Ketegangan menjadi semakin
memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan
sendiri-sendiri. Sidantipun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang
yang kebingungan, siap memasuki padesan di hadapannya.
Tetapi terdengar Citra Gati berteriak,
“Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha
yang sia-sia. Kalau kita pasti Untara ada di depan kita, maka biarlah kita
pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali.”
“Kau jangan menghinanya” sahut
Sidanti keras-keras. “Apakah kau sangka Untara terluka? Untara adalah seorang
yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. Karena itu, maka tak
akan ia terluka dan terbaring di antara orang-orang yang luka. Aku hormati dia,
aku kagumi dia.”
Kata-kata itu masuk akal pula.
Karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra
Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara telah terlanjur memasuki desa
itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada mereka
yang mengikutinya.
Dalam ketegangan yang dipenuhi
oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata, “Taati
perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik di
antara kalian.”
“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba
berteriak tak kalah kerasnya. “Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang
memiliki kedudukan tertua di antara kalian. Ketika Kakang Widura meninggalkan
Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan.”
“Persetan dengan tata cara
itu. Sekarang aku mengangkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa maumu? Apakah
aku harus membunuhmu?”
“Jangan berlagak jantan
sendiri Sidanti. Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari kami. Tetapi
kami bukan kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan
meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan Pajang, maka kau
adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yang patuh pada tugas
kami, maka nyawa kami akan kami pertaruhkan untuk menumpas setiap pemberontakan.”
“Gila” teriak Sidanti. “Ayo,
siapakah yang menentang Sidanti, majulah.”
Citra Gati bukan seorang
penakut. Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan Sidanti, tetapi ia
adalah seorang prajurit yang bertanggung-jawab. Karena itu, maka ia tidak
gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itupun telah terbakar
oleh perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok persoalannya. Hilangnya Untara.
Apalagi ketika Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya condong
kepadanya, sehingga dengan demikian hampir-hampir ia menjatuhkan perintah untuk
bersama-sama menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara keprajuritan.
Tetapi dalam pada itu
terdengar suara Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan malam. Katanya,
“Persetan dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan
pula laskar Sangkal Putung. Aku di sini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas
yang aku bebankan sendiri di pundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama
kalian. Tetapi aku tidak diperintah oleh pemimpin yang manapun. Bertempurlah di
antara kalian. Aku akan mencari Kakang Untara. Aku sependapat dengan Kakang
Citra Gati, Kakang Untara masih berada di belakang kita. Dan siapakah di antara
kalian yang masih memiliki kesetiaan kepadanya, ikutlah aku. Yang merasa diri
kalian prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang berhasil
membunuh orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar
Pajang. Sedang tak seorangpun di antara kalian yang berusaha memberitahukan hal
ini kepada Paman Widura, pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang
mencoba menghalangi Agung Sedayu, maka pedangku akan berbicara.”
Kata-kata Agung Sedayu itu
seakan-akan merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka lakukan. Tiba-tiba
salah seorang dari mereka, seorang penghubung berlari ke arah padesan di
belakang mereka. Di sanalah kudanya ditambatkan.
“He, kemana kau?” teriak
Sidanti yang menjadi marah.
“Aku akan melaporkannya kepada
Ki Widura.”
Sidanti tidak mencegahnya.
Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang dalam pasukan itu.
Sedang Agung Sedayu kemudian
tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung ke garis peperangan
untuk mencari kakaknya. Dalam hiruk pikuk perkelahian itu, adalah sangat
mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa diketahuinya, apalagi
Untara yang saat itu sedang menumpahkan perhatiannya kepada Tohpati.
Citra Gati, Hudaya dan
sebagian besar dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu. Mereka
berjalan sambil memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Dengan beberapa
buah obor di tangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang terbaring.
Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang yang
terluka, namun jiwanya masih mungkin diselamatkan.
“Rawat mereka” berkata Agung
Sedayu. Ia tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian atau tidak. Namun
menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah kemanusiaan.
Berhak atau tidak berhak.
Dalam kesibukan itu, maka
mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari Sangkal Putung.
Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka melihat kedatangan
Widura beserta beberapa orang pengawalnya.
“Apa yang sedang kalian
lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya.
“Kami mencari Kakang Untara”
sahut Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya.
Sukar dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan terbaring di antara mereka
yang jatuh di dalam pertempuran itu.
“Apakah menurut perhitunganmu,
hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura.
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
terdengar suara Sidanti lantang, “Aku sudah mengatakan kepada mereka, bahwa
Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat bahwa Untara yang melukai
Tohpati, bukan Untara yang dilukai.”
Widura mengerutkan keningnya.
Dipandangnya Agung Sedayu yang masih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya,
“Kalau Kakang Untara tidak terluka, maka ia pasti sudah kembali. Apakah menurut
dugaan Paman, Kakang Untara tidak terluka tetapi justru tertangkap oleh
Tohpati?”
“Tidak mungkin” sahut Widura
serta-merta.
“Nah kalau begitu kemana?
Terluka tidak, tertangkap tidak. Apakah Kakang Untara mengejar musuh itu
seorang diri tanpa memberikan perintah kepada kami di sini?”
Widura menggeleng-gelengkan
kepala. Jawabnya, “Juga tidak.”
“Lalu bagaimana?” bertanya
Agung Sedayu yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan kakaknya.
Semula, ketika ia masih
digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka kakaknya adalah satu-satunya
tempat untuk melindungkan dirinya. Namun kini, meskipun ia merasa bahwa
akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik untuk menyelamatkan dirinya itu,
maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih sayang seorang adik terhadap
seorang kakak yang telah melindunginya bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah
banyak berkorban untuknya. Seorang kakak yang telah berusaha sekuat-kuat
tenaganya untuk membentuknya menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya,
meskipun kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa atas kemajuan yang
dicapainya. Namun kini ia telah menemukan dirinya. Dan karena itu maka terasa
didalam dirinya suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan
kakaknya itu. Apapun yang akan dihadapinya.
Widura itupun kemudian
meloncat pula dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan matanya sejenak
berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam, “Aku sependapat dengan kau
Sedayu.”
Kemudian kepada seluruh
laskarnya Widura itu mengeluarkan perintah, “Semua mencari di antara
orang-orang yang terluka.”
Beberapa orang kemudian
tersebar di sepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat satu
persatu di bawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yag berjalan
mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam, “Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu sama sekali tidak
memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya bersama-sama dengan Citra
Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama dengan beberapa orang lainpun
telah ikut mencari pula di antara mereka.
Tiba-tiba dalam kesepian malam
itu terdengar seseorang berteriak lantang sambil melambai-lambaikan obornya,
“Inilah! Inilah yang kita cari!”
Agung Sedayu benar-benar
terkejut mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari ikatan, ia
meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri di sampingnya.
Diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring di tanah. Bahkan beberapa kali
kakinya telah terperosok ke dalam lubang-lubang di pematang.
Demikian pula dengan beberapa
orang yang lain. Widurapun terkejut bukan main. Seperti Agung Sedayu segera ia
meloncat berlari ke arah suara itu.
Ketika mereka sampai, dan
ketika mereka melihat orang yang terbaring diam dengan darah yang memerahi
tubuhnya, ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya telah menjadi
sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari lukanya, bahkan
beberapa orang telah menyangkanya mati.
Agung Sedayu dengan gemetar
berlutut di samping kakaknya sambil memanggil-manggil, “Kakang, Kakang Untara.
Kakang!”
Tetapi Untara tidak menjawab.
Bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi sangat dinginnya.
Perlahan-lahan Widura
menempelkan telinganya di dada Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia
berkata, “Masih aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya.
Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.”
Tubuh Untara yang lemah itupun
segera diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan kepalang. Pasti bukan
Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap di punggung Untara itu.
”Hem” terdengar Widura
menggeram. Dengan hati-hati pisau itu ditariknya. Dan kemudian katanya
tergesa-gesa, “Kain. Balutlah lukanya.”
Beberapa orang menjadi
bingung. Mereka tidak membawa secarik kainpun untuk membalut luka itu. Namun
kemudian Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu ia mencoba
menyumbat luka Untara.
Untara itupun kemudian
dikerumuni oleh hampir semua orang di dalam pasukan itu. Sidantipun kemudian
datang pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata, “Apakah benar Kakang
Untara terluka?”
Agung Sedayu mengangkat
wajahnya. Ditatapnya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. Namun ia tidak
menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura, “Ya, Untara ternyata
terluka.”
“Benar-benar tidak menyangka”
katanya sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri selangkah di belakang
Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring di tanah, sedang beberapa
orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Seseorang melihat Kakang Untara
berhasil melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?”
Tak seorangpun yang menjawab
kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu telah sibuk kembali
dengan luka Untara itu.
Semua orang yang berdiri
melingkar itu menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya
luka itu. Luka yang menghunjam masuk ke dalam punggung Untara.
Suasana kemudian menjadi sepi.
Angin malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, mengguncang batang-batang
padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang
bertempur. Sedang di kejauhan terdengar bunyi binatang-binatang malam
bersahut-sahutan. Di langit yang biru bersih, terpancang berjuta bintang
gemintang yang berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan
merajai langit di malam hari.
Dalam keheningan malam itu
tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah, “Terlambat. Tidak ada gunanya lagi.
Untara telah mati.”
Semua yang mendengar desah itu
terkejut. Lebih-lebih Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata
lantang, “Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha.”
“Aku memandang segala
persoalan menurut pertimbangan nalar” sahut Sidanti. “Keadaan itu sudah sangat
gawat. Apapun yang kalian usahakan akan sia-sia saja.”
“Tidak” potong Widura.
“Kemungkinan masih ada.”
Terdengar Sidanti tertawa
pendek. “Untara bukan malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti
juga orang lain yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati.”
“Tutup mulutmu!” tiba-tiba
Agung Sedayu yang tidak dapat menahan hati lagi membentak lantang. “Kalau kau
tidak merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa.”
Sidanti mengerutkan keningnya
mendengar bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia menjawab, “Jangan
bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan dari
Panglima Wira Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan
membentak-bentak.”
“Aku tidak peduli apakah dan
siapakah yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau mendengar kau berkata
seolah-olah sudah sewajarnya Kakang Untara harus mati. Kau lihat kami sedang
berusaha untuk menolongnya.”
“Itu urusanmu” sahut Sidanti.
“Aku hanya mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat
ditolong lagi.”
“Jangan kau katakan di
hadapanku.”
“Apa hakmu melarang aku
berkata menurut pertimbanganku sendiri.”
Agung Sedayu bukanlah seorang
yang cepat menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia adalah seorang yang
lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang paling damai. Tetapi
meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar tersinggung. Kakaknya adalah
orang yang paling dihormati sepeninggal orang tuanya. Kakaknya adalah orang
yang paling baik di muka bumi ini, yang telah banyak berbuat untuknya, untuk
kepentingannya.
Karena itu, maka tanggapan
Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar telinganya sehingga Agung
Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi
keras dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata, “Sidanti, kau ingin
perselisihan, maka sekarang adalah waktunya. Aku selalu mencoba menghindari
setiap benturan di antara kita sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat
persoalan. Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima tantanganmu. Dengan
atau tanpa senjata.”
Tak seorangpun yang menyangka
bahwa Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang terlalu keras
dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran di dalam dadanya.
Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang betapapun luasnya. Sehingga
akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang dingin.
Sidantipun sama sekali tidak
menyangka, bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. Sesaat ia
berdiri termangu-mangu. Dilihatnya di dalam sinar obor yang kemerah-merahan
mata Agung Sedayu yang menyala-nyala.
Namun Sidanti adalah seorang
yang keras hati. Ketika ia menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya.
Dengan lantang ia menjawab kata-kata Agung Sedayu. “Bagus. Aku tantang kau saat
ini.”
Agung Sedayu tidak menunggu
apapun lagi. Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat di tangan Sidanti masih
tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan apapun lagi,
dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya.
Tetapi tepat pada saatnya
Widura telah berdiri di antara mereka. Dengan tenang ia berkata, “Aku
memerintahkan kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan
pada Sidanti selaku seorang prajurit di bawah pimpinanku, dan aku perintahkan
kepada Agung Sedayu selagi masih keponakanku.”
Kembali suasana menjadi sunyi
senyap. Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa kata-kata Widura. Karena
itu, maka merekapun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat kemudian terdengar pula
Widura itu berkata, “Sekarang bawa Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat,
supaya kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik. Darah telah terlampau
banyak tertumpah di sini. Apakah masih ada yang akan memeras lagi darahnya?
Apalagi tanpa arti?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut serta
mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Sedang Sidanti masih tegak di
tempatnya. Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi, menyarungkan pedangnya dan
kemudian bersama-sama dengan beberapa orang mengangkat tubuh Untara.
Widurapun kemudian
meninggalkan Sidanti itu pula. Di belakang mereka yang mengangkat tubuh Untara,
Widura berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam persoalan
membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja sembuh dari lukanya, kini
telah terluka kembali. Bahkan agak lebih parah. Kalau anak muda itu tidak
segera mendapat pengobatan yang baik, maka jiwanya ada dalam bahaya.
Ketika laskar Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, maka Sidanti masih
saja berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil menundukkan
kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka.
Tiba-tiba timbullah iri di
hatinya. “Apakah kalau aku terluka maka semua orang akan berduka seperti itu?”
katanya dalam hati.
Ketika kemudian terdengar
suara ayam jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian betapa
silirnya angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya
bintang-bintang masih bercahaya di langit di atas kepalanya. Dilihatnya bintang
Bima Sakti melintang dari kutub ke kutub, di lingkaran serbuk bintang yang
keputih-putihan seperti awan yang bercahaya.
Di mukanya berpuluh-puluh obor
berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika ia kemudian melangkah,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia berpaling
sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam
ketika ia melihat orang yang mendatanginya. Gurunya, Ki Tambak Wedi.
“Apakah lau terkejut Sidanti?”
Sidanti menarik nafas.
Jawabnya, “Ya Guru. Aku baru saja bertempur di sini. Karena itu, maka aku masih
diliputi oleh suasana itu.”
Gurunya itu tertawa pendek.
“Aku melihat pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian
yang bernama Untara itu.”
Sidanti tersenyum pula. “Hem.
Pokal orang-orang gila itu” desisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian
mengawasi obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya kemudian seakan-akan
hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak diatas layar yang
hitam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dengan penuh keprihatinan membawa tubuh kakaknya bersama-sama beberapa orang
lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang selama ini mengancam jiwa
kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama seakan-akan baru
kemarin dibebatnya di daerah sekitar Macanan. Kini kakaknya sudah terluka kembali.
Namun demikian, kakaknya
bukanlah korban satu-satunya. Di daerah bekas pertempuran itu masih banyak
tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa diantara
mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup, merintih-rintih
menahan sakit.
Karena itu, tiba-tiba Agung
Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil berkata, “Paman, apakah orang-orang
lain yang terluka di garis peperangan itu tidak mendapat perawatan seperti
kakang Untara ini?”
Pamannya mengangguk. Jawabnya,
“Ya. Beberapa orang lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah meninggal.
Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah kakaknya
yang pucat, hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan
orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus segera
mendapat pengobatan sewajarnya.
Kabar tentang Untara segera
tersebar ke seluruh Sangkal Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa
mendengar berita itu. Salah seorang di antara mereka berkata, “Kalau begitu,
Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan di sini. Seperti
kabar-kabar yang kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak mampu
mempertahankan dan menyelamatkan dirinya sendiri.”
“Kau salah” jawab yang lain.
“Untara sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar di sini. Ternyata
Untara memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang melihat
Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian mendesaknya terus.
Seandainya Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang
hampir pasti, Tohpati akan dapat dibinasakan oleh Untara. Namun, ketika kita
sedang mengejar laskar lawan yang mengundurkan diri, seseorang menyerangnya
dengan curang, menusukkan pisau itu terhunjam di punggungnya.”
Orang pertama menyesal atas
penilaiannya terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia membetulkan kesalahan,
“Ah, aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun jika seandainya
seseorang berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka orang yang
melakukan itu pasti seseorang yagn pilih tanding pula.”
“Mungkin” jawab orang kedua.
“Di dalam laskar lawan terdapat Alap-Alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain”
“Plasa Ireng sudah mati.”
Orang kedua itu mengerutkan
keningnya. “Ya, ia mati dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar
berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya yang sudah
tidak berdaya.”
“Sungguh berlawanan dengan
Agung Sedayu” sahut yang lain. “Menurut Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal
ketika ia membunuh seseorang meskipun di dalam peperangan.”
Kemudian keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka sedang
berbaring-baring saja di muka regol kademangan karena kelelahan. Beberapa orang
duduk-duduk di halaman, sedang yang lain masih berada di banjar desa.
Orang-orang yang terlukapun
kemudian di bawa ke banjar desa itu untuk mendapat pertolongan sekedarnya.
Tetapi Untara itdak dibawa ke banjar desa. Untara itu oleh Widura disuruhnya
membawa ke kademangan saja. Sebab Untara adalah orang penting bagi Pajang. Mau
tidak mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan menjadi heran atas keadaannya.
Untara itupun kemudian
dibaringkan di dalam pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang
Sangkal Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka
menyaksikan dengan penuh haru, tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun
demikian, mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat sadar kembali,
karena mereka masih melihat dada Untara bergerak-gerak dalam pernafasan yang
sulit.
Ki Demangpun menjadi gelisah
pula. ia telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-daun yang menurut
pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran darah.
“Untunglah” gumam Widura.
“Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh jantungnya.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup berbahaya.
Dalam pada itu, hampir setiap
orang berbicara tentang Untara, tentang lukanya di punggung. Mereka bersepakat
bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang curang.
“Di dalam perang brubuh hal
itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang bertugas di gardu
pertama.
Yang diajak berbicara
mengangguk. Katanya, “Tetapi aneh. Tohpati dan Untara bertempur tepat di garis
pertempuran. Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk ke dalam
lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia mendapat serangan dari
belakang?”
“Aku tidak melihatnya
demikian. Kita bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam satu garis yang
teratur, meskipun di sana sini timbul pula kekacauan yang memungkinkan hal-hal
semacam itu terjadi.”
“Tetapi yang melukai Untara
pasti bukan Macan Kepatihan.”
“Pasti bukan” jawab yang lain.
Mereka kemudian terdiam.
Tetapi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang perlahan-lahan
mendatanginya. Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu
pedangnya yang masih disangkutkan di dalam sarungnya ia menyapa, “Siapa itu?”
Orang yang disapa itu
mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab, “Aku ngger, aku.”
“Aku siapa?” bertanya penjaga
itu pula.
Orang yang disapanya itu
berjalan semakin dekat. Dengan langkah satu-satu ia menjadi semakin jelas.
Seorang tua dengan sebuah tongkat kecil di tangannya.
“Siapa itu” penjaga itu
mengulangi.
“Aku ngger, aku” jawabnya.
Suaranyapun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa orang itu adalah
seorang tua.
“Siapa namamu?”
Orang itu sudah dekat benar.
Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Huh. Aku hampir mati ketakutan melihat
pertempuran itu.”
“Kau melihat pertempuran itu
kek?” bertanya salah seorang penjaga.
“Ya, aku melihat” jawabnya.
“Kenapa melihat, kalau kau
hampir mati ketakutan?”
“Aku tidak sengaja melihat.
Aku berjalan lewat daerah itu. Dan di daerah itu terjadi pertempuran.”
“Mau kemana kau sebenarnya
kakek?”
“Pulang ke dukuh Pakuwon.”
“Dukuh Pakuwon?” bertanya para
penjaga keheranan. “Dari mana?”
Orang itu terdiam. Nafasnya
masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab, “Aku baru saja pulang
dari pesisir.”
“Dari pesisir?”
“Ya. Aku baru saja mencari
kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati luka-luka.”
“Kau dapatkan kulit kerang
itu?”
“Ya.”
“Dapatkah dipakai untuk
mengobati luka senjata tajam?”
“Tentu. Tentu.”
“Banyak kawan-kawan kami
terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?”
“Tentu. Tentu.”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Ia tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Pemimpin kami terluka. Marilah, aku
antarkan kau ke kademangan. Biarlah para pemimpin yang menentukan, apakah
obatmu dapat menolongnya.”
“Siapakah yang terluka?”
“Untara.”
“Untara?” kakek itu mengulang.
Orang tua itupun kemudian
dibawa oleh beberapa orang penjaga ke kademangan.
Ketika mereka sampai di
pendapa, maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk di pringgitan, sehingga
para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka untuk
mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang masih
terbuka itu.
Widura berpaling ke arah
mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak di muka pintu. “Ada apa?”
katanya.
Maka diceritakannya tentang
orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk menyembuhkan
luka-luka.
Widura yang sedang
digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia berkata,
“Bawa orang itu masuk kemari.”
Orang tua itupun segera
dipersilakan masuk ke pringgitan. Namun demikian ia melangkahi pintu,
terdengarlah Agung Sedayu menyapanya lantang, “Ki Tanu Metir!”
Orang tua itu memandang
berkeliling. Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka. Karena itu,
maka tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “Kau di sini juga
Ngger?”
“Ya Ki Tanu. Aku menunggui
kakakku yang terluka.”
Tiba-tiba Agung Sedayu itu
teringat pula kepada peristiwa yang dialaminya di Macanan. Maka katanya pula,
“Ki Tanu. Kakakku yang terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara.”
“He?” orang tua itu terkejut.
“Apakah Angger Untara belum sembuh?”
Semua orang yang berada di
pringgitan memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu dengan seksama.
Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah mengenal Untara
dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayupun kemudian
menjelaskan. “Kakang Untara baru saja terluka dalam pertempuran di perbatasan
Sangkal Putung. Bukan luka yang dahulu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Hem. Itu adalah akibat dari
kedudukannya. Baru saja Angger Untara sembuh, kini ia telah terluka kembali.”
“Ya Kiai” sahut Widura.
“Setiap prajurit menyadari hal itu. Kamipun di sini menyadari, dan Untarapun
menyadari.”
“Angger benar” jawab Ki Tanu
Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Siapakah Angger
ini?”
Widura ragu-ragu sesaat. Yang
menjawab adalah Agung Sedayu. “Paman Widura. pemimpin laskar Pajang di Sangkal
Putung.”
“Oh” desah orang tua itu, yang
kemudian berkata pula kepada Widura, “Angger, apakah aku diperbolehkan mencoba
mengobati luka Angger Untara?”
“Silakan Kiai. Kami akan
berterima kasih kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar, Kiai pernah
juga merawat Untara beberapa waktu yang lewat.”
“Ya ya” sahut Ki Tanu Metir
sambil melangkah maju.
Kemudian dengan sangat
hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu.
Semua orang menegang nafas.
Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat memberinya obat.
Tampaklah Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Angger,
tolonglah aku membuka bajunya.”
Dengan tergesa-gesa Agung
Sedayupun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-hati membuka baju
Untara.
Dari bungkusannya, Ki Tanu
Metir mengeluarkan beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan di
sekitar luka Untara.
“Marilah kita berdoa di dalam
hati kita. Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhanlah yang akhirnya
menentukan. Mudah-mudahan Angger Untara segera sembuh.”
“Apakah luka itu tidak terlalu
berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
Ki Tanu Metir menggeleng,
“Tidak terlalu berbahaya.”
Semua orang menarik nafas
panjang mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak di antara mereka
yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti Untara itu
tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya.
“Angger” berkata Ki Tanu Metir
kepada Widura. “Biarlah Angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara di
pringgitan ini menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah
yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini.”
Widura menjadi ragu-ragu untuk
sesaat. Diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah.
Biarlah ruangan ini menjadi jernih.”
Beberapa orang lain segera
meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan demikian udara di
dalam ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.
Di dalam ruang itu kini
tinggal Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru. Dari balik
dinding Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani masuk ke
dalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang lain lagi
berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara terluka.
Sekar Mirah menjadi gembira
ketika ayahnya memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka dari kejauhan itu
ia menjawab, “Ya ayah.”
“Kemarilah.”
Dengan berlari-lari kecil
Sekar Mirah itu masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu tertegun di
pintu ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi kesuramannya
itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa.
“Ambillah jeruk” berkata
ayahnya.
“Jeruk apa ayah?”
“Jeruk pecel” sahut ayahnya.
“Ya ayah” jawab gadis itu
sambil berlari.
Widura sekejap memandang wajah
kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu. Namun ia tidak berkata apapun.
Setelah ruangan itu menjadi
sepi, maka terdengarlah Agung Sedayu bertanya, “Ki Tanu, apakah benar luka itu
tidak begitu parah?”
“Luka itu tidak parah Ngger,
tetapi aku kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku berhasil mengembalikan
pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi Angger Untara bukan luka
itu, tetapi lihatlah.”
Ki Tanu Metir itu kemudian
menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan di lambung kanan Untara. Semua yang
menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu
bertanya, “Noda apakah itu Kiai?”
“Sebuah pukulan yang tepat di
arah ulu hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak tergesa-gesa,
sehingga agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya.”
Semua orang yang berada ditempat
itu merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat di sekitar noda yang
kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerah-merahan.
“Ada dua kemungkinan Kiai”
berkata Widura. “Pukulan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena tergesa-gesa
atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk membuat Untara itu
menjadi semakin parah.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya. Mungkin. Namun menilik kemudian
yang dapat dilakukan atas Angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang
kebanyakan.”
Kembali ruangan itu menjadi
diam. Masing-masing mencoba untuk mencari setiap kemungkinan yang dapat terjadi
atas Untara itu, namun tak seorangpun yang mampu untuk mencoba menebak,
siapakah yang telah melakukannya.
Pringgitan itu kini menjadi
sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara. Diraba-rabanya dan
dipijit-pijitnya.
Sekar Mirahpun kemudian masuk
kembali ke pringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk
itu kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya kepada Ki
Tanu Metir.
“Terima kasih” sahut dukun tua
itu.
Setelah dipotong-potong maka
jeruk nipis itupun diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan obat-obatan.
Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan pernafasan Untara.
Dari lambung, dada dan punggungnya.
Sesaat kemudian terdengarlah
Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas yang panjang.
“Bagaimana Kiai?” terdengar
Widura bertanya.
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan mengurutnya
perlahan-lahan.
Sekali lagi Untara menarik
nafas panjang, kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Agung Sedayu, Widura, dan Ki
Demang Sangkal Putung mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku di
belakang ayahnya.
Mereka kemudian menarik nafas
lega ketika Ki Tanu Metir itu berkata, “Pernafasan Angger Untara sudah
berangsur baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan dari
dua luka di tubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka tusukan di
punggungnya telah sangat melemahkannya, dan noda biru itu telah mengganggu
pernafasannya.”
Ternyata gerak dada Untara
kini telah jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan mudah.
Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali. Apalagi
dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada lukanya, sama sekali
telah menyumbat pendarahan.
Kemudian Ki Tanu Metir yang
menarik nafas dalam-dalam. Lirih ia bergumam, “Mudah-mudahan.”
Setelah pernafasan Untara itu
menjadi baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat menggerakkan
tangannya, maka Ki Tanu Metir itupun berkata, “Biarlah Angger Untara tidur. Ia
kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang sangat lemah, maka ia
belum dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya.”
“Jadi, luka-luka itu tidak
membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menggeleng.
“Marilah kita berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh
kembali.”
Ruang pringgitan itu menjadi
sepi kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka
kini duduk disamping tubuh Untara yang masih terbaring diam.
Sekar Mirah yang tidak pergi
keluar sejak ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk di situ pula. Tetapi ia
menjadi kecewa ketika ayahnya berkata, “Mirah, manakah minuman kami?”
Sekar Mirah tidak menjawab,
tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar dari pringgitan
pergi ke dapur.
Sejenak kemudian, mereka yang
duduk di pringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu
terbuka. Di muka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika
dilihatnya Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kakang Widura” katanya.
“Apakah aku boleh masuk?”
“Apakah kau mempunyai suatu
keperluan Sidanti?” bertanya Widura.
Sidanti mengangguk sambil
menjawab, “Ya Kakang.”
“Kemarilah” sahut Widura.
Sidanti itupun kemudian masuk
ke pringgitan dan duduk di samping Widura. Di tangannya ia memegang sebuah
bungkusan kecil.
“Kakang” katanya “aku telah
mencoba menghubungi guruku. Aku katakan kepada Guru, bahwa Kakang Untara
terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu.”
Sidanti berhenti sesaat.
Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk di sekitarnya. Ketika tak
seorangpun menjawab maka Sidanti itu meneruskan, “Namun sayang, menurut guruku,
luka demikian adalah luka yang sangat berbahaya. Luka yang tak akan mungkin
diobati. Meskipun demikian, maka kita wajib berusaha. Dan gurukupun akan
mencoba menolongnya apabila mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah kita yang
menentukan. Dan inilah obat yang aku terima dari guruku itu. Biarlah aku
mencoba mengusapkannya pada luka itu.”
Widura mendengar kata-kata
Sidanti itu dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam diri. Timbullah perasaan
aneh terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang disangkanya. Dalam
keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat sesuatu meskipun hasilnya
belum pasti akan tampak. Karena itu, maka sesaat kemudian menjawab, “Terima
kasih Sidanti.”
Agung Sedayupun menjadi heran
pula. Tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia telah memusuhi anak
muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk keselamatan kakaknya.
Ki Demang dan Swandaru Genipun
menjadi bersenang hati atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan di
antara mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah persatuan
yang bulat di antara semua kekuatan di Sangkal Putung.
Tetapi yang masih saja berdiam
diri adalah Ki Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh
Sidanti itu. Karena itu, maka katanya, “Angger, apakah aku boleh melihat obat
itu?”
Sidanti memandang kepada Ki
Tanu Metir dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia bertanya kepada Widura,
“Siapakah orang ini Kakang?”
Widura berpaling kepada Ki
Tanu Metir, kemudian jawabya, “Orang inilah yang telah melakukan pertolongan
pertama kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah seorang dukun yang
berpengalaman.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang melihat kehadiran Ki Tanu
Metir. Maka katanya, “Apakah Ki Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau
barangkali seorang dukun yang dapat menebak hati orang, atau menenung orang
dari jauh dan menaruh guna-guna?”
“Oh tidak, tidak Ngger” sahut
Ki Tanu Metir. “Aku bukan dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat
menebak hati orang, menaruh guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui
hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang dapat dipakai untuk mengobati
luka. Itupun hanya aku dengar dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku
mencoba mengobati luka Untara dengan cara yang pernah aku pelajari dari
orang-orang tua itu.”
“Hem” Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau begitu, obat ini
adalah obat yang pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini
diberikan oleh guruku, Ki Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu
berganti-ganti. Kemudian ia menyahut, “Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang dukun
yang pandai. Tetapi apakah ia dapat mengobati tanpa melihat luka itu?”
“Tentu” jawab Sidanti. “Ki
Tambak Wedi dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab
ia pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan aliran
darah dan kemudian memampatkan luka itu untuk memulihkan jaringan daging yang
telah pecah dan sobek.”
“Ya, ya, begitu pulalah yang
pernah aku dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu Metir. “Namun setiap
luka di tempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka
Angger Untara itupun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Ia menjadi semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir berada di ruangan itu.
Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya, “Apakah tubuh itu akan kita
biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha, meskipun
seandainya usaha itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya apabila kita
biarkan saja Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun.”
Widura menjadi ragu-ragu sejenak.
Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia mencari
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat menolak
kebaikan hati Ki Tambak Wedi.
Akhirnya Widura itupun
berkata, “Sidanti, darah yang mengalir dari luka itu telah berhenti. Untara
kini telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan kepadaku. Nanti apabila
ia telah bangun, biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu Metir yang
melumurkannya.”
“Kenapa kita menunda sampai
nanti, Kakang Untara pasti akan lebih menderita. Kalau kemudian terlambat, maka
akan sia-sia segala usaha.”
“Tetapi pasti tidak dapat
sekarang” potong Ki Tanu Metir. “Obat itu mungkin sekali akan mengadakan
tenggang-menenggang dengan obat yang lebih dahulu telah aku lumurkan. Karena
itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya dahulu. Kalau ternyata tidak
bermanfaat, baiklah kita ganti dengan obat yang lain.”
“Banyak waktu yang terbuang”
jawab Sidanti. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Kakang, aku minta ijin untuk
mencoba mengobati luka itu.”
“Nanti dulu Sidanti” berkata
Widura sambil berdiri. “Jangan memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan
kepada Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun sayang bahwa
luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya telah tuntas. Karena itu,
marilah berikan kepadaku, barangkali nanti kita perlukan.”
Sidanti itupun menjadi sangat
kecewa. Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih ingin memaksa.
Katanya, “Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku mengobati
luka itu. Kalau dukun itu marah, biarlah aku patahkan lehernya.”
“Ampun Ngger, jangan patahkan
leherku. Aku masih sangat memerlukannya” tiba-tiba Ki Tanu Metir itu menyahut.
“Tetapi demi kesembuhan Angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya.”
Agung Sedayu menjadi bingung
mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi sangat tidak senang
mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia dapat menghargai usaha
Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir pernah menolong
Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah terjadi setelah ia
meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara itu ternyata tertolong
jiwanya. Sedang obat yang dibawa Sidanti itu masih harus diuji pula.
Karena itu, maka tiba-tiba ia
berkata, “Kakang Sidanti, berikanlah obat itu kepada Paman Widura. Biarlah
besok atau nanti, Paman Widura melumurkannya.”
Sidanti itu memandang wajah
Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya parau, “Agung
Sedayu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap kakakmu itu.
Apakah kau akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati lukanya?”
“Kalau Kakang Untara gugur,
maka sudah tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini sudah berangsur
baik. Karena itu jangan diganggu.”
Sidanti itu berpaling kepada
Widura. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Bagaimana kakang?”
“Berikan obat itu kepadaku,
Sidanti.”
Sidanti itu menjadi tegang.
Namun kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu
diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Widura. “Inilah
kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang telah
membunuhnya. Meskipun demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba pula.”
“Baiklah, kami akan mencoba
obat ini besok kalau ternyata kami perlukan.”
Sidanti tidak berkata-kata
lagi. Setelah bungkusan di tangannya itu diterima oleh Widura, maka segera ia
meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling ke arah Ki Tanu Metir, dan sekali
kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menangkap
pertanyaan yang menyorot dari mata Widura. Ia ingin penjelasan tentang obat
itu. Karena itu, maka Ki Tanu Metir itupun berkata, “Angger Widura, apakah aku
boleh melihat obat itu?”
Widura kemudian duduk kembali
di tempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Ki Tanu
Metir. Katanya, “Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini bermanfaat pula?”
Dengan hati-hati Ki Tanu Metir
membuka bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang terbungkus di dalamnya
tampak ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana Kiai?” bertanya
Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir mengangkat
alisnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak dapat
memberikan obat ini kepada Angger Untara, sebab aku tidak melihat manfaatnya.”
Widura memandang Ki Tanu Metir
dengan penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang cukup sakti. Namun
apakah maksud kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya?
Ki Tanu Metir melihat
kebimbangan di wajah Widura. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Aku
mempergunakan obat yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan
merugikan Angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok
pagi. Mudah-mudahan obat yang aku berikan akan berguna.”
Ruangan itu kemudian menjadi
sepi kembali. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
“Hampir fajar” gumam Ki Tanu
Metir.
Agung Sedayu mengangguk.
Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu
membungkukkan badannya sambil berkata lirih, “Ki Tanu, Kakang Untara telah
bangun.”
Ki Tanu Metir itupun segera
berdiri dan mendekati Untara pula. Demikian pula Ki Demang Sangkal Putung dan
Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi pembaringan Untara.
Untara itu kini telah dapat
menggerakkan kepalanya. Sekali ia menarik nafas panjang, dan kemudian
perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu terpejam
kembali.
“Masih sangat lemah” desis Ki
Tanu Metir. “Tetapi pernafasannya telah menjadi wajar kembali.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkembangan keadaan Untara. Sehingga
karenanya maka ia tetap saja berdiri di samping kakaknya ketika orang-orang
lain telah duduk kembali ke tempatnya.
Sesaat kemudian Sekar Mirah
datang sambil membawa minuman hangat. Setelah diserahkannya mangkuk-mangkuk itu
maka ia duduk di samping kakaknya. Tetapi segera ayahnya berkata, “Kau harus
menyiapkan makan pagi Sekar Mirah.”
Sekar Mirah itu mengerutkan
keningnya. Sambil memberengut ia menjawab, “Ayah. Aku ingin istirahat. Meskipun
aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku berjalan mondar-mandir di dapur,
menyiapkan segala macam makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh duduk
sebentar saja?”
“Duduklah, bahkan tidurlah.
Tetapi tidak di sini.”
Sekar Mirahpun kemudian
berdiri dan berjalan ke belakang. Wajahnya menjadi gelap dan sekali ia
berpaling sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
“Kenapa kau” bentak Swandaru.
“Apa” sahut Sekar Mirah. “Aku
kan tidak apa-apa.”
“Kau mencibir aku” jawab
Swandaru.
“Salahmu kau melihat bibirku.”
Swandaru masih akan menjawab,
tetapi ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri. Tetapi dengan
tangannya ia mengacungkan tinjunya ke arah Sekar Mirah. Sekali lagi Sekar Mirah
mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam ke balik pintu.
Tetapi sebelum ia hilang di belakang daun pintu itu, maka iapun sempat
memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga Agung Sedayu tertunduk
karenanya.
Tetapi perhatian Agung Sedayu
kini bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, karena itu ia hampir tak
memperdulikan apa saja yang terjadi.
Ia mendengar juga sekali Sekar
Mirah berteriak di belakang rumahnya. “Gila” berkata Sekar Mirah itu. “Pergi
sendiri!”
Swandaru mengangkat kepalanya.
Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya. “Bukan kau Swandaru.”
Widura menggigit bibirnya.
Pasti Sidanti telah mengganggunya. Anak itu benar-benar anak yang keras kepala.
Namun Widura tidak segera berbuat apa-apa, sebab suara Sekar Mirah itupun telah
hilang, dan bahkan dekat di balik dinding gadis itu menggerutu, “Anak setan.
Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”
Dalam pada itu sekali lagi
Agung Sedayu melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia
membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri di sampingnya terdengar
ia berdesis, “Sedayu.”
“Ya Kakang” jawab Agung Sedayu
serta-merta.
Namun Untara itu terdiam.
Kembali matanya terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih mayat.
Perlahan-lahan warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan perlahan-lahan
kepercayaan Agung Sedayupun tumbuh pula.
Ki Tanu Metir, setelah meneguk
minuman hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak muda
itu, kemudian diurut-urutnya lambungnya pula.
Sekali lagi Untara membuka
matanya. Ketika ia melihat Ki Tanu Metir beridiri disampingnya pula, maka
tampaklah bibirnya bergerak.
“Kiai disini?”
“Ya Ngger, aku melihat
bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar Angger terluka.”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Ya, aku terluka.”
Kemudian desisnya, “Sedayu.
Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main terkejutnya Sedayu
mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta–merta ia melangkah
lebih mendekati kakaknya sambil berdesis, “Ya Kakang, katakanlah siapa yang
telah melukai Kakang?”
Tidak saja Agung Sedayu yang
tertarik pada kata-kata itu. Namun semuanya tertarik pula. Karena itu, maka
semua yang hadir disitu bergeser mendekat.
Namun Untara ternyata masih
terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
“Jangan Ngger” berkata Ki Tanu
Metir. “Jangan dipaksa.”
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau
Alap-Alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu menjadi
lebih kuat.
Di luar, kabut yang tebal
mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi semakin ramai
bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat kehitaman yang
kelam di antara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka menyadari bahwa
sebentar lagi, fajar telah menjenguk di garis kaki langit.
Kini mereka tidak dapat
berdiri saja di seputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat
kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu
Untara yang terluka itu.
“Silakan Paman” berkata Agung
Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan
Swandarupun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung
Sedayu seorang diri.
Telah lama Widura menunggu
kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini
datang. Karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan ke padasan, “Ki
Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ke tempat ini sebelumnya?”
Ki Tanu Metir menggeleng.
“Belum Ngger.”
Widura tersenyum. Katanya,
“Baru kali ini?”
“Ya” sahut orang tua itu.
“Ke daerah-daerah sekitar
tempat ini?”
“Juga belum.”
“Ki Tanu Metir benar-benar
belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir berhenti.
Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng. “Belum ngger. Baru kali
ini aku mengenal Angger Widura.”
Sekali lagi Widura tersenyum.
“Mungkin Kiai benar.”
Ki Tanu Metir terkejut. Sesaat
kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal Widura, Agung
Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya
Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka matanya
kembali.
Agung Sedayu hampir-hampir
menjadi tidak sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai
kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara.
Sesaat kemudian ketika Untara
itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil
berbisik, “Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah melukai
Kakang?”
Untara menarik nafas panjang.
Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya. “Tanganku masih
lemah sekali” desisnya.
“Jangan bergerak-gerak dulu
kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara mengangguk kecil.
“Dimana Paman Widura?”
“Baru sesuci Kakang” sahut
Agung Sedayu.
“Aku ingin mengatakan
kepadanya, siapakah yang telah melukai aku.”
“Katakanlah Kakang, selagi
Kakang sempat, nanti Kakang dapat tidur dengan nyenyak.”
“Dimana Pamanmu?”
“Biarlah nanti aku sampaikan.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata, “Agung Sedayu. Sebenarnya
aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada di antara kita
masing-masing yang berada di tempat ini untuk kepentingan yang lebih besar.
Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku. Kalau
kali ini aku, maka mungkin lain kali Paman Widura dan kau. Karena itu maka
sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat
melakukannya bersama Paman Widura.”
“Ya Kakang” sahut Agung Sedayu
tidak sabar. “Aku siap berbuat.”
“Jangan orang itu mendapat
kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih
berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung.”
“Ya Kakang, tetapi siapakah
itu?”
“Dimanakah Pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi ia datang. Aku
akan mengatakannya.”
“Ya. Memang harus dilakukan
secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka
ada kemungkinan ia segera akan kembali.”
“Ya, ya” sahut Agung Sedayu
tidak sabar.
“Anak itu adalah Sidanti.”
“He?” alangkah terperanjat
Agung Sedayu. “Sidanti” ulangnya. “Bagaimana mungkin? Bukankah ia berada di
sayap yang lain?”
“Sayap itu telah bergabung
dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah
melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat
menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku
tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku.
Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku tidak tahu
apa-apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha Besar. Aku ternyata diselamatkan
olehNya dengan lantaran Ki Tanu Metir.”
Terdengar gigi Agung Sedayu
gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya
nafas kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya.
Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum dapat
terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya, “Aku akan beristirahat.
Katakanlah hal ini kepada Paman Widura.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas
dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis, “Aku masih terlalu lemah. Kini
kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi.”
“Tidurlah Kakang” jawab Agung
Sedayu. “Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti.”
“Jangan seorang diri” desis
Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak
menjawab. Hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini
Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi,
namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya.
Karena itu, maka demikian
kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu
beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan.
Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah
diletakkannya di samping pembaringan kakaknya itu.
Di pendapa dengan nanar Agung
Sedayu mencari Sidanti. Namun di sudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang.
Karena itu dengan berlari-lari ia turun kehalaman dan langsung dicarinya di
belakang rumah.
Namun di belakang rumah itupun
tak ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat di situ.
Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya di pintu, dengan
serta-merta ia bertanya, “Mirah, kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau mencari Sidanti?”
bertanya Sekar Mirah. “Kenapa tidak mencari aku?”
“Aku tergesa-gesa Mirah.”
“Apakah Tuan sangka aku
menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi bukankah kau
tadi bercakap-cakap dengan Sidanti di sini? Barangkali kau tahu kemana ia
pergi?”
Sekar Mirah menggeleng sambil
tersenyum. Bahkan kemudian ia melangkah keluar, “Biarlah Sidanti pergi menurut
kehendaknya sendiri. Apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku berkepentingan.”
“Aku tidak.”
“Mirah” Agung Sedayu menjadi
jengkel karenanya. “Aku sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk
menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Karena itu, maka
ia tak tidak mau bergurau lagi. Jawabnya, “Mungkin ke sungai, mungkin ke
prapatan.”
Agung Sedayu berpikir sejenak.
Apakah kepentingan Sidanti ke prapatan? Yang paling mungkin baginya adalah
pergi ke kali di sebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak
sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering di musim kemarau.
Agung Sedayu itupun tidak
berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju ke kali, tempat
beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat
itu masih terlalu pagi. Belum ada seorangpun yang pergi k esana, selain Agung
Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu.
Ki Tanu Metir dan Widura,
setelah sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya
anak muda yang sedang terluka itu tidur. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak
mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka
berdua duduk kembali, di atas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih
hangat-hangat kuku.
“Dimanakah Sedayu?” desis
Widura.
“Ya, dimana Angger Sedayu?”
sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula mereka menyangka
bahwa anak muda itu sedang sesuci di belakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa
lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka sama
sekali tidak menaruh syak bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti.
Karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama dengan Ki
Tanu Metir.
Sekali Ki Tanu Metir itu
berdiri. Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya.
Dirabanya dada anak itu sambil bergumam, “Pernafasannya menjadi bertambah baik.
Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya sepenuhnya kembali. Dalam
keadaannya sekarang, maka Angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan
berkunang-kunang.”
“Mudah-mudahan” sahut Widura.
“Mulai besok, Angger Untara
harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat
kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu banyak
mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti.
Karena itu, maka katanya, “Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh
Sidanti?”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
“Bagaimana?” desak Widura
pula.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang.
Dan akhirnya menjawab, “Maaf Ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu” sahut Widura
heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat
dari Sidanti yang diletakkannya di samping kaki pembaringan Untara. Sekali lagi
obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini sangat berbahaya
Ngger”
“Kenapa?” bertanya Widura
heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang
ke daun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi heran melihat
sikap Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka ia mendesaknya, “Kenapa obat itu
sangat berbahaya Kiai?”
Ki Tanu Metir berpaling ke
arah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia
bergumam, “Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau Angger
pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat
mempengaruhi peredaran darah.”
“He?” Widura terkejut
mendengar keterangan itu.
“Warangan ini,” berkata Ki
Tanu Metir, “akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah Angger Untara
akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya.”
“Jadi….” Kata-kata Widura
terputus di kerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah
dapat menangkap maksudnya. Karena itu, maka ia menyahut, “Ya. Ternyata Angger
Untara benar-benar akan dibunuhnya.”
Terasa keringat dingin
mengalir di tubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang
pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya
pula. Sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata, “Kalau begitu, maka
luka Untara itupun pasti dibuat oleh Sidanti.”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat.
Kemudian jawabnya, “Mungkin Ngger. Adalah mungkin sekali.”
Tubuh Widura itu menjadi
gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi.
Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera
menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk
berbuat hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka
anak muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan
Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri.
Membunuhnya untuk segera dapat menempati kedudukannya.
Widura itupun menjadi marah
bukan buatan. Karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan disangkutkan
di pinggangnya.
“Akan kemanakah Angger Widura
ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus menemui Sidanti.
Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok
aku dan lusa Agung Sedayu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun iapun berdiri juga.
Widura yang telah siap untuk
berbuat apapun juga itu memerlukan menjenguk Untara sesaat. Dilihatnya anak itu
membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya, “Dugaan Ki Tanu Metir
dan Paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah
mengatakan kepada Agung Sedayu.”
“He?” kembali Widura terkejut.
“Dimana Sedayu sekarang?”
“Aku suruh ia mengatakannya
kepada Paman Widura.”
Widura menggigit bibirnya. Ada
sesuatu yang tersimpan di hati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak
yang tersekat di dalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya,
sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak.
Karena itu, maka Widura pun
kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah aku temui anak itu.”
Untara tidak mengerutkan
keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat
sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metirlah kemudian yang menungguinya sambil duduk di
atas tikar di samping pembaringannya.
Widura yang menahan kemarahan
di dalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Di luar malam
telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan di halaman semakin lama
menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung Sedayu dan Sidanti
di halaman itu. Karena itu, maka segera ia menjadi cemas.
Beberapa orang yang melihat
Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya di dalam hati. Widura itu di
kademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa. Namun
kini pedang itu tergantung di lambungnya.
“Mungkin Ki Lurah itu belum
sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah melihatnya sesuci.
Dan pedang itu tudak tergantung di pinggangnya” sahut yang lain.
“Entahlah” gumam orang yang
pertama.
Sementara itu Agung Sedayu
yang berlari-lari ke kali di ujung halaman dengan gelora kemarahan yang menyala
di dadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia melihat dua
sosok tubuh berjalan kearahnya. Namun tiba-tiba sesosok diantaranya segera
lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti.
Agung Sedayu itu tidak sempat
berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang kemudian bersembunyi.
Namun yang ada di dalam dadanya adalah kemarahan yang menyala-nyala.
Dengan serta-merta, maka Agung
Sedayu itu berteriak, “Kau telah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang
untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya.”
Sidanti terkejut. Jawabnya
“Siapa bilang?”
“Untara sendiri.”
“Omong kosong. Untara belum
sadar.”
“Jangan ingkar. Aku sudah tidak
mempunyai pilihan lain sekarang.”
Sidanti itu mengerutkan
keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa. “Bagus” katanya. “Aku yang berusaha
membunuh Untara, Sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti benar-benar terkejut
menerima serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, maka ia tidak segera dapat
mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung Sedayu
itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung Sedayu.
Pada saat itu, Agung Sedayu
benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan
yang membara di dalam dirinya. Karena itu, maka kekuatannyapun seakan-akan
bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat
antara keduanya,
Benturan kekuatan antara Agung
Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti yang
tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah
melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting di
atas tanah, Namun mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan
siap kembali untuk mempertahankan diri masing-masing.
Agung Sedayu yang sama sekali
tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali.
Serangannya langsung mengarah ke titik-titik yang berbahaya pada tubuh Sidanti.
Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap
persoalan, maka dendam yang tersimpan di hati masing-masing itu kini
seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena
kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung,
lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu
gagal, Maka kini ia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung Sedayu.
Karena itu, maka kesempatan
ini harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan.
Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa dirinyalah sebenarnya yang
telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti tidak dapat mengingkari kalau itu
dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu menyesal, kenapa
ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Ki
Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang
keadaannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu
itupun harus mati. Kalau Agung Sedayu sudah mati di sini, maka ia akan dapat
membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan
pada luka itu. Kalau demikian maka Untara itupun pasti akan mati. Tetapi kalau
tidak? Kalau rencana itu gagal?
Sidanti itu menggeram. Apa
yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka
kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir. Kalau ia berhasil membunuh
Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-orang lain yang akan
menuntutnya?
“Hem” sekali lagi Sidanti
menggeram. Kegagalannya terletak pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga
persoalan itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat
mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan tangannya meskipun ia berusaha
untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya, tetapi
dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah. karena itu, maka
apapun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar.
Sedangkan Agung Sedayupun
telah menyimpan dendam yang membara di dalam dirinya. Sejak ia hadir di Sangkal
Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali tidak senang
melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah menyebabkan
pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah ia menjadi seorang
tawanan yang dikurung didalam pringgitan.
Anak muda ini pulalah yang
telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang
paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap
kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang yang telah
menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh
kakaknya itu. Karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah
kepadanya. Kepada Sidanti.
Demikianlah maka pertempuran
itu menjadi seru sekali. Masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya
dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat lagi melihat
kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak
sekali mempunyai pertimbangan dikepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini
pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku.
Tetapi ternyata bahwa Sidanti
memiliki pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun
persiapan-persiapan di dalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untuk
menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti
atas Agung Sedayu. Karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti mempunyai
kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari Agung Sedayu.
Namun meskipun demikian, Agung
Sedayupun memiliki keadaan yang tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang
seakan-akan menyimpan dan menahan gelora yang menyala di dadanya karena
keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran yang dapat memuntahkan
tekanan itu. Sebagai seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan
untuk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun
setiap gejolak di dalam jiwanya selalu disekapnya di dalam hati. Kemudian
setelah ia berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia
dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh perasaannya yang paling
dalam, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar
sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan dahsyatnya.
Karena itu, maka tandangnyapun
menjadi tidak menentu. Ia telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan
setiap geraknya. Hanya satu yang ada di dalam hatinya, membinasakan Sidanti.
Sidanti melihat tandang Agung
Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah
seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam perkelahianpun Agung
Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berhadapan
dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali di luar
dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala yang lapar. Tidak
hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan
segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh
serigala yang kelaparan sedang berusaha bersantap dengan dagingnya.
Karena itu, maka perkelahian
itu menjadi semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan
segenap kemampuannya pula. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan
Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian
kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu
yang kuat, sekali-sekali berhasil mengenai tubuhnya, Sehingga sekali-sekali
Agung Sedayu terpaksa terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi
kembali anak muda itu bangkit, dan kembali serangannya datang membadai.
Namun Sidanti pada dasarnya
adalah seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat
tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali. Karena
itu, maka segera ia menyesuaikan diri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat
kemudian Sidanti itupun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar
dari Agung Sedayu.
Dengan demikian maka
perkelahian itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan
perkelahian di antara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut
makanan. Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan
ditempuhnya dengan pengerahan tenaga.
Namun dalam perkelahian yang
demikian itupun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung
Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras,
telah memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan
pleh Agung Sedayu.
Tetapi Sidanti itupun menjadi
heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan segenap tenaganya,
dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan tubuh
Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting, demikian ia bangun
kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak pernah membekas,
seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit.
Sebenarnya Agung Sedayu sudah
waringuten, ia seolah-olah kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakitpun
seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah
menjadikannya nggegirisi.
Sidanti benar-benar menjadi
bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan? “Omong kosong” katanya
dalam hati. Dan geraknyapun semakin dipercepatnya.
Sisa gelap malampun semakin
lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati Sidantipun menjadi
semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun betapa
mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya.
Seandainya seseorang
melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka
mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di Sangkal Putung.
Meskipun pada saat itu gurunya berada disampingnya, namun alangkah baiknya
kalau ia menyelesaikan persoalan itu sendiri. tanpa gurunya. Dan persoalan itu
akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung
Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya.
Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan pembunuhannya atas
Untara. Seandanya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka itu, maka
segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas.
Dengan demikian maka Sidanti
semakin memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser
dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat mendekati
kandang kuda Demang Sangkal Putung.
Sidanti terkejut ketika ia
mendengar kuda di dalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian
kuda-kuda yang lainpun menjadi gelisah pula sehingga kandang itu menjadi ribut
karenanya.
“Gila” geram Sidanti.
Suara kuda itu pasti akan
memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. Karena itu, maka sebelum
Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan.
Sidanti menjadi semakin
gelisah ketika dalam keremangan fajar, benar dilihatnya beberapa orang
berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya.
Kini Sidanti benar-benar
mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang
ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri
pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat.
Tetapi ketika langit menjadi
semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah mengalir darah
dari luka-luka ditubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya
menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidantipun telah mengalami tekanan-tekanan
yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu.
Tetapi pertempuran itu harus
segera berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang
pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apapun juga. Karena itu, maka
dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar di
dinding kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.
Betapapun kuatnya Agung
Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan
hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan
hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti.
Tangan Sidanti benar-benar
seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang
senjata perguruannya, namun sepotong kayu itupun benar-benar dapat dipergunakan
sebagai senjata yang sangat berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak
muda itu telah menunjukkan beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia
menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat
terjadi, Sidanti telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan berusaha
membinasakan Agung Sedayu.
Sebuah pukulan yang keras
telah mendorong Agung Sedayu ke samping. Berbareng dengan teriakan beberapa
orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan
pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka
Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu
yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan
dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa jari di atas
kepalanya.
Namun karena geraknya yang
tiba-tiba, Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga
ia jatuh terguling. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung
Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan sebab
dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat sepotong kayu itu
untuk diayunkan ke kepala Agung Sedayu yang belum sempat bangun kembali.
Beberapa orang yang melihat
perkelahian itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu
terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu ke kepala Agung
Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum
sempat untuk mencegah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras.
Pada saat itu Widurapun telah
sampai ke tempat itu pula. Iapun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun
jaraknyapun masih beberapa langkah lagi. Karena itu, maka Widura itupun hanya
dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus
dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.
Sidanti sama sekali tidak mau
mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang mempertanggung-jawabkan
perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan sebab yang
sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa yang pernah didengarnya
dari Untara. Karena itu, maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya.
Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itupun telah
diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya
kepala Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya.
Tetapi justru karena itu, maka
perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu di tangannya dan
kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi
disekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah berdiri
dekat di belakangnya. Di samping kandang kuda itu.
Ketika kayu ditangannya itu
telah sampai kepuncak ayunan dan siap untuk meluncur ke kepala Agung Sedayu,
Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar,
itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya
terjadi. Karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap.
Dan waktu yang sekejap itu
telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik
gerumbul-gerumbul di sekitar tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar
ketika tiba-tiba terdengar sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah
pedang yang terjulur ke punggungnya.
Suara itu berdentang
sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman belakang Kademangan Sangkal
Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh punggung
Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telah menyobek
punggung itu.
Sidanti mengeluh pendek.
Segera ia memutar tubuhnya. Dilihatnya di belakangnya berdiri Swandaru Geni
dengan mata yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit di
tangannya. Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Sidanti itupun menjadi semakin
marah bukan buatan. Namun terasa luka di punggungnya itu sedemikian nyerinya.
Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya, Sehingga dalam
waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak berdaya. Namun
ia tidak mau jatuh dan mati di tempat itu. Dengan segenap kemampuan yang ada
dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap wajah yang berada
di sekitarnya.
Dilihatnya Widura yang kini
telah tegak di hadapannya dengan pedang tergantung di lambungnya, Dis ampingnya
Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian Agung
Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain.
Sidanti itu menggeram penuh
kemarahan dan dendam. Ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba
Swandaru ikut campur dalam persoalan ini.
Sidanti menjadi semakin marah,
ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan
Sekar Mirah dan orang-orang lain.
Dalam saat yang pendek itu,
maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya
yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan
bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah gagal
mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ke tingkat yang lebih
tinggi. Bahkan sampai ke tingkat yang paling atas. Dan kini ia harus
mempertanggungjawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar hati, ketika
diingatnya gurunya berada di tempat itu pula.
Dan gurunya ternyata tidak
membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri. Dengan garangnya ia meloncat
dari tempat persembunyiannya, Dan dengan marahnya ia menggeram sambil berkata,
“Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai
lawan dan siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti,
bahwa Sidanti telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan
kepadaku Widura, apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau pemimpin dari laskar
Pajang ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat
hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami
Sidanti.”
Swandaru menjadi
berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah
jawaban Sedayu, “Sidanti curang pula. Kami berkelahi tanpa senjata, tetapi
Sidanti memungut sepotong kayu.”
“Itu bukan senjata. Kau
memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari
belakang.”
Ketika Agung Sedayu akan
menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak, “Tutup mulutmu. Aku berkata kepada
Widura. Jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi.”
Orang-orang yang berdiri di
sekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang
sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar orang itu
menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura menjadi bimbang.
Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir ke dadanya. Maka
jawabnya, “Aku tidak akan memberikan hukuman apapun sebelum aku tahu benar,
dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan
ini terjadi.”
“Persetan” teriak Ki Tambak
Wedi. “Kau jangan mengigau Widura. Atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura mengerutkan keningnya.
Yang berdiri di hadapannya adalah Ki Tambak Wedi. Maka segala sesuatu harus
dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya dapat berdiam
diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera
menjawab, maka Ki Tambak Wedi itupun membentaknya, “Widura, buka mulutmu.”
Widura sama sekali tidak
senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling ke arah
Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya
menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia masih
mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada itu, Widura sedang
menilai setiap orang yang berada di sekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu, sementara
itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung. Kalau perlu ia
dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah
dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi?
Widura menjadi bimbang.
Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun apakah tidak banyak korban yang jatuh
karenanya? Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang
Sangkal Putung dan mungkin mereka bersama-sama.
Dalam kebimbangan itu sekali
lagi Ki Tambak Wedi berteriak, “Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau
menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka aku tidak
akan berbuat apa-apa.”
Kini Widura mengangkat
kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. Karena itu,
maka jawabnya, “Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan
mungkin menyerahkan orang-orangku kepada siapapun juga, apapun kesalahannya.
Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka
seandainya mereka ternyata bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti di sini dan
aku akan melihat apakah yang telah terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang
bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada di
tempat ini, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku.”
Terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu.
Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih di
beberapa bagian itu, seakan-akan tegak di bawah ikat kepalanya. Tanpa
sesadarnya tangannya menggenggam sambil bergumam, “Setan. Apakah kaliah sudah
bosan hidup?”
Sekali lagi Widura melayangkan
pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula berkerumun di sekitar tempat
itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari mereka telah
membawa senjata-senjata mereka Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan
melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki Tambak Wedi
adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap orang di sekitar Gunung
Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka tak akan ada di antara mereka
yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu kelompok. Yang mereka hadapi
kini hanya seorang saja, meskipun orang itu Ki Tambak Wedi.
Namun meskipun demikian,
sebagian besar dari mereka berada di dalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi
bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan
mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak Wedi?
Sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali
dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata di dalam pasukan Macan
Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda
dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah
yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu.
Apakah dalam keadaan yang
demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk menghadapi bahaya yang
datang dari jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar
menyesal, bahwa di dalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari
kesulitan itu.
Widura itu terkejut ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula, “Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat
berbuat lain daripada memilih di antara dua. Menyerahkan anak muda yang melukai
Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama. Jawab.”
Sekali lagi Widura menengadahkan
dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya, “Ki
Tambak Wedi. Kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti kehendak
dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapapun orangnya,
meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi. Namun kami terpaksa mempertahankan
sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih,
Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang
terakhir. Bahkan kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti
bersama-sama.”
“Gila” teriak Ki Tambak Wedi.
kemarahannya menjadi semakin memuncak.
Namun tiba-tiba ia terpaksa
mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap dengan
segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itupun tiba-tiba
telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi, Ki Tambak
Wedi melihat orang-orang yang berkerumun di sekitarnya dengan wajah-wajah yang
tegang. Wajah-wajah jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk
kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya
untuk kewajibannya. Maut.
Ki Tambak Wedi tidak dapat
menutup segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat
memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan di dalam
dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan
yang sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka
itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan
dapat menangkapnya, mengikatnya dan membawanya ke Pajang.
“Hem” geramnya di dalam hati.
“Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”
Sesaat halaman belakang
kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura
terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang meragukan diri mereka. Keduanya
agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain.
Karena itu, maka suasana
menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata
kepada Sidanti, “Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan
memberimu sesuatu.”
Sidanti yang luka itupun
menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan
memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan Sangkal
Putung. Tetapi masih ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada di
pendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Guru, bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Apakah keberatanmu dengan senjata itu.
Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu.”
Sidanti tidak menunggu apa-apa
lagi. Segera ia beringsut ke samping gurunya.
Tetapi Widura melangkah
selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak
terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan
pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua?
Ki Tambak Wedi yang melihat
Widura itu bergerak, segera menggeram. “Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat
kegaduhan di antara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama. Kau
tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi. Aku akan membuat timbangan di antara
kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat dari
kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi mengikat tangan Tambak Wedi.”
Dada Widura itupun berdesir.
Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau
sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. Karena itu, maka ia tetap tegak di
tempatnya ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.
Agung Sedayu menjadi gemetar
melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah pamannya.
Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup mengatakan
hasratnya untuk menangkap Sidanti.
Agung Sedayu terkejut ketika
pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak akan dapat
menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa sesadarnya
iapun beringsut dari tempatnya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba
dalam gerakan yang sangat cepat di tangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam
dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang
dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang
dan alat pemukul lainnya.
Demikianlah, maka akhirnya
Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan
Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh laskarnya
daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi untuk
sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan laskarnya
yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal Putung kembali. Mungkin
Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan Ki
Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu.
Namun dengan hilangnya Ki
Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu,
Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri.
Demikianlah, ketika Ki Tambak
Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya, “Paman,
kenapa mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti
akan melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya sendiri,
ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu
pasti akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban yang tidak
sedikit dari antara kita.”
Agung Sedayu menundukkan
wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang
yang ditempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan sehingga
karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan dipusatkannya
dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu, adalah
bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga dalam menghadapi Ki Tambak
Wedi, maka Widura itupun memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat kemudian orang-orang
yang berkerumun itupun menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah
menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi satu
merekapun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata kepada
mereka, “Kembalilah ke tempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan.
Peristiwa ini akan dapat berbuntut panjang.”
Kemudian kepada ki Demang
Widura berkata, “Kakang Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup
saja?”
“Silakan, silakan” sahut Ki
Demang.
Pintu butulan dinding belakang
itupun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang
perlu. Mereka yang pergi ke sungai kecil itu harus mengambil jalan lain, jalan
di samping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa apa yang dilakukan
itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu
itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau apapun yang ingin dilakukan. Namun,
dengan demikian maka kemungkinan-kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya.
Widura sendiri itupun kemudian
kembali masuk ke pringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir
masih duduk di tempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru
pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas, “Kenapa wajahmu Ngger?”
Dengan singkat Agung Sedayu
mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang
telah dialaminya.
Ki Tanu Metir mendengarkan
setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu
mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa
sesadarnya ia berkata, “Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta
meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sehingga
pringgitan itupun menjadi sepi.
Di luar, panas matahari mulai
membakar dedaunan yang letih. Di sana sini, di bawah batang-batang pohon yang
rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada diantaranya yang
berbaring-baring di atas helaian anyaman daun-daun nyiur tua.
Dalam keheningan itu,
terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah, “Jadi Sidanti itu tidak kalian
tangkap?”
Widura terkejut mendengar
suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki
Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Dengan ragu-ragu Widura
menjawab “Tidak Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu,
karena gurunya tiba-tiba datang melindunginya”
“Ki Tambak Wedi?” bertanya
Untara
Widura mengangguk. “Ya”
sahutnya. “Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa
orang yang harus aku korbankan?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian
wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana dengan lukamu?”
bertanya Widura
“Sudah jauh berkurang. Tidak
terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali.”
“Ya. Beristirahatlah
sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya
kembali, “Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab Widura. “Wajahnya
menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru.”
Sekali lagi Untara menarik
nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik.
Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam di dalam hatinya. Kepada dirinya,
kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu sendiri.
Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba
Ki Tanu Metir menggeleng lemah.
“Mudah-mudahan mereka segera
dapat ditangkap” desah Untara.
Widura terkejut mendengar
kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? Meskipun demikian
Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan matanya
kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir.
Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula di antara mereka.
Hari itu adalah hari yang
tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata
mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah
bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Gardu penjagaanpun masih juga
diperkuat. Beberapa pengawas berkuda hilir mudik di sekitar daerah kademangan
Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. Hampir
setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani
keluar dari rumah mereka. Bahkan ada di antaranya yang masih belum berani pulang
ke rumah sendiri. Mereka masih saja tinggal di kademangan atau banjar desa.
Ki Tanu Metirpun kemudian
tidak hanya megobati Untara, tetapi iapun pergi juga ke banjar desa. Dan
dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka.
Bukan saja hari itu Sangkal
Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh
Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih menyusun
kekuatannya di sekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan
bahwa laskar Pajanglah yang harus mengambil prakarsa membersihkan mereka.
Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung. Menunggu apabila Macan
Kepatihan datang menyerang mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika
harus mencari mereka. Menghancurkan mereka disarang-sarang mereka. Karena
dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas
selesai.
Tetapi Widura tidak dapat
dengan tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan
Macan Kepatihan masih cukup banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya. Dan di
dalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, dan
beberapa orang penting yang lain.
Untarapun menyadari keadaan
itu, sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera
dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.
Namun ketegangan itu semakin
lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan
penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan setiap kemungkinan.
Dan hilangnya Plasa Irengpun pasti mempengaruhi keadaan mereka. Bukan saja
keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak di seputar Sangkal
Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka semakin lama menjadi semakin
kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan itu.
Tetapi Widura tidak mau
melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi
sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malampun ia masih berjalan dari
satu gardu ke gardu yang lain. Dan diperingatkannya setiap penjaga gardu itu,
bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada di sekitar Sangkal Putung.
Namun ternyata Widura sendiri
telah melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung
Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka.
Demikianlah, ketika mereka
sedang nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai ke
ujung jalan yang mengelilingi daerah Gunung Gowok. Mereka terhenti ketika
mereka melihat sesosok tubuh berjongkok di tepi jalan itu.
Widura bukanlah seorang anak
kecil yang bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena
itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanyapun berhenti.
“Kau lihat orang itu?”
bertanya Widura berbisik.
“Ya” sahut Agung Sedayu
perlahan-lahan.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Entahlah.”
Widura mengangkat alisnya.
Kemudian katanya, “Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati.”
“Tohpati tidak akan seorang
diri berada di tempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja” jawab Widura.
“Beberapa orang lain berada di tempat lain pula. Atau orang yang diumpankannya
untuk memancing kita.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka
menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi
kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah berada
di pelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah
melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa mereka ke dalam
satu bahaya.
Kini mereka tidak akan dapat
mundur lagi, siapapun yang akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itupun
kemudian berkata, “Marilah kita lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak usah mendekat”
berkata Widura.
“Lalu bagaimana?” bertanya
Agung Sedayu
“Biarlah ia yang mendekat.”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab
Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi.
Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya di tepi jalan. Namun
demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba
harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah
memahami maksud pamannya. Karena itu, maka iapun berjalan menepi pula, dan
berjongkok berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu
dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan
ditempatnya, maka biarlah kita tunggu di sini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum.
Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu
benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati sebelum mereka
menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar
Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan
seorang penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang
dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak menguntungkan sekali
seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita
tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk. “Kau
benar Sedayu,” katanya, “tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.
Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi?
Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita
harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita
memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk
itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu terdiam. Jawaban
pamannya tak akan dapat dipungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka
orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari arahnya dengan
senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apapun yang akan dapat
dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu
teringat akan sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya.
Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang
berjongkok di pinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu
itupun mengumpulkan beberapa butir batu yang berada di sekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum
meskipun masam. “Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita siapapun ia, maka
aku akan menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula.
Jawabnya, “Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir
jalan. Orang yang berjongkok itupun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada
di tempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu adalah menjadi
semakin lama semakin gelisah.
“Orang itu memang membiarkan
kita menjadi gelisah,” bisik Widura, “tetapi biarlah. Kita akan tetap berada
ditempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu
pendek.
Sebenarnyalah bahwa
kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali
tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak
menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu
telah memuncak, maka ia berkata, “Paman, biarlah aku mencoba melamparnya dengan
batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan,” jawab Widura, “kita
jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita
gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun
dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang
menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu
sengaja membiarkan mereka gelisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir
pingsan dibuatnya.
Sedemikian gelisahnya Agung
Sedayu sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok di hadapan
pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk di sisi
Widura.
Sebenarnya Widura itu
sendiripun menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan
dirinya. Ia masih tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila
terjadi sesuatu.
Di kademangan Sangkal Putung.
Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi
berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya orang tua itu
menjawab sekenanya.
“Apakah Ki Tanu Metir sudah
mengantuk?” bertanya Untara.
“Hem,” sahut Ki Tanu Metir
sambil menguap, “aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat seperti ini. Kalau
tengah malam sudah lampau, biasanya barulah aku mengantuk. Tetapi kali ini
mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Mungkin aku makan terlalu
kenyang” jawab Ki Tanu Metir.
Untara tertawa. Biasanya Ki
Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan ke luar.
Baru setelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. Karena
itu, maka Untara bertanya pula, “Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin
berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu
menguap. Jawabnya, “Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini
rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah.”
“Ya” jawab Untara singkat. Ia
tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan
dirawat di banjar kademangan. Karena itu, maka Untara itupun kemudian berdiam
diri.
Tetapi tiba-tiba ia mendengar
Ki Tanu Metir berkata, “Angger Widura dan angger Sedayu agaknya mempunyai
keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini masih belum kembali.”
“Apakah ini telah melampaui
tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah malam” sahut Ki
Tanu Metir. “Biasanya pada saat-saat begini mereka telah kembali.”
Untara tidak menjawab. Mungkin
sekali mereka berdua berhenti di salah satu gardu perondan. Berkelakar dengan
para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki Tanu
Metir berpendapat lain. Katanya, “Hem, aku menjadi semakin mengantuk.”
“Tidurlah Kiai” berkata
Untara. “Lebih baik Ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan
disini.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Setiap malam aku keluar
berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya
kantukku hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan
berkurang.”
Untara tertawa. Jawabnya,
“Jangan terlalu jauh Kiai.”
Ki Tanu Metir tertawa pula.
“Kenapa?” ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. Ia
tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka
jawabnya, “Nanti Kiai jadi lapar lagi.”
Ki Tanu Metir itupun tertawa.
Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar percakapan itupun
tertawa pula. Sambungnya, “Jangan takut Kiai, di dapur masih tersedia ubi
rebus.”
“Terima kasih” sahut Ki Tanu
Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih. Mudah-mudahan aku
tidak memerlukannya.”
Ki Tanu Metir itupun kemudian
berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar pringgitan. Belum lagi ia melangkahi
pintu, maka terdengar Ki Demang berkata, “Apakah aku perlu mengantarkan Kiai?”
“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu
Metir cepat-cepat. “Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan
sendiri. Mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke
gardu-gardu peronda.”
“Jangan ke gardu peronda. Di
jalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya.”
“Oh ya, baiklah” berkata Ki
Tanu Metir.
Kemudian Ki Tanu Metir itupun
pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam kegelapan
malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju ke gerbang halaman.
“Selamat malam Kiai” bertanya
orang yang sedang bertugas .“Apakah Kiai akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki Tanu Metir.
Orang yang sedang bertugas itu
telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan
keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki Tanu
Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk
menguap di samping regol berkata, “Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak lebih
senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu Metir.
“Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam.”
Dan Ki Tanu Metir itupun
berjalan tertatih-tatih menyusup ke dalam gelapnya malam. Namun setelah cukup
jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panjang.
Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu berjalan
tergesa-gesa. Gumamnya, “Hem, kenapa hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk
di kademangan? Justru hari ini Angger Widura dan Angger Agung Sedayu pulang
terlambat. Mudah-mudahan tak ada sesuatu yang mengganggunya.”
Meskipun demikian orang tua
itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama
sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya di hadapannya
sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan hilang
di balik pagar. Kini orang tua itu menyusup di antara rimbunnya dedaunan dan
dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu
yang duduk di pinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai
dirinya lagi. Karena itu, maka katanya, “Paman, aku dapat menjadi gila
karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah keperluannya.”
“Itulah yang diharapkannya.
Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri.”
Agung Sedayu menggeram. Ia
dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan
gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh keringat dingin
yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
Meskipun demikian, Agung
Sedayu bertanya juga kepada pamannya, “Paman, apakah bedanya, seandainya kita
harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?”
“Kalau orang itu Ki Tambak
Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu
Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita maju lagi,
mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau kita berada di
sini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan
seandainya orang itu Ki Tambak Wedipun maka mereka akan lebih banyak waktu
untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu
lama?
“Agung Sedayu” berkata Widura.
“Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam
taraf ini kita sedang mengadu ketabahan hati kita masing-masing. Apakah kita
dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan
kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya
kekuatan kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan
ketenangannya pasti akan kalah.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya
sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata, “Paman, meskipun kita
tidak mulai lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu.
Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan menjadi semakin
tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka marilah kita lihat
siapakah yang berada dihadapan kita itu.”
Widura menarik nafas. Iapun
sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih
bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-benar
menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung dan
kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat
perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan.
Akhirnya ternyata Agung Sedayu
itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak minta
ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan sekuat
tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang yang berjongkok di
pinggir jalan itu.
Tetapi alangkah kecewanya, dan
bahkan kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu
sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnyapun sama
sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Sudahlah Sedayu” cegah
pamannya.
“Aku tidak sabar lagi. Aku
akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. Siapakah orang yang bermain
hantu-hantuan itu.”
“Jangan” pamannya segera
memotong kata-katanya.
“Biarlah” sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa.
Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. Karena itu, maka ia
menjadi semakin bingung.
Tetapi ternyata ketabahan hati
Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang itu memang
membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi yang
dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti cacing
kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk di tempatnya tanpa bergerak. Orang
itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian, ia akan
mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi harapannya itu hanya
separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat,
berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh.
Karena itu, maka akhirnya ia
menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama
lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-benar
sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain. Mula-mula
ia sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan
sepotong besi batu-batu itu dipukulnya ke samping. Sedemikian cepatnya,
sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak melihat gerak itu.
Kini ia akan membuat permainan
yang lain. Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atau setidak-tidaknya
karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan
sekali. Karena itu, maka orang itupun tersenyum.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan Widura benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap
sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat itu
benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah
lenyap.
“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu
itupun berteriak. “Kemana orang itu?”
“Jangan berteriak” potong
Widura. Tetapi Widura itupun menjadi bersiaga. Iapun segera berdiri dan menarik
pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ke tengah jalan dan
berbisik, “Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui.”
“Kemana orang itu?” bertanya
Agung Sedayu.
“Aku sangka ia berguling masuk
ke parit di pinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang
disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia
dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat melihat orang itu.”
“Marilah kita cari.”
“Sangat berbahaya” sahut
pamannya. “Aku kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak
Wedi. Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi
mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya.”
Agung Sedayu menggeram.
Tiba-tiba tangannyapun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia
berkata, “Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang
menyerangnya.”
“Sudah aku katakan” sahut
pamannya “Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tiba-tiba ia berputar sambil berteriak, “Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu
pedang.”
“Jangan berteriak Sedayu”
desis pamannya.
“Punggungku dilemparnya dengan
batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya mengerutkan
keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka. Karena itu,
maka betapa kemarahan melonjak di kepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu belum
dilihatnya.
Agung Sedayu benar-benar
menjadi sangat marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang
kehilangan kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh
lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu” berkata Widura.
“Jangan menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah
bersedia menghadapi segala kemungkinan.”
Kembali Agung Sedayu
menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya
beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi semakin
keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya itu
meledak. Sehingga terdengar ia berteriak, “Ayo yang bersembunyi di balik
alang-alang atau di balik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur
sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil bersembunyi.”
Tetapi masih belum terdengar
jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.
Widurapun telah kehabisan
akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti
bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat
menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus
mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani
menghadapi akibat yang paling parah sekalipun.
Karena itu, maka katanya
berbisik, “Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal di tempat ini. Kitapun
harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan kemungkinan yang
paling pahit, apabila kita menyuruk ke gerumbul yang ditempati olehnya. Tetapi
kalau tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai
kesempatan yang sama dengan orang itu.”
“Marilah paman” sahut Agung
Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi.
Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba didengarnya
suara tertawa di dalam semak-semak di seberang parit. Suara itu tidak terlalu
keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Di sela-sela suara tertawa itu
terdengar ia berkata, “Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau kebingungan
seperti kera yang ekornya terbakar. Kalian tak usah bersembunyi kemanapun sebab
akibatnya akan sama saja. Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena itu
lebih baik kalian berada di tempat yang terbuka supaya besok ada yang dapat
menemukan mayat kalian.”
Bukan main marah Widura dan
Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari
tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dan
bergetaran dari segenap arah.
Sesaat kemudian suara itu
berkata kembali, “Agung Sedayu dan Widura. Aku sudah berkeputusan untuk
membunuh kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan,
kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat. Meskipun
kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada bedanya. Kalian
menderita sebelum ajal datang.”
“Setan” sahut Widura. “Itu
bukan perbuatan seorang jantan.”
Kembali suara tertawa itu
menggetar. “Jangan mengumpat-umpat” katanya. “Kau hanya akan menambah dosa
saja. Sebaiknya kalian berbaring saja di situ, tenangkan hatimu dan berdo’alah
supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka.”
“Diam, diam!” teriak Agung
Sedayu. “Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini.”
“Bagus, bagus” sahut suara
itu. “Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar.”
Mereka berdua, Widura dan
Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan
sendri. Dan suara itupun masih selalu mengganggunya dari arah yang tidak
ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang itu pasti
berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah seorang
yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin tipis, sehingga
akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar di langit yang kelam.
Namun dalam kebingungan yang
hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain
dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan lembut, meskipun
tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya, “Widura dan Agung Sedayu. Jangan
bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara
angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang suaranya gemerisik
menyakitkan telinga. Namun suara itu sama sekali tidak berbahaya. Turutilah
kehendak yang tersembul di dalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan di
hati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, bersembunyilah. Kalau kalian ingin
kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin berteriak, berteriaklah.
Suara itu benar-benar tidak berbahaya.”
Widura dan Agung Sedayu
menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka
mereka menjadi terpaku diam di tempatnya. Dalam pada itu suara yang kedua itu
berkata pula, “Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu.”
Widura dan Agung Sedayu itupun
mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya.
Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itupun bergumam, “Kiai
Gringsing.”
Agung Sedayu segera
menengadahkan wajahnya. Perlahan-lahan mulutnya berdesis, “Ya, Kiai Gringsing.”
Sesaat kemudian suasana
menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata
lagi. Widura dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang
telanjang di tangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat
apa-apa.
Dalam pada itu angin malam
yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka
yang berjuntai di belakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh
tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian
malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu
benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian
tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah
menahan nafas mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan
Widura itu terkejut bukan kepalang. Di balik gerumbul-gerumbul itu terdengar
suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian
ributnya.
“Suara apakah itu?” desis
Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya
mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya
semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman?”
ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Iapun
menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar di antara
rimbunnya gerumbul-gerumbul di sekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi
dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu
arahnya.
Namun akhirnya Widura
menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata, “Agung Sedayu. Mereka
pasti sedang bertempur.”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai
Gringsing.”
“He?” Agung Sedayu itupun
terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi
tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung
menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur di dalam gelap itu. Mereka
bergeser dari satu tempat ke lain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki
Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita,
bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi di langit yang kelam”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat
dimengertinya. Dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara
yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu
yang jauh lebih tinggi dari mereka.
Meskipun demikian Agung Sedayu
itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang
cukup menggetarkan di seluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai
Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar
keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya,
“Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak
Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi
pedangnya masih selalu siap di dalam genggamannya. Jawabnya “Aku tidak
meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah
membuktikannya.”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia
bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki
Tambak Wedi. Orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang
dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya
diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Di sekitarnya masih terdengar suara
gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi
semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat, Paman”
ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi
bingung. Ia tidak tahu arah yang harus di datangi. Suara itu benar-benar
melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura
terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu
sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu
menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut,
ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh
sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur
ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan
ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung
Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar
tampak sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat.
Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang
sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari
segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang
yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang
kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Sehingga
dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang
menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya
terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang ditangan
mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus
bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu didalam hatinya.
“Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi.”
Sesungguhnyalah bahwa
kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan
kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin
lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari
selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka
melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang di dalam kegelapan malam, untuk
kemudian muncul kembali di tempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah
mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar
sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah
kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga mereka dapat
beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar
seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa di langit yang luas
berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang di
antara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu
menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah di antara
mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan
kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga
kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak
menentu.
Namun kemudian Widura dan
Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat di tangan
Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah
melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat di
halaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula.
Dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin
berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah
dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang
baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya
mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran
itu.
Dengan senjata itulah maka Ki
Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar ke segenap
tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya
tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
Karena itu, maka kini Widura
dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba
menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan
menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran
tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai
Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu,
tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu
menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga
bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai
Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh
Ki Tambak Wedi. Namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat
dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya
pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dari dari
bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir di dalam
dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada
dirinya, “Orang itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku
melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat
mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada di tempat ini. Karena
itu, maka biarlah aku di sini bersama-sama dengan Paman Widura dan Kiai
Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik
menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri.”
Karena itu, maka Agung Sedayu
masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran
pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian
merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan
kedua tangannya berputaran menyerang lawannya, “He, orang yang bodoh. Siapakah
kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar
menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi
cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu
masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan. Katanya, “Bukan
apa-apa. Kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan
oleh kehadiran Ki Tambak Wedi.”
“Jangan mengigau,” bentak Ki
Tambak Wedi, “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku
berkelahi karena aku ingin hidup tenteram di daerah ini.”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau
ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah
hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing.
“Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini
dari sergapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnyapun
akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal
Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga
dengan demikian hidupkupun akan terancam.”
“Gila. Jangan menganggap aku anak
kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa
kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak
mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila.
Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang
tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti,
apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah
kau yang aku jumpai di lapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba
memanah?”
Sementara itu perkelahian
diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah
cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun
perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai
Gringsing menjawab, “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, Kau
masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah
dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi. “Dan di daerah ini jarang-jaranglah orang yang
mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau
mampu bertahan beberapa lama.”
Kiai Gringsing menggeram.
Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu
berlapis baja sekalipun.”
“Kau, yang mempergunakan
lapisan baja di tanganmu.”
“Persetan. Ambillah senjatamu.
Kita menentukan siapa di antara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng
Gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai
Gringsing. “Tetapi aku juga tak ingin dirajai.”
Ki Tambak Wedi tidak
berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang di kedua
tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti
akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga
ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak
Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut,
sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka
baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing
tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika
kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi
sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik
pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk. Ya, cambuk yang tidak
terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak
lebih panjang dari setengah depa sampai ke ujung juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut
melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja
seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka
hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk
dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat
menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadar bahwa cambuk itu
pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai
Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja
mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian
kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga
tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan
Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri
mereka.
Yang terdengar kemudian adalah
geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi aku dengan letupan yang
memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai
Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan
maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung
cambuknya.
Karena itu maka perkelahian
diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan
senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera
meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayupun
menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan
perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang
bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing
sedang berusaha untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi
yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu
tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka
dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali
terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh
lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat
dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu.
Demikianlah maka kini keadaan
menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya
itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah
mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan
cepatnya, namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap
yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat
yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya.
Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras
segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika di lereng
Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu
mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu
kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan
Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari
lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah
maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti di sekitar Gunung Merapi itu
terpaksa mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak
dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak
Wedi menggeram, “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi
tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku
menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena
itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya
dan tenggelam ke dalam gerumbul-gerumbul di dalam gelap. Namun demikian
terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “He orang yang gila. Kau ternyata telah
mendorong Agung Sedayu dan Swandaru ke dalam keadaan yang menyedihkan. Dengan
perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin
besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan
ada yang diharapkannya di sini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak
penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan
dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan
melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. Menggantung mayat mereka di
muka banjar desa Sangkal Putung.”
“Jangan berangan-angan” potong
Kiai Gringsing sambil mengejarnya. “Selama aku masih ada, maka selama itu aku
akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap
diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan
Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka
aku akan ikut campur pula. Kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak
itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan
membunuh Sidanti dan kau bersama-sama.”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi
dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya.
Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang
langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun ia harus mengakui, bahwa
hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan
menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan
baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah
besar.
Namun sambil melarikan diri Ki
Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir, “Aku
akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan
menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama
Kiai Gringsing.”
Widura dan Agung Sedayu yang
terpaku di tempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung
Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata, “Agung Sedayu, mari kembali ke
kademangan. Cepat!”
Agung Sedayu tidak sempat
menjawab. Tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang
mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. Karena itu, maka Agung Sedayu yang
tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. Sepanjang jalan ia tidak habis
berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan,
pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah
meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. Tetapi ia
tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itupun
hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu
meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya
dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah
di gardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal
Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih
tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian
menyusulnya bertanya sambil terengah-engah, “Kenapa Paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun
sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi.
Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan di samping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi
seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya
menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya
langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura
itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti
apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh
terhadap anak buahnya. Ki Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun
agak terlambat.
Seorang penjaga di regol
halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa, “Agak terlambat Ki Lurah
pulang.”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba
menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya. “Aku berhenti di
beberapa gardu perondan.”
Seorang yang lain, yang
berdiri pula di sisi pintu menyahut, “Adakah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil
melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata, “Adakah seseorang yang baru saja
memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga di regol itu
mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab,
“Tidak. Sepengetahuanku tidak.”
“Sama sekali tidak?” desak
Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak.
Sambil menggeleng ia menjawab, “Tidak Ki Lurah.”
Widura menggigit bibirnya.
Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu, “Kalau begitu kita lebih dahulu
sampai.”
“Siapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu
menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata, “Ki Tanu Metir, maksud Ki
Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol
adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya
setiap hari.”
“Setiap hari?” bertanya
Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu.
“Setiap orang yang bertugas di regol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu
pergi berjalan-jalan di malam hari.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang
didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak
tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik ke pendapa, maka
ia ikut juga di belakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan
masuk ke pringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung
sehelai daun pisang pembungkus makanan, di samping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?”
bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah
masuk.
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari
biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan di malam hari benar-benar
dapat memberi kesegaran padaku.”
“Ya Kiai. Memang udara sangat
segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini
terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir.
“Apakah Kiai juga merasakan
dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi
menggigil karenanya.”
“Aku juga” sambung Widura.
“Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku
kedinginan.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga.”
Ki Tanu Metir mencoba
mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat
yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berkata,
“Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat.
Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?”
Kemudian kepada Swandaru ia bertanya, “Begitu bukan Angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan Paman Widura
dan Tuan…..”