Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 6 (Tamat)

 
Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 6 (Tamat)
Tamtay It Ie menunjuk kepada tumpukan tulang-tulang manusia itu.

"Aku mentertawakan mereka," ia berkata, perlahan, "sebab mereka tidak sanggup menghalau ketemahaan mereka. Karena kitab pedang, mereka terbinasa. Hanya tadinya, aku pun hampir tak beda dengan mereka itu. Karena kitab pedang, aku mengasingi diri, aku manda hidup sepi selama sisa hidupku. Hendak aku meyakinkan semacam ilmu silat yang istimewa. Tetapi sekarang, walaupun aku berhasil juga, aku sendiri bakal tidak hidup lebih lama pula..."

Aku terbengong mengawasi orang tua itu. Dia rebah di atas pembaringan dengan wajahnya yang menandakan dia sedang diserang penyakit, tubuhnya kurus hingga menggiriskan dilihatnya. Dia masih dapat tertawa tawar ketika dia berkata pula: "Kau tentu tidak dapat melihat yang aku telah tersesat jalan hingga sebagian dari tubuhku tak dapat digeraki pula. Selama setengah bulan ini, aku hidup hanya mengandal pada batu stalactite."

Mendengar keterangannya orang tua itu, aku merasakan lidahku menjadi kering. Selama setengah bulan orang tak dahar nasi atau lainnya kecuali batu itu. Orang yang demikian mahir tenaga dalamnya, sungguh, sukar dicari ke duanya.

Tamtay It Ie meneruskan ceritanya: "Kitab pedang Tat Mo Kiam-pouw itu asalnya ialah warisan dari Bodhidarma pendiri dari Siauwlim Pay, buah hasil setelah bersamedhinya selama delapan belas tahun menghadapi tembok. Sesudah menciptakan ilmu pedangnya itu, Bodhidarma lantas mengarang kitabnya itu. Maka itu, untuk dapat meyakinkan ilmu pedang itu, lebih dulu orang mesti mempunyai latihan tenaga dalam yang sempurna dasarnya. Ini pun sebabnya kenapa di dalam kitab ada tertera kecuali ilmu pedang juga ilmu melatih jalan napas untuk mengempos semangat. Beberapa puluh tahun sudah aku berdiam di dalam guha ini meyakinkannya, aku cuma dapat melihat bagian luarnya saja, tidak berani aku menyebutnya sudah meyakinkan dengan mahir."

"Di akhirnya kerajaan Song," orang tua itu menerangkan lebih jauh, Siauwlim Pay terpecah menjadi Siauwlim Pay dan Boetong Pay dan Tat Mo Kiampouw ini telah terjatuh ke dalam tangan Boetong Pay itu. Sesudah menyerbunya bangsa Mongolia, kitab ilmu pedang ini hilang tidak keruan paran, karena mana ahli-ahli silat dari pelbagai golongan repot mencarinya, untuk mendapatkannya. Barulah tigapuluh tahun yang lalu aku berhasil memperoleh keterangan. Kiranya tengah kalutnya peperangan, kitab itu telah kena dirampas oleh seorang guru negara bangsa Mongolia bernama Atujin. Belasan jago Boetong Pay, yang melindungi kitab itu, yang mencoba menyingkirkan diri, telah terbinasa dalam peperangan itu. Inilah sebabnya kenapa tentang kitab itu menjadi gelap. Atujin sendiri tidak mengerti bunyinya kitab, ia serahkan kitab itu kepada muridnya yang bernama Moa Ek Tjan. Murid ini ketahui pentingnya kitab itu tetapi ia tidak dapat mengerti bunyinya. Untuk memperoleh hasil, ia ingat suatu akal. Ia lantas mengundang ahli-ahli silat pedang, alasannya ialah untuk meyakinkan bersama. Dari sepuluh undangan, yang sembilan menolak. Ahli-ahli silat, yang menerima undangan itu, akhirnya celakalah dirinya. Moa Ek Tjan sangat licik. Ia mencurigai ahli-ahli silat itu, ia kuatir, setelah mengerti, kitabnya nanti disalin dan dibawa pergi. Maka ia tidak mengasih lihat kitabnya seluruhnya, ia hanya menyalin itu satu bagian demi satu bagian, yang dipisah-pisah, ia menyuruh mereka memahamkan masing-masing. Ia gagal dengan usahanya yang licik ini. Mana dapat kitab itu dipecah-pecah? Dengan dipisahkan, artinya tak dapat dipahamkan dengan sempurna. Tapi toh ia mengerti juga sedikit-sedikit. Lalu datang tindakannya yang terakhir, yang telengas. Semua ahli silat undangannya itu ia racunkan, supaya ia sendirilah menjadi jago dunia. Tapi seorang ahli dapat meloloskan diri, hanya selagi buron, ia kena terpanah dengan panah beracun."

"Kau tahu, ahli silat yang berhasil buron itu adalah salah satu sahabatku," si orang tua melanjutkan, "ketika tiba saatnya ia hendak melepaskan napasnya yang terakhir, ia membuka rahasia itu kepadaku. Mengetahui rahasia itu, aku lantas bertindak. Maksudku ada dua. Pertama-tama aku tidak ingin yang kitab ilmu pedang itu terjatuh ke dalam tangan bangsa Mongolia. Ke dua, aku sendiri mengharap untuk menjadi ahli silat satu-satunya di kolong langit ini. Begitulah dengan diam-diam aku pergi ke istana kaisar Mongolia, di sana aku berhasil mencuri kitab ilmu pedang itu. Untuk itu aku sampai mesti membinasakan delapan belas pahlawan bangsa Mongolia itu. Aku lantas lari, untuk menyingkirkan diri, di akhirnya aku bersembunyi, mengeram diri di dalam guha ini."

Aku kagum mendengar penuturan Tamtay It Ie ini. Sungguh dia hebat. Untuk ilmu silat itu, hampir separuh hidupnya ia tidak pernah melihat matahari. Kemudian aku tidak dapat berdiam mendengari saja. Aku berkata: "Sekarang ini dunia sedang kacau, orang-orang gagah tengah bangun untuk mengusir bangsa asing. Aku kira waktu berhasilnya tinggal ditunggu saja. Aku ingin dapat aku berdiam di sini merawat kau, loodjinkee. Aku percaya, setelah kau sembuh, bukankah kau bisa keluar dari sini, untuk mewujudkan usahamu?"
Tamtay It Ie menyeringai mendengar kata-kataku itu.

"Karena kerasnya niatku memperoleh ilmu pedang, aku tersesat," ia berkata, berduka, "sekarang ini tidak ada obat lagi untuk menyembuhkan aku, bahkan aku tidak tahu, lagi berapa hari aku akan tinggal hidup dalam dunia yang fana ini. Hanya, karena maksud hatiku belum tercapai, kalau nanti aku meninggal dunia, mataku susah dimeramkan..."

Thian Ya terus mendengari.

Pit Leng Hong melanjuti pula: "Aku lantas menanya, apa itu yang diberati si orang tua. Dia menghela napas dan berkata: "Separuh dari hidupku aku pakai memahamkan kitab itu, aku berhasil juga. Karena tidak dapat kitab ini mengikuti aku terkubur di dalam ini guha, aku hendak mencari satu orang yang boleh dipercaya dan diandalkan, untuk membikin kitab ini tersiar terus turun-temurun."

Mendengar itu, hatiku tercekat. Tamtay It Ie melirik padaku. Ia kata: "Kau berhati mulia, kau dapat menjadi orang perantaraku, tetapi dengan kepandaian kau sebagai sekarang ini, apabila kau membawa-bawa kitabku, kitab itu dapat membuat kau bercelaka. Maka itu, tidak dapat kitab ini aku serahkan padamu." Ia terus menunjuk kepada tumpukan tulang belulang kurban-kurbannya itu, ia kata "Inilah orang-orang yang tidak tahu diri yang berani datang ke mari untuk memperoleh kitab ini. Ya, dengan kepandaian yang mereka punyakan, walaupun mereka berhasil mendapatkan kitab, mereka tentu tidak dapat berbuat apa-apa. Belum cukup pengetahuan mereka untuk meyakinkannya."

Mendengar itu aku berdiam saja. Aku gegetun.

Tamtay It Ie menghela napas, lalu ia mengatakan pula perlahan-lahan: "Di hadapan mataku ada tiga orang yang dapat mewariskan kitab pedang ini. Dari mereka itu, yang satu belum tentu sudi menerimanya. Orang yang ke dua justeru tak aku sukai, tidak nanti aku berikan kitab ini padanya. Maka itu tinggallah orang yang ke tiga. Dialah Tayhiap Tan Teng Hong."

Mendengar itu, aku heran sekali. Aku lantas tanya, siapa itu dua orang yang disebutkan duluan.

"Tiga orang yang aku maksudkan itu," ia menyahuti, "yang pertama ialah Pheng Hweeshio. Yang lainnya yaitu Bouw Tok It. Yang ke tiga ialah Tan Teng Hong yang telah aku sebutkan. Pheng Hweeshio ada satu guru besar, pelajarannya pun pelajaran asli, pastilah dia tidak menghiraukan kitab pedang ini, maka kalau aku serahkan kitab kepadanya, dia bisa merasa terhina. Dia lebih lihay daripada aku, mana dapat dia menerima warisan dari aku? Yang ke dua ialah Bouw Tok It. Dalam ilmu pedang, dialah orang satu-satunya di jamannya ini. Karena kitab ini asalnya kepunyaan Boetong Pay, tepat kalau kitab diserahkan padanya, tetapi mengenai dirinya, aku bersangsi, aku bercuriga. Pula aku mempunyai tabiat yang aneh. Semakin orang menghendaki kitab ini, semakin tak suka aku memberikan padanya, pasti aku tidak akan memberikannya.

Mendengar sampai di situ, Siangkoan Thian Ya memotong: "Sama sekali belum pernah aku bertemu sama Tjouwsoe Bouw Tok It," kata dia, "akan tetapi pernah aku mendengarnya dari orang-orang tua tentang perbuatan-perbuatannya yang mulia. Kenapa Tamtay It Ie mengatakannya demikian tentangnya?"

"Memang!" sahut Pit Leng Hong. "Mulanya aku pun berpikir sebagai kau ini, aku sampai menanyakan dia. Atas pertanyaanku itu, dia menunjuk kepada satu dari dua penyerangnya yang baru saja dia binasakan itu. "Kau lihat," dia kata, "ini orang ialah murid kepala dari Bouw Tok It. Setahu dari mana Tok It mendapat selentingan, dia telah menitahkan muridnya ini datang padaku, untuk meminta kitab dan dengan paksa. Maka itu tak sudilah aku memberikannya! Memang kitab ini milik Boetong Pay, tetapi setelah kitab terhilang begitu lama, dan aku merampasnya dengan mempertahankan jiwaku, serta aku telah menggunakan separuh usiaku untuk meyakinkannya, dengan sendirinya aku pantas menjadi si pemilik dan Boetong Pay tak berhak untuk menagih lagi!"

Mendengar itu, Siangkoan Than Ya berpikir: "Benar-benar soal sulit sekali. Tjouwsoe ingin lekas-lekas mendapatkan kitab ini, karenanya dia jadi dipandang tidak mata oleh Tam-tay It Ie. Melihat duduknya, urusan sebenarnya tidak terlalu penting."

Tengah ia berpikir, Pit Leng Hong sudah berkata pula: "Setelah bicara jelas tentang kitab pedang itu, Tamtay It Ie lantas minta aku suka pergi kepada Tan Teng Hong, untuk menyampaikan kabar, supaya Tan Teng Hong lekas-lekas datang mengambil kitab itu dari dianya. Aku menerima tugas itu dengan gembira. Sebabnya? Ke satu karena memang aku mengharapi Tayhiap Tan Teng Hong itu, dan ke dua, aku ada punya maksudku sendiri..." Di waktu mengucap demikian, pada wajahnya yang jelek itu terlihat sinar merah, seperti orang yang jengah.

Thian Ya merasa heran, tetapi ia berdiam saja. Ia hanya memasang kuping.

Pit Leng Hong berkata pula: "Sekarang ini aku telah tua dan jelek romanku, maka itu kalau aku bicarakan hal ihwalku dulu hari itu, mungkin kau tak akan mentertawakan aku. Dulu hari itu Bouw Tok It dan Tan Teng Hong sama-sama tersohor, orang-orang gagah di jamannya menamakan mereka dua Tayhiap tanpa tandingan. Sementara itu, mereka sama-sama mempunyai pacar yang luar biasa juga. Dua-dua nona itu elok bagaikan bunga, indah sebagai kumala, dan dua-duanya pun pintar dan gagah. Puterinya Tok It bernama Poo Tjoe, dan puterinya Teng Hong ialah Soat Bwee. Di antara kaum muda di dunia kangouw, tidak ada seorang juga yang tak mengharapi menjadi menantu salah satu di antara mereka itu. Ketika itu aku belum sejelek sekarang ini, terhadap Nona Tan, aku pernah memikir yang tidak-tidak. Maka aku pikir, berhubung dengan pertemuanku dengan ini jago tua, aku bakal mendapat ketika akan berhubungan erat dengan Tan Teng Hong. Aku mengharap sangat, setelah aku membantu dia mendapatkan kitab ilmu pedang, bisa aku mengirim orang perantaraan untuk meminang puterinya. Aku merasa bahwa sungguh leluasa untuk aku membuka mulut meminangnya. Habis itu, aku pergi mencari banyak buah-buahan dan juga memburu seekor babi hutan, semua itu aku serahkan pada Tamtay It Ie untuk dia dahar guna melewatkan hari. Setelah itu, aku segera berangkat, untuk pergi ke rumah Tan Teng Hong. Tidak beruntung perjalananku ini. Setibanya aku di rumah keluarga Tan itu, kebetulan tuan rumah pepergian. Atas pertanyaanku maka aku diberitahukan, Nona Tan baru saja menikah bulan yang lalu dan mempelai ialah sahabat kakakku In Boe Yang. Kepergiannya Teng Hong ini pun untuk mengantarkan puterinya itu.

Tentu sekali, karena itu, aku menjadi sangat berputus asa. Meskipun begitu, aku tidak lantas meninggalkan rumah keluarga Tan itu, aku masih berdiam untuk menantikan pulangnya tuan rumah. Ketika kemudian Teng Hong pulang dan menerima kabarku, dia girang bukan buatan. Dia memuji tinggi padaku. Dia kata aku benar-benar berhati baik dan tidak temaha, bahwa aku dapat memegang kehormatan orang kangouw. Di hari kedua, lantas dia ajak aku berangkat ke Bektjek San, guna mengunjungi Tamtay It Ie. Setibanya di itu gunung, aku mesti mentaati aturan yang keras dari kaum kangouw. Ialah di saat seorang tertua hendak mewariskan sesuatu kepada orang yang bakal jadi ahli warisnya, sebagai orang luar tidak dapat aku hadir bersama, maka itu, aku tidak turut masuk ke dalam guha, habis menunjuk Tan Teng Hong liang guha itu, aku duduk seorang dari untuk menantikan.

Segera juga ternyata kedatangan kita berdua telah terlambat. Ketika kita tiba, Tamtay It Ie sudah menutup mata. Sudah begitu, Tan Teng Hong juga ketinggalan oleh Bouw Tok It, meskipun cuma ketinggalan umpama kata sedetik. Tok It itu kehilangan murid kepalanya, dia lantas pergi mencari. Dia sampai di guha lebih dulu satu tindak daripada Teng Hong, dia bahkan telah berhasil mendapatkan kitab Tat Mo Kiampouw itu. Ia girang bukan main mendapatkan kitab itu, sampai ia seperti lupa dirinya sendiri, ia memuji-muji dengan suara keras. Justeru itu, Teng Hong tiba. Maka bertemulah kedua orang kenamaan itu di dalam guha terahasia itu.

Buat omong terus terang, halnya pertemuan mereka itu, baru belakangan aku mengetahuinya jelas. Itu waktu tak tahu aku bagaimana duduknya mereka jadi bentrok. Mereka sama-sama kesohor, tetapi karena kitab pedang itu, mereka melupakan diri sendiri, mereka telah berkelahi untuk mati atau hidup!

Sungguh, itulah pertempuran sangat dahsyat. Tan Teng Hong mempunyai pedang Koengo kiam, pedang pusakanya, pedang mustika pula. Begitu bergerak, dia lantas berada di atas angin. Dari dalam guha, mereka bertempur sampai di atas, sampai di luar, di tempat terbuka, ialah di atas puncak yang datar. Keduanya telah mengeluarkan seantero kepandaian masing-masing, semua pukulan-pukulan yang mematikan. Aku menyaksikan sambil sembunyikan diri di belakang batu, aku sampai susah bernapas. Aku tidak berani mengeluarkan suara.

"Pertempuran itu berlangsung sampai seribu jurus lebih, berlanjut terus hingga matahari mulai doyong ke barat. Di akhirnya, pedang mustika dari Tan Teng Hong dapat membabat putus pedangnya Bouw Tok It. Menampak itu, aku girang bukan main. Aku memang mengharap-harap Tan Teng Hong yang memperoleh kemenangan. Sedang aku kegirangan, aku mendapat lihat kesudahan yang kebalikannya. Setelah pedangnya terkutung, bukan Tok It terdesak, dia justeru jadi lebih lihay, dia berkelahi dengan terlebih bersemangat. Demikianlah ia telah menggunai ilmu silat peryakinannya beberapa puluh tahun, ialah ilmu silat Taytjeng Hiankang.

"Bicara dari hal tenaga dalam, di jaman itu adalah Pheng Hweesio yang nomor satu. Dibanding sama Teng Hong, Tok It menang seurat, karena itu, mereka menjadi berimbang. Sesudah berkelahi demikian lama, keduanya menjadi letih sendirinya. Selama itu, pedangnya Teng Hong telah melukai Tok It beberapa lubang, Tok It sebaliknya dapat menghajar Teng Hong dengan dua sabetan tangan terbuka. Sampai itu waktu, sekonyong-konyong Bouw Tok It berseru dengan ancamannya: "Jikalau tetap kau tidak tahu selatan, akan aku rampas pedangmu!"

Diancam begitu, Teng Hong menjadi sangat murka.

"Baiklah!" serunya. "Jikalau kau sanggup merampas pedangku, di dalam kalangan kangouw sudah tidak ada lagi orang yang bernama Tan Teng Hong!"

Tan Tayhiap pintar dan halus budi pekertinya, biasanya kalau bergaul sama orang, ia bersikap lemah lembut, akan tetapi kali ini diperhina Tok It, ia menjadi seperti kalap. Maka ia menyerang secara hebat sekali. Ia bersedia untuk binasa berdua! Dengan tiba-tiba saja pedang berkelebat, pundaknya Tok It mengucurkan darah hidup tetapi Tok It tertawa berkakak, sebab di lain pihak Teng Hong terhuyung mundur beberapa tindak, paras mukanya pucat pias. Oleh karena dua buah gelang pedangnya telah kena dirampas putus Tok It! Demikian hebat keadaan mereka berdua, saking kaget dan takut, aku lupa diriku sendiri, yang sedang bersembunyi, aku berseru. Sambil berseru, aku pun memburu keluar dari tempat sembunyiku. Segera aku mendengar tertawa nyaring yang panjang, yang berkumandang di lembah. Bouw Tok It tak lagi nampak bayangannya, mungkin dia telah mengangkat kaki karena menyangka akulah kawannya Tan Teng Hong. Di lain pihak, Teng Hong duduk numprah di tanah.

"Syukurlah ada kau," katanya padaku.

Nyatanya Teng Hong terluka di dalam, lukanya itu lebih hebat daripada luka pedang dari Tok It, cuma itu waktu ia paksa menguati diri, dia tidak hendak memberitahukannya kepadaku. Sesudah beristirahat sebentar, dia mengajaknya aku lekas pulang. Aku mengantarkan dia sampai di rumahnya. Dia terluka parah dan sangat letih, besoknya dia roboh sakit. Dengan lantas dia mengirim orang kepada Hoeiliong Pang, partai Naga Terbang, mengundang pangtjoe, ketuanya partai itu, ialah Siauw Koan Eng..."

Siangkoan Thian Ya terperanjat.

"Siauw Koan Eng?" tanyanya. "Bukankah ia yang mempunyai beberapa sebawahan yang lihay, seperti Tie Eng dan Tie Pa serta Siang San Liong dan Kongya Liang?"

Pit Leng Hong mengangguk-angguk seraya menunjuki roman heran.

"Nyata bukannya sedikit urusan kaum kangouw yang kau ketahui," katanya, sambil terus melanjuti: "Sebenarnya mereka itu asal orang-orang tidak ternama, sesudah dipimpin Siauw Koan Eng, baru mereka memperoleh nama mereka. Siauw Koan Eng itu adalah calon murid dari Tan Teng Hong. Belakanganan lagi baru aku mendapat tahu, Teng Hong memanggil muridnya itu untuk memesan agar si murid mengurus jenazahnya nanti."

"Kalau itu ada pesan terakhir, mengapa Tan Teng Hong tidak memanggil pulang saja anak mantunya?" Thian Ya tanya.

"In Boe Yang berada jauh di Kanglam dan itu waktu pun tengah pecah peperangan, Tan Teng Hong sendiri lagi menghadapi saat-saat penghabisannya, mana ada ketika untuk memanggil itu anak dan mantu?" menjawab Pit Leng Hong. "Hanya aku, sungguh aku tidak menyangka, lantaran aku kebetulan bertemu sama Tamtay It Ie, aku jadi seperti terlibat urusan mereka itu. Di malaman Tan Teng Hong menarik napasnya yang terakhir, cuma ada aku dan Siauw Koan Eng di depan pembaringannya. Teng Hong menuturkan kepada Koan Eng perihal kitab ilmu pedang itu serta segalanya sampai dia bertempur sama Bouw Tok It dan mendapat lukanya itu. Pada akhirnya dia minta kita suka menerima pesannya. Dia kata: 'Dari kamu berdua, yang satu ialah murid angkatku, yang lain yaitu orang yang mengetahui duduknya hal dari bermula hingga akhirnya. Pit Leng Hong kaulah orang yang mengajak aku menemui Tamtay It Ie, yang membuatnya Bouw Tok It kaget dan mengangkat kaki, yang merawati aku sampai di rumahku ini, kalau tidak tentulah aku terbinasa di tengah jalan. Maka itu aku sangat bersyukur terhadapmu. Kalau aku telah menutup mata, pesanku aku serahkan pada kamu berdua. Di antara kamu, tidak perduli siapa, siapa yang sanggup merampas kitab ilmu pedang itu dari tangan Bouw Tok It, maka kitab itu menjadi hak miliknya. Aku minta sukalah kamu menjalankan baik-baik pesanku ini. Disini aku telah menulis surat wasiatku dalam mana aku telah catat segala sesuatu dengan jelas, dari itu andaikata di kemudian hari karena kitab ini terjadi kesulitan dengan pihak Boetong Pay, kamu boleh perlihatkan surat wasiatku ini. Untuk sekarang ini, isi surat wasiat baiklah Leng Hong yang pegang.' Habis mengucap begitu, berhenti sudah napasnya. Maka demikianlah akhirnya seorang Tayhiap, pendekar yang tidak beruntung, yang berpulang ke tanah baka dengan mengandung penasaran."

Pit Leng Hong menghela napas panjang, habis itu baru ia meneruskan pula: "Sesudah Tan Teng Hong menutup mata, aku lantas bermupakatan sama Siauw Koan Eng. Kita telah setuju untuk menggunakan segala kebiasaan kita untuk mendapatkan pulang kitab ilmu pedang itu, cuma beda daripada pesanan Teng Hong, kita berjanji, siapa pun di antara kita berdua yang berhasil, kitab itu mesti dipulangkan kepada puterinya Teng Hong, sekali-sekali kita tidak akan memilikinya sendiri."

"Bukankah pikiran ini mulanya keluar dari soehoe?" Thian Ya tanya.

"Benar," jawab Leng Hong.

"Bagaimana kau dapat ketahui itu?"

Thian Ya bersenyum. Di dalam hatinya, ia kata: "Rupanya soehoe tidak dapat melupakan puterinya Tan Teng Hong. Nona itu sudah menikah, belum tentu dia ketahui apa yang soehoe pikir tentang dirinya... Untuk si nona, soehoe berani hendak merampas kitab dari tangannya ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, inilah menyatakan cintanya yang sangat. Kalau begitu, dibanding aku dengan Siauw Oen Lan, aku kalah..."

Pit Leng Hong melanjuti pula penuturannya: "Kita berdua menginsafi yang kepandaian kita masih sangat rendah, masih kalah sangat jauh dibanding dengan Bouw Tok It, oleh karena itu kita berjanji akan meyakinkan dulu ilmu silat kita selama sepuluh tahun, setelah itu baru kita pergi mencari Bouw Tok It. Walaupun ada janji itu, aku sendiri tidak dapat bersabar demikian lama. Begitulah baru lima tahun semeninggalnya Tan Teng Hong, seorang diri aku telah pergi mencari Bouw Tok It."

"Kenapa begitu?" Thian Ya tanya, heran.

"Ketika itu Thio Soe Seng telah mati dalam peperangan di sungai Tiangkang. Bersama dia telah binasa juga kakakku, Pheng Hweesio dan yang lainnya. Dari tiga pahlawan Thio Soe Seng, yang dapat meloloskan dari cuma In Boe Yang satu orang. Isterinya In Boe Yang, yaitu Tan Soat Bwee, puterinya Tan Teng Hong, kabarnya pun turut terbinasa di dalam peperangan di Tiangkang itu. Mendengar kabar itu, tentu sekali aku pun berduka. Di samping itu, kemudian aku mendapat kabar lain, yang membuatnya kedukaanku bertambah. Itulah kabar bahwa tidak lama sehabis meninggalnya isterinya, In Boe Yang telah menjadi menantunya Bouw Tok It. Ada kemungkinan yang In Boe Yang tidak tahu sebab musabab dari kematian mertuanya, biarnya begitu, aku toh merasa menyesal untuk Tan Soat Bwee. Sayang belum lagi jenazahnya dingin, suaminya sudah menikah pula, bahkan yang dinikah justeru puteri musuh ayahnya. Setahu kenapa, semenjak itu aku jadi membenci In Boe Yang. Sebenarnya dari kakakku, secara tidak langsung, aku pernah pelajarkan ilmu silat Siauwyang Hiankang dari Pheng Hweeshio, tetapi karena niatku yang keras, aku tidak terus meyakinkan itu, aku ambil lain jalan yang pendek, yaitu aku mempelajari suatu ilmu istimewa bernama Hanim Tjitsat tjiang. Aku percaya, apabila aku dapat meyakinkan itu lamanya sepuluh tahun, sanggup aku melayani sesuatu jago kelas satu, tetapi aku tidak dapat bersabar, aku kuatir Bouw Tok It keburu mewariskan kepandaiannya kepada menantunya. Benar aku membenci In Boe Yang akan tetapi itu waktu aku tidak memikir untuk membinasakan orang yang pernah dinikah Tan Soat Bwee,

Thian Ya heran untuk sikap orang ini tetapi ia berdiam saja.

"Kebetulan itu tahun Bouw Tok It merayakan ulangtahun yang ke-51," Pit Leng Hong kembali melanjuti ceritanya. "Aku lantas mencari keterangan tentang keluarga Bouw itu. Aku memakai perantaraannya anggauta-anggauta dari Kay Pang, partai Pengemis. Lalu di harian pesta itu, aku nelusup di antara tetamu-tetamu. Selagi Tok It melayani sekalian tetamunya, diam-diam aku masuk ke dalam kamar tidurnya. Adalah maksudku mencari kitab pedang. Di saat aku baru mendapatkan itu dua gelang, yang Bouw Tok It rampas dari pedang Tan Teng Hong, tiba-tiba aku mendengar tindakan kaki orang di luar pintu. Lekas-lekas aku menyembunyikan diri di kolong pembaringan. Yang datang itu bukannya Bouw Tok It hanya In Boe Yang bersama isterinya yang baru dinikah. Aku lantas mendengar suaranya In Boe Yang: 'Kau lekas cari kitab pedang itu, aku akan menantikan kau di luar di gunung-gunungan palsu. Kalau ada sesuatu, akan aku memberi tanda dengan berdehem dan batuk-batuk.' Ketika itu In Boe Yang ada membawa sebatang pedang, ialah pedang pusaka dari Tan Teng Hong. Pedang itu, menurut Teng Hong, oleh Siauw Koan Eng mesti disampaikan kepada Tan Soat Bwee, maka itu, melihat pedang itu, aku jadi curiga."

"Aku kenal pedang itu, maka tentu sekali Bouw Tok It pun mengenalnya. Umpama kata dia benar tidak tahu In Boe Yang ialah menantunya Tan Teng Hong, melihat pedang itu, seharusnya dia bercuriga. Dari itu, kenapa Tok It justeru nikahkan gadisnya pada Boe Yang? Selagi aku berpikir demikian, aku mendengar suara perlahan dari Boe Yang, yang memanggil-manggil: 'Poo Tjoe! Poo Tjoe!' Atas itu, isterinya itu lantas membenahkan barang-barang yang ia telah geser. Baru ia selesai, gorden pintu telah disingkap dan Bouw Tok It bertindak masuk diikut keponakannya, ialah Bouw It Siok. Tok It heran melihat anaknya itu. 'Ah, kiranya kau di sini!' kata ayah itu. 'Boe Yang di luar lagi mencari kau.' Anak itu cerdik, ia menyahuti: 'Aku kuatir ayah kena diloloh, dari itu aku datang ke mari untuk melihat. Mau apa Boe Yang mencari aku?' Sang ayah tertawa dan berkata: 'Mana dapat gampang-gampang aku diloloh hingga sinting? Ah, ya, Boe Yang ada di luar, pergi kau tanya sendiri padanya!'

Anak itu lantas bertindak keluar.

Belum lama sejak berlalunya anaknya itu, aku dengar suaranya Tok It: 'Orang bilang anak perempuan berpihak pada pihak luar, inilah benar bukan kedustaan belaka... Hm! It Siok, selama kau berada bersama-sama Boe Yang, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigai pada dia itu?'

'Aku tidak melihat sesuatu,' menyahut It Siok, si keponakan.

Bouw Tok It lantas menepuk perlahan-lahan pada tembok, di situ ia memutar sebuah batu bata dan mencabutnya, maka di situ terlihatlah sebuah kotak yang terbungkus sulaman. Ia meletaki itu di atas meja.

'Karena kitab pedang ini, sia-sia belaka Tan Teng Hong mengurbankan jiwanya,' katanya menghela napas. 'Selama tahun-tahun yang belakangan ini, hatiku pun tidak tenteram. Kau ada anggota keluarga Bouw, anggauta satu-satunya, dari itu kitab ini di belakang hari mesti diwariskan kepada kau. Maka itu ilmu silat pedang Tat Mo Kiamhoat selanjutnya akan menjadi ilmu pedangnya keluarga Bouw. Eh, It Siok, tahukah kau kenapa aku ambil Boe Yang sebagai menantuku ?'

'Inilah justeru hal yang hendak aku menanyakan kau, paman,' sahut It Siok.

'Itulah disebabkan justeru isterinya yang telah meninggal dunia adalah puterinya Tan Teng Hong,' menerangkan Tok It. Ketika tahun dulu itu Tan Teng Hong bertempur sama aku memperebuti kitab ini, aku menduga dia mesti binasa di bawah serangan ilmu silatku Taytjeng Sintjiang, maka itu aku percaya, selain Tan Teng Hong, tidak ada orang Rimba Persilatan yang mengetahui kitab ada padaku. Akan tetapi Teng Hong ada mempunyai anak perempuan serta mantunya. Pada saat ajalnya Teng Hong, adakah ia memberitahukannya hal kitab pedang ini pada anak mantunya itu? Inilah soal yang membuatnya aku berpikir. Mulanya aku juga berniat membinasakan Boe Yang. Perbuatan itu tapinya bertentangan sama hati-sanubariku. Seumurku aku menganggap diriku seorang mulia, karena itu belum pernah aku membinasakan seorang yang tidak bersalah dosa. Bahwa aku toh telah mencelakai Tan Teng Hong, itu pun saking terpaksa, dan peristiwa itu membuatnya aku berduka hingga sekarang ini, aku sangat menyesal. Oleh karena itu, mana dapat disebabkan kecurigaan saja aku membunuh Boe Yang? Disebabkan semua ini, aku lantas nikahkan Poo Tjoe kepada Boe Yang itu. Dengan ini aku nanti bisa menyelidiki Boe Yang ketahui atau tidak tentang kitab ilmu pedang itu. Umpama kata benar dia mendapat tahu, dengan adanya ikatan mertua dan menantu, aku percaya bisalah urusan disudahi saja. Tapi In Boe Yang sebenarnya ada seorang yang licin, yang harus dibuat jeri, sebab selama beberapa bulan ini, tidak pernah ia membuka rahasia mengenai urusan kitab ilmu pedang itu. Aku kuatir, semeninggalnya aku, nanti tidak ada orang lain yang dapat mengendalikan dia. Poo Tjoe benar ada anakku akan tetapi aku tidak ingin kitab terjatuh di tangan orang lain she. Nah inilah sebabnya kenapa sekarang aku bicara jelas begini kepadamu. Aku ingin kau membantu aku menyelidki Boe Yang dan Poo Tjoe, tentang gerak-geriknya, apabila kau mendengar atau melihatnya, kau mesti lekas-lekas memberitahukan padaku. Kau tahu, kejadian barusan membikin aku tak dapat tak bercuriga..."

Mendengar sampai di situ, bulu-roma Thian Ya bangun sendirinya. Pikirnya: "Soetjouw menyebut dirinya orang gagah dan mulia, siapa tahu dia pun selicik ini. Dari sini ternyata, kitab Tat Mo Kiampouw itu adalah barang yang membawa sial."

Habis menutur begitu, Pit Leng Hong pun menghela napas. Nyata dia bersamaan anggapan dengan Thian Ya. Setelah melegakan dadanya, ia melanjuti pula: "Sungguh, kitab ilmu pedang itu tak sedikit mencelakai orang. Aku melihatnya sendiri bagaimana satu demi satu jago-jago silat telah membuang jiwanya, bahkan aku sendiri telah dibikin jadi bercacat dan jelek semacam ini karenanya."

Di waktu mengucapkan itu, suara Leng Hong makin lama makin lemah, napasnya makin mendesak.

"Sudahlah, soehoe," kata Thian Ya, menghibur, "urusan yang mendukakan ini baiklah jangan disebut-sebut pula."

Tetapi Leng Hong berpikir lain. Masih ia berkata pula: "Selang sesaat, It Siok pun berlalu. Maka di dalam kamar itu tinggallah Tok It seorang. Kitab ilmu pedang pun tetap terletak di atas meja. Tidak lama, Tok It duduk menyender di pembaringan, kedua kakinya diturunkan hingga kedua kaki itu tepat berada di depan hidungku. Hatiku menjadi tegang sendirinya. Inilah saat paling baik untuk aku turun tangan. Mungkin di luar tahuku sendiri, aku telah mengasih dengar suara apa-apa, sekonyong-konyong aku mendengar bentakannya Tok It: 'Siapa sembunyi di kolong pembaringan? Lekas keluar!"

"Aku tidak memberikan jawaban, sebaliknya aku mengerahkan tenagaku pada tanganku, lalu dengan hebat aku sambar kakinya, dengan begitu kuku tanganku telah mencakar luka jalan darah yongtjoan Hat di kakinya itu. Dengan begitu juga, hawa dingin yang beracun dari tanganku itu lantas masuk ke dalam jalan darahnya itu, terus ke ulu hatinya. Bouw Tok It boleh menjadi satu ahli silat kenamaan di jamannya itu, dia mana ketahui ilmu silat tanganku yang istimewa! Cuma benarlah dia sangat lihay, meski juga dia sudah terluka, dia masih dapat menggunai tenaganya dan mendupak aku hingga aku terguling roboh. Ketika dia telah melihat padaku, dia tertawa dingin dan kata: 'Kiranya kau, Giokbin Kayhiap Pit Leng Hong! Apakah perlunya kau mendekam di kolong pembaringanku ini?'

'Aku menghendaki kitab pedang,' aku jawab dia. 'Kau serahkan kitab itu padaku, nanti aku berikan kau obat pemunah untuk mengobati lukamu.' Tapi dia tertawa lebar dan kata: 'Aku si orang she Bouw, seumurku belum pernah aku mengemis apa juga dari lain orang! Laginya orang dengan kepandaian sebagai kau ini, mana dapat kau melukai aku?' Mendadak romannya berubah menjadi bengis, dia membentak padaku: 'Ha, kaulah itu orang semasa di Bektjek San!' Dia rupanya telah mengenali suaraku. Aku menjadi nekat, mendadak saja aku menubruk dia, tanganku menyamber beruntun hingga tiga kali. Dia pun menjadi sangat gusar, sambil berteriak dia menyabat tanganku hingga patahlah sebelah lenganku. Dengan tertawa dingin dia berkata pula: 'Baiklah, kau harus diberi tanda mata!" Aku lantas merasakan sambaran angin pada muka, mukaku itu seperti ditusuk-tusuk rasa dingin. Dalam kaget dan takut, aku berlompat ke jendela. It Siok telah mendengar suara berisik, ia segera muncul, akan tetapi tidak berhasil ia mencekuk aku.

"Dan bagaimana dengan kakek guruku itu?"

"Bouw Tok It berniat menyiksa aku, dia tidak tahu dia telah terkena tanganku," berkata Leng Hong, menyahuti. "Dia telah terhajar pukulan Hanim Tjitsat tjiang, tenaganya tak dapat mengiringkan kekuatan hatinya, dia percaya akan kemahiran tenaga dalamnya, dia menampik obat pemunahku, dengan begitu, karena hawa dinginku sudah menyerang sumsumnya, dia cuma-cuma mengobral tenaganya sendiri. Semenjak itu dia rebah atas pembaringannya, tubuhnya makin lama jadi makin lemah. Setelah tenaganya habis, matilah dia secara tiba-tiba. Berbareng dengan itu, In Boe Yang sudah mencari kitab ilmu pedangnya dan itu menantu yang manis sudah mengangkat kaki meninggalkan rumah keluarga In! ? Bagaimana dengan aku? Penderitaanku lebih hebat dan menyedihkan daripada Bouw Tok It itu. Aku berubah menjadi seorang yang setengah hidup setengah mati, aku bercacat lengan dan mukaku, yang menjadi begini jelek, aku jadi si pengemis yang bercelaka. Ludas sudah semangatku, semangat hendak menunduki harimau dan menakluki naga, lenyap cita-citaku terbawa hanyut "sang air!"

Mendengar itu, Thian Ya bergidik sendirinya. Sungguh hebat peristiwa yang panjang ekornya itu.

Sekian lama mereka berdiam, lalu Pit Leng Hong berkata pula, suaranya serak dan perlahan. Katanya: "Sekarang ini lelakon bakal tiba pada babak penutupnya. In Boe Yang telah terhajar pukulanku Hanim Tjitsat tjiang, paling lama dia dapat bertahan tiga hari, maka itu sekarang pergilah kau lekas ke rumah dia, kau salin kitab ilmu pedang itu yang dia ukir di dalam kamar batunya, setelah itu, kau rusak musnahkan temboknya itu! Selanjutnya kaulah orang satu-satunya yang mewariskan ilmu silat pedang Bodhidarma itu! Lekas, lekas pergi! Jangan takut! Sekarang ini, biarnya Boe Yang dapat mengukir langit, dia tak dapat berbuat apa-apa lagi terhadapmu!"

-xxXXXxx-

PENUTUP : Semua-mua dibawa hanyut...

"Sudahlah, jangan sebut-sebut lagi kitab pedang itu!" berkata Siangkoan Thian Ya. "Siapa yang memain dengan itu, dia tidak ada akhirnya yang beruntung! Soehoe, paling benar kita lekas meninggalkan ini tempat hantu!"

Pit Leng Hong membuka mulutnya tetapi suaranya sangat perlahan, dengan susah payah barulah Thian Ya mendapat dengar juga. Ia, menjadi kaget sekali.

"Soehoe!" katanya, suaranya gemetar. "Apa soehoe bilang? Apakah soehoe pun terluka It Tjie Sian dari In Boe Yang itu? Apakah soehoe pun mau pergi?"

Pit Leng Hong mengangguk, lalu ia mengasih lihat senyuman sedih, tangannya diangkat, dipakai menunjuk ke rumah keluarga In. Tidak lama, atau parasnya seperti membeku, ketika Thian Ya mengulur tangannya, untuk meraba, tubuh guru itu sudah tidak ada napasnya lagi...

Mendadak saja anak muda ini merasai dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia, mau menangis tetapi suaranya tak mau keluar. Tidak ada jalan lain, ia menyingkapi tumpukan rumput, ia menggali tanah, lalu di dalam situ ia letaki tubuh gurunya, untuk diuruk, untuk ditutupi...

"'Tan Teng Hong! Tan Teng Hong!" mendadak Thian Ya berseru-seru sendirinya.

Itulah nama yang ia rasanya kenal baik. Siapakah pernah menyebutnya?

Sekonyong-konyong terdengar suara tajam di dalam rimba, lalu sebuah tubuh orang terlihat mencelat, lari ke arah rumah keluarga In.

"So So!" berteriak Thian Ya, yang dapat melihat tubuh orang itu.

In So So tidak berpaling, dia lari terus. Rupanya dia telah mendapat dengar perkataannya Pit Leng Hong.

Heran Thian Ya.

"Kalau dia telah bersembunyi di sini dan mencuri dengar pembicaraan kita, kenapa dia tidak mau menemui aku?" Thian Ya tanya dirinya sendiri.

Hati anak muda ini menjadi goncang, tubuhnya menggigil. Lantas saja ia lari, untuk menyusul In So So...

***

In Boe Yang menanti sekian lama, puterinya masih belum kembali. Ia mementang jendela dan pintunya, untuk membuatnya sinar rembulan memancar masuk, masuk bersama bayangannya pohon bwee, ke dalam kamar tulisnya itu.

Itu waktu si Puteri Malam sudah berada ditengah-tengah langit, menandakan hari sudah jauh malam. Angin bersiur-siur, membawa harumnya bunga bwee.

Boe Yang berdiam, di otaknya terkilas segala peristiwa yang telah lalu. Ya, segala macam perbuatannya, yang baik, yang buruk. Bagikan kilat, semua itu datang dan pergi. Dalam keadaannya itu tidak keruan rasa, ia mendengar tindakan kaki yang enteng, hingga ia terperanjat.

"So So!..." serunya. Atau: "Ah!... Kau..."

Itulah bukannya So So, puterinya, hanya seorang laki-laki yang tubuhnya kasar, yang usianya sudah limapuluh tahun kira-kira. Mukanya orang ini ada tapak luka goresan, kumisnya pendek dan kaku.

In Boe Yang telah mengawasi, segera ia mengenalinya.

"Kaulah Siauw Koan Eng, pang-tjoe dari Hoeiliong Pang!" katanya.

Orang itu mengangguk.

"Ingatanmu masih bagus!" sahutnya. "Ketika kau menikah sama Siotjia kami, aku pernah gajak-gijik membantui kamu, aku telah bantu mengatur pesta! Hanya, kau sekarang telah menjadi menantunya keluarga Bouw, kau bukan lagi menantu keluarga Tan! Ha, sungguh sukar yang kau masih ingat kami!"

Itulah kata-kata yang bernada sindiran.

"Habis kau mau apa?" menanya Boe Yang, suaranya dingin.

Siauw Koan Eng, pangtjoe atau kepala dari Hoeiliong Pang, Kawanan Naga Terbang, menyahuti dengan sabar.

"Maksud kedatanganku katanya ke satu untuk meminta kitab ilmu pedang, dan ke dua guna meminta orang."

Boe Yang dongak dan tertawa lebar.

"Kembali datang seorang yang mau minta kitab ilmu pedang!" katanya nyaring. "Ha, apakah kau pun tepat memiliki kitab ilmu pedang itu?"

Koan Eng tetap berlaku tenang.

Jikalau Siotjia kami masih belum meninggal dunia, kitab ilmu pedang itu memang mesti kembali padanya," ia menjawab, "tapi karena kau sekarang ada menantunya keluarga Bouw, sedang kitab ilmu pedang keluarga Bouw itu dapatnya boleh mencuri dari keluarga Tan, mana dapat kitab itu tetap berada di tangannya menantu dari musuhnya Tan Teng Hong? Tan Teng Hong itu mempunyai hanya aku murid satu-satunya!"

In Boe Yang tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya.

"Kitab ilmu pedang itu pun tidak dapat aku membawanya ke liang kubur, meski begitu, tidak dapat itu dipulangi kepada kau! Sekarang tentang orang! Siapakah itu yang kau hendak minta dari aku?"

"Pit Leng Hong!" sahut Koan Eng singkat.

Boe Yang bergidik dengan tiba-tiba. Cuma sejenak, lantas ia tertawa pula berkakakan.

Siauw Koan Eng menjadi gusar.

"In Boe Yang, kau tertawakan apa?" dia membentak.

"Aku tidak menyangka," menjawab Boe Yang, "Pit Leng Hong si siluman begini aneh tetapi masih mempunyai sahabat akrab sebagai kau yang kesudian mengurus jenazahnya!"

"Apa?" tanya Koan Eng heran. "Apakah Pit Leng Hong telah mati?"

In Boe Yang menyahuti dengan tawar: "Pit Leng Hong telah kena aku hajar dengan Ittjie Siankang, telah tertutup tujuh jalan darahnya, maka aku percaya dia tidak bakal sanggup keluar lagi dari gunung ini, jikalau kau mencari dia, tak usah sampai satu harian, asal kau mengitari tempat ini seputarnya sepuluh lie, pasti kau bakal menemui mayatnya!"

Matanya Koan Eng menjadi gelap secara mendadakan. Berkumpul menjadi satulah kedukaan dan kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia tertawa bagaikan kalap.

"In Boe Yang, kau... kau bagus sekali sudah menurunkan tangan jahatmu itu!" ia berseru, "Pit Toako, ah Pit Toako! Ingatkah kau dulu hari telah menerima pesan dari guru kita yang baik hatinya dan bagaimana kita telah bersumpah, biar tubuh kita hancur lebur, kita akan cari dapat kitab Tat Mo Kiampouw ini? Kau benarlah seorang ksatria, kau menetapi sumpahmu! Hanya tidaklah aku sangka, bukannya kau mati di tangannya itu bangsa tua she Bouw, kau justeru terbinasa di tangan mantu yang jempolan dari Tan Teng Hong, di tangannya In Boe Yang! Oh, guruku yang baik dan kau Pit Toako, mana dapat kamu di dunia baka memeramkan matamu? Pit Toako, kau orang luar tetapi kau mendahului aku mati, apakah dengan begitu tidak kecewa aku yang menjadi murid partaiku?"

Hebat suaranya Koan Eng ini, untuk kupingnya Boe Yang, itu ada terlebih hebat daripada cacian. Tapi Boe Yang pun baru sekarang mengerti duduknya hal. Katanya dalam hatinya: "Aku menyangka Pit Leng Hong dan mertuaku tidak sangkut pautnya satu sama lain, aku heran kenapa di antara mereka ada sakit hati yang begini hebat, tidak tahu semua itu kiranya disebabkan ini kitab ilmu pedang..."

Dalam murkanya itu, Siauw Koan Eng menatap dengan mata tajam.

In Boe Yang pun mengawasi, hanya dengan dingin dia terus menanya: "Siauw Koan Eng, apakah benar-benar kau hendak menempur aku?"

Koan Eng tidak takut, dia menyambut tantangan itu.

Sebenarnya Koan Eng muncul untuk mencari puterinya. Setelah dia mengutus Tie Eng berempat, dia mendapat kabar bahwa Singkoan Thian Ya ada bersama seorang bernama Tan Hian Kie, orang yang katanya dicari pemerintah sebab ia dipandang sebagai pemberontak. Dia menerima kabar ini dengan hati berkuatir. Dua-dua Thian Ya dan Hian Kie itu sahabat-sahabat puterinya. Sekarang Hian Kie lagi dikepung-kepung pahlawan-pahlawan kaisar. Inilah berbahaya. Dia kuatir puterinya kena dipincuk Thian Ya. Kalau itu sampai terjadi, ada kemungkinan puterinya nanti dapat celaka di tangan pahlawan-pahlawan kaisar itu. Dia merasa pasti, Tie Eng berempat tidak bakal sanggup melindungi puterinya. Maka dia melakukan perjalanan dengan cepat-cepat. Sebenarnya ia tidak tahu yang In Boe Yang tengah bersembunyi di gunung itu. Hanya, setelah memasuki gunung, secara kebetulan saja ia mendapatkan tanda-tanda bekas tongkatnya Pit Leng Hong. Dengan Pit Leng Hong itu sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak bertemu, dari itu melihat tanda tongkat itu, ia mau percaya sahabat itu berada di dalam ini gunung. Pula ia mau percaya, mesti ada sebabnya kenapa sahabat itu berada di gunung ini. Oleh karena itu, ia lantas mengikuti tanda-tanda tongkat itu, untuk mencari sahabatnya itu. Di luar dugaannya, ia menyusul sampai di rumah keluarga In. Maka bertemulah ia dengan In Boe Yang. Tapi, yang terlebih tidak disangka, di sini ia mendengar kabar buruk tentang Pit Leng Hong, dari hal kematiannya itu sahabat karib. Ia adalah muridnya Tan Teng Hong, walaupun murid tidak resmi, dan Tan Teng Hong telah membantu ia hingga ia menjadi pemimpin utama kaum Rimba Hijau di lima propinsi Utara, dari itu, tentu sekali ingat kebaikan dan kecintaan gurunya itu. Ia pun, karenanya, menjadi ingat pesan gurunya itu mengenai kitab ilmu pedang. Pula ia ingat Pit Leng Hong sebagai orang luar tetapi Leng Hong telah mengurbankan dirinya. Di lain pihak lagi, ia muak terhadap Boe Yang. Orang she In ini ada mantu keluarga Tan, kenapa dia melupakan ikatan famili itu? Kenapa, selain sudah menikah dengan puterinya Bouw Tok It, dia juga membinasakan Pit Leng Hong? Maka itu naiklah darahnya, ia lupa pada mati-hidupnya! Demikian: "Sekalipun Bouw Tok It tak aku takut, kenapa aku mesti jeri terhadapmu?" dia berteriak, "Baiklah! Jikalau kau benar ada mempunyai kepandaian, nah kau binasakanlah aku sekalian!"

Dia menatap muka orang hingga dia dapat melihat bekas luka di muka Boe Yang, luka bekas goresan pedang.

Boe Yang mengawasi dengan sikapnya yang dingin, yang memandang enteng.

"Kau hendak menuntut balas untuk Pit Leng Hong?" katanya. "Nah, inilah ketikanya yang paling baik! Eh, mengapa kau masih tidak hendak turun tangan?"

Siauw Koan Eng berseru keras, berbareng dengan itu sebelah tangannya di angkat dan dikasih melayang turun dengan jurusnya "Menggempur gunung Hoa San," mengarah batok kepala sebagai sasaran. Ia tahu benar ia bukanlah tandingan In Boe Yang, maka juga ia telah mengerahkan semua tenaganya, untuk menyerang hidup atau mati, atau sedikitnya terluka bersama.

Atas ancaman bahaya itu, In Boe Yang tidak bergerak, ia terus duduk diam, tanpa menangkis, tanpa berkelit, wajahnya tak wajar.

Menampak itu, Koan Eng menjadi heran, hingga ia batal menyerang terus, ia mengawasi. Maka segeralah terlihat olehnya perubahan air mukanya Boe Yang itu, yang sekarang parasnya menjadi matang biru tipis dan sinar matanya menjadi guram, mirip matanya bangkai ikan.

"Ah!" ia berseru akhirnya. "Kau pun terhajar Hanim Tjitsat tjiang dari Pit Leng Hong?"

"Maka juga inilah yang aku bilang ketikanya yang paling baik untukmu!" menjawab Boe Yang sambil tertawa menyeringai. "Kenapa kau masih tidak hendak turun tangan? Jikalau kau berhasil membunuh aku, aku tanggung namamu bakal menggemparkan dunia Rimba Persilatan, dan semenjak hari ini hingga seterusnya, kaulah orang gagah satu-satunya di kolong langit ini!"

Koan Eng bersangsi bukan main, tangannya itu berhenti di atasan kepalanya jago tua ini. Ia sendiri ada seorang kangouw asli, ia menganggapnya dirinya gagah, karena itu mana dapat ia menurunkan tangan kepada seorang yang tak bersedia untuk melawannya, apapula lawan itu adalah seorang kosen yang tengah menderita luka parah? Cuma, jikalau ia benar-benar mengasih lewat ini ketika yang baik, di belakang hari, ia pasti akan mengalami kesulitan. Bagaimana kapan nanti In Boe Yang sudah sembuh dari lukanya ini? Siapa nanti dapat mengalahkan padanya?

Tidak dapat Koan Eng bersangsi lama-lama.

Akhirnya ia berseru: "In Boe Yang, jangan kau memancing kemarahanku! Biarlah dunia mentertawakanku, hari ini mesti aku membinasakan kau?satu manusia tak berbudi!" Sambil berseru begitu, ia geraki pula tangannya.

Tepat di saat yang memutuskan itu, mendadak terdengar suara seruling, yang mendatang dari tempat yang jauh...

Mulanya, halus suara itu, lalu nadanya berubah menjadi tinggi, lalu iramanya berubah, seperti girang tercampur duka, bagaikan orang menangis tersedu-sedu, mirip tangisan janda yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya. Atau di lain saat lagi, suara itu bagaikan es membeku...

Selagi suara seruling itu merayu-rayu, Koan Eng pun menjadi bermuka pucat sekali, karena di hadapannya, ia menampak tubuh In Boe Yang bergemetar keras, menggigil seluruhnya. Mana dapat ia menghajar lawan dalam keadaan seperti itu?

Sekonyong-konyong Siauw Koan Eng menjerit tajam, tubuhnya berlompat ke luar, sedang In Boe Yang tetap duduk berdiam bagaikan patung batu yang tak bernyawa.

Tiba di luar, Koan Eng memanggil nyaring dengan suara menggetar: "Toa... toasiotjia, inikah impian belaka?...."

"Ya, adakah ini impian?" demikian terkilas di otaknya In Boe Yang.

Itulah suara seruling yang dikenal baik, yang mengingatkan Boe Yang pada saat-saat dari tigapuluh tahun yang telah lampau. Ketika itu ia bersama Tan Soat Bwee main-main dengan gembira dan asyik, Soat Bwee tengah gemarnya meniup seruling...

Akan tetapi ini bukanlah impian, ini adalah kenyataan.

Tidak lama maka terdengarlah satu suara, suara yang menggoncangkan hati.

"Bukan, inilah bukannya impian... Yang benar ialah aku telah kembali... Kau datang ke mari, apakah kau mau!" demikian suara itu, jawaban yang merupakan pertanyaan juga.

"Aku... aku..." sahut Siauw Koan Eng. "Kitab ilmu pedang... Pit... Pit Leng Hong... Dia bersama aku telah menerima pesan terakhir dari ayahmu untuk mendapatkan pula Tat Mo Kiampouw, untuk dikembalikan padamu. Pit... Pit Leng Hong... dia mati karena mencari kitab ilmu pedang itu..."

Tidak tedas kata-katanya Koan Eng, suaranya pun menggetar, suatu tanda tegangnya perasaannya. Kalau ia berkuatir, In Boe Yang sebaliknya ketakutan sangat, dia sampai merasakan telah hilang kesadarannya...

Dalam seumurnya, In Boe Yang telah mengalami entah berapa banyak ancaman bencana, setahu ia sudah menghadapi berapa banyak musuh-musuh yang tangguh, tetapi belum pernah ia merasakan seperti sekarang ini, begini lemah rasanya. Seumurnya belum pernah ada seorang seperti wanita ini yang membuatnya demikian takut. Inilah wanita yang ia pernah menyintainya dengan sangat, tetapi sekarang dia jerikannya melebihkan Boetong Ngoloo, Pit Leng Hong atau lain-lain musuhnya lagi yang tangguh-tangguh. Tidak pernah satu hari lewat yang ia tidak ingat wanita ini tetapi sekarang si wanita muncul, ia menjadi takut terhadapnya!

Di luar terdengar suaranya Siauw Koan Eng, samar-samar dan menggetar: "Siotjia, karena kau sudah datang, tidak usahlah aku mencapaikan diri lagi meminta kitab ilmu pedang itu, cuma sayang kau telah datang terlambat satu tindak, karena kitab itu, Pit Leng Hong sudah menutup mata..."

"Apa, Pit Leng Hong?" bertanya si wanita. "Apakah dia Giokbin Kayhiap si Pengemis Mulia Bermuka Kumala? Ah, kitab ilmu pedang ini entah telah mencelakai berapa banyak orang..."

Wanita itu tidak begitu berduka mendengar kematiannya Pit Leng Hong, sebab dia datang untuk suatu urusan lain.

Siauw Koan Eng menghela napas perlahan. Ia ketahui juga sedikit tentang hatinya Pit Leng Hong, maka ia tidak menyangka si wanita yang Leng Hong cintai itu, sedikit juga tidak mendapat tahu hati orang, bahkan namanya hampir telah dilupakannya...

"Kalau begitu, Siotjia, biarlah aku pergi lebih dulu," kata ia pula. "Aku masih hendak menolong Pit Leng Hong mengurus jenazahnya itu."

"Baiklah, kau boleh pergi," menyahut si wanita, yang dipanggil Siotjia, atau nona, itu. "Anak perempuanmu baru saja bersama-sama Tie Eng dan Tie Pa sekalian pergi turun gunung..."

"Oh, begitu!" kata Koan Eng agak kaget. "Jadi benar Oen Lan ada di sini?"

Habis berkata, dia melompati tembok pekarangan, dia lantas meninggalkan rumah In Boe Yang itu.

Tindakan Koan Eng yang berat dan cepat itu dirasakan Boe Yang seperti menginjak hatinya.

Dengan kepergiannya Koan Eng, maka di situ tinggallah si wanita seorang diri. Suara tindakannya lantas saja terdengar perlahan. Dia tengah berjalan masuk ke dalam kamar. Dia memegang seruling kumala di tangannya, bajunya putih laksana salju. Di matanya Boe Yang, dia sama seperti dahulu hari ketika dia bertindak mundar-mandir di antara pohon-pohon bwee itu. Ialah habis meniup sebuah lagu, lantas dia berjalan-jalan, perlahan-lahan. Sudah duapuluh tahun mereka berpisah hidup seumpama bercerai mati, sekarang wajahnya tetap tidak berubah, melainkan gerak-geriknya beda, tidak seperti dulu lagi itu. Dahulu dialah seorang nona yang lincah, tetapi sekarang alisnya yang kecil berkerut karena kedukaannya. Ia tidak berani mengawasi dia, ia tidak berani membentrok sinar mata dia itu sinar mata yang terlebih tajam daripada pedang Koengo kiam, yang membuatnya orang tak dapat mengawasinya. Wanita itu berjalan terus, bertindak hingga di depannya sekali.

Siapakah wanita ini? Dialah Tan Soat Bwee, isteri yang terdahulu, atau isteri yang pertama dari In Boe Yang. Benarkah itu? Bukankah dulu hari itu In Boe Yang telah menyaksikannya dengan matanya sendiri mayat isterinya itu telah digulung gelombang sungai Tiangkang dan dibawa hanyut pergi? Tetapi sekarang dia muncul di sini dengan tidak kurang suatu apa, dengan sehat walafiat.

"Boe Yang, kau baik," katanya. "Ya, kau baik..."

Boe Yang berseru.

"Soat Bwee! Kau... kau..."

Dia berlompat maju, tetapi dia tercegah mata dingin dari wanita itu.

Keduanya berdiri diam, sinar mata mereka bentrok.

Cinta dan penasaran mengaduk menjadi satu dalam hati Soat Bwee. Hanya lewat beberapa saat, baru dia berkata, perlahan sekali: "Kau tentunya telah menyangka sudah lama aku telah menutup mata, hanya sayang Thian tidak sudi menuruti pengharapanmu itu. Aku masih belum mati. Apakah kau putus asa? Aku tahu sekarang ini kaulah ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, maka itu kau hunuslah Koengo kiam, kau boleh bunuh pula padaku!"

"Soat Bwee! Soat Bwee!" kata Boe Yang, suaranya bergemetar. "Sudahlah, kau jangan mengucapkannya lagi..."

Tapi Tan Soat Bwee tertawa dingin.

"Haha! In Boe Yang yang menganggapnya dirinya orang gagah, ahli pedang yang terbesar, juga tahu takut! Pada duapuluh tahun dulu, kau telah joroki aku tercebur ke dalam sungai Tiangkang, itu waktu kau toh tidak nampaknya jeri, maka kenapa sekarang kau takut?"

Boe Yang bermuka pias bagaikan mayat, tubuhnya menggigil, mulutnya digeraki, seperti ia hendak mengatakan sesuatu, ia telah mencobanya, tetapi gagal. Kata-katanya itu tercegah suaranya Tan Soat Bwee, suara yang mengandung kemarahan.

"Apakah kau takut aku bicara?" demikian isteri itu. "Aku justeru hendak membuka mulutku! Ketika dulu hari itu kau joroki aku ke dalam sungai Tiangkang, tahukah kau apa yang hatiku pikir itu waktu? Itu hari junjungan kita bertempur mati-matian dengan Tjoe Goan Tjiang, kau bersama aku telah merampas sebuah perahu kecil, di antara gelombang dahsyat, di antara hujan anak panah, kita menerjang keluar. Aku telah terkena panah beracun dari musuh, napasku tinggal empas empis. Ketika itu aku berpikir, walaupun kau sering membilangi aku bahwa kau ingin hidup dan mati bersama aku, hatiku tidak tega mengajak kau mati bersama... Aku melihat kau terluka, sedang itu waktu perahu kita hampir kena dicandak musuh... Ketika itu aku merasakan sangat manis, aku berani bersumpah kepada Thian?ketika itu aku menyintai kau lebih daripada aku menyintai diriku sendiri, lebih berlipat seratus kali, seribu kali! Ketika itu aku menguatkan diriku, aku pergi ke luar perahu, niatku untuk terjun ke dalam sungai, supaya kau dapat terluput tak kena dicandak musuh. Dan kau... adalah di itu waktu, kau telah muncul di belakangku... Aku menyangka kau dapat menerka hatiku, kau hendak mencegah aku, tetapi siapa tahu, kau justeru menolak punggungku, kau menolak keras membuatnya aku tercebur ke dalam gelombang sungai Tiangkang itu! Haha, In Boe Yang! Coba kau terlambat sedikit saja menjoroki aku, pasti sudah aku telah berlompat ke air, itu waktu tentulah aku mati rela karena aku mati untuk orang yang aku cintai. Tapi sekarang, aku belum mati, sebaliknya kau, kau telah mati dalam hatiku!"

Muka Boe Yang dari biru menjadi pucat, dari putih menjadi merah, dari merah menjadi putih pula ia bersalin rupa beberapa kali. Beberapa kali ia hendak membuka mulut, saban-saban ia gagal. Akhirnya, dapat juga ia berkata, perlahan: "Kalau aku pikir sekarang, sungguh aku ingin mati waktu itu... Ya, selama duapuluh tahun itu, aku telah membuatnya kau sengsara, tetapi aku sendiri, mana pernah aku hidup senang? Setiap hari, setiap malam, aku menegur diriku sendiri, aku tersiksa liangsim-ku. Kesengsaraanku itu mungkin terlebih hebat daripada siksaan dalam delapan belas tingkat neraka. Tidak, aku tidak berani memohon maaf dari kau! Nah, kau cacilah aku, kau cacilah secara hebat, sesukamu!..."

Soat Bwee terus bersikap dingin, toh pada sinar matanya masih ada sisa dari kesayangan menyapu pada muka suaminya itu. Ia tidak membuka mulutnya meski Boe Yang meminta ia mencacinya.

"Kau tidak suka mencaci aku, aku akan mencaci diriku sendiri," berkata pula Boe Yang. "Soat Bwee, tahukah kau apa yang aku pikir itu waktu? Ya, dalam itu saat sangat berbahaya, kau memikir untuk aku, aku sendiri, aku memikir untuk diriku sendiri. Itu waktu kau terluka parah, aku merasa bahwa aku tidak sanggup menolongi kau, maka aku pikirlah: Daripada kau ditawan musuh, hingga kau bakal menderita siksaan dan kesengsaraan, lebih baik kau terpendam dalam siksaannya gelombang sungai Tiangkang itu. Pikiranku itu sebenarnya ada pikiran untuk menghibur diri sendiri, itulah palsu belaka. Sebenarnya aku mempunyai sebab lain, sebab yang aku tidak dapat membuka mulut untuk menjelaskannya. Aku takut mati, aku temahai kehidupan, di saat sangat berbahaya itu, aku tidak ingin melindungi isteri, aku hanya memikir supaya aku sendiri dapat meloloskan diri. Bahkan aku memikir, setelah kau menutup mata, aku akan jadi ahli pedang nomor satu di kolong langit ini! Memang, ada orang-orang yang menganggapnya aku seorang gagah perkasa, tetapi mana mereka ketahui, hatiku sebenarnya busuk sekali? Di saat seperti itu, aku justeru menjoroki kau ke dalam sungai! Aku telah mencuri pedang pusakamu! Di dalam kepungannya musuh, aku menoblos keluar, belum lagi pakaianku kering, aku telah lari pergi mencari Bouw Tok It. Semua ini aku lakukan untuk kepentingan diriku sendiri, supaya aku menjadi jago pedang yang utama. Ya, Soat Bwee, kau cacilah aku, kau cacilah!

Air matanya Soat Bwee menetes turun, tetes demi tetes. Ia tidak menyangka yang In Boe Yang bakal memberikan pengakuannya itu. Maka hatinya yang mulia hendak lantas memaafkannya. Tapi ia masih menguasai dirinya. Ia tertawa dingin.

"Dengan begitu maka kau jadilah menantunya keluarga Bouw itu!" katanya tajam. "Ha, aku sampai lupa! Sampai sekarang ini, aku masih belum melihat pengantinmu yang baru itu! Mana pengantinmu itu!" Soat Bwee bukannya tidak tahu, tempo telah lewat duapuluh tahun, Boe Yang dan Poo Tjoe telah menikah lama, tetapi kata-kata "pengantin" itu telah keluar dengan sendirinya.

Boe Yang tertawa sedih.

"Dia," katanya. "Dia sudah pergi... Siapa yang mementingkan dirinya sendiri, lambat laun dia pun bakal disia-siakan oleh lain orang... Kau menganggapnya aku telah mati, maka dia... dia tentu telah menganggapnya aku telah mati juga... Seumurku, aku ingat, belum pernah aku memuji di depanmu, memuji wanita yang ke dua, tetapi toh sekarang tidak dapat aku tidak mengatakannya. Sesungguhnya, Poo Tjoe mirip dengan kau, dialah seorang nona yang baik sekali, tetapi aku, dengan segala kepalsuan telah aku menipunya dia, aku telah menipunya supaya dia, untuk kepentinganku, mencuri kitab ilmu pedangnya Bouw Tok It! Demikianlah aku, dari isteriku yang pertama telah aku dapatkan pedang mustika nomor satu di kolong langit ini, dari isteriku yang ke dua, aku memperolehnya kitab ilmu pedang yang tidak ada bandingannya dalam dunia ini! Dengan begitu jadilah aku jago pedang nomor satu di dalam dunia, cuma karenanya, aku kehilangan cintanya kedua isteriku... Ah, kitab ilmu pedang itu masih mempunyai ceritanya sendiri yang berliku-liku. Sebenarnya, Soat Bwee, kitab adalah kitab milik ayahmu, maka sekarang di dalam dunia ini, kau pemilik yang sah dari kitab itu!"

Soat Bwee tertawa dingin.

"Aku telah menderita sangat, duapuluh tahun aku mengandung penasaran," ia berkata, "sekarang aku datang mencari kau, apakah kau anggap aku datang untuk kitab ilmu pedang itu?"

Boe Yang mementang semua pintu dan jendela.

"Aku menginsafi kesengsaraanmu itu tak dapat ditebus," ia kata, perlahan sekali. "Selama duapuluh tahun ini aku memikirkan daya untuk mengurangi penderitaanku, tetapi selamanya belum pernah aku berhasil menebus dosaku. Cuma, aku tahu, tidaklah sukar untuk kau mengetahui hatiku yang sebenar-benarnya. Nah, apakah kau telah melihatnya? Itu bunga bwee di luar jendela! Cara mengaturnya kamar tulis ini! Semua itu aku menuruti caramu sendiri!"

Mau atau tidak, Soat Bwee memandanginya. Di luar ada sisa-sisa pohon bwee daun-daunnya telah pada rontok, tetapi di cabangnya masih ada beberapa kuntum bunga itu. Ia pun memandang ke keliling kamar tulis itu. Ia berdiam memandangi itu.

Boe Yang melanjuti: "Aku telah mengajari anakku yang perempuan memasak sayur yang kau biasa paling sukai, aku menyuruhnya dia membuat pakaian yang kau paling gemari. Sekarang dia telah berusia delapan belas tahun. Tanpa merasa aku telah mengajari dia hingga dia mirip sama kau, begitu baik hatinya, begitu jujur, seumurnya belum pernah dia mengetahui dunia begini kotor. Itulah sebab aku ingin melihatnya dalam tubuhnya bayanganmu sendiri!"

Dengan sangat perlahan Soat Bwee mengucapkan sesuatu. Kata-katanya Boe Yang ini sangat melukai hatinya. Ia bersedih tetapi pun lega dan terhibur, maka tanpa merasa, buyarlah separuh dari penasarannya.

"Benarkah itu?" katanya perlahan. "Kau pun jadinya mempunyai seorang anak perempuan?"

Boe Yang mengangguk.

"Kau tunggu sebentar," katanya, "dia akan lekas pulang."

Tiba-tiba Soat Bwee merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan hatinya.

"Boe Yang!" katanya tajam, "tahukah kau kenapa malam ini aku datang mencari kau? Tahukah kau apa yang aku pikirkan? Sebenarnya telah aku bersumpah, selama sisa hidupku ini, tidak sudi aku melihat kau pula, aku juga tidak menghendaki lagi itu kitab ilmu pedang, tetapi aku telah melanggar sumpahku itu! Kau tahu, inilah semua untuk anakku, untuk anakku, anak laki-laki!"

Boe Yang terkejut.

"Apa?" katanya. "Anak laki-lakimu? Oh kita jadi mempunyai satu anak laki-laki?"

Soat Bwee mengangguk perlahan.

"Di saat kau menjoroki aku ke dalam sungai Tiangkang, aku tengah mengandung dua bulan," menerangkan isteri ini.

Boe Yang menjerit, dia berjingkrak, lantas dia menumbuki dadanya. Air matanya pun segera bercucuran deras.

"Aku harus mati, aku harus mati!" ia menjerit-jerit. "Oh, hampir aku pun membinasakan anakku sendiri!..."

Amarahnya Soat Bwee bangkit pula.

"Dia bukanlah anakmu!" katanya sengit, dingin. "Seumurnya dia belum mengetahui bahwa dia mempunyai ayah semacam kau!"

"Ya, memang benar demikian," kata Boe Yang, perlahan. "Memang aku tidak mempunyai muka untuk menjadi ayahnya..."

"Selama duapuluh tahun, aku sendiri yang memelihara dan merawat dia," berkata Soat Bwee, "akulah yang telah mendidik dia menjadi seorang manusia yang hatinya putih bersih. Dia dengan kau sudah tidak ada hubungannya suatu apa! Aku telah membilang dia, ayahnya sudah lama mati!"

Hati Boe Yang sakit bagaikan disayat-sayat. Tidak berani ia memandang sinar mata isterinya itu. Ia pun berdiam sekian lama, baru dapat ia membuka mulut pula.

"Soat Bwee, aku mengerti kau," ia kata. "Kau tidak menghendaki ia mengenali ayah semacamku ini. Memang aku tidak pantas menjadi ayahnya! Sekarang aku cuma mau minta kau menuturkan sesuatu tentang anak itu, kemudian biarlah aku mendapat lihat dia, untuk satu kali saja... Ah, kita sudah berpisah duapuluh tahun iamanya, kalau dihitung-hitung, dia tentu telah berusia duapuluh tahun juga. Selama duapuluh tahun itu bagaimana hidupnya kamu ibu dan anak?..."

Hati Soat Bwee bercekat.

"Ya, mungkin mereka bakal bertemu juga," pikirnya. Ia mengawasi suaminya itu. Boe Yang berada di depan jendela, berdiri diam saja, mukanya basah dengan air mata, tangannya menjambret sebatang cabang bwee, agaknya dia menahan tubuhnya sekuat tenaganya mengandali pohon bwee itu. Karena cabang itu, barulah dia dapat menahan dirinya. Ia menghela napas.

"Jikalau bukan karena dia, tidak nanti aku hidup sampai sekarang ini," ia berkata sesaat kemudian. "Ketika kau joroki aku ke dalam sungai, walaupun aku teriuka parah, aku berdaya melawan arus yang dahsyat. Itulah melulu untuk melindungi dia. Aku bergulat sama gelombang. Aku berhasil menolongi diriku. Demikian, bersama dia aku hidup bersama selama duapuluh tahun. Selama duapuluh tahun itu, aku ajari dia ilmu surat, aku ajari dia ilmu silat, ilmu pedang. Semua pamannya, bekas rekan-rekanmu dulu hari, semua turut mengajari dia ilmu silat. Duapuluh tahun aku hidup menyembunyikan diri, tidak ada seorang juga yang mengetahui aku masih hidup dalam dunia ini..."

Boe Yang terkejut.

"Semua bekas rekanku mengajari dia ilmu silat?" ia menanya.

"Benar! Tapi mereka tidak tahu dialah anakmu," sahut isteri itu. "Aku hendak membikin dia menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, maka dengan membekali warisan bekas junjunganku, aku menitahkan dia pergi mencari Tjioe Kong Bit. Tjioe Kong Bit menganggap dialah anaknya bekas rekannya, melihat dia cerdas dan nyalinya besar, dia sangat menyayanginya, maka sebagai lain-lainnya pamannya, dia pun memberi ajaran dengan sungguh-sungguh hati. Ya, sekarang baru aku mengerti, semua paman itu, bekas rekanmu sekalian, juga ada mengandung sesuatu maksud..."

Tjioe Kong Bit itu adalah kepala dari bekas orang-orangnya Thio Soe Seng, setelah runtuhnya Thio Soe Seng, sang junjungan, dia menyembunyikan diri, tetapi dia tetap bercita-cita bangun pula, guna melanjuti angan-angan besar dari junjungannya itu.

Tubuh Boe Yang bergemetaran.

"Apakah maksud mereka itu?" ia menanya. Soat Bwee tertawa dingin. "Mereka bermaksud menyuruh dia membunuh kau!" sahutnya.

"Apa? Dia hendak membunuh aku?" Boe Yang menegaskan.

"Mereka itu tidak tahu dialah anakmu," kata pula Soat Bwee. "Tetapi mereka tahu Tjoe Goan Tjiang mau mengundang kau turun gunung!"

Boe Yang jadi sangat bernapsu.

"Lekas bilang, lekas!" mendesaknya. Apakah namanya anak kita itu?"

"Aku tidak menghendaki dia she In, aku ingin dia memakai sheku, sahut sang isteri. "Dia bernama Tan Hian Kie! Bukankah dia pernah tiba di rumahmu ini? Jikalau bukan untuk dia, tidak nanti hari ini aku datang ke gunung Holan San ini! Eh, eh, Boe Yang, kau...kau kenapa?"

Tubuh Boe Yang mendadak limbung, tanpa berdaya dia roboh terbanting, mukanya pucat sekali bagaikan mayat.

"Oh, Thian!..." keluhnya tajam.

Sekarang mengertilah Boe Yang segala apa. Tan Hian Kie itu puteranya sendiri. Tapi Tan Hian Kie juga pemuda yang sangat dicintai puterinya! Maka inilah pukulan sangat hebat untuknya.

Soat Bwee heran bukan main, ia kaget tidak kepalang. Kenapa suaminya itu roboh? Kenapa dia pingsan secara demikian mendadak?

Tanya berpikir lagi, ia tubruk suami itu, untuk mengasih bangun padanya. Sesudah duapuluh tahun, inilah yang pertama kali tangannya menyentuh tangan suami itu. Dan itulah tangan yang duapuluh tahun dulu sudah menjoroki dia tercebur di gelombangnya sungai Tiangkang! Kemudian dia sadar, hendak dia menarik pulang tangannya, atau mendadak ia merasakan tangan Boe Yang itu dingin sekali. Ia, mengawasi, Boe Yang pun mengawasi dia.

Kedua pasang mata bentrok satu pada lain.

Soat Bwee melihat wajah orang guram, sinarnya merah tua.

"Apa?" tanyanya. "Apakah kau terluka parah? Mengapa kau tidak membilanginya sejak tadi?"

Soat Bwee pun satu ahli silat, ia mengerti itulah luka yang tak dapat diobati lagi. Sejenak ini, buyarlah segala budi, segala sakit hati. Ia merasakan bagaimana tangan Boe Yang mengusap-usap tangannya, mengusap-usap dengan perlahan seperti duapuluh tahun yang lampau itu...

Hati Boe Yang telah dilimpahkan semua kepada anak gadisnya.

"Kalau So So ketahui ini..." pikirnya. Ia tidak berani memikirnya. "Syukur So So belum pulang..." Ia menguatkan hatinya, ia mencoba berbangkit bangun. Lalu ia berkata keras: "Soat Bwee, lekas, lekas! Lekas kau bawa dia pergi1"

Tapi Soat Bwee bingung, tak dapat ia menyelami hati suaminya itu. Ia tidak menginsafi luka hati sang suami lebih hebat berlipat ganda daripada luka hatinya sendiri.

Hian Kie dan So So anak Boe Yang, ya anak mereka, dan kedua anak itu saling menyintai! Kalau mereka sampai menikah, menjadi suami isteri!...

Soat Bwee menjublak. Ia melihat tubuh suaminya itu bergemetaran. Ia melihat mata suami itu diarahkan ke pembaringan di dalam kamar tulis itu. Dan kelambu pembaringan itu mendadak bergerak sendirinya. Segera satu pikiran berkelebat di otaknya.

"Apa?" serunya. "Hian Kie di sini?"

Hian Kie baru saja sadar, ia membuka matanya dengan perlahan-lahan ketika ia menyingkap kelambu, justeru ia melihat ibunya menghampirkan padanya.

Mengimpikah ia? Ia lantas menggigit jari tangannya! Oh, tidak! Ia sadar!

Soat Bwee girang tercampur sedih.

"Hian Kie! Hian Kie!" serunya. "Kau baik?"

"Baik, ibu!" sahut anak itu lekas. "Aku terlukakan Lo Kim Hong, lantas aku, aku ditolongi dia!... Dan ia menunjuk kepada Boe Yang.

Soat Bwee melirik suaminya, ia kata dengan dingin, "Kiranya kau... kau juga... Hendak isteri ini mengatakan, "...kau juga masih mempunyai kasih-sayangnya seorang ayah..." atau ia menjadi terkejut sekali. Ia melihat mata Boe Yang mendelik, tangannya diulap-ulapkan, dia berseru dengan suara serak: "Lekas kamu pergi, lekas! Pergilah biar jauh, untuk selama-lamanya jangan kamu menginjak pula gunung Holan San ini..."

Tiba-tiba saja, Soat Bwee menjadi gusar.

"Bagus ya!" ia berseru. "Kau mengusir kami! Duapuluh tahun kami ibu dan anak hidup bersama, siapa... siapa..."

Boe Yang menguati hatinya, ia memotong: "Sudah, jangan omong lebih jauh! Lekas pergi, lekas!"

Dalam gusarnya Soat Bwee heran.

"Dia ketakutan! Dia takuti apa?" pikirnya. Hian Kie juga heran bukan kepalang.

"Selama duapuluh tahun ibu tidak pernah keluar dari rumah kenapa sekarang ibu kenal Boe Yang?"

Ia melihatnya sikap luar biasa di antara ibunya itu dan In Boe Yang, ia menjadi heran pula. Inilah sangat mengherankan. Suasana itu sangat tegang. Maka, dari bergirang, Hian Kie menjadi menggigil sendirinya.

"Anak Kie, mari kita pergi!" tiba-tiba Soat Bwee berkata.

Anak itu dicekal tangannya oleh ibunya, tetapi ia berontak. Ia agaknya bingung sangat.

"Tidak," katanya perlahan. "Aku hendak menanti pulangnya So So... Ibu, kau tentu menyukai dia...."

Hati Soat Bwee terkesiap. Hendak ia menanya, "Siapa, itu So So?" Atau puteranya maju dua tindak, mendekati Boe Yang, dengan sinar mata memohon, ia kata perlahan: "Kau telah menjanjikan aku agar So So mengikut aku pergi, maka itu aku hendak menantikan dia kembali, sampai dia kembali!"

Kata-kata itu terdengarnya Soat Bwee sebagai halilintar. Tengah dia bingung, ia melihat Boe Yang pucat bagaikan mayat, tubuh Boe Yang limbung.

Justeru itu waktu, Hian Kie terdengar menjerit tajam, matanya mengawasi ke luar kamar. Di sana, di bawah pohon bwee, satu bayangan orang berkelebat berpeta, di sana terlihat ujung baju memain di antara sampokan angin.

Itulah In So So pulang!

"So So! So So!" Hian Kie memanggil. "Ibuku..."

Mendadak kata-kata ini terhenti. Ia kaget, ia melihat muka So So sangat pucat, seperti orang sangat ketakutan, seperti hatinya sangat terluka. Semua itu tampak nyata di sinar mata si nona.

Hian Kie menjadi sangat bingung.

"So So!..." ia memanggil pula. Tapi ia tidak dapat meneruskannya.

So So menutupi mukanya, dia menjerit hebat, lantas dia lari pergi. Tangisannya yang menggerung-gerung yang kedengaran...

Soat Bwee berdiri menjublak, tenaganya seperti habis. Sekarang mengertilah ia akan segala apa. Cuma Hian Kie yang masih bengong, yang masih gelap. Tapi ia ingat So So, maka ia pun lari tanpa memikir lagi, menyusul. Ia telah melompati tembok pekarangan tanpa ibunya dapat menjambret tangannya, sebab ibu ini tidak dapat menggeraki kedua kakinya...

Adalah di itu waktu, terdengar pula jeritannya Boe Yang, yang tubuhnya terus roboh, dari mulutnya terdengar keluhan, "Inilah dosaku... Inilah dosaku..." Suaranya itu makin lama makin lemah.

Soat Bwee merasakan tubuhnya beku, ia memaksa mementang kedua matanya. Ia pun memaksa bertindak, menghampirkan suami itu. Ia tidak berani memikir, ia tidak berani membuka suara juga...

"Biarkanlah mereka pergi..." kata pula Boe Yang, "biar mereka pergi... Aku minta kau bakar rumah ini lantas kau bawa pulang abuku ke Kanglam... Aku tidak mau dikubur di tempat yang melukakan hati ini..."

Sampai di situ, suaranya tak lagi terdengar nyata. Sebenarnya dia masih dapat hidup lagi tiga hari, tetapi pukulan yang diterimanya hebat sekali dia tak kuat menahannya. Maka ini jago pedang nomor satu di kolong langit ini, sedetik itu juga telah berpulang ke dunia lain, matanya rapat tak melihat lagi...

Itulah berpisah mati, bercerai hidup selama duapuluh tahun, dan sekarang, berpisah untuk selama-lamanya, tak bakal bertemu pula.

Maka Soat Bwee tidak tahu ia menyinta atau ia membenci ia sadar atau ia bermimpi... Suaminya, puteranya... Suaminya, puteranya... Ke mana mereka pergi... Hatinya sangat kusut, sangat pepat, menangis pun ia tak ada airmatanya.

Ia merasa lebih celaka, lebih sakit hati, daripada saat ia dijoroki Boe Yang ke dalam gelombang sungai Tiangkang itu... Hebat sangat pukulan ini, maka ia pun menjerit, tubuhnya roboh di samping tubuh Boe Yang...

Di gunung Holan San itu masih ada dua orang lain, yang sangat sakit hatinya.

Merekalah In So So dan Tan Hian Kie. Hampir So So tidak dapat bertahan, tetapi ia lari terus, ia lari untuk menyingkir dari Hian Kie. Ia tahu segala apa...

Di antara angin yang bertiup-tiup, terdengarlah jeritannya Hian Kie, jeritan dari tersayatnya hati: "So So, So So! Kau tunggui aku! So So, meskipun kau tidak sudi memperdulikan aku lagi, kau haruslah mengucap sepatah kata..."

Tapi So So tidak mau berhenti lari, tak sudi ia berpaling. Di antara mereka cumalah sang angin yang menjadi pesuruh mereka, untuk menyampaikan jeritan Hian Kie itu dan tangisannya So So...

Hati Hian Kie sangat kalut, samar-samar ia merasakan duduknya hal, tapi ia penasaran, ingin ia mengetahui jelas. Ia melihatnya bulan indah, ia seperti mendengar pula nyanyian So So tinggi di atas gunung, tapi malam ini, alam itu sama seperti sediakala, cuma So So yang lenyap...

Hian Kie mengubar terus, sekuat-kuatnya. Makin lama, terpisahnya ia dengan So So semakin dekat.

"So So," ia berkata, "kau membilangnya, di dunia ini cuma akulah orang yang terdekat denganmu, yang paling rapat, bahwa selanjutnya, tak perduli di ujung laut, di pangkal langit, kau hendak mengikuti aku, supaya kita tetap ada bersama... Tapi, So So, sekarang... kau kenapakah?..."

"Tidak, tidak, Hian Kie, tidak dapat!" demikian suara si nona. "Kau tidak tahu, Hian Kie!..."

So So lari terus, ia berlari semakin keras. Ia mendaki, mendaki hingga hampir sampai di puncak...

Sekonyong-konyong ada suara panggilan, nyaring: "Saudara Hian Kie! Saudara Hian Kie!"

Hian Kie segera menoleh, ia tampak Siangkoan Thian Ya. Karena ia berpaling, lari Hian Kie tertahan, maka So So telah terpisah pula daripadanya beberapa puluh tombak.

"Saudara Thian Ya, lain kali saja kita bertemu pula!" menjawab Hian Kie.

Akan tetapi Thian Ya lari mendatangi, napasnya sengal-sengal, dia seperti kehabisan napasnya.

"Saudara Hian Kie..." kaanya. "Tat Mo Kiampouw itu milikmu! Koengo kiam milikmu juga!"

Hian Kie heran.

"Apa?" dia tanya. Tapi toh ia lari terus, bagaikan terbang, tanpa menoleh.

"Eh, eh, perlahan sedikit!" Thian Ya menjerit-jerit. "Kau dengar aku!..."

Hian Kie tidak meladeninya, dia berlompat ke tempat yang tinggi.

Di sana di puncak gunung, baju So So berkibar-kibar, tubuhnya bergoyang-goyang...

Pemuda itu menjerit keras, tubuhnya melesat dengan gerakannya "Yantjoe tjoanin," atau "Bening walet menembusi mega." Ia mencelat beberapa tombak, ke arah puncak gunung.

Sia-sia Siangkoan Thian Ya mengejar, dia ada terlalu letih, hingga tak lagi dia menampak tubuh Hian Kie, sahabatnya itu. Tetapi dia masih menjerit-jerit: "Saudara Hian Kie, bukankah kakek luarmu bernama Tan Teng Hong? Tat Mo Kiampouw itu dicuri Bouw Tok It! Koengo kiam miliknya isteri In Boe Yang yang pertama! Semua itu harus menjadi milikmu!..."

Siangkoan Thian Ya cuma mengingat baik-baik kata-kata gurunya, Pit Leng Hong. Guru itu mengatakan, kitab ilmu pedang harus dikembalikan pada anaknya Tan Teng Hong. Dia tidak tahu yang Tan Soat Bwee masih ada di dalam dunia, dia hanya ingat, Tan Teng Hong itu kakek luarnya Hian Kie. Dia kasar tetapi dia jujur, dia tidak memikir hubungannya di antara Hian Kie dan So So, dia melainkan ingat pesan gurunya, yang mesti diwujudkan, maka dia lari menyusul Hian Kie, untuk menyampaikan kata-kata itu...

Sekonyong-konyong terdengariah suara nyaring: "Ser!" Bagaikan guntur di siang hari! Lalu Hian Kie mengerti segala apa.

Mendadak tangan So So diayun, melemparkan Koengo kiam, suaranya terdengar menggetar: "Hian Kie, Hian Kie, kau... kau mengertikah bukan? Jangan kau dekati aku!..."

Sejenak itu Hian Kie seperti kehilangan semangatnya, tetapi ia lari terus, ia bagaikan tak berkuasa lagi akan dirinya. Ia tidak tahu So So hendak menyingkir dari ianya atau si nona terpeleset, mendadak tubuh nona itu tetjatuh ke bawah gunung, ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya!

Angin gunung menderu-deru, di lembah-lembah terdengar jeritannya Hian Kie berulang-ulang, jeritan bagaikan kalap. Di sana pun terdengar sambutannya Siangkoan Thian Ya, yang menjerit pula: "Telah terjadi apakah?" Tapi ia tidak memperoleh jawaban.

Di seluruh gunung masih terdengar jeritannya Hian Kie: "So So! So So!" Rupanya bagaikan kalap, dia masih mencari ke seluruh penjuru. Tentu sekali, dia tidak dapat mencari si nona.

Pula Siangkoan Thian Ya, tak tahu ia ke mana mesti menyusul Hian Kie!

Jauh di sana terlihat api berkobar-kobar besar, angin gunung menderu-deru, di lain bagian, juga masih terdengar jeritannya Tan Hian Kie.

Dan rumahnya In Boe Yang, rumah itu telah menjadi abu, menjadi puing!

Maka segala apa, cinta dan kebencian, segala dosa, semua-mua hanyut terbawa air...

TAMAT


Catatan:

1) hal l, dengan Gagak Emas dimaksudkan MATAHARI
2) hal 1, dengan Kelinci Kumala dimaksudkan BULAN
3) hal 47, kisah turunan Thio Soe Seng yang menyingkirkan ke luar perbatasan (Watzu) akan diceritakan dalam kisah selanjutnya, Peng Tjong Hiap Eng.
4) hal 62, keturunan Tjio Thian Tok yang masih setia pada turunan Thio Soe Seng dengan menjaga lukisan warisan Thio Soe Seng hingga diambil oleh turunannya, Thio Tan Hong, dapat diikuti dalam cerita Peng Tjong Hiap Eng.
5) hal 70, cerita tentang lukisan ini berlanjut dalam Peng Tjong Hiap Eng.
6) hal 110, dalam cerita ini kitab pusaka Butong Pay, Tatmo Kiamhoat, sudah dihancurkan oleh In Boe Yang, tapi dalam cerita Thian San Tjit Kiam, Han Ci Pang menemukan kitab Tatmo Kiamhoat yang lalu dirampas Sin Liong Cu dan akhirnya diwarisi oleh Kui Tiong Beng, sehingga ilmu pedang ini muncul kembali di dunia persilatan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar