I. TAMU ANEH DITENGAH MALAM.
Zaman pemerintahan Song-li-cong pada dinasti Song, di
daerah Oh-ciu, daerah Kanglam, ada sebuah kota kecil, namanya Leng-oh-tin.
Waktu itu dekat pertengahan musim rontok, daun teratai
mulai kering, teratai padat. Di sungai kecil pinggir kota kecil itu lima gadis
cilik berada di sebuah perahu kecil sedang bernyanyi dan bersenda gurau dengan
asyiknya sambil mendayung perahu untuk memetik biji teratai
Di antara kelima gadis cilik itu usia tiga orang kurang
lebih lima belasan, dua orang lagi hanya berusia delapan atau sembilan tahun
saja. Kedua dara cilik itu adalah saudara misan, Piauci (kakak misan) bernama
Thia Eng, sedangkan Piaumoay (adik misan) she Liok bernama Bu-siang, timur
keduanya hanya selisih setengah tahun saja, tapi Thia Eng lebih pendiam dan
lemah lembut, sebaliknya Liok Bu-siang sangat lincah, perangai keduanya sama
sekali berbeda.
Ketiga gadis yang lebih tua-an masih terus bernyanyi
sambil mendayung perahu menyusun semak daun teratai itu.
"Eh Piaumoay, lihatlah, paman aneh itu berada di
situ!" seru Thia Eng sambil menuding seorang yang berduduk di bawah pohon
tepi sungai sana.
Orang yang dimaksud itu berambut kusut masai tapi kaku,
kumis dan jenggotnya juga semrawut dan kaku seperti duri landak, namun baik
rambut maupun jenggot dan kumisnya masih hitam mengkilap, mestinya usianya
belum begitu lanjut, namun mukanya penuh keriput dan cekung sehingga tampaknya
seperti kakek berusia 70-80 tahun.
Yang paling aneh dan lucu adalah pakaian-nya, bajunya
yang menyerupai kaos oblong adalah sebuah karung goni yang sudah
compang-camping, sedangkan celananya terbuat dari satin dan masih baru, malahan
bagian bawah bersulamkan kupu-kupu yang berwarna warni, Tangan kakek itu
memegang sebuah kelentungan (kelontong) mainan kanak-kanak, kelentungan itu
tiada hentinya di putar sehingga menimbulkan bunyi kelentang-keluntung, tapi
kedua mata kakek itu menatap kaku ke depan seperti orang kehilangan ingatan,
"Orang gila ini sudah berduduk selama tiga hari di
sini, mengapa dia tidak lapar?" kata Liok Bu-siang.
"He, jangan panggil dia orang gila, kalau dengar
nanti dia marah," ujar Thia Eng.
"Kalau dia marah akan tambah menarik," kata
Liok Bu-siang sambil menjemput sebuah ubi teratai terus dilemparkan ke arah
kakek aneh itu.
Jarak antara perahu kecil itu dengan si kakek aneh ada
belasan meter jauhnya, tapi tenaga Bu-siang ternyata tidak lemah meski usianya
masih kecil. Lemparannya itupun sangat jitu, ubi teratai itu langsung menyamber
ke muka si kakek aneh
"Jangan, Piaumoay !" Thia Eng berseru men
cegah, namun sudah terlambat, ubi teratai itu sudah terlanjur menyambar ke
sana.
Akan tetapi keajaiban segera terjadi, tiba-tiba kakek
aneh itu menengadah, dengan tepat ubi teratai itu tergigit olehnya. iapun tidak
menggunakan tangan, hanya lidahnya yang bekerja, ubi teratai itu digeragotinya
dengan lahap.
Padahal biji teratai mentah itu rasanya pahit, apalagi
kulitnya juga tidak dikupas, tapi kakek aneh itu sama sekali tidak ambil
pusing, Melihat cara makan orang aneh itu, ketiga gadis yang agak besaran tadi
menjadi geli dan mengikik tawa.
Liok Bu-siang juga merasa senang, serunya: "Ini
makan satu lagi!" - Segera ia lemparkan pula sebuah ubi teratai kepada si
kakek
Waktu itu separuh daripada umbi teratai pertama masih
belum habis termakan dan tergigit di mulutnya, mendadak kakek itu memapak ubi
teratai kedua yang dilemparkan Bu-siang dengan ubi teratai yang tergigit di
mulutnya itu, sedikit mencungkit, ubi teratai kedua lantas mencelat ke atas,
jatuhnya ke bawah tepat hinggap di atas kepalanya, Rambut si kakek semrawut
kaku sehingga ubi teratai itu dapat tertahan di atas kepalanya tanpa bergoyang
sedikitpun.
Serentak kelima gadis cilik itu bersorak gembira.
"Ini masih ada ! "" seru Bu siang pula,
kembali melemparkan sebuah ubi teratai
Lagi-lagi kakek aneh itu mencungkit dengan ubi teratai di
mulutnya seperti tadi dan kembali ubi teratai itu mencelat ke atas dan jatuh
persis menumpuk di atas ubi teratai yang duluan.
Melihat permainan akrobat itu, kelima gadis bertambah
senang, tangan Liok Bu-siang juga bekerja berulang-ulang, dalam sekejap saja di
atas kepala kakek aneh itu sudah bersusun belasan ubi teratai sehingga
tingginya hampir satu meter.
Setelah ubi teratai pertama tadi termakan, si kakek
sedikit miringkan kepalanya dan ubi teratai yang paling atas mendadak
menggelinding ke bawah, tapi tepat jatuh di mulut si kakek, sebentar saja ubi
teratai inipun dimakan habis, lalu ubi teratai yang lain menggelinding jatuh ke
bawah pula dan dimakan lagi. Dalam waktu singkat ubi teratai yang tersunggi di
atas kepala-nya itu hanya tersisa dua saja.
Senang dan heran Liok Bu-siang serta Thia Eng melihat
permainan kakek aneh itu, segera mereka mendayung perahunya ke tepian dan
mendarat.
Thia Eng berhati welas asih dan berbudi halus, dia
mendekati si kakek dan menarik-narik bajunya serta berkata: "Empek (paman)
tua, caramu makan begitu tidak enak!" - Lalu ia mengambil sebuah ubi
teratai kulitnya dikupasnya, bijinya dibuang, sumbu ubi yang pahit juga
diambilnya, kemudian diberikannya kepada kakek aneh itu.
Kakek itupun tidak menolak, ubi teratai itu lantas
dimakannya dan terasa lebih gurih dan enak daripada yang dimakannya tadi,
tiba-tiba ia menyeringai kepada Thia Eng dan manggut-manggut. Aneh juga, kedua
ubi teratai yang masih bersusun di atas kepalanya itu cuma bergoyang sedikit
saja dan tidak terperosot jatuh.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengkuiknya
anjing kecil di seberang sungai sana terseling suara teriakan dan bentakan
anak-anak kecil yang riuh ramai.
Waktu Thia Eng menoleh ke sana, tertampak seekor anjing
kecil budukan sambil mencawat ekor sedang berlari-lari ketakutan melalui
jembatan kecil sana, di belakang anjing budukan itu mengejar tujuh atau delapan
anak nakal, ada yang memegang bambu, ada yang menyambit dengan batu disertai
suara bentakan segala.
Anjing kecil itu memang sudah jelek karena kulitnya
budukan, kini dihajar pula hingga babak belur oleh kawanan anak. nakal itu,
tentu saja keadaannya bertambah konyol.
Biasanya Thia Eng suka kasihan kepada anjing kecil ini
dan sering memberi sisa makanan padanya, Rupanya anjing kecil itu melihat Thia
Eng dari kejauhan, maka dengan mati-matian ia lari ke sini, lalu sembunyi di
belakang Thia Eng.
Ketika kawanan anak nakal itu mengejar tiba dan hendak
menghajar pula anjing kecil itu, cepat Thia Eng mencegahnya sambil berseru:
"He, jangan memukulnya, jangan memukulnya !"
"Anak perempuan minggir, bukan urusanmu !"
damperat seorang anak yang paling nakal, berbareng tangannya mendorong tubuh
Thia Eng.
Tapi sedikit mengegos saja Thia Eng dapat menghindarinya.
Bu-siang berdiri di sebelah sang Piauci, melihat anak nakal itu kurang ajar,
segera ia menjegal dengan sebelah kakinya sambil menahan pelahan di bahu anak
itu. Tanpa ampun anak nakal itu jatuh tersungkur mencium tanah, bahkan dua gigi
depan copot semuanya, saking kesakitan anak itupun menjerit menangis.
Bu-siang bertepuk senang, sedangkan Thia Eng merasa
kasihan, ia membangunkan anak itu dan menghiburnya: "Jangan menangis!
Apakah sakit ?" - Melihat mulut anak itu penuh darah, ia menjadi gugup dan
mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap darahnya.
Tapi anak nakal itu terus mendorongnya sambil memaki:
"Tidak perlu kau mengusap, kau budak busuk yang tidak punya ayah ibu
!"
Kuatir dihajar pula oleh Bu-siang, anak nakal itu lantas
berlari menyingkir sambil mencaci maki, setelah agak jauh, ia terus menjemput
batu kecil dan menyambiti kawanan gadis ku.
Dengan gesit Thia Eng dan Bu-siang dapat menghindarinya,
akan tetapi ketiga gadis yang agak besaran itu tidak mahir ilmu silat, mereka
menjadi kesakitan tertimpuk oleh batu-batu kecil itu. Beberapa potong batu
itupun mengenai badan si kakek aneh, tapi orang tua itu tidak menjadi gusar
juga tidak menghindar seperti tidak berasa apa-apa tersambit oleh batu-batu
itu.
Melihat itu, kawanan anak nakal itu menjadi heran dan
merasa tertarik, segera mereka mengam-
************************************
Hal 9 dan 10 Hilang
************************************
tanah, Muka Thia Eng sudah berubah, menjadi pucat pasi,
sebaliknya wajah Bu-siang tampak merah padam, Waktu mereka memandang
sekelilingnya, kiranya tempat itu adalah tanah pekuburan kedua anak dara itu
belum pernah mendatangi tempat sesunyi itu, mau-tak-mau hati mereka menjadi
berdebar.
"Kongkong (kakek)", kata Thia Eng dengan lemah
lembut, "kami ingin pulang saja, tak mau lagi bermain dengan kau."
Tapi kakek aneh itu menatapnya dengan tajam tanpa
menjawab.
Melihat sinar mata si kakek memancarkan semacam perasaan
sedih dan memilukan, meski masih kecil dan tidak paham seluk-beluk kehidupan
insaniah, namun secara naluri timbul rasa simpatiknya terhadap orang tua itu,
katanya kemudian dengan halus: "Apabila engkau tidak punya teman memain,
besok saja engkau datang ke tepi sungai sana, nanti akan ku kupaskan ubi
teratai pula untukmu."
Tiba-tiba kakek aneh itu menghela napas dan berkata:
"Ya, sudah 40 tahun, selama 40 tahun ini tiada orang menemani aku
bermain." - Sampai di sini mendadak sorot matanya berubah menjadi
beringas, tanyanya dengan suara bengis: "Di mana Ho Wan-kun ? Kau pernah
apa dengan Ho Wan-kun ?"
Thia Eng menjadi takut melihat perubahan sikap si kakek,
jawabnya dengan suara gemetar: "Aku... aku"
Mendadak si kakek mencengkeram lengannya dan menggoyang-goyangkan
tubuhnya beberapa kali lalu bertanya pula dengan suara parau: "Mana Ho
Wan-kun?"
Hampir saja Thia Eng menangis, air matanya
berlinang-linang dalam kelopak matanya, tapi tidak sampai menetes.
"Hayo menangis! Menangis!" mendadak kakek aneh
itu menghardik dengan mengertak gigi "Kenapa tidak menangis ? Hm,
beginilah kau pada 40 tahun yang lalu, Kau mengatakan menikah dengan dia secara
terpaksa, tapi mengapa kau tidak mau minggat bersamaku? Ya, kau anggap aku
miskin, anggap aku berwajah jelek jika benar kau berduka mengapa kau tidak
menangis?"
Dengan gemas si kakek pandang Thia Eng, tapi aneh juga,
meski ketakutan, namun air mata Thia Eng tetap tidak menetes, Ketika kakek itu
menyuruhnya menangis sambil menggentak-gentak tubuhnya, Thia Eng bahkan
menggigit bibir dan berkata di dalam hati: "Tidak, aku pasti tidak
menangis !"
"Hm, jadi kau tidak mau meneteskan setetes air mata
bagiku ? setetes air mata saja kau tidak sudi ? Lantas untuk apa aku hidup lagi
?" mendadak kakek itu melepaskan Thia Eng, lalu dengan setengah berjongkok
ia membenturkan kepalanya ke batu nisan yang berada di sampingnya,
Batu nisan itu terbuat dari batu hijau dan tertanam kuat
di dalam tanah. Karena benturan keras itu, batu nisan itu terus mencelat keluar
dari tanah dan jatuh agak jauh dengan mengeluarkan suara keras, Sedang si kakek
juga lantas menggeletak pingsan,
"Lekas, lari, Piauci !" seru Bu-siang, segera
ia tarik tangan Thia Eng dan mengajaknya kabur.
Thia Eng ikut berlari beberapa langkah, ketika menoleh,
ia lihat kepala si kakek mengucurkan darah ia menjadi tidak tega, katanya:
"Jangan-jangan paman tua itu terbentur mati, marilah kita
memeriksanya."
"Kalau mati kan jadi setan ?" ujar Bu-siang.
Thia Eng terkejut, ia takut si kakek akan menjadi setan,
iapun takut kalau si kakek mendadak siuman, lalu mencengkeramnya pula sambil
mengucapkan perkataan yang sama sekali tidak dipahami apa maksudnya. Akan
tetapi iapun tidak tega dan merasa kasihan melihat muka si kakek penuh darah,
ia coba menghibur dirinya sendiri: "Tidak, kakek aneh itu bukan setan, aku
tidak takut, iapun takkan mencengkeram aku lagi."
Segera ia lepaskan pegangan tangan Bu-siang dan mendekati
si kakek sambil berseru: "Kong-kong, apakah kau kesakitan ?"
Terdengar orang aneh itu merintih satu kali, tapi tidak
menjawab.
Thia Eng menjadi tabah sedikit, ia keluarkan sapu tangan
untuk menutupi luka si kakek Tapi luka itu agaknya cukup hebat, hanya sekejap
saja sapu tangan Thia Eng itu sudah basah kuyup oleh darah yang terus mengucur
keluar, ia pikir sejenak tiba-tiba ia merobek ujung baju sendiri untuk
menggantikan sapu tangan yang penuh darah itu.
"He, kalau pulang nanti tentu kau akan dimarahi
ayah," ujar Bu-siang.
"Betapapun juga akan dimarahi, biar saja," kata
Thia Eng. ia tekan luka si kakek sehingga darah tidak merembes lagi.
Selang tak lama, pelahan kakek itu membuka matanya,
melihat Thia Eng duduk di sampingnya, katanya sambil menghela napas: "Buat
apa kau menolong aku? Lebih baik aku mati saja."
Thia Eng gembira melihat si kakek telah siuman, dengan
suara lembut ia bertanya: "Kepalamu sakit tidak ?"
"Kepala tidak sakit, hati yang sakit," jawab si
kakek dengan suara pedih.
Thia Eng menjadi heran, sungguh aneh, luka pada kepala
separah itu katanya tidak sakit, tapi hatinya yang dikatakan sakit malah, iapun
tidak tanya lagi, kembali ia merobek sepotong kain bajunya untuk membalut
lukanya.
Si kakek menghela napas pula dan berbangkit katanya:
"Kau tak mau bertemu lagi dengan aku, apakah kita akan berpisah dengan
begini saja ? Satu titik air mata saja kau tak mau meneteskan bagiku ?"
Mendengar suara ucapannya sedemikian memilukan sedemikian
berduka, dilihatnya pula wajah si kakek yang jelek itu penuh darah, tapi sorot
matanya memancarkan perasaan memohon dengan sangat, tanpa terasa hati Thia Eng
men-jadi terharu dan ikut berduka, air matapun bercucuran tak tertahankan
Bahkan tanpa kuasa ia terus merangkul si kakek, tiba-tiba ia merasa orang tua
aneh ini seperti orang yang paling dekat dan paling rapat dengan dirinya.
Menyaksikan mereka tanpa sebab saling rangkul dan
menangis dengan lucu itu, Liok Bu-siang menjadi geli, tak tertahan ia tertawa
terbahak-bahak
Mendengar suara tertawanya, mendadak orang aneh itu
melepaskan Thia Eng, ia berlari ke depan Bu-siang dan menatapnya tajam,
tiba-tiba ia menengadah dan berkata dengan gegetun: "Ya, kau sering
kasihan padaku, tapi juga selalu mengejek aku, kau telah menyiksa diriku
sedemikian."
Habis menggumam, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia memandang
Bu-siang pula dengan teliti, lalu memandang Thia Eng, kemudian berkata:
"Tidak, tidak kau bukan dia, kau masih kecil Pernah apa Ho Wan-kun dengan
kalian ? Mengapa kalian sedemikian mirip dia ?"
Usia Thia Eng dan Bu-siang memang sebaya, tapi
gerak-gerik mereka dan sifat masing-masing boleh dikatakan berlawanan sama
sekali, wajah merekapun tidak sama. Kalau raut muka Thia Eng berbentuk bulat
telur, kulit badannya putih mulus, sedangkan muka Bu-siang berbentuk daun
sirih, kulitnya hitam manis, meski usianya lebih muda setengah tahun, tapi
perawakannya ramping semampai sehingga lebih tinggi daripada sang Piauci malah.
Karena merasa bingung atas ucapan si kakek tadi, Bu-siang
lantas menanggapi: "Aku tidak tahu siapa yang kau tanyakan, cuma aku dan
Piauci sama sekali tidak mirip, mana bisa menyerupai seseorang ?"
Kakek itu mengamat-amati pula kedua anak dara itu,
mendadak ia mengetok kepalanya sendiri dan berkata: "Ya, aku benar-benar
goblok Kau she Liok bukan ?"
"Ya, darimana kau mendapat tahu ?" jawab
Bu-siang.
Orang tua itu tidak menjawab, ia bertanya pula:
"Kakekmu bernama Liok Tian-goan bukan?" "Benar," jawab
Bu-siang sambil mengangguk
Untuk sejenak kakek itu termenung, sekonyong-konyong ia
pegang bahu Thia Eng terus diangkat tinggi-tinggi ke atas, katanya dengan suara
halus: "Anak dara yang baik, kau she apa ? Cara bagaimana kau memanggil
Liok Tian-goan ?"
Kini Thia Eng tidak punya rasa takut lagi, jawabnya:
"Aku she Thia, Gwakong (kakek luar) she Liok, ibuku juga she Liok."
"Ya, ya, tahulah aku, Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun
melahirkan seorang putera dan seorang puteri," kata orang aneh itu. Lalu ia
tuding Bu-siang dan melanjutkan: "Puteranya ialah ayah-mu." -
Kemudian ia menurunkan Thia Eng dan berkata sambil menudingnya: "Dan
puterinya ialah ibumu, Pantas kalian berdua menyerupai Ho Wan-kun
separo-separo, yang satu pendiam, yang lain nakal, yang satu welas asih, yang
lain kejam." Thia Eng tidak tahu bahwa nenek-luarnya bernama Ho Wan-kun,
juga Bu-siang tidak kenal nama neneknya, hanya dalam hati samar-samar ia
merasakan si kakek aneh ini pasti mempunyai
Untuk sejenak kakek itu termenung, se-konyong2 "Thia
Eng diangkatnya tinggi di atas kepala, katanya dengan suara halus: "Anak
dara baik, kau she apa ? Pernah apa kau dengan Liok Tian-goan ?"
hubungan yang erat dengan leluhurnya sendiri, dengan
melenggong mereka memandangi kakek aneh itu.
"Mana Gwakongmu ? Maukah kau membawa aku menemuinya
?" kata si kakek pula.
"Gwakong sudah tidak ada lagi," jawab Thia Eng.
"Tidak ada lagi ? Mengapa tidak ada, kami sudah
berjanji akan bertemu besok lusa," tukas kakek itu dengan melengak.
"Sudah beberapa bulan Gwakong telah meninggal
dunia," jawab Thia Eng. "Lihatlah, bukankah kami berkabung semua
?"
Benar juga si kakek melihat pada kuncir rambut kedua anak
dara itu sama terikat oleh pita putih sebagai tanda berkabung, seketika hati si
kakek menjadi limbung, ia menggumam sendiri: "Dia telah paksa aku memakai
celana wanita selama 40 tahun dan kini dia tinggal pergi begitu saja ? Hm, hm,
ketekunan belajarku selama 40 tahun ini jadi cuma sia-sia belaka." - Habis
berkata mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya
berkumandang jauh dan penuh mengandung perasaan sesal dan penasaran yang tak
terhingga,
Sementara itu hari sudah dekat magrib, suasana sudah
remang-remang. Liok Bu-siang menjadi rada takut, ia tarik lengan baju sang
Piauci dan berkata: "Piauci, marilah kita pulang saja !"
Mendadak si kakek berkata pula: "Jika begitu tentu
Wan-kun juga sangat berduka dan kesepian, "Eh, anak dara yang baik,
bawalah aku menemui nenek-luarmu."
"Tidak ada, nenek-luar juga sudah tidak ada,"
jawab Thia Eng.
"Apa katamu ?" mendadak kakek itu melonjak
tinggi sekali sambil berteriak menggeledek: "Di mana nenek-luarmu ?"
Muka Thia Eng menjadi pucat, jawabnya dengan gemetar:
"Nenek juga tidak ... tidak ada, nenek dan kakek meninggal ber... bersama,
Kongkong, janganlah kau menakuti aku, ak...aku takut !"
"Dia sudah mati ? jadi dia sudah mati!"
mendadak kakek aneh itu memukul-mukul dada sendiri "Tidak, tidak ! Dia
belum bertemu dengan aku dan mohon diri padaku, dia pasti tak boleh mati Dia
telah berjanji padaku pasti akan bertemu: sekali lagi dengan aku."
Kakek itu berteriak-teriak dan berjingkrak seperti orang
gila, mendadak sebelah kakinya menyapu, "krak", sebatang pohon kecil
tersapu patah menjadi dua. Memangnya kakek itu sudah angin-anginan, kini dia
mengamuk, tampaknya menjadi tambah gila dan menakutkan.
Thia Eng menggandeng tangan Bu-siang dan menyingkir jauh
ke sana, mereka ketakutan dan tak berani mendekat.
Si kakek mendadak merangkul sebatang pohon Liu dan
digoyang-goyangkan sekuatnya, Tapi pohon Liu itu cukup besar sehingga si kakek
tidak mampu membetotnya keluar, ia menjadi murka dan berteriak: "Kau
sendiri sudah berjanji, apakah kau telah lupa ? Kau mengatakan akan bertemu
lagi dengan aku !" Semakin berteriak, akhirnya suaranya menjadi parau dan
masih terus berusaha membetot keluar pohon Liu tadi.
Mendadak ia berjongkok dan mengerahkan segenap tenaganya
sambil membentak: "Keluar !" - Namun pohon Liu itu tetap sukar
terbetot keluar, sebaliknya tertarik oleh tenaga si kakek yang maha kuat, pohon
itu menjadi patah bagian tengah.
Sambil merangkul potongan pohon Liu, kakek itu termangu
sejenak, tiba-tiba ia menggumam pula: "Dia sudah meninggal, sudah
meninggal !" - Ketika ia ayun potongan pohon itu terus dilemparkan
bagaikan payung raksasa saja pohon Liu itu terlempar jauh dan jatuh ke tanah,
Sejenak kemudian air muka si kakek tampak berubah menjadi
tenang, dengan ramah ia mendekati Thia Eng berdua dan berkata dengan tersenyum:
"Kongkong telah menakuti kalian ya? Di manakah kuburan kakek dan nenekmu ?
Coba bawalah aku ke sana."
Bu-siang meremas tangan sang Piauci, maksudnya supaya
Thia Eng jangan memberitahukan padanya, Namun dalam hati Thia Eng merasa sangat
kasihan kepada kakek aneh itu, tanpa pikir ia terus menuding pada dua pohon
besar di kejauhan dan berkata: "Itu, berada di bawah kedua pohon itu
!"
Mendadak kakek itu mengempit pula kedua anak dara itu dan
dibawa lari ke arah pohon yang ditunjuk tadi. Dia lari lurus ke depan tanpa
perduli rintangan apapun, kalau terhalang oleh sungai kecil, sekali lompat saja
sungai itu lantas dilintasinya. Biasanya Liok Bu-siang sangat kagum terhadap
Ginkang ayah-ibunya jika mengikuti latihan mereka, tapi kini kecepatan berlari
si kakek dengan mengempit dua anak dara ternyata jauh terlebih hebat daripada
ayah-ibu Bu-siang.
Hanya sekejap saja mereka sudah sampai di bawah kedua
pohon besar tadi. Kakek aneh itu melepaskan Thia Eng berdua, lalu berlari ke
depan kuburan tertampak dua kuburan berjajar, setiap kuburan terdapat sebuah
batu nisan dengan pahatan huruf-huruf yang diberi cat kuning yang kelihatan
masih baru. Rumput di atas kuburan juga masih jarang-jarang, suatu tanda kedua
kuburan itu memang belum lama didirikan.
Air mata si kakek berlinang-linang sambil memandangi
kedua batu nisan kuburan, jelas terbaca tulisan di atas batu-batu nisan itu
menyebut kuburan Liok Tian-goan dan isterinya: Ho Wan-kun.
Kakek itu berdiri terpaku di depan kuburan itu sampai
sekian lamanya, mendadak pandangannya serasa kabur, kedua batu nisan seperti
berubah menjadi dua sosok bayangan manusia, yang satu adalah gadis jelita yang
sedang tersenyum manis dan yang lain adalah pemuda tampan romantis.
Dengan mata mendelik si kakek mendadak membentak:
"Bagus, celana wanita ini kukembalikan padamu !" - Berbareng ia
melangkah "maju, sebelah tangannya menghantam dada pemuda itu.
"Plak", bubuk batu bertaburan pukulannya itu
mengenai batu nisan, sedangkan bayangan pemuda telah lenyap,
"Mau lari ke mana ?" bentak pula si kakek,
tangan Iain lantas menghantam sekalian, "plak-plak", batu nisan itu
sampai rompal sebagian, betapa hebat tenaga pukulan si kakek sungguh luar
biasa.
Semakin memukul semakin mengamuk, tenaga pukulannya juga
semakin hebat, sampai pukulan ke sembilan, kedua tangannya menghamtam
sekaligus, "blang", batu nisan itu patah menjadi dua.
Sambil terbahak-bahak ia berteriak: "Nah, kau sudah
mampus sekarang, untuk apa lagi aku memakai celana perempuan?" - Habis itu
ia lantas merobek-robek celana wanita bersulam kupu-kupu yang dipakainya
sendiri itu hingga hancur, lalu dilemparkan ke atas kuburan, maka tertampaklah
celana pendek dari kain belacu yang dipakainya di bagian dalam.
Selagi tertawa terbahak-bahak, mendadak suara tertawanya
berhenti, setelah tertegun sejenak, segera ia berteriak pula: "Aku harus
melihat mukamu, aku harus melihat mukamu !" - Ketika kedua tangannya
menjojoh, serentak kesepuluh jarinya menancap ke dalam kuburan Ho Wan-kun,
waktu ia tarik kembali tangannya, dua gumpal tanah ikut tergali keluar.
Begitulah kedua tangan si kakek terus bekerja dengan
cepat laksana cangkul saja, tanah bergumpal-gumpal tergali olehnya sehingga
sebentar lagi peti mati, pasti akan kelihatan.
Thia Eng dan Bu-siang menjadi ketakutan, tanpa terasa
mereka terus putar tubuh dan lari bersama, Karena asyik menggali kuburan, kakek
aneh itu tidak memperhatikan kaburnya kedua anak dara itu.
Setelah berlari-lari dan membelok ke sana ke sini
beberapa kali dan tidak nampak dikejar si kakek barulah kedua anak dara itu
merasa lega. Mereka tidak kenal jalanan di situ, terpaksa bertanya kepada orang
kampung, karena itulah sampai hari sudah gelap baru mereka tiba kembali di
rumah.
"Wah, celaka, celaka !" Ayah, ibu, lekas kemari
ada orang menggali kuburan nenek !" begitulah Bu-siang berteriak sambil
berlari menerobos ke dalam rumah, setiba di ruangan tamu, dilihatnya sang ayah
sedang bicara dengan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya.
Ayah Bu-siang bernama Liok Lip-ting, baik Lwekang maupun
Gwakang sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna, hanya sejak kecil kedua
orang tua mengawasinya dengan sangat ketat dan melarangnya berkecimpung di
dunia Kangouw, maka namanya sama sekali tidak terkenal di dunia persilatan
walaupun ilmu silatnya tergolong kelas: tinggi
Pada hari itu dia sedang duduk iseng di ruang tamu dan
mengenangkan ayah-bunda yang sudah wafat, tiba-tiba terdengar suara ringkik
kuda di luar, tiga penunggang kuda berhenti di halaman luar dan seorang
diantaranya lantas berseru: "Wanpwe mohon bertemu dengan Liok-locianpwe!"
Di daerah Kanglam pada umumnya orang jarang naik kuda
karena jalanan sempit dan banyak sungai dan kali yang bersimpang siur, maka
hati Liok Lip-ting tergerak ketika mendengar suara ringkik kuda tadi, demi
mendengar suara seruan, cepat ia memapak keluar, Dilihatnya tiga lelaki baju
hijau dengan penuh debu sudah berdiri di luar pintu.
Melihat Liok Lip-ting, ketiga orang itu lantas memberi
hormat dan berkata: "Kami datang dari jauh dan mohon bertemu dengan
Liok-locianpwe."
Mata Liok Lip-ting menjadi merah, jawabnya: "Sungguh
menyesal, ayah sudah wafat tiga bulan yang lalu, Mohon tanya nama tuan-tuan
yang terhormat."
Sejak berhadapan tadi sikap ketiga orang sudah kelihatan
gelisah dan kuatir, demi mendengar jawaban Liok Lip-ting, air muka mereka
menjadi pucat seperti mayat dan saling pandang. dengan melenggong,
Lalu Liok Lip-ting bertanya pula: "Tuan-tuan ingin
bertemu dengan ayah, entah ada keperluan apakah ?"
Ketiga orang itu tetap tidak menjawab, seorang
diantaranya menghela napas dan menggumam: "Sudahlah, biarlah kita terima
nasib saja !"
Mereka lantas memberi hormat pula kepada Liok Lip-ting,
lalu hendak mencemplak kuda ma-sing-masing. Tapi seorang diantaranya tiba-tiba
berkata: "Liok-locianpwe ternyata sudah wafat, biarlah kita memberi hormat
ke depan layonnya."
Liok Lip-ting menyatakan terima kasih dan anggap tidak
perlu maksud orang itu, tapi ketiga orang itu memohon pula dengan sangat dan
terpaksa Liok Lip-ting menyilakan mereka masuk
Lebih dulu ketiga orang itu mengebut debu di atas tubuh
agar bersih, lalu ikut Liok Lip-ting ke ruangan belakang untuk memberi hormat
di depan abu layon Liok Tian-goan dan isterinya, Ho Wan-kun. Seperti lazimnya,
Liok Lip-ting berlutut di samping meja sembahyang itu untuk membalas hormat.
Selesai menjalankan penghormatan, waktu ketiga orang itu
berbangkit, tak tertahankan lagi mereka menangis dengan sedih, Karena tangisan
mereka ini, Liok Lip-ting menjadi berduka juga, iapun menangis keras-keras,
Yang bertubuh gemuk pendek di antara ketiga orang itu
berkata kepada kawannya yang mengucurkan air mata itu: "Cu-hiante, marilah
kita mohon diri kepada tuan rumah !"
Orang she Cu itu mengusap air matanya, ia memberi hormat
kepada Liok Lip-ting dan lantas mohon diri.
Melihat gerak-gerik ketiga orang itu tangkas dan gesit,
jelas memiliki ilmu silat yang lumayan, entah mengapa datang terburu-buru dan
berangkat pula tergesa-gesa, tapi Liok Lip-ting tidak enak untuk bertanya,
terpaksa ia mengantar keberangkatan mereka.
Setiba di luar, ketiga orang itu memberi salam perpisahan
pula, lalu mencemplak ke atas kuda masing-masing. Ketika orang she Cu itu naik
ke atas kudanya lengan baju agak tergulung sedikit sehingga tertampak sebagian
lengannya berwarna merah hangus.
Liok Lip-ting terkejut, dilihatnya kedua orang dibagian
depan sudah melarikan kudanya, tanpa pikir ia terus melayang ke sana dan
menghadang di depan kuda.
Tentu saja kedua ekor kuda itu berjingkrak kaget dan
meringkik Syukur kedua orang itu mahir menguasai kudanya sehingga tidak sampai
terperosot jatuh,
"Apakah Cu-heng ini terkena Jik-lian-sin-ciang
?" tanya Liok Lip-ting.
Mendengar disebutnya "Jik-lian-sin-ciang"
(pukulan sakti ular belang berbisa), pula terlihat gerakan Liok Lip-ting yang
hebat. serentak ketiga orang itu melompat turun dari kudanya dan menyembah,
kata mereka: "Mata kami benar-benar lamur sehingga tidak kenal kesaktian
Liok-tayhiap, mohon Liok-tayhiap sudi menolong jiwa kami."
"Ah, jangan sungkan," jawab Liok Lip-ting
sambil membangunkan ketiga orang itu. "Silahkan masuk ke dalam untuk
bicara pula."
Begitulah maka Liok Lip-ting lantas menyilakan ketiga
tamunya masuk ke rumah pula dan baru saja berduduk, belum sempat bertanya lebih
lanjut, pada saat itulah Liok Bu-siang berlari-lari masuk sambil
berteriak-teriak
ia tidak jelas apa yang diledakkan anak perempuannya,
tapi ia lantas membentaknya: "Anak perempuan tidak tahu aturan, hayo ribut
apa ? Lekas masuk sana !"
Tapi Bu-siang lantas berteriak pula: "Ayah, orang
itu sedang menggali kuburan nenek !"
Baru sekarang Liok Lip-ting terkejut, serentak ia
melonjak bangun dan membentak: "Apa katamu ? Ngaco-belo !"
"Memang betul, paman," pada saat itu pula Thia
Eng juga sudah masuk
Liok Lip-ting tahu anak perempuan sendiri sangat nakal
dan jahil, tapi Thia Eng tidak pernah berdusta, maka ia lantas tanya lebih
jelas apa yang telah terjadi
Dengan terputus-putus dan tak teratur Liok Bu-siang
menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya tadi
Tidak kepalang terkejut dan gusar Liok Lip-ting, segera
ia samber golok yang tergantung di dinding, ia minta maaf kepada ketiga
tamunya, lalu berlari menuju makam ayah-bundanya. Ketiga tetamunya juga lantas
menyusulnya ke sana,
Setiba di depan makam, tak terperikan pedih hati Liok
Lip-ting, hampir saja ia jatuh kelengar, Ternyata makam ayah-ibunya sudah
dibongkar orang, bahkan kedua rangka peti mati juga sudah terbuka. jenazah di
"dalam peti mati sudah lenyap, benda-benda yang biasanya disertakan di
dalam peti juga berserakan tak keruan.
sedapatnya Liok Lip-ting menenangkan diri, dilihatnya
tutup peti mati sama meninggalkan bekas lima kuku jari yang dalam, jelas
bangsat pencuri mayat itu telah mencongkel tutup peti mati secara paksa dengan
tenaga jarinya yang hebat Padahal kedua peti mati itu terbuat dari kayu yang
keras, diberi pantek dan dipaku pula sehingga sangat kuat, tapi orang itu mampu
membongkarnya dengan bertangan kosong, maka betapa hebat ilmu silat orang itu
sungguh sukar diperkirakan
-oooo000oooo-
2. JIK - LIAN - SIN - CIANG
Tidak keruan rasa hati Liok Lip-ting, ya sedih ya gusar,
ya kejut ya sangsi, tapi ia tidak mendengarkan cerita Bu-siang secara jelas
sehingga tidak diketahui bangsat pencuri mayat ini ada permusuhan kesumat apa
dengan ayah-bundanya sehingga sesudah kedua orang tua itu sudah meninggal masih
dirasakan perlu merusak kuburannya serta memusnahkan mayatnya.
Sejenak dia terlongong di depan kuburan, segera pula ia
mengejar, tapi hanya beberapa langkah, ia ragu2, ia memeriksa tapak kaki
disekitar kuburan, namun jejak yang dicarinya tak diketemukan, ia bertambah
heran, pikirnya: "Seorang diri dia membawa jenazah ayah bunda-ku,
betapapun tinggi Ginkangnya pasti juga meninggalkan tapak kaki ?"
Biasanya dia cukup cermat, namun mengalami kejadian yang
tak terduga ini, pikirannya menjadi kacau, tidak sempat lagi ia memeriksa
dengan teliti, segera ia lari mengejar mengikuti jalan raya. Ketiga tamu tadi
kuatir akan keselamatannya, merekapun mengintil dengan kencang.
Begitu Liok Lip-ting kembangkan Ginkang, larinya secepat
kuda membedal, mana bisa ketiga orang itu menyusulnya ? sekejap saja sudah
kehilangan bayangannya, Liok Lip-ting berlari memutar beberapa kali, cuaca pun
sudah gelap, terpaksa dia kembali ke kuburan pula, dilihatnya ketiga tamu itu
berdiri menunggu di pinggir kuburan, Liok Lip-ting berlutut di depan kuburan,
ia memeluk peti mati ibunya dan menangis tergerung-gerung.
setelah orang puas menangis, barulah ketiga laki2 itu
maju membujuk: "Liok-ya, harap tenangkan hati dan berpikirlah dengan
jernih. Mungkin kami bisa memberi sedikit keterangan latar belakang kejadian
ini."
Melotot kedua mata Liok Lip-ting, teriaknya: "Siapa
bangsat keparat itu ? Dimana dia ? Lekas katakan !"
Kata salah seorang itu: "Cukup panjang cerita ini,
tidak perlu Liok-ya gugup, marilah pulang dulu nanti kita rundingkan persoalan
ini."
Liok Lip-ting anggap omongan orang memang benar, katanya:
"Aku terlalu gugup sampai berlaku kurang hormat."
"Ah, kenapa Liok-ya berkata demikian," sahut
ketiga tamu itu.
Maka mereka kembali ke rumah Liok Lip-ting. Setelah
menghaturkan teh kepada tamu-tamunya, tak sempat tanya nama para tamunya, Liok
Lip-ting: lantas masuk ke dalam hendak memberitahukan isterinya, tak tahunya
sang isteri sudah mendapat laporan Bu-siang dan keluar mengejar bangsat itu dan
belum kembali. Bertambah pula kekuatiran Liok Lip-ting, terpaksa ia kembali ke
ruang tamu dan bicara dengan ketiga tamunya,
Ketiga tamunya lantas memperkenalkan diri, kiranya mereka
adalah para Piausu An-wan Piaukiok dari Ki-lam di Soatang, seorang she Liong,
she So dan she Cu.
Mendengar mereka hanya kawanan Piausu, seketika berubah
dingin sikap Liok Lip-ting, hatinya kurang senang, katanya: "Selamanya aku
tidak pernah berhubungan dengan Piausu, hari ini kalian kemari, entah ada
keperluan apa ?"
Ketiga orang itu saling pandang lalu serentak berlutut,
serunya: "Harap Liok-ya suka tolong jiwa kami!"
Liok Lip-ting sudah dapat meraba beberapa bagian, katanya
tawar: "Berdirilah kalian, Entah cara bagaimana Cu-ya sampai terkena
Jit-lian-sin-ciang ?"
Liong-piausu dan So-piausu berkata berbareng: "Kami
berduapun terkena juga." Sembari berdiri mereka menyingkap lengan baju,
tampak ke-empat lengan mereka sama berwarna merah darah dan mengerikan.
Liok Lip-ting terkejut katanya ragu2: "Tiga irang
semua kena ? Siapa yang menyerang kalian ? )ari mana pula kalian mendapat tahu
ayahku asa menolong ?" -
"Tujuh hari yang lalu, kami bertiga membara
se-partai barang kawalan menuju ke Hokkianwat Yangciu, di jalan hawa sangat
panas, kami berteduh di sebuah gardu minum di pinggir jalan, kami bersyukur
sepanjang jalan ini tidak terjadi pa-apa, agaknya barang kawalan akan tiba di
tempat tujuan dengan selamat," demikian tutur Liong-piausu.
"Pada saat itulah dari jalan raya sana berlari
mendatangi seekor keledai berbulu loreng dengan langkah cepat, penunggangnya
adalah seorang Tokoh setengah umur berjubah kuning. ia turun dari keledai dan
masuk ke dalam gardu pula, Cu-hiante memang masih muda dan suka iseng lagi,
melihat orang berparas elok, ia cengar-cengir dan main mata kepadanya.
Tokoh itupun balas tersenyum manis padanya, Cu-hiante
kira orang ada maksud, segera ia menghampiri dan meraba pakaian orang, katanya
tertawa: "Seorang diri menempuh perjalanan, apa tidak takut diculik
perampok dan dijadikan isteri muda ?" - Tokoh itu tertawa, ujarnya:
"Aku tidak takut perampok, hanya takut pada Piausu." - sembari bicara
iapun menepuk ringan dipundaknya, Mendadak Cu-hiante seperti kesetrom, seluruh
badan bergetar hebat, gigi berkerutukan.
"Sudah tentu aku dan So-hiante sangat kaget. Lekas
aku memburu maju memayang Cu-hiante, sementara So-hiante segera menjambret si
Tokoh dan bentaknya: "Kau gunakan ilmu sihir apa ? Tokoh itu hanya
tersenyum saja, ia menepuk pula sekali di pundak kami berdua, seketika seluruh
badan terasa panas seperti di-panggang, panasnya sukar tertahan, namun sekejap
lain terasa seperti jatuh ke dalam sumur es, tak tertahan seluruh badan
menggigil kedinginan.
"Para kerabat Piaukiok yang lain mana berani maju ?
si Tokoh tertawa, ujarnya: "Kepandaian begini saja berani mengibarkan
bendera Piaukiok, huh, bikin malu saja, sungguh besar nyali kalian, Kalau tidak
kupandang muka kalian yang tebal, pastilah ku persen beberapa kali tamparan
lagi", Kupikir sekali tepuk saja tidak tertahan, apalagi ditambah beberapa
kali pukulan lagi, tentulah jiwa kami melayang.
Tokoh itu tertawa pula: "Kalian mau tunduk tidak
kepadaku ? Masih berani main gila dijalan raya ?" -Lekas aku menyahut:
"Kami menyerah ! Tidak berani lagi!" - si Tokoh mengetuk sekali
belakang leherku dengan gagang kebutnya, seketika rasa dingin dalam badanku
hilang, namun badan masih terasa kaku dan gatal, sudah tentu jauh lebih mending
dari pada semula, Lekas aku menjura:
"Kami punya mata tapi lamur sehingga berbuat salah kepada
Sian-koh. Harap Sian-koh tidak pikirkan kesalahan kami ini dan sukalah memberi
ampun kepada kedua saudaraku."
"Tokoh itu tersenyum: "Dulu guruku hanya
mengajarkan cara memukul orang, tidak pernah mendidik aku cara menolong orang,
Tadi kalian sudah merasakan sekali tepukan ku, kalau badan kalian kuat, rasanya
dapat bertahan sepuluh malam, Kalau hawa merah sudah merembes sampai ke dada,
tibalah saatnya kalian pulang ke neraka." - lalu ia tertawa cekikikan,
dengan kebutnya ia bersihkan kotoran di jubahnya terus keluar dan cemplak
keledainya tinggal pergi.
Sudah tentu kejutku bukan kepalang, tanpa hiraukan pamor
segala, lekas aku memburu maju dan berlutut di depannya serta berteriak
memohon: "Harap Sian-koh bermurah hati, sudilah memberi ampun dan menolong
jiwa kami!"
Mendengar sampai di sini Liok Lip-ting mengerut kening,
Liong-piausu tahu perbuatannya terlalu rendah dan hina, segera ia menambahkan:
"Xiok-ya, kami datang untuk mohon pertolonganmu, maka apa yang terjadi
waktu itu harus kami ceritakan, sedikitpun kami tidak merahasiakannya
kepadamu."
"O, ya, teruskan ceritamu." ujar Liok Lip-ting.
Tutur Liong-piausu lebih lanjut: "Tokoh itu hanya
tersenyum saja, sesaat kemudian baru berkata: "Baiklah, akan kuberi
petunjuk kepadamu. Dia sudi menolong tidak terserah pada keberuntunganmu
sendiri, Nah, lekas kalian pergi ke Ling: ok-tin di Oh-ciu, mintalah
pertolongan kepada Liok Tian-goan, Liok-lo-enghiong. Dalam dunia ini hanya dia
saja seorang yang dapat mengobati luka-luka ini. Katakan pula kepadanya, dalam
waktu dekat akupun akan menemui dia."
Tersentak hati Liok Lip-ting, teriaknya kaget:
"Memangnya orang yang mencuri jenazah ayah bundaku
itu ada sangkut paut dengan persoalan ini ? ini wah sulit!"
"Begitulah Cayhe berpikir," kata Liong-piausu
"Setelah mendengar kata2nya aku masih ingin memohon padanya, tapi dia
lantas menukas: "Perjalanan ke Oh-ciu cukup jauh, memangnya kalian hendak
membuang-buang waktu," - Tanpa kelihatan dia angkat kakinya, entah
bagaimana tahu2 badannya sudah melayang ke punggung keledainya. Cepat sekali
keledai itu mencongklang pergi, dikejar pun tidak keburu lagi Aku melongo
sekian lamanya, kulihat So dan Cu-hiante masih gemetar, terpaksa ku payang
mereka naik ke atas kereta,
"Begitu tiba di kota segera ku panggil tabib
terpandai, namun para tabib itu mana dapat mengobati ? Waktu kami buka baju, di
atas pundak kami masing2 ada tapak tangan merah darah yang menyolok sekali
Sampai besok paginya, rasa, dingin kedua saudaraku baru hilang dan tidak
gemetar lagi, namun warna merah tapak tangan itu semakin membesar, kuingat
pesan si Tokoh, kalau hawa merah ini sampai merembes sampai ke dada dan ujung
jari, jiwa kami bertiga akan tak tertolong lagi, maka kami tidak perdulikan
lagi barang kawalan itu, selama beberapa hari ini siang-malam kami memburu
kemari, siapa tahu Liok-loenghiong ternyata sudah wafat Memang Cayhe terlalu
gegabah, kami hanya ingat kata-kata si Tokoh, tak tahunya Liok-ya telah
mendapat ajaran warisan leluhur, engkaulah yang menjadi harapan sebagai tuan
penolong jiwa kami."
Dasar banyak pengalaman dan pandai bicara lagi, belum
Liok Lip-ting memberi jawaban, dia sudah sebut orang sebagai tuan penolong jiwa
mereka, maksudnya supaya orang tidak enak menolak"
Liok Lip-ting tersenyum ewa, katanya: "Sejak kecil
aku mendapat didikan keluarga, tapi tidak berani berkelana di Kangouw, jika
kalian tidak kenal namaku yang rendah, inipun tidak perlu dibuat heran."
Lahirnya dia bersikap merendah, sebetulnya amat tinggi hati, pelahan ia angkat
kepala mendadak ia melonjak dan berteriak kaget:
"Apa itu ?" - di bawah sinar pelita jelas
sekali kelihatan di atas dinding tembok putih itu berderet sembilan tapak
tangan darah.
Mereka berempat terlongong mengawasi ke sembilan tapak
tangan merah itu, seperti orang tersihir dan linglung, sesaat lamanya tak mampu
bicara, Para Piausu dari An-wan Piaukiok tidak tahu asal-usul tapak tangan
darah itu, namun melihat Liok Lip-ting begitu terkejut, serta merta mereka
merasa ke sembilan tapak tangan itu pasti berlatar belakang, Ke sembilan tapak
tangan itu berjajar tinggi di atas tembok dekat atap rumah, dua yang paling
atas berjajar, demikian terus menurun ke bawah masing2 berjajar dua, paling
bawah berjarak rada jauh dan berjumlah tiga, Ketiga tapak terbawah inipun
tingginya kira-kira tiga meter lebih, kalau tidak naik tangga, tidak mungkin
bisa menjajarkan cap2 tangan itu sedemikian rapi.
"lblis itu, untuk apa iblis itu mencari aku ?"
demikian gumam Liok Lip-ting.
Dasar orang kasar, Cu-piauthau itu segera bertanya:
"Liok-ya, apa maksud ke sembilan tapak tangan darah ini ?"
Hati sedang gundah, menguatirkan keselamatan istrinya
lagi, maka Liok Lip-ting tidak hiraukan pertanyaannya, ia keluar rumah dan
melihat isterinya, Liok-toanio, sedang mendatangi sambil menggandeng Thia Eng
dan Liok-Bu-siang, begitu berhadapan dengan sang suami, nyonya itu hanya
menggeleng kepala saja.
Supaya sang istri tidak kuatir, Liok Lip-ting tidak
menyinggung tapak tangan darah di atas dinding itu, segera ia iringi orang
masuk ke dalam kamar di belakang, lalu ia tuturkan ketiga Piau-thau yang
terkena pukulan Ji-lian-sin-ciang dan minta diobati
"Lip-ting," ujar Liok-toanio, "malam ini
jangan kita tidur di rumah, bagaimana pendapatmu ?"
"Kenapa ?" Liok Lip-ting menegas,
Liok-toanio suruh Thia Ing dan Liok Bu-siang keluar,
setelah tutup pintu ia berkata lirih: "Kejadian hari ini amat ganjil, ayam
dan anjing dalam rumah kita ini sudah tiada satupun yang hidup."
"Apa ?" teriak Liok Lip-ting kaget.
"Tiga ekor anjing penjaga pintu, empat ekor kucing,
tujuh ekor babi puluhan itik dan dua puluhan ayam, semuanya sudah mati"
Belum lagi habis istrinya menutur, Liok Lip-ting sudah
berlari keluar langsung ke belakang, Kim-seng, jongos tuanya menyapa:
"Siauya !" -saking sedih hampir saja ia mengucurkan air mata.
Tampak oleh Liok Lip-ting anjing, kucing, ayam dan itik
terkapar di atas tanah, semua sudah mati kaku tak bergerak lagi
Pelahan Liok Lip-ting berjongkok di depan anjing
kesayangannya, didapatinya batok kepala binatang sudah hancur, terang bukan
terkena pukulan atau hantaman benda keras, se-olah2 seperti dipukul dengan
suatu benda keeiJ yang lemas, namun tidak mungkin hal itu terjadi ? Sedikit
me-renung, tiba-tiba Liok Lip-ting teringat penuturan Liong-piauthau, si Tokok
itu memegang sebuah kebutan, terang binatang itu mati dibawah pukulan kebutnya,
Tapi kebutan itu terbuat dari barang lemas, cuma sekali kebut orang dapat membunuh
anjing" dan babi, malah batok kepalanya hancur luluh, kekuatan lwekang
orang itu sangat tinggi dan mengejutkan.
"Ayam anjing tidak ketinggalan ayam anjing tidak
ketinggalan !" tanpa terasa mulutnya menggumam pikirnya: "Sejak kecil
aku tidak pernah berkecimpung di Kangouw, mana mungkin aku ikat permusuhan ?
Orang ini menyerang secara keji, tentu tujuannya hendak mencari perhitungan
dengan ayah bunda."
"Segera ia masuk ke kamar tamu, katanya kepada
ketiga Piauthau: "Bukan aku tidak suka menahan kalian, soalnya keluarga
kami bakal tertimpa bencana, harap kalian suka segera pergi, saja supaya tidak
terembet."
Ketiga Piausu ini tadinya mengira orang sudah, sudi
memberi pertolongan kini mendengar tuan rumah mengusir mereka secara halus,
mereka menjadi gugup dan bingung pula, kata mereka serempak sambil berdiri:
"Liok-ya... Liok-ya... engkau...." gelisah dan cemas membuat mereka
tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
Liok Lip-ting mengerut kening, tiba2 ia masuk ke kamar
dan mengeluarkan dua puluh tujuh batang jarum emas, setiap batangnya panjang
sembilan incij tanpa suruh orang membuka pakaian, langsung ia tusukkan kedua
puluh tujuh jarum itu ke badan ketiga Piausu, setiap orang sembilan batang,
Gerak-geriknya amat cekatan, setiap tusukan jarum langsung menancap di Hiat-to
penting dalam badan, Belum lagi ketiga Piausu tahu apa yang terjadi tahu2 kedua
puluh tujuh batang jarum itu sudah menancap di atas badan mereka Kejadiannya
memang aneh, meski jarum2 itu menusuk masuk tujuh-delapan inci ke dalam badan
mereka, tapi karena semua Hiat-to itu sudah mati rasa, maka sedikitpun tidak
terasakan sakit
"Lekaslah kalian cari tempat yang sepi dan sembunyi
atau menetaplah di rumah petani, tiga hari lagi boleh kemari Kalau jiwaku masih
hidup, nanti aku memberi pengobatan lebih lanjut."
Ketiga Piauthau itu amat kaget tanyanya: "Liok-ya
bakal menghadapi bencana apa ?"
Liok Lip-ting tidak sabar untuk bicara lagi sahutnya:
"Kalian terkena Jik-sin-ciang, sebetulnya racun bakal menyerang dalam
sepuluh hari dan kalian akan meninggal kini aku sudah menusuk dengan jarum
emas, kadar racun akan tertahan sementara, hawa merah itu tidak akan menjalar
Tiga hari lagi biar kuberi pertolongan lebih lanjut dan pasti tidak akan
terlambat."
"Kalau tiga hari lagi Liok-ya mengalami se suatu,
lalu bagaimana ?" tanya Cu-piau-thau.
Mata Liok Lip-ting mendelik jengeknya: "Kecuali aku
tiada orang Iain yang mampu mengobati luka-luka Jik-lian-sin-ciang. Kalau aku
mati biarlah kalian mengiringi aku."
Liong dan So masih berkukuh hendak mohon pengobatan
selekasnya, tapi Liok Lip-ting sudah berkata pula: "Kalian masih tunggu
apa lagi Orang yang mencari perkara kepadaku bukan lain adalah Tokoh itu,
sebentar dia akan tiba di sini.
Seketika ciut nyali ketiga piausu itu dan mereka berani
tanya lagi, cepat mereka pamit dan mohon diri.
Liok Lip-ting tidak antar tamu2nya, ia duduk di kursi
sambil mengawasi ke sembilan tapak tangan di atas dinding itu.
Entah berapa lama ia terlongong mengawasi tapak2 tangan
itu, tiba2 dilihatnya A Kin jongos berlari masuk ter-gesa2 dan melapor
"Siauya, di luar ada datang seorang tamu."
"Katakan aku tidak dirumah," ujar Liok
Lip-ting.
"Siauya, Toanio nyonya itu mengatakan tidak mencari
kau, dia sedang menempuh perjalanan dan mohon menginap semalam saja di
sini," kata si A Kin.
"Apa ? jadi dia perempuan ?" teriak Lip-ting
kaget.
"Benar, Toanio itu malah membawa dua anak, mungil
dan elok sekali "
Mendengar tamu perempuan membawa anak, barulah Liok
Lip-ting merasa lega, tanyanya menegas: "Dia bukan Tokoh ?"
"Bukan," sahut A Kin menggeleng,
"Pakaian-nya bersih, kelihatannya nyonya dari keluarga baik-baik."
"Baik, bawalah masuk ke kamar tamu, siapkan makanan
dan sediakan ala kadarnya," A Kin mengiakan sambil mengundurkan diri.
Liok Lip-ting berdiri, baru saja ia hendak ke dalam,
ternyata Liok-toanio sudah berada di luar ruangan katanya segera sambil
mengerut alis: Lip-ting, kedua bocah itu harus kita sembunyi-kan
Kedua bocah itupun masuk hitungan," kata Liok
Lip-ting sambil menuding tapak tangan di atas dinding, "Iblis itu sudah
memberikan tanda darah ini, sampai ke ujung langitpun kau tidak akan lolos dari
kekejamannya."
Dengan termangu Liok-toanio mengamati ke sembilan tapak
tangan darah di dinding itu, tapak-tapak tangan itu se-olah2 semakin besar,
semakin merah dan seakan-akan menubruk ke arahnya, tan-pa terasa ia menjerit
kaget dan memegangi sandaran kursi, katanya: "Kenapa ada sembilan tapak
tangan, keluarga kita kan hanya tujuh orang." Sehabis berkata kaki tangan
sudah terasa lemas tak bertenaga, dengan terlongong ia awasi suaminya, hampir
saja ia mengucurkan air mata,
Lekas Liok Lip-ting memegang lengannya, dan berkata:
"Isteriku, bencana sudah di depan mata, takut pun tiada gunanya. Dua tapak
teratas ditujukan kepada ayah-ibu, dua di bawahnya terang untuk kita berdua.
Dua lagi di baris ketiga ditujukan kepada Bu-siang dan Thia Eng, tiga yang lain
adalah A Kin dan dua pelayan lain, Hehehe, inilah yang dinamakan banjir darah
dalam keluarga, ayam, anjing tidak ketinggalan."
Bergidik Liok-toanio dibuatnya mendengar kata2 suaminya,
"Ayah dan ibu ?" ia menegas tak mengerti
"Akupun tidak tahu ada permusuhan apa antara gembong
iblis ini dengan ayah dan ibu. Ayah bunda lama wafat, dia suruh orang
membongkar kuburan dan mengeluarkan jenazah mereka, mungkin setiap orang harus
menerima sekali pukulan baru dianggap selesai membalas sakit hati."
"Kau kira orang gila itu adalah utusannya ?
"Sudah tentu."
Baru mereka bicara dilihatnya A Kin berlari masuk dengan
ber-sungut2, katanya: "Siauya, pintu besar kita entah kenapa tidak bisa
dibuka, seperti terpantek dari luar".
Berubah air muka Liok Lip-ting berdua, lekas mereka
memburu keluar, tertampak daun pintu yang bercat hitam itu masih tertutup rapat
Ke-dua tangan Liok Lip-ting terukir menangkap gelang tembaga pintu dan
ditariknya ke belakang, terdengarlah suara berkereyot, daun pintu hanya
bergoyang sedikit, namun tidak dapat dibukanya, Liok-hujin memberi isyarat,
segera ia melompat ke atas tembok, di luar sunyi senyap tidak kelihatan
bayangan manusia. Sambil melintangkan pedang ia lompat turun keluar pintu,
seketika alisnya berdiri, makinya: "Terlalu menghina orang !"
Ternyata daun pintu itu sudah terpantek oleh dua batang
besi panjang yang di paku di atas daun pintu, Di atas batang besi itu
tergantung secarik kain yang berlepotan darah, kelihatannya amat mengerikan.
Waktu itu Liok Lip-ting pun sudah menyusul keluar,
melihat palang besi dan kain belacu (tanda duka cita), ia tahu musuh semakin
mendesak dalam dua jam mendatang, pasti gembong iblis itu akan menurunkan
tangan jahatnya. ia tertegun sebentar, rasa gusarnya mulai menipis, katanya:
"Niocu (isteriku), kalau seluruh keluarga Liok kita hari ini harus mati
bersama, biarlah kita mati tanpa merendahkan pamor ayah bunda."
Liok-toanio manggut2, saking haru suaranya tertelan dalam
tenggorokannya,
Mereka melompati tembok kembali ke dalam rumah langsung
menuju ke belakang, tiba2 terdengar sesuatu suara di atas tembok sebelah timur,
kiranya di atas sana ada orang, Liok-Lip-ting memburu ke depan menghadang di
depan isterinya, waktu ia angkat kepala, dilihatnya di atas tembok sedang duduk
seorang anak laki2, rambut kepalanya dikuncir dua menegang, bocah itu sedang
memetik kembang di atas pohon, Lalu terdengar orang berteriak di sebelah bawah:
"Awas lho, jangan sampai terjatuh !" kiranya Thia Eng, Liok Bu-siang
dan seorang anak laki2 lain sedang menunggu di kaki tembok sana, Liok Lip-ting
berpikir: "Kedua bocah ini minta menginap di rumah-ku, kenapa begini nakal
?"
Anak laki2 di atas tembok itu sedang memetik sekuntum
bunga, Liok Bu-siang segera berteriak: "Nah, berikan padaku, berikan
kepadaku !"
Anak laki2 itu tertawa, ia melempar bunga itu ke arah
Thia Eng, lekas Thia Eng ulur tangan menangkapnya, lalu diangsurkan kepada sang
Piau-moay, Tapi Liok Bu-siang naik pitam, ia meraih kembang itu terus dibanting
dan di-injak2.
Melihat ke empat bocah ini bermain dengan riang gembira,
sedikitpun tidak tahu bencana besar yang bakal menimpa mereka sekeluarga, Liok
Lip-ting suami istri menghela napas, mereka masuk ke dalam kamar.
"Piaumoay, kenapa kau marah ?" bujuk Thia Eng.
Liok Bu-siang merengut, katanya: "Aku tidak sudi,
aku sendiri bisa memetik !" - sekali kaki kanannya menutul tanah, badannya
melejit ke atas serta meraih akar rotan yang merambat di atas tembok, sekali
meminjam tenaga, seketika badannya melambung ke atas pula beberapa kaki lalu
melayang ke arah sebatang dahan pohon,
Anak laki-laki di atas tembok itu bersorak gembira,
teriaknya: "Lekas kemari!"
Kedua tangan Liok Bu-siang menarik dahan pohon, di tengah
udara ia jumpalitan dua kali, badannya mendadak melambung ke tengah udara,
terus menubruk ke atas tembok."
Dinilai dari Ginkangnya, apa yang Bu-siang lakukan
sekarang boleh dikata sangat berbahaya namun hatinya sedang panas dan dongkol
kepada si anak laki2 yang melempar bunga kepada Piau-cinya tadi, memang sifat
pembawaan anak perempuan ini suka menangnya sendiri, maka tanpa hiraukan keselamatan
dirinya ia telah main lompat di tengah udara.
Anak laki2 itu menjadi kaget, teriaknya memperingatkan:
"Awas ! Hati2! - segera ia ulur tangan hendak menangkap tangan Bu-siang.
Kalau dia tidak mengulurkan tangan, Liok Bu-siang
sebetulnya bisa mencapai pagar tembok tapi ketika melihat anak laki-laki itu
hendak menarik dirinya, segera ia menghardik: "Minggir" - badanpun
menyingkir ke samping hendak menghindari tarikan tangan orang, Kepandaian
jumpalitan ditengah udara adalah ilmu Ginkang tingkat tinggi, walau dia pernah
melihat ayah bundanya memainkannya, dia sendiri belum pernah mempelajarinya,
dengan sedikit berkisar itu, jari2-nya sudah tidak dapat meraih tembok,
ditengah teriakan kagetnya, badannya langsung jatuh ke bawah,
Melihat Bu-siang jatuh, anak laki-laki yang berada di
kaki tembok segera memburu maju dan ulur tangan memeluk badannya. Tapi tembok
itu setinggi beberapa tombak, meski badan Bu-siang kecil, tenaga luncuran setinggi
,itu jelas amat berat, meski anak laki2 itu berhasil memeluk pinggangnya, tak
tertahan keduanya terbanting jatuh dengan keras. Terdengarlah suara
"krak", tulang kaki kiri Liok Bu-siang "patah, demikian pula
jidat anak laki-laki itu kebentur batu runcing, darah mengucur keluar,
Thia Eng dan anak laki2 di atas tembok itu memburu maju
untuk menolong. Anak laki2 itu merangkak bangun sambil mendekap jidatnya yang
bocor, sementara Liok Bu-siang jatuh semaput. Sambil memeluk Piaumoaynya Thia
Eng segera berteriak: "lh-tio, Ah-i (paman, bibi), lekas datang !"
Mendengar teriakannya, Liok-toanio segera memburu keluar,
tiba2 terasa di atas kepalanya angin kencang menyamber, sesuatu benda berat
menindih kepalanya Sebat sekali Liok-toanio berkelit ke samping, dilihatnya
yang dilempar ke arahnya itu ternyata mayat seseorang. Tak sempat membawa
goloknya segera ia melompat ke wuwungan rumah, belum lagi ia berdiri tegak, dua
sosok mayat tahu2 dilempar pula memapak mukanya, ketika Liok-toanio
membungkukkan tubuh, tahu2 kedua lututnya menjadi lemas dan tidak kuasa berdiri
tegak, kontan ia terjungkal jatuh ke pelataran.
Kebetulan Liok Lip-ting sedang memburu keluar, melihat
Liok-toanio terjungkal jatuh dari atas, segera ia melompat ke depan dengan ilmu
Ginkang yang dia yakinkan selama berpuluh tahun, meski jaraknya masih tiga
tombak jauhnya, namun sekali lompat badannya melesat seperti anak panah,
telapak tangannya sempat menyanggah punggung istrinya, Karena tenaga sanggahan
ini badan Liok-toanio terlempar naik, diwaktu meluncur turun pula, Liok
Lip-ting dengan ringan dapat menurunkan badan istrinya di atas tanah.
Tak sempat menanyai keadaan istrinya, sekilas dilihatnya
tidak apa-apa, segera ia melompat ke atas rumah, matanya menjelajah
sekelilingnya, tertampak bulan sabit tergantung tinggi di cakrawala, angin
menghembus sepoi2, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun Liok Lip-ting
segera kembangkan Ginkang, dalam sekejap saja ia sudah meronda keadaan rumahnya
satu keliling, namun tidak menemukan apa-apa, segera ia melompat turun ke bawah
pelataran dan masuk ke dalam rumah.
Di situ terlihat seorang nyonya pertengahan umur sedang
membopong Liok Bu-siang dan anak laki-laki tadi masuk ke ruang tengah, tanpa
menghiraukan kucuran darah anak laki-laki itu, si nyonya berusaha menyambung
dulu tulang kaki Liok Bu-siang yang patah.
Liok Lip-ting semula mengira puterinya sudah dicelakai
orang, kini melihat hanya tulang kaki yang patah, hatinya rada lega, tanyanya
kepada istrinya: "Kau tidak apa-apa bukan ?"
Liok-toanio menggeleng kepala, ia sobek lengan baju untuk
membalut jidat anak laki2 itu yang terluka, ingin dia memeriksa luka kaki
puterinya, tak terduga baru saja melangkah, kaki sendiri terasa linu lemas,
tanpa kuasa ia jatuh terduduk.
Nyonya pertengahan umur itu menutuk Hiat-to Pek-hay-hiat
dan Hwi-tiong-hiat dikedua paha Liok Bu-siang untuk menghilangkan rasa sakit,
lalu kedua tangan menekan pada kedua sisi tulang yang patah untuk
menyambungnya.
Melihat gerak-gerik orang yang cekatan, ilmu tutuknya
terang tingkat tinggi, makin curigalah Liok Lip-ting, serunya: "Siapakah
Toanio ini ? Ada petunjuk apa berkunjung ke sini ?"
Nyonya itu tumplek seluruh perhatian untuk menyambung
tulang kaki Liok Bu-siang yang patah, sedikitpun tidak menghiraukan
pertanyaannya, Diam-diam Liok Lip-ting perhatikan tangan kiri orang yang
memegangi kaki puterinya, sementara tangan kanan diangkat dan berputar setengah
lingkaran terus menutuk turun pelan-pelan, itulah gerakan It-yang-ci yang
menurut cerita ayahnya merupakan kepandaian khas musuh besarnya, maka tanpa
ragu2 lagi, kedua telapak tangan Liok Lip-ting terus menghantam ke punggung
orang.
Mendengar deru angin dari belakang, tangan kanan nyonya
itu tetap menutuk Pek-hay-hiat Liok Bu-siang, telapak tangan lain menepuk balik
ke belakang menangkis pukulan Liok Lip-ting. Kontan Liok Lip-ting merasakan
tenaga dahsyat mendorong ke arah dirinya, seketika dada terasa sesak, tanpa
kuasa ia tergentak mundur dua langkah.
Karena menggunakan telapak tangan kiri sehingga si nyonya
tidak dapat memegangi sebelah kaki Liok Bu-siang, maka telunjuk jarinya yang
menutuk turun itu ikut tergetar miring, tulang kaki Liok Bu-siang yang patah
itu kembali lepas, sekali menjerit seketika anak dara itu jatuh pingsan lagi.
Pada saat itulah dari atas genteng terdengar suara
tertawa seorang, serunya: "Aku hanya membunuh sembilan jiwa keluarga Liok,
orang luar harap segera keluar!"
Waktu Liok Lip-ting angkat kepala, dilihatnya di atap
genteng berdiri seorang Tokoh, di bawah cahaya bulan yang remang2, jelas
kelihatan parasnya yang elok, berusia delapan atau sembilan belas, kulitnya
putih halus, sikapnya garang, di punggungnya terselip sepasang pedang.
Liok tip-ting segera berseru lantang: "Aku inilah
Liqk Ljp-ting, apa Toyu datang dari Jik-lian-to ?"
Si Tokoh mendengus: "Baik sekali kalau sudah tahu,
lekas kau bunuh isteri dan puteri serta semua pembantumu, lalu kau bunuh diri
pula supaya aku tidak perlu turun tangan !" - sikapnya congkak, kata2-nya
pedas, sedikitpun tidak pandang sebelah mata pada tuan rumah,
Meski Liok Lip-ting tidak pernah angkat nama di kalangan
Kangouw, betapapun dia keturunan seorang pendekar besar, mana mandah dihina di
hadapan orang luar, segera ia memburu keluar dan melompat ke atas seraya
membentak: "Biar kau kenal dulu kelihayanku !"
Sikap si Tokoh acuh tak acuh, disaat kedua kaki Liok
Lip-ting hampir menginjak genteng, badan masih terapung di udara, mendadak
kedua pedangnya bergerak laksana bianglala, tahu-tahu sinar pedang lawan itu
sudah mengurung seluruh badannya, serangan kedua pedang ini amat lihay dan
hebat sekali, meski ilmu silat Liok Lip-ting amat tinggi, betapapun dia kurang
pengalaman menghadapi musuh tangguh, tahu2 hawa pedang musuh yang dingin itu
sudah menyamber lehernya, dalam keadaan begitu jelas dia tidak akan mampu
menangkis atau menyelamatkan diri, terpaksa ia pejamkan mata menunggu ajak
"Trang," tiba2 seseorang telah menangkiskan
pedang yang menyerang lehernya itu, waktu Lip-ting membuka mata, dilihatnya
nyonya setengah umur tadi sedang menempur si Tokoh dengan bergaman sebatang
pedang panjang,
Nyonya itu berpakaian warna abu2, sementara Tokoh muda
itu mengenakan jubah kuning, tertampak bayangan abu2 dan kuning saling berputar
menari di bawah cahaya bulan diselingi samberan sinar kemilau yang berhawa
,dingin, sedemikian sengit pertempuran itu, namun tidak terdengar suara
benturan kedua senjata masing2.
Betapapun Liok Lip-ting keturunan keluarga persilatan,
meski gerak-gerik kedua orang yang bertempur itu amat cepat, setiap jurus dan
tipu serangan kedua pihak dapat diikutinya dengan jelas, Tertampak Tokoh itu
menyerang dan menjaga diri dengan rapat, ganti-berganti ia mainkan ilmu
pedangnya yang hebat, sebaliknya si Nyonya melayaninya dengan tenang dan
mantap, setiap kesempatan pasti tidak disia-siakan untuk melancarkan serangan
yang mematikan.
Se-konyong2 terdengar "tring", dua pedang
beradu, pedang di tangan kiri si Tokoh mencelat terbang ke udara, Sebat sekali
ia melompat mundur keluar dari arena pertempuran, mukanya yang putih halus
bersemu merah, matanya mendelik gusar, bentaknya: "Aku mendapat perintah
guru untuk membunuh habis keluarga Liok, apa sangkut pautnya dengan kau ?"
Nyonya itu menjengek dingin: "Kalau gurumu berani
dan punya kepandaian, seharusnya dia mencari Liok Tian-goan sendiri, kini dia
sudah mati, tapi gurumu tidak tahu malu mencari perkara kepada keturunannya
?"
Si Tokoh kebutkan lengan bajunya, tiga batang jarum
menyamber, dua batang menyamber si nyonya, jarum ketiga ternyata menyerang Liok
Lip-ting yang berdiri di pekarangan serangan mendadak dan cepat lagi, lekas si
nyonya ayunkan pedangnya menangkis, terdengar Liok Lip-ting menggerung gusar,
dua jarinya dapat menjepit batang jarum yang menyerang tenggorokannya itu.
Si Tokoh tersenyum dingin, dengan tangkas ia jumpalitan
terus keluar, tiba2 terdengar suitan panjang di kejauhan sana, dalam sekejap
saja dia sudah berlari puluhan tombak jauhnya.
Melihat Ginkang orang begitu hebat, nyonya itupun rada
tercengang, lekas ia melompat turun kembali ke dalam ruangan, melihat Liok
Lip-ting sedang pegangi sebatang jarum, segera ia berseru: "Lekas buang
!"
sekarang Liok Lip-ting tidak curiga lagi kepada orang,
lekas ia lemparkan jarum itu ke tanah, Cepat nyonya itu mengeluarkan seutas
tali kain dari dalam bajunya terus mengikat pergelangan tangan Lip-ting dengan
kencang,
Baru sekarang Liok Lip-ting dibuat kaget, serunya:
"Jarum itu berbisa ?"
"Ya, racun yang tiada bandingannya." sahut
nyonya itu, lalu ia keluarkan sebutir pil dan suruh Lip-ting menelannya.
Liok Lip-ting rasakan kedua jarinya sudah mati rasa, tak
lama kemudian melepuh sebesar tebak Lekas si nyonya bekerja pula mengirisnya
dengan ujung pedang, darah hitam segera mengalir keluar dan berbau busuk,
Sungguh kejut Liok Lip-ting bukan kepalang, batinnya:
"Jariku tidak lecet atau terluka, hanya tersentuh sedikit saja, racun
sudah bekerja sedemikian lihay, kalau jariku kena tertusuk sedikit saja, jiwaku
tentu sudah melayang ?"
Baru sekarang nyonya itu sempat memayang Liok-toanio,
lalu ia memeriksa luka-lukanya. Ternyata Hui-tiong-hiat di bagian lututnya
masing2 terkena sambitan sebatang jarum, Tapi jarum2 ini adalah jarum emas
milik Liok Lip-ting yang biasanya untuk menolong orang,
Meski bencana belum berlalu, namun sementara keluarganya
masih dalam keadaan selamat, hati Liok Lip-ting rada bersyukur, waktu ia
berpaling melihat ketiga mayat tadi, berkobar pula amarahnya disamping bergetar
hatinya. Ternyata ketiga mayat itu bukan lain adalah Liong, So dan Cu-piauthau
dari An-wan Piaukiok, Waktu ia periksa luka mereka bertiga, dilihatnya jarum2
yang dia gunakan kini sudah berpindah tempat, semula tusukan jarumnya untuk
menghilangkan rasa sakit, kini jarum2 itu menusuk pada Hiat-to yang mematikan.
Cukup sebatang saja sudah amat men-derita, apa lagi
tertusuk sembilan batang ? Cuma tusukan jarum pada badan Liong-piauthau rada
meleset, maka jiwanya belum melayang, sorot matanya memancarkan rasa belas kasihan,
se-olah2 mohon pertolongan pada Liok Lip-ting.
Liok Lip-ting tidak tega, namun melihat luka2-nya, meski
ada obat dewapun tidak akan bisa menolong jiwanya, katanya sambil menghela
napas: "Liong-piauthau, berangkatlah dengan tenang."
Liong-piauthau menarik napas panjang, ia angkat badan
bagian atas, katanya tersendat:
"Liok... Liok-ya, aku tiada harapan lagi, kau lekas
kau lari. iblis itu berkata, dikolong langit ini hanya Liok Tian-goan yang
boleh mengobati aku, putera tunggalnya pun tidak boleh... kau lekas lari,
sebentar dia akan tiba !" - beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan
suara lirih hampir tidak terdengar, kejap lain iapun sudah menutup mata dan
berhenti bernapas.
Nyonya itu mendengus gusar: "Hm, iblis keparat!
iblis keparat!"
Liok Lip-ting menjura serta bertanya: "Aku punya
mata tapi tak bisa melihat, mohon tanya siapa she dan nama Toanio ?-"
"Suamiku she Bu," sahut nyonya itu.
"Kiranya tepat dugaanku, Melihat kepandaian It-yang-ci Toanio, sudah
lantas kuduga pastilah anak murid It-teng Taysu dari Tayli di Hun-lam, Silahkan
masuk ke dalam menikmati secangkir teh."
Maka mereka lantas masuk ke dalam rumah. Liok Lip-ting
membopong Bu-siang tertampak mukanya pucat, namun sedapatnya menahan sakit,
tidak menangis dan tidak mengeluh, timbul rasa kasih sayang Lip-ting tak
terhingga kepada puteri tunggalnya ini.
Bu Sam-nio, nyonya tadi berkata: "Begitu murid iblis
itu pergi, gembong iblis itu segera akan datang sendiri Liok-ya, bukan aku
pandang rendah dirimu, kalau cuma tenaga kalian berdua suami isteri, meski
ditambah aku seorang juga bukan tandingan iblis ganas itu. Kukira laripun tak
berguna, terpaksa kita pasrah nasib, biarlah kita tunggu kedatangannya di sini
saja."
Liok-toanio bertanya: "Sebetulnya orang macam apa
gembong iblis itu ? Ada dendam permusuhan apa pula dengan keluarga kita ?"
Bu Sam-nio melirik kepada Liok Lip-ting, katanya
kemudian: "Memangnya Liok-ya tidak menjelaskan kepadamu ?"
"Katanya persoalan menyangkut mertuaku yang sudah
meninggal itu, sebagai putera yang berbakti, tidak enak membicarakan persoalan
ayah bundanya, dia sendiripun tidak begitu jelas akan seluk-beluk persoalan
ini," tutur Liok-toanio.
"Disitulah soalnya", ujar Bu Sam-nio menghela
napas, "Aku orang luar, tiada halangan kuterangkan Mertuamu Liok
Tian-goan, Liok-loenghiong diwaktu mudanya adalah pemuda ganteng, dia disebut
pemuda romantis nomor satu di kalangan Bu-lim. Gembong iblis Jik-lian-sian-cu
Li Bok-chiu itu..."
Mendengar nama Li Bok-chiu disebut, Liok Lip-ting
seketika merinding seperti dipagut ular berbisa, Bu Sam-nio melihat perubahan
air muka orang, katanya lebih lanjut: "Sekarang kaum persilatan bila
menyinggung nama Jik-lian-sian-ci, pasti gemetar ketakutan, tapi puluhan tahun
yang lalu dia adalah gadis rupawan yang halus budi dan lemah lembut.
Mungkin memang sudah takdir, begitu bertemu dengan
mertuamu, hatinya lantas jatuh cinta, Belakangan setelah mengalami berbagai
rintangan, perubahan dan pertikaian mertuamu akhirnya menikah dengan Ho
Wan-kun, mertua perempuan sekarang, Bicara soal mertua perempuanmu, mau tidak
mau aku harus menyinggung suamiku juga. Soal ini cukup memalukan bila
dituturkan, tapi keadaan hari ini sudah amat mendesak, terpaksa aku tidak
perlu! simpan rahasia lagi."
Sejak kecil Liok Lip-ting sudah mendengar penuturan ayah
bundanya bahwa selama hidup mereka mempunyai dua musuh besar yang paling
tangguh, seorang adalah Jik-lian-sian-cu, seorang lain adalah Bu Sam-thong,
salah seorang murid kesayangan It-teng Taysu dari negeri Tayli di Hunlam,
Semula It-teng Taysu adalah raja negeri Tayli, tapi ia meninggalkan "
takhta dan cukur rambut menjadi Hwesio, lalu menerima empat murid, satu
diantaranya ialah Bu Sam-thong !
Sewaktu mudanya Bu Sam Thong menjabat pangkat yang tinggi
di negeri Tayli, Cuma bagaimana Liok Tian-goan suami isteri sampai mengikat
permusuhan dengan dia tidak pernah dituturkan kepada puteranya. Maka waktu
melihat Bu Sam-nio menggunakan It-yang-ci menyambung tulang kaki puterinya yang
patah tadi, sudah tentu Liok Lip-ting kaget dan curiga, tak nyana Bu Sam-nio
malah bantu menghalau murid Jik Lian~ sian-cu dan menolong jiwanya, hal ini
sungguh di luar dugaannya.
Bu Sam-nio mengelus pundak anak laki2 yang terluka
jidatnya itu, matanya mendelong mengawasi api lilin: "Suamiku dan mertuamu
sejak kecil bertentangan, hubungan mereka sangat intim, meski sifat2 mereka
tidak cocok, namun suamiku amat mencintainya. Siapa tahu akhirnya dia menikah
dng mertuamu, saking gusar suamiku lantas minggat jauh ke Tayli, menjabat
panglima pemimpin tentara, menjadi anak buah Toan-hongya, Pernah suamiku
bertemu dengan mertuamu terjadilah perang tanding yang seru, suamiku memang
berangasan dan terlalu mengumbar nafsu karena patah hati, akhirnya dia bukan
tandingan mertuamu, sejak itu tindak tanduknya agak sin-ting, baik sahabat karibnya
atau aku sendiri tak dapat menyadarkan dia, Dulu dia pernah berjanji dengan
mertuamu bahwa lima belas tahun kemudian bertanding lagi, siapa tahu
kedatangannya kali ini, kedua mertuamu ternyata sudah meninggal."
Liok Lip-ting amat gusar, serunya sambil menggablok meja:
"Kalau dia punya kepandaian, kenapa tidak datang sejak dulu, kini setelah
tahu ayahku sudah almarhum baru meluruk datang dan menculik jenazahnya,
terhitung perbuatan orang gagah macam apa ?"
"Omelan Liok-ya memang benar," ujar Bu Sam-nio.
"Suamiku sudah kehilangan kesadaran-nya, tingkah laku dan tutur katanya
sudah tidak genah lagi, Hari ini aku membawa kedua anakku ini kemari, bukan
lain adalah hendak mencegah perbuatannya yang tidak keruan, dalam dunia
sekarang ini, mungkin hanya aku seorang saja yang rada ditakutinya."
Sampai di sini segera ia berkata kepada kedua puteranya: " Lekas menyembah
kepada Liok-ya dan Liok-toanio." Kedua anak laki2 itu segera berlutut dan
menyembah, Liok-toanio . lekas membimbingnya bangun serta menanyakan nama
mereka. Yang jidatnya terluka bernama Bu Tun-ji, usianya dua belas tahun,
adiknya bernama Bu Siu-bun, satu tahun lebih muda.
"Sungguh tak nyana suamiku tidak kunjung tiba, malah
Jik-lian-sian-pu keburu membuat perkara di rumahmu... ai," demikian kata
Bu Sam-nio lebih lanjut, "Dua pihak sama2 tidak dapat melupakan cinta masa
lalu, cuma yang satu lelaki dan yang lain perempuan."
Baru dia bicara sampai di sini, mendadak di-atas rumah
ada orang berteriak: "Anak Ji, anak Bun, ayo keluar !" suara ini
datangnya tiba2, sedikitpun tidak terdengar suara langkah di atas genteng,
mendadak suaranya kumandang ditengah malam buta, keruan Liok Lip-ting suami
istri sangat kaget, mereka tahu Bu Sam-thong telah tiba, Thia Eng dan Liok
Bu-siang pun kenal suara si orang gila yang mereka temui siang tadi.
Tertampak sesosok bayangan berkelebat, Bu Sam-thong
melompat turun, seorang satu tangan, ia angkat kedua puteranya terus lari
secepat angin, sebentar saja ia sudah tiba di hutan pohon Liu, tiba2 ia
turunkan Bu Siu-bun, dengan hanya membawa Bu Tun-ji bayangannya lantas lenyap
dalam sekejap mata, putera kecilnya dia tinggal demikian saja didalam hutan
itu.
Bu Siu-bun berteriak2: "Ayah ! Ayah !".
Tapi Bu Sam-thong sudah menghilang, terdengar suaranya
berkumandang dari kejauhan: "Kau tunggu di situ, sebentar aku kembali
menjemput kau."
Bu Siu-bun tahu tindak tanduk ayahnya rada sinting, maka
ia tidak heran, Tapi seorang diri berada dalam hutan yang gelap, hatinya rada
takut, namun teringat sebentar sang ayah akan kembali, maka dengan termenung ia
duduk saja dibawah pohon.
Duduk punya duduk, teringat olehnya akan kata2 ibunya
bahwa ada musuh lihay entah yang mana hendak menuntut balas, belum tentu sang
ibu bisa menandingi lawan, Meski usianya masih kecil, namun Siu-bun sudah tahu
berkuatir akan keselamatan ibunya, Setelah menunggu sekian lamanya dan sang
ayah tidak kunjung datang, akhirnya dia menggumam sendiri: "Biar aku
pulang mencari ibu saja !" - lalu ia menggeremet dan meraba2 menuju ke
arah datangnya tadi,
Bocah kecil berada dalam hutan seorang diri, apalagi
malam pekat, mana bisa menentukan arah dan tujuan ? Semakin jalan ia menuju ke
arah hutan belukar yang makin dalam, Akhirnya ia tiba di sebuah lekukan gunung,
di bawah adalah selokan setinggi tujuh delapan tombak, selayang pandang
sekelilingnya hitam melulu. Saking gugup dan ketakutan Bu Siu-bun lantas
berteriak: "Ayah, ayah ! Ibu, ibu !" - Terdengar gema suaranya
berkumandang dilembah pegunungan
Disaat hatinya cemas dan gundah itulah tiba-tiba
hidungnya mengendus bau amis yang memualkan disusul hembusan angin keras,
ditengah kegelapan tampak dua titik sinar seperti pelita minyak sedang bergerak
ke arahnya.
Bu Siu-bun heran, mendadak didengarnya suara gerangan
yang keras, kedua titik terang seperti sinar pelita itu memburu cepat ke
arahnya, Sungguh kagetnya bukan main, teriaknya: "Harimau !" - tanpa
banyak pikir segera ia melompat ke atas menangkap dahan pohon terus merayap
naik dengan mengerahkan segenap tenaganya, terasa pantatnya se-o!ah2 kena
terpukul oleh sesuatu, segera kaki tangan bekerja sekuat tenaga merambat ke
puncak pohon.
Didengarnya binatang buas itu menggerung2 serta berputar2
mengitari pohon, Melihat binatang itu tidak bisa naik ke atas pohon barulah
hati Siu-bun sedikit lega, tiba2 terasa pantatnya pedas dan perih, waktu ia
merabanya, ternyata celananya sudah robek tercakar kaki harimau tadi, Dasar
bocah nakal, segera teringat olehnya akan , cerita ibunya bahwa harimau tidak
bisa naik pohon, maka sambil menuding ke bawah ia lantas memaki kalang kabut:
"Harimau keparat, harimau brengsek, harimau busuk !"
Mendengar suara manusia, harimau itu menggerung semakin
keras.
Begitulah satu sama lain bertahan di atas dan berputar di
bawah pohon, meski Bu Siu-bun sangat kantuk dan letih, mana dia berani tidur ?
sebentar lagi hari akan terang tanah, maka pandangan mulai jelas keadaan
sekelilingnya, Semula dia tidak berani langsung mengawasi harimau di bawahnya,
akhirnya ia membesarkan nyali menunduk ke bawah, saking kejutnya hampir saja ia
terjungkal jatuh dari atas pohon, Ternyata harimau loreng di bawah itu
kira-kira sebesar anak sapi,: duduk menengadah sambil menyeringai buas, matanya
menatap dengan penuh nafsu, mulut melelehkan liur kental.
Memang harimau itu sedang kelaparan, menunggu semalam
suntuk tanpa - dapat mencaplok mangsa di depan mata, rasa laparnya makin
mengobarkan kebuasannya, mendadak ia menggerung sekeras-kerasnya terus
menerjang ke atas. Lompatan ini setombak lebih tingginya, cakar depannya
berhasil mencapai batang pohon sehingga sesaat lamanya badannya tergantung
ditengah udara.
Harimau ini cukup besar dan rada gemuk, berat badannya
tidak kurang dua ratus kati, sudah tentu batang pohon itu tidak kuat menahan
berat badannya, "peletak", sekali membal dahan pohon itu patah dan
jatuh ke bawah, Bu. Siu-bun ikut terpental dan terjungkal ke bawah, Sejak kecil
ia dididik ilmu silat oleh ayah bundanya, waktu meluncur ke bawah dia bisa
kendalikan badan dan menggelinding ke samping, sedikitpun tidak terluka, begitu
merangkak bangun segera ia lari sipat kuping. Tanpa hiraukan rasa sakitnya,
harimau itu segera mengejar dengan kencang.
Walau Bu Siu-bun sudah punya dasar latihan Ginkang, namun
usianya masih kecil, kaki pendek lagi, maka langkahnya tidak bisa cepat dan
jauh, mana bisa menandingi kecepatan lari seekor harimau, terpaksa ia lari
berputar-putar mengitari pohon,
ia bermain petak dengan pengejarnya, Kalau lari lurus
harimau itu memang cepat dan gesit, tapi untuk putar2 dan main menyelinap kian
kemari gerak geriknya menjadi lamban, maka gerungan-nya semakin keras, ia
menubruk membabi buta, debu pasir dan dedaunan sama beterbangan
Melihat harimau itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap
dirinya, Bu Siu-bun menjadi senang, sambil memaki kalang kabut ia berlari pula
berputar mengelilingi pohon dan batu. Saking senang sehingga kurang ber-hati2
dan menginjak sebutir batu bundar, kontan ia tergelincir dan jatuh, Tanpa ayal
harimau itu lantas menubruk ke arahnya.
Bu Siu-bun berteriak: "Ibu, ibu l" Se-konyong2
dilihatnya dua gulung bayangan hitam meluncur dari tengah angkasa menubruk ke
arah dirinya, tahu2 harimau itu terangkat naik ke tengah udara, menyusul badan
sendiripun ikut terapung ke angkasa,
Kaget dan takut pula Bu Siu-bun, waktu ia membuka mata,
pohon di bawah tertampak menjadi kecil, dirinya sedang terbang di-awang2 waktu
ia menengadah ternyata se-ekor burung besar mencengkeram baju punggungnya
sedang terbang dengan pentang sayap yang lebar.
Semula hatinya amat takut, tak lama kemudian, ia merasa
burung raksasa itu tidak bermaksud jahat. Tiba2 didengarnya gerungan keras di
sebelah belakang, ia berpaling, tertampak harimau besar itu dicengkeram oleh
seekor burung raksasa lainnya dan dibawa terbang juga, kakinya mencak2 sambil
menggerung keras, cakar burung raksasa itu mencengkeram kuduk dan pangkal
ekornya hingga tergantung ditengah udara.
Sekali kembangkan kedua sayap, burung raksasa di belakang
itu terbang lebih tinggi memasuki awan, tiba2 cengkeraman kedua cakarnya
dilepaskan, kontan harimau itu meluncur jatuh ke bawah dari ketinggian ratusan
tombak dan akhirnya terbanting hancur lebur.
Melihat adegan yang mengerikan ini, seketika Bu Siu-bun
berteriak kaget, teringat olehnya: "Kalau burung besar inipun melepaskan
diriku, mustahil aku tidak akan hancur lebur ?" - karena takut cepat ia
memeluk ujung kaki burung besar itu.
Se-konyong2 terdengar lengking suitan panjang di bawah,
suaranya nyaring dan merdu, terang suitan dari mulut perempuan, Kedua ekor
burung besar itu pelahan terbang turun, lalu meletakkan Bu Siu-bun di atas
tanah, Gesit sekali Siu-bun melompat bangun, tertampak sekelilingnya pohon Liu
melulu, bumi seperti ditabur bunga yang mekar beraneka warnanya, suatu tempat
yang indah dan permai, Dari balik pohon sana berlenggang keluar seorang anak
perempuan, sekilas ia melirik kepada Bu Siu-bun, lalu ia tepuk2 kedua paha
burung besar tadi, katanya: "Tiau-ji elok, Tiau-ji bagus !"
Bu Siu-bun membatin: "Kiranya kedua burung ini
bernama "Tiau-ji" (rajawali), dilihatnya kedua burung itu berdiri
gagah dan angker, jauh lebih besar dan tinggi daripada anak perempuan itu.
Bu Siu-bun tidak paham berterima kasih segala, katanya
sambil mendekat anak perempuan itu: "Apakah kedua ekor Tiau-ji ini
peliharaanmu ?"
Anak perempuan itu mencibirkan bibir, sikapnya memandang
hina, jengeknya: "Aku tidak kenal kau, tidak sudi bermain dengan kau
!"
Bu Siu-bun tidak perduli akan sikap kasar orang, ia ulur
tangan mengelus kaki burung besar itu. Anak perempuan itu mendadak bersiul
ringan, sayap burung besar itu segera terpentang dan menyapu dengan ringan,
kontan Bu Siu-bun tersabet jumpalitan dan terguling di tanah, lalu kedua ekor
burung itu segera terbang rendah menubruk ke arah mayat harimau tadi dan mulai
berpesta pora.
Cepat Bu Siu-bun melompat bangun dan mengawasi kedua
rajawali itu, hatinya amat ketarik, katanya: "Sepasang burung ini amat
bagus, mau dengar perintahmu, kalau pulang biar akupun minta ayah menangkapnya
sepasang untukku !"
Anak perempuan itu mendengus: "Hm, memangnya ayahmu
mampu menangkapnya ?"
Berulang-ulang menghadapi sikap yang kurang simpatik,
barulah Bu Siu-bun sekarang sempat mengamati anak perempuan di hadapannya ini,
tertampak orang mengenakan pakaian yang amat mewah, lehernya mengenakan kalung
mutiara sebesar kelengkeng, kulit mukanya halus putih seperti air susu, biji
matanya jeli, mulutnya kecil mungil
sepasang biji mata anak perempuan itupun sedang mengawasi
seluruh badan Bu Siu-bun, tanyanya: "Siapa namamu ? Kenapa keluar bermain
seorang diri, tidak takut digigit harimau ?"
"Aku bernama Bu Siu-bun, sedang menunggu ayahku, Dan
siapa namamu ?"
Anak perempuan itu mencibirkan bibir, katanya: "Aku
tidak bermain dengan anak liar !" -. lalu ia putar badan tinggal pergi.
Bu Siu-bun tertegun, "Aku bukan anak liar !"
teriaknya sambil mengintil,
Melihat anak perempuan itu berusia dua-tiga tahun lebih
muda, badan rendah kaki pendek, ia pikir untuk mengejar tentu tidak sukar,
siapa tahu baru saja ia kembangkan Ginkang, bagai anak panah terlepas dari
busurnya anak perempuan itu sudah lari tujuh-delapan tombak jauhnya, sehingga
dirinya ketinggalan jauh di belakang,
Lari beberapa langkah pula mendadak anak perempuan itu
berhenti katanya sambil berpaling: ""Hm, kau mampu mengejarku ?"
Sambil berlari Bu Siu-bun menyahut: "Tentu bisa
!"
3. TOKOH JUBAH PUTIH YANG CANTIK
Anak perempuan itu putar badan terus lari kencang pula,
tiba-tiba ia menyelinap ke depan dan sembunyi di belakang pohon, Tak lama
kemudian Bu Siu-bun sudah menyusul tiba, sesudah dekat, tiba2 kaki kiri anak
dara itu diulur keluar menjegal kaki orang.
Bu Siu-bun tidak ber-jaga2, kontan badannya doyong ke
depan, cepat ia gunakan cara mengendalikan keseimbangan badan tapi tahu2 kaki
kanan anak perempuan itu mendepak sekali lagi pada pantatnya, tanpa ampun Bu
Siu-bun jatuh terjungkal hidungnya menerjang sepotong batu runcing, darah
segera membasahi pakaiannya.
Melihat darah bercucuran, anak perempuan itu menjadi
gugup juga, tiba-tiba didengarnya orang membentak di belakangnya: "Hu-ji,
kau nakal lagi dan menganiaya orang ya ?"
Anak perempuan itu tidak berpaling, sahutnya: "Siapa
bilang ? Dia jatuh sendiri, perduli amat dengan aku ? jangan kau sembarangan
lapor kepada ayah lho!"
Bu Siu-bun meraba hidung, sebetulnya tidak sakit, namun
melihat kedua tangan berlepotan darah, hatinya gugup juga. Mendengar anak
perempuan itu bicara dengan orang, segera ia angkat kepala, dilihatnya seorang
kakek pincang dan bertongkat rambut sudah jarang2 dan jenggot pun sudah ubanan,
badannya kurus kerempeng, namun semangatnya masih menyala-nyala.
Terdengar orang tua itu mendengus: "Jangan kau
sangka mataku buta tidak bisa melihat, apa yang terjadi dapat kudengar dengan
jelas, Kau budak kecil ini sekarang sudah begini nakal, kelak kalau sudah besar
pasti lebih nakal lagi ?"
Anak perempuan itu maju menghampiri serta menarik lengan
si kakek, katanya memohon dan merengek: "Kongkong, jangan kau katakan
kepada ayah ya ? Hidungnya keluar darah, lekas kau mengobatinya !"
Kakek pincang itu maju setapak, sekali raih ia tangkap
lengan Bu-siau-bun, lalu memijat beberapa kali di Bun-hiang-hiat di pinggir
hidungnva, hanya sekali urut dan usap, darah kontan berhenti mengalir Terasa
oleh Bu Siu-bun jari2 tangan orang seperti jepitan besi mencengkeram lengannya,
hatinya menjadi takut, ia meronta, tapi sedikitpun tak bergeming.
Pelahan tangannya ditarik lalu diputar, ia lancarkan
Siau-kim-na-jiu-hiat yang diajarkan ibunya, telapak tangannya ikut berputar
setengah lingkaran, terus melintir dari dalam untuk melepaskan pegangan si
kakek, Kakek itu tidak menduga dan ber-jaga2, sungguh tak nyana bocah sekecil
ini ternyata membekal ilmu silat selincah itu, karena gerakan ronta membalik
itu, pegangannya terlepas, sambil bersuara heran tangannya menyamber pula
menangkap tangan orang, Bu Siu-bun kerahkan sepenuh tenaganya berusaha
membebaskan diri, namun pegangan orang tak bergeming lagi
"Adik kecil jangan takut," kata kakek itu,
"Aku tidak melukai kau, kau she apa?"
"Aku she Bu," jawab Siu-bun.
Kakek itu menengadah seperti mengingat sesuatu, lalu
katanya menegas: "She Bu ? Ayahmu murid It-teng Taysu bukan ?"
Bu Siu-bun berjingkrak girang, "Ya, kau kenal
Hong-ya kami ? Kau pernah melihatnya tidak ? Aku sendiri tidak pernah
melihatnya,"
"Dimana ayah bundamu ? Kenapa seorang diri kau
kelayapan di sini ?" kata si kakek sambil lepaskan tangannya.
Bu Siu-bun mewek2 ingin menangis teringat pada kejadian
semalam dan terkenang kepada ayah ibunya.
Anak perempuan itu lantas mengolok-olok: "Cis, tidak
tahu malu, sudah besar suka menangisi."
Bu Siu-bun tegak kepala dan berkata: "Hm, siapa
bilang aku menangis." - lalu ia ceritakan bahwa ibunya sedang menunggu
kedatangan musuh di Liok-keh-cheng. Ayah entah pergi kemana membawa kakaknya,
lalu dirinya kepergok harimau buas itu. Karena gugup dan pikiran tidak tenang,
ceritanya putar balik tak teratur, namun kakek itu dapat memahami sebagian
besar ceritanya itu, tanyanya: "Tahukah kau siapa musuh yang di tunggu
ayah bundamu ?"
"Seperti bernama Jik-lian-coa apa, pakai Chiu apa
lagi," tutur Siu-bun.
Kakek itu menengadah pula, mulutnya menggumam:
"Jik-lian-coa apa ?" mendadak ia ketuk tongkat besinya di atas tanah,
teriaknya keras: "Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu adanya !"
"Betul, betul!" Bu Siu-bun bersorak gembira,
"Memang Jik-lian-sian-cu"
Karena tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia
kegirangan, namun si kakek ternyata sangat tegang, katanya: "Kalian berdua
boleh bermain di sini, setapakpun jangan meninggalkan tempat ini, biar kutengok
kesana !"
"Kongkong, aku ikut kau !" rengek anak perempuan
tadi.
Kakek itu menjadi gugup: "Ai, ai, tidak boleh !
iblis perempuan itu sangat jahat, aku sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu
teman baik sedang menghadapi bahaya, terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian
harus menurut kataku. Habis berkata segera ia berlalu dengan langkah
terincang-incut.
Meski pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia
kembangkan Ginkang, larinya amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat
kelas tinggi
Tatkala itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di
sawah, dengan riang gembira sedang menuai padi sambil berdendang, Kakek itu
berlari bagai terbang tanpa hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja
keras itu. sekejap saja dia sudah tiba di depan Liok-keh-cheng. Kedua matanya
memang buta, namun daya pendengarannya amat tajam, jaraknya masih kira2 satu
li, namun dari kejauhan ia sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara
orang sedang bertempur dengan sengit.
Ia tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada
hubungan, iapun tahu ilmu silat sendiri jauh bukan tandingan Jik-lian-sian-cu,
kedatangan dirinya ini mungkin hanya mengantar jiwa belaka, namun selama
hidupnya selalu bantu kaum lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia
tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, Maka langkah kakinya dipercepat waktu
tiba di depan perkampungan didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang
bertempur dengan seru. Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi
agaknya ketiga orang itu terdesak di bawah angin malah.
Ternyata setelah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan
Siu-bun, Liok Lip-ting - suami isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak
tahu apa maksud orang gila itu. sebaliknya Bu Sam-nio menjadi senang, katanya
tertawa: "Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu
kasih sayang dan dapat melihat bahaya."
Liok-toanio mohon keterangan, tapi Bu Sam-nio hanya
tersenyum saja, katanya: "Nanti sebentar kau akan tahu sendiri."
Waktu itu sudah larut malam, Liok Bu-siang sudah tertidur
dalam pangkuan ayahnya, Thia Engpun sudah kantuk dan tidak kuasa membuka
matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu masuk kamar,
lekas Bu Sam-nio berseru mencegah: "Tunggulah lagi sebentar".
Benar juga tak lama kemudian, terdengar suara di atas
genteng: "Lemparkan ke atas !"
Itulah suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak
berbekas, Liok Lip-ting suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali.
Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng keluar terus
dilemparkan ke atas, Bu Sam-thong ulur tangan meraihnya. Baru saja Liok
Lip-ting berdua kaget dan ingin tanya, Bu Sam-nio sudah lemparkan Liok Bu-siang
ke atas pula, Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya: "Apa yang kau lakukan
?" - segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi sepi,
bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak kelihatan Baru
saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio keburu berteriak:
"Liok-ya tidak perlu kejar, dia bermaksud baik,"
Liok Lip-ting ragu2, segera ia turun ke pelataran
tanyanya kuatir: "Maksud baik apa ?"
Liok-toanio sudah maklum lebih dulu, katanya:
"Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun tangan keji kepada anak2, maka
sebelumnya hendak disembunyikan di tempat yang rahasia!"
Baru sekarang Liok Lip-ting sadar, ber-kali2 ia
mengiakan, namun teringat Bu Sam-thong juga mencuri jenazah ayah bundanya,
hatinya berkuatir pula.
Bu Sam-nio tertawa, ujarnya: "Biasanya suamiku tidak
suka anak perempuan, entah kenapa kali ini dia mau melindungi kedua puterimu,
benar2 di luar dugaanku, Waktu dia membawa pergi anak Ji dan anak Bun tadi,
beberapa kali ia melirik kepada putri2mu, sikapnya amat prihatin, betul juga
dia kembali membawa mereka. Ai, semoga sejak kini wataknya berubah, tidak
linglung lagi." - Lalu ia menghela napas, katanya lebih lanjut:
"Silahkan kalian pergi istirahat, iblis itu amat membanggakan kepandaian
sendiri, selamanya tidak mau menyergap musuh diwaktu malam, sebelum terang
tanah pasti dia tidak akan datang."
Semula Liok Lip-ting suami isteri memang menguatirkan
keselamatan puteri dan keponakannya, kini setelah kekuatiran itu tidak
membebani benak mereka, rasa takutpun hilang, timbul keberanian mereka untuk
menghadapi musuh. Mereka sudah membekal senjata masing2, semua duduk bersimpuh
di ruang besar itu, bertiga dengan Bu Sam-nio mulai semadi menghimpun tenaga.
Sang waktu berjalan cepat, tidak lama fajar pun
menyingsing, biasanya waktu seperti itu, suasana diramaikan oleh kokok ayam dan
gonggongan anjing, namun sekarang keadaan sepi nyenyak
Di tengah kesunyian pagi itulah tiba2 terdengar suara
"blang" yang menggetarkan hati, entah diterjang apa pintu besar itu
tiba2 terbuka dan semplak pecah, Pintu besar itu sudah dipantek dengan dua
batang besi, menurut kebiasaan A Kin, si jongos, setiap malam juga palang pula
pintu itu dengan batang kayu. Kini palang besi dan kayu luar dalam itu sama
putus, tahu-tahu seorang Tokoh pertengahan umur mengenakan jubah putih mulus
melangkah masuk, dia bukan lain adalah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Saat itu A Kin sedang menyapu di pelataran, segera ia
membentak: "Siapa itu ?"
Cepat Liok Lip-ting berteriak: "A Kin, lekas
menyingkir !"
Tapi sudah terlambat, sekali kebut di tangan Li Bok-chiu
terayun, seperti pula kematian anjing, babi dan lain, tanpa bersuara kepala A
Kin terpukul remuk dan melayanglah jiwanya tanpa bersuara.
Liok Lip-ting segera menjinjing golok menerjang keluar
terus membacok, Li Bok-chiu miringkan badan berkelit terus melesat lewat
disamping-nya, sekali kebutnya bergerak pula, dua pelayan perempuan seketika
tersabet mati, lalu tanyanya dengan tertawa: "Dimana kedua bocah itu
?"
Melihat musuh bertindak begitu ganas, meski sadar bukan
tandingan lawan, namun Liok Lip-ting berdua tetap merangsak dengan sengit
dengan senjata masing2. Li Bok-chiu sudah angkat kebut hendak memukul, tiba2
dilihatnya Bu Sam-nio berdiri disamping, ia tersenyum manis, katanya: "O,
masih ada orang luar di sini, terpaksa aku bunuh kalian di luar rumah
saja," -. suaranya merdu, gerak geriknya genit, tak terlihat bagaimana dia
bergerak, tahu2 badannya mengapung ke atas genteng, segera mengejar juga ke
atas, Belum lagi mereka berdiri tegak, kebut Li Bok-chiu sudah menyapu datang
sehingga senjata" mereka terpental balik, Agaknya ia sengaja hendak permainkan
ketiga lawannya, dalam puluhan jurus itu ia tidak pernah melancarkan serangan
mematikan, ia cuma desak ketiga lawannya berputar2 seperti kucing mempermainkan
tikus layaknya, Keruan Liok Lip-ting bertiga mandi keringat dan gusar pula
dibuatnya.
"Mau bunuh lekas bunuh saja!" damperat Liok
Lip-ting.
Tiba2 Li Bok-chiu bersiul nyaring panjang ia melayang
turun ke tanah langsung menubruk ke arah seorang kakek pincang bertongkat be
yang berdiri di pinggir kali, Dimana kebut Li Bo chiu bergerak, tahu2 kebutnya
membelit ke leher si kakek pincang dan buta itu.
jurus serangan ini dilancarkan disaat kakinya belum
menyentuh tanah, namun kebutnya bagai ular hidup tahu.2 sudah menyerang tempat
mematikan dibadan lawan,
Walau kakek tua itu buta, namun kupingnya dengan jelas
mendengar serangan musuh yang lihay ini, lekas tongkatnya terangkat dan
mendadak menutul ke depan, ia balas menjojoh pergelangan tangan kanan musuh,
Tongkat besi merupakan senjata berat, umumnya piranti
untuk menyapu, menggebuk, mengemplang atau menggencet, namun kakek tua ini
justru menjojoh dengan gaya seperti pedang menusuk, tongkat seberat itu
ternyata dapat ia mainkan dengan ringan dan lincah seperti pedang.
Lekas Li Bok-chiu sedikit gentakan kebutnya, ujung kebut
memutar balik untuk membelit ujung tongkat terus ditarik dan disendal sambil
membentak: "Lepas tangan !"
jurus ini merupakan ilmu pinjam tenaga lawan untuk
memukul lawan, ujung kebutnya meminjam tenaga jojohan tongkat tadi serta
ditarik dan disendal, seketika si kakek merasakan seluruh lengannya bergetar
hebat, hampir saja ia tidak kuasa pegang tongkatnya, dalam keadaan yang gawat
itu, lekas ia melompat miring mengikuti tarikan orang, dengan begitu barulah ia
berhasil punahkan daya tarikan kebutan lawan, diam2 ia terkejut: "Gembong
iblis ini ternyata tidak bernama kosong."
Li Bok-chiu tadi sudah menyerukan "lepas
tangan," namun ia tidak berhasil merebut tongkat besi lawan, hal ini
betul2 di luar dugaannya, pikirnya: "Siapa kakek pincang yang punya
kepandaian selihay ini ?"
Sekilas dilihatnya biji mata orang memutih, kiranya seorang
buta, barulah ia sadar dan teringat teriaknya: "Kau ini Tin-ok ?"
Kakek pincang buta ini memang tertua Kang-lam-chit-koay
(tujuh manusia aneh dari Kanglam) Hwi-thian-pian-kok (si kelelawar) Kwa Tin-ok
adanya, seperti diketahui sejak Hoa-san-lun-kiam pertandingan ilmu pedang di
Hoa-san dulu. Kwe Ceng dan Ui Yong menikah setelah mendapat restu Ui Yok-su,
lalu mereka mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to.
Sifat Ui Yok-su memang lain dari pada yang lain, suka
menyepi tidak suka keramaian, setelah beberapa bulan berkumpul bersama puteri
dan menantunya, lama kelamaan ia menjadi bosan dan tidak kerasan tinggal
dirumah, secara diam-diam ia meninggalkan Tho-hoa-to, ia hanya meninggalkan
sepucuk surat, katanya ia hendak mencari tempat lain yang sepi dan nyaman.
Ui Yong kenal watak ayahnya, meski hati merasa berat,
namun apa boleh buat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semula ia mengira dalam
beberapa bulan Ui Yok-su pasti akan pulang atau paling tidak mengirim kabar,
tak tahunya seka!i berpisah tahunan sudah lewat, namun Ui Yong tidak pernah
mendapat kabar berita sang ayah, Karena kangen pada ayahnya, Ui Yong ajak
suami-nya, Kwe Cerig keluar untuk mencarinya, selama beberapa bulan mereka
berkelana di Kangouw, terpaksa mereka pulang ke Tho-hoa-to, sebab waktu itu Ui Yong
ternyata sedang hamil.
Perangai Ui Yong biasanya jahil dan suka aneh2, hampir
tidak suka ketentraman sekejap pun, karena hamil segala sesuatunya dirasakan
serba repot dan kurang leluasa, hatinya menjadi kesal dan risau, dalam keadaan
itu ia menjadi uring-uringan, ia anggap biang keladi yang membikin susah
padanya itu ialah Kwe Ceng, Bagi perempuan yang sedang hamil memang sering
bersifat kasar dan suka marah, walau Ui Yong amat mencintai Kwe Ceng, ada
kalanya ia sengaja mencari kesalahan orang dan mengajak bertengkar Dasar Kwe
Ceng berwatak polos dan lugu, jika sang istri sedang marah tanpa alasan,
paling2 ia hanya tertawa-tawa saja tanpa menghiraukan-nya.
Tanpa terasa sepuluh bulan telah berselang, akhirnya Ui
Yong melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Kwe Hu.,, Waktu hamil
hatinya kurang senang, setelah melahirkan ia amat kasih sayang kepada
puterinya, selalu dimanjakan Belum lagi genap satu tahun puterinya ini sudah
teramat nakal. Ada kalanya Kwe Ceng merasa anaknya keterlaluan lalu dia memarahinya,
namun Ui Yong segera membela dan melindunginya, lama kelamaan sang puteri
semakin menjadi nakal Waktu Kwe Hu berusia tiga tahun, Ui Yong mulai
mengajarkan ilmu silat padanya, Karena itu, celakalah binatang piaraan di
Tho-hoa-to, kalau bukan bulunya digunduli, tentu ekornya dicabuti Tho-hoa-to
yang biasanya aman tenteram dan damai itu, lama kelamaan menjadi tempat jagal
binatang.
Hari berganti bulan dan beberapa tahun telah berselang
pula, Suatu hari mereka kedatangan seorang tamu, dia bukan lain adalah guru Kwe
Ceng, Kwa Tin-oh adanya. Setelah menetap beberapa tahun dikampung halamannya di
Kang-lam, dulu di sana ada Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin, Thio Ah-seng, Coan
Kim-hoat dan Han Siau-eng, mereka bertujuh biasa malang melintang ke mana saja,
sekarang tinggal Kwa Tin-ok seorang, usia semakin lanjut lagi, lama kelamaan ia
merasa kesepian Hari itu ia teringat akan muridnya suami istri, segera ia jual
segala harta miliknya buat ongkos menuju ke Tho-hoa-to.
Kedatangan sang guru sudah tentu membuat Kwe Ceng dan Ui
Yong sangat senang, maka mereka tahan beliau menetap saja di pulau itu,
betapapun mereka tidak mengijinkan Tin-ok meninggalkan mereka lagi, Kwa Tin-ok
menganggur tak punya pekerjaan, maka ia menjadi teman bermain Kwe Hu yang
paling setia, satu tua satu anak, ternyata mereka dapat bergaul rukun dan
menjadi sahabat kental.
Hari itu Ui Yong merasa kangen kepada sang ayah, maka
esoknya ia meninggalkan pulau bersama Kwe Ceng untuk mencari ayahnya, sebelum
berangkat ia berpesan kepada Kwa Tin-ok untuk tinggal dirumah saja menemani
puterinya, Siapa tahu usia Kwe Hu meski kecil, namun dia sudah mewarisi watak
pemberani dan tidak takut tingginya langit dan tebalnya bumi setelah ayah
bundanya pergi, segera ia merengek2 kepada Kwa Tin-ok agar mengajaknya keluar
untuk mencari kakeknya juga, Ui Yok-su.
Keruan Kwa Tin-ok kaget, ia goyang tangan dan berteriak:
"Tidak boleh jadi ? Tidak boleh jadi ?"
Kalau ada ayah bundanya Kwe Hu sih tidak berani mengumbar
adat, setelah ayah, ibunya pergi, tiada yang perlu dia takuti lagi Segera ia
lari ke pinggir, laut lalu terjun ke dalam air, teriaknya: "Baiklah
Kwa-kongkong, biar aku berenang saja kesana sendiri!".
Kwa Tik-ok tidak bisa berenang, mendengar deburan ombak
yang besar itu, ia menjadi gugup sendiri, kuatir Kwe Hu ketimpa malang, lekas
ia berteriak: "Kembali, lekas kembali, dari sini ke daratan sana ratusan
li jauhnya, mana bisa kau berenang ke sana ?"
"Aku tidak perduli, kalau kau mati tenggelam, kaulah
penyebabnya!" seru Kwe Hu.
Saking gugup Kwa Tin-ok sampai garuk-garuk kepala tak
berdaya, terpaksa teriaknya pula: "Lekas kau naik sini, marilah berunding
dulu."
"Kalau kau berjanji mau bawa aku pergi mencari
Gwakong, baru aku mau naik ke atas."
Kwa Tin-ok kewalahan, terpaksa ia berkata: "Baiklah,
ku lulusi permintaanmu."
Kwe Hu menirukan cara2 orang dewasa, serunya:
"Seorang Kuncu (laki2 sejati) hanya sepatah kata !"
Tanpa terasa Kwa Tin-ok segera menyambung: "Kuda
lari sekali pecut !"
Sebagai seorang kawakan Kangouw yang pernah malang
melintang puluhan tahun, sekali Kwa Tin-ok sudah keluarkan janjinya, selama
hiduppun tidak akan menyesal Dulu dia pernah bertaruh dengan Khu Ju-ki, hingga
selama delapan belas tahun ia menyekap diri di padang pasir yang berhawa panas
dingin itu, tidak lain juga cuma untuk memenuhi janji kedua kalimat yang
diucapkannya itu.
Begitulah Kwe Hu lantas naik ke daratan, sebaliknya Kwa
Tin-ok menghela napas berulang kali, terpaksa mereka berkemas dan menunggang
kedua ekor rajawali terbang ke barat menuju ke daratan besar.
-oooo000oooo-
4. PEMUDA PENGGEMBALA ULAR.
Hari itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu, Kwa Tin-ok
mengajak Kwe Hu bermalam di rumah seorang petani, maklum sudah tua, gampang
capai sehingga tidurnya teramat nyenyak, di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu
sudah membawa kedua ekor rajawali itu keluyuran di luar. Memang kebetulan juga,
secara tidak terduga ia berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau
buas.
Begitulah setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu,
Kwa Tin-ok tahu bahwa dirinya bu kan tandingan orang, segera ia kembangkan ilmu
permainan tongkat, Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat ia mempertahankan diri
Diam2 Li Bok-chiu memuji dalam hati: "Tua bangka ini
dikenal sebagai pentolan Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong,
matanya buta kakinya pincang, sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat
melawan puluhan jurus seranganku."
Didengarnya Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang
memburu datang bersama Bu Sam-nio, diam2 ia berkeputusan: "Kabarnya tua
bangka ini adalah guru Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, jangan aku sampai melukainya,
kalau sampai Kwe Ceng suami isteri mencari perkara padaku, tentu akan serba
menyulitkan, biarlah hari ini aku memberi kelonggaran kepadanya."
Segera kebutnya bergerak, ujung kebut mendadak tegak
kaku, seperti ujung sebuah tombak terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok.
Meski kebut itu terdiri dan benda2 lemas, namun dengan Lwekangnya yang hebat,
daya tusukan ini sungguh luar biasa.
Lekas Kwa Tin-ok ketukan tongkat besinya ke tanah,
badannya lantas tertolak mundur ke belakang beberapa langkah, Li Bok-chiu maju
se-tapak, agaknya seperti hendak mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2
badannya mendorong ke belakang, pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak
bertulang, tahu2 pundaknya hanya terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio.
Keruan Bu Sam-nio kaget, lekas ia lancarkan ilmu
It-yang-ci, ia menutuk ke jidat orang, Sayang ilmunya ini belum mencapai
tingkat tinggi, gerak geriknya kurang cekatan dan cepat, begitu pinggang li
Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga teratai yang tertiup angin, tahu2 ia
sudah menggeliat ke samping, malah "plak", tahu2 perut Liok-toanio
terkena sekali gablokannya.
Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah termasyhur dan
menggetarkan setiap jago persilatan, kontan Liok-toanio roboh terguling, Liok
Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, golok segera ia
timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng ia pentang kedua tangannya menubruk
maju hendak memeluk pinggang orang untuk mengadu jiwa,
sebagai perawan suci bersih, karena patah hati perangai
Li Bok-chiu berubah sadis dan tidak kenal kasihan lagi, terutama ia amat
membenci hubungan asmara muda mudi, kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk
badannya, terlihat raut mukanya lapat2 rada mirip ayahnya diwaktu muda dulu,
rasa bencinya semakin berkobar, setelah ia pukul jatuh golok orang dengan
kebutnya, sekali ayun pula, "sret", telak sekali kebutnya memukul
batok kepala Liok Lip-ting. Kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat
warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak pernah menanam permusuhan
dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan.
Beruntun ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian
berlangsung dalam waktu yang amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu- Sam-nio berusaha
meno-long, namun terlambat.
Li Bok-chin, serunya: "Dimana" kedua bocah
perempuan itu ?"
Tanpa menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia
melesat masuk ke dalarn perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap
pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Dari
tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar, tak
lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum:
"Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan
pergi saja !"
Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar,
mereka menyaksikan orang meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar
mereka bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk
maju pula, Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan
menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang
Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan
dorong pula, terdengar "pletak !", pedang itu putus menjadi dua
potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang
menyamber ke muka Kwa Tin-ok.
Bahwa pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat
kaget, di luar dugaan orang dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas
saja untuk menyerang dirinya pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia
menunduk kepala untuk berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung
pedang menyamber lewat memotong sebagian gelungan rambutnya.
Dilain pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung
tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke
samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget. dan ketakutan, lekas ia putar
tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya
sudah menggenggam senjata rahasia, tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik
Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata sendiri tidak bisa melihat, jangan2
malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya
tidak akan mampu melawan, oleh karena itu meski situasi sangat gawat, ia tidak
berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya.
Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran
kepadanya, pikirnya: "Kalau tidak ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka
ini tentu tidak tahu aku sengaja mengalah kepadanya." Ujung kebutnya
segera membelit ujung tongkat orang, Kontan (Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga
hebat membetot tongkatnya, lekas ia, kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa
tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak" kekuatan
betotan kebut musuh sirna tanpa bekas, seketika ia merasakan kaki tangan
menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi.
Sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu sendal tongkat
orang ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa
Tin-ok, katanya tertawa: "Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di
depan dadamu lho!"
Dada Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis
atau membela diri, tapi ia lantas memaki dengan gusar: "Perempuan keparat,
tepukkan saja ke dadaku, kenapa cerewet ?"
Melihat gelagat yang jelek ini Bu Sam-nio kaget dan
memburu hendak menolong. Tangkas sekali Li Bok-chiu sudah melejit ke udara,
disaat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap
sekali dimuka Bu Sam-.nio. Katanya tertawa: "Kau berani mengggebah
muridku, nyalimu cukup besar juga!" - Habis berkata ia tertawa cekikikan,
sekali lompat badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan
lagi,
Terasa oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya itu
sedemikian halus dan licin, kulit mukanya terasa dingin nyaman, dilihatnya
bayangan orang berkelebat ke dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus
saja ia melabraknya, namun gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata
berbahaya sekali, ia kerahkan seluruh kekuatannya, akhirnya toh roboh dan tak
mampu bergerak Kwa Tin-ok tadipun merasakan dadanya seperti ditindih batu besar
ribuan kati, napas sesak terasa mual, segera ia menarik napas dalam2 beberapa
kali, barulah pernapasannya dapat lancar kembali.
Dengan susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun,
didengarnya suara gemuruh dan angin menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata
Liok-keh-ceng sudah tertelan jago merah yang membara, Dengan Kwa Tin-ok mereka
mengangkat tubuh Liok Lip-ting suami isteri, tampak kedua orang sudah kempas
kempis, terang tinggal menunggu ajal saja, pikirnya: "Kalau memindahkan
mereka, tentu ajalnya akan tiba lebih cepat, namun tak mungkin Kubiarkan mereka
di sini, bagaimana baiknya ?"
Disaat serba susah itulah tiba2 dari jauh di dengarnya
seseorang berteriak: "Niocu, apa kau selamat ?" - itulah suara Bu
Sam-thong.
Girang dan dongkol pula Bu Sam-nio, pikirnya kau si gila
ini entah berbuat apa saja dan sampai sekarang baru datang, Dilihatnya pakaian
sang suami sudah robek dan penuh tambalan," sedang berlari cepat
mendatangi sambil ber-kaok2 selamanya Bu Sam-nio belum pernah menghadapi sikap
suaminya yang begitu mesra terhadap dirinya, hatinya menjadi senang, sahutnya
lantang: "Aku di sini!"
Cepat sekali Bu Sam-thong meluncur tiba, tanpa berhenti
ia raih badan Liok Lip-ting berdua terus dibawa pergi sambil berteriak:
"Lekas ikut aku !"
Kwa Tin-ok belum saling memperkenalkan diri, namun ia
yakin orang adalah sekaum dari golongan pendekar, maka segera ia ikut jejak
orang, sekaligus mereka lari sejauh beberapa li, Bu Sam-thong menjinjing dua
orang, Kwa Tin-ok pincang berjalan dengan menggunakan tongkat, namun Bu Sam-nio
malah ketinggalan paling jauh.
Bu Sam-thong menyusup ke timur dan berputar ke barat,
akhirnya ia bawa kedua orang memasuki sebuah gua di sebuah lekukan gunung,
Begitu masuk ke dalam gua itu, Bu Sam-nio melihat Tun-ji dan Siu-bun, kedua
puteranya itu selamat tak kurang suatu apapun, ia merasa lega, Dilihat-nya
kedua puteranya sedang bermain, batu di tanah bersama Liok Bu-siang dan Thia
Eng.
Di ujung sana berdiri seorang gadis cilik lain yang
berpakaian mewah, Usianya lebih kecil dari Liok dan Thia, namun sikap dan
tindak tanduknya kelihatan sombong, ia tidak sudi bermain dengan mereka
berempat, Dia bukan lain adalah puteri kesayangan Kwe Ceng dan Ui Yong, Kwe Hu
adanya.
Melihat Kwa Tin-ok ikut datang segera Kwe Hu berteriak:
"Kwa-kongkong, kedua burung itu entah pergi kemana, tidak kelihatan
bayangannya, ku panggil berulang kali juga tidak mau kembali!"
Sementara itu Thin Eng dan Liok Bu-siang lantas memeluk
badan Liok-toanio dan Liok Lip-ting serta menangis sambil menjerit2. Mendengar
jerit tangis kedua anak perempuan ini, seketika Kwa Tin-ok teringat akan kata2
Li Bok-chiu, serunya kuatir: "Wah, celaka ! Kita memancing setan masuk
pintu, sebentar iblis laknat itu pasti menyusul kemari!"
"Bagaimana bisa ?" tanya Bu Sam-nio bingung.
"Gembong iblis itu hendak mencabut nyawa kedua
"bocah dari keluarga Liok ini, tapi dia tidak tahu dimana mereka
berada."
Seketika Bu Sam-nio sadar, ujarnya: "Ya, benar,, dia
sengaja tidak melukai kami, tapi mengintil di belakang kita secara diam2."
Bu Sam-thong menjadi gusar, teriaknya: Se-tan keparat itu
berani mengganas, sebentar biar aku yang menempurnya."
Batok kepala Liok Lip-ting sudah remuk, namun ada satu
hal yang belum dia selesaikan maka ia bertahan sampai sekarang, dengan suara
lemah katanya kepada Thia Eng: "Ah-ing, ambillah sapu... sapu.... sapu
tangan di dalam bajuku."
Thia Eng menyeka air mata, lalu merogoh keluar sehelai
sapu tangan sutera dari baju sang paman. Sapu tangan ini terbuat dari sutera
putih, tiap ujungnya tersulam bunga merah, Bentuk dan warna bunga itu amat aneh
dan lain dari bunga biasanya, kelihatan indah menyolok tapi menyeramkan pula,
selintas pandang membuat berdiri bulu kuduk orang.
Kata Liok Lip-ting: "Ah-Eng, ikatlah sapu tangan ini
di lehermu, jangan kau copot lagi, tahu tidak ?"
Thia Eng tidak tahu maksudnya, namun pamannya berpesan
wanti2, maka ia mengangguk serta mengiakan,
Saking kesakitan Liok-toanio sudah jatuh pingsan berulang
kali, mendengar suara suaminya, segera ia membuka mata, katanya: "Kenapa
tidak kau berikan kepada anak Siang ? Berikan kepada Siang-ji!"
"Tidak!" sahut Liok Lip-ting tegas, "Mana
boleh aku mengingkari pesan ayah bundanya ?"
"Kau... kau sungguh kejam, puterimu sendiri tidak
kau hiraukan lagi keselamatannya ?" mata Liok-toanio memutih, suarapun
serak dan jatuh semaput lagi.
Liok Bu-siang tidak tahu soal apa yang dipertengkarkan
ayah bundanya, sambil menangis ia berteriak: "lbu Ayah !"
"Niocu!" ujar Liok Lip-ting dengan suara
lembut: "Kau amat sayang kepada Siang-ji, biarlah dia ikut berangkat
bersama kita ?"
Sapu tangan sutera putih bersulam bunga merah itu adalah
pemberian Li Bok-chiu kepada Liok Tian-goan dimasa mudanya sebagai tanda
mengikat janji, Menjelang ajal, Liok Tian-goan tahu dosa2 mereka suami isteri
bertumpuk dan banyak musuh, anak cucunya kelak pasti terlibat banyak urusan,
maka ia wariskan sapu tangan itu kepada puteranya.
Dengan wanti2 ia berpesan, bila Bu Sam-thong meluruk
datang menuntut balas, kalau bisa menghindari adalah baik, kalau tidak bolehlah
dilawan sekuat tenaga dan rasanya jiwa tidak akan melayang cuma2. Tapi kalau Li
Bok-chiu yang datang, orang ini amat keji dan ganas pula, ilmu silatnya juga
tinggi, satu2-nya jalan untuk menyelamatkan diri ialah mengalungkan sapu tangan
sutera putih itu di leher. ingat akan asmara dimasa mudanya, mungkin si iblis
itu tidak tega turun tangan,
Tapi Liok Lip-ting sendiri tinggi hati, meski menjelang
ajal, namun ia sendiri tidak mau unjuk sapu tangan itu.
Thia Eng adalah puteri saudara~ perempuan Liok Lip-ting
yang dititipkan padanya, Biasanya ia bersikap keras kepada keponakan ini,
sering ia memarahinya dan mendidiknya dengan keras, tapi urusan sudah berlarut
sedemikian jauh, malah dia berikan sapu tangan penyelamat itu kepada Thia Eng.
Betapapun Liok-toanio berjiwa lebih sempit, kasih
sayangnya kepada puteri sendiri lebih besar, melihat sang suami tidak
perdulikan keselamatan jiwa puteri sendiri, saking dongkol dan gusar, kontan ia
jatuh semaput lagi.
Karena soal sapu tangan sampai bibi dan pamannya
bertengkar segera Thia Eng angsurkan sapu tangan itu kepada Piaumoay-nya,
katanya: "Bibi bilang untuk kau, nah, terimalah !"
Tapi Liok " Lip-ting segera membentak:
"Siang-ji, jangan kau terima !"
Bu Sam-nio tahu dalam hal ini pasti ada latar belakang
yang dirahasiakan segera ia tampil bicara: "Bagaimana kalau sapu tangan
ini disobek menjadi dua potong ? Satu orang separoh, boleh tidak ?"
Liok Lip-ting hendak bicara, namun keadaannya sudah
sangat payah, mana bisa mengeluarkan suara pula, terpaksa ia hanya mengangguk
saja,
Bu Sam-nio segera minta sapu tangan itu "bret"
ia sobek menjadi dua dan dibagikan kepada Liok Bu-siang dan Thia Eng.
Bu Sam-thong berdiri di mulut gua, mendengar jerit tangis
di sebelah "dalam, tak tahu apa yang terjadi, segera ia berpaling, entah
mengapa dilihatnya separuh muka isterinya berwarna hitam separuh yang lain
putih halus seperti salju, keruan ia kaget dan kuatir, katanya sambil menuding
muka sang isteri: "Ke... kenapa begini ?"
"Kenapa ?" tanya Bu Sam-nio sambil meraba
mukanya, terasa kulit mukanya seperti kaku dan mati rasa, mencelos hatinya,
seketika teringat akan rabaan tangan li Bok-chiu pada mukanya tadi, apa tangan
halus dan lembut itu menggunakan racun dalam rabaannya tadi ?
Baru saja Bu Sam-thong hendak bertanya pula, mendadak
didengarnya seorang tertawa di luar gua, katanya: "Kedua bocah perempuan
itu di sini bukan ? Perduli mati atau hidup, lekas lempar keluar!"
suaranya nyaring seperti kelintingan.
Bu Sam-thong segera melompat keluar gua, dilihatnya Li
Bok-chiu sedang berdiri di luar gua, seketika hatinya tergetar: "Puluhan
tahun tidak bertemu, kenapa dia masih sedemikian cantik ?"
Tapi dilihatnya kebut di tangan Li Bok-chiu bergoyang
gontai, sikapnya adem-ayem, pandangan matanya tajam, kedua pipinya bersemu
merah, bagi orang yang tidak kenal iblis yang suka mengganas ini, orang pasti
mengira orang adalah putri hartawan yang sengaja menjadi Tokoh (pendeta wanita
agama Tao).
Melihat kebut baru Bu San-thong ingat dirinya tidak
membekal senjata, kalau balik mengambil ia kuatir orang akan menerjang masuk
dan melukai Thia Eng atau Liok Bu-siang, sekilas dilihatnya di pinggir gua
tumbuh sebatang pohon, segera ia rangkul dengan kedua tangan serta menghardik
keras: "Naik !" Waktu ia kerahkan tenaga, pohon itu seketika kena
dicabut sampai akar-akarnya,
Li Bok-chiu tersenyum genit: "Amat besar tenagamu
!"
Bu Sam-thong segera melintangkan batang pohon itu,
katanya: "Nona Li, puluhan tahun tidak bertemu, kau baik-baik saja ?"
Dahulu ia biasa panggil orang nona Li, kini meski orang
sudah masuk agama menjadi pendeta To, namun ia tidak mengubah panggilannya,
selama dua puluhan tahun terakhir ini Li Bok-chiu tidak pernah mendengar orang
memanggil dirinya dengan sebutan "nona Li", seketika tergerak
hati-nya, terbayang olehnya akan kehidupan manis mesra masa mudanya dahulu,
namun kilas lain ia pun berpikir: sebetulnya aku dapat hidup rukun sampai hari
tua bersama pujaan hatiku, siapa tahu dalam dunia ini muncul seorang yang
bernama Ho Wan-kun yang membuat aku malu dan kehilangan, pamor, aku hidup
menderita sampai hari tua. Se gera rasa manis mesra yang menggejolak tadi se
ketika tersapu bersih, perasaan berubah menjadi benci dan dendam.
Seperti Li Bok-chiu Bu Sam-thong juga seorang yang patah
hati dalam gelanggang asmara boleh dikatakan mereka mengalami pendeta dan
siksaan batin yang sama. Sepuluhan tahun yang lalu Bu Sam-thong pernah melihat
seorang diri Li Bok-chiu membunuh puluhan Piausu dari Ho-si Piaukiok secara kejam
dan tak berperi-kemanusiaan, kalau dibayangkan sampai sekarang masih terasa
seram, Para Piausu itu sebetulnya tiada salah dan tiada dosa kepadanya,
merekapun tiada sangkut paut dengan Ho Wan-kun soalnya hanya karena merekapun
she Ho, di kala kepedihan hati tak terlampiaskan, ia luruk ke Ho-si Piau kiok
serta membunuh habis semua penghuninya, Kini dilihat pula oleh Bu Sam-thong
raut muka perempuan ini sebentar mengunjuk kelembutan hatinya, namun saat lain
berubah bengis dan menyeringai dingin, diam2 ia sangat menguatirkan keselamatan
kedua anak perempuan Liok dan Thia itu.
Berkata Li Bok-chiu: "Di atas dinding sudah
kuberikan tanda sembilan telapak tangan, aku tidak akan berhenti sebelum
membinasakan sembilan orang, Nah, Bu-samko, silahkan kau menyingkir !"
"0rang2 yang kau musuhi sudah sama mati, putera dan
bininya pun sudah kau lukai, cucu perempuannya yang masih kecil itu, harap kau
ampuni saja !" kata Bu Sam-thong.
Li Bok-chiu menggeleng sambil tersenyum, katanya:
"Bu-samko, silahkan kau minggir."
Bu Sam-thong pegang batang pohon itu lebih kencang,
teriaknya: "Nona Li, kau memang terlalu kejam, Ho Wan-kun."
Seketika berubah air muka Li Bok-chiu mendengar nama itu,
katanya: "Aku sudah bersumpah barang siapa di hadapanku menyinggung nama
orang itu, maka kalau bukan aku yang mati pasti dia yang mampus, Nah, Bu-samko,
kau sendiri yang salah, jangan kau menyalahkan aku." Kebut-nya segera
mengebas ke atas kepala Bu Sam-thong.
Jangan pandang kecutnya itu kecil pendek, namun
kebasannya ini cepat dan keras sekali, rambut kepala Bu Sam-thong yang awut2an
itu seketika seperti diterpa angin ribut
Li Bok-chiu tahu orang adalah murid kesayangan It-teng
Taysu, meski tindak tanduknya ling-lung, namun ilmu silatnya mempunyai
keistimewaannya sendiri, maka sekali turun tangan segera ia lancarkan serangan
maut yang mematikan
Cepat Bu Sam-thong angkat batang pohon itu dan mendadak
terulur maju terus menyapu dengan keras.
Melihat sapuan keras dan lihay ini, badan Li Bok-chiu
berkelebat melayang mengikuti deru angin, sebelum daya kekuatan sapuan pohon
itu melanda tiba, ia sudah melompat ke depan terus menyerang ke muka lawan.
Hebat memang kepandaian Bu Sam-thong, tidaklah sia2
Toan-hongya menggemblengnya selama puluhan tahun, melihat orang merangsak maju,
tangan kanan segera terangkat, jari tengahnya terjulur menutuk jidat orang.
It-yang-ci yang dia lancarkan ini tidak bisa dibandingi
dengan permainan isterinya tadi, kelihatannya gerak tangannya tidak begitu
cepat dan hebat, namun serba rumit dijajagi atau diraba perubahannya, aneh dan
ajaib.
Tapi badan Li Bok-chiu mendadak mencelat mundur beberapa
tombak jauhnya,
Melihat orang bergerak segesit kera selincah kupu
menyelusuri kembang, datang pergi seenteng asap, dalam sekejap saja merangsak
maju dan mundur beberapa kali, mau-tidak-mau Bu Sam-thong sangat kagum dan
tergetar.
Segera ia kerahkan tenaga mengabitkan dahan pohon itu
dengan hebatnya, serentak ia desak lawan mundur puluhan tombak jauhnya, tapi
sedikit ada peluang, Li Bok-chiu segera menyelinap maju secepat kilat, untung
It-yang-ci amat lihay, kalau tidak tentu sejak tadi dia sudah terkapar
roboh.".
Meski demikian, betapapun bobot dahan pohon itu terlalu
berat, diputar sedemikian kencangnya, lama-kelamaan ia merasa letih dan
kehabisan tenaga, sebaliknya Li Bok-chiu bergerak semakin gesit dan mendesak
semakin dekat
Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu2 Li Bok-chiu
melompat ke pucuk pohon sembari mengayun kebutnya menyerang ke bawah dari
tengah udara.
Bu Sam-thong terkejut, lekas ia putar balik batang pohon
terus dihantamkan ke tanah, sambil tertawa Li Bok-chiu berlari maju melalui
dahan pohon. segera Bu San-thong memapak dengan tutukan jarinya. Tapi sekali
menggeliat gemulai, badan lawan tahu2 sudah menyurut mundur ke pucuk pohon
pula.
Begitulah beruntun puluhan jurus, bagaimanapun Bu
Sam-thong kerahkan tenaga menggentak pohon atau menyapukannya dengan hebat
menghantam batang pohon yang lain untuk menjatuhkan orang, namun Li Bok-chiu
seperti lengket dengan dahan pohon di tangannya itu, malah setiap kali kalau
gerakan dahan pohon lamban ia lantas menyerang maju dengan serangan ganas.
Lama kelamaan Bu Sam-thong merasa payah juga, meski badan
orang tidak terlalu besar dan berat, paling tidak menambah beban di atas dahan
pohon besar itu, dengan berdiri di . pucuk pohon, dahan pohon itu tidak akan
mampu mengenai dia, sebaliknya orang lebih leluasa menyerang dirinya, terang
dirinya dalam posisi yang terdesak
Inysaf akan kedudukan yang berbahaya ini, bila dirinya
sedikit ayal atau lena, jiwa sendiri tidak menjadi soal, tapi semua penghuni
gua baik tua dan muda bakal menjadi mangsa keganasannya pula.
Segera ia ayun batang pohon itu lebih kencang, ia
berusaha menjatuhkan orang dari dahan pohon di tangannya, Tepat pada saat
itulah, tiba2 dari belakang didengarnya seruan nyaring disusul dua bayangan
abu2 menubruk turun dari atas
Karena pahanya tersambit jarum berbisa, Bu Sam-thong
rebah tengkurap tak mampu bangun Jagi, sementara Li Bok-chiu sedang sibuk
dikerubuti dua ekor rajawali dan seekor burung merah kecil berparuh panjang.
Waktu Bu Sam-thong angkat kepala, dilihatnya dua ekor
rajawali menukik turun bagai meteor jatuh menyerang ke arah Li Bok-chiu dari
kanan kiri, Melihat luncuran kedua burung raksasa yang pesat dan dahsyat ini,
cepat Li Bok-chiu menjungkir ke bawah dengan kaki kiri tetap menggantol dahan
pohon, Karena tidak berhasil mengenai musuh, kedua rajawali itu terbang ke
udara pula.
Baru saja Bu San-thong keheranan, tiba2 didengarnya suara
anak perempuan di belakangnya: "Tiau-ji, ayo turun gigit perempuan jahat
itu !"
Kedua ekor burung rajawali itu amat cerdik dan tahu kata2
orang, seekor dari kiri ke kanan, yang lain dari kanan ke kiri, empat cakar
besinya serentak mencengkeram ke bawah pohon.
Pernah Li Bok-chiu dengar bahwa Kwe Ceng dan Ui Yong dari
Tho-hoa-to ada memelihara sepasang burung rajawali sakti, menghadapi serangan
kedua burung sakti ini, terhadap rajawali itu sendiri ia tidak takut, namun ia
jeri bila Kwe Ceng suami isteri berada tidak jauh dari situ, hal itu tentu akan
membawa kesulitan dan menggagalkan urusannya, dengan gerakan gemulai segera ia
berkelit beberapa kali, tiba2 ia ayun kebut-nya, "plok", ia berhasil
menyabet sayap kiri rajawali jantan, ^saking kesakitan rajawali itu berpekik
dan beberapa tangkai bulunya rontok berhamburan di udara.
Melihat burung rajawalinya cidera, Kwe Hu berteriak pula:
"Tiau-ji jangan takut, gigit perempuan galak itu."
Sekilas Li Bok-chiu melirik, dilihatnya anak perempuan
itu berkulit halus bagai salju, cantik melek dan menawan hati, tergeraklah
hatinya: "Sejak lama kudengar bahwa Kwe-hujin adalah perempuan tercantik nomor
satu angkatan muda, memangnya anak perempuan ini adalah puterinya ?" -
Karena menggunakan pikiran, gerak gerik kaki tangannya menjadi sedikit lamban,
Walaupun mendapat bantuan sepasang rajawali namun Bu
Sam-thong masih tidak kuasa merobohkan lawannya, keruan hatinya semakin
gelisah, Se-konyong2 pohon itu ia lempar ke tengah udara bersama orangnya.
Agaknya Li Bok-chiu tidak menduga akan perbuatannya ini,
tanpa kuasa badannya ikut terlempar beberapa tombak tingginya di udara.
Seperti diketahui tenaga sakti Bu Sam-thong memang amat
mengejutkan, dulu waktu Kwe Ceng dan Ui Yang hendak minta bertemu dengan It
Teng Taysu, di tepi jurang dia mengangkat sepotong batu besar yang diatasnya
rebah pula seekor sapi jantan yang besar, ia kuat bertahan hampir setengah jam
lebih,
Kepandaian silat Li Bok-chiu memang tinggi namun karena
dilempar sekuat itu, ia tidak kuasa menyingkirkan diri lagi.
Melihat dia melambung ke udara,, kedua rajawali itu
segera menukik turun pula seraya menutuk
Kalau di atas tanah datar kedua rajawali ini tidak dapat
mengapakan dirinya, sekarang Li Bok-chiu terapung di tengah udara dan tiada
tempat untuk pengerahan tenaga, mana kuat melawan terjangan kedua rajawali yang
hebat ini!
Dalam gugupnya kebut terayun untuk melindungi mukanya,
berbareng lengan baju mengebas, sekaligus ia timpuk tiga batang jarum
Peng-pok-gin-ciam. Dua batang menerjang kedua rajawali sebatang ke arah dada Bu
Sam-thong. Tiga batang senjata rahasia dia timpukan ke tiga arah sasaran yang
berlainan dengan tepat, sungguh lihay sekali.
Kedua rajawali itu rupanya tahu kelihaian jarum musuh,
cepat pentang sayap melambung tinggi pula ke tengah udara, tapi jarum perak itu
menyamber teramat cepat, "sret, sret" jarum menyerempet lewat sela2
cakar kaki dan mengelupas sedikit sisik kulitnya,
Ketika Bu Sam-thong tiba2 melihat sinar perak berkelebat
lekas ia jatuhkan diri, namun jarum perak itu masih mengenai juga paha
kiri-nya, sebat sekali ia hendak berdiri pula, siapa tahu kaki kirinya itu,
ternyata tidak mau menurut perintah lagi, lututnya tertekuk dan berlutut dengan
tangan menyanggah tanah, ia. kerahkan tenaga murni, baru saja hendak merangkak
bangun pula, rasa kaku dengan cepat sudah menjalar sekejap saja kedua kakinya
sudah pati rasa, kontak ia jatuh tengkurap, kedua tangan masih bertahan dan
meronta hendak berdiri, namun akhirnya ia rebah tak bergerak lagi.
"Tiau-ji, Tiau-ji!" teriak Kwe Hu keras,
"Lekas kemari!"
Kedua ekor rajawali itu ternyata terbang entah kemana dan
tidak mau mendengar teriakannya lagi,
"Adik cilik", tegur Li Bok-chiu tersenyum,
"apa kau she Kwe ?"
Melihat orang bicara manis budi, Kwe Hu pun tertawa,
sahutnya: "Ya, aku she Kwe. Kau she apa ?"
"Mari sini, ku ajak kau bermain," perlahan Li
Bok-chiu menghampiri hendak menggandeng tangannya.
Dengan mengetuk tongkatnya lekas Kwa Tin-ok menerjang
keluar dari gua dan menghadang di depan Kwe Hu, teriaknya: "Hu-ji, lekas
masuk !"
"Memangnya kau takut aku bakal menelannya bulat2
?" ujar Li Bok-chiu tertawa cekikikan Kaki kirinya sedikit mencungkit
tongkat besi orang berbareng tangan kiri meraih menangkap ujung tongkat.
Kwa Tin-ok lekas menyendal serta menariknya, namun ia
tidak berhasil melepaskan cekalan orang, teriaknya: "Hu-ji lekas
lari."
Kwe Hu malah bersungut dan berkata "Bibi ini hendak
bermain dengan aku." Tidak lari ia malah hendak menarik tangan Li
Bok-chiu.
Kwa Tin-ok kaget, selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar
suara pekik kedua rajawali yang telah terbang balik.
"Tiau-ji, lekas ke sini!" Kwe Hu berseru.
Tiba2 samar merah berkelebat, seekor burung kecil warna
merah yang berparuh panjang mendadak menubruk langsung ke arah kepala Li
Bok-chiu dari sela2 kedua burung rajawali.
Keruan Li Bok-chiu terkejut lekas kebutnya menyamber
namun burung merah itu melayang pergi datang dengan cepat, tiba2 badannya
mundur tiga kaki ditengah udara meluputkan diri dari kebutan itu. . Tapi
secepat itu pula ia sudah menerjang maju pula, gerak geriknya tidak kalah dari
pada tokoh kosen dunia persilatan.
Kaget dan senang pula Li Bok-chiu, katanya sambil
tertawa: "Burung kecil ini menyenangkan juga!"
Tiba2 didengarnya suara desiran aneh yang kumandang dari
belakang gunung, entah dari mana berbondong2 merayap keluar ular hijau yang tak
terhitung banyaknya, Seorang anak laki2 berbaju hijau sedang mendatangi sambil
berdendang dengan bertepuk tangan, Ular-ular itu mengiringi nyanyiannya,
sebaris dari sebaris amat teratur merubung ke arah Li Bok-chiu.
Anak laki2 berusia 14 - 15 tahun itu lalu duduk di tanah
untuk menonton burung merah tadi menempur sengit Li Bok-chiu.
Burung merah kecil itu amat gesit dan tangkas, maju
mundur bagai kilat, sabetan kebut Li Bok-chiu meski sangat kencang, namun lawan
kecil ini selalu dapat lolos.
Dilihatnya anak laki2 itu bermuka cakap, bibir merah gigi
putih, tampan dan menyenangkan serta merta timbul rasa kasih sayangnya, melihat
orang menggusur ular menghadang di depannya, diam2 ia berpikir: "Kabarnya
di Pek-tho-san daerah Se-ek benua barat ada seorang Bu-lim Cianpwe tokoh persilatan
tua bernama Auwyang Hong yang pandai menguasai ular untuk menyerang musuh,
mungkin pemuda ini punya hubungan erat dengan dia ?"
Semula ia berniat melancarkan serangan ganas untuk
membinasakan burung merah itu, berpikir sampai di situ, ia jadi ragu2 dan
batalkan niatnya semula.
Harus diketahui Li Bok-chiu adalah seorang yang licik dan
banyak tipu dayanya, sebelum bertindak ia selalu memikirkannya lebih dulu
secara seksama, kalau dirinya tidak terdesak kalah, dia tidak akan segera
menurunkan tangan jahatnya. pikirnya:
"Kenapa hari ini begini kebetulan ? It Teng Taysu,
Pek-tho-san dan Tho-hoa-to masing2 ada orang kumpul di sini, memangnya sebelum
ini mereka sudah berjanji untuk bersatu menghadapi aku ? Biarlah kucari tahu
dulu keadaan yang sebenarnya."
Sambil mengebaskan kebutnya, Li Bok-chiu bertanya:
"Adik cilik, siapa namamu ? Apa kau datang dari Pek-tho-san ?"
Melihat orang bicara dengan lemah-lembut, pemuda itu
berdiri sahutnya dengan, tertawa: "Aku she Nyo, Pek-tho-san apa yang kau
maksudkan ?"
Melihat orang tidak bersiap, se-konyong2 burung merah
tadi menyergap pula serta mematuk dengan paruhnya yang runcing panjang.
Sebat sekali Li Bok-chiu ulur tangan kiri terus meraih,
gerak-gerik burung merah kecil itu amat cepat dan tangkas, namun gerak tangan
Li Bok-chiu lebih cepat lagi, tahu2 burung merah itu tergenggam oleh tangannya.
Keruan pemuda itu kaget, teriaknya: "Hai, jangan kau melukai dia !"
"Baik, nih, kukembalikan padamu !" sahut Li
Bok-chiu sambil membuka telapak tangannya,
Begitu mendapat kebebasan burung merah itu segera pentang
sayap hendak terbang, tapi baru saya sayapnya terbentang, Li Bok-chiu kerahkan
lwekang melalui telapak tangannya, sehingga burung merah itu seakan-akan
melengket pada tangannya, biarpun beberapa kali burung kecil itu menggelepai2
sayapnya tetap tidak mampu terbang lolos dari telapak tangannya.
Maklumlah Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah mencapai
puncaknya, tenaga yang dikerahkan pada telapak tangannya bisa dia gunakan
sesuka hatinya, dalam sekejap saja ia bisa mengubah kekuatan pukulan telapak
tangan beberapa kali, sekali serang pukulannya bisa menimbulkan gelombang
kekuatan yang menderu hebat, tenaga dipusatkan di tengah2 telapak tangan,
sementara jarinya bisa mengendon sehingga orang yang terkena pukulannya tidak
mampu mengerahkan tenaga untuk melawan.
Bagi jago yang berilmu silat tinggi, kalau badannya
terkena pukulan, secara reflek akan mengerahkan tenaga untuk melawan, baik
menangkis atau untuk mematahkan Tapi ilmu pukulan Li Bok-chiu ini lain dari
pada yang lain, sekali pukul didalamnya mengandung bermacam kekuatan yang
dahsyat, oleh karena itu ia amat tenar dan ditakuti karena ilmu pukulan
Jik-lian-sin-ciang, siapa yang tidak akan kuncup nyalinya bila mendengar atau
melihat ilmu pukulannya ini.
Begitulah burung merah tadi masih terus kerupukan di
tengah telapak tangan Li Bok-chiu dan tidak mampu terbang meloloskan diri.
Bu Sam-nio dan lain2 juga terkurung oleh barisan ular
yang banyak itu, merekapun kaget dan heran pula, Melihat burung merah itu tidak
mampu lepas dari telapak tangan orang, mereka pun kuatir akan keselamatannya,
tapi takut di-gigit u!ar2 berbisa itu, setapak pun mereka tidak berani
bergerak.
Melihat suaminya terkapar di tanah tanpa bergerak, entah
mati atau masih hidup, betapapun mereka sudah menjadi suami isteri sekian puluh
tahun lamanya, Bu Sam-nio amat prihatin akan keadaan suaminya, segera ia
berseru memanggil: "Samko, bagaimana kau ?"
Bu Sam-thorig mengerang, punggungnya terangkat beberapa
kali, namun tetap tidak mampu menegakkan badan.
Kwe Hu, tampak celingukan kian kemari dan tidak melihat
bayangan kedua burungnya, segera ia berteriak: "Tiau-ji, Tiau-ji, lekas
kembali!"
Setelah menunggu cukup, lama tidak melihat apa2, maka Li
Bok-chiu sudah bertekad: "Seumpama Kwe Ceng suami isteri dan Auwyang Hong
berada di sekitar sini, jika aku segera turun tangan masakah mereka sempat
berbuat apa-apa kepadaku ?" - Maka dengan tersenyum kecil ia melangkah ke
depan.
"Eh, jangan bergerak !" teriak anak muda tadi.
"Awas digigit ular!" - Tapi dilihatnya di mana kaki Li Bok-chiu
beranjak ke depan, kawanan ular itu entah kenapa sama menyurut mundur seperti
amat takut kepadanya, saling desak dan menyingkir ke pinggir.
Tiba2 Li Bok-chiu melompat lewat di samping si pemuda
terus menerjang ke dalam gua.
Bu Sam-nio ayun pedangnya seraya membentak: "Keluar
!"
Tangan kiri Li Bok-chiu masih pegang burung kecil dan
tangan kanan menyongsong tajam pedang terus menepuk.
Keruan Bu Sam-nio heran, "Memangnya tanganmu terbuat
dari baja ?"
Siapa tahu jari2 orang ternyata bergerak selincah ular
hidup, tahu2 sudah mencomot batang pedang terus digentak ke depan, ujung pedang
malah membal balik memotong ke jidat Bu Sam-nio sendiri, perubahan ini terjadi
dalam waktu yang amat cepat, "sret", belum sempat ia berkelit
pedangnya sendiri sudah membacok jidatnya.
"Maaf !" ujar Li Bok-chiu tertawa, burung
ditangan kirinya segera dilepaskan, kedua tangannya segera menjinjing Thia Eng
dan Liok Bu-siang, kaki sedikit menutul badannya segera mencelat keluar gua,
dalam kesibukannya itu ia sempat pula menendang tongkat besi Kwa Tin-ok yang
menyerampang datang dan menimpuk sebatang Ping-pok-ciam di kuncir Kwe Hu.
Mendengar jeritan kedua anak dara Thia dan Liok, tahu
keadaan sangat gawat, si pemuda segera bangun dan menubruk maju memeluk Li
Bok-chiu sambil teriaknya: "Hai, hai, lekas lepaskan !"
Tangan Li Bok-chiu masing2 menjinjing satu orang,
sedikitnya ia tidak menduga si pemuda bakal memeluk pinggangnya, tahu2 ia
merasa bawah ketiak sudah dijepit sepasang tangan kecil seketika hatinya
terkesiap, entah bagaimana seketika seluruh badan menjadi lemas lunglai.
Supaya Thia dan Liok kedua anak perempuan itu tidak
tergigit ular, ia kerahkan tenaga di telapak tangan terus melemparkan mereka
beberapa tombak jauhnya, cepat sekali tangannya membalik mencengkeram punggung
si pemuda.
Usia Li Bok-chiu sudah mencapai lima puluhan tahun, namun
dia masih seorang perawan yang suci, semasa mudanya bergaul dan main asmara
dengan Liok Tian-goan, namun " masing2 memegang teguh adat istiadat, maka
selama hidupnya belum pernah ia bersentuhan tubuh dengan laki2 manapun jua.
Banyak laki2 kalangan Kangouw yang terpikat akan
kecantikannya, tapi sekali orang mengunjuk nafsu jahat atau tingkah laku yang
tidak sopan, maka jiwa orang itu pasti melayang di bawah Jik-lian-sin-ciangnya.
Walau pemuda ini baru berusia belasan, betapapun dari
badannya sudah mengeluarkan bau kelakian yang merangsang dan memabukkan,
se-konyong2 Li Bok-chiu menghadapi keadaan ini, seketika ia terkesima dan luluh
hatinya.
Begitu mencengkeram punggung si pemuda sebetulnya ia sudah
kerahkan tenaga hendak menghancurkan isi perut orang untuk mencabut nyawanya,
siapa tahu tenaga ternyata tak kuasa dikerahkan, hal seperti ini selama hidup
belum pernah dia alami, keruan tak terkatakan rasa kejut dan herannya.
Pada saat itulah burung merah itu tahu2 menubruk pula
mematuk matanya sebelah kiri sedikitpun Li Bok-chiu tidak menduga, tahu-tahu
sebelah matanya seperti ditusuk sesuatu benda dan sakitnya luar biasa, biji
matanya sudah dipatuk buta oleh burung merah itu. Keruan murkanya tidak kepalang,
"plok", ia ayun tangannya secepat kilat, pukulan ini dilandasi
kekuatan Lwekangnya selama hidup ini, burung kecil itu seketika terpental jatuh
dengan leher putus sayap kutung, Cepat sekali tangan kanannya mengangkat si
pemuda serta memakinya: "Keparat cilik, kau ingin mampus ya !"
Segera ia putar badan pemuda itu dengan kaki di atas dan
kepala di bawah, segera pula ia hendak benturkan kepala orang pada batu gunung
agar mampus,
Meski dalam bahaya, namun si pemuda sedikitpun tidak
gugup atau takut, malah katanya sambil tertawa: "Kokoh (bibi), jangan kau
puntir kakiku hingga kesakitan !"
suaranya sedemikian lembut dan aleman, sorot matanya
halus mesra dan membuat orang yang menghadapinya luluh hatinya dan kuncup
amarahnya, apapun yang diminta rasanya sulit untuk menolaknya.
Sekilas Li Bok-chiu melenggong, belum lagi hatinya ambil
keputusan, didengarnya pekik sepasang rajawali di angkasa, kedua rajawali itu
sedang terbang mendatangi dari kejauhan, tahu2 menukik serta menyerangnya pula.
Mata kirinya sudah buta, rasa gusar dan penasaran ini
belum sempat terlampias, segera ia kebutkan lengan baju kirinya, dua batang
Ping-pok-ciam memapak kedua rajawali itu.
Senjata rahasianya ini amat ganas dan berbisa lagi, kedua
rajawali ini tadi sudah merasakan kelihayannya, lekas mereka pentang sayap
melambung pula ke atas, namun jarum2 perak itu menyamber dengan kecepatan luar
biasa, meski kedua rajawali terbang amat cepat, luncuran kedua batang jarum
perak itu terlebih cepat lagi, saking kaget dan ketakutan kedua rajawali sampai
bersuit nyaring, tampaknya jiwa mereka bakal tak tertolong lagi, kedua rajawali
yang gagah perkasa ini bakal melayang oleh jarum berbisa itu.
Mendadak terdengar suara mendering keras, sesuatu benda
meluncur amat kencang dari kejauhan memecah angkasa, Sungguh cepat sekali
kedatangan benda kecil ini, baru saja kuping mendengar dering luncurannya,
dalam sekejap saja sudah melayang tiba dan tahu2 membentur jatuh kedua batang
jarum berbisa itu.
Datangnya senjata rahasia ini sungguh sangat mengejutkan
meski li Bok-chiu seorang kejam, tak urung iapun terperanjat Segera ia melompat
ke depan sambil melemparkan si pemuda untuk menjemput benda itu, kiranya hanya
sebutir batu kerikil biasa, Pikirnya: "Orang yang menimpukkan batu kerikil
ini ilmu silatnya pasti tinggi luar biasa, mataku sudah cidera, biarlah aku
menghindarinya saja."
Serta merta ia bergerak menuruti jalan pikirannya,
telapak tangannya segera menepuk ke punggung Thia Eng, tujuannya hendak
membinasakan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesuai tanda peringatan sembilan tapak
tangan berdarah yang ditinggalkan di dinding rumah Liok Lip-ting itu.
Akan tetapi pada waktu telapak tangannya hampir menyentuh
punggung Thia Eng, sekilas mata kanan yang masih jeli itu tiba2 melihat leher
anak dara itu terikat selembar saputangan bersulam bunga merah indah yang dia
kenal adalah buah tangan sendiri dahulu yang diberikan pada kekasihnya sebagai
tanda mata.
Karena ini, seketika ia merandek, tenaga gablokannya tadi
dengan cepat ia tarik kembali segala cumbu-rayu dimasa silam sekilas terbayang
kembali olehnya. Melihat saputangan sulaman ini iapun lantas tahu maksud
kemauan Liok Tian-goan, pikirnya dalam hati: "Walaupun ia telah menikah
dengan perempuan hina she Ho itu, namun dalam hatinya nyata ia tidak pernah
melupakan diriku terbukti sapu tangan ini masih dia simpan baik2, karena itu ia
mohon agar aku mengampuni keturunannya, lantas aku harus mengampuni atau tidak
?"
Demikianlah sesaat ia menjadi ragu2, tidak bisa ambil
keputusan Sejenak pula ia putuskan akan bunuh dulu Liok Bu-siang saja.
Maka kebutnya segera ia angkat hendak menyabet gadis
cilik itu, namun di bawah cahaya matahari yang terang, lagi2 tertampak olehnya
pada leher gadis ini berkabung selembar saputangan bersulam yang sama.
"Eh !" Li Bok-chiu bersuara heran, pikirnya
pula: "Mana mungkin ada dua saputangan yang sama ? Satu diantaranya pasti
palsu."
Oleh karena itu, kebutnya yang menghantam tadi ia ubah menjadi
membelit dan dengan tepat leher Liok Bu-siang kena dililit oleh ekor kebut,
anak dara ini terus dia seret ke dekatnya.
Tetapi pada saat itu juga, suara mendesing tadi kembali
menggema, sebutir batu lagi2 menyamber dari belakang mengarah punggungnya,
lekas Li Bok-chiu baliki kebutnya untuk menyampuk batu yang cepat sekali
datangnya ini, tangkisannya sangat jitu, dengan tepat batu itu kena disamplok
pergi namun demikian, Li Bok-chiu merasakan juga genggaman tangannya sakit
pedas.
Batu sekecil itu ternyata membawa tenaga begitu kuat,
maka betapa hebat ilmu silat penyambit batu itu dapat dibayangkan keruan Li
Bok-chiu tak berani tinggal lebih lama lagi, ia samber Liok Bu-siang terus
dikempit, ia keluarkan Gin-kang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi, secepat
terbang dalam sekejap saja ia sudah menghilang kabur.
Nampak Piamoay atau adik misannya digondol orang, tentu
saja Thia Eng menjadi ribut "Piaumoay-Piaumoay !" demikian, ia
ber-teriak2 sambil menyusul dari belakang dengan kencang.
Akan tetapi dengan kecepatan berlari Li Bok-chiu, mana
bisa Thia Eng menyusulnya ? Namun sejak kecil gadis ini sudah punya kemauan
keras, dengan kertak gigi ia masih terus mengudak.
Di daerah Kanglam banyak terdapat sungai, tak lama Thia
Eng mengudak, ia telah terhalang oleh sebuah sungai kecil hingga tak berdaya
buat maju lagi, Tetapi dara ini tidak putus asa, sambil jalan menyusut gili2
sungai, mulutnya masih memanggil terus.
Se-konyong2 pada sebuah jembatan kecil di sebelah kiri
sana ada berkelebatnya bayangan putik tiba2 satu orang mendatangi dari seberang
Thia Eng tercengang karena tahu2 Li Bok-chiu sudah berdiri di hadapannya, cuma
Liok Bu-siang sudah tak kelihatan di bawah kempitannya.
Dalam hati Thia Eng sangat ketakutan, tetapi ia lantas
ingat lagi pada Liok Bu-siang, maka dengan tabahkan hati ia tanya:
"Dimanakah adik-misanku ?"
Sekilas Li Bok-chiu melihat raut muka Thia Eng memper
sekali dengan mendiang Ho Wan-kun yang menjadi lawan asmaranya, maka rasa
bencinya seketika timbul dan panas hatinya membakar, tanpa pikir lagi ia angkat
kebutnya terus, menyabet ke kepala si nona.
Dengan ilmu silat seperti Liok Lip-teng yang begitu
tinggi saja tidak mampu menangkis tipu serangan Li Bok-chiu yang lihay ini,
apalagi hanya gadis sekecil Thia Eng ? Maka tampaknya dengan segera senjata
kebut itu akan bikin kepala berikut dada anak dara itu hancur lebur.
Di luar dugaan, baru saja Li Bok-chiu ayun kebutnya,
mendadak terasa olehnya tarikannya menjadi kencang, ujung kebutnya se-akan2
kena dibetot oleh sesuatu dan tak mampu diayunkan ke depan.
Tidak kepalang kejutnya, ia hendak menoleh buat melihat,
tapi tahu2 tubuhnya terapung ke atas terus melompat beberapa tombak ke
bela-kang, habis ini baru turun kembali.
Sungguh bukan buatan kejut Li Bok-chiu oleh kejadian ini,
lekas ia putar tubuh, namun ia menjadi melongo karena di belakangnya kosong
melompong tanpa sesuatu yang dia dapatkan.
Li Bok-chiu sudah biasa menghadapi lawan tangguh, tahu gelagat
kurang menguntungkan dirinya, ia putar kebutnya hingga berwujut satu lingkaran
secepat roda angin, dengan demikian, dalam jarak lima kaki musuh sukar
mempedayai-nya, setelah ini baru dia berani memutar tubuh lagi.
Maka tertampaklah olehnya di samping si dara cilik Thia
Eng kini sudah berdiri seorang aneh berjubah hijau, perawakannya tinggi kurus,
air, mukanya kaku tanpa menunjuk sesuatu perasaan, seperti manusia tapi lebih
memper mayat pula hingga membikin orang yang melihatnya akan timbul semacam rasa
jemu dan muak.
Li Bok-chiu tidak kenal orang aneh ini, ia pikir ilmu
silat orang jauh di atas dirinya, tetapi ia justru tidak ingat dalam kalangan
Bu-lim ada tokoh siapakah yang begini lihay dan bermuka seperti dia ini, Selagi
ia hendak menegur, tiba2 ia dengar orang itu sudah buka suara!
"Orang ini terlalu kejam, nak, hayo, kau pukul
dia!" demikian orang itu berkata pada Thia Eng.
Sudah tentu Thia Eng tidak berani menghantam Li Bok-chiu
seperti apa yang diajarkan itu.
"Aku tak berani," ia menjawab dengan mengkeret.
"Kenapa takut ? Hantam saja dia," kata orang
itu lagi.
Akan tetapi Thia Eng masih tetap tak berani Akhirnya
orang itu jadi tak sabar, mendadak ia pegang tengkuk Thia Eng terus dilemparkan
ke tubuh Li Bok-chiu.
Kini Li Bok-chiu tak berani hantam anak dara ini dengan
kebutnya lagi, ia ulur tangan kirinya buat menyambut datangnya tubuh kecil itu,
tetapi baru saja tangannya hampir menyentuh pinggang Thia Eng, se-konyong2
terdengar suara mendesir, sikutnya terasa linu pegal hingga seketika tangannya
tak kuat diangkat
Keruan dengan tepat kepala Thia Eng lantas menumbuk pada
dadanya, bahkan berbareng pula gadis itu menambahi dengan sekali tamparan keras
hingga mengeluarkan suara "plak" pada "pipinya.
Seumur hidup Li Bok-chiu belum pernah dihina sedemikian
ini, tentu saja ia gusar, secepat kilat kebutnya memutar terus menyabet kepala
gadis cilik itu, Akan tetapi kembali terdengar sambaran angin, tangkai kebutnya
kena dibentur sesuatu benda kecil hingga hampir terlepas dari cekalannya.
Kiranya orang aneh tadi telah gunakan pula sebutir batu
kecil dan disentilkan dengan jari dan tepat mengenai gagang kebutnya, sementara
itu Thia Eng ingat Li Bok-chiu telah membunuh A Kin dan pelayan perempuan
dirumahnya, pula nasib paman dan bibinya sampai kini, belum diketahui, tiba2
rasa takutnya tadi berubah menjadi dendam dan murka, tanpa ayal lagi susul
menyusul ia kerjakan kedua tangannya yang kecil dengan cepat, beruntun-runtun
ia persen pipi Li Bok-chiu dengan empat kali tempelengan pula.
Percuma Li Bok-chiu selama ini malang-melintang di
seluruh jagat, tetapi kini telah digenjot anak dara ini sesuka hati tanpa bisa
membalas sedikitpun
Li Bok-chiu pandai berpikir dan juga pintar. menyimpan
perasaan hatinya, ia mengerti keadaan" tidak menguntungkan dirinya, maka
iapun tidak mau tinggal lebih lama, tiba2 ia ketawa ngikik, lalu ia putar tubuh
hendak kabur, Baru beberapa langkah, sekonyong-konyong ia kebaskan lengan
bajunya ke belakang beberapa kali, berbareng itu terlihatnya sinar perak yang
kemilauan, belasan jarum "Peng-pek-gin-tjiam" telah menyamber pada
orang aneh berjubah hijau tadi.
Cara Li Bok-chiu melepaskan Am-gi atau senjata gelapnya
ini, tidak memutar tubuh dulu, juga tanpa menoleh, akan tetapi setiap jarumnya
dengan tepat mengarah tempat yang berbahaya di atas tubuh orang aneh itu.
Orang itu sama sekali tidak menduga akan serangan ini, ia
tidak menyangka senjata rahasia Li Bok-chiu bisa begini keji dan begini lihay,
terpaksa ia enjot kakinya, secepat kilat ia melompat mundur.
Datangnya jarum perak luar biasa cepatnya, namun cara
melompat mundurnya ternyata terlebih cepat lagi, pula sekali lompat ia telah
mundur sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gemerisik, jarum2
perak tadi jatuh semua di depan orang itu.
Li Bok-chiu sendiri sudah mengetahui bahwa serangannya
ini tidak bakal berhasil dengan menghamburkan belasan jarum ini tujuannya hanya
buat desak orang menyingkir saja, karena itu, ketika ia dengar suara lompatan
orang di belakang, kembali ia kebaskan lengan bajunya lagi, dua jarum perak
yang lain menyusul dia arahkan ulu hati Thia Eng.
Sudah dipastikan Li Bok-chiu bahwa kedua jarumnya ini
tidak nanti meleset dari sasarannya, tetapi karena takut orang aneh berjubah
hijau itu menubruk maju dan menghajar padanya, maka tanpa menoleh lagi buat
melihat hasil serangannya itu, segera ia "tancap gas" terus lari
pergi dengan cepat, hanya sekejap saja ia sudah menyeberangi jembatan dan
menghilang di antara hutan yang lebat.
Sementara itu karena serangan mendadak tadi, orang
berbaju hijau itu berseru kaget, ketika ia maju dan membangunkan Thia Eng, ia
lihat dua jarum perak yang rada panjang telah menancap di dada anak dara itu,
tanpa terasa air muka orang aneh ini berubah. Setelah ter-mangu2 sejenak,
segera ia pondong Thia Eng terus lari cepat menuju ke arah barat.
Kembali pada Kwa Tin-ok dan lain2. Mereka menjadi jeri
oleh ketangkasan Li. Bok-chiu yang pergi-datang cepat luar biasa itu, Hanya si
anak muda tadi ternyata bernyali sangat besar.
"Biar aku pergi menolong kedua Moaymoay !"
demikian serunya, Sambil berkata ia" terus mengejar pergi mengikuti
arahnya Li Bok-chiu tadi
Anak muda ini sama sekali tidak kenal jalanan, sesudah
belok sini dan putar sana beberapa kali, akhirnya ia kesasar, terpaksa ia harus
berhenti untuk tanya orang di pinggir jalan.
Meski begitu, sesudah jalan terus secara ngawur, tiba2 ia
dengar dari jauh ada suara teriakan Thia Eng yang me-manggil2: "Piaumoay,
Piaumoay !"
Kedengarannya suara itu berada tidak jauh, tanpa ayal
lagi segera ia percepat langkahnya mengudak ke depan.
sungguhpun anak muda ini baru sekali ini bertemu dengan
Thia Eng dan Liok Bu-siang, akan tetapi dalam hati mudanya tanpa terasa sudah
timbul perasaan suka pada mereka, sudah terang ia tahu lihaynya Li Bok-chiu,
namun ia tetap menguber terus tanpa memikirkan risikonya sendiri.
Setelah ber-lari2 tak lama menurut arah datangnya suara
tadi ia taksir seharusnya sudah sampai di tempat suara Thia. Eng, akan tetapi
aneh, meski ia menengok sana-sini, bayangan kedua anak dara itu sama sekali
tidak tertampak.
Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia lihat di atas
tanah berserakan belasan buah jarum perak yang mengeluarkan sinar mengkilap,
tiap2 jarum itu panjangnya kira2 setengah dim, pada batang jarumnya lapat2
kelihatan terukir kembangan sangat bagus dan menarik.
Karena itu ia jemput sebuah jarum itu dan digenggam pada
tangan kirinya. Tetapi mendadak ia dapatkan sesuatu yang aneh, ia lihat pada
samping jarum2 perak yang berserakan itu ada seekor kelabang besar yang telah
mati dengan perut terbalik ia jadi lebih ketarik oleh kejadian ini, tatkala ia
menunduk dan periksa lebih teliti, ia lihat pula di atas tanah itu terdapat
banyak sekali sebangsa semut, tawon, belalang dan jangkrik, semuanya sudah mati
Tentu saja anak muda ini merasa heran., waktu ia
menyingkap semak-semak rumput bagian lain, sama saja keadaannya, di sekitar
tempat yang terdapat jarum perak itu banyak kutu2 dan serangga2 yang mati,
Tetapi setelah dia menjauh beberapa tindak di sana serangga2
kedapatan masih hidup segar, sebaliknya. ketika ia gunakan jarum yang dia
pegang itu untuk menyentuh serangga2 itu, luar biasa cepatnya, hanya sejenak
saja segera bina-tang2 kecil itu mati kaku, Beberapa kali ia coba dengan
beberapa jenis binatang kecil, keadaan serupa saja.
Akhirnya anak muda ini menjadi girang, ia pikir dengan
jarum perak ini untuk alat perangkap nyamuk dan lalat, hasilnya tentu akan
sangat memuaskan.
Di luar dugaan, sesaat kemudian, mendadak ia merasa
tangan kiri sendiri telah kaku kejang, gerak-geriknya tidak leluasa.
Dasar anak muda ini memang punya kecerdasan otak yang
luar biasa, se-konyong2 ia terkejut dan sadar: "He, jarum perak ini
beracun yang luar biasa jahatnya, sangat berbahaya bila aku memegangnya !"
Karena itu cepat ia buang semua jarum itu, segera ia
lihat telapak tangan sendiri sudah berubah menjadi hitam semua, lebih2 tangan
sebelah kiri, begitu hitam hingga seperti kena tinta, .
Saking takutnya hampir2 saja ia menangis, tangannya
di-gosok2kan pada pahanya dengan kuat, namun pe!ahan2 ia merasa tangannya mulai
kaku kesemutan dan menaik ke bagian lengan, bahkan tangan kiri sudah pegal
sampai di siku.
Sejak kecil anak muda ini sudah biasa berkawan dengan
ular berbisa, ia tahu bahayanya orang terkena racun, karena itu akhirnya ia
menangis sedih.
"Nah, sudah tahu lihaynya bukan, nak ?" tiba2
di belakangnya ada suara teguran orang.
Suara orang ini nyaring, tetapi pecah dan sangat menusuk
telinga, datangnya mendadak hingga se-akan2 timbul dari bawah tanah saja. Maka
dengan cepat si anak muda balik ke belakang.
Tetapi segera ia kaget hingga ternganga, karena apa yang
dia lihat ialah seorang yang berdiri di belakangnya, tetapi cara "berdiri"
orang.
ini aneh sekali bin ajaib, bukannya dia berdiri dengan
kakinya, tetapi dengan kepalanya, jadi kepala yang menyanggah tubuhnya, sedang
kedua kakinya rapat tegak ke atas.
Dalam kagetnya anak muda itu melompat mundur beberapa
tindak.
"Kau... kau ini siapa ?" serunya kemudian
dengan tak lancar.
Tetapi aneh, entah cara bagaimana gerakanmu tahu2 orang
itu telah enjot tubuhnya maju tiga kaki dan dengan tepat turun di depan si anak
muda.
"Aku... aku ini siapa ? - Ha, jika aku tahu siapa
aku ini tentu akan baik sekali," demikian sahutnya.
Keruan anak muda itu semakin ketakutan oleh kelakuan
orang, tanpa pikir lagi segera ia angkat kaki dan lari kesetanan cepatnya,
namun ia dengar di belakangnya selalu diikuti dengan suara
"tok-tok-tok" yang keras, ketika ia menoleh, tanpa terasa arwah
hampir terbang dari raganya si-king kagetnya. Kiranya orangku dh. menggunakan
kepala sebagai kaki, dengan menjungkir tubuhnya me-lompat2 dengan kecepatan
yang tiada bandingannya, jarak jauhnya selalu tidak lebih dari be berapa kaki
saja di belakangnya.
Tentu saja ia berlari semakin kencang dan mati-matian.
Akan tetapi tiba2 ia dengar menderunya angin, tahu2 orang aneh itu sudah
melompat lewat di atas kepalanya dan turun di hadapan-nya.
"Mak !" dalam takutnya anak muda itu sampai
berteriak memanggil ibu.
Segera ia putar tubuh hendak lari ke jurusan lain, tetapi
percuma saja, tidak perduli kemana ia berlari, orang aneh itu selalu dengan
kecepatan luar biasa tahu2 sudah melompat lewat dan turun! di depannya. Percuma
saja ia mempunyai sepasang kaki, sebab ternyata tidak bisa lebih cepat dari
pada orang yang berlari pakai kepala.
Kemudian ia mendapat akal, ia sengaja berputar dan
be.r-ganti2 beberapa arah, ia tunggu orang aneh itu makin dekat, lalu mendadak
ia ulur tangan hendak mendorong orang, Tak terduga, lengannya ternyata sudah
kaku dan tidak, mau turut perintah lagi, keringatnya gemerobyos," ia
menjadi bingung dan kehabisan akal, akhirnya ia merasakan kedua kakinya menjadi
lemas dan jatuh terduduk.
"Semakin kau lari kian kemari, racun di tubuhmu
semakin cepat pula kerjanya," demikian ia dengar orang aneh itu berkata.
Seperti orang yang dapat rejeki dan mendadak menjadi
pintar sendiri, segera anak muda itu bertekuk lutut ke hadapan orang sambil
berseru: "Mohon Lo-kongkong (kakek) menolong jiwaku !"
Di luar dugaan, orang aneh itu hanya geleng2 kepala.
"Susah ditolong, susah ditolong !" demikian ia
menjawab.
Karena ia gunakan kepala untuk menahan tubuhnya, maka
sekali menggeleng kepala, otomatis tubuhnya ikut menggeleng juga hingga
bergoncang.
"Kepandaianmu begini tinggi, kau pasti bisa menolong
aku," kata anak muda itu pula.
Rupanya kata2 umpakan ini membikin orang aneh itu menjadi
senang sekali Karena itu, ia tersenyum.
"Darimana kau tahu kepandaianku tinggi ?" ia
tanya,
Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus
dan tampaknya umpakannya membawa hasil segera anak muda itu mengikuti arah
angin, lekas ia tambahi pula pujian2nya.
"Ya, mengapa tidak tahu! Dengan jungkir-balik begini
saja bisa berlari secepat ini, di kolong langit terang tiada orang kedua lagi
yang bisa melebihi kau."
Kata umpakan terakhir ini sebenarnya terlalu berlebihan
dan diucapkan semaunya saja, siapa duga kata2 "di kolong langit ini tiada
orang kedua lagi yang melebihi kau" dengan tepat justru kena betul. di
lubuk hati orang aneh itu, Maka terdengarlah suara ketawanya yang ter-bahak2.
"Baliki tubuhmu, biar aku pandang kau,"
demikian ia berteriak kemudian.
Anak muda itu pikir: "Betul juga, aku berdiri tegak
dan orang ini berjungkir-balik, memang benar tidak bisa terang melihatnya, dia
tidak mau berdiri cara biasa, tiada jalan lain kecuali aku yang harus ikut
menjungkir."
Tanpa berkata lagi ia lantas menjungkir tubuhnya, ia
sanggah tubuhnya dengan kepala, tangan kanannya yang masih punya daya- rasa ia
gunakan pula buat menahan.
Sementara sesudah orang aneh itu mengamat-amati dia
beberapa lama, wajahnya tampak mengunjuk ragu dan sedang pikir2.
Kini setelah anak muda itu ikut menjungkir, maka iapun
bisa melihat jelas muka orang, ia lihat orang aneh ini berhidung besar, matanya
mendelong dalam, mukanya penuh bulu, berbeda sekali dengan manusia2 biasa, ia
dengar pula orang itu kemat-kemit menggumam sendiri, ia tidak paham bahasa aneh
apa yang diucapkan itu karena sukar didengar.
"Kongkong yang baik, tolonglah diriku,"
demikian ia memohon pula,
Dipihak lain, demi melihat anak muda ini bermuka cakap,
cara bicaranya pun membawa semacam daya tarik yang sukar ditolak orang, hati
orang aneh itu menjadi girang,
"Baik, tidak susah buat tolong kau, tetapi kau harus
terima suatu permintaanku." sahutnya kemudian.
"Apa yang kau katakan pasti akan ku turut,"
kata si anak muda, "Permintaan apakah yang harus ku penuhi, katakanlah,
Kongkong!"
"Haha, justru aku ingin kau terima permintaanku
itu," sahut orang aneh itu dengan tertawa lebar. "Ialah segala apa
yang kukatakan, kau harus menurut."
Mendengar syarat ini, mau-tak-mau anak muda ini berpikir,
ia menjadi ragu2. "Harus menurut semua apa yang dikatakannya ? Kalau dia
suruh aku menjadi anjing dan makan kotoran, apa harus aku turuti juga ?"
Dalam pada itu demi nampak anak ini ragu2, orang aneh itu
menjadi gusar.
"Baiklah, biar kau mati saja !" teriaknya
segera, Habis ini sekali lehernya mengkeret dan menonjol lagi, tiba2 tubuhnya
telah mencelat pergi sejauh beberapa kaki.
Karena kuatir ditinggal pergi orang, untuk mengubernya
dan memohon pertolongannya tidak mungkin ia menirukan cara jalan dengan
berjungkir maka dengan cepat anak muda itu berjumpalitan dan berdiri kembali,
segera pula ia angkat kaki memburu.
"Kongkong, Kongkong!" ia ber-teriak2,
"baiklah, aku berjanji apa saja yang kau-katakan, pasti akan ku turut
semua."
Mendengar syaratnya diterima, mendadak orang aneh itu
berhenti dan putar balik, "Baik, "tetapi kau harus bersumpah
dahulu," katanya.
Tatkala itu si anak muda merasa kaku pegal di tangannya
telah menanjak sampai di pundaknya, ia insyaf apabila sampai rasa kaku itu
merembes sampai di dada, maka jiwanya pasti akan melayang, maka terpaksa ia
menurut dan sumpah.
"Baiklah, aku bersumpah, jika Kongkong menolong
jiwaku dan membersihkan semua racun di tubuhku, pasti aku akan menurut semua
"kata'2 mu. Apabila aku membantah, biarlah racun jahat itu balik kembali
pada tubuhku."
Pembawaan anak muda ini memang licin, maka sewaktu ia
mengucapkan sumpahnya, dalam hati ia berpikir: "Asal selanjutnya aku tidak
menyentuh jarum perak itu lagi, cara bagaimana racun itu bisa balik kembali di
tubuhku ? Entah orang aneh ini mau terima tidak sumpahku ini ?"
Ketika ia lirik orang, ternyata muka orang aneh itu mengunjuk
rasa senang, suatu tanda merasa puas atas sumpahnya tadi Kemudian nampak ia
manggut2, habis ini mendadak ia berjumpalitan bangun, lengan anak muda itu dia
pegang dan dengan kuat ia pijat2 dan di-urut2 beberapa kali.
"Bagus, bagus, kau adalah anak baik", demikian
ia berkata.
Karena dipijat dan diurut itu, segera si anak muda merasa
lengannya menjadi berkurang rasa pegal kakunya:
"Kongkong, pijatlah beberapa kali lagi!"
pintanya pula.
Tiba2 orang aneh itu mengkerut kening demi mendengar
panggilannya ini.
"Jangan kau panggil aku Kongkong (kakek), tetapi
harus panggil ayah !" demikian ia membetulkan.
"Tidak, ayahku sudah mati, aku tak punya ayah,"
sahut si anak muda.
Jawaban ini membikin orang aneh itu menjadi gusar:
"Kurang ajar, baru pertama kali aku berkata kau
sudah membantah, guna apa lagi mempunyai anak semacam kau ini ?" bentaknya
segera.
"O, kiranya dia hendak terima aku sebagai
anak," pikir anak muda itu.
Oleh karena sejak kecil ia tak punya bapak, maka ia
sangat iri apabila melihat anak lain mendapat kasih sayang ayah, ia menjadi
pingin mempunyai ayah pula, tapi melihat kelakuan orang aneh yang berlainan
dengan orang biasa ini dan seperti orang gila, maka kini berbalik ia tidak sudi
mengaku ayah padanya.
"Kau tak mau panggil aku sebagai ayah ?" bentak
orang aneh itu lagi "Baiklah ! hm, orang lain hendak panggil ayah padaku,
belum tentu aku mau terima."
Namun anak muda itu masih tetap tidak mau memanggil,
bahkan mulutnya menjengkit tanda mencemoohkan, iapun tidak gubris kata2 orang
lagi, hanya dalam, hati ia sedang berpikir cara bagaimana supaya dapat
mengakali orang agar mau menyembuhkan racun di badannya.
Dalam pada itu terdengar orang aneh itu komat-kamit entah
apa yang dikatakan, berbareng bertindak pergi pula dengan cepat
Keruan si anak muda menjadi gugup,
""Ayah, ayah!" terpaksa ia berseru
memanggil "Hendak kemana, ayah ?"
Mendengar panggilan itu, orang aneh itu tertawa ngakak
senang: "Hahaha, anakku sayang, marilah kuajarkan kau cara melenyapkan
hawa racun di dalam tubuhmu."
Dengan cepat anak muda itu mendekati.
""Racun yang kena dirimu itu adalah racun jarum
Peng-pek-gin-ciam milik Li Bok-chiu, di jagat ini melulu dua orang saja yang
mampu menyembuhkannya," "demikian kata si orang aneh pula,
""Yang seorang ialah Hwesio tua, tetapi untuk menolong kau ia harus
mengorbankan jerih-payah latihannya selama beberapa tahun, Dan seorang lagi
ialah ayahmu ini." "
Lalu ia ajarkan kunci ilmu penyembuhannya dengan lisan,
anak muda itu disuruh menurut ajarannya itu untuk mengatur napas, Cara ini
adalah cara bernapas yang terbalik dan harus dilakukan terbalik pula orangnya,
yakni dengan berjungkir kepala di bawah dan kaki di atas, supaya hawa dan darah
berjalan bertentangan arahnya, dengan demikian hawa racun itu lantas terdesak
kembali dan keluar dari tempat masuk semula.
Tetapi karena baru belajar dan mulai berlatih, setiap
hari hanya sedikit saja racun itu bisa didesak keluar, sedikitnya harus lebih
sebulan baru bisa dikuras semua hawa berbisa itu.
Setelah orang aneh itu ajarkan cara2 melakukannya, si
anak muda ternyata sangat pintar, sekali tunjuk saja ia sudah paham, begitu
dengar sudah teringat baik2. Oleh karena itu ia lantas kerjakan menurut cara
yang diajarkan itu. Betul juga rasa kaku pegal tadi lambat laun mulai berkurang
ia atur jalan napasnya sejenak pula, akhirnya dari ujung jari kedua tangannya
mengucurkan beberapa tetes air hitam.
"Nah, cukuplah sudah, hari ini tidak perlu berlatih
lagi, biarlah besok kuajarkan cara baru padamu, "ujar orang aneh itu
dengan girang demi nampak menetesnya air hitam, "Marilah, sekarang kita
pergi !"
"Pergi ke mana ?" tanya anak itu dengan
bingung.
"Kau adalah anakku, kemana saja sang ayah pergi,
dengan sendirinya kau ikut ke sana," sahut si orang aneh.
Sebelum anak itu menjawab, saat itu juga tiba-tiba
terdengar beberapa kali suara mencicitnya burung, menyusul tertampak sepasang
burung rajawali melayang lewat di angkasa dan disusul pula dengan suara seruan
orang yang nyaring-keras yang sayup2 berkumandang dari jauh.
Seketika air muka orang aneh itu berubah demi mendadak
mendengar suara tadi.
"Tidak, aku tidak mau bertemu dengan dia, tak mau
bertemu dia !" se-konyong2 ia berteriak, berbareng itu iapun melangkah
pergi dengan cepat.
Langkahnya begitu cepat hingga dalam beberapa tindak saja
orang aneh itu sudah menghilang dibalik lereng gunung sana,
Keruan si anak muda tadi yang kelabakan "Ayah,
ayah!" ia ber-teriak2 sambil menguber.
Akan tetapi baru saja ia melewati satu pohon Yang-liu
besar, tiba2 ia dengar samberan angin dari belakang, begitu keras angin itu
hingga kulit kepalanya terasa sakit, menyusul ini pandangannya menjadi gelap
se-akan2 tertutup selapis awan tebal. Kiranya kedua burung rajawali tadi telah
melayang dari belakang dan turun didepaknya.
Pada saat yang sama itu dari belakang pohon muncul
seorang laki2 dan seorang perempuan, kedua rajawali itu menghinggap di pundak
kedua orang itu sambil bercuat-cuit seperti sedang melaporkan sesuatu.
Laki2 itu bermata besar dan beralis tebal, dadanya lebar
dan punggungnya tegak, umurnya antara 3435 tahun, di atas bibirnya terpelihara
kumis tebal, wajahnya sedikitpun tidak menunjukkan perasaannya. Sedang yang
wanita usianya 30 tahunan, meski sudah setengah umur, tetapi diantara
mata-alisnya masih jelas kelihatan sifat aleman yang menarik dan seperti masih
polos,
dengan tangannya ia sedang mengelus sayap burung rajawali
dengan rasa sayang,
""Menurut pendapatmu, anak ini mirip
siapa?" tiba2 wanita itu berkata pada lelaki disampingnya sesudah
mengamat-amati si anak beberapa kali.
Akan tetapi lelaki itu ternyata tidak menjawab,
sebaliknya ia berkata ke jurusan lain; "Kenapa Tiao-ji (si rajawali) bisa
berada di sini ? jangan2 di atas pulau telah terjadi sesuatu ?"
Kiranya kedua orang ini ialah Kwe Ceng dan Ui Yong
suami-isteri, mereka telah keluar pulau buat mencari Ui Yok-su, tetapi meski
sudah mereka jelajahi antero kota2 di daerah Kanglam, belum juga mereka
ketemukan jejak ayah dan ayah mertua mereka itu.
Ui Yong kenal watak ayahnya yang suka pada keindahan alam
daerah Kanglam, apabila orang tua ini sampai mencari tempat tirakat lain, maka
bisa dipastikan tidak akan melintasi utara sungai Tiangkang dan tentu pula
tidak lebih selatan dari Sian-he-nia.
Kebetulan hari itu mereka berdua sampai di kota kecil
Ling-oh dari kabupaten Oh-tjiu-hu, di sini tiba2 mereka melihat ada mengepulnya
asap dan berkobarnya api yang meninggi ke langit Mereka dengar pula orang udik
pada berteriak. ""He. Liok-keh-ceng kebakaran!"
Mendengar nama pedesaan yang disebut itu, hali Kwe Ceng
tertarik, ia ingat bahwa di daerah Ling-oh ini terdapat seorang Liok Tian-goan,
Liok-loeng-hiong, walaupun selama ini belum pernah bertemu, tapi sudah lama ia
kagumi nama orang
yang tersohor Ketika ia menanyakan, betul juga apa yang
dikatakan orang udik tadi adalah rumah kediaman Liok Tian-goan.
Mereka berdua buru2 menuju ke tempat kebakaran, setiba di
sana, perumahan2 yang terbakar itu sudah menjadi puing, hanya di antara sisa2
gundukan api terdapat beberapa mayat yang sudah hangus dengan bau yang sangit
busuk.
"Engkoh Ceng, kukira dalam kejadian ini terdapat
sesuatu yang aneh?" demikian kata Ui Yong pada sang suami.
"Kenapa ?" tanya Kwe Ceng.
"Ya, ingat saja itu Liok Tian-goan adalah seorang
Enghiong yang namanya gilang-gemilang. kabarnya sang isteri Ho Wan-kun juga
seorang pendekar wanita pada jaman ini, kalau hanya kebakaran biasa saja,
mustahil tiada seorangpun keluarganya tak bisa menyelamatkan diri? Aku menduga
tentu musuhnya yang tangguh telah datang menuntut balas padanya!" demikian
pendapat Ui Yong.
Kwe Ceng pikir betul juga pendapat isteri nya ini, ia
adalah golongan manusia yang berbudi luhur dan suka menolong, meski kini usiamu
sudah menanjak, pengalamannya pun banyak bertambah, namun hatinya yang bajik
dan mulia itu sedikitpun tidak berkurang daripada waktu mudanya.
Oleh karenanya segera ia menyatakan akur.
""Betul pendapatmu marilah kita periksa, coba lihat siapakah
musuhnya, kenapa turun tangan secara begini keji ?"
Dan setelah mereka berdua mengitar sekali perkampungan
yang terbakar itu, sedikitpun tiada tanda2 mencurigakan yang mereka dapat,
Tetapi mata Ui Yong yang jeli tiba2 tertarik pada sesuatu, se-konyong2 ia
berteriak sambil menuding pada dinding rumah yang tinggal separuh itu.
"Lihat, apakah itu ?" serunya.
Kwe Ceng memandang ke arah yang ditunjuk, tertampaklah di
atas dinding itu terdapat bekas lima cap tangan, karena habis tergarang asap,
maka cap tangan itu kelihatan bertambah seram.
Seperti diketahui, cap tangan yang berada di dinding itu
semuanya ada sembilan buah, tetapi karena dinding temboknya sudah ambruk separoh,
maka yang masih ketinggalan hanya lima buah.
Kwe Ceng kaget ketika mengenali tanda telapak tangan itu.
"Jik-lian Sian-cu !" tanpa terasa ia menyebut
nama orang.
"Ya, betul dia," ujar Ui Yong, "Sudah lama
kita dengar bahwa Jik-lian Sian-cu Li Bok-Chiu dari Hunlam memiliki ilmu silat
yang maha hebat, caranya pun sangat keji tiada taranya dan tidak kalah dengan
Se-tok Auyang IJong dahulu, jika dia berani menginjak Kanglam sini, kita boleh
coba2 ukur tenaga padanya."
"Ya, tetapi iblis ini sangat ulet? dan tidak gampang
dilawan" sahut Kwe Ceng memanggut. "Paling baik kalau kita bisa
ketemukan Gakhu (mertua)"
"He, semakin berumur, nyalimu jadi semakin
kecil!" goda Ui Yong dengan tertawa.
"Memang," sahut Kwe Ceng." Kalau ingat
dahulu, tanpa mengenal tingginya langit dan tebalnya bumi, kita berani naik ke
Hoa-san untuk berebut gelar jago silat nomor satu dikolong langit ini, jika
seperti aku sekarang ini, sekalipun aku digotong kesana dengan joli delapan
orang, pasti aku tidak berani pergi"
"Huuh ? Harus digotong pakai joli segala!" goda
sang isteri.
Begitulah sambil besenda-gurau, tapi dalam hati mereka
diam2 berlaku waspada, mereka terus periksa, akhirnya di tepi sebuah kolam
mereka melihat dua buah jarum Peng-pek-gin-ciam yang be-racun. Ujung sebuah
jarum diantaranya terendam air, karena itu, beberapa ratus ikan piaraan yang
berada dalam kolam itu sama mati dengan perut terbalik ke atas, suatu tanda
betapa jahat racun yang terdapat pada jarum itu.
Ui Yong melelet lidahnya, dari buntalannya ia keluarkan
sepotong baju, ia lempit beberapa kali, dengan dialingi kain baju ini ia jemput
jarum perak itu, ia bungkus baik2 dan dimasukkan ke dalam kantong rangsalnya.
Habis ini mereka berdua tidak bicara lagi melainkan
percepat memeriksa dan mencari jejak orang pula, akhirnya di belakang pohon Liu
tadi mereka dapatkan sepasang burung rajawali dan ketemu pula si anak tanggung
itu.
Dari rajawali yang menclok di atas pundak mereka, tiba2
Ui Yong mencium bau yang aneh, berapa kali ia sedot, segera dadanya menjadi
sesak dan rasanya menjadi nek.
Kwe Ceng pun mencium bau busuk itu, bau itu seperti
datang dari tempat yang sangat dekat dengan hidungnya, waktu ia men-cari2 dari
mana datangnya bau busuk itu, tiba2 ia melihat pada kaki kedua burungnya
terdapat luka lecet, waktu ia dekatkan hidungnya, betul saja bau busuk itu
datangnya dari luka ini.
Suami-isteri ini terkejut, lekas2 mereka periksa luka
burung2 itu dengan teliti, meski luka itu sebenarnya hanya lecet kulit saja,
tetapi sudah menimbulkan bengkak, pula sebagian kulit daging kakinya sudah
mulai busuk.
"luka apakah ini, kenapa begini lihay?"
demikian Kwe Ceng berpikir sambil menunduk Tiba2 pula ia lihat tangan kiri si
anak muda tadi telah berubah menjadi hitam semua, keruan ia kaget pula.
"Kaupun terkena racun ini ?" serunya kuatir.
Dengan cepat Ui Yong mendekati anak muda itu ia angkat
tangannya dan diperiksa, habis ini cepat2 ia gulung lengan bajunya, ia
keluarkan pula sebuah pisau kecil, dengan senjata ini ia sayat tangan orang
sebelah bawah, lalu dengan kuat ia pencet agar darah yang berbisa mengalir
keluar.
Akan tetapi ia menjadi heran sekali ketika melihat darah
yang menetes keluar dari tangan anak muda itu ternyata berwarna merah segar, padahal
telapak tangannya je!as2 sudah berubah hitam seluruhnya, dan kenapa darah yang
mengucur keluar tidak beracun ?
Nyata ia tidak tahu bahwa setelah si anak muda
mendapatkan ilmu ajaib ajaran orang aneh
yang suka menjungkir itu, kini darah berbisa dalam
tubuhnya sudah didesak ke ujung jaring dan untuk sementara tidak akan menjalar
Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ui Yong keluarkan sebutir
pil "Kiu-hoa-giok-lo-wan", obat pil yang terbuat dari sari sembilan
macam bunga2 an.
"Kunyah dan telan ini," katanya sambil
memberikan pil itu pada si anak
Anak muda itu tidak menolak, ia terima pemberian pil itu
terus masukkan ke dalam mulut, rasanya manis dan harum.
Lalu Ui Yong keluarkan pula empat pil dan dibagikan
kepada kedua burung rajawalinya yang terluka itu.
Sesudah memikir sebentar, mendadak Kwe Ceng bersiul
panjang, Suara siulan ini berkumandang jauh sekali, begitu keras suaranya
hingga menggema lembah pegunungan sampai dahan pohon Liu yang menjulur ikut tergoncang,
Dalam pada itu belum lenyap suara siulan pertama,
menyusul Kwe Ceng menggembor dengan suaranya yang keras, begitu hebat suara
teriakan itu susul menyusul hingga bikin seluruh lembah gunung penuh dengan
suara sahut-menyahut yang menggelegar
Karena teriakan ini sama sekali di luar dugaan, si anak
muda tadi dibikin kaget, tanpa tertahan air mukanya berubah hebat karena belum
pernah mendengar suara yang luar biasa ini.
Sebaliknya Ui Yong mengerti maksud tujuan sang suami, ia
tahu dengan suara itu suaminya bermaksud menantang tanding pada Li Bok-chiu.
Ketika pekikan ketiga sang suami dilontarkan, segera pula ia kumpulkan tenaga
dan menyusuli dengan teriakannya.
Kalau suara pekikan Kwe Ceng agak rendah tetapi kuat,
maka suara Ui Yong sebaliknya tinggi tetapi nyaring sekali, perpaduan suara
yang hebat ini makin lama semakin jauh dan semakin keras, susul menyusul tiada
putusnya, se-akan2 satu sama lain tidak ingin ketinggalan.
Kiranya Kwe Ceng dan Ui Yong sudah berlatih diri di
Tho-hoa-to dengan giat, tenaga dalam mereka sudah terlatih sampai puncaknya
kesempurnaan, dengan suara pekikan yang berkumandang jauh ini, orang2 yang
berada dalam jarak belasan li sama terkejut dan ter-heran2 tidak mengerti suara
aneh ini datang dari mana.
Sementara itu suara pekikan hebat ini telah didengar oleh
beberapa orang tertentu. Orang aneh yang suka menjungkir itu telah "tancap
gas" mempercepat larinya demi mendengarnya.
Sebaliknya orang aneh berjubah hijau yang pondong Thia
Eng itu ketawa waktu dengar suara "Haha, mereka telah datang juga, aku
harus menyingkir jauh, supaya tidak banyak rewel."
Dalam pada itu Li Bok-chiu dengan mengempit Liok Bu-siang
sedang lari dengan cepatnya, ketika mendadak dengar suara siulan pertama,
se-konyong2 ia berhenti, ia ayun kebutnya dan memutar tubuh, "Hm, nama
Kwe-tayhiap menggoncangkan Bu-lim, aku justru ingin membuktikannya apakah
namanya bukan bikinan belaka," demikian katanya dengan ketawa dingin.
Tetapi tiba2 pula diantara suara pekikan panjang tadi
diseling pula dengan suara siulan nyaring yang menimpali suara yang duluan
hingga menambah keangkeran suara2 itu.
Hati li Bok-chiu menjadi jeri, teringat olehnya Kwe Ceng
dan Ui Yong suami-isteri selama berkelana selalu berdampingan dan bahu-membahu,
sebaliknya dirinya hanya sebatang-kara, seketika perasaannya menjadi hampa dan
putus asa, ia menghela napas panjang, habis ini dengan mencengkeram punggung
Liok Bu-siang terus bertindak pergi.
Pada kala itu Bu-sam-nio sedang memayang sang suami yang
terluka dan membawa kedua puteranya pergi jauh setelah berpisah dengan Kwa
Tin-ok.
Setelah mengalami pertarungan sengit tadi, kuatir kalau
Li Bok-chiu balik kembali buat mencelakai Kwe Hu, maka lekas2 Kwa Tin-ok bawa
lari dara cilik ini dengan maksud mencari satu tempat untuk bersembunyi, tetapi
ia keburu mendengar suara siulan Kwe Ceng dan Ui Yong yang keras itu, maka
hatinya menjadi girang.
"He, ayah, ibu !" Kwe Hu berseru juga ketika
mengenali suara orang tuanya.
Habis ini segera ia angkat kaki terus lari menuju kearah
datangnya suara, Tetapi tiba2 ia berpikir pula: "Aku telah ngeluyur
keluar, tentu nanti akan didamperat ayah, bagaimana baiknya ini ?"
Dalam bingungnya ia tarik2 lengan baju Kwa Tin-ok, ia coba
membujuk orang tua ini: "Kong-kong, nanti kalau bertemu dengan ayah,
katakanlah kau yang bawa aku keluar buat memain, ya?" demikian ia memohon.
"Tidak, aku tidak mau berbohong untuk kau!"
sahut Kwa Tin-ok dengan menggeleng kepala.
Tetapi Kwe Hu tidak kurang akal, tiba2 ia meloncat dan
merangkul leher si orang tua, dengan kata2 halus ia membujuk . lagi:
"Kongkong, sayanglah padaku sekali ini, seterusnya aku tak akan nakal
lagi."
Namun masih tetap Kwa Tin-ok geleng2 kepala.
"Baiklah, biar aku minggat pergi," teriak Kwe
Hu tiba2 sambil lompat turun dari rang-kula.nnya. "Selamanya aku tak akan
menjumpai kau lagi, juga tidak akan menemui ayah-bunda."
Mendengar kata2 ini, Tin-ok menjadi kaget dan kuatir, ia
kenal watak dara cilik ini berani berkata berani berbuat pula, sedang dirinya
buta, kalau sampai sikecil ini pergi, maka susah lagi untuk mencarinya.
"Baik, baik, kululuskan keinginanmu," terpaksa
ia menyerah.
Kwe Hu ketawa senang dengan kemenangannya ini.
"Memang aku sudah tahu kau bakal meluluskan, tidak
nanti kau tega membiarkan aku diomeli ayah dan ibu," kata si nakal ini.
Maka dua sejoli, satu tua dan satu bocah ini lantas
berlari ke tempat beradanya Kwe Ceng dan isteri sesudah dekat, dengan
serta-merta Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pelukan ibunya dengan laku aleman.
"Bu, Kongkong yang membawa aku ke sini mencari
kalian, kau tentu senang bukan?" demikian si nakal ini berkata pada sang
ibu.
Akan tetapi Ui Yong yang kepintarannya tiada ban
dingannya itu, hanya sedikit permainan sandiwara sang puteri ini mana bisa
mengelabui dia, cuma bisa bertemu anaknya di sini, sebenarnya ia memang juga
senang, maka ia hanya tertawa saja, lalu bersama sang suami mereka menjalankan
penghormatan pada Kwa Tin-ok dan tanyakan kesehatan si orang tua.
Kwe Hu masih kuatir kalau disemprot ayahnya, maka sesudah
menyapa sekali, lantas ia tarik tangan si anak muda tadi menyingkir pergi.
"Pergilah kau memetik bunga, buatkan lah mahkota
bunga untukku" demikian pintanya.
Pemuda itu tidak menolak, ia ikut pergi bersama,
perawakan Kwe Hu ternyata jauh lebih pendek, tingginya hanya sedada orang, maka
dengan gampang saja ia dapat melihat telapak tangan pemuda itu yang hitam,
mendadak sontak ia kipatkan tangan orang yang tadinya dia gandeng.
"Hiiii, tanganmu kotor, tak mau aku bermain dengan
kau," demikian ia meng-olok2.
Watak pemuda itu ternyata tidak gampang mengalah, iapun
tinggi hati, maka kontan ia jawab dengan ketus: "Siapa pingin bermain
dengan kau?"
Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas bertindak
pergi sendiri
"Eh, eh, saudara cilik, jangan pergi dulu, sisa
racun dalam tubuhmu masih belum hilang seluruhnya, kalau sampai kambuh pasti
akan luar biasa lihaynya," seru Kwe Ceng ketika melihat si anak muda ini
hendak pergi.
Anak itu paling benci kalau orang katai dia jelek, oleh
karena itu, olok2 Kwe Hu tadi telah menusuk perasaannya, maka dengan tegang
leher ia masih jalan terus tanpa gubris teriakan Kwe Ceng,
Tabiat Kwe Ceng memang welas-asih, maka buru2 ia
menguber.
"Cara bagaimanakah kau terkena racun ?"
demikian ia menanya pula, "Marilah kami sembuhkan kau dulu."
"Aku toh tidak kenal kau, perduli apa dengan
kau?" sahut anak muda itu dengan ketus. Berbareng ia percepat langkahnya
dan bermaksud menerobos lewat disamping Kwe Ceng.
Sekilas Kwe Ceng dapat melihat wajah si anak muda yang
menunjukkan rasa marah ini, diantara mata-alis-nya tertampak sangat mirip
seseorang, tiba2 hatinya tergerak.
"Eh, saudara cilik, kau she apa?" segera ia
tanya.
Namun pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia melolototi
orang, lalu tubuhnya sedikit miring dengan maksud hendak menerobos lewat, Di
luar dugaan secepat kilat Kwe Ceng sudah mencekal sebelah tangannya.
Dalam kagetnya si anak muda itupun menjadi gusar, ia
me-ronta2 beberapa kali, sesudah tak berhasil mendadak ia angkat tangan kirinya
terus menggenjot perut Kwe Ceng.
Kwe Ceng tidak urus pukulan ini, ia membiarkan perutnya
kena dihantam dengan tersenyum saja.
Ketika anak muda itu bermaksud menghantam lagi, tahu2
kepalannya ambles di-tengah2 perut orang, bagaimanapun juga meski ia tarik2
tetap tak bisa melepaskan diri, ia tidak putus asa, masih terus ia tarik2,
saking keras ia keluarkan tenaga hingga mukanya merah padam, tetapi tangannya
seperti melengket saja diperut Kwe Ceng, sebaliknya ia rasakan lengan sendiri
kesakitan karena di-betot2.
"Nah, beritahu padaku kau she apa dan segera ku
lepaskan kau," dengan tertawa Kwe Ceng tanya lagi.
Namun si anak muda memang sangat kepala batu, ia pikir
tidak nanti aku mau omong, jika mau, akan kusebutkan she palsu dan nama bikinan
saja, oleh karenanya ia lantas menjawab: "Aku she Cin dan bernama Coa-ji,
sianak ular, Lekas lepaskan aku."
Di lain pihak demi mendengar nama orang ini, Kwe Ceng
merasa kecewa, ia lantas kendorkan tenaga: perutnya yang menyedot kepalan
pemuda itu.
Sesudah tangannya terlepas, pemuda itu pandang Kwe Ceng
dengan luar biasa kagumnya atas kepandaian orang tadi.
Di sebelah sana Kwe Hu sedang asyik menceritakan
pengalaman selama berpisah dengan ibunya, akhirnya ia ceritakan tentang bagaimana
sepasang rajawalinya berkelahi dengan seorang wanita jahat, lalu datang seekor
burung merah kecil telah membantu rajawali2nya.
Mendengar "burung merah kecil" itu, Ui Yong
jadi ketarik sekali..
"Apa burung merah kecil itu Koko (kakak) inikah yang
membawanya datang ?" ia tanya dengan cepat.
"Ya," sahut Kwe Hu, "Burung merah kecil
itu menotol biji wanita jahat itu hingga buta, cuma sayang burung itupun kena
digaplok mati oleh dia."
Mendengar penuturan ini, Ui Yong tidak ragu2 lagi, segera
ia melompat maju dan memegang pundak si anak muda tadi dengan kedua tangannya,
dengan tajam ia pandang orang,
"Kau she Nyo bernama Ko, ibumu yang she Cin, ya
bukan ?" demikian ia menegas sekata demi sekata.
Pemuda ini memang benar she Nyo dan bernama Ko, Ketika
mendadak nama aslinya disebut Ui Yong, darah di rongga dadanya menaik ke atas
hingga hawa racun ditangannya se-konyong2 menjalar kembali, ia merasa kepala
puyeng dan pikiran menjadi butek, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dalam kejutnya lekas2 Ui Yong memegang tubuh orang supaya
tidak sampai roboh.
"Dia... dia kiranya putera adikku Nyo Khong."
kata Kwe Ceng terkejut bercampur girang.
Sementara itu kelihatan Ui Yong mengkerut alis, ia lihat
racun menjalar terlalu hebat di tubuh Nyo Ko, ia kuatir, karena sesungguhnya ia
sendiri tidak punya sesuatu pegangan untuk menyembuhkan orang.
"Marilah kita cari tempat pondokan dulu, kemudian
kita cari pula beberapa racikan obat," ajaknya kemudian dengan suara
terharu.
Kwe Ceng lantas pondong Nyo Ko, bersama Kwa Tm-ok, Ui
Yong dan si nakal Kwe Hu serta membawa pula sepasang burung Tiao mereka mencari
hotel di-kota, bahan obat yang mereka perlukan ternyata sukar dicari, meski
sudah dikumpulkan akhirnya masih kurang juga empat macam.
Melihat keadaan Nyo Ko yang masih tak sadar, Kwe Ceng
merasa sedih dan kuatir sekali, sampai Ui Yong beberapa kali memanggilnya
ternyata tidak di dengarnya.
Ui Yong cukup mengerti perasaan hati sang suami waktu
itu, sejak terbinasanya Nyo Khong (tentang lelakon Kwe Ceng, Ui Yong dan
hubungannya dengan Nyo Khong akan diceritakan tersendiri) pikirannya selalu
sedih dan menyesal maka dengan sendirinya luar biasa girangnya kini demi bisa
ketemukan anak keturunan saudara angkatnya itu, tetapi anak ini justeru terkena
racun dan belum bisa diketahui bakal mati atau hidup.
"Ceng-koko, marilah kita coba keluar mencari
pelengkapnya obat," ia mengajak.
Kwe Ceng sendiri mengerti juga sifat2 Ui Yong, ia tahu
bila ada sedikit harapan bisa mengobati, pasti sang isteri sudah menghibur
padanya, kini nampak wajah isterinya sangat prihatin, hatinya semakin tak
tenteram. Segera ia pesan Kwe Hu jangan sembarangan ngeloyor pergi, lalu mereka
suami-isteri keluar buat mencari obat2an.
Dalam pingsannya Nyo Ko masih terus tertidur, meski hari
sudah gelap masih belum juga sadar.
Beberapa kali Kwa Tin-ok masuk kamar memeriksanya, namun
orang tua inipun tak berdaya, iapun kuatir kalau si nakal Kwe Hu ngeluyur
pergi, maka tiada hentinya ia bujuk dara cilik ini lekas tidur.
Dalam keadaan remang2 entah sudah lewat berapa lama,
tiba2 Nyo Ko merasa ada orang me-mijat2 dan meng-urut2 dadanya, karena itu
pelahan2 pikirannya jernih kembali, waktu ia buka matanya, ia lihat dalam
kegelapan ada berkelebat satu bayangan entah apa meloncat keluar jendela dengan
cepat.
Nyo Ko paksakan diri buat berdiri meski rasanya masih
lemas, ia coba melongok keluar jendela, tertampaklah olehnya di atas emper
rumah berdiri satu orang dengan kepala menjungkir di bawah, siapa lagi kalau
bukan orang aneh yang siang hari tadi menerima dirinya sebagai anak angkat itu.
Kepala orang aneh yang menyanggah badannya itu ternyata
ada separohnya menempel di luar emper, tubuhnya yang tegak terbalik ke atas itu
kelihatan ber-goyang2, agaknya setiap waktu bisa terbanting jatuh ke bawah.
"He, kau!" seru Nyo Ko kaget tercampur girang.
"Kenapa tidak panggil ayah?" tegur orang aneh
itu.
Karenanya Nyo Ko lantas memanggil: "Ayah!"
-hanya lagu suara panggilannya sangat dipaksakan.
Namun orang aneh itu sudah kegirangan "Naiklah
sini," katanya.
Nyo Ko menurut, ia merangkak ke ambang jendela untuk
kemudian meloncat ke atas payon.
Tetapi karena badannya masih lemah, tenaganya menjadi tak
cukup, maka sebelum tangannya memegang emper rumah atau dia sudah terjungkal ke
bawah Dalam kagetnya sampai ia berteriak.
Orang aneh itu tadinya berjungkir di atas payon, tetapi
demi nampak Nyo Ko terjungkal, mendadak manusia tubuhnya roboh ke bawah seperti
batang kayu saja yang terbanting hanya kepalanya masih tetap melekat di atas
emper rumah.
Dengan demikian secepat kilat tangannya menjambret
punggung Nyo Ko, habis ini tubuhnya kembali menegak lagi ke atas, Nyo Ko
diletakkannya ke atas payon dengan enteng saja.
Dan selagi ia hendak bicara, tiba2 ia dengar di kamar
sebelah barat ada suara orang meniup memadamkan api. ia tahu jejaknya telah
diketahui orang, tanpa ayal lagi ia pondong Nyo Ko dan melangkah pergi dengan
cepat, hanya sekejap saja beberapa deretan rumah penduduk sudah ia lintasi.
Waktu Kwa Tin-ok melompat ke atas rumah, namun di
sekelilingnya sudah sepi nyenyak.
Setelah Nyo Ko dibawa sampai di suatu tempat sunyi di
luar kota, orang aneh itu baru menurunkannya.
"Coba kau gunakan cara yang pernah kuajarkan padamu
itu, hawa berbisa dipaksa keluar lagi sedikit." demikian ia memberi
petunjuk pada Nyo Ko.
Pemuda ini menurut, maka tidak antara lama, dari ujung
jarinya menetes keluar beberapa titik darah hitam, berbareng rasa sesak di
dadanya pun menjadi lega,
"Sungguh kau ini anak pintar, sekali tunjuk lantas
paham, jauh lebih cerdas dibanding almarhum putera kandungku dahulu," kata
orang aneh itu. Teringat pada puteranya sendiri itu, tiba2 ia meratap: "O,
anakku, anakku"
Air matanya lantas berlinang juga karena terkencing
puteranya sendiri yang sudah mati, ia elus2 kepala Nyo Ko sambil menghela napas
pelahan.
Nyo Ko sendiri sejak belum lahir sudah ditinggal
bapaknya, ibu pun tewas oleh pagutan ular berbisa dikala ia baru berumur lima
tahun, selama 8 9 tahun paling belakang ini, ia terluntang-lantung sebatang
kara di Kangouw, dj-mana2 ia dihina orang sehingga menjadikan tabiatnya yang
eksentrik, benci pada sesama manusia serta cemburu pada keadaan sekitarnya,
Kini meski orang aneh ini belum pernah kenal dia, namun ternyata begitu baik
terhadap dirinya, ini boleh dikatakan belum pernah terjadi selama hidupnya.
Karena darah keturunan ayah-bundanya, maka watak Nyo Ko
luar biasa pula anehnya, kalau dia sudah baik pada seseorang, maka dia bela
mati2an tanpa pikirkan jiwa sendiri sebaliknya jika ada orang lain menghina dan
pandang rendah padanya, maka selama hidup akan dia ingat2 terus dan dendam, dia
pasti berusaha dengan segala daya-upaya untuk menuntut balas.
Kini si orang aneh itu mengunjuk rasa kasih sayang murni
padanya, hati pemuda ini luar biasa terharunya hingga ia melompat terus
merangkul leher orang sambil berulang kali memanggil "Ayah, ayah!"
Sejak Nyo Ko berumur 2 3 tahun ia sudah berharap
mempunyai seorang ayah yang akan cinta dan melindungi dia. Bahkan dalam mimpi
kadang2 mendadak muncul seorang ayah yang gagah perkasa yang dia cintai, tapi
bila terjaga dari tidurnya, ayah khayalan itu lantas hilang lagi tak berbekas,
oleh karenanya seringkali ia suka menangis sendirian dengan sedih.
Kini harapan yang sudah lama ia impikan itu tiba2
berwujut, dua kali panggilan tadi keluar dari lubuk hatinya yang penuh cinta
kasih seorang anak kepada bapaknya.
Jika hati Nyo Ko terharu sekali, maka dalam hati orang
aneh itu ternyata jauh lebih girang daripada dia. Waktu mereka mula2 berjumpa
di mana Nyo Ko dipaksa memanggil ayah, dalam hati anak muda itu sesungguhnya
seribu kali tidak sudi, tetapi kini dua hati telah kontak seperti ayah dan anak
kandung.
"O, anak baik, anak manis, coba panggil ayah sekali
lagi!" demikian kata orang aneh itu dengan bergelak ketawa.
Betul juga Nyo Ko lantas memanggil ayah, bukan hanya
sekali, malahan dia panggil lagi dua kali, lalu ia menggelendot dibadan orang
dengan laku yang aleman.
"Aha, anak baik, marilah kuajarkan kau ilmu silatku
yang paling kubanggakan selama hidup ini," dengan tertawa orang aneh itu
berkata pula,
Sambil berkata, lantas ia berjongkok, dari mulutnya
terdengar suara "kuk-kuk-kuk" tiga kali, menyusul kedua tangannya dia
dorong ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh yang keras,, setengah tembok
pagar yang berada di depannya telah ambruk seketika sehingga debu dan batu
berhamburan.
Nampak orang memiliki ilmu silat selihay ini, girang
sekali hati Nyo Ko. "Ayah, ilmu apakah itu, dapatkah aku mempelajarinya
?" dengan cepat ia tanya,
"Ini namanya Ha mo-kang (ilmu weduk kodok),"
sahut orang itu, "Asal kau mau berlatih dengan giat, tentu kau dapat
mempelajarinya."
"Setelah aku pandai, apakah tiada orang lain lagi
yang berani menganiaya diriku ?" tanya Nyo Ko lagi.
"Tentu saja," sahut orang aneh itu sambil
menarik alis "Siapa yang berani menghina puteraku, biar aku patahkan
tulangnya dan beset kulitnya."
Kiranya orang aneh yang kosen ini bernama Auwyang Hong
yang namanya telah disinggung bagian atas tadi.
Sejak Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di atas
Hoa-san (salah satu gunung tersohor di daerah propinsi Siamsay), Auwyang liong kena
diakali Ui Yoeg hingga otaknya rada miring, selama belasan tahun, ini ia
terluntang-lantung di daerah sunyi, yang dia selalu pikir adalah:
"Siapakah aku ini sebenarnya ?"
Tetapi tahun2 terakhir ini, sesudah dia berlatih
Kiu-im-cin-keng, maka Lwekangnya sudah ada banyak kemajuan, otaknya juga banyak
lebih terang, walaupun masih tetap tak beres kelakuannya dan suka gila2an.
Tetapi banyak kejadian lama pelahan2 dan satu persatu
sudah mulai dia ingat, cuma saja tentang "siapakah dirinya sendiri"
inilah yang tetap belum dia ingat pontang Hoa-san-lun-kian serta mengapa
Auwyang Hong bisa diakali Ui Yong hingga menjadi gila dan sebab apa dia
berlatih ilmu Kiu-im-cin-keng secara terbalik, pada kesempatan lain akan
dibukukan tersendiri.
Begitulah, maka Auwyang Hong lantas mcngajar-Nyo Ko
dasar2 permulaan ilmu Ha-mo-kang.
Hendaklah diketahui bahwa Ha-mo-kang yang menjadi ilmu
kebanggaan Auwyang Hong ini terhitung ilmu silat kelas satu dalam dunia
persilatan Dahulu meski putera kandung sendiri belum pernah Auwyang Hong
mengajarkan padanya, tetapi kini karena guncangan perasaannya, ternyata pikir
segalanya lagi diajarkannya pada anak angkatnya yang baru dia terima ini.
Ha-mo kang ini sangat sulit dan dalam sekali, Nyo Ko
sendiri masih belum punya landasan, meski dia coba baik2 semua apa yang
diuraikan Auwyang Hong, tetapi sama sekali ia tidak paham akan arti yang
terkandung dalam rahasia ilmu yang dia terima itu.
Oleh karena itu, sesudah hampir setengah hari Auwyang
Hong mengajar, tetapi ia lihat Nyo Ko masih ngawur saja kalau ditanya, sama
sekali belum paham dasar yang diajarkan, akhirnya Auwyang Hong menjadi keki,
dalam dongkolnya ia hendak menampar anak muda itu.
Namun sebelum tangannya menyentuh pipi orang, dibawah
sinar sang dewi malam ia lihat muka Nyo Ko yang putih bersih dengan matanya
yang jeli menarik itu, ia menjadi tidak tega menghajarnya.
"Sudahlah, kau tentu sudah letih, pulang saja
sekarang, besok aku mengajarkan kau lagi," katanya kemudian dengan
menghela napas.
Tak tahunya, sejak Nyo Ko dikatai Kwe Hu bahwa tangannya
kotor, terhadap anak dara itu telah timbul rasa benci dalam hatinya, maka demi
mendengar dirinya disuruh kembali kepada Kwe Ceng, ia menjadi sedih.
"Tidak, ayah, aku ikut kau saja, aku tak mau pulang
ke sana," katanya.
Siapa dirinya sendiri, soal ini bagi Auwyang Hong masih
belum jelas hingga kini, tetapi mengenai urusan umum pikirannya sudah cukup
terang dan jernih, maka atas permintaan Nyo Ko itu ia menjawab: "Jangan.
otakku masih rada kurang beres, ku kuatir kau nanti ikut menderita. Kau pulang
saja dahulu, nanti kalau aku sudah bikin terang sesuatu soal barulah kita
berkumpul untuk selamanya."
Kata2 Auwyang Hong yang penuh kasih sayang ini meresap
sekali ke lubuk hati Nyo Ko, boleh dikatakan sejak, ibunya mangkat, belum
pernah ia mengenyam rasa simpatik seperti sekarang ini, maka dengan cepat ia
merangkul orang..
"Kalau begitu harap lekas kau datang menjemput aku,
ayah," katan'ya.
"jangan kuatir, nak, sementara diam2 senantiasa akan
kuikuti kau, kemanapun kau pergi, pasti aku mengetahuinya," sahut Auwyang
Hong manggut2. Kemudian ia membopong Nyo Ko lagi dan diantar pulang ke dalam
hotel.
Selama itu Kwa Tin-ok sudah pernah datang sekali mencari
Nyo Ko, ia me-raba2 dan tidak mendapatkan anak muda ini di atas ranjangnya, Kwa
Tin-ok menjadi kuatir sekali. Tetapi tatkala untuk kedua kalinya ia datang
mencari Nyo Ko lagi, ia mendapatkan pemuda ini sudah ada di situ, selagi ia
hendak bertanya tadi kemana atau tiba2 ia dengar di atas wuwungan rumah ada
suara mendesirnya angin.
Meski mata Kwa Tin-ok buta, tetapi daya pendengarannya
luar biasa tajamnya, ia tahu ada dua orang "ya-heng-jin" (orang jalan
diwaktu malam) yang berilmu silat sangat tinggi lewat di atas rumah, Untuk
menjaga segala kemungkinan, lekas2 orang tua ini membopong Kwe Hu, sedang
senjata tongkatnya segera ia siapkan kian berjaga di dekat jendela, ia kuatir
kalau2 kedua tamu malam itu putar kembali lagi.
Betul saja, sejenak kemudian suara mendesirnya angin
kembali kedengaran lagi dari jauh mendekat, begitu cepat hingga sekejap saja
sudah sampai di atas rumah hotel, lalu ia dengar suatu diantaranya lagi
berkata: "Yong-ji, kau kira siapakah dia tadi ?" demikian sahut
seorang lain.
Mendengar suara percakapan ini, Kwa Tin-ok tahu Kwe Ceng
dan Ui Yong suami isteri. Karena itulah ia merasa lega, segera ia membuka pintu
agar kedua orang itu masuk.
"Baik2kah disini, Suhu?" segera Ui Yong tanya
Kwa Tin-ok begitu melangkah masuk.
"Ya, tiada terjadi apa2," sahut Kwa Tin-ok.
"Aneh, apa mungkin kita telah salah lihat ?" kata
Ui Yong kepada sang suami.
"Tidak, tidak bisa, orang ini sembilan bagian pasti
dia," sahut Kwe Ceng sambil menggeleng kepala.
"Dia ? Dia siapa ?" Tin-ok ikut bertanya.
Lekas Ui Yong me-narik2 lengan baju suaminya dengan
maksud agar jangan mengatakan Akan tetapi tidak bisa menghormatnya Kwe Ceng
terhadap gurunya yang banyak menanam budi padanya, tidak berani ia berdusta
meski barang sedikit saja, maka. ia lantas menerangkan: "Dia Auwyang Hong
!"
Justru seumur hidupnya paling takut pada orang ini karuan
seketika air muka Kwa Tin-ok berubah hebat.
"Auwyang Hong?" ia menegas dengan suara
tertahan.
"Betul! dia belum mampus ?"
"Tadi ketika kami kembali dari memetik obat2-an, di
pinggir rumah kami melihat berkelebatnya bayangan orang, gerak tubuhnya sangat
cepat lagi aneh, waktu kami mengejarnya, sayang tak tertampak bayangannya lagi.
Cuma kelihatannya sangat mirip Auwyang Hong," demikian Kwe Ceng ceritakan.
Kwa Tin-ok mengerti muridnya ini sangat jujur dan suka
terus terang, semakin menanjak umurnya semakin tulus, kalau dia bilang Auwyang
Hong, maka pasti bukan orang lain lagi.
Sementara itu karena kuatirkan diri Nyo Ko, Kwe Ceng
telah memeriksanya ke tempat tidurnya dengan membawa lilin, ia lihat air muka
pemuda ini merah segar, napasnya teratur dengan haik, tidurnya nyenyak, ia
menjadi girang sekali oleh keadaan bocah ini.
"Dia sudah baik, Yong-ji !" saking girangnya ia
teriaki isteri.
Padahal waktu itu Nyo Ko hanya pura2 tidur saja, ia
pejamkan matanya buat mencuri dengar percakapan ketiga orang, Ketika lapat2
mendengar ayah angkatnya - orang aneh itu - bernama Auw-yang Hong, sedang
ketiga orang ini sangat jeri padanya, tentu saja dalam hati kecilnya diam2 ia
merasa bangga dan senang.
Dalam pada itu sesudah TJi Yong melihat kea.da-an Nyo Ko,
menjadi ter-heran2, Terang ia lihat hawa racun di lengannya menjalar terus ke
atas, sesudah lewat beberapa jam ini, semestinya bertambah hitam bengkak dan
merembes lebih luas, siapa tahu hawa berbisa itu sebaliknya malah menghjlang,
sungguh kejadian yang sukar dimengerti.
Setelah keluar bersama sang suami sekian lama, namun
rumput obat2an yang dia cari tetap belum lengkap, terpaksa seadanya ia gilasi
dan racik beberapa macam bahan obat, air perasannya lalu ia minum kan pada Nyo
Ko.
Besok paginya, Kwa Tin-ok bersama Kwe Ceng dan Ui Yong
melanjutkan perjalanan bersama dua anak kecil, mereka ambil keputusan buat
pulang ke Tho-hoa-to dahulu untuk menyembuhkan lukanya Nyo Ko.
Malamnya terpaksa mereka harus menginap lagi di hotel,
Kwa Tin-ok tinggal sekamar dengan Nyo Ko, sedang suami isteri Kwe Ceng dan Ui
Yong sekamar dengan puteri mereka.
Tengah malam sedang enak2nya mereka tidur, mendadak
terdengar suara "krak" yang keras di atas rumah, menyusul mana
terdengar pula suara teriakan di kamar sebelah, rupanya ada orang merusak daun
jendela dan melompat keluar.
Cepat Kwe Ceng dan Uj Yong melompat "bangun, melalui
jendela mereka lihat di atas rumah sudah ada dua orang yang sedang bergebrak
dengan sengit. Baru saja bisa lihat jelas bentuk tubuh kedua orang itu, tiba2
terdengar suara "plak", berbareng itu satu diantaranya telah menjerit
terus terbanting ke bawah itu sudah dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya
kelihatan kaku dan menjulai ke bawah dengan lurus.
Menurut kebiasaan, orang yang berilmu silat tinggi,
sekalipun tergelincir jatuh dari tempat tinggi secara tiiba2 pasti akan menekuk
badan dan tarik kaki, dengan demikian waktu sampai di tanah, tidak bakal
terluka berat, akan tetapi orang itu sudah lebih dulu dihantam semaput di atas
rumah, maka dengan tefbantingnya ini tulangnya pasti akan patah dan mungkin kepalanya
akan remuk,
Pada detik yang berbahaya itu, tiba2 dari jendela kamar
sebelah melayang keluar seorang wanita, orang ini adalah Ui Yong, segera ia
hendak menangkap tubuh orang, Namun ia masih kalah cepat, sebab Kwe Ceng sudah
menyerobot di depannya dan dengan enteng sekali ia tarik tengkuk orang pada
waktu hampir membentur tanah, terus diangkat ke atas dan kemudian dia turunkan
pelahan, habis ini sekali ia enjot kakinya, segera ia melompat ke atas rumah.
Tetapi sekali ini ia yang ketinggalan ia lihat sang
isteri sudah saling gebrak dengan serunya melawan satu orang, Lawannya
berperawakan jangkung dan berjenggot pendek, kaki, hidungnya besar, matanya
celong, siapa lagi kalau bukan musuh kebuyutan mereka yang sudah tak bertemu
selama belasan tahan, Se-tok Auwyang Hong, Si racun dari Barat.
(Se-tok atau Si racun dari Barat adalah julukan Auwyang
Hong sebagai satu diantara lima tokoh silat kelas wahid pada jamannya. Empat
rekannya ~ yang juga menjadi musuhnya - masing2 adalah: Tong-sia- Ui Yok-su, Si
Latah dari Timur (ia adalah ayah Ui Yong), Lam-te Toan Hong-ya, Si raja dari
Selatan, Pak-kay Ang Tjhit-kong, Si langit di Tengah. Urut2an nama mereka
berlima disebut: Tong-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-kian-khun).
Begitulah tadi, Ui Yong yang sudah banyak maju
kepandaiannya, dalam belasan jurus itu tipu2 pukulannya ternyata sukar diraba,
karena itu, sedikitpun Auwyang liong tidak lebih unggul.
"Aha, Auwyang-sianseng, baik2kah selama berpisah ini
?" demikian Kwe Ceng menyapa setelah tancapkan kakinya di atas wuwungan
rumah.
"Apa kau bilang ? Kau panggil aku apa ?" tanya
Auwyang Hong tiba-tiba.
Begitulah wajahnya mengunjuk rasa bingung, maka terhadap
serangan Ui Yong ia hanya menangkis saja tanpa batas menyerang, sedang dalam
hati . ia sedang ingat2 nama yang diucapkan Kwe Ceng tadi, lapat2 ia merasa
kata2 "Auwyang" seperti punya hubungan erat dengan dirinya.
Karena pertanyaan tadi, maka Kwe Ceng bermaksud akan
menjelaskan namun betapa pintarnya Ui Yong, ketika melihat penyakit otak miring
orang belum sembuh, lekas2 ia mencegah, Malahan ia sengaja berseru:
"Kau bernama Tio-Tji-Sun-Li, TJiu-Go-Tan-Ong !"
Auwyang Hong tampak terkejut dan semakin bingung.
"Apa ?" ia mengulangi "aku bernama
Tio-Tji-Sun-Li dan Tjiu-Go-Tan-Ong ?"
"Ya, betul, namamu Pang-The-Tju-Wi dan
Tjio-Sim-Ham-Yang," sahut Ui Yong mengacau.
Apa yang- diucapkan Ui Yong itu semuanya adalah She atau
nama keluarga umum. Dasar pikiran Auwyang Hong memang belum waras, kini
sekaligus Ui Yong melontarkan balasan she yang dikatakan adalah namanya, keruan
pikiran Auwyang Hong menjadi semakin ruwet dan tambah butek otaknya.
Berlainan sekali dengan sang isteri, Kwe Ceng adalah
orang yang baik budi dan jujur, ia menjadi kasihan melihat keadaan Auwyang
Hong- yang hilang ingatan dan linglung itu,
"Sudahlah, lekaslah kau pergi saja, selanjutnya
paling" baik kita jangan bertemu lagi untuk selama-nya," katanya
kemudian.
"He, siapa kau dan siapa aku ?" demikian
Auwyang Hong masih bertanya.
"Kau adalah Si Racun tua yang telah membinasakan
lima saudaraku !" mendadak suatu suara bentakan menjawabnya dari belakang.
Belum lenyap suara bentakan itu atau sebuah tingkat besi
telah menyambar pula, itu adalah senjatanya Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.
Tetapi pada saat itu juga terdengar pula seruan Kwe Ceng:
"Awas, Suhu !"
Namun sudah terlambat, kemplangan tongkat Kwa Tin-ok itu
dengan tepat kena di punggung Auwyang Hong, tetapi yang terdengar hanya
"buk" se-kali, tahu2 tongkat malah membal balik, saking keras tenaga
menbalnya hingga Tin-ok tak tahan memegangnya, maka baik tongkatnya maupun
orangnya sama terperosot jatuh dari wuwungan rumah.
Luar biasa kerasnya hantaman tadi, pula tongkat itu
mempunyai bobot beberapa puluh kati, ditambah lagi goncangan membalik, maka
tongkat itu telah menyusup masuk ke bawah untuk kemudian dengan tepat
menghantam di atas ranjang tamu hotel,
Tamu itu sebenarnya lagi terombang-ambing di sorga
impiannya, siapa tahu ketiban malang mendadak, sial baginya, tulang kakinya
tertindih patah oleh tongkat yang tidak ringan itu, saking sakitnya ia
men-jerit2 minta tolong !
Dalam pada itu Kwe Ceng tahu meski gurunya terbanting
jatuh ke bawah tentu tidak bakal berhalangan, ia hanya kuatir kalau kesempatan
itu digunakan Auwyang Hong untuk menguber dan menghantam, maka kejadiannya
pasti akan luar biasa he-batnya, karenanya, tidak pikir lagi segera ia berteriak:
"Awas pukulan !"
Berbareng itu tangan kanan ia putar sekali terus didorong
lurus ke depan, ini adalah satu diantara tipu pukulan Hang-liong-sip-pat-ciang
yang disebut "Kong-liong-yu-hwe" atau Naga pembawa sesal, ilmu
pukulan "Hang-liong-sip-pat-ciang" (delapan belas jurus ilmu pukulan
penakluk naga) ini adalah ajaran guru Kwe Ceng yang lain, yakni Pak-kay Ang
Tjhit-kong, itu pemimpin besar dari Kay-pang atau persatuan kaum jembel.
Selama ini tipu pukulan "Kong-liong-yu-hwe" ini
dia latih dengan giat, apalagi ditambah kegiatan latihan selama belasan tahun
ini, maka tekanan pukulan ini boleh dikata sudah sampai di" puncak yang
paling sempurna.
Pada mula2 dia dorong ke depan tampaknya seperti
seenaknya saja dan enteng sekali, tetapi bila ketemukan tenaga rintangan, maka
dalam sekejap saja he-runtun2 bisa bertambah dengan tiga belas tenaga susulan
yang satu lebih kuat dari pada yang lain secara ber-tumpuk2, sungguh tiada
sesuatu yang tak bisa dihancurkan dan tiada lawan yang tak bisa dirobohkan.
Puncak kesempurnaan tipu pukulannya ini dipelajari dan
diketemukan dia dari dalam kitab ilmu silat Kiu-im-cin-keng, suatu kitab yang
selamanya dibuat sasaran perebutan diantara lima tokoh tersebut di atas,
sekalipun Ang Tjhit-kong dahulu, kalau cuma tipu pukulan
"Kong-liong-yu-hwe" ini saja juga tidak selihay seperti Kwe Ceng
sekarang ini.
Dalam pada itu baru saja Auwyang Hong berhasil bikin
terpental Kwa Tin-ok, segera terasa olehnya ada samberan angin yang datang dari
muka, meski tenaga samberan angin itu tak begitu kerns, tetapi pernapasannya
toh sesak hingga susah bernapas sebagai seorang jago kelas satu, ia tahu
keadaan berbahaya, maka lekas2 ia sedikit berjongkok, menyusul kedua tangannya
dia dorong ke depan sambil mulutnya mengeluarkan suara "kok", ini
adalah ilmu "Ha-mo-kang", ilmu weduk kodok yang menjadi kebanggaan
seumur hidupnya.
Oleh karena itu, saling beradunya tiga telapak tangan tak
bisa dihindarkan lagi, namun tubuh kedua orang hanya sama2 tergetar saja dan
tidak sampai ada yang terguling.
Tetapi Kwe Ceng tidak berhenti sampai di situ saja,
dengan cepat ia tambahi tenaga pukulannya yang susu)-menyusul dan satu lebih
kuat dari pada yang lain seperti gelombang ombak yang ber-gulung2 kepantai.
Sebaliknya dari mulut Auwyang Hong pun tiada hentinya
terdengar suara "kok-kok-kok" yang keras, tubuhnya kelihatan
ber-goyang2, agaknya setiap saat bisa terbanting roboh oleh daya tekanan Kwe
Ceng.
Tapi sungguh aneh, semakin kuat dan semakin bertambah
daya tekanan tenaga pukulan Kwe Ceng, maka tenaga tangkisannya yang membalik
dari Auwyang Hong juga ikut bertambah menurut kebutuhan.
Sudah ada belasan tahun mereka berdua ini tidak ukur
tenaga, kini bertemu kembali didaerah Kanglam, dengan sendirinya masing2 ingin
bisa menjajal sampai di mana kemajuan pihak lain.
Dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di
Hoa-san tatkala itu Kwe Ceng masih bukan tandingan Auwyang Hong, tetapi sesudah
sekian lama, berpisah dan kemajuannya yang pesat, ilmu silat Kwe Ceng boleh
dikatakan telah sampai tarap yang paling masak, Namun demikian Auwyang Hong
yang berlatih ilmu dari kitab "Kiu-im-cin-keng" secara terbalik
(peristiwa diakali Ang Tjhit-kong hingga Auwyang Hong tertipu dan mempelajari
Kiu-im cin-keng secara terbalik kelak akan diceritakan), dengan sendirinya juga
ada kemajuan tertentu, yang satu betul dan yang lain terbalik, akhirnya tetap
yang betul menangkan yang terbalik, maka dengan saling labraknya sekarang, Kwe
Ceng sudah bisa melawan orang dengan sama kuat.
Supaya tahu bahwa atap rumah di daerah utara jauh
berlainan dengan daerah selatan, Oleh karena harus menahan salju di musim
dingin, maka atap rumah daerah utara dibuat dengan sangat kuat dan kokoh,
tetapi di daerah aliran sungai Hoay karena genteng yang disusun secara
tindih-menindih, maka atap yang genteng tetapi praktis.
Auwyang Hong saling ukur tenaga, mereka harus salurkan
tenaga pada kedua kaki agar bisa berdiri dengan kokoh. Diluar dugaan, selang
beberapa lama terdengarlah suara "kreyat-kreyot" di bawah kaki
mereka, menyusul mana terdengar pula suara "kraaak" yang keras secara
tiba2, tahu2 beberapa usuk rumah telah patah hingga anjlok ke bawah, atap rumah
itu berlubang hingga kedua orang yang saling adu tenaga itu sama2 kejeblos ke
bawah.
Ui Yong kaget sekali oleh kejadian ini, lekas2 ia
menyusul turun melalui lubang atap rumah itu, namun segera terlihat olehnya
kedua orang itu masih tetap tangan beradu tangan, sedang kaki mereka menginjak
pada beberapa usuk yang patah tadi, sebalik-!!"v usuk2 itu justru menindih
di atas badan seorang tamu hotel penghuni kamar yang ketiban malapetaka itu.
Mungkin saking kaget dan saking sakitnya oleh
"rejeki tiban" itu, tamu hotel yang sial itu telah jatuh pingsan.
Buat Kwe Ceng sebenarnya tidak sampai hati bikin celaka
orang lain yang tak berdosa, tetapi Auwyang Hong tidak pusingkan mati hidup
orang lain, Kekuatan mereka sebenarnya seimbang, tetapi kini Kwe Ceng harus
pikirkan orang yang ketindih itu dan tak tega tambahi tenaga injakannya
sehingga tenaga yang saling adu itu tidak mendapatkan tempat sandaran yang
kuat, maka lambat laun ia mulai terdesak di bawah angin.
Melihat tubuh sang suami rada mendoyong ke belakang,
meski hanya mundur sedikit saja, Ui Yong sudah tahu Kwe Ceng bakal kecundang.
"He, Thio-sam-Li-si, Tio-ngo-Ong-liok, awas
pukulan!" demikian ia lantas berteriak Menyusul tampaknya ia ayun sebelah
tangannya menabok ke pundak Auwyang Hong.
Meski tampaknya sangat enteng pukulannya ini, tetapi
justru adalah pukulan lihay dari ilmu pukulan "Lok-eng-cio-hoat".
Bila sampai kena digebuk, maka tenaga pukulannya akan terus meresap sampai
kebagian dalam tubuh, sekalipun jago silat kelas berat seperti Auwyang liong
pasti juga akan terluka parah.
Akan tetapi Auwyang Hong bukan Se-tok kalau dia gampang
dipukul. Semula ia memang terkejut sejenak ketika mendengar orang menyebut
namanya yang aneh dan tak keruan itu, tetapi demi mendadak nampak pukulan orang
tiba, secepat kilat ia dorong tangannya sekuat tenaganva, ia desak tenaga
tangan Kwe Ceng dahulu, habis ini ia putar tangannya dan berhasil mencengkeram
pundak Ui Yong, ia kumpul tenaga dalam pada ujung jarinya untuk merobek kulit
daging lawan.
Cengkeraman maut ini sekaligus telah bikin tiga orang
terkejut berbareng, Yakni Auwyang Hong, Kwe Ceng dan Ui Yong.
Auwyang Hong segera merasakan ujung jarinya tidak
kepalang sakitnya, kiranya ia telah kena menjambret pada duri lancip
"kutang berduri landak" yang dipakai Ui Yong dibagian dalam. Tetapi
karena luar biasa kuat tenaga jarinya, dengan sekali jambret tak kurang duri
landak yang terbuat dari anyaman benang emas dan tak mempan senjata itu kena
terobek sepotong.
Pada waktu itu juga tenaga pukulan Kwe Ceng sudah
mendatang lagi setelah didorong oleh Auwyang Hong tadi, dengan sendirinya
Auwyang Hong kembali menyambut dengan telapak tangannya, maka terdengarlah
suara "plak" yang keras, kedua orang sama2 mundur dengan cepat,
menyusul tertampaklah debu pasir berhamburan, dinding roboh dan rumah ambruk.
Kiranya beradunya tangan kedua orang tadi benar2 keras
lawan keras dengan sepenuh tenaga sehingga kedua pihak sania2 tersentak mundur,
tetapi mundurnya mereka telah membobol dinding tembok sampai keluar, sebab
itulah setengah dari atap rumah itu telah ambruk dan menerbitkan suara gemuruh.
Ui Yong sendiri yang pundaknya kena dijambret meski belum
sampai terluka, namun tidak urung iapun terkejut sekali, dalam seribu
kerepotannya syukur ia masih sempat melayang keluar dari rumah yang roboh
separoh itu.
Setibanya di luar, terlihat olehnya jarak antara Auwyang Hong
dan Kwe Ceng tidak lebih hanya setengah tombak saja, mereka sama2 berdiri tegak
tanpa bergerak, terang mereka sudah terluka dalam semua.
Ui Yong tak pikirkan untuk menyerang musuh lagi lebih
dulu ia mendekati sang suami untuk melindunginya. Dalam pada itu ia lihat kedua
orang ini sama2 pejamkan mata sedang menjalankan pernapasan: lalu terdengar
suara batuk dua kali, tanpa berjanji kedua orang itu sama muntahkan darah segar
berbareng.
"Haha, sungguh hebat, sungguh hebat!" teriak
Auwyang Hong tiba2. Habis ini, disertai gelak-ketawa yang keras memanjang, ia
lantas bertindak pergi dan sekejap saja sudah menghilang tanpa bekas.
Sementara itu berhubung terjadinya onar ini dan karena
tetamu yang ketimpa malang tadi, di dalam hotel menjadi geger dan ribut.
Ui Yong tahu tempat ini tak bisa ditinggali terus, maka
ia lantas gendong Kwe Hu, lalu kepada Tin-ok ia berkata: "Suhu, harap kau
payang engkoh Ceng, marilah kita berangkat saja!"
Sesudah tak lama mereka berialan, tiba2 Ui Yong teringat
pada Nyo Ko, ia tidak tahu anak ini telah kabur kemana, karena kuatirkan luka
yang diderita suaminya, urusan2 lain terpaka dikesampingkannya dahulu.
Pikiran Kwe Ceng pun cukup terang, lantaran pernapasannya
kena tekanan tenaga pukulan Auwyang Hong, maka ia merasa sesak dan susah buat
buka mulut, Setelah atur napas dengan menggemblok di atas pundak Kwa Tin-ok,
sesudah jalan tujuh atau delapan li akhirnya semua urat nadinya berjalan lancar
kembali.
"Sudah baik, Suhu," katanya kemudian.
"Sudah tiada apa2?" tanya Kwa Tin-ok sambil
melepaskannya.
"Ya, tidak apa2," sahut Kwe Ceng, "Sungguh
lihay sekali!"
Dalam pada itu terlihat puterinya yang semalam suntuk tak
tidur, mungkin saking letihnya kini sedang tertidur nyenyak di atas pundak sang
ibu, hatinya menjadi terkesiap dan ingat sesuatu.
"He, di manakah Ko-ji?" ia tanya cepat.
Meski Kwa Tin-ok mengerti adanya anak muda itu, tapi dia
belum tahu siapa namanya, maka pertanyaan Kwe Ceng ini membuatnya bingung tak
bisa menjawab.
"Jangan kuatir. kita cari suatu tempat dulu untuk
mengaso, habis itu baru kita pergi mencarinya lagi," sahut Ui Yong.
Sementara itu fajar sudah menyingsing pemandangan sekitar
jalan remang2 sudah kelihatan.
"Lukaku tak berhalangan, marilah kita pergi
mencarinya," ujar Kwe Ceng.
"Anak ini luar biasa cerdiknya, tak perlu kau kuatir
baginya," jawab Ui Yong mengkerut kening.
Baru berkata sampai di sini, se-konyong2 tertampak
olehnya belakang tembok bobrok di tepi jalan sana bayangan orang berkelebat
dengan cepat, hanya melongok terus mengkeret lagi.
Mana bisa Ui Yong dikelabui, gerak tubuhnya pun cepat
luar biasa, dengan gesit ia melompat ke sana terus menjambret siapa lagi dia
kalau bukan si Nyo Ko yang mereka bicarakan itu.
Meski sudah konangan, bocah ini hanya tertawa haha-hihi
saja.
"Kalian baru sampai, bibi? Sudah lama aku me...
menunggu di sini."
Nampak kelakuan anak muda ini, hati Ui Yong, merasa
curiga, maka sekenanya ia menjawab: "Ya,, marilah kau ikut
berangkat!"
Nyo Ko ketawa terus ikut di belakang mereka.
"Kemana kau telah pergi ?" tiba2 Kwe Hu
bertanya.
"Aku pergi mencari jangkerik, wah, senang
sekali," sahut Nyo Ko.
"Apanya yang menyenangkan ?" ujar Kwe Hu.
"Hm, siapa bilang tidak menyenangkan ?" Nyo Ko
menjengek "Ada seekor jangkerik besar telah tarung melawan tiga jengkerik
kecil, kemudian datang pula dua jangkerik kecil lain membantu kawannya,
pertandingan menjadi lima jangkerik kecil melawan satu jangkerik besar, Yang
besar ini melompat kian kemari, yang ini diselentik dengan kakinya, yang sana
digigit mulutnya."
Menutur sampai disini, tiba2 Nyo Ko berhenti, ia tidak
melanjutkan lagi.
Dilain pihak Kwe Hu rupanya menjadi ketarik oleh cerita
itu hingga ia ternganga, "Lalu, bagaimana ?" tanpa tertahan ia tanya
ketika orang tidak melanjutkan ceritanya.
"Tadi kau bilang tidak menyenangkan, kenapa sekarang
kau tanya?" sahut Nyo Ko.
Jawaban ini membuat Kwe Hu menjadi marah, segera ia
berpaling ke jurusan lain dan tidak gubris Nyo Ko lagi.
Siapa tahu hati mudanya Ui Yong ternyata belum hilang
sama sekali, ketika mendengar cerita Nyo Ko itu, cukup tegang dan menarik, pula
Nyo Ko memang pandai bicara, maka iapun tak tahan dan lantas tanya: "Coba
terangkan pada bibi, akhirnya mana yang menang?"
Nyo Ko ketawa oleh pertanyaan orang. Dengan gampang dan
secara diplomatis ia menjawab: "Pada saat yang sangat menarik itu, kalian
keburu datang hingga semua jangkerik itu lari."
Melihat lagak anak ini, Ui Yong tahu ia sengaja jual
mahal, ia pikir anak ini memang pandai dan banyak akal, dari kejadian kecil ini
saja kelihatan hal ini.
Tengah bicara, sementara mereka sudah sampai di suatu
desa.
Meski Kwe Ceng terluka dalam, tapi ia masih gagah dan
bisa bergerak leluasa, maka ia telah mohon bertemu dengan tuan rumah pada satu
gedung besar.
Tuan rumah itu ternyata sangat simpatik dan suka terima
tamu, ketika mendengar ada orang luka dan sakit, lekas ia perintahkan
centingnya menyediakan kamar tamu.
Setelah makan, kemudian Kwe Ceng duduk bersila di
pembaringannya buat merawat lukanya.
Melihat pernapasan sang suami teratur dan semangatnya
segar, Ui Yong tahu sudah tiada bahaya lagi. Waktu ia lepaskan baju luar dan
diperiksa, ia lihat kutang lemas berduri landak yang dia pakai di lapis dalam
itu terobek sebagian persis di atas pundaknya, sungguh sayang sekali dan terasa
kaget pula, Kutang wasiat ini adalah pusaka Tho-hoa-to yang menjadi pusaka ayahnya
pula, benda ini sudah beberapa kali telah menolong jiwanya dari ancaman maut,
tak terduga hari ini bisa terusak ditangan Auwyang Hong.
Sambil duduk menjaga disamping suaminya, Ui Yong
meng-ingat2 kelakuan Nyo Ko sejak bertemu, Entah mengapa, ia selalu merasa
meski anak ini masih kecil usianya, tetapi banyak sekali terdapat hal2 aneh
pada diri anak itu yang sukar dimengerti.
Teringat olehnya pada waktu Bu Sam-thong terjungkal ke
bawah oleh hantaman Auwyang Hong, kalau tidak salah ia melihat Nyo Ko berdiri
menonton di sebelah samping, kemudian ketika dirinya suami isteri bergebrak
melawan Auwyang Hong, tertampak juga Nyo Ko masih berdiri di atas atap rumah,
begitu juga pada waktu Kwe Ceng dan Auwyang liong terjeblos ke bawah, bocah
itupun masih berdiri di ttmpatnya. Kenapa anak ini punya nyali begitu be-s,ir?
Mengapa ia tidak takut ? Dan kenapa Auwyang Hong pun tidak mencelakai dia?
Paling akhir sesudah Kwe Ceng dan Auwyang Hong menderita
luka, dalam keadaan ribut2 anak itu mendadak menghilang untuk kemudian muncul
l?gi ditengah jalan.
Ui Yong biasa berpikir secara teliti, ia pikir tidak
perlu tanya dia sekarang, asal seterusnya ge-rafc-geriknya diawasi saja.
Begitulah, siang hari telah lalu, petangnya sesudah
bersantap mereka lantas pergi mengaso sendiri2.
Nyo Ko tidur sekamar dengan Kwa Tin-ok, sampai tengah
malam, diam2 ia bangun, ia membuka pintu kamar dan ngeluyur keluar. Waktu ia
menoleh, ia lihat Kwa Tin-ok sedang menggeros nyenyak.
Maka dengan berindap-indap ia mendekati pagar tembok, ia
panjat ke atas satu pohon, dari sini ia melompat ke atas pagar tembok dan
kemudian merosot turun keluar dengan pelahan.
Mencium bau manusia, dua ekor anjing di luar pagar itu
menyalak, Tetapi Nyo Ko sudah siap sedia, dari bajunya dikeluarkan dua tulang
daging yang dia sengaja simpan pada siang harinya, dia lemparkan pada anjing-2
itu. Dapat tulang daging, anjing2 itu lupa, akan manusianya dan segera berhenti
menyalahi untuk gerogoti tulang2 itu.
Setelah pilih jurusannya, kemudian Nyo Ko menuju ke arah
barat-daya, setelah beberapa li ia tem-puh, akhirnya sampailah dia pada sebuah
kelenteng bobrok, ia dorong pintu kelenteng itu dan masuk ke dalam.
"Ayah !" demikian ia lantas memanggil.
Maka terdengarlah suara sahutan yang berat dari dalam,
yang ia kenali adalah suara Auwyang Hong.
Girang sekali Nyo Ko, ia mendekatinya, ia lihat Auwyang
Hong rebah di atas beberapa kasuran bundar di depan patung pemujaan, keadaannya
loyo dan napasnya lemah.
Kiranya keadaan luka yang diderita Auwyang Hong serupa
dengan Kwe Ceng, cuma Kwe Ceng masih muda kuat, sebaliknya ia sudah lanjut
usianya, dengan sendirinya daya tahannya jauh kalah daripada Kwe Ceng.
"Makanlah ini, ayah", sementara Nyo Ko berkata
lagi sambil mengeluarkan beberapa bakpau dan diserahkan pada Auwyang Hong.
Memangnya Auwyang Hong sudah kelaparan sehari suntuk, ia
hendak keluar, tapi kuatir kepergok musuh, maka sepanjang hari ia terus
sembunyi di dalam kelenteng bobrok ini dengan kelaparan, kini sesudah beberapa
bakpau ia jejalkan ke dalam perutnya, segera semangatnya terbangkit kembali.
"Dimanakah mereka berada kini ?" ia tanya.
Maka berceritalah Nyo Ko apa yang diketahuinya.
Ketika Nyo Ko bermalam di hotel bersama Kwe Ceng, tengah
malam kembali Auwyang Hong datang menjenguk padanya.
Tak terduga malam itu Bu Sam-thong yang terluka oleh
pukulan Li Bok chiu juga kebetulan menginap di hotel yang sama. Oleh karena
bekerjanya racun di tubuhnya akibat pukulan Li Bok-chiu itu, semalam suntuk ia
kelabakan tak bisa tidur, ketika mendadak mendengar di atas rumah ada suara
keresekan, Bu Sam-thong menyangka Li Bok-chiu telah menyusul datang lagi, maka
tanpa menghiraukan luka yang sudah dideritanya segera ia lompat ke atas rumah
untuk menghadapi musuh.
Di luar dugaan, musuh baru itu tidak datang, sebaliknya
yang dihadapi adalah musuh kawakan. Dahulu Auwyang Hong hendak menghancurkan
ilmu silat Toan Hong-ya untuk itu pernah sengaja ia melukai Bu Sam-thong dengan
pukulan yang berbisa.
Kini demi berhadapan lagi, musuh yang sudah lama ditunggu
ini membikin mata Bu Sam-thong merah berapi, tanpa pikir lagi segera ia labrak
maju.
Dengan sendirinya se-kali2 Bu Sam-thong bukan tandingan
Auwyang Hong, baru bergebrak belasan jurus ia sudah kena dihantam sekali hingga
terjungkal ke bawah rumah.
Waktu datangnya Auwyang Hong ke hoicl itu Nyo Ko memang
sudah mendusin, tatkala ayah angkatnya ini ber-turut2 bergebrak dengan Bu
Sam-thong dan suami isteri Kwe Ceng dan Ui Yong, selama itu Nyo Ko terus
berdiri menonton di samping.
Kemudian setelah Auwyang Hong dan Kwe Ceng sama2 terluka
dan ada orang yang memperhatikan dirinya, maka diam2 ia telah menyusul Auwyang
Hong.
jalannya Auwyang Hong mula2 sangat cepat, sudah tentu Nyo
Ko tak mampu menyandaknya, tetapi sesudah lukanya bekerja hingga melangkah saja
terasa susah, maka dapatlah Nyo Ko menyusul dan memayangnya ke kelenteng
bobrok.
Walaupun umur Nyo Ko masih kecil, tetapi segala hal
ternyata ia paham, ia tahu kalau dirinya tidak kembali tentu Ui Yong dan Kwa
Tin-ok cs. akan mencarinya, jika terjadi begini tentu akan membahayakan jiwa
Auwyang Hong yang terluka parah itu, maka lebih dulu ia telah tunggu orang di
tepi jalan hingga akhirnya bertemu lagi dengan Kwe Ceng dan tengah malam ia
datang pula menjenguk ajah angkatnya lagi,
Begitulah sesudah dengar penuturan Njo Ko baru Auwyang
Hong merasa lega, Tetapi bila teringat olehnya Kwa Tin-ok tidak berhasil dia
binasakan pada siangnya, kembali ia menjadi kuatir.
"Orang she Kwe itu telah merasakan pukulanku, dalam
tujuh hari terang dia tak akan bisa sembuh," demikian katanya kemudian,
"lsterinya harus melayani suaminya. tentu tak berani sembarang tinggal
pergi, maka kini kita hanya kuatirkan si buta she
Kwa seorang saja. Kalau malam ini dia tidak datang, pasti
besok dia akan mencari kesini, sungguh sayang sedikitpun aku tak bertenaga, Ai,
aku sudah membunuh lima saudara angkatnya, kalau kini aku mati di tangannya
rasanya juga... juga..."
Berkata sampai disini, ia lantas ter-batuk2.
Sementara itu Nyo Ko duduk di lantai dengan tangan
menunjang janggut, sekejap itu saja timbul macam2 pikirannya. ia lihat Auwyang
Hong rebah dengan kedua tangan digunakan sebagai bantah meski rebah dengan
melintang, tetapi kedua kaki orang tua ini masih tetap pasang kuda2 seperti
biasanya kalau berlatih ilmu Ha-mo-kang, jadi kuda2nya mirip kodok saja.
"Ah, aku ada akal," tiba2 Nyo Ko berpikir,
"biar aku taruh beberapa macam benda tajam di atas lantai, kalau si buta
itu masuk begitu saja, biar dia merasakan sedikit luka dahulu."
Karena pikiran ini, segera ia turunkan empat buah Cektay,
yakni tempat menancapkan lilin yang biasa dipakai di meja sembahyang, ia buang
sisa lilinnya, ia pasang cektay di mulut pintu secara berjajar dengan bagian
yang lancip tajam menghadap ke atas, Habis ini ia tutup pintu kelenteng itu
dengan setengah rapat, lalu ia angkat sebuah Hio-lo (tempat abu) yang terbuat
dari besi, ia manjat ke atas dan pasang Hio-lo itu di atas daun pintu yang
setengah rapat itu,
Kemudian ia memeriksa sekitarnya lagi, ia ingin
mendapatkan jebakan lain yang bisa dipasang untuk pedayai orang, tetapi tiada
yang terdapat lagi kecuali di atas ruangan kelenteng bagian timur dan barat
m:ising2 tergantung sebuah genta raksasa.
Begitu besar genta itu hingga sedikitnya lebih dua ribu
kati beratnya dan tidak cukup dirangkul tiga orang sejajar. Di atas genta
masing2 terdapat satu gantolan besi yang sangat besar pula dan terikat kencang
di atas kerangka kayu yang terbuat dari balok2 besar.
Kelenteng ini rupanya sudah sangat tua dan bobrok, tetapi
kedua genta raksasa ini karena pembikinannya sangat kokoh dan kuat maka masih
dalam keadaan baik.
"Jika betul-betul si buta she Kwa itu masuk ke sini,
aku nanti manjat ke atas kerangka genta itu, tanggung dia tak akan bisa
ketemukan aku," demikian Nyo Ko berkata dalam hati.
Waktu Nyo Ko hendak pergi ke bagian belakang untuk
mencari sesuatu alat senjata yang cocok baginya, tiba2 terdengar dari jalan
besar di luar berkumandang suara "tak-tek-tak-tek" yang diterbitkan
oleh ketokan tongkat "besi".
Air muka Nyo Ko seketika berubah, ia tahu betul2 Kwa
Tin-ok telah datang, maka cepat ia sirapkan api lilin. Tapi segera ia ingat
perbuatannya ini hanya berlebihan saja, ia pikir: "Mata si buta itu tak
bisa melihat sebenarnya tidak perlu aku padamkan lilin."
Dalam pada itu suara "tak-tek" tadi sudah makin
dekat, mendadak Auwyang Hong bangkit berduduk, ia hendak kumpulkan seluruh
tenaga yang masih ada padanya itu di tangan kanannya, ia hendak mendahului
musuh dengan sekali pukul membinasakannya.
Nyo Ko sendiri juga ber-debar2, ia pegang Cek-tay itu
dengan bagian lancip menghadap keluar, ia jaga disamping Auwyang Hong siap
melawan musuh.
Memang tidak salah suara "tak-tek" tadi adalah
suara tongkat Kwa Tia-ok yang meng-ketok2 tanah bila berjalan.
Meski mata Tin-ok buta, tetapi orangnya luar biasa
cerdiknya, ia menduga sesudah Auwyang Hong terluka, pasti akan sembunyi di
sekitar tempat ini, maka sebelum bersantap malam, di tempat pondok nya ia sudah
mencari tahu dengan jelas bahwa di sekitar sini hanya terdapat sebuah kelenteng
kuno yang bobrok, kecuali ini hanya rumah penduduk melulu, maka ia sudah
menaksir sembilan bagian pasti Auwyang Hong sembunyi di dalam kelenteng ini.
Bila teringat olehnya kelima saudara angkatnya semua
dibinasakan Auwyang Hong secara keji di pulau Tho-hoa, kini ada kesempatan
bagus untuk menuntut balas, sudah tentu tidak dia lewatkan begitu saja. Maka
setelah tengah malam, dengan pelahan kemudian ia me-manggil2: "Ko-ji,
Ko-ji !"
Tetapi ia tidak mendapatkan jawaban, ia sangka tentu anak
ini sedang nyenyak tidur, maka ia tidak mendekatinya lagi buat periksa
melainkan terus keluar rumah pondok dengan melompati pagar tembok. Kedua anjing
tadi masih menggerogoti tulang yang dilempar Nyo Ko itu, maka munculnya Kwa,
Tin-ok tidak di-gonggong mereka, hanya terdengar suara geraman saja beberapa
kali untuk kemudian menggeragoti tulang lagi.
Pe-lahan2, akhirnya sampai juga di depan kelenteng itu,
ketika Kwa Tin-ok pasang kuping, betul saja di ruangan dalam terdengar ada
suara bernapasnva orang.
"Hayo, Auwyang Hong, Si buta she Kwa sudah berada di
sini, kalau kau jantan, lekas keluar!" segera ia berteriak menantang.
Sambil berkata, ia ketok tongkatnya ke tanah dengan
keras.
Akan tetapi Auwyang Hong tidak menyahut, ia kuatir tenaga
yang sudah dikumpulkan sejak tadi itu gembos, maka tak berani ia buka suara.
Setelah ber-teriak2 beberapa kali lagi dan tetap tiada
jawaban, akhirnya Kwa Tin-ok menjadi tak sabar, begitu ia angkat tongkatnya,
segera ia dorong pintu kelenteng terus melangkah masuk.
Tak tersangka, mendadak terasa olehnya ada samberan angin
yang berat, semacam benda antap tahu2, menghantam dari atas kepalanya,
berbareng itu pula kaki kirinya yang melangkah masuk itu tepat menginjak pada
tancapan lilin yang tajam itu hingga sol sepatunya tembus, telapak kakinya
seketika kesakitan,
Karena matanya buta, sesaat itu Kwa Tin-ok tidak mengerti
apa yang terjadi, hanya lekas2 ia ayun tongkatnya ke atas, maka terdengarlah
suara "trang" yang keras dan nyaring memekak telinga, Hio-lo yang
jatuh dari atas itu kena dia hantam hingga terpental, menyusul ini ia jatuhkan
diri pula agar kakinya tidak sampai tertancap tembus oleh benda tajam tadi.
Tak ia duga bahwa disamping lain masih terdapat beberapa
Cektay pula yang sama tajamnya, keruan segera pundaknya terasa sakit sebuah
tancapan lilin itu telah menusuk tubuhnya, Ketika ia pegang Cektay itu dan
dicabut keluar, maka mengucurlah darah membasahi pakaiannya.
Ia tak berani lagi cerohoh, ia pasang kuping pula dan
dapat mendengar suara bernapasnya Auwyang Kong, maka setindak demi setindak ia
maju pelahan, sekira tiga kaki dihadapan orang, segera ia angkat tongkatnya ke
atas.
"Ayo, Lo-ok but (Si binatang tua berbisa), sekarang
apa yang hendak kau katakan lagi?" bentak Tin-ok.
Sementara itu Auwyang Hong sudah kumpulkan seluruh tenaga
yang ada padanya dan dipusatkan pada telapak tangan kanannya, ia tunggu bila
tongkat Hui-thian-pian-hok benar2 mengemplang, maka sekaligus iapun akan
menghantamnya, dengan demikian supaya binasa ber-sama2.
Begitu!ah karena sama2 tidak mau serang lebih dulu,
mereka berdua menjadi berdiri berhadapan saja dan sama2 tidak bergerak.
Kemudian dengan telinga Tin-ok yang tajam, akhirnya ia
dengar suara napas orang yang berat dan sesak, tiba2 terkilas pula suara dan
wajah kelima saudara angkatnya: Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin dan Han Siaueng,
yang menjadi korban Auwyang Hong, yang se-olah2 muncul dan be-ramai2 sedang
menganjurkan padanya agar lekas turun tangan, Oleh karena itu, tidak bisa tahan
lagi, dengan sekali geraman yang keras, dengan gerak tipu
"Cin-ong-pian-sek" (raja Cin merangket batu), Tin-ok ayun tongkatnya
menggepruk ke atas kepala orang.
Namun Auwyang Hong masih keburu berkelit, dan selagi ia
hendak lontarkan hantaman balasan, tetapi apa daya? Keinginan ada, tenaga
kurang. Baru tangannya terangkat atau napasnya sudah tak bisa menyambung lagi,
keruan ia menjadi lemas hingga ngusruk jatuh.
Maka terdengarlah suara "bang" yang keras
dibarengi dengan muncratnya lelatu api, ujung tongkat Kwa Tin-ok telah
menghancurkan beberapa ubin hingga hancur.
Kwa Tin-ok tidak memberi kelonggaran pada lawannya,
sekali serang tidak kena, serangan kedua segera menyusul pula, kini tongkatnya
menyerampang dari samping,
jika dalam keadaan biasa, serangan Kwa Tin-ok ini cukup
Auwyang Hong sambut dengan sedikit senggol saja pasti akan bikin tongkat
terpental dari cekalan atau paling tidak dapat pula menghindar dengan melompat
ke atas.
Tetapi kini seluruh badan Auwyang Hong lemas linu, tenaga
sedikitpun tak bisa dikeluarkan, terpaksa untuk kedua kalinya ia harus robohkan
diri dengan menggelinding kesamping.
Dalam pada itu dengan cepat Kwa Tin-ok sudah mainkan ilmu
tongkat "Hang-mo-tiang-hoat" (ilmu tongkat penakluk iblis), ia
menyerang dengan hebat, satu serangan lebih cepat dari serangan yang lain,
sebaliknya gerak-gerik Auwyang liong makin lama semakin lamban dan kaku, hingga
akhirnya mau-tak-mau ia kena digebuk sekali dipundak kirinya.
Menyaksikan pertarungan ini, hati Nyo Ko menjadi
ber-debar2, maksud hatinya hendak maju membantu sang ayah angkat, tetapi apa
daya, ia mengerti ilmu silat sendiri terlalu cetek dan tidak tahan sekali
digebuk musuh, kalau berani ikut2 maju, maka tiada bagian lain kecuali antar
nyawa belaka, Tetapi ia saksikan tongkat Kwa Tin-ok susul menyusul kena
menghantam di atas badan Auswyang Hong, ia menjadi ngeri pula.
Agaknya memang sudah nasib Auwyang Hong yang harus alami
ajaran ini, untung dia bukan jago silat sembarangan ia punya tenaga dalam yang
terlatih tinggi sekali, meski dalam keadaan tak mampu membalas, tetapi ia masih
mampu mematahkan serangan orang, tiap2 tenaga gebukan yang Kwa Tin-ok lontarkan
selalu dia singkirkan kesamping, meski tubuhnya kena dihajar hingga
babak-belur, tetapi jerohannya tiada yang terluka.
Diam2 Kwa Tin-ok menjadi heran, dalani hati ia pikir
"Lo-tok-but" atau Si-binatang tua berbisa (julukan Auwyang Hoag) ini
sungguh bukan main lihaynya, tiap2 hantaman tongkatnya ternyata seperti mengenai
kasur saja, hanya mengeluarkan suara ""bluk" yang keras, tetapi
Auwyang Hong seperti tidak berasa saja, ia pikir kalau tidak hantam bagian
kepalanya, meski seribu kali gebuk lagi belum tentu bisa mampuskan dia. Tidak
ayal lagi Kwa Tin-ok lantas ayun tongkatnya semakin cepat, kini yang dia incar
hanya kepala orang.
Bermula Auwyang Hong masih bisa mengkeret kepalanya untuk
menghindar beberapa kali serangan itu, tetapi sekejap kemudian ia sudah
terkurung rapat dibawah samberan angin tongkat musuh yang selalu berkisar di
tepi telinganya saja, keruan ia me-ngeluh, ia mengerti kalau sampai kepalanya
kena di-kemplang, dapat dipastikan akan mati seketika.
Sementara itu ia lihat tongkat Kwa Tin-ok telah
mengemplang lagi, dalam keadaan kepepet terpaksa Auwyang Hong harus ambil
risiko dan adu untung bukannya hindarkan diri lagi, sebaliknya mendadak ia
menubruk maju, dengan kencang ia berhasil jam-bret dada orang.
Tentu saja tidak kepalang kaget Kwa Tin-ok, dalam
gugupnya ia sempat gunakan gagang tongkatnya menyodok ke punggung orang, Tentu
saja hantaman ini tak bisa dihindarkan Auwyang Hong.
Terdengar suara tertahan, Auwyang Hong terkena hantaman
itu mentah2, luar biasa sakit punggungnya hingga hampir2 ia kelengar.
Sebaliknya Kwa Tin-ok mengira hantamannya itu tak berguna
sama sekali dan tidak mampu melukai lawan lagi, seketika ia menjadi habis akal,
terpaksa dengan tangan kiri ia jambret orang. Harus diketahui bahwa sebelah
kaki Kwa Tin-ok memang pincang, ia bisa menubruk dan menyerang karena bantuan
imbangan tongkatnya, kini karena tubuhnya kena dirangkul orang, maka setelah
sekali dua kali gebrak, akhirnya tak sanggup lagi ia berdiri tegak dan jatuh
terguling.
Namun belum mau Auwyang Hong lepaskan jambretan di
dadanya, bahkan sebelah tangan yang lain ia hendak merangkul pinggang Kwa
Tin-ok, tetapi tiba2 ia merasa tangannya menyentuh sesuatu benda keras, tidak
ayal lagi ia cabut dengan cepat, waktu dia tegasi, kiranya adalah sebilah
belati tajam.
Belati ini adalah senjata tinggalan Thio A Seng, salah
satu saudara angkat Kwa Tin-ok, namanya 'To-gu-to" atau belati jagal sapi,
meski namanya belati jagal, tetapi sebenarnya tidak pernah dibuat sembelih
sapi, Belati ini luar biasa tajamnya, Karena Thio A Seng tewas di tangan Tan
Lip-hong di daerah monggol dahulu, belati ini lantas jatuh di tangan Kwa Tin-ok
dan selalu dibawanya seperti selalu berdampingan dengan saudara angkatnya yang
sudah tewas itu.
Mengetahui belati ini kena direbut Auwyang Hong dan
justru mereka dalam pergulatan secara mati-matian, keruan ia terkejut, lekas2
ia ayun kepalan kiri menjotos sebelum tikaman Auwyang sampai, karena jototan
ini Auwyang Hong terpelanting jatuh, menjusul mana tongkatnya Kwa Tjn-ok segera
menghantam pula.
Jotosan yang tepat kena pelipisnya itu membikin Auwyang
Hong merasa matanya ber-kunang2, lekas2 ia ayun tangannya, ia timpukan belati itu
kepada musuh.
Kwa Tin-ok masih keburu berkelit, maka terdengarlah suara
"Trang" yang nyaring, kiranya belati itu dengan tepat mengenai genta
raksasa yang berada di tengah ruangan kelenteng itu.
Meski sambitan Auwyang Hong itu tidak membawa tenaga keras,
tetapi saking tajamnya belati itu tingga menancap masuk setengah senti di atas
genta itu, gagang belatinya sampai ter-goyang2 tiada hentinya.
Waktu itu kebetulan Nyo Ko berdiri di samping genta,
belati itu menyamber lewat hingga hampir2 pipinya keserempet, dalam kagetnya
lekas2 anak muda ini memanjat ke atas kerangka genta dengan cepat.
Dipihak lain, tiba2 Auwyang Hong mendapat akal juga, ia
mertgitar ke belakang genta yang tergantung itu. Pada waktu itu suara genta
yang menggema masih belum lenyap, Kwa Tin-ok hendak mendengarkan di mana
Auwyang Hong bernapas, maka dengan miring kepala dan pasang kuping ia sedang
mendengarkan secara teliti.
Di bawah sorotan sinar bulan, tertampaklah rambut orang
tua yang kusut ini sedang mendengarkan sambil menunjang tongkat, sikapnya
sangat menakutkan.
Nyo Ko memiliki otak sangat tajam, sesaat itu ia sudah
dapat mengetahui sebab musababnya, maka sekuatnya cabut belati jagal sapi yang
menancap tadi, lalu ia tabuh sekali lagi genta itu dengan keras, maka
terdengarlah suara "trang" yang nyaring hingga suara pernapasan
mereka berdua - Nyo Ko dan Auwyang Hong - tertutup hilang.
Ketika mendadak mendengar suara genta lagi, dengan cepat
Kwa Tin-ok menubruk maju, namun Auwyang Hong sudah memutar pergi lagi ke
belakang genta, ketika Kwa Tin-ok memukul dengan tongkatnya, tongkat itu
mengenai genta hingga kembali suara "trang" yang lebih keras menggema
sampai memekak telinga.
Suara keras yang susul-menyusul itu membikin anak telinga
Nyo Ko se-akan2 hendak pecah, maka sesaat itu iapun tidak dengar suara lain,
dalam pada itu Kwa Tin-ok telah mengamuk, dengan ayun tongkatnya ia hantam
genta terus-menerus hingga suara genta semakin keras.
Melihat perbuatan orang, Auwyang Hong pikir tidak
menguntungkan dirinya, bila Kwa Tin-ok mengetok genta terus, meski Kwe Ceng
menderita luka, tetapi dikuatirkan Ui Yong akan menyusul datang buat
membantunya.
Oleh karenanya, pada saat suara genta berbunyi hebat itu,
secara berindap-indap pelahan ia bermaksud menggeluyur pergi melalui pintu
belakang.
Siapa duga telinga Kwa Tin-ok memang tajam sekali,
walaupun dalam menggemanya suara genta, masih bisa juga ia membedakan suara
yang lain, begitu ia dengar suara menggeser tindakan Auwyang Hong, ia pura2
tidak tahu, ia masih ayun tongkatnya menabuh genta, ia menanti orang sudah
bertindak pergi beberapa tindak dan sudah agak jauh meninggalkan genta,
mendadak ia lantas melompat maju, ia ajun tongkatnya terus mengemplang kepala
orang",
Meski Auwyang Hong sudah kehilangan daya tahannya, tetapi
selama hidupnya entah sudah mengalami berapa banyak badai dan tipumenipu
diwaktu bertempur dengan sendirinya ia sudah ber-jaga2. Ma-ka begitu melihat
tubuh orang bergerak, segera ia tahu maksud Kwa Tin-ok, belum sampai tongkat
orang mengemplang atau lebih dulu ia sudah sembunyi kembali ke belakang genta.
Keruan Kwa Tin-ok menjadi gusar, "Biarpun aku tak
bisa pukul mampus kau, pasti juga aku akan bikin kau mati letih !"
demikian teriaknya murka, Habis ini dengan mengitar genta segera ia mengudak.
Nampak kedua orang itu berkejaran mengitari genta, Nyo Ko
insaf apabila waktu ber-Iarut2, pasti Auwyang Hong akan kehabisan tenaga,
sedang keadaan sudah sangat berbahaya. Tiba2 ia mendapat satu akal, dari atas
kerangka genta ia geraki kedua tangannya memberi isyarat.
Waktu itu Auwyang Hong sedang curahkan seluruh
perhatiannya untuk menghindari udakan musuh, maka ia belum lihat kode orang,
setelah mengitar dua kalangan lagi baru kemudian ia lihat bayangan Nyo Ko di
lantai yang lagi memberikan tanda supaya dia menyingkir semula ia tidak
mengerti apa maksud anak muda ini, tetapi ia pikir kalau Nyo Ko berani suruh
aku menyingkir tentu ada maksud tujuannya, maka dengan menghadapi bahaya ia
lantas bertindak keluar.
Sementara itu Kwa Tin-ok telah berhenti dan tidak
bergerak untuk mem-beda2kan ke jurusan mana perginya musuh.
Saat itu juga diam2 Nyo Ko copot sepatunya, lalu ia
lemparkan ke bagian belakang ruangan, maka terdengarlah suara
"blak-bluk" dua kali, suara jatuhnya benda di lantai.
Tentu saja Kwa Tin-ok ter-heran2 dan menjadi bingung
pula, sudah terang ia dengar Auwyang Hong jalan menuju ke pintu depan, tapi
mengapa di bagian belakang ada suara orang lagi. Dan justru pada saat yang
meragukan itu, Nyo Ko cepat angkat belatinya terus memotong tali gantolan yang
menggantung genta raksasa itu.
Gantolan genta itu sebenarnya cukup kuat, meski belatinya
sangat tajam toh sekali potong tidak nanti bisa terputus, tetapi karena beratnya
genta yang tergantung, hanya setengah saja tali gantolan itu terpotong sudah
tidak tahan lagi bobot genta.
Tanpa ampun lagi, dengan membawa samberan angin santer
genta itu menutup ke atas kepala Kwa Tin-ok yang tepat berdiri di bawahnya.
Hebat sekali daya menurunnya genta ini hingga sewaktu Kwa
Tin-ok mendengar suara angin sudah tak keburu buat melompat pergi, dalam seribu
kerepotannya tiba2 ia tegakkan tongkatnya, maka terdengarlah suara
"trang" pula, dengan persis genta itu menindih di atas tongkat,
karena tangkisan ini, pada kesempatan mana Tin-ok berhasil meloncat keluar dari
bawah genta. Apabila lompatannya ini sedikit kasip saja dapat dipastikan
tubuhnya akan ter-tindih genta hingga hancur.
Dalam pada itu lantas terdengar suara "dung...
gerubyak...klontang" secara susul - menyusul.
Tongkat tadi telah patah menjadi dua, genta pun
menggelinding ke samping hingga menyeruduk bokong Kwa Tin-ok hingga orang cacat
ini terlempar keluar dari pintu kelenteng, bahkan masih terguling beberapa kali,
darah mengucur pula dari hidungnya dan batok kepalanya benjut.
Kasihan Kwa Tin-ok yang matanya tak bisa melihat, ia
tidak tahu mengapa dan sebab apa kejadian yang mendadak itu, ia kuatir jangan2
dalam kelenteng itu terdapat pula makhluk2 aneh lain yang mengacau maka sesudah
merangkak bangun, dengan ter-pincang2 lekas ia bertindak pergi.
Menyaksikan kejadian ini, mau-tak-mau hati Auwyang Hong
terkesiap juga, ber-ulang2 ia mengatakan: "Sayang !"
"Baiklah, sekarang si buta ini tak berani datang
lagi ayah," demikian kata Nyo Ko dengan senang sesudah merangkak turun dai
atas kerangka genta.
Di luar dugaan, Auwyang Hong masih geleng2 kepala saja.
"Orang ini setinggi gunung dendamnya padaku, asal
dia masih bisa bernapas, pasti dia akan datang mencari aku lagi," katanya
kemudian.
"Kalau begitu lekas kita berangkat pergi," ujar
Nyo Ko.
"Percuma," sahut Auwyang Hong sambil geleng
kepala pula, "Lukaku terlalu parah, tidak bisa jauh kita lari."
"Lantas bagaimana baiknya ?" kata Nyo Ko
menjadi kuatir.
"Ada satu akal," sahut Auwyang Hong sesudah
berpikir "Kau potong putus lagi gantolan genta yang lain itu, biar aku
tertutup di dalamnya."
"Dan cara bagaimana ayah akan keluar ?" tanya
Nyo Ko.
"Aku akan sekap diriku selama tujuh hari di bawah
genta, sesudah pulih tenaga asliku, aku sendiri sanggup keluar dengan membuka
genta itu," kata Auwyang Hong, "Dalam tujuh hari ini, sekali pun si
buta itu datang mencari aku lagi, kalau hanya dengan sedikit kepandaiannya saja
tidak mungkin mampu membuka genta sebesar ini."
Nyo Ko pikir baik juga akal itu, tetapi ia masih ragu2,
ia tanya lagi apa betul Auwyang Hong sanggup membuka genta buat keluar sendiri,
sesudah yakin benar2 barulah ia panjat ke atas lagi buat melakukan apa yang
diminta Auwyang Hong.
"Kau holeh ikut pergi saja dengan manusia she Kwe
itu, kelak aku akan mencari kau ke sana," demikian Auwyang Hong berpesan.
Nyo Ko mengiakan pesan itu. Dan sesudah Auwyang Hong
duduk tepat di bawah genta, lalu ia potong gantolan genta pula hingga Auwyang
Hong tertutup rapat di dalamnya.
Dari luar Nyo Ko memanggil beberapa kali, tetapi ia tidak
mendapat sahutan, ia tahu di dalam genta tidak dengar suara dari luar, maka ia
lantas ber-kemas2 buat pergi, Tetapi sebelum itu, tiba2 lahir pula satu
akalnya, ia pergi ke ruang belakang dan mendapatkan sebuah mangkok rusak dan
sebuah sikat bobrok, ia isi penuh mangkok itu dengan air jernih. Setelah
mangkok ditaruk di lantai, kemudian ia sendiri berjungkir sambil tangan kiri
dimasukkan ke dalam mangkok yang berisi air itu.
Kiranya ia telah lakukan ilmu menolak hawa berbisa dalam
tubuhnya menurut ajaran Auwyang Hong, ia desak keluar beberapa tetes darah
beracun dari tangannya.
Ilmu ini sangat makan tenaga, sedang Nyo Ko baru
mempelajari dasar2nya saja, meski dapat juga ia desak keluar beberapa tetes
darah hitam, tidak urung ia sudah mandi keringat.
Kemudian dengan sikat yang tersedia itu ia celup air itu
untuk semir sekitar genta, ia pikir kalau padri2 kelenteng ini kembali atau si
buta she Kwa itu berani datang lagi dan bermaksud menyongkel genta ini, begitu
tubuh mereka menyentuh genta-pasti mereka akan merasakan jahatnya racun ini.
Selesai ia atur tipu jebakannya, dengan langkah lebar Nyo
Ko lantas pulang kepondoknya, Pada waktu melintasi pagar tembok untuk masuk
kamar, dalam hati ia rada kuatir kalau2 kepergok Kwa Tin-ok. siapa tahu sesudah
dia masuk kamar, Kwa Tin-ok sendiri, malah belum kembali, ini sama sekali di
luar dugaannya.
Setelah rebah dipembaringannya, Nyo Ko hanya
gulang-guling saja tak bisa tidur, keadaan ini berlangsung terus sampai hari
sudah terang, baru kemudian ia dengar ada suara ketokan pintu kamar dengan
pentung.
Dengan cepat Nyo Ko melompat bangun buat buka pintu, maka
tertampaklah olehnya dengan mencekal sebatang pentung kayu muka Kwa Tin-ok
pucat lesi, begitu orang buta ini melangkah masuk segera terbanting jatuh di
lantai.
Demi nampak kedua tangan Tin-ok berwarna hitam, Nyo Ko
tahu jebakan beracun yang dia pasang di genta itu telah kena sasarannya, maka
diam2 ia merasa girang, tetapi ia pura2 kaget dan ber-teriak2: "He,
Kwa-kongkong, kenapakah kau?"
Ketika mendengar suara teriakan Nyo Ko, Kwe Ceng dan Ui
Yong lantas datang memeriksanya dan setelah tahu Kwa Tin-ok menggeletak di
lantai, keruan mereka terkejut.
Waktu itu Kwe Ceng sudah bisa bebas bergerak, hanya
tenaganya yang masih kurang, maka Ui Yong yang dukung Tin-ok ke tempat
tidurnya.
"Toa-suhu, Toa-suhu, kenapakah kau?" demikian
ber-ulang2 ia tanya.
Tetapi Tin-ok hanya menggeleng kepala saja, ia tidak
menjawab juga tidak menerangkan.
Sesudah Ui Yong melihat bengkak hitam pada telapak orang
tua itu, tahulah dia apa yang telah terjadi "Kurangajar, kembali perbuatan
itu perempuan hina-dina she Li lagi Ceng-koko, biar aku pergi
melabraknya," katanya dengan gemas, ia menyangka itu adalah perbuatan Li
Bok-chiu.
Habis berkata, setelah bikin ringkas pakaiannya, segera
Ui Yong melangkah keluar.
"Bukan perempuan itu!" tiba2 Tin-ok berseru.
Tentu saja Ui Yong heran, ia berhenti dan menoleh.
"Bukan dia? Lalu siapa lagi?" tanyanya tak
mengerti.
Akan tetapi Kwa Tin-ok tidak menjelaskan lebih lanjut, ia
merasa malu karena tak mampu melayani seorang yang boleh dikata sudah tak punya
tenaga, bahkan dirinya sendiri kena dikibuli sehingga pulang menderita luka,
sungguh boleh dikatakan terlalu tak becus. Karena itu, turuti wataknya yang
keras kepala, maka ia bungkam saja.
Di lain pihak Kwe Ceng dan Ui Yong cukup kenal tabiat
orang tua ini, kalau mau bilang, sejak tadi ia sendiri sudah menutur, kalau dia
sudah tak mau cerita, makin ditanya hanya akan makin menambah kegusarannya.
Baiknya luka yang keracunan hanya kulit tangan saja dan
tidak lihay, meski orangnya kelengar sesaat, tetapi kelak tidak menjadi
halangan.
Sementara itu Ui Yong telah ambil keputusan di dalam
hati, Kwe Ceng dan Kwa Tin-ok sudah terluka, sedang kekejian Li Bok-chiu susah
diukur, terpaksa angkut kedua orang luka dan antar pulang dahulu kedua bocah
ini ke Tho-hoa-to, kemudian ia sendiri akan mencari Li Bok-chiu lagi dan
melabraknya.
Sesudah mengaso setengah hari, sorenya mereka lantas sewa
sebuah perahu kecil buat berlayar ke muara laut, Dekat magrib, perahu membuang
sauh dan tukang perahunya hendak menanak nasi,
Didalam perahu itu, karena Nyo Ko masih tetap tak gubris
padanya, Kwe Hu menjadi dongkol dan melengos pula, ia bersandar di jendela
perahu untuk memandang ke daratan, tiba2 ia lihat di bawah pohon Lui yang
rindang sana ada dua anak kecil sedang menangis dengan sedih sekali, tampaknya
kedua anak ini justru Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua saudara.
Terhadap kedua bocah ini rupanya Kwe Hu lebih cocok, maka
segera ia berseru menegur: "Hai, apa yang kalian lakukan di situ?"
"Kami sedang menangis, tidakkah kau melihat ?"
sahut Bu Siu-bun setelah berpaling dan mengenali Kwe Hu.
"Sebab apakah? Kalian telah di hajar ibumu bukan
?" tanya Kwe Ha lagi.
"Tidak, ibu telah mati!" sahut Siu-bun dengan
menangis guguk.
Jawaban ini membikin Ui Yong ikut terkejut dengan cepat
ia melompat ke-gili2. Betul saja ia lihat kedua bocah itu menangis dengan sedih
sambil meratapi mayat ibu mereka.
Waktu Ui Yong memeriksanya, ia lihat muka Bu-sam-nio
hitam hangus, tampaknya sudah lama putus napasnya terang mukanya yang kena
ditowel Li Bok-chiu tempo hari dengan Jik-lian-sin-ciang, meski bisa tahan
beberapa hari, tetapi akhirnya mati karena bekerjanya racun.
Kemudian Ui Yong bertanya di mana beradanya Bu Sam-thong.
"Entahlah, tak tahu kemana ayah pergi." sahut
Bu Tun-si dengan masih menangis.
"Melihat ibu rneninggal, pikiran ayah tiba2
ling-lung lagi," demikian Bu Siu-bun menambahkan, "Meski kami
memanggil dia, namun sama sekali dia tidak menggubris kami."
Hahis menutur, kembali bocah ini menangis terguguk pula.
"Kalian tentu sudah lapar bukan ?" tanya Ui
Yong.
Kedua saudara Bu ini mengangguk. Maka Ui Yong lantas
perintahkan tukang perahu bawa kedua bocah ini ke dalam perahu dan diberi
makan, ia sendiri lantas pergi ke kota yang terdekat buat membeli sebuah peti
mati buat Bu-samnio. Karena hari sudah petang, besok paginya baru dicarikan
sebidang tanah untuk menguburnya.
Meski masih bocah, tetapi kedua saudara she Bu itu
menangis sesambatan sambil meng-gabruk2 peti mati ibunya, sungguh rasanya mereka
ingin ikut mangkat sekalian.
Saking harunya Kwe Ceng, Ui Yong dan Kwa Tin-ok ikut
mengucurkan air mata, Nyo Ko yang berperasaan halus dan gampang tergoncang,
meski sedikitpun dia tiada hubungan dengan Bu-samnio, tetapi melihat orang2
lain pada mengalirkan air mata, tanpa tahan iapun ikut menangis meng-gerung2.
Hanya Kwe Hu seorang saja yang tidak ikut menangis,
Kesatu karena anak ini memang masih belum kenal adat kehidupan, kedua dia
memang mempunyai hati yang keras, maka ia hanya duduk disamping memain sendiri
dengan sapu tangannya.
"Yong-ji," kata Kwe Ceng kemudian pada sang
isteri sesudah puas menangis, "marilah kita bawa serta kedua anak ini ke
Tho-hoa-to, cuma selanjutnya kau harus lebih banyak perhatian buat
merawatnya."
Ui Yong angguk2 tanda setuju, lalu mereka menghibur kedua
saudara Bu itu dan Nyo Ko agar berhenti menangis, mereka lantas lanjutkan
perahunya sampai di laut, dari sini mereka ganti perahu yang besaran untuk
berlayar ke arah Timur, menuju ke Tho-hoa-to atau pulau bunga Tho.
Kalau sekarang Kwe Ceng dan Ui Yong mau pelihara anak2
piatu ini adalah karena kemauan baik mereka, siapa tahu berkumpulnya keempat
bocah ini di suatu tempat, kelak menimbulkan mala-petaka yang sukar diakhiri.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai di Tho-hoa-to
dengan selamat.
Waktu masih di atas perahu Kwe Ceng telah menyembuhkan
sendiri dengan Lwekangnya yang tinggi, maka lukanya sebagian besar sudah
sembuh, kini dirawat pula beberapa hari di atas pulau, maka keadaannya sudah
pulih kembali seperti sediakala.
Ketika mereka suami isteri percakapkan diri Auwyang Hong
yang sudah belasan tahun tak berjumpa, bukan saja tidak nampak loyo dan mundur
ilmu silatnya, bahkan melebihi masa yang lalu, maka mereka menjadi heran dan
ber-ulang2 menghela napas.
Berbicara tentang asal-usul diri Nyo Ko, segera Kwe Ceng
keluar melihat bocah itu, ia lihat anak muda ini sedang bermain dengan puteri
kesayangannya dan lagi mencari jangkerik di semak2 rumput, dia panggil anak
muda itu dan diajak ke dalam kamar, ia tanya semua kejadian yang lalu padanya.
Kiranya selama itu Nyo Ko hidup berdampingan dengan
ibunya, Cin Lam-khim dan tinggal di kaki bukit Tiang-nia di propinsi Kangsay,
mereka hidup dari menangkap ular hingga lewat belasan tahun.
Selama itu pelahan2 Nyo Ko tumbuh besar juga, ibunya Cin
Lam-khim, telah turunkan dasar2 Lwekang yang dahulu diperolehnya dari Kwe Ceng
kepada puteranya ini.
Dasar Nyo Ko memang sangat pintar dan otaknya encer,
serta banyak pula tipu akalnya, ketika berumur tujuh atau delapan tahun,
kepandaiannya menangkap ular sudah melampaui sang ibu. Pernah ia dengar cerita
ibunya bahwa di jagat ini ada orang yang bisa mengerahkan ular hingga berwujut
barisan, dalam hatinya diam2 ia sangat kagum dan ketarik, maka diwaktu senggang
ia suka tangkap beberapa ekor ular hijau untuk memain dan dipelihara, lama
kelamaan, dia paham betul watak ular, bila ia bersuit sekali, kawanan ular
lantas menurut perintah dan berbaris sendiri.
Perlu diterangkan bahwa Auwyang Hong yang berjuluk Se-tok
diperoleh dari keahliannya memelihara segala macam binatang berbisa terutama
ular2 yang berbisa jahat, ia tinggal di gunung Pek-to-san (gunung Ohta putih)
di daerah barat, banyak dia pelihara lelaki tukang angon ular, tetapi cara
angon ular kaum Pek-to-san ini adalah turun temurun, sedangkan Nyo Ko
mendapatkan kepandaian ini dari bakatnya sendiri, meski cara-nya berlainan,
tetapi dasarnya sebenarnya sama.
Belakangan karena kurang hati2 ibu Nyo Ko telah dipagut
oleh semacam ular aneh, obat pemunah racun yang selalu dibawanya ternyata tak
mempan mengobati pagutan itu hingga mengakibatkan kematiannya.
Habis itu Nyo Ko menjadi sebatang-kara, seorang diri ia
ter-lunta di Kangouw, kawan satu2nya yang selalu berdampingan dengan dia boleh
dikatakan melulu burung merah yang bercucuk panjang itu, siapa duga hari itu
kebentur Li Bok-chiu hingga burung merah itu terbinasa ditangannya.
Hendaklah diketahui bahwa burung merah bercucuk panjang
itu dahulunya adalah piaraan Ui lcong, kini demi mendengar burung itu
terbinasa, berulang-ulang Kwe Ceng menyatakan sayang, rasa gemasnya pada Li
Bok-chiu menjadi bertambah juga.
Kemudian ia tanya Nyo Ko pula di mana anak ini berada
ketika Bu Sam-thong bergebrak dengan Auwyang Hong, ia tanya pula apa Nyo Ko
kenal dengan Auwyang Hong, Namun Nyo Ko sama sekali tidak memperlihatkan
sesuatu tanda, bahkan ia berbalik tanya siapakah Auwyang Hong? ini adalah
akalnya Nyo Ko yang sengaja mendahului tanya supaya urusan ini bisa dia cuci
bersih.
Tak terduga, Ui Yong adalah wanita terpandai dan cerdik
dijagat ini dengan usia Nyo Ko yang masih muda dan meski air mukanya tidak
unjuk sesuatu tanda, tetapi hendak mengelabui Ui Yong, itulah tidak gampang
baginya.
"Baiklah, boleh kau pergi bermain dengan kedua
saudara Bu," kata Ui Yong kemudian, ia tidak ingin tanya lebih lanjut.
Jika di antara Ui Yong dan Nyo Ko diam2 telah adu
kecerdasan maka Kwe Ceng yang berpembawaan sederhana otaknya sama sekali tidak
mengetahuinya, ia tunggu sesudah Nyo Ko keluar, barulah ia berkata pada sang
isteri.
"Yong-ji", demikian katanya, "Sudah lama
aku punya satu janji dalam hati, tentunya kau mengetahui, kini berkat kemurahan
Thian bisa bertemu dengan anak Ko, maka janji hatiku dapatlah terlaksana."
Hendaklah diketahui bahwa mendiang ayah Kwe Ceng, Kwe
Siau-thian, adalah saudara angkat Engkongnya Nyo Ko yang bernama Nyo Thi-sim.
Di waktu isteri kedua keluarga ini sama2 duduk perut, mereka berdua telah
saling janji bahwa bila kelak yang dilahirkan itu adalah laki2 semua, maka
mereka harus menjadi saudara angkat lagi, begitu pula kalau sama2 perempuan.
Tetapi kalau satu laki2 dan yang lain perempuan maka mereka harus menjadi
suami-isteri.
Belakangan yang dilahirkan ternyata adalah laki2 semua,
yakni Kwe Ceng dan Nyo Khong, ayah Nyo Ko, maka mereka mentaati sumpah itu dan
bersaudara angkat. Tetapi karena Nyo Khong telah khianat dan mengaku musuh
sebagai bapak hingga nasibnya berakhir dengan mengenaskan ia tewas secara
menyedihkan di suatu kelenteng di kota Ka-hin.
Mengingat akan hubungan orang tua itulah, maka Kwe Ceng
tidak pernah melupakannya. Kini ia berkata, segera pula Ui Yong tahu akan
maksud suaminya.
"Tidak, aku tidak setuju," demikian ia menjawab
dengan menggeleng kepala.
Keruan Kwe Ceng menjadi heran.
"Kenapa ?" tanyanya.
"Mana boleh anak Hu dapatkan jodoh bocah seperti dia
ini," sahut Ui Yong.
"Meski kelakuan ayahnya tidak baik, tetapi mengingat
keluarga Kwe kita dengan keluarga Nyo yang turun temurun berhubungan dengan
baik, asal kita mengajar dia dengan baik, menurut pendapatku, jika melihat
tampangnya yang cakap dan tindak-tanduknya yang cerdik, kelak bukan tidak
mungkin akan di atas orang lain," ujar Kwe Ceng.
"Ya, justru aku kuatir dia terlalu pintar,"
kata Ui Yong lagi.
"He, aneh, bukankah kau sendiri sangat pintar,
kenapa kau malah cela orang pintar ?" sahut Kwe Ceng.
"Tetapi aku justru lebih menyukai Engkoh tolol
seperti kau ini," kata Ui Yong dengan tertawa.
"Tetapi kalau anak Hu sudah besar, belum tentu
serupa dengan kau," ujar Kwe Ceng ikut tertawa, "kukira dia tidak
menyukai seorang anak tolol. Lagi pula, orang tolol seperti aku ini, di jagat
ini agaknya sukar dicari keduanya lagi."
"Waduh, tidak malu!" demikian Ui Yong
meng-olok2.
Begitulah sesudah bersenda-gurau, lalu Kwe Ceng
mengulangi lagi pada maksudnya tadi.
"Ayahku pernah meninggalkan pesan, begitu pula
sebelum mangkat paman Nyo Thi-sun juga pernah pesan wanti2 padaku, maka
sekarang kalau aku tidak pandang anak Ko seperti anak sendiri, mana bisa aku
menghadapi ayah dan paman Nyo dialam baka."
Habis berkata Kwe Ceng menghela napas panjang yang penuh
mengandung rasa haru dan menyesal "Baiknya kedua bocah masih kecil, urusan
inipun tidak perlu buru2 diselesaikan," ujar Ui Yong kemudian dengan suara
lunak, "Kelak apabila betul Ko-ji tidak jelek kelakuannya, bagaimana kau
suka boleh diputuskan sendiri."
Mendengar jawaban ini, tiba2 Kwe Ceng berdiri dan
membungkuk memberi hormat pada sang isteri, "Terima kasih Niocu (isteriku)
telah setuju, sungguh tak terhingga rasa syukurku," demikian ia berkata.
"Aku tidak bilang setuju," tiba2 Ui Yong
menjawab dengan sungguh2. "Tetapi aku bilang harus melihat dahulu
bagaimana kelakuan anak itu kelak."
Saat itu Kwe Ceng membungkuk dan belum tegak kembali,
ketika dengar jawaban isterinya ini, ia melongo. Tetapi menyusul segera ia
bilang lagi: "Ayahnya berubah menjadi busuk karena sejak kecil ia
dibesarkan dalam keraton negeri Kim, tetapi sekarang Ko-ji tinggal dipulau
kita, tak mungkin ia berubah menjadi jelek, janganlah kau kuatir."
Maka tertawalah Ui Yong, segera ia alihkan pembicaraan ke
urusan lain.
Kembali pada diri Nyo Ko yang tadi sedang mencari
jangkerik bersama Kwe Hu.
Tatkala kedua bocah ini mulai berkenalan memang terjadi
perselisihan paham, tetapi dasar watak kanak2, lewat beberapa hari saja
perselisihan paham itu sudah terlupa semua maka sesudah Nyo Ko dipanggil Kwe
Ceng, sekembalinya dia lantas mencari Kwe Hu lagi.
Tetapi pada waktu hampir sampai di-semak2 tadi, ia dengar
suara tertawa ngikik yang ramai, kiranya kedua saudara Bu sedang berjongkok dan
lagi bongkar batu dan singkap rumput untuk mencari jengkerik juga.
Setelah Nyo Ko mendekati, ia lihat tangan Bu Tun-si
memegangi sebuah bumbung bambu, sedang Kwe Hu membawa sebuah belanga, Bu
Siu-bun sendiri lagi membongkar dan membalik batu. Dalam pada itu, tiba2 seekor
jangkerik besar meloncat keluar dari tempat sembunyinya, lekas2 Siu-bun
menubruk dan menangkapnya, maka bersoraklah dia kegirangan.
"Berikan padaku! Berikan padaku!" demikian Kwe
Hu ber-teriak2.
"Baiklah, buat kau," kata Siu-bun sambil
membuka tutup belanga yang dipegang Kwe Hu dan memasukkannya ke dalam.
Ia lihat jangkerik yang baru ditangkap itu kepalanya
bundar besar, kakinya panjang kuat, tubuhnya bulat dan gagah sekali.
"Ha, jangkerik ini pasti jagoan yang tiada
tandingannya." demikian Bu Siu-bun berkata, "Nyo-koko, semua
jangkerikmu pasti tidak bisa menangkan dia."
Tentu saja Nyo Ko tidak mau menyerah, segera ia pilih
satu di antara jangkerik tangkapannya yang paling besar dan paling berangasan
untuk diadu.
Akan tetapi baru sekali gebrag saja, jangkerik Nyo Ko
telah kena digigit jangkrik besar tadi dibagian tengah pinggang terus dilempar
keluar dari belanga, atas kemenangan ini jangkerik itu lantas berbunyi
"krik-krik" dengan senang sekali.
"Hura, aku punya yang menang", demikian Kwe Hu
kegirangan sambil bertepuk tangan.
"Jangan senang2 dulu, ini masih ada yang lain,"
kata Nyo Ko. Lalu ia ajukan jagonya yang lain lagi.
Diluar dugaan, meski be-runtun2 tiga kali ia tukar
jangkeriknya, tiap2 kali selalu dikalahkan jangkerik orang, bahkan jagonya yang
ketiga malahan kena digigit jangkerik musuh yang besar itu hingga terkutung
menjadi dua.
Dengan sendirinya Nyo Ko merasa kehilangan muka.
"Sudahlah, tidak mau lagi!" katanya terus bertindak pergi.
Pada saat itu juga, tiba2 diantara semak2 rumput di
belakang sana terdengar ada suara "krok-krok" yang aneh.
"Ha, ada satu lagi," seru Bu Tun-si.
Habis ini ia lantas singkap rumput yang lebat itu, di
luar dugaan mendadak ia mencelat mundur sambil berteriak kaget: "He ular,
ada ular!"
Mendengar kata "ular", Nyo Ko yang sudah
melangkah pergi seketika berhenti, bahkan ia putar kembali buat melihatnya,
Betul saja ia lihat disitu ada seekor ular belang-bonteng yang jelas kelihatan
jenis ular berbisa, sedang melelet lidah dan tegak kepala sambil menyembur,
hanya badannya yang masih meringkuk diantara semak2 rumput itu.
Sejak kecil Nyo Ko sudah tergolong ahli tangkap ular,
sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata pada binatang ini, segera ia maju dan
begitu ulur tangannya, seketika leher ular dia tangkap terus dibanting ke atas
batu dengan kuat, tanpa ampun lagi ular itu terbanting mati.
Diluar dugaan, tempat dimana ular tadi meringkuk ternyata
ada lagi seekor jangkrik hitam kecil, rupanya aneh dan jelek, tapi sedang
geraki sayapnya dan mengeluarkan suara "krik-krik" yang nyaring.
"Nah, tangkaplah setan hitam kecil itu saja,
Nyo-koko", dengan tertawa Kwe Hu mengejek Nyo Ko yang kalah beberapa kali
tadi. Watak Nyo Ko justru paling tidak senang kalau dihina orang. "Baik,
tangkap ya tangkap," sahutnya ketus.
Segera jangkerik hitam kecil itu ditangkapnya terus di
lepaskan ke dalam belanga yang dipegang Kwe Hu.
Sungguh aneh bin ajaib, jangkrik yang besar tadi begitu
melihat jangkrik hitam kecil ini seketika mengunjuk rasa jeri, bahkan terus
mundur2 dan hendak lari.
Namun Kwe Hu dan kedua saudara Bu masih ber-teriak2 untuk
membangkitkan semangat jagonya.
Sementara itu jangkrik hitam kecil itu telah melompat
maju dengan tegang leher, sebaliknya jangkrik yang besar ternyata tak berani
menyambut tantangan itu dan bermaksud melompat keluar dari tempurung, tak
terduga gerak-gerik jangkrik hitam ternyata sebat dan aneh luar biasa, ia
melompat maju dan gigit ekor jangkrik besar tadi, dengan kuat dia kunyah
sekali, tahu2 jangkrik besar itu berkelejetan beberapa kali terus terbalik dan
mati.
Kiranya diantara jangkrik itu terdapat semacam jangkrik
yang suka tinggal bersama dengan binatang berbisa lain, kalau tinggal bersama
kelabang disebut "jangkrik kelabang", kalau tinggal bersama ular
disebut "jangkrik ular".
Oleh karenanya tubuh mereka terjalar hawa berbisa dari
binatang yang tinggal bersama dia itu, maka jenis biasa tidak sanggup
melawannya.
Jangkrik yang ditangkap Nyo ko tadi justru adalah seekor
jangkrik ular.
Dilain pihak, sesudah Kwe Hu melihat jangkrik besarnya
mati, ia menjadi kurang senang.
"Nyo-koko, kau punya setan hitam kecil ini berikan
padaku saja," katanya kemudian sesudah berpikir.
"Berikan padamu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi
kenapa kau memaki dia sebagai setan hitam kecil ?" sahut Nyo Ko.
Kwe Hu menjadi jengkel oleh jawaban ini.
"Tak mau beri ya sudah, siapa kepingin ?"
katanya dengan mulut menjengkit, Berbareng itu ia tuang belanganya dan banting
jangkrik hitam kecil itu ke tanah, bahkan ia injak pula dengan kakinya hingga
binatang kecil itu mecotot perutnya.
Nampak jangkriknya diinjak mati, Nyo Ko terkejut
tercampur gusar, perasaan halus pemuda ini paling gampang tertusuk, seketika
itu ia naik darah hingga mukanya merah padam, tanpa pikir lagi ia baliki
telapak tangannya terus menampar pipi Kwe Hu.
Pukulan ini cukup keras hingga Kwe Hu merasa pipinya
panas pedas, ia terlongong sesaat dan belum mengambil putusan apa harus
menangis atau tidak, tiba2 ia dengar Bu Siu-bun sudah mendamperat.
"Kau berani pukul orang !" bentak anak itu,
Berbareng ia lantas menjotos ke dada Nyo Ko.
Karena terlahir dalam keluarga jago silat, pula sejak
kecil ia sudah peroleh ajaran dari ibunya sendiri, maka ilmu silat Siu-bun
sudah mempunyai dasar yang kuat, jotosannya tadi dengan tepat kena sasarannya.
Dengan sendirinya Nyo Ko menjadi gusar, kontan ia balas
meninju, Tetapi Siu-bun sempat berkelit hingga pukulannya luput
Nyo Ko masih penasaran, ia mengudak maju terus menubruk
dan menghantam pula. Diluar dugaannya, se-konyong2 Bu Tun-si ulur kakinya
men-jegal hingga Nyo Ko mencium tanah, ia jatuh ngusruk ke depan.
Kesempatan ini segera digunakan kedua saudara Bu itu
dengan baik, dengan cepat Bu Siuhun menunggangi tubuh Nyo Ko, Bu Tun-si pun
ikut maju dan menahan bokongnya dengan kencang, menyusul empat kepalan mereka
terus menghujani tubuh Nyo Ko dengan gebukan2.
Sungguhpun usia Nyo Ko lebih tua dari kedua saudara Bu
itu, tetapi karena satu lawan dua, pula Siu-hun dan Tun-si sudah pernah
berlatih silat sebaliknya Nyo Ko hanya belajar sedikit dasar lwe-kang saja dari
ibunya dan belum terlatih sempurna, dengan sendirinya ia bukan tandingan kedua
lawan ciliknya. Namun demikian, ia tidak menyerah mentah2, ia kertak gigi
menahan sakit pukulan orang, sedikitpun ia tidak merintih.
"Lekas minta ampun, kami lantas lepaskan kau,"
kata Bu Tun-si.
"Kentut !" sahut Nyo Ko dengan gusar.
Karena itu, susul-menyusul Bu Siu-hun menggebuk lagi dua
kali di punggungnya.
Melihat kedua saudara Bu itu membela dirinya dan hajar
Nyo Ko, Kwe Hu merasa senang sekali.
Siu-bun dan Tun-si juga cukup cerdik, mereka tahu kalau
hantam orang di bagian kepala atau muka tentu akan meninggalkan bekas
babak-belur, nanti kalau dilihat Kwe Ceng dan Ui Yong pasti akan didamperat,
oleh karena itu kepalan dan kaki mereka selalu mengarah di atas badan Nyo Ko.
Dalam pada itu melihat makin hebat gebukan yang
menghujani Nyo Ko itu, akhirnya Kwe Hu sendiri rada takut dan meresa ngeri,
tetapi bila ia meraba pipi sendiri yang masih terasa sakit pedas, segera pula
ia merasa belum puas hajaran itu.
"Hantam dia, hantam yang keras !" demikian dia
ber-teriak2 pula.
Mendengar seruan Kwe Hu, benar juga Tun-si dan Siu-bun
kerjakan kepalan mereka semakin cepat dan menjotos lebih ganas lagi.
Sudah tentu seruan Kwe Hu tadi didengar juga oleh Nyo Ko
yang kena ditindih di atas tanah, "Kau si budak ini sungguh kejam, kelak
aku Nyo Ko pasti membalas "sakit hati ini," demikian katanya dalam
hati.
Tetapi segera ia merasakan pinggang, punggung dan bagian
bokong tidak kepalang sakitnya, pelahan2 ia mulai tidak tahan.
Harus diketahui meski kecil, tapi kedua saudara Bu sudah
berlatih silat sejak kecil, kalau mereka menjotos, meski orang tua sekalipun
tak akan tahan, kalau bukan Nyo Ko yang sudah mempunyai dasar2 wekang tentu
sejak tadi ia sudah semaput.
Dalam keadaan terpaksa Nyo Ko mengertak gigi menahan
sakit sekuatnya, tiba2 pandangannya menjadi gelap, kedua tangannya meraba dan
me-raup2 serakutan di atas tanah, mendadak pula sebelah tangannya menyentuh
sesuatu benda yang licin dingin, seketika pikirannya tergerak, ia tahu itu
adalah bangkai ular "berbisa tadi yang dia banting mati itu, tanpa ayal
lagi segera ia cekal terus disabetkan ke belakang.
Nampak ular yang sudah mati dengan kulitnya yang
belang-bonteng, kedua saudara Bu menjadi kaget dan menjerit ngeri.
Kesempatan mana segera digunakan Nyo Ko dengan baik,
sekali membalik ia telah berdiri kembali, menyusul ia putar tinjunya terus
manghantam, tepat sekali hidung Bu Tun-si kena dia genjot hingga keluar
kecapnya, Habis ini, segera Nyo Ko angkat kaki dan lari ke belakang pulau sana.
Sudah tentu kedua saudara Bu menjadi gusar, segera mereka
mengudak.
Kwe Hu memang suka dengan keonaran, iapun ingin tahu
lanjutannya, maka ia menyusul dari belakang, bahkan tiada hentinya ia
ber-teriak2 : "Tangkap, tangkap dia !"
Sesudah ber-lari2, ketika ketika Nyo Ko menoleh, ia lihat
muka Tun-si penuh darah, baju bagian dada lebih2 nyata lagi dengan bekas2 darah
yang mengucur itu hingga rupanya sangat beringas sekali kelihatannya.
Nyo Ko insaf bila sampai dirinya kena ditangkap kedua
saudara Bu lagi, maka pukulan2 yang bakal ia terima pasti akan jauh lebih lihay
daripada tadi, oleh karenanya ia berlari semakin cepat, ia lari menuju tebing
gunung dan memanjat ke atas.
Sesungguhnya meski hidung Bu Tun-si kena di-jotos, tetapi
tidak begitu sakit, cuma demi melihat darah mengucur, ia menjadi panik dan
gusar pula, maka ia menguber semakin kencang.
Makin lama makin tinggi Nyo Ko panjat ke atas, tapi
sedikitpun kedua saudara Bu belum mau berhenti mengejar. Sedang Kwe Hu sesudah
sampai di tengah tebing gunung itu lantas berhenti, dari sini ia mengikuti
orang udak2an dengan mendongak saja.
Dalanm pada itu Nyo Ko telah sampai di tempat buntu, di
depannya adalah tebing curam dan tiada jalan lalu lagi buat lari terus, Pemuda
ini mempunyai kecenderungan pikiran yang nekat, dalam keadaan kepepet ia pikir
: "Hm, sekalipun aku harus mati terjun ke dalam jurang, tidak nanti aku
rela ditangkap kedua bocah itu untuk dihina mentah2."
Karena pikiran itulah, maka ia lantas putar balik dan
membentak: "Hayo berhenti, jika berani mengejar setapak lagi, segera aku
terjun ke bawah !"
Gertakan ini bikin Bu Tun-si rada terkejut juga anak ini
tertegun sejenak, berlainan dengan adiknya, Bu Siu-bun, bocah ini malah
menantang akan!"
"Hm, kalau mau terjun lekas terjun saja, siapa kena
kau gertak ?" demikian ia mengejek, berkata ia mendesak maju lagi beberapa
tindak.
Melihat ini, seketika Nyo Ko naik darah dan timbul
pikiran pemdek, mendadak ia berjongkok hendak terjun ke dalam jurang, syukur
sebelum itu sekilas terlihat olehnya di samping terdapat sebuah batu besar dan
letaknya miring.
Dalam keadaan gusar, Nyo Ko sudah tidak memikirkan
akibat2nya lagi segera ia dorong batu besar itu yang memang kelihatan miring,
betul juga ia merasakan batu besar ini ber-goyang2, segera ia melompat mundar
ke belakang batu, sekuatnya ia dorong, maka terdengarlah suara gemuruh hebat
memecah angkasa, batu besar itu menggelinding ke bawah bukit dengan cepat luar
biasa, batu, kedua saudara Bu menyadari juga gelagat jelek.
Di lain pihak demi melihat Nyo Ko mendorong muka mereka
menjadi pucat, segera akan menyingkir namun sudah kasip, dengan mata terbelalak
mereka lihat pasir berhamburan dari atas kepala, seketika mereka tidak tahu apa
yang harus diperbuat.
Dalam detik yang sangat berbahaya itu, mendadak mereka
merasa punggung mereka se-akan2 ditarik, tahu2 tubuh mereka mumbul ke udara,
menyusul mana terdengarlah suara kaokan burung rajawali tubuh mereka sudah
dibawa terbang melintasi bukit.
Kiranya sepasang burung rajawali itu lagi terbang memain
di atas udara, menggelindingnya batu besar tadi telah dilihat mereka, syukurlah
dengan cepat kedua burung ini masih sempat menolong jiwa Tun-si dan Siu-bun.
Sementara batu besar tadi dengan menerbitkan suara
gemuruh keras, tidak sedikit pepohonan telah diterjangnya hingga akhirnya
menggelinding masuk kelaut.
Ui Yong mendengar juga suara kaokan rajawali yang
menandakan rasa kuatir tadi disusul pula suara gemuruh yang aneh, maka lekas2
ia berlari keluar dari rumah, tertampak olehnya debu pasir berhamburan
puterinya kelihatan bersembunyi di semak2 pinggir gunung, dalam takutnya sampai
anak perempuan ini tak sanggup mengeluarkan suara tangisan.
Dalam pada itu kedua burung rajawali yang mencengkeram
kedua saudara Bu dengan pelahan kemudian turun kehadapan Ui Yong sambil tegang
leher dan pentang sayap, kedua burung ini seperti lagi unjuk jasa mereka
dihadapan sang majikan.
Dengan aleman Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pangkuan
sang ibu, lalu menangis ter-sedu2, sesudah menangis sejenak, kemudian baru ia
ceritakan cara bagaimana ia telah dipukul Nyo Ko. ia ceritakan juga bagaimana
kedua saudara Bu telah membela dirinya dan Nyo Ko telah mendorong batu besar
itu hendak menggilas mati kedua bocah itu.
Demikianlah ia tumplekkan semua kesalahan pada Nyo Ko,
tetapi ia sendiri menginjak mati jangkerik orang dan cara bagaimana kedua
saudara Bu memukul Nyo Ko, semua ini dia tutup dan tidak dituturkan
Sehabis mendengar, Ui Yong kelihatan termangu2, ia tidak
bersuara.
Dalam pada itu Kwe Ceng sudah menyusul datang juga, waktu
ia lihat muka dan baju Tun-si berlepotan darah, ia kaget ia tanya
sebab-musababnya, dalam hati iapun merasa marah.
Tetapi ia kuatir pula terjadi sesuatu atas diri Nyo Ko,
maka lekas2 ia lari ke atas bukit buat mencarinya.
Akan tetapi meski ia sudah mencari kian kemari, dari
depan sampai belakang bukit ternyata sama sekali tidak nampak bayangan bocah
itu.
"Ko-ji, Ko-ji!" ia berteriak, Namun tetap tidak
ada suara sahutan.
Teriakannya ini dia lakukan dengan keras dan di atas
bukit, dalam lingkaran seluas belasan li pasti dengar akan suaranya, tetapi
aneh, tetap Nyo Ko tidak kelihatan.
Sesudah menunggu lagi dan tetap masih belum berhasil, Kwe
Ceng menjadi makin kuatir, segera ia dayung sebuah perahu kecil mengelilingi
pulau buat mencari, tetapi sampai petang masih belum juga diketemukan jejak Nyo
Ko.
Kiranya sehabis dorong batu pegunungan yang besar itu dan
menyaksikan pula kedua rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh
Nyo Ko melihat pula Ui Yong keluar dari rumah, ia tahu sekali ini dirinya pasti
akan didamperat habis2an, oleh karena itu ia lantas sembunyi di sela2 batu
cadas yang besar dan tak berani keluar, ia dengar juga suara panggilan Kwe
Ceng, namun ia tak berani menyahut.
Begitulah dengan menahan lapar Nyo Ko sembunyi di antara
sela2 batu cadas, ia tak berani sembarang bergerak, ia lihat cuaca mulai
remang2 hingga akhirnya menjadi gelap.
Selang tak lama, kerlipan bintang2 di langit diiringi
pula hembusan angin laut yang silir semilir, Nyo Ko merasakan badannya rada
menggigil.
Ia keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah,
ia lihat rumah yang terbangun bagus dibawah sana sudah ada sinar lampu, ia membayangkan
saat itu tentunya Kwe Ceng dan Ui Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara
Bu sedang mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya diatas nnya yang
penuh dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain2 yang enak2, tanpa terasa ia
menelan liur beberapa kali.
Akan tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka
sedang mencaci maki habis2an padanya, teringat akan ini, tanpa tertahan Nyo Ko
meluap juga amarahnya.
Bocah berusia sekecil dia ini, dalam malam gelap yang
diselingi tiupan angin laut berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang
dipikir adalah nasibnya jing selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya
se-akan2 setiap manusia di bumi ini semuanya memandang rendah padanya,
perasaannya seketika bergolak, ia merasakan getirnya seorang anak piatu dan
sesalkan akan nasib sendiri.
Padahal apa yang Nyo Ko bayangkan ini sebenarnya salah
sama sekali justru karena tidak ketemukan Nyo Ko, Kwe Ceng tak bisa bersantap
dengan hati tenteram ?
Nampak suaminya merasa kesal, Ui Yong tahu percuma saja
meski dia menghiburnya, maka iapun tidak jadi makan sendirian melainkan terus
kawani sang suami duduk terdiam saja menghadap meja.
Begitulah suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman,
Besok paginya, belum terang tanah kedua orang sudah lantas keluar buat mencari
Nyo Ko lagi.
Dilain pihak sesudah Nyo Ko menderita lapar sehari
semalam, besoknya pagi2 sekali bocah ini sudah tak tahan lagi, ia mengeluyur
turun, ditepi sungai ia berhasil menangkap beberapa ekor Swike atau kodok
hijau, ia beset kulitnya dan kumpulkan kayu kering, ia bermaksud akan makan
kodok panggang, ia sudah biasa bergelandangan maka cara makan sedemikian ini
sudah biasa dilakukannya.
Tetapi karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka
ia membakar kayu kering itu di dalam sebuah gua, selesai paha kodok yang dia
panggang segera ia sirapkan api terus menggerogoti kodok itu dengan lahap,
mungkin saking laparnya, ia merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang
itu.
Selagi ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita
rasa, tiba2 ia dengar ada suara kresekan di luar gua dan disusul dengan suara
yang mendesis, ia kenali itu adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa
ular.
Sambil masih menggerogoti paha kodoknya, segera Nyo Ko
jalan ke mulut gua, betul saja di sana ia lihat ada seekor katak sedang
menghadapi seekor ular kembang yang panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang
ini sedang saling pandang tanpa bergerak, Selang tak lama, mendadak ular
kembang itu melonjak terus terjang katak itu.
Namun katak itu sudah siap sedia, tiba2 terdengar suara
"kok-kok" dua kali, katak ini mengap mulutnya dan menyemburkan uap
yang tipis, berbareng ini tubuhnya berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan
ular tadi.
Karena kena uap berbisa yang disemburkan katak tadi, ular
kembang itu lantas berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, habis ini
segera ular itu melingkar dan tegak kepala menghadapi lawannya pula.
Nyo Ko jadi ketarik oleh pertarungan katak lawan ular
ini, ia pikir tubuh katak kasar dan berat, pula tidak punya gigi, akan tetapi
ternyata berani bertarung melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu,
sungguh harus dibuat heran.
Ia lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan
ramainya, tiap2 kali ular kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak
ada jalan buat batas menyerang, Kalau yang menyerang aneka macam gaya
perubahannya, maka yang bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga
diri. Meski gigi ular kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat
mengalahkan si katak.
Tak lama lagi, karena ber-ulang2 kena disembur uap
berbisa si katak, gerak-gerik ular kembang itu mulai lamban dan kaku, makin
lama malah makin terdesak di bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan
tandingan lawannya lagi, mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk
ke dalam semak.
Katak itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu
saja, sambil mengeluarkan suara "kok-kok-kok", segera ia menguber.
Melihat gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya,
hati Nyo Ko tergerak, ia merasa gerak-gerik katak ini meski sangat aneh, tetapi
tanpa terasa dirinya seperti lebih suka padanya, apa sebabnya, inilah ia
sendiri tidak mengerti.
Waktu duduk di dalam gua, iapun mendengar suara panggilan
Kwe Ceng, "Hm, kau panggil aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau
aku mau keluar kan tolol!" demikian ia membatin.
Begitulah malamnya ia tidur dalam gua itu sambil
terduduk, dalam keadaan layap2 tiba2 ia lihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua
dan berkata padanya: "Marilah anakku, biar aku ajar kau berlatih
ilmu!"
Nyo Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia
lihat Auwyang Hong lantas berjongkok sambil bersuara "kok-kok"
beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.
Entah mengapa, Nyo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar
biasa gesitnya, ia tiru cara2 orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan
dan tendangannya tiada satupun yang keIiru.
Hingga suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena
tak keburu berkelit "plak", ubun2 kepalang kena diketok hingga terasa
sakit tidak kepalang, saking tak tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.
Akan tetapi kembali terdengar suara "plok",
lagi kepalanya kena diketok, dalam kagetnya Nyo Ko menjadi sadar dan... busyet,
hanya mimpi belaka.
Waktu ia raba2 kepalanya, ternyata sudah benjol benjut
karena benturan pada dinding gua tadi. ia menghela napas panjang dan keluar
gua, ia lihat keadaan sunyi senyap, cakrawala yang membentang lebat di atas itu
se-akan2 berlapiskan layar hitam, hanya beberapa bintik bintang yang
berkelap-kelip sekedar penghias alam.
Nyo Ko coba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong
dalam mimpi tadi, namun sedikitpun dia tidak ingat lagi, tatkala ia coba
berjongkok sambil mulutnya menirukan suara "kok-kok" beberapa kali,
ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang yang diperolehnya dari Auwyang Hong didekat
kota Ling-oh-tin tempo hari untuk dipraktekkan sekarang, tapi bagaimanapun ia
meng-ingat2nya tetap tidak dapat disalurkan melalui tangan atau kakinya.
Seorang diri ia berdiri dipuncak bukit sambil memandangi
lautan yang begitu luas, terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.
Tiba2 dari arah lautan sana sayup2 terdengar suara
teriakan orang yang keras panjang sedang memanggil-manggilnya: "Ko-ji,
Ko-ji!"
Mendengar suara panggilan yang penuh daya tarik ini,
tanpa kuasa lagi Nyo Ko ber-lari2 turun ke bawah gunung, "Aku berada
disini, aku berada disini." demikian ia berseru menjawab.
Walaupun suara anak ini tidak begitu keras, tetapi Kwe
Ceng sudah dapat mendengarnya, maka lekas2 perahunya didayung menuju ke tempat
Nyo Ko berada, sesudah berjarak beberapa tombak dari pesisir, dengan sekali
lompat segera Kwe Ceng meninggalkan perahunya, maka tertampaklah di bawah
cahaya bintang yang remang2 dua sosok bayangan orang pe-lahan2 makin mendekat,
dengan kencang kemudian Kwe Ceng telah berangkul Nyo Ko ke dalam pangkuannya.
"Marilah lekas pulang bersantap," demikianlah
kata2 yang tercetus dari mulut Kwe Ceng, Saking terharunya sampai suaranya rada
serak dan gemetar.
Begitulah, setelah kedua orang berada kembali dalam
rumah, segera Ui Yong siapkan nasi hangat dan lauk-pauk untuk Nyo Ko, terhadap
kejadian yang telah lalu, sepatah-katapun tidak di-ungkat2nya.
Besok paginya, keempat anak: Nyo Ko, Kwe Hu dan kedua
saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun, oleh Kwe Ceng telah dikumpulkan diruangan besar,
lalu Kwa Tin-ok diundang hadir pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura
di hadapan abu pemujaan Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang
sudah dialam baka itu.
"Toa-suhu," demikian Kwe Ceng berkata kepada
Kwa Tin-ok, "hari ini Tecu (anak murid) mohon idzin Suhu agar
diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini."
"Bagus, bagus sekali," sahut Kwa Tin-ok
bergirang. "Nah, terimalah ucapan selamatku ini!"
Nyo Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa
Tin-ok. habis ini baru memberi hormat pada Kwe Ceng dan Ui Yong sebagai upacara
pengangkatan guru.
"Apa akupun harus menjura, ibu?" dengan tertawa
Kwe Hu bertanya.
"Sudah tentu," sahut Ui Yong.
Karena itu, dengan tertawa haha-hihi anak nakal inipun
menyembah pada ketiga orang tua itu.
Mulai hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan
demikian Kwe Ceng memberi petuah dengan sungguh2 dan keren, oIeh karena itu
juga seterusnya kalian harus hormat-menghormati daa cinta-mencintai, ada
kesulitan sama2 dipikul. Kalau kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti
tidak akan kuampuni."
Habis berkata ia pandang pula sekejap pada Nyo Ko.
"Tentu saja kau mengeloni anakmu sendiri,"
demikian Nyo Ko membatin dalam hati, "Biarlah selanjutnya aku tidak akan
sentuh dia lagi."
MenyusuI sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut
menjelaskan juga peraturan perguruan yang sudah umum, yakni tak boleh
menganiaya orang yang lebih lemah, tak boleh membantu yang jahat sehingga
semakin jahat, tak boleh mencelakai orang yang tak berdosa dan lain sebagainya.
"llmu silat yang kupelajari terlalu banyak
macamnya," demikian Kwe Ceng berkata lagi, "kecuali dasar yang
kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari Kanglam, Lak-koay
tersebut di atas sudah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu Lwekang dari
Coan-cin-pay dan ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari Tang-Lam-Pak
(Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan Pak-kay), tentang
ini akan diceritakan tersendiri, kesemua meski hanya sedikit, tetapi kacang
jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan asalnya, biarlah hari
ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco (kakek guru she Kwa,
maksudnya Kwa Tin-ok)."
Dan selagi ia hendak uraikan titik2 pokok ajarannya,
tiba2 Ui Yong melihat Nyo Ko sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak
ini ada semacam tanda aneh yang sukar diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat
pada berbagai kejadian yang mencurigakan tempo hari itu.
"Meski ayahnya bukan aku sendiri yang membunuhnya,
tapi boleh dikatakan juga mati di tangan-ku, jangan2 piara macan mendatangkan
bencana hingga menjadi bibit malabetaka yang besar," demikian pikir Ui
Yong.
Setelah putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.
"Seorang diri kau terlalu berat mengajar empat anak,
biarlah aku yang mengajar Ko-ji," katanya kemudian.
"Bagus, bagus sekali usulmu !" seru Kwa Tin-ok
dengan ketawa sebelum Kwe Ceng menjawab, "Dan kalian suami isteri boleh
berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang terpandai."
Mendengar usul isterinya ini, dalam hati Kwe Ceng
bergirang juga, ia tahu kepintaran Ui Yong beratus kali di atas dirinya, cara
mengajarnya pasti jauh lebih baik daripadanya, maka ber-ulang-2 ia pun
menyatakan bagus dan akur.
"Tetapi kita harus menetapkan satu syarat,"
demikian Ui Yong kemukakan pendapatnya lagi, "Sekali-kali tak boleh kau
mengajarkan Ko-ji, sebaliknya akupun tidak boleh mengajar mereka bertiga. Pula
diantara keempat anak inipun tak boleh saling belajar, sebab kalau ilmu yang
dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya dan tiada paedahnya."
"Ya, sudah tentu." sahut Kwe Ceng setuju lagi.
"Nah, Ko-ji, ikutlah padaku," kata Ui Yong.
Memang-nya Nyo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua
saudara Bu itu, kini mendengar keinginan Ui Yong bahwa dirinya tidak akan
berlatih setempat dengan mereka, ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia
lantas ikut Ui Yong masuk ke ruangan dalam.
Di luar dugaannya, bukannya Ui Yong membawanya ke
lapangan berlatih silat melainkan ia dibawa ke kamar baea, disini Ui Yong-
mengambil sebuah kitab dari rak buku dan berkata padanya:
"Gurumu mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki
Kanglam-chit-koay, Toasuhu ialah Kwa-kong-kong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama
Cu Jong dan berjuluk Biau-jiu-su-seng si sastrawan bertangan sakti), maka kini
lebih dulu aku ingin ajarkan kepandaian Cu-suco saja."
Sembari berkata ia lantas buka kitab yang dia ambil dari
rak tadi, dengan suara lantang segera ia membacanya.
Dalam hati Nya Ko menjadi heran, namun ia tak berani
banyak bertanya, terpaksa ia ikut membaca dan belajar menulis,
Begitulah be-runtun2 beberapa hari ia hanya di-ajar
membaca oleh Ui Yong dan selamanya tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.
Suatu hari, sehabis berseko!ah, seorang diri Nyo Ko
ber-jalan2 iseng ke atas gunung, tiba2 ia teringat pada nyali angkatnya yaitu
Auyang Hong yang tidak diketahuinya berada dimana kini, Teringat pada sang ayah
angkat tak tahan lagi ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia
menirukan cara yang pernah dipelajarinya itu, tubuhnya yang menjungkir itu
segera berputar cepat
Setelah ber-putar2 dengan menjungkir, kemudian ia ikuti
petunjuk yang pernah diterimanya dari Auw-yang Hong untuk menjalankan jalan
darah secara terbalik, terasa olehnya semakin berputar semakin lancar. Kemudian
waktu ia melompat bangun, mendadak ia berseru "kok" sekali berbareng
kedua telapak tangannya dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan
menjadi segar dan enak sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga
membasahi sekujur badan. Nyata ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga
dalamnya sudah maju jauh sekali.
Hendaklah diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyan
Hong yang khas itu meski bukan tergolong ilmu yang baik, tetapi justru
merupakan semacam ilmu kepandaian yang luar biasa lihaynya, pula pembawaan Nyo
Ko memang berotak encer dan mudah menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo
yang singkat meski cuma sedikit, namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah
menuju ke aliran ilmu silat Pak to-san (gunung Onta putih).
Sejak itulah, maka tiap2 hari Nyo Ko lantas belajar
sekolah dengan Ui Yong, kalau pagi atau petang-nya ada kesempatan segera ia
pergi ke tempat sunyi di kaki bukit untuk melatih diri, sebenarnya bukan
maksudnya ingin melatih diri agar bisa menjadikan seorang kosen yang disegani,
tetapi entah mengapa, tiap2 kali sehabis ia berlatih, selalu dirasakannya luar
biasa enak dan segar badannya.
Demikianlah secara diam2 Nyo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe
Ceng dan Ui Yong sedikitpun ternyata tidak tahu.
Maka tiada sebulan, kitab 'Lun-gi' (salah satu kitab
ajaran Nabi Khongcu) yang Ui Yong jadikan mata pelajaran untuk Nyo Ko sudah
selesai semua, Begitu apal isi kitab tsb, sampai Nyo Ko sanggup membaca-di luar
kepala, cuma isi dan arti kitab yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak
setuju, maka seringkali ia sengaja kemukakan bantahan2.
Padahal Ui Yong sendiripun seribu kali tidak sepaham
dengan segala isi kitab yang diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya
juga jemu, hanya lapat2 perasaannya se-akan2 punya firasat: "Kalau anak
ini diberi pelajaran ilmu silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja,
lebih baik kalau ajarkan dia ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori2 isi
kitab saja, buat dia dan buat orang lain mungkin malah ada baiknya."
Dengan ketetapan itulah, dengan maksud baik ia mengajar
Nyo Ko bersekolah, Maka sehabis kitab "Lun-gi" lantas disusul dengan
kitab "Beng-cu".
Karenanya, beberapa bulan sudah lewat, selama itu tidak
pernah Ui Yong berbicara sepatah-katapun tentang ilmu silat.
Nyo Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong,
iapun tidak mau tanya, hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia
tahu pula meski Kwe Ceng menerima dirinya sebagai murid, tetapi ilmu silat
pasti tidak akan diajarkan padanya, Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu
Tun-si dan Bu Siu-bun, apalagi setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat
pelajaran silat dari Kwe Ceng, bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus
ditangan mereka. Karena pikiran inilah, ia ambil keputusan, apabila ada
kesempatan segera ia akan berdaya-upaya buat meninggalkan pulau,
Pada satu sore hari, sehabis Nyo Ko belajar membaca pada
Ui Yong, seorang diri ia ber-jalan2 iseng di tepi laut, dengan memandangi ombak
laut yang men-dampar2 berdeburan, dalam hati ia pikir entah kapan baru bisa
melepaskan diri dari kurungan ini, bila terlihat olehnya burung laut yang
terbang kian kemari, ia menjadi terharu dan kagum akan kebebasan burung2 yang
tak terbatas itu.
Tengah ia ter-menung2, tiba2 ia dengar di balik hutan
pohon Tho sana ada suara berkesiurnya angin, ia jadi tertarik, diam2 ia memutar
ke sebelah sana dan mengintip, maka tertampaklah olehnya, Kwe Ceng sedang
memberi pelajaran silat pada kedua saudara Bu disuatu tanah lapang.
Ia lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk3 sambil
kaki-tangannya memberi contoh dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.
Bagi Nyo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja ia sudah
tahu di mana letak intisari jurus tipu ini, tapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun,
walau sudah belajar pergi datang, masih belum juga mereka pahami.
Kwe Ceng sendiri memangnya juga berotak puntuI, pada
waktu kecilnya ia sendiri sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini
sedikitpun ia tidak merasa jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk dengan
penuh sabar.
"Hm, jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak nanti
aku begitu goblok seperti mereka," kata Nyo Ko di dalam hati sambil
menghela napas diam2. Oleh karena kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya
untuk tidur.
Petangnya sehabis bersantap dan setelah mengulangi
pelajaran kitabnya terasa olehnya luar biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi
laut lagi, di sana ia menirukan gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng
siang tadi. Namun tipu silat yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan
pergi datang, akhirnya ia merasa bosen juga.
Tiba2 hatinya tergerak, "Mulai besok, diam2 akan
mengintip dan mencuri belajar ilmu silatnya, siapa yang melarang aku?"
demikian ia pikir.
Oleh karenanya rasa mendongkolnya yang tertahan sekian
lamanya segera menjadi lapang, dengan berpeluk dengkul ia duduk bersandar batu
karang tepi laut, akhirnya iapun tertidur.
Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya
ketika tiba2 ia dikagetkan bunyi suara rantai besi yang gemerincing hingga ia
terjaga dari tidurnya, waktu ia mengintai dari belakang batu karang itu,
kiranya di tepi laut sana telah bertambah dengan sebuah perahu layar, suara
gemerincing rantai tadi kiranya disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat
berlabuh.
Tak antara lama, dari perahu itu muncul dua orang terus
melompat ke daratan, gerak tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa.
Setelah berada di daratan, mula2 kedua orang itu mendekam
dan melongak-longok dahulu ke sekeliling habis ini pe-lahan2 mereka merayap
maju ke tengah pulau.
Melihat kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung
maksud baik, Nyo Ko berpikir: "Jalanan di pulau ini belak-belok dan
lika-liku, kalian ini hanya antar kematian belaka."
Oleh karena itu, ia mengkeret tubuhnya supaya tidak
dilihat kedua orang itu, ia tidak berani bergerak, dalam pada itu kedua orang
tadi sudah merayap semakin jauh.
Ketika pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu,
mendadak ia lihat sesuatu di tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.
Kiranya dibawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang
yang kecil berbaju putih dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat dengan
cara sebagaimana biasanya kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong itu,
melihat bentuk tubuh orang berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe
Hu adanya.
Tentu saja Nyo Ko ter-heran2 melihat kelakuan dara cilik
itu, "Apa Kwe-pepek juga ajarkan ilmu kepandaian semacam ini ?"
demikian ia ber-tanya2 dalam hati. Tetapi segera pula ia mengerti : "Aha,
tentu pada waktu aku sedang berlatih telah dapat dilihat dia dan sekarang dia
menirukan caraku itu untuk main-main."
Dalam pada itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin
dekat dengan Kwe Hu, Mungkin saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya
itu, sama sekali Kwe Hu tidak berasa kalau ada orang lain mendekatinya, sesaat
kemudian, mendadak kedua orang itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini
terus dirangkul, seorang lagi dekap mulut yang mungil itu dengan tangannya,
sedang yang satu lagi, keluarkan seutas tali terus meringkus seluruh badan Kwe
Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan sepotong saputangan.
Perbuatan kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil
dengan baik, hanya sekejap saja mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa
berkutiik itu ke dalam semak2, habis ini mereka melanjutkan merayap ke depan.
Menyakksikan kejadian aneh ini, mulut Nyo Ko sampai
ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya
kedua pendatang itu.
Mata Nyo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap ia
masih bisa melihat jelas gerak-gerik kedua orang tadi, ia lihat sesudah
merangikak-rangkak maju lagi, setelah hampir sampai di jalan masuk ke
perkampungan, rupanya mereka mengerti juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah
diatur oleh Ui Yok-sau, maka mereka tak berani maju lagi, mereka lantas
keluarkan sehelai kertas putih, seorang lantas meng-gambar2 di atas kertas itu
dengan menggunakan alat tulis, melihat kelakuan mereka, rupanya mereka sedang
mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk digunakan kemudian kalau melakukan
penyerbuan ke sini.
"Jika sekarang juga aku bertariak, sebelum Kwe-
pepek sempat keluar tentu aku sudah dibunuh mereka lebih dulu," demikian
diam2 Nyo Ko membikin perhitungan dalam hati. .
Mendadak pikirannya tergerak, tiba2 ia ambil suatu
keputusan yang luar biasa beraninya, "Ya, biar diam2 aku masuk ke dalam
perahu mereka, jika beruntung tidak konangan mereka, tentu aku akan berhasil
melarikan diri dari pulau ini," demikian ia berpikir.
Sesudah ambil keputusan ini, iapun tidak pusing apa
perbuatannya ini berbahaya tidak, segera ia me-rayap2 mendekati perahu yang
berlabuh itu.
Setelah dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu,
tiba2 terdengar suara "krak" dari dalam perahu, menyusul ini papan
geladak perahu itu terbuka, dari dalamnya menongol satu orang untuk kemudian
melompat ke pesisir.
Tidak kepalang kaget Nyo Ko oleh munculnya orang yang
se-konyong2 ini, lekas2 ia mendekam ke bawah lagi.
Sementara kedua orang yang duluan tadi rupanya telah
mendengar juga, yang seorang memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke
perahu hendak memeriksa apa yang terjadi.
Akan tetapi orang yang muncul belakangan ini telah
sembunyi di belakang gundukan pasir tepi laut, ia tidak memapaki kedua orang
yang duluan, nyata mereka bukan kawan sendiri.
Waktu itu Nyo Ko berada di belakang orang yang muncul
belakangan itu, maka ia bisa menyakitkan semua dengan terang, makin lihat ia
semakin heran, ia lihat yang pondong Kwe Hu itu telah kembali ke dalam perahu,
sedang kawannya menengok sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi, namun
orang yang sembunyi itu masih belum ber-gerak, ia menunggu ketika orang sudah
dekat, se-konyong2 ia melompat keluar, diantara berkelebatnya sinar putih,
sekali serang saja ia telah tancapkan belatinya di atas dada orang.
Tidak ampun lagi tanpa bersuara sedikitpun, orang yang
diserang itu roboh terguling.
Mendengar suara gedebukan karena jatuhnya tubuh itu,
orang yang berada di atas perahu tadi rupanya menjadi curiga. "Lo-toa, ada
apa ?" ia coba tanya sang kawan.
Lekas2 penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi
pula ke belakang gundukan pasir dan menjawab dengan suara yang ditahan dan
di-bikin2:
""Aneh, aneh !"
Mendengar suara yang samar2, tetapi lama juga tidak melihat
kawannya kembali orang di dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar
segera ia menuju gundukan pasir tadi.
Melihat orang tinggalkan perahunya, Nyo Ko pikir jangan
sia2kan kesempatan baik ini, maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu, ia niat
mengangkat sauh untuk kemudian menjalankan perahunya.Pada saat itu juga
terdengar olehnya suara jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah
ambil korban lagi.
Sementara itu Nyo Ko lagi angkat rantai jangkar tapi
sebelum jangkar kena ditarik, rantai besi itu sudah mengeluarkan suara
gemerincing lebih dulu. Karenanya ia tahu gelagat jelek, segera ia hendak
melarikan diri, namun sudah terlambat, ia lihat si pembunuh tadi dengan mulut
menggigit belati yang masih-teteskan darah telah melompat ke atas perahu.
Di bawah sinar bulan Nyo Ko dapat melihat pakaian orang
yang compang-camping, mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan.
Keruan Nyo Ko menjadi kelabakan bingung, Dalam keadaan
demikian otomatis ia berjongkok, mulutnya bersuara "kak-kok" dua
kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong kedepan pula.
Tatkala itu kaki orang tadi belum sempat menancap di atas
perahu, karena serangan Ha-mo-kang ini dalam keadaan masih terapung di udara
orang itu mendadak jatuh terjengkang kebelakamg dan terbanting masuk laut habis
ini sedikitpun tidak berkutik lagi.
Karena serangan ini, Nyo Ko berbalik terkesima malah, ia
terpaku di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
"He, Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana ?
Dan Auwyang Hong mana dia ?" tiba2 terdengar suara teriakan Ui Yong dari
jauh.
Ketika Nyo Ko angkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang
cepatnya Kwe Ceng dan Ui Yong sedang mendatangi. Agaknya karena mendengar
suara2 yang mencurigakan dan kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas2 datang
mencarinya.
Dalam pada itu saking ketakutan tadi, semangat Nyo Ko
masih belum pulih, lebih2 ia tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya
untuk main2 belaka ternyata bisa begini lihay, oleh karena itulah ia masih
ter-mangu2 dan tidak menjawab seruan Ui Yong tadi.
Waktu kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang
kecemplung ke laut itu, tiba2 ia berseru kaget: "Yong-ji, ini kawan dari
Kay-pang" (kaum pengemis)."
Pada dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah
lama putus.
Ui Yong menjadi gusar bercampur kaget, nampak keadaan
luka orang itu, dengan sekali cengkeram ia pegang lengan Nyo Ko dan menanya dengan
suara bengis : "Hayo, katakan !"
Cengkeraman Ui Yong ini dirasakan sakit sekali pada
lengan Nyo Ko, tetapi ia mengertak gigi dengan kencang, ia menahan sakit dan
tetap tutup mulut tanpa menjawab.
Ketika Kwe Ceng menoleh, tertampak olehnya di belakang
gundukan pasir sana menggeletak dua orang puIa, lekas ia melompat ke sana buat
memeriksanya, ia dapatkan pula peta yang digambar kedua orang itu, "He,
Yong-ji, lekas sini!" serunya pada sang isteri.
Segera Ui Yong melepaskan Nyo Ko dan mendekati Kwe Ceng,
di belakang gundukan pasir itu mereka berembuk dengan suara pelahan sampai
lama.
Dalam pada itu kejadian ini telah diketahui Kwa Tin-ok
juga, orang inipun menyusul tiba, maka mereka lantas berunding bertiga orang.
Sesudah bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng melepaskan
puterinya dahulu dari ringkusan musuh tadi, habis ini ia berkata pada Nyo Ko:
"Ko-ji, kau kurang cocok tinggal di pulau ini, biar aku antar kau ke
Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, di sana kau bisa belajar silat di bawah
petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari Coan-cin-kau."
Keputusan yang diambil Kwe Ceng secara tiba2 ini,
seketika Nyo Ko menjadi bingung se-akan2 kehilangan sesuatu, maka ia hanya
mengangguk pelahan saja.
Maka besok paginya, setelah membekal perlengkapan
seperlunya berangkatlah Kwe Ceng bersama Nyo Ko sesudah mohon diri pada Ui Yong
serta Kwe Hu dan kedua saudara Bu, mereka berlayar menuju pantai timur daerah
Tjiatkang.
Sesudah mendarat, Kwe Ceng beli dua ekor kuda dan
melanjutkan perjalanan ke utara bersama Nyo Ko.
Selamanya belum pernah Nyo Ko menunggang kuda, tetapi
karena Lwekang yang dia latih sudah ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa
hari sudah cukup pandai dan bisa menguasai binatang tunggangannya, Bahkan
karena hati-mudanya, setiap hari ia malah melarikan kudanya didepan Kwe Ceng.
Tidak seberapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho
(Huangho, sungai Kuning), mereka telah memasuki daerah Siamsay.
Tatkala itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa
Mongol (Jengis Khan beserta putera2nya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan
merupakan dunianya bangsa Mongol.
Dimasa mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai
panglima dalam pasukan Mongol (ia pernah diangkat menjadi menantu Tumujin yang
kemudian terkenal sebagai Jengis Khan), ia kuatir kalau kesamplok dengan bekas
bawahannya dan mungkin akan mendatangkan kesulitan, maka dia lantas tukarkan
kuda mereka dengan keledai yang kurus dan jelek, ia ganti pakaian pula dengan
baju yang terbuat dari kain kasar, ia menyamar seperti orang desa atau kaum
petani saja.
Berlainan dengan Nyo Ko yang berhati muda, sesungguhnya
dalam hati ia seribu kali tidak sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti
Kwe Ceng itu, tetapi selamanya ia tak berani bantah kata2 sang paman, maka
terpaksa dia mengenakan baju kasar, kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain
biru. dan menunggang keledai yang kurus jelek.
Justru keledai yang dia tunggangi ini buruk pula
wataknya, jalannya sudah lambat, berulang kali masih ngambek lagi, maka
sepanjang jalan selalu Nyo Ko cekcok saja dengan binatang tunggangannya ini.
Hari itu mereka telah sampai di daerah Hoanjoan, tempat
ini indah permai pemandangan alamnya. Melihat keindahan alam semesta yang
menarik ini, meski sejak meninggalkan Tho-hoa-to dan karena mendongkol hatinya
hingga selama ini tidak pernah Nyo Ko menyebut lagi tentang pulau bunga Tho
itu, namun kini tanpa tertahan ia membuka suara.
"Kwe-pepek, tempat ini hampir mirip dengan
Tho-hoa-to kita," demikian ia bilang pada Kwe Ceng.
Hati Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak
ini bilang "Tho-hoa-to kita", tanpa terasa ia jadi terharu.
"Ko-ji," sahutnya kemudian, "Cong-lam-san
sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian
terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau harus belajar secara baik2. Beberapa
tahun lagi tentu aku akan datang lagi buat menjemput kau pulang ke
Tho-hoa-to."
Mendengar kata2 terachir ini, cepat Nyo Ko melengos.
"Tidak, selama hidupku ini tidak akan kembali lagi
ke Tho-hoa-to," katanya kemudian.
Sama sekali diluar dugaan Kwe Ceng bahwa anak semuda Nyo
Ko ini bisa mengucapkan kata2 yang begitu ketus dan tegas, maka dia tertegun
seketika tiada kata2 lain yang bisa dia ucapkan.
"Apa kau marah pada Kwe-pekbo (bibi)?" tanyanya
kemudian.
"Mana Titji (keponakan) berani ?" sahut Nyo Ko.
"Malahan Titji selalu membikin Kwe-pekbo marah." jawaban yang tajam
ini bikin Kwe Ceng bungkam, memangnya dia tidak pandai bicara, maka ia tidak
menyambung lagi.
Perjalanan selanjutnya mulai menanjak, diwaktu lohor
mereka sudah sampai di suatu kelenteng di atas bukit. Waktu Kwe Ceng mendongak,
ia lihat papan nama yang tergantung di atas pintu kelenteng itu tertulis tiga
huruf besar 'Gu-tap-si" atau kelenteng kepala kerbau.
Mereka tambat keledai pada satu pohon di luar kelenteng,
mereka masuk ke dalam untuk minta sedekah sekedar isi perut.
Didalam kelenteng itu ternyata ada tujuh-delapan paderi,
nampak dandanan Kwe Ceng yang sederhana dan kotor, mereka mengunjuk sikap
dingin, maka sedekah yang diberikan dua mangkok bubur dingin serta beberapa
potong kue.
Namun Kwe Ceng menerima saja sedekah makanan seperti itu,
bersama Nyo Ko mereka lantas duduk di atas bangku batu di bawah pohon cemara untuk
makan. Pada saat lain, ketika Kwe Ceng berpaling tiba2 ia lihat ada pilar batu
di belakang pohon yang sebagian besar tertutup oleh rumput alang2 yang lebat,
lapat2 hanya nampak dua huruf "Tiang-jun" pada pilar batu itu.
Kwe Ceng tergerak hatinya oleh tulisan itu, ia mendekati
dan memeriksanya lebih jelas dengan menyingkap rumput alang2 yang menutupi batu
itu, kemudian baru ia ketahui di atas batu itu terukir sebuah syair gubahan
Tiang-jun-cu Khu Ju-ki, salah satu tokoh terkemuka angkatan kedua dari Coan-cin-kau
yang hendak didatanginya sekarang ini.
Syair itu menyesalkan kehancuran negara yang terjatuh di
tangan bangsa lain, Karenanya Kwe Ceng terbayang kembali pada kejadian di gurun
Mongol belasan tahun yang lalu, ia terharu, sambil meraba pilar batu itu ia
ter-mangu2 saja. Ketika teringat tidak lama lagi bisa bertemu dengan Khu Ju-ki
maka hatinya rada terhibur dan bergirang.
"Kwe-pepek, apakah maksud syair diatas batu ini
?" demikian Nyo Ko tanya.
"lni adalah syair buah karya kau punya Khu-cosu (kakek
guru), Murid kesayangan Khu-cosu dahulu bukan lain adalah mendiang
ayahmu," sahut Kwe Ceng sambil menjelaskan sekadarnya arti yang terkandung
pada syair itu. "Mengingat ayahmu, tentu Khu-cosu akan layani kau baik2,
maka kau harus belajar dengan giat pula agar kelak besar gunanya untuk nusa dan
bangsa."
"Kwe-pepek, maukah kau beritahukan satu hal
padaku," tiba2 Nyo Ko berkata pula.
"Hal apa ?" tanya Kwe Ceng.
"Cara bagaimana meningggalnya ayahku ?" kata
Nyo Ko.
Muka Kwe Ceng berubah seketika oleh pertanyaan ini,
teringat olehnya peristiwa di dalam kelenteng Thi-cio-bio di Kahin di mana Nyo
Khong - ayah Nyo Ko - telah tewas, maka tubuhnya gemetar sedikit ia tidak
menjawabnya.
"Siapakah sebenarnya yang menewaskan ayah ?"
tanya Nyo Ko pula.
Tetapi Kwe Ceng tetap tidak menjawab.
"Kau dan Kwe-pekbo yang menewaskan dia, ya bukan
?" seru Nyo Ko tiba2 dengan bernapsu.
Kwe Ceng menjadi gusar, ia angkat tangannya dan
menggablok sekerasnya sambil membentak: "Tutup mulut, siapa yang suruh kau
sembarang omong ?"
Tenaga dalam Kwe Ceng sekarang entah sudah betapa
lihaynya, maka gablokan dalam keadaan gusar itu seketika membikin pilar batu
tadi yang kena digebuk itu berantakan, batu krikil pun berhamburan.
Kelihatan sang paman naik darah, Nyo Ko jadi mengkeret.
"Ya, Titji mengaku salah, selanjutnya tidak berani
sembarangan omong lagi, harap paman jangan marah," lekas2 ia minta maaf
dengan kepala menunduk.
Sesungguhnya Kwe Ceng sangat sayang pada anak ini, kini
demi mendengar ia mau mengaku salah, segera amarahnya lenyap. Dan selagi ia
hendak menghibur Nyo Ko agar jangan takut, tiba2 terdengar di belakang ada
suara tindakan kaki yang pelahan, waktu ia menoleh, dilihatnya ada dua To-su
(imam penganut Tao-isme) setengah umur berdiri di ambang pintu sedang
memperhatikan gablokannya dipilar batu tadi, tentu perbuatannya tadi telah
dilihat oleh kedua imam ini.
Sesudah saling pandang sekejap, cepat kedua To-su itu
keluar meninggalkan kelenteng itu.
"Tindakan kedua imam yang cepat dan gesit itu dapat
dilihat Kwe Ceng dengan jelas, terang tidak lemah ilmu silat kedua orang itu.
Kwe Ceng pikir letak Tiong-yang-kiong dari gunung Cong-lam-san itu tidak jauh
dari kelenteng di mana dia berada ini, maka ia menduga kedua imam ini pasti orang
dari Tiong-yang-kiong. Kalau melihat umur keduanya sudah kira2 empat puluhan,
maka besar kemungkinan mereka adalah anak murid Coan-cin-chit-cu (tujuh tokoh
dari Coan-cin-kau), itu aliran persilatan yang paling terkemuka dan disegani di
kalangan Bu-lim.
Memang sudah lama Kwe Ceng tinggal di Tho-hoa-to dan
tidak saling memberi kabar dengan Ma Giok bertujuh, (Ma Giok adalah orang
pertama dari Coan-cin-chit-cu), oleh karenanya anak murid Coan-cin-kau itu
hampir tidak dikenal seluruhnya, ia hanya tahu bahwa paling belakang ini
penganut Coan-cin-kau semakin banyak dan maju dengan pesat, Ma Giok, Khu Ju-ki
dan Ju-it cu, banyak menerima anak murid yang berbakat maka nama Coan-cin-kau
di kalangan Bu-lim makin lama semakin cemerlang, tiada satupun orang kalangan Kangouw
yang tidak menaruh hormat bila menyebut nama Coan-cin-kau.
Begitulah, karena Kwe Ceng pikir dirinya toh akan naik ke
atas gunung untuk menemui Khu Ju-ki, Khu-cin-jin (cinjin adalah sebutan pada
imam Taoisme yang berilmu), maka ia merasa kebetulan bisa jalan bersama dengan
kedua imam tadi.
Karena itu, segera ia percepat langkahnya berlari keluar
kelenteng ia lihat kedua imam tadi dengan langkah secepat terbang sudah berlari
sejauh beberapa puluh tombak, sama sekali mereka tidak menoleh lagi.
"Hai, kedua Toheng (saudara yang berilmu), yang di
depan itu berhentilah dahulu, ada sesuatu aku ingin tanya," demikian Kwe
Ceng teriaki mereka.
Suara Kwe Ceng memangnya lantang, pula tenaga dalamnya
hebat, maka sekali menggembor suaranya se-akan2 menggetar lembah gunung.
Kedua imam itu rada terkejut mendengar suara tapi bukannya
berhenti, sebaliknya mereka berlari lebih cepat.
"Eh, apa kedua orang ini tuIi?" demikian pikir
Kwe Ceng.
Sekali dia tutul kakinya, tiba2 ia melayang ke depan,
hanya beberapa kali naik-turun saja tahu2 ia sudah mendahului di depan kedua
imam itu.
"Baik2kah kedua To-heng," Kwe Ceng menyapa
sambil saja (memberi hormat dengan mengepal kedua tangan) dan membungkuk pula.
Nampak gerak tubuh yang begini cepat, kedua imam itu
kaget, ketika melihat Kwe Ceng membungkuk memberi hormat, mereka menyangka
orang akan serang dengan tenaga dalam, maka dengan cepat pula mereka berkelit
ke kanan dan kiri.
"Apa kau lakukan ?" demikian mereka membentak
berbareng.
"Apa kalian adalah Toheng dari Tiong-yang-kiong di
Cong-lam-san?" tanya Kwe Ceng.
"Kalau ya mau apa?" sahut salah satu imam itu
dengan menarik muka.
"Cayhe (aku yang rendah) adalah kenalan lama
Tiang-jun-cinjin Khu-totiang, maksud kedatanganku justru ingin ke atas gunung
buat menemuinya, maka diharap Toheng suka menunjukkan jalannya," kata Kwe
Ceng pula.
"Kalau kau berani pergi sana sendiri! Hayo
menyingkir!" sahut imam satunya lagi yang pendek gemuk.
Habis ini mendadak sebelah tangannya menyapu dari
samping, serangan ini luar biasa cepatnya, terpaksa Kwe Ceng harus berkelit ke
kanan. Diluar dugaan, imam satunya yang kurus itu segera menyerang pula
berbareng ia memukul dari sebelah kanan, dengan demikian Kwe Ceng jadi
tergencet di tengah.
Kedua serangan yang dilontarkan ini disebut
"Tay-kwan-bun-sik" atau gerakan menutup pintu, adalah tipu serangan
yang lihay dari Coan-cin-pay, dengan sendirinya Kwe Ceng dapat mengetahuinya,
cuma yang dia tidak mengerti ialah kenapa kedua imam ini mendadak menyerangnya
dengan tipu yang mematikan, inilah yang bikin dia bingung,
Oleh karena itu, dia tidak patahkan serangan orang2, juga
tidak menghindar maka terdengarlah suara "plak-plok" yang keras,
kedua telapak tangan imam itu kena menghantam di bawah bahunya, tetapi rasanya,
seperti kena menghantam karung kosong saja.
Dengan menerima gebukan ini, segera Kwe Ceng dapat
mengukur tinggi rendahnya ilmu silat lawan, ia pikir kalau bicara tentang
kepandaian, kedua imam ini memang betul adalah anak murid Coan-cin-chit-cu dan
masih terhitung seangkatan dengan dirinya pula, Tadi ia sudah kumpulkan tenaga
untuk menahan pukulan kedua orang itu, ia bisa gunakan tenaga dalamnya dengan
tepat sekali, ia bikin diri sendiri sedikitpun tindak terluka juga tidak sakit,
sebaliknya ia pentalkan kembali tenaga pukulan lawan hingga tangan kedua imam
itu terasa sakit dan bengkak.
Keruan tidak kepalang kejut kedua imam itu, sebab dengan
keuletan silat mereka yang sudah dilatihnya lebih dua puluh tahun, ternyata
pukulan mereka tadi hanya seperti kena di tempat kosong saja. Maka mereka tidak
berani ayal lagi, sekali teriak, mereka menerjang bersama, dua pasang kaki
mereka segera menyamber mengarah dada Kwe Ceng.
Pembawaan Kwe Ceng memang sabar dan peramah, tidak
gampang dia naik darah atau menjadi gusar, nampak kedua imam ini seruduk sini
dan terjang sana tanpa sebab, diam2 ia menjadi heran, "Coan-cin-chit-cu
semuanya adalah imam berilmu, kenapa anak murid mereka bisa bersikap
kasar?" demikian ia membatin.
Dalam pada itu tendangan orang secara berantai dengan
lihay sudah dekat tubuhnya, namun Kwe Ceng masih tetap tidak bergerak seperti
tidak gubris, Maka terdengarlah segera "plak-plok, plak-plok"
berulang sampai belasan kali, dadanya bertambah debu kotoran bekas kaki.
Kalau Kwe Ceng tetap anggap sepi saja, sebaliknya kedua
imam itu entah berlipat berapa kali ngerinya daripada tadi demi nampak
tendangan mereka tidak bikin orang tergoyah sedikitpun, bahkan tendangan mereka
sama saja seperti mengenai karung pasir.
"Orang ini sebenarnya manusia atau setan ? Meski
tingkatan guru dan paman2 guru kamipun tidak mempunyai kepandaian setinggi
ini?" demikian mereka berpikir dengan jeri
Waktu mereka meng-amat2i orang, terlihat Kwe Ceng bermata
besar, alisnya tebal, mukanya kotor dengan debu, pakaiannya terbikin dari kain
kasar, serupa saja seperti orang udik, sedikitpun tidiik nampak sifat2
istimewa, keruan mereka menjadi kesima tanpa bisa bersuara,
Di lain pihak Nyo Ko yang menyaksikan pamannya digebuk
dan ditendang kedua imam itu, sedangkan Kwe Ceng sama sekali tidak membalas,
diam2 ia menjadi gusar.
"Hai, kalian imam busuk ini kenapa memukuli
pamanku?" segera ia membentak.
"Ko-ji, tutup mulut," cepat Kwe Ceng mencegah
anak ini mencaci maki lebih ianjut, "Lekas kemari dan memberi hormat kepada
Totiang ini."
Mendengar kata2 Kwe Ceng ini, Nyo Ko tercengang dan
penasaran. "Kwe-pepek sungguh aneh, masa takut pada mereka ?"
pikirnya.
Dalam padu itu, kedua imam tadi agaknya belum kapok,
sesudah saling pandang sekejap, mendadak mereka lolos pedang, dengan cepat
mereka menyerang, imam yang pendek menusuk ke bagian bawah Kwe Ceng dengan tipu
"tam-hai-to-liong" atau menjelajahi laut membunuh naga, sedang imam
yang kurus membacok kaki Nyo Ko dengan gerakan "King-hong-sau-yap"
atau angin lesus menyapu daun.
Sebenarnya Kwe Ceng masih pandang enteng serangan2 orang
ini, tetapi demi melihat Nyo Ko yang tak berdosa ikut diserang juga dengan tipu
yang cukup keji, mau-tak-mau hatinya jadi dongkol juga, "Anak ini toh
tiada permusuhan dengan kalian, kenapa harus diserang dengan tipu yang ganas
ini? Dengan bacokanmu ini apa kakinya takkan menjadi buntung ?" demikian
ia pikir dengan gemas.
Karena itu segera ia tolong dulu Nyo Ko yang terancam
itu, ia mengegos tubuh sedikit ke samping, berbareng ini dengan gerak tipu
"sun-cui-tui-du" atau menurut arus air menyurung perahu, dengan
tangan kiri ia tempel batang pedang imam pendek yang serang dia tadi, lalu
dengan pelahan ia dorong ke kiri, dengan demikian imam pendek itu tidak mampu
pegang kencang senjatanya higgga memutar balik, pedang yang membalik ini saling
beradu dengan demikian terdengarlah suara "trang" yang nyaring,
pedang kawannya sendiri, si-imam kurus, hingga dengan demikian tanpa ditangkis
tipu serangan imam kurus itu kena digagalkan temannya sendiri.
Tentu saja kedua imam itu merasakan tangan mereka kaku
kesemutan, kembali mereka pandang Kwe Ceng dengan mata melotot, dalam hati
mereka lagi2 tidak kepalang terkejutnya, tapi juga kagum atas kepandaian orang
yang tinggi itu, Meski demikian, toh mereka masih penasaran, dengan berteriak
kembali mereka merangsak maju.
Nampak gerak serangan orang, diam2 Kwe Ceng pikir:
"Kepandaian kalian ini sungguhpun terhitung Kiam-hoat yang hebat, tetapi
kalian hanya berdua, pula belum matang latihanmu, apa gunanya kalian pamer dihadapanku?"
Tetapi karena kuatir Nyo Ko akan keserempet senjata
mereka, maka sambil hindarkan sabetan pedang lawan, segera pula ia samber
tubuhnya Nyo Ko.
"Cayhe adalah kenalan lama Khu-cinjIn, hendaklah
kalian jangan bergurau lagi," ia berteriak.
Akan tetapi kedua imam itu ternyata tidak kenal aturan.
"Kau bilang kenal Ma-cinjin juga percuma", kata
imam yang kurus.
"Ya, Ma-cinjin memang pernah juga mengajarkan
kepandaian pada Cayhe," sahut Kwe Ceng.
Imam yang kate tadi wataknya paling berangasan segera ia
mendamperat lagi.
"Bangsat, jangan kau asal ngoceh, jangan2 nanti kau
bilang Tiong-yang Cosu kami juga pernah ajarkan kepandaian padamu ?"
teriaknya murka, Menyusul ini, dengan sekali tusuk, ujung pedangnya mengarah
dada Kwe Ceng puIa.
Kwe Ceng yang berpikiran sederhana, jadi tidak habis
mengerti, kedua imam ini sudah terang adalah anak murid Coan-cin-kau, tapi
mengapa dia dianggap sebagai musuh besar saja?
Tetapi karena Kwe Ceng memang berbudi luhur, pula ia
pikir Nyo Ko bakal belajar silat di Tiong-yang-kiong, maka sedapat mungkin
jangan menyakiti hati imam2 itu, oleh karenanya, terus menerus ia hanya
berkelit saja atas serangan lawan dan tidak pernah balas menyerang.
Oleh sebab tipu serangan mereka tetap tidak mampu
mengenai sasarannya, akhirnya kedua imam tadi menjadi kewalahan sendiri, mereka
menjadi gelisah, mereka insaf ilmu silat Kwe Ceng jauh diatas mereka, kalau
hendak melukainya jelas tidak gampang, maka mereka lantas ganti siasat, tiba2
mereka ubah Kiam-hoat yang dimainkan tadi, be-runtun2 beberapa kali tusukan
mereka dialihkan sasaran pada diri Nyo Ko.
Melihat kekurangajaran orang, sungguhpun Kwe Ceng orang
sabar, akhirnya rada naik darah juga.
Sementara itu ia lihat imam yang kate sedang menusuk
dengan gerakan yang cukup ganas, mendadak Kwe Ceng ulur tangan kanannya, dengan
kedua jari- menjepit senjata orang, habis ini ia sodok batang hidung lawan
dengan sikutnya.
Ketika senjata dijepit jari orang, imam pendek itu
menarik2 sekuatnya, tetapi tidak berhasil, sebaliknya tahu2 sikut orang telah
menyodok tiba, ia insaf kalau sampai mukanya dicium sikut orang, kalau tidak
mampus sedikitnya akan luka parah juga, oleh karena itu terpaksa ia lepaskan senjatanya
dan melompati mundur.
Kepandaian Kwe Ceng pada waktu ini boleh dikatakan sudah
ditarap yang tiada taranya, ia bisa berbuat apa maunya, setiap kali tangannya
bergerak atau kakinya melayang tentu kena sasaran dengan tepat dan hebat, maka
ketika dengan pelahan ia menyentil dengan kedua jarinya, dengan mengeluarkan
suara "creng" yang nyaring, tiba2 pedang yang dia rampas tadi menegak
dan mental ke atas.
Dalam pada itu imam yang kurus sedang ayun pedangnya
menusuk ke leher Nyo Ko, karena itu, ujung pedangnya telah kena ditumbuk oleh
pedang yang disentil oleh Kwe Ceng ini, begitu keras benturan itu hingga
si-imam kurus merasakan tangannya panas pedas, tubuhnya pun ikut tergetar, maka
terpaksa iapun-melepaskan senjatanya terus melompat mundur.
"Maling cabul ini memang lihay, lekas lari!"
seru kedua imam itu berbareng, Baru kini, mereka merasa kapok, Segera mereka
putar tubuh terus angkat langkah seribu.
Mendengar cacian orang, semula Kwe Ceng tertegun sejenak,
tetapi segera ia menjadi gusar, Selama hidupnya memang sering dia dimaki orang
seperti "bangsat", "jahanam", "tolol",
"goblok" dan macam2 lagi, tetapi kata2 "maling cabul"
selamanya belum pernah orang memaki padanya.
Dalam marahnya, iapun tidak turunkan Nyo Ko lagi, sambil
menggendong anak ini segera ia mengudak dengan langkah cepat
Setelah menyusul sampai di belakang kedua imam itu,
begitu kakinya menutul, segera tubuhnya melayang lewat di atas kepala kedua
To-su atau imam itu dan dalam keadaan masih terapung di udara segera ia
membentak: "He, tadi kalian memaki apa padaku ?" kedua imam itu luar
biasa terperanjatnya imam pendek itu oleh kelihayan orang, walaupun jeri dalam
hati, tapi mulutnya ternyata belum mau kalah, ia masih berani balas membentak.
"Bukankah kau ingin memiliki itu perempuan hina she
Liong? Lalu untuk apa kau datang ke Ciong-lam-san?" demikian damperatnya.
Meski keras di mulut, tapi kuatir kalau Kwe Ceng
menghajarnya, maka tanpa terasa ia malah mundur ke belakang.
Mendengar damperatan orang yang tak keruan juntrungnya
ini, seketika Kwe Ceng hanya melongo, "Aku ingin memiliki perempuan hina
she Liong? siapakah perempuan she Liong itu? Kenapa aku ingin memiliki
dia?" demikian serentetan pertanyaan timbul dalam hatinya hingga ia
bingung sendiri.
Melihat orang ter-mangu2 seperti orang linglung, kedua
imam itu pikir kesempatan baik jangan disia-siakan, maka sesudah saling memberi
tanda, segera mereka menyerobot lewat di samping Kwe Ceng dengan langkah cepat
terus lari pula ke atas gunung.
Melihat Kwe Ceng masih ter-mangu2, Nyo Ko lantas meronta
turun dengan pelahan dari gendongannya.
"Kwe-pepek, kedua imam busuk itu sudah lari,"
kata Nyo Ko.
Karena itu, Kwe Ceng mengiakan sekali seperti orang baru
sadar dari mimpi.
"Tadi mereka bilang aku ingin memiliki itu perempuan
she Liong," siapakah dia itu?" kata Kwe Ceng kemudian dengan masih
bingung.
"Titji pun tidak tahu," sahut Nyo Ko.
"Tetapi melihat kedua imam itu tanpa membedakan merah atau putih lantas
menyerang kita, agaknya mereka telah salah wesel."
"Ya, ya, tentu begitu," ujar Kwe Ceng dengan
ketawa geli sendiri, "Kenapa aku tidak pikir sampai disitu, Marilah kita
naik ke atas gunung!"
Waktu Nyo Ko mengambil kedua pedang yang ditinggalkan
kedua imam tadi, Kwe Ceng melihat pada batang pedang masing2 terukir tiga huruf
kecil "Tiong-jang-kiong"
Mereka lantas mendaki ke atas gunung. setelah lebih satu
jam, akhirnya mereka sampai di puncak "Bo-cu-giam" atau puncak ibu
gendong anak, sesuai dengan namanya, puncak ini menonjol seperti seorang wanita
yang membopong seorang anak.
Di puncak ini mereka duduk mengaso.
"Apa kau letih, Ko-ji?" tanya Kwe Ceng.
Nyo Ko tersenyum "Tidak," sahutnya kemudian
dengan geleng kepala.
"Baiklah kalau begitu, mari kita naik ke atas
lagi," kata Kwe Ceng.
Maka mereka lantas melanjutkan lagi perjalanan. Tidak
antara lama, tertampak oleh mereka di depan ada sebuah batu cadas yang sangat
besar dengan corak yang seram, batu cadas raksasa ini setengah menggelantung di
udara bagai seorang nenek yang sedang membungkuk melongok ke bawah.
Saking seramnya hati Nyo Ko terasa agak takut.
Dalam pada itu, tiba2 terdengar beberapa kali suitan
kecil, lalu dari belakang batu besar itu melompat keluar empat Tosu atau imam,
di tangan mereka masing2 menghunus pedang dan menghadang di tengah jalan,
tetapi semuanya bungkam saja.
"Cayhe adalah Kwe Ceng dari Tho-hoa-to dan ingin
naik ke atas gunung untuk menjumpai Khu-cin-jin," demikian kata Kwe Ceng
sambil maju memberi hormat.
Untuk sementara tiada satupun dari empat imam itu
menjawab. Kemudian satu di antaranya yang berperawakan jangkung lantas
melangkah maju.
"Hm, Kwe-tayhiap namanya dikenal di seluruh jagat,
dia adalah menantu Ui-locianpwe dari Tho-hoa-to, mana bisa dia begini tak kenal
malu seperti kau ini, lekas2 kau enyah turun gunung saja." demikian kata
imam itu dengan tertawa dingin.
"Aneh, dalam hal apakah aku tidak kenal malu?"
demikian Kwe Ceng membatin, Akan tetapi ia coba sabarkan diri, lalu berkata
lagi: "Cayhe betul2 Kwe Ceng ada-nya harap kalian memberi jalan, soalnya
tentu akan menjadi jelas kalau sudah berhadapan dengan Khu-cin-jin."
Namun imam jangkung ini masih tidak mau mengerti, bahkan
ia membentak.
"Hm, kau berani main gila dan pamer kepandaian ke
Cong-lam-san sini mungkin kau sudah bosan hidup," damperatnya. "Hm,
kalau kau tidak diberi sedikit rasa, mungkin kau mengira semua imam yang
tinggal di Tiong-yang-kiong adalah manusia2 tak berguna semua".
Ia mendamperat orang dengan kata2 yang menyinggung-juga
kedua imam pendek dan kurus tadi, setelah berkata, segera ia melangkah maju,
pedangnya bergerak dengan tipu hun-hoa hud liu> atau memetik bunga mengebut
pohon Liu, tiba2 ia tusuk pinggang Kwe Ceng.
Nampak orang tanpa sebab dan tanpa alasan terus menyerang,
diam2 Kwe Ceng merasa aneh.
"Sudah belasan tahun aku tidak berkecimpung di
kalangan Kangouw, semua peraturan rupanya sudah berubah ?" demikian ia
heran. Berbareng pula ia menghindar tusukan tadi, ia pikir berkelit saja dahulu
untuk kemudian ajak orang bicara secara baik2.
Di luar dugaan, ketiga imam lainnya segera mengerubut
maju juga, mereka kepung Kwe Ceng dan Nyo Ko di-tengah2.
"Apa yang Si-wi (tuan berempat) inginkan, cara
bagaimana baru mau percaya Cayhe betul2 adalah Kwe Ceng?" seru Kwe Ceng
sebelum balas serangan orang.
"Kecuali kalau kau mampu merebut pedang di tanganku
ini," bentak imam jangkung tadi, Sambil berkata, kembali ia menusuk pula,
sekali ini ia arah dada Kwe Ceng, cara menyerangnya seenaknya saja se-akan2
tidak pandang sebelah mata pada lawannya.
Tentu saja akhirnya Kwe Ceng marah juga, "Untuk
merebut pedangmu, apa susahnya ?" demikian ia pikir.
Dalam pada itu, pedang orang sudah menusuk sampai di
depan dadanya, cepat Kwe Ceng papaki senjata musuh dengan sekali jentikan
jarinya, sungguh hebat sekali tenaga jarinya ini, dengan mengeluarkan suara
"creng" yang nyaring, tiba2 imam jangkung itu merasakan genggamannya
terguncang, tahu2 pedangnya mencelat ke udara. Dalam kaget dan gugupnya lekas2
ia melompat keluar kalangan pertempuran.
Di lain pihak, tidak sampai menunggu pedangnya jatuh ke
bawah, terdengar suara nyaring tiga kail lagi, susul-menyusul Kwe Ceng taiah
menjentik, maka pedang ketiga Imam yang lain senasib pula dengan imam jangkung
tadi, semuanya kena disentil terbang ke angkasa.
"Bagus !" teriak Nyo Ko kegirangan oleh
kepandaian sang paman ini. "Nah, sekarang kalian mau bercaya tidak ?"
demikian ia tegur para imam itu. . sebenarnya kalau Kwe Ceng bergebrak dengan
brang selalu memberi kelonggaran dan berlaku murah hati pada pihak lawan,
tetapi kini karena marah pada imam jangkung yang menyerang dengan kiam-hoat
yang sifatnya rendah, maka ia telah unjuk tenaga sentilan jari yang lihay, ilmu
kepandaian menjentik dengan jari ini sebenarnya adalah kepandaian tunggal yang
sangat dirahasiakan oleh Ui Yok-su, ayah Ui Yong, tetapi Kwe Ceng sudah tinggal
beberapa tahun di Tho-hoa-to bersama bapak mertua itu, maka ia sudah mewarisi
seluruh kepandaiannya, ditambah pula tenaga Kwe Ceng sudah terlatih sedemikian
tingginya, sudah tentu bukan main hebatnya temaga sentilannya tadi, sebaliknya
ke-empat imam tadi meski pedang sudah terpental dari tangan mereka masih belum
tahu pihak lawan menggunakan ilmu silat apa.
"Maling cabul ini bisa main ilmu sihir, hayo
lari," seru imam jangkung ketika melihat gelagat jelek, habis ini ia
mendahului angkat kaki dan disusul oleh tiga kawannya, dalam sekejap saja
mereka sudah menghilang di balik batu cadas tadi.
Tadi Kwe Ceng dimaki orang dengan kata2 "maling
cabul", kini ditambahi pula dituduh "bisa main ilmu sihir",
keruan ia merasa mendongkol dan terhina. Watak Kwe Ceng memang jujur dan polos,
semakin tidak mengerti tapi juga semakin ingin jelas semua hal-ikhwalnya .
"Ko-ji, beberapa pedang ini letakkan di atas batu
dengan baik," katanya pada Nyo Ko.
Nyo Ko menurut, ia ambil keempat pedang yang ditinggal
lari oleh imam2 itu, bersama dua pedang yang duluan tadi ia taruh di atas batu.
Dalam hati mudanya sungguh tidak habis kagumnya terhadap ilmu kepandaian sang
paman, mulutnya sebenarnya sudah berulang-ulang tercetus kata2:
"Kwe-pepek, aku tidak ingin belajar silat pada imam busuk itu, tetapi
ingin belajar padamu saja."
Akan tetapi bila teringat pada kejadian di Tho-hoa-to
yang dialaminya, akhirnya ia telan kembali kata2 yang sebenarnya ingin dia
ucapkan itu.
Begitulah sesudah mereka melanjutkan lagi, setelah
membelok dua kali, tiba2 tanah di depan kelihatan rada lapang, tetapi segera
terdengar pula suara nyaring beradunya senjata sebagai isyarat, menyusul dari
hutan disamping jalan lantas keluar tujuh orang imam dengan pedang terhunus.
Melihat munculnya ketujuh imam ini dengan mengambil
kedudukan di kiri empat orang dan di kanan tiga orang, segera Kwe Ceng kenal
ini adalah "Thian-keng-pak-tau-tin" atau barisan ilmu bintang2 yang
sengaja dipasang, dalam hati ia terperanjat.
"Kalau harus menggempur barisan ini, agaknya rada
sulit juga," demikian ia batin.
Oleh karena itu ia tak berani gegabah, dengan suara
pelahan ia pesan Nyo Ko: "Kau sembunyi ke belakang batu besar sana, lebih
jauh lebih baik, supaya perhatianku tidak terbagi dalam pertempuran
nanti."
Nyo Ko mengangguk, tetapi anak ini memang cerdik, tidak
sudi ia unjuk lemah di hadapan para imam itu, maka ia berlagak lepas kolor
celana sambil berkata: "Kwe-pepek, aku pergi kencing dahulu !" sambil
berkata ia putar tubuh dan lari ke belakang satu batu besar.
Diam2 dalam hati Kwe Ceng bersyukur melihat kepintaran
dan kecerdasan anak ini, ia mengharap hendaklah anak ini bisa menuju jalan yang
benar dan jangan tersesat lagi seperti ayahnya.
Ketika ia menoleh, dibawah sinar bulan yang remang-2 ia
lihat ketujuh imam itu, enam yang berada di depan, seperti memelihara jenggot
usia merekapun tidak muda lagi, sedang orang ketujuh berperawakan kecil,
agaknya seperti seorang Tokoh atau imam wanita.
Nampak barisan ini segera Kwe Ceng paham bahwa mereka
telah menirukan cara Coan-cin-chit cu dahulu, di antara Coan-cin-chit-cu itu
terdapat seorang imam wanita, yakni Jing-ceng Sanjin Sun Put-ji, kini kedudukan
juga dipegang oleh seorang imam wanita.
"Apa gunanya aku terlibat dalam pertempuran dengan
mereka, lebih baik lekas naik ke atas buat menemui Khu-cinjin untuk menjelaskan
kesalahan paham ini." tiba2 pikiran Kwe Ceng tergerak.
Karenanya, begitu bergerak, segera ia mendahului
menyerobot ke sebelah kiri, ia rebut kedudukan bintang "Pak-kek"
(kutub utara).
Melihat orang mendadak berlari ke sebelah kiri, cepat
imam yang menduduki tempat bintang "Thian-koan" (kekuasaan langit),
berteriak dengan suara ter-tahan, ia kerahkan barisan bintang2nya terus memutar
ke kiri dengan tujuan hendak kepung Kwe Ceng di tengah.
Siapa duga, begitu ketujuh imam ini bergerak, Kwe Ceng
lantas ikut bergerak juga, selalu ia mendahului pihak lawan untuk menduduki
tempatnya. Dan begitulah seterusnya sampai beberapa kali meski para imam itu
ber-ganti2 dengan beberapa tipu gerakan, tetapi selalu didahului Kwe Ceng,
hingga mereka kewalahan dan serba salah.
Hendaklah diketahui bahwa
"Thian-keng-pak-tau-tin" ini adalah suatu ilmu kepandaian tertinggi
dari kaum Coan-cin-kau, barisan yang teratur rapi dan dilakukan tujuh orang
ini, sekalipun lawannya beratus piau beribu orang dapat pula ditahan.
Akan tetapi dihadapan Kwe Ceng, barisan bintang2 yang
hebat ini ternyata tiada gunanya, sebab Kwe Ceng sudah paham akan ilmu barisan
bintang2 ini, apalagi ketujuh imam ini hanya anak murid Coan-cin-kau angkatan
muda," kalau barisan ini dipasang dengan Coan-cin-chit-cu, mungkin Kwe
Ceng tidak gampang merebut tempat kedudukan sesukanya. Oleh karenanya, meski
sudah ber-ubah2 beberapa kali gerak tipu barisan para imam itu, sebenarnya
sekali pukul Kwe Ceng sudah bisa bikin kocar-kacir barisan lawan, namun ia
sengaja membodoh dan pura2 tidak mengerti, dengan ke-tolol2an sengaja ia
berdiri menjublek di tempatnya, hanya kalau barisan orang bergerak, maka segera
pula ia ikut menggeser.
Begitulah sampai lama sekali walaupun si-imam menjadi
poros barisan bintang2 itu telah beberapa kali bergerak dengan cepat, namun
tetap tidak berhasil mengepung Kwe Ceng, Dalam terkejutnya imam itu menjadi
gusar pula, ia tidak mau menyerah mentah2, segera ia putar barisannya pula
dengan cepat.
Nampak pertarungan yang ramai ini, yang paling senang
adalah Nyo Ko. ia lihat ketujuh imam itu seperti orang gila saja ber-Iari2
cepat mengitari Kwe Ceng, sebaliknya dengan tenang saja Kwe Ceng melangkah
beberapa tindak ke kiri atau ke kanan, ke timur atau ke barat menurut keadaan
musuh, dari mula sampai akhir ketujuh imam itu ternyata tak berani sembarang
menyerang dengan senjata mereka, makin menonton semakin ketarik hingga saking
senangnya Nyo Ko bertepuk tangan.
Dalam pada itu tiba2 terdengar Kwe Ceng berseru:
"Maaf!"
Habis ini mendadak ia menyerobot cepat dua langkah ke
kiri, sekarang barisan bintang2 itu berbalik berada di bawah ke arah maka Kwe
Ceng menyerobot kalau ketujuh imam itu tidak ikut menggeser ke arah yang sama,
tentu mereka harus menghadapi bahaya yang mengancam jiwa mereka, Oleh karena
itu terpaksa ketujuh imam ini harus mengikuti gerak arah Kwe Ceng.
Dengan demikian, maka ketujuh imam ini sudah terjeblos
dalam keadaan tak dapat melepaskan diri lagi, kemana Kwe Ceng pergi, ketujuh
orang ikut ke sana, Kwe Ceng cepat, para imam pun cepat dan kalau lambat mereka
turut lambat.
Diantara ketujuh imam ini rupanya To-koh atau imam wanita
itu yang paling cetek kepandaiannya, setelah dibawa putar belasan kali oleh Kwe
Ceng, ia sudah merasa kepala pusing dan napas ter-sengal2, tampaknya segera
akan terbanting jatuh, Tetapi ia insaf kalau barisan bintang2 mereka kehilangan
seorang saja, maka seketika akan menjadi pincang dan daya pertahanan mereka
akan runtuh. Dalam keadaan terpaksa ia hanya bisa mengertak gigi bertahan
sekuatnya.
Walaupun usia Kwe Ceng boleh dibilang tidak muda lagi,
tetapi semenjak ia tirakat di Tho-hoa-to. bersama isterinya Ui Yong, paling
akhir ini sudah jarang bergaul dengan dunia luar, selama itu pula hati
kanak2-nya ternyata belum menjadi hilang, Kini nampak ketujuh imam itu dapat
dipancing hingga lari2, ia menjadi senang dan timbul kembali hati mudanya.
"Hari ini tanpa sebab tanpa alasan kalian telah
mendamperat padaku, kalian mencaci aku sebagai maling cabul, menuduh aku bisa
gunakan ilmu sihir pula, kini kalau aku tidak betul2 unjuk sedikit ilmu sihir
padamu, mungkin kalian sangka aku boleh dihina begitu saja ?" demikian ia
pikir.
Karena itu, ia lantas berteriak pada Nyo Ko: "Lihat
Ko-Ji, saksikan ilmu sihir yang aku keluarkan ini !" Habis ini mendadak
dengan sekali loncat, ia melompat ke atas satu batu cadas.
Ketujuh imam itu kini sudah berada di bawah pengaruh Kwe
Ceng, maka begitu dia loncat ke atas batu, jika ketujuh imam ini tidak ikut
meloncat, segera titik kelemahan barisan mereka akan kelihatan. Oleh sebab itu
diantaranya ada beberapa imam jadi ragu2, namun imam yang menduduki tempat
Thian-toan atau pemimpinnya, dengan sekali bersuit, segera ia pimpin barisannya
melompat ke-atas.
Di luar dugaan, belum sampai mereka menancap kaki di
atas, sekoyong2 Kwe Ceng melompat turut lagi, habis ini ia lantas ganti tempat
yang lain, keruan teraksa para imam itu memburu dan meniru pula dan begitu
seterusnya terjadi uber2an. Sampai akhirnya tiba2 Kwe Ceng meloncat ke atas
puncak satu pohon.
"Sungguh celaka, entah darimana munculnya iblis
seperti dia ini, pamor Coan-cin-kau hari ini pasti akan runtuh
seturuhnya", demikian diam2 para imam itu mengeluh.
Sekalipun dalam hati mereka memikir, tetapi kaki mereka
tidak berani berhenti, mereka masing2 mencari dahan pohon sendiri2 yang bisa
dibuat singgah dan terus ikut meloncat ke atas.
"Lebih baik di bawah saja !" Kwe Ceng menggoda
dengan ketawa dan betul saja ia lantas lompat turun pula, bahkan berbareng ia
ulur tangan hendak menjambret kaki imam yang menduduki tempat Khay-yang.
Sebenarnya letak kelihayan Pak-tau-tin atau barisan
bintang2 itu adalah karena bisa bahu-membahu dengan kerja sama yang rapat
sekali, kini Kwe Ceng menyerang pada satu tempat, otomatis dua imam yang
menduduki tempat serangkaian terpaksa melompat turun buat membantu dan karena
turunnya yang dua ini, mau tidak mau imam2 yang lain ikut turun pula dan dengan
demikian seluruh barisan menjadi terpengaruh.
Yang paling senang oleh karena pertarungan ramai ini
adalah Nyo Ko, ia terpesona dalam girang tercampur kejut, Katanya dalam hati:
"Apabila pada suatu hari aku bisa belajar hingga sehebat kepandaian
Kwe-pepek sekalipun seumur hidupku harus menderita juga aku rela"
Tetapi lantas terpikir pula: "Namun seumur hidupku
ini mana bisa belajar kepandaian setinggi ini dari dia kecuali si budak Kwe Hu
dan kedua saudara Bu yang beruntung itu, Hm, sudah jelas ia maksudnya Kwe Ceng)
tahu kepandaian orang coan-cin-kau jauh dibawahnya, tapi ia justru sengaja
kirim aku untuk belajar silat pada imam2 busuk ini."
Begitulah makin dipikir Nyo Ko semakin dongkol hingga ia
berpaling ke jurusan lain, ia tidak mau lihat Kwe Ceng mempermainkan ketujuh
imam tadi Akan tetapi sifat anak2 mana bisa tahan lama, tidak antara lama ia
menjadi kepingin tahu apa jadinya dengan imam2 yang digoda itu, maka tidak
tahan lagi ia berpaling kembali untuk menyaksikan pertempuran ramai dan lucu
itu.
Sementara itu sesudah puas mempermainkan para imam, diam2
Kwe Ceng berpikir: "Sesudah begini, tentunya mereka harus percaya bahwa
aku betul2 adalah Kwe Ceng, Jadi orang hendaklah jangan keterlaluan harus jaga
kebaikan di hadapan Khu-cin-jin nanti."
Dalam pada itu ia sedang goda ketujuh imam tadi hingga
putar kayun dengan kencang, mendadak ia berdiri diam sambil Kiongciu serta
berkata : "Tujuh To-heng, maaf saja, sekarang silahkan menunjuk
jalannya."
Diluar dugaan, imam yang menduduki tempat Thian-koan dan
sebagai pemimpin tadi ternyata berwatak sangat keras, karena melihat ilmu silat
lawannya semakin kuat, ia semakin yakin orang pasti tidak bermaksud baik
terhadap perguruan mereka, maka meski menghadapi musuh setangguh ini, sama
sekali ia pantang mundur.
"Hm, maling cabul." demikian segera ia menjawab
dengan suara lantang, "Coan-cin-kau kami paling benci pada segala
perbuatan kejahatan, maka se-kali2 jangan kau harap bisa melakukan perbuatan2
yang tidak tahu malu di Cong-lam-san ini !"
Kwe Ceng bingung oleh damperatan yang tak keruan
juntrungannya ini, "Apa perbuatanku yang tidak kenal malu ?" demikian
ia tanya.
""Hm, pura2 bodoh." jengek imam Thian-koan
itu. "Melihat kepandaianmu yang tinggi ini, tentunya kau bukan sebangsa
manusia yang suka berbuat kotor, aku nasehati kau, lekas kau turun kembali,
sana !"
Meski imam ini masih mendamperat, tetapi di balik
kata-kata yang diucapkan ini ia telah unjuk juga rasa kagumnya terhadap ilmu
kepandaian Kwe Ceng.
"Jauh2 Cayhe sengaja datang dari selatan dan ingin
bertemu Khu-cinjin untuk sesuatu keperluan, sebelum bertemu mana boleh kembali
turun gunung ?" demikian jawab Kwe Ceng.
Mendengar jawaban ini, tiba2 air muka imam hian-koan itu
berubah hebat.
"Hm, jadi kau ingin ketemu Khu-cinjin ? Baiklah,
coba katakan, sebenarnya ada urusan apa ?" tanyanya dengan dingin.
"Sejak kecil Cayhe menerima budi besar dari Ma
cinjin dan Khu-cinjin, karena sudah belasan tahun tidak bertemu, maka aku
menjadi kangen sekali," sahut Kwe Ceng.
Namun jawaban ini ternyata makin menambah sikap
permusuhan dari imam itu. Kiranya soal "budi" dan dendam" dalam
kalangan Kangouw paling di-utamakan, sering kali karena soal sakit hati, di
mulut dia bilang datang buat balas budi padahal yang benar maksudnya hendak
membalas dendam, Imam Thian-koan itu suka pegang teguh pandangannya sendiri,
maka kata2 Kwe Ceng yang diucapkan dengan setulus hati justru diterima
kebalikannya.
"Jangan2 guruku Giok-yang Cinjin juga kau katakan
ada budi padamu," demikian ia menjengek lagi.
Karena kata2 ini, Kwe Ceng jadi ingat pada masa yang
silam, masa mudanya dengan peristiwa yang terjadi dalam istana Thio-ong-hu,
dimana Giok-yang-cu (atau Giok-yang Cinjin) Ong Ju-it tanpa pikirkan bahaya
telah menandingi gerombolan musuh yang jauh lebih banyak untuk menolong
dirinya, atas kejadian itu memang tidak sedikit budi yang dia terima dari Ong
Ju-it. Oleh sebab ini, tanpa ragu2 lagi ia lantas jawab : "O, kiranya
To-heng adalah murid Giok-yang Cinjin, memang betul juga 0ng-cinjin ada budi
terhadap Cayhe, bila dia juga berada di atas gunung, sudah tentu akan lebih
baik lagi."
Diluar dugaan, ketujuh imam ini malah menjadi gusar,
dengan suara bentakan yang murka, senjata mereka segera menyamber, dengan cepat
mereka menyerang tujuh tempat di tubuh Kwe Ceng secara serentak.
Akan tetapi mana bisa Kwe Ceng diserang dengan gampang
dengan sedikit mengegos ia sudah melangkah ke samping, kembali ia duduki tempat
bintang Pak-kek atau kutub utara yang menjadi kelemahan barisan para imam itu.
"He, bicara dulu," demikian ia teriaki imam2
Coan-cin-kau ini, "Cayhe Kwe Ceng sama sekali tidak mengandung maksud
jahat kesini, dengan cara bagaimana baru-kalian mau percaya bahwa aku benar2
Kwe Ceng adanya ?"
"Kau sudah merebut enam pedang anak murid
Coan-cin-kau yang duluan, kenapa tidak sekalian rampas lagi tujuh pedang kami
ini ?" sahut imam Thian-coan tadi.
Dalam pada itu imam yang menduduki tempat Thian-koan yang
sejak tadi sebenarnya tutup mulut saja, kini mendadak ikut menyela dengan suara
yang pecah.
"Maling cabul anjing, rupanya kau hendak pamer
kepandaianmu di hadapan sundel kecil keluarga Liong itu ? Hm, apa kau kira
Coan-cin-kau kami gampang kau hina ?" demikian ia mencaci maki
Keruan Kwe Ceng menjadi gusar.
"Apa kau bilang ?" sahutnya dengan muka merah.
"Nona keluarga Liong ?" Siapa dia ? aku Kwe Ceng selamanya tidak
pernah kenal dia."
"Haha, jika kau berani, kenapa kau tidak memaki dia
sebagai perempuan busuk, sebagai sundel cilik !" kata imam Thian-koan pula
dengan bergelak tawa.
Mendengar orang mengumbar kata2 kotor, Kwe Ceng menjadi
tertegun, dasarnya ia memang jujur dan patuh pula adat peraturan, ia pikir
wanita she Liong yang disebut itu entah orang macam apakah, mana boleh tanpa
sebab dan alasan aku mencaci makinya. Karena pikiran ini, ia lantas menjawab:
"Kenapa aku harus memaki dia ?"
"Hahaha!" tertawa beberapa imam itu berbareng
"Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri ?"
Dasar Kwe Ceng memang tidak pandai menggunakan otak, kini
orang secara serampangan memaksakan suatu tuduhan padanya, semakin lama ia
merasa semakin ruwet, ia hanya pikir dengan paksa terjang saja ke
Tiong-yang-kiong untuk menemui Khu Ju-ki dan Ong Ju-it tentu segala urusan akan
menjadi beres.
"Kini Cayhe akan naik ke atas, kalian merintangi
lagi, jangan kalian menyesali Cayhe tidak segan2," dengan dingin ia
memberi peringatan.
Tapi ketujuh imam itu tiba2 melangkah maju setindak
dengan senjata siap sedia.
"Jangan kau pakai ilmu sihir, kita boleh coba ukur
kepandaian dalam ilmu sejati," dengan suara keras imam Thian-soan tadi
menantang.
Kwe Ceng hanya tertawa, segera ia ambil satu keputusan,
maka ia lantas menjawab: "Aku justru hendak unjuk -- sedikit ilmu sihir
pada kalian, tanpa tanganku menyenggol senjata kalian sedikitpun aku, sanggup
merampas ketujuh pedang kalian,"
Ketujuh imam itu saling pandang, dari wajah mereka
tertampak perasaan tidak percaya.
"Bagus, kami akan coba2 ilmu kepandaianmu dalam hal
tendangan," seru salah satu imam.
"Akupun tidak perlu gunakan kaki," sahut Kwe
Ceng., "Pendeknya tidak nanti aku menyenggoI barang sedikitpun senjata
maupun anggota badan kalian, tetapi senjata kalian akan kurampas, kalau sampai
tersentuh, anggap saja aku kalah dan segera aku turun gunung untuk selamanya
tidak akan naik ke sini lagi."
Mendengar orang buka mulut besar, ketujuh imam itu
menjadi marah semua, Tanpa tunggu lagi, Begitu imam Thian-koan geraki
pedangnya, segera ia bawa barisannya mengerubut maju.
Namun dengan kepala menunduk Kwe Ceng lantas menerjang
dengan cepat, ia menduduki titik bintang Pak-kek lagi dan dengan langkah cepat
mengarah ke kiri, ia menyerang sajap kiri barisan para imam.
Imam Thian-koan yang menjadi pemimpin barisan kenal
lihaynya orang, maka lekas2 ia bawa barisannya memutar ke kanan, dengan
demikian supaya bisa berhadapan dengan Kwe Ceng dan supaya kelemahan barisannya
tidak kentara.
Diluar dugaan., sekali Kwe Ceng sudah mengincar sayap
kiri, tetap ia serang bagian kiri dan tidak putar balik, meski tempo2 cepat dan
kadang2 lambat, tetap ia berlari mengincar bagian kiri, oleh karena ia bisa
menduduki tempat bintang Pak-kek dengan kukuh, mau tidak mau ketujuh imam itu
harus ikut memutar ke kiri juga.
Begitulah makin lari semakin cepat Kwe Ceng juga
menguber, sampai akhirnya kecepatannya boleh dikatakan melebihi kuda, makin
lama makin luas pula tempat yang dibuat putar hingga berupa satu lingkaran
selebar belasan tombak.
Tetapi ketujuh imam ini tergolong tidak lemah juga, meski
mereka dipaksa dalam kedudukan yang terbalik dipengaruhi orang, namun barisan
mereka sedikitpun belum kacau, mereka bertujuh masih menduduki tempatnya
masing2 dengan kuat dan tetap, hanya tubuh mereka saja yang tidak bisa dikuasai
lagi masih terus ikut lari terbawa oleh Kwe Ceng.
Diam2 Kwe Ceng harus puji juga keuletan tujuh imam Coan-cin-kau
ini, maka langkahnya tidak pernah ia kendurkan, tiba2 dia malah pergiat kakinya
hingga berlari memutar sebagai roda angin saja.
Mula2 ketujuh imam itu masih bisa paksakan diri ikut
berlari terus, tetapi lama kelamaan Gin-kang atau ilmu entengkan tubuh imam2
itu lantas tertampak, imam Thian-koan paling tinggi Ginkangnya, ia lari paling
depan dan disusul dengan imam yang menduduki tempat Thian-ki dan Thian-heng,
sedang imam yang lain pe-lahan2 menjadi ketinggalan hingga barisan mereka
lambat laun makin renggang, Tentu saja mereka terperanjat, pikir mereka:
"Jika musuh mau gempur barisan kita pada saat ini mungkin barisan bintang
ini tidak bisa dipertahankan lagi."
Walaupun mereka sudah tahu bakal celaka, tapi karena
sudah terlanjur, mereka tak pikirkan lain lagi, mereka hanya bisa berbuat
sepenuh tenaga dan keluarkan seluruh kepandaian untuk lari lebih cepat
mengikuti Kwe Ceng yang masih terus berputar.
Sebagai contoh dapat dilukiskan umpamanya kita ikat
sepotong batu dengan seutas tali lalu kita putar secepat mungkin, diwaktu batu
berputar kencang dan mendadak kita lepaskan, maka batu itu, pasti akan mencelat
jauh dengan tali pengikatnya tadi.
Sama halnya sekarang dengan ketujuh imam itu, mereka
telah dipengaruhi Kwe Ceng yang makin putar makin cepat sampai pedang mereka
terangkat di atas kepala, makin cepat mereka berlari, makin tidak kuat memegang
pedang mereka se-akan2 ada satu tenaga maha besar yang menariknya dan hendak
merebut pedang dari tangan mereka.
"Lepas!" se-konyong2 terdengar Kwe Ceng membentak.
Berbareng ini ia meloncat cepat ke kiri.
Oleh karena tidak men-duga2 akan kejadian itu, ketika
imam2 itu mendadak lihat Kwe Ceng meloncat ke atas, terpaksa mereka harus ikut
melompat ke-atas juga. Dan aneh, entah mengapa ketujuh pedang yang mereka
pegang itu semuanya tidak bisa mereka pertahankan lagi, seluruhnya telah
terlepas dari cekalan, seperti tujuh ular perak saja ketujuh pedang itu
menyamber ke dalam hutan yang berjarak belasan tombak jauhnya.
Dalam pada itu mendadak pula Kwe Ceng berdiri tegak,
dengan ketawa kemudian ia berpaling.
Sebaliknya wajah ke tujuh imam itu menjadi pucat seperti
mayat, mereka berdiri terpaku di tempatnya, hanya masing masing tetap menduduki
tempat barisannya, barisan mereka sama sekali belum menjadi kacau. Melihat
keadaan ini diam2 Kwe Ceng memuji juga atas kegigihan imam2 itu.
Sementara imam Thian-koat tadi tiba2 bersuit sekali,
menyusul ini semuanya lantas mundur ke belakang batu2 cadas dan menghilang.
"Ko-ji, marilah kita naik gunung sekarang,"
teriak Kwe Ceng.
Tapi meski sudah dua kali ia memanggil, belum juga ada
sahutan dari Nyo Ko, waktu ia coba mencari namun bayangan Nyo Ko sudah tak
tertampak lagi, yang dia ketemukan hanya sebuah sepatu kecil yang ketinggalan
di semak2 di belakang pohon sana.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, ia mengerti ke-Tho-hoa-to,
meski setiap hari ia tetap berlatih diri lain yang mengira di samping dan telah
menculik si Nyo Ko. Tetap bila ia pikir para imam tadi hanya salah paham saja
terhadap dirinya, pula Coan-cing-kau selamanya suka bantu yang lemah dan
berantas kejahatan, tidak nanti satu anak kecil dibikin susah oleh mereka, maka
ia tidak menjadi kuatir lagi.
Dengan kumpulkan tenaganya, segera ia berlari cepat
mendaki keatas.
Sudah ada belasan tahun Kwe Ceng tirakat di Thoa-hoa-to,
meski setiap hari ia tetap berlatih diri, namun sudah sekian lamanya belum
pernah ia bergebrak dengan orang, karena itu kadang2 terasa kesepian olehnya,
kini kebetulan bisa bergebrak seru dengan para imam tadi, maka diam2 ia merasa
cukup puas.
Sementara di jalannan pegunungan semakin sulit ditempuh,
tak antara lama, bahkan awan hitam menutup raut sang dewi malam, mendadak
udara-pegunungan cerah menjadi gelap guIita, Karena keadaan ini, Kwe Ceng
menjadi ragu2, ia pikir: "Tempat ini aku belum apal, jangan2 para To-heng
itu main tipu muslihat, betapapun aku harus waspada."
Karenanya ia lantas lambatkan langkahnya, ia jalan
pelahan saja. sesudah maju lagi, tiba2 awan hitam tadi terpencar di tiup angit,
rembulan memancarkan sinarnya dengan terang benderang, ia dengar di balik
gunung sana sayup2 ada suara napas orang yang hampir ratusan banyaknya, meski
suara napas itu sangat pelahan, namun karena jumlah orangnya banyak, maka Kwe
Ceng dapat mengetahuinya. Tetapi ia tidak menjadi gentar, sesudah kencangkan
ikat pinggangnya, segera ia melanjutkan perjalanan pula, setelah melintasi satu
lereng gunung, tiba-tiba ia menjadi kaget.
Kiranya di depannya terdapat satu lapangan yang sangat
luas dengan sekelilingnya dikitari gunung2, keadaannya sangat angker dan bagus
sekali, Di bawah gunung yang terdapat lapangan luas itu terdapat pula satu
kolam besar, karena sorotan sinar bulan, maka air kolam menjadi berkelap-kelip
kemilauan.
Di depan kolam besar kelihatan ratusan imam yang berdiri
terpencar, para imam ini semuanya memakai kopiah kuning dan jubah kelabu,
tangan menghunus pedang, sinar pedang yang gemerdepan menyilaukan mata.
Ketika Kwe Ceng mengawasi kiranya para imam itu tiap2
tujuh orang tergabung menjadi satu kelompok hingga seluruhnya ada empat belas
barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin. Tiap2 tujuh Pak-tau-tin kecil ini
terbentuk pula menjadi satu Pak-tau-tin yang besar, sungguh hebat sekali
keadaan barisan bintang raksasa ini, karena itu diam2 Kwe Ceng berkuwatir.
Dalam pada itu tiba2 terdengar satu imam dalam barisan
raksasa itu bersuit, habis ini di 98 imam itu dengan cepat terpencar, ada yang
di depan ada yang di belakang, sekaligus berubahlah barisan bintang mereka,
segera Kwe Ceng terkurung di-tengah2. Tiap-tiap imam itu siap sedia dengan
pedang terhunus, mereka memandang dengan mata tak berkedip dan semuanya
bungkam.
"Dengan hati tulus Cayhe mohon bertemu Khu-cin-jin,
maka harap para To-heng jangan merintangi," segera Kwe Ceng menyapa dengan
memberi hormat kepada para imam itu.
"llmu kepandaianmu cukup hebat, kenapa kau tidak
tahu harga diri dan mau berkomplot dengan kaum siluman ? Hendaklah kau lekas
insaf bahwa selamanya wanita suka menyesatkan orang, sayang kalau puluhan tahun
latihan kepandaianmu hanya dibuang dalam sekejap saja !" demikian imam
berjenggot panjang dalam barisan itu menjawab Nada suaranya rendah, tetapi
setiap, kata diucapkannya dengan jelas, suatu tanda tenaga dalamnya sudah kuat
sekali, lagu kata2nya juga sungguh2 nyata ia menasihati orang dengan setulus
hati.
Sudah tentu Kwe Ceng merasa geli dan mendongkol pikirnya
dalam hati: "Para imam hidung kerbau ini entah anggap aku ini manusia
macam apa? Coba kalau Yong-ji berada didampingku, pasti tidak akan terjadi
kesalahan paham seperti sekarang ini."
Oleh karena itu, dia lantas menyahut: "Siluman apa
dan wanita apa yang kau maksudkan ? Sungguh Cayhe sama sekali tidak
tahu-menahu, jika Cayhe bertemu dulu dengan Khu-cinjin, tentu segalanya akan
menjadi terang"
"Kau bisa ketemu beliau jika mampu boboIkan
Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau kami ini," kata imam berjenggot pandang
tadi.
"Cayhe hanya seorang diri, pula ilmu kepandaianku
terlalu rendah, mana berani melawan ilmu mujijat kalian ? Harap saja anak yang
aku bawa itu dibebaskan dan silakan memberi kesempatan padaku buat menemui
Khu-cin-jin," sahut Kwe Ceng.
"Hm, kau masih coba berlagak dan putar lidah? Di
depan Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san ini mana boleh kau maling cabul ini
berbuat tidak se-mena2?" mendadak imam jenggot panjang membentak. Habis
ini pedangnya memutar ke atas dengan membawa samberan angin yang santar hingga
menerbitkan suara ngaungan yang bergema.
Karena inilah imam yang lain serentak gerakan senjata
mereka juga, sekaligus 98 batang pedang berputar kian kemari hingga menerbitkan
angin yang keras, sinar pedang yang berpantulan tersusun seperti satu jaringan
sinar perak
Diam2 Kwe Ceng mengeluh oleh susunan barisan bintang2
ini, ia pikir dengan seorang diri mana mungkin bisa menandingi lawan yang
begitu banyak?
Dalam pada itu sebelum dia bisa ambil sesuatu keputusan,
ke-96 imam itu sudah lantas merubung maju dri kedua belah, sinar pedang mereka
menyamber rapat hingga boleh dikatakan lalat saja sukar menerobos.
"Hayo, senjata apa yang kau pakai, lekas kau
keluarkan!" terdengar si imam jenggot panjang membentak.
"Rupanya barisan Pak-tau-tin mereka tidak gampang
dipecahkan, tetapi kalau hendak mencelakai aku, rasanya mereka juga tidak
mampu, Biarlah aku melihat cara bagaimana permainan barisan mereka ini,"
demikian Kwe Ceng membatin.
Maka dengan se-konyong2 ia memutar pergi, ia lari
menduduki tempat di ujung barat-daya, berbareng ia keluarkan tipu pukulan
"ciam-liong-bat-yong" atau naga selulup jangan digunakan, satu tipu
pukulan yang lihay dari ilmu pukulan "Hang-liong-sip-pat-ciang" (ilmu
pukulan penakluk naga)" yang meliputi delapan belas jurus. Sekali
tangannya diulur lalu ditarik pula terus mendadak didorong lagi ke samping.
Karena serangan ini, ketujuh imam muda yang menjaga
barisan ujung barat-daya itu lekas2 pindahkan pedang mereka ke tangan kiri,
lalu sambil bergandengan tangan mereka ulur telapak tangan kanan untuk
menyambut pukulan Kwe Ceng tadi.
Tak tahunya ilmu pukulan ini sudah dilatih Kwe Ceng
sedemikian rupa sehingga di atas puncaknya kesempurnaan, tenaga dorongannya
tadi luar biasa kerasnya, yang paling lihay justru terletak pada tenaga tarikan
kembalinya tadi. Oleh karena itu, sepenuh tenaga ketujuh imam itu menahan
dorongannya, diluar dugaan menyusul satu kekuatan yang maha besar malah menarik
lagi ke depan, keruan ketujuh imam muda ini tak bisa tancap kaki lebih kuat
lagi, tanpa kuasa mereka terbanting jatuh, Meski segera mereka bisa melompat
bangun, namun tidak urung muka mereka sudah kotor penuh debu hingga mereka
merasa malu.
Nampak betapa lihaynya Kwe Ceng, sekali turun tangan tujuh
anak muridnya kena dibanting roboh, tentu saja imam jenggot panjang tadi sangat
terkejut, segera ia bersuit panjang, ia geraki ke-14 Pak-tau-tin mereka dan
bergandeng menjadi satu secara ber-deret2.
Dalam keadaan demikian, sekalipun berlipat ganda pula
tenaga pukulan Kwe Ceng juga tidak mungkin sanggup mendorong ke-98 imam yang
banyak ini. Maka ia tak berani menyerang secara keras lawan keras lagi, segera
ia keluarkan Gin-kang atau ilmu entengi tubuh, ia menerobos ke sana kemari
diantara barisan orang, ia pikir mencari lubang dahulu untuk kemudian baru
turun tangan mematahkan barisan lawan.
Sesudah lari sini dan lompat sana, ia sengaja pancing
barisan musuh supaya berubah tempat, namun segera ia tahu kalau hanya kekuatan
seorang diri saja sungguh sulit untuk mematahkan barisan bintang2 ini,
sementara itu makin lama barisan itu semakin ciut garis kepungan mereka, Kwe
Ceng merasa hendak berkelit atau hindarkan diri makin lamapun semakin sulit.
Karenanya diam2 Kwe Ceng berusaha cara bagaimana untuk
menerjang keluar kepungan musuh Ketika mendadak ia mendongak, ia lihat jauh di
Iamping gunung sebelah kanan sana berdiri satu kuil yang sangat megah, ia
taksir tentu itulah Tiong-yang-kiong, ia lihat kira2 belasan li jauhnya kuil
itu, ia memperhitungkan suara teriakannya masih bisa mencapai istana itu, maka
diam2 ia kumpulkan seluruh tenaga dalamnya, sesudah siap, mendadak ia berseru
keras: "Tecu (anak murid) Kwe Ceng mohon bertemu! Tecu Kwe Ceng mohon bertemu
!"
Begitu keras suara teriakan hingga seperti bunyi guntur
di siang hari sampai kuping para imam itu terasa pekak, bahkan tergetar sampai
kepala pusing dan mata kabur, seketika daya serangan mereka menjadi kendor.
"Awas, jangan sampai kena dikibuli maling cabul
ini," lekas2 jenggot panjang tadi memberi semangat pada kawan-kawannya.
Kwe Ceng menjadi gusar mendengar orang berulang kali
memaki dirinya, ia pikir : "Barisan bintang2 ini berada dibawah
pimpinannya, asal aku hantam roboh orang ini, ular tanpa kepala, tentu barisan
ini tidak sulit lagi untuk dihancurkan." - Karena itu, segera ia buka
serangan lagi, ia selalu incar si-imam jenggot panjang.
Di luar dugaannya, keistimewaan barisan bin-tang2 ini
justru adalah memancing musuh untuk menggempur pucuk pimpinannya, dengan
demikian barisan2 dalam kelompok kecil lainnya segera mengepung dari kedua
sayap, kalau terjadi begini berarti musuh sudah terjebak ke dalam jaring2
mereka.
Syukur Kwe Ceng bukan sembarang orang, baru beberapa
langkah ia menguber imam jenggot panjang itu, segera ia merasa gelagat tidak
menguntungkan, tiba2 ia merasakan daya tekanan dari belakang bertambah hebat,
begitu pula dari kedua sayap mengerubut maju secara ber-bondong2. Satu kali ia
hendak belok ke kanan, tetapi dua barisan kecil dari depan telah menyerang
berbareng dengan 14 pedang.
Tempat yang diarah ke 14 pedang para imam ini ternyata
tepat dan bagus hingga Kwe Ceng hendak berkelit tak bisa, hendak mengegos pun
tak sempat.
Namun begitu menghadapi bahaya demikian ini, dalam hati
Kwe Ceng bukannya menjadi takut, sebaliknya hawa amarahnya semakin memuncak,
pikirnya dalam hati: "Sekalipun kalian dakwa aku sebagai maling cabul
segala, tapi sebagai orang beragama seharusnya berwelas-asih, kenapa tiap2
seranganmu begini keji? Apa memang sengaja hendak melenyapkan jiwaku ?"
Mendadak ia meloncat ke samping, berbareng sebelah kaki
melayang, sekali tendang ia bikin satu imam muda terpental, sedang tangan kiri
di-ulur pula buat merebut pedang orang, dengan senjata rampasan ini ia tangkis tujuh
pedang yang sementara itu telah menyerang lagi dari sebelah kanan, Maka
terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, tahu2 ketujuh pedang musuh sudah
ter-kutung semua, sebaliknya pedang yang Kwe Ceng pegang masih baik2 saja tanpa
rusak.
Hendaklah diketahui bahwa pedang yang dirampas Kwe Ceng
itu tiada bedanya dengan pedang para imam yang terkutung itu dan bukannya lebih
tajam, soalnya karena tenaga dalamnya sengaja dia salurkan ke ujung pedangnya
dan sekali gus bikin tujuh pedang musuh tergetar putus.
Mungkin saking kaget oleh ketangkasan Kwe Ceng ini hingga
muka ketujuh imam tadi jadi pucat dan mulut temganga.
Nampak barisan kawannya bobol, lekas2 dari samping dua
barisan kecil merubung maju untuk melindungi barisan yang duluan, Diam2 Kwe
Ceng ingin men-coba2 lagi kekuatannya sendiri demi nampak 14 imam kedua
kelompok barisan pendatang ini tangan bergandeng tangan, tenaga 14 orang telah
tergabung menjadi satu. Maka sengaja ia ajun pedang rampasannya, sekali tempel,
senjata ke -14 imam itu segera melengket dengan pedang Kwe Ceng ini.
"Awas !" tiba2 Kwe Ceng berseru, berbareng
tangannya sedikit diangkat, maka terdengar suara "krak" yang riuh,
ternyata ada duabelas batang pedang para imam itu yang patah. Masih dua batang
lagi telah mencelat terbang ke udara.
Tentu saja luar biasa terperanjatnya imam2 itu, lekas2
mereka melompat mundur.
Walaupun sekaligus senjata para imam itu kena dipatahkan
dan dilempar pergi, namun Kwe Ceng tidak merasa puas seluruhnya, pikirnya:
"Nyata kepandaianku masih belum sampai pada tingkatan yang paling tinggi,
maka dua pedang tadi masih belum bisa kubikin patah sekalian."
Dalam pada itu, para imam sudah bertambah waspada, cara
mereka menyerang pun lebih hati2, tetapi semakin kencang pula kepungan mereka,
sebaliknya karena belum bisa membikin patah semua pedang tadi, Kwe Ceng merasa
barisan musuh dijaga lebih kuat, dalam hati ia menjadi ragu2, ia pikir jangan
sampai diriku akhirnya kecundang, urusan jangan sampai terlambat lebih baik
turun tangan lebih dulu.
Habis ini dengan sedikit mendak tubuh, mendadak Kwe Ceng
meloncat ke sudut timur laut, dengan tindakan ini ia tahu kedua kelompok
barisan kecil dari jurusan barat-daya pasti akan putar maju, namun ia sudah
siap, meski hanya sebatang pedang yang dia pegang, tapi dalam sekejap saja ia
sudah menusuk empatbelas kali, 14 titik putih gemerdep menyamber berbareng,
tiap2 tusukannya tepat mengenai "yang-kok-hiat" di pergelangan tangan
ke - 14 imam itu.
Meski cara menggeraki tangan Kwe Ceng tidak keras, tetapi
para imam itu sudah rasakan tangan mereka tak bertenaga lagi, ke 14 pedang
merekapun terjatuh ke tanah.
Luar biasa kejut para imam itu, dengan ter-sipu2 mereka
melompat mundur, dan ketika pergelangan tangan mereka periksa, nyata
"Yong-kok-hiat" yang kena ditutul tadi sedikit tanda merah, tetapi
setetes darahpun tidak mengucur keluar, Sungguh hebat serangan Kwe Ceng ini,
dia gunakan ujung pedang yang tajam itu untuk menusuk Hiat-to, tetapi
sedikitpun tidak bikin lecet kulit daging, sungguh suatu kepandaian yang luar
biasa.
Keruan para imam itu terperanjat, dalam hati mereka bisa
membayangkan juga apabila Kwe Ceng mau tabas putus tangan mereka tadi
sebenarnya bukan urusan sulit.
Kini sudah ada 5 kali 7 atau 35 pedang yang telah
terlepas dari cekalan.
Imam yang berjenggot panjang tadi semakin gusar, ia tahu
juga Kwe Ceng masih belum keluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi untuk menjaga
pamor Coan-cin-kau tidak merosot, berulang kali ia memberi perintah lagi, ia
persempit pula lingkaran barisannya, ia pikir dengan kepungan 98 imam, secara
desak-mendesak saja akan gencet mampus lawannya.
Sebaliknya hati Kwe Ceng menjadi gemas juga, batinnya :
"Para To-heng ini sungguh tidak kenal baik dan jelek, agaknya terpaksa aku
harus hajar mereka supaya kapok."
Tanpa ayal lagi segera ia mulai buka serangan baru,
dengan Ginkang yang lihay ia menyusur kesana dan memutar kemari, hanya sekejap
saja barisan bintang para imam itu sudah tampak rada kacau.
Melihat gelagat jelek, lekas2 imam jenggot panjang tadi
memberi perintah agar kambrat2nya berlaku tenang dan tetap jaga rapat kedudukan
barisan mereka, ia insyaf apabila sampai ikut Kwe Ceng berlari, maka akhirnya
barisan mereka pasti akan kocar-kacir dipatahkan. Tetapi demi mereka berdiri
tenang tak bergerak, Kwe Ceng sendiri jadi gagal usahanya.
"To-heng ini (maksudnya imam jenggot panjang) sangat
paham akan rahasia barisannya, nyata dengan cepat ia bisa ambil tindakan,"
demikian diam2 Kwe Ceng membatin. "Biarlah aku berteriak beberapa kali
lagi, coba ada suara sahutan dari Khu-totiang atau tidak"
Selagi ia mendongak hendak buka mulut, sekilas tertampak
olehnya pada pojok kuil yang megah di atas gunung sana lapat2 ada berkelebatnya
sinar putih, agaknya seperti ada orang sedang bertempur dengan senjata tajam,
hanya sayang karena jaraknya terlalu jauh, maka gerak tubuh orangnya tidak
jelas, lebih2 suara beradunya senjata tidak bisa kedengaran.
Hati Kwe Ceng tergerak "Siapakah yang bernyali
begitu besar, berani dia ngacau ke Tiong-yang-kiong ? Rupanya kejadian malam
ini ada sesuatu yang mencurigakan"
Karena itu, ia ingin lekas memburu ke kuil di atas gunung
untuk melihat apa yang terjadi, cuma para imam masih terus merintanginya dengan
mati-matian.
Akhirnya Kwe Ceng menjadi tak sabar, tiba2 tangan kirinya
memukul dengan gerak tipu "kian-liong-cay-thian" (melihat naga di
sawah), sedang tangan kanan dengan tipu pukulan "kong-liong-yu-hwe"
(naga pembawa sial), sekali serang ia keluarkan ilmu kepandaiannya hantam
kanan-kiri dengan kedua tangannya.
Karena serangan kanan-kiri ini, maka barisan bintang raksasa
itu terpaksa membagi 49 orang buat menahan serangan dari kiri dan 49 orang
lainnya menahan hantaman dari sebelah kanan.
Diluar dugaan, belum penuh gerak serangan Kwe Ceng tadi
dilontarkan, ditengah jalan tiba2 berubah, gerak tipu "kian-liong-tjay-thian"
mendadak berubah menjadi "kong-liong-yu-hwe" dan sekaligus Kwe Ceng
gerakkan kedua tangan dengan tipu pukulan Kian-liong-cay-dian dan
Kong-liong-yu-hwe kekanan dan kiri lalu diputar balik secara berlawanan
sebaliknya.
Sebenarnya ilmu pukulan, dari kanan-kiri, kedua tangan
sekaligus mengeluarkan tipu serangan yang berlainan, bahkan ditengah jalan tipu
serangan itu bisa berubah, sungguh orang tidak pernah dengar atau
menyaksikannya (dari mana Kwe Ceng memperoleh ajaran ilmu pukulan kanan-kiri
dengan serangan yang berlainan, pada kesempatan lain akan diceritakan
tersendiri).
Padahal barisan Pak-tau-tin besar sebelah kiri sedang
keluarkan tenaga buat menahan tipu "kian-liong-cay-thian" dan barisan
sebelah kanan menangkis tipu "kong-liong-yu-hwe", karena perubahan
yang terbalik ini, maka tertampaklah bayangan Kwe Ceng berkelebat, tahu2 dia
telah meloncat keluar dari celah2 himpitan kedua barisan besar itu, sebaliknya
masing2 pihak dari ke-49 imam itu karena tidak pernah menyangka akan tindakan
lawan itu, keruan lantas terdengar suara gedebukan yang ramai, kedua barisan
itu telah saling tumbuk dan saling seruduk, banyak pedang yang patah dan tangan
terluka, ada pula yang muka babak belur dan hidung mancur, beberapa puluh orang
telah menderita luka semua.
Imam berjenggot panjang tadi meski sempat hindarkan diri
lebih cepat, namun tidak urung ia ikut kelabakan juga, saking gemasnya, segera
ia kerahkan seluruh barisannya terus mengudak pula. Tetapi karena amarahnya ini
justru telah melanggar pantangan ilmu silat dari golongan Coan-cin-kau yang
mengutamakan ketenangan sementara itu Kwe Ceng berlari cepat di depan dan dari
belakang ke-98 imam itu mengudak dengan kencang.
Tatkala sampai ditepi sebuah kolam besar, Kwe Ceng lihat
di depan hanya air belaka, namun ia tidak kurang akal, mendadak ia lemparkan
pedang rampasannya lurus kepermukaan air.
Meski pedang ini terbuat dari baja, namun kekuatan yang
Kwe Ceng gunakan begitu tepat, maka batang pedang ini me-loncat2 terapung di
atas air beberapa kali Kesempatan inilah digunakan Kwe Ceng dengan baik, ia
melayang ke tengah kolam, dengan kaki kanan ia tutul pelahan di atas batang
pedang, Pada saat pedang itu tenggelam kedalam kolam, namun Kwe Ceng sudah
pinjam tenaga tutulan tadi untuk melompat sampai di seberang.
Sebaliknya para imam itu yang sial, mereka sedang
mengudak dengan kencangnya dan tak keburu mengerem lagi, maka terdengarlah
suara "plang-plung" yang ramai beberapa puluh kali, nyata ada 40-50
orang yang telah kecemplung ke dalam kolam. Sedang beberapa puluh yang di
belakang menginjak punggung imam2 yang depan, karena inilah mereka bisa
berhenti ditepi kolam.
Sedang imam2 yang kecemplung tadi karena tak bisa
berenang, banyak yang megap2 dan ber-teriak-teriak minta tolong, cepat imam2
lainnya yang bisa berenang memberi pertolongan dan dengan sendirinya tidak
sempat buat menguber Kwe Ceng lagi.
Diwaktu para imam ini tunggang langgang, tiba2 Kwe Ceng
dengar suara genta yang ditabuh keras berkumandang dari Tiong-yang-kiong, itu
istana kaum Coan-cin-kau. Suara genta itu dibunyikan secara titir, keras dan
kerap, agaknya seperti tanda bahaya.
Waktu itu Kwe Ceng baru lepaskan diri dari rintangan para
imam dan lagi berlari menuju Tiong-yang-kiong secepatnya, ketika ia dengar
suara genta rada aneh, ia telah merandek dan mendongak maka terlihatlah olehnya
di belakang kuil suci itu ada sinar api yang ber-kobar2 menjulang tinggi.
Tentu saja Kwe Ceng kaget, pikirnya : "Kiranya hari
ini memang benar ada orang hendak gempur Coan-cin-kau, aku harus lekas pergi
menolongnya." Dalam pada itu ia dengar suara teriakan para imam tadi telah
menyusul dari belakang lagi.
Kini Kwe Ceng baru mengerti tentunya imam2 ini telah
salah sangka dirinya adalah musuhnya, kuil mereka sedang terancam bahaya, sudah
tentu mereka lebih kalap dan hendak adu jiwa dengan dirinya, Namun iapun tidak
urus mereka lagi melainkan dengan cepat ia lari terus ke atas.
Dengan Ginkang atau ilmu entengi tubuh yang Kwe Ceng
dapat belajar juga dari Coan-cin-kau, yakni ajaran Ma Giok, maka tidak sampai
waktu satu tanakan nasi ia sudah tiba sampai di depan Tiong-yang-kiong, ia
lihat api sudah berkobar dan menjalar hebat, Tetapi aneh, ratusan To-su atau
imam dari Coan-cin-kau yang masing2 memiliki ilmu silat tinggi itu ternyata
tiada satu-pun yang keluar buat memadamkan api.
Diam2 Kwe Ceng merasa kuatir. Waktu ia mengamati lagi,
kiranya api menjalar dari bagian belakang istana yang megah itu terbukti bagian
depannya masih utuh.
Cepat ia melintasi pagar tembok yang tinggi itu dan
melompat masuk pelataran depan kuil itu, maka terlihatlah olehnya dipendopo
sana sudah ber-jubel2 orang yang lagi saling hantam dengan mati-matian.
Waktu Kwe Ceng menegasi pula, ia lihat ada 49 orang imam
berjubah kuning yang tersusun menjadi tujuh barisan Pak-tau-tin sedang
menandingi serangan 60 atau 70 orang musuh. Para musuh pendatang itu ada yang
tinggi ada yang pendek, gemuk atau kurus, seketikapun tak dapat dilihat dengan
terang.
Hanya kepandaian silat dan golongan para pendatang ini
masing2 berlainan, ada yang memakai senjata dan ada yang menggunakan tangan
kosong, mereka terus merangsak dengan penuh tenaga.
Sebenarnya tidak lemah ilmu silat para penyerang ini pula
jumlahnya lebih banyak, maka para imam Coan-cin-kau sudah mulai terdesak di
bawah angin, cuma lawan mereka menyerang dan menghantam secara perseorangan,
sebaliknya ke-tujuh barisan bintang para imam itu bisa bahu-membahu dan bantu
membantu, mereka menjaga diri dengan sangat rapat, Meski para musuh sangat
lihay tak mampu mendesak para imam itu barang selangkahpun.
Melihat pertarungan besar2an ini, Kwe Ceng menjadi heran,
Selagi ia hendak membentak dan tanya, tiba2 ia dengar di dalam istana kuil itu
ada suara samberan angin yang men-deru2, ternyata di dalam sana masih ada
rombongan lain lagi yang sedang bertempur.
Dari angin pukulan yang kedengaran itu, agaknya orang
yang bergebrak di dalam istana itu ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada
para penyerang yang berada di luar.
Lekas2 Kwe Ceng memburu maju, ia mengegos dan menerobos
masuk, ia berkelit ke kiri terus menyusup ke kanan, tahu2 ia sudah menyelip
masuk melalui Pak-tau-tin para imam, Tentu saja imam2 Coan-cin-kau sangat
kaget, berbareng mereka saling memperingatkan kawannya, tapi karena musuh dari
luar terlalu hebat tekanannya, maka mereka tidak sanggup membagi sebagian untuk
mengudak Kwe Ceng.
Di dalam istana itu sebenarnya terang benderang oleh belasan
lilin yang besar, tatkala itu api yang berkobar dari ruangan belakang sudah
menjalar ke depan, dari pancaran sinar api yang berkobar itu bercampurkan asap
tebal yang menghembus terbawa angin, sinar lilin di dalam ruangan hanya
kelihatan remang2 saja.
Sementara Kwe Ceng lihat di dalam istana itu ber-deret2
tujuh imam duduk sila di atas ka-suran yang bundar, telapak tangan kiri mereka
saling tempel, hanya tangan kanan mereka yang dikeluarkan untuk menahan
kepungan belasan orang musuh.
Begitu datang Kwe Ceng tidak periksa pihak musuh
melainkan terus pandang dulu pada ketujuh imam Coan-cin-kau, ia lihat di antara
tujuh orang itu yang tiga sudah berumur dan yang empat masih muda, yang tua itu
masing2 ialah Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, sedang empat imam yang muda
hanya seorang saja yang dia kenal, yakni In Ci-peng, murid Khu Ju-ki.
Ketujuh imam inipun memasang jaring2 barisan Pak-tau-tin,
mereka berduduk saja tanpa bergerak Diantara tujuh imam ini ada satu di
antaranya yang kepalanya menunduk dan sedikit membungkuk hingga mukanya tidak
tertam-pak jelas.
Demi nampak Ma Giok bertujuh berada dalam keadaan
terancam, seketika darah Kwe Ceng jadi panas, iapun tidak peduli lagi siapa dan
darimana adanya musuh itu, dengan sekali bentakan yang menggeledek segera ia
mendamperat : "Kawanan bangsat yang kurangajar, berani kalian main gila ke
Tiong-yang-kiong sini ?"
Berbareng itu kedua tangan mengulur, sekaligus ia dapat
mencengkeram punggung dua orang musuh, selagi ia bermaksud membanting sasaran
pertama ini, tak terduga kedua orang ini ternyata tergolong jagoan tinggi,
walaupun punggung mereka kena dijamberet, namun kedua kaki mereka ternyata
masih terpaku di lantai dan tidak kena dibanting.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirannya: "Darimanakah
mendadak bisa datang lawan keras begini banyak ? Pantas kalau Coan-cin-kau hari
ini harus menderita kekalahan."
Sambil berpikir iapun sembari kerjakan serangan lain,
mendadak ia kendurkan jamberetan-nya tadi, menyusul kakinya lantas melayang, ia
serampang kaki kedua orang lawannya.
Pada waktu itu kedua lawannya sedang mengeluarkan
kepandaian "Cian-kin-tui" atau tindihan seberat ribuan kati, yakni
semacam ilmu yang bikin tubuhnya menjadi berat untuk melawan tarikan pwe Ceng
tadi, sama sekali tidak mereka duga bahwa Kwe Ceng bisa ubah serangannya
secepat itu.
Tanpa ampun lagi mereka kena diserampang hingga tubuh
mereka mencelat keluar pintu.
Tentu saja pihak penyerang itu terkejut tatkala
mengetahui pihak lawan kedatangan bala bantuan, Akan tetapi karena mereka yakin
pasti akan dipihak pemenang, maka datangnya Kwe Ceng tidak mereka perhatikan,
hanya ada dua orang yang segera maju dan membentak "Siapa kau ?"
Namun Kwe Ceng tidak menggubris, tanpa berkata ia sambut
kedua orang ini dengan gablokan kedua telapak tangannya secara susul-menyusul.
Sungguh tidak pernah diduga kedua orang itu, belum mereka
mendekat atau mendadak tenaga pukulan Kwe Ceng sudah bikin tergetar mereka
hingga tak bisa berdiri tegak, tanpa ampun lagi dupiali suara "bluk"
terdengar, punggung mereka tertumpuk pada dinding tembok dengan keras hingga
darah segar muncrat keluar dari mulut mereka.
Nampak empat kawan mereka roboh beruntun-runtun, keruan
para musuh yang lain menjadi jeri, seketika tiada lagi yang berani maju buat
mencegat.
Di lain pihak Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it segera
mengenali Kwe Ceng dalam hati mereka menjadi girang luar biasa, "Orang ini
datang, Coan-cin-kau kami tidak perlu kuatir lagi!" demikian kata mereka
dalam hati.
Sementara Kwe Ceng sama sekali tidak pandang sebelah mata
pada para musuh itu, bahkan ia lantas berlutut ke hadapan Ma Giok buat memberi
hormat tanpa gubris musuh2 yang lain. "Tecu Kwe Ceng memberi hormati"
demikian ia berkata.
Tatkala itu rambut alis Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it
sudah putih karena usia mereka yang sudah menanjak, mereka hanya memanggut
sambil bersenyum dan angkat tangan buat balas hormat.
"Awas, Kwe-heng!" tiba2 In Ci-peng berseru
memperingatkan Kwe Ceng.
Dalam pada itu, Kwe Ceng sudah merasa di belakang
kepalanya ada mendesisnya angin, ia tahu ada musuh melakukan pembokongan,
tetapi iapun tidak menoleh atau berpaling, dengan tangan menahan di lantai,
tubuhnya lantas terangkat ke atas dan diwaktu turunnya, kedua lututnya dengan
tepat menindih di atas punggung kedua pembokong ini Dengan demikian Kwe Ceng
masih tetap berlutut, hanya di bawah lututnya telah bertambah dengan dua orang
pengganjel.
Kiranya dengan secara tepat dan hebat sekali Kwe Ceng
telah gunakan lututnya untuk menumbuk jalan darah penyerang gelap tadi, keruan
dengan lemas kedua orang itu terkulai ke lantai dan dipakai sebagai kasur
pengganjel Kwe Ceng.
Ma Giok tersenyum melihat kejadian ini, katanya:
"Bangunlah, Ceng-ji, belasan tahun tak berjumpa, rupanya kepandaianmu
sudah jauh lebih maju!"
"Cara bagaimana harus selesaikan beberapa orang ini,
harap Totiang memberi petunjuk," kata Kwe Ceng sambil berdiri.
Tetapi sebelum Ma Giok menjawab, tiba2 Kwe Ceng mendengar
di belakangnya ada dua orang secara berbareng bersuara tertawa
"haha", suara tertawaan ini sangat aneh sekali, kalau yang satu tajam
menusuk telinga, adalah yang lain sebaliknya nyaring menarik. Cepat Kwe Ceng
menoleh, maka tertampaklah olehnya di belakangnya sudah berdiri dua orang.
Kedua orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang
berjubah merah, kepalanya memakai kopiah berlapis emas, wajahnya kurus, Sedang
yang satu lagi memakai baju kuning, tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh
dan tampan, nyata sekali seorang putera bangsawan.
Kedua orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan
tidak banyak bicara, terang sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali
berbeda dengan para musuh yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang
enteng kedua musuh yang lain.
Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua
musuh ini, dengan membungkuk badan ia lantas memberi hormat dahulu.
"Siapakah kalian berdua? Ada keperluan apakah datang
ke sini?" demikian ia menegur.
"Dan kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari
?" dengan tertawa putera bangsawan tadi balas bertanya.
"Tayhe (aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng,
adalah murid beberapa guru yang berada di sini ini," sahut Kwe Ceng tetap
dengan ramah.
"Sungguh tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata
masih ada tokoh seperti kau ini," ujar si putera bangsawan itu dengan
tertawa.
Meski umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan,
namun cara mengucapkan kata2nya ternyata berlagak seperti orang tua saja,
seperti tidak pandang sebelah mata pada Kwe Ceng.
Sebenarnya Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan
anak murid Coan-cin-kau, tetapi karena kata2 orang yang pandang rendah padanya,
mau-tak-mau rada panas juga hatinya.
Memangnya iapun tidak pandai bicara, maka ia tidak ingin
banyak pmong, ia hanya menjawab singkat saja: "Kalian berdua ada
permusuhan apakah dengan Coan-cin-kau ? (Mengapa perlu mengerahkan kekuatan
begini banyak dan kobarkan api membakar kuil ini ?"
"Siapakah kau ini ? Berdasarkan apa kau berani jikut
campur urusan ?" sahut Kui-kong-cu (putera bangsawan) itu dengan ketawa.
"Aku justru ingin ikut campur tahu," sahut Kwe
Ceng ketus.
Dalam pada itu berkobarnya api semakin hebat dari telah
menjalar lebih dekat lagi, tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu
pasti akan terbakar menjadi tumpukan puing.
Tiba2 putera bangsawan itu geraki kipas lempitnya,
dikembangkan terus ditutup lagi, maka sekilas tertampaklah pada kertas kipasnya
yang putih itu terlukis setangkai bunga Bo-tan yang indah.
"Kawan2 ini aku yang bawa kemari," kemudian ia
berkata dengan ketawa sambil melangkah maju, "asal kau mampu menerima tiga
puluh gebrakan dari aku, segera aku mengampuni kawanan imam hidung kerbau
ini!"
Mendengar kata2 orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun
sungkan bicara lebih banyak lagi, tiba2 ia ulur tangan kanannya, sekali
bergerak ia pegang kipas lempit orang terus ditarik dengan keras.
Dengan tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak
melepaskan kipasnya, maka seluruh tubuhnya pasti akan ikut terseret.
Diluar dugaan, begitu Kwe Ceng membetot badan
Kui-kong-tju itu hanya sempoyongan sedikit saja, sedang kipasnya masih belum
terlepas dari cekalannya.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirnya: "Orang ini
masih begini muda, namun sudah sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat
ini ternyata masih ada orang pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum
pernah mendengarnya ?"
Oleh karena pikiran itu, segera pula ia tambah tenaga
tarikannya terus menjambret lagi sambil membentak : "Lepas !"
Se-konyong2 muka putera bangsawan itu bersemu guram,
tetapi hanya sekilas saja lantas lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih
bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang lagi menahan tenaga tarikannya dengan
Lwekang yang tinggi, jika pada saat ini juga ia tambahi tenaga tarikan-nya,
asal muka orang tiga kali mengunjuk semu guram, maka dapat dipastikan
jerohannya (isi perut) akan terluka parah.
Akan tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi, ia pikir orang
ini bisa berlatih diri sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal
gampang, maka ia tidak ingin melukai orang dengan tenaga berat, ia tersenyum
dan mendadak lepaskan tangannya.
Meski Kwe Ceng sudah buka tangannya, tapi nyatanya kipas
lempit itu masih terletak di telapak tangannya, pula tenaga Kui-kong-cu yang
membetot kembali masih tetap besar, namun aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng
ternyata telah dia salurkan dari kipas ke tangan lawan, meski putera bangsawan
itu sudah merebut dengan sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan
Kwe Ceng, dengan demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan
tidak mundur, sungguhpun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh
kemahirannya, tetapi satu sentipun belum sanggup ia tarik kepihaknya. Maka
insaflah dia bahwa ilmu silat lawan masih jauh di atasnya, karena ingin memberi
muka padanya, maka lawan tidak rebut kipasnya.
Mengingat akan ini, segera ia lepaskan tangannya terus
melompat pergi, mukanya menjadi merah malu.
"Mohon tanya she dan nama tuan yang terhormat,"
katanya kemudian sambil membungkuk badan.
"Ah, nama Tjayhe tiada harganya disebut, cuma
Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin yang berada di sini ini memang semuanya
adalah guru Tjayhe yang berbudi," sahut Kwe Ceng.
Karena jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya
setengah sangsi, ia pikir tadi pihaknya sudah gempur Coan-cin-chit-to (tujuh
imam Coan-cin-kau) dan yang tertampak lihay hanya barisan bintang
Thian-keng-pak-tau-tin mereka, jika bergebrak satu lawan satu, maka tiada
satupun Tosu itu mampu menandingi dirinya, kenapa anak muridnya malah bisa
begini lihay ?
Dalam sangsinya, kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi,
sudah tentu yang tertampak olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang
tiada bedanya dengan petani biasa saja.
Dan selagi ia hendak buka mulut pula mengucapkan beberapa
kata2 halus untuk kemudian membawa begundalnya buat mundur teratur, tiba2 dari
luar terdengar suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi), suara khim ini sangat
lembut tetapi merdu, karena itu setiap orang yang mendengar sama tergetar
hatinya.
Mendengar suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu
itu kelihatan rada berubah. "llmu silatmu sungguh mengejutkan orang, aku
merasa sangat kagum, sepuluh tahun lagi aku akan datang kembali minta petunjuk,
karena masih ada urusan lain yang belum selesai, baiklah sekarang juga aku
mohon diri," demikian katanya pada Kwe Ceng. Habis berkata, kembali ia
memberi hormat pula,
"Sepuluh tahun kemudian tentu aku tunggu kau
disini," sahut Kwe Ceng membalas hormat orang.
Sementara itu putera bangsawan itu sudah putar tubuh dan
jalan keluar, tetapi baru sampai depan pintu, tiba2 ia menoleh dan berkata
pula: "Urusanku dengan Coan-cin-kau hari ini aku terima mengaku kalah,
hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari Coan-cin-kau janganlah ikut campur
lagi atas urusan pribadiku."
Menurutt peraturan Kangouw, kalau seseorang sudah mengaku
kalah dan terima menyerah, pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu
kepandaian lagi, maka sebelum tiba hari yang dijanjikan meskipun saling pergok
lagi di tengah jalan, sekali-kali tidak boleh saling labrak dulu.
Oleh karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab :
"Ya, sudah tentu."
Maka tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak
melangkah pergi pula.
Diluar dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya
dengan suara keras: "Tidak perlu sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti
pergi mencari kau."
Mendengar suara bentakan yang kuat hingga anak telinga
tergetar se-akan2 pecah, hati putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu2 apa
orang tadi belum mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia
tak berani tinggal lebih lama lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat.
Sesudah memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot,
paderi Tibet itu pun ikut pergi bersama kawan2nya yang lain.
Kwe Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari
biasanya, hidung besar dan berewokan, rambut keriting serta mata dekuk,
tampaknya seperti bukan orang dari negeri sendiri maka dalam hati ia tidak
habis mengerti serta menaruh curiga, sementara ia dengar suara saling adunya
senjata dan suara bentakan di ruangan depan sudah mulai berhenti juga, ia tahu
tentu musuh sudah mundur pergi
Dalam pada itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada
berdiri, disamping itu terdapat pula satu orang yang menggeletak terlentang di
lantai, waktu Kwe Ceng maju melihatnya, ia kenal bukan lain dari Kong-ling-cu
Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari
Coan-cin-kau.
Kiranya Ma Giok dan lain meski terancam oleh bahaya api,
tapi mereka tetap duduk tenang tanpa bergerak sebabnya karena ingin melindungi
kawan yang terluka ini.
Waktu Kwe Ceng memeriksanya, ia lihat muka Hek Tay-thong
pucat seperti kertas, napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali
menderita luka berat, Ketika Kwe Ceng buka jubah orang, ia menjadi lebih
terkejut lagi, ia lihat di dada imam terdapat bekas lima jari tangan dengan terang
sekali, warna bekas jari ini matang biru dan dekuk ke dalam daging.
"Di kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang
mempunyai ilmu kepandaian semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di
Tho-hoa-to dan semua kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?" demikian ia
pikir, Maka segera ia berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau tutukan
jari sakti, berulang dua kali ia tutuk bagian bawah bahu Hek Tay-thong.
Dua kali tutukan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka
dan hilangkan racun pada luka Hek Tay-thong itu, namun dalam duabelas jam
keadaan luka boleh dipercaya tidak bakal meluas dan memburuk,
Sementara itu api sudah makin hebat berkobarnya dan sukar
ditolong lagi, lekas2 Khu Ju-ki angkat Hek Tay-thong. "Hayo, lekas keluar
!" demikian ajaknya cepat.
"He, dimanakah anak yang aku bawa ? siapakah yang
menahan dia? jangan sampai ia dimakan api!" tanya Kwe Ceng tiba-tiba.
Tadi Khu Ju-ki cs. sedang melawan musuh dengan segenap
perhatian mereka, dengan sendirinya ia tidak tahu seluk-beluk urusan Nyo Ko
yang dibawa kemari mereka menjadi bingung.
"Anak ? Anak siapa? Dimana dia?" demikian tanya
mereka berbareng.
Dan sebelum Kwe Ceng menjawab, diantara sinar api yang
ber-kobar2 itu, tiba2 ada berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil
tahu2 telah melompat turun dari atas belandar rumah.
"Aku berada di sini, Kwe-pepek," demikianlah
seru anak kecil itu dengan ketawa. Siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ?
Tentu saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang.
"Kenapa kau bisa sembunyi di atas belandar rumah ?" lekas ia tanya.
"Tadi, waktu aku dengan ketujuh imam busuk
itu..."
"Hus, kurangajar !" bentak Kwe Ceng memotong
sebelum Nyo Ko meneruskan "Hayo, lekas memberi hormat kepada para Co-su-ya
(kakek guru)."
Karena bentakan itu, Nyo Ko me-lelet2 lidah-nya, ia tak
berani membantah, segera ia berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong
Ju-it bertiga untuk menjura.
Ketika sampai gilirannya harus menjura pada In Ci-peng,
Nyo Ko lihat orang masih muda, maka lebih dulu ia berpaling menanya Kwe Ceng:
"Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya juga ? Agaknya tidak perlu lagi aku
menjura, ya ?"
"Dia ini In-supek (paman guru), lekas menjura,"
sahut Kwe Ceng.
Terpaksa Nyo Ko harus menjura lagi, sungguhpun dalam hati
seribu kali tidak sudi.
Habis ini, Kwe Ceng lihat Nyo Ko lantas berdiri dan tidak
menjura pula pada tiga imam setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak:
"Ko-ji, kenapa kurangajar ? Hajo, menjura lagi!"
"Kalau harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tidak
keburu lagi, nanti jangan Kwe-pepek salahkan aku," dengan tertawa Nyo Ko
menjawab.
Kwe Ceng sudah kenal anak ini kelakuannya sangat aneh dan
nakal, banyak pula tipu akalnya, Maka ia lantas tanya : "Soal apa yang
tidak keburu lagi ?"
"ltu, di sana ada satu paman To-su diringkus orang
dalam kamar, kalau tidak ditolong, mungkin akan terbakar mati oleh api,"
sahut Nyo Ko.
"Kamar yang mana? Lekas katakan !" tanya Kwe
Ceng dengan cepat.
"Eeeh, nanti dulu, coba aku ingat2 dulu, ai, kenapa
aku jadi lupa," demikian Nyo Ko menjawab dengan ketawa.
Tentu saja In Ci-peng menjadi gemas, ia melototi sekejap
pada Nyo Ko, habis ini dengan langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur,
ia dobrak pintu kamar, tapi tiada seorangpun yang tertampak, kembali ia berlari
ke kamar murid angkatan ketiga yang biasa buat melatih, ketika ia tendang
terpentang pintu kamar ini, ternyata seluruh kamar sudah penuh dengan asap yang
tebal, remang2 kelihatan pada satu imam yang teringkus di tiang ranjang,
mulutnya menganga dan sedang ber-teriak2 minta tolong dengan suara yang serak,
mungkin saking lamanya ia men-jerit2.
Melihat keadaan sudah mendesak, cepat In Ci-peng cabut
pedangnya, dengan sekali tabas, ia potong tali pengikat dan bebaskan imam itu
dari ancaman maut.
Sementara itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Nyo Ko dan lain sudah
selamatkan diri keluar kuil, mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan
sedang menyaksikan mengamuknya jago merah yang men-jilat2 semakin hebat itu,
oleh karena diatas gunung memang tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka
tanpa berdaya mereka menyaksikan kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk
achirnya menjadi tumpukan puing belaka.
Watak Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan kini
menyaksikan kuil mereka yang bersejarah ini ditelan mentah2 oleh api, ia
mengutuk tidak habisnya pada musuh yang mengobarkan api itu.
Selagi Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh
yang datang itu dan kenapa turun tangan sejara keji begini, tiba2 ia lihat
sebelah tangan In Ci-peng mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara
gumpalan yang tebal.
Karena kepelepekan oleh asap tebal itu, imam yang
dikempit In Ci-peng masih ter-batuk2 hingga kedua matanya mengucurkan air
mata,tapi demi nampak Nyo Ko, dadanya hampir meledak saking gusarnya, tanpa
pikir lagi segera ia ulur tangan terus menubruk bocah itu.
Akan tetapi perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh
Nyo Ko, ketika imam itu menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi kebelakang Kwe
Ceng.
Rupanya imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka
dia telah mendorong dadanya dengan maksud kesampingkan orang agak lebih leluasa
menangkap Nyo Ko, Siapa duga dorongannya itu laksana kena pada dinding saja,
sedikitpun Kwe Ceng tidak bergerak
Karena itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tapi segera
ia tuding Nyo Ko dan mencaci maki: "Anak jadah, berani kau pedayai To-ya
(tuan imam), hampir aku terbakar mampus karena perbuatanmu !" demikian
teriaknya murka.
"Ceng-kong, apa yang kau katakan ?" tiba2 Ong
Ju-it membentaknya dari samping.
Kiranya Tosu atau imam yang kena "dikerjai" Nyo
Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan bernama Ceng-kong, tadi ia beruntung
bisa diselamatkan dari elmaut atas pertolongan In Ci-peng, dalam sengitnya
begitu nampak Nyo Ko segera ia menubruk maju untuk adu jiwa, sama sekali tidak
terpikir olehnya bahwa para paman guru dan kakek gurunya juga berada disitu.
Kini mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah
berlaku kurang sopan, keruan ia berkeringat dingin saking takutnya.
"Ya, Tecu patut mampus", katanya kemudian
dengan tangan lurus ke bawah.
"Urusan apakah sebenarnya, katakan ?" bentak
Ong Ju-it lagi.
"Semuanya karena Tecu sendiri yang tak becus, harap
Cosuya memberi ampun," sahut Ceng-kong.
Karena jawaban yang lain daripada yang ditanya, Ong Ju-it
mengkerut kening.
"Memangnya siapa yang bilang kau becus ? Aku hanya
tanya ada urusan apakah sebenarnya?" ulangi Ong Ju-it.
"Tadi, Tecu diperintah Thio Ci-goan-Susiok menjaga
di belakang, kemudian Thio-susiok membawa anak... anak..."
sebenarnya Ceng-kong hendak berkata "anak
jadah," untung ia lantas ingat sedang berhadapan dengan Cosuya, maka tak
berani ia keluarkan kata2 kotor, lekas ia ganti: "anak... anak kecil ini
dan diserahkan padaku, ia bilang anak ini ikut naik gunung bersama musuh tetapi
dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan mengawasinya, dan jangan
sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu, Tecu lantas membawanya ke
dalam kamar latihan di sebelah timur itu, Siapa duga, duduk tidak lama mendadak
anak... anak kecil ini pakai tipu muslihat, katanya ingin kencing, dan minta
aku lepaskan tali yang meringkus tangannya itu, Tecu tidak mau diakali, maka
dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar kencing, Siapa tahu, bocah ini
memang berhati jahat, habis kencing hingga bikin sebagian lantai basah kuyup,
waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak dia dorong aku dengan keras."
Bercerita sampai disini, mendadak terdengar Nyo Ko ketawa
ngikik, karuan Ceng-kong menjadi gusar.
"Anak... anak apa yang kau tertawakan ?"
damperatnya dengan gemas.
Tetapi Nyo Ko hanya angkat kepala ke atas, pandang saja
tidak ia menjawab : "Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau ?"
Sudah tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah2, ia hendak
adu mulut dengan bocah ini kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya.
"Tak perlu kau ribut2 dengan anak kecil, lekas
teruskan ceritamu," kata Ong Ju-it.
"Ya, ya," sahut Ceng-kong ketakutan,
"Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar biasa. Pada waktu aku
didorong jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup dengan air kencingnya
itu dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia beberapa kali
tamparan, tiba2 dengan cengar-cengir ia malah mendekati aku dan berkata :
"Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu !"
Mendengar cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Nyo Ko
yang masih kanak2 hingga kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa
geli. Hanya Ong Ju-it yang mengkerut kening lagi, dalam hati ia damperat
habis-habisan cucu-muridnya yang bikin malu di depan orang banyak ini.
"Mendengar kata2-nya itu, aku mengira dorongannya
padaku tadi disebabkan tidak sengaja, maka akupun tidak menyalahkan dia lebih
jauh," demikian Ceng-kong melanjutkan ceritanya, "Sementara itu ia
mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu membangunkan aku, tapi kedua
tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat apa-apa, tak tahunya, mendadak dia
melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, ia menunggangi aku yang masih
telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan keleherku dan menggigit
tenggorokanku".
Bercerita sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong me-raba2
lehernya, agaknya masih terasa sakit oleh bekas gigitan tadi itu.
"Dengan sendirinya aku terperanjat," sambungnya
lagi, "aku berusaha membaliki tubuh buat banting dia, siapa duga, ia
menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia gigit mungkin jalan pernapasanku
bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani berkutik, dengan jalan halus aku
lantas memohon: "Sudahlah, tentu kau ingin aku lepaskan tali pengikatmu,
bukan ?" ia angguk2 atas pertanyaanku ini, sebaliknya aku masih ragu-ragu,
maka kembali ia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya sampai aku
ber-teriak2.
Pikirku waktu itu: "Biarlah aku lepaskan talinya,
asal dia tidak menggigit lagi, masakan satu anak kecil saja aku kalah ?"
Maka aku lantas lepaskan tali pengikatnya, Tak terduga, begitu tangannya
merdeka, segera ia cabut pedangku terus menodong ulu hatiku dan mengancam,
bahkan senjata berbalik makan tuan, ia malah gunakan tali yang mengikat dia
tadi untuk meringkus diriku pada tiang ranjang, ia mengiris sepotong kain
bajuku pula dan menyumbat mulutku, belakangan kuil kita terbakar hendak lari
aku tak dapat, ingin berteriak juga tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang
menolong, tentu Tecu sudah terbakar hidup2 karena anak kecil ini?"
Habis bercerita, dengan mata melotot ia pandang Nyo Ko
dengan murka.
Sesudah mendengar penuturunnya, semua orang sebentar
pandang Nyo Ko, saat lain memandang Ceng-kong pula, yang satu tubuhnya kurus
kecil, sedang yang lain berperawakan tinggi besar, tetapi yang gede kena
dikibuli hingga tak berdaya, saking gelinya, semua orang itu sama tertawa
ter-bahak-bahak.
Ceng-kong menjadi bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2
kepala dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Ceng-ji," kata Ma Giok kemudian dengan tertawa,
"apakah ini puteramu? Agaknya dia telah lengkap menurunkan tabiat sang
ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik."
"Bukan," sahut Kwe Ceng, "dia adalah
putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku, Nyo Khong."
Ketika mendadak dengar nama Nyo Khong disebut, hati Khu
Ju-ki terkesiap, Kemudian ia coba mengamat-amati Nyo Ko, betul juga ia lihat
wajah bocah ini rada2 mirip dengan Nyo Khong.
Khu Ju-ki ada hubungan guru dan murid dengan Nyo Khong,
walaupun kemudian Nyo Khong berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan
serakah akan kemewahan, terima mengaku musuh sebagai bapak, namun bila Khu
Ju-ki ingat semua itu, selalu ia merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak
muridnya itu, hingga akibatnya Nyo Khong tersesat, maka seringkali dalam hati ia
merasa menyesal. Kini demi mendengar Nyo Khong mempunyai keturunan tentu saja
ia sangat girang, lekas2 ia bertanya lebih jelas.
Begitulah tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka
sudah habis ditelan api, sebaliknya Ma Giok dan Khu Ju-ki mendengarkan penuturan
Kwe Ceng tentang diri Nyo Ko dengan penuh perhatian.
"Ceng-ji, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini
boleh dikatakan sudah jauh di atas tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri
mengajar dia?" demikian kata Khu Ju-ki kemudian setelah mendengar bahwa
Kwe Ceng sengaja membawa Nyo Ko ke Cong-lam-san buat belajar silat."
Hal ini akan kuterangkan kelak," sahut Kwe Ceng,
"Hanya kedatangan Tecu sekarang telah banyak bikin ribut para To-heng,
inilah, yang bikin hatiku terasa tidak enak sekali."
Habis ini ia lantas menuturkan pula tentang kesalahan
paham sewaktu ia naik gunung tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang
memasang jaring2 Pak-tau-tin buat mencegatnya.
Mendengar cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah.
"Sungguh tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar,
kenapa kawan atau lawan tidak bisa mem-beda2kan," katanya, "Memangnya
aku merasa heran kenapa barisan yang kita pasang begitu kuat di luar itu bisa
begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang ke atas gunung, kita diserang dalam
keadaan belum siap. Hm, kiranya dia telah kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin
untuk merintangi kedatanganmu."
Semakin berkata, tertampak Khu Ju-ki semakin menjadi
gusar.
"Mungkin itu disebabkan salah paham," ujar Kwe
Ceng, "ketika berada di bawah gunung, tanpa sengaja Tecu telah tepuk
hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan Totiang, mungkin inilah yang
menimbulkan salah paham." mendengar keterangan ini, air muka Khu Ju-ki
berubah menjadi tenang kembali.
"O, kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa
menyalahkan mereka," ujarnya, "Memangnya begitu kebetulan, sebab
musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong kita hari ini justru diketahui
memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu yang kau katakan itu."
"Siapakah sebenarnya orang2 yang datang tadi? Kenapa
begitu besar nyali mereka?" tanya Kwe Ceng.
"Cerita ini terlalu panjang, Ceng-ji," sahut
Khu Ju-ki dengan menghela napas, "lni, biar aku tunjukan sesuatu benda
dulu padamu."
Habis ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung.
"Ko-ji, kau tinggal disini, jangan sembarang
pergi," pesan Kwe Ceng pada Nyo Ko, Lalu ia ikut di belakang Kho Ju-ki.
Agak lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas
satu puncak yang tinggi, Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu
pegunungan yang besar, "Disini juga terukir tulisan2," katanya.
Waktu itu hari sudah magrib, di belakang batu besar ini
terlebih gelap lagi, ketika Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia
rasakan di atas batu itu terukir tulisan, ia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya
tahulah dia, kiranya itu adalah sebaris syair.
Oleh karena ia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang
terukir di atas batu, mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan
tulisan itu persis cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di
batu ini dengan jari tangan saja, "Ditulis dengan tangan?" tanpa
tertahan ia berseru.
"Ya, kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu
mengejutkan orang, memang betul ditulis dengan jari tangan !" kata Khu
Ju-ki.
"Mana bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?"
kata Kwe Ceng ragu2.
"Orang yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya
sangat tinggi tiada bandingannya, bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa,
namun terhitung seorang luar biasa yang sukar diketemukan," sahut Khu
Ju-ki.
Tentu saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum.
"Siapakah dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya
pada Tecu?" tanyanya cepat.
"Aku sendiri belum pernah melihat orang-nya,"
sahut Ju-ki. "Duduklah kau, biar aku ceritakan sebab musababnya sehingga
terjadi peristiwa seperti hari ini."
Kwe Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu.
"Arti bunyi syair ini apa kau paham?" tiba2 Khu
Ju-ki menanya.
Waktu itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur,
tetapi lagu suara pertanyaan Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang
lalu sewaktu Kwe Ceng masih muda, akan tetapi Kwe Ceng sedikitpun tidak
pikirkan hal ini, ia tetap menjawabnya dengan sangat menghormat.
"Bagian depan Tecu masih paham, tetapi bagian
belakang yang menguraikan urusan pribadi Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak
begitu mengerti," demikian sahutnya.
"Tahukah kau orang macam apakah Tiong-yang Co-su
itu?" tanya Khu Ju-ki lagi.
Kwe Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak tanya
tentang diri Ong Tiong-yang, itu cakal-bakal dari Coan-cin-kau.
"Tiong-yang Cosu adalah "Khay-san-pi-co"
(cakal-bakal) Coan-cin-kau, dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya
diakui nmnor satu di jagad ini," sahutnya kemudian.
"Itu memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?"
tanya Ju-ki pula.
"ltulah aku tidak tahu," sahut Kwe Ceng sambil
menggoyang kepala.
"Nah, tahulah kau bahwa asalnya Tiong-yang Co-su
bukan imam," kata Khu Ju-ki. "Diwaktu mudanya dia sangat benci pada
tentara Kim yang menjajah tanah air kita dan membunuhi rakyat kita, pernah dia
kerahkan pasukan sukarela untuk melawan pasukan Kim hingga terjadi suatu
pergerakan yang menggemparkan belakangan karena pasukan Kim terlalu kuat,
beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga banyak panglimanya tewas dan
perajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian dia menjadi To-su (imam),
Tatkala itu ia menyebut dirinya sebagai "Hoat-su-jin" (orang mati
yang masih hidup), terus-menerus beberapa tahun ia menetap di dalam satu
kuburan kuno di atas gunung ini, selangkahpun tak pernah ia keluar dari pintu
kuburan itu, maksud kiasannya, yalah meski orangnya masih hidup, namun tiada
seperti orang yang sudah mati, ia hidup tidak sudi hidup berdampingan di tanah
air sendiri dengan musuh bangsa Kim."
"O, kiranya begitu," ujar Kwe Ceng.
"Kejadian itu berlangsung sampai beberapa
tahun," Ju-ki melanjutkan pula, "tidak sedikit sobat-andai mendiang
guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta dia keluar dari
kuburan untuk membikin pergerakan yang lebih hebat lagi, Akan tetapi mendiang
guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, iapun merasa tiada muka buat
bertemu dengan bekasnya di kalangan Kangouw, maka ia tetap tidak mau keluar
dari kuburan.
Keadaan demikian itu berlangsung sampai delapan tahun
kemudian, tiba2 kedatangan seorang lawan yang dianggapnya paling kuat, musuh
ini telah mencaci-makinya dengan segala kata2 yang mencemoohkan dan menghina
diluar kuburan, ber-turut2 musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam,
agaknya Sian-su (mendiang guruku) menjadi tak tahan, ia lantas keluar dari
kuburan buat bergebrak dengan musuh tadi.
Tak terduga, begitu dia keluar, segera orang itu
menyambut padanya dengan bergelak ketawa: "Haha, akhirnya kau keluar juga,
maka tidak perlu lagi kau kembali kedalam!" Karena itu Sian-su sadar bahwa
dirinya telah kena tertipu, tetapi maksud tujuan orang itu adalah baik, yalah
sayang terhadap kepandaian Siau-su yang begitu bagus harus terpendam lenyap di
dalam kubur, oleh karenanya sengaja pakai kata2 yang pedas untuk memancingnya
keluar dari kuburan.
Setelah mengalami kejadian itu, kedua orang dari lawan berubah
menjadi kawan dan dengan bahu-membahu pergi mengembara Kangouw lagi."
"Siapakah gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu
?" tanya Kwe Ceng dengan kagum. "Apa dia satu di antara Tong-sia,
Se-tok, Lam-te atau Pak-kay ?"
"Bukan," jawab Khu Ju-ki. "Kalau soal ilmu
silat, orang ini masih berada di atas keempat tokoh besar itu, cuma karena dia
adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri di kalangan umum, maka orang luar
jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak tersohor."
"Ah, kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat
lagi," ujar Kwe Ceng rada kaget.
"Ya, sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap
Sian-su, ia sudah menyerahkan diri untuk mengikat perjodohan dengan
Sian-su," tutur Ju-ki lagi "Tetapi Sian-su mengatakan bahwa musuh
belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh karena itu, terhadap asmara
yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak bodoh dan pura2 tidak tahu saja.
Tak tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi
hati, ia menyangka Sian-su telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar
sekali, Kedua orang yang tadinya lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu,
oleh karena cinta berbalik menjadi sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji
untuk bertanding di atas Cong lam-san ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul"
"ltu sebenarnya tidak perlu," kata Kwe Ceng.
"Memangnya !" ujar Khu Ju-ki. "Sian-su pun
tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang jalan ia selalu mengalah, Siapa
tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia bilang: Semakin kau mengalah,
semakin nyata kau pandang rendah padaku - Karena tiada jalan lain, terpaksa
Sian-su bergebrak dengan dia, sampai beberapa ribu jurus mereka bertempur,
selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang mematikan.
Tak tahunya cianpwe itu menjadi gusar malah, katanya:
"Baik, memang kau tidak niat bertarung dengan aku, kau anggap aku ini
orang macam apa?" - Tetapi kata Sian-su : "Daripada bertanding secara
kasar, tidakkah lebih baik bertanding secara halus ?" - jawab orang itu:
"Begitupun boleh, jika aku kalah, selamanya tidak akan kutemui kau lagi,
dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang"
Tetapi Sian-su balas menanya : "Dan jika kau yang
menang, lalu apa yang kau inginkan ?" - Karena pertanyaan guruku itu,
cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, ia menjadi gelagapan tak bisa
menjawab, akhirnya dengan kertak gigi ia menjawab : "Jika aku me-nang, kau
punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus serahkan untuk aku tinggal."
Syarat ini bikin Sian-su menjadi serba susah, harus
diketahui sekali tinggal dia sudah delapan tahun mendiami kuburan kuno itu,
tidak sedikit tinggalan karya jeri-payahnya, kini jika begitu saja direbut
orang, inilah yang dia sayangkan, tapi Sian-su membatin kepandaiannya masih
sedikit lebih tinggi daripada orang, ia pikir terpaksa harus kalahkan dia agar
kelak tidak banyak rewel dan di-goda tiada habisnya, maka ia lantas tanya.
Cara bagaimana akan bertanding, "Hari ini kita sudah
sama2 letih, biarlah besok malam kita tentukan siapa yang menang atau
kalah," demikian sahut Cianpwe itu.
"Besok malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di
sini, Kata orang itu: "Sebelum kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah
dahulu." jawab guruku: "Bersumpah apa lagi ?"
"Begini," kata cianpwe itu," jika kau bisa
mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di sini, dengan begitu pasti tidak
akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya jika aku yang menang, kau harus
sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau menjadi Tosu. Tapi tidak
peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan kuil di atas gunung ini dan
mengawani aku selama sepuluh tahun." Dalam hati mendiang guruku mengerti
bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi Hwesio atau Tosu, itu berarti
selama hidupnya diharuskan tidak beristri
"Tetapi buat apa aku harus menangkan kau hingga
memaksa kau bunuh diri ? Dan kalau aku harus mengawani kau sepuluh tahun di
atas gunung ini, hal inipun sulit," demikianlah pikir guruku, Oleh
karenanya ia menjadi ragu2 tidak bisa menjawab.
"Kemudian cianpwe itu lantas berkata pula:
"Pertandingan secara halus kita ini sangat mudah begini, kau gunakan jari
tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas batu ini, demikian pula akupun
mengukirnya beberapa huruf, lalu kita lihat tulisan siapa yang lebih baik,
itulah dia yang menang."
Mendengar cara ini, Sian-su tercengang, katanya :
"Menulis di atas batu dengan jari tangan ?"
"Ya, itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita
boleh lihat siapa yang mengukir lebih dalam." - Namun Sian-su geleng2
kepala saja, jawabnya kemudian: "Aku toh bukan dewa, mana sanggup aku
mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan ?" -
"Tetapi kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah
?" tanya orang itu. Dalam keadaan demikian Sian-su jadi di pojokkan pada
keadaan yang serba susah, maju salah, mundurpun keliru, Tetapi kemudian ia
pikir dijagad ini pasti tidak mungkin ada orang yang sanggup mengukir tulisan
di atas batu dengan jari tangan, kebetulan urusan ini bisa di selesaikan sampai
disini, dengan demikian pertandingan ini dapat dianggap tidak pernah ada, maka
ia lantas berkata:
"Sudah tentu jika kau bisa, aku lantas ngaku kalah,
Tetapi kalau kaupun tak bisa, kita boleh anggap seri, tiada yang menang dan
tiada yang kalah, selanjutnya kita pun tidak perlu bertanding lagi."
Karena itu, tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih :
"Bagus, kalau begitu sudah pasti kau akan jadi Tosu," demikian
katanya sambil dengan tangan kiri me-raba2 sejenak di atas batu, habis ini ia
ulur jari telunjuk tangan kanan terus menggores di atas batu itu.
"Sian-su menjadi ternganga ketika menyaksikan debu,
batu itu bertebaran, betul saja orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam
kagetnya sampai tak sanggup ia bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan
tangan itu bukan lain adalah bagian depan dari syair ini.
"Tentu saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah,
ia tidak bisa bicara lagi, besoknya dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, dia
mendirikan sebuah kuil kecil di dekat kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong
yang asli."
Kwe Ceng jadi ter-herah2 oleh cerita itu, waktu ia
merabanya lebih terang, betul saja memang tulisan di atas batu itu bukannya
ditatah, juga bukan ukiran, melainkan betul2 digores dengan jari tangan.
"Kalau begitu, ilmu kepandaian dalam hal tenaga jari
cianpwe itu sesungguhnya sangat mengejutkan orang," katanya kemudian.
Karena ucapannya ini, tiba2 Khu Ju-ki mendongak dan
ketawa ter-bahak2.
"Ceng-ji, kejadian ini bisa mengelabui mendiang
guruku, bisa menipu aku, juga bisa menipu kau, tetapi kalau waktu itu isterimu
berada disini, pasti tidak bisa mengelabui matanya," demikian katanya.
Kwe Ceng menjadi lebih heran hingga kedua matanya
terpentang lebar.
"Apa? Apa didalam hal ini terdapat sesuatu yang
tidak beres?" tanyanya.