Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 4

 
Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 4
Sifatnya Hian Kie justeru sebaliknya daripada sifatnya Siangkoan Thian Ya. Pemuda she Siangkoan ini sangat menyinta, ia dapat tak memperdulikan apa juga. Hian Kie tenang, dia dapat berpikir jauh, maka meskipun dia sangat menyintai So So, dia masih dapat menguasai hatinya. Dia sangsi, kalau So So berpisah dari ayahnya, ia dapat hidup senang dan berbahagia. Ya, dia sangat bersangsi. Dan kapan dia ingat akan kedukaannya Nyonya In, tanpa merasa dia menggigil sendirinya, hatinya menjadi kecil.

"Umpama kata So So menyatakan menyesal, sepatah kata saja, pastilah sudah, seumur hidupku aku bakal menyesal?" demikian pikirnya pula. Tapi, dia pun tidak dapat melupakan si nona, jangan kata untuk meninggalkannya.

Maka itu Hian Kie mengharap-harap So So lekas-lekas keluar, untuk mereka bertemu pula. Ia menanti dengan sia-sia, hingga ia seperti habis sabar. Lama rasanya ia menunggu. Rupanya pembicaraan So So dengan ayahnya itu tak ada habis-habisnya... Sebenarnya ia tidak menantikan terlalu lama, hanya seperti merasakan sedetik atau semenit bagaikan sebulan atau setahun...

Oleh karena ini, perlahan-lahan Hian Kie membuka pintu pojok akan bertindak keluar. Di dalam hatinya, ia berkata: "Baiklah, aku akan jadi si terdakwa, aku menantikan hukuman yang dijatuhkan So So!..."

Pemuda ini menduga, mestinya Boe Yang bicara dengan gadisnya itu perihal perjodohan, jodohnya si anak dara. Ia tidak menyangka sama sekali, Boe Yang justeru membeber perbuatannya yang keliru dan berdosa.

Tengah hatinya tidak tenteram itu, Hian Kie mendapat dengar satu suara nyaring.

"Itulah suaranya Thian Ya," ia berkata di dalam hati. Ia kenal baik suaranya sahabat itu. "Apakah telah terjadi dengannya?"

Tanpa bersangsi lagi, anak muda ini lari ke arah dari mana suara itu datang. Thian Ya telah berani berkurban untuk menolongi ia, maka ia pun harus bersedia akan membantu sahabat itu.

Ia lari masuk ke dalam rimba yang lebat. Di sana ia mendengar suara seperti tongkat besi membentur-bentur tanah. Suara itu berada di sebelah depannya. Maka ia lantas lari keras. Hanya aneh, ia telah berlari-lari dengan ilmu ringan tubuh Patpouw Kansian, masih ia belum dapat menyandak.

Kembali terdengar suara tajam tadi. Benar-benar suaranya Siangkoan Thian Ya. Agaknya suara itu mengandung rasa kaget atau takut. Apakah sudah teijadi pada pemuda yang nyalinya besar, umpama kata "tak takut langit, tak takut bumi?"

Hian Kie berlambat sedikit karena berpikirnya itu, lalu suara tongkat besi terdengar semakin jauh. Bahkan arahnya suara itu pun membuatnya ragu-ragu.

Adalah di itu waktu, kupingnya mendapat dengar nyanyian seorang wanita:

"Rembulan di langit mengejar sang Surya,

Nona di bumi mengejar kekasihnya..."

Terang sekali itu suaranya Oen Lan. Maka sekarang Hian Kie berlari-lari ke arah nyanyian itu. Ia sudah lari serintasan atau suara itu tak terdengar pula.

Letih Hian Kie, satu malam ia telah tidak tidur, pengalamannya pun hebat. Dengan hati bersangsi, ia berhenti lari malah ia lantas menyendertan diri pada sebuah pohon. Hendak ia menghilangi lelahnya.

Belum lama ia berdiri menyender, tiba-tiba ia mendengar suara apa-apa di dekatnya. Ia heran, semangatnya pun jadi terbangun pula. Kembali ia mendengar suara itu.

Itulah tertawa yang hebat, yang menggetarkan telinga. Tertawa itu bagaikan mengaung. Begitu tertawa berhenti, ia mendengar suara orang berkata: "Siangkoan Thian Ya, kau kena dibikin kaget olehku si makhluk aneh, bukan?"

Dalam herannya, Hian Kie bertindak dengan perlahan. Hendak ia melihat, siapa orang itu. Benarkah dia ada bersama Thian Ya, sahabatnya itu? Ia tidak berani lantas muncul, ia mengintai.

Apa yang pemuda ini tampak membuatnya terkejut, hatinya giris.

Di sana ada seorang dengan roman luar biasa, mukanya penuh dengan tapak luka-luka, sudah tangannya buntung sebelah, kakinya pun pincang. Dia menunjang diri dengan menancap tongkat besinya di tanah. Dialah yang bicara sama Siangkoan Thian Ya, yang berada di hadapannya.

Sebisanya Hian Kie menenangkan diri, ia mengawasi terus. Tapi hatinya berpikir.

"Pantas Thian Ya menjerit, kiranya ia terjatuh di dalam tangannya hantu?..."

Hampir Hian Kie mengeluarkan senjata rahasianya, untuk menyerang, atau ia dengar suara sahabatnya.

"Lootjianpwee, aku menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu membawa aku keluar dari kurungan," demikian sahabat itu. "Cuma... cuma...."

Hian Kie melengak. Tentu sekali batal ia menyerang.

"Kiranya dialah yang menolongi Thian Ya," pikirnya. Ia tarik pulang tangannya yang sudah dimasuki ke dalam kantung senjata rahasianya itu.

Manusia aneh itu memang benar Pit Leng Hong adanya, si Pengemis Pendekar. Ketika baru ditolongi, Thian Ya tidak dapat melihat muka orang. Guha gelap. Setibanya di luar, di sinar sang pagi, baru ia mendapat lihat jelas. Tentu sekali ia menjadi kaget. Hanya, setelah mengawasi pula sekian lama, ia mendapatkan pada wajah sangat jelek dan menakuti itu sinar dari kehalusan budi. Ia telah kematian ayah dan ibunya semenjak masih kecil, sebagai anak yatim piatu ia menjadi besar, maka itu, ia kehilangan cinta kasihnya orang tuanya. Sesudah itu, ia dirundung malang karena cintanya tak dibalas Siauw Oen Lan, si nona yang berlaku tawar terhadapnya, sebab nona itu sebaliknya tergila-gila pada Hian Kie. Ia laki laki sejati, ia tidak benci Hian Kie, bahkan ia memaksakan Hian Kie menerima cintanya si nona, karena mana mereka jadi bentrok. Sekarang, di saat ia terkurung dan hatinya tidak keruan rasa, ia ditolongi ini makhluk aneh, bahkan orang ini agaknya menaruh belas kasihan terhadapnya.

Maka itu, walaupun heran, ia menghaturkan terima kasihnya.

Pit Leng Hong tersenyum, hingga kulit mukanya yang rusak itu bergerak-gerak, memperlihatkan wajahnya yang jelek dan menakuti itu. Hian Kie pun melihatnya hingga hatinya seperti ciut. Tapi Thian Ya sekarang ia tak takut lagi, ia malah mengawasi dengan tajam.

Kembali Leng Hong tertawa.

"Cuma apa? Cuma apa?" dia menanya.

"Di dalam hatiku aku telah bersumpah, kecuali dengan kepandaian sendiri, tidak sudi aku keluar dari guha itu!" sahut Thian Ya.

"Jikalau begitu, kau jadi menyesalkan aku sudah menolongi kau?"

"Untuk menyesali, itulah aku tidak berani. Yang benar adalah aku hendak menanti sampai telah sempurna peryakinan ilmu silatku, itu waktu barulah aku ingin membuat perhitungan dengan si orang she In, untuk membalas penghinaannya yang sudah merampas kitab ilmu pedang."

"Satu laki laki biasa tak sudi berhasilnya dibantu lain orang, sifat dan tabiatmu ini cocok dengan sifat dan tabiatku si makhluk aneh tua bangkotan. Cumalah kau tidak pernah memikirkan suatu hal lainnya. Umpama kata kau berhasil dengan peryakinanmu di dalam guha itu, bukankah karena itu kau telah menerima budinya In Boe Yang?"

Thian Ya mementang kedua matanya.

"Bagaimana itu?" ia menanya.

"Aku ketahui baik hatimu! Jikalau In Boe Yang ambil kau sebagai murid, kau tidak sudi menerimanya. Inilah In Boe Yang tahu, maka ia kurung kau di dalam guhanya itu. Bukankah di tembok-tembok guha itu ada peta-peta dan gambar dari ilmu silat pedang? Di dalam hatimu, kau percaya semua peta itu adalah sarinya ilmu silat pedang, yang kau anggap ada kepunyaan partaimu, maka itu, asal bukan In Boe Yang sendiri yang mengajarinya, bolehlah kau mempelajarinya. Pelajaran ini jadinya tidak bertentangan sama hatimu. Benar bukan?"

Siangkoan Thian Ya mengangguk. Tepat orang menduga hatinya. Sebagai orang jujur, ia tidak mau menyangkal.

"Kenapa In Boe Yang mengurung kau di dalam guhanya?" Pit Leng Hong tanya. "Bukankah itu disebabkan keinginannya supaya kau dapat mencapai minatmu mempelajari ilmu pedang itu?"

Soal memang sederhana sekali, tetapi Thian Ya dipengaruhkan sangat keinginannya belajar hingga sempurna, untuk ia dapat menuntut balas, maka itu, ia tidak memusingkan otak untuk berpikir sampai di situ. Sekarang, setelah diberikan keterangan, ia menjadi lesuh.

"Kau ingin menyempurnakan ilmu silatmu," berkata pula Leng Hong. "Gampangkah itu? Bukankah sedikitnya kau harus mengambil tempo sepuluh tahun? Syukur kalau In Boe Yang masih hidup, kalau apa celaka ia mati, siapa nanti membawakan kau barang makanan? Apakah kau dapat tinggal tetap di dalam guha? Bukankah kau toh bakal keluar juga? Kau mirip satu bocah kepala batu, kau turuti saja hatimu di satu saat, lantas kau tidak memikirkan lainnya lagi. Meskipun begitu, aku suka dengan kepala batumu ini! Untuk kau sendiri dapat menuntut balas, itulah tidak susah. Aku tanggung, di dalam tempo tiga tahun, kau bakal dapat merampungkan pelajaranmu!"

Walaupun apa yang ia telah dengar semua, Thian Ya tetap sama putusannya.

"Tidak!" sahutnya. "Aku tidak dapat mengangkat kau sebagai guru!"

Pit Leng Hong tertawa.

"Apakah kau menyangka aku hendak memaksa kau mengangkat aku jadi gurumu?" ia tanya.

Thian Ya tidak menjawab, hanya ia kata: "Aku mesti pulang dulu ke gunungku guna memberitahukan kepada ketua dari partaiku, habis itu, apabila di lain hari kita masih berjodoh untuk bertemu pula, itu waktu barulah aku akan minta kau loodjinkee, memberi petunjuk padaku."

Thian Ya menghormati aturan Rimba Persilatan. Soal menukar guru ialah soal besar sekali. Beda kalau orang dengan suka sendiri mengajari beberapa jurus ilmu silat, pada itu tidak ada soal guru dengan murid, itu tidak termasuk dalam larangan. Tapi Thian Ya adalah murid ahli waris, maka juga, sekalipun dalam urusan pribadi, ia mesti memberitahukan dulu ketuanya.

Pit Leng Hong tertawa mendengar keberatan orang itu.

"Untuk memberitahukan ketuamu itu, perlu apa kau sampai mesti pulang ke gunungmu?" ia berkata. "Sekarang ini ke lima-limanya tua bangka dari partaimu senantiasa membuntut di belakangmu! Tak tahukah kau hal itu?"

Siangkoan Thian Ya melengak.

"Apa kau bilang, loodjinkee? Kelima paman guruku itu semua berada di sini?"

Dengan "paman-guru" itu, Thian Ya maksudkan paman gurunya yang tua dan yang muda, yaitu soepee dan soesiok.

Pit Leng Hong bersenyum.

"Sebenarnya, begitu kaki depanmu turun gunung, kaki belakang mereka sudah lantas ikut bertindak keluar dari pintu kuilnya!" sahutnya. "Sekarang ini, aku kuatir, mereka sudah berada di gunung depan dan tengah berhadapan dengan In Boe Yang untuk meminta orang, ialah meminta kau dipulangkan kepada mereka? Apakah kau ingin bertemu sama mereka itu?"

Perkataannya Pit Leng Hong benar. Dugaannya itu tepat. Memang ketika itu Boetong Ngoloo tengah menempur In Boe Yang, mereka sampai mesti menggunai pukulan Ngoloei Thiansim Tjiang.

Siangkoan Thian Ya memasang kupingnya, lapat-lapat ia dapat mendengar suara angin keras seperti menggelegarnya guntur.

Siangkoan Thian Ya berdiam. Sunguh-sungguh ia tidak mengerti. Ia bagaikan terbenam di dalam kabut.

"Ah, mengapa mereka dapat mengetahui aku pergi ke Holan San ini untuk mencari In Boe Yang?" ia mengoceh seorang diri. "Karena dengan diam-diam mereka menguntit aku? Seharusnya mereka memberitahukan dahulu kepadaku..."

Siangkoan Thian Ya telah menerima pesan terakhir dari gurunya yaitu Bouw It Siok, untuk dia pergi kepada In Boe Yang guna meminta pulang kitab ilmu pedang kepunyaan Bouw Tok It. Pesan itu ada pesan yang seperti dirahasiakan dan Thian Ya juga belum pernah memberitahukan itu kepada siapa juga, cuma sebelumnya ia turun gunung, untuk pergi ke Holan San, ia telah meninggalkan sepucuk surat wasiat untuk Tie Wan Tiangloo dalam mana ia memesan surat itu baru boleh dibuka dan dibaca selewatnya satu tahun. Pesan ini pun ada hubungan sama pikirannya Bouw It Siok. Telah dipikir It Siok, umpama kata In Boe Yang suka membayar pulang kitab itu, di dalam tempo satu tahun Thian Ya tentu telah dapat kembali ke Boetong San, dengan begitu suratnya Thian Ya tersebut bisa diambil pulang tanpa sampai dibaca Tie Wan Tiangloo, surat itu boleh dibakar habis dengan tidak usah dibuka lagi. Secara demikian, Boetong Ngoloo jadi tak usah mengetahui tentang urusan kitab itu, dan dengan begitu juga, In Boe Yang jadi tidak usah hilang muka atau menjadi jengah. Tapi, andaikata di dalam satu tahun Thian Ya tidak pulang, itu artinya ia berada dalam bahaya atau lainnya kejadian yang tidak disangka-sangka, maka dengan membaca surat Thian Ya itu, bolehlah Boetong Ngoloo pergi menuntut balas. Siapa tahu, Boetong Ngoloo sudah lantas menyusul dalam tempo yang cepat sekali.

Thian Ya menjadi sangat heran.

Pit Leng Hong mengawasi tajam pemuda itu. "Bagaimana sikapnya Tie Wan Tiangloo terhadap kau?" ia tanya.

"Dia menyintai aku sebagai keponakannya sendiri."

Atas jawaban ini, Leng Hong tertawa dingin.

"Aku kuatir dia justeru menyayangi kitab ilmu pedang itu!" katanya. Ia mengeluarkan sepucuk surat. "Kau lihat ini!" ia menambahkan. "Tie Wan Tiangloo justeru tengah mencari delapan muridnya yang paling disayang yang lagi merantau untuk mereka itu dipanggil berkumpul di gunungnya!"

Surat itu ada untuk salah satu murid Tie Wan Tiangloo, bunyinya membilangi muridnya untuk murid itu mencari dua saudaranya yang lain, guna diberitahukan yang Siangkoan Thian Ya sudah pergi ke Holan San untuk meminta pulang kitab pedang, karena mana murid-murid itu dititahkan segera pulang ke Boetong San.

Thian Ya kenal baik tulisannya Tie Wan Tiangloo. Ia menduga, ini tentulah bukan surat satu-satunya, pasti sekali ada lain-lain surat serupa untuk lain-lainnya murid tiangloo itu. Dari sini dapatlah diduga, surat wasiatnya itu pastilah telah dibuka Tie Wan tanpa tiangloo itu menanti tempo satu tahun.

Kembali Thian Ya menjublak.

"Sebenarnya apakah artinya perbuatan Tie Wan Soepee?" ia bertanya sesaat kemudian.

Pemuda ini heran. Ia memang lebih rendah tingkatnya akan tetapi ialah Tjiangboendjin, ahli waris partai yang menjadi ketua, maka dengan perbuatannya itu Tie Wan, yang lancang membuka surat wasiat, menjadi sudah menghina ketuanya sendiri.

Pit Leng Hong menghela napas.

"Ini dia yang dinamakan mementingkan diri sendiri," ia berkata. Ia maksudkan egoisme. "Seorang demikian terhormat sebagai Boetong Ngoloo, mereka masih tak dapat menguasai diri sendiri. Tidakkah itu harus disesalkan?"

"Apa katamu ini, lootjianpwee?" Thian Ya heran.

"Apakah kau menyangka aku menghina soepee dan soesiok-mu itu?" balik tanya Leng Hong.

"Mari aku tanya kau. Kau tahu atau tidak kenapa gurumu, Bouw It Siok, menutup mata? Tahukah kau bagaimana matinya itu?"

Thian Ya tercengang.

"Guruku itu menutup mata dengan baik karena takdirnya telah sampai," ia menyahut.

Leng Hong menatap.

"Tidak salah, gurumu mati disebabkan sakit," ia bilang. "Tapi dia berumur belum lewat limapuluh tahun. Apakah dia bukan mati terlalu siang? Tidakkah itu harus sangat disayangkan?"

Mesti ada sebab apa-apa mengenai kata-katanya manusia aneh ini. Oleh karena orang bicara demikian samar-samar, Thian Ya habis sabar, hingga ia menjadi mendongkol.

"Lootjianpwee, aku minta kau suka omong dengan cara terus-terang," ia kata nyaring. "Apakah kematiannya guruku itu kematian tidak wajar?"

"Tidak wajar? Itulah tidak," jawab Poantian Sinkay. "Tetapi benar kedukaan dapat menyebabkan orang meninggal dunia. Semenjak soetjouw-mu menutup mata, ia menjadi sangat berduka. Di luar dia mempunyai musuh-musuh yang tangguh dan di dalam dia didesak saudara-saudara seperguruannya. Demikian taklah heran kalau dia mati siang-siang!"

Thian Ya tidak mengerti.

"Lootjianpwee, apakah artinya musuh tangguh di luar dan desakan dari dalam itu?" dia tanya. "Aku minta lootjianpwee suka menjelaskannya."

"Sebenarnya musuh tangguh gurumu itu sudah mati, yang ada tinggal cucu luarnya yang seharusnya tak perlu ia kuatirkan lagi," Pit Leng Hong memberikan keterangannya. "Tentang ini baiklah belakangan saja dibicarakan pula. Tentang kematiannya gurumu itu, yang mati sakit karena kedukaan, sebagian adalah disebabkan desakannya kelima soepee dan soesiok-mu itu."

Thian Ya menjadi semakin heran.

"Kenapa soepee dan soesiok mendesak guruku itu?" ia bertanya pula.

"Ketika soetjouw-mu mendapatkan kitab ilmu pedang itu, ia mendapatkannya secara rahasia," Pit Leng Hong menerangkan pula. "Setahu bagaimana caranya, Tie Wan Tiangloo telah mendapat dengar hal itu. Menurut jalan pikirannya Tie Wan, ilmu itu tentulah bakal diturunkan kepadanya. Kejadiannya lain sekali. Kitab itu telah dicuri In Boe Yang dan pencurian ini tidak diketahui Tie Wan. Setelah Tjouwsoe-mu meninggal dunia Tie Wan menyangka kitab itu berada di tangan gurumu. Ia menjadi jelus, ia menyangka gurumu mengangkangi sendiri ilmu pedang itu. Karena itu sering sekali Tie Wan datang pada gurumu, untuk meminta kitab tersebut. Hal ini sangat menyulitkan gurumu itu. Kitab tak dapat ia menyerahkannya, penjelasan juga tak bisa ia berikan. Sebabnya? Ke satu ia malang pada mukanya adik seperguruannya, ialah soemoay-nya, yang menjadi isterinya In Boe Yang, dan ke dua, ia jeri terhadap In Boe Yang sendiri. Demikian maka ia bersusah hati. Semua paman gurumu itu datang dengan desakan, bukan saja mereka meminta kitab, mereka juga ingin menguji gurumu itu. Bagus gurumu itu, ia ada sabar luar biasa. Coba kejadian atas dirimu, pasti kau tidak dapat menerima itu."

Thian Ya ingat, memang, semenjak ia berguru, setiap tahun ada saja paman gurunya yang datang pada gurunya itu, datang secara bergiliran dan setiap kali mereka pergi pulang, gurunya tampak sangat berduka, kadang-kadang sampai sepuluh hari atau setengah bulan, kedukaan itu masih belum lenyap. Karena ini, maulah ia percaya Leng Hong, tak seluruhnya, sedikitnya beberapa bagian.

"Tie Wan mendesak gurumu itu, pada itu masih ada soalnya yang lain," berkata pula Leng Hong. "Inilah soal yang mengenai dirinya perseorangan. Di dalam Boetong Pay terdapat dua macam murid, yang satu ialah yang menjadi imam, yang lain ialah orang biasa, yang tidak turut mensucikan diri. Kelihatannya pada ini tidak ada perbedaannya tapi sebenarnya keadaan tidak demikian. Sebelumnya soetjouw-mu itu, orang yang menjadi tjiangboendjin biasanya murid imam, tapi sekarang soetjouw-mu menyimpang dari jalan yang biasa itu. Soetjouw-mu pandai ilmu surat dan ilmu silat, jauh pandangannya, maka itu, ia telah mengangkat seorang murid bukan imam sebagai ahli warisnya, yang bakal mengetuai partainya. Di lahir, kawanan hidung kerbau itu tidak membilang suatu apa. Kalau mereka menyatakan tidak puas dan hal itu dapat didengar soetjouw-mu, tak baik untuk diri mereka sendiri. Sekarang halnya lain. Sekarang gurumulah yang memegang kendali. Mereka menjadi sangat tidak puas. Demikianlah Tie Wan Tiangloo berani membuka dan membaca surat wasiatmu itu, setelah mana dengan cara kilat ia memanggil pulang delapan muridnya yang terpandai. Maksudnya ialah mengumpulkan murid-muridnya itu supaya mereka bersama-sama kau sama meyakinkan ilmu pedang itu. Bukankah Boetong Pay paling mengutamakan ilmu pedang? Tie Wan mau tunggu, setelah rampungnya murid-muridnya meyakinkan ilmu pedang itu, mesti ada satu di antaranya yang dapat mengalahkan kau. Sampai itu waktu, dengan menggunai kekuasaannya sebagai tiangloo tertua dapat ia menukar Tjiangboendjin. Dalam hal itu ia dapat memakai alasan kebijaksanaan. Maka dengan begitu, akan runtuhlah kedudukanmu sebagai Tjiangboendjin. Maka kemudian, kekuasaan atas Boetong Pay kembali ke tangannya kaum imam itu."

Panas hatinya Thian Ya, meski ia masih ragu-ragu, separuh percaya, separuh tidak. Ia terus mengawasi si manusia aneh.

Pit Leng Hong tertawa terbahak.

"Apakah kau mau menyangka aku berkata-kata karena kedengkian?" ia tanya. "Apakah kau sangka aku sebagai si manusia hina dina hendak memfitnah seorang budiman? Haha haha! Buat omong terus terang, juga aku sendiri, ada hubungannya di antara aku dan kitab pedang itu! Aku percaya, setelah gurumu menutup mata, dia mesti meninggalkan pesan, karena itu secara diam-diam aku menguntit kau sampai di sini.

Sebenarnya aku hendak mencuri surat wasiatmu itu yang dititipkan kepada Tie Wan, kesudahannya maksudku tidak kesampaian, sebaliknya, aku dapat curi ini sepucuk suratnya Tie Wan untuk murid-muridnya itu. Bahkan aku dapat mencuri dengar juga pembicaraannya dengan keempat saudara seperguruannya itu. Sekarang aku telah menjelaskannya semua, maka terserahlah kepadamu, kau percaya atau tidak!"

Siangkoan Thian Ya paling membenci orang yang tidak berlaku terus terang, ia sekarang mempercayai habis orang aneh ini, maka dengan keras sekali ia berteriak: "Aku tidak mengharapkan lagi kedudukan Tjiangboen dari Boetong Pay!" Dan dalam murkanya itu, ia robek hancur suratnya Tie Wan.

"Bagus, kau bersemangat!" memuji Leng Hong. "Nah, bagaimana sekarang dengan itu kitab ilmu pedang?"

"Kitab itu milik Tjouwsoe, tetapi juga layak menjadi kepunyaan Boetong Pay," menjawab Thian Ya, "maka itu, setelah aku tidak menghendaki lagi kedudukan Tjiangboendjin, aku pun tidak mengharapi itu lagi!"

Tapi Pit Leng Hong tertawa dingin.

"Yang benar kitab itu bukan kepunyaan soetjouw-mu!" katanya dengan dingin pula.

Thian Ya temeranjat.

"Apa?" teriaknya. "Sesaat guruku hendak melepaskan napasnya yang penghabisan dia telah memberitahukan aku jelas dan terang, katanya kitab pedang itu soetjouw mendapatkannya dari dalam sebuah guha batu. Mustahilkah keterangannya soetjouw pun dusta?"

"Separuh benar, separuh dusta!" jawab Leng Hong singkat.

Lagi-lagi Thian Ya melengak.

Di masa pemuda ini mengangkat guru, kakek gurunya itu sudah meninggal dunia, tetapi ia telah mendapat dengar dari orang-orang yang terhitung tertuanya bahwa kakek gurunya itu ialah tayhiap atau pendekar di jamannya itu, karenanya ia sangat menghargainya, maka heran sekarang ia mendengarnya begini dari Pit Leng Hong. Coba yang mengatakan itu bukan ini manusia aneh, pasti ia tidak mau mengerti. Sekarang ia hanya dapat menatap wajah orang.

Pit Leng Hong melirik anak muda itu.

"Aku tidak heran yang kau tidak mau mempercayai aku," katanya, tenang. "Jikalau bukannya aku melihat dengan mataku sendiri, aku juga tidak nanti percaya Bouw Tok It, melulu guna kitab ilmu pedang itu, sudah bertempur dengan satu tayhiap lain, bahkan mereka bertempur mati-matian selama satu hari satu malam."

Thian Ya tetap mengawasi.

"Lootjianpwee, tolong kau memberikan penjelasanmu," ia mohon.

Leng Hong berdiam sejenak sebelum ia menyahuti.

"Duduknya hal luar biasa sekali. Aku si tua bangka mempunyai semacam tabiat. Ialah tanpa bukti, aku lebih suka tidak membuka mulut. Hanya untuk mencari bukti, itulah bukan pekerjaan sukar. Kitab ilmu pedang itu memang benar tersimpan di dalam sebuah guha atau rumah batu. Karena itu aku bilang, keterangan kakek gurumu itu separuh benar. Sekarang aku menyebut tentang seorang lain, yang gagah luar biasa. Di saat dia ini hendak menutup mata, dia sudah meninggalkan pesan poma-poma. Pesan itu diberikan kepada itu tayhiap yang namanya sama kesohornya dengan kakek gurumu itu. Hari itu kebetulan sekali mereka berdua ada bersama di dalam rumah batu itu. Kakek gurumu itu bertarung sama tayhiap itu, setelah satu hari satu malam, dia berhasil merampas itu kitab ilmu pedang. Walaupun begitu, kakek gurumu kena terluka pedang lawannya. Ia menjadi gusar, maka sekalian ia hendak merampas juga pedang itu. Sudah aku bilang, orang itu sama tersohornya dengan kakekmu, benar dia kena dikalahkan tapi pedang itu tidak kena dirampas kecuali dua potong gelangnya, yang terbikin dari kumala, yang kena kakekmu putuskan. Sekarang kedua gelang kumala itu berada di tanganku, sedang pedangnya berada ditangannya In Boe Yang. Nanti aku cari In Boe Yang, untuk merampas pedang itu, supaya kau bisa lihat tapak kuku di atasnya, setelah kau pasang pula gelang kumalanya, baharu kau mengetahui jelas. Nih, kau dengarlah suara pertempuran di gunung depan itu, kelihatannya Boetong Ngoloo bakal kalah. Sebetulnya aku juga bukan tandingan dari In Boe Yang, akan tetapi menggunai ini ketika yang baik, hendak aku mencobanya. Kau tunggui aku di sini, sebelum matahari silam, akan aku sudah kembali, itu waktu aku nanti memberikan penjelasan lengkap kepadamu."

Siangkoan Thian Ya kena dibikin bimbang. Jadi sungguh sukar untuk mencari seorang laki-laki sejati, yang dapat mengurbankan diri.

Juga Tan Hian Kie tidak kurang bimbangnya. Bahkan Hian Kie merasa sangat menyesal. Pemuda ini dapat ingat suatu apa. Maka berpikirlah ia: "Siapa itu tayhiap, si orang gagah, yang disebutkan orang aneh ini? Siapa lagi dia kecuali Tan Teng Hong yang menjadi kakek luarku? Pedang di tangannya So So itu memang benar ada tapak kukunya, sedang menurut catatan yang ditinggalkan kakek luarku itu, ada disebut juga halnya kedua gelang kumala itu yang menjadi perhiasan pedang. Pedang itu... pedang itu... Mungkin itu pedangnya kakek luarku itu? Kenapa sekarang pedang berada di tangannya In Boe Yang?"

Selagi Hian Kie berpikir demikian, ia mendengar Siangkoan Thian Ya menghela napas panjang dan berkata: "Lootjianpwee, aku mengerti maksudmu. Kau hendak menempuh bahaya untuk merampas pedang itu dari tangannya In Boe Yang dan itulah untukku. Lootjianpwee, sekarang rela aku mengangkat kau menjadi guruku!"

Hian Kie menjadi heran sekali hingga ia tercengang. Seorang ahli waris Boetong Pay mengangkat si orang aneh ini menjadi guru! Tidakkah itu pun aneh sekali? Tentu sekali, ia tidak dapat mencegah, karena ia kenal baik tabiatnya sang sahabat.

Thian Ya sudah lantas paykoei tiga kali kepada si orang aneh, maka jadilah dia gurunya!

Pit Leng Hong tertawa lebar.

"Tahukah kau siapa aku sebenarnya?" ia menanya. Baru sekarang ia mengajukan pertanyaannya itu. "Kau telah mengangkat aku menjadi gurumu, apakah kau tidak takut di belakang hari kau nanti jadi menyesal?"

"Tidak perduli siapa adanya lootjianpwee, teetjoe akan tetap mengikuti lootjianpwee sebagai guruku!" menjawab Thian Ya, singkat dan pasti.

Pit Leng Hong tertawa pula.

"Sekalipun she dan nama serta asal usulku kau masih belum ketahui!" katanya pula, "Kau telah menaruh kepercayaan besar atas diriku, kau rela menjadi muridku haha! kau bukan saja muridku yang baik, bahkan kaulah orang satunya yang mengenal diriku!"

"Kata-katanya orang aneh ini sama anehnya dengan romannya yang luar biasa," Hian Kie berpikir pula.

Habis Leng Hong tertawa lalu terdengar suaranya yang keren. Tedas sekali setiap kata-katanya.

"Aku bernama Pit Leng Hong! Pada duapuluh tahun yang lampau, orang menyebutnya aku Kayhiap si Pengemis Pendekar! Sekarang ini, jaman angin tinggi dan rembulan gelap, aku ialah satu penjahat besar tukang mengobarkan api dan membunuh orang! Maka siapa menjadi muridku, dia mesti turut aku menjadi penjahat juga! Apakah kau tidak bakal menyesal?"

Mendengar ini, Siangkoan Thian Ya melengak. Sedang begitu, dari luar rimba terdengarlah samar-samar nyanyiannya Siauw Oen Lan:

"Rembulan di langit mengejar sang Surya.

Nona di bumi mengejar kekasihnya..."

Menyelang nyanyian itu, terdengar panggilan: "Hian Kie! Hian Kie..."

Thian Ya masih berdiri menjublak. Sekarang ini tawarlah hatinya. Tawar untuk gurunya yang lama, untuk hari kemudiannya, terhadap Oen Lan juga. Ia mirip dengan pelembungan air yang pecah musnah.

Leng Hong mengawasi, pada wajahnya tak nampak sesuatu perasaan.

"Benar-benarkah kau tidak bakal menyesal?" tanyanya tawar.

Baru sekarang Siangkoan Thian Ya menjawab, tetap suaranya: "Daripada menjadi orang gagah yang palsu, memang lebih baik menjadi penjahat tukang bunuh orang dan melepas api! Dunia begini rusuh, hitam dan putih bercampur aduk menjadi satu, maka untuk hidup sudah cukup asal kita tidak melakukan yang memalukan hati sendiri! Apakah halangannya menjadi penjahat asal penjahat yang membuatnya gentar hati si manusia licin dan busuk?"

"Akur! Akur!" terdengar timpalannya Pit Leng Hong. "Kepuasannya menjadi satu penjahat pastilah lebih menang daripada satu tjiangboendjin yang namanya saja! Baiklah, mulai hari ini kaulah ahli warisku. Sekarang hendak aku pergi mengambil kitab dan pedangnya In Boe Yang untuk dihadiahkan kepadamu sebagai tanda mata pertemuan kita ini!"

Lantas Hian Kie mendengar suara beradunya tongkat dengan tanah, nyaring dan cepat. Sebentar kemudian, bayangannya Leng Hong lenyap, lenyap juga suara tongkat besinya itu.

Sampai disitu, Hian Kie berlompat keluar dari tempatnya sembunyi.

"Saudara Siangkoan!" ia memanggil, keras. "Kau membikin aku sengsara memikirkanmu!"

Sebenarnya pemuda ini hendak terus menanyakan pengalaman orang. ketika Siangkoan Thian Ya, dengan mata mendelik, dengan membentak, menjawab padanya: "Siapakah yang menghendaki kau memikirkannya? Ada lain orang yang bersengsara karena memikirkan kau, kau tahu?"

Hian Kie melengak disenggapi secara demikian.

Thian Ya menuding, ia membentak pula dengan pertanyaannya: "Entjie Oen Lan memanggil-manggil kau, kau dengar atau tidak?"

"Saudara Siangkoan," berkata Hian Kie membandel, "kau... kau dengar aku..."

Thian Ya tetap tidak memperdulikan.

"Jikalau kau masih ingat aku sebagai sahabatmu, lekas kau cari Oen Lan, untuk mengajak dia bertemu sama aku!" katanya pula. "Aku ingin kamu mengikat perjodohan di depanku, kamu mesti saling berjanji, sesudah itu baru hatiku lega!"

"Di dalam urusan lain, meski juga tubuhku hancur, lebur, tidak nanti aku menampik," berkata Hian Kie, "melainkan di dalam hal ini, aku tidak sanggup menerimanya."

Sepasang alisnya Thian Ya terbangun, kedua tangannya pun mencabut sepasang gaetannya itu hoktjioe siangkauw.

"Aku sudah mengambil putusan untuk menjadi penjahat!" dia berteriak. "Kau begini tidak berbudi terhadap entjie Oen Lan, apakah kau ingin aku membunuhmu supaya habislah pengharapannya entjie itu, supaya dia tidak usah menderita lebih lama karena selalu memikirkan kau? Apakah kau ingin aku membunuhmu supaya aku pun tak usah berduka lagi?"

Sembari berkata begitu, pemuda ini menggeraki gaetannya.

Hian Kie tidak mundur, sebaliknya, ia majukan diri.

"Kenapa kau tidak mau mencabut pedangmu?" Thian Ya tanya.

"Aku menghendaki kau dan entjie Oen Lan tidak bersusah hati!" menjawab Hian Kie. "Untuk itu aku rela terbinasa di ujung gaetanmu!"

Thian Ya menjadi sangat gusar.

"Kau... kau!" serunya, "biarnya mati kau tetap tidak menghendaki entjie Oen Lan? Kenapa kau begini sangat tak mempunyai hati?"

"Sebab hatiku telah aku serahkan kepada lain orang," menyahut Hian Kie, tetap. "Kau hendak menitahkan aku menyerahkan apa kepada entjie Oen Lan?"

Thian Ya melengak.

"Ha, kiranya benar kau telah tergila-gila puterinya In Boe Yang!" katanya kemudian. "Hm! Hm! Kau kena dipincuk gadisnya musuhmu!"

Sekarang Hian Kie yang menjadi gusar. "Kau pandang aku punya So So orang macam apa?" dia membentak, "Siangkoan Thian Ya, oh, Siangkoan Thian Ya, nyatalah aku melihat keliru dalam dirimu!"

Thian Ya heran.

"Apa?"

"Aku lihat kau menyintai entjie Oen Lan, kau bersengsara," jawab Hian Kie, "aku percaya kaulah seorang laki-laki yang menyinta, tetapi sekarang terbukti, kau tidak kenal apa cinta itu!"

Matanya si anak muda bersinar.

"Apakah cinta itu?" ia menyambungi. "Cinta itu melebihkan jiwa sendiri! Cinta tak menghiraukan berhasil atau runtuh, terhormat atau terhina! Cinta ialah hati di tukar, dua hati menjadi satu, orangnya dua, sebenarnya satu! Biarnya bunyi gempa dan langit ambruk, biar angin dan mega berubah warna, cinta itu tetap dan kekal, tak nanti tergeser oleh apa juga!"

Thian Ya berdiam, tetapi otaknya bekerja.

"Ya, apakah terhadap Oen Lan aku tidak memikir demikian?" katanya dalam hati.

Hian Kie berkata pula: "Semenjak aku melihat So So pertama kali, hatiku telah aku peserahkan kepadanya. Seumurku belum pernah aku melihat seorang nona yang putih bersih, yang polos sebagai dia! Dialah yang untuk lain orang rela melupakan diri adalah seorang anak dara, maka itu aku junjung dia seperti aku menjunjung ibuku! Satu hari aku hidup di dalam dunia, satu hari aku melarang orang berkata busuk tentang dirinya! Mengapa kau hendak memaksa aku meninggalkan dia untuk menyintai lain orang?"

"Mungkinkah dia lebih menang daripada Oen Lan?" kata Thian Ya seperti pada dirinya sendiri.

"Bagus!" Hian Kie berseru dan tertawa. "Akhirnya kau mengerti juga sedikit! Kau tahu, di matanya setiap orang, kekasihnyalah orang yang paling cantik manis bagaikan bidadari! Aku menyintai So So seperti kau menyintai entjie Oen Lan! Mengertikah kau sekarang?"

Thian Ya tercengang, lalu dia melemparkan gaetannya, untuk menubruk Hian Kie, untuk dirangkul erat-erat. Dia menangis terseduh-seduh.

Hian Kie tidak menyangka orang demikian nyali besar bisa menangis seperti itu. Tapi ia pun mengerti. Maka, ia menyekal erat-erat kedua tangannya Thian Ya.

"Thian Ya," katanya, perlahan, "jikalau So So menyintai orang yang ke dua, aku pun bisa jadi seperti kau sekarang ini, tetapi So So sangat menyintai aku, maka, taklah ada tenaga yang sanggup memisahkan kami. Thian Ya, jangan kau berduka untuk entjie Oen Lan. Di dalam dunia ini tidak ada lain orang yang menyintai dia seperti kau menyintainya. Ada satu waktu yang entjie Oen Lan bakal membuatnya hatimu tergerak. Jikalau kamu berdua menikah, kamulah orang-orang yang paling berbahagia! Saudaraku, kau jangan memikir apa-apa yang tolol, kau dengar aku. Nah, pergilah kau cari dia!"

Thian Ya menyusuti airmatanya. Tapi ia masih berdiam saja.

"Kau tidak tahu hatinya Oen Lan," katanya kemudian. "Sebenarnya dia cuma memikirkan kau seorang. Habis bagaimana aku harus berbuat? Aku tidak suka memisahkan kamu, aku pun tidak man membikin entjie Oen Lan bersusah hati..."

Ketika itu mendadak ada terdengar suara orang tertawa dingin sambil terus mengatakan: "Eh, anak-anak tolol, kamu menangiskan apa?"

Kedua pemuda itu kaget sekali, hingga keduanya berjingkrak memisahkan diri.

Thian Ya menjadi sangat gusar.

"Aku menangis sendiri, ada sangkutan apakah denganmu?" ia menegur. Ia pun mengangkat kepala, untuk mengawasi orang itu. Ia melihat seorang berusia lebih kurang limapuluh tahun, tubuhnya besar dan kekar, hidungnya bengkung, matanya celong, kedua matanya bersinar tajam. Ia terus mengawasi karena ia merasa pernah bertemu orang ini, entah di mana.

Selagi orang berdiam, orang itu tertawa lebar dan berkata pula: "Kiranya kaulah Siangkoan Thian Ya tjiangboendjin yang baru dari Boetong Pay! Dalam usia begini muda kau sudah menjadi ketua partai, apakah itu masih tidak mempuaskanmu?"

"Kau siapa?" Thian Ya menegur. "Aku tidak suka jadi tjiangboendjin, kau tidak dapat mencampurinya tahu!"

Kembali orang itu tertawa.

"Oh, kiranya demikian sikapmu!" katanya. "Apakah mungkin Tie Wan Tiangloo hendak merampas kedudukan Tjiangboendjin-mu itu untuk diserahkan kepada muridnya sendiri? Kalau benar, kau jangan bersusah hati! Aku dengan gurumu bersahabat rapat, nanti aku tunjang padamu, asal kau suka membantui aku melakukan sesuatu..."

Thian Ya menjadi sangat tidak sabaran, ia hendak mengumbar itu tatkala kembali orang itu tertawa dan terus dia menunjuk Hian Kie seraya berkata: "Kau beritahu aku, siapa ini bocah! Benarkah dia Tan Hian Kie yang dititahkan Tjioe Kong Bie untuk mencari In Boe Yang? Tahukah apa yang dia omongkan dengan Boe Yang? Masih ada lagi seorang lain yang bernama Tjio Thian Tok, apakah benar dia pun telah datang ke mari mencari Boe Yang itu? Aku tahu kau telah datang ke rumahnya In Boe Yang, untuk meminta pulang kitab ilmu pedang, maka di dalam selama dua hari, kau mesti berada di rumahnya si orang she In. Apakah yang kau lihat? Apakah yang kau telah dengar? Lekas kau tuturkan padaku!"

Hian Kie sendiri berdiam saja, matanya mengawasi orang itu, maka lekas sekali ia mengenalinya. Ia terperanjat. Orang ini bukan lain orang hanya itu orang yang malam-malam pulang bersama Boe Yang, yang minta Boe Yang menyingkirkan semua orang bekas sebawahannya Thio Soe Seng. Dialah komandan kepala dari Kimie wie, itu pasukan pengawal kaisar Beng, ialah Lo Kim Hong. Maka berpikirlah ia: "Ketika itu malam dia turun gunung, kebetulan Tjio Thian Tok dan Tjit Sioe Toodjin pun turun gunung bersama, saling susul, maka mungkin sekali dia dapat melihat Thian Tok. Rupanya dia takut menemui Thian Tok, atau belakangan mungkin dia berbalik pikir, mungkin dia menyangka Thian Tok mempunyai hubungan sama Boe Yang, maka dia batal pergi terus hanya balik kembali, untuk membuat penyelidikan. Aku sendiri seorang muda, yang baru pertama kali ini muncul di dunia kangouw, namaku tidak terkenal, kenapa dia tahu aku?"

Hian Kie menduga benar separuhnya, separuhnya lagi tidak. Sebetulnya secara diam-diam ia telah dikuntit oleh seorang gagah lain dari istana kaisar. Sebabnya ialah:

Tjoe Goan Tjiang sangat malui orang-orang sebawahannya Thio Soe Seng, maka itu di samping menugaskan Lo Kim Hong, ia mengirim orangnya yang lainnya lagi. Tugasnya sama, ialah membikin penyelidikan. Tjioe Kong Bie itu adalah kepala pasukannya Thio Soe Seng di bagian Selatan. Di luar tahunya Kong Bie sendiri, di rumahnya ada mengeram mata-matanya pemerintah, maka itu, ketika Tan Hian Kie diberi tugas menyatroni In Boe Yang, rahasia mereka lantas saja bocor. Syukur untuk Hian Kie, ia menunggang kuda jempolan, malah ia berangkat dua hari terlebih dulu, ia menjadi tidak kena disusul. Untuk menyusul ia, Tjoe Goan Tjiang menugaskan tiga jago lainnya dari istana.

Kebetulan sekali, Lo Kim Hong bertemu sama tiga rekannya itu setibanya ia di mulut gunung. Karena ini Kim Hong jadi mendapat tahu halnya Hian Kie. Maka juga ia naik pula ke gunung, ke satu untuk mencari tahu halnya Tjio Thian Tok, kedua guna mencoba membekuk ini pemuda she Tan guna mengorek keterangan dari mulutnya.

"Hak apa kau mempunyai maka kau memaksa aku bicara tentang dia!" tanya Thian Ya gusar.

"Bagus benar, ya!" Kim Hong membentak. "Apakah kau tidak ingat siapa aku ini?"

Tapi sekarang Thian Ya pun sudah ingat dan mengenalinya.

"Kaulah Lo Kim Hong yongtjiehoei dari Kimie wie!" Ia menyahuti. "Guruku mau memandang muka tetapi aku tidak!"

Lo Kim Hong tertawa.

"Kedudukan sebagai tjiangboendjin belum tetap, apakah kau tidak ingin aku menunjangnya?" ia tanya. "Kau telah ketahui aku siapa, maka mustahil kau tidak tahu siapa ini sahabatmu? Dialah turunan sisa orang-orangnya Thio Soe Seng! Dia telah bertemu denganku, mana dapat aku melepaskannya? Jikalau kau menuturkan segala apa padaku, bukan saja kau akan berjasa terhadap pemerintah agung, juga kedudukanmu sebagai tjiangboendjin dari Boetong Pay tidak bakal ada orang yang berani ganggu! Ini namanya satu kali bergerak mendapatkan dua hasil berbareng! Bukankah ini bagus sekali untukmu?"

Thian Ya menjadi bertambah-tambah gusar, hingga tak dapat ia mengendalikan diri lagi.

"Jahanam, tutup rapat mulutmu!" ia mendamprat. "Aku Siangkoan Thian Ya, apa kau sangka aku si penjual sahabat untuk pangkat besar?"

Lo Kim Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa lebar.

"Kau benar-benar seorang yang masih hijau!" katanya, mengejek. "Sekali saja aku memancingnya, kau kena makan umpan! Benar saja bocah ini Tan Hian Kie adanya!"

"Memang aku Tan Hian Kie, habis kau mau apa?" Hian Kie menantang, "Jikalau kau hendak bicara sama aku, bicaralah! Saudara Siangkoan, urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau, kau pergilah!"

Sengaja Hian Kie membilang demikian, sebab maksudnya ialah untuk membikin Thian Ya dapat membebaskan diri. Mengenai dirinya sendiri, ia hendak melihat gelagat. Ia tahu Lo Kim Hong lihay. Bukankah dia salah seorang djago nomor satu dari Tjoe Goan Tjiang? Bukankah In Boe Yang pun menghormati dia? Pasti dia tak kalah kosen daripada Boe Yang. Tapi ia tidak takut.

Ditantang secara begitu, Lo Kim Hong tertawa mengejek.

"Aku tidak percaya kau dapat bicara dengan jujur, bocah!" katanya. "Siangkoan Thian Ya, kau pikirlah masak-masak! Untuk hari depanmu yang penuh dengan pengharapan besar, aku percaya kau bakal tidak mendustai aku!"

Selagi orang membuka mulutnya, Siangkoan Thian Ya telah menjumput gaetannya.

"Satu laki-laki tidak dapat diperhina!" ia berseru. "Binatang, kau anggap aku sebagai satu penjual sahabat? Sungguh kau sangat menghina aku! Aku mesti mengadu jiwa denganmu! Saudara Hian Kie, kau mempunyai tugasmu, kau pergilah!"

Sebaliknya daripada mengangkat kaki, pemuda ini justeru membela!"

Lo Kim Hong tertawa pula.

"Sungguh satu sahabat sejati!" ia mengejek. "Bocah-bocah, kamu berebut mengantarkan jiwa, bagus sekali! Sekarang kamu tidak usah saling berebut, kamu berdua tak dapat pergi lagi!"

Perkataan jago dari istana ini diikuti gerakan tubuhnya dengan kedua tangannya menyambar, tangan kiri kepada Hian Kie, tangan kanan kepada Thian Ya. Ia mau membekuk dua anak muda ini, untuk dikompes, guna mengorek keterangannya.

Siangkoan Thian Ya menyerang dengan gaetannya, tetapi terbentur tangan Kim Hong, sepasang gaetan itu temental balik, tangan Kim Hong itu menyambar terus ke dada. Thian Ya kaget tetapi ia tidak mundur, bahkan dia maju terus, sepasang gaetannya digeraki bersilang.

Inilah Lo Kim Hong tidak sangka, ia menjadi bersangsi. Biar bagaimana, Thian Ya ada tjiangboendjin dari Boetong Pay, kalau ia membinasakannya, ia akan menanam bibit permusuhan hebat dengan partai yang kenamaan itu. Maksudnya pun cuma hendak membekuk pemuda ini, guna mengorek keterangannya perihal Tan Hian Kie.

Selagi Kim Hong beragu-ragu itu, Hian Kie yang telah berkelit dari sambaran, sudah menghunus pedangnya, dengan itu ia membalas menyerang.

Tentu sekali, jago istana itu mesti melindungi dirinya. Di luar tahunya, selagi ia berkelit dari ujung pedang, gaetan sudah menyambar pula, maka kali ini, tidak ampun lagi, tangan bajunya yang kiri kena dirobek pecah. Ia menjadi panas hatinya, hingga wajahnya menjadi muram.

"Baiklah, kedua binatang, kamu mencari mampusmu!" ia berseru. "Tuan besarmu akan membikin kamu, hidup tidak, mampus pun tidak!"

Liehay jago dari istana ini. Ia menangkis pedang Hian Kie, tiga jarinya diluncurkan terus, untuk mencengkeram nadi orang.

Siangkoan Thian Ya hendak menolongi sahabatnya, sebab tidak ada jalan lain, ia menimpuk dengan gaetannya yang kiri, hingga bagaikan bianglala, gaetan itu melayang ke punggung Kim Hong.

Bukan main gusarnya pahlawan kaisar itu. Ia memutar tangannya dan menanggapi gaetan, untuk dicekal.

"Oh bocah tidak tahu mampus!" ia membentak. Ia mengerahkan tenaganya, membikin gaetan di tangannya itu menjadi patah dua.

Sementara itu Tan Hian Kie telah lolos dari bahaya.

Kim Hong tidak berhenti hanya dengan bentakannya itu, dalam panas hati, ia menyerang Thian Ya, ia menimpuk dengan sepotong gaetan orang. Maka suatu sinar kuning emas terbang ke arah anak muda she Siangkoan itu!

Hian Kie menolongi sahabatnya, sambil berlompat, ia sampok gaetan itu.

Kedua senjata bentrok satu sama lain, diantara suara nyaring, lelatu api pun muncrat berhamburan. Gaetan itu jatuh ke tanah, tetapi pun pedang Hian Kie gompal! Bahkan Hian Kie merasakan telapakan tangannya nyeri sekali.

Thian Ya kaget.

"Coba Hian Kie tidak menolongi, pastilah punggungku ditembusi gaetanku itu," pikirnya. Tapi walaupun demikian, ia tidak jadi mundur, serentak bersama kawannya, ia maju pula. Ia menggunai gaetan kanan dibantu dengan tangan kirinya. Hian Kie tetap menggunai pedangnya.

Mereka ini muda tetapi mereka telah punyakan masing-masing kepandaiannya. Dalam gebrakan pertama mereka tidak berdaya, selanjutnya mereka berlaku waspada.

Thian Ya mengeluarkan ilmu Keluarga Bouw, ia menggunai jurus-jurusnya Tok It yang tak pernah diajari kepada lain orang, maka itu selama itu selama kira duapuluh jurus ia dapat bertahan. Hian Kie pun mengeluarkan kebisaannya.

Lo Kim Hong mendongkol sebagai jago nomor satu dari istana ia dipermainkan kedua bocah, karena itu, ia berkelahi tidak dengan setengah hati lagi. Ia bertangan kosong tetapi tangannya dapat digunai sebagai senjata tajam. Di antara pedang dan gaetan, ia mencoba merangsak. Menghadapi Thian Ya, ia masih menimbang-nimbang, terhadap Hian Kie, ia menurunkan tangan dari kematian.

Lagi beberapa jurus, Lo Kim Hong dapat mengerjakan kedua tangannya. Dengan tangan kiri ia menahan lajunya Thian Ya, dengan tangan kanan ia menyengkeram pundak Hian Kie di mana ia mencari tulang piepee yang berbahaya.

Celaka kalau pundak si anak muda berhasil menjadi sasaran, selainnya tertawan, ilmu silatnya juga bakal termusnah.

Thian Ya melihat itu, ia menjadi kalap. Ia mainkan gaetannya untuk mendesak, guna menolong sahabatnya, Tapi ia tidak berdaya, ia terus terhalang. Akhirnya ia putus asa, ia menjadi nekat. Untuk kedua kalinya, ia menyerang dengan menimpukan gaetannya itu yang tinggal satu-satunya!

Jeriji tangannya Kim Hong baru merabah bajunya Hian Kie ketika ia mendengar desiran angin hebat, terpaksa ia menggeser tubuhnya, untuk berkelit, berbareng dengan mana, Hian Kie pun mendak, hingga dia lolos dari cengkeraman, sedang di lain pihak, dari bawah dia menyontek keatas dengan pedangnya. Dia tidak berhenti meski bahaya baru lewat, dia tak mengambil mumat musuh sangat lihay.

Kim Hong benar-benar lihay, sambil berkelit ia menanggapi gaetan, setelah ia dapat menangkap, mengerahkan pula tenaganya, untuk mematahkan gaetan itu, setelah mana, tangan kirinya terus dipakai menyampok.

Siangkoan Thian Ya menjerit, tubuhnya roboh, bahkan ia lantas pingsan.

Hian Kie terkejut, apapula ketika Kim Hong dengan jari tangannya menekan pedangnya, untuk dicegah sontekannya, sedang dengan sisa gaetan, dia menghajar ke dada orang di mana ada jalan darah kieboen.

Berbareng dengan saat sangat berbahaya untuk Hian Kie itu, di antara mereka terdengar suara tertawa mengejek yang dingin, suaranya seorang wanita, yang disusul teguran: "Siapa yang sudah berani main gila di depan rumah Keluarga In?" Kata-kata itu juga diikuti terbangnya sebutir batu, yang tepat mengenai gaetan yang digunakan Kim Hong sebagai senjatanya. Karena itu, nyimpanglah itu serangan yang mengancam jiwa.

Kim Hong menjadi terkejut, ia lantas menoleh. "Oh enso In!" ia berseru. "Enso, bocah ini ialah yang hendak membunuh In Toako!"

Hian Kie, yang lolos dari bahaya, juga berpaling kepada penolongnya. Ia mengenali Nyonya In Boe Yang, karena mana ia merasa bahwa ia seperti tengah bermimpi.

Sepasang alisnya Nyonya In bangun berdiri, kedua matanya bersinar, benar ia nampak berduka, akan tetapi sikapnya keren. Itulah disebabkan kemurkaannya.

"Aku tidak perduli dia siapa!" ia kata dengan dingin. "Aku larang kau turun tangan di hadapanku!"

Kim Hong melengak. Akhirnya ia dongak dan tertawa lebar.

"Aku menyangkanya dia musuh dari In Toako, aku tidak duga bahwa enso begini melindungi dia!" ia berkata. "Dengan begini nyatalah aku si orang she Lo terlalu usilan..."

Belum berhenti suaranya pahlawan kaisar ini, tubuhnya sudah mencelat menghilang di dalam rimba yang lebat...

Hanya sekejab, air matanya Nyonya In berubah pula. Tak lagi ia sekeren tadi. Kedukaannya pun berkurang. Bahkan sekarang ia bisa bersenyum. Dengan mata tajam ia menatap Hian Kie, sinar matanya menunjuki hati yang bunga.



Tan Hian Kie bersama Siangkoan Thian Ya tengah bertempur melawan Lo Kim Hong, si pengawal istana kaisar.



"Kaukah Tan Hian Kie?" ia menanya, sabar.

Hian Kie masih seperti bermimpi ketika ia sadar atas pertanyaan itu.

"Ya, benar," sahutnya gugup. "Nyonya In, kau telah kembali?" ia balik menanya. Begitu menanya, ia menjadi menyesal. Ia sudah keterlepasan omong. Bukankah nyonya itu berlalu saking berduka? Kenapa ia mesti menanyakan hal yang dapat membangkitkan kedukaan orang? Tidakkah ia jadi membeber rahasia hatinya si nyonya ? Tapi ia sudah membuka mulutnya.

Jawaban Nyonya In ada di luar dugaan pemuda ini. Pertanyaannya itu tidak dipandang berarti.

"Memang, aku telah kembali," demikian si nyonya menyahuti. "Aku pulang untuk So So. Melihat kau, hatiku lega sebaian..."

Hatinya Hian Kie berdebaran, ia pun bingung. Nyonya In melanjuti bicara tanpa memperhatikan kelakuan orang.

"Apa yang kau bicarakan dengan Thian Ya, semua aku telah dengar nyata. Apakah benar-benar kau menyintai So So?" demikian nyonya itu.

"Dengan So So aku berkenalan baru beberapa hari," menyahut Hian Kie, hatinya pun lega, "meski begitu aku telah merasa bahwa ialah orang yang paling terdekat dengan aku, yang aku menyayanginya. Sebenarnya, aku menyinta dia melebihkan aku menyayangi diriku sendiri."

"Ya, jodoh itu memang aneh sekali!" berkata si nyonya. Ia tidak menjadi gusar mendapat itu jawaban jujur. Ia malah menjadi sabar sekali. "So So tidak omong apa juga kepadaku, akan tetapi sebagai ibu, aku dapat merasakan hatinya itu. Aku tahu dia pun sangat menyintai kau. Aku telah mendengarnya ia memanggil namamu dalam ngelindurnya."

Justeru itu di udara terdengar alunannya nyanyian, suara yang turun dari atas bukit. Itulah nyanyian yang So So pernah perdengarkan kepada Hian Kie, ialah dua ruas dari Kitab Syair:



"Kuda, putih yang bagus, makan rumput di ladangku.

Mengikat dia, menambat dia,

Untuk melewati sang hari

Dan itu orang, itu orang,

Dia pernah bersiar bersama...

Kuda putih yang bagus,

Kembali dia ke dalam lembah,

Dia menggayem rumput hijau.

Dan itu orang, cantik bagai kumala,

Jangan lupa membagi aku warta,

Janganlah kau menjauhkan hatiku!”

Mendengar nyanyian itu, Hian Kie menjadi tidak keruan rasa, hingga air matanya meleleh turun. Ia tidak tahu mesti bergirang atau berduka. Ia memasang kuping tetapi tak tahu pasti ia dari arah mana datangnya suara itu.

Nyonya In juga berdiri menjublak. Baru selang sesaat, ia menghela napas.

"Demikian sangat So So memikirkan kau," katanya, perlahan. "Dia sedang mencari kau, sayang salah arahnya... Menurut nyanyiannya itu, ia berada di tempat yang bertentangan dengan kita. Tetapi, tidak apa, apabila dia tidak dapat mencari kau, dia bakal pulang juga."

Setelah berhenti sebentaran, Nyonya In melanjuti: "Sebenarnya aku tidak ingin bertemu pula dengan Boe Yang, akan tetapi untuk So So, untukmu, untuk kamu berdua, biar aku menemukannya pula sekali lagi. Ya, mari kau turut aku!"

Hian Kie sudah bertindak dengan sebelah kakinya ketika ia menariknya pulang. Ia, menggeleng-geleng kepala.

"Aku tidak dapat pergi."

Nyonya In memandang itu anak muda, mata siapa diarahkan kepada tubuh Siangkoan Thian Ya, yang masih rebah di tanah dalam keadaan pingsan. Ia, mengerti pikiran orang.

"Kau tidak tega meninggalkan dia, bukan?" ia menanya. "Bagus, aku memang paling senang dengan orang yang bersifat sebagai kau ini. Baiklah, aku serahkan So So padamu. Sekarang aku hendak menemui Boe Yang seorang diri. Sahabatmu ini pun orang baik, kalau sebentar dia sadar, kau boleh berangkat bersama-sama dengannya."

Heran Hian Kie mendengar perkataan bakal mertuanya itu. Agaknya si nyonya menganggap lukanya Thian Ya enteng sekali. Ia mengawasi ketika nyonya itu bertindak pergi, setelah itu lekas-lekas ia menghampirkan sahabatnya.

Thian Ya menutup rapat kedua matanya, napasnya jalan perlahan sekali. Ketika nadinya dipegang, nadi itu juga lemah denyutannya, bahkan tak ketentuannya. Bukankah itu tanda dari kehebatan?

Tak kuat Hian Kie menahan hatinya, ia lantas menangis.

"Saudara Siangkoan, aku membuatnya kau celaka..." keluhnya. Ia peluk tubuh orang, untuk digoyang pergi datang, terus ia membanting-banting kakinya. Ia mengeluh pula: "Thian, oh Thian seperti tak ada matanya... Banyak orang jahat tidak mati, kenapa justeru saudara Siangkoanku ini yang dibawa pergi?" Ia menangis pula dengan terlebih sedih. Ia ingat kebaikannya Thian Ya, seorang laki laki sejati.

Sekonyong-konyong Thian Ya membuka kedua matanya. Ia berjingkrak bangun melihat sahabatnya menangis. Ia mendengar keluhan orang.

"Bagus, ya, Hian Kie, bocah celaka!" ia berteriak. "Kenapa kau menyumpahi aku?"

Hian Kie kaget, hingga ia mencelat dan tercengang. Hanya sejenak, ia lantas menjadi girang bukan kepalang.

"Kau tidak mati? Kau tidak mati?" serunya.

"Memang aku tidak mati? Kenapa kau tangisi aku?" balik tanya Thian Ya.

Dengan tiba-tiba Hian Kie tertawa, ia lantas menjura ke arah langit.

"Terima kasih Thian, terima kasih! Maafkan hambaMu yang telah menyesaliMu!" katanya.

Pemuda ini tidak tahu, serangannya Lo Kim Hong ialah serangan yang dibataskan. Biar dia sangat gusar, pahlawan kaisar itu tidak berani membunuh tjiangboendjin dari Boetong Pay, maka serangannya merupakan totokan yang membuatnya Thian Ya pingsan sesaat, setelah lewatnya sang waktu dan tubuh Thian Ya pun digoyang-goyang Hian Kie, jalan darahnya pulih, seketika juga ia sadar.

"Eh, bocah, kau bikin apakah?" tanya Thian Ya heran. "Kau menangis, kau mengeluh, kau tertawa juga! Mana Lo Kim Hong si bangsat tua itu?"

"Dia telah dihajar kabur!" menjawab Hian Kie.

"Kau yang menghajarnya?" Thian Ya menegaskan.

"Bukan aku, hanya Nyonya In."

"Nyonya In yang mana?"

"Kecuali Nyonya In Boe Yang, mana ada lain Nyonya In di sini?"

Thian Ya heran.

"Benarkah dia yang menolongi aku?" ia menegas pula.

"Ah, sudahlah, tak usah kau banyak tanya-tanya," Hian Kie memotong. "Mari lekas kita pergi ke rumah Keluarga In!"

Thian Ya mementang matanya.

"Untuk apa?" ia menanya. Ia tetap tidak mengerti.

"Aku mau minta gadisnya dan kau minta kitab pedang!"

"Sudikah dia menyerahkan gadisnya padamu?"

Thian Ya heran bukan main.

"Dia mendapat sakit di dalam hati, dia malu terhadap isterinya, tidak dapat dia tidak meluluskannya."

"Apa? Jadi Nyonya In yang memintakan untukmu? Oh, bocah, kau sungguh lihay! Pandai sekali kau mengambil hati mertuamu!"

Mukanya Hian Kie menjadi merah.

"Jangan bergurau, saudara Siangkoan," ia kata, jengah.

"Siapa bergurau? Lekas kau tuturkan duduknya kejadian, jangan ada yang kau sembunyikan!"

Hian Kie kenal tabiat kawan itu, maka itu ia lantas menuturkan perihal datangnya Nyonya In sampai kaburnya Lo Kim Hong.

Thian Ya melengak, ia bingung sekali. Ia bergirang untuk Hian Kie, ia pun berduka untuk Oen Lan.

"Baik," katanya kemudian. "Nah, kau pergilah!"

"Kau ?"

"Sekarang aku tidak mengharapi pula kitab ilmu pedang itu! Aku juga tidak sudi menerima budi orang! Tidak mau aku pergi ke sana!"

Hian Kie berdiam, tidak mau ia membujuki atau memaksa. Selagi berdiam itu, ia teringat kepada So So. Ia masih tetap berdiam saja, sebab tak dapat ia meninggalkan sahabatnya ini.

Thian Ya juga menjublak mengawasi kawannya. Ia seperti hendak mengatakan banyak tetapi mulutnya tak dapat dibuka.

Ketika itu sudah mulai magrib, angin gunung mulai bertiup, Thian Ya baru sadar, ia merasakan dinginnya angin.

"Apakah kau merasa dingin?" ia menanya dengan tiba-tiba menyekal tangan Hian Kie.

"Tidak! Kau merasa dingin?"

"Tidak seberapa. Ah, angin mulai besar. Lihat, kembang salju pun turun! Di dalam hutan hawanya begini dingin, apapula di luar. Entjie Oen Lan berada seorang diri, dia muncang-mancing, apakah kau tidak kuatir dia kedinginan?"

Tergetar hatinya Hian Kie.

"Saudara Siangkoan, aku hendak memohon kepadamu..." katanya.

"Bicaralah!"

"Kau dengar aku, pergi kau cari entjie Oen Lan!"

Thian Ya diam, kepalanya digelengkan. Cuma sesaat, lalu ia berkata dengan perlahan: "Hian Kie, jangan kau perdulikan aku. Aku telah mengambil putusan tetap akan mengikuti Pit Leng Hong untuk menjadi si penjahat besar! Mulai ini hari, kau lakukan tugasmu sebagai hiapsoe, seorang ksatria, aku bekerja sebagai penjahat, kita tidak saling menghalangi! Nah, kau pergilah!"

Hian Kie tahu orang ada sangat berduka.

"Lain orang putus asa, dia sucikan diri. Dia sebaliknya menjadi penjahat! Kalau hatinya tidak kuat, ada kemungkinan dia tersesat..."

Karena memikir demikian, Hian Kie berseru: "Jikalau kau tidak pergi cari entjie Oen Lan, aku juga tidak mau pergi cari So So!"

Baru Hian Kie menutup mulutnya, atau mereka telah mendengar tertawa dingin, disusul sama kata-kata ini: "Tak usah dicari lagi, di sini aku ada!"

"Entjie Oen Lan!" Thian Ya berseru.

Di sana berdiri Nona Siauw, matanya merah dan bengul, air matanya berlinang. Dia mengangkat kepalanya, memandang langit, sembari tertawa nyaring.

"Siangkoan Thian Ya, mari!" ia memanggil, tangannya menggapai. "Eh, mengapa kau berdiam saja? Kalau kau tidak datang, aku bilang, kau merusak keluarga dewa-dewi!"

Coba di hari-hari biasa, dipanggil si nona, pasti Thian Ya lari menghampirkan. Tapi sekarang, keadaan mereka lain. Ia berdiam terus. Ia ketahui hatinya si nona sudah terluka sangat. Rupanya dia telah mendengar semua pengutaraannya Hian Kie barusan.

Hian Kie juga berdiri bengong.

Sakit hatinya pemuda she Siangkoan itu.

"Entjie Oen Lan," katanya, "kau... kau..."

Ia tidak dapat meneruskan, sedang si nona kembali tertawa nyaring. Itulah tertawa yang lebih hebat dari tangisan sedu sedan.

Sembari menangis, Oen Lan menggapai pula. "Mari! Kenapa kau masih berdiam saja?" katanya.

"Kau pun tak sudi melihat aku lagi?"

Mendadak, dari tertawa, si nona menangis, sambil menekap mukanya, dia memutar tubuh dan lari.

Thian Ya kaget.

"Entjie Oen Lan, kau tunggu aku, kau tunggu!" ia berteriak seraya terus lari menguber.

Maka di situ tinggalah Hian Kie seorang berdiri bagaikan patung.

Lama juga, baru pemuda she Tan ini menghela napas. Dengan sinar matanya, ia mengantarkan Thian Ya dan entjie Oen Lan-nya itu.

"Hatiku telah diserahkan kepada So So, entjie Oen Lan, karena itu seumur hidupku, aku tidak mengharap maaf dari kau..." katanya di dalam hati. Ia terus mengambil tanah untuk dijadikan hio, diam-diam ia memuji kepada Thian agar Thian Ya dan Oen Lan dilindungi, agar mereka terangkap dalam pernikahan.

Biar bagaimana, Hian Kie merasa, belum tentu hati Oen Lan dapat terhibur benar-benar.

Lewat lagi sesaat barulah pemuda ini keluar dari dalam rimba, setindak demi setindak, ia menuju ke rumah keluarga In. Tak hentinya ia memikirkan So So. Entah si nona lagi berbuat apa? Apa dia masih mencari ia atau sudah pulang ke rumah? Dan Nyonya In, apa katanya si nonya terhadap suaminya? Apa ibu itu dapat menemui puterinya?

***

In Boe Yang tengah berdiam seorang diri di kamar tulisnya. Ia menyender di jendela, mengawasi bunga bwee. Setelah itu pertempuran yang dahsyat, di pohon bwee ketinggalan hanya beberapa tangkai bunganya. Sunyi rumahnya itu, lebih sunyi kamar tulisnya ini. Di ujung tembok pun ada tanah munjul. Kesunyian itu seperti mendatangkan keseraman...

"So So!..." ia memanggil perlahan.

Dalam kesunyian itu, angin malam meniup masuk dari jendela, angin itu membawa sekali nyanyiannya So So. Si nona lagi mencari Hian Kie, dia belum pulang...

Di otaknya Boe Yang berpetalah apa yang telah terjadi. Kemanjurannya pel Siauwhoan tan dan arak Hwee-yang tjioe membuatnya ia dapat bertahan. Begitulah di dalam rumah batu, ia membeber rahasianya kepada puterinya. Ia membuatnya puterinya itu sangat berduka. Sekarang ia menyesal sudah membeber rahasianya itu. Ia ingat anaknya yang manis itu meminta ia pulang untuk beristirahat. Ia menyesali kenapa puterinya tidak justeru menegur padanya.

"Kau sangat menyayangi aku, anak. Tahukah kau betapa sakit hatiku? Kau melayani aku, kau menanti sampai aku tidur pulas... lantas kau pergi seorang diri. Ah, anak, apakah aku tidak tahu kau pergi untuk mencari siapa? Aku hanya berpura-pura pulas, untuk membiarkan kau pergi...

Kembali angin meniup masuk, Boe Yang merasakan dingin hingga ia menggigil.

"Dapatkah So So kembali?" pikirnya pula. "Tak pantas aku menjadi ayahnya! Rela aku yang ia meninggalkan aku. Cuma, kalau ia tidak kembali, aku bersendirian saja, apakah artinya hidup bagiku?..."

Boe Yang merasakan dirinya seperti baru sembuh dari penyakit berat, tenaganya seperti habis. Kesunyian membuatnya ia merasa jeri. Justeru itu, ia mendengar suara tindakan kaki perlahan. Cepat ia mengangkat kepalanya.

"Oh, Poo Tjoe!" ia berseru. "Benarkah kau? Kau kembali!"

Di sana berdiri Nyonya In, tangannya menyingkap cabang bwee. Ia berdiri diam dekat tanah yang munjul, ia bagaikan memuji di dalam hati. Sejenak kemudian, ia bertindak ke kamar tulis.

Boe Yang sudah menyalakan lentera di dalam kamarnya itu. Di bawah sinarnya api ia menampak paras isterinya pucat pasi.

Nyonya In menyingkir dari matanya suaminya. Ia seperti menghadapi seorang asing.

"Mana So So?" tanyanya, suaranya tawar.

"Dia sudah pergi, dia belum kembali," sahut suaminya. "Oh, Poo Tjoe... Aku ketahui kesukaranmu. Tidak selayaknya aku membunuh Thian Tok... Ya, seumurku, banyak kesalahan telah kubuat... Tidak, aku tidak berani meminta lagi keampunanmu..."

"Sudah terlambat untukmu menyebut pula semua itu," kata Nyonya In. "Boe Yang, seumurku belum pernah aku minta apa juga dari kau dan malam ini ialah yang pertama kali, juga yang satu-satunya dan terakhir. Aku minta kau suka meluluskannya..."

Paras Boe Yang pucat.

"Aku tahu apa yang kau kehendaki," sahutnya, suaranya tergetar. Bukankah kau hendak membawa So So pergi?"

"Memang benar aku telah memikir untuk membawa So So pergi," menyahut sang isteri, "akan tetapi sekarang aku telah berbalik pikir. Umpama kata So So sudi mengikut aku, aku pun tidak sanggup membuatnya senang."

"Jadi kau memikir untuk membiarkan dia berdiam di sini ?" tanya suami itu. "Oh Poo Tjoe, kau juga berdiamlah bersama..."

"Aku telah memikir, seandai So So tinggal bersamamu, kau juga tidak dapat membuatnya senang," kata pula sang isteri.

"Itu pun aku ketahui."

"Aku tahu kau menyayangi So So tak kalah dari aku menyayanginya. Maka itu, kenapa kita tidak mau memikirkan jalan untuk membikin ia senang?"

Boe Yang berdiam.

"Kau tidak tega meninggalkan dia, aku juga!" berkata lagi isteri ini. "Tapi setelah memikir pulang pergi, aku rasa paling benar dia meninggalkan kita..."

Boe Yang terkejut.

"Ah!" keluhnya, sedih "Aku mengerti maksudmu."

"Kau mengerti, itulah bagus. Di dalam dunia ini cuma ada satu orang yang dapat membikin So So senang dan hidupnya riang gembira!" kata isteri itu.

"Tan Hian Kie!" seru Boe Yang.

"Benar! Dialah si pemuda yang berniat membunuhmu!"

Kembali Boe Yang menjublak.

"Aku telah mencari tahu tentang pemuda itu," berkata Nyonya In. "Untuk sahabatnya suka ia mengurbankan diri, maka terhadap orang yang ia cintai, pasti ia tidak bakal mengecewakan. Dengan menyerahkan So So kepadanya, hatiku lega."

Boe Yang menghela napas.

"Semua bekas rekanku telah bersatu pada mendidik dia, maksudnya ialah supaya dia dapat membunuh aku," berkata Boe Yang. "Ya, permusuhan ini tak ada jalannya untuk dibikin habis..."

"Pada duapuluh tahun dulu," berkata pula Nyonya In, suaranya sedih, "kau telah minta aku mencuri pedang ayah untukmu, aku telah meluluskannya. Ketika itu, apakah yang kau bilang?"

"Aku bilang aku bersedia meluluskan ribuan sampaikan laksaan permintaanmu ? apa juga yang kau kehendak, semua aku melakukannya. Ya, selama duapuluh tahun, aku telah berbuat salah besar kepadamu."

"Selama itu duapuluh tahun, belum pernah aku minta apa juga dari kau," kata pula sang isteri, "itulah sebab aku ketahui, di dalam hatimu sudah tidak ada aku..."

Sakit Boe Yang merasakan hatinya. Ia hendak bicara, atau isterinya sudah mendahului: "Hal yang sudah-sudah jangan kita timbulkan pula. Sekarang aku cuma minta satu hal dari kau. Ialah biarkan So So ikut Hian Kie pergi terbang jauh! Paling benar kalau untuk selama-lamanya dia tak bertemu pula dengan kita..."

"Benar, supaya dia jangan ingat lagi kepada ayahnya yang membuatnya ia terluka hatinya. Poo Tjoe, aku meluluskan permintaanmu ini. Sebenarnya, aku pun ingin sekali dia dan Hian Kie terangkap jodohnya."

Mendengar jawaban itu, Nyonya In memutar tubuhnya untuk berjalan pergi.

"Poo Tjoe, apa kau tidak hendak berdiam sebentaran lagi?" tanya Boe Yang. "So So bakal lekas pulang!"

"Maksud hatiku sudah kesampaian," menyahut sang isteri. "Oleh karena kita bakal berpisah, perlu apa aku membuatnya dia bertambah berduka lagi?"

"Dan kau hendak pergi ke mana?"

"Kau telah membunuh orang, aku hendak menebus dosamu..."

"Thian Tok, Thian Tok, oh, di akhirnya kaulah yang menang..." Boe Yang mengeluh.

Mendengar keluhan itu, Nyonya In berpaling.

"Thian Tok itu aku pandang sebagai sahabat kekal, terhadapnya tidak sedikit juga aku menaruh cinta," ia berkata. "Tahukah kau bahwa di rumahnya ia mempunyai janda serta anak piatu? Gambar ini juga hendak aku membawa pergi padanya, supaya janganlah dia mati dengan mata tidak meram... Ya, kalau bukan karena So So, malam ini pun aku tidak bakal kembali!"

"Baiklah, Poo Tjoe, kau pergilah..."

Boe Yang seperti kehabisan tenaga untuk mengucapkan kata-katanya ini.

Segera juga kamar tulis itu menjadi sunyi pula.

"Hidup dan mati dan alam baka, semua itu samar-samar," Boe Yang berkata-kata seorang diri, suaranya bersenandung. "Di dalam dunia, orang hidup pun lebih bersusah hati. Reruntuk bunga bwee, rembulan yang kesepian, semuanya itu mendekati kuburan baru... Air mata bercucuran terbawa angin Barat, dan itu membikin jantung rasanya putus..."

Baru habis Boe Yang menutup mulutnya, atau ia mendengar suara tertawa seram yang diberikuti kata-kata ini: "Saudara Boe Yang, sungguh kau bergembira!..."

Boe Yang tidak berpaling hanya ia menyahuti dengan tawar sekali.

"Lo Taydjin, tempo sebulan yang dijanjikan masih belum tiba!" katanya.

Tertawa yang tak menyedapkan serta kata-kata yang mengejek itu dikeluarkan oleh Lo Kim Hong siapa, mendapat jawaban yang setimpal itu, lalu berkata pula: "Siauwtee mendengar kabar Tjio Thian Tok telah mendaki gunung ini serta Tjit Sioe si imam tua dan Pouw Kian juga turut datang, oleh karena siauwtee berkuatir maka itu siauwtee telah lantas kembali."

Sebagai gantinya aku, ia menyebutnya siauwtee, adik yang kecil. Dengan begitu Kim Hong merendahkan dirinya.

"Terima kasih untuk perhatianmu," kata Boe Yang, tetap tawar. Ia mengucap terima kasih akan tetapi sikapnya tetap dingin, bahkan terus ia memandang ke luar jendela, sama sekali ia tidak berpaling ke belakang.

Lo Kim Hong tidak mau kalah berperang dingin, ia tertawa bergelak. Ia mendekati jendela, dengan tangannya ia menunjuk itu gundukan tanah kuning, katanya: "Aku tidak menyangka sama sekali Tjio Thian Tok, yang membanggakan dirinya seorang gagah tanpa tandingan, sekarang ini dia telah pendam tulang belulangnya di tempat ini! Saudara Boe Yang, mulai saat ini hingga seterusnya, tidak nanti ada seorang lain pula yang berani berebutan nama denganmu sebagai jago satu-satunya di kolong langit ini. Maka itu sungguh kau harus diberi selamat!"

Mendadak Boe Yang menoleh.

"Lo Taydjin, janganlah kau menggoda aku!" katanya dingin. "Dapatkah?"

Kim Hong tercengang.

"Saudara Boe Yang!" katanya sejenak kemudian, "apakah yang kau bilang? Ha, mengertilah aku, saudara, kau tidak menaruh perhatian atas nama besarmu. Tapi, tahukah kau apa akibatnya perbuatanmu ini? Tanpa kau merasa, tanpa kau turun gunung, kau sudah menolongi Sri Baginda mendirikan suatu jasa besar sekali! Ini pun menyebabkan kau harus diberi selamat!"

Boe Yang menunjuk sikapnya yang keren. "Aku membunuh Thian Tok bukannya untuk kamu!" katanya, suaranya dalam.

Kembali Lo Kim Hong tercengang, kemudian wajahnya mengasih lihat senyuman licik. Ia mengangkat kedua pundaknya.

"Ya, aku baru saja bertemu sama enso, yang turun gunung dengan tergesa-gesa!" katanya pula, kembali ia tertawa tawar. "Saudara Boe Yang, kamu suami isteri tua, mungkinkah di antara kamu terbit pula tabiatnya bocah-bocah hingga kamu menjadi bentrok?"

Wajahnya Boe Yang berubah, agaknya tak dapat ia menguasai dirinya lagi, akan tetapi di saat genting itu, dapat juga ia mengendalikan diri.

"Lo Taydjin, kau ada punya kata-kata apa lagi?" tanyanya dingin. Itulah kata-kata dari tuan rumah yang mengusir tetamunya.

Kim Hong mundur satu tindak.

"Seorang gagah hatinya lapang, tetapi urusan rumah tangga apakah artinya?" katanya seorang diri.

Wajah Boe Yang menjadi suram.

"Kau bilang apa?" tanyanya, membentak.

Kim Hong mengasih dengar pula tertawanya yang menyeramkan.

"Tidak apa-apa," sahutnya tawar. "Ah, tidak perduli apa sebab musababnya kau membunuh Tjio Thian Tok, siauwtee toh tak habisnya berterima kasih kepadamu. Saudara In, siauwtee membilangnya terus terang, siauwtee suka menasihati kau, di dalam segala urusan, baiklah saudara berlaku lapang sedikit. Saudara harus ingat, lukamu di dalam belum lagi sembuh, kemarahan gampang merusak kesehatanmu. Saudara, siauwtee ada membawa obat pel Kouwgoan Tan buatan istana, aku percaya, untukmu obat itu mungkin ada faedahnya."




Di dalam hati, Boe Yang terkesiap.

"Jahanam ini bermata sangat tajam," pikirnya. "Cuma jikalau dia mengiranya aku terluka ditangannya Thian Tok, dia salah mata!"

Sebenarnya Boe Yang terluka tangan lihay dari Pit Leng Hong, biarnya dia telah makan obat Siauwhoan Tan serta arak Kenghoa Thianhiang Hweetjioe, tenaga asahya masih belum pulih kembali. Ini pun sebabnya, walau pun ia sangat gusar terhadap Lo Kim Hong, ia masih menahan sabar sebisa-bisa. Ia menginsafinya, kemurkaan melewati batas bisa mengganggu kesehatannya.

Lo Kim Hong telah mengeluarkan tiga butir dari obat pelnya itu, yang ia letaki ditelapakan tangannya.

"Tak usah!" berkata Boe Yang yang telah melihatnya obat itu.

Kim Hong tidak jadi gusar bahkan dia tertawa.

"Saudara mahir dalam tenaga dalamnya, tanpa obat ini memang kau dapat pulang kembali tenagamu," katanya, "hanya, biar bagaimana, kau membutuhkan lebih banyak hari untuk kepulihannya. Tidakkah itu bakal melambatkan usaha besarmu, saudara Boe Yang?"

"Usaha besar apakah itu?"

"Saudara sendiri yang telah menjanjikan siauwtee untuk dalam satu bulan..."

Boe Yang memperlihatkan pula sikapnya yang tawar.

"Biarnya urusan sebesar langit, semenjak ini tak sudi aku mencampurinya pula, maka itu silahkan saudaraku pulang saja!"

"Tetapi, saudara, kata-katanya seorang ksatria seperti juga kuda jempolan dicambuk hanya sekali," Kim Hong membelar. "Saudara telah berjanji hendak bekerja untuk sri Baginda dan untuk itu kau bakal turun gunung, kenapa sekarang saudara menyesal dan menarik pulang janji itu?"

"Sebenarnya aku bukannya seorang ksatria..." Kim Hong menghela napas dibikin-bikin.

"Memang benar, dalam hidupnya manusia, dari sepuluh pengharapannya, delapan atau sembilan bagiannya tidak tercapai, oleh karena itu, mengapa saudara jadi begini berduka?" ia bertanya. Tapi kata-kata ini tegas mengutarakan bahwa ia telah mendengarnya kata-kata Nyonya In tadi dengan suaminya itu bahwa dengan itu ia menyatakan kecurigaannya yang di antara Nyonya In dan Tjio Thian Tok ada soal asmara. Dengan kata-katanya ini ia mengundang kemarahannya Boe Yang.

Benar sekali Boe Yang merasakan maksud orang hingga ia menjadi sangat gusar. Tajam sinar matanya ketika ia memandang itu pahlawannya raja.

"Lo Taydjin, benar-benarkah kau menghina aku karena lukaku belum sembuh?" ia menegaskan, suaranya dalam.

Kim Hong tertawa lebar.

"Mana siauwtee berani, mana siauwtee berani!" sahutnya, tetapi nadanya mengejek.

"Saudara Boe Yang suami isteri sangat menyinta satu dengan lain, kamu hidup menyendiri di gunung yang kenamaan, hidup kamu melebih kebahagianya dewa-dewi, karena itu, saudara, jikalau sudah tetap saudara tidak ingin mencampuri lagi urusan dunia, baiklah siauwtee tidak berani memaksa pula."

Nada suara itu tetap ada mengandung ejekan, cumalah lebih lunak.

"Hm!" bersuara Boe Yang, yang terus mengangkat kedua tangannya. "Maaf, aku tidak dapat mengantar lagi pada Lo Taydjin."

Kim Hong tidak berani mengambil sikap keras, walaupun ia ketahui Boe Yang terluka hebat di bagian dalam. Ia jeri untuk ilmu pedang dan totokan Ittjie Sian yang lihay orang she In ini.

Habis berkata, Boe Yang mengeluarkan napas legah lalu ia menaruh pula tubuhnya di jendela, untuk memandang jauh ke luar. Ia membawa sikapnya yang tenang sekali.

Kim Hong telah bertindak ke pintu ketika tiba di ambang, mendadak ia menoleh ke belakang.

"Apakah benar-benar semenjak sekarang saudara tak akan mencampuri lagi segala urusan dunia?" ia menegasi, suaranya mengejek. Ia pun tertawa tak sedap.

"Jikalau orang tidak mengganggu aku, tidak nanti aku mengganggu lain orang," jawab Boe Yang, tenang, meskipun hatinya tetap panas.

"Baiklah!" kata Kim Hong. "Sekarang hendak aku bicara tentang satu bocah she Tan nama Hian Kie, kabarnya dia itu hendak membunuh secara menggelap kepada kau, saudara. Tentang sikapnya dia itu, aku tidak akan memperdulikannya, aku hanya hendak menanya, jikalau aku turun tangan membekuk dia, saudara toh tidak akan campur tahu, bukan?"

Terperanjat Boe Yang mendengar kata-kata itu, ia jadi berpikir karenanya.

"Kalau dia tak ada hubungannya sama aku, perlu apa aku mencampurinya tahu?" jawabnya sesaat kemudian.

Mendengar jawaban itu, Lo Kim Hong menjadi sangat girang. Ia mengangkat kedua tangannya, dirangkapi.

"Terima kasih untuk janjimu ini, saudaraku," katanya. "Nah, siauwtee meminta diri."

Sementara itu Tan Hian Kie telah mendengar samar-samar suara dua orang bicara. Ia bukannya mendengar suara Nyonya In, hanya suara dua orang laki-laki. Mendengar itu, ia tercengang sejenak. Ia datang dengan penuh harapan, tapi sekarang... Ia bersangsi sebentar, terus ia bertindak ke arah dalam, maka tepat sekali, di luar kamar ia bersomplokan dengan Lo Kim Hong.

"Hahaha!" tertawa itu pahlawan kaisar. "Bocah cilik, kau telah beruntung mendapat pulang jiwamu, bukannya kau kabur, kau kembali mari, kau seperti mengantarkan diri ke dalam jaring. Haha! Benar-benar Thian ada matanya!"

Kata-kata itu dibarengi sama ulurnya tangannya, untuk mencekuk dengan tangkapannya menurut tipu silat Siauwitim natjioe.

Kim Hong terlalu memandang ringan kepada anak muda itu, maka itu ia telah tertawa dan mengeluarkan kata-katanya yang nyaring, tidak demikian, pastilah ia sudah berhasil dengan cekukannya, tentu si anak muda tak dapat berdaya lagi. Tapi ia telah mengasih dengar suaranya, Hian Kie mendengarnya dan segera berwaspada.

Begitu orang mengulur tangan, Hian Kie bertindak ke kiri, tangan kanannya digeraki, berkelit sambil terus menangkis, menyusul mana, tangan kirinya bergerak pula, untuk membalas mencekuk tangan lawan. Inilah pembelaan diri sambil menyerang, dan daya ini memberikan hasil bagus.

"Hm!" Kim Hong mengasih dengar suaranya, karena gagalnya serangannya yang berbahaya itu. "Nyalimu tak kecil bocah, kau berani menyerang aku!"

Kata-kata ini diteruskan dengan serangannya yang cepat sekali, dengan tipu silat "Sepasang tangan im-yang," bukannya jambakan, hanya dorongan dari tenaga "Siauwthian thee" atau "Bintang kecil."

Dihajar secara demikian, tak sempat Hian Kie mengundurkan diri untuk berkelit, maka ia membela diri dengan gerakannya "Tongtjoe pay Koan atau "Kacung dewa memberi hormat kepada Dewi Koan Im," kedua tangannya diajukan dengan berbareng. Hanya, begitu kedua tangan bentrok, ia kaget, sebab nyata sekali, ia kalah tenaga dari lawan itu, bahkan ia merasakan kedua tangannya tertarik dan tubuhnya kena terputar, hingga ia tak dapat menguasai tubuhnya itu!

Sembari membuatnya tubuh orang berputar terus, Lo Kim Hong tertawa terbahak-bahak. Ia tidak mau menghajar orang dengan satu pukulan yang mematikan, hendak ia membikin pemuda itu pusing kepalanya dan kabur matanya, supaya dia roboh sendirinya. Atau mendadak, "Prang!" maka hancurlah kaca jendela, dan dari situ melesat keluar tubuhnya In Boe Yang!

Kim Hong terkejut bukan kepalang.

"In Boe Yang, kau tidak pegang kata-katamu?" ia menegur, menagih janji.

"Aku membilangnya tidak mencampuri urusan biasa, tetapi inilah bukan urusan biasa!" menjawab orang yang ditegur, yang tertawa dingin. Belum suaranya berhenti, atau tangannya sudah melayang, dengan pukulan Pekhong tjiang atau "Menghajar udara."

Kalau dua jago bertempur, hebat pertempuran itu. Demikian Lo Kim Hong dan In Boe Yang, yang sama-sama jago kelas satu.

Kim Hong melihat orang muncul, ia tertawa dingin, ia mengasih dengar ejekan, "Hm!" Belum lagi serangan tiba, ia mendahului menjambak Tan Hian Kie, yang sudah tidak berdaya, maka dengan satu sentakan, terlemparlah si anak muda. Ia pun berkata, menantang: "Nah, kau hajarlah!"

Tubuh Hian Kie berat seratus kati, tapi Kim Hong menggunai tenaga dalamnya, tubuh itu terlempar ke arah In Boe Yang, justeru dia ini lagi menyerang, dengan serangan seribu kati. Maka celakalah ia kalau ia sampai kena terhajar.

In Boe Yang lihay, menyaksikan caranya Kim Hong, ia terkejut, terpaksa ia lekas mengubah serangan menjadi dorongan, ia menolak tubuh si anak muda hingga terpental balik. Juga Kim Hong, menampak demikian, bertindak bersamaan. Maka kejadianlah Hian Kie, bagaikan bola, telah ditolak pergi datang. Kalau tidak, dia pasti roboh terbanting dan mungkin akan terluka parah.

In Boe Yang sudah lantas mengasih otaknya bekerja. Hian Kie mesti diselamatkan. Ia mesti tolong anak muda itu atau dirinya sendiri. Selagi bekerja, di otaknya muncul bayangan isterinya, yang romannya berduka, dan roman puterinya yang cantik manis. Segera setelah ini, ia mengertak gigi. Di saat tubuh Hian Kie ditolak balik padanya, ia memasang kuda-kuda, ia mengerahkan tenaganya, untuk menyambuti pemuda itu, yang tidak lagi ia menolaknya kembali. Ini berarti ia mesti menahan pukulan Toasoet paytjioe dari Lo Kim Hong. Maka hebatlah ia merasakan tolakan pada dadanya. Biarnya ia lihay, sebab ia sudah terluka di dalam, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, mulutnya pun memuntahkan darah hidup. Ketika ia melihat Hian Kie, pemuda itu meram matanya, tak sadar akan dirinya.

Diam-diam Kim Hong terkejut. Dengan caranya itu mempermainkan tubuh Hian Kie, ia hendak menguji tenaga dalam dari Boe Yang, sekarang ia dapat membuktikannya lihaynya orang she In itu. Kalau Boe Yang melayani terus seperti biasa, dia bakal menghamburkan tenaganya, dan itu berarti, dia bakal roboh di tangan lawan. Sekarang pun dia merasakan penderitaan yang hebat sekali. Tengah terluka, dia kalah ulat, kalah tenaga.

Lo Kim Hong bangsa licik, ia menggunai ketikanya yang baik. Tanpa menanti Boe Yang dapat bernapas, ia menyerang pula dengan pukulannya yang lihay itu.

Boe Yang melihat datangnya serangan, ia berkelit, sambil berkelit itu, ia buru-buru meletaki tubuh Hian Kie di tanah, kemudian cepat sekali, ia membalas menyerang. Dasar ia sudah kalah tenaga, dengan sendirinya ia mundur setindak.

Kim Hong girang bukan kepalang. Tahu pastilah ia sekarang Boe Yang benar-benar telah terluka di dalam secara hebat. Ia tidak mengasih ampun. Lagi sekali ia mengulangi serangannya yang dahsyat itu. Dasar licik, ia menggunai siasat. Serangannya itu ditunda di tengah jalan, untuk diteruskan diarahkan kepada Hian Kie yang rebah tak berdaya, selagi si anak muda masih pingsan.

Boe Yang benar-benar lihay. Di dalam keadaan kesusu itu, ia masih dapat membade tipu daya keji lawannya itu. Ia berlompat maju, maka lagi sekali, ia menangkis serangan si orang she Lo.

Tadi Boe Yang melawan dengan sebelah tangan, karena tangannya yang lain masih dipakai memondong Hian Kie, sekarang ia menggunai dua-dua tangannya, ia dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya, tenaga dalam sakit. Sebagai akibatnya, keempat tangan bentrok keras sekali, sampai terdengar suaranya, sesudah mana keduanya sama-sama terpental mundur hingga kira setombak, yang mana membuktikan tenaga mereka ialah setengah kati sama dengan delapan tail.

Kim Hong heran berbareng girang. Ia heran karena orang masih tetap tangguh. Ia girang karena ia percaya, orang tak akan bertahan lama. Katanya dalam hatinya, "Benar-benar Boe Yang gagah bukan nama belaka, jikalau bukan dia tengah terluka, tidak nanti aku sanggup melayani dia. Sekarang dia sama kuatnya dengan aku tetapi sebentar, lihatlah! Aku merasakan, kekuatannya kali ini tanpa susulannya. Biarlah aku bertahan, terus melawan keras dengan keras, mustahil dia dapat bertahan terus-menerus! Haha! Dia membunuh Thian Tok, aku akan membunuh dia, maka selanjutnya tidak lagi ada orang yang dapat menandingi aku!"

Girang pahlawan ini.

In Boe Yang mundur untuk segera maju pula.

"Lo Kim Hong, kecewa kau menamakan dirimu seorang gagah kaum Rimba Persilatan!" katanya dingin. "Apakah kau tidak malu melayani seorang anak muda dengan caramu ini? Kalau kejadian ini tersiar umum, apakah kau tidak bakal ditertawakan orang-orang gagah di kolong langit?"

Kim Hong tidak merasakan malu, dia malah tertawa dingin.

"In Boe Yang juga omong tentang kaum kangouw, inilah keanehan dunia!" katanya mengejek. "Aku hendak menawan satu bocah, lebih dulu aku telah bicara jelas denganmu. Kau telah membilangnya tidak akan mencampur tahu, habis sekarang mengapa kau toh turun tangan?"

"Apakah yang aku katakan?" Boe Yang menanya. "Aku lupa lagi! Coba kau mengulanginya."

Dilawan sabar itu, Kim Hong mendongkol.

"Mulanya kau membilang tidak akan campur tahu urusan biasa," ia menjawab, menjelaskan, setelah itu kau menjelaskan, "Kalau dia tidak ada hubungannya sama aku, perlu apa aku mencampurinya tahu? Suara itu masih mendengung di kupingku, mustahil aku dapat melupakannya?"

In Boe Yang menyambut jawaban itu dengan tertawa, bergelak.

"Jikalau di lain tempat membunuh orang dan membakar rumah, memang aku malas untuk mencampurinya," ia berkata, "sekarang kau turun tangan di rumahku, apakah dengan begitu di matamu masih ada aku In Boe Yang? Andaikata benar bocah ini mesti dibunuh, di mana ia berada di rumahku, bukanlah tugasmu untuk membunuhnya. Jadi karena urusan ini ada menyangkut denganku, mana dapat aku berdiam saja tidak mengurusnya?"

Boe Yang bicara beralasan, tetapi Kim Hong tertawa dingin.

"Jadinya terang-terang kau hendak melindungi bocah ini?" ia menegaskan.

Kedua matanya Boe Yang membelalak.

"Di rumahku, akulah yang berkuasa!" jawabnya tegak. "Dan kau tidak berhak mencampurnya tahu!"

Kim Hong tertawa dingin pula.

"Bocah ini turunan Thio Soe Seng si pemberontak!" ia kata nyaring. "Aku adalah Tjongtjiehoei dari Kimie wie, maka itu urusan dia pastilah aku yang mesti mengurusnya!"

"Kalau begitu, tidak ada lain jalan lagi," kata Boe Yang tenang. "Terpaksa aku In Boe Yang mesti menerima lagi pengajaranmu, Lo Taydjin yang mulia!"

Bagaikan telah berjanji, keduanya lantas sama-sama maju. Boe Yang telah bicara cukup dan Kim Hong tidak hendak membuka mulut lagi. Kim Hong segera menyerang hingga angin serangannya mendesir, hingga ia membikin patah sebatang cabang bwee. Tapi ia menyerang tempat kosong, hingga ia jadi kaget. Mengertilah ia bahwa ia lagi menghadapi bahaya. Benar saja, di belakangnya terasa angin menyambar. Sebab Boe Yang, yang berkelit sebat sekali, telah menyerang ia dari samping!

Kim Hong berseru nyaring, sambil berseru ia memutar tubuh untuk terus menyerang. Jadi serangan lawan serangan, bukannya tangkisan.

Boe Yang batal menyerang, tubuhnya berkelebat. Tjongtjiehoei, atau komandan kepala, dari Kimie wie, pasukan pengawal istana, tidak berhenti sampai di situ disebabkan serangannya itu gagal, ia menyambarnya dengan serangan susulan. Ia percaya lawan tak bakal bertahan lama, ia mendesak, tidak ingin ia mengasih ketika lawan itu bernapas.

In Boe Yang benar-benar lihay. Selanjutnya, tubuhnya seperti berkelebatan di empat penjuru, di delapan penjuru angin, tubuhnya berbayang-bayang seperti juga pelbagai serangannya, yang ia lakukan selekasnya ada ketikanya. Cara bergeraknya ini dapat membikin orang bermata kabur dan berkepala pusing.

Kim Hong terkesiap hati. Ia heran dan kagum dan mendongkol juga, karena ia penasaran.

"In Boe Yang, sungguh kau licik!" mencaci ia dalam hatinya. "Kau tidak berani mengadu tenaga denganku, kau menggunai siasatmu ini!..."

Memang, dalam ilmu ringan tubuh, ilmu pedang tangan kosong, ialah Ittjie Sian, Sebuah Jeriji, In Boe Yang telah menyampaikan puncaknya kemahiran, maka dengan menggunai ilmu silatnya ini yang dinamakan Patkwa Yoesin Tjiang, "Memainkan tubuh di dalam garis patkwa," ia menyingkir dari ketangkasan lawan, ia menyerang di tempat dan saatnya yang tepat. Tegasnya, ia mencari kelemahan lawannya. Dengan siasatnya ini ia membuatnya Lo Kim Hong berputar-putar tidak berhentinya, hingga perlahan-lahan komandan Kimie wie itu menjadi mulai merasai kepalanya pusing dan matanya berkunang.

"Inilah hebat," Kim Hong berpikir. Ia menginsafi akan bahaya yang mengancam dirinya. "Dengan cara ini, belum sempat aku membuatnya dia letih dan mampus, akulah yang bakal kelelahan dan mati lebih dulu..."

Lalu dengan diam-diem ia memasang mata. Ia lihay, dalam keadaannya itu, ia masih dapat berpikir tenang dan dapat juga memasang mata. Demikianlah lekas juga ia memperoleh kenyataan, In Boe Yang senantiasa melirik ke arah Tan Hian Kie, yang rebah tak berkutik di tanah dekat mereka bertarung. Ia segera mendapat pikiran, hingga ia pun bergirang. Ia lantas mencari akal akan menyingkir dari ketangkasannya lawan, untuk menggunai kelemahannya itu.

Juga Tiongjiiehoei ini dapat berkelahi dengan ilmu silatnya "Pathong hongie," atau "hujan angin di delapan penjuru." Secara demikian ia menandingi ilmu silat Patkwa Yoesin Tjiang dari lawannya itu. Sebat melawan sebat. Bahkan dia berhasil mendesak In Boe Yang mundur beberapa tindak. Inilah ketika yang ia cari. Justeru orang mundur, ia tertawa berkakak, terus ia menjatuhkan diri, untuk duduk numprak di tanah.

"Saudara Boe Yang, siauwtee tidak terluka, cuma letih saja," katanya "Nah, kau pun duduklah!"

Dengan kata-katanya ini, Kim Hong bukan mengalah, ia hanya mengejek lawannya itu. Ia mau mengatakan sang lawan sudah letih, hendak ia mengganda dengan mengaso dulu.

Tentu sekali Boe Yang mengerti maksud orang, ia menjadi sangat murka, tanpa memberikan jawaban, dia lompat menerjang.

Kim Hong membela dirinya, terus sampai tujuh atau delapan belas jurus. Saban-saban ia menggunai tipu Hoenkin Tjokoet hoat, guna menawan tangan orang untuk dibikin patah atau sedikitnya salah urat. Ia menyerang begitu lekas lawannya datang dekat kepadanya. Pada itu ia mencampur pukulan-pukulan Kimkong tjiang, Tangannya Pelindung Buddha. Tidak perduli bagaimana hebatnya penyerangan, ia tidak kasih dirinya kena dipancing.

Di satu pihak, cara berkelahi Kim Hong ini ada luar biasa. Dengan caranya ini, biasanya tidak pernah orang dapat merebut kemenangan. Tapi ia mengandung maksud, ia bertahan untuk membikin lawan letih sendirinya, sebab Boe Yang terluka di dalam, terhadap lawan yang sehat, tidak nanti ia bersiasat begini.

Dengan cepatnya jurus-jurus berlalu, sebentar saja mereka sudah bertempur lagi tigapuluh jurus. Atau lebih benar, Boe Yang telah menyerang terus menerus selama tigapuluh kali.

"Saudara Boe Yang," berkata Kim Hong sambil tertawa. Ia masih mengambil kesempatan untuk berkelakar. "Sudah duapuluh tahun kita tidak pernah main-main, maka sungguh aku beruntung hari ini kau sudah sudi memberi muka padaku, kau suka memberikan pengajaran. Turut pantas, aku mesti melayani terus padamu sampai tiga hari tiga malam, tetapi kau kurang sehat, kesehatanmu itu belum pulih, baiklah saudara menyayangi dirimu, jikalau kau terlalu capai, kau nanti merusak kesehatanmu itu. Ah saudara, tidak suka aku menjadi seperti, "aku tidak suka membunuh Pek Djin tetapi Pek Djin toh mati karena gara-garaku!" Kalau itu sampai terjadi, mana bisa hatiku tenteram?"

Boe Yang dapat menangkap maksud orang. Ia diejek, ia hendak dibikin panas hati. Maka ia mengendalikan diri, menahan sabar, ia bahkan perkeras serangannya. Ia juga menggunai siasat, serang-serangannya hebat dicampur kelunakan, diselang-seling dengan gertakan belaka.

Dengan begitu telah lewat lagi belasan jurus.

"Saudara Boe Yang," berkata lagi si tjongjtiehoei sembari tertawa, "kau sendiri mungkin dapat bertahan lebih jauh hingga beberapa jam lagi, tetapi bagaimana dengan itu engko kecil yang lagi rebah pingsan? Dia telah terkena serangan Toasoet paytjioe dari aku, dia terluka di dalam... Saudara, umpama di akhirnya kau dapat mengalahkan aku, kau toh tidak nanti dapat melindungi jiwanya bocah itu..."

Kali ini hati Boe Yang kena dibikin tergerak hingga hatinya itu bercekat. Memang benar perkataannya Kim Hong. Hian Kie terluka, ia pingsan, tanpa pertolongan cepat, bagaimana nanti akhirnya? Ia berpikir juga. Kalau sampai ia terbinasa, bagaimana dengan So So nanti? Tidakkah dia bakal sangat bersusah hati?"

Oleh karena ini tiba-tiba saja ia menghentikan serangannya, hendak ia memutar tubuh untuk mundur sendiri. Tepat selagi ia membalik badan, sekonyong-konyong saja Lo Kim Hong berlompat bangun, maju menyerang punggung lawannya itu. Sebagai satu jago, bisa dimengerti kegesitannya itu, sedang bokongannya dengan sepenuh tenaga, bagaikan tenaga yang dikerahkan untuk merobohkan gunung atau menguruk lautan."

Boe Yang mendapat tahu datangnya bokongan, segera ia mengerahkan tenaganya untuk menangkis, dengan begitu keduanya jadi bentrok pula seperti bermula tadi. Kembali ternyata, tenaga mereka berimbang besarnya.

Kim Hong tertawa terbahak-bahak.

"Saudara Boe Yang!" katanya. "Kau sebenarnya perlu sekali beristirahat, untuk menyembuhkan lukamu di dalam, maka aku pikir, baiklah kau serahkan saja bocah itu padaku, hendak aku serahkan dia kepada Sri Baginda, aku tidak tega untuk segera membinasakan padanya..."

In Boe Yang ketahui yang kemarahannya lagi dipancing, ia tidak mengambil mumat. Tanpa memperdengarkan suara apa-apa, ia lompat maju, guna menyerang. Kali ini ia menggunai jari tangannya. Ia menyerang, Kim Hong pun menerjang, maka itu, mereka maju berbareng. Maka juga, mereka saling mengenakan sasarannya!

Tangan Kim Hong mampir kepada lawannya, dan jari Langan Boe Yang berhasil menotok. Dengan tenaga dalamnya Boe Yang melenyapkan lima bagian tenaganya Kim Hong, siapa sebaliknya membuat pundak lawannya dirasakan sangat panas.

Sebenarnya Kim Hong sudah menutup jalan darahnya, tetapi kena ditotok, ia merasakan napasnya sesak. Oleh karena itu, keduanya sama-sama terkejut. Boe Yang merasakan masuk nelusupnya hawa dingin ke dalam, maka seperti Kim Hong, ia pun berpikir: "Kalau tadi orang hanya mengarah jiwa lawan, dug-duanya bisa tak hidup lebih lama pula..."

"Ittjie Sian yang jempol!" Kim Hong memuji, walaupun suaranya tak wajar. "Saudara In, ingin aku memberi nasihat padamu supaya kau kurangkanlah sedikit pemakaian tenagamu, ada terlebih baik untukmu akan menjaga kesehatanmu!"

Memang juga Ittjie Sian meminta tenaga istimewa, dan Boe Yang sendiri merasakan tubuhnya dingin tidak keruan setelah ia menggunai totokan sebuah jari tangannya itu. Ia mengerti baik sekali, rasa sakitnya disebabkan lebih banyak oleh tangan beracun dari Pit Leng Hong. Cuma karena memberati anaknya, ia tidak mau meninggalkan Hian Kie. Kalau umpama ia membiarkan Kim Hong, yang cuma membela diri, ia dapat meringankan tenaganya. Sekarang tidak. Ia pun terbenam dalam kesangsian.

Selagi keadaan tegang begitu, di luar terdengar suara nyaring halus dari seorang wanita, yang terus saja bertindak masuk. Ketika In Boe Yang menoleh dengan segera, ia mendapatkan isterinya kembali. Tak dapat ia menahan, goncangan hatinya.

"Poo Tjoe, kau, kembali!" serunya.

Isteri itu tidak menyahuti.

Poo Tjoe memang kembali setelah ia melihat datangnya Lo Kim Hong. Ia bercuriga. Mendengar seruan suaminya, yang ia tahu keluar dari hati yang tulus, ia pun goncang hatinya. Ia merasa sangat berduka dan perih. Di dalam hatinya ia kata: "Ah, kiranya dia masih memikirkan aku, tetapi dia tidak tahu aku datang bukan untuknya..."

Suami isteri itu lantas memandang satu kepada lain, sang isteri tidak membilang apa-apa, hanya ia mematahkan sebatang cabang bwee, lalu ia menghadapi Lo Kim Hong seraya menegur: "Kau berani melukai orang di rumah keluarga In? Lekas kau angkat kakimu!" Ia tidak cuma menegur, teguran itu disusul sama tikamannya dengan cabang bwee itu, yang digunakan sebagai pedang.

Kim Hong berkelit, tetapi karena berkelit itu, ia ditikam pula, yang mana diulangi hingga ketiga kalinya sebab kembali ia mengegos tubuhnya.

Tiga-tiga kalinya Nyonya In mengarah jalan darah soankie, giokheng dan thiankwat.

Dengan menekan tanah, Kim Hong mencelat mundur beberapa tindak. Ia terus tertawa dan berkata dengan dingin: "Aku menyangka kau telah sampai di rumah keluarga Tjio, kiranya kau masih berada di rumah keluarga In ini! Haha! Dasar kamu sepasang suami-isteri yang sangat menyinta satu sama lain! Sekarang kamu maju berdua, karena ini tidak dapat tidak, aku mesti mengangkat kaki juga..."

Itulah kata-kata yang mengandung ejekan. Nyonya In menuding dengan cabang pohonnya.

"Sekarang ini biarnya kau hendak pergi, sudah tidak dapat!" katanya keren. Ia menoleh kepada suaminya, untuk berkata: "Boe Yang, kau lihatlah Hian Kie! Seumurku, belum pernah aku membunuh orang akan tetapi hari ini hendak aku melanggar pantangan itu!"

Nyonya In murka bukan main karena ejekan itu. Ia mendapat didikan baik semenjak masih kecil, ia biasa dapat menguasai diri sekalipun ia tengah bergusar, tetapi kali ini suaranya lain. Boe Yang belum pernah melihat isterinya gusar begini, ia kaget karenanya.

Segera sehabis kata-katanya itu, Nyonya In menyerang Kim Hong, bahkan ia menyerang secara bertubi-tubi.

Adalah maksudnya Kim Hong mengejek si nyonya, guna membangkitkan kemarahannya nyonya itu, supaya dalam gusar, si nyonya tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada ilmu silatnya, maka, adalah di luar dugaannya, nyonya itu dapat mengendalikan diri, gerakan pedang kayunya tak kacau, dari itu dia menjadi kaget sekali.

"Bouw Tok It adalah ahli pedang nomor satu pada tigapuluh tahun dulu," ia berpikir, "aku tidak sangka anaknya ini tak kalah kosennya daripada dia...."

Karena ini, ia mesti berkelahi dengan hati-hati sekali, sampai ia tidak berani mengejek pula. Ia melawan ilmu silat Tat Mo Kiamhoat dari Nyonya itu dengan Taylek Kimkong tjiang.

Di dalam halnya tenaga dalam, Nyonya In kalah dari suaminya, tetapi di dalam ilmu pedang, walaupun ia memegang hanya sebatang cabang bwee, ia lihay luar biasa, maka itu, senjatanya yang istimewa itu bergerak mirip pedang. Bagaimana juga Kim Hong mencoba, tidak dapat ia menghajar cabang itu untuk dibikin patah.

In Boe Yang ingin melihat Hian Kie tetapi tidak segera ia menghampirkan si anak muda, ia hanya berdiri mengawasi isterinya, setelah beberapa jurus, baru ia mengeluarkan napas lega, hatinya berkata: "Selama duapuluh tahun tidak pernah aku memperhatikan ilmu silat isteriku, siapa tahu ia mendapatkan kemajuan baik sekali. Kim Hong boleh lihay tenaga dalamnya, tetapi dengan bertempur lama, dia akhirnya bukan lagi tandingan isteriku ini."

Maka ia lantas menghampirkan Hian Kie. Yang pertama-tama ia lakukan ialah memegang nadinya anak muda itu. Kacau jalannya nadi itu, sebentar keras denyutannya, sebentar lemah sekali. Ia menjadi kaget. Benar-benar si pemuda mendapat luka hebat di dalam.

"Kalau aku masih mempunyai Siauwhoan Tan, sebutir saja, alangkah berfaedahnya," ia berpikir. "Sekarang di mana aku mesti pergi mencarinya?..."

Boe Yang menjadi bingung sekali, akan tetapi ia mengendalikan diri untuk tidak mengutarakan kekuatiran itu pada wajahnya, sebab itu dapat mengganggu isterinya. Ia tetap berlaku tenang.

"Bagaimana?" tanya Nyonya In. Selagi berkelahi, ia masih mengambil kesempatan memperhatikan pemuda itu, calon mantunya.

"Tidak kenapa," menyahut Boe Yang, mendusta. "Sekarang aku lagi menguruti dia untuk membuat lurus jalan darahnya..."

Sebenarnya luka Hian Kie itu tak dapat disembuhkan dengan urutan saja, maka juga, di mulut Boe Yang menyahuti demikian, di hati ia bingung tak kepalang.

Disaat itu terdengarlah suara siulan dari arah belakang gunung, suara itu panjang dan terang, tetapi dapat diduga, jauhnya hitung lie. Seruan itu diulangi beberapa kali, mengalun "bagaikan suara burung hoo, menderum pendek bagaikan harimau mementang suara di dalam lembah."

Lo Kim Hong mendengar nyata suara itu, ia lantas tertawa berkakak, habis mana ia juga mengasih dengar suara yang serupa.

In Boe Yang terkejut, hingga mukanya menjadi pias.

"Bagus, Lo Taydjin!" kata ia seraya tertawa dingin. "Kiranya kau tengah memanggil kawanmu datang ke rumahku ini! Jangan kau kuatir, aku si orang she In tidak nanti berani tidak menyambut tetamu yang mulia itu!"

Menyusuli kata-katanya itu, Boe Yang pun berseru, nyaring dan panjang, suaranya tedas seperti seruan pertama tadi dan seruannya Kim Hong itu, hingga ia dapat mengacaukan seruannya Taydjin ini. Suaranya itu mirip dengan "gelombang mendampar pesisir."

Kim Hong kaget, hatinya gentar. Tidak saja ia merasakan kupingnya ketulian, pun seruan itu melenyapkan seruannya barusan, hingga ia menjadi gelisah, hingga ia menjadi tak tenang hatinya.

Seruan Kim Hong itu ada sambutan untuk kawannya, tidak ia sangka, Boe Yang dapat mematahkannya. Ia lantas mencoba berseru pula, tetapi karena pemusatan pikirannya terganggu, suaranya tak lagi sekeras tadi, bahkan rada menggetar.

Pertempuran sendiri berjalan terus. Segera Nyonya In memperoleh hasil. Ialah enam atau tujuh kali ia kena menusuk lengan lawannya.

Kim Hong kaget dan kesakitan, ia menjerit keras, tubuhnya berlompat kearah Tan Hian Kie.

Itulah ancaman bahaya untuk si anak muda. Tapi Boe Yang melihat gerakan lawannya itu, tanpa ayal lagi ia memapaki dengan pukulan Pekkhong tjiang. Ia tidak menanti sampai musuh dapat menaruh kakinya di tanah.

Lo Kim Hong mengangkat tangannya, hendak ia menangkis papakan itu. Maka kagetlah ia tatkala ia mencoba menggeraki tangannya, tangannya itu lemas, tak dapat dikasi bergerak menurut keinginan hatinya. Itu akibat tusukannya Nyonya In, yang megenai otot-otot, yang terputus karenanya.

In Boe Yang menyerang dengan tidak setengah hati. Tepat serangannya itu yang tak tertangkis lawan, dari itu tubuhnya Lo Kim Hong melayang balik bagaikan pohon kering, jatuh terbanting keras di tanah, terus tak bergerak lagi, sebab jiwanya melayang sedetik itu juga!

Nyonya In menyusuti cabang kayunya yang berlepotan darah itu.

"Terima kasih untuk bantuanmu...." katanya, perlahan. Baru sekarang ia membuka mulutnya.

"Bicara dari hal terima kasih, selama dua puluh tahun ini, aku tidak tahu sudah berapa ribu laksa kali aku harus mengucapnya terhadapmu," sahut Boe Yang, perlahan juga.

Mereka bersuami isteri puluhan tahun akan tetapi inilah yang pertama kali mereka berkelahi sama-sama menghadapi satu lawan, dan ini juga yang pertama kali Boe Yang mendengar Poo Tjoe menghaturkan terima kasih padanya. Maka itu bukan main ia merasa manisnya ucapan itu, manis yang sekejab kemudian tercampur dengan kepahitan. Ia lantas mengingatnya bagaimana selama duapuluh tahun ia telah perlakukan sangat dingin isterinya itu.

Juga Nyonya In, inilah yang pertama kali ia mendengar suaminya menyatakan penyesalannya, tanpa merasa airmatanya berlinang dan mengetes turun.

"Poo Tjoe, awas! Senjata rahasia!" mendadak Boe Yang berseru.

Dan benar-benar beberapa senjata rahasia menembusi pohon bwee mengarah si nyonya.

Poo Tjoe tangkas gerakannya, dengan lantas ia menyampok dengan cabang bwee di tangannya itu, sedang Boe Yang sendiri tidak cuma memberi ingat, berbareng ia menyentil dengan kedua jari tangannya, hingga terdengar bentrokan dua kali, lalu dua batang hoeitoo, atau golok terbang, mencelat ke luar tembok pekarangan.

Tapi justeru itu, "Brak!" daun pintu tertendang menjeblak, dari mana muncul seorang Toodjin atau imam dengan jubah hijaunya serta dia diiringi dua boesoe, atau pahlawan, yang berdandan serba hitam.

In Boe Yang segera merangkap kedua belah tangannya.

"Tay Hian Tootiang, selamat bertemu, selamat bertemu!" ia berkata nyaring. "Sebenarnya sudah lama sekali kita tak pernah bertemu, maka sekarang terimalah pemberian selamat dari aku. Kau telah berhasil bekerja kepada pemerintah agung! Cumalah masih rada tak mempuaskan yang kau cuma menjadi sebawahannya Lo Kim Hong!..."

Inilah kata-kata hebat, pujian muluk yang dijatuhkan kaget.

Tay Hian Toodjin adalah satu "panglima" gagah kelas satu di bawahan Tan Yoe Liang. Di jaman akhirnya kerajaan Goan, selagi jago-jago bangkit bangun, untuk membangun kerajaan, tiga kaum menyinta negara yang bergerak itu adalah Tjoe Goan Tjiang, Tan Yoe Liang dan Thio Soe Seng yang tenaganya paling besar. Tan Yoe Liang itu, untuk menentang pengaruhnya Tjoe Goan Tjiang, pernah berserikat sama Thio Soe Seng, maka itu In Boe Yang pernah bertemu sama imam jubah hijau ini. Ketika kemudian Tan Yoe Liang runtuh, Tay Hian Toodjin bertukar majikan, ia menghamba justeru kepada Tjoe Goan Tjiang dengan kedudukannya sebagai yongkauw-tauw, guru silat utama, dari pasukan pahlawan kaisar Kimie wie. Kedudukan ini cuma ada di bawahan kedudukannya Lo Kim Hong. Demikian Boe Yang mengejeknya.

Suara pertanda yang didengar Lo Kim Hong adalah suara dari imam ini serta dua kawannya. Mereka ini pun dapat mendengar sambutannya Lo Kim Hong dan mereka mengetahui, Kim Hong tengah terlibat pertempuran, maka meskipun kemudian seruan Kim Hong dikacaukan In Boe Yang, mereka dapat datang ke rumah si orang she In ini sebab inilah rumah yang menjadi tujuan Kim Hong. Sayang tibanya mereka terlambat, Kim Hong sudah jadi kurbannya Nyonya In dan Boe Yang.

Tay Hian melihat melintangnya mayat Lo Kim Hong, ia kaget tak kepalang. Tapi ia bernyali besar dan berpengalaman, ia dapat menguasai diri, ia berpura-pura tidak tahu.

"Saudara In, ada terjadi apakah di sini?" dia bertanya, pilon.

In Boe Yang bersikap dingin.

"Lo Kim Hong melukai tetamuku, aku bunuh dia!" sahutnya terus terang singkat.

"Bukankah bocah itu bernama Tan Hian Kie?" tanya Tay Hian.

"Benar!" menjawab Boe Yang.

"Mustahilkah Lo Taydjin tidak memberitahukannya kepada saudara bahwa ini bocah adalah orang yang dicari Pemerintah agung dan hendak dibekuknya?" tanya imam itu.

"Dia telah menerangkannya."

Sepasang alisnya imam itu berbangkit berdiri.

"In Boe Yang, inilah kekeliruanmu!" ia menegur. "Kau telah berjanji dengan Lo Taydjin bahwa kau suka membantu dia untuk membasmi semua sisa orang-orangnya Thio Soe Seng, kenapa sekarang kau justeru melindungi orang itu yang menjadi si pemberontak? Kenapa kau justeru membinasakan Lo Taydjin?"

"Apakah salahnya dari aku?" Boe Yang menanya. "Aku mohon keterangan!"

"Kaulah Bintang Utara dari gunung Tay San dari Rimba Persilatan," menyahut Tay Hian, "mustahil kau tidak mengerti duduknya hal? Di dalam kalangan Rimba Persilatan, yang diutamakan ialah kehormatan dan kepercayaan, tetapi orang semacam kau, yang memputar balik kata-katamu, kau terhitung orang macam apa?"

Boe Yang tertawa dingin.

"Tay Hian Tootiang, aku ingat kaulah jago yang menjadi orang kepercayaannya Tan Yoe Liang," ia balik menegor, "maka sekarang, kenapa kau justeru menjadi Kimie wie Tjongkauwtauw dari Tjoe Goan Tjiang? Nah, habis apakah kau hendak bilang tentang dirimu sendiri?"

Diungkit demikian, Tay Hian menjadi malu dan mendongkol, ia menjadi sangat gusar, sepasang matanya menjadi mendelik.

"Jadinya kau masih setia sama junjunganmu yang lama?" katanya. "Karenanya kau jadi memancing Lo Taydjin untuk terus dibinasakannya!"

Boe Yang tertawa lebar.

"Hahaha, nyata kau menduga salah!" ujarnya. "Apakah benar-benar kau pasti hendak mengetahui sebabnya aku membinasakan Lo Kim Hong? Baiklah, tak ada halangannya untuk aku menjelaskannya. Pertama-tama itulah disebabkan dia telah melukai sahabatku di rumahku ini, hingga dia tidak lagi memandang mataku, dan ke dua adalah untuk kepentinganmu sendiri!"

Tay Hian heran hingga mengawasi dengan mendelong.

"Kenapakah untukku?" tegaskannya.

Boe Yang tertawa pula.

"Itulah untuk mencegah kau menjadi kecewa menjadi sebawahannya Lo Kim Hong!"

Tay Hian tahu ia diangkat hanya untuk dipukul sindir, maka itu ia menjadi sangat gusar.

"In Boe Yang!" bentaknya, "kau terlalu mengandalkan kegagahanmu hingga kau berani menghina aku!"

Keadaan itu genting sekali, umpama kata anak panah sudah siap di busurnya, untuk ditarik dan dijepratkan. Justeru itu, boesoe berbaju hitam yang di kiri, berlompat maju ke depan In Boe Yang.

"Sesuatu orang ada kemerdekaannya sendiri!" katanya nyaring. "Karena kau tidak sudi menghamba kepada pemerintah yang sekarang, kau tidak dapat dipaksa. Sekarang mari kita bertindak menurut aturan kaum kangouw. Ialah aku minta kau suka memberi muka kepadaku, bocah ini kau biarkan aku membawanya pulang! Tentang urusan Lo Kim Hong, suka kami tak menarik panjang pula!"

Boesoe itu mengatakan demikian karena jeri terhadap Boe Yang.

Tay Hian Toodjin berdiam. Meskipun mereka berada bertiga mereka tidak ungkulan melawan Boe Yang suami isteri. Bukankah Kim Hong yang gagah roboh cepat sekali di tangan mereka ini? Cumalah mereka tidak melihat Kim Hong sebenarnya runtuh di tangannya Nyonya In.

Boe Yang tidak lantas menyahuti, ia hanya mengasih dengar: "Hm!" Ia menatap tajam boesoe itu.

"Aku kira siapa, tidak tahunya ahli pedang Ngobie Pay Yang Tjiauw Kok!" sahutnya kemudian. "Bagus! Kau hendak membawa pergi pada Tan Hian Kie, inilah gampang. Asal kamu meninggalkan dua orang untuk sebagai penukarannya. Nah, kamu berdua berdamailah, kamu sudi atau tidak meninggalkan dua orang itu di sini?"

Orang itu memang Yang Tjiauw Kok namanya, orang kenamaan dari Ngobie Pay, cuma karena lawan yang dihadapannya In Boe Yang, ia dapat menyabarkan diri, ia terpaksa menggunai siasat. Sebenarnya, biasanya ia sangat mengagulkan kegagahannya. Sebab lainnya kenapa ia suka berdamai sama Boe Yang ialah kebinasaannya Lo Kim Hong ada banyak faedahnya untuknya. Maka adalah di luar dugaannya, In Boe Yang tidak sudi memberi muka padanya, bahkan ia dipermainkan. Tentu sekali, ia menjadi naik darah.

"Pikiranmu ini pikiran yang baik!" katanya tertawa dingin. "Baiklah, akan kami meninggalkan dua orang untuk menjadi penukaran. Dua orang itu adalah orang-orang yang kenamaan besar yang kau kenal baik, dengan mereka ditukar sama satu bocah tak ternama, aku pikir pertukaran ini berharga sekali!"

Mendengar itu, In Boe Yang tercengang, hingga ia mengawasi dua boesoe itu.

Yang Tjiauw Kok ada menggendol sebuah bungkusan besar, bungkusan itu terus ia kasih turun, bahkan terus ia membukanya, maka di dalam situ lantas terlihat dua kepala orang yang masih berlepotan darah.

Nyonya In terperanjat mengenali dua kepala orang itu, sebab merekalah Tjit Sioe Toodjin dan Pouw Kian!

Tay Hian Toodjin bersama kedua boesoe datang ke Holan San ini untuk membekuk Tan Hian Kie, mereka adalah orang-orang pilihan di dalam istana kaisar. Setibanya di kaki gunung, kebetulan mereka bersomplokan dengan Tjit Sioe dan Pouw Kian. Mereka ketahui, dua orang itu adalah bekas orang-orangnya Thio Soe Seng yang dari Mongolia menyelundup pulang, tidak ayal lagi mereka mengepungnya dan berhasil mereka membinasakannya. Mereka tidak mau membawa-bawa mayat, dari itu mereka menabas kutung kepalanya dua musuh itu, untuk dibungkus.

Bahwa Nyonya In terperanjat, itulah disebabkan ia ketahui baik ilmu silat pedang dari Tjit Sioe, ilmu pedang yang dinamakan Tjit Sioe Kiamhoat, tersohor di dalam dunia kangouw, maka heran dia dan Pouw Kian terbinasa di tangannya tiga orang ini. Memang Pouw Kian telah terhajar Thian Tok tetapi itulah bukan alasan yang dia dan kawannya gampang saja terbinasakan mereka.

In Boe Yang pun terkejut sebagai isterinya itu.

"Bagaimana," Yang Tjiauw Kok menegaskan, "bukankah jual beli ini lebih menguntungkan kamu?"

"Memang menguntungkan!" sahut Boe Yang, tertawa dingin. "Bukankah dua yang mampus ditukar dengan satu yang hidup? Tetapi meski ada satu lagi, maka baiklah kau sendiri yang menjangkapkannya!"

Kata-kata Boe Yang ini disusuli sama serangannya sebelah tangan.

Sementara itu boesoe yang di kanan Tay Hian pun sudah mendahului turun tangan, hanya dia mengayun tangannya dua kali, ke arah Boe Yang dan isterinya, menimpuk dengan jarum-jarum yang beracun. Boesoe ini bernama Siang Leng Ho, dia tak ternama besar seperti Tay Hian atau jago Ngobie Pay Yang Tjiauw Kok itu, akan tetapi dialah seorang ahli pelepas senjata rahasia. Tjit Sioe pun mulanya menjadi kurban jarumnya baru kemudian imam itu terbinasa tangan si orang she Yang.

Dengan menerbitkan suara jarum yang diarahkan kepada Boe Yang mental balik, hal mana membuatnya Siang Leng Ho, si penyerang, menjadi kaget sekali, hingga ia mesti menjatuhkan diri ke tanah secara mana dapatlah ia membebaskan diri dari jarumnya itu.

Nyonya In tidak mahir tenaga dalamnya seperti suaminya, meski begitu ia tidak kena dibokong. Sebagai ganti tenaga dalam, ia menggunai ilmunya ringan tubuh. Ialah dengan menjejak tanah, mengenjot tubuh naik tinggi, ia membikin jarum beracun itu lewat di bawahan kakinya. Tapi ia tidak cuma berkelit, sambil berkelit terus ia berjumpalitan dengan pedang cabangnya itu terus menikam Yang Tjiauw Kok.

Jago Ngobie kaget tetapi tidak bingung, sambil berseru ia menimpuk dengan dua kepalanya Tjit Sioe dan Pouw Kian.

Boe Yang yang menjadi sasaran, berkelit dengan sebat. Setelah berkelit, ia terus maju, untuk meninju dada orang. Inilah serangan pembalasannya.

Tay Hian Toodjin di lain pihak menangkis pedang cabangnya Nyonya In. Ia menyampok dengan hoedtim, kebutannya. Ia menggunai tenaga imdjioe, tenaga lunak, maka itu tidak dapat ia membuatnya senjata si nyonya terlepas.

Berbareng dengan itu, Yang Tjiauw Kok tidak dapat membebaskan diri dari tangannya Boe Yang, ia terhajar hingga terhuyung-huyung.

Habis menyerang itu, Boe Yang mengubah gerakan kakinya, tubuhnya diputar, maka itu, bukannya ia menyusul menyerang si orang she Yang, ia justeru menghajar lengannya si imam. Serangannya ini berbareng sama tikaman Nyonya In ke arah matanya imam itu.

Tay Hian lihay. Ia mengebut pedang cabang bwee itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga bergerak, menyambut serangan Boe Yang. Ia beruntung, ia dapat menangkis pedang cabang, begitupun serangannya Boe Yang. Sebab Boe Yang tidak bisa menggunai seluruh tenaganya, tenaganya jadi berimbang sama tenaga si imam.

Ilmu silat pedang Nyonya In sebat sekali, setelah tusukan yang pertama ditangkis, segera menyusul yang ke dua dan ke tiga.

Tay Hian Toodjin sudah lantas kena didesak. Syukur untuknya, ia ditolong Shiang Leng Ho, yang merayap bangun untuk terus mengayun tangannya, menimpuk Nyonya In dengan dua batang paku Touwkoet teng. Dengan pedang cabang kayunya, Nyonya In menangkis jatuh senjata rahasia itu. Tapi karena itu, si imam dapat bernapas, bisa dia menaruh kakinya dengan tetap.

Yang Tjiauw Kok ada seorang ahli, meskipun ia kalah satu bentrokan, ia mendapat kenyataan bahwa In Boe Yang sudah lemah sekali. Mulanya saja Boe Yang kuat, lalu tenaganya menjadi kendor. Maka jago Ngobie ini menjadi girang, lantas ia menghunus sepasang pedangnya, untuk maju membantui kawannya. Dengan tangan kiri ia menikam Boe Yang, dengan tangan kanan ia menusuk Nyonya In. Berat dan hebat serangannya ini.

In Boe Yang masih dapat berkelahi terus, dengan sentilan dua jari tangannya, hingga terdengar suara "Traang!" ia membuatnya pedang Yang Tjiauw Kok mental, tetapi karena Tay Hian Toodjin dapat memperbaiki kedudukannya, imam ini pun lantas maju pula, kebutannya menyabet secara hebat. Liehaynya kebutan ini ialah setiap lembarnya bisa digunakan untuk menghajar jalan darah, totokannya lebih hebat daripada totokan jari tangan yang umum.

In Boe Yang telah dipaksa untuk menggunai pula tenaganya. Ia melawan dengan ilmu silat Pekkhong tjiang, Menghajar Udara kosong. Tiga kali Tay Hian Toodjin mengebut ia, tiga kali ia menangkis menghalau serangan itu. Keduanya jadi bertarung dengan seru.

Sembari berkelahi, In Boe Yang mencuri lihat isterinya. Ia mendapat kenyataan isterinya itu lagi didesak Yang Tjiauw Kok, yang sepasang pedangnya lihay sekali.

Bicara dari hal ilmu pedang, Nyonya In menang daripada Yang Tjiauw Kok, hanya dari hal tenaga dalam, keduanya berimbang, tetapi sebab jago Ngo Bie itu menggunai sepasang pedang tulen dan nyonya In berpedang cabang kayu, si nyonya merasakan sulit juga. Sembarang waktu pedang kayunya itu dapat ditabas kutung. Oleh karena ini ia mengandali keringanan tubuhnya.

Tay Hian kewalahan juga, sudah tigapuluh jurus ia mendesak lawannya, tidak berhasil ia membabat kutung cabang pohon dari Nyonya In itu.

In Boe Yang tahu bahayanya kalau pertempuran terus berjalan demikian macam. Ia maju kepada Tay Hian, ia mengerahkan tenaganya dan menghajar kembali dengan Pekkhong tjiang. Hajaran ini membuatnya kebutan si imam kena dimundurkan. Habis itu Boe Yang maju setindak, dua jari tangannya menusuk.

Tay Hian terancam bahaya, selagi kebutannya terhajar, tubuhnya memperlihatkan kekosongan. Segera ia bakal bercelaka di jari Ittjie sian, atau pertolongan datang. Lagi sekali Shiang Leng Ho menimpuk dengan dua potong pakunya, yang menyambernya sambil bersuara nyaring. Dengan terpaksa In Boe Yang mengalihkan serangannya, ia menghajar paku itu hingga keduanya jatuh di tanah menjadi empat potong!

Tay Hian mendapat ketika pula. Karena ia tidak diserang terus, ia yang berbalik menyerang pula, ialah begitu lekas ia dapat menarik pulang kebutannya.

In Boe Yang lantas kena terdesak, setelah dua kali menggunai tenaga besar, ia merasakan dadanya sesak, hawa dingin meresap ke ulu hatinya, berbareng dengan ketajaman matanya berkurang, tubuhnya bergerak ayal. Mahir ilmu dalamnya itu tetapi biar bagaimana, tubuhnya bukan terbuat dari besi, setelah terluka tangannya Pit Leng Hong, tangan beracun Hanim Toktjiang, yang mana disusul sama pertarungan dahsyat dengan Lo Kim Hong, tenaga jadi sangat berkurang. Sudah begitu, ia juga mesti membantui isterinya dengan keras, maka ia telah seperti menghamburkan tenaganya itu. Maka sekarang ia bagaikan pelita yang minyaknya mulai kering...

Tay Hian tidak mau mundur, lagi-lagi ia menyerang.

Boe Yang berkelit menyamping, dari sana ia menikam dengan satu jari tangannya. Tay Hian menyangka orang menggunai Ittjie sian, saking kagetnya, dia berlompat untuk membebaskan diri dari tusukan tangan itu. Di saat imam ini berkelit, In Boe Yang memaksakan mengerahkan pula tenaganya, untuk mencelat maju dalam gerakan, "Yantjoe tjoanthian," atau "Burung walet menembus langit."

Gerakan berlompat ini ada perlu, untuk menjauhkan diri dari serangan pakunya Shong Leng Ho, setelah mencelat, tubuhnya itu turun dengan cepat, turun ke arah Yang Tjiauw Kok, mengancam pundaknya jago Ngobie itu.

Tjiauw Kok kaget merasakan sambaran angin kepada mukanya, lekas-lekas ia membabat dengan memutar balik pedangnya. Ia menduga kepada serangan.

In Boe Yang tertawa panjang ketika tangannya itu dibabat. Ia mengancam dengan tangan kiri, ketika tangannya itu diserang, ia menarik pulang, di lain pihak, dengan tangan kanannya ia mencoba merampas pedang lawan!

Berbareng dengan gerakan suaminya itu, Nyonya In juga turun tangan, ia menikam ke telapakan tangannya Tjiauw Kok, maka dalam kagetnya, Tjiauw Kok kena melepaskan sebelah pedangnya, yang terus dirampas si nyonya.

Cepat dan hebat gerakannya kedua suami isteri itu, di lain saat mereka masing-masing telah memegang sebatang pedang?sepasang pedangnya Yang Tjiauw Kok yang mereka rampas.

Begitu lekas ia telah mempunyai pedang asli, Nyonya In menerjang pula kepada Yang Tjiauw Kok, ia tidak hendak mensia-siakan tempo, ia pun berlaku sangat gesit. Ia menyerang dengan tusukan "Bidadari melempar torak."

In Boe Yang juga menyerang seperti isterinya itu, maka itu di saat Tjiauw Kok berkelit dari pedangnya itu, ujung pedang si nyonya mampir di lengannya, sampai lengan itu segera tergores panjang. Ia merasakan sakit dan kaget, tubuhnya lantas terhuyung. Kalau lagi sekali ia terluka, pundaknya kena ditusuk In Boe Yang, yang sudah mengulangi serangannya.

"Lawan terus, Yang Laotee!" Tay Hian Toodjin serukan kawannya. "In Boe Yang sudah tidak berdaya!" Sembari berseru, ia maju menyerang Boe Yang, tangan kiri dengan jurus "Bintang mengejar rembulan," tangan kanan dengan "Gelombang menelan perahu." Tangan yang sebelahnya itu menyerang ke arah Nyonya In.

In Boe Yang masih sanggup menggeraki pedangnya menyambut kebutan si imam. Sungguh kebetulan, selagi ia bergerak, isterinya pun bergerak, maka dengan berbareng pedang mereka menghajar kebutan. Dan berbareng dengan itu, berhamburanlah kebutan si imam, yang kena dibabat kutung,

Tay Hian kaget bukan main, akan tetapi walaupun hatinya mencelos, ia masih dapat menguasai diri.

"Pundak rata! Piara dia dengan biji hijau!" ia berseru. "In Boe Yang tak dapat bertahan lama!"

Itulah kata-kata rahasia, untuk maju rapat, untuk menganjurkan kawannya menggunai "biji hijau", yang berarti senjata rahasia.

Yang Tjiauw Kok mentaati anjuran kawannya ini. Oleh karena sudah tidak mempunyai pedang, ia memotes dua cabang pohon bwee, untuk menggunai cabang kayu itu sebagai pedang sebagaimana perbuatannya Nyonya In tadi, dengan pedang kayu itu, ia maju pula.

Shiang Leng Ho juga menurut anjuran si imam, dengan sebat ia menimpuk In Boe Yang dengan senjata rahasianya.

Di dalam keadaan seperti itu, In Boe Yang telah melupakan kematian. Dengan tenang ia bahkan bersenandung begitu lekas ia bersiul pargang:

"Setelah bersisa hidup habis berperang seratus kali, untuk apa takut mati?

Maka lihatlah siapa yang mendahului aku pergi ke neraka?"

Senandung itu dibarengi sama gerakan pedang yang hebat luar biasa, hingga ia berhasil memunahkan paku rahasia dan lainnya, yang dilepas musuhnya saling susul.

Tay Hian Toodjin didesak, dia main berlompatan, terus-terusan dia berkelit diri.

"Bagus!" serunya, tertawa dingin, "Lihat, siapa yang pergi lebih dulu ke neraka!"

Imam ini ketahui orang nekat, ia membela diri sekuatnya bisa.

Di sebelah sana, Yang Tjiauw Kok mesti melayani Nyonya In. Ia tidak kalah dalam hal tenaga dalam tetapi ia kurang sebat, maka itu, ia didesak nyonya itu. Tadi dengan pedang tulen melawan pedang kayu, ia kena didesak, maka sekarang, setelah bertukaran pedang, ia tidak berdaya sama sekali untuk pengaruhkan nyonya itu. Bahkan belum lama, satu cabangnya kena dipapas kutung Nyonya In!

Dari tiga jago yang menyantroni keluarga In ini, Shiang Leng Ho yang ilmu silatnya paling lemah, akan tetapi di samping itu, ia lihay senjata rahasianya, biasanya ia jitu dengan setiap timpukannya. Ini juga sebabnya, sekalipun In Boe Yang lebih unggul, dia terganggu sangat senjata rahasia lawan, untuk sesaat itu belum berhasil dia merobohkan lawannya.

Dalam keadaan sangat berbahaya itu, In Boe Yang kembali mengerahkan tenaganya. Inilah sisanya. Dengan konyong-konyong ia menghajar pula Tay Hian dengan pukulan Menghajar Udara kosong itu. Mulanya ia menghalau kebutan, yang lihay dari si imam, habis itu ia menyusuli dengan tusukan "Sengliong inhong", atau "Menunggang naga mengajak burung hong". Dengan ini ujung pedangnya mampir di dada Tay Hian Toodjin, setelah mana dengan tertawa dingin ia berkata, "Aku mau lihat siapa mendahului aku pergi ke neraka!"

Tay Hian Toodjin menjerit memuntahkan darah hidup.

Setelah berhasil itu, habis sudah tenaganya In Boe Yang, tubuhnya lantas terhuyung, napasnya seperti berhenti berjalan, sudah dadanya dirasakan sakit, matanya pun kabur. Paling celaka ialah, di saat ia tidak berdaya itu, pundaknya disambar sebatang panah gelap yang dilepaskan Shiang Leng Ho, yang mempunyai pelbagai macam senjata rahasia.

Yang Tjiauw Kok melihat keadaannya lawan ini, ia tidak mau mensia-siakan ketika yang paling baik itu, dengan cabang kayunya, ia maju menyerang. Ia bukan menusuk atau membabat, hanya ia mengemplang, senjatanya itu bagaikan toya turun dari atas ke bawah, mengarah kepala.

Hampir berbareng dengan serangan yang mematikan ini, suara keras "Tas!" terdengar, lantas darah muncrat menyembur, diikutin sama jatuhnya sebuah kepala orang, yang terus bergeluntungan di tanah!

Itulah bukannya In Boe Yang yang roboh dengan kepala meluncur, hanya Yang Tjiauw Kok yang tubuhnya roboh terbanting dengan batang lehernya putus. Sebab di saat hendak menghabiskan jiwanya Boe Yang, Nyonya In mendahulukan ia menabas dengan jitu sekali, hingga ialah yang mendahulukan pulang ke rachmatullah!

Inilah yang pertama kali Nyonya In membunuh satu orang, meski ia gagah, ia berdiri menjublak melihat tubuh orang roboh tanpa kepala dan kepala orang itu bergelutukan di tanah, darahnya berhamburan. Ia berdiri diam dengan hatinya memukul keras, tangan dan kakinya seperti tanpa tenaga.

Justeru itu Tay Hian Toodjin, walaupun dia terluka parah, dia masih bisa melihat, pikirannya pun sadar. Ia menyaksikan Nyonya In membinasakan Yang Tjiauw Kok, kawannya itu, ia melihat si nyonya lantas berdiri bagaikan patung, ia lantas mengerahkan sisa tenaganya, ia berlompat bangun, menubruk ke arah si nyonya, dengan kebutannya ia menghajar punggung nyonya itu. Ia berhasil, karena Nyonya In tengah berdiri menjublak.

In Boe Yang masih dapat melihat tubuh isterinya terhuyung. Entah dari mana datangnya, saking murkanya, ia mendapat pula tenaganya, ia segera mengulur tangannya, ia menotok dengan jari tangannya, mengenai punggung dari Tay Hian Toodjin, yang berdiri membelakangi padanya. Pula tepat ini totokan Ittjie sian, maka tidak ampun lagi, robohlah si imam. Hanya sambil roboh, dia masih bisa mengeluarkan seruannya yang serak: "Bawa lari bocah itu! Inilah jasamu yang utama!"

Teriakan itu ada untuk Shiang Leng Ho, kawan sisa satu-satunya.

In Boe Yang tertawa ketika ia berhasil dengan totokannya, justeru itu, ia pun habis tenaganya, kaki tangannya tak dapat digeraki lagi, maka itu kaget ia melihat Shiang Leng Ho lari kepada Tan Hian Kie, yang masih rebah tanpa sadar. Saking tidak berdaya, ia cuma bisa menjerit.

Di lain pihak, Nyonya In tidak roboh, dari itu melihat Hian Kie terancam bahaya, ia lari mengejar. Ia pun telah kehabisan tenaga, ia tahu tidak nanti ia dapat menyandak, maka baru menindak dua kali, lantas ia melontarkan pedangnya. Itulah timpukan Tat Mo Kiamhoat yang disebut "Sinkiam tjoanin," atau "Pedang sakti menembus mega." Tepat serangan ini mengenai punggungnya Shiang Leng Ho selagi dia membungkuk buat menyambar tubuh Hian Kie, maka itu dia tertembus pedang, tubuhnya itu tertancap di tanah tanpa berkutik pula!

Habis menimpuk, untuk mana ia telah menggunai setakar tenaganya, napasnya Nyonya In memburu, maka untuk mempertahankan tubuh supaya tidak jatuh, ia menyender di pohon bwee. Ia letih sekali seperti orang yang lagi menderita sakit berat, sebab tadi ia terhajar hebat oleh kebutan terakhir dari Tay Hian Toodjin, karena ia telah tergetar terlukakan tiga belas jalan uratnya.

Sampai di situ, sunyilah gelanggang pertempuran itu di mana empat mayat rebah malang melintang, di mana pun berada tiga orang yang terluka parah.

Lama kesunyian berlangsung ketika terdengar suara sangat lemah dari In Boe Yang!

"Poo Tjoe!..."

"Boe Yang!..." ada jawabannya Nyonya In, jawaban yang tak kurang lemahnya.

Suara mereka itu adalah suara berbisik dari si pengantin baru, karena keduanya sekarang sangat terharu hati mereka, dengan tiba-tiba muncul pula rasa cinta mereka satu kepada lain. Inilah cinta asli.

"Poo Tjoe, kau geledah tubuhnya Lo Kim Hong..." kemudian Boe Yang berkata pula.

Nyonya In menurut, ia lantas menghampirkan tubuh orang she Lo itu, untuk memeriksa. Ia mendapatkan beberapa potong emas dan satu peles kumala. Ia buang emas itu, ia ambil pelesnya, yang ia lemparkan pada suaminya.

"Bukan ini, kau geledah lagi," berkata suami itu, yang mencoba melihat isi peles itu.

Nyonya In menahan napas, untuk melawan bau bacin dari darah Kim Hong. Kali ini dari dalam kantung samping ia menarik keluar sebuah kantung sulam, ketika ia tunggingkan itu, untuk mengeluarkan isinya, tetjatuhlah tiga butir obat yang warnanya merah muda.

"Mari kasih aku," Boe Yang berkata setelah ia melihat obat itu.

Nyonya In bertindak menghampirkan suaminya.

Boe Yang mencium obat itu, ia mengangguk.

"Tidak salah, inilah obat kuat Kouwpoen Lengtan dari istana kaisar," ia berkata. Ia lantas pegang tangan isterinya, sesudah mencekal erat-erat, ia buka telapakan tangannya, membukanya dengan perlahan-lahan, lalu obat itu diletaki dalam genggeman isterinya itu.

"Poo Tjoe, aku minta, kau makanlah tiga butir obat ini." ia berkata, suaranya halus.

"Kau sendiri?" si isteri balik menanya.

Boe Yang tertawa sedih.

"Ah, Poo Tjoe, apakah kau masih tidak dapat melihat?" katanya. "Aku terlukakan Hanim Toktjiang dari Pit Leng Hong, lukaku hebat, darahku rusak, barusan pun aku telah mengerahkan seluruh tenagaku, maka sekarang, obat ini tidak bakal menolongi lagi padaku. Tidak demikian dengan kau. Tiga butir obat ini dapat menolong luka getaran bagaimana hebat juga, maka kau makanlah!..."

Istri itu menganggguk.

"Aku tahu," katanya. Ia lantas periksa nadinya sendiri, ia memandang suaminya itu, kemudian ia bersenyum.

"Aku adalah sama dengan kau," katanya, perlahan, "kita masih dapat hidup tiga hari lagi..."

"Jikalau kau makan obat itu, paling sedikit kau bakal hidup lagi tigapuluh tahun!" kata sang suami.

Isteri itu tertawa.

"Itulah terlalu lama!" katanya. "Ah, dalam tempo tiga hari, kita masih dapat berbuat banyak!"

Nyonya In lantas bertindak menghampirkan Hian Kie, ia pegang tubuh orang, untuk dibaliki, habis itu dengan cepat ia membuka mulut si anak muda, ke dalam mana ia belesaki tiga butir lengtan itu!

Boe Yang berdiri menjublak sesaat.

"Poo Tjoe," katanya kemudian, "kiranya sebegini saja cintamu kepadaku. Aku... aku..." Ia bicara dengan lagu suara sangat sedih, lalu ia tak dapat melanjutinya. Ia mengangkat kepalanya, memandangi isterinya itu, siapa pun tengah mengawasi padanya.

"So So adalah satu anak yang manis," berkata isteri itu perlahan, "adalah kita yang bukannya ayah-bunda yang baik... Entah bagaimanakah perasaanmu sendiri... Buat aku, aku merasa malu..."

"Aku berlipat lebih malu daripada kau," kata Boe Yang, air matanya bercucuran.

Nyonya In menghela napas dalam-dalam, kemudian sambil menunjuk tubuh Tan Hian Kie yang rebah di hadapan mereka, ia berkata: "Matanya So So jauh lebih tajam daripada mata kita. Anak ini baik hatinya, ia polos dan sederhana, ia dapat dibuat harapan, maka itu dengan aku memberikan dia tiga butir pel, kau harus mengerti maksud hatiku. Mengertikah kau?"

"Aku mengerti. Kalau sebentar dia mendusin, So So tentu juga sudah pulang, maka di depan mereka berdua akan aku meluluskan keinginan mereka, supaya mereka dapat menjadi suami isteri. Poo Tjoe, kau..."

Isteri itu bersenyum sekelebat, atau air mukanya lantas menjadi guram pula.

"Aku tidak dapat menanti sampai pulangnya So So," ia berkata. "Ah, kasihan So So... Anaknya Thian Tok pun belum dewasa, dia lebih-lebih harus dikasihani... Sebenarnya aku hendak memelihara dan merawat dia hingga besar dan dia menjadi seorang yang berguna, tetapi sekarang, aku tidak dapat lagi. Tetapi gambar itu, pernah aku menjanjikan Thian Tok untuk mengantarkannya ke rumahnya, dari itu aku mesti pergi ke sana dan aku mesti tiba dalam tempo tiga hari."

Tenang suaranya nyonya ini tetapi sebenarnya hatinya kusut, dan Boe Yang bisa merasakan goncangan hati isterinya dengan mendengar saja suaranya itu. Ia berdiam. Ia menyangka isteri itu hendak mati bersama dengannya, siapa tahu, orang masih mempunyai pikiran lain. Biar bagaimana, ia berduka. Tapi, ia bangga mempunyai isteri sebagai Poo Tjoe. Ia melenggak sebentar dan akhirnya tertawa panjang.

"Poo Tjoe," katanya, "selama duapuluh tahun, belum pernah aku perlakukan kau dengan baik, maka siapa sangka, selagi tidak bisa kita terlahir dalam satu tahun, satu bulan dan satu hari, sekarang kita bakal menutup mata dalam tahun, bulan dan hari yang bersamaan! Isteriku, apakah lagi yang aku si orang she In hendak memintanya pula? Poo Tjoe, kau pergilah! Segala apa yang tidak benar dari pihakku untukmu, biarlah di lain penitisan saja aku merebusnya..."

Nyonya In menunduk.

"Boe Yang..." katanya, perlahan. Ia berhenti sebentar, baru ia dapat meneruskan: "Urusan di belakang hari adalah urusan yang samar-samar, maka itu kalau untuk urusan yang sekarang ini kau dengar pesanku, aku akan sudah merasa puas. Baiklah, aku berangkat sekarang! Aku kuatir dalam tempo tiga hari aku nanti tidak dapat sampai di rumah keluarga Tjio, maka itu baiklah aku pinjam kuda putihnya Hian Kie, kalau nanti dia mendusin, kau beritahukanlah suruh dia bersama So So pergi ke rumah keluarga Tjio untuk mengurus jenazahku, untuk dia sekalian mengambil pulang kudanya ini. Ah, mungkin, mungkin ada terlebih baik untuk tidak memberitahukan mereka, biarkan aku menitahkan anaknya Thian Tok saja yang mengantarkan kuda ini..."

Boe Yang berdiam, ia mengawasi isterinya bertindak keluar.

Kuda putih Hian Kie berada di luar pintu pekarangan tengah memakani rumput, ketika Boe Yang keluar, ia lihat isterinya sudah naik atas punggung binatang tunggangan itu.

Nyonya In tertawa sedih, ia mengangkat cambuknya.

"Di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar!" katanya nyaring. "Demikian hari ini kita berpisah! Di dalam hatimu ada aku, di dalam hatiku ada kau, bukankah ini ada jauh terlebih menang daripada impian!"

Cambuk itu menjeter di udara, mengancam sang kuda putih, kuda mana lantas menggeraki ke empat kakinya, untuk terus lari, akan lenyap dalam cuaca samar-samar.

Inilah yang dinamakan berpisah mati, bercerai hidup...

Bengong Boe Yang mengawasi isterinya itu, yang dibawa lari sang kuda turun dari gunung, setelah orang sudah tidak nampak lagi, ia menghela napas panjang. Ketika ia berpaling, ia merasakan sunyi segala apa, hingga tak tahu ia mesti berduka atau bergirang. Ia ingat, selama duapuluh tahun, ia seperti asing dengan isterinya itu, baru hari ini, ia mengerti sang isteri. Bukankah si isteri telah membeber rahasia hatinya?

Dengan tangannya membuat main cabang pohon bwee, hati suami ini bekerja.

"Aku tidak sangka mereka berdua ada demikian mirip satu dengan lain, sama-sama bertulang gagah sebagai baja, sama-sama berperasaan halus bagaikan air... Ah, segala perbuatanku yang bersalah tak dapat ditutup dengan apa juga..."

Di luar kamar, sang angin malam menembusi pohon-pohon bwee. Di atas pohon itu ada sisa bunga, dan sekarang bunga itu pun rontok pula.

Tiba-tiba Boe Yang ingat almarhum isterinya. Selama duapuluh tahun, hampir setiap malam isteri itu jalan mundar-mandir di bawah pohon bunga bwee ini, saban-saban ia melihat bayangan isterinya itu di antara bunga-bunga. Dan sekarang ia seperti melihatnya pula...

"Soat Bwee!" mendadak ia berseru dan ia maju menubruk.

Pohon bwee lantas bergoyang-goyang, daun-daunnya pun pada rontok. Dalam sejenak itu, di matanya Boe Yang berpeta dua bayangan, ialah bayangan isterinya yang pertama, yang telah meninggal dunia, dan isterinya yang belakangan, yang baru saja mengangkat kaki. Lalu dalam hayalnya, ia mendapatkan dua bayangan itu bercampur menjadi satu, tidak bisa ia membayangi lagi, yang mana Poo Tjoe, yang mana Soat Bwee. Ketika ia menubruk, ia menubruk bunga bwee, sebab ke dua-dua bayangan itu telah lenyap seketika...

Sang malam semakin larut. Sekarang sang rembulan mulai muncul.

In Boe Yong jalan mundar-mandir di bawah pohon bunga bwee itu. Tidak tahu ia, berapa lama sudah ia berdiam di situ, melainkan sang rembulan yang naik terus, yang mulai bergeser ke arah barat.

Seperti biasa, dari dalam rimba datanglah pekiknya sang kera atau mengaumnya sang harimau. Mendengar suara beburonan itu, Boe Yang bagaikan tersadar dari mimpi yang menakuti. Di dalam pekarangannya itu, disinari rembulan, ia melihat malang melintangnya mayat-mayat, ia menjadi muak. Maka berkatalah ia di dalam hatinya: "Tidak dapat aku membiarkan semua makhluk kotor ini menodai bungaku. Ia lantas menjumput peles perak yang menggeletak di tanah. Itulah peles, yang ia dapatkah dari tubuhnya Lo Kim Hong, didalam situ ada pil Hoakoet Tan, ialah obat untuk memusnahkan tubuh, dipakainya ialah sehabis membunuh orang, guna melenyapkan bukti mayat. Nyonya In tidak kenal obat itu, tadi hampir ia pakai itu sebagai obat biasa.

Tanpa banyak omong, In Boe Yang gusur beberapa mayat itu, dibawa keluar, ke tempat yang sepi, di situ ia menumpuknya, lalu ia pakaikan obatnya Lo Kim Hong itu. Setelah semua tubuh orang berubah menjadi barang cair, di situlah ia pendam semua sisa mayat-mayat itu.

Setelah selesai, tiba-tiba ia ingat: "Mereka ini adalah bangsa telur busuk semuanya, tetapi kalau aku dibanding dengan mereka, dapatkah itu? Aku benci mereka itu, selayaknya, aku juga membenci diriku sendiri!"

Manusia itu, di saat ajalnya bakal tiba, biasanya pikirannya sadar, ia ingat baik sekali segala macam perbuatannya yang sudah-sudah. Demikian dengan In Boe Yang. Ia bukan menghadapi kematian tetapi mendadak ia ingat segala perbuatannya itu: ada yang baik, ada yang buruk, tetapi lebih banyak yang buruk, dan itu tidak dapat ditebus sama segala yang baik!

Sementara itu angin meniup semakin keras, hingga In Boe Yang merasai hawa dingin yang meresap ke buku-buku tulangnya. Kembali, dengan sekonyong-konyong, ia ingat kepada Tan Hian Kie, Segera ia kembali ke dalam, ia pondong tubuh anak muda itu. Ketika ia memeriksa nadinya, nadi itu tenang-tenang saja. Orang hanya masih belum mendusin.

Di antara sinar rembulan Boe Yang pandang mukanya anak muda itu. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang luar biasa. Pemuda ini, yang tidur demikian tenang, mirip sama So So gadisnya yang ia sayangi itu. Maka ia menatapnya terlebih jauh.

Ah, inilah roman yang ia rasanya kenal. Setahu di mana pernah ia melihat wajah macam ini. Maka ia lantas mengingat-ingatnya. Tengah mengingat-ingat itu, ia tertawa sendirinya.

Ketika dulu hari ia hidup menyendiri di Holan San, bukankah Tan Hian Kie ini masih seorang bayi? Maka kenapa ia heran untuk wajah orang. Toh ia tidak mengerti. Terhadap bocah ini, ia dapat perasaan menyayangi, bahkan menyayangi bukan melulu disebabkan soalnya So So gadisnya itu.

Boe Yang memondong Hian Kie ke kamar tulis, terus ia merebahkannya di atas pembaringan. Dengan selimut ia mengerebongi sesosok tubuh itu, kemudian ia menurunkan kelambu.

Perbuatannya ini mirip dengan perlayanannya So So di waktu ia masuk tidur.

Habis itu ia menyalakan dupa. Ia pun membuka sehelai daun jendela, akan membiarkan masuknya angin malam yang membawa harumnya bunga dan bau rumput. Ketika ia memandang ke luar, ia menampak sinar rembulan berada di tengah-tengah.

"Ah, mengapa So So masih belum kembali?" ia menanya dirinya sendiri.

-xxXXXxx-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar