Mutiara Hitam Chapter 33

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan kepala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia memang mendengar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasingkan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!

Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?! Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mendekati Bouw Lek Couwsu.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia melihat beberapa orang anak buahnya terluka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang puntewas. Ia mengangguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata, menggerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.

Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba kepandaianku?!

Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah mengerti.. salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja datang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu..!

Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup.

Locianpwe.., dalam keributan.. dua orang tawanan telah lolos..!!

Apa?! Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali. Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!! Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah melihat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap.! Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.

Hemm, iblis tua itu mencurigakan!! kata Siang-mou Sin-ni.

Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!! kata Po Leng In. Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngosian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san.!

Hemm, harus diberi hajaran!! Siang-mo Sin-ni sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.

Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok.!

Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In menjadi pucat. Ia dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan penjaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul gurunya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga berlari-lari naik.

Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat sekali akan tetapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.

Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wanita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat gerakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing keributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.

Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menyelinap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan mengatur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.

Kiang Liong lalu mengumpulkan beberapa buah batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri bangunan itu. Beberapa detik kemudian, tiga orang penjaga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebabnya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu beberapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.

Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang naik ke atas genteng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, menyambutnya dengan usaha perlawanan.

Namun sia-sia, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tubuh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.

Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena betapapun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.

Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata terbelalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku datang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera.!

Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat menjawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!

Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!! ia sengaja mengancam.

Ampun.. mereka.. mereka di sana.. di kamar belakang..!! Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.

Lekas bawa aku ke sana!!

Pelayan itu terhuyung-huyung ketakutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintunya bercat merah, daun pintunya tertutup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan.. Kiang Liong mengeluarkan suara mengutuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan telanjang! Melihat tumpukan pakaian mereka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.

Lekas pakai pakaian kalian!! bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

Untung kau datang tepat pada waktunya, Liong-twako.! kata Siang Kui dengan suara terharu.

Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-monyet gundul itu!! seru Siang Hui penuh kemarahan.

Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, melihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.

Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka banyak sekali, yang paling penting sekarang, di mana adanya Han Ki adik kalian?!

Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari.! kata Siang Kui penuh semangat.

Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari dalam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan mereka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka.

Melihat sikap ini, Kiang Liong berbisik. Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian..!

Mana bisa begini?! Siang Hui mencela. Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!!

Biarkan kami berdua membantumu, Twako.! Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.

Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sendiri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut melarikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.!

Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!! kata Siang Hui.

Kiang Liong habis sabar. Kalian harus mengerti, kepandaian mereka hebat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua.!

Kami tidak takut mati!! Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.

Kiang Liong melotot. Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?!

Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka meninggalkan isak tertahan. Kiang Liong tersenyum geli. Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati.! Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia menyelinap keluar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!!

Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni..!

Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?!

Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mereka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan tetapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.

Ributlah para penjaga, dan para pendeta jubah merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.

Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tandukitu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan pihaklawan. Ia harus segera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat tawanan adalah di bagian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat menemukan anak itu.

Han Ki..! Kam Han Ki..!!

Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena suara Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak ada jawaban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!

Suara tapak kaki banyak orang menyatakan bahwa rumah itu telah terkurung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam menyambutnya seperti hujan.

Trang-trang-trang..!! Suara pertemuan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh masih melayang dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah. Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang banyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini adalah kaki tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu.

Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri sebelum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti saling belit dan melayang-layang di angkasa.

Tahan senjata, mundur semua..!! Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari suhunya, maka Kiang Liong memegang sepasang senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya siap menghadapi lawan tangguh.

Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biarpun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan tongkat, ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.

Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji!! Kiang Liong membentak marah sekali.

Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh benar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagaimana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar blasa sekali. Keheranannya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.

Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?!

Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kaubebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!!

Bouw Lek Couwsu mengangguk-anggukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.

Aih-aih.. pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?!

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguhpun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinarkan api. Hi-hi-hik! Inikah murid Suling Emas? Bagus, kau wakili Gurumu mampus di tanganku!! Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.

Siuuuuttt!! Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong. Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi mengerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sin-kang.

Plak-plak.. aiihhh..!! Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memungkinkan rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan. Kembali kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti mengeluarkan darah.

Kiang Liong yang tahu bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sembrono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin-ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebelum telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingungkan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangannya sambil menggeser kaki mundur selangkah sehingga ia pun berhasil membebaskan diri daripada totokan kedua pensil.

Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah? Lihat siapa mereka ini!! Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi memberi tanda kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di sampingnya. Kiang Liong memandang dan matanya terbelalak, wajahnya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbelenggu, memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.

Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali.! kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang membayang di mata Kiang Liong.

Liong-twako, jangan hiraukan kami!! kata Siang Hui dengan suara lantang.

Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu Ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan kubebaskan!!

Liong-twako, kami tidak takut mati teriak Siang Hui.

Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!! teriak pula Siang Kui.

Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan tongkatnya, mengancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia bergerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.

Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!!

Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara kagum.

Seperti Suling Emas benar..! Beginilah Suling Emas di waktu mudanya!!

Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. Orang muda sombong! Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apalagi engkau muridnya! Kaulepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan bantuanmu. Pinceng berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni.!

Bagaimana aku dapat percaya omonganmu, Bouw Lek Couwsu?!

Pendeta jubah merah itu marah sekali. Kiang Liong, kau benar-benar memandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kembali!!

Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata-katanya. Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan kepala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa!! Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.

Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengutuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutu! Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.

Baiklah, aku berjanji sebagai pimpinan Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah.!

Kiang Liong tersenyum lalu memandang sepasang pensilnya.

Twako, jangan menyerah!!

Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!!

Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil berkata. Kalian harus menurut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!! Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.

Kiang Liong mendongak ke atas, melihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata.

Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana!! Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu telah manancap berjajar di puncak tiang bendera! Semua orang terbelalak memandang penuh keharanan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.

Ha-ha-ha, engkau benar seorang muda gagah perkasa.! kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya. Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung!!

Belenggu kedua orang nona ini dilepaskan. Mereka sejenak meragu, memandang ke arah Kiang Liong dengan sepasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan berkata. Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah.!

Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka ditolong, dipaksa pergi dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari Han Ki, mereka menangis kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan berarti mereka telah ditangkap kembali! Dan sekarang karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil menangis mereka pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji akan cepat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlambat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.

Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata.

Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang mereka sudah bebas. Engkau menjadi tawananku, dan pinceng juga tidak bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding!!

Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya sekalipun, belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah mengurung tempat itu. Kini sepasang senjata sudah ia simpan di atas tiang bendera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia menyerah, kecuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.

Silakan Bouw Lek Ciouwsu.! Ia memasang kedua tangan dengan merangkap pergelangan tangannya.

Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju. Ia sudah membawa sebuah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemudian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong sedikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya mengharapkan pujian.

Goblok kau! Goblok dan tolol!!

Pendeta jubah merah itu kaget setengah mati, takut mendongkol dan heran terbayang di mukanya.

Tapi.. Suhu..!

Kaukira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?! bentak Bouw Lek Ciouwsu.

Kiang Liong kagum akan kecerdikan dan ketajaman mata pendeta kepala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggunya itu patah-patah! Kemudian ia menyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau sekalipun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian mudah.

Biar kubelenggu dia untukmu!! terdengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan tangan!

Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena rambutnya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan bahkan memuji.

Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!!

Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!

Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak menghantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.

Bukkk..!! Lambungnya terkena pukulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.

Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di waktu mudanya Siang-mou Sin-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas (dalam cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya! Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya dan kini ia dapat menggunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang, dikumpulkannya itu dapat ia robah menjadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai keracunan.

Kim Bwe, jangan bunuh dia!! bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.

Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukulnya!!

Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. Kiang Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh Gurumu, Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan manyerah baik-baik, pinceng tidak berani membelenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku yang terhormat.!

Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa bicara ia mengikuti, pendeta ini naik ke puncak. Siang-mou Sin-ni tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik kembali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.

***

Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama panglima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.

Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar sebagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu! Masih cantik jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu bergerak membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat menundukkan mukanya dengan sikap amat menghormat.

Dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya terdengar sebagian saja olehnya, Suling Emas berlutut sambil menundukkan kepala. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.

Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul kedua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapapun juga, hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cianpwe.!

Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biarpun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menjawab, merobah suaranya dibesarkan.

Silakan apa yang akan Paduka lakukan, hamba hanya menurut.!

Lihat serangan!! Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya menyambar ke arah dada Suling Emas.

Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu Ilmu Cap-sa Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin (baca CINTA BERNODA DARAH). Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memunahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerahkan sin-kang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.

Aiihhh..! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!! teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi. Dari tempat ia berlutut, Suling Emas mengerahkan gin-kang dan.. dalam keadaan masih berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak merobah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat Ilmu orang ini, pikirnya. Dengan gin-kang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.

Ah, maafkan percobaan kami, Cianpwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?!

Hamba tidak ingat lagi nama hamba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).!

Ratu Yalina mengangguk-angguk. Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempunyai saudara muda atau keponakan atau putera?!

Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamarannya. Cepat ia menggelengkan kepala. Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?!

Ratu Yalina menarik napas panjang. Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang..! Ia berhenti termenung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. Mulai sekarang kau kuangkat menjadi pengawal dalam Istana. Keselamatan kami sekeluarga kuserahkan ke dalam penjagaanmu.!

Suling Emas menunduk, hatinya terharu. Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka!

Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan tinggal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya.

Seperangkat pakaian yang indah dan gagah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.

Dalam beberapa hari setelah bertugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan dengan Pangeran Mahkota Talibu yang masih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apalagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Kayabu, bekas sahabatnya yang gagah perkasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah seperti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh disiplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Panglima Kayabu ini.

Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, seringkali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis! Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin? Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?

Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang Perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian Ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.

Mendengar ini, Ratu Yalina mengeluarkan teriakan aneh, wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidangan lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis tersedu-sedu!

Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri.

Tentu saja berita tentang malapetaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia seorang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gemblengan pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang. Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki keadaan Beng-kauw yang tertimpa malapetaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina, memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.

Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Yalina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar