Bab 7: Ketua dan Sektenya
Sinar bulan terang benderang.
Waktu fajar masih 6 jam lagi.
Liok Siau-hong telah kembali
ke losmen di mana ia menginap dan memesan semeja penuh arak dan makanan.
“Tak perduli apa,” dia
tertawa, “paling tidak aku masih bisa makan dan minum semua yang aku inginkan
sekali lagi.”
“Seharusnya kau tidur dulu.”
Hoa Ban-lau memberi nasehat.
“Jika kau akan berduel dengan
seseorang seperti Ho Thian-jing saat matahari terbit nanti, bisakah kau tidur?”
“Tidak, aku tak bisa.”
“Kau tahu apa hal terbaik yang
ada padamu?” Liok Siau-hong tertawa. “Kau tak pernah berdusta. Sayangnya,
kadang-kadang kau seperti seorang pembohong waktu kau mengatakan hal yang
sebenarnya.”
“Aku tak akan dapat tidur,
tapi hanya karena aku tak memahami dirinya sama sekali!”
“Dia benar-benar seorang yang
penuh teka-teki.”
“Sudah berapa lama kau
mengenalnya?”
“Kira-kira 4 tahun. Empat
tahun yang lalu waktu Giam Thi-san pergi ke Thai-san untuk melihat matahari
terbit, dia juga ikut. Seorang pencuri dan aku kebetulan telah menetapkan
tanggal dan tempat pertemuan di puncak Thaysan untuk melihat siapa yang bisa
bersalto lebih banyak.”
“Berapa baik kau mengenal
dirinya?”
“Tidak tahu banyak.”
“Kau bilang, walaupun usianya
masih muda, dia adalah orang yang dituakan!”
“Pernahkah kau mendengar
tentang Thian-siong-in-ho (Menara Langit dan Bangau Awan), dua orang
Siang-san-ji-lo (dua tetua dari Siang-san)?”
“Kedua tetua dari Siang-san
itu telah lama dianggap sebagai Bintang Utara di dunia persilatan. Bahkan jika
aku tuli, aku pasti mendengar nama mereka.”
“Nah, kudengar dia adalah adik
seperguruan mereka.”
Ekspresi wajah Hoa Ban-lau pun
berubah hebat.
“Jika mereka berdua masih
hidup sekarang, mungkin usia mereka sekitar 70 atau 80 tahun. Ho Thian-jing
belum berumur 30 tahun. Bagaimana mungkin ada selisih umur yang begitu besar di
antara saudara-saudara seperguruan?”
“Ada banyak pasangan
suami-isteri yang berselisih usia 40 atau 50 tahun, apalagi cuma saudara
seperguruan…...”
“Jadi itulah sebabnya maka
seorang yang sudah terkenal selama 40 tahun seperti San Say-gan hanya menjadi
murid keponakannya.”
“Benar.”
“Dulu waktu Thian-kim Lojin
merajai seluruh dunia, dia hanya mengambil Siang-san-ji-lo sebagai muridnya.
Bagaimana tiba-tiba sekarang muncul Ho Thian-jing?”
“Keluarga Hoa dulu juga hanya
punya 6 orang anak,” Liok Siau-hong tersenyum dan membalas, “jadi bagaimana kau
sekarang tiba-tiba muncul?”
Orang tua punya anak, guru
punya murid, hal seperti ini bukanlah urusan orang lain.
Tapi ekspresi serius telah
muncul di wajah Hoa Ban-lau.
“Aku belum pernah bertemu San
Say-gan sebelumnya. Tapi aku tahu bahwa ilmu meringankan tubuh dan ilmu tangan
kosongnya terkenal sebagai 2 keajaiban dunia persilatan. Tak tahu bagaimana
bila Ho Thian-jing dibandingkan dengan dirinya.”
“Aku juga belum pernah melihat
Ho Thian-jing bertarung. Tapi melihat bagaimana dia mampu menggunakan ilmu
seperti Burung Walet Tiga Kali Mengaduk Air sewaktu memondong tubuh Giam
Thi-san yang berat tadi, aku bisa mengatakan bahwa tidak banyak orang di dunia
ini yang lebih hebat darinya.”
“Bagaimana denganmu?”
Liok Siau-hong tidak menjawab.
Ia tak pernah suka menjawab pertanyaan seperti ini. Sebenarnya, selain dari
dirinya sendiri, mungkin tidak ada orang lain di dunia ini yang tahu seberapa
hebat sebenarnya ilmu kungfunya.
Tapi kali ini Hoa Ban-lau
tampaknya terus berusaha menemukan jawabannya dan bertanya lagi.
“Kau yakin bisa
mengalahkannya?”
Liok Siau-hong masih tidak
menjawab. Ia hanya menuangkan secawan arak lagi dan meminumnya dengan lamban.
Hoa Ban-lau tiba-tiba menarik
nafas. “Kau tidak yakin. Itulah sebabnya kau bersikap hati-hati dan tidak
terlalu banyak minum arak.”
Liok Siau-hong biasanya tidak
minum arak dengan cara seperti ini.
Sejak tiba di situ, Tan-hong
Kiongcu menjadi sangat pendiam. Ia hanya duduk di sana dan mendengarkan
sepanjang waktu. Sekarang ia tiba-tiba bicara: “Kau baru saja mengatakan bahwa
kau dan seorang pencuri bertanding salto di puncak Thai-san, siapakah pencuri
itu?”
“Si Raja Maling!” Liok
Siau-hong tertawa kecil. “Mencuri di mana-mana dan tak pernah bertemu
tandingannya. Tapi korbannya bukan cuma tidak menjadi marah, mereka malah
merasa terhormat.”
“Mengapa?”
“Karena tidak banyak orang
yang cukup sesuai baginya untuk dicuri barangnya. Di samping itu, ia tak pernah
mencuri sembarang benda. Ia hanya mencuri karena ia bertaruh dengan seseorang
bahwa ia mampu.”
Liok Siau-hong tertawa kecil
dan meneruskan.
“Suatu saat, ia bertaruh
dengan seseorang bahwa ia mampu mencuri pakaian milik isteri orang paling kikir
sedunia, Cheng Fu Zhou.”
Tan-hong Kiongcu tak tahan
untuk tidak tertawa mendengar cerita itu.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Ia memenangkan taruhan itu.”
“Lalu mengapa kau berlomba
salto dengannya?”
“Karena aku tahu bahwa aku tak
bisa mencuri dari dia. Dan aku benar-benar ingin mendapatkan 50 kendi arak yang
baru saja dia menangkan itu.”
“Itu benar. Gunakan kekuatanmu
untuk menyerang kelemahan musuh. Mengapa kau tidak melakukan itu terhadap Ho
Thian-jing nanti?”
Tan-hong Kiongcu merenung.
“Kau tidak perlu bertarung mati-matian dengan dia.”
Liok Siau-hong menarik nafas.
“Ada beberapa orang di dunia ini yang, tak perduli apa pun tipuan yang kau
lakukan padanya, maka tipuan itu tak akan berhasil. Sebun Jui-soat adalah salah
seorang dari mereka, Ho Thian-jing juga.”
“Kau fikir dia benar-benar
ingin bertarung mati-matian denganmu?”
“Karena perlakuan Giam Thi-san
selama ini padanya, maka ia harus membalas budi. Ia telah lama memutuskan bahwa
ia akan rela memberikan nyawanya untuk membalas budi itu.” Ekspresi Liok
Siau-hong tampak sangat serius.
“Tapi kau kan tidak perlu
bersikap seperti dia!”
Liok Siau-hong tersenyum
sekilas, seakan-akan ia tidak ingin membicarakan masalah ini lagi. Ia bangkit
dan berjalan menghampiri jendela dengan perlahan-lahan.
Jendela itu telah terbuka
sejak awal. Tiba-tiba ia menyadari bahwa beberapa saat yang lalu seorang
laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang telah datang membawa sebuah bangku
dan duduk di tengah halaman sana sambil menghisap pipa.
Malam telah larut, tapi
laki-laki tua itu tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Ia duduk
diam-diam di sana, seakan-akan ia bermaksud untuk duduk di sana sampai matahari
terbit.
“Cuaca semakin dingin,” Liok
Siau-hong tiba-tiba tersenyum dan bicara, “jika Tuan tidak keberatan, mengapa
tidak masuk dan menikmati beberapa cawan minuman bersama kami agar malam
panjang ini berlalu lebih cepat?”
Tapi laki-laki tua itu tidak
menjawab sedikit pun. Seakan-akan ia seorang yang tuli dan tidak mendengar
kata-kata Liok Siau-hong. Liok Siau-hong hanya tersenyum saja.
“Tidak sopan menolak maksud
baik orang lain!” Tan-hong Kiongcu merasa kesal dan mendengus.
Tiba-tiba dia berlari ke
jendela dan, dengan sebuah kibasan tangan, melemparkan cawan arak yang ada di
tangannya ke arah laki-laki tua itu. Cawan itu meluncur dengan cepat tapi
mantap, tak ada setetes pun arak di dalamnya yang tumpah.
Laki-laki tua itu tiba-tiba
mendengus dingin, mengulurkan tangannya, dan menangkap cawan itu. Lalu ia
menuangkan seluruh isi cawan itu ke tanah dan mulai memakan cawan itu. Sepotong
demi sepotong, ia melahap cawan tersebut, dan menimbulkan suara gemeretak di
dalam mulutnya.
Tan-hong Kiongcu terpana
melihat kejadian itu.
“Adakah yang salah dengan
orang tua ini?” ia bertanya. “Dia tidak meminum araknya, tapi malah memakan
cawannya.”
Mata Liok Siau-hong
berkerlap-kerlip dalam sinar bulan.
“Mungkin karena arak itu
adalah sesuatu yang kita tawarkan,” ia berkata sambil tersenyum. “Dan cawan
arak itu tidak.”
Pada saat itu, seorang
pedagang roti isi daging pun berjalan memasuki halaman.
Malam sudah begitu larut,
apakah dia benar-benar berharap bisa berdagang di sini?
“Hei, kamu!” Tan-hong Kiongcu
mengedip-ngedipkan matanya. “Apakah kau menjual roti isi daging?”
“Asal kalian punya uang, tentu
saja ya!”
“Berapa harganya?”
“Sangat murah! Sepuluh ribu
tael perak sepotongnya, dan tidak boleh kurang setael pun.”
Wajah Tan-hong Kiongcu berubah
warna sedikit. “Ok, berikan aku 2 potong roti yang berharga 10.000 tael itu.”
Ia berkata. “Bawakan ke sini.”
“Baik!”
Ia baru saja mengambil 2
potong roti isi daging waktu seekor anjing berbulu kuning melompat keluar dari
sebuah sudut dan berlari menghampirinya, lalu menggonggong dengan keras.
“Apa? Mungkinkah kau ingin
membeli roti isi dagingku seperti gadis yang di sana itu?” Pedagang itu
memandang si anjing. “Apakah kau tidak tahu bahwa rotiku ini asalnya memang
dibuat untuk memukul anjing?”
Ia benar-benar mulai memukuli
anjing itu dengan roti tersebut. Anjing itu segera berhenti menggonggong dan
menggigit roti itu beberapa kali. Tiba-tiba anjing itu menyalak dan bergulingan
di tanah, lalu berubah dari anjing hidup menjadi anjing mati.
Wajah Tan-hong Kiongcu kembali
berubah warna. “Ada racun di dalam roti itu?”
“Bukan hanya racun,” si
pedagang tersenyum santai. “dagingnya sendiri adalah daging manusia.”
“Beraninya kau menjual roti
seperti itu?” Tan-hong Kiongcu membentak dengan marah.
“Aku hanya melakukan
pekerjaanku,” si pedagang memutar-mutar biji matanya sambil memandang Tan-hong
Kiongcu, “apakah kau membelinya atau tidak, itu adalah urusanmu. Aku tidak
memaksamu untuk membelinya.”
Wajah Tan-hong Kiongcu hampir
berubah menjadi kuning karena marahnya. Ia hampir tak mampu untuk menahan diri
agar tidak berlari maju dan menampar orang itu beberapa kali.
Tapi Liok Siau-hong diam-diam
telah memegang tangannya. Saat itulah mereka mendengar seseorang menarik nafas
dengan perlahan: “Sinar bintang di malam hari, untuk siapakah angin berhembus
melalui jendela?”
Seorang Siucay (sasterawan)
yang jorok dan kotor, dengan tangan terlipat di balik punggungnya, berjalan
lambat-lambat memasuki halaman itu.
Tiba-tiba dia berbelok ke arah
si pedagang dan tersenyum.
“Berapa banyak yang telah kau
bunuh hari ini?”
“Roti isi dagingku hanya
membunuh anjing, bukan manusia,” si pedagang memutar-mutar bola matanya lagi.
“Cobalah dan kau akan lihat.”
Ia melemparkan sepotong roti
kepada si sasterawan, yang segera menangkap dan memakannya.
“Agaknya kau mengatakan hal
yang sebenarnya,” ia berkata sambil menepuk-nepuk perutnya. “Bukan hanya itu,
roti ini juga bisa menyembuhkan penyakit.”
“Penyakit macam apa?” Sebuah
suara terdengar bertanya dari luar tembok.
“Penyakit lapar!” si siucay
menjawab.
“Oh, aku faham. Aku pun sangat
lapar nih.” Orang di luar menyahut. “Cepat, berikan aku roti dan sembuhkan
penyakitku ini.”
“Baik!”
Si pedagang mengeluarkan
sepotong roti lagi dan melemparkannya ke atas tembok. Seorang pengemis, yang
tiba-tiba telah muncul di atas tembok itu, membuka mulutnya dan menangkap roti
itu dengan mulutnya dan menelannya. Lemparan-lemparan si pedagang sangat cepat,
si pengemis pun menelan roti itu dengan sama cepatnya. Dalam sekejap mata, 7
atau 8 potong roti telah menghilang ke dalam perut si pengemis.
“Tampaknya roti itu akhirnya
bisa menyembuhkan penyakit laparmu!” si siucay berkata.
Si pengemis mengerutkan
keningnya.
“Kalian menipuku, tak mungkin
mati gara-gara racun dalam roti ini, tapi orang memang bisa mati karena terlalu
kenyang makan roti!”
“Bukan masalah besar!” Seorang
lagi telah muncul di luar tembok. “Mati karena kekenyangan? Karena kelaparan?
Karena dimarahi isteri? Jangan cemas, aku punya obatnya.”
Seorang pedagang ramuan
obat-obatan, sambil membawa sebuah kotak obat dan lonceng kecil tampak berjalan
memasuki halaman itu dengan tersandung-sandung. Jelas dia adalah seorang cacat.
Halaman kecil yang sepi itu,
seakan orang-orang itu telah berencana untuk berkumpul di situ, tiba-tiba
berubah menjadi tempat yang ramai dan berisik. Segera saja seorang pedagang
alat rias wanita, pedagang barang bekas, dan seorang penjual sayur pun ikut
bergabung.
Mata Tan-hong Kiongcu semakin
sakit melihat semua itu. Walaupun dia tidak memiliki pengalaman dunia
persilatan yang banyak, dia sekarang menyadari bahwa orang-orang ini datang
untuk mereka.
Yang paling aneh adalah semua orang
ini tetap berada di luar, berjejalan di halaman, dan tampaknya sedikit pun
tidak tertarik untuk masuk dan mencari gara-gara dengan mereka.
“Menurutmu orang-orang ini
datang untuk membalaskan dendam Giam Thi-san?” Tan-hong Kiongcu tak tahan untuk
tidak bertanya pada Liok Siau-hong.
“Bagaimana mungkin
Giam-toalopan punya teman-teman seperti ini?” Liok Siau-hong tersenyum dan
menggelengkan kepalanya.
“Mereka semua tampaknya bisa
kungfu.”
“Sebuah kota selalu merupakan
tempat harimau mendekam dan naga bersembunyi.” Liok Siau-hong menyahut. “Asal
mereka tidak mengganggu kita, kenapa kita harus mengganggu mereka dan terlibat
dalam urusan mereka?”
“Sejak kapan kau menjadi orang
yang tidak ingin ikut campur dalam urusan orang lain?” Hoa Ban-lau tiba-tiba memotong
sambil tertawa.
Liok Siau-hong balas bergurau.
“Baru sekarang.”
Suara genta penjaga malam bisa
terdengar dari tempat itu. Tiga kali dentangan, berarti hari sudah tengah
malam.
{Catatan: Di kota-kota Cina
kuno, ada penjaga-penjaga malam yang berlalu-lalang di jalan sambil memukul
genta kecil sebagai petunjuk waktu. Malam hari dibagi menjadi 5 bagian yang
sama, dan penjaga malam pun memukul gentanya sesuai dengan jumlah hitungannya.
Jadi, 3 dentangan berarti tengah malam.}
Laki-laki tua yang menghisap
pipa itu tiba-tiba berdiri dan menguap: “Kenapa orang yang mengundang kita ke
sini malah belum datang?”
Ternyata dia bukan orang tuli
ataupun bisu.
Tan-hong Kiongcu jadi semakin
pusing. Siapa yang mengundang orang-orang ini ke sini? Dan untuk apa?
“Dia tentu akan segera tiba,”
si siucay menjawab.
“Aku akan pergi
melihat-lihat,” si pedagang roti menawarkan diri.
Tangannya segera beraksi
kembali, melempar-lemparkan roti isi daging dari dalam keranjangnya. Puluhan
potong roti yang ia lemparkan, satu demi satu, membentuk sebuah tumpukan yang
tingginya lebih dari 10 meter.
Dengan sedikit mengeluarkan
tenaga, si pedagang roti pun melompat ke puncak tumpukan roti itu seperti
seekor ayam jago yang hinggap di atas pagar. Kedudukannya mantap, tidak
bergeming sedikit pun dalam terpaan angin.
Bukan hanya kemampuan
tangannya yang cepat dan akurat, ilmu meringankan tubuhnya juga termasuk kelas
satu.
“Kelihatannya berkelana di
dunia persilatan bukanlah hal yang mudah,” Tan-hong Kiongcu menarik nafas dan
bergumam. “Baru sekarang aku memahami itu.”
“Paling tidak kau mengerti
sekarang, itu hal yang bagus,” Hoa Ban-lau menjawab sambil tersenyum.
“Dia datang!” si pedagang roti
tiba-tiba berseru.
Seruannya itu seperti
membangkitkan energi semua orang. Bahkan jantung Tan-hong Kiongcu pun seperti
hendak melompat keluar dari tenggorokannya. Ia ingin tahu, seperti apakah orang
yang ditunggu-tunggu itu.
Tapi dia menjadi kecewa
melihat kejadian selanjutnya.
Dalam fikiran dan khayalan
seorang gadis muda, jika orang ini bukan seorang jago pedang muda yang lembut
dan tampan, paling tidak dia tentulah seorang pendekar dunia persilatan yang
berwibawa dan penuh kekuatan.
Tapi orang yang datang ini
hanyalah seorang laki-laki tua berkepala botak dengan raut wajah yang tirus dan
muka kekuning-kuningan. Ia mengenakan pakaian berwarna abu-abu yang terbuat
dari kain kasar dan panjangnya hanya sampai ke lutut. Di kakinya ia mengenakan
kaus kaki putih dan sepatu abu-abu yang biasa digunakan oleh seorang petani tua
yang datang ke kota untuk berjualan di pasar.
Tapi matanya berkilat-kilat.
Bersinar terang dan kuat, mata itu berkerlap-kerlip dalam sinar bulan.
Hal yang aneh adalah setiap
orang di halaman itu jelas sedang menunggu dirinya, tapi sekarang setelah dia
muncul, tidak ada yang menghampiri dan menyapanya. Mereka hanya diam-diam
minggir dan memberikan jalan untuknya.
Mata laki-laki tua berkepala
botak itu memandang sekelilingnya sebentar sebelum dia tiba-tiba mulai berjalan
ke arah Liok Siau-hong.
Sepertinya ia tidak berjalan dengan
cepat, tapi dalam 2 atau 3 langkah saja ia telah tiba di depan pintu.
Pintu itu selama ini terbuka.
Ia tidak mengetuk pintu, juga tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya, dan dengan
sangat santai, duduk di hadapan Liok Siau-hong, mengambil kendi arak yang
berada di lantai, dan mengendus-endus arak itu.
“Arak yang bagus.”
“Memang ini arak yang sangat
bagus,” Liok Siau-hong mengangguk.
“Dibagi setengah-setengah?”
“Boleh.”
Laki-laki tua itu tidak
mengucapkan apa-apa lagi. Ia hanya mengangkat kendi dan meneguk arak itu dengan
suara decak yang berisik.
Dalam sekejap saja setengah
isi kendi itu telah habis dan wajahnya yang kuning pun berubah jadi merah,
seolah-olah seluruh raganya telah kembali menjadi muda.
“Benar-benar enak,” ia berkata
sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.
Liok Siau-hong tidak menjawab.
Ia hanya menerima kendi itu dan meneguk isinya, tidak lebih lambat dari
laki-laki tua itu, tidak lebih lambat dari siapa pun juga.
Setelah seluruh isi kendi
habis, laki-laki tua berkepala botak itu tiba-tiba tertawa. “Barang bagus! Arak
bagus, teman minum di sini juga tidak jelek!”
“Hanya bila teman minum itu
tidak jelek barulah araknya bagus!” Liok Siau-hong menjawab sambil mengusap
mulutnya.
“Tidak melihatmu selama 3
tahun ini,” laki-laki tua itu memandangnya, “dan kau masih belum mati karena
mabuk?”
“Hanya orang baik yang mati
muda, orang jahat hidup selamanya. Aku sendiri yang agak mencemaskanmu. Kau
orang yang baik.”
“Siapa bilang aku orang baik?”
Laki-laki tua itu melirik Liok Siau-hong.
“Setiap orang di dunia
persilatan mengatakan, San Say-gan bukan hanya baik, dia juga setia, dia adalah
orang terbaik di dunia.”
“Kau benih kejahatan, dan aku
orang baik? Itu hal yang benar-benar menarik,” laki-laki tua itu tertawa
sepenuh hatinya.
Tan-hong Kiongcu memandang
orang itu, hampir dia tidak mempercayai matanya sendiri. Ia tak pernah
membayangkan bahwa laki-laki tua yang botak, jorok dan suka mencaci-maki ini
adalah pendekar terkenal yang telapak besi kembarnya telah mengguncangkan dunia,
San Say-gan.
Tak perduli apa, bukanlah hal
yang mudah untuk disebut sebagai seorang “pendekar”.
Tapi laki-laki tua ini
benar-benar tidak mirip seorang “pendekar”. Mungkinkah itu rahasia
kesuksesannya? Tan-hong Kiongcu tak bisa membayangkannya. Tiba-tiba ia
menyadari bahwa hal-hal yang tak mampu ia bayangkan tampaknya semakin dan
semakin banyak.
Suara tawa San Say-gan telah
berhenti terdengar. Dengan matanya yang berkilat-kilat, ia menatap Liok
Siau-hong: “Kau mungkin tidak menyangka kalau aku akan datang mencarimu.”
“Tidak, aku memang tidak
menyangka,” Liok Siau-hong mengaku.
“Sebenarnya aku telah tahu
kedatanganmu sejak di TaiYuan.”
“Bukan hal yang luar biasa,”
Liok Siau-hong tersenyum. “Bahkan jika kau tak tahu kedatanganku, itu baru luar
biasa.”
“Tapi baru sekarang aku
menemuimu.”
“Kau orang yang sibuk.”
“Aku sama sekali tidak sibuk.
Aku tidak datang, karena kau adalah tamu susiok-ku. Karena aku tidak mungkin
bersaing dengannya untuk menjadi tuan rumah bagimu, maka aku pura-pura tidak
tahu saja.”
“Kukira karena aku telah
mencukur kumisku, sehingga teman-teman lamaku tidak mengenaliku lagi!” Liok
Siau-hong tertawa.
San Say-gan tertawa mendengar
lelucon itu. “Aku selalu menganggap kumismu itu sangat menjengkelkan untuk
dilihat!”
“Aku tak perduli kalau kau
menganggapnya menjengkelkan, tapi orang lain tidak menganggapnya demikian.”
Liok Siau-hong membalas dengan santai.
Tawa San Say-gan berhenti
lagi: “Ho Thian-jing adalah paman guruku, banyak orang di luar sana yang tidak
mempercayai hal ini. Tapi kau seharusnya tahu.”
“Aku tahu.”
“Orang tua aneh yang menghisap
pipa itu adalah she Hoan. Kau kenal dia?”
“Mungkinkah dia adalah Tuan
Hoan Gok yang terkenal itu? Hoan-taysiansing yang pipanya bisa digunakan untuk
menyerang 36 urat darah besar dan 72 urat darah kecil lawannya itu?”
“Itulah dia.”
“Say-pak-siang-siau terdiri
dari Hoan dan Kan. Mungkinkah siucay kotor dan jorok di sana itu adalah jagoan
ilmu Tan-ci-sin-thong, Kan-jisiansing yang terkenal itu?”
{Catatan: “Sentilan Jari
Dewa”, atau “Tan-ci-sin-thong” adalah salah satu ilmu kungfu paling terkenal
dalam karya-karya Jin Yong.}
San Say-gan mengangguk:
“Pengemis miskin, si pedagang barang bekas, pedagang roti serta si penjual
sayur, pedagang alat rias wanita, serta penjaga tempat ini dan orang gemuk yang
menyambut tamu di pintu depan sana; mereka bertujuh adalah saudara-saudara
angkat. Ada orang yang menyebut mereka Ji-ceh-jit-hiap (Tujuh Pendekar dari
Masyarakat Bawah), sementara yang lainnya memanggil mereka San-say-jit-gi
(Tujuh Saudara Angkat dari Soasay).”
“Semua pendekar dan sahabat
terkenal tentu sangat bersemangat malam ini sehingga datang berkumpul di
halaman yang kecil ini,” Liok Siau-hong berkata sambil tersenyum.
“Kau benar-benar tidak tahu
apa yang mereka lakukan di sini?”
“Tidak.”
“Mereka semua berasal dari
perguruanku. Dilihat dari tingkat senioritas, beberapa dari mereka adalah 2
generasi di bawah Ho Thian-jing.”
“Orang itu cukup beruntung,”
Liok Siau-hong kembali tersenyum.
“Enam puluh tahun yang lalu,
cikal-bakal perguruan kami menetapkan peraturan pertama untuk Thian-kim-bun,
yaitu harus selalu hormat dan mematuhi orang yang lebih dituakan. Peraturan
tentang senioritas itu tidak pernah diutak-atik atau diganggu-gugat.”
“Tentu saja tidak.”
“Pendiri kami mempersembahkan
seluruh hidupnya untuk mempelajari ilmu kungfu. Barulah menjelang akhir
hidupnya beliau mulai berkeluarga.”
“Ketua itu, Thian-kim Lojin,
memiliki keluarga?”
“Sangat sedikit orang di dunia
persilatan yang tahu tentang peristiwa ini. Ketua Pendiri sudah berusia 77
tahun waktu beliau akhirnya memiliki seorang putera.”
“Dan putera itu tidak lain
adalah Ho Thian-jing?”
“Benar.”
“Aku akhirnya faham kenapa di
dunia ini, walaupun usianya masih muda, dia malah begitu dituakan.” Liok
Siau-hong menarik nafas.
“Itulah sebabnya kenapa beban
di pundaknya juga begitu berat.”
"Oh."
San Say-gan tiba-tiba mengubah
sikapnya menjadi sangat bersungguh-sungguh: “Bukan hanya dia harus melanjutkan
garis keturunan Ketua Pendiri, dia juga satu-satunya orang yang bisa menjamin
Thian-kim-bun untuk bertahan hidup sampai generasi berikutnya. Kami semua
berhutang jiwa pada Ketua Pendiri kami. Maka kami rela menyerahkan nyawa kami
untuk meyakinkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada dirinya. Aku
yakin kau memahami perasaan kami.”
“Ya, aku faham.”
San Say-gan menarik nafas
dalam-dalam.
“Itulah sebabnya, jika dia
kebetulan mati karena sesuatu hal besok pagi, beratus-ratus orang murid
Thian-kim-bun tidak akan bisa hidup juga.”
“Kenapa dia bisa mati?” Liok
Siau-hong mengerutkan keningnya.
“Jika ia kalah darimu,
walaupun engkau tidak membunuhnya pun, ia tak akan mau hidup lagi.”
“Aku juga tahu dia orang macam
apa. Tapi dia mungkin tidak akan kalah.”
“Tentu saja dia tak akan
kalah.”
“Jika kebetulan dia berhasil
mengalahkanku,” Liok Siau-hong berkata, “bukankah beratus-ratus orang murid
Thian-kim-bun kalian akan mendapat muka?”
“Kau temanku. Aku juga tak
ingin kau kalah darinya dan merusak persahabatan kita.”
“Kau benar-benar orang yang
baik.”
Wajah San Say-gan tampak
sedikit memerah.
“Jika kalian bertarung, tidak
perduli siapa yang menang, hasilnya akan terlalu mengerikan untuk dibayangkan,”
Ia menarik nafas. “Setidaknya Ho-susiok adalah kenalanmu sebelum ini, lalu
kenapa hal ini harus terjadi?”
“Sekarang aku faham,” Liok
Siau-hong tersenyum. “Kau ingin aku, sebelum matahari terbit, meninggalkan
tempat ini sehingga dia tak akan menemukanku.”
San Say-gan tidak menjawab.
Tidak menjawab sama artinya dengan mengiyakan.
“Sekarang aku pun faham,”
Tan-hong Kiongcu tiba-tiba memotong dengan dingin. “Kau mengundang semua orang
ini ke sini untuk memaksanya pergi, dengan cara ini maka Ho Thian-jing akan
meraih kemenangan tanpa harus berkelahi, atau kalianlah yang akan bertarung
menggantikan dia. Sebentar lagi fajar tiba, maka biarpun dia mampu mengalahkan
kalian semua, dia tidak akan berada dalam kondisi yang segar untuk bertarung
dengan Ho Thian-jing saat fajar nanti.”
Ia menatap San Say-gan dan
tertawa dingin. “Benar-benar bukan ide yang buruk. Mungkin hanya seorang pendekar
seperti dirimu yang bisa memikirkan gagasan seperti ini.”
Wajah San Say-gan berubah
menjadi hijau, lalu pucat sebelum dia tiba-tiba tertawa.
“Benar sekali! Benar sekali!
Tapi biarpun aku, San Say-gan, sama sekali tidak mirip seorang ‘pendekar’,
tentu saja aku tak akan melakukan sesuatu hal seperti itu!”
“Jadi hal seperti apa yang
akan kau lakukan?” Tan-hong Kiongcu bertanya. “Jika dia tak mau pergi, lalu apa
yang akan kau lakukan?”
San Say-gan tiba-tiba bangkit
dan berjalan keluar. Seluruh halaman itu, walaupun penuh orang, benar-benar
sunyi senyap. Satu demi satu, dia menatap mata setiap orang dengan matanya yang
berkilat-kilat.
“Jika dia tak pergi, lalu apa
yang akan kalian lakukan?” Tiba-tiba ia bertanya.
Si pedagang roti memutar-mutar
bola matanya dan menjawab dengan dingin: “Bukankah itu sudah jelas? Jika dia
tidak pergi, maka aku yang akan pergi.”
San Say-gan tersenyum lagi.
Tapi dalam senyuman itu seperti ada suatu kesedihan yang tak dapat diuraikan
dengan kata-kata. “Jika kau pergi, aku pun pergi,” dia mengangguk perlahan.
“Setiap orang akan pergi.”
“Jika demikian, tentu tidak
masalah jika aku yang pergi lebih dulu kan?” si tukang roti menjawab.
Dia mengibaskan tangannya dan
tiba-tiba, dengan pisau yang entah kapan dia keluarkan, menusuk ke
tenggorokannya sendiri.
Bukan hanya gerakannya ini
pasti dan mantap, gerakan itu juga cepat, sangat cepat. Tapi seseorang masih
lebih cepat darinya.
“Tak!” Bunga api memercik di
halaman itu ketika pisau di tangannya patah menjadi 2 bagian. Suatu benda,
bersama dengan ujung pisau yang patah itu, jatuh ke atas tanah.
Benda itu adalah salah satu
sumpit Liok Siau-hong.
Sumpit yang satunya lagi masih
ada di tangannya. Pisau itu terbuat dari baja, tapi sumpit itu hanya terbuat
dari gading!
Mungkin tidak banyak orang
yang mampu menggunakan sumpit gading untuk mematahkan sebatang pisau baja.
Tan-hong Kiongcu tiba-tiba
menyadari kenapa San Say-gan melakukan semua ini. Ho Thian-jing tak akan mampu
mengalahkan Liok Siau-hong, orang lain mungkin tidak tahu, tapi San Say-gan
lebih tahu tentang hal ini daripada semua orang.
Si pedagang roti menatap
potongan pisau yang masih ada di tangannya dengan tercengang. Setelah beberapa
lama, tiba-tiba dia menghentakkan kakinya ke tanah dan berseru pada Liok
Siau-hong: “Mengapa kau melakukan itu?”
“Tak ada alasan apa-apa,” Liok
Siau-hong tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kapan aku mengatakan tidak
mau pergi?”
Si tukang roti tak mampu
bicara.
“Berkelahi itu sangat
melelahkan dan menyulitkan saja,” Liok Siau-hong menarik nafas dengan malas.
“Siapa yang ingin berkelahi? Lebih baik aku pergi saja dan mencari tempat untuk
tidur!”
Si pedagang roti menatapnya,
dia seakan-akan ingin menangis, tapi di saat yang sama juga seperti ingin
tertawa.
“Bagus, Liok Siau-hong
benar-benar Liok Siau-hong!” Tiba-tiba dia berseru. “Sejak hari ini, bila kau
ingin aku melakukan sesuatu untukmu, jika aku mengedipkan mata sedikit saja,
maka aku akan menjadi cucumu.”
“Aku tidak ingin seorang cucu
sepertimu.” Liok Siau-hong tertawa. “Asal kau mau menurunkan harga rotimu itu
sedikit saja untukku, aku akan merasa puas.”
Ia mengambil jubah merahnya
yang tergantung di sisi ranjang dan menghabiskan araknya.
“Jadi siapa yang mau ikut
denganku ke sebuah desa kecil di luar kota untuk makan daging anjing rebus di
tempat Tio si Muka Burik?”
“Aku.” Hoa Ban-lau berkata
sambil tersenyum.
Hoan-taysiansing tiba-tiba
membanting bungkusan tembakaunya. “Aku juga.”
“Kalau dia ikut, maka aku
juga,” Kan-jisiansing ikut-ikutan bicara.
“Aku juga ikut!” si tukang
roti berteriak sekuat-kuatnya.
“Kau cuma menjual roti pemukul
anjing, dan kau masih berani makan daging anjing?” Kan-jisiansing berkata
sambil tertawa. “Apakah kau tidak takut kalau anjing-anjing itu akan balas
dendam saat berada di dalam perutmu?”
Si tukang roti meliriknya
dengan dingin. “Kematian tidak membuatku takut, apalagi cuma itu!”
“Haha, bagus!” San Say-gan
tertawa. “Mari kita semua pergi dan makan daging anjing itu. Siapa yang tidak
ikut, maka dia adalah anak haram cucu kura-kura!”
Hoa Ban-lau tersenyum.
“Tampaknya masih ada gunanya
bila berbuat baik,” ia berkata dengan lambat.
“Sesekali memang tak apa-apa,”
Liok Siau-hong menjawab, “tapi aku tak mau membiasakan diri berbuat baik.”
“Kenapa tidak?” Hoa Ban-lau
tak tahan untuk tidak bertanya.
“Hanya orang baik yang mati
muda, aku yakin kau pernah mendengar pepatah ini.” Liok Siau-hong berkata
dengan muka yang dibuat kaku.
Walaupun dia memasang muka
kaku, tapi matanya telah digenangi oleh air mata.
Tan-hong Kiongcu memandang mereka
sebentar, sebelum dengan tiba-tiba, dan dengan sangat perlahan, menarik nafas
dan berkata pada dirinya sendiri: “Siapa pun yang mengatakan tidak ada gunanya
berbuat baik adalah anak haram cucu kura-kura.”
______________________________
Daging anjing telah terjual
habis. Tapi mereka tidak perduli.
Mereka bukannya benar-benar
ingin makan daging anjing. Yang mereka inginkan adalah emosi yang lebih mampu
menghangatkan tubuh daripada sekedar daging anjing. Tidak ada pengiring arak
yang lebih baik di dunia ini daripada emosi itu.
Apalagi, saat matahari terbit,
seorang penunggang kuda datang dan menyampaikan sehelai surat dari Ho
Thian-jing.
“Fajar akan selalu tiba, apa
salahnya bila persoalan hari ini diselesaikan besok? Hari esok selalu tiba, apa
salahnya bila persoalan besok diselesaikan hari esoknya lagi? Orang lain tidak
menggangguku, kenapa aku harus mengganggu orang lain? Masalah Rajawali Emas,
bisa diselesaikan kapan saja. Bila suatu hari nanti Puteri datang berkunjung,
maka saat itu akan menjadi hari berakhirnya pengembaraan. Sekali harta yang
indah kehilangan kilaunya, dia menjadi bunga-bunga kuning di hari esok dan
bersinar berabad-abad. Kesetiaan pribadi hanyalah 2 kata. Thian-jing
mengucapkan selamat jalan.”
Baru menerima sehelai surat ini
saja seperti telah minum beratus-ratus cawan arak selama tiga hari
berturut-turut, apalagi dengan adanya emosi yang menghangatkan hati yang tak
akan mungkin bisa didinginkan oleh hujan badai sekali pun.
______________________________
Badai mulai mengamuk saat
tengah hari, ketika setiap orang sudah mabuk. “Belum pergi sebelum kecanduan.”
Seperti kata pepatah itu, setelah mabuk barulah mereka pergi.
Liok Siau-hong mabuk tapi
tidak terlalu mabuk, hampir kecanduan tapi tidak benar-benar kecanduan, bahkan
ia sendiri tak tahu apakah ia benar-benar mabuk atau tidak. Ia tidak berbuat
apa-apa selain berdiri di dekat jendela sambil melihat badai yang mengamuk di
luar sana.
Tan-hong Kiongcu memandangnya
beberapa lama.
“Jika kau tidak pergi, apakah
semua orang itu akan mati?” Tiba-tiba dia bertanya.
Liok Siau-hong diam. Diam
untuk waktu yang lama.
“Apakah kau mengerti arti kata
pepatah: ‘ada yang harus, ada yang tidak’?” Ia menjawab dengan lambat.
“Tentu saja aku faham.
Artinya, jika kau yakin hal itu seharusnya tidak dilakukan, maka tidak perduli
apa yang orang lain lakukan padamu, baik itu mengganggumu, mengancammu, bahkan
jika mereka menodongkan pisau ke lehermu, kau tak akan pernah melakukannya;
tapi jika kau yakin hal itu harus dilakukan, biar pun kau akan kehilangan
nyawamu, kau pun tetap akan melakukannya.”
Liok Siau-hong mengangguk.
“Itulah sebabnya kenapa ada
orang yang rela menelan arang yang membara untuk menolong sahabatnya dan kenapa
ada pula orang yang menggunakan sebuah gada seberat 40 kilogram untuk membunuh
seorang tiran.”
{Catatan: Liok Siau-hong
mengambil 2 cuplikan sejarah di sini. Yang pertama adalah tentang usaha
pembunuhan terhadap Chin Sih Huang-ti, kaisar pertama Cina, yang hampir saja
mengenai kereta kudanya. Peristiwa itu didalangi oleh Siang Liang, paman Siang
Yu yang termasyur, yang akhirnya mampu mengakhiri kekuasaan dinasti Chin. Yang
kedua adalah dari kisah Feng Sheng Bang.}
“Itulah sebabnya Ho Thian-jing
rela membalas budi Giam Thi-san dengan nyawanya,” Tan-hong Kiongcu segera
menyambung, “dan karena itu pulalah San Say-gan dan orang-orangnya tidak
mengedipkan mata sedikit pun juga untuk menggunakan nyawa mereka buat
melindungi Ho Thian-jing.”
“Tidak perduli apa pun yang
terjadi, asal mereka ingat 2 frasa kata pepatah tadi, mereka tak akan
mengkhianati 2 kata ini: kesetiaan dan kepercayaan.”
“Tapi di dunia ini ada berapa
banyak orang yang benar-benar tidak mengkhianati kedua kata itu?”
Dengan cawan berada dalam
genggaman tangannya, Hoa Ban-lau bergumam: “’Sekali harta yang indah kehilangan
kilaunya, dia menjadi bunga-bunga kuning di hari esok dan bersinar
berabad-abad. Kesetiaan pribadi hanyalah 2 kata’. Hebat, Ho Thian-jing memang
hebat! Aku hampir saja memandang rendah dirinya.”
Ia mengangkat cawannya dan
meneguk arak di dalamnya dengan gembira, sepertinya ia sendiri pun telah mabuk.
“Sayang sekali peristiwa yang
menimpa So Siau-eng telah terjadi. Dia masih muda. Seharusnya dia tidak mati,
seharusnya belum mati.”
Suaranya semakin lemah dan
lemah. Sambil meletakkan kepalanya di atas meja, tampaknya dia telah tertidur
lelap.
Tan-hong Kiongcu diam-diam
berjalan ke jendela dan menggenggam tangan Liok Siau-hong dalam tangannya
sendiri.
“Apakah kau masih marah
padaku?” Ia bertanya dengan suara yang lembut.
“Kapan aku marah padamu?”
Tan-hong Kiongcu tersenyum dan
menundukkan kepalanya sedikit secara menggoda.
“Apakah kau takut menemukan
orang yang keliru hari ini?” Ia bertanya perlahan.
Nafasnya lembut, jari-jarinya
terasa sedikit gemetar, dan rambutnya membawa aroma yang lebih harum daripada
bunga-bunga segar.
Liok Siau-hong mungkin seorang
kuncu (laki-laki sejati), dan mungkin juga tidak, tapi dia tetaplah seorang
laki-laki.
Seorang laki-laki yang sedang
terhuyung-huyung di tepian samudera kebahagiaan.
Di luar sana, hujan terus
turun, seperti tirai air yang rapat.
Di dalam sini suasana sepi dan
gelap, seolah-olah hari telah senja.
Jika kau melihat ke dalam
ruangan itu lewat pintunya yang terbuka di bagian belakang, maka kau bisa
melihat sebuah ranjang baru.
Liok Siau-hong tiba-tiba
menyadari bahwa jantungnya berdebar-debar tak keruan, tiba-tiba ia juga
menyadari bahwa jantung Siangkoan Tan-hong pun berdebar-debar tak keruan.
“Jantungmu berdebar-debar.”
“Jantung siapa yang berdebar
lebih kencang?”
“Siapa yang tahu?”
“Aku akan menyentuh jantungmu,
dan kau menyentuh jantungku…..”
Tiba-tiba, di antara suara
hujan badai yang seperti suara puluhan ribu ekor kuda yang berlarian ke sana ke
mari, terdengar suara kaki kuda di luar sana. Kira-kira selusin penunggang kuda
sedang mendekati tempat itu dengan kecepatan tinggi walaupun berada di tengah
hujan badai.
Para penunggang kuda itu
berbaju hijau, dan memakai topi bambu berwarna putih. Ketika mereka lewat di
depan jendela, tiba-tiba mereka semua mengangkat tangan.
Terdengar suara “wus!”, “wus!”
beberapa kali, suaranya lebih nyaring daripada suara tetesan hujan dan lebih
cepat daripada suara derap kaki kuda. Beberapa larik sinar hitam pun terlihat,
ada yang meluncur masuk ke ruangan itu lewat jendela, ada yang membentur dinding
luar.
Liok Siau-hong memiringkan
tubuhnya dan menarik Tan-hong Kiongcu ke samping jendela.
Tapi Hoa Ban-lau, yang sedang
berbaring di atas meja, tiba-tiba bangkit dan berseru: “Siu-hong-pi-lik-tan
(peluru belerang, semacam granat jaman sekarang)!”
Ia belum menyelesaikan
kalimatnya ketika, dengan suara letusan yang memekakkan telinga, ke mana pun
sinar hitam itu melayang, baik di dalam atau di luar kamar, meledak menjadi
nyala api setinggi beberapa puluh meter. Nyala api berwarna merah darah yang disertai
dengan sedikit warna hijau.
“Kalian berdua keluar dari
sini, aku akan menyelamatkan si Burik Tio!” Liok Siau-hong berseru.
Si Muka Burik Tio sudah pergi
tidur, tadi mereka mendengar suara dengkurnya.
Tapi api seolah-olah
menghalangi jalan mereka ke pintu, bahkan dinding luar pun terbakar walaupun
terus-menerus disiram oleh air hujan.
Hoa Ban-lau memegang tangan
Tan-hong Kiongcu dan menariknya ke luar. Para penunggang kuda itu telah berlari
menjauh. Suara tawa mereka yang menggila bisa terdengar di tengah derasnya air
hujan beserta sebuah pesan dari salah seorang dari mereka.
“Liok Siau-hong! Ini hanya
peringatan kecil! Jika kau tidak mau menerima kenyataan dan segera berhenti,
maka kami menjamin bahwa tidak ada orang yang akan bisa menguburkan mayat
kalian!”
Saat kata-kata terakhir
terdengar, para penunggang kuda beserta kudanya itu telah menghilang di balik
tirai tetesan air hujan.
Berpaling ke belakang, warung
kecil milik si Muka Burik Tio telah ditelan api seluruhnya. Liok Siau-hong
tidak terlihat di mana-mana.
Siangkoan Tan-hong
mengkertakkan giginya dan menoleh ke arah Hoa Ban-lau: “Kau tunggu di sini, aku
akan masuk untuk mencarinya.”
“Jika kau masuk ke sana
sekarang, kau tak akan bisa keluar.” Hoa Ban-lau menjawab.
“Tapi dia?…..”
“Jangan khawatir,” Hoa Ban-lau
tersenyum. “Dia akan keluar. Bahkan api yang lebih besar dari ini pun tidak
mampu membunuhnya.”
Saat itu juga, dari kejauhan,
tiba-tiba terdengar serentetan suara tangisan dan jeritan yang mengerikan,
seperti suara segerombolan hewan yang terkurung dalam perangkap. Tapi
suara-suara jeritan itu segera berhenti dengan cepat.
Setelah suara jeritan itu
berhenti, suara ringkik kuda yang ketakutan yang tadinya tertutupi oleh suara
jeritan itu sekarang bisa terdengar.
Raut wajah Siangkoan Tan-hong
berubah secara dramatis: “Mungkinkah orang-orang itu telah menemui kematian di
tangan orang lain?”
“Bum!” Tiba-tiba sebuah lubang
muncul di atap rumah yang ditelan api itu, seperti sebuah peluru meriam,
seseorang terbang keluar dari lubang itu dan, saat melayang di udara, di tengah
hujan yang deras, bersalto sekali dan mendarat di atas tanah. Sambil
bergulingan di tanah, orang itu memadamkan api di tubuhnya, tapi pada pakaian
dan rambutnya ada beberapa bagian yang telah hangus dimakan api.
Tapi dia tidak perduli sama
sekali dan melompat bangkit. Orang itu tak lain tak bukan adalah Liok
Siau-hong.
“Tampaknya kau benar-benar tak
bisa membakar orang ini sampai mati!” Siangkoan Tan-hong menarik nafas dan
bergumam sendiri.
“Yah, benar-benar bukan tugas
yang mudah bila ingin membakarku sampai mati.” Liok Siau-hong sepakat.
Ia mungkin sedang tersenyum,
tapi wajahnya benar-benar hitam karena asap.
Sambil memandang wajahnya,
Siangkoan Tan-hong tertawa. “Tapi kau dulu memiliki 4 alis mata, sekarang kau
hampir tidak punya satu pun!”
“Bukan masalah jika semua alis
mataku hilang,” Liok Siau-hong menjawab dengan santai. “Sayangnya kendi-kendi
arak itu…..”
“Di mana si Muka Burik Tio?”
Hoa Ban-lau tiba-tiba memotong.
“Tak tahu.”
“Dia tidak ada di dalam?”
“Tidak.”
Wajah Siangkoan Tan-hong
kembali berubah.
“Mungkinkah dia juga anggota
Jing-ih-lau? Mungkinkah dia berkomplot dengan orang-orang itu sejak awal? Kalau
tidak, bagaimana mereka bisa tahu kau ada di sini?”
Ia meneruskan dengan nada yang
pahit: “Kau mengambil resiko untuk menyelamatkan dirinya, dan karena itu alis
matamu hangus terbakar. Tapi ternyata dia hanya orang seperti itu.”
“Aku hanya tahu kalau dia bisa
membuat daging anjing yang rasanya paling enak.”
“Dan kau tidak tahu apa-apa
lagi tentang dirinya?”
“Dan aku tak tahu apa-apa lagi
tentang dirinya.”
Siangkoan Tan-hong hanya bisa
melotot padanya dan menarik nafas.
“Kenapa orang lain mengatakan
bahwa kau punya 2 otak?” Ia bergumam pada dirinya sendiri. “Menurutku, dia
bahkan…..”
Tiba-tiba dia berhenti, karena
dia tiba-tiba melihat seseorang berjalan menghampiri mereka dalam derasnya air
hujan.
Seorang yang bertubuh sangat
besar dan jangkung, mengenakan sebuah topi bambu dan membawa sebatang tongkat
bambu di pundaknya. Di tongkat itu tergantung beberapa macam benda, dia tak
bisa menebak benda apa saja itu.
Tapi dia tahu bahwa orang ini
tak lain tak bukan adalah si Muka Burik Tio.
Liok Siau-hong tersenyum.
“Kau tak boleh semarah itu
pada semua orang,” dia menegur. “mungkin orang jahat di dunia ini tidak
sebanyak yang kau kira, masih ada…..”
Tiba-tiba dia juga berhenti,
karena dia telah melihat bahwa benda-benda yang tergantung di tongkat bambu si
Burik Tio adalah potongan tangan.
Tangan manusia. Walaupun
darahnya sudah tersapu oleh air hujan, tapi jelas tangan-tangan itu baru saja
dipotong. Tiga belas atau empat belas potong tangan, terikat oleh sehelai
sabuk, tergantung di tongkat bambu tersebut.
Di ikat pinggang si Muka Burik
Tio ada sebilah pisau, pisau tukang jagal, yang biasa digunakan untuk membunuh
anjing.
“Ternyata kau bukan hanya bisa
membunuh anjing, tapi juga manusia!” Liok Siau-hong berkata sambil memandangnya
dengan heran.
Si Muka Burik Tio tersenyum
mendengar komentar itu.
“Aku tidak tahu cara membunuh
anjing, aku hanya membunuh manusia.”
Liok Siau-hong memandangnya
lagi selama beberapa saat.
“Kau bukan si Muka Burik Tio.”
Akhirnya ia menarik nafas.
“Siapa yang mengatakan aku
adalah si Muka Burik Tio?” Orang itu tertawa.
Bila tertawa, selain mulutnya
yang besar itu terbuka sedikit, tidak ada lagi yang berubah di mukanya.
“Siapa kau?” Liok Siau-hong
bertanya.
Mata orang itu berkilat-kilat
mendengar pertanyaan tersebut.
“Kau juga tidak tahu siapa
aku? Wah, kurasa keahlian menyamarku sudah jadi yang terbaik di dunia
sekarang.”
Liok Siau-hong
memperhatikannya lagi, tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
“Sayangnya keahlianmu bersalto
masih tidak sebanding…..”
“Orang ini adalah pencuri
kecil yang barusan kau ceritakan itu?” Siangkoan Tan-hong bahkan tidak menunggu
ucapannya selesai sebelum berseru.
“Benar.” Orang itu menarik
nafas. “Aku orang yang bertanding salto dengan dia, Sukong Ti-sing. Tapi aku
bukan pencuri kecil, aku pencuri besar!”
“Aku tahu,” Siangkoan Tan-hong
menjawab dengan manis. “Kau bukan hanya seorang pencuri besar, kau adalah si
Raja Pencuri! Kau tidak punya tandingan di dunia!”
“Aku bukannya mau
menyombongkan diri tentang hal ini,” Sukong Ti-sing berkata, sambil
membusungkan dadanya. “Bila kau bicara tentang mencuri, bahkan Liok Siau-hong
yang di sana itu pun takut melawanku. Sekarang katakan, siapa yang mau
bertanding denganku?”
“Kau bisa menyamar jadi siapa
saja, kenapa harus jadi si muka burik tukang jagal anjing?” Siangkoan Tan-hong
bertanya.
“Wah, itu ada alasannya,”
Sukong Ti-sing tertawa dan menjawab. “Kau tahu, jika kau menyamar jadi orang
bopeng, maka sangat sukar bagi orang lain untuk melihat samaranmu.”
“Kenapa?”
“Kapan terakhir kalinya kau
melihat ada orang yang memperhatikan muka bopeng orang lain dengan teliti?”
Siangkoan Tan-hong tertawa.
“Jadi ada alasannya kenapa
menyamarkan diri seperti itu ya?”
“Tentu saja.”
“Kapan kau tiba di sini?” Liok
Siau-hong mengerutkan keningnya.
“Dua hari yang lalu.”
“Untuk apa?”
“Menunggumu!”
“Menungguku?”
“Karena jika kau ingin mencari
si tua Giam, ini tentu tempat yang harus kau lewati. Di samping itu, sekarang
kau berada di daerah TaiYuan, tak mungkin kau tak akan datang dan mencicipi
sedikit daging anjing si Muka Burik Tio.”
Ia menarik nafas dengan
pasrah.
“Bahkan aku pun harus mengakui
bahwa daging anjing rebus ini tak ada tandingannya di dunia,” ia meneruskan.
“Itulah sebabnya kau
mengatakan bahwa daging anjing telah habis terjual, karena kau khawatir hal itu
akan menyingkap identitasmu yang sebenarnya.”
“Tak perduli apa,” Sukong Ti-sing
menjawab, sambil tertawa, “paling tidak aku akhirnya bisa menipumu, setan.”
“Jadi untuk apa kau
menungguku?”
“Apa yang biasa aku lakukan?”
“Kau ingin mencuri dariku?”
“Asal kau bisa menyebutkannya,
aku bisa mencurinya!” Sukong Ti-sing menyombongkan diri.
“Apa yang akan kau curi
dariku?”
“Kau benar-benar ingin tahu?”
“Jika kau tak berani
mengatakannya, aku tak akan memaksamu,” Liok Siau-hong menjawab dengan santai.
“Kenapa aku harus takut
mengatakannya?” Sukong Ti-sing gusar dan menatapnya dengan marah.
“Jadi apa yang ingin kau
curi?” Siangkoan Tan-hong akhirnya mendesak dan bertanya.
“Kau.”
Mata Siangkoan Tan-hong
terbelalak heran.
“Seseorang menawarkan hadiah
20.000 tael perak bila aku mencurimu.”
“Tak mungkin aku bernilai
20.000 tael perak…..” Siangkoan Tan-hong belum menyelesaikan ucapannya, karena
mukanya sudah merah hingga ke telinga.
“Tapi alasan orang itu
menginginkan aku mencurimu bukanlah alasan seperti yang engkau pikirkan,”
Sukong Ti-sing tertawa.
Dengan wajah yang masih merah
padam, Siangkoan Tan-hong tak tahan untuk tidak berseru: “Bagaimana kau tahu
alasan yang aku pikirkan?”
Sukong Ti-sing
mengedip-ngedipkan matanya, tapi tidak menjawab.
“Apa yang diinginkan orang
itu?” Siangkoan Tan-hong bertanya. “Siapa orang itu?”
Sukong Ti-sing masih tidak
menjawab.
“Ia tak akan memberitahunya,”
Liok Siau-hong menarik nafas. “Dalam profesinya, jika dia memberitahukan
rahasia majikannya, lalu siapa lagi yang mau datang untuk memberinya
pekerjaan?”
“Pencuri juga punya majikan
yang memberikan mereka pekerjaan?” Siangkoan Tan-hong bertanya.
“Sudah kubilang, dia berbeda.
Dia tak pernah mencuri barang sembarangan.”
“Tapi aku tetap harus makan!”
Sukong Ti-sing menambahkan. “Itulah sebabnya aku hanya mencuri bila orang
datang kepadaku dan meminta bantuanku dengan imbalan uang yang amat besar.”
“Hanya saja tidak banyak orang
yang mampu menawarkan uang yang cukup untukmu.”
“Benar, sangat sedikit.”
“Maka, biarpun tidak kau
beritahukan, aku tahu siapa yang menyewamu kali ini.”
“Apakah kau tahu atau tidak,
itu adalah urusanmu. Apakah kuberitahukan atau tidak, itu adalah urusanku.”
“Tak perduli apakah aku tahu
atau tidak, kau tak akan memberitahu, kan?”
“Benar.”
“Lalu kenapa kau tiba-tiba
berubah pikiran dan memberitahuku tentang rahasia ini?”
“Kau mengambil resiko untuk
menyelamatkanku dalam kebakaran tadi, dan hampir kehilangan alis matamu
karenanya,” Sukong Ti-sing menarik nafas. “Bagaimana aku tega mencuri temanmu
ini?”
“Kelihatannya kau bukannya tak
bisa diperbaiki.”
“Benar lagi.”
“Jika kau tega, apakah kau
benar-benar bisa mencuriku?” Siangkoan Tan-hong tak mampu menahan perasaannya
lagi, memotong dengan suara yang keras.
“Jangan lupa,” Sukong Ti-sing
menyombongkan dirinya. “aku adalah si Raja Maling! Tak ada di dunia ini yang tak
bisa kucuri.”
“Aku ingin mendengar bagaimana
kau merencanakannya.” Siangkoan Tan-hong mendengus.
“Pernahkah kau mendengar ada
tukang obat yang memberitahukan orang lain tentang rahasia pekerjaannya?”
“Tidak.”
“Nah, ini juga rahasia
pekerjaanku,” Sukong Ti-sing berkata. “maka tidak akan kuberitahukan padamu.”
Siangkoan Tan-hong melotot
padanya dengan marah.
“’Di antara sepuluh muka
bopeng, 9 di antaranya tentu orang aneh’, kau memang si muka bopeng!” Tiba-tiba
ia berkata.
“Siapa yang mengatakan itu?”
Sukong Ti-sing meliriknya dan bertanya.
“Aku! Jika tidak, robeklah
topeng muka bopengmu itu dan biarkan aku melihat seperti apa tampangmu itu!”
Siangkoan Tan-hong menjawab.
“Itu tidak mungkin!”
“Kenapa tidak?”
“Bagaimana jika kau jatuh
cinta padaku? Lalu Liok Siau-hong akan mengajak bertanding salto lagi! Terakhir
kali kami bertanding salto, aku jadi sakit dan mual-mual, aku tak mau
mengalaminya lagi.”
Wajah Siangkoan Tan-hong
memerah dan, walaupun berusaha ditahan, dia pun tertawa.
“Tangan-tangan siapa itu?”
Liok Siau-hong bertanya.
“Orang-orang yang membakar
rumah.”
“Kau mengejar mereka?”
“Aku kan pura-pura jadi si
Muka Bopeng Tio. Jika seseorang membakar rumahnya, paling tidak aku harus
membantunya mendapatkan sedikit keadilan.”
“Jadi kau potong tangan mereka
supaya mereka tidak bisa membakar rumah orang lagi.” Siangkoan Tan-hong menarik
kesimpulan.
“Aku juga berencana menjual
kuda-kuda mereka untuk diberikan kepada si Muka Bopeng Tio.”
“Di mana orang-orang itu
sekarang?” Liok Siau-hong bertanya.
“Di hutan sana, aku
meninggalkan mereka di sana khusus untukmu.”
"Untuk apa?”
“Mereka berusaha membakarmu
sampai mati,” Sukong Ti-sing menjawab, “apakah kau tidak ingin memeriksa mereka
dan menanyakan alasannya?”