Untara dan Agung Sedayu
kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu
latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai di mana
puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah
berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh
Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup
untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan
kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada
diri sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap.
Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan
oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah,
maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir
mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian
antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya. “Jarang aku temui anak muda sesabar
Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh
tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia
mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”
Namun Agung Sedayu ternyata
telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk
sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia
terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai
keseimbangan dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan
adiknya itu dengan penuh kebanggaan di dalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh
Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam
lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata
dalam pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari
angan-angannya yang dituangkannya di atas rontal-rontal. Hanya di sana-sini
Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan
demikian ilmu Sedayu itupun menjadi semakin sempurna.
Ketika Untara telah cukup
mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia
menghentikannya. Agung Sedayu, yang sebenarnya telah menjadi kelelahan, segera
meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang.
Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang
terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, “Latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian
sebenarnya” Untara menyahut. “Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan
dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Kemudian iapun segera duduk di atas seonggok tanah di samping pamannya. Sedang
Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk tentang
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu,” berkata kakaknya,
“kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau
akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang dan
laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat
membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat
menempatkan dirimu di antara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu kemudian
memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh kakaknya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perang atara dua kekuatan
dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah
memberitahukannya kepadanya.
Tetapi Untara itupun berhenti
ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak di belakang pucuk kecil
itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka kenal
baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran
ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri.
Ketika Untara melihat orang
yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya menjadi tegang.
Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting
dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang itu menjawab,
terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak mempersilahkan aku
dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara tertawa. Jawabnya
“Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik
nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “ Apakah muridmu bertambah
seorang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi
ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai Gringsing, “Nah,
sekarang bertanyalah kepada orang itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing,
“Kemarilah.”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti.
Untara yang dapat meraba
keraguan orang itu berkat,a “Mereka adalah pemimpin laskar-laskar Pajang di
Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah Paman
Widura.”
Orang itu menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Aku pernah mendengar tentang Paman Widura di Sangkal
Putung, tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum. Sahutnya,
“Inilah orangnya. Tak ada yang menarik.”
Orang itu tertawa pendek, yang
mendengarpun tertawa pula. Kemudian Untaralah yang berkata, “Soma, berkatalah.
Biarlah Paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas
dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata, “Ada beberapa berita
tentang orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan,
terdengar Widura menyela. “Untara, aku telah memperkenalkan diriku, tetapi
siapakah Ki Sanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya.
Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “Ia salah seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu
maka Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu
seterusnya. “Ketika aku datang ke pondokan Kakang, ternyata Kakang telah tidak
ada. Menurut pesan Kakang terakhir, aku harus datang ke rumah itu. Dan yang aku
jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu
dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku
telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai
Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma
itupun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat
berbicara dalam bahasamu Untara,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “dan pesan
itu sudah aku sampaikan.“
Kemudian kepada Agung Sedayu
Kiai Gringsing berkata, “He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara
itu. Bulan muda, angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng.“
Kiai Gringsing itupun kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah kau
tahu artinya?”
“Aku tahu Kiai” jawab Agung
Sedayu.
“Apa?”
“Ki Sanak itu harus datang
bersama Kiai menemui Kakang Untara di sini” jawab Agung Sedayu sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itupun
tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Akupun dapat memberikan arti
menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bukankah Ki Sanak itu
datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Tetapi
Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah, Soma,” berkata Untara
kemudian, “katakan berita itu?”
“Macan Kepatihan menempatkan
beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun kemudian pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan keningnya.
Katanya, “Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu
bersembunyi?”
“Sudah, tetapi kami belum
mengetahui jumlah itu” jawab Soma. “Sedang di hutan-hutan di sebelah barat
kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Di antara mereka adalah Plasa
Ireng.”
Kini tidak saja Untara yang
mengerutkan keningnya. Tetapi Widurapun kemudian memperhatikan berita itu
dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata, “Ada tanda-tanda Tohpati
akan menyergap dari barat?”
Untara mengangguk. “Ya”
jawabnya. “Mereka sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti
Alap-Alap Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.”
Widura kemudian termenung
sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala kekuatan dari sisa-sisa
laskar Jipang. Plasa Ireng, Alap-Alap Jalatunda dan mungkin pula pimpinan
laskar Jipang di daerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling.
Sesaat Gunung Gowok itu
menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-angannya. Widura
merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya atas
kebijaksanaan Untara, sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta
beberapa orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan.
Widurapun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula di samping
Untara sendiri.
Untara itupun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya, “Aku terima
beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap
perkembangan keadaan.”
Orang itu mengangguk.
Jawabnya, “Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau lusa.”
“Apakah ada tanda-tanda
Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin. Mereka menyiapkan
obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara menggeram.
“Tetapi bukan tujuan mereka menghancurkan Sangkal Putung, sebab mereka
memerlukan lumbung-lumbung padi di sini. Tetapi bahwa mereka menyerang pada
malam hari adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan pergi dulu
Kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik, aku akan berada di
Sangkal Putung.”
Orang itupun kemudian
mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir di tempat itu, dan menghilang di
antara gelapnya malam.
“Petugas yang baik” gumam
Untara.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab
atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan-perhitungan.
Tiba-tiba ia teringat kepada
Tambak Wedi. “Sepasar” katanya dalam hati.
Kini dua hari telah
dilampauinya. Tiga dengan besok. “Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia
terlalu mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap
persoalan dalam jangkauan yang luas.”
Tetapi tiba-tiba ia teringat
pula pada orang yang bertopeng yang duduk di mukanya. Dan dengan serta-merta
Widura itu bertanya. “Kiai,” katanya “apakah Kiai bertemu dengan Tambak Wedi di
lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah Tambak Wedi
melemparkan gelang besinya.”
Orang itu tertawa. “Ya,”
jawabnya, “ia memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi
setelah kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia
akan marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.”
“Apakah katanya?”
Kiai Gringsing itu diam
sesaat. Kemudian dijawabnya, “Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut mencampuri
urusannya dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan dibunuhnya.”
Widura mengangkat alisnya.
Setelah termenung sejenak ia bertanya pula, “Bagaimanakah jawaban Kiai?”
“Hem” Kiai Gringsing menarik
nafas. Kemudian katanya, “Aku kira tak seorang pun yang berhak berbuat seperti
Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka akupun akan
berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari
perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu mendesah,
tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai Gringsing itupun
berkata seterusnya, “Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia
tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat
menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh
Tohpati.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Untarapun kemudian berdiam diri, sedang Agung Sedayu memandang jauh
ke langit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang berhamburan di atas
dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka saling berdiam
diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan di pihaknya dan
membandingkan dengan kekuatan Tohpati.
Dalam jumlah, maka Widura
dapat berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti
berjumlah lebih banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian
seorang-seorang, maka Widura masih harus berprihatin. Meskipun setiap orang di
dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap orang dalam laskar Jipang, tetapi
anak-anak muda Sangkal Putung, Widurapun tidak yakin kalau jumlah laskarnya
akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja yang mereka
kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi banyak
sekali.
Karena itu maka Widura
mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung itupun selagi sempat
harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang yang sudah agak
lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga
bantuan yang berarti.
Sesaat kemudian, maka Kiai
Gringsing itupun pergi meninggalkan mereka. Katanya, “Aku akan pulang ke
rumahku di antara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu
akan datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu,
awasilah arah itu baik-baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan di
tempat-tempat lain.”
“Baik Kiai” jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu
berpalingpun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat di bawah
pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang di balik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat
berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya,”Siapakah sebenarnya orang itu?”
Untara tersenyum. Jawabnya,
“Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu hanya dapat
menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, maka anak muda
itu berdiri sambil menggeliat. Katanya, ‘Apakah kita akan tidur disini?”
Widura bahkan tertawa semakin
keras. Katanya, “Apakah kau berani tidur disini? Bukankah setiap malam, apabila
kita berada di tempat ini kau selalu saja mengajak pulang? Apalagi ketika kau
dengar Tohpati sedang berkeliaran di daerah ini?”
“Ketika itu tidak ada Kakang
Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah kalau aku lari
apabila ada bahaya?”bertanya Untara.
“Apa Kakang sangka aku tidak
bisa lari secepat Kakang?” bantah Agung Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Namun
terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami banyak perubahan. Kini ia
sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-betul
mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik
lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung Sedayu
benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi hatinya
benar-benar menjadi besar dan tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas
diperhitungkan.
Sesaat kemudian Widura dan
Untarapun berdiri pula. Keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini.
Sehingga dengan demikian segera merekapun kembali ke kademangan.
Hari itu setiap penjagaan
menjadi lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda keliling.
Tohpati yang berada di sekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap.
Namun yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat.
Sedang kerja Widura hari itu
adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda Sangkal Putung di
samping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa petunjuk
penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam
pertempuran-pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itupun berlatih
dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh di bawah
nama-nama yang dikaguminya. Sidanti, Sedayu, Widura dan Untara.
Hanya Sidantilah yang selalu
bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun demikian, sampai saat
itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itupun ternyata Tohpati
belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam harinya Agung Sedayu masih
dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting. Juga anak-anak muda
Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur di malam hari. Bagaimana
mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana mereka harus
memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi. Selain itu Widurapun telah
membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan
panah-panah api untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba
mengacaukan pertahanan pasukan yang berada di Sangkal Putung.
Namun di pagi hari berikutnya,
ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai lukisannya, datanglah
seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga
dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu.
Ketika seseorang
menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itupun mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya ,“Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu
masuk.”
Sesaat kemudian orang yang
menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan.
“Duduklah” Untara mempersilahkan.
Orang itupun kemudian duduk di
atas sehelai tikar pandan. Di punggungnya terselip sebilah keris, dan di
anggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya di dalam jumbai di bagian
depan ikat pinggangnya.
“Paman,” berkata Untara
kemudian kepada Widura, “apakah Paman tidak ingin melihat beberapa bilah
keris?”
Widura tersenyum. Tetapi ia
tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula di hadapan orang yang menyebut
dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayupun kemudian hadir juga di antara
mereka.
Sesaat kemudian barulah Untara
berkata kepada orang itu, “Apakah kau membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk.
Kemudian dijawabnya, “Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.”
Untara mengangguk-angguk.
Bahkan Widurapun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung Sedayu sekali-sekali
mencoba memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah aku perkenalkan
dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata Untara sambil menunjuk
Widura. “Paman Widura.”
Orang itu mengangguk dalam
sambil berkata, “Aku adalah utusan Kakang Untara.”
Kembali Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali
bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari
Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senapati yang memegang kekuasaan atas
nama Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya Trigata” sambung
Untara.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Nama itu pernah didengarnya di
Gunung Gowok, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang, apakah yang
akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan dari berita-berita
yang dibawa oleh Soma.”
“Ya.”
“Tohpati hari ini berada di
hutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah sangkamu persiapannya sudah selesai?”
“Kami menyangka demikian.
Orang menyelundup kami yang di sekitar lingkungan mereka yang dapat kami
hubungi telah mendengar perintah untuk tetap di tempat bagi mereka.”
Kembali Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimanakah dengan obor dan panah api?”
Trigata berpikir sejenak,
kemudian jawabnya, “Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak
mau gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk
mengacaukan pertahanan kita disini.”
Sesaat mereka kini berdiam
diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira yang akan terjadi
seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang.
Yang mula-mula berbicara
adalah Widura. Katanya, “Aku harus menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata Untara. “Tetapi
tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam, supaya Tohpati
tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti sebelumnya.”
“Kau benar” berkata Widura.
“Aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara menggangguk. Kemudian
kepada Trigata Untara itu berkata, “Apakah menurut dugaanmu malam nanti Tohpati
akan bergerak.”
“Demikianlah” sahut Trigata.
“Baik” berkata Untara.
“Usahakan melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda
dengan panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian kau
melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah
kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri di ujung, yang lain akan
menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.”
“Ah pekerjaan itu tidak
terlalu berbahaya,” sahut Trigata, “apalagi di malam hari, kami akan dapat
melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh.
Pekerjaan ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu sendiri.”
“Bagus. Di mana kalian
berada?”
“Di Tegal,” jawab Trigata, “di
rumah seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak, apabila kau tidak
datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih” sahut Trigata.
Kembali kemudian mereka
berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu yang bergolak di
dalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang tersimpan
dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta dalam
pertempuran itu. Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera disampaikannya
kepada kakaknya maupun pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti apabila diadakan
pertemuan di antara para pemimpiin laskar di Sangkal Putung.
Widura kemudian meninggalkan pringgitan.
Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus. Meskipun belum
diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam nanti, namun
secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi
kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda Sangkal Putung untuk
menghadapi setiap kemungkinan, pula laki-laki yang telah berumur agak lanjut.
Diberikannya petunjuk tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan
diberitahukannya pula cara-cara untuk melawan api apabila timbul kebakaran.
Meskipun Widura belum
mengatakan, namun sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin
dekat. Karena itu, maka merekapun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Penduduk Sangkal Putung merasa
pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri. Perempuan-perempuan
telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang sulit. Kalau
terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling
mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersama-sama anak-anak
muda Sangkal Putung tidak mampu menahan arus Macan Kepatihan?
Siang itu juga, Trigata
meninggalkan Sangkal Putung kembali ke tempatnya. Di tempat persembunyiannya
ternyata telah berkumpul lima orang yang siap melakukan tugas-tugas mereka.
Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang nanti akan
memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati.
Hari itu Sangkal Putung
benar-benar menjadi sibuk. Di muka banjar anak-anak Sangkal Putung sibuk
berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata
mereka.
“Jangan memeras tenaga kalian”
Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung. “Nanti apabila setiap saat
diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda itupun menurut
pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-petunjuk yang harus
mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan datang.
Ketika matahari telah condong
ke barat, beberapa orang penjaga di ujung induk desa Sangkal Putung terkejut
mendengar pandah sanderan yang meraung-raung di langit, kemudian jatuh di dekat
mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka tidak melihat
sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera
meloncat ke atas punggung kuda dan langsung berpacu ke kademangan.
Widura dan beberapa orang
terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
“Ki Lurah,” berkata orang itu
kepada Widura, “sebuah anak panah sanderan telah jatuh di dekat gardu penjagaan
kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak panah itu.”
Widura mengerutkan keningnya.
“Bawalah kemari” berkata Widura.
Ketika Untara ikut serta
melihat anak panah itu, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kepada peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata, “Perkuat penjagaan di
gardumu.”
“Baik Tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap
perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kaupun harus melaporkan setiap
perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula.
Orang itupun kemudian pergi
meninggalkan pringgitan. Di sepanjang jalan ia menggerutu, “Tidak juga mau
memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi.”
Namun karena itulah maka para
peronda itu menjadi semakin berhati-hati.
Sepeninggal orang itu, maka
Untarapun berkata kepada Widura, “Paman, anak-anak buahku telah mendapat
kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak panah
yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka,
kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua
anak panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu
anak panah. Sehingga dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti
akan bergerak pada tengah malam.”
Widura mengerutkan keningnya.
“Waktu yang baik” gumamnya. “Mungkin Tohpati memperhitungkan, bahwa pada saat
fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung.”
Keduanya kemudian berdiam
diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu, “Kakang, apakah
Alap-Alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara mengangguk “Mungkin
sekali.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya, segera mengerti
perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi
ia masih belum menjawab
“Kalau begitu, apakah kau
ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung Sedayu mengangguk.
“Ya” jawabnya. “Aku sangka Alap-Alap Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan.”
Untara tersenyum, namun kini
ia berkata kepada Widura. “Paman, barangkali sudah sampai waktunya Paman
memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok anak buah
Paman.”
Widura mengangguk. “Ya. Aku
sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda
Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak Jagabaya.”
“Jagabaya?” bertanya Untara
“Ya. Iapun bekas prajurit yang
baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya masih menyala seperti
anak-anak muda.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Widurapun kemudian memanggil
semua orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya sendiri, maupun
orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan kepada mereka,
apakah yang sedang mereka hadapi sekarang. “Mungkin orang-orang Tohpati itu
lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata Widura kemudian. “Karena
itu setiap tenaga harus kita manfaatkan.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ikut bertanggung jawab atas apa saja yang
terjadi di wilayahnya. Karena itu, maka katanya, “Semua anak-anak, akan
dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin mengangkat senjata. Ada
beberapa orang bekas prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi menyatakan
kesediaan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini. Enam atau tujuh orang.
Bahkan mungkin lebih dari itu.”
“Bagus” sambut Widura.
“Beberapa orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus” katanya. “Anak-anak Sangkal Putung akan
menjadi bergembira karenanya.”
Tetapi hampir semuanya
kemudian tak bersuara ketika Widura berkata, “Tetapi perhatian terbesar harus
kita berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Di sini kita
akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya tanpa menimbulkan
kemungkinan yang terlalu buruk bagi kita.”
Sesaat pringgitan itu menjadi
sepi. Tak seorangpun yang menyahut. Mereka saling berpandangan dan sebagian
dari mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. Tetapi ada pula
diantara mereka yang berpikir, “Ternyata yang pantas melawan Tohpati itu adalah
Agung Sedayu.”
Kesepian itu kemudian
dipecahkan oleh suara Sidanti perlahan-lahan, “Kakang Widura, siapakah yang
menurut Kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu?
Widura terdiam sejenak. Ia
menunggu Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian Untara
berkata, “Biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Di antaranya mereka
akan datang juga Plasa Ireng, Alap-Alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain.
Karena itu, maka tugas kita akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak
menganggap bahwa akulah yang paling pantas melawan Tohpati. Tetapi aku akan
bertanggung jawab terhadap atasanku. Biarlah aku mencoba melawannya, dan sudah
tentu Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan yang lain-lain itupun perlu mendapat
perhatian.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya,
“Aku sudah menyangka,” katanya, “kemudian kami, yang lain-lain adalah anak-anak
yang tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu.”
“Bukan begitu” sahut Untara.
“Aku, Paman Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar
Sangkal Putung adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita
masing-masing.”
Sidanti itu masih tersenyum.
Tetapi ia tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa Untara
pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang di tangan Untara
itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada kesempatan
baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti mengharap,
mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang garang itu dengan
tongkat baja putihnya.
Untara melihat senyum yang
aneh itu. Tetapi ia sama sekali tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang
demikian, maka kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu,
maka ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya,
Citra Gati dan bahkan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang
ganjil. Dari senyum itu mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi di
belakangnya.
“Kalau Untara itu telah mati
oleh Tohpati,” berkata Sidanti di dalam hatinya, “maka keadaan Sangkal Putung
akan kembali seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan
itu. Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari guruku,
setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah tidak
sempat lagi mendalami ilmunya.”
Akhirnya setelah Widura
memberikan beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu, maka pertemuan
itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada kelompoknya,
memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian mereka itu telah
mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu pertempuran yang berat.
Anak-anak muda Sangkal
Putungpun kemudian berlari-larian hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok
masing-masing dan seperti juga anak buah Widura, merekapun segera mempersiapkan
diri mereka masing-masing.
Ketika kemudian matahari
tenggelam di balik punggung bukit, laskar Sangkal Putung itupun telah siap di
lapangan. Beberapa orang bekas prajurit ada diantara mereka. Meskipun
orang-orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka masih
tegap, dan senjata-senjata mereka, yang selama ini disimpannya. Namun kini
senjata-senjata itu diambilnya kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda
mereka. Bertempur untuk suatu keyakinan yang digenggamnya. Kini merekapun akan
bertempur kembali untuk suatu pengabdian atas kampung halaman mereka.
Swandaru berdiri dengan
gagahnya. Pedangnya yang besar tergantung di pinggangnya. Sekali-sekali ia
menatap langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah.
Matahari itu seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan
terasa sangat menjemukan. Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang
menunggu datangnya tengah malam.
Orang-orang yang sudah
setengah tua, mendapat tugas mereka sendiri. Meskipun mereka membawa senjata
pula, namun mereka harus berada di dalam desa mereka. Kalau orang-orang Macan
Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung, maka merekapun akan ikut serta bertempur. Di samping itu, kalau
Tohpati itu kemudian menjadi putus asa, dan mempergunakan panah-panah api untuk
menimbulkan kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk mengatasinya.
Sedang perempuan-perempuan
muda tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas untuk mereka.
Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat berperang. Meskipun demikian,
di antara anak-anak gadis itupun ada pula yang menyelipkan keris dan patrem di
antara ikat pinggang mereka seakan-akan merekapun siap pula, apabila perlu,
untuk ikut serta bertempur bersama anak-anak mudanya.
Tetapi di samping semuanya
itu, perempuan-perempuan yang bersembunyi di balik-balik pintu rumahnya
mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya. Mereka
mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.
Ketika malam turun, maka
Sangkal Putung benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada rumah yang
menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni. Hampir
setiap laki-laki telah keluar dengan senjata di tangan, dan hampir setiap
perempuan pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama mereka untuk
menanggungkan segala macam keadaan bersama-sama. Apapun yang mereka alami,
apabila dipikulnya bersama-sama, maka terasa akan menjadi bertambah ringan.
Meskipun hampir semua kekuatan
laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung ditarik kearah barat, namun
Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain. Namun isi dari
gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian diserahkan kepada laki-laki Sangkal
Putung yang tidak ikut serta dalam pertempuran langsung dengan anak-anak Macan
Kepatihan. Meskipun satu dua di antara mereka telah diperlengkapi dengan
alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya. Untuk setiap kali apabila bahaya
mengancam mereka, segera mereka dapat memberitahukannya kepada laskar cadangan
yang ditinggalkan di kademangan, bersama dengan beberapa orang Sangkal Putung
sendiri, di sekitar lumbung-lumbung dan di banjar desa.
Kini para peronda telah tahu
benar, apa arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur di sekitar
tempat-tempat mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa apabila
ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaya mereka segera
mengirimkan anak panah sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila
keadaan amat mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka para petugas yang
telah dikirim oleh Untara, tidak sempat memberitahukan langsung, supaya
dikirimnya panah sanderan tiga kali berturut-turut.
Beberapa saat kemudian maka
laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya di
lapangan di muka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki
telah siap menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah
mereka kenal dengan baiknya.
Namun tiba-tiba mereka menjadi
tegang ketika mereka mendengar derap kuda yang berlari kencang memecah
kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju menyongsong orang berkuda
itu, sedang di belakangnya Agung Sedayu berdiri dengan berdebar-debar.
Kali ini untuk pertama kalinya
ia mendapat kesempatan untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang sebenarnya.
Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya, di
sakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak tahu
pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul
keinginannya untuk mencoba apakah ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang
sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan yang menggembirakan
tetapi membidik dalam pertempuran yang berbahaya.
Sesaat kemudian tampaklah
seekor kuda berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu berhenti, maka meloncatlah
seorang prajurit di hadapan Widura.
Widura dengan tergesa-gesa
bertanya kepadanya, “Ada yang penting di penjagaanmu?”
Orang itu mengangguk. Katanya
“Kami menerima panah sanderan tiga kali berturut-turut.”
Widura mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara sedang berpikir. “Ada
sesuatu yang menyimpang dari rencana semula” desisnya.
Widura mengangguk.
Setelah Untara itu diam
sejenak, maka katanya, “Siapkan seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat
kemana saja. Beberapa orang berkuda supaya bersiap pula. Apabila ada perubahan
arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya ke segenap sudut penjagaan.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang yang bertubuh kecil
berlari-lari datang kepadanya.
“Sonya,” berkata Widura,
“siapkan orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.”
“Baik” sahut Sonya. Kemudian
iapun berlari-lari kembali ketempat kawan-kawannya sekelompoknya menunggu di
dekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok yang harus menyampaikan
setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan.
Sebelum Widura memberikan
perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara kaki kuda
berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang disekitarnya menjadi
tegang.
Seperti orang yang pertama,
orang itupun tergesa-gesa berkata kepada Widura, “Kami telah menerima panah
sanderan dua kali berturut-turut.”
“He?” Widura mengerutkan
keningnya. “Mereka mempercepat gerakan mereka.”
“Itulah kecerdikan Macan
Kepatihan itu” sahut Untara. “Setiap rencana dirahasiakan di dalam otaknya.
Baru pada saat terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang mereka
sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena itulah maka Trigata itupun
tidak dapat mengetahuinya dengan tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan
Kepatihan. Karena orang-orangnya yang dapat melakukan hubungan dengan
orang-orang dalam laskar Tohpati itupun tidak dapat mengatakan dengan tepat
pula.”
Sekali lagi Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “ Kita juga sudah siap untuk
berangkat. Bukankah kita segera berangkat pula.”
“Marilah” sahut Untara.
“Sementara tetap ke barat.”
Sekali lagi Widura bersuit dua
kali. Dan sekali lagi Sonya berlari-lari kepadanya.
“Satu di antara kalian pergi
ke kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati telah mulai bergerak.
Ingat jangan menimbulkan kegelisahan di antara mereka. Kemudian kalian kembali
ke tempat ini dan separo dari kalian harus berada di gardu pertama sebelah
barat.”
“Baik” Sonya mengangguk,
kemudian kembali ia meloncat berlari ke kelompoknya. Sesaat kemudian maka
mereka telah menghambur ke segenap penjuru.
Kedua penjaga yang datang
berkuda berturut-turut telah kembali ke tempat mereka pula mendahului laskar
Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu yang lain. Mereka
sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu, supaya Tohpati tidak
menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan.
Para prajurit serta laki-laki
dari Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan segera bersiap pula.
Dengan senjata di tangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat yang mereka
anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari sudut yang satu ke
sudut yang lain dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang masuk ke induk desa
Sangkal Putung telah tertutup rapat olah penjagaan yang ketat. Gardu-gardu
peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh, panah, bandil dan
alat-alat tanda bahaya.
Sementara itu laskar Widura
telah mulai merayap ke pintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separo
menyusur jalan besar, sedang yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian
lewat sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula anak-anak
muda Sangkal Putung itupun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar,
sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan.
Laskar itu kini telah keluar
dari induk desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulak kecil mereka akan
sampai ke sebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua orang-orangnya
telah pergi mengungsi ke induk desa Sangkal Putung.
Ketika Widura yang berjalan di
samping Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langit yang bersih ditaburi
oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar awan mengalir
dihanyutkan oleh angin yang lambut.
Sejenak kemudian laskar itupun
telah sampai di desa kecil itu. Induk pasukan tepat berada di tengah, sedang
kedua sayapnya masing-masing berada di ujung desa-desa itu sebelah utara dan
selatan.
Para penjaga masih tetap
berada di tempat mereka. Namun mereka tidak lagi berada di dalam gardu. Mereka
lebih senang berada di balik pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan itu
datang, maka seakan-akan mereka bersorak di dalam hati mereka. Sebab dengan
demikian, apabila laskar Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus
melakukan perlawanan darurat.
Laskar Widura dan anak-anak
muda Sangkal Putung itu tidak maju terus. Mereka tinggal di dalam desa itu,
supaya lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka.
Ketika Widura telah mengenal
keadaan sejenak di tempat itu, maka segera diperintahkannya kepada para
penjaga, “Nyalakan pelita di dalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di
rumah-rumah yang terdekat.”
“Kenapa justru dinyalakan, Ki
Lurah?” bertanya penjaga itu.
“Biarlah laskar Tohpati
menyangka, bahwa keadaan di dalam desa ini seperti dalam keadaan biasa. Kalau
kau padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan mencurigakan
Macan Kepatihan yang cerdik itu.”
Penjaga itu mengangguk-angguk.
“Alangkah bodohnya aku” katanya dalam hati.
Karena itu maka segera ia
bergegas-gegas pergi ke rumah-rumah yang telah kosong, untuk menyalakan
lampu-lampunya. Sedang ting di gardunyapun segera dinyalakannya pula.
“Bagus,” desis Widura
kemudian, “desa ini akan memiliki wajah seperti wajahnya di setiap hari.
Tohpati yang berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini di malam
hari sebelum ia memilih arah. Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal
keadaan ini baik-baik.”
Dalam pada itu, maka beberapa
pengawaspun telah dikirim ke depan. Ke tengah-tengah sawah yang menurut
perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati.
Malam yang masih terlalu muda
itu telah menjadi semakin gelap. Dan di dalam gelap itulah berkeliaran laskar
dari kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut di tangan mereka
masing-masing.
Sebenarnyalah Tohpati telah
berada di hadapan hidung laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk
menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi di hadapan mereka. Laskar Tohpati
yang bergerak jauh sebelum waktu yang ditentukan semula itu, dengan cepatnya
mendekati Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati melihat
suasana pedesaan di hadapannya.
“Desa itu terlampau sepi”
desisnya.
Di sampingnya berdiri seorang
yang berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa. Gumamnya,
“Setidak-tidaknya mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam
bahaya.”
Tohpati berdesis, kemudian
gumamnya, “Sanakeling. Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.”
“Baik” sahut orang yang
bernama Sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun untuk
kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan.
Namun sebelum Sanakeling itu
bergerak, terdengar Alap-Alap Jalatunda yang berdiri di belakang mereka
berkata, “Aku melihat pelita-pelita itu dinyalakan.”
Tohpati tertawa. Dengan nada
yang tinggi ia berkata, “Paman Widura benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan
desa itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun agaknya anak
buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa itu,
langsung ke Sangkal Putung. Sayang Paman Widura agak terlambat menyalakan
lampu-lampu itu. Kalau tidak maka kembali kami akan terjebak.”
Sanakeling kemudian dengan
cepat membawa laskarnya ke selatan melingkari desa itu langsung menuju Sangkal
Putung.
Tetapi Widura dan Untarapun
bukan anak kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah memasang beberapa orang
jauh di hadapan laskar mereka.
Dalam keheningan malam yang
dingin itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung di
udara. Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi.
Untara mengangkat alisnya.
“Ada sesuatu yang terjadi dalam barisan Tohpati itu” desis Untara.
Wajah Widura berubah menjadi
tegang. Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang diperintahkannya untuk
mengawasi setiap kemungkinan yang ada di hadapan mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh kedatangan seorang pengawas dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya dan
seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengan tergesa-gesa ia berkata, “Aku melihat
laskar berjalan melingkar di arah selatan langsung menuju induk desa Sangkal
Putung. Mereka pasti masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak
begitu besar.”
“Hem” geram Widura. “Macan
Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.”
“Mereka telah mencapai simpang
empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya.
“He?” Widura terkejut, “Begitu
cepatnya?”
“Ya.”
Tiba-tiba Demang Sangkal
Putung itu memotong, “Serangan yang sangat berbahaya. Apakah aku boleh menarik
laskar Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?”
“Jangan” sahut Widura. “Kita
belum tahu, siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah
induk pasukan mereka.”
Demang Sangkal Putung itupun
terdiam. Baru sesaat kemudian Widura berkata, “Keadaan itu sangat gawat.
Biarlah aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya aku
serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat aku
akan kembali kemari.”
Untara mengangguk. “Baiklah”
jawabnya.
Widura itupun dengan cepat
berlari ke sayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik mundur, kembali
ke kademangan Sangkal Putung.
Dengan tergesa-gesa mereka
berjalan memintas. Mereka tidak lagi lewat di atas jalan di antara daerah
persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati tanaman-tanaman yang
menghijau. Bahkan sekali-sekali tanaman-tanaman itupun terpaksa terinjak-injak
kaki mereka. Namun tanaman itu besok bisa disulami. Tetapi kehancuran
kademangan mereka akan memerlukan banyak sekali pengorbanan. Harta, benda,
tenaga dan waktu. Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi sempat berpikir
tentang tanaman-tanaman itu.
Sesaat kemudian mereka
dikejutkan oleh bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda
sempat melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda
itu, sementara beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat gerakan itu
dengan senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi mereka terkejut ketika
mereka mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu. “He, kenapa kalian
berteriak-teriak minta tolong?”
Pimpinan gardu itu sama sekali
tidak memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-menerus menghujani
anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua orang lagi
telah meloncat ke balik semak-semak di belakang pagar. Anak panah merekapun
meluncur tak henti-hentinya.
Ternyata usaha itu menolong
pula. Gerakan laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka sedang
melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu
tertawa pula, katanya sambil menghitung, “Tiga orang di belakang gardu, dua
orang di balik pagar dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian berenam
sudah jemu hidup? Dua di antara kalian benar-benar mampu memanah. Namun yang
tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-apa. Jangan membidik terlalu tinggi.
Tarik tali busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak cepat dan keras.”
Yang mendengar suara
Sanakeling itu benar-benar menjadi sangat cemas. Orang itu dapat menebak dengan
tepat berapa orang yang sedang berjaga-jaga di gardu itu. Mungkin pemimpin
barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi ternyata orang
itu dapat menebak pula, siapakah di antara mereka yang benar-benar mampu
melepaskan senjata-senjata itu.
Karena itu maka orang itu
pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran.
Sebenarnyalah para pemuda di
gardu itu berjumlah enam orang. Dua di antaranya adalah anggota laskar Widura.
Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu, maka
perlawanan merekapun berbeda dari mereka yang telah mengalami pertempuran
berkali-kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkan
Sanakeling. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak, “He, dua atau tiga orang,
pergilah mendahului kami. Ambillah orang-orang yang mencoba merintangi
perjalanan kami.”
Pemimpin gardu itu terkejut.
Sanakeling hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah menurut
perhitungannya, orang-orang yang berada di gardu itu benar-benar tidak akan
mampu berkelahi melawan tiga orang saja?
Kedua prajurit Pajang itu
menggeram. Merekapun prajurit yang telah masak. karena itu maka jawabnya, “Kami
berenam di sini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga orang.
Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat menilai pertahanan Sangkal
Putung.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian
Sanakeling itu menjawab, “Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri.”
Sanakeling itu diam sejenak.
Namun tiba-tiba ia berteriak, “Menyebar. Masuki Sangkal Putung. Langsung ke
kademangan dan kuasai daerah-daerah perbekalan.”
Serentak laskarnya bergerak.
Kini mereka sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah yang menghujani mereka
dari balik gardu dan semak-semak.
Ketika kemudian terdengar
seorang anggota laskar Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya terkena anak
panah, Sanakeling menggeram. “Setan, bunuh mereka berenam.”
Para penjaga gardu mendengar
pula perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir. Betapapun juga,
maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan demikian maka mereka
harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Pemimpin peronda itupun
kemudian menyusup di balik semak-semak pula bersama ketiga orang yang berada di
sekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari gardu itu telah disahut oleh
gardu-gardu yang lain dengan tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah
dari gardunya, maka pemukul tanda bahaya itupun melepaskan kentongannya dan
bersama-sama dengan kawan-kawannya menyusup di balik semak-semak pula. Dengan
beringsut sedikit demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan dengan
anak-anak panah mereka.
Namun laskar lawan mereka,
menjadi semakin dekat pula. Bahkan beberapa orang tleah berlari melingkar dan
meloncati pagar-pagar batu yang melingkari desa itu.
Orang-orang yang berada di
dalam semak-semak itu merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan mereka.
Karena itu maka merekapun semakin dalam membenamkan diri ke dalam padesan
sambil mencari perlindungan di dalam gelapnya malam.
Tiba-tiba, keenam orang itu
menengadahkan wajah-wajah mereka. Dari kejauhan mereka mendengar derap orang
berlari-lari. “Laskar cadangan” pikir mereka. Karena itu maka pemimpin gardu
itupun segera memberikan tanda sandi kepada mereka. “Gardu selatan. Langsung
dari arah angin. Laskar lawan mendekati pada jarak lima puluh depa.”
Sebenarnyalah mereka adalah
laskar cadangan yang berada di kademangan. Namun kekuatan merekapun tidak
seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu menjadi berbesar hati.
Sebab dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi lebih berarti. Dari
kejauhan terdengar pemimpin laskar cadangan itu menjawab, “Kami segera datang.”
Yang menyahut kemudian adalah
suara Sanakeling. “Hem. Kalian memanggil kawan-kawan kalian. Baiklah. Agaknya
kalian ingin mendapat kawan lebih bayak lagi dalam perjalanan kalian ke
akhirat.”
Namun beberapa orang
Sanakeling itupun telah sedemikian dekatnya. Sehingga tiba-tiba saja mereka
telah terlibat dalam perkelahian. Kedua laskar Widura itu segera melepaskan
busur mereka, dan dengan serta-merta mereka telah mencabut pedang-pedang
mereka. Ketika beberapa orang melompat menerkamnya, maka segera terjadi
perkelahian yang sengit.
Keempat kawannya itupun tidak
membiarkan kedua orang itu bertempur sendiri. Ketika mereka sudah tidak dapat
membidikkan anak panah mereka, maka merekapun segera melemparkan busur mereka,
dan dengan golok di tangan mereka menyerbu pula dalam perkelahian iu. Namun
mereka benar-benar belum banyak berpengalaman dalam pertempuran malam. Karena
itu, maka mereka tidak dapat melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya.
Setapak demi setapak mereka terdesak mundur. Apalagi lawan-lawan mereka
kemudian datang berloncatan.
Tetapi dalam pada itu, laskar
cadangan itupun telah datang pula. Segera mereka melibatkan diri dalam
perkelahian itu. Meskipun jumlah mereka belum memadai jumlah laskar Sanakeling,
namun di dalam malam yang gelap itu, amatlah sukar untuk membedakan, siapa
kawan siapa lawan. Meskipun laskar masing-masing agaknya telah memiliki
tanda-tanda sandi mereka masing-masing, namun dalam keributan pertempuran itu,
maka banyak di antara mereka yang menjadi ragu-ragu.
Laskar Jipang dan laskar
Pajang yang telah jauh lebih berpengalaman dari anak-anak muda Sangkal Putung
itupun masih juga belum dapat menempatkan diri mereka dengan baik. Sebab
sebenarnya mereka tidak terlalu biasa mengadakan pertempuran di malam hari
dalam jumlah yang cukup besar.
Sanakeling melihat kesulitan
itu. Maka teriaknya kemudian, “Nyalakan obor. Jumlah kita lebih banyak. Apalagi
lawan-lawan kita adalah cucurut-cucurut dari Sangkal Putung.”
Pemimpin laskar cadangan
itupun tak mau anak buahnya berkecil hati karena teriakan-teriakan lawannya.
Maka dengan lantang pula mereka menjawab, “He, anak-anak muda Sangkal Putung
yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang kami lakukan. Anggaplah
pertempuran ini sebagai latihan. Sebab ternyata yang dikirim oleh Tohpati
kemari tidak lebih dari laskar yang mereka temukan di sepanjang pengungsian
mereka.”
“Gila” sahut Sanakeling.
“Inilah Sanakeling. Siapa yang berteriak-teriak itu?”
Pemimpin laskar cadangan itu
tergetar hatinya. Sanakeling. Nama itu pernah didengarnya sebagai pemimpin
laskar Jipang di sebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan hati anak
buahnya yang sedang bertempur itu. Maka katanya didalam gelap, “Ha. Bukankah
terkaanku benar. Sanakeling yang lari dari tekanan laskar Pajang di sebelah
utara, yang dipimpin langsung oleh Ki Panjawi.”
“Gila. Siapakah kau. Ayo
tampakkan dirimu.”
Namun pemimpin laskar cadangan
itu tidak mendekati Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang itu benar-benar
bukan lawannya. Meskipun demikian ia menjawab, “Disini. Datanglah kemari.”
Sanakeling menjadi marah bukan
buatan. Ia meloncat dengan garangnya ke arah suara itu. Namun perkelahian
menjadi semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak, “Tenaga kita berlebihan.
Sebagian dari kalian nyalakan obor.”
Sesaat kemudian beberapa obor
telah menyala. Karena itu daerah pertempuran itu menjadi agak terang. Di
beberapa bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar di dalam
bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak.
Pemimpin laskar Pajang menjadi
cemas karenanya. Dengan demikian keringkihan laskarnya segera akan nampak.
Namun demikian, laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal Putung sendiri itu
telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada mereka.
Karena itu maka betapapun
besarnya bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan
dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka, mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka telah siap berkorban untuk kampung halaman mereka yang
mereka cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada mereka makan dan
minum, serta lumbung-lumbung mereka, persediaan buat hari-hari mendatang,
persediaan buat anak-anak mereka di musim paceklik.
Dengan demikian, maka
pertempuran di ujung desa Sangkal Putung itu segera berkobar dengan dahsyatnya.
Sanakeling yang melihat keberanian laskar Sangkal Putung itu menggeram marah.
Dengan wajah yang merah padam segera iapun terjun ke kancah pertempuran itu.
Namun segera mereka dikejutkan
oleh sorak-sorai yang membahana, seolah-olah mengalir di sepanjang jalan di
sisi desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor yang beterbangan menuju ke
kancah pertempuran itu. Kemudian diantara sorak yang menggelegar itu terdengar
suara lantang, “He, siapakah yang memimpin sempalan laskar Tohpati?”
Suara itu belum terjawab.
Namun obor-obor yang seolah-olah beterbangan berebut dahulu itu menjadi semakin
dekat. Dari antara mereka terdengar kembali suara, “Angin barat. Sayap selatan.
Ayo, siapa yang berada di pihak lawan?”
Mendengar suara itu laskar
Pajang yang sedang bertempur itupun tiba-tiba bersorak pula. Mereka mengenal
tanda sandi itu, dan merekapun mengenal suara itu, suara Widura. Karena itu
maka segera mereka menyahut, “Laskar mereka dipimpin oleh Sanakeling.”
“Setan”geram Sanakeling.
“Siapa yang datang?”
Sebenarnyalah yang datang itu
adalah Widura beserta sebagian laskarnya. Dengan tergesa-gesa mereka
berloncatan di atas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai ke Sangkal
Putung. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi daerah sekitar gardu
selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya laskar lawan
benar-benar telah sampai ke Sangkal Putung. Tanda bahaya yang menggema di
seluruh kademangan, telah mendorong mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena
itu kemudian mereka tidak saja berjalan cepat-cepat, namun mereka telah
berlari-larian berebut dahulu.
Demikian mereka memasuki
Sangkal Putung. Maka segera Widura memerintahkan kepada laskarnya untuk mempengaruhi
pertempuran itu dengan caranya. Laskar yang dibawanya itu segera bersorak
dengan riuhnya.
Ternyata usaha Widura itupun
mempunyai pengaruh pula. Laskar cadangan yang lebih dahulu telah terlibat dalam
pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka perlawanannya
menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu panjang, namun
saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan yang berat dari laskar
Sanakeling, hampir-hampir menjebolkan laskar cadangan itu. Apabila demikian,
maka arus mereka benar-benar akan melanda kademangan. Sehingga kademangan dan
seluruh Sangkal Putung pasti akan menjadi geger.
Beberapa orang dari laskar
Sanakeling itu telah siap untuk langsung menerobos masuk ke Sangkal Putung.
Namun karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang meluncur
dengan cepatnya ke daerah pertempuran, terpaksa mereka mengurungkan niat itu.
Mereka menunggu sementara apa yang akan terjadi.
Sanakeling yang melihat
perubahan di dalam tata pertempuran itu segera mengatur anak buahnya. Mereka
yang telah bersiap untuk langsung masuk ke jantung Sangkal Putung segera
ditariknya kembali.
Mula-mula Sanakeling itu
berharap, bahwa dengan sebagian saja dari laskarnya, maka laskar cadangan itu
akan dapat dimusnahkan, sedang yang lain-lain akan dapat merambas jalan masuk
ke pusat kademangan itu sebelum laskar Tohpati datang. Namun tiba-tiba
rencananya itu terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar Sanakeling itu
menggeram, “He, ternyata cecurut-cecurut itu bertambah pula. Jangan diberi
kesempatan untuk memandang fajar esok.”
Terdengar kemudian suara
tertawa. “Aku pernah mendengar suara itu” berkata suara itu di antara
tertawanya.
“Setan” Sanakeling itu
mengumpat. “Siapakah yang memimpin laskar Pajang itu?”
“Apakah kau Sanakeling?” sahut
Widura yang belum menampakkan dirinya.
Sanakeling menggeram keras
sekali. Sementara itu, laskar Widura telah terjun pula ke dalam pertempuran
yang menjadi semakin riuh.
“Inilah Sanakeling” teriak
Sanakeling.
Sesaat Widura melihat pertempuran
itu. Ia melihat beberapa orang laskarnya menebar. Mengambil arah yang tepat,
langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa orang di antaranya memegang
obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sedang beberapa orang yang lain
berusaha melindunginya.
Karena itu maka pertempuran
itupun bertambah ribut pula. Obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua belah
pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk mempertaruhkan nyawa mereka.
Gemerincing pedang diantara
pekik sorak gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali terdengar sebuah jerit
yang membumbung tinggi.
Tajam pedang berkilat-kilat
dalam sinar obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah
merah karena darah yang tertumpah.
“Perang brubuh,” desah Widura,
“keduanya tidak lagi pasang gelar.”
Tetapi tiba-tiba Widura
terkejut. Di antara riuhnya pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat
dengan lincahnya. Sekali-sekali pedangnya terjulur dan kemudian terayun deras
sekali.
Widura itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Itulah Sanakeling” desisnya. “Pedang di tangan
kanan dan bindi di tangan kiri.”
Widura tidak dapat
membiarkannya menyambar-nyambar di antara laskarnya. Karena itu, maka dengan
tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari utara
itu.
“He” Sanakeling itu terkejut
ketika ia melihat Widura hadir dalam pertempuran itu.
Widura kini telah tegak di
hadapannya dengan sebuah pedang yang khusus. Pedang yang tidak terlalu tajam,
namun ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
“Aku memang mengharap dapat
bertemu dalam pertempuran ini” berkata Sanakeling.
“Sekarang kau telah berhadapan
dengan Widura. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini tidak terlalu leluasa”
sahut Widura.
Sanakeling menggeram. Widura
telah lama dikenalnya, dan ia telah mengenal pula kemampuan yang tersimpan di
dalam dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun tidak terlalu akrab.
Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan Jipang sesudah Sultan Trenggana wafat,
telah memutuskan hubungan mereka pula.
Dan Sanakelingpun tahu, siapa
yang memimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati dia mendengar,
bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin sendiri laskar Pajang
di Sangkal Putung. Mungkin karena tanggung jawab yang sepenuhnya berada di
pundaknya. Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari Tohpati ia mendengar
bahwa dalam barisan Widura itu pula terdapat seorang anak muda yang bernama
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Sanakeling menyadari bahwa ia
harus berhadapan dengan salah satu di antara keduanya. Kalau ia harus melawan
Sidanti maka Plasa Irenglah yang harus melawan Widura atau sebaliknya.
Sedangkan Tohpati akan dapat
dengan leluasa membuat rencana mengatur laskarnya untuk langsung menembus
jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum memadai kekuatan Widura
atau Sidanti, namun Alap-Alap Jalatunda akan dapat menyelesaikannya. Betapapun,
tetapi anak muda yang menamakan dirinya Alap-Alap Jalatunda memiliki beberapa
kelebihan dari orang-orang lain di dalam laskar Tohpati yang diperkuat itu.
Dan kini, ternyata yang tampil
di hadapannya adalah Widura. Karena itu maka katanya, “Apakah aku berhadapan
dengan induk pasukan?”
Widura mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia berpaling dan berkata kepada seseorang yang berdiri tegak di
sampingnya dengan sebuah tombak pendek di tangan. Orang itu adalah seorang
penghubung yang memang sedang menunggu perintah. Karena itu ia tidak turut
bertempur.
“Sampaikan kepada laskar yang
tinggal, bahwa aku tetap berada di Sangkal Putung. Sebab aku bertemu kawan
lamaku Sanakeling.”
Orang itu mengangguk. Namun
ketika ia sedang bergerak maka Sanakeling itu berteriak, ‘Tunggu.”
Orang itu berhenti, namun
Widura memberi isyarat untuk berjalan terus. “He” teriak Sanakeling,
“berhenti!”
Tetapi orang itu tidak
berhenti. Karena itu Sanakeling berteriak pada anak buahnya, “Hentikan orang
itu.”
Seseorang meloncat maju
memburunya. Namun orang itu telah tenggelam di balik lindungan beberapa orang
kawannya, sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat.
“He, Widura,“ bertanya Sanakeling
itu pula, “apakah aku berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura berpikir sejenak,
kemudian katanya, “Ya, kau berhadapan dengan induk pasukan.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Jadi inikah
induk pasukan Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?”
“Aku tak pernah
membangga-banggakannya. Sekarang kau melihatnya sendiri.”
“Hem” Sanakeling menggeram
pula. Sekali lagi ia memandang pertempuran itu. Ia kini benar-benar terkejut.
Dalam pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan hanya dalam waktu yang
sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar Widura benar-benar telah merubah
keseimbangan pertempuran itu.
“Gila” Sanakeling mengumpat
dengan kasarnya. “Ketahuilah Widura, di belakangku masih ada bagian dari laskar
yang jauh lebih kuat dari laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan induk
pasukan maka pasukanmu yang lain sesaat kemudian pasti sudah akan musnah. Dan
kemudian akan datang saatnya induk pasukanmu ini musnah pula.”
Widura tersenyum. Jawabnya,
“Ya, aku tahu. Sisa-sisa laskar Jipang agaknya benar-benar telah dipusatkan di
sekitar Sangkal Putung. Kalau sempalan laskarnya di sini dipimpin Sanakeling,
maka di bagian yang lain masih ada Tohpati sendiri, Plasa Ireng, Alap-Alap
Jalatunda dan siapa lagi?”
“Gila, kau sadari kedudukanmu
Widura, kalau begitu kau telah benar-benar siap mati. Nah lihatlah, Sangkal
Putung untuk yang terakhir kalinya.”
Widura bergeser setapak. Di
sekitarnya pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka seolah-olah sama sekali tak
menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap itu.
Tetapi kini mereka sudah tidak
bercakap-cakap lagi. Mereka masing-masing telah mengangkat pedang, dan
terdengar Sanakeling itu berkata, “Kau harus mati dulu Widura. Laskarmu akan
buyar dengan sendirinya.”
“Aku atau kau” sahut Widura.
Sanakeling tidak menjawab.
Digerakkannya pedangnya sambil berkata, “Apakah dadamu sudah berperisai baja.”
Widura menyilangkan pedangnya
di muka dadanya sambil menjawab, “Inilah perisaiku.”
Sanakeling sudah tidak melihat
kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini, pemimpin laskar
Sangkal Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung itu akan menjadi
tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau laskar Tohpati kemudian datang
melanda desa yang sedang ketakutan itu maka semuanya akan segera selesai.
Meskipun ia menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran itu.
Karena itu maka segera
ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek dijulurkannya pedang itu kedada
Widura.
Gerak Sanakeling itu menjadi
isyarat dari suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat sekali. Sebab Widura
kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya. Sentuhan dari
kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya, disusul dengan sentuhan-sentuhan
yang berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat.
Dan berkobarlah pertempuran
antara Widura dan Sanakeling itu. Kedua-duanya adalah pemimpin yang telah cukup
banyak makan asam garamnya peperangan. Masing-masing telah banyak memiliki
perbendaharaan pengalaman di dalam dirinya. Karena itu maka perkelahian itu
segera menjadi perkelahian yang sengit.
Sanakeling pernah mendengar
keteguhan perlawanan Widura dari Tohpati sehingga ia dapat membandingkannya
dengan apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu. Sedang Widura pernah
mendengar tentang Sanakeling dari berbagai pihak. Ketrampilannya, kecepatannya
dan ketangguhannya.
Kini mereka berhadapan dalam
satu pertempuran. Dan ternyata apa yang telah mereka dengar itu sebenarnyalah
demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang Widura
terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Sanakeling itu benar-benar
mengherankan.
Dalam pada itu, penghubung
yang mendapat perintah Widura memberitahukan keadaan Sangkal Putung itu kepada
Untara, segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil ia menghampiri
kudanya yang ditambatkannya di dalam gelap tidak jauh dari pertempuran itu,
ditunggui oleh beberapa orang kawannya. Dengan tangkasnya ia meloncat ke atas
punggung kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ke tempat kedudukan
Untara, di ujung Barat dari sebuah desa kecil dari kademangan Sangkal Putung.
Untara menerima berita itu
dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Baik. Aku terima
beritamu.”
Sesaat kemudian Untara segera
mengurai keadaan yang dihadapinya. Kini ia benar-benar memimpin induk pasukan
yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya.
Ketika ia melihat Sidanti di
antara mereka, maka anak muda itu segera dipanggilnya. “Sidanti, sampai saat
ini belum ada laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah. Kalau ia
menempuh jurusan ini, maka kita segera akan berhadapan. Sekarang, kau aku
serahi untuk memimpin laskar sayap kanan. Atas nama Kakang Widura, yang
dikuasakan kepadaku, ambillah pimpinan itu. Kalau Tohpati telah terlibat dalam
pertempuran dengan induk pasukan ini, maka ambillah arah lambung dan usahakan
serangan itu dengan sangat tiba-tiba.”
Tetapi Untara itu terkejut
ketika Sidanti menjawab sama sekali diluar dugaannya. “Aku adalah anak buah
Kakang Widura. Berilah perintah kepada Kakang Widura. dan biarlah Kakang Widura
yang memberi perintah kepadaku.”
Untara mengerutkan keningnya.
Meskipun demikian ditahannya hatinya. Katanya, “Aku disini mendapat kekuasaan
dari Kakang Widura.”
Sidanti itu tersenyum. “Aneh, pangkat
serta jabatanmu lebih tinggi dari Kakang Widura. Apakah wajar kalau kau
mewakilinya?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Pandangan matanya melontar jauh menembus gelapnya malam, telah
siap menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang benar-benar telah
mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
Karena itu, betapa darahnya
bergolak, namun Untara mencoba sekuat-kuat tenaganya untuk melawannya. Bahkan
katanya kemudian, “Sidanti, kau benar-benar perasa. Dalam keadaan seperti
sekarang ini, marilah kita lupakan segala persoalan di antara kita
masing-masing. Marilah kita lupakan seandainya ada perselisihan di antara
pribadi kita masing-masing. Marilah kita pusatkan kemampuan yang ada pada kita
untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan beserta laskarnya.”
Sidanti mendengar kata-kata
Untara itu. Terasa juga sesuatu menyentuh dadanya, sehingga karena itu katanya,
“Baiklah. Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat saluran yang
sewajarnya itu, demi keselamatan Sangkal Putung.”
“Terima kasih Sidanti” sahut
Untara.
Sidanti itupun segera pergi ke
sayap kanan. Atas nama pimpinan laskar Sangkal Putung ia memegang pimpinan
sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam pertempuran, maka ia
harus segera menyerang dari arah lambung.
Beberapa orang yang berada di
sayap kanan itu menjadi kecewa atas kehadirannya. Tetapi mereka dalam keadaan
yang genting, sehingga karena itu mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka
menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang tangguh untuk melawan setiap pimpinan
yang namanya menakutkan dari pihak lawan. Para anggota itupun telah mendengar
bahwa di dalam pasukan lawan itu terdapat pula nama-nama Plasa Ireng, Alap-Alap
Jalatunda, Sanakeling dan yang lain-lain.
Di seberang kegelapan malam,
Tohpati sedang sibuk menilai keadaan pula. Ketika didengarnya tanda bahaya
meraung-raung di seluruh Sangkal Putung, maka Macan Kepatihan itu tertawa.
Katanya kepada Plasa Ireng, “Mudah-mudahan laskar Pajang ditarik sebaian besar
ke arah suara itu.”
Plasa Ireng dan Alap-Alap
Jalatunda yang muda itu tertawa pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
mereka berkata, “Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar dari
mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung ke pusat Kademangan Sangkal
Putung. Sebagian dari kita, masih akan sempat menyelamatkan laskar Sanakeling,
apabila ia keroban lawan.”
Macan Kepatihan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Marilah kita bergerak.”
Plasa Ireng dan Alap-Alap
Jalatunda segera pergi ke ke kelompoknya masing-masing. Dan sesaat kemudian
Tohpati itupun segera memerintahkan laskar induk itu untuk maju.
Ternyata laskar induk itu
tidak saja berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada dalam sebuah
garis yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun tidak sempurna.
Sengaja Tohpati memisahkan
sayap-sayapnya dengan jarak yang cukup untuk memberi kesempatan kepada
sayap-sayapnya itu melakukan kebijaksanaan menurut keadaan. Apabila ternyata
laskar lawan tidak begitu berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat berjalan
terus menuju ke jantung Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat yang penting,
terutama lumbung-lumbung padi serta tempat-tempat perbekalan yang lain.
Kemudian kademangan dan banjar desa. Tetapi kalau lawan yang dihadapi cukup
kuat, maka mereka harus menempuhnya dari lambung.
Pengawas yang dipasang oleh
Widura segera melihat kedatangan laskar lawan itu dalam tebaran yang luas.
Karena itu segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya menyampaikan
berita itu kepada induk pasukannya.
Untara yang menerima berita
itu segera mengatur laskarnya. Dipecahnya sebagian dari induk pasukan itu,
untuk dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri.
“Citra Gati memimpin sayap
ini?” berkata Untara.
Citra Gati termangu-mangu
sejenak. Dipandangnya Agung Sedayu dengan sudut matanya. Namun ia tidak
bertanya sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya, “Citra Gati,
pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu besertamu. Ia bukan salah seorang
dari laskar Paman Widura, sehingga ia tidak dapat memegang pimpinan apapun.
Tetapi ia akan dapat memberimu bantuan.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Meskipun kini ia tidak gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, ia masih selalu
ingin bersama-sama dengan Kakaknya. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu
maka katanya, “Baik, Kakang.”
“Cepat, berangkatlah.”
Citra Gati dan Agung Sedayu
itupun segera membawa sebagian laskar Pajang dan beberapa anak-anak muda
Sangkal Putung beserta mereka. Di antara mereka adalah Swandaru yang
seolah-olah ingin berada di dekat Agung Sedayu.
Kini Untara tinggal menantikan
kedatangan laskar Tohpati. Namun Untara tidak ingin bertempur di dalam desa
yang gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong induk laskar
Tohpati yang semakin lama semakin dekat.
Setelah Untara itu menempuh
jarak beberapa puluh langkah dari pedesaan maka laskarnya segera dihentikan.
Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian, sehingga
tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang mendekati.
Apalagi dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang
berkedipan di langit sajalah yang dapat memberi kemungkinan untuk dapat
memandang pada jarak yang dekat.
Tetapi ternyata laskar Tohpati
itu tidak maju langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh
Macan Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk mengetahui,
apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab Tohpati memang sudah
menyangka, bahwa laskar Widura tidak akan menunggunya saja di padesan yang
berada di mukanya itu.
Meskipun demikian, namun
laskar yang dipimpin oleh Untara itupun memiliki pengalaman yang cukup. Karena
itu, ketika mereka telah mengendap di balik pematang, maka dibiarkannya tiga
orang laskar Tohpati yang mendahului barisannya untuk berjalan dengan tenang.
Dibiarkannya orang itu melampaui barisan Untara yang diam-diam menunggu
kehadiran lawannya.
Karena itulah maka, laskar
Tohpatipun berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang yang mendahuluinya
itu. Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin Untara beserta
anak-anak muda Sangkal Putung itu telah menunggu mereka di balik lindungan
bayangan pematang yang hitam kelam.
Maka ketika laskar Tohpati itu
sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Untara memecah sepi malam,
mengatasi suara angin yang berdesah di antara daun-daun padi yang masih sangat
muda. Di antara heningnya malam terdengar suara itu, “Sergap…….!”
Seperti kuda yang lepas dari
ikatan, maka laskar Untara itupun berloncatan dari balik-balik pematang,
langsung menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut. Ternyata
mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang
menggoncangkan dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan
senjata-senjata mereka untuk menyongsong laskar Pajang yang melibat mereka
seperti badai.
“Setan” geram Tohpati. Dengan
lantang ia berkata, “Sayap kanan dan kiri, lihat perkembangan keadaan.”
Sayap-sayap kanan dan kiri
itupun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup langsung ke jantung
Sangkal Putung. Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan keadaan induk
pasukannya.
Tiga orang yang mendahului
gelar laskar Macan Kepatihan itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka
berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran melawan orang-orang
Pajang. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pajang
telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap pasukannya.
Pertempuran itupun segera
berkobar dengan sengitnya. Tetapi pertempuran ini tidak berlangsung ditengah-tengah
desa yang rimbun dalam gelap pepat. Di udara terbuka, maka mereka masih
mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mengamati kawan dan lawan.
Meskipun demikian pertempuran
itu tidak berlangsung terlalu cepat. Masing-masing masih juga ragu-ragu untuk
mengayunkan pedang-pedang mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar Macan
Kepatihan maupun laskar Widura di bawah pimpinan Untara itupun menganggap perlu
bahwa beberapa orang diantara mereka menyalakan obor-obor.
Ternyata laskar yang dihadapi
oleh Tohpati itu cukup berat, sehingga terdengar suara Macan Kepatihan itu
lantang, “Sayap-sayap kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan disini. Baru
kemudian kami bersama-sama memasuki Sangkal Putung.”
Untara mendengar pula aba-aba
itu. Tetapi ia tidak memberi aba-aba imbangan. Dibiarkannya sayap-sayapnya
menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi riuh.
Sayap-sayap kanan dan kiri
dari laskar Tohpati itupun kemudian segera menyergap lawannya dari arah
lambung. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi bertambah sengit.
Ketika sekali lagi Untara mengawasi pertempuran itu, maka hatinya menjadi
tenang. Jumlah laskarnya kini telah seimbang dengan laskar Tohpati. Namun
meskipun demikian, kemudian disadarinya, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung
yang ikut serta dengan mereka, masih belum memiliki kekuatan yang sama dengan
laskar Pajang sendiri. Karena itu maka Untara kemudian memerintahkan kepada dua
orang penghubung untuk segera menggerakkan sayap-sayap laskar mereka.
Macan Kepatihan itu tersenyum
melihat keseimbangan pertempuran. Menurut perhitungannya, maka ia akan dapat
mengatasi lawannya itu. Namun ia tidak tahu, bagaimanakah keadaan laskar
Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang telah ditarik untuk melawan laskar
Sanakeling, maka keadaan Sanakeling pasti akan gawat. Karena itu maka Macan
Kepatihan segera mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menebus
kekalahan kecil yang dialaminya pada benturan pertama.
Tetapi semakin lama Macan
Kepatihan itu menjadi semakin yakin, bahwa laskarnya akan dapat menjebolkan
pertahanan pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk desa Sangkal
Putung.
Namun tiba-tiba ia terkejut.
Dilihatnya sekumpulan pasukan muncul di arah selatan, langsung menyerbu ke
dalam perkelahian itu. Sesaat ia berdiri tegak seperti patung, kemudian
terdengar suaranya lantang, “Sayap kiri, siap melawan sayap lawan.”
Yang berdiri di sayap kiri
terkejut mendengar teriakan itu. Seorang anak muda dengan mata yang tajam
setajam mata alap-alap menengadahkan wajahnya. Dilihatnya sekelompok laskar
langsung menyerbu ke arah mereka yang sedang menghantam lawan dari arah lambung
itu. Dengan tergesa-gesa anak muda itu menarik beberapa orangnya, yang dengan
tergesa-gesa pula melepaskan lawan-lawan mereka.
Dengan marahnya anak muda yang
memimpin sayap kanan laskar Macan Kepatihan itu menggeram. Kemudian dengan
senjata di tangan ia mendahului anak buahnya meloncat menyongsong laskar yang
datang itu.
Yang berdiri di paling depan
dari laskar Pajang adalah Citra Gati. Ketika ia melihat lawan menyongsongnya,
segera ditundukkannya pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah katapun maka kedua
orang itu telah terlibat dalam satu perkelahian, sedang anak buah merekapun
segera menghambur, dan dengan sengitnya kemudian campuh beradu senjata.
Agung Sedayu yang berada di
dalam sayap itu melihat Citra Gati bertempur dengan sekuat tenaganya. Lawannya
adalah seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat dan garang.
Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir. “Alap-Alap Jalatunda” desisnya.
Namun ia tidak berbuat sesuatu
atas perkelahian di antara kedua pemimpin sayap itu. Ketika kedua belah pihak
telah tenggelam dalam suatu pertempuran, Agung Sedayupun ikut bertempur pula.
Pertempuran ini adalah
pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan pedangnya ia mampu
melawan setiap serangan yang datang kepadanya, namun terasa sesuatu bergolak di
dalam dadanya. Ketika sekali pedangnya terayun, memukul pedang lawannya dengan
kekuatannya yang tercurah sepenuhnya, maka pedang lawannya itu terpental jatuh.
Kini kesempatan terbuka baginya.
Lamat-lamat ia melihat wajah
orang itu dalam cahaya obor di kejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa
wajah itu menjadi ketakutan melihat pedangnya. Ketika tangan Agung Sedayu
terjulur, dan ujung pedangnya hampir menembus dada lawannya, tiba-tiba ia
menjadi ragu-ragu. Ketakutan yang terbayang di wajah lawannya yang telah tidak
bersenjata itu membangkitkan iba di hatinya.
Ia belum pernah membunuh
orang. Dan ia sendiri pernah mengalami, betapa sakit perasaan yang dikejar-kejar
oleh ketakutan. Karena itu maka tiba-tiba tangannya yang sudah terjulur itu
digerakkan ke samping, sehingga pedangnya tidak menembus dada lawannya yang
telah berputus asa.
Lawannya terkejut bukan main.
Matanya telah menjadi gelap dan harapannya telah putus. Sekilas terbayang
istrinya yang masih muda menunggunya, serta anaknya yang baru berumur tiga
bulan. Anak yang masih belum pernah ditimangnya, sebab selama ini ia selalu
mengembara dari satu tempat ke lain tempat bersama-sama dengan Alap-Alap Jalatunda
atau pemimpin-pemimpin Jipang yang lain.
Tetapi tiba-tiba terasa kaki
lawannya itu mendesak dadanya, dan terdengar suaranya lirih, “Pergi. Kalau kau
masih berdiri disitu, aku bunuh kau.”
Orang itu benar-benar tidak
mengerti. Namun secepat kilat ia meloncat ke samping, menyusup di antara
teman-temannya dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri di belakang
pertempuran itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan apa yang baru saja
terjadi.
“Mustahil, mustahil” katanya
dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun ternyata ia masih
hidup. Ketika ia menggeleng-gelengkan kepalanya, maka yang dilihatnya masih
saja perkelahian yang seru. Ia tidak sedang mimpi.
Karena itu segera ia meloncat
kembali, mengambil pedang seorang kawannya yang terluka. “Mari, berikan senjata
itu kepadaku.”
Kawannya yang terluka itu
merangkak ke samping. Diberikannya pedangnya kepada kawannya sambil berdesah,
“Bunuhlah. Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah dilukainya. Dan lukaku
parah.”
Orang itu menerima pedang itu
dengan tangan gemetar. Kawannya dilukai dadanya, sedang dirinya sendiri, yang
telah pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan untuk hidup. Dan apakah
sekarang ia harus membunuh?
Tetapi ia tidak mendapat
kesempatan untuk berpikir lebih panjang. Sekali lagi ia melihat seorang
kawannya jatuh terlentang dengan luka di dadanya. Karena itu segera ia meloncat
kembali memasuki arena pertempuran yang menjadi kian sengit.
Agung Sedayu masih juga
bertempur dengan gagahnya. Namun ketika ia melihat beberapa orang kawan dan
lawannya terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya sudah
tidak gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah ternyata ia dapat melepaskan
diri dari berbagai bahanya. Namun ia masih belum sampai hati untuk membunuh
orang, meskipun dalam pertempuran.
Tetapi sementara itu
pertempuran berjalan terus. Citra Gati dengan gigihnya bertempur melawan
Alap-Alap Jalatunda. Alap-Alap yang masih muda itu bertempur dengan tangkasnya.
Pedangnya menyambar-nyambar seperti beratus-ratus pedang.
Tetapi Citra Gatipun cukup
berpengalaman. Pedangnyapun berputar seperti baling-baling. Dengan sepenuh
tenaga dicobanya untuk melawan Alap-Alap Jalatunda. Namun Alap-Alap Jalatunda
itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Kelincahan dan kecepatannya. Sekali
ia menyambar dari samping, namun dengan cepatnya pedangnya telah terjulur ke
arah lambung.
Agung Sedayu yang berdiri
beberapa langkah dari pertempuran itu kadang-kadang dapat menyaksikannya dengan
cermat. Ia melihat, bahwa Alap-Alap Jalatunda itu benar-benar tangkas. Tetapi
meskipun demikian, kini Agung Sedayu itu tidak menjadi gentar seperti pada saat
ia melihat Alap-Alap Jalatunda bertempur melawan kakaknya. Bahkan tiba-tiba
terungkatlah kebenciannya kepada Alap-Alap Jalatunda itu. Sebab ia adalah salah
seorang dari mereka yang menyebabkan kakaknya terluka pada waktu itu.
Karena itu untuk melepaskan
kebimbangannya melawan setiap orang yang belum pernah dikenalnya dalam laskar
lawannya, maka tiba-tiba Agung Sedayu itupun meloncat mendekati Citra Gati. Ia
sama sekali tidak cemas lagi melihat pedang Alap-Alap Jalatunda itu. Meskipun
demikian, ia menjadi berdebar-debar juga. Kalau ia terpaksa terlibat dalam
pertempuran yang seimbang, apakah ia harus membunuh lawannya? Namun demikian,
ada juga keinginannya untuk melepaskan gelora yang tersekap di dalam dadanya.
Gelora kemarahannya kepada Sidanti yang belum ditumpahkannya.
Alap-Alap Jalatunda yang
sedang bertempur melawan Citra Gati itu melihat seseorang mendekati perkelahian
itu. Karena itu segera ia berteriak, “Ha, siapa lagi yang ingin bertempur
melawan Alap-Alap Jalatunda?”
Dalam pada itu seorang
prajurit Jipang tiba-tiba menyerang Agung Sedayu. Namun dengan tangkasnya Agung
Sedayu menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia memukul pedang lawannya,
ke arah yang sama, sehingga justru karena itu, maka pedang itupun meloncat dan
terlepas dari tangannya.
Alap-Alap Jalatunda sempat
menyaksikan ketangkasan itu. Karena itu maka segera perhatiannya tertarik
kepada lawan yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati ia berkata,
“He, alangkah tangkasnya anak itu. Siapakah kau? Apakah kau ingin melawan
Alap-Alap Jalatunda?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. namun diamatinya perkelahian antara Alap-Alap itu melawan Citra Gati.
Baru sesaat kemudian ia berkata, “Aku Agung Sedayu, adik Untara yang kau cegat
berempat di sekitar Macanan.”
“He, kaukah itu? Pengecut yang
selama ini aku cari-cari.”
“Kita bertemu disini. Apakah
aku benar-benar pengecut?”
Citra Gati menjadi heran.
Apakah mereka sudah berkenalan? Tetapi kemudian diingatnya cerita Agung Sedayu
tentang perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di Sangkal Putung.
Karena itu maka katanya sambil menggerakkan pedangnya, menangkis serangan
Alap-Alap Jalatunda, “Apakah kau bertemu dengan kawan lama?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau kau yang bertempur
melawan aku sekarang, maka aku akan dapat melepaskan sakit hatiku. Bukankah
kakakmu yang namanya Untara itu membunuh tiga orang kawan-kawanku?” teriak
Alap-Alap Jalatunda.
Agung Sedayu menarik nafas.
Kemudian katanya, “Kau masih marah?”
“Setan” desis Alap-alap
Jalatunda. “Kalau kau tidak melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku
cincang di bawah randu alas di tikungan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. “Ya” katanya dalam hati. “Kalau pada saat itu Kiai Gringsing tidak
menolongku, mungkin aku benar-benar telah dicincangnya.”
Kemudian jawabnya, “Tetapi
sekarang kita bertemu lagi.”
“Jangan lari. Setelah aku
menyelesaikan yang seorang ini, akan datang giliranmu.”
Citra Gati tersinggung
mendengar kata-kata itu. Karena itu ia memperketat serangannya sambil
berteriak, “Apa kau sangka aku ini dapat kau kalahkan?”
Alap-Alap Jalatunda terkejut.
Serangan Citra Gati benar-benar berbahaya. Sedang seorang yang lain telah
menyerang Agung Sedayu pula.
Namun sekali lagi dengan
mudahnya Agung Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa saat, kemudian
dengan sekuat tenaga melawan serangan orang itu dengan serangan pula, sehingga
kedua senjata mereka beradu. Ketika pedang lawannya itu masih bergetar di
tangannya, maka dengan cepatnya Agung Sedayu memukul pedang itu sehingga
terlepas pula dari genggamannya. Namun sekali lagi ia ragu-ragu untuk
membunuhnya. Maka dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup di antara riuhnya
pertempuran.
Kini, setelah beberapa kali
Agung Sedayu meyakinkan kemampuannya, maka dengan tangkasnya ia meloncat
mendekati Citra Gati sambil berkata, “Lepaskan anak muda itu Paman. Biarlah ia
melawan aku dahulu.”
Citra Gati mengangkat dahinya.
Sebenarnya ia ingin menyobek mulut Alap-Alap Jalatunda yang telah menghinanya
itu. Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya, “Silakan. Kalau kawan
lama sudah bertemu, maka aku akan menyingkir.”
“Kau mau bunuh diri?” teriak
Alap-alap Jalatunda. “Beberapa waktu yang lalu kau melarikan dirimu, sekarang
kau bersombong diri, melawan aku.”
“Pada waktu itupun aku tidak
lari” sahut Agung Sedayu yang mencoba menutupi kekecewaannya atas masa lampau
itu. “Waktu itu aku sedang menyelamatkan Kakang Untara.”
Alap-Alap Jalatunda
mencibirkan bibirnya. Anak muda itu dapat mengingatnya dengan baik ketika Agung
Sedayu berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang diri.
Tetapi Alap-Alap Jalatunda itu
benar-benar menjadi heran, bahwa kini Agung Sedayu benar-benar berani
melawannya atas kehendak sendiri. Bahkan sengaja mendatanginya dan menyatakan
dirinya untuk bertempur melawannya.
Sementara itu pertempuran
masih berlangsung terus. Citra Gati yang kemudian melepaskan lawannya, segera
mendapat serangan dari orang-orang Alap-Alap Jalatunda yang menyangka bahwa
Agung Sedayu dan Citra Gati akan mengeroyok pimpinan sayapnya. Tetapi Citra
Gati segera berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan itu dalam jarak
yang cukup dari Alap-Alap Jalatunda.
Kini Alap-Alap Jalatunda
berdiri bebas tanpa lawan seperti Agung Sedayu. Anak buahnya segera mengerti
bahwa mereka beruda akan berhadapan sebagai lawan. Demikian juga dengan anak
buah Citra Gati. Karena itu maka mereka tidak akan mengganggu kedua orang yang
sudah siap untuk bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk melayani lawan
masing-masing.
Alap-Alap Jalatunda itu sekali
melayangkan pandangannya ke arena yang tidak begitu luas itu.
Perkelahian masih berlangsung
dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah lawannya agak sedikit lebih banyak.
Tetapi beberapa orang di antara mereka adalah anak-anak muda yang belum begitu
tangkas mempergunakan senjata-senjata mereka, sehingga mereka terpaksa
bertempur berpasangan.
Tetapi anak buah Widura
sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya tandang mereka
ngedap-edabi. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung yang berbekal
tekad yang menyala di dalam dada mereka itupun menjadi garang pula.
Di antara mereka, Swandaru
tampak mempunyai beberapa kelebihan. Bahkan kini ia tidak kalah tangkas dengan
setiap orang di dalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang besar berputar
menyambar-nyambar seperti baling-baling. Dan setiap benturan, langsung terasa
oleh lawannya bahwa kekuatannya benar-benar bukan main. Karena itulah maka
Swandaru itu benar-benar mengamuk seperti banteng yang terluka.
Alap-Alap Jalatunda itu
kemudian memandang Agung Sedayu yang telah siap berdiri di mukanya. Dengan
wajah yang tegang Alap-Alap Jalatunda itu membentak, “He, apakah kau sekarang
sudah mendapat seorang guru yang pilih tanding? Yang mampu meremas prahara?
Agung Sedayu masih juga
berdebar-debar. Meskipun demikian ia merasa bahwa ia tidak takut lagi
menghadapinya. Karena itu maka katanya, “Alap-Alap Jalatunda, aku telah
mendapat guru yang sangat baik. Aku berguru pada keadaan dan waktu. Akhirnya
aku berani menghadapimu kini.”
Alap-Alap Jalatunda tertawa.
Katanya, “Nah, berperisailah dengan segala macam mantra, doa, aji dan ilmu.
Namun sebentar lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku.”
“Tidak. Aku hanya berperisai
dengan keyakinan akan kebenaran perjuanganku. Mudah-mudahan Tuhan membenarkan
pula.”
“Huh, setiap orang meyakini
kebenaran perjuangannya. Akupun yakin, Karena itu jangan membual tentang
kebenaran.”
“Kau benar” sahut Agung
Sedayu. “Tetapi marilah kita cari kebenaran yang jujur. Kebenaran yang
dibenarkan oleh Tuhan kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak
itu?”
“Pandangan kita tak akan
bertemu.”
“Mungkin tidak. Tetapi apa
yang kau lakukan selama ini, perampokan, pencegatan, perkosaan atas kebebasan dan
kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan kebenaran perjuanganmu.”
“Jangan menggurui aku. Kita
sudah memegang pedang ditangan masing-masing.”
“Bagus. Aku sudah siap.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
berbicara lagi. Segera ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya.
Namun Agung Sedayupun telah
siap pula. Ia telah banyak mengalami penempaan selama ini. Dari kakaknya di
masa kanak-kanaknya, dari ayahnya dan akhirnya dari pamannya. Namun ia sendiri
telah menemukan banyak persoalan yang dapat dipecahkannya lewat
lukisan-lukisannya yang telah disempurnakan oleh kakaknya, sehingga dengan
demikian, maka Alap-Alap Jalatunda benar-benar menjadi heran. Agung Sedayu
adalah anak muda yang perkasa.
Demikianlah mereka terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Alap-Alap Jalatunda yang bertanggungjawab atas
anak buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk secepat-cepatnya
berusaha menyelesaikan pertempuran itu. Sedang Agung Sedayu kemudian melawannya
dengan gigih.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba timbullah berbagai pertanyaan di dalam diri Agung Sedayu. Ia belum
pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ia menjadi heran.
Apakah Alap-Alap Jalatunda itu tidak bertempur dengan segenap kemampuannya?
Apakah anak muda itu sengaja memancingnya atau membiarkannya menjadi lelah?
Sampai sedemikian lama, Agung
Sedayu sama sekali tidak merasakan sesuatu kesulitan untuk melawan Alap-Alap
Jalatunda yang ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik, bahkan kadang-kadang
ia mampu melibat lawannya dalam keadaan yang sangat sulit.
Karena itu maka Agung Sedayu
justru menjadi bingung. Ia akhirnya menyangka bahwa Alap-Alap Jalatunda belum
bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun
berusaha menyimpan sebagian dari tenaganya untuk menghadapi setiap saat apabila
Alap-Alap Jalatunda itu mengerahkan ilmunya.
Tetapi sebenarnya bahwa
Alap-Alap Jalatunda telah berjuang mati-matian untuk membinasakan lawannya.
Namun betapa ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu yang sangat
membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat menghadapinya dengan mantap, namun
tiba-tiba bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan hantu yang
tidak berjejak di atas tanah. Karena itu, maka keringat dingin telah mengalir
di segenap wajah kulitnya. Meskipun demikian Alap-Alap Jalatunda itu masih
bertempur dengan garangnya.
Hal inilah yang tidak
diketahui oleh Agung Sedayu. Ia masih menyangka bahwa Alap-Alap Jalatunda belum
bertempur sebenarnya.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu itupun masih menunggu. Disimpannya sebagian dari tenaganya. Apabila
saatnya datang, maka segera ia siap untuk bertempur mati-matian.
Bagaimanapun juga, Agung
Sedayu itu masih juga terpengaruh kenangan masa-masa lampaunya. Ia masih
menganggap bahwa Alap-Alap Jalatunda adalah seorang anak muda yang perkasa.
Karena itu maka ketika ia mengalami pertempuran melawan Alap-Alap itu, ia
menjadi ragu-ragu. Sebab dalam perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-Alap
Jalatunda sama sekali tidak segarang yang disangkanya, sehingga dengan demikian
ia tetap mengira, bahwa Alap-Alap Jalatunda masih menyimpan sesuatu yang akan
dipakainya untuk mengakhiri pertempuran.
Demikianlah maka mereka berdua
masih berempur dengan serunya, di dalam riuhnya pertempuran antara laskar
Widura dan anak-anak Sangkal Putung di satu pihak dan laskar Tohpati di lain
pihak.
Sementara itu, induk pasukan
merekapun bertempur dengan serunya pula. Mereka telah berjuang sekuat-kuat
tenaga mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh Citra Gati itu maka
Macan Kepatihan yang cerdik segera dapat menduga, bahwa akan datang pula
serangan dari sayap lain. Karena itu segera ia berteriak, “Siapkan sayap kiri.”
Dan sebenarnyalah laskar
Pajang yang dipimpin oleh Sidanti itupun segera melanda lawannya seperti arus
banjir yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung gelombang demi
gelombang.
Sidanti telah mengatur anak
buahnya dalam sap-sap yang tipis. Sebagian anak buahnya langsung berusaha masuk
ke dalam barisan lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang berdiri di baris terdepan,
harus berhadapan dengan lapis-lapis yang berikutnya. Dengan demikian, maka
mereka menjadi ragu-ragu.
Karena itu itu maka
pertempuran yang ribut itu berlangsung dalam suasana yang tidak menentu.
Apalagi malam yang pekat telah melindungi wajah-wajah mereka sehingga sukar
untuk membedakan siapakah lawan dan yang manakah kawan. Tetapi dengan demikian
Sidanti telah berhasil mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan bagi mereka
yang masih belum lanyah mempermainkan senjata, sebab dalam keadaan demikian,
mereka bertempur berpasang-pasang, bahkan kadang-kadang dalam jumlah tiga atau
empat bersama-sama.
Dalam keadaan demikian itulah
maka kedua belah pihak memandang perlu untuk menyalakan obor-obor lebih banyak
lagi sehingga oleh sinar obor-obor itu mereka dapat sedikit membedakan, antara
lawan dan kawan.
Namun Plasa Ireng tidak
membiarkan pertempuran itu menjadi kisruh tidak menentu. Karena itu maka segera
ia berteriak, “Jangan berkisar dari satu titik. Merengganglah, dan carilah
jarak di antara kawan sendiri.”
Arena pertempuran yang
mula-mula justru menjadi kian sempit itu, maka perlahan-lahan menebar kembali.
Laskar Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu segera mereka dapat
menempatkan diri mereka dengan baik.
Sidanti yang memimpin laskar Pajang
itupun segera dapat melihat siapakah yang memegang perintah dalam laskar
lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apapun segera ia meloncat menyerbunya.
Plasa Ireng terkejut melihat
anak muda itu. Sekali ia meloncat ke samping kemudian dengan menggeram ia
berkata, “Siapakah kau?”
“Sidanti” sahut Sidanti. Namun
sementara itu, senjatanya yang berujung tajam di kedua sisinya berputar dengan
cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir menyentuh
wajah Plasa Ireng.
Plasa Ireng itu menjadi marah
bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Sidanti ia menggeram, “Apakah
kau sudah jemu hidup?”
Sidanti menyerang semakin
garang. Meskipun demikian ia menjawab, “Kita berada di medan pertempuran.
Jangan ribut.”
Plasa Ireng itupun kemudian
berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-serangan Sidanti. Iapun
bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. Plasa Ireng
adalah prajurit sejak mudanya. Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk memanggul
senjata.
Demikianlah perkelahian itu
cepat menanjak menjadi dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan lincahnya,
sedang Plasa Ireng bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa
kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Namun ketika Plasa Ireng
sempat memperhatikan senjata lawannya, maka iapun menjadi berdebar-debar. Ciri
yang ada di tangan Sidanti itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi.
“Hem” desisnya sambil
bertempur. “Apakah kau murid Ki Tambak Wedi?”
Sidanti menjadi berbangga hati
mendengar pertanyan itu. “Ya” jawabnya singkat.
Sekali lagi Plasa Ireng
menggeram. “Jangan berbangga. Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi dari Macan
Kepatihan. Karena itu aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak Wedi itu
benar-benar mendebarkan hati.”
Sidanti menjadi tersinggung karenanya.
Maka senjatanya menjadi semakin dahsyat berputar-putar mengitari tubuh
lawannya. Bagaimana Plasa Irengpun telah mencapai puncak kemarahannya. Dengan
demikian maka pertempuran itu menjadi bertambah seru.
Sebenarnyalah Sidanti memiliki
beberapa keanehan. Ia mampu meloncat-loncat seperti kijang, namun kadang-kadang
ia menyambar seperti elang. Dengan penuh tekad, ia ingin menunjukkan
kelebihannya dari setiap orang dari kedua belah pihak. Ia ingin membunuh
lawannya itu, dan karena itu ia ingin membanggakan dirinya kepada setiap orang
di Sangkal Putung.
Tetapi Plasa Ireng itupun
ingin berbuat serupa. Ia ingin segera membinasakan murid Ki Tambak Wedi itu.
Dengan demikian iapun akan dapat membanggakan dirinya pula.
Plasa Ireng pernah mendengar
dari Macan Kepatihan bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata telah berhasil
menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan Kepatihan itu sendiri.
“Tetapi ia akan mati kali ini” berkata Plasa Ireng di dalam hatinya. Dengan
demikian maka pertempuran di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing
berhasrat untuk membunuh lawannya. Tanpa ampun, tanpa pertimbangan lain.
Ketika kedua sayapnya telah
mendapatkan lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi tenang. Kini ia
tinggal mengatur induk pasukannya. Ketika dengan seksama ia memperhatikan
pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal bahwa kunci
pertempuran itu telah dibuka oleh laskar Pajang. Sesaat yang pendek itu
ternyata benar-benar berpengaruh atas laskarnya.
“Hem” ia menggeram. “Sekali
lagi dapat di sergap oleh Widura. Jaringan pengawasannya benar-benar luar
biasa. Tetapi sejak pertempuran ini dimulai, aku belum melihatnya. Aku belum
melihat seorangpun yang memberi aba-aba pada laskar ini.”
Sasaat ia masih berdiri tegak
di belakang garis pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan berdiri saja
seperti patung. Ketika ia melihat bahwa jumlah laskar lawannya agak lebih
banyak maka ia mengerutkan keningnya.
“Tidak akan berpengaruh
apa-apa” desah Tohpati itu. Namun ia heran juga, kenapa mereka tidak terpancing
oleh tanda bahaya yang bergema di seluruh Sangkal Putung itu sehingga jumlah
mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar Widura itu telah ditambah?
Namun mata Macan Kepatihan itu
benar-benar tajam. Sekali-sekali ia melihat satu dua orang di antara laskar
Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda dari kawan-kawan mereka.
Karena itu maka segera Tohpati dapat mengambil kesimpulan bahwa laskar Widura
ini telah bergabung dengan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
“Biarlah aku memberikan
tekanan kepada laskar lawan itu. Mungkin dengan demikian Widura akan
menghampiri aku” berkata Tohpati itu di dalam hatinya.
Karena itu maka segera ia
meloncat menyusup di antara anak buahnya, sehingga sesaat kemudian senjatanya
telah berputaran di arena itu. Tongkatnya yang putih mengkilap dengan ujung
yang kekuning-kuningan segera memberitahukan kepada lawan-lawannya bahwa
Tohpati sendiri telah hadir di garis peperangan. Karena itu, sebelum mereka
sempat berbuat apa-apa, maka seorang dua orang telah terpelanting jatuh. Setiap
ia bergerak, maka tak ada seorangpun yang berani menyongsongnya seorang diri.
Kalau terpaksa mereka harus melawan Macan Kepatihan itu, maka mereka berusaha
untuk melawan berpasangan, tiga empat orang sekaligus. Tetapi lawan-lawan
mereka yang lainpun segera menyerang mereka juga, sehingga setiap titik yang
dihampiri oleh Tohpati itu, maka seseorang dari laskar lawannya pasti akan
jatuh.
Tetapi Tohpati itu tidak
terlalu lama dapat berbuat demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, muncullah
seseorang dengan sebuah pedang di tangan. Ketika tongkat Tohpati itu terayun
dengan derasnya ke arah salah seorang prajurit Pajang yang telah menjadi
berputus asa karenanya, maka tiba-tiba pedang itu telah menyentuhnya. Tidak
terlalu keras, namun dari arah yang tepat sehingga tongkat Tohpati itu tergeser
dari arahnya.
Tohpati menggeram keras
sekali. Ketika ia melihat orang yang menyentuh senjatanya itu di dalam
remang-remang cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata, “He, adakah
kau Adi Untara?”
Orang yang memegang pedang itu
menyahut, “Ya.”
Sekali lagi Tohpati menggeram.
Kini ia menemukan lawan yang sebenarnya. Karena itu maka ia tidak mau membuang
waktu. Betempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun, Tohpati tidak akan memerlukan
waktu yang terlalu banyak. Namun kini Untara berdiri di hadapannya, maka dengan
demikian ada kemungkinan ia harus bertempur lebih lama lagi, mungkin setengah
malam, mungkin lebih.
Untara kini telah benar-benar
siap untuk melawannya. Pedangnya terjulur setinggi dada. “Kakang Tohpati,”
katanya, “aku mendapat tugas untuk menyambut kedatanganmu.”
Tohpati menggertakkan giginya.
Dengan sekali loncat, tongkatnya telah mulai menyerang Untara. Namun Untara
telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai senjata khusus seperti
Tohpati itu, namun Untara mampu mempergunakan setiap senjata untuk melawan
Tohpati. Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun kearah kepalanya, dengan
tangkasnya ia merendahkan dirinya, sedang tangannya segera menggerakkan
pedangnya, mematuk lambung lawannya. Namun Tohpatipun mampu bergerak secepat
kilat, sehingga dengan memiringkan tubuhnya, serangan pedang Untara telah dapat
dihindari.
Kin Tohpati itu kembali
mempersiapkan sebuah serangan. Tongkatnya telah mulai berputaran seperti
baling-baling. Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan cahaya yang
putih. Sedang kepala tongkatnya itu menjadi seakan-akan seleret cahaya kuning
yang beterbangan di antara gumpalan yang berkilat-kilat itu.
Dalam pada itu terdengar
Tohpati itu menggeram, “Kenapa kau berada disini Adi?”
Untara tersenyum. Pada saat
itu tongkat Tohpati menyambarnya kembali. Karena itu, ia terpaksa bergeser
surut, namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya. Kini ia menyerang
dengan sebuah sabetan menyilang. Tohpati terkejut. Cepat ia menarik diri
setengah langkah, dan mencondongkan badannya ke belakang. Ketika pedang Untara
itu lewat, maka tongkatnyalah kini langsung menyambar tangan Untara itu. Namun
Untarapun cukup cekatan. Dengan lincahnya ia memutar dirinya dan menarik
tangannya, sehingga tongkat lawannya terayun tanpa menyentuhnya.
Meksipun mereka telah
bertempur semakin cepat, namun Untara masih sempat berkata, “Huh. Hampir aku
tidak sempat menjawab untuk selama-lamanya. Nah Kakang, aku datang kemari
khusus untuk menerima kedatangan Kakang.”
“Gila” Tohpati mengumpat.
“Apakah Paman Widura sudah ditarik ke Pajang?”
“Kakang mencari Paman Widura?”
“Aku hampir membunuhnya” sahut
Tohpati. Dalam pada itu serangannya telah meluncur kembali.
Tetapi Untara sama sekali
tidak lengah. Setiap saat ia selalu siap menghadapi serangan lawannya. Bahkan
dengan garangnya Untara itupun segera menyerang kembali.
Untara dan Macan Kepatihan
itupun kemudian terlibat dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin
seru. Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat kepercayaan. Pada masa
Jipang masih tegak, maka di samping Mantahun sendiri, pepatih Jipang, maka
Tohpatilah prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara walaupun masih agak
lebih muda dari Tohpati, namun ia telah menunjukkan kelebihan dari
prajurit-prajurit yang lain, sehingga Panglima Wira Tamtama memberinya
kepercayaan di daerah-daerah yang gawat, di sekitar lereng gunung Merapi.
Tohpati itu bertempur semakin
lama menjadi semakin garang. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti elang, sedang
kakinya meloncat-loncat dengan cepatnya, seperti seorang yang sedang menari di
atas bara api. Tetapi Untara mampu melawannya dengan gigih. Seperti seekor
banteng ia siap menghadapi kemungkinan apapun juga. Tenang tetapi yakin.
Anak buah masing-masingpun
terpengaruh pula oleh pertempuran kedua pemimpin itu. Merekapun kemudian
melepaskan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Karena itu, maka di arena
pertempura itu semakin lama menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu,
diselingi pekik mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya hinggap di
tubuhnya.
Malam yang gelap itu menjadi
semakin gelap. Perlahan-lahan bintang-bintang di langit merambat melewati garis
edarnya. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh mereka
yang sedang basah oleh keringat.
Di pinggir selatan induk desa
Sangkal Putung, Widura sedang berjuang dengan gigihnya. Sanakeling yang
melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya.
Ternyata apa yang pernah
didengarnya tentang Widura, adalah bukan sekedar cerita belaka. Kini ia
berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura itu. Tidak saja ia
mempunyai kecepatan dan ketrampilan bertempur, namun caranya mengatur anak
buahnya benar-benar mengagumkan.
Karena itu, maka Sanakeling
harus bertempur mati-matian sehingga dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi
keadaan keseimbangan laskar mereka. “Kalau aku mampu membunuh Widura, maka
laskar mereka akan dapat aku cerai-beraikan” pikir Sanakeling itu.
Namun ternyata Widura tidak
mudah didesaknya. Bahkan semakin lama menjadi semakin terasa bahwa Widura
menjadi semakin mapan.
Karena itu, maka timbullah
berbagai persoalan di dalam dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling berusaha
mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain, masih belum dilihatnya
memasuki Sangkal Putung. Apalagi kemudian terasa bahwa laskar Sangkal Putung
itu benar-benar sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda Sangkal Putung sendiri
bertempur dengan gigihnya, di samping laskar Widura yang telah masak menghadapi
segala macam keadaan pertempuran. Karena itu, maka Sanakeling itu sama sekali
tidak dapat memberikan tekanan-tekanan seperti yang diharapkan, apalagi
merambas jalan ke kademangan,
Tetapi Sanakeling bukannya
prajurit yang berpikiran pendek. Ia bukan seorang yang lekas menjadi berputus
asa. Ia masih tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh Widura maka
pekerjaannya akan dapat dilakukan dengan baik.
Dalam keadaan yang demikian
itulah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Laskar Widura dan laskar Sangkal
Putung ternyata melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata bahwa laskar
Sanakeling memiliki pengalaman dan kelincahan lebih baik dari laskar Sangkal
Putung sendiri. Untunglah bahwa laskar Widura mampu mengimbanginya, meskipun jumlahnya
tidak dapat memadai.
Di bagian lain, Agung Sedayu
masih juga bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda. Laskar Citra Gati di sayap
itupun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa orang laskar Sangkal
Putung yang tidak saja terdiri dari anak-anak muda, tetapi beberapa orang tua,
namun justru bekas prajurit-prajurit di masa mudanya, ternyata memberinya
banyak bantuan. Meskipun tenaga orang-orang tua itu sudah tidak sekuat
anak-anak muda, namun pengalamannya benar-benar dapat memberi beberapa keuntungan.
Mereka masih dapat
membingungkan lawan-lawan dengan gerak-gerak yang aneh. Kadang-kadang mereka
menghilang di dalam keriuhan pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul
kembali dengan sebuah serangan yang mengejutkan. Bahkan kadang-kadang mereka
bertempur berpasangan dengan anak-anak muda sambil memberi beberapa petunjuk
kepada mereka.
Citra Gati yang melihat cara
mereka bertemput, sempat juga tersenyum. Mereka adalah bekas prajurit Demak
yang tangguh di masa muda mereka.
Tetapi Agung Sedayu sendiri,
masih saja merasa kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera mengakhiri
pertempuran. Kalau ia segera mengerahkan segenap kemampuannya, apakah Alap-Alap
Jalatunda itu tidak menjadi beruntung karenanya? Apakah Alap-Alap Jalatunda
sengaja membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia menjadi lemah?
Karena itu, maka akhirnya ia
memutuskan untuk melayani saja lawannya. Dibiarkannya lawannya mengambil sikap
lebih dahulu, baru kemudian ia akan menyelesaikannya.
“Biarlah” katanya dalam hati.
“Akan aku layani Alap-Alap Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau seminggu
sekalipun. Kalau ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak dapat
melawannya dengan senjataku?”
Dengan demikian Agung Sedayu
itu bertempur saja sekedar untuk melindungi dirinya dari sentuhan senjata
lawannya.
Tetapi di sayap yang lain,
keadaan Sidanti agak lebih sulit. Laskar Plasa Ireng benar-benar memiliki
kemampuan yang baik. Dengan dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar yang
dipimpin oleh Sidanti, sehingga pertempuran itu telah bergeser beberapa langkah
surut. Sidanti terpaksa mengambil kebijaksanaan untuk menarik laskarnya
mendekati induk pasukan. Diharapkannya bahwa induk pasukan akan dapat
memberinya bantuan.
Untarapun kemudian melihat
kesulitan Sidanti. Beberapa kali ia mencoba untuk menilai induk pasukan itu.
Namun keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian baiknya. Ternyata
laskar Tohpatipun mampu mengimbangi laskar Untara. Bahkan terasa bahwa
anak-anak muda Sangkal Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka belum biasa
memeras tenaganya untuk waktu yang lama, apalagi dalam kesibukan yang
membingungkan. Karena itu, maka Untara menjadi prihatin. Walaupun demikian, ia
berusaha untuk memberi isyarat kepada Hudaya. Isyarat sandi yang sudah mereka
bicarakan sebelumnya.
Hudaya melihat gerak tangan
kiri Untara. Karena itu, maka ia mengerutkan keningnya. Di dalam hati ia
bergumam, “Biarlah Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku
untuk membantunya?”
Sebenarnya bahwa isyarat sandi
Untara itu adalah, “Hudaya dan beberapa orang, pergi membantu sayap kanan.”
Bantuan itu memang hampir tak berarti. Tetapi sedikit banyak cukup berpengaruh
sekedar untuk mengurangi kesibukan Sidanti.
Sidanti melihat Hudaya dan
beberapa orang memisahkan diri dari induk pasukannya dan pergi ke sayap yang
dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu sama sekali tidak
berarti. Bahkan tersembullah suatu prasangka di dalam hati Sidanti yang mudah
menjadi panas itu. “Hem. Untara sengaja membiarkanku dalam kesulitan. Setan. Telah
menjadi sumpahku, bahwa Untara itu harus disingkirkan.”
Dan ternyata bahwa bantuan
Hudaya itu hampir tak berarti. Namun Hudaya sendiri telah berusaha
sebaik-baiknya. Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran diri.
Mengamuk sejadi-jadinya.
Namun hal itu telah mendorong
Sidanti untuk berbuat lebih banyak. Kemarahannya kepada Plasa Ireng, dirangkapi
oleh kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Tetapi betapapun juga,
kehadiran Hudaya di dalam sayapnya, telah mengurangi kesibukan pikirannya. Ia
menjadi agak tenang untuk menghadapi Plasa Ireng tanpa banyak berpikir tentang
laskarnya. Meskipun bantuan yang didapatnya tidak banyak memberi kekuatan pada
laskarnya, namun ternyata banyak membantu ketenangannya. Ia kini mencoba
memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia mencoba untuk sesaat
melupakan orang-orang lain di dalam sayapnya yang dalam keadaan sulit itu.
Dalam keadaan yang demikian
itu, maka Sidanti benar-benar menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.
Kalau beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan dirinya setelah
bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini ia berusaha memeras segenap
kemampuan yang ada padanya untuk membinasakan lawannya. Selain itu, ternyata
Sidantipun seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad untuk membunuh lawannya,
maka tak ada alasan apapun yang dapat mencegahnya. Kali inipun ia bertekad
membunuh Plasa Ireng, seperti Plasa Ireng berusaha membunuhnya. Tak ada pikiran
lain di dalam benaknya. Membunuh. Hanya itu. Membunuh.
Dengan demikian maka Sidanti
itupun kemudian memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Senjatanya bergerak
berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah berubah menjadi asap yang hitam
kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang, namun berujung sepasang
timbal-balik itu, seakan-akan berubah menjadi senjata serupa yang
berpuluh-puluh jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap arah.
Meskipun Plasa Ireng bukan
seorang prajurit yang baru saja belajar memegang senjata, namun tiba-tiba ia
menjadi bingung menghadapi permainan Sidanti. Permainan murid Ki Tambak Wedi
itu benar-benar memeningkan kepalanya. Meskipun demikian, Plasa Irengpun tidak
segera menjadi cemas. Plasa Ireng adalah seorang prajurit yang tabah. Berpuluh
bahkan beratus kali ia mengalami kesulitan di dalam peperangan dan perkelahian
perseorangan. Namun berpuluh bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan
kesulitan itu. Karena itu, maka dengan sekuat-kuat tenaga yang ada padanya,
maka ia berusaha untuk mematahkan gumpalan sinar hitam kebiru-biruan yang
melandanya.
Tetapi gumpalan sinar hitam
kebiru-biruan itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh oleh
senjatanya. Sidanti yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya tanpa
pertimbangan kecuali membinasakan.
Sekali-sekali Plasa Ireng
itupun meloncat mundur. Ia menjadi berbesar hati ketika ia melihat laskarnya
berhasil menekan laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa
desing senjata Sidanti itu seakan-akan sebuah siulan maut yang selalu
mengejarnya.
Karena itu, maka ia sama
sekali tidak menjadi cemas. Kalau perlu ia dapat menarik satu dua orang untuk
mengganggu Sidanti.
Hudaya yang bertempur di dekat
Sidanti melihat kelebihan Sidanti dari lawannya. Meskipun kebenciannya kepada
anak itu sampai ke ujung rambutnya, tetapi, dalam menghadapi musuhnya, Hudaya
berbesar hati juga melihat kemenangan Sidanti. Karena itu, maka ia berusaha
untuk selalu berada di dekatnya. Ia sudah dapat memperhitungkan apa yang
kira-kira akan terjadi. Sebagai seorang prajurit yang telah bertahun-tahun
hidup di dalam arena pertempuran, maka ia dapat menduga, bahwa apabila terpaksa
Plasa Ireng pasti tidak akan segan-segan memanggil satu dua orang untuk
membantunya.
Demikianlah pertempuran
disayap kanan itu menjadi semakin ribut. Laskar Sidanti menjadi semakin lama
menjadi semakin sulit pula. Plasa Irengpun semakin lama menjadi semakin sulit
pula. Sekali-sekali ia meloncat berkisar di sekitar garis pertempuran
berlindung di belakang beberapa orang laskar yang sedang berjuang. Namun
akhirnya Sidanti berhasil menekannya semakin dalam. Sidantipun mampu
memperhitungkan keadaan, bahwa daya tahan laskarnya masih lebih baik dari daya
tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia melupakan laskarnya sejenak, tetapi ia
akan mencapai hasil yang pasti lebih baik.
Sehingga karena itu, maka
Sidanti kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk membinasakan lawannya
itu.
Plasa Irenguin benar-benar
merasakan, betapa serangan-serangan Sidanti semakin menekannya. Senjatanya yang
aneh benar-benar telah berputar-putar di telinganya. Betapapun Plasa Ireng
mencoba mempertahankan dirinya, namun Sidanti itu mendesaknya semakin kuat.
Akhirnya Plasa Ireng itu
menganggap bahwa tak akan ada gunanya ia bertahan seorang diri. Dalam
peperangan, tak akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasangan.
Karena itu, tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring.
Sidanti mendengar suara suitan
itu. Terasa dadanya bergetar. Iapun tahu pasti, bahwa Plasa Ireng memanggil
seorang atau dua orang untuk membantunya.
Dan sebenarnyalah, seseorang
yang bertubuh tinggi, namun tidak cukup besar dibandingkan dengan tingginya,
meloncat lincahnya, menyerbu ke tempat pertempuran antara Plasa Ireng dan
Sidanti. Di tangannya tergenggam sebilah tombak pendek. Dengan cepatnya ujung
tombak itu bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong serangan-serangan
Sidanti.
Sidanti surut selangkah.
Terdengar ia menggeram parau, “Setan. Apakah kau sudah kehabisan akal?”
Plasa Ireng tertawa. “Di dalam
pertempuran, maka setiap orang di pihak lawan adalah musuhnya. Panggillah
orang-orangmu untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan ini.”
Sidanti menjadi semakin marah.
Plasa Ireng ternyata mampu memperhitungkan kekuatan laskarnya. Karena itu, maka
sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan laskarnya.
Namun tiba-tiba tanpa
diduga-duga, Hudaya yang dengan cepatnya memperhitungkan kemungkinan itu,
meloncat dengan cepatnya. Pedangnya terjulur lurus, langsung ke lambung orang
yang tinggi itu. Orang itu terkejut, sekali ia melangkah kesamping dan kemudian
dengan memutar tombaknya ia mencoba menghindarkan serangan Hudaya berikutnya.
Tidak saja orang yang tinggi
itu yang terkejut. Plasa Irengpun terkejut pula. Ia sama sekali tidak melihat
tanda-tanda Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri dalam pertempuran
di antara mereka. Tetapi Hudaya bukan seorang yang hanya mampu berbuat karena
diperintah. Iapun mampu mengambil sikap dalam setiap pertempuran. Demikianlah
pada saat-saat yang penting itu Hudaya mampu membuat perhitungan-perhitungan
yang cermat. Ia menjadi marah pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari
lawan Sidanti itu diganggu oleh orang lain.
Dalam keadaan yang demikian
itulah Sidanti yang berotak cerdas itu mempergunakan keadaan sebaik-baiknya.
Pada saat orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan dirinya, maka
Sidanti meloncat dengan garangnya. Memutar senjatanya dan mendesak Plasa Ireng
sejadi-jadinya.
Plasa Ireng benar-benar
terkejut dan karena itu sesaat ia kehilangan keseimbangan. Keseimbangan gerak dan
keseimbangan pikiran. Dengan demikian maka justru ia lupa untuk memberi isyarat
kepada orang lain lagi untuk membantunya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya
dalam usahanya untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ketika kembali terasa
nyawanya seakan-akan telah melekat di ujung senjata Sidanti, maka barulah ia
teringat kembali kepada orang-orang yang berdiri mengitarinya.
Tetapi Plasa Ireng itu telah
terlambat. Getar senjata Sidanti telah benar-benar memusingkan kepalanya. Maka
demikian terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang lain, maka
demikian pundaknya tergores oleh senjata Sidanti.
Plasa Ireng terkejut bukan
buatan. Sekali ia melontar mundur, namun Sidanti itu sempat mengejarnya, dengan
satu loncatan pula. Dan sebelum seseorang berhasil datang membantunya,
terdengarlah Plasa Ireng memekik pendek. Sekali lagi senjata ciri perguruan
Tambak Wedi yang dahsyat itu merobek dadanya.
Kini Plasa Ireng benar-benar
telah kehilangan keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-akan menjadi gelap,
dan sinar-sinar obor disekitarnya itu serasa menjadi padang bersama-sama. Yang
terasa kemudian sekali lagi sebuah tusukan menghunjam dadanya, langsung
menembus jantungnya.
Plasa Ireng itu mengaduh
sekali, kemudian ketika Sidanti menarik senjatanya yang berlumuran darah, Plasa
Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian jatuh terjerembab di bawah
kaki anak muda itu.
Ketika seseorang datang
mendekatinya, orang itu terkejut. Yang dilihatnya adalah Sidanti berdiri tegak
di atas tubuh Plasa Ireng. Karena itu betapa marahnya orang itu. Dengan
serta-merta ia menyerang Sidanti tepat di dadanya.
Tetapi serangan itu tidak
banyak berarti buat Sidanti. Sekali Sidanti mengelak dan ketika senjata orang
itu terjulur di samping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti bergerak dengan
cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah melukai lambung orang itu. Ketika
orang itu berteriak ngeri, maka sekali lagi Sidanti menusuk perutnya. Orang
itupun terbanting jatuh dis amping tubuh Plasa Ireng.
Tetapi agaknya kemaran Sidanti
masih belum tercurahkan seluruhnya. Ketika sekali lagi ia melihat tubuh Plasa
Ireng, maka terungkatlah geram di hatinya. Karena itu dengan serta-merta ia
menggerakkan senjatanya, menyobek punggung lawannya yang sudah tidak bernafas
itu. Sekali, dua kali dan dipuaskannya hatinya.
Hudaya yang semula tersenyum
melihat kemenangan Sidanti, tiba-tiba mengerutkan keningnya. Sambil melayani
lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui batas. Hudaya sama sekali
tidak menyangka, bahwa di dalam hati Sidanti itu tersimpan kekerasan, kekejaman
dan kekasaran. Di tubuh anak muda itu ternyata mengalir darah yang buram,
sehingga dengan tangannya, anak muda itu sampai hati berbuat demikian atas
lawannya yang sudah tidak dapat melawannya.
“Anak setan” geram Hudaya itu.
“Alangkah kotornya tangan anak muda itu.”
Sidanti itu benar-benar
seperti orang yang sedan kesurupan. Dengan mata yang merah liar dan gigi
gemeretak, disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam.
“Adi Sidanti” desis Hudaya
yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Sidanti. “Sudahlah. Jangan kau turuti
hatimu yang gelap.”
“Tutup mulutmu” Sidanti itu
membentak.
Dan Hudaya menutup mulutnya.
Dalam keadaan itu, ia lebih baik tidak membuat persoalan, sebab kemungkinan
menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang kehilangan segenap
pertimbangannya. Karena itu, maka lebih baik memusatkan perhatiannya pada
lawannya. Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya ia menyerang seperti
taufan.
Tetapi bukan saja Hudaya yang
heran melihat perbuatan Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari laskar Pajang
maupun dari laskar Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu. Perbuatan
yang melampaui batas-batas yang dibenarkan dalam tata pergaulan keprajuritan.
Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih
baik memalingkan wajah-wajah mereka, dan memusatkan segenap perhatian mereka
untuk menyelamatkan diri mereka dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng.
Perbuatan Sidanti itu ternyata
berpengaruh bagi lawannya. Mereka menjadi ngeri dan cemas. Selain kematian
pemimpin mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar telah mengerutkan
hati mereka.
Setelah puas dengan
perbuatannya, Sidanti tegak berdiri di atas mayat lawannya. Satu kakinya
menginjak punggung, dan satu kakinya di atas kepala. Dengan lantang ia berkata
kepada laskar Jipang yang masih bertempur dengan gigihnya, “He, laskar Jipang
yang keras kepala. Lihatlah, pemimpinmu telah terbunuh mati oleh tangan
Sidanti. Ayo, siapa yang berani mengangkat diri menjadi senapati. Inilah
Sidanti, murid Tambak Wedi.”
Suara Sidanti itu menggelegar,
menyusup di antara dentang senjata dan jerit kesakitan, menggema berputar-putar
di dalam malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari neraka,
memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam pertempuran itu.
Malam menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang yang gemerlapan di langit bergeser setapak-setapak ke barat
dalam hembusan angin malam yang dingin. Selembar-selembar awan yang putiih
mengalir ke utara seperti gumpalan-gumpalan kapuk raksasa yang sedang hanyut.
Pertempuran di perbatasan
kademangan Sangkal Putung masih berlangsung dengan sengitnya. Di sayap kanan,
laskar Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk bertempur, setelah
mereka menyaksikan pemimpin mereka jatuh. Kekasaran Sidanti, meskipun
menumbuhkan kengerian di dalam dada laskar Jipang, namun di dalam dada itu juga
menyala dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakan-akan tidak akan kunjung
padam. Betapa perbuatan Sidanti itu tergores di dinding jantung mereka. Sebelum
nyawa mereka melayang, maka peristiwa itu tidak akan mereka lupakan.
Beberapa orang yang tidak
dapat menahan hatinya melihat pemimpinnya mendapat perlakuan yang sedemikian
menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun Sidanti benar-benar memiliki
tenaga dan ketrampilan yang luar biasa. Meskipun beberapa orang datang
bersama-sama, namun anak muda itu masih saja mampu untuk mengalahkan mereka.
Tetapi, ketika lawan Sidanti
menjadi semakin banyak, maka Hudaya juga berasa bertanggung-jawab pula atas
kemenangan yang harus mereka perjuangkan. Betapapun hatinya menjadi pedih
melihat perbuatan Sidanti, namun ia datang juga untuk membantunya.
Kemenangan-kemenangan yang
didapatnya itu telah mendorong Sidanti lebih jauh ke dalam ketamakan dan
kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun yang tajam yang menusuk
langsung ke otaknya. Dengan membunuh Plasa Ireng maka Sidanti merasa bahwa ia
wajar untuk menerima kehormatan yang jauh dari semestinya. Bahkan kematian
Plasa Ireng itu telah menumbuhkan suatu impian yang mengerikan.
Laskar Jipang yang kehilangan
pemimpinnya itupun kemudian menjadi semakin kacau. Seorang yang bertubuh tinggi
kurus, yang bertempur melawan Hudaya mencoba untuk mengambil alih pimpinan.
Dipanggilnya beberapa orang untuk menggantikan perlawanannya terhadap Hudaya,
dan ia sendiri meloncat kesana kemari, memekik tinggi memberikan aba-aba kepada
sisa-sisa laskarnya. Namun usahanya itu tidak banyak memberikan perubahan
apa-apa. Bahkan dengan demikian maka ia memberi kesempatan kepada Hudaya untuk
menghindari setiap lawannya, dan membantu Sidanti yang harus bertempur melawan
beberapa orang sekaligus.
Serangan orang-orang lain yang
berusaha untuk mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan laskar Pajang yang lain
pula.
Demikianlah maka laskar Jipang
disayap itu menjadi semakin lemah. Kini orang yang tinggi kurus itulah yang
mengambil alih kebijaksanaan, mendekati induk pasukannya.
Di dalam induk pasukan itu
Tohpati bertempur dengan dahsyatnya melawan Untara. Murid kepatihan Jipang yang
mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak habis-habisnya. Untara
ternyata mampu menandingi dalam segala hal. Ketrampilannya, kecepatannya,
bahkan kekuatannya. Karena itu, maka Tohpati itu semakin lama menjadi semakin
marah. Namun Untara tetap tak dapat diatasinya.
Sedang Untarapun terpaksa
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi bekal yang didapatnya
dari ayahnya Ki Sadewa, ternyata cukup banyak untuk menghadapi murid Mantahun
ini.
Ketika mereka itu masih
dicengkam oleh ketegangan, karena pertempuran yang dahsyat di antara mereka,
datanglah seorang penghubung yang dengan hati-hati memberitahukan kekalahan
yang terjadi di sayap kiri laskar Jipang itu. Dengan tanda sandi, penghubung
itu mengabarkan bahwa Plasa Ireng terbunuh di peperangan.
Alangkah terkejutnya Tohpati
itu. Sekali ia meloncat jauh ke belakang sambil berteriak nyaring, “Siapa di
sayap laskar Pajang itu?”
Orang itu berhenti sejenak
untuk berpikir. Ia mendengar pimimpin laskar Pajang itu sesumbar menyebut
namanya sendiri. Ketika kemudian teringat olehnya nama itu, maka jawabnya,
“Namanya Sidanti.”
“Sidanti?” ulang Tohpati
Yang menjawab adalah Untara.
“Orang itu berkata benar.”
Tohpati menggertakkan giginya.
Ingin pada saat itu ia meremas tulang murid Tambak Wedi itu. “Hem, kenapa aku
tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu? Aku terlambat sesaat sehingga
Paman Widura mampu membebaskannya” katanya dalam hati.
Kini Sidanti itu telah sempat
membunuh seorang kepercayaannya, Plasa Ireng. Karena itu, maka kemarahan Tohpati
itupun telah meluap sampai ke ubun-ubunnya. Namun ia tidak mendapat kesempatan
sama sekali untuk menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti, sebab di hadapannya
masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih belum dapat dikalahkannya.
Karena itu, maka segera ia
menggeram. “Pertahankan diri pada keadaan kalian kini. Usahakan untuk menahan
Sidanti dengan dua tiga kekuatan. Sebentar lagi aku akan datang membunuhnya.”
Orang itu kemudian menghilang
di dalam hiruk-pikuk perkelahian, kembali ke sayap kiri. Disampaikannya pesan
tu kepada orang yang tinggi kurus, yang mengambil alih pimpinan dari tangan
Plasa Ireng. Mendengar pesan itu maka orang itupun berteriak, “Pertahankan
keadaan kalian. Macan Kepatihan sendiri segera akan datang, membalaskan dendam
Kakang Plasa Ireng.“
“Plasa Ireng” desis Sidanti.
Jadi orang yang dibunuhnya itu adalah orang yang namanya ditakuti pula hampir
seperti Macan Kepatihan sendiri. Dan karena itulah maka Sidanti itu menjadi
semakin membanggakan dirinya.
Berita itu telah membangkitkan
kembali semangat bertempur prajurit-prajurit Jipang itu. Sebagian dari mereka
segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebaigan yang lain berusaha untuk
tetap mengurung Sidanti dalam satu lingkaran yang pepat.
Tetapi Hudaya tidak
membiarkannya terpisah dari laskarnya. Karena itu, maka iapun segera berusaha
memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama dengan Sidanti. Namun
meskipun Sidanti melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh Hudaya itu, tetapi ia
tetap merasa, bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar Pajang. Ia yakin
bahwa kekalahan sayap ini akan memperngaruhi pertempuran keseluruhannya.
Tohpati yang marah itupun kini
benar-benar memeras tenaganya. Untara harus segera dibinasakan. Namun
membinasakan Untara adalah pekerjaan yang sulit. Tohpati itu terpakasa melihat
kenyataan yang dihadapinya, bahwa Untara adalah seorang anak muda yang perkasa.
Karena itu, maka perkelahian
antara Macan Kepatihan dan Untara itupun menjadi semakin sengit. Masing-masing
telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Namun kini Untara dapat memusatkan
segenap perhatiannya pada lawannya yang menakutkan ini, sebab dari pertanda
yang ditangkapnya, maka agaknya keadaan sayap kiri lawannya menjadi parah. Dan
Untara itu dapat memperhitungkan pula, bahwa Sidanti berhasil membinasakan
pimpinan sayap itu.
Namun Tohpati yang marah itu
sedang membuat perhitungan pula atas keadaannya. karena itu, maka kini ia
membiarkan Untara menyerangnya dan Tohpati menempatkan dirinya dalam suatu
pertahanan yang rapat. Ia mencoba menilai sayap-sayap lainnya dan laskar yang
dibawa oleh Sanakeling.
“Di samping Untara dan Sidanti
masih ada Paman Widura” katanya dalam hati. Namun Tohpati itu masih memiliki
satu kelebihan menurut dugaannya. Alap-Alap Jalatunda. “Meskipun demikian anak
itu mampu mempengaruhi keseimbangan keadaan.”
Menurut perhitungan Macan
Kepatihan yang berotak cair itu, maka Widuralah yang telah mundur kembali
ketika didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan kepada Untara. Karena
itu, maka Tohpati mengharap bahwa Widura itu akan menemukan lawannya yang
seimbang, Sanakeling. Sedang Alap-Alap Jalatunda akan merupakan seorang yang
akan dapat menggilas laskar Pajang di arenanya. Kalau orang-orang di sayap kiri
mampu bertahan terhadap Sidanti, maka orang-orangya di sayap kanan pasti akan
dapat menguasai lawannya di bawah pimpinan Alap-Alap Jalatunda.
Perhitungan Macan Kepatihan
itu hanya sebagian saja yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa di sayap kiri
lawannya, terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Yang meskipun
masih sangat hijaunya, namun ia memiliki persiapan yang jauh dari cukup.
Persiapan-persiapan yang selama ini tersimpan saja di dalam dirinya. Kini
sedikit demi sedikit kekuatan yang membeku itu mulai dicairkannya.
Demikianlah maka akhirnya
Tohpati mengambil kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak terlalu parah.
Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai tampak dipihaknya, kini
telah runtuh satu demi satu. Dengan penuh tanggung-jawab Tohpati telah mengirim
beberapa orang untuk membantu sayap yang lemah di sebelah kiri. Orang-orang itu
diharap dapat membantu menutup kebebasan gerak Sidanti. Beru kemudian ia
memusatkan perhatiannya atas lawannya. Untara.
Untara yang bertempur dengan
dahsyatnya itupun menyadari, bahwa ia harus memeras segenap kemampuannya. Dan
kini hal itu telah dilakukannya. Sehingga betapapun Tohpati berusaha untuk
menguasainya, namun usaha itu akan sia-sia saja.
Bahkan ketika Untara telah
sampai ke puncak segala macam ilmu yang tersimpan di dalam dirinya, terasa
bahwa Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Dalam
remang-remang cahaya obor, Untara yang menerima turunan ilmu ayahnya itu,
ternyata sempat membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang menakutkan
berujung kuning itu, sama sekali tidak lebih mengerikan dari gerak pedang
Untara. Pedang itu mampu berputar dan mematuk dari segenap arah, menembus
gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang membentengi Tohpati.
Sekali-sekali terdengar kedua macam senjata itu beradu, dan meloncatlah
bunga-bunga api ke udara.
Senjata Tohpati itu memang
sebenarnya merupakan senjata yang luar biasa. Hampir dalam setiap benturan
dengan pedang Untara, pasti meninggalkan bekas luka pada pedang itu. Beberapa
bagian tajamnya telah terpecah-pecah sehingga pedang itu benar-benar mirip
sebuah gergaji. Untunglah pedang yang dipinjamnya dari Widura itu bukan pula
sembarang pedang. Sehingga betapapun kerasnya benturan yang terjadi di antara
kedua senjata yang digerakkan oleh tenaga-tenaga raksasa itu, namun pedang itu
tidak juga dapat dipatahkan. Meskipun demikian, menyadari perbedaan sifat kedua
senjata itu, Untara kemudian tidak mau membenturkan senjatanya langsung dalam
arah yang bertentangan. Untara selalu berusaha untuk memukul senjata lawannya
agak ke samping. Namun Untara itupun terpaksa memperhitungkan apabila
perkelahian itu berlangsung terlalu lama, maka senjatanya akan menjadi semakin
lemah.
Tetapi kelincahan, ketangkasan
dan ketrampilan Untara yang telah memeras segala macam ilmu yang dimilikinya
itu, ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati yang ditakuti di
setiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit musuhnya tidak berani menyebut
namanya, namun ternyata kini ia menemukan lawan yang tanggon. Nama Untarapun
merupakan nama yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir di setiap garis
peperangan. Di samping kecerdasannya mengatur laskarnya, Untarapun memiliki
beberapa kelebihan dari beberapa senapati yang lain. Dan ternyata Untarapun
mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati.
Keadaan Tohpati semakin lama
menjadi semakin sulit. Apalagi ketika disadarinya, bahwa laskarnya di sayap
kiri benar-benar hampir pecah bercerai berai. Karena itu, maka Macan Kepatihan
yang garang itu menjadi cemas. Cemas akan nasib laskarnya yang sudah tidak
begitu besar lagi jumlahnya, yang dengan susah payah dikumpulkan dari segala
medan khusus untuk merebut daerah perbekalan ini. Namun sekali lagi Macan
Kepatihan itu terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa
gerakannya pasti sudah tercium oleh hidung Untara itu sebelumnya, sehingga
Sangkal Putung benar-benar sudah siap menghadapi kedatangannya.
Dua kali ia dikecewakan oleh
laskar Pajang di Sangkal Putung. “Namun akan datang saatnya aku menebus setiap
kekalahan” geramnya.
Tetapi Untara itu seakan-akan
menjadi semakin lama menjadi semakin lincah. Pedangnya berputaran mengitari
segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian, sekali-sekali terasa ujung
pedang itu menyentuhnya.
“Setan” geramnya. Dan
diputarnya tongkatnya semakin cepat. Tetapi Untarapun bergerak semakin cepat
pula. Anak muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari Panglima Wira Tamtama
itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia benar-benar dapat menanggulangi
kedahsyatan Tohpati.
Alangkah terkejutnya Macan
Kepatihan itu, ketika dalam sebuah benturan yang dahsyat, tongkatnya tergetar
ke samping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat pedang Untara terjulur
lurus ke dadanya. Tohpati berusaha untuk memukul pedang itu kembali dengan
tongkatnya, namun pedang itu berputar, dan dengan cepatnya pedang itu menyentuh
lengannya. Ketika Untara menarik pedang itu, maka tajamnya yang menyerupai
gergaji itu meninggalkan bekas luka di tangan Tohpati. Luka yang menganga
seperti luka bekas gergaji. Terdengar Tohpati menggeram pendek. Dengan cepatnya
ia meloncat ke samping, dan sesaat ia berusaha menjauhi Untara. Ketika ia
memandang lengannya, dilihatnya darah mengalir dari lukanya yang menganga,
seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji yang tumpul.
“Gila kau Untara” desis
Tohpati. Matanya yang meyala menjadi semakin merah karena kemarahannya yang
memuncak. Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun terdengar giginya
gemeretak. Dengan sebuah teriakan tinggi Macan Kepatihan itu meloncat dengan
garangnya, langsung menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah ayunan yang
deras sekali menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak tertidur karena
kemenangan kecil itu. Dengan demikian segera ia merendahkan dirinya dan tongkat
Tohpati itu terbang lewat di atas kepalanya.
Pertempuran yang sangat seru
segera berkobar kembali. Tohpati yang membara karena kemarahannya, melawan
Untara yang dengan sekuat tenaga ingin segera menyelesaikan pekerjaannya yang
sudah mulai tampak akan berhasil. Sehingga dengan demikian kembali mereka
bertempur dalam puncak ilmu masing-masing.
Namun kali inipun segera
terasa bahwa Untara memang luar biasa. Meskipun ia masih lebih muda dari
Tohpati, namun Tohpati itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara mampu
menandinginya dari segala segi.
Kini Tohpati terpaksa membuat
pertimbangan-pertinbangan baru. Ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan
melulu. Ia harus mampu meninjau pertempuran itu dalam segala segi, segala
kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul karenanya.
Keringkihan di sayap kiri
benar-benar sangat mengganggunya. Sedang Alap-Alap Jalatunda yang diharap akan
dapat menimbulkan pengaruh yang baru bagi perimbangan kedua pihak, ternyata
masih belum mampu berbuat apa-apa. Karena itu maka Tohpati terpaksa sampai pada
suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya dari kehancuran.
Dalam kekalutan itu, sekali
lagi Tohpati mencoba melihat pertempuran itu. Namun malam sangat pekatnya. Ia
hanya melihat titik pertempuran di sayap kirinya telah bergeser jauh ke
belakang, dan sayap kanannya masih saja belum mencapai kemajuan. Sedang di
induk pasukannya, meskipun laskarnya mendapat beberapa kesempatan yang baik,
namun ia sendiri telah terluka.
Untara yang telah masak itu
melihat setiap kemungkinan yang akan dilakukan oleh Tohpati. Ketika ia melihat
sikapnya, serta usahanya untuk melihat seluruh laskarnya, maka Untara dapat
meraba maksudnya. Karena itu, maka tekanannya diperketat, sehingga
hampir-hampir Tohpati itu tidak sempat berbuat lain daripada mempertahankan
diri dari ujung pedang Untara yang seakan-akan terbang mengelilingi kepalanya.
Sementara itu, laskar Tohpati
di sayap kiri telah benar-benar hampir lumpuh, sehingga mereka tidak mampu lagi
untuk bertahan sendiri. Mereka itu kemudian segera menggabungkan diri dengan
induk pasukan mereka.
Keadaan kedua pasukan di induk
pasukan itu kini menjadi semakin ribut. Pertempuran di antara mereka menjadi
seakan-akan tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua laskar itu
masih tetap bertempur dengan gigihnya.
Hanya anak-anak muda Sangkal
Putung kini benar-benar telah menjadi pening. Meskipun beberapa orang laskar
Widura terus menerus berusaha untuk menuntun mereka dan bahkan selalu
mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu agak berbeda dengan laskar Pajang
maupun laskar Jipang. Sehingga dengan demikian maka keseimbangan kedua laskar
itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah pula.
Tetapi di pihak Pajang
mempunyai kelebihan yang ikut serta menentukan keseimbangan itu. Sidanti yang
lepas tidak mempunyai lawan yang seimbang itu, mengamuk seperti serigala lapar.
Namun beberapa orang Jipang yang berani telah mengepungnya. Mereka berusaha
untuk selalu membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu
berhasil memecahkan kurungan itu, dan melepaskan Sidanti untuk bertempur
seperti elang yang merajai udara.
Tohpati adalah seorang
pemimpin yang bertanggung-jawab. Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan
tanpa arti. Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka yakinlah ia,
bahwa ia tidak akan dapat menembus benteng yang dipertahankan oleh Untara itu.
Bahkan tangannya yang telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin lemah.
Dan darah yang mengalir menjadi semakin banyak pula.
Betapa Macan Kepatihan itu
menjadi marah, dan betapa ia menjadi sangat buas, namun ia tidak dapat menuruti
perasaannya tanpa menghiraukan kenyataan.
Sesaat kemudian terdengarlah
Macan Kepatihan itu bersuit panjang. Suitannya itu segera disambut oleh
beberapa pemimpin kelompok di dalam pasukannya. Dan sesaat kemudian menyalalah
berpuluh-puluh anak panah berapi.
Untara terkejut melihat hal itu.
Tetapi sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka panah-panah api itu seperti
hujan berjatuhan di daerah laskarnya.
“Gila” Untara mengumpat. Ia
tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati. Meskipun ia
tahu betul bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi disangkanya
anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk membakar rumah atau apapun di
Sangkal Putung sehingga menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi ketahanan
orang-orang Sangkal Putung.
Usaha Tohpati itu sebagian
berhasil. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi kacau dan hampir
kehilangan akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak, “Berlindung di
daerah lawan!”
Anak-anak muda Sangkal Putung
mula-mula tak mengerti maksud aba-aba itu. Namun orang-orang Widura mendahului
mereka, menyerang dan langsung menyusup ke daerah perlawanan musuh. Tetapi
suitan itu ternyata mempunyai arti yang lain pula. Demikian laskar Pajang
berusaha masuk dalam garis pertahanan itu, maka laskar Jipangpun surut ke
belakang. Bahkan semakin lama menjadi semakin cepat. Dan kemudian ternyatalah
bahwa laskar Jipang sedang menarik diri.
Untara melihat kenyataan itu.
Ia berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Mereka harus dapat melumpuhkan
pasukan Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak mendapat kesempatan
berbuat serupa. Menyerang Sangkal Putung dengan kekuatan yang berbahaya.
Demikian pula terjadi disayap
kanan laskar Tohpati itu. Agung Sedayu yang menunggu kekuatan terakhir yang
akan diungkapkan oleh Alap-Alap Jalatunda menjadi bertanya-tanya di dalam hati.
Apakah Alap-Alap Jalatunda itu sudah sampai pada puncak kekuatannya? Kalau
demikian, apakah yang didengar tentang Alap-Alap Jalatunda hanya sekedar
dongengan untuk menakutkan orang-orang yang mendengarnya. Atau kemampuan dirinya
telah cukup mengatasi Alap-Alap itu dengan mudah?
Dalam kebingungan itulah Agung
Sedayu melihat laskar lawannya surut dengan cepat. Betapa ia berusaha mengejar
lawannya, namun Alap-Alap Jalatunda itu kemudian menenggelamkan diri dalam
hiruk pikuk laskarnya. Mereka mundur sambil melawan serta melepaskan anak
panah.
“Bukan main” desah Agung
Sedayu. “Mereka mempergunakan anak panah.”
Agung Sedayu itu menyesal
bahwa ia tidak membawa anak panah dan busur. Tetapi tiba-tiba ia teringat,
bahwa dalam sakunya ada beberapa butir batu. Timbullah keinginannya untuk
bermain-main dengan batu itu. Sekali ia melepaskan sebuah batu, maka
terdengarlah seorang lawannya yang sedang membidikkan anak panah memekik
tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu melihat orang itu jatuh
terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu menggeliat dan menahan sakit.
Agung Sedayu terkejut melihat
akibat perbuatannya. Orang itu tampaknya menjadi sangat menderita. karena itu,
maka tiba-tiba ia berlari-lari mendekatinya.
“Kenapa kau?” terdengar Agung
Sedayu bertanya.
Orang itu masih menggeliat dan
menyeringai kesakitan. Dipegangnya perutnya sambil mengaduh tak habis-habisnya.
Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh, mundur dari pertempuran.
Agung Sedayu mencoba menangkap
lawannya yang kesakitan itu dan dicobanya untuk menenangkannya. “Jangan
berguling-guling.”
Tetapi alangkah terkejutnya
Agung Sedayu itu, karena sesaat kemudian orang itupun menjadi diam membeku.
“Oh” desah Sedayu. “Apakah kau
mati he?”
Dan sebenarnya orang itupun telah
mati. Karena itu, maka Agung Sedayu menyesal bukan main. Tetapi ia tidak akan
dapat menghidupkannya lagi.
Swandaru juga melihat Agung
Sedayu sibuk dengan orang itu mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa dengan
orang itu?”
“Aku tidak sengaja membunuhnya.
Tetapi orang ini mati.”
“Kenapa kalau mati? Bukankah
orang itu orang Jipang?”
Agung Sedayu kini telah tegak
berdiri. Digigitnya bibirnya. Dan terasa sesuatu berdesir di dadanya.
“Ya” katanya dalam hati.
“Apakah kita sudah sampai sedemikian jauh menyimpang dari peradaban manusia?
Meskipun orang itu orang Jipang, Pajang atau orang yang ditemuinya di pinggir
jalan sekalipun namun selama ia masih bernama manusia, apakah kita biarkan saja
mereka mati selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya?”
Tetapi ketika Agung Sedayu
melayangkan pandangan matanya, maka dilihatnya di berbagai tempat, tubuh-tubuh
yang terbaring membeku. Tetapi ada juga di antaranya terdengar merintih menahan
sakit. Agung Sedayu belum pernah melihat medan pertempuran. Kali ini adalah
kali yang pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun kini ia tidak takut
lagi untuk bertempur, tetapi apa yang dilihatnya benar-benar mendirikan bulu
romanya.
Namun sesaat kemudian Agung
Sedayu itu mendengar Swandaru berkata, “Marilah. Musuh kita masih berada di
pelupuk mata kita.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sesaat kemudian dilihatnya Swandaru meloncat dan berlari kearah
laskar Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayupun kemudian mengikutinya pula,
namun hatinya benar-benar digelisahkan oleh pengalamannya yang pertama itu.
Meskipun demikian, ada sesuatu
yang didapatkannya di medan peperangan itu. Disadarinya kemudian bahwa
Alap-Alap Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan sekedar
menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan terakhirnya. Tetapi Alap-Alap
Jalatunda itu benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Maka hatinya menjadi semakin
besar. Agung Sedayu itu semakin melihat kemampuan yang tersimpan didalam
dirinya. Ternyata Alap-Alap Jalatunda yang pernah menghantuinya itu tidak lebih
daripada yang disaksikannya itu, yang ternyata masih berada di bawah
kepandaiannya bermain pedang.
“Aneh” desahnya di dalam hati.
“Apakah yang selama ini memagari keberanianku untuk berbuat seperti ini?”
Agung Sedayu itu menjadi semakin
percaya kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum dapat melihat tubuh-tubuh
yang bergelimpangan di bekas medan pertempuran itu.
Laskar Jipang itupun kemudian
mengundurkan dirinya dengan cepat sambil melawan terus, sehingga dengan
demikian maka laskar Pajangpun tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat
mendesak laskar musuhnya itu. Dalam keadaan yang demikian, maka laskar di kedua
belah pihak hampir bercampur baur dalam satu lingkaran pertempuran. Namun
kemudian laskar Jipang itu menyebar dan dengan cepat berusaha menyusup ke dalam
sebuah desa yang pertama-tama mereka temui.
Di ujung selatan induk desa
Sangkal Putung, Sanakeling melihat di arah barat, panah api menari-nari di
udara. Karena itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa laskar
induknya terpaksa mengundurkan diri.
“Kalau demikian,” katanya
dalam hati, “maka laskar yang aku hadapi dan dipimpin oleh Widura sendiri ini
bukan laskar induk. Jadi siapakah yang memimpin laskar induk lawan ini?”
Tetapi Sanakeling tidak
mendapat jawabannya. Dan ia tidak sempat untuk menanyakannya. Kini ia harus
mematuhi perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya sendiri sama sekali
tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk lawannya yang telah
ditinggalkan oleh laskar Jipang itu mengepungnya, maka laskarnya pasti akan
tumpas. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada mengundurkan diri
pula.
Demikianlah maka seluruh
pasukan Tohpati itu kini telah ditarik mundur. Widurapun tidak berusaha
mengejar lawannya terlampau jauh. Sanakeling berhasil juga mengundurkan dirinya
dengan teratur, sehingga dari pihaknya tidak terlalu banyak korban yang jatuh.
Induk pasukan yang dipimpin
oleh Untara itu mengejar lawannya sampai ke desa pertama yang dapat dicapai
oleh laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka seakan-akan
mereka telah lenyap di telan kegelapan. Obor-obor mereka segera menjadi padam,
dan orang-orang merekapun segera menyelinap dan hilang di balik daun-daunan
yang rimbun serta rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Laskar Pajang sejenak menjadi
ragu-ragu. Mereka sama sekali tidak mendengar seorangpun memberikan aba-aba
kepada mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu terus atau mereka harus
berhenti di batas desa itu. Sebab alangkah berbahayanya melakukan pengejaran di
dalam gelap yang pekat itu.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Sidanti, “He, apakah yang harus kami lakukan?”
Tak ada suara yang menyahut.
Karena itu sekali lagi Sidanti berteriak, “Apakah laskar Pajang ini laskar yang
liar, yang dapat berbuat sekehendak diri kita masing-masing? Ayo, bagi yang
memegang pimpinan, berikan perintah.”
Kembali suara itu
bergulung-gulung dan hilang ditelan kabut malam.
Semua yang mendengar suara
Sidanti itu menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban dari pimpinan mereka. Namun
jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang.
Hudaya, Sidanti dan beberapa
orang lagi menjadi gelisah. Citra Gati dan Agung Sedayu dari sayap yang lainpun
telah bergabung dalam induk pasukan itu pula.
Dalam ketegangan itu terdengar
suara Agung Sedayu gelisah, “Kakang Untara, Kakang Untara.”
Tetapi Untara tidak menyahut.
Karena itu seluruh laskar Pajangpun menjadi gelisah. Dalam hiruk pikuk
pengejaran mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang dari mereka
masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati. Dan kemudian berusaha
mengejarnya. Tetapi tiba-tiba Untara itu seakan-akan menjadi hilang lenyap
ditelan oleh malam yang kelam.
Suasana segera meningkat
menjadi semakin tegang. Ternyata Untara telah hilang. Dengan demikian, maka laskar
Pajang itu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang mereka
lakukan.
Dalam ketegangan itu terdengar
suara Citra Gati, “Siapakah yang melihat Ki Untara untuk yang terakhir
kalinya?”
“Aku” jawab salah seorang.
“Pemimpin kita itu telah melukai Macan Kepatihan. Tetapi dalam hiruk pikuk
pengejaran aku tidak melihatnya.”
“Dimana?” bertanya Citra Gati
pula.
“Di garis pertempuran tadi.”
“Mari kita cari.”
Beberapa orang segera bergerak
kembali ke garis pertempuran beberapa langkah di belakang mereka. Tetapi
terdengar Sidanti berkata, “Kenapa kita cari ia di sana. Bukankah ia telah
berhasil melukai Macan Kepatihan dan mengejarnya. Marilah kita cari ke depan,
ke dalam desa ini.”
Citra Gati berpikir sejenak.
Untara pasti tidak akan berbuat demikian. Berbuat sendiri dan meninggalkan
laskarnya dalam keragu-raguan. Pemimpin yang bodohpun akan tahu, bahwa
keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya. Maka sesaat kemudian ia
menyahut, “Kita cari di garis pertempuran.”
“Tidak” sahut Sidanti. “Jangan
membuang waktu.”