1
WAJAH tua berpakaian serba
hijau itu terbaring dengan lemas. Warna wajah yang pucat menandakan bahwa tokoh
tua berambut putih sepundak itu sedang
menderita sakit. Jubah kuningnya sengaja dilepas dan digantungkan pada sebatang
pilar batu dalam gua tersebut. Tokoh tua yang biasanya mengenakan ikat kepala
hitam dengan kumis dan jenggot putih rata dan membawa tongkat hitam sedada itu
tak lain adalah Ki Sabawana, yang dikenal dengan nama si Gila Tuak.
"Gila Tuak sakit?! Ah,
yang benar saja kau bicara?! Masa' tokoh tertinggi di dunia persilatan itu bisa
sakit?!"
"Buktinya saudara
seperguruannya yang dikenal dengan nama Bidadari Jalang itu sedang kebingungan
mencari murid si Gila Tuak."
"Murid si Gila Tuak itu
kan yang dikenal dengan nama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk?!"
"Iya. Memang benar. Tapi
sampai sekarang si Pendekar Mabuk belum tahu kalau gurunya sedang sakit
parah."
"Apa penyebab sakitnya si
Gila Tuak itu." "Mana kutahu?! Aku bukan tabib!"
"Maksudku, siapa tahu kau
mendengar kabar tentang penyebab sakitnya si Gila Tuak."
"Menurut ucapan Bidadari
Jalang yang kudengar secara sembunyi-sembunyi, Gila Tuak sakit kare na
kebanyakan umur."
"Husy! Mana ada orang
sakit kok kebanyakan umur?!"
"Lho, iya... bayangkan
saja, usianya sekarang sudah mencapai dua ratus lima belas tahun, tapi masih
awet hidup dan sering mengadakan pertemuan dengan para tokoh silat aliran putih
membahas ini-itu yang seharusnya tidak dipikirkan olehnya. Mungkin akibat boros
pikiran, maka kesehatannya yang sudah tua itu makin merapuh dan jatuh sakitlah
dia. "
Tak heran jika sakitnya Gila
Tuak menjadi bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan. Sebab guru utama
sang Pendekar Mabuk itu adalah tokoh tertinggi di rimba persilatan yang dulu
pernah melalang buana dan mencapai masa kejayaannya sebagai tokoh sakti tak
terkalahkan. Namanya tercantum dalam deretan teratas para tokoh sakti aliran
putih. Setelah itu baru menyusul nama saudara seperguruannya yang bernama
Nawang Tresni.
Dulu perempuan cantik bermata
jalang yang punya ilmu awet muda itu dikenal sebagai tokoh aliran hitam dengan
nama Bidadari Jalang. Namun sejak ia ikut mengangkat Suto Sinting sebagai
muridnya, ia berubah sikap dan kini masuk dalam aliran putih, sejalan dengan
saudara seperguruannya; si Gila Tuak itu.
Tidak semua orang tahu secara
pasti, apa penyebab sakitnya si Gila Tuak itu. Yang jelas, sudah dua purnama
Gila Tuak tak dapat bangun dari pembaringannya. Bahkan ia tak dapat bicara
selancar biasanya. Sesekali ia memang bicara kepada Bidadari Jalang, tetapi
dengan suara cadel dan lemah sekali. Bahkan pandangan matanya menjadi rabun,
tak bisa memandang dengan jelas. "Ssi... siafa entu...?" Gila Tuak
mencoba bicara saat pandangan matanya yang buram menangkap bayang-bayang sosok
manusia mendekatinya.
"Siia... siafa
entu...?" ulangnya lagi, karena tak mendapat jawaban.
"Aku...!"
"Siafa...?"
"Bidadari Jalang!" "Oooh... anu ya?"
Bidadari Jalang menjadi iba,
hampir menitikkan air mata melihat Gila Tuak yang dulu dianggap musuh dan sekarang
sudah dianggap kakak kandung sendiri menderita sakit separah itu. Tetapi
agaknya perempuan berjubah ungu muda yang masih punya tubuh semok dan dada
montok menggiurkan tiap lelaki itu tak mau mudah menitikkan air mata. Sekalipun
hatinya teriris pilu melihat keadaan Gila Tuak, ternyata Bidadari Jalang masih
bisa mengendalikan gejolak dukanya dengan satu tarikan napas panjang sehingga
tetap tenang.
"Uto ana...? Uto ana,
Awang?"
Maksudnya, "Suto mana?
Suto maha, Nawang?!" Bidadari Jalang paham maksud bahasa cadel si
Gila Tuak itu. la segera
menjawab dengan mengusap kepala si Gila Tuak untuk menyingkirkan rambut putih
dari keningnya.
"Aku belum bisa bertemu
dengan Suto, Sabawana."
"Ooh, ooh... dasal mulit
songong...!" Ki Sabawana menggerutu di sela engahan napasnya yang
memberat. "Kalo dia atang, pukul saza kepalanya, biar bocol!"
"Sabarlah, Sabawana....
Murid kita memang tak tahu kalau keadaanmu begini. Tapi sudah kusebar kabar
kepada para sahabat kita tentang sakitmu, dan Resi Pakar Pantun serta beberapa
sahabat kita lainnya sedang mencari di mana Suto Sinting berada. Mereka akan
memberi kabar dan menyuruh Suto pulang ke Jurang Lindu ini secepatnya."
"Uuh, uuh, uuuh...
usahakan cemat-cemat Uto datang..."
"Siapa yang menjadi
camat?"
"Cemat...! Oblok amu!
Cemat itu altinya cefat!" "Ooo, usahakan agar Suto cepat
datang?!"
"Iya, gitu.
Oblok...!" maki si Gila Tuak. Wibawanya sudah hilang, kharismanya pun
lenyap. Penyakit itu seakan melenyapkan jati diri si Gila Tuak yang biasanya
tampil gagah, wibawa dan berkharisma sekali itu.
Bidadari Jalang memaklumi
keadaan tersebut, sehingga ia tak merasa tersinggung dikatakan 'goblok' dan tak
mengecam sikap seperti anak kecil yang ada pada Ki Sabawana. Bidadari Jalang
cukup sabar melayani si Gila Tuak, karena tak ada orang lain yang bisa melayani
dan merawat si Gila Tuak kecuali dirinya.
Betapapun dulu Bidadari Jalang
merasa bersaing dengan Gila Tuak, namun sekarang ia merasa sedih jika harus
kehilangan Gila Tuak. Memang, mereka sebenarnya mempunyai guru masing-masing.
Gila Tuak mempunyai guru yang bernama Eyang Purbapati, dan Bidadari Jalang
mempunyai guru Nini Galih. Tetapi antara Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih
menjalin hubungan cinta hingga mereka hidup sebagai suami istri.
Sedangkan Eyang Purbapati dan
Eyang Nini Galih itu mempunyai satu guru yang bernama Eyang Wijayasura, tokoh
sakti yang menjelma menjadi pohon bambu dan bambu itu sekarang menjadi bumbung
tuaknya Suto Sinting. Ada pun Eyang Wijayasura adalah cucu dari tokoh kuno yang
kesohor sangat sakti dan dikenal dengan nama Eyang Agung Cipta Mangkurat, dan
sekarang menjelma menjadi sebuah pedang pusaka bernama Pedang Kayu Petir, (Baca
silsilah guru Suto Sinting dalam serial Pendekar Mabuk, episode: "Pedang
Guntur Biru" dan "Pedang Kayu Petir").
Eyang Agung Cipta Mangkurat
menurunkan seluruh ilmunya kepada sang cucu, Wijayasura. Sedangkan Wijayasura
menurunkan seluruh ilmunya kepada kedua muridnya, yaitu Purbapati dan Nini
Galih. Suami-istri ini sebenarnya mempunyai tiga anak: Durgawati, Begawan Sangga
Mega dan Raja Nujum. Tetapi ternyata dari ketiga anak itu tak ada yang kuat
menerima seluruh ilmu Purbapati dan Nini Galih, sebab ilmu itu sudah berkembang
menjadi lebih dahsyat lagi. Akhirnya, Purbapati punya murid Ki Sabawana alias
Gila Tuak, yang kuat menerima seluruh ilmu warisan Purbapati. Sedangkan Nini
Galih mempunyai murid Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, yang ternyata kuat
juga menerima seluruh ilmu Nini Galih itu.
Kini seluruh ilmu yang ada
pada Gila Tuak dan Bidadari Jalang diturunkan kepada pemuda tanpa pusar yang
punya wajah ganteng dan menawan hati setiap wanita, yaitu Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk. Ternyata Suto Sinting mampu menerima dua warisan ilmu yang
sudah dikembangkan sebegitu dahsyatnya. Kekuatan Suto menerima seluruh ilmu itu
dikarenakan ia terlahir tanpa pusar.
Manusia tanpa pusar
ditakdirkan mempunyai kekuatan yang luar biasa dibanding manusia yang punya
pusar. Kesempatan menurunkan seluruh ilmunya itu sangat sulit didapatkan oleh
Gila Tuak maupun Bidadari Jalang. Hanya bocah tanpa pusar yang sanggup menerima
kedahsyatan ilmu mereka. Lalu, mereka pun berebut bocah tanpa pusar ketika
mereka menemukan Suto Sinting ketika diketahui bahwa perut Suto ternyata datar
tanpa lubang pusar sedikit pun. Akhirnya mereka sepakat untuk sama- sama
menurunkan ilmu mereka kepada Suto, dan saat itulah Bidadari Jalang masuk dalam
aliran putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalami episode: "Bocah Tanpa
Pusar").
Suto Sinting menganggap Gila
Tuak bukan saja sebagai guru, dan Bidadari Jalang bukan saja sebagai Bibi Guru,
tetapi kedua tokoh sakti itu sudah dianggap sebagai ayah dan ibunya sendiri.
Sebab sejak berusia sekitar tujuh tahun, Suto Sinting sudah tidak mempunyai
ayah-ibu dan keluarga lain. Seluruh keluarganya dibantai habis oleh si Kombang
Hitam, tokoh sesat yang menjadi Ketua Begal Cinta. Di tangan si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang, Suto dirawat dan diasuh, lalu dibesarkan menjadi seorang
pemuda yang mempunyai kesaktian gila-gilaan. Karena ilmunya yang gila-gilaan
itulah, maka nama asli Suto Wijaya, diganti dengan nama Suto Sinting. Yang
sinting bukan orangnya, tapi ilmunya.
Kabar sakitnya Gila Tuak
diterima Suto Sinting dari seorang tokoh tua aliran putih yang dikenal dengan
nama Ki Sanupati, atau lebih dikenal dengan julukan si Tua Bangka.
Waktu itu, Tua Bangka sedang
berkunjung ke rumah adiknya yang bernama si Kusir Hantu. Pondok kediaman Kusir
Hantu ada di Lembah Seram. Kala itu, Suto Sinting sedang berada di semak-semak
bersama gadis yang telah diselamatkan dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis itu.
Andai saja saat itu Suto gagal
merebut Bunga Kecubung Dadar, tentunya gadis cantik yang bernama Tenda Biru itu
tetap menjadi gadis tanpa raga. la hanya akan mempunyai suara tanpa dapat
dinikmati kecantikannya. Karenanya, gadis cantik berambut pendek depan dan
belakangnya panjang sepinggang sangat berterima kasih kepada Pendekar Mabuk.
"Seandainya aku tak
bertemu denganmu, barangkali sampai sekarang aku masih seperti hantu yang
bergentayangan," ujar Tenda Biru yang mengenakan jubah tanpa lengan warna
biru itu.
"Seandainya kau hantu,
kau adalah hantu yang paling cantik di antara para hantu dan setan
gentayangan," puji Pendekar Mabuk membuat si gadis berdada montok itu
mencibir.
"Hmm...! Rupanya kau
bukan saja berilmu tinggi namun juga pandai merayu wanita, Bocah Sinting."
"Aku tidak merayu, Tenda
Biru. Dengan setulus hati kukatakan, kau memang cantik. Matamu membelalak
indah, bibirmu ranum menggemaskan, hidungmu mancung, dadamu juga mancung.
"
"Ih, kau ini!" Tenda
Biru tersipu, ia menyenggol lengan Suto dengan pundaknya. Pendekar Mabuk
tertawa lirih, lalu merangkul si gadis dari samping kiri. Saat itu mereka masih
duduk di bawah pohon bersemak rapat, menikmati cahaya rembulan yang menyinari
ke bumi bagai menaburkan suasana romantis.
"Dingin sekali malam
ini," ucap Tenda Biru pelan. "Kau dingin juga?"
"Ya. Tapi sekarang agak
hangat." "Kenapa bisa begitu?" "Karena tubuhku rapat dengan
tubuhmu," sambil Suto mempererat pelukannya.
"Ya, memang agak hangat.
Sayang kehangatan ini tak bisa kumiliki selamanya. Aku punya firasat, bahwa
keindahan seperti saat ini akan pergi dariku, cepat atau lambat."
"Mengapa kau tak menikah
saja, Tenda Biru. Kau akan memiliki kehangatan dan keindahan seperti ini jika
kau menikah."
"Belum ada lelaki yang
mampu meluluhkan kekerasan hatiku, menyinari di bumi bagai menaburkan suasana
romantis kecuali kau, Bocah Sinting. Pendekar mana pun tak pernah ada yang
mampu membuatku sebahagia ini. Seandainya ada, mungkin sudah sejak dulu aku
menjadi seorang istri."
"Kau harus berusaha
melunakkan hatimu sendiri agar tidak menjadi kendala dalam perjalanan cintamu
mendatang."
"Tidak bisa, Bocah
Sinting. Pria yang kuidam- idamkan adalah pria sepertimu. Sedangkan di dunia
ini, pria yang sepertimu tidak ada kecuali kau seorang, Bocah Sinting,"
ucap Tenda Biru lirih, sambil matanya memandangi wajah tampan Suto hingga
hembusan napasnya dari hidung terasa menghangat di sekujur wajah pemuda itu.
Akhirnya pemuda itu pun
memandang Tenda Biru dengan lembut. Tutur katanya pun bernada bisik, seakan
terlontar dari getaran hatinya yang berbunga- bunga.
"Kau akan menjadi seorang
istri yang membuat suami betah tinggal di rumah, Tenda Biru."
"Kenapa begitu?"
"Kau tidak membosankan.
Kecantikanmu selalu segar dan membangkitkan gairah hidup." "Yang mana
yang hidup?" pancing Tenda Biru dalam candanya. la tersenyum nakal.
"Apakah sekarang pun ada sesuatu yang hidup dalam dirimu, Bocah
Sinting?"
"Entahlah, aku tak
memeriksanya."
"Bagaimana jika aku yang
memeriksanya?" sambil tangan gadis itu mulai merayap nakal. Pendekar Mabuk
sengaja membiarkan, sampai akhirnya gadis itu menemukan apa yang dicari dalam
debar-debar hatinya.
"Oh, benar apa katamu,
Bocah Sinting. Hangat sekali."
"Apanya yang
hangat?"
"Genggaman tanganmu di
pundakku."
"Ada yang lebih hangat
lagi, apakah kau mau?" "Berikanlah, Bocah Sinting. Berikan yang lebih
hangat lagi," suara Tenda
Biru mulai mendesah dengan tangan meremas sesuatu yang mendebarkan hati itu.
Suto pun memberikan yang lebih
hangat. la mendekatkan bibirnya ke bibir Tenda Biru, kemudian bibir itu dikecup
pelan-pelan. Bibir itu dipagut dengan gerakan sangat pelan, dan ditarik lepas
dengan gerakan lebih pelan lagi. Hati Tenda Biru berdesir. Rohnya bagai
melayang sampai ke ubun-ubun dan kembali lagi dalam kelegaan yang dalam.
Mereka saling tatap kembali.
Suto tersenyum lembut, tapi mata Tenda Biru mulai sayu. Bibirnya yang ranum
masih merekah, dan akhirnya ia berkata dalam bisikan.
"Lagi, Bocah Sinting....
Aku suka kecupan bibirmu. "
Maka pendekar tampan itu pun
memagut bibir ranum itu dengan pagutan sangat pelan. Kali ini pagutan itu
dilakukan berulang-ulang, sehingga gairah Tenda Biru semakin terbakar.
Akibatnya bibir si gadis melawan, memberikan reaksi balasan. Maka habislah
bibir Suto Sinting dilumatnya. Tangan kiri Tenda Biru pun semakin meremas,
tangan kanannya menelusup di balik baju Suto, merayapi dada hingga menelusup ke
punggung, mencipta kehangatan yang semakin menggelora.
Kecupan Suto sempat lepas dari
bibir Tenda Biru, namun kini kecupan itu merayap hingga ke leher si gadis.
Pagutan-pagutan hangat menyerang seluruh leher Tenda Biru, sehingga kenikmatan
yang hadir membuat Tenda Biru mengerang bersama desah napas yang memburu.
"Oouh, Bocah Sinting...
teruskan ke bawah.
Teruskan ke bawah, Bocah
Sinting. Uuuh. "
Kecupan itu pun merayap sampai
ke bawah leher. Tenda Biru menarik penutup dadanya hingga dada itu menjadi
bebas tanpa hambatan. Kecupan Suto akhirnya memasuki jalur bebas hambatan,
membuat Tenda Biru memekik ditikam kenikmatan sambil kedua tangannya yang sudah
berpindah ke punggung Suto meremas kuat bagai menahan sebentuk keindahan yang
ingin meledak.
"Oohh... nikmat
sekali, Bocah Sinting!
Aoow. !
Tanganmu nakal, Bocah
Sinting... tapi... ooh, tapi teruskan kenakalan tanganmu itu. Ooh. ambillah ini,
ambil... oh, yaah... yaah.
"
Tenda Biru semakin melebar,
memberi kesempatan untuk tangan Suto agar semakin nakal dan semakin leluasa
dalam kelincahannya. Tenda Biru kini berlutut supaya tangan Suto mudah mencapai
sasaran keindahannya. Pinggul pun mulai meliuk-liuk mengikuti irama kemesraan
yang ada di antara jemari Suto. Sementara itu, mulut Suto masih berkeliaran di
jalur bebas hambatan itu, memagut- magut dengan kehangatan yang membuat jiwa
Tenda Biru bagai terbang ke langit-langit ketujuh.
Kemesraan itu tiba-tiba harus
berhenti dan mereka sembunyikan diri sesaat. Karena mendadak mereka mendengar
suara Panji Klobot yang memanggil dari kejauhan.
"Tenda Biru..! Sutoo...!
Di mana kalian?! Hoii... Tenda Biru, Suto Sinting...! Menjawablah kalian
sekalipun kalian sibuk! Di mana kalian, sahabatku?!"
"Sial! Panji Klobot
menuju kemari!" bisik Tenda Biru dengan nada dongkol sambil merapikan
pakaiannya.
"Cepat bersikaplah
wajar-wajar saja!" "Iya, tapi tanganmu lepaskan dulu!"
"Ooh... maaf, aku sampai
lupa melepaskannya..." "Hi, hi. hi. hi...!" Tenda Biru tertawa
geli melihat
kegugupan Suto sampai lupa
menarik tangannya.
Ketika Panji Klobot menemukan
mereka berdua keadaan mereka sudah lain. Mereka sama-sama duduk bersila,
berhadapan, pejamkan mata, persis orang sedang semadi. Panji Klobot tak berani
berseru lagi ketika melihat mereka begitu.
"Ooh... kalian sedang
lakukan semadi? Aduh, maaf... aku tak mengerti." Panji Klobot mundur dua
langkah dengan rasa takut kena marah.
Pendekar Mabuk berlagak hembuskan
napas, lalu membuka mata, demikian pula dengan Tenda Biru. Mereka sama-sama
memandang Panji Klobot.
"Ada apa, Panji?"
tanya Suto sambil berdiri. Panji Klobot agak gugup karena takut kena marah.
"Maaf, aku tak tahu kalau
kalian sedang lakukan semadi. Sumpah mampus tujuh kali, aku tak sengaja
mengganggu semadi kalian."
"Tak apa. Semadi kami
sudah selesai."
"Hmmm.... Pestanya akan
dimulai, tapi mereka menunggu kalian!"
"Baik, kami akan ke
sana!" Mereka pun bergegas ke pondok untuk merayakan pesta kemenangan.
Dalam pesta kemenangan yang
dimeriahkan dengan puluhan jagung bakar itu, hadir pula si Kapas Mayat dan
cucunya; Kelambu Petang.
Kehadiran si Tua Bangka
membuat Suto Sinting terkejut dan menjadi tegang setelah mendengar kabar
sakitnya sang Guru. Tanpa menunggu pesta kemenangan itu berakhir, Pendekar
Mabuk segera mohon pamit kepada para tokoh tua dan para gadis cucu-cucu mereka
itu.
"Sebaiknya kau berangkat
besok pagi saja, Suto. Malam ini beristirahatlah dulu di sini," ujar
Pematang Hati, cucu dari si Kusir Hantu.
"Aku tidak bisa pejamkan
mata jika mendengar Guru sedang sakit," kata Suto Sinting. "Bagiku
tak ada waktu yang tak bisa ditangguhkan jika kudengar Guru sedang sakit,
sekarang juga aku harus berangkat ke Jurang Lindu."
Tenda Biru segera menimpali,
"Kalau begitu kita berangkat berdua sekarang juga, Suto. Aku sudah
siap!"
"Tidak, Tenda Biru! Aku
tak ingin merepotkan dirimu. Tetaplah tinggal di sini bersama Kusir Hantu,
Pematang Hati, Mahligai Sukma serta Panji Klobot."
"Tapi aku sudah berjanji
ingin mengabdi padamu karena kau sudah berhasil pulihkan keadaanku, Suto."
Tenda Biru agak ngotot.
"Kau punya janji dengan
mengajarkan sejurus dua jurus ilmu kepada Panji Klobot. Penuhi dulu janjimu
kepada Panji Klobot, setelah itu jadilah abdiku sesuai keinginanmu!"
Tenda Biru tak bisa memaksa
diri. Walau ia merasa masih berhutang budi kepada Suto atas keberhasilan Suto
membebaskan dirinya dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis itu, tetapi Tenda Biru
kali ini terpaksa harus menangguhkan balas jasanya untuk sementara waktu.
la harus bisa menganggap
dirinya tak pernah dibebaskan dari kutukan ilmu hitamnya Nyai Ronggeng Iblis,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Zlaap...! Dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu, Pendekar
Mabuk akhirnya tinggalkan Lembah Seram dan segera menuju ke Jurang Lindu,
tempat kediaman Gila Tuak dalam mengasingkan diri dari kancah dunia persilatan
itu. Gelap malam ditembusnya, hutan lebat diterjangnya, gerakan yang begitu
cepat seakan mampu menembus gunung batu dan menyeberangi jurang selebar dan
sedalam apa pun. Gerakan cepat itu menunjukkan bahwa Suto Sinting sangat
mencemaskan keselamatan jiwa sang Guru yang sedang sakit.
Tiba di Jurang Lindu, ternyata
hari sudah menjadi pagi, matahari sudah menggeliat bangkit dari peraduannya.
Tetapi dalam diri Suto tak ada rasa kantuk dan lelah sedikit pun. Pusat
perhatian dan kecemasannya tertuju pada sakitnya sang Guru, sehingga Suto
Sinting langsung saja menerabas curahan air terjun yang masih membawa uap
dingin bagai gunung es yang mencair.
Zrraab...! Curahan air terjun
itu ditembus dengan cepat, dan di balik curahan air terjun berngarai cukup
tinggi itulah terdapat gua yang digunakan sebagai tempat kediaman si Gila Tuak
dalam pengasingannya.
"Ke mana saja kau?!"
"Bibi Guru...," Suto
segera memberi hormat kepada Bidadari Jalang. Setelah itu ia melepas bumbung
tuaknya yang ada di punggung.
"Susah payah aku
mencarimu, tapi tak pernah kudengar kabarmu."
"Bibi Guru, aku baru saja
menolong melepaskan kutukan yang menimpa diri seorang gadis, murid sahabat Guru
sendiri..."
"Kau tolong orang lain
tapi kau biarkan kakek gurumu terkapar tanpa daya begitu. Apakah itu murid yang
baik dan berbudi luhur?!"
"Maaf, Bibi
Guru...." Suto Sinting agak takut dimarahi Bidadari Jalang, bahkan
memandang wajah Bidadari Jalang pun tak berani. la menunduk, bermainkan tali
bumbung tuaknya.
"Kakek Guru dalam keadaan
koma." "Apa artinya koma, Bibi Guru?"
"Nyawanya cekak!"
jawab Bidadari Jalang tanpa senyum, tegas dan berkharisma tinggi. "Beliau
menderita sakit sudah lama. Kau selalu ditanyakan, dan aku selalu gagal
mencarimu."
Pendekar Mabuk segera
mengangkat wajah, memandang ke arah pembaringan. Di sana tampak si Gila Tuak
dalam keadaan berbaring berselimut tebal dari kulit binatang. Wajahnya tampak
cekung dan pucat pasi.
"Kakek...?!" Suto
Sinting bergegas hampiri pembaringan itu. la segera berlutut dan mencium kaki
si Gila Tuak.
"Kakek Guru, ampunilah
aku. Aku tidak tahu kalau kau sakit, Kakek Guru. Kalau aku tahu, tak mungkin
aku mengutamakan keselamatan si Tenda Biru daripada keselamatanmu, Kakek!"
Sebutan 'Kakek' memang sudah
sejak kecil dilakukan oleh Suto terhadap Gila Tuak. Karena ketika itu, Suto
belum tahu bahwa orang yang menyelamatkan dirinya dan memungutnya itu akan
menjadi guru dalam seluruh hidupnya. Karenanya, sampai sekarang Suto sering
memanggil Gila Tuak dengan sebutan 'Kakek Guru' atau kadang 'Guru' saja, atau juga kadang 'Kakek' saja.
Sedangkan kepada Bidadari Jalang yang dulu dianggap sebagai bibinya sampai
sekarang dipanggilnya 'Bibi Guru'.
Tiba-tiba lengan Suto
digenggam seseorang. Ternyata Bidadari Jalang yang menggenggam dan menariknya
agar berdiri jauhi pembaringan.
"Jangan ganggu dulu kakek
gurumu itu. Sudah beberapa malam beberapa hari tak bisa tidur. Sekarang biarkan
beliau tidur dulu."
"Baik, Bibi Guru. Tapi
bolehkah aku tahu apa penyebab sakitnya Kakek Guru ini?"
"Aku tak tahu. Yang jelas
sudah kucoba untuk sembuhkan dia, tapi tak berhasil. Bahkan Tabib Awan Putih
sudah kupanggil, lalu mencoba sembuhkan dia, tapi juga tak berhasil. Resi
Wulung Gading baru kemarin datang dan mencoba salurkan hawa saktinya, namun tak
membuat kakek gurumu sehat kembali."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil pandangi wajah sang Guru yang sangat menyedihkan itu. Hati Suto Sinting
seakan ingin meratap dalam tangis melihat Gila Tuak sepucat dan sekurus itu.
Hatinya bagai diiris-iris memakai pedang pemenggal kepala, jantungnya nyeri
bagai dicongkel-congkel memakai ujung clurit. Dalam wajah dukanya, Suto pun
akhirnya bicara dengan batinnya sendiri.
"Jika para tokoh sakti
dan tabib berilmu tinggi tak mampu sembuhkan sakitnya Kakek Guru, apalagi aku?
Pasti sakitnya Kakek Guru ini bukan sembarang penyakit, sehingga tidak
sembarang obat bisa dipakai untuk mengusir penyakitnya. Jangankan mengusir
penyakit, menggertak penyakit pun belum tentu bisa dilakukan oleh sembarang
obat. Tuakku sendiri rasa- rasanya tak akan bisa menolongnya."
Agaknya Bidadari Jalang dapat
membaca jalan pikiran Suto Sinting. Maka ia segera bicara kepada muridnya yang
gagah perkasa itu dengan suara berbisik pelan.
"Tak ada salahnya jika
kau coba sembuhkan penyakit Kakek Guru dengan tuak saktimu itu."
"Ah, Bibi Guru... mana
mungkin tuakku bisa sembuhkan beliau?! Bukankah Resi Wulung Gading yang sakti
itu pun tak mampu sembuhkan beliau?"
"Coba saja, siapa tahu
bisa."
"Aah...," Suto
mendesah dengan hati ciut.
Waktu itu, Gila Tuak segera
terbatuk-batuk. Ia terbangun dari tidurnya. Batuk-batuknya itu berkepanjangan
sehingga dibantu bangun oleh sang murid.
"Uhuk, uhuk, uhuk....
hoeek...!" Gila Tuak muntah. Bidadari Jalang dan Suto Sinting tidak ikut
muntah, namun justru terbelalak kaget melihat darah kental keluar dari mulut si
Gila Tuak. Darah itu berwarna merah kehitam-hitaman.
"Celaka! Dia sudah
memuntahkan darah penjemput ajal!" ucap Bidadari Jalang pelan sekali di
samping Suto Sinting. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam
itu menjadi semakin tegang dan diliputi kecemasan sangat kuat. "Kakek
Guru, aku datang, Kek. "
"Hmmm... masa
bodoh," ujar Gila Tuak tanpa wibawa lagi. "Aku mau bobo saza. "
Lalu ia berbaring
kembali, seakan acuh tak acuh
kepada muridnya. Hal itu membuat hati Pendekar Mabuk menjadi sedih dan wajahnya
pun tampak sayu sekali.
"Jangan sakit hati,
memang begitulah sikap kakekmu belakangan ini. Seperti anak kecil," bujuk
Bidadari Jalang. "Berikan tuakmu padanya. Minumkan tuak ke
mulutnya.'"
"Sia-sia saja, Bi...,"
gumam Suto Sinting, walau akhirnya ia mencoba meminumkan tuak ke mulut sang
Guru yang melongo itu.
Tetapi ketika tuak tertelan
oleh sang Guru, ternyata tuak itu justru membuat sang Guru terbatuk- batuk
lagi,
"Uhuk, uhuk, uhuuuueeek.
!"
Pyoook. !
Darah kental menghitam semakin
banyak dimuntahkan oleh si Gila Tuak. Napas tokoh tua itu semakin
terengah-engah. Pendekar Mabuk dan Bidadari Jalang bertambah tegang.
"Apa-apaan kau ini, hah?!
Olang tua alit malah di suluh inum uak! Anti aku abuk, Olol!"
Gila Tuak mengomel dengan
napas ngos-ngosan. la menyeringai sambil pegangi dadanya sebagai tanda bahwa
dadanya terasa sakit sekali. Pendekar Mabuk tak bisa berkata apa pun kecuali
meminta maaf atas tindakannya tadi.
"Maafkan aku, Kakek Guru.
"
Lalu ia berbisik kepada
Bidadari Jalang. "Apa kubilang tadi, Bi? Sia-sia saja pengobatan
menggunakan tuakku ini, bukan?!"
Bidadari Jalang hanya tarik
napas pertanda sangat prihatin melihat kenyataan itu. Lalu, ia berkata dengan
suara datar dan pelan.
"Setidaknya, sebagai
murid kau sudah mencoba menolong sembuhkan Guru."
"Oh, Bibi Guru... lihat,
Kakek Guru telah tertidur lagi?! Cepat sekali ia tertidur dengan nyenyak,
sepertinya tak pedulikan kehadiranku di sini. Atau... mungkin Kakek Guru sudah
tidak membutuhkan kehadiranku lagi?"
"Jangan beranggapan
seperti itu. Besarlah permaklumanmu untuk orang yang sakit dan kembali menjadi
seperti anak kecil begitu, Suto."
Tiba-tiba seberkas bayangan
melesat masuk dari pintu gua yang tertutup curahan air terjun itu. Slaaab...!
Jleeg...! Sosok bayangan itu kini menampakkan diri. Ternyata ia seorang lelaki
tua berbadan kurus, mengenakan jubah kuning dan celana biru. la mempunyai
rambut putih panjang sepundak tanpa ikat kepala, seperti potongan rambut Suto
Sinting.
"Uhuk, uhuk, ahak, ahak,
ohoooek...!" tokoh yang baru datang itu langsung batuk dengan berbagai
irama begitu menampakkan diri. Dari irama batuknya, Suto Sinting dan Bidadari
Jalang segera mengenali bahwa tamu yang berusia sekitar sembilan puluh tahun
itu tak lain adalah tokoh aliran putih yang bernama Brajamusti alias Batuk
Maragam.
"Selamat datang ke Jurang
Lindu, Brajamusti!" sapa Bidadari Jalang dengan tegas dan berwibawa.
"Kudengar si Gila Tuak
sakit, uhuk, uhuk, uhuk, eheeek... cuih!"
Batuk Maragam terengah-engah
bagaikan kecapekan menyentakkan suara batuknya tadi. la melirik ke arah
pembaringan, memandangi si Gila Tuak yang tetap tertidur bagai tak merasa
terganggu oleh suara batuk tadi.
"Aku sendiri baru saja
datang dan gagal mengobatinya, Eyang Brajamusti," kata Suto Sinting yang
memang sudah kenal dengan si Batuk Maragam itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Peri Sendang Keramat").
"Eyang...? Sejak kapan
kau panggil aku Eyang. Biasanya kalau panggil cuma Batuk Maragam, Batuk
Maragam... eh, sekarang pakai Eyang segala," gerutu Batuk Maragam membuat
Suto Sinting hanya bisa tundukkan kepala, tak berani tersenyum atau menimpali
dengan kata-kata.
"Aku cuma mau coba obati
sakitnya si Gila Tuak!" "Kuharap kau berhasil!" ujar Bidadari
Jalang.
Weeess...! Muncul lagi tokoh
lain yang datangnya bagaikan angin, tahu-tahu muncul dalam bentuk letupan asap,
dan ketika asap sirna, tampak sosok tubuhnya yang gemuk, berpakaian kain kuning
pula dengan corak pakaian seorang biksu. Tamu gemuk itu berkepala gundul, mengenakan
kalung tasbih putih sebesar kelereng sepanjang perut. Tamu itu mempunyai
jenggot panjang, kumis dan brewok warna putih uban merata.
"Selamat datang,
Badranaya!" sapa Bidadari Jalang mewakili tuan rumah di situ.
"Selamat datang, Eyang
Resi Badranaya!" Suto pun menyambutnya penuh hormat.
Tokoh itu ternyata adalah Resi
Badranaya, yang mengasingkan diri di puncak Gunung Wakas, gurunya seorang
pemuda sebaya Suto bernama Darah Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gadis Buronan").
"Tabib Awan Putih singgah
ke tempatku dan mengabarkan sakitnya si Gila Tuak. Jika tak ada yang mampu
sembuhkan, maka aku akan mencoba menyembuhkannya dengan tasbih pusakaku
ini!" seraya Resi Badranaya melepaskan kalung tasbihnya itu.
"Nanti dulu...!"
cegah Batuk Maragam. "Aku datang lebih dulu, jadi kau boleh coba sembuhkan
Gila Tuak jika aku gagal sembuhkan dia! Uhuk, uhuk, ohooeek...!"
"Hmm...! Kau sendiri tak
bisa sembuhkan penyakit bengekmu itu, mana mungkin bisa sembuhkan sakitnya si
Gila Tuak?"
"Jangan menghinaku,
Badranaya. Nanti kutampar mulutmu!"
"Cobalah kalau kau
mampu!"
"Hei, hei... kalian ke
sini mau numpang bertarung apa mau coba sembuhkan saudaraku?!" sergah
Bidadari Jalang melerai ketegangan di antara kedua tamunya itu.
Tiba-tiba terdengar suara Gila
Tuak dalam keadaan tetap tidur.
"Jangan berisik, ada
orang sakit!"
Semua memandang kaget ke arah
Gila Tuak.
"Dia bisa bicara lancar
dan jelas?!" bisik Bidadari Jalang dengan wajah tegang. Mereka pun
mendekat, tapi saling berkerut dahi setelah tahu bahwa si Gila Tuak ternyata
sedang tertidur nyenyak. Lalu, siapa yang bicara tadi? Pikir mereka
-masing-masing.
"Apakah kau mendengar
suaraku, Kakang Gila Tuak?" Resi Badranaya coba menyapa, tapi tak ada
jawaban.
Beberapa saat kemudian, ketika
semua orang memandang mulut Gila Tuak yang terkatup rapat, mereka mendengar
suara Gila Tuak bicara tanpa gerakan mulutnya. Suara itu bagai suara Gila Tuak
dalam keadaan sehat, seperti biasa.
"Muridku, cepat pergi dan
carilah 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh sakitku. Hanya 'Tuak Dewata' yang bisa
menyambung nyawaku nantinya. Tapi jika kau gagal dapatkan 'Tuak Dewata', maka
aku pun akan kembali ke pangkuan Hyang Maha Suci!"
Bidadari Jalang dan yang
lainnya saling pandang penuh keheranan. Batin mereka saling berkata, "Aneh
Gila Tuak bicara tanpa gerakan bibirnya dan tanpa buka mulut sedikit pun?! Ilmu
apa yang dimilikinya! Suaranya bisa terdengar nyata melalui gendang telinga,
bukan melalui batin."
Tiba-tiba sebuah suara segera
terdengar di belakang mereka. Rupanya ada seorang tamu baru yang datang tanpa
permisi maupun tanpa memberi perlambang. Tamu itu juga seorang tokoh tua
berpakaian serba putih. Rambutnya putih panjang acak-acakan. Kulit dan wajahnya
berwarna pucat. Kukunya panjang berwarna putih juga. Usia tamu itu sebaya
dengan Resi Badranaya dan Batuk Maragam, yaitu sekitar sembilan puluh tahun.
Suto dan yang lainnya
mengenali tamu yang munculnya tak diketahui itu sebagai tokoh tua yang berjuluk
Setan Merakyat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tabib Darah
Tuak"). Tokoh inilah yang memberikan ilmunya kepada Suto Sinting bernama
ilmu atau jurus 'Pranasukma' yang membuat Suto Sinting dapat memindahkan benda
atau melemparkan musuh, atau pula menghancurkan sesuatu dengan kekuatan batin,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Setan Rawa Bangkai").
Setan Merakyat tiba-tiba saja
berkata, "Roh sejatinya si Sabawana telah bicara kepada kita. Jadi jangan
heran jika mulut dan bibir Sabawana tidak bergerak namun kalian mendengar suara
aslinya, karena yang bicara adalah roh sejati si Sabawana sendiri!"
"Bapa Guru
Murdawira...?!" Suto segera menyambut dengan sebentuk hormat sederhana
namun cukup menyenangkan hati si Setan Merakyat.
"Kebiasaanmu nyelonong
masih saja kau pelihara, Murdawira!" gerutu Batuk Maragam, setelah itu
terbatuk-batuk sesaat.
"Sebenarnya aku tadi
ingin memberi salam kepada kalian. Tapi berhubung tiba-tiba kudengar suara roh
sejatinya si Sabawana, jadi aku diam dulu sampai roh sejati itu selesai
bicara."
Bidadari Jalang yang merasa
tak asing lagi dengan wajah si Setan Merakyat karena memang sudah mengenal
sejak dulu, kini segera dekati sang tamu yang baru datang itu.
"Kau dengar dia
menyebutkan nama 'Tuak Dewata' tadi?"
"Ya, aku dengar!"
jawab Setan Merakyat. "Tapi jangan tanyakan di mana 'Tuak Dewata' itu
berada, aku sungguh tak tahu, Nawang Tresni. Berani dipeluk seribu janda
bahenol, aku tetap tidak tahu-menahu tentang 'Tuak Dewata' itu."
"Aku sendiri tak
tahu," ujar Bidadari Jalang. "Tapi barangkali Badranaya atau
Brajamusti mengetahui tentang 'Tuak Dewata' itu."
Resi Badranaya menyahut,
"Aku juga tidak tahu. Kalau aku tahu, sudah kubimbing Suto pergi ke tempat
di mana 'Tuak Dewata' itu berada."
Batuk Maragam segera
menimpali. "Aku, sendiri baru sekarang mendengar kata 'Tuak Dewata'. Oh,
aku jadi malas mau mencoba-coba sembuhkan si Gila Tuak, karena sepertinya tak
ada obat lain yang bisa sembuhkan sakitnya kecuali 'Tuak Dewata' itu."
"Dan, murid angkatku
itulah yang diwajibkan mencarinya," timpal Setan Merakyat sambil berjalan
tertatih-tatih mendekati Suto Sinting.
"Tapi... tapi ke mana aku
harus mencari 'Tuak Dewata' itu, Bibi Guru?"
Bidadari Jalang tarik napas
dalam-dalam, kemudian mendekati pembaringan dan bertanya kepada Gila Tuak yang
masih tertidur.
"Dapatkah kau sebutkan
nama tempat untuk dapatkan Tuak Dewata' itu, Sabawana?!"
Ternyata pertanyaan itu tak
mendapat jawaban apa pun. Bahkan bunyi dengkurnya Gila Tuak pun tak ada.
Bidadari Jalang menghempaskan napas lagi sambil kembali dekati Suto Sinting.
"Aku sendiri baru
sekarang mendengar dia sebutkan nama 'Tuak Dewata' itu."
Setan Merakyat menimpali,
"Kurasa ini sebuah tantangan bagi seorang murid sepertimu, Suto. Kalau kau
bisa menolong orang lain dengan kesulitan apa pun, sekarang kau ditantang,
mampukah kau menolong gurumu dengan kesulitan seperti ini?!"
"Kurasa ini bukan sekadar
tantangan," sahut Resi Badranaya, "Tapi merupakan bencana bagi
Pendekar Mabuk yang akan kehilangan guru utamanya jika tak dapat mencari 'Tuak
Dewata' itu."
"Tenang saja," ujar
si Batuk Maragam. "Aku akan membantumu berpikir memecahkan teka-teki ini,
Suto Sin... uhuk, uhuk, ehek, ehek, uhuuu, hoaaaiak...!"
"Sssttt...!
Berisik!" sentak Resi Badranaya kepada Batuk Maragam. Yang dibentak
bersungut-sungut, "Namanya orang batuk, ya berisik. Kalau yang tidak
berisik orang mati!" Pendekar Mabuk, Bidadari Jalang, dan yang lainnya
akhirnya sama-sama termenung memikirkan tentang 'Tuak Dewata' itu. Pendekar
Mabuk mulai merasa dihadapkan oleh tantangan yang seakan melecehkan dirinya.
Baru saja dia dibuat pusing mencari Bunga Kecubung Dadar untuk menolong si
Gadis Tanpa Raga itu, sekarang dia harus mencari sesuatu yang tak diketahui
tempatnya. Bahkan tanggung jawabnya di dalam perkara ini lebih besar
daripada mencari Bunga
Kecubung Dadar.
"Benar kata Bapa Guru
Murdawira, ini sebuah tantangan bagiku. Kalau biasanya aku berhasil mencarikan
sesuatu yang amat keramat untuk menolong jiwa seseorang, sekarang aku ditantang
untuk mencari sesuatu yang amat keramat untuk selamatkan jiwa guruku sendiri.
Aku yakin, 'Tuak Dewata' itu sesuatu yang amat keramat, sampai- sampai beberapa
tokoh sakti di sini tidak mengetahuinya," kata Suto membatin.
Lalu ia berkata kepada bibi
gurunya, "Bibi Guru, apa pun yang terjadi, di mana pun letaknya, aku tetap
akan mencari 'Tuak Dewata' itu! Akan kuhadapi tantangan ini, untuk buktikan
kepada mereka bahwa aku bukan saja bisa selamatkan jiwa orang lain, tapi juga
bisa selamatkan jiwa guruku sendiri!"
"Aku bangga dengan
tekadmu!"
"Kapan-kapan kalau Bibi
Guru sakit, aku juga akan berusaha selamatkan jiwa Bibi Guru."
"Kau menyumpahiku, Bocah
nakal?!" Bidadari Jalang segera menjewer telinga Suto Sinting.
Suto ketakutan. "Ampun,
Bibi... maksudku... maksudku... aku pun punya rasa bakti dan hormat kepadamu,
Bibi Guru!"
Tokoh tua yang lain hanya
tersenyum-senyum sambil palingkan wajah, seakan tak mau melihat pendekar sakti
dimarahi gurunya.
"Berangkat dan cari
sekarang juga 'Tuak Dewata' itu," perintah Bidadari Jalang dengan tegas.
"Jika kau berhasil dapatkan 'Tuak Dewata', maka pantaslah jika kau
mendapat gelar 'Murid Maha Sujud' dan jurus 'Candra Geni'-ku patut kuturunkan
padamu!"
"Mohon pamit sekarang
juga, Bibi Guru!" kata Suto dengan tegas dan berapi-api. "Mohon doa
restu, Bapa Guru Murdawira, Eyang Brajamusti, Eyang Resi Badranaya dan... aku
pun mohon doa restu juga kepadamu, Bibi Guru nan cantik jelita pelumpuh hati
semua pria serta. "
"Cukup!" hardik
Bidadari Jalang dengan mata melebar, membuat Suto Sinting sadar dengan
ucapannya yang telah berlebihan dan melantur itu.
"Kau akan kehilangan
kepala jika punya kebiasaan melantur seperti itu!"
"Ampun, Bibi Guru.
!"
*
* * 2
BARU saja keluar dari gua di
balik curahan air terjun itu, tiba-tiba Pendekar Mabuk terpental oleh sebuah
pukulan tenaga dalam jarak jauh yang cukup berbahaya. Gerakan Suto Sinting yang
sedang melayang menuju ke daratan itu bagaikan dihempas angin badai yang padat,
punggungnya terasa disodok dengan sebatang pohon besar. Buuuhk...! Sodokan itu seperti ingin mematahkan tulang
punggung dan menyumbat jalan pernapasan.
"Heegh...!" Suto
Sinting tak bisa berteriak ataupun memekik kesakitan. Suaranya tertahan di
tenggorokan bersama napas yang sukar dihembuskan. Tubuhnya, sendiri melayang
cepat dan membentur pohon kering yang sudah tak berdaun lagi itu. Brruukk,
kraakk...! Pohon itu hampir patah total. Bagian yang ditabrak tubuh Suto
Sinting menjadi retak separo bagian. Ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam
yang menghempaskan tubuh Suto Sinting hingga pohon pun nyaris tumbang seketika.
Pendekar Mabuk yang menyandang
bumbung tuaknya di punggung terpaksa jatuh tengkurap dengan wajah mencium tanah
dan tubuh menggeliat pelan sekali.
"Dadaku... ooh, dadaku
bagaikan mau jebol, padahal yang terkena serangan adalah punggungku! Ouh,
gila...! Tenaganya siapa ini yang membuatku sukar bernapas begini?! Jurus apa
ini yang membuat jantungku bagai mau pecah rasanya! Uuuhk...!" Pendekar
Mabuk mencoba untuk bangkit dengan hati menggerutu penuh kemarahan yang
terpendam.
Dalam keadaan setengah
merangkak, pandangan matanya berhasil menangkap sesosok tubuh kurus berjubah
hitam. Tepian kain jubah hitam itu dilapisi kain kuning emas yang sama dengan
warna kain celananya.
"Ouh...! Siapa orang itu?
Aku baru melihatnya kali ini?!" pikir Suto Sinting sambil tetap mencoba
untuk bangkit.
"Heh, heh, heh, heh...!
Kusangka kau si Gila Tuak, tidak tahunya hanya bocah ingusan! Wah, tekor kalau
begini caranya. Jurus 'Serap Getih'-ku sia-sia kenai tubuh bocah ingusan
begini! Kalau tahu kau masih ingusan, lebih baik kutendang saja tadi biar
terjungkal ke sungai itu, Nak!"
Orang tua itu tidak menyerang
Suto Sinting lagi. la hanya memandangi sambil geleng-geleng kepala dengan
cengar-cengir bersikap meremehkan Suto. Sementara itu, Suto Sinting berusaha
meraih bumbung tuaknya, lalu menenggaknya beberapa teguk dalam keadaan satu
kaki berlutut. Orang berkumis dan berjenggot abu-abu itu membiarkan Suto
Sinting menenggak tuak, sepertinya dia tak tahu kehebatan tuak dari bumbung
bambu itu yang mampu sembuhkan luka dan hilangkan rasa sakit dalam waktu sangat
singkat.
Setelah menenggak tuaknya,
badan Suto menjadi enteng dan terasa segar. Rasa sakit di dada dan punggung
berangsur-angsur hilang, ia berdiri memandangi lelaki tua berusia sekitar
delapan puluh tahun. Lelaki itu berambut sepundak warna abu-abu, tapi kepala
bagian depannya botak licin. Tubuhnya yang kurus itu di sangga dengan tongkat
hitam berkepala kobra kembar. Dilihat dari tampangnya yang menyeringai, ia
tampil sebagai tokoh yang tidak mementingkan wibawa dan suka meremehkan orang
lain.
"Mengapa kau menyerangku.
Pak Tua?! Siapa kau sebenarnya?" tegur Pendekar Mabuk dengan mata menatap
penuh waspada.
"Kusangka kau si Gila
Tuak, sebab kau membawa bumbung tuak. Kalau saja kau si Gila Tuak, maka saat
ini juga nyawamu akan kucabut! Untung saja kau bukan si Gila Tuak."
Hati pemuda tampan berdada
kekar dan bidang itu menjadi panas mendengar ucapan tokoh beralis tipis itu.
Namun rasa panasnya hati masih bisa disembunyikan, sehingga Suto Sinting
kelihatan tetap tenang menghadapi orang setua itu.
"Yang kutanyakan tadi,
siapa dirimu, Pak Tua?! "Kau pasti orang baru di rimba persilatan,
sehingga tidak mengenali
ciri-ciriku ini!" ujar si jubah hitam. "Ketahuilah, Nak... aku inilah
yang bernama Pendeta Amor alias Anti Modar. Aku berasal dari Selat Darah,
sengaja datang kemari karena mendengar si sombong Gila Tuak dalam keadaan sakit
parah."
"Apa maksudmu datang
kemari?"
"O, jelas mau membunuh si
Gila Tuak. He, he, he...! Mumpung dia sakit, aku harus segera membunuhnya.
Bukan saja karena aku menyimpan dendam kepada si Gila Tuak, karena dia telah
menewaskan kakakku pada masa empat puluh lima tahun yang lalu, tapi juga karena
menggunakan aji mumpung! He, he, he, he. " Orang itu tertawa sambil
garuk-garuk kepala. Sikapnya
sangat memuakkan bagi Suto Sinting, namun untuk sementara ini Suto hanya bisa
menahan rasa muak dan membiarkan Pendeta Amor berceloteh lagi.
"Aji mumpung itu
maksudku, mumpung Gila Tuak sakit parah, berarti kekuatan saktinya berkurang.
Kalau aku berhasil membunuhnya, maka namaku akan berada di urutan teratas dalam
daftar nama- nama tokoh sakti di rimba persilatan. Berarti aku menggantikan
kedudukan si Gila Tuak. Itu yang dinamakan siasat jitu dari orang berotak
cerdas sepertiku ini, Anak muda. Heh, heh, heh, hiiieeh...!" tawanya semakin
memerahkan telinga Suto Sinting.
"Pendeta Amor,
ketahuilah, biarpun Gila Tuak dalam keadaan sakit, kau tetap tak mungkin bisa
membunuhnya. Jangankan membunuhnya, menjamahnya pun tak mungkin bisa!"
"Lho, kenapa
begitu?"
"Karena muridnya tak akan
izinkan siapa pun mendekati Gila Tuak dengan maksud jahat seperti
maksudmu!"
"O, jadi Gila Tuak itu
punya murid toh? Lha, kok aku baru tahu sekarang, ya? Heh, heh. heh...!"
ia garuk-garuk kepala lagi. "Kalau begitu selama ini aku sudah terlalu
lama mengasingkan diri mempertinggi ilmu dan cukup lama juga mempelajari
jurus sakti dari kitab pusaka
peninggalan moyangku. Wah, wah, wah.... Kurang ajar juga si Gila Tuak, sudah
berani punya murid segala. Hmmm... ngomong-ngomong, siapa muridnya si Gila Tuak
itu, Nak? Kalau perlu kuhabisi juga nyawa si murid itu!"
"Kalau kau ingin tahu
siapa muridnya si Gila Tuak, akulah muridnya si Gila Tuak!" sambil Suto
menepuk dada dengan geram sendiri.
Pendeta Amor terkejut.
"Lho, jadi kau sendiri yang diangkat sebagai murid si Gila Tuak?! Ah, mana
mungkin...?!" Pendeta Amor mencibir. "Murid Gila Tuak tidak akan
setangguh itu. Kau tadi telah menerima jurus 'Serap Getih'-ku. Jika kau
muridnya si Gila Tuak, pasti tubuhmu akan segera menjadi hangus dan darahmu
kering, lalu kau modar! Tapi karena kau sekarang masih hidup dan bahkan tampak
segar, maka aku tak yakin bahwa kau adalah murid si Gila Tuak!"
"Terserah pendapatmu,
Pendeta Amor! Tapi kusarankan padamu, sebaiknya pulanglah ke Selat Darah dan
batalkan niatmu untuk menggantikan kedudukan si Gila Tuak sebagai tokoh
tertinggi di rimba persilatan ini! Usahamu akan sia-sia, bahkan bisa jadi akan
membuat nyawamu melayang di tangan murid si Gila Tuak ini!"
Buukk...! Suto Sinting menepuk
dadanya lagi. Tetapi tepukan dada dan saran itu justru ditertawakan oleh
Pendeta Amor. Tawanya jelas-jelas tawa yang meremehkan kesaktian Suto Sinting.
"Heh, heh, heh, hiieh...!
Bocah kemarin sore kok mau coba-coba menggertakku. Apakah kau pikir aku
langsung mengkerut dan merasa takut...? Ooo... sama sekali tidak, Anak muda!
Sama sekali tidak! Itu mimpi namanya."
Pendeta Amor maju dua tindak,
kini jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya lima langkah. Pandangan mata si
Pendeta Amor tampak menyepelekan sekali orang yang dihadapinya, seakan sangat
melecehkan usia muda yang dimiliki Pendekar Mabuk itu. Bahkan dengan jumawanya
ia berkata kepada Suto.
"Gila Tuak sebetulnya
tidak punya nyali. Ilmunya tidak seberapa tinggi. Tapi ia punya keberuntungan
besar dalam hidupnya. Keberuntungan itulah yang membuat Giia Tuak kelihatannya
sakti, selalu unggul dalam pertarungan, dan selalu terhindar bahaya yang
datang. Padahal jika keberuntungannya itu sudah tidak ada, maka ilmu yang
dimiliki Gila Tuak itu belum ada sekuku hitamnya dengan ilmu yang kumiliki,
Nak!" "Hentikan celotehmu, Pendeta Amor!" sergah Pendekar Mabuk
dengan suara makin tegas, menandakan hatinya semakin panas mendengar ocehan
tokoh tua bermata kecil itu.
"Anak muda, kau seorang
pemuda yang tampan, gagah, tubuhmu kekar, gerakanmu tadi kulihat sepintas cukup
lincah. Kutawarkan jika kau mau menjadi muridku, aku tak keberatan menerimamu
dan menurunkan semua ilmuku padamu. Aku senang punya murid segagah dan sekekar
dirimu, Anak muda!"
Karena dongkolnya mendengar
celoteh si Pendeta Amor akhirnya
Pendekar Mabuk sengaja berkata dengan nada sombong, walau hati kecilnya
menentang kesombongan itu.
"Jika kau bermaksud
menjadi guruku, mampukah kau mengalahkan diriku, Pak Tua?!"
"Wweeeh..., heh, heh,
heh, heh! Kecil-kecil kok nantang orang tua kau ini!"
"Untuk memberi pelajaran
mulut tuamu yang angkuh itu, rasa-rasanya aku perlu bersikap sedikit kurang
ajar padamu, Pendeta Amor!"
"Jadi...," Pendeta
Amor manggut-manggut sambil berjalan ke samping, lalu kembali lagi ke tempat
semula, "... jadi kau ingin menguji kemampuan ilmuku?! Kau ingin tahu
seberapa tingginya ilmuku dan kehebatan jurus-jurusku?!"
"Dengan sangat terpaksa,
kutantang kehebatan mu, Pendeta Amor! Jika kau bisa tumbangkan diriku kau boleh
menjamah guruku yang sedang sakit itu!"
"Weeh..., celaka ini
anak! Mau cari mampus apa cari penyakit kau ini, Nak?!"
Pendeta Amor hentikan langkah
menghadap ke arah Suto, sementara Suto Sinting sendiri sudah siap hadapi
serangan lawan walau hanya dengan berdiri tegak, dada membusung, kaki
merenggang sedikit dan bumbung tuak tergenggam di tangan kanannya.
"Kita main-main saja
dulu," kata Pendeta Amor. "Bagaimana kalau kau menerima jurus
'Tongkat Gempa' ku ini, Nak?!"
Tiba-tiba tongkat yang bagian
atasnya berhias dua kepala ular kobra itu disentakkan ke bumi. Duuhk...! Sentakan
tongkat itu cukup pelan. Tetapi akibatnya sungguh mengejutkan Pendekar Mabuk.
Duuurr...! Tanah bergetar,
lalu dari tempat tongkat disentakkan ke bumi itu membentuk celah lebar. Tanah,
itu retak ke samping kanan kiri, dan garis retaknya melewati pertengahan kaki
Suto Sinting. Makin lama gerakan tanah itu semakin melebar sehingga Suto
Sinting pun semakin merentangkan kakinya.
Zrraakkk...!
Tanah yang retak menjadi dua
bagian, kiri dan kanan. Jaraknya menjadi semakin lebar. Tetapi kaki Suto
Sinting tetap menapak pada kedua bagian tanah yang retak itu. Makin lama
kerenggangan kaki Suto pun makin lebar, sampai akhirnya ketika gerakan tanah
retak itu berhenti, keadaan Suto Sinting menjadi rendah, karena kedua kakinya
merentang lebar hingga pantatnya sejajar dengan permukaan tanah kanan-kirinya.
Tubuh pemuda itu justru
bergerak lamban menyamping. Kini tangan kirinya mengeras dengan telunjuk tegak.
Tangan itu tiba-tiba menyentak ke bawah. Suuttt...!
Jurus "Dewatakara'
pemberian Payung Serambi segera digunakan Pendekar Mabuk. Jurus itu mempunyai
kunci pada napas. Dengan menahan napas, timbulkan daya cipta, maka apa yang
diciptakan dalam batin akan menjadi kenyataan. Dan pada saat itu, batin Suto
menciptakan satu kekuatan dahsyat mengalir pada kedua kakinya. Kekuatan dahsyat
itu menarik tanah yang retak, sehingga pelan- pelan tanah yang telah terpisah
itu bergerak menyatu lagi, sampai akhirnya menjadi rapat kembali, dan
kerenggangan kaki Suto Sinting menjadi seperti semula.
Duurrr...!
Getaran tanah yang merapat
kembali dapat dirasakan sampai ke dalam gua tempat kediaman Gila Tuak. Getaran
itu memancing perhatikan para tokoh tingkat tinggi yang masih bicara dengan
Bidadari Jalang di dalam gua. Akibatnya, rasa ingin tahu mereka mendorong
mereka untuk melesat keluar dari gua tersebut.
Sementara itu, Pendeta Amor
menjadi terbengong dengan mata lebar dan mulut melompong, la tak menyangka sama
sekali kalau anak muda itu ternyata mampu imbangi kekuatan jurus 'Tongkat
Gempa'-nya. Tanah yang semula retak, kini rapat kembali dan tidak ada
tanda-tanda bekas keretakan sedikit pun.
"Edan kau, Nak!"
geram Pendeta Amor masih dengan mata terbelalak kagum. Tapi hati sang pendeta
masih merasa penasaran dan ingin membuat anak muda itu menjadi tunduk serta
mengakui kehebatan ilmunya.
"Jangan bangga dulu,
Nak!" ujarnya setelah melihat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis,
sebagai senyum kemenangan.
"Kau boleh bangga jika
dapat kalahkan jurus 'Kobra Gancet'-ku ini!"
Wuuutt...! Tongkat hitam itu
dilemparkan ke arah Suto. Mendadak tongkat itu berubah menjadi seekor ular
kobra berkepala dua. Ular tersebut tampak ganas dan liar. Gerakannya begitu
cepat saat ingin mematuk kepala Suto Sinting.
Wuuttt...! Suto Sinting
tiba-tiba sudah berada diatas pohon hanya dengan satu sentakan napas perut
cukup pelan.
"Dia menggunakan ilmu
sihirnya!" pikir Suto saat itu. Namun sebelum ia bertindak lebih jauh,
dengan terpaksa ia harus gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk pindah ke
tempat lain, sebab ular kobra berkepala dua itu ternyata mengejarnya bagaikan
terbang dengan ganas ke atas pohon.
Zlaappp...!
Ular kobra berkepala dua itu
menabrak dahan yang tadi dipakai berpijak kaki Pendekar Mabuk. Crrook...!
Pohon itu langsung kering
karena dipatuk kedua kepala ular kobra gancet itu. Sedangkan Suto Sinting sudah
ada di tempat lain, di atas sebuah batu tepi sungai.
Pendeta Amor sempat
clingak-clinguk mencari Suto Sinting. Begitu matanya memandang ke arah Suto
Sinting, ular kobra berkepala dua itu segera melesat terbang dengan cepat
memburu Suto Sinting. Weeeesss...!
Kali ini Pendekar Mabuk tidak
menghindar, karena ia punya kesempatan untuk menyerang. Bumbung tuaknya segera
dikibaskan dari bawah ke atas pada saat dua kepala ular kobra itu mendekatinya.
Weees...! Prrook...!
Pendeta Amor tidak tahu kalau
bumbung tuak itu mempunyai kesaktian tersendiri. Hanya sekali kibas, dua kepala
ular kobra gancet itu hancur tak berbentuk lagi. Tinggal bagian badannya yang
bercucuran darah menjijikkan.
"Celaka!" geram
Pendeta Amor dengan mata kian membelalak bagai mau copot dari rongganya. Mata
itu mengikuti jatuhnya badan ular yang terbanting ke tanah. Ploook...!
Zluub...! Tiba-tiba badan ular
itu berubah menjadi tongkat kembali dengan hiasan dua kepala ular kobra. Tapi
kali ini tongkat itu naik sendiri dan mengambang diam di udara.
Posisi tongkat yang menghadap
ke arah Suto Sinting, membuat hati Suto mulai menangkap adanya firasat buruk
yang akan ditimbulkan dari tongkat itu. Ternyata tongkat tersebut tiba-tiba
menyala memancarkan sinar merah bara. Dari kepala tongkat itu melesat
jarum-jarum merah bara menuju ke dada Pendekar Mabuk. Srrraap...!
Pendekar Mabuk sudah tak
begitu kaget lagi menghadapi puluhan jarum yang menyala merah bagaikan percikan
bunga api itu. Namun di sisi lain, Datuk Maragam yang berdiri menyaksikan
pertarungn itu bersama Bidadari Jalang, Resi Badranaya dan Setan Merakyat,
segera mengangkat tangannya untuk menghantam tongkat milik Pendeta Amor itu.
"Keparat si Pendeta Selat
Darah itu! Dia pergunakan jurus berbahaya untuk melawan bocah semuda Suto!
Kuhancurkan tongkat itu biar hancur pula kedua biji matanya!" geram Batuk
Maragaram.
Tetapi tiba-tiba tangannya
yang terangkat ditahan oleh Bidadari Jalang.
"Biarkan muridku
menghadapinya!"
"Tapi itu berbahaya bagi
Suto! Uhuk, uhuk, ehek, ihiik...!"
"Muridku pasti bisa
mengatasi bahaya itu!" ujar Bidadari Jalang penuh percaya diri terhadap
kemampuan Suto Sinting.
Resi Bradanaya menggerutu
sambil melirik Batuk Maragam, "Sudah tua 'mbok ya' yang tenang, jangan
banyak tingkah!"
Batuk Maragam akhirnya tak
jadi ikut campur, karena ia melihat Suto Sinting melepaskan jurus 'Pukulan
Guntur Perkasa' pemberian Bidadari Jalang. Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau
dari tangan kiri Suto dan sinar itu menerjang jarum-jarum merah bara hingga
akibatnya terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan mengguncangkan alam
sekitarnya.
Claaap....! Blegeeerrr...!
Tongkat merah itu terpental,
diikuti oleh pandangan mata Pendeta Amor. Gerakan tongkat itu terhenti seketika
sebelum jatuh menyentuh tanah. Lalu tongkat itu berdiri tegak, makin lama
semakin tinggi, akhirnya mengepulkan asap tebal yang menyelubungi tongkat
tersebut. Buuusss...!
Tiba-tiba wujud tongkat itu
sirna dan berganti sesosok tubuh besar bermulut lebar dengan mata sebesar
tatakan gelas. Tongkat itu berubah menjadi raksasa yang menyeramkan, dengan
taring panjang dan runcing serta kuku-kuku tangannya seperti mata pisau yang
sangat tajam.
"Ggrrr...!" raksasa
berambut gimbal itu menggeram menggetarkan dedaunan di sekelilingnya. Tingginya hampir tiga kali
lipat tinggi tubuh Suto Sinting. Badannya gemuk dan berkulit tebal bagai kulit
buaya.
"Heh, heh, heh, heh...!
Lawanlah dia dan tumbangkan dia kalau memang kau murid si Gila Tuak keparat
itu!" seru Pendeta Amor yang membuat Bidadari Jalang dan lainnya mengerti
bahwa Suto sedang melawan orang yang memusuhi Gila Tuak. Tapi Bidadari Jalang
dan yang lainnya tetap diam sebagai penonton yang berdiri agak jauh di belakang
Pendeta Amor.
Suto Sinting sengaja dibiarkan
menghadapi raksasa berwajah mirip segumpal batu cadas itu. Para tokoh tingkat tinggi merasa kagum
melihat ketenangan Suto dalam menghadapi raksasa jelmaan tongkat tadi. Rupanya
Suto Sinting tahu, bahwa ia harus berhadapan dengan kekuatan sihir si Pendeta
Amor dari Selat Darah.
Maka, untuk yang kedua kalinya
Pendekar Mabuk gunakan ilmu 'Dewatakara' dengan menahan napas dan mencipta
dalam batinnya. Bumbung tuaknya dilemparkan ke depan. Wuuss...! Bumbung itu
jatuh dalam keadaan berdiri. Plek...!
Kekuatan batin dari ilmu
'Dewatakara' membuat bumbung tuak itu tiba-tiba berubah menjadi tinggi bagaikan
tiang bendera. Tingginya melebihi tinggi raksasa jelmaan tongkat si Pendeta
Amor.
Tiba-tiba raksasa itu menerkam
bambu tinggi tersebut dengan suaranya yang menggeram menyeramkan.
"Ggrrraaaow...!"
Bambu tinggi tiba-tiba berasap
tebal. Raksasa jelmaan tongkat bergelut dengan asap tebal itu hingga tubuhnya
terbungkus asap dan tak dapat dilihat. Tetapi suaranya terdengar mengerang-
ngerang dan meraung-raung dengan menimbulkan getaran pada ranting dan daun di
sekitarnya.
Pendeta Amor kebingungan tak
bisa melihat raksasa ciptaannya. Tetapi tahu-tahu terdengar kraaakk...!
Dan sesuatu keluar dari
gumpalan asap tinggi itu Wuuutt...! Brrruk...!
"Hahh...?!" Pendeta
Amor terpekik dan terlonjak mundur dengan mata mendelik. Benda yang jatuh dari
keluar dari gumpalan asap itu tak lain adalah kepala raksasa berwajah mirip
batu cadas tadi.
"Celaka! Asap apa itu,
sehingga bisa mematahkan kepala si Brojong Boros?.'" ujarnya dengan suara
menggumam penuh keheranan.
Wuuut...! Bluukkk...!
Sesuatu terlempar lagi dari
gumpalan asap tebal itu. Ternyata tangan raksasa yang berkuku seperti mata
pisau itu.
Wuuutt...! Bluukk...!
Wees...! Brruukk...! Plook...!
Bluuk...! Bluuummm! Raksasa itu terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Semua
bagian tubuh yang mengucurkan darah hitam itu jatuh di depan Pendeta Amor,
membuat tokoh dari Selat Darah itu terbengong- bengong tanpa bisa bergerak dan
berucap sepatah kata pun.
Wuuusss...! Angin kencang
datang. Asap tebal yang tinggi itu pun lenyap. Kini tampaklah sosok tubuh yang
tadi terbungkus asap tebal itu.
"Edaaan...!!"
Pendeta Amor terpekik keras, matanya melotot bagai mau copot. Karena sosok yang terbungkus asap dan mematah-matahkan
raksasanya itu adalah wujud manusia tinggi-besar yang menyerupai Pendeta Amor
sendiri.
Rupanya cipta batin Suto
Sinting tadi telah membentuk tiruan wajah dan potongan tubuh Pendeta Amor dalam
bentuk raksasa yang tingginya melebihi raksasa jelmaan tongkat tadi. Kini
raksasa yang seperti saudara kembarnya Pendeta Amor memandang dengan mata lebar
ke arah Pendeta Amor sendiri. Kakinya diangkat dan menginjak kepala Pendeta
Amor.
"Hahh...?!
Haaaah...?!" Pendeta Amor ketakutan.
Ujung jarinya segera keluarkan
sinar biru lurus yang menghantam telapak kaki raksasa tersebut. Claaap...!
Blegaarrr...!
Raksasa yang menyerupai
dirinya meledak bersama munculnya gumpalan asap tebal lagi. Asap itu hilang dan
raksasa itu berubah menjadi bumbung tuak seperti semula. Pendekar Mabuk segera
menyambut bumbung tuak itu. Wuuutt...! Lalu berdiri sambil tersenyum pandangi
Pendeta Amor. Sementara potongan anggota tubuh raksasa ciptaan Pendeta Amor
berubah menjadi potongan tongkat kayu tanpa arti lagi.
"Keparat kau, Nak!"
geram Pendeta Amor., "Rupanya kau benar-benar tak takut mati demi membela
guru mu, si Gila Tuak itu?!"
"Sekali lagi kuingatkan
padamu, Pendeta Amor... urungkan niatmu ingin membunuh guruku dan menggantikan
kedudukannya sebagai tokoh tertinggi di rimba persilatan! Jika kau tak mau
segera pulang ke Selat Darah, kali ini aku tak mau main-main denganmu, kau akan
kehilangan nyawa dalam satu gebrakan! Karena aku tak punya waktu lebih banyak
lagi. Aku harus segera mencari 'Tuak Dewata' untuk mengobati sakit
guruku!"
"Bocah goblok!"
sentak Pendeta Amor. "Yang namanya 'Tuak Dewata' itu tidak ada! Kau hanya
bisa dapatkan 'Tuak Dewata' kalau kau bisa menembus alam kayangan dan bertemu
dengan para dewa asli! Tapi untuk mengirimmu ke kayangan, lebih dulu aku harus
mengirimkan nyawamu ke neraka!" Pendeta Amor segera memainkan jurusnya
dengan merentangkan kedua tangan dan mengangkat kaki kirinya hingga lutut kiri
hampir menyentuh perut. Pendekar Mabuk masih diam dengan sikap siaga. Bumbung
tuaknya digenggam dengan tangan kanan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan
sebagai senjata menghadapi lawannya. Sedangkan kedua telapak tangan Pendeta
Amor sudah mulai memancarkan warna biru pijar.
Tetapi tiba-tiba Setan
Merakyat bergerak bagai menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu dia sudah berada
di samping Pendeta Amor dalam jarak dua langkah. Setan Merakyat segera
perdengarkan suaranya pada saat Pendeta Amor serukan pekik pertarungannya.
"Hiaaahh...!"
"Kau ini mau apa, Pendeta
edan?! Mau melawan anak muda itu?! Ooh... seperti si cebol ingin menghancurkan
rembulan saja kau ini!"
Gerakan dan suara Pendeta
Amorterhenti seketika. Wajahnya berpaling memandang ke arah Setan Merakyat,
matanya terbuka bagaikan terkejut melihat kemunculan tokoh serba putih itu.
"Kkau... kau ada di sini,
Setan Merakyat?!" "Kami menengok sahabat yang sakit!" "Kami...?!
Maksudmu, kami siapa saja?!" Wuuut...! Buuus...! Jleeeg...!
Pendeta Amor semakin terkejut
begitu melihat beberapa wajah muncul di depannya; Batuk Maragam, Resi Badranaya
dan Bidadari Jalang. Kontan kaki yang terangkat tadi diturunkan, tangan yang terentang
pun diturunkan. Nyala pijar biru di kedua telapak tangan itu menjadi padam
seketika. Pendeta Amor merasa telah dikurung oleh tokoh- tokoh tua yang usianya
lebih tinggi darinya.
"Kau tak akan mampu
mengalahkan muridku, Pendeta Anti Modar!" ujar Bidadari Jalang dengan nada
tegas dan berwibawa.
"Maksudmu... maksudmu
anak ingusan itu murid mu? Lho, dia tadi mengaku muridnya Gila Tuak!"
"Sama saja! Yang mengalir
dalam dirinya adalah iImuku dan ilmunya Gila Tuak! Jika kau dari dulu tak
pernah berhasil mengalahkan diriku dan Gila Tuak, apalagi sekarang kau ingin
mengalahkan Suto, murid kami itu, hmmm...! Kuanggap kau sedang bermimpi di
siang bolong, Pendeta Amor!"
"Kau punya niat
menggantikan kedudukan Gila Tuak?! Oh, kalau begitu kau patut dihajar, Pendeta
sesat!"
Ploook...!
Sebuah tamparan dari tangan
Batuk Maragam melayang ke wajah Pendeta Amor. Tamparan itu memercikkan cahaya
merah api saat kenai pipi si Pendeta Amor. Kontan tokoh dari Selat Darah itu
jatuh terpelanting dan wajahnya menjadi hitam separo bagian.
"Kaa... kalian... kalian
mengeroyokku! Kalian tidak adil! Tidak ada yang berani melawanku secara
ksatria!" ucap Pendeta Amor dengan suara tertahan karena memendam rasa
sakit di bagian wajahnya.
Resi Badranaya berkata,
"Jadi kau ingin bertarung secara ksatria?! Hmmm... demi seorang sahabat
yang sedang sakit dan ingin kau bunuh, baiklah... aku akan turun sebagai
ksatria tandinganmu! Bangun dan hadapilah aku secara jantan, Amoroso
Kumbaya!"
Mendengar nama aslinya
disebutkan Resi Badranaya, Pendeta Amor segera berdiri dan memicingkah mata
sebagai tanda bermusuhan dengan Resi Badranaya. Giginya menggeletuk, kedua
tangannya menggenggam kuat-kuat. Lalu, suaranya terdengar bernada geram.
"Tunggu saatnya tiba,
Badranaya!" Wuuutt...! Blaaass...!
Tubuh kurus berjubah hitam itu
melesat ke atas, hinggap di dahan pohon, kemudian melesat pergi dengan
cepatnya. Hembusan angin gerakan kepergiannya itu membuat beberapa daun
berguguran bagai diterjang angin kencang.
Pendekar Mabuk ingin
mengejarnya, tapi Bidadari Jalang segera berseru melarangnya.
"Biarkan pergi...!!"
Pendekar Mabuk tak berani
melanggar seruan bibi gurunya itu. Sementara itu, Setan Merakyat hanya pandangi kepergian Pendeta Amor dengan
tawa pelan bagai orang menggumam, lalu suaranya pun terdengar entah bicara
kepada siapa.
"Dia pikir kita-kita
orang ini sudah pada mati apa? Kok mau menggantikan kedudukan si Gila Tuak?!
Dasar pendeta kebanyakan ubi!"
"Kau tadi terlalu
berlebihan, Brajamusti!" tegur Resi Badranaya. "Seharusnya kau tak
perlu pergunakan 'Tamparan Geledek'-mu. Cukup dengan gertakan kita saja dia
akan lagi terbirit-birit!"
"Aku jengkel sekali
melihat lagaknya yang selalu merasa paling sakti dan... uhuk, uhuk, uhiiik,
ihik, ahak, uhuk, ehek... huuaaak...!"
"Sudah, sudah... jangan
bicara," ujar Setan Merakyat, "Nanti tenggorokanmu mengkerut jadi
sebesar lidi!" _
Ketiga tokoh sakti akhirnya
memusatkan perhatian kepada Pendekar Mabuk, karena mereka mendengar Bidadari
Jalang berkata kepada muridnya, "Ilmu apa yang kau pakai tadi, hah?!"
"Hmmm... anu, Bibi
Guru... ilmu itu bernama ilmu 'Dewatakara' dan..."
"Siapa yang memberimu
ilmu itu?!" "Hmmm... orang sana, Bibi."
"Orang sana mana?! Siapa
namanya?!" hardik Bidadari Jalang.
"Hmmm... ehh... ilmu itu
pemberian dari Payung Serambi. "
"O, gawat!" gumam
Batuk Maragam, wajahnya pun tampak mulai menegang, demikian pula wajah kedua
tokoh sakti di kanan-kirinya itu. Sedangkan Bidadari Jalang juga tampak
terperanjat ketika Suto Sinting sebutkan nama Payung Serambi.
"Maksudmu, Payung Serambi
yang bernama asli Ratih Kumala itu?!" tanya Bidadari Jalang.
"Betul, Bibi Guru.
!"
"Celaka!" gumam Resi
Badranaya. Kalau kakek gurumu tahu, ia pasti akan marah padamu. "Ratih
Kumala adalah prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul. Dia orangnya Ratu
Kandita, sang Penguasa Laut Kidul, Suto!"
"Betul sekali Eyang
Resi!" jawab Suto dengan wajah girang karena merasa tak perlu menjelaskan
siapa Payung Serambi itu.
Tapi pendekar muda itu menjadi
berkerut dahi dan mulai terheran-heran begitu melihat wajah- wajah para tokoh
yang dihormati itu tampak murung dan menyimpan kecemasan. Bidadari Jalang
menjauhkan diri, bahkan berdiri membelakangi mereka dengan kedua tangan
bersidekap di dada.
"Ada apa sebenarnya, Bapa
Guru Murdawira?!" "Semuanya sudah telanjur."
"Apa yang telanjur,
tolong jelaskan, Bapa Guru!" pinta Suto dengan rasa penasaran sekali.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Suto? Mengapa
kau mau saja menerima ilmu
itu?"
"Saya disuruh memakan
daun sirih pemberian Payung Serambi, Bapa Guru. Daun sirih itu saya makan
sampai habis, lalu Payung Serambi jelaskan bahwa ilmu 'Dewatakara' sudah
menyatu dalam diri saya."
Resi Badranaya menyahut,
"Itu berarti kau sudah berdarah siluman!"
"Ber... berdarah
siluman?!"
Batuk Maragam menimpali,
"Ilmu itu hanya dimiliki oleh prajurit unggulan Nyai Ratu Kandita. Jika
orang sudah menguasai ilmu itu, maka dia sudah berdarah siluman, Dan dia hanya
bisa kawin dengan rakyat Istana Laut Kidul."
"Ooh... bbee... benarkah
begitu, Bapa Guru?!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang,
segera lari mendekati Bidadari Jalang.
"Benarkah aku hanya bisa
kawin dengan rakyat Istana Laut Kidul, Bibi Guru?!"
"Kau lancang!" geram
Bidadari Jalang. Dari sorot matanya tampak sedang menahan amarahnya yang besar.
Suto Sinting menjadi sangat tegang dan ketakutan. Dalam ingatannya sempat
terbayang saat ia mendapatkan ilmu 'Dewatakara' itu dari Payung Serambi, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Geger di Selat Bantai").
"Lupakan dulu soal itu!
Kita urus belakangan saja! Cari 'Tuak Dewata' agar kakek gurumu bisa lekas
sembuh dan bisa diajak bicara tentang kelancanganmu itu!"
"Baik, Bibi
Guru...," jawab Suto dengan lemah, lalu ia pun pergi tinggalkan mereka
yang berwajah cemas. Sementara batin Suto pun bertanya pada diri sendiri.
"Benarkah untuk dapatkan 'Tuak Dewata' harus
bisa menembus alam kayangan,
seperti kata Pendeta Amor tadi?! Mengapa hanya dia yang tahu, sedangkan Bibi
Guru dan Bapa Guru Murdawira tidak bicara tentang kayangan?!"
*
* * 3
SETIAP orang yang dikenal,
setiap tokoh yang dijumpai selalu ditanya tentang 'Tuak Dewata'. Tetapi
sebagian besar dari mereka menjawab, "Tuak
Dewata' tidak ada, dan baru kali ini kudengar ada obat yang bernama
'Tuak Dewata'." Sedangkan sebagian lagi menjawab, "Aku tidak tahu.
Mungkin memang ada, tapi aku tidak tahu tempatnya. Atau mungkin memang tidak
akan pernah ada 'Tuak Dewata', aku juga tidak tahu secara persis."
Pendekar Mabuk sempat
termenung di puncak bukit berpohon jarang. Di atas sebuah batu ia duduk
merenung sambil sesekali meneguk tuaknya yang baru diisi dari kedai di sebuah
desa yang dilaluinya.
"Jika 'Tuak Dewata' tidak
ada dan tidak akan pernah ada, lantas apa maksudnya roh sejati Guru mengutusku
mencari 'Tuak Dewata' itu?" pikir Suto Sinting dalam renungannya.
"Ke mana lagi aku harus
mencari? Ke mana lagi aku harus bertanya? Rasa-rasanya dari semua orang yang
telah kutanya, tak satu pun yang menyinggung- nyinggung tentang kayangan. Kalau
begitu, Pendeta Amor itu hanya asal cuap saja?! Hmmm... mengapa sempat menjadi
bahan renunganku juga, ya? Oh, tololnya aku ini!"
Tiba-tiba renungan Pendekar
Mabuk dibuyarkan oleh suara jerit di kejauhan. "Tolooong...!"
Hati sang Pendekar Mabuk
tergugah, tubuhnya tersentak bangkit.
"Suara anak kecil minta
tolong?!" "Toloooong...!"
"Oh, kedengarannya ada di
kaki bukit ini sebelah barat sana! Sebaiknya kuperiksa siapa yang berteriak
minta tolong itu!" Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat menuruni bukit.
Dalam waktu sangat singkat ia sudah tiba di atas sebuah pohon tak jauh dari
datangnya suara minta tolong itu. Suara itu ternyata datang dari seorang bocah
berusia sekitar sepuluh tahun.
Bocah lelaki itu berambut
tipis kucai, rnengenakan celana hitam dan rompi merah. Badannya kurus dan
hidungnya pesek dengan kulit hitam walau bukan berarti hitam keling. Suto
sangat mengenali bocah itu, karena ia pernah diperdaya oleh bocah tersebut dan
dipanggil sebagai Pangeran Ranggawita yang membuat Suto nyaris gila betulan.
Bocah itu tak lain adalah Congor, yang menjadi penasihat Ratu Dewi Kasmaran
karena kecerdasan otaknya dan kepandaiannya bicara melebihi orang dewasa, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Siasat Dewi Kasmaran").
Tak heran jika Pendekar Mabuk
sangat terkejut melihat Congor dalam keadaan terbenam separo tubuhnya. Tanah
yang menelan tubuhnya sampai sebatas dada itu tetap dalam keadaan padat dan
tidak berlumpur. Tubuh Congor seakan tertanam di tanah kering berumput tipis
itu. Kedua tangannya tak bisa digunakan karena ikut tertanam sampai batas atas
siku. Congor hanya bisa berteriak dan berpaling ke kanan-kiri dengan wajah
tegang.
"Kenapa anak itu?!
Mengapa bisa terbenam di tanah sekeras itu?!" pikir Pendekar Mabuk.
"Hmmm... pasti ada sesuatu yang telah terjadi dan menimpa nasib si
Congor!"
Baru saja Suto Sinting ingin
melesat menghampiri Congor, tiba-tiba seluruh gerakan uratnya dihentikan,
karena ia melihat sekelebat bayangan hitam menghampiri Congor. la ingin tahu
siapa orang yang menghampiri Congor itu.
"Oh, celaka...?!"
Pendekar Mabuk tersentak kaget dalam hatinya.
Orang yang menghampiri Congor
itu mengenakan kerudung kain hitam dari kepala hingga kaki, yang tampak hanya
bagian wajahnya saja. Wajah itu adalah
wajah putih bagai mengenakan bedak, pucat, dan berkesan sangat dingin. Bibirnya
biru bagai mayat baru bangkit dari
kuburnya. Namun sebenarnya wajah itu
masih tampak muda dan tampan, karena ia mempunyai hidung kecil yang bangir dan
mata bening berbulu lentik untuk ukuran seorang lelaki. Tetapi bola mata itu
tampak datar, tak berperasaan, tajam bagaikan salju-salju runcing.
Di tangan orang berkerudung
hitam itu tergenggam sebuah senjata berupa tongkat dengan ujung semacam mata
pedang berbentuk paruh burung. Logam itu sangat tajam dan berkilat. Tongkat
berujung logam paruh burung besar itu dinamakan senjata pusaka El Maut. Dan
siapa lagi tokoh yang bersenjatakan tongkat El Maut kalau bukan Siluman Tujuh
Nyawa alias di Durmala Sanca.
Melihat kehadiran Siluman
Tujuh Nyawa, hati Suto Sinting bergetar
dan jantung pun berdetak- detak. Darahnya mulai bergolak bukan karena takut,
namun karena dibakar oleh api murka yang makin lama semakin membesar.
Pengembaraan Pendekar Mabuk
selama ini adalah dalam rangka memburu musuh utamanya itu; Siluman Tujuh Nyawa.
la harus memenggal tokoh paling sesat, yang ditakuti oleh para tokoh aliran
hitam.
Siluman Tujuh Nyawa dicap
sebagai manusia paling terkutuk di dunia, karena memang ia dikutuk oleh
leluhurnya untuk menjadi manusia sesat dan dibenci orang banyak, sebab ia
pernah mencoba memperkosa neneknya sendiri walau akhirnya digagalkan oleh sang
kakek. Dan neneknya itu tak lain adalah guru dari Bidadari Jalang yang bernama
Eyang Nini Galih. la adalah anak dari Durmagati, yang membunuh kakak kembarnya
sendiri, juga membunuh orangtuanya sendiri. Selama tiga ratus tahun ia dikutuk
menjadi manusia paling sesat dan bejat. Padahal sekarang usianya baru dua ratus
lima belas tahun, sama dengan usia si Gila Tuak. Kutukan itu membuat tak satu
pun ilmu dari kakek atau neneknya diturunkan kepadanya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Bi- ru").
Manusia terkutuk itu pernah
melamar penguasa Puri Gerbang Surgawi yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum
dan bergelar Gusti Mahkota Sejati. Hampir saja ratu cantik yang menjadi calon
istrinya Pendekar Mabuk itu celaka oleh ulah si anak durhaka itu. Beruntung
Suto Sinting segera datang membebaskan Dyah Sariningrum, namun tak berhasil
tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk bersumpah akan memberikan mas
kawin kepada Dyah Sariningrum berupa potongan kepala Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga selama ini Suto selalu mengejar-ngejar tokoh terkutuk itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
Kini si manusia terkutuk itu
bikin ulah yang lebih memuakkan lagi di depan Suto Sinting. la mendekati Congor
dengan wajahnya yang kaku tanpa senyum, pandangan matanya yang dingin tanpa
kesan bersahabat atau bermusuhan. Namun dilihat dari caranya mengangkat dagu
Congor dengan menggunakan ujung tongkat El Maut-nya, Pendekar Mabuk dapat
simpulkan bahwa Siluman Tujuh Nyawa bersikap keji terhadap bocah sekecil
Congor.
"Kau telah membohongiku,
Bocah babi!" ucapnya dengan kasar kepada Congor. "Ratumu tidak ada di
Lembah Kesumban! Kau telah sembunyikan dia serapi mungkin, lalu menjebakku agar
terperangkap di sarang harimau yang ada di hutan Lembah Kesumban! Kalau kau
tidak kubenamkan di tanah ini, kau sudah kabur dan sulit kuhukum pancung atas
keberanianmu menipuku, Bocah babi!"
"Lepaskan aku dulu dari
tanah ini, baru kuberitahukan di mana Gusti Ratu Dewi Kasmaran berada!"
seru Congor dengan suara lantang, seakan tak punya rasa takut terhadap ancaman
si Durmala Sanca itu.
"Kau tidak akan kulepas
selama-lamanya dari tanah ini. Kau akan menjadi bangkai tanpa kepala ditempat
ini. Dan kepala mu akan kubawa ke Pulau Selintang sebagai bukti bahwa aku tak
mau dipermainkan lagi oleh orang Pulau Selintang. Siapa yang tak mau tunjukkan
di mana Ratu Dewi Kasmaran berada, maka nasibnya akan seperti dirimu;
kehilangan kepala!"
Ujung senjata El Maut sudah
merayap ke leher Congor. Sekali sentak, pasti kepala bocah cerdas itu akan
terpotong lepas dari badannya.
Pendekar Mabuk tak berani
bertindak gegabah. Jika ia muncul, maka Congor akan dijadikan sandera oleh
Siluman Tujuh Nyawa dan nyawa bocah itu semakin terancam. Karenanya, dalam
waktu singkat otak Suto telah berputar dan menemukan cara terbaik untuk
selamatkan nyawa Congor. Ilmu 'Dewatakara' dipergunakan lagi oleh Pendekar
Mabuk. Cipta batinnya kali ini ditujukan ke arah gugusan batu yang ada di
belakang Siluman Tujuh Nyawa. Jarak gugusan batu itu sekitar sepuluh tombak
dari tempat Congor ditanam oleh si tokoh terkutuk itu. Dengan memejamkan mata
menyatukan batin dan pikiran tiba-tiba gugusan batu meninggi itu telah berubah
dalam sekejap menjadi sesosok wanita cantik dan berdada montok. Blaab...!
Batu itu telah berubah menjadi
Ratu Dewi Kasmaran yang bertubuh sekal, berhidung mancung dan bermata
membelalak indah. Ratu Dewi Kasmaran
mengenakan jubah merah muda bintik- bintik emas dari bahan kain sutera tipis.
Pinjung penutup dadanya dan kain bawahnya berwarna hijau tipis. Rambutnya
diriap sebagian, sisanya digulung ke atas dan mengenakan mahkota kecil.
"Lepaskan anak itu!"
terdengar suara Ratu Dewi Kasmaran yang membuat Siluman Tujuh Nyawa segera
palingkan wajah.
"O, kau muncul dengan
sendirinya. Syukurlah, itu berarti kau telah selamatkan nyawa bocah ini!"
ujar Siluman Tujuh Nyawa tanpa senyum sedikit pun, namun juga tidak tampak
cemberut atau berkerut dahi. Wajah pucat berbibir biru itu tampak datar-datar
saja, dingin dan memancarkan kekejian yang amat dalam.
"Dekatlah padaku dan
jangan lakukan tindakan yang bodoh demi keselamatan nyawa bocahmu ini, Dewi
Kasmaran!"
Dengan langkah tenang, Ratu
Dewi Kasmaran melangkah mendekati Durmala Sanca.
"Tinggalkan saya, Gusti
Ratu! Jangan hiraukan nyawa saya, Gusti!" seru Congor seakan tak rela jika
gusti ratunya jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa. Tetapi Suto Sinting sengaja
membuat seolah-olah
Ratu Dewi Kasmaran membodohkan
ucapan Congor tadi. Sang Ratu terdengar berkata kepada Congor sambil tetap
melangkah pelan dekati Siluman Tujuh Nyawa.
"Gunakan otakmu yang
cerdas itu, Congor! Pandanglah siapa orang yang kita hadapi. Aku baru sadar
kalau orang yang kita hadapi adalah tokoh sakti yang sukar dicari tandingannya.
Menyerah kepadanya bukan sesuatu yang merugikan, Congor. Sebab aku tahu, bahwa
kita yang lemah ini memang sudah selayaknya mengabdi kepadanya, Congor!"
"Bagus. Pikiranmu
sekarang telah terbuka, rupanya!" sambil Siluman Tujuh Nyawa melepaskan
ancaman tongkat El Maut-nya dari leher Congor. Kini ia justru melangkah
menyambut kedatangan Ratu Dewi Kasmaran yang menyunggingkan senyum manis dan
manja, dengan sorot pandangan mata berkesan nakal.
"Sudah begitu lama aku
tidak menikmati keindahan cinta seorang wanita, karena dikejar-kejar oleh murid
sintingnya Gila Tuak itu. Sekarang gairahku datang dan membakar hasrat
kejantananku begitu aku melihatmu mendarat dari kapalmu di Pantai Utara
kemarin."
"Mengapa kau tidak segera
menemuiku pada saat itu, selagi dekat dengan kapalku, selagi ada kamar untuk
kencan kita berdua."
"Aku masih belum
mengetahui siapa dirimu, Dewi Kasmaran. Setelah kusadap percakapanmu dengan
beberapa anak buahmu, aku baru tahu bahwa kau adalah Ratu yang kesepian dan
mengharapkan belaian kasih sayang serta cumbuan hangat seorang lelaki. Seketika
itu pula aku merasa mampu memenuhi harapanmu, Dewi Kasmaran!"
Mereka semakin dekat. Siluman
Tujuh Nyawa hanya sunggingkan senyum sangat tipis dan pandangan matanya masih
datar berkesan dingin. Tetapi Ratu Dewi Kasmaran menyambut pandangan mata itu
dengan nyala api berpijar-pijar di permukaan kedua bola matanya yang indah itu.
Bahkan ketika mereka sama-sama hentikan langkah dan saling berdekatan, Ratu
Dewi Kasmaran membiarkan rambutnya dibelai oleh Siluman Tujuh Nyawa, pipinya
diusap dengan jemari tangan yang berkuku runcing, dan usapan itu merayap hingga
belahan dada sang Ratu.
"Benarkah kau mampu
memberikan kepuasan bagi diriku yang kesepian ini, Siluman Tujuh Nyawa?"
"Akan kubuktikan sekarang
juga."
"O, jangan! Maksudku,
jangan di sini. Aku tak ingin kemesraan kita dilihat bocah kecil itu. Bawalah
aku pergi ke tempat yang aman dan hangat, Siluman Tujuh Nyawa," ucap sang
Ratu Dewi Kasmaran dengan suara bernada manja dan penuh tantangan bercumbu.
"Di balik bukit kecil itu
ada gua! Kita ke sana saja!"
"Ooh... bawalah aku pergi
dengan cepat, aku sudah tak tahan memendam hasratku yang membara ini!"
Ratu Dewi Kasmaran menjatuhkan kepala di dada Siluman Tujuh Nyawa.
"Gusti Ratu...! Gusti
Ratu, sadarlah...!" seru Congor dalam keadaan masih terbenam separo bagian.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran
tetap melangkah dalam pelukan Siluman Tujuh Nyawa. Mereka meninggalkan Congor
dan tak hiraukan sedikit pun seruan bocah itu.
"Gusti...,"
tiba-tiba seruan Congor terhenti, karena ia melihat kehadiran Pendekar Mabuk
yang mendekatinya.
"Suto...?!"
"Ssstt...!" Pendekar
Mabuk beri isyarat dengan telunjuknya agar Congor diam saja. Pendekar muda dan
tampan itu tersenyum geli memandangi langkah Siluman Tujuh Nyawa yang tampak
mesra berdampingan dengan Ratu Dewi Kasmaran.
"Tolong bebaskan aku dari
penjara bumi ini!" bisik Congor.
"Tenang saja. Tak perlu
kau meminta tolong aku memang datang untuk selamatkan nyawamu."
"Aku dan kakakku
mendampingi Ratu Dewi Kasmaran. Dia memaksa kami untuk mencarimu."
"Ada apa dia
mencariku?"
"Gusti Ratu sangat rindu
padamu dan ingin jumpai denganmu walau
hanya sebatas pandangan mata saja."
"Sial! Itu penyakit yang
berbahaya, Congor!" "Berbahaya memang berbahaya, tapi bagaimana
dengan nasibku ini? Mengapa
kau hanya pandangi kepergian mereka?"
"O, ya... hampir saja aku
lupa kalau kau tertanam kuat-kuat."
"Si manusia terkutuk
itulah yang menanamku dengan jurus aneh, membuatku bagai terpenjara oleh sang
bumi!"
"Bersiaplah...! Jangan
banyak buka mulut biar tanah tak masuk ke tenggorokanmu!" ujar Suto
Sinting, kemudian kakinya menghentak ke tanah satu kali. Duhkk...! Bless...!
"Lho, bagaimana ini?! Kok
aku semakin tertanam ke dalam?!" ujar Congor dengan tegang, karena
sekarang tubuhnya lebih tenggelam ke bumi hampir mendekati lehernya.
"Ooh, maaf... aku salah
pakai jurus. Yang kupakai baru saja tadi adalah jurus 'Telan Bumi".
Sekarang akan kugunakan jurus imbangannya, jurus 'Jebol Bumi', Hiaaah. .!"
Duuhkkk...!
Bruss...!
Tubuh bocah cilik itu
terlempar naik bagaikan terbang. Tanah yang menjepitnya ikut tersembur ke atas
dan berhamburan ke mana-mana.
Congor segera berjungkir balik
ke udara beberapa kali. Jika tidak begitu, tubuhnya yang kecil akan terlempar
dan terbanting tanpa keseimbangan badan.
Wuk, wuk, wuk...! Jlegg...!
Congor mendaratkan kakinya ke
tanah dengan sigap dalam jarak empat langkah di samping kiri Suto Sinting.
Pada waktu itu, langkah
Siluman Tujuh Nyawa dengan Ratu Dewi Kasmaran melewati tempat berdirinya
gugusan batu yang dicipta dalam batin
Suto sebagai Ratu Dewi Kasmaran. Tetapi sebelum segalanya berubah,
semburan tanah saat tubuh Congor terlempar ke atas tadi menimbulkan suara yang
mencurigakan bagi Siluman Tujuh Nyawa. Maka sang tokoh sesat itu segera
berpaling ke belakang.
"Biadab...!"
geramnya tiba-tiba sambil berbalik tubuh secara total. Matanya memandang dingin
ke arah Pendekar Mabuk dan Congor yang tampak telah bebas dari 'penjara
bumi'-nya itu. "Kau sudah bosan hidup, rupanya!" ucapnya agak lirih
kepada Suto. Suara itu hampir saja tak terdengar karena jaraknya cukup jauh
untuk suara bernada serendah itu.
"Dewi Kasmaran, sebaiknya
kau...," kata Siluman Tujuh Nyawa itu terhenti karena mendadak hatinya
tersentak kaget melihat Ratu Dewi Kasmaran yang ada di sampingnya telah berubah
menjadi gugusan batu hitam menjulang setinggi manusia dewasa.
Siluman Tujuh Nyawa tersentak
kaget, namun raut wajahnya tetap dingin dan tanpa perubahan air muka sama
sekali. Sebagai tanda kemarahannya, batu itu segera disodok dengan sikunya.
Dess...!
Brrooll...!
Sodokan siku pelan telah
membuat gugusan batu hitam itu hancur menjadi bongkahan-bongkahan sebesar
genggaman bayi. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa tahu bahwa Ratu Dewi Kasmaran yang
tadi mendekatinya adalah jelmaan dari batu tersebut. Dan ia pun tahu ulah siapa
lagi yang seperti itu jika bukan ulah Pendekar Mabuk yang dibencinya itu.
"Kau mau adu sihir
denganku, Suto? Boleh saja!" ucapnya dengan suara datar bagai tanpa irama.
Pendekar Mabuk berbisik kepada
Congor. "Pergilah, cepat! Bawa Ratu Dewi Kasmaran
pulang. Nanti kalau urusanku
sudah selesai aku sendiri yang akan bertandang ke Pulau Selintang!"
"Baik! Tapi... bagaimana
urusanmu dengan tokoh sesat yang berilmu tinggi itu? Aku harus membantumu,
Suto!"
"Pergilah dan jangan
banyak bicara lagi!" Suto Sinting setengah menggertak dengan suara ditekan
dan bibir berusaha tak tampak bicara. Congor segera pergi. Tak berani membantah
perintah sang pendekar yang dikagumi itu. Tetapi setibanya di balik pohon agak
jauh dari tempat itu, Congor berbalik arah. Kini ia bersembunyi di balik pohon
itu, karena hatinya penasaran ingin melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan
Siluman Tujuh Nyawa.
Tokoh yang sebenarnya berambut
panjang tapi tak pernah kelihatan karena ditutup kain kerudung hitam itu, kini
menghentakkan tongkatnya ke tanah dengan pelan. Duhkk...! Tiba-tiba dari tanah
yang terkena sentakan tongkat itu keluar nyala api yang bergerak memanjang
bagaikan lari ke arah Pendekar Mabuk.
Wuurrsss...!
Gerakan api itu sangat cepat,
dan tahu-tahu telah mengurung Suto Sinting dalam sebuah lingkaran
berkobar-kobar. Lingkaran api yang keluar dari tanah itu makin lama semakin
bergerak menyempit, seakan ingin menjerat tubuh Suto Sinting.
Dengan cepat bumbung tuak
diraihnya, lalu ditenggak sebagian. Tuak itu segera disemburkan lewat mulut dengan
gerakan tubuh memutar cepat bagaikan gangsing.
Bruusss...!
Blaabbb...!
Lingkaran api padam seketika.
Sisa asapnya mengepul dan hilang di udara. Tanah yang bekas dipakai untuk
menyemburkan api tadi tampak menghitam hangus. Tanah itu makin lama semakin
bergerak turun bagai potongan papan bundar.
Wuuttt...! Suto Sinting segera
lakukan lompatan ke atas sebelum tanah yang berbentuk lingkaran itu meleak
lebih ke dalam lagi. Dalam sekejap saja Pendekar Mabuk sudah berada di atas
pohon. Dari sana ia bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' ke arah lain.
Zlaappp...!
Tahu-tahu sudah berada di
samping kanan Siluman Tujuh Nyawa dalam jarak sekitar tujuh langkah.
Tokoh berkerudung kain hitam
itu cepat-cepat ikuti dengan pandangan matanya yang tetap dingin dan datar.
"Sudah waktunya kau mati,
Bocah ingusan!"
Claappp...! Tiba-tiba Siluman
Tujuh Nyawa melompat ke arah Suto. Baru saja kakinya terangkat dari tanah,
tubuhnya telah lenyap dan berubah menjadi seberkas sinar biru berekor panjang.
Clapp...! Zrrraabbb...!
Sinar biru itu pecah menjadi
delapan larik yang semuanya menyerang Suto Sinting secara serempak dari delapan
penjuru.
Pendekar Mabuk nyaris terjebak
dan tak bisa hindarkan diri. Tetapi ia segera memutar bumbung tuaknya di atas
kepala dalam keadaan tubuhnya oleng sana-sini bagaikan orang sedang mabuk.
Dengan menggenggam tali
bumbung dan memutarkannya, maka angin besar pun hadir di sekeliling Suto
Sinting. Angin itu mengandung busa- busa salju, dan akhirnya membuat delapan
sinar dari delapan penuruA itu pecah dengan timbulkan suara ledakan yang cukup
keras.
Blegaarrr...!
Jurus itu sebenarnya sudah
dimiliki Suto sejak dulu, tapi jarang digunakan karena baru sekarang ia merasa
membutuhkan jurus yang dinamakan 'Kipas Malaikat' itu.
Pecahnya delapan sinar itu
menimbulkan kepulan asap putih kehitam-hitaman dalam satu gugusan. Asap itu
segera sirna dan sosok Siluman Tujuh Nyawa tampak kembali.
Begitu tokoh sesat itu muncul,
sebuah lompatan segera dilakukan ke arah Suto Sinting dengan tongkat berujung
pedang lengkung itu menyambar kepala Suto Sinting. Wuuttt...!
Suto Sinting berlutut dan
segera berguling ke tanah hindari tebasan tongkat El Maut. la berguling maju ke
depan, sehingga begitu tubuhnya tegak dalam posisi berlutut satu kaki, bumbung
tuaknya segera menyambar kaki Siluman Tujuh Nyawa yang berkelebat ke atas
kepalanya.
Wees...! Prraaakk...!
"Oouhk...!" pekik
Siluman Tujuh Nyawa, lalu tubuhnya limbung dan jatuh tersungkur. Brruukkk...!
"Sekarang saat kematianmu
tiba, Manusia terkutuk!" geram Suto Sinting sambil mengangkat bumbung
tuaknya yang ingin dihantam ke punggung lawan.
Tetapi tiba-tiba tangan kiri
Siluman Tujuh Nyawa menepuk tanah satu kali. Pluukkk...!
Lapp...! Tiba-tiba tubuh
berkerudung kain hitam itu lenyap bagai ditelan bumi. Tak ada bekas sedikit pun
yang tertinggal di tempat jatuhnya Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Jahanam! Kau pasti lari
ke alam gaib, Keparat! Keluarlah kau, dan hadapi aku secara jantan!" seru
Suto Sinting dengan hati dongkol. Tetapi seruan itu bagai tidak mendapat tanggapan
apa pun dari lawannya. Hati Suto menjadi semakin marah.
"Kukejar kau ke sana.
Pengecut!" Tangan kanan Suto segera mengusap keningnya. Di kening itu ada
tanda merah kecil sebesar biji jagung, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya. Dengan mengusap tanda merah kecil di kening, maka Suto Sinting dapat
menerabas masuk ke alam gaib dan segera memburu musuh bebuyutannya. Blaass...!
Congor terperanjat bengong
dengan mata mendelik. "Edan! Lenyap begitu saja?! Benar-benar sakti si
tampan itu! Aku harus segera menemui Gusti Ratu di tempat persembunyiannya dan
menceritakan hal ini kepada kakakku; Manis Madu, yang menjaga Gusti Ratul"
Congor pun segera berkelebat
pergi dengan gerakan cepat. Sementara itu, Pendekar Mabuk berkeliaran di alam
gaib memburu lawannya yang selalu melarikan diri jika dalam keadaan terdesak.
*
* * 4
CUKUP lama Pendekar Mabuk
berkeliaran di alam gaib. Tekadnya sudah bulat, bahwa saat itu ia harus
berhasil temukan Siluman Tujuh Nyawa dan menyelesaikan urusan lamanya yang tertunda-tunda.
Tetapi ternyata hingga beberapa waktu lamanya Suto menjelajahi alam gaib,
Siluman Tujuh Nyawa tak kelihatan batang hidungnya. Yang ditemukannya hanya
sosok makhluk-makhluk aneh penghuni alam gaib.
"Pada umumnya wajah
mereka buruk-buruk! Kasihan, mana ada gadis cantik di tempat seperti ini?"
ujar Suto membatin dalam hatinya.
"Oh, mengapa aku jadi
bernafsu sekali untuk dapatkan Siluman Tujuh Nyawa?! Bukankah hal yang lebih
penting kukerjakan adalah mencari 'Tuak Dewata' dan membawanya pulang untuk
segera sembuhkan sakitnya Kakek Guru?! Oh, hampir saja aku melantur lagi. Aku
harus mencari 'Tuak Dewata' itu dulu. Tak akan kulakukan pekerjaan lain sebelum
'Tuak Dewata' kudapatkan!"
Pendekar Mabuk segera tarik
napas, kemudian menenggak tuaknya tiga teguk. Tuak itu mempengaruhi keberanian
Suto, sehingga tidak merasa takut dan jijik melihat makhluk-makhluk alam gaib
yang punya bentuk dan ukuran berbeda-beda.
la justru menertawakan sesosok
makhluk yang menghampirinya. "Heh, heh, heh... wajah makhluk ini kok mirip
dengan bakul nasi? Eh, tapi siapa tahu dia bisa diajak bicara dan bisa
menunjukkan di mana adanya 'Tuak Dewata' itu? Hmmm... sebaiknya kucoba untuk
bertanya kepadanya."
Makhluk yang mirip bakul nasi
itu semakin mendekat. Mulutnya yang lebar mirip dompet penjual jamu gendong
segera terbuka. Lidahnya terjulur memanjang dengan wajah didekatkan pada Suto.
Plokk...!
Suto Sinting menabok wajah
makhluk itu. Mata bundar makhluk itu berkedip-kedip seperti kelilipan.
"Kurang ajar!
Ditakut-takuti malah nabok!" gerutunya dengan suara seperti kaset kendor.
"Hei, kau tahu di mana
bisa kudapatkan 'Tuak Dewata'?" sapa Suto Sinting dengan bertolak
pinggang, menampakkan keberaniannya yang membuat makhluk itu sendiri menjadi
ciut nyali.
"Kau tanya apa tadi?"
"Tuak Dewata!"'
"Tuak Dewata' itu jenis
makanan apa minuman?" "Uuh...! Belum-belum sudah tanya begitu,
berarti
kau tidak tahu di mana adanya
'Tuak Dewata'. Dasar makhluk tolol!"
"Apakah kau mencari Tuak
Dewata'?"
"Budek, tuli,
congekan!" gerutu Suto Sinting bersungut-sungut.
"Sebaiknya kau carilah
Tuak Dewata', siapa tahu itu nama pusaka yang ampuh. Kau manusia apa jenis
hantu?!"
"Mau apa tanya-tanya
begitu?!"
"Kalau kau hantu, atau
sejenis jin seperti aku, kau akan kubantu. Tapi kalau kau manusia, aku tak mau
membantu."
"Mengapa kau tak mau
membantu manusia?!" "Manusia
sering menipuku. Berlagak
siapkan
makanan untukku, darah segar.
Begitu kuminum, tidak tahunya air sepuhan merah! Rasa manis tak kudapat, rasa
pahit telanjur ketelan. Ngepet juga manusia itu!" mulut lebar itu
berkecamuk-kecamuk dalam bicaranya seperti
mengunyah permen karet. Suara
yang meliuk-liuk bernada besar membuat Suto Sinting ingin tertawa, namun
ditahannya kuat-kuat.
"Carikan aku 'Tuak
Dewata' untuk obati guruku!" "Ooo... jadi 'Tuak Dewata' sejenis obat?
Obat
cacing apa obat nyamuk?!"
Plakk...! Suto Sinting
menampar wajah lebar mirip bakpao raksasa itu.
"Kau pikir guruku sejenis
cacing atau nyamuk?!"
Makhluk aneh berwarna putih
lendir itu bersungut-sungut sambil pegangi pipinya yang kena tampar.
"Manusia kok galak!
Seharusnya jin lebih galak dari manusia!"
"Omong kosong! Jin mana
yang mau menggangguku, akan kulawan dia!"
"Tanyakan saja pada
mereka satu persatu, siapa yang mau mengganggumu. Kurasa tak ada yang berani,
karena kau galak sekali. Mirip ibuku kalau sedang hamil, selalu galak
sekali!"
"Sudah, jangan banyak
omong! Buang-buang waktu saja. Kau tahu tentang 'Tuak Dewata' atau tidak
sebenarnya?"
"Tidak tahu!" sentak
makhluk itu. "Tanyakan pada yang lain saja. Aku tak mau bicara lagi
denganmu. Belum genap sehari wajahku sudah bonyok, ketampanan ku bisa
hilang!"
"Begitu saja tampan, yang
jelek seperti apa?!" gerutu Suto Sinting sambil melangkah tinggalkan
tempat itu.
"Hei, Manusia... jangan
pergi ke sana. Itu perbatasan alam gaib yang tak boleh dimasuki manusia. Nanti
kau dihajar oleh penjaga perbatasan alam gaib!"
Seruan itu tak dihiraukan Suto
Sinting, karena di dalam benak Suto tiba-tiba terbetik gagasan untuk menemui
calon mertuanya yang menjadi penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di
alam gaib.
Jalanan di depan sana tampak
menyala hijau. Suto Sinting jadi ingat tentang lumpur menyala hijau seperti
fosfor yang ada di lorong gua menuju istana Ratu Kartika Wangi. Oleh sebab itu,
gagasan untuk menghadap Ratu Kartika Wangi terbit di benak Suto dan hatinya
berharap agar sang calon mertua nantinya dapat menjelaskan apa dan bagaimana
sebenarnya 'Tuak Dewata' itu.
Alam di sekeliling tempat itu
tampak redup. Tidak terang dan tidak gelap. Seperti mendung di siang hari.
Tetapi langit yang tampak dari tempat itu dalam keadaan putih bersih tanpa mega
mendung sedikit pun. Hanya saja, matahari tak kelihatan muncul di langit
sebelah mana pun. Rembulan juga tak ada. Entah cahaya terang yang redup itu datang
dari mana, yang jelas hawa udara di
tempat itu juga tidak panas dan tidak dingin.
Pendekar Mabuk bulatkan tekad
mendekati jalur yang menyala hijau pijar-pijar itu. Untuk mencapai jalur hijau
di seberang sana, ia harus melewati padang pasir tanpa tanaman sedikit pun.
Pasir yang menghampar bukan berwarna putih, melainkan berwarna merah
kecoklatan. Bentuknya halus seperti tepung, namun mempunyai kepadatan
tersendiri bagai tanah lapangan berdebu merah kecoklatan.
"Inikah yang dimaksud
perbatasan alam gaib itu?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah dengan
menenteng bumbung tuaknya di pundak kanan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti
karena seberkas cahaya merah mirip bintang berekor terbang mendekatinya.
Wuuttt...! Suto Sinting segera meraih tali bumbung tuaknya. Cahaya merah yang
mendekatinya segera dihantam dengan bumbung tuak tersebut. Wuuutt...!
Blangng...!
Hantaman itu timbulkan ledakan
yang menggema. Seakan langit putih itu mulai menjadi merah saga akibat percikan
cahaya merah dari ledakan tadi. Gema ledakan masih terdengar sampai tiga helaan
napas, sepertinya gema itu sukar hilang dari gendang telinga Pendekar Mabuk.
Terjadinya ledakan itu membuat
sinar merah seperti bintang jatuh lenyap. Lenyapnya sinar merah mengepulkan
asap tipis warna putih. Asap itu pun lenyap sedikit demi sedikit, dan sesosok
tubuh tinggi besar keluar dari gumpalan asap yang memudar itu.
"Gila! Makhluk apa lagi
ini?!" pikir Suto Sinting dengan mundur selangkah dan wajahnya mendongak
pandangi wajah makhluk menyeramkan itu.
Kedua kaki makhluk itu
besarnya seukuran pilar istana, panjang dan berbulu mirip tanaman rambat.
Perutnya membusung besar dan hanya mengenakan cawat dari kain tebal, entah
bahan apa yang digunakan. Makhluk itu tingginya tiga kali tinggi Suto Sinting
dan mempunyai dada berkulit retak-retak.
Sekujur tubuhnya yang berwarna
abu-abu itu berdebu putih sampai di bagian kepala. Makhluk itu seperti
mengenakan bedak yang menyebarkan bau apek, tak sedap dihirup hidung. la
berkepala gundul polos, daun telinganya lebar melambai-lambai, mempunyai mata
dan mulut besar, hidungnya pun mirip guci tuak yang sering dijual di
kedai-kedai.
"Grrrmmm...!" la
menggeram dengan mata besarnya melotot lebar sekali. "Mau apa kau datang
kemari, Manusia?!" "Siapa kau dan mengapa berani menghadang
langkahku?!" Suto Sinting justru balik bertanya. la tak tampak takut
sedikit pun.
"Aku Jin Koplo, penjaga
perbatasan alam gaib ini, Tolol!"
"Lalu, mengapa kau
menghadang langkahku?" "Tidak setiap makhluk boleh memasuki
perbatasan ini, sebelum mendapat
izin dariku! Jadi aku harus menghentikan langkahmu, dan kalau kau nekat
terpaksa kuinjak kepalamu di sini sampai pecah. Pyaaah..! Huah, hah, hah, hah,
hah...l"
Suara besar itu serukan tawa
yang menggema ke mana-mana. Tawanya itu hadirkan gelombang getaran yang membuat
tubuh Suto Sinting seperti sedang diguncang gempa.
"Aku ingin ke Jalur Hijau
itu!" kata Suto Sinting setelah guncangan itu berhenti dengan sendirinya.
"Kau tak boleh mencapai
Jalur Hijau itu!" "Kenapa tak boleh?!"
"Itu jalur terhormat dan
tidak sembarang makhluk boleh mencapai Jalur Hijau itu."
"Kau belum tahu siapa
aku, Jin Koplo!"
"Tentu saja, sebab kalau
aku sudah tahu siapa kau, akan kutanyakan mana oleh-oleh bawaanmu?! Huah, hah,
hah, hah, hah...!"
Wuurss...!
Suto melemparkan segenggam
pasir ke mulut Jin Koplo. Jin itu tersentak kaget dan menyembur- nyemburkan
pasir yang masuk ke mulutnya.
"Brusstt...! Bruusst...!
Kurang ajar! Bruusst...!"
Semburan itu hadirkan angin
kencang yang membuat Suto Sinting jadi terlempar ke sana-sini dan
berguling-guling bagai dihempaskan oleh badai berkekuatan tinggi. "Sial!
Aku kena getahnya juga!" gerutu
Suto sambit bangkit dan buru-buru menenggak tuak untuk memulihkan
tenaganya yang habis terbanting-banting tadi.
"Hoi, Manusia rongsok...!
Berani-beraninya kau berbuat lancang di hadapanku, hah..,?!"
Bentakan suara 'hah' itu
membuat dada Suto bagai terasa dihantam dengan kayu balok besar. Suto Sinting
terpaksa mundur dua langkah dan menahan napasnya.
"Di sini aku jin
terhormat, ditakuti oleh makhluk alam gaib lainnya! Tapi mengapa kau seenaknya
mendulangku pakai pasir?! Kau pikir makananku pasir?! Aku bukan undur-undur,
tahu?!"
"Apakah kau cukup sakti
sehingga merasa patut dihormati?!"
"Jin Koplo adalah jin
paling sakti di jajaran para makhluk alam gaib ini! Kalau tidak percaya,
silakan adu kesaktian denganku!"
"Tunjukkan kesaktianmu
dengan mengubah dirimu menjadi seukuran denganku! Kalau kau bisa, aku baru mau
mengakuimu sebagai jin sakti dan menaruh hormat padamu!"
"Berubah menjadi seukuran
denganmu?! Huah, hah, hah, ha, huaaah...!" tawanya membuat Suto Sinting
terpaksa menutup kedua telinganya kuat-kuat. Jika tidak, ia khawatir gendang
telinganya akan pecah.
"Berubah seperti dirimu
adalah hal yang paling mudah bagiku!"
"Coba tunjukkan, jangan
hanya besar mulut di depanku, Jin Koplo!"
"Baik! Akan kutunjukkan
kalau aku punya kesaktian bisa mengubah diri menjadi sebesar dirimu!"
Kemudian Jin Koplo pejamkan
mata sambil menggeram dengan kedua tangan bersidekap di dada.
"Grrrhmmm...!"
Suuuttt...! Tanpa sinar tanpa
asap, Jin Koplo tiba- tiba telah berubah menjadi kecil, menyusut dengan cepat
menjadi seukuran dengan Pendekar Mabuk.
"Lihat, aku sudah menjadi
seukuran denganmu, bukan?!" suaranya pun menjadi cempreng, seperti suara
anak-anak.
Pendekar Mabuk tak banyak
bicara, langsung melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Dengan jari menyentil
beberapa kali, tubuh Jin Koplo terlempar ke sana-sini tanpa bisa memberi
balasan apa-apa. Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
kekuatannya seperti tendangan kuda jantan.
Tes, tes, tes, tes, tes,
tes...!
"Aaaauww...!" Jin
Koplo menjerit panjang sambil berjungkir balik ke sana-sini, mirip seekor kecoa
yang disentil kian kemari. Jika kedua kakinya di atas dalam keadaan jatuh
telentang, ia seperti sukar membalikkan tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Suto
untuk menghajarnya terus dengan jurus 'Jari Guntur'-nya.
"Kalau kau merasa sakti
dan patut kuhormati, lawanlah jurusku ini!" seru Suto Sinting sambil tetap
melancarkan sentilan bertubi-tubi. Jin Koplo tak diberi kesempatan untuk
membalas atau menyerang. Bahkan kesempatan untuk beristirahat dari jungkir
baliknya juga tak ada.
"Waaooww...! Hentikan!
Hentikaaan...!
Ampuuun...!" teriaknya
dengan suara cempreng.
Dalam posisi jatuh tengkurap,
tiba-tiba Jin Koplo langsung bersikap sujud kepada Suto Sinting, wajahnya
mencium tanah dan kedua tangannya terangkat-angkat dengan gerakan membungkuk-
bungkuk.
"Ampuuun...! Ampun...!
Aku pusing sekali, Manusia! Kepalaku seperti hilang, dadaku seperti bolong,
oooh... ampuuun... tulang-tulangku sudah kau buat patah empat bagian. Mohon
jangan kau patahkan lagi. Aku tak mau menjadi jin presto, alias jin bertulang
lunak seperti ikan bandeng yang dimakan manusia sejenismu itu. Wuodoow...
ampunilah aku, Manusia...!"
Jin Koplo tak tahu kalau Suto
Sinting sudah pindah ke belakangnya agak jauh sambil jaga-jaga diri. la masih
bersujud-sujud memohon ampun di tempat bekas Suto berdiri tadi.
"Aku di sini, Jin
Koplo!"
Jin itu mendongakkan wajah,
dan terbengong melihat tempat di depannya kosong. la menoleh ke belakang,
melihat Suto berdiri dengan jari mau disentilkan. Jin itu segera merangkak
terburu-buru dengan ketakutan.
"Ampun, ampuuun...!
Jangan sentil lagi aku! Tubuhku sudah sakit semua! Mohon kita berdamai saja. Damai
saja, Manusia...!" pintanya sambil memegangi 'jimat kejantanannya' yang
tadi sengaja disentil Suto dari jarak jauh sebanyak tiga kali. Rasa sakit pada
tempat itulah yang membuat Jin Koplo akhirnya tobat dan tak berani bersikap
kasar kepada Pendekar Mabuk.
"Bangunlah jika kau mau
bersahabat denganku! Tapi ingat, jika kau berubah besar di depanku, aku akan
menyentil 'jimatmu' dengan tenaga dalamku yang lebih besar juga!"
"Tii... tidak, tidak...!" tangannya digoyang- goyangkan. "Aku tidak
akan berubah besar lagi di depanmu. Aku akan berubah besar di belakangmu
saja."
"Juga tidak boleh! Nanti
kau membokongku dari belakang!"
"O, ya, tidak, tidak...!
Aku tidak akan berubah besar sebelum kau pergi dari hadapanku! Kita... kita
damai saja, ya?"
Pendekar Mabuk menarik napas
sambil tersenyum bangga. Jin Koplo melangkah dengan kaki merenggang dan
mendekap 'jimat kejantanannya' yang terasa bengkak bagai bisul mau pecah.
"Dapatkah kau mengobati
penyakit turun berokku ini?" ujarnya sambil menyeringai menyedihkan.
"Minumlah tuakku ini.
Buka mulutmu!"
Jin Koplo menurut saja membuka
mulutnya. Pendekar Mabuk mengucurkan tuaknya ke mulut itu. Beberapa saat
setelah Jin Koplo menelan tuak, rasa sakit di sekujur tubuhnya pun lenyap.
"Hebat sekali minumanmu
itu. Oh, ya... siapa namamu, Kawan?!"
'"Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk!"'jawab Suto dengan senyum ramah karena Jin Koplo lebih
dulu memanggil 'kawan', sehingga Suto merasa perlu mengimbangi sikap
persahabatan itu.
"Sebenarnya apa yang kau
cari di sini, Kawanku Suto?"
"Aku mencari obat untuk
sembuhkan sakitnya guruku. Obat itu bernama 'Tuak Dewata'. Apakah kau tahu di
mana ada 'Tuak Dewata' itu, Jin Koplo?!"
Jin Koplo tertegun bengong.
Apa maksudnya, Suto sempat bingung mengartikannya. Tahu atau tidak tahu, tak jelas
tergambar di wajah Jin Koplo. Jin Koplo hanya berkata, "Orang-orang di
Jalur Hijau mungkin tahu tentang 'Tuak Dewata' yang kau cari. Rasa-rasanya
sangat tepat jika kau pergi ke wilayah Jalur Hijau itu. Kawan."
"Jadi kau sendiri tidak
tahu tentang 'Tuak Dewata' itu?" Suto penasaran dan ingin ketegasan dari
Jin Koplo.
"Aku hanya pernah
mendengar nama 'Tuak Dewata' disebutkan oleh salah seorang penghuni Jalur Hijau
itu. Hanya satu kali kudengar dan itu pun sudah sekitar seribu tahun yang
lalu."
"Seribu tahun yang
lalu?" Suto membelalak heran. "Dan aku tidak tahu apa artinya 'Tuak
Dewata' itu. Mungkin nama seseorang, mungkin nama pusaka, mungkin nama makanan,
mungkin juga nama penyakit. Aku sungguh-sungguh tak tahu-menahu tentang arti
'Tuak Dewata' itu, Kawan. Tetapi aku yakin, satu dari sekian banyak penghuni
wilayah Jalur Hijau pasti ada yang mengetahui tentang arti 'Tuak
Dewata' tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam
pendek dengan hati agak lega. Setidaknya ia punya harapan akan mendapat
keterangan tentang 'Tuak Dewata' itu dari salah satu penghuni wilayah Jalur
Hijau tersebut. la berharap keterangan yang akan diperolehnya nanti tidak akan
membuatnya menjadi lebih pusing dan lebih menjengkelkan.
"Tetapi hati-hatilah
memasuki Jalur Hijau itu, Kawan Suto," ujar Jin Koplo lagi. "Sebab,
jalur itu adalah wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Tidak
setiap makhluk dapat selamat memasuki Jalur Hijau."
"Mengapa begitu?"
"Karena wilayah itu
adalah wilayahnya seorang ratu maha sakti yang kabarnya sekarang sudah
mempunyai seorang panglima perang bergelar Manggala Yudha Kinasih."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum.
"Kudengar sang Manggala
Yudha Kinasih itu mempunyai ilmu sangat tinggi dan sukar ditumbangkan,"
tambah Jin Koplo. "Siapa pun yang memasuki wilayah Jalur Hijau harus
berhati bersih dan jiwa yang suci. Jika tidak kau akan terperosok dalam jebakan
maut yang mereka pasang di sepanjang jalur menuju istana Puri Gerbang
Surgawi."
"Terima kasih atas
nasihatmu, Kawan," ujar Suto ikut-ikutan memanggil 'kawan' kepada Jin
Koplo.
"Aku tak berani
mengantarmu sampai di sana, sebab aku takut berhadapan dengan panglima
perangnya Puri Gerbang Surgawi itu. Kubayangkan, aku tak akan sanggup melawan
si panglima yang bergelar Manggala Yudha Kinasih itu."
Suto Sinting semakin tertawa
geli. "Kau telah berhadapan dengannya, Jin Koplo."
"Maksudmu berhadapan
dengan Manggala Yudha Kinasih itu?!"
"Benar. Karena akulah
orang yang mendapat gelar kehormatan dari sang Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi
itu. Akulah yang bergelar Manggala Yudha Kinasih, panglima terdepan dalam
jajaran prajurit Puri Gerbang Surgawi itu!"
Jin Koplo diam terbengong
pandangi Suto Sinting, ia menjadi seperti jin linglung yang tidak tahu harus
berbuat apa setelah mendengar pengakuan tersebut. la memang tidak tahu, bahwa
Suto memang telah diangkat menjadi panglimanya Ratu Kartika Wangi dan mendapat
gelar kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih, terutama sejak ia diakui
sebagai calon suami Dyah Sariningrum, putri kedua dari Ratu Kartika Wangi yang
berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Tetapi raut wajah buruk Jin
Koplo yang tampak dalam keraguan membingungkan itu membuat Suto Sinting menjadi
penasaran, lalu ikut-ikutan bingung juga. Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan
dahi berkerut,
"Mengapa kau tampak
menjadi bingung begitu, Jin Koplo?"
"Karena... karena
setahuku yang bergelar Manggala Yudha Kinasih dan menjadi panglima perang sang
Ratu bukan orang yang bernama Suto Sinting, seperti pengakuanmu tadi."
"Lalu, bernama siapa
orang yang menjadi panglima sahg Ratu itu?"
"Kabar yang kudengar,
orang itu bernama Durmala Sanca."
"Apa...?!" Pendekar
Mabuk terpekik kaget. Seperti ada petir menyambar alisnya ketika mendengar nama
Durmala Sanca sebagai nama asli orang yang mendapat gelar Manggala Yudha
Kinasih dari Ratu Kartika Wangi.
Jantung Suto mulai
berdetak-detak bagai ada yang menendang dari dalam dada. Durmala Sanca alias
Siluman Tujuh Nyawa dikabarkan sebagai panglima perang negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib. Apakah itu berarti Suto sudah tidak dipakai lagi oleh
sang Ratu Kartika Wangi? Apakah kedudukan Suto sekarang sudah digantikan
oleh Durmala Sanca? Apakah Suto Sinting
juga tidak diakui pula sebagai calon menantu Gusti Ratu Kartika Wangi?
"Jika benar begitu,
apakah berarti Dyah Sariningrum akhirnya akan menjadi istri Siluman Tujuh
Nyawa?!" tanya Suto kepada hatinya sendiri yang berdebar-debar dibakar
oleh kecemburuan dan kekecewaan.
*
* * 5
JALANAN yang memancarkan
cahaya hijau pijar itu ternyata mengandung lumut halus, dan lumut itu
mengeluarkan cahaya hijau semacam cahaya fosfor. Jalanan yang mengandung lumut
itu menuju ke arah suatu tempat menyerupai lorong di antara dua tebing. Dengan
mengikuti jalanan bercahaya hijau, Pendekar Mabuk akhirnya tiba di sebuah
lorong gua yang dindingnya menyala hijau karena ditumbuhi oleh lumut-lumut aneh
itu.
Lumat-lumut pada dinding
lorong itu tampak belum pernah ada yang menjamah dan tumbuh secara alami. Suto
tak mau menyentuhnya sebab ia tahu lumut itu mengandung racun. Dulu ketika ia
memasuki lorong gua tersebut bersama Dewa Racun, ia hampir saja menyentuhnya
namun segera dicegah oleh Dewa Racun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Manusia Seribu Wajah").
Lorong tersebut bukan saja
mempunyai keindahan pada lumut bercahayanya, melainkan juga langit-langit
lorong mempunyai keindahan tersendiri. Lekuk-lekuk bebatuan di langit lorong
mirip lukisan alam. Ada yang bergelembung bagaikan bisul besar mau pecah, ada
yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dari berbuku-buku, ada pula
yang menonjol bagaikan bunga sedang menguncup.
Di sela-sela tanaman lumut
yang menyala itu terdapat bebatuan warna-warni. Ada yang menggerombol berbentuk
bulat-bulat warna kuning terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan berwarna
merah bening, bahkan ada yang berbintik- bintik kecil mirip butiran biji salak
berwarna coklat tua bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut di
sekitarnya. Pemandangan di dalam lorong itu memang sangat indah dan menakjubkan. Namun semua
keindahan itu ternyata mengandung falsafah hidup yang sangat dalam. Karena
keindahan yang ada di lorong itu adalah keindahan yang mengandung racun
berbahaya dan tak boleh disentuh sedikit pun. Hal itu mengajarkan kepada
manusia tentang banyaknya keindahan yang menyenangkan hati namun cukup
berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia itu sendiri. Di balik keindahan dan
kemegahan terdapat maut yang selalu mengancam kelengahan kita.
Perjalanan sang Pendekar Mabuk
tiba di sebuah ruangan yang lebarnya sepuluh tombak, mempunyai pilar-pilar alam
yang berwarna-warni dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu
seperti sesuatu yang kental menetes dari langit-langit lorong dan mengeras.
Letak serta bentuknya tidak beraturan. Ada yahg berongga, ada yang seperti dua
tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata tombak
raksasa, dan semua itu sepertinya mengandung seni keindahan yang mahal dan
sukar didapatkan di permukaan bumi, atau di alam nyata.
Pilar-pilar indah dilewati.
Tapi lumut-lumut yang memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya saja letaknya
tidak lagi di dinding kanan-kiri lorong, melainkan di langit-langit lorong
tersebut. Lumut- lumut berdaun panjang itu menggantung bagaikan lampu-lampu
hias yang memancarkan cahaya hijau indah, menerangi lorong tersebut.
Kini keindahan yang ada
ditambah lagi dengan keindahan pada lantai lorong. Lantai itu bukan lagi
terdiri dari tanah atau batuan biasa, melainkan dari kaca jernih dan bening sekali.
Karena beningnya, lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai gua
itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening yang sangat terang. Sedangkan pada
dinding lorong masih terdapat bebatuan yang punya warna cerah dan berkilap.
"Kuingat...," kata
Suto dalam hatinya,"... lantai bening ini mempunyai arti kehidupan yang
cukup dalam. Lantai jernih ini merupakan peringatan bagiku untuk
memperhitungkan setiap langkah yang akan kulalui. Jika langkahku disertai niat
dan hati yang bersih, bening dan berpikiran jernih, maka setiap langkahku akan
membawa kemenangan tersendiri dalam hidup."
Pendekar Mabuk sengaja
berhenti sejenak untuk merenungi keindahan di sekelilingnya . la memandang
lumut-lumut bercahaya hijau yang ada di langit-langit lorong. Lalu, hatinya pun
berkata sambil mengenang masa-masa berada di tempat itu bersama Dewa Racun.
"Lumut-lumut itu adalah
penerang bagi langkahku. Dalam falsafah, aku tak boleh selalu merasa rendah dan
minder menghadapi kehidupan ini. Sekalipun diriku nilainya hanya seperti lumut,
tapi jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya terangku tetap menjadi
penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke dalam jurang lubang yang
menyesatkan. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu manusia, hendaknya dapat
berguna bagi kehidupan mereka yang membutuhkannya."
Langkah Suto pun dilanjutkan
kembali menapak di lantai bening. Anehnya, tak satu pun tampak ada bekas
telapak kaki di lantai jernih tersebut. Lantai itu tetap tampak jernih, bening
dan bersih.
Tetapi anehnya lagi, bayangan
Suto yang memantul pada lantai jernih itu bukan seperti bayangan dalam sebuah
cermin. Bayangan itu berwarna hitam, seperti bayangan sebuah benda jika terkena
sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan
telapak kaki Suto, melainkan sedikit tertinggal di belakang Suto, sepertinya
Suto mendapat sorotan sinar dari arah depannya.
"Sesuatu yang hitam
biasanya simbol dari keburukan. Kuingat, bayangan di lantai ini pun merupakan
ajaran dari sisi kehidupan, bahwa ke mana pun aku pergi selalu diikuti oleh
sifat-sifat buruk yang selalu berusaha menyatu dengan diriku. Tergantung sikap
diriku, apakah mau memakai keburukan itu atau meninggalkannya. Tetapi pada
awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti oleh keburukan,
seperti rencana- rencana licik, nafsu serakah, dan sebagainya. Lantai yang
menyerupai cermin itu merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu ingat dan
waspada bahwa setiap langkah manusia selalu dibayang-bayangi oleh keburukan.
Jangan sampai aku menjadi lengah dan dikuasai oleh bayangan hitam diriku
sendiri. "
Pendekar Mabuk juga teringat
kata-kata gadis penyambut kedatangannya pada waktu ia berada di tempat itu
bersama Dewa Racun. Gadis yang menyambutnya adalah Sang Wengi, dan gadis itu
berkata kepada Suto serta Dewa Racun.
"Bagi orang yang tidak
memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka
tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi." Karenanya, Pendekar
Mabuk sejak tadi sudah membersihkan hati dan pikirannya terlebih dulu. la hanya
mempunyai satu niat, yaitu mencari obat untuk sembuhkan sakit sang Guru. Adapun
kabar tentang Durmala Sanca sebagai panglima dan bergelar Manggala Yudha
Kinasih, dibuang dulu dari alam pikiran Suto Sinting. Tak ada iri, tak ada
benci, tak ada kecemburuan. Akibatnya, mata Suto masih bisa menikmati keindahan
yang ada di sepanjang lorong yang menuju ke sebuah ruangan besar dan ruangan
itu disebutnya: balairung istana.
Ruangan itu sangat indah dan
megah. Pilar- pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut, dan sebagainya.
Lantainya bagaikan bentangan kaca lebar, sangat luas dan bening. Dindingnya
terbuat dari lempengan-lempengan batu putih kemilau bagai lempengan batu intan.
Seperti dulu juga, kedatangan
Pendekar Mabuk disambut oleh wajah-wajah cantik yang menawan hati. Dua dari
beberapa wajah cantik sudah dikenali oleh Suto. Dua wajah cantik yang dikenali
Suto itu adalah Sang Wengi dan Sang Ramu.
Senyum mereka ramah sekali,
menciptakan debaran indah dalam hati yang tak bisa dilukiskan dengan kata.
Sambutan itu agaknya sudah dipersiapkan sejak sebelum Suto Sinting memasuki
Jalur Hijau. Sepertinya mereka sudah tahu lebih dulu bahwa akan ada tamu
penting yang patut dihormati dan disambut dengan keramahan tersendiri.
Para wanita cantik yang masih
berusia muda itu menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Mereka memberi
hormat dengan ucapan Sang Wengi mewakili sambutan mereka.
"Selamat datang, Gusti
Manggala Yudha Kinasih. "
"Damai hidupmu,
panjanglah umurmu semua!" Itulah ucapan Suto Sinting sebagai salam balasan
kepada mereka. Sebelum Suto mengucapkan kata- kata itu, mereka tetap akan
tundukkan kepala dan berlutut dengan satu kaki.
"Gusti Ratu Kartika Wangi
sedang bersiap untuk menemui Gusti Manggala. Sudilah kiranya Gusti Manggala
menunggu sejenak."
"Aku akan bersabar
menunggu sampai kapan pun," ucap Pendekar Mabuk dengan tegas dan
berwibawa.
Sang Wengi dan Sang Ramu
membawa Suto Sinting naik ke lantai bundar di depan singgasana. Tinggi lantai
bundar itu kurang dari setengah jengkal, tetapi merupakan tempat khusus untuk
menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk,
lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika Suto Sinting naik ke atas lantai
itu, muncullah perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi-badan sejajar
semua.
Perempuan-perempuan yang
tinggi badannya sejajar itu mengenakan pakaian serba kuning gading. Mereka
muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana
bundar itu.
Istana itu mempunyai tiga
lantai. Lantai bawah, tempat Suto dan perempuan-perempuan penyambut yang
mengenakan pakaian serba putih, lantai dua diisi oleh perempuan-perempuan
berpakaian kuning gading yang berjajar berkeliling dengan rapi. Sedangkan
lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan berambut cepak berikat kepala
seperti mahkota emas kecil dan menyandang pedang merah di punggung. Jumlahnya
lebih dari dua puluh lima orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis
warna merah, mengenakan penutup dada
warna merah juga yang dilapisi rompi panjang sebatas perut warna merah pula.
Mereka adalah prajurit-prajurit istana pilihan. Mereka juga berjajar rapi
mengelilingi lantai istana bagian atas yang berbentuk bundar itu.
Tiba-tiba terdengar suara
gaung menggema seperti genta bertalu.
Wuungngng...!
Gema itu panjang, tetapi tidak
membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang
berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambut
perempuan itu disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias
batuan putih semacam mutiara dan intan. Giwang perempuan itu tak seberapa besar
tapi tampak jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu cantik dan masih tampak
muda, wajahnya oval, bibirnya ranum, hidungnya mancung, sepertinya masih
berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tetapi sebenarnya ia sudah berusia
lebih dari delapan puluh tahun.
Semua orang dari lantai bawah
sampai lantas atas menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Pendekar Mabuk
pun ikut bersikap begitu sebagai tanda hormatnya kepada perempuan berjubah ungu
yang tak lain adalah Gusti Ratu Kartika Wangi, yang segera duduk di singgasana
berhias batuan intan berlian setelah membalas hormat mereka dengan ucapan khas.
"Damai dan sejahtera buat
kalian semua!"
Pendekar Mabuk duduk bersila
dengan bumbung tuak diletakkan di samping kanannya, la tampak bersikap sangat
hormat dan menampakkan kegagahannya sebagai seorang pendekar berilmu tinggi dan
punya kharisma tersendiri. Ratu Kartika Wangi pandangi Suto Sinting dengan dahi
berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang diperhatikan oleh sang Ratu dengan rasa
janggal. Pendekar Mabuk diam saja, tak berani ucapkan kata sebelum mendapat
teguran dari sang Ratu.
Tiba-tiba ibu dari Dyah
Sariningrum itu berkata kepada Sang Ramu.
"Aku ingin bicara empat
mata dengan calon menantuku ini! Siapkan tempat!"
Dengan memberi hormat lebih
dulu, Sang Ramu pun perdengarkan suaranya yang renyah penuh keramahan itu.
"Taman paseban sudah kami
siapkan, Gusti Ratu!"
"Kalau begitu aku akan ke
sana bersama Suto Sinting. Tak perlu pengawalan jarak dekat."
"Baik, Gusti Ratu."
"Suto...," sapa sang Ratu. "Daulat, Gusti Ratu."
"Panggil saja aku 'ibu'
tak perlu bersikap seperti mereka."
"Baik, Ibu," jawab
Suto dengan sopan sekali. "Kita bicara di taman saja!"
"Saya akan menyertainya,
Ibu."
Tiba-tiba pandangan Suto
Sinting menjadi gelap! seketika. Blabb...! Suto sempat terkejut dan
menggeragap. Tetapi sebelum ia ajukan tanya kepada sang Ratu, pandangan matanya
sudah menjadi terang kembali. Namun ia tetap terkejut, karena tahu- tahu ia
berada di sebuah taman yang sangat indah tanpa ada siapa pun kecuali dirinya
dan sang calon mertua.
"Ajaib sekali!"
gumam Suto dalam hati. "Dalam sekejap saja balairung istana sudah berubah
menjadi taman seindah ini. Seharusnya aku tak perlu menggeragap karena kusadari
orang yang berhadapan denganku adalah orang yang berilmu sangat tinggi, mampu
membuat sesuatu yang mustahil menjadi nyata."
Bunga-bunga indah bermekaran
di taman itu. Tanaman dan bunga yang ada tampak asing bagi Suto Sinting. Semuanya serba aneh tapi
berkesan sekali di hati sang pendekar tampan itu.
Mereka ternyata berada di
dekat kolam berair bening warna biru muda. Air kolam itu tampak menyegarkan
sekali. Bahkan ketika mata Suto memandang permukaan air kolam, tiba-tiba
pikirannya menjadi segar, hatinya pun segar, dan tubuhnya terasa segar pula.
Kolam itu mempunyai air mancur
kecil yang memancar ke sana-sini dengan kemekaran seperti bunga. Rupanya air
mancur itu menyebarkan aroma harum yang lembut dan menyejukkan kalbu. Anehnya,
setiap air yang memancar tak pernah turun lagi ke bawah dan lenyap bagai
diserap angin.
Pendekar Mabuk duduk bersila
di lantai taman yang bening seperti kaca itu. Tiba-tiba saja ia sudah duduk di
situ seperti saat ia duduk di depan singgasana tadi. Sedangkan Ratu Kartika
Wangi berdiri tak jauh darinya, bahkan berjalan mengitari sebuah tanaman hias
yang mempunyai daun seperti beludru, dan bunganya mirip mawar merah berbintik-
bintik kuning emas. Indah sekali. Sang Ratu memetiknya setangkai. Tess...!
Tiba-tiba tangkai yang telah terpetik itu bergerak-gerak dan segera tumbuh
bunga yang baru. Bunga itu menguncup, kemudian segera mekar dan menyebarkan
aroma wangi seperti wanginya mawar bercampur melati. "Manggala...,"
ujar sang Ratu menyebut Suto dengan kata 'Manggala', membuat hati Suto sempat
merasa masih diakui sebagai Manggala Yudha Kinasih di negeri alam gaib itu.
"Kurasakan keresahan
begitu kuat di dalam hatimu saat sebelum kau tiba di tempat ini. Katakan
kepadaku, apa yang membuatmu sangat resah dan berperasaan campur aduk tak
karuan itu, Anakku."
"Ibu, pertama saya resah
karena rindu kepada Dyah Sariningrum dan sudah lama tak mendengar
kabarnya."
"Dyah Sariningrum
baik-baik saja. la juga rindu padamu."
"Oh. " Suto tersenyum
bangga. Hatinya berdebar
indah. Lalu ia berkata lagi,
"Selain itu, Ibu, Kakek
Guru si Gila Tuak sedang sakit."
"Ya, aku tahu!"
potong sang Ratu sambil masih pandangi bunga-bunga di sekelilingnya.
Sambungnya lagi, "Tapi
yang ingin kuketahui lebih dulu adalah kegundahan hatimu paling dekat.
Kegundahan itu baru saja kau buang sebelum kau memasuki jalan bercahaya hijau
itu."
Pendekar Mabuk menarik napas
pelan, senyumnya mekar dengan tipis, namun tak berani memandang ke arah sang
Ratu. Setelah senyum itu hilang, barulah ia mendonggakkan wajah dan menatap
sang Ratu dengan lembut.
"Ibu, saya dengar dari
Jin Koplo bahwa Manggala Yudha Kinasih atau panglima terdepan negeri ini sudah
diganti. Bukan Suto Sinting lagi, melainkan Durmala Sanca yang menjadi Manggala
Yudha Kinasih di sini. Benarkah begitu, Ibu?"
"Jika benar,
bagaimana?" ujar Ratu Kartika Wangi sambil dekati Suto Sinting.
"Jika benar, berarti saya
bukan lagi menjadi calon menantu Ibu. Saya akan kehilangan Dyah Sariningrum,
dan itu berarti saya akan kehilangan hidup saya selama-lamanya."
Ratu Kartika Wangi tersenyum
tipis lagi. "Berdirilah...!"
Karena perintah itulah maka
Suto Sinting baru berani berdiri di hadapan calon mertuanya. Sang Ratu
memperhatikan Suto Sinting dengan dahi sedikit berkerut. Dagu Suto diangkat
sedikit dan wajahnya dipandangi, terutama pada bagian matanya. Setelah itu,
sang Ratu perdengarkan suaranya yang masih bernada wibawa.
"Kau memang telah
kehilangan hidupmu."
Suto Sinting diam dengan batin
bertanya-tanya, "Apa maksud ucapannya itu?" Sedangkan Ratu Kartika
Wangi segera melepaskan dagu Suto dan melangkah mendekati tanaman bunga yang
lain sambil lanjutkan ucapannya tadi.
"Kau sudah tak bisa
menikah dengan putriku; Dyah Sariningrum, karena kau sudah berdarah
siluman."
Hati sang pendekar tampan
tersentak kaget dan mulai berdebar-debar. la segera teringat kata-kata bibi
gurunya tentang darah siluman yang mengalir dalam dirinya gara-gara menerima
ilmu 'Dewatakara' dari Ratih Kumala alias si Payung Serambi itu. Pendekar Mabuk
menjadi cemas, wajah tampannya tampak pucat sekilas.
"Kau telah menjadi bagian
dari rakyat Laut Kidul. Kau hanya bisa mengawini perempuan dari sana, dan tidak
bisa mengawini perempuan dari tempat lain. Apabila kau nekat mengawini
perempuan dari pihak lain, maka dalam waktu tujuh hari istrimu pasti akan
tewas. Jika kau menikah lagi dengan perempuan dari tempat lain, istrimu akan
tewas juga dalam waktu tujuh hari dan begitu seterusnya."
Ratu Kartika Wangi menempelkan
setangkai bunga yang tadi dipetiknya. Tangkai bunga itu ditempelkan pada dahan
kecil tanaman lainnya. Ternyata tangkai bunga itu dapat menempel dan menjadi
satu bagaikan tumbuh dari tanaman lain itu.
Sang Ratu berkata lagi,
"Aku tak ingin kehilangan anakku, karenanya aku tak ingin mengawinkan Dyah
Sariningrum denganmu."
"Ibu... saya sangat
mencintai Dyah Sariningrum, Bu."
Ratu Kartika Wangi memandang
tegas. "Kau bisa menikah dengan anakku jika tidak berdarah siluman
lagi."
"Ba... bagaimana caranya
membersihkan darah siluman ini, Ibu?" Suto Sinting mulai tampak
menggeragap.
"Ilmu dari Laut Selatan
harus kau singkirkan dari hidupmu. Kau tak boleh memiliki ilmu Dewatakara' itu,
Suto!"
"Ssa... saya bersedia.
Saya tidak keberatan kehilangan ilmu 'Dewatakara', Ibu. Tetapi bagaimana cara
menghilangkannya? Saya benar-benar tidak tahu."
"Gurumu pasti tahu, dan
tanyakan kepada gurumu; si Gila Tuak."
"liyy... iya, tapi...
tapi Kakek Guru sekarang sedang sakit dan membutuhkan 'Tuak Dewata' sebagai
obatnya. Sedangkan. "
"Aku tak tahu apa itu 'Tuak
Dewata'," sahut sang Ratu sambil mendekati Suto Sinting. Kini ia berdiri
dalam jarak dua langkah di depan Pendekar Mabuk. "Jangan tanyakan padaku
tentang 'Tuak Dewata'
yang kau cari itu, Suto. Aku
benar-benar tidak mengetahui tentang 'Tuak Dewata' itu."
Pendekar Mabuk diam beberapa
saat. Napasnya terhempas lepas, tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pun tampak
sayu. la merasa harapan untuk mengetahui tentang 'Tuak Dewata' menjadi semakin
gelap. Jika Ratu Kartika Wangi saja tidak mengetahuinya, apa lagi orang
lain?"
Sang Ratu perdengarkan
suaranya lagi. "Kusesalkan tindakanmu yang mau menerima
ilmu dari Istana Laut Kidul
itu. Padahal kau bisa mendapatkan ilmu yang sama dahsyat dan saktinya dengan
ilmu 'Dewatakara' dariku. Mengapa kau justru memilih ilmu yang datang dari
istana Laut Kidul itu?"
"Saa... saya benar-benar
tidak tahu, Ibu. Mohon ampun dan mohon dibersihkan dari ilmu itu, Ibu."
"Aku tidak berhak
membersihkan ilmu dalam dirimu. Yang berwenang adalah kedua gurumu itu; Gila
Tuak atau Bidadari Jalang."
"Tapi... tapi Bibi Guru
Bidadari Jalang tidak bisa membuang ilmu itu, Ibu."
"Jika begitu, hanya Gila
Tuak yang mampu lakukan."
"Kakek Guru Gila Tuak
sedang sakit." "Sembuhkan dulu dia!"
"Itulah sebabnya saya
kemari mohon bantuan Ibu untuk dapatkan 'Tuak Dewata' sebagai obat bagi Kakek
Guru Gila Tuak, Ibu."
"Sudah kukatakan, aku
tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu. Mungkin juga tak akan kau dapatkan 'Tuak
Dewata' walau kau mencari di alam nyata dan alam gaib. Sebab... mungkin 'Tuak
Dewata' itu memang tidak pernah ada dari dulu hingga sekarang."
"Lalu... kepada siapa
lagi saya minta bantuan untuk sembuhkan Kakek Guru, Ibu?!"
Ratu Kartika Wangi diam
sesaat. Ia pandangi tanaman bunga lainnya yang ada di belakang Suto, membuat
Suto Sinting terpaksa berbalik arah.
Dua helai daun dari tanaman
bunga itu tampak kering. Ratu Kartika Wangi segera menyentuhkan telunjuknya ke
permukaan daun yang kering. Telunjuk itu menyala hijau bening, dan tiba-tiba
daun kering itu berubah menjadi segar kembali, bahkan seperti baru saja tumbuh
dari pupusnya.
"Apakah kau masih
berkeras kepala untuk dapatkan 'Tuak Dewata' jika kukatakan 'Tuak Dewata' itu
tidak pernah ada?!" tanya Ratu Kartika Wangi tanpa memandang Suto Sinting.
"Saya harus mencarinya
walau sampai ke ujung dunia, Ibu. Sebab... sebab saya harus bisa selamatkan
jiwa Kakek Guru yang terancam maut dari suatu penyakit."
"Kalau begitu, cobalah
pergi ke Gerbang Siluman dan temui Eyang Putri Batari."
"Mmak... maksud Ibu,
Betari Ayu? Kakaknya Dyah Sariningrum itu?"
"Bukan. Eyang Putri
Batari adalah ibuku; neneknya Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."
"Ooo...," Pendekar
Mabuk manggut -manggut. "Temui beliau dan tanyakan kepada beliau
apakah 'Tuak Dewata' itu ada
atau tidak. Jika ada letaknya di mana, jika tidak lantas apa artinya 'Tuak
Dewata' yang harus kau dapatkan itu."
"Baik, saya akan ikuti
nasihat Ibu. Hanya saja, tolong jangan pisahkan saya dengan Dyah Sariningrum,
Ibu. Saya sangat mencintainya!"
Permohonan yang diucapkan
dengan kesungguhan hati itu membuat Ratu Kartika Wangi sunggingkan senyum
kecil. Senyum itu hanya sekilas, kemudian lenyap tanpa bekas.
"Akan kupertahankan
putriku agar tidak jatuh ke tangan pemuda lain. "
"Juga jangan sampai jatuh
ke tangan Siluman Tujuh Nyawa, Ibu!"
"Kau takut?!"
"Saya takut kehilangan
Dyah, Ibu."
"Hmmm...," senyum
sang Ratu sedikit lebar. "Sebenarnya apa yang kau dengar dan membuat
hatimu gundah itu hanya sebuah siasat licik si Durmala Sanca."
"Maksudnya bagaimana,
Ibu?" sergah Suto Sinting dengan
semangat.
"Belakangan ini, Durmala
Sanca sering mengaku sebagai Manggala Yudha Kinasih dan mengaku sebagai
panglimaku. Pengakuan itu sengaja disebarkan ke mana-mana sambil ia melakukan
tindakan kejam kepada beberapa pihak agar pihak yang merasa dirugikan oleh
Manggala Yudha Kinasih palsu itu menuntut pihak kita."
Pendekar Mabuk mulai tampak
terbakar oleh keterangan tersebut. Matanya kelihatan nanar, napasnya mulai tak
teratur.
Sambil melangkah dekati tepian
kolam, sang Ratu menyambung kata-katanya.
"Durmala Sanca memang
manusia terkutuk tiga ratus tahun lamanya. Aku tahu ia sangat mengincar Dyah
Sariningrum, tetapi keberadaanmu membuat niatnya selalu gagal dan ia tak berani
dekati calon istrimu itu. la pernah datang menemuiku dan melamar Dyah
Sariningrum, tetapi ditolak mentah- mentah."
Napas ditarik dan disimpan di
dada. Dada kekar itu tampak mengeras, wajah tampan pun kelihatan menjadi kaku
dan matanya memancarkan kemarahan. Tetapi diam-diam kobaran api amarah itu
dipertahankan Suto Sinting agar jangan berkobar berlebihan di depan Ratu yang
penuh kharisma itu.
"Durmala Sanca semakin
membenci kita. Terlebih setelah ia gagal mendapatkan kebahagiaan batin dari
Ratu Dewi Kasmaran yang diakibatkan oleh tindakanmu. "
Pendekar Mabuk sempat berkata
dalam hati, "Kurasa Ibu Kartika Wangi juga mengetahui pertarunganku dengan
Siluman Tujuh Nyawa yang kulakukan di depan Congor itu. Rupanya seluruh
gerak-gerikku selalu dia pantau oleh mata batin Ibu Kartika Wangi, sehingga ia
tahu segala- galanya, termasuk tahu tentang ilmu 'Dewatakara' yang telah
meresap dalam ragaku ini!"
Sang Ratu segera berkata,
"Jangan bicara sendiri jika aku sedang menerangkan perkara besar
ini!"
"Maaf, Ibu. ," ucap
Suto dengan rasa malu karena
kecamuk batinnya dapat
didengar oleh sang Ratu, sebagai tanda betapa tingginya ilmu yang dimiliki sang
Ratu dan betapa tajamnya indera keenam maupun indera ketujuh Ratu Kartika Wangi
itu.
Perempuan cantik itu berkata
lagi, "Sekarang kurasakan si Durmala Sanca ingin menyusun kekuatan untuk
menyerang kita; menyerangku, menyerang Dyah Sariningrum, juga menyerangmu!
Sekarang kurasakan usaha Durmala Sanca membujuk Raja Barong telah
berhasil."
"Siapa Raja Barong itu,
Ibu?" "Raja Para Jin," jawab Ratu Kartika Wangi. "Kurasakan
gerakan Raja Barong sedang menuju ke Gerbang Siluman."
"Mau apa dia ke sana,
Ibu?"
"Membebaskan para siluman
yang dipenjara oleh ibuku: Eyang Putri Batari itu. Jika ia berhasil bebaskan
para siluman, maka mereka akan menyerang pihak kita di bawah pimpinan Siluman
Tujuh Nyawa."
Lagi-lagi Suto Sinting tarik
napas menahan luapan amarahnya.
"Kuperintahkan padamu,
lumpuhkan si Raja Barong sebelum menghancurkan Gerbang Siluman! Jangan beri
kesempatan kepada si Durmala Sanca untuk mendapatkan kekuatan baru dari
mereka!"
"Baik, Ibu! Saya akan
kerjakan perintah Ibu sekarang juga!"
"Tunggu...!" Ratu
Kartika Wangi segera pejamkan mata, wajahnya sedikit menunduk. Tak berapa lama,
muncul seorang gadis berpakaian ketat warna merah dengan pedang di punggung.
Gadis itu berambut cepak dan tadi saat pertemuan di balairung istana ia berada
di antara para prajurit berseragam merah di lantai tiga.
Gadis cantik berhidung kecil
dan mancung itu segera memberi hormat kepada Ratu Kartika Wangi dan Pendekar
Mabuk.
"Hamba dipanggil,
Gusti?" ujarnya.
Suto Sinting sempat bingung
sebentar. "Tak ada orang memanggilnya, mengapa ia tahu-tahu menghadap? Oh,
mungkin dengan cara memejamkan mata seperti tadi itulah gadis itu dipanggil
oleh Ibu Kartika Wangi. Para prajurit di sini sudah terbiasa menerima panggilan
atau bicara melalui batin, sehingga mereka tampaknya tenang dan diam tapi
sebenarnya saling berbicara satu dengan yang lain." "Suto, kau kuberi
seorang pemandu untuk menuju
Gerbang Siluman," kata
sang Ratu sambil menepuk pundak gadis yang telah berdiri itu. Suto Sinting
memandangi gadis bertubuh sekal dan berdada kencang dengan pikiran bersih,
tanpa khayalan kotor sedikit.
"Sang Tiara," kata
Ratu Kartika Wangi kepada gadis itu. "Tugasmu memandu perjalanan Manggala
Yudha Kinasih ke Gerbang Siluman untuk menggagalkan serangan Raja Barong."
"Saya siap, Gusti!"
"Berangkatlah kalian
sekarang juga sebelum Raja Barong melewati perbatasan Gerbang Siluman!"
"Mohon doa restu,
Ibu!" sambil Pendekar Mabuk membungkuk memberi hormat kepada sang Ratu.
Kemudian ia melangkah dengan didampingi Sang Tiara yang tampak lincah dan penuh
keberanian itu.
*
* * 6
SAMPAI di luar batas wilayah
Jalur Hijau, gadis cantik berbulu mata lentik itu menghentikan langkahnya. Hal
itu membuat Pendekar Mabuk ikut- ikutan hentikan langkah dengan mata memandang
penuh keheranan.
"Ada apa berhenti, Sang
Tiara?"
"Gerbang Siluman terlalu
jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, Gusti Manggala."
"Panggil namaku saja jika
kita berada di luar istana. Kau tahu namaku, bukan?"
"Suto Sinting...?!"
"Benar. Rupanya daya
ingatmu cukup tinggi, Tiara."
"Saya selalu mengingat
nama panglima saya!" "Dalam keadaan berdua begini, kita adalah
sahabat. Jangan terlalu kaku
dalam bersikap. Paham?!"
Sang Tiara anggukkan kepala.
"Jelaskan maksud
kata-katamu tadi, Tiara."
"Kita akan terlambat jika
berjalan kaki ke Gerbang Siluman."
"Lantas maumu
bagaimana?"
"Buka tanganmu,
Suto," perintah Sang Tiara yang cepat menjadi akrab dan lugas dalam
bergaul.
Sang Tiara menengadahkan kedua
tangannya didepan perut. la memberi contoh kepada Suto dan Suto pun segera
mengikutinya.
Kedua tangan Suto dibuka dalam
keadaan telapak tangan ke atas. Kemudian kedua tangan Sang Tiara menelungkup
pelan-pelan hingga menyatu rapat dengan telapak tangan Suto Sinting.
"Pejamkan mata," perintah
Sang Tiara pelan. Suto pun memejamkan mata. "Buka mata," perintahnya
lagi, belum ada satu helaan napas mereka memejamkan mata.
Tetapi alangkah terkejutnya
Pendekar Mabuk begitu membuka mata, ternyata sudah berada di tempat yang jauh
dari batas Jalur Hijau. Mereka ada di sebuah lembah tak berpohon. Sebuah bukit
menjulang rendah dalam keadaan tanpa tanaman kecuali lumut. Bukit itu dipenuhi
oleh bebatuan yang tinggi-tinggi sehingga mirip pohon tanpa daun. Tempat yang aneh itu membuat Suto Sinting
tercengang dan terbengong-bengong. Bentuk batu- batu yang menghiasi bukit dan
lembah itu beraneka ragam, sehingga merupakan suatu peman dangan indah yang
berbeda dari bukit-bukit di alam nyata.
"Kita berada di mana ini,
Tiara?"
"Di balik bukit itulah
letak Gerbang Siluman! Kita harus segera menghadang Raja Barong yang sebentar
lagi akan melintasi bukit itu."
"Ajaib sekali!"
gumam Suto Sinting. "Dengan kekuatan apa kau membawaku kemari?"
"Ilmu 'Pusar Badai'
mempercepat langkah kita sampai di tujuan."
"Luar biasa! Hanya dengan
pejamkan mata dan tumpangkan tangan sudah bisa sampai ke tempat tujuan. Apakah
semua prajurit pilihan yang berseragam merah sepertimu ini mempunyai ilmu
'Pusar Badai'?"
"Semua prajurit
memilikinya, baik yang pilihan maupun penyambut tamu seperti Sang Ramu atau
Sang Wengi," jawab Sang Tiara dengan suara jelas. "Kurasa kita tak
punya banyak waktu untuk bicarakan ilmu itu. Kurasakan getaran langkah si Raja
Barong sudah kian mendekati tempat kita. Kita harus segera ke puncak bukit!"'
Pendekar Mabuk mengikuti saran Sang Tiara sambil membatin, "Tinggi juga
ilmunya. Aku tak bisa rasakan getaran langkah siapa pun, tapi ia mampu rasakan
getaran itu. Tapi, apakah benar Raja Barong sudah mendekati bukit ini?
Jangan-jangan dia hanya ngawur saja karena dia tahu aku tak mengerti apa- apa
tentang alam dan kehidupan di sini?!"
Ketika mereka berada di puncak
bukit, tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada angin berhembus dari sisi kanannya.
Wweee...! Mata pun berkedip karena takut terkena debu yang beterbangan.
Namun ketika Suto membuka mata
kembali, ternyata ia sudah dalam keadaan terkapar memandang langit dengan
sekujur tubuh merasa sakit semua. Tulang-tulangnya terasa remuk dan sukar
digerakkan. Sementara itu, Sang Tiara juga terbujur di sampingnya dan menggeliat
bangkit dengan suara mengerang.
"Ooh... kenapa aku ini?
Mengapa tiba-tiba aku berbaring di tanah?"
Sang Tiara menyahut dengan
menyeringai menahan sakit.
"Raja Barong telah
menerjang kita."
"Telah menerjang
kita?!" Suto Sinting terbelalak heran. "Aneh sekali. Padahal aku
hanya merasa dihembus angin dari samping."
"itulah gerakan Raja
Barong. Kecepatannya melebihi kecepatan apa pun, sehingga saat menerjang kita
yang terasa hanya hembusan anginnya."
"Luar biasa!" gumam
Suto Sinting sambil bangkit. la buru-buru menenggak tuaknya untuk hilangkan
rasa sakit dan pulihkan kekuatannya kembali. Sang Tiara disuruh meminum tuak,
tapi gadis itu menolak. la punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit, yaitu
dengan menempelkan satu telapak tangannya ke dada. Dalam sekejap rasa sakitnya
pun lenyap.
"Lalu apa
yang harus kita
lakukan jika begini?
Kemana arah kepergian si Raja
Barong?!" "Tumpangkan tangan kita kembali. Kita kejar ke
kaki bukit seberang tebing
sana!" ujar Sang Tiara.
Suto Sinting membuka kedua
tangannya, lalu tangan Sang Tiara ditumpangkan. Mata mereka terpejam. Tak
sampai satu helaan napas sudah dibuka kembali. Dan ternyata mereka sudah berada
di seberang tebing, jauh dari bukit berbatu-batu tadi.
Tebing itu adalah tebing
tandus, juga tanpa tanaman apa pun. Tetapi banyak batu yang bertonjolan bagai
pilar-pilar alami. Tebing yang mempunyai jurang dalam tak terukur kedalamannya
itu mempunyai dinding seperti serat-serat karang yang cukup menakjubkan.
"Jangan lengah!"
tegur Sang Tiara saat Suto memandangi dinding tebing. Pendekar Mabuk segera
bersiap diri mempertinggi kewaspadaan dan mempertajam rasa.
Semilir angin mulai datang
menghembus mereka. Sang Tiara cepat berlindung di balik bebatuan besar.
"Dia datang! Rasakan
hembusan angin yang makin besar ini." seru Sang Tiara.
Pendekar Mabuk sengaja tidak
bersembunyi seperti Sang Tiara. la sengaja merasakan semilir angin yang
menghembus ke arahnya dan makin lama terasa semakin jelas hembusannya.
Pada saat itu juga Suto
Sinting menghantamkan bumbung tuaknya ke arah depan dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'. Wuuusss...! Tubuh Suto berputar sangat cepat. Dan gerakan
bumbung tuak itu terasa menyentuh sesuatu yang keras. Bahkan suara benturan
bambu dengan sesuatu yang keras itu terdengar jelas di telinga Suto maupun Sang
Tiara.
Prraakkk...! "
Aaaaooorrgg...!"
Pendekar Mabuk kaget mendengar
suara mengerang yang mirip binatang menyeramkan itu. la masih mencari-cari
sesosok wujud yang mengeluarkan suara mengerang di depannya.
Sang Tiara muncul dari balik
bebatuan, lalu jari telunjuknya menuding ke depan. Claap...! Seberkas sinar
merah melesat dari ujung jari telunjuk itu.
Besss...! Sinar merah itu
bagaikan mengenai sesuatu dan mengepulkan asap. Asap segera lenyap terbawa
angin alami. Suto Sinting terperanjat melihat sesosok tubuh gemuk meringkuk di
depannya dalam jarak tujuh langkah. Sosok yang terlihat itu mirip gugusan batu,
hanya saja warnanya abu-abu dan berlumut hijau samar-samar.
"Dia terkena pukulan
bumbung tuakmu!" ujar Sang Tiara. "Hati-hati, Suto! Dia pasti akan
bangkit membalasmu! Sekarang ia masih meringkuk merasakan sakitnya."
"Pergilah berlindung,
akan kubereskan sendiri dia!" bisik Suto Sinting sambil matanya memandang
ke arah benda abu-abu yang meringkuk itu.
"Awas, dia bangkit!"
bisik Sang Tiara.
Pendekar Mabuk melompat ke
atas dan hinggap di atas batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya.
Wuuutt...! Jleeg...! Bumbung tuaknya segera diangkat ke samping. Pada waktu
itu, makhluk berkepala besar dengan
leher pendek dan mempunyai enam mata mengelilingi kepalanya itu bangkit
berdiri. Mulutnya yang lebar keluarkan suara mengerang dengan menampakkan gigi
besar dan taringnya yang tajam-tajam.
Raja Barong merupakan makhluk
yang cukup menyeramkan. Tingginya sejajar dengan Suto pada saat Suto naik di
atas batu itu. Badannya bersisik warna abu-abu, keras seperti dari lempengan
baja. Sepasang tanduk ada di bagian depan dan belakang kepala. Raja para jin
itu tidak mengenakan pakaian kecuali cawat dari lempengan seperti perunggu warna
coklat kemerahan.
"Grrraaaoow...!" ia
mengerang sambil mengangkati kedua tangannya yang mempunyai kuku runcing
bagaikan mata pedang.
Tangan kiri Raja Barong
menyambar tubuh Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat. Wuuutt...!
Creeb...!
"Aaakh...!" Suto
Sinting memekik keras karena tiga kuku tajam lawannya menancap di pinggangnya,
la diraih dalam genggaman tangan lebar si Raja Barong. Mata sang Pendekar Mabuk
mendelik dengan mulut ternganga karena tak bisa bernapas.
"Kau ingin menggagalkan
rencanaku, hah...?!" geram Raja Barong dengan suara besar dan menggema.
Tubuh Suto yang ada dalam
genggamannya itu di- dekatkan ke mulut lebar Raja Barong. Darah mengalir terus
ke pinggang Pendekar Mabuk. Semakin meronta semakin dalam kuku itu menembus
tubuh Suto, seakan merusak anggota tubuh bagian dalam.
Tetapi pada saat itu bumbung
tuak masih tergenggam di tangan Suto. Ketika Raja Barong melebarkan mulut untuk
menelan tubuh Pendekar Mabuk, dengan kekuatan penghabisan Suto Sinting
mengangkat bumbungnya dan menghantam ke salah satu mata makhluk besar itu.
Wuuut, croook...!
"Huaaahhrrr...!"
Teriakan Raja Barong
mengguncangkan dinding tebing. Sebagian batuan runtuh, bahkan ada yang pecah
karena teriakan itu. Telinga Pendekar Mabuk sendiri jadi berdarah dan rasa sakit
kian membuat Suto mengejangkan tubuhnya. Karena pada saat itu genggaman tangan
Raja Barong semakin kuat, seakan ingin meremukkan seluruh tulang tubuh Pendekar
Mabuk.
Tanpa diketahui keduanya, Sang
Tiara mencabut pedangnya, dan menghujamkan ke atas telapak kaki Raja Barong
yang bersisik keras itu. Suuutt...! Jrruuub...!
"Huuuaaahhhrrg...!!"
Teriakan itu mengguncangkan
bebatuan dan dinding tebing lagi. Telinga Suto semakin rusak, darah menyembur
dari kedua lubang telinga. Tetapi pada saat Sang Tiara menancapkan pedangnya
dengan kedua tangan ke kaki Raja Barong, genggaman tangan Raja Barong sedikit
mengendur.
Kesempatan itu digunakan oleh
Suto untuk kerahkan tenaga yang tersisa dan menyodokkan bumbung tuaknya ke
wajah lebar itu. Wuuut...! Proookkk...!
"Huaaah...!" teriak
Raja Barong sambil melemparkan Suto ke depan. Tubuh berlumur darah itu melayang
dan jatuh terhimpit celah dua batu besar. Sreeeb...!
"Aaaouh...!" Suto
Sinting sendiri memekik keras, tapi suaranya tertutup oleh raungan suara Raja
Barong yang menggema ke mana-mana. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah digunakan
Suto Sinting untuk menyodok wajah raja para jin itu. Akibatnya, wajah itu pun
memar membiru, sisiknya mulai rontok satu persatu. Sementara itu, ulah Raja
Barong yang sekarat membuat batu-batu beterbangan, sebagian jatuh ke jurang,
sebagian pecah dan terlempar ke mana-mana.
"Huaaaa...!"
Akhirnya Raja Barong
tergelincir jatuh ke jurang tanpa dasar dengan meninggalkan suara jeritan yang
memanjang dan menggetarkan alam sekitarnya. Siapa pun yang terkena jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' akan mati membusuk tak akan tertolong lagi. Demikian pula halnya
nasib Raja Barong yang lenyap ditelan jurang tanpa dasar itu.
Sang Tiara segera menolong
Pendekar Mabuk yang terjepit dua batu. Dengan satu sodokan pangkal telapak
tangan, salah satu batu itu hancur, lalu tubuh Suto dibawa turun dan
dibaringkan di tanah berdebu merah.
"Tuangkan tuak ke... ke
mulutku...," pinta Suto dengan suara berat dan napas tercengap-cengap.
Sang Tiara menuangkan tuak ke mulut, tuak pun terminum oleh Pendekar Mabuk.
Dengan begitu, maka seluruh luka yang diderita Pendekar Mabuk terobati oleh
kesaktian tuak tersebut.
"Terima kasih. Kalau kau
tidak menolongku, aku hampir mati ditelan raja jin itu!" ujar Suto Sinting
setelah merasa kekuatannya pulih kembali.
"Kita harus segera
menghadap Eyang Putri Batari."
"Mengapa tampaknya kau
terburu-buru?" "Tidakkah kau mendengar suara gemuruh itu?"
"Ya. Kudengar suara gemuruh dari gema reruntuhan tebing, bukan?"
"Bukan. Itu suara gemuruh
para siluman dan para jin yang mendengar suara kematian Raja Barong. Kita harus
beri kepastian kepada mereka, bahwa Raja Barong telah mati di tanganmu, biar
mereka tunduk kepadamu!"
"Baiklah. Aku menurut
saja dengan saranmu, karena aku di sini cuma sebagai tamu."
Sang Tiara tersenyum. Mereka
segera bergegas ke Gerbang Siluman yang terdengar riuh serta gaduh itu.
"Benarkah mereka akan
tunduk padaku jika mereka tahu akulah yang membunuh Raja Barong?! Oh, persetan
dengan mereka. Mau tunduk atau tidak, yang jelas aku harus dapatkan keterangan
dari Eyang Putri Batari tentang 'Tuak Dewata' itu. Mudah- mudahan Eyang Putri
Batari jangan memberi jawaban 'tidak tahu' terhadap Tuak Dewata' yang kucari
itu!" pikir Suto Sinting sebelum menengadahkan kedua tangannya. Telapak
tangan itu segera ditumpangi telapak tangan Sang Tiara. Mereka memejam mata dan
laaabb...!
Mereka lenyap seketika dan
akan muncul di Gerbang Siluman
SELESAI