Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 9

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 9 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). Nyo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam2 ia sedang mengingat2 muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak teringat.
Anonim
Nyo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam2 ia sedang mengingat2 muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak teringat.

Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Nyo Ko benar2 seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian padanya, sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si pengemis kurus berkata: "Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah berhasil."

dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas ditaklukkan hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?" ujar si pengemis gemuk dengan tertawa.

"Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan," kata si kurus.

"Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han sendiri, kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak jadi."

Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko teringat pada si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta selalu ber-bisik2 di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya. Diam2 ia merasa gemas, pikirnya:

"Apa yang mereka bicarakan melulu urusan pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni mereka."

Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. perbuatannya memang khianat sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol.

Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang berkata pula: "Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?"

"Raja menjanjikan pangkat "panglima besar wilayah selatan" padaku," jawab Peng-tianglo. "Akan tetapi seperti kata pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja tiga hari. Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar segala?"

Walaupun demikian katanya, namun dan balik ruangan sana Nyo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan itu.

"Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat dariku," kata si kurus.

"Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu juga tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai."

"Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma engkau pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?"

"Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan kuajarkan padamu."

"Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta diangkat menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu luang?"

"Ah, masakah kau tidak percaya padaku," ujar Peng-tianglo dengan tertawa.

Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus pelahan, tampaknya dia masih ragu.

Diam2 Nyo Ko membatin: "seluruh dunia hanya ada satu organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk apa dia mau mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila orang Mongol."

Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula dengan tertawa: "Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si setan tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua."


"Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya berada di bawah pimpinanmu" kata si kurus dengan dingin.

"Juga tidak perlu begitu, biarlah kita mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak, orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya."

"sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang semuanya."



"Hahaha!" Peng tianglo tertawa, "Asal kau bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong"

Sampai di sini barulah Nyo Ko mengetahui duduknya perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang yang menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu itu untuk mempengaruhi murid2 Kay pang, karena seruan yang mereka sebarkan itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab itulah anggota Kay-pang tidak menaruh curiga.

Kalau semua anggauta sudah percaya penuh barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah belah Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.

Meski Nyo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan Ang Jit-kong, tapi dia benar2 kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua itu, pikirnya: "Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini."

Apalagi iapun teringat kepada keganasan pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam2 ia bertekat akan membunuh kedua-jahanam ini.

Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi sedang berkata pula: "Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada2 lain di mulut lain di hati."

"Habis kau mau apa?" tanya Peng-tianglo dengan tak senang.

"Aku berani apa?" jawab si kurus, "Hanya aku ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah palsu Ang-pangcu."

Diam2 Nyo Ko anggap ucapan si kurus itu benar2 goblok, barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu.

Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak tertawa katanya: "Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi."

Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus berkata pula: "Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari buruan lain."- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan melangkah keluar.

Segera Nyo Ko mengintip dari sela2 dinding papan, dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit dan mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu, setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2 iapun menyelinap keluar.

Dengan tertawa Nyo Ko membisiki Siao-liong-li: "jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku irit tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan tandingannya.

"Paling baik kalau keduanya tidak datang kembali semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu," ujar Siao -liong li.

Nyo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula dengan suara tertahan: "Dengarkan suara tindakan orang." - Terdengar ada orang berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang gubuk.

"Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak menyergap si gemuk," bisik Nyo Ko pula dengan tersenyum. Segera ia menolak daun jendela dan melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Benar juga dilihatnya si pengemis kurus sedang mengintip di antara sela2 dinding. Rupanya ia menjadi ragu2 karena tidak menemukan bayangan si gemuk.

Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di belakangnya dan mendadak mengikik tawa

Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di belakangnya, tapi si Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa: "Jangan takut, jangan takut!" Berbareng itu cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang, lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk.

Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka, itu, tiba2 timbul sifat kanak2nya, serunya: "Liongji, lekas kemari, bantulah aku membikin orang2an salju,"- Habis itu ia terus mengeduk salju yang memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.

Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan membantunya, dengan tertawa cekakak dan cekikik Nyo Ko dan Siao-liong-li benar2 seperti anak kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah penuh diuruki salju.

Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak, kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang gemuk laksana "gajah bengkak", malahan pada punggungnya masih menggendong Holo besar yang juga berlapiskan bunga salju.

"Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja telah berubah menjadi gemuk dan putih," kata Nyo Ko sambil tertawa.

"Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu nanti akan kau permak menjadi apa?" ujar Siao-liong-ii dengan riang.

Belum lagi Nyo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang dari jauh. cepat anak muda itu mendesis: "Ssssst, si gemuk sudah kembali, lekas kita sembunyi dulu."

Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan merapatkan pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.

Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum terbayang olehnya, soalnya dia melihat Nyo Ko suka berbuat begitu, maka iapun ikut ramai2 saja.

Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali, sepanjang jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke belakang, lalu sampai pula di depan rumah.

Dari sela2 dinding Nyo Ko dan Siao-liong-li dapat melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam belati dan siap siaga. Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo justeru berada disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.

Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang berjalan mendatangi. Muka Peng-tianglo tampak berkerut lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.



Siao-liong-li dan Nyo Ko juga sangat heran, jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang pula? Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.

Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad akan membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah tajam daripada Nyo Ko dan Siao-liong~li, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan rumah..

"0-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!" terdengar seorang di antaranya mereka menyebut Budha, "Karena kehujanan salju, kami mohon Sicu suka memberi mondok semalam di sini."

Peng-tianglo lantas menyelinap keluar, dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam, walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.

Selagi Peng-tianglo melengak dan belum menjawab, tahu2 Nyo Ko sudah keluar dan berseru: "Silakan masuk, Toa hwesio! Orang dalam perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?"

Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju gemuk itu, ia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu. Waktu ia menoleh pada Nyo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak mengetahui sesuatu.

Dalam pada itu Nyo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan2 adalah orang segolongan Peng-tianglo.

"Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio," kata Nyo Ko kemudian, "cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat perlengkapan tidur segala" Eh, kalian suka makan daging panggang tidak?"

Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab: "Ampun, ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2"

"Baiklah, kalau begitu," kata Nyo Ko, lalu iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li: "Kedua Hwesio tua ini tampaknya adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.

Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya dengan suara tertahan. "Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali, orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu,"

Nyo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua, dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.

Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Nyo Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo, bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu ber~seri2, tapi hatinya ternyata busuk. Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya begitu bengis buas.

Tengah berpikir, se-konyong2 terdengar suara gemerinctng, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda ke-hitam2an terbuat dari besi.

Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak ia melompat bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak menggubris-nya, "krek-krek", benda hitam itu telah digembol pada kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. sepasang belenggu lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri.

Tentu saja Nyo Ko dan Peng-tianglo sangat heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka juga lantas berkurang beberapa bagian.

Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya: "Apakah hari ini waktunya?"

"Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak enak", bisa jadi hari ini," jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo'a: "Mo-hon pertolongan Budha- yang maha welas asih."

Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu lantas menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak, tubuh bagian atas rada gemetar, napasnya mulai ter-engah2, makin lama makin ngos2an, sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat, sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas atap sama rontok.

Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan kebat-kebit hatinya, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu, dari suara raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.

Tadinya Nyo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya. pikirnya: "Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang keras itu?"

Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju hitam semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah "Tidak seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke jalan sesat di-jelmaan mendatangi...."

Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas Hwesio baju hitam yang gemuruh, Nyo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua yang hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.

Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha "Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa2 yang seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin ditariknya kembali."

Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi pelahan dan akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam: "Kalau orang berdosa mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu, Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan adalah: kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?"

"Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya sukar terjadi," ujar Hwesio alis putih, "Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia."

Sampai di sini mendadak Nyo Ko teringat kepada namanya sendiri, yakni "Ko" (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama alias "Kay-ci" (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau-tak-mau timbul rasa kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.



Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula: "Akar kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu. Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu dan tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang darah Tecu terasa bergolak dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa pula, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini."

"Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke dua tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri. Kalau pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja, Coba dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah "lnduk menjangan dan si pemburu, bagimu."

"Tecu siap mendengarkan," jawab si baju hitam sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Nyo Ko dan Siao-liong-Ii juga lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.

"Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak menjangan," demikian Hwesio alis putih mulai berkisah. "Malang bagi induk menjangan itu karena tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan membunuh induk menjangan, dengan sangat induk menjangan minta dikasihani katanya: "Aku mempunyai dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum. Mohon di beri kelonggaran sementara waktu agar dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti kudatang kembali untuk menyerahkan diri" - pemburu tidak mengidzinkan, Induk menjangan memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya, induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri.

Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil itu tidak paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara2 mencari hidup lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon diri."

Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun mencucurkan air mata, walaupun tahu cerita Hwesio itu cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Nyo Ko.

Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang melanjutkan ceritanya: "Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah pergi. Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. induk menjangan lantas berhenti dan menoleh, katanya:

"O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, cuma kalian yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membikin kalian kehilangan ibu sejak kecil." - Habis berkata ia terus berlari ke tempat si pemburu.

Kedua anak menjangan sangat menginginkan kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai di sana. Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia.

Dilihatnya pula antara induk dan anak menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan."

Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya: "Menjangan saja mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak dapat meniru mereka."

"Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh akan lenyap," kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah Peng-tianglo.

Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu Hwesio alis putih berkata pula: "Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu2 nya adalah berbuat amal. Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di masa lalu, ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan."

Habis ini ia menghela napas pelahan dan menambahkan pula: "Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan." - Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi.

Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi. Waktu ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya dengan tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat.

Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali ia menoleh ke sana.

"Wah, lebat sekali salju yang turun ini," kata Peng tianglo dengan tertawa.

"Ya, ya, lebat sekali," jawab Hwesio baju hitam.

"Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan salju ini," kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.

"Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan salju," jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di samping Peng-tianglo.

Dari balik dinding Nyo Ko juga merasakan sorot mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar2 ia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.

"Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang sekali2 jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang me luap2, kalau tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?" demikian Peng-tianglo berkata pula dengan tertawa.

Secara samar2 si Hwesio baju hitam mengiakan, Lalu Peng-tianglo berkata pula: "Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul saja, kan tidak berdosa."

Hwesio baju hitam memandang orang salju itu dan mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.

Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu sudah teruruk lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya juga tertutup oleh salju.

"HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!" demikian Peng-tiangIo menganjurkan pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.

"Baik, akan kupukul." kata si Hwesio baju hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.

Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela napas panjang, dengan pelahan ia menggumam: "Sekali napsu membunuh timbul, seketika terjadi mala petaka,"

Segera terdengar suara "blang" yang keras, kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus. salju berhamburan dan terdengar jeritan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar buka terkena pukulan Hek-ih-ceng" jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan dan berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu.



Siao~liong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Nyo Ko dengan erat.

"Ha, di dalam salju ada orang!" teriak Hek-ih-ceng kaget

Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan memeriksa keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng" seketika Hwesio baju hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan berseru: "He, benar2 aneh, untuk apakah orang ini sembunyi didalam gundukan salju? Eh, mengapa dia membawa senjata?"

Meski dengan Liap-hun~ tay~hoatnya dia berhasil mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh orang menghantamnya?

"Suhu... Suhu!" dengan melongo bingung ber-ulang2 Hek-ih-ceng memanggil sang guru.

"Karma! karma!" ucap Pek~bi~ceng, "Orang ini tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya."

Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan bertanya dengan suara gemetar: "Tecu tidak paham artinya."

"Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu tiada bermaksud mencelakai orang," kata Pek-bi-ceng. "Tapi tenaga pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu hendak membunuh orang!"

"Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh orang" jawab Hek-ih-ceng.

Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo hingga sekian lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali pandang saja, Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng tianglo itu lantas sirna tanpa bekas.

Mendadak Hek-ih ceng berteriak: "He... kau... kau adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!"

Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas penuh rasa bertentangan batin, katanya: "Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?"

Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul ialah Kiu Jian yim, ketua Tiat-ciang-pang. Setelah terjadi pertandingan di puncak Hoa-san dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.


Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Ui Yok-sui. Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.

Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan nama agama sebagai Cu-in. Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh kemajuan pesat. Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar, terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.

Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.

Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka bertemu dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula.

Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang diperbuatnya, seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun telah hanyut ke laut seluruhnya. Dengan pelahan ia menoleh dan memandang Peng-tianglo dengan mata berapi.

It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat, kalau mengalangi dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendungkan.

Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang bersih.

Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, pelahan- It-teng Taysu menyebut:"

"O-mi to-hud!" -Sampai hampir ratusan kali ia menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo, lalu berduduk di tanah dan napasnya ter-engah2 pula.

Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat sesukanya.

Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu menyorot, seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat dan sukar mengeluarkan ilmunya.

Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira2 serupa dengan sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali.

Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya.

Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi keadaannya yang berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya melarikan diri sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim yang Ginkangnya terkenal maha hebat.

Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik Kiu Jian-yim.

Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu pula, tiba2 ia berseru: "Suhu, pembawaanku memang orang jahat, Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi."

"Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah kisah padamu," kata It- teng.

Mendadak Cu~in berteriak dengan suara keras:

"Kisah apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu diriku, aku tak percaya lagi padamu." ~ Krak-krek, tahu2 belenggu pada kaki dan tangannya itu retak dan terlepas.

Dengan suara halus It-teng berkata pula: "Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau sesalkan lagi."

Namun Cu-in lantas berbangkit ia meng-geleng2 kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan menghantamkan kedua tangannya, "blam", tahu2 tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang keluar.

Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh juga pasti tamat riwayatnya.

Nyo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis ia membentak mereka berdua: "Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua tidak berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh," Habis berkata, tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.



Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan mengadang di depan Nyo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha, air mukanya kereng, katanya: "Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau mau. Cu-in, apakah benar2 kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong pula."

Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar kusut sekali pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat. Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya menghantam ke arah It-teng taysu.

Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.

"Bagus, jadi kau benar2 ingin memusuhi aku?" teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula.

!t-teng tetap" menangkis saja dan tidak balas menyerang. Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat: "Hm, nntuk apa kau mengalah? Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak~kay dan Tiong-sin-thong segala? Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini, Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika jiwamu melayang percuma."

Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi ucapannya itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan It-teng Taysu itu.

Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih daripada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu di hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah sekalipun jiwanya tidak melayang.

Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka binasa kena pukulan tangan besi itu daripada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan, jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.

Nyo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14, tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.

"Apakah kau tetap tidak mau membalas?," bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu.

Dengan tersenyum It-teng menjawab: "Untuk apa aku membalas? Apa gunanya jika kukalahkan kau? Apa pula paedahnya kalau kau kaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaannya sendiri."

Cu-in tampak tertegun dan bergumam: "Mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?"

Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek yang menggetar hati Nyo Ko. Pikirnya: "Untuk mengalahkan kehendak diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar daripada mengalahkan musuh yang tangguh."

Ucapan pendeta agung ini benar2 sangat tepat dan bernilai.

Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan. "Brak", tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya sama berlepotan darah...

Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya, Nyo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi daripada Hek-ih-ceng itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh terbuat dari besi juga akhirnya akan meleyot.

Kini Nyo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas begitu saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi, "sret", iapun membarengi dengan tusukan pedang.

Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar.

Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini. It-teng memandang Nyo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.

"Siapa kau? Apa kehendakmu?" bentak Cu-in dengan bengis.

"Gurumu memberi nasihat secara baik2, mengapa Taysu tidak mau sadar?" jawab Nyo Ko. "Tidak mau menerima nasihat sudah keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan keji kepada gurumu. Manusia macam demikian bukankah jauh lebih rendah daripada binatang?"

Dengan gusar Cu-in membentak: "Apakah kaupun orang Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?"

"Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang" jawab Nyo Ko dengan tertawa, "Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa menyesal?"

Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam: "Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan... menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan..."

Setelah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi, lapat2 Nyo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran jahat.

Maka ia lantas berkata pula: "Kedua orang itu adalah anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh mereka, ini adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati, entah betapa orang baik2 akan menjadi korban kejahatan mereka"

Cu^in merasa ucapan Nyo Ko itu sangat tepat, pelahan2 ia menurunkan tangannya yang siap menghantam itu. Tapi segera teringat olehnya dahulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Nyo Ko itu tiada ubahnya seperti mencaci maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Nyo Ko sambil membentak: "Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?"

Tadinya Nyo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya, dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya, terpaksa ia ikuti daya pukulan musuh dan melompat mundur, "blang-blang" dinding papan rumah ambrol dan tubuh Nyo Ko mencelat keluar rumah.



lt-teng Taysu terkejut, pikirnya: "Apakah pemuda ini akan binasa begitu saja? tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah."

Pada saat lain, mendadak api unggun yang berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin keras, tahu2 Nyo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah Cu-in dengan membentak: "Baik, hari ini boleh kita coba2 ukur tenaga."

Rupanya Nyo Ko tadi dapat mundur lebih cepat daripada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah ia terhindar dari pukulan maut itu. Kini pedangnya menusuk lurus ke depan kekuatan yang dahsyat dan sukar di tahan. Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Nyo Ko itu.

Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Nyo Ko ini adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di tengah air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali sakti, kini ilmu pedang yang dikuasi Nyo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hampir tiada artinya bagi Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.

Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak tertembus.

Setelah bergebrak barulah sama2 mengetahui ilmu silat pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh, It teng ter-heran2 menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda ini paling2 baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meskipun pengalaman sendiri tergolong sangat luas, lebih2 pedangnya yang hitam berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pola.

Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti pertarungan itu di samping dengan tenang2 saja, diam2 iapun yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia mengawasi lebih teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar2 bersemu hitam, tanpa terasa ia bersuara kaget.

Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu, katanya: "Oh, kau sudah tahu?"

Dalam pada itu pertarungan Nyo Ko lebih beruntung dalam hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya seimbang. Terdengai pula suara "blang", papan kayu jebol sebuah, menyusul "krek" sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah kecil bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi serentak atap rumah lantas ambruk.

Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan menerobos keluar melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu, Nyo Ko dan Cu-in telah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara mentah2 dan pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju.

Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras. Sampai ratusan jurus, tenaga pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.

Ketika Nyo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in, lantas menggeser ke samping. Tapi pedang Nyo Ko lantas menyapu sehingga menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in. Karena matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya. Pada saat itulah pedang Nyo Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.

Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh benda yang beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang, Ujung pedang Nyo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu tidak tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.

Pada saat demikian sekilas terbayang "mati" dalam benak Cu-in. Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang, jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka, inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.

Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Nyo Ko ternyata merupakan bunyi guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat, ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu orang2 yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.

Diam2 It-teng sangat kagum menyaksikan Nyo Ko akhirnya dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya menyelentik pelahan pada batang pedang, seketika Nyo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang lantas bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun dan menjura kepada It-teng sambil berseru. "Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!"

It-teng tersenyum dan meraba punggungnya, katanya: "Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih kepada anak muda ini."

Tadinya Nyo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada jaman ini selain Ui Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun menyembah dan berkata:

"Tecu Nyo Ko memberi salam hormat kepada Taysu." - Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura padanya.

Cepat ia membalas hormat dan berkata: "Wah, mana kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe," Lalu ia tuding Siao-liong-li dan menambahkan pula: "lni adalah isteriku she Liong, Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu."

Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah maju dengan memondong Kwe Yang serta memberi hormat.

"Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kitapun tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2" kata It-teng dengan tertawa.

"Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal, apakah luka Suhu berbahaya?" tanya Cu-in.

"Kau sendiri apakah sudah sehat?" tanya It-teng sambil tersenyum.

Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu apa yang harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding papan dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali sekadar tempat bernaung, sementara itu Nyo Ko juga menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.



"Kedatangan kami berdua ini justeru hendak pergi ke Coat-ceng-kok," tutur It-teng Taysu, "Apakah kau tahu hubungan Cu-in Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?"

Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in menyebut "Kiu-pangcu", maka Nyo Ko lantas bertanya: "Apakah asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?" - Ketika dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata pula padanya: "Jika kegitu penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik perempuanmu."

"Benar," jawab Cu in, "apakah adik perempuanku baik2 saja?"

Nyo Ko merasa sukar untuk menjawabnya.

Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan "baik."

Melihat anak muda itu ragu2 menjawabnya, Cu-in berkata pula: "Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau dia mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan."

"Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja, badannya sih sehat2 saja," kata Nyo Ko.

Cu-in menghela napas, katanya: "Selang sekian tahun, semua sudah tua..., biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja..." sampai disini ia lantas ter-mangu2 mengenang masa lampau

It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas Ienyap, padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh lagi dan sukarlah dibayangkan apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.

Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang kasihan, tiba2 Nyo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan semakin runyam, maka ia lantas bertanya: "Taysu, tindakanku yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk."

"Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku dihantam mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih dalam," jawab It-teng. "Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu."


Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan berianya: "Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?"

Mendengar pertanyaan itu, seketika Nyo Ko rSeperti melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab: "Dia terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi, tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?"

Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan It-teng Taysu.

It-teng membangunkan anak muda itu dan berkata: "Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?"

"Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku," tutur Nyo Ko serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.

Maka pahamlah It-teng, ber~ulang2 ia menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li, lalu kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.

Dengan ter-mangu2 Nyo Ko juga memandangi It-teng dengan penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan: "Dapat ditolong", sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Nyo Ko, sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang, maka ia coba menghibur Nyo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan itu:

"Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan mana bisa dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan terlalu merisaukannya."

Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar Siao-liong~li buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi se-akan2 seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.

Diam2 It-teng memuji sepasang muda-mudi ini sungguh manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang, karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci. Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata: "Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja...."

Mendengar sampai di sini, hati Nyo Ko serasa tertekan, kedua tanganpun terasa dingin.

"Racun dalam tubuh nyonya memang sudah mendalam," demikian It-teng menyambung, "kalau saja aku tidak terluka, dapat kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang nyonya sudah terlatih amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah diminum dapat di jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan apapun, Kita segera berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku".

"Benar." seru Nyo Ko sambil berdiri. "Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti mempunyai cara pengobatannya."

"Andaikan Suteku juga tidak mampu menolongnya, maka anggaplah memang sudah takdir" kata It-teng. "Di dunia ini banyak anak2 yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya sudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek umur."

Selesai berkata, lt-teng lantas termenung karena teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.

Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat dia sebagai gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya. Namun satu katapun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara2 perbuatan Cu-in itu.

Begitulah dengan mata terbelalak Nyo Ko memandangi It-teng Taysu, pikirnya: "Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah katapun"

Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba2 It teng mengeluarkan sebutir telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya: "Coba katakan, ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu."



Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan, Nyo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang tidak penting ini.

Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu, ketika diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli. Setelah berpikir sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya: "Telur menetaskan ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati."

Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.

"Lekas diminum," kata lt-eng, taysu.

Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam obat itu ke mulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.

Esok paginya hujan salju masih belum mereda.

~m :-

Nyo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok tidak dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya. Maka ia lantas berkata: "Taysu, apakah lukamu sendiri tidak beralangan?"

Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi demi menolong sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2 lagi, segera ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali melesat tahu2 sudah beberapa meter jauhnya

Cepat Nyo Ko bertiga mengikut kencang dari belakang Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa bagian perutnya terasa hangat, semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya dan sekaligus sudah melampaui di depan It-teng Taysu.

Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik molek begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini. Semalam melulu menghadapi Nyo Ko saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju, jelas dirinya pasti kalah terlebih cepat. Tiba2 timbul rasa ingin menangnya, segera "tancap gas" dan menguber cepat ke depan.

Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay dengan Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah jago tua yang pernah termasyhur dengan julukan "Tiat-ciang-cui-siang-hui" (telapak tangan besi mengapung di atas air) yang menggambarkan betapa hebat ilmu pukulannya seru kecepatan berlarinya.

Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling uber menguber di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di tanah salju sana.

Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul lagi dan mencelakai Siao liong-li, cepat Nyo Ko mengejar ke sana. Ginkangnya sebenarnya bukan tandingan kedua orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kakinya juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan kedua orang itu sangat jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang di depan itu muIai nampak dan semakin jelas kelihatan.

Selagi Nyo Ko asyik mengejar, tiba2 terdengar It-teng menegur di belakang: "Hebat benar tenaga dalammu, siapakah gurumu, bolehkah kuketahui."

Nyo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang didepan itu tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di belakang, siapa tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di belakangnya.

Segera ia mengendurkan langkah dan jalan berjajar dengan paderi itu, jawabnya: "Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku."

"Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih hebat daripadamu?" ujar It-teng heran.

"Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir ini tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu apa-sebabnya."

"Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga? seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?"

Nyo Ko. menggeleng, Tapi tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat katanya pula: "Wanpwe pernah makan beberapa puluh biji buah warna merah segar, habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah buahan itu ada sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?"

"Buah merah segar? Apakah besarnya hampir sama jeruk nipis, rasanya manis dan tanpa biji?"

"Benar, buah itu memang tiada terdapat biji Wanpwe merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?"

"Barimana kaudapat buah itu?" tanya It-teng.

"Tecu diberi oleh seekor burung rajawali raksasa," jawab Nyo Ko.

"Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar dicari. Buah merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar dicari dan bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus. Cu-koh itu niscaya tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya berbuah beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekalipun. Agaknya rajawali raksasa itu benar2 rajawali sakti."

"Ya, memang rajawali sakti!" tukas Nyo Ko. iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah merah itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya. Tapi menurut keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu kelak masih terluka atau tidak?

Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak lemah berhenti, beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan Cu-in sudah bertambah dekat, It-teng dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum.

Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat Siao-liong-Ii dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian terakhir terletak pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang, Ginkang hebat tak didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti mengendur larinya.

Di antara kedua orang yang berlomba di bagian depan itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter pula di belakang. Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit daripada Cu in.

Tengah berlari dan setelah melintasi sebuah tanjakan, tiba2 Nyo Ko menuding ke depan dan berkata kepada It-teng: "He, aneh, mengapa di depan sana ada tiga orang?"

Benar juga, tidak jauh di belakang Siao liong-li ternyata ada seorang pula yang ikut berlari dengan cepat. sekilas pandang saja Nyo Ko lantas merasakan Ginkang orang ketiga ini tidak di bawah Siao-liong-li dan Cu-in, malahan orang ketiga ini tampak memanggul sesuatu benda yang amat besar, seperti sebuah peti, namun langkahnya tetap gesit dan cepat, jaraknya selalu beberapa meter saja di belakang Siao-Iiong-li.

It-teng Taysu juga heran, sama sekali di luar dugaannya bahwa di pegunungan sunyi ini ber-turut2 bertemu dengan orang kosen, semalam bertemu dengan sepasang suami isteri muda yang hebat, sekarang orang yang ikut berlari di depan itu jelas adalah seorang kakek.

Sementara itu Siao-liong-li yang ketinggalan di belakang Cu-in itu semakin menjauh jaraknya, ketika didengarnya di belakang ada suara langkah orang, disangkanya Nyo Ko yang telah menyusul tiba, maka ia lantas berkata: "Ko-ji, Ginkang Toa-hwesio ini teramat hebat, aku tidak sanggup menandingi dia, coba saja kan menyusulnya."

Tiba2 orang di belakangnya itu tertawa dan berkata: "Silakan kau mengaso dahulu di atas petiku ini, setelah tenagamu pulih, tentu kau akan melampaui Hwesio itu,"

Merasa suara orang bukan Nyo Ko, cepat Siao liong-li mcnoleh, dilihatnya seorang tua berjenggot dan berambut putih, siapa lagi kalau bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal, Dengan tertawa simpatik orang tua itu sambil menunjuk peti yang dipangguInya itu "Sini, mari sini, naik ke atas peti ini!"

Peti itu adalah barang Tiong-yang-kiong, mungkin tempat menyimpan kitab Coan-cin-kau, untuk menyelamatkannya dari amukan api, maka Ciu Pek thong telah menggondolnya lari.

Selagi Siao-liong-li tersenyum dan belum menjawab atas tawaran orang tua itu, mendadak Ciu pek thong menyelinap maju ke depan Siao~liong-li, sekali tangannya menolak pinggang si nona dengan enteng, Siao-liong-li di dukungnya ke atas peti yang di pangguInya itu. Gerakannya sangat cepat, caranya aneh pula, sebelum Siao-liong-ii menghindar atau menolak, tahu2 ia sudah diangkat ke atas peti. Mau-tak mau Siao-liong-li memuji betapa hebat ilmu silat Coan-cin-pay yang memang mempunyai keunggulan sendiri itu, bahwa para Tosu di Tiong-yang kiong itu tidak mampu menandingi dirinya hanya karena mereka belum menguasai sampai puncaknya ilmu silat perguruan mereka.

Sementara itu Nyo Ko dan It-teng juga sudah mengenali Ciu Pek-thong adanya. Hanya Cu-in saja yang kuatir disusul Siao-liong-li, ia masih ngebut ke depan tanpa menyadari di belakangnya telah bertambah seorang lagi.

Dengan langkah cepat dan mantap Ciu Pek-thong terus mengintil di belakang Cu-in, dengan suara tertahan ia membisiki Siao-Iiong-li: "Sebentar lagi langkahnya pasti akan lamban."

"Dari mana kau tahu?" tanya Siao-Iong-li dengan tertawa.

"Aku pernah berlomba lari dengan dia, dari Tionggoan kami udak mengudak sampai di wilayah barat dan dari sana memutar balik lagi ke Tionggoan, berpuluh ribu li kami telah berlari, tentu saja kutahu kemampuannya," tutur Ciu Pek-thong dengan tersenyum.

Duduk diatas peti itu, Siao-liong-li merasa sangat anteng dan setabil melebihi naik kuda, dengan suara pelahan ia tanya dengan tertawa: "Lo-wan-tong, untuk apa kau membantu aku?"

"Siapa yang tidak suka membantu nona cantik seperti kau ini, kaupun tidak nakal dan centil seperti si Ui Yong," jawab Ciu Pek thong. "Malahan kaupun tidak pernah marah biarpun aku telah mencuri madumu."

Begitulah mereka berlari dengan Siao-liong-li membonceng di panggul Ciu Pek-thong, benar juga, tidak lama kemudian lambat laun langkah Cu-in mulai mengendur. Pada saat itulah Ciu Pek-thong lantas berkata: "Pergilah!" - Berbareng pundaknya terus menyembul dan tubuuh Siao-liong-li lantas melayang jauh ke depan.

Karena cukup istirahat begitu mulai lari lagi, hanya sejenak saja Siao-liong-li sudah dapat melampaui Cu-in, setelah itu ia sengaja menoleh dan tersenyum. Keruan Cu-in terkejut, lekas2 ia "tancap gas" pula dan ngebut sekuatnya.

Namun Ginkang kedua orang memangnya selisih tidak jauh, kini yang seorang sudah cukup beristirahat, yang lain sejak tadi ber-lari2 tanpa berhenti, maka jarak kedua orang makin lama makin menyolok dan sukar lagi bagi Cu-in untuk menyusuInya.

Selama ini Cu-in sangat bangga akan dua macam kepandaiannya yang khas dan merasa tiada tandingannya di dunia ini, tapi dalam sehari semalam saja ilmu pukulannya telah dikalahkan Nyo Ko, kini Ginkangnya dikalahkan pula oleh Siao-liong-li, seketika ia lantas lesu dan patah semangat, kedua kakinya terasa lemas se-akan2 tidak mau menurut perintah lagi Diam2 ia berkuatir apakah ajalnya sudah dekat sehingga nona jelita begitu saja mampu menyusulnya?

Semalam napsu jahatnya memuncak dan melukai sang guru, sehabis itu hatinya tidak tenteram, kini dia tak sanggup lagi menyusul Siao-liong-li meski sudah mengerahkan segenap tenaganya, keruan pikirannya semakin kacau dan merasa segala urusan di dunia ini sama sekali sukar dibayangkan.

Kejadian Ciu Pek-thong membantu Siao-liong-li itu dapat dilihat dengan jelas oleh Nyo Ko yang mengintil di belakang, ia tertarik juga oleh perbuatan jahil si Anak Tua Nakal, segera ia percepat pula langkahnya mendekati Ciu Pek-thong serta menegur dengan tertawa: "Terima kasih banyak2, Ciu-locianpwe"

"Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan si tua Kiu Jian-yim ini, mengapa semakin tua semakin konyol sehingga akhirnya cukur rambutnya hingga kelimis dan menjadi Hwesio."

"Dia telah mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, masakah engkau tidak tahu?", tutur Nyo Ko sambil menuding ke belakang.

Ciu Pek-thong terkejut, serunya: "He, apakah Toan-hongya juga datang?"

Waktu ia menoleh dan melihat bayangan It-teng, cepat ia berseru pula: "Wah, tidak enak, paling selamat angkat langkah seribu saja. Habis ini mendadak ia berlari menjurus ke samping terus menyusup ke dalam pepohonan yang rimbun.

Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu "Toan Hongya" (raja she Toan) yang diucap Ciu Pek-thong itu, dilihatnya dalam sekejap saja Anak Tua Nakal itu sudah menghilang tanpa bekas, diam-diam ia merasa tindak tanduk orang tua itu sungguh aneh dan jarang ada bandingannya.

Melihat Ciu Pek~ thong telah kabur menjauhi dirinya, It teng lantas mendekati Nyo Ko, dilihatnya Cu-in lesu dan Iemas, sikapnya semula yang bersemangat dan tangkas mendadak hilang dan entah ke mana, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya: "Masakah jalan pikiranmu masih belum terbuka menghadapi soal kalah dan menang begini?"

Cu-in melenggong bingung. It-teng berkata puIa: "Setiap kehendak tentu ada kelemahannya dengan kepandaianmu yang tinggi, kalau saja engkau tidak berkeras ingin menang, masakah kau tidak mengetahui bahwa di belakangmu telah bertambah seorang penguntit?"



Sampai di sini, tiba2 terdengar Siao-Iiong-Ii berseru di depan sana :"He, lekas kemari, lihatlah ini..

Cepat Nyo Ko bertiga menyusul kesana, tertampak Siao-liong-li menunjuk pada sebatang pohon, kulit batang pohon itu terkupas, sebagian terlukis sebuah ujung panah yang mengarah ke utara, di bawah panah ada tisi kan beberapa huruf kecil yang berbunyi: "Arah ke Coat-ceng-kok."

Huruf2 itu dicocok dengan jarum dan bersemu ke-hitam2an. Agaknya huruf2 ini dicocok dengan jarum berbisa Li Bok-chiu," kata Nyo Ko.

"Benar," jawab Siao-Iiong-li. "Tapi Suciku selamanya tidak pernah ke Coat-ceng-kok, dia tidak mengenal jalanan ke sana."

Nyo Ko termenung sejenak, lalu berkata pula. "Kwe-hujin dan nona Kwo masih menyimpan Pek-pok-gin-ciam bekas milik Li Bok-chiu. Paman Bu tahu jalanan ke Coat-ceng-kok, mungkin tulisan ini dibuat oleh rombongan mereka."

"Untuk ditujukan kepada siapa petunjuk ini?" tanya Siao Iiong-li.

"Muridku she Cu itu banyak tipu akalnya, dia terkurung di sana dan sempat mengirim berita mohon bantuan padaku, bisa jadi Sam-thong juga mengetahui aku akan datang ke sini," kata It-teng Taysu.

Begitulah mereka berempat lantas mempercepat perjalanan mereka, lima hari pertama mereka dapat berjalan dengan cepat, tapi pagi hati keenam luka It-teng tenyata bertambah parah dan mulai tidak tahan berjalan..

Segera Cu-in berjongkok dan memaksa menggendong It-teng Taysu, dengan begitu mereka melanjutkan perjalanan tanpa terhenti Lewat lohor, sampailah rombongan mereka di mulut lembah Coat ceng kok itu.

"Apakah kita perlu memberitahukan kedatangan kita agar adikmu menyambut kedatangan Taysu," tanya Nyo Ko kepada Cu-in.

Belum lagi Cu-in menjawab tiba2 terdengar di tengah lembah sana sayup2 ada suara beradunya senjata. Kuatir akan keselamatan adik perempuan nya itu yang mungkin sudah bergebrak dengan Bu Sam-thong dan lain2, cepat Cu-in berkata:" Marilah kita masuk saja langsung ke sana untuk mencegah pertarungan mereka, "

Be-ramai2 mereka lantas berlari ke arah datangnya suara itu. Sesudah dekat, terlihat beberapa orang berseragam hijau dengan senjata terhunus sedang berjaga di luar semak2 pohon sana dan suara beradunya senjata berkumandang dari dalam pepohonan yang rimbun itu, sedangkan orang2 yang bertempur tidak kelihatan sama sekali.

Melihat kedatangan musuh lagi, orang2 berbaju bijau itu. berteriak-teriak sambil menyingkir ke sayap kanan dan kiri dengan maksud hendak mendesak musuh ke tengah pepohonan. Tapi sesudah berhadapan, mereka mengenali Siao-liong-li dan Nyo Ko, serentak mereka merandek dengan melenggong.

Salah seorang yang menjadi kepala rombongan orang2 berbaju hijau itu lantas menegur Nyo Ko.

"Cubo (majikan perempuan - Cukong majikan Ielaki) menugaskan Nyo-kongcu ke Siangyang, apakah tugas itu sudah berhasil dengan baik?"

Sudah tentu tugas yang dimaksudkan itu adalah membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko tidak menjawab sebaliknya malah bertanya: "Siapa yang sedang bertempur itu?"

Orang itu tidak menjawab, tapi melirik dengan sangsi, karena tidak tahu kedatangan Nyo Ko ini adalah kawan atau lawan.

"Kedatanganku ini tidak bermaksud buruk," jawab Nyo Ko tersenyum, "apakah Kongsun-hujin baik2 saja, begitu pula nona Kongsun?"

Hilanglah rasa waswas orang berbaju hijau itu mendengar jawaban Nyo Ko itu, katanya kemudian: "Terima kasih, Cubo dan nona baik2 semuanya."

Cu-in bergirang mendengar adik perempuannnya baik2 saja.

Orang berbaju hijau tadi bertanya pula: "Dan siapakah kedua Toa-hwesio ini? Apakah sehaluan dengan keempat perempuan di dalam hutan itu?

"Keempat perempuan? siapakah mereka?" tanya Nyo Ko....

"Keempat perempuan itu telah menyerbu dalam doa jurusan, Cubo memberi perintah agar mereka diusir, tapi mereka membangkang dan sekarang telah dipancing ke dalam lingkaran bunga cinta, di luar dugaan, begitu keempat perempuan itu saling, bertemu, mereka lantas saling labrak malah," demikian keterangan orang itu.

Nyo Ko terkejut mendengar keempat perempuaa itu terkurung di tengah lingkaran bunga cinta, seketika iapun tidak tahu siapakah keempat perempuan yang dikatakan itu. Kalau Ui Yong, Kwe Hu, Wanyan Peng dan Yalu Yan, mengapa mereka berempat saling labrak? Karena itulah ia lantas berkata: "Jika tidak keberatan, tolong, perlihatkan padaku, kalau kukenal mereka, boleh jadi dapat kulerai mereka untuk ber-sama2 menghadap Kokcu."

Orang berbaju hijau itu yakin keempat perempuan yang sudah terkurung di tengah tetumbuhan bunga cinta itu pasti sukar meloloskan diri, maka ia tak menolak permintaan Nyo Ko, segera ia membawa Nyo Ko berempat ke dalam hutan, Maka tertampaklah di suatu tanah yang rendah yang penuh dilingkari bunga2 yang indah permai ada empat perempuan yang terbagi dalam dua partai sedang bertempur dengan sengit.

Menyaksikan keadaan pertarungan keempat orang itu, serentak Nyo Ko dan Siao-liong-li terkejut bahkan Siao-liong-li sampai berseru kuatif. Kiranya tempat di mana keempat perempuan itu bertempur adalah sebuah tanah rumput seluas tiga empat meter persegi yang sekitarnya penuh dipagari bunga cinta yang berduri itu, pagar bunga cinta yang mengitari tanah rumput dibagian tengah itu rata2 melebar sampai belasan meter jauhnya, biarpun orang yang memiliki Ginkang maha tinggal dunia ini juga tidak mampu ke luar dari pagar bunga cinta itu dengan sekali lompat, bahkan dua kali lompatan juga sukar.

It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran menyaksikan keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta itu, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah merasakan siksaan bunga itu, maka begitu melihat mereka lantas berkuatir bagi keempat perempuan itu,

"Kiranya Suci adanya," kata Siao-liong-li kemudian. "Dia datang terlebih dulu dari pada kita"

Kiranya dua di antara keempat perempuan itu memang Li Bok-chiu dan muridnya, yaitu Ang Leng-po. Mereka sama2 bersenjatakan pedang, mungkin setelah kebutnya patah di dalam kuburan kuno Li Bok-chiu belum sempat membuat kebut baru, sedangkan ke dua perempuan yang menjadi lawan mereka masing2 menggunakan senjata Liu yap-to (golok panjang: sempit) dan seorang lagi memegang sebangsa seruling, potongan tubuh keduanya sama2 langsing, langkah mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka juga tidak lemah walaupun jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.

"Kiranya kedua saudara misan inilah," demikianlah Nyo Ko membatin setelah mengenali kedua orang yang bukan lain daripada Thia Eng dan Liok Bu-siang.



Bertempur di tengah arena yang cuma tiga-empat meter luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikitpun tidak boleh salah langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya menjadi rada kerepotan.

Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa menggunakan pedangnya yang bukan senjatanya se-hari2, sedangkan Thia Eng sejak mendapatkan didikan langsung dari Ui Yok-su, sebagian kepandaiannya yang bagus itu juga telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, selama beberapa bulan ini mereka sudah maju pesat, ditambah lagi Ang Leng-po merasa kasihan pada Bu-siang yang pernah belajar bersama di bawah pimpinan Li Bok-chiu, ia tidak tega melancarkan serangan maut, karena itulah Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup bertahan meski keadaan mereka sudah mulai payah.

"Tanpa sebab apa2 mengapa mereka berempat bisa menerobos ke tengah pagar bunga cinta itu dan bertempur di situ?" tanya Nyo Ko kepada orang berbaju hijau.

Orang itu sangat bangga dan bercerita dengan pongahnya: "lnilah perangkap rahasia yang diatur oleh Kongsun-kokcu, sekali mata2 musuh menyusup ke tengah pagar bunga cinta itu, begitu kami tutup jalan masuknya, maka semua jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar lagi."

"Apakah mereka sudah terkena racun bunga cinta itu?" tanya Nyo Ko kuatir,

"Seumpama belum kena, kukira cuma soal waktu saja, sebentar lagi," kata orang itu,

Nyo Ko menjadi heran cara bagaimana orang2 ini mampu memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga cinta itu. Akhirnya ia ingat, pasti orang2 berbaju hijau ini telah menggunakan barisan berpisau yang lihay itu. ia menjadi kuatir kalau Thia Eng dan Bu-siang juga kena racun bunga cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi yang dapat menyembuhkan mereka.

Dengan suara lantang ia lantas berseru: "Thia-cici dan Liok-cici, ini-ku diriku Nyo Ko berada di sini. Kalian harus hati2 terhadap bunga2 berduri di sekitar kalian itu, tidak kepalang lihaynya racun bunga itu, awas jangan sampai tertusuk !"

Li Bok-chiu yang cerdik itu sejak mula sudah menduga pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu, kalau musuh mengurung mereka dengan tumbuh2an berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam2 ia teIah membisiki Ang Leng--po agar ber-hati2 dan sebisanya menjauhi bunga berduri itu.

Thia Eng dan Liok Bu siang juga bukan nona bodoh, tentu saja merekapun melihat keadaan yang tidak beres itu, sebab itulah mereka bertempur dengan waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu. Kini demi mendengar peringatan Nyo Ko, di antara keempit orang itu dua orang merasa terkejut dan dua orang bergirang, tapi merekapun bertambah was-was terhadap tetumbuhan di sekitar mereka itu, pertarungan merekapun bertambah sengit mencari selamat sendiri.

Bahwasanya Thia Eng din Liok Bu-siang bertempur demi menuntut balas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak memikirkan kelamaan sendiri asalkan dapat membinasakan musuh. sebaliknya Li Bok-chiu berhasrat harus membunuh kedua "nona" itu agar dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta itu.

Kedatangan Siao liong-li dan Nyo Ko sebenarnya telah membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, untunglah mereka teralang oleh pagar bunga cinta dan tidak dapat memberi bantuan. Segera ia membentak: "Leng-po, lekas menyerang jika kau tidak ingin lekas mati di sini"

Sejak kecil Ang-Leng-po sangat takut kepada sang guru, cepat ia mengiakan dan pedangnya lantas menusuk ke arah Thia Eng. Tekanan kepada Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng lantas terancam bahaya.

Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis serangan Ang Leng po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li Bok-chiu juga menyerang ke tenggorokannya. Dengan sendirinya Bu-sing tidak tinggal diam, segera goloknya menangkis. Namun Li Bok-chiu telah angkat pedangnya berbareng sebelah kakinya kena memegang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan jatuh ke tengah bunga cinta. Menyusul itu pedang Li Bok Chiu bergerak pula, ber-turut2 dia, menusuk tiga kali sehingga Thia Eng tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.

"Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!" seru Bu-siang kuatir.

"Tidak mundur boleh maju saja!." jengek Li Bok-cniu sambil melangkah mundur satu tindak.

Thia Eng tahu, orang pasti tidak bermaksud baik, tapi tempat berdirinya itu memang sangat berbahaya, maka tanpa pikir ia lantas melangkah maju.

"Hm, berani amat kau !" jengek Li Bok-chiu pula, pedangnya bergerak, serentak sinar pedangnya mengurung rapat tubuh Thia Eng bagian atas.

Dari jauh Nyo Ko dapat menyaksikan permainan ilmu pedang Li Bok chiu yang lihay itu, kalau tidak memaharai gaya serangan itu, kebanyakan orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas, karena itu bagian perut menjadi tak terjaga dan pasti akan terserang. Tanpa ayal lagi Nyo Ko-lantas pungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.

Begitu cepat batu itu meluncur ke depan mengarah Li Bok~chiu yang tinggal satunya itu. Pada saat itu pula ujung pedang Li Bok-chiu juga sedang menyerang bagian perut Thia Eng. Ketika tiba2 mendapat serangan batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat membinasakan gadis itu, namun mata sendiri juga sukar diselamatkan Terpaksa ia menarik kembali pedangnya untuk menyampuk batu itu, "trang", batu itu tersampuk jauh.

Sambitan batu Nyo Ko itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka dia hanya dapat menggunakannya untuk menggertak musuh dan menolong teman, Untung sejak sebelah mata Li Bok-chiu buta, sisa mata satu2nya itu selalu dijaganya dengan baik, kalau tidak mungkin dia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eeng lebih dulu, habis itu baru berusaha menundukkan kepala untuk menghindari sambitan batu.

Kalau serangan itu dilakukan oleh Ui Yok-su tentu batu itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat pedang itu terpental walaupun tidak sehebat Ui Yok-su, namun sedikit-ilmu ajarannya itu juga telah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya.

Setelah lolos dari renggutan sang maut, wajah Thia Eng yang memang putih itu menjadi semakin pucat, Melihat itu, segera Li Bok-chiu membentak: "Awas, datang lagi!" pedangnya bergerak, serangan seperti tadi kembali dilancarkan pula.

Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi dan ia tahu sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih diutarnakan melindungi bagian tubuh tersebut.

Di luar dugaan, serangan Li Bok-chiu ternyata beraneka macam perubahannya ujung pedangnya benar2 menusuk pula ke perut Thia Eng, tapi berbareng iapun menubruk maju, jarinya berhasil menutuk "Giok-tong-hiat" di dada nona itu, ketika Thia Eng melenggong, segera kaki Li Bok chiu menyapu pula hingga Liok Bu-siang didepak jatuh, menyusul ujung kakinya menendang pula Hiat-to di bagian dengkul Thia Eng.



Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam sekajap saja Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan semua, meski Nyo Ko hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.

"Suhu!" seru Ang Leng-po kuatir.

Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung Thia Eng dan di lempar kesana menyusut Bu siang juga dilemparkannya sambil berkata: "Leng-po, cepat lompat keluar dengan menginjak tubuh mereka berdua...." belum habis ucapannya, mendadak Nyo Ko melompat maju dan sempat menangkap tubuh Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga cinta". Habis itu lantas melompat maju lagi.

Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertutuk, tapi kedua tangan Thia Eng masih dapat bergerak, segera ia merangkul Liok Bu-siang yang saat itu sedang melayang ke arahnya itu sambil berseru: "Nyo-toako, engkau..." seketika darah bergolak dalam dalam dadanya, memangnya dia sudah jatuh cinta pada Nyo Ko, kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta itu untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.

Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok Bu~siang dilemparkan Li Bok-chiu ke tengah semak2 bunga cinta, semula Nyo Ko dapat meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu sebagai batu loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta itu, maka tanpa pikir ia terus menerjang maju untuk menolong kedua nona itu.

Setelah berhasil menangkap tubuh kedua orang itu, cepat ia melompat mundur menurunkan mereka.

Kaki Thia Eng tertutuk sehingga tidak dapat berdiri, cepat Siao-liong-li membukakan Hiat-to yang tertutuk itu....Ketiga nona sama memandangi Nyo Ko, tertampak kaki celananya sudah robek terkena duri, kakinya juga berlumuran darah, entah berapa banyak duri bunga berbisa itu telah melukainya. Thia Eng mengembeng air mata dan tidak sanggup membuka suara, Liok Bu-siang juga cemas dan berkata: "Mestinya engkau.... tidak perlu menolong diriku mengapa... mengapa engkau bertindak begini ?"

Dengan tertawa Nyo Ko menjawab "memangnya aku sudah terkena racun bunga itu", kalau tercocok lagi duri bunga itu juga tidak ada bedanya."

Sudah tentu semua orang tahu banyak dan sedikit terkena racun bunga itu besar perbedaannya.

Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur ketiga nona ini saja.

Tiba2 Liok Bu-siang-berseru pula: "He, Tolol, ken... kenapa lengan kananmu? Mengapa buntung?"

Siao-liong-li tidak kenal Thia Eng dan Bu-siang, tapi melihat mereka cantik manis, dalam hatinya sudah timbul rasa suka, apalagi melihat mereka sangat memperhatikan Nyo Ko, sekejap saja ia sudah anggap mereka sebagai teman karib.

Dengan tersenyum ia lantas bertanya: "Mengapa engkau memanggilnya tolol? sama sekali dia tidaklah tolol"

"Ah, maaf, karena sudah terbiasa memanggilnya begitu, seketika aku lupa," jawab Bu-siang ia saling pandang sekejap dengan Thia Eng, lalu bertanya: "Cici ini apakah..."

"lalah...." belum selesai Nyo Ko menerangkan cepat Thia Eng menyambung: "Tentunya Siao-liong-li cianpwe bukan?"

"Ya, memang sudah kuduga, sungguh cantik laksana bidadari," demikian Bu-siang menambahi.

Rasa cemburu pasti ada pada setiap orang, apalagi perempuan Dahulu, ketika melihat Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, betapapun timbul rasai cemburu dalam hati Thia Eng dan Bu-siang, tapi sekarang setelah bertemu, makin dipandang makia terasa Siao-liong-li memang cantik molek dan sederhana, lain daripada yang lain tanpa terasa timbul pikiran rendah dirinya, keduanya sama membatin: "Memang diriku tak dapat dibandingkan dia."

Bu siang yang berwatak tidak sabaran itu segera bertanya pula:"He, Nyo-toako, sebab apakah lenganmu itu terkutung? Apalah lukanya sudah sembuh?"

"Sudah lama sembuh, "jawab Nyo Ko. "Putus karena dikutungkan orang."

"Keparat!" omel Bu-siang. "Bangsat manakah yang pantas mampus itu? Tentu dia menggunakan akal licik dan keji, bukan?, Apakah perbuatan iblis perempuan yang jahat itu?"

Tiba2 suara seseorang mendengus di belakangnya: "Hm, apakah tidak rendah caramu memaki di luar tahu orangnya?"

Bu-siang dan Thia Eng terkejut, cepat mereka berpaling, terlihatlah yang bicara itu adalah seorang nona cantik, siapa lagi kalau bukan Kwe Hu. Dengan tangan memegang garan pedang air muka Kwe Hu tampak marah, di sebelahnya berdiri pula beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan.

Dengan heran Bu-siang lantas menjawab: "He, kan bukan kau yang kumaki, yang kumaki adalah bangsat keparat yg membuntungi lengan Nyo-toako."

"Sret", mendadak Kwe Hu melolos pedangnya sebagian dan berkata pula dengan gusar: "Akulah yang mengutungkan lengannya. Aku sudah minta maaf padanya, akupun sudnh kenyang didamperat ayah ibuku, tapi kalian masih memaki aku secara keji di belakangku..." sampai di sini matanya menjadi memberambang merah penuh rasa penasaran

Kiranya rombongan Bu Sam-thong, Kwe Hu, Yalu Ce dan kedua saudara Bu kemudian bergabung kembali dengan Ui Yong serta Wanyan Peng dan Yalu Yan, lalu mereka lantas menuju ke Coat-ceng-j kok, karena Bu Sam-thong sudah tahu jalannya maka rombongan mereka tiba lebih dini setengah hari daripada rombongan It-teng dan Nyo Ko, cuma rombongan Ui Yong lebih dulu berusaha mencari paderi Hindu dan Cu Cu-Iiu, tapi tidak ketemu, maka banyak waktu yang terbuang secara sia2.

Mengenai beradanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po di Coat-ceng-kok, begitu pula Thia Eng dan Liok Bu-siang, keadaan mereka sebaliknya ber-beda2. Li Bok-chiu berdua datang ke situ tanpa sengaja karena mereka mengikuti tanda2 petunjuk jalan yang ditinggalkan Bu Sam-thong, sedangkan kedatangan Thia Eng berdua adalah karena terpancing oleh kejahilan Ciu Pek-thong.

BegituIah Ui Yong, Bu Sam-thong dan lain2 lantas memberi hormat kepada It-teng Taysu, lalu diperkenalkan pula kepada lain2nya. Thia Eng belum pernah bertemu dengan kakak seperguruannya seperti Ui Yong ini, namun namanya sudah lama didengarnya serta dikaguminya, maka dengan sangat hormat ia lantas menyembah kepada Ui Yong sambil memanggil "Suci!"

Dari Nyo Ko memang Ui Yong sudah mendengar bahwa akhir2 ini ayahnya telah menerima lagi seorang murid perempuan, kini melihat sang Sumoay ini cukup cantik, ia menjadi menyukainya dan bertanya tentang keadaan ayahnya.

Sementara itu beberapa orang berbaju hijau tadi lantas kabur melaporkan kedatangan musuh itu kepada Kiu Jian-jio.

Kwe Hu dan Liok Bu-siang masih saling melotot, meski tidak berkelahi, tapi sama2 merasa benci. Apa lagi dari ibunya Kwe Hu disuruh memberi hormat serta memanggil "Susiok" kepada Thia Eng, tentu saja ia kurang senang, suara panggilan nya juga sangat kaku.

Sedang Nyo Ko dan Siao~liong-li bergandengan tangan berdiri rada jauh, melihat Kwe Yang dalam pondongan Siao-liong-li itu, ia lantas berkata: "Liong-ji kembalikan saja, anak ini pada ibunya."



Siao-liong li setuju, ia menciumi dulu pipi mungil anak bayi itu, lalu mendekati Ui Yong dan berkatal "Kwe hujin, terimalah anakmu ini."

Dengan girang Ui Yong menerimanya. Sejak dilahirkan baru sekarang Kwe Yang berada dalam pangkuan sang ibu, sungguh rasa girang Ui Yong sukar dilukiskan.

"Nona Kwe," dengan suara lantang Nyo Ko berkata kepada Kwe Hu, "itu dia, adikmu dalam keadaan sehat walafiat tanpa kurang, sesuatu apapun sama sekali aku tidak menggunakannya untuk menukar obat bagiku."

"lbuku datang dengan sendirinya kau tidak berani," jawab Kwe Hu dengan gusar, "Kalau kau tidak bermaksud begitu, untuk apa kau membawa lari adikku ke sini?"

Kalau menurut watak Nyo Ko biasanya tentu kontan dia balas mengejeknya, tapi beberapa bulan terakhir ini dia telah banyak mengalami gemblengan lahir batin, pertengkaran mulut begitu, sudah tidak menarik baginya, maka ia hanya tersenyum tawar saja, lalu menyingkir dengan menggandeng tangan Siao-Iiong li.

Bu-siang memandang sekejap kearah Kwe Yang lalu berkata kepada Thia Eng: "inilah puteri bungsu Sucimu? Semoga setelah dia besar kelak tidak terlalu galak dan warok!"

Sudah tentu Kwe Hu dapat merasakan ucapan yang menyindirnya itu, segera ia menanggapi: "Adik-ku akan galak dan warok atau tidak, sangkut paut apa dengan kau? Apa maksud ucapanmu ini?"

"Aku tidak bicara dengan kau," jawab Bu-siang. "Orang jahat dan galak, setiap orang di dunia ini boleh ikut urus, mengapa tiada sangkut paut denganku."

Jiwa Bu-siang pernah diselamatkan Nyo Ko dalam lubuk hati nona itu hanya anak muda itulah yang selalu dipikirkan olehnya, misalnya waktu sama2 terancam bahaya, Bu-siang rela menyerahkan setengah potong saputangan wasiat kepadanya, itulah pertanda dia rela mengorbankan jiwa sendiri, demi keselamatan Nyo Ko.

Kini mendengar anak muda itu dikutungi oleh Kwe Hu, tentu saja ia ikut sakit hati dan gusar pula. Wataknya memang tidak sabaran seperti Thia Eng, meski di depan orang banyak iapun tidak dapat menahan perasaannya itu.

Begitulah dengan murka Kwe Hu lantas balas mendamprat: "Keparat! Kau perempuan pincang..."

"Hu-ji! jangan kurang ajar!" bentak Ui Yong cepat.

Pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang menjerit di sebelah sana, semua orang lantas memandang ke sana, tertampaklah di tengah lingkaran semak2 bunga cinta itu Li Bok-chiu mengangkat tubuh Ang Leng-po, jeritan itu adalah suara Ang Leng-po yang ketakutan itu.

Rupanya It-teng, Ui Yong, Thia Eng dan lain2 asyik bercengkerama sehingga melupakan Li Bok-chiu dan muridnya itu.

"Celaka, Suhu hendak menggunakan Suci sebagai batu loncatan!" seru Bu-siang kuatir. Sejak kecil dia tinggal bersama Li Bokchiu, maka ia cukup kenal watak sang guru yang keji dan ganas itu, Biarpun Ang Leng-po merupakan jatuhnya orang yang paling dekat dengan dia, tapi kalau terancam bahaya, sang guru itu tidak segan2 menerbitkan jiwa muridnya demi keselamatannya sendiri

Selagi semua crang melengak kaget, tertampak Li Bok-chiu sedang melemparkan Ang Leng-po ke semak2 bunga cinta yang berduri itu, menyusul ia sendiri lantas melompat ke sana, sekali kakinya menutul tubuh Leng-po. serentak dia melompat pula sekuatnya ke depan sambil tangan menarik Ang Leng-po dan dilemparkan lagi, lalu digunakan lagi sebagai batu loncatan, dengan begitu tiga kali lompatan saja dia akan dapat keluar dari kurungan semak2 bunga itu. Dia juga kuatir akan dicegat Ui Yong dan rornbongannya, maka arah yang dia ambil adalah berlawanan dengan tempat berdiri rombongan Ui Yong itu.

Di luar dugaan, ketika untuk kedua kalinya dia hendak melompat lagi ke depan, mendadak Ang Leng-po berteriak keras2 dan ikut melompat juga ke atas terus merangkul erat2 paha kiri Li Bok-chiu seketika tubuh Li Bok-chiu tertarik ke bawah, dalam keadaan terapung tiada jalan lain bagi Li Bok-chiu kecuali mengayun kakinya yang lain, "bluk", dengan keras dada Ang Lengpo tertendang isi perutnya tergetar hancur dan binasa seketika.

Namun begitu tangan Ang Leng-po masih merangkul se-kencang2nya sehingga kedua orang sama terbanting jatuh ke semak2 bunga, walaupun tempatnya hanya dua-tiga kaki saja dari tepi semak2 namun selisih jarak sekian itu pun telah membikin Li Bok-chiu ikut merasakan siksaan be-ribu2 duri bunga yang berbisa itu.

Perubahan itu mula2 sama sekali tak terduga oleh siapapun dan berakhir secara mengerikan pula, semua orang menyaksikan dengan melongo dan berdebar.

Dalam pada itu Li Bok-chiu telah berjongkok dan mementang tangan Ang Leng-po yang masih merangkul erat pada kakinya itu, dilihatnya muridnya itu sudah mati, namun matanya tetap melotot penuh benci dan dendam.

Li Bok-chiu tahu dirinya telah keracunan bunga berduri itu, untuk itu harus mencari obat penawarnya di lembah ini. Selagi dia hendak melangkah pergi, tiba2 terdengar Ui Yong berseru padanya: "Li-cici, coba kemari, ingin kukatakan sesuatu padamu."..

Dengan rada sangsi Li Bok-chiu mendekati Ui Yong, lalu bertanya: "Ada apa?" Diam2 ia berharap maksud Ui Yong memanggilnya itu hendak memberi obat atau paling tidak akan memberi petunjuk ke mana harus mencari obat penawar.

Maka berkatalah Ui Yong, "Untuk keluar dari kurungan semak2 bunga itu sebenarnya kau tidak perlu mengorbankan jiwa muridmu."

"Hm, jadi kau hendak mengguruiku?" jengek Li Bok chiu.

"Mana aku berani," jawab Ui Yong dengan tertawa, "Aku cuma ingin mengajarkan sesuatu akal padamu, mestinya cukup kau menggali tanah dan membungkusnya dengan bajumu menjadi dua karung, lalu dilemparkan ke semak2 bunga itu, bukankah akan merupakan batu loncatan yang sangat bagus? Kan kau dapat keluar dengan baik dan jiwa muridmu juga tidak perlu melayang."

Muka Li Bok-cbio menjadi merah dan lain saat berubah pucat pula penuh rasa menyesal. Apa yang diucapkan Ui Yong itu sebenarnya tidak sulit dilakukan soalnya dia terburu napsu dan tidak memikirkannya tadi sehingga satunya orang yang paling dekat telah menjadi korban dan ia sendiripun belum terhindar dari bencana, Maka dengan gemas ia menjawab: "Sudah tertambat kalau dibicarakan sekarang!"

"Ya, memang benar sudah terlambat." ujar Ui Yong, "Padahal terkena racun bunga itu atau tidak bagimu tiada bedanya."

Dengan gusar Li Bok~chiu mendelik pada Ui Yong karena tidak paham apa arti ucapan itu.

Sebenarnya sudah terang kau terkena racun patah hatimu, akibatnya kau berbuat sesuka hatimu, mencelakai orang lain dan bikin susah sendiri puIa, sampai saat ini memang sudah sangat tertambat bagimu," kata Ui Yong dengan gegetun.

Serentak timbul pula rasa angkuh Li Bok-chiu, jawabnya: " jiwa muridku itu akulah yang menyelamatkannya, kalau aku tidak membesarkan dia, mungkin sejak dulu dia sudah mati, jadi dia hidup dariku dan mati pula bagiku, ini kan maha adil."



"Setiap orang tentu terlahir dari ibu dan ayah, sekalipun ayah-ibu juga takkan membunuh putra~ putri sendiri, apalagi orang luar ?" kata Ui Yong.

Segera Bu Siu-bun melangkah maju dengan pedang terhunus dan membentakt "Li Bok-chiu kejahatanmu sudah kelewat takaran, ajal mu sudah sampai sekarang, maka terima saja kematianmu dan tidak perlu banyak bacot."

Menyusul Bu Tun-si, Bu Sam-thong serta Yalu Ce, Yalu Yan, Wanyan Peng dan Kwe Hu berenam serentak juga mendesak maju dari kanan dan kiri.

Sorot mata Li Bok-chiu menyapu sekeliling tawarnya itu, jelas semua orang penuh rasa benci padanya, ia pikir melulu seorang Ui Yong saja tukar dilawan apa lagi masih ada Nyo Ko dan Siao~liong-li. Dilihatnya Liok Bu-siang dan Thia Eng juga lantas melangkah maju dengan senjata masing2.

"Orang she Li, secara keji kau telah membunuh segenap keluargaku, kalau sekarang hanya jiwamu sendiri saja yang membayar utangmu itu kan masih terlalu murah bagimu?" seru Liok Bu~siang. "Kalau bicara kejahatanmu melulu caramu membunuh Ang-suci barusan, kematianmu saja tidak cukup untuk menebas dosamu."

Dalam keadaan demikian ternyata Kwe Hu masih sempat melirik pada Liok Bu-siang dan mengejeknya: "Hm, itulah perbuatan gurumu yang baik itu!,"

Bu-siang balas melotot, jawabnya: "Segala perbuatan harus di tanggung sendiri dosanya, yang benar jangan kau meniru tingkah-lakunya."

Li Bok-chiu berseru: "Siausumoay, apakah sama sekali kau tidak memikirkan hubungan baik saudara seperguruan lagi?"

Selama hidupnya malang melintang di dunia Kangouw tampa kenal belas kasihan kepada siapa-pun, sekarang dia sendiri malah memohon kebaikan hati Siao liong-li, nyata karena dia merasa terdesak dan keadaan sangat gawat bagi nya, selain itu mau-tak-mau hatinya merasa menyesal juga setelah membinasakan Ang Leng-po tadi sehingga membuatnya patah semangat.

Selagi Siao-liong-li hendak menjawab, tiba2 Nyo-Ko menanggapi dengan suara lantang: "Kau telah mengkhianati perguruan dan membunuh murid sendiri, masakah kau masih berani bicara tentang seperguruan segala?"

"Baik"!" seru Li Bok-chtu sambil menghela napas, pedangnya bergerak dan menambahkan pula:

"Nah, majulah kalian semuanya, semakin banyak semakin baik."

Tanpa bicara lagi kedua Bu cilik lantas menusuk dengan pedang mereka, menyusul Liok Bu-siang dan Thia Eng menubruk maju dari samping kiri.

"Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 juga tidak mau ketinggalan, serentak mereka menyerang.

Mereka telah saksikan Li Bok-chiu membinasakan muridnya dengan keji, maka mereka sama benci dan murka, sebab itulah serangan mereka sama sekali tidak kenal ampun lagi. Bahkan orang alim seperti It-teng Taysu juga merasa iblis perenv fmt,ti ittf mcraang pantas dimakan daripada hidupnya akan mencelakai orang lain pula, Terdengarlah suara gemerantang beradunya senjata, betapapun tinggi kepandaian Li Bok-chiu juga tidak mampu menghadapi kerubutan orang banyak dan tampak nya sekejap saja tubuhnya pasti akan dicincang oleh berbagai senjata itu.

Pada saat itulah mendadak Li Bok-chiu menngayun tangan kirinya sambil menggertak: "Awas senjata rahasia!"

Setiap orang cukup kenal betapa lihaynya Peng-pok-gin-ciam, jarum berbisa andalan Li Bok-chiu itu, karena itu serentak mereka terkesiap, Pada saat itu, tahu2 Li Bok-chiu telah melompat ke atas untuk kemudian turun kembali dibalik semak2 bunga cinta sana. Dalam kaget dan gusarnya, semua orang sama berteriak kuwatir pula.

Rupanya dalam keadaan kepepet, Li Bok-chiu lantas ingat bahwa dirinya telan tercocok oleh duri bunga cinta itu, kalau duri itu berbisa, biarpun tercocok lebih banyak lagi juga sama saja, jadinya masuk kembalinya dia ke tengah semak2 bunga itu juga tak terduga oleh orang cerdik seperti Ui Yong dan Nyo Ko.

Terlihat Li Bok-chiu lantas menyusuri semak2 bunga itu dan menerobos ke pepohonan.

"Marilah kita kejar!" seru Siu-bun sambil mendahului berlari ke sana, namun jalanan di tengah hutan itu ternyata ber~liku2, hanya belasan tombak jauhnya dia sudah berhadapan dengan jalan simpang tiga sehingga dia bingung ke arah mana harus ditelusurinya.

Selagi sangsi, tiba2 dari depan sana muncul lima gadis jelita berbaju hijau dan orang yang paling depan membawa sebuah keranjang bunga, empat kawannya yang ikut di belakang membawa pedang. Gadis yang berada di depan itu lantas bertanya "Kokcu menanyakan kedatangan kalian, ini entah ada keperluan apa?"

Dari jauh Nyo Ko lantas, mengenali gadis itu, cepat ia berseru: "He, nona Kongsun, inilah kami yang datang!"

Kiranya gadis jelita itu adalah Kongsun Lik-oh.. Begitu mendengar suara Nyo Ko seketika sikapnya lantas berubah, dengan tingkah cepat ia mendekat anak muda itu dan raenyapa: "Ah, kiranya Nyo- toako sudah kembali, tentu engkau telah berhasil dengan baik? Marilah lekas menjumpai ibu!"

"Nona Kongsun, marilah kuperkenalkan beberapa Cianpwe ini," kata Nyo Ko, lalu ia perkenalkan It-teng Taysu, Cu in dan Ui Yong.

Kongsun Lik-oh tidak tahu bahwa Hwesio baju hitam di depannya ini adalah Kuku (paman adik Ibu) sendiri, ia hanya memberi hormat sekadarnya dan tidak menaruh perhatian apa2, Tapi ketika mendengar Nyo Ko menyebut Ui Yong sebagai nyonya Kwe, segera ia tahu inilah musuh besar Sang ibu yang ingin dibunuhnya itu, ternyata Nyo Ko tidak membunuhnya, bahkan membawanya ke sana, mau-tak-mau ia menjadi ragu dan curiga tanpa terasa ia mundur dua tiga tindak dan tidak memberi hormat lagi, lalu berkata: "Ibuku menyilakan para tamu keruangao tamu untuk minum."

Setelah semua orang dibawa ke ruangan besar, tertampak Kiu Jian-jio berduduk di kursi di tengah lapangan itu, dan berkata: "Perempuan loyo dan cacad tidak dapat menyambut tetamu secara wajar, harap dimaafkan."

Dalam ingatan Cu-in, adik perempuannya yang menikah dengan Kongsun Ci dahulu itu adalah sedang nona jelita berusia 18 tahun, siapa tahu sekarang vang dihadapinya ternyata adalah seorang nenek buruk rupa dan sudah botak. Terkenang pada kisah-hidup masa lampau, seketika pikiran Cu~in menjadi kacau.

Melihat sorot mata muridnya tiba2 berubah aneh, It Teng menjadi kuatir. Sudah banyak It-teng menuntun orang ke jalan yang baik, hanya muridnya inilah yang sukar diinsafkan dari kejahatannya? di masa lalu, soalnya ilmu silat Cu-in teramat tinggi, dahulu adalah seorang pemimpin besar suatu organisasi terkenal, seorang tokoh dunia persilatan dan disegani, maklumlah kalau lebih sulit memperbaiki wataknya itu daripada orang biasa.



Apalagi sekarang dia menjelajah Kangouw lagi, setiap langkah selalu menimbulkan kenangan masa lampaunya dan sukar menahan gejolak perasaannya.

Kiu Jian-jio menjadi ter-heran2, melihat Nyo Ko muncul lagi dalam keadaan sehat walafiat setelah lewat waktu yang ditentukan dan datang kembali, tadinya dia menyangka anakmuda itu sudah mampus oleh racun bunga cinta yang jahat itu.

"Kiranya kau belum mampus?" demikian ia tanya.

"Aku sudah minum obat penawar racun dan sudah sembuh," jawab Nyo Ko dengan tertawa..

Mau- tak mau Kiu Jian-jio menjadi sangat heran di dunia ini ternyata ada obat penawar lain yang dapat menyembuhkan racun ..bunga cinta ini, tapi mendadak pikirannya tergerak, segera ia mendengus: "Hm, kau tidak perlu berdusta. Kalau kau mendapatkan obat penawar yang mujarab, untuk apa Hwesio Hindu dan orang she Cu itu menyelinap ke sini?"

"Kiu cianpwe." kata Nyo Ko, "dimanakah kau menyekap paderi Hindu dan Cu locianpwe Sudilah engkau membebaskan mereka saja."

"Hm, tangkap harimau gampang, melepaskan nya sulit..." jengek Kiu Jian-jio.

Ucapan juga beralasan. Maklumlah anggauta badannya cacat, bahwa paderi Hmdo dan Cu Cu-liul ditawannya adalah berkat pesawat rahasia yang-teratur di Coat-eeng kok ini. Kalau ke dua tawanan itu dibebaskan paderi Hindu itu tidak menjadi soal karena tidak mahir ilmusilat, tapi Cu Cu-liu tentu sakit hati dan akan menuntut balas, padahal tiada seorangpun anak murid Coat-ceng-kok ini mampu menandingi Cu Cu-liu yang lihay ini.

Nyo Ko pikir kalau nenek itu sudah bicara langsung dengan kakak kandungnya mengingat hubungan baik sesama saudara, mungkin segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, Maka dengan tersenyum. ia berkata pula: "Kiu-cianpwe, harap kau, melihat yang jelas, siapakah yang kubawa ke sini ini? Tentu engkau akan kegirangan jika mengenalinya."

Namun mereka kakak beradik sudah berpisah berpuluh tahun, kini Cu-in telah memakai jubah paderi pula, walaupun Kiu jian jio sudah tahu sang kakak telah menjadi Hwesio, tapi dalam ingatannya kakaknya itu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seketika mana dia dapat mengenali paderi tua berjubah hitam ini.

Hanya dari Kongsun Lik-oh telah didapatkan laporan bahwa Ui Yong juga datang, maka sorot matanya memandang tiap orang dan akhirnya mendelik pada Ui Yong.

"Bagus! inilah Ui Yong bukan? Kau yang membunuh Toakoku?" tiba2 ia berkata dengan mengertak gigi penuh rasa dendam.

Nyo Ko terkejut, tujuannya hendak mempertemukan mereka kakak beradik, tapi Kiu jian-jio ternyata mengenali musuhnya lebih dulu, cepat ia menyela: "Kiu-locianpwe, persoalan ini ditunda saja dulu, lihatlah lagi siapa ini yang datang!"

"Memangnya Kwe Cing juga datang" bentak Kiu Jian-jio. "Bagus! Bagus! Mana dia?" Lalu dia memandang Bu Sam-thong dan mengamati Yalu Ce pula, ia merasa yang seorang terlalu tua dan yang lain masih muda, semuanya tidak memper Kwe Cing, ia menjadi bingung dan berusaha menemukan Kwe Cing diantara orang banyak.

Se-konyong2 sinar matanya kebentrok pandang dengan Cu-in, seketika hati masing2 juga lantas tersentuh, Cu-in terus melompat maju sambil berseru: "Sam-moay (adik ketiga)!"

Kiu Jian-jio juga berteriak "Jiko (kakak kedua)!" serentak keduanya lantas terdiam dan sukar mengutarakan perasaan masing2.

Sejenak barulah Kiu Jian-jio bertanya: "Jiko, mengapa engkau menjadi Hwesio?"

"Kaki tanganmu mengapa cacat, Sammoay?" jawab Cu-in.

"terjebak oleh akal keji bangsat Kongsun Ci itu." tutur Kiu Jian-jio.

"Kongsun Ci siapa?" Cu-in menegas. "O, apakah Moaytiang (adik ipar) maksudmu? Dimana dia sekarang?"

"Tidak perlu lagi kau menyebutnya Moaytiang segala!" kata Kiu jian-jio dengan gregetan: "Keparat itu hakekatnya adalah manusia berhati binatang dia telah mencelakai dan menyiksa diriku hingga demikian ini."

Cu-in tak dapat menahan rasa murkanya, teriaknya: "Ke mana perginya jahanam itu? Akan kucincang dia hingga hancur lebur untuk melampiaskan dendammu."

"Meski aku terperangkap, untung tidak mati, sedangkan Toako kita malah sudah tewas," kata Kiu Jian-jio dengan dingin.

"Ya," jawab Cu-in dengan muram.

"Dan, mengapa kau diam saja?" bentak Kiu Jian-jio mendadak, "Percuma kau memiliki Ilmu silat setinggi itu, mengapa sampai sekarang tidak menuntut belas bagi Toako kita, di maoa letak ke-Itmknmn kepada saudara tendiri?"

Cu-in melengak kaget dan bergumam: "Menuntut balas bagi Toako"

Saat ini juga perempuan hina Ui Yong juga berada di sini, lekas kau bunuh dia, habis itu cari lagi Kwe Cing dan binasakan dia," bentak Kiu Jian jio pula.

Dengan bingung Cu-in memandang Ui Yong, sorot matanya tiba2 berubah aneh, Cepat It-teng mendekatinya dan berkata dengan suara halus: "Cu-in, Cut-keh"-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah) mana boleh timbul lagi pikiran membunuh? Apalagi kematian kakakmu juga akibat perbuatan sendiri dan tidak bisa menyalahkan orang."

Cu-in menunduk, setelah termenung sejenak lalu berkata: "Ucapan Suhu memang benar, Sam~moay, sakit hati ini tidak dapat dibalas."

Mendadak Kiu Jian-jio mendamperat It-teng dengan melotot "Hweshio tua suka mengaco-belo. Jiko, keluarga Kiu kita terkenal gagah perwira, Toako kita dibunuh orang dan kau tinggal diam, lalu terhitung ksatria macam apakah kau ini?"

Pikiran Cu-in menjadi kacau, ia bergumam puIa: "Terhitung ksatria macam apa diriku?"

"Ya, begitulah!" seru Kiu Jian jio pula. "Dahulu kau malang melintang di dunia Kangouw, betapa disegani namamu sebagai Tiat-ciang-cui-siang-biau, tak tersangka setelah usiamu lanjut, kau telah berubah menjadi pengecut. Kiu Jian-yim, dengarkan perkataanku ini, kalau kau tidak menuntut balas bagi Toako, maka kaupun jangan mengakui diriku sebagai adikmu."

Melihat semakin hebat desakan Kiu Jian-yim diam2 semua orang mengakui kelihayan nenek botak itu...

Dahulu Ui Yong pernah merasakan sekali pukulan Kiu Jian-yim yang kini bernama Cu-in Hwesio itu, untung dia ditolong lt-teng Taysu sehingga lolos dari renggutan elmaut, dengan sendirinya ia cukup kenal betapa lihaynya bekas ketua Tiat ciang pang itu. Maka sejak tadi ia sudah memperhitungkan beberapa jalan cara menyelamatkan diri apabila musuh menyerang mendadak.



Ternyata Kwe Hu tidak dapat menahan perasaannya lagi, segera ia berteriak: "Ayah-ibuku hanya tidak ingin banyak urusan, memangnya kau kira beliau2 itu takut pada nenek reyot macam mu ini. Kalau banyak cingcong lagi, jangan kau salahkah nonamu ini jika kubertindak kasar padamu."

Mestinya Ui Yong hendak mencegah sikap Kwe Hu itu, tapi lantas terpikir olehnya bahwa tindakan puterinya itu paling tidak akan memencarkan perhatian Cu-in yang hampir terpengaruh hasutan Kiu Jian-jio itu.

Melihat sang ibu tidak mencegahnya, Kwe Hu lantas berseru pula: "Setidaknya kami ini kan tamu, kau tidak nyambut secara hormat tapi malah bersikap kurang sopan, hm, malahan kau berani membual tentang keluarga ksatria segala?"

Dengan dingin Kiu Jian-jio memandang Kwe Hu bertanya: "Kau inikah puterinya Kwe Cing dan Ui Yong."

"Benar," jawak Kwe Hu.-"Kalau mampu, kau sendiri boleh turun tangan untuk menuntut balas, kakakmu sudah menjadi Hwesio, mana boleh timbul lagi pikiran yang tidak senonoh?"

Seperti bergumam Kiu Jian-jio berkata: "Bagus, jadi kau ini putrinya Kwe Cing dan Ui Yong... kau puterinya Kwe Cing dan..." belum lagi selesai ucapannya, se-konyong2 "berrrr", satu biji kurma tersembur dari mulutnya dan menyembur ke-batok kepala Kwe Hu dengan cepat dan tepat.

Sudah tentu semua orang tidak menyangka bahwa selagi nenek botak itu bicara mendadak bila mengeluarkan senjata rahasia dengan mulutnya. Karena tidak ter-duga2, dan lagi ilmu menyembur biji kurma itu memang kepandaian khasnya yang maha sakti, bahkan tokoh macam Kongsun Ci juga kena dibutakan sebelah matanya, apa lagi sekarang Kwe Hu, jangankan hendak menangkis, ingin menghindarpun tak sempat terpikir olehnya.

Diantara para hadirin itu hanya Nyo Ko dan Siao-liong li saja yang tahu kepandaian khas Kiu Jian-jio itu, tapi dasar pikiran Siao liong li sederhana dan polos, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nenek bisa mendadak menyerang orang.

Hanya Nyo Ko saja yang senantiasa waspada, pandangannya tidak pernah bergeser dari wajah Kiu Jian-jio, begitu melihat bibirnya bergerak, segera pula dia melompat maju, secepat kilat ia lolos pedang dipinggang Kwe Hu terus disampukkan, "Trang" menyusul terdengar pula suara "creng", biji kurma tersampok jatuh, tapi pedang itu juga patah menjadi dua terbentur biji kurma itu.

Keruan semua orang menjerit kaget, saking terkejutnya bahkan muka Ui Yong dan Kwe Hu menjadi pucat.

Diam2 Ui Yong mawas diri: "Sudah kuduga dia pasti mempunyai cara keji, tapi sama sekali tidak menduga bahwa anggauta badannya tanpa bergerak sedikitpun, tahu2 dia dapat melancarkan serangan senjata rahasia sekeji itu,"

Kiu Jian-jio mendelik kepada Nyo Ko, tak diduganya bahwa anak muda itu berani menolong si Kwe Hu, segera ia mendjengeknya: "Tadi kau terkena racun bunga cinta lagi, biarpun sekarang belum bekerja racunnya, rasanya kaupun takkan tahan lebih lama dari pada tiga hari saja, Kini obat yang ada cuma bersisa setengah biji yang dapat menolong jiwamu, masakah kau tidak percaya?"

Waktu menolong Kwe Hu, dalam sekejap itu tentu tak sempat terpikirkan hal itu dalam benak Nyo Ko, kini mendengar ucapan Kiu Jian-jio itu, seketika ia menjadi lemas, ia lantas memberi hormat dan menjawab: "Kiu-locianpwe, Wanpwe sendiri tidak bersalah apapun padamu, kalau kau sudi memberi obat, sungguh kebaikan mana takkan kulupakan selamanya."

"Ya, dapatnya kumelihat dunia ini lagi boleh dikatakan berkat pertolonganmu," jawab Kiu Jian-jio. "Tapi aku si nenek Kiu ini pada asasnya kalau sakit hati pasti menuntut balas dan kalau utang ini belum tentu kubalas, Kau telah berjanji akan mengambil kepala Kwe Cing dan Ui Yong kesini. untuk itulah akan kuberikan obat padamu. Siapa duga janji tidak kau tepati, sebaliknya kau malah menyelamatkan musuhku, lalu apa yang perlu dikatakan tegi?"

"Melihat urusan bisa runyam, cepat Kongsun Lik~oh ikut bicara: "Mak, dendam Kuku kan tiada sangkut-pautnya dengan Nyo-toako, Harap engkau suka... suka menaruh belas kasihan."

"Tapi separuh obat ini hanya akan kuberikan kepada menantuku dan takkan kuberikan begitu saja kepada orang luar," jawab Kiu Jian jio.

Keruan Kongsun Lik-oh menjadi malu dan gelisah, mukanya berubah merah.

Setelah ber-uIang2 ditolong Nyo Ko, baru sekarang Kwe Hu percaya bahwa jiwa Nyo Ko sesungguhnya memang luhur dan sama sekali tiada maksud memperalat adik perempuannya untuk menukar obat.

Teringat kepada tindakan sendiri yang beberapa kali membikin celaka anak muda itu, sebaliknya orang selalu membalas sakit hati dengan kebaikan, mau-tak-mau Kwe Hu menjadi menyesali dirinya sendiri dan berterima kasih pula kepada anak muda itu.

Segera ia berseru: "Nyo-toako, segala perbuatan siaumoay diwaktu yang lalu memang salah semua, mohon engkau suka memberi maaf."

Nyo Ko hanya tersenyum saja, senyuman getir. Pikirnya: "Mengaku salah dan minta maaf adalah paling gampang, tapi tahukah kau betapa aku dan Liong-ji telah menderita akibat perbuatanmu itu?"

Dalam pada itu dilihatnya Kiu Jian-jio sedang melotot padanya, jelas kalau dirinya tidak menyanggupi untuk menikahi putrinya, tentu si nenek takkan memberi setengah biji obat penolong jiwa itu, kalau suasana begini berlangsung terus, yang serba susah tentulah Kongsun Lik-oh dan Siao-liong-li.

Maka dengan lantang dan tegas ia lantas berkata: "Aku sudah memperistri nona Liong ini, sekalipun Nyo Ko harus mati, mana boleh kujadi manusia yang tidak berbudi dan tidak setia?"

Habis berkata ia lantas putar tubuh dan berjalan pergi sambil menggandeng tangan Siao-liong-li, pikirnya biarkan mereka ribut disini, kesempatan ini akan kugunakan untuk menolong paderi Hindu dan paman Cu.

Ucapan Nyo Ko itu tidak saja membikin melengak Kiu Jian-jio, bahkan hati Thia Eng, Liok Bu-siang, Kongsun Lik oh dan lain2 juga tergetar.

"Hm, hagus, bagus! jika kau ingin mampus, pedulikan apa dengan aku?" jengek Kiu Jian-jio, lalu ia berpaling dan berkata kepada Cu-in: "Jiko, kabarnya Ui Yong adalah ketua Kay-pang? jadi Tiat-ciang-pang kita tidak berani melawannya?"

"Tiat-ciang-pang?" Cu in menegas, "Ah, sudah lama bubar, masakah kau sebut Tiat ciang pang lagi"

"O, pantas, pantas!" kata Kiu Jian-jio. "Lantaran kau sudah tidak punya sandaran, makanya nyalimu menjadi kecil."

Begitulah Kiu Jian-jio terus berusaha menghasut sedangkan Kongsun Lik-oh tidak lagi mendengarkan perkataan sang ibu, pandangannya mengikuti langkah Nyo Ko yang sedang berjalan keluar itu. Mendadak ia berlari maju dan berteriak: "Nyo Ko, kau manusia yang tidak setia dan tak berbudi, anggaplah mataku ini yang buta."

Nyo Ko tertegun bingung, ia heran nona yang biasanya sabar dan pendiam itu mengapa sekarang kehilangan akal sehatnya? Apakah karena mendengar pernikahanku dengan Liong-ji, lalu dia menjadi putus asa dan murka? Dengan rasa menyesal ia lantas berpaling dan berkata: "Nona Kongsun..."



Mendadak Kongsun Lik-oh memaki: "Bangsat keparat, akan kubikin kau datang mudah dan pergi sukar..." meski mulutnya memaki, tapi air mukanya ternyata ramah tamah dan ber-ulangi mengedip mata memberi isyarat.

Melihat itu Nyo Ko tahu pasti ada sebab2-nya, segera iapun balas membentak: "Memangnya aku kenapa? Betapapun Coat-ceng-kokmu ini takkan mampu mempersulit diriku."

Dia menghadap ke dalam sehingga dapat diIihat Kiu Jian-jio dengan jelas, maka sama sekali ia tidak berani memperlihatkan air muka yang mencurigakan.

Kongsun Lik-oh lantas memaki pula: "Bangsat cilik, betapa benciku padamu, ingin kupotong, kau menjadi dua dan mengorek keluar hatimu..."

Mendadak mulutnya menyemprot, sebuah biji kurma terus manyamber ke arah Nyo Ko.

Sebelumnya Nyo Ko sudah bersiap, segera ia menangkap benda kecil itu dan mendengus: "Hm, lekas kau kembali sana dan takkan kuganggu kau, hanya sedikit kepandaianmu ini kau kira dapat menahan diriku?"

Kembali Kongsun Lik-oh mengedipi pula agar anak muda itu lekas pergi, habis itu mendadak ia menutupi mukanya sendiri sambil menjerit: "Oh, ibu! Dia... dia menghina anak!" Segera ia berlari balik ke arah sang ibu sambil menangis, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan", impiannya telah buyar, dengan sendirinya rasa dukanya itu benar2 timbul dari lubuk hatinya dan bakan pura2

MeIihat air mata puterinya ber-linang2, Kiu Jian-jio lantas membentak: "Anak Oh, apa2an kau ini? jiwa bocah itu sendiri takkan tahan beberapa hari saja, mengapa kau menangis baginya?"

Kougsun Lik-oh terus mendekap di atas lutut sang ibu dan menangis dengan sedihnya. Sandiwara nona Kongsun ini ternyata dapat mengelabui semua orang terkecuali Ui Yong, diam2 nyonya cerdik itu merasa geli. Pikirnya: "Rupanya dia pura2 benci dan memaki Nyo Ko agar ibunya tidak curiga, dengan begitu dia akan mencari kesempatan untuk mencuri obat. Sungguh tidak nyana bocah Nyo Ko ini selalu menimbulkan kisah cinta di mana2 sehingga nona cantik sebanyak ini sama ter-gila2 padanya." Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke arah Thia Eng dan Liok Bu-siang.

Setelah menangkap biji kurma yang disemburkan Kongsun Lik-oh tadi, segera Nyo Ko melangkah pergi bersama dengan Siao-liong li sambil merenungkan ucapan Kongsun Lik-oh tadi yang aneh itu, seketika ia tidak paham apa maksudnya.

Siao-liong-li juga melihat air muka dan isyarat Konsun Lik-oh, ia tahu sikap nona itu cuma pura2 saja, segera ia membisiki Nyo Ko: "Ko-ji, dia pura2 marah padamu, mungkin supaya ibunya tidak curiga agar memudahkan dia mencuri obat."

"Semoga begitulah hendaknya," jawab Nyo Ko. Setelah kedua orang membelok ke sana, melihat sekitarnya tiada orang lain, cepat Nyo Ko memeriksa biji kurma yang digenggamnya itu. Ternyata bukan biji kurma melainkan biji kanah, waktu di pencet, biji kanah itu lantas pecah menjadi dua.

Kiranya di dalamnya tersimpan secarik kertas kecil, "Haha, ucapan nona Kongsun itu ternyata mengandung teka-teki,"-ujar Siao-liong-li dengan tertawa. "Dia bilang: "ingin kupotong kau menjadi dua dan mengorek keluar hatimu segala, kiranya demikian artinya."

Cepat Nyo Ko membentang Kertas itu dan di-baca bersama, ternyata di situ tertulis : "Setengah biji obat itu tersimpan rapi oleh ibu, tentu akan kuupayakan untuk mencarinya dan kuserahkan padamu, paderi Hindu dan Cu-cianpwe terkurung di Hwe-wan-sit (kamar panggang)", lalu di samping tulisan itu terlukis sebuah seketsa peta yang menunjukkan tempat yang dimaksud.

Nyo Ko sangat girang, segera ia berkata: "Marilah kita lekas pergi ke sana, kebetulan tiada orang yang akan merintangi kita."

Coat-ceng-kok itu sangat luas dan dikitari bukit, selama turun temurun leluhur Kongsun Ci telah membangun lembah ini dengan berbagai macam pesawat rahasia yang mujijat, sampai di tangan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio bahkan telah banyak diperbaiki dan ditambah lagi dengan jalanan yang ber-liku2 dan sukar diterobos.

Namun Nyo Ko dan Siao~liong~Ii dapat menggunakan Ginkang mereka menuju ke tempat tujuan menurut petunjuk Kongsun Lik-oh dalam petanya itu. Tidak lama sampailah mereka di suatu tempat yang rindang oleh belasan pohon raksasa, di bawah rumpun pohon itu adalah sebuah omprongan besar, yaitu bangunan yang bisa digunakan membakar genting dan bata, menuruI peta Kongsun Lik-oh, di tempat inilah paderi Hindu dan Cu Cu liu terkurung.

Dengan ragu2 Nyo Ko minta Siao liong-li menunggu saja di luar, ia sendiri lantas menerobos ke dalam omprongan itu. Tapi baru melangkah masuk pintu omprongan yang sempit itu, serentak hawa panas menyerang mukanya disusul dengan suara bentakan orang: "Siapa itu?"

"Kokcu memerintahkan agar tawanan dibawa ke sana," jawab Nyo Ko.

Orang itu lantas muncul dari balik dinding bata sana dan menegur-dengan heran: "He, Kau?"

Nyo Ko melihat orang berseragam hijau, segera ia menjawab pula : "Ya, Kokcu menyuruh aku membawa Hwesio dan orang she Cu ini."

Murid Coat-ceng-kok itu tahu Nyo Ko pernah menolong jiwa sang Kokcu sekarang, hubungan Lik-oh dengan dia juga sangat erat, besar kemungkinan anak muda ini kelak akan menggantikan sebagai Kokcu baru, maka ia tidak berani bersikap kasar, dengan hormat ia bertanya pula: "Tapi... tapi adakah tanda perintah Kokcu?"

Tanpa menjawab Nyo Ko hanya berkata: "Ada, bawa aku melihat mereka dahuIu!"-Orang itu mengiakan dan Nyo Ko dibawa masuk ke dalam.

Setelah memutar ke sebelah dinding sana, hawa panas semakin hebat, terlihat dua kuli sedang mengangkat kayu bakar, sekarang lagi musim dingin, tapi kedua orang itu telanjang tubuh bagian atasnya sebuah celana pendek saja yang dipakainya, sedangkan keringat bercucuran di sekujur badan mereka.

Tempo hari waktu mula2 Nyo Ko datang ke Coat-ceng-kok ini dia pernah bertanding Lwekang Kim lun Hoat-ong, Nimo Singh dan lain2 di kamar berapi itu, ntaka tahulah dia tentu Cu Cu-liu dan paderi Hindu itu juga sedang di-siksa dengan api oleh Kiu Jian-jio.

Orang berbaju hijau itu menggeser sebuah batu dan tertampaklah sebuah lubang, Ketika Nyo Ko mengintip ke sana, dilihatnya di bagian dalam sana adalah sebuah kamar batu seluas tiga meter persegi, Cu Cu~1iu sedang duduk menghadap dinding dan lagi meng-gores2 dinding batu dengan jari telunjuk, agaknya sedang berlatih seni tulisnya yang terkenal indah itu. sedangkan paderi Hindu itu berbaring di lantai, entah masih hidup atau sudah mati.

"Cu-toasiok, kudatang menolong kau." seru Nyo Ko.

Cu Cu-Iiu menoleh dan berkata dengan tertawa: "Aha, ada kawan datang dari jauh, dapatlah, aku bergembira sekarang!"

Diam2 Nyo Ko kagum atas kesabaran Cu Cu-liu itu, padahal sudah tertahan sekian tama di situ. Scgera ia bertanya: "Apakah paderi sakti sedang tidur?"



Dia mengajukan pertanyaan ini dengan hati berdebar, soalnya mati-hidup Siao-liong-li besar hubungannya dengap keadaan paderi asing itu.

Cu Cu-liu tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah ia menghela napas dan berkata: "Meski Susiok tidak mahir ilmu silat, tapi kepandaiannya menahan dingin dan melawan panas takdapat kutandingi, cuma beliau..."

Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko merasa diri belakang ada angin berkesiur, jelas ada orang sedang menyerangnya. Tanpa menoleh, sikutnya terus menyodok ke belakang, tapi sebelum menyentuh tubuh musuh, tahu2 angin menyamber lewat disamping telinga dan orang itupun menjerit terus jatuh terguling.

Kiranya dari lubang balik jendela batu itu Cu Cu-liu dapat melihat apa yang akan terjadi, sekenanya ia comot sepotong kerikil terus disambitkan dengan tenaga jari sakti It yang ci dan tepat mengenai Hiat-to penyergap itu.

Waktu Nyo Ko membalik tubuh, dilihatnya yang menggeletak di situ adalah seorang murid berbau hijau yang tidak di-kenalnya, sedangkan orang yang membawanya masuk ke situ itu tampak meringkuk di pojok sana dengan ketakutan.

"Lekas membuka pintu dan membebaskan mereka keluar." bentak Nyo Ko.

"He, mana kuncinya!" jawab orang itu dengan heran, "Katanya engkau diutus oleh Kokcu, betul tentu beliau akan menyerahkan kuncinya padamu."

Nyo Ko menjadi tidak sabar, bentaknya: "Minggir sana"-

Segera ia angkat pedang wasiatnya, sekali tusuk, "blang", dinding tebalnya satu bata itu lantas tembus suatu lubang besar, Orang berbaju hijau itu menjerit kaget. Ber- ulang2 Nyo Ko menusuk tiga kali dengan pedangnya dan membabat dua kali secara menyilang, segera lubang tadi bertambah lebar sehingga cukup di terobos oleh tubuh manusia.

Menyaksikan betapa sakti cara Nyo Ko mem-bobol dinding batu itu, kejut Cu Cu-liu sungguh luar biasa melebihi orang berbaju hijau itu, Dia didesak oleh barisan jaring berkait yang dikerahkan Kiu Jian-jio itu sehingga terjebak ke dalam rumah garangan ini. Siang dan malam di tempat tahanan dia telah berusaha membebaskan diri dengan It-yang-ci yang sakti.

Dengan jarinya yang kuat itu dia telah meng-korek2 celah2 batu, tujuannya kalau celah2 batu itu sudah mulai melebar, lalu dapatlah melolos batu dinding dan dapat melarikan diri.

Tapi dinding itu, dibangun dengan balok batu raksasa dan sukar digoyangkan dengan tenaga manusia, kini menyaksikan beberapa kali ayun pedangnya segera Nyo Ko dapat membobolnya, betapa lihay tenaga saktinya sungguh tak pernah dilihatnya.

Tanpa terasa ia berseru memuji kesaktian Nyo Ko. Segera pula dia angkat tubuh paderi Hindu dan dikeluarkan melalui lubang dinding.

Cepat Nyo Ko menariknya keluar, waktu ia pegang lengan paderi itu dan terasa rada hangat, hatinya menjadi lega, apalagi kemudian diketahui paderi itupun masih bernapas dengan baik.

Setelah Cu Cu-liu menerobos keluar, lalu berkata: "Susiok hanya pingsan saja, rasanya tidak beralangan,"

"Mungkin beliau tidak tahan hawa panas, lekas mencari hawa segar diluar sana," ajak Nyo Ko sambiI membawa paderi Hindu itu keluar.

Siao-liong-li sedang menunggu dengan gelisah, ketika melihat Nyo Ko bertiga keluar, dengan girang ia lantas memapak maju.

"Supaya cepat siuman akan kucarikan air untuk cuci muka paderi sakti," kata Nyo Ko.

"Tidak, Susiok pingsan karena kena racun bunnga cinta." tutur Cu Cu-liu.

Nyo Ko dan Siao-Iiong-li sangat heran dan tanya berbareng: "Mengapa bisa begitu?"

Dengan menghela napas Cu Cu-liu menutur: "Menurut cerita Susiok, katanya bunga cinta begitu sudah lenyap dari bumi negeri Thian-tiok (Hindu) dan entah cara bagaimana tersebar ke daerah Tionggoan sini, kalau tersebar lebih luas lagi tentu akan mendatangkan bencana besar, dahulu di negeri Thian-tiok bunga ini juga telah menimbulkan korban yang tidak sedikit.

Selama hidup Susiok mempelajari ilmu penyembuhan racun, tapi kadar bunga ini teramat aneh, ketika masuk ke lembah ini beliau sudah tahu sukar mendapatkan obatnya yang mujarab, yang diharapkan hanya mencari suatu resep cara pengobatannya saja. Dengan tubuh Susiok sendiri untuk mencoba racun bunga ini untuk mengetahui betapa kadar racunnya, dengan begitu akan dibuat obat penawarnya."

"Kata Budha: kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang akan masuk neraka? Demi menyelamatkan sesamanya, paderi sakti rela menghadapi bahaya sendiri sungguh harus dipuji dan sangat mengagumkan," demikian kata Nyo Ko, "Dan entah sampai kapan kiranya paderi sakti dapat siuman kembali?"

"Susiok telah mencocok tubuh sendiri dengan duri bunga itu, katanya kalau perhitungannya tidak meleset, setelah tiga hari tiga malam tentu beliau dapat siuman kembali dan sampai kini sudah hampir genap dua hari," tutur Cu-liu.

Nyo Ko saling pandang dengan Siao-liong-li, kata mereka: "Paderi ini harus pingsan tiga-hari tiga-malam, jelas dia keracunan sangat berat. Untungnya kadar racun bunga ini bekerja menurut keadaan orangnya, jika timbul napsu birahi, akan bekerja dengan sangat lihay.

Paderi Hindu yang alim dan suci ini menganggap segala apa di dunia ini hanya kosong belaka, melulu ini saja beliau jelas di atas orang biasa."

Sejenak kemudian Siao-liang-li bertanya "Kalian mendapatkan bunga jahat itu?"

"Setelah kami terkurung di sini, kemudian datang seorang nona jelita menjenguk kami."

"Apakah nona yang berperawakan langsing, bermuka putih dan pada ujung mulut ada sebuak andeng2 kecil?" Siao-liong li menegas.

"Betul," jawab Cu Cu-liu.

Siao-liong~li tersenyum kepada Nyo Ko, lalu berkata pula kepada Cu Cu-liu: "Nona itu adalah puteri Kokcu sini, nona Kongsun Lik-oh, ketika mendengar kalian berdua datang mencari obat demi Nyo Ko, tentu saja dia melayani kalian dengan istimewa, kecuali tidak berani membebaskan kalian, apapun yang kalian minta tentu akan diturutinya."

"Memang benar," ujar Cu Cu-liu, "kettka susiok minta dia membawakan tangkai bunga cinta dan kumohon dia bantu menyiarkan berita minta bantuan kepada Suhu, semuanya telah dia laksanakan dengan baik, Caranya dia memanggang kami di tempat ini juga dikurangi apinya sehingga kami dapat bertahan sampai sekarang, Sering kutanya siapa dia, tapi dia tak mau menjelaskan, tak tersangka dia adalah puteri sang Kokcu."

"Malahan bisanya kami menemukan kalian di sini juga atas petunjuk nona itu," tutur Siao-Iiong-li.

"Gurumu It-teng Taysu juga sudah datang," demikian Nyo Ko menambahkan.

"Aha, lekas kita keluar," seru Cu Cu-liu kegirangan.

"Tiba2 Nyo Ko mengerut kening dan berkata pula: "pula Cu-in Hwesio juga ikut datang, dalang urusan ini mungkin ada kesulitan."

"Kalau Cu-in Suheng juga datang kan lebih baik?" ujar Cu-liu heran. "Pertemuan kembali mereka kakak beradik, sedikitnya Kiu-kokcu akan memikirkan hubungan baik persaudaraan mereka."

Nyo Ko lantas menceritakan keadaan Cu-in yang kurang waras itu serta cara bagaimana Kiu Jian-jio telah menghasut sang kakak.

"Jika Kwe hujin juga sudah berada di sini, maka segala urusan tentu akan beres," ujar Cu Cu-liu, "Kwe-hujin pintar dan cerdik, ditambah lagi Suhuku serta kelihayan Nyo-heng, betapapun besarnya persoalan juga tidak perlu dikuatirkan lagi. Yang kupikirkan sekarang justeru kesehatan Susiok."

Nyo Ko juga merasa paderi Hindu itu perlu diselamatkan lebih dulu, maka ia lantas mengusulkan. "Marilah kita mencari dulu suatu tempat yang aman untuk menyegarkan pikiran paderi sakti. Biarlah kita menjagai dia."

"Tapi mana ada tempat yang aman?" ujar Cu-liu sambil berpikir, ia merasa setiap tempat di Coat-ceng-kok ini sama aneh dan berbahayanya. Tiba2 hatinya tergerak dan berkata pula: "Kukira tetap berada di sini saja."

Nyo Ko melengak, tapi segera ia paham maksud orang, katanya dengan tertawa. "Ucapan Cu-toasiok memang sangat tepat. Tempat ini tampaknya berbahaya, tapi sebenarnya adalah tempat yang paling aman di lembah ini, asalkan kita tawan kedua orang berbaju hijau ini agar tidak membocorkan kejadian di sini, maka bereslah segala urusan."

"Urusan ini tidak sulit," kata Cu Cu-Iiu dengan tertawa sambil menutukkan jarinya dari jauh lalu ia pondong paderi Hindu itu dan berkata pula. "Tinggal di rumah omprongan ini tentu aman dan tenteram bagiku, Nyo heng berdua lebih baik pergi lagi ke sana untuk membantu guruku apabila perlu."

Teringat kepada keadaan lt-teng Taysu yang masih terluka, sedangkan sifat baik-buruk Cu in sukar diraba, kalau dirinya menunggui paderi Hindu itu rasanya terlalu mementingkan dirinya sendiri. Sekarang Cu Cu-liu telah membawa paderi itu ke dalam rumah garangan itu, segera iapun mengajak Siao-liong-li kembali ke tempat semula.

Sementara itu di ruangan besar Coat ceng-kok sudah lain lagi suasananya. Ber-ulang2 Kiu-Jian-jio berusaha memancing dan menghasut sang kakak, nadanya semakin keras dan mendesak . It-teng Taysu diam saja dan menyerahkan kepada keputusan Cu-in sendiri sedangkan Cu-in tampak bingung, sebentar ia pandang adik perempuannya, lain saat dipandangnya sang guru, kemudian memandang pula kepada Ui Yong.

Yang satu adalah saudara sekandung sendiri, seorang lagi adalah gurunya yang berbudi, sementara itu yang seorang lain lagi adalah musuh pembunuh kakaknya, seketika pikirannya menjadi kacau dan terjadi pertentangan batin yang hebat.

Menyaksikan sikap Cu-in yang aneh, sebentar bimbang dan lain saat beringas itu, diam2 Liok Bu-siang menjadi kuatir, Dilihatnya Nyo Ko sejak tadi keluar dan sampai sekian lama belum kembali, pelahan ia lantas menarik tangan Thia Eng dan diajak keluar.

"Piauci, ke mana perginya si Tolol itu?" tanya Bu-siang sesudah di luar.

Tapi Thia Eng tidak menjawabnya melainkan berkata: "Dia terkena racun bunga yang jahat, entah bagaimana keadaannya?"

"Ya," Bu-siang ikut kuatir juga, Mendadak ia menambahkan: "Sungguh tidak nyana akhirnya dia dan gurunya..."

"Tapi nona Liong itu memang cantik molek, orangnya juga baik, hanya gadis seperti dia setimpal menjadi jodoh Nyo-toako," ujar Thia Eng dengan muram.

"Darimana engkau mengetahui nona Liong itu orang baik? Bicara dengan dia saja kau belum pernah" kata Bu-siang.

Tiba2 suara seorang perempuan menjengek di belakangnya: "Hm, kakinya kan tidak pincang, dengan sendirinya dia orang baik,"

Cepat Bu-siang membalik tubuh sambil melolos goloknya, dilihatnya yang bicara itu adalah Kwe Hu. Melihat Bu-siang melolos golok, segera Kwe Hu juga melolos pedang yang tergantung di pinggang Yalu Ce yang berdiri di sampingnya, dengan mata melotot ia menantang: "Hm, kau ingin bergerak dengan aku?"

Mendadak Bu-siang berkata dengan tertawa,: "Hihi, mengapa kau tidak menggunakan pedangnya sendiri?"

Perlu diketahui bahwa sejak kakinya cacat, Bu-siang sangat menyesal terhadap cirinya sendiri itu, orang lainpun tiada yang pernah menyinggung dihadapannya, sekarang dia bertengkar dengan Kwe Hu dan beberapa kali nona itu selalu menyindir kakinya yang pincang itu, tentu saja ia sangat gusar, maka kontan ia balas menyindir pedang Kwe Hu yang dipatahkan oleh semprotan biji kurma Kiu Jian jio.

Kwe Hu menjadi gusar juga, balasnya: "Biar pun dengan pedang pinjaman juga dapat kulabrak kau," Habis berkata pedangnya terus diobat-abitkan hingga mengeluarkan suara mendengung.

"Nah, tidak tahu tua atau muda, rupanya anak keluarga Kwe memang tidak kenal sopan santun dan menghormati orang tua," jengek Bu-siang "Baik, biar ku-ajar adat padamu agar kau mengerti cara bagaimana harus menghormati orang tua."

"Huh, memangnya kau ini orang tua macam apa?" omel Kwe Hu dengan mendongkol.

"Haha, sungguh bocah yang tidak tahu adat!" Bu-siang meng-olok2 dengan tertawa, "Piauciku adalah Susiokmu, kalau kau tidak memanggil tante padaku juga harus memanggil bibi, Kalau tidak percaya boleh kau tanya Piauciku ini." -Lalu iapun menuding Thia Eng,

Ketika Thia Eng bertemu dengan Ui Yong, memang betul Kwe Hu juga mendengar ibunya menyebut nona itu sebagai Sumoay, namun dalam hati ia merasa penasaran dan anggap sang kakek agak keterlaluan masakah sembarangan memungut seorang murid muda belia begitu, apalagi dilihatnya usia Thia Eng sebaya dengan dirinya, rasanya juga tidak mempunyai kepandaian yang berarti.



Kini dia di-olok2 Liok Bu-siang, dengan gemas ia lantas menjawab "Hm, memangnya siapa yang berani menjamin tulen atau palsu, Gwakong ( kakek luar ) termashur, siapa yang tidak kenal nama beliau dan tentunya juga, banyak manusia yang tidak tahu malu pengin mengaku sebagai anak-cucu murid beliau."

Walaupun pembawaan Thia Eng berbudi halus dan pendiam, mau-tak mau ia merasa keki juga mendengar ucapan Kwe Hu itu, namun saat ini perhatiannya hanya tertuju kepada keselamatan Nyo Ko, ia tidak ingin bertengkar mengenai urusan tetek bengek itu, segera ia berkata: "Piaumoay, marilah kita pergi mencari Nyo toako saja."

Bu-siang mengangguk, katanya pula kepada Kwe Hu: "Nah, kau dengar sendiri bukan ? Dia menyebut diriku sebagai Piaumoay! Memang nama Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu juga termashur di seluruh jagat, tentunya juga tidak sedikit manusia tidak tahu malu yang ingin menjadi - putera-putri beliau2 itu"

Habis ini ia sengaja mencibir, lalu melangkah pergi- Sejenak Kwe Hu melengak, ia tidak paham siapakah yang ingin mengaku sebagai putera-puteri ayah-bundanya? Tapi segera ia dapat menangkap ucapan Liok Bu-siang itu, jelas secara tidak langsung orang hendak memaki dia sebagai anak haram, menganggap dia bukan anak kandung ayah-ibunya.

Sesungguhnya ucapan Bu-siang inipun rada keji, sedangkan watak Kwe Hu juga memang pemberang, begitu mengetahui arti ucapan Bu-siang itu, ia tidak tahan lagi, segera ia memburu maju, tanpa bicara pedangnya terus menusuk ke punggung lawan.

Mendengar angin tajam menyamber dari belakang cepat Bu-siang memutar goloknya menangkis "trang", lengan terasa kesemutan.

"Hm, kau berani memaki aku anak liar?" bentak Kwe Hu murka, kembali ia menyerang secara ber-tubi2.

Sambil menangkis Liok Bu-siang menjengek pula: "Hm, Kwe-tayhiap adalah orang yang berbudi luhur, Ui-pangcu adalah puteri kesayangan Tho-hoa-tocu, mereka betapa tinggi budi pekerti beliau itu."

"Memangnya perlu kau jelaskan pula? Tidak perlu kau memuji ayah-bundaku untuk membaiki aku" dengus Kwe Hu, disangkanya Bu-siang memuji ayah-ibunya dengan setulus hati, maka daya serangannya menjadi rada kendur.

Tak tahunya Bu-siang lantas menyambung pula: "Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Huh, kau telah membuntungi lengan Nyo toako, tanpa cari keterangan lebih dulu lantas memfitnah orang, tindak tanduk cara begini mana ada kemiripan dengan kepribadian Kwe tayhiap dan Ui-pangcu, betapapun orang harus merasa sangsi."

"Sangsi apa2" tanya Kwe Hu.

"Hm, boleh kau pikir sendiri, buat apa tanya?" jengek Bu-siang ketus.

Pertengkaran kedua nona itu disaksikan Yalu Ce, ia tahu watak Kwe Hu lebih lugu dan tidak secerdik Bu~siang, kalau adu mulut pasti kalah maka ia lantas menyela: "Nona Kwe, jangan bicara lebih banyak lagi dengan dia."

Dalam marahnya Kwe Hu ternyata tidak paham maksud anak muda itu, ia menjawab. "Kau jangan ikut campur, aku justeru ingin tanya dia lebih jelas."

Bu-siang juga melotot kepada Yalu Ce dan taerkata; "Huh, kelak baru kau tahu rasa."

Muka Yalu Ce menjadi merah, ia tahu arti ucapan Bu-siang itu, jelas si nona dapat melihat dia telah jatuh cinta kepada Kwe Hu, maka Bu-siang sengaja ber olok2, maksudnya jika mendapat isteri yang galak dan warok begitu kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran bagimu.

Melihat air muka Yalu Ce mendadak berubah merah, Kwe Hu menjadi curiga dan bertanya: "Apakah kau juga menyangsikan aku ini bukan anak kandung ayah-ibuku?"

"Tidak, tidak," cepat Yalu Ce menjawab, "Marilah kita pergi saja, jangan urus dia."

Tapi Bu-siang lantas menanggapi "Sudah tentu dia sangsi, kalau tidak mengapa dia mengajak kau pergi?"

"Muka Kwe Hu menjadi merah padam, tangan memegang pedang, tapi takdapat mendebatnya."

Yalu Ce kuatir si nona salah paham, terpaksa ia bicara lebih gamblang, katanya: "Cara bicara nona ini tajam dan menusuk perasaan, kalau mau ber-tanding boleh bertanding saja, tapi jangan banyak omong."

"Nah, tahu tidak kau? Maksudnya kau tidak pintar omong dan bodoh bicara, semakin banyak bicara semakin memalukan saja," sela Bu-siang pula.

Dalam hati Kwe Hu sekarang memang sudah timbul perasaan aneh terhadap Yalu Ce, anak gadis yang baru merasakan madu nya cinta selalu timbul perasaan kuatir dan cemas, setiap ucapan orang lain yang menyangkut sang kekasih, walaupun tidak beralasan sama sekali, tentu akan dipikirkannya secara boIak-balik serta dimamah dan dirasakannya.

Apa-lagi sejak kecil Kwe Hu selalu dimanjakan orang tua, kedua teman ciliknya, yaitu kedua saudara Bu juga sangat penurut padanya, kecuali Nyo Ko yang terkadang suka melawannya, hampir tak pernah dia bertengkar dengan siapapun, kini mendadak dia menghadapi seorang lawan yang pintar putar lidah, seketika dia terdesak di bawah angin, ia tahu kalau bicara lagi tentu dirinya akan lebih banyak pula di olok2, dengan gusar dia lantas memaki: "Perempuan dingklang, kalau sebelah kakimu tidak kubacok pincang pula, biarlah aku tidak she Kwe."

"Hm, tidak perlu kau membacok kakiku juga kau tidak she Kwe lagi, memangnya siapa tahu kau ini she Li atau she Ong," jawab Bu-siang. Secara tidak langsung ia selalu memaki Kwe Hu sebagai "anak haram".

Keruan Kwe Hu tidak tahan lagi, segera ia melancarkan serangan dan terjadilah pertarungan sengit.

Kepandaian yang diajarkan Kwe Cing dan Ui Yong kepada kesayangannya ini adalah ilmu pilihan kelas wahid, cuma ilmu silat yang hebat ini harus dimulai dengan memupuk dasar dan latihan yang tekun, sedangkan bakat pembawaan Kwe Hu justeru lebih banyak menuruni sang ayah dari pada sang ibu, sebab itulah kemajuan ilmu silat yang dilatihnya agak lamban, banyak jurus2 serangan lihay belum dapat digunakannya dengan baik.

Walaupun begitu toh Liok Bu-siang tetap bukan tandingannya, ditambah lagi sebelah kakinya pincang, gerak gerik nya tidak leluasa, sedangKan Kwe Hu menyerang dengan beringas, pedangnya selalu mengincar bagian bawah dan ingin menusuk lagi kaki sebelah lawan,

Diam2 Thia Eng mengernyitkan kening menyaksikan pertarungan mereka, pikirnya: "Meski cara ber-olok2 Piaumoay agak tajam, tapi nona Kwe ini juga terlalu garang, pantas lengan Nyo-toako tertabas buntung olehnya, Kalau berlangsung lebih lama lagi mungkin sekali kaki Piaumoay juga sukar diselamatkan."

Dilihatnya Bii-siang terus terdesak mundur dan Kwe Hu menyerang semakin gencar, "bret" tiba2 gaun Bu-siang terobek,menyusul dia menjerit pelahan dan mundur dengan sempoyongan dan muka pucat Kwe Hu terus melangkah maju, kakinya lantas menyapu, dia sengaja hendak membikin Bu-siang terjungkal untuk melampiaskan rasa gemasnya.

Terpaksa Thia Eng bertindak melihat keadaan itu, ia melompat maju mengadang di depan Kwe Hu dan berseru. "Harap berhenti, nona Kwe!"



Waktu Kwe Hu angkat pedangnya dan tertampak ada setitik darah, tahulah dia kaki Bu-siang telah dilukainya, dengan ber-seri2 ia lantas tuding nona itu dan berolok: "Nah, nonamu sengaja memberi ajaran padamu agar selanjutnya kau jangan sembarangan mengoceh!"

Padahal Bu-siang adalah nona yang berwatak keras, kepala batu, tidak takut kepada apapun juga, Li Bok-chiu yang begitu kejam juga tidak membuatnya jera, malahan dia berani kabur dengan mencuri kitab pusaka sang guru itu. sekarang meski dikalahkan Kwe Hu dan darah merembes membasahi gaunnya namun ia tidak menjadi jeri, sebaliknya ia tambah marah dan berteriak:

"Huh, hanya pedangmu saja mampu menyumbat mulut orang seluruh jagat?" ia tahu Kwe Hu suka membanggakan ayah-ibunya, maka ia sengaja meng-olok2nya sebagai "anak haram" dan bukan puteri kandung kedua orang tuanya itu.

"Kau mengoceh apa lagi?" bentak Kwe Hu dengan gusar sambil melarikan maju dan pedangnya disurung pula ke depan dada orang.

Thia Eng berdiri di tengah mereka, melihat ujung pedang menyeleweng tiba, segera ia gunakan jarinya menahan batang pedang Kwe Hu itu terus didorong pelahan ke samping sambil melerai: "Piau-moay, nona Kwe, kita berada di tempat berbahaya, janganlah kita cecok urusan tidak berarti ini."

Kwe Hu terkejut dan gusar karena pedangnya, didorong ke samping dengan enteng oleh tangan Thia Eng. segera ia membentak: "Hm, kau hendak membela dia bukan? Baiklah kalian boleh maju bersama, aku tidak takut biarpun satu lawan dua. Hayolah lolos senjatamu!"

Habis berkata ujung pedangnya terus mengacung ke dada Thia Eng dan menantikan lawan melolos seruling kemala yang terselip di pinggang itu.

Namun Thia Eng tersenyum hambar saja, kata-nya: "Aku melerai perkelahian kalian, masakah aku sendiri ikut bertengkar? Yalu-heng, hendaklah kaupun melerai nona Kwe."

"Benar, nona Kwe," ucap Yalu Ce. "Kita berada di wilayah musuh, kita harus waspada dan hati2."

"Bagus, kau tidak bantu diriku, sebaliknya kau membela orang lain," seru Kwe Hu dengan mendongkol ia lihat Thia Eng cukup cantik dan manis, tiba2 timbul pikirannya jangan2 anak muda itu menyukai nona itu.

Sedikitpun Yalu Ce tidak dapat menangkap jalan pikiran Kwe Hu itu, ia menyambung ucapannya tadi: "Cu-in Hwesio itu rada aneh sikapnya, lekas kita ke sana untuk melihat ibumu."

Namun Liok Bu-siang teramat cerdik dan pintar, sepatah kata dan sedikit tingkah Kwe Hu saja segera dapat diterka isi hati seterusnya itu, cepat ia berkata puIa: "Hah Piauciku jauh lebih cantik daripadamu, pribadinya juga halus budinya, ilmu silatnya juga lebih tinggi, hendaklah kau berhati-hati sedikit!"

Setiap kalimat Bu-siang itu cukup menusuk perasaan Kwe Hu, keruan ia menjadi murka, tapi ia lantas pikirnya: "Aku harus ber-hati2 apa?"

"Huh, kecuali aku orang tolol, kalau tidak masakah aku tidak memilih Piauciku dan sebaliknya menyukai kau," jengek Bu-siang.

Ucapan ini jauh dari jelas dan gamblang, tentu saja Kwe Hu tidak tahan lagi, begitu pedangnya bergerak, segera ia menusuk ke iga Bu-siang dengan mengitar ke samping Thia Eng.

Diam2 Thia Eng mengerut kening melihat serangan Kwe Hu yang ganas itu, ia pikir sekalipun ucapan Piaumoay itu menyinggung perasaanmu, betapapun kita kan bukan musuh, mengapa tanpa kenal ampun kau melancarkan serangan mematikan sekeji ini?

Secepat kilat Thia Eng menghimpun tenaga pada jarinya, begitu pedang Kwe Hu menyelinap lewat dan sebelum mencapai sasarannya, secepat kilat ia terus menyelentik, "creng", kontan pedang Kwe Hu terlepas dan jatuh ke tanah.

Selentikan Thia Eng itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui Yok-su, karena kekuatan Thia Eng cuma setingkat dengan Kwe Hu, maka cara menyelentik-nya itu dilakukannya secara mendadak, begitu pedang orang terlepas, langkah selanjutnya juga sudah diperhitungkan o!ehnya, segera melangkah maju, pedang itu diinjak, seruling kemala terus dikeluarkan di Hiat-to di tubuh Kwe Hu.

Karena didahului orang, keadaan Kwe Hu menjadi serba salah, kalau berjongkok untuk rebut pedang, beberapa Hiat to itu pasti akan bertutuk, sebaliknya kalau melompat mundur untuk menghindar, maka pedang itu berarti dirampas lawan. Karena kurang pengalaman Kwe Hu- menjadi serba runyam, mukanya menjadi merah dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan.

"Hai, nona itu, mengapa kau menginjak pe-dangku?" tiba2 Yalu Ce membentak, berbareng ia terus menubruk maju hendak mencengkeram seruling orang.

Naraun Thia Eng sempat menyurutkan tangannya, ia membalik tubuh dan menarik Bu-siang terus diajak pergi.

Cepat Kwe Hu jemput kembali pedangnya dan berteriak : "Nanti dulu! Marilah kita bertanding dengan baik!"

"Haha, masih mau bertanding " sebelum Bu-siang meng-olok2 lebih lanjut, cepat sekali Thia Eng telah menyeretnya melompat ke depan, hanya sekejap mereka sudah berada jauh di sana,

Yalu Ce segera menghibur Kwe Hu, katanya : "Nona Kwe, hanya kebetulan saja dia berhasil, sebenarnya kalah menang kalian belum jelas."

"Memangnya," kata Kwe Hu dengan penasaran "tadi pedangku sedang mengincar si pincang, mendadak dia turun tangan, Tampaknya dia ramah tamah, ternyata bertindak secara licik."

Yalu Ce mengiakan saja, wataknya jujur, tidak biasa menyanjung puji orang, katanya: "Kepandaian nona Thia itu tidak lemah, lain kali kalau bergebrak lagi hendaklah kau jangan meremehkan dia,"

Kwe Hu kurang senang mendengar pujian Yalu Ce kepada Thia Eng itu, tanpa pikir ia bertanya : "Kau bilang ilmu silatnya bagus?"

"Ya," jawab Yalu Ce.

"Baiklah, kalau begitu jangan kau hiraukan diriku lagi dan berbaik saja dengan dia," kata Kwe Hu dengan gusar sambil melengos.

"He, maksudku agar kau jangan meremehkan dia, supaya kau hati2, itu tandanya kubela kau atau membantu dia?" cepat Yalu Ce menjelaskan.





Kwe Hu pikir arti ucapan anak muda itu memang benar membela dirinya, maka rianglah hatinya.

Segera Yalu Ce berkata pula. "Malah tadi akupun bantu kau merebut kembali pedangmu, masakah kau masih marah padaku?"

"Ya, marah padamu!" omel Kwe Hu sambil berpaling kembali, namun dengan tertawa gembira.

Yalu Ce menjadi girang juga, Pada saat itulah dari ruangan pendopo sana berkumandang suara orang me-raung2 disertai suara nyaring benturan senjata.

"Ai, lekas kita melihat ke sana!" seru Kwe Hu.

Tadi dia merasa sebal oleh ocehan Kiu Jian-jio mengenai kejadian di masa talu, ia tidak tahu bahwa setiap kata nenek itu mengandung ancaman bahaya maut bagi ibunya, maka ia lantas mengeluyur keluar dan tanpa sebab telah bertengkar dengan Bu-siang dan Thia Eng, kini ia menjadi kuatir bagi sang ibu demi mendengar suara ribut itu, cepat ia berlari kembali ke sana.



Begitu dia masuk, dilihatnya It-tcng Taysu lagi berduduk di tengah ruangan, tangan me-raba2 tasbih dan mulut mengucap Budha, air mukanya agung dan welas-asih, sedangkan Cu-in Hwesio sedang ber-lari2 mengitari ruangan besar itu sambil mengeluarkan suara raungan buas, belenggu pada tangannya sudah terbetot putus dan saling bentur dengan suara gemerincing.

Kiu Jian-jio kelihatan duduk ditempatnya tadi dengan wajah membesi, mukanya memang buruk, kini menjadi tambah bengis dan menakutkan sementara itu Ui Yong, Bu Sam-thong dan lain2 berada di pojok sana sambil mengawal gerak-gerik Cu-in.

Setelah ber-lari2 sekian lama, dahi Cu-in tampak berkeringat ubun2nya mengepulkan uap putih tipis dan makin lama makin tebal, lari Cu-in itupun semakin cepat.

Mendadak It-teng Taysu membentak lantang: "Cu-in, wahai, Cu-in! sampai kini apakah kau masih belum menyadari perbedaan antara bajik dan jahat?"

Cu-in tampak melengak, uap putih di atas kepalanya mendadak lenyap, tubuhnya tergeliat, lalu jatuh terjungkal.

"Anak Oh, lekas bangunkan Kuku!" bentak Kiu Jian-jio.

Buru2 Kongsun Lik-oh berlari maju untuk membangunkan sang paman, Ketika Cu-in membuka mata, dilihatnya wajah si nona hanya belasan senti di depan matanya, samar2 terlihat alis yang lentik dan mulut yang mungil, wajah yang cantik molek itu mirip benar dengan adik perempuannya dahulu, Tiba2 ia berseru: "Sammoay, berada di manakah aku ini?"

"Kuku! Kuku! Aku Lik-oh!" ucap Lik-oh.

"Kuku? Siapa Kukumu?" - demikian Cu-in berguman, "Kau memanggil siapa?"

"Jiko, dia adalah puteri adikmu!" teriak Kiu Jian-jio, "dia minta kau membawanya menemui Kuku tertua."

Cu-in terkejut mendadak, katanya: "O, Kuku tertua? Kakakku? Ah, kau tak dapat melihatnya lagi, dia sudah terjatuh hancur lebur ke jurang Tiat~ ciang hong."

Teringat kepada kejadian masa Ialu, seketika mukanya menjadi beringas, ia melompat bangun, Ui Yong ditudingnya dan membentak: "Ui Yong, kau yang membunuh Toakoku, Kau... kau harus mengganti jiwanya!"

Setelah masuk lagi ke ruangan situ. Kwe Hu berdiri di samping sang ibu dan memondong adik perempuannya. ketika mendadak melihat Cu-in mencaci-maki ibunya secara bengis, dia orang pertama yang tidak tahan, segera ia melangkah maju beberapa tindak dan balas mendamperat: "Kau jangan kasar kepada ibuku Hwesio, nonamu ini takkan membiarkan kau main gila."

Kiu Jian-jio lantas menjengek: "Hm, berani benar anak perempuan ini..."

"Siapa kau?" segera Cu-in bertanya.

"Sudah kukatakan sejak tadi, apa kau tuli?W jawab, Kwe Hu. "Kwe-tayhiap adalah ayahku, Ui pangcu ialah ibuku."

"Hm, jadi Kwe Cing dan Ui Yong malah sudah mempunyai dua anak," teriak Cu-in dengan beringas.

Melihat nadanya berubah buas, Ui Yong menjadi kuatir, cepat ia menyuruh Kwe Hu mundur Akan tetapi Kwe Hu mengira Cu-in gentar kepada ibunya terbukti sejak tadi tidak berani menyerang maka tanpa pikir ia malah melangkah maju dan mengejek: "Huh, kalau kau mampu bolehlah lekas kau menuntut balas, kalau tidak becus, sebaiknya kau tutup mulut saja!"

"Bagus ucapanmu, kalau mampu bolehlah lekas menuntut balas!" bentak Cu-in dengan suara menggelegar sehingga cangkir sama bergetar di atas meja.

Sama sekali Kwe Hu tidak menyangka seorang Hwesio dapat mengeluarkan suara sekeras itu, ia menjadi terkejut dan kebingungan Pada saat itulah telapak tangan kiri Cu-in telah memukul, tangan kanan juga lantas mencengkeram sekaligus. Dua rangkum tenaga maha dahyat terus membanjir tiba, pikir Kwu Hu hendak menghindari akan tetapi sudah kasip.

Tanpa berjanji Ui Yong, Bu Sam-thong dan Yalu Ce bertiga melompat maju berbareng, pandangan mereka-cukup tajam, mereka tahu cengkeraman tangan kanan Cu-in itu tampaknya ganas, tapi tidak selihay pukulan tangan tangan kiri yang mematikan ttu, Sebab itulah tangan mereka memapak bersama, "blang", tiga arus tenaga dahsyat menyentak tangan kiri Cu-in.

Terdengar Cu-in bersuara tertahan dan tetap berdiri di tempatnya, sebaliknya Ui Yong bertiga tergetar mundur beberapa langkah, Kekuatan Yalu Ce paling cetek, dia tergentak mundur paling jauh, berikutnya adalah Ui Yong.

Sebelum berdiri tegak kembali dia mengawasi puterinya lebih dulu, dilihatnya Kwe Yang cilik sudah dicengkeram oleh Cu-in, sedangkan Kwe Hu berdiri mematung, rupanya Saking kagetnya hingga lupa menghindar.

Ui Yong menjadi kuatir kalau2 Kwa Hu dilukai, tenaga pukulan lawan, Cepat ia melompat maju pula dan menarik mundur anak gadisnya itu sembari mengeluarkan pentung penggebuk anjing tmtuk bela diri, sekali pentung pusakanya itu sudah siap, betapapun dahsyat tenaga pukulan Cu-in juga takkan melukainya lagi.

Sebenarnya Kwe Hu tidak terluka sedikitpun, cuma pikirannya menjadi kacau, dia baru sempat menjerit kaget setelah bersandar di tubuh sang ibu, sementara kedua saudara Bu, Yalu Yan, Wanyan Peng dan lainnya segera meloIos senjata juga ketika melihat Cu-in akhirnya melancarkan serangan.

Be-ramai2 anak buah Kiu Jian-jio juga menyebar dan siap siaga, asalkan sang Kokcu memberi aba-2, serentak merekapun akan menyerbu. Hanya It - teng Taysu saja yang tetap duduk bersila di tengah ruangan dan anggap tidak mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, dia tetap mengucapkan doa, meski tidak keras suaranya, namun cukup jelas terdengar

Mendadak Cu-in mengangkat tinggi2 Kwe Yang cilik dan berteriak: "lnilah puteri Kwe Cing dan Ui Yong, setelah kubunuh anak ini barulah kubinasakan kedua orang tuanya."

Dengan girang Kiu Jian-jio menanggapi "Bagus, Jiko yang baik, dengan begitulah engkau baru benar2 ketua Tiat-ciang-pang yang tiada bandingannya."

Dalam keadaan demikian, jangankan seorang-pun yang hadir ini mampu mengalahkan Cu-in, sekalipun ada yang berkepandaian lebih tinggi dari dia juga akan mati kutu dan sukar menyelamatkan Kwe Yang kecil dari tangan orang yang sudah kalap itu.

"Nyo toako! Nyo-toako! Di mana engkau? Lekas kemari menolong adikku!" se-konyong2 Kwe Hu berseru. Menghadapi bahaya begini tiba2 dia ingat kepada Nyo Ko.

Maklumlah, beberapa kali Kwe Hu mengalami kesukaran dan tiap kali Nyo Ko yang berhasil menyelamatkan dia di luar dugaannya, kini adiknya terancam dan tampaknya tiada seorangpun yang mampu bertindak, secara otomatis lantas timbul harapannya agar Nyo Ko datang menolongnya.

Akan tetapi saat itu Nyo Ko sedang bergandengan tangan dengan Siao-Iiong-li menikmati pemandangan senja indah pegunungan ini, sama sekali tak terpikir olehnya di ruangan besar sekarang sedang timbul adegan yang mendebarkan itu.



Begitulah dengan tangan kanan mengangkat Kwe Yang ke atas dan tangan kiri siap membela diri, Cu-in mengejek seruan Kwe Hu tadi: "Huh, Nyo Ko apa? siapakah Nyo Ko itu? Saat ini biar-pun Tang-sia Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong datang ke sini sekaligus paling-2 juga jiwaku Kiu Jian-yim saja yang dapat diganggunya, tapi jangan harap akan dapat menolong anak dara cilik ini."

Pelahan It~teng mengangkat kepalanya dan menatap Cu-in, terlihat kedua matanya merah membara penuh napsu membunuhi segera ia berkata: "Cu-in kau hendak menuntut balas pada orang, kalau orangpun hendak menuntut balas padamu, lalu bagai mana?"

"Siapa yang berani boleh coba maju!" bentak Cu-in.

Sementara hari sudah dekat magrib, cuaca mulai remang2 dan air muka Cu-in juga semakin seram tampaknya.

Pada saat itulah mendadak Ui Yong bergelak tawa, suara tawanya mendadak meninggi dan lain saat merendah laksana suara tawa orang gila. Begitu seram suara tertawanya hingga membikin orang merinding.

"lbu!" seru Kwe Hu kuatir. Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 juga serentak memanggil "Kwe-hujin!"

Semua orang kuatir jangan-2 karena memikirkan anaknya berada dalam cengkeraman musuh, mendadak pikiran Ui Yong menjadi tidak waras.

Terlihat Ui Yong membuang pentung bambu, lalu melangkah maju dengan rambut terurai serawutan, suara tawanya melengking tajam dan menyeramkan, berbeda sama sekali daripada sikapnya yang ramah se hari-2

"lbu!" seru Kwe Hu sambil menarik lengan Ui Yong. Tapi sekali mengibas, kontan Kwe Hu terpelanting jatuh, habis itu Ui Yong terus pentang kedua tangan hendak merangkul tubuh Cu in dengan ter-bahak2.

Kejadian ini juga sama sekali diluar dugaan Kiu Jian-jio, ia mengawasi tingkah laku Ui Yong itu dengan mata mendelik dan sangsi.

"Jangan kuatir Kwe-hujin, kita pasti dapat merampas kembali puterimu," seru Bu Sam-thong.

Namun Ui Yong tidak menggubrisnya, kedua tangan tetap terpentang sembari melototi Cu-in, katanya: "Lekas kau cekik mati anak itu! Cekik lehernya yang keras, jangan kendur!"

Wajah Cu-in tampak pucat sebagai mayat, sambil merangkul Kwe Yang dalam pangkuannya, Cu~in berkata dengan tergagap: "Sia...siapa kau?"

Mendadak Ui Yong tertawa ter-kekeh2 terus menubruk maju. Meski tangan kiri Cu in sudah bersiap namun sebegitu jauh tidak berani me-nyerang, ia hanya menggeser kesamping menghindari tubrukan Ui Yong itu, lalu ia tanya pula: Kau... kau siapa?"

"Apakah kau sudah lupa semuanya?" jawab Ui Yong dengan suara seram, "Malam itu di atas istana kerajaan Tayli kau memegang seorang anak... ya, ya, seperti inilah kau memegangnya, bocah itu kau siksa hingga setengah mati, akhirnya jiwanya sukar tertolong pula, dan aku... aku adalah ibu bocah itu, Nah, lekas kau mencekik mampus dia, lekas, kenapa tidak lekas kau lakukan?"

Mendengar sampai di sini, sekujur badan Cu-in lantas menggigil peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu mendadak terbayang olehnya, Tatkala itu dia sengaja melukai putera Lau-kuihui, yaitu selir kesayangan Lam-ie (raja di selatan) Toan Hong-ya, yang kini berjuluk It-teng Taysu, tujuannya supaya Toan Hong-ya mau mengorbankan tenaga dalamnya yang dipupuk selama berpuluh tahun itu untuk menyelamatkan jiwa anaknya (yang sebenarnya adalah hasil hubungan gelap antara Lau-kuihui alias Eng Koh dengan Ciu Pek- thong, si Anak Tua Nakal), namun Toan Hong ya tega benar tidak mau mengobati anak itu sehingga anak itu akhirnya meninggal.

Kemudian beberapa kali Eng Koh bertemu dengan Cu-in dan secara kalap melabraknya, kalau perlu siap untuk gugur bersama. Dalam keadaan begitu, biarpun ilmu silat Cu-in jauh lebih tinggi daripada Eng Koh juga merasa jeri, maklumlah, merasa berdosa, maka tidak berani melawan dan lebih suka kabur saja.

Ui Yong tahu itulah kelemahan terbesar selama hidup Cu-in, dilihatnya cara Cu-in mengawasi Kwe Yang mirip benar kejadian dahulu, maka dia menjatuhkan taruhan terakhir dengan sengaja menyerukan Cu-in mencekik mati Kwe Yang saja.

Tentu saja Bu Sam-thong, Yalu Ce dan Iain2 tidak tahu maksud tujuan Ui Yong, mereka menyangka ketua Kay-pang itu mendadak gila sehingga ucapannya tidak karuan juntrungannya. Padahal tindakan Ui Yong ini sesungguhnya teramat cerdik dan berani, biarpun kaum lelaki juga belum tentu sanggup bertindak demikian. Dia telah mengetahui benar kelemahan musuh, inilah kecerdikannya, iapun berani menyuruh orang mencekik anaknya, inilah keberaniannya yang luar biasa.

Begitulah seketika Cu-in menjadi ragu2 dipandangnya Ui Yong, lalu memandang pula ke arah It-tcng Taysu, kemudian mengamat-amati anak yang dipegangnya itu. Se-konyong2 ia tidak mampu menahan rasa penyesalannya sendiri, tiba2 ia berteriak: "Mati, sudah mati! Ai, anak baik2 begini telah kucekik mati."

Pelahan ia mendekati Ui Yong dan menyodorkan bayi itu sambil berkata pula. "Akulah yang membikin mati anak ini, boleh kau membinasakan diriku sebagai pengganti jiwanya."

Girang Ui Yong tak terhingga, segera ia hendak menerima kembali anaknya, mendadak terdengar It-teng membentak: "Balas membalas, tuntut menuntut, sampai kapan berakhirnya? Golok jagal di tangan, kapan akan kau lemparkan ?"

Cu-in terkejut, pegangannya jadi kendur, Kwe Yang terus terjatuh ke lantai, Namun Ui Yong cukup cekatan sebelum badan anak bayi itu menyentuh lantai, sebelah kakinya tahu2 sudah diayunkan dan tepat mengenai tubuh Kwe Yang hingga mencelat ke sana, berbareng itu Ui Yong lantas berteriak dan ter-kekeh2: "Ah, anak ini telah dibunuh olehmu. Bagus, bagus sekali!"

Padahal tendangannya tadi tampaknya agak keras, namun sesungguhnya cuma punggung kakinya saja yang menjungkit pelahan di punggung ,anak itu terus ditolak ke sana dengan enteng. ia tahu keselamatan anak bayi itu bergantung dalam sedetik itu saja, kalau dia berjongkok menyamber anak itu, bisa jadi pikiran Cu-in mendadak berubah lagi dan meraih kembali si Kwe Yang cilik.

Tubuh Kwe Yang mencelat dengan anteng ke arah Yalu Ce, maka dengan tepat anak muda itu dapat menangkapnya, dilihatnya sepasang biji mata Kwe Yang yang hitam itu terbelalak, mulut terbuka hendak menangis, keadaannya segar bugar tanpa cidera apapun.

Yalu Ce paham sebabnya Ui Yong sengaja mengirim Kwe Yang ke arahnya itu adalah karena watak Kwe Hu suka gegabah, maka sang ibu tidak berani menyuruh menerima bayi itu. Cepat Yalu Ce lantas mendekap mulut Kwe Yang untuk mencegah tangisnya, berbareng iapun ber-teriak2: "Wah, anak ini telah dibinasakan Hwesio ini!"

Muka Cu-in pucat seperti mayat, seketika dia sadar dan bebas, ia memberi hormat kepada lt-teng dan berkata: "Terima kasih banyak2 atas bantuan Suhu!"

It-teng membalas hormat dan menjawab: "Selamatlah engkau telah mencapai kesempurnaan!"

Kedua orang berhadapan dengan tertawa, lalu Cu-in melangkah pergi. Cepat Kiu Jian-jio berseru:



"He, Jiko, kembali..."

Cu-in menoleh dan berkata "Kau suruh aku kembali, aku justeru hendak menyuruh kau kembali juga." Habis itu ia lantas bertindak pergi tanpa berpaling lagi.

"Bagus, bagus!" ber-ulang2 It-teng menyatakan syukurnya, lalu ia mengundurkan diri ke sudut ruangan dan duduk semadi tanpa bicara lagi.

Ui Yong mengikat kembali rambutnya yang kusut tadi, dari Yalu Ce ia terima kembali si Kwe Yang cilik. Cepat Kwe Hu merangkul sang ibu, serunya dengan kejut2 girang: "O, kukira ibu benar-benar telah kurang waras!"

Kemudian Ui Yong mendekati It-teng Taycu dan memberi hormat, katanya: "Taysu, karena kepepet sehingga Siautit terpaksa mengungkat kejadian masa lampau, mohon Taysu sudi memaafkan."

"Yong ji, Yong-ji. kau benar2 Khong Bengnya kaum wanita," ujar It-teng dengan tersenyum.

Di antara hadirin itu hanya Bu Sam-thong saja yang lapat2 mengetahui kejadian dahulu, orang lain sama melongo heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan percakapan It-teng dan Ui Yong.

Bahwa akhirnya menjadi begini, hal inipun di luar dugaan Kiu Jian-jio, ia tahu sekali kakaknya sudah pergi, selanjutnya jelas sukar bertemu lagi, Melihat bayangan Cu-in sudah lenyap, perasaannya menjadi pilu, tapi terasa bimbang dan menyesal pula ketika ingat ucapan Cu-in sebelum pergi tadi:

"Kau suruh aku kembali, justeru akupun hendak menyuruh kau kembali." Jelas ucapan itu bernada memberi nasehat agar lekas menahan diri dan kembali ke jalan yang baik.

Akan tetapi rasa menyesal itu hanya sekilas saja lantas lenyap, dengan angkuh ia lantas berkata: "Silakan kalian duduk saja disini, aku tidak dapat menemani lama2."

"Nanti dulu!" seru Ui Yong tiba2, "Kunjungan kami ini adalah untuk memohon Coat-ceng-tan."

Kiu Jian-jio lantas mengangguk kepada mu-rid-murid berseragam hijau di sebelahnya, serentak anak murid seragam hijau itu bersuit, dari setiap sudut lantas muncul empat orang berseragam hijau dengan membawa jaring ikan berkait dan meng-adang jalan ke luar semua orang.

Dalam pada itu empat pelayan lantas angkat kursi yang diduduki Kiu Jian-jio dan dibawa masuk ke ruangan dalam. Melibat kelihayan barisan jaring berkait itu, diam2 Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 sama terkejut mereka menjadi bingung pula cara bagaimana membobol barisan jaring musuh itu.

Karena sedikit ragu itulah, tahu2 pintu depan dan belakang ruangan pendopo itu berkeriutan dan merapat, semua orang berseragam hijau lantas menyelinap ke luar lebih dulu.

Cepat kedua saudara Bu cilik menerjang keluar dengan pedang terhunus, akan tetapi sudah terlambat "blang", pintu telah merapat, kedua batang pedang Bu Tun-si dan Bu Siu-bun yang sempat diselipkan ke tengah daun pintu itu patah seketika terjepit Tampaknya daun pintu besar itu terbuat dari baja yang kuat.

"Tidak perlu kuatir" cepat Ui Yong mendesis. "Untuk keluar dari sini tidaklah sulit, cuma kita harus memikirkan suatu akal cara bagaimana membobol barisan jaring musuh yang berkait itu dan cara bagaimana mencuri obat untuk menyelamatkan kawan kita."

Sementara itu Kongsun Lik-oh juga ikut sang ibu masuk ke ruangan dalam, di situ ia bertanya tindakan apa pula yang akan dilakukan ibunya, Kiu Jian-jio sendiri merasa sulit dengan perginya sang kakak, namun musuh pembunuh kakak kini berada di depan matanya, betapapun ia tidak dapat tinggal diam.

Maka setelah berpikir, kemudian ia berkata kepada Lik-oh: "Coba kau pergi ke sana, awasi apa yang dilakukan Nyo Ko dan ketiga anak dara itu."

Perintah sang ibu sesuai benar dengan keinginan Lik-oh, segera ia mengangguk dan berlari ke rumah garangan itu. Sampai di tengah jalan, tiba2 didengarnya ada suara orang bicara di depan sana, jelas itulah suaranya Nyo Ko, menyusul terdengar suara jawaban Siao-liong-li dan lapat2 seperti menyebut "nona Kongsun."

Waktu itu hari sudah gelap, cepat Lik-oh menyelinap ke semak pohon, ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua muda-mudi itu mengenai dirinya.

Dengan langkah pelahan ia lantas merunduk maju, dilihatnya Nyo Ko dan Siao-liong li berdiri berendeng di sana, terdengar Nyo Ko lagi berkata:

"Kau bilang kita harus berterima kasih kepada nona Kongsun, kukira memang betul, Semoga paderi sakti ini lekas siuman, permusuhan ini selekasnya dapat diakhiri sisa racun dapat dibasmi seluruhnya, bukankah bagus begitu?... Aduuh!" jeritan mengaduh secara mendadak ini membikin. Lik-oh kaget karena tidak diketahui apa yang mengakibatkan Nyo Ko menjerit. ia coba mengintip dari tempat sembunyinya, samar2 dilihatnya Nyo Ko tergeletak di tanah dan Siao-liong-li sedang memegangi lengannya.

Bagian punggung Nyo Ko seperti berkejang dan tampaknya sangat sakit Terdengar Siao-liong-li bertanya padanya: "Apakah racun bunga cinta kambuh lagi?"

"Iy.. .. iyaa . . .." sahut Nyo Ko dengan gigi berkeretukan.

"Pedih hati Kongsun Lik- oh dan kasihan pula melihat penderitaan Nyo Ko itu, pikirnya: "Dia sudah minum separoh Coat-ceng tan, kalau separoh-nya dimakan lagi tentu racunnya akan punah, separoh obat yang tersisa itu betapapun harus ku-mintakan kepada ibu."


Selang sejenak, pelahan Nyo Ko berbangkit dan menghela napas panjang.

"Ko-ji, kumatnya penyakitmu semakin kerap dan jaraknya juga semakin pendek, malahan kelihatan juga tambah parah." kata Siao-liong-li. "Padahal harus sehari lagi barulah paderi Hindu itu akan siuman, seumpama dia dapat meracik obat penawarnya rasanya juga tidak.... tidak mengurangi penderitaanmu ini."

Sebenarnya dia hendak mengatakan "juga tidak keburu lagi menolong kau", tapi akhirnya ia ubah ucapannya itu.

Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab "Nenek Kongsun itu sangat kepala batu, obat penawarnya juga tersimpan dengan rapat, kalau dia tidak suka-rela mau memberikan obatnya padaku, biarpun senjata mengancam di lehernya juga belum tentu dia mau menyerah dan memberikan obatnya."

"Aku mempunyai akal," ujar Siao-liong-li.

Nyo Ko sudah dapat meraba jalan pikiran isterinya itu, katanya: "Liong-ji, jangan lagi kau mengemukakan kehendakmu ini. Kita suami-isteri saling mencintai dengan segenap jiwa raga, kita akan bersyukur kalau kita dapat hidup sampai kakek-kakek dan nenek2, kalau tidak dapat, ya anggaplah memang sudah takdir, di antara kita berdua sekali2 tidak boleh diselingi dengan orang ketiga."

Dengan suara terguguk Siao-Iiong li berkata:

"Tapi... tapi nona Kongsun itu kulihat pribadinya sangat baik, hendaklah kau menurut perkataanku."

Tergerak hati Kongsun Lik-oh mendengar percakapan mereka itu, ia tahu Siao-liong-li sedang menganjurkan Nyo Ko menikahi dirinya untuk mendapatkan obat penawar.

Segera terdengar Nyo Ko berseru lantang: "Liong ji, nona Kongsun itu memang orang baik. sesungguhnya di dunia ini memang banyak nona2 yang baik, Misalnya itu nona Thia Eng, nona Liok Bu-siang, semuanya juga gadis yang baik budi dari setia kawan. Namun kita berdua sudah saling cinta mencintai mana boleh timbul lagi pikiran lain.



Umpamanya kau sendiri, jika ada seorang lelaki yang sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhmu dengan syarat kau harus menjadi istrinya, apakah kau juga mau?"

"Aku kan perempuan, sudah tentu lain soal-nya," jawab Siao-liong-li.

"Hah, orang lain berat lelaki dan enteng perempuan, aku Nyo Ko justeru berat perempuan dan enteng lelaki," kata Nyo Ko dengan tertawa.

Sampai di sini, tiba2 terdengar suara kresekan di semak pohon sana, cepat Nyo Ko berseru: "Siapa itu?" Lik-oh tahu jejaknya telah diketahui orang, baru saja mau menjawab, tiba2 suara seorang lain menjawab: "Aku, ToloI!"

Menyusul Liok Bu siang dan Thia Eng lantas muncul dari semak2 pohon sana. Kiranya tidak cuma Kongsun Lik-oh saja yang mengintip di situ, Bu-siang dan Thia Eng juga berada di dekatan sana, Kesempatan itu segera digunakan Lik-oh untuk menyingkir pikirannya lantas bergolak juga tak menentu: "Jangankan berbanding nona Liong, meskipun nona2 Liok dan Thia saja juga sukar bagiku untuk menandinginya, baik ilmu silat maupun lahiriah, apalagi bicara mengenai hubungan baiknya dengan Nyo-kongcu.

Sejak kenal Nyo Ko, tanpa kuasa Kongsun Lik-oh kesemsem kepada pemuda itu, meski sejak mula iapun mengetahui Nyo Ko sangat mencintai Siao~liong-li, tapi selalu diharapkannya semoga dapat bertemu sekali lagi dengan dia, sebab itulah ia terus menanti di Coat-ceng-kok, kini setelah mendengar percakapan mereka, ia menjadi lebih tahu bahwa cinta dirinya cuma bertepuk sebelah tangan saja dan tidak mungkin terkabul

Kedua orang tuanya adalah manusia2 yang culas dan sukar bergaul dengan orang luar, sebab itulah sejak kecil Kongsun Lik-oh menjadi sangat pendiam dan tersiksa batin, kini hancur pula segala harapannya, ia bertekad takkan hidup lagi, dengan langkah limbung ia lantas berjalan ke sana.

Dengan pikiran melayang, jalannya menjadi tanpa arah tujuan dan tidak menyadari dirinya berada di mana, cuma dia cukup apal jalanan sekitar situ, maka biarpun di malam gelap juga tidak sampai terperosot ke jurang atau jatuh-ke sungai, suatu suara se-akan2 mengiang dalam benaknya:

"Aku tak ingin hidup lagi, aku tidak ingin hidup lagi!"

Begitulah ia terus berjalan tanpa tujuan, entah sudah berapa Iama, tiba2 didengarnya dibalik dinding karang sebelah sana sayup2 ada suara orang sedang bicara. Waktu ia memperhatikan keadaan setempat lebih cermat ia terkejut.

Kiranya dalam keadaan ling-lung, tanpa terasa ia teIah berada di suatu tempat di sebelah barat lembah yang jarang dikunjungi manusia. Waktu ia menengadah tertampak sebuah puncak gunung menjulang tinggi di depan itulah Coat-ceng-hong (puncak putus tinta) yang sangat curam di lembah ini.

Pada pinggang Coat-ceng-hong itu adalah suatu tebing yang menyerupai dinding dan entah-sejak kapan ada orang mengukir tiga huruf besar di situ, bunyinya "Toan-jong-kah" (tebing putus usus), tebing itu halus licin dan selalu dikelilingi awan dan kabut, sekalipun burung juga sukar hinggap di puncak gunung itu.

Di bawah puncak gunung itu adalah jurang yang tak terperikan dalamnya dengan tumbuhan yang lebat walaupun pemandangan alam di situ sangat indah permai, namun karena curamnya dan mungkin akan terjerumus ke dalam jurang jika kurang hati2, maka penduduk setempat jarang yang datang ke situ, sekalipun anak buah Kongsun Ci yang memiliki ilmu silat tinggi juga jarang menginjak tempat itu. Tapi sekarang ternyata ada orang bicara disitu, entah siapa gerangannya?

Selain ingin mati saja memangnya Kongsun Lik-oh tidak mempunyai kehendak lain lagi, Tapi sekarang timbul rasa ingin tahunya, segera ia menempel di belakang batu karang dan coba mendengarkan dengan cermat.

Tapi setelah mengenali suara orang yang bicara, hatinya lantas berdebar Kiranya pembicara itu ialah ayahnya.

Meski ayahnya berbuat salah terhadap ibunya dan juga tidak sayang padanya, namun ibunya sudah membutakan sebelah mata ayahnya dengan sempritan biji kurma serta telah mengusirnya pergi dari Coat-ceng-kok, betapapun Lik,-oh masih menaruh belas kasihan seorang anak terhadap ayahnya, ia menjadi heran setelah mendengar suara sang ayah, ternyata ayahnya tidak meninggalkan Coat~ceng~ kok melainkan masih sembunyi di tempat yang jarang didatangi manusia.

Terdengar ayahnya sedang betkata: "Matamu diciderai oleh si bangsat cilik Nyo Ko, mataku juga buta juga boleh dikatakan akibat perbuatan bangsat cilik itu, jadi kita boleh dikatakan se... senasib dan setanggungan, hehehe!" Meski ia terkekeh, namun orang yang diajak bicara itu ternyata tidak menanggapinya.

Lik-oh menjadi heran siapakah gerangan yang diajak bicara sang ayah itu? seketika iapun tidak ingin siapakah yang matanya pernah diciderai Nyo Ko, sedangkan nada ucapan sang ayah kedengaran rada2 bangor, apakah lawan bicaranya itu adalah seorang perempuan?

Di dengar nya Kongsun Ci berkata pula: "Kita bertemu di sini juga boleh dikatakan ada jodoh, bukan saja senasib dan setanggungan". bahkan juga... juga sama2 bermata... bermata..."

"Huh, kau mentertawakan aku ini buruk rupa bukan?" tiba2 seorang perempuan mendamperat.

"O,walah, janganlah kau marah, bukan begitu maksudku." jawab Kongsun Ci cepat "Aku justru sangat senang bertemu dengan kau."

"Aku telah terluka oleh bunga cinta dan kau sama sekali tidak menghiraukan, malahan kau menggodai diriku saja," omel pula perempuan itu.

Baru sekarang Kongsun Lik-oh ingat siapa orang ini, Kiranya adalah Li Bok-chiu, iapun heran bahwa mata Li Bok-chiu katanya juga diciderai oleh Nyo Ko.

Memang betul lawan bicara Kongsun Ci itu ialah Li Bok-chiu, dia terkena racun bunga cinta dan ingin mendapatkan obat penawarnya, tapi jalanan di Coat-ceng-kok berliku-liku dan ruwet, dia kesasar kian kemari dan akhirnya sampai di tebing curam itu dan kebetulan mempergoki Kongsun Ci juga sembunyi disitu.

Dengan sembunyi disitu Kongsun Ci sedang menunggu kesempatan agar dapat membunuh Kiu Jian-jio untuk merebut kembali kedudukan Kokcu, sedangkan kedatangan Li Bok-chiu ke situ hanya kebetulan.

Keduanya pernah bergebrak dan sama2 tahu lihaynya masing2, maka pertemuan ini lantas menimbulkan pikiran yang sama pula akan bergabung untuk tujuan bersama, setelah bicara sebentar ternyata kedua orang merasa cocok satu sama lain.

Usia Li Bok-chiu sebenarnya tidak muda lagi, tapi sejak kecil dia berlatih Lwekang sehingga wajahnya masih halus dan cantik. Kongsun Ci telah gagal mengawini Siao-liong-li, kemudian gagal pula menculik Wanyan Peng, kini bertemu dengan Li Bok-chiu, kembali timbul pikirannya:

"Setelah kubunuh perempuan jahat she Kiu itu, biarlah kunikahi nona ini saja, Baik wajahnya maupun ilmu silatnya adalah kelas pilihan, meski buta sebelah, tapi sangat setimpal menjadi jodohku."

Tak tahunya bahwa jiwa Li Bok-chiu yang jahat itu ternyata juga disertai cinta yang suci, sebabnya dia banyak berbuat kejahatan juga akibat gagalnya percintaan. Kini didengarnya cara bicara Kongsun Ci semakin tidak senonoh, diam2 ia menjadi marah. Tapi mengingat masih perlu mendapatkan obat penawar, terpaksa ia melayani percakapan orang sekadarnya.



Begitulah Kongsun Ci lantas berkata pula: "Aku adalah Kokcu di sini, cara membuat obat penawar bunga cinta tiada diketahui orang lain kecuali diriku ini. Cuma membuatnya memerlukan waktu, air di tempat jauh tak dapat memadamkan api di dekat sini. Untung obat itu masih tersisa satu biji di tempat kediamanku, tapi sekarang dikangkangi perempuan jahat itu, terpaksa kita harus membinasakan dia, habis itu apapun juga adalah milikmu."

Kalimat ucapannya yang terakhir itu mengandung makna berganda, artinya tidak cuma obat penawarnya saja akan Kuberikan padamu, bahkan kedudukan nyonya rumah Coat-ceng-kok inipun akan menjadi bagianmu.

Bahwa di dunia ini hanya Kongsun Ci sendiri saja yang tahu cara membuat obat penawar, hal ini memang tidak salah, Bahkan resep obat itu hanya dari ayah diturunkan kepada anak dan tak mungkin diajarkan kepada orang luar, sekalipun Kiu Jian-jio juga tidak tahu tentang resep obat itu, dia menyangka obat itu adalah simpanan dari leluhur keluarga Kongsun dan tidak tahu kalau Kongsun Ci masih menyimpan resepnya, sebaliknya mengenai sisa obat yang tinggal setengah biji pada Kiu Jian-jio itu Kongsun Ci juga tidak tahu, disangkanya masih satu biji.

Begitulah Li Bok-chiu menjadi ragu2, katanya kemudian: "Jika begitu kan percuma saja omonganmu ini. Obat penawar berada di tangan isterimu dan isteri mu telah menjadi musuhmu, umpamanya tidak sulit bagimu untuk membunuhnya tapi cara bagaimana kau dapat memperoleh obatnya?"

Kongsun Ci terdiam sejenak, lalu berkata: "Li-sumoay, baru kenal kita lantas cocok, demi menolongmu biar mati bagiku juga tidak sayang"

"Wah, aku harus berterima kasih padamu," ujar Li Bok-chiu hambar.

"Aku mempunyai akal untuk rebut obat dari tangan perempuan jahat itu," kata Kongsun Ci pula. "Cuma ku harap engkau menyanggupi suatu permintaanku."

Dengan tegas Li Bok-chiu menjawab: "Selama mengembara kian kemari di Kangouw, belum pernah kuterima ancaman orang dengan persyaratan apapun juga tidak menjadi soal. Aku Li Bok-chiu bukanlah manusia yang sudi mohon belas kasihan orang lain."

"Ah, Li-sumoay salah memahami maksudku." cepat Kongsun Ci menjelaskan "maksudku hanya sekedar berbuat sesuatu bagimu, mana aku berani mengancam segala, Cuma untuk rebut obat itu rasanya harus mengorbankan jiwa puteri kandungku sebab itulah mungkin ucapanku menjadi rada kaku."

Tergetar hati Kongsun Lik-oh mendengar kalimat "harus mengorbankan jiwa puteri kandungku!"

Li Bok-chiu juga merasa heran, ia menegas: "Memangnya obat penawar itu berada di tangan puterimu?"

"Tidak, biarlah kukatakan terus terang padamu," jawab Kongsun Ci "Watak perempuan jahat itu teramat keras dan pemberang, obat penawar itu tentu disimpannya di tempat yang dirahasiakan untuk memaksa dia menyerahkan obatnya jelas sukar, jalan satu2nya harus dipancing dengan akal. Terhadap siapapun dia tidak kenalampun, hanya puteri satunya itu masih dapat mempengaruhi pikirannya.

Maka nanti akan kupancing puteriku si Lik-oh kesini dan mendadak kau menawannya serta dilemparkan ke semak2 bunga cinta. Dengan begitu terpaksa perempuan jahat itu harus mengeluarkan obat untuk menolong jiwa puterinya, kesempatan itu lantas kita gunakan untuk rebut obatnya."

Sejenak kemudian ia menambahkan pula: "Cuma sayang obat ku hanya sisa satu biji saja, kalau sudah diberikan padamu berarti jiwa puteriku itupun takkan tertolong." ~ Berkata sampai di sini tiba2 suaranya menjadi parau dan mengucurkan air mata.

"Demi menyelamatkan jiwaku harus mengorbankan puterimu, kukira urusan ini batalkan saja" kata Li Bok-chiu.

"Tidak, tidak, meski aku sayang mengorbankan dia, tapi aku lebih2 berat kehilangan kau," kata Kongsun Ci cepat.

Li Bok-chiu terdiam, ia merasa selain cara yang di usulkan Kongsun Ci ini memang tiada jalan lain lagi.

"Kita tunggu saja di sini, lewat tengah malam nanti akan kupanggil puteriku keluar, betapapun pintarnya tentu dia takkan menduga akan tipu muslihat ayahnya ini," kata Kongsun Ci pula.

Percakapan mereka itu dengan jelas dapat didengar oleh Kongsun Lik-oh, makin mendengar makin takut hatinya. Tempo hari Kongsun Ci telah menjebloskan dia dan Nyo Ko ke kolam buaya, maka dia sudah tahu sang ayah sama sekali tidak mempunyai kasih sayang kepada puterinya sendiri, sekarang secara licik malah berkomplot dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya untuk mencelakai puterinya sendiri, betapa keji hatinya sungguh melebihi binatang.

Memangnya Lik-oh sudah putus asa dan tidak ingin hidup lagi, tapi demi mendengar muslihat keji yang sedang direncanakan kedua orang itu, dengan sendirinya timbul pikirannya untuk melarikan diri. Untunglah sekitarnya batu karang belaka, pelahan2 ia lantas melangkah mundur di bawah aling-batu karang sesudah agak jauh barulah ia mempercepat tindakannya.

Sesudah jauh meninggalkan Coat-ceng hong, ia tahu tidak lama lagi ayahnya akan datang mencarinya, maka ia tak berani pulang ke kamarnya, duduk dengan sedih di atas batu karang, bulan sabit mengintip di tengah cakrawala, angin malam meniup sepoi2, ia merasa hampa dan hdup ini sama sekali tidak ada artinya, Gumamya sendiri:

"Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, mengapa engkau merencanakan akal keji itu untuk mencelakai diriku? Baiklah, jika kau ingin membunuh diriku boleh bunuh saja. Tapi aneh juga buat apa aku melarikan diri?"

Se-konyong2 terkilas suatu pikiran dalam benak nya : "Meski keji sekali rencana ayah ini, tapi akalnya ini juga sangat bagus, Aku memang sudah bertekad akan membunuh dri, mengapa tidak kugunakan akal ini untuk menipu obat dari tangan ibu untuk menyelamatkan jiwa Nyo-toako? jika mereka suami-isteri dapat diselamatkan dan hidup bahagia betapapun mereka pasti akan berterima kasih kepadaku si nona yang mencintai dia dengan setulus hati dan bernasib malang ini."

Berpikir sampai di sini ia menjadi girang dan berduka pula, tapi semangatnya lantas terbangkit, ia coba memandang sekelilingnya untuk mengetahui lebih jelas dirinya berada di mana, lalu ia melangkah menuju ke kamar tidur sang ibu.

Ketika lewat di semak2 bunga cinta, dengan hati2 ia memetik dua tangkai besar bunga itu dan di-bungkus dengan ikat pinggang agar duri bunga cinta tidak mencocok tangannya. Setiba di luar kamar ibunya dengan suara pelahan ia memanggil : "lbu, apakah engkau sudah tidur?"

"Ada urusan apa, anak Oh?" jawab Kiu Jian-jio di dalam kamarnya.

"lbu, o, ibu, aku... aku telah luka tercocok duri bunga cinta," seru Lik-oh dengan suara tergagap sambil merangkul tangkai bunga yang dibawanya itu.



Tanpa ampun lagi beribu2 duri bunga itu tercocok ke dalam kulit dagingnya. Keruan sakitnya tidak kepalang, sekuatnya dia bertahan dan melepaskan ikat pinggang yang membungkus tangkai bunga itu, lalu memanggil lagi: "O, ibu! Ibu!"

Kiu Jian-jio terkejut mendengar suara keluhan Lik-oh itu, cepat ia menyuruh pelayan membuka kamar dan memayang Lik-oh ke dalam.

"Ditubuhku masih ada duri bunga, kalian jangan mendekat," seru Lik-oh.

Kedua pelayan menjadi kaget dan membiarkan Lik-oh masuk sendiri ke dalam kamar Kiu Jian-jio terkejut juga melihat wajah Lik-oh yang pucat, badan gemetar dan dua tangkai bunga bergantungan di dadanya, cepat ia tanyai "Kenapa kau?",

"Ayah... ayah..." seru Lik-oh terputus-putus, ia tahu sinar mata sang ibu sangat lihay maka ia menunduk dan tak berani beradu pandang.

"Kau masih memanggilnya ayah? Memangnya kenapa bangsat tua itu?" kata Kiu Jian~jio dengan gusar.

"Dia .dia..."

"Coba angkat kepalamu," bentak Kiu Jian-jio.

Waktu Lik-oh angkat kepalanya dan melihat sorot mata ibunya yang kereng itu, tanpa terasa ia bergidik. Katanya dengan tergagap: "Tanpa sengaja kupergoki....kupergoki dia sedang bicara dengan....dengan To-koh cantik yang siang tadi mengacau ke sini itu, kudengar... kudengar..." sampai di sini ia menjadi ragu2 untuk meneruskan, maklumlah dia tak pernah berdusta, kuatir isi hatinya diketahui sang ibu, kembali ia menunduk lagi.

"Apa yang dibicarakan mereka?" Kiu Jian-jio menegas dengan tak sabar.

"Katanya mereka se.... senasib dan setanggungan, sama2...sama2 bermata satu dan... dan sebab itupun matanya buta sebelah. Mereka... mereka sama memaki ibu sebagai... sebagai perempuan jahat dan macam2 lagi, sungguh anak sangat... sangat gemas." sampai di sini ia lantas menangis terguguk.

"Jangan menangis," kata Kiu Jian jio dengar gregetan." Kemudian apa lagi yang mereka katakan?"

"Tanpa sengaja anak menerbitkan suara sedikit dan diketahui mereka," tutur LiK-oh lebih lanjut "To-koh.... To-koh itu lantas menangkap diriku dan didorong ke semak bunga cinta."

Merasa suara Lik-oh itu rada kurang mantap, segera Kio Jian-jio membentak: "Tidak benar, kau berdusta? sesungguhnya bagaimana? jangan kau membohongi aku."

Lik-oh berkeringat dingin, cepat ia menjawab: "Anak tidak berdusta, bukankah tubuhku ini ter-cocok oleh dini bunga?"

"Nada ucapanmu tidak tepat, sejak kecil kaupun begini bicaranya dan tak dapat berdusta, masakah ibumu tidak kenal watakmu?"

Seketika tergerak pikiran Lik-oh, dengan nekat ia berkata pula: "Ya ibu, memang benar aku telah berdusta padamu, Yang betul ayahlah yang mendorong diriku ke semak2 bunga, dia marah padaku, katanya aku mengeloni engkau, membantu kau melawan dia. Katanya aku lebih condong kepada ibu dan tidak sayang kepada ayah."

Sebenarnya kata2 ini hanya karangan Lik-oh sendiri, namun Kiu Jian-jio sudah kadung sangat benci pada suaminya, ucapan Lik-oh itu masuk diakal atau tidak bukan soal baginya, yang penting adalah hal ini dengan jitu mengenai lubuk hatinya. cepat ia pegang tangan anak perempuannya dan menghiburnya: "Jangan susah anak Oh, biarlah ibu nanti melayani bangsat tua itu dan pasti akan melampiaskan dendam kita ini."

Lalu ia menyuruh pe layan mengambilkan gunting dan capitan untuk membuang tangkai bunga serta mengeluarkan duri2 kecil yang masih melekat di tubuh Lik-oh itu.

"lbu, anak sekali ini pasti takkan hidup Iagi." kata Lik-oh dengan menangis sedih.

"Jangan." ujar Kiu Jian-jio, "Kita masih menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan dan untung belum diberikan kepada bangsat cilik she Nyo yang tidak berbudi itu, setelah kau minum setengah biji obat ini, meski racun bunga tak dapat ditawarkan seluruhnya, asalkan selanjutnya kau mendampingi ibumu dengan prihatin dan tidak gubris lelaki busuk manapun juga, jangan sekali2 memikirkan mereka, maka selamanya kaupun takkan menderita apa2"

Kiu Jian-jio sudah sakit hati kepada suaminya, Nyo Ko juga tidak mau menjadi menantunya, sebab itulah dia membenci setiap lelaki, kalau puterinya tidak menikah selama hidup akan kebetulan baginya malah.

Lik oh mengerut kening dan tidak menanggapi Maka Kiu Jian-jio lantas bertanya pula: "Sekarang bangsat tua dan To-koh itu berada di mana?"

"Waktu anak merangkak keluar dari semak bunga, lalu lari ke sini tanpa menoleh, bisa jadi mereka masih berada di sana," kata Lik-oh.

Diam2 Kiu Jian-jio memperkirakan Kongsun Ci pasti akan dalang merebut Coat-ceng-kok setelah mendapatkan - bala bantuan Li Bok-chiu.

Anak murid di lembah ini sebagian besar juga orang kepercayaannya, kalau keadaan mendesak mungkin anak muridnya akan berpihak pula kepada Kong-sun Ci, sedangkan dirinya sendiri lumpuh, yang lihay dan diandalkan cuma senjata rahasianya melulu, yakni biji kurma.

Akan tetapi kalau Kongsun Ci sudah siap siaga, mungkin semprotan biji kurma sukar lagi melukai dia, kalau dia membawa perisai, malahan senjata rahasia sendiri akan mati kutu dan tak dapat berbuat apapun juga.

Melihat ibunya termenung dengan sinar mata berkilau, Lik oh menyangka orang itu sedang me-nimbang ucapannya tadi benar atau tidak, kuatir ditanyai pula sehingga rahasianya terbongkar maka selain dirinya akan tersiksa, usahanya untuk Nyo Ko juga akan sia2 belaka. Teringat kepada Nyo Ko, seketika dadanya menjadi sakit, racun bunga cinta lantas bekerja, tanpa terasa ia menjerit.

Cepat Kiu Jian-jio membelai rambutnya dan berkata: "Baiklah, mari kita pergi mengambil Coat~ ceng tan." - Segera ia tepuk tangan, empat pelayan lantas menggotongnya dengan kursi keluar kamar.

Sejak perginya Nyo Ko, selama itu Lik-oh ingin sekali mengetahui di mana ibunya menyimpan setengah biji Coat-ceng tan. Menurut dugaannya ibunya yang lumpuh dan tidak leluasa gerak-geriknya itu tentu tidak mungkin menyimpan obat itu di tempat2 yang sukar didatangi besar kemungkinan disimpan di dalam rumah.

Cuma menurut pengamatan-nya selama belasan hari ini, rasanya semua tempat sudah pernah ditelitinya dan ternyata tiada sesuatu tanda yang dapat ditemukan Maka ia menjadi heran ketika mendengar ibunya memerintahkan pelayan membawanya ke ruangan pendopo.

Padahal ruangan besar itu adalah tempat yang terbuka dan sukar menyembunyikan sesuatu, apalagi sekarang musuh tangguh sama berkumpul di sana dan tujuan merekapun justeru ingin mendapatkan setengah obat biji itu, apakah mungkin obat itu sengaja ditaruh di depan mata musuh dan membiarkan mereka mengambilnya begitu saja?



Sementara itu pintu muka- belakang ruangan pendopo itu tertutup rapat dan dijaga oleh anak murid berseragam hijau dengan jaring berkait, melihat datangnya Kiu Jian-jio, serentak mereka memberi hormat.

Murid yang menjadi pemimpin barisan lantas berkata: "Musuh tidak kelihatan bergerak, agaknya mereka sudah mati kutu dan segera dapat ditawan."

Kiu Jian-jio mendengus saja dan anggap ucapan anak buahnya itu terlalu gegabah, musuh2 tangguh yang terkurung di dalam ruangan itu adalah tokoh2 kelas tinggi, mana mungkin mereka menyerah begitu saja untuk ditawan. Segera ia memerintahkan pintu dibuka, ber-bondong2 rombongan Kiu Jian-jio lantas masuk ke dalam dilindungi dengan dua barisan jaring berkait di kanan-kiri, Terlihatlah It-teng Taysu, Ui Yong, Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 sama berduduk di pojok ruangan sana sedang bersemadi.

Setelah, kursinya diturunkan Kiu Jian-jio berseru. "Kecuali Ui Yong dan anak2nya bertiga, yang lain takkan kuusut kesalahannya mereka yang telah berani menerobos ke lembah ini. Nah, kalian boleh pergi saja."

"Kiu-kokcu," kata Ui Yong dengan tersenyum. "Engkau sendiri sedang terancam bencana, engkau tidak lekas mencari jalan untuk menyelamatkan diri, tapi malah beromong besar, sungguh lucu."

Kiu Jian-jio terkesiap, ia heran darimana Ui Yong mengetahui dirinya sedang terancam bahaya? Apakah bangsat tua itu sudah pulang lagi ke sini dan diketahui olehnya? Namun dia tenang2 saja dan menjawab: "Ada bencana atau ada rejeki sukarlah diketahui sebelum tiba saatnya, Apalagi diriku sudah cacat begini. kenapa aku harus takut kepada bencana apapun juga?"

Padahal Ui Yong tidak tahu tentang halnya Kongsun Ci, hanya dari gerak - gerik dan air muka Kiu Jian-jio dapat dilihatnya ada sesuatu urusan genting yang sedang dihadapinya, maka ia menduga di lembah ini pasti sedang terjadi keributan apa2.

Bantahan Kiu Jian-jio itu semakin memperkuat dugaan itu, segera ia berkata pula: "Kiu-kokcu, kakakmu meninggal karena terperosot sendiri ke jurang ketika dia menunggang rajawali piaraanku dan sama sekali bukan aku yang membunuhnya, Kalau kau tetap dendam mengenai soal ini, baiklah aku akan menerima batas dendammu, silakan kau menimpuk diriku dengan tiga biji kurma dan sama sekali aku takkan menghindar. Cuma setelah seranganmu nanti, apakah aku akan mati atau tetap hidup, kau harus berjanji akan memberikan obat penawar untuk menyembuhkan Nyo Ko. jika beruntung aku tidak mati,maka bereslah segala urusan, andaikan mati, maka kawan2 yang hadir di sini juga takkan menyesal dan dendam, mereka tetap akan membantu kau mengatasi kesukaranmu untuk menghadapi musuh dari dalam. Nah, bagaimana usulku ini, kau terima atau tidak?"

Syarat yang dikemukakan Ui Yong ini boleh dikatakan sangat menguntungkan Kiu Jian jio. Maklumlah, selain senjata rahasia biji kurma yang diandalkan itu, sesungguhnya Kiu Jian-jio tidak mempunyai kemampuan lain untuk menghadapi musuh, sedangkan "musuh dari dalam" yang dikatakan Ui Yong lebih2 kena di hatinya. Maka ia lantas menjawab "Sebagai ketua Kay-pang. tentu ucapanmu dapat dipercaya, jadi kau rela kuserang dengan tiga biji kurma tanpa mengelak dan menghindar serta tidak akan menangkisnya dengan senjata, begitu bukan?"

Belum lagi Ui Yong menjawab, cepat Kwe Hu menyela: "lbuku cuma menyatakan takkan mengelak dan menghindar tapi tidak mengatakan takkan menangkis dengan senjata."

Namun Ui Yong lantas menyambung dengan tersenyum: "Agar Kiu-kokcu dapat melampiaskan rasa dendamnya, biarlah akupun takkan menangkis dengan senjata." .

"Mana boleh jadi, ibu!" seru Kwe Hu. Rupa-nya dia benar2 telah merasakan betapa lihaynya semprotan biji kurma nenek itu ketika pedangnya disemprot patah tadi. Kalau ibunya benar2 tidak mengelak dan tidak menghindar tubuhnya yang terdiri dari kulit-daging itu masa sanggup menahannya.

Namun Ui Yong menganggap Nyo Ko besar jasanya bagi keluarga Kwe, kini anak muda itu keracunan dan sukar disembuhkan, kalau tidak berdaya agar nenek she Kiu ini menyerahkan obat penawarnya, selama hidup keluarga Kwe berarti tetap utang budi kepada Nyo Ko.

Sudah tentu biji kurma si nenek ini senjata rahasia maha lihay di dunia ini, jelas sangat berbahaya jika membiarkan tubuh sendiri diserang tiga kali, sedikit meleng saja jiwa pasti melayang, Tapi kalau tidak menyerempet bahaya, cara bagaimana nenek ini mau memberikan obatnya?

Perlu diketahui bahwa ketika Ui Yong mengemukakan usulnya itu sebelumnya dia sudah menimbang dengan masak2 keadaan Kiu Jian-jio serta sifat2nya, selain harus melenyapkan dendam kesumat nenek itu, diberi janji lagi akan bantu dia mengatasi ancaman bahaya dari dalam, sedangkan serangan tiga biji kurma adalah ilmu khas satu2nya yang bisa digunakannya membinasakan lawan, sekalipun Kiu Jian-jio sendiri juga tidak dapat mengemukakan cara yang lebih baik daripada usul Ui Yong ini.

Tapi dasar Kiu jian-jio memang suka curiga, ia merasa tawaran Ui Yong ini teramat menguntungkan pihaknya dan rasanya tidak masuk akal, maka dengan suara parau ia menegas: "Kau adalah musuhku, tapi kau kuserang dengan tiga biji kurma, sebenarnya tipu muslihat apa dibalik usulmu ini?"

Ui Yong sengaja mendekati dan membisiki: "Di sini banyak orang, mungkin tidak sedikit orang yang bermaksud jahat padamu, betapapun kau harus ber-jaga2."

Tanpa terasa Kiu Jian-jio mengerling anak buahnya, ia pikir orang2 ini memang sebagian besar adalah orangnya tua bangka Kongsun Ci dan harus waspada terhadap kemungkinan. Karena itu iapun mengangguk atas bisikan Ui Yong itu.

Lalu Ui Yong mendesis lagi: "Sebentar lagi lawanmu pasti akan turun tangan, aku sendiripun menyadari berada di tempat yang berbahaya, karena itu sengketa kita harus cepat diselesaikan tak perduli diriku akan mati atau hidup yang terang nanti be ramai2 kita dapat menghadapi musuh bersama. Selain itu si Nyo Ko telah banyak menanam budi padaku, sekalipun jiwaku melayang baginya juga harus kudapatkan Coat-ceng-tan. Orang hidup harus tahu membalas budi, kalau tidak, lalu apa bedanya antara manusia dan binatang?"

Habis berkata ia terus melangkah mundur kembali dan mengawasi gerak-gerik Kiu Jian-jio.

Betapapun tipis budi Kiu Jian jio, namun ucapan Nyo Ko tentang "manusia yang tidak tahu balas budi tiada bedanya seperti binatang" mau-tak-mau menyentuh juga hati nuraninya, pikirnya: "Memang benar juga, kalau saja aku tidak ditolong si Nyo Ko itu, saat ini aku pasti masih terasing dan tersiksa di kolam buaya di bawah tanah itu.

Tapi pikiran itu hanya timbul sekilas saja lantas lenyap pula, serentak timbul lagi pikiran jahatnya, katanya dengan dingin: "Hm, betapapun kau putar lidah juga takkan mampu mempengaruhi hati nenekmu yang yang sekeras baja ini. Hayolah mulai kau menyingkir duIu, dia harus rasakan tiga biji buah kurmaku."

"Baiklah, akan kuterima seranganmu tiga kali, matipun aku tidak menyesal," kata Ui Yong sambil menggeser ke tengah ruangan dan berjarak sepuluh meter dari Kiu Jian-jio? "Nah, silahkan mulai!"

Meski Bu Sam-thong dan lain2 cukup kenal kepintaran Ui Yong banyak tipu akalnya, tapi betapa lihaynya senjata rahasia Kiu Jian-jio juga telah mereka saksikan sendiri. Kini tanpa senjata Ui Yong hanya berdiri menunggu serangan saja betapa hal ini membuat mereka ikut kebat~kebit.

Yang paling kuatir adalah Kwe Hu, ia coba menarik lengan baju sang ibu dan membisikinya: "lbu, kita cari suatu tempat sepi dan engkau dapat memakai kaos kutang duri landak yang kupakai ini, dengan demikian tentu takkan takut lagi kepada senjata rahasia musuh."

"Jangan kuatir, boleh kau saksikan kelihayan ibumu nanti," ujar Ui Yong dengan tersenyum.

"Awas...." mendadak Kiu Jian-jio membentak belum lenyap suaranya, secepat kilat satu biji kurma telah menyamber ke perut Ui Yong.

Biji buah kurma itu sangat kecil, akan tetapi daya sambernya begitu keras dan membawa suara mendenging. Kontan Ui Yong menjerit satu kali sambil memegangi perutnya dan setengah menungging.

Keruan Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain2nya terkejut, sebelum mereka sempat bertindak, suara mendenging berbangkit puIa, biji kurma kedua telah menyamber ke dada Ui Yong, Kembali Ui Yong menjerit dan mundur beberapa tindak dengan terhuyung se-akan2 roboh.

Melihat Ui Yong benar2 menepati janji dan tidak berkelit serta menghindar kedua biji kurma yang disemburkan juga tepat mengenai bagian mematikan di tubuh sasarannya, begitu keras tenaga semprotan biji kurma itu, biasanya batu karang keras juga dapat ditembusnya, apalagi cuma tubuh manusia, Namun Ui Yong hanya sempoyongan saja meski jelas sudah terluka, tampaknya sekuatnya ingin bertahan agar mampu diserang lagi satu kali.

Diam2 Kiu Jian-jio terkesiap, baru sekarang dia mengakui Ui Yong yang tampaknya lemah gemulai itu ternyata memiliki kepandaian sejati dan benar2 seorang tokoh persilatan terkemuka. Namun iapun bergirang melihat sasarannya sudah terkena dua biji buah kurma dan jiwanya pasti suka dipertahankan itu berarti sakit hati kematian kakaknya akan terbalas.

Segera biji buah kurma ketiga tersembur lagi dari mulutnya, Sekali ini yang diarah adalah tenggorokan Ui Yong, asalkan kena sasarannya, seketika musuh itu akan binasa.

Bahwa perut dan dada Ui Yong jelas sudah biji buah kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio itu apakah benar Ui Yong yang pintar dan cerdik itu, akan dilukai begitu taja? Rupanya persoalannya tidak begitu sederhana, sebelumnya Ui Yong sudah mempunyai daya upaya ketika menyatakan siap di terang tiga kali dengan biji kurma, Kiranya diam2 Ui Yong telah menyembunyikan pedang patah Kwe Hu itu di dalam lengan bajunya, ketika biji kurma musuh tiba, sedikit angkat lengannya dapatlah ia menutupi tempat yang diarah biji kurma dengan ujung pedang patah.

Cuma untuk melenyapkan suara benturan, maka ia sengaja menjerit agar orang lain tidak memperhatikan suara benturan biji kurma dan pedang patah. Ternyata akal Ui Yong benar2 dapat mengelabui Kiu Jian-jio, bahkan juga Bu Sam-thong dan lain2. Tapi sebabnya Ui Yong tidak sampai terluka sesungguhnya juga sebagian besar berkat kepandaian ilmu silatnya di samping sebagian kemujurannya.

Cuma dia sengaja berlagak terluka parah, dengan demikian dapat mengurangi rasa gusar Kiu Jian-jio di samping menjaga kehormatannya sebagai Kokcu. Tapi sekarang biji kurma ketiga itu menyamber tenggorokannya, kalau angkat lengan baju dan menangisnya dengan kutungan pedang yang tersembunyi di balik lengan baju itu tentu rahasianya ini akan diketahui Kiu Jian-jio dan itu berarti dirinya telah melanggar janji.

Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia menyerempet bahaya, kedua dengkul sedikit bertekuk sehingga biji kurma yang menyambar. tiba itu tepat tertuju mulutnya, Sekuatnya Ui Yong menghimpun tenaga murni di dalam perut, sekali mulutnya terbuka, segera ia mendahului menyemburkan hawa murni, ia tahu samberan biji kurma lawan yang hebat itu juga bergantung pada hawa murni yang disemburkan Kiu Jian-jio itu, kalau hawa lawan hawa, jarak musuh lebih jauh dan dirinya lebih dekat, hal ini sangat menguntungkan pihaknya, sekalipun biji kurma itu tidak disembur jatuh sedikitnya juga akan mengurangi daya luncurnya.

Tak tahunya selama ber-tahun2 Kiu Jian-jio terkurung di gua bawah tanah, karena kelumpuhan anggota badan, setiap hari dia cuma berlatih ilmu menyembur biji kurma itu tanpa terganggu urusan lain, maka daya bidiknya menjadi kuat luar biasa, sedangkan Ui Yong sudah cukup banyak melahirkan, mesti melayani suami dan mendidik murid, dengan sendirinya kekuatannya tidak sehebat Kiu Jian-jio itu. Sebab itulah ketika hawa murni disemburkan daya luncur biji kurma itu memang teralang sedikit hingga rada lambat, namun kekuatan menyambernya masih tetap dahsyat.

Keruan Ui Yong terkesiap, dalam pada itu Biji kurma itu sudah menyambar tiba di depan bibirnya, dalam detik yang menentukan ini,tiada jalan lain terpaksa ia membuka mulut, biji kurma itu digigit-nya mentah2. Tentu saja giginya tergetar kesakitan dan tergetar mundur dua- tiga tindak.

Kalau tadi dia berpura2 tergetar mundur, sekali ini dia benar tergetar mundur karena daya luncur senjata rahasia yang dahsyat itu. Untung juga dia dapat bertindak menurut keadaan dan cepat luar biasa, kalau tidak beberapa giginya pasti akan rontok tergetar oleh biji kurma yang lihay itu.

Semua orang sama menjerit, serentak merekapun merubung maju. Ketika Ui Yong mendongak, "berr", biji kurma yang digigitnya itu disemprotkan ke atas dan menancap di belandar, lalu katanya dengan mengernyit kening: "Kiu-kokcu, setelah menerima tiga kali seranganmu ini, jiwaku sudah mendekat ajalnya, hendak lah kau menepati janji dan memberi obatnya."

Kiu Jian-jio juga kaget melihat Ui Yong mampu mengigit biji kurmanya yang menyamber dengan dahsyat itu. ia melirik Lik-oh dan membatin:

"Anakku sendiri terkena racun bunga cinta itu, jangankan si Nyo Ko menolak mengawini anakku, sekalipun dia menjadi menantuku juga setengah biji obat ini takkan kuberikan padanya."

Padahal dengan jelas kedua biji buah kurma yang disemburkan itu tepat mengenai tubuh Ui Yong, mengapa dia tidak roboh. Namun janji sudah diberikan dan didengar orang banyak, betapa dirinya tidak boleh ingkar janji, Tapi segera ia mendapat akal, katanya: "Kwe-hujin, meski kita berdua sama2 perempuan, tapi setiap tindakan, kita harus dapat dipercaya sebagaimana kaum lelaki. Kau telah menerima tiga kali seranganku, sungguh aku sangat kagum, obat akan kuberikan padamu, cuma sebentar nanti aku ada urusan lagi, mohon kalian suka memberi bantuan."



Kwe Hu menyangka ibunya benar2 terkena senjata rahasia orang, segera ia berteriak: " jika ibuku terluka, be-rama2 kami pasti akan melabrak kau." ~ Habis ini ia terus, bertanya pada ibunya: "Bagaimana, tubuh ibu yang terkena serangan itu?"

Ui Yong tidak menjawab, sebaliknya ia berkata kepada Kiu Jian-jio: "Ucapan anak muda, hendaknya Kokcu jangan hiraukan. Betapapun siaumoay pasti akan pegang janji dan tentu akan membantu Kokcu menghalau musuh, sekarang mohon memberikan obatnya."

Suara Ui Yong itu nyaring dan bertenaga, sama sekali tidak menyerupai orang yang terluka dalam, maka legalah hati Bu Sam-thong dan lain2, Hal ini juga dapat dilihat Kiu Jian-jio, ia menjadi ragu2, pikirnya: "Dia memiliki kemampuan sehebat ini, andaikan aku hendak ingkar janji juga tidak mudah, terpaksa harus kuhadapi dengan muslihat."

"Baiklah," demikian kata Kiu Jian-jio kemudian. Lalu ia berpaling dan memanggil puterinya: "Anak Oh, coba sini, ingin kukatakan sesuatu."

Selama hidup Ui Yong sudah banyak menghadapi manusia2 licik dan licin, sorot mata Kiu Jian-jio yang bertingkah itu tentu saja tak terlolos dari pengamatannya, ia tahu orang pasti tidak mau menyerahkan obatnya begitu saja, cuma cara bagaimana orang akan memberi alasan, seketika ia belum dapat menerkanya.

Didengarnya Kiu Jian-jio sedang berkata kepada Lik-Oh: "Coba buka ubin di depan sana, ubin kelima dihitung mulai dari depanku ini."

Lik-Oh sangat heran, apakah mungkin Coat-ceng-tan itu disembunyikan di bawah ubin? Ui Yong lantas paham urusannya dan diam2 memuji kecerdikan Kiu Jian-jio, Betapa berharganya Coat-ceng-tan itu sudah jelas karena tidak sedikit orang yang sedang diincarnya.


Kalau obat itu disembunyikan di tempat yang setiap hari didatangi orang, hal ini justeru takkan terduga oleh siapapun juga, selain itu obat yang tersimpan di bawah ubin ini pastilah obat tulen, tidak mungkin Kiu Jian-jio menyembunyikan obat palsu di situ sebab sebelumnya takkan diketahui bahwa persoalannya akan berkembang seperti sekarang ini, kalau Kiu Jian-jio menyuruh orang mengambil obat ke kamarnya, betapapun Ui Yong sukar memastikan apakah obat itu memang tulen atau palsu. Tapi sekarang obat itu dikeluarkan di depan orang banyak, maka ketulenan obat itu tidak perlu disangsikan lagi.

Begitulah setelah menghitung sampai ubin kelima, Lik-oh lantas mengeluarkan sebilah belati dan menyungkil ubin tersebut, dibawah ubin hanya pasir campur kapur belaka dan tiada sesuatu tanda yang aneh.

"Tempat penyimpanan obat itu sangat dirahasiakan dan tidak boleh diketahui orang luar, anak Oh, coba kemari, ingin kubisiki kau, K kata Kiu Jian-jio pula.

Segera Ui Yong mengetahui akal bulus Kiu Jian-jio itu, tentu ada sesuatu muslihat yang akan diaturnya, Segera ia berlagak menjerit sakit sambil menungging, ia pura2 kesakitan agar mengurangi kewaspadaan Kiu Jian-jio, dengan begitu akan mudah meraba maksud tujuannya yang sesungguhnya.

Tak terduga bahwa Kiu Jian-jio juga sudah memikirkan hal ini, ia sengaja membisiki Lik-oh, dengan suara lirih, biarpun Ui Yong mengikuti dengan penuh perhatian juga cuma terdengar kata2, "Coat-ceng-tan itu berada di bawah ubin", selain itu tiada terdengar apa2 lagi.

Tentu saja kata2 yang didengarnya itu tidak mengherankan dia karena sebelumnya sudah diketahui tempat penyimpanan obat itu, cuma sesudah kalimat itu, lalu bibir Kiu Jian jio hanya kelihatan bergerak sedikit, suaranya teramat lirih dan tidak terdengar Tertampak Lik-oh mengernyitkan kening dan ber-ulang2 mengangguk.

Selagi gelisah menghadapi detik yang gawat ini" tiba2 terdengar It-teng Taysu berseru: "Coba ke sini, Yong-ji, ingin kuperiksa keadaan lukamu?"

Waktu Ui Yong berpaling, dilihatnya It-teng berduduk di pojok sana dengan wajah penuh prihatin ia pikir setelah paderi agung itu memegang nadinya tentu akan tahu dirinya sama sekali tidak terluka Segera ia mendekat ke sana dan mengulurkan tangannya.

Sambil memegang nadi Ui Yong, pelahan It-teng Taysu menyebut "O-mi-to-hud .... kata si nenek O-mi to-hud .... bahwa di situ ada dua botol... O-mi-to-hud botol sebelah timur berisi obat tulen... O mi-to-hud... botol sebelah barat berisi obat palsu dan O mi-to-hud... ia suruh puterinya mengambil obat palsu untukmu... 0-mi-to-hud" Waktu menyebut 0-mi-to-hud suaranya sengaja dikeraskan, tapi ketika mengatakan soal obat itu suaranya sengaja dilirihkan hingga hampir tak terdengar. Betapa cerdiknya Ui Yong, begitu mendengar kalimat "kata si nenck" segera ia paham maksudnya.

Rupanya Lwekang It-teng Taysu sudah mencapai tingkatan tertinggi mata telinganya jauh lebih tajam daripada orang lain, Maka kata2 Kiu Jian- jio yang dibisikkan kepada puterinya itu dapat diikuti It-teng Taysu dengan jelas, ia tahu obat itu menyangkut keselamatan jiwa Nyo Ko, maka lantas diberitahukannya kepada Ui Yong.

Sudah tentu Kiu Jian-jio tidak menduga bahwa rahasianya itu dapat diketahui oleh lawan, disangkanya Hwesio tua itu benar2 lagi memeriksa keadaan- luka Ui Yong.

Dalam pada itu, setelah mendengarkan pesan sang ibu, kemudian Kongsun Lik-oh mulai mengeruk tanah di bawah ubin yang dicungkilnya tadi, benar saja tangannya menyentuh dua buah botol kecil di situ, Diam2 sedih perasaannya, ia sudah bertekad akan mengambil obat yang tulen untuk menolong Nyo Ko, hanya usahanya yang baik ini entah diketahui tidak oleh anak muda itu.

Segera ia keluarkan botol obat yang sebelah kanan dan berseru. "lnilah Coat-ceng-tan, ibu!" Karena dia yang merogoh tanah di bawah ubin itu maka hanya dia sendiri yang tahu bahwa yang di ambilnya itu adalah botol sebelah kanan yang berisi obat tulen, sedangkan Kiu Jian-jio dan Ui Yong mengira botol yang dikeluarkan itu adalah botol sebelah kiri.

Baik botol yang berisi obat tulen maupun botol yang berisi obat palsu berbentuk dan berwarna putih porselen sama, setengah biji obat yang terisi itu juga serupa, kalau Kiu Jian-jio tidak mencobanya dengan lidah juga sukar membedakan tulen atau palsu.

Menurut keyakinan Kiu Jian-jio, betapapun Kongsun Lik-oh pasti akan mengeluarkan botol berisi obat palsu untuk Nyo Ko dan obat tulen akan ditinggalkan untuk menyelamatkan dirinya senditi. Karena jiwanya yang jahat, ia nilai orang lain seperti dirinya sendiri, Sama sekali tak dipahaminya bahwa di dunia ini ada orang yang rela mengorbankan diri sendiri untuk menolong orang lain.

"Berikan obat itu kepada Kwe-hujin," demikian kata Kiu-jian-jio.

Kongsun Lik-oh mengiakan sambil mendekati Ui Yong. Lebih dulu Ui Yong memberi hormat kepada Kiu-Jian-jio dan mengucapkan terima kasih. Di dalam hati ia pikir setelah mengetahui tempat obat tulen itu disimpan, tentu tidak sukar untuk mencurinya nanti.

Selagi dia hendak menerima botol obat dari Lik-oh, se-konyong2 atap rumah berbangkit suara gemuruh disertai hamburan debu pasir, seketika atap rumah berlubang dan dari atas udara melompat turun seorang, serentak botol obat yang dipegang Kongsun Lik-oh terus direbutnya.



"Ayah!" Lik-oh menjerit kaget laksana orang melihat hantu di siang bolong.

Melihat perubahan air muka Kongsun Lik-oh yang kaget dan cemas itu, Ui Yong menjadi terkesiap pikirnya: "Jelas obat yang direbut Kongsun Ci itu adalah palsu, mengapa ini perlu merasa cemas?"

Pada saat itulah pintu gerbang ruangan pendopo itupun bergemuruh didobrak orang sehingga api lilin ikut bergetar dan menambah seramnya suasana, setelah terdengar lagi suara "blang-blang" dua kaii, palang pintu mendadak patah dan terpental hingga merusak dua buah bangku porselen, menyusul daun pintu lantas terbentang dan masuklah seorang lelaki dan 3 perempuan.

Yang lelaki adalah Nyo Ko dan yang perempuan adalah Siao-Iiong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang.

"Nyo-toato, .". ." tanpa terasa Lik-oh berseru menyongsong kedatangan Nyo Ko, tapi segera ia merasa kurang pantas tindakannya itu dan urung bicara lebih lanjut, langkahnya juga lantas berhenti.

Sejak tadi Ui Yong- terus memperhatikan sikap dan mimik wajah Kongsun Lik-oh, dari tatapan si nona terhadap Nyo Ko yang penuh rasa cinta serta kuatir itu, segera hati Ui Vong tergerak, pahamlah dia duduknya perkara, Pikirnya: "Ai, sudah menjadi ibu tiga anak masakah belum kupahami perasaan anak gadis, ibu nona Kongsun itu menyuruh dia memberikan obat palsu kepadaku, tapi dia kesemsem pada Ko ji, maka obat yang dia serahkan ini adalah obat tulen, Jadi obat yang baru direbut si tua bangka Kongsun Ci itu adalah Coat-ceng tan asli, tentu saja nona itu sangat cemas dan bingung"

Kiranya waktu Nyo Ko dan Siao-liong-li hendak kembali ke ruangan pendopo, mendadak mereka bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Melihat Thia Eng yang manis itu sangat lemah Iembut, Siao-liong-li menjadi sangat suka padanya,segera mereka terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan, sedangkan Liok Bu-siang lantas ngobrol dengan Nyo Ko tentang pertarungannya dengan Kwe Hu tadi serta bercerita cara bagaimana dia telah meng-olok2 Kwe Hu dan Thia Eng telah mengalahkannya.

Sifat Liok Bu-siang periang dan lincah, sejak kenal Nyo Ko, walaupun diam2 benih cintanya ber-semi, tapi mulutnya selalu menyebut Nyo Ko sebagai "si Tolol" sebaliknya Nyo Ko juga suka berkelakar, iapun tetap menggoda Bu-siang dengan sebutan "bini cilik", Mereka mengobrol dengan gembira, sedangkan Siao-liong-li dan Thia Eng yang memang pendiam hanya bicara sebentar saja lantas kehabisan bahan cerita.

"Nyo toako, bagaimana keadaanmu sekarang?" sela Thia Eng suatu ketika.

"O, tidak apa2," jawab Nyo Ko. "Kwe-hujin banyak tipu akalnya, tentu beliau dapat mencarikan obat mujarab bagiku. Yang kukuatirkan justeru adalah lukanya."

Sambil berkata iapun menuding Siao-liong-li..

Thia Eng dan Bu-siang sama terkejut dan tanya berbareng: "He, jadi Liong cici juga terluka? Mengapa kami tidak melihat sesuatu tanda apa2"

"Ah, tidak apa2," ujar SiaoIiong-li dengan tersenyum, "Dengan tenaga dalam kutahan kadar racunnya agar tidak bekerta, dalam beberapa hari saja kukira tidak beralangan."

"Racun apakah? Memangnya juga racun bunga cinta- itu?" tanya Bu~siang.

"Bukan," jawab Siao iiong-li, "racun Peng~pok-gin-ciam Li-suciku."

"O, kiranya perbuatan si iblis Li Bok-chiu lagi," kata Bu-siang. "Nyo-toako, bukankah engkau pernah membaca kitab pusakanya mengenai lima macam racun paling jahat itu? Biarpun lihay racun jarumnya kan tidak sulit untuk disembuhkan?"

Nyo Ko menghela napas, katanya: "Tapi kadar racun jarum itu sudah meresap ke ulu hati dan sukar disembuhkan dengan pengobatan biasa." Lalu iapun menceritakan cara bagaimana dia sedang mengobati Siao-liong-li dan mendadak Kwe Hu datang dan keliru menyerangnya dengan jarum berbisa itu.

Dengan gemas Bu siang menghantam batu dengan telapak tangannya dan berseru: "Kembali perbuatan anak she Kwe yang sok menang sendiri itu, Piauci, betapapun kita harus bikin perhitungan dengan dia, Memangnya kenapa kalau ayah-ibunya adalah pendekar besar jaman kini?"

"Urusan inipun tak dapat menyalahkan dia, malahan berbeda dengan terbuntungnya lengannya," kata Siao-1iong-1i. "Nanti kalau paderi sakti Thian-tiok itu sudah mendusin, beliau pasti mampu mengobati diriku."

"He, siapakah paderi Thian-tiok yang kau maksud? Mengapa mesti menunggu dia mendusin? Apakah dia sedang tidur?" tanya Bu-siang heran.

"Ya, katakanlah dia sedang "tidur, harus tidur tiga hari tiga malam," ujar Nyo Ko dengan ter-senyum, ia kuatir rahasia paderi Thian-tiok yang menggunakan tubuh sendiri sebagai kelinci percobaan untuk menyelidiki kadar racun bunga cinta didengar musuh, maka ia pikir urusan ini belum perlu diceritakan kepada Bu-siang.

Pada saat itulah tiba2 dari kejauhan sana ada suara tindakan orang. Cepat Nyo Ko mendesis: "Ssst, jangan bersuara ada orang datang-"

Ucapan Nyo Ko sangat lirih, tapi orang di kejauhan itu agaknya juga sangat tajam pendengarannya, seketika langkahnya juga berhenti Selang sejenak barulah terdengar pula suara tindaknya, cuma sekarang telah berubah arah, yang dituju adalah tempat sembunyi paderi Thian-tiok dan Cu Cu-Iiu itu.

"Wah, celakai Musuh hendak merunduk Cu susiok berdua," kata Siao-liong-li dengan suara tertahan.

"Ssst, jangan bersuara!" desis Nyo Ko. "Coba kita kuntit dia."

Pada saat itu juga tiba2 semak2 pohon di belakang mereka ada suara kresekan pelahan, agaknya ada orang lagi sembunyi di situ.

"Di mana2 ada tikus dan celurut!" ujar Bu-siang sambil pungut sepotong batu kecil terus disambitkan ke tempat suara herkeresekan itu. Tak terduga batu yang jatuh ke tengah2 semak pohon itu ternyata tidak menerbitkan suara, jelas karena ditangkap orang dengan tangan.

"Piauci, coba kita periksa siapa yang sembunyi di situ?" ajak Bu-siang.

Sementara itu Nyo Ko dan Siao liong-li berdua sudah jauh berlari ke sana, cepat Thia Eng menarik Bu-siang dan mendesis: "Marilah ikuti Nyo-toako saja, jalanan di sini sangat ruwet, jangan sampai kita terpencar."

Segera Bu-siang percepat langkahnya sambil berbisik: "Yang sembunyi di semak2 sana jangan2 Li Bok-cbiu."

"Dari mana kau tahu?" tanya Thia Eng.

"Sejak kecil ku tinggal bersama dia, kukenal bau-nya," tutur Bu-siang.

Thia Eng terkejut dan melangkah terlebih cepat, ia tahu mereka berdua sama sekali bukan tandingan Li Bok chiu, namun iblis itu sudah keracunan duri bunga cinta, diharap saja ajalnya sudah dekat.

Kaki Bu-siang pincang sebelah, kepandaian larinya jauh dibandingkan sang Piauci, berkat bantuan Thia Eng barulah ia dapat menyusul di belakang Nyo Ko dan Siao-liong-Ii. Di bawah cahaya bulan sabit yang remang2, tampaknya Nya Ko berdua sedang menguntit seorang.

Orang itu berjalan melingkar ke sana dan membelok ke situ, agaknya sangat apal jalanan di Coat-ceng-kok ini. Setelah berputar beberapa kali, mendadak orang itu lenyap entah kemana.

Nyo Ko berdua lantas berhenti dan menunggu Thia Eng dan Bu-siang, sesudah dekat, anak muda itu memberitahu: "Kongsun Ci telah pulang lagi ke sini, entah muslihat keji apa yang hendak dilakukannya?"



Thia Eng berdua belum pernah kenal Kongsun Ci, maka tidak tahu seluk beluk orang, sedangkan pikiran Siao-liong-Ii polos dan sederhana, dengan sendirinya iapun tidak dapat menerka apa maksud tujuan manusia licin macam Kongsun Ci.

Setelah berpikir sejcnak, kemudian Nyo Ko berkata pula: "Entah bagaimana Kwe-hujin dan It-teng Taysu sedang menghadapi Hwesio gila itu, marilah kita ke sana melihatnya."

Begitulah mereka lantas mencari jalan kembali ke pendopo itu, kira2 belasan tombak, di luar pen-dopo, tiba2 terlibat bayangan orang berkelebat di atas wuwungan, menyusul itu terdengarlah suara gemuruh yang keras, Kongsun Ci telah membobol atap rumah dan melompat ke bawah.

"Celaka!" keluh Nyo Ko, ia kuatir di bawah lubang atap yang bobol itu oleh Kongsun Ci telah dipasang jaring berkait untuk memancing dirinya masuk ke situ. Karena itulah ia lantas keluarkan Hian-tiat-pokiam dan membobol pintu pendopo dan menerjang masuk.

Begitu berada di dalam, dilihatnya tangan kiri Kongsun Ci sudah memegang sebuah botol porselen kecil, tangan lain memutar golok menghadapi kerubutan orang dengan sikap jumawa, rupanya Kongsun Ci bergirang telah berhasil merebut Coat ceng-tan, kerubutan orang banyak itu dianggapnya soal kecil, andaikan kewalahan juga dia yakin mampu melarikan diri.

Tapi sebelum ia angkat kaki, mendadak dilihatnya Nyo Ko membobol pintu dan menerjang masuk, betapa lihaynya sungguh jauh berbeda dari pada ketika saling bergebrak sebulan yang lalu, ia tidak berani menghadapi anak muda itu, segera ia meloncat ke atas deagan maksud menerobos keluar melalui lubang atap yang diboboinya tadi, ia pikir urusan paling penting sekarang adalah mengantar Coatceng-tan kepada Li Bok-chiu, soal membunuh Kiu Jian-jio dan rebut kembali Coat-ceng-kok adalah urusan lain hari dan tidak perlu ter-gesa2.

Namun baru tubuhnya mengapung ke atas, tahu2 Ui Yong telah menyamber pentung bambunya yang dibuangnya tadi terus ikut meloncat ke atas, sekali pentungnya berputar, segera ia sabet kedua kaki orang.

Kiu Jian-jio juga tidak tinggal diam. "Bangsat!" bentaknya murka, "ser-ser", susul menyusul dua biji buah kurma juga lantas disemburkan mengarah perut Kongsun Ci.

Waktu Kongsun Ci melompat ke atas iapun sudah menduga bekas isterinya itu pasti akan menyerangnya, maka cepat goloknya menyampuk jatuh satu biji buah kurma itu dan daya loncatnya itu tetap mengapung ke atas, dalam pada itu dilihatnya biji buah kurma kedua sudah menyamber tiba pula, sedangkan goloknya sudah disampukkan dan belum sempat ditarik kembali untuk menangkis lagi.

Sebagian besar kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio, apa lagi sebelah matanya belum lama dibutakan istrinya itu, tentu saja ia terkejut melihat serangan tiba pula. Dalam keadaan kepepet, agar perutnya tidak beriubang, terpaksa ia miringkan tubuh dan membiarkan pahanya tersambit biji kurma itu jika memang sukar dihindari pula.

Tak terduga cara Kiu Jian-jio menyemburkan biji kurmanya ini selain membawa gaya yang indah juga amat keji tujuannya, tampaknya biji kurma itu menuju Kongsun Ci, tapi ketika sudah dekat mendadak biji kurma itu berganti haluan dan menyambar ke arah Ui Yong malah.

Sudah tentu siapapun tidak menyangka senjata rahasia yang sudah jelas menyambar ke arah Kong-sun Ci itu mendadak bisa berubah sasaran, sampai orang yang maha cerdik seperti Ui Yong juga sama sekali tidak menduganya, ketika tahu apa yang terjadi dan ingin mengelak. namun sudah terlambat.

Untung juga Ui Yong dapat memberi reaksi yang cepat, waktu itu iapun teiapung di udara, maka se-kuatnya ia bikin berat tubuhnya dan anjlok secepatnya ke bawah, namun tidak urung biji kurma itupun menancap di bahu kanannya.

Meski berhasil mengelakkan tempat yang mematikan namun kekuatan sambitan Kiu Jian-jio sungguh dahsyat, Ui Yong merasakan sekujur badannya tergetar, tangan menjadi lemas, pentung bambu itupun jatuh ke lantai.

Sejak dia menjabat ketua Kaypang dan menerima pentung penggebuk anjing itu dari Ang Jit-kong, walaupun tidak setiap pertempuran dimenangkan olehnya, tapi pentung itu sampai terlepas dari cekalan boleh dikatakan baru pertama kali ini terjadi

Melihat Ui Yong rada sempoyongan seperti terluka, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain2 menyangka dia sengaja berbuat demikian, maka tidak menjadi kuatir seperti tadi waktu dia pura2 terluka, Namun Nyo Ko dapat menyaksikan apa yang terjadi se-sungguhnya, cepat ia memburu maju dan mengambilkan pentung bambu dan diserahkan kembali kepada Ui Yong berbareng pedangnya yang berat itu terus menabas ke kiri dengan membawa samberan angin yang dahsyat Belum lagi Kongsun Ci sempat menggunakan goloknya, lebih dulu ia telah tergetar mundur tiga tindak.

Keruan Kongsun Ci terkejut, tak terpikir olehnya bahwa selang sebulan lebih saja bocah she Nyo ini sudah buntung sebelah tangannya, namun ilmu silatnya ternyata bertambah sepesat ini, Waktu ia melirik ke sana, dilihatnya air muka Kiu Jian-jio putih pucat, jelas bekas isterinya itupun melengak kaget melihat ilmu silat Nyo Ko yang hebat itu.

Sementara itu Kongsun Lik-oh berdiri diantara ayah dan ibu nya, biasanya dia sangat takut kepada sang ayah, selamanya dia tak berani membantah sepatah-kata, tapi sejak mendengar percakapan sang ayah dengan Li Bok-chiu di puncak gunung itu, diam2 ia merasa sakit hati, ia pikir betapapun buasnya binatang juga tidak makan anaknya sendiri, tapi sang ayah ternyata sampai hati mencelakai puterinya sendiri demi seorang perempuan yang baru dikenalnya, terang tiada lagi perasaan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.

Mengingat dirinya sudah bertekad untuk mati, rasa takutnya seketika lenyap, segera ia mendekati Kongsun Ci selangkah dan berseru: "Ayah, dahulu kau telah membikin cacat dan menjebloskan dia ke gua di bawah tanah, kekejian itu jarang ada bandingannya di dunia ini. Malam ini di Coat-ceng~hong sana engkau telah bicara apa dengan Li Bok chiu?"

Kongsun Ci terkesiap, dia bicara dengan Li Bok-chiu di tempat terpencil dan sunyi sepi, sama sekali tak tersangka ada orang dapat mendengarnya. Biarpun dia orang yang keji dan kejam, tapi merencanakan kejahatan terhadap puterinya betapapun membuatnya kikuk, apalagi Lik-oh membongkar rahasianya itu di depan umum, keruan air mukanya berubah, ia menjawab dengan tergagap: "Aku... aku tidak bicara apa2"

"Engkau hendak mencelakai puterinya sendiri untuk membaiki seorang yang baru kau kenal," kata Lik-oh hambar, "Sebagai puterimu, kalau engkau menghendaki kematianku sebenarnya juga tak kan kulawan. Tapi Coat-ceng-tan yang kau- ambil itu sudah dijanjikan ibu akan diberikan padaku, sekarang kembalikan saja padaku."

Berbareng ia melangkah maju dan menyodorkan tangannya.

Cepat Kongsun Ci menarik tangan dan memasukkan botol kecil itu ke dalam bajunya, lalu menjengek "Hm, kalian ibu dan anak lebih suka membela orang luar, yang satu durhaka kepada suami, yang lain mengkhianati ayah sendiri, semuanya bukan manusia baik2, biarlah sekarang takkan kurecoki kalian, kelak kalau datang ganjaran setimpal barulah kalian tahu rasa."



Habis berkata, begitu golok dan pedangnya saling bentur dan mengeluarkan suara mendengung, segera ia menerjang keluar dengan langkah Iebar.

Nyo Ko tidak paham seIuk beluk damperatan Kongsun Lik-oh kepada ayahnya tadi, tapi segera ia mengadang kepergian Kongsun Ci, lalu berkata kepada Lik-oh: "Nona Kongsun, aku ingin bertanya sesuatu padamu."

Mendengar ucapan anak muda ilu, serentak timbul rasa duka dan sesal diri dalam benak Kongsun Lik-oh, pikirnya: "Soal usahaku dengan matian mengambilkan obat baginya se kali2 jangan sampai diketahui olehnya. Kelak namanya akan termashur di dunia ini dan pasti takkan ingat lagi kepada perempuan macam diriku yang bernasib malang ini, buat apa membikin dia menyesal atas tindakanku ini?" - Maka dengan suara pelahan ia menjawab:

"Apa yang hendak ditanyakan Nyo toako?"

"Baru saja kau mengatakan ayahmu hendak mencelakai kau demi membaiki seorang perempuan yang baru dikenalnya, siapakah gerangan perempuan itu? Mengapa bisa terjadi begitu, sudikah kau menjelaskan?" kata Nyo Ko.

"Perempuan itu ialah Li Bok-chiu, mengenai duduk perkaranya..." Lik-oh merandek, lalu menyambung: "Meski aku diperlakukan secara begini oleh ayah, betapapun dia adalah ayahku sendiri, urusan ini tidak pantas kuceritakan..."

"Anak Oh, hayo bicaralah!" mendadak Kiu Jian jio berteriak. "Kalau berani berbuat, mengapa kau tidak berani bicara?"

Lik-oh menggeleng dan berkata pula dengan suara lemah: "Nyo-toako. setengah biji Coat-ceng-tan itu berada di botol yang drebut ayahku itu. O, aku... aku adalah anak yang tidak berbakti pada orang tua."

Sampai di sini ia tidak tahan lagi, ia membalik tubuh sambil menangis dan berjari ke arah Kiu Jian-jio seraya beiseru: "O, ibu!"

"

Ucapan "aku adalah anak tidak berbakti ke pada orang tua" bagi pendengaran Kiu Jian-jio se-akan2 Lik-oh merasa berani membangkang dan me--lawan sang ayah, padahal yang dimaksud Lik-oh sesungguhnya ada'ah karena dia tidak taat kepada perintah sang ibu.

Semua orang dapat dikelabuhi oleh ucapan Lik-oh itu, hanya Ui Yong seorang saja yang paham arti sesungguhnya.

Dalam pada itu diam2 Kongsun Ci bersyukur bahwa Ui Yong telah kena serangan biji kurma Kiu Jian-jio, ia berharap kedua pihak akan terjadi pertarungan sengit dengan begitu dirinya dapat menarik keuntungan dan sempat pula meloloskan diri.

Dengan berlagak tertawa ia lantas berseru: "Bagus, bagus! Tidak percuma ayah sayang kepadamu, puteriku sayang! Kau dan ibumu jaga saja di situ, kita harus melabrak semua orang yang berani menerobos ke Coat-ceng-kok kita ini, seorangpun tidak boleh kabur." Habis berkata mendadak ia menerjang ke arah Ui Yong yang bersandar pada kursi itu.

Cepat Kwe Hu mengacungkan pedangnya untuk membela sang ibu, Yalu Ce berdiri di sampingnya, pedangnya telah dipinjamkan kepada Kwe Hu, segera ia menyerang dari samping dengan bertangan kosong.

Kongsun Ci melirik sekejap dan membatin:

"Buset, sudah bosan hidup barangkali bocah ini, berani menempur aku dengan bertangan kosong?" Sekali goloknya menabas, ia desak mundur Yalu Ce, berbareng itu pedangnya yang lentik berwarna hitam itu terus menusuk tenggorokan Kwe Hu.

Tanpa pikir Kwe Hu menangkis dengan pedangnya. "Awas, anak Hu!" seru Ui Yong kuatir, Maka terdengarlah suara "creng" sekali, pedang Kwe Hu terkutung, malahan pedang Kongsun Ci itu tidak latas berhenti melainkan terus memotong ke leher Kwe Hu.

Ui Yong menjadi cemas, ia tahu sampai di mana kepandaian puterinya itu, menghadapi detik berbahaya begini percumalah tipu akal yang dimilikinya, sama sekali ia tak berdaya menolongnya.

Pada saat itulah se-konyong2 Liok Bu-siang berteriak: "Tangkis dengan tangan kanan!"

Karena jiwanya terancam, serangan musuh begitu cepat datangnya dan sukar mengelak, Kwe Hu tidak sempat membedakan lagi suara siapa yang berteriak padanya itu, tanpa terasa ia menurut dan angkat lengan untuk menangkis serangan maut itu.

"Piaumoay, mengapa kau..." bentak Thia Eng.

Ia tahu Bu-siang benci pada Kwe Hu telah membuntungi lengan Nyo Ko, maka sekarang ia sengaja membingungkan Kwe Hu agar menangkis serangan Kongsun Ci dengan lengan agar sebelah lengannya juga terbuntung.

Thia Eng berbudi halus, meski iapun sedih oleh buntungnya lengan Nyo Ko dan menganggap perbuatan Kwe Hu keterlaluan, tapi sama sekali tak pernah timbul pikirannya agar Kwe Hu menebus dosanya dengan sebelah lengannya.

Sebab itulah ia merasa maksud tujuan seruan Bu-siang tadi terlalu kejam dan cepat berseru mence-gahnya. Namun sudah terlambat, pedang Kongsun Ci sud^h menyamber ke lengan Kwe Hu.

"Cret",lengan baju Kwe Hu tergores robek pan-jang, berbareng itu iapun tergetar sempoyongan dan jatuh kesamping, Tapi aneh juga, lengannya ternyata tidak tertabas putus, bahkan darahpun tidak mengucur. Karuan Thia Eng dan Bu-siang melongo heran, bahkan Kiu Jian jio dan Kongsun Ci juga terperanjat.

Segera pula Kwe Hu dapat berdiri tegak lagi, ia sangat berterima kasih kepada Liok Bu-siang.

Dasarnya dia memang seorang nona yang berpikir secara sederhana, ia mengira seruan Bu-siang tadi bermaksud baik untuk menolongnya maka tanpa pikir ia berkata: "Terima kasih atat petunjuk Cici, cuma darimana engkau tahu..."

Nyo Ko pernah tinggal di Tho-hoa-to, ia tahu Ui Yong mempunyai jaket pusaka "Nui-wi-kah" (jaket duri landak) yang tidak mempan ditabas senjata tajam, maka ia tahu bisanya Kwe Hu menyelamatkan lengannya adalah berkat jaket pusakanya, ia dengar nona itu bertanya "darimana engkau -tahu...." dan seterusnya tentu adalah "aku memakai jaket pusaka?", jika kata2 itu diucapkan berarti rahasia jaket pusaka itu akan diketahui Kongsun Ci.

Padahal saat itu kelihatan Kongsun Ci dan Kiu Jian jio saling pandang sekejap dengan heran dan terperanjat Maka cepat ia berkata: "Hehe, Kong-sun-siansing, masakah kau tidak kenal nona kita ini?"

Sudah tentu Kongsun Ci sudah diberitahu sekadarnya oleh Li Bok-chiu mengenai orang2 yang menyatroni Coat-ceng-kok ini, meski sudah tahu siapa Kwe Hu, tapi ia tidak mau kalah pamor, dengan dingin ia sengaja menjawab: "Huh, anak dara sekecil itu mana kutahu dia siapa?"

"Nona kita ini adalah puteri kesayangan Kwe Cing, Kwe-thayhiap, cucu perempuan Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, dia memiliki ilmu kekebalan khas ajaran keluarganya yang tidak mempan dibacok segala macam senjata tajam, pedangmu yang mirip besi tua itu tentu saja tidak dapat melukai dia."



"Huh, tadi aku tidak menyerang sungguh2, memangnya kau kira aku tidak mampu melukai dia?" jawab Kongsun Ci dengan gusar, berbareng pedangnya yang hitam itu disendalnya pelahan hingga mengeluarkan suara mendengung.

Setelah lolos dari serangan maut musuh, diam2 ia berterima kasih kepada Bu-siang, ia pikir untung Liok-cici ini memperingatkan, kalau tidak mungkin jiwaku sudah melayang, tampaknya hati Liok-cici ini sebenarnya baik walaupun kata2nya tajam dan suka menyindir

Dilihatnya Kongsun Ci sedang menjawab ucapan Nyo Ko tadi dan bersikap meremehkan dirinya, secara timbul lagi kecerobohannya, pikirnya: "Jika aku tidak takut kepada senjatanya, asal kuterjang dan serang dia, jelas aku pasti akan menang dan tiada kalahnya, mengapa aka tidak melakukan hal ini?"

Karena pikiran itu, segera ia berseru kepada Bu Siu-bun: "Kakak Bu cilik, harap pinjamkan pedangmu padaku, tua bangka Kongsun ini tidak percaya ilmu sakti keluarga Tho.hoa-to, biarlah ku-perlihatkan sedikit padanya."

Tanpa bicara Bu Siu-bun menyodorkan pedangnya dan diterima Kwe Hu. Nona itu memutar pedangnya satu kali lalu berkata: "Nah, si tua Kongsun, silakan maju!"

Melihat lagaknya yang men-tang2 tanpa gentar sedikitpun, sungguh mirip benar jagoan tulen yang menghadapi anak kecil saja.

Sudah tentu Kongsun Ci dapat menilai anak dara ini hanya dari gerakan pedangnya saja, segera ia membentak: "Baik, akan kubelajar kenal lagi dengan kepandaianmu." Berbareng goloknya terus membacok ke muka lawan.

Cepat Kwe Hu mengelak dan balas menusuk dengan pedangnya, Tapi pedang hitam Kongsun Ci mendadak melingkar tiba dan menyabet pedang Kwe Hu.

Sudah tentu Kwe Hu tidak berani mengadu sen-jata, cepat ia tarik kembali pedangnya, Mendadak Kongsun Ci memegang golok dan pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kiri terus menghantam.

Diam2 Kwe Hu bergirang, ia pikir kalau tangan orang menggablok duri landak jaket pusaka-kanya itu, maka celakalah musuh. Tapi kuatir tenaga pukulan musuh terlalu lihay, bisa jadi ia sendiripun akan terluka dalam, maka ia sedikit miringkan tubuh untuk mengelakkan sebagian tenaga pukulan musuh dan membiarkan pukulan itu tetap-mengenai tubuhnya.

Di luar dugaan, belum pukulan Kongsun Ci itu mencapai sasarannya, mendadak ia melompat mundur sambil berteriak: "Budak hina, menyerang orang secara menggelap."

Tentu saja Kwe Hu bingung, katanya: "Sama sekali aku tidak melukai kau!" ia menjadi heran apakah jaket pusakanya begitu lihay, belum tangan musuh menyentuhnya sudah dapat dilukainya?

Ia tidak tahu bahwa sebenarnya itulah akal licik Kongsun Ci, maka ia sengaja pura2 terluka dan melompat mundur dengan sempoyongan terus berlari ke ruangan belakang, Rupanya dalam waktu yang singkat itu ia sudah memperhitungkan keadaan pihak lawan, di depan sana adalah Nyo Ko, Ui Yong dan lain2 serta si paderi tua beralis putih, maka dia sengaja meloloskan diri melalui pintu belakang.

Saat itu Kongsun Lik-oh berdiri di sebelah ibu-nya. Melihat Kongsun Ci akan kabur dengan membawa obat, cepat ia memburu maju sambil berteriak: "Tunggu dulu, ayah!"

Pada saat itulah mendengar suara mendenging, dua biji buah kurma juga telah menyamber ke arah Kongsun Ci. Rupanya Kiu Jian-jio kuatir senjata rahasianya itu salah mengenai puterinya sendiri, maka semburan biji buah kurma itu ditinggikan sedikit dan mengarah belakang kepala Kongsun Ci.

Namun gesit sekali Kongsun Ci menunduk kepala sehingga kedua biji kurma itu menyamber lewat dan menancap di dinding, "Minggir!" bentaknya sembari menerjang ke depan.

"Tinggalkan Coat-ceng-tan..." belum habis ucapan Koagsun Lik-oh, tahu2 Kongsun Ci sudah menubruk tiba, sekali pegang segera urat nadi pergelangan tangan gadis itu kena dicengkeramnya, menyusul tubuh berputar, Lik-oh digunakan sebagai tameng di depan, lalu Kongsun Ci membentak "Perempuan bejat, apakah kau ingin mengadu jiwa? Baiklah kita gugur bersama semuanya!"

sebenarnya biji kurma Kiu Jian-jiu sudah akan disemburkan lagi, ketika mendadak nampak keadaan berubah dan untuk menahan semprotan juga tidak keburu lagi, terpaksa ia miringkan kepala dan menyemburkan senjata rahasianya itu kesamping.

Dalam keadaan terpaksa begitu, yang diharapkan Kiu Jian-jio asalkan biji kurma itu tidak tersemprot ke arah anak perempuan, sama sekali tidak terpikir siapa yang menjadi sasarannya lagi, Maka terdengarlah suara jeritan dua kali, dua anak murid berseragam hijau menggeletak binasa dengan kepala pecah dan yang lain dada berlubang.

Kongsun Ci menyadari kalau ingin merebut kembali Coat-Ceng-kok, selain memerlukan bantuan Li Bok-chiu juga anak buahnya harus dipuiihkan dulu kesetiaannya, Apa yang terjadi sekarang jelas adalah kesempatan baik untuk menarik simpatik anak buahnya itu, segera ia berseru: "Perempuan jahat, kau tega membunuh anak muridku, pasti akan kubinasakan kau,"

Karena bicara dan sedikit merandek inilah tahu2 Nyo Ko telah mengadang jalan larinya.

"Kongsun siansing, urusan kita perlu diselesaikan dahulu, jangan ter-buru2 pergi." kata Nyo Ko.

Kongsun Ci mengangkat tubuh Lik-oh ke atas, katanya dengan menyeringai "Kau berani merintangi aku?" Segera ia ber-putar2 dengan tungkak kaki sehingga makin mendekati Nyo Ko.

Karena Kongsun Ci berputar dengan mengangkat tubuh Lik-oh, kalau Nyo Ko merintanginya atau Kiu Jian-jio menyerang lagi dengan biji kurma, tentu yang akan terluka adalah Kongsun Lik-oh. Dengan sendirinya Nyo Ko tidak berani sembarangan bertindak,, betapapun ia tidak mau mengorbanknn jiwa nona itu demi merebut obat bagi kepentingannya sendiri.

Dalam pada itu Kongsun Ci telah menggeser maju lagi dengan memutar tubuh Kongsun Lik-oh, terpaksa Nyo Ko menyingkir ke samping.

Sama sekali Lik-oh takbisa berkutik berada dalam cengkeraman sang ayah, waktu memutar ke sini dan tiba2 dilihatnya Nyo Ko menyingkir memberi jalan bagi ayahnya dengan mata yang penuh prihatin baginya, hati Lik-oh tergetar, pikirnya:

"Demi keselamatanku ternyata dia rela mengorbankan obat yang dapat menyembuhkan dia itu."

Walaupun kaki dan tangannya takbisa bergerak namun kepala dan lehernya dapat berputar, mendadak ia menjerit tertahan: "O, Nyo-toako!"

Tiba2 batok kepalanya ditumbukkan ke ujung pedang hitam yang dipegang Kongsun Ci itu. Pedang itu sangat tajam, karuan tanpa ampun jiwa Kongsun Lik-oh melayang, tewas di tangan ayahnya sendiri.

"Haya!" teriak Nyo Ko kaget, namun sudah kasip meski bermaksud menubruk maju untuk menolong.

Kongsun Ci juga terkejut dan hati terasa pedih sedikit, namun iapun tahu keadaan sangat berbahaya baginya, segera pihak lawan pasti akan menggempur nya dengan mati2an. Didengarnya suara orang menggeram gusar, tiga biji buah kurma secepat kilat telah menyamber tiba.

Tanpa pikir ia lemparkan mayat puterinya ke belakang sehingga ketiga biji kurma itu seluruhnya mengenai tubuh Lik-oh yang sudah tak bernyawa itu.



Menyaksikan kekejaman Kongsun Ci itu, semua orang sangat murka dan benci padanya, serentak mereka melolos senjata dan segera hendak mengerubut maju.

Cepat Kongsun Ci berseru: "Wahai para anak murid! perempuan jahat itu bersekongkol dengan orang luar dan hendak membunuh segenap penghuni Coat-ceng-kok kita ini. Hayolah lekas maju dengan barisan jaring berkait kalian!"

Sejak kecil anak muridnya itu memujanya seperti malaikat dewata, Soalnya tempo hari Kongsun Ci terpaksa melarikan diri setelah sebelah matanya di butakan oleh Kiu Jian-jio.

Dalam keadaan kosong pimpinan, terpaksa mereka tunduk kepada perintah Kiu Jian-jio. Kini seruan Kongsun Ci telah membangkitkan kembali ketaatan mereka, serentak mereka merubung maju dengan membentangkan jaring berkait.

Setiap j'aring itu lebarnya enam-lima meter dan penuh kaitan dan piiau kecil yang tajam, Biarpun kepandaian Bu Sam-tbong, Yalu Ce dan lain2 cukup tinggi juga tidak tahu cara bagaimana menghadapinya. Apabila jaring itu mengurung rapat, bukan mustahil tubuh mereka akan babak belur, Ta-pi karena kepungan barisan jaring itu, Kiu Jian-jio sendiripun terkurung di tengah.

Segera ia ber-teriak2 "jangan tunduk pada ocehan bangsat tua itu, para anak murid, lekas berhenti, lekas kalian mundur!"

Akan tetapi para anak murid berseragam itu anggap tidak mendengar. Bahkan Kongsun Ci terus membentak lagi memberi perintah cara bagaimana barisan jaring itu harus bekerja, Anak buahnya ternyata mengikuti perintahnya dan mendesak maju dengan jaring terbentang.

Bahu kanan Ui Yong terluka, terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk merogoh segenggam jarum terus ditawurkan, berpuluh jarum lantas menyambar ke sebelah sana. walaupun tenaga tangan kirinya tidak sekuat tangan kanan, tapi jaraknya cukup dekat pula, jumlah jarum cukup banyak, sedikitnya beberapa orang berseragam hijau akan terluka, dan kalau barisan jaring itu kebobolan segera mereka dapat menerjang keluar.

Tak tahunya di atas jaring ikan itu banyak terikat batu semberani kecil yang bisa digunakan untuk menyedot senjata rahasia musuh. Maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, berpuluh jarum Ui Yong serta paku lembut yang disemburkan Kiu Jian-jio sama lengket pada jaring ikan.

"Celaka!" keluh Ui Yong. Segera ia membentak pula: "Anak Hu, jaga kepalamu dengan pedang dan terjang maju bobolkan jaring musuh" Di antara rombongannya hanya Kwe Hu saja yang memakai jaket pusaka dan tidak takut dilukai kaitan tajam di atas jaring itu, maka Ui Yong menyerukan puterinya itu menerjang musuh.

Tanpa pikir Kwe Hu memutar pedangnya dan menerjang ke sebelah kanan, Empat orang berseragam hijau membentang jaring terus dilemparkan ke-arahnya, Tapi begitu pisau kecil dan kaitan diatas jaring itu mengenai tubuh Kwe Hu, kaitan jaring itu terpental balik.

Tapi ber-turut2 barisan jaring itu lantas menubruk maju lagi dari kanan-kiri, jika kepungan barisan jaring itu makin mendesak, betapapun sukar bagi Kwe Hu untuk membobolnya sekalipun dia memakai jaket pusaka yang kebal senjata tajam.

Melihat keadaan berbahaya, Nyo Ko tidak tinggal diam, segera ia putar pedangnya yang maha berat itu sekali tebas, kontan sebuah jaring musuh terobek menjadi dua, keempat orang ini terbentang di-pegangi empat orang di kanan kiri.. seketika ke-empat orang itu jatuh terjungkal. Suasana menjadi kacau, mendadak dari luar ruangan pendopo itu berlari masuk dua orang kejar mengejar.

Semua orang sama terkesiap demi nampak yang muncul-ini adalah Li Bok-chiu dan Cu Cu-liu.

Kiranya Li Bok-chiu telah lama menunggu di puncak Coat ceng-hong dan belum nampak Kongsun Ci kembali dengan obat yang dijanjikan itu, diam2 ia mendongkol dan menyangka Kongsun Ci telah menipunya, Akhirnya ia turun dari puncak gunung itu dan mencari jalan kembali ke Coat-ceng-kok tempat Kiu Jian-jio dengan tujuan mencari kesempatan untuk merebut obat penawar racun bunga cinta menurut cerita Kongsun Ci itu.

Karena tidak apal jalanan di situ, akhirnya Li Bok-chiu kesasar lagi ke tempat yang penuh tumbuh bunga cinta yang melukainya itu. Pada saat itulah tiba2 didenganiya ada suara orang berjalan mendatangi, Cepat ia sembunyi di baiik batu karang di samping semak2 bunga itu.

Ia coba mengintip diri tempat sembunyinya, dilihatnya kedua orang itu yang satu berdandan sebagai sastrawan dan yang lain adalah Hwesio negeri asing. Kiranya mereka itu adalah Cu Cu-liu dan paderi Hindu.

Tadinya Cu Cu-liu menunggui paman gurunya yang belum siuman itu di rumah garangan, Sesudah siuman kembali, paderi Hindu itu lantas mengajak Cu Cu-liu ke tempat bertumbuhnya bunga cinta untuk menyelidiki lebih lanjut.

Setiba di semak2 bunga itu, paderi Hindu itu lantas berjongkok dan mulai meraba dan meneliti rumput di sekitar dan di bawah bunga cinta itu.

Maklumlah, barang yang satu biasanya menjadi penangkal barang yang Iain. Tempat di mana ular berbisa berkeliaran, di situ pasti tumbuh obat bunga cinta itu juga pasti tumbuh di bawah atau di sekitar bunga itu.

Sudah tentu tak diketahuinya bahwa Li Bok-chiu justeru sembunyi di balik batu karang sana, ketika nampak paderi itu me-runduk2 semakin mendekat tanpa bicara lagi Li Bok-chiu lantas menyerangnya dengan sebuah jarum berbisa.

Orang lain saja sukar untuk mengelak serangan menggelap Li Bok-chiu itu, apalagi paderi Hindu itu tidak mahir ilmu silat, kontan saja jarum itu menancap di dadanya dan binasa.

Cu Cu-liu mendengar suara mendesis pelahan itu, lalu paman gurunya menggeletak tak bergerak lagi segera ia tahu apa yang terjadi. Hanya tak diketahuinya bahwa paderi Hindu sudah mati, tanpa pikir ia memburu maju untuk menolongnya.

Kesempatan baik itu tidak sia2kan Li Bok-chiu, mendadak ia menubruk keluar dari tempat sembunyinya dan pedang terus menusuk punggung Cu Cu-liu, karena tidak menyangka musuh justeru sembunyi di belakang batu, sukar bagi Cu Cu-liu untuk menghindari sergapan itu, sebisanya dia miringkan tubuh, karena itu ujung pedang Li Bok-chiu hanya melukai bahunya saja dan tidak parah.

Segera Cu Cu-liu menggeser ke samping dan membalik, kontan ia balas menutuk dengan It-yang-ci. Li Bok-chiu pernah merasakan It-yang-ci yang di mainkan Bu Sam-thong, sekarang ilmu jari sakti. Cu Cu-liu ini ternyata lebih lihay, diam2 Li Bok-chiu terkesiap dan tidak berani gegabah.

Setelah bergebrak beberapa jurus, Cu Cu-liu melihat sang Susiok yang menggeletak itu sama sekali tidak bergerak, cepat ia berseru: "Susiok! Susiok!"

Tapi sang paman guru tetap tidak menjawab. "Hehe, jika kau ingin jawabannya, boleh kau ikut ke akhirat saja!" ejek Li Bok-chiu sambil menyerang lagi lebih gencar, ia pikir kalau lawan berduka karena paman gurunya sudah mati, tentu pikirannya akan kacau dan mudahlah dikalahkan.



Tak tahunya rasa duka Cu Cu-liu itu justeru menambah sakit hatinya kepada musuh, serangannya malah bertambah lihay tanpa kendur sedikitpun.

Di bawah cahaya bulan sabit yang remang itu Li Bok-chiu melihat wajah Cu Cu-liu berubah beringas, matanya membara, serangannya tambah kalap se-akan2 tidak segan untuk gugur bersama bila perlu, diam2 Li Bok-chiu menjadi takut sendiri, setelah bergebrak lagi beberapa jurus, mendadak ia membalik tubuh terus angkat langkah seribu alias kabur.

Cepat Cu Cu-liu memeriksa keadaan sang Susiok, ternyata sudah tidak bernapas lagi, sekali bersiul penuh duka, segera ia mengudak kearah Li Bok-chiu dan begitulah susul menyusul mereka telah masuk ke ruangan pendopo.

"Susiok telah terbunuh oleh iblis ini, Suhu!" seru Cu Cu-liu begitu melihat It-teng Taysu.

Melihat datangnya Li Bok-chiu, Kongsun Ci kaget dan girang, segera ia berseru: "Ke sini saja Li-sumoay!" Berbareng iapun menyongsong ke sana.

Meski terluka, namun pikiran Ui Yong cukup jernih, melihat sikap Kongsun Ci itu segera ia dapat menerka hubungannya dengan Li Bok-chiu, cepat ia berseru: "Ko-ji, pisahkan kedua iblis itu, jangan sampai mereka bergabung!"

Namun Nyo Ko sudah putus asa demi mendengar berita kematian paderi Hindu itu, kini semuanya tak berarti lagi baginya, sisa Coat-ceng-tan itu telah diambil Kongsun Ci atau bukan sama sekali tak terpikir lagi olehnya. Maka seruan Ui Yong itu hanya disambut dengan tersenyum dan tidak ikut turun tangan.

Cepat Yalu Ci jemput setengah jaring yang dirobek oleh pedang Nyo Ko tadi dan berseru: "Bu-suheng, cepat pegang ujung sana!"

Beramai Bu Tun-si, Wanyan Peng dan Yalu Yan lantas memegangi ujung jaring itu dan menghadang di antara Li Bok-chiu Kongsun Ci itu tidak berhasil mengurung musuh, kini malah berbalik kena diperalat oleh musuh untuk merintangi dia sendiri benar2 senjata makan tuan.

Sementara itu, suasana di ruangan itu menjadi gaduh, karena scbagaian jaringnya bobol, anak buah Kongsun Ci menjadi kacau, kesempatan itu segera digunakan Kiu Jian-jio untuk menyemburkan senjata rahaHanya, maka terdengarlah jeritan dan teriakan di sana sini, ber-turut2 lima enam orang telah roboh binasa, barisan jaring juga lantas kacau balau dan buyar.

Dengan gusar Kongsun Ci ayun goloknya membacok Yalu Yan, namun Thia Eng lantas mendahului menutuknva dengan seruling kumalanya. Terpaksa Kongsun Ci menarik kembali goloknya, diam2 ia terkejut oleh keiihayan Thia Eng itu. Ber-turut2 ia menusuk dua kali dengan pedangnya dan semuanya dapat dipatahkan Thia Eng pula.

Cepat Bu-siang putar golok sabitnya mengerubut maju, Percumalah Kongsun Ci menerjang kian kemari, maksudnya hendak bergabung dengan Li Bok-chiu selalu dirintangi beberapa anak muda itu, malahan terkadang ia harus waspada terhadap semburan senjata rahasia Kiu Jian-jio. ia pikir agar bisa bergabung dengan leluasa harus terjang dulu keluar rumah sana.

Maka sambil memutar senjatanya ia lantas berseru: "Li-suamoay, terjang keluar saja, kita bertemu lagi di tempat tadi!" Berbareng kedua orang lantas bersuit dan melompat kekanan dan kiri, melayang lewat di samping Nyo Ko dan Siao-liong-li terus menerobos keluar rumah.

Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li mau turun tangan, tentu kedua orang itu dapat dicegah Tapi tangan kiri Nyo Ko menggenggam kencang tangan kanan Siao-liong-li sambil melangkah keluar dengan pelahan, meski tahu jelas Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lewat di sebelah mereka juga tidak ambil pusing.

Cepat Ui Yong berseru: "Cegat Kongsun Ci itu, Liong-sumoay, Coar-ceng-tan berada padanya!"

Siao-liong-li terkejut, ia pikir kalau paderi Hindu itu sudah mati, maka racun dalam tubuh Ko-ji hanya dapat ditolong dengan sisa Coat-ceng-tan itu. Segera ia melepaskan gandengan tangan Nyo Ko dan memburu ke sana.

"Biarkan saja, Liong-ji!" seru Nyo Ko.

"Mana boleh dibiarkan dia pergi?" ujar Siao-liong li.

Melihat Siao-liong-li tetap mengejar dengan cepat terpaksa Nyo Ko menyusulnya.

Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lari ke jurusan yang berlawanan, maka semua orang juga mengejar dengan terbagi dua rombongan. Siao-liong-li, Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat mengejar Kongsun Ci, sedangkan Bu Sam-thong dan kedua Bu cilik, Cu Cu-liu dan Wanyan Peng berlima mengudak Li Bok-chiu.

Yalu Ce, Yalu Yan dan Kwe Hu tinggal di sana mendampingi Ui Yong untuk mengawasi Kiu Jian-jio agar tidak melakukan kekejaman lain.

Di antara rombongan Bu Sam-thong itu, ilmu silat Cu Cu-liu terhitung paling tinggi, tapi bahunya terluka, setelah ber-lari2 sekian lama, akhirnya ia merasa tidak tahan, waktu semua orang berhenti dan memandang Cu Cu-liu, sedikit merandek saja bayangan Li Bok-chiu lantas tak kelihatan lagi.

"Kalau iblis itu sampai lolos, sungguh kita berdosa terhadap Susiok," ujar Cu Cu-liu dengan gregetan, Mereka terus mencari kian kemari di semak2 pohon dan batu karang, tapi jejak Li Bok-chiu tetap menghiIang.

"Tadi Kongsun Ci berseru padanya agar bertemu lagi di tempat semuIa," kata Cu-liu. "Kita tidak tahu tempat mana yang dimaksudkan, tapi asalkan kita mengikuti Kongsun Ci, akhirnya iblis perempuan ini pasti akan ditemukan di sana."

"Benar ucapan Sute," ujar Bu Sam-thong, "Marilah kita lekas menguntit Kongsun Ci saja."

Begitulah mereka lantas putar balik ke arah larinya Kongsun Ci tadi. Tidak lama, benarlah di depan sana terdengar suara teriakan dan bentakan orang, Bu Sam-thong memayang Cu Cu-liu agar dapat berlari lebih cepat Namun suara bentakan dan teriakan itu sebentar mendekat lain saat menjauh lagi, sekejap kemudian lantas lenyap dan keadaan sunyi senyap pula.

Ribut semalam suntuk, sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, cuaca sudah remang2. Tiba2 terlihat di depan ada jalan simpang empat, mereka menjadi bingung jurusan mana yang harus dituju?

Mata Wanyan Peng lebih celi, tiba2 ia tuding sebatang pohon kecil di tepi jalan yang kedua sana dan berseru: "He, Cu cianpwe, coba lihat, batang pohon itu, baru saja dibacok orang."

"Benar," seru Cu-liu dengan girang, "Marilah kita coba mengambil jalan ini."

Cepat mereka berlari ke sana. sesudah membelok kian kemari, kemudian terlihat pula batang pohon di tepi jalan ada lagi bekas bacokan serupa pohon tadi. semangat mereka terbangkit, mereka menyusur ke sana lebih cepat, pepohonan di tepi jalan makin lama makin lebat, jalanan juga semakin rusak dan sukar ditempuh. untunglah pada setiap belokan atau lintasan jalan selalu ada tanda2 bacokan golok di atas pohon atau di tanah.

Kiranya tanda2 bacokan itu adalah perbuatan Liok Bu-siang atas perintah Thia Eng. Kedua nona itu mengikuti Nyo Ko dan Siao-liong-li mengejar Kongsun Ci, karena sasarannya itu lari berputar kian kemari secara menyesatkan kuatir ke-sasar, maka Thia Eng suruh Bu-siang meninggalkan tanda sepanjang jalan. Tak terduga tanda2 itu akhirnya menjadi petunjuk jalan bagi rombongan Cu Cu-liu.



Begitulah setelah ber-lari2 sekian lama, hari pun sudah terang, namun pepohonan lebat di sekitar mereka menambah suasana jadi suram. jalanan menanjak dan terjal, terpaksa mereka melambatkan langkah.

Tengah berjalan, tiba2 terdengar suara orang tertawa panjang di bagian atas, suaranya melengking tajam laksana burung hantu, serentak mereka berhenti dan menengadah, tertampaklah di suatu tebing yang curam di depan sana berdiri seorang sedang mendongak sambil tertawa, Siapa lagi dia kalau bukan Kongsun Ci.

Di bawah tebing curam itu adalah jurang yang tak terkira dalamnya, di atasnya adalah puncak gunung yaag menjulang tinggi menembus awan.

Melihat keadaan Kongsun Ci yang menyerupai orang gila itu, diam2 Cu Cu-liu berkuatir: "Kalau dia terpeleset dan jatuh ke jurang, mampusnya sih tidak perlu disayangkan, tapi Coat-ceng-tan yang dibawanya itu akan ikut lenyap juga." Segera ia memburu ke sana secepat terbang.

Setelah membelok suatu tikungan, dilihatnya Nyo Ko, Siao-liong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat sudah berdiri di tepi tebing sana dan sedang menengadah memandangi Kongsun Ci.

Melihat datangnya Cu Cu-liu, dengan suara pelahan Siao-liong li lantas berkata: "Cu-toasiok, lekas engkau mencari akal untuk memancing dia turun."

Cu Cu-liu coba mengamat-amati keadaan sekitar situ, dilihatnya tempat berdiri Kongsun Ci itu hanya dihubungkan oleh sebatang balok batu yang lebarnya tidak lebih dari 30 senti, jembatan dan tebing gunung sana penuh berlumut hijau, berdiri sendirian di sana saja tak bisa bergerak dengan leluasa, apalagi kalau dua orang berdesakan di sana.

Maka selain memancing turun Kongsun Ci rasanya memang tiada jalan lain. Tapi Kongsun Ci adalah manusia licin dan licik, manabisa dia diakali? persoalan ini benar2 rumit.

Teringat kepada budi kebaikan Nyo Ko yang telah menyelamatkan jiwa kedua anaknya yang sekarang mati-hidup Nyo Ko sangat bergantung pada obat yang berada di tangan Kongsun Ci, ia merasa sekarang inilah saatnya baginya untuk membalas budi Nyo Ko, segera ia menyingsing lengan baju dan berkata: "Biar kupergi kesana untuk menyeretnya ke sini."

Tapi baru saja ia melangkah, tiba2 bayangan orang berkelebat tahu2 Thia Eng sudah mendahului di depannya dan berkata: "Aku saja yang ke-sana!" Cepat sekali ia terus melangkah ke jembatan batu yang sempit itu.

Akan tetapi cepatnya Thia Eng ternyata masih kalah cepat daripada Nyo Ko, tiba2 Thia Eng merasa pinggangnya mengencang, Nyo Ko telah membelit pinggangnya dengan lengan baju yang kosong itu serta ditariknya kembali Malahan terdengar Nyo Ko membisik di telinganya: "Apa artinya diriku ini, kenapa engkau perlu berbuat begini?"

Wajah Thia Eng menjadi merah dan seketika tidak sanggup bicara, Pada saat itulah suara Siao-liong-li berkata: "Tolong pinjam sebentar pedangmu!"

Mendadak sesosok bayangan melayang lewat di samping Bu Tun~si dan Wanyan Peng dan tahu2 pedang mereka sudah di lolos orang, Gerakan itu sungguh secepat kilat, ketika Bu Tun-si dan Wanyan Peng melengak bingung sementara itu Siao-liong-li sudah melayang ke atas jembatan batu dan mendekati Kongsun Ci.

Terkejut juga Kongsun Ci melihat Siao-liong~li berani mendekat ke tempat berbahaya itu, Segera ia melangkah maju dan mengadang di ujung jembatan batu sebelum Siao-Iiong-li menyeberang ke tempatnya, Bentaknya: "Apakah kau ingin mampus?"

Sambil menghunus sepasang pedang, Siao-liong-li berdoa di dalam hati semoga berhasil merebut kembali Coat-ceng-tan dan matipun ia rela, Dengan suara lembut ia lantas berkata: "Kongsun-siansing, engkau pernah menyelamatkan jiwaku, lantaran perempuan yang bernasib malang seperti diriku ini kau telah ikut menderita, sungguh aku sangat menyesal dan sedih. Kedatanganku sekarang sama sekali tidak ingin mengadu jiwa dengan kau.

"Habis kau mau apa?" tanya Kongcun Ci.

"Kumohon engkau suka memberi obat untuk menolong suamiku, obat itu tidak berguna bagimu, kalau suka dihadiahkan padaku, sungguh takkan kulupakan budi kebaikanmu," tutur Siao-liong-li.

"Lekas kembali, Liong ji!" demikian Nyo Ko berseru di seberang sana, "Setengah biji obat itu takkan menolong jiwa kita berdua, apa gunanya kau memintanya?"

Melihat perawakan Siao liong-li yang cantik dan lemah gemulai menggiurkan mana Li Bok-chiu dapat menandinginya biarpun cuma tiga bagiannya, matanya yang tinggal satu mengincar dengan terkesima, tiba2 timbul lagi pikiran jahat Kongsun Ci, ia tanyai "Kau panggil bocah she Nyo itu suamiku?"

"Ya, kan dia sudah menikah dengan aku," jawab Siao-liong-li.

"Asalkan kau menyanggupi suatu permintaanku, segera obat ini kuberikan," kata Kongsun Ci.

Melihat sorot mata tunggal orang yang licin itu, segera Siao-liong-Ii tahu maksudnya, katanya sambil menggeleng: "Aku sudah bersuami, mana boleh kunikahi kau lagi? Kongsun-siansing, kau tetap kesemsem padaku, namun aku sudah ada yang punya, terpaksa mengecewakan maksud baikmu."

Mata Kongsun Ci yang aneh itu mendelik, bentaknya: "Jika begitu lekas kau mundur ke sana. Kalau kau tetap memusuhi aku, terpaksa aku tidak kenal ampun lagi."

"Kan sia2 belaka perkenalan kita ini jika sampai kita bergebrak dan bermusuhan?" ujar Siao-liong-li suaranya sangat halus, dalam hati ia benar2 masih merasa utang budi kepada Kongsun Ci.

"Hm," jengek Kongsun Ci, "aku justeru ingin menyaksikan bocah she Nyo itu merintih-rintih karena racun dalam tubuhnya masih bekerja, ingin melihat dia sekarat menghadapi elmaut, ingin tahu betapa cantiknya isteri setia seperti kau ini akhirnya menjadi janda muda belia yang berkabung."

Makin bicara makin keji kata2nya dengan menyeringai dan mengertak gigi.

Siao liong-li menyambut dengan tersenyum pedih, jawabnya: "Coba dengarkan kau, bukankah dia sedang memanggilku kembali ke sana? Begitu kasih sayangnya padaku, betapapun dia tak menghiraukan apakah racun dalam tubuhnya akan kumat atau tidak."

Benar juga terdengar Nyo Ko sedang berseru, katanya: "Liong-ji, lekas kembali sini, buat apa banyak bicara dengan orang macam begitu? Kalau saja jembatan batu itu tidak terlalu sempit dan sukar dipijak dua orang, tentu sejak tadi ia sudah berlari ke sana dan menarik kembali isterinya.

Jarak Kongson Ci dengan Siao-liong- li saat itu hanya satu-dua meter saja, asalkan melangkah maju setindak saja sudah dapat meraihnya. Cuma tempatnya teramat berbahaya, bila nona itu sedikit meronta saja, maka kedua orang pasti akan tergelincir bersama ke dalam jurang dan hancur lebur.

Kongsun Ci menjadi serba susah, kalau tidak menawan Siao-liong li sebagai sandera, lalu cara bagaimana dirinya dapat lolos dari tebing yang buntu ini.

Di lihatnya di pihak lawan hanya Nyo Ko seorang saja yang lihay, kalau dirinya menerjang mati2 an mungkin anak muda itupun takdapat mengalanginya, paling baik kalau Siao-liong-li mau mundur sesuai seruan Nyo Ko itu, lalu dirinya ikut menyeberang ke sana dan menawannya, kemudian bergabung dengan Li Bok-chiu.



Setelah ambil keputusan demtkian, segera Kongsun Ci membentur pedang dan goloknya hingga menerbitkan suara mendering, bentaknya: "Lekas mundur!" Berbareng pedangnya terus menusuk

Di luar dugaannya, sejak Siao-liong-li belajar ilmu berkelahi dua tangan dengan dua cara dari Ciu Pek-thong itu, kepandaiannya serentak bertambah satu kali lipat, kalaupun tubuh mengidap racun tenaga dalamnya banyak berkurang, tapi betapa hebat Giok-li-kiam-hoat yang dimainkannya dengan kedua tangan sekaligus manabisa ditandingi golok dan pedang Kongsun Ci.

Dalam sekejap saja sepasang pedang yang diputar Siao liong-li itu telah berubah menjadi dua gulung sinar putih, kalau kiri bertahan, yang kanan segera menyerang dan begitu seterusnya secara bergantian Keruan Kongsun Ci menjadi kelabakan dan terdesak.

Makin lama makin heran dan gelisah hati Kongsun Ci, diam2 ia menyesal, kalau tadi mengetahui orang telah berhasil meyakinkan ilmu pedang selihay ini, tentu dia takkan bergebrak dengannya. Masih untung baginya karena Siao-liong-li tidak bermaksud membunuhnya, maka untuk sekian lama Kongsun Ci masih sanggup bertahan.

Begitulah mereka terus bertempur dengan sengitnya di tebing yang curam itu, tidak lama It-teng Taysu, Ui Yong, Kwe Hu, Yalu Ce dan Yalu Yari juga dan sama terperanjat menyaksikan pertarungan sengit mereka di tempat yang berbahaya itu.

Kwe Hu berkata kepada Yalu Ce: "Lekas kita maju membantunya, sendirian mana Liong-cici mampu mengalahkan dia?"

Biarpun watak Kwe Hu rada sembrono dan sejak kecil selalu dimanjakan sang ibu, tapi pada dasarnya sebenarnya berhati bajik. Ketika menyaksikan keadaan Siao-liong li sangat berbahaya, ia sendiripun pernah bergebrak dengan Kongsun Ci dan diketahuinya kepandaian kakek bermata satu itu sangat lihay, bahkan ibunya juga bukan tandingannya, apalagi sekarang Siao-liong li menempurnya sendirian. Tapi Yalu Ce mengatakan jembatan batu itu tak muat lagi orang lain, hal inipun memang nyata.

Saking cemasnya terpaksa ia berseru "Lekas mencari akal untuk membantu Liong-cici ibu!"

Padahal tanpa seruannya itu, setiap orang juga berharap bisa membantu Siao-liong li meninggalkan tempat berbahaya itu, tapi apa daya, andai kata bisa terbang ke sana juga tiada tempat untuk berpijak.

Terdengar suara bentakan Kongsun Ci golok dan pedangnya menyerang serabutan, kedua pedang Siao liong-li menyamber kian kemari dengan lemasnya seperti kekurangan tenaga, kalau berlangsung, lama tampaknya dia pasti akan celaka di tangan Kongsun Ci, Hanya Nyo Ko, Ui Yong dan It-teng Taysu saja yang dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Siao-liong-li yang lebih unggul.

Sejenak puIa, dapatlah Ui Yong melihat cara bertempur Siao-liong-li itu ternyata adalah ilmu berkelahi dengan dua tangan dan dua cara. Kepandaian ini di seluruh jagat tiada orang ketiga yang paham selain Ciu Pek-tong dan Kwe Cing, maka jelas kepandaian Siao liong-li ini pasti ajaran Ciu Pek-thong.

Dilihatnya Kungfu yang dimainkan Kongsun Ci sesungguhnya teramat lihay, sedangkan Siao-liong-li habis luka berat dan keracunan, tenaga dalamnya banyak susut, meski jurus serangannya lebih unggul namun dalam waktu ratusan jurus juga sukar menundukkan Kongsun Ci.

Tiba2 teringat satu akal oleh Ui Yong, segera ia berkata: "Ko-ji, kau dan aku berbareng bicara pada Kongsun Ci, kau mengertak dan me-nakut2i dia, sebaliknya aku membuatnya gembira, supaya dia lengah dan perhatiannya terpencar."

Habis itu ia lantas mendahului berteriak: "Hai, Kongsun-siansing, ini kabar baik bagimu, perempuan jahat Kiu Jian-jio itu sudah kubunuh tadi!"

Tergetar juga hati Kongsun Ci mendengar ucapan itu, ia menjadi ragu2, setengah percaya setengah sangsi.

Segera Nyo Ko ikut berseru: "Kongsun Ci, Li Bok-chiu menganggap kau ingkar janji karena tidak membawakan obat yang kau sanggupkan padanya, maka ia telah datang hendak membikin perhitungan dengan kau."

"Tidak, tidak!" cepat Ui Yong menambahkan, "Kata Li Bok-chiu, asalkan kau mampu menyembuhkan racun dalam tubuhnya, maka dia rela menjadi isterimu"

"Ah, mustahil kami mau tinggal diam?" seiu Nyo Ko pula, "Kami pasti akan berusaha menggagalkan angan2mu, kalau kau tertangkap kami, akan kami siksa kau juga dengan duri bunga cinta itu supaya kau juga tahu rasa."

"Persengketaan kita dapat didamaikan, tidak perlu kau kuatir, bagaimana kalau sekarang juga kita mulai berunding?" seru Ui Yong,

"He, celaka! Pelayanmu yang kau bunuh dahulu itu telah menjadi hantu dan muncul hendak menagih jiwa padamu!" teriak Nyo Ko. "Nah, nah, itu dia! Awas Dia berdiri tepat di belakangmu, wah, kukunya panjang2 dan tampaknya kau akan diterkamnya"

Begituiah Ui Yong dan Nyo Ko berseru secara bergantian ucapan mereka sebentar membikin takut hati Kongsun Ci dan lain saat membuatnya senang.

Sudah tentu Siao-Iiong-li juga dapat mendengar semua perkataan itu, cuma lantaran urusannya tidak menyangkut kepentingannya, pula dia dapat membagi pikirannya, dan dilaksanakan dengan dua tangan, serangannya sedikitpun tidak menjadi kendur sebaliknya Kongsun Ci memang sudah terdesak di bawah angin, karena pengacauan ucapan Nyo Ko dan Ui Yong itu, pikirannya semakin kacau.

Akhirnya ia menjadi gemas dan membentak: "Kalian mengoceh apa? Lekas tutup mulut!"

"He, awas, Kongsun Ci!" seru Nyo Ko pula, "Siapa itu nona yang berambut semerawut di belakang itu? Lidahnya menjulur panjang, mukanya penuh darah. Ah, dia hendak mencengkeram lehermu, awasi Wah, celaka!"

Meski Kongsun ^Ci tahu anak muda itu sengaja hendak mengacaukan pikirannya, tapi teriakan2 ngeri itu membuatnya merinding juga dan tanpa terasa ia melirik sekejap ke belakang Kesempatan itu tidak di-sia-2kan Siao-Iiongli, pedangnya menyamber tiba, dengan tepat pergelangan tangan kiri Kongsun Ci tertusuk.

Dengan sendirinya pegangan Kongsun Ci menjadi kendur, golok emasnya mencelat jatuh ke jurang, sampai lama sekali barulah- terdengar kumandang suara pelahan, sanu.. seperti suara kecebur dalam air, agaknya di bawah jurang itu adalah sebuah kolajn atau sungai.

Semua orang saling pandang dengan melongo, begitu lama golok itu terjatuh ke bawah barulah menerbitkan suara, maka betapa dalamnya jurang itu sungguh sukar diukur.

Begitu kehilangan goloknya, jangankan menyerang lagi, untuk bertahan saja sukar bagi Kongsun Ci. sebaliknya serangan Siaoliong-li semakin lancar dan gencar, ber-turut2 ia menusuk lagi empat kali ke kanan dan ke kiri, tubuh Kongsun Ci tergeliat, pedang hitamnya kembali terjatuh lagi ke jurang dan mati kutulah dia.

Sambil mengancam dada dan perut lawan dengan sepasang pedangnya, Siao-Iiong-li lantas ber-kata: "Kongsun-siansing, silakan kau menyerahkan Coat-ceng-tan dan jiwamu takkan kuganggu."

"Tapi bagaimana dengan orang2 -itu?" tanya Kongsun Ci dengan suara gemetar

"Kujamin takkan membikin susah kau," jawab Siao-liong-li.

Dalam keadaan demikian yang dipikir Kongsun Ci hanya menyelamatkan jiwa belaka, segera ia mengeluarkan botol kecil itu dan disodorkan.

Sambil tetap mengancam dada lawan dengan sebelah pedangnya, tangan Siao~liong~Ii yang lain menerima botol itu dengan perasaan girang dan pedih pula, pikirnya: "Meski aku sendiri takdapat hidup lama, akhirnya Coat-ceng-tan ini dapat kurampas untuk menolong Ko-ji." - Segera ia berlari balik ke seberang sini.

Meski sebelumnya Bu Sam-thong, Cu Cu-liu dan lain2 sudah tahu ilmu silat Siao-liong-li sangat lihay, tapi sama sekali tidak menduga dia memiliki kepandaian sesakti ini, dapat sekaligus memainkan dua pedang dengan dua cara yang berlainan.

Mereka pernah mendengar bahwa Ciu Pek-thong dan Kwe Cing mahir memainkan dua cara bertempur yang berbeda dengan kedua tangan, tapi mereka cuma mendengar saja dan belum pernah menyaksikan sendiri sekarang mereka dapat melihat betapa lihay kepandaian Siao-liong-li itu, mereka menjadi kagum tak terhingga.

Tentu saja Yalu Ce, Yalu Yan, Thia Eng, Kwe Hu dan lain2 juga tidak kepalang kagumnya menyaksikan betapa lihay ilmu silat Siao-liong-li itu, padahal usianya sebaya dengan mereka, malahan kelihatan lemah gemulai, kalau tidak menyaksikan sendiri tentu orang takkan percaya.

Sementara itu dengan gaya indah laksana bidadari turun dari kahyangan Siao-liong li telah mc layang balik dari jembatan batu sana, serentak semua orang bersorak gembira dan memuji. Cepat Nyo Ko memburu maju dan memegangi tangan sang isteri, Semua orang juga lantas merubungnya untuk bertanya.

Cepat Siao-liong-Ii membuka botol porselen itu dan menuang keluar setengah butir pil, katanya dengan tersenyum simpul: "Koji, obat ini tulen bukan?"

Tapi Nyo Ko memandang obat itu dengan tak acuh, jawabnya: "Memang tulen, Liong ji, bagaimana keadaanmu? Mengapa kau begini pucat? Coba kau mengatur pernapasanmu"

Namun Siao-liong-li tetap tersenyum saja, Ke-tika berlari balik tadi memang sudah dirasakannya darah terasa bergolak dalam rongga dadanya, rasanya muak dan ingin muntah, tapi sekuatnya ia telah bertahan, ia tahu racun yang diidapnya itu terlalu dalam, untunglah dia telah berhasil merebut setengah biji Coat ceng tan, lebih dari itu tak terpikir lagi olehnya.

Sambil menggenggam tangan Siao-liong-li yang terasa semakin dingin, dengan cemas Nyo Ko ber-tanya: "He, Liong-ji, bagaimana perasaanmu?"

"Ah, tak apa2, lekas kau minum obat ini," ujar Siao-liong-ii.

"Liong-ji," kata Nyo Ko dengan suara gemetar, "setengah biji obat ini sukar menyelamatkan jiwa dua orang, untuk apa lagi? O, Liong-ji, masakah kau belum tahu perasaanku? jika engkau mati, masakah aku dapat hidup sendirian?"

Berkata sampai di sini, rasa dukanya tak tertahan, mendadak ia rampas botol beserta obatnya terus dilemparkan ternyata setengah biji obat, satu2nya obat yang dapat menyembuhkan racun yang diidapnya itu telah dibuangnya ke jurang yang tak terhingga dalamnya itu..

Kejadian ini benar2 di luar dugaan siapapun juga semua orang melengak dan segera sama berseru kaget.

Siao-liong-li tahu Nyo Ko bertekad akan sehidup dan semati dengan dia, hatinya menjadi pedih, duka tercampur terima kasih pula. sehabis bertempur sengit dan racun dalam tubuhnya mulai bekerja, ia tidak tahan lagi, ia tergeliat terus jatuh pingsan dalam pelukan Nyo Ko.

Kedua saudara Bu, Kwe Hu, Wanvan Peng dan anak2 muda iain tidak paham duduknya perkara, be-ramai2 mereka bertanya dan membicarakan kejadian ini.

Mendadak Bu Sam thong membentak: "Li Bok-chiu, sekali ini jangan kau harap dapat lolos lagi!"

Serentak iapun memburu ke lereng gunung sebelah sana.

Waktu semua orang memandang ke sana, terlihat Kongsun Ci sedang berlari secepat terbang dengan Ginkangnya yang tinggi, di tanjakan lereng gunung sana tiba2 berkumandang suara tertawa orang tua, menyusul seorang muncul dengan memanggul sebuah peti besar, kiranya adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong,si Anak Tua Nakal.

"He, Lo-wan-tong, lekas giring To-koh jubah kuning itu ke sini!" seru Ui Yong.

"Baik boleh kalian saksikan kepandaian Lo-wan-tong!" seru Ciu Pek-thong sambil membuka tutup peti, kedua tangannya ber-gerak2, seketika segerombolan tawon madu menyamber keluar terus menerjang ke arah Li Bok-chiu.

Ketika pasukan Mongol membumi-hanguskan Cong-lam-san, kawanan Tosu dari Coan cin-kau sempat meninggalkan gunung dengan membawa kitab agama dan benda2 berharga lain, tapi yang dibawa Cui Pek-thong adalah sebuah peti yang berisi sekawanan tawon putih piaraan Siao-liong-li dahulu.

Biarpun sifatnya jenaka dan tingkah- lakunya ugal2an tapi bakat Ciu Pek-thong sebenarnya sangat pintar, tanpa kenal lelah ia terus mempelajari cara memimpin kawanan tawon putih itu, akhirnya dia berhasil juga menemukan kuncinya. Sekarang ia diminta Ui Yong menggiring Li Bok-chiu, kebetulan baginya untuk pamer kepandaian yang baru berhasil dipelajarinya itu.

Begitulah Kongsun Ci menjadi kaget melihat kawanan tawon itu, ia tidak berani lagi mendekati Li Bok-chiu melainkan terus menyelusup ke semak2 sebelah sana.

Li Bok-chiu juga kelabakan melihat terjangan kawanan tawon itu, terpaksa ia berlari ke sini mengikuti jalanan pegunungan itu, segera Bu Sam-thong didahului kedua puteranya serta Liok Bu siang dan Thia Eng memapak dengan senjata terhunus.

Tiba2 Yalu Ce berteriak: "Lihay benar engkau Suhu! Lekas engkau simpan kembali kawanan tawon itu ke dalam kandang!"



Segera Ciu Pek-thong ber-kaok2 ingin menggiring kembali kawanan tawon itu ke dalam peti, tapi di tengah ribut2, mana kawanan tawon mau menuruti perintahnya? Sambil tetap men-dengung2 gerombolan tawon putih itu tetap mengejar ke arah Li Bok~chiu.

Kuatir Li Bok-chiu kabur lagi, tanpa menghiraukan sengatan tawon, segera Bu Sam-thong mengudak ke sana.

"Liong-ji. Liongji!" Nyo Ko merangkul Siao-liong-li dan memanggilnya pelahan.

Siao-liong-li membuka matanya sedikit2, telinganya mendengar suara mendengung tawon hingga rasanya seperti sudah berada di kediaman lama di Cong-lam-san, hatinya menjadi girang dan bertanya: "Apakah kita sudah berada di rumah?" Tapi setelah tenangkan diri baru ingat apa yang terjadi tadi.

Segera ia bersiul pelahan beberapa kali, lalu membentak pula beberapa kali, seketika kawanan tawon putih itu ber-putar2 di sekeliling Li-Bok chiu dan tidak terbang serabutan lagi, "Suci." katanya, "selama hidupmu telah banyak dosa, apakah sekarang kau tidak menyesal?"

Wajah Li Bok-chiu pucat seperti mayat, jawabnya: "Mana itu Coat-ceng-tan?"

Siao-liong-li tersenyum pedih, katanyaj "Coat ceng tan itu sudah terlempar ke dalam jurang, Mengapa kau membunuh paderi Hindu itu? Kalau dia tidak mati, bisa jadi jiwaku dan jiwa Ko-ji dapat tertolong, bahkan kaupun dapat diselamatkan."

Mendelong perasaan Li Bok-chiu, ia tahu Sumoay nya ini selamanya tidak suka omong ko-song. Diam2 ia merasa menyesal bahwa jarumnya telah menewaskan paderi Hindu itu sehingga dirinya sendiri juga ikut celaka.

Sementara itu Bu Sam-thong dan lain2 sudah merubung maju, sedangkan Ciu Pek-thong masih sibuk ber-teriak2 dan berjingkrakan ingin memanggil kawanan tawon.

"Kakek Ciu, begini caranya," seru Siao-liong-li, lalu ia bersiut dan membentak seperti tadi.

Ciu Pek-thong menirukan bersuit dan membentak, benar juga be-ribu2 tawon putih itu lantas terbang menyusul kembali ke dalam peti, Karuan ia sangat girang, serunya: "Terima kasih nona Liong."

"Saudara Pek-thong, sudah lama tak berjumpa, kau ternyata sehat2 saja seperti dulu" dengan tersenyum It-teng Taysu menyapa.

Untuk sejenak Ciu Pek-thong melengak karena tak disangkanya It-teng Taysu juga berada di situ, cepat ia menutup peti dan berkata: "Ya, aku sehat, kaupun sehat, semua juga sehat!" Habis ini ia panggul petinya terus mengeluyur pergi tanpa berpaling lagi.

Melihat keadaan sekelilingnya, Li Bok-chiu menyadari kedudukannya yang suiit, melulu Ui Yong, Nyo Ko dan Siao-liong-li salah seorang saja sukar dilawan, apalagi sekarang kalau main kerubut ia menjadi nekat, teriaknya: "Hm, percuma kalian menganggap diri sebagai kaum pendekar, tahunya, hehe, kalianpun suka main keroyok, Siausumoay, sebagai anak murid Ko-bong-pay, betapapun aku tidak boleh mati di tangan orang luar, Nah, silakan kau maju saja!" Sembari berkata ia terus menyodorkan gagang pedang ke depan dan ujung pedang mengarah ke dadanya sendiri

Namun Siao-liong-li hanya menggeleng, kata-nya: "Urusan sudah terlanjur begini, untuk apa kubunuh kau?"

"Li Bok-chiu," bentak Sam-thong mendadak "Sekarang ingin kutanya kau, jenazah Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun telah kau bawa ke mana?"

Mendengar nama Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun tiba2 di sebut, tubuh Li Bok-chiu menjadi gemetar, mukanya ber kerut2, lalu menjawab: "Sudah kubakar menjadi abu. Abu tulang yang seorang kutebarkan di puncak Hoa-san, abu tulang yang Iain kubuang ke lautan timur, supaya mereka berdua takkan menjelma kembali dan tak pernah berkumpul lagi."

Melihat cara mengucap Li Bok-chiu yang gregetan dan penuh dendam itu, diam2 semua orang terkesiap dan gegetun.

Segera Bu-siang berkata: "Liong-cici adalah orang baik dan tidak tega membunuh kau, tapi segenap keluargaku telah kaubunuh semua, hanya tersisa aku saja seorang, hari ini aku harus menuntut balas, Piauci, hayolah kita maju!"

"Kau membunuh ibuku, betapapun kami tak dapat mengampuni kau," seru kedua saudara Bu.

"Orang yang tewas di bawah kebut dan jarumku tak terhitung banyaknya, jika semuanya ingin menuntut balas padaku, darimana aku mempunyai nyawa cadangan sebanyak itu? Bagaimanapun juga jiwaku cuma satu," ujar Li Bok-chiu tak acuh.

"Jika begitu kemurahan bagimu," seru Bu-siang dan Siu Bun berbareng dan segera menubruk maju dengan senjata masing2.

Mendadak Li Bok-chiu angkat pedangnya, "pletak", tahu2 pedang itu bergetar patah, sambil tersenyum mengejek Li Bok-chiu bersikap menghina dan berdiri diam tanpa melawan, ia tunggu serangan kedua anak muda itu dan tamatlah riwayatnya.

Pada saat itulah mendadak di sebelah timur sana ada asap tebal mengepul dan api berkobar dengan hebatnya.

"Hah, perkampungan sana terbakar!" seru Ui Yong.

"Tunda dulu membunuhnya, selamatkan jenazah Susiok lebih penting," kata Cu Cu-liu sambil melompat maju, sekaligus ia tutuk tiga Hiat-to penting di tubuh Li Bok-chiu agar tidak dapat kabur lagi.

"Juga jenazah nona Kongsun," demikian Thia Eng menambahkan.

Semua orang membenarkan dan be-ramai2 mereka lantas berlari ke arah datangnya tadi. Kedua saudara Bu cilik menggiring Li Bok-chiu, sedang Nyo Ko, Siao-Iiong-li, Ui Yong dan It-teng Taysu menyusul dari belakang dengan pelahan.

Walaupun masih cukup jauh dari perkampungan kediaman Kongsun Ci itu, hawa panas sudah menyerang dengan ganasnya, terdengar suara jeritan dan teriakan ngeri disertai suara gemuruh ambruknya atap dan belandar rumah.

"Keparat Kongsun Ci itu benar2 terlalu jahat, nona Liong seharusnya membinasakan dia saja," ujar Bu Sam-thong.

"Api ini besar kemungkinan bukan dikobarkan oleh Kongsun Ci kukira perbuatan nenek gundul Kiu-jian jio itu," kata Cu Cu-liu.

"Kiu Jian-jio katamu?" Bu Sarn-thong melengong bingung, "Untuk apa dia membakar kediaman sendiri yang sukar dibangun ini?"

Sembari berlari ke depan Cu Cu-liu menjawab: "Sebagian besar anak murid Kongsun Ci tidak tunduk padanya, sekalipun kita membunuh Kongsun Ci juga nenek gundul itu takdapat berdiam aman tenteram di sini, kulihat nenek itu berjiwa sempit dan..." tengah berkata sampailah mereka di dekat semak2 bunga cinta yang rada jauh dari kobaran api itu.



Terlihat jenazah paderi Hindu itu masih menggeletak di sana dengan wajah tersenyum simpul seperti orang hidup, agaknya sebelum ajalnya paderi itu menemukan sesuatu yang membuatnya kegirangan.

"Tampaknya Susiok mendadak meninggal sehingga sama sekali tidak menderita," ujar Bu Sam-thong.

Cu Cu-liu berpikir sejenak, lalu berkata, "Waktu itu Susiok sedang mencari rumput yang dapat memunahkan racun bunga cinta."

Sementara itu Ui Yong dan It-teng Taysu juga sudah menyusul tiba, demi mendengar ucapan Cu Cu-liu itu, Ui Yong lantas memeriksa sekitar jenazah paderi Hindu itu, tapi tidak menemukan sesuatu yang aneh, ia coba meraba baju paderi itu dan tetap tiada menemukan sesuatu benda.

"Apakah susiokmu tidak meninggalkan sesuatu pesan?" tanyanya kepada Cu liu.

"Tidak," jawab Cu-Jiu, "Kami keluar dari rumah omprongan itu dan tidak menyangka akan disergap musuh secara mendadak."

Tiba2 Ui Yong melihat air muka paderi Hindu yang mengulum senyum itu, pikirannya tergerak cepat ia memeriksa tangan paderi itu Terlihat-lah kedua jari tangan kanannya memegangi setangkai kecil rumput warna ungu, pelahan Ui Yong mementang jarinya dan rumput kecil itu diambil-nya, lalu bertanya: "Rumput apakah ini?"

Cu-liu menggeleng karena tidak tahu, Ui Yong coba mengendus rumput itu, terasa bau busuk dan memuakkan.

"Awas, Kwe-hujin, itulah Toan-jong-jau (rumput perantas usus) dan mengandung racun hebat," cepat It-teng berseru.

Ui Yong melengak dan sangat kecewa oleh keterangan itu.

Dalam pada itu kedua saudara Bu juga sudah tiba menggiring Li Bok-chiu, mendengar rumput beracun itu, Siu-bun lantas berkata kepada Ui Yong: "Sunio (ibu guru), suruh iblis maha jahat ini makan rumput itu saja."

"Ai, anak kecil jangan berpikiran buruk begitu," ujar It-teng.

"Cosuyaya (kakek guru), terhadap manusia jahat begini mengapa engkau juga kasihan padanya?" ujar Siu-bun.

Sementara itu pepohonan di sebelah sana juga sudah terjilat api dan menerbitkan suara pletak pletok yang keras, hawa panas juga semakin hebat, Cepat Ui Yong berkata: "Marilah kita mundur ke atas bukit bukit di sebelah timur sana." Be-ramai2 mereka lantas lari ke lereng bukit sana, terlihatlah bangunan yang ber-deret2 itu dalam waktu singkat telah musnah ditelan lautan api.

Karena Hiat-to tertutuk, meski dapat berjalan, tapi ilmu silat Li Bok-chiu tak dapat digunakan sama sekali, diam2 ia mengerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak melancarkan Hiat-to yang ter-tutuk itu dan dapat meloloskan diri jika penjagaan agak lengah. Tak terduga begitu ia mengerahkan tenaga, seketika dada dan perutnya kesakitan ke-ras, tak tahan lagi ia menjerit.

Rupanya racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya itu semula terbendung oleh tenaga murninya sehingga belum dapat bekerja, kini tenaga murninya digunakan menembus Hiat-to yang tertutuk sehingga tenaganya terpencar, racun lantas bekerja dengan ganasnya.

Dalam keadaan dada dan perut kesakitan hebat, dari jauh dilihatnya Nyo Ko dan Siao-liong-li berjalan mendatangi, yang satu pemuda cakap ganteng, yang lain nona cantik molek, pandangannya seketika menjadi kabur, samar2 kedua muda-mudi yang dilihatnya se-akan2 Liok Tian-goan yang dirindukan nya selama hidup ini beserta isterinya, yaitu Ho Wan-kun, tanpa terasa ia terus berteriak:

"Tian goan, kejam benar kau! Dalam keadaan begini kau tega benar menemui aku?"

Karena rangsangan cintanya itu, makin hebat racun bunga yang menyiksanya itu hingga sekujur badan gemetar, kulit daging mukanya ber-kerut2 kejang, Melihat sikapnya yang menakutkan seperti orang gila itu, tanpa terasa semua orang melangkah mundur.

Selamanya Li Bok-chiu berwatak angkuh dan tak pernah mau tunduk kepada orang lain, sekarang hatinya pedih dan tubuhnya menderita, saking tak tahan ia ber-teriak2: "Aduh, sakiti Tolong! Lekas tolong!"

"Sebenarnya Susiokku dapat menolong kau, namun kau telah membunuhnya." kata Cu Cu-liu sambil menunjuk jenazah paderi Hindu.

Sambil mengertak gigi Li Bok-chiu menjawab: "Benar, memang akulah yang membinasakan dia, Setiap manusia di dunia ini, baik atau buruk pasti akan kubunuh, Aku akan mati, ya, aku akan mati! Untuk apa kalian hidup? Aku ingin mati bersama kalian."

Saking tak tahan sakitnya, mendadak ia menubruk ke ujung pedang yang dipegang Bu Tun-si.

Setiap hari Bu Tun-si berusaha menuntut balas dan ingin membunuh musuh besar ini, tapi sekarang mendadak musuh menubruk ke ujung pedang-nya, ia menjadi terkejut malah dan tanpa terasa ia menarik kembali pedangnya Karena itu Li Bok~chiu telah menubruk tempat kosong, ia tergelincir ke bawah bukit terus terguling ke tengah lautan api.

Semua orang sama menjerit kaget, dari atas mereka dapat melihat sekejap saja Li Bok-chiu telah terbungkus oleh kobaran api, namun dia justeru merangkak bangun dan berdiri tegak tanpa bergerak lagi dan sama sekali tidak menghiraukan tubuhnya yang terbakar itu.

Teringat hubungan saudara seperguruan Siao-liong-li merasa tidak tega, ia berseru : "Suci, lekas lari keluar, lekas!"

Namun Li Bok-chiu tetap berdiri tegak di tengah api yang ber-kobar2 itu, dalam waktu singkat tubuhnya berubah menjadi sepotong tunggak hitam dan akhirnya roboh. Siao-Iiong-Ii memegangi lengan Nyo Ko sambil menutupi mukanya seru meneteskan air mata.

Melihat nasib Li Bok-chiu yang berakhir secara mengenaskan ini, biarpun Thia Eng dan Liok Bu-siaog tidak pernah melupakan sakit hati terbunuhnya ayah-bunda mereka serta segenap anggota keluarga, sekarang dendam itu sudah terbalas, namun sedikitpun mereka tidak bergembira menyaksikan kematian Li Bok-chiu itu.

Ui Yong memondong Kwe Yang, teringat kepada kejahatan yang pernah diperbuat Li Bok-chiu itu, ternyata iblis itu juga pernah berbuat suatu kebaikan, yakni merawat Kwe Yang cilik selama beberapa hari. Ui Yong lantas pegang kedua tangan Kwe Yang dan memberi hormat ke arah api sebagai tanda terima kasih kepada Li Bok-chiu.

Semula Nyo Ko bermaksud menyelamatkan juga jenazah Kongsun Lik-oh, tapi api kelihatan berkobar dengan hebatnya, segenap bangunan sudah tenggelam di tengah lautan api sehingga tak berdaya lagi, diam2 Nyo Ko merasa sedih, ia menghela napas panjang sambil memandang kobaran api dengan kesima.

Pada saat itulah se-konyong- di atas gunung sebelah timur-laut sana ada suara tertawa melengking aneh laksana bunyi burung hantu, suaranya menusuk telinga walaupun berkumandang dari jarak yang cukup jauh, dapat dibayangkan tenaga dalam orang sesungguhnya sangat hebat.



"ltulah suara Kiu Jian-jio!" kata Nyo Ko. "Mengapa dia bisa berada di puncak gunung sana?"

Tergerak hati Siao-liong-li, katanya: "Coba kita ke sana untuk menanyai dia apakah masih menyimpan Coat-ceng-tan.

"Liong-ji, masakah sampai sekarang kau masih memikirkan hal ini?" ujar Nyo Ko dengan tersenyum getir.

Maksud kedatangan Ui Yong, Bu Sam-tkong, Thia Eng dan lain2 ke Coat-ceng-kok ini memang untuk mencarikan obat bagi Nyo Ko, maka mereka sama menyetujui usul Siao~liong-li itu, mereka pikir kalau dari Kiu Jian-jio bisa dimintakan Coat-ceng-tan lagi pasti Nyo Ko akan dipaksa meminumnya dan takkan membiarkan anak muda itu membuang obatnya lagi secara sia2.

Karena pikiran mereka sama, berbareng mereka lantas berseru: "Marilah kita pergi ke sana," - Segera Bu Sam-thong dan kedua puteranya serta Yalu Ce dan Wanyan Peng lantas mendahului berlari ke sana.

Nyo Ko menghela napas dan menggeleng kepala, pikirnya: "Apa gunanya usaha kalian ini kecuali kalian dapat mencarikan obat mujijat yang mampu menghidupkan jiwa kami suami-isteri sekagus,"

Sejak tadi Thia Eng hanya memandangi Nyo Ko dengan diam2 saja, kini mendadak berkata: "Nyo-toako, janganlah engkau mengecewakan maksud baik orang banyak, Marilah kita juga pergi ke sana?"

Selama ini Thia Eng sangat baik pada Nyo Ko, dalam hati anak muda inipun sangat berterima kasih, walaupun cintanya sudah dicurahkan kepada Siao-liong-li seorang dan tidak mungkin bergeser lagi, tapi terhadap nona yang berpribadi halus budi ini biasanya ia sangat menghormatnya.

Sejak kenal Nyo Ko juga Thia Eng tidak pernah memohon sesuatu padanya, kini mendadak mengutarakan kata2 itu, betapapun Nyo Ko sukar menolaknya, terpaksa ia mengangguk dan berkata:

"Baiklah, coba kita lihat nenek itu main gila apalagi di puncak gunung sana,"

Begitulah be-ramai2 mereka lantas berlari ke atas gunung menurut arah datangnya suara tertawa Kiu Jian-jio. Nyo Ko sudah pernah melihat pepohonan di atas gunung ini, jelas inilah tempat yang pernah dilaluinya ketika dia dan Kongsun Lik~ oh serta Kiu Jian-jio lolos dari gua di bawah tanah itu. sekarang pemandangan alam masih tetap begitu, namun Kongsun Lik-oh sudah tidak ada, dirinya sendiri juga tidak lama lagi tinggal di dunia fana ini, teringat semua itu, ia menjadi terharu.

Kira2 beberapa ratus meter di bawah puncak gunung itu, dapatlah rombongan mereka melihat jelas Kiu Jian-jio sendirian duduk di suatu kursi dan sedang tertawa menengadah seperti orang gila.

"Dia tertawa sendirian di situ, mungkin otaknya kurang waras," ujar Bu-siang.

"Kita jangan mendekati dia," kata Ui Yong "Orang ini sangat kejam dan keji, kita harus waspada kalau2 dia mengatur tipu muslihat untuk menjebak kita, Kukira dia tidak gila sungguhan."

Karena jeri terhadap senjata rahasia nenek gundul yang lihay itu, mereka berhenti di kejauhan. Segera Ui Yong hendak bersuara menegur, tapi tiba2 terlihat seorang muncul dari balik karang di depan sana, siapa lagi dia kalau bukan Kongsun Ci.

Mendadak Kongsun Ci menanggalkan jubahnya terus diputar dan dikebaskan hingga lurus dan mengencang, begitu indah dan kuat gerakannya, sungguh lihay luar biasa.

Diam2 semua orang memuji kehebatan tenaga dalam Kongsun Ci itu, Terdengar dia menyeringai dan membentak: "Hm, nenek jahat dan keji, apimu sekaligus kau telah memusnahkan perkampunganku yang dibangun leluhur kami, hari ini jiwamu tidak mungkin dapat lolos dari tanganku!" Berbareng ia terus berlari ke arah Kiu-Jian-jio sambil memutar jubahnya.

"Serrr!" terdengar suara mendesir keras satu kali, dari mulut K iu Jian-jio tersembur satu biji buah kurma ke arah Kongsun Ci. Suara desiran itu berkumandang dari puncak gunung, jarak sambaran senjata rahasia itupun cukup jauh, sebab itulah suaranya menjadi lebih nyaring dan tajam.

Kelihatan Kongsun Ci mengebaskan jubahnya seketika pula buah kurma itu kena dilibatnya, Tadinya Kongsun Ci tidak yakin jubahnya mampu menahan senjata rahasia lihay itu, soalnya dia teramat murka, pula melihat Kiu Jian-jio duduk sendirian di puncak gunung tanpa bala bantuan ia pikir itulah kesempatan bagus untuk membinasakan bekas isterinya itu.

Sebab itulah dengan menyerempet bahaya ia terus menerjang ke situ, apalagi setelah jelas senjata rahasia isterinya itu tak-dapat melukainya, segera ia menerjang lebih cepat lagi ke depan.

Melihat Kongsun Ci sudah dekat, Kiu Jian-jio tampak ketakutan dan ber teriak2: "Wah, celakai Tolong! Tolong!"

"Nenek itu hendak dibunuhnya, ibu," kata Kwe Hu kepada Ui Yong.

Ui Yong merasa tidak paham, sebab jelas dilihatnya Kiu Jian-jio itu waras dan segar bugar, mengapa sengaja bergelak tertawa dan memancing kedatangan bekas sang suami itu?

Dalam pada itu Kiu Jian jio telah menyemprotkan dua biji paku buah kurma lagi, karena jaraknya sudah dekat, daya samberan senjata rahasia itu jadi lebih keras, Cepat Kongsun Ci putar jubahnya untuk menghalau.

Tapi mendadak ia menjerit satu kali, tubuhnya terus menghilang kejeblos ke bawah tanah dan Kiu Jian jio lantas bergelak tertawa pula.

Tapi suara tertawanya cuma terdengar "haha..." dua kali saja, sekejap itu dari bawah tanah menyamber keluar kain panjang yang melibat kaki kursi yang diduduki Kiu Jian-jio itu sehingga kursi dan orangnya ikut terseret ke dalam tanah.

Suara tertawa Kiu Jian jio mendadak berubah menjadi jeritan melengking tercampur teriakan ngeri Kongsun Ci berkumandang dari bawah tanah. Suara itu berkumandang sampai lama untuk kemudian mendadak lenyap, keadaan menjadi sunyi kembali.

Dari kejauhan semua orang dapat menyaksikan dan mendengar kejadian itu dengan jelas, mereka saling pandang karena tidak paham sebab musababnya, hanya Nyo Ko saja yang tahu jelas seluk-beluk kedua suami isteri itu.

Segera mereka berlari ke atas puncak, tertampaklah empat pelayan perempuan menggeletak tak bernyawa di situ, di samping ada sebuah lubang besar, waktu mereka melongok ke bawah, keadaan gelap guita dan tidak kelihatan apapun.

Kiranya Kiu Jian-jio yang pernah tersiksa cukup lama di gua bawah tanah itu kadung teramat sakit hati dan benci kepada Kongsun Ci, lebih dulu ia bakar habis perkampungannya keluarga Kongsun yang bersejarah be-ratus2 tahun itu, kemudian ia menyuruh empat pelayan menggotongnya ke puncak gunung. Melalui lubang gua di puncak inilah tempo hari waktu dia diselamatkan dari gua bawah tanah oleh Nyo Ko dan Kongsun Lik-oh.

Ia memerintahkan pelayan2 itu mengumpulkan ranting2 kayu, rumput kering dan sebagainya untuk menutupi lubang gua, lalu pelayan2 itu dibinasakannya. Kemudian ia sengaja bergelak tertawa untuk memancing kedatangan Konsun Ci. ia menyemprotkan paku buah kurma serta menjerit minta tolong, semua ini cuma pura2 saja agar Kongsun Ci tidak curiga.



Kongsun Ci tidak tahu bahwa di puncak gunung terpencil ini ada lubang gua sedalam itu, tanpa pikir ia menerjang ke arah Kiu jian-jio dan akhirnya kejeblos, Tapi pada detik terakhir itu ia masih berusaha mencari hidup, sekuatnya ia ayunkan jubahnya untuk membelit kaki kursi Kiu Jian-jio agar dia dapat meloncat ke atas lagi, siapa tahu sekali tarik justeru kedua orang sama2 terjerumus ke bawah malah.

Ber-puluh2 meter dalamnya lubang di bawah tanah itu, keruan tubuh sepasang suami-isteri itu hancur lebur menjadi bakso dan saling lengket tak terpisahkan lagi, Tak terkira semasa hidupnya pasangan yang saling dendam dan benci itu akhirnya mati berbareng pada hari dan detik yang sama, terkubur pada tempat dan liang yang sama pula.

Setelah Nyo Ko menceritakan seluk-beluk kehidupan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio, semua orang sama menghela napas gegetun, Yalu Ce dan anak2 muda lain lantas menggali suatu liang untuk mengubur keempat pelayan itu, Melihat api masih berkobar dengan hebatnya di lembah sana dan jelas tiada tempat tinggal lagi di situ, apalagi setelah menyaksikan korban sebanyak ini, semua orang sama berharap selekasnya dapat meninggalkan Coat~ ceng-kok itu,

"Penyakit adik Nyo Ko masih perlu disembuhkan kita harus lekas mencarikan tabib sakti untuk mengobati dia," ujar Cu Cu-liu.

Semua orang membenarkan usul itu. Tapi Ui Yong telah berkata: "Tidak, hari ini kita belum boleh berangkat."

"Apa Kwe hujin ada usul lain?" tanya Cu Cu-liu .

Ui Yong mengerut kening, jawabnya. "Bahuku terluka dan terasa kesakitan Kuharap malam ini kalian sudi tinggal lagi di sini, kita berangkat besok saja."

Bahwa kesehatan Ui Yong terganggu dengan sendirinya semua orang menurut untuk bermalam di situ. Be-ramai2 mereka lantas pergi mencari gua dan tempat meneduh lain dan sebagainya.

Siao-liong-li dan Nyo Ko lantas hendak melangkah pergi, Tiba- Ui Yong berseru: "Liong-moaymoay, coba kemari, ingin kubicarakan sesuatu padamu." Lalu ia menyerahkan Kwe Yang kepada Kwe Hu dan mendekati Siao-liong-li, katanya pula kepada Nyo Ko dengan tersenyum.

"Jangan kuatir, Ko- ji, dia sudah menikah dengan kau, tak kan kuhasut dia minta cerai padamu."

Nyo Ko tersenyum, jawabnya: "Boleh saja kau coba menghasutnya" Dalam hati ia sangat heran apakah yang hendak dibicarakan sang bibi dengan Siao-liong-li. Terlihat mereka menuju ke sana lalu berduduk di bawah sebatang pohon besar, Meski penuh rasa ingin tahu, namun tidak enak untuk mendekati mereka. Segera terpikir pula olehnya: ""Apakah Liong-ji pasti takkan merahasiakan pada-ku, sebentar juga dia akan memberitahukan apa yang dikatakan bibi Kwe itu."

Setelah berduduk di bawah pohon sana, Ui Yong lantas berkata: "Adik Liong, sungguh aku sangat menyesal puteriku yang ceroboh dan sembrono itu telah banyak membikin susah kau dan Ko-ji."

"Ah, tidak apa2" ujar Siao-liong-li dengan tersenyum. Tapi dalam hati ia pikir dengan sebuah jarum berbisa puterimu telah mencelakai aku hingga tak bisa disembuhkan lagi, sekalipun kau menyesal seribu kali juga tiada gunanya.

Ui Yong tambah melihat kemuraman Siao~liong-li, ia belum lagi tahu bahwa sebuah jarum yang disambitkan Kwe Hu itu sesungguhnya telah menamatkan riwayat Siao-liong-li. Disangkanya racun jarum itu tidaklah sukar disembuhkan seperti dahulu Bu Sam-thong, Nyo Ko dan lain2 juga pernah terkena jarum berbisa itu dan semuanya dapat di-sembuhkan, ia tidak tahu bahwa tatkala mana Siao-liong-li sedang memutar balik jalan darahnya menurut ajaran Nyo Ko sehingga keadaannya sama sekali berbeda ketika terkena jarum berbisa itu.

Tapi karena waktu itu Ui Yong sendiri tidak ikut masuk ke kuburan kuno itu, maka ia tidak tahu duduknya perkara, segera ia berkata pula: "Ada sesuatu yang ingin kumintakan penjelasanmu, Dengan susah payah adik berhasil rebut Coat ceng-tan, tapi Ko-ji tidak mau meminumnya, bahkan dibuang ke jurang, Apakah sebabnya dia berbuat begitu?"

Siao-liong-li menghela napas pelahan, ia tahu betapa cintanya Nyo Ko padanya dan tidak mau hidup sendiri, tapi urusan sudah kadung beg'ni, buat apa dibicarakan lagi sehingga menimbulkan gara2 pula? Maka ia lantas menjawab: "Mungkin sifatnya memang aneh."

"Ko-ji adalah seorang yang berperasaan dan berbudi, mungkin ia melihat nona Kongsun rela mengorbankan jiwa sendiri demi mendapatkan obat itu, maka iapun tidak tega dan tidak ingin minum obat itu untuk membalas kebaikan nona cantik itu, Adik Liong, jalan pikiran Ko-ji itu harus dipuji, namun orang mati tak dapat hidup kembali, pendiriannya yang kepala batu itu justeru malah berlawanan dengan tujuan pengorbanan nona Kongsun." Siao-liong li mengangguk dan tidak mau menanggapi.

Lalu Ui Yong beikata pula: "Padahal dengan mati2an adik Liong menempur Kongsun Ci di tebing curam itu kan juga tidak menghiraukan mati~ hidupnya sendiri? Di dun'a ini Ko-ji hanya menurut pada perkataanmu, kuharap engkau suka menasehati dia agar berpikir panjang."

"Seumpama dia mau menurut perkataanku di dunia ini mana ada Coat-ceng-tan lagi?" ujar Siao-Hong-li dengan pilu.

"Meski Coat-ceng-tan tidak ada lagi, namun racun di dalam tubuhnya bisa jadi dapat disembuhkan yang sulit adalah karena dia tidak mau minum obat," kata Ui Yong.

Siao-liong-li terkejut girang, cepat ia berdiri dan bertanya: "Setiap orang suka-memuji Kwe-hujin banyak tipu akalnya, nyatanya memang tidak omong kosong, jadi engkau maksudkan ada. ada obat lain yang dapat menyembuhkan Ko-ji?"

Ui Yong memegangi tangan Siao-liong-li, katanya: "Duduklah,kau." . Lalu ia mengeluarkan setangkai kecil rumput warna ungu dan berkata puIa: "lni namanya Toan-jong cau, Sebelum menghembuskan napasnya, paderi Hindu itu memegangi rumput kecil ini, Dari Cu-susiok kudengar waktu itu mereka sedang mencari obat penawar racun bunga cinta dan mendadak disergap hingga binasa oleh jarum berbisa Li Bok-chiu. Bukankah engkau melihat air muka paderi itu menguIum senyum meski orangnya sudah meninggalkan? Kuyakin waktu itu beliau sedang bergirang karena berhasil menemukan rumput ini, Guruku Ang Cit-kong juga pernah bercerita padaku, katanya di mana ular berbisa suka berkeliaran di situ pula pasti ada tumbuh obatnya yang dapat memunahkan racun ular, begitu pula dengan makhluk2 berbisa lainnya, itulah hukum alam, sedangkan Toan-jong-cau ini kebetulan ditemukan di bawah semak2 bunga cinta, meski rumput ini terkenal berbisa, namun setelah kurenungkan ber-ulang2, kuyakm dengan rumput ini dapat digunakan sebagai obat racun menyerang racun, jadi rumput ini adalah obat anti racun bunga cinta itu."

Uraian Ui Yong ini membuat Siao-liong-li manggut2 ber-ulang2.

Kemudian Ui Yong menyambung pula: "Sudah tentu minum rumput berbisa ini harus menyerempet bahaya, tapi mau apa lagi? Toh tiada obat lain yang dapat menolongnya, betapapun kita harus mencobanya, Menurut pikiranku, besar kemungkinan khasiat rumput ini dapat menyembuhkan dia."



Siao-Iiong li tahu Ui Yong memang pintar dan banyak tipu dayanya, jika dia berkata secara begitu meyakinkan, maka urusannya pasti tidak salah, apalagi memang tiada jalan lain kecuali itu. Setelah membulatkan tekad, lalu ia menjawab: "Baiklah, akan kuminta dia minum obat ini,"

Segera Ui Yong mengeluarkan lagi segenggam Toan jong-cau dan diserahkan pada Siao-Iiong-li katanya: "Sepanjang jalan kupetik sebanyak ini, kukira sudah cukup. Untuk permulaan boleh kau suruh dia makan sedikit saja, suruh dia mengerahkan hawa murni untuk melindungi jantung, lihat dulu bagaimana kerjanya rumput ini, kemudian barulah ditambah atau dikurangi jumlah rumput yang harus dimakan."

Siao-liong-li simpan rumput itu dan menyembah kepada Ui Yong, katanya dengan suara rada tersendat: "Kwe-hujin, selama hidup Ko-ji kenyang duka derita, tindak-tanduknya memang rada kepala batu, tapi sudilah engkau suka menjaganya dengan baik,"

Cepit Ui Yong membangunkan Siao-liong-li, katanya dengan tertawa: "Kau yang menjaganya akan berpuluh kali lebih baik daripadaku Kelak kalau kepungan musuh atas Siangyang sudah reda, biarlah kita berkunjung ke Tho-hoa-to dan istirahat untuk beberapa lamanya di sana."

Betapapun pintarnya Ui Yong juga tidak menyangka bahwa jiwa Siao liong li tinggal tidak lama lagi, ucapannya tentang menjaga Nyo Ko benar2 permohonannya dengan setulus hati, waktu ia berpaling, dilihatnya Nyo Ko berdiri jauh di sana sedang memandangi Siao-liong-li walaupun apa yang mereka bicarakan sama sekali tak dapat didengarnya.

Sementara itu semua orang telah mengatur tempat bermalam masing-2, ada yang menemukan gua, ada yang di bawah pohon.

Melihal Ui Yong sudah pergi setelah bicara, Nyo Ko lantas mendekati Siao liong-li. Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berdiri memapaknya dan berkata: "Setelah kita menyaksikan kejadian mengenaskan tadi, hari kita sendiri juga bersisa tidak banyak lagi, Ko ji, kini urusan orang lain sama sekali takkan kita urus, Marilah kau mengawani aku ber-jalan2,"

"Benar, akupun berpikir demikian," jawab Nyo Ko

Kedua orang lantas bergandengan tangan dan berjalan melintasi lereng sana Tidak lama kelihatanlah sepasang muda-mudi duduk berdampingan di atas batu asyik bicara dengan pelahan, kiranya mereka adalah Bu Tun-si dan Yalu Yan, Nyo Ko tersenyum saja dan mempercepat langkah melewati kedua anak muda itu.

Belum lagi jauh, tiba2 di tengah semak2 pohon sana ada suara ngikik tawa orang, Wanyan Peng kelihatan berlari keluar dan di belakangnya mengejar seorang sambil berseru: "Hayo, hendak lari ke mana kau?"

Kepergok oleh Nyo Ko dan Siao liong-Ii, air muka Wanyan Peng menjadi merah dan menyapi: "Nyo-toako dan Liong-cici" Cepat pula ia berlari masuk ke hutan sana, menyusul Bu Siu-bun lantas muncul dari semak2 pohon sana terus mengejar ke dalam hutan.

"O, dunia, apakah cinta itu" demikian Nyo Ko berguman pelahan, Sejenak kemudian iapun berkata: "Belum lama berselang kedua saudara Bu itu saling labrak mati2-an demi memperebutkan nona Kwe, tapi hanya sekejap saja cinta kedua anak muda itu sudah berganti sasaran. Ada orang yang selama hidupnya cuma mencintai seorang, tapi juga ada orang yang sukar diketahui cintanya murni atau palsu, O, dunia, apakah cinta itu? pertanyaan ini memang pantas dikemukakan."

Sejak tadi Siao-liong-li hanya menunduk termenung dan tidak bersuara, Keduanya berjalan pelahan hingga di kaki gunung, Waktu menengadah, sang surya di waktu senja sedang memancarkan sinarnya yang cemerlang, salju di puncak gunung kemilauan oleh cahaya matahari menambah keindahan alam yang sukar dilukiskan.

Teringat kepada hidup mereka yang bersisa tidak lama lagi, kedua orang menjadi tambah kesemsem kepada pemandangan permai itu.

Siao-liong li ter-mangu2 sekian lama, tiba2 ia berkata: "Ko~ji, konon orang mati akan menuju ke akhirat, apakah benar ada akhirat dan rajanya?"

"Semoga begitu hendaknya, kalau tiada akhirat, ke mana kita akan menuju dan tentu takkan berkumpul dan bertemu lagi," ujar Nyo Ko.

Siao-liong-li sudah biasa mengekang perasaan sendiri, walaupun sedih, namun nada ucapannya tetap tenang dan biasa saja, sebaliknya Nyo Ko tidak tahan lagi, ia berpaling ke sana dan meneteskan air mata.

"Ah, soal akhirat masih tanda tanya, kalau bisa terhindar dari mati, tentunya lebih baik tidak mati saja," kata Siao-liong-li sambil menghela napas. "Eh, Ko-ji, lihatlah alangkah indahnya bunga itu!"

Nyo Ko memandang ke arah yang ditunjuk, tertampak di tepi jalan sana tumbuh setangkai bunga warna merah tua, kelopak bunganya lebar sehingga hampir sebesar mangkuk, bentuknya seperti bunga mawar dan juga mirip bunga peoni.

"Sungguh jarang ada bunga semacam ini, entah apa namanya bunga yang mekar di musim dingin ini? Biarlah kuberi nama Liong-li-hoa (bunga puteri Liong) saja," kata Nyo Ko sambil mendekati dan memetik bunga itu serta menyuntingkan-nya di belakang telinga Siao-liong-li.

"Terima kasih, sudah kau hadiahi bunga bagus, diberi nama bagus pula," kata Siao-liong li dengan tertawa.

Mereka melanjutkan perjalanan sejenak pula, kemudian mereka berduduk di suatu tanah berumput.

"Apakah kau masih ingat pada waktu kau menyembah dan mengangkat guru padaku dahulu?" tanya Siao-liong li tiba2.

"Tentu saja ingat," jawab Nyo Ko.

"Kau pernah bersumpah bahwa selama hidupmu kau akan tunduk pada perkataanku, apapun yang kukatakan takkan kau bantah, sekarang aku telah menjadi isterimu, menurut pendapatmu sepantasnya aku harus "setelah menikah tunduk kepada suami" atau kau yang harus "tetap tunduk kepada perintah guru"?"

"Ah, apapun yang kau katakan, itu pula yang kukerjakan," jawab Nyo Ko dengan tertawa "Perintah guru tak berani kubantah, perintah isteri lebih2 tak berani kubangkang."

"Bagus, asal kau ingat saja," kata Siao-liong-li.

Mereka duduk bersandar di tanah berumput itu, pemandangan sekeliling indah permai sehingha rasanya berat untuk berpisah.. Dari jauh mereka dengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka ber-santap, Mereka saling pandang dengan tersenyum dan sama2 berpendapat untuk apa bersantap dengan meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini?

Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka sudah teramat lelah sehari semalam, apalagi merekapun sama2 terluka, selang tak lama, tanpa terasa mereka sama tertidur.

Sampai tengah malam, layap-layap Nyo Ko memanggil: "Apakah kau kedinginan, Liong-ji!" - Bcrbareng ia hendak merangkul nya, siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong.

Keruan ia terkejut dan cepat membuka mata, ternyata Siao-liong-li sudah menghilang entah ke mana. Segera ia melompat bangun, ia memandang sekitarnya, bulan sabit menghias di angkasa menyinari bumi, suasana sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li?



Nyo Ko ber-lari2 ke atas gunung sambil berteriak2: "Liong ji! Liong-ji!"" -seketika suaranya bergema, kata2 "Liong-ji" itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada jawaban Siao-liong~li.

"Ke mana perginya?" tidak kepalang cemasnya Nyo Ko. ia tidak menguatirkan Siao~liong-li dicelakai binatang buas, sebab diketahuinya di pegunungan ini tiada sesuatu binatang buas yang menakutkan, andaikan ada juga takdapat mengganggu Siao-liong-li, Jika ketemu musuh tangguh, mustahil dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur berdampingan.

Karena teriakan Nyo Ko inilah, serentak It-teng Taysu, Ui Yong, Cu Cu-liu dan lain2 terjaga bangun. Ketika mendengar Siao-liong li menghilang entah ke mana, tentu saja semua orang merasa heran, be-ramai2 mereka lantas ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan itu, namun tetap tidak ditemukan jejak.

"Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku sama sekali tidak mengetahuinya," demikian pikir Nyo Ko, "Tapi mengapa dia pergi begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi, Ketika itu dia tampak sedih dan mengajak aku ke sini, tentu juga disebabkan setelah berbicara dengan bibi Kwe."

Karena pikiran ini, segera ia tanya Ui Yong dengan suara keras: "Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang tadi?"

Ui Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa mendadak Siao-liong li menghilang, ia lihat urat hijau di dahi Nyo Ko sama menonjol, cara bicaranya rada kasar, segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat ia menjawab: "Kuminta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan."

Tanpa pikir Nyo Ko berteriak pula: "Jika dia tak dapat hidup larna lagi, untuk apa aku hidup sendirian di dunia ini?"

"Jangan kuatir, Ko ji," Ui Yong berusaha menghibur "Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan beralangan apapun, masakah kau bilang dia tak dapat hidup lama lagi?"

Saking cemasnya Nyo Ko takdapat menguasai perasaannya Jagi, teriaknya gemas: "Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum berbisa di tubuhnya, ketika itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik untuk menyembuhkan lukanya, maka racun jarum itu telah terserot seluruhnya ke jantungnya, dalam keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan dewa?"

Tentu saja Ui Yong tidak pernah menyangka akan kejadian itu, Meski dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Nyo Ko dan Siao-liong li telah keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno itu, tapi ia pikir Nyo Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, suatu aliran der:gan Li Bokchiu, tentu mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya, sekarang mendengar ucapan Nyo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut.

Cepat sekali Ui Yong menggunakan otaknya, segera terpikir olehnya: "Kiranya Ko-ji tidak mau minum Coat-ceng-tan itu adalah karena jiwa isteri nya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia tidak ingin hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?" ia memandang ke puncak gunung yang bergua dan telah menelan bulat2 Kiu Jian-jio dan Kongsun Ci itu, tanpa terasa ia merinding sendiri.

Tanpa berkedip Nyo Ko memandangi Ui Yong, dengan sendirinya iapun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar memandangi puncak gunung sana, seketika ia kuatir dan gusar, kata-nya: "Sudah jelas jiwanya sukar dipertahankan lantas kau membujuk dia agar membunuh diri untuk menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau mengira tindakanmu ini ada baiknya bagiku, tapi aku... aku O, betapa benciku padamu..."

Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia terus roboh pingsan.

Cepat It-teng menurut gitok anak muda itu sejeuak, pelahan2 Nyo Ko siuman kembali, Ui Yong lantas berkata: "Aku hanya membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sekali tidak meminta . dia bunuh diri. Kalau kau tidak percaya ya terserah padamu!"

Semua, orang saling pandang dengan bingung,

Tiba2 Thia Eng berkata: "Lekas kita membuat tali panjang dari kulit pohon, biar kuturun ke dalam gua sana untuk mencannya, barangkali... barangkali Liong-cici tergelincir..."

"Ya, betapapun kita harus mencarinya hingga jelas persoalannya," ujar Ui Yong.

Segera mereka bekerja keras mengupas kulit pohon untuk dipintal menjadi tali besar, orang banyak tenaga kuat, tidak lama tali yang ratusan meter panjangnya sudah jadi, Be-ramai2 para anak muda itu mengajukan diri untuk menyelidiki gua di bawah tanah itu.

"Biarlah aku sendiri yang turun ke sana," kata Nyo Ko.

Semua orang memandang Ui Yong untuk menunggu keputusannya, Ui Yong tahu dirinya dicurigai Nyo Ko, kalau keinginan anak muda itu dicegah pasti juga takkan digugu, sebaliknya kalau dibiarkan turun ke bawah, mungkin Siao liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi di sini.

Selagi Ui Yong ragu2, tiba2 Thia Eng berkata pula dengan iklas: "Nyo-toako, aku saja yang turun ke sana. Dapatkah engkau mempercayaiku?"

Selain Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja yang paling digugu oleh Nyo Ko. Apalagi ia sendiripun sedih dan bingung, kaki tangan terasa lemas, terpaksa ia mengangguk setuju.

Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 yang bertenaga kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke dalam gua bawah tanah itu. Karena lubang gua di bawah tanah itu terletak dipuncak bukit, maka dalamnya gua juga sama tingginya dengan puncak itu. Tali panjang itu terus di ulur hingga tertinggal beberapa meter saja barulah Thia Eng mencapai tanah.

Be-ramai2 semua orang berdiri mengelilingi lubang gua itu dan tiada seorangpun yang bicara.

Ui Yong hanya saling pandang dengan Cu Cu-liu, apa yang mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li benar2 meninggal di bawah sana, pasti Nyo Ko akan terjun juga ke dalam gua, hal ini harus di cegah sebisanya.

Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah semua orang memandangi lubang gua itu dan menantikan berita yang akan dibawa oleh Thia Eng.

Sekian lama mereka menunggu dengan tidak sabar dan Thia Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas.

Tidak lama kemudian, tiba2 tali yang dipegang Bu Sam-thong itu ber goyang2 beberapa kali, Kwe Hu dan lain2 lantas berteriak: "Lekas kerek dia ke atas!"

Be-ramai2 mereka lantas menarik sekuatnya sehingga Thia Eng dapat di kerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang gua itu Thia Eng sudah berteriak2 :"Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah sana!"

Semua orang menjadi girang dan menghela napas lega, sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar dari lubang gua, lalu berkata pula: "Nyo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda lain."



"Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan tidak menemukannya, kukira nona Liong saat ini pasti sudah meninggalkan lembah ini," kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak.

Tiba2 Bu-siang berseru: "He, masih ada suatu tempat yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan Coat-ceng tan yang terbuang..."

Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Nyo Ko tergetar dan segera ia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari iapun ber-teriak2: "Liong-ji! Liong ji!"

Setiba di tebing itu, tertampak kabut membungkus permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak terdengar apalagi bayangan manusia.

Nyo Ko pikir Siao-Iiong-li adalah orang yang berhati polos dan lugu, apapun yang dia pikir pasti dikatakan padaku. Ketika berbaring di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan patuh pada perkataannya, Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya, mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah memberi pesan apa2 padaku?"

Begitulah ia menengadah dan bergumam pelan.

"Liong ji, O, Liong-ji, ke manakah kau sesungguhnya? sebenarnya kau ingin mematuhi perkataanku tentang apa?" - ia memandang ke tebing di depan sana, samar2 tertampak bayangan nona berbaju putih dengan bunga merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang itu seperti saling bertempur melawan Kongsun Ci.

"Liong-ji!" Nyo Ko berteriak lagi, tapi setelah diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-ii, hanya bunga salju belaka yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu memang benar berada di bawah tebing sana.

Nyo Ko menjadi heran, padahal waktu Siao-liong-li menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu. Tebing hanya batu karang belaka tanpa tetumbuhan apapun, mengapa ada bunga di situ? Kalau bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, manabisa terjadi secara kebetulan begitu?

Segera ia tarik napas panjang dan berlari ke tebing sana melalui jembatan batu yang sempit itu. Sesudah dekat, seketika hatinya tergetar hebat, jelas bunga itu adalah merah yang dipetiknya untuk Siao~liong-li itu, kelopak bunga kelihatan sudah layu dan dapat dikenalnya dengan jelas waktu itu ia sendiri memberi nama "Liong-li-hoa" untuk bunga merah ini. Kalau bunga ini terjatuh di sini, maki Siao-liong-ii pasti juga pernah datang ke sini.

Ia jemput bunga itu, dilihatnya dibawah bunga ada satu bungkusan kertas, cepat ia membuka bungkusan itu, kiranya isinya adalah setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbul di bawah semak2 bunga cinta itu.

Hati Nyo Ko ber-debar2 keras, ia coba meneliti kertas pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa2.

"Nyo-toako!" terdengar Bu-siang memanggil di seberang, "apa yang kau lakukan di sana?"

Waktu Nyo Ko menoleh, tiba2 terlihat di dinding tebing terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris lebih besar dan tertulis: "16 tahun lagi berjumpa pula di sini, cinta murni suami isteri, jangan sekali2 ingkar janji"

Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis: "Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan ke pada suamiku Nyo Ko agar menjaga diri baik2 dan harus berusaha berkumpul kembali"

Nyo Ko memandangi dua baris tulisan itu dengan ter-mangu2, seketika ia tidak paham apa maksud Siao-liong li. Pikirnya: "Dia berjanji padaku untuk berjumpa pula di sini 16 tahun kemudian, lalu ke mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan mungkin sepuluh hari atau setengah bulan saja tak tahan, mana bisa dia mengadakan janji bertemu 16 tahun lagi? sudah jelas dia mengetahui Coat-ceng-tan yang dapat menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, manabisa pula dia menunggu aku sampai 16 tahun lamanya?"

Begitulah makin dipikir makin ruwet sehingga tubuhnya menjadi sempoyongan. Melihat keadaan Nyo Ko yang linglung itu, semua orang menjadi kuatir kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang, Tapi untuk menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat sempit, kalau mendadak dia menjadi kalap, ilmu silatnya sedemikian tinggi pula, lalu siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut kejeblos ke jurang.

Ui Yong mengerut kening, katanya kemudian kepada Thia Eng: "Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu."

"Baiklah, coba kupergi ke sana," jawab Thia Eng dan segera melompat ke atas jembatan batu dan melangkah ke sana.

Mendengar suara tindakan orang dari belakang, segera Nyo Ko membentak: "Siapapun tak boleh ke sini!" Cepat iapun membalik tubuh dengan mata mendelik.

"Akulah, Nyo-toako!" seru Tbia Eng dengan suara lembut "Aku ingin membantu kau mencari Liong-cici dan tiada maksud lain."

Sejenak Nyo Ko mengawasi Thia Eng dengan termenung, kemudian sorot matanya mulai berubah halus.

Thia Eng melangkah maju dan bertanya: "Apakah bunga merah ini tinggalan Liong-cici?"

"Ya," Nyo Ko menjawab. "Mengapa harus 16 tahun? Mengapa?"

Sudah tentu Thia Eng tidak paham apa yang dikatakan Nyo Ko itu, setelah berada di seberang-dapatlah ia membaca tulisan yang terukir di dinding tebing itu, iapun merasa heran. Katanya kemudian: "Kwe-hujin banyak tipu dayanya, caranya memecahkan persoalan juga sangat jitu, marilah kita kembali ke sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang memuaskan,"

"Benar," ujar Nyo Ko. "Awas, jembatan itu sangat licin, kau harus hati2!" Segera ia mendahului melompat ke seberang sana serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Ui Yong,

Uhtuk sekian lamanya Ui Yong merenungkan arti tulisan itu, tiba2 matanya bercahaya dan ber-keplok tangan, katanya dengan tertawa: "Wah, selamat, Ko-ji, selamat!"

Kejut dan girang Nyo Ko, cepat ia bertanya:

"Maksudmu maksudmu itu berita baik?"

"Ya, tentu saja," jawab Ui Yong, "Rupanya adik Liong telah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan selatan), sungguh penemuan yang sukar di cari."

"Lam-hay Sin-ni?" Nyo Ko mengulang nama ini dengan bingung, "Siapakah dia?"

"Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama Buddha jaman kini," tutur Ui Yong, "Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya bahkan jauh lebih tinggi daripada It-teng Taysu ini. Lantaran dia jarang ke Tionggoan sini, maka tokoh dunia persilatan jarang yang kenal namanya, Dahulu ayahku pernah bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung mendapat ajaran sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah 16, 32. 48, ya benar, kejadian itu sudah 48 tahun yang lalu."



Nyo Ko merasa sangsi "48 tahun yang lalu? "ia menegas.

"Benar," jawab Ui Yong, "Usia Sin-ni itu mungkin kini sudah dekat seabad, Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia datang ke Tionggoan ini. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, Tapi beruntunglah orang baik yang berjumpa dengan beliau, Nona cantik seperti adik Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni dan bisa jadi telah menerimanya sebagai murid dan dibawa ke Lamhay."

"Setiap 16 th. satu kali?" Nyo Ko menggumam, tiba2 ia berpaling kepada It-teng Taysu dan berta-nya: "Apakah betul begitu, Taysu?"

Belum lagi It-teng menjavvab, cepat Ui Yong menimbrung: "Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh. Apakah Taysu juga pernah bertemu dengan beliau?"

"O, sayang, belum pernah kulihat dia," jawab It-teng singkat.

"Benar2 orang tua yang agak kurang bijaksana," kata Ui Youg pula. "Masakah orang muda yang baru bersuami isteri diharuskan berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu silat adik Liong sudah begitu tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, memangnya supaya dia dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Hahaha!"

"Ah kukira bukan begitu, Kwe-pekbo," kata Nyo Ko.

"Bagaimana?" tanya Ui Yong,

Nyo Ko lantas mengulangi bercerita tentang Siao-liong-li yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalam sendiri dan mendadak terkena jarum berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret ke jantung, akhirnya ia berkata: "Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian Sin-ni, maka dalam 16 tahun ini Sin-ni pasti akan menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang berkumpul dalam tubuh Liong-ji. Tadinya kukira... ku kira dia pasti takdapat disembuhkan lagi."

"Tentang secara semberono anak Hu mencelakai adik Liong juga baru kudengar dari adik Liong semalam," tutur Ui Yong. "Ko-ji, apa yang kau duga barusan ini memang masuk diakal. Kukira untuk menyembuhkan adik Liong memang sukar dilakukan dalam waktu singkat biarpun Sin-ni memiliki obat mujarab. Maka kita berharap saja semoga Sin-ni tiba2 menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong padamu sebelum waktu yang ditentukan."

Selamanya Nyo Ko belum penuh mendengar tokoh sakti bernama "Lam hay Sin-ni" segala, hatinya menjadi ragu2, hendak tidak percaya, namun bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu adalah bukti nyata yang tak dapat di-bantah, jika Siao-liong-li mengalami sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak?

Setelah berpikir sejenak, tiba2 ia tanya Ui Yong: "Kwe-pekbo, darimana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku tidak berkuatir baginya?"

"KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat "16 tahun lagi" itu," tutur Ui Yong, "Kutahu setiap 16 tahun sekali Lam-hay Sin-ni pasti datang ke Tionggoan sini, kecuali dia rasanya tiada orang kosen lain yang mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau teringat ada oran kosen lain pula?"

It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada. Maka Ui Yong berkata pula: "Malahan Nikoh sakti itupun sungkan namanya di-sebut2 orang, dengan sendirinya dia tidak mengizinkan adik Liong menulis namanya di atas batu, Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat menawarkan racun dalam tubuh atau tidak, jika, . . .jika tidak, ai, 16 tahun kemudian adik Liong akan pulang dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin iapun tidak ingin hidup lagi."

Air mata Nyo Ko ber-linang2 di kelopak matanya sehingga pandangannya menjadi samar2. lapat2 seperti dilihatnya ada bayangan putih di seberang sana, se-akan2 16 tahun sudah lalu dan Siao liong li sedang mencarinya di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa dan berduka.

Angin dingin meniup membuat Nyo Ko ter-gigil, segera ia berkata dengan tegas: "Kwe-pekbo, biarlah kupergi ke Lam-hay untuk mencari Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?"

"Ko ji," jawab Ui Yong, "janganlah kau berpikir begitu, Tay ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana boleh diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu akibatnya pasti akan binasa. Dahulu ayahku telah mendapat anugerah beliau, tapi ayah juga belum pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong sudah diterima oleh Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan lalu, mengapa engkau mesti ter-gesa2 mencarinya?"

Dengan mata membelalak Nyo Ko menatap tajam Ui Yong dan menegas: "Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?"

"Terserah kau mau percaya atau tidak," jawab Ui Yong. "Boleh coba kau memeriksa lagi ukiran tulisan di dinding sana, kalau bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan mungkin juga tidak betul."

"Gaya tulisan itu memang betul tulisan tangan Liong-ji," ujar Nyo Ko. "Setiap kali menulis huruf Nyo, pada titik kanan itu selalu dia tarik agak panjang, hal ini tidak mungkin dipalsukan orang."

"Bagus jika begitu," seru Ui Yong sambil keplok, "Terus terang kukatakan, aku sendiripun merasa kejadian ini teramat kebetulan dan semula akupun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur sandiwara ini untuk mengelabuhi kau."

Nyo Ko termenung sejenak, katanya kemudian: "Baiklah aku akan coba2 minum Toan-jong-cau jni, jika tidak berhasil, 16 tahun yang akan datang tolong Kwe-pekbo memberitahukan kejadian ini kepada isteriku yang bernasib buruk itu." Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu: "Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rnmput ini?"

Cu Cu liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau itu mengandung racun yang keras, bagaimana caranya menggunakan racunnya untuk mengobati racun belum pernah di dengannya. Terpaksa ia bertanya kepada lt teng: "Suhu, soal ini harus minta petunjuk engkau."

It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci dan menutuk empat Hiat-to di bagian2 yang menyangkut ulu hati, serentak Nyo Ko merasakan hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.

"Karena racun bunga cinta ini berhubungan dengan hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti juga akan menyerang bagian hati, sebab itulah kututuk empat Hiat-to untuk melindungi urat nadi jantung hati, sekarang kau boleh coba minum satu tangkai dulu rumput rantas usus itu," demikian kata It-teng.

Nyo Ko lantas mengucapkan terima kasih. Waktu dia mendengar paderi Hindu itu dibinasakan Li Bok-chiu, ia merasa putus harapanlah usaha menyembuhkan Siao liong-li, maka ia sendiripun bertekad akan mati saja bersama sang isteri sekarang dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun kemudian, segera hasrat ingin hidupnya berkobar kembali cepat ia mengeluarkan setangkai Toan~jong-cau atau rumput rantas usus itu terus dikunyahnya, ia merasa pahitnya luar biasa melebihi bratawali.



Tapi baik airnya maupun ampasnya Nyo Ko telan mentah2. Kalau sebelum ini dia tidak ingin hidup sendirian tanpa Siao-Iiong-li, sekarang dia justeru kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16 tahun kemudian Siao-liong-li takdapat menemukan dia di puncak gunung ini.

Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi urat nadi jantung hati, selang tak lama, mendadak perutnya mulas, menyusul itu lantas kesakitan seperti di-iris2 dan laksana dicocok be-ribu2 jarum sekaligus, Tapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun selang tak lama rasa sakit itu hampir merata di seluruh badan, ruas tulang seakan2 terlepas semuanya.

Rasa sakit itu berlangsung hingga lama, kemudian mulai berkurang dan cuma bagian perut saja yang masih mulas, mendadak ia menumpahkan darah warna merah segar seperti darah orang sehat.

Thia Eng dan Bu-siang sama menjerit kaget melihat anak muda itu tumpah darah. Tapi It-teng tampak bergirang malah dan menggumam pelahan: Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan pahala."

Serentak Nyo Ko melompat bangun dan berseru: "Jiwaku ini adalah pertolongan paderi Thian -tiok, It teng Taysu dan Kwe-pekbo bertiga."

"He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah punah seluruhnya?" tanya Bu-siang dengan girang.

"Mana bisa begitu cepat?" ujar Nyo Ko. "Cuma sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum satu tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang pula setiap hari."

"Tapi kalau tak dapat diketahui kapan berhasilnya racun dalam tubuhnya, jika engkau masih terus makan rumput rantas usus itu, jangan2 isi perutmu nanti ikut hancur semua?" kata Bu-siang.

"Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri," kata Nyo Ko. "Jika kadar racun belum bersih, bila timbul... timbul rasa cintaku, segera dadaku akan kesakitan."

"Semoga engkau jangan banyak pikir dulu," ujar Bu-siang.

Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja, mendadak ia menimbrung: "Hm, yang dipikirkan Nyo-toako tentulah Liong-cici, masakah dia memikirkan dirimu?"

Cepat Ui Yong membentaknya: "Kau mengoceh apa, anak Hu!"

Muka Bu-siang menjadi merah. Malahan Kwe Hu terus menambahkan lagi: "16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang, sebaiknya kau jangan sembarang mimpi."

Bu-siang tidak tahan lagi, "sret", mendadak ia melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu: "Jika bukan gara2mu, masakah Nyo-toaku sampai terpisah selama 16 tahun dengan Liong-cici? Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Nyo-toako?"

Segera Kwe Hu hendak membantah, tapi Ui Yong lantas membentaknya: "Hu-ji, jika kau bersikap kurang adat lagi kepada orang, lekas kau pulang saja ke Tho-hoa-to dan sekali2 jangan kembali ke Siangyang."

Kwe Hu tidak berani bersuara lagi, ia hanya mendelik belaka kepada Liok Bu-siang.

Nyo Ko menghela napas panjang, katanya kepada Bu-siang: "Kejadian itu memang juga sangat kebetulan dan nona Kwe sendiri juga tidak sengaja hendak mencelakai Liong-ji. Maka urusan ini selanjutnya tidak usah diungkat lagi, adik Liok."

Mendengar dirinya dipanggil "adik", sebaliknya anak muda itu menyebut Kwe Hu sebagai "nona," jelas sekali bedanya antara orang sendiri dan orang luar. Hati Bu-siang menjadi girang, segera ia masukkan golok ke sarungnya sambil mencibir pada Kwe Hu.

"Nyo-sicu telah makan Toan-jong-cau tanpa terganggu apapun, tampaknya rumput ini memang mujarab untuk menawarkan racun bunga cinta ini." kata It~teng kemudian, "Cuma sebaiknya jangan diminum terus menerus, bolehlah tujuh hari kemudian baru minum untuk kedua kalinya."

Nyo Ko memberi hormat dan menerima saran itu.

Melihat hari sudah terang benderang, Ui Yong lantas berkata: "Sudah cukup Iama kita meninggalkan Siangyang, entah bagaimana situasi di sana, aku menjadi sangat kuatir dan sebentar juga akan berangkat pulang, Ko-ji kaupun ikut pulang saja ke sana, paman Kwe tentu sangat kangen padamu."

"Aku tinggal di sini saja untuk menunggu... menunggu dia," jawab Nyo Ko.

"He, kau hendak menunggu dia selama 16 ta-hun di sini?" tanya Kwe Hu heran.

"Entahlah," jawab Nyo Ko. "Rasanya akupun tidak tahu harus pergi ke mana?"

"Baiklah, boleh juga kau menunggu dulu sepuluh hari atau setengah bulan lagi di sini," ujar Ui Yong, "Andaikata adik Liong benar2 tiada kabar beritanya, hendaklah segera kau datang ke Siangyang saja."

Nyo Ko memandang tebing curam di seberang sana dengan ter-mangu2 tanpa menjawabnya lagi, Semua orang lantas mohon diri kepada Nyo Ko untuk berangkat Melihat Liok Bu-siang tiada tanda2 mau ikut pergi, Kwe Hu tidak tahan dan bertanya: "He, Liok Bu-siang, apakah kau hendak tinggal di sini menemani Nyo-toako?"

"Peduli apa dengan kau?" semprot Bu-siang dengan muka merah.

Tiba2 Thia Eng berkata: "Nyo-toako belum sehat, biarlah aku dan Piaumoay merawatnya beberapa hari lagi di sini."

Ui Yong tahu Sumoay cilik ini wataknya lembut di luar dan keras di dalam, jika puterinya sampai membikin sakit hati dia, kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran, Maka cepat ia melototi Kwe Hu agar jangan banyak bicara lagi. Lalu berkata:" Ko-ji mendapatkan perawatan Sumoay, tentu takkan beralangan apapun, Nanti kalau sudah sembuh hendaklah kalian bertiga datang ke Siangyang."

Begitulah Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang memandangi kepergian It-teng Taysu, Ui Yong dan rombongannya hingga makin jauh dan akhirnya menghilang di balik pepohonan sana.

Api yang berkobar semalaman kini sudah mulai padam, Nyo Ko lantas berkata: "Kedua adik, ada suatu pikiranku yang kurang pantas, jika kukatakan hendaklah kalian jangan marah."

"Katakan saja, siapa akan marah padamu?" ujar Bu-siang.

"Sejak berkenalan, rasanya kita bertiga sangat cocok satu sama lain," tutur Nyo Ko, "Aku sendiri tidak mempunyai saudara, maka kuingin mengikat persaudaraan angkat dengan kalian berdua, selanjutnya kita benar2 menjadi kakak beradik seperti saudara sekandung Entah bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini?"

Pilu rasa hati Thia Eng, ia tahu cinta Nyo Ko kepada Siao-liong-li tidak pernah buyar, lantaran ada janji bertemu 16 tahun lagi, maka dia mengajak mengangkat saudara agar hubungan mereka tidak menjadi kikuk. Kelihatan Bu-siang menunduk dengan mengembeng air mata, cepat ia berkata: "Jika begitu kehendak Toako, tentu saja kami setuju, Mempunyai Toako sebaik engkau, apalagi yang kami harapkan?"

Bu-siang lantas membubut tiga tangkai rumput dan ditancapkan di tanah serta berkata: "Di sini tidak ada Hiosoa (dupa sembayang), biarlah kita menggunakan rumput sebagai gantioya." ia berkata dengan tersenyum, tapi kemudian suaranya menjadi ter sendat2 dan sebelum Nyo Ko menjawab ia sudah mendahului berlutut dan memberi hormat.

Cepat Nyo Ko dan Thia Eng ikut berlutut dan saling memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengikatan kakak beradik secara resmi.

Kata Nyo Ko kemudian: "Jimoay dan Sammoay, barang yang paling jahat di dunia ini kukira tak lebih dari pada pohon bunga cinta ini. Bagaimana kalau kita membabatnya hingga akarnya supaya hancur dan lenyap seluruhnya?"

Tanpa pikir Thia Eng dan Bu-siang menyatakan setuju. Be-ramai2 mereka lantas mencari cangkul dan sekop di perkampungan yang sudah menjadi tumpukan puing, dengan bersemangat mereka terus membabati dan mendongkel setiap pohon bunga cinta yang mereka lihat.

Karena tumbuhan bunga itu cukup banyak, pula berduri, mereka harus hati2 bekerja, setelah sibuk enam hari barulah tumbuhan berbisa itu dibasmi habis. Sejak itu tumbuhan aneh yang membikin celaka manusia itupun tak pernah bersemi pula dan lenyap dari permukaan bumi ini.

Besoknya pagi2 Bu-siang sudah memberi setangkai rumput rantas usus kepada Nyo Ko dan ber-kata: "Toako, hari ini kau harus minum lagi rumput berbisa ini."

Karena sudah berpengalaman tujuh hari yang lalu, Nyo Ko tahu rumput rantas usus itu berbisa, tapi dirinya mampu bertahan, maka begitu dia minum sebatang rumput itu segera ia mengerahkan tenaga dalam. Karena sekarang kadar racun dalam tubuhnya sudah berkurang, rasa sakitnya juga ti -dak sehebat tempo hari lagi. Selang agak lama, ia muntahkan darah segar puIa, lalu hilanglah rasa sakitnya.

Nyo Ko berdiri coba melemaskan kaki dan tangannya, dilihatnya Thia Eng dan Bu-siang ikut bergirang bagi kemajuan penyakitnya itu. Pikirnya: "Kedua adik angkat ini sungguh baik sekali pada-ku, cuma sayang aku tidak dapat membalas kebaikan mereka." Setelah berpikir pula sejenak, timbul lagi pikirannya: "Jimoay mempunyai guru kosen, asal berlatih lebih lania lagi tentu dia akan mencapai tokoh tingkatan atas. sedangkan nasib Sammoay jelas kurang beruntung dari pada Jimoay."

Karena itulah ia lantas berkata kepada Bu-siang: "Sammoay, gurumu dan guruku adalah saudara seperguruan, jadi kita berdua sebenarnya masih sesama saudara seperguruan juga, ilmu silat tertinggi dari Ko-bong-pay kita tercantum semua di dalam Giok-li-sim-keng, sedangkan kitab itu telah direbut Li Bok-chiu dan ikut terkubur di lautan api. Untung aku masih ingat isi kitab itu, daripada iseng biarlah kuajarkan sedikit ilmu silat perguruan kita itu, bagaimana pikiranmu?"

Tentu saja Bu-siang kegirangan, jawabnya: "Terima kasih, Toako, lain kali kalau ketemu Kwe Hu tentu aku tidak takut dia bertindak kasar lagi padaku."

Nyo Ko tersenyum, segera ia mulai menuturkan permulaan dari ajaran Giok-li-sim-keng beserta-kunci2nya, dimulai dari yang cetek dan kemudian mendalam. Kemudian ia memberi pesan pula: "Hendaklah kau apalkan dulu kunci2nya, waktu latihan bila perlu boleh minta bantuan jimoay, di lembah ini sangat tenang, sungguh suatu tempat latihan yang baik."

Begitulah selama beberapa hari Bu- siang tekun mengapalkan ajaran Nyo Ko itu, memangnya ilmu yang pernah dipelajarinya adalah aliran Ko-bongpay, dengan sendirinya mudah baginya untuk menerima dan memahaminya. jika ada bagian2 sulit yang sukar dipecahkan, Nyo Ko menyuruh Bu-siang mengapalkan saja untuk diulangi lagi lain hari. Dengan begitu selama hampir sebulan dapatlah Bu-siang mengingat seluruh isi Giok-li-sim-keng di luar kepala.

Suatu hari, pagi2 dia dan Thia Eng sudah menyiapkan sarapan, tapi ditunggu sampai lama sekali tidak nampak munculnya Nyo Ko. Mereka lantas mendatangi gua tempat tinggal Nyo Ko, terlihat di tanah sana tertulis huruf2 besar yang berbunyi "Berpisan untuk sementara, biarlah bertemu lagi kelak. Hubungan baik kakak beradik tetap kekal dan abadi."

Bu-siang melonggong dan bergumam: "Akhir-nya dia. . . dia telah pergi." ia ber-lari2 ke puncak gunung dan memandang jauh ke selatan.

Thia Eng segera menyusulnya, mereka memandang jauh ke sana, tapi yang kelihatan hanya awan mengambang diudara, pepohonan menghijau permai, mana ada bayangan Nyo Ko?

Dengan rasa pilu Bu-siang berkata dengan ter-guguk2: "Jici, kau kira dia... dia pergi ke mana? Apakah kelak kita dapat... dapat berjumpa pula dengan dia?"

"Sammoay," jawab Thia Eng, "lihatlah gumpalan awan itu yang bergerombol menjadi satu untuk kemudian terpancar lagi. Hidup manusia juga begitu, buat apa kau merasa susah?" Meski begitu ucapannya, tapi dalam hati sendiri iapun bersedih.

Kiranya selama hampir sebulan Nyo Ko merasa sudah cukup mengajarkan isi Giok-li~sim-keng kepada Bu-siang. tapi selama itu tiada kabar berita Siao-Iiong-li, ia tahu menunggu lagi lebih lama juga tiada gunanya, Maka ia lantas meninggalkan tulisan di tanah dan pergi, ia pikir kalau pulang Cong-lam-san, tentu akan menambah rasa duka, maka seorang diri ia lantas mengembara di Kangouw.

Dengan cepat beberapa bulan telah lalu, dari musim dingin telah datang musim semi, suatu hari ia sampai di dekat Siangyang, dilihatnya bangunan di tepi jalan yang dahulu dibakar oleh pasukan Mongol kini sudah banyak yang dibangun kembali dalam bentuk rumah2 gubuk, walaupun tidak se-makmur dahulu, namun penduduk sudah mulai ramai lagi, agaknya selama ini pasukan Mongol tidak pernah menyerbu lagi ke sini.

Walaupun Nyo Ko juga terkenang kepada Kwe Cing, tapi ia tidak ingin bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka ia sungkan mampir ke Siangyang, pikirnya: "Sudah lama berpisah dengan Tiau-heng (kakak rajawali), biarlah aku menjenguknya ke sana. Segera ia mencari jalan menuju ke arah, lembah pegunungan dahulu itu.

Hampir seharian, akhirnya dekatlah dia dengan tempat pengasingan Tok-ko Kiu-pay dahulu. Segera ia bersuit panjang sembari berjalan ke depan, tidak lama kemudian di lereng bukit di depan sana berkumandang suara kaokan burung.

Waktu Nyo Ko memandang ke sana, terlihatlah rajawali sakti itu mendekam di bawah pohon besar, kedua cakarnya mencengkeram seekor macan tutul. Berada dalam cengkeraman cakar rajawali yang hebat itu, sama sekali macan tutul itu tak bisa berkutik dan hanya mengeluarkan suara raungan belaka.

Melihat kedatangan Nyo Ko, rajawali itu lantas melepaskan macan tutul itu, keruan cepat sekali binatang buas- itu memberosot ke semak2 pohon dengan mencawat ekor. Segera Nyo Ko merangkul leher rajawali itu dengan mesra dan gembira.

Mereka, seorang manusia dan seekor burung, lantas kembali ke gua itu. Teringat pengalaman sendiri selama beberapa bulan yang penuh duka derita itu, sayang rajawali tidak dapat bicara diajaknya berbincang sekedar pelipur lara.



BegituIah selama beberapa hari Nyo Ko berdiam saja di lembah pegunungan sunyi itu bersama rajawali sakti, Suatu hari, saking isengnya Nyo Ko mendatangi pula tebing tempat makam pedang Tokko Kiu-pang itu.

Hian-tiat-pokian, itu pedang yang maha berat yang diambilnya dari sini, sudah dibuangnya di Coat-ceng-kok, segera ia melompat lagi ke atas tebing itu dan membaca kembali tulisan yang terukir di batu kuburan pedang kayu yang sudah lapuk itu dan berbunyi "Sesudah berusia 40 tahun, sungkan membawa senjata lagi, setiap benda dapat kugunakan sebagai pedang. Sejak itu latihanku semakin sempurna dan mendekati tingkatan tanpa melebihi memakai pedang",

Nyo Ko coba merenungkan maksud tulisan itu, jgikirnya: "Waktu aku membawa Hian-tiat-pokiam, boleh dikatakan hampir tiada tandingannya di seluruh jagat Tapi menurut pesan tinggalan Tok-koj Kiu~pay ini jelas pedang kayu lebih hebat daripada waktu dia menggunakan Hian-tiat-pokiam itu, masa lahan akhirnya tanpa menggunakan pedang menjadi lebih lihay daripada memakai pedang kayu, Kalau Liong~ji berjanji akan bertemu lagi 16 tahun kelak selama belasan tahun ini biarlah kugunakan untuk mempelajari dan meyakini ilmu pedang kayu melebihi pedang berat dan akhirnya tanpa pedang melebihi menggunakan pedang kayu sesuai ajaran Tok ko Kiu-pay.

BegituIah ia lantas memotong setangkai kayu dan dibikin menyerupai pedang, ia pikin "Hian tiat-pokiam itu beratnya hampir 70 kati, bahwa pedang kayu yang enteng ini dapat mengungkulinya hanya ada dua jalan. Kebangunan ilmu pedang, dengan cepat mengalahkan kelambanan, Cara lain adalah menang kuat tenaga dalam, dengan keras mengatasi kelemahan."

BegituIah sejak itu iapun memupuk Lwekang dan meyakinkan ilmu pedang, setiap habis hujan deras ia lantas menggembleng diri di bawah air terjun untuk menambah kekuatan serangannya, Tanpa terasa musim berganti musim dan kembali datang lagi musim dingin, perpisahannya dengan Siao-liong-li sudah hampir setahun.

Nyo Ko merasa kemajuan tenaga dalam dan ilmu pedangnya selama setahun ini sangat lambat, mau-tak-mau ia menjadi kesal, Dalam pada itu bunga salju sudah mulai bertebaran Tiba2 rajawali itu berkaok kegirangan dan melompat ke tanah lapang pesta pentang sayap sehingga membangkitkan angin teras, bunga salju tersapu berhamburan.

Tergerak hati Nyo Ko melihat kelakuan burung itu, pikirnya: "Musim semi tiada air bah, kalau ku latih ilmu pedang di tanah bersalju, rasanya juga suatu cara yang bagus."

Sementara itu dilihatnya si rajawali masih terus menyabet-nyabetkan kedua sayapnya sehingga membawa tenaga semakin keras, biarpun hujan salju lebat, namun tiada sepotong bunga salju yang jatuh di atas badannya. semangat Nyo Ko terangsang juga, segera ia pegang pedang kayu dan dimainkan juga di bawah hujan salju, berbareng lengan laju tangan kanan juga dikebaskan, setiap ada bunga salju yang melayang turun, segera ia menyambutnya dengan angin putaran pedang atau tenaga kebasan lengan baju, Dengan begitu tanpa terasa hampir setengah hari telah berlalu, ia merasa tenaga dari pedang kayu dan lengan bajunya telah bertambah banyak sekali.

Hujan salju itu terus berlangsung hingga tiga hari lamanya, setiap hari Nyo Ko selalu menari pedang di bawah hujan salju itu bersama si rajawali sakti, Sampai petang hari ketiga, salju turun semakin lebat, selagi Nyo Ko mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang kayu untuk menggempur bunga salju, mendadak sebelah sayap rajawali itu di sabetkan ke arahnya. Karena tidak ber-jaga2, hampir saja Nyo Ko tersabet, cepat ia melompat minggir sehingga sabetan itu dapat dihindari walaupun begitu dahinya sudah ketetesan dua biji bunga salju.

Segera teringat olehnya dahulu rajawali sakti ini juga pernah main gempuran denganku di atas tebing itu sehingga ilmu pedangku maju pesat, sekarang jelas rajawali ini mengajak latihan bersama lagi.

Karena itu ia lantas putar pedang kayu dan balas menusuk satu kali, tapi lantas terdengar suara "krak" sekali, begitu kebentur sayap rajawali, seketika pedang kayu itu patah, Rajawali itupun tidak menyerang lagi, tapi berdiri tegak dan mengeluarkan suara ber-cicit2, sikapnya se-akan2 sedang mengomeli kecerobohan si Nyo Ko.

Diam2 Nyo Ko merenungkan cara bagaimana harus menghadapi rajawali sakti itu, pikirnya: "Jika, kugunakan pedang kayu melawan tenagamu yang maha kuat, jalan satu2nya hanya mengelak dan menghindar, lalu balas menyerang pada setiap ada peluang,"

Setelah menentukan siasat itu, segera ia membuat lagi sebatang pedang kayu, lalu mulai menempur si rajawali pula di tanah salju itu, Sekali ini dia mampu bertahan hingga belasan gebrakan barulah pedang kayu terpatah.

BegituIah ia terus berlatih dengan tekun tanpa berhenti diam2 Nyo Ko sangat berterima kasih kepada si rajawali sakti yang telah menjadi teman berlatihnya tanpa mengenal lelah serta penuh disiplin itu, Pikirnya: "Kalau aku tidak berhasil meyakinkan ilmu pedang kayu ini tentu akan mengecewakan harapan Tiau-heng ini. Apalagi kesempatan bagus yang sukar dicari ini mana boleh ku-sia2-kan pula?"

Dengan tekad itulah, meski dalam mimpi juga dia mengeraskan otak memikirkan gerak-gerik setiap jurus serangan, cara bagaimana menyerang dan mengelak serta cara bagaimana memperkuat tenaga,

Karena kegiatan, latihan ilmu silatnya, rasa rindunya kepada Siao-liong-li menjadi rada berkurang sementara itu racun bunga cinta dalam tubuhnya sudah punah seluruh nya, tenaga dalamnya bertambah kuat, badan juga tampak sehat, kelesuan dan wajahnya yang pucat2 kurus dahulu kinipun sudah tidak kentara lagi.

Hawa semakin dingin, saju turun tiada henti2~nya, sudah genap setahun perpisahannya dengan Siao-liong-li. Berkatalah Nyo Ko kepada rajawali sakti itu: "O, Tiau-heng, biarlah kita berpisah untuk sementara, kuingin pergi dulu ke Coat-ceng-kok." Lalu dengan membawa pedang kayu ia meninggalkan pegunungan itu.

Dengan rasa berat rajawali itu mengikuti di belakang Nyo Ko, setiba dipersimpangan jalan Nyo Ko memberi hormat untuk mohon diri, lalu hendak melangkah pergi ke arah utara, Tak terduga mendadak rajawali itu menggigit ujung bajunya dan menyeretnya menuju ke selatan.

Tentu saja Kyo Ko heran, sayangnya di antara dia dan rajawali itu tidak saling mengerti bahasa masing2. Tapi ia tahu burung itu sangat cerdik dan tiada ubahnya seperti manusia, maka tanpa rewel lagi ia lantas mengikutinya ke arah selatan, Melihat Nyo Ko menuruti kehendaknya, rajawali itu tidak menggigit lagi ujung bajunya dan membiarkannya jalan sendiri Tapi kelihatan Nyo Ko ragu2 dan hendak memutar balik, segera ia meng-gendoli lagi ujung bajunya.

Nyo Ko pikir kalau rajawali sakti ini ngotot mengajaknya ke selatan, tentu ada maksud tujuan tertentu Maka iapun membatalkan niatnya ke Coat~ ceng-kok dan ikut burung itu terus ke selatan. Tiba2 hati Nyo Ko tergerak, pikirnya: "Burung ini sangat pintar, jangan2 dia memberi petunjuk jalan padaku ke lautan selatan untuk menemui Liong ji?"



Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia bersemangat, segera ia melangkah lebar dan ikut rajawali itu berlari cepat ke tenggara, Tiada sebulan kemudian sampai mereka di pantai laut, Nyo Ko berdiri di atas batu karang dan memandang jauh ke lautan bebas sana, tertampak ombak men-dam-par2 dengan hebatnya, sedih dan girang bercampur, aduk dalam benaknya.

Selang tak lama, terdengar suara gemuruh di kejauhan seperti bunyi guntur meru, Karena waktu kecilnya dahulu ia pernah tinggal di Tho hoa-to, ia tahu itulah suara gelombang laut pasang, setiap hari antara lohor dan tengah malam air laut tentu pasang dua kali. Kini sang surya sedang memancarkan sinarnya di tengah cakrawala, tentu tiba waktunya laut naik pasang.

Suara gemuruh air pasang itu makin lama makin keras dan berkumandang laksana be-ribu2 ekor kuda berderap serentak, Tertampaklah, dari jauh selarik garis putih menerjang ke arah pantai, suara gemuruh itu jauh lebih hebat daripada bunyi geledek dan samberan kilat. Menyaksikan kedahsyatan alam itu, tanpa terasa air muka Nyo Ko berubah pucat.

Hanya sekejap mata saja gelombang air pasang sudah menerjang tiba dan mendampar ke batu karang tempat berdiri Nyo Ko. Cepat ia melompat ke belakang, tapi mendadak punggungnya seperti di tubruk oleh suatu tenaga yang maha dahsyat, tanpa kuasa tubuhnya yang terapung di udara itu kecemplung ke laut, jatuh di tengah gelombang laut yang ber~gulung2, mulutnya terasa asin, tanpa kuasa ia telah minum dua ceguk air laut.

Ia menyadari keadaannya yang berbahaya, syukur ia sudah pernah di gembleng di bawah gerujukan air bah, maka sekuatnya ia tancapkan kaki di dasar laut dengan "Jian-kin tui", ilmu membikin berat tubuh.

Di permukaan air laut berombak, bergemuruh dengan hebatnya, tapi di dasar laut jauh lebih tenang.

Setelah merenungkan sejenak ia paham maksud rajawali itu mengajaknya ke pantai laut ini yakni agar dia berlatih pedang di tengah damparan gelombang laut itu.

Segera ia meloncat ke permukaan air, tapi segera segulung ombak laksana bukit menghantam kepalanya puIa. Tiada jalan lain, terpaksa ia menarik napas panjang2, lalu selulup lagi menghindar ke dasar laut.

Begitulah ber-ulang2 Nyo Ko timbul dan selulup lagi ketika air laut mulai pasang surut sementara itu Nyo Ko sudah lelah, muka juga pucat namun ia bertambah semangat, tengah malam waktu pasang naik lagi, kembali ia membawa pedang kayu dan menceburkan diri ketengah amukan ombak samudera yang hebat itu, ia putar pedangnya di dalam air, terasa berat sekali karena damparan ombak yang membukit itu, jika terasa payah dan tidak mampu bertahan, cepat ia menyelam ke dasar laut untuk menghindar.

Ia terus berlatih secara begitu dua kali sehari, tidak sampai sebulan ia merasa tenaga dalamnya bertambah banyak, jika pedang kayu diputar di daratan sayup-2 menerbitkan suara seperti ombak mendampar. Setiap kalau berlatih dengan rajawali itu, kini burung itu tak berani lagi menyambut serangannya dari depan, Suatu kali saking semangatnya Nyo Ko menusukkan pedang kayunya dengan sepenuh tenaga, Rajawali itu berkaok karena kaget dan melompat ke samping.

Karena tidak keburu menahan tenaga serangan-nya, pedang kayu itu menabas batang pohon di samping, pedang itu patah, batang pohon juga terkutung menjadi dua. Nyo Ko melenggong sambil memegangi kutungan pedang kayu itu, pikirnya: "Pedang kayu ini adalah benda lemah, tapi dapat mengutungi pohon, sudah tentu karena tenaga seranganku yang hebat Kalau nanti pohon patah dan pedang tidak patah, itulah baru mendekati ilmu sakti yang dicapai Tokko-Iocianpwe dahulu."

Musim semi berlalu, musim rontok tiba, sang tempo lewat dengan cepatnya, setiap hari Nyo Ko terus berlatih pedang di tengah gelombang laut tanpa mengenai lelah dan membedakan musim, Suara gemuruh yang dterbitkan pedangnya setiap kali ia menyerang menjadi semakin keras, sampai akhirnya telinga serasa pekak tergetar. Tapi setelah beberapa bulan lagi, suara pedangnya mulai berkurang dan akhirnya lenyap tanpa suara lagi.

Ia berlatih lagi beberapa bulan, ternyata suara pedang kembali mendengung pula. BegituIah terjadi perubahan sampai tujuh kali, akhirnya dapatlah ia menguasai pedangnya, ingin berbunyi lantas mengeluarkan suara, ingin tak bersuara lantas tanpa suara.

Ketika mencapai tingkatan setinggi ini, hitung punya hitung ternyata sudah enam tahun lamanya dia berdiam di pantai laut itu. Kini dengan pedang terhunus dapatlah Nyo Ko bergerak bebas di tengah gelombang laut yang dahsyat itu, kekuatan yang timbul dari gerakan pedangnya sudah mampu menyampuk ombak laut yang mendampar dari depan.

Meski hidup terpencil di pantai laut dan selama itu tak pernah bergebrak dengan jago silat, namun tenaga si rajawali sakti yang luar biasa itu sudah tidak mampu menahan dua-tiga kali gebrakan pedang kayunya lagi, baru sekarang dia memahami perasaan Tokko Kiu-pay yang tidak pernah menemukan tandingan itu, waktu usianya sudah lanjut, pantaslah Tokko Kiu-pay bertambah terharu dan kesepian karena tiada seorangpun yang sanggup melawan ilmu pedangnya, akhirnya orang dan ilmu pedangnya terkubur semua di lembah sunyi itu.

Terpikir oleh Nyo Ko. "Jika Tiau-heng dahulu tidak menyaksikan sendiri cara Tokko-locianpwe meyakinkan ilmu pedangnya yang maha sakti itu, mana bisa Tiau-heng mengajarkan lagi ilmu sakti ini padaku? walaupun kusebut burung Tiau heng tapi sesungguhnya dia adalah guruku, Bicara tentang umur, entah sudah berapa puluh tahun atau mungkin sudah ratusan tahun usianya, jadi umpama aku menyebut dia kakek atau buyut rasanya juga pantas."

Begitulah sembari berlatih ilmu pedang di pantai Iaut, iapun tiada hentinya mencari kabar berita tentang Nikoh sakti yang berdiam di lautan selatan sana. Namun selama beberapa tahun itu ternyata tiada seorangpun pelaut atau pedagang seberang yang ditanyai itu dapat memberi keterangan sesuatu.

Lambat laun iapun putus harapan, ia pikir kalau belum tiba waktunya 16 tahun tentu sulit untuk bertemu lagi dengan Siao-liong-li.

Pada suatu hari, hujan rintik2, angin meniup keras timbul sesuatu perasaan Nyo Ko, segera ia membawa pedang kayu dan pakai mantel, bersama si rajawali sakti ditinggalkanlah pantai laut itu dan mulai mengembara menjelajahi setiap pelosok daerah Tionggoan dan terutama daerah Kanglam yang terkenal indah permai itu

* * *

Sang tempo berlaku dengan cepat beberapa tahun telah lampau pula. Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong yang bertahta di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar Goan-hian-cong (dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan Kubilai Khan.

Ketika itu baru permulaan musim semi, pada Hong-Jeng-toh, sebuah kota tambangan di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning) tertampak sangat ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh roda kereta.

Rupanya selama beberapa hari ini cuaca berubah2 tidak menentu, terkadang dingin dan kemudian suhu menjadi hangat, mula2 air sungai Kuning itu sudah cair, tapi sejak semalam turun salju dengan lebatnya sehingga air sungai membeku lagi, sebab itulah kapal tambangan tidak dapat berjalan, keretapun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang beku itu.



Sebab itulah banyak saudagar yang hendak menyeberang ke selatan sama tertahan di kota tambangan kecil ini. Meski di Hong-leng toh ini juga ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari utara masih tak ter-putus2nya, tiada setengah hari semua rumah penginapan sudah penuh sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak sedikit timbul ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.

Hotel yang paling besar di kota itu bernama "An toh Io-ttam" artinya hotel selamat menyeberang, Lantaran halaman hotel ini dan kamarnya terlebih luas daripada hotel lainnya. maka tetamu yang tidak mendapatkan tempat pondokan lantas membanjiri An-toh-lo-tiam ini dan karena itulah suasana menjadi ramai dan berjubel menyebabkan kesibukan pengurus hotel, banyak kamar yang mestinya buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, bahkan masih kelebihan belasan tamu yang tidak mendapatkan kamar, terpaksa duduk berkerumun saja di ruangan tengah, pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat api unggun di tengah2 ruangan untuk menghangatkan badan tetamu.

Menyaksikan bunga salju yang beterbangan dengan lebatnya di luar, para tetamu sama bersedih karena besok merekapun belum tentu dapat melanjutkan perjalanan.

Cuaca mulai gelap, tapi hujan salju semakin lebat tiba-2 terdengar suara derapan kaki kuda, tiga penunggang kuda mendatang secepat terbang dan terhenti di depan An-toh- lo-tiam. "Kembali ada tamu lagi!" gumam seorang tamu yang berduduk di tepi api unggun.


Benar juga lantas terdengar suara seorang perempuan berseru: "He, pengurus berikan dua kamar kelas satu!"

Kuasa hotel menjawab dengan mengering tawa: "Maaf, sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar kosong lagi."

"Boleh satu kamar saja," ujar perempuan tadi. "Be ribu2 maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua," jawab pengurus hotel.

Tiba2 perempuan itu ayunkan cambuknya ke udara hingga menerbitkan suara "tarrrrr" sekali, lalu mengomel: "Omong kosong! Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar kutambahi sewanya." sembari bicara ia terus menerobos ke dalam hotel.


Pandangan para tamu sama terbeliak melihat perempuan itu, Usianya kira2 lebih 30 tahun, matanya jeli pipinya merah, mukanya cantik, perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher baju berlapiskan kulit berbulu halus, dan badannya sangat perlente.

Di belakang nyonya muda itu mengikut seorang lelaki dan seorang perempuan lagi, keduanya masih remaja, usianya antara 16-17, yang lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar2 gagah, sebaliknya perempuan muda itu sangat cantik.

Ke-duanya sama memakai jaket satin hijau pupus, leher si anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara itu sebesar jari dan bercahaya.

Para tamu sama terpengaruh oleh lagak lagu ketiga tamu baru, orang2 yang tadinya sedang bicara sama berhenti dan memandangi ketiga orang ini. Dengan sigap pelayan hotel lantas memberi hormat dan menjelaskan kepada si nyonya muda: "Lihatlah, nyonya, para tamu inipun tidak mendapatkan kamar. jika kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di sini sekedar menghangatkan badan dan lewatkan malam ini, besok kalau air sungai tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi."

Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi keadaan memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara pula.

Seorang perempuan setengah baya yang ikut duduk mengelilingi api unggun lantas berkata: "Silakan duduk di sini, nyonya, hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin."

"Terima kasih," jawab nyonya cantik itu Segera tamu lelaki yang duduk di samping perempuan setengah umur itu lantas bergeser untuk memberi tempat kepada si nyonya muda.

Duduk tidak lama, pelayan lantas mengantarkan daharan yang dipesan, ada daging ada ayam, arakpun tersedia, Nyonya muda itu sangat kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis, lelaki muda itupun mengiringi minum, hanya si anak dara cantik itu saja setitikpun tidak minum arak.

Dari sapa menjaga mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah kakak beradik, Usia pemuda itu tampaknya lebih tua daripada si anak dara, tapi ternyata memanggilnya "Cici",

Habis makan semua orang berkerumun pula di sekitar api unggun, Suara angin yang menderu2 di luar membuyarkan rasa kantuk semua orang.

"Cuaca begini sungguh membikin susah orang," demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soasay, "sebentar hujan salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar2 ingin menyiksa orang."

"Sebaiknya kau jangan mengomeli Thian dan Te (langit dan bumi)," ujar seorang lelaki pendek dengan logat Ouw-pak. "Adalah untung kita masih dapat menghangatkan badan dengan api dan makan enak di sini, Coba kalau kau pernah berdiam di kota terkepung Siangyang, kukira tempat yang paling sengsara di dunia ini juga akan berubah menjadi sorga bagimu."

Mendengar "kota terkepung Siangyang", nyonya cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya.

Lalu terdengar seorang tamu yang bcrlogat Kwitung bertanya: "Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Simgyang yang terkepung itu?"

"Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian dengar dan tidak perlu kujelaskan lagi," tutur tamu Ouwpak tadi, "Tahun itu pasukan Mongol menyerang Siangyang secara besar2an, panglima yang menjaga kota itu Lu-tayjin adalah manusia yang tidak berguna, syukurluh Kwe-tayhiap dan isterinya telah membantu dengan sepenuh tenaga."

Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut, tampak airmuka nyonya cantik tadi berubah riang pula.

Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi sedang menyambung ceritanya: "Beratus ribu penduduk siangyang juga bersatu padu menghadapi musuh dan bertahan dengan mati2an, seperti diriku ini, aku hanya pedagang gerobak surungan, tapi akupun ikut berjuang dengan mengangkut pasir dan mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota, lihat ini, codet pada mukaku ini adalah bekas luka kena panah orang Mongol."

Waktu semua orang mengawasi, benar juga terlihat pipi kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang, Tanpa terasa semua orang sama menaruh hormat padanya.

"Negeri Song kita sedemikian luas dengan penduduknya begini banyak, kalau setiap orang berjiwa patriot seperti saudara, hah, biarpun Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat juga takkan mampu menginjak tanah air kita," demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat.

"Tepat!" ujar si orang Ouwpak, "Lihatlah, sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi selama ini selalu gagal, sebaliknya tempat2 lain selalu dibobolnya dengan mudah.



Kabarnya belasan negeri di benua barat sana juga sudah ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siangyang kita masih tetap berdiri dengan tegaknya, walau-pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin penggempuran juga tetap tidak berhasil."

"Ya, kalau saja Siangyang jatuh, tentu sudah lama tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol," kata orang Kwitang,

Begitu semua orang penuh semangat bicara tentang pertahanan Siangyang, orang Ouwpak itu telah menjunjung Kwe Cing dan Ui Yong setinggi langit se-akan2 malaikat dewata dan semua orang juga tiada hentinya memberi pujian.

Tiba2 seorang tamu berlogat Sucoan ikut bicara dengan gegetun: "Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-2 juga ada, soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik dan jahat, seringkali kaum dorna justeru menikmati segala kejayaannya, sedangkan pembesar setia malahan mati penasaran Seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah almarhum itu tidak perlu dibicarakan, sekarang saja di daerah Sucoan kami sudah ada beberapa pembesar pembela rakyat telah menjadi kaum dorna."

"Hei pembesar siapakah itu mohon penjelasan," tanya orang Ouwpak tadi.

"Sudah belasan tahun juga pasukan Mongol menggempur wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang bijaksana itu, segenap rakyat jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya se-akan2 Budha penolong," demikian tutur si orang Sucoan.

"Siapa tahu raja kita yang berkuasa sekarang telah mempercayai laporan si dorna ~Ting Tay-coan. katanya Sia-tayjin menyalah gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin membunuh diri lalu kedudukannya diganti seorang pembesar tak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu.

Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu tiba pula, hanya sekejap saja Sucoan lantas jatuh, pihak kerajaan tidak menyesali dirinya sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaiknya malah menuduh panglima tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati2-an itu bersekongkol dengan musuh dan menangkapnya bersama segenap anggota keluarganya ke ibukota, di sana Ong-ciangkun telah dihukum penggal kepala." Bicara sampai di sini suaranya menjadi rada tersendat

Semua orang sama menghela napas terharu mendengar kisah sedih, orang Kwetang tadi berkata dengan gusar "Hancurnya negara selalu menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan sekarang ada tiga ekor anjing dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah seekor di antaranya."

Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini mendadak menimbrung: "Benar, kaum dorna kerajaan selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama mereka sama2 memakai "Tay", maka orang2 di Lim~an (ibukota Song Selatan) menambahkan nama mereka itu dengan satu coretan sehingga menjadi "Khian" (anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing."

Sampai di sini, semua orang sama tertawa puas.

Orang Sucoan tadi lantas bertanya: "Dari logat saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?"

"Benar," jawab si pemuda.

"Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun menjalani hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?"

"Ya, malahan ikut menyaksikan sendiri," jawab pemuda itu. "Menghadapi ajalnya Ong ciangkun tanpa gentar, dengan gagah berani beliau malah mencaci Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong sebagai pembesar dorna penjual negara dan bangsa, Bahkan terjadi pula sesuatu yang aneh."

"Kejadian aneh apa?" tanya orang banyak.

"Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan Tay-hong", tutur si pemuda, "Waktu menuju kelapangan hukuman, di tengah jalan Ong-ciang-kun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong, katanya setelah mati pasti akan mengadu kepada Giam lo-ong untuk merenggut nyawa dorna she Tan itu.

Anehnya tiga hari sesudah Ong ciang-kun menjalani hukuman, Tan Tay-hong itu benar2 mati mendadak di rumahnya dan kepalanya telah dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu gerbang timur Lim an.

Begitu tinggi menara itu, jangankan manusia, monyet sekalipun sukar merambat ke sana, Coba pikir, jika bukan Giam lo-ong yang merenggut jiwa menteri dorna itu, perbuatan siapa lagi, peristiwa itu diketahui setiap penduduk Lim-an dan sekali2 bukan dongeng belaka."

Semua orang sama bersuara mengatakan heran mereka. Orang Sucoan itu berkata: "Kejadian itu memang bukan dongengan, cuma yang membunuh Tan Tay-hong itn bukanlah Giam-!o-ong melainkan perbuatan seorang ksatria sejati."

"Di rumah menteri doma itu tidak sedikit pengawalnya, penjagaan tentu sangat ketat, orang biasanya manabisa membunuhnya, bahkan menggantung kepalanya di tempat setinggi itu, apa memangnya orang itu bersayap?" si pemuda sambil menggeleng.

"Di dunia ini tidak kurang orang kosen, jika aku tidak menyaksikan sendiri menang juga tidak percaya," kata orang Sucoan itu.

"Kau menyaksikan sendiri memanjat ke tempat setinggi itu? Cara bagaimana kau dapat menyaksikan nya?" tanya si pemuda.

Orang Sucoan itu ragu2 sejenak, akhirnya ia menutur pula: "Ong-ciangkun mempunyai seorang anak lelaki yang berhasil kabur waktu keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akar2nya kawanan dorna telah mengirim begundalnya menguber mencari putera Ong-ciangkun itu.

Meski putera Ong-ciangkun juga mahir ilmu silat, namun dia cuma sendirian dan tidak mampu melawan orang banyak, ketika dia dikejar dan hampir tertangkap tiba2 datang seorang penolong yang berhasil mengocar- kacirkan pasukan pengejar itu.

Lalu putera Ong-ciangkun itu menuturkan apa yang terjadi atas keluarganya, Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya itu tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah dipenggal kepalanya.

Dalam gusarnya Tayhiap itu lantas mendatangi kediaman Tan Tay-hong serta memotong kepalanya, Meski menara lonceng itu sangat tinggi dan sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya sekali loncat saja dapatlah beliau naik ke situ."

"Siapakah Tayhiap itu? Bagaimana bentuknya?" tanya si orang Kwitang.

"Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang jelas dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dia selalu membawa seekor burung raksasa yang berbentuk aneh dan buruk."

Belum habis ceritanya, seorang laki2 lain lantas menanggapi "Betul, itulah "Sin-tiau-hiap" yang termashur di dunia Kangouw."



"Ya, pendekar besar itu suka membantu yang lemah dan menolong yang miskin, tapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya sendiri," tutur laki2 itu, "Karena dia selalu membawa burung yang aneh itu, kawan2 Kangouw lantas memberi nama julukan "Sin-tiau-tay-hiap" (pendekar besar rajawali sakti) padanya, Tapi beliau mengatakan arti "Tay-hiap" terlalu berat baginya, maka tidak berani menerima, terpaksa orang hanya menyebutnya "Sin-tiau-hiap" saja. padahal berdasarkan tindak perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap juga pantas diterima olehnya, Kalau dia takdapat disebut pendekar besar, lalu siapa lagi?"

"Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap, kan bisa kebanjiran Tayhiap nanti," tiba2 si nyonya cantik tadi menimbrung.

"Ah, kenapa nyonya ini bilang begitu?" bantah-orang Sucoan itu dengan tegas. "Meski urusan Kangouw kurang kupahami, tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap itu telah berangkat dari Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti padahal beliau tidak pernah kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena kasihan padanya panglima yang difitnah menteri dorna itu, maka beliau telah bertindak tanpa menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas disebut Tayhiap?"

Nyonya cantik itu mendengus dan baru hendak mendebat, tiba2 anak dara disampingnya me-nyela: "Cici, perbuatan kesatria yang terpuji itu kan tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?"

Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu, enak didengar, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang.

Nyonya cantik tadi lantas mengomeli adiknya: "Huh, kau tahu apa?" Lalu ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata pula: "Darimana kau dapat mengetahui sejelas itu? Bukankah kaupun mendengar dari obrolan orang di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw? Huh, sembilan bagian pasti takdapat dipercaya."

Orang Sucoan itu termenung sejenak, akhirnya ia berkata dengan sungguh: "Aku she Ong, Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah ayahku almarhum. jiwaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. walaupun saat ini diriku menjadi buronan pemerintah, tapi soalnya menyangkut nama baik tuan penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini."

Semua orang melengak mendengar ucapan orang Sucoan ini, serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya dan berseru: "Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki2 sejati, Kalau di sini ada manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita be-ramai2 menghadaprnya."

Maka bergemuruhlah orang banyak menyatakan setuju, Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah pula.

Dalam pada itu si anak dara jelita tadi sedang ter-mangu2 memandangi salju yang bertebaran di luar itu sambil bergumam pelahan: "Sin-tiau tayhiap, Sin-tiau-tayhiap " mendadak ia berpaling kepada si orang Sucoan dan bertanya: "Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap itu mempunyai kepandaian setinggi itu, sebab apa pula sebelah lengannya buntung?"

Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar persoalan lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung bibirnya tampak ber-gerak2 ingin bicara, tapi urung.

Si orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng: "Entah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja takdapat kuketahui, seluk-beluk pribadi beliau tentu saja lebih2 tidak tahu,

"Tentu saja kau tidak tahu," jengek si nyonya muda.

Tiba2 si pemuda Lim-an berkata pu!a: "Tentang menteri dorna Ting Tay-coan itu, sekarang mukanya mendadak berubah hijau gosong dalam semalam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah."

"Aneh, mengapa dalam semalam mukanya berubah menjadi gosong?" tanya si orang Kwitang,

"Memang aneh, karena kulit mukanya berubah mendadak, sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit hijau) padanya," tutur pemuda Lim-an. "Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak Tapi semalaman mendadak kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biarpun sudah diobati oleh tabib paling pandai juga takdapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu, Konon Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor, katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur, maka kulit mukanya menjadi hijau. Akan tetapi setiap penduduk Lim-an sama anggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan Allah."

"Sungguh aneh kejadian itu," ujar si orang Kwitang,

"Hahaha!" mendadak si lelaki kekar tadi bergelak tertawa dan bersemi "Ketahuilah bahwa kejadian itupun atas tindakan Sin-tiau-tayhiap. sungguh menyenangkan sungguh menarik."

"He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau~ tayhiap lagi?" tanya semua orang.

Laki2 kekar itu hanya bergelak tawa saja dan tidak bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual mahal.

Lantaran ingin tahu duduk perkaranya lebih jelas, si orang Kwitang lantas memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak Ko-tiang yang enak untuk lelaki kekar itu, setelah dicekoki arak, semangat orang itu lantas terbangkit, segera ia bercerita lagi:

"Tentang peristiwa ini, bukan aku sengaja membual, tapi aku sendiri ikut berjasa, Malam hari itu Sin-tiau-hiap tiba2 datang ke Lim-an dan suruh kupimpin para kawan meringkus semua opas yang dinas jaga di kantor walikota, seragam mereka dicopot dan disuruh pakai para kawan.

Kami merasa tertarik dan juga heran entah apa yang akan dilakukan Sin-tiau-hiap, tapi kami yakin permainan menarik pasti sedang menanti maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira2 lewat tengah malam, Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota, beliau sendiri lantas memakai jubah kebesaran walikota dan duduk di meja sidang, sekali palu diketok, beliau lantas membentak

"Bawa hadir menteri berdosa Ting Tay-coan!" - Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis.

"Tatkala mana saudara kerja apa di Lim-an sana?" tanya si orang Kwitang.

"Kerja apa?" lelaki itu menegas dengan mata mendelik "Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai modal."

Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani bertanya pula, ia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal itu. Yakni merampok, membegal dan sebagainya.

Orang itu lantas bercerita pula: "Aku melenggong ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut, bukankah pembesar anjing ini adalah perdana menteri sekarang, mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke sini?

Terdengar palu diketok lagi, dua petugas benar2 mengiring seorang ke depan sidang, mungkin saking ketakutan, orang itu menjadi gemetar, ingin berlutut, tapi enggan pula. Seorang kawan lantas mendepak belakang dengkulnya hingga dia jatuh bertekuk lutut. Haha, sungguh lucu dan mcnarik. Sin tiau-hiap lantas menanyai dia:



"Ting Tay-coan, apakah kau mengetahui dosamu?"

Ting Tay- coan menjawab: "Tidak tahu."

Sin-tay-hiap membentak: "Kau korupsi dan main kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat, bersekongkol dengan negara musuh, semua perbuatanmu yang jahat lekas kau mengakui."

Ting Tay-coan menjawab: "Engkau ini siapa? Berani menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?"

Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak pula: "Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus, hayo anak buah, rangket dia 40 kali lebih dulu!"

Memangnya setiap orang sangat benci kepada menteri dorna ini, kini diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat bersemangat cara merangketnya juga diperkeras, tentu saja menteri dorna itu ber-kaok2 minta ampun dan jatuh pingsan beberapa kali, ia tidak berani kepala batu lagi, apa yang ditanya Sin-tiau-hiap lantas diakuinya semua.

Sin-tiau hiap lantas menyuruhnya menulis sendiri pengakuan dosanya, jika dia ragu2 menulisnya, segera Sin tiau hiap menyuruh menggebuk pantatnya lagi atau menempeleng dia."

Si anak dara cantik tadi mengikik tawa senang, desisnya: "Hihi, sungguh menarik!"

Laki2 itu menenggak habis pula semangkok arak, katanya dengan tertawa: "Ya, memang sangat menarik, Rupanya Ting Tay-coan itu sangat ketakutan, apalagi Sin tiau hiap ber-ulang2 mendesak agar cepat menulisnya, kalau sedikit merandek segera para kawan disuruh menggebuknya, akhirnya Ting Tay coan sampai terkencing2 dan ter-berak2.

Untung baginya, tidak lama fajarpun menyingsing dan di luar kantor walikota itu sudah ramai dengan petugas yang datang dinas pagi, malahan menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran berita dan ada orang yang melapor Sin-tiau-hiap menjadi gusar dan berteriak: "Penggal saja kepalanya!"

Kutahu Sin-tiau-hiap tidak suka sembarangan membunuh orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting Tay-coan, ketika golok terangkat ke atas telah ku-putar sekali, lalu dengan tepat mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan saji menteri dorna itu roboh terguh'ng, tapi tidak mati melainkan jatuh pingsan.

Rupanya yang mengenai adalah punggung golok yang tidak tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Sin-tiau-hiap bergelar tertawa dan suruh kami mengundurkan diri melalui pintu belakang agar tidak kebentrok dengan pasukan pemerintah.

Konon besoknya Sin-tiau hiap telah mengirim sendiri pengakuan dosa Ting Tay coan itu kepada si tua kaisar, tapi entah ocehan apa Ting Tay-coan telah membuat si kaisar tetap percaya penuh padanya dan tetap menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga sekarang."

"Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan lemah, tentu kaum dorna takkan berkuasa, tampaknya tanah air kita yang jaya ini sukar dipertahankan lagi." ujar Ong ciangkun cilik.

"Ya, kecuali Sin-tiau hiap yang menjadi perdana menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia inipun aman," kata lelaki tadi.

"Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?" tiba2 si nyonya cantik menyeletuk.

Laki2 tadi menjadi gusar dan menjawab: "Dia tidak sesuai, memangnya kau yang sesuai?"

Nyonya cantik itu naik pitam dan membentak "Kau ini kutu macam apa, berani kasar padaku?" - Dilihatnya laki2 itu sedang memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyurung kayu bakar ke orggokan api unggun agar berkobar lebih keras, sekenanya ia jemput sepotong kayu dan menyeruk ke besi pengaduk api itu.

Seketika tangan lelaki itu tergetar kesemutan, "trang", pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu dari unggun api itu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus.

Semua orang berteriak kaget, waktu mereka memandang besi pengaduk itu, ternyata sudah bengkok. Biarpun watak lelaki tadi rada berangasan, tapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi mengkeret dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arakpun lupa diminum lagi.

Si anak dara cantik lantas ikut bicara: "Cici, orang sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi itu, mengapa kau seperti tidak suka mendengarkan nya?" Lalu ia berpaling pada lelaki tadi dan berkata dengan tersenyum manis: "Toasiok, jangan kau marah ya!"

Sebenarnya laki2 tua itu sangat mendongkol tapi karena senyuman manis anak dara ini, seketika api amarahnya sirna tanpa bekas, iapun membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan beberapa patah kata rendah hati, tapi urung, "Toasiok," demikian si anak dara berkata pula. "silahkan engkau berkisah pula mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah engkau kenal dia?"

Laki2 itu memandang sekejap ke arah si nyonya cantik dan ragu2 untuk bicara.

Anak dara itu lantas berkata: "Silahkan bercerita saja, asalkan engkau tidak membikin marah Ciciku tentu takkan terjadi apa2. Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap? Beberapa umurnya kira2? Apakah burungnya rajawali itu sangat bagus?" tanpa menunggu jawaban lelaki itu, ia berpaling kepada si nyonya muda dan bertanya: "Cici, entah bagaimana kalau rajawalinya itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?"

"Dibandingkan sepasang rajawali kita?" tukas si nyonya muda, "Hah, di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi kedua rajawali kita itu?"

"Ah, juga belum tentu," ujar si anak dara, "Ayah sering mengatakan kita bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai, sekali2 tidak boleh bangga dan puas. Kalau manusia saja begitu, kukira burung yang lebih daripada rajawali kita itu pasti juga ada."

"Huh, anak kecil tahu apa?" Omel si nyonya wuda, "Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku, apakah kau sudah lupa?"

"Menurut ya menurut, tapi kan kudu tahu apa yang kau katakan itu betul atau tidak?" jawab si anak dara. "Eh, adik, coba katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?"

Pemuda di samping anak dara itu ragu-2 sejenak, kemudian menjawab: "Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang kita harus menurut perkataan Taci dan suruh kau jangan adu mulut dengan Taci."

"Nah, benar tidak?" kata si nyonya muda dengan senang.

Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya mengeloni sang Taci. dengan tertawa ia berkata: "Ah, adik memang tidak paham apa2" -Lalu ia berpaling dan tanya laki2 kekar tadi: Toasiok, silakan kau bercerita lagi tentang Sin-tiau-hiap."

Lelaki itu menjawab: "Baik, jika nona senang mendengarkan, tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini rendah, paling tidak akupun seorang Iaki2, satu bilang satu dua ya bilang dua. sepatah katapun tidak berdusta, Tapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik tidak kuceritakan saja."



"Mana aku tidak percaya? Lekas engkau bercerita lagi," kata si anak dara sambil mengangkat poci arak dan menuangkan satu mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan: "He, pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus, Taciku menjamu para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin."

Pelayan mengiakan dan berteriak menyampaikan pesanan itu, Semua orang sama tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada si anak dara. Tidak lama, tiga pelayan lantas mengantarkan arak dan daging yang dipesan.

Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak senang, katanya dengan cemberut: "Hm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan menjamu orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging itu tidak boleh diperhitungkan padaku."

Si pelayan melengak bingung, ia pandang si nyonya cantik sebentar, lalu pandang si anak dara lagi.

Anak dara cantik itu lantas mengambil tusuk kondai emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya: "lni tusuk kondai dari emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja bagiku, Lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus. "

Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya: "Jimoay, Kau sengaja membikin keki aku, bukan? Melulu mutiara yang terbingkai di tusuk kondai itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda berharga begitu sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarangan orang. Nanti kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba cara bagaimana kau akan menjawab?"

Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata dengan tertawa: "Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak ketemu."

"Huh, masakah aku mau berdusta bagimu?"" omel si nyonya muda.

Si anak dara lantas mendahului menyupit sepotong daging rebus dan dimakan, lalu berkata: "Nah, barang sudah dimakan masakah boleh dikembalikan? Eh. hayolah para paman dan mamak, jangan sungkan-2, silakan minum dan makan!"

Melihat kedua kakak beradik itu beradu mulut, semua orang merasa tertarik, mereka sama menyukai si anak dara yang polos ke-kanak 2an, maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya si nyonya muda cantik itu mendongkol ia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya.

"Nah, Song toasiok, Taciku sudah tidur silakan kau bercerita lagi, tentu takkan mengganggunya," kata si anak dara dengan tertawa.

"Bilakah aku tidur?" semprot si nyonya muda dengan marah.

"Ah, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tak terganggu," jawab si anak dara dengan tertawa.

Dengan suara keras si nyonya muda lantas ber-kata; "Yang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besuk aku takkan berangkat bersama kau."

"Ah, tak jadi soal, aku brrangkat bersama Samte (adik ketiga)," ujar si nona cilik.

"Tidak, Samte akan ikut aku," kata si nyonya.

""Eh, Samte, kau akan berangkat bersama siapa?" tanya anak dara itu.

Anak muda tadi menjadi serba susah, kalau membantu sang Taci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Taci yang akan marah, Dengan tergagap2 kemudian ia menjawab: "Kata ibu, kita bertiga harus selalu bersamak tak boleh terpencar."

"Nah, betul tidak? Kalau Taci tidak membawa serta diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Taci tak bebas dari tanggung jawab," jawab si nona cilik dengan tertawa.

Dengan mendongkol si nyonya menjawab: "Tahu kau selalu bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat, tentu aku tidak perlu berkuatir dan ikut mencari kau."

Mendengar begitu, nona cilik itu menjadi lunak hatinya, ia terus merangkul bahu sang Taci dan memohon: "O, Taci yang baik, jangan marah ya! Anggaplah aku yang salah."

Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan tidak menggubris.

"Jika Taci tidak mau tertawa, akan ku-kitik2 kau," kata si anak dara.

Tapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak anak dara itu menggunakan tangan kanan untuk mengelitik ketiak sang Taci dari belakang, Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke belakang, Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Taci dan tangan lain tetap hendak mengelitik. segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan sikutnya menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya, keduanya bergerak dengan lemah gemulai dan bergaya menarik.

Hanya sekejap saja keduanya sudah saling gebrak beberapa jurus, Si anak dara tetap tidak mampu mengelitik sang Taci, si nyonya muda juga tidak dapa menangkap tangan adiknya.

"Kepandaian bagus!" tiba2 seorang berseru tertahan di pojok ruangan sana.

Kedua kakak beradik serentak berhenti dan memandang ke pojok sana, tertampak seorang duduk meringkuk menjadi satu gulungan, kepala terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tidur nyenyak, Sejak duduk di tepi api unggun kedua kakak beradik itu sudah melihat cara orang tidur meringkuk begitu tanpa bergerak sedikitpun orang lain tidak dapat melihat cara bagaimana kedua kakak beradik itu bercanda. Agaknya suara sorakan itu bukan dilakukan olehnya.

Tiba2 si pemuda berkata, "Taci dan Jici, ayah sudah pesan agar kita jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita."

"Ah, sok kemaki!" si anak dara berseloroh.

"Tapi benar juga kau." -Lalu dia berpaling kepada lelaki kekar tadi: "Maaf, Song toasiok, kami kakak beradik ribut sendiri sehingga lupa mendengar ceritamu Hayolah lekas mulai!"

LcIaki she Song itu menjawab: "Tapi sekali2 aku bukan mendongeng, apa yang kuceritakan ini adalah kisah nyata."

"Tentu saja cerita Song-toasiok adalah kejadian nyata," ujar si anak dara dengan tertawa.

Lelaki itu menenggak dulu araknya, lalu berkata "Sudah kuminum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga rikuh rasanya, Kalau saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan kujamu kembali engkau nona manis ini, memangnya panggilan Toasiok ber-ulang2 hanya panggilan percuma saja? -Eh, bicara tentang perkenalanku dengan Sin-tiau-hiap, kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik ini, jiwaku juga telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap. Cuma sekali ini beliau tidak menggunakan kekerasan melainkan dibeli dengan uang."

"Sungguh aneh, masakah dia membeli kau dengan uang?" si anak dara menegas, "Memangnya berapa sih harganya satu kilo dirimu ini?"

Lelaki itu ter-bahak2, katanya: "Hahaha, daging orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal daripada daging sampi maupun babi, Tahukah kau berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku ini? Hah, 4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya: Lima tahun yang lalu ketika membela sesuatu urusan di Celam, Soatang, aku telah membunuh mati seorang bicokok setempat bunuh orang ganti nyawa, bukan soal bagiku.



Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman mati, yang mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan seorang buaya darat setempat yang maha jahat.

Sungguh brengsek, masakah seorang laki2 sejati macamku harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah, betapapun aku sangat penasaran."

"Tak terduga, selang beberapa hari, buaya darat itu telah menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras, membuka rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku dan buaya darat itu telah dibebaskan.

Dari kepala penjara kudengar bahwa buaya darat itu lelah menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga semua kesalahannya ditambahkan seluruhnya atas namaku.

Katanya toh sama saja, suatu pelanggaran dihukum mati, sepuluh pelanggaran juga dihukum mati, daripada mati dua orang biarlah mati satu orang saja "

"Keruan aku merasa difitnah dan sangat penasaran aku ber-teriak2 mencaci maki pembesar durjana itu, Tapi apa dayaku ? Lewat beberapa hari lagi aku dibawa ke sidang, sungguh aneh bin ajaib, tahu2 buaya darat itu dihadapkan sidang pula bersamaku.

Kontan saja aku mengumpat habis2an. Tapi pembesar korup itu lantas berkata dengan ter-tawa: "He, Song Ngo, tidak perlu kau mencak2 begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang tidak bersalah, Bicokot itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!" sembari bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu akupun dibebaskan.

Tentu saja aku meng-garuk2 kepalaku yang tidak gatal ini, sudah jelas akulah yang membunuh bicokot itu, mengapa sekarang kesalahan ini ditimpakan kepada orang lain?"

"Hihi, sungguh pembesar yang konyol dan linglung," ujar si anak dara dengan mengikik tawa.

"Mana dia linglung," ujar lelaki she Song itu.

"Setiba di rumah, ibuku memberitahukan padaku bahwa ketika aku diputus hukuman mati, ibu menangis setiap hari di jalan raya, suatu hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab musababnya, Beliau menyatakan sedang ada urusan penting dan takdapat membereskan perkara itu, ibu di beri uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku.

Selang tiga bulan kemudian, tersiarlah berita yang menggegerkan, katanya bapak walikota marah2 lantaran habis kecurian delapan ribu tahil perak, Kuyakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiau~hiap. kami tak berani tinggal lagi di tempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an.

Lewat setahun lagi kudengar ada seorang tuan bertangan buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai laut dan memandangi ombak samudera dengan ter-mangu2, Cepat kuburu ke sana dan dapatlah menemui beliau, disitulah dapat ku-aturkan terima kasih padanya."

"Apa yang kau terima kasihkan?" tiba2 si nyonya muda menyela, "dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang she Nyo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?"

"She Nyo? Sin-tiau-hiap itu she Nyo maksud-mu?" tanya si anak dara.

"Entah, siapa yang bilang dia she Nyo?" jawab si nyonya muda.

"Jelas baru saja Taci menyebutnya she Nyo," kata anak dara itu.

"Ah, kau sendiri yang salah dengar," bantah si nyonya.

"Baiklah, tak perlu kuribut dengan kau," ujar si anak dara. "Seumpama betul Sin-tiau-hiap untung bersih empat ribu tahil perak pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin dan menolong orang sengsara."

Serentak semua orang bersorak merauji: "Bagus! Memang tepat ucapan nona!"

"Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu memandangi ombak laut? Apakah dia sedang menunggu sesuatu di sana ?" tanya si anak dara pula.

"Entahlah, akupun tidak tahu," jawab lelaki She Ong sambil menggeleng.

Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar dan dilemparkan ke gundukan api unggun, iapun ter-menung2 memandangi api yang berkobar itu, kemudian ia menggumam pelahan: "Meski Sin-tiau-hiap suka menolong orang lain, bisa jadi ia sendiripun menyimpan sesuatu persoalan pelik, Sebab apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut dengan ter~mangu2?",

Seorang wanita setengah umur yang duduk di sudut kiri sana tiba2 menyeletuk "Aku mempunyai seorang adik misan dan beruntung dapat bertemu dengan Sin-tiau hiap yang sedang memandangi laut dengan ter-mangu2 itu, karena heran, adik misan pernah tanya beliau, menurut keterangan Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan takdapat berjumpa."

"Ahhh!" semua orang sama bersuara heran.

"Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri," kata si anak dara cantik, "Entah sebab apakah isterinya berada di seberang lautan sana, Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak menyeberang ke sana untuk mencari isterinya?""

"Adik misanku juga pernah tanya begitu padanya," tutur si wanita setengah umur tadi, "Tapi beliau menjawab bahwa lautan seluas itu. entah ke mana baru dapat menemukannya?"

"Ai, kupikir tokoh demikian pasti seorang yang berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar," kata si anak dara dengan menghela napas pelahan. Lalu ia tanya pula: "Adik misanmu tentu sangat cantik bukan? Diam2 dia menyukai Sin~ tiau-hiap. betul tidak?"

"Hus! Jimoay, kau bicara yang aneh2 lagi!" bentak si nyonya cantik tadi.

Tapi wanita setengah umur itu lantas berkata: "Ya, adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap telah menyelamatkan jiwa ibunya dan membunuh ayahnya Apakah diam2 adik misan menyukai Sin-tiau-hiap sukar diketahui orang lain-Cuma sekarang dia sudah menikah dengan seorang petani yang baik, Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya cukup lumayan."

"Sin-tiau-Hap menyelamatkan jiwa ibunya, membunuh ayahnya sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul bisa terjadi begitu?" ujar si anak dara tadi.

"Kenapa mesti sangsi?" kata sang Taci, si nyonya cantik, "watak orang itu memang aneh dan sebentar2 berubah, kalau senang dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh, Yu, memang sudah begitu sejak kecilnya."

"Sudah begitu sejak kecilnya? Taci tahu darimana?" tanya si anak dara.

"Tentu saja kutahu." jawab si nyonya muda., Dan meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau menjelaskan.

"Baiklah, kau tak mau bercerita ya sudahlah, memangnya siapa pingin tahu?" kata si anak dara dengan rada mendongkol "Rasanya seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka." Lalu ia berpaling kepada si wanita setengah umur dan berkata pula: "En, Toasoh, maukah kau bercerita mengenai pengalaman adik misanmu?"



"Baiklah, akan kuceritakan," jawab wanita itu.

"Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik berada di Holam, Tahun itu orang Mongol telah menyerbu sampai di wilayah sana dan Kohtio (paman) telah diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja paksa, Bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta2 sepanjang jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika diingat bahwa wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak mendatangkan kesuIitan. Sebab itulah bibi dan adik telah memoles muka dengan hangus agar tidak merangsang pikiran orang jahat"

"Mengapa muka mereka dibeji hangus menjadi tidak merangsang orang jahat?" tanya si anak dara.

Karena pertanyaan ini, sebagian orang2 itu, terutama kaum lelakinya, sama tertawa geli.

"Jimoay!" omel si nyonya muda, "kalau tidak tahu, hendaklah jangan sembarangan bertanya, Nona sebesar ini hanya menimbulkan tawa orang saja!"

"Justeru lantaran aku tidak tahu, makanya aku tanya, kalau sudah tahu buat apa tanya," gerundel si anak dara.

"Ah, urusan kurang pantas diceritakan itu lebih baik nona tidak paham saja," ujar wanita setengah umur tadi. "Selama empat tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol dan kemudian sampai ke Soasay, akhirnya dapatlah paman diketemukan menjadi budak di bawah seorang Mongol ber-pangkat Jian-hou-tiang (kepala Seribu Jiwa), Jian-hou-tiang itu sangat jahat ketika paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul patah oleh orang Mongol itu.

Tentu saja bibi sangat berduka dan memohon suaminya dibebaskan Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apabila ditebus dengan seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus tahil sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya darimana seribu tahil perak itu diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi nekat, terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan ia sendiri dijual ke Ca bo-keng (rumah pelacuran)"

Karena tidak tahu apa artinya "Ca bo-keng" si anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah menimbulkan tertawa orang, tiba2 ia urungkan maksudnya bertanya.

Terdengar wanita setengah baya itu melanjutkan ceritanya: "Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah tahun, sedikit2 mereka sudah ada tabungan, tapi untuk mencukupi seribu tahil perak sungguh tidak mudah. untunglah para tetamu mengetahui cita2 luhur ibu beranak yang ingin menolong suami itu, maka waktu memberi uang sengaja dilebihkan daripada tarip umum.

Dengan susah payah dan kenyang hina derita, pada malaman tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak, Dengan riang gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang untuk diserahkan sebagai harga tebus paman, mereka pikir malam itu juga antara suami isteri dan anak dapat berkumpul kembali sehingga dapat merayakan tahun baru dengan gembira."

Sampai di smi, si anak dara ikut bergembira juga bagi ibu beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas berkata: "Namun kenyataan ternyata berlainan daripada harapan, setelah menerima seribu tahil perak, Jian hou-tiang itu memang benar mengeluarkan paman untuk bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou tiang itu untuk mohon diri, tiba2 timbul lagi pikiran jahat pada orang MongoI itu karena melihat adik misan ku yang cantik itu, katanya:

"Bagus sekali kalian mau menebus budak ini, nah, boleh serahkan uang tebusannya! - Keruan bibi terkejut, padahal seribu tahil perak itu sejak tadi sudah diserahkan kepada kasir Jian-hou tiang itu, mengapa sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau terima alasan bibi, dengan marah ia malah membentak: "Huh, masakah seorang berpangkat seperti aku ini sudi anglap duit -kaum budak? Kalian sengaja hendak mencemarkan nama baikku ya?"

Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka pula, tanpa tahan lagi ia menangis ter gerung2 di tempat.

"Jian-hou tiang itu lantas berkata -, "Baik!ah, mengingat malam ini adalah malaman tahun baru, biarlah kuberi kesempatan berkumpul kalian suami-isteri. Tapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini."

Sudah tentu bibi tahu maksud busuknya dan tidak dapat menerima kehendak orang, Segera Jian-hou-tiang itu mem-bentak2 gusar dan memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman."

"Karena tidak tega meninggalkan anak perempuannya, bibi menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang itu. Walaupun setiap orang mengetahui kesusahan bibi, namun di bawah kekuasaan orang Mongol, membunuh seorang Han ibarat kan memites seekor semut, siapa yang berani membela keadilan? Tapi yang paling celaka adalah pamanku, dia malah bilang:

"Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak gadis kita, inilah rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah menangis?" Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa raganya sampai tulang sungsum-nya benar2 sudah berbau budak.

Kemudian iapun menanyakan bibi darimana mendapatkan seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tidak mau menjelaskan, karena didesak, akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah dan menuduh bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak dapat menjaga kepribadian dan suka melacurkan diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina. Segera paman membuat suratce-rai dan menceraikan bibi."

Sampai di sini, semua orang sama menggerutu dan menganggap nasib bibinya itu sungguh malang dan pamannya itu terlalu kejam.

"Bibi menjadi putus asa," demikian tutur wanita lebih lanjut, "diam2 beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung diri dengan tali pinggangnya, Untung Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan dapat menyelamatkan jiwanya, setelah mengetahui duduknya perkara. Sin-tiau-hiap sangat gusar, malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang itu dan melihat adik misan sedang dipaksa untuk menuruti kehendaknya, celakanya paman juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja.

Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku itu dan menyeret Jian-hou-tiang itu dan melemparkan ke sungai, adik misan juga ditolong keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan membunuh pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci kepada manusia yang tak berbudi dan tak berperasaan, apalagi rela diperbudak musuh segala, paman telah melanggar pantangan Sin tiau hiap itu, maka tanpa sungkan2 lantas dibunuhnya."

Saking kesemsemnya mendengar cerita menarik itu. tanpa terasa anak dara cilik itu lantas mengangkat mangkok arak dan minum seceguk.

"Ah, pedas!" katanya sambil meringis, Karena tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah sehingga makin menambah kecantikannya. Dengan pelahan ia berkata pula: "Kalian beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap, jika akupun dapat berjumpa dan bicara sejenak dengan dia, andaikan umurku harus berkurang tiga tahun juga aku rela."

"Jimoay, kenapa kau sembarangan percaya kepada obrolan orang?" seru si nyonya cantik. "llmu silat orang itu memang tinggi, tapi kalau dibandingkan ayah masih terlalu jauh, padahal orang itupun sudah pernah kau lihat, malahan dia pernah memondong kau."

Air muka si anak dara menjadi merah jengah, semprotnya: "Cis, mengapa Taci juga sembarangan omong, siapa mau percaya?"

"Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti boleh kau tanya ayah dan ibu," kata si nyonya cantik.

"Apa yang dikatakan Sin-tiau-hiap itu sebenarnya she Nyo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, Lengannya yang buntung itu justeru... justeru... Waktu kau baru lahir dia sudah lantas memondong kau-"

Kiranya nyonya cantik ini bukan lain daripada Kwe Hu dan anak dara itu adalah Kwe Yang, sedang pemuda itu adalah adik kembar Kwe Yang, Kwe Boh-lo.

Ketiga kakak beradik ini disuruh ayah-bundanya ke Cinyang untuk mengundang Khu Ju-ki, itu tokoh tertinggi Coan-cin-kau pada masa itu, untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan) yang akan diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka bertiga baru pulang dari Cin-yang, setiba di tempat penyeberangan ini merekapun teralang oleh cuaca yang buruk dan masuk ke hotel itu sehingga dapat mendengarkan cerita orang2 tadi mengenai Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Nyo Ko itu.

Dengan cepat 16 tahun berlalu dan sementara itu Kwe Hu sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Yang dan Kwe Boh-lo juga sudah besar.

Kwe Yang ber-seri2 mendengar ucapan Kwe Hu tadi, ia bergumam sendiri: "Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya." ia berpaling dan tanya sang Taci: "Cici bilang waktu kecilnya Sin-tiau-hiap pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, mengapa belum pernah kudengar hal ini dari ayah dan ibu?"

"Kau tahu apa?" sahut Kwe Hu. "Masih banyak soal lain yang tidak diceritakan padamu oleh ayah ibu."

Kiranya tentang buntungnya Nyo Ko serta keracunannya Siao-Iiong li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh, setiap kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Cing, meski Kwe Hu sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Cing mendamperatnya tanpa kenal ampun.

Sebab itulah setiap anggota keluarga tidak suka menyinggung lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Yang dan Kwe Boh-lo tidak pernah mendengar orang bercerita kisah si Nyo Ko.

"lika begitu, kan dia mempunyai hubungan erat dengan keluarga kita, mengapa selama ini dia tak pernah datang ke rumah kita?" kata Kwe Yang. "Ah, pada Eng-hiong-thay-hwe yang akan diadakan di Siangyang tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap itu pasti akan hadir."

"Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan wataknya juga angkuh, belum tentu dia mau datang," ujar Kwe Hu.

"Cici, kita harus berusaha mencari jalan untuk menyampaikan kartu undangan padanya," kata Kwe Yang. Lalu ia berpaling kepada lelaki kekar tadi: "Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat kepada Sin-tiau-hiap?"

Orang she Song itu menggeleng dan menjawab:

"Sin-tiau-hiap menjelajahi seluruh jagat, jejaknya sukar diketemukan untuk mencarinya tidaklah mudah."

Kwe Yang sangat kecewa, dia benar2 sangat tertarik oleh kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh ia ingin bisa bertemu dengan pendekar rajawali sakti itu, ia merasa gegetun bahwa Sin-tiau-hiap yang dikaguminya itu tak dapat hadir pada Eng-hiong-thay-hwe nanti.

Katanya kemudian sambil menghela napas: "Ai, orang yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria sejati belum tentu mau hadir ke sana."

"Bluk", mendadak terdengar suara gedebuk yang keras, seorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata.

"Apa sulitnya jika nona ingin menemui Sin-tiau-hiap, biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau."

Memangnya semua orang terkaget oleh suara orang yang gemuruh keras itu, apalagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya, semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih dari satu meter, tubuhnya juga kurus kecil namun kepalanya yang besar, telapak tangannya dan telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa.

Sejak tadi dia meringkuk di pojok ruangan sehingga tidak diperhatikan oleh siapapun juga, siapa tahu begitu dia berdiri ternyata bentuknya begini aneh dan lucu.

Dengan girang Kwe Yang lantas menanggapi ajakan orang aneh itu: "Bagus jika engkau mau membawaku ke sana, cuma selamanya aku tidak kenal Sin tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?"

"Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui dia, selanjutnya mungkin kau takkan dapat melihat dia lagi," kata orang cebol itu dengan suaranya yang mengguruh.

"Sebab apa?" tanya Kwe Yang heran. Kwe Hu lantas berdiri dan tanya si cebol: "Mohon tanya siapakah namamu yang terhormat?"

"Hehehe!"

"orang pendek itu ter-kekek2, katanya "Orang buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal diriku, pulang saja tanya kepada ayah-ibumu."

Pada saat itulah sayup2 terdengar suara seruan berkumandang dari jauh: "Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah datang sembilan. Wahai Hong thian-fui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu sampai kapan?"

Suara sayup2 itu seperti terputus lalu bersambung pula, lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat terdengar dengan jelas.

Si cebol melongo sejenak, mendadak ia menggertak keras2, debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan batu dan genting. Semua orang sama memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi ternyata si cebol sudah menghilang entah ke mana.

Semua orang terkejut, waktu menengadah, tertampak atap rumah telah berlubang besar, Kiranya orang cebol itu menerjang keluar dengan menjebol atap.

"Lihay benar orang itu, cici," kata Kwe Boh-lo.

Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak tokoh persilatan yang dikenalnya, tapi betapa lihay kepala si cebol ini belum pernah dia dengar dari ayah-ibunya, seketika iapun melenggong dan tak dapat menanggapi ucapan adiknya itu.



Kwe Yang lantas nyeletuk: "Di antara guru2 yang pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han Pok-ki. Sam-te sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah tentu beliau akan marah. Kau harus menyebutnya sebagai Locianpwe."

Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba2 terdengar pula suara "blang" yang keras, seketika debu pasir bertebaran Iagi, malahan muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil dan menjerit kesakitan.

Di tengah suara ribut itulah tahu2 terlihat si cebol tadi sudah berdiri pula di tengah ruangan, dinding sebelah timur sana telah bobol suatu lubang setinggi tatu meteran dan lebarnya lebih setengah meter. Kiranya orang cebol ini menerjang masuk dengan menjebol dinding.

Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh lebih tinggi daripada belasan tahun yang lalu, tapi tidak urung iapun terkejut melihat kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol, cepat ia melompat maju mengadang di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau2 si cebol mendadak menyerang.

Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang sebesar gentong itu dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Yang: "Eh, nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, marilah ikut padaku."

"Baiklah!" jawab Kwe Yang tanpa pikir, "Hayo Taci dan Samte, kita pergi bersama."

"Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi, apalagi kita belum pernah kenal tuan ini," ujar Kwe Hu.

"Kupergi sebentar dan segera kembali, kalian tunggu saja di sini," kata Kwe Yang.

Mendadak orang she Song tadi berbangkit dan berseru: "Nona cilik, sekali2 kau jangan pergi. Orang ini... orang ini adalah tokoh gerombolan setan dari Se-san, jika kau ikut pergi, besar, . . besar kemungkinan akan celakai

"Hehehe, kau juga tahu gerombolan setan dari Se-san?" si cebol mengekek tawa, "Maksudmu kami adalah orang jahat?"

Habis itu sebelah tangannya mendadak menyodok ke depan, belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu2 tubuh Song Ngo sudah tergetar mundur dan menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kaki lemas dan terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan dada, entah sudah mati atau masih hidup.

Kwe Hu menjadi gusar, walaupun tahu kepandaian si cebol lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam saja, segera ia berteriak: "Engkan silakan pergi saja, Adikku masih kecil, mana boleh mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?"

Pada saat itu pula suara sayup2 terputus2 tadi berkumandang pula: "Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah datang sembilan, Hong-thian-lui, wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul, orang sudah Iama menunggu!"

Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba2 seperti sangat dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding orang.

Kwe Yang sudah bertekad harus bertemu dengan Sin-tiau-hiap sekalipun nanti akan kepergok setan iblis, maka segera ia menjawab: "Baiklah, Cian-pwe, bawalah aku!"

Berbareng ia terus melompat ke sana dan menerobos keluar melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi.

"He, kau!" seru Kwe Hu sambil meraih tangan sang adik, tapi luput, cepat iapun melompat ke sana hendak mengejar keluar melalui lubang dinding.

Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak menerobos keluar, mendadak lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe Hu kini sudah cukup sempurna dan dapat mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati, cepat ia anjiok ke bawah sehingga daya terobosnya tadi dihentikan seketika, begitu kakinya menyentuh lantai, ternyata dirinya tepat berdiri di depan dinding, jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu ia dapat melihat jelas, hampir saja ia menjerit kaget.

Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat terisi di lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis seperti dicetak pada dinding itu. Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh bermuka buruk itu, malahan tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan saja ia terkejut, cepat ia melompat mundur lagi

Segera terasalah angin dingin meniup, dinding itu kembali berlubang bentuk tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah menghilang.

"Jimoay, kembali!" seru Kwe Hu sambil menerobos keluar, didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan si Kwe Yang cilik?

Rupanya setelah si cebol menggertak mundur Kwe Hu, segera pula ia melompat keluar dan mendekati Kwe Yang, katanya: "Bagus, nona cilik sungguh pembrani!"

Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan diajak melompat ke depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya, jangan dikira orang cebol itu kakinya cekak, lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang digunakan ternyata adalah Ginkang yang lain daripada yang lain, seperti katak saja ia terus melompat2 ke depan, biarpun membawa serta Kwe Yang, namun gerak-geriknya tetap sangat lincah dan enteng.

Tangan Kwe Yang yang digenggam si cebol itu rasanya seperti dijepit oleh tanggam sehingga terasa sakit, hatinya menjadi berdebar kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini?

Sejak kecil Kwe Yang langsung mendapat didikan dari Kwe Cing dan Ui Yong, dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik, semula ia masih sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama2 ia menjadi lelah dan perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun dengan si cebol.

Setelah berlompatan begitu beberapa li jauhnya, tiba2 dari balik bukit sana ada orang tertawa dan berkata dengan suara halus: "Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau datang terlambat? Eb, malahan kau membawa anak dara secantik itu!"

"Nona cilik ini adalah puteri Kwe Cing dan ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari," kata si cebol.

"Puteri Kwe Cing?" orang tadi menegas dengan melengak.

Dari bukit sana suara seorang lagi berkata: "Sudah lewat tengah malam, lekas berangkat!" Menyusul mana terdengarlah suara derapan kuda lari yang riuh, dari balik bukit lantas muncul belasan ekor kuda.

Sementara itu salju masih terus turun dengan lebatnya, dari pantulan cahaya salju itu dapatlah Kwe Yang melihat belasan ekor kuda itu seluruhnya ada sembilan penunggang kuda yang berlainan bangun tubuh masing2, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada lelaki dan juga ada perempuan, sebagian besar kuda itu tanpa penunggang malah.

Si cebol tadi mendekat ke sana dan menuntun dua ekor kuda, seekor diserahkannya kepada Kwe Yang, ia sendiri menunggang seekor, lalu membentak: "Hayo berangkat!" Sekali bersuit, ber-bondong2 belasan ekor kuda itu terus membedal cepat ke arah barat laut.

Dari bentuk tubuh kesembilan orang itu Kwe Yang melihat jelas dua di antaranya adalah perempuan, yang satu kelihatan sudah tua renta, seorang lagi berpakaian merah membara sehingga sangat menyolok di tanah salju yang putih bersih itu.



Wajah ketujuh orang lainnya tidak jelas, hanya perawakan seorang di antaranya sangat tinggi kurus sehingga mirip tiang bendera terpancang di atas pelana kuda.

Rombongan mereka terus mengaburkan kuda dengan cepat, setelah belasan li mereka lantas berganti kuda tunggangan agar kuda yang pertama dapat mengaso.

Diam2 Kwe Yang membatin: "Dari suara sayup2 yang terdengar tadi katanya gerombolan setan Se-san sepuluh sudah datang sembilan, kini termasuk si cebol tadi jumlah mereka memang sepuluh, Tampaknya mereka inilah yang disebut gerombolan setan dari Se-san.

Menurut Song-toa siok tadi, katanya besar bahayanya jika aku ikut mereka dan si cebol terus hantam paman Song itu hingga sekarat, kelihatannya orang2 ini sangat kejam.

Tapi orang cebol itu mengatakan hendak membawaku menemui Sin-thay-hiap, agaknya ucapannya juga tidak dusta, Kalau mereka kenal Sin-tiau-hiap, kukira mereka pasti bukan orang jahat."

Dalam sekejap saja belasan li sudah berlalu pula, orang yang paling depan mendadak bersuara dan belasan ekor kuda itu serentak berhenti Orang di depan itu lantas melarikan kudanya ke suatu tempat yang tinggi, lalu memutar balik,

Kwe Yang menjadi terkejut dan geli pula melihat wajahnya. Kiranya orang ini juga seorang cebol, tubuh yang berada di atas kuda tidak lebih daripada setengah meter, tapi jenggotnya yang panjang itu ada satu meteran sehingga melambai ke bawah perut kuda, mukanya berkeriput kedua alis terkerut seperti orang yang selalu bersedih.

"Dari sini ke To-ma-peng tidak lebih 30 li saja," terdengar orang tua itu berkata, "konon ilmu silat Sin-tiau-hiap itu sangat tinggi, sebaiknya kita berunding dahulu agar gerombolan setan dari Se-san tidak kehilangan pamor."

"Silakan Toako memberi petunjuk saja," ujar si perempuan tua tadi.

"Apakah kita harus bertempur secara bergiliran dengan ia atau mengerubutnya sekaligus?" tanya orang tua cebol berjenggot panjang itu.

Kwe Yang terkejut pula, dari nada pembicaraan orang2 ini jelas mereka hendak memusuhi Sin-tiau -hiap.

Terdengar perempuan tua tadi berkata: "Sebenarnya Sin-tiau-hiap itu memang mempunyai kepandaian sejati atau cuma bernama kosong belaka? Dalam hal ini, Jit-te, hanya kau yang pernah berjumpa dengan dia, coba kau memberi keterangan sekedarnya!"

Seorang laki2 tinggi besar lantas berkata: "Meski pernah kulihat dia, tapi aku tidak sampai bergebrak dengan dia kukira.... kukira dia memang rada2...".

"Jit-ko," tiba2 perempuan berpakaian merah ikut bicara, "sebab apa kau sampai bermusuhan dengan Sin-tiau-hiap, hendaklah kau jelaskan lebih dulu agar nanti kalau bertarung juga kita sudah mempunyai pegangan."

"Gerombolan setan dari Se-san selamanya sehidup-semati, kalau Sin-tiau-hiap itu sudah mengeluruk ke sini, apakah kita harus mengkeret dan menyingkir?"

Lelaki yang bertubuh tinggi kurus seperti lidi itu berkata: "Siapa yang bilang menyingkir? Andaikan Kiu-moay (adik kesembilan) tidak tanya juga, aku ingin tahu apa sebabnya kau bermusuhan dengan dia, soalnya kita kan tidak merasa bersalah dan mengapa dia sesumbar hendak mengusir gerombolan setan Se-san keluar wilayah Soasay ini?"

"lni, coba lihat, dia telah memotong sepasang daun telingaku, kalau sakit hati ini tidak dibalas, lalu persaudaraan apalagi diantara kita?" teriak lelaki besar tadi dengan gusar, berbareng ia terus menarik kopiahnya sehingga kelihatan kedua sisi kepalanya itu halus licin tanpa kuping.

Kesembilan orang yang lain dari "Gerombolan setan Se-san" itu menjadi gusar, beberapa diantaranya lantas mengumpat, ada yang berjingkrak murka dan menyatakan hendak melabrak Sin-tiau-hiap dengan mati-matian.

"Jit-ko," si perempuan baju merah berkata pula, "sebab apa dia memotong daun telingamu? Apa kesalahanmu? Tentunya kau menggoda wanita keluarga baik2 lagi, bukan?"

Seorang yang berwajah selalu tertawa berkata dengan gusar: "Sekalipun Jit-ko memang menggoda wanita keluarga baik2 juga tidak perlu diurusi orang lain."

Wajah orang ini sangat aneh, meski sedang gusar toh air mukanya yang tertawa itu tidak menjadi berubah. Waktu Kwe Yang mengamati lebih teliti, kiranya bibir orang itu menjengkit ke atas, kedua matanya kecil, maka biarpun sedang sedih atau menangis juga tampaknya sedang tertawa riang.

Lelaki tadi menjawab: "Tidak, tidak! Soalnya waktu itu isteriku bercekcok dengan keempat gundikku mengenai urusan tetek-bengek, dari ribut mulut akhirnya saling cakar2an dan main pisau segala,

KebetuLan apa yang disebut Sin-tiau-hiap itu lalu, dasar orang itu memang suka ikut campur urusan orang lain, dia berusaha melerai pertengkaran itu.

Sungguh brengsek, gundikku yang ketiga itu tersenyum padanya.

"O, tahulah aku, Jit-ko lantas cemburu, bukan?" tukas si perempuan berbaju merah.

"Cemburu gimana? Soalnya aku tidak ingin urusan rumah-tanggaku dicampur-tangani orang luar," kata lelaki itu, "Sekali jotos tiga gigi gundikku itu kurontokkan, lalu si buntung sialan itu lantas kusuruh enyah."

Sampai di sini, Kwe Yang takdapat menahan rasa dongkolnya, segera ia menanggapi: "He, maksudnya kan baik, mengapa kau berlaku kasar padanya? jelas dalam urusan ini kau yang salah."

Semua orang berpaling memandang anak dara, itu, sama sekali mereka tidak menduga nona secilik itu berani ikut bicara.

Lelaki itu menjadi rnarah dan membentak.

"Sialan! kau anak sekecil ini juga berani menggurui aku? Go-ko, anak dara ini apamu?"

"Dia ingin melihat Sin-tiau-hiap dan aku membawanya ke sana, urusan lain aku tidak peduli," jawab si cebol kepala besar tadi.

"Baik, jika begitu akan kuajar adat padanya," kata lelaki kekar itu, tarrrr, segera cambuknya menyabet kepala Kwe Yang,

Cepat Kwe Yang menangkis dengan cambuknya sehingga kedua cambuk terlibat menjadi satu. Waktu lelaki itu membetot sekuatnya, seketika Kwe Yang merasa ditarik oleh suatu tenaga yang dahsyat dan terpaksa melepaskan pegangannya. setelah berhasil merampas cambuk Kwe Yang, segera cambuk lelaki tadi hendak disabetkan lagi.

Syukur si cebol berjenggot panjang tadi lantas berseru: "Jit-te, kita harus cepat berangkat, untuk apa mengurusi seorang anak kecil?"

Lelaki itu merandek, cambuk yang sudah terangkat ke atas itu tidak jadi dihantamkan. Si kakek jenggot panjang lantas menjengek: "Hm, gerombolan setan dari Se-san adalah tokoh yang tidak gentar pada langit dan takut pada bumi, betapapun nyaring tersohornya Kwe Cing dan Ui Yong juga tak dapat menggertak kami. he, anak dara, jika kau berani banyak omong lagi segera kami sembelih kau."



Lalu dia berpaling dan berkata pula, "Jit te, lelaki sejati berani berbuat berani tanggung jawab, kalau jatuh harus cepat merangkak bangun, Jenggot ku yang panjang ini dahulu juga pernah dipotong orang, Kedua kupingmu itu cara bagaimana dipotong orang?"

"Ketika kusuruh Sin-tiau-hiap itu enyah, dia juga tidak membantah. ia malah tertawa saja terus melangkah pergi," demikian tutur lelaki kekar tadi, "Sungguh sialan, tiba2 gundikku yang keempat berteriak2 dan menangis, katanya dia kupaksa menjadi gundik dan hidup tersiksa, kini dianiaya pula oleh isteri tua, mendengar itu mendadak Sin-tiau-hiap memutar balik dan tanya padaku: "Apakah benar perkataannya itu?"

"Dengan mendongkol kujawab: "Kalau betul mau apa dan kalau tidak betul lantas bagaimana? Aku berjuluk Sat-sin-kui (setan elmaut), selamanya membunuh orang tanpa kenal ampun, tahu tidak kau?"

Dengan kurang senang dia berkata: "Jika kau suka padanya, mengapa sudah kawini dia lalu mengambil lagi perempuan lain? Kalau tidak suka padanya, mengapa tadinya kau menikahi dia?"

"Aku bergelak tertawa dan berkata: "Semula memang suka padanya, sesudah bosan lantas tidak suka lagi, Lelaki mempunyai tiga isteri atau empat gundik adalah kejadian biasa, kenapa mesti heran? Hahaha, malahan aku hendak mengambil tiga gundik lagi."

Dia lantas mengomel "Jika manusia tak berbudi dan tidak setia macam kau bertambah banyak lagi di dunia ini, bukankah semua perempuan di dunia ini akan kecewa terhadap kaum lelaki?" -

Habis berkata mendadak ia menubruk maju dan melolos belatiku, sekaligus kedua kupingku dipotong, lalu belati mengancam di depan dadaku dan membentak " Akan kukorek hatimu, ingin kulihat warna apakah hatimu ini!"

Tentu saja aku mati kutu... untunglah isteri dan para gundikku itu lantas berlutut dan memohonkan ampun padanya, malahan gundik ketiga dan keempat itu menangis me-raung2. Hm, sungguh memalukan, benar2 memalukan Aku menjadi gusar dan berteriak:

"Lekas kau turun tangani jika kau membunuh aku, arwah gerombolan setan Se-san pasti senantiasa akan mengisari kau."

Dia mengerut kening dan berkata kepada perempuan2ku itu: "Manusia tak berbudi begini, masakah kalian malah mintakan ampun baginya?"

Perempuan2ku itu tidak msnjawab melainkan terus menyembah, Dia lantas berkata pula: "Baiklah! sekarang kuam-puni kau. Tapi akupun tidak gentar terhadap gerombolan setan dari Se-san itu. Pada akhir bulan ini akan kunantikan kalian di To-mo-peng, boleh kau undang seluruh gerombolan itu untuk menemui aku di sana. Kalau tidak berani datang, sekaligus kalian harus enyah dari wilayah Soasay dan tak oleh kembali ke sini selamanya."

Selesai lelaki kekar itu menutur, semua orang sama terdiam. selang sebentar barulah perempuan tua tadi bertanya: "Senjata apa yang digunakannya? Dari aliran manakah ilmu silatnya?"

"Lengan buntung sebelah, dia tidak memakai senjata apa2," tutur si lelaki tadi, "Mengenai aliran ilmu silatnya, tampaknya... tampaknya sukar diketahui."

Perempuan tua tadi berkata pula: "Toako, sekali gebrak saja orang itu lantas membikin jit-te tak bisa berkutik. tentu kepandaiannya sangat lihay, Kita harus mengerubutnya saja, Toako menghadapi dari depan, biarlah aku dan Go-te menyerang dari samping, dengan tiga lawan satu masakah kita kalah? sebaiknya kita harus menyerang dengan cepat sekaligus membinasakan dia."

Kakek jenggot panjing merenung sejenak, katanya kemudian: "Nama Sin-tiau-hiap itu sangat termashyur, pertarungan nanti sungguh luar biasa, Biarlah kita mengerubutnya secara ber-ramai2 dan mengerahkan segenap tenaga dan senjata yang kita punyai.

Selama gerombolan kita bersatu belum melabrak orang dengan maju sepuluh orang sekaligus dan baru sekarang terjadi untuk pertama kali ini, kalau sudah begitu kita masih belum dapat membinasakan dia, maka biarlah kita bersepuluh ini dari setan bayangan menjadi setan sungguhan saja."

Tiba2 si kakek cebol kepala besar tadi ikut bicara: "Toako, kita bersepuluh mengeroyok dia seorang, kalau menang rasanya juga kurang terhormat, jika tersiar juga akan ditertawakan orang2 Kangouw."

"Bila Sin-tiau-hiap itu dapat kita bunuh, kecuali anak dara ini kukira tiada orang lain lagi yang tahu," ujar si nenek tadi. Baru selesai uca-pannya, dengan pelahan iapun mengangkat tangannya.

Cepat si cebol kepala besar mengadang di depan Kwe Yang sambil mengebaskan lengan baju-nya, menyusul dari lengan bajunya dicabutnya sebuah jarum lembut, katanya:

"Jici, aku yang membawa anak dara ini kemari, janganlah mencelakai dia." Lalu ia berpaling dan berkata kepada Kwe Yang. "Nona Kwe, jika kau ingin melihat Sin~tiau-hiap, kejadian malam ini jangan sekali2 kau ceritakan kepada orang lain, Kalau tidak, boleh kau pulang sekarang saja."

Ngeri dan gusar pula Kwe Yang, ia pikir nenek itu sungguh amat keji, kalau bukan paman cebol itu menoIongnya, mungkin dirinya sudah binasa tertusuk oleh jarum yang lembut dan tanpa suara itu. Segera iapun menjawab "Baiklah, takkan kuceritakan kepada siapapun juga. "

Lalu ditambahkannya: "Kalian bersepuluh, masakah Sin~tiau-hiap sendiri tidak mempunyai pembantu?"

Si cebol kepala besar bergelak tertawa, katanya: "Sudah belasan tahun Sin-tiau-hiap itu berkecimpung di Kangouw dan tak pernah terdengar dia membawa pembantu, yang ada cuma seekor rajawali yang senantiasa mendampingi dia."

Habis berkata, "tarrr!" cambuknya menggeletar di udara dan membentak: "Hayolah berangkat!"

Setelah berlari sekian jauhnya, orang cebol itu berkata pula kepada Kwe Yang: "Sebentar kalau sudah saling gebrak, jangan sekali2 kau menjauhi aku."

Kwe Yang mengangguk ia tahu gerombolan setan dari Se-san ini ada sebagian sangat jahat dan tidak kenal ampun, bisa jadi mendadak dirinya diserang dan si cebol kepala besar ini tidak sempat menolongnya.

Diam2 iapun berkuatir bagi Sin tiau-hiap yang akan dikerubut kesembilan orang ini, betapapun tinggi kepandaian pendekar rajawali sakti itu apakah sanggup satu lawan sepuIuh? ia pikir kalau ayah- ibunya berada di sini tentu segalanya akan beres, beliau2 pasti takkan tinggal diam saja menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini.

Tengah mereka melarikan kuda dengan cepat, tiba2 dari dalam hutan di depan yang gelap gulita sana berkumandang suara auman harimau, beberapa ekor kuda sama berjingkrak kaget dan takut. ada yang terus berdiri diam dan ada yang malah terus putar haluan hendak kabur.

Si jangkung tadi segera mengayun cambuknya beberapa kali dan mendahului menerjang kedalam hutan. Si nenek juga mengomeli kudanya: "Binatang tak berguna, memangnya takut dicaplok kucing liar begitu? "- - Be-ramai2 mereka terus menghalau kawanan kuda mereka dan ikut menerobos ke dalam hutan.

Setelah membedal lagi beberapa puluh meter jauhnya, tiba2 seseorang membentak di depan: "Siapa itu berani terobosan di Bii-iiu-san-ceng malam2 begini?"

serentak Gerombolan setan Se san itu menahan kuda mereka, tertampaklah seorang mengadang di tengah jalan, kedua sisinya masing2 mendekam seekor harimau loreng. Mendengar suara raungan harimau yang kereng itu, kembali kawanan kuda ber-jingkrak ketakutan.



Setelah menguasai kembali kudanya, si kakek cebol jenggot panjang lantas memberi hormat dan berkata "GeromboIan Setan Se-san kebetulan lewat di sini dan tidak sempat berkunjung harap suka memaafkan."

Orang yang menghadang di depan itu menjawab: "O, kalian inikah Gerombolan Setan dari Se-san? jadi saudara ini Tiang-si-kui (setan jenggot panjang) Hoan-ya (tuan Hoao)?"

"Betul" jawab si kakek jenggot panjang, "Ada urusan penting kami harus menuju To-ma-peng, kembalinya nanti kami akan mampir untuk mohon maaf lagi."

Rupanya iapun tahu orang Ban-siu-san-ceng (perkampungan berlaksa binatang) sukar dilawan, pula mereka sekarang harus mencurahkan segenap perhatian untuk menghadapi Sin-tiau-hiap, maka bicaranya sangatlah rendah hati.

"Coba kalian menunggu sebentar," kata orang itu, lalu ia berteriak: "Toako, inilah Gerombolan Setan Se-san yang hendak pergi ke To-ma-peng katanya kembalinya nanti akan datang untuk minta maaf."

Kawanan "Setan" itu merasa kurang senang mendengar ucapannya itu mereka mengatakan kembalinya nanti akan mampir untuk minta maaf, kata2 ini tidak lebih hanya sebagai basa-basi saja, masakah dianggapnya Gerombolan Setan Se-san benar2 gentar kepada pihak Ban-siu-san-ceng?

Maka terdengarlah suara seorang menjawab dengan lagak tuan besar di dalam hutan: "Minta maaf sih tidak perlu, suruh mereka pergi dengan mengitar hutan saja."

Serentak kawanan setan-- itu menjadi gusar, si jangkung tadi lantas mendengus: "Hm, selamanya Gerombolan Setan Se-san kalau berjalan tidak pernah main mengitari"

Habis berkata segera ia melarikan kudanya terus menerjang ke depan.

Tapi sehati orang yang mengadang itu memberi aba2, serentak kedua harimau di sampingnya terus menubruk maju. Karena kaget dan takut, kuda si jangkung berjingkrak berdiri. Tampaknya si jangkung sangat menguasai kuda tunggangannya, sambil tetap menempel di atas pelana, "sret", cepat kedua tangannya mengeluarkan senjatanya yang berbentuk sepasang tumbak pendek dan kontan menikam ke arah kedua ekor harimau.

Harimau yang sebelah kiri cepat melompat minggir, sedangkan cakar harimau sebelah kanan sempat merobek perut kuda si jangkung, tapi binatang buasnya itupun meraung keras, rupanya juga terluka oleh tikaman tumbak.

Segera si jangkung melompat turun dan membentak "HayoIah keluarkan senjatamu!" Berba-reng ia terus pasang kuda2 dan siap tempur.

Orang di depan sana menjengek: "Hm, kau berani melukai kucing piaraanku, andaikan sekarang kau mau mengitar hutan juga tidak kuidzinkan lagi Bu-siang-kui (setan gentayangan), tinggalkan saja tumbakmu!"

Si jangkung melengak juga karena julukannya dengan tepat disebut lawan, jawabnya: "siapakah kau? Selama ini Ban--siu-san-ceng berada di Se keng, mengapa sekarang pindah ke sini? Kau ingin kutinggalkan tumbakku, hah, memangnya begitu gampang?"

"Kediaman Ban siu-san-ceng memang berada di Se-keng, tapi kalau kami ingin pindah tempatkan tidak perlu lapor dulu kepada kawanan setan macam kalian toh?" ujar orang itu.

"Bahwa Toako kami suruh kalian lewat mengitar hutan sudah cukup ramah, soalnya Samko kami sedang sakit dan tidak suka diganggu orang, kau tahu tidak?"

Berkata sampai di sini, mendadak tangan kirinya meraih ke depan, tahu- gagang tumbak yang dekat dengan ujung tumbak si Bu-siang-kui kena dipegang olehnya.

Sama sekali Bu siang-kui tidak menduga gerakan tangan lawan sedemikian cepatnya, cepat ia menarik sekuatnya, Tapi orang itupun membetot dan ditekuk pula sehingga terdengar "pletak" dua kali.sepasang tumbak pendek itu patah semua.

Padahal tumbak2 itu terbuat dari besi, karena tenaga kedua orang sama kerasnya hingga tumbak itu tak dapat menahan tenaga tarikan mereka dan akhirnya patah.

Kejadian ini membuat Gerombolan Setan Se-san melengak. Si kakek jenggot panjang yang berjuluk "Setan jengot panjang" lantas berkata: "Rupanya saudara inilah Pat jiu-sian-kau (kera sakti bertangan delapan) Apakah Kim kah-say-ong (raja singa bersisik emas) kurang sehat? Saat ini kami ada urusan lain, biarlah kita bertemu lagi di sini besok pada saat yang sama."

Kiranya Ban-siu-san-ceng itu dipimpin oleh lima bersaudara, Toako atau kakak tertua Pek-hia san-kun ( raja gunung dahi putih ) Su Pek-wi, Jiko atau kakak kedua Koan-kian-cu (si bumbung perak ) Su Tiong beng, Samko ( kakak ketiga ) Kim-kah-say-ong Su Siokkang, Suko ( kakak ke-empat ) Tay-lik-sin ( malaikat bertenaga raksasa ) Su ki-kiang dan saudara yang terkecil ialah Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat ini.

Turun temurun keluarga Bu itu hidup sebagai penjinak binatang, sampai di tangan kelima bersaudara ini bahkan tambah maju kepandaian mereka, bukan saja cara menjinakkan binatang terlebih lihay, bahkan dari gerak gerik setiap binatang buas yang mereka lihat setiap hari itu dipelajari dan dipahami menjadi gerakan ilmu silat yang khas, jadi binatang2 buas se-akan2 menjadi guru kelima bersaudara itu sehingga jadilah mereka memiliki ilmu silat yang tinggi.

Waktu Su Siok kang, yaitu kakak ketiga yang berjuluk Kim-kah-say-ong itu berumur 20-an, suatu hari ketika sedang berburu, secara kebetulan dia bertemu dengan orang kosen dan berhasil meyakinkan pula Lwekang yang tinggi, sepulangnya di rumah ia mengajarkan Lwekang itu pula kepada saudara2nya.

Begitulah semakin banyak mereka memiara binatang buas semakin tinggi pula ilmu silat yang mereka yakinkan Nama Ban-siu-san ceng juga mulai terkenal di dunia Kanguow, maka orang- Bu-lim telah memberikan julukan kepada kelima bersaudara ha sebagai "Hou-pa-say jio-kau" (harimau, macan tutul, smga, gajah dan kera). Di antara mereka berlima Kim kah say-ong. si singa berbaju emas, terkenal paling lihay.

Maka Tiang-si-kui merasa lega demi mendengar Su Siok-kang sedang sakit, betapapun lihaynya musuh juga kawanan "Setan" mereka tidak gentar, apalagi sekarang pihak lawan berkurang tokoh utama-nya, maka ia lantas menetapkan malam besok untuk pertarungan yang menentukan.

"Baik," segera Pak-jiu-sian-kau Su Beng-ciat menjawab "besok malam kami bersaudara akan menunggu kalian di sini." Habis berkata, sekali tangan bergerak, "pIok-plok", kedua potong tumbak patah yang dirampasnya tadi menyamber dan menancap batang pohon di sebelah Tiang-si-kui.

Diam2 Tiang Si-kui terkesiap dan heran mengapa pihak lawan tetap tidak memperbolehkan mereka lewat menerobos hutan, ada pekerjaan apa kelima saudara Su itu di sini? Segera ia memberi salam: "Baiklah kami mohon diri!"

Kedua kakinya mengempit kencang, segera ia melarikan kudanya ke depan.

"He, tunggu dulu!" kembali Su Beng-ciat berteriak mencegah, "Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan, apakah kalian tidak berkuping atau memang tuli?"

Tiang-si-kui menahan kudanya dan baru mau menjawab, terdengarlah di kanan kiri depan sana dua orang tertawa ter-bahak2, menyusul asap tebal lantas mengepul, dua orang berteriak berbarengi

"Main gila apa di dalam hutan? Mana Gerombolan Setan Se-san dapat dikelabui?"



Rupanya secara diam2 Song-bun-kui dan Siau-bin-kui, setan sialan dan setan muka ketawa, yaitu setan ke-8 dan ke-10 menurut urut2an mereka, telah memutar ke belakang sana untuk menyalakan api ketika Su Beng-ciat sedang bicara dengan Tiang si kui.

Tapi baru saja api mulai berkobar, menyusul lantas terdengar Song~bun-kui dan Siau~bin-kui menjerit kaget dan berlari kembali seperti memergoki sesuatu makhluk yang mengerikan.

"Ada apa?" janya Tiang-si-kui.

"Macan! Harimau! ada seratus, dua ratus ekor..." seru Song-bun-kui:

Su Beng-ciat kelihatan sangat murka melihat api mulai menjilat pepohonan, ia berteriak sekeras-nya: "Toako, Jiko, yang penting padamkan api duiu, biarkan gerombolan setan ini pergi saja, masakah kelak kita takdapat menemukan mereka?"

Pada saat itulah se-konyong2 pandangan semua orang serasa bureng, seekor binatang sebesar anjing kecil mendadak menerobos keluar dari hutan dan sekejap saja sudah kabur ke sana. Tubuh binatang itu tidak besar, tapi keempat kakinya sangat panjang warna bulunya putih mulus, hanya bagian ekor saja berwarna hitam, bentuknya mirip kucing dan mem-per anjing.

"Hm, Kau-twe-Ieng-fccu kabur!" seru Su Beng-ciat dan segera ia mengidak ke sana. Suara teriakannya itu penuh mengunjuk rasa kaget, cemas dan kuatir.

Mendadak pula terdengar pula suara raungan yang keras di dalam hutan, suara raungan yang menyerupai raungan harimau dan mirip pula auman singa, malahan seperti suara teriakan orang namun suara manusia seyogianya tidak sekeras dan senyaring itu.

Terdengar suara raungan itu, diam2 Kwe Yang rada merinding. Setelah suara raungan itu, serentak be-ratus2 binatang buas juga lantas mengaum di segenap penjuru, suara singa, harimau, macan tutul, serigala, gajah, kera, gorila dan entah binatang buas apalagi dan sukar dibedakan.

Menyusul terdengarlah suara gemuruh, be-ratus2, bahkan be-ribu2 binatang buas itu ber-bondong2 lari keluar hutan,

Seorang lantas berseru: "Toako ke sebelah timur, Ji-ko sebelah barat, Site (adik keempat) ke tenggara..." jelas ada suara orang ini sama dengan suara raungan tadi.

Sekilas Kwe Yang melihat beberapa sosok bayangan orang berkelebat keluar hutan lebat itu, walaupun tahu bahaya, tapi ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya, cepat iapun melarikan kudanya menyusul keluar hutan.

Cepat si cebol kepala besar yang berjuluk Toa-thau-kui (setao kepala besar) tadi berteriak: "He, nona Kwe, jangan pergi!" Segera iapun keprak kudanya menyusulnya.

Begitu berada di luar hutan, seketika Kwe Yang menyaksikan pemandangan aneh. Dilihatnya lima orang sama2 memimpin segerombolan binatang sedang mengurung ke bagian tengah di tanah datar yang berselimutkan salju itu, tampaknya kawanan binatang buas itu sudah terlatih, mereka tidak saling cakar dan bertengkar sendiri, tapi kesana kemari, cara lari mereka sangat teratur.

Kwe Yang merasa takut tapi juga sangat tertarik untuk menonton, Dilihatnya lingkaran kelima barisan binatang buas itu semakin menciut sehingga di tengah2 kelihatan sebuah bundaran, tapi mendadak sesosok bayangan putih berkelebat, binatang kecil yang menyerupai anjing tadi lari menerobos keluar dari kepungan binatang buas, secepat angin binatang kecil itu melayang lewat di depan Kwe Yang.

"Kiu-bwe-leng-hou! Di sana, lari ke sana!" terdengar kelima bersaudara she Su itu ber- teriak2, menyusul gerombolan binatang buas itu lantas menerjang tiba seperti gugur gunung dahsyatnya.

Cepat Kwe Yang menarik kudanya menyingkir ke pinggir, tapi kuda itu menjadi ketakutan melihat binatang buas sebanyak itu, saking takutnya hingga kaki lemas terus jatuh mendeprok. Keruan Kwe Yang terkejut, kalau gerombolan binatang itu menerjang ke arahnya, tentu tubuhnya akan ter-injak2 hancur lebur.

Lekas2 ia melompat turun dari pelana kudanya dan berlari ke samping sana. Terendus olehnya bau amis, kawanan binatang buas itu terus mengalir lewat di sebelahnya laksana air bah dan sejenak saja sudah menjauh.

Sementara itu Gerombolan Setan Se-san juga sudah berada di luar hutan, si kakek jenggot panjang berkata: "Betapapun tinggi kepandaian keluarga Su juga kita tidak gentar, hanya kawanan binatang itulah yang sukar dihalau. Malam ini kita tidak perlu cari perkara lagi, kita harus piara tenaga untuk menghadapi Sin-tiau-hiap. Marilah kita berangkat!"

Si nenek juga berkata: "Ya, malam ini kita bunuh Sin-tiau-hiap, besok kita pesta panggang daging harimau dan singa!" - Habis itu ia terus menarik kudanya dan hendak meneruskan perjalanan dengan mengitari hutan.

Pada saat itulah mendadak suara raungan binatang buas tadi terdengar gemuruh pula, gerombolan binatang itu datang lagi dari berbagai arah.

Sekali ini suara raungan bnatang itu tidak begitu buas, larinya juga tidak cepat Namun Tiang-si-kui menjadi kuatir, katanya: "CeIaka! Lekas kita pergi!"

Namun sudah terlambat, di sekeliling mereka terkepung, Cepat Tiang-si kui bersuit, sepuluh orang lantas melompat turun dan berdiri pada lima sudut dengan senjata terhunus menantikan serangan musuh.

"Nona Kwe," kata Toa-thau-kui, si setan kepala btsar, "lekas pulang saja kau, tidak perlu ikut menyerempet bahaya di sini."

"Tapi mana Sin-tiau-hiap? Kau sudah berjanji akan membawaku untuk menemuinya," kata Kwe Yang.

"Apakah kau tidak melihat binatang buas sebanyak ini?" ujar Toa-thau-kui dengan mengernyitkan kening.

"Bicaralah secara baik2 dengan majikan gerombolan binatang itu, katakan kalian ada janji dengan Sin-tiau hiap dan tiada waktu tertahan lama di sini," ujar Kwe Yang.

"Hm, Gerombolan Setan Se-san tidak pernah bicara secara baik2 dengan siapapun juga," kata Toa-thau-kui.

Tengah bicara, sementara itu kelima bersaudara Su itu sudah muncul. Mereka sama memakai jubah kulit binatang, sesudah berhadapan dengan Gerombolan Setan, tetap Su Beag-ciat yang menjadi juru bicara, katanya: "Selamanya Ban-siu-san ceng tidak pernah bermusuhan dengan Kawanan Setan, mengapa kalian membakar hutan dan menghalau lari Kiu-bwe-leng-hou (rase cerdik berekor sembilan)?"

Dari nada ucapan orang, Kwe Yang merasakan orang she Su itu sangat gusar dan gemas sekali Pikirnya: "walaupun binatang kecil tadi sangat menyenangkan tapi tampaknya juga tiada sesuatu yang istimewa, mengapa mesti marah2 begitu rupa? jelas binatang itu cuma punya sebuah ekor, mengapa disebut rase berekor sembilan?"

Maka terdengar perempuan yang berpakaian serba merah dari pihak Gerombolan Setan menjawab: "Peristiwa ini awal mulanya adalah gara2 tindakan kalian sendiri, selamanya Ban-siu-san-ceng berdiam di wilayah Sa-keng, mengapa mendadak muncul di daerah Soasay sini dan di tengah malam buta melarang orang lain lewat di jalan umum ini. Sikap kalian yang tidak se-mena2 ini masakah kalian malah menyalahkan pihak lain?"

"Persoalan sekarang ini tidak perlu dibicarakan pokoknya tiada seorangpun di antara kalian dapat hidup lagi," mendadak Pek-hia-san-kun Su Pek-wi membentak. Sekali mengaum murka, dengan bertangan kosong ia terus menubruk ke arah Tiang-si-kui, kedua telapak tangannya tergenggam laksana cakar harimau segera mencengkeram, begitu hebat dan dahsyat, sekalipun harimau benar2 juga tidak seganas itu.



Cepat Tiang-si-kui melangkah mundur terus menggeser, "serrr", senjatanya yang panjang terus menyapu pinggang lawan. Tanpa menghindar, cakar harimau Su Pek-wi lantas mencengkeram ujung senjata lawan, kiranya senjata Tiang-sin-kui itu adalah sebatang tongkat baja yang besar dan berat.

Belum lagi cengkeraman Su Pek-wi itu mengencang, mendadak tangan terasa panas, cepat ia lepaskan kembali tangannya sambil disampuk ke sam-ping. Untung dia dapat bergerak dengan cepat sehingga dadanya terhindar dari sodokan tongkat.

Diam2 Su Pek-wi terkesiap, baru sekarang ia tahu Gerombolan Setan Se-san itu memang bukan orang sembarangan pantas nama mereka akhir2 ini semakin menanjak, ia tidak berani gegabah lagi "creng", segera iapun mengeluarkan senjatanya, yakni Hoa-thau-kau (kaitan dengan ujung berukir kepala harimau), sepasang kaitan baja itu beratnya ada 30 kati dan merupakan senjata yang tajam dan lihay.

Begitulah dua larik sinar kuning berkelebat kaitan itu lantas menempur sengit tongkat baja si Setan jenggot panjang.

Sementara itu Kaan-kian-cu Su Tiong-beng dengan senjatanya yang berupa sepasang bumbung atau pipa perak juga telah melabrak Jui beng-kui setan pencabut nyawa, yang bersenjatakan golok dan tombak si Song-bun-kui.

Sedangkan Tay-lik-sin Su Ki-kiang juga menempur Tiau-si kui (setan gantung) yaitu si nenek, yang bersenjatakan seutas tali panjang lagi lemas sehingga sukar diraba, ia hanya meraung2 murka saja dan sukar mengembangkan tenaga raksasa yang dimilikinya.

Di sebelah sana Pat-jiu-sian-kau Su Beng ciat juga menghadapi Toa thau-kui, si Setan Kepala Besar" dengan senjatanya yang berwujut godam persegi delapan.

Su Beng-ciat bersenjata sepasang Boan koan-pit, potlot baja berujung runcing, serangannya hebat, tenaganya kuat, Toa-thiiu kui rada kewalahan cepat Siau-yau-kui, Setan Cantik, yaitu perempuan berbaju serba merah, segera menubruk maju membantunya dengan senjata golok.

Di tanah salju itu terjadilah pertarungan sengit sepuluh orang terbagilah menjadi empat partai, bunga salju bertebaran. namun pertempuran belum dapat menentukan kalah dan menang.

Pihak Gerombolan Setan masih ada empat orang belum ikut turun tangan, sebalnya pihak lawan hanya Kim-Kah-say ong saja yang belum bergerak. Terlihat dia bersandar pada tubuh seekor singa jantan tampaknya menderita sesuatu penyakit lemas lunglai.

Melihat situasi pertarungan ini, jelas pihak Gerombolan Setan lebih untung karena berjumlah lebih banyak, tapi kalau persaudaraan Su itu berseru memberi komando, seketika kawanan binatang buas itu pasti akan menerjang dan Gerombolan Setan itu pasti akan celaka.

Siau-bian kui, si setan muka tertawa juga merasa kebat kebit menyaksikan kawanan binatang buas yang siap menunggu perintah itu, ia pikir sebentar harus menggunakan kabut racun untuk merobohkan sebagian binatang itu baru dapat menerjang keluar kepungan.

Sementara itu pertarungan sengit sudah berlangsung sekian lama, Tiang- si-kui dan Su Pek- wi tetap sama kuatnya, Tiau si-kui, si nenek dapat memainkan talinya yang panjang itu dengan cara yang aneh dan ujung tali selalu berubah menjadi lingkaran jiratan, kalau Su Ki-kiang meleng, mungkin lehernya bisa terjirat. Tapi karena dia memiliki tenaga raksasa, mau tak-mau Tiau-si-kui juga rada jeri.

Toa-lhau-kui dan Siau-kui bahu-membahu menghadapi Su Beng-ciat, mereka dapat bekerja sama dengan baik, Tapi gerak serangan Su Beng ciat cepat lagi aneh, mereka terus berputar, terdengar suara Toa-thau-kui meng-guruh2, sedangkan si Setan cantik tertawa ngikik, tujuan mereka memancarkan perhatian musuh, namun Su Beng ciat anggap tidak mendengar dan menempur mereka dengan sengit.

Di sebelah sana Ji Beng-kui dan Song-bun-kui ternyata tidak mampu menandingi pipa perak Su Tiong-beng, Pipa perak yang digunakan sebagai senjata itu lebih pendek daripada toya dan kosong bagian tengah, gaya serangannya juga aneh.

Suatu ketika Song-bun-kui menusuk dengan tumbaknya, tapi Su Tiong-beng justeru mengincar ujung tumbak lawan dan pipanya juga ditusukkan kedepan, pipa itu terus menyelongsong ke bawah sehingga gagang tumbak terkunci di dalam pipa.

Keruan Song-bun-kui terkejut dan cepat menarik tumbak kirinya itu, tumbak terus diputar untuk menjaga diri.

Melihat kawannya terancam bahaya, cepat To-ceh-kui, si Setan Penagih Utang, menubruk untuk membantu, senjatanya yang berbentuk sepotong pelat besi segera memotong ke pipa Su Tiong heng.

Kiranya senjata To-ceh-kui itu terdiri dari lima potong pelat besi sehingga berbentuk buku utang-piutang sesuai namanya sebagai tukang tagih utang, Tepi pelat besi itu tajam sehingga merupakan sejenis senjata aneh dan lihay.

Sebenarnya GeromboIan Setan Se san itu masing2 mempunyai nama asli sendiri2, tapi sejak nama "Gerombolan Setan Se-san" terkenal di dunia Kangouw, mereka lantas membuang nama aslinya dan menggunakan julukan Setan sebagai tanda pengenal.

Apalagi tindak tanduk dan bentuk tubuh dan wajah mereka bersepuIuh memang juga aneh dan ber-beda2. Misalnya si To-ceh kui, Setan penagih utang, dia menggunakan senjata lima helai pelat besi sehingga menyerupai buku utang piutang, soalnya dia memang juga pendendam, sakit hati sekecil apapun juga pasti akan dituntut-balasnya, tiada seorangpun dapat lolos jika pernah menyakiti hatinya.

Sebab itulah dia diberi julukan setan tukang tagih utang. Tapi dia malah senang dengan nama poyokan itu, senjata pelat besi di ubahnya menjadi seperti halaman buku, tipis dengan tepinya sangat tajam, bahkan pelat besi itu diukir nama musuhnya dengan kesalahannya, kalau sakit hati itu sudah dibereskan barulah nama musuh itu dicoret.

Pipa perak adalah senjata aneh, tapi buku besi itu terlebih aneh, lima halaman besi itu saling bergesek dan mengeluarkan tuara nyaring, Dengan bertiga setan menempur Su Tiong beng barulah ke adaan mereka rada mendingan.

Kwe Yang terus mengikuti pertempuran itu di samping, dilihatnya cuaca sudah mulai remang2 fajar sudah hampir tiba, tapi pertarungan itu masih berlangsung dengan sengitnya, ia pikir janji pertemuan kesepuluh setan itu dengan Sin-tiau-hiap sudah lewat waktunya, mungkin tidak sabar menunggu dan pendekar sakti itu sudah pergi sendiri, ia menjadi gelisah dan kecewa karena maksudnya melihat Sin-tiau-hiap tak tersampai, untuk melerai pertempuran orang2 itupun ia tak mampu.

Dilihatnya kawanan binatang buas itu sama mendekam di tanah dalam suatu tingkatan yang rapat, seumpama Gerombolan Setan itu dapat membinasakan kelima saudara Su juga sukar menerjang keluar kepungan kawanan binatang buas itu.

Keadaan demikian juga disadari oleh GeromboIan Setan itu. Maka si nenek, yaitu setan gantung, berhasrat menangkap Tay-lik-sin Su Ki-Kiang dengan tali jiratannya yang panjang itu. asalkan lawan berhasil ditawan tentu dapat digunakan sebagai sandera untuk memaksa Su- si hengte (saudara keluarga Su) membubarkan kepungan binatang buasnya.



Namun kepandaian Su Ki kiang sendiri lebih tinggi daripada Tiau-si kui si setan gantung, hanya saja senjata tali memang aneh dan sukar dilayani, makanya kedudukan mereka menjadi sama kuat, tapi untuk menangkapnya jelas tidaklah mudah.

Siau-bian-kui, si setan muka tertawa tahu keadaan sangat berbahaya, ia pikir tiada jalan lain terpaksa harus menggunakan akal licik. Segera ia berseru: "Jici, biar kubantu kau!" Segera ia melolos senjatanya dan menerjang ke arah Su Ki-kiang.

Su Ki-kiang tidak gentar ketambahan seorang lawan, "Bagus!" serunya menyambut terjangan musuh, berbareng senjatanya gada baja terus mengepruk kepala orang.

Cepat Siau-bian-kui mengegos sambil menangkis dengan sepasang ruyung "Prak, krek", senjata saling beradu dan kedua ruyung seketika patah. Tapi dari bagian yang patah itu lantas mengepul asap putih kemerahan Su Ki-kiang melengak, langkahnya rada sempoyongan terus roboh terjungkal.

Tanpa ayal tali jirat si setan gantung terus di-lempar ke depan dan tepat menjirat kedua kaki musuh.

Kiranya gagang ruyung Siau bin-kui itu kopong dan tersimpan bubuk racun, pada gagang ruyung-nya terpasang pesawat rahasia, sekali ditekan segera bubuk racun akan tersembur untuk mencelakai musuh.

Tapi tenaga Su Ki-kiang teramat besar, sekali hantam ia patahkan ruyung lawan. Tapi meski senjatanya patah tetap Siau-bin-kui dan Tiau si kui berhasil menawan Su Ki kiang.

"He, he! Apa2an kalian ini? Merobohkan lawan dengan cara licik, terhitung orang gagah macam apa?" seru Kwe Yang.

Melihat saudaranya tertawan musuh, Su Pek-wi, Su Tiong-beng dnn Su Beng-ciat juga terkejut dan murka, Tapi apa daya, mereka sendiri terlibat dalam pertempuran dan sukar memberi bantuan.

Kwe Yang sendiri sebenarnya tidak membela manapun, cuma dilihatnya cara Siau bian-kui merobohkan Su Ki-kiang itu kurang "sportip", maka dia berseru mencelanya.

Pada saat itu juga tiba2 terdengar suara rating-an di sebelah sana, terlihat Kim kah-say-ong Su Siok-kang berbangkit pelahan, lalu membentak dengan suara berat: "Lepaskan saudaraku!"

Su Ki-kiang tidak sadarkan diri, Tiau-si kui meringkusnya dengan tali, bahkan menambahkan beberapa kali tutukan pada Hiat-to yang penting agar takdapat berkutik bila nanti sudah siuman, ia menjawab: "Silakan kau menyingkirkan kawanan binatang ini dan memberi jalan, segera kami membebaskan saudaramu."

Dilihatnya kedua mata Su Siok kang cekung, mukanya pucat, jalannya sempoyongan, jelas sedang sakit parah, maka kawanan setan itu tidak merasa gentar.

simpatik Kwe Yarg beroda pada Su Siok-kang, melihat orang dalam keadaan sakit toh tetap hendak menolong saudaranya, cepat ia berseru. "He engkau sakit, jangan ikut bertempur."

Su Siok-kang mengangguk padanya dan mengucapkan terima kasih, tapi langkahnya tidak berhenti, ia masih terus mendekati Su Ki-kiang yang menggeletak teringkus musuh itu.

Siau-bian kui mengedipi Tiau-si-kui, kedua orang lantas menubruk dari kanan dan liri, mereka hendak menangkap sekaligus lawan yang tampaknya sakit tebese ini. Begitu sudah dekat, keempat tangan mereka terus mencengkeram.

Tapi mendadak Su Siok-kiang meraung seperti singa, tangan kirinya menabok pundak Tiau-si-kui dan tangan kanan menyodok dada Siau-bin-kui, seketika kedua "setan" itu merasa ditekan oleh suatu tenaga maha dahsyat, langkah mereka menjadi terhuyung dan hampir saja terperosot jatuh.

Cepat mereka melompat mundur, untunglah Su Siok-kiang tidak mengejar maju, Keruan mereka saling pandang dengan kaget dan sama berkeringat dingin, sama sekali tak mereka duga bahwa orang yang tampaknya sakit tebese itu ternyata sedemikian lihaynya.

Su Siok-kiang lantas melepaskan Hiat-to saudaranya yang tertutuk itu, sekali tarik, tali Tiau-si-kui yang meringkus Su Ki-kiangitu lantas putus menjadi beberapa potong. Namun Su Ki-kiang belum lagi sadar karena dia kena asap beracun.

Sambil mengerut kening Su Siok-kang membentak "Berikan obat penawarnya!"

"Bubarkan dulu kepungan binatang buas kalian dan segera kuberikan obat penawar," jawab Siau-bin-kui.

Su Siok-kiang mendengus, lalu melangkah ke arah Siau-bin-kui dengan sempoyongan.

Siau-bin kui tidak berani melawannya, cepat ia mengelak ke samping. Rupanya karena sakit sehingga gerak-geriknya tidak leluasa, namun Su Siok -kang masih terus melangkah ke arah Siau-bin-kui.

Sudah tentu sisa keempat "setan" yang masih menganggur itu tidak tinggal diam, segera mereka mengerubut maju, Siau-hin-kui juga lantas memutar balik untuk ikut mengeroyok. Gerak serangan Su Siok-kang sangat lamban, tapi tenaga pukulannya amat kuat, kelima setan itu mengepungnya di tengah sambil melancarkan serangan dengan golok dan tumbak, namun tidak berani terlalu mendekat

Diam2 Kwe Yang menaruh kasihan kepada Su Ki-kiang yang dirobohkan lawan dengan akal licik dan belum sadar itu, segera ia mencomot sepotong salju dan di-usap2kan di dahi Su Ki-kiang, lalu secomot kecil bunga salju dijejalkan ke mulutnya.

Rupanya asap racun tadi takdapat bertahan terlalu lama, Su Ki-kiang sendiri sehat dan kuat, begitu kepala terasa dingin dan mulut dicekoki es batu, segera pikirannya jernih kembali, pelahan ia lantas merangkak bangun dan mengucek-ucek matanya, ia menjadi murka demi melihat kakak ketiganya dikerubut lima orang, ia berteriak: "Mundur dulu, Samko!" Berbareng ia terus menubruk maju dan merangkul pinggang Siau-bin-kui.

Di sebelah Iain Su Pek-wi yang sedang menempur sengit Tiang-si-kui itu menjadi girang melihat Su Ki-kiang sudah siuman kembali, segera ia bersuit panjang, serentak kawanan binatang buas yang sejak tadi hanya mendekam di atas tanah itu berdiri semua demi mendengar suitan itu dan ber-siap2 hendak menubruk musuh.

Ketika Su Pek-wi menggertak lagi dengan suara keras, serentak kawanan binatang itupun mengaum buas,

Meski GoromboIan Setan Se-san itu sudah banyak berpengalaman di medan pertempuran, tapi menyaksikan suasana yang mengerikan ini mau-tak-mau mereka menjadi kuatir, Benar saja, belum lenyap suara raungan kawanan binatang itu, di sana sini berbagai jenis binatang buas sudah lantas menerjang maju dan menerkam ke sepuluh "setan" itu.

Kwe Yang menjerit kaget dengan muka pucat.

Syukur Su Siok-kang lantas menyadari keadaan anak dara itu, cepat ia mendorong seekor harimau yang sedang menubruk ke arah Kwe Yang, menyusul ia tanggalkan kopiah kulit sendiri dan dipasang di kepala anak dara.

Agaknya kawanan binatang buas itu sudah ter-latih, begitu melihat Kwe Yang memakai kopiah kulit, mereka tidak menubruknya lagi melainkan terus membelok ke sana dan menyerang Gerombolan Setan.

Macam2 binatang buas, ada harimau, singa, serigala, makan tutul, gorila, beruang dan sebagainya serentak menerjang ke sepuluh Setan itu, namun Gerombolan Setan itu juga bertahan mati2an belasan ekor binatang buas itupun dapat mereka binasakan.



Tapi lantaran Su-si-hengte terus memberi aba2 di samping sana, pula jumlah binatang buas itu teramat banyak, hanya sekejap saja Gerombolan Setan itu sudah terluka semua, baju robek dan darah mengucur, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti akan dilalap habis oleh kawanan binatang buas itu.

Ketika itu Kwe Yang melihat tiga ekor singa jantan sedang mengkerubuti Toa-thau-kui, si Setan Kepala besar, godam besar yang merupakan senjata andalannya itu sudah terjatuh, lengan kanannya tergigit seekor singa dan tak dilepaskan.

Hanya tangan kiri saja yang masih terus menghantam serabutan dan sekadar bertahan mati2-an terhadap terkaman kedua ekor singa yang lain.

Teringat oleh Kwe Yang bahwa Toa-thau kui itulah yang membawanya ke sini, sekarang orang terancam bahaya, ia menjadi tidak tega, tanpa pikir ia lantas menanggalkan kopiah kulit yang dipakainya itu serta dilemparkan ke atas kepala Toa-thau-kui, Kopiah kecil di atas kepala besar, tentunya menggelikan rampaknya, bahkan kopiah itu ber-goyang2 hendak jatuh ke bawah.

Rupanya di waktu melatih kawanan binatang itu kelima saudara Su itu selalu memakai kopiah kulit, serentak ketiga ekor singa itu tidak menubruk dan menggigitnya lagi dan terus menyingkir pergi.

Dalam pada itu Kwe Yang sendiri telah terkepung oleh empat ekor macan tutul, Keruan ia, ketakutan dan men-jerit2.

Saat itu Su Siok-kang sedang berusaha merampas tongkat baja si Tiang-si-kui agar tongkat itu tidak banyak mengambil korban kawanan binatang buas, Demi mendengar jeritan Kwe Yang ia menoleh dan terkejut, tapi jaraknya dengan anak dara itu agak jauh dan sukar memberi pertolongan.

Aneh juga, begitu keempat ekor macan tutul itu mendekati Kwe Yang, mereka tidak menerkam dan mencakamya, sebaliknya seperti anjing piaraan saja mereka mengitari Kwe Yang sambil mengendusnya disertai meng-gesek2kan tubuhnya pada anak dara itu, tampaknya seperti sudah kenal dengan akrab sekali.

Kwe Yang sebenarnya sudah ketakutan dan pasrah nasib, ia menjadi terkesiap ketika melihat macan tutul itu tidak bermaksud jahat padanya, segera ia teringat kepada cerita ibu dan kakaknya bahwa waktu bayinya dahulu dirinya pernah menetek pada induk harimau tutul, agaknya keempat macan tutul itu mencium bau aneh pada tubuhnya tehingga menganggapnya sebagai kaum sejenisnya.

Dengan takut2 girang Kwe Yang lantas berjongkok dan merangkul leher dua ekor macan tutul, dua ekor yang lain lantas menjilati tangannya dan mukanya. Keruan Kwe Yang merasa kerih dan tertawa terkikik.

Selama menjadi pelatih dan penjinak binatang buas, belum pernah kelima saudara Su itu menyaksikan adegan aneh itu, keruan mereka melongo heran.

Meski Toa-thau-kui sendiri dapat terhindar dari bahaya berkat kopiah kulit, tapi melihat kesembilan saudara angkatnya sukar lolos dari renggutan elmaut, betapapun ia takdapat mencari selamat sendiri, Tanpa pikir ia terus memegang kopiah kulit dan dilemparkan kepada Siau-kui, si perempuan berbaju serba merah, sambil berseru: "Kiu-moay, pakailah kopiah ini dan lekas menyelamatkan diri!"

Siau-kui menangkap kopiah itu dan dilemparkan kepada Tiang-si kui, serunya: "Toako, engkau saja menerjang keluar dahulu, kelak berusaha lagi menuntut balas bagi kita!"

Tapi Tiang-si-kui juga lantas melangsir kopiah itu kepada Siau bin-kui sembari berteriak: "Capte (adik kesepuluh), menuntut balas biarpun sepuluh tahun lagi juga belum kasip, Engkau saja lekas lari, kakakmu ini sudah cukup umur dan sudah bosan hidup!" Ternyata di antara mereka sangat setia satu sama lain, siapapun tiiak mau meninggalkan kawannya untuk menyelamatkan diri sendiri.

Karena dikerubuti lima ekor serigala Siau-bin-kui tidak sempat mengoper kopiahnya kepada saudara yang lain, sedangkan serigala terkenal rakus dan buas, sekali merasakan darah, betapapun tidak mau tinggal pergi, meski Siai-"nn-kui memegang kopiah itu, serigala2 itu masih belum mau meninggal kan mangsanya itu.

Tentu saja Siao-bin-kui mencaci maki dengan gusar, namun wajahnya tetap tersenyum simpul.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara suitan nyaring di atas, seorang berseru lantang: "Gerombolan Setan Se-san ingkar janji, aku menunggu semalaman secara sia2, kiranya kalian sedang ribut dengan kawanan binatang di sini!"

Girang sekali Kwe Yang mendengar ucapan itu, pikirnya: "Aha, Sin-tiau-hiap sudah datang" Waktu ia mendongak, terlihat seorang berduduk di atas dahan pohon, di sebelahnya menangkring pula seekor rajawali besar dan buruk rupa.

Orang itu memakai jubah panjang warna putih, lengan baju kanan terselip pada ikat pinggang, nyata memang buntung lengannya, Waktu memandang wajahnya, seketika Kwe Yang bergidik, air mukanya ternyata pucat kaku seperti mayat, hakikatnya bukan air muka manusia hidup.

Banyak juga orang bermuka buruk dan menakutkan, misalnya para Gerombolan Setan Se-san itu juga semuanya berwajahj penjahat, tapi tidak seburuk dan menyeramkan seperti ini.

Sebelum ini dalam hati kecil Kwe Yang membayangkan wajah Sin-tiau-hiap itu pasti cakap ganteng, kini ia menjadi sangat kecewa melihat kejelekan mukanya itu, Tanpa terasa ia memandang sekejap lagi padanya, terlihat sorot matanya memancarkan sinar tajam. Sinar mata tajam itu sekilas mengerling ke arahnya dan tiba-2 terhenti sejenak seperti rada menimbulkan rasa herannya.

Tanpa terasa wajah Kwe Yang menjadi merah jengah dan tanpa kuasa menunduk malu, samar2 ia merasa sang Sin-tiau-hiap toh tidak terlalu buruk.

Sin tiau-hiap dihadapan Kwe Yang ini memang betul Nyo Ko adanya, Selama 16 Tahun ini dia menunggu dengan menderita akan bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia telah berkelana ke segenap penjuru dan memberikan darma baktinya bagi sesamanya, karena dia selalu ditemani rajawali sakti itu, maka didapatkanlah nama julukan "Sin-tiau-hiap".

Ia merasa berdosa waktu mukanya telah banyak digilai anak perempuan seperti Kongsun Lik-oh lelah binasa demi menolong jiwanya, Thia Eng dan Liok Bu siang hidup merana karena patah hati ia pikir kalau mukanya buruk, tentu takkan menarik perhatian anak perempuan itu. Sebab itulah sekarang ia memakai kedok muka pemberian Ui Yok-su dahuIu untuk menutupi wajah aslinya.

Malam ini dia mestinya ada janji bertemu dengan Gerombolan Setan Se-san di Te-ma-peng, tapi pihak lawan ternyata ingkar janji dan tidak datang, sebab itulah ia lantas mencarinya malah dan kebetulan dilihatnya apa yang terjadi di hutan ini.

Jiwa kesepuluh setan itu sebenarnya sudah terancam di tengah kerubutan kawanan binatang buas sebanyak itu, kini mendadak Nyo Ko membuka suara pula sehingga bertambah lagi satu musuh tangguh bagi mereka, keruan mereka menjadi putus asa dan yakin sekali ini jiwa mereka pasti akan melayang semuanya.

Dalam pada itu terdengar Nyo Ko berkata pula dengan suara lantang: "Beberapa saudara ini mungkin adalah Su-si hengte dari Ban-siu san-ceng? Silakan kalian berhenti dulu dan dengarkanlah perkataanku."

"Kami memang she Su," jawab Su Pek-wi, "Dan siapakah tuan?" Tapi segera ia menambahkan "Ah, maaf agaknya tuan inilah Sin-tiau-hiap?"



"Terima kasih, memang betul Cayhe adanya," sahut Nyo Ko. "Harap kalian lekas menghentikan amukan kawanan binatang buas itu, kaiau terlambat sebentar lagi mungkin para setan gadungan ini akan berubah menjadi setan sungguhan."

"Ya, biar jadi setan sungguhan barulah kami bicara denganmu," ujar Su Pek wi.

Nyo Ko mengernyitkan kening, katanya: "Tapi Gerombolan Setan itu sudah ada janji pertemuan denganku lebih dulu, kalau binatang kalian membinasakan mereka. lalu kepada siapa aku harus bicara lagi?"

Mendengar ucapan Nyo Ko mulai kasar, Su Pek wi menjengek, ia malah memberi aba2 agar kawanan binatang menyerang lebih ganas,

"Kalau kau sudah tahu aku ini Sin-tiau-hiap, mengapa kau tidak ambil pusing kepada perkataanku?" bentak Nyo Ko.

"Memangnya kalau Sin-tiau hiap lantas bagaimana?" jawab Su Pek-wi dengan tertawa, "Kalau mampu boleh kau menghentikan serangan kawanan binatang kami ini,"

"Baik," kata Nyo Ko. "Marilah, Tiau-heng, kita turun!"

Habis berkata, bersama rajawali raksasa itu mereka lantas melompat ke bawah. sebelum Nyo Ko dan rajawali itu menyentuh tanah, kawanan binatang sudah lantas meraung dan menubruk maju, Tapi sekali sayap rajawali itu menyabet ke kanan dan menyampuk ke kiri, kontan beberapa ekor binatang yang lebih kecil seperti serigala dan sebagainya lantas berjungkal, Seekor singa dan seekor harimau mengaum murka dm menubruk tiba, kembali sayap rajawali menyabet, bukan main kekuatannya, singa dan harimau itu sama terguling dan tak mampu mendekati lagi.

Menyusul sayap yang lain menyabet pula, kontan kepala seekor macan tutul hancur berantakan. Melihat kesaktian rajawali itu, kawanan binatang buas yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menyerang pula, semuanya mendekam di kejauhan sambil mengeluarkan suara menggereng.

Su Pek-wi menjadi gusar, segera iu memapaki Nyo Ko, tangannya seperti cakar macan itu terus mencengkeram ke dada lawacu Namun Nyo Ko telah sedikit mengebas lengan baju kanan yang kopong itu, "bluk", dengan tepat kedua pergelangan tangan Su Pck-wi tersabet dan menimbulkan rasa sakit tidak kepalang seperti dipotong pisau, tanpa tertahan ia menjerit.

Dengan langkah tertahan Su Siok-kang mendekati Nyo Ko, kedua tangannya menyodok lurus ke depan.

"Bagus!" sambut Nyo Ko sambil tersenyum dan menjulurkan telapak tangan kiri untuk memapak serangan lawan, ia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya saja.

Maklumlah, selama belasan tahun dia menggembleng diri di tengah amukan ombak sanudera, kalau dia mengeluarkan tenaga penuh, jangankan tubuh manusia, sekalipun batang pohon dan dinding tembok juga akan runtuh dihantamnya.

Namun Su Siok kiang juga pernah mendapat ajaran orang koscn, tenaga dalamnya juga lain daripada yang lain, begitu beradu tangan, tubuhnya tergeliat, tapi tidak tergerar mundur.

"Awas!" seru Nyo Ko memperingatkan sambil mengerahkan tenaga.

Seketika pandangan Su Siok-kang menjadi gelap dan mengeluh jiwanya sekali ini pasti melayang.

Untung pada saat gawat itulah tiba2 Nyo Ko berkata: "Ah, kau sedang sakit!" -- Berbareng itu tenaga yang maha dahsyat seketika hilang sirna.

Lolos dari renggutan elmaut, Su Siok-kang menjadi melenggong dan tak dapat berkata apa2.

Su Pek wi, Su Tiong beng dan lain2 mengira Su Siok-kang terluka dan tak bisa bergerak, mereka menjadi cemas dan gusar, serentak mereka menerjang Nyo Ko. Tepat pada waktu yang sama seekor harimau juga menubruk dari sebelah sana. Tapi sekali meraih, dapatlah Nyo Ko mencengkeram leher raja hutan itu, binatang buas ini lantas digunakan sebagai senjata untuk menangkis serangan pipa perak Su Tiong-beng dan gada baju Su Ki-kiang. sedangkan cakar macan malah terus mencakar muka Su Pek-wi dan Su Beng-ciat.

Belasan tahun yang lalu Nyo Ko sudah pernah menggunakan pedang yang beratnya lebih 70 kati, sekarang memegangi tubuh harimau yang besar, beratnya paling2 juga cuma seratusan kati, maka enteng saja baginya.

Karena lehernya terpegang, harimau itu menjadi rnurka dan tidak kenal lagi sang majikan, cakarnya terus menggaruk dan mulutnya menggigit, Dalam keadaan demikian Su Pek-wi dan Su Beng-ciat menjadi kelabakan juga meski biasanya selalu berkawan dengan binatang buas.

Menyaksikan pertarungan itu, Kwe Yang bersorak gembira, teriaknya. "Hebat sekali Sin~tiau-hiap!" Nah, kalian mengaku kalah tidak, Su-keh-hengte?"

Nyo Ko memandang sekejap pada anak dara itu, ia tidak tahu siapakah Kwe Yang ini, anehnya anak dara itu berkawan dengan macan tutul, tapi sekarang mengolok dan mengejek kelima saudara Su pula.

Sementara itu Su Siok-kang telah mengatur pernapasannya dan terasa lancar tanpa gangguan apapun, ia tahu Sin-tiau-hiap ini sengaja bermurah hati dan tidak ingin melukainya tadi, diam2 iapun mengakui kalau berdasarkan kepandaian sejati biarpun mereka berlima mengerubutnya sekaligus juga bukan tandingannya.

Saat itu kelihatan keempat saudaranya sedang mengerubuti Nyo Ko, segera ia berseru: "Para kakak dan adik, lekas berhenti, kita harus tahu diri."

Mendengar itu, Koan-kian-cu Su Tiong-beng mendahului menarik kembali pipanya dan melompat mundur sedangkan Tay-Iik-sin Su Kt-kiang adalah orang yang lebih sembrono, ia anggap sepele seruan saudaranya itu.

"Tahu diri apa? Rasakan dulu gadaku ini!" demikian ia pikir, segera kedua tangan memegang gada terus. mengepruk kepala Nyo Ko dengan gaya "Ki-siang-kay-san" atau gajah raksasa menggugur gunung, jurus ini ditirunya dari cara gajah menggunakan belalainya menghantam sesuatu benda, pukulan dahsyatnya dapatlah dibayangkan.

Namun Nyo Ko juga tidak menghindar ia lenparkan harimau yang dipegangnya itu, tangan kiri terus membalik ke atas, sekali meraih dapatlah ujung gada belalai gajah lawan ditangkapnya, kata-nya: "Marilah kita coba-2 tenaga siapa lebih kuat?" Sekuatnya Su Ki-kiang berusaha menekan ke bawah, tapi gada itu berhenti di atas kepala Nyo Ko dan tidak dapat menurun lagi.

"Berhenti, Site! jangan kurang adat!" seru Su Siok-kang pula.

Sekuatnya Su Ki-kiang lantas membetot dengan maksud hendak menarik kembali gadanya, namun gada itu seperti mclengket saja di tangan Nyo Ko, sedikitpun tak bisa bergerak, Ber-ulang2 Su Ki-kiang membetot dan tetap tidak berhasil.

Nyo Ko merasa tenaga tarikan lawan sangat kuat, pikirnya, "Kalau tidak kuperlihatkan tenaga sakti, orang dogol ini tentu tidak mau takluk."

Mendadak ia mengerahkan tenaga dan dipelintir ke atas, tapi Su Ki-kiang tetap memegangi gadanya sekuat-kuatnya, keruan gada yang menyerupai belalai gajah itu lantas bengkok.

"Bagus!" bentak Nyo Ko terus ditekuk balik ke bawah, karena ditekuk ke atas dan ke bawah, gada itu tidak tahan, "pletak", patah menjadi dua, Tangan Su Ki-kiang tergetar hingga lecet berdarah. Tapi dia benar2 kuat dan kepala batu, gada patah itu masih dipegangnya dengan kencang.

Nyo Ko bergelak tawa sambil membuang bagian gada patah yang dirampasnya itu, kontan setengah gada itu ambles ke dalam tanah bersalju itu, padahal tebal salju tiada satu kaki, sedangkan gada patah itu panjangnya lebih tiga kaki, namun menghilang tanpa bekas ke dalam tanah, betapa hebat tenaga sakti Nyo Ko sungguh sangat mengejutkan.

Dilihatnya Su Siok-kang, Su Beng-ciat dan lain2 sedang membentak2 menghentikan serangan kawanan binatang buas, tapi sekali kawanan binatang itu mengamuk dan melihat darah, sukarlah untuk dikendalikan begitu saja.

Cepat Nyo Ko memberi tanda kepada Kwe Yang agar nona cilik itu menutup telinganya dengan tangan, walaupun tidak tahu apa tujuannya tapi Kwe Yang menurut saja, segera ia mendekap rapat kedua kupingnya. Segera Nyo Ko berteriak dengan keras, begitu nyaring suaranya hingga seperti bunyi guntur yang menggelegar.

Meski telinganya sudah ditutupi, tergetar juga jantung Kwe Yang hingga ber-debar2 dan rada pening, untung sejak kecil Lwe-kangnya tertumpuk cukup kuat sehingga suara Nyo Ko itu tidak sampai membuatnya roboh.

Suara Nyo Ko itu masih terus menggelegar hingga lama sekali, air muka semua orang sama berubah, kawanan binatang buas juga sama roboh, menyusul Gerombolan Setan Se-xan dan Su-si-hengte juga terguling, hanya tersisa belasan ekor gajah serta Su Siok-kang dan Kwe Yang saja yang masih tetap berdiri, sedangkan si rajawali sakti tampak berdiri dengan bersitegang leher, kelihatannya sangat umuk, sombong.

Melihat Su Siok-kang sanggup berdiri, Nyo Ko pikir tenaga dalam orang sakit ini juga hebat, tapi kalau suaranya dikeraskan lagi sedikit sehingga Su Siok-kang dirobohkan, mungkin dia akan terluka dalam dengan parah, Maka ia lantas menghentikan suara suitannya.

Selang tak lama, semua orang dan kawanan binatang itu baru dapat berdiri kembali, tapi sebagian binatang kecil sebangsa serigala dan sebagainya ada yang pingsan dan belum sadar kembali malahan di mana2 banyak terdapat kotoran binatang, rupanya saking ketakutan, kawanan binatang itu banyak yang ter-kencing2 dan ter-berak2.

Dan begitu bangun, kawanan binatang itu terus lari ke dalam hutan dengan mencawat ekor tanpa menunggu lagi komando Su si-hengte.

Sudah tentu Su-si-hengte dan gerombolan Se-tan Se-san itu tidak pernah menyaksikan perbawa sehebat ini. Mereka sama berdiri kesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Maka berkatalah Nyo Ko: "Maaf jika Cayhe telah mengganggu soalnya Cayhe ada janji dengan Gerombolan Setan Se-san, terpaksa harus kuhentikan pertarungan kedua pihak ini, nanti kalau persoalan Cayhe sudah selesai, bolehlah silakan melanjutkan pertikaian kalian ini dan pihak manapun Cayhe takkan membantu selain menonton saja di samping."

Lalu dia berpaling kepada Sat-sin-kui, si setan elmaut: "Nah, bagaimana kalian? ingin satu persatu bergiliran menempur aku atau sepuluh orang maju bersama sekaligus?"

Karena pengaruh suitan Nyo Ko tadi, sampai sekarang perasaan Sat-sin-kui belum lagi tenang, seketika ia tak dapat menjawab pertanyaan Nyo Ko:

Segera Tiang-si-kui membeli hormat dan ber-kata: "Sin-tiau-tayhiap, kepandaianmu dengan kami bedanya seperti langit dan bumi, mana Gerombolan Setan Se-san berani bermusuhan lagi dengan engkau? jiwa kami tadi telah diselamatkan olehmu, selanjutnya engkau ada perintah apapun pasti akan kami laksanakan. Jika engkau suruh kami harus keluar dari wilayah Soasay ini, maka segera kami akan pergi, sedetikpun tak berani tertahan di sini."

Dari bentuk tubuh serta jenggotnya yang panjang itu sejak tadi Nyo Ko merasa kakek cebol ini seperti pernah dikenalnya, setelah mendengar suaranya, segera ia bertanya, "Bukankah kau ini she Hoan bernama It-ong?"

Kiranya Tiang-si-kui ini memang betul adalah Hoan It-ong, yaitu murid tertua Kongsun Ci di Coat-ceng-kok, setelah jiwanya diampuni Nyo Ko, dia lantas mengasingkan diri, sepuluh tahun kemudian baru berkecimpung pula di dunia Kang-ouw, berkat kepandaiannya yang lumayan itulah dia berhasil mengepalai Gerombolan Setan Se-san.

Dulu Nyo Ko dikenalnya sebagai pemuda yang cakap dan berkepandaian tinggi, kini tangan Nyo Ko buntung sebelah, pakai kedok lagi, dengan sendirinya Hoan It-ong pangling padanya.

"Ya, hamba memang Hoan It-ong adanya dan siap menerima pesan Sin-tiau-tayhiap." demikian jawab Tiang-si-kui dengan munduk2.

Nyo Ko tersenyum, katanya: "Jika kalian mau tunduk pada perkataanku, maka kalian juga tidak perlu keluar dari wilayah Soasay, Sat-sin-kui, cukuplah asalkan kau membebaskan saja keempat gundikmu itu."

Sat-sin-kui mengiakan setelah terdiam sejenak, katanya: "Jika keempat perempuan hina itu tidak mau angkat kaki, biar kuhalau mereka dengan pentung."

Nyo Ko jadi melengak malah, teringat olehnya ketika kelima isteri dan gundik Sat-siu-kui sama menyembah padanya dan mintakan ampun bagi sang suami, sikap mereka yang sungguh2 itu tampaknya memang setia dan mencintai suaminya, kalau perempuan2 itu mau ikut dia, sekarang dia malah diharuskan mengusir keempat gundiknya itu, bisa jadi tindakan ini malah akan melukai hati mereka.

Maka dengan tertawa Nyo Ko lantas menambahkan "Usir sih tidak perlu, Kalau mereka ingin pergi, maka kau tidak boleh menahan mereka, sebaliknya kalau mereka suka ikut kau, ya. apa mau dikatakan lagi? Tapi kau bilang mau ambil lagi empat orang gundik, apakah betul ucapanmu ini?"

"Ah, persoalan perempuan itu sudah membikin repot Sin-tiau-tayhiap, malahan jiwa para saudaraku ini hampir ikut melayang, masakah hamba beradi ambil isteri lagi, Andaikan berani, rasanya Toako kami ini juga takkan mengidzinkan."

Serentak "Setan" yang lain tertawa geli mendengar ucapan Sat-sin-kui itu.

"Baiklah, sekarang urusanku sudah selesai, kalian boleh mulai bertempur lagi," kata Nyo Ko, lalu ia mundur ke sana bersama rajawali sakti dan membiarkan Su-si-hengte dan Gerombolan Setan itu bertarung lagi.



Segera Hoan It-ong melangkah maju dan berkata kepada Su Pek-wi: "Gerombolan Setan Se-san sudah sama babak belur, biarkan sementara ini kami mohon diri saja, Kami hanya ingin tahu selanjutnya Ban-siu-san-ceng tetap bercokol di sini atau akan kembali ke Se-keng? Harap dijelaskan supaya kelak kami dapat menemukan alamat kalian secara tepat."

Dari nada ucapan itu, Su Pek-wi paham kelak orang bermaksud mencarinya untuk menuntut balas, maka dengan angkuh iapun menjawab: "Kami akan menanti kedatangan kalian di Se-keng saja, Jika Samte kami akhirnya... akhirnya takkan disembuhkan maka tanpa kunjungan kalian juga kami berempat saudara akan mendahului berkunjung kepada kalian."

Hoan It-ong melengak, katanya: "Memangnya Su~samko sedang sakit, apa sangkut-paut sakitnya dengan kami, untuk ini mohon diberi penjelasan?"

Su Pek-wi menjadi murka, dengan muka merah padam ia berteriak: "Samte..."

Belum lanjut ucapannya, tiba2 Su Siok-kang menghela napas panjang dan menyela: "Toako, urusan ini tidak perlu disebut lagi, Kukira Gerombolan Setan Se-san juga tidak sengaja, mungkin sudah ditakdirkan nasibku harus begini, maka tidak perlu banyak mengikat permusuhan lagi."

"Baik!" seru Su Pek-wi dengan menahan amarahnya, lalu dia memberi salam kepada Hoan liong dan berkata. "Selama gunung tetap menghijau dan air tetap mengalir, kelak kita pasti bertemu lagi." Kemudian dia berpaling dan bertanya kepada Nyo Ko: "Sin-tiau-tayhiap. kami bersaudara terjungkal di tanganmu, sungguh kami merasa sangat kagum. Rasanya meski kami berlatih lagi 20 tahun juga tetap bukan tandinganmu, sengketa ini jelas kami tidak berharap dapat membalasnya, kamipun tidak berani lagi bertemu dengan engkau, pokoknya ke mana engkau datang di sana pula kami lantas mendahului menyingkir."

"Ah, ucapan Su-toako teramat berlebihan," ujar Nyo Ko- dengan tertawa.

"Hayolah, kita berangkat" kata Su Pek- wi sambil mendekati Su Siok-kang. ia memapah saudaranya yang sakit itu dan diajak pergi,

Hoan It-ong merasa ucapan Su Pek-wi itu banyak yang sukar dipahami, cepat ia berseru pula: "Tunggu dulu, Su-toako. Tadi Su-samko mengatakan tindakan kami tidak disengaja, Padahal seingat kami kecuali terobosan di tempat kediaman kalian ini, rasanya tiada pernah berbuat kesalahan lain. Apabila memang benar kami telah berbuat sesuatu kesalahan di luar sadar kami, sedangkan kepala dipenggal saja Gerombolan Setan Se-san tidak gentar, apalagi menyembah dan mohon maaf kepada kalian bersaudara?"

Su Pek-wi tadi sudah menyaksikan cara Gerombolan Setan Se-san itu saling melempar kopiah kulit milik Su Siok-kang tadi dan tiada satupun yang ingin menyelamatkan diri sendiri, rata2 adalah ksatria yang tidak takut mati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.

Maka dengan rasa pedih ia menjawab "Kalian telah menyebabkan larinya Kiu-bwe-leng-hou sehingga luka dalam Samte kami tak dapat diobati lagi, sekalipun kau menyembah seratus kali atau seribu kali kepada kami juga tiada gunanya."

Hoan It-ong terkejut baru teringat olehnya tadi kelima saudara Su memimpin kawanan binatang menguber seekor binatang kecil mirip kucing dan anjing, kiranya itu yang disebut Kiu-bwe-leng-hou (rase atau musang cerdik berekor sembilan), masakah binatang kecil mempunyai kegunaan yang sangat penting?

Tiba2 Sat-sin-kui menimbrung: "Memangnya untuk apa sih rase kecil itu? Tapi kalau binatang kecil itu menyangkut kesehatan Su-samko, maka marilah kita be-ramai2 memburu dan menangkapnya lagi. Hanya seekor rase kecil begitu apa sih artinya?"

"Apa artinya, katamu hm?" teriak SuKi-kiang, "kalau kau mampu menangkap rase kecil itu, biarlah nanti aku menyembah seratus kali, bahkan seribu kali padamu juga kurela."

Hoan It-ong terkesiap, pikirnya: "Keluarga Su ini terkenal mahir menjinakkan binatang, rasanya di dunia ini tiada yang lebih pandai daripada mereka, kalau mereka menyatakan betapa sulitnya menangkap rase itu, lalu siapa lagi yang sanggup?" - Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang Nyo Ko.

Kwe Yang tidak tahan, segera ia menyelutuk: "Sejak tadi kalian hanya bicara saja, mengapa kalian tidak mohon bantuan Sin-tiau-hiap?"

Su Tiong-beng terhitung paling banyak tipu akalnya, dia adalah motor penggerak di antara kelima saudara Su itu, ia pikir ilmu silat Sin-tiau--hiap ini memang sukar diukur, bisa jadi beliau mau memberi pertolongan.

Maka ia lantas berkata: "Ah-, nona cilik tahu apa? Kukira selain malaikat dewata yang turun ke bumi ini tiada seorang lagi yang sanggup menangkap Kiu-bwe-long-hou itu."

Nyo Ko hanya tersenyum saja, ia tahu orang sengaja hendak memancing reaksinya, namun dia tidak menanggapinya.

"Sesungguhnya rase kecil itu mempunyai kemujijatan apa? Coba ceritakan" kata Kwe Yang.

Su Tiong-beng menghela napas sedih, katanya kemudian "Akhir tahun yang lalu, karena membela keadilan di daerah Hengciu, samte kami telah bergebrak dengan orang, tapi pihak lawan memakai akal licik sehingga Samte kami kena diselomoti musuh dan terluka parah."

"Aneh, Su-samsiok ini jelas sangat tinggi kepandaiannya siapa lagi yang begitu lihay dan mampu melukainya?" ujar Kwe Yang heran.

"Ah, nona memuji sedikit kepandaianku yang tak berarti ini, bukankah akan ditertawai Sin-tiau-hiap?" kata Su Siok-kang dengan suara lemah.

Kwe Yang melirik Nyo Ko sekejap katanya:

"Dia! Sudah tentu dia di luar hitungan. Yang kumaksud adalah orang lain."

"Yang melukai Samte kami adalah seorang Mongol," tutur Su Tiong-beng lebih lanjut, "namanya Hotu kalau tidak salah, Konon dia adalah murid Kim-lun Hoat-ong, Koksu kerajaan Mongol."

Tiba2 Kwe Yang berkata kepada Nyo Ko: "Sin-tiau-hiap, kumohon engkau suka pergi mencari pangeran Mongol itu dan memberi ajaran setimpal padanya untuk membalaskan sakit hati Su-sam~siok ini "

"Untuk ini kami tak berani membikin repot Sin-tiau hiap," kata Su Tiong-beng, "Asalkan luka Samte kami sudah sembuh, kami akan mencari dia dan pasti dapat menuntut balas, Hanya saja Lwe-kang kami ini lain daripada yang lain, luka yang diderita Samte kami ini sangat sukar disembuhkan untuk ini harus minum darah, segar Kiu-bwe-leng-hou itu."

"Ah, kiranya demikian," Kwe Yang dan Gerombolan Setan Se-san sama bersuara.

"Rase kecil itu adalah binatang yang sangat jarang, makhluk yang amat cerdik," tutur Su Tiong-beng pula, "Sudah lebih setahun kami bersaudara mencari ke mana2 dan baru kami kutemukan jejaknya di daerah Cinlam. Tempat sembunyi rase itupun sangat aneh, yaitu di tengah sebuah kolam lumpur yang sangat luas yang terletak kurang lebih 30 li dari sini."

"Kolam lumpur besar? Maksudmu Hek-liong-tam (tambak naga hitam)?" Sat-sin-kui menegas dengan heran.



"BetuI," sahut Su Tiong-beng. "Kalian sudah lama berdiam di sini, tentu juga mengetahui bahwa beberapa li sekeliling Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka, manusia maupun khewan sukar berdiam di tempat seperti itu, tapi rase kecil ilu justeru bersarang di sana. Dengan susah payah akhirnya kami berhasil memancingnya ke tengah hutan ini."

"Ah, pantas kalian marah dan melarang kami memasuki hutan ini," kata Sat-sin-kui menyadari kejadian tadi.

"Begitulah," kata Su Tiong-beng pula, "Bahwasanya kedatangan kami ke sini adalah tamu, betapapun kasarnya juga tidak pantas kami mengangkangi tempat orang lain, soalnya cuma terpaksa saja, Harus dimaklumi bahwa rase itu sangat gesit dan cepat larinya, sekejap saja lantas menghilang, hal ini telah kalian saksikan tadi.

Karena itulah kami mengerahkan segenap binatang buas piaraan kami dan mengepung rapat hutan itu, tampaknya dengan segera rase itu dapat kami tangkap, siapa tahu kalian justeru membakar hutan sehingga kawanan binatang sama terkejut dan memberi kesempatan lo!osnya rase itu.

Memalukan juga jika diceritakan meski kami sudah berusaha sepenuh tenaga tetap tidak mampu menangkapnya, Namun luka Samte kami semakin hari semakin berat, kami menjadi sedih sehingga tindak-tanduk kamipun menjadi berangasan, untuk ini hendaklah kalian maklumi" Habis berkata ia terus memberi hormat se-keliling, tapi pandangannya justeru menatap Nyo Ko.

"Urusan ini adalah karena kecerobohan kami dan Gerombolan Setan kami sekali lagi minta maaf." kata Hoan It-ong. "Tentang rase itu entah dengan cara bagaimana Su-toako berlima telah memancingnya ke sini? Mengapa cara itu tidak dapat digunakan lagi sekarang?"

"Sifat rase adalah suka curiga disamping cerdik, sukar sekali hendak menjebaknya, apalagi Kiu-bwe-leng-hou ini, jauh lebih cerdik dan licin daripada rase biasa," demikian tutur Su Tiong-beng.

"Kami-telah mengorbankan ribuan ekor ayam jantan, dalam jarak setiap tombak jauhnya kami- panggang seekor dan ber- turut2 kami pancing dia dengan bau sedap ayam panggang, kami tidak mengusiknya dan membiarkan dia makan, setelah setiap hari berhasil makan ayam panggang tanpa gangguan, sampai dua-tiga bulan lamanya barulah curiga rase itu mulai berkurang.

Habis itu barulah kami pancing dia ke hutan ini, Tapi sekali ini dia telah mengalami kaget luar biasa, biarpun seratus tahun lagi juga tidak mau tertipu pula."

"Ya, memang betul sulit," kata Hoan It-ong. "Tapi kalau kita langsung masuk ke Hek liong-tam dan menangkapnya, apakah tidak bisa?"

"Seluas beberapa li Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka yang beberapa meter dalamnya, betapapun tinggi Ginkangmu juga sukar berpinjak di atas lumpur," tutup Su Tiong- beng. "Juga perahu, rakit atau getek dan sebagainya sukar berjalan di sana. Namun tubuh Kiu-bwe-leng-hou itu sangat kecil dan enteng, telapak kakinya tebal lagi, larinya juga cepat, maka dia mampu meluncur di permukaan lumpur itu dengan cepat."

Kwe Yang tiba2 ingat kedua rajawali di rumah, mereka kakak beradik sering naik rajawali itu dan dibawa terbang ke udara, Kini dilihatnya rajawali sakti jauh lebih besar daripada rajawali di rumahnya, blakan mustahil dua orang juga dapat dibawanya terbang Maka dengan tertawa ia berkata "Sin-tiau-hiap, asalkan engkau sudi membantur kuyakin pasti ada jalannya."

Nyo Ko tersenyum, jawabnya: "Su-si-hangte adalah ahli penjinak binatang kalau mereka angkat tangan tak berdaya, maka apa yang dapat ku lakukan seumpama aku ingin membantu?"

Mendengar nada ucapan orang, ternyata bersedia menolong, urusan ini menyangkut mati-hidup saudaranya, maka tanpa pikir lagi Su Tiong-btng, lantas bertekuk lutut di depan Nyo Ko dan me-mohon: "Sin-tiau-tayhiap, jiwa adik kami hanya menanti ajal, mohon engkau kasihan padanya."

Sorot mata mengerling sekilas ke muka Kwe Yang, katanya kemudran: "Kau bilang aku pasti dapat menolongnya, coba kuingin tahu-bagaimana pendapat adik cilik ini."

"Asalkan engkau naik rajawali raksasa itu, bukankah lantas dapat terbang masuk ke Hek-liong-tam?" jawab Kwe Yang.

"Hahaha! Menarik juga saranmu ini," kata Nyo Ko sambil tertawa.. "Tapi Tiau.-heng kita berlainan dengan burung umumnya, karena tubuhnya teramat berat, maka sejak kecil beliau tidak dapat terbang, Sekali sabet sayapnya mampu membinasakan singa atau harimau, tapi justeru tidak dapat digunakan untuk terbang."

Sementara itu, kecuali Su Siok-kang saja, ke-empat saudara she Su itu sudah sama berlutut di depan Nyo Ko. Segera Nyo Ko membangunkan mereka dan berkata: "Apa boleh buat, biarlah kukerjakan sekuat tenagaku, cuma kalau tidak berhasil ya kalian jangan menyesali"

Su-si-hengte menjadi girang, mereka pikir nama pendekar besar itu termashur, sekali dia sudah menyanggupi pastilah akan dilaksanakannya. Kalau beliau juga gagal, terpaksa pasrah nasib saja.

Begitulah Su Pek-wi menyembah beberapa kali pula dan berkata: "Jika demikian, silakan Tayhiap dan para saudara dari Se-san mengaso dulu ke tempat kediaman kami untuk berunding lebih lanjut."

"Urusan ini berpangkal kesalahan kami, sudah tentu kami siap menerima tugas apapun," kata Hoan It-ong.

"Ah, tak perlu begitu," ujar Su Pek-wi, "Tidak berkelahi takkan kenal kalau kalian tidak menoIak, marilah mulai sekarang kita berkawan."

Dari pertarungan tadi masing2 sudah sama tahu kelihayan pihak lawan, memangnya kedua pihak tidak ada permusuhan apa2, soalnya cuma bertengkar mulut saja lalu berkelahi, maka setelah bera-mah tamah sejenak, kedua pihak lantas seperti kenalan lama saja dan bersahabat baik.

"Sekarang juga biarlah kupergi ke Hek-Iiong--tam, apakah berhasil atau tidak pasti aku akan kembali lagi ke sini," kata Nyo Ko tiba2.

Walaupun GeromboIan Setan Su-si hengte ingin mencurahkan tenaga, namun mereka tidak mendengar Nyo Ko menghendaki pembantu, terpaksa mereka diam saja dan tidak berani mencalonkan diri, setelah memberi salam kepada para hadirin, lalu Nyo Ko melangkah pergi.


Maksud kedatangan Kwe Yang ini ialah ingin melihat Sin-tiau-hiap, kini tokoh tersebut sudah dilihatnya, meski berwajah jelek, tapi ilmu silatnya mengejutkan, suka membantu yang lemah dan menolong yang susah, nyata memang setimpal mendapatkan sebutan "Tayhiap", jadi tujuan kedatangannya ini tidaklah percuma, Tapi demi teringat Sin-tiau hiap akan pergi menangkap Kiu-hwe-leng-hou,"

Caranya pasti sangat menarik, dasar anak muda, rasa ingin tahunya telah menggelitik lubuk hatinya, tanpa terasa iapun melangkah ke sana mengintil di belakang Nyo Ko.

Melihat itu, segera Toa-thau-kui bermaksud memanggilnya kembali tapi lantas terpikir olehnya: "Dia bertekad ingin menemui Sin tiau-hiap, tentu ada sesuatu hendak dikatakan padanya."

Sedangkan Su si-hengte tdak tahu asal usul Kwe Yang, dengan sendirinya merekapun tidak dapat ikut campur urusan nona cilik itu.

Kwe Yang terus mengintil di belakang Nyo Ko, jaraknya kira2 belasan meter, yang dituju hanya ingin tahu cara bagaimana pendekar besar itu menangkap rase, Dilihatnya jalan Nyo Ko makin lama semakin cepat, rajawali raksasa itu jalan berjajar dengan dia dengan langkah lebar, cepatnya ternyata tidak kalah dengan kuda lari. Hanya sekejap saja Kwe Yang sudah jauh tertinggal di belakang.



Sekuatnya Kwe Yang mengeluaikan Ginkang ajaran ibunya, tampaknya Nyo Ko berlenggang seenaknya, tapi jaraknya ternyata semakin jauh, tak lama- kemudian bayangan Nyo Ko dan si rajawali raksasa itu telah mengecil menjadi dua titik hitam saja.

Kwe Yang menjadi cemas, serunya. "Hei, tunggu!" Karena sedikit meleng, mendadak ia ter-peleset tanah salju yang licin dan jatuh terduduk, Ya malu ya gelisah, maka menangislah dia.

Tiba2 sebuah suara yang halus mendenging di tepi telinganya: "Kenapa menangis? Siapa yang nakal?"

Waktu Kwe Yang mendongak, ternyata Nyo Ko adanya, entah mengapa dia dapat putar balik secepat ini. Kejut dan girang pula si nona, segera iapun merasa likat dan cepat menunduk, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tapi karena berlari2 tadi, saputangan ternyata sudah hilang.

"lnikah yang kau cari?" tanya Nyo Ko tiba2 sambil menyodorkan sebuah saputangan.

Segera Kwe Yang mengenali saputangan yang ujungnya bersulam setangkai bunga kecil itu adalah miliknya sendiri Mendadak ia menjawab pertanyaan Nyo Ko tadi: "Ya, kau inilah yang nakal"

"He, bilakah aku nakal?" ujar Nyo Ko heran.

"Kau telah merampas saputanganku, apakah perbuatan ini tidak nakal?"

"Saputanganmu jatuh di sana, dengan maksud baik kupungut dan mengembalikannya padamu, masakah kau tuduh aku merampasnya darimu?" kata Nyo Ko dengan tertawa.

"Aku berada di belakangmu, andaikan benar saputanganku jatuh, cara bagaimana pula kau me-mungutnya? Hm, jelas kau mencolongnya dariku," kata Kwe Yang.

Padahal sejak tadi Nyo Ko sudah tahu Kwe Yang mengintil di belakangnya, dia sengaja percepat langkahnya untuk menjajal Ginkang si nona, ia merasa meski usia nona cilik ini masih sangat muda, tapi ilmu silatnya sudah mempunyai dasar yang kuat dan jelas mendapatkan ajaran tokoh ternama.

Maka begitu mengetahui Kwe Yang terpeleset jatuh, cepat ia meluncur balik. Dilihatnya sebuah saputangan jatuh tidak jauh di sebelah sana, segera ia memungutnya. Cuma gerakannya teramat gesit, pergi datang secepat terbang, walaupun berada di depan, tapi dapat memungut saputangan yang jatuh di bagian belakang, hal ini memang tidak masuk diakal.

Dengan tersenyum Nyo Ko lantas tanya: "Kau she apa dan siapa namamu? siapa pula gurumu? Mengapa kau mengikuti aku?"

"She dan namamu yang terhormat harap diberitahukan lebih dulu padaku baru nanti akupun memberitahukan namaku," jawab Kwe Yang.

Selama belasan tahun ini Nyo Ko selalu menutupi wajah aslinya bagi umum, dengan sendirinya juga tidak suka memberitahukan namanya sendiri pada seorang nona cilik yang tidak dikenaInya. Maka katanya: "Nona cilik ini sangat aneh, kalau kau tidak mau menerangkan ya sudahlah, Saputa-nganmu kukembalikan."

Habis berbicara, dengan pelahan tangannya mcngebas, saputangan itu lantas mekar merata dan mengembang di udara terus melayang enteng ke depan Kwe Yang.

Kwe Yang sangat teriank, cepat ia tangkap saputangan itu dan berkata: "Sia-tiau-hiap, ilmu kepandaian apakah ini? Maukah kau mengajarkan padaku?"

Melihat si nona yang lincah ke kanak2an, sama sekali tidak takut kepada wajahnya yang seram, tiba2 timbul pikiran Nyo Ko untuk coba menakut2inya, mendadak ia lantas membentak bengis: "Berani benar kau, mengapa kau tidak takut padaku, hm? Akan kuhantam kaul" Berbareng ia melangkah maju dan berlagak hendak menyerang.

Kwe Yang terkejut, tapi cepat iapun mengikik tawa, katanya: "Mana aku takut, jika betul kau ingin mencelakai aku, masakah kau sendiri mau mengatakan lebih dulu? Sin- tiau- tayhiap terkenal berbudi dan baik hati, mana mungkin mencelakai seorang anak perempuan kecil seperti diriku ini?"

Di dunia ini tiada seorangpun yang tidak suka dipuji, apakah mendengar orang memujinya dengan setulus hati, meski Nyo Ko tidak suka disanjung puji orang, tapi mendengar ucapan Kwe Yang benar2 mengaguminya itu, mau-tak-mau ia tersenyum dan berkata: "Kau baru kenal diriku darimana mengetahui aku takkan mencelakai kau?"

"Meski sebelumnya aku tidak kenal kau, tapi semalam kudengar orang banyak bercerita mengenai tindak-tandukmu yang terpuji. Maka di dalam hati aku bertekad ingin melihat tokoh ksatria besar ini, sebab itulah aku lantas ikut Toa-thau-kui ke sini untuk menemui engkau."

"Ah, aku ini terhitung ksatria apa?" ujar Nyo Ko sambil menggeleng, "Dan setelah bertemu kini, kau pasti kecewa bukan?"

"Tidak, tidak!" jawab Kwe Yang cepat "Jika engkau bukan pahlawan dan kesatria besar, siapa lagi yang dapat dianggap pahlawan lagi?" - Habis berkaca demikian, segera ia merasa tidak pantas kalau ayahnya sendiri tidak disebut pula, maka cepat ia menambahkan.

"Sudah tentu, selain engkau, di dunia ini juga masih ada beberapa pahlawan dan ksatria besar lagi, tapi engkau adalah satu diantaranya."

Diam2 Nyo Ko pikir anak dara sekecil ini masakah tahu tokoh2 dunia segala, dengan tersenyum ia lantas bertanya: "Coba katakan, siapa2 yang kau anggap pahlawan dan ksatria besar?"

Karena nada ucapan orang terasa meremehkan dirinya, tiba2 terpikir sesuatu, oleh Kwe Yang, katanya: "Akan kukatakan, kalau tepat, engkau harus berjanji akan membawa serta diriku pergi menangkap Kiu-bwe-leng-hou, jadi?""

"Baiklah, coba katakan," jawab Nyo Ko,

"Nah, ada seorang pahlawan yang bertahan di kota Siangyang, gagah perkasa tanpa menghiraukan keselamatan scndiri, sekuat tenaga melawan serbuan pasukan mongol, membela negara dan melindungi rakyat, Tokoh demikian terhitung pahlawan atau tidak?"

"Bagus!" ujar Nyo Ko sambil mengacungkan ibu jarinya, "Yang kau maksud ialah Kwe Cing, Kwe-tayhiap. jelas beliau terhitung pahlawan besar."

"Ada lagi seorang pahlawan wanita, beliau senantiasa membantu sang suami mempertahankan Siangyang, tipu akalnya tiada bandingannya, dia terhitung pahlawan besar atau tidak?"

"O, maksudmu Kwe-hujin Ui Yong? Ya, beliau juga terhitung pahlawan."

"Masih ada seorang pahlawan tua, beliau mahir ilmu falak dan macam2 ilmu gaib, baik ilmu silat maupun sastra jarang ada bandingannya, Beliau dapat dianggap pahlawan besar tidak?"

"ltulah Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, beliau adalah angkatan tua di dunia persilatan dan adalah tokoh kekagumanku."

"Ada lagi satu, pahlawan beliau memimpin kawanan orang jembel, menumpas orang lalim dan menyerbu musuh, membela negara dan rakyat tanpa kenal lelah, dia terhitung pahlawan besar tidak?"

"Maksudmu Loh-pangcu, Loh Yu-kah. ilmu silat orang ini tidak menonjol dan juga tiada sesuatu tindakannya yang luar biasa, tapi mengingat semangat perjuangannya membela negara dan rakyat serta menumpas penjahat dan menyerbu musuh, dapatlah dia dianggap tokoh kelas satu."



Kwe Yang pikir Sin-tiau-tayhiap sendiri sedemikian hebatnya, sudah tentu penilaiannya terhadap orang lain juga tinggi, kalau kukatakan lagi mungkin akan dibantah olehnya. Apalagi selain ayah-ibu, kakek dan paman Loh, rasanya juga tiada tokoh lain yang dapat ditonjolkan.

Melihat air muka si nona mengunjuk rasa ragu2 untuk bicara pula, Nyo Ko lantai berkata: "Asalkan kau dapat menyebut lagi seorang pahlawan lain dan tepat, segera kubawa kau ke Hek-liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe-leng-bou."

ia pikir nama paman dan bibi Kwe serta Ui-tocu dan Loh-pangcu sangat terkenal di dunia Kangouw, maka tidaklah heran jika nona cilik ini dapat menyebut nama mereka.

Segera Kwe Yang bermaksud menyebut kakak iparnya, yaitu Yalu Ce, tapi rasanya kurang cocok untuk dianggap sebagai "pahlawan besar" meski ilmu silatnya cukup tinggi, Selagi serba susah, tiba2 timbul kecerdikannya, cepatlah ia berkata: "Baik, ada seorang lagi, beliau suka membantu kaum lernah, menolong yang sengsara, setiap orang selalu memuji~ nya, itulah dia Sin-tiau-tayhiapl Nah, kalau beliau tak dapat dianggap sebagai pahlawan besar, jelas.kau sendiri yang bohong."

Nyo Ko bergelak tertawa, katanya: "Ha ha, cara bicara nona cilik sungguh lucu."

"Jadi tidak kau membawaku ke Hek-liong-tam?" tanya Kwe Yang.

"Karena kau sudah mengatakan diriku ini pahlawan besar, maka pahlawan besar tidak boleh mungkir janji pada seorang nona cilik, Marilah kita berangkat!"

Senang sekali hati Kwe Yang, segera tangan kanannya menggandeng tangan kiri Nyo Ko. Sejak kecil dia berkawan dengan para ksatria di Siangyang dan semua menganggap dia sebagai adik kecil, maka sekarang saking senangnya iapun anggap Nyo Ko sebagai kenalan lama.

Nyo Ko sendiri menjadi rikuh, ia merasa tangan si nona lunak dan halus, kalau dia melepaskan pegangan Kwe Yang, rasanya kurang sopan, ia coba melirik nona cilik ini, terlihat dia me-loncat2 kegirangan dan sama sekali tiada pikiran Iain.

Dengan tersenyum dia lantas menuding ke arah utara: "Hek-liong-tam terletak tidak jauh di sana." Dengan alasan menuding inilah dia dapat menarik tangannya dari pegangan Kwe Yang.

Kiranya Nyo Ko merasa waktu mudanya sudah terlalu banyak membikin anak perempuan tergila2 padanya, tapi sejak matinya Kongsun Lik-oh dan menghilangnya Siao-liong-li, diam2 ia sangat menyesalkan tindakannya di masa lampau, selama belasan tahun ini ia menjadi sangat alim sehingga tangan anak perempuan kecil seperti Kwe Yang ini juga enggan disentuhnya lagi.

Sama sekali Kwe Yang tidak merasakan perubahan pikiran Nyo Ko itu, dia jalan berjajar dengan Nyo Ko, ketika melihat muka rajawali sakti itu sangat jelek, tapi tubuhnya kekar, tanpa pikir ia tepuk punggungnya sebagai tanda simpatik.

Sejak kecil dia sudah biasa bermain dengan sepasang rajawali di rumahnya itu, siapa tahu rajawali ini ternyata tidak suka ditepuk, mendadak sayapnya terbentang, "bret", tangan Kwe Yang didorong pergi.

Keruan Kwe Yang menjerit kaget, Dengan tertawa Nyo Ko lantas berkata: "Jangan marah, Tiau-heng! Buat apa mengurusi anak kecil?"

Kwe Yang me-lelet2 lidah dan menyingkir ke sisi Nyo Ko yang lain dan tak berani berdekatan dengan si rajawali sakti lagi, ia tidak tahu bahwa sepasang rajawali di rumahnya itu termasuk burung piaraan, sedangkan hubungan rajawali sakti ini dengan Nyo Ko boleh dikatakan setengah guru dan setengah kawan, kalau bicara tentang usia bahkan terhitung angkatan tua, jelas tidak sama kedudukan.

Begitulah mereka terus ke Hek-liong-tam. Tempat itu sangat mudah dikenali, beberapa ii sekeliling sama sekali tiada tetumbuhan sebenarnya Hek-liong-tam itu adalah sebuah danau, mungkin karena sumber airnya kering, lama2 dasar danau mendangkal sehingga akhirnya berubah menjadi tambak besar dengan lumpur melulu

Tidak lama kemudian Nyo Ko dan Kwe Yang sudah berada di tepi tambak, sejauh mata memandang, suasana sepi senyap dan menyeramkan. Hanya di tengah2 tambak sana kelihatan tertimbun seongokan kayu dan rumput kering. Bisa jadi tempat sembunyi Kiu-bwe-leng-hou adalah di bawah onggokan kayu dan rumput kering itu.

Nyo Ko ambil sepotong tangkai kayu dan dilemparkan ke tengah tambak, tangkai kayu itu mula2 melintang di atas salju, tapi tidak lama kemudian kelihatan mulai ambles ke bawah, meski tenggelam-nya sangat pelahan, tapi berjalan terus tanpa berhenti, sedikit demi sedikit dan akhirnya timbunan salju di kedua sisinya merapat sehingga tangkai kayu itu teruruk hilang tanpa bekas.

Tidak kepalang kejut Kvve Yang, tangkai kayu seenteng itu saja amblas ke dalam lumpur, lalu cara bagaimana manusia dapat berpijak di sana? Dengan melenggong ia pandang Nyo Ko dan ingin tahu orang mempunyai tipu daya apa?

Sejenak Nyo Ko berpikir, lalu ia cari lagi dua potong tangkai kayu yang agak licin, masing2 panjangnya satu meteran, tangkai kayu itu lantas diikat di bawah telapak kaki, Lalu katanya: "Akan kucoba, entah bisa tidak?"

Habis berkata, segera tubuhnya melayang ke tengah tambak, secepat anak panah melesat dari busurnya ia terus meluncur di permukaan salju yang menutupi tambak itu. Dengan melenggak-lenggok ke sana dan ke sini, sama sekali dia tidak berhenti sedetikpun, ia terus meluncur sekeliling tambak, seperti orang main ski jaman kini, kemudian dia meluncur balik ke tempat semula.

"Kepandaian hebat, kecakapan luar biasa!" sorak Kwe Yang memuji

Dari sorot mata Kwe Yang yang, penuh rasa kagum itu, Nyo Ko tahu nona itu sangat berharap dapat ikut menangkap rase ke tengah tambak, tapi nona itu menyadari tak memiliki kepandaian Ginkang setinggi itu. Maka Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa "Aku sudah berjanji padamu akan membawa kau ke Hek liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe leng hou. Soalnya kau berani tidak?"

"Aku tidak memiliki kepandaian setinggi kau, biarpun berani juga percuma," sahut Kwe Yang sambil menghela napas pelahan.

Nyo Ko tersenyum dan tidak menanggapi pu-la, ia mencari lagi dua potong kayu yang lebih pendek sedikit daripada miliknya tadi dan disodorkan pada si nona, katanya: "lkatlah di bawah telapak kakimu!"

Gugup dan girang pula Kwe Yang, ia menurut dan mengikat kencang kedua potong kayu itu di bawah telapak kakinya.

"Tubuhnya mendoyong sedikit ke depan, kaki jangan menggunakan tenaga, biarkan saja mengimbangi" pesan Nyo Ko. Lalu tangan kirinya memegangi tangan kanan Kwe Yang terus berseru tertahan "Awas!"

Sekali angkat dan tarik, tanpa kuasa tubuh Kwe Yang terus melayang dan meluncur ke tengah tambak, Semula dia rada gugup dan takut2, tapi setelah meluncur beberapa meter jauhnya, terasa badan enteng dan melayang seperti terbang, kaki tanpa merasa mengeluarkan tenaga sedikitpun ia menjadi cekikik senang, rasanya lebih enak daripada terbang menumpang rajawali di rumah.



Sesudah main ski sekian lama mengelilingi tombak itu tiba2 Nyo Ko berseru heran "He?"

"Ada apa?" tanya Kwe Yang, "Apakah kau melihat rase kecil itu?""

"Bukan," jawab Nyo Ko. "Kukira di tengah tambak sana ada penghuninya!"

Kwe Yang menjadi heran juga, katanya: "Di tempat begini mana mungkin dihuni orang?"

"Akupun tidak paham," kata Nyo Ko. "Tampaknya susunan onggokan kayu dan rumput kering ini ada kelainan dan bukan barang yang tumbuh sendiri."

Sementara itu mereka sudah dekat dengan onggokan kayu dan rumput itu, Kwe Yang coba mengamati dengan teliti, lalu berkata: "Ya, memang benar. sebelah timur diatur dalam hitungan Bok (kayu), sebelah selatan menurut Hwe (api), bagian tengah menurut Tho (bumi) dan utara adalah Sui (air)."

Rupanya sejak kecil Kwe Yang juga ikut belajar hitungan Im yang-ngo-heng, yaitu falsafat Tiong-hoa kuno mengenai unsur2 laki-perempuan di jagat raya ini. walaupun belum banyak yang dipahami-nya, tapi dasarnya memang pintar, maka apa yang dapat diketahuinya jauh lebih banyak daripada kakaknya, yaitu Kwe Hu.

Sifat Kwe Yang serba ingin tahu, macam jalan pikirannya dan tindak-tanduknya acapkali di luar dugaan orang, kelakuannya itu rada2 mirip dengan sang kakek luar, yaitu Ui Yok-su, sebab itulah di rumah dia diberi julukan "Siau Tang sia" atau si Tang-sia kecil.

Misalnya tindakannya menukar tusuk kundai untuk menjamu orang2 yang baru dikenalnya dan ikut Toa-thau-kui yang menakutkan itu hanya karena ingin melihat Sin tiau hiap, kemudian ikut lagi Sin-tiau-hiap yang baru dikenalnya pergi menangkap rase, keberanian ini jeias sangat berbeda daripada Ui Yong dan Kwe Hu dahulu.

Begitulah Nyo Ko menjadi heran mendengar nona cilik ini dapat menyebut bentuk bangunan onggokan kayu-rumput itu, ia coba bertanyar "Darimana kau tahu bentuk Im yang-ngo-heng itu? Siapa yang mengajarkan kau?"

"Kubaca dari buku, entah tepat atau tidak ucapanku," jawab Kwe Yung dengan tertawa, "Kulihat pengaturan kayu-rumput itupun tiada sesuatu yang luar biasa, agaknya juga bukan orang kosen yang hebat."

"Ya, anehnya cara bagaimana orang itu dapat tinggal di atas lumpur dan tidak tenggelam ke bawah?" kata Nyo Ko. Segera ia berseru lantang: "Sa-habat di tengah Hek liong-tam, ini ada tamu datang!"

Selang sekian lama, keadaan tetap sunyi tanpa sesuatu suara, Nyo Ko berseru sekali lagi dan tetap tiada jawaban orang.

Tampaknya orang sengaja menumpuk onggokan kayu rumput di sini dan tidak dihuni di sini, marilah kita melihatnya ke sana," kata Nyo Ko sambil meluncur ke tempat onggokan rumput itu.

Se-kunyong2 kaki Kwe Yang merasa berpijak pada tempat yang keras, agaknya tanah datar di bawah mereka. Rupanya Nyo Ko sudah mengetahui lebih dulu, dengan tertawa ia berkata: "Tidak mengherankan kiranya di tengah tambak ini ada sebuah pulau kecil."

Baru habis ucapannya, mendadak bayangan putih berkelebat dari bawah onggokan itu menerobos keluar dua ekor binatang kecil, ternyata sepasang "Kiu bwe-leng~hou yang dicarinya itu. yang seekor terus lari ke timur dan yang lain kabur ke selatan dengan cepat luar biasa.

"Kau tunggu di sini nona cilik dan jangan sembarangan bergerak," pesan Nyo Ko. Habis itu ia terus meluncur dan menguber rase sebelah timur.

Kini ia tidak perlu menjaga Kwe Yang lagi sehingga dapat mengeluarkan segenap Ginkangnya untuk meluncur, sungguh cepatnya melebihi burung terbang.

Akan tetapi lari rase itupun cepat dan gesit luar biasa, seperti angin saja binatang kecil itu lantas memutar balik dan menyamber lewat di samping Kwe Yang, Tapi Nyo Ko terus membayanginya, sekali lengan bajunya mengebas tampaknya rase kecil itu pasti akan tersampuk jatuh, tak terduga binatang itu benar2 sangat cerdik, mendadak ia meloncat ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan demikian sabetan lengan baju Nyo Ko itu menjadi luput.

Ber-ulang2 Kwe Yang menyatakan: "Sayang! Sayang!"

Begitulah satu orang dan satu hewan terus uber menguber di atas salju, Kwe Yang sangat senang menyaksikan tontonan menarik itu. ber ulang2 ia berseru memberi semangat kepada Nyo Ko agar mengudak lebih kencang.

Dalam pada itu rase yang lain juga terus berlari kian kemari. terkadang sengaja mendekati Nyo Ko. Tapi Nyo Ko tahu binatang kecil itu sengaja mengacau untuk membelokkan perhatiannya, maka dia tidak ambil pusing, yang diudak melulu rase yang satu itu, ia sengaja hendak berlomba lari dengan rase itu agar binatang kecil itu akhirnya kehabisan tenaga.

Tak tahunya rase yang kecil itu ternyata memiliki tenaga yang besar, rupanya iapun tahu sedang menghadapi bencana, maka larinya seperti kesurupan setan tanpa ada tanda2 lelah.

Semakin lari semakin bersemangat Nyo Ko, ketika dilihatnya rase yang lain ingin menolong kawannya dan mendekat lagi untuk mengacau, diam2 ia mengomel akan kenakalan binatang kecil itu. sekenanya ia meraup segenggam salju dan di remas hingga keras menyerupai batu, habis itu terus ditimpukkan dan tepat mengenai kepala rase pengacau itu, kontan binatang itu roboh terjungkal tapi ber-guling-2 beberapa kali rase itu terus berdiri lagi dan lari masuk onggokan kayu rumput tadi dan tidak berani keluar lagi. Rupanya Nyo Ko tidak bermaksud membinasakan rase itu, maka timpukannya tidak keras.

Sebenarnya dengan cara yang sama Nyo Ko dapat merobohkan dan menawan rase yang diu-daknya ini, tapi dia sengaja hendak balapan lari, katanya, "Rase cilik, kalau kurobohkan kau dengan batu salju, matipun kau penasaran, Seorang lelaki sejati harus bertindak secara ksatria, jika aku tidak mampu menyusul kau, maka jiwamu biar kuampuni."

Segera ia "tancap gas" dan meluncur lebih kencang, tahu2 dia sudah berada di depan si rase dan mendadak tangannya meraih untuk menangkapnya. Keruan rase itu terkejut dan melompat ke kanan. Namun Nyo Ko sudah siap, lengan bajunya terus mengebas sehingga rase itu tergulung, tangan kanan lantas pegang kuduk rase itu dan diangkat ke atas, saking gembiranya ia bergelak tertawa.

Tapi belum lenyap suara tawanya, tiba2 dilihatnya rase itu menjadi kaku tanpa bergerak lagi ternyata sudah mati. "Wah, celaka!" keluh Nyo Ko. "Mungkin tenaga kebasanku terlalu keras, rupanya binatang ini sedemikian lemah dan tidak tahan. Entah rase mati dapat digunakan menyembuhkan luka si Su-losam atau tidak?"

Dengan menjinjing rase mati itu ia meluncur kembali ke samping Kwe Yang dan berkata: "Ra-se ini sudah mati, mungkin tak berguna lagi, kita harus menangkap pula rase yang satunya itu."

Berbareng iapun melemparkan rase mati itu ke tanah, tapi iapun tahu sifat rase sangat licik, bisa jadi pura2 mati, maka diam2 iapun sudah bersiap bila rase itu bergerak, segera akan digulungnya kembali dengan lengan baju. Namun rase itu ternyata tidak bergerak sedikitpun tampaknya memang sudah mati betul2.

"Menyenangkan juga bentuk rase kecil ini, matinya mungkin karena terlalu lelah di-uber2," ujar Kwe Yang. Lalu ia jemput sepotong kayu dan berkata pula: "Biar kuhalau rase lain itu supaya ke luar, engkau jaga saja di sini."



Kwe Yang lantas memdekati onggokan kayu rumput itu. Kemudian dihantamkan ke onggokan kayu itu, tapi sekali pukul, untuk menghantam kedua kalinya ternyata tidak mampu lagi, sungguh aneh, seperti melengkat saja kayu yang dipegang Kwe Yang itu tak dapat ditarik kembali, Keruan Kwe Yang berseru kaget dan berusaha membetot sekuatnya, namun tangkai kayu itu malah terlepas dan jatuh ke dalam onggokan kayu dan rumput kering itu.

Menyusul mana, mendadak onggokan kayu-rumput itu tersiak dan tahu2 menerobos keluar seorang nenek beruban dengan muka penuh keriput dan pakaiannya compang-camping.

Dengan bengis nenek itu memandangi Kwe Yang dan tangkai kayu yang dirampasnya itu diangkat dengan lagak hendak memukul si nona.

Kwe Yang terkejut dan cepat melompat mundur ke samping Nyo Ko. pada saat itulah rase yang menggeletak di tanah itu mendadak melompat ke atas dan masuk pelukan si nenek, sepasang matanya yang bundar kecil ber-kilat2 memandangi Nyo Ko, ternyata binatang kecil itu memang benar2 cuma pura2 mati saja.

Melihat itu Nyo Ko menjadi mendongkol dan geli pula, pikirnya: "Sekali ini aku ternyata dikalahkan seekor hewan kecil ini, tampaknya rase kecil ini adalah piaraan nenek ini, Entah siapakah gerangannya nenek ini, rasanya di dunia Kangouw tak pernah terdengar ada seorang tokoh macam begini. Rasanya akan sulit jika menghendaki rase kecil itu."

Segera Nyo Ko memberi hormat dan menya-pa: "Maaf kelancangan Wanpwe masuk ke sini tanpa permisi."

Nenek itu memandangi tangkai kayu di telapak kaki Nyo Ko berdua, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran, namun hanya sekilas saja perasaan itu lantas menghilang, ia melambaikan tangannya dan berkata: "Orang tua mengasingkan diri di tempat terpencil ini dan tidak suka menemui tamu, kalian boleh pergi saja!" suaranya lembut, tapi menyeramkan kedengarannya, di antara mata-alisnya juga menampilkan rasa yang benci kepada sesamanya.

Meski wajah nenek itu kelihatannya serarn, tapi raut mukanya bersih, waktu mudanya jelas seorang wanita cantik, sungguh ia tidak ingat tokoh Kangouw siapakah nenek ini. Segera ia memberi hormat pula dan berkata: "Cayhe mempunyai seorang kawan terluka parah dan harus disembuhkan dengan darah Kiu-bwe-leng-hou, maka- mohon locianpwe sudi memberi bantuan."

"Hahahaha, haha, heheheeee!" mendadak nenek itu ter-bahak2 sambil menengadah, sampai lama sekali ia terkakah dan terkekeh, tapi suara tawanya itu ternyata penuh mengandung rasa pedih dan boleh Sesudah tertawa sekian latna barulah ia berkata:

"Terluka parah dan harus menolongnya, hm? Bagus, tapi mengapa anakku terluka parah dan orang lain sama sekali tidak sudi menolongnya?"

Nyo Ko terkejut, jawabnya: "Entah siapakah putera Locianpwe? Apakah sekarang masih keburu ditolong?"

Kembali nenek itu ter-bahak2, katanya: "Apakah masih keburu ditolong? Dia sudah mati berpuluh tahun, mungkin tulang belulangnya juga sudah menjadi abu, masakah kau bertanya apakah masih keburu ditolong segala?"

Nyo Ko tahu si nenek jadi terkenang kepada kejadian masa lampau sehingga merangsang emosinya, maka ia tidak berani bertanya pula, terpaksa berkata pula: "Memang tidak pantas kami datang begini saja untuk memohon bantuan rase kecil ini, sudah tentu kami tidak ingin menerimanya dengan cuma2, apabila Locianpwe menghendaki sesuatu, asalkan tenagaku mampu mengerjakannya, pasti akan kulaksanakannya dengan baik,"

Nenek itu mengerling sekejap ke arah Kwe Yang, lalu berkata: "Perempuan tua berdiam terpencil di kolam lumpur ini tanpa sanak tanpa kadang, hanya sepasang rase inilah teman hidupku Boleh juga jika kau ingin mengambilnya, tapi nona itu harus ditinggalkan di sini untuk mengawani aku selama sepuluh tahun."

Nyo Ko mengerut kening, belum lagi menja-wab, tiba2 Kwe Yang mendahului berkata dengan tertawa: "Di sini hanya lumpur melulu, kurasa tidak enak hidup di sini, Kalau engkau merasa kesepian, marilah tinggal saja di rumahku, apakah kau ingin tinggal selama sepuluh tahun, ayah-ibuku pasti akan menghormati engkau sebagai kaum locianpwe Lebih baik begitu bukan?"

Tiba2 nenek itu menarik muka dan mendamperat: "Ayah-ibumu itu orang apa? Memangnya begitu saja aku dapat diundang ke sana?"

Watak Kwe Yang memang periang dan sabar, sekalipun orang lain bersikap kasar juga dihadapinya dengan tertawa saja dan jarang marah. Kalau ucapan si nenek yang menyinggung kehormatan Kwe Cing dan Ui Yong ini didengar Kwe Hu, pasti seketika akan menjadi pertengkaran. Tapi Kwe Yang hanya tersenyum saja dan meleletkan lidahnya pada Nyo Ko, lalu tidak bersuara pula.

Betapapun Nyo Ko memuji keramahan nona cilik ini, sedikitpun tidak menimbulkan kesukaran baginya, maka ia balas mengangguk kepada Kwe Yang sebagai tanda memuji, lalu berpaling dan berkata kepada si nenek: "Bahwasanya Locianpwe menyukai adik cilik ini, sebenarnya ini adalah kesempatan bagus yang sukar dicari, cuma sebelum mendapat idzin ayah-bundanya, betapapun Cayhe tak berani mengambil keputusan sendiri."

"Siapa ayah-ibunya? Kau sendiri siapa?" tanya si nenek dengan bengis.

Nyo Ko menjadi gelagapan dan takdapat menjawab tapi Kwe Yang lantas menanggapinya: "Ayah ibuku adalah orang kampung, biar kukatakan juga Locianpwe tidak kenal, sedangkan dia ini. dia, dia adalah Toakokoku!"

Sembari berkata nona itupun memandang kejaran Nyo Ko. Kebetulan saat itu Nyo Ko juga memandang padanya, sorot mata kedua orang kebentrok. Tapi Nyo Ko memakai kedok, air mukanya kaku tanpa emosi, hanya sorot matanya jelas menunjukkan rasa akrab yang menghangatkan perasaan.

Tergerak hati Kwe Yang, terpikir olehnya: "Jika benar aku mempunyai seorang toakoko(ka-kak tertua) seperti ini, tentu dia akan menjaga dan membantu diriku, pasti tidak rewel dan selalu mengomeli aku seperti kakak Hu. gini salah, gitu salah, ini dilarang, itu tidak boleh." Berpikir sampai disini, air mukanya lantas penuh rasa hormat dan kagum kepada Nyo Ko.

Didengarnya Nyo Ko lantas berkata: "Ya, adik ku yang kecil ini tidak tahu urusan, maka kubawa dia keluar cari pengalaman Ketika dilihatnya Kiu-bwe-leng-hou ini sangat aneh dan menarik, dia tahu pasti binatang piaraan oaang kosen angkatan tua, sebab itulah dia minta Wanpwe membawanya berkunjung ke sini dan sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan Locianpwe."

"Hm kalian menguber dan memukuli rase piaraanku, apakah begini caranya kalian menghormati kaum Cianpwe?" jengek nenek itu, "Hayo, lekas enyah dari sini dan selamanya jangan menemui aku lagi!"

Habis itu kedua tangannya terus mengebas ke depan, tangan yang satu mendorong ke arah Nyo Ko dan tangan lain mendorong Kwe Yang.

Jarak mereka ada dua-tiga meter jauhnya, sodokan tangan nenek itu jelas tak dapat mencapai tubuh Nyo Ko berdua, tapi tenaga pukulannya ternyata keras dan keji, serentak Kwe Yang merasakan angin dingin menyampuk tiba.



Tapi lengan baju Nyo Ko sempat bergerak sehingga angin pukulan si nenek dapat dipatahkan, sebaliknya tenaga pukulan yang ditujukan kepadanya itu sama sekali tidak dielakkannya.

Sebenarnya nenek itupun tidak bermaksud mencelakai Nyo Ko berdua, ia hanya ingin mengusir mereka saja. sebab itulah hanya separoh tenaganya saja yang digunakan. Tapi dilihatnya kedua orang itu ternyala tidak bergeming sama sekali, mau-tak mau ia terkejut dan gusar pula.

Segera ia himpun tenaga, kembali kedua tangan menyodok ke depan dengan lebih kuat, kini ia tidak pedulikan lagi mati- hidup pihak lawan.

Ketika merasakan angin pukulan nenek itu menyamber tiba, dada Kwe Yang terasa sesak, namun lengan baju Nyo Ko mengebas lagi sehingga serangan si nenek di patahkan pula, ia tahu Nyo Ko dan nenek itu sedang mengadu tenaga dalam, tampaknya si nenek menjadi beringas dan menakutkan sebaliknya Nyo Ko berdiri tenang2 saja, jelas berada di atas angin alias lebih unggul.

Se-konyong2 si nenek berkelebat maju, gerakannya sungguh cepat luar biasa, "BIang" dengan tepat dan keras kedua tangannya menghantam dada Nyo Ko. Sekali menyerang segera nenek itu melompat mundur pula tanpa memberi kesempatan Nyo Ko untuk balas menyerang.


Keruan Kwe Yang terkejut, cepat ia menarik tangan Nyo Ko dan bertanya: "Ap.... apakah engkau terluka?"

Si nenek lantas berteriak bengis: "Dia sudah terkena pukulanku "Han-im-cian" (tenaga panas dingin), ajalnya takkan lebih lama daripada satu hari saja, dia menerima ganjarannya karena perbuatannya sendiri dan takdapat menyalahkan orang lain."

Dengan ilmu silat Nyo Ko 15 tahun yang lalu saja tak dapat ditandingi oleh si nenek, apalagi sekarang luar-dalamnya sudah tergembleng sedemikian sempurna, betapapun lihaynya tenaga pukulan si nenek juga takdapat melukainya.

Soalnya Nyo Ko tiada permusuhan apapun dengan si nenek kedatangannya ini juga ingin memohon barang kesayangan orang tua itu, maka dia sengaja membiarkan si nenek menyerang tiga kali tanpa balas menyerang.

Selama likuran tahun nenek itu giat berlatih ilmu pukulan "Han im cian" dan sekaligus sudah dapat menghancurkan 17 potong bata dalam keadaan luar utuh dan dalam remuk, tapi kini jelas Nyo Ko terkena pukulannya dengan telak, ia yakin orang pasti akan remuk isi perutnya, tapi lawan justeru tetap berdiri tenang dan tertawa seperti tidak terjadi sesuatu, ia pikir bocah ini benar2 kepala batu, sudah dekat ajal masih berlagak gagah, segera ia berkata:

"Mumpung belum roboh binasa, lekas kau pergi membawa anak dara ini dan jangan sampai mampus ditengah tambakku ini."

Nyo Ko mendongak dan berseru lantang. "Hahaha, rupanya sudah lama Locianpwe menyepi di tempat terpencil begini, tentunya Locianpwe tak dapat membayangkan betapa kemajuan ilmu silat di dunia ini." Habis berkata ia sengaja bergelak tertawa, suara tertawanya nyaring keras menggelegar dengan tenaga dalam yang kuat.

Mendengar suara Nyo Ko itu, si nenek tahu orang ternyata tidak mengalami luka sedikitpun, seketika mukanya menjadi pucat, tubuhnya sempoyongan baru sekarang ia menyadari bahwa Nyo Ko sengaja membiarkan diserang tiga kali, kalau bicara kepandaian sejati, jelaslah dirinya bukan tandingannya.

Tiba2 si nenek angkat rase kecil dalam pelukannya itu, lalu ia bersuit, rase yang lain juga lantas menerobos keluar dari onggokan rumput dan melompat ke dalam pangkuan si nenek, Lalu ia ber-kata: "Kepandaianmu memang hebat, sungguh aku sangat kagum. Tapi kalau engkau ingin merebut rase ini secara kekerasan, hm, jangan kau harap. Asalkan kau melangkah maju setindak, seketika ku cekik mati kedua ekor rase ini agar kau datang dan pergi dengan bertangan hampa."

Melihat sikap dan ucapan si nenek yang tegas dan pasti itu, Nyo Ko tahu watak orang tua itu sangat keras dan kaku, biarpun mati juga tidak mau menyerah. Mau-tak-mau ia menjadi serba susah, kalau mendadak menubruk maju dan menutuk Hiat-to si nenek, lalu merebut rase, rasanya si nenek bisa membunuh diri saking gusarnya, jika demikian jadinya, maka biarpun Su Siok kang dapat diselamatkan tapi harus korbankan jiwa orang lain.

Selagi Nyo Ko merasa ragu2, tiba2 dari jauh sana berkumandang suara orang menyebut: "0mi tohud!" Menyusul orang itu berkata: "Loceng (paderi tua) It-teng mohon berjumpa, sudilah kiranya Eng koh menemuinya!"

Kwe Yang memandang sekeliling tambak, tapi tidak tampak seorangpun padahal suara orang itu tidak begitu keras, jelas datang dari tempat dekat saja, namun sekitar situ jelas tiada tempat bersembunyi, lalu berada di manakah orang yang bersuara itu?"

Dia pernah mendengar cerita dari ibunya bahwa Ii-teng Taysu adalah tokoh angkatan tua, pernah menolong jiwa ibunya, juga terhitung kakek guru kedua saudara Bu, hanya selama ini paderi sakti itu belum pernah dilihatnya. Kini tiba2 didengarnya ada orang menyebut "lt-teng", tentu saja ia terkejut dan bergirang.

Nyo Ko juga sangat gembira mendengar suara It-teng, ia tahu yang digunakan it-teng Taysu adalah Lwekang maha sakti, yaitu ilmu menyiarkan gelombang suara dari tempat beberapa li jauhnya, semakin tinggi Lwekangnya, semakin halus pula suaranya sehingga mirip orang bicara dari dekat saja.

Kagum sekali mendengar suara It-teng Taysu yang luar biasa itu, betapapun ia merasa tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi paderi sakti itu, pikirnya pula: "Kiranya nenek ini bernama Eng~koh. Entah ada urusan apa It teng Taysu ingin menemui-nya? jika paderi itu suka tampil ke muka, mungkin sekali rase ini akan bisa diperoleh."

Kiranya nenek penghuni Hek-liong-tam ini memang betul bernama Eng-koh. Sewaktu masih menjadi raja negeri Tayli, aslinya It-teng Taysu she Toan dan terkenal sebagai tokoh Raja di Selatan di dunia Kangouw.

Sebagai raja, sudah tentu cukup banyak selir-nya, Eng-koh adalah salah satu selir kesayangannya ketika itu, Tapi suatu waktu Toan-hongya (raja Toan) kedatangan tamu yang terkenal, yaitu Ong Tiong-yang dari Coan-cin-kau beserta Sutenya, yakni si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.

Mungkin sudah suratan nasib, selama tinggal beberapa lama di negeri Tayli, dasar watak Ciu Pek-thong memang suka keluyuran, maka secara kebetulan dia pergoki Eng-koh sedang berlatih silat (ajaran Toan-hongya), karena sifatnya yang jahil dan tidak sirik mengenai adat lelaki dan perempuan, Ciu Pek-thong telah mendekati Eng-koh dan mengajaknya ngobrol tentang ilmu silat (Ciu Pek-thong itu memang orang yang keranjingan ilmu silat).

Bicara punya bicara, akhirnya keduanya jatuh cinta dan "ada main" serta membuahkan seorang anak laki2.

Ketika Toan-Hongya kedatangan musuh, yaitu Kiu Jian-yim yang kemudian terkenal sebagai Cu-in Hwesio, secara licik Kiu Jian-yim telah melukai anak haram hasil "semokel" antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh itu, tujuannya untuk memaksa Toan-hongya menyelamatkan orok itu dengao It-yang-ci, dengan demikian tenaga dalamnya terpaksa harus dikorbankan dan sukar dipulihkan dalam waktu singkat, pada saat demikian Kiu Jian-yim yakin pasti dapat mengalahkan Toan-hongya.



Tak terduga tipu muslihatnya ternyata diketahui Toan-hongya, pula dia cemburu karena hubungan gelap Eng-koh dengan Ciu Pek-thong itu, maka dia bertekad tidak mau menolongnya, akhirnya anak itupun mati.

Toan-hongya sangat menyesal, akibatnya ia cukur rambut dan menjadi Hwesio dengan gelar It-teng. Kematian anaknya sudah tentu membuat Eng-koh juga sakit hati dan merana, ia terus minggat dari negeri Tayli, suatu ketika di puncak Hoa-san dipergokinya Kiu Jian-yim, tapi tidak berhasil membunuhnya, iapun bertemu dengan Ciu Pek-thong dan ingin bicara dengan dia, tapi asal melihat bayangan Eng-koh seketika si Anak Tua Nakal itu kabur lebih dulu, soalnya dia malu dan merasa ber-dosa, maka tidak berani menemui bekas kekasih itu. Eng-koh lantas mengembara tanpa tujuan dan akhirnya menetap di Hek-liong-tam ini.

Sebenarnya sudah belasan hari It-teng Taysu berada di tepi Hek- liong-tam dan setiap hari selalu berseru untuk mohon bertemu, Namun Eng-koh masih sakit hati karena dahulu bekas raja Tayli itu tega tidak mau menolong jiwa anaknya, maka dia tetap tidak mau menemuinya.

Begitulah Eng-koh tampak lesu dan mundur berduduk di atas onggokan kayu, sorot matanya kelihatan dendam dan benci.

Selang tak lama, terdengar It-teng berseru pula: "Dari jauh It-teng datang ke sini, hanya untuk mohon bertemu sejenak dengan Eng-koh."

Namun Eng-koh tetap tidak menggubrisnya.

Nyo Ko menjadi heran, ia pikir kepandaian It-teng jauh lebih tinggi daripada Eng-koh, kalau dia mau menemuinya ke sini toh nenek ini tak dapat menolaknya, mengapa dia mesti memohon dari kejauhan?

Dalam pada itu terdengar It-teng berseru memohon lagi, setelah Eng-koh tetap tidak memberi jawaban, lalu tidak diulangi lagi, suasana kembali sunyi.

"Toakoko," kata Kwe Yang, "It-teng Taysu itu adalah tokoh yang luar biasa, maukah kita ke sana menemuinya?"

"Baik, memangnya aku ingin menemui beliau,"

"jawab Nyo Ko.

Terlihat Eng-koh berbangkit pelahan dengan sorot mata bengis, meski Nyo Ko merasa tidak gentar padanya, tapi tidak enak juga perasaannya melihat sikap orang ini, Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan berkata: "Marilah pergi!" Sekali melayang, segera kedua orang meluncur ke tengah tambak.

Setelah berpuluh meter di bawa meluncur Nyo Ko, Kwe Yang lalu bertanya: "Toakoko, berada di manakah Taysu? suaranya seperti berada di sebelah sini saja."

Dua kali Nyo Ko dipanggil "Toakoko" dengan suara yang halus dan mesra, hatinya terkesiap juga pikirnya "Cintaku kepada Liong-ji suci murni dan tak mungkin bergoyah, betapapun aku tidak boleh terjerumus lagi kejaringan asmara.

Usia nona cilik ini masih muda dan ke-kanak2an, ada lebih baik selekasnya berpisah dengan dia agar tidak menimbulkan hal2 yang tidak diharapkan" - Akan tetapi berada di atas lumpur bcrselimutkan salju itu, sedetikpun tidak boleh berhenti, lebih2 tidak mungkin mengendurkan pegangannya pada tangan si nona.

"Toakoko", kembali Kwe Yang berkata, "ku-tanya kau, apakah engkau tidak mendengar."

"lt-teng Taysu berada di timur laut sana, kira2 dua-tiga li dari sini," jawab Nyo Ko. "Suaranya kedengarannya dekat, tapi sebenarnya berada cukup jauh. dia menggunakan ilmu jian-li-toan- im" (me-ngirim gelombang suara dari jauh)."

"He, apakah engkau juga mahir ilmu itu?" tanya Kwe Yang. "Maukah engkau mengajarkan padaku? Kelak kalau kita berpisah di tempat jauh agar akupun dapat bicara denganmu dengan ilmu itu, kan menyenangkan bukan?"

"Namanya saja mengirim gelombang suara dari jauh, sebenarnya kalau dapat mencapai dua-tiga li sudah luar biasa," ujar Kwe Yang dengan tertawa, "Untuk mencapai kepandaian setingkat lt-teng Taysu, biarpun secerdas kau juga harus berlatih hingga rambut ubanan."

Kwe Yang sangat senang karena orang memuji-nya cerdas, katanya pula: "Ah, aku ini cerdas apa? Kalau aku mempunyai dua bagian kecerdasan ibuku saja aku sudah merasa puas."

Tergerak hati Nyo Ko, dari raut muka si nona ia melihat samar2 ada beberapa bagian menyerupai Ui Yong, Pikirnya: "Tokoh2 yang kukenal selama hidup baik lelaki maupun perempuan, kalau bicara tentang kepintaran dan kecerdasan rasanya tiada orang lain yang mampu menandingi Kwe pekbo, apakah mungkin nona cilik ini adalah puteri bibi Kwe?"

Tapi segera ia tertawa geli sendiri dan anggap jalan pikirannya itu terlalu meng-ada2, masakah di dunia ini bisa terjadi sedemikian kebetulan? Kalau benar nona ini puteri Kwe-pekbo, mana mungkin paman dan bibi Kwe membiarkannya berkeliaran di Iuaran. Maka ia coba bertanya kepada Kwe Yang: "Siapakah ibumu?"

"lbu ya ibu, meski kukatakan juga kau tidak kenal," jawab Kwe Yang dengan tertawa "Eh, Toa-koko, kepandaianmu lebih tinggi atau kepandaian It-teng Taysu lebih tinggi?"

Usia Nyo Ko sekarang sudah mendekati setengah baya, iapun kenyang mengalami gemblengan kehidupan dan merasakan betapa pahit getirnya sejak berpisah dengan Siao-liong-Ii, walaupun semangat ksatrianya tidak berkurang, tapi sifat dugal-nya di masa mudanya sudah hampir lenyap seluruhnya, Maka ia menjawab: "lt-teng Taysu sangat terhormat di dunia persilatan, berpuluh tahun yang lalu namanya sudah sama tingginya dengan Tho-hoa tocu dan lain2, beliau adalah Lam-te (raja di selatan), yaitu satu diantara lima tokoh terkemuka di jaman itu, mana aku dapat dibandingkan beliau."

"Wah, jika begitu, kalau engkau dilahirkan lebih dini beberapa puluh tahun yang lalu, tentu tokoh tertinggi waktu itu bukan lagi lima orang, tapi enam jadinya. Konon mereka disebut Tang-sia Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, lalu engkau berjuluk apa? Ah, pasti juga Sin-tiau-tayhiap. Oya, masih ada lagi Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin."

Nyo Ko bertanya pula: "Apakah kau pernah melihat Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin?"

"Sudah tentu aku pernah melihat mereka, malahan mereka sangat sayang padaku," sahut Kwe Yang, "Eh, Toakoko, apakah engkau juga kenal beliau2 itu? Nanti kalau urusan di sini sudah beres2 maukah kita pergi menyambangi mereka?"

Nyo Ko benci pada Kwe Hu yang telah membuntungi lengannya, setelah lewat sekian tahun, rasa benci itu semakin menipis. Tapi Siao-liong-li mengidap racun dan terpaksa harus berpisah 16 tahun, persoalan ini takdapat tidak membuatnya sangat dendam kepada Kwe Hu. Maka dengan hambar saja ia menjawab: "Tahun depan bisa jadi aku akan berkunjung kepada Kwe-tayhiap dan isterinya, tapi harus tunggu dulu setelah kuberjumpa dengan isteriku dan kami berdua akan pergi ke sana bersama."

Begitu menyebut Siao-Iiong-li, tanpa terasa timbul hasratnya yang menyala, Kwe Yang dapat merasakan telapak tangan Nyo Ko yang mendadak menjadi panas. Segera ia bertanya pula. "lsterimu tentu sangat cantik dan ilmu silatnya pasti pula sangat tinggi."

"Kukira di dunia ini tiada orang lain yang lebih cantik daripada dia," kata Nyo Ko. "Bicara tentang ilmu silat, saat ini dia tentu juga melebihi diriku."

Kwe Yang menjadi sangat hormat dan kagum, katanya: "Toakoko, engkau harus membawa diriku menemui isterimu, maukah kau berjanji?"



"Mengapa tidak?" ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kuyakin nyonyaku juga pasti suka padamu, Saat mana barulah kau benar2 memanggil aku Toakoko."

"Apakah sekarang aku tidak boleh memanggil demikian padamu?" t mya Kwe Yang dengan melenggak.

Karena sedikit merandek itulah, sebelah kakinya lantas kejeblos ke dalam lumpur, Untung Nyo Ko lantas menariknya melompat jauh ke depan. Tertampaklah di kejauhan sana berdiri seorang dengan jenggot panjang dengan memakai jubah paderi warna kelabu, siapa lagi kalau bukan It- teng Taysu.

Segera Nyo Ko berseru: "Tecu Nyo Ko memberi hormat kepada Taysu!" Sambil menarik Kwe Yang sekaligus ia meluncur ke depan paderi sakti itu.

Tempat berada It teng itu di tepi kolam lumpur Hek-liong-tam itu, ia menjadi girang ketika mendengar nama Nyo Ko. maka ia lantas membangunkannya ketika Nyo Ko datang menyembah padanya, katanya dengan tertawa"

"Baik2kah selama ini, saudara Nyo? Pesat amat kemajuan ilmu sakti-mu, sungguh menggembirakan dan mengagumkan."

Waktu Nyo Ko berbangkit dilihatnya di belakang It-teng sana menggeletak seorang dengan muka pucat lesi seperti mayat, ia melengak. Ketika ia awasi, kiranya Cu~in Hwesio adanya.

"Kenapakah Cu-in Taysu?" tanya Nyo Ko terkejut.

"Dia dilukai orang, meski sudah kutolong sepenuh tenaga tetap sukar menyembuhkan dia," tutur It-teng menyesal.

Nyo Ko coba mendekati Cu-in dan memeriksa nadinya, terasa denyutnya amat Iemah, lama sekali barulah berdenyut pelahan sekali, kalau saja Lwe kang Cu-in tidak kuat, mungkin sudah lama menghembuskan napas penghabisan.

"Kepandaian Cu-in Taysu sedemikian tinggi, entah siapakah yang mampu melukainya?" tanya Nyo Ko heran.

"Kami bermaksud pulang ke Tayli waktu itu karena ada kabar bahwa pasukan Mongol ada maksud menyerbu ke daerah selatan," tutur It-teng. "Sebelum berangkat, Cu-in telah keluar untuk mencari keterangan keadaan, di tengah jalan kepergok seorang dan mereka bertempur selama tiga-hari-tiga-malam, akhirnya Cu in terluka parah."

"Ah, kiranya keparat Kim-lun Hoat-ong datang ke Tionggoan lagi," ujar Nyo Ko sambil membanting kaki ke tanah.

"He, Toakoko, darimana engkau mengetahui orang itu ialah Kim-lun Hoat-ong?" tanya Kwe Yang heran, "padahal It-teng Taysu tidak menyebut dia."

"lt-teng Taysu bilang mereka bertempur selama tiga-hari-tiga-malam, maka jelas luka Cu-in bukan disergap musuh yang licik," jawab Nyo Ko. "Di dunia ini, orang yang mampu melukai Cu-in Taysu rasanya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, dan di antaranya beberapa orang ini hanya Kim-lun Hoat-ong saja tergolong orang jahat."

"Toakoko, lekas engkau mencari bangsat itu dan hantam dia untuk membalaskan sakit hati Toahwesio ini," ujar Kwe Yang.

Tiba2 Cu-in yang menggeletak dengan kempas-kempis di tanah itu membuka matanya sedikit dan menggeleng pelahan kepada Kwe Yang.

"Kenapa? Memangnya kau tidak ingin membalas dendam?" tanya Kwe Yang heran, "Ah, barangkali maksudmu Kim-lun Hoat-ong itu terlalu lihay dan kuatir Toakoko tak dapat menandingi dia?"

"Kau salah sangka, nona cilik," sela It-teng. "Soalnya muridku ini telah banyak berbuat dosa, selama belasan tahun ini dia berusaha menebus dosanya itu dan ternyata tak pernah tercapai, hal inilah selalu mengganjal hatinya dan membuatnya matipun tidak tenteram. Jadi bukan maksudnya ingin orang membalaskan sakit hatinya, tapi justeru mengharapkan pengampunan dari seseorang agar dia dapat mangkat dengan hati tenteram."

"Apakah nenek di kolam lumpur ini yang dia inginkan?" tanya Kwe Yang, "Hati nenek ini sangat keras, jika bersalah padanya, tidak nanti dia mengampuni orang begitu saja."

"Justeru begitulah," kata It-teng dengan menghela napas, "Kami sudah memohonnya di sini selama tujuh-hari-tujuh-malam dan sama sekali dia tidak mau menemui kami."

Tiba2 hati Nyo Ko tergerak, teringat olehnya ucapan si nenek tentang anaknya yang terluka dan orang yang dimintai pertolongan tidak mau menyembuhkannya itu. Segera ia bertanya: "Apakah berhubungan dengan anaknya yang terluka dan tak tertolong itu?"

Badan It-teng tampak bergetar, sahutnya sambil mengangguk: "Ya, kiranya kaupun sudah tahu?"

"Tecu tidak tahu," jawab Nyo Ko. "Cuma tadi Locianpwe di tengah kolam itu menyinggungnya sedikit." Lalu iapun mengisahkan pengalaman-nya bertemu dengan si nenek tadi.

"Dia bernama Eng-koh," tutur It-teng pula, "dahulu ialah isteriku. wataknya memang keras. Ai, kalau tertunda lebih lama lagi mungkin Cu in tidak tahan."

Seketika timbul macam2 tanda tanya dalam benak Kwe Yang, tapi ia tak berani bertanya.

Dengan gegetun Nyo Ko lantas berkata: "Setiap orang tentu pernah berbuat salah, kalau menyadari salahnya, maka apa yang sudah lampau bisalah dianggap selesai, Rasanya jiwa Eng-koh ini juga teramat sempit." - Dilihatnya ajal Cu-in sudah dekat, seketika timbul jiwa ksatrianya yang ingin menolong, segera ia menambahkan: "Taysu, maafkan jika Tecu memberanikan diri memaksa Engkoh keluar ke sini."

It-teng termenung sejenak, ia pikir kedatangannya dengan Cu-in ini adalah untuk minta ampun kepada Eog-koh, rasanya tidak pantas memakai kekerasan. Tapi permohonan dengan sopan sudah sekian lamanya dan Eng-koh tetap tidak mau menemuinya, tampaknya kalau tetap memohon begitu saja juga percuma. jika Nyo Ko mempunyai caranya sendiri, rasanya boleh juga dicoba, seumpama tidak berhasil, paling2 juga cuma gagal bertemu saja, Maka ia lantas menjawab:

"Jika Nyo heng dapat membujuknya keluar, tentu segala persoalan menjadi beres, cuma sebisanya jangan sampai menimbulkan sengketa baru sehingga malah menambah dosa mereka."

Nyo Ko mengiakan, Lalu ia merobek sapu-tangan menjadi empat potong, dua potong digunakan, menyumbat telinga Cu in, dua potong lain di si nona menyumbat lubang kupingnya, Habis itu ia lantas menghimpun tenaga dalam dan minta maaf dulu kepada It-teng lalu ia menengadah dan mengeluarkan suara nyaring panjang.

Suara suitannya ini muIa2 nyaring bening dan berkumandang jauh, lama2 suaranya berubah melengking tajam, lalu berubah keras gemuruh laksana bunyi guntur. Meski kupingnya sudah disumbat kain, tidak urung muka Kwe Yang berubah pucat karena getaran suara yang membuat jantungnya ber-debar2.

Suara gemuruh itu terus berlangsung secara bergelombang sehingga mirip deburan ombak samudera, Kwe Yang merasa dirinya seperti berdiri di tanah lapang dan guntur terus berbunyi mengelilinginya, ia menjadi takut dan gelisah. "Toakoko, lekas berhenti, aku tidak tahan," teriaknya.

Akan tetapi suaranya ternyata tenggelam di tengah suitan Nyo Ko yang hebat itu, bahkan ia sendiri tidak mendengar apa2, terasa pikiran menjadi linglung dan pandangan kabur, Untung pada saat itulah It-teng telah mengulurkan tangannya untuk memegangi telapak tangan Kwe Yang. segera terasalah hawa hangat tersalur dari tangan paderi sakti itu.

Tahulah dia paderi sakti itu sedang membantunya dengan tenaga dalamnya yang kuat, Segera iapun memejamkan mata dan mengerahkan tenaga dalam sendiri. Sejenak kemudian, meski suara gemuruh tadi masih tetap memekak telinga, namun pikirannya sudah tidak bergolak lagi.

Setelah bersuit panjang sekian lamanya, ternyata Nyo Ko tetap bersemangat dan kuat, sedikitpun tiada tanda2 lelah. Diam2 It-teng merasa kagum, ia merasa semasa mudanya dahulu juga tidak sekuat Nyo Ko sekarang ini, apalagi kini usianya sudah lanjut, jelas takdapat dibandingkan anak muda itu.

Selang tak lama, tertampaklah sesosok bayangan meluncur dari Hek liong tam sana. Sekali Nyo Ko mengebaskan lengan bajunya, suara suitan lantas berhenti.

Baru saja Kwe Yang menghela napas lega dan belum lagi pulih air mukanya, terdengar bayangan orang tadi berseru melengking dan jauh: "Toan~hongya, caramu malang melintang memaksa aku keluar, sebenarnya ada urusan apa?"

"Adik Nyo inilah yang mengundang kau," jawab It-teng.

Tengah bicara, tahu2 bayangan orang tadi sudah mendekat. Siapa lagi kalau bukan Eng koh. Dia menjadi ragu2 mendengar jawaban It-teng ttu, ia heran di dunia ini kecuali Toan-hongya ternyata ada lagi yang memiliki kekuatan sehebat ini padahal orang yang mukanya sukar diketahui dengan pasti ini berambut hitam, umurnya paling banyak juga belum ada 40 tahun, tapi Lwekangnya ternyata selihay ini, sungguh luar biasa dan mengagumkan.

Sebenarnya Eng-koh bertekad tidak mau menemui Toan-hongya alias It-teng Taysu, tapi suara Nyo Ko tadi telah membuatnya gelisah, ia tahu jika dirinya tidak keluar, sekali tenaga dalam orang dikerahkan, maka pikirannya pasti akan terguncang dan mungkin sekali akan roboh dan terluka dalam. Karena itulah terpaksa ia keluar walaupun dengan sikap ogah2an.

"lni, rase ini kuberikan padamu, anggaplah aku menyerah padamu dan lekas pergi dari sini," kata Eng-koh kepada Nyo Ko dengan rasa dongkol. Habis itu dia pegang leher seekor rasenya terus hendak dilemparkan ke arah Nyo Ko.

"Nanti dulu," seru Nyo Ko, "urusan rase adalah soal kecil, ada urusan penting yang hendak dibicarakan It-teng Taysu, harap engkau suka mendengarkannya."

Eng-koh memandang It-teng dengan sikap dingin, katanya: "Baiklah, silakan Hongya memberitahu."

"Kejadian di masa lampau laksana impian belaka, sebutan diwaktu dahulu buat apa digunakan lagi?" ujar It-teng dengan gegetun. "Eng-koh, apakah kau masih kenal dia?" - Berbareng iapun menuding Cu-in yang menggeletak di tanah itu.

Kini Cu-in memakai jubah Hwesio, bahkan mukanya sudah banyak berbeda daripada pertemuan di Hoa-san lebih 30 tahun yang lalu, Maka hakikatnya Eng-koh sudah pangling, katanya setelah memandang sekejap ke arah Cu-in: "Mana ku kenal Hwesio ini?"

"Dahulu siapakah yang menyerang anakmu dengan cara keji?" tanya lt-teng.

Seketika tubuh Eng-koh gemetar, air mukanya berubah pucat, lalu berubah menjadi merah, katanya dengan suara ter-putus2: "Jadi...... jadi dia ini bangsat Kiu Jian-yim itu? Biarpun... biarpun tulang belulangnya menjadi abu juga tetap kukenali.

"Kejadian itu sudah berpuluh tahun yang lalu dan kau masih tetap dendam dan tidak melupakannya," ujar It-teng dengan menghela napas. "Orang ini memang betul Kiu Jian-yim. Sedangkan mukanya saja kau pangling, tapi dendam lama itu belum pernah kau hipakan."


Mendadak Eng-koh menubruk ke sana, kesepuluh jarinya laksana kaitan terus hendak ditancapkan ke dada Cu-in, ia coba meng-amat2i wajahnya, samar2 ia merasa rada mirip Kiu Jian-yim, tapi setelah diawasi lebin teliti, rasanya seperti bukan. Kedua pipi paderi ini cekung dan menggeletak tak bergerak, tampaknya sudah tiga perempat mati.

"Apakah orang ini benar2 Kiu Jian-yim," teriak Eng-koh bengis, "Untuk apa dia menemui aku?"

"Dia memang betul Kiu Jian yim," kata It-teng"

"Dia merasa dosanya terlalu besar dan sudah memeluk agama Buddha serta menjadi muridku, nama agamanya ialah Cu-in."

"Hm, setelah berbuat dosa, dengan menjadi Hwesio lantas segala dosanya akan punah, pantas di dunia ini tambah banyak orang menjadi Hwesio," jengek Eng-koh.

"Dosa tetap dosa, mana mungkin ditebas dengan menjadi Hwesio?" ujar It-teng. "Kini Cu-in terluka parah, ajalnya tinggal beberapa saat saja, teringat olehnya, dosanya mencelakai anakmu, dia merasa tidak tenteram, maka sekuatnya ia bertahan hembusan napas terakhir dan dari jauh datang kesini untuk memohon ampun padamu atas dosanya."



Dengan mata melotot Engkoh memandangi It-teng hingga lama sekali, wajahnya mengunjuk penuh rasa dendam dan benci, se-akan2 seluruh duka derita selama hidupnya ingin dilampiaskannya dalam sekejap ini.

Melihat air muka Eng-koh yang menyeramkan itu, Kwe Yang menjadi takut. Terlihat kedua tangan Eng-koh telah diangkat dan segera akan dijatuhkan atas tubuh Cu-in. walaupun merasa takut tapi dasar pembawaan Kwe Yang memang berbudi luhur, segera ia membentak: "Nanti dulu! Dia sudah tak bisa berkutik, tapi kau hendak menyerangnya pula. sebab apa kau tega berbuat demikian?"

"Hm, dia membunuh anakku, selama berpuluh tahun aku menanti dengan menderita dan akhirnya aku dapat mencabut jiwanya dengan tanganku sendiri walaupun rasanya sudah agak terlambat tapi kau masih bertanya sebab2nya?" jengek Eng-koh.

"Kalau dia sudah menyadari kesalahannya dan mengaku berdosa, kejadian yang sudah lampau, buat apa di-ungkat2 lagi?" ujar Kwe Yang.

"Hehehehe!" Eng-koh terkekeh sambil menengadah. "Enak saja kau bicara, anak dara, Coba jawab andaikan yang dibunuhnya adalah anakmu, lalu bagai mana?"

"Dari... darimana aku mempunyai anak?" jawab Kwe Yang gelagapan.

"Atau yang dibunuhnya adalah suamimu, ke-kasihmu, atau Toakokomu ini?" jengek Eng-koh pula.

Muka Kwe Yang menjadi merah, katanya: "Ngaco-be!o! Dari... darimana datangnya suami atau kekasihku?"

Makin bicara makin meluap rasa gusar Eng-koh, mana dia tak mau banyak omong lagi, sambil menatap Cu-in segera tangannya hendak menghantam ke bawah. Tapi mendadak terlihat Cu-in menghela napas dengan menyungging senyum dan berkata dengan perlahan: "Terima kasih Eng-koh sudi menyempurnakan diriku."

Eng-koh jadi melengak dan pukulannya tidak jadi diteruskan, bentaknya: "Menyempurnakan apa katamu?"

Tapi segera ia paham maksud orang, rupanya Cu-in yakin pasti dirinya mati, maka dia ingin diberi satu pukulan agar dapat mati di tangannya, jadi pukulan yang dahulu pernah menewaskan anaknya telah dibalas dengan pukulan maut pula, dengan begitu dosanya menjadi tertebus.

Dengan tertawa dingin Engkoh lantas berkata. "Masakah begini enak bagimu? Aku takkan membunuh kau, tapi akupun tak pernah mengampuni kau!" Kalimat2 ini diucapkan dengan tegas dan seram sehingga membuat orang mengkirik.

Nyo Ko tahu watak It-teng Taysu welas asih dan tidak mungkin bersitegang dengan bekas selirnya itu, sedangkan Kwe Yang adalah anak kecil, apa yang dikatakan tentu tidak mendapat perhatian Eng-koh, kalau dirinya tidak ikut campur tentu urusan ini takkan beres.

Maka dengan ketus ia lantas berkata: "Eng-locianpwe, persoalan suka-duka di antara kalian sebenarnya tidak jelas bagiku, hanya saja ucapan dan tindak-tanduk cianpwe terasa agak keterlaluan bagiku, betapapun aku menjadi ingin ikut campur tangan urusan ini."

Eng-koh berpaling dengan terkesiap, dia sudah pernah bergebrak dengan Nyo Ko, dari suara suitan-nya tadi iapun tahu kepandaian orang ini jauh di atasnya dan tidak mungkin ditandingi. Sungguh tak terduga dalam keadaan demikian ada orang tampil ke muka dan main kekerasan padanya setelah dipikir dan pikir lagi, tanpa terasa ia menjadi sedih dan merasa nasibnya teramat tidak beruntung, terus saja ia duduk mendeprok dan menangis ter-gerung2.

Tangisnya Eng-koh ini tidak saja membuat bingung Nyo Ko dan Kwe Yang, bahkan juga di luar dugaan It-teng Taysu.

Terdengar Eng-koh menangis sambil mengomeli "Kalian ini bertemu dengan aku, cara halus tidak dapat lantas memakai kekerasan, tapi orang itu tidak mau menemui aku, kenapa kalian tidak ambil pusing?"

"He, Locianpwe, siapakah yang tidak mau bertemu dengan kau?" tanya Kwe Yang cepat "Bagaimana jika kami membantu kau?"

Tanpa menjawab Eng-koh melanjutkan keluhannya: "Kalian hanya dapat menganiaya kaum wanita macam diriku, kalau ketemu tokoh yang besar2 lihay masakah kalian berani mengutiknya?"

Kwe Yang lantas menanggapi lagi: "Anak kecil seperti diriku sudah tentu tak berguna, tapi di sini sekarang kan ada It-teng Taysu dan Toakoko-ku, memangnya kita ikut kepada siapa?"

Eng-koh termenung sejenak, mendadak ia berbangkit dan berseru: "Baik, asalkan kalian mencari dia dan membawanya ke sini untuk menemui aku dan biarkan dia bicara sebentar dengan aku, maka apapun kehendak kalian, ingin rase atau minta aku berdamai dengan Kiu Jian-yim, semuanya kuterima."

"Eh, Teakoko, apakah transaksi ini dapat diterima?" tanya Kwe Yang kepada Nyo Ko.

"Siapakah yang ingin cianpwe temui, masakah begitu sulit?" tanya Nyo Ko.

"Boleh kau tanya dia." jawab Engkoh sambil menuding It-teng Taysu.

Sekilas melihat air muka bersemu merah, Kwe Yang menjadi heran, masakah sudah tua begitu masih bisa malu2 seperti anak perawan.

Melihat Nyo Ko dan Kwe Yang sama menatap ke arahnya, dengan pelahan It-teng lantas menutur: "Yang dia maksudkan adalah Ciu-suheng, Lo-wan-tong Ciu Pek-tong."

"Ah, kiranya Lowantong yang dimaksudkan," seru Nyo Ko girang, "Dia sangat baik padaku, biarlah kupergi mencari dan membawanya ke sini untuk menemuinya."

"Namaku Eng-koh, kau harus katakan jelas2 kepadanya bahwa dia akan dibawa ke sini menemui aku," kata Eng-koh. "Kalau tidak, begitu melihat bayanganku segera dia kabur dan sukar lagi mencarinya. Asakan dia mau datang ke sini maka setiap permintaan kalian pasti akan kupenuhi."

Nyo Ko coba melirik It-teng, terlihat paderi itu menggeleng pelahan, maka diduganya di antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh pasti ada persengketaan berat dan keduanya tidak mungkin dipertemukan. Tapi lantas teringat olehnya bahwa Ciu Pek-thong itu berpikiran seperti anak kecil, bukan mustahil akan dapat memancingnya ke sini dengan sesuatu akal aneh, Maka ia lantas berkata:

"Lo wan-tong itu berada di mana sekarang? Pasti akan kudayakan untuk mengajaknya ke sini."

"Kira2 lebih 200 li dari sini ke utara ada sebuah lembah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga), dia mengasingkan diri di sana dan mencari kesenangan dengan beternak lebah," tutur Eng koh.

Mendengar kata2 "beternak lebah", seketika Nyo Ko terkenang kepada Siao liong-li. Teringat olehnya dahulu Ciu Pek-thong diajari oleh Siao-liong-li cara memiara tawon dan menguasainya, tanpa terasa hatinya menjadi sedih dan mata merah katanya kemudian:

"Baiklah, sekarang juga Wanpwe akan mencari Lo-wan-tong, harap kalian tunggu saja di sini." Habis itu ia tanya letak Pek-hoa-kok lebih jelas, lalu melangkah pergi.

Tanpa bicara Kwe Yang lantas ikut di belakangnya, Nyo Ko lantas mengisiki anak dara itu: "ilmu silat It-teng Taysu maha tinggi, orangnya juga welas asih, kau tinggal sementara di sini dan mohon belajar sedikit kepandaian padanya, asalkan beliau mau memberi petunjuk, maka beruntungan bagimu."

"Tidak, kuingin ikut kau pergi menemui Lo-wan-tong itu," kata Kwe Yang.

Nyo Ko mengernyit kening, katanya: "Sebenarnya inilah kesempatan yang sukar dicari, mengapa kau sia2kan?"



"Aku tidak ingin belajar ilmu apapun," ujar Kwe Yang, "Setelah ketemu Lo-wan-tong tentu kau akan pergi, akupun harus pulang, maka biarlah aku ikut pergi saja dengan kau." Arti ucapan ini adalah merasa waktu berkumpul tidak banyak lagi, kalau dapat berdampingan dengan sang toa-koko lebih lama lagi inilah yang diharapkan.

Melihat anak dara itu marasa berat untuk berpisah dengan dirinya, diam2 Nyo Ko merasa ter-haru, dengan tersenyum ia lantas berkata: "Semalaman kau tidak tidur, apakah kau tidak letih kantuk?"

"Kantuk sih memang kantuk, namun aku tetap ingin ikut kau," kata Kwe Yang.

"Baiklah," segera Nyo Ko gandeng tangan anak dara itu dan melayang ke depan secepat terbang dengan Ginkang yang tinggi.

Karena tarikan Nyo Ko ini, seketika tubuh Kwe Yang terasa enteng, langkahnya tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, dengan tertawa ia ber-kata: "Apabila tanpa digandeng olehmu dan aku sendiri sanggup berlari secepat ini, maka puaslah aku."

"Ginkangmu sudah mempunyai dasar yang baik, kalau berlatih terus, akhirnya kau pasti mencapai tingkatan seperti ini," ujar Nyo Ko. Mendadak ia menengadah dan bersuit.

Kwe Yang kaget dan cepat mendekap kuping-nya, tapi Nyo Ko tidak bersuit lagi, maka tertampaklah si rajawali raksasa itu muncul dari balik semak2 pohon.

"Tiau-heng, ada sesuatu urusan kita harus ke utara, mariah engkaupun ikut," kata Nyo Ko.

Rajawali itu lantas tegak leher dan berkaok beberapa kali, entah paham entah tidak, yang jelas dia lantas ikut berangkat bersama Nyo Ko.

Kira2 dua tiga li jauhnya, lari rajawali itu semakin cepat, meski Kwe Yang mengganduI Nyo Ko masih juga tidak mampu menyusul burung itu. Rupa-nya rajawali itu menjadi tidak sabar lagi, tiba2 ia berhenti dan mendakkan tubuh di depan Kwe Yang. "Tiau-heng bersedia menggendong kau" kata Nyo Ko dengan tertawa, "Kau harus berterima kasih padanya."

Kwe Yang tidak berani kasar lagi kepada rajawali itu, lebih dulu ia memberi hormat, lalu mencemplak ke atas punggungnya.

Segera rajawali itu mengayunkan langkahnya yang lebar, seketika Kwe Yang merasa seperti di-bawa- terbang, pepohonan di kedua samping sama melayang ke belakang, meski belum secepat terbang kedua ekor rajawali di rumahnya, namun sudah lebih cepat daripada kuda lari.

"Nyo Ko kelihatan mengintil di sebelah burung itu tanpa ketinggalan sedikitpun, terkadang ia malah mengajak bicara dan bergurau.

Senang sekali hati si nona, ia merasa pengalamannya sekali ini jauh lebih aneh dan menggembirakan, daripada pengalaman sebelumnya.

Menjelang lohor, sudah lebih 200 li mereka lalui, Nyo Ko terus melintasi bukit menurut petunjuk Eng-koh, akhirnya pandangannya terbeliak, di depan sana sebuah lembah menghijau permai dengan aneka macam bunga mekar mewangi, sepanjang jalan mereka menyelusuri tanah salju melalu, sampai di sini se-akan2 memasuki suatu dunia lain, serentak Kwe Yang bersorak gembira dan melompat turun dan punggung rajawali sambil ber-teriak:

"Wah, pintar sekali Lo wan-thong menikmati hidup, sungguh suatu tempat ajaib yang sukar dicari. Eh, Toakoko, coba katakan, mengapa tempat ini sedemikian indahnya?"

"Lembah ini menghadapi selatan, gunung di belakangnya mengalingi angin dari utara, mungkin di bawah tanah banyak tambang batu bara dan belerang atau sebangsanya, makanya suhu tanah di sini cukup hangat, sebab itu pula suasana selalu semarak seperti di musim semi dan bunga mekar serentak."

BegituIah sambil bicara mereka terus memasuki lembah gunung itu. Setelah membelok lagi beberapa kali, terlihatlah di depan sana sebuah selat diapit tebing gunung di kanan kiri, di tengahnya tumbuh tiga pohon Siong tua menjulang tinggi laksana malaikat penjaga pintu selat. Menyusul lantas terdengar suara mendengung riuh ramai, banyak sekali, tawon putih beterbangan di sekitar pohon.

Nyo Ko tahu Ciu Pek-thong pasti berada di situ, segera ia berseru lantang: "Hai, Lo-wan-tong, adik Nyo Ko membawa kawan cilik ingin bermain dengan kau!"

Sebenarnya tingkatan Nyo Ko selisih jauh dengan Ciu Pek-thong, menyebutnya kakek juga belum cukup, namun ia tahu Ciu Pek-thong itu tua2 nakal, kocak dan suka bermain seperti anak kecil, semakin blak2an dengan dia tanpa membedakan tua dan muda, semakin senang dia.

Benar saja, baru lenyap suaranya, segera dari balik pohon sana menongol satu orang, Sekali pandang, Nyo Ko berjingkat kaget.

Belasan tahun yang lalu ketika Nyo Ko pertama kali kenal Ciu Pek-thong, rambut alis Anak Tua Nakal itu sudah putih seperti perak, sekarang wajahnya memang tidak berubah sedikitpun tapi rambut, jenggot dan alisnya malahan berubah menjadi sebagian putih dan sebagian hitam sehingga tampaknya jauh lebih muda daripada dulu.

"Hahaha... adik Nyo, mengapa baru sekarang kau datang mencari aku?" demikian Ciu Pek-thong lantas menyambut dengan bergelak tertawa.

"Aha, kau memakai kedok segala untuk me-nakut2i siapa sih?" - Berbareng itu sebelah tangannya terus terjulur hendak meraih kedok tipis yang dipakai.

Cengkeraman Ciu Pek-thong itu mengarah sebelah kiri, tapi sedikit menarik pundak kanan, kepala Nyo Ko berbalik miring ke kiri malah dan anehnya cengkeraman Ciu Pek-thong itupun mengenai tempat kosong.

Kelima jarinya yang terpentang itu berhenti di sisi leher Nyo Ko, Lo-wantong tampak rada melengak, habis itu lantas terbahak2 dan memuji: "Adik Nyo, hebat benar kepandaianmu Mungkin sudah jauh melebihi waktu muda Lo-wan-tong dahulu"

Rupanya dalam satu kali cengkeram dan satu kali mengegos itu, kedua orang telah sama2 memperlihatkan ilmu silat mereka yang tinggi luar biasa.. sebenarnya cengkeraman Ciu Pek-thong itu mencakup sasaran cukup luas, jangankan Nyo Ko menghindar dengan miringkan kepala, sekalipun melompat juga sukar menghindari cengkeramannya itu, dalam keadaan terpaksa bisa jadi Nyo Ko menangkis dengan keras lawan keras barulah dapat mematahkannya.

Tapi sedikit angkat pundak kanan tadi Nyo Ko lantas siap dengan lengan bajunya, rupanya Ciu Pek-thong juga tahu kemungkinan itu, terpaksa ia siap menangkis dan karena itu raihan tangannya menjadi kendur sehingga Nyo Ko dapat memiringkan kepalanya dan bebas dari cengkeraman itu.

Sudah tentu Kwe Yang tidak tahu seluk-beluk gebrakan itu, ia merasa senang mendengar Ciu Pek-thong memuji Nyo Ko, segera ia berkata: "Eh, Ciu-loyacu, kepandaianmu sekarang lebih tinggi atau lebih tinggi waktu masih muda?"

"Waktu muda rambutku putih, kini rambutku hitam, dengan sendirinya sekarang lebih hebat daripada dulu," jawab Ciu Pek-thong.



"Tapi sekarang engkau takdapat mengalahkan Toakokoku, dengan sendirinya dahulu lebih2 bukan tandingannya," ujar Kwe Yang.

Ciu Pek thong tidak marah, ia hanya tertawa dan bertanya: "Hahaha, nona cilik sembarangan omong!" - Mendadak kedua tangannya bekerja sekaligus, satu pegang bagian kuduk dan lainnya mencengkeram punggung, tubuh Kwe Yang terus diangkat tinggi2 dan diputar tiga kali, dilemparkannya pelahan ke atas untuk kemudian ditangkap kembali, lalu diturunkan pelahan ke tanah.

Kwe Yang datang bersama Nyo Ko, rajawali sakti itu tahu si nona adalah teman Nyo Ko, ia menjadi marah melihat Lo-wah-tong mempermainkan-Kwe- Yang, "Bret", mendadak sebelah sayapnya menyabet ke arah Lo-wan-tong.

Seketika Ciu Pek-thong merasakan angin keras menyamber tiba, ia pikir akan kucoba betapa hebat kekuatan binatang ini. Segera ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya terus menghantam ke depan.

Rajawali sakti itu memang makhluk luar biasa, sayapnya yang terpentang itu ada dua-tiga meter lebarnya, maka terdengarlah suara "blang", kedua, tenaga saling bentur, Ciu Pek-thong tetap berdiri tak bergeming, tenaga sabetan sayap rajawali yang dahsyat itupun menyamber lewat ke samping.

Segera rajawali itu hendak menyusuIkan serangan lain, tapi Nyo Ko cepat membentaknya: "Jangan, Tiau-heng! Kawan kita ini adalah orang kosen angkatan tua!"

Rajawali itu lantas mengurungkan serangannya, tapi tetap bersikap angkuh.

"Besar juga tenaga hewan ini, pantas berani berlagak," ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa

"Usia Tiau-heng ini entah sudah berapa ratus tahun, jelas jauh lebih tua daripadamu," ujar Nyo Ko. "He, Lo-wan tong, mengapa dari tua kau kembali muda, rambutmu yang sudah ubanan semuanya kini malah berubah hitam."

"Habis apa mau dikata?" jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa. "Rambut dan jenggot ini tidak mau dipimpin, dahulu dia lebih suka dari hitam menjadi putih, terpaksa kubiarkan, sekarang dia ingin dari putih menjadi hitam, ya, akupun tak berdaya dan masa bodoh."

"Tapi kelak kalau kau semakin lama makin kecil, setiap orang yang ketemu kau suka raba2 kepalamu dan memanggil kau adik kecil, nah, jika begitu barulah menarik," ujar Kwe Yang.

Sekelika Ciu Pek-thong benar2 rada kuatir, ia berdiri menjublek tanpa bicara lagi.

Padahal di dunia inii tidak mungkin terjadi orang tua kembali muda, soalnya sifat Ciu Pek-thong itu lugu, polos, selama hidup tidak kenal kuatir sedih.

Lwekangnya juga sangat tinggi, ditambah lagi dia suka makan tumbuh2an pegunungan sebangsa Ho siu-oh, Hok-leng (bahan obat, kuat) dan madu tawon, semua itu besar manfaatnya bagi kesehatan, sebab itulah rambut-alisnya yang tadi nya putih malah kembali menjadi hitam.

Malahan juga sering terjadi orang tua yang sudah ompong tumbuh gigi lagi, tulang yang sudah lapuk berubah menjadi kuat, apalagi Ciu Pek thong memang paham cara merawat diri sehingga umurnya sudah dekat seabad masih tetap segar dan bersemangat

Mendengar ucapan Kwe Yang yang membuat kuatir tidak perlu bagi Ciu Pek-tbong itu, diam2 Nyo Ko merasa geli, segera ia berkata: "Ciu-heng, asalkan kau mau menemui satu orang, kujamin kau takkan berubah menjadi kecil."

"Menemui siapa?" tanya Ciu Pek-thong "Jika kusebut nama orang ini, jangan kau terus pergi begitu saja," kata Nyo Ko.

Bahwa watak Ciu Pek-thong hanya lugu saja, tapi sekali2 bukan orang bodoh, Kalau tidak masakah dia mampu meyakinkan ilmu silat setinggi ini. Maka diam2 telah dapat menangkap maksud kedatangan Nyo Ko, segera ia menjawab:

"Di dunia ini ada dua orang-yang takdapat kutemui, seorang ialah Toan hongya dan yang lain ialah bekas selirnya, Eng-koh. Kecuali mereka berdua, siapapun aku mau menemuinya."

Diam2 Nyo Ko pikir harus menggunakan akal pancingan, segera ia berkata pula: "Ah, kutahu, tentu kau pernah dikalahkan mereka, ilmu silatmu lebih rendah daripada mereka, makanya kau kapok dan takut bertemu dengan mereka."

"Tidak, tidak," sahut Lo-wan tong sambil meng-ge!eng2. "Soalnya perbuatanku terlalu kotor dan rendah, aku merasa bersalah kepada mereka, maka malu untuk bertemu dengan mereka,"

Nyo Ko melengak, sama sekali tak terduga olehnya bahwa begitulah sebabnya Cui Pek-thong tak berani bertemu dengan Eng-koh. Tapi dia dapat berpikir cepat, segera ia menambahkan "Kalau kedua orang itu terancam bahaya dan jiwa mereka sudah dekat ajalnya, apakah kaupun tidak sudi memberi pertolongan?"

Melenggong juga Ciu Pek-thong, dalam hati ia sangat menyesal dan merasa berdosa terhadap It-teng dan Eng-koh, kalau kedua orang itu ada kesukaran, biarpun mengorbankan jiwa sendiri juga dia akan menolong mereka tanpa ragu sedikitpun.

Tapi sekilas ia melihat Kwe Yang tersenyum simpul, sama sekali tiada rasa cemas dan kuatir, segera ia menjawab dengan tertawa: "Aha, kau ingin menipuka ya? Kepandaian Toan-hongya maha sakti, mana mungkin dia terancam bahaya? Andaikan benar dia menemukan lawan maha lihay, kalau dia tidak sanggup menandingi ya, maka akupun tidak mampu."

"Terus terang kukatakan, sesungguhnya Eng-koh sangat rindu padamu, betapapun kau diminta ke sana menemuinya."

Seketika air muka Ciu Pek-thong berubah sambil meng-goyang2 kedua tangannya, katanya: "Adik Nyo, jika kau mengungkat urusan ini sepatah kata lagi, segera kusilakan kau keluar dari Pek-hoa-kok ini dan jangan menyalahkan aku jika aku tidak kenal sahabat lagi."

Setelah mengalami gemblengan selama belasan tahun, sifat latah Nyo Ko sudah lenyap, tapi semangat jantannya tidak menjadi berkurang, sekali bajunya mengebas, segera ia menjawab: "Ciu-Ioheng seumpama kau ingin mengusirku pergi dari sini, kukira juga tidak begitu mudah."

"Hehe, memangnya kau ingin berkelahi dengan aku?" kata Lo-wan-tong dengan tertawa.

"Boleh juga jika kau ingin berkelahi," jawab Nyo Ko. "Kalau aku kalah, segera kupergi dari sini dan takkan menginjak tempatmu lagi, tapi kalau kau kalah, kau harus ikut aku pergi menemui Eng-koh."

"Tidak, tidak, salah!" seru Ciu Pek-thong. "Pertama, mana bisa kukalah daripada anak muda seperti kau ini. Kedua, seumpama aku kalah juga aku takkan menemui Lau-kui-hui (Lau, she Eng-koh)"

Nyo Ko menjadi marah, katanya: "Jika kau menang adalah hakmu untuk tidak menemui dia, tapi kalau kau kalah juga tetap tidak mau, lalu apa taruhan kita?"

"Sekali aku bilang tidak mau menemui dia-ya tetap tidak mau, tidak perlu banyak omong lagi, hayolah mulai!" seru Ciu Pek-thong sambil menyingsing lengan baju dan gosok2 kepalan

Nyo Ko pikir Lo-wan-tong ini sukar dipancing dan ditipu, terpaksa harus memakai kekerasan. Kalau benar2 harus bergebrak rasanya juga tidak yakin pasti akan menang, tiada jalan lain, terpaksa harus melihat gelagat saja nanti.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar