1
DENGAN gerakan yang lincah,
gadis kecil itu melambung di udara dan bersalto dua kali. Wut, wuut...! Gerakan
itu membuat seorang lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun menjadi
kebingungan sesaat. Tahu- tahu kepala si tua yang tergolong gundul itu merasa
tersentuh sesuatu. Plak...! Weess...! Ternyata kaki bocah cilik itu telah
menggunakan kepala si tua sebagai alas jejakan untuk melambung lebih tinggi
lagi. Tahu-tahu gadis kecil itu sudah hinggap di sebuah dahan pohon. Sementara
si tua gundul hanya mengusap-usap kepalanya sambil memandang bengong, seakan
memamerkan giginya yang sudah ompong. Seorang pemuda yang bersembunyi di balik
gundukan tanah berilalang rimbun itu tertawa dengan mulut ditutup tangan.
Pemuda itu bercelana putih kusam dan bajunya yang tanpa lengan itu berwarna
coklat. Dilihat dari ketampanan dan bumbung tuak yang menyilang di punggungnya,
tak salah lagi jika pemuda itu dipanggil dengan julukan kondangnya: Pendekar
Mabuk. Pemuda itu adalah Suto Sinting, si murid tunggal Gila Tuak, termasuk
juga murid dari tokoh perempuan sakti yang dikenal dengan nama Bidadari Jalang.
"Bocah bodong!"
umpat Pak Tua yang memakai jubah hijau kusam. "Kepala orang tua dianggap
batu terapung! Uuuh...! Kau belum tahu siapa aku, Bocah Bodong!"
"Hik, hik, hik...,"
gadis kecil itu tertawa sambil nangkring di atas dahan. "Habis, kau jahat
padaku. Kalau kau tidak jahat padaku, aku tidak akan berlaku tak sopan seperti
tadi!"
"Siapa yang jahat
padamu?!" bentak Pak Tua itu. "Aku hanya ingin membunuhmu, itu kan
tidak jahat! Kecuali kalau aku mau menyiksamu, itu berarti aku jahat."
"Enak saja. Mau membunuh
kok dikatakan tidak jahat? Lebih baik kau bunuh diri saja, Kek. Mumpung usiamu
sudah medok, sudah waktunya bobo' santai di dalam kuburan."
"Turun kau, Bocah
Bodong!" "Naik kau, Kakek Ompong!" "Keparat! Turun kau,
Bodong!" "Naik kau, Ompong!"
Pendekar Mabuk cekikikan
menahan tawa di balik kerimbunan ilalang. Geli sekali mendengar pertengkaran
mulut antara gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun dengan seorang kakek setua
itu.
Bagi Suto Sinting, gadis kecil
berambut cepak berwarna pirang seperti rambut jagung itu bukanlah sosok bocah
yang mengherankan lagi. Suto kenal betul dengan gadis kecil bergiwang merah
sebesar kacang hijau, mengenakan rompi bulu warna hitam-putih seperti kulit
kuda zebra, celana pendeknya berwarna coklat rusa dan mengenakan kalung tali
hitam berbatu merah delima lebih besar dari giwangnya itu. Gadis kecil itu tak
lain adalah Dewi Menik, yang akrab dipanggil Menik, ia adalah keturunan
terakhir dari tiga bersaudara; Dewi Hening dan Dewi Kejora, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Utusan Raja Iblis").
Tetapi siapa kakek berjubah
hijau dan berambut tipis di bagian pinggirnya hingga berkesan gundul itu? Suto
Sinting merasa belum pernah bertemu dengan tokoh tua yang menggenggam tongkat
dari kayu hitam itu. Agaknya tokoh tua berbadan kurus dengan alis dan jenggot
sudah memutih itu bukan tokoh sembarangan, walaupun penampilannya mirip bocah
ingusan. Terbukti ketika ia ditantang oleh Menik untuk naik ke atas pohon, ia
hanya menggerakkan tangan kirinya ke bawah bagai membuang sesuatu dengan
gemulai, lalu tubuhnya melesat ke atas bagai angin berhembus. Weess...!
Tahu-tahu kakek berjubah hijau sudah ada di pohon itu, lain dahan dengan Menik.
Hanya saja, gadis kecil yang tengil dan selalu tampil sok tua itu sudah lebih
dulu melesat ke bawah dengan bersalto lincah dua kali. Wuk, wuk, jleeg...!
"Dasar bocah raja bodong!
Katanya aku disuruh naik, eeh... dia malah turun!" omel sang kakek.
"Ayo, naik lagi kau, Bodong!"
"Ayo, turun lagi kau,
Ompong!" balas Menik bagai tak punya rasa takut sedikit pun. Kedua
tangannya bertolak pinggang, kedua kakinya berdiri tegak sedikit merenggang
seakan siap menantang pertarungan.
"Kucabut nyawamu sekarang
juga, Bocah Bodong!" "Kucabut gigimu kalau berani turun, Kakek
Ompong!"
"Kurang ajar!" geram
sang kakek.
"Kurang tua!" balas
Menik menirukan gerakan si kakek.
"Kau sangka aku takut
dengan tantangan cilikmu itu, hah?!"
Menik membalas, "Kau sangka
aku juga takut mendengar gertakanmu itu, hah?! Panggil bapak moyangmu, suruh
hadapi aku sekarang juga, sedikit pun aku tak akan mundur dan...." Menik
diam. Tiba-tiba sekali ia diam, karena tiba-tiba pula kakek berjubah hijau itu
lenyap dari pandangan matanya. Gadis kecil merasa heran dan bingung sendiri, ia
sempat menajamkan penglihatannya ke arah atas pohon, tapi sang kakek tidak
kelihatan sama sekali. Gusinya saja tidak tertinggal di pohon itu.
"Ke mana perginya?"
gumam Menik yang kebingungan.
"Ke belakangmu,
Bodong!" jawab suara tua yang mengejutkan Menik.
"O, oh...?!" Menik
diam tak bergerak, karena ia tahu sang kakek ada di belakangnya dalam jarak
cukup dekat. Kepala Menik tak berani berpaling, tapi bola matanya yang bundar
itu bergerak melirik ke samping, seakan ingin menengok ke belakang.
"Benarkah kau tak akan
mundur jika melawanku, Gadis Bodong?!" gertak sang kakek.
"Iiy... iya... soalnya,
kau ada di belakangku, bagaimana aku bisa mundur, Kakek Ompong!"
"Keparat! Hiih...!"
Sang kakek menyentakkan tangan
kirinya ke depan bagai membuang selembar daun. Wees...! Ternyata gerakan itu
mengeluarkan tenaga dalam cukup besar yang menghantam punggung Menik dengan
telak. Buuhk...!
"Uuhk...!" Menik
tersentak dan tubuhnya terhempas ke depan, melayang cepat bagai dilemparkan
oleh tenaga yang amat besar.
Brruss...!
"Aaauww..!" Menik
mengaduh di semak-semak. Untung ia jatuh di semak-semak, seandainya tubuhnya
yang kecil itu menghantam pohon besar di samping semak-semak itu, mungkin
kepalanya akan remuk dan tulang-tulangnya akan berantakan. Weees...! Kakek
berjubah hijau lenyap, tapi sebenarnya bergerak sangat cepat, melebihi gerakan
angin, sehingga dalam waktu kurang dari sekejap sudah berada di semak-semak. Ia
mencekal rompi bulu yang dipakai Menik, kemudian melemparkan gadis kecil itu
bagai melempar mangga busuk saja. Wees...!
"Aaa...!" Menik
menjerit panjang, tubuhnya melayang tinggi dan tanpa keseimbangan tubuh. Kepala
Menik pun menukik ke bawah saat tubuhnya melayang turun. Sedangkan di tanah yang
akan menjadi sasaran jatuhnya Menik itu terdapat gugusan batu sebesar kepala
kerbau. Menik tak bisa mengendalikan gerakan tubuhnya, maka dapat dibayangkan
kepala Menik akan pecah begitu menyentuh batu besar itu.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan
melintas di depan kakek berjubah hijau. Bayangan itu menyambar tubuh Menik, dan
gadis kecil itu semakin berteriak keras karena merasa kaget dapat melesat ke
arah lain.
"Woooaaw...!
Tolooong...!"
Deeb! Tiba-tiba Menik merasa
gerakan terbangnya terhenti seketika. Rupanya orang yang telah menyambarnya
tadi berhenti secara mendadak dan kakinya menapak di tanah dengan tegak. Menik
belum berani membuka mata, namun ia sudah mulai sadar bahwa saat itu ia berada
dalam gendongan seseorang.
"Oh, di mana aku ini?
Jatuh di tumpukan sampah apa aku ini?" sambil Menik meraba-raba wajah Suto
Sinting, "Bukalah matamu, Menik. Aku bukan tumpukan
sampah!" Menik pun
membuka mata. "Oh.. kau?! Kenapa kau berani menjamahku, hah?'"
"Tengil!" sentak
Suto Sinting dengan dongkol, lalu tubuh Menik dibuang begitu saja. Brruk...!
"Aduh...! Kejam nian kau,
Suto!" ujar Menik sambil menyeringai kesakitan, ia memegangi lututnya yang
membentur kayu saat dibuang dari gendongan Suio Sinting. Bocah yang suka
berlagak tua itu akhirnya bangkit sendiri dan menggerak-gerakkan kakinya agar
uratnya tak menjadi kaku.
Sementara itu, pandangan mata
Suto Sinting menatap ke arah pertarungan Menik dengan kakek tua tadi. Sang
kakek tak kelihatan ujung hidungnya, mungkin ia tak mengejar Menik, atau
menganggap Menik lenyap begitu saja karena gerakan Suto saat menyambar Menik
seperti gerakan anak panah lepas dari busurnya. Ia menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang terkenal tak ada tandingannya dalam hal kecepatan geraknya itu.
Menik bersungut-sungut dan
menendang tulang kering kaki Suto. Duuhk...!
"Aduh...!" pekik
Suto kaget.
"Rasakan akibatnya!"
kata Menik dengan cemberut. "Kau kira aku ulat bulu, dibuang seenaknya
saja! Dasar buaya kaleng!"
Suto jadi tertawa mendengar
makian Menik yang mengatakan dirinya buaya kaleng.
"Apa maksudmu mengatakan
aku buaya kaleng?" "Manis
di luar di
dalamnya busuk!" jawab Menik.
"Kelihatannya mau
menolong, tak tahunya
mau mencelakakan diriku!" Menik melirik sinis dengan bibirnya
meruncing seperti ikan cucut. Pendekar Mabuk semakin geli melihatnya.
Kemudian bumbung tuak yang ada
di punggung diraih. Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk. Menik
memandangi dengan sinis, masih cemberut, sambil membersihkan badannya dari debu
tanah.
"Lututku sakit gara-gara
kau buang!"
"Hmmm... lantas kau mau
apa?" tanya Suto dengan sabar.
"Beri aku minum tuakmu,
biar sakitku hilang."
Suto Sinting tertawa tanpa
suara sambil geleng- geleng kepala. Kemudian ia membantu menuangkan tuak ke
mulut Menik.
"Jangan banyak-banyak,
nanti kau mabuk!" kata Suto Sinting.
"Mabuk itu
biasa...," ucap Menik sok tua sekali membuat kelucuan yang konyol, namun
digemari oleh Suto Sinting.
"Siapa kakek tua itu
tadi, Menik?"
"Entah," Menik
melengos dengan angkuh. "Aku tidak kenal dengannya. Aku juga tidak naksir
lelaki macam dia!"
Kalau tak terbiasa menghadapi
Menik, siapa pun akan dibuat kaku hati, jengkel, akhirnya main tabok. Untung
Suto Sinting sudah terbiasa menanggapi ketengikan Menik, sehingga walau hati
memendam dongkol namun bibir menyunggingkan senyum geli.
"Kudengar kakek tadi mau
membunuhmu. Apa benar dia bersungguh-sungguh ingin membunuhmu, Menik?"
"Entah, ya!" jawab Menik dengan tengil. Ia sengaja
memunggungi Suto dan bermain
pucuk-pucuk bunga yang tumbuh di semak belukar.
"Kalau begitu, tak ada
salahnya jika aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini," pancing Suto
Sinting sambil berpura-pura ingin melangkah pergi. Menik buru- buru palingkan
wajah dan menyapa ketus.
"Suto...!"
Langkah Suto Sinting terhenti,
tapi ia sengaja tak mau berpaling memandang Menik. Gadis kecil itu berjalan
cepat menuju depan Suto. Ia berhenti berhadapan dengan Pendekar Mabuk,
memandang dengan lagak angkuhnya.
"Begitukah seorang
pendekar bersikap terhadap gadis kecil? Apakah gurumu mengajarkan agar segera
pergi jika melihat gadis kecil dalam bahaya? Hmmm... pendekar cap apa kau ini,
Suto?" Menik mencibir, Suto sengaja buang muka walau dalam hati ia ingin
tertawa terbahak-bahak.
"Kalau tahu kau pengecut
begitu, tak akan kukenalkan kau kepada kakak sulungku waktu itu," celoteh
Menik.
"Kau tidak
bersungguh-sungguh menjawab pertanyaanku, Menik. Aku tak punya waktu banyak
untuk kau buat mainan seperti tadi." ,
"O, jadi kau tersinggung?
Hmmm...! Terlalu perasa kau ini, Suto. Seandainya aku. "
Weess ! Suto Sinting
berkelebat menyambar Menik. Kata-kata gadis kecil itu terhenti seketika. Dalam
sekejap mereka sudah berpindah tempat agak jauh dari tempat semula.
"Mengapa kau menyambarku
seenaknya saja begitu? Kau pikir aku ini jemuran nganggur? Main sambar
saja!" omel Menik dengan mulut runcingnya.
"Lihatlah ke
sana...," kata Suto Sinting sambil menuding tempat mereka berada tadi.
Menik kerutkan dahi,
mempertajam penglihatannya. Ternyata di sana telah berdiri kakek berjubah hijau
yang tadi ingin membunuhnya. Menik terperangah kaget.
"Sejak kapan dia ada di
sana, Suto?"
"Sejak aku menganggapmu
jemuran," jawab Suto Sinting seenaknya. "Kalau tidak kusambar,
nyawamu pasti sudah melayang. Karena dia tadi menerjangmu dengan sangat cepat
dan kulihat tongkatnya dihantamkan ke kepalamu."
Menik memegangi kepalanya.
"Ah, apa iya? Buktinya kepalaku masih utuh?!"
Suto Sinting tidak melayani
kata-kata Menik, karena ia segera bersiap menghadapi kedatangan kakek berjubah
hijau yang menggenggam tongkat kayu hitam. Kaii ini sang kakek bergerak tak
secepat tadi. Satu lompatan saja sudah bisa menerbangkan tubuhnya untuk
mendekati Pendekar Mabuk dan Menik.
Mata kecil sang kakek menatap
tajam kepada Suto Sinting. Badannya masih tampak tegak, walau sikap berdirinya
berkesan kalem. Senyum sang kakek mekar ketika pandangan matanya berubah tak
setajam tadi. "Rupanya kau kakak si bocah bodong itu, Anak Muda?!"
ujar sang kakek sambil menuding Menik dengan tongkatnya.
"Anggap saja
begitu," kata Suto.
"Dan rupanya kau ingin ikut
campur urusanku ini, Nak?"
"Aku tak rela Menik mati
di tanganmu. Dia masih kecil dan tak mampu melawanmu, Eyang," kata Suto
dengan sikap tetap sopan.
Menik cemberut. "Siapa
bilang aku tak mampu melawannya? Hmmm...! Baru satu orang seperti dia, seratus
orang seperti dia pun aku tak akan lari selangkah pun."
"Kenapa kau tak
lari?"
"Aku pasti langsung
pingsan!" jawab Menik sambil bersungut-sungut. Sang kakek tertawa
terkekeh-kekeh, demikian pula Suto Sinting. Tapi ketika sang kakek hentikan
tawanya dalam seketika, Suto Sinting pun menyurutkan tawa dan memandanginya
kembali.
"Eyang, kalau boleh
kutahu siapa namamu?"
"Heh, heh, heh, heh...
rupanya kau orang baru di rimba persilatan, sehingga kau belum mengenali ciri-
ciriku," ujarnya dengan sedikit sombong. "Ketahuilah, Nak... jika
kelak kau mendengar nama Dewa Semprong dari mulut para tokoh rimba persilatan,
itulah nama julukanku yang kesohor di seantero jagat"
"Pantas wajahnya seperti
semprong!" gerutu Menik.
Sang kakek berkata,
"Untung aku tak mendengar gerutuanmu, Bocah Bodong. Seandainya aku
mendengar gerutuanmu tadi, kutambal mulutmu dengan tanah kuburan!"
"Sabarlah,
Eyang...," Suto menenangkan si Dewa Semprong.
"Anak muda, melihat
gerakanmu yang cukup lumayan dalam melarikan bocah bodong itu, agaknya kau
mempunyai ilmu yang pas-pasan, Nak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Anak
Muda?"
Menik yang menyahut,
"Hemm, mengaku orang lama di persilatan tapi tidak kenali ciri-ciri
Pendekar Mabuk!"
Dewa Semprong terperangah
memandangi Suto. "Oo... jadi kaulah
orangnya yang dikenal dengan
nama Pendekar Mabuk itu? Kau
murid si Gila Tuak?!" "Apakah kau mengenal guruku, Eyang Dewa
Semprong?!"
"Celaka!" Dewa
Semprong menggumam dan menjadi nanar karena memendam kegelisahan. Menik
menggerutu sambil bersungut-sungut di samping Suto Sinting.
"Ditanya kenal sama si
Gila Tuak kok malah celaka?
Dasar dewa pikun, susah diajak
bicara!"
Gerutuan Menik tak dihiraukan
oleh Dewa Semprong maupun Suto. Karena pada saat itu, Suto Sinting segera
ajukan tanya kepada Dewa Semprong dengan nada tegas dan bersungguh-sungguh.
"Eyang, mengapa Eyang
setua ini ingin membunuh bocah sekecil Menik?!"
"Aku butuh otaknya."
Suto Sinting berkerut dahi,
demikian pula Menik. Pandangan matanya menjadi tajam dan raut wajahnya tampak
heran bercampur tegang.
"Apa maksud, Eyang?"
tanya Suto Sinting.
"Tolong beri tahukan
kepada gurumu; si Gila Tuak, agar ia juga memakan otak bocah berusia sepuluh
tahun ke bawah tapi bukan bayi."
"Mengapa begitu,
Eyang?!" Suto Sinting lebih mendekat.
"Karena darah manusia
yang sudah bercampur dengan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun akan dapat
menolak kekuatan ilmu 'Bajang Rampak'. Darah yang tidak bercampur dengan otak
bocah akan mampu diserang ilmu 'Bajang Rampak', dan ilmu itu tak ada tandingannya
kecuali dengan cara yang kesebutkan."
"Aneh sekali ilmu itu.
Siapa pemilik ilmu 'Bajang Rampak' itu, Eyang?"
"Pemiliknya adalah si
Tapak Siluman!"
"Tapak Siluman?!"
gumam Suto Sinting. "Apakah Tapak Siluman itu sama dengan Siluman Tujuh
Nyawa?"
"O, bukan! Siluman Tujuh
Nyawa pun akan menjadi santapannya Tapak Siluman jika mereka saling
berpapasan."
Suto Sinting diam membisu.
Bayangan wajah dingin Siluman Tujuh Nyawa muncul kembali dalam benaknya. Tokoh
paling sesat itu adalah musuh utama Suto Sinting, yang harus dipenggal
kepalanya sebagai maskawin dalam melamar Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi itu. Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dikatakan akan menjadi
santapan si Tapak Siluman, berarti ilmu yang dimiliki si Tapak Siluman lebih
tinggi dari ilmu yang dimiliki Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Pendekar Mabuk,"
kata Dewa Semprong. "Demi menyelamatkan jiwaku dari keganasan ilmu 'Bajang
Rampak', aku terpaksa harus membunuh bocahmu itu. Kuharap kau menyingkir dan
jangan menentangku."
Suto Sinting geleng-geleng
kepala. "Tak kuizinkan siapa pun merampas otak bocah ini!" sambil
Suto berdiri menghalangi Menik.
"Kusarankan sekali lagi,
jangan halangi niatku. Kau akan binasa jika melawanku, Pendekar Mabuk. Bahkan
bila perlu cepatlah mencari bocah yang usianya di bawah sepuluh tahun dan
makanlah otaknya, supaya kau pun kebal dari serangan ilmu 'Bajang Rampak'.
Sebab sekarang ini, si Tapak Siluman sedang merajalela dan ingin menumbangkan
semua tokoh di rimba persilatan. Dia ingin menjadi orang tertinggi di dunia
persilatan."
"Apa pun alasanmu, aku
tetap akan menjadi perisai bagi gadis kecil ini."
"Oh, kalau begitu jangan
salahkan aku jika kau sampai celaka di tanganku, Pendekar Mabuk."
Weeess...! Tiba-tiba tangan
kiri Dewa Semprong menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka. Tangan itu
berubah merah bening seperti beling. Dan sinar yang keluar dari telapak
tangannya berwarna merah bening juga, seperti semprong lampu teplok.
Slluuub...! Sinar itu begitu
cepatnya menerjang Suto Sinting, sehingga tak dapat dihindari dan ditangkis
dengan bumbung tuaknya. Padahal kala itu Menik sedang ingin mengatakan sesuatu
kepada Suto. Ia mendekati Suto tepat sinar merah itu berkelebat dengan
kecepatan melebihi petir. Prraaaang...!
Sinar itu menghantam Suto
Sinting dan Menik. Cahaya merahnya pecah, menyebar ke mana-mana, menimbulkan
suara seperti beling pecah. Suto Sinting sempat menyambar tubuh Menik. Tapi
sentakan sinar itu amat kuat sehingga mereka berdua terpental ke belakang
bagaikan terbang.
Weeerrss...!
"Aaauh...!
Sutoooo...!"
Brrruss...! Mereka jatuh di
semak-semak sekitar lima belas tombak jauhnya dari tempat Dewa Semprong
berdiri.
"Menik...?! Menik, di
mana kau...?!" Suto Sinting meraba-raba sekelilingnya. Ia menjadi tegang, karena
pandangan matanya menjadi gelap pekat, tak bisa melihat setitik sinar pun.
"Meniiik.,.!" seru
Suto Sinting dengan panik. "Sutoo... aku tak bisa melihat apa-apa!"
suara Menik
ada di samping kanan Suto
Sinting.
"Celaka! Sinar itu
membuat aku dan Menik menjadi buta. Oh, aku harus menyelamatkan Menik sebelum
Dewa Semprong memakan otaknya!" kata Suto dalam hati.
Zlaaap..! Dengan nalurinya
Suto bergerak menyambar Menik. Wuuus...! Teeb...! Dalam sekejap Menik sudah
berhasil dipeluk Suto Sinting. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Suto
melarikan diri demi menyelamatkan Menik.
Zlaab, zlaab, zlaab...!
Gerakan cepatnya yang melebihi
angin itu membuat Dewa Semprong kehilangan jejak. Namun kakek tua itu masih
tetap mengejarnya dengan menggunakan indera keenamnya sebagai penunjuk jalan
mengikuti Pendekar Mabuk dan Menik.
*
* *
2
PENDEKAR Mabuk tak tahu arah
yang dituju. Yang ia tahu hanyalah menjauhkan diri dari Dewa Semprong agar
Menik tak menjadi korban. Setelah dirasakan pelariannya cukup jauh dari Dewa
Semprong, Suto pun menghentikan langkahnya. Menik diturunkan dari gendongannya.
"Kita sampai di mana ini,
Suto?"
"Mana kutahu? Aku juga
buta!" jawab Suto Sinting lalu meraih bumbung bambu berisi tuak saktinya
itu.
"Minumlah tuakmu biar kau
tak ikut-ikutan buta," kata Menik seenaknya saja sambil kucal-kucal mata.
"Tanpa kau suruh aku
sudah membuka tutup bumbung tuakku."
"Minumlah, tapi jangan
dihabiskan. Sisakan untukku, biar aku juga bisa melek kembali, Suto."
"Cerewet!" sentak Suto agak jengkel karena merasa digurui anak kecil.
Tuak sakti yang mampu
menyembuhkan segala macam penyakit dan mampu melenyapkan luka apa pun dalam
waktu singkat itu segera ditenggak oleh Pendekar Mabuk. Glek, glek, glek...!
Beberapa saat kemudian Suto menunggu pulihnya
pandangan mata. Tetapi ternyata pandangan mata tetap gelap. Hanya ada warna
hitam yang terpampang di depannya. Tuak pun diteguk kembali.
Glek, glek, glek...!
"Hei, sudah kubilang
jangan banyak-banyak, kok malah minum terus?!" sentak Menik berlagak tua
sambil menepak pantat Suto. Akibat tepakan itu, tubuh Suto terguncang dan tuak
menyiram wajahnya. Byuur ..!
"Sial kau ini,
Menik!" bentak Suto sambil tangannya ingin meraba Menik.
"Kenapa ngomel?"
"Kau mendorong tubuhku,
akibatnya tuak mengguyur wajahku."
"Mungkin tuakmu tahu
kalau mulutmu selebar wajah," kata Menik seenaknya saja. "Sini, ganti
aku yang minum."
Menik pun meraba-raba ingin
mendapatkan bumbung tuak. Suto Sinting akhirnya membantu menuangkan tuak ke
mulut Menik. Tapi karena tak bisa melihat apa-apa, akibatnya tuangan itu
terlalu banyak dan tuak meluber ke wajah Menik.
"Haalp, haalp, haalp...!
Sudah, sudah... halp!" Menik seperti orang tenggelam. Gelagapan sendiri,
ia segera terengah-engah begitu tuak sudah tak mengguyur wajahnya lagi.
"Eh, mulutku kecil, Suto.
Jangan kau anggap mulut gentong. Menuang tuak seenaknya saja!" gadis kecil
itu mengomel dalam gerutu. Suto sempat tertawa pelan sebentar, kemudian diam
dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kok masih buta?"
pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. "Wah, celaka! Kebutaan ini
rupanya tak bisa disembuhkan dengan tuak saktiku?!"
"Suto...," seru
Menik sambil meraba-raba ingin meraih tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, apakah kita berada
di sebuah gua?" "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Aku tak menemukan pintu
gua ada di mana." "Kita bukan berada di dalam gua."
"Mengapa gelap?"
"Karena kita masih
buta!" sentak Pendekar Mabuk agak jengkel.
"Lho, biasanya orang
sakit apa pun kalau minum tuakmu langsung bisa sembuh."
"Itu biasanya. Kali ini
agak luar biasa, jadi tidak bisa langsung sembuh. Kita harus menunggu beberapa
waktu agar tuakku bekerja memerangi racun kebutaan yang menyerang kita ini,
Menik."
Mereka menunggu saat-saat
kebutaan hilang. Tetapi sampai beberapa saat mereka menunggu, ternyata mata
mereka masih tetap buta, tak bisa melihat apa-apa. Suto Sinting menjadi cemas,
ia mengerahkan hawa murni untuk menghancurkan lapisan hitam yang sepertinya
melekat di kedua bola matanya itu. Tetapi usaha tersebut juga gagal.
"Celaka, kita tak bisa
melihat apa-apa lagi, Menik," kata Suto Sinting yang bersandar pada sebuah
pohon. Menik duduk di sampingnya tak jauh dari jangkauan Suto. Ia memang
diperintahkan agar jangan jauh-jauh dari Suto, karena jika terjadi sesuatu bisa
cepat diselamatkan oleh jangkauan tangan Suto.
"Mimpi apa aku
semalam?" gumam Menik bernada sedih. Ia tidak menangis, ia menampakkan
ketenangan dan ketabahannya.
"Kenapa kau sampai
bertemu dengan Dewa Semprong, Menik?"
"Aku tidak bermaksud
menemuinya. Aku bermaksud mencari kakakku: Kejora. Dia pergi dan udah beberapa
hari tak pulang ke rumah. Kakakku, Dewi Hening, mencemaskan dirinya. Lalu kami
berpencar mencari Kejora. Sebab saat itu Kejora sedang patah hati karena
ditinggal pergi kekasihnya."
"Siapa kekasih
Kejora?"
"Wicaksara, pemuda tampan
sepertimu yang masih keturunan darah biru."
"Hmmm...," Suto
manggut-manggut, tapi Menik tak melihat gerakan kepala Suto, sehingga ia
menyangka Suto hanya menggumam.
"Dalam mencari Kejora,
tiba-tiba aku dihadang oleh kakek tua ompong itu. Dengan ramah ia meminta agar
aku bersedia menyerahkan otakku untuk dimakannya. Tentu saja aku tak mau. Aku
segera melindungi lututku dan. "
"Mengapa yang kau
lindungi lututmu?"
"Sebab Kejora sering
mengatakan otakku ada di dengkul. Dengkul itu lutut, jadi ketika kudengar Dewa
Semprong mau memakan otakku, maka aku segera melindungi lututku. Akhirnya aku
melarikan diri dan dia mengejarnya sampai yah, bertemu denganmu dan buta
bersamamu begini."
Weess...! Angin berhembus
cepat, dan berhenti di depan Pendekar Mabuk. Firasat Suto mengatakan ada yang
datang menemui mereka. Ia segera bersiap menarik lengan Menik dan
menyembunyikan Menik di belakangnya.
"Ada yang datang
menghampiri kita, Menik. Siapa dia?"
"Mana kutahu, kau kan
yang ada di depan? Apa kau tak kenal dia?"
"Oh, ya aku lupa. Kita
sama-sama buta!"
Dengan mempertajam pendengaran
dan firasatnya, Suto Sinting mulai mempelajari tokoh yang datang dan kini
sedang berdiri di depannya itu. Kepalanya sebentar- sebentar miring ke kanan
atau ke kiri untuk mendengarkan suara langkah kaki. Ilmu 'Lacak Jantung' pun
segera digunakan untuk mendengar detak jantung seseorang.
"Hmmm kalau mendengar
detakan jantungnya yang
agak lembut, seperti
orang yang datang di depanku ini adalah seorang perempuan," kata Suto
Sinting dalam hatinya. "Bau wangi yang kuhirup ini juga menunjukkan
wewangian seorang perempuan. Tak salah lagi, pasti orang yang berdiri di
depanku adalah seorang perempuan."
Pendekar Mabuk segera menyapa
dengan ramah namun bernada tegas.
"Siapa kau sebenarnya.
Nona? Sebutkanlah namamu jika kau bermaksud baik padaku."
"Hik, hik. hik Baru sekarang ada
pemuda ganteng
memanggilku Nona," kata
orang yang ada di depan Suto. Pendekar Mabuk terperanjat. Suara yang
didengarnya adalah suara perempuan tua yang usianya sekitar delapan puluh tahun.
Suto menjadi malu
ketika mendengar
Menik terkikik geli di
belakangnya.
"Apakah tak boleh aku
memanggilmu Nona?" kata Suto menutupi rasa malunya akibat salah terka.
"Yah, terserah apa maumu,
Pemuda Tampan. Tapi ketahuilah dalam kebutaanmu itu, bahwa aku adalah Nyai
Serampang Wilis. Umurku sudah mencapai delapan puluh tahun, sudah peot,
keriput, tapi yah,
mungkin memang masih kelihatan
cantik, seperti seorang nona. Hik, hik, hik "
Suto tak melihat bahwa
perempuan yang berdiri di depannya itu memang sudah tua, seperti yang
dituturkan orang itu. Ia bernama Nyai Serampang Wilis. Mengenakan jubah hitam
dan berambut abu-abu disanggul asal-asalan, ia selalu memainkan kipasnya dalam
bicara. "Apa maksudmu menemui kami di sini, Nyai Serampang Wilis?!"
"Kebetulan saja aku
melihat kalian di sini. Aku mempunyai kecurigaan yang kubutuhkan."
"Apa maksudmu,
Nyai?"
"Kau pasti telah bertemu
dengan seorang lelaki tua berjubah hijau yang bernama Dewa Semprong itu."
"Iya, memang benar. Dari
mana kau tahu kalau kami bertemu dengan Dewa Semprong?"
"Kulihat kebutaan di mata
kalian bukan dari sejak lahir. Kalian pasti terkena jurus 'Gelap Sayuta'-nya si
Dewa Semprong. Jurus itu bisa membuat lawan buta seumur hidup dan tak ada obat
penyembuhnya!"
Pendekar Mabuk diam menahan
kecemasan dalam hatinya. Namun di batin sang Pendekar Mabuk sempat
bertanya-tanya, "Benarkah aku akan buta selamanya? Benarkah tak ada obat
yang dapat menyembuhkan kebutaanku ini?!"
Suara Nyai Serampang Wilis
terdengar lagi.
"Dewa Semprong memang
patut dipenggal kepalanya. Sebagai tokoh sakti ia sangat gegabah dalam
bertindak. Itulah sebabnya ia selalu dijauhi oleh para tokoh
seangkatannya."
"Apa yang harus kami
lakukan jika sudah buta begini, Nyai Serampang Wilis?"
"Hmmm... ya sudah,
nikmati saja kebutaan kalian. Karena ke mana pun kalian mencari obat penyembuh
kebutaan itu, kalian akan gagal. Kebutaan itu tak akan mampu dipulihkan oleh
kesaktian apa pun.". "Jangan percaya sepenuhnya, Suto," bisik
Menik.
"Di mana sekarang si Dewa
Semprong itu. Aku sedang memburunya untuk menyelesaikan perkara
dengannya."
"Nyai, kami memang tadi
bertemu dengan Dewa Semprong. Tapi setelah kami dibuat buta, kami melarikan
diri ke sembarang arah. Jadi kami tak tahu di mana si Dewa Semprong berada
sekarang ini. Mungkin di arah belakangku, mungkin di sebelah kiriku, atau
mungkin di arah sebelah kananku. Aku tadi sempat berlari ke berbagai penjuru
untuk menghilangkan jejak."
Nyai Serampang Wilis ingin
bicara lagi. Tetapi tiba- tiba Suto Sinting berkelebat menerjangnya dengan
kecepatan tinggi. Zlaaap...! Brrrus...! Tubuh Nyai Serampang Wilis terlempar ke
samping. Nenek tua itu terkejut dan nyaris murka. Namun tiba-tiba kemarahannya
segera menjadi reda setelah melihat Suto Sinting menangkap sesuatu dengan
jari-jari tangan kirinya.
Tiga pisau kecli terselip di
jari-jari Pendekar Mabuk. Tiga pisau berbulu merah pada bagian gagangnya itu
nyaris merenggut nyawa Nyai Serampang Wilis, karena ketiga pisau terbang itu
memang ditujukan ke arah leher Nyai Serampang Wilis.
Ketajaman indera pendengaran
dan indera perasa membuat Suto Sinting mengetahui ada hembusan angin aneh yang
menuju ke tubuh Nyai Serampang Wilis. Nalurinya pun segera menggerakkan kaki
untuk menyentak kecil ke tanah dan tubuh pun melesat cepat melebihi hembusan
angin. Karenanya, tiga pisau dari penyerang yang masih bersembunyi itu berhasil
ditangkap oleh Suto Sinting, sehingga Nyai Serampang Wilis hanya menderita
nyeri di pinggulnya akibat jatuh terbanting oleh terjangan Suto tadi.
"Monyet kurap!"
geram Nyai Serampang Wilis sambil memperhatikan tiga pisau berjambul merah di
jari-jemari Suto
"Seseorang ingin
membunuhmu, Nyai."
"Memang," jawab Nyai
Serampang Wilis bernada tegas karena memendam kemarahan. "Tapi aku kenal
dengan pemliik pisau berjambul merah itu."
"Hmmm... siapa
pemiliknya, Nyai?" "Tapak Siluman!"
"Hahh...?!" Menik
terdengar memekik. Lalu tubuhnya melesat dalam satu lompatan ke atas. Wuuut...!
Duuuhk...!
"Aaow...!" Menik
memekik lagi lebih keras, karena kepalanya membentur dahan pohon dengan keras.
Gadis kecil itu hampir saja jatuh terbanting dari ketinggian. Untung tangannya
berhasil mendapatkan dahan kecil sebagai pegangan. Akhirnya gadis itu
bergelayutan di atas pohon. Dalam keadaan mata tak dapat melihat, Menik
berusaha untuk bersembunyi di atas pohon begitu mendengar pisau itu milik si
Tapak Siluman.
"Menik, kau baik-baik
saja?!" seru Suto Sinting.
"Ya, lumayan...,"
jawab Menik yang sudah berhasil mendapatkan dahan yang aman.
"Mengapa adikmu itu
terkejut begitu nama Tapak Siluman kusebutkan? Apakah kalian sedang dicari-cari
oleh Tapak Siluman?!"
"Kami mendengar tentang
Tapak Siluman dari mulut si Dewa Semprong. Hmmm... sebaiknya carilah dulu orang
yang akan membunuhmu dengan tiga pisau itu, Nyai."
"Percuma!" kata Nyai
Serampang Wilis "Tapak Siluman tak pernah diketahui jejaknya, ia dapat
melakukan serangan sambil berlalu begitu saja. Sekarang pun kalau kau ingin
mencarinya, tak akan dapat menemukan si Tapak Siluman. Aku yakin ia tidak
berada di sini, tapi mungkin di seberang barat sana."
"Dari mana kau dapat
menduga bahwa ia ke barat?" "Kulihat daun-daun ilalang di sebelah
barat
bergoyang, arahnya ke timur.
Padahal saat ini angin bergerak ke barat. Berarti daun-daun ilalang itu terhembus
oleh gerakan si Tapak Siluman yang sedang melintasi daerah itu!"
"Apakah kau bermusuhan
dengan si Tapak Siluman, Nyai?"
"Tidak. Tapi dia selalu
ingin membunuh siapa pun yang dianggapnya berilmu tinggi. Tapak Siluman ingin
menguasai dunia persilatan dengan membantai habis para tokoh sakti di
dalamnya."
"Gawat...!" gumam
Pendekar Mabuk.
"Aku akan mengejarnya.
Sementara urusanku dengan si Dewa Semprong akan kutangguhkan dulu."
"Nyai, apakah itu tidak
berbahaya bagi keselamatan jiwamu?" "Kalau aku bisa membunuh si Tapak
Siluman, berarti ilmuku lebih tinggi dari si Gila Tuak."
Suto Sinting terkejut
mendengar nama gurunya disebut-sebut oleh Nyai Serampang Wilis. Setidaknya
nenek yang selalu menyebarkan aroma wangi itu mengenal si Gila Tuak. Tapi Suto belum
jelas, di aliran mana Nyai Serampang Wilis berada. Apakah termasuk tokoh hitam
atau tokoh putih.
Weeeers...! Nyai Serampang
Wilis melesat tinggalkan tempat. Gerakan kepergiannya dirasakan oleh Suto
seperti hembusan angin pagi yang menyebarkan udara dingin. Suto Sinting
penasaran, ingin mengetahui apa yang terjadi jika Nyai Serampang Wilis bertemu
dengan si Tapak Siluman. Maka ia pun segera berlari mengikuti udara dingin yang
ditimbulkan oleh gerakan lari Nyai Serampang Wilis itu.
"Suto, mau ke mana kau?!"
seru Menik dari atas pohon.
'Aku ingin mengikuti Nyai
Serampang Wilis. Siapa tahu bisa bertemu dengan si Tapak Siluman!"
"Aku ikut!"
"Jangan...!"
Weeeess...! Menik nekat
melompat turun dan dengan lincahnya melesat mengikuti suara langkah Suto Sinting.
Duuhk, brrus...!
"Aaauh...!" Menik
memekik kesakitan karena dalam kebutaan matanya ia sempat menabrak sebatang
pohon. Suto tak tega, akhirnya berhenti dan mendekati Menik sambil kedua
tangannya meraba-raba tempat sekitarnya. "Menik...?! Menik...?! Menangislah
lagi biar aku tahu di mana kau berada!"
"Uugf...! Uuffh...!"
Suto Sinting hentikan langkah
begitu mendengar suara Menik bagai disekap oleh tangan kekar.
"Celaka! Menik dalam
bahaya. Pasti ada orang yang menyekap mulutnya hingga tak dapat berteriak!"
pikir Suto Sinting, ia mulai tegang dan menggunakan ilmu 'Lacak Jantung' untuk
mengetahui kebenaran dugaannya. "Oh, ada suara degub jantung agak cepat.
Hmmm...
siapa pemiliknya?!"
Pendekar Mabuk bergerak pelan
ke arah datangnya suara Menik tadi. Tapi dalam hatinya ia yakin pasti bukan si
Dewa Semprong, sebab irama detak jantungnya berbeda. Kali ini irama detak
jantung yang didengarnya lebih cepat dan lebih menyentak-nyentak. Suto hanya
bisa memastikan, pemilik jantung itu adalah seorang lelaki. Tapi ia belum bisa
menduga siapa orang tersebut.
*
* *
3
SUARA langkah kaki bergegas
pergi membuat Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran. Dalam firasatnya
mengatakan, bahwa Menik ingin dibawa lari oleh seseorang yang membungkam mulut
bocah itu.
Maka sambil melakukan
pengejaran ke arah datangnya suara langkah menjauh itu, Pendekar Mabuk lepaskan
jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan bertenaga dalam. Tess...! Plook...!
Ada suara seperti kaki ditabok
keras. Disusul suara pekik orang kesakitan yang tertahan. Setelah itu baru
suara orang jatuh tersungkur. Brruus...!
"Aauh!" Menik
memekik. Agaknya bocah itu terpental dari gendongan orang yang jatuh tersungkur
akibat pahanya terkena pukulan 'Jari Guntur'. Pukulan itu membekas biru di paha, namun sayang
tertutup celana merah sehingga tak kelihatan. Yang jelas orang bercelana merah
dan berbaju hitam itu jatuh tersungkur dan meluncur menerabas semak belukar.
Brrruuus...!
"Aaaow...!" ia
memekik kesakitan, merasa mendapat pukulan sebesar tendangan seekor kuda
jantan, ia menjadi berang dan cepat keluar dari semak belukar.
"Sutooo..., Sutooo...?!'
Menik memanggil-manggil dengan kebingungan. Suto segera berkelebat ke arah
suara Menik tadi. Zlaap...! Wuuut...! Menik pun berhasil disambar Pendekar
Mabuk dan menjauhi tempat itu. Namun tiba-tiba Suto merasa ada yang
menghadangnya.
Jleeg...!
Suara orang menapakkan kakinya
ke tanah setelah lakukan suatu lompatan. Ditilik dari suara hentakan tanah yang
cukup berat, Suto dapat membayangkan orang yang ada di depannya bertubuh tinggi
dan besar.
Kenyataannya memang begitu,
orang bercelana merah dan berbaju hitam itu mempunyai tubuh yang tinggi dan
besar. Kumisnya lebar, matanya lebar, ia mengenakan ikat kepala dari kain batik
warna biru. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Pada
sabuk hitamnya yang lebar itu terselip sebiiah golok besar bersarung dari kayu
besi.
Orang itu menggeram
menampakkan kemarahannya. "Bangsat tengik! Rupanya kau ingin cari mampus
di
tangan si Kebo Gadung,
hah?!"
"Maaf, Kang," kata
Suto dengan kalem sambil menggendong Menik. Ia menyebut orang itu 'Kang',
karena ditilik dari suaranya yang besar, usia orang itu pasti lebih tua dari
usia Pendekar Mabuk. Mungkin berusia sekitar empat puluh tahun. Dugaan Suto
memang benar, orang itu berusia sekitar empat puluh tahun dan berperangai
galak. Seakan tak pernah pandang bulu jika membantai lawan.
"Sekali lagi, aku mohon
maaf padamu, Kang. Bukan aku mencari mampus, sebab ilmu apa pun memang ingin
kucari sebanyak mungkin, kecuali ilmu mampus, aku tak ingin mencarinya. Aku
bertindak demi menyelamatkan adikku ini!"
"Serahkan bocah itu atau
kau mati di tanganku, Tikus Got!" bentak Kebo Gadung.
"Mengapa kau menginginkan
anak ini, Kang?" "Waktuku hampir habis. Sebelum matahari tenggelam
aku harus sudah mendapatkan
seorang bocah yang harus kuserahkan kepada guruku. Karena jika aku gagal, maka
nyawakulah yang akan menjadi gantinya!"
"Untuk apa gurumu
membutuhkan bocah sekecil ini, Kang?!"
"Jangan banyak bacot!
Serahkan bocah itu!" "Maaf, aku tak berani menyerahkan padamu, sebab
aku bukan bapaknya, juga bukan ibu bocah ini!"
"Bangsat! Kutumbuk
mulutmu yang asal cuap itu!
Heeeeaah...!"
Bed, zlaap...!
Lompatan cepat si Kebo Gadung
menemukan tempat kosong. Suto Sinting telah melesat dan hinggap di atas pohon.
Gerakan lompatnya memutar cepat seperti baling-baling, sehingga daun dan bunga
pohon berguguran bagai terhempas oleh angin kencang.
"Menik, diamlah di sini.
Biar kuhadapi dulu orang itu!"
"Baik. Lumpuhkan dia
secepatnya, Suto. Aku tak mau berada dalam gendongannya lagi. Keringatnya bau
sekali! Hampir saja gigiku rontok sendiri karena mencium bau ketiaknya itu.
"
Entah apa lagi yang dikatakan
Menik, yang jelas Suto Sinting segera meninggalkannya sebelum Menik selesai
bicara. Gerakan Suto melompat turun bagaikan kapas melayang dihempas angin.
Tanpa suara dan getaran sedikit pun, sebagai tanda ilmu peringan tubuhnya cukup
tinggi. Menik tak tahu Suto telah turun dari pohon, maka ia berceloteh
sendirian tanpa ada yang mendengarnya.
"Heeeaat...!" Kebo
Gadung menyongsong gerakan Suto Sinting yang melayang turun. Orang bertubuh
kekar itu lakukan lompatan naik, sehingga sebelum Suto mendaratkan kakinya ke
tanah sudah harus beradu pukulan dengan Kebo Gadung.
Bed, bed...! Prrok ! Kedua
tinju itu beradu dengan keras. Masing-masing kepalan mempunyai kekuatan tenaga
dalam. Tetapi agaknya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Mabuk lebih besar
ketimbang yang dimiliki Kebo Gadung. Akibatnya, tubuh Kebo Gadung terpental ke
belakang dan jatuh berguling-guling. Guzraak...! Wuk, wuk, wuk!
"Monyet panggang!"
maki Kebo Gadung dengan suara menggeram berat. Kepalanya membentur akar pohon
berbentuk pipih seperti dinding sehingga merasa pusing tujuh keliling, ia
mengerang dengan suara pelan.
Sementara itu Pendekar Mabuk
berdiri dengan satu kaki. Bumbung tuaknya masih ada di punggungnya, ia bergerak
limbung seperti orang mau jatuh. Tapi gerakan itu terhenti dan berpindah
limbung ke arah lain dengan pergelangan tangan ditekuk. Wut, wut, wees...!
Kebo Gadung tercengang melihat
jurus sempoyongan lawannya, ia cepat menyimpulkan jurus tersebut.
"Jurus mabuk...?! Oh,
apakah dia yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk?!"
Wuk, wuuk...!
Suto Sinting hentikan
permainan jurusnya dalam keadaan kaki kanan tegak lurus, dan kaki kiri dilipat
hingga telapak kaki kiri itu merapat dengan betis kanannya. Kedua tangan Suto
mengembang ke samping dengan badan sedikit miring dan kepala tertunduk lemas
seakan sedang mabuk.
"Siapa pun dirimu aku tak
peduli! Tetap saja kuhancurkan kepalamu, Tikus Dapur! Hiiah...!"
Kebo Gadung melompat
melepaskan tendangan beruntun ke wajah Pendekar Mabuk. Namun tendangan itu
berhasil ditangkis berkali-kali oleh Pendekar Mabuk walaupun dalam keadaan buta
matanya.
Plak, plak, plak, plak,
plak...! Wuuuut, buuuhk...!
Suto Sinting putar tubuh
dengan cepat, tahu-tahu kakinya melayang menendang telak kepala Kebo Gadung.
Tendangan itu cukup keras dan mempunyai kekuatan tenaga dalam besar, sehingga
tubuh kekar berkumis lebat itu terpental ke samping kanan dan jatuh
berguling-guling. Bleduk, brrus...!
"Oouh...!" Kebo
Gadung mengerang kesakitan, ia segera memegangi hidungnya, ternyata dari lubang
itu keluar darah kental yang membasah hingga melewati mulutnya.
"Kusarankan agar kau
segera pulang dan jangan coba-coba ingin menculik gadis kecilku lagi, Kebo
Gadung!" kata Suto Sinting dengan tegas dan bernada penuh wibawa.
"Keparat sangit!"
geram Kebo Gadung sambil bangkit kembali. "Daripada aku dibunuh Guru
karena gagal membawa pulang seorang bocah, lebih baik kita beradu nyawa di
sini, Tikus Pasar!"
Sreek! Golok besar dicabut
dari sarung kayunya. Golok itu berkilauan dan ditebas-tebaskan ke sana-sini.
Kebo Gadung memamerkan jurus goloknya. Ia tak sadar bahwa lawannya buta, tak
bisa melihat kehebatan jurus itu.
Suto Sinting hanya menelengkan
kepala memperhatikan suara yang mendekatinya. Dengung golok menebas angin
terdengar makin mendekat dari sisi kanannya. Pendekar Mabuk berdiri dengan
badan limbung ke kiri bagai mau jatuh. Kepalanya terkulai lemas, sesekali tersentak
mirip orang cegukan. Kebo Gadung memutar tubuh dengan cepat dan tahu-tahu golok
menyabet pinggang Suto Sinting. Wuuss..!
Suto jatuh, tangannya menapak
di tanah, lalu menyentak cepat, tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas. Golok itu
mengenai tempat kosong. Tetapi si pemilik golok segera lakukan satu lompatan ke
atas pula, dan kakinya berkelebat menendang dari samping kanan ke kiri. Wuuut,
buuhk...!
"Uuhg...!" Pendekar
Mabuk terpental ketika tendangan keras itu mengenai lambungnya.
Brrruk...! Ia jatuh terpuruk
dengan wajah menyeringai. Bumbung tuaknya nyaris terlepas dari punggung. Untung
talinya yang menyilang di dada cukup kuat, sehingga bumbung itu hanya
mengganjal tubuh Suto yang jatuh meringkuk.
"Modar kau sekarang!
Heeah...!"
Kebo Gadung tak mau memberi
kesempatan lawannya untuk bangkit, ia segera menerjang dengan golok ditebaskan
ke depan. Wuuut...!
Traaang, traak...!
Golok itu tiba-tiba patah
menjadi dua bagian. Sebutir batu melayang cepat dan menghantam pertengahan
golok yang membuat golok itu patah. Kebo Gadung terbengong melihat goloknya
patah karena dihantam batu kerikil sebesar melinjo. Jika bukan berisi tenaga
dalam cukup tinggi, tak mungkin batu kecil itu dapat mematahkan golok baja
tersebut.
Pada saat Kebo Gadung
terbengong pandangi goloknya, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat dari
balik semak. Bayangan itu berwarna abu-abu yang segera menerjang dada Kebo
Gadung. Buuhk...!
"Heegh...!" Kebo
Gadung nyaris tak bisa bernapas.
Dadanya bagaikan mau jebol,
pernapasannya tersumbat sesaat. Tubuh besar itu melayang ke belakang dan
membentur sebatang pohon dengan keras. Duuurr ..! Daun-daun berguguran karena
benturan tubuh besar bertenaga dalam itu.
"Ada orang yang ikut
campur dalam pertarungan ini," pikir Suto Sinting. "Hmmm... siapa
orang yang memihakku itu?!"
Pendekar Mabuk bangkit berdiri
dan ketika tangannya meraba-raba mencari pegangan atau keseimbangan tubuh.
Ketika itu ia mendengar Kebo Gadung berseru kepada bayangan yang tadi
menerjangnya itu.
"Babi kurap! Rupanya kau
mau ikut campur urusanku, hah?! Hiaaah...!"
Kebo Gadung melompat lakukan
serangan bagai singa menerkam mangsanya. Tapi orang yang diserang segera
menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi menggunakan kedua telapak tangannya.
Wut, wut, wut, wut...!
Plak, plak, duhg, duhg, duhg,
duhg, duhg..! Pukulan beruntun itu terdengar jelas di telinga Suto Sinting.
Kecepatan pukulan itu menandakan orang berpakaian biksu warna abu-abu itu
mempunyai ilmu yang lumayan tinggi. Suara pukulannya seperti beduk ditabuh
dengan dua batang kayu sebesar lengan.
"Huuoeek...!" Kebo
Gadung memuntahkan darah segar dari mulutnya. Di sela suara 'hoek-hoek'-nya
Kebo Gadung, Suto Sinting mendengar suara tawa yang terkekeh-kekeh. Suara tawa
itu sepertinya pernah didengar, hanya sayang ia lupa siapa pemiliknya.
"Bangsat kau!" geram
Kebo Gadung dengan menahan sakit di dada. "Aku akan datang lagi untuk
membalas perbuatanmu ini! Aku akan datang untukmu, Bangsat Tua!"
Weess...! Suto Sinting
mendengar suara langkah kaki menjauh. Hatinya segera menggumam, "Hmm Kebo
Gadung melarikan diri. Siapa
orang yang membuatnya lari itu?!"
Pendengaran Suto segera
menangkap langkah kaki mendekatinya. Kira-kira dalam jarak satu tombak, langkah
kaki itu berhenti. Tapi dari belakang Suto muncul pula langkah kaki yang seakan
baru keluar dari persembunyian.
Suto Sinting segera menyapa
orang yang menolongnya itu.
"Maaf, Kawan... sebelum
kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu, terlebih dulu aku ingin mengenal
namamu, Kawan."
Kemudian orang itu pun
terkekeh pelan dan mulai perdengarkan suaranya.
"Perawan juling berhulu
hidung lentik Mencari kutu sambil jungkir balik Pandanglah wajah tampanku
baik-baik Inilah aku si penakluk gadis cantik."
"Eyang Resi Pakar
Pantun...?!" Suto Sinting langsung yakin bahwa orang itu adalah Resi Pakar
Pantun yang sudah dianggap seperti orangtuanya sendiri. Suto pun yakin bahwa
yang muncul dari balik semak di belakangnya pasti si Kadal Ginting, pelayan
setia sang Resi.
"Eyang, tampaknya Suto
dalam keadaan buta!" ujar Kadal Ginting, lelaki agak pendek berpakaian
hijau tua dengan ikat kepala putih.
Resi Pakar Pantun mendekati
Suto, melambaikan tangan di depan mata. Suto diam saja dan tampak kebingungan.
Kadal Ginting segera berkata,
"Eyang ini bagaimana?!
Mata buta malah diberi lambaian tangan. Mana mungkin mendapat balasan?!"
"Aku hanya mencoba apakah
benar matanya buta!" hardik sang Resi.
"Kalau tak percaya,
silakan dicolok dulu, Eyang!" "Matamu saja yang dicolok!" sahut
Suto Sinting
dengan bersungut-sungut.
"Astaga! Jadi kau benar-benar
buta, Suto?!" wajah sang Resi tampak tegang. Lalu ia mulai meluncurkan
pantunnya lagi.
"Perawan juling ketiban
papan Tubuh mulus panunya sebesar kendi Buat apa punya wajah tampan
Kalau tak bisa mengintip gadis
mandi."
Menik yang menyimak keadaan di
bawah segera tahu bahwa Kebo Gadung telah pergi, ia segera lakukan lompatan
bersalto karena ingin bergabung dengan Suto. Ia lupa bahwa matanya masih buta.
Karenanya ketika ia melompat turun, kakinya mendarat di pundak Resi Pakar
Pantun. Jleeg...!
"Aduh, kotoran apa yang
kuinjak ini, Suto?" tanya Menik dengan tegang. "Kok empuk?!"
"Bocah gendeng!"
maki sang Resi sambil menabok kaki Menik. "Ayo, turun...! Kau menginjak
pundakku, bukan kotoran apa-apa!"
Wuuut, jleeg...!
Menik melompat turun dari atas
pundak sementara Kadal Ginting dan Suto menertawakan omelan sang Resi.
"Kalau tak salah dengar,
seperti ada suara Eyang Resi Pakar Pantun, Suto," ujar Menik dengan tangan
meraba- raba mencari lengan Suto. Kadal Ginting dan Resi Pakar Pantun semakin terbengong
dengan hati iba melihat Menik pun ternyata dalam keadaan buta.
"Ya, ampun...! Jadi si
Menik juga ikut buta?" ujar sang Resi.
"Oh, Menik...,"
Kadal Ginting bernada sedih, ia langsung berlutut dan memeluk Menik.
"Adikku sayang, mengapa kau punya penyakit latah sehingga ikut-ikutan buta
seperti Suto, Adikku?!"
Menik memegang kepala Kadal
Ginting. "Suto, aku mendapatkan kentang cukup besar."
Kadal Ginting menyahut dengan
suara dibuat mendayu-dayu.
"Ini bukan kentang,
Adikku. Ini kepala yang belum pernah ditanam!"
Kadal Ginting segera
menepiskan tangan Menik ketika gadis itu tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kepala
orang tua disangka kentang!" gerutu Kadal Ginting yang membuat Pendekar
Mabuk sunggingkan senyum geli.
"Suto, ceritakan
bagaimana awalnya kau dan Menik bisa menjadi buta begini? Apakah kau tak bisa
sembuhkan kebutaanmu dengan tuakmu itu?!"
Pendekar Mabuk segera meraih
bumbung tuak dan bersiap untuk meneguknya.
"Dewa Semprong yang
membuat kami menjadi seperti ini, Eyang Resi...," kemudian Suto pun
menceritakan pertemuannya dengan Dewa Semprong.
"Kalau begitu kau dan
Menik harus mencuci muka dengan air Sendang Ketuban," kata Resi Pakar
Pantun.
*
* *
4
SENDANG Ketuban merupakan
sebuah kolam berair jernih, warnanya hijau bening. Kolam itu terletak di dalam
Istana Jerami milik Ratu Cumbutari. Benda apa pun yang jatuh di atas permukaan
air kolam tersebut akan lenyap secara gaib, sehingga air kolam itu tetap bening
dan bersih.
Istana Jerami terdapat di
negeri Wilwatikta, tepatnya di Gunung Purwa. Negeri itu kekuasaan Ratu
Cumbutari yang pernah dibantu Pendekar Mabuk dalam mengalahkan si anak raksasa
bernama Barakoak. Sedangkan Ratu Cumbutari sendiri adalah adik dari ayahnya
Menik, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pembantai
Raksasa").
Adapun kesaktian air Sendang
Ketuban memang melebihi kesaktian tuaknya Suto. Air itu mampu sembuhkan seluruh
penyakit dan luka apa pun. Sudah beberapa kali Pendekar Mabuk terpaksa
menggunakan air Sendang Ketuban untuk menolong luka seorang sahabat yang tak
bisa disembuhkan dengan tuak saktinya. Beberapa luka yang pernah disembuhkan
dengan menggunakan air Sendang Ketuban antara lain: luka terkena racun 'Tapak
Ungu' yang kala itu didera oleh Darah Prabu, murid dari Resi Badranaya, juga
luka terkena kesaktian Tongkat Guntur Bisu yang membuat Kabut Merana menjadi
patung batu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir
Malam").
Kali ini, kebutaan Suto dan
Menik yang membutuhkan air Sendang Ketuban. Resi Pakar Pantun serta Kadal Ginting
ikut mendampingi Pendekar Mabuk dan Menik menuju Gunung Purwa. Hal itu terpaksa
diakukan oleh Resi Pakar Pantun, karena dengan begitu ia mempunyai kesempatan
menjelaskan tentang si Tapak Siluman.
"Memang para tokoh tua
kalangan atas sedang ramai membicarakan tentang kemunculan si Tapak
Siluman," kata Resi Pakar Pantun sambil menuntun Suto melangkah, sedangkan
Dewi Menik digendong oleh Kadal Ginting.
"Siapa sebenarnya si
Tapak Siluman itu. Eyang Resi?"
"Dia sebenarnya tokoh tua
yang pernah merajai dunia hitam sebelum gurumu: si Gila Tuak, tampil sebagai
tokoh sakti teratas di jajaran para tokoh di rimba persilatan ini. Sebelum Gila
Tuak dinobatkan sebagai tokoh tersakti, Tapak Siluman sudah meninggal."
"Lalu, kenapa sekarang
dia bisa bangkit lagi?" "Mayatnya memang bisa bangkit lagi jika
tersiram
darah perawan. Walau hanya
setetes darah perawan mengenai mayat si Tapak Siluman, maka ia dapat hidup
kembali karena ilmu 'Sukma Perawan'-nya bekerja kembali. Menurut kabar yang
diterima oleh para sesepuh dunia persilatan, termasuk keterangan dari gurumu
sendiri, bahwa kuburan si Tapak Siluman yang terletak di lereng Bukit Segara
itu telah mengalami bencana tanah longsor beberapa waktu yang lalu. "
"Ya, aku juga mendengar
kabar itu sekitar dua purnama yang lalu, ketika hujan turun dengan deras selama
tujuh hari tujuh malam," timpal Menik dari gendongan Kadal Ginting.
"Benar," sahut Resi
Pakar Pantun lagi. "Bencana tanah longsor itu menimpa sebuah desa yang
bernama Desa Pare Kembang. Kabar yang kuterima, bencana tanah longsor itu
menewaskan hampir separo lebih penduduk Desa Pare Kembang. Dugaan para sesepuh
dunia persilatan, rangka dari mayat Tapak Siluman itu terkena darah seorang
gadis yang masih suci tanpa disengaja. Darah itulah yang membangkitkan si Tapak
Siluman dan menuntut balas terhadap bekas lawan- lawannya yang dulu belum
sempat ditumbangkan. Bahkan kudengar ia juga masih melanjutkan cita-citanya
yang dulu, yaitu ingin menguasai dunia persilatan dengan membantai habis semua
orang berilmu tinggi."
"Lalu, dulu yang
mengalahkan Tapak Siluman siapa, Eyang Resi?"
"Dulu si Tapak Siluman
dikalahkan oleh Kangmas Purbapati, atau gurunya si Gila Tuak."
"Ooh...?!" Suto
Sinting terkejut, lalu menggumam bernada masygul.
"Jadi sasaran dendam
Tapak Siluman sekarang ini adalah murid dari Purbapati, yang tak lain adalah si
Gila Tuak. Jika Gila Tuak mempunyai murid lagi, maka Tapak Siluman pun akan
membantai habis muridnya si Gila Tuak."
"Berarti aku pun terancam
oleh dendamnya?" "Begitulah
kira-kira. Sebab itu
dalam pembicaraan
para sesepuh dunia persilatan,
aku diminta bantuannya oleh si Gila Tuak untuk menemuimu dan membawamu pulang
ke Jurang Lindu. Gila Tuak akan memberi tugas padamu untuk mengalahkan Tapak
Siluman. Sebab, para sesepuh dunia persilatan mendapat kabar bahwa Tapak
Siluman telah menguasai ilmu 'Bajang Rampak' yang amat berbahaya."
"Seperti yang diceritakan
Dewa Semprong itukah?" "Ya, memang apa yang dikatakan Dewa Semprong
itu betul, Suto. Kesaktian
ilmu 'Bajang Rampak' hanya bisa dilawan jika darah kita bercampur dengan otak
bocah di bawah usia sepuluh tahun. Karena itu belakangan ini aku sering
mendapat kabar tentang penculikan bocah kecil di beberapa tempat, itu lantaran
para tokoh yang tahu rahasia ilmu 'Bajang Rampak' ingin mendapat penangkal ilmu
tersebut dengan memakan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun. Jika dibiarkan
terus begitu, maka berapa ribu bocah yang akan mati sebagai korban siap siaga
datangnya ilmu 'Bajang Rampak'."
"Mengerikan sekali,"
gumam Kadal Ginting.
"Ah, begitu saja
mengerikan! Dasar pengecut kau!" kecam Menik yang digendong belakang oleh
Kadal Ginting.
"Satu-satunya jalan untuk
mengurangi pembantaian terhadap bocah di bawah usia sepuluh tahun adalah dengan
melawan dan menghancurkan raga si Tapak Siluman," sambung Resi Pakar
Pantun. "Dalam hal ini, menurut para sesepuh dunia persilatan, hanya
kaulah orangnya yang bisa menandingi si Tapak Siluman dengan ilmu 'Bajang
Rampak'-nya. Karena gurumu sendiri tahu bahwa kau mempunyai jurus 'Manggala'
yang dapat membuat lawanmu menjadi debu dalam sekejap." Menik menyahut,
"Tapi dalam keadaan buta begini mana bisa Suto mengarahkan jurus
'Manggala'-nya ke tubuh Tapak Siluman? Bisa-bisa malah nyasar ke tubuhmu, dan
kau sendiri yang menjadi debu buat cuci piring, Eyang Resi."
"Anak kecil ikut nimbrung
terus kalau ada orang tua bicara!" hardik Resi Pakar Pantun. Menik malahan
bersungut-sungut.
"Salahnya sendiri, orang
tua kok bicaranya dekat anak kecil!"
"Dasar tengil, konyol,
bandel, sok tua "
"Tapi cantik,
bukan?" sahut Menik dengan lagak genitnya. Resi Pakar Pantun mendengus
kesal dan buang muka, sementara Suto dan Kadal Ginting tertawa geli mendengar
lagak bicara si gadis kecil itu sambil tetap melangkah menuju ke Gunung Purwa.
Tiba-tiba langkah mereka
terhenti oleh datangnya sekelebat bayangan yang melintas di atas kepala Suto.
Weesss...! Gerak naluri Soto
Sinting membuatnya segera merendahkan kepala dengan badan limbung ke samping
seperti orang mabuk. Tangannya berkelebat dengan pergelangan terlipat dan
jari-jari membentuk kuncup.
Craaas !
"Aaauh...!" Suto
Sinting memekik, pundaknya terkena tebasan pedang si bayangan yang melintas
itu. Darah pun mulai membanjiri pundak Suto dengan luka panjang dari punggung
kiri ke pundak kiri.
Kadal Ginting segera lakukan
lompatan ke balik pohon besar. Menik masih ada dalam gendongannya. Sementara
itu, Resi Pakar Pantun segera melompat ke samping dan melepaskan pukulan tenaga
dalam dengan sentakkan tangan kanan dalam keadaan telapak terbuka. Wuuut...!
Bayangan itu melesat bagai
kilatan cahaya. Dari pohon yang satu ke pohon yang lain bayangan itu bergerak
cepat. Wes, wes, wes, wes! Lalu mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...!
Pada saat itu Suto Sinting
jatuh berlutut sambil memegangi pundaknya yang terluka. Matanya yang buta seperti
memandang ke sana-sini, padahal yang digunakan untuk mengetahui keadaan
sekeliling adalah pendengarannya. Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan.
"Hmmm... detak jantungnya
lemah, pasti ia seorang perempuan," pikir Suto Sinting sambil menahan rasa
sakitnya.
Dugaan Pendekar Mabuk itu
benar. Bayangan putih yang menyerangnya dengan pedang itu adalah seorang
perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun. Rambutnya disanggul rapi,
mengenakan hiasan kepala dari rantai emas permata. Jubah putihnya tipis dan sangat membayang, sehingga bentuk tubuhnya
dapat dilihat secara samar-samar.
Perempuan itu mempunyai mata
jalang dan bibir menggemaskan. Pinggulnya begitu indah, sekal, sangat
menggairahkan. Bahkan dadanya tampak montok dan kencang, seakan selalu siap
menantang lawan jenisnya. Di tangan perempuan yang bergelang butiran permata
itu menggenggam sebuah pedang runcing. Gagang pedangnya dibungkus dengan kain
bludru warna hitam, berhias ronce-ronce benang kuning emas.
Perempuan itu tidak
mengeluarkan suara apa pun, sehingga Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi dan
wajah terheran-heran. Melihat gelagatnya, perempuan itu akan menyerang Suto
lagi dengan pedangnya. Maka Resi Pakar Pantun buru-buru tampil menghadang
langkah perempuan cantik beralis tebal itu. Resi Pakar Pantun sengaja berdiri
membelakangi Suto, karena ia tahu Suto Sinting pasti ingin buru-buru meminum
tuak saktinya untuk mengatasi luka tebasan pedang tadi.
"Perawan juling datang
bertamu Burung satu bandel melulu Memang cantik paras wajahmu Tapi sayang sirik
hatimu."
"Hemmm...!"
perempuan itu hanya mencibir sinis, sikapnya sangat bermusuhan.
"Siapa dirimu, Nona
Cantik? Mengapa kau menyerang pemuda tampan itu?!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Minggir kau, Tua
Kejemur!"
"Eit, ditanya belum
menjawab malah mengusir orang? Kau sangka aku pedagang kaki lima yang bisa
diusir sewaktu-waktu?!"
Pendekar Mabuk memang segera
menenggak tuaknya. Begitu tuak masuk ke dalam kerongkongannya, luka sabetan
pedang yang memanjang itu mulai berasap tipis. Makin lama warna merahnya makin
berubah menjadi kehitam-hitaman. Rasa sakit pun mulai hilang. Lama-kelamaan
luka itu pun menutup kembali dan menjadi rapat seperti semula tanpa darah
setetes pun yang tersisa di tubuh Suto.
"Sebutkan siapa namamu
dan mengapa menyerang sahabatku?!" desak Resi Pakar Pantun yang rupanya
juga baru kali itu berhadapan dengan si perempuan cantik.
"Buka matamu, Tua Peot...
akulah yang dikenal dengan nama Mahkota Dewi."
"Hmmm... nama yang masih
asing di telingaku," gumam Suto Sinting yang sudah bisa berdiri tegak
kembali.
Resi Pakar Pantun ajukan tanya
kepada perempuan cantik itu.
"Mahkota Dewi....
"Perawan juling mancung
giginya Perawan bunting bodong pusarnya Kalau marah apa sebabnya
Kalau cinta berapa
anaknya?"
Sebelum Mahkota Dewi menjawab
pertanyaan berpantun dari sang Resi, Pendekar Mabuk lebih dulu perdengarkan
suaranya kepada Mahkota Dewi.
"Rasa-rasanya kita tak
punya persoalan apa-apa, Mahkota Dewi."
Hati perempuan itu sempat
menggumam kagum, "Gila. Lukanya lenyap begitu saja? Padahal pedangku ini
beracun ganas, tapi tak membuatnya mati sedikit pun." Hati berkata
demikian, tapi mulut menanggapi ucapan Pendekar Mabuk tadi.
"Menurut otak jahanammu
memang begitu. Tapi menurutku kau adalah orang yang wajib kutuntut balas."
"Apa yang ingin kau
tuntut dariku?"
"Nyawamu!" jawab
Mahkota Dewi dengan tegas dan semakin menampakkan permusuhannya. Pandangan
matanya yang galak itu menatap Suto Sinting tak berkedip. Tangannya masih
menggenggam pedang yang terangkat ke atas, siap untuk lakukan serangan mautnya
kembali.
"Mengapa kau ingin
menuntut nyawaku, Mahkota Dewi?" Suto ajukan tanya dengan kalem.
"Kau telah membunuh
guruku, dan aku harus membalas kematiannya kepadamu. Kau harus menebus nyawa
Guru, Manusia sesat!"
Resi Pakar Pantun berkerut
dahi memandang Suto Sinting dengan heran. Dahi sang Pendekar Mabuk pun tampak
berkerut tajam, ia ajukan tanya kepada Mahkota Dewi sebelum Resi Pakar Pantun
buka suara.
"Siapa gurumu itu,
Mahkota Dewi?!"
"Jangan berpura-pura
bodoh, Manusia Laknat! Dari puncak bukit tadi kulihat kau berhadapan dengan
Guru. Tapi ketika kuhampiri, ternyata Guru sudah tidak ada di tempat dan kau
pun menghilang. Tak jauh dari tempat pertemuanmu dengan Guru kutemukan jenazah
Guru dalam keadaan yang sungguh menyedihkan! Kau memang manusia laknat yang
amat keji. Kau layak mendapatkan upah seperti ini, hiaaah...!" Tiba-tiba
sekali Mahkota Dewi tebaskan pedangnya di udara dari atas ke bawah. Wees...!
Angin tebasan itu memercikkan sinar merah yang melesat ke dada Suto Sinting.
Pandangan mata Pendekar Mabuk
yang gelap tak bisa melihat datangnya sinar merah itu. Tetapi Resi Pakar Pantun
segera sentakkan tangannya dan keluarkan sinar biru dari ujung jari
telunjuknya. Claap...! Kedua sinar itu akhirnya bertabrakan.
Blaaaarr...!
Gelombang hentakan dari
ledakan tersebut membuat tubuh Resi Pakar Pantun terlempar sejauh delapan
langkah. Pendekar Mabuk sendiri terpental ke belakang dan berguling-guling
sambil memeluk bumbung tuaknya.
"Hiaaaah...!"
Mahkota Dewi memanfaatkan keadaan Pendekar Mabuk yang terdesak itu. Ia lakukan
satu lompatan cepat dengan pedang menebas kuat. Weet, traaang...!
Suto Sinting menangkap
datangnya angin kencang dari arah atas kepalanya. Dengan cepat digenggamnya
bambu bumbung tuak itu memakai kedua tangan lalu disilangkan di atas kepala,
sehingga bambu tuak itu menjadi sasaran tebasan pedang si Mahkota Dewi.
Wuuut... brrruk...!
Mahkota Dewi justru terpental
dan jatuh terpelanting setelah melayang sesaat di udara.
"Edan! Bumbung tuaknya
bisa mengembalikan tenaga dalamku yang kusalurkan melalui pedang ini?! Bahkan
sepertinya tenaga dalam itu lebih besar dari yang kusalurkan tadi. Pantas kalau
Guru tewas di tangannya!"
Mahkota Dewi diam berdiri
sambil membatin demikian. Sebelum perempuan itu bicara, Pendekar Mabuk lebih
dulu perdengarkan suaranya kembali yang masih bernada kalem itu.
"Mahkota Dewi, aku tak
merasa membunuh gurumu dan aku tak tahu siapa gurumu sebenarnya."
"Nyai Serampang
Wilis!" jawab Mahkota Dewi dengan suara geram penuh kebencian serta
dendam.
Pendekar Mabuk terkejut
mendengar keterangan itu. Seingatnya, Nyai Serampang Wilis tadi mengejar si
Tapak Siluman. Jika ternyata Mahkota Dewi menemukan Nyai Serampang Wilis sudah
tak bernyawa lagi, berarti si Tapak Siluman itulah pembunuhnya. Begitu kesimpulan
batin Suto.
"Kurasa kau salah paham,
Mahkota Dewi," ujar Suto sambil memainkan tali penggantung bumbung
tuaknya. "Aku tidak membunuh Nyai Serampang Wilis, tapi "
"Jangan banyak bicara
kau, Laknat! Hiaaah. !"
*
* *
5
RESI Pakar Pantun akhirnya melepaskan
pukulan jarak jauhnya dari belakang Mahkota Dewi. Seberkas sinar kuning melesat
dari tangan Resi Pakar Pantun dan menghantam punggung Mahkota Dewi. Claap, des
! Mahkota Dewi tersentak dan mengejang. Kepalanya terdongak ke atas dengan
mulut ternganga tanpa bisa keluarkan suara. Pedangnya segera terlepas dari
genggaman, dan tubuh itu pun akhirnya limbung karena urat-uratnya seperti putus
semua dan tulangnya bagaikan menjadi lunak. Brruk...!
Suto Sinting pertajam
pendengaran, ia segera mengetahui bahwa lawannya telah jatuh terkulai tanpa
daya lagi. Selang beberapa saat kemudian terdengar suara sang Resi bernada
kesal.
"Maaf, Suto... terpaksa
aku berbuat curang sedikit.
Hanya sedikit kok."
'Kau apakan dia, Eyang?"
"Kuhantam dari belakang
dengan pukulan 'Setan Presto' yang jarang kugunakan itu."
Suto Sinting geleng-gelengkan
kepala pertanda kurang setuju dengan tindakan itu.
"Aku memang lakukan
kecurangan sedikit, tapi ini demi menghindari korban nyawa terhadap
kesalahpahaman ini," ujar sang Resi yang tadi juga mendengar cerita
tentang Nyai Serampang Wilis dari Suto sendiri.
Mahkota Dewi merintih kecil,
suaranya mengharukan hati. Suto Sinting tak tega, kemudian mendekati dengan
pelan-pelan.
"Kau bisa memulihkannya
dengan tuakmu, Suto," ujar sang Resi setelah memandang kemunculan Kadal
Ginting yang menggendong Menik itu.
Kaki Pendekar Mabuk menyentuh
kaki Mahkota Dewi, lalu ia jongkok dan meraba-raba kaki perempuan itu.
"Di mana letak
mulutnya?" gumam Suto yang didengar oleh sang Resi.
"Kurasa letak mulutnya
ada di kepala, Suto."
"Aku sedang mencari
kepalanya," kata Suto sambil tangan yang kiri mulai mempersiapkan bumbung
tuak. Ia ingin meminumkan tuak ke mulut Mahkota Dewi.
"Bunuhlah aku...,"
ratap Mahkota Dewi dengan lirih. "Bunuhlah saja aku, agar menyatu
dengan aman guruku. "
"Itu soal gampang,"
ujar Suto seenaknya sambil mencari kepala Mahkota Dewi. Tangan Suto Sinting
merayapi tubuh Mahkota Dewi untuk mendapatkan kepala perempuan itu. Tapi ketika
tangan tersebut sampai di dada montok Mahkota Dewi, Suto Sinting sempat berkata
kepada sang Resi yang ada di belakangnya,
"Kepalanya ada dua,
Eyang." "Husy ! Itu bukan kepala!"
"O, maaf. Kusangka
kepala," kata Suto sambil nyengir nakal.
Mafkota Dewi semakin berang,
tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya sangat lemas, tak bisa untuk
menabok wajah Pendekar Mabuk. Seandainya Mahkota Dewi tidak dalam keadaan
lumpuh akibat pukulan 'Setan Presto' tadi, maka tangannya sudah berkelebat
cepat menghantam wajah pemuda yang dianggap menggagahi tubuhnya itu.
"Maaf, Mahkota Dewi..„ aku hanya ingin menuangkan tuak ke dalam mulutmu
biar kau sehat kembali. Aku tak ingin kesalahpahaman ini memakan korban jiwa di
antara kita."
"Bunuh saja aku,
Keparat!" Mahkota Dewi bermaksud membentak, tapi suaranya yang keluar
sangat pelan hingga mirip sebuah rayuan.
Begitu tangan Suto menyentuh
mulut Mahkota Dewi, ia justru meraba-raba bibir perempuan itu dengan hati
berdesir desir. Suara decak kekaguman terdengar samar- samar dari mulut Suto.
"Ck, ck, ck... bibir kok
legit amat begini? Hmm, hmm... pria mana yang bakalan beruntung mencicipi bibir
sepulen ini, ya?"
Resi Pakar Pantun menendang
pinggul Suto secara seloroh. Plok...!
"Tuang saja tuakmu!
Jangan sembrono begitu. Mulut orang diobok-obok seenaknya saja...!"
"Aku sedang buta, Eyang.
Maklum, namanya saja orang buta, jadi kerjanya ya meraba-raba begini."
Tuak pun segera dituangkan
dengan hati-hati ke mulut Mahkota Dewi dengan bantuan Resi Pakar Pantun. Di
sisi lain, Kadal Ginting berdiri memandangi adegan itu sambil berkata agak
keras.
"Enak juga kalau jadi
orang buta, ya? Pegang-pegang tubuh perempuan dianggap sah-sah saja."
Menik menyahut dari gendongan,
"Kudoakan perempuan itu jadi buaya, jadi kalau Suto mengobok- obok
mulutnya bisa langsung ditelan oleh buaya itu!" "Hei, nada bicaramu
kedengarannya jengkel sekali.
Kenapa begitu, Menik?"
tanya Kadal Ginting.
"Aku tidak suka pemuda
bertangan nakal," jawab Menik dengan ketus. "Sayang saja aku kepepet
buta begini. Kalau tidak aku tak mau berada dalam gendonganmu."
"Kenapa begitu?"
"Tanganmu pun dari tadi
juga nakal."
"Oh. aku tak sengaja
nakal. Tanganku memang semutan, jadi sebentar-sebentar kugerak-gerakkan biar
semutnya hilang."
Percakapan itu terhenti,
karena Kadal Ginting segera menjelaskan kepada Menik bahwa Mahkota Dewi telah
bisa bangkit dan duduk di tempat. Perempuan itu pegangi kepalanya yang terasa
agak pusing. Rupanya ia tak biasa minum tuak. Tapi tuak itu telah membuatnya
sehat kembali, urat-urat dan tulangnya bisa bekerja sebagaimana mestinya.
Bahkan Mahkota Dewi merasa lebih segar sekarang dibanding sebelum lakukan
pertarungan tadi. Duka atas kematian sang Guru pun bagaikan terkikis habis oleh
pengaruh tuak yang diminumnya.
"Dia agak mabuk karena
kebanyakan minum tuak," kata Kadal Ginting, menjelaskan penglihatannya
kepada Menik.
"Hmm..., dasar perempuan
udik! Aku saja sejak tadi banyak minum tuaknya Suto tidak merasa mabuk."
"Apakah kau sudah sering
minum tuak?" "Jarang. Tapi kalau minum arak sering." "Gila.
Kecil-kecil minumannya sudah arak."
"Buat melatih diri dari
tidak kaget jika bertemu dengan para tokoh yang gemar mabuk-mabukan," kata
Menik. "Coba lebih mendekat lagi pada mereka, Kadal Ginding. Aku mau
bicara dengan Suto."
Saat itu Pendekar Mabuk bicara
kepada Mahkota Dewi, "Ingat, Mahkota Dewi... bagiku sangat mudah
membunuhmu pada saat tadi. Tapi karena aku bukan berjiwa pembunuh keji seperti
anggapanmu, maka hal itu tak kulakukan. Kumohon kau mau membuang tuduhanmu
terhadap diriku. Aku bukan pembunuh gurumu, walau aku tadi memang sangat kenal
dengan Nyai Serampang Wilis."
Mahkota Dewi akhirnya mengakui
kesalahpahamannya dalam hati. Ia menarik napas setelah memasukkan pedangnya ke
sarung pedang yang ada di pinggang.
"Kalau benar bukan kau,
lantas siapa yang membunuh Guru?"
"Mungkin si Tapak
Siluman, karena tadi gurumu mengejar Tapak Siluman setelah gagal diserang
dengan tiga pisau. Ketiga pisau terbangnya berhasil kutangkap sebelum mengenai
tubuh gurumu."
"Tapak Siluman...?!"
gumam Mahkota Dewi. "Guru memang belum lama ini bercerita tentang
kebangkitan si Tapak Siluman. Tapi beliau tidak ceritakan adanya permusuhan
dengan si Tapak Siluman."
Sang Resi ajukan tanya,
"Di mana jenazah gurumu sekarang?" "Di sebelah barat sana!"
jawab Mahkota Dewi masih bernada sedikit kaku. "Keadaan jenazah Guru
sangat menyedihkan. Seluruh dagingnya hancur, tapi bagian jantung dan yang
lainnya masih utuh. Kepala pun masih utuh. Jenazah Guru bagai kehilangan raga,
tinggal kepala dan isi perutnya yang tersisa."
"Ilmu 'Bajang
Rampak'!" sentak Resi Pakar Pantun dengan tegang.
"Ilmu apa itu?"
tanya Mahkota Dewi.
"Itu ilmu andalan si
Tapak Siluman. Tak ada tokoh lain yang memiliki ilmu itu!"
Sang Resi ingin bicara lagi,
tapi tiba-tiba-mulutnya tak jadi bergerak. Dahi sang Resi berkerut makin lama
makin tajam. Pada saat itu, ia merasakan hembusan angin yang berbeda dari
biasanya.
Mahkota Dewi sempat merasa
curiga dengan perubahan wajah sang Resi. Tapi ia ingin tidak mempedulikan hal
itu dan bermaksud segera tinggalkan tempat tersebut.
"Aku akan mengurus
jenazah Guru!"
"Tunggu
sebentar...!" cegah sang Resi. "Ada sesuatu yang aneh telah terjadi
di sekitar kita. Jangan jauh-jauh dari kami dulu Mahkota Dewi."
Suto Sinting mendengar nada
bicara sang Resi, ia mulai merasakan kejanggalannya sehingga bertanya dengan
suara pelan.
"Ada apa, Eyang
Resi?"
"Rasakan hembusan angin
saat ini," jawab sang Resi dengan mata mulai melirik tegang ke sana-sini.
Hembusan angin semakin kencang. Pendekar Mabuk mulai rasakan hawa panas yang
berhembus ke arah depannya. Mahkota Dewi pun mulai kelihatan tegang, ia
memandang ke arah atas ternyata dedaunan mulai menguning dan sebentar lagi
menjadi layu. Kadal Ginting buru-buru merapatkan diri ke celah pohon besar
sambil masih menggendong Menik.
"Angin ini bukan
sembarang angin," ujar sang Resi bagal bicara sendiri.
Hembusan angin bertambah
kencang. Daun-daun yang mulai layu itu menjadi beterbangan. Hawa panas kian
terasa di kulit tubuh mereka. Mahkota Dewi memegangi gagang pedang, seakan siap
mencabut senjata sewaktu-waktu.
Sampah dan dedaunan kering
yang ada di tanah pun kini beterbangan. Namun gerakan terbang daun-daun kering
itu tidak menuju ke satu arah. Kini daun-daun kering dan yang berguguran dari
pohon itu bergerak memutari tempat itu. Seperti ada angin beliung yang datang secara
perlahan-lahan. Semakin lama semakin keras, semakin menimbulkan suara gemuruh
yang berputar-putar.
"Suto, bersiaplah! Ada
yang menyerang kita!" ujar sang Resi dengan nada tegang.
Suto Sinting sempat berseru,
"Menik...! Menik, di mana kau?!"
Kadal Ginting menyahut,
"Dia di sini bersamaku, Suto!"
"Cari tempat berlindung,
Kadal Ginting!" "Sudah! Kami aman di sini!"
Deru angin semakin
menyeramkan. Dahan-dahan meliuk bagal ingin dijebol dari langit. Gerakan angin
yang memutar itu bertambah kencang, membuat Mahkota Dewi memperkuat
kuda-kudanya. Pedang pun segera dicabut dari sarungnya begitu ia yakin angin
yang berhembus adalah angin kiriman dari seseorang.
"Cari pegangan!"
seru Suto Sinting. "Angin ini bukan saja panas, tapi juga akan
menerbangkan kita ke atas!"
Mahkota Dewi bergegas
mendekati Suto Sinting yang sudah berada di bawah sebuah pohon. Sikap berdiri
Suto agak merendah untuk menahan hembusan angin yang dapat menerbangkan
dirinya. Mahkota Dewi pun bersikap serupa, demikian pula Resi Pakar Pantun yang
memperkuat kuda-kudanya dengan merendahkan badan dan kedua tangannya merapat di
dada. Ia biarkan jubahnya beterbangan mengikuti arah angin yang memutar.
"Apakah ini kiriman dari
si Tapak Siluman?!" tanya Mahkota Dewi kepada Suto Sinting.
"Aku tak tahu, Dewi.
Sebaiknya peganglah tanganku supaya kau tidak terbawa angin beliung ini."
Sang Resi berseru,
"Bertahanlah kalian, aku akan melawan gangguan ini!"
"Kadal Ginting...!,"
seru Suto.
"Aman...!" jawab
Kadal Ginting dari celah pohon besar. Pohon itu sendiri bagian puncaknya meliuk
berputar-putar, namun masih tampak kokoh dan tak mengkhawatirkan akan terjebol
oleh angin misterius. "Aaauh...!" pekik Resi Pakar Pantun sambil
menggerak-gerakkan tangannya dengan kekuatan penuh.
"Kenapa, Eyang Resi?!"
"Angin ini mengandung
serbuk beling panas!" "Celaka!" gumam Suto Sinting sambil
sempoyongan
karena badannya terasa ingin
terangkat ke atas oleh putaran angin itu.
Mahkota Dewi segera berseru,
"Jurus 'Ladang Prahara'...! Kurasa tak jauh dari sekitar sini ada si Dewa
Semprong!"
"Dari mana kau
tahu?!"
"Aku mengenali
jurus-jurusnya, karena Dewa Semprong saudara seperguruan dengan Nyai Serampang
Wilis, guruku!"
"Aaauh...!" Resi
Pakar Pantun yang ada di tempat terbuka memekik lagi. Mahkota Dewi terkejut.
"Ooh...?!"
Nada suara kejutan itu tak
bisa dipahami Suto Sinting yang tak melihat keadaan Resi Pakar Pantun.
"Ada apa dengan Resi
Pakar Pantun, Dewi...?" "Tubuhnya
mulai berdarah, ia tak kuat
menahan
angin yang mengandung serbuk
beling panas ini!" "Celaka
betul kalau begini!" geram Suto
Sinting, ia
pun berseru, "Eyang Resi,
lekas mundur kemari. Berlindung di bawah pohon ini, Eyang!"
Tapi sang Resi justru
menggerakkan kedua tangannya ke atas samping dalam keadaan bergetar, ia
kerahkan tenaga dalamnya untuk lawan-angin 'Ladang Prahara' itu. Suaranya pun
terlontar memanjang sebagai tanda pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Heeeeeaaaahhh...!!"
Daun-daun kering yang
berputar-putar itu menjadi menyebar ke berbagai penjuru. Rupanya sang Resi
berhasil keluarkan tenaga perlawanan. Gelombang badai keluar dari kedua tangan
sang Resi dibarengi dengan asap biru samar-samar. Asap itu pun bergerak
berkeliling namun berlawanan arah dengan gerakan putar angin 'Ladang Prahara'
itu.
"Aku akan membantu
Resi!" kata Mahkota Dewi yang segera melepaskan genggaman tangannya dari
lengan Suto Sinting. Kemudian ia maju beberapa langkah dan segera memainkan
jurus pedangnya dengan cepat hingga keluarkan desing berkali-kali. .
Wuiz, wuiz, wuiz, ziing, zing,
zing...! Bledar, glaaar, bluuung...!
Pedang itu keluarkan cahaya
biru petir serabutan. Cahaya biru petir itu bagaikan membentur kekuatan dahsyat
yang menimbulkan ledakan cukup keras. Tanah berguncang bagai dilanda gempa.
Cahaya matahari menjadi redup bagai tertutup kabut.
Mahkota Dewi masih terus
lakukan gerakan mengibas pedang ke sana-sini, dan dari pedangnya masih
keluarkan cahaya petir yang melesat ke berbagai penjuru. Kulit tubuhnya mulai
merah, seperti terpanggang hawa panas cukup tinggi.
Angin yang datang semakin kencang
dan udara panasnya kian terasa jelas. Kulit-kulit pohon mulai terkelupas dan
mengerut karena panas. Suto Sinting sempat menjadi tegang karena merasakan
tubuhnya bagai tersiram air mendidih.
"Bahaya sekali kalau aku
tidak segera ikut campur mengatasi angin celaka ini!" pikirnya sambil
membuka tutup bumbung tuak. Ia pun menenggak tuaknya, sebagian ditelan sebagian
dibuat kumur-kumur di mulutnya. Lalu dengan tubuh mengeras, tenaga dikerahkan,
tuak di mulut itu segera disemburkan ke udara atas.
Bruuuwwrs...!
Blegaaarr...!
Ledakan sangat kuat terjadi
begitu mengerikan. Guncangan tanah bagai ingin menjungkir balikkan apa saja
yang ada di atasnya. Ledakan itu membuat tubuh Resi Pakar Pantun terlempar dan
jatuh berguling-guling, sedangkan tubuh Mahkota Dewi terhempas menghantam
batang pohon yang dipakai berlindung Kadal Ginting dan Menik.
Semburan tuak Suto tadi bukan
sembarang semburan tanpa arti. Air tuak yang tersembur berubah menjadi percikan
api ke mana-mana. Percikan api itu bagaikan beradu kekuatan dengan hembusan
angin 'Ladang Prahara', hingga timbul ledakan cukup dahsyat. Itulah yang
dinamakan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha', sebuah jurus maut yang jarang digunakan
oleh Pendekar Mabuk. Beberapa pohon tumbang secara mengerikan akibat ledakan dahsyat
itu. Tumbangnya pohon-pohon membuat sesosok bayangan berkelebat dan muncul di
depan mereka. Wuuus...!
Jleeg...! "Heh, heh, heh, heh...!" suara tawa terkekeh membuat Dewi
Menik ingat tentang si Dewa Semprong.
"Pasti dia kakek ompong
itu!" katanya kepada Kadal Ginting yang ketakutan dan merapatkan punggung
ke batang pohon itu. Ia tak sadar bahwa di belakangnya ada Menik, sehingga
Menik menjadi tergencet batang pohon. Gadis kecil itu jengkel, maka tanpa
basa-basi lagi kepala Kadal Ginting dikeplaknya. Plook...!
"Auh...!" Kadal
Ginting memekik, lalu segera maju setengah langkah. Menik segera membentak.
"Kau pikir kau
menggendong karung beras! Seenaknya saja dipepetkan ke pohon! Aku hampir mati
tak bernapas, tahu?!"
"Iya, tapi jangan main
keplak kepala orang tua begini!" sentak Kadal Ginting.
"Aku tidak tahu kalau kau
tua. Aku kan buta?!" debat Menik makin menjengkelkan dengan ketengilannya.
Tapi Kadal Ginting tak melayani karena perhatiannya segera tertuju kepada tokoh
berjubah hijau dan berkepala nyaris gundul plontos itu.
"Keparat kau, Dewa
Semprong!" sentak Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal tokoh tersebut.
"Apa-apaan kau, hah?! Mengapa kau serang kami begini?!"
"Aku menghendaki bocah
kecil itu!" sambil ia menuding Kadal Ginting memakai kepala tongkatnya.
Kadal Ginting menjadi cemas dan mundur selangkah lagi. Tapi tahu-tahu kepalanya
dikeplak lagi oleh Menik. Plook...!
"Jangan gencet aku,
Tolol!" bentak Menik dengan sok tua.
*
* *
6
PENDEKAR Mabuk rasakan ada
gerakan cepat menuju ke arah sampingnya, ia tahu di sampingnya ada pohon yang
dipakai untuk bersembunyi Kadal Ginting. Ia yakin gerakan aneh yang datang
dengan cepat adalah gerakan si Dewa Semprong.
Zlaaap. .! Pendekar Mabuk pun
gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk mematahkan gerakan si Dewa Semprong.
Akibatnya, kedua tubuh yang bergerak sama- sama cepat melebihi angin itu saling
bertabrakan di udara.
Brruuss...!
"Huuaahhg...!"
Brrruk...! Keduanya sama-sama
terpental jatuh. Tapi
Suto Sinting mengerang dan
memuntahkan darah kental dari mulutnya, ia tersodok kepala tongkat si Dewa
Semprong yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup berbahaya itu.
Sedangkan Dewa Semprong
sendiri juga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajah tuanya menjadi biru
legam. Rupanya dadanya sempat membentur bumbung tuaknya Suto yang juga
mempunyai kekuatan sakti itu.
"Hooek...!
Hoooeek...!" Dewa Semprong muntahkan darah cukup banyak. "Hooeek...!
Hoooek...!"
"Siapa yang sedang ngidam
itu, Paman Kadal?!" tanya Menik.
"Si Dewa Semprong,"
jawab Kadal Ginting. "Ia bertabrakan dengan Suto, langsung ngidam dan
muntah- muntah."
Dewa Semprong sibuk menahan
luka dalamnya, ia berdiri dengan satu lutut, tundukkan kepala beberapa saat.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Suto Sinting untuk membagi tuaknya kepada Resi
Pakar Pantun dan Mahkota Dewi yang terluka karena angin panas tadi. Dengan
meneguk tuak Suto, maka keadaan mereka pun cepat menjadi sehat seperti
sediakala. Tak lupa Suto sendiri juga buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan luka akibat tabrakan dengan Dewa Semprong tadi.
"Kakang
Andhigama...," sapa Resi Pakar Pantun kepada Dewa Semprong, ia menyebutkan
nama asli si Dewa Semprong.
"Hentikan kepicikanmu
itu, Kakang Andhigama. Aku tahu kau memburu otak bocah itu, tapi langkahmu
tidak mencerminkan jiwamu yang dulu kukenal sebagai orang bijak. Kakang
Andhigama!"
"Aku sudah bosan jadi
orang bijak," jawab Dewa Semprong. "Yang penting aku tak mau mati di
tangan si Tapak Siluman!"
"Kau tampaknya sangat
ketakutan sekali, Eyang," ujar Mahkota Dewi.
"Ya, aku memang
ketakutan. Sebab dulu aku pernah kencing di kuburannya Tapak Siluman!"
"Ha, ha, ha, ha...!"
Kadal Ginting dan yang lain tertawa. "Mengapa kau kencingi kuburan si
Tapak Siluman?"
"Biar tidak bisa bangkit
lagi. Eeeh... sekarang malah bangkit. Pasti dia tahu kalau aku dulu mengencingi
kuburannya dan pasti aku akan dijadikan sasaran keganasannya. Sebab itu aku
harus segera melapisi darahku dengan otak bocah."
Pendekar Mabuk angkat bicara,
"Apakah kau tak berani melawan Tapak Siluman, Eyang?"
"Aku akan kalah!"
jawab si Dewa Semprong dengan jujurnya. "Ilmunya lebih tinggi dari ilmuku.
Bahkan gurumu, si Gila Tuak, juga akan binasa jika melawannya, seperti nasib
adik seperguruanku yang sering cekcok denganku itu; Nyai Serampang Wilis."
"Eyang," sahut Mahkota
Dewi sambil maju selangkah. "Apakah Eyang sudah melihat nasib Nyai Guru
Serampang Wilis?!"
"Kutemukan jenazahnya
tergeletak di sebelah barat sana."
"Eyang yakin bahwa itu
perbuatan si Tapak Siluman?!" tanya Mahkota Dewi dengan nada sedih.
"Ya. Pasti si Tapak
Siluman yang membunuhnya dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya! Dan aku takut kalau
nantinya mati seperti Serampang Wilis; hanya tinggal kepala dan jeroannya!
Iih... aku tak mau mati begitu. Ngeri. Nanti mayatku tak bisa dimandikan jika
tinggal jeroan saja." Dewa Semprong bergidik, namun segera menyeringai
menahan sakit di dadanya. Pendekar Mabuk terpaksa memberikan tuaknya untuk
pengobat luka dalamnya si Dewa Semprong. Sikap itu menunjukkan bahwa Pendekar
Mabuk tidak ingin bermusuhan dengan Dewa Semprong. Maka, sang Dewa Semprong pun
mulai mengurangi niatnya untuk merebut Menik.
"Dengar, Kakang
Andhigama...," kata Resi Pakar Pantun. "Para tokoh rimba persilatan
memang sedang dibuat cemas oleh kemunculan si Tapak Siluman. Tapi mereka
mencari jalan keluar untuk menghadapi Tapak Siluman tanpa harus mengorbankan
otak bocah-bocah cilik, Kakang. Kuharap kau pun tidak memburu otak anak-anak.
Kasihan, mereka tak punya daya apa-apa jika kita buru dan kita ambil
otaknya."
"Lalu, dengan cara apa
aku harus menghadapi Tapak Siluman?!"
"Kami sudah sepakat untuk
menjagokan Pendekar Mabuk dalam menghadapi Tapak Siluman."
"Alaaa... bisa apa murid
si Gila Tuak itu," ejek Dewa Semprong. "Melawanku saja sudah keteter
begitu, apalagi mau melawan Tapak Siluman, bisa-bisa dijadikan lontong isi
kumis!"
Suto Sinting tersinggung
dengan ucapan itu. Tapi ia segera menenangkan hatinya dan memaklumi ucapan
orang tua yang asal ceplas-ceplos itu.
"Eyang Dewa Semprong,
kalau aku benar-benar mau membunuhmu, maka sejak tadi kau sudah kehilangan
nyawa, Eyang." "Kenapa kau tidak lakukan?"
"Karena aku tidak ingin
membunuh orang yang sedang panik menghadapi kemunculan si Tapak Siluman. Eyang
gugup dan tak bisa berpikir bijak lagi. Aku perlu menyadarkan Eyang dengan cara
tidak mengorbankan nyawa Eyang."
"Hmmm...," Dewa
Semprong manggut-manggut walau dengan sikap mencibir.
"Jadi kau berani
menghadapi si Tapak Siluman?!" tanyanya dengan nada kurang yakin.
"Berani, Eyang!"
jawab Pendekar Mabuk. "Tapi dengan syarat, kembalikan mataku!"
"Lho, kau sangka aku
mencuri matamu? Jangan menuduh begitu, Nak. Aku tak mencuri biji matamu. Kalau
tak percaya, silakan geledah tubuhku...." Dewa Semprong mengangkat kedua
tangannya seakan siap untuk digeledah.
"Maksudku, kembalikan
penglihatanku! Sembuhkan aku dan Menik dari kebutaan ini."
"Apa kau pikir aku
tabib?!" ujarnya sambil bersungut-sungut menjauh dua langkah.
Mahkota Dewi ikut bicara.
"Eyang, kalau Eyang tak mau sembuhkan Suto dan Menik, maka Tapak Siluman
akan memburu Eyang, karena Eyang telah mengencingi kuburannya!"
"Jangan menakut-nakuti
aku begitu, Dewi!" bentak kakek tua yang konyol itu.
"Aku tidak
menakut-nakuti, Eyang. Tapi apa yang kukatakan ini bisa menjadi kenyataan,
mungkin tak lama lagi!"
"Aaah...!" Dewa
Semprong cemberut seperti anak kecil. Resi Pakar Pantun mendekati dan menepuk
pundak Dewa Semprong.
"Kakang Andhigama... kau
bisa membuat mereka buta, tentunya kau bisa menyembuhkannya. Aku yakin kau
punya obat penyembuh kebutaan itu. Kalau kau tak mau lakukan, maka Pendekar
Mabuk tak akan memihakmu jika si Tapak Siluman menyerangmu!"
"Biar saja!" ucapnya
sambil masih bersungut-sungut.
Kadal Ginting segera berseru,
"Hei, siapa itu yang melintas dari pohon ke pohon?!"
Semua menjadi tegang.
"Mana, mana...?!"
Dewa Semprong lebih tegang lagi. "Itu di antara dedaunan rimbun itu! Ada
yang
mengintai kita dari sana! Oh,
sepertinya dia si Tapak Siluman!" kata Kadal Ginting.
"Hahh...?!
Celaka...!" Dewa Semprong bergegas mundur mendekati Suto Sinting.
"Kalau begitu,
berlututlah, Nak. Kusembuhkan kebutaanmu itu!" kata Dewa Semprong dengan
rasa waswas, takut diserang Tapak Siluman.
"Aku mau disembuhkan
asalkan Menik juga ikut disembuhkan."
"Iya, iya...! Cerewet kau
ini, Nak! Cepat kalian berlutut, nanti Tapak Siluman keburu menyerangku!"
kata Dewa Semprong dengan tegang.
Suto berlutut di depan Dewa
Semprong, sedangkan Menik hanya berdiri di samping Suto menghadap Dewa
Semprong. Gadis kecil itu berdiri dengan bertolak pinggang menampakkan
keberaniannya walau matanya buta.
Dewa Semprong sempat membatin,
"Bocah ini mau disembuhkan apa mau dilukis, kok lagak berdirinya
begitu?!"
Tapi hal itu segera dilupakan
oleh Dewa Semprong. Kini kedua tangan Dewa Semprong mengeraskan dua jarinya.
Kemudian, masing-masing kedua jari itu mengeluarkan sinar putih. Dua sinar
putih perak menembus sepasang mata Menik, dan dua sinar putih lagi menembus
sepasang mata Pendekar Mabuk. Clappp...!
Wwees...! Suto dan Menik
terpental, namun tak keras. Hanya saja sempat membuat mereka terpelanting
jatuh.
"Tua ompong licik!"
maki Menik sambil bergegas bangun, ia ingin marah kepada Dewa Semprong, namun
gerakannya tertahan sendiri oleh kesadarannya. Matanya mengerjap-ngerjap dan ia
mulai dapat melihat kembali. Demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk yang
sudah dapat melihat walau masih buram. Tapi dalam beberapa kejap kemudian
penglihatannya menjadi pulih seperti sediakala.
Menik berpaling memandang
Suto, mereka beradu pandang. Menik tersenyum dan menyapa sok tua,
"Hei... bagaimana
kabarmu?"
"Aku melihat kodok berdiri
di depanku," ejek Suto. "Ya, aku juga melihat kambing berdiri di
depanku," balas Menik, lalu keduanya sama-sama tertawa. Menik melebarkan
telapak tangannya, lalu diayunkan ke depan, bertemu dengan ayunan telapak
tangan Suto.
Plaak...!
"Kita kibuli dia,"
kata Menik sambil cekikikan. "Kibuli bagaimana?"
"Aku tadi berbisik kepada
Kadal Ginting agar berpura-pura melihat Tapak Siluman di pohon. Padahal Kadal
Ginting tidak melihat apa-apa, aku pun juga tidak melihat apa-apa. Hik, hik,
hik, hik...!"
"Dasar otak bulus!"
ujar Suto dengan tersenyum geli. "Terima kasih atas pengobatanmu,
Eyang," kata Suto
kepada Dewa Semprong. Si kakek
cemberut setengah menyesal telah mengobati lawannya.
"Terima kasih itu tidak
penting, yang penting hadapi si Tapak Siluman itu," ujarnya dengan mulut
mirip cucur bantat.
"Kalau sekarang dia ada
di sini, aku akan segera menyerangnya, Eyang."
"Lho, katanya tadi dia
ada di pohon itu?!"
Kadal Ginting menyahut sambil
nyengir, "He, he, he... ternyata yang kulihat tadi seekor monyet,
Eyang."
"Hah...?!" Dewa
Semprong terbelalak. "Seekor monyet...?! Sial! Aku tertipu kalau
begitu."
"Aku sendiri tertipu,
Eyang," kata Kadal Ginting. "Kusangka si Tapak Siluman, tak tahunya
seekor monyet!"
"Itu pasti bapakmu yang
kebingungan mencari anaknya yang hilang," kata Dewa Semprong dengan hati
dongkol, semakin merasa dongkol setelah yang lain menertawakannya.
"Tidak lucu! Tidak
lucu!" ujarnya bersungut-sungut cemberut.
Resi Pakar Pantun segera
melontarkan pantunnya. "Perawan juling naik perahu tanpa celana Terkena
angin keluar bunyi berdenging
Biar gundul kepalamu bagai
semangka
Tapi manis jika dipandang
sambil nungging."
Dewa Semprong tak mau kalah,
ia lontarkan pantunnya sambil cemberut.
"Janda montok hamil
menelan batu Keringat perawan diseduh jadikan jamu Biar aku tertipu oleh si
pawang kutu
Tapi aku tetap lebih tampan
dari congormu."
Tawa mereka berderai sebentar,
tapi Mahkota Dewi hanya sunggingkan senyum, ia masih menyimpan duka atas
kematian gurunya. Karena itu, ia segera memotong tawa ria mereka.
"Maaf, Eyang Dewa
Semprong... aku harus segera pergi menguburkan jenazah Guru."
"Oh, iya...!" Dewa
Semprong mendadak berubah sedih. "Jenazah si Serampang Wilis belum ada
yang menguburkan. Sebaiknya, mari kita kuburkan jenazah gurumu, Dewi. Biar aku
sering bentrok dengannya, tapi dulu ia pernah memberiku sebuah ciuman manis.
Kurasa sekaranglah saatnya aku membalas ciuman manis itu dengan cara
menguburkan jenazahnya."
"Aku akan ikut memakamkan
Nyai Serampang Wilis, sebagai penghormatan terakhir dariku," kata Resi
Pakar Pantun. "Sebab dulu dia pernah menghormatiku, ketika aku terkena
racun dia rela memanjat pohon kelapa untuk mencarikan air kelapa untuk penawar
racunku. Walau akhirnya aku pun ikut naik ke pohon itu."
"Kenapa kau ikut naik?"
"Sebab dia tak bisa turun
dari pohon."
Pendekar Mabuk tersenyum geli.
Lalu ia berkata kepada Resi Pakar Pantun yang bersebelahan dengan Dewa
Semprong.
"Eyang, mohon doa restu,
aku akan memburu si Tapak Siluman!"
"Kulihat ia bergerak ke
arah barat," kata Dewa Semprong. "Kejar dia dan hancurkan
kekuatannya!"
"Baik, Eyang!"
"Aku ikut!"
tiba-tiba Menik nyeletuk keras.
"Anak kecil tak, boleh
ikut tawuran!" kata Dewa Semprong.
"Hei, aku bukan penakut
sepertimu, Kakek Ompong!
Aku berani melawan Tapak Siluman!"
"Kalau didengar Tapak
Siluman, mulutmu bisa dirobek menjadi tujuh bendera, Bocah Bodong!" geram
Dewa Semprong.
Suto berkata kepada Menik,
"Sebaiknya memang kau tak usah ikut aku, Menik. Ikutlah memakamkan Nyai
Serampang Wilis bersama Eyang Resi Pakar Pantun."
"Enak saja! Perutku mual
kalau harus ikut sama kakek ompong itu!"
"Aku tetap tidak izinkan
kau mengikutiku, Menik!" tegas Suto. Kemudian kepada yang lain ia
berpamit, "Aku berangkat sekarang juga, Eyang. Maaf, aku tak bisa ikut
memakamkan gurumu, Dewi."
"Aku bisa
memaklumi," kata Mahkota Dewi.
Blaaas...! Suto segera pergi
tinggalkan tempat. Menik segera melompat dengan gerakan lincah dan cepat, ia
tahu-tahu sudah berada di atas pohon.
Plak, plak, plak, wuut,
wuuut...!
"Sutooo... tunggu, ada
yang ingin kukatakan padamu. Penting sekali!" seru Menik sambil mengejar
Suto Sinting. Seruan itu sempat didengar Suto dan membuat pemuda tampan itu
hentikan langkah.
"Ada apa?" tanya
Suto setelah Menik mendekat. "Aku lupa katakan sesuatu padamu. Ada pesan
untukmu dari kakakku; Dewi
Hening." "Pesan apa?"
"Tentang isi
hatinya." "Jelaskan isi hatinya itu."
"Akan kujelaskan kalau
kau mengizinkan aku ikut denganmu."
"Ayolah, Menik... jangan
menggangguku begitu!" "Kalau kau tak mau dengar pesan isi hatinya,
akan
kukembalikan kepada Hening.
Dan aku akan bilang kepada Hening bahwa Pendekar Mabuk tak sudi menerima
pesannya!"
"Hei, jangan begitu? Itu
namanya melukai hati kakakmu?"
"Maukah kau mendengar
pesan isi hatinya Hening?" Pendekar Mabuk diam sebentar, mempertimbangkan
langkahnya sambil membayangkan kecantikan si Dewi Hening yang menggiurkan hati
itu. Akhirnya, Suto menyerah kepada Menik.
"Baiklah, kau boleh ikut.
Tapi tidak boleh nakal!" "Aku hanya akan nakal jika bertemu lelaki
tampan,
hik, hik, hik...!"
"Husy! Kecil-kecil sudah
ganjen."
"Melatih diri biar besok
kalau besar tidak seperti Kejora; kuper alias kurang pergaulan!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Kita berangkat sekarang, Menik!"
"Aku siap, Suto!"
jawab Menik dengan tersenyum bangga, wajahnya tampak ceria sekali.
Menik mendahului gerakan Suto.
Ia melompat seperti anak kijang. Slaap, slaap...! Pendekar Mabuk mengikutinya
tanpa menggunakan jurus 'Gerak Silu- man'-nya.
*
* *
7
SEBUAH kedai menjadi sasaran
perhentian Suto dan Menik, karena saat itu malam telah mulai menggerayangi
seluruh permukaan bumi. Begitu mereka masuk ke kedai di sebuah desa, beberapa
mata mulai memperhatikan Suto dan Menik. Pandangan mereka mencurigakan hati
Pendekar Mabuk, sehingga kewaspadaan pun ditingkatkan.
"Suto, mereka
memperhatikan kita terus," bisik Menik. "Jangan-jangan mereka naksir
aku, ya?"
"Naksir?! Hmmm... wajahmu
tak punya kecantikan kok ditaksir," Suto Sinting sengaja mengajak Menik
bercanda supaya hati Menik tidak diliputi kecemassn. Padahal dalam hati Suto
sendiri telah timbul kecemasan akibat kecurigaan yang tersembunyi.
"Tenang saja, Menik. Kau
tak perlu punya penafsiran yang bukan-bukan. Biarkan mereka memandangi kita,
karena mereka mempunyai mata."
"Iya. Kalau mereka tidak
punya mata mana mungkin mereka memandangi kita? Apa mereka mau memandang pakai
mata kaki?!" ujar Menik bernada gerutu, ia langsung duduk di bangku
samping Suto.
"Perutku lapar
sekali," bisiknya kepada Suto. "Kuharap kau mengajakku ke sini bukan
sekadar untuk mengisi bumbung tuakmu dan meminum wedang Jahe. Setidaknya kau
akan mengizinkan aku untuk memesan pengisi perut."
Suto Sinting tersenyum geli.
"Pesanlah sendiri kepada Pak Tua pemilik kedai itu. Aku akan menyuruh
pelayannya untuk mengisi bumbung tuakku."
Ketika mereka sedang menikmati
makanan malamnya, tiba-tiba muncul seorang pemuda berparas cukup tampan dengan
bercelana ungu dan memakai baju tanpa lengan warna ungu juga. Pemuda itu
berusia sekitar dua puluh tahun. Rambutnya lurus dan panjang, diikat menjadi
satu ke belakang, ia menenteng pedang perak bergagang ronce-ronce benang ungu.
Pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit warna loreng hitam- hitam.
Pemuda itu segera duduk di
samping Pendekar Mabuk begitu ia melihat sang Pendekar Mabuk ada di kedai
tersebut. Pedangnya diletakkan di atas meja, seakan dipamerkan di depan Suto.
Brak...!
Suara pedang dihentakkan di
meja membuat Suto Sinting dan Menik berpaling memandang pemuda berkulit bersih
itu. Mata Suto segera memandang punggung telapak tangan si pemuda yang bertato
gambar seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Tato itulah yang membuat Suto
Sinting sunggingkan senyum, karena ia mengenali siapa pemilik tato elang biru.
"Hei Elang
Samudera!"
Plok...! Suto segera menepuk
punggung pemuda tersebut. Si pemuda pun langsung berlagak memukul pinggang Suto
sambil tertawa. Tapi tangan Suto segera menangkis pukulan itu. Teeb...!
Genggaman pemuda itu ditangkap oleh Suto, maka tawa mereka sama-sama pecah
berderai penuh keriangan.
"Kusangka kau telah lupa
padaku, Suto!"
"Tak mungkin aku
melupakan seorang sahabat sepertimu, Elang Samudera. O, ya... mau ikut makan
bersama? Silakan pesan sendiri."
"Kau yang akan
membayarnya?"
"O, tentu saja kau harus
bayar sendiri, jika perlu bayar pula makanan dan minuman kami berdua ini!"
jawab Suto Sinting dalam kelakarnya. Elang Samudera hanya tertawa sambil
memukul kecil lengan Suto Sinting.
Elang Samudera adalah murid
dari Pendeta Darah Api dari Teluk Merah, ia bertemu dengan Pendekar Mabuk dan
mulai bersahabat sejak peristiwa hilangnya Tongkat Guntur Bisu milik Ratu
Remaslega. Elang Samudera mempunyai kakak perempuan yang menjadi Perwira Pulau
Sangon, yaitu Dewi Cintani, sahabat Suto juga, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Dendam Selir Malam").
"Mengapa kau ada di desa
ini, Elang?"
"Aku diminta bantuannya
oleh Ki Lurah Penawu, kepala desa ini, untuk menjaga keamanan desa yang sedang
diganggu oleh orang-orang Perguruan Macan Iblis."
Suto Sinting berkerut dahi
karena baru mendengar nama Perguruan Macan Iblis. Tetapi Menik yang sudah
dikenalkan oleh Suto kepada Elang Samudera itu segera menyahut percakapan
mereka.
"Apakah maksudmu
Perguruan Macan Iblis yang diketuai oleh Warok Suro Bangsat itu, Kang?"
"Benar, Menik. Rupanya
kau lebih tahu tentang perguruan tersebut ketimbang si Pendekar Mabuk
ini."
Suto Sinting hanya tersenyum
bernada malu. Ternyata pengetahuannya tentang perguruan itu masih tertinggal
dibanding si kecil Menik. Tapi Suto maklum akan hal itu, karena Menik mungkin
lebih sering mencuri percakapan orang tua, sehingga ia mengetahui tentang
Perguruan Macan Iblis itu.
"Gangguan apa yang
membuat Ki Lurah Penawu itu meminta bantuanmu, Elang Samudera?"
"Apakah kau tak mendengar
bahwa beberapa hari belakangan ini banyak anak kecil yang menjadi korban
penculikan? Dan pada umumnya anak yang diculik ditemukan dalam keadaan sudah
tak bernyawa dengan tengkorak kepala rusak dan otaknya hilang?"
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Kurasa ada hubungannya dengan kemunculan tokoh
hitam yang bernama Tapak Siluman itu, ya?"
"Benar! Ternyata kau
sudah mendengar tentang hal itu, Suto," ujar Elang Samudera setelah
memesan minuman dan makanan untuknya.
"Aku hampir menjadi
korban, Kang!" kata Menik seakan ingin ikut dilibatkan dalam pembicaraan
tersebut. "Masuk akal sekali kalau kau nyaris menjadi korban, Menik.
Karena yang dicari adalah anak-anak seusia kau," kata Elang Samudera, lalu
ia bicara kepada Suto
Sinting.
"Karenanya, anak-anak
kecil di desa ini sejak sebelum senja sudah disembunyikan dalam satu ruangan
bawah tanah di pendopo kelurahan. Tak ada anak kecil yang berani berkeliaran
selewat senja."
"Pantas ketika aku
memasuki kedai ini, banyak orang yang memperhatikan aku, Kang."
"Itu lantaran mereka
heran dan kagum melihat keberanianmu berada di luar rumah di waktu malam."
Ki Lurah Penawu ternyata punya
hubungan persahabatan dengan Dewi Cintani. Ketika utusan Ki Lurah Penawu datang
kepada Dewi Cintani dan meminta bantuan tenaga untuk melindungi desanya, Dewi
Cintani menyuruh adiknya: Elang Samudera untuk memperkuat keamanan di Desa
Badaran itu.
Sebenarnya gangguan yang
menyerang Desa Badaran bukan dari orang-orang Perguruan Macan Iblis saja. Tapi
dari beberapa pihak lain yang ingin mendapatkan otak anak-anak juga ikut
berkeliaran di Desa Badaran. Tetapi kebanyakan mereka datang dari Perguruan
Macan Iblis, karena letak perguruan itu lebih dekat dengan Desa Badaran.
Sudah tiga malam ini, Elang
Samudera selalu berhasil melumpuhkan para pencari otak anak-anak itu. Dan malam
kemarin ia berhasil membunuh seorang murid Perguruan Macan iblis. Dalam
perhitungan otaknya, malam itu akan datang sejumlah murid Perguruan Macan Iblis ke desa tersebut dengan alasan
ingin menuntut balas atas kematian rekan mereka.
"Karena itu, sangat
kebetulan sekali kau singgah di desa ini, Suto. Setidaknya jika aku sampai
terpojok oleh kekuatan mereka, kau bisa membantuku."
"Dengan senang hati aku
akan bertindak sebelum kau perintah, Elang Samudera."
"Kusarankan lebih baik
kau bermalam di rumah Ki Lurah Penawu saja, sekaligus memberi tempat
perlindungan bagi Menik yang jika terlihat mereka pasti akan dijadikan sasaran
penculikan juga."
"Bagaimana, Menik?"
tanya Suto. "Terserah...." Menik sentakkan pundak. "Tapi kalian
harus percaya bahwa aku sebenarnya tidak merasa takut menghadapi orang-orang
Perguruan Macan Iblis, atau dari mana saja!"
Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera manggut- manggut sambil tertawa. Agaknya gadis kecil itu tidak mau
diremehkan oleh yang tua, dia selalu ingin dinilai bukan sebagai seorang bocah,
tapi sebagai sang pemberani yang tidak mempertimbangkan batas usia. Elang
Samudera merasa kagum melihat kepandaian bicara Menik dan keberaniannya,
terlebih setelah mendapat cerita dari Suto Sinting tentang pertemuannya dengan
Dewa Semprong yang membuat mereka menjadi buta beberapa saat itu.
Ketika mereka dalam perjalanan
menuju rumah Ki Lurah Penawu dalam siraman cahaya rembulan, tiba-tiba Menik
menahan tangan Pendekar Mabuk yang membuat mereka bertiga terpaksa hentikan
langkah.
"Ada apa, Menik?"
tanya Suto dalam nada bisik. "Aku melihat dua sosok manusia di atas atap
rumah-
rumah sebelah kiri kita,
Suto."
Elang Samudera terkejut tipis,
ia dan Suto sama-sama pandangi atap rumah yang dimaksud Menik. Beberapa saat
kemudian mereka baru melihat dua bayangan yang dimaksud Menik.
"Kau melihatnya,
Suto?" tanya Elang Samudera. "Ya, aku melihatnya."
"Aku pun demikian. Pasti
mereka punya maksud tak baik." "Kita ikuti dengan sembunyi-sembunyi
saja supaya tidak menggegerkan penduduk," bisik Suto sambil menggantungkan
bumbung tuaknya di pundak, supaya sewaktu-waktu terjadi sesuatu dapat segera
digunakan sebagai senjata.
Dua sosok bayangan hitam itu
melompat dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lainnya. Sepertinya ada
yang mereka incar di dalam rumah melalui atapnya. Firasat Suto mengatakan,
bahwa kedua sosok bayangan itu pasti sedang mencari seorang bocah. Karenanya
Suto segera mengingatkan Menik agar hati-hati dan jangan sampai menjadi sasaran
dua sosok bayangan itu.
"Apakah mereka orang
Perguruan Macan iblis?" tanya Pendekar Mabuk kepada Elang Samudera.
"Belum tentu. Tak ada
tanda-tanda yang bisa dijadikan ciri khas orang Perguruan Macan Iblis. Kita tak
bisa mengetahui sebelum kita menangkapnya dan memaksanya mengaku dari pihak
mana."
Suto Sinting menggumam lirih sekali
sambil manggut-manggut. Suasana desa dicekam sepi, seakan para penduduknya
berada dalam pengawasan mata iblis yang menyeramkan. Tak satu pun penghuni
rumah yang keluar atau jalan-jalan menikmati malam terang bulan. Bahkan
orang-orang di kedai tadi sudah pergi lebih dulu sebelum Pendekar Mabuk
tinggalkan kedai tersebut.
Semakin lama kedua bayangan
itu semakin bergerak mendekati pendopo rumah Ki Lurah Penawu. Elang Samudera
tampak mulai cemas, karena takut jika kedua sosok bayangan itu menemukan tempat
penampungan anak-anak yang disembunyikan. Sebab itulah Elang Samudera akhirnya
segera bertindak tanpa bicara apa- apa kepada Suto.
Elang Samudera lakukan
lompatan ringan yang membuat tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di salah
satu atap rumah tanpa timbulkan suara. Sama halnya dengan kedua bayangan itu,
Elang Samudera bergerak melintasi atap demi atap tanpa bersuara. Ini menandakan
ilmu tenaga peringan tubuh mereka cukup tinggi dan mampu menapak di atas atap
tanpa menimbulkan kegaduhan apa pun.
Wuuut...! Tab, tab, tab...!
Pendekar Mabuk dan Menik
mengawasi gerakan Elang Samudera dari bawah pohon rindang. Sesekali mereka
pindah ke tempat yang tersembunyi, mendekati gerakan Elang Samudera sebagai
tindakan berjaga-jaga.
"Ssssstt...," desis
Menik memberi isyarat kepada Suto. Ia menyentakkan tangan Suto, sehingga pemuda
tampan berbadan kekar itu berpaling memandangnya.
"Di sebelah timur juga
ada dua bayangan, Suto.
Mereka juga berkeliaran di
atas atap!"
Pendekar Mabuk buru-buru
memandang ke arah timur. Tak lama ia menemukan dua sosok bayangan hitam yang
sedang melintas dari atap ke atap tanpa timbulkan suara. Gerakan mereka juga
makin lama semakin mendekati ke arah pendopo rumah Ki Lurah Penawu.
"Menik, bersembunyilah di
atas pohon rimbun itu. Tetaplah di sana sebelum aku dan Elang Samudera selesai
melumpuhkan mereka." "Kenapa harus bersembunyi?"
"Nanti kau yang dijadikan
sasaran penculikan mereka jika kau tidak bersembunyi."
"Justru aku sedang
berpikir bagaimana menculik salah satu dari mereka."
"Ah, konyol kau
ini!" sergah Suto. "Sudah sana, naik ke atas pohon. Aku akan
menghadapi dua bayangan yang di timur itu!"
"Kita hadapi berdua
saja!"
"Dasar bandel...!"
gerutu Suto sambil mencekal lengan Menik, kemudian melemparkan tubuh kecil itu
ke ates pohon. Wuuut...! Gusraak...!
Teeb...! Menik berhasil meraih
sebuah dahan dipakai bergelayutan. Kemudian ia mengangkat tubuhnya hingga bisa
duduk di dahan tersebut.
"Kambing congek betul si
Suto itu!" gerutunya dengan jengkel. "Enak saja melemparkan tubuhku
ke sini, sementara dia menghilang dalam waktu singkat. Awas, nanti kalau sudah
selesai dia akan ganti kulemparkan bukan di atas pohon, tapi di jamban salah
satu rumah!"
Menik terpaksa diam di pohon
tersebut. Tapi matanya dapat untuk memandang ke arah timur dan barat, ia
melihat Elang Samudera sedang menyergap dua bayangan yang berkeliaran di atap
rumah sebelah barat.
Gerakan Elang Samudera cukup
cepat dan lincah. Tanpa banyak tanya lagi ia berkelebat menerjang kedua
bayangan itu dengan tendangan serentak. Wuuus ..! Prok, buhk...!
Kedua bayangan terjengkang
karena tendangan Elang Samudera. Mereka jatuh ke tanah dalam keadaan sungguh
mengenaskan.
Elang Samudera menyusul turun
pada saat salah satu dari bayangan hitam itu bangkit mencabut goloknya. Kehadiran
Elang Samudera segera disambut dengan tebasan golok lebar ke arah leher.
Wuuuss...!
Elang Samudera segera
merundukkan kepala dilangsungkan dengan gerakan berguling di tanah. Wuuut...!
Dalam sekejap ia sudah berlutut di depan lawannya. Sebelum sang lawan menyadari
keberadaannya, Elang Samudera sudah lebih dulu menghantamkan pukulan bertenaga
dalam ke arah perut orang tersebut.
Buuuhk...!
"Uuhg...?!!" orang
itu mendelik, langsung menyemburkan darah dari mulutnya setelah Elang Samudera
bangkit dan lakukan lompatan ke arah samping.
Weess...!
Pada saat itu, lawan yang
satunya lagi sedang mengerahkan tenaga untuk melepaskan pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi. Tapi kaki Elang Samudera lebih dulu menendang tangan
orang tersebut, lalu tubuh Elang Samudera berputar cepat sehingga tendangan
kaki lainnya mengenai pelipis lawannya.
Plak, praak...!
Tendangan pada pelipis
menimbulkan bunyi berderak, menandakan tulang tengkorak orang tersebut menjadi
retak seketika itu pula. Darah keluar dari hidung dan telinga, lalu orang itu
tumbang tak mampu menjerit sedikit pun.
Melihat temannya ditumbangkan
Elang Samudera, orang yang tadi menyemburkan darah dari mulutnya segera
menyambar temannya itu. Weess...! Rupanya ia masih punya sisa kekuatan untuk
melarikan diri, sehingga dalam waktu cepat ia sudah memanggul temannya dan
melesat pergi melalui lorong di antara dua rumah.
Sementara itu, di sebelah
timur Menik melihat Pendekar Mabuk juga melompat ke atas atap tanpa timbulkan
suara. Kedua bayangan itu sengaja dibuat kaget atas kemunculan Suto.
Kedua bayangan tersebut segera
menyerang Suto lebih dulu. Tapi dengan cekatan Suto Sinting ambil bumbung
tuaknya dan disabetkan ke depan dari kanan ke kiri. Wuut...!
Weeess...! Brrruuk...!
Angin sabetan bumbung tuak itu
membuat dua sosok bayangan tersebut terpental bagai terkena tendangan keras.
Mereka jatuh ke tanah tanpa berguling-guling di atas pohon, sehingga tidak
menimbulkan kegaduhan sedikit pun.
Pendekar Mabuk segera mengejar
kedua bayangan yang jatuh ke tanah. Sampai di depan mereka, Pendekar Mabuk tak
mau beri kesempatan bagi lawannya untuk coba-coba menyerang lagi. Kaki Suto
Sinting melangkah dengan limbung, badannya menggeloyor bagai orang mabuk mau
jatuh. Tapi tangan kirinya segera menghantam ke arah dagu lawan dengan kuat.
Pruuk...!
"Uuhfff...!" orang
itu mengaduh kesakitan karena giginya rontok setelah terkena sodokan kuat si
Pendekar Mabuk.
Belum sempat orang itu jatuh,
Suto Sinting sudah putar tubuh secara cepat dan kakinya melayang ke arah lawan
yang satunya lagi. Wees...! Plaaak...! Kaki itu bagaikan melakukan tamparan
sangat keras ke wajah lawan.
"Oouh..!" orang itu
memekik tertahan sambil terpelanting dan jatuh kembali di tanah.
Pada saat itu, orang yang tadi
disodok dagunya menjadi sangat penasaran. Maka dengan menggeram diiringi mata
yang mendelik, ia mencabut kapaknya dan ingin menghantam kepala Suto dari
belakang dengan kapak itu.
Namun Pendekar Mabuk cukup
sigap. Melihat kelebatan angin aneh di belakangnya, ia langsung mengayunkan
bumbung tuaknya ke belakang. Wuuut...! Praaak...! Kapak itu beradu dengan
bumbung tuak dan kapak itu akhirnya pecah menjadi tiga bagian. Orang itu tak
tahu bahwa bambu yang dipakai bumbung tuak Suto itu bukan sembarang bambu,
melainkan mempunyai kekuatan sakti tersendiri, sehingga mampu menghancurkan
kapak baja tersebut.
"Keparat kau!" geram
orang yang ditendang wajahnya tadi. Ia segera lakukan lompatan dengan tubuh
berputar cepat seperti baling-baling. Suto Sinting sentakkan kaki ke tanah dan
tubuhnya segera melesat ke atas melebihi ketinggian lompat lawannya.
Wuuut...!
Terjangan lawan akhirnya tidak
mendapatkan apa- apa. Ketika Suto Sinting mendaratkan kakinya kembali, kedua
lawan sempat dalam keadaan berjejer dan sama- sama memunggungi Suto. Sebelum
mereka membalikkan tubuh, Pendekar Mabuk lakukan satu lompatan kecil dan kedua
kakinya menendang punggung kedua lawan secara bersamaan. Wees...! Duuhk,
duuhk...!
"Oohk...!" salah
seorang terpekik dengan suara tertahan. Ia memuntahkan darah segar dari
mulutnya, karena tendangan Suto tadi mengandung kekuatan tenaga dalam yang
cukup berbahaya. Sedangkan lawan yang satu juga begitu, bahkan lebih parah
lagi; tubuhnya tersungkur dan wajahnya membentur sebongkah batu dengan keras.
Selain ia memuntahkan darah segar juga mencucurkan darah dari hidung karena
bertabrakan dengan sebongkah batu tadi.
"Lari...! Cepat
lari...!" suara lawan yang satu bagai ditekan, mirip orang berbisik, ia
menarik tangan temannya yang wajahnya hancur itu. Kemudian, mereka akhirnya
lari secara serempak menerabas semak dan menghilang di kegelapan kebun kopi
yang menjadi batas wilayah desa.
Sebenarnya Suto Sinting tak
ingin lakukan pengejaran. Tetapi tiba-tiba ia melihat Menik berlari memburu
kedua orang tersebut. Gadis kecil itu ternyata nekat turun dari pohon dan
memperhatikan pertarungan Suto dari jarak dekat. Begitu melihat kedua lawan
kehabisan tenaga dan terluka cukup berbahaya, Menik segera mengejarnya dengan
membawa dua batu di tangannya. Mau tak mau Suto Sinting bergerak cepat untuk
menahan pengejaran si gadis kecil itu. Zlaaap...!
*
* *
8
ESOKNYA mereka mendengar kabar
bahwa Ketua Perguruan Macan Iblis marah kepada penduduk Desa Badaran karena
keempat muridnya dilukai. Seorang pencari kayu datang kepada Ki Lurah Penawu
dan mengabarkan bahwa rombongan dari Perguruan Macan Iblis sedang bergerak
menuju desa tersebut.
"Sekarang mereka sedang
mendaki Bukit Liar untuk menuju kemari, Ki Lurah," kata orang itu dengan
wajah tegang penuh rasa ketakutan.
Pendekar Mabuk yang ikut
mendengarkan laporan tersebut segera berbisik kepada Elang Samudera.
"Dugaanku tak salah,
keempat orang semalam adalah orang-orang Perguruan Macan Iblis. Karena jurus-
jurusnya kulihat mirip dengan gerakan seekor harimau."
"Ya, dan sekarang agaknya
Warok Suro Bangsat ingin mengamuk di desa ini. Aku harus segera menahan gerakan
mereka di Bukit Liar." "Akan kudampingi!" ujar Suto Sinting
sambil menepuk pundak Elang Samudera, bagai memberi semangat yang menguatkan
jiwa murid Pendeta Darah Api itu.
"Aku ikut, ya?" ujar
Menik kepada Suto.
"Tidak. Kali ini kau
harus tetap tinggal bersama Ki Lurah."
"Aku bisa menjaga diri,
Suto!"
"Tidak boleh!"
gertak Suto, dan Menik akhirnya menunduk dengan bibir dimonyongkan, entah
hatinya menggerutu apa, tak ada yang tahu.
Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera segera berangkat menghadang gerakan orang Perguruan Macan Iblis.
Dengan menggunakan gerakan cepat yang mengandung ilmu peringan tubuh, mereka
sudah sampai di lereng Bukit Liar dalam waktu yang terhitung singkat. Langkah
mereka terhenti karena mendengar suara pertarungan di puncak Bukit Liar.
"Agaknya mereka terhambat
oleh sesuatu," gumam Elang Samudera.
"Kurasa memang begitu.
Mungkin mereka menemukan musuh lama dan melumpuhkannya lebih dulu, setelah itu
baru bergerak ke desa."
"Aku akan melihat lebih
dekat melalui atas pohon, siapa yang bertarung melawan mereka di puncak
sana."
Wees...! Elang Samudera
melambung tinggi dan hinggap di dahan sebuah pohon. Dari pohon itu ia melompat
dengan cepat ke pohon yang lainnya hingga menuju ke puncak bukit. Pendekar
Mabuk menyelinap dari balik semak dan batang pohon. Gerakannya begitu cepat
hingga sulit diperhatikan oleh siapa pun. Tapi ketika ingin mencapai puncak
bukit, Pendekar Mabuk segera melenting ke udara dan kakinya menapak pada
dedaunan pohon. Orang biasa akan jatuh menapak di dedaunan pohon itu, tapi Suto
Sinting yang mempunyai ilmu peringan tubuh mendekati sempurna bahkan mampu
berdiri di atas daun yang paling muda sekalipun.
Wuuut...! Elang Samudera
mendekatinya. Tapi tak bisa berdiri di atas daun. Ia berdiri di dahan tak jauh
dari Pendekar Mabuk. Mereka menyaksikan pertarungan dari atas pohon rindang
itu.
Sekitar lima belas orang
mengurung tanah kosong yang dipakai untuk arena pertarungan. Saat itu, seorang
anak buah Warok Suro Bangsat sedang berhadapan dengan seseorang yang memakai
pakaian hitam compang-camping. Sekujur tubuhnya penuh lumpur kering, termasuk
rambutnya yang panjang sepunggung juga bercampur dengan lumpur. Wajah orang itu
cukup dingin, berkesan menyeramkan. Matanya kecil, memancarkan kebengisan,
dagunya menjorok ke depan dengan kumis tipis namun panjang hingga melewati
dagu.
"Elang Samudera, siapa
orang berkuku panjang seperti leak itu?!" bisik Suto Sinting.
"Kalau tak salah, dia
itulah yang bernama Tapak Siluman. Ki Lurah Penawu pernah melihatnya belum lama
ini dan menceritakan ciri-cirinya kepadaku." "Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut, perhatiannya semakin dipusatkan ke pertarungan.
"Lalu, orang yang memakai
pakaian merah dengan kepala dibungkus kain batik biru itu siapa?"
"O, kalau itu aku tahu.
Dia yang bernama Warok Suro Bangsat, Ketua Perguruan Macan iblis."
Pendekar Mabuk menggumam
sambil manggut- manggut memandangi orang bertubuh tinggi-besar, berkumis lebat
melintang, mengenakan gelang binggel emas di kedua kakinya, dan memakai subang
di telinga kirinya. Ia tampak menyeramkan dan berwibawa dengan cambuk terselip
di pinggangnya.
Ketika seorang anak buahnya
yang maju melawan Tapak Siluman itu dalam keadaan terdesak serangan lawan,
Warok Suro Bangsat segera mencabut cambuknya. Cambuk itu dilecutkan ke leher
muridnya sendiri.
Ctaaarrr...!
"Aaaahg...!" sang
murid mengejang dengan leher robek, kejap kemudian tumbang tak bernyawa lagi.
"Daripada muridku menjadi
korbanmu, lebih baik dia kubunuh sendiri!" ucap Warok Suro Bangsat dengan
suaranya yang besar dan menyeramkan.
"Kebo Gadung, maju
kau!" perintah Warok Suro Bangsat.
Pendekar Mabuk terperanjat
sedikit melihat kemunculan seorang lelaki berbaju hitam dan bercelana merah,
karena ia kenal dengan wajah angker orang tersebut yang tak lain adalah Kebo
Gadung. "O, rupanya Kebo Gadung murid Warok Suro Bangsat?! Pantas dia
bernafsu sekali ingin menculik Menik kala itu," ucap Suto pelan kepada
Elang Samudera.
"Setahuku, biasanya siapa
pun yang diberi tugas oleh Ki Warok Suro Bangsat, jika gagal akan dihukum mati.
Tapi mengapa orang bernama Kebo Gadung itu tidak dibunuhnya, ya?"
"Mungkin Ki Warok masih
ingin memanfaatkan tenaga Kebo Gadung, sehingga orang itu tidak dijatuhi
hukuman mati. Tetapi aku yakin, jika kali ini Kebo Gadung gagal melawan Tapak
Siluman, maka ia akan dibunuh seperti temannya yang tadi."
"Kita lihat saja
pertarungan itu. "
Kebo Gadung mengeluarkan jurus
tendangan beruntun. Dari kakinya keluar sinar hijau patah-patah seperti
lempengan bundar. Wut, wut, wut, wut !
Clap, clap, clap clap. !
Wuub...! Sosok Tapak Siluman
hilang seketika. Tetapi bekas telapak kakinya masih kelihatan di tanah. Bekas
telapak kaki itu bertambah dan bertambah terus mengelilingi Kebo Gadung.
"Dia mengelilingimu, Kebo
Gadung!" seru salah seorang murid Warok Suro Bangsat.
Kebo Gadung segera mencabut
goloknya dan menebaskan ke sekelilingnya. Gerakan cepat itu menimbulkan bunyi
dengung yang mengganggu pendengaran.
Tapi tak satu pun tebasan
golok kenai sasaran. Kebo Gadung seperti menebas angin dengan tenaga penuh.
Kejap berikut, sosok Tapak
Siluman menampakkan diri lagi. Bluub...! Kemunculannya membuat Kebo Gadung
terkejut. Dan pada saat terkejut itulah tiba-tiba Kebo Gadung dihantam sinar
merah berbentuk bola api. Weess...!
Sinar merah berbentuk bola api
itu keluar dari telapak tangan Tapak Siluman. Gerakan sinar begitu cepat,
hingga tak memungkinkan dihindari atau ditangkis oleh Kebo Gadung.
Blesss...! Sinar itu
menghantam dada Kebo Gadung, lalu tembus ke belakang dan menghantam tubuh
rekannya yang ada di belakang Kebo Gadung. Blees...! Di belakang orang itu ada
lagi seorang murid Ki Warok Suro Bangsat yang juga terkena tembusan sinar
merah. Bleess...!
Dalam satu gebrakan, tiga
nyawa pun melayang. Tubuh mereka bagaikan lenyap seketika menjadi uap. Yang
tersisa hanya bagian dalam tubuh; usus, jantung, paru-paru, limpa, dan
sebagainya serta bagian kepala mereka masih utuh. Namun jelas sudah tak mungkin
bisa dipakai bernapas lagi.
Melihat tiga orang tumbang
dalam keadaan mengerikan, murid-murid Ki Warok menjadi tegang dan dicekam
kecemasan. Tetapi sang Ketua perguruan menjadi berang. Matanya lebar memandang
lawannya dengan bengis.
Elang Samudera yang terpaku
melihat kematian Kebo Gadung dan dua temannya itu, segera sadar setelah ditepuk
punggungnya oleh Pendekar Mabuk, ia menggeragap dan hampir jatuh dari tempat
pijakannya.
"Itukah yang dimaksud
jurus 'Bajang Rampak'?!" tanya Suto lirih.
"Kurasa... kurasa memang
Tapak Siluman tadi menggunakan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Aku pernah mendengar
ciri-ciri korban ilmu 'Bajang Rampak', yang meninggalkan kepala serta bagian
dalam tubuh korbannya."
"Kenapa wajahmu pucat,
Elang Samudera? Kau takut atau memang belum sarapan?!" ledek Pendekar
Mabuk. Elang Samudera segera nyengir malu.
"Kubayangkan seandainya
dia menyerangku dengan ilmu 'Bajang Rampak', rasa-rasanya aku sukar menghindari
atau menangkis kecepatan sinar merahnya tadi, Suto."
"Kalau begitu, biar aku
saja yang menghadapinya. Kau tetap saja di sini menjadi penonton yang baik.
Hanya saja, kalau nanti aku mati melawannya, tolong sampaikan salam rinduku
kepada Dyah Sariningrum, calon istriku di Pulau Serindu itu. Dan sampaikan juga
pesanku kepada Menik, agar ia menyampaikan salam kangenku kepada kedua
kakaknya; Dewi Hening dan Dewi Kejora."
"Mana mungkin aku bisa
menyampaikan salammu kepada mereka?"
"Kenapa tidak?"
"Karena kalau kau mati di
tangan si Tapak Siluman, aku pun tak mau pulang membawa nyawa. Aku harus
melawannya walau pada akhirnya nanti aku pun mati sepertimu. Hanya saja...
sebaiknya kita memang tak perlu melawan dia, Suto. Dia bukan tandingan kita.
ingat, kita belum punya istri, dan belum pernah merasakan nikmatnya dikerok
sang istri saat kita masuk angin."
"Sudah, sudah... jangan
melantur," kata Suto sambil mengulum senyum. "Kita lihat saja,
agaknya kali ini Warok Suro Bangsat maju sendiri. Apakah dia dapat unggul
melawan Tapak Siluman?"
"Kurasa ini hanya
pemborosan nyawa, Suto!" ujar Elang Samudera sambil matanya memandang ke
arah pertarungan lagi.
Warok Suro Bangsat memainkan
cambuknya, ia sempat berseru menuding Tapak Siluman dengan suaranya yang kasar.
"Tapak Siluman...! Aku
tahu kau punya ilmu unggulan yang bernama 'Bajang Rampak', tapi jangan anggap
aku dapat kau lumpuhkan seperti murid-muridku tadi! Ilmu 'Bajang Rampak' tak
akan bisa menembus tubuhku, karena aku telah memakan otak anak-anak."
"Aku tahu kau hanya
menggertakku, Suro Bangsat!" ujar Tapak Siluman dengan suara seraknya.
"Aku yakin kau belum memakan otak anak-anak. Kini memang saatnya nyawamu
kucabut kecuali jika kau mau tunduk dan berlutut di depanku; mengakui bahwa
akulah tokoh paling sakti dan berhak menjadi penguasa rimba persilatan!"
"Cuih...!" Warok
Suro Bangsat meludahi wajah Tapak Siluman. Tentu saja hal itu membuat Tapak
Siluman menjadi murka. Penghinaan itu benar-benar membakar amarah si Tapak
Siluman dan tak bisa bersabar lagi.
Maka ketika Warok Suro Bangsat
melecutkan cambuknya ke arah Tapak Siluman, ctaarr...! Tapi cambuk itu segera
disambut oleh tangan kiri Tapak Siluman. Wuuurt...! Tali itu digenggam dengan
tenaga penuh hingga sukar ditarik lagi. Kemudian tangan kanannya yang berkuku
panjang itu menyentak ke depan dan keluarlah bola api sebesar genggaman dari
telapak tangan itu. Weeess...!
Sinar bola api merah itu
bergerak sangat cepat, dan tak bisa dihindari lagi oleh Warok Suro Bangsat.
Akibatnya dalam sekali gebrak saja Warok Suto Bangsat yang menyandang gelar
sebagai guru di Perguruan Macan Iblis itu, mengejang seketika saat sinar merah
kenai perutnya. Bleess...!
Bles, bless, bless, bleess...!
Sinar itu menembus ke belakang
Warok Suro Bangsat, kenai empat orang yang berdiri sejajar dengan guru mereka.
Dalam satu gebrakan saja sudah lima orang menjadi korban ilmu "Bajang
Rampak', dan jenazah mereka mengalami nasib yang sama dengan jenazah Kebo
Gadung.
Warok Suto Bangsat terkapar di
tanah dalam keadaan tinggal kepala dan bagian dalam perutnya. Melihat sang Guru
tewas, para murid menjadi lebih ketakutan lagi. Mereka segera melarikan diri
agar tidak menjadi korban keganasan ilmu 'Bajang Rampak' itu.
Tapi agaknya kemarahan Tapak
Siluman tak dapat ditahan lagi. Kini ia lepaskan kembali jurus 'Bajang Rampak'
ke arah para murid Perguruan Macan Iblis.
104 TAPAK SILUMAN
Claap, bless, bless, bless...!
Weeeut, claaap...! Bleess, bleess...
bleess...! "Aaaaa...!" beberapa orang yang masih selamat
menjerit keras-keras melihat
teman-temannya tumbang tanpa raga lagi. Sekitar empat atau lima orang murid
Warok Suro Bangsat masih punya keberuntungan untuk melarikan diri. Tapi si
Tapak Siluman segera memburu mereka dengan melepaskan ilmu 'Bajang Ram-pak'-nya
beberapa kali.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan
datang. Bayangan itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang meninggalkan tempat
persembunyiannya tanpa pamit kepada Elang Samudera. Karenanya, murid Pendeta
Darah Api itu sempat terperangah kaget melihat Suto ternyata sudah ada di
puncak bukit, di belakang si Tapak Siluman.
"Jangan umbar murkamu
kepada mereka, Tapak Siluman!" seru Suto Sinting yang membuat Tapak
Siluman balikkan badan. Matanya yang kecil memandang tajam kepada Suto Sinting.
Rambutnya yang panjang dan lengket karena lumpur itu tak bisa meriap walau
diterpa angin, ia hanya menggeram dengan langkah pelan dekati Suto. Kedua
tangannya bergerak- gerak mekar, seakan melemaskan jari-jari untuk mencengkeram
lawan memakai kuku-kukunya itu. "Siapa kau, Bocah Dungu?!"
"Aku Suto Sinting yang
bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!"
Tapak Siluman menggeram
setelah terperanjat sekejap.
"Kebetulan, pucuk dicinta
ulam pun tiba. Aku memang sedang mencari si Gila Tuak dan ingin membantainya.
Semua murid si Gila Tuak akan kuhabisi riwayatnya, biar tak ada orang yang
lebih sakti lagi dariku!"
"Kalau begitu, akulah
lawanmu, Tapak Siluman!" ujar Suto dengan tegas tapi tetap kelihatan
kaiem.
"Keparat busuk! Masih
ingusan berani buka mulut di depanku, hah?! Heeeah..!"
Lima kuku dari tangan kiri
Tapak Siluman mengeluarkan lima baris sinar hijau lurus, sasarannya ke arah
dada Suto Sinting. Dengan cekatan Suto melawannya sambil melompat mundur
selangkah. Seberkas sinar lebar warna biru besar melesat dari telapak tangan
Suto. Itulah jurus 'Tangan Guntur' yang cukup berbahaya. Sinar biru lebar itu
seakan menjadi perisai atas datangnya lima sinar hijau dari kuku-kuku runcing
tersebut. Kedua sinar itu pun akhirnya bertabrakan di pertengahan jarak.
Weeesst...! Blub,
blegaaarr...!
Dentuman dahsyat terjadi bagai
ingin membelah bukit tersebut. Seluruh pepohonan berguncang, bahkan ada yang
tumbang berserakan. Gelombang ledakan itu begitu kuatnya sehingga dapat
melemparkan tubuh Suto Sinting ke bawah pohon. Weess...! Brrukk...!
"Auuhk...!" Suto
Sinting menyeringai kesakitan.
Tubuhnya tercabik-cabik
mengenaskan sekali.
Pendekar Mabuk cepat-cepat
membuka bumbu tuaknya dan mendongak untuk menenggak tuak tersebut. Namun baru
saja tuak tertelan beberapa teguk, tiba-tiba Tapak Siluman lepaskan pukulan
jarak jauhnya dan mengenai bumbung tuak itu. Wees...! Baaang...!
Bumbung tuak terpental karena
terlepas dari pegangan Suto. Sebagian tuaknya tumpah berhamburan ke mana-mana.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat kaget dan menjadi tegang.
Tapak Siluman segera
menyerangnya dengan satu lompatan secepat kilat. Weess...! Pendekar Mabuk
bergerak limbung ke samping memainkan jurus mabuknya. Tapi ternyata terjangan
kaki Tapak Siluman berbelok arah, akibatnya kepala Suto Sinting tertendang
keras-keras oleh lawannya. Duuhk...!
"Aaauow...!" pekik
Suto Sinting karena merasa kepalanya nyaris pecah. Tendangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar. Untung Suto Sinting sempat menyalurkan hawa
murninya ke kepala pada saat sebelum terkena tendangan, sehingga tulang
kepalanya masih utuh. Hanya saja, selain ia terlempar delapan langkah jauhnya,
ia juga mengalami luka dalam. Darah kental mengucur dari hidung dan telinga
Suto Sinting. Pandangan matanya sempat menjadi gelap sesaat.
Tapi saat ia bangkit berlutut,
ia melihat sekelebat sinar kuning menerjangnya. Sinar kuning itu berasal dari
kedua kuku Tapak Siluman yang dikibaskan bagai mencakar. Wees...! Claap...!
Dengan satu kaki menyentak ke
tanah, tubuh Suto Sinting melambung ke depan dan berjungkir balik di udara.
Wuk, wuk... ! Kemudian ia mendaratkan kakinya dengan sigap, sedikit merendah ke
bawah. Jleeg ..!
Tapak Siluman berada di arah
sampingnya. Kepala Pendekar Mabuk berpaling ke arah kiri dengan kibasan cepat.
Darah yang keluar dari hidungnya memercik tanpa dipedulikan lagi. Sementara
itu, bunyi ledakan terdengar akibat sinar kuning tadi menghantam sebuah pohon,
dan pohon itu langsung pecah menjadi serpihan kecil dari akar sampai puncaknya.
"Gila! Kalau tubuh Suto
yang kena sinar kuning itu, pasti dia hancur menjadi serpihan yang tak bisa
dipunguti lagi!" pikir Elang Samudera dengan tegang, ia segera mencabut
pedangnya untuk lakukan serangan sewaktu-waktu, ia tak ingin tinggal diam jika
Suto Sinting sampai terdesak dan sangat berbahaya.
Bluub...! Tapak Siluman
menghilang dari pandangan Suto Sinting. Tetapi bekas telapak kakinya tampak
berjalan mendekati Suto.
"Hiah...!" Suto
lakukan plik-plak ke belakang beberapa kali untuk mengatur jarak dengan lawan.
Plak, plak, plak, plak...! Ketika ia berhenti berjungkir baiik secara
plik-plak, tangan kanannya segera mengusap kening. Di kening Pendekar Mabuk
terdapat noda merah yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang kecuali yang
berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah itu, maka tubuh Suto menjadi lenyap
karena masuk ke alam gaib. Elang Samudera semakin terperanjat tegang melihat
Suto lenyap, ia tak bisa melihat bahwa Suto dan Tapak Siluman sama-sama beradu
kekuatan di alam gaib.
"Edan! Benar-benar
sinting ilmunya Suto itu. Tak kusangka ia bisa lenyap begitu saja. Dan... oh,
aku seperti mendengar suara letupan-letupan kecil. Apa yang dilakukan Suto
dengan si Tapak Siluman itu?!"
Tiba-tiba letupan kecil yang
didengar Elang Samudera itu berubah menjadi ledakan besar.
Jegaarrr...!
Bukit berguncang, tanah lereng
menjadi longsor sebagian. Pepohonan pun nyaris dibuat tumbang semuanya. Elang
Samudera sendiri hampir saja terpelanting jatuh dari atas pohon kalau tidak
segera menyambar dahan di atasnya.
Kejap berikutnya, Elang
Samudera melihat sesosok tubuh terlempar bagai dibuang dari langit.
Brrruk...!
"Oh...?! Tapak Siluman
berdarah?!" Elang Samudera memandang dengan mata lebar. Ia melihat dengan jelas
mulut si Tapak Siluman keluarkan darah kental, wajah angkernya menjadi biru
samar-samar.
"Pasti ia terkena pukulan
Suto!" pikir Elang Samudera. "Tapi... di mana Suto? Kenapa masih
tidak kelihatan? Apakah ia juga semakin terluka parah?!" Beberapa saat
kemudian, wujud sosok Pendekar Mabuk muncul begitu saja bagaikan tersingkap
dari lapisan mega putih. Suto dalam keadaan segar. Luka yang tercabik-cabik itu
sudah lenyap, karena ia tadi sempat meneguk tuak dari bumbung bambu sakti itu.
Tapak Siluman menggeram
menyeramkan dengan mata berubah menjadi merah. Kedua tangan terangkat ke atas
dengan kuku-kuku runcing siap mencakar. Dari kuku ke kuku yang lainnya tampak
mengeluarkan cahaya kecil semacam aliran petir yang berlompatan siap
dilemparkan.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk
segera sentakkan tangannya ke depan dalam keadaan telapak tangan miring.
Sentakan itu mengeluarkan pisau-pisau kecil bercahaya emas.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap,
zlap...!
Tapak Siluman berkelit
menghindari pisau-pisau kecil bercahaya emas yang kecepatannya melebihi
kecepatan gerak dari jurus 'Bajang Rampak'-nya. Tapi baru saja ia berjingkat
ingin lakukan lompatan, tiba-tiba ulu hatinya telah terserang pisau-pisau
bercahaya emas itu.
Zrrruuubb...! Seluruh pisau
kecil yang jumlahnya puluhan biji itu menancap di ulu hati Tapak Siluman.
Akibatnya, gerakan Tapak Siluman terhenti sampai di situ seperti patung hidup.
Jurus 'Manggala' pemberian
Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, telah digunakan untuk mengakhiri
riwayat Tapak Siluman. Karena sejak saat itu, Tapak Siluman tak bisa bergerak
sedikit pun. Bahkan ketika angin berhembus agak kencang, tubuh Tapak Siluman
menjadi berhamburan dan akhirnya hancur tak berbentuk lagi.
Ternyata ketika pisau-pisau
warna emas itu menancap di ulu hati Tapak Siluman, tokoh tua itu seketika telah
menjadi abu, namun masih menggumpal dalam bentuk raga aslinya. Dan setelah
tertiup angin, abu itu berhamburan lalu hancur tak berbentuk lagi.
"Luar biasa kehebatan
jurusmu, Suto!" ucap Elang Samudera dengan kekaguman yang tulus.
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum, tak tampak membanggakan diri. Ia segera melangkah mencari
bumbung tuaknya. Setelah didapatkan, ia pun segera menenggak tuak yang masih
tersisa di dalam bumbung.
"Sial, hanya tersisa lima
teguk lagi!" gerutunya. Elang Samudera tertawa. Tenang, nanti kusuruh Ki
Lurah Penawu memenuhi bumbung
tuakmu. Dia akan sangat kegirangan jika mendapat kabar bahwa Tapak Siluman
telah berhasil dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk."
"Pendekar Mabuknya tak
perlu disebutkan, yang penting sebutkan kemurnian tuak yang harus diisikan ke
bumbung ini."
"O, tentu, tentu...! Mari
kita kembali ke Desa Badaran!"
"Baik. Karena aku harus
membantu Menik mencari Kejora, kakaknya. O, ya... katakan kepada warga desa
bahwa anak-anak mereka sekarang aman dari gangguan siapa pun. Tapi... anak
gadis mereka harus hati-hati," bisik Suto.
"Kenapa?"
"Sebab kau pasti akan
mengganggu mereka!"
"Ha, ha, ha, ha...!"
Elang Samudera tertawa terbahak- bahak penuh kegembiraan. Mereka melangkahi mayat-
mayat orang Perguruan Macan Iblis, lalu berkelebat pulang ke Desa Badaran.
SELESAI