat ke samping Auwyang Phu, sambil menggerakkan tangannya.

Tetapi Auwyang Phu, yang sekarang menyadari bahwa Swat Tocu adalah seorang tokoh sakti yang memiliki kepandaian tinggi, tidak mau memperdulikan serangan Swat Tocu, dia telah menyingkir.

Dua kali Swat Tocu menyerang, tetapi tidak berhasil mengenainya.

Waktu satu kali lagi Swat Tocu menghantam, dan Auwyang Phu sudah tidak memiliki kesempatan buat mengelakkan serangan itu. Segera dia berjungkir balik, kepala di bawah dan sepasang kaki di atas!

Swat Tocu jadi terkejut juga melihat cara bertempur lawannya, buat sejenak dia tertegun.

Dikala itu, cepat sekali Auwyang Phu membarengi dengan serangannya, karena dia ingin mempergunakan kesempatan di saat lawannya tengah tertegun seperti itu buat merubuhkannya.

Swat Tocu tersadar dengan segera, dia mendengus, dan dia mengibaskan tangannya. Tetapi sekali ini tubuh Auwyang Phu tidak terpental hanya terputar-putar seperti gangsing.

Swat Tocu jadi mendongkol melihat kelicikan lawannya, berulang kali dia menghantam dengan kekuatannya yang sangat hebat, ilmu pukulan Inti Es nya.

Dengan demikian, tubuh Auwyang Phu berulang kali berputar-putar. Dia memang menguasai Ha-mo-kang, tetapi yang membuat dia tidak tahan adalah hawa dingin yang seperti ingin membekukan dirinya. Sedangkan terputar-putar seperti itu tidak membawa akibat buruk padanya, malah dia merasa nyaman sekali bisa berputar semakin cepat, darahnya jadi terbalik dan lebih deras turun ke kepala, sehingga tenaga Ha-mo-kangnya jadi semakin hebat dan kuat.

Sedangkan Swat Tocu sendiri diam-diam berpikir: “Siapakah anak itu? Tampaknya dia mahir sekali mempergunakan ilmu Ha-mo-kang ini, yang kabarnya dulu menjadi ilmu andalan Auwyang Hong?”

Sambil berpikir begitu, Swat Tocu juga tidak tinggal diam diri, karena dia telah menyusuli dengan serangannya yang beruntun.

Cek Tian menyaksikan anaknya didesak terus oleh Swat Tocu, dia tidak bisa membiarkan, karena dia kuatir puteranya itu nanti kena dicelakai oleh Swat Tocu. Maka dia melompat dengan gesit menghadang di depan Swat Tocu, katanya:

“Kau jangan mengganggu anakku! Nah, hadapilah aku!”

Sambil berkata begitu, nyonya tua tersebut telah menekuk ke dua kakinya, dia menyerang dengan mempergunakan ke dua telapak tangannya. Angin dari pukulan Ha-mo-kang nya itu berkesiuran menderu-deru, dan telah mendorong sedikit Swat Tocu, satu langkah, karena Tocu dari pulau salju ini tidak menyangka akan diserang seperti itu.

Terlebih lagi memang Cek Tian telah lebih baik menguasai Ha-mo-kang, dibandingkan dengan anaknya. Dan diapun lebih banyak pengalamannya.

Swat Tocu tidak segera membalas menyerang, dengan mata mendelik bentaknya. “Kalian masih memiliki hubungan apa dengan Auwyang Hong, si See-tok, bisa bangkotan itu?”

Mendengar pertanyaan Swat Tocu itu, Cek Tian tertawa dingin.

“Auwyang Hong adalah suamiku. Dan dia adalah putera Auwyang Hong!” Sambil berkata begitu, Cek Tian telah menunjuk kepada Auwyang Phu.

Swat Tocu mengelak.

“Auwyang Hong mempunyai isteri dan anak?!” tanyanya kemudian dengan sikap terheran-heran!

Cek Tian tertawa dingin.

“Mengapa engkau harus heran, bukankah Auwyang Hong juga seorang manusia biasa, dia wajar memiliki isteri dan anak. Mengapa engkau harus terheran-heran seperti itu? Apa anehnya!!”

Disanggapi seperti itu, wajah Swat Tocu jadi berobah memerah, tetapi kemudian dia tertawa dingin, dia bilang dengan suara yang tawar:

“Hemmm, aku memang tidak heran. Cuma justeru aku tidak percaya bahwa wanita seperti engkau, yang hanya pantas menjadi pelayannya bisa menjadi isterinya! Yang aku ketahui, di Pek-to-san, di gunung Auwyang Hong berkuasa, pelayan-pelayannya terdiri dari wanita-wanita cantik, yang semuanya berpakaian putih!

Mengapa seorang wanita buruk seperti engkau diambil sebagai isterinya? Lihat saja hasilnya! Anaknya jadi buruk tidak karuan macam seperti juga muka seekor monyet dengan tubuhnya yang pendek mirip seekor kera!”

Itulah hinaan yang seumur hidupnya baru pertama kali Cek Tian terima. Dia memang paling pantang dirinya dihina. Walaupun mengetahui Swat Tocu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya, dia jadi nekad.

Waktu itu Swat Tocu tengah meneruskan kata-katanya: “Yang kuketahui Auwyang Hong memiliki tubuh yang tinggi besar dan tegap, maka dari itu alangkah lucu dan anehnya, jika anaknya justeru bertubuh pendek dan cebol seperti dia, dengan muka yang begitu buruk seperti monyet……!”

Berkata sampai di situ Swat Tocu tidak bisa meneruskan perkataannya, karena diiringi bentakan mengandung kekalapan tampak Cek Tian telah menerjang, dengan sepasang tangannya mendorong hebat sekali mempergunakan salah satu jurus Ha-mo-kang, ke dua kakinya juga dalam keadaan tertekuk dalam-dalam, mengambil sikap seperti seekor kodok.

Swat Tocu merasakan menderu-derunya angin serangan yang kuat sekali, Dia juga seorang yang memiliki tabiat aneh, mana mau dia mengalah terhadap Cek Tian?

Karena dari itu, segera dia memperkuat kuda-kuda ke dua kakinya. Begitu dia merasakan angin serangan Cek Tian hampir tiba, dia malah balas menyerang dengan pukulan Inti Es nya. Maka terdengar suara benturan yang keras disusul dengan jerit kaget Cek Tian, karena tubuhnya telah terpental dan ambruk di tanah.

Walaupun dia tidak sampai pingsan, Cek Tian tidak bisa segera bangun, dia meringis sambil mengerang-erang kesakitan.

Auwyang Phu kaget tidak terkira dan cepat-cepat memburu kepada ibunya. Dia berusaha membantu membangunkan ibunya, dengan matanya sebentar-sebentar melirik kepada Swat Tocu penuh kemarahan, karena dia sendiri telah mendengar langsung hinaan dari Swat Tocu!

Swat Tocu sendiri terhuyung dua langkah akibat benturan tenaga dalamnya. Diam-diam dia kaget juga, dia berkata di dalam hatinya:

“Ternyata Ha-mo-kang Auwyang Hong bukan semacam ilmu sembarangan…… benar-benar berbahaya! Jika memang Auwyang Hong sendiri mempergunakan Ha-mo-kang nya itu niscaya belum tentu dia bisa merubuhkan Auwyang Hong. Maka dia jadi bersikap hati-hati.

Walaupun Cek Tian memang tidak bisa disamakan dengan Auwyang Hong, tokh Ha-mo-kang nya itu lihay sekali.

Di waktu itu terlihat Auwyang Phu setelah membantui ibunya bangun, segera melompat kepada Swat Tocu. Kalap sekali pemuda itu, ia menyerang kepada Swat Tocu.

Sedangkan Swat Tocu sendiri tengah panas terhadap pemuda ini, yang diketahuinya telah melukai biruang saljunya. Segera juga tanpa menyingkir dia menantikan serangan Auwyang Phu.

Sengaja dia membiarkan dadanya yang telah diselubungi oleh lapisan kekuatan sin- kangnya dihantam tangan Auwyang Phu, kemudian sebat sekali tangan kanan yang satunya menghantam ke arah iga Auwyang Phu!

Segera melengking suara jerit kesakitan Auwyang Phu, tubuhnya “terbang” ke tengah udara, terbanting di atas tanah dengan kesakitan, sebab di waktu itu lengannya dan beberapa tulang iganya telah patah!

Swat Tocu tampak puas, dengan langkah lebar dia menghampiri Ko Tie yang tengah menguruti biruang salju, yang waktu itu mulai tersadar. Auwyang Phu sendiri telah merangkak bangun, namun tidak berani menyusul buat menyerang lagi.

Swat Tocu duduk di samping biruang salju, dia mengurutinya sambil mengempos lweekang nya. Cepat sekali binatang itu jadi segar dan mengerang, lalu melompat berdiri.

Seperti juga sikap seorang manusia layaknya, setelah berdiri, biruang salju itu sambil mengeluarkan suara lirih dia memberi hormat dengan menekuk ke dua kakinya, mendekam di tanah, dan menganggukkan kepalanya. Lalu dia berdiri lagi, dan suaranya berobah menandakan dia sangat marah menunjuk-nunjuk kepada Auwyang Phu. Seperti juga biruang salju ini tengah mengadukan apa yang telah dialaminya dihajar babak belur oleh Auwyang Phu.

Swat Tocu mengangguk dan kemudian mengulapkan tangannya, biruang salju itu jadi berdiri di sampingnya.

Yo Kouw-nio sendiri telah berusaha membebaskan lagi totokan pada muridnya, namun selalu gagal dan Giok Hoa malah semakin kesakitan.

Ko Tie melihat hal itu, segera berkata bahwa dia bisa membuka totokan tersebut.

Yo Kouw-nio girang dan meminta bantuan pemuda itu. Ko Tie meminta Yo Kouw-nio membalikkan tubuh si gadis, dan punggungnya telah ditepuk dua kali oleh Ko Tie, kemudian ditotok satu kali.

Waktu Ko Tie menotok dan menepuk pundak gadis tersebut, mukanya berobah merah dan terasa panas. Dia likat sendirinya, karena di dekatnya Yo Kouw-nio tengah mengawasi. Memang benar, dia tidak menyentuh kulit tubuh si gadis, karena gadis itu tetap memakai baju, namun tentu saja hal itu mendatangkan rasa malu dirinya.

Giok Hoa mengeluarkan jeritan perlahan dan terbebas dari totokan.

Yo Kouw-nio telah menghampiri untuk memayang bangun si gadis. Tapi gadis itu masih lemas sekali, dia bergelendot pada pundak gurunya.

Dikala itu terlihat Ko Tie sebetulnya hendak membantu guna memayang si gadis namun akhirnya dia membatalkan maksudnya karena dia teringat perbuatan itu telah kurang pantas.

Sedangkan saat itu Swat Tocu telah menoleh kepada Yo Kouw-nio, katanya: “Apakah bocah itu akan dibikin bercacad!” Sambil berkata dengan suara seperti itu Swat Tocu juga menunjuk kepada Auwyang Phu.

Cek Tian sambil menahan sakit, sebab dia terluka di dalam tidak ringan, berusaha memaksakan diri, menghampiri anaknya, kemudian membantu Auwyang Phu berdiri. Nenek tua itu kemudian mengawasi Swat Tocu penuh dendam.

“Swat Tocu, kali ini kami runtuh di tanganmu, tetapi kelak kami akan mencarimu, buat melakukan perhitungan yang pantas! Tidak ada keturunan Auwyang Hong yang mau menyudahi urusan hanya begitu saja.......!” Waktu berkata begitu muka Cek Tian tampak bengis sekali.

Swat Tocu tertawa dingin, katanya dengan suara tawar:

“Hemmm, engkau masih coba-coba berpikir kelak membalas dendam?” Setelah mengejek begitu Swat Tocu menoleh kepada Ko Tie, perintahnya: “Hajar dia!”

Ko Tie mengetahui bahwa kepandaian Cek Tian berada di atas kepandaiannya, namun dia melihat Cek Tian sekarang dalam keadaan terluka di dalam. Diapun memang tidak berani membantah perintah gurunya, segera melompat ke dekat Cek Tian di mana dia segera menghantam kepada Cek Tian.

Waktu itu ke dua tangan Cek Tian tengah dipergunakan buat memayang puteranya dan sekarang melihat Ko Tie menyerang ke arah belakang punggungnya dengan pukulan yang tidak ringan. Dia segera melepaskan cekalan tangan kanannya, dan menangkis.

“Dukkk!” Cek Tian bersama anaknya terhuyung, namun tidak sampai rubuh, Sedangkan Ko Tie merasakan tangannya kesemutan. Rupanya tangkisan nenek tua Cek Tian benar-benar sangat kuat sekali,

Ko Tie menyusuli pula dengan pukulan yang ke dua. Kali ini Ko Tie memukul lebih kuat lagi dari semula! Dia malu jika sampai tidak bisa memukul Cek Tian.

Padahal nenek tua itu terluka di tangan gurunya dan Ko Tie tidak berhasil memenuhi perintah gurunya. Itulah sebabnya dia memukul semakin kuat lebih-lebih ia teringat biruang saljunya telah dilukai oleh pemuda bertubuh pendek yang menjadi anak Cek Tian, kemarahannya meluap.

Auwyang Phu mengejek dengan menahan sakit: “Hemmmm, manusia apa kau yang hanya berani memukul terhadap orang yang terluka?!”

Diejek seperti itu mendadak sekali Ko Tie menahan meluncur tangannya.

Swat Tocu juga tersinggung oleh kata-kata itu, dia bilang: “Baik-baik sekarang jiwa kalian ibu dan anak kutitipkan pada batok kepala kalian? Tetapi nanti, aku yang akan mencari kalian, jika kalian telah berada dalam keadaan sehat dan tidak terluka, aku yang akan mencabut nyawa kalian......... Nah pergilah, jangan menunggu aku sampai berobah pikiran lagi…..!”

Mendengar perkataan Swat Tocu, tanpa berayal Cek Tian mengajak anaknya berlalu meninggalkan tempat tersebut, hanya matanya yang sekilas masih memandang penuh kebencian kepada Swat Tocu, Ko Tie, Yo Kouw-nio dan Giok Hoa.

Waktu Cek Tian tengah memayang anaknya, mendadak dia merasakan sambaran angin yang kuat sekali. Dia gusar bukan main, dia menduga Swat Tocu menarik pulang kata-katanya dan menyerangnya. Tetapi segera dia merasa nyeri, karena punggungnya kena dicengkeram benda tajam.

Waktu dia melirik, ternyata yang mencengkeram pundaknya adalah rajawali putih. Sengit sekali Cek Tian telah menghantam burung rajawali putih itu, namun burung tersebut telah terbang tinggi sekali, sehingga pukulan Cek Tian jatuh di tempat kosong.

Dengan menahan sakit, terpaksa Cek Tian menelan semuanya itu, yang dianggapnya, merupakan hinaan yang tidak akan terlupakan, dan dia bersumpah di dalam hatinya, kelak jika memang kesehatannya telah pulih, dia akan mencari Swat Tocu dan yang lainnya, guna melampiaskan sakit hatinya.

Setelah Cek Tian dan puteranya telah lenyap meninggalkan tempat tersebut, Swat Tocu menoleh kepada Thio Kim Beng, pengemis tua yang sejak tadi berdiri dengan berdiam diri saja.

“Pengemis busuk tua bangka, apakah engkau dari Kay-pang?” tegurnya dengan suara tawar sekali.

Thio Kim Beng seperti baru tersadar, dia tertawa menyeringai.

“Benar dan tentunya anda adalah Swat Tocu yang sangat terkenal itu! Waktu dalam pertemuan rapat besar Kay-pang, jika tidak salah Tocu ikut hadir.......”

“Tajam sekali ingatanmu!” kata Swat Tocu, tawar suaranya.

Sedangkan Thio Kim Beng telah menghampiri, merangkapkan tangannya memberi hormat: “Harap Tocu menerima hormatku!”

“Hemmm, tidak usah, jangan!” kata Swat Tocu sambil mengibaskan tangannya, dia menolak pemberian hormat pengemis itu. Kibasan tangan yang dilakukan Swat Tocu mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat, walaupun dia hanya mengibas perlahan saja.

Pengemis tua mengetahui, bahwa dia tengah dicoba sin-kang nya. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja dia tidak mau membiarkan dirinya dirubuhkan dengan mudah.

Diapun berpikir: “Hemmm, apakah engkau kira dengan terkenal sebagai tokoh sakti di kalangan Kang-ouw, engkau dapat bertindak sewenang-wenang di hadapanku?”

Diapun tetap membungkukkan tubuhnya, cuma saja dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menangkis.

“Bukkkk!” Dua kekuatan tenaga raksasa telah saling bentur. Tubuh Swat Tocu bergoyang-goyang, namun dia tidak tergeser dari tempatnya berada.

Tetapi pengemis itu, justeru dia merasakan dadanya sakit bukan main. Mati-matian dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia memang tidak mau sampai rubuh dan dipandang hina oleh Swat Tocu, walaupun dia merasa berat sekali menerima pukulan begitu berat dari Swat Tocu, namun dia bertahan. Akibatnya, ketika dia membuka mulutnya, dia memuntahkan darah segar dua kali!

Yo Kouw-nio berobah mukanya, dia segera menghampiri Swat Tocu.

“Swat Locianpwe, dapatkah Swat Locianpwe bermurah hati terhadap locianpwe ini? Kay-pang merupakan golongan kita juga…… Ayahku dengan ketua Kay-pang masih memiliki hubungan yang sangat baik sekali. Dengan memandang muka ayahku, sudilah kiranya locianpwe bermurah hati!”

Swat Tocu yang tengah uring-uringan, karena biruang saljunya telah dilukai orang dan juga melihat tempat di mana dia telah merasa cocok buat dipergunakan sebagai tempat mengasingkan diri, ternyata sudah didatangi orang dari berbagai golongan, yaitu Cek Tian bersama anaknya, juga sekarang pengemis tua Thio Kim Beng ini.

Karena dari itu Swat Tocu tidak mau tahu siapa adanya Thio Kim Beng, dia telah mengibas dengan kekuatan sin-kangnya. Coba jika memang Thio Kim Beng tidak berusaha mengadakan perlawanan tentu Swat Tocu akan menarik pulang tenaga dalamnya.

Justeru Thio Kim Beng telah membalas menangkisnya dengan kuat. Swat Tocu jadi mendongkol dan meneruskan tenaga kibasannya itu, yang akhirnya membuat Thio Kim Beng terluka di dalam. Dan memang begitulah tabiat ku-koay dari Swat Tocu.

“Baik, memandang muka terang ayahmu, aku sudi memaafkan anjing itu! Nah, pergilah kau cepat menggelinding dari depan mataku!” bentak Swat Tocu kepada Thio Kim Beng.

Pengemis ini meringis. Seumur hidupnya, belum pernah dia diperlakukan orang sedemikian rupa. Sakit sekali hatinya.

Namun diapun menyadari bahwa Swat Tocu seorang sakti dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dalam keadaan terluka seperti ini lebih-lebih tidak mungkin dia melawan. Maka dengan mata memancarkan penasaran dan sakit hati, dia telah memutar tubuhnya, dengan meringis dia bilang kepada Yo Kouw-nio:

“Yo Kouw-nio, terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku si pengemis tua Thio Kim Beng pasti tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu, juga tidak akan begitu mudah menghabisi suatu urusan penasaran begitu saja! Selamat tinggal!”

Setelah berkata begitu, dengan menahan sakit pada dadanya, dengan terseok-seok, pengemis tua yang telah kena getahnya dari kemarahan Swat Tocu, meninggalkan tempat tersebut.

Yo Kouw-nio menghela napas. Dia berusaha tertawa, katanya: “Swat Lociaapwe, mari kita pulang aku telah memasakkan beberapa macam hidangan, tentu kau akan doyan sekali…….”

Swat Tocu hanya menggerendeng saja, dia bangun berdiri dan mengikuti Yo Kouw-nio yang memayang Giok Hoa buat kembali ke rumahnya. Ko Tie bersama biruang salju mengikuti di belakang mereka.

Sedangkan burung rajawali putih terbang di tengah udara, sambil memekik beberapa kali ke dua sayapnya yang bulunya mengalami kerusakan, karena telah banyak yang rontok, telah dikibas-kibaskannya. Dan seringkali dia mengetuarkan pekik, pekik penasaran, sebab dia hanya bisa mencengkeram sekali saja pada pundak Cek Tian, tetapi Auwyang Phu tidak sempat dicengkeramnya, buat melampiaskan penasaran dan sakit hatinya karena telah dibikin babak belur oleh puteranya Auwyang Hong

Tiga hari lamanya Giok Hoa menerima perawatan dari gurunya, barulah kesehatannya berangsur-angsur pulih kembali. Memang waktu totokan pada tubuhnya dibuka, dia sudah bisa bicara dan bergerak, walaupun masih lemas dan tenaganya seperti telah lenyap.

Yo Kouw-nio mengetahui, jika Giok Hoa tidak memperoleh perawatan yang cermat darinya, niscaya akan menyebabkannya mengalami gangguan pada sin-kangnya, yang akan lenyap sebagian. Disebabkan itulah Yo Kouw-nio telah merawatnya selama tiga hari. Di saat itulah baru kesehatan Giok Hoa pulih keseluruhannya.

Pada hari ke tiga, di malam hari rembulan tergantung di langit terang sekali, Giok Hoa tengah melangkah perlahan-lahan. Dia berjalan di luar rumah, dan mengawasi puncak gunung yang menjulang tinggi sekali, di mana hawa pun agak dingin. Tetapi gadis ini yang wajahnya telah memerah sehat dan juga hanya mengenakan baju tipis belaka, sama sekali tidak merasa dingin.

Dikala itu, ia pun bernyanyi perlahan-lahan, bersenandung, dan lantas dia berpikir, alangkah girangnya jika saja gurunya mengijinkan dia berkelana turun gunung, di mana dia bisa melihat bermacam-macam keramaian.

Seperti pengalamannya yang dirubuhkan oleh Auwyang Phu, hal itu merupakan salah satu pendorong buat dia berpikir untuk berkelana. Karena itu membuktikan bahwa dia memang kurang pengalaman, pemuda cebol itu berhasil merubuhkannya dengan mudah.

Biarpun dia berlatih terus selama sepuluh tahun, tentu kemajuan yang dicapainya tidak akan sehebat itu. Pengalaman juga yang akan menempa dia.

Sedang si gadis termenung seperti itu, di dengarnya suara pekik burung rajawali putihnya, yang terdengar dari kejauhan. Entah apa yang tengah dilakukan burung rajawali putih itu, yang tentu tengah kesepian sendirian juga!

Giok Hoa menghela napas dalam-dalam, dia jadi bingung. Untuk menyampaikan isi hatinya kepada gurunya, diapun tidak bisa, tentu hatinya tidak akan tenang, karena dia berat meninggalkan gurunya.

Tetapi buat tinggal terus di tempat ini, ia tidak bisa. Ia membutuhkan pengalaman. Telah belasan tahun dia hidup selalu di tempat-tempat yang sunyi dan terpencil.

Dan sekarang, dia telah menyaksikan, betapa Auwyang Phu yang memiliki kepandaian tinggi, Cek Tian yang juga kepandaiannya begitu tinggi, di samping si pengemis tua, yang tentunya memiliki kepandaian tidak di bawah Cek Tian.

“Apa yang kau lamunkan, Hoa-moay?!” tiba-tiba di belakangnya ada yang menegur dengan suara yang halus.

Dia kenal benar suara itu. Pipinya segera berobah menjadi merah, dia tidak menoleh, cuma menundukkan kepalanya.

“Engkaukah, Ko Tie Koko?!” tanyanya dengan suara yang perlahan.

“Ya……!” menyahuti Ko Tie, yang memang mendatangi si gadis.

Secara kebetulan Ko Tie waktu itu sulit buat tidur, dan diapun ingin sekali menikmati malam di puncak punung Heng-san. Setiap hari, pikirannya selalu tergoda oleh bayang- bayang si gadis.

Terlebih lagi tiga hari belakangan ini, membuat dia selalu gelisah.

Dari gurunya dia belum memperoleh kepastian, apakah gurunya akan memutuskan menetap di puncak Heng-san atau memang akan menolaknya pilihan Ko Tie kali ini dan mencari tempat lain? Karena dari itu, Ko Tie jadi tidak tenang.

Jika memang gurunya merasa tidak cocok dengan puncak Heng-san, niscaya ia akan diajak gurunya buat pergi meninggalkan Heng-san dan jelas itupun berarti dia akan berpisah dengan Giok Hoa, gadis yang cantik manis yang telah menusuk kalbunya dengan lirikannya, senyumnya dan parasnya yang begitu menawan.

Kegelisahan seperti itu membuat, Ko Tie jadi tidak tenang, dan dia seakan juga hendak mendesak gurunya agar cepat-cepat memberikan keputusannya, agar dia tidak tersiksa seperti itu. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan.

Karena MENUNGGU merupakan pekerjaan yang terlalu menyiksa, walaupun BERAPA lama atau cepatnya menunggu tetap saja merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan dan terlalu menyiksa menggelisahkan sekali.

Malam itu, karena tidak dapat tidur lagi, Ko Tie telah keluar dari kamarnya. Waktu dia tiba di luar, justeru dia melihat Giok Hoa yang tengah melangkah perlahan-lahan keluar dari rumah tersebut juga.

Gadis itu tampaknya tengah melamun, sehingga dia tidak mengetahui bahwa Ko Tie tengah mengikutinya. Ko Tie sebetulnya hendak memanggilnya, namun melihat sikap dan wajah Giok Hoa yang luar biasa, menyebabkan dia hanya mengikuti saja.

Setelah sampai di luar, di tempat yang cukup jauh terpisah dari rumah Yo Kouw-nio, Ko Tie melihat gadis tersebut melamun tertegun di tempatnya. Malah kemudian menghela napas dalam-dalam, seperti juga Giok Hoa tengah tertekan perasaannya oleh sesuatu yang menyusahkan hatinya.

Dilihatnya wajah Giok Hoa yang begitu cantik manis dan menawan sekali, di bawah sinar rembulan, sehingga Ko Tie tidak bisa menahan perasaannya lagi, dan diapun tidak ingin melihat gadis pujaan hatinya bersusah hati, dia menegurnya.

“Kau tengah bersusah hati, adikku?!” tanya Ko Tie setelah berdiri di dekat si gadis.

Giok Hoa tetap menunduk, dia amat malu karena sajak tadi dia tidak tahu Ko Tie berada di dekatnya.

“Ko Tie Koko, mengapa engkau mengikuti aku? Kau memata-matai aku heh?” tanya Giok Hoa kemudian, dengan suara yang perlahan dan kepalanya tetap menunduk.

Ko Tie jadi tergagap ditanya seperti itu, segera dia bilang:

“Adikku, kau jangan memiliki dugaan jelek seperti itu kepadaku. Karena aku sama sekali bukan bermaksud mengikutimu, aku hanya kebetulan saja tidak dapat tidur. Hatiku juga tengah gelisah, maka aku keluar dalam kamarku dengan maksud untuk menenangkan perasaanku, menghirup udara malam.

“Siapa tahu aku melihat engkaupun berada di luar rumah. Aku ingin segera menegurmu, tetapi aku kuatir mengganggu ketenanganmu!

“Dan tadi aku melihat engkau begitu bersusah hati, sehingga aku ingin sekali mengetahui, kesusahan apakah yang tengah engkau alami. Siapa tahu aku bisa membantumu, jika engkau bersedia menceritakan kepadaku?”

Giok Hoa tidak segera menyahuti, dia menghela napas lagi dalam-dalam, baru kemudian bilangnya dengan suara yang agak lirih:

“Ko Tie Koko.......!”

Dan gadis itu mengangkat kepalanya perlahan-lahan, dia memandang Ko Tie beberapa saat lamanya. Ko Tie membalas tatapan matanya, mata mereka saling pandang, diakhiri Giok Hoa yang menunduk lagi.

“Adikku, apa yang hendak kau katakan, katakanlah! Aku akan menjadi pendengar yang sangat baik!” kata Ko Tie dengan sikap ingin mengetahui.

Bola mata Giok Hoa yang jeli dan indah itu terang seperti cermin atau permukaan air danau berkilat-kilat menatap kepada Ko Tie. Sampai akhirnya dia bilang:

“Ko Tie Koko tadi engkau mengatakan bahwa engkau juga tengah resah dan tidak tenang. Sesungguhnya apakah yang membuat engkau tidak tenang? Kau ceritakanlah dulu kegelisahanmu, nanti aku akan memberitahukan kegelisahanku!”

Ko Tie tertegun sejenak, pipinya segera berobah merah dan dia jadi salah tingkah.

“Ini…… ini........!” katanya tergagap.

Giok Hoa mengawasi heran padanya.

“Ko Tie Koko…… katakanlah..... apakah engkau keberatan buat menceritakan kepadaku kesusahan hatimu?!” tanya Giok Hoa.

Ko Tie semakin merah pipinya, yang terasa panas seperti terbakar.

“Adikku..... ini….. ini……!” katanya dengan suara tergagap.

“Baiklah Ko Tie Koko, rupanya engkau memang tidak menganggap aku sebagai orang yang dekat denganmu, sehingga kesusahan hatimu itu kau keberatan buat menceritakannya kepadaku, guna bertukar pikiran! Maafkanlah atas pertanyaanku tadi yang begitu lancang ingin mengetahui urusanmu……!” Setelah berkata begitu Giok Hoa menghela napas dalam-dalam.

Ko Tie jadi gugup dan segera dia berkata, “Adikku, kau jangan salah mengerti, dengarlah dulu, aku akan menceritakannya persoalanku itu……!”

Tapi Giok Hoa telah menggeleng perlahan sambil tersenyum, dia bilang: “Sudahlah Ko Tie Koko, akupun tidak akan memaksa memberitahukan persoalanmu itu kepadaku! Baiklah hari telah terlalu malam, aku ingin masuk tidur!”

Dan sambil berkata begitu, si gadis tersenyum, manis sekali, sambil melirik kepada Ko Tie dia juga memutar tubuhnya untuk kembali ke rumah Yo Kouw-nio.

Ko Tie bertambah gugup, dan karena kuatir gadis itu benar-benar meninggalkannya dia sampai melupakan adat istiadat antara seorang pria dengan seorang gadis, dia mengulurkan tangannya, mencekal lengan si gadis.

“Tunggu dulu adikku......... dengarlah dulu, aku akan menjelaskannya kepadamu!” kata Ko Tie tergopoh-gopoh.

Giok Hoa jadi berobah merah mukanya, dia menunduk malu dan pipinya itu terasa panas sekali. Ia menarik lengannya yang dipegang si pemuda.

Ko Tie tambah gugup.

“Maaf......... maafkan, aku bukan maksud berbuat kurang ajar.......!” katanya tergagap.

Si gadis tersenyum.

“Jika memang kau bersedia menjelaskan persoalanmu itu, katakanlah, Ko Tie Koko……” kata Giok Hoa kemudian, lembut sekali suaranya.

Melihat si gadis tidak marah, malah senyumnya begitu manis menggetarkan hatinya, hati Ko Tie terhibur juga, dia masih bilang: “Adikku, maafkanlah…… atas kekurang ajaranku tadi, tapi aku sungguh-sungguh memang tidak sengaja.”

“Sudahlah Ko Tie Koko..... bukankah engkau berjanji akan memberitahukan kesulitanmu itu ?!” kata Giok Hoa.

“Oya, benar!” kata Ko Tie, sedangkan di hatinya dia mengutuk dirinya, mengapa dia jadi gugup, sikapnya jadi seperti seorang pemuda yang dungu saja.

Dan dia menyesali dirinya, mengapa menghadapi Giok Hoa dia jadi bingung seperti itu. Sedangkan jika berada dalam suatu pertempuran, biarpun menghadapi lawan yang bagaimana tangguh, dia tidak pernah menjadi gugup.

Dikala itu, Giok Hoa yang melihat pemuda itu masih saja gugup, telah berkata: “Ko Tie Koko, mengapa masih belum menjelaskan persoalanmu itu? Apakah memang engkau keberatan buat menjelaskannya?”

Ko Tie jadi tambah gelagapan dibuatnya.

“Ya, ya, aku akan segera memberitahukannya,” katanya. “Sesungguhnya….. sesungguhnya aku tengah memikirkan, apakah guruku merasa cccok atau tidak buat berdiam di puncak Heng-san ini!”

Akhirnya Ko Tie berhasil juga menjelaskannya. “Karena selama tiga hari ini guruku tidak pernah memberitahukan kepadaku, apakah ia merasa cocok atau tidak dengan tempat ini!”

“Mengapa engkau tidak menanyakan saja langsung kepada gurumu itu?” tanya Giok Hoa sambil tersenyum manis sekali.

Ko Tie tidak segera menyahuti, dia memandang si gadis dengan sepasang mata terbuka lebar-lebar.

Si gadis juga telah balas memandangnya. Jeli sekali matanya yang bening bersinar itu, dan juga senyumnya yang begitu manis. Walaupun mulut mereka masing-masing tidak mengucapkan kata-kata, namun sinar mata mereka bicara lebih banyak dari seribu atau sejuta kata......!

Akhirnya Ko Tie menunduk.

“Aku...... adikku, aku tidak memiliki keberanian buat menanyakan kepada suhu!”

“Mengapa begitu?!” tanya Giok Hoa.

Kembali Ko Tie mengangkat kepalanya memandang si gadis, lalu dengan suara perlahan dia bilang: “Aku…… kuatir suhu marah.”

“Mengapa suhumu itu akan marah? Bukankah gurumu yang telah perintahkan engkau agar mencari tempat yang cocok buat dia hidup mengasingkan diri di saat menjelang hari tuanya! Dan sekarang engkau telah menunjukkan puncak gunung Heng-san ini. Maka mengapa engkau takut disesali? Bukankah engkau ingin mengetahui gurumu itu merasa cocok atau tidak dengan tempat ini?!”

“Benar, memang seharusnya begitu……!” kata Ko Tie tambah bimbang. Sulit sekali buat dia menjelaskan persoalan yang sebenarnya

“Lalu mengapa engkau tidak menanyakannya kepada gurumu, jika engkau sendiri telah mengetahui memang begitu seharusnya?”

Ko Tie berobah mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, dia juga merasakan telapak tangannya dingin sekali, berkeringat. Benar-benar dia menyesali dan mengutuki dirinya yang tidak berani segera menjelaskan terus terang kepada si gadis urusan yang sesungguhnya.

Dia jadi begitu gugup dan pengecut. Dan biarpun hatinya memaki kalang kabutan: “Ko Tie! Ko Tie! Mengapa engkau seperti pemuda dungu? Katakan saja dengan tenang dan terang, apa sebenarnya urusan?!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar