Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-004

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-004 Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian.
Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian.

Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata, “Widura, orang-orang seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya.”

Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada suatupun yang dapat dilakukannya.

Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan, “Apabila kelak Sidanti akan sampai di tempat itu, maka kaupun akan ikut serta mukti pula bersamanya.”

Widura menggeleng tegas. Jawabnya, “Biarlah aku di tempatku. Apapun yang akan aku alami.”

Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya, “Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”

Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab, “Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain.”


“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau tetap pemimpin laskar di Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti yang akan diberikan terus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari perintah-perintahnya. Tetapi di mata para prajurit itu, kau tetap seorang pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”

Sekali lagi Widura menggeleng tegas. “Tidak” jawabnya.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa kau akan tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”

Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang yang kecil di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang dikatakannya. Meskipun demikian Widura menjawab, “Kiai pasti akan mampu melakukannya. Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan Sidanti. Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan disini?”

Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya di antara derai tawanya, “He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri.”

Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia lupa, dengan siapa ia berhadapan. Hampir berteriak ia membentak, “Cukup!”

Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata terus, “Apakah kau sangka bahwa setiap mahluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya?”

“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.

“Tidak” bantah Widura. “Tetapi aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa yang sudah terjadi.”

“Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? Apakah mereka berani melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?”

“Tentu.”

“Aku akan dapat membunuh mereka semua”

“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang Perwira Tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau Adipati Pajang sendiri?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu dengan senjata pemukul.”

Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya di bawah kain panjangnya. Besi itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki. Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Hem, bukankah orang yang bersenjata pemukul itu seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan hampir diseluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu.”

Getar di dalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian sama sekali tak terlintas di dalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti, menebus nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang.

Demikianlah maka sesaat mereka berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti tonggak-tonggak yang kaku.

Yang mula-mula menyobek kesepian adalah Ki Tambak Wedi. Katanya, “Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?”

Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.

“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau kau mati, aku akan berusaha Sidantilah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti.”

Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu. Namun kali inipun ia tidak menjawab. Baginya, sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan adalah menunggu apa saja yang akan terjadi.

Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan mendekati Widura sambil berkata, “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu, sehingga orang benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik Tohpati itu.”

Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Gila. Apakah kau akan melawan aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu.”

Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi, Untara. Katanya dalam hati, “Mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti yang gila ini.”

Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar berkepanjangan.

Tetapi tiba-tiba suara tertawa itupun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan Sidanti.

Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-daun kuning yang tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah menggetarkan dada mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti.

Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun menjadi liar.

Dalam ketegangan itupun sekali lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu.

Mata Ki Tambak Wedi itupun menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak, “Dahsyat. Kekuatan orang itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu.”

Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu.

Ki Tambak Wedi itupun kemudian menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Ayo, kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi.”

Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan itupun tak terdengar lagi.

Mengerutkan keningnya Ki Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi.

Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan di dalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu. Ia tidak akan takut berhadapan dengan setiap orang bagaimanapun saktinya. Ki Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja dalam pertempuran seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa kanak-kanaknya, Sejak ia masih bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan, sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri.

Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan hadir sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yang menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu. Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui kebohongannya.

Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya, “Setan itu ternyata berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang mengganggu jalan Sidanti. Meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah melepaskan tuntutannya. Biarlah kali ini kau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan.”

Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran lecutan yang dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.

“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.”

Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang hampir menggugurkan isi dadanya. Kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan niatnya.

Untuk sesaat Sidanti pun menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Keadaan itu sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup, apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit.

Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertany,a “Guru, apakah guru akan memaafkan kakang Widura?”

“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar.”

“Kenapa guru masih memberinya waktu?”

“Ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah aku katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu jalanmu Sidanti.“

“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”

“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya gurunya. “Kau merasakan getaran di dadamu? Nah, itu pertanda bahwa orang itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri dari tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih tampak diwajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu. Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorangpun yang berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa tak seorangpun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik dari Widura.

Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura. Aku masih akan membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti, supaya aku tidak datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal lehermu dan seluruh laskarmu.”

Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara Pajang dan Jipang. Ia dapat berada di mana saja yang dapat memberinya keuntungan. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat berbahaya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi pula, “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”

Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum Sidanti menjawab, terdengarlah Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang masih digenggamnya ke arah kaki Widura.

Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki Tambak Wedi itu menghilang di balik pepohonan. Ia masih akan mencoba mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa belum pasti ia akan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun melepaskan maksudnya.

Sidanti dan Widura masih tegak di tempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi yang tergeletak beberapa jengkal di muka kakinya ia terkejut bukan buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga hampir menjadi sebuah lingkaran.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan yang tidak ada taranya.

Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa pendek. Desisny,a “Apa kau heran Kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya? Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”

“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku.”

Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik ke sisi ia berkata, “Sejak saat ini kau jangan terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima hari ini saja.”

Widura menggeleng. Sahutnya “Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang. Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan Pajang.”

Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya, “Marilah kita pulang. Setelah Kakang Widura beristirahat mungkin Kakang mempunyai pertimbangan lain.”

“Pulanglah dahulu” sahut Widura. “Aku masih mempunyai pekerjaan.”

Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau merajuk. Karena itu ia menjawab, “Baiklah aku pulang dahulu.”

Sidanti kemudian tidak menunggu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya. Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.

“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati. “Namun aku yakin bahwa ia tidak akan berani mengganggu aku lagi.”

Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan ditempuhnya. “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula, “Kalau ia terbunuh, tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin Widura pun kini akan berdiam diri.”

Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah di wajahnya, seorang gadis yang manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan.

Widura yang masih tegak di tempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan yang terakhir kalinya menjelang fajar.

Perlahan-lahan Widura itupun menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya. Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam, “Aku tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat karenanya.”

Perlahan-lahan Widura itupun melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk berjalan bersama-sama dengan Sidanti. Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu. Dan kini iapun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan.

Ketika sekali ia menoleh, dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang segar.

Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya. Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit di hatinya. Dan ia tidak mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk membicarakan kesulitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun tidak. Sebab dengan demikian Demang Sangkal Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati dan orang lainpun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang lebih besar dan jauh.

Karena itu pikiran Widura itupun menjadi suram. Namun betapapun juga, dicobanya untuk mengatasi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya.

Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok ke kiri. Ia terkejut sendiri atas langkahnya. “Hem” gumamnya. “Akan kemanakah aku ini?”

Tetapi ia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke Gunung Gowok. Ia tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya. Namun, karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap malam ditemuinya di Gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri di dalam hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah permainan yang menyenangkan saja.

“Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?” gumamnya.

Tetapi kemudian iapun sadar, bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan mentertawakannya, dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat di dalam hati. Namun kali ini ia benar-benar ingin menemuinya.

Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada di sana? Hampir setiap malam ia datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus.

Di perjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat yang telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan di dalam dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang melakukannya?

Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi merubah rencananya?

Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada di hadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya pohon kelapa sawit tegak di atas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati parit dan berjalan di atas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia terlonjak karenanya.

Dekat di belakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang hampir saja menggugurkan isi dadanya.

Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran didalam dadanya masih terasa memukul-mukul tak henti-hentinya.

Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya.

Tetapi ia masih belum melihat seorangpun di sekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya masih melekat di hulu oedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran di dalam dadanya mereda, Widura itupun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih kembali.

Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring.

Dengan serta-merta Widura itupun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk di atas pematang di antara batang-batang padi muda. Dan Widura itupun segera mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.

“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku.”

“Oh” sahut Kiai Gringsing “Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura apakah kau bisa berbuat seperti aku?”

Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula.

Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya, “Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut tiga kali?”

Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya, “Aku sedang bermain-main.”

“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.

“He?” Kiai Gringsing terkejut. Katanya, “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan jiwamu?”

Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama. Karena itu maka iapun telah dapat mengerti seba sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya, “Suara lecutan itu telah menakut-nakuti orang yang akan membunuhku.”

“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu.

Widura kini benar-benar mengumpat di dalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula, “Ya Kiai.”

“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu bertanya.

Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang menyumbat dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu. Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-kesulitannya.

“Kiai” katanya. “Aku ternyata mempunyai banyak persoalan-persoalan di sini. Persoalan di dalam lingkungan sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang.”

Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya, “Kau benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku.”

“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.

“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu.”

Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi di balik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.

Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu pula, “Nah, cobalah.”

Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.

“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing. “Berikan cambuk itu” mintanya.

Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak jantungnya.

Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Jangan marah Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya.”

Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Kiai, aku juga mempunyai permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”

Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi di tangan Widura itu dengan seksama.

Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.

“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing.

Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata, “Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi.”

Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau diguling-gulingkan?”

Sekali lagi Widura mengumpat di dalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu.

Meskipun demikian, ia menjawab, “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti Ki Tambak Wedi. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu.”

Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu. Inilah.”

Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apapun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu ke arahnya sambil berkata, “Terimalah.”

Dengan gerak naluriah Widura melangkah ke samping. Potongan besi itu tepat mengarah ke mata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya.

Namun ketika kemudian ditatapnya potongan besi yang kini tergeletak di sampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan di bawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. Dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya.

Namun potongan besi itu kini telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya di dalam hati. “Meluruskan potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya.”

Sebelum getaran di dalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata, “Nah Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang di tangan atau kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel di kaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun.”

Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya, “Kiai, ternyata Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi.”

“He?” orang bertopeng itu terkejut. “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”

“Kiai telah berhasil meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan kekuatan yang tersimpan di dalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari melengkungkannya?”

Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Di antara derai tawanya itu terdengar ia berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah kau sudah kawin?”

Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu mendesaknya, “He Widura, apakah kau sudah kawin?”

“Sudah Kiai” jawab Widura.

“Sudah punya anak?”

“Sudah Kiai, seorang.”

“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya. “Kalau belum, kau akan aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan.”

Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat di dalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya.

Namun ia masih dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil meluruskan besi yang melengkung itu.

“Kalau demikian,” katanya dalam hati, “apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain dirinya di daerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu.”

Tetapi Widura kemudian terkejut ketika di kejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ke timur, membayanglah warna-warna semburat merah di atas garis cakrawala.

“Hampir fajar” desisnya.

Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. Kemudian katanya, “Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng yang kesiangan.”

“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.

Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula di tempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang diri.

Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak,“Kiai, berhentilah!”

Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari ke arahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya.”

“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku. Sekarang belum.”

“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang.”

“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan.

Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata, “Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”

Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing.

Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari di sepanjang pematang, melingkari Gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin jauh.

Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung di atas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling, dilihatnya di kejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya, “Besok kita bermain-main lagi di gunung kecil itu Widura.”

Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula. Gumamnya, “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya.”

Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah di atas pematang menuju jalan kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali ia merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang aneh itu.

Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai di kademangan.

Warna-warna merah di ujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap di balik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang kedinginan.

Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai di kademangan sebelum hari menjadi terang.

Ketika Widura itu hampir sampai di regol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol di muka regol itu, lebih banyak dari yang seharusnya.

Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak, “Itulah Ki Widura telah datang.”

Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Di muka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang senjata mereka masing-masing.

“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.

Citra Gati itupun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ternyata kami hanya berprasangka.”

“Tentang apa” bertanya Widura pula.

Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera memalingkan wajah ke arah lain.

Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah, “Kami berprasangka atas Sidanti.“

“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula.

Sekali lagi Citra Gati berpaling ke arah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih bergemerlapan di langit. Karena itu ia menjawab sendiri, “Kami mengetahui bahwa Kakang pergi bersama Sidanti. Namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika ada di antara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami.”

Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada di antara mereka. Bahaya yang setiap saat dapat meledak.

Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan di antara mereka agaknya sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan di belakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampai terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan.

Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin terjadi.

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri di seputar Widura. Sehingga dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya. “Nah, kembalilah kalian ke tempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang kembali utuh”.

Namun didalam hatinya Widura itu berkata, “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah kira-kira yang dapat timbul di kademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?”

Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri di muka regol itu masuk ke pringgitan.

Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.

Widura itupun segera pergi ke pembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.

“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.

“Sudah Paman” jawab Agung Sedayu.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya ke langit, terdengar ia bergumam, “Hampir fajar.”

Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya untuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.

“Marilah Paman” katanya. “Mumpung masih hangat.”

“Terima kasih Mirah” sahut Widura.

“Apakah Kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat, “Tidak, Mirah.”

“Ah, hari cerah. Apakah Kakang dapat mengantarkan aku ke warung sebentar?” ajak gadis itu.

Sekali lagi Sedayu menggeleng. meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi. Namun ia tidak berani melakukannya. Karena itu jawabnya, “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini.”

Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas di hadapannya.

Meskipun demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya. Katanya, “Aku harus berbelanja untuk kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti di jalan.”

Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata, “Mirah, jangan takut kepada Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”

Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-katanya Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti.

“Aneh” katanya dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?”

Meskipun demikian ia tidak berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.

Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu masih dapat menghibur dirinya. “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada pamannya.”

Pagi itu, Sekar Mirah pergi ke warung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan di sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kew arung di ujung desa.

Widura dan Agung Sedayu yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. Sambil duduk di samping Widura terdengar ia berkata, “Hampir semalam suntuk Adi berkeliling malam ini.”

Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya Kakang.”

“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya Ki Demang itu pula.

Widura menggeleng. “Tidak Kakang.”

Ki Demang Sangkal Putung itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak Adi Widura berminat pula?”

“Ya” sahut Widura. “Aku senang dengan rencana itu.”

“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.

Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan apapun Sidantilah yang akan memenangkannya.

Namun akhirnya ia menjawab, “Baiklah Kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga dan seterusnya.”

Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.

“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya Ki Demang.

Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang di telinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.

Karena itu maka katanya, “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”

“Sudah lama mereka mempersiapkan diri“ jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran di atas kuda dan bermacam-macam lagi.”

“Bagus” sahut Widura.

Namun kemudian terlintas di dalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain.

Karena itu, maka kemudian jawabnya, ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata.”

Ki Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah Adi. Aku sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”

Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya, “Secepatnya Kakang.”

“Besok?” bertanya Ki Demang.

“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.

“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah Adi?”

“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap.”

Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. Katanya, “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit.”

Widura pun kemudian tersenyum pula.

Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata, “He Paman Hudaya, kenapa Paman tidur disitu?”

Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia menjawab, “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun.”

“Kenapa? Apa Paman sedang bertugas?”

Hudaya menggeleng. “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”

Swandaru tertawa pula. “Mimpi apa?”

“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.

Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling ke arahnya. Ketika mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa.

Tetapi sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang kemudian tertawa di dalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat di mukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.

“Apa kerjamu di sini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.

Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti mendengarnya, “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada di rumahku sendiri?”

“Hus!” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok di tanah lapang di muka bajar desa.”

“He?” Swandaru menjadi sangat gembira. “Besok, Ayah?”

“Ya.”

Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari ke banjar desa di mana kawan-kawannya sering berkumpul.

Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal Putung itu.

Sidantipun mendengar kabar itu. Di sudut pendapa, di tempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati, “Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”

Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang siur dengan tergesa-gesa.

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan besok di muka banjar kademangan.

Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran dengan kapur di tengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula.

Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa anak buah Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habis-habisnya. Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali di panas yang terik, membuat pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu banyak yang harus mereka kerjakan.

Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka. Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum- senyum sendiri sambil bergumam, “Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari penonton.”

Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.

“Biarlah” katanya dalam hati. “Akupun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan yang mengasyikkan.”

Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan berbagai persoalan di dalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan turun ke arena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.

Meskipun demikian, Widura tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung sibuk dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya di segenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati. Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar bersiap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka malam itupun Widura telah bersiap untuk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak tahu pula, mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula kembali seperti malam-malam sebelumnya.

Seperti biasanya, setelah mereka berkeliling di semua gardu-gardu perondan, maka mereka berdua pergi ke tempat mereka berlatih, Gunung Gowok. Di sepanjang perjalanan itu, hampir tak ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saja yang pernah terjadi, dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya.

Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai ke puntuk kecil itu, terdengar Widura berkata, “Sedayu, apakah kau tidak ingin ikut serta berlomba?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Terjadilah suatu kesibukan di dalam dadanya. Ia merasa, bahwa iapun mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin dilakukan oleh orang lain.

Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum berhasil melampaui dinding yang memagari jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak dapat melakukan dengan pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya. Ia takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia tidak lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur di dalam dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.

“Sedayu” akhirnya terdengar pamannya berkata. “Aku telah mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan prasangka di antara anak buahku. Selain itu, aku telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang mereka bangga-banggakan.”

Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya.

Kata-kata pamannya itu benar-benar telah menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang akan diambilnya. Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti adalah seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu, meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaki, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu akan dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar di tengah arena, diiringi dengan teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.

Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, “Aku tidak ikut dalam perlombaan apapun Paman.”

Widuralah yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan timbullah berbagai pertanyaan di antara anak buahnya. Karena itu ia berkata, “Sedayu, bukankah kau masih pandai melepaskan panah?”

Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar Widura mendesaknya, “Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat ikut dalam perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya.”

Berbagai persoalan kini saling mendesak di dalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya yang ditakutinya dalam perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya, namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak muda yang perkasa itu mendendamnya.

Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab, “Aku tidak ikut Paman.”

“He?” Widura menjadi semakin tidak mengerti. “Perlombaan memanahpun kau tidak berani?”

“Aku sedang berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan Sidanti menjadi semakin bersakit hati” jawab Sedayu.

“Hem” terdengar Widura menggeram.

Hampir ia tidak dapat menahan kejengkelannya. Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau malahan sudah dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama diusirnya dari Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini alasannya bisa juga dimengerti.

Akhirnya mereka sampai juga di Gunung Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam satu latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir merupakan pertempuran yang sebenarnya.

Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak menyangka bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu hanya menganggap bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih maju dari yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa pamannya akan marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak maju-maju juga, maka Agung Sedayu itupun kemudian mencoba melayani pamannya dengan sepenuh tenaga pula.

Demikianlah maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya datang bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya benar-benar terkena oleh serangannya.

Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya. Demikian ia memperketat serangannya, maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat. Bahkan untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya pula dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka Agung Sedayupun telah memeras hampir segenap kemampuannya. Kemampuan yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam ilmunya, seperti kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan oleh pamannya itu, semakin heranlah dada Widura dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-unsur gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau lewat dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihan-latihan melawan Kiai Gringsing di Gunung Gowok itu.

“Aneh” berkata Widura didalam hatinya. “Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?”

Namun Widura itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini Widura telah sampai kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah dimengertinya sebelumnya.

Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayupun cukup kuat pula. Apabila sekali-sekali terjadi benturan di antaranya, maka terasa juga tubuh pamannya itu bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu itupun hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu.

Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap mangsanya di udara.

Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu semakin lama menjadi semakin sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya, namun sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga.

Widura melihat keadaan itu. Justru karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi dari ilmu kemenakannya.

Tiba-tiba latihan yang keras itupun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung Sedayu mendengar suara tertawa dengan nada yang tinggi.

Segera mereka mengenal suara itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan sambil memuji, “Bagus Sedayu, ternyata muridmu itu menjadi bertambah terampil juga akhirnya.”

Gerak Widura itupun kemudian terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur sambil berkata, “Sudahlah Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini.”

Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak lama ia menahan diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.

Dengan demikian latihan yang berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan kepalanya Widura berkata kepada Kiai Gringsing, “Selamat malam Kiai.”

“Kenapa latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.

Widura menarik nafas. Jawabnya, “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Syukurlah kalau kau selalu tekun dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat menandingi Tohpati.”

“Mudah-mudahan Kiai” sahut Widura.

Tetapi Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika Kiai Gringsing itu berkata, “Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku melihat ia berjalan mendekat tikungan di sebelah.”

“He?” bertanya Widura tersentak. “Adakah Kiai melihatnya ditikungan itu?”

Kiai Gringsing mengangguk. “Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya.”

“Jadi apakah mereka melihat kita berlatih disini?” bertanya Widura pula.

“Aku kira tidak” sahut Kiai Gringsing. “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat di bawah Gunung Gowok ini.”

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya.”

Dalam pada itu Widura menjadi gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia akan dapat mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun apabila demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung.

Tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan yang akan diadakan besok.

“Gila” Widura mengumpat di dalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang aku sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja, supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”.

Kembali berbagai persoalan telah menyesakkan dada Widura. Persoalan antara laskarnya dengan laskar Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu akan pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya.

Dalam kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu berkata dengan gemetar, “Paman, marilah kita kembali ke kademangan.”

“Kenapa?” bentak Widura.

Ketika ia berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi Widura itu tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura itu menjadi marah ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan jujur, “Paman, apakah yang akan terjadi dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui kehadiran kita di sini?”

“Persetan dengan Macan Kepatihan” sahut Widura.

Namun kata-kata Widura itu terputus oleh kata-kata Kiai Gringsing. “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar tingkatan ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan membawamu ke jalan keselamatan.”

“Aku bukan pengecut!” teriak Widura. “Aku akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan setiap gardu peronda, bahwa bahaya berada di ujung hidung mereka.”

Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali lagi atas gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu dengan Tohpati itu semakin besar. Di sudut-sudut desa, di prapatan-prapatan di tengah sawah, atau di tikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh di dalam hatinya.

Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing sambil tertawa, “He, kau benar-benar berani Widura, seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi.”

Tiba-tiba pandangan mata Widura itupun terbanting di atas rerumputan liar di bawah kakinya. Teringatlah ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam kemarin. Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia tidak melawan Tohpati itu seorang lawan seorang.

Karena itu ia menyesal atas kekasarannya. Maka katanya sambil menganggukkan kepalanya, “Maafkan aku Kiai.”

“He?” sahut Kiai Gringsing. “Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu.”

Sekali lagi Widura mengumpat di dalam hatinya. Namun katanya, “Ya ya. Aku akan minta maaf kepadanya.”

“Bagus” berkata Kiai Gringsing. “Kau harus selalu menuruti nasehat gurumu. Di rumah, gurumu pasti akan memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu. Mungkin tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu itu memerintahkan kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong. Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam ini. Besok aku akan nonton perlombaan yang kau adakan.”

Dada Widura berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah pergi dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku di tempatnya.

Tetapi, tergoreslah di dalam jantungnya, peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu peringatan kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Tohpati.

Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya ketenangan, meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahan ia masih berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung, yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat perlawanannya dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih dapat dipergunakannya sebaik-baiknya.

Tetapi bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib Sangkal Putung apabila Tohpati menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan kepalanya ketika terlintas di dalam benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya kembali apabila Ki Tambak Wedi akan membunuhnya.

“Tidak” katanya dalam hati. “Aku tidak akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan datang. Aku harus memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah di dalam benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal Putung benar-benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan datang untuk melawan Tohpati, lebih-lebih Ki Tambak Wedi.

“Hem” gumamnya. “Apabila besok aku belum menemukan cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan sendiri menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira Nara Manggala Demak, guru Loring Pasar.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia memandang wajah Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati meskipun dengan perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut banyak di atas ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya mampu menarik pedang dari sarungnya.

Karena itu Widura tidak berkata sepatahpun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke kademangan.

Sedayupun kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya itu benar-benar marah kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi bersedih hati. Ia tidak berani berkata apapun kepada pamannya selain berjalan saja di belakangnya.

Di sepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu gabungan yang serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu berlatih di dalam pringgitan yang tak begitu luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun ia tidak mau menanyakannya. Ia hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri atas teka-teki itu.

Demikian mereka sampai di kademangan, Widura langsung melepaskan pakaiannya dan merebahkan dirinya di pembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan kepada Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu itupun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran dikepalanya untuk besok mengikuti pertandingan memanah.

“Paman marah karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati. “Atau karena hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya”.

Namun ia kembali menjadi ngeri membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula. “Biarlah paman marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap Sidanti itu.”

Sedayupun kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur pula dengan nyenyaknya.

Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia menunggu kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. Apakah ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu.

Perlahan-lahan Widura itu bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian Sedayu yang diberikannya olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu daripadanya.

Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal itu, demikian dadanya bergetar. “Inilah sebabnya” gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata bela diri. Di dalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang menyalakan keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya. Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik ketakutan belum dapat dipecahkannya.

Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara untuk mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan yang keras.

Di dalam rontal-rotal itu Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap gerakan. Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya di belakang gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk menggabungkan gambar-gambar yang terdahulu.

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-angannya selain latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana dipelajarinya.”

Dan Widura itu tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu cara memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas. Sikap, gerak dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk menghindarkannya.

Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan dan ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat, namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah.

Tiba-tiba timbullah pikiran di dalam benak Widura. Katanya dalam hati, “Ah, biarlah pada suatu kali, anak ini mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung Sedayu sempat mengayunkan tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu akan dapat bertahan beberapa lama sampai saatnya aku memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-tidaknya perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang seimbang. Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya Agung Sedayu akan menjadi seorang yang jantan dan berani.”

Kemudian dengan hati-hati pula rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ke tempatnya. Dan dengan hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan ke pembaringannya, dan sesaat kemudian pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur pula.

Malam yang tinggal sepotong itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah menyusup ke dalam dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu selain keinginannya untuk mengetahui keadaan.

Namun Macan Kepatihan itupun mengumpat di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada kedua pengawalnya, “Paman Widura benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apapun peronda-perondanya tak pernah berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan diadakan besok? Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga aku tak sempat menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada saat-saat perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat.”

Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang sedang bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka berjalan hilir mudik di muka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang mereka yang sudah telanjang.

“Tetapi,” berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya, “mudah-mudahan setelah perlombaan itu berakhir, laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga aku menjumpai kegagalan yang menyedihkan.”

“Persiapan kita akan sangat mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi Pajang segera menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.

“Kita akan meninggalkan cara-cara yang pernah kita lakukan“ jawab Tohpati. “Aku akan membawa kalian dan orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang mengetahuinya, kecuali di antara kita ada pengkhianat atau justru orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil masuk ke dalam lingkungan kita.”

“Kemungkinan itu kecil sekali” sahut pengawalnya.

“Kau benar” berkata Tohpati pula. “Aku mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau demikian, aku akan berbuat seperti Paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum laskarnya terpencar ke segenap penjuru.”

“Kapan kita adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya.

“Secepatnya” sahut Tohpati.

Kemudian mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan di daerah perondan laskar Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu perondan. Dengan otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah yang sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan apabila Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang dibuatnya.

Sejak ia menginjakkan kakinya di daerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya.

Orang itu adalah Kiai Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi ke Gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada di sana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan ke sana pula. Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri melawan tiga orang yang jauh berada di atas kemampuannya.

Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur nyenyak di kademangan Sangkal Putung, dan Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.

Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Lebih-lebih lagi, mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan.

Mereka mengenakan pakaian mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keloncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula di antara mereka yang membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan rangkaian bunga itu di lehernya, di leher kuda-kuda mereka dan pada senjata-senjata mereka.

Demikianlah, hari itu Sangkal Putung ditandai dengan kesibukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan di muka banjar desa. Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan jauh berbeda.

Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu. “Jangan seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap saat dan disetiap tempat.”

Perintah itu agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena di daerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus diperkuatnya.

Demikianlah maka lapangan di muka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar di tengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan bermain dengan manisnya di atas punggung kudanya.

Tepuk tangan penonton itupun seakan-akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk ke lapangan dengan tombak di tangan, bumbung panah di lambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang di punggungnya. Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itupun segera nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda itupun segera nyongklang, berlari keliling lapangan.

Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk melepaskan kejemuan mereka, banyak juga di antara mereka yang mengikutinya.

Widurapun kemudian hadir pula di lapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar di lapangan itu.

Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan di dalam hati mereka. Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik, “Apakah pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”

Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab, “Tak sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut serta apabila perlombaan semacam ini diadakan di alun-alun Pajang.”

Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk di akalnya.

Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk di tempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende di sudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan kemudian tiga kali.

Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ke tengah lapangan, memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.

Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali tidak terasa pedihnya.

Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itupun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika di arena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, bernama Wisuda.

Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai membahana di udara Sangkal Putung.

Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan setiap sentuhan rotan itu di tubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh di bagian atas perut tetapi di bagian bawah leher.

Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.

Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak berpenghuni.

Setelah mencocokkan hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati, “Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek, bernama Swandaru.”

Langit seakan-akan runtuh di atas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya, “Sebutlah selengkapnya Paman, Swandaru Geni.”

Citra Gati tersenyum. Ketika ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya, karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri.

Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati, “Swandaru itu pasti akan menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk melakukannya.”

Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk di punggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Di antara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dari kuda-kuda mereka.

Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai lapangan di muka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap dari anak-anak muda Sangkal Putung.

Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.

Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan pandangannya ke segenap sudut. Di antara perhatiannya atas permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara para penonton yang sekian banyaknya.

Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk menemukan seorang di antara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing memang banyak digemari orang.

Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh anak buah Widura. Bahkan seorang anak muda yang sudah lama dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti.

Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat sesuatu?

Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut Swandaru menyelinap di antara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya. Katanya berbisik, “Apakah Tuan tidak ikut serta?”

Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru.”

Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan ini.

Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah Widura. Di antaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.

Di hadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari leher, dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali.

Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah di antara para pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya.

Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi di antara mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan apabila panah mereka mengenai bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.

Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton bersorak-sorak kembali ketika anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher sasaran. Tiga nilai.

Maka penontonpun berteriak-teriak pula, “Tiga, tiga!”

Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena anak panah itu mengenai bandul.

“Habis, habis!” teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.

Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan ke luar lapangan. Namun iapun menjadi geli juga. Karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.

Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga diantara mereka yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak dua di antaranya yang dapat mengenai sasarannya.

Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka penontonpun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan dua kemenangan berturut-turut di dalam arena pertandingan itu. Karena itu, maka di antara penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka.

Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh di sekitar arena. “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit”

Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran.

Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya.

Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit saja, maka anak panah itu akan hinggap di kepalamu.”

Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan perlombaan itu. Namun ada pula di antaranya yang tidak lebih tepat dari anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat. Ia dapat mengenai perut lawannya di medan-medan pertempuran. Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang harus dikenainya sebagai sasaran.

Tetapi ternyata Hudaya adalah pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia menarik busurnya untuk yang ketiga kalinya, dengan berdebar-debar penonton menanti.

Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap di kepala. Dengan demikian ketegangan di arena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima inipun akan mengenainya pula.

Dan lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah pembidik yang baik.

Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati ke tengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya. Katanya, “Hudaya, ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat berbuat lebih baik daripadamu.”

Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. Ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala.

Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya yang lain.

Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak penonton. Anak panah itupun hinggap di kepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar.

Ketika ia memasang anak panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan berkata, “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali.”

“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.

Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan di ujung lapangan.

Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia membidikkan anak panahnya yang kelima.

Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang tidak dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda ke udara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasaran. Kepala.

Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata, “Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku.”

Citra Gati tidak menjawab. Perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.

Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ke tengah-tengah lingkaran, maka para penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam, pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti.

Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah melakukannya.

Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sambil mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itupun meluncur menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga dengan langsung hinggap di kepala orang-orangan.

Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak keras-keras.

Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah inipun menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling ke arah Sekar Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap di sasarannya, dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya.

Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tangan karena orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar di wajahnya.

“Persetan dengan anak itu” gerutunya di dalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun ke arena.”

Sidanti puas dengan kata-kata di angan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-jadinya di lapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat di kepala orang-orangan itu pula.

Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju ke arena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata, “Kita masih harus memilih satu di antara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya di bawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka ke lima belas.”

Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik, “Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya.”

“Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.

Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.

Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.

Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.

Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya. “Satu, dua, tiga, ………..”

Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula.

“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti. “Makin sulit” gerutunya.

Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai kepala sasaran.

Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya. Kepala.

Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya.

Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai sasarannya pula.

Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari orang-orangan itu.

“Gila” teriak Citra Gati di luar sadarnya.

Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang ketiga telah hinggap di kepala orang-orangan itu pula. Hudaya menggeram. Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan menggigit bibirnya, anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali lagi penonton menyesal karenanya.

Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah jauhnya.

Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. Hanya pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya.

Karena itu Citra Gati membidikkan anak panahnya ke leher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka yang ketiga, terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir. “Lima belas……” dan terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.

Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.

Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.

“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya. “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi di punggung pamannya.”

Hudaya masih berdiri di tempatnya, dan Citra Gatipun masih berada di sampingnya pula. Terdengar kemudian Hudaya berkata, “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. Kau akan menjadi pemenang kedua.”

Citra Gati tersenyum. Ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya, “Lihatlah betapa sombongnya anak muda itu.”

“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? Bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”

”Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati. “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut.”

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.

Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menundukkan wajahnya.

Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura sendiri, Sidantilah yang menjuarainya.

Namun dalam pada itu, kekecewaan di hatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai ke puncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan Ki Demang itupun telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. Karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apapun kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.

Beberapa anak buahnya segera mengikutinya di belakang. Ki Demangpun berjalan pula di sampingnya. Katanya “Dimanakah Angger Sedayu?”

“Masih di belakang, Kakang “ sahut Widura kosong.

Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada di tempatnya bersama Swandaru.

Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir di dadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi di dalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu.

Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. Lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang mengalir ke segenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik di lapangan itu.

“Apakah Tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.

Sedayu mengangguk. “Ya’ jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk di tempatnya.

“Marilah” ajak Swandaru.

Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya “Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”

“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting di lapangan ini?”

Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itupun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan itupun benar-benar telah sepi.

Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya, “Tuan, kenapa Tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”

Sedayu menggeleng lemah, “Tidak Swandaru.”

“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti” berkata Swandaru pula. “Biarlah nanti di rumah aku hajar perempuan itu.”

“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya.”

Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya. “Apakah yang Tuan tunggu?” ia bertanya.

Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan itu telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.

“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.

Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru, “Apakah yang akan tuan katakan?”

Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “Apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”

“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.

“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalam perlombaan seperti ini.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Apakah Tuan belum pandai memanah?”

Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru.”

Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. Karena itu ia bertanya, “Apakah Tuan berkata sebenarnya?”

“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.

“Tuan adalah anak muda yang kami kagumi. Ataukah mengkin Tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?”

“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku.”

Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang di punggungnya dan diambilnya anak panahnya dari bumbung di lambung kuda putihnya.

“Inilah Tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari.”

“Itulah sebabnya aku mulai dari sekarang.”

Swandaru tidak menjawab. Ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.

“Swandaru” berkata Sedayu. “Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi.”

Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya?

Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja ke arah sasaran yang masih tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.

Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan orang-orangan itu.

“Aneh”” pikir Swandaru. “Apakah yang akan dilakukannya?”

Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah cepat.

Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu. Katanya setelah ia berdiri di samping anak muda itu, “Nah, sekarang apakah yang akan Tuan lakukan?”

“Swandaru” berkata Agung Sedayu. “Apakah yang harus aku kenai?”

“Terserahlah kepada Tuan” jawab Swandaru. “Namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi.”

Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, kemudian badan, leher, dan yang terakhir kepala.”

Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dapat membidikkan panahnya.

Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah itu mengenai bandulnya tepat di tengah-tengah.

“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta. “Ternyata Tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapat mengenai sasaran yang Tuan bidik dengan tepat.”

“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya, “Tetapi kau harus berjanji.”

“Apakah yang harus aku janjikan?”

“Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan kau lihat.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengangguk kosong sambil menjawab, “Baiklah Tuan.”

“Kau berjanji?”

“Ya.”

“Bagus” sahut Sedayu.

Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itupun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja terayun-ayun itu.

“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap di bandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap di badan. Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”

“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher.

“Bukan main, Tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah Tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”

Sedayu mengangguk.

“Seharusnya, Tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda yang sombong itu.”

“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru saja selesai.”

Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah di busur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu.

Sekali lagi Swandaru berteriak, “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula.”

Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua orang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya iapun dapat berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang lain.

Namun kembali ia menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya.

Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri.

Maka katanya, “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”

“Sepuluh, Tuan” jawab Swandaru.

“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali.”

Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari ke kudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu. “Inilah Tuan.”

Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturut-turut. Dan keduanya itupun hinggap di kepala sasaran pula.

Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak, “Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis, “Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau bermain-main lagi.”

“Ternyata Tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?”

Sekali lagi Agung Sedayu membantah. Katanya, “Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja berakhir.”

“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada hubungannya. Tetapi Tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya Tuan melakukannya selagi masih banyak orang di lapangan ini, maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh.”

“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-main?”

“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah Tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tak ada, Tuan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya, “Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”

Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga, “Serat, Tuan, serat nanas yang dipilin menjadi tali yang kuat.”

“Apakah bukan jangat?”

“Oh bukan, Tuan. Jangat kulit terlalu kaku.”

“Marilah kita buktikan.”

Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu? Karena itu maka ia bertanya, “Bagaimanakah Tuan akan membuktikan? Dan apakah gunanya?”

Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah di busurnya. Perlahan-lahan busur itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.

Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang secepat angin.

Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah yang lepas dari busurnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu.

Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya.

Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata terbata-bata, “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti Tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Tuan mengenainya tepat di tengah-tengah?”

Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata, “Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya.”

Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam, ”Apakah Tuan dapat menaruh biji-biji mata di ujung-ujung anak panah itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya.

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Di dalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan di atas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya nampak sebagian kecil karena bersembunyi di balik pepohonan. Nah, maukah kau membantu aku bermain-main dengan anak panah?”

“Tentu Tuan” jawab Swandaru.

“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang.”

“Apakah yang harus aku lakukan?”

“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu di punggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya.”

“Ah, bukankah itu berbahaya?”

Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan ke udara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah.”

“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah terjatuh di tanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran itu ke udara.

Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya ke dalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.

Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian melemparkan sasarannya ke arah Agung Sedayu.

Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.

Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai di atas kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.

Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta melambung ke atas di bawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus ke udara.

Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat di bawah sasarannya yang hampir mencapai puncak ketinggian.

Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti di udara, dan sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya.

Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu.

Anak panah Agung Sedayu yang kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian berputar seperti baling-baling di udara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak, “Gila, bagaimana Tuan dapat melakukan itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya dengan anak panahnya yang kesepuluh.

Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh di tanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.

Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk di akalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung di udara.

Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia berteriak, “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah Tuan lakukan. Ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung. Sebab Tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya.”

Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?”

“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang Tuan lakukan itu”

“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.

Namun Swandaru seolah-olah sudah tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari ke arah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, Swandaru telah meloncat ke punggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang.

Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru itu tak akan dapat pulang ke kandang.

Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah di dalam benaknya, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya.

Di dalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya. Namun ia sudah tidak dapat berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang di balik rimbunnya dedaunan.

Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup angin yang sepoi-sepoi. Karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.

Swandaru itupun memacu kudanya menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan kembali ke kademangan. Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan di samping ayahnya itupun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu di hadapan ayahnya.

Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun di dalam hatinya, orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya.

Karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil ke depan, jauh ke depan dari pikiran wajarnya.

Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira pulang dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati. Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu.

Tetapi langkah Widura itupun kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju ke arahnya. Dua orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik perhatian orang-orang yang sedang berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada di antaranya yang ikut berhenti pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal Putung.

Tetapi kedua orang itu ternyata sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan. Dengan tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat kepada Widura.

Widurapun mengangguk pula. Dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura, senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan orang-orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa.

Widurapun kemudian tidak bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua orang itu adalah orang yang sedang bertugas berjaga-jaga di ujung kademangan.

“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan.”

Kedua orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, mereka berjalan di samping Widura ke kademangan.

Sidantipun melihat kedua orang itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan jauh-jauh di belakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa.

Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itupun kemudian meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang berkuda itupun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka sudah terlambat.

Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka tiba di kademangan. Karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik ia berkata, “Ada sesuatu?”

Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat wajahnya. Sesaat ia memandang orang-orang berjalan di sekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata, “Tak begitu penting, meskipun harus mendapat perhatian.”

“Apakah itu?”

“Di antara beberapa orang yang lewat di muka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik perhatian kami.”

Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapa?”

“Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan perlombaan di lapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami.”

“Tongkat baja putih?”

Orang itu mengangguk.

“Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?”

Sekali lagi orang itu mengangguk.

Widura itupun menggeram. “Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula.”

“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada dirinya.”

“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya.”

Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya, “Kami berenam di dalam gardu kami. Seandainya kami harus bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itupun segera akan lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati.”

“Benar” sahut Widura pula. Kemudian katanya, “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?”

“Kami menyangka demikian” jawab orang itu.

“Aku juga menyangka demikian” berkata Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang terjadi di sini, dan sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita di sini. Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di Sangkal Putung.”

Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itupun saling berdiam diri. Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang di jalan berbatu-batu di belakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itupun menjadi cemas pula. Karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat di tikungan jalan di belakang mereka.

Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.

“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru itupun menjadi terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti di jalan seakan-akan sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang kudanya, “Apakah yang kalian tunggu?”

Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya kembali ke kademangan.

Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan anaknya. “Kau mengejutkan kami, Swandaru.”

“Ah” sahut Swandaru. “Betapa Ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidantipun sama sekali tidak terkejut mendengar derap kudaku.”

Langkah Sidantipun terhenti. Dengan wajah yang asam ia berpaling ke arah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan kehadirannya sama sekali tak berarti baginya.

Swandaru melihat kemasaman wajah itu. Karena itu maka hatinyapun menjadi semakin panas. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. Maka katanya lantang, “Kakang Sidanti, berhentilah sebentar.”

Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam. Katanya, “Jangan ribut Swandaru.”

“Aku tidak sedang ribut“ jawabnya. “Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung.”

Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya. Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda itu dengan suara yang bergetar, “Apa katamu Swandaru?”

Ki Demang Sangkal Putung dan Widurapun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung, “Swandaru, hati-hatilah dengan kata-katamu.”

Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap di atas punggung kudanya ia berkata, “Aku berkata sebenarnya, bahwa Kakang Sidanti bukan pemanah terbaik diantara kita.”

Sidanti itupun menjadi heran mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu.  Karena itu beberapa langkah ia maju mendekati Swandaru. Katanya, “Ulangi Swandaru, dan apa alasannya?”

“Baik” jawab Swandaru. “Aku ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, di lapangan masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu.”

Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak ada Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya.

Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang beberapa orang lainpun melangkah mendekati mereka. Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan beberapa orang lainnya.

Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu. Katanya, “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi di lapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan Angger Sidantilah yang kami anggap sebagai pemenangnya.”

Swandaru tertawa. Jawabnya, “Ternyata anggapan itu salah, Ayah.”

“Tidak bisa” sahut ayahnya. “Kami semuanya menjadi saksi.”

Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang di sekitarnya. Dilihatnya beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. Karena itu, maka Swandaru itupun berkata pula, “Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu Kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung.”

Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. Ketika tak dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang dimaksud oleh Swandaru itu. Dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul Sidanti dan mengatakan apa yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu?

Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak, “Jangan banyak bicara Swandaru, katakan siapa orangnya!”

Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan disebutnya nama itu. Katanya, “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu.”

Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang meledak di atas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar.

Tiba-tiba semua orangpun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun, melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri di sekitarnya. Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali ke palangan sambil menjinjing busurnya. Namun demikian masih juga ia bergumam, “Bagus. Kita buktikan, siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung.”

Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali ke lapangan. Mereka ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.

Widura memandang dengan hati yang berdebar-debar pula. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian disadarinya, bahwa ia harus hadir pula di lapangan. Seandainya terjadi sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat mengatasinya.

Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. Karena itu sebelum ia pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu untuk segera kembali ke gardunya, Katanya, “Kembalilah ke gardumu. Beritahukan kemudian gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat!”

Kedua orang itu mengangguk. Jawabnya, “Baik. Akan segera kami lakukan.”

Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri kebingungan, “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi.”

“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia berkata, “Swandaru, kau selalu saja bikin perkara. Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?”

“Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya Ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan demikian kita akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”

“Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab Ki Demang. Namun ia tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung Sedayu adalah kemenakan Widura.

Tetapi Widuralah yang meneruskan, “Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu dilakukan setelah perlombaan, maka tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan padanya.”

Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura.

Namun orang lainlah yang kemudian berkata, “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti.”

Widura berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di belakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil berkata, “Kau benar kakang Citra Gati.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab, “Aku harus ada di antara mereka. Pertandingan yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan memanah.”

Hudaya tersenyum masam. Sahutnya, “Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi di luar arena yang seharusnya? Kalau kali ini Kakang masih mencegahnya, maka itu hanya akan berarti menunda-nunda penyelesaian.”

Di dalam hatinya Widurapun membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas di dalam kepalanya, bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan di dengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar Jipang masih ada diantara mereka dan menyaksikan perselisihan itu.

Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya menuruti perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut.

Karena itu, kali inipun Widura menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas, “Tak akan ada perkelahian di antara kita.”

Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika ia melihat Citra Gati mengangkat bahunya.

Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali ke lapangan, mereka itupun mengikutinya pula. Sedang Ki Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya, “Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu.”

Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun juga. Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi.

Dan sebenarnya hatinyapun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu. Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kuda itu berjalan di belakang ayahnya.

Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan di belakang Sidanti di antara beberapa orang lain yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja selesai.

Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap sebagai pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal sebagai seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.

Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.

Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang itu, dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula ia berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apapun dengan Agung Sedayu. Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Namun tiba-tiba di belakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah dibuktikan siapa di antara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di Sangkal Putung.

Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung. Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai di rumah, untuk menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja selesai.

Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin dekat dengan lapangan di muka banjar desa, sejalan dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu loncatan yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.

Di lapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga lututnyapun menjadi gemetar.

Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak seperti yang diharapkan. Karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun serasa berdentangan, ketika ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya.

Dari balik rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan.

Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, di ujung iring-iringan itu berjalan seorang yang sangat menakutkan baginya. Sidanti.

Dan Sidanti itu langsung berjalan ke arah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.

Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula ke lapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi. Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya.

Sidanti itupun kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja di muka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang dipandanginya wajah Agung Sedayu.

Agung Sedayu masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasai dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal Putungpun berdiri di lingkaran itu pula.

Hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun wajahnya masih saja tampak memancarkan kebanggaannya atas Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya kesamping dan kemudian ia tersenyum.

Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang semakin lama menjadi semakin banyak.

Seperti guruh menggelegar di langit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau, “Adi Agung Sedayu. Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan.”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru. namun ia mengumpat di dalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab, “Aku tidak berbuat apa-apa Kakang Sidanti.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam. “Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak turut saja berlomba?”

“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?”

“Apakah yang aku lakukan?”

Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. Tetapi lutunyalah yang terasa bergetaran.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Kata-katanya dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya di sampingnya Sekar Mirah berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itupun telah banyak diceritakannya tentang perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia berdua bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda dan Pande Besi dari Sendang Gabus. Betapa dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang di antaranya dan cerita-cerita lain yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya.

Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.

Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara yang lantang, “Kau telah menyuruh Swandaru berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. Dan Agung Sedayu itupun menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa.”

Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan.

Swandarupun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu tidak saja mengakuinya dan kalau perlu membuktikan di hadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya sedemikian?

Namun tiba-tiba Swandaru itupun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-lari untuk memungut sesuatu yang tergolek di lapangan itu.

“Inilah!” teriaknya “Aku akan dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku masih tertancap di sini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak muda itu telah mengenainya tiga kali di udara. Ya tiga kali di udara.”

Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak panah mengenai satu sasaran yang terbang di udara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan gemuruh.

Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah menyalakan bara di dada Sidanti. Selangkah ia maju, dan terdengarlah ia berkata lantang, “Bohong! Adakah kalian melihat, bagaimana caranya ia mengenainya?”

Suara yang gemuruh itupun berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari mereka itu.

Betapapun juga, Widura itupun berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat sesuatu. Karena itu maka katanya, “Tak ada pengaruh apapun atas perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan mempengaruhi perlombaan itu.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar