1
SEPASANG mata memandang ke
arah kaki bukit cadas tanpa nama. Sesuatu yang dipandang oleh sepasang mata
muda itu adalah sebuah pertarungan yang sedang akan dimulai. Pemuda pemilik
mata bening itu berwajah tampan dan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala.
Ia membawa buntung tuak di pundaknya. Pemuda bercelana putih dengan baju tanpa
lengan warna coklat itu tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting,
murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Pertarungan yang akan dimulai
itu dilakukan oleh seorang gadis cantik berambut pendek diponi depan. Bajunya
tanpa lengan berwarna hitam bintik-bintik putih logam. Baju itu berpundak kaku
dengan krah tegak, kaku menutup sebagian lehernya. Ia juga kenakan celana hitam
dengan bagian sampingnya berbintik-bintik putih logam mirip barisan paku
payung. Ikat pinggangnya yang berwarna putih berbintik-bintik hitam itu dipakai
selipkan pedang bersarung perunggu ukir.
Gadis itu tampak tenang dengan
matanya yang bundar dan hidungnya yang bangir. Ia kenakan kalung hitam cekak
berbatu merah delima sebesar biji sawo, sama dengan warna giwangnya yang kecil
itu.
Menurut Pendekar Mabuk, gadis
itu cukup berani dalam berpenampilan. Sabuknya yang melingkar di luar baju itu
membuat bentuk belahan baju agak lebar, sehingga bagian dadanya tampak sedikit
mengintip memperlihatkan kemulusan kulit yang berwarna kuning langsat. Agaknya
di balik baju tebalnya itu ia tidak mengenakan kutang atau kain penutup dada
lainnya, padahal gadis itu masih berusia sekitar dua puluh tahun, tentu saja
keranuman yang terbayang di balik baju itu menggoda khayalan si murid sinting
Gila Tuak itu.
"Agaknya ia cukup berani.
Tak kelihatan gentar sedikit pun menghadapi lawan-lawannya," pikir
Pendekar Mabuk dari atas bukit berbatu-batu itu.
Gadis itu berhadapan dengan
tiga orang gundul yang masing-masing berbadan kekar dan tinggi. Wajah ketiga
orang itu tidak ada yang ramah sedikit pun, semuanya mempunyai wajah angker.
Walaupun bentuk tulang rahang maupun bagian wajah berbeda, tapi kesan keji
terlihat jelas pada wajah mereka. Mereka mengenakan pakaian yang berbeda.
Yang berpakaian serba hitam
mempunyai mata kecil tapi pandangannya bagai memancarkan hawa dingin yang
membekukan darah. Ia bersenjata golok lebar yang tak bisa diselipkan di pinggang
karena lebarnya. Sedangkan yang berpakaian baju merah celana hitam mempunyai
bentuk mata sedang-sedang saja, tapi
alisnya tebal dan bibirnya juga tebal. Badannya tampak berotot dan
menyeramkan, ia menyelipkan sebilah parang bergagang kepala burung dengan
rumbai-rumbai benang hitam. Yang satu lagi mengenakan rompi biru dan celana
hitam, dadanya membusung keras bagai dinding batu, mempunyai mata lebar dan
kumis lebat. Sebilah golok bergerigi dipakai sebagai senjata andalannya. Golok
itu sudah dicabut dari sarungnya dan kini tergenggam di tangan kanan, siap
untuk ditebaskan ke arah si gadis cantik itu.
"Siapa tiga orang gundul
yang dihadapi gadis itu? Sepertinya baru sekarang kulihat wajah mereka,"
ujar Suto membatin. "Sebaiknya kugunakan ilmu 'Sadap Suara'-ku untuk
mendengar percakapan mereka. Setidaknya aku dapat mengenali nama-nama
mereka."
Ilmu 'Sadap Suara' adalah
sebuah ilmu yang dapat menyadap pembicaraan seseorang dari jarak jauh. Pendekar
Mabuk memiliki ilmu tersebut, sehingga ia sering mengetahui berbagai persoalan
orang dari suatu tempat yang tersembunyi.
Tetapi kali ini sebelum ilmu
'Sadap Suara' digunakan, ternyata orang yang bersenjata golok bergerigi sudah
lebih dulu lakukan serangan ke arah si gadis yang sendirian. Gerakan cepat
menerjang si gadis membuat golok bergerigi itu nyaris membabat dada gadis
tersebut. Weeesss...! Si gadis cepat bersalto ke belakang dengan gerakan cepat
pula. Wuuuttt...! Jleeg...! Begitu ia tapakkan kaki ketanah, ia segera lepaskan
pukulan tenaga dalam ke arah si rompi biru dengan cara menyentakkan tangannya
ke depan dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah.
Weeet...! Claaap...!
Ada kilatan sinar hijau
sekilas keluar dari telapak tangan si gadis. Sinar hijau itu cukup kecil dan
nyaris tak tertangkap oleh mata siapa pun. Tapi mata tajam si Pendekar Mabuk
mengetahui adanya kilatan cahaya hijau dari tangan si gadis. Pendekar Mabuk
juga melihat sinar hijau itu menghantam pinggang si rompi biru, sehingga orang
itu terpental dalam keadaan sedang melayang di udara.
Wuuuss...! Bruuukk...!
"Bangsaaat...!"
Yang berteriak berang bukan si
rompi biru, melainkan temannya yang
berbaju merah dan bercelana hitam. Sebab orang itu ditabrak kuat-kuat oleh
tubuh besar si rompi biru hingga terbawa terpental dan jatuh telentang dalam
keadaan tertindih tubuh si rompi biru. Tubuh temannya yang menindih itu segera
didorong kuat-kuat. Wuuut...! Tubuh si rompi biru terlempar lagi dan jatuh
dalam keadaan leher terlipat.
Brruuuk...!
"Uuahhk...!" terdengar pekiknya bagai keluar dari mulut dengan susah
payah. Sementara si baju merah cepat berdiri kembali dalam satu sentakan
pinggul, wuuut...! Jleeeg...! Lalu ia memandangi si gadis dengan mata liar dan
berkesan ganas.
Sementara itu, yang mengenakan
pakaian serba hitam hanya diam terpaku di tempat dengan mulut melongo dan mata
tertuju kepada si rompi biru. Ketika si baju merah mencabut parangnya dan ingin
membalas serangan si gadis, tiba-tiba tangan orang berpakaian serba hitam itu
merentang, menghadang di dada si baju merah. Akibatnya gerakan si baju merah
tertahan dan ia pandangi temannya sendiri dengan mata beringas.
"Ada apa?!" geramnya
menyentak penuh luapan amarah.
''Lihat si Kalapuser
itu!" jawab si baju hitam.
Kedua orang gundul itu kini
sama-sama pandangi keadaan si Kalapuser yang mengenakan rompi biru itu. Si baju
merah yang sudah menggenggam parang itu terperanjat melihat tubuh Kalapuser
berasap tipis. Tubuh yang besar itu tiba-tiba menjadi susut, makin lama semakin
susut sepertinya tubuhnya menguap tersedot angin. Si baju merah jadi terpukau
dan terpaku di tempat seperti si baju hitam.
Akhirnya mereka melihat dengan
mata telanjang perubahan si Kalapuser yang semula berbadan tegap dan besar itu
menjadi kurus kering. Raut wajahnya tampak tua karena berkulit keriput. Tentu
saja keadaan si Kalapuser sudah tak bernyawa lagi, karena ia tergolek di tanah
tanpa gerak sedikit pun kecuali susutnya tubuh.
Kedua orang gundul melangkah
mundur satu tindak setelah menyadari si Kalapuser menjadi mayat yang tinggal
tulang terbungkus kulit, seakan daging dan jeroannya menguap tersedot udara.
Keadaannya sangat mengerikan. Kepala gundul si Kalapuser pun jadi mengecil, dan
seperti tinggal tengkorak dibungkus kulit keriput.
Dari atas bukit, Pendekar
Mabuk yang terkagum- kagum atas kejadian itu juga mendengar percakapan dua
orang gundul tersebut.
"Gadis ini lebih gawat
dari kakaknya, Kalatunggir," kata si baju hitam.
"Bangsat! Serang dia
bersama-sama, Kalabolong!"
Dua orang gundul itu akhirnya
maju serempak dengan masing-masing senjata siap mencelakai nyawa si gadis.
Wuuurrrss...!
"Heeeeaat...!"
Teriakan si Kalatunggir yang
berbaju merah itu sangat keras dan memanjang, memekakkan telinga. Agaknya suara
teriakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang dapat mengganggu kesigapan
lawannya. Tetapi si gadis berbaju hitam bintik-bintik putih mirip paku payung
itu mampu atasi getaran suara tersebut, sehingga dalam sekejap tubuhnya telah
melenting tinggi dan bersalto melintasi kepala dua orang gundul yang
menyerangnya. Wuuuuk, wuuuk...!
Dua kali gerakan berjungkir
balik di udara membuat si gadis tahu-tahu sudah berada di belakang kedua
lawannya beradu punggung dalam jarak tiga langkah. Kedua lawan itu cepat
lakukan serangan kembali dengan berbalik badan dan maju serentak. Tapi si gadis
tiba-tiba melompat dan kedua kakinya menendang cepat ke belakang bagai seekor
kuda menyepak lawan. Wuuuk...! Beeehk, ploook...!
"Ouhhh...!" pekik si
Kalatunggir yang tersentak mundur karena wajahnya terkena tendangan kaki si
gadis. Sedangkan si Kalabolong yang berbaju hitam itu hanya terlempar ke
belakang tak sempat keluarkan pekikan. Ulu hati yang terkena tendangan bukan
saja menyesakkan pernapasan namun juga menyumbat tenggorokan hingga ia tak bisa
terpekik sedikit pun. Ia tumbang dalam keadaan telentang dan mata mendelik.
Kalatunggir buru-buru sigap kembali setelah itu si Kalabolong mencoba bangkit
dengan napas terengah- engah.
"Bocah keparat!"
geram Kalatunggir, lalu maju kembali lakukan lompatan menerjang si gadis dengan
parangnya. Weeesss...!
Tapi saat itu si gadis sudah
berbalik arah dan lepaskan pukulan seperti tadi. Sekilas sinar hijau yang sukar
dipandang mata itu terlepas dari tangan si gadis dan menghantam perut
Kalatunggir saat masih melambung di udara. Claap...! Deeesss...l
"Aaahk...!"
Kalatunggir tiba-tiba berbalik ke arah semula dengan tubuh melayang dan jatuh
terbanting cukup menyedihkan.
"Bangun! Gunakan 'Aji
Palang Sukma', Kalatunggir!" kali ini si Kalabolong lontarkan suara keras
menandakan kemarahan yang telah memuncak. Ia berseru sambil memainkan golok
lebarnya di sekeliling tubuhnya. Wung, wung, wung, wung...! Matanya tertuju
tajam kepada si gadis yang tak banyak bicara itu.
"Bangun, Tolol!"
serunya lagi tanpa memperhatikan si Kalatunggir.
Gerakan golok lebar terhenti
sesaat karena Kalabolong segera terkejut melihat Kalatunggir tak mau berkutik
lagi. Tubuh Kalatunggir berasap tipis, makin lama semakin susut dan akhirnya
tak bernyawa dalam keadaan seperti mayat si Kalapuser, tinggal tulang
terbungkus kulit.
"Ggrrrmmm...!"
Kalabolong menggeram penuh murka, matanya yang kecil dilebarkan memandang si
gadis bagaikan berapi-api.
"Kau telah bunuh dua
saudaraku! Sekarang kau harus menebusnya dengan nyawamu, Setan!
Heeeaaah...!"
Pendekar Mabuk hanya membatin
dari atas bukit, "Hmmm... siapa gadis itu, sehingga mampu kuasai jurus
yang cukup dahsyat itu?!"
Golok lebarnya si Kalabolong
berkelebat menebas pundak si gadis. Namun tanpa pekik dan suara apa pun, si
gadis mampu hindari tebasan golok itu dengan bergerak ke samping, lalu
berjungkir balik di tanah menggunakan kedua tangannya. Wuuurs...! Dalam sekejap
ia menjadi tegak kembali.
Tapi di luar dugaan,
Kalabolong lepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kirinya. Claaap...!
Seberkas sinar merah sebesar mata tombak melesat cepat dan menghantam perut si
gadis. Duuubs...!
"Uuuhk...!" gadis
itu tersentak mundur dengan terhuyung-huyung. Kalabolong memanfaatkan keadaan
demikian dengan lakukan sergapan jurus golok lebarnya yang menebas cepat ke
sana-sini.
"Heeeaaat...!"
Si gadis yang merasa terdesak
itu segera lepaskan jurus bersinar hijau sekelebat tadi. Claaap...! Sinar hijau
itu tepat kenai dada Kalabolong sewaktu hendak membabatkan golok lebarnya ke
leher si gadis. Deesss...!
"Aaahk...!" ia
terpental ke belakang, melayang rendah dan jatuh berjungkir balik. Golok
lebarnya terlepas dari genggaman tangan, dan Kalabolong tak mau bergerak lagi.
Tubuhnya berasap samar-samar, makin lama semakin susut, akhirnya menjadi mayat
seperti kedua saudaranya itu. Kalabolong pun terpaksa menjadi mayat kurus,
tinggal tulang terbungkus kulit yang keriput.
Tapi pada saat itu si gadis
sendiri masih sempoyongan mencari tempat untuk berpegangan, ia mendekati
sebatang pohon berdaun lebat. Setelah menemukannya, ia mencoba bertahan berdiri
dengan berpegangan pada pohon tersebut. Namun agaknya kedua kakinya tak mampu
menyangga tubuhnya lagi. Ia turun pelan-pelan dan akhirnya duduk terkulai
bersandar pada batang pohon tersebut.
Rupanya serangan bersinar
merah dari si Kalabolong tadi telah melukai bagian dalam tubuh si gadis dan
membuat kulitnya sedikit demi sedikit menjadi biru memar. Wajah cantiknya
berubah pucat kebiru-biruan dan bola matanya mulai tampak semburat merah, ia
tampak terkulai lemas tak berdaya lagi. Seandainya datang musuh lain, maka Suto
Sinting yakin gadis itu tak akan mampu melakukan perlawanan seperti tadi.
Tampak dadanya yang sekal itu naik turun sebagai tanda napasnya terengah-engah
dengan berat.
Pendekar Mabuk menenggak tuak
dari bumbung bambu yang tadi tergantung di pundaknya itu. Setelah cukup puas
menenggak tuaknya, ia mulai berpikir tentang gadis berpakaian hitam Itu.
"Ia terluka cukup
berbahaya! Aku harus cepat lakukan pertolongan sebelum akhirnya gadis itu pun
kehilangan nyawa seperti ketiga lawannya itu!"
Tapi sebelum Pendekar Mabuk
bergerak turun dari atas bukit cadas itu, tiba-tiba ia melihat sekelebat
bayangan yang menuju ke arah si gadis. Pendekar Mabuk hentikan langkah dan
tangguhkan niat untuk sesaat. Batinnya bertanya-tanya,
"Siapa tokoh yang baru
saja datang itu?l"
Mata si pemuda tampan itu
pandangi sosok perempuan tua berambut putih rata terurai lepas. Nenek
bertongkat hitam itu kenakan baju hijau tua dengan jubah lengan panjang. Nenek
itu berdiri pandangi mayat- mayat yang bergelimpangan di sana. Bola matanya
yang tersembunyi di balik rongga cekung itu segera pandangi si gadis dengan
pancaran nafsu amarah.
"Jahanam busuk!"
geramnya dengan suara tua yang cukup keras. Nenek berusia sekitar delapan puluh
tahun itu segera dekati si gadis. Langkahnya yang terbungkuk- bungkuk tergolong
cepat, menandakan nafsu kemarahannya telah membakar darah dan tak bisa
ditangguhkan lagi.
"Kau telah membunuh
ketiga muridku, Gadis Jahanam! Kau pun harus mati untuk menebus ketiga muridku
ini! Hiaaah...!"
Tongkat dihantamkan dengan
gerakan cepat. Tongkat itu ujungnya mulai memancarkan cahaya merah seperti besi
terpanggang api. Weesss...!
Pendekar Mabuk cepat lakukan
gerakan secara naluriah. Seberkas sinar ungu sebesar lidi melesat dari kedua
tangan yang merapat dan disodokkan ke depan.
Claaap...! Weeesss...!
Jurus 'Surya Dewata' yang
berwarna ungu itu menghantam ujung tongkat pada saat tongkat digerakkan
menyabet si gadis. Kecepatan sinar ungu itu sungguh luar biasa, sehingga dalam
sekejap tongkat itu terpental bersama pemiliknya saat terdengar ledakan cukup
dahsyat.
Blegaaar...!
Gadis itu terguling-guling
karena sentakan gelombang ledak tersebut. Tapi si nenek berjubah hijau itu
terpental hingga delapan langkah jauhnya, ia jatuh terbanting di tanah tak
berumput. Tulang tuanya bagai diremukkan oleh gelombang ledak tadi. Brruskk...!
Tak ada suara yang terdengar,
tapi dari wajahnya tampak jelas si nenek sedang menahan sakit dan menahan
kemarahan yang lebih besar lagi. Si nenek berusaha bangkit dengan bantuan
tongkatnya yang sudah tidak membara merah lagi itu. Tapi ujung tongkat yang
tadi membara merah itu sekarang mengepulkan asap seperti besi panas tersiram
air.
Melihat si nenek mau bangkit,
Suto Sinting menjadi khawatir akan keselamatan jiwa si gadis cantik itu. Maka
ia segera berkelebat turun dari atas bukit dengan gunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya.
Zlaaap...!
Dalam waktu sangat singkat
Suto Sinting sudah berada di bawah tempat si gadis tergeletak karena tadi
terguling-guling itu. Jurus 'Gerak Siluman' mempunyai kecepatan gerak melebihi
anak panah terlepas dari busurnya, hingga tak mengherankan lagi jika Pendekar
Mabuk dalam sekejap sudah berdiri menjadi pelindung si gadis yang kulitnya kian membiru itu.
Sang nenek bangkit dan
menggeram setelah menarik napas beberapa saat. Matanya yang cekung memandang
tajam kepada Suto Sinting, seakan memancarkan kekuatan batin untuk menembus
jantung sang pendekar tampan itu. Namun sikap dan penampilan Suto Sinting tetap
tenang, bibirnya sunggingkan senyum tipis hingga tak terlihat kesan
bermusuhannya.
Sang nenek segera bergerak,
weesss...! Dalam sekejap sudah berada di depan Suto, jarak empat langkah. Ini
menandakan sang nenek juga mempunyai gerakan cepat hampir sama dengan jurus
'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting. 'Bocah ingusan!" geram sang nenek.
"Siapa kau hingga berani menggagalkan niatku membunuh si gadis bejat itu,
hah!"
"Siapa aku itu tak perlu,
tapi yang perlu kau ketahui, aku sekadar melindungi orang yang lemah. Gadis itu
sudah tak berdaya, masih saja ingin kau serang. Alangkah kejinya hatimu,
Nek?"
"Setan alas, kucing belang,
babi bengkak...!" makinya beruntun. "Sekarang aku ingat ciri-cirimu!
Kau pasti si Pendekar Mabuk itu!"
"Syukurlah kalau kau
sudah mengenaliku sebelum aku memperkenalkan diriku. Nenek!"
"Jangan anggap diriku
pikun, Bocah Kurapan! Jurik Wetan biar sudah tua tapi otaknya masih cerdas dan
kekuatannya masih mampu tumbangkan dirimu, Kambing Borok!"
Pendekar Mabuk lebarkan senyum
geli. Katanya dengan tenang, "Aku tak ingin berselisih denganmu, Nyai
Jurik Wetan! Aku hanya mencegah kecerobohanmu."
"Kau tak perlu berlagak
satria! Gadis itu telah membunuh tiga muridku, dan aku harus mencabut nyawanya
sebagai tebusannya. Jika kau ingin memihaknya, maka hadapilah murkaku sekarang
juga, Kutang Kusut! Heeeeah...!"
Weesss...!
Nenek itu bergerak cepat
sekali. Tahu-tahu tongkatnya sudah melayang ke arah kepala Suto Sinting. Dengan
sedikit rendahkan kaki, Suto Sinting sentakkan bumbung tuaknya ke samping kiri
menghadang tongkat itu. Maka tongkat pun menghantam bambu tempat tuak dengan
telaknya. Trak...! Duaaarrr...!
Ledakan keras terjadi lagi dan
percikan bunga api menghambur dalam seketika. Tenaga dalam yang tersalur pada
tongkat itu telah beradu dengan tenaga sakti yang ada pada bumbung tuak Suto,
hingga terjadilah ledakan keras tersebut. Ledakan itu membuat si nenek menjadi
limbung sesaat. Suto Sinting juga menggeloyor bagai orang mabuk ingin jatuh,
namun tiba-tiba punggung tangannya menyodok ke rusuk Nyai Jurik Wetan. Dees ..!
Sodokan bertenaga dalam cukup tinggi itu membuat Nyai Jurik Wetan terpental ke
belakang dalam jarak tiga langkah.
Wuuut...! Jleeeg...!
Si nenek masih mampu berdiri
lagi walau sedikit limbung. Tapi ia segera lepaskan sinar merah pecah yang
keluar dari telapak tangan kirinya. Sraaap...!
Sinar merah pecah itu bagai
ingin menyergap tubuh Suto Sinting. Maka dengan cepat Suto Sinting lepaskan
jurus penangkisnya yang dinamakan jurus 'Tangan Guntur'. Seberkas sinar biru
besar keluar dari tangannya dan menabrak sinar merah pecah itu.
Blegaaarrr...!
Dentuman dahsyat membuat bumi
berguncang dan pepohonan bergetar. Daun-daun berhamburan dan ranting-ranting
patah hingga suara alam sekitar menjadi gaduh.
Tubuh Suto Sinting terlempar
dan jatuh terduduk di dekat gadis yang sudah tak berdaya lagi itu. Sedangkan
Nyai Jurik Wetan pun terlempar cukup jauh dan jatuh dengan tubuh
berguling-guling, ia diam untuk beberapa saat karena rasakan sekujur tubuhnya
bagai dicabik- cabik dan tulangnya bagai dipatah-patah. Suto Sinting pun
rasakan hal yang sama, namun ia segera menenggak tuaknya. Air tuak sakti itu dapat
lenyapkan rasa sakit tersebut dalam sekejap.
"Kalau kuteruskan,
berbahaya bagi gadis ini! Bisa- bisa ia mati karena terkena pukulan nyasar dari
si nenek. Sebaiknya kubawa lari dulu gadis ini untuk kuselamatkan jiwanya!
Agaknya luka yang diderita semakin parah dan mengancam nyawanya," Pendekar
Mabuk membatin sambil sesekali pandangi si gadis dan sesekali perhatikan si
nenek. Weees, zlaaap...!
Dalam sekejap gadis itu sudah
ada di pundak Suto Sinting lalu dibawanya lari dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
itu. Nyai Jurik Wetan melihat gerakan cepat yang mirip menghilang itu. Mata
tuanya sangat tajam dan sangat terlatih untuk melihat gerakan angin, sehingga
ia tahu lawannya melarikan diri ke arah barat, ia pun berseru dengan suara
tuanya yang segera terbatuk-batuk.
"Sampai di mana pun
kukejar kalian dan kubantai bersamaaa..., uhuk, uhuk, uhuk...!"
Setelah terbatuk-batuk sesaat
dan memuntahkan dahak berdarah, Nyai Jurik Wetan segera lakukan pengejaran ke
arah barat. Gerakannya pun seperti orang menghilang karena kecepatan yang sukar
dilihat oleh mata orang biasa. Weeesss...!
*
* *
2
DINDING tebing berongga itu
menyerupai sebuah gua berlangit-langit tinggi, tapi tidak mempunyai lorong ke
mana-mana. Rongga itu memang cukup lebar, namun jarak dari bagian dalam ke
bagian luar hanya delapan langkah. Tidak berpintu dan tidak bersemak, sehingga
dapat dilihat jelas dari luar gua.
Sekalipun gua itu tidak
terlalu aman, tapi sudah cukup membantu Pendekar Mabuk dalam menyembunyikan
gadis cantik yang terluka. Setidaknya sampai gadis itu menjadi sembuh karena
diberi minum tuak saktinya Suto, ternyata nenek yang mengejarnya belum temukan
tempat itu.
"Aneh. Secepat ini tenaga
dan kesehatanku pulih kembali?!" ujar si gadis membatin. "Padahal
tadi nyawaku sudah hampir lepas dari raga, tapi begitu kurasakan tuak itu masuk
ke tenggorokanku dan menghangat di tubuhku, luka pukulan si Kalabolong menjadi
sirna. Badanku menjadi segar sekali, seperti tidak pernah terluka sedikit pun,
bahkan seperti habis mengalami istirahat panjang. Hmmm... aku tahu sekarang,
siapa lagi orang yang memiliki tuak sakti itu kalau bukan si Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk."
Gadis itu hanya bicara dalam
batinnya, tapi mulutnya terkatup rapat. Bibirnya yang mungil ranum itu tak mau
ucapkan kata apa pun, walau ia sudah memandangi Suto beberapa saat lamanya.
Bahkan senyumnya pun tak ditunjukkan kepada Suto, padahal Suto sejak tadi telah
sunggingkan senyum menawan dengan mata teduh memandanginya pula
"Kau kenal dengan nenek
bernama Jurik Wetan?" pancing Suto.
"Kenal," jawabnya
singkat. Suto menunggu penjelasan berikutnya, tapi gadis itu bahkan memandang
ke arah luar gua, lalu hendak melangkah keluar.
Pendekar Mabuk cepat menyambar
lengan gadis itu dan hentikan langkah si gadis.
"Jangan keluar dulu.
Jurik Wetan sedang mengejar kita. Mungkin ia kehilangan arah sesaat, tapi aku
yakin sebentar lagi pasti ia akan melintasi daerah ini."
Gadis itu menurut. Kini ia
duduk di atas batu setinggi lutut sambil hembuskan napas panjang-panjang. Wajah
cantiknya yang tanpa senyum itu tetap memandang ke arah luar gua, padahal Suto
Sinting mendekatinya dan berdiri sekitar dua langkah darinya.
"Benarkah tiga orang
gundul tadi adalah murid si Jurik Wetan?"
"Benar," jawabnya,
setelah itu diam tanpa suara lagi. "Mengapa kau bentrok dengan tiga orang
murid si
Jurik Wetan itu, Nona?"
tanya Suto tetap dengan ramah. "Benci," hanya itu jawabnya.
Suto Sinting sunggingkan
senyum sambil membatin, "Gadis ini rupanya gadis pendiam dan tak mau
banyak bicara. Melihat dari sikapnya, pasti dia gadis yang keras kepala. Tapi
ia cantik dan menarik perhatianku Aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa
dirinya."
Kejap berikut terdengar lagi
suara Suto Sinting memancing percakapan dengan gadis yang kulitnya telah
menjadi kuning mulus kembali itu.
"Mengapa kau benci dengan
mereka?"
"Mereka...," gadis
itu diam kembali, seperti ragu untuk jelaskan perkara sebenarnya. Tapi Suto
Sinting segera lakukan desakan agar gadis itu bicara lebih panjang lagi.
"Teruskan ucapanmu.
Mereka kenapa?" "Berusaha membunuh."
"Membunuh siapa?"
"Keluargaku."
"O, kau masih punya
keluarga rupanya." "Kakek dan kakakku."
"Hanya merekakah
keluargamu?"
Gadis itu menatap Suto
Sinting, lalu anggukkan kepala. Setelah itu memandang ke arah luar kembali.
Sikapnya seolah-olah acuh tak acuh kepada Suto. Tapi sang Pendekar Mabuk masih
tetap sabar menanggapi kesinisan gadis itu. Justru semakin tertarik untuk
mendekatinya.
"Mengapa tiga murid si
Jurik Wetan itu ingin membunuh keluargamu?"
"Disuruh."
"Siapa yang menyuruh?"
"Hulubalang Iblis." "Oh...?!" Suto Sinting terperanjat
karena segera teringat sosok tinggi-besar yang bernama Hulubalang Iblis. Ia
pernah bertarung dengan tokoh berwajah ganas itu. Bentrokan itu terjadi karena
Suto, membela si Kusir Hantu dan cucunya yang bernama Pematang Hati, (Baca
serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Ratu Cendana Sutera").
"Boleh kutahu namamu,
Nona?"
Gadis itu membisu, tapi
beberapa saat bibirnya mulai tampak bergerak-gerak ingin sebutkan namanya.
Sayang sekali kala itu mereka dikejutkan dengan kemunculan Nyai Jurik Wetan
yang bagaikan melompat dari atas tebing. Jleeeg...! Tahu-tahu nenek bungkuk itu
berdiri menghadap ke arah gua, memandang ke arah mereka dengan mata memancarkan
dendam membara. Pendekar Mabuk dan gadis itu tersentak kaget, namun keduanya
cepat kuasai diri.
Bahkan secara naluri jari
tangan Suto Sinting menyentil melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang mempunyai
kekuatan tenaga dalam sama seperti tendangan kuda jantan itu.
Teees...! Beeed...!
Nyai Jurik Wetan merasa
diserang tenaga dalam tanpa sinar. Telapak tangannya segera menghadang
gelombang tenaga itu agar tak kenai ulu hatinya. Tapi kerasnya sentakan tenaga
dalam jurus 'Jari Guntur' membuatnya tersentak ke belakang dan jatuh berjungkir
balik dua kali.
Wes, wes...! Suto Sinting dan
gadis itu cepat keluar dari gua, karena mereka tak mau terdesak serangan lawan
dalam keadaan masih berada di dalam gua. Dalam sekejap saja Nyai Jurik Wetan
sudah tegak berdiri dan berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu ada di
samping kanan Suto dengan kaki sedikit merenggang dan siap hadapi serangan si
Jurik Wetan. Gadis itu tak punya rasa takut sedikit pun, bahkan sorot pandangan
matanya berani menentang tatapan mata Nyai Jurik Wetan.
"Monyet gancet! Makin
lama semakin minta dihancurkan tubuhmu, Anak Sapi!" seru Nyai Jurik Wetan
kepada Suto Sinting. Tetapi pemuda tampan itu justru berbisik kepada si gadis
cantik,
"Menjauhlah, biar
kutangani sendiri nenek ini."
Gadis itu tak keluarkan suara
apa pun, tapi ia segera melangkah pelan-pelan menjauhi Suto, sementara
pandangan matanya tetap tertuju kepada si Jurik Wetan.
"Rupanya kau ingin
menggantikan nyawa si gadis dungu itu, Anak Sapi!" lontar Nyai Jurik Wetan
sambil mengangkat tongkatnya.
"Aku hanya akan menahan
serangan liarmu, Nyai Jurik Wetan! Kau tak berhak mencabut nyawa gadis itu,
karena ketiga muridmu itu ternyata bersalah."
"Persetan dengan salah
atau benar! Aku sudah telanjur ngidam untuk membunuhmu, Anak Sapi!
Hiiiiah...!"
Tongkat dilemparkan ke arah
Suto Sinting. Weeesss...! Tongkat itu menyala merah seluruhnya bagaikan sinar
panjang yang ingin menghujam dada sang pendekar. Dengan gerakan sempoyongan
mirip orang mabuk, Suto Sinting berhasil melayangkan bumbung tuaknya dalam
keadaan tali bambu itu masih digenggamnya. Wuuuuk...! Dan tongkat yang berubah
menjadi sinar merah itu membentur bumbung tuak Suto dengan keras.
Jegaaarrr...!
Terjadi ledakan yang sangat
dahsyat, menyebarkan gelombang getaran begitu besar. Empat pohon tumbang karena
gelombang getaran tadi. Dinding tebing longsor seakan diguncang gempa. Tanah
pun retak di beberapa tempat. Tubuh si gadis yang diam saja itu terpental dan
membentur pohon yang sudah tak berdaun akibat ledakan tadi.
Bukan hanya gadis itu saja
yang terlempar akibat ledakan, tapi Pendekar Mabuk dan Nyai Jurik Wetan juga
sama-sama terlempar sejauh delapan tombak. Tubuh mereka bagaikan remuk,
tulang-tulang mereka seakan patah semua akibat sentakan kuat dan bantingan
keras yang membuat mereka kehilangan keseimbangan badan. Kepala mereka
sama-sama membentur pohon dan pandangan mata jadi berkunang-kunang.
Pendekar Mabuk cepat tenggak
tuaknya, sehingga badannya menjadi segar kembali dan tenaganya pulih seperti
sediakala. Dalam hati sang pendekar hanya membatin,
"Gila! Keras sekali lemparan
tadi. Mataku terasa seperti buta dalam sekejap melihat sinar ledakan itu.
Uuuhg...! Bagaimana keadaan lawanku, apakah sama seperti keadaanku?!"
Nyai Jurik Wetan ternyata
punya cara sendiri untuk atasi rasa sakitnya. Dengan tarikan napas dan menahannya
di dada, maka hawa sakti mengalir ke seluruh tubuh dan tenaganya cepat pulih
kembali. Beberapa saat kemudian ia telah bangkit dan siap lakukan pertarungan
lagi. Sementara si gadis cantik hanya merasakan pusing sedikit serta
pandangannya agak kabur. Dengan mengibaskan kepala beberapa kali, rasa pusing
itu pun cepat hilang dan ia buru-buru memandang ke arah Suto Sinting yang telah
berdiri tegak itu.
"Oh, syukurlah dia tak
mengalami cedera apa-apa," pikirnya dalam kecemasan yang disembunyikan.
Namun ia sempat terkejut dan
menjadi tegang manakala melihat Nyai Jurik Wetan tiba-tiba melayang bagaikan
terbang dalam kecepatan tinggi. Weess...! Tongkat sang nenek yang telah
disambarnya lagi itu masih utuh. Tongkat itu sekarang sedang diarahkan kepada
Suto Sinting. Ujung tongkatnya keluarkan pisau sepanjang dua jengkal.
Craaak...!
Pendekar Mabuk segera pasang
kuda-kuda seperti orang mabuk mau jatuh. Kedua kakinya merapat dan saling
berhimpit depan belakang. Tubuhnya melengkung ke kiri dengan tangan pegangi
bumbung tuak yang seakan ingin dituangkan ke mulut. Tiba-tiba tubuh Suto
Sinting bergerak melesat cepat sekali ke arah lawannya. Zlaaap..!
Bumbung tuaknya menghantam
ujung tongkat berpisau dua jengkal itu. Traaak...!
Blaarrr...!
Terdengar lagi ledakan yang menggelegar
mengguncang alam sekelilingnya. Tapi kali ini Suto Sinting berhasil daratkan
kakinya dengan tegak di tempat pertemuan mereka, sedangkan Nyai Jurik Wetan
terlempar keras membentur pohon kembali. Duuurrr...!
Daun pohon rontok seketika itu
juga. Pohon tersebut menjadi tak berdaun selembar pun. Bahkan salah satu
dahannya patah. Untung jatuhnya dahan itu tidak kenai kepala si Jurik Wetan.
"Edan betul!" gumam
hati gadis itu menyimpan kekaguman terhadap ilmu yang dimiliki Suto Sinting.
"Bumbung tuak itu benar-benar berkekuatan dahsyat! Jurik Wetan bisa dibuat
terlempar sedemikian rupa, dan kalau bukan si Jurik Wetan mungkin sudah mati
saat ini juga!"
Memang kenyataannya si Jurik
Wetan masih bisa berdiri tegak dengan satu tarikan napas yang tertahan di dada.
Nenek kurus itu bagai tak mengenal jera sedikit pun. Ia masih ingin lakukan
serangan kembali ke arah Pendekar Mabuk dengan memutar tongkatnya yang
keluarkan bunyi dengung memanjang itu.
Wuuuuung..., wuuuuuung....
Wuuungngng...!
Namun gerakan Nyai Jurik Wetan
lambat laun menjadi terhenti karena bunyi aneh yang datang dari arah
semak-semak sebelah kirinya.
Tik, tok, tik, tok, tik,
tok...!
Pendekar Mabuk dan gadis itu
juga merasa heran mendengar suara aneh tersebut. Mereka sama-sama memandang ke
satu arah tempat datangnya bunyi aneh itu. Lalu, mereka sama-sama kerutkan dahi
melihat kemunculan seorang tokoh berjubah ungu kusam. Tokoh itu berusia sebaya
dengan si Jurik Wetan. Kepalanya botak tengah, sisa rambutnya yang putih dan
tipis terurai sepanjang pundak. Tubuhnya yang kurus dibungkus kain modei jubah
warna ungu kusam.
"Siapa tokoh tua itu?
Baru sekarang aku melihat kemunculannya," pikir Suto Sinting yang merasa
asing dengan tokoh tua berjubah ungu kusam itu.
Suara aneh itu timbul dari
benda yang dimainkan oleh si tokoh tua berjubah ungu kusam itu. Rupanya benda
yang dimainkannya berupa dua bola sebesar jeruk peras yang dihubungkan dengan
rantai hitam. Bola dari logam putih berkilauan itu saling berbenturan dalam
gerakan ke atas ke bawah sedangkan tangan si tokoh tua itu memegangi
pertengahan rantai tersebut.
Nyai Jurik Wetan pandangi
tokoh tua yang bermain dua bandul dari logam putih anti karat itu. Sementara
orang yang dipandangnya yang cengar-cengir sambil memainkan dengan seenaknya,
tanpa melihat gerakan dua bandul yang saling bertemu ke atas-ke bawah itu.
"Keparat kau, Bocah
Kolok! Minggirlah dari sini sebelum kau terkena sasaran tongkatku! Hentikan
mainanmu itu, Bocah Kolok!"
"He, he, he...! Jangan
marah pada Wiio, Nyai. Wiio cuma main-main saja. Tidak ganggu Nyai punya kerja.
Wiio mau nonton Nyai tarung sama anak muda itu kok!" kata si Bocah Kolok
yang lagak-lagunya persis bocah usia lima tahunan. Gerak-gerik dalam bicaranya
juga seperti anak kecil. Bahkan ia menyebut dirinya bukan dengan kata 'aku'
atau 'saya', melainkan menyebut nama kecilnya sendiri: Wiio. Penampilan yang
kekanak- kanakan itu cukup menggelikan hati Pendekar Mabuk, sehingga senyum
sang pendekar pun mekar karena tak bisa ditahan lagi.
"Bocah Kolok!"
bentak Nyai Jurik Wetan. "Aku tak percaya kau datang kemari hanya untuk
menyaksikan pertarunganku dengan si Pendekar Mabuk itu! Kau pasti akan berbuat
usil terhadapku!"
"Iiih.... Nyai kok curiga
buruk sama Wiio?!" sambil ia
bersungut-sungut seperti anak kecil sewot. "Wiio cuma main-main di sini,
kok disangka mau usil? Usil itu seperti apa, Nyai?"
Tik, tok, tik, tok, tik,
tok...! "Hentikan mainanmu itu, Setan!"
Suara berisik itu berhenti.
Lalu terdengar suara Bocah Kolok yang segera sembunyikan mainannya ke belakang.
"Nyai jahat! Wiio
main-main tidak boleh. Kalau Nyai bentak-bentak dengan suara keras,
boleh!"
Gadis cantik yang diam saja di
bawah pohon itu sempat terkejut ketika Suto Sinting berbisik di sampingnya, ia
tak tahu kalau pemuda tampan itu sudah ada di sampingnya.
"Siapa dia? Kau
mengenalnya?"
Gadis itu hanya gelengkan
kepala sambil memandang ke arah Bocah Kolok dan Nyai Jurik Wetan lagi. Kedua
tokoh tua itu sedang perang mulut. Nyai Jurik Wetan merasa yakin akan mendapat
gangguan dari Bocah Kolok, sementara Bocah Kolok sendiri bersikeras tak mau
pergi dari tempat itu dengan alasan hanya ingin menyaksikan pertarungan si
Jurik Wetan.
"Kalau kau tak mau pergi,
kau sendiri yang akan kutumbangkan lebih dulu, Bocah Kolok!"
"Jangan, Nyai. Wiio tidak
nakal kok!" ujarnya dengan gaya bocah cilik.
"Kau memang keras kepala,
sebaiknya.... Uuhk...!"
Nyai Jurik Wetan tiba-tiba
tersentak dan pegangi dadanya, ia mundur dua langkah dengan tubuh semakin
membungkuk. Matanya berusaha memandang Bocah Kolok dan mulutnya berusaha lontarkan
kata dengan nada berat.
"Setan kau, Bocah Kolok!
Rupanya sudah dari tadi kau telah menyerangku dengan suara mainanmu itu,
Keparat!"
Nyai Jurik Wetan ingin
bergerak lakukan serangan, tapi tubuhnya tiba-tiba menggeloyor ke belakang
dengan napas tersentak dan dada didekap lebih kuat.
"Uuhhk...! Benar-benar
jahanam kau!" suaranya kian memberat, nyaris tak terdengar dari tempat
Suto Sinting berdiri.
Bocah Kolok pandangi sang
nenek dengan dahi berkerut, seolah-olah ia merasa heran melihat keadaan si Jurik
Wetan. Kedua tangannya masih dikebelakangkan dan kepalanya miring ke sana-sini
penuh keheranan. "Uuuhoooek...!" Nyai Jurik Wetan tiba-tiba
memuntahkan darah segar. Tubuhnya semakin limbung dan bertumpu pada tongkatnya.
Pendekar Mabuk dan si gadis cantik sama-sama tertegun dalam keheranan. Hanya
saja, dalam hati si Pendekar Mabuk sempat membatin kata,
"Jika benar luka itu
diderita karena bunyi tik-tok si Bocah Kolok itu, maka tak salah dugaanku bahwa
si Bocah Kolok pasti berilmu tinggi."
Tiba-tiba terdengar suara Nyai
Jurik Wetan yang menggeram dengan mata mendelik menyeramkan ke arah si Bocah
Kolok.
"Awas kau! Awas... tunggu
pembalasanku! Pasti kau yang melukaiku! Aku kenal jurusmu yang pernah kurasakan
tiga tahun yang lalu! Awas kau, Bocah Kolok!"
Weeeesss...! Nyai Jurik Wetan
sentakkan kaki dan melesat pergi bagai menembus semak-semak, ia menghilang dan
tak terdengar suaranya sedikit pun. Bocah Kolok tegakkan badan, lalu mainannya
dipermainkan lagi dengan pelan. Ia pandangi wajah Pendekar Mabuk, lalu
tersenyum bagai bocah kecil sedang nyengir, ia dekati pemuda tampan dan gadis
cantik itu dengan kedua bandul putih itu saling sentuh tak secepat tadi.
Tik, tik, tik, tik, tik,
tik...!
"Hik, hik, hik... nenek
itu lari ketakutan. Hik, hik, hik...!" ujarnya setelah berada dalam jarak
empat langkah dari Suto Sinting. "Terima kasih atas bantuanmu, Pak
Tua!"
"Ini bukan Pak Tua,"
katanya sambil menepuk dada. "Ini namanya Wiio. Tapi ada yang panggil Wiio
dengan julukan Bocah Kolok. Wiio biarkan saja mereka panggil apa, Wiio tidak
mau peduli dengan panggilan itu.!"
"Terima kasih, Bocah
Kolok. Kalau tak ada kau, mungkin pertarunganku dengan Nyai Jurik Wetan belum
selesai sampai sekarang juga. Ia seorang nenek yang sukar ditumbangkan,"
kata Suto Sinting.
"Kau yang bernama
Pendekar Mabuk, ya?"
"Betul, Bocah
Kolok," sambil Suto bersikap menghormat.
"Hik, hik, hik... aku
tahu kau yang bernama Suto Sinting, bukan?" katanya sambil nyengir dan
menuding- nuding seperti anak kecil.
Suto Sinting membalas
keramahan dengan senyumnya. Tapi si gadis cantik itu diam saja. Tak ada seulas
senyum pun tampak mekar di bibirnya, ia berdiri dan memandangi Bocah Kolok
dengan sikap tenang. Sedikit berkesan judes.
"Bocah Kolok, kalau boleh
kutahu dari mana kau mengenal namaku?"
"Ah, Wiio sering dengar
orang bicara tentang dirimu. Wiio hafal ciri-ciri penampilanmu. Wiio juga tahu
kau muridnya Kang Sabawana, yang dikenal dengan nama Gila Tuak itu."
"Oh, kau kenal dengan
guruku, Bocah Kolok?"
"Ya, kenal. Wiio bukan
orang kurang pergaulan. Wiio dulu sering main-main sama Kang Sabawana. Pernah
ikut naik ke puncak Gunung Suralaya bersama Kang Sabawana dan pelayannya; si
Gendeng Sekarat itu!"
Pendekar Mabuk seperti
mendengarkan celoteh anak kecil yang menyombongkan pengalamannya. Namun wajah
Suto tak pernah berhenti dari keramahannya, seulas senyum selalu mekar di bibir
si pemuda tampan itu. Sang gadis sebentar-sebentar melirik Suto, sesekali
perhatikan si Bocah Kolok. Akibatnya, si Bocah Kolok menuding gadis itu dan
berkata kepada Suto,
"Itu kekasihmu,
Suto?"
"Oh, hmmm... eeeh...
cobalah tanyakan sendiri padanya," jawab Suto Sinting dengan kikuk dan
sedikit tersipu.
"Yu, kau kekasihnya
Pendekar Mabuk, ya Yu?" Gadis itu gelengkan kepala.
"O, dia bisu?" ujar
si Bocah Kolok kepada Suto. "Hik,
hik, hik, hik...!" lalu tertawa menutup mulutnya. Gadis itu menjadi salah
tingkah dan buang pandangan ke arah lain.
"Eh Yu... kau cantik
sekali. Pasti hati Pendekar Mabuk berbunga-bunga jika berada di sampingmu,
Yu."
Gadis itu semakin malu dan
salah tingkah. Suto Sinting hanya tersenyum senyum dan sedikit renggangkan
jarak dengan gadis itu.
"Jangan membuatnya
tersipu malu, Bocah Kolok.
Nanti dia marah
kepadaku."
"Gadis cantik kalau
sampai marah kepada pemuda setampan dirimu, pasti dia menyimpan kecemburuan.
Dan kalau dia simpan kecemburuan, berarti dia punya cinta. Eh, ngomong-ngomong
cinta itu seperti apa rasanya, Pendekar Mabuk? Wiio belum pernah jatuh cinta
sampai setua ini. Kasihan, ya?"
Pendekar Mabuk justru tertawa
dan tak bisa memberi jawaban. Tapi tiba-tiba tawa itu harus lenyap setelah
tiba-tiba seberkas sinar kuning sebesar jari telunjuk melesat dan menghantam
bawah pundak kiri gadis itu. Claaap...! Deesss...!
"Aaahk...!" Gadis
itu terpekik dan tersentak mundur. Kejap kemudian ia tumbang dalam keadaan
tubuh berasap kuning berbau seperti asap belerang. Suto Sinting cepat tangkap
tubuh gadis itu hingga kepala si gadis tak sempat terbentur di tanah.
"Racun 'Kembang
Mayat'...!" seru si Bocah Kolok dengan nada terkejut juga.
Weeeess...! Ia tiba-tiba
lenyap dengan gerakan melompat, seakan menembus alam gaib. Sementara itu, Suto
Sinting yang menjadi tegang itu segera merebahkan tubuh gadis itu di
rerumputan, ia buru-buru menuangkan tuaknya ke mulut si gadis. Sebagian tuak
tertelan, tapi sebagian lagi tumpah ke sekitar mulut.
Weess...! Jleeeg...!
Bocah Kolok kembali lagi
dengan wajah menegang. "Percuma. Tidak ada obat bisa sembuhkan racun
'Kembang Mayat', dan tidak ada
yang tahu apa obatnya kecuali pemilik racun 'Kembang Mayat' itu, Suto!"
"Celaka! Apa yang akan
terjadi pada diri gadis ini, Bocah Kolok?!"
"Tubuhnya akan mengering
dan menjadi kaku. Wiio pernah lihat orang kena racun seperti itu. Tak sampai
malam tiba, tubuh gadis ini pasti akan menjadi kaku dan kering."
"Siapa pemilik racun
itu?"
"Tadi Wiio kejar, tapi
orang itu sudah pergi. Wiio tidak menemukan siapa-siapa, Suto!"
"Tapi kau tahu siapa
pemiliknya, bukan?!" "Pemiliknya... hmmm... sebentar, Wiio
ingat-ingat
dulu nama pemilik racun
itu...." Bocah Kolok kerutkan dahi dan berpikir dengan sungguh-sungguh.
Beberapa saat lamanya baru suara bocahnya terdengar lagi,
"Aduh, Wiio lupa nama
pemiliknya. Tapi Wiio tahu siapa orangnya. Kalau ketemu, Wiio bisa kasih tahu
dirimu wajah orangnya!"
"Celaka! Lalu apa yang
harus kulakukan untuk selamatkan gadis ini?!" ujar Suto Sinting setelah
perhatikan beberapa saat, ternyata tak ada tanda-tanda kesembuhan pada diri si
gadis, walaupun beberapa tuak sudah masuk ke dalam kerongkongannya. Gadis itu
tetap lemas tak sadarkan diri. Bagian dada bawah pundak kiri itu membekas
hangus sebesar uang kerokan.
"Apakah kau tak bisa
sembuhkan gadis ini dari racun 'Kembang Mayat' itu, Bocah Kolok?"
"Wiio belum pernah coba.
Tapi... tapi sebaiknya memang harus Wiio coba dulu, ya? Siapa tahu bisa?!"
*
* * 3
TUBUH gadis itu dibaringkan di
atas tanah yang dilapisi dedaunan, ia dibawa masuk ke gua semula atas saran
Bocah Kolok.
Agaknya si Bocah Kolok menaruh
iba kepada gadis itu. Maka ia pun mencoba kerahkan tenaga untuk memberi
pertolongan gadis tersebut. Suto Sinting tak bisa berbuat apa-apa dan merasa
kecewa karena tuak saktinya tak bisa dipakai untuk menawarkan racun 'Kembang
Mayat' itu. Ia hanya bisa pandangi si Bocah Kolok lakukan penyembuhan dengan
menyalurkan hawa murninya ke tubuh si gadis.
Asap mengepul berulang-ulang
dari telapak tangan si Bocah Kolok yang ditempelkan ke bagian yang hangus di
tubuh gadis itu. Asap putih itu lama-lama berubah menjadi kebiru-biruan. Bocah
Kolok gemetar dan keluarkan keringat di sekujur badannya.
Sesaat kemudian ia hembuskan
napas sambil melepas telapak tangannya dari luka. Ia pandangi Suto Sinting
sambil berdiri.
"Wiio sudah usahakan
tawarkan racun itu, tapi sepertinya tak banyak menolong. Racun itu masih kerja
keras mengeringkan tubuh gadis itu, Suto. Lihat saja, kulit gadis ini semakin
kering dan tampak berbusik- busik. Ih... Wiio jadi ngeri sendiri membayangkan
kekasihmu akan jadi kering seperti kayu bakar."
Pendekar Mabuk diam saja
dengan napas terhempas menandakan sangat prihatin atas nasib gadis yang belum
diketahui namanya itu. Wiio sendiri tampak tak yakin pengobatannya akan
berhasil. Tubuh gadis itu diperhatikan baik-baik, kemudian berkata lagi kepada
Suto Sinting.
"Sepertinya Wiio kenal
dengan gadis ini, Suto!" "Bukankah kau datang untuk membela gadis
ini?" "Bukan," jawab Bocah Kolok sambil gelengkan
kepala. "Wiio kebetulan
saja lewat tempat ini." "Tujuannya mau ke mana?"
"Mau... mau... aduh, mau
ke mana, ya?" Wiio bingung sendiri, ia berpikir beberapa saat, tapi belum
menemukan jawaban. Wajah tuanya menjadi serupa dengan bocah bingung yang tak
ingat alamat rumahnya.
Suto Sinting geleng-geleng
kepala pelan sambil membatin, "Rupanya dia sudah pikun. Tapi dia masih
bisa mengingat namaku dan ciri-ciriku? Apakah dia pikun untuk hal lain saja,
sedangkan untuk mengingat nama dan ciri-ciriku tak termasuk kepikunannya?
Hmmm... aneh sekali dia. Dari mana asalnya dan siapa dirinya sebenarnya, aku
sama sekali belum mengetahuinya."
"Aduh," keluh si
Bocah Kolok dengan jengkel. "Wiio jadi benar-benar lupa harus ke mana dan
mau apa lewat tempat ini? Hmmm... seingat Wiio, ada seseorang yang ingin Wiio
temui. Tapi siapa orang itu dan mengapa ingin menemuinya, Wiio benar-benar
lupa, Suto."
"Dari mana asalmu, apakah
kau juga lupa?" "Hmmm....
Wiio dari... dari...," kakek
tua itu diam
sebentar, merenungkan tempat
asalnya. Kejap kemudian ia berkata
sambil menatap Suto Sinting. "Pokoknya Wiio tinggal di Bukit Talang "
"Di mana arah Bukit Talang?"
"Hmmm... di... di. "
Bocah Kolok kerutkan dahinya.
"Di... di mana, ya? Aduh,
Wiio jadi benci sama otak Wiio sendiri ini! Wiio sering lupa. Mungkin karena
sering makan pantat ayam jadi mudah lupa begini."
Suto Sinting tertawa tanpa
suara. Tawa itu cepat reda dan berganti sikap iba memandangi si gadis cantik.
Ternyata nasib si gadis cantik dapat berubah menjadi kering jika tak tertolong
sampai malam tiba.
"Apakah kau tak punya
kekuatan lagi untuk menolong gadis itu, Bocah Kolok?"
Pak tua itu geleng-geleng
kepala sambil pandangi si gadis malang.
"Wiio lupa, apakah Wiio
punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah Wiio pakai sembuhkan gadis itu tadi,
atau masih ada ilmu simpanan lain yang... ah, Wiio benar- benar lupa, Pendekar
Mabuk."
"Tapi kau tidak lupa
dengan ciri dan namaku, bukan?"
"O, itu karena Wiio
selalu memikirkan dirimu." "Memikirkan diriku?" Suto Sinting
kernyitkan alis.
"Mengapa kau selalu
memikirkan diriku?"
"Karena Wiio ingin sekali
dapat jumpa dengan pendekar muda yang namanya jadi bahan bicaraan pada tokoh di
rimba persilatan."
"Untuk apa kau ingin jumpa
denganku? Sekadar ingin tahu atau ada keperluan lain?" "Nah, itu dia
yang Wiio tidak ingat lagi. Sepertinya Wiio punya keperluan sendiri padamu,
Suto. Tapi... tapi keperluan apa itu? Wiio juga lupa. Mungkin malah Wiio hanya
sekadar ingin ketemu pendekar kondang saja, setelah itu puaslah hati Wiio. Ah,
tak tahulah apa maksud Wiio ini sebenarnya."
"Payah...," gumam
Suto Sinting.
"Memang Wllo belakangan
ini jadi orang payah! Jarang punya uang, jarang makan, rumahnya jelek, payah
sekali pokoknya."
"Maksudku payah itu, kau
benar-benar menyedihkan kalau segala sesuatunya tidak bisa kau ingat!"
"O, begitu?" Wiio
manggut-manggut. Ia diam sejenak, kemudian sebelum Suto mengatakan sesuatu,
Bocah Kolok itu berkata dengan penuh semangat hingga mengejutkan Suto.
"Aaah... Wiio
ingat!" serunya seperti anak kecil bersorak. Tubuhnya ikut melonjak
kegirangan. Tangannya bertepuk satu kali dan wajahnya sangat ceria.
"Apa yang kau
ingat?"
"Wiio punya ilmu buat
perpanjang umur." "Perpanjang umur bagaimana?"
"Namanya ilmu 'Rentang
Nyawa'," sambil matanya memandang ke atas sebagai tanda mengingat-ingat
nama ilmu 'Rentang Nyawa' itu.
"Maksudmu, umur seseorang
bisa berubah menjadi panjang melampaui batas takdir hidupnya?" tanya Suto
semakin ingin tahu.
"Bukan, bukan...."
Bocah Kolok gelengkan kepala sambil gerakkan tangannya. "Maksud Wiio, ilmu
itu bisa untuk menunda kematian tiba. Tapi tak bisa lama. Hanya satu hari
saja."
"Apakah berguna untuk
gadis itu?" sambil Suto Sinting menuding si gadis malang.
"Hmmm... sepertinya...
sepertinya bisa berguna," jawab Wiio seperti anak kecil menyombongkan
diri.
"Kalau begitu, coba
lakukan untuk gadis itu."
"Tapi umur gadis itu
tidak bisa panjang sekali. Ilmu 'Rentang Nyawa' hanya bisa menahan roh
seseorang agar tak lekas-lekas tinggalkan jasadnya. Misalnya, gadis ini
sebenarnya nanti malam sudah mati, dengan menerima getaran hawa ilmu 'Rentang
Nyawa', maka roh gadis itu nanti malam belum pergi keluar dari raga. Roh itu
diam di raga karena ditahan getaran gelombang gaib. Esok malam, barulah roh
gadis itu akan pergi tinggalkan raganya."
"Hmmm... jika begitu kita
punya waktu lebih panjang lagi untuk mencari obat penawar racun 'Kembang Mayat'
itu, Wiio."
"Wiio pikir-pikir...
memang begitu keuntungannya. Tapi...," ujarnya sambil melirik seperti anak
kecil yang sedang melucu.
"Tapi apa lagi?"
Suto tampak tak sabar.
"Tapi percuma saja kita
tahan rohnya jika kita tidak tahu bagaimana cara menangkal racun 'Kembang
Mayat' itu. Kalau kita sudah punya obat penangkal racun, harus diambil di
tempat jauh, nah... untuk memperpanjang waktu bisa saja Wiio pakai ilmu
'Rentang Nyawa' itu. Tapi kalau. "
"Sudahlah jangan banyak
bicara dulu, gunakan saja ilmu 'Rentang Nyawa'mu itu. Nanti kita pikirkan
bagaimana cara mengatasi racun dalam tubuh si gadis malang itu, Wiio."
"Baiklah,
baiklah...!" Wiio manggut-manggut sambil mendekati gadis itu.
Kedua tangan Bocah Kolok mulai
berasap setelah bergerak maju dalam keadaan mengeras. Gerakan itu dilakukan
pelan-pelan sambil napasnya keluar dari mulut berkali-kali. Kemudian tangan
yang berasap samar- samar itu mendekati bagian perut si gadis. Ujung jari-
jarinya menyala kuning pijar.
Ketika tangan itu menempel di
perut si gadis, maka asap yang keluar dari tangan tersebut seperti tersedot
oleh tubuh si gadis. Kini bagian perut si gadis mulai tampak keluarkan cahaya
kuning pijar samar-samar. Lebih dari sepuluh helaan napas si Bocah Kolok
tempelkan tangan ke perut gadis itu.
Pendekar Mabuk perhatikan
betul cara pengobatan tersebut dengan hati sedikit berdebar-debar.
"Eeeh...!" si gadis
mulai mengeluh tipis. Jari-jari tangannya bergerak pelan lebih dulu, kemudian
kakinya mulai bergerak lemah. Dadanya yang sekal tampak naik turun pertanda ia
mulai siuman. Bagian luka hangus mengepulkan asap tipis, namun warna hitamnya
masih belum hilang.
Bocah Kolok segera bangkit dan
berkata kepada Suto, "Wiio hanya bisa menghambat kerja racun, tapi tidak
bisa memusnahkannya."
"Mengapa tidak kau
lakukan berkali-kali, siapa tahu racun itu bisa punah oleh kekuatan ilmu
'Rentang Nyawa'-mu itu?"
Bocah Kolok gelengkan kepala.
"Wiio takut, ah!" Lalu ia jauhi gadis yang mulai menggeliat dan
membuka matanya.
"Nyawanya masih akan ada
sampai besok sore. Malamnya ia pasti sudah tidak bernyawa lagi," ujar
Wiio, dan keterangan itu hanya membuat Pendekar Mabuk menarik napas
panjang-panjang, merasa sangat sedih membayangkan nasib si gadis malang itu.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
teringat sebuah genangan air menyerupai kolam yang berwarna hijau bening dalam
istana jerami milik Ratu Cumbutari. Kolam itu sebenarnya sebuah sendang alam
yang dirawat dan dijadikan sebuah kolam oleh Ratu Cumbutari. Kolam itulah yang
dinamakan Sendang Ketuban, yang mampu mengalahkan racun apa pun yang tak bisa
dikalahkan oleh obat lain. Sendang Ketuban terletak di negeri Wilwatikta dan
negeri itu berada di Gunung Purwa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa").
Maka membatinlah hati Suto
pada saat diam merenung di depan Wiio,
"Haruskah aku lari ke
Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang Ketuban? Sepenting itukah aku
menyempatkan diri pergi ke sana hanya demi selamatkan gadis yang belum kukenal
ini?" Hal itu dibicarakan kepada si Bocah Kolok. Lalu orang tua yang
bertingkah seperti anak kecil itu pun keluarkan pendapatnya,
"Kalau kau bisa pergi dan
pulang membawa air Sendang Ketuban tak lebih dari esok malam. Maka usahamu itu
tidak akan sia-sia, Suto. Tapi kalau kau datang lewat dari esok malam, maka
percuma saja kau pergi ke Gunung Purwa."
"Kurasa, aku bisa
mempercepat langkahku dan tiba di sini pada esok siang."
"Kalau memang bisa
begitu, alangkah baiknya kau pergi sekarang juga ke Sendang Ketuban itu. Wiio
akan jaga gadis ini, sambil Wiio ingat-ingat siapa gadis ini sebenarnya."
"Bagaimana jika kita
tanyakan kepadanya siapa dia sebenarnya?"
"Wiio rasa, gadis itu
belum bisa bicara, tenaganya masih lemah sekali, dan mungkin tenggorokannya
masih kering, belum bisa dipakai untuk bicara."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut, kemudian si Bocah Kolok berkata lagi,
"Wiio sarankan kalau mau
berangkat ke Gunung Purwa, sebaiknya berangkatlah mulai sekarang biar waktumu
tidak banyak terbuang."
"Baiklah, aku berangkat
sekarang dan jaga dia baik- baik!"
"Hati-hatilah, Pendekar
Mabuk!" si Bocah Kolok melepas kepergian Pendekar Mabuk sampai di luar
gua. Lalu, murid sinting si Gila Tuak itu pun melesat ke arah negeri Wilwatikta
dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mempunyai kecepatan melebihi
badai itu.
Zlaaap...! Zlaaap...!
Zlaaap...! Setiap niat baik selalu saja akan menemui cobaan sebagai perwujudan
dari kesungguhan niat itu. Demikian halnya dengan si Pendekar Mabuk, langkahnya
terhenti karena sebuah rintangan menghalanginya. Rintangan itu adalah
kemunculan cahaya biru berlarik-larik yang menyebar dan mengarah kepadanya.
Pendekar Mabuk tak tahu datangnya cahaya biru itu dari arah samping
belakangnya. Zraaab...!
Sinar biru berlarik-larik itu
akhirnya menghantam Suto Sinting yang membuat si Pendekar Mabuk itu terpental
ke arah lain. Weess...! Burrkk . !
"Aahk...!" Suto
Sinting terpekik, kemudian berusaha bangkit, tapi segera menyadari bahwa
dirinya telah terjerat kekuatan dari sinar biru yang kini mengurungnya dan
makin lama sinar-sinar biru itu bergerak semakin rapat dengan tubuh Suto
Sinting. "Celaka! Tubuhku bagai ada yang menjeratnya dengan tambang yang
sangat kuat. Ouuuh...! Pernapasanku sesak sekali!" Pendekar Mabuk
menggeram sambil berusaha lepaskan diri dari jeratan gaib tersebut.
"Uuuh...! Sulit sekali
menggerakkan tanganku untuk menenggak tuak?! Kurang ajar betul orang yang
menyerangku ini! Hmmm... sepertinya sinar-sinar biru yang menjeratku ini pernah
kulihat saat si Kusir Hantu dan Pematang Hati mengalami nasib seperti ini!
Kalau tak salah sinar-sinar biru ini kiriman dari si Hulubalang Iblis!"
sambil ingatan Suto sempat mengenang peristiwa beberapa waktu yang lalu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Cendana Sutera").
Beberapa saat kemudian
muncullah seraut wajah tua berbaju biru dan celana hitam. Tokoh itu berambut
pendek dan tipis warna merah seperti rambut jagung. Di pinggangnya terselip
cambuk pusaka yang panjangnya hanya sekitar empat jengkal. Tokoh kurus berambut
merah jagung itu tak lain adalah si Kusir Hantu, tokoh ternama dari Bukit
Seram.
"Kusir Hantu... aku
terkena "
Kusir Hantu segera menyahut,
"Jurus 'Jalasuma' itu namanya. Kau masih ingat jurus tersebut, Suto?!
Hmmm... pasti di sekitar sini ada si Hulubalang Iblis. Akan kucari pentolan
setan itu! Pepatah mengatakan: 'Kuda lari jangan dikejar, nasib orang... tidak
sama seperti nasib kuda'. Memang keparat busuk si Hulubalang Iblis itu!"
"Kusir Hantu, tunggu
sebentar. "
Weess...! Kusir Hantu pun
mampu lakukan gerakan cepat yang mirip orang menghilang, sehingga sebelum Suto
Sinting selesai bicara ia sudah menghilang lebih dulu dari hadapan sang
Pendekar Mabuk.
Suto Sinting hanya mengeluh
dan menggeram jengkel dalam hati sambil berusaha menahan kekuatan jerat dari
sinar-sinar biru tersebut. Sebab menurut keterangan dari si Kusir Hantu yang
pernah didengarnya, bahwa sinar biru yang datang dari jurus 'Jalasuma'-nya si
Hulubalang Iblis itu dapat memotong tubuh manusia yang dijeratnya jika sampai
beberapa saat orang tersebut tak bisa lepaskan diri dari jeratan itu. Pendekar
Mabuk pun menjadi mulai tegang ketika si Kusir Hantu tidak muncul-muncul sampai
beberapa saat lamanya.
*
* *
4
KETIKA si Kusir Hantu dan
cucunya terjerat jurus 'Jalasuma', Pendekar Mabuk yang menolong dengan
menghancurkan sinar-sinar biru tersebut. Kini, keadaan Pendekar Mabuk yang tak
berkutik itu ganti ditolong oleh si Kusir Hantu dengan cara menghancurkan
sinar- sinar biru tersebut. Kusir Hantu muncul kembali setelah beberapa saat
kerepotan mencari si pemilik jurus 'Jalasuma' itu.
Seberkas sinar merah kecil
dilepaskan oleh si Kusir Hantu dari ujung telunjuknya. Claaap...! Sinar merah
kecil itu menghantam kumpulan sinar-sinar biru dan menimbulkan ledakan yang
cukup keras.
Blaarrr...!
Pendekar Mabuk terjungkal ke
belakang akibat ledakan tersebut. Badannya terasa bagai dibungkus api. Ia
buru-buru menenggak tuaknya, maka rasa terbungkus api pun segera lenyap. Kini
ia berdiri pandangi si Kusir Hantu yang sedang tersenyum cengar-cengir
memperhatikannya. "Satu sama!" celetuk si Kusir Hantu. "Dulu
ketika aku terjerat 'Jalasuma' kau menolongku dengan meledakkan sinar itu dan
aku terlempar bersama cucuku. Sekarang kau pun kutolong dan ikut-ikutan
terlempar seperti aku dulu. He, he, he...! Pepatah mengatakan: 'Lain lubuk lain
belalang', artinya lain cara menolong lain pula belalangnya, he, he, he,
he...!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kelegaan sambil sama-sama maju saling menghampiri. Setelah mencapai
jarak satu langkah Kusir Hantu menepuk- nepuk pundak Suto Sinting dengan sikap
ramahnya.
"Sudah dua purnama kita
tak jumpa, ternyata kau makin hari makin gagah saja, Nak!"
"Kau pun makin tua makin
gagah, Pak Tua." Keduanya tertawa pelan, lalu wajah mereka saling berkerut
setelah Pendekar Mabuk ajukan tanya, "Apakah orang yang menyerangku dengan
jurus 'Jalasuma' tadi berhasil kau tangkap, Pak Tua?"
"Ya, itulah yang
membuatku bingung. Aku tak menemukan si Hulubalang Iblis. Padahal setahuku
jurus itu milik si Hulubalang Iblis. Tapi yang kutemukan adalah aroma wangi
seorang perempuan."
"Perempuannya sendiri
ada?" Kusir Hantu gelengkan kepala. Tokoh tua berusia sekitar enam puluh
tahun itu segera berkata dengan gayanya yang senang menggunakan pepatah walau
maksudnya tak pernah jelas.
"Perempuan yang beraroma
wangi itu tidak kutemukan. Tapi aku mulai bisa mengenali aroma wangi itu, jika
suatu saat kujumpa dengan perempuan tersebut. Pepatah mengatakan: 'Jika ada
sumur di ladang, boleh saya menumpang mandi. '"
"Maksud pepatah itu
bagaimana, Pak Tua?"
"Jika ada umurku panjang,
boleh kita mandi bersama. He, he, he...! Maksudku, bersama dengan perempuan
yang beraroma wangi itu. He, he, he. !"
Dalam hatinya Suto Sinting
hanya membatin, "Tokoh tua yang satu ini memang gemar bercanda. Seakan
dirinya merasa selain muda. Menyenangkan sekali jumpa dengannya, hanya sayang
aku menjadi penasaran dan ingin mengetahui perempuan mana yang berani
menyerangku dengan jurus 'Jalasuma' tadi? Apakah ia ada hubungannya dengan si
Hulubalang Iblis?"
Kusir Hantu yang bernama asli
Ki Pujasera itu segera ajukan tanya sambil garuk-garuk pantatnya, "Nak,
apakah kau melihat cucuku di lain tempat?"
"Maksudmu si Pematang
Hati?"
"Benar. Aku mencarinya,
juga mencari adiknya yang bernama Mahligai Sukma."
"O, aku tidak jumpa
dengan cucumu, Pak Tua," jawab Suto Sinting. "Apakah ada sesuatu yang
penting sehingga kau mencari mereka?"
"Sangat penting, dan
menurut dugaanku dia sedang mencarimu."
"Mencariku?" Suto
Sinting berkerut dahi. "Mengapa ia mencariku?"
"Mungkin rindu,"
jawab si Kusir Hantu. "Mungkin juga karena ia ingin meminta bantuan
padamu. Yang jelas, terakhir kali kubertemu dengan seorang kenalannya yang
mengatakan bahwa Pematang Hati pergi mencari Pendekar Mabuk. Kusangka ia sudah
kau bawa ke kediaman gurumu, Nak."
"Untuk apa aku membawa
cucumu ke sana?" "Barangkali kalian mau menikah di depan si Gila
Tuak?"
Pendekar Mabuk tertawa pelan
tapi agak panjang. "Nak, Pematang Hati itu gadis yang baik dan masih
perawan ting-ting. Jangan
anggap remeh cucuku itu, Nak!"
"Aku tidak memandang
remeh cucumu, Pak Tua. Aku hanya
menertawakan dugaanmu. Mengapa sampai sejauh itu kau menduga perasaan hati
kami? Belum tentu cucumu sendiri mempunyai niat seperti yang terbayang dalam
otakmu, Pak Tua."
"Kalau Pematang Hati
tidak mempunyai niat seperti dugaanku, berarti aku baru tahu bahwa cucuku itu
gadis yang berotak bebal, bodoh dan kolot! Pepatah mengatakan: 'Ringan sama
dijinjing, berat sama dipukul. '"
"Dipikul!" Suto
membetulkan ucapan tersebut. "Iya, dipikul. Artinya "
Belum sempat Kusir Hantu
lanjutkan arti peribahasa yang dilontarkannya itu, tiba-tiba mereka sama-sama
dikejutkan oleh kemunculan dua orang berpakaian serba hitam. Satu orang
berambut ikal pendek dan mengenakan ikat kepala hijau, sedangkan yang satu
berambut panjang sepundak agak kurus dan mengenakan ikat kepala kuning.
Kemunculan mereka bagaikan jatuh dari langit, karena mereka lakukan lompatan
melintas bagian atas semak-semak untuk tiba di tempat itu. Jleg, jleg. !
Kusir Hantu cepat menyapa
kedua orang yang segera menampakkan sikap tak bersahabat itu.
"Darah Gunung dan Lintah
Saberang! Selamat jumpa lagi, Adik-adikku yang ganteng? Apa kabar kalian,
Dik?!"
"Ggrrmmmhh !" Orang
yang berikat kepala hijau itu
menggeram menampakkan
permusuhannya. Pendekar Mabuk sempatkan diri berbisik kepada si Kusir Hantu,
"Siapa mereka, Pak
Tua?"
"Yang pakai ikat kepala
hijau bernama Darah Gunung, dan yang pakai ikat kepala kuning berbadan kurus
serta bermuka lonjong itu adalah si Lintah Saberang. Mereka anak buah
Hulubalang Iblis."
"Kalau begitu, pasti
mereka bermaksud tak baik pada kita, Pak Tua,"
"Gelagatnya memang
begitu, tapi... tenang saja kau. Tenang saja. Biar kuhadapi sendiri kedua
orangnya si Hulubalang Iblis itu!" ujar Kusir Hantu sambil tepuk- tepuk
lengan Suto Sinting. Bahkan ia tambahkan kata lagi dalam bisikan,
"Mundurlah sedikit, biar
gerakanku tak terhalang keadaanmu."
Suto Sinting angkat bahu dan
lebarkan tangan pertanda pasrah kepada si Kusir Hantu, lalu ia pun melangkah
mundur hingga sampai di bawah pohon. Ia berdiri dengan bumbung tuak menggantung
di pundak, kedua tangan bertolak pinggang sebelah kiri, dan tangan kanannya
dipakai menopang ke batang pohon tersebut. Matanya memperhatikan kedua orangnya
Hulubalang Iblis yang tampak sangar-sangar itu.
"Apa maksudmu datang
menemuiku di sini, Darah Gunung dan Lintah Saberang?" tanya si Kusir Hantu
dengan sikap tenang, bahkan gerak-geriknya tampak acuh tak acuh, seakan sangat
tidak peduli dengan kedua orang di depannya itu. Sikap seperti itu rupanya
membuat si Lintah Saberang menjadi geram dan menahan kedongkolan dalam hatinya.
Tulang rahangnya yang sedikit menonjol itu tampak sedang menggeletukkan gigi di
dalam mulut dengan pancaran matanya terasa dingin membekukan darah orang yang
dipandangnya.
"Kusir Hantu, bersujudlah
di depanku sebelum masa hidupmu berakhir bersama cucu-cucumu!" ujar Darah
Gunung dengan suaranya yang lantang. Tapi si Kusir Hantu hanya terkekeh memandang
remeh terhadap ucapan tadi.
"He, he, he, he.... Aku
sudah lupa bagaimana cara bersujud. Jika kau mau, tolong berikan contoh
bagaimana cara bersujud itu, Darah Gunung!"
"Bangsat!" sentak
Darah Gunung kemudian tangannya berkelebat melepaskan pukulan jarak jauh dari
tempatnya berdiri. Wuuut, weess...!
Buhhk...! Pukulan itu mengenai
dada si Kusir Hantu dengan telak. Tubuh si Kusir Hantu sampai terjengkang ke
belakang dan jatuh terkapar, kepalanya membentur sebatang pohon kering yang
telah tumbang beberapa waktu yang lalu. Duuuhk...!
Suto Sinting sempat
menampakkan kecemasannya dengan buru-buru dekati si Kusir Hantu dan ingin
menolongnya. Tapi Pak Tua itu lebih cepat bangkit sebelum Suto mengulurkan
tangannya.
"Pak Tua, bagaimana
keadaanmu?"
"Tenang saja! Pepatah
mengatakan: 'Sekali merengkuh dayung dua tiga hari capeknya tidak hilang-
hilang'. Kau tetap tenang saja di tempatmu. Mereka akan kuselesaikan secara
jantan."
Pendekar Mabuk akhirnya mundur
dan kembali ke tempatnya semula, membiarkan si Kusir Hantu maju beberapa
langkah dekati kedua lawannya. Wajah tua itu masih tampak cengar-cengir
menjengkelkan lawan.
"Pukulan seperti itu kau
lepaskan untuk diriku, Darah Gunung. Bukankah itu pukulan untuk membunuh nyamuk
rawa-rawa?!" ujar si Kusir Hantu dengan nada mengejek. Darah Gunung
semakin dongkol, maka ia pun berseru dengan maju satu langkah lagi.
"Kau ingin yang bisa
memecahkan kepalamu?
Terimalah ini,
heeaah...!"
Weeess...! Tubuh si Darah
Gunung tiba-tiba melayang dalam gerakan seperti singa menerkam, lalu berubah
dalam gerakan salto. Ketika tubuhnya berbalik itulah kedua kaki si Darah Gunung
menendang kepala Kusir Hantu secara beruntun. Duhk, duhk, duhk...!
Tendangan terakhir terasa
lebih kuat, bagaikan ingin memecahkan tulang tengkorak si Kusir Hantu. Tak
heran jika si Kusir Hantu terlempar ke belakang lagi dan jatuh terpelanting
dengan dahi membentur ujung kayu kering. Krraakkk...!
"Ha, ha, ha, ha...!"
Lintah Saberang tertawa kegirangan melihat Kusir Hantu terpental begitu rupa.
Suto Sinting geregetan melihat Kusir Hantu tidak ada perlawanan sedikit pun.
Tangan si Pendekar Mabuk itu sudah menggenggam kuat, ingin lakukan serangan
mendadak ke arah Darah Gunung. Tetapi niat itu terpaksa dibatalkan.
Pendekar Mabuk justru terkejut
dan memandang heran kepada Darah Gunung yang tiba-tiba terlempar sendiri dari
sikap berdirinya. Wuuut...! Bruuuk...! Brrrurs...! Buhhk, buhk, bruuusss...!
"Aaauh, oouh, aaaah,
uaaah...!"
Lintah Saberang terbelalak dan
terheran-heran melihat rekannya jungkir balik, jatuh-bangun dan
tersungkur-sungkur sendiri tanpa ada yang menyerang.
"Kenapa dia seperti orang
kena penyakit ayan begitu?!" pikir si Lintah Saberang. "Padahal si
Kusir Hantu sedang bergegas bangun, belum lakukan serangan apa-apa, tapi
mengapa Darah Gunung seperti ada yang menyerangnya tanpa kelihatan wujud
penyerangnya?!"
"Ouuuuhhh...!"
Darah Gunung mengerang panjang
sambil wajahnya mencium tanah, ia bangkit pelan-pelan setelah mendengar seruan
Lintah Saberang.
"Darah Gunung, kenapa
kau?! Siapa yang menyerangmu?!"
Darah Gunung mencoba untuk
bangun dengan sempoyongan. Wajahnya yang memandangi si Kusir Hantu itu tampak
memar. Banyak luka yang membiru di sekitar wajah. Bahkan tiba-tiba ia tersentak
dan memuntahkan darah segar dari mulutnya, ia memegangi dadanya yang terasa
sakit bagai habis dihantam pukulan bertenaga dalam cukup besar.
Kusir Hantu hanya
cengar-cengir, bagai tak pernah menerima serangan apa pun dari lawannya. Bahkan
dahinya yang membentur ujung pohon kering itu tidak mengalami luka sedikit pun.
Tetapi dahi Darah Gunung
justru berdarah. Lukanya seperti luka bekas benturan. Kepala bagian belakang
juga tampak berdarah, seperti bekas benturan benda keras. Melihat keadaan itu,
Pendekar Mabuk pun segera manggut-manggut dengan senyum tipis dan hati
membatin,
"Ooo, ya, ya, ya... aku
ingat sekarang. Kusir Hantu mempunyai ilmu 'Timbal Rasa' yang membuat lawannya
babak belur sendiri jika menyerangnya. Pantas Kusir Hantu dari tadi diam saja,
tidak menangkis, tidak menghindar dan tidak menyerang. Rupanya ia mengandalkan
ilmu 'Timbal Rasa'-nya yang membuat Darah Gunung menderita sakit di bagian
dada, karena ia tadi menghantam dada Kusir Hantu. Dahinya dan kepalanya yang
luka itu pasti terjadi akibat ia tadi menendang kepala Kusir Hantu hingga Kusir
Hantu membentur kayu kering itu. Wah, bisa-bisa semakin parah serangan Darah
Gunung yang kenai tubuh Kusir Hantu, semakin parah pula luka yang diderita si
Darah Gunung sendiri."
Rupanya kedua orang utusan
Hulubalang Iblis itu belum dibekali pengetahuan tentang ilmu 'Timbal Rasa' yang
menjadi salah satu kesaktian si Kusir Hantu, sehingga mereka perlakukan si
Kusir Hantu seenaknya saja, tanpa memikirkan akibat buruk bagi diri mereka
sendiri. Bahkan kali ini Lintah Saberang yang merasa hatinya menjadi makin
panas, ganti menyerang Kusir Hantu dengan mencabut goloknya dan berseru,
"Bangsat tengik kau, Tua
Bangka! Kubedah perutmu sekarang juga!"
"Hei, Tua Bangka itu
kakakku. Namaku si Kusir Hantu, jangan salah sebut, Kawan! He, he, he,
he...!"
"Heeeaaaah...!"
Lintah Saberang lebih ganas
lagi. Ia lakukan lompatan bersalto dengan cepat, tahu-tahu tubuhnya yang turun
dari atas itu sudah berada di depan si Kusir Hantu. Goloknya segera berkelebat
tepat ketika kakinya menyentuh tanah. Wuuut, craaass...!
Menghadapi sabetan golok dari
atas ke bawah, si Kusir Hantu hanya diam saja dan cengar-cengir. Tak heran jika
golok itu kenai sasaran; merobek dada hingga perut si Kusir Hantu.
Tetapi tubuh Lintah Saberang
sendiri yang terpental mundur dan suaranya memekik dengan keras.
"Aaaaakh...!"
Ia terhuyung-huyung dalam
gerakan mundur dan mata mendelik. Dadanya sendiri yang robek sampai sebatas
bawah pusar. Keadaannya sungguh mengerikan. Darah menyembur dari luka robekan
itu dan isi perutnya pun mulai berhamburan begitu ia tumbang dalam keadaan
telentang.
Darah Gunung mendelik melihat
si Lintah Saberang terkapar dalam keadaan sekarat, ia segera dekati si Lintah
Saberang bersama wajah memarnya yang kian menegang. Tapi sebelum Darah Gunung
mendekat, ternyata Lintah Saberang telah hembuskan napas terakhir dan tubuhnya
pun melemas, diam tak berkutik selamanya.
"Bangsat terkutuk kau,
Setan Tua!" geram si Darah Gunung sambil pandangi Kusir Hantu penuh dendam
membara.
"Pulanglah dan kusarankan
tak perlu menyusul temanmu itu, Darah Gunung. Biarkan dia jalan-jalan ke neraka
sendiri, kau tak perlu merasa iri!" ujar si Kusir Hantu. "Pepatah
mengatakan: 'Sambil menyelam minum tuak'. Artinya "
Belum habis Kusir Hantu
bicara, Darah Gunung telah lepaskan pukulan jurus andalannya. Seberkas sinar
merah melesat dari telapak tangannya dalam gerakan seperti kilat menyambar.
Clap, clap, clap. ! Sinar merah
itu menghantam leher Kusir
Hantu.
Zeerrb. !
Blaaarr. !
Ledakan cukup keras terdengar
menggema dan menggetarkan beberapa dedaunan. Pendekar Mabuk sempat tersentak
kaget melihat Kusir Hantu dihantam sinar itu dan mendengar ledakannya.
Tetapi wajah kaget Pendekar
Mabuk berubah bengong melompong dan geleng-geleng kepala setelah melihat
keadaan yang sebenarnya. Bukan kepala si Kusir Hantu yang pecah, melainkan
kepala si Darah Gunung sendiri yang pecah bagai habis dihantam sinar
berkekuatan tenaga dalam cukup dahsyat. Sedangkan si Kusir Hantu hanya
cengar-cengir pandangi tubuh Darah Gunung yang melayang-layang limbung tanpa
kepala, kemudian tumbang ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Pecahan kepalanya
menyebar ke berbagai arah dan sukar dikenali.
"Ada orang tua bicara
belum selesai kok sudah diputus. Akibatnya ya kesamber geledek begitu. He, he,
he...!"
Weeesss...! Tiba-tiba
sekelebat bayangan muncul dan tahu-tahu sudah berada di depan Kusir Hantu.
Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut dan Kusir Hantu hanya
cengar-cengir bagai tak terkejut melihat kehadiran tokoh tersebut.
*
* *
5
TOKOH yang baru datang itu
masih tampak muda. Ia seorang gadis berusia sekitar dua puluh satu tahun,
berwajah cantik imut-imut, mengenakan baju hijau muda, rambut dikonde dua dan
berkulit kuning langsat. Pendekar Mabuk pernah jumpa dengan gadis itu,
sedangkan Kusir Hantu sudah tak merasa asing lagi dengan gadis bermata bundar
bening itu. Ia adalah cucu dari si Tua Bangka yang bernama Cawan Pamujan.
"Cawan Pamujan, rupanya
ada sesuatu yang penting sehingga kau menemuiku di sini, Anak Manis?" sapa
Kusir Hantu.
"Betul, Eyang. Aku
disuruh menemui Eyang Kusir Hantu," jawab gadis itu dengan nada manja.
Wajah cantiknya kala itu sedang murung, dan kemurungan tersebut menjadi pusat
perhatian Suto Sinting.
"Siapa yang menyuruhmu
menemuiku, Cawan Pamujan?"
"Siapa lagi kalau bukan
saudaraku sendiri, alias cucumu juga, Eyang."
"Pematang Hati
maksudmu?"
"Betul. Dia... dia
sekarang dalam bahaya, Eyang!" sambil Cawan Pamujan mendekati Kusir Hantu
yang merupakan adik dari kakeknya itu.
"Bahaya apa yang kau
maksud, Cawan Pamujan?!" tanya Suto Sinting. Gadis itu semakin menampakkan
kegelisahannya, memandang Kusir Hantu dan Pendekar Mabuk berganti-gantian.
"Pematang Hati tertangkap
oleh orang-orang Tebing Hitam. Waktu itu, aku dan Pematang Hati sedang menuju
ke Lembah Tirta untuk temui sahabat si Pematang Hati. Tetapi di perjalanan kami
disergap oleh orang-orang Tebing Hitam. Aku bisa meloloskan diri, tapi Pematang
Hati tertangkap dan dibawa ke Tebing Hitam, Eyang! Pasti dia disiksa oleh
orang-orang Tebing Hitam, setidaknya diperkosa oleh para begundal Tebing Hitam,
Eyang! Oh, berbuatlah sesuatu untuk Pematang Hati, Eyang Kusir Hantu! Pergilah
ke sana dan bebaskan Pematang Hati!"
Cawan Pamujan mendesak dengan
kecemasan dan kemanjaan sikapnya. Tapi Kusir Hantu hanya diam saja, kedua
tangannya bersedekap di depan dada. Sesekali ia tampak manggut-manggut dengan
pandangan mata menatap tajam kepada Cawan Pamujan.
'Mengapa si Kusir Hantu tak
merasa tegang atau cemas?" pikir Pendekar Mabuk. "Mengapa ia tetap
tenang-tenang saja? Apakah telinganya sudah budeg, hingga tak mendengar cucunya
dalam bahaya?! Aneh juga orang satu ini!"
Gadis berwajah imut-imut itu
semakin merajuk dalam kemanjaannya. Ia menarik-narik baju birunya Kusir Hantu
yang tanpa lengan itu.
"Cepat pergi ke sana,
Eyang! Lakukan sesuatu agar Pematang Hati bebas dari tawanan Tebing Hitam!
Lakukan, Eyang! Jangan diam saja begitu!"
Tiba-tiba tangan Kusir Hantu
berkelebat menyodok dada Cawan Pamujan dengan telapak tangannya. Wuuut,
beehk...!
"Uuhk...!" Cawan
Pamujan terpental enam langkah dari tempatnya, ia terhempas kuat hingga
membentur pohon. Brruuk...! Lalu jatuh tersentak ke depan dan hampir saja
wajahnya beradu dengan tonjolan akar pohon yang keras itu.
"Pak Tua, mengapa kau
lakukan?! Bukankah dia cucu dari kakakmu sendiri?!" sergah Pendekar Mabuk
dengan rasa kurang setuju melihat sikap kasar Kusir Hantu.
Pak Tua itu hanya
cengar-cengir tanpa suara. Matanya memandangi Cawan Pamujan beberapa saat,
kemudian ia melangkah dengan kalem, seakan merasa tidak berbuat kesalahan apa
pun. Pendekar Mabuk buru- buru mendampinginya dengan maksud mencegah tindakan
Kusir Hantu yang dapat menyerang Cawan Pamujan lagi sewaktu-waktu.
Gadis itu telah berdiri dengan
wajah dicekam rasa takut dan kesedihan. Dari sudut mulutnya keluar darah kental
akibat pukulan di dadanya tadi. Darah kental itu hanya meleleh mendekati dagu
dan tak dihapusnya.
"Mengapa Eyang sejahat
itu padaku?! Apa salahku, Eyang?!. Aku hanya mengabarkan bahaya yang dihadapi
Pematang Hati...!" sambil si gadis mundur pelan-pelan karena Kusir Hantu
maju terus mendekatinya.
Tiba-tiba kaki Kusir Hantu
berkelebat menendang wajah si gadis yang imut-imut itu. Wuuut, deesss...!
"Aauh...!" pekik
Cawan Pamujan sambil tubuhnya terlempar ke samping dan jatuh berguling-guling.
Kusir Hantu melangkah dengan tenang dekati gadis itu dan ingin melepaskan
tendangan lagi.
"Eyang, apa salahku
sampai kau tega menghajarku, Eyang?!" ratap gadis itu sambil menangis.
Tepat ketika gadis itu
bangkit, tangan si Kusir Hantu segera menghajar ke wajah cantik itu. Beeet...!
Tapi pukulannya tertahan sebuah telapak tangan yang langsung mencekal genggaman
si Kusir Hantu.
Teeeb...!
Pendekar Mabuk menahan pukulan
itu dengan meremas genggaman Kusir Hantu. Pemuda tampan itu pun berkata
setengah menghardik,
"Pak Tua, jangan lakukan
lagi!"
"Minggir kau!" Kusir
Hantu balas menghardik. "Tidak, Pak Tua. Kau tak boleh menghajarnya tanpa
alasan yang kuat!"
Tangan yang digenggam Suto itu
berputar cepat dan dalam sekejap pergelangan tangan Suto sudah ganti dicekal
oleh Kusir Hantu. Dengan gerakan cepat pula, kaki Kusir Hantu menyodok perut
Suto, lalu menyentakkannya ke atas. Weess...!
Pendekar Mabuk melambung di
udara melintas atas kepala Kusir Hantu. Tubuh si pendekar gagah itu terlempar
ke belakang Kusir Hantu dan jatuh tanpa bisa lagi menjaga keseimbangan
tubuhnya.
Brruuuusk...!
Kusir Hantu cepat-cepat
melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Cawan Pamujan dengan
kibasan tangan kiri bagai melakukan
tamparan. Wuuut...! Buuhk...!
"Aaah...!" Cawan
Pamujan terpekik lagi dan jatuh terpelanting ke kiri.
Ketika Kusir Hantu ingin
lepaskan pukulan yang diperkirakan dapat membahayakan jiwa gadis cantik itu,
Suto Sinting cepat-cepat melepaskan jurus 'Jari Guntur'- nya dari arah belakang
Kusir Hantu. Sebuah sentilan yang mempunyai kekuatan bagai tendangan seekor
kuda jantan telah dilakukan Suto dan kenai punggung si Kusir Hantu. Teesss...!
Bhuuhhk...!
"Heegh...! Kusir Hantu
tersentak ke depan, lalu jatuh terguling-guling di tanah. Ia cepat-cepat
bangkit, namun menyeringai kesakitan sambil memegangi pinggang beiakang.
"Uuhk... kurang ajar kau,
Nak!" geram si Kusir Hantu.
"Maaf, Pak Tua. Terpaksa
kulakukan karena tindakanmu keterlaluan! Tak sepantasnya gadis itu mendapat
hajaran seberat itu, Pak Tua. Dan lagi, kau belum jelaskan apa kesalahannya,
sampai-sampai Cawan Pamujan sendiri tak tahu apa sebabnya kau perlakukan dia
seperti itu!"
Kusir Hantu tidak hiraukan
kata-kata Suto Sinting, ia segera lakukan lompatan menerjang Cawan Pamujan yang
ingin berlari dan berlindung di belakang Suto Sinting. Gerakan menerjang itu
membuat Suto Sinting pun cepat-cepat lakukan pencegahan, ia melompat lebih
cepat lagi untuk gagalkan terjangan si Kusir Hantu. Namun di luar dugaan, si
Kusir Hantu ternyata telah mencabut senjatanya berupa cambuk pendek yang sejak
tadi terselip di pinggang kanan. Cambuk itu dilecutkan pada saat ia berada di
udara dan arah lecutannya ke tubuh Cawan Pamujan.
Ctaaarrr...!
Cambuk yang panjangnya empat
jengkal itu dapat terulur lebih panjang tiga kali lipat dari aslinya.
Sabetannya yang dilakukan dengan tenaga ringan telah hasilkan lecutan kecil
namun memekakkan telinga.
Akibatnya, Pendekar Mabuk
buru-buru pejamkan mata karena menahan rasa sakit di telinganya, yang membuat
kekuatannya berkurang, sehingga ketika bertabrakan dengan tubuh Kusir Hantu, ia
terpental sendiri dan jatuh berguling-guling. Kusir Hantu mampu mendarat dengan
kaki tegak, cambuknya yang menjadi panjang itu segera dikibaskan kembali ke
arah Cawan Pamujan yang terpelanting jatuh akibat gelombang letupan cambuk yang
pertama tadi.
Ctaaarrr...!
Kali ini ujung cambuk itu
memercikkan warna merah api. Cahaya merah api itu menyambar tangan gadis itu.
Serta-merta gadis itu rentangkan telapak tangan dan hentakkan napas. Dari
telapak tangan itu keluar sinar biru muda yang segera menghantam cahaya merah
api tersebut. Claaap. !
Blegaaarrr. !
Dentuman hebat terjadi
seketika itu juga. Kusir Hantu terpental, Pendekar Mabuk terlempar dan si Cawan
Pamujan sendiri juga ikut terhempas ke semak-semak akibat ledakan dahsyat tadi.
Sementara itu beberapa pohon menjadi bergetar, dahan-dahan patah dan daun pun
berguguran. Tanah terasa berguncang serta bebatuan saling bergetar, bahkan ada
yang rompal sebagian.
"Gila! Tak kusangka si
Cawan Pamujan mempunyai kekuatan tenaga dalam yang layak diadu dengan cambuk
saktinya si Kusir Hantu," pikir Suto sambil bergegas untuk bangkit
berdiri.
Kata hatinya lagi, "Kalau
Cawan Pamujan sudah berani lakukan begitu, berarti pertarungan mereka tak
mungkin bisa dihindari lagi. Pasti Cawan Pamujan juga akan unjuk gigi di depan
adik dari kakeknya itu. Bahaya! Cawan Pamujan bisa celaka, bahkan jika si Tua
Bangka tahu, maka Kusir Hantu akan bertarung dengan si Tua Bangka! Aku harus
lakukan sesuatu demi keselamatan mereka!"
Pendekar Mabuk baru saja mau
lakukan serangan yang akan melumpuhkan si Kusir Hantu. Maksudnya agar Kusir
Hantu hentikan tindakannya. Tetapi niatnya itu tertahan oleh pandangan matanya
yang tertuju pada Cawan Pamujan.
Gadis itu baru saja bangkit
dari semak-semak, tiba- tiba tubuhnya bagaikan keluarkan asap putih keruh. Asap
itu yang membuat tubuh Cawan Pamujan semakin lama semakin sulit ditembus
pandangan mata. Hanya saja, hembusan angin segera menerbangkan asap itu dan
membuatnya sirna.
Tetapi sosok yang ada di balik
asap tersebut ternyata sudah berganti wujud. Bukan Cawan Pamujan lagi yang di
semak-semak itu, melainkan seraut wajah cantik lain yang masih asing bagi
Pendekar Mabuk.
"Gila! Dia berubah
wajah?!" gumam Suto tanpa disadari dan gumaman itu sampai di telinga Kusir
Hantu. Pak Tua tersebut segera mendekati Suto dengan mata tetap memandang ke
arah sosok baru itu.
"Sudah kuduga, dia bukan
Cawan Pamujan," kata Kusir Hantu. "Karena itulah kudesak ia dengan
serangan supaya cepat menampakkan wujud aslinya."
Seorang gadis yang tadi menjelma
sebagai Cawan Pamujan itu ternyata mempunyai kecantikan yang sama- sama menarik
namun berbeda sorot matanya. Gadis yang berusia sekitar dua puluh empat tahun
itu mempunyai sorot mata berkesan dingin. Alisnya tebal dan bulu matanya
lentik. Hidungnya bangir dan bibirnya mungil.
Gadis itu mengenakan pakaian
jubah merah berbunga-bunga kuning terbuat dari kain satin mengkilap. Sementara
itu pakaian bawahnya berupa kain sutera tipis membayang warna kuning yang
mempunyai dua belahan di kanan kiri sampai ke pangkal paha. Gadis bertubuh
sekal dan berdada montok namun tak terlalu besar itu mempunyai rambut yang
disanggul kecil, sisanya jatuh tergerai seperti ekor kuda. Ia memakai kalung
rantai emas kecil dengan bandul batuan ungu sebesar biji sawo. Di punggungnya
tersandang pedang bergagang hiasan ronce-ronce kuning halus seperti jambul
seekor burung.
"Siapa dia sebenarnya,
Pak Tua?" bisik Suto Sinting kepada si Kusir Hantu.
"Dia yang bernama: Paras
Mendayu, murid kepercayaan Nyai Garang Sayu."
"Siapa Nyai Garang Sayu,
Pak Tua?"
"Ibu dari Hulubalang
Iblis!" jawab Kusir Hantu dengan tegas tanpa cengar-cengir. Namun kejap
berikutnya ia kembali cengar-cengir sambil maju dekati si Paras Mendayu karena
pada saat itu Paras Mendayu sendiri maju empat langkah dan berhenti setelah
dalam jarak sekitar empat tombak dari Kusir Hantu.
"Kau memang jeli, Kusir
Hantu! Kusangka kau akan terkecoh dengan permainanku tadi!" ujar Paras
Mendayu bernada tegas, bahkan punya kesan angkuh.
"Mata tuaku mungkin
memang bisa kau kelabuhi dengan ilmu 'Salin Rupa', tapi penciumanku tak bisa
kau kelabuhi, Paras Mendayu! Aroma wangimu sama seperti aroma wangi yang kucium
saat aku mencari siapa orang yang menyerang Pendekar Mabuk itu dengan jurus
'Jalasuma'. Ternyata kaulah orangnya, Paras Mendayu!"
"Cukup cerdas juga otak
tuamu, Kusir Hantu!" ucap Paras Mendayu dengan mata melirik ke arah
Pendekar Mabuk. Saat itu, Suto Sinting segera maju dan perdengarkan suaranya
yang bernada tegas.
"Mengapa kau menyerangku,
Nona?!"
"Karena Guru menyuruhku
melumpuhkan kau juga.
Sebab Guru tahu kau akan
memihak si Kusir Hantu!" "Aku akan berada di pihak yang benar! Jika
memang
Kusir Hantu di pihak yang
salah, tak mungkin aku akan memihaknya!" ujar Suto Sinting mempertegas
sikap.
Kusir Hantu segera ajukan
tanya, "Gurumu memang keparat! Sama dengan anaknya; si Hulubalang Iblis
itu! Mereka membuka permusuhan lebih dulu dan pihakku hanya mempertahankan hak
untuk tetap hidup. Pepatah mengatakan: 'Kuman di seberang lautan tampak, tapi
gajah di pelupuk mata... mustahil!' Maksudnya "
"Persetan dengan
kumanmu!" sergah Paras Mendayu. "Kurasa yang perlu kau ketahui adalah
nasib cucumu; si Pematang Hati! Kalau kau tak datang menghadap guruku sebelum malam tiba, maka
cucumu itu akan menjadi bangkai pada esok harinya!"
"Keparat kau! Di mana.
"
Weeeeess. ! Paras Mendayu
lekas sentakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya melesat
menembus semak dan menerabas ilalang di seberangnya. Kusir Hantu berseru dengan
wajah tegang,
"Hei...! Tunggu...!"
ia segera bergegas mengejar Paras Mendayu. Tapi seruan Pendekar Mabuk membuat
gerakannya tertahan kembali.
"Pak Tua. jangan
gegabah!"
Kusir Hantu hempaskan napas
kemarahannya, ia menoleh ke belakang, memandangi Pendekar Mabuk yang sedang
melangkah mendekatinya. Sambil membuka bumbung tuaknya karena ingin meminum
tuak, Pendekar Mabuk berkata kepada si Kusir Hantu,
"Jangan buru-buru
mengejarnya, karena aku curiga ia punya jebakan halus yang sulit kita duga
sebelumnya."
"Cucuku tertangkap dan
sekarang berada di Tebing Hitam! Aku harus membebaskannya, Nak!"
"Itu langkah yang
benar," sahut Suto Sinting. "Tapi yang perlu kita selidiki adalah
kebenaran kabar itu sendiri. Jangan-jangan kau hanya akan dibuat bulan- bulanan
oleh kabar seperti itu."
Kusir Hantu kembali hembuskan
napas panjang dan berpikir beberapa saat sambil memandang ke arah kepergian si
Paras Mendayu. Pendekar Mabuk menenggak tuaknya tiga teguk, setelah itu ajukan
tanya kepada Kusir Hantu.
"Pak Tua, siapakah
orang-orang Tebing Hitam?"
*
* *
6
KUSIR HANTU ingin menjawab pertanyaan
Suto, tapi niatnya tertahan oleh bunyi ledakan yang menggelegar dari arah
timur. Suto Sinting paling penasaran jika mendengar suara ledakan seperti itu.
Rasa ingin tahunya tumbuh dengan membara, sehingga tanpa pamit pada si Kusir
Hantu, ia melesat ke arah timur dengan gerakan cepatnya. Kusir Hantu
ikut-ikutan ingin tahu, maka ia pun menyusul gerakan Suto Sinting.
Cambuknya disentakkan dan
cambuk panjang itu menjadi pendek kembali. Kemudian kedua kakinya naik sebatas
dua jengkal. Dalam keadaan kedua telapak kaki tidak menyentuh tanah, Kusir
Hantu melesat menyusul Suto Sinting seperti naik kereta berkuda. Cambuk itu
dilecutkan bagai sedang memacu jalannya kuda.
Tar, tar, tar...! Weeess...!
Kesaktian Kusir Hantu sungguh mencengangkan para tokoh berilmu sedang.
Kecepatan geraknya hampir menyamai Suto Sinting. Dengan mengurangi sedikit
gerakan, akhirnya Suto Sinting tersusul dan sejajar dengan Kusir Hantu.
Mereka berhenti di sebuah
lembah berhutan renggang. Karena di sanalah sumber suara ledakan tadi. Mereka
mengintai dari balik pepohonan, mata mereka memandang pada suatu pertarungan
yang telah membuat beberapa pohon sekitarnya tumbang dan daun-daun berguguran.
Pertarungan itu dilakukan oleh
seorang nenek berjubah hijau melawan seorang wanita yang berusia sekitar dua
puluh tujuh tahun, berjubah kuning garis- garis merah. Wanita cantik yang
berkesan judes itu bersenjata tongkat berkepala bunga, rambutnya disanggul
sebagian dan sisanya meriap menutup punggung.
Wanita cantik itu tak lain
adalah Nyai Sedap Malam, istri dari Ki Palang Renggo yang pernah menolong Suto
Sinting saat terkena racun berbahaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pemburu Darah Satria"). Sedangkan nenek berambut putih dan
berjubah hijau itu tak lain adalah Nyai Jurik Wetan, yang agaknya sudah
berhasil mengatasi lukanya dalam waktu tergolong cukup singkat.
"Jurik Wetan mulai bikin
ulah lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kau mengenalnya, Pak
Tua?"
Kusir Hantu sunggingkan senyum
tipis. "Jurik Wetan bukan saja orang yang kukenal, tapi lawan yang
menjengkelkan. Dia termasuk orang yang nyawanya alot. Susah matinya! Pepatah
mengatakan: 'Menggunting dalam lipatan', artinya... tukang jahit! Eh, artinya
dia sering berlagak sebagai teman, tidak tahunya justru lawan yang berbahaya."
"Kau juga kenal dengan
lawannya itu, Pak Tua?" "Hmmm... Sedap Malam? Oh, jelas aku kenal
dia." Kusir Hantu manggut-manggut sebentar, lalu teruskan kata sambil
tetap memperhatikan dua perempuan yang bertarung itu.
"Sedap Malam dulu anak
buah si Cendana Sutera. Tapi sejak terpikat dengan seorang lelaki yang menjadi
sahabatku juga; si Palang Renggo itu, ia keluar dari kekuasan Ratu Cendana
Sutera dan masuk ke dalam aliran putih. Pepatah mengatakan: "
"Cukup, cukup...! Tak
perlu pakai pepatah lagi," potong Suto Sinting, dan wajah Kusir Hantu
tampak kecewa. Tapi Suto buru-buru menyambungnya,
"Karena kelihatannya
pertarungan itu semakin seru dan Sedap Malam terdesak sekali, Pak Tua."
"Hmmm... ya, tentu saja
Sedap Malam terdesak, karena ilmunya tak sebanding dengan si Jurik Wetan.
Ibarat murid melawan Guru, Sedap Malam pasti tumbang kalau tak ada yang
membantunya. Pepatah mengatakan: 'Ketimun menghampiri durian', itu artinya
ketimun nekat!"
Pendekar Mabuk sudah tidak
hiraukan lagi kata-kata Kusir Hantu selanjutnya, sebab ia menjadi cemas saat
Nyai Sedap Malam terbanting oleh pukulan tangan kiri Jurik Wetan yang keluarkan
asap tipis itu. Pukulan tersebut kenai pinggang Nyai Sedap Malam dan dalam
sekejap tubuh sekal Nyai Sedap Malam terlempar lima tombak jauhnya.
Nyai Jurik Wetan agaknya
benar-benar ingin bunuh Nyai Sedap Malam, sehingga ia buru-buru melepaskan
jurus mautnya. Seberkas sinar berbentuk bintang warna merah membara melesat
dari punggung tangan kanannya yang disodokkan ke depan. Claaap...! Sinar merah berbentuk
bintang itu melesat ke arah dada Nyai Sedap Malam.
Melihat keadaan itu, Suto
Sinting cepat-cepat lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa'-nya, berupa sinar hijau
lurus yang mampu menembus sinar lawan. Claaap...! Sinar hijau dari tangan Suto
Sinting itu mempunyai kecepatan lebih tinggi dari sinar merahnya Nyai Jurik
Wetan. Maka ketika sinar merah berbentuk bintang itu berada di pertengahan
jarak antara si Jurik Wetan dengan Nyai Sedap Malam, sinar hijau tersebut
menghantam telak dan masih tersisa menembus hingga mengenai sebatang pohon di
kejauhan sana. Blaaarrr...!
Ledakan cukup keras terjadi
dan menimbulkan hentakan gelombang yang menyebar ke berbagai arah. Nyai Jurik
Wetan terlempar akibat ledakan tersebut, sedangkan Nyai Sedap Malam terseret
angin ledakan sejauh empat tombak ke belakang.
"Boleh juga jurus mautmu
itu, Nak," ujar Kusir Hantu sambil manggut-manggut. "Kukenali jurus
itu sebagai jurus mautnya si Bidadari Jalang."
"Beliau adalah bibi
guruku, Pak Tua."
"Pantas, sebab Gila Tuak
dan Bidadari Jalang termasuk satu perguruan, hanya beda guru. Maksudnya,
gurunya Gila Tuak dan gurunya Bidadari Jalang itu suami-istri. Tapi mempunyai
satu sumber kesaktian, yaitu kesaktian dari. " Kusir Hantu tidak berani
lanjutkan ucapannya. Suto Sinting memandangnya sebentar, dan Kusir Hantu
cengar-cengir serta berkata,
"Kalau kusebutkan guru
mereka, kita akan disapu badai dahsyat, seolah-olah kiamat akan tiba. Langit
bisa runtuh dan tanah bisa terbelah."
"Terima kasih atas
kesediaanmu untuk tidak menyebutkan eyang guruku, Pak Tua," ujar Suto
Sinting sambil sunggingkan senyum tipis, lalu cepat-cepat memandang ke arah
pertarungan lagi.
Rupanya Nyai Jurik Wetan sudah
bangkit kembali dan memandang ke arah Suto dan Kusir Hantu. Dari tempatnya
berdiri nenek agak bungkuk itu berseru lantang,
"Monyet kurap! Datang
kemari jika ingin ikut ambil jatah kematianmu!"
Weeesss...! Kusir Hantu
bergerak lebih dulu. Suto Sinting melihat si Kusir Hantu melesat sambil
lecutkan cambuk pendeknya, seakan menunggang kereta berkuda semberani.
Kecepatannya begitu tinggi hingga Nyai Jurik Wetan sempat terperanjat dan
lompat ke kiri untuk menghindari terjangan si Kusir Hantu.
Sementara Nyai Jurik Wetan
ditanggapi oleh si Kusir Hantu, Suto Sinting cepat-cepat bergerak ke arah Nyai
Sedap Malam yang terluka dalam dan mengeluarkan darah dari hidung serta
telinganya.
"Nyai, minumlah tuak
ini!" sambil Suto sodorkan bumbung tuaknya. Perempuan berdada montok itu
pun segera menenggak tuak, sehingga dalam waktu singkat kesehatannya pulih kembali.
"Untung kau datang pada
saat nyawaku belum terlepas dari raga, Suto."
"Aku bersama si Kusir
Hantu, Nyai."
"Oh, itu lebih kebetulan
lagi, karena aku ada keperluan dengannya!" sambil berkata demikian,
pandangan mata Nyai Sedap Malam terarah kepada Kusir Hantu yang sedang
berhadapan dengan si Jurik Wetan. Kedua tokoh tua itu berada dalam jarak lima
langkah.
Pendekar Mabuk bergegas
mendekati Kusir Hantu. Tetapi lengannya segera dicekal oleh Nyai Sedap Malam.
Perempuan itu segera berkata dalam suara rendah,
"Biarkan Kusir Hantu yang
hadapi mantan kekasihnya itu."
"Oh, jadi... jadi si
Jurik Wetan itu bekas kekasih Kusir Hantu?!" Suto Sinting agak terkejut
mendengar pernyataan tersebut. Nyai Sedap Malam hanya anggukkan kepala dengan
mulut terkatup bungkam.
"Dari tempat Suto
berdiri, suara percakapan dua tokoh tua itu terdengar samar-samar. Nyai Jurik
Wetan lebih dulu mempertinggi suaranya karena hatinya semakin dibakar
kemarahan.
"Sudah kubilang
berkali-kali, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, Kusir Hantu! Kau
sudah menjadi milik Rahayu, dan aku menjadi milik Bagastirta. Sekalipun istrimu
sudah modar dan suamiku sudah wafat, tapi kita tetap tidak punya hubungan masa
lalu. Aku muak sekali padamu, Pujasera!"
"Siapa yang menginginkan
dirimu, Nenek Peot?! Aku muncul di depanmu karena ingin menegur tindakan
iblismu yang dari dulu sampai sekarang masih belum ada redanya, bahkan sikapmu
semakin menyerupai biang setan!"
"Peduli apa kau dengan
diriku, hah?!" bentak si Jurik Wetan. "Bahkan jika sekarang aku bisa
membunuhmu maka aku akan mendapat kedudukan tinggi di Tebing Hitam!"
"Aku pun akan merasa
bangga jika bisa melenyapkan ragamu, Jurik Wetan!"
"Keparat! Kalau begitu
kita beradu kesaktian sampai salah satu ada yang modar!"
"Jika itu kehendakmu,
terpaksa aku harus tega mencabut nyawamu, Sayang. Pepatah mengatakan: 'Besar
pasak daripada gajah', artinya jangan sampai kau besar sesumbar dari kenyataan!
Buktikan kesaktianmu yang dari dulu selalu kau gembar-gemborkan di depanku itu,
Manis!"
"Tutup mulutmu, Monyet
Bangkotan!
Heeeaaah...!"
Weers...! Nyai Jurik Wetan
menerjang Kusir Hantu. Terjangan begitu cepat sengaja tidak ditangkis dan
dihindari oleh Kusir Hantu, sebab ia mengandalkan ilmu 'Timbal Rasa'-nya. Kusir
Hantu pun terpental bagaikan sehelai daun tua yang terlempar begitu saja.
Tetapi Pendekar Mabuk yang
berdiri di samping Nyai Sedap Malam menjadi cemas sejak melihat Kusir Hantu
keluarkan darah dari hidungnya. Bahkan Pak. Tua itu terbatuk-batuk dan
mengeluarkan dahak darah dari mulutnya. Ketika ia berdiri, ia pun sempoyongan
bagai orang mabuk ingin tumbang.
"Celaka!" gumam Nyai
Sedap Malam. "Kusir Hantu gagal pergunakan ilmu 'Timbal Rasa'-nya!"
"Benarkah begitu,
Nyai?!" tanya Suto Sinting semakin cemas.
"Kalau dia tidak gagal,
maka dia tidak akan berdarah. Agaknya si Jurik Wetan sudah menemukan rahasia
kelemahan jurus 'Timbal Rasa'nya si Kusir Hantu."
"Gawat!" gumam Suto
Sinting dengan suara mendesah tegang.
Kusir Hantu sendiri membatin,
"Celaka kalau begini! Dia bisa gagalkan ilmu 'Timbal Rasa'-ku. Rupanya
selama ini ia memang pelajari jurus baru yang dapat untuk menembus lapisan
gaibku! Aku harus hati-hati melawannya!"
Nyai Jurik Wetan berseru,
"Maju kau, Kecoa Peot!
Kulumpuhkan seluruh
kesaktianmu hari ini juga!"
Kusir Hantu selesai menarik
napas, pertanda selesai menyalurkan hawa saktinya untuk menutup luka dalamnya.
Tapi wajahnya masih tampak pucat dan gerakannya sedikit limbung, ia berdiri
dengan kaki sedikit merenggang dan cambuk sudah sejak tadi terselip di
pinggangnya. Nyai Jurik Wetan melangkah ke samping dalam jalur lingkar, seakan
ingin mengelilingi Kusir Hantu.
Tiba-tiba Kusir Hantu
menjentikkan jarinya seperti memanggil ayam. Klikkk...! Nyai Jurik Wetan
terpelanting, bagai ada yang menyampar kakinya. Brruuk...! Nenek tua itu jatuh
telentang. Namun dalam satu sentakan pinggul, tubuhnya melayang dan berdiri
tegak kembali. Wuuut, jleeg...!
"Rupanya kau membela si
Sedap Malam karena kau ingin merebutnya dari pelukan si Palang Renggo!"
ujar Nyai Jurik Wetan.
"Jaga mulut kotormu itu,
Perempuan Jalang! Kalau sampai Sedap Malam mendengarnya dan dia kasmaran
padaku, aku tak berani bertanggung jawab. Sebab kemampuanku sudah tak ada,
'kerisku' sudah karatan!"
"Hik, hik, hik, hik...!
Kalau begitu kau pantas dikirim ke neraka saja, Pujasera! Hiaaah...!"
Tiba-tiba tangan kanan Nyai
Jurik Wetan menyentak bagai menebarkan sesuatu ke arah depan. Dari tangan itu
melesat sinar merah berbentuk bintang, namun kali ini berasap merah pula yang
membuat sinar itu seperti berekor panjang. Claaap, weeess...!
Kusir Hantu cepat-cepat cabut
cambuk pendeknya. Cambuk dilecutkan dan menjadi panjang. Ujung cambuk itu
berkelebat menyabet sinar merah tersebut. Taaar...! Jegaaarrr...!
Ledakan terjadi dengan
dahsyat, membuat alam sekeliling mereka menjadi seperti kiamat. Bumi berguncang
hebat dan pohon-pohon tumbang di sana- sini. Tanah terbelah di beberapa tempat,
bahkan ada yang longsor ke dalam dan membentuk lubang besar.
Keadaan alam yang mengerikan
itu pun membuat Suto Sinting dan Nyai Sedap Malam sama-sama terlempar. Tanpa
sadar mereka saling berpelukan dan berguling-guling di tanah. Bumbung tuak
terlepas dari genggaman Suto Sinting. Jika kaki Nyai Sedap Malam tidak mengait
pada sebatang akar pohon yang mencuat dari dalam tanah, mungkin mereka akan
terguling-guling sampai di tempat jauh.
Begitu keadaan alam menjadi
tenang kembali, Suto Sinting segera bangkit. Pertama-tama yang dicari adalah
bumbung tuaknya. Zlaaap...! Ia melesat menyambar bumbung tuaknya. Teeeb...!
Kini hatinya lega karena tangannya telah menggenggam bumbung sakti tersebut.
Nyai Sedap Malam merasakan
sakit pada pinggangnya yang terantuk batu sebesar kepala bayi. Tulang rusuknya
terasa ngilu sekali, ia sempat berdiri sambil menyeringai memegangi pinggang,
namun matanya segera memandang ke arah Nyai Jurik Wetan dan Kusir Hantu setelah
lebih dulu ia melihat Pendekar Mabuk dalam keadaan sehat.
Gelombang ledakan itu
menyebarkan udara panas dalam sekejap. Nyai Jurik Wetan terlempar oleh hembusan
angin panas tersebut, ia terpuruk di bawah pohon yang tak sempat tumbang.
Wajahnya menjadi merah kebiruan, rambutnya yang putih sempat terbakar sebagian,
kain jubahnya pun koyak-koyak nyaris seperti gelandangan. Agaknya perempuan tua
itu mengalami luka dalam yang cukup parah, sehingga dari sudut matanya tampak
beberapa tetes darah yang sedang meleleh ke pipi. Kusir Hantu terkapar
bersandar pada batang pohon yang tumbang. Tubuhnya tak bergerak untuk beberapa
saat. Cambuknya masih ada dalam genggaman yang merenggang. Namun napasnya
terlihat melemah dan suara erangannya terdengar samar-samar sekali. Pendekar
Mabuk buru-buru menghampiri Pak Tua tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap
Pendekar Mabuk sudah tiba di samping Kusir Hantu, kemudian memberinya minum
tuak. Berkat tuak sakti si Pendekar Mabuk itulah, maka Kusir Hantu dapat
terhindar dari bahaya luka dalam yang cukup parah, ia tampak segar kembali
setelah beberapa saat bangkit dan duduk di batang pohon yang tumbang itu. Ia
memperhatikan si Jurik Wetan yang sedang berusaha berdiri dengan susah payah.'
"Ilmunya memang
bertambah, tapi lukanya juga bertambah," ujar Kusir Hantu.
"Apakah kau akan teruskan
pertarungan ini, Pak Tua?"
"Ah, capek! Biar saja dia
pergi. Nanti kalau ada waktu dilanjutkan lagi," jawab Kusir Hantu dengan
seenaknya saja.
Nyai Jurik Wetan mulai tegak
setelah menarik napas beberapa kali dan mengerahkan tenaga intinya untuk
menutup luka. Tapi ia masih tampak menyimpan kecemasan. Hanya saja ia paksakan
diri untuk berseru lontarkan ancaman kepada mantan kekasihnya.
"Sembuhkah dulu lukamu,
Kusir Hantu. Kelak aku datang sebagai el maut yang siap mencabut nyawamu!"
Weeess...! Nyai Jurik Wetan melesat pergi tinggalkan tempat. Kusir Hantu hanya
geleng-geleng kepala dengan kesan meremehkan si Jurik Wetan. Ia dan Suto segera
menghampiri Nyai Sedap Malam yang kala itu ingin mengejar Nyai Jurik Wetan
namun segera tertahan oleh seruan Kusir Hantu,
"Tahan...!"
Nyai Sedap Malam memandang
kehadiran Suto Sinting dan Kusir Hantu, ia terpaksa membiarkan lawannya larikan
diri walau hati masih merasa pertarungannya belum selesai melawan si Jurik
Wetan.
"Sedap Malam, mengapa kau
sampai terlibat perkara dengan si Jurik Wetan?" tanya Kusir Hantu sambil
memandang ke arah kepergian si Jurik Wetan.
"Aku menghalangi orang
Tebing Hitam yang mengejar-ngejar cucumu; si Pematang Hati."
"Pematang Hati...?!
Cucuku dikejar-kejar orang Tebing Hitam?!" Kusir Hantu mulai tampak gusar.
"Tapi aku sempat melukai
dua orang itu. Cucumu lari terus, sementara Jurik Wetan muncul memihak orang
Tebing Hitam. Akhirnya, kedua orang Tebing Hitam itu mengejar cucumu kembali
dalam keadaan menderita luka dalam karena pukulanku, sementara aku berhadapan
dengan Jurik Wetan."
"Keparat!" geram
Kusir Hantu menampakkan kemarahannya.
"Kurasa cucumu bisa
loloskan diri. Aku yakin dua orang Tebing Hitam itu tak akan mampu menangkap
cucumu, sebab luka mereka akan membuat tenaganya terkuras habis jika dipakai
untuk mengejar Pematang Hati."
"Kalau begitu kabar
tentang Pematang Hati tertangkap dan tertawan di Tebing Hitam itu hanya sebuah
tipu muslihat saja, Pak Tua," ujar Suto Sinting. Kata-kata itu membuat
Kusir Hantu merenung dan manggut-manggut. Sebentar kemudian ia menatap Nyai
Sedap Malam dan berkata,
"Terima kasih atas
tindakanmu itu, Sedap Malam. Hanya saja, aku ingin tahu ke mana larinya cucuku
itu? Barangkali aku perlu menyusulnya."
"Kulihat ia lari ke arah
utara."
"Aku harus segera ke
sana! Aku khawatir Pematang Hati temukan rintangan lain."
"Silakan saja kalau itu
maumu, Kusir Hantu. Aku harus segera pulang, mengabarkan kematian Resi Bisma,
sahabat suamiku itu."
"Sampaikan salamku kepada
Palang Renggo. Dan kau, Nak...," katanya kepada Suto Sinting. "Apakah
kau ingin ikut denganku?"
"Tidak. Aku harus ke
Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang Ketuban. Ada orang yang perlu kutolong
secepatnya, Pak Tua. Kapan-kapan kita bertemu lagi!"
"Kau ingin ke Gunung
Purwa? Oh, kalau begitu satu arah denganku. Mengapa tidak bersama-sama
saja?"
"O, iya... benar juga.
Aku memang harus menuju ke utara, tapi barangkali kita nanti bersimpang jalan,
Pak Tua." "Kurasa tak ada masalah. Jika memang aku sudah bertemu
dengan cucuku sebelum kita berpisah, mungkin aku juga akan mengajak cucuku ke
Gunung Purwa. Aku punya sahabat di sana; Ratu Cumbutari. Akan kuperkenalkan
cucuku kepadanya dan. "
"Aku memang mau bertemu
dengan Ratu Cumbutari!" potong Suto dengan semangat. Maka bergegaslah
mereka pergi ke arah utara, sementara Nyai Sedap Malam ke arah selatan.
*
* *
7
MATAHARI mulai turun ke barat.
Tetapi sang matahari masih bisa melihat gerakan kecil yang lincah sedang
menyusuri kaki bukit tak bernama. Langkah lincah itu berlari menyelinap dari
pohon ke pohon, menerabas semak ke semak, seakan ia takut oleh bayangan yang
mengejarnya.
Langkah kecil yang lincah itu
adalah milik seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun, berbaju hijau
garis-garis benang emas di depan. Baju tanpa lengan itu berpundak kaku hingga
kelihatan pundak sang gadis tegak dan rata. Panjang baju itu hanya sampai di
atas pusar, sehingga kulit perut dan pusarnya yang berwarna kuning langsat itu
terlihat mulus menggoda iman lelaki. Dengan celananya yang ketat sebatas betis
berwarna hijau bergaris emas di bagian samping, gadis itu bagaikan senantiasa
memamerkan keelokan tubuhnya yang sekal dan berdada indah.
Ia mengenakan kalung tali
hitam ketat dengan bandul perak berukir dengan hiasan tiga batu merah
kecil-kecil. Sepasang antingnya pun berwarna merah delima kecil. Tangan
kanannya mengenakan gelang emas berukir bentuk ular melingkar. Sebuah pedang
terselip di pinggangnya yang bersabuk hitam berhias manik-manik putih seperti
intan. Sarung pedangnya terbuat dari perak ukir, demikian pula gagang
pedangnya.
Gadis yang berpenampilan
tengil namun penuh daya tarik itu tak lain adalah Pematang Hati, cucu
Kusir Hantu yang hanya tinggal mempunyai
satu saudara, yaitu seorang kakak bernama Mahligai Sukma. Gadis itu pernah
nyaris mati terkena uap racun milik Bunga Ranjang, namun berhasil diselamatkan
Suto dengan tuak saktinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ratu Cendana Sutera").
Pematang Hati menyangka masih
dikejar dua orang Tebing Hitam, karenanya ia berlari terus sambil sesekali
menengok ke belakang, ia tidak tahu bahwa dua orang Tebing Hitam itu telah
berhenti dan tak sanggup lagi mengejarnya karena luka yang mereka derita dari
pukulan Nyai Sedap Malam membuat mereka semakin lumpuh. Tenaga mereka terkuras
habis, sampai akhirnya mereka tak mampu berdiri dan menunggu ajal entah sampai
kapan. Salah seorang nekat mengerahkan tenaga untuk berguling-guling dan lompat
ke jurang, bunuh diri. Seorang lagi masih bertahan menunggu kemujuran, terkapar
di semak-semak dengan harapan akan datang bantuan dari pihak mana pun.
Rupanya harapan orang tersebut
nyaris terkabul. Ada orang lain yang melintasi tempat itu dan mendengar
rintihan kecilnya. Orang yang melintasi semak-semak itu tak lain adalah Paras
Mendayu yang ingin kembali ke Tebing Hitam setelah memancing Kusir Hantu dengan
berita palsunya itu.
Paras Mendayu hentikan langkah
dan perhatikan orang yang merintih di masa sekarat itu. Ia terperanjat melihat
orang tersebut adalah kawannya sendiri.
"Subogo...?!" sentak
Paras Mendayu dengan kaget. Orang yang di ambang sekarat itu ternyata bernama
Subogo. Ia berusaha membuka matanya sedikit dan segera mengenali wajah Paras
Mendayu dalam bayang- bayang keremangan pandang. Maka, Subogo segera berusaha
untuk bicara walau hal itu dilakukan dengan sangat susah payah.
"Tool... toool... tolong
ak... aku. "
"Subogo, apa yang terjadi
sebenarnya?!"
"Pe... Pematang Ha....
Hari, eh.... Hati, laaa. lari
kke... ke utara. Aak... aku
terlu... ka..„"
Dalam hati Paras Mendayu
berkata, "Pematang Hati lari ke utara?! Oh, kalau begitu aku harus segera
mengejar dan menangkapnya. Sebaiknya gadis itu kutangkap dan kuserahkan kepada
Guru tanpa mengikutsertakan Subogo. Dengan begitu aku akan mendapat penghargaan
tinggi dari Guru, karena berhasil menangkap gadis itu tanpa bantuan Subogo atau
yang lain!"
Saat itu, Subogo masih terus
berucap kata tersendat- sendat dan lirih sekali.
"Tolong akk... akku....
Paras Menn. Mendadak,
eh.... Mendaaayu....
Tolonglah... aakku. "
"Maaf, Subogo. Keadaanmu
sangat tidak memungkinkan untuk hidup lagi. Sebaiknya kusempurnakan saja
penderitaanmu!"
Claaap...! Seberkas sinar
hijau dari telunjuk Paras Mendayu melesat menghantam dada Subogo.
"Heeekhh...!" Subogo
mendelik dan mengejang dengan mulut ternganga ketika sinar hijau itu menembus
dadanya dan dada pun menjadi bolong hangus. Kejap berikutnya, Subogo
menghembuskan napas yang penghabisan. Paras Mendayu tersenyum lega sesaat, lalu
segera melesat ke arah utara dengan kecepatan tinggi. Weeess. !
Pematang Hati tak tahu kalau
pengejarnya sudah berganti rupa. Karena itu ia terkejut ketika tahu-tahu
langkahnya harus dihentikan sebab terhadang oleh kemunculan Paras Mendayu yang
sudah dikenalnya sebagai orang Tebing Hitam. Pematang Hati menjadi tegang,
sebab ia pun tahu bahwa Paras Mendayu berilmu lebih tinggi dari para
pengejarnya. Gadis itu buru-buru mencabut pedangnya, berusaha memberikan
perlawanan walau hatinya sudah ciut lebih dulu.
Paras Mendayu hanya
sunggingkan senyum ketika melihat Pematang Hati mencabut pedang. Senyum sinis
itu dibarengi oleh ucapan bernada ketus dan sangat tidak bersahabat.
"Untuk apa pedang itu?
Menggorok batang lehermu sendiri?! Hmmm..., sebaiknya buang saja pedangmu itu,
Pematang Hati. Menurutlah apa kata perintahku, dan kau kubawa ke Tebing Hitam
tanpa luka sedikit pun. Itu lebih menguntungkan nyawamu, ketimbang kau
pergunakan pedang itu yang akan menggorok batang lehermu sendiri. Buanglah
pedang itu sekarang juga, Pematang Hati!"
"Majulah jika kau ingin
melihat kehebatan pedangku ini, Paras Mendayu! Aku tak sudi kau bawa ke Tebing
Hitam. Lebih baik mati di sini ketimbang harus berhadapan dengan
orang-orangmu!"
"Dasar gadis bodoh!"
geram Paras Mendayu, lalu ia hentakkan kakinya ke tanah. Duuuhk...! Weeesss...!
Gelombang tenaga dalam keluar dari kakinya, menghempas ke depan, menghantam
tubuh Pematang Hati dengan kuat. Wuuut...!
Bruuus...! Pematang Hati
terlempar dan jatuh ke semak-semak. Gelombang tenaga dalam itu sangat kuat,
hingga membuat pedang di tangan Pematang Hati terpental jatuh dari pemiliknya.
Napas gadis itu bagaikan
tersumbat gumpalan darah sehingga sulit dihela. Pematang Hati mencoba untuk
menarik napas dengan berat dan rasa sakit menghujam bagian dadanya, ia mencoba
pula untuk bangkit dan hadapi lawannya kembali.
Namun tiba-tiba Paras Mendayu
menerjangnya dengan satu lompatan kilat. Wuuuss...! Dua jari tangan kanannya
segera menotok bagian bawah leher Pematang Hati. Deess...!
Pematang Hati sibuk menangkis
pukulan tangan kiri lawan tanpa hiraukan bahwa tangan kanan lawan akan
menotoknya.
Akhirnya Pematang Hati jatuh
terkulai bagai tak bertulang dan tak berotot lagi. Totokan itu membuatnya
lumpuh dan lemas tanpa daya sedikit pun. Paras Mendayu tertawa kegirangan,
kemudian menyambar tubuh lunglai itu, memanggulnya di pundak dan membawanya
lari ke Tebing Hitam. Weeesss...!
Beberapa saat setelah Paras
Mendayu berhasil membawa lari Pematang Hati, dua sosok lelaki beda usia tiba di
tempat itu; Kusir Hantu dan Suto Sinting.
Keduanya sama-sama berhenti
setelah Kusir Hantu berseru,
"Tunggu! Ada sesuatu yang
mencurigakan hatiku, Nak!"
"Apa maksudmu, Pak
Tua?"
Kusir Hantu berbalik arah, ia
melangkah dengan jalan kaki. Cambuknya yang sepanjang perjalanan dilecutkan
bagai mempercepat lajunya kuda gaib itu kini dilipat dan diselipkan di
pinggang. Pendekar Mabuk terpaksa ikut berbalik arah dengan berjalan kaki
biasa. Mereka berhenti setelah Kusir Hantu melihat sebilah pedang bergagang
perak berukir tergeletak di antara akar pohon. "Ini pedang milik
cucuku!" ujarnya setelah
memungut pedang itu dan
mengamatinya. "Maksudmu, pedang itu milik Pematang Hati?" "Tak
salah lagi. Aku sangat mengenali senjata cucu- cucuku. Pepatah mengatakan: 'Air
beriak tanda tak sehat.'"
"Apa artinya?"
"Entahlah. Itu tak
penting. Yang terpenting adalah di mana si Manis Pematang Hati, cucuku
itu?!"
Mereka memandang sekeliling
dalam berapa saat, kemudian Pendekar Mabuk kemukakan gagasannya yang tumbuh
dari kecemasan hati.
"Jangan-jangan ia
tertangkap orang Tebing Hitam yang mengejarnya itu?"
"Hmmm...," Kusir
Hantu berpikir sejenak. Kemudian segera berkata, "Rasa-rasanya pengejarnya
itu tak akan mampu menangkap cucuku. Sedap Malam tak pernah meleset dalam
ucapannya. Pengejar cucuku itu pasti benar-benar kehabisan tenaga karena
menderita pukulan Sedap Malam. Tapi. "
"Pak Tua, tiba-tiba
firasatku mengatakan, cucumu dalam bahaya!"
"Firasatku pun demikian,
Nak. Kita beda keturunan tapi mengapa satu firasat, ya?! Padahal pepatah mengatakan:
'Rambut boleh sama hitam tapi bisul belum tentu sama besarnya'. Hmm sebaiknya
ular pedang ini
yang menunjukkan di mana
Pematang Hati berada."
Pendekar Mabuk tak jelas
maksud Kusir Hantu soal pedang itu. Karenanya ia berkerut dahi dan ingin ajukan
tanya. Namun niatnya itu tertunda karena suatu hal yang dilakukan oleh si Kusir
Hantu.
Pedang itu disangga dengan
tangan kiri, kemudian telapak tangan kanan Kusir Hantu terbuka dan bergetar-
getar di atas pedang tersebut. Claaap...! Ada sinar biru kecil sekali sebesar
merica melesat dari telapak tangan yang bergetar itu. Sinar biru tersebut
menembus gagang pedang. Blees...! Gagang pedang pun menjadi menyala biru pijar.
Kemudian tangan yang menyangga melepaskannya. Pedang tersebut mengambang di
udara. Kusir Hantu segera berkata,
"Gaibku, bawalah kami ke
tempat cucuku berada sekarang juga! Jalan!"
Weesss...! Pedang itu pun
melesat terbang ke arah tertentu. Kusir Hantu segera keluarkan cambuknya dan
melecutkannya. Taaar...! Kedua kakinya naik, tak berpijak tanah, lalu tubuhnya
melesat dalam keadaan tetap berdiri memegangi cambuk bagaikan menunggang kereta
berkuda gaib.
"Ikuti pedang itu,
Nak!" serunya sebelum melesat pergi. Pendekar Mabuk sempat tertegun sesaat
karena terheran-heran melihat kesaktian si Kusir Hantu. Namun segera sadar
dirinya akan tertinggal, maka Pendekar Mabuk pun cepat-cepat gunakan jurus
'Gerak Siluman'- nya untuk mengikuti perjalanan pedang tersebut.
Zlaaap...!
Pedang Pematang Hati menjadi
pemandu arah. Gerakan terbangnya semakin cepat, sehingga Kusir Hantu dan
Pendekar Mabuk pun mempercepat pelariannya. Mereka melintasi punggung bukit tak
bernama, menuruni lereng dan menyusuri tepian hutan, sesuai arah yang dituju
pedang terbang itu. "Dugaanmu benar," seru Kusir Hantu kepada Suto Sinting
yang sejajar dengannya. "Kita dibawa ke arah Tebing Hitam! Sebentar lagi
kita akan memasuki perbatasan wilayah Tebing Hitam!"
"Kau belum jelaskan siapa
orang-orang Tebing Hitam itu, Pak Tua!"
"Nanti akan
kujelaskan!"
"Sekarang saja, Pak
Tua!" seru Suto. Mereka memang terpaksa berseru untuk imbangi deru angin
yang mereka tembus dalam kecepatan tinggi itu.
"Baiklah kalau kau tak
sabar, Nak. Tebing Hitam adalah wilayah kekuasaan Nyai Garang Sayu. Dia adalah
ibu dari si Hulubalang Iblis. Di samping itu, Nyai Garang Sayu adalah kakak
dari si Jurik Setan, bekas kekasihku yang murtad dari cintanya. Pepatah
mengatakan: 'Asam di gunung garam di dapur, bertemu dalam pertarungan'.
Begitulah cinta kami kala itu. Jurik Wetan terpikat oleh lawannya sendiri; Bagastirta.
Ia melupakan diriku dan minggat bersama Bagastirta. Aku tak berhasil
mencarinya. Ketika kutemukan, mereka sudah kawin dan beranak satu. Aku
terpaksa. "
"Yang kutanyakan tentang
Tebing Hitam saja, Pak Tua!" potong Suto Sinting dengan menahan kedongkolan.
"O, iya! Maaf, kupikir
kau butuh penjelasan tentang percintaan masa mudaku," Kusir Hantu nyengir
malu.
"Lalu apa yang dilakukan
Hulubalang Iblis dan ibunya di Tebing Hitam itu?"
"Menghimpun suatu
kekuatan untuk kuasai rimba persilatan! Nyai Garang Sayu menurunkan ilmu kepada
para pengikutnya. Mereka disumpah untuk mati demi Tebing Hitam. Pada umumnya
yang diturunkan oleh Nyai Garang Sayu adalah ilmu-ilmu hitam dan
kekuatan-kekuatan gaib yang berbahaya. Dan... oh, ya... kusarankan padamu, Nak...
jika suatu saat kau bertemu dengan Nyai Garang Sayu lebih baik pulang atau
bersembunyi saja."
"Apa sebabnya?"
sergah Suto Sinting.
"Sebab...,"
kata-kata Kusir Hantu terhenti, karena pedang terbang itu ternyata telah
membawa mereka mendekati sesosok bayangan yang berlari dalam keadaan memanggul
seseorang. Kusir Hantu mengenali siapa yang dipanggul dan siapa yang memanggul.
"Hei, lihat... itu si
Paras Mendayu. Dan yang dipanggul, di pundaknya itu tak lain adalah cucuku; si
Manis Pematang Hati!"
"Pandanganmu benar, Pak
Tua! Aku akan memotong jalan dan menghadangnya dari samping kanan!"
Zlaaap...! Suto Sinting
mempertinggi tenaganya hingga kecepatan larinya pun lebih tinggi pula. Ia
sengaja menyimpang jalan, memutari lembah untuk menghadang Paras Mendayu.
Mereka tak sadar bahwa saat itu mereka sudah berada di wilayah Tebing Hitam.
Wuuut, zeeeb...!
Pendekar Mabuk tiba di depan
langkah Paras Mendayu. Gadis itu hentikan langkah dengan wajah tegang begitu
melihat pemuda tampan yang pernah diserangnya dengan jurus 'Jalasuma' telah
berdiri di depan langkahnya.
Paras Mendayu berpikir cepat,
lalu membelok arah untuk hindari pertemuan dengan pemuda tampan bermata bening
itu. Tetapi ia tak tahu bahwa Kusir Hantu sedang mendekati dari arah
belakangnya. Cambuk si Kusir Hantu disentakkan dan berubah menjadi panjang,
lalu cambuk itu dilecutkan dari samping. Wuuut, taaar...! Ujung cambuk menjerat
kaki kiri Paras Mendayu. Seert...!
Brrruk...! Paras Mendayu jatuh
tersungkur begitu cambuk ditarik dalam satu sentakan kuat oleh si Kusir Hantu.
Tubuh yang dipanggulnya terlempar ke depan dan jatuh terkulai tanpa gerakan.
Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera menyambar
tubuh Pematang Hati, sementara Kusir
Hantu segera menendang gagang pedang yang menyala biru pijar itu. Dees...!
Pedang meluncur melebihi kecepatan anak panah. Weess...!
Paras Mendayu segera bangkit
setelah menyadari ia terkurung bahaya. Namun baru saja separuh berdiri, tiba-
tiba punggungnya dihujam pedang terbang tanpa ampun lagi.
Jruuub...! "Aaaakh...!"
Asap mengepul dari luka
hujaman pedang. Luka itu menjadi hitam hangus tanpa darah setetes pun. Bukan
keampuhan pedang yang membuatnya begitu, melainkan karena kekuatan tenaga dalam
si Kusir Hantu yang menjadikan pedang bagai berkekuatan bakar sangat tinggi.
Rupanya Paras Mendayu bukan
gadis yang mudah menyerah, ia kerahkan tenaganya untuk tetap berdiri walau
dengan wajah memerah menahan penderitaan. Namun sebelum ia berbalik ke arah
Kusir Hantu, Pak Tua itu lebih dulu bergerak menyambar pedang tersebut.
Weess...! Sleeb...! Pedang itu dicabut dari punggung Paras Mendayu. Luka bakar
tampak bergerak melebar sedikit demi sedikit.
Tubuh Paras Mendayu bergetar,
ia ingin ucapkan kata namun ternyata telah kehilangan kemampuannya untuk
bicara.
"Kau tak akan selamat,
Paras Mendayu! Itulah akibatnya jika kau mengganggu cucuku!" ujar Kusir
Hantu dengan pandangan mata yang tajam.
Agaknya dalam benak Paras
Mendayu mempunyai pertimbangan tersendiri, ia masih bisa gunakan otaknya untuk
memikirkan langkah yang terbaik. Sebab itulah ia segera memanfaatkan tenaganya
yang penghabisan untuk melarikan diri meninggalkan mereka. Weess...!
"Benar-benar kuat gadis
itu!" gumam Kusir Hantu sambil gelengkan kepala pandangi pelarian Paras
Mendayu.
Rupanya sejak tadi Suto Sinting
telah ambil tindakan cepat, ia tahu bahwa Pematang Hati tertotok jalan
darahnya, dan totokan itu pun segera dilepaskan dengan sebuah sentilan pelan di
tengkuk si gadis. Pematang Hati sadar, lalu terkejut melihat Suto Sinting sudah
ada di depan hidungnya. "Sutooo...?!"
Tangan si gadis ingin
merangkul, namun Suto Sinting menangkapnya dan berkata dalam senyum, "Kau
kehilangan kekuatan, Pematang Hati. Minumlah tuakku untuk pulihkan
kekuatanmu!"
Maka ketika Paras Mendayu
melarikan diri, Pematang Hati segera berseru kepada kakeknya,
"Kakek, dia melarikan
diri!" sambil bergegas hampiri sang kakek.
"Biar saja. Dia pasti
mengadu kepada Nyai Garang Sayu. Biarkan saja. Cucuku! Biar Nyai Garang Sayu
tahu bahwa kita bukan orang lemah yang mudah ditundukkan!"
"Bagaimana jika Nyai
Garang Sayu mengamuk dan menuntut balas pada kita?!"
"Mengapa takut, Cucuku?!
Pendekar Mabuk ada di pihak kita!" sambil Kusir Hantu melirik Suto.
Kusir Hantu tambahkan kata,
"Bagaimanapun juga. Pendekar Mabuk pasti akan melindungimu, sebab ia
menaruh hati padamu secara diam-diam. Bukankah begitu, Nak?"
Suto Sinting sempat gelagapan
dan tak mengerti harus berkata apa kepada Kusir Hantu dan cucunya yang tengil
itu.
*
* * 8
SEBETULNYA Suto Sinting ingin
bergegas ke Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang Ketuban. Tetapi
perhatiannya lebih tertarik pada percakapan Kusir Hantu dan cucunya, hingga
langkah Suto menjadi tertahan untuk sementara waktu.
"Aku pergi bukan mencari
Pendekar Mabuk, Kek. Aku mencari adikku; Mahligai Sukma. Sebab kudengar kabar
dari seorang teman, Mahligai Sukma sedang diburu-buru oleh orang-orangnya
Hulubalang Iblis. Kudengar Mahligai lari ke arah timur, dan aku mengejarnya.
Tapi tahu-tahu dua orang Tebing Hitam menghadangku. Mereka juga ingin
membunuhku, Kek."
"Rupanya orang Tebing
Hitam menghendaki kematian kita," gumam si Kusir Hantu sambil merenung
serius. "Ini berarti kita harus berhadapan dengan Nyai Garang Sayu. Kita
akan berperang melawan kekuatan sebesar itu. Kita hanya bertiga, dan... oh,
ya... lalu kau tak berhasil bertemu dengan adikmu?"
"Tidak, Kek! Aku khawatir
Mahligai Sukma telah lebih dulu tertangkap dan entah bagaimana nasibnya di
tangan Nyai Garang Sayu!" wajah Pematang Hati tampak membendung duka.
"Apa yang membuat mereka
memusuhi keluargamu, Pak Tua?!" tanya Suto Sinting yang merasa iba hati.
"Aku sendiri tak tahu.
Yang jelas, apa pun alasan mereka kami harus menghadapi kekuatan mereka. Jika
kau ingin membantuku, aku sangat berterima kasih. Tapi jika tidak, aku pun akan
berterima kasih karena kau telah membantu melepaskan Pematang Hati dari ancaman
maut tadi."
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam-dalam, berpikir sejenak sambil memandang matahari yang kian condong ke
barat. Kemudian berkata kepada Kusir Hantu dengan suara tegas.
"Aku harus mencari air
Sendang Ketuban di negeri Wilwatikta. Ada seseorang yang perlu kuselamatkan
nyawanya dengan air itu. Bagaimana kalau masalahmu ini kita tangani setelah aku
pulang dari Wilwatikta?"
"Aku tak ingin kehilangan
cucuku yang satu itu; Mahligai Sukma! Jika kau memang punya kepentingan lain,
aku dan Pematang Hati akan menyerang Tebing Hitam hanya berdua saja! Pepatah
mengatakan: 'Rawe- rawe rantas malang-malang pulung', artinya maju terus
pantang mundur, kecuali kepepet!"
Suto tersenyum sumbang karena
hatinya menyimpan kegelisahan. Kusir Hantu bertekad berangkat saat itu juga ke
Tebing Hitam untuk bebaskan Mahligai Sukma, adik Pematang Hati. Saat itu pula
Suto Sinting diliputi oleh kebimbangan yang meresahkan, antara ikut ke Tebing
Hitam atau pergi ke Wilwatikta yang ada di Gunung Purwa.
Namun akhirnya mereka tak jadi
bergerak karena melihat kedatangan seberkas cahaya yang menyerupai bintang
jatuh dari langit. Gumpalan cahaya itu berwarna merah berasap hingga mirip ekor
memanjang. Cahaya tersebut jatuh di depan mereka dalam jarak delapan langkah.
Buuusss...!
Asap tebal mengepul tinggi,
lalu lenyap disapu angin sore hari. Lenyapnya asap itu membuat mata mereka
dapat melihat seraut wajah cantik berdiri dengan mata sayu dan bibir mekar
menggoda gairah.
Seorang perempuan berdiri di
depan mereka, mengenakan pakaian tipis tembus pandang warna abu- abu, rambutnya
lebat terurai lepas, mengenakan mahkota kecil berhias batuan permata putih.
Cahaya matahari yang datang dari arah belakangnya membuat bayangan tubuhnya
yang elok tampak samar-samar dalam bungkusan kain abu-abu tipis itu. Dadanya
pun terlihat menonjol ke depan dengan kencang dan padat. Bahkan perempuan
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu tampak tidak mengenakan pelapis apa
pun kecuali hanya jubah abu-abu dengan dua kancing di bagian perutnya.
"Siapa dia, Pak
Tua?" bisik Suto Sinting.
"Dia yang tadi namanya
kusebut-sebut: Nyai Garang Sayu."
"Luar biasa sekali!"
gumam Suto Sinting bagai tak sadar, matanya sukar berkedip.
"Itulah sebabnya tadi
kusarankan kau pergi saja jika bertemu dengannya, sebab dia punya kecantikan
yang memancarkan daya pikat luar biasa bagi lelaki muda sepertimu. Dan ia
paling gemar menggaet hati pemuda tampan bertubuh kekar sepertimu."
"Taa... tapi dia adalah
Ibu dari Hulubalang Iblis?
Betulkah begitu, Pak
Tua?!"
"Benar. Tentunya kau
heran melihatnya masih semuda itu. Ketahuilah, ia berusia lebih tua dariku. Ia
sebaya dengan kakakku; si Tua Bangka itu."
"Tutup matamu,
Suto!" ujar Pematang Hati ketika Nyai Garang Sayu mendekati mereka.
Suto hanya berkata, "Aku
lupa cara menutup mata!" "Hmmm, dasar mata keranjang!" geram
Pematang
Hati dengan mencibir ketus.
Terdengar suara Nyai Garang
Sayu yang bernada serak-serak menggairahkan itu.
"Kau benar-benar
memaksaku turun tangan, Kusir Hantu!"
Kusir Hantu tetap tenang dan
sunggingkan senyum yang mirip seringai kuda.
"Kau mengawali permusuhan
ini, Garang Sayu! Orang-orangmu memburu cucu-cucuku, dan itu berarti kau
menantangku, Garang Sayu."
"Memang aku ingin
membantaimu dan kedua cucumu, karena kalian telah lakukan penghinaan dengan
menolak lamaran putraku; si Hulubalang Iblis! Penolakan itu adalah penghinaan
besar. Lebih besar lagi setelah putraku kau lukai. Kabarnya si Pendekar Mabuk
pun ikut andil dalam penghinaan itu! Maka si Pendekar Mabuk pun harus ikut
lenyap dari permukaan bumi!"
Suto Sinting menyahut,
"Aku bersedia menghadapi murkamu, Nyai!"
"Oh, jadi kau yang
berjuluk Pendekar Mabuk?" "Benar!" jawab Suto Sinting tegas
sambil melangkah
maju.
"Sayang sekali,"
gumam Nyai Garang Sayu dengan nada dingin. "Mengapa harus kau yang menjadi
Pendekar Mabuk, padahal gairahku sudah mulai terbakar begitu melihat ketampanan
dan kegagahanmu!"
"Dasar perempuan
jalang!" seru Pematang Hati dengan lantang.
Nyai Garang Sayu sunggingkan senyum
sinis sedingin es. Tapi senyum itu segera lenyap karena kemunculan sekelebat
bayangan yang segera berdiri di sampingnya. Bayangan itu ternyata adalah
kehadiran seorang lelaki bertubuh tinggi-besar, berotot kekar, berkepala gundul
licin dan berwajah menyeramkan. Dia adalah putra kesayangan Nyai Garang Sayu
yang bernama: Hulubalang Iblis.
"Ibu, biar aku yang
menghadapinya! Jangan Ibu turun tangan sendiri."
Kusir Hantu sempat menyahut,
"Benar. Ibumu jangan boleh turun tangan, nanti tangannya sampai ke tanah
menjadi seperti orang hutan!"
"Tutup bacotmu, Kusir
Penyu!" bentak Hulubalang Iblis.
"Putraku," ujar Nyai
Garang Sayu dengan kalem. "Mundurlah, biar Ibu selesaikan penghinaan
mereka dengan cara Ibu sendiri. Kau akan menyaksikan seperti apa kematian
orang-orang yang menolak lamaranmu, Nak!"
Pendekar Mabuk segera
merenggangkan jarak dari Kusir Hantu, karena ia yakin harus bertindak cepat
sebelum perempuan cantik memikat hati itu lepaskan serangan mautnya. Tetapi
tiba-tiba mereka dibuat heran oleh kemunculan suara aneh dari arah semak-semak
di balik pohon.
Tik, tok, tik, tok, tik,
tok...
Pendekar Mabuk segera ingat
suara itu dan segera berkata dalam gumam, "Si Bocah Kolok...?!"
Sosok kurus berambut tipis itu
muncul dari semak- semak. Si Bocah Kolok memainkan rantai berbandul dua bola
putih.
"Mau apa datang kemari,
Keparat Tua!" tegur Nyai Garang Sayu dengan ketus sekali, menandaskan rasa
permusuhannya dengan si Bocah Kolok.
"Wiio dengar apa yang
kalian bicarakan! Wiio ingat sekarang, dari kemarin Wiio mau jumpa Kusir Hantu,
tapi selalu nyasar karena lupa arah. Heh, heh, heh, heh...!"
Tik, tok, tik, tok, tik,
tok...!
Mainan tetap berbunyi karena
bergerak naik-turun. Tidak semua orang bisa begitu, membutuhkan ketepatan gerak
dan kecepatan tersendiri. Belum lagi jika harus disaluri tenaga dalam, tentu
membutuhkan perhatian khusus untuk hal itu. Tapi si Bocah Kolok dapat
memainkannya sambil bicara seenaknya.
"Wiio dapat kabar, ada
seorang penguasa suatu wilayah yang ingin bantai sebuah keluarga karena lamaran
anaknya ditolak. Aduh, aduh... jahat sekali penguasa itu, ya?" ujar si
Bocah Kolok kepada Kusir Hantu dengan nada seperti anak kecil.
Hulubalang Iblis menggeram
penuh luapan amarah. "Matikan saja dia, Ibu!" "Tenang, Putraku!
Kalau dia memihak Kusir Hantu, terpaksa Ibu bereskan nyawanya!"
Bocah Kolok mendengar ucapan
itu dan menyahut dengan cengar-cengir, "Heh, heh, heh, heh. Kusir
Hantu, kau dengar bukan, nyawa
Wiio mau dikemasi oleh Garang Sayu. Dia pikir mudah mencabut nyawa tua Wiio
ini, heh, heh, heh. !"
Nyai Garang Sayu membentak,
"Wiio..!"
"Eh, kaget, kaget, kaget.
!" Wiio tersentak kaget dan
mengusap dadanya. "Jangan
bentak-bentak begitu, Garang Sayu. Wiio kaget!"
"Persetan dengan lagak
bocahmu! Kau telah menantangku secara tak langsung! Kau kuanggap memihak kepada
si Kusir Hantu!"
"Kalau Wiio memihak si
Kusir Hantu itu hal yang wajar, sebab Kusir Hantu sahabat Wiio, Nyai
galak!" jawab Bocah Kolok sambil tetap memainkan tiktok- tiktoknya.
"Wiio memang mau bertandang ke tempat Kusir Hantu, eeh. malah ketemu
Pendekar Mabuk yang
tarung dengan adikmu: Jurik
Wetan! Aku baru ingat bahwa kaulah orang yang mempunyai racun 'Kembang Mayat'.
Tapi aku pun baru ingat kalau aku mempunyai jurus penolak racun seperti itu
yang bernama jurus 'Napas Kayangan'. Ternyata jurus 'Napas Kayangan' masih
ampuh dan mampu menyelamatkan segenggam nyawa bocah cantik!"
"Banyak cakap kau ini,
heaaah. !" Nyai Garang Sayu
berwajah ganas, ia kelebat kan
tangannya dan serbuk- serbuk putih pun menyebar ke arah Bocah Kolok yang
berdiri di dekat Kusir Hantu serta Pematang Hati. Melihat sebaran serbuk putih
seperti tepung itu, Kusir Hantu undurkan diri sambil menarik lengan cucunya dan
berseru,
"Awas racun 'Ganda Maut',
Wiio!"
"Apa kehebatannya racun
itu, Pujasera?!"
Bocah Kolok seperti anak
dungu, ia tetap bermain tiktok-tiktok tanpa hiraukan serbuk yang menyebar ke
arahnya. Namun tiba-tiba serbuk-serbuk itu saling meletup dan memercikkan bunga
api yang merimbun, indah dipandang mata namun berbahaya jika dihirup manusia.
Tar, tratar, tar, tar,
trrrrattar...!
"Biadab! Dia lumpuhkan
racun itu, Ibu!" seru Hulubalang Iblis.
Nyai Garang Sayu gerakkan
kedua tangannya ke sana-sini, memainkan jurus maut bertenaga dalam cukup
tinggi. Dari gerakan tangannya itu keluar uap salju yang menyebar ke sekeliling
dan dapat membekukan darah lawan.
Bocah Kolok semakin cepat
memainkan tiktok- tiktoknya. Uap salju itu bagai tak bisa bergerak ke mana-
mana. Nyai Garang Sayu kerahkan tenaga dengan dua tangan bagai mendorong ke
depan. Bocah Kolok makin percepat mainannya.
Tik, tok, tik, tik, tok, tok,
tok, tok...!
"Hiaaaahhh...!" Nyai
Garang Sayu menguras tenaga untuk mendorong uap salju yang mulai membeku di
udara tapi tidak dapat bergerak ke mana-mana. Tubuh perempuan cantik itu bergetar,
tanah pun bergetar dan pohon-pohon juga bergetar. Daun-daun rontok karena
getaran tubuh Nyai Garang Sayu.
Tooook, tooook, tooook,
tooook...!
Semakin tinggi suara mainan si
Bocah Kolok, semakin beku uap yang keluar dari pori-pori Nyai Garang Sayu. Si
Bocah Kolok sendiri hanya cengar- cengir bagai anak kecil kegirangan melihat
kemampuannya bermain dengan cepat. Kusir Hantu dan Pematang Hati hanya pandangi
keadaan itu dengan tegang, namun diam-diam Kusir Hantu telah siapkan pukulan
mautnya untuk sewaktu-waktu hadapi bahaya. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya diam
pandangi Hulubalang Iblis yang tampak gusar dan ingin lepaskan pukulan mautnya
pula.
"Hhheeeaahhh...!"
Nyai Garang Sayu berteriak keras sebagai tanda telah kerahkan seluruh tenaganya
untuk mendorong uap salju. Tapi uap salju semakin sukar bergerak dan kian
membeku karena bunyi tiktok-tiktok kian keras dan cepat. Rupanya dari suara
itulah si Bocah Kolok salurkan hawa saktinya untuk menahan kekuatan sakti
lawannya.
Uap salju itu akhirnya membeku
dan membungkus tubuh Nyai Garang Sayu. Tubuh perempuan itu tak bisa bergerak
sedikit pun. Tapi suara erangannya masih terdengar samar-samar. Akhirnya si
Bocah Kolok melemparkan mainannya itu dengan gerakan cepat. Weees...!
Pletak...! Buuuummmm...!
Gumpalan es yang membungkus
Nyai Garang Sayu meledak dengan dahsyat, menyebar ke berbadai arah. Bersamaan
dengan pecahnya gumpalan es itu, tubuh Nyai Garang Sayu pun lenyap seketika.
Tapi suaranya masih terdengar menggema panjang lalu menghilang bagai ditelan
bumi.
"Aaaa...!"
Menyadari ibunya telah hancur
bersama serpihan es itu, Hulubalang Iblis menjadi sangat murka.
"Bangsaaat...!" ia
berteriak sekuat tenaga, sambil melompat menerjang Bocah Kolok saat Bocah Kolok
sedang menangkap mainannya yang memutar kembali ke tempat semula setelah
menghantam gumpalan es tadi.
Zlaaap...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk bertindak
menerjang Hulubalang Iblis. Keduanya sama-sama terpental satu arah dan
berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari Bocah Kolok.
"Ggrrr...!" Hulubalang
Iblis menggeram dengan wajah liarnya. "Kuhisap habis darahmu, Manusia
Bejat! Heeaahh...!"
Slaaab...! Sinar merah besar
keluar dari telapak tangan Hulubalang Iblis. Sinar merah itu menghantam dada
Pendekar Mabuk yang baru saja bangkit dengan setengah berdiri. Srruub...!
Pendekar Mabuk tersentak kaku,
sinar merah itu tiada kunjung padam. Darah si Pendekar Mabuk tersedot ke
telapak tangan Hulubalang Iblis.
"Kakek, Suto tak bisa
bergerak! Cepat tolong dia, Kek!" Pematang Hati ribut sendiri. Tapi
sebelum Kusir Hantu lakukan suatu tindakan, tiba-tiba Pendekar Mabuk berubah
menjadi besar dan besar sekali. Tubuhnya menjadi tinggi dan besar. Mereka terperangah melihat Suto Sinting
menjadi raksasa. Hulubalang Iblis juga terbengong melihat sinar merahnya menjadi
seperti lidi yang menggelitik dada raksasa.
Jurus 'Dewatakara' pemberian
dari Payung Serambi dipergunakan Suto dalam keadaan sangat terdesak. Dengan
sekali sambar, tangannya berhasil meremas kepala Hulubalang Iblis yang gundul
itu, lalu melemparkannya tinggi-tinggi. Wuuuusss...!
Hulubalang Iblis melayang di
udara. "Aaaaa...!"
Jeritan kerasnya segera
terhenti ketika tubuhnya jatuh ke tanah dan kaki raksasa Suto itu menginjak
dadanya dalam satu hentakan mengerikan. Buuhk...!
"Heeekkh...!"
Darah menyembur dari mulut
Hulubalang Iblis yang ternganga. Seakan semua darah dalam tubuh orang gundul
itu terkuras keluar hingga melumuri kaki raksasa Suto. Maka sejak saat itu,
Hulubalang Iblis tak pernah bernapas lagi. Ia mati dalam keadaan gepeng.
Napas mereka terhempas lega.
Pendekar Mabuk segera mengubah diri dan menjadi seperti semula. Bertepatan
dengan itu, seraut wajah cantik tanpa senyum muncul dari semak-semak. Gadis
yang terkena racun 'Kembang Mayat' itu ternyata telah disembuhkan oleh si Bocah
Kolok dan menjadi sehat tanpa kesan luka sedikit pun.
Pematang Hati terbelalak
girang melihat kemunculan gadis berpakaian hitam bintik-bintik putih bagai paku
payung itu. Suaranya terlontar dengan nada ceria,
"Mahligai...!"
Suto Sinting terkejut dan
memandang Bocah Kolok. "Apakah dia... dia yang bernama Mahligai Sukma,
Wiio?!"
"Iya. Waktu itu, Wiio
lupa namanya dan lupa siapa dirinya. Tapi sejak kau pergi, Wiio jadi ingat
bahwa dia adalah cucu sahabatku dan Wiio ingat dia punya nama Mahligai Sukma.
Dia yang menceritakan rencana pembantaian Hulubalang Iblis terhadap Kusir Hantu
dan kedua cucunya itu."
Wiio tertawa sambil bermain
tiktok-tiktoknya. "Heh, heh, heh... maaf, hampir saja Wiio lupa siapa
gadis itu."
"Memang sudah lupa. Kalau
kau tak pikun, aku tak akan keluyuran sampai ke sini!" gerutu Suto Sinting
sambil perhatikan Mahligai Sukma yang sedang dipeluk oleh kakaknya; si Pematang
Hati dan kakeknya; si Kusir Hantu.
SELESAI PENDEKAR MABUK