“Nah, katakan, siapa engkau?”
ulang Widura.
Orang itu seakan-akan tidak
mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu, “Sedayu, apakah
yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”
Dada Widura berdesir mendengar
pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena
itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan dirinya
Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya, “Apakah kau yang menamakan
dirimu Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai
Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”
Sekali lagi dada Widura
berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak
Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan
topeng yang dipakainya itu.
Karena itu tanpa disadarinya,
ia menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai
Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat
kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil berkata, “Benarkah kau
Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”
Kiai Gringsing mengangguk.
Jawabnya, “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing.”
Tiba-tiba Sedayu itupun
teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula di dukuh
Pakuwon. Maka katanya, “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing.
Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok.”
Kiai Gringsing menggeleng.
Katanya, “Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan
mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat.
Agaknya ia murid yang cukup baik.”
“Ah” desah Agung Sedayu.
“Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang
mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal di hari-hari mendatang.”
Kiai Gringsing itupun tertawa
berkepanjangan. Katanya, “Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau
jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu juga menunjukkan
bahwa kau adalah putra Ki Sadewa.”
“Itu adalah pamanku” Agung
Sedayu mengulangi.
Tetapi ketika ia akan
meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong, “Aku sudah tahu.
Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik
ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua unsur-unsur gerak
keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itupun pernah juga belajar
selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk
menyempurnakan.”
Mendengar kata-kata itu,
telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung
karenanya. Maka katanya, “Kiai, hidup matiku di sini tergantung kepada paman.
Jangan mempersulit keadaanku.”
Sekali lagi Kiai Gringsing
tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti
patung. Ia mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran,
karena namanyapun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia
masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan
riuhnya. Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di
Dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir ke
jurusan yang sama.
Tiba-tiba Widura menemukan
sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata, “Baiklah Kiai Gringsing,
aku tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun
demikian, aku ingin bertanya kepadamu, di manakah Untara dan Ki Tanu Metir?
Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku
Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku.
Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa kau mengetahui dimana
kemenakanku yang seorang itu.”
Orang yang menamakan dirinya
Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek.
Jawabnya, “Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi salah seorang
tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang
tukang obat dari Dukuh Pakuwon?”
“Jangan berpura-pura” potong
Widura. “Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya.”
“He” Kiai Gringsing terkejut.
“Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang
kanak-kanak seperti Agung Sedayu“ sahut Widura.
Tetapi Kiai Gringsing itu
malahan tertawa berkepanjangan. Katanya, “Hem, tentu. Baru beberapa hari kau
menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya.”
Semakin lama Widura menjadi
semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya
bertanya pula, “Kiai, katakanlah kepada kami, di mana Untara sekarang?”
“Kalau jawabku salah, maka aku
tak tahu, di mana ia sekarang.”
“Jangan bohong” potong Widura.
”Pada malam Untara hilang kau berada di rumah Ki Tanu Metir.”
“He?” Kiai Gringsing terkejut,
dan Agung Sedayupun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu
Kiai Gringsing berada di rumah Ki Tanu Metir.
Dan ternyata Kiai Gringsingpun
bertanya, “Siapa yang berkata demikian?”
“Aku” jawab Widura.
“Kau menyangka yang
bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh.”
“Tidak. Bukankah kau telah
memberi Agung Sedayu seekor kuda?”
“Ya.”
“Dari mana kau dapat kuda
itu?”
“Kudaku sendiri. Kenapa?
Apakah kudamu hilang?”
“Dengar Kiai. Aku telah
mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah
meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal
Putung. Di sepanjang jalan tak ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu
pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang
kedua kuda Alap-Alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian
dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.”
Kiai Gringsing masih tertawa.
Jawabnya, “Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang
baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau lampaui.
Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau
muncul dari regol-regol halaman sepanjang jalan?”
Widura menarik nafas. “Memang
mungkin” sahutnya. “Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku
minta tunjukkan anak itu.”
“Jangan ribut Widura.
Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah
aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu”
berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira
tamtama. Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar perkataan Kiai
Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya, “Kiai, jangan bergurau seperti
anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat,
siapakah kau sebenarnya.”
“He?” kembali Kiai Gringsing
terkejut.
Sedayupun menjadi terkejut
pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang
tegang.
“Kenapa kau akan menangkap
aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?”
“Aku berhak melakukan segala
tindakan, untuk keselamatan Pajang.”
“Apakah hubunganku dengan
keselamatan Pajang?”
“Kau tahu di mana Untara,
salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata, “Sedayu, apakah
kau dapat mencegah muridmu itu?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan
menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa.
Yang terdengar kemudian adalah
geram Widura, “Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada
banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian
wajahnya akan segera kita kenal.”
“Sedayu” berkata Kiai
Gringsing dengan nada kecemasan, “Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Tetapi Widura tidak
memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing itupun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil
menangkapnya.
Tetapi Widura tidak
membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing
itupun berlari berputar-putar di antara batang-batang ilalang. Berloncatan dari
batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit. “Kenapa kau kejar-kejar
aku?”
Widura benar-benar menjadi
marah. Karena itu ia berteriak, “Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah
bertempur dengan Alap-Alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti
keledai yang bodoh.”
“Jangan tangkap aku” katanya.
“Kiai, nama seorang bertopeng
dan berkain Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu.
Aku tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.”
“Paman” potong Agung Sedayu
yang menjadi semakin cemas.
Tetapi pamannya tak
mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang Widura
langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itupun kini tidak
berlari-lari lagi.
Ketika Widura langsung
menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata, “Aku tidak pernah
merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang aku?”
Widura tidak menjawab, tetapi
ia menyerang kembali dengan garangnya.
Kiai Gringsing masih saja
mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula, “Widura, kalau kau
marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku akan pergi.
Tetapi jangan menangkap aku.”
Widura masih tidak mau
mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut
perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui di mana Untara dan Ki
Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali
siapakah sebenarnya orang yang bertopeng itu.
Agung Sedayu, yang melihat
pamannya benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam
ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap orang
bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja
mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu.
Widura yang marah itu menjadi
semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat
tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah
serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi
semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing.
Akhirnya Kiai Gringsingpun
menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika
serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat.
Karena itu sekali lagi ia berkata, “ Widura, apakah kau betul-betul akan
menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab
Widura.
“Sekali lagi aku minta,
urungkan niatmu” minta Kiai Gringsing.
Tetapi Widura sama sekali
tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya
yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian Kiai
Gringsing menggeram. “Baiklah. Kau ingin mengetahui siapakah Kiai Gringsing itu
seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak yang akan aku
pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda.”
Widura tidak menjawab.
Serangan-serangannya bahkan semakin membadai.
Namun kini agaknya Kiai
Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan
suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar di udara. Ketika ia
menggeliat, maka disentuhnya punggung Widura.
Sentuhan itu terasa
seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung
beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah seorang perwira yang telah
mengalami berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil
menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang
liar yang bertebaran di lapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian,
betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih
dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan.
Tetapi meskipun demikian,
Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera
bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak
mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala
kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun.
Tetapi serangan-serangannya,
apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Kiai Gringsing benar-benar
mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan
bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai
Gringsing itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa,
bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.
Dengan demikian maka
perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah
benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena
itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya
bergerak-gerak menyerang ke segenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang
kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya
manyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang,
tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya
tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh
lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya.
Ketika mereka menjadi semakin
cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba pula di
tangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam,
namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Kiai Gringsing terkejut
melihat pedang itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang
mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan di dalamnya terkejut pula. Apakah
pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah
suara Kiai Gringsing, “Widura, apakah kau akan membunuh aku?”
“Tidak” sahut Widura. “Sudah
aku katakan, aku ingin menangkapmu.”
“Kenapa dengan pedang?”
“Aku tidak dapat menangkapmu
tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau
tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik
nafas. “Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari
kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu, sarungkan
senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Widura mengerutkan keningnya.
Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas
Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
“Gila” umpat Widura didalam
hatinya. “Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin
di dalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu.”
Namun meskipun demikian, ia
sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki di
dalam dirinya.
Karena itu Widura tidak
menyarungkan pedangnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya
ke dada Kiai Gringsing. Katanya, “Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan
pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal
wajahmu.”
Kiai Gringsing masih tegak di
tempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam ke pusat bumi. Dipandangnya
Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya.
Tetapi sesaat kemudian ia
berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa, “Sedayu, apakah orang
ini sudah kauajari memegang senjata?”
Dada Agung Sedayu berdesir,
dan jantung Widura pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu
memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk.
Karena itu Widura itupun
menggeram. “Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari
kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu
hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau
mati karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan menyesal.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik
nafas. “Kau benar-benar marah Widura?”
Pertanyaan itu benar-benar
membingungkan. Dan akhirnya Widura pun menjadi bingung memandang ke dirinya
sendiri. Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh
keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki tentang
hilangnya Untara.
Tetapi ketika ia melihat
topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba saja ia
menggeleng.
“Tidak” jawabnya. “Aku tidak
sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang
berusaha untuk menangkapmu, karena itu adalah salah satu dari kewajibanku
pula.”
“Baik” sahut Kiai Gringsing.
“Aku senang bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata di
tangan orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita
bertempur tanpa kemarahan di hati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak
kita. Dan senjata di tangan kita akan menjadi kabur kegunaannya.”
Widura mengerutkan keningnya.
Katanya, “Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu.”
Kiai Gringsing tertawa. Dan
jawabnya mengherankan Widura. “Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti.
Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah, apakah
tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan.”
“Jangan mengigau, bersiaplah!”
bentak Widura.
“Aku sudah siap. Aku dapat
bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus
berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa kemarahan di hati?”
Widura tidak menunggu
kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir., tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya
mengarah ke dada lawannya.
Namun sekali lagi ia terkejut.
Kiai Gringsing itu sama sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar
akan menghunjam ke dadanya. Tetapi justru karena itu, Widura segera menarik
serangannya dan berteriak, “Hei Kiai. Apakah kau sedang membunuh diri?”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Tidak” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang
tidak bersenjata?”
“Oh” Widura tersadar dari
ketergesa-gesaannya.
Ia adalah seorang perwira
tamtama yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah
bertanya apakah lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian
seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya harus berimbang. Dengan
demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan dan kejujuran.
“Ambillah senjatamu” teriak
Widura jengkel.
“Bagus” jawab Kiai Gringsing.
Kedua tangannyapun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain
gringsingnya. Cambuk kuda.
“Gila” geram Widura. “Adakah
itu senjatamu?”
“Kenapa? Ini adalah senjataku.
Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-Alap Jalatunda. Ayo, mulailah.”
Widura menjadi semakin tidak
mengerti menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi
kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia
mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya.
“Widura” berkata Kiai Gringsing
pula. “Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku
memegangnya di tengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu.”
Sekarang Kiai Gringsinglah
yang mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan
gerak naluriah, pedangnyapun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan
pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu
mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula.
Tiba-tiba orang bertopeng itu
berteriak nyaring, “Nah, kau dapat aku kenai Widura.”
Terasa sesuatu menyengat
pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun
sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah
kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing senjatamu atau
seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi.”
Widura terkejut mendengar
kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti.
“Ah” gumamnya. “Ia hanya ingin
mencari persamaan” pikirnya. “Tetapi,” katanya pula didalam hatinya, “kenapa ia
sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?”
Tetapi Widura tidak sempat
berpikir terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula
sambil berteriak, “Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya.”
Sedayu yang sudah bingung
menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai
Gringsing dengan cambuk kuda di angan, dan pamannya dengan sebuah pedang yang
menakutkan.
Pertempuran itu semakin lama
mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya, menyambar
dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh Widura tanpa
dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha
sepenuh tenaga.
Karena itu, maka getar di
dalam dada Widurapun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau
terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi
apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk
mengetahui di mana Untara berada.
Dengan demikian maka nafsunya
untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh
karenanya, maka pedangnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling
ditiup angin musim kesanga.
Sedayu melihat pertempuran itu
dengan jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang
bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu ternyata
mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura
sehingga pamannya itu meloncat surut.
Bahkan kemudian pertempuran
itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap
gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran
melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama sekali tak
berarti itu ternyata merupakan senjata yang berbahaya.
Setapak demi setapak
perkelahian itu berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Namun Sedayupun
ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura
menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun
wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan
apabila cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
“Hem” Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya
di dalam hati.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
terkejut ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai
Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka,
kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga
pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya.
Gigi Widura gemeretak. Kini ia
benar-benar marah. Karena itu tandangnyapun menjadi semakin garang. Gerak
pedangnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan
kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu.
Kini Widuralah yang mendesak
maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng
itu tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit di belakangnya.
Widura tidak membuang waktu
lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur ke arah Kiai Gringsing. Widura yang
merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun
pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu
menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.
Melihat peristiwa itu, Agung
Sedayu terkejut sehingga iapun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak
akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu
mematuk dengan garangnya.
Tetapi mata Agung Sedayu
itupun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing
itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Katany,a “Ah,
tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui
kesulitan untuk mencabut pedangmu itu.”
“Setan” terdengar Widura
mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap
pada pohon kelapa sawit itu.
Ternyata Kiai Gringsing mampu
mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu
langsung mengenai pohon yang disandarinya.
“Jangan main-main Kiai” geram
Widura dengan wajah yang membara. “Aku dapat bertempur tanpa pedang.”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing.
“Cabutlah pedangmu. Aku menunggu.”
Widura masih berusaha sekuat
tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat di dalam hatinya.
Ternyata pedang yang runcing
itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk
menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk
mencabutnya.
Beberapa kali Widura
menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Minggirlah, coba apakah
aku mampu mencabutnya.”
Widura sendiri tidak menyadari,
kenapa tiba-tiba ia melangkah ke samping dan memberi kesempatan kepada orang
bertopeng itu untuk mencabut pedangnya.
Betapa Widura menjadi heran,
apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil
menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri
terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkan hampir saja ia tergelincir
jatuh.
“Hem” orang bertopeng itu
menarik nafas. “Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum.
Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?”
Widura tidak menjawab. Tetap
ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak di tempatnya.
“Widura, kita akhiri
pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus.”
Kemudian kepada Agung Sedayu
Kiai Gringsing itu berkata, “Sedayu, kau harus bekerja lebih berat supaya
muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat
tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya. Bukankah
muridmu itu pimpinan laskar Pajang disini? Apabila Sidanti kelak melampauinya,
maka wibawanya akan berkurang.”
Widura terkejut mendengar
kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus?
Tetapi Kiai Gringsing tidak
memberi mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata,
“Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan
mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu.”
Sebelum Widura menjawab,
meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah
Widura meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura
dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan
mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang di balik batang-batang
ilalang yang tumbuh dengan liarnya.
Widura sesaat berdiri saja
mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan
dihatinya. “Orang aneh” gumamnya.
Widura terkejut ketika ia
mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya, “Orang aneh. Ya, memang orang
itu orang yang aneh.”
Widura menarik nafas panjang.
Katanya “Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku
menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula aku merasa
ia menghinaku.”
Widura berhenti sejenak,
kemudian ia meneruskan, “Namun agaknya ada sesuatu maksud tersimpan di balik
sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-sungguh itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata, “Bukankah
Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari gurunya
yang dahsyat itu?”
“Ya” Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling
berdiam diri. Mereka masih memandang ke arah Kiai Gringsing lenyap di balik
batang-batang ilalang.
“Sedayu” berkata Widura
kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau
yang mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun demikian
setiap malam kita datang ke tempat ini.”
Agung Sedayu mengangguk. Dan
diikutinya pamannya meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan
berurutan di atas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan
menyusur jalan desa menuju Kademangan Sangkal Putung.
Hampir di sepanjang jalan
mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan oleh
angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing. “Sidanti
berlatih terus.”
“Mudah-mudahan anak itu
mempunyai itikad yang baik” katanya didalam hati. “Semoga ia berlatih untuk
menghadapi Macan Kepatihan.”
Namun Widura itu beragu. Sikap
anak muda itu memang kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung
Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura
berpaling kepada kemenakannya yang berjalan menunduk di sampingnya.
“Sayang” gumamnya di dalam
hati. “Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu,
apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling memuakkan di
kademangan ini.”
“Tetapi aneh” berkata Widura
seterusnya didalam hati. “Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian
atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-Alap Jalatunda dan kini ia
hadir pula di lapangan sempit itu.”
Sedangkan Agung Sedayu sibuk
dengan dirinya sendiri. Timbullah di dalam angan-angannya keinginan yang besar
untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya,
apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung sikatan.
“Aku akan berlatih terus.
Setiap malam” janjinya di dalam hati.
Awan dilangit semakin lama
menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh di langit meledak seperti hendak
meruntuhkan gunung.
Widura dan Agung Sedayu
mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur di pringgitan Kademangan
Sangkal Putung daripada basah kuyup di jalanan.
Di regol halaman kademangan,
Widura melihat Ki Demang tidur di atas anyaman daun kelapa, sedang di
sampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru.
Widura tersenyum melihat
mereka. Meskipun umur Demang Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad,
namun ia merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya, hidup atau
mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat
menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan
kehormatan sebagai seorang Demang, namun ia menyadari, bahwa di samping hak
yang diterimanya itu, maka iapun harus mengemban kewajiban yang diperoleh
sebagai keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung
halamannya adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai Demang atau bukan.
Beberapa orang penjaga yang
duduk di regol halaman di samping Ki Demang itupun berdiri ketika mereka
melihat Widura memasuki pintu regol.
“Selamat malam tuan” sapa
salah seorang penjaga.
Widura menganggukkan
kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil
bergumam “Apakah Adi Widura baru datang?”
“Ya kakang” jawab Widura.
“Silakan, aku lebih senang
tidur di sini. Udara terlalu panas” berkata Ki Demang itu pula.
“Langit kelam Kakang” sahut
Widura. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun.”
“Agaknya demikian” jawab Ki
Demang. “Nah, beristirahatlah.”
Widura itupun kemudian
berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik ke pendapa. Ketika mereka
melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut.
Pembaringan itu kosong. Dan
senjata di dinding di atas pembaringannya itupun tidak ada pula. Sedang di
sampingnya masih berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya.
Tetapi Widura tidak
menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung ke
pringgitan.
“Kau lelah Sedayu” berkata
pamannya kemudian. “Tidurlah.”
Sebenarnya Agung Sedayu itu
lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu,
segera ia membaringkan dirinya, di atas tikar pandan di samping pembaringan
pamannya.
Tetapi pamannya tidak segera
tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi di gelodog bambu, iapun
duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-goresan merah biru
dan noda-noda yang kehitaman hampir di segenap bagian tubuhnya. Ujung dan
pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan.
Widura itu kemudian terkejut,
ketika ia mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian hilang
. Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya, ia mendengar
beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam kembali.
Widura mengangkat alisnya.
Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri
perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah ke luar pringgitan. Ketika ia
sampai di pendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring di tempatnya, seakan-akan
tidak terjadi apapun.
“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian
dengan segan ia menjawab, “Ya Kakang.”
“Adakah kau yang baru saja
naik ke pendapa?” bertanya Widura pula.
Sesaat Sidanti terdiam. Ia
ragu-ragu untuk menjawab.
Namun ketika Widura
memandangnya dengan seksama, seakan-akan ingin melihat debar di jantungnya,
maka Sidanti itupun menjawab, “Ya Kakang.”
“Dari manakah kau?” bertanya
Widura seterusnya.
“Dari belakang kakang.
Kenapa?” sahut Sidanti.
“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku
mencarimu.”
Sidanti kemudian bangkit dan
duduk dengan malasnya. “Adalah sesuatu yang sangat perlu?”
“Tidak sedemikian penting.
Tetapi kemarilah.”
“Aku sudah kantuk sekali.
Tidakkah dapat ditunda sampai besok?”
“Tentu. Tetapi aku mengharapmu
sekarang.”
Widura tidak menunggu Sidanti
menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat dihatiny.a
“Apa pula yang akan dikatakannya.”
Ketika Sidanti sudah duduk di
hadapannya, Widura berkata, “Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu
penting. Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu.”
Widura diam sejenak.
Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari
tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Darimana kau Sidanti?”
Sidanti menjadi agak gugup.
Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya, “Dari belakang.”
“Bajumu basah oleh keringat”
sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak
gugup. Jawabnya kemudian, “Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat
mengimbangi Macan Kepatihan”
“Sendiri?” desak Widura.
“Ya.”
“Sidanti. Aku berbangga akan
ketekunanmu. Namun kau harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi
mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan
serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah
dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih diri.”
“Apa salahnya?” potong
Sidanti. “Apakah Kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang
tidak pernah menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki
sekarang?”
“Tidak Sidanti. Aku tidak
bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan
diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan apakah
dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat.”
“Tentu” jawab Sidanti.
“Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku
mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?”
“Aku tidak keberatan. Tetapi
kau sering meninggalkan kademangan ini tanpa seorangpun juga mengetahuinya.”
Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang
Sidanti benar-benar terjadi.
Sidanti untuk sesaat tidak
menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan
mata mereka bertemu, Sidanti itupun menundukkan wajahnya. Namun dadanya masih
juga berdebar-debar.
Widura tidak segera
mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan
nafas mereka terdengar berkejar-kejaran.
Baru beberapa saat kemudian
Sidanti menjawab, “Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri Kakang. Aku
kadang-kadang memerlukan tempat yang baik yang tidak aku temui di halaman
kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih
mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk kemenangan
bersama. Meskipun demikian Widura itupun berkata, “Sidanti, aku berbangga.
Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu peringatan.
Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan
bukan anak-anak yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia
dapat datang kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorangpun
yang dapat melihat apa yang akan terjadi.”
“Sudah aku katakan,” jawab
Sidanti, “kalau aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung
jawabku sendiri. Tak seorangpun perlu menangisi mayatku.”
“Jangan berkata demikian”
sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada
anaknya yang nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan
merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak
menentu ini. Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan.
Ilmumu masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki
kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
ia tidak senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya
terganggu. “Apapun yang aku lakukan adalah hakku” katanya di dalam hatinya.
“Apakah gurumu tak pernah
mengunjungimu?” tiba-tiba Widura bertanya.
Dan pertanyaan itu benar-benar
membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia
sendiri tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa
gurunya sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu
teringat olehnya gurunya itu berkata, “Sidanti, kemenangan terakhir haruslah
kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan kelompokmu,
apalagi pimpinanmu.”
Karena ingatannya itu, maka
Sidanti kemudian menggeleng. “Tidak. Guru tidak pernah datang.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu
datang dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang di dalam kepala Sidanti itu
terngiang kata-kata gurunya pula, “Karena itu Sidanti, aku tak mau seorangpun
tahu, bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk
ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus
menjadi orang pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri.”
Kembali suasana di pringgitan
itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula.
Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima
ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.
“Kau lelah sekali Sidanti”
berkata Widura.
“Ya” sahut Sidanti pendek.
“Tidurlah.”
Sidanti tidak menunggu
perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan
keluar. Di muka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih
mengawasinya, segera ia melemparkan pandangan matanya ke arah lain.
Kini Widura duduk kembali
seorang diri di atas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak
persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya.
Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan
memberinya jalan terang.
Widura pun ternyata lelah
pula. Sejenak kemudian iapun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.
Ketika cahaya fajar telah
membayang di punggung bukit, maka Agung Sedayupun telah bangun dari tidurnya.
Di kejauhan masih didengarnya satu-satu ayam jantan berkokok menyambut pagi.
Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan
keluar. Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Di pendapa beberapa
orang pun telah bangun. Seorang dua orang telah turun ke halaman, sedang yang
lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu pun segera pergi ke padasan.
Baru setelah ia selesai
sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa,
“Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu.”
“Ya paman” sahutnya. “Aku
tidur lebih dahulu pula.”
Pamannya tersenyum. Dan Agung
Sedayu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya
fajar. Satu-satu di langit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan
segannya memandang halaman Kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun
dari lelapnya malam.
Sangkal Putung itu ternyata
benar-benar telah terbangun. Di jalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang
yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka di sudut
desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Di sudut desa
itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan
tukar-menukar banyak pula terjadi.
Tiba-tiba timbullah keinginan
Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan di muka kademangan itu. Di
muka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.
“Akan kemana Ngger?” bertanya
salah seorang daripadanya.
“Berjalan-jalan Paman” jawab
Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk.
Sahutnya, “Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan
hati Angger.”
Agung Sedayu tersenyum. Dan
diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling
untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin
berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun di siang hari yang
cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu
terkejut ketika didengarnya sapa halus di sampingnya. Katanya “Akan pergi
kemanakah Tuan sepagi ini?”
Ketika Agung Sedayu menoleh
dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya di kademangan muncul dari
sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil menganguk ia menjawab pendek,
“Berjalan-jalan.”
Gadis itu, yang tak lain
adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek.
Meskipun demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya, “Apakah Tuan akan
pergi ke warung di sudut desa?”
Agung Sedayu menggeleng.
“Tidak” jawabnya.
Sekar Mirah menggigit
bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi
semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong.
Tetapi Sekar Mirah berkata
pula, “Kalau tidak, akan kemanakah Tuan?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Ia tidak tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya, “Aku
hanya berjalan-jalan saja.”
“Oh” sahut Sekar Mirah. “Kalau
begitu, apakah Tuan ingin melihat warung itu? Barangkali Tuan ingin membeli
sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa? Warung itu menjadi ramai sejak daerah ini
tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang
dari desa yang lainpun datang kemari. Sebab di sini ada laskar Paman Widura,
sehingga mereka merasa mendapatkan perlindungan daripadanya.”
Agung Sedayu menjadi bertambah
bingung. Ia sama sekali tidak memiliki uang seduitpun. Tetapi sebelum ia
menolak gadis itu telah berkata pula, “Marilah Tuan. Tuan akan mendapat kesan
yang lengkap dari daerah ini.”
Agung Sedayu tidak dapat
berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali ke warung di sudut
desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.
“Kedatangan Tuan pasti akan
menggembirakan para pedagang di warung itu” berkata Sekar Mirah kemudian.
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Bukankah Tuan telah
menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah.
Terasa dada Sedayu berdesir.
Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu.
Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah.
Sekar Mirah adalah gadis yang
lincah. Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang
dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak
hal tentang keadaan di daerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah
selalu melihat dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang di
daerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun hatinyapun tertarik pada
persoalan-persoalan daerah dan orang-orang di daerahnya.
Karena itu pula maka di
sepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti akan
beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya, “Tuan, apakah Tuan adik
dari seorang yang bernama Untara?”
Agung Sedayu mengangguk. “Ya”
jawabnya.
“Ah. Semua orang di Sangkal
Putung mengagumi Tuan. Bukankah Tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua
orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya dalam-dalam
dengan penuh rasa hormat dan terima kasih.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan
berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang yang berhak mendapat
penghormatan yang demikian.”
“Tuan” Sekar Mirah itu berkata
lagi. “Untuk mencapai tingkat yang seperti Tuan, berapa lama waktu yang Tuan
perlukan?”
Agung Sedayu terkejut
mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari
seorang gadis.
Karena itu untuk sesaat ia
tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah itu berkata pula, “Kakang Swandarupun
selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang dicapainya itu sama sekali
tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung sampai saat ini, yang paling
dibanggakan oleh Paman Widura adalah Sidanti.”
Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar nama itu. Dilihatnya di dalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati
itu memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu Agung
Sedayu meremang.
Namun ia tidak menjawab.
Sebab, tiba-tiba saja timbullah di sudut hatinya suatu keinginan yang tak
dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang
telah dicapainya. “Kenapa demikian?” timbul pula pertanyaan didalam dirinya.
Tetapi ia menjawab, “Aku
melatih diri sejak kanak-kanak.”
“Oh” Sekar Mirah menjadi
bertambah kagum. “Pantaslah Tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar
seseorang mengatakan bahwa Tuan berhasil mengalahkan Alap-Alap Jalatunda.”
Agung Sedayu berdebar-debar.
Namun ia menjawab, “Alap-Alap Jalatunda tidak segarang Tohpati.”
Tiba-tiba hatinya bergetar
ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha untuk tetap
tersenyum.
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat
diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya, “Berapa lamakah Tuan akan tinggal di
Sangkal Putung?”
“Aku tidak tahu” jawab Sedayu.
“Kalau Kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan
Kakang Untara akan kembali ke Pajang.”
Sekar Mirah kecewa mendengar
jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.
Demikianlah mereka berjalan
sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu pun
berbangga karenanya.
Tanpa disadarinya Agung Sedayu
telah banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya
dalam perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga
kawannya yang terbunuh, dan Alap-Alap Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa.
Namun setiap kata diucapkan,
terasa sebuah goresan yang pahit di dalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang
sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja
menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia
benar-benar pahlawan Sangkal Putung.
Ketika mereka sampai di warung
ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi.
Para pedagang dan orang yang
berada di warung itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang
terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu untuk sekedar dapat
menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu memberikan
salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung
Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak
seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa di dalam dada anak muda
itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Sekar Mirah yang
memperkenalkan Agung Sedayu itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya
ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama
Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami
olehnya.
Namun beberapa gadis yang iri
hati kepadanya bergumam di dalam hatinya, “Ah Mirah. Dahulu kau selalu berdua
dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti,
kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu.”
Tetapi tak seorangpun yang
berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung.
Ketika mereka sudah puas
melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan
Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga di sepanjang jalan pulang, Sekar
Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu senang
mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung
Sedayu segera pergi menemui pamannya di pringgitan, dimana Agung Sedayu
sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang
lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka di pendapa.
Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi ke dapur. Ia takut terlambat
dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu
terhenti ketika Sidanti menggamitnya .“Mirah” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan
tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung” jawab Sekar Mirah
pendek.
Sidanti memandangnya dengan
tajam. Kemudian katanya “Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti
tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya, “Mirah, jangan marah, meskipun aku
senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan
terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya.”
Sekar Mirah kemudian menarik
nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu
dengan Sedayu di jalan, dan aku antarkan ia ke warung di ujung desa.”
Sidantipun kemudian melangkah
pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata, “Ingat-ingatlah Mirah. Jangan
terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya.”
Kembali wajah Sekar Mirah
menjadi tegang. “Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab.
Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja ke belakang rumah dan lenyap di balik
pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah masih berdiri di
tempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga
ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda
itupun tak pernah menyakiti hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar
Mirah masuk ke dapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan
pagi.
“Kami tunggu kau, Mirah” kata
ibunya.
“Oh” Mirah sadar akan dirinya.
Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya
kepada ibunya.
“Nasi sudah masak. Tetapi
belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang saja” sahut
Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu mendengar mereka
menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk di muka api.
“Ah bibi. Jangan kau
dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak
menyenangkan mereka.”
“Tetapi mulut orang yang
jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena
termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang
itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk
berlagak di hadapanku.”
Tetapi Sekar Mirah menjadi
tertawa karenanya. Jawabnya, “Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang yang gemuk itu
tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab, “Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia
sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang
membentaknya, “Kau baru datang Mirah?”
Ketika Sekar Mirah berpaling,
dilihatnya Swandaru bertolak pinggang di pintu dapur.
“He, kau baru datang?” desak
kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia
hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa terlambat?” kakaknya
membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga
menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian
tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi
Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung
memandangi api yang menjilat-jilat di perapian. Sedang di tangannya masih
tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa
orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali
ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak
muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu itupun berkesan
pula di hatinya.
Namun selalu diingatnya,
senyum Sidanti beberapa saat berselang. “Mirah” katanya. “Jangan terlampau
sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu.”
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada
suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti
juga orang-orang lain mengaguminya?”
Tetapi terdengar pula dari
sudut hatinya, “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah
orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang
Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula
berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar Mirah memejamkan
matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi
ke biliknya.
“Mirah” panggil ibunya yang
terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya
sambil berlari.
Ibunya menarik nafas
dalam-dalam. Diikutinya anaknya ke biliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya
“Tidak panas Mirah.”
Sekar Mirah berbaring di
pembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. Ketika ibunya meraba keningnya,
maka katanya, “Hanya pening sedikit Bu. Mungkin semalam aku kurang tidur.”
Ibunya tidak bertanya lagi.
Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri di dalam biliknya. Pesannya,
“Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah.”
Sekar Mirah mengangguk. Namun
ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak.
Bermacam-macam persoalan hilir mudik di kepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi
benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal di dalam
biliknya.
Tak seorangpun tahu, apa yang
sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak
dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring ke kiri, sekali ke kanan.
Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian
direbahkannya dirinya kembali.
Sekar Mirah keluar dari
biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih
daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari di langit merayap
dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan
itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam di balik bukit-bukit,
maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah
bumi.
Demikianlah kembali Sangkal
Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi,
maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula berkeliling kademangan. Dan
kemudian mereka berdua itupun pergi ke puntuk kecil yang bernama Gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin
gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu
sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja
terloncat pertanyaannya, “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang Untara” jawab Agung
Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. ”Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-Alap
Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu
mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri
sehingga Untara tidak usah terluka karenanya.”
Sedayu menundukkan wajahnya.
Memang terasa juga di hatinya, setiap kali ia melihat perkelahian, timbul juga
kata-kata di hatinya, “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”.
Tetapi ia sediri belum pernah
berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya.
Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan
kini Widura.
“Besok kau bawa senjata
panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah juga berlatih
dengan pedang?”
Sedayu mengangguk. “Pernah”
jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan Kakang Untarapun
pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak.”
“Aneh. Aneh” gumam Widura.
“Apa yang aneh Paman?”
bertanya Sedayu.
“Kau” jawab pamannya. “Hampir
aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena kau
telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami. Namun
seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan.”
Wajah Agung Sedayu menjadi
semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan Pamannya karena
kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya ke neraka
ini?
“Sedayu” berkata pamannya
pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan
keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun
kau simpan di dalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah,
pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia
ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara ketakutan
yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh keberanian, maka
kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini ternyata
kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila kemampuan-kemampuan
itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah
melawan Alap-Alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan di mata
rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya
apapun.”
Kata-kata itu bukanlah yang
pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya
sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu
benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi.
“Hem” Sedayu menarik nafas.
Katanya didalam hati, “Kenapa manusia di dunia ini harus berkelahi satu sama
lain?”
Namun ia tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu
memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada
sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama
manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka
selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan di antara sesama. Kebebasan yang
setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup
manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud
keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan.
Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber
hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan
kedamaian. Lahir dan batin.
Tetapi ternyata manusia telah
memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat
dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah
dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka
hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan di
mana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu
sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus
melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang
lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia
menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya.
Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk
melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, iapun
berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan
yang tersimpan di dalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi
bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung
Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan
kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh
pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa
karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya.
Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada
kemenakannya itu.
“Suatu ketika” katanya didalam
hati. “Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah
mampu untuk menyelamatkan diri.”
Demikianlah, latihan itu
berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk
memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun berusaha untuk
mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata
memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi
kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan.
Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata
kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur
dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut,
meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
“Luar biasa” desis pamannya.
“Kekuatanmupun luar biasa.”
Agung Sedayu tersenyum. Ia
senang mendengar pujian itu. Jawabnya “Bukankah bibi dahulu selalu memberiku
pekerjaan itu?”
“He” pamannya mengerutkan
keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.
“Membelah kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah Widura. “Bukan itu.
Pasti ada yang lain.”
“Setiap pagi kakang Untara
mengajari aku bermain-main berjalan di atas tangan dengan kaki di atas.
Kemudian bermain-main dengan pasir di tepian.”
“Permainan apakah itu?”
“Hanya memukul-mukul saja.
Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari.”
“Oh” Widura terkejut. Untara
telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun
latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi
tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya.
Namun sekali lagi Widura
mengeluh. “Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut
melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal
dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang
berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memberinya bekal.”
Tetapi latihan mereka terpaksa
berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya
Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan
nyaring.
Namun Widura dan Agung Sedayu
sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu
datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya, “Selamat malam Kiai.”
“Oh” jawabnya. “Selamat malam.
Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia
berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu
katanya, “Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum
dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu,
telah mencoba mempercepat latihan-latihanku.”
Orang bertopeng itupun
tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian, “Bagus. Agung
Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku.
Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu.”
“Bagus” sahut Widura. “Jangan
berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi.”
Dengan serta-merta Widura menarik
pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
“He!” teriak Kiai Gringsing.
“Aku belum siap.”
Namun Widura tidak
memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang
tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak
menarik serangannya.
Ternyata Kiai Gringsing itupun
tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya,
ia memiringkan tubuhnya.
“Luar biasa” katanya nyaring.
“Seranganmu bertambah cepat.”
Widura tidak menjawab. Ketika
serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan
demi serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang
anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia
menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah
memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.
Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak
yang gelap baginya, namun firasatnya berkata, “Kiai Gringsing ini benar-benar
seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula
terhadap Untara dan Ki Tanu Metir.”
Karena itu Widura sampai pada
suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab
Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan
perkelahian itu dengan tekad, “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti
telah berkenan menuntunku.”
Demikianlah mereka tenggelam
dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan
mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil mengingat-ingat
unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu
tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya
kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang
seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di Gunung
Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan
hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir di antara mereka. Bahkan apabila
orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorangpun yang
tahu, apa yang terjadi setiap malam di Gunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh
anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan.
Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang
dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada
keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak
mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah
menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap
pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula di hati masing-masing. Bahkan
setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak di dadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih
terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar
Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada di dekat gadis
itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat
perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat
mengganggu perasaannya.
“Apakah Agung Sedayu
benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir
Sidanti. “Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga
aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum.
Alap-Alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah
dicapainya dalam setiap pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi
seorang lawan seorang, aku tak akan gentar.”
Demikianlah kemarahan Sidanti
itu selalu merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan
arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi.
Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk
di halaman bersama dengan Agung Sedayu.
Lambat laun, Agung Sedayu
merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah
kecemasan di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan,
bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah
kepadanya. Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya
sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti.
Tetapi Sekar Mirah tidak
melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila
Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi
mencarinya.
Yang tidak kalah peningnya
adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia
melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat
Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha
untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.
“Sedayu” berkata pamannya
kepada kemenakannya itu. “Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu
di sini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau berani
menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat
persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati
yang masih saja berkeliaran disana-sini.”
Agung Sedayu hanya dapat
menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang
yang berhati jantan, apapun yang akan terjadi. Bukankah ia mampu pula
menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam
sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin
menyekap dirinya di pringgitan.
Tetapi suatu ketika ia
memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Ke belakang, ke padasan,
untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang
dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil gadis itu
ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding di belakang rumah. “Dari
manakah tuan?”
“Dari sumur, Mirah”
“Ah” jawab gadis itu. “Tuan
tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar Paman Widura itu cukup
banyak. Seharusnya Tuan tinggal mandi saja seperti paman Tuan itu.”
“Tidak baik Mirah. Aku di sini
sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar Paman Widura itupun
bukan. Aku di sini seorang diri.”
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya,
“Tuan seorang diri dan paman Tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih
bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”
Sedayu tersenyum. Ia selalu
mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali
ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya, “Jangan memperkecil arti
Paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.”
“Apakah Tuan tidak dapat
berbuat demikian?”
“Sendiri tentu tidak” jawab
Sedayu. Namun di hatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan, “Apalagi
seorang diri. Sepasukanpun tidak mungkin.”
Namun kata-kata itu disekapnya
jauh-jauh di sudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja
tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak
habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin
berjalan-jalan ke warung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. “Lain
kali, Mirah.”
“Oh. Tetapi tidakkah tuan
ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini
telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu menggeleng
kembali. “Lain kali saja Mirah.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat
terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas,
apakah sikapnya terlalu menjemukan?
Tetapi pertemuan itu
dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka
menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa
lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali
tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum, “Marilah Kakang
Sidanti.”
Namun wajah Sidanti itu
menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti.
Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia
berkata, “Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu
rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang “Sudah
berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak senang mendengar
jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara
kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata, “Apakah kepadamu aku harus memberi
peringatan?”
Kata-katanya itu tergores di
dada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun
gelora di dadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika
dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun
dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk
bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran.
“Jangan lekas marah Kakang
Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil
mengucapkannya.
“Hem” Sidanti menarik nafas
untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak senang melihat
pergaulan kalian.”
Sedayu tidak segera menjawab.
Ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang
menjawab lantang, “Kau tidak berhak berkata demikian Kakang. Aku bebas berbuat
apapun di halaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit bibirnya.
Nyala di matanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayupun menjadi semakin
mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata,
“Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya.”
Sekar Mirah memandang wajah
Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan
kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya,
“Jangan Tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku.
Halaman ini halamanku.”
Sidanti kini terdengar
menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha
untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah
kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya, “Sedayu. Aku dengar kau
adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan.”
Hati Agung Sedayu benar-benar
telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi di hadapan Sekar
Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah
dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan
belaka.
Karena itu masih dengan
ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab, “Sidanti. Apakah keuntungan kita
berbuat demikian?”
“Jangan bicara tentang untung
dan rugi!” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia
tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin
heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya
sampai setengah mati?
Suasana kemudian tenggelam
dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk melancarkan
serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih
saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah.
Karena itu Sekar Mirah menjadi
semakin tidak mengerti. Betapapun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah
sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu
berkata terputus-putus, “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik
terhadap laskar Paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan
siapapun juga, selain laskar Tohpati.”
Sidanti kembali menggigit
bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katanya Sedayu. Karena itu maka ia
berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi
diam.
Kemudian kediaman itu
dipecahkan oleh sebuah suara nyaring di sudut rumah, “Siapa yang ribut?”
Dan muncullah seorang anak
muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam
kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya Sekar
Mirah.
“Apa yang terjadi Mirah?”
bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku
untuk menuruti kehendaknya“ jawabnya.
Sidanti terkejut mendengar
jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan,
“Menurut Kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki
kecuali Kakang Sidanti sendiri.”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi
Sekar Mirah berkata terus, “Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”
Swandaru memandang Sidanti
dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap
anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh, “Jangan hiraukan Mirah.
Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun
pagi.”
Sidanti adalah anak muda yang
masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena
itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti pernah
dilakukannya.
Swandaru terkejut, namun ia
tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat di pipinya
sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan
keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik
adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa
kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan
ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti
seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya
bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah, “Kau setan, Sidanti.”
Pekik Sekar Mirah ternyata
didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk di pendapa. Beberapa
orang berlari-larian ke belakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru
masih duduk di tanah dan dari mulutnya mengalir darah.
Di antara mereka berdiri
dengan dada yang bergolak pemimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan
tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri di belakang
rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya di dalam hati, “Celaka.
Swandaru terlibat pula.”
Sidanti masih berdiri seperti
tonggak. Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam ke dalam bumi.
Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. Namun ia
sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan
timbul pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu
terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab.
Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri
memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra Gati
dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti
tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu “Apa
yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan
wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak
mampu menjawab pertanyaan itu.
Yang terdengar kemudian adalah
kata-katanya Swandaru. “Yang aku ketahui Paman, mulutku berdarah dan kepalaku
serasa hampir terlepas.”
Widura berpaling ke arah
Swandaru yang masih terduduk di tanah. “Berdirilah Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda
itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah yang
masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum
tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun
ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus, “Tangan Kakang
Sidanti benar-benar seberat timah.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar.
Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau sakiti dia
Sidanti?”
“Anak itu mendahului Kakang”
sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah.
“Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas.
“Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya.
Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya
“Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini tidak ingin
bersembunyi di belakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya
dengan dada tengadah, “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan Adi Agung
Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak
bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung.”
Jawaban itu benar-benar tak
diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini
di luar campur tangan pihak-pihak lain.
Karena itu maka Widurapun
menjadi berdebar-debar pula. Katanya, “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di
Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang
terjadi disini. Apalagi diantara anak buahku sendiri.”
“Tetapi apabila persoalan itu
menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku adalah persoalan
seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan Kakang
disini.”
Dahi Widurapun menjadi
berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak
buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya, “Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan
persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan
hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya.
Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata, “Ada hakku untuk berbuat atas
kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah
keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini.”
Terasa sesuatu berdesir di
dada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari
pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya
sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa
karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri di samping Citra
Gati berbisik, “Ah, Kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu,
sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali
Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah
betapa kecewa Angger Sedayu mendengar keputusan Pamannya. Untunglah ia anak
yang patuh, sehingga keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya
juga.”
Mulut Citra Gati
berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan
Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah
yang masam memandang Widura dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Apakah mulutnya
dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap,
Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti
marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil
keputusan yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka
dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang di sekitar Sidanti menjadi
kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda
yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan
kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti
akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia
menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata,
“Aku perintahkan kalian kembali ke pendapa.”
Sidanti memandang Widura
dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini.”
“Kau dengar perintahku” ulang
Widura.
Sidanti masih berdiri di tempatnya.
Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang
anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak
dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata, “Sidanti, aku perintahkan kau
kembali ke pendapa.”
“Aku disini” jawabnya.
Widura pun menjadi marah
karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah
bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah
pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil
berkata lantang, “Sidanti, untuk terakhir kalinya aku memberikan peringatanku.
Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan
tempat ini, dan pergi ke pendapa.”
Tubuh Sidantipun bergetar
karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga
apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan
melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin
melampauinya” katanya di dalam hatinya.
Namun ketika ia melihat
beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati,
Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri di
pelipis dan dahinya, Patra Bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti
tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau
mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan
mengalami kesulitan.
Karena itu ketika terpandang
sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan
menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia
meninggalkan tempat itu pergi ke pendapa.
Keteganganpun kemudian mereda.
Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian
terdengar kembali perintahnya, “Kembali ke pendapa.”
Setiap orang yang berada di
tempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang
siur di antara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah
dan Swandaru.
Perlahan-lahan Widura meraba
pipi Swandaru, diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan di pipi itu
“Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya di dalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata
Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf
kepadanya.”
Swandaru tersenyum meskipun
masam. “Kenapa Paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah
seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan
telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda disini?
Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu”
sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk.
Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh
permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian,
dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun
kemudian masuk ke rumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa.
Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali
dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram di dalam hatinya, “Awas Sidanti,
suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi
Swandaru, Swandaru Geni, adalah seorang anak jantan.”
Sedayupun kemudian mengikuti
pamannya ke pringgitan. Di pringgitan ia duduk saja sambil menekurkan
kepalanya. Ketika pamannya kemudian duduk di hadapannya, hatinya menjadi
berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya
“Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat
menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula, “Bukankah aku
pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba
melakukannya Paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku pergi ke
sumur atau ke belakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan
gadis itu.”
“Aku tidak keberatan apapun
yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggungjawabkannya. Aku
berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar
hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu
masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu,
kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah
cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri.”
Wajah Sedayu menjadi semakin
tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah
benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya
seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh di dalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya.
“Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia
tidak berani tinggal seorang diri di sana.
“Atau ke Banyu Asri?” kata
pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya
sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja
menemukannya di Banyu Asri. Alap-Alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya,
sebab Alap-Alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti
dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda yang mengerikan
itu.
“Biarlah aku disini paman. Aku
berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh.
“Terlalu, terlalu” gumamnya.
Ia telah benar-benar menjadi
jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Di pendapa Sidanti masih duduk
di sudut di atas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang
memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa
orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula,
mereka duduk-duduk di samping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu
melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. Diletakkannya senjatanya, dan
dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti.
Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu
berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya.
Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang melihatnyapun
tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak di tempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya
itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam
lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil
hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri
beberapa langkah di hadapannya, Widura bertanya, “Apakah ada sesuatu yang
penting?”
“Ya Kakang” jawab Sidanti.
“Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Kakang Widura tanpa didengar oleh
seorangpun.”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar,
sehingga tiba-tiba wajahnya beredar ke segala sudut halaman dan pendapa rumah
kademangan itu.
“Kalau kau tidak
berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya
tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh
bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti
perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin mengatakan
sesuatu. Tetapi tidak di sini.”
“Berkatalah sekarang” sahut
Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali
lagi ia memandang berkeliling. Di tangga pendapa ia melihat beberapa orang
berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah. Di
regolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.
“Baiklah Kakang” berkata
Sidanti. “Aku hanya akan minta ijin Kakang untuk menyelesaikan persoalanku
dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut
dan menjadi semakin dalam menghunjam di dalam dadaku.”
Widura terkejut mendengar
permintaan itu. Ternyata Sidanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya.
Karena itu untuk sesaat Widura
tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus, “Aku bersedia
memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa
atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata.”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi
tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya, “Tidak. Aku tidak memberimu
ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan.”
Sidanti menjadi kecewa. Namun
ia masih berkata terus, “Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah Kakang ingin
dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila terdapat
kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih
cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara
kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat
membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita di hadapan
laskar Jipang.”
Sekali lagi Widura menggeleng.
Katanya tegas, “Tidak. Perkelahian di antara kita sama sekali tak akan
menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak
mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena
perempuan.”
Wajah Sidanti tiba-tiba
menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali di dadanya. Kata-kata
Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan
yang tersimpan di dadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang
Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan
yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan
pribadi.
Karena itu kini Sidanti tidak
dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata
perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, “Kakang, apakah sebenarnya Kakang
sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan
meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina
Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura
hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata,
“Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian di antara
kalian, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman.”
Sidanti tersenyum. Senyum yang
benar-benar menyakitkan hati. Katanya, “Hem, Kakang Widura. Sebagai seorang
bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri
dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya.”
Sekali lagi dada Widura
terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat
percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang
tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti
tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang
mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar
ketika Widura berkata, “Aku mempunyai kekuasaan di sini Sidanti.”
Sidanti masih tersenyum.
Katanya, “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk
keuntungan pribadi.”
Dada Widura benar-benar hampir
pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang
pemimpin. Maka katanya, “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu Sidanti.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba iapun berkata, “Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang
melihat.”
“Bagus” berkata Widura. Ia
benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya
apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin.
Maka katanya seterusnya,
“Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu.”
Dada Sidantipun bergetar
semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat.
Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itupun
mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan
tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan
ke pendapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya anak
buahnya berdiri berjajar di samping pendapa, sedang di regol halaman dilihatnya
beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak di tangan.
“Apapun yang terjadi” katanya
didalam hati. “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang
berani menghadapi setiap keadaan di bawah kekuasaanku. Kalau aku hindari
tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan
kewibawaan.”
“Tetapi” terdengar pula suara
yang lain, “bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal”
jawabnya sendiri. “Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan
prajurit.”
Sesaat kemudian Widura itupun
melangkah kembali ke regol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya
“Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah
seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman.”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami.”
Widura menjadi berdebar-debar
karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara
Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru
sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham.
Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan
menyulitkannya.
Tetapi di samping itu
tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun,
namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu
mengumpat di dalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat
Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau
anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya.”
Ketika Widura melangkah
kembali ke pendapa, terasa seseorang menggamitnya.
Orang itu adalah Citra Gati.
Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan Sidanti
itu kakang?”
Widura memandangnya
bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum, “Tidak apa-apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya
“Aku melihat sesuatu yang tidak wajar Kakang. Jangan biarkan kami
menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang
sombong itu.”
“Tenaganya kita perlukan
disini” sahut Widura.
Citra Gati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu
benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka
hatinya?
Karena itu ia bertanya,
“Tetapi Kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak
menyenangkan.”
“Aku akan mencoba untuk
mengatasinya” jawab Widura.
“Mudah-mudahan Kakang
berhasil” gumam Citra Gati. “Kalau perlu, Kakang dapat minta bantuan kami.
Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya.
Katanya, “Jangan. Dengan demikian dendam di antara kalian akan semakin menyala.
Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada di muka hidung kita. Alap-Alap
Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran di daerah Pakuwon dan Karajan.
Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi di sana-sini. Suatu
ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat.”
Citra Gati menarik nafas
dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya.
Meskipun di dalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan
dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan,
namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
“Kakang” tiba-tiba terdengar
Citra Gati berkata pula. “Kenapa Kakang tidak membiarkan Angger Agung Sedayu
sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar.
Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena perempuan.”
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Ia tidak dapat berkata apapun
lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun
kemudian kembali ke pendapa dan duduk di samping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?”
bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk di sampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu
dirahasiakan oleh Kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat
sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk
menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan
bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam
dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan di
langit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar di udara, mencari
mangsanya. Namun induk-induk ayam dengan bulu-bulunya yang tebal, segera
menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali ke
pringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja
timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia
datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura
adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Mataharipun semakin lama
semakin condong ke barat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang.
Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal
Putung masuk ke dalamnya.
“Silakan Kakang” sambut
Widura.
Ki Demang dengan lelahnya
duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri,
dan terdengar ia berkata lirih, “Marilah bapak Demang”
“Silakan, silakan Ngger” jawab
Demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita
masih sempat ditanami.”
“Oh “ sahut Widura sambil
duduk pula. “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari Ki Demang sejak
siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari
Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal.”
“Kami harus minta maaf kepada
kkakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar
Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan.”
Wajah Sedayu menjadi semakin
tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang
meneruskan, “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan
ini tidak terulang kembali.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Untunglah Demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat
memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak
menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura
kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku.”
Ki Demang tersenyum. Namun
kemudian ia berkata, “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain.”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan di
antara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah
maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang
membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya.”
“Tepat” sahut ki Demang.
“Jangankan anak-anak Adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup di
antara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat,
kalau Adi menyetujui.”
“Bagaimana?”
“Anak-anak muda Sangkal Putung
akan mengadakan perlombaan ketangkasan.”
“Bagus” sahut Widura dengan
serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga
mengadakannya.”
Ki Demang tersenyum. “Nah,
kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik Kakang” jawab Widura.
“Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja
untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga
untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk
lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan
dapat memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata Ki Demang
itu kemudian. “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat.”
Ki Demang itupun kemudian
berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai ke pintu,
melihat anak-anaknya sudah berbaring di tempat masing-masing. Tetapi ketika
pandangan matanya hinggap di sudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi
berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada di
tempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika Ki Demang telah turun ke
halaman, segera Widura masuk kembali ke pringgitan. Dibenahinya pakaiannya,
dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya di
lambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya
malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal
Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk
bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura
telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu, “Kau tinggal di rumah kali
ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri.”
Dada Agung Sedayu
berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan
hatinya. Karena itu ia bertanya, “Kenapa aku tidak ikut serta Paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal di
rumah.”
Widura tidak menunggu jawaban
Agung Sedayu. Segera ia melangkah ke luar. Katanya dalam hati, “Biarlah anak
itu aku tunggu di regol halaman.”
Demikian Widura meninggalkan
pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa
dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah Paman
sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya di dalam hati.
Dan tiba-tiba saja timbullah
keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja
kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya. “Jangan-jangan Kiai
Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada
suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan apapun alasannya.”
Tiba-tiba Sedayu hampir
pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti
terjulur masuk.
Tetapi anak muda itu tidak
meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya, “Dimanakah Kakang
Widura?”
“Di luar” jawabnya singkat,
tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata
Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia
bertanya, “Kakang Widura tidak di sini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya
menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk.
Ditatapnya wajah Agung Sedayu
dengan nyala dendam di matanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata, “Sayang,
Kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri.”
Betapapun dada Sedayu
bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan di
wajahnya. Dengan tergagap ia menjawab, “Demikianlah.”
“Tetapi bukankah kita bisa
menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula. “Kita tidak usah minta ijin kepada
Kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika
tiba-tiba ia mendengar suara Widura di luar pintu “Sidanti, aku menunggumu di
sini.”
“Oh” sahut Sidanti. “Aku
sedang mencari Kakang.”
“Marilah Sidanti, biarkan
Sedayu di tempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku.”
Sidanti menarik alisnya.
Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa ia
melangkah keluar sambil menggeram, “Baik Kakang Widura”. Tetapi kemarahannya
kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi
permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum. “Terima
kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura
meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu.”
Sidanti tidak menjawab. Namun
ia melangkah ke sudut pendapa. Dari dinding di atas pembaringannya diraihnya
senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura, “Marilah
Kakang.”
Widura tidak menjawab.
Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan di belakangnya.
Di regol halaman Widura
berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia berkata, “Aku akan nganglang
kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik.”
“Baik tuan” jawab penjaga itu.
Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap
malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba
apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan
Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya “Aneh.”
“Apa yang aneh Kakang?”
bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti,
apakah sebenarnya yang memukau Kakang Widura. Anak muda yang sombong itu
seakan-akan tak pernah berbuat salah di hadapan Kakang Widura. Kalau aku
menjadi Kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, Angger Agung Sedayu
sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya Angger Sedayulah yang di anggap
bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang dibawanya.”
“Akupun tak mengerti” sahut
Sendawa yang berada di tempat itu pula. “Siang tadi aku melihat Sidanti
bercakap-cakap di halaman dengan Kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti
itu sedang minta maaf kepada Kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya
Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka.”
Semua orang berpaling
kepadanya. “Apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya.
“Terlalu kabur” jawab Sendawa.
“Tetapi prasangka yang jelek.”
Semua yang mendengar
kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh
raksasa itu meneruskan, “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti.”
“Janganlah berkata begitu”
sahut salah seorang diataranya. “Bukankah kK Widura itu telah berkata, menurut
Kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan di sini? Ialah
satu-satunya orang di samping Ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan
arus kemarahan Macan Kepatihan di antara kita.”
Sendawa terdiam. Namun di
dalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti
benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa
disengajanya ia bergumam, “Anak muda itu benar-benar anak setan.”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja
berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa.
“Gampang. Kalau sekali-sekali
kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti.”
“Belum tentu. Aku dapat juga
berhadapan dengan Ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu.”
“Kau bersetuju dulu dengan
mereka.”
“Bagus,” Sendawa berhenti
sebentar, “tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu.”
Yang mendengar pengakuan
itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. Namun hatinya mengumpat tak
habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian
menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali ke pendapa diikuti oleh Sendawa
sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua
orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan
nyenyaknya mendengkur di samping Sonya.
Widura dan Sidanti masih
berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang
lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia
sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah
mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang di
regol halaman, mereka pun tidak bertanya pula.
Di gardu anak-anak muda
Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap di muka pintu.
Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang ke gardu
itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu. Hanya
matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya terhadap anak
muda yang perkasa, murid Ki Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap
daerah-daerah di sekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu
selesai, berkatalah Widura, “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti,
sekarang kau mendapat giliran.”
Mendengar kata-kata Widura
itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan
juga kegembiraan di dalam dadanya. Jawabnya, “Baik Kakang. Kemana kita akan
pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab
Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi
ketika mereka sampai di simpang tiga di luar desa induk Sangkal Putung, Widura
membelok ke kanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan di sampingnya, mencoba untuk
menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa
Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya
gelisah.
Beberapa saat merekapun sampai
ke pategalan yang luas. Di antara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah
beberapa bagian tanah yang kosong.
Meskipun Widura tidak bertanya
sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa di daerah sekitar inilah
Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada
di sekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai
seorang pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Di bawah sebatang pohon jambu
mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya, “Kita berhenti disini Kakang.”
Widura pun berhenti pula.
Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang
dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak di sekitarnya.
Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam.
Kemudian dengan suara yang
berat Widura berkata, “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”
Dada Sidanti berdesir
mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas
dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari pengaruh
itu. Maka jawabnya, “Aku ingin minta ijin itu kakang.”
“Ijin untuk berkelahi dengan
Sedayu?”
“Ya.”
“Sudah aku jawab.”
Sidanti menarik nafas.
Jawabnya, “Kakang tidak berhak melarang.”
“Sidanti” berkata Widura.
Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud Sidanti yang
sebenarnya. Karena itu ia meneruskan, “Kau tidak usah melingkar-lingkar.
Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan
merubah keputusan itu.”
“Nah” sahut Sidanti. “Sekarang
aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan
seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia
lebih senang bersembunyi di balik punggung Kakang Widura. Bukankah demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti
dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya, “Terserah atas penilaiannmu Sidanti.”
“Apakah bukan sebenarnya
demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi
ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar
Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam
diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam ke dalam biji mata Sidanti.
Dengan demikian Sidanti
menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia
berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur,
siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa
akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun
sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu
maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan di
dalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai
orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba
memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku.”
Widura berhenti sejenak,
kemudian terdengar ia meneruskan, “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang
ada di dalam hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan
dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat
kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula di dalam otakmu, keinginan untuk memegang
pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan.”
“Bohong” potong Sidanti
tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya, “Apakah aku salah
duga?”
Sidanti menjadi seakan-akan
terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun
kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah
katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura
mendesaknya, “Jawab.”
“Ya” kata itu meloncat begitu
saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya.
Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya.
Karena itu Sidanti sudah tidak
akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata, “Bagus.
Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan
jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah,
sekarang apa katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk
sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena
itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata, “Kakang Widura, kau
harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain
yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan
kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada
Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada
Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat
sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah satu diantara kita
yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan bersama.”
Tiba-tiba mata Sidanti itupun
menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya,
“Aku akan memaksakan kehendakku.”
“Aku sudah menyangka” jawab
Widura, “Dan aku sudah siap.”
Tetapi Sidanti masih saja
berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari
kelopaknya.
Widura yang sudah siap itupun
menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan
Widura masih juga berkata, “Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti,
maka kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku
membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan selalu terjadi.”
Sidanti benar-benar telah
dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah
tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian
yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu
dipecahkan oleh bunyi bilalang di atas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian,
terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut
karena suara itu.
Namun Widura terkejut, karena
kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar
bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada di
sekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu
berhenti, terdengar Sidanti berkata, “Apakah Kakang Widura tetap pada
pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi
ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti
lantang. “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai Kakang Widura di
Sangkal Putung.”
“Hak itu hanya dapat kau
terima dari Panglima Wira Tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.
“Omong kosong!” bentak
Sidanti.
Sekali lagi Widura membiarkan
anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak
juga berkurang. Maka kemudian ia berkata, “Sekarang bersiaplah Kakang, aku akan
memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan.”
“Silakan. Meskipun penilaianmu
atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat
berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan ke sebatang pohon perdu,
menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya
menghadapi Widura tanpa senjata di tangan.
Widura heran melihat kelakuan
Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu.
Sidanti adalah seorang pelaku.
Di belakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu,
agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya memerintahkannya untuk
berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan
ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti,
Widura pun menyangkutkan pedangnya pula di dahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak
berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar
lagi. Dengan serta-merta ia berkata, “Aku akan mulai Kakang.”
Sebelum Widura menjawab
Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus ke
depan mengarah satu ke leher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain
menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang
tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil
merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal
dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura
membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung
Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar
tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia
berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram.
Katanya dalam hati, “murid Ki Tambak Wedi ini benar-benar lincah.”
Sebenarnyalah Sidanti dapat
bergerak selincah burung walet yang menari-nari di udara pada senja hari di
atas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar
seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip
seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat,
sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari
sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan
jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah
perlawanan tersendiri di samping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga
Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur
kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu
menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah,
dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah
luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar
seakan-akan tak terkendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam
gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan.
Tetapi Sidanti dan Widura
tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup
kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang
dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah
menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik
ke titik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun
ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong
surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka
dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya surut
beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi
tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi bertambah sengit.
Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh
sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan
sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah
menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan
Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri
terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu
melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan
Widura cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah ke pelipisnya,
Widura sempat merendahkan dirinya.
Tetapi ternyata Sidantipun
cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura,
cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang
merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat
dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya.
Benturan kekuatan itupun telah
mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian
mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari
lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura
memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka dengan
pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun
Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian
adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan
setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata
setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan
baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura
itupun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah,
apabila ia tak pula dapat menang daripadanya.
Bahkan Widura sendiri
kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil
melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua
tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam
pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada
sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa.
Namun ilmu itu terasa sama
sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan
ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang
melihat latihan-latihan Agung Sedayu di Gunung Gowok. Orang yang memakai ciri
kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati.
“Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk ke dalam perbendaharaan
ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong
aku pula kali ini.”
Dan teringatlah oeh Widura
kata-katanya orang bertopeng itu, “Sidantipun selalu melatih diri bersama
gurunya.”
Tangkapannya atas kata-kata
itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang
sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang
bergejolak di dalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura,
dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam
persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan
kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak
segera dapat menundukkan Widura. Betapapun ia telah berjuang. Diperasnya
segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih
saja dengan gigihnya melakukan perlawanan.
Tetapi, baik Sidanti sendiri
maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap
malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun
selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi
dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan
bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu
masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka.
Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin susut.
Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya.
Karena itulah maka Sidanti
menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka
nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin
bersikap keras kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura
kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar.
Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu
adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itupun
benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia
meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh,
ia berkata lantang, “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya.”
Widura tidak segera
menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti. Katanya,
“Apakah yang kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata
masing-masing?”
Widura menarik nafas
dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam
yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan
kemarahan yang membakar jantung Sidanti.
Dalam pada itu terdengar
Widura berkata, “Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti.
“Bukankah maksud Kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu,
dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya.”
“Aku menyadari kemungkinan
itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau Kakang bersedia
memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, maupun
kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku
tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini.”
Sekali lagi Widura menarik nafas
dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah, “Sidanti, aku telah siap
mempertahankan keputusanku.”
“Bagus” teriak Sidanti sambil
meloncat meraih pusakanya.
Sesaat Widura masih tegak
ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya,
maka perlahan-lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang
tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai
laki-laki, Kakang” berkata Sidanti .
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling
membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang
kalah.”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada
setiap keputusan dari yang menang.”
Tiba-tiba Widura menggeleng.
“Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing di sini tidak
mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung.”
Dada Sidanti serasa
menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu apakah gunanya kita
bertempur di sini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya
memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan
atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan mengambil
keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat
seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu.”
“Gila. Apakah kau sangka aku
tidak dapat membunuhmu Kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan
mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci
yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan.”
Tubuh Sidanti tiba-tiba
bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup.
Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya,
“Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku
tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku
sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku
dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada Panglima Wira Tamtama di Pajang.
Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu
menyalurkan perintah Adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak.
Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan Adipati Pajang itu.”
“Persetan!” potong Sidanti
hampir hangus dibakar kemarahannya. “Bersiaplah!”
Widura kini benar-benar tak
dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam di ujung dan
pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum
pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk
dengan pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya.
Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnyapun
kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja
terjulur lurus ke dada lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan,
bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia
masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus
dinding baja dari putaran pedang lawannya.
Perkelahian diantara keduanya
kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan
senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam di ujung dan pangkal senjata
itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat
membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu
menyambar-nyambar seperti alap-alap di udara.
Tetapi perkelahian inipun tak
akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata
masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan di antara senjata
mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan di
antara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan
dari kedua senjata itu.
Sidantipun telah berjuang
memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan
segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-akan
tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah
mempergunakan pula setiap tenaga cadangan di dalam tubuh mereka.
Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan di masa-masa
lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka masih tetap berimbang. Bahkan
setelah tenaga mereka semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari
yang lain.
Kini serangan-serangan mereka
sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret
beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang
demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka
terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena
sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan
keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu
menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah
tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika
ia meloncat ke samping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang
telah terjadi selama perkelahian itu.
Widura yang kelelahan itupun
tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti
ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia
terseret beberapa langkah oleh senjatanya.
Dalam keadaan yang demikian,
masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya, namun
mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki
mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan
perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang
seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun di antara mereka yang
mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi
semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin bergeser ke barat. Langit
yang biru gelap tersaput oleh mega yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan
oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih
berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya
lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan
senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubuh lawannya. Sedang
apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia
sendirilah yang akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini
satu-satu tersangkut di dalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti
mereka sedang bertempur di dalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali
terjadi juga benturan di antara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua
itupun terdorong surut dan kemudian terbanting jatuh di tanah. Dengan susah
payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang
sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah
berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah
hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan
ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat mereka
berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak
lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya,
dan bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun
hanya selapis tipis dari Widura.
Namun ternyata kini, bahwa
ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan
selama ini, di hampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir
sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar
kagum kepada anak muda murid Ki Tambak Wedi itu. Namun di dalam lekuk-lekuk
hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa
merah biru di wajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi
melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya di tengah-tengah itu ada juga
manfaatnya baginya.
Kini ia benar-benar menghadapi
senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu
benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru di
wajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. Karena itu pun
Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan diri
Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat
berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan
karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga yang telah terkuras
habis.
Sidanti yang dengan susah
payah masih mencoba tegak di atas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau
yang gemetar. Katanya, “Mampus kau Kakang Widura.”
Keadaan Widura pun tidak lebih
baik dari keadaan Sidanti. Namun otaknyalah yang lebih baik. Meskipun nafasnya
telah hampir putus di tenggorokan, namun ia berkata di antara engah nafasnya,
”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”
Terdengar Sidanti menggeram.
Matanya masih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi
semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat
ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat
kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah
didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari
mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah dengan demikian kau
tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun
manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura. “Apakah
aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa,
seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas
kehendakmu.”
“Itu bukan karena aku Widura.
Tetapi itu karena wewenang yang aku terima.”
“Omong kosong!” bentak
Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu.”
Widura menggeleng. “Tidak”
jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan
meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia
terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan keseimbangannya
kembali.
“Gila” anak itu mengumpat
lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak di
tempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura
itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya
yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih
tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin
bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba
mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widuralah kemudian
terguncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran
yang tiba-tiba di antara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah
cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu, “Selamat datang guru.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang
matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Ki
Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha
yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk
pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu
“Selamat datang Kiai.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya
hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Hem, selamat
Widura.”
Widura pun mencoba untuk
mengenal wajah orang yang namanya terkenal di daerah sebelah timur gunung
Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Di antara sepasang matanya
yang tajam itu, tampaklah hidung Ki Tambak Wedi besar dan melengkung seperti
paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura
untuk melihat setiap garis yang tergores di wajah itu.
“Widura” berkata Ki Tambak
Wedi itu kemudian. Suaranya besar dan seakan-akan bergetar saja di dalam
dadanya. “Ternyata kau mampu menyamai muridku.”
Widura mangguk kecil.
Jawabnya, “Aku hanya mecoba melayani Adi Sidanti bermain-main Kiai.”
“Jangan sombong” sahut Ki
Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras
kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu.”
Widura tidak segera menjawab.
Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Ki Tambak Wedi yang sedemikian saktinya,
sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Ki Tambak
Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang.
Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun agaknya ilmumupun
bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau
akan menjadi ketinggalan karenanya.”
Kali inipun Widura tidak
menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga
setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi,” berkata Ki Tambak
Wedi itu pula, “sangkaanku itu keliru.”
Ki Tambak Wedi diam untuk
sesaat. Kemudian katanya, “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap
tuntutan Sidanti sudah dilepaskan.”
Widura menjadi semakin
berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut
dalam setiap persoalan di Sangkal Putung.
Meskipun demikian dibiarkannya
Ki Tambak Wedi itu berkata, “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri
persoalanmu sebagai pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Apabila kau tidak
berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya
sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti
masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti itu.
Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan Agung
Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidantilah pemimpin laskar Pajang di
Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas
Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, Panglima Wira
Tamtama, untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti. Ingat, masa depan
Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu
sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh ke masa depan. Dengarlah
Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka Adipati Pajang sekarang ini,
adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira Sultan Cirebon, menantu
Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. Nah, apa pula yang kelak
akan terjadi dengan janji Tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat
membunuh Adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri
masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil ke
depan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas
baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu.”
Widura masih berdiam diri.
Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Ki Tambak Wedi.
Tetapi ia harus menjaga dirinya. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti.
Bahkan ia terkejut ketika Ki Tambak Wedi itu berkata, “Kau adalah anak tangga
yang pertama bagi Sidanti, Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itupun
menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya
kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada
Sidanti.”
Ki Tambak Wedi menarik
alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya, “Jangan berkeras kepala Widura. Ingat,
nasibmu akan dapat menjadi kurang baik.”
Sekali lagi Widura menggeleng.
“Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya di sini karena aku takut kepada Kiai.
Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku
sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang.”
Sidanti yang mendengar
percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia
menggeram, “Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Ki
Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya
di batang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores
kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku
berbuat demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura pun menjadi
semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab, “Benar Kiai, aku
mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak
akan dapat aku penuhi.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jangan begitu Widura.
Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku.”
“Terserahlah kepada Kiai.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya, “Widura, jangan
membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang.”
“Terserah kepada Kiai. Aku
harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku
ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku
mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari.”
Ki Tambak Wedi, seorang yang
sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada
tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar
jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut
kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar dan menggigil ketakutan
mendengar namanya.