24 Keadaran Dua Hati Pendekar . . . . .
Kini mereka memilih tempat
yang agak kering untuk duduk dan mereka berdua pertama-tama menyelidiki keadaan
di sekitar mereka. Mereka memandang ke sekeliling dengan sinar mata penuh
selidik. Tempat itu terang karena biarpun sudah condong ke barat, matahari
masih tinggi dan terang.
Tengah hari telah lewat dua
tiga jam, namun senja masih beberapa jam lagi akan tiba. Dinding tebing itu
curam dan tinggi sekali sehingga bagian atasnya tidak nampak jelas. Diam-diam
kedua pendekar itu memuji syukur kepada Tuhan bahwa mereka tidak tewas terjatuh
dari tempat setinggi itu.
Untuk memanjat ke atas tebing
merupakan hal yang tidak mungkin. Tidak ada orang yang akan dapat mendaki atau
menuruni dinding tebing yang, terjal dan setinggi itu. Mereka lalu memandang
dan mengamati bagian lain.
Tebing itu memanjang dengan
ketinggian yang sama. Tak mungkin naik kembali. Di seberangnya, lereng itu
menurun melalui banyak jurang dan hutan liar. Hanya ke sanalah satu-satunya
jalan keluar, yang akan membawa mereka ke kaki bukit sebelah sana.
Mereka berdiri memandang ke
arah bawah, lalu keduanya saling pandang dan dua pasang mata itu bertaut, lalu
Pek-liong dengan sikap canggung dan tersipu berkata, lirih.
“Liong-li......” Dia tidak
melanjutkan kata-katanya.
Liong-li yang menatap wajah
Pek-liong, melihat keraguan itu dan ia merasa heran. Biasanya, tidak pernah
Pek-liong bersikap ragu dan kaku seperti itu.
“Ada apakah, Pek-liong?”
Kembali sepasang mata itu
bertaut pandang dan kini Liong-li dapat menyelami perasaan pria itu dan sungguh
ia merasa heran kepada diri sendiri karena mendadak ia merasa mukanya panas dan
iapun menyadari bahwa tentu mukanya berubah kemerahan. Akan tetapi ia tetap
menanti jawaban.
“Liong-li......, rasanya
seperti dalam mimpi......”
“Tidak, Pek-liong. Engkau
tidak bermimpi, akupun tidak. Kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut.
Akan tetapi Tuhan belum ingin kita mati, Pek-liong. Ketika aku, membawamu lari
karena engkau terluka dan pingsan, aku terjerumus ke dalam jurang, yaitu tebing
di belakang ini. Mestinya kita berdua mati terbanting di dasar tebing, akan
tetapi aku melemparkan tali sutera hitam dan kebetulan dapat menyangkut akar
pohon sehingga kita berdua selamat.”
“Bukan itu, Liong-li.”
Tentu saja Liong-li tahu, akan
tetapi entah mengapa, sekali ini ia sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa
malu. Rahasia yang terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia
merasa malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.
“Apa maksudmu......?” Ia tergagap.
“Engkau tadi....... menangis.
Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li tidak pernah seperti itu, menangis seperti
anak kecil, seperti seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?”
“Dan engkau katakan bahwa
mungkin dunia kiamat!” Liong-li mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara
mereka dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala perlahan, tetap
memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hati rekannya.
“Selama kita berkenalan, belum
pernah aku melihat engkau menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja
aku mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li menangis seperti
itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis seperti itu, Liong-li? Kita bukan
penakut, kita tidak takut menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari
pada aku menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis seperti
orang ketakutan?”
Mereka kembali saling pandang
dan Pek-liong melihat betapa bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan
perasaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya!
Kemudian terdengar jawaban
Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong
sebelumnya. “Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi mayat. Melihat
engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti kiamat rasanya........”
Pek-liong merasa jantungnya
berdebar. Sudah sering kali timbul debaran jantung aneh seperti ini setiap kali
dia teringat kepada Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh
ini dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan seperjuangan
yang paling setia. Itu saja.
Kini, debaran jantungnya lebih
kuat dari pada biasanya, sukar untuk diredakan karena Liong-li berada di
depannya dan pandang mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat
mengalihkan perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya itu.
“Liong-li, sembilan orang itu
masih berada dalam cengkeraman ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong
mereka!”
Liong-li seperti dihentakkan
dengan tiba-tiba, seperti diseret turun dari, dunia lamunan yang amat indah,
dan iapun terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah
seperti biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.
“Benar sekali! Bagaimana kita
dapat melupakan hal itu? Cepat, mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita
harus mengitari bukit ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang
berlawanan. Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?”
“Kurasa tenagaku sudah pulih
kembali dan... eh, lihat itu!” teriaknya gembira bukan main.
Liong-li menengok dan iapun
melihat kilauan sinar pedang yang menancap di atas tanah. Pedang
Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan
tangan Ang I Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan ketika
Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai terjerumus ke dalam tebing
jurang, pedang itu terlepas dari pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat
dari pada badannya.
“Pek-liong-kiam!” seru
Liong-li dan iapun ikut bergembira.
Pek-liong segera mengambil
pedangnya dan memeriksanya. Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan
kembali pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang di tangan,
semangat bertambah besar.
Mereka segera mencari jalan
turun ke kaki bukit, untuk kemudian mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju
ke sarang gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di
sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami perkelahian melawan
tiga orang Iblis Tua membicarakannya dengan Liong-li, mencatat
kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus
berhadapan lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih
mempersiapkan diri.
“Kita harus waspada terhadap
kipas lebar di tangan kiri Kim Pit Siu-cai,” kata Pek-liong mengingat-ingat.
“Sepasang mouw-pit (pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku
dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia mencabut kipasnya
dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati. Kipas itu dapat melepas jarum
halus secara curang dan tidak terduga sama sekali.”
“Kalau begitu, kita harus
mendahuluinya, sebelum sempat mempergunakan senjata rahasianya, kita harus
merusak kipas itu dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut
kita akan mampu melakukan itu,” kata Liong-li dan rekannya mengangguk.
“Ang I Sian-li merupakan lawan
paling lemah di antara mereka bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati
terhadap tangan merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau
kita tidak berhati-hati.”
“Ang-tok-ciang (Tangan Beracun
Merah) dari Iblis betina itu tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi
seperti yang pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku
membuntungi kedua tangan merahnya!” kata pula Liong-li gemas, mengingat betapa
tangan merah itu hampir menewaskan Pek-liong.
“Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia
memang lihai dengan tongkat ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri
sendiri, lebih sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat
membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah dihadapi,” kata pula
Pek-liong.
“Empat orang Thai-san Ngo-kwi
juga selain golok mereka mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan
tetapi kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin mereka itu
menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan tetapi bukan golok dan pukulan
tangan merah itu yang membuat mereka kuat melainkan to-tin (baris an golok)
mereka berempat. Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk barisan
dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat dibandingkan seorang
di antara Tiga Iblis Tua itu.”
Pek-liong mengangguk-angguk.
“Sekali ini, kita menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah
banyak anak buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak
mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan mereka.”
“Engkau benar, Pek-liong.
Tidak boleh sembilan orang itu mati karena kita. Kita harus dapat menyelundup
ke sana secepatnya dan menolong mereka.”
Kini Pek-liong dan Liong-li
sudah pulih kembali dari keadaan tidak wajar ketika perasaan mereka dicengkeram
suatu getaran aneh yang membuat mereka hampir menjadi lemah. Kini mereka
kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi mempunyai perasaan,
penuh kewaspadaan dan penuh semangat untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan
kalau mereka sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada
menentang sepasang naga ini!
◄Y►
Kita tinggalkan dulu sepasang
naga yang sedang mencari jalan menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari
lain bagian ke sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun
(Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya berhasil lolos dari
perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua sehingga dia dan isterinya tidak sampai
menjadi tawanan mereka seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing
berikut putera mereka, Song Cu. Juga tidak seperti kakak beradik Kam Sun Ting
dan Kam Cian Li.
Ketika Pek-liong menemuinya
dan mendengarkan semua pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya
dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan pasukan, Cian Hui
merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia membiarkan saja para sahabatnya yang
amat dikasihinya itu menghadapi bahaya besar.
Dia tahu bahwa sekali ini sisa
Kiu Lo-mo pasti telah mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak
anak buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja menghadapi dan
melawan mereka? Pula, para datuk sesat itu selain lihai juga curang dan tidak
segan mempergunakan kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan
keselamatan kedua orang sahabatnya itu.
Setelah Pek-liong pergi, Cian
Hui mengambil keputusan, bersama Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang
jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari
sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia mengerahkan
pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan pilihan, untuk berangkat ke sana
karena dia menduga bahwa sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu
telah mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka berani menantang
kedua orang pendekar itu secara terang-terangan.
Karena membawa pasukan, tentu
saja Cian Hui dan isterinya tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu.
Dia lalu mengatur pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan
sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan pasukannya. Dia sendiri
bersama isterinya dan belasan orang jagoan kota raja mendaki ke sarang
gerombolan dengan hati-hati.
Seregu pasukan ahli penyelidik
alat-alat rahasia jebakan, telah lebih dahulu bergerak membersihkan dan
membasmi jebakan-jebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan
dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman ke arah sarang
untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus orang pasukan itu mendaki
dengan posisi mengepung.
Pagi hari itu, para anak buah
gerombolan sibuk mempersiapkan sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka
selesaikan kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah dibuat.
Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana berpesta gembira untuk merayakan
kemenangan mereka atas musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li
yang telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.
Sembilan orang tawanan dalam
keadaan terbelenggu telah dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di
batang pohon dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut
menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri sendiri, akan
tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak mereka yang menangis karena
anak itupun diikat kaki tangannya dan digeletakkan di dekat mereka.
Dapat dibayangkan betapa
hancur rasa hati Su Hong Ing melihat keadaan puteranya, akan tetapi karena ia
sendiri terikat kaki tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song
Tek Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.
Kam Sun Ting dan adiknya, Kam
Cian Li; diikat pada batang pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu
Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Delapan orang itu adalah orang-orang
yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi kematian dan yang membuat
mereka gelisah hanyalah Song Cu anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi
tawanan, juga mereka gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li.
Semalam muncul Kim Pit Siu-cai
dan tempat tahanan dan laki-laki berusia enampuluh tahun yang masih tampan dan
sikapnya halus namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan
kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang ikut pula
mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai menghampiri dan
tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su Hong Ing merupakan wanita tercantik
dan paling menggairahkan di antara empat orang wanita tawanan.
“Hemn, engkau cantik jelita,
sungguh sayang kalau lehermu yang putih mulus itu dipenggal besok pagi,”
katanya.
Su Hong Ing memandang tajam.
“Aku tidak takut mati. Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta,
demi prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia, bebaskan
anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga tahun, bebaskan dia!”
Dan betapapun gagahnya, ibu
muda ini tidak dapat menahan kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin
yang ikut mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang menangis.
Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut mengancam puteranya yang
masih kecil.
“Heh-heh-heh, nyonya manis.
Mudah saja kalau engkau hendak menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis
kepadaku, layani aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu......”
“Jahanam busuk! Aku tidak
sudi!” bentak Su Hong Ing dengan muka kemerahan dan mata melotot.
“Ha-ha-ha, engkau suka atau
tidak, apa sukarnya bagiku untuk memondongmu ke kamarku, manis? Akan tetapi aku
akan lebih suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela......”
“Tidak!” Keparat jahanam,
iblis busuk! Kalau engkau jamah saja diriku, aku akan bunuh diri dan kalau
engkau membunuh anakku, arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!”
Mendengar ancaman ini, mau
tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga
kepada dua orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik,
akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya dengan pandang mata
ibu muda itu, tidak ada rasa takut atau menyerah sedikitpun dan dari pandang
mata mereka saja tahulah dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus
menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia melakukan ini, mereka
tentu akan membunuh diri.
Bagi orang-orang yang ahli
silat seperti mereka, tidak sukar membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu
sekalipun. Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan
menelan napas.
Dan dia sendiri adalah seorang
laki-laki yang angkuh, yakin akan ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita.
Kalau sampai ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu akan
merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang wanita itu sudah
membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat tanpa gangguan terhadap empat orang
wanita itu.
Setelah Kim Pit Siu-cai pergi,
Kam Cian Li berkata, “Akupun akan membunuh diri kalau dia berani menjamahku.”
Dua orang pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu.
Pada keesokan harinya, setelah
matahari naik, sembilan orang tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat
panggung tempat sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka menghampiri
para tawanan.
Kim Pit Siu-cai memandang
empat orang wanita yang semalam menolaknya dan dia pun tertawa. “Ha-ha-ha, akan
kulihat apakah kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang kami
siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan terhadap arwah para rekan kami.”
“Hi-hik, biarpun anak itu
bukan bayi lagi, darahnya masih cukup bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap
darahnya sampai habis!” kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya,
meronta-ronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu terlampau
kuat.
“Ang I Sian-li, dengarlah
sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu. Kalau engkau melakukan apa yang
kaukatakan itu, kami bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan
mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi tersiksa sedikit
demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus dan arwah kami tetap akan mengejar
arwahmu!”
Suara Song Tek Hin ini
terdengar penuh perasaan dan amat menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah
iblis betina ini menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih
amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu tentu akan menjadi
kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I Sian-li merasa ngeri juga.