Sekali-sekali terdengar petir
bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung
Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.
Agung Sedayu masih duduk
menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin
dan suasana sangat mencemaskan.
“Aku akan berangkat” tiba-tiba
terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat
wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan Kakang
berangkat sekarang.”
“Tak ada waktu,” sahut
kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan
menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung.
Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti.
Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba.”
“Tidakkah ada orang lain yang
dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.
“Tak ada orang lain” sahut
kakaknya.
“Tetapi…” bibir Sedayu
gemetar.
“Aku harus pergi.” Untara
segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.
“Jangan, jangan,” adiknya
berteriak, “aku takut!”
Untara menarik nafas panjang.
Katanya, “Kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau
pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang.”
“Aku takut, justru malam ini”
sahut adiknya. “Bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari?”
“Mereka tak akan datang
kemari” jawab kakaknya. “Aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura.
Karena itu aku harus pergi.”
“Tidak, tidak” mata Sedayu
mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.
Sekali lagi Untara menarik
nafas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk disamping
adiknya.
Hatinya menjadi bingung. Ia
tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam
bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18
tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal
ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka
anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan
keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan
memelihara anak bayi.
“Sedayu,” katanya kemudian,
“umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu
bernama Mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang
muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa.”
“Aku bukan mereka” jawab
Sedayu.
Untara mengeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya, “Setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri.”
“Tetapi aku takut” Sedayu
tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.
Kembali Untara termenung.
Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu
dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah
maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak
mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua
langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan di dalam latihan-latihan
dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan
ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya
terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya.
Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang
sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi.
Untara kini benar-benar
kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus ke pusat malam.
Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan.
Tiba-tiba Untara mengangkat
wajahnya. Gumamnya, “Bagaimana kalau kau ikut?” Namun terasa hatinya sendiri
beragu. Kalau ada bahaya di perjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka
seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri, akan
menyalahkannya.
Agung Sedayu memandang wajah
kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada malam yang gelap
dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu
sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana Sedayu?
Kau tinggal dirumah, atau kau ikut serta?”
“Kedua-duanya tidak
menyenangkan” jawab Agung Sedayu.
“Kau harus memilih salah satu
dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab
yang melingkar-lingkar di dalam dadanya adalah “laskar Paman Widura harus
diselamatkan”, dan itu adalah kewajibannya.
Agung Sedayu menjadi bingung.
Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah
keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia
memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
“Bagaimana kalau kita berjumpa
dengan laskar itu diperjalanan?” bertanya Agung Sedayu.
“Kemungkinan yang sama dengan
kedatangan mereka kerumah ini” sahut kakaknya.
Agung Sedayu tidak bertanya
lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog disamping
pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri pula. Dibetulkannya letak pakaiannya
dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bambu dengan bibir yang gemetar.
Namun hatinya tidak mau tenang juga.
“Bawa kerismu!” perintah
kakaknya.
Agung Sedayu menjadi semakin
gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya di pinggang
kiri.
Diikutinya langkah kaki
kakaknya melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda dibelakang rumah. Namun
ketika mereka telah berada di atas punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu
berdesah, “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”
Kakaknya menggeleng. “Tidak”
jawabnya. “Besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam Paman Widura.”
Agung Sedayu memandang malam
yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup
oleh hujan yang semakin deras.
“Berdoalah” bisik kakaknya.
“Tuhan bersama kita.”
Agung Sedayu menggangguk
kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah
dan Maha Pengasih.
Kemudian bergeraklah kuda-kuda
itu menyusup ke dalam kekelaman malam.
Sesaat kemudian mereka
meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju ke arah timur. Di belakang mereka
berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan kepadatan
butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh menggelegar di
udara dan kilat menyambar di atas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang
menjalur di bawah kaki-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah
liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng
bukit.
Untuk beberapa saat mereka
berdiam diri terpaku di atas punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali
Agung Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya.
Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya.
Sebenarnyalah ia sedang
berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi di perjalanan dan apakah yang akan
terjadi besok apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang.
Kedudukan Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu
banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi
pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat
kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan dimana-mana.
Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang
daerah-daerah yang jauh di belakang garis perang. Mereka datang setiap saat,
dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan
belukar menjadi tempat persembunyian mereka.
Demikianlah petang tadi,
Untara menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan
perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung. Dan agaknya
Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal
Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar
itu. Dan memang itulah tujuan mereka.
Angan-angan Untara terputus
ketika mendengar adiknya berbisik, “Kakang, kau melihat bayangan dihadapan
kita?”
Untara mengerutkan keningnya.
“Ya” jawabnya.
“Orang?” berbisik Agung
Sedayu.
Untara menggeleng “Jangan
mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga
hari yang lampau?”
Sedayu mempertajam
pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh raksasa
menghalang di pinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya
menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya ke sisi kuda kakaknya.
“Hem” kakaknya menggeram. “Kau
bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini
seorang diri.”
Sedayu diam saja. Tetapi
hatinya masih tegang.
Ketika kilat menyambar
dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas
panjang. Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin.
Tetapi baru saja Sedayu
bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh di hadapan
mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak
sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar.
“Kita lewat jalan ini?”
terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan.
“Kenapa?” tanya kakaknya.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya. “Kau takut macan putih yang menjagai
beringin itu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Tidak” kakaknya meneruskan.
“Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke
kanan.”
“Lewat jalan dipinggir hutan
belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Ya” jawab kakaknya.
“Macanan?” desak adiknya.
“Ya.”
Sedayu semakin gelisah.
Katanya, “Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau.
Bukankah daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?”
“Harimau belang itu tidak
seganas macan putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun
ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih maupun harimau belang. Namun
lewat Macanan jalan bertambah dekat.
Agung Sedayu terbungkam. Namun
tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang kecut dan menggigil
karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara
mempercepat lari kudanya, Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau
berjarak lebih tebal dari tubuh kudanya dari kuda kakaknya.
Perjalanan mereka menjadi kian
sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan sempit itu tampak merah kehitam-hitaman.
Dihadapan mereka terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam
jauh mendahului kaki-kaki kudanya.
Tetapi tiba-tiba Untara
mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu dihadapannya.
Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan
itu dilihatnya menghilang diujung jalan.
Untara menjadi berdebar-debar.
Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya.
Untara sendiri tidak pernah
menjadi takut apapun yang berada didepannya. Tetapi kali ini ia membawa
adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk
mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak
berdiri ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka
akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau
itu menghadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua kali ia terpaksa
berkelahi dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu berhasil dibunuhnya.
Dibunuh dengan keris yang terselip di pinggangnya itu.
Tetapi bayangan yang bergerak
dan menghilang ke dalam hutan adalah bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia
melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah
bayangan seseorang.
Untara menarik nafas untuk
meredakan debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa
disengaja ia memperlambat kudanya.
Sedayupun cepat-cepat menarik
kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya, “Ada apa Kakang?”
“Tidak ada apa-apa” sahut
kakaknya. “Jalanan di hadapan kita sangat licin.”
“Oh” namun jantungnya menjadi
semakin cepat berdentang.
Akhirnya Untara menghentikan
kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan di hadapannya. “Apakah yang
tersembunyi di balik kekelaman itu?”
Hati Agung Sedayu semakin
cemas. Desisnya, “Adakah sesuatu di hadapan kita?”
Untara berbimbang. Tidak
seharusnya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada di balik kehitaman
hutan itu. Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan,
keadaan akan lebih jelek lagi.
“Kita lampaui daerah yang
licin ini dengan berjalan kaki” jawab kakaknya.
Ia tidak menunggu lebih lama
lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia
tidak tahu siapakah yang berada di ujung hutan itu. Kalau mereka menyerang
dengan tiba-tiba, maka duduk di atas punggung kuda akan menjadi lebih
berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak menyenangkan,
ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan oleh para
penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam keadaan
yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan kini ia tidak mau
mengalami nasib serupa itu.
Hati Sedayu menjadi bertambah
kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi
sambil merapatkan diri di samping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?”
Kakaknya tidak mau berbohong
lagi. Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi
mungkin pula kita mendapat teman.”
Denyut nadi Sedayu seakan-akan
berhenti. Dengan tergagap ia berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita
kembali?”
“Nasib Paman Widura tergantung
kepada kita” sahut kakaknya.
“Tetapi nasib kita sendiri?”
desak adiknya.
Untara tidak tahu bagaimana
menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak
dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura,
pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan.
Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri di pihak Pajang dalam pertentangannya
dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang memaksanya untuk
berjalan terus.
Karena Untara tidak menjawab,
Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita
sendiri lebih berharga dari nasib siapapun juga?”
“Belum pasti kita akan
menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman seperjalanan.
Syukurlah kalau yang berada diujung hutan itu anak-anak Paman Widura sendiri”.
Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih
agak jauh.
“Adakah seseorang di ujung
hutan itu?” Sedayu semakin cemas.
“Ya” jawab Untara berat.
“Kakang lihat?” desak Sedayu.
“Ya.” Untara menjadi semakin
cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.
Apa yang diduganya itu
benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya sambil
merengek, “Kakang, marilah kita kembali.”
“Jangan, Sedayu” jawab
kakaknya membesarkan hati adiknya. “Kita lihat siapakah yang berada diujung
hutan itu.”
“Mereka pasti laskar Arya
Penangsang” sahut adiknya.
“Kenapa kita mesti takut
kepada mereka?” bertanya kakaknya.
“Mereka adalah orang-orang
sakti” jawab adiknya.
“Kita juga laki-laki seperti
mereka, Sedayu” bombong kakaknya. “Apabila mereka orang-orang sakti, mereka
tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang.”
“Kita bukan laskar Pajang”
bantah adiknya.
“Aku salah seorang dari
prajurit Pajang” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa
menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan
kepadanya dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus
menghadapi bahaya.
“Tetapi aku bukan” rengek
adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.
Untara menjadi gelisah. Tetapi
ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara tidak memutar
langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis, “Diamlah! Supaya
orang–orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka
akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.”
Sedayu terbungkam. Betapa ia
menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena itu dengan lutut
yang gemetar iapun berjalan terus.
Tiba–tiba Untara menggeram.
Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bambu wulung yang kehitam–hitaman
itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun ketajaman mata
Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih–putihan memantulkan
cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda mereka
menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali.
Beberapa langkah dari bambu
yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorangpun yang tampak. Namun ia
yakin di dalam hutan, di balik pohon–pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi
seseorang atau lebih.
Ketika Sedayu melihat bambu
yang melintang itu, maka darahnya seakan–akan membeku. Ia pernah melihat cerita
kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang terentang di
jalan. Tetapi hatinya telah benar–benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama
sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin
gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak diatas
kedua kakinya itu.
Sekali, Untara menarik nafas.
Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada di dalam
kedudukan yang kurang baik. Orang–orang yang berada di belakang rimbunnya
daun–daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat
melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka
atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya.
Untuk sesaat keadaan menjadi
sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia
tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya.
Perlahan–lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk
melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi
Sedayu berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya.
Untara menarik nafas.
Tiba-tiba Sedayu terkejut
ketika kakaknya berkata lantang, “Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak akan
berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak
sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik.”
Sedayu tidak tahu maksud
kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah dadanya. Ia ingin
mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat.
Tetapi yang diharapkan Untara
terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi di balik pohon-pohon yang rimbun itu
mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang
diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”
Pertanyaan itu bagi Sedayu
terdengar seperti petir yang meledak di telinganya. Kini tidak saja lututnya
yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar, sedang
darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi
sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan
kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah, bisiknya
“Peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap
kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan
baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik
tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu, kalau kau tak mau memegang
kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang
tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika
kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri
diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak
berarti akan dapat merobohkannya.
Dalam pada itu kembali
terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang
sudah mulai mereda.
“He, siapa kalian?”
Untara mencoba menembus
kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati
“Kami anak-anak dari Sendang Gabus. Siapakah kalian?”
“Anak siapa?” terdengar sebuah
pertanyaan.
Untara beragu. Adakah mereka
mengenal setiap orang di Sendang Gabus? Untara sendiri tidak banyak mengenal
orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari
Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya
orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara
pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat
itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya
sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan
kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal
mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia
menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa.”
“Sadipa?” sahut suara di ujung
hutan
“Ya”
“Sadipa yang mana, yang tinggi
sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula.
Kembali pengenalannya atas
orang yang bernama Sadipa, “Sadipa yang lain. Tinggi besar, berkumis panjang.
Tetapi yang satu tangannya cacat.”
“Bagus,” sahut suara itu, “kau
benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi
kenapa kau berbohong?”
Untara menjadi berdebar-debar.
Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan
ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong.
Tiba-tiba Untara melihat
banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah
surut, selangkah saja di muka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk
melindungi adiknya yang menggigil ketakutan.
Orang yang muncul dari hutan
itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun
suaranya menghentak-hentak dada.
Agung Sedayu menjadi kian
ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti batu karang.
“Siapakah sebenarnya?”
bertanya orang itu.
Untara mencoba mengawasi
wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu
tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.
“Ha,” katanya kemudian,
setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara, “dua anak yang
berani. Siapakah namamu?”
“Aku anak Sadipa” Untara
mengulangi.
Kembali orang itu tertawa,
“Jangan berbohong!” katanya. “Anak Sadipa yang tinggi besar, berkumis panjang
dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang
Sendang Gabus.”
Untara terkejut mendengar
keterangan itu. Apakah orang yang berdiri di hadapannya itu orang Sendang
Gabus?
“Kalau kau orang Sendang
Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa aku?” orang itu
berkata sambil tertawa.
Kembali Untara diam. Ia
mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan
tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat!” tiba-tiba Untara
menyahut, “kau Pande Besi Sendang Gabus.”
Orang itu mengangkat alisnya,
katanya “Kau kenal aku?”
“Ya, kau adalah salah seorang
prajurit Jipang” sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin
berdebar-debar. Pande Besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orang itu
telah melupakannya.
Tetapi ternyata Untara tidak
beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara
baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya
disertai derail tawanya “ Ha! Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.”
Orang itu berhenti sejenak
untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak, “Setan! Bukankah kau yang
bernama Untara. He?”
Untara tidak dapat lagi
menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun
demikian ia menjawab, “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau pengikut
Karebet yang gila itu?” bentak Pande Besi itu.
“Hem” Untara menarik nafas.
“apakah bedanya? Kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di
pihak Pajang dengan keyakinanku.”
“Huh!” sahut orang itu, “Kau
sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu
burung di sawah.”
“Yang penting bagiku, apakah
yang telah dilakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini” sahut Untara.
“Aku bukan tukang bicara
seperti kau!” bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang
orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak Tingkir itu.”
“Tetapi Penangsang telah mati.
Apa katamu?” bantah Untara.
“Persetan. Namun cita-citanya
tetap hidup” jawab Pande Besi itu.
Untara tersenyum. Katanya,
“Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang
dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang Sendang
Gabus?”
“Persetan. Persetan. Setiap
pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak Pande Besi itu.
“Kau akan membunuh aku?”
bertanya Untara.
Orang itu berpikir sejenak. Ia
kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia
sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab, “Ya, aku akan membunuhmu.
Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”
“Hem,” Untara menarik nafas,
“kenapa golongan? Paman Pande Besi,” sambung Untara, “Paman bisa mengakhiri
cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang-orang Pajang bukan pendendam.”
“Persetan!“ Tiba-tiba orang
itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam
belukar.
Terdengar Untara menggeram,
“Empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil
ketakutan. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak
terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta. Kalau ia singgah
sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya di sana. Namun apakah
pamannya sedang di rumah juga belum pasti.
Tiga orang yang datang
kemudian itupun kini telah berada di samping si Pande Besi. Yang seorang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah, sedang yang
seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.
“Untara,” berkata si Pande
Besi, “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak
bermaksud menangkap kalian.”
Untara menyadari arti
kata-kata itu. Pande Besi itu akan berkata, “Kalian berdua akan kami bunuh.”
Karena itu ia tidak dapat
melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi
bagaimana dengan adiknya?
Tiba-tiba Untara berkata
lantangm “Sedayu, menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak
perlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk
melawanmu.”
Si Pande Besi menggeram,
“Jangan terlalu sombong.”
Untara sama sekali tidak
bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya,
sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa
keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka
tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu.
Menggigil ketakuatan dengan dada sesak.
Pande Besi Sendang Gabus
bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Di tangan mereka masing-masing
tergenggam senjata. Pande Besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung
kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya,
sedang si anak muda memegang pedang.
“Anak ini bernama Untara,”
teriak si Pande Besi “karena itu berhati-hatilah.”
“Untara” desis si anak muda.
Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu
perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam
suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara.
Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung
dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus
bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani
itu.
Untara sadar bahwa
lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena
itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau
ada di antara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa
kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.
Karena itu segera Untara
bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak
ada di antaranya yang mengganggu Agung Sedayu.
Maka dengan gerak yang cepat,
secepat tatit menyambar dilangit, Untara meloncat menyerbu di antara mereka.
Dengan berputar di atas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus.
Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu
maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur, dan si tinggi gagah,
terpaksa meloncat ke samping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan
Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar
jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan garangnya. Kali
ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan
cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat,
tongkat itu sudah berpindah di tangannya.
“Setan, demit, tetekan!” Pande
Besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya
melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama
sekali tak berdaya.
Tetapi Pande Besi itu segera
sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar, “Berikan aku sebuah pisaumu!”
teriaknya. Si Pande Besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau
kawannya itu.
Sementara itu, kawan-kawannya
yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang
bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Untara menarik nafas. Ia bersyukur di
dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran
pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus segera
menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum
subuh.
Pertempuran itupun segera
menjadi semakin sengit. Pande Besi dari Sendang Gabus itupun ternyata memiliki
kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang
mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya
yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang di ujung
tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar
itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya
menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya
dengan tongkat besi di tangan Untara.
Namun Untara bukan anak-anak
yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa
lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian
tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya
terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali.
Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit,
cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur
seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang
terjun ke dalam api.
Demikianlah Untara bekerja
mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut
senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan
yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat
demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah
seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar di antara mereka berempat, namun
tiba-tiba ia telah berada di luar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya
menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri di antara
percikan-percikan hujan yang hampir reda.
Agung Sedayu melihat
perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali
berdentang seperti guntur di dalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti
bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia
melihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah
keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan
kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang
yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia
menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum
pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkelahian untuk mempertaruhkan
nyawa. Yang pernah dilihatnya adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan
kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk
melakukannya.
Untara masih bertempur dengan
garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya.
Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan
pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia
melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup
wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir
di dalam hatinya, “Anak yang satu ini aneh benar.”
Memang Agung Sedayu sama
sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah
kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian Pande Besi itu
terpaksa menduga-duga, “Ada dua kemungkinan,” pikir Pande Besi, “anak ini
terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya
bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut.”
Dalam keragu-raguan itu
diingatnya kata-kata Untara, “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai
untuk melawanmu.”
Tetapi tiba-tiba Pande Besi
itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu
kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara
untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata di antara derai tawanya,
“He, Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu
hanya menonton saja seperti sabungan ayam.”
Dada Untara semakin
berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak
meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab, “Buat apa ia susah-susah menghadapi
kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”
Pande Besi itu tertawa terus.
Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak.
Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa Pande
Besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja
kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri.
Namun untunglah ia sempat
merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung
Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung
pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya
telah terayun ke dada si tinggi besar.
Serangan ini terlalu
tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri
perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang
yang tinggi kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun
kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat
Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia
melihat goloknya seperti terbang terlempar.
Pande Besi, yang mengepalai
gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan
senjata di tangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri.
Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.
Karena itu, maka segera ia
mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia
meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata, “Bunuhlah Untara itu
dengan senjata-senjata kalian, aku akan mencoba kesaktian anak muda yang
seorang lagi.”
Untara terkejut mendengar
teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah
serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi
besar menusuknya dari punggung.
Namun Untara adalah seorang
prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser
tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal
dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh.
Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari
serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si Pande Besi telah berlari ke arah
Agung Sedayu.
Agung Sedayu melihat seseorang
menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir.
Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya
bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar dan kehilangan
kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang
terdengar suaranya terbata-bata, “Kakang, Kakang Untara.”
Pande Besi yang licik itu
tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus
darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya
korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari, “Tahanlah Untara.
Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung.
Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah
tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia
akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku
ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan
badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia
melempar kudanya yang berdiri di samping adiknya. Kuda itu menjadi terkejut.
Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah.
Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda
itupun melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu
benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si Pande Besi
terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi
liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara.
Untara tidak menghiraukan lagi
ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara
meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang
dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya.
Tongkat besi itu terayun deras
sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu
tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar
tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan
garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya.
Karena itu si Pande Besi hampir saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu
pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini
diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang
tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.
Karena itu meskipun si Pande
Besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara
ke samping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih
mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah Pande Besi yang malang itu berteriak
tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun
terputuslah.
Untara menarik nafas. Ia
berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah
berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan
kewaspadaan.
Anak muda yang bersenjata
pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah ke punggung.
Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang
mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan
bersenjata pisau. Dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara.
Tusukan itupun sedemikian
tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda.
Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba
merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah.
Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi
baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke
belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.
Terdengar Untara menggeram.
Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi
gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat.
Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat
besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya
menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu.
Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara
harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan
ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus.
Orang yang tinggi besar itu
terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia
sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam
keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan.
Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat
mengarah ke lambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan
kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari
golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.
Terdengarlah sekali lagi jerit
kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi di
tangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian
terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar
melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat
menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya.
Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak, orang itu dengan
sepenuh tenaga melemparkan pisaunya ke arah tubuh lawannya.
Untunglah Untara melihat pisau
itu, karena itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan
tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam
tubuhnya.
Sebenarnyalah bahwa nasib
manusia ditentukan oleh kekuasaan di luar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang
berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun
tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring
karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba
mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya
jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung menyayat jantung.
Yang melihat peristiwa itu
untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing
terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang
bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya
sendiri.
Kini Untara untuk seterusnya
tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari
lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian
berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan
pertempuran itu.
Kedua lawannyapun telah
bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju
mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata
lagi itu masih mencoba untuk melawannya dengan tangannya.
Kedua lawan Untara itupun
agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah
meleleh dari luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat
memperpanjang perlawanan mereka, Untara pasti akan dapat mereka binasakan.
Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah
berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang
disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.
Sesaat kemudian kembali anak
muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup
menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia
terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup
mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa
adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada
pilihan lain bagi Untara, kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka
taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung, termasuk nyawanya
sendiri.
Tetapi anak muda lawannya itu
benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak terlalu
banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin
banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji
didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.
Namun Untara selalu menahan
dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat,
namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia.
Meskipun tenaga Untara telah
banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan
demikian maka segera tampak, bahwa Untara akan segera dapat mengatasi kedua
lawannya. Kedua orang itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah
mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan
senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi
besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi.
Yang tinggal kini adalah anak
muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun
ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat
surut dan dengan lantang ia berteriak, “Kali ini kau menang Untara, tetapi lain
kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak
akan tenteram selama aku masih hidup di dunia ini.”
Untara tidak mau mendengar
kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas
semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia
menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya
sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi
menghadapi kemungkinan apapun.
Tetapi tidaklah demikian. Anak
muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat
itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan
mendekati adiknya.
“Sedayu” desisnya.
Sedayu masih menggil
ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena
itu iapun segera berlari mendekat, “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya
gemetar.
Nafas Untara semakin lama
semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata
yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya
meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu
berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong,” desis Untara, “balut
lukaku.”
Sedayu melihat luka yang
menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi
dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu,” Untara berdesis sambil
menahan nyeri, “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku
berjalan?”
“Tentu” jawab adiknya. Namun
matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.
Tetapi Untara masih berkata
lagi, “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat
ini.”
Sedayu tidak menjawab.
Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur.
Sekali-sekali terdengar Untara
menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya,
namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja
mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi
tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat
membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencari mereka berdua di sekitar
tempat ini dengan kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah
perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.
Pikiran Sedayupun tidak pula
dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan
yang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri.
Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan karena
kakaknya menyuruhnya berjalan sambil menggantung di pundaknya dengan tangan
kanannya.
Untara menjadi semakin cemas
ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan
selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara
tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat
pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak
akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu, apabila ia
tidak mendapat pertolongan.
Sekali-sekali Untara menarik
nafas. Di sekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun
tempat itu tak akan di temui rumah seseorang. “Kalau saja aku dapat mencapai
rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis.
Adiknya terkejut mendengar
suara kakaknya. “Apa katamu?” ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu Metir”
jawabnya.
Sedayu pernah pula pergi ke
rumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu
masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh
ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang
buas yang muncul di hadapan mereka, maka celakalah mereka berdua.
Sehingga dengan demikian
Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan
gemetar, “Jalan dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau
kita bertemu dengan harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya menahan
perasaannya. Katanya tanpa menghiraukan adiknya, “Kita pergi ke tempat Ki Tanu
Metir.”
“Masih jauh” sahut adiknya.
“Kalau lukaku tak diobati,”
jawab kakaknya, “aku akan mati.”
Sedayu menjadi ngeri mendengar
kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia
berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan
di hadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya.
Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.
Karena itu ia tidak berani
membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pakuwon, meskipun
kengerian selalu merayap-rayap di dadanya.
Untara semakin lama semakin
lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya.
Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering.
Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak
berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu
memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.
Tiba-tiba langkah mereka
terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang
kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik, “Kakang, kau
dengar sesuatu?”
Untara mengangguk. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka
yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.
Tetapi tiba-tiba Untara
mengangkat wajahnya. Katanya lirih, “Bukan langkah manusia, dan bukan pula
binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?”
“Ya” sahut adiknya.
Untara kemudian bersiul
nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan
dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah” serunya ketika dari
dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku.”
Wajah Sedayupun menjadi agak
cerah. Katanya, “Lalu, apakah kita akan berkuda?”
“Ya,” sahut kakaknya, “kudamu
tak ada, namun kita berdua akan berkuda bersama-sama.”
“Kembali?”
“Tidak,” jawab Untara, “ke
rumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak membantah. Ia
takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung
kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda
yang kuat, karena itu, meskipun di atas punggungnya duduk dua anak muda, namun
kuda itu masih dapat berlari kencang.
Kini harapan di dalam dada
Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat.
Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya.
Demikianlah, setelah mereka
menembus rimbunnya pategalan yang subur di ujung hutan, sampailah mereka ke
padukuhan kecil yang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Di padukuhan kecil itulah
tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia
mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka,
dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh
seseorang. Orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan
harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.
Kuda-kuda anak muda itu
berhenti di muka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya
turun dari kuda, maka dipapahnya kakaknya itu ke pintu yang tekatup rapat.
Namun demikian Untara berlega
hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang
dinding.
Perlahan-lahan Untara mengetuk
pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum
ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas di hati
dukun tua itu.
Ketika mereka telah beberapa
kali mengetuk, terdengarlah sapa dari dalam, lirih, “Siapa?”
“Aku, Ki Tanu,” jawab Untara,
“Untara, dari Jati Anom.”
“Untara?” ulang Ki Tanu Metir.
“Untara. O, adakah engkau Angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya, Ki Tanu” jawab Untara
dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal
suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dengan
tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya
diseret di atas lantai tanah.
Sesaat kemudian pintu bambu
itu bergerit, dan munculah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang.
Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh
jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka
lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.
Ketika ia melihat Untara
dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau
terluka Ngger?”
“Marilah,” Ki Tanu Metir
mempersilahkan, “duduklah. Biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak
perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun
Untara dan dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu
“Tolong Ngger, peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang baik.”
Sedayupun segera melangkah
mengambil lampu minyak kelapa dan membawa ke dekat kakaknya. Sementara itu Ki
Tanu telah sibuk membuka pembalut luka di pundak Untara.
Ketika Ki Tanu melihat luka
yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya. Gumamnya, “Hem, luar biasa.”
“Apa yang luar biasa?” desis
Untara.
“Tubuhmu sangat tahan, Ngger.
Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah,
bersandarlah supaya Angger tidak terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada
setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar
matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu
segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki
Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran
Untara, “Widura harus diselamatkan.”
Tetapi kemudian disadarinya
keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba
menentramkan hatinya yang bergolak.
Sambil mengusapi luka Untara
dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya, “Agaknya Angger berdua menjumpai
bahaya di perjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat.
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu
pula.
Untara menggeleng lemah.
“Bukan,” jawabnya, “sisa-sisa laskar adipati Jipang.”
“Hem,” gumam Ki Tanu, “mereka
berkeliaran di tempat ini.”
“Di sini?” Untara terkejut
mendengarnya.
“Ya, di sekitar tempat ini”
jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya
menjadi kian sesak. Namun darahnya sudah tidak mengalir lagi dari lubang
lukanya.
“Salah satu di antara mereka
adalah Pande Besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah,” sahut Ki
Tanu, “segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah Angger bertemu dengan
Pande Besi itu?”
“Ya” jawab Untara.
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan
diujung hutan. Berempat.”
“Angger berdua?” potong Ki
Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi
Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger
berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande Besi itu terkenal di
daerah ini” berkata Ki Tanu seterusnya. “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa
sajakah mereka itu?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa
semakin susut. Karena itu ia menjawab singkat, “Aku belum kenal mereka.”
“O” Ki Tanupun segera
menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru
kemudian ia duduk di samping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara beristirahat
bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang
tiga orang, Ngger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung.
Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia menjawab,
“Seorang tinggi kekurus-kurusan.”
“Sebenarnya ia orang lugu,”
potong Ki Tanu, “sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida.”
“Yang seorang tinggi besar”
sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam
Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda”
Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki
Tanu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-Alap Jalatunda” desis Ki
Tanu. “Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun
dadanya bergetar. Nama Alap-Alap Jalatunda pernah di dengarnya.
Mendengar nama itu Untara
terperanjat pula. Desisnya, “Jadi anak itukah yang disebut Alap-Alap Jalatunda.
Pantas ia lincah dan cerdas.”
“Ya” sahut Ki Tanu. “Nama itu
timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande Besi dan Alap-Alap Jalatunda
menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.
“Di Karajan?” ulang Untara
heran. “Di samping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.
Untara kemudian termenung.
Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal
Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya
yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali
dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.
Ketia ia sedang
berangan-angan, terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu, “Mereka itukah yang
melukai Angger Untara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk,
kemudian seperti orang terbangun dari tidurnya ia bertanya, “Lalu siapakah
Angger ini?”
“Sedayu,” jawab Sedayu, “adik
Kakang Untara.”
“Pantas, pantas” orang tua itu
mengangguk-angguk. “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang
perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande Besi dan Alap-Alap
Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu
bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan
wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal
mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung
rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada
kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh
tiga di antaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga, “Tiga di antaranya
terbunuh. Anak muda yang bernama Alap-Alap Jalatunda itu melarikan diri”.
“Luar biasa, luar biasa”
gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya.
Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis, “Nama Untara
benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru di sampingnya, Sedayu.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat.
Kalau saja ia mampu berbuat seperti yang di katakan orang tua itu, maka
kakaknya pasti tidak akan terluka.
Karena itu tiba-tiba tanpa
disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada
bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat
bersembunyi di rumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandu
senjata, yang dilakukannya tidak lebih daripada membantu bibinya menanak nasi
dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.
Sedayu memejamkan matanya.
Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangnya
kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua
orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak
lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu
pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari
semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.
Agung Sedayu terkejut ketika
ia mendengar kakaknya berkata, “Sedayu, aku tidak mampu untuk bangkit berdiri.
Bagaimanakah dengan paman Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana
ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain,”
potong Ki Tanu, “berisitirahatlah.”
Untara berdesis menahan
perasaan-perasaan yang bergumpal di dalam dadanya, perasaan cemas dan bingung.
Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan, “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku
harapkan untuk menolong menyelamatkan Paman Widura.”
Sedayu terkejut mendengar
kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung”
desis Untara.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia
bertanya terdengar Untara berkata pula, “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi,
bagaimana aku harus melindungimu. Di sini dan di perjalanan ke Sangkal Putung
akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih
dahulu. Sebab orang-orang Alap-Alap Jalatunda pasti akan mencari aku. Kalau
benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ke tempat ini.
Mereka pasti memperhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencoba
mencari.”
“Tetapi Sangkal Putung tidak
terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan
bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda?”
“Anak itu akan kembali ke
Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang
paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan
sampai Sangkal Putung dari arah barat.”
Mulut Agung Sedayu terasa
menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia
menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada di rumah, maka
keadaannya pasti akan lebih baik.
Ki Tanu melihat Agung Sedayu
dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu, “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa
Angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku
duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa Angger Sedayu
berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau Angger bertemu dengan dengan
Alap-Alap Jalatunda?”
Agung Sedayu benar-benar
menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki
Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar
kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah Angger Sedayu berdua dengan Angger
Untara mampu menghadapi Alap-Alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande Besi
Sendang Gabus? Bukankah Pande Besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua
kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam
gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari si Pande Besi
yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-Alap Jalatunda.”
Mulut Sedayu seakan-akan
tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.
Sedang Untara masih duduk
bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang
terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia
hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa
kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia
mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal
Putung daripada tinggal di Dukuh Pakuwon. Didorong pula oleh rasa tanggung
jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh
kepastian, “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-Alap Jalatunda
datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah Paman
Widura.”
Jantung Agung Sedayu terasa
berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu, “Kalau
aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
“Tidak, kau tidak akan bertemu
dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara. “Tempuhlah jalan barat.”
“Bagaimana dengan tikungan
Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo
mata satu” Untara hampir membentak. “Pergilah!”
Bibir Agung Sedayu tampak
bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, bahkan
akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih belum dapat
mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia
bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “Kakang, aku
takut.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara
dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri.
Tiba-tiba orang tua itu
terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan
tangannya yang lemah, “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga,
biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati
karena kerisku sendiri.”
“Kakang!” Sedayu hampir
menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya
tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula, “Bagiku
Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-Alap Jalatunda itu nanti
mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu.”
Tubuh Sedayu benar-benar
menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar di dalam
rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata,
“Angger Untara, apa yang akan Angger lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi,
akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger,” Ki Tanu Metir
mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu.”
Untara tidak menjawab, namun
terdengar ia menggeram.
Akhirnya berkatalah Ki Tanu
Metir, “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan.
Karena itu sebaiknya Angger pergi. Bukankah puncak ketakutan Angger itu adalah
maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau Angger pergi ke Sangkal
Putung, belum pasti Angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka
maut diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam
Angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan
Alap-Alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi.”
Kepala Sedayu tiba-tiba
menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya.
Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya.
Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut
dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dan terdengar suaranya gemetar, “Adakah kakang berkata sebenarnya?”
“Akan kulakukan apa saja yang
telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti. “Tinggalkan tempat
ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi.”
Dada Agung Sedayu hampir
meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci.
Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya, “Pergi sekarang
juga!”
Perlahan-lahan Sedayu berdiri.
Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut.
Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya
itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan
malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah
terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju ke pintu.
Ketika Ki Tanu Metir
mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu
menahan isak di dadanya. Maka bisiknya menghibur, “Angger, serahkan jiwa dan
ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambil-Nya, maka
berlakulah kehendak-Nya meskipun Angger berperisai baja. Namun kalau Angger
akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendak-Nya itu. Karena
itu jangan takut.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.
Di muka pintu sekali lagi ia
menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu
melangkah terus. Di luar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah
ke punggung kuda itu.
“Selamat jalan Ngger” desis Ki
Tanu Metir. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati
yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup ke
dalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup
ke daerah maut.
Akhirnya ketika Sedayu sadar,
bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan
mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya
berdesir. Di malam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan
bayangan-bayangan hitam menghadangnya di perjalanan. Namun ia sudah tidak dapat
lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada di
perjalanan itu.
Ketika Sedayu telah hilang di
balik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian
perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya,
“Kenapa hal itu Angger lakukan?”
Untara menarik nafas
dalam-dalm. Terdengar ia bergumam, “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya.”
Ki Tanu Metir duduk
perlahan-lahan di samping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar
gumam Untara pula, “Kasihan Sedayu.”
“Tetapi bukankah Angger
menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu
meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya,
selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu”
jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali
tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
“Anak itu benar-benar
keterlaluan” berkata Untara pula. “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau
pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan
aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat.” Untara berhenti
sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah, “Bukankah lebih
baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-Alap Jalatunda datang
kemari?”
“Tidak Angger, tidak” sahut
orang tua itu cepat-cepat. “Angger memerlukan perawatanku disini.”
“Tetapi,” jawab Untara, “kalau
hal itu membahayakan Ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku di
sini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya
pula.”
“Jangan berpikir tentang aku”
berkata Ki Tanu Metir. “Luka Angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk
mengobatinya.”
Untuk sesaat keduanya terdiam.
Ketika Untara mendengar derap kuda di halaman, hampir saja ia berteriak
memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akal dan
perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-Alap Jalatunda itu tidak
datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang
bertanggung jawab,” katanya dalam hati.
Dan Untara sadar, apabila
terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia
akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil
menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang
bengis itu benar-benar datang ke rumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya
sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya
menyelamatkan adiknya.
Tetapi kemungkinan yang lebih
jelek lagi, Alap-Alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu
dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-Alap itu
datang membunuhnya.
“Aku telah berusaha” pikir
Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam.
Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan
dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi.
Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-Alap Jalatunda tidak datang
ke pondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika
di dengarnya bentakan-bentakan kasar jauh di tikungan jalan. Ketika ia membuka
matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?”
bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang
memecah kesepian malam itu.
Lamat-lamat terdengar suara
itu, “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun
terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar
bentakan, “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh.”
“Ampun,” sahut suara yang
lain, “aku hanya mendengar suara kuda berderap.”
“Gila, aku tidak bertanya
apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu
akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.
Kembali tak terdengar jawaban,
dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Desisnya, “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini.”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar
giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki
Tanu,” katanya kemudian, “biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu
dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan.”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami”
jawab Ki Tanu Metir, “Angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang
kami adalah orang-orang yang tak berarti.”
Untara terharu mendengar
jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar di dalam dada
para prajurit yang dengan senjata di tangan mempertaruhkan nyawanya demi
pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi di
dalam dada orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah
dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan
menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi
orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang sederhana,
telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya.
Untara menggeleng lemah, “Tidak,”
katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun
tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu
biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir
menyelamatkan diri.”
“Ini adalah rumahku” jawab Ki
Tanu Metir. “Kalau aku lari sekarang, maka ke rumah ini pula aku akan kembali,
dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya.”
Sekali lagi Untara menarik
nafas. Sebelum sempat ia menjawab, berkatalah Ki Tanu Metir, “Angger, kenapa
kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku
sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak
menemukan Angger, maka akupun akan selamat pula.”
“Hem” Untara menggeram. Belum
pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi
kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin
lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu?” terdengar
suara Untara lirih, sedang di tikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah Angger aku
sembunyikan di sentong kiri. Aku timbuni Angger dengan ikatan bulir-bulir
padi.”
Ki Tanu Metir tidak menunggu
Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau
mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat
untuk memapahnya.
Di sentong kiri, Ki Tanu Metir
segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya
masuk ke dalam sebuah bakul yang besar. “Melingkarlah disitu Ngger, dan
berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram,
Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat
diselamatkan. Lusa apabila luka di bahunya itu sudah sembuh, ia akan datang
kembali untuk bertemu dengan Alap-Alap Jalatunda.
Dengan tergesa-gesa Ki Tanu
segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat
dengan hati-hati. Di dalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya.
Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.
Demikian Ki Tanu selesai
dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan
terdengarlah suara kasar memanggilnya, “Mbah dukun, buka pintumu!”
Untara menjadi berdebar-debar.
Ternyata Alap-Alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun
demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi.
Untuk sesaat Ki Tanu Metir
berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga
terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras, “He, buka pintu Ki Tanu!”
Ki Tanu tidak mungkin untuk
mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri,
“Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun.”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir
bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu
kembali terdengar pintunya hampir berderak patah, “Aku tidak sempat menunggu!”
terdengar suara di belakang pintu.
“Ya, ya,” sahut orang tua itu,
“aku sedang berjalan.”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir
telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, demikian beberapa orang
dengan senjata di tangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah
itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya?” terloncat dari
mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya, “Ya kiai, aku
diseretnya ketika aku sedang melihat air di parit. Aku sangka karena hujan yang
lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang,
datanglah orang-orang ini.”
“Tak usah mengigau!” bentak
salah seorang dari mereka. “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti
kemari untuk mengobati lukanya.”
“Siapa?” berkata Ki Tanu
Metir.
Seorang anak muda diantara
mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir. “Hem” geramnya. “Kita
telah berkenalan, Kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu.”
“Ya, ya Angger, aku pernah
mengenal nama Angger. Bukankah angger Alap-Alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku
gelar demikian?” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya
betapa ia bangga mendengar sebutan itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu
Metir. “Mungkin karena kedahsyatan Angger, maka dengan sendirinya nama itu
tumbuh.”
Anak muda itu tertawa lirih.
Kemudian katanya, “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan
sekali-sekali mengganggu pekerjaanku.”
“Tidak Ngger, tidak,” sahut Ki
Tanu cepat-cepat, “aku pasti akan membantu Angger.”
Di sentong kiri, Untara masih
dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin
berdebar-debar ketika di dengarnya nama Alap-Alap Jalatunda. Anak itu bukan
lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat
dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang
pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin,
setiap goresan di tubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut.
Warangan yang keras di kerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak
segera dapat penawarnya.
Sebentar kemudian Untara
mendengar Alap-Alap Jalatunda berkata, “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang.
Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk
berobat?”
Ki Tanu Metir berdiam diri
sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena
itu maka Alap-Alap muda itu membentaknya, “Jawab pertanyaanku!”
Ki Tanu Metir menggeleng,
jawabnya, “Tidak Ngger, tak seorangpun datang kemari.”
Alap-Alap Jalatunda tertawa.
Katanya, “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti
pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu
kalau kau sebut dimana dia sekarang?”
“O, Angger benar. Tak ada
untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi
siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang
itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap
Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu
Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini.”
“Baru beberapa saat. Aku telah
melukai pundaknya. Jangan bohong!” bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong Ngger”
jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-Alap
Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap.
Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata, “Kau sudah tua.
Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku, dimana
Untara kau sembunyikan?”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar.
Namun ia menjawab juga “Tak ada Ngger, benar-benar tak ada.”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda
itu. “Aku bertemu dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri.
Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara
yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena
mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku,
dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak
menemuinya. Ia pasti datang kemari.”
“Tidak Ngger,” jawab Ki Tanu,
“sungguh tidak.”
“He monyet bungkuk!” teriak
Alap-Alap itu kepada Kriya. “Jawab pertanyaanku!”
Kriya itupun didorongnya maju.
Dan terdengarlah Alap-Alap yang garang itu berteriak.
“Kau lihat orang berkuda masuk
ke dukuh Pakuwon.”
“Aku dengar derap kuda, sahut
orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang
di wajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang di atas
satu punggung kuda seperti katamu tadi di tikungan?” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya
memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut
dihatinya.
Orang yang pendek kecil itu
benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya,
yang sudah terdorong dikatakannya di tikungan ketika bertubi-tubi
tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk
menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir
mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki
Tanu Metir adalah orang tua yang disegani di padukuhan itu. Ki Tanu Metir
adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang
padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi,
sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa
yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik
hati itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya
berdesir ketika Kriya melihat Alap-Qlap Jalatunda melangkah mendekatinya.
Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun di kepalanya
dengan kedua telapak tangannya ia memohon, “Ampun.”
Alap-Alap Jalatunda tertawa.
Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia
memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu, “Kenapa kau tak mau mengulangi
kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil
menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi Kriya memandangi
wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun
tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah orang
tua itu berkata perlahan-lahan, “Kriya, berkatalah sebenarnya.”
Kriya tidak segera mengetahui
maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki
Tanu Metir berkata mengulang, “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada Angger
Alap-Alap Jalatunda.”
Meskipun dengan ragu-ragu,
kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-Alap Jalatunda itu
tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya
dimuka wajahnya. “Ampun Ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu.”
“Hem, baru sekarang kau
katakan itu, “geram Alap-Alap Jalatunda. “Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda diatas
punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut
Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-Alap Jalatunda
itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai.
Katanya, “Kau dengar Dukun Tua, lidah si bungkuk itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu
Metir. “Tetapi adakah seseorang yang masuk ke padukuhan ini pasti datang ke
rumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi
atau ke Gedawung?”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya, namun jawabnya, “Hanya di sini tinggal seorang dukun
yang ternama.” Dan tiba-tiba mata Alap-Alap itu menjadi liar. “Mana dia?” bentaknya,
sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.
Untara yang mendengar
bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap
orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru
menjadi tenang, “Angger, kalau Angger tidak percaya, silakan mencarinya.”
Mata Alap-Alap Jalatunda yang
liar itu beredar berkeliling ke segenap sudut, kemudian sekali lagi ia
berteriak, “Bohong!”
Tiba-tiba di antara mereka, di
antara kawan-kawan Alap-Alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa.
Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-Alap Jalatunda, “He
Alap-Alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu.
Berpencarlah dan cari di semua sudut rumah ini.”
Ki Tanu Metir terkejut
mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut Alap-Alap
Jalatunda dengan sebutan Alap-Alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan.
Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.
Alap-Alap Jalatunda sendiri
mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya, “Bagus,” dan kepada anak buahnya ia
berkata, “carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia
kepada tamu kita kakang Plasa Ireng.”
“Plasa Ireng” Untara menyebut
nama itu di dalam hati.
Dan debar jantungnyapun
menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa
Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang
prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah
seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih
bengis dari Arya Penangsang.
“Orang itu ada disini pada
saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka,
maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan
Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah
baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat kemudian orang-orang
Alap-Alap Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap
lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun
dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan
kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan mereka. Namun di
sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan di sentong kiri
seonggok untaian padi di dalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka
temukan.
Selagi mereka sibuk
mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring di luar pintu.
Katanya, “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan
tempat ini.”
Alap-Alap Jalatundapun segera
meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu di bawah
cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil, “Bawa
Kriya kemari!”
Kriya yang pendek itupun segera
didorong keluar. Kemudian diseret mendekati Alap-Alap Jalatunda yang masih
terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkuk!” teriak
Alap-Alap muda itu. “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi.”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya
terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak
tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-Alap Jalatunda sambil
melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak” sauara Kriya
hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan
orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-Alap Jalatunda.
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi
dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda
yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini”
jawab Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?”
pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan
jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya, “Yang datang berdua,
yang pergi hanya seorang.”
“Ha!” jawaban itu benar-benar
mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang
mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak
lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar
mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-Alap
Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa
Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka
ditinggalkannya disini.”
Untara menjadi gelisah. Bukan
karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan
mengalami bencana. Alap-Alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa
Ireng itu dapat berbuat hal-hal di luar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa
Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa
Ireng membentak, “He, dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-Alap
kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku
ingin menemuinya di segala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya
namanya saja yang pernah aku dengar. Di segala garis perang Untara pasti
berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang di mana orang
itu.” Kemudian katanya kepada Alap-Alap Jalatunda, “Alap-Alap kecil, serahkan
Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi.”
“Anak itu telah pergi” jawab
Alap-Alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan
dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan
bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung.”
Perintah-perintah itu mengalir
seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.
Dada Untarapun tiba-tiba
bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang
didengarnya kemudian adalah suara Alap-Alap Jalatunda “Untara adalah lawanku.
Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu.”
Plasa Ireng menarik nafas,
tampak dahinya berkerut. Katanya, “Kaukah yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab
Alap-Alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang
lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa,
katanya, “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda
yang sekarang bergelar Alap-Alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang
itu pula.”
Wajah Alap-Alap Jalatunda
menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak.
Meskipun demikian ia menjawab, “Jangan memperkecil arti Alap-Alap Jalatunda di
daerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku
telah berhasil mengalahkan mereka.”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa
Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada
Alap-Alap Jalatunda itupun ia berkata, “Kalau sekali lagi kau sebut
kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang
sampai ketemu.” Kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata, “Ke arah mana kuda
yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah
kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan
lancarnya, “Ke selatan.”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Di simpang tiga
membelok ke barat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali
Asat” perintahnya.
Alap-Alap Jalatunda masih
berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak, “Pergi!”
Alap-Alap Jalatunda yang
garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi ke jalan kecil di muka
halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.
Mendengar derap kuda itu,
berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba
saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun terasa pundaknya
menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali
mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir,
apakah yang sebaiknya dilakukan.
Dalam pada itu terdengar Plasa
Ireng membentak, “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang
cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau
tidak, sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan
tempat Untara itu sekarang.”
Sekali lagi Untara menggeliat.
Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena
dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang
kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara
menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi,
sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening.
Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang, “Sayang Ngger
Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu.”
“He!” Plasa Ireng berteriak.
“Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas
itu.”
“Ia berada dirumahku,” jawab
Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada di tanganku.”
Jawaban itu benar-benar
mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu.
Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi
semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan
ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan
kelam. Untara tidak sadarkan diri.
Malam yang gelap masih merajai
seluruh permukaan bumi. Satu-satu di langit bintang berebut dahulu muncul dari
balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai
daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.
Di atas jalan berbatu-batu
menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat, terdengarlah suara kaki kuda berderap
.Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh.
Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani.
Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani
memacu kudanya dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba
memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia
harus membelok kemudian ia akan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang
panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan
sebutan tikungan randu alas. Di bawah randu alas jalan membelok ke kiri lewat
Kali Asat dan sekali lagi ia harus membelok ke kanan. Kemudian ia akan sampai
ke jalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan cerita
tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh
bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya
kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap di dalam hati.
Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang
sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya ke
daerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir,
maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung
Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai di kelok jalan, dan sesaat
kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak Dawa.
Kini hujan telah benar-benar
teduh. Bahkan diantara bintang-bintang di langit, tampak bulan tua muncul dari
balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar ke atas daun-daun
padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan
memantulkan sinar bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu
menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi
sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu di
tubuhnya menjadi tegak.
Jauh di arah timur,
remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur ke selatan, seakan-akan raksasa
sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia
menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan di tepi hutan itu. Ia manarik
nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak
jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang
kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu
terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang di ujung jalan. Randu alas.
Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat
larinya. Pohon itu di mata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang
tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya
berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu.
Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali
lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar
terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya.
Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk
kembali ke Dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya
siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu
mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara di atas
bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat,
tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun ke
daerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia
tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini.
Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, Ayah” desisnya. Tetapi
ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah
meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan
itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa
dilakukannya.
Tanpa disadarinya,
ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari
yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di belakangnya berderap
seekor kuda yang lain, Alap-Alap Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar
oleh ketakutan, pada saat itu Alap-Alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan.
Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak
akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan
Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian
diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika Pande Besi sendang gabus
menyerangnya. Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu
benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak
itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya. “Aku
akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu.”
Maka Alap-alap Jalatunda
itupun memacu kudanya lebih cepat. “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya.”
Kaki-kaki kuda Alap-Alap
Jalatunda itupun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali Asat. Di
benaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu
alas. Cerita itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-Alap yang muda itu
tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-Alap yang garang itu tidak
pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang di depannya,
bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.
Karena itu Alap-Alap Jalatunda
berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal
kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan
dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-Alap Jalatunda
tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia
bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.
Di Bulak Dawa Agung Sedayu
masih terpekur di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang
penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya
Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar
ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah
Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan di dadanya.
Agung Sedayu tidak tahu, sudah
berapa lama ia berhenti di tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang
terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat
didengarnya derap kuda di belakangnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik. “Derap kuda”, desisnya.
“Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak.
“Adakah Kakang Untara?” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya
agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan
Alap-Alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu
sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka
perhitungannyapun picik pula. Katanya, “Alap-Alap Jalatunda tidak berkuda.”
Untuk sesaat Agung Sedayu
menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan
randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya, “Bagaimanakah kalau
Alap-Alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu
berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung
Sedayu menjadi pasti. Pikirnya, “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri,
tetapi dengan Alap-Alap Jalatunda di punggungnya”.
Demikianlah, tiba-tiba kaki
Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya
yang jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah, “Bagaimana aku harus bersembunyi
dibulak ini?”
Derap kuda di belakangnya
itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih
seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya
tinggal beberapa langkah di belakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu
tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan
tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh
terjerembab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian
berlari-lari terjun ke dalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin
kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian,
dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak
yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar
kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian
berputar-putar dan berlari kencang-kencang ke arah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-Alap
Jalatunda muncul di kelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang
berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat
seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan
Untara?”
Jarak kedua ekor kuda itu
masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-Alap Jalatunda masih belum
dapat melihat bahwa di punggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya.
Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan
penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-Alap
Jalatunda” desisnya. “Alap-Alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun
seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-Alap yang muda itu tersenyum
sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban, “Ya, karena kau tahu pasti
bahwa Untara sedang terluka parah.”
Alap-Alap Jalatunda itupun
segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau
menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup
atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-Alap itu berteriak ngeri, mirip seperti
suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya itupun berlari semakin
kencang seperti gila.
Agung Sedayu seakan-akan
membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari di muka
hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda
sebayanya duduk merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam
keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu
adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya. Alap-Alap Jalatunda. Maka
dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.
Untuk beberapa saat Agung
Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya
berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya.
Suara kuda Alap-Alap Jalatunda
itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya
yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin
menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh genderuwo bermata satu
di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo
bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan
jelas. Lingkaran yang keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak
lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas.
Namun ketakutan yang lain kini
mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-Alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan
perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam ke pusat dadanya.
Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir.
Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit.
Seperti orang yang kehilangan
kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke Dukuh
Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-Alap
Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja.
Tidak ke arah Alap-Alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana?
Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena
itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai
ke pangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali
lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti.
Dicobanya untuk mengetahui
dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang Bulak Dawa itu
tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat.
Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia
berlari ke parit di tepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok.
Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda itu muncul di siku
jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa
ia meloncat terjun ke dalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya.
Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat di muka
Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring
di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia
mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan dan
kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang
semalang-malangnya.
Didengarnya orang di atas
punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian di dengarnya orang itu berkata “Siapa
yang bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung
Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah!” terdengar
suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik,
datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar
menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil
namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula.
“Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut.
Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang
itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya
dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang
yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang
berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu,
maka berderailah tertawanya.
“He, kenapa kau berbaring
disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu
sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang
sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini
dingin. Ayo bangunlah.”
Agung Sedayu masih menggigil.
Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang
dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi, “Hem, benar-benar kau
orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak
terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpaksa membangunkan kau.”
Tiba-tiba orang itupun
meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung
Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata,
“Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir
setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan
Demak. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi ia berkata pula,
“Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau
sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu.”
Agung Sedayu belum pernah
melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang
mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia
tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun
ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia
mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya,
kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit,
orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring, “Ha!” katanya,
“ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur.”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya
memandangi orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah
suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang
itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang
bernah diucapkan oleh si Pande Besi Sendang Gabus atau oleh Alap-Alap
Jalatunda.
“Berdirilah!” tiba-tiba orang
itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia
masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak
disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri.
Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air.”
Ketika Agung Sedayu kemudian
berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya, “Kau gagah benar.
Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah,
sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa
dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang
bertopeng itu. “Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu
menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng
itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan
namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian.”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap
di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap
yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin
berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun
tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar
dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba
menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan
takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang
sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akan memaksa. Dahulu
akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja
terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang
bertopeng itu mendengarnya, “Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya
Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Namanya Ki
Sadewa.”
“He?” Agung Sedayu terkejut.
“Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia?
Atau orang itu gurumu? Kalau demikian, benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak
ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut Kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata
Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He?” orang itu terkejut. “Kau
anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu
pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya.
“Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu
pula, dan sifat-sifat yang sama pula.”
Tetapi tiba-tiba orang
bertopeng itu bertanya menyentak, “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku
takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang
anaknya?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu,
“orang itu benar-benar ayahku.”
“Kalau demikian akan aku
buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir.
Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung
Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.
Kiai Gringsing itu kemudian
berkata pula, “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu
sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti
Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi,” ia meneruskan, “kau dapat
berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku
ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik.
Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu
menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena
itu Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian
ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing,
“aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu
gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan
kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian
memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi. “Aku sudah mulai”
teriaknya.
Sedayupun segera memungut batu
pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai
puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian
terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat!” teriak Kiai
Gringsing “Di dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil
mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani
menanatangmu.”
“Kau percaya?” bertanya Agung
Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang
itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan
tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di dalam dirinya
tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu
berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat di dengarnya derap seekor kuda.
Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali. “Suara kuda”
desisnya.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“dari arah tikungan randu alas.”
Dada Agung Sedayu berdentang.
Apakah Alap-Alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai
mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing
sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya,
“Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat.”
Namun Agung Sedayu tidak dapat
berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing. “Anak
muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak
kapan kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga
pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa
seperti derap di jantungnya. Namun ia menjawab, “Sejak kecil.”
Dan terlintaslah untuk sesaat
kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu ke hutan daripada
berlatih membidik di rumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta,
menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya.
Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah
untuk anak-anak.
Tetapi kenangan itu kemudian
terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka
tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda,” berkata Kiai
Gringsing, “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu
sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita bertemu.”
“Jangan, jangan pergi, Kiai”
tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat
mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing
bertanya.
“Orang yang berkuda itu
mungkin Alap-Alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-Alap Jalatunda? Darimana
kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku
dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya.
Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-Alap Jalatunda itu
berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan
kakakku yang terluka” jawab Agung Sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah
namamu, he anak muda, dan siapa nama kakakmu?” sahut Kiai Gringsing “Apakah
Alap-Alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu,
dan kakakku bernama Untara,“ jawab Sedayu, yang segera disusulnya dengan
terbata-bata, ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi
Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya, “Kau benar-benar tidak
mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau
umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun
tidak.”
“Tidak, Kiai. Aku minta Kiai
menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu
juga, namun kemudian terpaksa ia berkata, “Aku tidak pernah berkelahi. Aku
takut.”
Orang bertopeng itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Orang-orang sakti sering berbuat
aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai
cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan
pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan
karena Alap-Alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan
kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-Alap Jalatunda misalnya,
orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya.”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar
kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi
bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan
telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.
“Itulah dia, Kiai” berkata
Sedayu. “Tolonglah aku.”
“Bagaimana aku bisa
menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing.
“Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak,” jawab Sedayu
mendesak, “aku takut.”
“Angger Sedayu” berkata orang
bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh. “Seandainya
kau bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja
lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian
itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan
dibunuhnya.”
Tetapi Agung Sedayu malahan
menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya, “Aku tidak berani Kiai, aku takut.”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya
bergerak-gerak.
“Baiklah,” katanya, “agaknya
kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi
apakah kau mampu melawan Alap-Alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang
bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, ke atas
tanggul parit. Masih terdengar ia berkata, “Jangan berendam lagi di dalam air
Sedayu, kau akan membeku.” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya
dapat didengarnya sendiri, “Tak berhasil.”
Sementara itu kuda yang berlari
kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Di atas punggung kuda itu tampak
seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan
penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan.
Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya. “Siapakah gerangan orang
berkuda itu?”
Orang yang datang itu
benar-benar Alap-Alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika
ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan!” dengusnya setelah ia
mengetahui kuda itu tak berpenumpang. “Dimana kau sembunyi, kelinci licik?”
Dan karena itu maka segera ia
memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-Alap Jalatunda, Sedayu pasti
masih bersembunyi di sekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat
seekor kuda berdiri di jalan itu, maka Alap-Alap Jalatunda itu menjadi
berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha
menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan
aku lemparkan disekitar Sangkal Putung.”
Kuda Alap-Alap Jalatunda
itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin
gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan
Alap-Alap muda yang garang itu.
“Aku baru kenal namanya”
berkata Kiai Gringsing. “Kalau aku terbunuh oleh Alap-Alap Jalatunda, kaulah
yang bersalah.”
Agung Sedayu tidak menjawab,
memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah,
maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya,
“Jangan Kiai, jangan kalah.”
Kiai Gringsing tertawa
berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah
dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan
dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat
ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang
untuk berusaha.”
Agung Sedayu tak sempat
menjawab karena Alap-Alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas
punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa
langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya bulan dilihatnya
seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya
di dalam parit seorang lain berdiri gemetar. “Ha!” teriaknya kegirangan.
“Kaukah itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun
dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-Alap Jalatunda tertegun.
Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat
kepalanya. “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu
menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap cerita.”
“Huh!” Alap-Alap itu
mencibirkan bibirnya. “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-Alap
Jalatunda.”
“Ya, aku sudah tahu” jawab
Kiai Gringsing.
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya. “Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut
Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya
Alap-Alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja
bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur
melawan Alap-Alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing. “Karena
itu aku harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda.”
Alap-Alap Jalatunda
membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan.
Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai topeng?
Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu.”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab
orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa
kau menghina aku?” bertanya Alap-Alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab
Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus
menghadapi Alap-Alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah
orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-Alap yang sedang marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing.
“Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah
mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di dalam
parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah
ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-Alap Jalatunda. Anak
muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami
bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan
Alap-Alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alap-alap
Jalatunda, “jangan membual!” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu
hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan
yang aneh, ketika ia mendengar cerita Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-Alap
Jalatunda itu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan.
Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba
menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan
dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini
dan apa maksudmu sebenarnya.”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak” jawabnya. “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku
telah melekat pada kulit wajahku.”
“Hem” Alap-alap itu menggeram
penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu.”
Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua orang yang
menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari
mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tapi, adakah orang bertopeng ini
Untara yang sedang menjebaknya? Alap-Alap itu menggeleng. “Tak mungkin, Untara
terluka.”
Terdengar kemudian jawaban
Kiai Gringsing, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan
menakuti anak-anak kelak.”
“Jangan banyak bicara!” potong
Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah. “Bersiaplah. Kau atau anak muda
itu bagiku sama saja. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua
sekaligus. Mari!”
Alap-Alap itupun segera
bersiap. Agaknya ia mau cepat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di
tangannya tergenggam pedangnya yang putih berkilat-kilat.
“O,” berkata Kiai Gringsing,
“baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu.
Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku.”
Kiai Gringsing tidak menunggu
jawaban Alap-Alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya.
Katanya kemudian, “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?”
Alap-Alap Jalatunda menggeram.
Jawabnya, “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai.”
“Aku akan bertempur di atas
tanah” sahut Kiai Gringsing.
Alap-Alap Jalatunda tidak
berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.
Agung Sedayu melihat
peristiwa-peristiwa itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia
diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi
itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang
Alap-Alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam mimpi, maka
kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh
keringat dinginnya.
Apa yang diambil oleh Kiai
Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-Alap Jalatunda. Senjata orang tua itu
tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-Alap
Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan! Kau sangka leluconmu itu
baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal.
Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku
lakukan. Di daerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan
setegak-tegaknya.”
“Kau benar” sahut Kiai
Gringsing. “Hukum di daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah
hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia,
seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya.”
“Persetan!” bentak Alap-Alap
Jalatunda yang sudah tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia
menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat
mengarah ke dada orang bertopeng itu. “Mampus kau!” teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun
ujung pedang Alap-Alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila!” geram Alap-alap
Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya
pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.
Ternyata Kiai Gringsing itu
benar-benar lincah. Alap-Alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai
Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-Alap yang garang itu
selalu dapat dielakkan.
Demikianlah kemudian mereka
berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan
cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-Alap Jalatunda itu segera mengurung
lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk
bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-Alap Jalatunda tak dapat
mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa
tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera
putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset.
Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-Alap yang
masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-Alap Jalatunda tidak menjadi cemas.
Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang.
Demikianlah perkelahian itu
berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-Alap Jalatunda. Di atas tanah
yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun
memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang
bertempur.
Orang bertopeng itu tiba-tiba
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat
sampai ke puncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir
fajar” bisiknya dalam hati.
Sesaat kemudian menyambar anak
muda yang masih berdiri kaku di dalam parit dengan sudut pandangannya.
“Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat,”
kembali Kiai Gringsing itu berkata di dalam hatinya.
Karena itu, maka tiba-tiba
gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak
meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia
telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu
terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi kau
sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi.”
Sedayu mendengar teriakan itu.
Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia
terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-Alap
Jalatunda. Sedang Alap-Alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata
perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu
dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang
dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui
keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya.
Kiai Gringsing adalah nama
yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran di
daerah inipun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir,
adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya.
Namun menilik tata
perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan
dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan
kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap
keprajuritannya.
Tetapi orang ini ternyata
berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada
saat-saat terakhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian
terasa benar oleh Alap-Alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat
melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi
berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia
tak mampu menangkap kawan Untara itu.
Tetapi anak muda itu tak dapat
mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu
menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi
terluka karenanya.
Karena itu Alap-Alap Jalatunda
menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak
lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia
bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat
mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang
sakti yang aneh. Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa
Ireng” gumam Alap-Alap Jalatunda. “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan
orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini.”
Alap-Alap Jalatundapun
akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama.
Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi
meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi
ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu
agaknya telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-Alap yang garang itu
kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan
berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan
pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan
panjang ia berlari kearah kudanya.
Ternyata anak itu benar-benar
cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh
langsung di atas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang
terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan
berlari kencang-kencang seperti anak panah.
Kiai Gringsing memandang
Alap-Alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha
untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah
kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata, “Bukankah aku menang?”
Ketika Agung Sedayu melihat
Alap-Alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan
disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda
itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah
terusir pergi.
“Nah, Agung Sedayu,” berkata
Kiai Gringsing, “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata
perkelahianku.”
Agung Sedayu menggeleng.
Jawabnya jujur, “Aku tak tahu Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang
matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam hati,
“Sayang.” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata, “Sedayu, bukankah kau
akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Ya.” jawab anak muda itu.
“Dari mana Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya mengira-irakan
saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya
yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat
dielakkan” berkata orang bertopeng itu.
“Kenapa kehadiranku akan dapat
mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah orang bertopeng
itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya
yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat
dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”
Agung Sedayu menundukkan
wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata
terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu.”
Agung Sedayu sadar akan
dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila
ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun
menjawab, “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang.”
“Kenapa kita?” bertanya Kiai
Gringsing. “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak.”
“Tidak” sahut Agung Sedayu
cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana.”
“Aku tidak berkepentingan
dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berdiam. Tanpa
sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas di kejauhan. Dan tiba-tiba
bulu-bulunya tegak di seluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk
mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan
menyebutnya, putera Ki Sadewa.
“Hem” Agung Sedayu mengeluh.
Meskipun demikian ia berkata, “Aku akan terlambat.”
“Mungkin” sahut Kiai
Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing.
Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung
tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang
dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya,
orang bertopeng itu berkata, “Naiklah. Dan pakai kudaku.”
Kiai Gringsing tidak menunggu
Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke
utara.
“Kiai, kiai…” panggil Agung
Sedayu.
Tetapi orang itu segera
menghilang di siku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan
hanya didengarnya sendiri, “Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini
Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam di dalam parit.”
Sebenarnyalah. Dengan demikian
Agung Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Karena itu
segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih
berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak
dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun
merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih
karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat
mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak
juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu
terhadapnya.
Dan kini, sebuah kewajiban
menunggunya. Sangkal Putung.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya
untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda
itu cukup jinak.
“Nah,” bisik Agung Sedayu,
“kawani aku ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu segera naik ke
punggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke
Sangkal Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah sawah yang
panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu
mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju
terus.
Tikungan randu alas itu kini
tinggal beberapa puluh tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera
memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya
kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo
bermata satu.
Agung Sedayu merasa, kudanya
membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan
randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.
“Hem” anak muda itu menarik
nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih
utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang.
Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap.
Tetapi Agung Sedayu tak berani
menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah, mungkin genderuwo itu takut
karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa
Alap-Alap Jalatunda itupun tak diganggunya.
Jalan di hadapan Agung Sedayu
masih menurun. Kini di hadapannya dilihatnya padukuhan yang kecil. Kali Asat.
Padukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi
Agung Sedayu membelok ke kanan sampailah ia ke jalan lurus menuju Sangkal
Putung.
Agung Sedayu menjadi agak
tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat
berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut
dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang
itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang
tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula.
Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang
gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi
satu.”
“Ah, tidak” bantahnya sendiri.
“Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak
istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi
orang yang baik”.
Namun disudut hatinya yang
lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”.
Dijawabnya sendiri, “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat
demikian pula, apakah bedanya? Alap-Alap Jalatunda misalnya. Aku harus
memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah
Ayah dahulu pernah bercerita, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin.
Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja
itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar
itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang
hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja.
Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka.
Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu
dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat
dibayarnya.”
Agung Sedayu puas dengan
angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati
“Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan
kesalahan orang lain kepada kita.”
Tetapi kemudian Agung Sedayu
menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan
orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah
ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.
“Ya, seandainya” kembali ia
bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu
tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika didengarnya sebuah
teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara
itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang ke kandangnya, setelah
semalam-malaman mencari mangsanya.
“Hampir pagi” desis Agung
Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Di mukanya tampak
sebuah padukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan yang
hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah
dinding telah dilihatnya, dan di sudut jalan tampak sebuah gardu perondan.
Agung Sedayu langsung berpacu
ke gardu itu. Ia tahu benar bahwa di gardu itu berjaga-jaga beberapa orang
pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-Alap
Jalatunda.
Ketika mereka mendengar suara
kuda, maka orang-orang di gardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah
melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang
sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.
Demikianlah maka mereka segera
menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhidung mancung
maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?”
“Agung Sedayu” jawab Agung
Sedayu lantang. “Aku akan bertemu Paman Widura.”
“Apakah keperluanmu?” bertanya
orang itu pula.
“Penting sekali. Hanya Paman
Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan.
Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat
menunggu sampai besok?”
“Demi kepentingan Paman
Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.
“Antarkan anak muda ini”
berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada di
punggung kuda, ketika dua orang mendekatinya. “Marilah” berkata salah seorang
daripadanya.
“Berjalanlah dimuka” sahut
Agung Sedayu.
Sesaat orang itu saling
berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung,
yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun kemudian
berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi
adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak
Anakmas sampai di gardu ini”
“Oh” sahut Agung Sedayu.
“Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu.” Dan
dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
“Nah,” berkata pemimpin itu,
“kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan Anakmas dan
biarlah kuda itu disini.”
“Baik” jawab Sedayu. “Terima
kasih.”
“Marilah” ajak salah seorang
diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih
berdiri tegak. “Silahkan” katanya.
Agung Sedayu menjadi agak
bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di belakang orang
pertama, kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.
“Anak buah Paman Widura sangat
berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia
menoleh juga ke belakang, seakan-akan orang yang berjalan di belakangnya itu
akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak
terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara pagar-pagar batu
setinggi dada, maka sampailah mereka di sebuah halaman yang luas. Pagar halaman
itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar di sekelilingnya. Di depan halaman
itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.
Orang pertama, yang berjalan
di muka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.
Untuk sesaat tidak terdengar
jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam. Empat kali
berturut-turut.
Agung Sedayu sama sekali tidak
tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang di mukanya itu
sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian
pintu itupun terbuka.
“Siapa?” terdengar sebuah
pertanyaan.
“Peronda di gardu utara” jawab
orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki
Widura”.
“Sekarang?” bertanya orang di
dalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah
sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak
muda.”
Sedayu maju selangkah. Tetapi
hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan
yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan Paman Widura.”
“Adakah sesuatu hal yang
penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar.”
Penjaga gardu itu tanpa
disengajanya menengadahkan wajahnya. Di timur laut dilihatnya bintang panjer
esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau
kehilangan kewaspadaannya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?”
“Agung Sedayu” jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan
keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami di sini.”
Agung Sedayu menjadi gelisah.
Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadanya.”
“Baru saja Ki Widura
beristirahat setelah nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal Putung,
Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung.
Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.
Selagi Agung Sedayu terdiam,
dilihatnya seseorang berjalan ke regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu
berkata “Apa yang terjadi?”
“Oh” orang yang berada
dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya. “Selamat malam
Bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga.
Aku ingin menundanya sampai besok.”
Bapak Demang Sangkal Putung
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan
kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”
Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada
Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika
Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk
membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan
dikenal oleh orang-orang itu. Katanya “Aku membawa berita dari Kakang Untara.”
“Untara” Demang Sangkal Putung
itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang
pula meskipun hanya di dalam hati.
“Adakah Angger ini utusan
Angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya,” sahut Sedayu cepat-cepat
dengan penuh harapan, “aku adiknya.”
“Oh” desis Ki Demang. Dan
tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami
belum mengenal Anakmas. Namun nama kakak Anakmas adalah jaminan bagi kami,
bahwa kabar yang Anakmas bawa pasti kabar yang penting.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama
kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
“Marilah Ngger” ajak Demang
Sangkal Putung. “Biarlah Adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang
penting.”
Agung Sedayupun kemudian
berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas
halaman yang luas menuju ke pendapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua
orang berjalan di belakangnya.
“Rumah ini adalah rumahku”
berkata Demang itu lirih. “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur.
Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan Adi Widura disini
meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang
cerai berai.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
“Sayang,” Demang itu
meneruskan, “persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan
pertumpahan darah. Sebenarnya Adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita
sangka. Namun sayang. Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak
dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah
menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus
ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan
liar.”
Demang itu berhenti sejenak,
kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah
Angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara
terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak yang
berlainan?”
Agung Sedayu berdiam diri. Tak
tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu. Tetapi
di dalam hatinyapun timbul pertanyaan, “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi
bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.