Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu
dan juga beruang raksasa yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang
disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka,
berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil
menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia
tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju
ke arah barat, ke daratan besar.
"Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau sampai belasan
tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin
Ayahmu tinggal di sana" Katanya kepada Soan Cu.
"Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan
Cu tidak membantah dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa
hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat
jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena
dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan,
maka adanya beruang bersama meraka tidak terlalu mengganggu benar. Pula,
binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari
buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat. Pada suatu
hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka
tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka
memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras
sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, beruang menjadi
marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau
beruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.
"Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!"
Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan
istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya
disamping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk
melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya
kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi
dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat
liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain
membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian
Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri. Soan
Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari ini timbullah kegembiraan yang luar
biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu harus menekan
perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk,
takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi
sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang
disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak
takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat
kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau
yang mengaum. Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu
untuk menuju ke tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat
besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning berdiri
memandang ke arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu
membuka-buka moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu,
menakut-nakutinya, kadang-kadang mengaum dan tiap kali dia mengaum, kedua kaki
orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia mencoba untuk
bersembunyi di belakang sebatang pohon,
"Kakak harimau..... saya..... saya..... A-siong pedagang kayu
bakar..... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan
mengganggu saya......"
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok dan
biasanya dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja
dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa
sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu
bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang
kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu. Melihat harimau itu,
Soan Cu lalu berseru,
"Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat seorang
wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan
tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk.
"Celaka......!"
A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas,
membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan
cambuknya.
"Tar-tar!"
Ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau
itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas
tanah. Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk,
akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan
melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap
ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di
atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti
orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti moncong
harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu
berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit
ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah
berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti
hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyooooo.... kucing binal, hayo jalan baik-baik!"
Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang
harimau, tangan kiri mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan
cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakan,
melangkah perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan
diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya
sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung
lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap
saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah......!!"
Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong,
lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan
tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata,
"Liong-koko, dia.... dia hendak menerkam orang....."
Ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh
pemuda itu sedang mengganggu harimau.
"Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat
mencakar dengan kecepatan luar biasa.
Namun dia hanya mencakar tempat kosong kerena gerakan Soan Cu
lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke
arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi,
"Hiii.....! Hiiiiii!!"
Sementara itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh
Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul
kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong
lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba beruang itu melompat ke depan dan
menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata
merah. Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia
pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika harimau
itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakan kaki depan
kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan
harimau . Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat
dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap
untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh....! Beruang yang baik, jangan berkelahi!"
Sin Liong sudah menangkap kaki depan beruangnya dan mengelus
kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena beruang itu
marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng
hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!"
Soan Cu melangkah maju, menggerakan cambuknya ke depan untuk
menghalau harimau itu.
"Tar-tar-tarr.....!!"
Harimau merasa jerih menghadapi cambuk, akan teapi bukan berarti
dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan
matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu
membentak.
"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau
kami?"
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di
tempat itu. Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung
tempat itu, dan orang yang berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok,
pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat, matanya lebar
membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan
kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan
pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain
kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah
itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya
yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai
sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang
berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu.
Sin Liong cepat menjura dengan hormat dan berkata halus,
"Harap Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak
sengaja memasuki daerah ini, "
Kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan beruangnya. Kakek itu
memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa
rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya.
"Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian
berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai beruang itu
maka kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu
dan beruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya
kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada
binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!"
Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek
gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan
yang menghina tadi.
"Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu
akan mampus dirobek-robek oleh beruang kami, engkau ini orang tua tidak
berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu bersinar-sinar, bukan hanya marah akan
tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa
lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat
liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw
yang terkenal dengan julukan Tee-tok, seorang gagah yang jujur dan terbuka
sikapnya, maka kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi
harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di
antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tenteram,
bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang
sejak tadi diam saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua
dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun orang-orang lain yang
berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya,
kurang lebih lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang
usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang
merupakan murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama
Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).
"Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu,
mari kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar
beruangmu dapat mengalahkan harimauku!"
"Boleh!" Soan Cu menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong
berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu.
"Harap Locianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi
dari sini sekarang juga, bukan maksud kami untuk mengganggu siapa pun."
"Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang
oleh beruang kami!"
Soan Cu masih marah marah.
"Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang.
Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu
diberi hajaran!"
"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak
dengan kumis bangkit saking marahnya.
"Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan
harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau
dia tidak membolehkan beruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya
akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia
menghela napas dan berkata,
"Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka
memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan beruang kita, biar dihancur-lumatkan kucing
keparat itu.�
"Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya
di udara berkali-kali.
Sin Liong melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu,
memegang lengannya dan berbisik,
"Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat,
kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapapun juga,
bukan?"
Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika
api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan
tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti
seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini
dilepas keduanya dan tidak ada yang menghalangi, kedua ekor binatang itu
mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula
mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan
kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!
Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan
menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun
kuat dan tetap sekali, beruang menangkis terkaman dan balas mencengkeram dengan
kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah
kuatnya. Kena tamparan beruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling!
Hanya sepasang matanya saja yang bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu
tiak berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya
mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu terguling-guling,
namun dia merasa segan terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan
menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat,
ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat
itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat
kesempatan menonton harimau bertanding melawan beruang, akan tetapi karena
merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun
lagi. Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah
menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan
tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan
menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya
sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii....!"
Soan Cu berteiak, namun terlambat. Sinar hitam menyambar ke arah
leher beruang dan binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu roboh dan tak
bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding
dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku
Hitam Beracun).
"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan
mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!"
Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara
meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg.....!!"
Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang
pedang yang bersinar hitam. itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang
Selaksa Racun) yang ampuh dari Tee-tok. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika
tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar, tanda
bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat.
"Heii, jangan bertempur.....!"
Sin Liong cepat menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura
tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas
serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara
gadis itu dan Tee-tok. Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan
ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang
ringan dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini
adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya,
pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti
cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam
(Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah
dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras
seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu
terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai
Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang
tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat
penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia
memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja
dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan
menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng
Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding
mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan cepat dia
berkata,
"Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan
disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan
nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara
remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia
menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari
tangan Soan Cu, melompat mudur dan menghadapi Sin Liong.
"Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu
majulah kau menggantikan gadis itu!"
"Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe.
Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk
bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami
mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!"
Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau
peliharaan Locianpwe mati karena beruang kami, akan tetapi Locianpwe telah
membalas kematian itu dengan membunuh beruang kami. Bukankah itu sudah lunas
artinya?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak.
"Biarpun beruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum
dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah
merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian
beruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!"
Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu
menelan kembali katakatanya.
"Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga
meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe.
Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan
tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat
menolak dan dia mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana."
Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting
kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat pergi,
meninggalkan isak tertahan.
Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang
sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong
yang bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian
besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata,
"Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku
sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan.
Biarlah aku menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan
Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya,
menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para
muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja
ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang
diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah.....!"
Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan
selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok,
"Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak
memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang
sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu,
menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi
biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala
urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!"
Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang
bertubuh tinggi besar.
"Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali
membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat
gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara
meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang
telanjang itu.
"Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang terbelalak
memandang , penuh keheranan.
Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya,
lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas
pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi
dahi Si Pemengang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk
itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan
sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah
saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging,
melainkan melecut baja saja! Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo
itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak
tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya
terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok
terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali.
Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal
dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan
hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar
senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah
sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia
telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan.
Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang
bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini
dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan
mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia
sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat
seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata
tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!"
"Hui-ji, mundurlah kau! Dia telah menghina kita,
memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana
kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!"
Dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan melindunginya kalau Ayah
memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa.....
mengapa Ayah tak bisa melihat orang.....?"
Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang
pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia
terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta
kepada pemuda itu!
"Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada
putera Lusan Lojin.....?"
"Ayahhhh....!"
Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki
ayahnya, menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang
anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hantinya mencair ketika
dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas
panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan
kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai
pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan , dan harus diakuinya
bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda
itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun
membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera
Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda
ini?
"Hai, orang muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang
kepada kakek itu dan menjawab halus,
"Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe."
"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di dunia
Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....."
Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa
sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk
membohong lagi, maka dia berkata,
"Di lereng Jeng-hoa-san, bahkan Locianpwe pernah membujuk
saya menjadi murid......"
"Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau
Sin-tong....?"
Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju.
"Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan kami. Di antara
kita telah timbul salah pengertian besar!"
Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua
lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali
baju Sin Liong. Sin Liong tersenyum.
"Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah
menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia
anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian
memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba
muncul di sini!"
Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya.
"Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"
"Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di
mana dia sekarang.....?"
Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri karena
dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang
luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan
adik Soan Cu."
"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan
hati!"
Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk
menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang
menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa dari pada
memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini. Siangkoan
Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh
kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan,
kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum dan meronta
melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini
seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!"
Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"
"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya,
Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar
aku menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras,
jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."
"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku
kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh,
Sin-tong...."
"Locianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak
ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti
Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup.
"Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang
Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang
sekali bertemu dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong!
Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!"
Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang
terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah
menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya. Sin Liong terkejut
dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu
ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru.
Kemudian dia berkata,
"Siapa tidak kecewa? Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan
celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!"
Kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah
mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran.
"Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa
celaka, Locianpwe?�
"Kalau ditunangkan dengan engkau tentu saja baik sekali! Akan
tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena
telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku?
Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak
pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu, menunduk dan tak
berani bicara lagi.
"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya
menggeleng kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah
saja dengan Hui-ji...."
"Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun
aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah," Kakek itu
menarik napas panjang.
"Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu
saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar
sekali ini membuat hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia
bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan penduduk
di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal
hatiku...."
"Harap Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang
mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan dipertemukan kelak."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar
bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang
dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia tertarik dan
terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya,
akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu
untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak
menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu,
Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang
kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu,
ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa
malu dan.... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang
telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun
memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah
itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga
amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di
kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa!
Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya
akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan
tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia
duduk bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang
melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat
dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk
lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah,
Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah tanda bahwa
hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.
Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang
mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata
berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong!
TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat keluar untuk menolong
suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya
menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong
Sin Liong. Apalagi melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek
berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta
merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia
diam-diam mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri
tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada
gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri
tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang
dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk
merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar!
"Perempuan tak tahu malu!"
Bentaknya dan dia sudah melompat keluar, mencabut pedangnya dan
menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri,
memasang kuda-kuda dan membentak,
"Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng
ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi,
dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang
memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo.
"Eh-eh, apakah kau ini orang gila?"
Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah.
Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu
mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara
itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat
itu sama marahnya!
"Kau.... kau.... perempuan rendah! Perempuan macam engkau
berani jatuh cinta kepada Suhengku!"
Swat Hong memaki. Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi
perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki
orang.
"Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor
naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara
seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin
dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia
hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke
arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg... Wuuuuttt......!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata
adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan balasannya
yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkkk!!"
Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan
itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa
lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka
dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi
permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat
kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari
tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu
simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara
ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh
yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan
racun-racun yang ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya
benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan
dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara
mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan
bergulunggulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara
lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
"Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului
sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri,
sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Seolah-olah
semua jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!"
Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang
benda keras yang diputar-putar, melindungi tubuhnya. Pada saat pedang
tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang paku
merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah
tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh....!!"
Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali
membuka mulutnya yang kecil dan menangkap dua batang paku merah itu dengan
gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui
terkejut dan kagum bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan
dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan
senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi kini Swat Hong sudah
marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari
Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung
sabuknya sudah robek dicium ujung pedangnya!
"Sumoi, jangan....!!!"
Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki
lapangan pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri.
"Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
sini....!"
Sin Liong berseru girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong
terasa panas saking mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan
belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan
lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang
menjadi ayahnya!
"Aku harus membunuhnya!"
Bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang orang!"
"Kalau begitu, serang kau saja!"
Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan
pedangnya!
"Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau
marah-marah?"
Sin Liong terpaksa berlompatan ke sana-sini mengelak karena
sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main!
"Kenapa kau membelanya? Kenapa?"
Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan
seruan suhengnya. Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda
ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh
Sin Liong, dan karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat
dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan
pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali
ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat
seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia
mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk
menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah
dalam . Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada menyelidiki
dari luar tak berketentuan.
Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan
betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari
semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu
saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya
atau hendak berkurang ajar.
"Setan keparat jahanam terkutuk !!"
Bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakan
kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak.....! Wah-wah..... galak benar!"
Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena
tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar!
Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena
sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang
ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita,
kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang
terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak
keduanya saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah.
Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong , hatinya gelisah
memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar.
"Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak
menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar....!!"
Cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee
Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu
akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa
herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat
cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang
memegang cambuk.
"Plakkk!"
Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu
terlepas!
"Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan
anak buah Tee-tok atau racun manapun juga!"
Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang
dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar
dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee Lun tetap dapat mengelak dan
meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu
dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan
tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti)
yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi
lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!"
Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus
sambil memaki-maki.
"Berhentilah dulu dan kita bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!"
Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut
pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang
kalang kabut!
"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!"
Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya
dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!"
Bunga api berpijar dari keduanya terdorong kebelakang oleh
pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengam cambuk dan pedang
bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga
sinkang mereka seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!"
Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun
menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur.
"Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa
jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku
seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak
berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main!
Senjatamu mengerikan!"
"Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang
terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding
selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang
pelayan di sini!"
"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau
baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang
menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!"
Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak
menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah
musuhnya!"
"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang
melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada beruang diadu dengan harimau, pemilik
beruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung.
"Bicaramu seperti orang sinting�
"Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau
siapa?"
"Aku baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi
sahabat baikku."
Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan
malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan
sepasang senjatanya sudah menggetar ditangannya.
"Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan
sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan
Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejemnya
bukan main. Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik beruang, tentu akan
dibunuhnya!"
"Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali.
"Celaka....!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja,
bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana
mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang
mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee Lun melihat sahabatnya itu menerjang seorang
pemuda dengan mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan
main, biarpun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali
tidak pernah menyentuhnya, dia sudah menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat
maju sambil membentak,
"Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang
dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata
di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki,
"Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan
kembali mereka saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong
menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang lalu
berkata,
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!"
"Liong-ko, biarkan aku bertemput dengan gajah ini sampai
selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!"
"Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...."
Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada
Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong
memperkenalkan.
"Eh.... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya.....??"
Sin Liong cepat berkata,
"Saudara, Sumoiku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu
ingin mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua
orang betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat
dan menjadi malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya
hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah
Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara
yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura
sambil berkata,
"Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah sumoi dari
Kwa-taihiap...."
"Hemmmm.... sudahlan!"
Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suhengnya,
"Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai
Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat
datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwa Taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini
kami kedatangan banyak tokoh besar!"
Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cembertu.
"Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari
orang-orang muda, marilah kita duduk dan bicara di dalam."
Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki
gedungnya dan dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya,
Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga
merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang
tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin
Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat
mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas
memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya,
juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap
adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga
mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan
cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya dengan Kwee Lun telah
mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik
dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur,
terus terang, gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah
saling serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan
bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada
pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw,
suaranya sungguh-sungguh dan katakatanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat
Hong,
"Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan
dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari
Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan
ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para
pendekar kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"