Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-001

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-001 Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi.
Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.

Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.

“Aku akan berangkat” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.

Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan Kakang berangkat sekarang.”

“Tak ada waktu,” sahut kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba.”

“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.

“Tak ada orang lain” sahut kakaknya.

“Tetapi…” bibir Sedayu gemetar.

“Aku harus pergi.” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.

“Jangan, jangan,” adiknya berteriak, “aku takut!”

Untara menarik nafas panjang. Katanya, “Kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang.”

“Aku takut, justru malam ini” sahut adiknya. “Bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari?”

“Mereka tak akan datang kemari” jawab kakaknya. “Aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi.”

“Tidak, tidak” mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.

Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk disamping adiknya.

Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.

“Sedayu,” katanya kemudian, “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama Mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa.”

“Aku bukan mereka” jawab Sedayu.

Untara mengeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri.”

“Tetapi aku takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.

Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan di dalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi.

Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus ke pusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan.

Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Gumamnya, “Bagaimana kalau kau ikut?” Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya di perjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri, akan menyalahkannya.

Agung Sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana Sedayu? Kau tinggal dirumah, atau kau ikut serta?”

“Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu.

“Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar di dalam dadanya adalah “laskar Paman Widura harus diselamatkan”, dan itu adalah kewajibannya.

Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar.

“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan?” bertanya Agung Sedayu.

“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini” sahut kakaknya.

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri pula. Dibetulkannya letak pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bambu dengan bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau tenang juga.

“Bawa kerismu!” perintah kakaknya.

Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya di pinggang kiri.

Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda dibelakang rumah. Namun ketika mereka telah berada di atas punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah, “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”

Kakaknya menggeleng. “Tidak” jawabnya. “Besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam Paman Widura.”

Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang semakin deras.

“Berdoalah” bisik kakaknya. “Tuhan bersama kita.”

Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih.

Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup ke dalam kekelaman malam.

Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju ke arah timur. Di belakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh menggelegar di udara dan kilat menyambar di atas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur di bawah kaki-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit.

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku di atas punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya.

Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi di perjalanan dan apakah yang akan terjadi besok apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang daerah-daerah yang jauh di belakang garis perang. Mereka datang setiap saat, dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan belukar menjadi tempat persembunyian mereka.

Demikianlah petang tadi, Untara menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan memang itulah tujuan mereka.

Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik, “Kakang, kau melihat bayangan dihadapan kita?”

Untara mengerutkan keningnya. “Ya” jawabnya.

“Orang?” berbisik Agung Sedayu.

Untara menggeleng “Jangan mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang lampau?”

Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh raksasa menghalang di pinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya ke sisi kuda kakaknya.

“Hem” kakaknya menggeram. “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri.”

Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang.

Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang. Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin.

Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh di hadapan mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar.

“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan.

“Kenapa?” tanya kakaknya.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya. “Kau takut macan putih yang menjagai beringin itu?”

Agung Sedayu mengangguk.

“Tidak” kakaknya meneruskan. “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan.”

“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.

“Ya” jawab kakaknya.

“Macanan?” desak adiknya.

“Ya.”

Sedayu semakin gelisah. Katanya, “Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?”

“Harimau belang itu tidak seganas macan putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih maupun harimau belang. Namun lewat Macanan jalan bertambah dekat.

Agung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang kecut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara mempercepat lari kudanya, Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak lebih tebal dari tubuh kudanya dari kuda kakaknya.

Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan sempit itu tampak merah kehitam-hitaman. Dihadapan mereka terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya.

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan itu dilihatnya menghilang diujung jalan.

Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya.

Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada didepannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau itu menghadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua kali ia terpaksa berkelahi dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dengan keris yang terselip di pinggangnya itu.

Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang ke dalam hutan adalah bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah bayangan seseorang.

Untara menarik nafas untuk meredakan debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya.

Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya, “Ada apa Kakang?”

“Tidak ada apa-apa” sahut kakaknya. “Jalanan di hadapan kita sangat licin.”

“Oh” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.

Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan di hadapannya. “Apakah yang tersembunyi di balik kekelaman itu?”

Hati Agung Sedayu semakin cemas. Desisnya, “Adakah sesuatu di hadapan kita?”

Untara berbimbang. Tidak seharusnya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada di balik kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi.

“Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki” jawab kakaknya.

Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak tahu siapakah yang berada di ujung hutan itu. Kalau mereka menyerang dengan tiba-tiba, maka duduk di atas punggung kuda akan menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan kini ia tidak mau mengalami nasib serupa itu.

Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri di samping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?”

Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman.”

Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?”

“Nasib Paman Widura tergantung kepada kita” sahut kakaknya.

“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya.

Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri di pihak Pajang dalam pertentangannya dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang memaksanya untuk berjalan terus.

Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib siapapun juga?”

“Belum pasti kita akan menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung hutan itu anak-anak Paman Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh.

“Adakah seseorang di ujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.

“Ya” jawab Untara berat.

“Kakang lihat?” desak Sedayu.

“Ya.” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.

Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya sambil merengek, “Kakang, marilah kita kembali.”

“Jangan, Sedayu” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya. “Kita lihat siapakah yang berada diujung hutan itu.”

“Mereka pasti laskar Arya Penangsang” sahut adiknya.

“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.

“Mereka adalah orang-orang sakti” jawab adiknya.

“Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu” bombong kakaknya. “Apabila mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang.”

“Kita bukan laskar Pajang” bantah adiknya.

“Aku salah seorang dari prajurit Pajang” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya.

“Tetapi aku bukan” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.

Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis, “Diamlah! Supaya orang–orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.”

Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan terus.

Tiba–tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bambu wulung yang kehitam–hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun ketajaman mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih–putihan memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda mereka menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali.

Beberapa langkah dari bambu yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorangpun yang tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, di balik pohon–pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi seseorang atau lebih.

Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya seakan–akan membeku. Ia pernah melihat cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar–benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak diatas kedua kakinya itu.

Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada di dalam kedudukan yang kurang baik. Orang–orang yang berada di belakang rimbunnya daun–daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya.

Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan–lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya.

Untara menarik nafas.

Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang, “Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik.”

Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat.

Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi di balik pohon-pohon yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”

Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak di telinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar, sedang darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah, bisiknya “Peganglah kendali kuda-kuda kita”

Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.

Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu, kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”

Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat merobohkannya.

Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.

“He, siapa kalian?”

Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati “Kami anak-anak dari Sendang Gabus. Siapakah kalian?”

“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus? Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa.”

“Sadipa?” sahut suara di ujung hutan

“Ya”

“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula.

Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa, “Sadipa yang lain. Tinggi besar, berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.”

“Bagus,” sahut suara itu, “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong?”

Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong.

Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja di muka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang menggigil ketakutan.

Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada.

Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti batu karang.

“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.

Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.

“Ha,” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara, “dua anak yang berani. Siapakah namamu?”

“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.

Kembali orang itu tertawa, “Jangan berbohong!” katanya. “Anak Sadipa yang tinggi besar, berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”

Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri di hadapannya itu orang Sendang Gabus?

“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.

“Tebak siapa aku?” orang itu berkata sambil tertawa.

Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.

“Aku ingat!” tiba-tiba Untara menyahut, “kau Pande Besi Sendang Gabus.”

Orang itu mengangkat alisnya, katanya “Kau kenal aku?”

“Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang” sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande Besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orang itu telah melupakannya.

Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “ Ha! Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.”

Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak, “Setan! Bukankah kau yang bernama Untara. He?”

Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab, “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”

“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak Pande Besi itu.

“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya? Kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.”

“Huh!” sahut orang itu, “Kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung di sawah.”

“Yang penting bagiku, apakah yang telah dilakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini” sahut Untara.

“Aku bukan tukang bicara seperti kau!” bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak Tingkir itu.”

“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara.

“Persetan. Namun cita-citanya tetap hidup” jawab Pande Besi itu.

Untara tersenyum. Katanya, “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang Sendang Gabus?”

“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak Pande Besi itu.

“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.

Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab, “Ya, aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”

“Hem,” Untara menarik nafas, “kenapa golongan? Paman Pande Besi,” sambung Untara, “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang-orang Pajang bukan pendendam.”

“Persetan!“ Tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar.

Terdengar Untara menggeram, “Empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta. Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya di sana. Namun apakah pamannya sedang di rumah juga belum pasti.

Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada di samping si Pande Besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah, sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.

“Untara,” berkata si Pande Besi, “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”

Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande Besi itu akan berkata, “Kalian berdua akan kami bunuh.”

Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?

Tiba-tiba Untara berkata lantangm “Sedayu, menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak perlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Si Pande Besi menggeram, “Jangan terlalu sombong.”

Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil ketakuatan dengan dada sesak.

Pande Besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande Besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang.

“Anak ini bernama Untara,” teriak si Pande Besi “karena itu berhati-hatilah.”

“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu.

Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada di antara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.

Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada di antaranya yang mengganggu Agung Sedayu.

Maka dengan gerak yang cepat, secepat tatit menyambar dilangit, Untara meloncat menyerbu di antara mereka. Dengan berputar di atas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur, dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat ke samping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah di tangannya.

“Setan, demit, tetekan!” Pande Besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya.

Tetapi Pande Besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar, “Berikan aku sebuah pisaumu!” teriaknya. Si Pande Besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh.

Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit. Pande Besi dari Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang di ujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara.

Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke dalam api.

Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar di antara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada di luar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri di antara percikan-percikan hujan yang hampir reda.

Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur di dalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia melihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkelahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah dilihatnya adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk melakukannya.

Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya, “Anak yang satu ini aneh benar.”

Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian Pande Besi itu terpaksa menduga-duga, “Ada dua kemungkinan,” pikir Pande Besi, “anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut.”

Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara, “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Tetapi tiba-tiba Pande Besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata di antara derai tawanya, “He, Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan ayam.”

Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab, “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”

Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa Pande Besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri.

Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun ke dada si tinggi besar.

Serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tinggi kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar.

Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan senjata di tangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.

Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata, “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian, aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”

Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung.

Namun Untara adalah seorang prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si Pande Besi telah berlari ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar dan kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata, “Kakang, Kakang Untara.”

Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari, “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”

Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan.

Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri di samping adiknya. Kuda itu menjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti panah.

Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si Pande Besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara.

Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya.

Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si Pande Besi hampir saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.

Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Karena itu meskipun si Pande Besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara ke samping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah Pande Besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah.

Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan.

Anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah ke punggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau. Dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara.

Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.

Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus.

Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah ke lambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.

Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi di tangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak, orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya ke arah tubuh lawannya.

Untunglah Untara melihat pisau itu, karena itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.

Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan di luar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung menyayat jantung.

Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri.

Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran itu.

Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba untuk melawannya dengan tangannya.

Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dari luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang perlawanan mereka, Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.

Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada pilihan lain bagi Untara, kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung, termasuk nyawanya sendiri.

Tetapi anak muda lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.

Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia.

Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Untara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua orang itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi.

Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak, “Kali ini kau menang Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selama aku masih hidup di dunia ini.”

Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun.

Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya.

“Sedayu” desisnya.

Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat, “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.

Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.

“Tolong,” desis Untara, “balut lukaku.”

Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.

“Sedayu,” Untara berdesis sambil menahan nyeri, “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan?”

“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.

Tetapi Untara masih berkata lagi, “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat ini.”

Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur.

Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencari mereka berdua di sekitar tempat ini dengan kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.

Pikiran Sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan yang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan karena kakaknya menyuruhnya berjalan sambil menggantung di pundaknya dengan tangan kanannya.

Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu, apabila ia tidak mendapat pertolongan.

Sekali-sekali Untara menarik nafas. Di sekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan di temui rumah seseorang. “Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis.

Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya. “Apa katamu?” ia bertanya.

“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.

Sedayu pernah pula pergi ke rumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul di hadapan mereka, maka celakalah mereka berdua.

Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar, “Jalan dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?”

“Hem” kakaknya menahan perasaannya. Katanya tanpa menghiraukan adiknya, “Kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”

“Masih jauh” sahut adiknya.

“Kalau lukaku tak diobati,” jawab kakaknya, “aku akan mati.”

Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan di hadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.

Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pakuwon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap di dadanya.

Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik, “Kakang, kau dengar sesuatu?”

Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih, “Bukan langkah manusia, dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?”

“Ya” sahut adiknya.

Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.

“Ya Allah” serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku.”

Wajah Sedayupun menjadi agak cerah. Katanya, “Lalu, apakah kita akan berkuda?”

“Ya,” sahut kakaknya, “kudamu tak ada, namun kita berdua akan berkuda bersama-sama.”

“Kembali?”

“Tidak,” jawab Untara, “ke rumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”

Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun di atas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang.

Kini harapan di dalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya.

Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yang subur di ujung hutan, sampailah mereka ke padukuhan kecil yang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Di padukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka, dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh seseorang. Orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.

Kuda-kuda anak muda itu berhenti di muka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda, maka dipapahnya kakaknya itu ke pintu yang tekatup rapat.

Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding.

Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas di hati dukun tua itu.

Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk, terdengarlah sapa dari dalam, lirih, “Siapa?”

“Aku, Ki Tanu,” jawab Untara, “Untara, dari Jati Anom.”

“Untara?” ulang Ki Tanu Metir. “Untara. O, adakah engkau Angger Untara putera Ki Sadewa?”

“Ya, Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.

Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dengan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret di atas lantai tanah.

Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan munculah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.

Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau terluka Ngger?”

“Marilah,” Ki Tanu Metir mempersilahkan, “duduklah. Biarlah aku mencoba melihat luka itu.”

Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.

Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong Ngger, peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang baik.”

Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa ke dekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka di pundak Untara.

Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya. Gumamnya, “Hem, luar biasa.”

“Apa yang luar biasa?” desis Untara.

“Tubuhmu sangat tahan, Ngger. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya Angger tidak terlalu lelah.”

Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara, “Widura harus diselamatkan.”

Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.

Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya, “Agaknya Angger berdua menjumpai bahaya di perjalanan.”

“Ya” jawab Untara singkat.

“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula.

Untara menggeleng lemah. “Bukan,” jawabnya, “sisa-sisa laskar adipati Jipang.”

“Hem,” gumam Ki Tanu, “mereka berkeliaran di tempat ini.”

“Di sini?” Untara terkejut mendengarnya.

“Ya, di sekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.

Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sudah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.

“Salah satu di antara mereka adalah Pande Besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.

“Ya, mereka itulah,” sahut Ki Tanu, “segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah Angger bertemu dengan Pande Besi itu?”

“Ya” jawab Untara.

“Sendiri?”

“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat.”

“Angger berdua?” potong Ki Tanu.

“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.

“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande Besi itu terkenal di daerah ini” berkata Ki Tanu seterusnya. “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ia menjawab singkat, “Aku belum kenal mereka.”

“O” Ki Tanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk di samping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara beristirahat bersandar setumpuk bantal.

“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang, Ngger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.

Sedayu menjadi bingung. Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia menjawab, “Seorang tinggi kekurus-kurusan.”

“Sebenarnya ia orang lugu,” potong Ki Tanu, “sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida.”

“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.

“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.

“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.

“Sebaya angger?” bertanya Ki Tanu.

“Kira-kira” Sedayu mengangguk.

“Alap-Alap Jalatunda” desis Ki Tanu. “Anak itu ikut serta?”

“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-Alap Jalatunda pernah di dengarnya.

Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya, “Jadi anak itukah yang disebut Alap-Alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas.”

“Ya” sahut Ki Tanu. “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande Besi dan Alap-Alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.

“Di Karajan?” ulang Untara heran. “Di samping Jati Anom?”

“Ya” jawab Ki Tanu.

Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.

Ketia ia sedang berangan-angan, terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu, “Mereka itukah yang melukai Angger Untara?”

“Ya” jawab Sedayu.

Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun dari tidurnya ia bertanya, “Lalu siapakah Angger ini?”

“Sedayu,” jawab Sedayu, “adik Kakang Untara.”

“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk. “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande Besi dan Alap-Alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”

Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga di antaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga, “Tiga di antaranya terbunuh. Anak muda yang bernama Alap-Alap Jalatunda itu melarikan diri”.

“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis, “Nama Untara benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru di sampingnya, Sedayu.”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seperti yang di katakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka.

Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi di rumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandu senjata, yang dilakukannya tidak lebih daripada membantu bibinya menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.

Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangnya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.

Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata, “Sedayu, aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?”

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.

“Jangan pikirkan yang lain,” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah.”

Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumpal di dalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan, “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan Paman Widura.”

Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”

“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula, “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Di sini dan di perjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-Alap Jalatunda pasti akan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ke tempat ini. Mereka pasti memperhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencoba mencari.”

“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda?”

“Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat.”

Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada di rumah, maka keadaannya pasti akan lebih baik.

Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu, “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa Angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa Angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau Angger bertemu dengan dengan Alap-Alap Jalatunda?”

Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah Angger Sedayu berdua dengan Angger Untara mampu menghadapi Alap-Alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande Besi Sendang Gabus? Bukankah Pande Besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”

“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari si Pande Besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-Alap Jalatunda.”

Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.

Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di Dukuh Pakuwon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian, “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-Alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah Paman Widura.”

Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu, “Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”

“Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara. “Tempuhlah jalan barat.”

“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.

“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak. “Pergilah!”

Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.

Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “Kakang, aku takut.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri.

Tiba-tiba orang tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah, “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri.”

“Kakang!” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.

Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula, “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-Alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu.”

Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar di dalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata, “Angger Untara, apa yang akan Angger lakukan itu?”

“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.

“Angger,” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu.”

Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.

Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir, “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya Angger pergi. Bukankah puncak ketakutan Angger itu adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau Angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti Angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam Angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan Alap-Alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi.”

Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar, “Adakah kakang berkata sebenarnya?”

“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti. “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi.”

Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya, “Pergi sekarang juga!”

Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju ke pintu.

Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak di dadanya. Maka bisiknya menghibur, “Angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambil-Nya, maka berlakulah kehendak-Nya meskipun Angger berperisai baja. Namun kalau Angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendak-Nya itu. Karena itu jangan takut.”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.

Di muka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Di luar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah ke punggung kuda itu.

“Selamat jalan Ngger” desis Ki Tanu Metir. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup ke dalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup ke daerah maut.

Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Di malam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam menghadangnya di perjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada di perjalanan itu.

Ketika Sedayu telah hilang di balik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya, “Kenapa hal itu Angger lakukan?”

Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam, “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya.”

Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan di samping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula, “Kasihan Sedayu.”

“Tetapi bukankah Angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.

“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.

Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.

“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula. “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat.” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah, “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-Alap Jalatunda datang kemari?”

“Tidak Angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat. “Angger memerlukan perawatanku disini.”

“Tetapi,” jawab Untara, “kalau hal itu membahayakan Ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku di sini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula.”

“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir. “Luka Angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya.”

Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda di halaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akal dan perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-Alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab,” katanya dalam hati.

Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang ke rumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya.

Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-Alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-Alap itu datang membunuhnya.

“Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-Alap Jalatunda tidak datang ke pondok itu.

Tetapi Untara terkejut ketika di dengarnya bentakan-bentakan kasar jauh di tikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.

“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.

Lamat-lamat terdengar suara itu, “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”

Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan, “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh.”

“Ampun,” sahut suara yang lain, “aku hanya mendengar suara kuda berderap.”

“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.

Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya, “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini.”

“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu,” katanya kemudian, “biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan.”

“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir, “Angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti.”

Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar di dalam dada para prajurit yang dengan senjata di tangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi di dalam dada orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya.

Untara menggeleng lemah, “Tidak,” katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan diri.”

“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir. “Kalau aku lari sekarang, maka ke rumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya.”

Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab, berkatalah Ki Tanu Metir, “Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan Angger, maka akupun akan selamat pula.”

“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.

“Mungkinkah itu?” terdengar suara Untara lirih, sedang di tikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.

“Marilah Angger aku sembunyikan di sentong kiri. Aku timbuni Angger dengan ikatan bulir-bulir padi.”

Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya.

Di sentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk ke dalam sebuah bakul yang besar. “Melingkarlah disitu Ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.

Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka di bahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda.

Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Di dalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.

Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya, “Mbah dukun, buka pintumu!”

Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-Alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi.

Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras, “He, buka pintu Ki Tanu!”

Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri, “Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun.”

Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah, “Aku tidak sempat menunggu!” terdengar suara di belakang pintu.

“Ya, ya,” sahut orang tua itu, “aku sedang berjalan.”

Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, demikian beberapa orang dengan senjata di tangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.

“Kaukah itu Kriya?” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya, “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air di parit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini.”

“Tak usah mengigau!” bentak salah seorang dari mereka. “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya.”

“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.

Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir. “Hem” geramnya. “Kita telah berkenalan, Kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu.”

“Ya, ya Angger, aku pernah mengenal nama Angger. Bukankah angger Alap-Alap Jalatunda?”

“Siapakah yang memberi aku gelar demikian?” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.

“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir. “Mungkin karena kedahsyatan Angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh.”

Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya, “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku.”

“Tidak Ngger, tidak,” sahut Ki Tanu cepat-cepat, “aku pasti akan membantu Angger.”

Di sentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika di dengarnya nama Alap-Alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan di tubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras di kerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya.

Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-Alap Jalatunda berkata, “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”

Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-Alap muda itu membentaknya, “Jawab pertanyaanku!”

Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya, “Tidak Ngger, tak seorangpun datang kemari.”

Alap-Alap Jalatunda tertawa. Katanya, “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”

“O, Angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.

“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini.”

“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong!” bentak anak muda itu.

“Aku tidak berbohong Ngger” jawab Ki Tanu.

Pandangan mata Alap-Alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata, “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku, dimana Untara kau sembunyikan?”

Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada Ngger, benar-benar tak ada.”

“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu. “Aku bertemu dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari.”

“Tidak Ngger,” jawab Ki Tanu, “sungguh tidak.”

“He monyet bungkuk!” teriak Alap-Alap itu kepada Kriya. “Jawab pertanyaanku!”

Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-Alap yang garang itu berteriak.

“Kau lihat orang berkuda masuk ke dukuh Pakuwon.”

“Aku dengar derap kuda, sahut orang itu.

Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang di wajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.

“Kau lihat dua orang di atas satu punggung kuda seperti katamu tadi di tikungan?” teriak Alap-alap itu.

Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.

Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya di tikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani di padukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.

Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-Qlap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun di kepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon, “Ampun.”

Alap-Alap Jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu, “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.

Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.

Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan, “Kriya, berkatalah sebenarnya.”

Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulang, “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada Angger Alap-Alap Jalatunda.”

Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-Alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya. “Ampun Ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu.”

“Hem, baru sekarang kau katakan itu, “geram Alap-Alap Jalatunda. “Lalu?”

“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.

Kemudian Alap-Alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya, “Kau dengar Dukun Tua, lidah si bungkuk itu terputar-putar?”

“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir. “Tetapi adakah seseorang yang masuk ke padukuhan ini pasti datang ke rumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”

Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya, “Hanya di sini tinggal seorang dukun yang ternama.” Dan tiba-tiba mata Alap-Alap itu menjadi liar. “Mana dia?” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.

Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang, “Angger, kalau Angger tidak percaya, silakan mencarinya.”

Mata Alap-Alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling ke segenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak, “Bohong!”

Tiba-tiba di antara mereka, di antara kawan-kawan Alap-Alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-Alap Jalatunda, “He Alap-Alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari di semua sudut rumah ini.”

Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut Alap-Alap Jalatunda dengan sebutan Alap-Alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.

Alap-Alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya, “Bagus,” dan kepada anak buahnya ia berkata, “carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng.”

“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu di dalam hati.

Dan debar jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang.

“Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.

Sesaat kemudian orang-orang Alap-Alap Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan mereka. Namun di sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan di sentong kiri seonggok untaian padi di dalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan.

Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring di luar pintu. Katanya, “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini.”

Alap-Alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu di bawah cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil, “Bawa Kriya kemari!”

Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati Alap-Alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.

“Kriya bungkuk!” teriak Alap-Alap muda itu. “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi.”

“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.

“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-Alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.

“Tidak, tidak” sauara Kriya hampir merintih.

“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-Alap Jalatunda.

“Tidak…” sahut Kriya.

“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.

“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawab Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.

“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya, “Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang.”

“Ha!” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.

Tiba-tiba terdengar Alap-Alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini.”

Untara menjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-Alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal di luar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak, “He, dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-Alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya di segala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Di segala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang di mana orang itu.” Kemudian katanya kepada Alap-Alap Jalatunda, “Alap-Alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi.”

“Anak itu telah pergi” jawab Alap-Alap Jalatunda.

“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung.”

Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.

Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-Alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu.”

Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya, “Kaukah yang melukainya?”

“Sudah aku katakan” jawab Alap-Alap Jalatunda.

“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.

“Ya” sahut anak muda itu.

Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya, “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-Alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula.”

Wajah Alap-Alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab, “Jangan memperkecil arti Alap-Alap Jalatunda di daerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka.”

“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-Alap Jalatunda itupun ia berkata, “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu.” Kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata, “Ke arah mana kuda yang itu?”

Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya, “Ke selatan.”

“Terus?” desak Plasa ireng.

“Tidak. Di simpang tiga membelok ke barat” jawabnya.

“Nah, kejar dia. Lewat Kali Asat” perintahnya.

Alap-Alap Jalatunda masih berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak, “Pergi!”

Alap-Alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi ke jalan kecil di muka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.

Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak, “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak, sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang.”

Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang, “Sayang Ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu.”

“He!” Plasa Ireng berteriak. “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu.”

“Ia berada dirumahku,” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada di tanganku.”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.

Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu di langit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.

Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat, terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.

Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia akan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Di bawah randu alas jalan membelok ke kiri lewat Kali Asat dan sekali lagi ia harus membelok ke kanan. Kemudian ia akan sampai ke jalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.

Teringatlah ia akan cerita tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap di dalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya ke daerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.

Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai di kelok jalan, dan sesaat kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak Dawa.

Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang di langit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.

Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu di tubuhnya menjadi tegak.

Jauh di arah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur ke selatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan di tepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.

Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang di ujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu di mata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.

Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke Dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.

“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara di atas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun ke daerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.

“Ibu, Ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.

Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di belakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-Alap Jalatunda.

Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-Alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika Pande Besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.

“Menyenangkan” desisnya. “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu.”

Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat. “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya.”

Kaki-kaki kuda Alap-Alap Jalatunda itupun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali Asat. Di benaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Cerita itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-Alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-Alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang di depannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.

Karena itu Alap-Alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.

Kembali Alap-Alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.

Di Bulak Dawa Agung Sedayu masih terpekur di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan di dadanya.

Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti di tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda di belakangnya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik. “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”

Sedayu mencoba untuk menebak. “Adakah Kakang Untara?” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.

“Adakah mereka itu gerombolan Alap-Alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula. Katanya, “Alap-Alap Jalatunda tidak berkuda.”

Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya, “Bagaimanakah kalau Alap-Alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”

Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya, “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-Alap Jalatunda di punggungnya”.

Demikianlah, tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah, “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak ini?”

Derap kuda di belakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah di belakangnya.

Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerembab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian berlari-lari terjun ke dalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang ke arah tikungan randu alas.

Pada saat itulah Alap-Alap Jalatunda muncul di kelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?”

Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-Alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa di punggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.

“Bukankah aku Alap-Alap Jalatunda” desisnya. “Alap-Alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-Alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban, “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah.”

Alap-Alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-Alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila.

Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari di muka hidungnya.

Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya. Alap-Alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya.

Suara kuda Alap-Alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh genderuwo bermata satu di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas.

Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-Alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam ke pusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit.

Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke Dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-Alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak ke arah Alap-Alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai ke pangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti.

Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang Bulak Dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari ke parit di tepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.

Ketika kuda itu muncul di siku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun ke dalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat di muka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.

Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan dan kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.

Didengarnya orang di atas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian di dengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”

Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.

“He, jawablah!” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.

“Nah” suara itu berkata pula. “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”

Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.

“He, kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah.”

Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi, “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpaksa membangunkan kau.”

Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata, “Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala.

Tetapi ia berkata pula, “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu.”

Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.

Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring, “Ha!” katanya, “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur.”

Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande Besi Sendang Gabus atau oleh Alap-Alap Jalatunda.

“Berdirilah!” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.

Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air.”

Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya, “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”

Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.

“Tidak?” teriak orang bertopeng itu. “Kau tidak mau berkelahi?”

Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.

“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian.”

Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.

“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akan memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.

Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya, “Siapa?” katanya.

Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Namanya Ki Sadewa.”

“He?” Agung Sedayu terkejut. “Kau sebut nama itu?”

“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian, benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut Kiai Gringsing.

“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.

“He?” orang itu terkejut. “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”

“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.

“Pantas, pantas” gumamnya. “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula.”

Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak, “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “orang itu benar-benar ayahku.”

“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.

Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.

Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula, “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.

“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi,” ia meneruskan, “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena itu Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.

“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.

“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.

Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi. “Aku sudah mulai” teriaknya.

Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.

“Dahsyat!” teriak Kiai Gringsing “Di dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu.”

“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.

“Ya, aku percaya” jawab orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di dalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.

Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat di dengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali. “Suara kuda” desisnya.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “dari arah tikungan randu alas.”

Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-Alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya, “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat.”

Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing. “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”

Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap di jantungnya. Namun ia menjawab, “Sejak kecil.”

Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu ke hutan daripada berlatih membidik di rumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.

Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.

“Anak muda,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita bertemu.”

“Jangan, jangan pergi, Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.

“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.

“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-Alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.

“Alap-Alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.

“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.

“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-Alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”

“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung Sedayu.

“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu, he anak muda, dan siapa nama kakakmu?” sahut Kiai Gringsing “Apakah Alap-Alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”

“Namaku Sedayu, Agung Sedayu, dan kakakku bernama Untara,“ jawab Sedayu, yang segera disusulnya dengan terbata-bata, ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.

Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya, “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak.”

“Tidak, Kiai. Aku minta Kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata, “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut.”

Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-Alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-Alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya.”

Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.

“Itulah dia, Kiai” berkata Sedayu. “Tolonglah aku.”

“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing. “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”

“Tidak, tidak,” jawab Sedayu mendesak, “aku takut.”

“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh. “Seandainya kau bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya.”

Tetapi Agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya, “Aku tidak berani Kiai, aku takut.”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak.

“Baiklah,” katanya, “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-Alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, ke atas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata, “Jangan berendam lagi di dalam air Sedayu, kau akan membeku.” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri, “Tak berhasil.”

Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Di atas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?”

Orang yang datang itu benar-benar Alap-Alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.

“Setan!” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang. “Dimana kau sembunyi, kelinci licik?”

Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-Alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi di sekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri di jalan itu, maka Alap-Alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung.”

Kuda Alap-Alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-Alap muda yang garang itu.

“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing. “Kalau aku terbunuh oleh Alap-Alap Jalatunda, kaulah yang bersalah.”

Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya, “Jangan Kiai, jangan kalah.”

Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha.”

Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-Alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya di dalam parit seorang lain berdiri gemetar. “Ha!” teriaknya kegirangan. “Kaukah itu?”

Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.

Alap-Alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. “Apakah kau penari topeng?”

Tetapi orang bertopeng itu menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap cerita.”

“Huh!” Alap-Alap itu mencibirkan bibirnya. “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-Alap Jalatunda.”

“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing.

Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya. “Dari mana kau tahu?”

“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.

“Apamukah itu?” bertanya Alap-Alap Jalatunda pula.

“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing. “Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda.”

Alap-Alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu.”

“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.

“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-Alap Jalatunda.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.

“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-Alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-Alap yang sedang marah itu.

“Tidak” sahut Kiai Gringsing. “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di dalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-Alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-Alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”

“Cukup!” bentak Alap-alap Jalatunda, “jangan membual!” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar cerita Kiai Gringsing tentang dirinya.

Kemudian terdengar Alap-Alap Jalatunda itu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya.”

Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku.”

“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu.” Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tapi, adakah orang bertopeng ini Untara yang sedang menjebaknya? Alap-Alap itu menggeleng. “Tak mungkin, Untara terluka.”

Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak.”

“Jangan banyak bicara!” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah. “Bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saja. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari!”

Alap-Alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau cepat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di tangannya tergenggam pedangnya yang putih berkilat-kilat.

“O,” berkata Kiai Gringsing, “baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku.”

Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-Alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian, “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?”

Alap-Alap Jalatunda menggeram. Jawabnya, “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai.”

“Aku akan bertempur di atas tanah” sahut Kiai Gringsing.

Alap-Alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.

Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-Alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya.

Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-Alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-Alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan! Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya.”

“Kau benar” sahut Kiai Gringsing. “Hukum di daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya.”

“Persetan!” bentak Alap-Alap Jalatunda yang sudah tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah ke dada orang bertopeng itu. “Mampus kau!” teriak Alap-alap Jalatunda.

Tetapi sekali lagi Alap-Alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-Alap Jalatunda tidak menyentuhnya.

“Gila!” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.

Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-Alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-Alap yang garang itu selalu dapat dielakkan.

Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-Alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-Alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-Alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-Alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-Alap Jalatunda. Di atas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang bertempur.

Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai ke puncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati.

Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku di dalam parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat,” kembali Kiai Gringsing itu berkata di dalam hatinya.

Karena itu, maka tiba-tiba gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi.”

Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-Alap Jalatunda. Sedang Alap-Alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya.

Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran di daerah inipun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya.

Namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya.

Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terakhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-Alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu.

Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.

Karena itu Alap-Alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh. Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.

“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-Alap Jalatunda. “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini.”

Alap-Alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.

Alap-Alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari kearah kudanya.

Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung di atas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.

Kiai Gringsing memandang Alap-Alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.

Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata, “Bukankah aku menang?”

Ketika Agung Sedayu melihat Alap-Alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.

“Nah, Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing, “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku.”

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur, “Aku tak tahu Kiai.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam hati, “Sayang.” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata, “Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Ya.” jawab anak muda itu. “Dari mana Kiai mengetahuinya?”

“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.

“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu.”

Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun menjawab, “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang.”

“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing. “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak.”

“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana.”

“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.

Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas di kejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak di seluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa.

“Hem” Agung Sedayu mengeluh. Meskipun demikian ia berkata, “Aku akan terlambat.”

“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata, “Naiklah. Dan pakai kudaku.”

Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.

“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu.

Tetapi orang itu segera menghilang di siku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri, “Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam di dalam parit.”

Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu terhadapnya.

Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.

“Nah,” bisik Agung Sedayu, “kawani aku ke Sangkal Putung.”

Agung Sedayu segera naik ke punggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah sawah yang panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus.

Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu.

Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.

“Hem” anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap.

Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah, mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-Alap Jalatunda itupun tak diganggunya.

Jalan di hadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini di hadapannya dilihatnya padukuhan yang kecil. Kali Asat. Padukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok ke kanan sampailah ia ke jalan lurus menuju Sangkal Putung.

Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.”

“Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”.

Namun disudut hatinya yang lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri, “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-Alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah Ayah dahulu pernah bercerita, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya.”

Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita.”

Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.

“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.

Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika didengarnya sebuah teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang ke kandangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.

“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Di mukanya tampak sebuah padukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah dilihatnya, dan di sudut jalan tampak sebuah gardu perondan.

Agung Sedayu langsung berpacu ke gardu itu. Ia tahu benar bahwa di gardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda.

Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang di gardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhidung mancung maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?”

“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang. “Aku akan bertemu Paman Widura.”

“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.

“Penting sekali. Hanya Paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.

Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”

“Demi kepentingan Paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.

“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.

Agung Sedayu masih berada di punggung kuda, ketika dua orang mendekatinya. “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.

“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu.

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun kemudian berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak Anakmas sampai di gardu ini”

“Oh” sahut Agung Sedayu. “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu.” Dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.

“Nah,” berkata pemimpin itu, “kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan Anakmas dan biarlah kuda itu disini.”

“Baik” jawab Sedayu. “Terima kasih.”

“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya.

Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di belakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.

“Anak buah Paman Widura sangat berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga ke belakang, seakan-akan orang yang berjalan di belakangnya itu akan menerkamnya.

Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka di sebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar di sekelilingnya. Di depan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.

Orang pertama, yang berjalan di muka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.

Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam. Empat kali berturut-turut.

Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang di mukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

“Peronda di gardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.

“Sekarang?” bertanya orang di dalam halaman.

“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak muda.”

Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan Paman Widura.”

“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar.”

Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Di timur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaannya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?”

“Agung Sedayu” jawab Sedayu.

Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami di sini.”

Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadanya.”

“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.

Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.

Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan ke regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”

“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya. “Selamat malam Bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok.”

Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal oleh orang-orang itu. Katanya “Aku membawa berita dari Kakang Untara.”

“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang pula meskipun hanya di dalam hati.

“Adakah Angger ini utusan Angger Untara?” bertanya Demang itu.

“Ya,” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan, “aku adiknya.”

“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami belum mengenal Anakmas. Namun nama kakak Anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang Anakmas bawa pasti kabar yang penting.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.

“Marilah Ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah Adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting.”

Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju ke pendapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan di belakangnya.

“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih. “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan Adi Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.

“Sayang,” Demang itu meneruskan, “persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya Adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar.”

Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah Angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak yang berlainan?”

Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu. Tetapi di dalam hatinyapun timbul pertanyaan, “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar