Apalagi apabila mereka
berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian.
Karena itu, maka sekali lagi
Ki Tambak Wedi itu berkata, “Widura, orang-orang seperti kau ini benar-benar
merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan
Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun
oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya
mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu.
Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya.”
Sekali lagi Widura menjadi
muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata
burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada
suatupun yang dapat dilakukannya.
Dan ia masih mendengar Ki
Tambak Wedi meneruskan, “Apabila kelak Sidanti akan sampai di tempat itu, maka
kaupun akan ikut serta mukti pula bersamanya.”
Widura menggeleng tegas.
Jawabnya, “Biarlah aku di tempatku. Apapun yang akan aku alami.”
Dada Ki Tambak Wedi itupun
sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya
Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya, “Widura,
apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”
Widura yang berdiri seperti
pucang kanginan itu menjawab, “Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin
laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain.”
“Widura” sahut Ki Tambak Wedi
yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau tetap pemimpin laskar di
Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti yang akan
diberikan terus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari
perintah-perintahnya. Tetapi di mata para prajurit itu, kau tetap seorang
pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”
Sekali lagi Widura menggeleng
tegas. “Tidak” jawabnya.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa kau akan
tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”
Widura menyadari keadaannya.
Ia tidak lebih dari seorang yang kecil di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia
tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang orang
seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang
dikatakannya. Meskipun demikian Widura menjawab, “Kiai pasti akan mampu
melakukannya. Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan
Sidanti. Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata mereka kalau anak itu kembali
seorang diri, dan besok mayatku diketemukan disini?”
Mendengar jawaban itu Ki
Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya di antara derai tawanya,
“He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai
ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri.”
Mendengar suara tertawa dan
kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia
lupa, dengan siapa ia berhadapan. Hampir berteriak ia membentak, “Cukup!”
Ki Tambak Wedi terkejut
mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu
terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata terus,
“Apakah kau sangka bahwa setiap mahluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja
tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk
mempertahankan hidupnya?”
“Tetapi caramu adalah cara
yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tidak” bantah Widura. “Tetapi
aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu tidak
akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa yang sudah
terjadi.”
“Seandainya mereka mengetahui
sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? Apakah mereka berani
melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?”
“Tentu.”
“Aku akan dapat membunuh
mereka semua”
“Mereka adalah
prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka
atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang
Perwira Tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau Adipati Pajang
sendiri?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau
sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang mengenal bahwa
senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu dengan
senjata pemukul.”
Dada Widura menjadi
berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi
itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya di bawah kain panjangnya. Besi
itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki.
Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri
sendiri, “Hem, bukankah orang yang bersenjata pemukul itu seorang senapati
Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga dapat berkata
demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan hampir
diseluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi
ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian
bertempur mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu.”
Getar di dalam dada Widura
menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak
akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian sama
sekali tak terlintas di dalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti,
menebus nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang.
Demikianlah maka sesaat mereka
berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti
tonggak-tonggak yang kaku.
Yang mula-mula menyobek
kesepian adalah Ki Tambak Wedi. Katanya, “Bagaimana Widura. Apakah kau masih
ingin bertahan pada pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau
mati, maka kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik
apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu
daripada sesudah kita mati?”
Widura tidak menjawab sepatah
katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.
“Bagaimana Widura?” bentak Ki
Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau kau mati, aku akan
berusaha Sidantilah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan pancing Tohpati,
aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti.”
Widura menggeram mendengar
rencana gila-gilaan itu. Namun kali inipun ia tidak menjawab. Baginya, sudah
tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan adalah
menunggu apa saja yang akan terjadi.
Ki Tambak Wedi ternyata
benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan
mendekati Widura sambil berkata, “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam
ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu,
sehingga orang benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih
milik Tohpati itu.”
Sekali lagi Widura menggeram.
Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak
Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Gila. Apakah kau akan melawan aku?
Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila.
Kau hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul
supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu.”
Mulut Widura benar-benar telah
terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak
menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi, Untara.
Katanya dalam hati, “Mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan
suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti
yang gila ini.”
Widura kini melihat Ki Tambak
Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar
berkepanjangan.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa
itupun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan
Sidanti.
Dalam sepi malam itu terdengar
tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan
daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-daun kuning yang tidak mampu
berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah menggetarkan dada
mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti.
Ki Tambak Wedi itu kini tegak
seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap
arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun menjadi liar.
Dalam ketegangan itupun sekali
lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam
menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan memusatkan
perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu.
Mata Ki Tambak Wedi itupun
menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak, “Dahsyat. Kekuatan orang
itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang pengecut.
Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu.”
Namun tak ada jawaban. Yang
terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian
menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Ayo,
kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi.”
Tetapi kemudian tegal itu
menjadi sepi. Suara ledakan itupun tak terdengar lagi.
Mengerutkan keningnya Ki
Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari
manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi.
Dalam pada itu, tumbuhlah
suatu persoalan di dalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu.
Ia tidak akan takut berhadapan dengan setiap orang bagaimanapun saktinya. Ki
Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja
dalam pertempuran seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang
terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa
kanak-kanaknya, Sejak ia masih bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti
akan dapat menyelamatkan dirinya dari lawannya. Namun orang yang meledakkan
lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan, sehingga apabila ia mengejarnya,
maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri.
Yang kemudian mengganggunya
adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan hadir
sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yang menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat
itu. Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui
kebohongannya.
Karena itu, tiba-tiba Ki
Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya, “Setan itu ternyata
berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang
mengganggu jalan Sidanti. Meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah
melepaskan tuntutannya. Biarlah kali ini kau tetap hidup. Aku beri waktu kau
sepasar. Kalau dalam sepasar kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap
kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat
mengerikan.”
Widura masih berdiam diri.
Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran lecutan yang
dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.
“Pulanglah berdua. Jangan
membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.”
Widura masih tetap tegak
seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun
seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan untuk
dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena
keinginan Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh
suara lecutan yang hampir menggugurkan isi dadanya. Kini ia mendengar Ki Tambak
Wedi itu mengurungkan niatnya.
Untuk sesaat Sidanti pun
menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak
bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan
dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya.
Keadaan itu sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap
hidup, apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit.
Maka dengan terbata-bata
terdengarlah Sidanti itu bertany,a “Guru, apakah guru akan memaafkan kakang
Widura?”
“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya
memberinya waktu sepasar.”
“Kenapa guru masih memberinya
waktu?”
“Ada bermacam-macam
pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali
apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah aku
katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu
jalanmu Sidanti.“
“Kenapa guru tidak
menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”
“Kau dengar suara lecutannya?”
bertanya gurunya. “Kau merasakan getaran di dadamu? Nah, itu pertanda bahwa orang
itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri dari tanganku
meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun masih tampak diwajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu.
Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, bahwa yang membunuh
Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorangpun yang berani
menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung
menyadari, bahwa tak seorangpun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau
Pajang menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun
orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik dari Widura.
Kemudian terdengarlah kembali
suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura. Aku masih akan
membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku
memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti, supaya aku
tidak datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal lehermu dan
seluruh laskarmu.”
Kini Widura telah menyadari
keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata
orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara Pajang dan
Jipang. Ia dapat berada di mana saja yang dapat memberinya keuntungan. Dengan
demikian maka Ki Tambak Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang
sangat berbahaya.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Ki Tambak Wedi pula, “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus
mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”
Sebelum Widura berkata sepatah
katapun, dan sebelum Sidanti menjawab, terdengarlah Ki Tambak Wedi itu
menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang masih
digenggamnya ke arah kaki Widura.
Kemudian dengan satu loncatan
yang cepat, Ki Tambak Wedi itu menghilang di balik pepohonan. Ia masih akan
mencoba mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara lecutan yang
dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak
terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa belum pasti ia akan dapat
menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun melepaskan maksudnya.
Sidanti dan Widura masih tegak
di tempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi
yang tergeletak beberapa jengkal di muka kakinya ia terkejut bukan buatan. Besi
itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah
kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu
jari kaki, yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat
dilengkungkannya sedemikian, sehingga hampir menjadi sebuah lingkaran.
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan
itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan
yang tidak ada taranya.
Sidanti yang melihat wajah
Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan
serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa pendek.
Desisny,a “Apa kau heran Kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya?
Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”
“Tidak” jawab Widura. “Orang
yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak
dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku.”
Sekali lagi Sidanti tertawa.
Dengan bibir yang ditarik ke sisi ia berkata, “Sejak saat ini kau jangan
terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada
lima hari ini saja.”
Widura menggeleng. Sahutnya
“Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang.
Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan Pajang.”
Sidanti mengangkat alisnya.
Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya, “Marilah kita pulang. Setelah Kakang
Widura beristirahat mungkin Kakang mempunyai pertimbangan lain.”
“Pulanglah dahulu” sahut
Widura. “Aku masih mempunyai pekerjaan.”
Sidanti menjadi heran. Apakah
yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau
merajuk. Karena itu ia menjawab, “Baiklah aku pulang dahulu.”
Sidanti kemudian tidak
menunggu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali
ke Kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya.
Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.
“Widura itu hanya malu-malu
saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati. “Namun aku yakin bahwa
ia tidak akan berani mengganggu aku lagi.”
Sidanti itu tersenyum sendiri.
Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan
sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan
ditempuhnya. “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula,
“Kalau ia terbunuh, tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku
yakin Widura pun kini akan berdiam diri.”
Sidanti itu kemudian berjalan
dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah
dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah di wajahnya, seorang gadis yang manis
dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan
atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas
namanya, maka pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai
memanfaatkan setiap kesempatan.
Widura yang masih tegak di
tempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia
tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata
malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok
ayam jantan yang terakhir kalinya menjelang fajar.
Perlahan-lahan Widura itupun
menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai persoalan yang
menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya. Tidak saja
Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun
Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir mencabut
nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang
berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat
diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara.
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam, “Aku tidak dapat menghindarkan
diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat
karenanya.”
Perlahan-lahan Widura itupun
melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk berjalan bersama-sama
dengan Sidanti. Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu. Dan kini
iapun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan.
Ketika sekali ia menoleh,
dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan
tangan-tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura
bukan seorang penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri
melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan perlahan-lahan sambil menghirup udara
malam yang segar.
Meskipun tubuhnya menjadi
bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya.
Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit di hatinya. Dan ia tidak
mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk membicarakan
kesulitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun tidak. Sebab dengan
demikian Demang Sangkal Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang
berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati dan orang lainpun pasti akan
menuruti perasaannya saja, tanpa mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa
memandang kepentingan yang lebih besar dan jauh.
Karena itu pikiran Widura
itupun menjadi suram. Namun betapapun juga, dicobanya untuk mengatasi kesulitan
itu dengan sebaik-baiknya.
Ketika Widura telah keluar
dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok ke kiri. Ia terkejut
sendiri atas langkahnya. “Hem” gumamnya. “Akan kemanakah aku ini?”
Tetapi ia meneruskan
langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke Gunung Gowok. Ia
tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya.
Namun, karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai
Gringsing yang hampir setiap malam ditemuinya di Gunung Gowok, kemudian
ternyata mendapat tempat tersendiri di dalam hatinya. Orang yang berbuat dan
berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah permainan yang
menyenangkan saja.
“Apakah aku dapat berbicara
dengan orang itu?” gumamnya.
Tetapi kemudian iapun sadar,
bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan
mentertawakannya, dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang
disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat di
dalam hati. Namun kali ini ia benar-benar ingin menemuinya.
Tetapi Widura itu menjadi
ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada di sana? Hampir setiap malam ia
datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah malam
itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus.
Di perjalanan itu,
kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat yang
telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan di
dalam dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh
lagi selain Kiai Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang
melakukannya?
Widura menjadi ragu-ragu. Ia
mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan
dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi merubah
rencananya?
Gunung Gowok itu kini sudah
tidak jauh lagi berada di hadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya
pohon kelapa sawit tegak di atas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati
parit dan berjalan di atas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan
kepalang, sehingga ia terlonjak karenanya.
Dekat di belakangnya,
didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang hampir saja menggugurkan isi
dadanya.
Secepat-cepatnya Widura
berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba
hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-akan tidak
mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran didalam dadanya masih terasa
memukul-mukul tak henti-hentinya.
Namun Widura tak melihat
seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya
melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga lambat
laun ia berhasil pula menenangkan dirinya.
Tetapi ia masih belum melihat
seorangpun di sekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya
masih melekat di hulu oedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran di dalam
dadanya mereda, Widura itupun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih
kembali.
Tetapi sekali lagi Widura
terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah
suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring.
Dengan serta-merta Widura
itupun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk di atas
pematang di antara batang-batang padi muda. Dan Widura itupun segera
mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.
“Ah” desis Widura. “Kiai
benar-benar mengejutkan aku.”
“Oh” sahut Kiai Gringsing
“Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura
apakah kau bisa berbuat seperti aku?”
Sebelum Widura menjawab, Kiai
Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu
yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun dibuatnya dari anyaman
bambu siladan pula.
Dada Widura bergetar karena
itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing
dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa kagumnya
pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah
pertanyaannya, “Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu
berturut-turut tiga kali?”
Kiai Gringsing itu tertawa.
Jawabnya, “Aku sedang bermain-main.”
“Tetapi perbuatan Kiai itu
ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.
“He?” Kiai Gringsing terkejut.
Katanya, “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan
jiwamu?”
Widura telah mengenal Kiai
Gringsing beberapa lama. Karena itu maka iapun telah dapat mengerti seba
sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya, “Suara lecutan itu
telah menakut-nakuti orang yang akan membunuhku.”
“Kau akan dibunuh orang?”
bertanya Kiai Gringsing itu.
Widura kini benar-benar
mengumpat di dalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat
dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula, “Ya Kiai.”
“Apakah persoalannya, sehingga
seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu bertanya.
Widura menjadi ragu-ragu
sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang menyumbat
dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu.
Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan
kesulitan-kesulitannya.
“Kiai” katanya. “Aku ternyata
mempunyai banyak persoalan-persoalan di sini. Persoalan di dalam lingkungan
sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang.”
Widura benar-benar menjadi
kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya, “Kau benar bodoh
Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya
kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku.”
“Tetapi bukankah Kiai
bertanya?” potong Widura.
“Marilah kita tidak
mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar
perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk
itu.”
Sekali lagi Widura menarik
nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi di balik
topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu
yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.
Widura mengangkat alisnya
ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu
pula, “Nah, cobalah.”
Widura tidak dapat berbuat
lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak
sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun
hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.
“Ternyata kau tidak sepandai
aku” berkata Kiai Gringsing. “Berikan cambuk itu” mintanya.
Dengan hati yang kosong Widura
menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar suara
cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada
Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga
dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian mencoba
menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak
jantungnya.
Ketika ia hampir berhasil
terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Jangan marah Widura. Aku
hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya.”
Widura yang menjadi jengkel
itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi
sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Kiai, aku juga mempunyai
permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”
Suara tertawa Kiai Gringsing
itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi di tangan Widura itu dengan
seksama.
Dilihatnya sepotong besi yang
melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.
“Permainan apakah ini?”
bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan
potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata, “Permainan yang dibawa
oleh Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing menerima
sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau
diguling-gulingkan?”
Sekali lagi Widura mengumpat
di dalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi
di balik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu.
Meskipun demikian, ia
menjawab, “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian?
Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi
demikian seperti Ki Tambak Wedi. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang
menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu.”
Kiai Gringsing itupun
menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam
itu. Inilah.”
Sekali lagi Widura menjadi
kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi
itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apapun,
dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu ke arahnya sambil berkata,
“Terimalah.”
Dengan gerak naluriah Widura
melangkah ke samping. Potongan besi itu tepat mengarah ke mata kakinya. Karena
itu ia harus menghindarinya.
Namun ketika kemudian ditatapnya
potongan besi yang kini tergeletak di sampingnya, kembali dadanya bergoncang
dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi
melengkung itu dilemparkan di bawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. Dengan dada
yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu. Dan dengan
tangan gemetar ia memeganginya.
Namun potongan besi itu kini
telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya di dalam hati. “Meluruskan
potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya.
Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya.”
Sebelum getaran di dalam
dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata, “Nah Widura, kalau
kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah
yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah
besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang di tangan atau
kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel di kaki. Apakah
bergelang akar atau besi sekalipun.”
Kini Widura telah berhasil
menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada
orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya, “Kiai, ternyata Kiai
lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi.”
“He?” orang bertopeng itu
terkejut. “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”
“Kiai telah berhasil
meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak
Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan
kekuatan yang tersimpan di dalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat
pula berbuat demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi
itu lebih sulit dari melengkungkannya?”
Terdengarlah kemudian Kiai
Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Di antara derai tawanya itu terdengar ia
berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah kau
sudah kawin?”
Pertanyaan itu benar-benar tak
diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu
mendesaknya, “He Widura, apakah kau sudah kawin?”
“Sudah Kiai” jawab Widura.
“Sudah punya anak?”
“Sudah Kiai, seorang.”
“Sayang” berkata orang
bertopeng itu masih dalam derai tertawanya. “Kalau belum, kau akan aku ambil
untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan.”
Kembali Widura menarik nafas
dalam-dalam sambil mengumpat di dalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya
Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya.
Namun ia masih dicengkam oleh
kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat telah
memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah
berhasil meluruskan besi yang melengkung itu.
“Kalau demikian,” katanya
dalam hati, “apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi
menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain dirinya di daerah ini.
Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama sekali tak
dikenal selain olehku dan Agung Sedayu.”
Tetapi Widura kemudian
terkejut ketika di kejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ke timur, membayanglah warna-warna
semburat merah di atas garis cakrawala.
“Hampir fajar” desisnya.
Kiai Gringsing itupun
menengadahkan wajahnya. Kemudian katanya, “Ya, hampir fajar. Aku harus segera
kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng
yang kesiangan.”
“Kenapa Kiai pakai topeng?”
tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba
terpaku pula di tempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa
menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang
diri.
Widura mengawasi langkah Kiai
Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk
mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak di dalam
dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak,“Kiai, berhentilah!”
Kiai Gringsing itupun
berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari ke
arahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya.”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing.
“Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku. Sekarang belum.”
“Tidak” jawab Widura. “Aku
ingin tahu sekarang.”
“Jangan” berkata Kiai
Gringsing seperti orang yang ketakutan.
Ketika ia melihat Widura
menjadi semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil
berkata, “Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”
Namun Widura tidak
memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar
berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka berdua
berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari di sepanjang
pematang, melingkari Gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura
belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin
jauh.
Akhirnya, Widura itupun
tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti
asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti
patung di atas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan
matanya berkeliling, dilihatnya di kejauhan, Kiai Gringsing melambaikan
cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya, “Besok kita bermain-main lagi
di gunung kecil itu Widura.”
Widura menarik nafas.
Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu
pula. Gumamnya, “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu
pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya.”
Widura yang kemudian menyadari
keadaannya itu, kini melangkah di atas pematang menuju jalan kembali ke
Kademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali
ia merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang
aneh itu.
Widura itupun kemudian
mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai di kademangan.
Warna-warna merah di ujung
timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat
dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang
seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap di balik
kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang
kedinginan.
Widura itupun mempercepat
langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya
yang lain. Karena itu, ia harus sampai di kademangan sebelum hari menjadi
terang.
Ketika Widura itu hampir
sampai di regol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun
menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol di muka regol itu, lebih
banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi
berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang
melihatnya berteriak, “Itulah Ki Widura telah datang.”
Widura itupun berjalan semakin
cepat pula. Di muka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan
beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang senjata mereka
masing-masing.
“Apa yang terjadi?” bertanya
Widura serta-merta.
Citra Gati itupun kemudian
melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ternyata kami
hanya berprasangka.”
“Tentang apa” bertanya Widura
pula.
Citra Gati berpaling kearah
Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera
memalingkan wajah ke arah lain.
Tampaklah mulut Citra Gati berkumat
kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah, “Kami
berprasangka atas Sidanti.“
“Kenapa dengan Sidanti?”
bertanya Widura pula.
Sekali lagi Citra Gati
berpaling ke arah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang
masih bergemerlapan di langit. Karena itu ia menjawab sendiri, “Kami mengetahui
bahwa Kakang pergi bersama Sidanti. Namun kemudian Sidanti itu kembali seorang
diri. Ketika ada di antara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun
sangat meragukan kami.”
Widura itupun menarik nafas
dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia
menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun ia
melihat bahaya yang besar pula yang ada di antara mereka. Bahaya yang setiap
saat dapat meledak.
Ternyata kawan-kawan Sidanti
sudah demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap
kesempatan, benturan-benturan di antara mereka agaknya sulit untuk dihindarkan.
Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan di belakang Sidanti.
Ki Tambak Wedi. Kalau sampai terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka tidak
mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan.
Bahkan tidak mustahil bahwa Ki
Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak
Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan
keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum menemukan
cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap
bentrokan yang mungkin terjadi.
Hudaya, Citra Gati dan
beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri di seputar Widura. Sehingga
dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya. “Nah, kembalilah kalian ke
tempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada
seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang
kembali utuh”.
Namun didalam hatinya Widura
itu berkata, “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka
apakah kira-kira yang dapat timbul di kademangan ini? Apakah anak-anak ini
percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?”
Tetapi Widura itu tidak
berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri di
muka regol itu masuk ke pringgitan.
Demikian ia membuka pintu
pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu
terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya
pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung
Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.
Widura itupun segera pergi ke
pembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.
“Apakah kau sudah
bersembahyang?” terdengar ia bertanya.
“Sudah Paman” jawab Agung
Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar kembali, pergi ke
perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya ke langit, terdengar ia
bergumam, “Hampir fajar.”
Baru setelah Widura itu
selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura
itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat
untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya untuk menyuguhkan makan dan minum itu
dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang
biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.
“Marilah Paman” katanya.
“Mumpung masih hangat.”
“Terima kasih Mirah” sahut
Widura.
“Apakah Kakang Sedayu tidak
ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah.
Jawabnya singkat, “Tidak, Mirah.”
“Ah, hari cerah. Apakah Kakang
dapat mengantarkan aku ke warung sebentar?” ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.
meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi. Namun ia tidak berani melakukannya.
Karena itu jawabnya, “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini.”
Sekar Mirah menjadi kecewa.
Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura
itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas di hadapannya.
Meskipun demikian Sekar Mirah
itu masih mencoba memaksanya. Katanya, “Aku harus berbelanja untuk kalian,
namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti di jalan.”
Widura kini mengangkat
wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan
Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata, “Mirah, jangan takut kepada
Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi
kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan,
bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak
muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal
Putung ini.”
Wajah Sekar Mirah itu menjadi
merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-katanya Widura itu.
Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti.
“Aneh” katanya dalam hati.
“Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?”
Meskipun demikian ia tidak
berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah
itu menunduk dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah
pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura
maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar Mirah
itu masih dapat menghibur dirinya. “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam
hati. “Ia hanya takut kepada pamannya.”
Pagi itu, Sekar Mirah pergi ke
warung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut seandainya
Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan di
sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kew arung
di ujung desa.
Widura dan Agung Sedayu yang
duduk di pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka.
Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang Sangkal
Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak
tersenyum. Sambil duduk di samping Widura terdengar ia berkata, “Hampir semalam
suntuk Adi berkeliling malam ini.”
Widura tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya Kakang.”
“Bukankah tidak ada sesuatu
yang mencurigakan?” bertanya Ki Demang itu pula.
Widura menggeleng. “Tidak
Kakang.”
Ki Demang Sangkal Putung
itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Anak-anak sudah
siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka dan
menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak Adi Widura berminat pula?”
“Ya” sahut Widura. “Aku senang
dengan rencana itu.”
“Kita dapat segera
menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.
Widura itupun tiba-tiba
termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak
buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan apapun Sidantilah
yang akan memenangkannya.
Namun akhirnya ia menjawab,
“Baiklah Kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi
pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi
pemenang kedua, ketiga dan seterusnya.”
Mendengar keputusan Widura
itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan
menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian
akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan
perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
“Kapan perlombaan itu akan
kita adakan?” bertanya Ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba terngiang di telinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang
diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang akan
dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu.
Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu
melakukan apa saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya,
“Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”
“Sudah lama mereka
mempersiapkan diri“ jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih menggunakan panah,
tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran di atas kuda dan
bermacam-macam lagi.”
“Bagus” sahut Widura.
Namun kemudian terlintas di
dalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak buahnya. Apakah
perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan menimbulkan persoalan baru?
Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang
sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain.
Karena itu, maka kemudian
jawabnya, ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam
perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah
prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran,
beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak
tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka
tujuan mereka adalah melepaskan nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan
demikian pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya akan
menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah mereka diberi
kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba mempergunakan
panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan
untuk mempergunakan segala macam senjata.”
Ki Demang Sangkal Putung
itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani
anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat menyulitkan
bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah Adi. Aku
sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”
Sekali lagi Widura merenung.
Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya, “Secepatnya Kakang.”
“Besok?” bertanya Ki Demang.
“Apakah hal itu mungkin?”
sahut Widura.
“Mungkin sekali bagi anak-anak
Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah Adi?”
“Anak buahku bersiap setiap
saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap.”
Ki Demang tersenyum mendengar
jawaban Widura. Katanya, “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit.”
Widura pun kemudian tersenyum
pula.
Ketika kemudian Ki Demang itu
keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di
pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata, “He Paman Hudaya, kenapa
Paman tidur disitu?”
Hudaya yang terkantuk-kantuk
bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil
menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia menjawab,
“Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun.”
“Kenapa? Apa Paman sedang
bertugas?”
Hudaya menggeleng. “Tidak.
Tetapi aku bermimpi buruk”
Swandaru tertawa pula. “Mimpi
apa?”
“Aku mimpi kau digigit anjing”
jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa
terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang
mendengar suara tertawanya berpaling ke arahnya. Ketika mereka melihat
Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja
tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa.
Tetapi sekali lagi orang-orang
itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan
orang-orang itulah yang kemudian tertawa di dalam hatinya. Menggelikan sekali.
Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat di
mukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.
“Apa kerjamu di sini
Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti
mendengarnya, “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada di rumahku
sendiri?”
“Hus!” bentak ayahnya. “Jangan
ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok di tanah
lapang di muka bajar desa.”
“He?” Swandaru menjadi sangat
gembira. “Besok, Ayah?”
“Ya.”
Swandaru itupun segera berlari
menghambur. Langsung ia berlari ke banjar desa di mana kawan-kawannya sering
berkumpul.
Tetapi selain Swandaru, anak
buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula
sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka senang
juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal
Putung itu.
Sidantipun mendengar kabar
itu. Di sudut pendapa, di tempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati, “Hem,
siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu
membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan
tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali
anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”
Hari itu Sangkal Putung
benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan
suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang
siur dengan tergesa-gesa.
Hudaya, Citra Gati dan
beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka
terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan
besok di muka banjar kademangan.
Diberinya anak-anak muda itu
petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran dengan
kapur di tengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis batas
bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula.
Semuanya dibuat dengan
tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi
sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi
mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa
anak buah Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak
habis-habisnya. Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali
di panas yang terik, membuat pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan
untuk lomba memanah. Dan masih terlalu banyak yang harus mereka kerjakan.
Namun betapa sibuknya mereka,
Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka.
Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum- senyum
sendiri sambil bergumam, “Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja
keras mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari
penonton.”
Meskipun demikian, Sidanti
menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan
satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.
“Biarlah” katanya dalam hati.
“Akupun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan yang
mengasyikkan.”
Demikianlah hari itu telah
dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai
pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan
berbagai persoalan di dalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan
turun ke arena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.
Meskipun demikian, Widura
tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung sibuk
dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya di segenap
penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati.
Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar
bersiap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka
malam itupun Widura telah bersiap untuk berkeliling kademangan. Kali ini ia
tidak berjalan bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak pernah
mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak tahu pula,
mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula
kembali seperti malam-malam sebelumnya.
Seperti biasanya, setelah
mereka berkeliling di semua gardu-gardu perondan, maka mereka berdua pergi ke
tempat mereka berlatih, Gunung Gowok. Di sepanjang perjalanan itu, hampir tak
ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saja yang pernah
terjadi, dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di
dalam dadanya.
Namun kemudian, ketika mereka
hampir sampai ke puntuk kecil itu, terdengar Widura berkata, “Sedayu, apakah
kau tidak ingin ikut serta berlomba?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Terjadilah suatu kesibukan di dalam dadanya. Ia merasa, bahwa iapun
mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin dilakukan
oleh orang lain.
Namun, sekali lagi Sedayu
terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum berhasil melampaui dinding yang memagari
jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak dapat melakukan dengan
pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya. Ia
takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia tidak
lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur
baur di dalam dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.
“Sedayu” akhirnya terdengar
pamannya berkata. “Aku telah mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala
macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap persoalan yang akan
mempertajam ketegangan dan prasangka di antara anak buahku. Selain itu, aku
telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak
buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara
yang mereka bangga-banggakan.”
Widura terdiam sesaat. Ketika
ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya.
Kata-kata pamannya itu
benar-benar telah menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah
sikap yang akan diambilnya. Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah
mengerikan. Sidanti adalah seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu
melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu, meskipun dengan rotan
sebesar ibu jari kaki, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu
akan dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar di tengah arena, diiringi
dengan teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.
Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu
berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, “Aku tidak ikut dalam perlombaan
apapun Paman.”
Widuralah yang kini terdiam.
Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan timbullah berbagai
pertanyaan di antara anak buahnya. Karena itu ia berkata, “Sedayu, bukankah kau
masih pandai melepaskan panah?”
Mendengar pertanyaan pamannya
itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar Widura mendesaknya,
“Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat ikut dalam
perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya.”
Berbagai persoalan kini saling
mendesak di dalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya yang ditakutinya dalam
perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan menderita sakit
karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan akibat
dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya,
namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan Sidanti, maka
jangan-jangan anak muda yang perkasa itu mendendamnya.
Karena itu akhirnya Agung
Sedayu menjawab, “Aku tidak ikut Paman.”
“He?” Widura menjadi semakin
tidak mengerti. “Perlombaan memanahpun kau tidak berani?”
“Aku sedang berpikir tentang
akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan Sidanti menjadi
semakin bersakit hati” jawab Sedayu.
“Hem” terdengar Widura
menggeram.
Hampir ia tidak dapat menahan
kejengkelannya. Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak
kakaknya perempuan, maka Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk
berbuat sesuatu. Atau malahan sudah dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti.
Atau anak itu telah lama diusirnya dari Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat.
Namun anak itu benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini
alasannya bisa juga dimengerti.
Akhirnya mereka sampai juga di
Gunung Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam satu
latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir merupakan
pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi alangkah bodohnya
Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak menyangka
bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami
suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu hanya
menganggap bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih
maju dari yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa pamannya akan
marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak maju-maju juga, maka Agung Sedayu
itupun kemudian mencoba melayani pamannya dengan sepenuh tenaga pula.
Demikianlah maka Widura
melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya datang
bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila
tubuhnya benar-benar terkena oleh serangannya.
Tetapi sekali lagi Widura itu
mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya. Demikian ia memperketat
serangannya, maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat. Bahkan untuk
menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya pula
dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya.
Dalam keadaan yang demikian
itu, maka Agung Sedayupun telah memeras hampir segenap kemampuannya. Kemampuan
yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam ilmunya,
seperti kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan
oleh pamannya itu, semakin heranlah dada Widura dibuatnya. Betapa serasinya
Agung Sedayu memadukan unsur-unsur gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat
kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau lewat dirinya dengan unsur-unsur gerak
yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihan-latihan melawan Kiai
Gringsing di Gunung Gowok itu.
“Aneh” berkata Widura didalam
hatinya. “Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak
terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?”
Namun Widura itu tidak berkata
apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini Widura telah sampai
kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan gigih. Bahkan
kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah
dimengertinya sebelumnya.
Selain dari geraknya yang
cepat dan cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayupun cukup kuat pula. Apabila
sekali-sekali terjadi benturan di antaranya, maka terasa juga tubuh pamannya
itu bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya,
maka Sedayu itupun hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak
merasakan sesuatu.
Dan ia mampu untuk bergerak
kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap mangsanya di udara.
Namun betapa Agung Sedayu
berjuang mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh
lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-tekanan
Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu semakin lama menjadi semakin
sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya,
namun sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga.
Widura melihat keadaan itu.
Justru karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi
dari ilmu kemenakannya.
Tiba-tiba latihan yang keras
itupun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung Sedayu mendengar
suara tertawa dengan nada yang tinggi.
Segera mereka mengenal suara
itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja
tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan sambil memuji, “Bagus Sedayu, ternyata
muridmu itu menjadi bertambah terampil juga akhirnya.”
Gerak Widura itupun kemudian
terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur sambil berkata,
“Sudahlah Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini.”
Mendengar kata-kata pamannya
itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak lama ia menahan
diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.
Dengan demikian latihan yang
berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan kepalanya Widura
berkata kepada Kiai Gringsing, “Selamat malam Kiai.”
“Kenapa latihan ini berhenti?”
kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.
Widura menarik nafas.
Jawabnya, “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Syukurlah kalau kau selalu tekun
dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat
menandingi Tohpati.”
“Mudah-mudahan Kiai” sahut
Widura.
Tetapi Widura itu kemudian
terkejut bukan buatan ketika Kiai Gringsing itu berkata, “Ternyata Tohpati itu
benar-benar seperti hantu. Baru saja aku melihat ia berjalan mendekat tikungan
di sebelah.”
“He?” bertanya Widura
tersentak. “Adakah Kiai melihatnya ditikungan itu?”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya.”
“Jadi apakah mereka melihat
kita berlatih disini?” bertanya Widura pula.
“Aku kira tidak” sahut Kiai
Gringsing. “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat di bawah
Gunung Gowok ini.”
“Hem” Widura menarik nafas
dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya.”
Dalam pada itu Widura menjadi
gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia akan dapat
mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun apabila demikian,
maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu hanya
sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung.
Tiba-tiba ia menjadi
berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan
yang akan diadakan besok.
“Gila” Widura mengumpat di
dalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang aku sangka baik sekali. Aku
hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja, supaya kabar ini
tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”.
Kembali berbagai persoalan
telah menyesakkan dada Widura. Persoalan antara laskarnya dengan laskar
Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan gurunya
Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan segala
macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu
akan pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya.
Dalam kegelisahannya itu
Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu berkata dengan
gemetar, “Paman, marilah kita kembali ke kademangan.”
“Kenapa?” bentak Widura.
Ketika ia berpaling, ia
melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi Widura itu
tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung
seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura itu
menjadi marah ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan jujur, “Paman,
apakah yang akan terjadi dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui
kehadiran kita di sini?”
“Persetan dengan Macan
Kepatihan” sahut Widura.
Namun kata-kata Widura itu
terputus oleh kata-kata Kiai Gringsing. “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu
itu tahu benar tingkatan ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang
lawan seorang, kalau kau tidak mau membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau
turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan membawamu ke jalan keselamatan.”
“Aku bukan pengecut!” teriak
Widura. “Aku akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan
setiap gardu peronda, bahwa bahaya berada di ujung hidung mereka.”
Dada Sedayu itu menjadi
semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali lagi atas
gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu dengan
Tohpati itu semakin besar. Di sudut-sudut desa, di prapatan-prapatan di tengah
sawah, atau di tikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya
menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh di dalam
hatinya.
Yang kemudian terdengar adalah
kata-kata Kiai Gringsing sambil tertawa, “He, kau benar-benar berani Widura,
seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi.”
Tiba-tiba pandangan mata
Widura itupun terbanting di atas rerumputan liar di bawah kakinya. Teringatlah
ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam kemarin.
Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia tidak melawan
Tohpati itu seorang lawan seorang.
Karena itu ia menyesal atas
kekasarannya. Maka katanya sambil menganggukkan kepalanya, “Maafkan aku Kiai.”
“He?” sahut Kiai Gringsing.
“Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu.”
Sekali lagi Widura mengumpat
di dalam hatinya. Namun katanya, “Ya ya. Aku akan minta maaf kepadanya.”
“Bagus” berkata Kiai
Gringsing. “Kau harus selalu menuruti nasehat gurumu. Di rumah, gurumu pasti
akan memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu.
Mungkin tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu
itu memerintahkan kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan
seorang Widura yang sombong. Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi.
Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam ini. Nah, selamat malam. Aku
tidak sempat bermain-main malam ini. Besok aku akan nonton perlombaan yang kau
adakan.”
Dada Widura berdesir mendengar
kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk
menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah pergi dengan
langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku di
tempatnya.
Tetapi, tergoreslah di dalam
jantungnya, peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan
Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa yang
dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu
peringatan kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang
dilakukan oleh Tohpati.
Namun ia tidak perlu
mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia akan
menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya ketenangan,
meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahan
ia masih berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung, yang setidak-tidaknya
masih seperti pada saat perlawanannya dahulu ketika Tohpati menyerangnya.
Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih dapat dipergunakannya sebaik-baiknya.
Tetapi bagaimana dengan besok
lusa, tiga hari, empat hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib
Sangkal Putung apabila Tohpati menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi
memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan kepalanya ketika terlintas di dalam
benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya kembali apabila Ki
Tambak Wedi akan membunuhnya.
“Tidak” katanya dalam hati.
“Aku tidak akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan
datang. Aku harus memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan
kemudian timbullah di dalam benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke
Pajang. Keadaan Sangkal Putung benar-benar gawat. Biarlah salah seorang perwira
yang terpercaya akan datang untuk melawan Tohpati, lebih-lebih Ki Tambak Wedi.
“Hem” gumamnya. “Apabila besok
aku belum menemukan cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede
Pemanahan sendiri menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira
Nara Manggala Demak, guru Loring Pasar.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia memandang wajah
Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak itu
memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati meskipun
dengan perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut
banyak di atas ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar dan ia
pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya mampu menarik pedang dari
sarungnya.
Karena itu Widura tidak
berkata sepatahpun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar tubuhnya dan
melangkah kembali ke kademangan.
Sedayupun kemudian cepat-cepat
mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya itu benar-benar marah
kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi bersedih hati. Ia
tidak berani berkata apapun kepada pamannya selain berjalan saja di
belakangnya.
Di sepanjang jalan itu Widura
sempat juga memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat
menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu gabungan yang
serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan
bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu
berlatih di dalam pringgitan yang tak begitu luas itu. Dan tak pernah
dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan pringgitan selain apabila ia pergi mandi
dan sesuci diri. Namun ia tidak mau menanyakannya. Ia hanya ingin mencari
pemecahan dengan caranya sendiri atas teka-teki itu.
Demikian mereka sampai di
kademangan, Widura langsung melepaskan pakaiannya dan merebahkan dirinya di
pembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan kepada Agung Sedayu sehingga
Agung Sedayu itupun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga
untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran dikepalanya untuk
besok mengikuti pertandingan memanah.
“Paman marah karena aku tak
ikut serta” katanya dalam hati. “Atau karena hal-hal yang lain, atau karena
keseluruhannya”.
Namun ia kembali menjadi ngeri
membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula. “Biarlah
paman marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi
akan berbedalah sikap Sidanti itu.”
Sedayupun kemudian mencoba
melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur pula dengan
nyenyaknya.
Sebenarnya Widura belum juga
tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia menunggu kemenakannya tertidur. Ia
ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. Apakah ada
hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu.
Perlahan-lahan Widura itu
bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian Sedayu yang
diberikannya olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya beberapa
helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu daripadanya.
Demikian Widura membuka
halaman pertama dari rontal itu, demikian dadanya bergetar. “Inilah sebabnya”
gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju
dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata
bela diri. Di dalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang
menyalakan keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya.
Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik
ketakutan belum dapat dipecahkannya.
Jadi apa yang dilakukan oleh
Sedayu selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan
kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya
menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula
cara-cara untuk mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan yang
keras.
Di dalam rontal-rotal itu
Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap gerakan.
Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya di belakang
gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk
menggabungkan gambar-gambar yang terdahulu.
“Hem” Widura menarik nafas
dalam-dalam. “Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-angannya selain
latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku sering
melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana dipelajarinya.”
Dan Widura itu tak
jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu cara
memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai
juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas. Sikap,
gerak dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk
menghindarkannya.
Tetapi suatu hal yang tak
dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan
dan ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat, namun ilmu
itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah.
Tiba-tiba timbullah pikiran di
dalam benak Widura. Katanya dalam hati, “Ah, biarlah pada suatu kali, anak ini
mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku ingin
melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung Sedayu sempat
mengayunkan tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu
akan dapat bertahan beberapa lama sampai saatnya aku memisahkannya. Namun
dengan demikian, setidak-tidaknya perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya
memiliki ilmu yang seimbang. Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini
mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya Agung Sedayu akan menjadi
seorang yang jantan dan berani.”
Kemudian dengan hati-hati pula
rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ke tempatnya. Dan dengan hati-hati pula
Widura itu berdiri dan berjalan ke pembaringannya, dan sesaat kemudian pemimpin
laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur pula.
Malam yang tinggal sepotong
itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah menyusup ke dalam
dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu selain
keinginannya untuk mengetahui keadaan.
Namun Macan Kepatihan itupun
mengumpat di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada kedua
pengawalnya, “Paman Widura benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apapun
peronda-perondanya tak pernah berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh
oleh perlombaan yang akan diadakan besok? Sayang, aku baru mendengar rencana
perlombaan itu senja tadi, sehingga aku tak sempat menyiapkan anak buahku.
Seandainya aku mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada saat-saat
perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat.”
Kedua pengawalnya tak dapat
menjawab lain daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala
mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang sedang
bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka
berjalan hilir mudik di muka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang
mereka yang sudah telanjang.
“Tetapi,” berkata Tohpati
kemudian kepada pengawalnya, “mudah-mudahan setelah perlombaan itu berakhir,
laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun
sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka
tidak mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga aku
menjumpai kegagalan yang menyedihkan.”
“Persiapan kita akan sangat
mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi Pajang segera
menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.
“Kita akan meninggalkan
cara-cara yang pernah kita lakukan“ jawab Tohpati. “Aku akan membawa kalian dan
orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar harus kita
tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana
kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang mengetahuinya, kecuali di
antara kita ada pengkhianat atau justru orang-orang dari petugas-petugas sandi
Pajang yang berhasil masuk ke dalam lingkungan kita.”
“Kemungkinan itu kecil sekali”
sahut pengawalnya.
“Kau benar” berkata Tohpati
pula. “Aku mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau
demikian, aku akan berbuat seperti Paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum
laskarnya terpencar ke segenap penjuru.”
“Kapan kita adakan sergapan
itu?” bertanya pengawalnya.
“Secepatnya” sahut Tohpati.
Kemudian mereka tidak
bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan di daerah perondan laskar
Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman yang
gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu perondan.
Dengan otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah yang
sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai jantung Sangkal Putung,
meskipun masih diragukan apabila Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya
dalam jumlah yang besar. Namun Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya.
Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang dibuatnya.
Sejak ia menginjakkan kakinya
di daerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali
tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan
orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya.
Orang itu adalah Kiai
Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi ke Gunung Gowok. Ia
takut apabila Widura dan Sedayu berada di sana, dan kemudian Tohpati itupun
berjalan ke sana pula. Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila
demikian maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu
benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri melawan tiga orang yang jauh
berada di atas kemampuannya.
Dan semuanya itu telah
berlalu. Widura telah tertidur nyenyak di kademangan Sangkal Putung, dan
Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.
Menjelang fajar, Sangkal
Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Lebih-lebih lagi, mereka
yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan.
Mereka mengenakan pakaian
mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna
yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian
mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keloncer-keloncer kain beraneka
warna, namun kuda-kuda merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak
mereka yang terbuat dari bola-bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita
berwarna. Ada pula di antara mereka yang membuat kalung-kalung dari
rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan
rangkaian bunga itu di lehernya, di leher kuda-kuda mereka dan pada
senjata-senjata mereka.
Demikianlah, hari itu Sangkal
Putung ditandai dengan kesibukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk
Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan di muka banjar desa. Mereka
ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka
yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan
hari yang sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang
mendengar bahwa semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu,
mungkin suasananya akan jauh berbeda.
Tetapi ternyata Widura
mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut kademangan.
Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan
diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu.
“Jangan seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah
berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya
yang dapat kau bunyikan setiap saat dan disetiap tempat.”
Perintah itu agak mengherankan
bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena di daerah Sangkal
Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus diperkuatnya.
Demikianlah maka lapangan di
muka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda
telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar di
tengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya
dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan
sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat
seorang anak muda yang tampan bermain dengan manisnya di atas punggung kudanya.
Tepuk tangan penonton itupun
seakan-akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk ke lapangan dengan
tombak di tangan, bumbung panah di lambung kudanya dan sebuah busur yang besar
menyilang di punggungnya. Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali
kuda putihnya, dan kuda itupun segera nyirig. Berjalan miring dengan manisnya.
Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik
kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda itupun segera
nyongklang, berlari keliling lapangan.
Laskar Widura yang akan
mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang
boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk melepaskan
kejemuan mereka, banyak juga di antara mereka yang mengikutinya.
Widurapun kemudian hadir pula
di lapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang
mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton melihat
kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar di
lapangan itu.
Namun perlahan-lahan mereka
dirayapi oleh berbagai pertanyaan di dalam hati mereka. Mereka tidak melihat
Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka
menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik, “Apakah pahlawan itu
tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”
Kawannya itu sebenarnya
menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab, “Tak
sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut
serta apabila perlombaan semacam ini diadakan di alun-alun Pajang.”
Kawannya yang bertanya itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk di akalnya.
Sesaat kemudian, Widura dan Ki
Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk di tempat yang telah
disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura segera membuka
perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende
di sudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul
bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali,
dua kali dan kemudian tiga kali.
Dengan diiringi oleh tepuk
tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera
dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ke tengah lapangan, memimpin
perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang
pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya
pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman
bambu.
Permainan ini benar-benar
mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah turut
serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari
lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh
jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali
tidak terasa pedihnya.
Sejalan dengan terik matahari
yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itupun menjadi
semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika di arena itu tinggal
dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara anak-anak muda
Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. Mereka
adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar,
bernama Wisuda.
Sejenak kedua anak muda itu,
Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai
membahana di udara Sangkal Putung.
Tiga orang anak buah Widura,
Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan
seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan setiap
sentuhan rotan itu di tubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan
adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh di bagian atas perut tetapi di
bagian bawah leher.
Demikian pertarungan itu
berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru
lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih
kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah
bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.
Ketika bende berbunyi, maka
pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton
menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati maju
selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali
tak berpenghuni.
Setelah mencocokkan hitungan
masing-masing maka berkatalah Citra Gati, “Ternyata yang akan menjadi pahlawan
dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek, bernama Swandaru.”
Langit seakan-akan runtuh di
atas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan
sebutan itu. Katanya membetulkan namanya, “Sebutlah selengkapnya Paman,
Swandaru Geni.”
Citra Gati tersenyum. Ketika
ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya, karena suara riuh dari
pada penonton itu sendiri.
Sidanti yang melihat sambutan
yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu
mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati, “Swandaru itu pasti akan menjadi
bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa
yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada
kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk melakukannya.”
Perlombaan yang berikut adalah
sodoran. Dengan duduk di punggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam
mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola kayu. Permainan ini
tak kalah menariknya. Di antara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa menerima
ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan
keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dari kuda-kuda
mereka.
Dalam perlombaan ini sekali
lagi Swandaru merajai lapangan di muka banjar desa itu. Kuda putihnya
seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan
karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang
lengkap dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Ki Demang yang duduk disamping
Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang
dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia.
Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang
lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.
Widurapun tampak
tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia
mengedarkan pandangannya ke segenap sudut. Di antara perhatiannya atas
permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai
Gringsing berada diantara para penonton yang sekian banyaknya.
Tetapi Widura itu kemudian
menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk menemukan seorang di antara sekian banyak
orang, apalagi orang itu belum dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak
akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain
gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang memakai kain gringsing,
bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing
memang banyak digemari orang.
Permainan yang terakhir adalah
permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh
anak buah Widura. Bahkan seorang anak muda yang sudah lama dikagumi di Sangkal
Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti.
Namun para penonton itu
menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut
serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya
dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan
berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar
menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka yang mulai dirayapi oleh berbagai
pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat
sesuatu?
Swandaru dan Sekar Mirahpun
menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut Swandaru
menyelinap di antara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya. Katanya berbisik,
“Apakah Tuan tidak ikut serta?”
Dada Agung Sedayu berdesir.
Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru.”
Widura mendengar pertanyaan
itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi sangat
kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan ini.
Sesaat kemudian berjajarlah
mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak
buah Widura. Di antaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki lapangan.
Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula
bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.
Di hadapan mereka tergantung
lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang
dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur
angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari
leher, dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali.
Sasaran yang berupa
orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah di antara para
pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya.
Ketika bende berbunyi, maka
perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah.
Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi di antara
mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan
mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan
apabila panah mereka mengenai bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai,
maka nilai itu akan gugur tiga nilai.
Sesaat kemudian meluncurlah
anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah
itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang
kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton
bersorak-sorak kembali ketika anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni
leher sasaran. Tiga nilai.
Maka penontonpun
berteriak-teriak pula, “Tiga, tiga!”
Penonton mejadi tegang ketika
meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan
karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena anak
panah itu mengenai bandul.
“Habis, habis!” teriak mereka.
Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi habis karena
dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.
Orang yang pertama itu sambil
menundukkan kepalanya terpaksa berjalan ke luar lapangan. Namun iapun menjadi
geli juga. Karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.
Maka kemudian majulah orang
kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan penonton
karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga diantara mereka
yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak
dua di antaranya yang dapat mengenai sasarannya.
Ketika kemudian sampai pada
giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka penontonpun menjadi gempar
pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan dua kemenangan
berturut-turut di dalam arena pertandingan itu. Karena itu, maka di antara
penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat
setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka.
Sebenarnyalah, maka anak panah
yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan
penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Swandaru telah
mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan penonton
menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher.
Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah
suara riuh di sekitar arena. “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit”
Dan meledaklah sorak para
penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu
benar-benar mengenai kepala sasaran.
Swandaru itupun kemudian
berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan
itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Swandaru
mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah
Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya
menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan
demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya.
Swandaru itu memandangi anak
panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang
“He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit
saja, maka anak panah itu akan hinggap di kepalamu.”
Namun kemudian telah terdengar
bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan
perlombaan itu. Namun ada pula di antaranya yang tidak lebih tepat dari
anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia
mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat. Ia
dapat mengenai perut lawannya di medan-medan pertempuran. Namun perut orang
jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang harus dikenainya sebagai
sasaran.
Tetapi ternyata Hudaya adalah
pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia
telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung
mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia
menarik busurnya untuk yang ketiga kalinya, dengan berdebar-debar penonton
menanti.
Dan sekali lagi meledaklah
sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula.
Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton
berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap di
kepala. Dengan demikian ketegangan di arena itu menjadi semakin memuncak.
Keempat anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah
untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima inipun akan mengenainya
pula.
Dan lapangan itu seakan-akan
menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang
lepas dari busur Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala
orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itupun telah menunjukkan
kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala
sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah pembidik yang baik.
Ketika kemudian terdengar
bende berbunyi, masuklah Citra Gati ke tengah-tengah lingkaran. Dengan
tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya. Katanya, “Hudaya,
ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada
yang dapat berbuat lebih baik daripadamu.”
Hudaya itupun tersenyum pula.
Namun ia tidak menjawab. Ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika
ia melihat mata Sidanti menyala-nyala.
Ternyata Sidanti tidak rela
melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal
Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata Hudaya
itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri
dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya
yang lain.
Dan ternyata Citra Gati itupun
tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama
kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia mengikutinya
dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak penonton.
Anak panah itupun hinggap di kepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua,
ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar.
Ketika ia memasang anak
panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya
tertawa dan berkata, “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui
nilaiku. Tak mungkin kau dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam
kali.”
“Berilah aku anak panah satu
lagi” sahut Citra Gati.
Hudaya tidak menjawab. Hanya
telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan di ujung lapangan.
Citra Gati menarik nafas
dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia
membidikkan anak panahnya yang kelima.
Sekali lagi lapangan itu
menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang
tidak dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda ke
udara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak
panah Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasaran. Kepala.
Hudayapun kemudian
berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata,
“Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku.”
Citra Gati tidak menjawab.
Perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.
Kini sampailah giliran yang
terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ke tengah-tengah lingkaran, maka para
penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu melambaikan
tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam, pada
saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah
Sidanti.
Ia sama sekali tidak
mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai
sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat
berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi
kebesaran namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya
dan Citra Gati telah melakukannya.
Dan apa yang diyakini itu
benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti
Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada
orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang,
menarik sambil mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak
panah itupun meluncur menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak
panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga dengan langsung hinggap di
kepala orang-orangan.
Orang-orang Sangkal Putung itu
benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan seperti
orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak
keras-keras.
Dengan sebuah senyuman yang
kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah inipun
menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling ke arah Sekar Mirah
yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu
menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap di
sasarannya, dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya.
Namun ketika ia memandang
wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak
panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tangan karena orang-orang
lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar di wajahnya.
“Persetan dengan anak itu”
gerutunya di dalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun ke
arena.”
Sidanti puas dengan kata-kata
di angan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali anak panahnya
mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-jadinya di lapangan
itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat di kepala orang-orangan itu
pula.
Ketika sorak sorai orang-orang
Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju
ke arena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula kepada
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata, “Kita masih
harus memilih satu di antara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu.
Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya di bawah. Dan
apabila tanda berbunyi, ayunkan orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat
kesempatan yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan.
Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka ke lima
belas.”
Hudaya dan Citra Gati tertawa
masam. Terdengar Hudaya berbisik, “Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada
satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya.”
“Kita tidak sedang membagi
makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk
perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.
Keduanya kemudian terdiam.
Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang
cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah masing-masing. Dan
ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris lurus
menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.
Sesaat kemudian sasaran itupun
telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti
berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali
ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.
Penonton benar-benar menjadi
tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya. “Satu, dua, tiga,
………..”
Panah yang pertama lepas
adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata. Meskipun
sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti tepat mengenai
kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula.
“Uh” geram Hudaya, ketika ia
melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti.
“Makin sulit” gerutunya.
Citra Gati tidak menyahut. Ia
membidik dengan cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti
dikejar setan. Dan sorak dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra
Gatipun tepat mengenai kepala sasaran.
Belum lagi sorak itu berhenti,
maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah
kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya. Kepala.
Citra Gati menyeringai. “Setan
kau Hudaya” gumamnya.
Namun Hudaya hanya tersenyum
saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton
berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai
sasarannya pula.
Kini sasaran itu terayun
berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit.
Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah yang
terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra
Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah,
dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu
meloncat dan jatuh beberapa langkah dari orang-orangan itu.
“Gila” teriak Citra Gati di
luar sadarnya.
Dan ia mengumpat kembali
ketika ia mendengar sorak gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung
Merapi. Anak panah Sidanti yang ketiga telah hinggap di kepala orang-orangan
itu pula. Hudaya menggeram. Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua.
Dengan menggigit bibirnya, anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali
lagi penonton menyesal karenanya.
Anak panah itu mengenai anak
panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak
panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah
jauhnya.
Pada saat itu Citra Gati telah
mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada
lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu
seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. Hanya
pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya.
Karena itu Citra Gati
membidikkan anak panahnya ke leher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi
kecewa. Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak
panah mereka yang ketiga, terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir.
“Lima belas……” dan terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang terakhir itupun
disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka berteriak-teriak
menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju
ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.
Anak muda itu menjadi semakin
bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak
sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
“Nah, lihatlah” kata Sidanti
dalam hatinya. “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih
dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi di punggung
pamannya.”
Hudaya masih berdiri di
tempatnya, dan Citra Gatipun masih berada di sampingnya pula. Terdengar kemudian
Hudaya berkata, “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. Kau
akan menjadi pemenang kedua.”
Citra Gati tersenyum. Ia tidak
menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya, “Lihatlah betapa sombongnya anak muda
itu.”
“Biarkanlah ia berbuat demikian”
sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? Bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”
”Aku tidak mau apa-apa” jawab
Citra Gati. “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”
Hudaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai
perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun padanya.
Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia
dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut.”
Citra Gati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para
penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan diberikan,
namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong beberapa
ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.
Citra Gati itu mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap
dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda
itu menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Widura dengan
resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut
dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung ternyata
merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura sendiri,
Sidantilah yang menjuarainya.
Namun dalam pada itu,
kekecewaan di hatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai ke
puncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan Ki Demang itupun
telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta
meramaikannya. Karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama
sekali tidak berkata apapun kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan
lapangan itu dengan kepala tunduk.
Beberapa anak buahnya segera mengikutinya
di belakang. Ki Demangpun berjalan pula di sampingnya. Katanya “Dimanakah
Angger Sedayu?”
“Masih di belakang, Kakang “
sahut Widura kosong.
Ki Demang itupun berpaling.
Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih
berada di tempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak
bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir di dadanya. Sebagai
seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena sikap Sekar
Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi di
dalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan
memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu.
Agung Sedayu melihat arus
manusia itu dengan berdebar-debar pula. Lapangan itu seakan-akan sebuah telaga
yang mengalir ke segenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, sehingga
akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik di lapangan itu.
“Apakah Tuan akan kembali?”
bertanya Swandaru kepada Sedayu.
Sedayu mengangguk. “Ya’
jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk di tempatnya.
“Marilah” ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang
berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya “Sebentar Swandaru,
apakah kau tergesa-gesa?”
“Tidak” jawab Swandaru.
“Tetapi apakah ada sesuatu yang penting di lapangan ini?”
Sekali lagi Swandaru memandang
berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itupun telah
hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan itupun
benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah
Swandaru itu bertanya, “Tuan, kenapa Tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”
Sedayu menggeleng lemah,
“Tidak Swandaru.”
“Aku muak melihat kesombongan
Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti” berkata Swandaru pula. “Biarlah
nanti di rumah aku hajar perempuan itu.”
“Jangan Swandaru” cegah
Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya.”
Swandaru terdiam. Namun ia
menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya. “Apakah yang Tuan
tunggu?” ia bertanya.
Sekali lagi Sedayu memandang
berkeliling. Lapangan itu telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang
saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
“Swandaru” berkata Agung
Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah
Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri,
maka bertanyalah Swandaru, “Apakah yang akan tuan katakan?”
Sekali lagi pandangan mata
Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “Apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”
“Apakah yang akan tuan
lakukan?” bertanya Swandaru.
“Aku ingin berlatih memanah,
supaya lain kali aku dapat ikut serta dalam perlombaan seperti ini.”
“Sekarang?”
“Ya.”
“Apakah Tuan belum pandai
memanah?”
Agung Sedayu menggeleng.
“Belum Swandaru.”
Swandaru menarik nafas. Ia
benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. Karena itu ia bertanya, “Apakah
Tuan berkata sebenarnya?”
“Apakah kau sangka aku pandai
memanah?” bertanya Agung Sedayu.
“Tuan adalah anak muda yang
kami kagumi. Ataukah mengkin Tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang
pendek? Dengan pedang dan tombak?”
“Entahlah Swandaru. Cobalah
lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku.”
Swandaru tidak menjawab.
dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang di punggungnya dan
diambilnya anak panahnya dari bumbung di lambung kuda putihnya.
“Inilah Tuan” katanya. “Namun
berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari.”
“Itulah sebabnya aku mulai
dari sekarang.”
Swandaru tidak menjawab. Ia
menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.
“Swandaru” berkata Sedayu.
“Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong,
ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi.”
Swandaru menjadi heran. Kalau
Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya?
Tetapi ia tidak menjawab. Ia
berjalan saja ke arah sasaran yang masih tergantung terbalik itu. Ditariknya
orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua
antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.
Tetapi Swandaru menjadi
bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan
tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan
orang-orangan itu.
“Aneh”” pikir Swandaru.
“Apakah yang akan dilakukannya?”
Kini Swandaru itupun tidak
bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu
tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah
cepat.
Tetapi kemudian Swandaru itu
melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil
Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu. Katanya setelah ia berdiri di samping
anak muda itu, “Nah, sekarang apakah yang akan Tuan lakukan?”
“Swandaru” berkata Agung
Sedayu. “Apakah yang harus aku kenai?”
“Terserahlah kepada Tuan”
jawab Swandaru. “Namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap
mempunyai nilai tertinggi.”
Sedayu tidak menjawab lagi.
Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan
wajah yang tegang.
“Aku akan mengenainya dari
atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, kemudian badan,
leher, dan yang terakhir kepala.”
Swandaru tidak menjawab.
Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua
bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah.
Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dapat
membidikkan panahnya.
Tetapi kemudian Swandaru
itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju
dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah
itu mengenai bandulnya tepat di tengah-tengah.
“Tuan” berkata Swandaru dengan
serta-merta. “Ternyata Tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapat mengenai
sasaran yang Tuan bidik dengan tepat.”
“Aku akan mencoba mengenai
badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya, “Tetapi kau harus berjanji.”
“Apakah yang harus aku
janjikan?”
“Jangan berkata kepada
siapapun tentang apa yang akan kau lihat.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang
merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya cara itu
tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan
hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengangguk kosong sambil
menjawab, “Baiklah Tuan.”
“Kau berjanji?”
“Ya.”
“Bagus” sahut Sedayu.
Dalam pada itu ia telah
mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itupun benar-benar
mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja terayun-ayun itu.
“Luar biasa” desis Swandaru.
“Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap
di bandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap di badan. Sekarang
tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”
“Aku akan coba” jawab Sedayu.
Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya
terbang menuju sasarannya, leher.
“Bukan main, Tuan” berkata
Swandaru. “Sekarang bukankah Tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”
Sedayu mengangguk.
“Seharusnya, Tuan mengenainya
tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak
muda yang sombong itu.”
“Jangan membanding-bandingkan
Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah
selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku
hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru
saja selesai.”
Sekali lagi Swandaru
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah di
busur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap
gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat
itu.
Sekali lagi Swandaru
berteriak, “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula.”
Sedayu tertawa kecil. Ia
senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul
pula keinginannya agar semua orang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya iapun
dapat berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang lain.
Namun kembali ia menjadi
cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada
orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang
saja. Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan
apapun dan kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya.
Karena itu, sebagai imbangan
dari ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap
kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan
kepada dirinya sendiri.
Maka katanya, “Swandaru,
berapakah anak panahmu seluruhnya?”
“Sepuluh, Tuan” jawab
Swandaru.
“Marilah, berilah aku dua
lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali.”
Swandaru yang menjadi gembira
melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari ke kudanya. Diambilnya
seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu. “Inilah Tuan.”
Agung Sedayu menerima anak
panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah
berturut-turut. Dan keduanya itupun hinggap di kepala sasaran pula.
Swandaru itupun bertepuk
tangan sambil berteriak-teriak, “Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia
terdiam ketika Agung Sedayu berdesis, “Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau
bermain-main lagi.”
“Ternyata Tuan melampaui
setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut
serta?”
Sekali lagi Agung Sedayu
membantah. Katanya, “Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru
saja berakhir.”
“Ya” sahut Swandaru. “Memang
tak ada hubungannya. Tetapi Tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya
Tuan melakukannya selagi masih banyak orang di lapangan ini, maka lapangan ini
pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh.”
“Sudahlah. Lupakan perlombaan
itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-main?”
“Tentu” jawab Swandaru.
“Apakah Tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”
“Swandaru” berkata Agung
Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Tak ada, Tuan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun
kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya,
“Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”
Swandaru menjadi heran. Ia
tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga,
“Serat, Tuan, serat nanas yang dipilin menjadi tali yang kuat.”
“Apakah bukan jangat?”
“Oh bukan, Tuan. Jangat kulit
terlalu kaku.”
“Marilah kita buktikan.”
Sekali lagi Swandaru menjadi
keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu?
Karena itu maka ia bertanya, “Bagaimanakah Tuan akan membuktikan? Dan apakah
gunanya?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
namun dipasangnya sebatang anak panah di busurnya. Perlahan-lahan busur itupun
diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu
maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi
dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga busur
itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru
memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu,
dan anak panah itu terbang secepat angin.
Betapa Swandaru menjadi
terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat
ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah yang
lepas dari busurnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung
orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya.
Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu.
Swandarupun pernah juga
melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru
karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari
arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu.
Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata
tepat mengenainya.
Karena itu, ketika ia
menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju.
Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata
terbata-bata, “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar
melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu
terbukti Tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih
kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang bergerak-gerak. Ternyata
tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan sudah berhasil
memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Tuan mengenainya tepat di
tengah-tengah?”
Agung Sedayu yang
terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata,
“Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu
luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya.”
Swandaru menarik nafas. Dengan
penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak
panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam, ”Apakah
Tuan dapat menaruh biji-biji mata di ujung-ujung anak panah itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan
ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan berbagai
macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh
kekerdilan jiwanya.
“Swandaru” berkata Agung
Sedayu kemudian. “Di dalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran
tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan di
atas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya nampak
sebagian kecil karena bersembunyi di balik pepohonan. Nah, maukah kau membantu
aku bermain-main dengan anak panah?”
“Tentu Tuan” jawab Swandaru.
“Tetapi kau harus tatag.
Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang.”
“Apakah yang harus aku
lakukan?”
“Bawalah orang-orangan itu
sambil berpacu di punggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya.”
“Ah, bukankah itu berbahaya?”
Agung Sedayu berpikir sejenak.
Kemudian jawabnya, “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala
sasaran itu. Lemparkan ke udara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah.”
“Bagus. Permainan yang
mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang
telah terjatuh di tanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia
menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu kemudian bersiap.
Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran
itu ke udara.
Kedua anak muda itu benar-benar
menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam
kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan
kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya ke
dalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.
Swandaru yang berdiri beberapa
puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian melemparkan sasarannya ke arah
Agung Sedayu.
Ternyata betapa besarnya
tenaga Swandaru. Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru
berhasil melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.
Tetapi sasaran itu tidak
sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai di atas kepalanya, maka
meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru
benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat anak
panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta melambung
ke atas di bawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus ke udara.
Tetapi tepuk tangan Swandaru
itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah
maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh Agung
Sedayu itu, yang kini berdiri tepat di bawah sasarannya yang hampir mencapai
puncak ketinggian.
Dan ternyatalah sesaat
kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti di udara, dan sesaat pula sasaran
itu menukik turun dengan cepatnya.
Namun kembali Swandaru
terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang
secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat kemudian
kedua benda itupun seolah-olah beradu.
Anak panah Agung Sedayu yang
kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun
kemudian berputar seperti baling-baling di udara. Dua batang anak panah yang
saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari
sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat menguasai diri lagi. Dengan
cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak, “Gila,
bagaimana Tuan dapat melakukan itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung
pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap
melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu
akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum
sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya
dengan anak panahnya yang kesepuluh.
Sasaran itu terlempar beberapa
langkah, dan kemudian terjatuh di tanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret
oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru
itu hampir-hampir tak masuk di akalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu
sasaran yang sedang melambung di udara.
Seperti orang yang benar-benar
kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak
itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia berteriak,
“Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah Tuan lakukan.
Ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari
Sangkal Putung. Sebab Tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya.”
Agung Sedayu terkejut
mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan Swandaru,
bukankah kau telah berjanji?”
“Tuan terlalu merendahkan
diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari
keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu pasti
tak akan dapat melakukan seperti apa yang Tuan lakukan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Agung
Sedayu.
Namun Swandaru seolah-olah
sudah tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia
berlari ke arah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu,
Swandaru telah meloncat ke punggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu
dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang.
Agung Sedayu menjadi bingung.
Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak
panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru
itu tak akan dapat pulang ke kandang.
Tetapi yang terjadi, Agung
Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang
meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah di dalam benaknya, apakah
kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti
akan datang dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya.
Di dalam hati Agung Sedayu
itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan
beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini
pamannya sedang marah pula kepadanya. Namun ia sudah tidak dapat berbuat
sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang di balik rimbunnya dedaunan.
Yang tinggal adalah sebuah
kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup
angin yang sepoi-sepoi. Karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir
membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.
Swandaru itupun memacu kudanya
menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan kembali ke kademangan.
Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang
mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan di samping ayahnya
itupun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu di
hadapan ayahnya.
Ki Demang Sangkal Putung hanya
kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun di dalam hatinya, orang
tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya.
Karena itu, maka Ki Demang
Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap
Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu
dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ibunya, sehingga Sekar
Mirah itu mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti
yang dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil ke depan, jauh ke depan dari
pikiran wajarnya.
Widura berjalan saja tanpa
menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang
lalu lalang di sekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira pulang
dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati.
Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu.
Tetapi langkah Widura itupun
kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju ke arahnya. Dua
orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan
kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik perhatian orang-orang yang
sedang berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada di antaranya yang ikut
berhenti pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal
Putung.
Tetapi kedua orang itu
ternyata sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan. Dengan
tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat
kepada Widura.
Widurapun mengangguk pula.
Dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura,
senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian Widura
tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan
orang-orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa.
Widurapun kemudian tidak
bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua
orang itu adalah orang yang sedang bertugas berjaga-jaga di ujung kademangan.
“Perlombaan sudah selesai”
berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan.”
Kedua orang itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, mereka
berjalan di samping Widura ke kademangan.
Sidantipun melihat kedua orang
itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan
jauh-jauh di belakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi mereka
menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa.
Orang-orang Sangkal Putung
yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itupun kemudian meneruskan
langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang berkuda itupun
agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka sudah
terlambat.
Namun Widura yang segera ingin
tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka
tiba di kademangan. Karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik ia berkata,
“Ada sesuatu?”
Salah seorang dari kedua orang
berkuda itu mengangkat wajahnya. Sesaat ia memandang orang-orang berjalan di
sekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata, “Tak begitu penting,
meskipun harus mendapat perhatian.”
“Apakah itu?”
“Di antara beberapa orang yang
lewat di muka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik perhatian
kami.”
Widura mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Siapa?”
“Seorang yang barangkali hadir
juga menyaksikan perlombaan di lapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan kotor,
namun tongkatnya telah meyakinkan kami.”
“Tongkat baja putih?”
Orang itu mengangguk.
“Berkelapa kuning berbentuk
tengkorak?”
Sekali lagi orang itu
mengangguk.
Widura itupun menggeram.
“Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula.”
“Aku sangka demikian. Namun
kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang tersimpan
pada dirinya.”
“Kalian telah berbuat benar”
sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya.”
Prajurit berkuda itu
mengangguk. Katanya, “Kami berenam di dalam gardu kami. Seandainya kami harus
bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang dapat
kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itupun segera akan
lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati.”
“Benar” sahut Widura pula.
Kemudian katanya, “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kami menyangka demikian”
jawab orang itu.
“Aku juga menyangka demikian”
berkata Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang terjadi di sini, dan
sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita di sini.
Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak
muda Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan
prajurit Pajang di Sangkal Putung.”
Orang itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itupun saling berdiam diri.
Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin
meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan
dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung.
Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang di jalan berbatu-batu
di belakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang
yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itupun
menjadi cemas pula. Karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang,
seakan-akan melekat di tikungan jalan di belakang mereka.
Sesaat kemudian muncullah kuda
itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.
“Oh” hampir semua mulut
berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru itupun menjadi
terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti di jalan seakan-akan
sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang
kudanya, “Apakah yang kalian tunggu?”
Kuda Swandaru itu berhenti
beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak
memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya
kembali ke kademangan.
Ki Demang Sangkal Putung, yang
masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan anaknya. “Kau mengejutkan
kami, Swandaru.”
“Ah” sahut Swandaru. “Betapa
Ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidantipun sama sekali tidak
terkejut mendengar derap kudaku.”
Langkah Sidantipun terhenti.
Dengan wajah yang asam ia berpaling ke arah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan
kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan kehadirannya
sama sekali tak berarti baginya.
Swandaru melihat kemasaman
wajah itu. Karena itu maka hatinyapun menjadi semakin panas. Tiba-tiba
timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. Maka katanya
lantang, “Kakang Sidanti, berhentilah sebentar.”
Sekali lagi Sidanti berpaling,
kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam. Katanya, “Jangan ribut Swandaru.”
“Aku tidak sedang ribut“
jawabnya. “Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan
kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung.”
Kali ini Sidanti benar-benar
berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya.
Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda itu dengan
suara yang bergetar, “Apa katamu Swandaru?”
Ki Demang Sangkal Putung dan
Widurapun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi
cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung, “Swandaru, hati-hatilah dengan
kata-katamu.”
Swandaru tidak menghiraukan
kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap di atas punggung kudanya ia berkata, “Aku
berkata sebenarnya, bahwa Kakang Sidanti bukan pemanah terbaik diantara kita.”
Sidanti itupun menjadi heran
mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. Karena itu beberapa langkah ia maju mendekati
Swandaru. Katanya, “Ulangi Swandaru, dan apa alasannya?”
“Baik” jawab Swandaru. “Aku
ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, di lapangan
masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu.”
Dada Sidanti menjadi
bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak ada
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut
Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya.
Tetapi kini ia masih mencoba
menahan dirinya. Sedang beberapa orang lainpun melangkah mendekati mereka.
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan beberapa
orang lainnya.
Sekali lagi Ki Demang Sangkal
Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu.
Katanya, “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi di lapangan
menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan Angger Sidantilah yang kami
anggap sebagai pemenangnya.”
Swandaru tertawa. Jawabnya,
“Ternyata anggapan itu salah, Ayah.”
“Tidak bisa” sahut ayahnya.
“Kami semuanya menjadi saksi.”
Swandaru masih tertawa.
Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang di sekitarnya. Dilihatnya
beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. Karena
itu, maka Swandaru itupun berkata pula, “Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan
itu Kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia
bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung.”
Widura masih tetap berdiam
diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. Ketika tak dilihatnya Agung
Sedayu di antara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang dimaksud oleh Swandaru
itu. Dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah
dilakukan oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan
bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul
Sidanti dan mengatakan apa yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah
disetujui Agung Sedayu?
Sidanti telah hampir tak dapat
menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak, “Jangan banyak bicara Swandaru,
katakan siapa orangnya!”
Swandaru meredupkan matanya.
Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan
nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan disebutnya nama
itu. Katanya, “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu.”
Sidanti mendengar nama itu,
seperti suara guruh yang meledak di atas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi
tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar.
Tiba-tiba semua orangpun
menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun,
melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri di sekitarnya.
Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali ke palangan sambil menjinjing
busurnya. Namun demikian masih juga ia bergumam, “Bagus. Kita buktikan,
siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung.”
Beberapa orang yang kemudian
tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali ke lapangan. Mereka
ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.
Widura memandang dengan hati
yang berdebar-debar pula. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian
disadarinya, bahwa ia harus hadir pula di lapangan. Seandainya terjadi sesuatu
dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat mengatasinya.
Meskipun demikian, Widura itu
tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. Karena itu sebelum ia
pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu untuk segera kembali
ke gardunya, Katanya, “Kembalilah ke gardumu. Beritahukan kemudian gardu-gardu
yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat!”
Kedua orang itu mengangguk.
Jawabnya, “Baik. Akan segera kami lakukan.”
Demikian kedua orang berkuda
itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri
kebingungan, “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi.”
“Baik, baik” jawab Ki Demang.
Dan kepada Swandaru ia berkata, “Swandaru, kau selalu saja bikin perkara.
Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau
ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?”
“Kalau mereka ingin
bertanding, apa salahnya Ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan demikian kita
akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”
“Kalau ada yang ketinggalan
dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab Ki Demang.
Namun ia tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung
Sedayu adalah kemenakan Widura.
Tetapi Widuralah yang
meneruskan, “Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil
perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam
perlombaan itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila
itu dilakukan setelah perlombaan, maka tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan
padanya.”
Swandaru kini jadi terdiam. Ia
sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura.
Namun orang lainlah yang
kemudian berkata, “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu dapat
menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan
itu tak dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan
mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas
kemenangan itu daripada Sidanti.”
Widura berpaling ke arah suara
itu. Dilihatnya di belakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
berkata, “Kau benar kakang Citra Gati.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab, “Aku harus ada di antara mereka.
Pertandingan yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan memanah.”
Hudaya tersenyum masam.
Sahutnya, “Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi di luar arena yang
seharusnya? Kalau kali ini Kakang masih mencegahnya, maka itu hanya akan
berarti menunda-nunda penyelesaian.”
Di dalam hatinya Widurapun
membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas di dalam kepalanya,
bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-orangnya sibuk
dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu
tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu
pasti akan di dengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang
dua orang dari laskar Jipang masih ada diantara mereka dan menyaksikan
perselisihan itu.
Hal inilah yang tak
terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya menuruti
perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah
benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa
peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui.
Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut.
Karena itu, kali inipun Widura
menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas, “Tak
akan ada perkelahian di antara kita.”
Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata
lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat mereka saling
berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika ia melihat Citra
Gati mengangkat bahunya.
Ketika mereka melihat Widura
melangkah kembali ke lapangan, mereka itupun mengikutinya pula. Sedang Ki
Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya,
“Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu.”
Swandaru menundukkan wajahnya.
kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak
menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun juga. Barulah kini ia
dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi.
Dan sebenarnya hatinyapun
terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu. Namun
ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun kemudian turun dari kudanya dan
dituntunnya kuda itu berjalan di belakang ayahnya.
Sedang Sekar Mirah ternyata
berjalan jauh mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan di belakang Sidanti
di antara beberapa orang lain yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang
kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja
selesai.
Bahkan beberapa orang sudah
mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap sebagai
pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang namanya
menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal
sebagai seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan
melawan Macan Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang
pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.
Keduanya kini akan berhadapan
dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.
Sidanti sendiri yang berjalan
paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang itu,
dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula ia
berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apapun dengan Agung Sedayu.
Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan
itu. Namun tiba-tiba di belakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi
bersakit hati. Kini biarlah dibuktikan siapa di antara mereka berdua yang
berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di Sangkal Putung.
Kabar itu, kabar tentang Agung
Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung.
Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. Beberapa orang
berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka dan
keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai di rumah, untuk
menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui
pertandingan yang baru saja selesai.
Beberapa saat kemudian Sidanti
itupun menjadi semakin dekat dengan lapangan di muka banjar desa, sejalan
dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka iapun
semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu
loncatan yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Di lapangan, Agung Sedayu
berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam
dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga lututnyapun menjadi
gemetar.
Ternyata Swandaru tidak
menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak seperti yang diharapkan.
Karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak
menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian ia
menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun serasa berdentangan, ketika
ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat.
Dan ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya.
Dari balik rimbunnya
daun-daun, dari balik dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu.
Berbondong-bondong dan kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan.
Darah Agung Sedayu itupun
hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, di ujung iring-iringan itu berjalan
seorang yang sangat menakutkan baginya. Sidanti.
Dan Sidanti itu langsung
berjalan ke arah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa,
seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.
Tetapi hati Agung Sedayu
itupun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya
datang pula ke lapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi.
Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas
dirinya.
Sidanti itupun kemudian
berhenti hanya beberapa langkah saja di muka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang
dipandanginya wajah Agung Sedayu.
Agung Sedayu masih saja
berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun dicobanya juga
menguasai dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang
memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal
Putungpun berdiri di lingkaran itu pula.
Hanya Swandarulah yang berdiri
agak jauh, namun wajahnya masih saja tampak memancarkan kebanggaannya atas
Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya.
Ditariknya bibirnya kesamping dan kemudian ia tersenyum.
Betapa menyesal Agung Sedayu
melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini
yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang semakin lama
menjadi semakin banyak.
Seperti guruh menggelegar di
langit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau, “Adi Agung Sedayu.
Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru. namun ia mengumpat di
dalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab, “Aku tidak berbuat apa-apa
Kakang Sidanti.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Kemudian anak muda itu tersenyum masam. “Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak
turut saja berlomba?”
“Aku tidak berhasrat” sahut
Agung Sedayu.
“Tetapi kenapa kau membuat
kericuhan setelah pertandingan selesai?”
“Apakah yang aku lakukan?”
Mata Sidanti menjadi semakin
menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya
juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. Tetapi lutunyalah
yang terasa bergetaran.
Meskipun demikian Agung Sedayu
tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua
perbuatannya. Kata-katanya dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia
adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum pernah dibantahnya.
Apalagi ketika dilihatnya di sampingnya Sekar Mirah berdiri dengan wajah yang
cerah. Kepada gadis itupun telah banyak diceritakannya tentang perjalanannya ke
Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia berdua
bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda dan Pande Besi dari Sendang Gabus. Betapa
dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang di antaranya dan
cerita-cerita lain yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya.
Kini ia dihadapkan pada satu
pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya yang
gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.
Dan kemudian terdengar Sidanti
berkata pula dengan suara yang lantang, “Kau telah menyuruh Swandaru
berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan
pemanah terbaik di Sangkal Putung.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. Dan Agung Sedayu itupun
menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun Agung Sedayu itu
kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak menyuruhnya. Dan aku
tidak berbuat apa-apa.”
Semua orang yang mendengar
jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang
berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya
kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan.
Swandarupun merasakan
pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia menjadi
bingung. Kenapa Agung Sedayu tidak saja mengakuinya dan kalau perlu membuktikan
di hadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya
sedemikian?
Namun tiba-tiba Swandaru
itupun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran orang yang
berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia
berlari-lari untuk memungut sesuatu yang tergolek di lapangan itu.
“Inilah!” teriaknya “Aku akan
dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku masih
tertancap di sini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak muda itu telah
mengenainya tiga kali di udara. Ya tiga kali di udara.”
Semua mata memandangi bekas
kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada
benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak panah
mengenai satu sasaran yang terbang di udara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara
Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan
gemuruh.
Tepuk tangan yang gemuruh itu
benar-benar telah menyalakan bara di dada Sidanti. Selangkah ia maju, dan
terdengarlah ia berkata lantang, “Bohong! Adakah kalian melihat, bagaimana
caranya ia mengenainya?”
Suara yang gemuruh itupun
berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah
maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan Agung Sedayu
berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari mereka
itu.
Betapapun juga, Widura itupun
berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat
sesuatu. Karena itu maka katanya, “Tak ada pengaruh apapun atas perlombaan yang
sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-permainan
yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan
mempengaruhi perlombaan itu.”