Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 1-5

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 1-5 DENGAN menunggang kuda, tampak seorang tua tengah mendatangi sambil “bernyanti-nyanyi kecil.
DENGAN menunggang kuda, tampak seorang tua tengah mendatangi sambil “bernyanti-nyanyi kecil. Dia berusia lebih kurang enam puluh tahun. Rambutnya dan jengotnya masih kuat dan gagah kelihatannya. Diatas pelana kuda, dia tampak makin keren.

Cuaca sudah hampir gelap. Pada jalan diluar perbatasan yang di laluinya itu, selalu iring-iringan kereta dan pengiring-pengiringnya, hanya rombongan burung gagak yang terbang kesarangnya. Orang-orang berjalan lainnya sudah tak tampak lagi.

Setelah sesaat mengawasi alam sekelilingnya, orang tua itu terus memecut kudanya untuk mengejar iring-iringan kereta disebelah depan, siapa gerang dia itu ?

Untuk mengetahui sedikit riwayatnya, baiklah kita mundur dulu untuk menengok kisah dibawah ini.
Pada musim rontok tahun ke-28 dari kerajaan Ceng (Kian Liong) karena berjasa mengamankan daerah itu (Inkiang) maka pemerrintah Ceng. Adapun ciangkun-li khik siu, telah dinaikkan pangkat dan dipindahkan ke Ciatkang.

Begitu menerima firman, khik siu segera berangkat lebih dulu dengan barisan pengawalnya ke Ciatkang belakangan barulah keluarganya menyusul.
Di dalam ilmu perang Li Khik-siu sangatlah mahir. Maka tak heran kalau makin lama kedudukannya menanjak, ibarat musim penghidupan khik siu adalah sedang berada dalam musim semi yang gilang gemilang.

Tapi manusia tak luput dari kedudukan, orang dalam kedudukan seperti dia pun masih ada juga hal yang disusahkan, yakni tak dapat keturunan laki-laki. Dia hanya diberkahi seorang puteri yang kini berusia sembilan belas tahun. Untuk memperingati tempat kelahirannya, maka puterinya itu dinamakan Li Wan Ci, ketika anak itu lahir, Khik siu masih menjabat sebagai Hu-Ciangkun di Siangse.

Walaupun begitu, Khik siu sangat sayang putrinya seperti mustika, meskipun ayahnya seorang peperangan, tetapi putrinya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Makin remaja, Li-siocia bertambah nyata keelokannya. Siocia itu wajahnya serupa sang ibu, sedang wtaknya turun dari ayahnya.

Jika ayahnya sedang berlatih memanah atau menunggang kuda, pasti Wan Ci selalu ikut. Melihat putrinya gemar ilmu perang, khik-siu mengajarinya beberapa macam ilmu golok dan tombak. Disamping itu, dia minta pada perwira-perwira sebawahannya yang pandai untuk memberi pelajaran pada Wan Ci. Sudah tentu perwira-perwira itu bersungguh-sungguh hati memberikan kepandaiannya pada putri dari atasannya itu.
Dalam usia tiga belas atau empat belas tahun, kepandaian Wan Ci sudah boleh juga, sepuluh atau dua puluh orang biasa, tak mudah dapat mendesak dia. Malah dalam waktu latihan, tak jarang Wan Ci telah dapat menyampok jatuh senjata dari orang-orang bawahan ayahnya. Dalam keadaan begitu dengan tertawa Khik siu mendamprat orangnya itu yang dikatakan tak punya guna. Disamping itu diam-diam dia gembira dalam hati melihat kemajuan putrinya itu.
Hanya saja kegirangan itu lekas juga diganti dengan elahan nafas, dia merasa getun, bahwa anak yang pandai dalam bun dan bu itu sayang lah bukan seorang pria.
Ketika menanjak pada usia empat belas, mendadak sentak Wan Ci, tak mau datang ke tempat latihan lagi. Sangka khik siu putrinya yang gundah menginjak dewasa itu mungkin sungkan untuk gelang-gulung dengan lain kaum. Dala hal itu, diapun tak dapat menjalahkan putrinya.
Tetapi hal yang sebenarnya bukanlah demikian, ternyata Wan Ci dengan diam-diam telah belajar silat yang lebih tinggi. Hingga dalam lima belas tahun lamanya, ia telah menjadi seorang ahli iwekang yang lihay, sungguh bukan lain ialah Liok Hwi Cing, penunggang kuda yang telah dituturkan diatas itu tadi.
Liok Hwi Cing adalah cianpwe angkatan tua yang termasuk dalam golongan atas dari cabang Bu tong Pay. Mengapa dia bisa menjadi suhu dari Li Wan Ci itu adalah karena suatu sebab yang terjadi secara kebetulan saja.
Pada musim panas Kian Liong tahun delapan belas genaplah Wan Ci berusia empat belas tahun. Ketika ayah nya menjabat dinas di Shangse dia telah mengundang seorang guru sekolah untuk memberi pelajaran surat pada putrinya, Liok Hwi Cing, demikian nama guru itu, adalah seorang terpelajar yang luas pengetahuannaaya. Dia tinggal di tempat kediaman Li Khik siu, Wan Ci sangat hormat pada gurunya, dan hubungan antara guru dan murid sangat akrabnya.
Pada suatu hari, hawa terasa panas sekali, sehabis tidur siang. Wan Ci pergi ke kamar gurunya untuk belajar. Ketika dia melalui gang, ternyata keadan di sekeliling situ masih tampak sunyi. Waktu sudah menunjukkan jam tiga lohor seharusnya pelajaran sudah dimulai.
Wan Ci tak mau sembarangan, ia terus masuk kedalam kamarnya sang guru, ia menduga karena panasnya hawa, mungkin gurunya itu keenakan tidur. Menghampiri jendela . tetapi begitu ia mengintip kedalam, bukan main terkejutnya ia itu.
Ternyata gurunya tidak tidur, tetapi sedang duduk bersila diatas kursi. Tangannya diayunkan pelan-pelan keatas, dan terdengarlah semacam bunyi tepukan lemah, seperti suatu benda yang terbentur pada tembok.
Wan Ci mengikutkan pandangannya kearah bunyi itu. Ketika diawasi dengan seksama, ternyata pada tembok dihadapan Liok losunya itu terdapat puluhan ekor lalat yang tampak menempel tersusun rapi sekali.

Wan Ci merasa heran mengapa lalat itu menempel tak bergerak pada tembok. Apalagi berjajar dengan rapinya. Teringat ia, bahwa jajaran barisan lalat itu seperti susunan barisan yang dilihatnya jika ayahnya sedang melatih orang-orangnya di lapangan.
Kembali ia memandang tajam-tajam dan barulah diketahui bahwa pada badan setiap lalat ternyata menancap sebatang jarum emas yang halus seperti rambut. Jarum itu sedemikian lembutnya hingga hampir tak terlihat oleh Wan Ci dari tempat yang agak jauh itu. Hanya karena dari sebelah jendela lainnya, sinar matahari menyorot masuk, maka tampak sinar mengilau dari jarum yang terbuat daripada emas itu.
Sementara itu masih ada beberapa ekor lalat yang beterbangan dalam kamar. Tapi setiap kali tangan Liok-losu berayun terdengarlah suara “piok dan kembali pula seekor lalat terpaku pada tembok.
Sifat itu kanak-kanak Wan Ci segera timbul. Ia sangat tertarik dengan permainan itu, serentak melangkah ke pintu, ia terus menerobos kedalam sambil berteriak.
“Liok-losu, ajarilah aku permainan itu !”
Ditempat kediaman Lie khik siu, dalam beberapa tahun ini Liok Hwi Ching telah berhasil menyembunyikan diri, karena gangguan lalat, ketika itu dia gunakan Hoe yong ciam diam untuk membasminya. Tapi tak dikira kalu perbuatannya itu telah kena diintip oleh ineecu-nya murid perempuan. Dan ketahuanlah rahasianya.

“Ho, kalau sudah bangun. Hari ini mari kuceritakan tentang riwayat dari Sing-ling koen!” demikian Hwi Cing berseru dengan angker. Nyata dia akan berdaya untuk menutupi rahasianya.

“Liok-losu, kau ajarilah dulu permainan tadi baru nanti mulai pelajaran.”
“permainan apa?” tanya Hwi Cing berlagak pilon.
“Memukul lalat!”

Dengan berkata begitu, ia sudah mengambil kursi, terus loncat keatas untuk memeriksa dengan tegas lalat yang menempel ditempel ditembok itu. Jarum itu satu demi satu dicabutnya terus digosok bersih dengan kertas untuk diberikan kembali pada gurunya seolah-olah ia akan memaksa sang guru untuk mengajarinya seketika itu juga.

Wan Ci tergolong anak remaja, anak-anak tidak, dewasapun bukan, ia seorang gadis cantik yang lincah dan cerdas. Ayah bunda serta orang-orangnya. Ia berkeras minta diajari permainan itu, belum mau sudah kalau gurunya belum meluluskan.

Liok Hwi-ehiong seorang pandai yang matang dalam pengalaman. Lima puluh tahun lamanya dia mengarungi samudera hidup yang penuh dengan gelombang percobaan, kini berhadapan dengan gadis muridnya, yang lincah dan cerdas itu, dia kewalahan. Hati menolak, tapi mulut berat untuk mengatakan.

“Baiklah, besok pagi-pagi, kau datang kemari, nanti kuajari, siang ini kau tak usah belajar, pergilah bermain-mai n. tapi ingat, sekali-kali jangan kau uarkan tentang permainanku tadi. Kalau sampai bocor, aku tak mengajarnya!”
Akhirnya Hwi Ching berkata dengan suara tak lempias.

Karena girang, dengan tak mengucap apa-apa Wan Ci berlari keluar.
Liok Hwi Cing adalah seorang Tayhiap dari cabang Bu Tong Pay semasa mudanya ia berkelana di wilayah Kanglam menjalankan perbuatan mulia namanya sangat berkumandang dikalangan sungai telaga (jangouw), dulunya dia adalah orang penting dari Cu Long Pang.

Cu long-pang adalah sebuah persekutuan rahasia yang menentang kerajan Ceng, dalam pertengahan tahun Yong Ceng, pengaruhnya sangat meluas, karena baginda Yong Ceng melakukan tindakan tangan besi, maka pada permulaan pemerintahan baginda Kian Liong, keadan Cu Liong-pang morat-marit tak karuan. Orang-orang penting banyak dibinasakan, atau yang sempat lolos terus menyembunyikan diri sedari waktu itu hancurlah inti kekuatan dari Cu liong-pang itu.

Liok Hwi Ching lolos ketapal batas sebelah barat, ketika itu istana telah mengirimkan pahlawan-pahlawannya untuk menangkapnya. Tapi berkat kecermatan dan kepandaian silat yang tinggi, maka ia berhasil dapat meloloskan diri. Namun Pemerintah Ceng tak pernah berhenti dari usahanya untuk menangkapnya.

“Tempat persembunyian yang paling aman, pertama jalan lingkungan istana, kedua berada di kota besar dan ketiga mengumpat di hutan”. Dia mengambil jalan yang pertama dan dengan berkedok sebagai guru sekolah, dia umpatkan diri dikediaman Li Khik-su seorang panglima.

Kawanan kuku garuda (kaki tangan) pemerintah sengaja memusatkan penguberannya kekalangan lioklim (persilatan), gereja-gereja, piauw-hang (kantor piaowkok) atau tempat-tempat perguruan silat. Mana mereka dapat mengira, bahwa seorang guru sekolah ditempat perajurit tinggi, adalah seorang buronan penting yang kepandaiannya tinggi.

Liok Hwi Ching mempunyai tiga orang saudara sepeguruan. Tea Suheng bernama Ma Cin, Hwi Ching jatuh nomor dua sutenya ialah Thio Ciauw ong Ma Cia adalah seumpama mega mengambang atau burung Ho hutan, dia senang berkelana, maka walaupun dia itu adalah Ciang bu-jin ahli waris dari Bu tong Pay, tapi dia seolaholah tak mau mengurus soal-soal dalam kaumnya.

Sebaiknya, Thio Ciauw Cong adalah seorang pemuda yang bersemangat, dan gagah berani, karena itulah suhunya sangat menyayanginya. Hampir seluruh kepandaian dan rahasia ilmu silat cabang Bu Tong Pay telah diturunkan padanya.

Liok Hwi Ching yang maju dalam ilmu silat maupun ilmu surat. Dengan kecerdasan otaknya berpuluh-puluh tahun dia pendam dirinya untuk meyakinkan sungguh-sungguh. Jerih payahnya itu ternyata tak sia-sia. Dia merupakan seorang ahli iwekang yang jarang ada tandingannya. Dengan ilmu silatnya “bu kok hian kun” senjata rahasia jarum hu yong cim dan ilmu pedang cwan bun-kiam, namanya telah menggetarkan kalangan sungai telaga.

Diantara ketiga saudara seperguruan itu. Mo Cin lan yang paling kurang sendiri kepandaiannya. Thio Ciauw Cong kemaruk dengan pangkat. Dia bekerja pada pemerintah Cheng. Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia telah peroleh tanda jasa.

Liok Hwi Ching adalah seorang pecinta negeri. Biar bagaimana dia tidak mau berhamba pada pemerintah Ceng. Dan karena berlainan pendirian itulah maka dia telah bentrok dengan sutenya dan sedari saat itu putuslah tali persaudaraan mereka.

Kembali menceritakan Li Wan Ci, ia betul-betul mentaati pesan suhunya untuk tidak sebarkan soal permainan yang akan diajarkan padanya itu keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berada dimuka pintu kamar suhunya, tapi begitu masuk suhunya ternyata tidak ada, yang kelihatan hanya secarik kertas yang diletakkan diatas meja.

Buru-buru Wan Ci memungut dan membacanya.

“Wan Ci muridku, kau gemar ilmu pedang disamping ilmu surat, mendengar suara khim kau dapat menyelami setiap getaran talinya, sungguh aku beruntung mendapatkan murid secerdas kau itu, hanya sayang kepandaianku terbatas, maka jodoh kitapun habis sampai disini saja, mudah-mudahan dibelakang hari kita bisa berjumpa lagi, aku percaya masa depanmu pasti gilang-gemilang, sekian dariku Liok Koo”

Liok Koo adalah nama samaran dari Hwi Ching, Wan Ci masih memegang surat itu, ia tak dapat berkata suatu apapun. Ketika tiba-tiba daun pintu terdorong lebar-lebar dan masuklah seorang dengan langkah sempoyongan.
Betapa kaget Wan Ci ketika didapti bahwa orang itu tak lain adalah gurunya yang disangka telah mengucapkan selamat berpisah itu, wajah Hwi Ching pucat lesi seperti tak berdarah separoh tubuhnya penuh berlepotan tanda darah, dengan paksakan diri dan pada lain saat ia segera buang dirinya keatas kursi itu.

“Liok losu” seru Wan Ci dengan kaget.
Hwi Ching tampaknya berusaha untuk menguasai diri, katanya :
“Tutup pintu, jangan bersuara!”
Hanya itu saja yang dia ucapkan dan selanjutnya ia membisu lagi.

Wan-ci adalah seorang gadis keturunan panglima perang, ketabhannya telah banyak diuji dalam permainan pedang dan tombak, betapapun terkejutnya, ia tetap dapat melakukan perintah gurunya untuk menutup pintu.

Hwi Ching tampak menghela napas panjang lalu berkata lagi :
“Wan Ci kita telah menjadi murid dan guru selama tiga tahun, selama itu kita telah mendapat kecocokan. Kukira jodoh kita akan putus sampai disini saja tak tahunya aku telah terbentur karang, soal ini menyangkut jiwaku, dapat kah kau berjanji untuk tidak mengatakan pada orang lain?”

Dalam berkata-kata itu tampak mata Hwi Ching bersinar-sinar menatap wajah muridnya.

“losu, aku patuh sahut Wan Ci”
“katakan pada ayahmu aku sakit perlu beristirahat setengah bulan.”
Wan Ci mengiakan, maka sang suhu lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Bilang juga pada ayahmu bahwa tak usah diundangkan sin she aku sendiri bisa mengobati.”
Sampai disitu kembali Hwi Ching berhenti lagi, setelah berselang beberapa saat tiba-tiba dia berseru :

“sekarang tinggalkan aku sendiri.”

Setelah Wan Ci keluar, Hwi Ching cepat-cepat mengambil obat luka terus dibeberkan kepundak kirinya, lalu dibalut dengan kain. Tapi ternyata dia terluka dalamnya, begitu pandangan matanya dirasakan gelap, mulutnya segera muntahkan darah segar.

Sebagai seorang yang berpengalaman, dia ketahui kecerdasan sang murid itu suatu tempo akan dapat menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Karena itu dia telah peringatkan pada muridnya supaya dapat berhati-hati dalam setiap langkahnya.

Hwi Ching tak punya barang apa-apa. Kecuali beberapa potong pakaian dan sebatang pek liong kiam. Kesemuanya itu dengan mudah dapat dia rngkas dalam sebuah pauhok. Nanti tengah malam dia akan berangkat.

Selagi dia nantikan sang waktu dengan bersemadhi tiba-tiba tanda waktu pukul dua kali, itulah waktu yang dianggapnya tepat, maka dia nyalakan pelita untuk berkemas-kemas, tapi sekonyong-konyong diluar jendela terdengar ada suara daun rontok dan menyusul dengan itu, terdengar suara tertawa yang aneh.

Cepat dia tiup padam pelita itu, terus meloloskan Pek-liong kiam dari pinggangnya.

Disaat Itu terdengarlah suara orang berseru keras-keras dari luar jendela.

“Liok Loo haoji oarang tua, makin tua makin tak genah. Kau kira dapat menghabiskan sisa hidupmu dengan menyaru guru sekolah disini? Anak manis, hayo kau ikut kita ke kotaraja untuk pangku jabatan yang mulia!”

Hwi Ching seorang jago kenamaan yang banyak pengalaman. Dia tahu bahwa orang itu bukan lawan yang empuk, dan bahwasanya jumlah mereka tentu banyak pula. Kalu dia gegabah menerobos keluar, tentu celaka. Diam-diam dia gunakan bik-houw kang, ilmu cecak merayap di tembok untuk menuju wuwungan. Dia sawut palang jendela terus ditariknya putus. Membarengi jatuhnya genteng-genteng kebawah dia lantas loncat keatas wuwungan.

Tiba-tiba pada sat itu terdengar sebatang anak panh yang disabitkan dengan tangan berkesiuran menyambar, disusul dengan keras.

“Bagus, jangan lari !”

Hwi Ching buang tubuhnya kesamping, seraya dengan pelan-pelan ia menegur, “Sahabat mari ikut aku !”

Dia menggunakan ilmu berjalan cepat lari kearah pinggir kota. Benar juga tiga sosok bayangan telah mengikutinya.

Kira-kira berlarian tujuh li jauhnya tiba-tiba seseorang pengejarnya berseru.

“He, orang tua she Liok, kau kan seorang kangouw kenamaan mengapa berlaku begitu pengecut. Jangan mimpi dapat melarikan diri kau.

Liok Hwi Ching tak mau menyahut, dia mempunyai rencana sendiri, mengingat keadaan waktu waktu itu adalah soal mati hidup, sengaja dia pancing musuh-musuhnya kesebuah bukit karang yang terletak ditepi kota yang sepi.

Ternyata perhitungan Hwi Ching itu tepat musuh terdiri dari tiga orang. Hwi Ching sengaja akan bawa mereka ketempat yang sepi. Kedua kalinya ia akan jajal ilmu menentengi tubuh mereka dan ketika kalinya, dia akan mengetahui jumlah musuh-musuhnya untuk menjaga kemungkinan dibokong.

Ketika akan mulai menanjak ketas Hwi Ching tetap kencangkan langkah. Dan sampai distu dapatlah dia mengetahui sampai dimana kepandaian musuh-musuhnya itu, ternyata mereka ada yang dapat tetap berlari cepat, ada yang terbelakang.

Ketika melihat Hwi Ching merendek dan berputar dari ketiganyapun tak berani mendatangi dekat-dekat. Mereka segera mengatur siasat diri dalam kedudukan segitiga, yang seorang berada imuka dan kedua kawannya mengikuti dari belakang.

Dibawah sinar rembulan, Hwi Ching dapat melihat jelas musuh-musuhnya, yang berada dimuka sendiri adalah seorang tua yang pendek dan kurus. Dia memegang sepasang badi-badi yang ekor burung seriti yang panjangnya kurang dari satu jengkal.

Dibelakangnya adalah seorang yang tinggi dan kawannya lagi seorang yang gemuk pada saat itu berkatalah si kurus tadi :

“Liok Loenghiong, sudah lama kita bertemu adakah kau masih ingat kepada pecundangmu Ciao Bun Ki dulu itu ?”

Hwi Ching terkesiap. Dia tak habis mengerti mengapa orang she Ciao itu mencari dia pada waktu begini.

Ciao Bun Ki adalah pemimpin nomor tiga dari kwantong Liok Mo, enam iblis dari wilayah Kwanteng, sepuluh tahun yang lalu bertengkar mulut, dia pernah bertempur dengan Liok Hwi Ching masih kenal kasihan dengan tak mau membunuhnya dan hanya memukulnya saja, dia tak menyangka kalau orang she Ciao akan menuntut balas padanya.

Sebenarnya Ciao bun ki sedang diutus oleh Ceng untuk menjalankan suatu tugas ke Thian san. Dengan tak disengaja dia dapat mendengar bahwa Liok Hw Cing musuhnya itu bersembunyi ditempat kediaman keluarga Li Khik siu-ciangkun.

Dengan membawa dua jago kosen dari kantor congtok Shan see dan kamsiok, tanpa memberitahukan pembesar setempat, malam itu ia datangi tempat Hwa Ching bersembunyi.

Dalam beberapa tahun itu, Bun ki telah berusaha keras untuk meyakinkan ilmu pukulan “Pi peh Chiu” ia dipecundangi dalam pertempuran tangan kosong dan kinipun ia akan mencuci hinaan itu dengan tangan kosong pula.

Maka berkatalah Hwi Ching dengan merangkap kedua tangan selaku menghormat.
“Kiranya Ciao Bun Ki sampai sepuluh tahun tak jumpa, hampir aku tak dapat mengenalinya. Kedua saudara ini siap ? Dan nasehat apa yang Ciao-samko hendak berikan padaku?”

“Hmmm” bun Ki perdengarkan suara hidung dan sambil menunjuk seorang gemuk ia berkata : itulah saudara angkatku Lo sin, yang orang beri julukan yaitu sebagai Thiat Pi Lo Han orang gagah tangan besi.
Dan menunjuk pada orang yang tinggi, dia berkata : “dan ini adalah Giok poan-koan Ha jin-liong. Hayo kalian mau lebih dekat kesini!”

Lo sin dan Ho jin liong menghampiri seraya merangkapkan kedua tangan, katanya “maaf, Liok-cianpwe.”
“Sungguh tak mengira kalau ditempat yang begini sepi telah menerima kedatangan kalian bertiga, entah pengejaran apa yang samwie hendak berikan kepadaku?”

“Liok-loenghiong” sahut Bun Ki dengan tawar, “lima belas tahun yang lalu aku telah menerima pelajaran darimu, karena memang kepandaianku masih cetek, barrangkali karena aku orang yang berkepala keras, maka dalam beberapa tahun ini aku telah belajar lagi beberapa jurus ilmu silat, “kucing kaki tiga. Untuk itu aku akan minta petunjuk darimu termasuk bantuan pribadi. Kedua kalinya, berkat namamu yang tersohor itu pemerintah telah mengundang kau untuk sesuatu jabatan penting. Untuk ini lah kita bertiga, sengaja datang buat menyampaiakan sekalian untuk memberi selamat padamu, dan ini termasuk urusan negara.”

Sampai pada saat itu mengertilah Hwi Ching kedudukan yang ia hadapi. Kalau hal itu terjadi pada beberapa puluh tahun yang lalu mungkin ia takkan tahan lagi. Tapi keberangasannya itu telah terbawa pergi dengan bertambahnyanya sang waktu. Dengan tenag ia kembali merangkapkan kedua tangannya dan berkata :
“Ciao samya, kau dan akuadalah orang-orang tua yang sudah berumur lima atau enam puluh tahun kesalahanku tempo dulu itu dengan setuus hati bersama ini kuhaturkan maaf !”

Demi ucapannya itu Hwi Ching membungkukan badan dihadapan orang she Ciao itu. Tiba-tiba si tinggi, Ho Jin long perdengarkan suara hidung lalu memaki dengan kasarnya :
“Cis, tak tau malu!”
Mata Hwi Ching cepat mengalihkan kearah orang she Ho itu, dipandangnya tajam-tajam.
“Aku Liok Hwi Ching, sedikitpun tak ada nama dikalangan kangouw, selama itu belum pernah kuterima hinaan dari siapapun juga, katanya, dan kembali menghadap kearah Ciao Bun Ki dia lanjutkan kata-katanya.

“Ciao samya, tadi kau sebutkan kunjunganmu ini untuk urusan pribadi dan negara. Apa yang terjadi dulu, Cuma menuruti nafsu darah muda saja. Untuk untuk perbuatanku itu, telah kuhaturkan maaf padamu. Mengenai urusan negara, aku Liok HwiChing bukanlah tergolong orang yang berkulit tebal umau menjadi kaki tangan pemerintah Boan. Kalau kau berkenan mau sekerat tulang tua ini menjadi hamba mereka, hmm…. Silakan mengambilnya.

Ucapan itu membuat ketiga orang itu menengak.
“kalian boleh serentak maju bertiga, atau satu-satu, lanjut Hwi Ching dengan angker. Kemudian dia melirik pada si tinggi dan berkata pula. “Kulihat lebih baik Ho Ya in yang maju lebih dulu.”

“Kau terlalu banyak mulut.”
Demikian tiba-tiba si gemuk Lo Sin berseru, terus lompat menonjok muka Hwi Ching. Hwi Ching tampaknya tenang-tenang saja, tetap tak bergerak. Ketika kepalan seorang hampir mengenai mukanya sebat luar biasa, tangan kanannya menghantam lawannya.
Lo sin terkejut sekali atas gerakan orang yang demikian sebatnya itu. Buru-buru dia mundur tiga tindak. Hi Ching tak mau mengejar, setelah menangkap semangat, Lo sin gunakan Ngo beng kun untuk kembali menyerang.

Pada saat itu, Cio Bun Ai dan Ho-jin liong sudah menyingkir kepinggir. Mereka telah mempunyai rencana Ciao Bun ki telah bertekad untuk membalas sakit hati. Beberapa tahun dia rela belajar mati-matian dalam ilmu Thiat pi peh tangan besi. Dia pernag dirubuhkan Hwi Ching dengan Bukek hian kong-kun. Biar bagaimana, sakit hati itu tak pernah dilupakan.

Dia suruh Lo sin Ho Jin liong tempur Hwi Ching lebih dulu, agar tenaganya berkurang. Sedang dalam pikiran Ho Jin Liong terbentang jasa besar yang akan diberikannya oleh cangtok, apabila dia berhasil menangkap buronan yang penting itu.

Hwi Ching dan Lo sin telah bertempur dengan seru. Ngo heng kun berdasarkan jurus-jurus menyerang. Serangan pertama dilancarkan, disusul dengan kedua. Begitu seterusnya serangan susul-menyusul tak putus-putusnya. Ngo heng kun merupakan ilmu silat gwakang yang paling lihay!
Dengan ilmu itulah Liok-sin berdaya merangsek lawannya.

Permainan ilmu silat Hwi Ching tenang dan cepat. Dalam sekejap saja, keduanya telah bertempur puluhan jurus, tiba-tiba Hwi Ching menghilang. Buru-buru dia berputar kebelakang, karena ternyata Hwi Ching sudah berada disitu, dalam kegugupannya dia akan sambut lengan Hwi Ching.

Lo sin sangat andalkan tenaganya yang besar, dia tak kuatir bersampokkan dengan lawan. Namun hanya dengan sekali berkibas tangan lagi
........ , sedang lengan bahu Hwi Ching pun tidak dapat disentuhnya.

Lo sin mkin bingung. Dia robah permainannya dengan ilmu silat “Lin na chiu”. Dengan sepasang tangan dia menyerang. Tapi Hwi Ching tetap tak berganti permainan dan tetap pula dia melesat kesana-kemari.

Beberapa jurus kemudian Lo-sin menganggap mendapat kesempatan. Dia kirim pukulan tangan untuk itu dia pastikan Hwi Ching akan mengegos kekiri, maka dia susulkan tangan kiri lawan. Dia untuk kegirangannya pundak lawan telah kena tercengkeram.
Tapi kesudahannya ternyata lain seperti yang diharapkannya. Kalau dia tadi luput mencengraman, itu malah baik. Tapi setelah dia mencengram kena tubuhnya yang gemuk itu lantas seperti “dum” begitulah kedatangan suara, ketika tubuhnya jatuh ditanah tiga tombak jauhnya.

Seketika itu matanya berkunang-kunang terus duduk numprah ditanah, seperti tak bertulang ia terlongong-longong terpesona. Hanya mulut saja yang masih bisa memaki, “setan alas kurang ajar, kau gunakan ilmu iblis apa ....?”

Ternyata tadi Hwi Ching menggunakan ilmu iwekang yang disebut “cap-i sip pat-tiap” sentuh pakaian delapan belas kali rubuh. Begitu musuh menjamah pakaiannya maka akan terlemparlah dia, sebenarnya ilmu itu hanya berdasarkan pinjam kekuatan lawan saja.

Meski Hwi Ching belum dapat menyakinkan ilmu itu dengan sempurna sehingga begitu orang menyentuh pakaiannya begitu dia akan rubuh, namun karena Lo-sin telah gunakan kekuatan besar untuk mencengkeram, maka dengan mudah Hwi Ching dapat terjungkal dengan telak.

Melihat Lo sin numprah ketanah segera Bun Ki kerutkan alis serunya perlahan-lahan :

“Lo hiante bangunlah lekas-lekas!”
sebaiknyaHo Jin hong tanpa berkata apa-apa terus maju menyerang Hwi Ching dengan gerakan “Song liong-jiang cu” sepasang naga berebut mustika.

Kembali Hwi Ching perlihatkan kegesitan dengan menghilang dari npandangan musuh. Dan berbarengan itu, Ho-jin liong rasakan pundaknya ditepuk dari belakang dan satu suara berkata, “kau belajar sepuluh tahun lagi.”

Dengan cepat Jin liong berputar kebelakang tapi ternyata Hwi Ching tak tertampak disitu. Ketika Jin Liong akan berbalik badan lagi, tahu-tahu kedua pipinya telah ditampar dari belakang dan satu suara kembali berkata : “nih rasakan ......bocah kurang ajar, sekali ini kuajar adat.”

Sebenarnya Ho jin liong lebih diatas dari Lo sin. Tetapi karena dia tadi telah berlaku kurang ajar, Hwi Ching tak mau kasih hati. Dia sengaja gunakan permainan istimewa untuk mempermainkan Jin liong.

Melihat Jin liong babak belur mukanya dan disana-sini terlihat benjot, Ciao Bun Ki melesat maju, belum orangnya datang, angin pukulannya sudah tiba. Liok Hwi Ching mengetahui sekarang dia berhadapan dengan orang ketiga dari Kwan-tung liok mo, yang kepandaiannya jauh beberapa tingkat dari kawn-kawannya tadi. Dia tak berani berlaku ayal lagi, lalu keluarkan ilmu silat dari cabangnya yakni Bu tek hiat-kong kun, untuk melayani dengan hati-hati.

Ho jin liong mau membantu Bun Ki tapi karena mereka bertarung dengan rapatnya terpaksa dia tak mendapat kesempatan untuk menceburkan diri kedalam pertarungan itu.

Ciao Bun Ki keluarkan ilmu andalannya “Thiat pi peh chiu” pukulan tangan besi...... dan hebatnya pukulan ini, asal tersentuh maka cacatlah si korban.

“Thiat pi-peh chiu” dari Ciao Bun Ki adalah warisan dari keluargaBan di Lok yang, kini dengan jurusnya yang disebut “Chiu hoen ngo hian” tangan memetik senar kelima dia menyerang Hwi Ching.

Gerak serangan nampaknya lemah gemulai tak bertenaga, tapi kelemahan, tapi dibalik kelemahan itu terkandung tenaga yang luar biasa kerasnya. Dan begitu dekat ke badan musuh jari-jarinya itu berubah seperti besi kerasnya. Memang “Thiat pi peh chiu” ini adalah gabungan antara “thiat-sat-ciung” pukulan pasir besi dengan “eng jiao kong” cengkeraman kuku garuda.

“bagus....!” seru Hwi Ching sambil gunakan houw jong-po” gerakan harimau melangkah untuk mengegos kesamping sambil majukan langkah kesisi lwan. Disitu segara dia pakai tangan kanannya untuk memukul lengan.

Bun ki buru-buru miringkan tubuh sambil pentang tangannya, itulah gerakan “pi peh ci bun” pi poh (nari) menutup muka. Tangan kiri melindungi badan tangan kanan dijulurkan, memakai kedua jari untuk menotok.

Hwi Ching menurunkan tubuhnya kebawah dalam pada itu dia gunakan pukulan Iwekang, in ciang untuk mebalas.

Hwi Ching akan menempuh jalan kebajikan. Dia tak tega untuk menghapuskan jerih payah Bun ki puluhan tahun ini dalam mempelajari ilmunya. Karenanya dia hanya gunakan separoh tenaga untuk memukul. Maksudnya supaya orang she Ciao itu dapat insyaf, dan sampai disitu akan mundur sendiri. Tapi justru maksud baik itu, telah berbalik mencelakakan Hwi Ching sendiri.

Karena tak gunakan sepenuh tenaga, gerakan Hwi Ching menjadi lambat, Ciao Bun ki mengerti bahwa lawan telah berlaku murah hati, kesempatan ini takkan dilewatakan begitu saja. Ketika tangan Hwi Ching masih belum ditarik untuk melindungi bagian dada yang terbuka. Tba-tiba dengan gerakkan “liucwan-hee-san” air sumber mengalir kebawah gunung, kelima jari Bun Ki telah menyodok kebawah pulung hati Hwi Ching dengan sekuat-kuatnya.

Dalam Keadaan tak yang terduga sama sekali, Hwi Ching tak keburu menghindar. Dia telah terkena tangan jahat dari thiat pi peh yang ganas. Namun dia adalah jago besar daru bu tong pay. Walaupun menderita kerugian, tak menjadi gugup. Cepat dia tarik kedua tangannya untuk menangkis serangan berikutnya dari Bun Ki.

Setelah itu dia mundur tiga langkah. Dengan tak mengucapkan apa-apa, dia empos semangatnya. Dia tak berani marah, karena tahu bahwa dia luka dalam parah. Kalau dia terlalu turutkan nafsu tentu binasa!

Mendapat hati, Bun Ki tak mau menyudahi sebelum musuhnya dapat mengaso untuk memulihkan tenaga, dia terjun lagi dengan “botol perak pecah” dan “kudabesi kabur” serangan berantai dari jurusjurus thiat pi-peh chiu yang lihay.

Dalam keadaan memaksa, apa boleh buat lagi. Dengan bersuit keras, Hwi Ching mencabut pek lieng kiam. Bun Ki cepat-cepat loncat kesamping dan berseru :

“Pundak rata, majulah ....! si tua akan mengadu jiwa!”
“pundak rata” adalah sebutan yang berarti “kawan” tak perlu diulang lagi Ho Jin liong dengan sepasang go kao kiam, maju menyerang tenggorokan Hwi Ching.

Go-kao kiam, walaupun disebut pedang, tapi bentuknya adalah sepasang gaetan. Hanya pada ujung gaetan itu didampingi sebatang pedang. Maka dapat digunakan dalam permainan kao dan kiam.

Melihat orang menggunakan sepasang gaetan, tahulah Hwi Cing bahwa kepandaian lawannya itu tentu tidak lemah, segera diapun gunakan “heng hwa jun-houw” dan “sam boan-gwat” dua jurus serangan dari ilmu pedang jwan-hun-kiam.

Pada saat itu, dengan melolos chit ciat konpian, pian baja dari tujuh ros-rosan. Lo sin turut menyerang. Ternyata dia sungguh-sungguh bertenaga kuat. Hwi Ching tak berani berbenturan senjata menagkis, dia hanya menghindar sembari mencari lubang untuk memapas jari seorang she Lo itu.

“Ah, yah!...” Lo sin perdengarkan seruan kaget, terus loncat menghindar.

Dulu semasa belajar bugee pada keluarga Han di Lok-Yang, ilmu senjata thiat pi-peh tersebut telah dipelajarinya denga sempurna, pi-peh adalah semacam alat tetabuhan seperti harpa kedua sisinyatajam. Di waktu melakukan penyerangan, bisadipergunakan sebagai kampak. Untuk bertahan diri dapat sebagai perisai. Badan pi peh itu berlubang, disitu terdapat dua belas biji pi peh ting paku yang ujungnya tajam sekali.

Setelah mendapat pelajaran thiat pi peh dari keluarga Han, Ciao Bun Ki mendapat beberapa kesukaran. Pi peh itu sebenarnya adalah tetabuhan yang biasanya dipetik oleh wanita? Di kalangan kangouw, banyak mendapat cemoohan orang karena senjatanya itu, dia mencari akal untuk mengganti pi peh itu. Dengan sebuah thiat-pay. Bentuknya meski berlainan dengan pi-peh, tapi cara memainkannya tak ubah bedanya dengan pi-peh.

Merasa belakang kepalanya ada sambaran angin, Hwi Ching melejit kesamping. Dan secepatnya dia kirim bacokan. Ketika Bun Ki menggalangkan thiat-paynya untuk menangkis, pek liong kiam melorot turun terus menyerang lagi.

Setiap ilmu silat tangan kosong maupun dengan senjata apa saja apabila akan menyusuli serangan yang kedua, tentu lebih dulu menarik serangan yang pertama. Tidak demikian dengan ilmu Hwi Ching, disitulah letaknya kelebihan ilmu pedang Jwan hoen pian dari Hwi Ching. Bagaimanapun musuh akan menangkisnya serangan kedua tetap akan menyusul tanpa mesti menarik lebih dulu. Dalam tiga kali susul menyusul itu, dilancarkan, musuh pasti terkurung dalam sinar pedang yang berkelebat.

Pada saat itu, jangankan dapat membalas, sedang untuk menangkis saja tentu kewalahan.

Melihat Bun Ki kerepotan, Jin liong dan lo sin segera maju menyerang dari belakang secara berbarengan. Senjata sebatang pay dan sepasang siangkao maju bersamaan untuk mengurung Hwi Ching.

Setelah sekian lama, dada Hwi Ching terasa muali sakit, insyaf lah ia, bahwa luka dalamnya mulai menyerang. Wlaupun jwan bun kiamnya sangat lihay, tetapi dikeroyok oleh tiga orang dia agak repot, juga.
“tak nyana kalau Liok Hwi Ching hari ini akan binasa ditangan kawanan tikus, pikirnya membatin.

Kalau mengingat bagaimana kebaikanny, telah dibalas dengan kebusukan itu, marahlah di. Dengan mengumpulkan seluruh semangat dia membuka jalan darah untuk lolos. Kelak apabila lukanya sudah sembuh akan dicarinya Kwantung Liok mu untuk menuntut balas.

Habis mengambil keputusan dia tak mau bertempur mati-matian, hanya tenangkan semangatnya. Ketenangan inilah yang menjadi pokok dari ilmu silat Iwekang. Juga sinar pek-liong kiam mengurung dirinya rapat-rapat, sehingga musuh tak berani mendekati.

“Ciao samya, kita kepung dia terus, biarkan dia mati kelelahan!” seru Lo sin.
“Benar, sebentar lagi Lo hiatee boleh kutungi kepalanya untuk dipersembahkan pada contok sahut yang diajak bicara.

Pedangnya sih bagus amat, Ciao samnya berikan saja padaku, seru Ho jin liong.

Mereka bertiga salaing “mengipasi hati” Hwi Ching, seakan-akan menggapnya sebagai seorang mati yang diperebutkan warisannya. Memang mereka sengaja berkata-kata dengan keras agar Hwi Ching panas hatinya.

Hwi Ching mengirim dua kali serangan kearah Lo sin. Seketika lo sin mundur, terbukalah sebuah lubang. Dan kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Hwi Ching dengan gerakan “hujan dicurahkan dari langit dan melesat keluar kalangan.

“Celaka, si tua akan lari” seru Lo sin dengan kaget.

Hwi Ching terus keluar “pat poh kam sian” ilmu lari cepat sembari berlompatan, meluncur ke bawah gunung. “Pat poh-kam sian” telah diyakinkannya selama berpuluh-puluh tahun, maka begitu sang kijang lepas dari jerat, jangan harap ketiga orang itu dapat memburunya.

Sebat sekali Ciao bun Ki menekan alat diatas thiat-paynya, dan seketika itu, tiga batang pi poh ting meluncur kearah Hwi Ching. Tapi dengan cekat Hwi Ching putar pek-liong kiamnya untuk menyampok kedua batang pi peh-ting yang menjurus kemukanya, menyusul dia enjot sepasang kakinya loncat keatas, kembali sebatang pi peh ting mengarah kakinya dapat dihindari.

Sebagai seorang kangouw kawakan, Hwi Ching cukup mengetahui bagaimana lihaynya paku pi peh ting itu, paku itu ujungnya menurun kebelakang, begitu menyusup kedaging sukar untuk dicabut. Kalu memaksa akan dicabut tentu dagingnyapu nikut terbetot keluar. Karena itu pi peh ting tak boleh ditangkap dengan tangan berbahaya sekali, senjata rahasia macam begini hanya dipakai oleh kaum persilatan dari golongan hitam saja.

Setelah berhasil mengelit pi peh ting, Hwi Ching berniat hendak meneruskan larinya. Tapi sekonyong-konyong dia tergelincir terus sempoyongan, mulutnya terasa hendak muntah, dadanya sakit sekali. Dan berbarengan itu, dia rasakan matanya berkunang-kunang.

Melihat orang yang jalannya tak teratur, tahulah Ciao Bun Ki bahwa luka dalam Hwi Ching mulai menyerang. Diam-diam dia menjadi girang, terus mengeroyoknya lagi. Demikianlah mereka berempat segera bertempur lagi.

Terasa bagi Hwi Ching bahwa gerakkan tangan kanannya itu tentu disusul dengan rasa sakit dada kirinya. Untuk itu, buru-buru dia pindahkan pedangnya ke tangan kiri.

Justru inilah yang membingungkan lawan, permainan pedang dengan tangan kiri dari Hwi Ching adalah jurus-jurus kebalikan dari permainan tangan kanan. Karena bingung sat itu Bun Ki mundur beberapa tindak.

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hwi Ching, siap lalu dengan gerak “pek-hong koan jit” bianglala menaungi matahari, dia serang Ho jin liong.

Nampak serangan yang berbahaya itu Jin-liong menghindar kekanan. Inilah satu kelesalahan besar bagi orang yang tak mengerti permainan pedang tangan kiri. Begitu dia loncat kekanan, pek liongkiam sudah membabatnya, beruntung pada saat berbahaya itu, Jin liong tah kehilangan akal, cepat dia buang diri ketanah, terus bergulung menyingkir.

Baru saja Hwi Ching akan memburu, dara arah belakang terus ada angin menyambar, kon pian Lo-sin sudah bergerak “Thay san jik ting” telah melayang datang.

Hwi Ching dengan tenang, begitu pian hampir tiba dibadanya segera ia bergerak, sebat luar biasa tangannya diulur untuk menotok jalan darah “hiat boen hiat” seraya tubuh lawannya terasa lemas tak bertenaga, tangannya tak kuasa lagi mencekal kon piannya lebih kencang pian menyerusuk kesamping menghantam batu terus membal balik.

Justru pada saat itu, tiga batang paku “pi peh ting” dari Bun ki menyambar dari arah belakang, jarak dengan punggung Hwi Ching sudah demikian dekatnya, bagaimanapun ia akan berkelit kekanan atau kekiri, sudah tak keburu, sebat luar biasa, ia sembat tubuh Lo sin yang numprah ditanah, terus diputarnya sebagai perisai (tameng) “Cieet ......” tanpa ampun lagi tiga batang anak panah pi-peh ting, dua menusuk dada dan satunya menyusup perut, tanpa berkutik putuslah nyawa Lo-sin.

Melihat senjatanya berbalik mencelakan kawan sendiri, meluaplah kemarahan Bun Ki, lalu ia memutar thiat pay dan menyerang Hwi Ching dengan beringas.

Pada sat itu, Ho jin liong sudah bangkit tapi Hwi Ching tak mau memberi kesempatan padanya. Dia serang lagi dengan pek hong kiamnya, hingga buru-buru Jin liong mundur setindak.

Dan pada detik itu, thiat pay Bun ki sudah melayang datang. Kalau memutar tubuh untuk menangkis thiat-pay, tentu Ho Jin liong dapat kelonggaran bergerak menyerang. Walaupun musuh telah berkurang satu, tapi belum berarti ancamannya itu sudah terhindar. Karenanya pada lain saat ujung thiat-pay telah menowel pundak Hwi Ching dengan meninggalkan lubang luka yang besar.

Tapi selagi Bun ki kegirangan dengan hasil thiat paynya, dan pek liong kiam telah melayang-layang diudara, langsung menyambar Jin liong.

Dalam kagetnya, Jin liong sepat angkat go-kao kiamnya. Memang benar, dengan berbuat begitu dia dapat menangkis pek liong kiam, tetapi Hwi Ching telah melemparkan sedemikian hebatnya, dan tak dapat dicegah lagi pek liong kiam meluncur dengan pesatnya, bersarung kedalam dada terus keluar dari punggung dan matilah Jin liong, seolah-olah terpantek pada tanah.

Demikianlah kalau Liok Hwi Ching, jago tua dari Bu Tong Pay sedang mengumbar nafsu.

Dan secepatnya dia balik memutar diri, Bun ki belum sempat menarik thiat paynya seketika itu juga orang she Ciao merasakan mukanya kesakitan hebat, sontak matanyapun menjadi gelap.

Ternyata ketika Hwi Ching berbalik, dia telah sambitkan lima batang jarum emas hu yong ciam ke muka Bun Ki. Pada jarak yang begitu dekat dan dengan kecepatan luar biasa, jarum yang sehalus itu tak mungkin dapat dihindari, seketika itu juga sepasang mata Bun Ki telah menjadi buta.

Sudah terlanjur dirasuki kebencian membarengi, selagi Bun Ki mendekap mukanya dengan tangan Hwi ching menghampiri. Sekali kepalan nya menghantam sepenuh tenaga, tak ampun lagi terpelantinglah tubuh Bun Ki beberapa tindak terus roboh tak beryawa lagi.

Demikianlah Hwi Cing telah tumplek seluruh kepandaiannya. menotok, menyambit pedang dan jarum emasnya hu yang ciam. Dalam sekejap waktu saja, dia sikat ketiga lawannya.

Tapi ketika itu, dia sudah tidak kuat lag, hampir dia kehabisan tenaga, karena lelah akibat luka dalamnya yang makin menghebat sakitnya.

Angin diatas tegalan gunung itu kini semakin menusuk tulang. Rembulan perlahan-lahan bersinar remang-remang dilangit disana hanya tampak tiga mayat menggeletak.

Yang bergelimpangan diantara batu-batu yang berserak-serakan, suara burung hantu menambah keseraman suasana malam itu, sekalipun Hwi Ching jago kosen, tak urung dia ngeri juga.

Cepat dia sobek bajunya untuk membalut luka dipundaknya. Dengan berdiri tegak, ia empos semangatnya. Dia selalu berhati-hati dan cermat dicabutnya jarum-jarum bu yoang ciam pada muka Bun Ki, lalu disimpannya baik-baik, setelah itu dia lempar ketiga mayat itu kedalam jurang.

Sat itu Hwi Ching telah kehabisan tenaga, apalagi badannya belumuran darah. Jika pergi ketempat penginapan tentu menimbulkan kecurigaan orang. Diputuskan kembali lagi ke gedung Ci Khik-siu, untuk tukar pakaian dan membersihkan noda-noda darah, setelah itu ia akan berangkat lagi.
Tak disangkanya sepagi itu, Wan Ci sudah berada di kamar Hwi Ching. Apa boleh buat, ia pesan buat sang murid untuk jangan menceritakan apa-apa pada orang lain. Begitu Wan ci sudah berlalu dari kamarnya. Hwi Ching segera merebahkan dirinya keatas ranjang. Dadanya makin menghebat sakitnya dan sesaat itu juga dia pingsan tak ingat orang.

Entah sudah beberapa lama, ketika dia akan membuka mata, serasa badannya seperti didorong orang.

“Losu, .... losu ......”

Demikian terdengar suara didekat telinganya, ternyata yang berdiri dimuka ranjang, adalah Wan Ci, wajahnya sangat cemas. Disamping masih ada seorang, yang ternyata adalah seorang sin she.
Setelah dirawat dua bulan dan berkat pokok latihan Iwekang yang sempurna, serta atas desakan Wan Ci pada ayahnya untuk mengundang sinshe pandai, luka dalam dari Hwi Ching jadi sembuh kembali.

Selama dua bulan itu, boleh dikata sehari penuh Wan Ci berada di kamar gurunya untuk merawat, orang-orang memuji Wab Cisebagai siocia yang berbakti pada orang tua dan gurunya. Tapi sebenarnya Wan Ci memang mengandung maksud lain.

Sedari ia mencuri lihat permaianan jarum hu cong ciam dan keesokan harinya menyaksikan pemandangan yang aneh itu, tahulah Wan Ci bahwa gurunya itu tentu bukan guru sekolah sewajarnya. Karena itu dia rawat sang guru dengan luar biasa capeknya.

Setelah Hwi Ching sembuh, Wan Ci tak mau menyinggung soal permintaannya mengenai ilmu Hu yong ciam, malah ia hanaya bertanya.
“Liok losu, kapan kita mulai pelajaran lagi? .... apakah losu masih menceriata sejarah pula.
“besok pagilah” jawab Hwi Ching setelah termenung sejenak.
Keesokan harinya, Hwi Ching suruh pelayan membelikan suatu barang, setelah benda itu dibuka.... ini jarum hu yong siam, katanya pada sang murid.
“Wan Ci, kau betul pandai. Aku ini orang apa, walaupun samar-samar kau sudah mengetahui, tapi belum semuanya. Kali ini kumendapat halangan. Kau telah begitu sabar merawat tentu akupun merasa juga, semula aku akan tinggalkan tempat ini, sekarang aaku berubah pikiran, ilmu permainanku hu yong ciam itu sekarang akan kuajarkan padamu.”

Seperti dapat lotere, kegirangan Wan ci tak terhingga. Cepat ia menjongkok ketanah kemudian memberi hormat samapai tiga kali. Hwi Ching hanya nampak tersenyum. Tiba-tiba dia berkata keren sekali :
“Kutahu kau ini tajam perasannya. Beruntunglah kau dapat kesempatan untuk mempelajari ilmu dari kaumku ini. Dalam beberapa tahun hatiku pun maju mundur saja. Bakat yang kau miliki itu sebenarnya jarang sekali ada, kau telah mengangkatku guru. Apakah kau sanggup mentati peraturan-peraturan kaumku, apakah kau sanggup melakukannya...?”

“Aku tentu tak berni melanggar titah, suhu” sahut Wan Ci.
“Kalau kelak kau pergunakan kepandaian itu ditempat yang salah tentu akan kuambil jiwamu!”
Kata-kata yang terakhir itu diucapkan Hwi Ching dengan nada yang angker, hingga Wan Ci bergidik, tak berani berkata sepatah katapun juga.

Begitulah, sejak saat itu Hwi Ching lalu menurunkan ilmu Bu Tong Pay pada Wan Ci, banyak pelajaran yang diterima Wab Ci. Bagaimana cara memusatkan tenaga dan pikiran, pokok dasar yang penting dalam latihan, tiga puluh dua jurus ilmu silat Tong Kun, melatih tenaga, pukulan dan akhirnya silat Bu tek hian kong kun yang lihay itu. Setelah kesemuanya sempurna, lalu diberi latihan cara memusatkan pandangan mata, pendengaran telinga, dan cara melepas berbagai senjata rahasia, seperti peluru dan panah tangan dan sebagainya.

Dua tahun kemudian, berkat ketekunan dan kecerdasan Wan Ci, iapun mendapat kemajuan yang sangat pesat sekali. Diam-diam Hwi Ching merasa girang mendapat murid yang sedemikian cerdasnya, selang dua tahun pula, dia turunkan ilmu pedang jwan bun kiam dan senjata rahasia jarum huyong ciam.

Pada akhir tahun kelima, Wan Ci telah dapat mempelajari kesemuanya itu. Yang kurang padanya, terletak pada kelincahan dan kuranganaya pengalaman bertanding. Ternyata iapun pegang teguh janjinya. Selama itu ia tidak pernah memberitahukan kepda orang lain. Setiap hari pada waktu-waktu tertentu ia pergi ketaman untuk berlatih. Oleh karena kegemaran belajar silat itu sudah diketahui orang banyak, maka tak ada orang yang memperdulikannya.

Selama lima tahun itu, bintang Khik-liu tetap cemerlang. Ia terus dinaikan pangkatnya menjadi ciangkun jenderal. Sebagaimana telah diutara diatas, karena jasa dalam mengamankan daerah Hi Sinkiang dia dipindah ke Ciatkang untuk memangku jabatan yang lebih tinggi, begitulah dia berangkat dulu, baru kemudian keluarganya menyusul.

Wan ci dilahirkan dan dibesarkan di perbatasan barat. Kini ia harus ikut sang ayah pindah ke Kanglam yang indah pemandangannya, ia merasa girang sekali dan mohon suhunya supaya suka ikut serta.

Hwi Ching sudah lama tinggalkan daerah pedalaman Tionggoan, dan memang dia ada keinginan untuk menengok kesana. Dia terima baik ajakan muridnya itu.
Begitulah dengan rombongan yang terdiri dari sepuluh buah lebih kereta. Hwi Ching ikut boyong ke Kanglam dengan keluarga LI. Li Thay-thay ibunyaWan Ci, duduk dalam sebuah tandu?

Wan Ci yang selama menempuh perjalanan jauh itu terus duduk dalam tandu, lama-lama merasa jemu dan kesal hatinya. Tapi sebagai seorang puteri seorang panglima, tentulah tak pantas kalau menunggang kuda sendiri, mondar mandir kian kemari.

Ia terus berhenti, dan memakai pakaian sebagai seorang pria. Sia-sia ibunya melarang karena wataknya memang keras, apa yang dimaukan tak dapat dicegah. Berdandan sebagai pria, ternyata ia sangat cakap tampaknya. Lie than thay hanya dapat menghela nafas dan terpaksa menurutkan kemauan putrinya.

Li Khik siu telah mengirim kira-kira dua puluh orang pengawal pribadinya, untuk mengawal keluarganya itu. Pemimpin pengawal itu bernama Can Tho Lam, kira-kira berusia empat puluh tahun, memelihara jengot pendek. Tubuhnya tegap dan sikapnya gagah sekali, senjatanya adalah sebatang tombak hok hap jiang. Pangkatnya itu diperoleh berkat kegagahannya. Dia orangnya jujur dan cakap bekerja, menjadi orang kepercayaan dari Li Khik siu.

Sampai pada jalanan dipegunungan, hari hampir gelap. Menurut keterangan kusir, sepuluh li lagi ada sebuah kota yaitu Song Tat Loh, sebuah kota diluar perbatasan. Disitulah rombongan keluarga Li akan bermalam.

Tiba-tiba dari depan, Hwi Ching mendengar bunyi derap kuda, disusul dengan debu yang mengepul. Dua ekor kuda putih lari menghampiri kearah itu, malah sesaat itu mereka mencongklang dengan pesatnya. Kedua penunggangnya telah lewat disisi rombongan keluarga Li, terus membalap hilang.

Diatas kudanya, Hwi Ching sama-sama melihat keadan kedua orang itu, yang seorang berperawakan tinggi, sedang kawannya seorang kate pendek.
Orang tinggi itu alisnya panjang, hidungnya mancung. Wajahnya putih bersih. Sedang yang pendek nampaknya bergegas-gegas sekali, mereka menunggang kuda dengan gagah.

Hwi Ching keprak kudanya untuk menghampiri Wan Ci, katanya dengan berbisik-bisik.
“Wan Ci, kau melihat orang itu.
“Bagaimana, apakah mereka itu orang-oarang Hoklim shu..?”
Dengan ucapan itu Wan Ci maksudkan bahwa itu tentu bangsa begal, dan ia ingin benar menjajal ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun ini.
“Itu sih pasti, Cuma kalu dilihat kepandaiannya, mereka itu bukan orang-orang Hoklim yang tak berarti,” sebut Hwi Ching.
“Masa, mereka punya kepandaian yang berarti?” menegasi Wan Ci.
“Dilaihat dari caranya naik kuda, mereka bukan orang sembarangan, “ jawab suhunya.

Ketika rombongannya hampir tiba di Song Tat Poh, tiba-tiba terdengar pula kuda menderap dan ternyata ada lagi dua penunggang kuda lain yang menghampiri disisi kereta, terus kabur dengan pesatnya.

:Eh, aneh juga” seru Hwi Ching seorang diri.
Ketika itu hari sudah gelap, jalanpun sudah sepi. Disebelah muka tampak terlihat Song Tat Poh. Dalam keadaan begitu, aneh benar kalau masih ada orang yang keluar dari kota Song tat Poh tersebut kecuali tidak ada urusan yang penting yang begitu serius.

Tak berselang berapa lama rerotan rombongan sudah memasuki kota, Cam Tho Lun si Pemimpin Pengawal, segera mencari rumah penginapan yang besar, ternyata rumah penginapan bernama “Hotel An Thong.”

Beberapa pelayan menyambut dengan sibuk sekali. Meliahat rombongan tamunya utu, keluarga pembesar negeri, mereka berebutan mengunjuk perlakukan yang luar biasa hormatnya.

Hwi Ching mengambil sebuah kamar sendiri, sedang Wan Ci tidur sekamar dengan Li Thay-thay. Sehabis makan, Hwi Ching lalu mengasoh. Tiba-tiba diantara kesunyian malam itu, terdengarlah gonggongan kawanan anjing. Dan sesaat kemudian samar-samar dia mendengarbunyi, derap kaki kuda. Diam-diam ia berpikir.

“Dalam waktu beni larut malam, mengapa ada orang naik kuda dengan sibuknya. Sebenarnya ada urusan penting apakah mereka itu?”
Saat itu, teringatlah ia akan keempat orang menunggang kuda yang dijumpainya sore tadi. Kelakuan mereka benar-benar aneh. Memikir sampai disitu, derap kuda itu makin dekat kedengarannya dan malahj nyata berhenti dimuka pint hotel itu dan sesaat kemudian pintu terdengar diketok.

“Tuan tentu lelah, mari silakan masuk. Arak dan makanan sudah tersedia semua!” demikian kedengaran pelayan berkata setelah membukakan pintu, “Hayo lekas beri makan kudaku ini, habis makan kita masih akan melanjutkan perjalanan lagi.” Seru seorang dengan kasar.

Dengan ketakutan si pelayan menyahut berulang-ulang. Segera terdengar derap tindakan kaki masuk kedalam rumah. Nyata mereka itu terdiri dari dua orang.
Diam-diam Hwi Ching dapat menaksir bahwa ditinjau dari caranya menaik kuda, orang-orang itu tentu berkepandaian tinggi. Dia yang selama beberapa tahun tinggal diluar perbatasan, diam-diam merasa heran juga dengan adanya perubahan-perubahan dalam daerah Tionggoan.

Secara sembunyi, dia keluar dari kamarnya, melalui ruangan Sam Hap Wan, ia berputar kearah belakang gedung penginapan tersebut. Benar juga, disitu ia dengar si orang kasar yang berbicara tadi itu, berkata.
“Thio samko, kau katakan Siao Tocu itu masih muda belia, masa dia dapat mengatasi lain-lain saudara.

Pada saat itu, Hwi Ching telah menyusup kebawah jendela, sebetulnya ia tak suka mencuri dengar urusan pribadi orang lain. Hanya karena ia curiga atas sikap orang yang aneh itulah ia terpaksa lakukn hal yang tak disukainya itu. Tak ada jeleknya kalau ia berlaku hati-hati .

“Kalau terpaksa, tentu dapat mengatasi? Habis kalu memang begitu, pesan lotenkeh mau tak mau siao tosu harus menjalani. kita harus melindunginya, demikian terdengar seorang mengutarakan pendapatnya.

Suara orang itu sangat lantang, kata-katanya mantap. Tahulah Hwi Ching, bahwa orang tersebut mahir Iwekang, mengetahui kedua orang yang berada dalam kamar itu bukan orang sembaranagan, Hwi Ching tak beranai membuat lubang pada kertas jendela, cukup mendengar dari luar saja!

Kata si kasar pula! Udah barang tentu, samko. Cuma saja kali ini apakah Siao tocu turun dari gunung?
“kali ini kiongcu pertama dan kedua masing-masing dan Gwan-sam long sama keluar menyambut tentu Siao tocu terpaksa masti keluar, kta yang seorang.

Mendengar suara tersebut, hati Hwi Ching bergetar. Rasanya suara itu sangat dikenalinya, merenung sejenak, segera ia teringat tentu orang itu Lo Pan San seorang sahabat karibnya dalam perserikatan Cu-liong Pang dulu.

Orang tersebut lebih muda sepuluh tahun darinya, dia toa tecu murid kepala ahli waris dari golongan Tay kek bun. Pernah semasa masih sama di Cu Liong pang dia berlatih dengan orang she Tio itu. Dan keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.

Kalau sampai sekarang sudah salaing berpisah belasan tahun, tentunya orang itu sudah hampir lima puluh tahun umurnya sesudah Cu Liong pang bubar, entah orang she Tio itu berada dimana. Tak dinyana kalau hari ini dia dapat menjumpai diluar perbatasan.

Bertemu dengan sahabat karib, Hwi Ching girang tak terkira, tapi pada sat itu dia hendak menegurnya, tiba-tiba lampu dalam kamar itu dipadamkan. Dan menyusul, sebatang panah kecil Siu Ci melesat keluar dari dalam kamar.

Siu Ci terang tak ditujukan pada Hwi Ching dan pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat. Dengan mengulur tangan orang itu, telah menyanggapi dengan jitu sekali.

Tampak orang tersebut mengulur tubuhnya seraya hendak berteriak, tapi Hwi Ching telah mendahului bergeser menghampiri, katanya dengan berbisik-bisik.
“Jangan berisik, ayo ikut aku!”

Ternyata orang itu Wan Ci, Li Wan Ci liteecunya sendiri. Keadaan dalam kamar sunyi-sunyi saja. Tak ada orang yang mengejarnya. Cepat Hwi Ching menarik tangan muridnya untuk menyelinap pergi terus menuju ke kamar yasang murid. Ternyata liteecunya mengenakakan pakaian untuk berjalan malam dan menyaru sebagai seorang pria.

Melihat itu Hwi Ching agak mendongkol disamping geli juga dengan suara keren,
“Wan Ci, kau tahu orang apakah dalam kamar itu. Kau kira akan gegabah untuk tempur mereka kah ... ?”

Pertanyaan shunya itu, membuat Wan Ci termunung tak dapat menjawab apa-apa. Masa mereka berani melepas Siu Ci padaku” akhirnya Wan Ci dapat menyahut setelah termenung beberapa saat.
Memang begitulah perangai seorangnya, taunya hanya kesalahan orang lain, sedangkan kesalahannya mencuri dengar pembicaraan orang lain itu tak disinggung-singgung. Padahal kesalahannya sendiri merupakan pantangan besar di kalangan persilatan.

“kedua orang itu kalu bukan dari golongan holim, tentulah orang-orang perserikatan salah seorang dari mereka aku mengenalnya. Kepandaiannya tak dibawahku. Mereka tentu punya urusan penting, maka begitu bergegas memburu perjalanan siang malam. Siu ciam itu tak sungguh-sungguh akan mencelakan kau. Hanya untuk memperingati supaya kau jangan usil dengar urusan orang lain, hayo .... kau lekas tidurlah.

Pada sat Hwi Ching berkata itu terdengar suara pintu terbuka, menyusul dengan berderapnya kaki kuda, kedua orang aneh itupun sudah kabur jauh. Karena Wan Ci telah berlaku sembrono, maka Hwi Ching segera batalkan niatnya menemui sahabat lamanya itu agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.

Keesokan harinya, kembali rombongan keluarga Li meneruskan perjalanannya. Berselang sejam kemudian, mereka sudah meninggalkan kota Song Tat Poh itu.
“Losu, didepan kembali ada orang mendatangi, “Tiba-tiba Wan Ci berseru.

Tepat pada saat itu, dua penunggang kuda bulu merah tampak mendatangi dengan pesatnya. Karena kejadian semalam Wan Ci dan suhunya bersukap hati-hati.

Kedua ekor kuda itu ternyata bersamaan satu sama lain. Dan yang mengherankan kedua penunggangnyapun juga serupa benar. Mereka sama-sama berusia empat puluh tahun, perawakannya tinggi. Kurus, mukanya kuning, matanya menjolek kedalam! Nyata bahwa keduanya itu adalah sepasang saudara kembar.

Jilid ; 2

KETIKA lewat disisi rerotan kereta kedua orang itu melirik kearah Wan Ci, sebaliknya si nona pun malah berbalik mengawasi dengan mata melotot. Ia menghentikannya kudanya, dana bersikap seolah-olah seperti siap untuk berkelahi.

Tapi kedua orang tersebut tidak memperdulikannya, begitu cambuknya dikeprakkan, kudanya terus kabur kearah barat.

Huh, darimana munculnya sepasang setan kuning itu berseru Wan Ci, sebaliknya tampak terkejut, lalu mengawasi kebokong dari kedua penunggang kuda tersebut. Nyata benar mereka itu tampaknya seperti dua batang bambu yang menancap diatas kuda.

“Ayo kiranya mereka, tiba-tiba Hwi Ching berseru ketika ia teringat akan sesuatu.
“Liok losu, kau kenal mereka, cepat-cepat Wan Ci bertanya.
“Mereka tentulah secihwan song hiap, yang orang kongouw sebut Hek bu siang dan Pek bu-siang, setan gantung hitam dan putih.

“Ha, orangnya aneh gelarnyapun aneh, mengapa tak digelari saja sebagai Bu siang Kun” seru Wan Ci dengan mengolok.

“Anak perempuan tak boleh bicara sembarangan. Walaupun wujudnya aneh tapi kepandaiannya tak boleh dibuat main-main, kata Hwi Ching. Aku belum pernah bertemu muka dengan mereka. Tapi kabarnya mereka adalah sepasang saudara kembar. Mereka tidak pernah berpisah satu sama lainnya. Malah untuk memelihara kerukunannya, keduanya tak mau kawin, mereka berkelana untuk melakukan kebaikan. Orang yang orang yang taroh perindahan memberi gelaran Seechwan siang hiap, sedang yang memberi poyokan menyebutkan Hek bu siang dan Pek bu-siang.

“Kata orang keduanya itu mirip satu sama lain. Namun ada cirinya, yakni yang tua itu tumbuh andeng-andeng diekor matanya. Karenanya ia digelari orang sebagai Hek bu-siang, sedang adiknya tak punya andeng-andeng dan dinamakan Pek bu-siang. Nama mereka sebenarnya adalah siang ho co dan mereka adalah murid-murid dari Hwi lu tojin dari golongan Heng seng pay.

Setelah Hwi Lo tojin meninggal, mungkin di kangouw tak ada orang yang menandingi mereka dalam ilmu Hek sat ciang. Pukulan pasir hitam. Keduanya adalah begal-begaldari seechwan yang sangat terkenal mengambil harta si kaya untuk diberikan pada si miskin. Hanya tangan mereka kelewat kejam sekali, karena mendapat julukan yang tak sedap didengar itu.

“Untuk apakah mereka menuju kperbatasan sini?” tanya Wan Ci.

“Akupun tak mengerti. Memang selamanya mereka tak pernah berkunjung keperbatasan”, demikian Hwi Ching menerangkan.

“Sepasang Bu-siang itu apabila beranai mengganggu aku, biarkan mereka rasakan pek-liong kiam kepunyaan ssuhu itu, kata Wan Ci.
Tadi kedua orang melirik pada Wan Ci, untuk itu ia merasa dongkol, coba tak dicegah suhunya, tentu sudah dimakinya orang itu.

“Kedua saudara itu jika berkelahi selalu bersama, baik hanya melawan seorang musuh atau sepuluh orang. Kata Hwi Ching!. Mungkin tulang tua dari suhumu ini, tak dapat melawan mereka.

Selagi Hwi Ching mengucap begitu, dari arah depan kembali terdengar kaki kuda. Kembali ada lagi dua orang penunggang kuda mendatangi, malah kali ini juga kukway lagi. Yang satu adalah seorang tojin dan kawannya adalah seorang bongkok, tojin itu memanggul sebatang tiang kiam pedang panjang, wajahnya putih pucat seperti orang yang habis sakit, lengan bajunya sebelah kirinya diselipkan kedalam pinggang.

Sedangkan bongkok berpakaian mentereng sekali. Melihat romannya begitu jelek, namun masih berlagak seperti kongcu-koncuan, Wan Ci tak dapat menahan ketawanya, katanya :

“Suhu, lihat si bongkok tua itu”

Untuk mencegah muridnya, Hwi Ching terlambat. Begitu dengar orang mengejeknya, si bongkok segera melototkan matanya. Begitu mengeprak kuda, ia lalu ulurkan tangan untuk menyambar si nona centil itu.

Rupanya sitojin sudah menduga, kalau kawann itu akan marah dan turun tangan, maka cepat sekali ia hadangkan cambuk untuk menahan sang kawan, serunya :

“Ciong sutee, jangan membikin onar.
Kesemuanya itu berlaku dalam sekejap mata saja. Pada lain saat, kuda si tojin dan si bongkok sudah menconglang jauh. Ketika Wan Ci menoleh kebelakang untuk melihatnya, ternyata si bongkok sudah berusaha untuk lepaskan tangannya, dari hadangan si tojin. Dan dengan gerak “To.cai-kim ciong” dia buang diri berjumpalitan kebelakang, teus loncat ke tanah. Hanya tiga kali lncatan, tahu-tahu dia sudah dibelakang Wan Ci.

Wan Ci sudah siap-siap dengan pedangnya untuk memapaki tangan musuh. Tapi ternyata si bongkok itu berlaku aneh. Dan tak langsung menyerang, hanya mengulurkan tangan kirinya untuk menjambret bulu ekor kudanya Wan Ci.

Kuda yang tengah laridengan kerasnya itu, tiba-tiba seperti terpaku tak bisa bergerak lagi. Kuda tersebut mengangkat kakinya keatas, untuk berusaha berusaha menyeret si pengganggu.

Namun ternyata si bongkok itu memilki tenaga sakti. Dia tetap tak bergeming, malah, berbarenga tangan kanannya menebas, ekor kuda dan terpapas kutung seperti di potong pisau. Dan barulah pada saat itu, kuda Wan Ci dapat berlari kemuka lagi.

Kaget si nona taak terkira. Hampir saja ia dilempar jatuh oleh kudanya sendiri. Ketika ia hendak mengirim tebasan pedang kebelakang ternyata jaraknya sudah jauh dengan si bongkok.

“dilain sat, secepat kilat si bongkok lari mengejar kuda tunggangannya yang masih tetap lari sendirian itu, sekali enjot ia sudah berada diatas pelana kudanya, terus lenyap tak berbekas lagi.

Dipermainkan begitu, Wan Ci panas sekali hatinya, saking gusarnya ia sampai menangis sembari mewek-mewek seprti anak kecil ia menyerukan sang suhu.

Semua kejadian itu, ternjadi didepan mata Hwi Ching, sebagai seorang kagouw ulung, ia cukup dapat menimbang. Kesalahan ada dipihak muridnya sendiri, dan untuk itu sebenarnya ia akan memberi teguran pedas. Tapi ketika melihat sang murid mengucurkan air mata, ia dapat berlaku sabar, dan tidak jadi menyemprotnya.

Pada saat itu sekonyong-konyong, dari arah depan terdengar seorang berteriak.
“Aku, Bu Wi Yang, Aku, Bu Wi Yang.
Mendengar suara itu, Wan Ci Heran, lalu bertanya.
“Suhu, apa artinya itu?
“itulah pengawal kantor Piauw-kok yang sedang menjalankan tugasnya, setiap piauw-kok tentu mempunyai pekerjaan yang tuganya untuk meneriakan pemimpin Piauw-koknya. Agar dengan demikian sahabat-sahabt dari persilatan segera mengenalnya, dan tidak mengganggu.

Pekerjaan Piauw-kok untuk mengantar barang, dua apertiaga bagian mengandadalkan hubungan baik dengan kalangan hoklim. Dan selebihnya baru mengandalkan pada kepandaian si piausu. Makin luas pergaulan sipiauwthao makin terjaminlah keselamatan barang-barang bawaannya. Karena kebanyakan, memandand muka sipiauwsu, kaum hoklim tentu segan mengganggu.

Andai kata kau yang menjadi piauwnya tentu banyak orang yang akan mengganggu, dan walaupun kau punya kepandaian sepuluh kali lipat dari sekarang karena sikapmu tadi dan jangan harap kau akan selamat mengantar barang, jelas Hwi Ching.
Demikianlah panjang lebar Hwi Ching memberikan nasehat dan keterangan pada liteecunya, sekalian secara halus ia menjewernya. Wan ci mengerti akan kata-kata suhunya itu, dan pikirnya tak mau kalah !”

“Siapa sih yang sudi menjadi pauwsu dalam hati, namun tak berani mengutarakan untuk membatah suhunya. Malah ia unjuk ketawa seraya berkata :
“Suhu, massfkan aku yang salah, Piauw-kok manakah yang diteriakkan oleh orang itu …?”

“Itu, Tin Wan Pauw kok dari Pekkhia, dia daerah utara dia yang terbesar, cabang-cabangnya berada di kota Hong Thian, Kee Lam, Khayhong dan Thay Gwan. Pemimpin piauwtao Ong Wi yang dari Wi Tin Ho, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun. Tin Wan piau-kok sudah berdiri selama empat puluh tahun, tapi dia masih belum mau pensiun menikmati hari tuannya !”

“Suhu kau kenal dengan cong piauw thoanya, iyu ?” tanya Wan Ci.
“Aku pernah bertemu dia. Dengan sebatang golok Pat Kwa too dan ilmu pukulan Pat Kwa-ciang, ketika itu ia menjagoi dikalangan persilatan.”

“kalau begitu harap nanti suhu suka perkenalkan aku dengannya, agar aku dapat berkenalan dengan loo enghiong itu!” seru Wan Ci dengan bersemangat.
“Mana ia mau keluar mengantar. Tolol betul kau ini!”

Merasa dirinya selalu dipersalahkan oleh sang suhu. Wan Ci agak mendongkol, ia mengakui bahwa sangat asing dengan keadaan di kangouw, justeru itulah dia kepingin mengetahuinya.

“”Aku tak mengerti, seharusnya dikasih tahu kenapa masti disemprot?”
Begitulah ia mengerutu didalam hati, cepat ia keprak kudanya, memburu kearah kereta yang ditumpangi ibunya, disitu ia akan menghibur kemendongkolannya, ia menjadi kaget tak terkira, sewaktu-waktu mengetahui separoh bulu ekor kudanya sudah kutung, sekalai menebas dapat mematahkan sebatang tombak tak mengherankan, tapi mengapa bulu ekor kuda yang sedemikian lemasnya itu, dapat dikibas kutung dengan tangan kosong.

Sebenarnya akan ditanyakannya hal ini pasa suhunya, namun ia masih mendongkol, maka segera ia keprak lagi kudanya menghampiri pemimpin pengawal Can Tho Lam, katanya :

“Can Samciang, ekor kudaku entah bagaimana tadi, kutung separoh, sungguh tak sedap dilihat mata.”
Tho Lam mengerti maksud si nona.
“Entah bagaimana, kulakukan ini sangat binal sekali, aku tak dapat mengatasinya, siocia punya kepandaian naik kuda yang bagus sekali, bantulah aku untuk menjinakkan, sukakah socia?” demikian tanyanya pura-pura.

“Dikuatirkan aku pun akan gagal,” kata Wan Ci merendah.

Begitulah keduanya segera saling tukar tunggangan. Ternyata kuda Thio Lam itu demi mendengar perintah, sedikitpun tak berani membantah tidak seperti yang dikatakan Thio Lam tadi.

“Siocia kau sungguh hebat, sedang kuda itu pun menurut padamu.” Kata Thio Lam memuji.

Orang piauw kok yang berteriak-teriak itu makin dekat dan tak lama kemudian ternyata terlihat sebuat rerotan yang terdiri dari lebih dari dua puluh buah. Kuatir kalau ada kenalannya, buru-buru Hwi Ching bersembunyi kebelakang rombongan, ia pakai topi rumput yang lebar untuk menutupi separoh mukanya, dan diam-diam ia pasang mata pada rombongan piaukok itu.

Ketika saling bersimpangan, ternyata dalam rombongan piuwkok itu tak kurang dari tujuh atau delapan orang piuwsu. Kata salah seorang diantaranya :

“Kalau menurut omongan Han Toako, Ciao Bun Ki samko sudah ada beritanya.”

Terkejut sekali Hwi Ching dan cepat-cepat ia pandang lagi piawsu itu dengan tajam, muka orang itu brewok, kulitnya kehitaman, dibelakang pinggannya mengendong sebuah pauwhok merah, serta sepasang senjata yang aneh bentuknya, yaitu disebut Ngo beng Lun semacam roda.

“Apakah mereka itu bukan Kwantong Liok Mo” pikir Hwi Ching

Kwantong Liok Mo atau enam iblis dari Timur tembok besar, yang disebut itu, selain Ciao Bun Ki, dia memang belum pernah berjumpa. Kabarnya yang kelima iblis itu tinggi kepandaiannya, yang kelima yakni bernama Giam See Cui dan yang keenam Giam See Ciang, keduanya bersenjatakan roda Ngo heng lun. Mereka adalah dari golongan Siao Lim pay.

Terasalah pada Hwi Ching, bahwa kali ini dia bakal bersamplokan dengan murid-murid siao lim pay yang lihay. Diam-diam dia gelisah. Kalau saja mereka mengetahui tentang kematian Ciao Bun Ki, tentu sangat berbahaya untuk dirinya. Apalagi kini dia sedang mengantar rombongan keluarga Li dan terutama adalah Wan Ci muridnya yang berwatak keras dan suka membikin keonaran. Itu. Tentu sukar untuk mengelakan pertempuran dengan kawanan iblis kwantong itu.

Kalau dilihat glagatnya, mereka untuk menangkap dirinya. Dianatara rombongan piawsu itu ada Tio Pan-san salah seorang sahabat lamanya. Tentu orang itu takkan tega mencelakan dirinya. Bertujuan apa mereka menuju ke barat, Hwi Ching tak mengerti.

Kalau Hwi Ching sedang memutar otak untuk mencari tahu, sementara Wan Ci ketika itu, sudah bertukar kuda dengan Thio Lam telah merasa geli melihat kuda yang kini dinaiki oleh orang she Can itu, yang separoh ekornya hilang. Ia hentikan kudanya untuk menunggu sang suhu lalu katanya dengan tertawa :

“Suhu mengapa dimuka sudah tak ada orang yang mendatangi lagi. Dari kemarin samapai hari ini, sudah ada lima pasang orang berilmu menuju ke Barat. Aku masih ingin melihat beberapa lagi.

Ucapan itu seperti menyadarkan Hwi Ching dari lamaunan.

“Ah, aku sungguh tolol” seru Hwi Ching sembari menpuk pahanya. “Mengapa aku sampai lupa, beribu li menyambut san kepala naga itu!”

“Apa yang dimaksud dengan beribu li menyambut kepala naga” itu, suhu? Tanya si murid.. ... “Itu, suatu upacara besar-besaran di kalangan kangouw atau dalam suatu perkumpulan. Biasanya terjadi atas diri enam orang pemimpin teratas, satu demi satu mereka keluar untuk menyambut sang pemimpin dalam upacara yang besar dan lengkap. Malah terdiri dari dua belas, sepasang demi sepasang mereka menyambutnya. Tadi sudah keluar lima pasan, nanti tentu masih ada lagi sepasang.

“Mereka itu tergolong dalam perkumpulan apa, shu....?”

“Entahlah, akupun belum mengetahuinya, “ sahut Hwi Ching. “Tapi seechwan song hiap dan bongkok itu orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka anggota perkumpulan itu. Pengaruhnya tentu besar jangan kau coba mengila dengan mereka, mengerti?”

Mulut mengiyakan, tapi hati Wan Ci tak tunduk. Ia perhatikan betul-betul pasangan yang akan datang nanti. Lewat tengah hari ternyata masih belum tampak orang yang diharapkan itu, Hwi Ching diam-diam merasa aneh juga, karena hal itu sungguh diluar kebiasaan yang pernah diketahui.

Tapi dia tak usah menunggu terlalu lama, segera terdengar juga suara kaki kuda mendatangi. Anehnya mereka itu tidak datang dari arah belakang. Menyusul bunyi kelenengan keledai, debu tampak mengepul keatas dan rombongan besar dari kaum musafir atau pedagang-pedagang di daerah gurun pasir tampak menghampiri.

Setelah dekat, tampak berpuluh-puluh ekor keledai dan kira-kira tiga puluh ekor kuda dari suku bangsa Wi. Rata-rata mereka berhidung tinggi dan matanya cekung kedalam, mukanya brewokan dan kepalanya dibungkus dengan kain putih.

Pedagang-pedagang Wi datang dari daerah Hwee, dimana penduduknya sebagian besar orang-orang muslim. Mereka pergi ke daerah Tianggoan untuk berdagang. Hal ini adalah kejadian yang biasa karenanya tak menarik perhatian Hwi Ching.

Tapi pada saat itu, tiba-tiba dari rombongan tersebut namapak seorang gadis yang berpakaian kuning, menunggang kuda putih. Gadis itu cantik sekali berseri-seri memikat mata.

Ia memakai topi tinggi, diatasnya tersampir sebuah bulu burung. Menambah keanggunan semakin tampak.

Kalau Hwi Ching hanya sepintas saja memandang gadis WI yang cantik itu, Wanci mengawasi dengan teliti penuh pesona. Ia yang dilahirkan di daerah perbatasan itu, belum pernah melihat wanita ayau, apalagi secantik gadis itu.

Usia gadis itu sebaya dengan Wan Ci, kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun. Dibalik pinggangnya terselip badi-badi, sedangkan rambutnya dikuncir dibiarkan menjulur keatas bahunya. Warna pakaian kuning telur tepinya disulam dengan benang emas. Diatas pelana seekor kudaputih, ia mirip dengan lukisan yang indah.

Seorang wanita cantik, tentu menggundang perhatian pria. Tapi dalam pandangan sesama kaum wanita, hanya menimbulkan kekaguman yang tak terhingga. Ketika gadis Wi itu lewat disisinya, Wan Ci segera menguntit dengan mata tak terkesiap.

Si gadis Wi melihat dirinya dikuntit dan diawasi oleh seorang pemuda Han. Wan Ci waktu itu menyamar sebagai laki-laki, sontak mukanya menjadi merah, tiba-tiba berseru, “Ayah.”

Seorang Wi yang bertubuh tinggi dan berewokan, cepat keprak kudanya untuk menghampiri. Begitu dekat ia lalu tepuk pundak Wan Ci, katanya.

“Eh, sobat kecil, mau kemana..sih?”

Wan Ci perdengarkan suara, huh. Ia masih belum sadar kalau dirinya waktu itu berdan dan seperti seorang pemuda. Dalam keadaan begitu, sudah tentu tak pantas kalau seorang gadis diawasi sedemikian itu.

Si gadis mengira Wan Ci adalah seorang pemuda yan tak tahu adat, segera ia pakai cambuk untuk mengaet bulu suri kuda Wan Ci, begitu ia tarik sekeras-kerasnya , seketika kuda itu kesakitan dan berjingkarak-jingkrak hingga Wan Ci hampir jatuh.

Menyusul cambuk ditangan si gadis berkelebat diudara, jebolan bulu suri itu berhamburan kemana-mana. Wan Ci panas hatinya, cepat ia ambil sebatang Piauw, lalu ditimpukan ke punggung si gadis. Namun ia tak sungguh-sungguh hendak melukai si gadis, maka berbareng dengan piauw itu melayang, cepatcepat ia berseru : “He, nona kecil, awas ada piaw!”

Tubuh si gadis kelihatan dimiringkan kekiri, maka lewtlah piauw itu disisi tubuhnya, begitu piauw terpisah satu tombak dimukanya, cambuk si gadis Wi itu kembali disabetkan, dengan secara mengagumkan ujung cambuk itu melilit piauw dan terus ditarik kembali untuk disambut dengan tangan, segera ia pun menjadi gusar, bentaknya :

“He, bocah kurang ajar terimalah piauwmu kembali.

Angin menderu, dan piauw itu lurus menyambar kearah dada Wan Ci. Wan Ci juga tak mau memperlihatkan kelemahan dengan tangan kosong, ia tangkap piauw itu. Kalau rombongan orang Wi bersorak begitu melihat si gadis menangkap piauw dengan cambuknya, sebaliknya wajah si ayah berubah cemas. Dia membisiki beberapa patah kata pada gadisnya, dan gadisnya pun mengangguk mengiayakan beberapa kali.

Dengan demikian, ia tidak memperdulikan Wan Ci Lagi, terus melarikan kudannya kemuka, diikuti oleh rombongan keledai berpuluh-puluh itu. Tak beberapa lama, mereka dapat mendahului rerotan kereta yang membawa keluarga Li Thay-thay itu.

“Sekarang belumkah kau merasa bahwa diluar langit, diatas orang masih ada orang lagi. Gadis tadi umurnya sama denganmu, bukankah kepandaiannya tadi harus kau akui?” demikian Hwi Ching mencemoohkan muridnya.

“Anak Wi itu, siang dan malam berada diatas pelana kuda, sudah barang tentu permainan cambuk sangat bagus, tapi belum tentu kalau ia sungguh-sungguh mempunyai kepandaian bantah Wan Ci.

“Masa tidak?” sahut Hwi Ching dengan mengoda

Menjelang sore, tibalah mereka dikota Poh Liong Kit. Disitu hanya ada sebuah penginap besar, yaitu penginapan “Tong Lat” dimuka pintunya tergantung sebuah papan yang bertuliskan “Lin Wan Piauw kok” nyata bahwa rombongan piawsu itu tadi, menginap di penginapan itu.

Diinapi oleh dua rombongan besar pelayan-pelayannya nampak sibuk sekali, sehabis cuci muka Hwi Ching kelihatan membawa sebuah tempat teh masuk kedalam ruangan. Disitu dilihatnya ada dua buah meja yang sedang dikepung beberapa orang yang tengah makan dan minum, mereka adalah kawanan piuwsu tadi. Malah pauwsu yang mengendong pauw hok merah itu tadi juga nampak duduk disitu.

Hwi Ching berlagak melihat keatas, maka kedengaran salah seorang piawsu itu tertawa dan berkata :

“Giam ngo-ya, kalau kau dapat membawa kitab itu dengan selamat sampai ke kota raja, maka Yaum Ciangkun akan memberikan hadiah beberapa rtus tail kepadamu? Waktu itu harap jangan lupa undang kami buat daharan yang besar!”

Mendengar itu diam-diam Hwi Ching berpikir dalam hatinya.

“Betul dia adalah orang kelima dari Kwan Tong Liok Mo si Giam sengui.

“Hadiah besar hah, siapun tak berani memastikannya, demikian sahut she Giam itu.

Ucapan itu tiba-tiba diputus oleh sebuah suara aneh dari sesorang : “Ya, yang dikuatirkan adalah hadiah itu akan tenggelam pada si penerima terus.”

Hwi Ching melirik pada orang itu. Orang itu mukanya menakutkan, badannya kurus kering, dia juga seorang piauwsu rupanya.

“Hem, jengek she Gui dengan kurang senang.”
“Tong Sii Ho, lidahmu itu betul-betul beracun, kata piauwsu yang pertama-tama bicara tadi.

“Ya, deh, jika tak mau dikatakan tenggelam, nah, biarlah aku bilang ganjalan itu nanti akan berwujud si cantik manis yang sedia dipanggil sahut Tong Siu Ho yang ternyata bermoral rendah.

Mendengar kata-kata orang makin tak sopan Giam Se tak tahan lagi, kontan ia memaki, “Ibumu saja yang kupanggil nanti”

“Baik, dan nanti aku nanti kau sebut ayah anagkat, kata Tong Siu Ho yang bermuka tebal sambil cengar-cengir.

Hwi Ching menjadi sebal mendengar kata-kata orang yang koor-kotor itu. Pikirnya lantas hendak menyingkir, tapi tiba-tiba didengarnya Tong Siu Ho buka suara lagi.
“Giaw Ngo-ya tuan kelima kalau bergurau biarlah kita bergurau, tapi bila sungguh-sungguh tentu juga sungguh-sungguh. Nah, paling penting jagalah baik-baik pauw hok di punggungmu itu saja, jangan terus kau ributi ganjaran. Yang belum kau terima itu kali ini Tin Wanpiau kiok kita benar-benar sedang diuji!”

Mendengar orng menjadikan “Pauwhok” atau buntalan sebagai barang cerita, waktu Hwi Ching menengas nyata pauhok yang dimaksudkan tergemblok di punggung Giam Se-gui terbungkus kain kuning dan tak seberapa besarnya maka dapat ditaksir barang didalamnya tentu kecil-kecil saja.

Sementara itu didengarnya Giam se-Gui itu telah menjawab.

“Tong siaocu, kau jangan ngelantur terus. Kali ini hasil yang diperoleh Giam yaymu yang telah mendapatkan kitab itu, bukankah cukup membikin mereka setengah mati. Aku Giam se-gui, betul-betul memakai modal kepandaian buat mendapatkananya. Tak seperti sebangasa cecurut yang menggamblok orang selain hanya dapat gegares makanan biasanya Cuma berlagak saja!”

“Ya, ya, Kwantong Liok Mo, sih memang terkenal hebat, hanya sayang sedikit sam mo iblis setelah telah dikerjai orang, dengan tanpa diketahui siapakah adanya musuh itu, kata Tong siu-ho pula.

Seketika Giam See-gui menggebrak meja.
“Siapa bialang aku tak tahu! Itu tentu perbuatan orang Hong Hwa Bwee!” teriaknya sengit.

Kembali Hwi Ching merasa heran. Yang membunuh Ciao Bun Ki salah seorang Kwantong Liok Mo, adalah dia. Mengapa mereka timpakan kesalahan pada kaum Hong Hwa Bwee. Apakah perkumpulan Hong Hwa Bwee – bunga merah itu?

Ketika itu Hwi Ching berjalan sampai keruang dalam. Dia pura-pura mengagumi bunga-bunga yang tumbuh tak seberapa jauh jaraknya dengan kawanan piauwsu itu.

Tong sin tak mau kalah mengadu lidah katanya lagi :

“Sayang aku tak bertulang keras bisaku hanya gegares makanan, kalu aku seorang pemberani tentu siang-siang sudah aku bikin perhitungan dengan orang”

Dibikin panas begitu, tubuh Giam see-gui gemetar, hingga tak dapat mengucap sepatah perkataan appun. Melihat itu buru-buru salah seorang piauwsu menyelutuk.

“Cong-tho cu atau ketua umum, Hong Hwa Bwee, Hong Hwa Bwee, si Le Ban Teng bulan yang lalu sudah meninggal dunia di Bu-Sik. Setiap orang Hong Hwa Bwee itu, suatu hal yang tak ada buktinya. Coba siapa yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri? Kau cari balas pada orang, tapi orang itu tak merasa melakaukan apa daya kita?”

Dengan sahautan begitu, Tong sin-ho kemekmek, buru-buru ia menerangkan lagi.

“Hong Hwa Bwee sih kita tak berani main gila. Tapi untuk orang-orang Bwee masa kita jerih. Kita sudah dapat merampas kitab yang bagi mereka dianngap melebihi jiwanya itu. Kalau kelak Jauw ciangkun minta tebusan uang atau ternak berapa saja, mereka tentu meluluskan. Giam ngo ya, percaya Jauw ciangkun tentu akan menghadiahi kau seorang gadis Bwee, yang cantik bukan main.

Baru saja orang she Tong yang pandai bicara itu hendak menghabisi ucpannya, sepulung tanah malah melayang tepat masuk kedalam mulutnya, belum sempat ia berteriak kesakitan, dua orang piawsu sudah melesat memburu keluar.

Diam se-gui pun bangkit, seraya meloloskan senjatanya mengikuti keluar. Tapi ternyata mereka hanya hendak menjaga bungkusan pauwhok yang dibungkus dengan kain merah itu saja. Mereka tak mau mengejar kuatir terkena tipu musuh yang disebut, memancing harimau keluar gunung.

“Bajingan!” Bangsat.
Demikian Tong Sin ho memuntahkan pulungan tanah tadi dari mulutnya, seraya tak putus-putusnya memaki-maki.
“Selama ini kukira bangsa anjing saja yang makan kotoran, tapi hari ini betul-betul aku tambah pengalaman bahwa orangpun ternyata makan tanah! Seru Giam See Gui mengejek.

Pada saat itu, kedua piauwsu yang mengejar tadi yakni Tee Ing Hing yang bersenjatakan Hwan pian dan Ci Ceng Lun yang memegang golok, tampak masuk kedalam katanya :
“Bangsat itu lolos entah kemana larinya!”
Semuanya telah dilihat dengan mata kepala Hwi Ching. Bagaimana Teng Siu Ho yang bermulut tipis itu, kini seperti monyet kena terasi. Untuk itu hampir-hampir Hwi Ching tak kuat menahan gelinya. Tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat diatas ujung tembok. Ia pura-pura tak melihatnya, dan berlagak orang yang sedang mencari angin diserambi luar.

Ketika itu hari sudah gelap, Hwi Ching sembunyi di pojok tembok sebelah barat dari ruang tamu. Pada saat itu, tampak sebuah bayangan loncat turun dari pojok rumah. Begitu enteng gerakannya, dan begitu menginjak tanah, terus melesat kesebelah timur.

Tadi ketika Tong siu ho rasakan “daharan”istimewa, Hwi Ching sudah menduga bahwa sipelemparnya itu tentu sangat lihay. Kuat dugannya bahwa bayangan itulah orangnya. Untuk mencari tahu, Hwi Ching segera menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menguntitnya.

Dia masih memegang porot tempat teh. Berpuluh-puluh tahun dia yakinkan ilmu meringankan tubuhnya sehingga tak tampak gerakannya berjalan. Maka orang yang diikutinyapun sampai tak merasa.

Dalam sekejap saja, keduanya sudah berlari sampai lima atau enam li. Bayangan itu tubuhnya ramping dan gerakannya gemulai, mirip dengan seorang wanita. Tapi ilmu meringankan tubuhnya tinggi juga.

Melewati sebuah tikungan gunung sampai pada sebuah hutan dan bayangan itu menyusup kedalam. Hwi Ching memburunya terus.
Di hutan itu ternyata penuh dengan daun-daun layu yang sudah rontok ditanah, maka begitu kaki menginjak, tentu timbulkan suara berkeresekan.

Takut kalau bayangan itu sampai mengetahui, Hwi Ching kendorkan langkahnya. Tapi pada lain saat, dia telah kehilangan arah bayangan itu. Ada sebuah larangan untuk kaum kangouw bahwa “bertemu dengan hutan tak boleh memasuki” dan karena hutan itu sangat lebatnya mudah sekali dibokong musuh.

Hwi Ching sangsi pikirnya akan mundur saja. Tapi justeru ketika itu, rembulan muncul dari balik awan, menerangi seluruh hutan itu. Tampak olehnya sesosok bayanagan kuning, sudah melintasi keluar dari hutan sebelah sana.

Dengan tak berayal lagi, Hwi Ching terus mengikuti. Dia bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar. Diseberang sana ternyata adalah sebuah lapangan rumput yang luas. Disitu terdapat delapan atau sembilan buah tenda. Dia merasa aneh dan coba untuk maju mengintip.

Tadi sekonyong-konyong tampak dua orang penjaga menghampiri kejurusannya. Cepat-cepat ia menghindar. Dengan gerakan, yan-sam co cun, burung seriti tiga kali menyelundup keair ia loncat bersembunyi dibelakang seekor keledai yang berada diluar tenda. Untunglah penjaga itu tak melihatnya.

Dengan ilmu yang tinggi dan nyali besar, ia menyelonong kebelang kemah terbesar yang berada di tengah-tengah. Disitu ia mendekam. Kedengaran didalam kemah tersebut ada orang tengah bercakap-cakap dengan asyik sekali menggunakan bahasa Wi, yang diucapkan dengan cepat sekali. Wlaupun Hwi Ching bertahun-tahun tinggal diperbatasan tapi ia tak mengerti bahasa itu.

Pelahan-lahan ia singkap kain tenda dibawah kakinya, lalu mengintip kedalam, tampak
Didalamnya dipasangi dua buah pelita yang ditaruh ditengahnya. Orang-orang yang tengah bercakap-cakap didalam itu, ternyata adalah pedagang-pedagang bangsa Wi yang ditemuinya siang tadi.

Yang tengah bicara ketika itu ternyata adalah si nona baju kuning yang bukan lain adalah bayangan yang diburunya tadi. Setelah merendek sebentar, nona itu tampak mengeluarkan sebilah badi-badi dari pinggangnya.

Nona itu pakai badi-badinya untuk menusuk jari telunjuknya. Maka bertetes-tetelah darah kelihatan bercucuran. Perbuatan itu dituruti oleh kawanan orang Wi yang mengores jarinya dengan goloknya masing-masing.

Orang yang dipanggil ayah oleh si nona itu, segera mengangkat cawan araknya, serta dengan suara lantang dia mengucapkan beberapa patah perkataan. Apa yang Hwi Ching dengar hanya dapat menangkap perkataan “Qur’an” dan kampung halamannya.”

Juga nona baju kuning ikut angkat bicara suaranya nyaring dan terang, untuk itu Hwi Ching bisa juga sedikit-sedikit menangkapnya.

“Jika tak dapat merampas balik Kitab Suci “Qur’an” aku bersumpah biar matipun aku tak mau balik ke kampung halaman.”

Sumpah itu diikuti oleh orang-orang Wi dibawah sinar pelita. Hwi Ching menyaksikan bagaimana kesungguhan wajah mereka itu sehabis mengucapkan sumpahnya mereka samamengangkat cawan dan mngeringkannya, mereka lalu berbisik-bisik seolah-olah sedang berunding masalah yang penting.

Sampai disitulah Hwi Ching tak dapat mendengar dengan jelas. Mungkin mereka merunding daya apa untuk dapat merebut kembali kitab suci “Qur’an” itu.

Dugaan Hwi Ching ini ternyata tidak salah. Rombongan orang-orang Wi itu ternyata kaum musafir dari daerah utara gunung Thian san. Kali ini mereka datang dengan jumlah besar-besar kira-kira ada dua ratus ribu orang. Mereka terdiri dari kira-kira dua puluh orang Wi, orang tinggi yang dipanggil ayah oleh si gadis itu. Dia berkepandaian tinggi, adil dan bijaksana. Ditaati dan dijunjung oleh bangsanya.

Nona baju kuning itu, adalah puterinya namanya Hwee Cing Tong. Ia adalah murid kesayangan dari Kwan Bing Bwee, isteri dari Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik. Karenanya ia telah dapat mewarisi ilmu silat yang sejati dari cabang Thian San Pay.

Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik dan isterinya Kwan Bing Bwee, adalah jago-jago Thian san pay sukar dicari tandingannya, suami isteri itu digelari seperti Thian san siang eng, sepasang garuda dari Thian san.

Kedua suami isteri itu aneh sekali. Mereka sudah berusia enam puluh tahun lebih, tapi bila berjumpa, tentu bercidera, sebaliknya kalau saling berpisah, mereka saling merindukan.

Seringkali Hwee Ceng Tong datang sama tengah, tapi ternyata selalu tak digubris. Ia suka dengan pakaian kuning. Kopiahnya selalu ditancapi bulu burung cuhung, karenanya ia mendapat julukan bagus, Cu oh W sam, atau si Bulu hijau berbaju kuning.

Orang-orang Wi itu hidup berkelana, tak punya tempat tinggal tetap. Ketika kekuasaan Pemerintah Ceng meluas sampai kedaerah Wi, mereka dibebani dengan pajak yang memberatkan. Bermula Bok tok loh masih mudah dan membayarnya. Tapi ternyata pembesar-pembesar negeri itu telah menyalahkan gunakan kekuasaannya untuk mengeduk keuntungan, hingga bangsa Wi itu, betul-betul menjadi payah.

Bok Toh Lon bermupakat dengan bangsanya, merasa mereka betul-betul akan rudin. Beberapa kali merek mengirim utusan kepembesar di Le-li guna minta keringanan yang didapat malah pemerintah Ceng menaruh kecurigaan keras.

Jenderal besar Yauw Hwi Ceng mengetahui adanya kitab Quran, yang menjadi pusaka suku bangsa Wi yang beragama islam itu. Menggunakan kesempatan ketika Bok Tok lun sedang bepergian, beberapa pengawal kelas satu telah dikirim untuk merampas kitab suci itu. Dengan kitab itu ditangan pemerintah Ceng tak dikuatirkan akan terjadinya pemberontakan dari suku itu.

Piauwhok yang dibungkus kain merah dibelakang punggung Giam se-gui itu terisi kitab suci tersebut. Rapat besar ditengah gurun yang diadakan Bok toh lun telah ambil keputusan bahwa mereka telah bertekad bulat, untuk merampas kembali kitab pusaka itu.

Mengetahui bahwa gerak-gerik orang Wi itu tak ada sangkaut pautnya dengan dirinya, Hwi Ching segera akan berlalu. Tiba-tiba dilihatnya orang-orang Wi itu bersama-sama melakukan sembayang (sholat). Buru-buru dia bangkit, gerakkannya ini tak luput dari pengawasan mata Hwee Ceng tong yang tajam dan tampak berbisik diteklingga ayahnya: “Ayah, diluar ada orang mengintai”

Omongannya itu diikuti dengan loncatan keluar tenda. Nampak ada sesosok bayangan lari keluar hutan, ia segera ayun tangannya untuk melepas sebuah thi lian cu senjata rahasia berbentuk seperti biji teratai.

Mendengar sambaran angin dari arah belakang, Hwi Ching mengegos tubuhnya kesamping sambil mencekal theekoan, ia ulur ibu jari dan telunjuk untuk buka tutupnya, sesaat kemudian Thi-lian cu itu meluncur masuk kedalam tekoan, tempat the.

Dengan tak menoleh sedikitpun, Hwi Ching percepat larinya untuk kembali ke kamarnya, sampai disana semua orang sudah tidur semua.

“Losianseng sampai begini lama, kemana saja tadi, tanya seorang pelayan.
Hwi Ching hanya menjawab sembarangan saja. Di kamar ia periksa Thi Lian-cu itu, yang terbuat dari baja murni, diatasnya terdapat ukiran bulu burung, piauw itu dimasukkan dalam sakunya.

Keesokan harinya, rombongan piauwsu itu berangkat lebih dulu, si petugas yang berteriak Aku Bu Wi yang, disepanjang jalan, kembali berteriak lagi, dimukanya ada bendera Pat-kwa can Tin-wan paiaw-kok!

Barang-barang yang diantar oleh kantor Piauw hang tersebut ternyata tak seberapa banyak, yang penting piawsu itu dapat melindungi Thiam See Gui. Terang bahwa barang merah itulah satu-satunya barang berharga yang harus di jaga.

Seleng setengah jam kemudian, rombongan Can som ciang yang mengawasi Li thay-thay pun berangkat. Tengah hari tibalah mereka di Oei yan-cu. Dari situ harus melalui jalan diatas gunung yang menanjak dan berkelok-kelok. Mereka rencanakan sore harinya sudah dapat melintasi jalan itu mencari penginapan di desa Sam to-ko yang terletak di kaki gunung sebelah sana.

Jalanan gunung itu sangat sukar dan berbahaya. Wan Ci dan Cian som ciang berada dibelakang di Thay-thay. Mereka kuatir kalau keledai yang menarik kereta nyonya pembesar itu akan terpeleset masuk ke jurang yang dalam.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di mulut lembah Oh Kiem. Disitu kelihatan rombongan Piauwsu Tin Wan Piuw-kok melepaskan lelah. Juga Cam som ciang perintahkan rombongannya untuk beristirahat.

Kedua samping dari selat Oh Kiem adalah gunung-gunung yang tinggi. Jalanan disitu sangat menanjak sekali. Jadi orang harus berhenti diatas bukit. Hwi ching berada disebelah belakang sendiri. Dia selalu membelakangi supaya jangan dilihat oleh kawanan piauwsu iti.

Setelah memasuki mulut lembah tampaklah barisan rombongan piuwhang dan rombongan keluarga Li itu seperti seekor ular panjang, melingkar-lingkar keatas. Orang dan binatang-binatang sama menahan napas untuk mengerahkan tenganya.

Segera mata Hwi Ching yang jeli dapat melihat sebuah bayangan berkelebat diatas puncak gunung seperti lakunya seorang mata-mata yang tengah menginti. Dan tepat pada saat itu terdengar bunyi kelenengan keledai, serombongan orng Wi dengan menunggang kuda, tampak berjalan turun dari arah depan dengan laju.

Orang-orang piuwhang berteriak-teriak, supaya mereka orang Wi mempertahankan kudanya.
“Hai, sobat, mau cari mati, ya ?” seru Tong siu-ho

Sekejap saja orang-orang Wi itu sudah berada didepan, tiba-tiba beberapa dari mereka kedengaran seperti menyanyi dengan keras sekali suaranya jauh berkumandang dilembah, dari kedua samping puncank gunung, kelihatan ada orang yang mendadak berdiri, maka nyanyian itupun berhenti.

Belum habis orang-orang piuwhang itu terkejut, tiba-tiba dari rombongan orang-orang wi itu terdengar suitan, dan dua penunggang kuda segera kaburkan binatangnya kearah Giam See Gui. Terang mereka hendak menyerang pada Giam See-gui dan menyusul empat penunggang keledai dari Wi tampak mengepung Giam See-Gui dari empat jurusan.

Melihat gelagat kurang baik, Kwantong hok-mo hendak meloloskan senjatanya, tapi sekonyong-konyong keempat orang Wi itu mengayunkan senjatanya untuk menyerang Giam See-gui, senjata mereka aialah gembolan besar yang tak kurang dari empat ratus kati beratnya. Nyata bahwa keempat orang Wi sangatlah kuat.

Betapun lihaynya kepandaian Giam see-gui, namun penyerang itu dilakukan dengan cara mendadak, empat buah gembolan menghantam dari empat jurusan, andaikata ia keburu menangkis yang dimuka, yang dibelakang dan kanan kirinya sukar dihindari, maka seketika itu juga hancurlah kepala Giam see-gui.

Dari dalam rombongan orang Wi, melesatlah seorang nona berbaju kuning, sebat luar biasa ia loncat turun dari kudanya terus menyawut puhok dipunggung Giam see gui, tapi ketika ia gunakan pedang untuk memotong tali pauhok itu, sebuah sambaran angin menyerangnya.

Nona itu ternyata Hwee ceng tong, tak mau berpaling untuk menangkis, dengan hanya melejit kesamping ia terus bekerja memotong tali, tapi penyerang itu sangat sebat juga, belum sempat ceng liong mengulurkan tangan untuk menyambar piuwhok, kembali pedang berkelebat menghantam pinggangnya.

Ceng tong tidak berdaya berkelit, terpaksa ia putar pedangnya untuk menangkis segera letikan api muncrat dari dua bilah pedang yang berhantaman itu. Diam-diam gadis Wi itu mengakui lihaynya lawan. Dan dia makin berhati-hati.

Kembali ia ulur tangan kirinya untuk betot pauwhok yng masih dipunggung Giam see-gui yang sudah jadi mayat itu, tapi lagi-lagi pedang pnjang musuh menusuk lengannya cepat sekali. Ceng tong menarik tangan kirinya untuk digerakkan menurut jurus serangan dan pedang ditangan kanan menyusul sodokan.

Ketika ia mendongakkan kepala untuk mengawasi penyerang yang telah tiga kali merintangi itu, ternyata orang itu bukan lain dari anak muda cakap yang berlaku kurang adat kepadanya itu dulu. Marahlah ia, lalu mengirimkan serangan yang bertubi-tubi.

Si penyerang bukan lain ialah Li Wan-ci yang menyamar sebagai lelaki. Melihat rombongan pedagang Wi menyerang rombongan Pauhang ia sebenarnya akan tinggal diam dan saling berkelahi. Tapi tiba-tiba dilihatnya seorang gadis berpakaian kuning, loncat ketengah untuk merampas pauhok Giam See-Gui.

Dia itu yang kemaren menjebol bulu suri kudanya, dan ia pulalah yang dipuji setinggi langit oleh suhunya. Darah remajanya, tak kenal kalah. Wan-ci sungguh penasaran sekali. Ia tak ambil pusing siapa yang benar dan siapa yang salah diantara rombongan yang sedang bertempur itu. Pokoknya ia maukan si gadis Wie itu. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuh ia hampiri si gadis itu untuk diajak berkelahi.

Tiga serangan berantai dari Ceng tong telah dapat dipunahkan oleh Wan Ci. Melihat itu, Ceng Tong heran juga kaum Wie itu mengetahui juga bahwa pauwsu-pauwsu itu lihay-lihay semua. Dengan kekerasan, mungkin gagalah rencannya untuk merampas kitab suci itu. Dipilihnya mulut selat Oh Kimyang sangat berbahaya itu, untuk mengadakan sergapan yang tak terduga begitu berhasil, mereka segera akan kembali ke daerahnya.

Tak dinyana, rencana yang sudah kelihatan berhasil itu dikacau oleh Wan ci. Nampak permainan Wan ci itu lihay. Ceng tong segera ambil keputusan cepat. Ia tak boleh hanyut terlalu dalam pertempuran itu, sekonyong-konyong ia merubah permainan pedangnya. Ia keluarkan ilmu simpanan Pedang Thian san Pay yang disebut Sam hu kiam. Dengan itu ia desak wan-ci hingga beberapa kaki harus mundur.

Ilmu pedang “Sam hu-kiam” adalah ilmu dari kaum Thian san-pay juga boleh dikata tak pernah diturunkan. Dinamakan “Sam hu” tiga bagian ialah gerakan serangan hanya digunakan sepertiga bagian dari sasarannya, setiap kali musuh akan menangkis gerakan pedang tersebut sudah berganti setiap jurus terdiri dari tiga serangan, ruwet dan sukar untuk ditangkis.

Ilmu pedang itu hanya terdiri dari jurus-jurus dan serangan saja.

Ketika lawan gunakan serangan, yaitu jurus salju sungai hendak meleleh, Wan-ci hendak congkelkan ujung pedangnya keatas, pikirannya hendak gunakan “It tiok-liang” sebatang hio untuk menangkis.

Tapi ternyata serangan musuh hanya sepertiga bagian, belum lagi pedang itu sampai kesasarannya Ceng tong sudah merubah gerakannya dengan Cian-li-liok-sat, pasir mengalir beribu li pedang yang mulanya lurus menyerang kini berubah dilintangkan untuk memapas.

Wan-ci gugup buru-buru jungkirkan pedangnya untuk melindungi diri. Tapi kembali ia dibingungkan oleh gerakan serangan pedang lawan. Belum lagi papasannya sampai kembali gadis Wi itu merubah gerakannya dalam “Angin menggulung rumput.” Dari ats pedangnya diturunkan untuk menebas paha Wan-Ci.

Wan-ci kaget, terus mundur selangkah. Tapi pada saat itu dengan gerakan “Angkat obor menyundul langit” ceng tong mengibaskan pedangnya keatas maju menyerang pundak kiri sang lawan.

Ketika Wan-ci bergerak menangkis, lagi-lagi lawan merubah gerakkannya dengan jurus “Swat tiong ki-lian” bunga teratai ditengah-tengah salju, demikian hebat dan luar biasa setiap gerak serangan dari “Sam hu kiam” hingga musuh bingung dibuatnya.

Walaupun kedua nona itu sudah bertempur beberapa jurus, namun senjatanya tak pernah beradu, sepintas mereka memainkan pedang seperti anak-anak sedang bermain. Ceng Tong menyabet dengan cepat tetapi setiap sabetannya itu tak pernah diteruskan sampai kena, namun Wan-ci sangat sibuk dibuatnya. Ia terus-menerus mundur sulit baginya untuk menghadapi. Kalau ia tak menangkis kuatir lawan betul meneruskan serangannya, tapi begitu ia menangkis, lawan batal menyerang dan ganti jurus. Ternyata ia kalah jauh dalam kesebatan dengan lawan.

Wan ci terkejut dan bingung sebenarnya ilmu pedangnya “Jwan-hun kiam” cukup sempurna asal saja ia melawannya dengan hati yang mantap, dan tak akan kalah semudah itu. Tapi karena ia baru saja mempelajarinya, jadi ia belum pengalaman dalam pertempuran tadi.

Melihat gerakan musuh tiga kali lebih sebat dari dirinya, ia goyah hatinya. Karena tak mungkin melawan, ia lantas loncat mundur dan Ceng tong sendiripun tak mau mengejar. Cepat-cepat ia membalikan badan, ternyata dihadapannya ada seorang yang bertubuh kecil kurus.

Orang itu berdiri disamping mayat Giam see-gui sambil mengenggam pauwhok merah berisi kitab suci itu. Tanpa tanya ini itu, Ceng tong mengirimkan serangan pedangnya.

“Aya, Tong-toaya hendak pulang.”

Demikian orang itu berteriak. Dialah si mulut tipis Long siu Ho, ia tak mau melayani dan terus loncat. Namun, ceng tong terus mengejar dan kembali pedangnya diayunkan. Tapi sebilah Ngo-heng lun menyambut pedang Ceng Tong itu dan terus didorongnya, itulah Giam see ciang.

Kiranya Bok Toh Lun mengatur siasatnya dengan cerdik. Dibelakang dan muka ia gunakan onta-onta untuk memisahkan orng-orang Piuwhang, agar mereka tak dapat berandeng berkelahi.

Pemimpin Wi itu sendiri naik kuda dengan memutar golok panjang, ia serang Tee Ing Bing dan Chi Ceng Lun, dua orang piuwsu. Menghadapi dua orang lawan, ia perhebat rengsekannya.

Tapi pada saat itu, Giam See ciang mulai mengamuk, keenam Kwantong Liok-mo itu rata-rata berkepandaian tinggi. Melihat kakaknya dibinasakan orang Wi, ia murka sekali. Dia meluncur dari kudanya, loncat melewati onta. Ia sabetkan Ngo heng lunnya kepada seorang Wi yang memegang gembolan. Begitu gencar hantamannya itu, sehingga seketika itu orang Wi terjungkal dari ontanya.

Seorang wi lain maju menghadang. Menunggu gembolannya melayang datang, Giam see ciang miringkan tubuhnya. Ngo heng lun dipindahkan ketangan kiri, ia ulurkan tangan kanannya untuk menyawut membokong siorang Wi, terus dibetotnya kebawah.

Gembolan itu beratnya hampir seratus kati dan orang Wi itu tenaganya kuat sekali, justeru selagi orang Wi itu mengerahkan seluruh kekuatannya. Giam see-ciang, meminjam kekuatan lawan, terus dibantingnya ke tanah. Gembolan itu tepat jatuh kedada tuannya, dan diiringi jeritan yang keras, terus muntah darah binasa lah saat itu juga.

Dengan mengunakan kecerdikannya Tong-siu-ho memanfaatkan kekacauan itu, dia melihat suatu kesempatan yang baik,. Dengan sebat dia loncat kearah mayat Giam see-gui untugambil Pauwhok yang berharga itu. Ketika Hwee Ceng Tong, memburu Tong siu-ho dengan cepat Giam see ciang menghadangnya.

Di tengah perlawannya dengan Giam see ciang, Ceng Tong selalu waspada kalau-kalau pemuda tampan itu akan datang lagi. Tiba-tiba dari arah celah gunung terdengar bunyi seruling yang keras sekali itu pertanda untuk mundur dari pihak Wi.

Pada suatu kesempatan, Ceng Tong nampak ia melirik kepada Tong siu-ho yang melarikan diri dengan cepatnya kearah puncak gunung, dengan mengeluarkan ilmu pedang “Sam-hu-kiam, ia mendesak Giam see ciang sampai mundur dua tindak, segera nona itu loncat dan terus mengejar Tong siu Ho keatas puncak gunung.

Sementara itu suara seruling terus bergema dengan kerasnya. Dan tiba-tiba terdengar ayahnya, Bok Toh Lun, berseru keras :
“Ceng Tong lekas kemabali !”
Ceng tong berpaling mendegar seruan ayahnya, lantas ia hentikan lagnkahnya, terus terus memerintah kawannya untuk mengotong kawan-kawannya yang telah binasa untuk dinaikan keatas kuda. Sekali lagi bunyi seuling terdengar keras, tiba-tiba rombongan orang wi itu menerob turun.

Namun dibawah sana berpuluh serdadu Ceng sudah siap menghadang ditengah jalan, dan Tho-lam sam ciang larikan kudanya kemuka, dengan laintangkan tombaknya ia membentak.

“Berandal yang bernyali tikus mau bikin huru-hara, ya ?”
Sebagai sahutan, si nona baju kuning menimpukkan dua biji thi-lian-cu untuk mengarah kedua belah tangan penghadangnya itu.

Begitu terdengar suara berdering tombak can tho-lam cu lepas jatuh.

Bok Toh Lun membuka jalan dengan pedangnya yang panjang. Orang-orangnya pun maju menyerang tentara Ceng tersebut. Gelombang serangan orang-orang Wi itu ternyata dapat mematahkan perintangnya. Tentara Ceng terpaksa menyingkir untuk memberi jalan.

Giam see ciang dan Tee ing bing memburu lagi, terus berhantam dengan si nona baju kuning. Pada saat itu sekonyong-konyong dari rombongan orang Wi menerobos keluar seorang penunggang kuda, sambil berseru “
“I-moay, kau mundur dulu !”

Pemuda itu adalah kakak dari Ceng Tong, bernama Hwee A lo. Dengan tombak, dia hadang kedua piauwsu yang akan menyerang adiknya itu. Dengan begitu dapatlah Ceng Tong loncat keatas seekor kuda.

Kedua kakak beradik itu sembari bertempur sambil mundur, tiba-tiba dari dua puncak gunung kedengaran seruling berbunyi lagi.
“Hwee A In dan adiknya putar kudanya kebelakang terus lari Giam see ciang masih terus mengejar.

Karena gemes Ceng Tong sambitkat dua biji Thi-lian-cu kemuka pengejarnya itu, giam see ciangpun memutar ngo heng-lunnya untuk menangkis.

Berbarengan saat itu, dari atas puncak gunung berglindingan batu-batu kebawah beberapa diantaranya tepat mengenai rombongan tentara Ceng, hingga ada beberapa yang mengeluarkan darah. Dalam kekacauan itu rombongan pedagang Wi berhasil meloloskan diri.

Begitu mereka sudah jauh, Giam see ciang segera mendekakap mayat kakaknya itu, ia menangis tersedu-sedu, setelah dibujuk oleh Chi ceng lun dan Tee Ing bing, barulah ia mau berhenti.

Orang-orang piauwhang lalu menaruh mayat-mayat kawannya ke dalam kereta, kalau kawan ada yang bersedih kehilangan saudara, adalah Tong siu ho yang nampak unjuk muka berseri-seri kegirangan.

“Kalau bukan Tong-toaya yang cekatan, dia matipun akan penasaran, “demikian ia membual.”

Ketika kedua rombongan tengah bertempur dengan seru tadi Hwi Ching hanya mengawasi saja dipinggir. Ketika Wan Ci didesak mundur oleh nona bangsa Wi tadi, dan karena turut campurnya anak itu sehingga kitab Qur’an gagal dirampas orang-orang Wi, Hwi-Ching jadi uring-uringan.

Setelah keadaan disitu mulai sepi, dan tak ada seorangpun menghaturkan ucapan terima kasih kepada wan Ci merasa kurang senang, sedang sewaktu Tong siushu nampak dandanan Can Tho Lam seperti seorang bu-koan atau menghampiri untuk memperkenalkan diri. Sedikitpun dia tak ambil perhatian pada Wan-ci. Sudah barang tentu Wan-ci makin mendelu. Ditambah lagi suhunya memberi tegoran pedas.

“Orang-orang Piauwhang itu banyak dari golongan jahat, yang tergolong baik-baik mengapa kau usil membantu mereka !”

Benar-benar Hwi Ching murka, Wanci yang didamprat tak berani angkat kepalanya.
Ketika sampai di puncak, di waktu magrib nanti tentu sudah sampai di Sam To kao, sebuah kota yang sedangsedang saja besarnya kata kusir.

“Hotel terbesar di Sam To kao ialah hotel An Tong.”

Setelah masuk kota, baik rombongan piauwhang maupun rombongan Li Thay-thay, sama-sama menuju hotel tersebut. Tapi begitu sampai dimuka pintu seorang pelayanpun tak ada yang menyambut.

“Apakah semua pelayan-pelayan disini semuanya mampus ?” demikian Tong siu-ho dari rombongan Piauwhang berteriak dengan marah-marah.

Mendengar itu Wan-Ci kerutkan jidatnya, karena selama ini, belum pernah melihat orang yang sedemikian kasarnya.

Rupanya rombongan yang sudah letih dalam perjalanan itu tak sabar lagi. Mereka terus mau memasukinya, tapi tiba-tiba pada saat itu dari arah dalam terdengar suara beradu.

Wan ci adalah yang paling usl dan selalu ingin mengetahui sesuatu lebih dulu, ia terus menerobos masuk. Tapi ternyata ruangan hotel itu tak kelihatan manusia. Baru setelah masuk keruang dalam, dilihatnya wanita muda dengan rambut terurai tengah bertempur dengan empat lelaki. Dengan gelisah wanita itu memainkan golok panjang ditangan kiri dan golok pendek ditangan kanan. Nampaknya ia berkelahi dengan mati-matian.

Jelas bagi Wan ci, bahwa keempat orang lelaki itu berusaha keras memasuki sebuah kamr disitu, sedang wanita itu coba menghalangi dengan nekad. Keempat orang lelaki itu tinggi kepandaiannya, satunya memainkan tongkat, seorang lagi menyoren pedang sedang yang lainnya menggunakan kui thao-to.

Waktu itu Hwi Ching pun sudah menyusul masuk keruangan itu. Pada sat itu, orang yang bersenjatakan sepasang tongkat itu tampak mengangkat senjatanya untuk dihajarkan di kepala si wanita.

Wanita muda tersebut tak mau menyambutinya dan hanya menghindar kekiri, justeru saat itu Jwan pian musuh mengarah pinggangnya, dengan ksebat luar biasa wanita itu memapak dengan golok ditangan kirinya kearah jwan pian, seheingga seketika ituitu juga pian lalu menggulung ke bawah.

Buru-buru wanita itu menarik goloknya. Tapi justru dengan demikian sangat berbahaya, kui thao0to dari salah seorang lawan menebas dan disusul pedang musuh lainnya mengarah kepunggung si wanita.

Wanita itu cepat-cepat menangkis serangan pedang tersebut. Tapi karena menghadapi dua macam serangan, posisinya sangat berbahaya. Benar pedang dapat di tangkis tapi kui thao-to sudah keburu datang. Sukarlah kiranya menghadapi kui thao-to yang menyambar sebelah pundaknya.

Pundak wanita termakan golok kui thao-to, namun ia tetap pentang mundur. Ketika lengannya bergerak-gerak memainkan senjata, darah dilukanya bercucuran membasahi lantai.

“tangkap hidup-hidup! Jangan sampai ia berlaku nekad, teriak orang yang bersenjatakan jwan-pian sambil terus mempergencar serangannya.

Melihat keadan yang pincang itu, Hwi Ching marah, timbulah hati keutamya. Tanpa mengingat tugas berat yang sedang dijalankannya ia kan taan
Urun tangan.

Kini orang yang memegang sepasang tongkat itu, tampak menyabetkan tongkatnya dan dalan gugupnya wanita itu menangkis dengan golok pendek. Dan ketika pedang lawan datang, ia pakai golok yang satunya unt menangkis
K menahan. Tapi ternyata si penyerang yang memakai pedang itu sangat lihay. Apalagi karena pundaknya sudah terluka berkuranglah tenaga si wanita itu.

Begitu pedang dan golong yang saling bentur, tangan si wanita tergetar hebat dan goloknya panjang jatuh. Musuh tak mau sia-siakan. Ketika terbuka, maka pedang terus disarangkan dengan hebat.

Si wanita cepat-cepat berkelit kekanan. Tusukan pedang dapat dihindari, tapi musuh yang bersenjatakan KKUi –thao –to tadi segera melesat maju untuk menerobos masuk kedalam kamar itu. Melihat keadaan yang begitu berbahaya, si wanita menjadi nekad. Dengan tak memperdulikan senjata-senjata yang menyerangnya dari empat jurusan, ia merogoh dadanya dan dengan sebat menawurkan dua batang hui-too kearah punggung seorang musuh yang tengah menerobos masuk ke kamarnya utu. Orang tersebut mengira bahwa wanita itu tentu masih sibuk menghadapi ketika lawannya, mana ia terus maju dengan mantap.

Begitu terasa sambaran angin dibelakangnya, ia coba berkelit, tapi sudah terlambat. Sebatang hui-too masih dapat dia hindari dengan kepalan.. tapi hui-too yang lain tepat menyusup ke punggungnya. Masih untung kekuatan wanita itu banyak berkurang karena luka dipundaknya , tak urung orang itu menjerit hebat, terus melangkah mundur.

Pada saat itu kembali wanita gagah mendapat hantaman tongkat dipahanya, sehingga dia terhuyung-huyung, namun ia tetap nekad untuk menghadang di depan pintu kamarnya.

“Wan-ci, kau lekas bantu dia, kalau kalah aku bantu !” Hwi Ching perintahkan muridnya

Tak usah diulang lagi, wan-ci loncat dengan pedangnya.

“Empat orang laki-laki mengerubuti seorang wanita, sungguh memalukan !” demikian teriaknya segera.

Melihat ada orang datang menyelak, dan berbareng pada saat itu diruangan tampak banyak orang-orang piuwhang dan tentara negeri, keempat orang itu buyar semangatnya, begitu terdengar suitan berbunyi, mereka berempat segera loncat kabur.

Wajah wanita muda itu pucat lesu, dengan menyandar pada pintu ia menggasoh npas. “Wan-ci menghampiri lalu bertanya.
“Ada apakah?”
“Mengapa mereka menghina Nyonya ?”

Tapi belum sempat wanita itu menjawab, Gan Tho Lam telah menghampiri Wan-ci sambil berseru :
“Thay-thay menyuruh siocia datang kesana,” lalu dengan setengah berbisik pemimpin barisan pengawal itu berkata pula. Mendengar siocia kesana.

Nampak Can Tho lam mengenakan pakaian opsir tinggi, wajah wanita itu bertambah pucat, tanpa perdulikan pertanyaan Wan-ci terus masuk kedalam.
Terbentur dengan tembok, lunak wan-ci kurang puas, ia berpaling pada Can tho lam dan katanya :
“baik, aku akan segera datang.
“tapi ia menghampiri suhunya lebih dulu, ia lalu bertanya ?”
“Mengapa merek bertem dengan sengit, suhu ?”
“Biasanya ada dendam, pembalasan sakit hati, karena urusan belum putus, kiranya keempat orang itu tentu akan datang lagi suhut sang guru.
Wan-ci hendak menegasi tetapi tiba-tiba terdengar seseorang datang dengan memaki-maki kasar.
“Keparat, kau kata tak ada kamar. Apa takut aku tak bayar, ya ?!”

Kalau menilik suara ialah Tong siu-ho. Lantas terdengar pula seorang pelayan berkata “
“Long at koanya harap jangan marah dulu.kita mana berani menghina koanya.tapi memang sungguh-sungguh ruangan atas beberapa kamarnya, sudah orang lain.

“Siapa yang berada dikamar atas coba kulihat seru orang itu dengan ketus. Dan sembari berkata dia terus melangkah keruangan dalam. Justru pada saat itu si wanita muncul lagi dari kamarnya dan sedang berkata pada seorang pelayan lain : Toako, tolong, bawakan air panas kemari.

Begitu nampak rangnya, semangat Tong-siu ho seperti terbelot, walaupun wajah sionya muda itu pucat namun tak mengurangkan kecantikannya, tong siu-ho terpesona. Hanya matanya saja yang kedap-kedip.

Si wanita cantik berbicara dalam dialeg utra dengan tekukan orang selatan.

“Selama Ceng toaya lewat di daerah ini berulang-ulang, belum pernah aku menginap di hotel kelas dua. Kalau ruangan atas sudah penuh, biarlah kupakai ruangan ini saja !”

Sambil berkata itu Tong siu-ho menghampiri kearah kamar si wanita. Dan selagi ia menutup pintu Siu-ho menerobos masuk.

Jilid ; 3

“A D U H !” Si wanita menjerit kesakitan ia coba menghadang, tapi luka dipahanya itu memaksa ia untuk duduk kembali dengan rasa sakit yang hebat. Memang hantamana tongkat tadi menyebabkan ia terluka berat.

Ketika Siu-Ho masuk, didapatinya laki-laki berbaring diatas pembaringan. Karena kamar itu tak ada penerangannya, wajah orang itu tak tampak jelas. Hanya kepalanya saja yang tampak dibalut kain putih, begitu pula tangan kanannya dibalut dan diikat pada leher, sedang sebelah kakinyapun dibalut juga. Jadi boleh dibilang orang seperti mayat yang dibungkus kain puti, begitu melihat ada orang masuk dia segera menegur dengan suara lemah.
“Siapa ?”
“Aku orang She Tong-piauwsu dari Tin-wan Piauwkok. Karena kamar semua sudah penuh kumohon kau perbolehkan aku tidur disini, wanita itu siapa, iasteri atau kenalanmu saja ?”

“kau pergi saja, kata orang itu dengan nadahambar. To siu ho mengerti bahwa orang tersebut terluka berat, sedang satunya tadi hanya seorang wanita. Dia tak mau sia-siakan kesempatan itu, lalu cengar-cengir berkata :

“jangan gitu dong, biar kita tidur bertiga. Jangan kuatir, tak nanti menyaplok lukamu !”
Karena murkanya itu sampai gemetar badannya.
“Toako, jangan umbar nafsu, kita tak boleh cari mush baru lagi, seru si wanita dengan lemah kemudian katanya pada Tong siu-ho harap kau lekas keluar !”
“Apa keluar ?” menemani kau kan lebih enak bukan ?” sahut siu-ho dengan lagak tengik
“kau kemarilah,” tiba-tiba laki-laki itu berseru .
“Bagaimna, kau lihat aku ini cakap tidak?” kata siu-ho sambil melangkah maju.
“Kurang jelas, mau lebih dekat lagi!” kata lelaki itu
Dengan tertawa siu-ho maju beberapa tindak lagi, katanya :
“lihat yang terang dong, inilah yang dikatakan si bagus memboyong si cantik.”

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba laki-laki itu bangun dari pembaringan dansebat luar biasa tangan kirinya dijulurkan menotok jalan darah, Khi ia hiat.dengan mengungang sisa kekuatannya dalam Iwekang dia hantam pundak si ceriwis itu.

Seperti mega tertiup angin, tubuh siu-ho melayang sisa terlempar keluar mengerusuk jatuh dilantai halaman. Dia menjerit-jerit, tapi tak dapat berkutik, karena ditotok Tiam tadi, tak dapat berkuti, karena ditotok tadi, sun loo-sam dan petugas yang berteriak-teriak di sepanjang jalan buru-buru menghampiri untuk mengangkatnya.

“Tong Toaya, jangan mengganggu mereka.”

Rupanya mereka adalah orang Hong Hwa-Hwee kata Kun Lo sam bisik.

“A…..a ….. kakiku tak bisa bergerak Hong Hwa Wee bagaimana kau tahu ?” seru Tong siu-ho dengan mengucurkan keringat dinhgi.

Kata pemilik hotel, “Ini, tadi empat orang dari kantor Pembesar sini akan mengkap mereka, tapi dapat dipukul mundur, Loo sam memberi keterangan.

Ketika mendengar ribut-ribut itu orang-orang piauwhang semua melihat keluar.
“Ada apa sih!” seru Giam See ciang menghampiri.
“Giam liokko, aku ditikam oleh orang Hong Hwa Bwee, kau tolonglah teriak Siu-ho sambil meringis sakit.”
“Giam See- ciang kerutkan jidatnya. Dia tarik tangan siu-ho terus panggulnya, Lo-tong masuk kemari !”
See ciang akan menjaga nama Tin-wan piauwkok maka ia tak mau orang ketawa ada piauwsu Tin wan piuwkok dihajar orang sampai tak bisa bangun, tapi dia terkejut juga ketika didalam kamar ia lepaskan Siu-ho turun ternyata masih saja ia numprah ditanah.

“Tubuh ku lemas tak bertenaga sun loo sam kurang ajar, kau tak mau gendong aku ? teriak siu-ho pula.

Baru kini Giam see ciang tahu bahwa kawannya itu terkena totokan orang, lalu ditanyainya.

“Kau berkelahi dengan siapa tadi ?”

Dengan mata melotot dan muka kecut, Siu-ho tunjuk kearah kamar wanita tadi, katanya
“Dengan seorang telur busuk disitu !” kawanan Hong Hwa Hwee, belum sempat orang mengurus perbuatannmu membunuh Cio Bun Ki samya kini kau coba main gila dengan Tong Toayamu ini.

Demikian sengaja siu-ho ingkit kematian Cio-bun ki samya dari Kwantong Liok-mo di depan Giam see Ciang agar panas hatinya.

“Tong-toaya, jangan memaki-maki saja. Jangan cari perkara dengan orHong Hwa-Hwee sekali kita kesalahan pada mereka sukar kiranya tugas kita sebagai piuwsu akan dapat aman.

Semula Giam see ciang termakan akan bualan Siau-ho tadi, ia bermaksud akan menjajal orang tersebut. Tapi ketika teringat bahwa musuh pandai menotok, apalagi kini ia seorang diri dan telah ditinggal mati oleh kakaknya Giam See Gui, maka ia tarik mundur niatnya itu.

Ketika itu tampak Chi Ceng lun piauwsu mendatangi, segera dia bertanya pada Sun Loo sam si tukang teriak di jalan itu.
“Apa kau tak salah lihat pada orng Hong Hwa Hwee ?”
Sun Loo Sam mendekati Chi piauwsu, lalu bisiknya :
“Setelah keempat pahlawan kantor pembesar berlalu, maka kasir hotel ini menerangkan bahwa sepasang suami isteri itu adalah pesakitan penting. Untuk mereka berdualah, kerajaan sengaja mengurus beberapa jagoannya menangkapnya kemari. Kasir itu telah dipesan bila sewaktu-waktu kedua orang itu hendak berlalu, supaya lekas-lekas melaporkan kepada pembesar setempat, semuanya itu, telah kudengar tadi.”

Chi Ceng lun berusia lima puluh tahun lebih. Lama dia terjunkan diri dikalangan piuwhang. Meskipun bugeenya tak terlalu tinggi, tapi dia luas sekali pengalamannya, segera ia memberi isyarat mata pada Giam See Ciang, lalu bersama-sama mengangkat Tong Siu Ho.

“Golongan apa sih,” tanya She Giam.
“Orang Hong Hwa Hwee, baik mengalah. Nanti setelah menolong Tong Siu-ho, kita rundingkan lagi.” Balas Chi piauwsu kemudian tanyanya pada sun Loo sam.
“Adakah kau saksikan pertempuran tadi ?”
“Wah, hebat sekali, seorang wanita muda memegang dua batang pedang, sebatang panjang ditangan kiri dan sebatang yang pendek di tangan kanan. Keempat orang laki-laki itu tak dapat mengalahkannya. Sebenarnya mereka berempat menang angin Cuma mereka sengaja memperpanjang pertempuran untuk melelahkan si wanita.” Tutur Loo sam.

“itulah murid dari keluarga Lou, yang digelari Sin To Lou Keh. Ia pandai melepas huito bukan ?”
“Ya, ya, benar, tangannya sakti sekali,” kata Loo sam
“Ah, kiranya Sutangkeh ketua keempat berada disini kata Chi piauwsu pada Giam See ciang. Habis itu mereka tak bicara apa-apa lagi. Bertiga mereka menggotong Tong siu-ho masuk kedalam kamar

Kali ini Hwi Ching menyaksikan semua kejadian. Ketika ketiga piauwsu itu berunding, dia tak dapat mendengar jelas. Tapi dua patah kata dari Chi piauwsu itu dapat didengarnya betul.

Pada saat itu Wan Ci muncul disitu lalu mendekati suhunya seraya katanya :

“Suhu, kapan kau ajarkan ilmu tiam hiat padaku ? coba itupun unjukkan kepandaian begitu”

Hwi Ching tak menggubris, dia hanya berkata seorang diri :”Tentunya anak keturunan dari Sin to lou keh si Golok sakti keluarga Lou. Ah aku tahu tak boleh tinggal diam.
“Siapa Sin To Lou Kee itu ? tanya Wan-ci.
“Sin To Lou Goan Thong adalah sahabat karibku, kabarnya ia sudah meninggal. Wanita yang bertempur itu tadi gunakan jurus-jurus ilmu golok dari Lou Goan hong kalau bukan puterinya tentulah muridnya.”

Dalam pada itu, Ci Ceng Lun dan Tee Ing-Bing berdua piauwsu dengan mengotong Tong Siu-ho tampak menuju kekamar si wanita tadi. Diluar kamar, Sun Loo sam lebih dulu batuk-batuk lalu berseru keras-keras.
“Chi Tee dan Tong bertiga piuwsu dari Tin wan-piauwkok mohon berkunjung pada Su-tong kee dari Hong Hwa Hwee.

Begitu gerendel pintu terbuka, si wanita muda berdiri diambang pintu ia mengawasi keempat tetamunya itu, sun loo-sam buru-buru memberikan tiga buah kartu nama, namun si wanita tersebut tak mau menerimanya, malah terus membalikkan diri masuk kedalam. Rupanya ia berunding dengan suaminya, tak lama kemudian nampaka keluar lagi seraya menyilahkan tetamunya masuk.

Selama di dalam, wanita itu tetap berdiri disamping sang suami. Walaupun keempat tetamunya itu mengerahkan jubah panjang dan tak membekal senjata apa-apa, tapi tuan rumah tetap curiga.

“Saudara kami ini, tadi telah kesalahan pada tuan untuk itu datang menghaturkan maaf, demikian Thi Ceng Lun membuka pembicaraan seraya menjura diikuti pula oleh Tee Ing Bing dan Sun-lo sam.

Namun si lelaki itu tetap berbaring ditempatnya, maka berbisiklah wanita itu padanya.
“Koko, orang-orang Tin-wan piuwkok haturkan maaf padamu. Laki-laki itu tak menyahut apa-apa,.
“Bun Tia-hay-hay, meskipun aku belum pernah bertemu padamu, tapi sudah lama dengar su tang-kah dan namamu yang kesohor. Pemimpin piuwkok kita Win Tin-ho ni ong hui Thing dan ayahmu si to-lou looya, mempunyai hubungan baik, saudara kita yang satu ini memang sembrono sekali ..........

“Ssssst, dia terluka dan baru teridur. Nanti jika sudah bangun akan kusampaikan maksud kunjungan kalian padanya. Harap kau orang jangan anggap kita tak tahu adat, tapi karena ia terluka hebat, sudah hampir dua hari ia tak bisa tidur, sahut si wanita memutuskan omongan orang. Dan wajahnya mengunjuk seperti orang berduka.

Chi ceng lun dapat menerima alasan itu, karena memang dilihatnya seluruh tubuh orang itu dibalut kain, kemudian katanya :

“Bun su tang-keh lukanya bagaimana ?” aku ada membawa obat kiem sana yok untuk segala macam luka, demikian Chi cengn berkata untuk mengambil hati orang.

Si wanita rupanya mengerti maksud orang, lalu berkata

“Terima kasih, kita sudah punya obat. Tuan yang terkena tiam ini, tak terluka berat. Kalau nanti suamiku sudah bangun, akan kusuruh pelayan memanggil tuan.”

Mendengar orang suka menolong, keempat tamu itu lalu undurkan diri.
“Eh, nanti dulu. Mengapa tuan-tuan tahu nama kami, tiba-tiba wanita itu bertanya
“Sepasang Wan-yang-to dan golong terbangmu huito orang kangaouw manakah yan gtak mengetahuinya ? dan lagi, kalau bukan Bun Su-tong kee, siapa lagi yang mempunyai kepandaian Tiam-hiat itu. Serta pula kalian berdua berkumpul menjadi satu, maka tentulah Pan-lui Chiu Bun Lay dan Wan yang to laou Ping adanya, “ sahut Ceng Lun.

Wanita muda tersebut tersenyum simpul. Ia puas mendengar orang junjung dirinya dan suaminya.

Melihat mereka keluar kembali Wan-ci kambuh penyakitnya untuk belajar ilmu Tiamhiat ia mendongkol karena sampai sebegitu jauh suhunya masih belum mengajarnya ilmu tersebut, ia masuk kedalam kamar untuk mencari akal bagaimana caranya agar sang suhu mau menurunkan pelajaran itu.

Habis dahar pagi ia temani ibunya berbincang-bincang sebentar, ibunya memperingatinya agar jangan nanti dijalanan membuat keonaran lagi, dan melarang menyamar sebagaia laki-laki lagi, tapi Wan-ci hanya ganda tertawa saja.

“Ma bukanlah kau sering menggerutu tak punya anak lelaki ? kalau kini aku menjelma menjadi seorang laki-laki mengapa kau tak bergirang ?”

Ibunya kalah separuh, lalu masuk kekamar dan tidur. Ketika wan ci juga akan masuk tidur, tiba-tiba didengarnya di halaman sana seperti ada orang mengetuk jendela dengan perlahan-lahan dan menyusul terdengar seorang sedang bisik-bisk.
“Bocah, keluarlah aku ada yang akan diomongkan denganmu.” Cepat-cepat Wan-ci menyambar pedang, terus loncat kehalaman, dimana sebuah bayangan orang, kedengaran berseru pula.
“Anak setan, kalau kau ada nyali, mari ikut aku.”
Wan-ci adalah ibarat anak kambing yang tak takut harimau tanpa curiga apa-apa, dia loncat keluar tembok buat mengikutinya.

Baru saja kakinya menginjak tanah, sebuah pedang berkelabat menghantamnya. Cepat wan-ci hadangkan pedangnya untuk menangkis dan cepat menanyai : “Siapa kau ?”

“Aku adalah Cui-ih Wi sam Hwee Ceng Tong Eh, sahabat kita orang sebagai air

Sungai tak mengganggu air sumur. Mengapa kau ganggu kami hingga urusan kami yang besar itu terlantar ?”
Kini baru Wan-ci tahu dengan jelas bahwa bayangan yang melintangkan pedang ke tanah itu adalah si nona baju Kuning yang pernah bertempur dia waktu tempo dulu.

Ia tak dapat menjawab teguran si nona itu. Memang ia tak punya alasan, mengapa harus mengacau urusan itu. Namun ia malu untuk mengaku salah, maka dicarinya alasan katanya :

“Urusan dunia adalah urusan manusi semua, memang siaomaymu itu paling suka campur urusan orang lain kau tak terima ? Baiklah aku akan mohon pelajaran pedangmu lagi.

Ucapan itu dibarengi dengan serngan pedang kearah si nona. Dengan murka si nona segera angkat pedangnya untuk menangkis.

Wan-ci sebenarnya tahu bahwa ilmu pedangnya tak nempel dengan sang lawan, tapi ia sudah punya rencana, sembari berkelahi ia terus mundur, sambil melihat letak tempat yang akan dilaluinya. Ia terus mundur, hingga sampai kekamar suhunya. Dan pada saat itu berteriaklah ia dengan kuat-kuat.

“Suhu, Suhu aku akan dibunuh orang.”
“Hem, kedengaran si nona mencemoohkannya.”
“Manusia tak punya guna, mana aku sudi mengotori tanganku untuk membunuh manusia macam kau itu. Aku hanya hendak memberi pelajaran padamu, agar selanjutnya kau jangan usilan dengan urusan orang lain !”

Habis mengucap itu, Ceng Tong segera balikkan diri terus berlalu.

Tetapi wan-ci tak mau melepaskan, ia segera loncat menikam punggung lawannya. Maka Ceng tongpun lantas putar tubuh dan pedangnya untuk bersilat lagi dengan sam hun kiamnya karuan wan-ci kerepotan.

Tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki mendatangi dari arah belakang. Ia pastikan bahwa itu tentu suhunya. Liok Hwi Ching, maka membarengi saat Ceng Tong menikamkan pedangnya kearah dadanya. Wan-ci dengan sebat loncat bersembunyi dibelakang suhunya. Melihat adanya bahaya mengancam apa boleh buat Hwi Ching angkat pedangnya buat menangkis.

Ilmu pedang Ceng Tong sangat cepatnya. Tanpa berkata apa-apa, ia kirim sepuluh jurus serangan bertubi-tubi. Selama itu ia heran bahwa sekalipun permainan jago tua itu tak berbeda dengan anak muda atau Wan-ci tadi, namun ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia bergerak makin seru lawan makin perlahan. Dan setelah beberapa jurus lagi. Kini ia berbalik dari menerjang menjadi diserang.

Ketika itu wan-ci berada disamping. Dengan seksama ia awasi jalannya pertempuran anatara suhunya dan nona Baju Kuning itu. Dengan begitu tercapailah maksudnya mencuri lagi beberapa kepandaian dari suhunya, apabila suhu itu betul-betul masih menyimpan beberapa macam ilmu. Tapi ia menjadi kecele “Jwan hun kiam sut” yang dimainkan oleh sang suhunya itu dapat bergerak dengan mantap dan mahir sekali. Betul-betul dia dapat menguasai permainannya dengan sempurna sekali.

Pokok tujuan dari “sam-hun-kiam” yakni untuk menghantam kelambatan musuh dengan kecepatan, agar musuh menjadi kalang kabut. Namun Hwi Ching tak mau mengekor gerakan musuh hingga setelah berselang beberapa jurus lagikedudukan mereka menjadi terbalik.

Sampai disini insyaflah Ceng Tong bahwa kini ia menghadapi seorang angakatan tua yang kenamaan, ia harus dapat bertindak sebat. Dengan asap digurun pasir dan meliwis jodoh dipadang pasir ia merangsek hebat untuk menagkis, sebat luar biasa Ceng Tong memutar diri untuk lari.

Namun Jwan hu-kiam sut dari Hwi Ching bagaikan hujan yang tak kenal putus, sekali terlibat, jangan harap dapat terlepas. Apa boleh buat Ceng Tong terpaksa melayani dengan mendelu hati.

Melihat kesempatan bagus itu. Wan ci lalu masukkan pedangnya dan dengan ilmu silat tangan kosong Bu-kekihian-kang-kun, ia terjunkan diri dalam kalangan, sudah barang tentu Ceng Tong makin ripuh dibuatnya.

Wan ci memang nakal, ia tak sungguh-sungguh mengarah serangannya dibagian yang berbahaya dari lawannya, caranya berkelahi pun hanya seperti orang bercanda. Dengan tangan kosong, ia jotos kesana, menpuk kesini. Ia memang hanya mau membalas hinaan ketika bulu suri kudanya dijebol tempo hari itu.

Menurut kaum muslim, pergaulan anatara laki-laki dan perempuan sangat dibatasi. Wanita yang keluar rumah tentunya harus menggunakan kerudung untuk menutupi mukanya. Namun bagaimnapun karena menjalankan tugas penting terpaksa aturan itu dikesampingkan oleh Ceng Tong. Ceng tong adalah seorang gadis yang memegang teguh kesucian, ia gusar sekali melihat kelakuan yang tak senonoh dari wan-ci yang dikiranya seorang pemuda itu.

Karena marahnya kemudian ia lengah. Dan hampir ujung pedang Hwi Ching menyambar kemukanya. Dengan tersipu-sipu nona itu tundukkan kepalanya seraya menangkiskan pedang. Tapi tiba-tiba dari arah belakang, wan-ci berseru keras-keras, liaht pukulan !”

Dengan gerak “Ayam liar menotol beras” Wan-ci menghantam pundak kiri si nona. Dan ketika lawannya berusaha untuk menggunakan tipu “Kim Na-hwat” untuk menyambut tangan Wan-ci yadari belakang ini dengan sabetnya meneruskan jotosannya kearah dadanya, kalau saja pukulan itu mengenai sasarannya, orangnya pasti akan terluka berat.

Walaupun Ceng Tong terkejut, namun ia sudah tak berdaya untuk menarik kedua tangannya yang dipakai untuk menangkis serangan Hwi Ching dan serangan Wan-ci. Namun Ceng Tong tak menjadi gugup dan segera tarik tubuhnya kebelakang, walaupun tak dapat lolos sama sekali dari musuh, tapi sedikitnya dapat mengurangi tenaga hantamannya.

Tapi ternyata wan-ci tak sungguh-sungguh memakai tenaga, begitu tangannya tiba kedada ia terus menjamahnya keras-keras bagian badan tersebut, habis itu dengan tertawa terbahak-bahak ia buru menarik kembali tangannya.

Itulah hinaan besar bagi seorang wanita, apa lagi seorang gadis suci seprti Ceng Tong, seumur hidup belum pernah ia alami peristiwa yang sangat memalukan itu, dengan meluap-luap ia tikam Wan-ci dan ketika anak jahil itu berkelit, ia barengi lagi membacok.

Betul-betul Ceng-tong umbar kemarahannya ia tak pedulikan sama sekali akan seranga Hwi Ching, seluruh perhatiannya dicurahkan untu merangsek Wan ci saja.

Untung Hwi Ching mempunyai pikiran lain, ia mengetahui permainan pedang Ceng-tong tempo hari itu sangat bagus, dia hendak mencobanya saja, ia tak ada niat sama sekali untuk melukai si nona. Melihat orang tak pedulikan serangannya, iapun tak mau merangsek lagi serta terus mearik balik serangannya.

Serangan Ceng Tong yang gencar itu sampai tak memberi kesempatan bagi wan Ci untuk menarik pedangnya, ia terus-menerus mundur, tapi pada saat itu ia masih sempat menggoda.

“Aku telah merabanya, kau mau bunuhpun tak bergunalah !”

Ceng Tong keluarkan ilmu simpanannya yang disebut Onta sakti berkaki ajaib begitu ujung pedang hampir mengenai, secepatnya diganti dengan ilmu pedang istimewa dari Hian san pay, yakni “hay-si sim lou,” Selekas itu juga hanya sinar pedang yang tampak bergulunggulung sehingga mata wan-ci menjadi berkunang-kunang.

Nampak muridnya menghadapi bahaya, Hwi Ching tak berayal lagi terus maju menyambut serangan itu, baru saja wan-ci dapat mengasoh sebentar, ia sudah mulai tertawa dan menggoda lagi.

“Ah, sudahlah jangan marah-marah, kau kawin sama aku, bereslah !”

Sampai disitu tak kuatlah Ceng Tong menahan amarahnya saking gemasnya tak dapat melabrak wan-ci dia menjadi kalap. Ketika Hwi Ching menusuk, ia tak mau menangkis tapi bahkan ajukan badan untuk menubruknya.

Kaget Hwi Ching bua namapak si nona hendak bunuh diri. Cepat-cepat dia tarik balik pedangnya dan mendorong pundak Ceng Tong hingga sampai sempoyongan lima tindak kebelakang, dia loncat memburu seraya berkata :

“Nona jangan kesal hati.”

Karena bingung dan mendongkol Ceng Tong sampai mencucurkan air mata. Dengan tak berkata apa-apa ia terus berlalu.

“Nona jangan buru-buru pergi. Aku ada sedikit omongan seru Hwi Ching seraya memburu pada nona itu?” Perintah Hwi Ching sambil berpaling kearah wan-ci.

Dengan cekikikan, Wan-ci menghampiri tapi ketika dekat, Ceng Tong tiba-tiba mengirimkan tinjunya.
“Aduh, tak kena Wan-ci berkelit dengan tertawa, sembari begitu ia tarik kopiahnya dan menjulurlah rambutnya yang bagus.

“Lihatlah aku ini seorang pria atau wanita ?”

Hampir saja Ceng Tong mati terkejut ketika menyaksikan keadaan si pemuda yang sangat ia benci itu. Ia tak tahu, mengungkapkan perasaannya apah ia girang atau kah harus marah lagi. Yang nyata ia tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi.

“Inilah Liteecuku murid perempuan ia memang anak nakal sampai aku sendiripun kewalahan mengurusnya. Urusan tadi sebenarnya akupun tak mengetahuinya, harap kau jangan salah sangka.” Demikian Hwi Ching memperkenalkannya.

Sembari Berkata Itu, Hwi Ching hendak menjura, tapi cepat-cepat Ceng Tong mengoskan muka tak mau menerimanya. Ia tetap tak mau mengucapkan apa-apa, nyata kemarahannya masih belum padam sama sekali.

“Thian San Siang Eng masih apamu ?” tanya Hwi Ching tanpa pedulikan sikap orang kepadanya.

Ceng Tong kerutkan jidatnya, tapi tetap membandel tak mau bicara.

“dengan Thian San Siang Eng ........, Tut ciu tan Ceng Tik dan Swat hu Kwan Bing Bwee aku mempunyai hubungan yang rapat. Kata orang bukan tergolong orang luar.” Menneruskan Hwi Ching.

“Twat Tiau adalah suhuku. Akan kulaporkan pada suhu dan sukong, bahwa kau seorang cianpwe menghina orang muda. Bukan saja menyuruh murid untuk mengganggu aku bahkan kau sendiri turun tangan.” Kata Ceng Tong mengambek.

Sembari mengucapkan begitu, Ceng Tong mengawasi tajam-tajam pada Hwi Ching dan wan-ci, lalu berjalan pergi. Tapi baru saja ia berjalan beberapa tindak, didengarnya Hwi Ching berseru lantang
“Eh, kau melapor suhumu, tapi akan kau katakan bagaimana nanti ? siapakah orangnya yang menghina kau itu?”

Ceng tong seperti diguyur air. Memang ia tak tahu she dan nama orang yang menghina itu. Ia terpaksa hentikan langkahnya, lalu bertanya :
“nah, kalau begitu kau ini siapa?”
Hwi Ching mengurut jenggotnya, setelah itu dia tertawa dan bertanya.
“kamu berdua seperti anak-anak saja, sudahlah, ini muridku, Li Wan Ci dan aku adalah Bian Li ciam Liok .....”

Mendaak Hwi Ching memutuskan omongannya sendiri, ia teringat bahwa selama ini ia menyembunyikan diri dengan cermatnya, sehingga Wan Ci sendiri belum mengetahui she dan namanya yang sebenarnya, tapi segera sambungnya :

“Ah, kau bilang saja Cian Li Ciam dari Bu tong pay menghaturkan selamat pada suhumu, yang telah beruntung mendapatkan murid yang baik sekali.”

“Ah, seorang murid yang baik? Aku telah dipermainkan orang secara begini, bukankah berarti menghilangkan suhu dan sukongku itu, sahut Ceng Tong dengan gemas dan putus asa.

“Nona, jangan kau anggap karena telah terkalahkan dalam tanganku tadi lalu merasa malu. Orang yang dapat melayani aku sampai berpuluh-puluh jurus seperti kau tadi, jarang sekali ada, sekalipun dikalangan kangouw, selama itu aku tahu bahwa Thian San Siang Eng tak mau menerima murid. Tapi permainanmu yang kusaksikan tadi itu, betul-betul warisan atau ajaran dari Siang Eng. Dan hal itu telah kubuktikan ketika kita bertempur tadi, bagaimana dengan sukongmu, apakah dia masih sering minum cuka dari suhumu?

Habis mengucap itu Hwi Ching tertawa tergelak-gelak.

Karena sampaipun urusan pribadi dari suhu dan sukongnya diketahuinya, insyaflah Ceng Tong bahwa jini ia berhadapan dengan seorang cianpwe angkatan tua. Namun ia masih tak mau tunduk katanya :

“kalau betul kau adalah sahabat suhuku mengapa suruh muridmu mengganggu aku. Karena dialah hingga kitab suci itu terlepas lagi. Ku tak percaya kau seorang yang baik.

Terus ia langkahkan kakinya lagi, nyata ia tak mau kalah adu lidah. Dengan cerdiknya ia desak Hwi Ching.

“Adu pedang kalah, bukanlah hal yang memalukan. Tapi kitab suci sampai tak dapat merampasnya kembali, barulah yang dikatakan sebagai hinaan, kalah menang apalah faedahnya untuk seseorang, itulah yang harus kita tempur mati-matian demikian kata Hwi Ching tiba-tiba.

Ceng Tong seperti orang yang disadarkan dari kehilapan. Dengan serta merta ia menuju kehadapan Hwi Ching untk memberi hormat, katanya :
“Siuwtet seorang bodoh, mohon locianpwe suka memberi petunjuk, sebagai jalan untuk merampas kembali kitab suci itu dari genggaman anjing-anjing itu. Untuk budi locianpwe itu, pasti seluruh bangsaku akan berterima kasih tak terhingga.”

Ceng Tong terus jatuhkan diri untuk memberi penghormatan, tapi buru-buru dicegah oleh Hwi Ching.

“karena perbuatanku yang ugal-ugalan itulah sampai membikin kapiran urusanmu. Cici kau jangan kuatir, kubantu padamu untuk mendapatkan kitab suci itu kembali. Mari kita pergi sekarang juga “Wan-ci mendesak.

Hwi Ching menyetujui ajakan muridnya itu, untuk itu terlebih dahulu kita selidiki keberadaannya. Begitulah diputuskan, Hwi Ching berada diluar sementara Ceng Tong dengan wan Ci masuk kedalam hotel. Tadi wan Ci tampak Tong siu Ho masih menggendong bungkusan merah itu dibelakangnya. Dia ajak Ceng tong menuju kamar si ornag seh Tong itu. Pintu kamar itu menyala, maka kedua nona itu lalu lebih dulu sembunyi diri disudut tembok untuk mendengarkan pembicaraan orang dalam kamar itu.

Terdengar jelas bagaimana Tang Siu-ho mengoceh tak karuan dan sesaat kemudian menjadi diam kembali.

“Tio thay jin, “kau sungguh hebat sebentar saja kau telah sembuhkan Tong He- see kita ini, tiba-tiba kedengaran seorang piauwsu berkata.

“Sekalipun mati, tak akan aku mau diobati oleh orang Hong Hwa hwee itu, kedengaran Tong siu-ho membual.

“kalau juh-jauh hari tahu Tio thay-jin kita datang kemari, tak nanti kita sampai merendahkan diri meminta pada dia, Hmmm, sungguh sial, seru Chi piauwsu.

Saat itu terdengar suara gagah dari seorang lantas katanya :
“Coba tunjukkan aku sepasang suami isteri itu. Besok pagi kalau Loo Go sudah datang, kita akan turun tangan, orang-orang itu memang sebangsa kantong nasi saja, masa empat orang mengerubuti seorang perempuan saja tak mampu mengalahkan.”

Saat itu wan ci tak sabar lagi. Ia mencari lobang pada kertas jendela untuk mengintip kedalam. Ternyata di kamart itu terdapat enam orang. Seoraang yang berusia empat puluh tahun lebih, nampaknya sangat keren dan gagah sekali. Mungkin dialah yang dipanggil Tio tayjin itu. Sepasang biji matanya bersinar tajam. Nyata orang itu sangat lihay sekali iwekangnya. Diam-diam Wan-ci heran mengapa orang pemerintahan, terdapat begituan
.
“Loo Tong serahkan pauwhok itu padaku, kawanan orang islam itu tentu tak mau berhenti, mungkin di jalan nanti kita mendapat rintangan.” Kata Giam See Ciang.

Dengan sikap ayal-ayalan Siu-ho melepas pauwhoknya, nyata sekali ia segan untuk meyerahkannya.

“Ayo, kau tak perlu kuatir, aku takkan merebut pahalamu, yang penting biarlah kitab itu dapat tiba di kota raja dengan selamat dan nanti kita enak semua.” Kata See ciang pula.

Mendengar itu Wan ci kaget, sekali piauwhok itu berada ditangan she Giam itu, sukarlah untuk merebutnya karena ia itu ilmunya lihay sekali, cepat ia mengasah otak mencari akal ia berbisik beberapa patah kata di dekat telinga Ceng Tong. Ia sendiri lalu melepas kopiahnya, rambutnya diuraikan kemuka, lalu memakai sapu tangan untuk menutupi separuh mukanya, setelah itu ia menjemput dua lembar genteng terus ditimpukkan kearah jendela.

Genteng itu menyambar padamkan pelita di dalam kamar, dan secepat itu tampak lima ososok tubuh loncat keluar, malah salah seorang yang berada dimuka sendiri kedengaran berseru.

“Siapa yang bernyali besar itu?”

Ceng Tong mengerti maksud kawannya, dengan bersuit keras, ia loncat melewati temok. Mengira itulah sang pengacau, piauwsu-piauwsu itu segera mengejarnya. Setelah piauwsu itu menghilang, Wan ci menerobos masuk kedalam kamar.

Hampir setengah harian Siu-ho menderita ditotok, dan kini baru saja ia sembuh, sudah tentu badanny lemas. Dengan berlalunya kawan-kawannya tadi, tahu-tahu ada seorang sangat aneh rambutnya terurai kemuka, setan bukan orang bukan. Malah makhluk itu berjingkrak-jingkrak dengan mulut berkecat-kecat tk karuan artinya :

Saking takut dan kagetnya, Siu-ho lemah lunglai tulang sendinya. Cepat sekali makhluk itu menyawut pauwhok siu-ho, lalu dengan masih bersuit cuwat-cuwit dia berobot keluar.

Sekarang kita tengok kawanan pauwsu yang tengah mengejar bayangan hitam tadi, di saat lain tiba-tiba Tio tayjin hentikan larinya dan berkata :

“Celaka kita telah terjebak, memancing harimau keluar sarang. Ayo, lekas kembali.!”

Kawan -kawannya pun seperti tersadar. Ketika memburu kedalam kamar, didapatnya Siu-ho dalam keadaan yang lucu. Dia jungkir balik dari atas pembaringan, terlongong-longong seperti patung. Baru setelah dipaksa kawan-kawannya ia dapat menceritan tentang makhluk seperti setan yang mengambil pauwhoknya tadi.

“Ngaco, berpuluh-puluh tahun kuberkelana di kangouw, belum pernah kujumpai seorang setan, bentak Thio taijin dengan gemasnya.

Wan-ci ketika itu sudah lompat tembok, ia bersuit pelan-pelan dan dari tempat kegelapan muncul dua sosok bayangan yang datang menyambutnya. Mereka adalah Hwi Ching dan Ceng Tong.

“Pauwhok telah kurampas kembali, harap jangan disalahkan lagi .......”
Tapi belum habis Wan-ci menyatakan kegirangannya itu, tiba-tiba Hwi- Ching berseru.
“Awas dibelakangmu!”

Baru wan-ci hendak kebelakang pundaknya telah ditepuk orang, cepat ia pakai tangan kirinya untuk menangkap penyerangnya,tapi ia kalah sebat dari orang itu yang lenih dulu telah menarik tangannya. Wan ci terkejut hatinya. Insyaflah ia betapa lihay musuhnya itu sehingga tak merasa dirinya dihunus dari belakang.

Buru-buru ia bernalik diri. Tampak olehnya seorang setengah tua yang tinggi perawakannya tengah berdiri dihadapannya begitu dekatorang itu berdiri dibelakangnya, karena terkejutnya Wanci sampai mundur dua tindak dan berbarengan itu ia lemparkan pauwhok kepada Ceng Tong sambil berseru “Terimalah barangmu, Cici !”

Habis itu ia menatap kepada si orang tadi siap untuk menghadangnya. Tetapi tak disangka, kalau gerakan musuh itu sedemikian sebatnya, pauwhok melayang dia membarengi mengenjot kakinya untuk menyawut. Melihat itu wan-ci menjadi terkejut dan gusar, seketika itu diserangnya orang itu, sedang dilain pihak, Ceng Tong segera menyerangnya dari belakang.

Dengan tangan kiri menggengggam pauwhok orang itu keluarkan ilmu silat “Koo Soe-ping” sebuah ilmu silat cabang Voe Tong pay yang digerakan dengan tenaga yang berisi, sekejap saja Wan ci dan Ceng Tong kena di desak mundur sampai beberapa tindak.

Wan ci segera mengetahui bahwa musuhnya itu adalah orang mengobati Tong Siu-ho, yakni yang disebut Tio Tai-jin, Ko su-pang. Adalah ilmu silat pertama yang dipelajari oleh wan Ci selama ia berguru pada Hwi Ching, selama itu ia tak menyangka, bahwa ilmu silat itu telah begitu mahir dan berbahaya sekali ketika dijalankan oleh orang she Tio tersebut. Menghadapinya, sampai-sampai Wan Ci harus mengerahkan kepandaiannya. Pada suatu kesempatan ia berpaling kearah suhunya, tapi ternyata suhunya itu entah kemana perginya.

Juga Tio tayjin merasa terkejut tampaknya jurus-jurus permainan Wan ci adalah serupa dengannya. Dia nantikan sampai wan Ci memainkan jurus, To Ki-liong ia tak mau berkelit. Begitu miringkan tubuh, ia juga gunakan gerak To ki-liong untuk menyambutnya.

Sama jurusnya, tapi lain sekali kekuatan penggeraknya, kesemutan, sakitnya bukan kepalang. Kakinya sempoyongan untuk mencegah jatuh terpaksa Wan Ci loncat kesamping.

Nampak kawannya menghadapi bahaya, Ceng Tong cepat loncat menghampiri seraya mengulurkan tangan untuk menahan tubuh sang kawan yang hampir saja rubuh itu, sembari berbuat begitu, tangan kanannya mengacungkan pedang kearah musuh. Maksudnya untuk menjaga jika musuh maju menyerang.

“He, bocah katakan .... suhumu orang she Ma atau she Liok!” seru orang itu dengan lantang.
“Biarlah kutipu ia, pikir wan Ci. Maka sahutnya
“Suhuku orang she Ma, bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
“Bagus betul perbuatanmu itu, berjumpa dengan susiok tak mau menjalankan peradatan.”.
“Mendengar bahwa orang itu ternyata adalah paman guru Wan Ci, maka hilanglah harapan Ceng Tong untuk dapat merampas kembali kitab suci itu. Sekali kakinya mengenjot, ia loncat setombak jauhnya, terus berlari.

Wan ci terkejut bukan main, terus buru-buru mengejar. Tapi baru ia mengejar beberapa puluh tindak, dilihatnya langit mendung sekali. Kilat pun berkelebat diudara. Ia ngeri sekali, dan tak berani mengejar terus. Tapi ketika kembali ketempatnya tadi, dilihatnya orang she itu sudah tak berada disitu lagi. Iapun cepat-cepat loncat tembok terus masuk, dan baru saja ia melangkah kedalam kamarnya, hujan turun dengan lebatnya.

Hujan ternyata t sampai pagi. Nampak hujan masih turun lebat. Wan ci menuju ke kamar Li Thay-thay dan mengatakan bahwa rombongan mereka terpaksa tak dapat berangkat.

Habis makan pagi, wan Ci menghampiri kamr suhunya dan menuturkan tentang kejadian semalam. Menengar penuturan muridnya, tampak Hwi Ching mengerut dan dahinya seperti berpikir dalam-dalam.
“kau tak bilang kau muridku, itulah baik-baik.” Katanya kemudian.
Melihat wajah gurunya berubah serius wan Ci tak berani menanyakan lebih jauh.

Orang yang disebut Thio –taijin itu, memang sutenya Hwi Ching yang bernama Thio Ciauw Tiong. Orang kangouw menyebutnya “Lebih baik ditusuk tombak tiga kali, asal jangan berjumpa dengan she Thio.”

Loo Ong, dimaksudkan “Wi-tin-ho-ni” Ong Hwi Yang Poan-koan Thio Ciauw Tiong. Kedua orang itu yang seorang menjadi piauwsu dan yang satunya menjadi pembesar negeri adalah orang-orang yang memusuhi orang-orang gagah di kalangan Bu-lim. Mereka sangat sombong, karena andalkan kepandaian yang tinggi.

Hwi Ching mempunyai tiga orang saudara seperguruan, suhunya kelewat sayang pada murid yang bungsu, sehingga Ciauw Tiong ilmunya lebih lihay dari suheng-suhengnya.

Sejak Hwi Ching putus persaudaraan dengn sutenya itu, baru kali ini dia berjumpa. Ketika sutenya bertempur dengan Wan Ci dan Ceng Tong, dia menyingkir ketempat gelap. Dia tak menduga kalau dalam sepuluh tahun ilmu silat Ciauw tiong maju begitu pesat. Diam-diam dia mengakui bukan tandingan sutee itu. Dengan adanya orang selihay itu dalam barisan kuku garuda Pemerintahan Ceng, maka bertambah tangguh keadaan mereka.

Sepanjang pendengaran Wan Vi maka diketahuilah bahwa Ciauw Tiong datang kesitu untuk menangkap pesakitan penting dari Pong Hwa Hwee. Bagaimana nanti mereka dapat lolos dari tangan manusia kejam itu ?

Hawa udara pada permulaan musim Chiu rontok sangatlah panasnya. Dan rupanya hujan terus-menerus tah henti-hentinya sifat kanak-kanak masih belum terlepas dari Wan Ci. Untuk mengeram diri dalam kamar saja sungguh menjemukan. Maka pergilah ia menengok kamar orang Hong Hwa Hwee. Keadan disitu ternyata sepi-sepi saja, karena Tin Wan Piauwkok juga belum juga berangkat. Beberapa orang piawsu tengah duduk bercakap-cakap di ruangan tengah. Hanya orang she Thio yang katanya adalah susioknya itu tak nampak. Tiba-tiba dari luar, terdengar derap kuda mendatangi.

Kuda itu ternyata berhenti dimuka pintu hotel, dan seorang yang dandanannya seperti anak sekolahan, bertindak kedalam. Oleh jongos ia disuruh masuk kedalam.

Perawakan anak sekolahan itu tinggi kurus sepasang matanya bening sekali dinaungi oleh alis yang bagus. Di daerah luar perbatasan jarang terdapat seorang pemuda tampan seperti dia itu. Melamun sampai disitu, merahlah selebar muka Wan Ci, maka buru-buru ia melengoskan kepala.

Dengan tenang dan nikmat pemuda itu duduk menghadapi arak. Ketika itu kembali dari arah luar terdengar derap kuda mendatangi lagi. Melongok dari jendela Wan Ci mengenali keempat orang yang datang itu.

Mereka adalah pengeroyok Hou ping, si wanita gagah pada beberapa hari yang lalu itu lekas Wan ci masuk memberi tahukan suhunya, lalu mereka abersama-sama melihat dari jendela untuk melihat perubahan apa yang akan terjadi.

Dari keempat orang tersebut, yang bersenjatakan pookiam rupanya pemimpinnya, ia panggil pelayan dan menanyakan dengan berbisik, setelah itu lalu meminta arak.
“Bangsat, Hong Hwe itu belum pergi, kita makan dulu nanti baru bekerja!” kata orang yang membawa pookiam itu.

Rupanya kata-kata itu terdengar oleh si pemuda itu, wajahnya kelihatan berubah ia melirik pada keempat orang itu tajam-tajam.

“Harus kita bantu wanita itu tidak guru?” tanya Wan ci tiba-tiba.

“kau jangan sembarangan bergerak, tunggu perintahku dulu,” jawab Hwi Ching sembari memandang si anak sekolahan itu. Pada saat itu, pemuda tadi telah menghabiskan daharannya lalu memindahkan bangkunya keserambi, kemudian mengeluarkan sebatang seruling, terus ditiupnya nyaring-nyaring.

Wan ci kenal seruling itu memainkan lagu “Thian cing-soa” atau sunyi senyap dipadang pasir.

Meniup seruling Wan ci menganggap biasa saja tapi yang membuatnya heran, seruling itu bercahaya keemasan, seperti terbuat daripada emas. Perjalanan di daerah utara sangatlah tak aman, sebatang seruling mas cukup akan menarik perhatian penjahat. Wan ci mengambil keputusan, akam memperingatkannya nanti.

Juga keempat orang itu, merasa heran atas kelakuan si pemuda sekolahan itu. Habis makan tiba-tiba si pembawa pookiam yang ternyata bertubuh kate itu loncat keatas meja lalu berteriak keras-keras.

“Kami adalah hamba negeri yang diutus oleh pemerintah agung untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa Hwee, saudara-saudara sekalian harap menyingkir dulu.

Habis berpidato orang tersebut loncat turun lagi, terus akan menuju ke kamar Lou Ping untuk kesitu, terus akan menuju melalui jalan dimana si pemuda sekolahan itu sedang duduk menyuling, dengan acuh tak acuh enak-enakan meniup serulingnya terus.

“He sahabat, jangan menghalangi jalanan” kata si pendek itu, rupanya ia agak sungkan terhadap seorang sekolahan, kalau saja orang biasa tentu sudah dilemparkannya.

Tampa pemuda itu tenang menurunkan serulingnya dan berkata :

“Tuan-tuan mengatakan akan menangkap pesakitan penting, sebenarnya apakah kesalahan mereka itu? Kikira lebih baik dilepaskan saja, dari pada nanti tuan banyak repot.”

“Hayo enyahlah, jangan kau campuri urusan orang!” bentak si pendek dengan marahnya sembari maju selangkah.

Pemuda itu masih tenang-tenang saja, malah dengan ramahnya ia mengajak mereka minum bersama-sama , katanya :
“harap tuan-tuan jangan buru-buru, aku sebagai tuan rumah, mengundang tuan-tuan minum bersama buat mengikat tali apersahabatan, tentunya tuan takkaaana menampik, bukan?”

Orang itu tidak dapat bersabar lagi, dengan mnjulurkan tangan ia dorong pemuda itu sambaiaal aaamembentak : “Bangsat, sungguh menjemukkan!”

Ketika tangan hampir mengenai, tahu-tahu pemuda itu menggeliat tubuh dan berteriak-teriak : “Aduh, jangan turun tangan keras-keras, “ seperti orang sempoyongan kena pukulan, dia gentayangan ngerusuk kemuka dengan serulingnya. Tibatiba serulingnya ditusukan kedada kiri si pendek seketika itu juga si pendek jatuh numprah ke tanah.

“Astaga jangan, jangan lakukan penghormatan begitu, aku tak berani menerimanya!” teriak pemuda sekolah itu dengan lalu mencegah.

Bagi mata seorang ahli, tentu segera mengerti bahwa pemuda itu telah gunakan ilmu menotok untuk mempermainkan orang itu, kalau tadinya Wan ci menaruh kekuatiran, kini berbalik girang bukan main melihat permainan sianak muda itu.

“Susiok, jangan-jangan dia si kepala Hong Hwa Hwee!” bisik yang memgang Jwan-pian, seorang dari empat lelaki tadi, pada kawanny.

Mendengar itu, kedua lawannya itu terkejut sekali, terus mundur beberapa langkah. Pada saat itu, si kepala hamba pergi yang kena tertotok tadi, tak dapat berkutik lagi oleh kawannya yang memegang jwan-pian ia terus tarik kesamping.

“Adakah Tuan ini orang she Tan? Siautocu dari Hong Hwa Hwee itu?” tanya seorang tua yang dipanggil susiok tadi.

“Sungguh telingga kalian itu tajam sekali hingga dapat mengetahui bahwa siautocu Hong Hwa Hwee itu orang she Tan. Memang mata itu ada kalanya lebuh tajam dari pisau. Tapi kali ini betul-betul kuberada, aku inilah orang She Le bernama Hi Tong. Le artinya, aku, Hi ialah ikan didalam empang, sedang huruf Tong, berarti, sama. Aku yang rendah ini hanya salah seorang yang tak berarti dari Hong Hwa Hwee. Kursiku hanya keempat belas dari urutan kedudukannya. Pemuda itu dengan tertawa menerangkan dirinya, setelah itu ia angkat keatas serulingnya dan berkata pula.

“Adakah kalian tak mengenal diriku ini?”
“Oh, kau adalah Sim Liok siu thay, bukan?” kata si hamba serdadu
“Jangan keliwat menjunjung tinggi diriku itu, kepandaianku masih belum berarti apa-apa, jangan kalian salah menganggap aku sebagai sautocu dari Hong Hwa Hwee, salah-salah diriku bisa celaka nanti. Sudara bukankah Kepala Opas Pak Khia Go Kok Tong atau Go jiya yang sangat kesohor itu?”

“Benarlah, karena ternyata orang Hong Hwa Hwee, hayo tempurlah aku!” sahut orang tua tadi.

Seruan Go Kok Tong itu dibarengi dengan melayangnya pedang. Nyata betul bahwa orang she Ho itu bukan kosong namanya. Gerakannya, mengandung tenaga dalam yang hebat sekali.

Go Kok Tong adalah kepala polisi dari Pak Khia. Telah banyak perkara pembunuhan gelap yang dapat dibikin terang, sehingga tidak sedikit penjahat besar yang telah binasa dalam tangannya, karena kuatir pembalasan dari mereka yang telah hutang jiwa itu. Beberapa tahun yang lalu dia sudah undurkan diri.

Tapi ketika sutitnya yang bernama Pang Hi, bersama beberapa siuwi atau pahlawan keraton, mendapat firma untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa Hwee, dia tak dapat menolak permintaan supaya membantunya. Orang yang bersenjatakan Jwan-pian itulah si Pang Hwi. Orang yang memegang golok kui-tao-to bernama Ciang Thian siu sedang yang membawa tongkat ialah Han Joeu Lim. Mereka adalah pentolan-pentolan polisi dari Tan Ciu.

Sebenarnya antara polisi Pa khia lam Ciu terdapat suatu persaingan halus, masing-masing berebut pahala. Tapi ternyata hasilnya Ciang Thian siu diam-diam Pang Hwi yang baik itu merasa girang karena saingannya roboh tapi dia kuatir juga akan dihajar musuhnya itu.

Pada saat itu, dengan sebatang suling mas, Le Hi Tong melayani Go Kok Tong, Pang Hwi dan Ciang Thiau-siu. Ada kalanya suling itu digunakan sebagai pian, tapi dilain saat digunakan untuk menotok jalan darah. Malah dilain saat mirip dengan permainan pedang. Ketika pentolan hamba negeri itu, tak dapat berbuat banyak. Malah mereka kelihatan repot sekali menjaga diri.

Baik Hwi Ching maupun Wan-ci, nampaknya girang dengan jalannya pertempuran itu, kata si nona.

“Dia gunakan ilmu pedang Jwan hun-kiam.”
Hwi Ching anggukkan kepalanya dan berpikir Jwan-hun kiam adalah ilmu tunggal dari cabang Boe tong pay. Pasti dia murid dari Toa Suheng Ma Cin.

Memang dugaan Hwi Ching itu tidak salah. Le Hi Tong adalah murid kesayangan dari Ma Cin. Dia anak dari seorang ternama, karena terkena fitnahan orang dan meninggalkan penjara.

Dengan bertekad bulat Hi Tong berguru pada Ma Cin setelah selesai dalam pelajaran ilmu silat dia pulan ke kampungnya dan membunuh tuan tanah yang jahat itu. Dan sejak itu dia berkelana di kangouw sampai akhirnya dia masuk dalam gerakan Hong Hwa Hwee.

Dia otaknya memang cerdas apa saja dapat dipelajarinya dengan cepat. Karena kecerdasannya itu, di Hong Hwa Hwee diserahi tugas penghubung dan pemberi warta. Kali ini sebenarnya dia sedang menjalankan perintah Siaotocu ketua muda, untuk suatu urusan di Lok-yang. Sama sekali dia tak mengetahui bahwa Pan Lui ciu Bun Thay-thay dan Wan yang to Tao Ping telah kepergok musuh dan terluka beristirahat di hotel tersebut. Karena kata-kata keras yang diucapkan Go Kok Tong akan menangkap orang Hong Hwa Hwee, itulah yang mendesak ia untuk turun tangan melindungi kawannya. Ketika mendengar tiupan seruling tadi, tahulah Lao ping bahwa Kim Tiok siucay seruling emas, telah datang.

Le Hi Tong memberi perlawanan seru pada ketiga pengeroyok itu. Orang-orang Piauwkok pun sama akeluar melihat ramai-ranai itu.

“Kalau aku suruh dua orang saja yang melayani sedang yang seorang bisa gunakan senjata rahasia Tong Siu Ho,” si mulut usil itu berkata. Dia lihat pang Hwi mengendong busur maka secara tak langsung ia mengingatkannya karena ia masih dendam dengan orang Hong Hwa Hwee.

Pang Hwi seperti tersadar, loncat keluar kalangan dia enjot kakinya keatas meja sekali menjambret busur melayanglah beberapa biji pelor kearah Le Hi Tong.

Dengan Lincahnya Le Hi Tong berkelit, namun kedudukannya berbahaya karena dia masih menangkis serangan musuh, pedang dari Go Kok Tong dan Golok Ciang Tian siu berbarenan menyambar. Ketika Hi Tong berusaha menangkisnya agaknya terlambat sedikit. Ujung pedang Go Kok Tong menowel krowak jubahnya. Agak kesima Hi Tong dan kelalaian sesat itu saja harus dibayar dengan benjol kening tersambar sebuah pelor.

Kesakitan itu telah mengendorkan gerakannya, justeru sebaliknya kedua lawannya itu makin memperhebat serangannya. Kini Hi Tong hanya kuasa membela diri, tak dapat membalas menyerang. Namun Ia tak sampai gugup, ilmu silatnya cukup lihay, sembari tangan kanan memegang seruling, dua jari tangan kirinya dipakai untuk menotok jalan darah dibawah tetek Go kok tong.

Terkejut juga Go Kok Tong melihat kepandaian yang mengagumkan dari sianak uda itu. Tapi secepat itu pula Hi Tong mengganti totokan menjadi pukulan terus diayunkan kemuka Ciang Thian siu. Malah golok dipakai untuk menangkis pukulan dari Hi Tong, seketika itu juga Hi Tong berlaku lambat untuk menarik tangannya.

Melihat kesempatan yang bagus, dari menangkis Thian siu teruskan goloknya untuk menyerang, tetapi ia baru sadar ternyata musuh hanya melakukan pancingan sehingga ia terlambat, secepat kilat si anak muda itu mengayunkan sulingnya kemuka, maka terjungkallah Thian siu ke tanah.

Sebelum Hi tong menyusul kemplangannya, lantas tercegah oleh datangnya Pedang Co kok tong dan pelor Pang Hwi yang datang menyambar. Pertempuran terus berlangsung dengan serunya, ketika itu Thian Siu sudah bagkit kembali. Selagi Hi Tong mencurahkan perhatian menangkis pedang dan menghindari pelor, ia tumplek seluruh kekuatannya dalam gerakan Tok hiat san, golok dihantamkan ke batok kepala orang, serangan itu hebat sekali, sukar bagi Hi Tong untuk menghindarinya.

Tapi sekonyong-konyong tangan Thian siu terasa sakit sekali. Berbarengan dengan terdengarnya suara mendering, goloknya terpental jatuh ke tanah. Selagi ia masih bengong karena terkejutnya. Tahu-tahu sebatang hui to telah bersarang di dadanya. Tanpa berkaok-kaok lagi, ia roboh binasa seketika.

Ketika berpaling kebelakang, tampak olehnya, Wan yang to Lau ping sudah berdiri disitu dengan menggenggam sebatang Huito. Kini tumbuhlah semangatnya. Kalau ada Lou Ping tentunya sang suami pun berada disekitar situ. Dengan Pat-lui chiu Bun thay-thay disampingnya, mudahlah untuk membereskan kawanan kuku garuda ini. Demikian anggapan Kim Liok siucay Le Hi Tong, sama sekali ia tak mengira kalau Bun Thay-thay dalam keadaan luka berat, tak dapat bergerak apa-apa.

“Su-so, kau bereskan dulu orang yang melepaskan pelor itu seru Hi-Tong.

Ucapan itu dituruti oleh Lau Ping dengan kirimkan sebatang Huito. Dengan tergesa-gesa Pang Hwi pakai busurnya untk menangkis.

“Trang !”
“Busur patah menjadi dua, tapi Huito itu tetap masih ada kekuatannya menyambar lengan Pang Hwi, serasa terbang semangatnya dan berseru keras-keras. Susiok, berhenti, angin keras!”

Itulah sandi pertanda untuk mundur karena setelah itu Pang Hwi brbalik bahkan terus lari Go Kok Tong merangsek hebat dan ketika Hi Tong terpaksa mundur, dia sambar han Jun Lim yang terkapar ditanah, sambil memanggulnya terus dibawa pergi.

Le Hi tong tak mau mengejar, hanya kembali menempelkan sulingnya kemulut lagi untuk ditiupnya. Dalam pandangan wan Ci, siaucay itu aneh sekali. Tapi bukan demikian sebenarnya. Kali ini Hi Tong tak meniup sulingnya dengan cara diaalangkan, tapi pegangnya secara dilurskan kebawah.

Begitu mulut meniup, maka dari lobang sulin itu melesatlah sebatang anak panah kecil lurus menyambar musuh yang tengah lari tunggang langgang itu. Pang Hwi berkelit dengan tundukkan kepalanya kebawah, tapi tidak demikian dengan Han Jun Lim, pantatnya telah tertancap anak panah itu menjeritlah dia dengan kesakitan hebat.

Sehabis itu Hi Tong menanyakan pada Lou Ping dimana suaminya sekarang.
“mari ikut aku, jawab lou Ping. Dengan gunakan palang pintu sebagai tongkat untuk menahan pahanya yang terluka itu, Lou ping membawa Hi Tong ke kamarnya.

Sedang di lain pihak, ketika Go Kok Tong berlari-lari sembari memanggul han Joen Lim yang terluka itu sampai diluar pintu hotel, tiba-tiba dia bertabrakan dengan seseorang. Berpuluh-puluh tahun Co Kok Tong meyakinkan ilmunya, kekuatan kakinya teguh bagaikan besi. Tapi bukan main terkejutnya ketika saling berbenturan dengan orang itu, dia sampai terdorong mundur beberapa tindak. Untuk menyelamatkan diri supaya tidak terjatuh terpaksa ia lemparkan kawan yang dipanggulnya itu.

Celaka bagi Han Joen Lim, karena sudah terluka oleh huito ditambah lagi anak panah yang menancap dipantatnya kini tubuhnya dilemparkan ketanah, karuan panah itu amblas masuk dalam daging hingga ia menjerit-jerit kesakitan.

Ketika Kok-Tong mengawai, ternyata orang itu adalah kepala Gi Lim-kun Thio Ciauw Cong. Dari marah, kini ia berbalik menjadi girang bukan main.

“Astaga, Thio tay-jin. Rombongan kita tak berguna, “ segera ia menyapa.

Adat Ciauw cong sangat tinggi. Dia tak mu menyahu dengan kata-kata, hanya perdengarkan suara Hmmm saja, sekali tangan kirinya kirinya ia sanggapi Han Joen Lim, tangan kanannya segera memijat perutnya, lalu menepuk pahanya. Heran juga, seketika itu Joen Lim rasakan kakinya leluasa bergerak lagi.

“Apakah buronan itu sudah lari? Ciauw Cong bertanya
“Belum, masih disana,” sebut Kok Tong.
“Hm, sungguh besar nyalinya. Membunuh hamba negeri masih begitu berani tinggal di hotel, jengek Ciauw Cong.

Sambil berkata itu, Ciauw Cong berjalan menuju ke ruangan dalam. Dihampirinya Ciang Thian Siu yang sudah tak bernyawa itu. Huito yang menancap didadanya dicabut dan dimasukkan kedalam kantongnya.

“Thio-tayjin tiamcu tinggal di kamar itu.” Demikian Pang Hwi memberi keterangan, sambil menenteng jwan piannya ia belaku sebagai penunjuk jalan.

Ketika rombongan Ciauw cong sudah bersiap akan memasuki kamar Bun Thay-thay, sekonyong-konyong dari sebelah kamar lain loncat keluar seorang pemuda dengan memegang sebuah pauwhok merah, Pauwhok dia lambaikan pada Ciauw Cong, sambil berseru.
“He, sudah kurampas lagi !”

Tanpa melihat sikap orang, pemuda itu terus berjalan keluar, sesaat itu terkejut juga hati Ciauw cong. Dia anggap rombongan piawsu itu hanya seperti kantong nasi saja. Pauwhok yang berisi Al-Qur’an itu dapat dia rampas dan diserahkan kepada mereka, tapi ternyata mereka tak mampu menjaganya. Karena waktu sedang menghadapi urusan penting, dia tak mau kejar si pemuda, terus akan melanjutkan serbuannya tadi.

“Entah pelajaran kucing berkaki tiga darimna yang telah tak malu menyebut diri sebagai susiok itu.” Cis, tak tahu malu tiba-tiba terdengar seseorang berseru keras-keras. Ternyata itulah si pemuda. Kiranya ia berhenti disebelah sana, dan menghina Ciauw Cong.

Nama Ciauw Cong mengetarkan dunia kangaouw. Baik golongan putih maupun golongan hitam, sangat menyegani, selam itu belum pernah ia dihinakan orang. Seketika itu juga, meluaplah darah Ciauw Cong, sekali loncat dia terjang si pemuda itu. Yang ternyata adalah wan Ci, maksud Ciauw cong akan dibekuknya anak itu, untuk diberi hajaran lalu akan diserahkannya pada Tao suhengnta, Ma Cin. Dia menduga anak itu tentu murid Tao-suhengnya.

Bagai diuber setan, larilah Wan-ci sekeras-kerasnya.

“Bocah edan kau mau lari kemana,” seru Ciauw Cong sembari mengejar. Tapi si anak muda itu telah melenyapkan diri, entah kemana. ketika Ciauw Cong berniat hendak menyelesaikan urusannya tadi, dengan mengeluarkan kata-kata ejekan yang memerahkan kuping.

Apa boleh buat, dia mengejar lagi. Dengan demikian semacam permainan kejar-kejaran. Kalau dia berhent juga, dengan tak lupa mengeluarkan kata-kata yang mengejek.
“Akan kubekuk dulu si bangsat itu, baru nanti kukejar urusan itu.” dem
Kian Ciauw Cong berpikir, dan dia segera gunakan ilmunya berlari cepat untuk mengejarnya.

Karena bernafsu betul-betul, maka jarak antara dia dengan wan-ci semakin dekat. Sampai disini wan Ci jadi semakin bingung. Ia lari, lari terus kelereng gunung. Tapi sekali Ciauw Cong enjot kakinya keras-keras dia sudah berada dibelakang wan ci. Punggungnya segera ia jambret.

Saking kagetnya, Wan Ci berontak sekuat-kuatnya. Dan karena itulah, maka telah kerowak sebagaian sebagian, tergenggam dalam tangan Ciauw Cong. Cepat-cepat Wan ci mengambil keputusan. Dilemparkannya pauwhok itu kedalam saluran air dibawah gunung, sambil berseru : “Pergilah ambil sendiri.”

Yakin bahwa pauwhok itu berisi kitab Al-Qur’an, Ciauw Cong sangat kuatair kalau sampai jatuh keair tentu rusak. Tanpa pikir panjang lagi, dia loncat turun dari lamping gunung, untuk mengambilnya. Melihat itu Wan Ci tertawa tergelak-gelak terus kembali pulang.

Ternyata pauwhok itu sudah basah sebagian, maka tersipu-sipulah Ciauw Cong membukanya untuk melihat kitab kena air tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika dilihat isinya, ternyata bukan Al-Qur’an isinya melainkan dua buah buku hotel, yaitu daftar nama-nama tamu dan catatan kas, seketika itu juga ia memaki-maki.

Saking marahnya, rambut Ciauw Cong seperti berdiri. Kebesaran namanya berpuluh-puluh tahun itu, ditumpas dengan olok-olok si anak muda seharai itu saja. Dengan gemas dilemparkannya lagi Pauwhok itu kedalam salauran air. Karena kalau sampai ketahuan orang, tentu hilanglah, mukanya. Dengan menahan kemarahan, ia bergegas kembali, setiba di hotel dilihatnya Pauwhok berisi Qur’an itu masih menggemblok dibelakang punggung Giam See Ciang. Betapa malunya, untung hanya dia sendiri tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

“Adakah pauwhok mu itu pernah diganggu orang?” tanyanya untuk mencari kebenarannya.

“Tidak ada,” jawab See ciang. Walaupun demikian, see ciang mengundang Ciauw Cong kekamar untuk bersama-sama memeriksanya. Karena ia menduga, kalau sampai Tayjin tersebut sampai menanyakan, tentulah ada sebabnya. Tapi teryata kitab itu masih terdapat didalam pauwhok tak kurang suatu pun.

Ciauw Cong memanggil pelayan untuk ditanya keterangan tentang orang-orang Hong Hwa Hwee seperti sudah tak kelihatan disitu juga tak ada pertempuran apa-pa lagi.

“Percuma kerajaan memelihara orang-orang itu. Baru kutinggal sebentar saja, orang-orang itu sudah dapat meloloskan diri, seru Ciauw Cong dengan murkanya. “Giam laote” mari ikut aku dan saksikan aku sendiri yang akan menagkap pesakitan itu.

Ciauw Cong segera menuju ke kamar yang ditempati Bun Thay-thay, sedang Giam See Ciang menjadi serba sulit. Karena terus terang saja dia jerih terhadap anggota Hong Hwa Hwee yang pengaruhnya besar itu. Tapi diapun tak berani menolak ajakan Thio tayjin yang lihay dan berpengaruh itu.

“Penjahat Hong Hwa Hwee, hayo serahkan diri, tiba-tiba Ciauw Cong berseru dimuka pintu kamr prang tangkapan itu.

Sampai beberapa sat lamanya tak ada jawaban apa-apa.

“bangsat pengecut betul kau!” Ciauw Cong mengulangi seruannya sambil ia memaki-maki. Dia ayunkan kakinya, dan terbukalah pintu itu lebar-lebar. Kiranya pintu memang tidak dipalang dari dalam. Didalamnya tak kelihatan seorangpun juga.

“Ha, buronan sudah kabur!” seru Ciauw Cong dengan kaget. Langsung dia menerobos masuk masuk tapi kamar itu kosong melompong. Hanya diatas pembaringan tampak segunduk selimut yang menyerupai orang besarnya.

DENGAN ujung pedang, dia singkap selimut itu. Dan untuk mengejarnya, disitu dua orang sudah menggeletak saling berhadapan.

Dengan ujung pedang ia towel orang tersebut, tetapi mereka tak bergerak. Ketika diawasi dengan seksama, ternyata kedua orang itu tak bernyawa lagi dengan muka pucat pasi dan sepasang biji matanya yang melotot. Kiranya kedua orang itu, adalah Han Joen Lim dan pak Hwi anggota opas dari pak Khia.

Nyata mereka telah lama menjadi mayat, karena baunya menusuk hidung Ciauw Cong, tubuh mereka tak terdapat tanda-tanda luka ataupun bekas darah. Baru stelah diperiksa dengan teliti dapat diketahui bahwa batok kepala telah hancur.

Tahulah Ciauw Cong bahwa mereka dibinasakan oleh pukulan Iwekang dari seorang ahli yang berkepandaian tinggi. Diam-diam dia kagum pada Pan Lui Chiu Bun Thay-Thay yang diduga adalah pembunuhnya itu. Walaupun orang she Bun itu terluka berat namun dia masih dapat menggerakkan tenga pukulan yang sedemikian dasyatnya itu “Pan Lui Chiu” si tangan gledek itu betul-betul tak bernama kosong.

Tapi dimanakah Go Cok Tong? Dan juga suami Bun Thay thay itu. Ciauw Cong panggil jagos untuk ditanyai tapi mereka tak dapat memberi keterangan apa-apa.

Yang nyata Ciauw Cong salah duga kali ini. Karena yang membinasakan Joen Lim dan Pang Hwi bukanlah Bun Thay thay.

Pada waktu Le Hi Tong dalam keadaan terjepit sukar baginya menghindari bahaya, Liok Hwi Ching diam-diam telah melepaskan huyong tiam yang tepat mengenai tangan Ciang Thian siu hingga goloknya sampai terpental jatuh. Dan disitulah Lou ping menyusuli dengan huitonya untuk menamatkan riwayat orang she Chiang itu.

Juga ketika Go Kok Tong memanggul Han Joen Lim lari tadi Hwi Ching yang dulunya mengira itu sang sutit Hi Tong bakal terlepas dari ancaman ternyata dibikin kaget dengan munculnya Ciauw Cong.

“Suhu yang merampas pauwhok malam itu adalah dia apakah suhu mengenalnya?” tanya Wan Ci.

Hwi Ching hanya mengeluarkan suara “hmm” saja karena dia sedang memikirkan suatu daya lalu katanya pada sang murid.

“Kau lekas-lekas pancing dia supaya meninggalkan tempat ini sejauh mungkin. Kalau-kau kembali lagi aku tak berada disini, besok pagi kau teruskan saja perjalananmu nanti kususul.

Wan ci hendak bertanya lagi, tapi buru-buru Hwi Ching mencegahnya dan serta merta disuruhnya cepat pergi. Wan ci yang lincah dan cerdas itu segera mendapat akal bagaimana menjalankan perintah suhunya itu. Ia ambil sehelai kain merah, dan dengan tak setahu pegawai hotel segera ia ambil dua buah buku. Dengan itulah ia berhasil mengelabui Ciauw Cong.

Hwi Ching cukup yakin dan percaya akan kecerdasan muridnya itu. Dia tahu juga bahwa meskipun suteenya mempunyai ilmu yang lihay, tetapi dalam kecerdasan masih kalah dengan litecunya itu. Dia yakin tentu sang murid tidak sampai mengalami bahaya apa-apa. Disamping itu, diapun tahu bahwa Ciauw Cong tak bakal mencelakai Wan ci, mengingat bahwa Li Khik Siu adalah seorang pembesar tinggi. Dan yang paling menentramkan hati, ialah tabiat Ciauw Cong apabila mengetahui bahwa musuhnya adalah seorang wanita, tentunya ia akan berlalu tanpa menggangu.

Ternyata perhitngan Hwi Ching itu sedikitpun tak melesat. Pada waktu itu Ciauw Cong tetap tak mau gunakan senjata rahasia, karena dia masih menyangka Wan Ci adalah murid dari toasuhengnya Ma Cin. Bagaimnapun dia tetap tak berlaku kejam.

Sewaktu Ciauw Cong keluar untuk memburu Wan Ci, Hwi Ching segera menghampiri kamar Bun thay-thay dan mengetok pintunya. Dari dalam kamar terdengar suara orang menanyakan.
“Siapa?”
“Aku seorng sahabat dari Lo Gwan Tong Lou Ngoya akan menyampaikan sebuah kabar penting jawab Hwi Ching.”

Untuk beberapa saat, tak ada jawaban apa-apa dari dalam juga pintunya tidak kelihatan dibuka. Rupannya mereka tengah berunding. Selagi begitu, Go Kok Tong dengan ketiga kawannya kelihatan menghampiri. Rupanya mereka menyelidiki letak kamar dari Bun Thay-thay.

Heran mereka itu dibuatnya ketika menampak ada seorang berdiri dimuka pintu kamar Bun Thay thay. Justeru pada saat itu pintu tampak dibuka dan muncullah Le Hi Tong diambang pintu, katanya
“Locianpwe ini siapa?”
“Aku ini sosiokmu Bian Li Ciam Liok Hwi Ching.”

Agak bersangsi Hi Tong ketika itu. Memang dia tahu bahwa dirinya mempunyai seorang susiok tapi selama itu belum pernah ia mengenalnya.

Jangan bersuara, aku akan bikin kau percaya ayo lekas sembunyi sana, seru Hwi Ching berbisik ketika nampak orang masih sangsi kepadanya.

Mendengar itu, kecurian Hi Tong makin bertambah, dia tetap menghadang diambang pintu. Nampak sikap bandel itu, Hwi Ching ulurkan tangan kirinya untuk menepuk pundak Hi Tong, buru-buru mengegos kesamping menjulur kearah lambung orang. Dengan gerak “Lan Ca-ih” pelan-pelan didorongnya tubuh Hi Tong.

“Lan ca-ih” sebenarnya jurus pertama dari ilmu silat Bu Tong pay, sama sekali Hi Tong tak mengira, bahwa jurus itu ditangan Hwi Ching merupakan gerakan yang luar biasa kuatnya, hingga dia sampai terdorong beberapa tindak. Dalam kekagetannya, berserulah Hi Tong dalam hatinya.

“Betul, betul inilah susiokku.”

Justru ketika itu Lou Ping dengan sepasang goloknya siap untuk menerjang, buru-buru Hi Tong membuat gerakan tangan sambil mencegah.
“Suso, tahan!”

Pada saat itu, Hwi Ching melambai-lambaikan tangannya kepada kedua orang itu, maksudnya menyurh mereka menyingki. Habis itu, dia sendiri terus keluar untuk menyambut Go Kok Tong dan kawan-kawannya.

“Hai, orang dalam kamar ini sudah melarikan diri hayo kau periksa kemari!”

Tanpa curiga ap-apa, Go Kok Tong menerobos masuk diikuti oleh Han Joen Lim dan Pang Hwi, sampai disitu, barulah Hwi Ching turut masuk. Palang pintu dipasang. Pada waktu itu, ketika melihat disudut kamar tampak Le Hi Tong dan kawan-kawannya, terkejutlah Kok Tong bertiga. Dia serukan kedua kawannya untuk mundur segera.

Han Joen Lim dan pang Hwi menurut, tapi baru mereka berputar diri, tiba-tiba kedua belah tinju Hwi Ching menyambutnya. Dan seketika itu remuklah batok kepala keduanya.

Otak Kok Tong cepat bekerja, dalam keadaan terkurung itu lekas ia mengambil keputusan. Sambil melindungi batok kepalanya dengan kedua tangan, dia mengenjotkan diri loncat ke arah jendela yang terbuka. Dan untuk itu, hampir saja ia berhasil.

Tapi celakanya, ketika hampir lolos Bun Thay-thay yang dilewati diatas kepalanya cepat bangun dan mengirimkan pukulannya yang terkenal itu. Tepat mengenai pundak lawan. Tenaga pukulan Pan lui chiu itu luar biasa dasyatnya. Seketika itu juga, pundak kanan Kok Tong telah putus.

Namun menahan kesakitan hebat Kok Tong tetap berlaku nekad untuk loncat keluar jendela itu. Menyusul itu, huito Lou Ping menyambar dari belakang., syukur Kok Tong sudah lebih dahulu menjaganya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia enjotkan lagi kesamping. Walaupun tak sampai ia binasa, tak urung jua pundak kirinya terpapas juga.

Dengan mengerek gigi menahan kesakitan hebat Kok Tong terus lari terbirit-birit.
Sampai disini, lenyaplah kecurigaan Lou ping dan Hi Tong serta merta mereka berlutut dihadapan Hwi Ching. Sedang Bun Thay-thay yang masih rebah dipembaringan, buru-buru berkata :

“Locianpwe, maafkanlah aku tak dapat turun untuk menjalankan peradatan.”
“Ah, tak perlu banyak peradatan. Apa hubunganmu dengan To Gwan Thong lau ngoya?” tanya Hwi Ching sembari memandang kearah Lou Ping.

“Mendiang ayahku, locianpwe, “ sahut Lou Ping.

“Gwan Thong laote adalah sahabat karibku, tak nyana kalau dia sudah mendahuluiku,” kata Hwi Ching dengan suara rawan.

Mendengar itu, berlinanglah air mata Lou Ping. Iapun terkenang akan ayahnya yang tercinta itu.

“kau adalah murid dari Ma-suheng bukan ? bagaimna dengan suhumu itu? Tanya Hwi Ching pada Hi Tong.

“Atas berkah susiok dia tak kurang suatu apa pun, memang suhu pernah mengatakan tentang diri susiok yang katanya sudah saling berpisah berpuluh-puluh tahun lamanya. Dia selalu terkenang dan mencari tahu kediaman susiok.”

“Suhumu adalah seorang yang setia, akupun sangat terkenang. Tahukah kau bahwa susiokmu yang satunya lagi kini mencari kau ajuga?”

“Thio Ciauw Cong susiok?” tanya Hi Tong dengan membelalakan mata.

Hwi Ching menganggukan kepalanya. Bun tahay lay ketika mendengar nama thio Ciauw Cong, terguncanglah hatinya dan tak sengaja meluncurkan kata-kata, “Ah, ……”, melihat itu buru-buru Lou ping memapaknya untuk mebelai-belaianya.

“Kalau aku mempunyai seorang isteri sepertinya sekalipun sakit berat tak menjadi soal, diam-diam Hi Tong melamun sendiri ketika melihat kelakuan Lou Ping yang nampak sangat terbuka terhadap suaminya itu. Dia terus melamun yang bukan-bukan, ketika itu Hwi Ching tiba-tiba membuyarkan lamunannya dan berkata :

“Suteku itu memang berwatak rakus dan rendah. Dia merupakan titik hitam dalam cabang kita, hanya saja ilmu silatnya terlampau lihay. Apalagi dia jauh datang dari Pekhia menuju kedaerah perbatasan ini tentunya mempunyai tulang punggung penjagaan yang sangat kuat sekali. Kini lebih baik menyingkir dari dia saja. Besok kita ajal lagi beberapa kawan untuk mencarinya. Lohu sendiri juga tak dapat mencuci noda dari kalangan ku biarlah rerangka tulang-tulang tua ini dihancurkan saja.”

Paras Hwi Ching terlihat sungguh-sungguh dan sikap khasatria.

“Kita semua hanya menurut apa yang Liok lopeh rasa baik.” Kata Lou ping seraya memandang Bun thay tay, yang mengangguk setuju pula.

Hwi Ching angsurkan sepucuk surat pada Lau Ping. Diatas sampulnya tertulis kata-kata : “dihaturkan yang terhormat Thiat tan Cang ciu Ciu liong Ing lo enghiong.”

Membaca itu giranglah hi Lou ping, terus menanyakan hubungan Hwi Ching dengan orang she Ciu tersebut. Belum sempat Hwi Ching menjawab, berserulah Bun Thay lay : “Ciu long tiong yang manakah itu?”
“Ciu Tiong Ing,” sahut isterinya
“Adakah dia tinggal di daerah ini?” tanya Thay lay pula
“Lohu dengan Ciau Lo-enghiong belum pernah berjumpa, namun kita sama-sama mengenal nama masing-masing. Dia adlah seorang gagah yang benar-benar bersifat jantan dan tinggi budi pekertinya, dia tinggal didesa Thay tan Ching dua puluh lie dari sini. Maksudku agar Bun Thay lay sementara ini beristirahat dulu kesitu, sembari kita suruh menyampaikan berita pada kawan-kawan laute untuk selekasnya datang menjemput laote,” kata Hwi Ching.

“Entah bagaiamna pendapat Bun laote,” menegasi Hwi Ching ketika tampak muka orang menunjukkan kesangsian.

“jalan yaang locianpwe tunjukkan itu, memang paling baik. Hanya saja diri siautit ini seumpama orang yang mendukung lautan darah. Kalau Kian Liong Lojin belum menyaksikan kematian Siautit, rasanya dia takkan makan tidur dengan enak. Ciu Lo enghiong telah lama kita kenal namanya. Dia adalah pemimpin dari kalangan loklim daerah barat utara. Kejujurannya tak dapat disangsikan lagi. Maka meskipun dengan kaum kita, dia belum mengenalnya, tapi tentu akan menerima siautit dengan tangan terbuka. Hanya saja, coba locianpwe pikir, bukankah dengan begitu dia akan tersangkut-sangkut. Dia yang sudah aman dan tentram bertempat tinggal di daerah sini, bukankah artinya kita akan mencelakakannya, jika sampai berurusan dengan pembesar negeri?”

“harap Bun laote jangan berpikiran begitu.” Sahut Hwi Ching
“Kita kaum persilatan hanya menjunjung “CI” kebajikan. Untuk kepentingan sahabat, rela pula kita korbankan jiwa, apalagi hanya harta benda. Kalau saja Lo-To enghiong kelak mengetahui kita mendapat kesukaran disini dan tidak pergi kepadanya, bukankah sebaliknya dia akan marah karena merasa dipandang rendah?”

“Selembar jiwa siutit ini memang sudah kusediakan, biarlah kawanan kuku garuda itu mengambilnya,” masih Bun Thay lay coba membantah. Locianpwe mungkin tak mengetahui “Dosa” yang ditumpahkan pada siutit itu keliwat besar sekali. Makin orang itu sahabat karib kita, makin kita tak mau merembet-rembetkan.”

“Baiklah, kini kusebutkan seorang tentunya kau mengenalnya” kata Hwi Ching pula “Thay Kok lay yang bernama Thio poa san itu pernah apa dengan mute?”
“Itulah sam-tong ke ketua ketiga dari perkumpulan kita!: seru Thay Lay.
“Bagus. Memang apa yang dikerjakan oleh orang-orang Hong Hwa Hwee, tidak kuketahui. Tapi nyata saja, Thio Poa san hiante kawanan sehidup semati. Ketika zaman perjuangan antara hidup dan mati dari Cu Liong Pang, kita berjuang bahu membahu melebihi saudara sekandung. Kalau dia adalah salah seorang dari Hong Hwa Hwee, pastilah tujuan perkumpulan itu mulia adanya, kau paling banyak hanya membunuh bangsa pembesar saja. Ah, bukankah hari ini aku telah membunuh dua orang pembesar juga!”

Habis berkat itu Hwi Ching menyepakkan kakinya ke mayat Pang Hwi.

“kalau diomongkan, urusan siutit ini panjang sekali, kelak kalau siutit masih diberkahi bisa berjumpa dengan Locianpwe lagi, pasti akan siutit ceritakan. Kali ini Kian Liong loji telah mengirim delapan orang siwi kelas satu untuk menangkap kami suami isteri. Di Ciucwan kami bertempur, dan siutit telah terluka parah. Berunyung titlimu keponakan perempuan, dapat membinasakan dua orang musuh dengan huitonya, hingga kami dapat lolos kemari. Tapi tak kusangka Pemimpin Ci-lim kun pengawal istana, Thio Ciauw Cong juga datang kesini. Sekalipun siutit binasa, Kian Liang masih takkan puas, selama masih belum mencapai maksudnya.”

Dari ucapan itu Hwi Ching dapat menduga bahwa thay lay ini tentulah orang yang mengetahui sekitar rahasia Kaisar Cang Tiauw itu. Karena kalau tidak begitu, masakan Kian Liong begitu bernafsu sekali untuk menangkapnya.

Kagum juga hati Hwi Ching atas sikap jantan dari orang she Bun itu, yang sekalipun dalam kesukatan besar, masih tak mau membuat orang lain terlibat. Diam-diam Hwi Ching akan gunakan siasat gertak, untuk memaksanya agat mau menyingkir ke Thiat tan Chung, katanya :

“Bun laote kau tak mau menyeret orang lain itu bagus. Behitulah sifat seorang satria, hanya saja aku merasa sayang.

“Apa yang locianpwe sayangkan itu? Buru-buru Bun Thay-tay bertanya.

“kau tak mau menyingkir, apakah kau kira kita bertiga tega untuk tinggalkan kau? Bahkan aku hendak memuji mereka serta memperkecil kekuatan kita, tapi yang nyata, dengan ikut sertanya suteku itu, pasti bukan lawannya isterimu. Dan hengtemu meskipun aku seorang tua yang bodoh, namun tak mau korban kan jiwaku, kalau kita bertiga jatuh siapakah yang membawamu lari? Bagi seorang tua yang sudah hidup senam puluh tahun seperti aku ini, mati tak perlu disayangkan. Tapi bagaimna dengan Lou ping, sutitku yang menjadi istrimu itu? Hanya karena menurut sikapmu untuk menunjukkkan kejantananmu itu, haruskan turut binasa sampai disini saja.

Keringat dingin membasahi kepala Boan Thay Lay mendengar kata-kata jago tua itu, kata-kata itu menusuk kehati, tapi memang benar tak dapat dibantahkan.

Melihat keadaan suaminya buru-buru Lou ping mengeluarkan sapu tangan untuk mempesut keningnya, sembari memegang sebelah tangana suaminya yang terluka aitu.

Sejak berumur lima belas tahun Bun Thay lay sudah mulai berkelana dikalangan kangouw, sungai telaga. Selama itu entah sudah berapa banyaak pembesar bangpak dan orang jahat yang dibasminya. Tapi kini tangan ampuh itu serasa lemah lunglai, sewaktu berada ddalam genggaman tangan isterinya yang halus itu, seketika berkatalah ia denga patuhnya.

“Nasihat locianpwe itu memanng benar, tadi siautit khilaf, selanjutnya terserah saja bagaimna locianpwe akan mengaturnya.

Hwi ching mengunjukkan surat yang akan diserahkan pada Ciu Cong Ing nanti. Disitu hanya dinyatakan ada beberapa sahabat dari Hong Hwa Hwee yang akan minta berteduh dengan tak menyebut nama Bun thay-lay dan kawan-kawannya.

Menyambuti surat itu, Bun Thay lay lalu menghela napas, lalu berkata :
“Dengan kedatangan kita ke Thiat tan chung ini, berarti Hon Hwa Hwee tambah seorang injin penolong lagi.

Kiranya ada sesuatu anggar-anggar dalam Honh Hwa Hwee yang menyatakan bahwa, budi tentu dibalas, sakit hati tentu dihimpas. Barang siapa yang melepas budi pada Hong Hwa Hwee biar bagaimana juga tentu akan dibalas sampai akhir. Tapi celakalah bagi mereka yang memusuhinya. Besar atau kecil, setiap dendam tentu akan diperhitungkan.

Karena itulah, orang-orang Tin Wan piauwkok menjadi tergetar hatinya, sewaktu mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.

Atas pertanyaan Hwi Ching siapa yang disuruh memberi warta pada Hong Hwa Hwee pusat, menjawablah Hi Tong.

“Dari tiga tempat dalam setiap tiga daerah kita mempunyai dua belas orang Ceng dan Hohiangcu ketua dan wakil ketua selagi Bun Sutongkeh dan Lou cap it tongkeh yang berada disini. Semua hiangcu sudah berkumpul di Anse. Mereka akan menganjurkan Sao-tocu untuk segera mengambil alih tampuk pimpinan. Dengan alasan masih muda kurang pengalaman, saotocu tentu akan menolak dan meminta agar Hi tong ke Bu Tim totianglah yang memegang pimpinan. Bu tim totiang juga dengan tegas menolaknya, sehingga mereka kini masih berdebat disana. Tinggal menunggu kedatangan Bun Sutongkeh dan Lou cap it tongkeh, pemilihan ketua umum itu akan segera dilangsungkan. Tak dinyana, kalau kedua tongke ini terlibat kesulitan disini. Jadi sebenarnya para hiangcu itu tengah mengharap kedatangan kedua Tongkeh ini.

Hi tong berhenti sejenak dan berpaling pada Bun tahy lay, sambil berkata :

“sebenarnya aku diutus oleh Saotocu ke Lok yang untuk menjelaskan kesalah pahaman ini kepada ahli waris keluarganyaBan. Tapi berhubung tak ada orang lain, biarlah aku saja yang pergi ke Anse untuk menyampaikan warta. Bagaimana pendapat Suko?”

Dalam Hong Hwa Hwee kedudukannya jauh lebih rendah dari Bun Thay lay, setiap persoalan dia harus tunduk kepada yang lebih tingkatannya.

Tapi sewaktu Bun Thay lay belum sempat membuka mulut, Hwi Ching telah mendahului berkata :

“Menurut pendapatku, kamu bertiga sebaliknya lekas-lekas berangkat ke Thiat Tan Chung, setelah itu, Le Hiantit cepat menuju Lok-Yang . urusan memberi kabar ke Anse serahkan sajaa padaku. Kini waktu sangat singkat dan mendesak, harap kalian segera berangkat sekarang!”

Bun thay-lay menurut saja. Dari dalam sakunya, dia mengeluarkan setangkai bungai sulaman warna merah Honghwa terus diserahkan pada Hwi Ching, katanya:
“Locianpwe, setiba di Anse kau pakailah bunga ini, tentu bakal aada orang yang akan mengantarkan locianpwe nanti.”

Lou ping lalu membantu suaminya bangun sementaraa Hi Tong meletakkan kedua mayat itu ditempat tidur kemudian ditutupi dengan selimut, sedang Hwi Ching segera bertindak keluar terus melarikan kudanya menuju ke barat. Karena tak keburu mencegah, pelayan hanya mengawasi dengan melongo saja.

Dengan Hi Tong sebagai pembuka jalan Lou Ping menyambar sebatang Palang pintu yang digenggamnya disebelah tangan, sedang sebelah tangannya yang lain memegang suaminya keluar dari kamar. Hi Tong lemparkan uang perak lima tail kearah meja pengurus hotel, lalu berseru :

“Inilah uang kamar dan makan kami. Dan dalam kamar ada benda yang sangat berharga sekali. Awas kalau kalian sampai berani mengambilnya.

Si pengurus hotel tersipu mengiayakan sedang pelayan mempersiapkan kuda, tangannya sampai gemetaran.

Tak berapa lama setelah tiga orang Hong Hwa Hwee itu berlalu, muncullah Wan Ci sehabis menipu Ciauw Cong dengan buntalan palsu tadi.

Baru saja ia melangkah masuk pintu hotel, dilihatnya seorang penunggang kuda keluar dari hotel itu, orang itu tentulah piawsudari Tin Wan Piauw kok Tong Siu Ho, Wan Ci terus saj bertukar pakaian, lalu mengawani Li Thay-thay.

Sementara itu Le Hi Tong bertiga dengan kencangnya melarikan kudanya menuju ke Thiat Tan Chung. Ketika bertanya pada seseorang penduduk, barulah diketahui bahwa tempat tujuan itu sudah tak berapa jauh lagi. Diam-diam Lou Ping terhibur hatinya, sekali meneduh ke Thiat Tan Chung jiwa suaminya pasti tertolong.

Thiat tan Ciu-Tiong Ing namanya harum di dunia persilatan. Di daerah barat utara, baik golongan hitam maupun golongan putih, sama turuti perindahan, sedikitnya orang akan sungkan menggeledah rumahnya, apalagi kalau bala bantuan Hong Hwa Hwee sudah datang, sekalipun kawanan kuku garuda berjumlah besar, pasti dapat dilayani.

Selagi Lou Ping bergembira dengan renungannya dari arah muka tampak tiga penunggang kuda mendatangi. Yang dua ternyata muda-muda, tapi seorang sudah berjenggot putih, wajahnya kemerah-merahan dan membawa sepasang Toa thiat tan semacam gempolan.

Di persimpangan, orang tua gagah itu melepaskan pendangannya kearah Bun Thay lay dengan rupa heran. Tapi karena kuda itu berlari cepat, maka sebentar saja mereka sudah terpisah jauh satu dengan lain.

“Suku-susa, orang itu tadi mungkin Thiat tan ciu tiong-ing! Tiba-tiba Hi Tong berseru.
“Bagaimna kau bisa mengetahuinya?” tanya Lou Ping
“Bukankah dia membawa senjata sepasang Thiat-tan tadi?”
“Sepertinya memang dia orangnya, Bun Thay lay menyelak. Tapi kita belum pernah berjumpa dan dia agaknya terburu-buru mungkin ada urusan penting. Menghadang dan menanyakan nama orang ditengah jalan, kurang pantas. Kita terus saja pergi ke Thiat tan chung dulu!”

Sekejap saja sampailah mereka ke Thiat Tan chung. Ternyata desa itu sekelilingnya dilingkari sebuah sungai kecil yang pada kedua tepinya ditumbuhi pohon itu. Diluar desa terdapat sebuah benteng disitu terpampang sebuah jembatan gantung. Kesemuanya menambah keangkeran desa tersebut.

Cong teng cepat menyambut mereka dan mempersilakan masuk ke dalam, sesaat kemudian keluar seorang muda yang kalu ditilik sikapnya seperti pengurus rumah tangga itu. Dia memperkenalkan dirinya sebagai she Song nama San Beng.

Sewaktu diketahui bahwa ketiga tetamunya itu adalah orang-orang penting dari Hong Hwa Hwee San Beng agak terperanjat. Katanya :

“Kudengar perkumpulan Jiwi itu berkedudukan di Cang-lam dan jarang sekali bergerak ke daerah ini. Entah samwi ada keperluan apa hendak menemui lochungcu, sayang lochungcu kita sedang pergi.

Sengaja pengurus rumah itu berlaku demikian tawar karena dia menyaksikan kedatangan ketiga tetamunya itu, karena setahunya majikannya tak ada hubungan dengan perserikatan Hong Hwa Hwee.

Mendengar orang yang dicari tak dirumah sedang sikap yang menyambut ia itu tak begitu mengasih Bun tahy lay tak mau mengunjukkan surat dari Hwi Ching. Dan sedianya dia akan berlalu dari situ, katanya :

“Karena Ciu Loenghiong tak dirumah, kitapun akan kembali saja sebenarnya kita pun tak ada urusan penting dan hanya sekedar akan mengunjungi Ciu loenghiong yang namnya sudah lama kami dengar itu.”

Melihat orang itu sudah bangkit dari kursinya buru-buru San Beng mencegahnya.
“Harap tuan jangan tergesa-gesa dulu, tunggu setelah hidangan sekedarnya:”

Segera San Beng memerintahkan seorang congceng untuk menyiapkan daharan.

“Mohon dengan sangat samwi suka beristirahat sebentar lagi karena kalau samwi diketahui loenghiong tentu aku dimarahi tak mau menjamu yang terhormat,” demikian kata San Beng ketika dilihatnya Bun Thay-lay menolak dan sudah akan berlalu.

Berbarenan pada saat itu, keluarlah conceng dengan embawa senampan “daharan” terdiri dari dua buah kantong masing-masing terisi tiga puluh tail perak.

“Bun-nya harap kau tak menampik barang yang tak berharga ini. Dari tempat yang begitu jauh samwi berkunjung kemari,” sungguh menyesal kami tak dapat memberi pelayanan yang memuaskan, maka haraplah suka terima ini sekedar ongkos perjalanan nanti, “ demikian kata San Beng.

Mendengar itu, hampir meledaklah dada Bun Thay-lay karena gusarnya. Dia merasa terhina karena dikira akan minta bantuan ongkos, selama dia merantau di kangouw orang selalu minta bantuan kepadanya dan tak pernah dia minta pertolongan orang.

Melihat wajah suaminya berubah, buru-buru Lou Ping menjawil tangan suaminya, memberi tanda agar jangan umbar kemarahan. Bun Thay-lay dapat menguasai perasaannya, ia mengambil potongan perak itu dan berkata :

“Kita datang kemari bukan hendak minta bantuan ongkos, ong-pengyu terlalu memandang rendah orang.”

Buru-buru san Beng mengucap kata-kata merendah. Tapi dalam hatinya dia tersenyum, melihat ucapan sang tamu yang minta bantuan, tapi ternyata mengambil kantong uang. Dia tahu juga akan kebesaran nama dari Hong Hwa Hwe maka kali ini uang pemberiannya itu, luar biasa besarnya.

“terima kasih, kita minta diri,” Kta Bun Thay-lay seraya menaroh kembali kantong uang kedalam nampan.

Bukan main terkejutnya san Beng ketika melihat bagaimana uang perak itu telah berubah menjadi semacam kue perak, insyaflah ia kan kehilagfannya melihat orang, jika saja sampai mencari urusan. Cepat ia panggil seorang congteng dan disuruhnya lapor pada Toa naynay nyonya besar didalam sedang ia sendiri terus mengantar sang tamu keluar dengan tak putus-putusnya meurkan maaf.

Setelah ketiganya naik lagi keatas kudanya, Lou Ping mengeluarkan eceran emas kira-kira sepuluh tail ternyata untuk diberikan pada ketiga congteng yang telah mempersiapkan kudanya itu.

“Bikin repot saja. Inilah sekedar untuk samwi minum arak! Demikian kata Lou ping dengan sewajarnya.

Sepuluh tail eceran jauh lebih besar jumlahnya dari pemberian San Beng tadi. Congteng itu keima, sekalipun seumur hidupnya ia menghemat belanjanya, tak nanti dapat berjumlah sekian banyak. Emas ditangannya, masih saja ia tak percaya pada dirinya. Sehingga iapun lupa urkan terima kasih kepada yang memberi, sedang Lou ping hanya tertawa saja, terus menaiki kudanya.

Melihat wajah suaminya berubah, buru-buru Lou Ping menjawil tangan suaminya, memberi tanda agar jangan umbar kemarahan. Bun Thay-lay dapat menguasai perasaannya, ia mengambil potongan perak itu dan berkata :

“Kita datang kemari bukan hendak minta bantuan ongkos, ong-pengyu terlalu memandang rendah orang.”

Buru-buru san Beng mengucap kata-kata merendah. Tapi dalam hatinya dia tersenyum, melihat ucapan sang tamu yang minta bantuan, tapi ternyata mengambil kantong uang. Dia tahu juga akan kebesaran nama dari Hong Hwa Hwe maka kali ini uang pemberiannya itu, luar biasa besarnya.

“terima kasih, kita minta diri,” Kta Bun Thay-lay seraya menaroh kembali kantong uang kedalam nampan.

Bukan main terkejutnya san Beng ketika melihat bagaimana uang perak itu telah berubah menjadi semacam kue perak, insyaflah ia kan kehilagfannya melihat orang, jika saja sampai mencari urusan. Cepat ia panggil seorang congteng dan disuruhnya lapor pada Toa naynay nyonya besar didalam sedang ia sendiri terus mengantar sang tamu keluar dengan tak putus-putusnya meurkan maaf.

Setelah ketiganya naik lagi keatas kudanya, Lou Ping mengeluarkan eceran emas kira-kira sepuluh tail ternyata untuk diberikan pada ketiga congteng yang telah mempersiapkan kudanya itu.

“Bikin repot saja. Inilah sekedar untuk samwi minum arak! Demikian kata Lou ping dengan sewajarnya.

Sepuluh tail eceran jauh lebih besar jumlahnya dari pemberian San Beng tadi. Congteng itu keima, sekalipun seumur hidupnya ia menghemat belanjanya, tak nanti dapat berjumlah sekian banyak. Emas ditangannya, masih saja ia tak percaya pada dirinya. Sehingga iapun lupa urkan terima kasih kepada yang memberi, sedang Lou ping hanya tertawa saja, terus menaiki kudanya.

Tak lama Lou Ping lahir, ibunya kemudian meninggal. Ayahnya Sin To, si golok sakti, Lou Gwan Thong adalah seorang begal tunggal, seorang diri, ia menyatroni pembesar-pembesar rakus.

Pernah pada suatu malam, dia gedor rumah pembesar Ceng hingga namanya menggetarkan seluruh sungai telaga.

Setiap akan bekerja, lebih dahulu dia selidiki keadan pembesar itu kejahatannya dan kerakusannya, sekali turun tangan, hasilnya tentu memuaskan. Terhadap putrinya yang tunggal itu, dia sangat sayang seperti mustika, sebenarnya dia berwatak kasar tapi karena kecintaannya sedimikian besar, terpaksa Lou Gwan Thong, yang seperti air saja. Mudah membuang mudah mencari. Karena itulah maka Lou Ping terdidik dengan kebiasan gampang mengeluarkan uang untuk disedekahkan. Dalam kebebasan memakai uang, mungkin putra-putri bangsawan tak akan dapat menyamai dengan putri dar
Raja begal itu.

Ciri khas Lou Ping, ialah sejak kecil ia suka tertwa, apabila sedikit saja mendengar hal-hal yang lucu ia akan tertawa terus hingga setengah harian. Justeru sifat-sifat itulah yang menyenangkan hati setiap orang. Sekalipun sudah menikah dengan Bun Thay lay tetap saja tak berubah. Bun thay lay lebih tua sepuluh tahun dari isterinya. Adatnya kaku dan keras, selain pemimpin kaum Hong Hwa Hwe Le Ban Thing, isterinyalah orang kedua yang dia mau dengar kata-katanya.

Maka seperti ditampar mukanya, merah padamlah wajah San Beng melihat cara tamu perempuannya itu memberikan hadiah. Ketika Bun Thay lay bertiga akan melarikan kudanya, tiba-tiba terdengarlah bunyi lonceng bertalu-talu. Menyusul dengan itu, datanglah seorang penunggang kuda dengan bergegas-gegas. Begitu loncat turun orang itu memberi hormat pada Bun Thay lay katanya :

“Ternyata samwi benar-benar datang ke Thiat tan chung, mari silakan masuk kedalam.”
“Tadi kami sudah banyak merepotkan, lain hari saja kami berkunjung lagi.” Jawab Bun thay lay karena heran atas sikap orang itu.

“Tadi sewaktu bertemu dijalan, Locungchu mengatakan samwi pasti akan berkunjung ke Thiat Tan chung, malah saat itu juga sebenarnya lochungcu sudah akan kembali pulang. Tapi karena ia sedang mempunyai urusan yang sangat penting, maka disuruhnya siaute pulang dulu untuk menyambut samwi. Lochungcu paling suka bergaul dengan para sahabat, dia cukup mengetahui, bahwa samwi adalah enghiong-enghiong yang terhormat. Dia pesan, biar bagaimna juga malam nanti tentu akan pulang dan memintanya agar samwi suka beristirahat dulu disini. Juga Lochungcu menyampaikan maafnya, karena terpaksa tak dapat menyambutnya sendiri, demikian kata orang itu dengan ramahnya.

Nampak bahwa orang itu, betul-betul salah seorang dari ketiga penunggang kuda yang dijumpai tadi, apalagi ucapannya sangat sungguh-sungguh, redalah kemarahan Bun Thay-lay.

Orang itu bernama Beng Kian Hiong, teucu murid pertama dari Thiat tan Cu Tiong ing. Dengan laku hormat sekali, ia segera memimpin ketiga tamunya masuk. Sedang San Beng hanya mengawasi saja dengan perasaan tak enak.

Ketika sudah berduaan dan menghidangkan teh. Seorang congteng berbisik kedekat telinga Kian Hiong, lalu bangkit dan berkata :

“Sunio isteri suhu mengundang Li henghiong ini untuk beristirahat keruangan dalam.”

Dengan diantar oleh cengteng, Lou Ping masuk kedalam disambut oleh seorang bujang perempuan.

“Astaga, ada tetamu kita tak menyambutnya” tiba-tiba seru dari arah muka.

Menyusul kemudian keluar seorang wanita kira-kira berumur empat puluh tahun, lantas kemudian membimbing tangan Lao Ping, sambil berkata dengan ramahnya.

“Tadi orangku mengatakan ada tetamu dari Hong Hwa Hwe berkunjung kemari dan hanya sebentar saja lalu pergi, sungguh aku menyesal, syukur kalian datang kembali. Hayo, tinggallah disini Habis itu ia berpaling pada pelayannya dan berkata pula, Nyonya ini sungguh cantik sekali bukan? Sampai siocianya kita semuanya ini ia tak bisa menempil dengan dia.

Diam-diam Lou Ping berpikir bahwa nyonya itu sungguh ceriwis, tapi sangat ramah, maka iapun menjawabnya :

“Toanay-nay ini, bagaimana kuharus menjemputnya, saomay sendiri orang she Lou, kemudian menjadi anggota keluarga she Bun.

Atas pertanyaan itu menyahuti seoraang dayang. Inilah nyonya majikan kami.

Kiranya wanita itu adalah isteri kedua dari Chiu Tiong Ing. Isteri Ciu Tiong Ing yang pertama telah meninggal dan tinggalkan dua orang putera. Tapi putera-puteranya karena ada perselisihan dalam kalangan kangouw, mereka juga telah meninggal. Isteri yang sekarang ini memberikan Liong Ing seorang puteri. Ciu Ki namanya, kini sudah berusia delapan belas tahun. Ciu Ki ini mewarisi adata ayahnya, suka membikin onar diluaran. Urusan penting yang membuat Tiong Ing begitu terburu-buru juga karena soal puterinya itu yang telah melukai orang. Maka Tiong Ing perlu untuk meminta maaf.

Nay-nay itu karena hanya mempunyai seorang puteri, tampaknya masih berduka. Mungkin Ciu Tiong yang sudah lanjut usianya itu, takkan mempunyai keturunan putra lelaki lagi tapi dugaan itu meleset. Dalam usia lima puluh empat tahun ternyata Tiong Ing masih diberkahi seorang putera. Dapat dibayangkan bagaimna girangnya hati sepasang suami isteri yang sudah mendekati tua itu.

Begitulah setelah semuanya duduk, nyonya rumah lantas suruh Pelayan pergi memanggil sang putra. Tak selang beberapa lama, keluar lah seorang anal lelaki yang berwajah bersih dengan sepasang mata yang bundar bening, sedang gerakkannya lincah sekali

Lou Ping percaya bahwa anak itu tentunya sudah mendapat didikan silat selama beberapa tahun. Begitu menampak Lou Ping anak itu segera memberi hormat.

“Tahun ini aku berumur sepuluh tahun dan namaku Ciu Ing Kiat,” sahut anak itu atas pertanyaan Lou Ping.

Lou ping meloloskan sebuah mainan mutiara dari gelangnya diberikan pada Ing Kiat, katanya :

“Menyesal aku tak membawa varang apa-ap, mainan mutiara ini kau pakailah diatas kopiahmu.

Melihat Mutiara itu sangat besar, tentu berharga mahal sekali maka buru-buru Teonaynay suruh puteranya mengahaturkan terima kasih. Justeru pada saat itu tiba-tiba seorang dayang bergegas-gegas masuk sambil berseru :

“Bun Naynay, Bun-ya tak sadarkan diri harap kau lekas menengoknya!”

Toanynay buru-buru perintahkan or

Angnya untuk memanggil sinshe sedangkan Lou Ping terus mengikuti dayang itu keluar.
Kiranya luka yang diderita Bun Thay-lay itu sangan berat. Tadi karena gusar dia gunakan tenaganya untuk memijat gepeng uang perak. Kala itu dia tidak merasa apa-apa tapi kini rasa sakit mulai menyerang dengan hebat dan pingsanlah dia. Namun wajah suaminya pucat tak berdarah menjeritlah Lou Ping. Kira-kira setengah jm lagi, barulah Bun Thay-lay dapat membuka matanya.

Beng Kian Hiong cepat memerintah Congteng naik kuda untuk memanggil sinse, setelah itu agar memberikann kabar pada Locongchu, bahwa tetamunya itu sudah berada di rumah. Sembari memberikan pesanan itu, Kian Hiong mengikuti samapai dimuka pintu gerbang desa. Baru setelah Congteng itu lenyap dengan kudanya, dia merasa lega hatinya. Tapi ketika dia hendak masuk ke rumah lagi, tiba-tiba dilihatnya dibalik pohon, nampak ada sebuah bayangan berkelebat. Mungkin orang itu mengira bahwa penghuni rumah telah mengetahui tempat persembunyiannya itu.

Kian Hiong berlaku tenang saja, terus berjalan masuk. Tetapi secepatnya dia menuju kebelakang rumah, lalu buru-buru lari keatas paseban untuk melihat pemandangan. Dari situ dia mengawasi kearah pohon itu tadi. Tampaklah saat itu orang yang berada dibalik pohon itu, kelihatan berendap-endap bertindak keluar. Ternyata orang itu mondar-mandir diluar halaman pedesaan itu. Orang itu memiliki badan sangat kurus. Melihat sikapnya yang takut diketahui orang, nyatalah bukan orang baik-baik.

Buru-buru Kian Hiong turun dari paseban itu, lalu mendapatkan Cu Ing Kiat. Kelihtan ia membisiki beberapa patah kata pada anak itu. Ia pun berualng-ulang mengucapkan, bagus ...... bagus...... bagus sambil mengikuti dibelakang Kian Hiong.

Ketika Kian Hiong dan Ing Kiat berada diluar desa, berkatalah Jian Liong dengan tertawa, Baiklah, sudara cilik, aku takut padamu, jangan kejar lagi.

Sambil berkata begitu Kian Hiong terus lari dan diburu Ing Kiat dengan teriakan yang keras.

“Ha, kau lari kemana? Mau nakal urik Ya! Hati-hati kutampar kepalamu nanti? Kata Ing Kiat.

Kian hiong mengeluarkan gerak-gerak untuk menggoda, sementara Ing Kiat terus mengejarnya, tingkh mereka seperti anak-anak sedang mainpetak umpat. Kian Hiong lari menuju ketempat persembunyian orang itu, hampir saja ia jingkrk karena terkejut. Orang itu pura-pura kesasar jalan dan lekas-lekas tampakkan diri sambil bertanya :

“He, sahabat, dimana jalan ke Sam To Kao ya ?”
Kian Hiong tak ambil perduli terus menerjang orang itu hingga sampai terhuyung-huyung tiga empat tindah. Karuan saja orang itu gusar dan membentak : “He, dimana matamu?”

Kiranya orang itu bukan lain ialah piauwsu dari Tin Wan Piauwkok. Tong siu Ho. Rupanya ia masih terkenang akan suara tertawa Lou Ping yang merdu itu. Sekalipun pernah mendapat pelajaran dari Bun Thay-lay bertiga keluar dari hotel, dia segera menguntitnya dengan diam-diam dari kejauhan. Iapun melihat, bagaimana Bun masuk ke Thiat tan chung, sebentar sudah keluar dan lalu masuk lagi terus tak kembali keluar lagi.

Dia mengambil keputusan untuk menyelidikinya, baru nanti pulang melaporkan. Dia tak mau lagi sebagai orang yang tahu makan tak tahu kerja, selagi dia tengah melakukan pengintipan itu, tiba-tiba dipergoki dan diseruduk oleh Kian Hiong. Serudukan itu sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya tapi dia orangnya licik. Dia tahu bahwa orang akan menjajaki dirinya, karena itu dia pura-pura berlaku seperti orang tak mengenal ilmu silat. Begitu sempoyongan kebelakang dia terus jatuhkan diri berusaha bangun dengan susah payah kelihatannya.

Buru-buru Kian Hiong haturkan maaf dan katanya

“Aku dengan saudara kecil ini sedang bergurau main-main, dan tak sengaja telah menyeruduk jatuh tuan, tidak sampai sakit bukan?”

"Tanganku yang sebelah ini sakit sekali, aduh? Siu Ho mainkan Holanya"

Melihat itu buru-buru Kian Hiong tarik lengan Siu-ho diiajak masuk untuk diberi obat. Dengan tetap berpura-pura untuk kesakitan, siu bo ma¬suk kedalam desa itu.

Kian Hiong bawa siu-bo kesebuah ruangan di sebelah timur. Habis itu lantas ia tanya orang-orang.

“Tuan akan pergi ke sam to-kauw. mangapa me¬lalui sini?"

"Benar, memang aku hendak mengatakan tentang itu. Tadi seorang pengembala kambing menunyukkan aku jalan kesini nanti tentu ku¬hajar bangsat itu, sahut Siu ho

“Hola, sudahlah. Harap singkapkan bajumu biar kuperiksa apa kau luka tidak! ujar Kiang-Hiong

Sampai disini, siu ho menyadi kerupukan. dia tahu dengan alasan memeriksa luka, orang akan menggeledah badannya Apa boleh buat ia kasihkan dirinya, syukur sebuah badi-badi yang dise¬lipkan didalam kaus kakinya, tak sampai ketahuan.

Begitulah setelah diperiksa ternyata tak ada apa apa. maka siu-ho dilepaskannya pulang selagi berada dalam desa itu. Tong siu ho pasang mata untuk menoari jejak ou-ping, tapi ternya¬ta tak dapat di ketahuinya!

Sahabat, kau tahu disini temnpat apa? Tiba-tiba Kian-hiong bertanya karena curiga atas sikap orang yaug jelilitan itu.

“Kalau ini Tang hui bio nama kelenteng mengapa tak ada posatnya?” sahut siu ho berlagak pilon.

Setelah mengantar sampai ke jembatan gantung berserulah Kian Hong kemudian, sahabat kalau ada waktu datanglah kembali!"

Ketika itu Kuatkah Siu Ho menahan perasaannya kembali mulutnya yang kotor itu membual pula, katanya sungguh sial, seorang keponakanku yang baru saja belajar jadi tabib, sedikit sedikit sudah suka buka baju dan periksa orang,

Mendengar ocehan yang tak karuan artinya itu, Kian Hiong melengak. Dia merasa bahwa orang itu dengan tak langsung memaki dirinya dengan tertawa-tawa dia gaplok pundak orang terus masuk kembali. Digaplok begitu, tulang Siu Ho rasanya seperti lepas, Tak putus-putusnya dia memaki panyang pendek, terus mcnyeplak kudanya pulang kehotel.

Di hotel kelihatan Thio Ciauw Cong, Go Kok Tong dan beberapa piauwsu sedang asik berun¬ding, disamping itu masih ada tujuh atau dela¬pan orang yang Siu Ho belum kenal. Rupanya mereka tengah menduga-duga kemana larinya Bun thay lay cs dan siapa orang tua yang membunuh Hao lun Lim dan Pang Hwi itu.

Dengan bangga Siu ho ceritakan hasil penyelidikannya tadi, suduh tentu bagian dimana ia dipale oleh Kian Hiong itu. dilewatkan. Merdengar itu Ciouw Cong girang sekali.
"Lekas kita kesana, Tong-toate harap kau tunyukkan jalan.”

Biasanya Ciauw Bong hanya memanggil lotong, Tong tua, tapi kini, karena gembira, ia menyebut, laote. Dengan bangga Siu-Ho melu¬luskannya.

Tangan Kok tong yang patah itu. sudah di sambung oleh sinshe. Dia segera kenalkan Siu-ho pada kawan-kawan baru itu. Mendengar nama-nama mereka bercekatlah siu ho dalam ha¬tinya, Kiranya mareka adalah jaga jago tersohor dari kalangan peisilatan.

Orang yang memakai jubah kuning itu, ialah si bin si wi Swi Tay lim, sedangkan lain lainnya ialah Cong houw tauw dari The Lin onghu Pan Ging Lan cong-Teng dari kota raja seng-bing. Ahli waris dari Gan keh pang di Holam. Gan Pek Kian dan beberapa kepala polisi yang kenamaan dari Thiancin dan Paoting

Untuk menangkap Bun Tbay Lay, para ahli Silat kenamaan bangsa boan munpun Han dan daerah utara sama berkumpul dideaa sekecil se¬perti Sam tao hauw itu Dengan bersiap-siap rombongan jago-jago kuku garuda itu menuju ke Thiat tan-cung.

Kini kita ganti menengok keadaan Liok Hwi-ching Dengan menempuh hujan salju, besar, dia larikan kudanya kearah barat. Melalui puncak gunung tersebut dia dapatkan bekas bekas darah dan pertempuran orarg orang Wi dengan orang-orang dari piauwkok kemarin itu, sudah hilang disapu hujan.

Dalam sekejap saja dia sudah menempuh empat atau lima puluh li dan sampailah kesebuah pasar kecil, Karena kudanya kelihatan sudah kelihatan lelah maka dengan pelan pelan masuklah dia kesitu. Sebenarnya hari belum terlalu gelap, dapatlah ia meneruskan perjalanan lagi, tapi ternyata kudanya mengeluarkan busa dan mulutnya, napas¬nya kemas-kemis, tiba-tiba diujungdua ekor kuda teugah melongok kesana-kesini seperti tengah menanti seseorang. Melihat kedua ekor kuda itu badannya tinggi dan besar besar, bulunya mengkilap, timbulah. rasa kepingin dalam hati Hwi Ching. segera ia menghampiri orang itu. adakah kuda itu dijualnya. Orang Wi tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari kantong kejunya Hwi-ching merogoh keluar uang kira-kira empat puluh tail, Namun orang Wi itu tetap menggeleng-gelengkan, kepalanya, Hwi Ching penasaran, ditumplaknya seluruh isi kantongnya yang ternyata berisi enam atau tujuh keping perak terus diangsurkau semua pada orang itu.

Kini malah orang itu membuat gerakan tangan menyuruh Hwi Ching pergi. Maksudnya kuda itu tak dijual. Dengan putus asa Hwi ching kembali masukkan peraknya itu dalamKantongnya. Tiba-tiba orang Wi itu dapat melihat diantara perak-perak itu sebuah thi lian ci. piaiw biji teratai, segera tangan diulurkan untuk menyemputnya, dan bulu-bulu itu ban ci itu diawasinya tajam-tajam

Thi lian ci itu adalah milik Hwe Ceng tong yang dipakainya untuk menimpuk Hwi ching dan dapat ditangguhnya dengan teh konya Dengan gerakan orang Wi itu bertanya dari mana Hwi Ching memperoleh piauw tersebut. Dengan gerakan tangan pula, Hwi.chiag menyatakan ia mendapatnya dari sahabatnya seorang nona bangsa Wi yang kepalanya tertancap bulu burung dan memegang sebatang pokiam.

Orang Wi tersebut mengangguk anggukan kepalanya, lalu menyerahkan, thi ban ci pada Hwi Ching lagi, habis itu dia tuntun seekor kuda, terus diberikan pada Hwi-ching, sudah tentu Hwi ching girang sekali, lalu merogoh uang peraknya lagi. Tapi orang itu tetap Goyang-goyang tangannya dan hanya menuntun kuda Hwi-ching semula terus dituntunnya pergi.

"Sungguh nona itu mempunyai pengaruh besar sekali dikalangan suku Wi. sampaikan sebuah thi lian cinya saja sudah dianggap sebagai tanda perintah demikian pikir Hwi Ching. Memangnya orang tadi adalah seorang warta dari suku Wi yang dikepalai oleh ayah Ceng tong dalam gerakkannya untuk merebut kembali kitab Al-Our'an, pada setiap pos mereka menyiapkan orang yang membawa kuda, untuk alat-alat penmberian warta. Dia mengira karena membawa thi lian ci dari Ceng Tong, tentulah Hwi ching itu salah seorang pembantu mereka. Oleh karena itulah tanpa sangsi sangsi lagi kudanya diberikan.

Dengan kuda baru itu Hwi Cbing meneruskan perjalanannya lagi, sampai kekota disebelah depannya dia bertemu lagi dengan seorang Wi yang yang membawa kuda. Ketika kembali dia unyukan thi lian ci, dapatlah dia berganti kuda baru. apalagi pada setiap kaki belakang kuda selalu terdapat cap tanda, maka pergantian kuda itu barjalan dengan mudahnya.

Selama di atas pelana kuda itu, Hwi Ching hanya makan ransum kering dan tidak tidur. Dalam sehari semalam, ia dapat menempuh jarak enam ratus li lebih. Maka pada hari kedua sore tibalah ia di Anse, pusat pertemuan anggauta-anggauta Hong-hwa-hwee. Begitu memasuki kota, ia pasang bunga merah sulaman dari Lou Ping di lubang bajunya.

Bagaimanapun tinggi bugee Hwi Ching, namun ia habis melakukan perjalanan nonstop dari jarak sedemikian jauhnya itu, tak urung dia merasa lelah juga, baru saja dia berjalan beberapa tindak, segera ada dua orang bercelana pendek mengundangnya makan ke ciulauw.

Dalam ciulauw, rumah minum, yang seorang lalu temani Hwi Ching minum arak, sedang yang lainnya dengan laku hormat sekali meminta diri. Orang yang menemani minum itu juga berlaku sangat menghormat. Dia tak berani banyak bertanya, dan hanya pesan sayuran untuk kawan arak.

Ketika habis menenggak tiga cawan arak, tiba-tiba dari luar masuk seorang yang terus memberi hormat pada Hwi Ching siapa buru-buru berbangkit untuk membalasnya.

Orang itu mengenakan jubah kain hijau, kira-kira berumur tiga puluh tahun, sepasang matanya mengeluarkan sorot berapi-api, sikapnya berkewibawaan. Mengetahui siapa adanya, Hwi Ching berkatalah orang itu, “Oh, kiranya Liok-locianpwe dari Bu-tong-pay, sering kudengar Tio Pan San samko sebut-sebut nama locianpwe, kini sungguh beruntung dapat berjumpa.”

“Siapakah nama laoko yang mulia?” tanya Hwi Ching.

“Aku yang rendah ialah Wi Jun Hwa,” sahut orang itu.

Dalam pada itu, orang yang menemani Hwi Ching minum tadi segera minta diri juga.
“Siautocu dan para hengte kami, semua sama berkumpul di sini. Kalau diketahui locianpwe datang, pasti siang-siang mereka akan menyambutnya. Entah apakah locianpwe sudi meringankan kaki untuk menemui mereka,” kata Jun Hwa.

“Bagus, memang kedatanganku ini perlu menyampaikan suatu hal yang penting pada saudara-saudara sekalian,” sahut Hwi Ching.

Begitulah, Jun Hwa segera bawa Hwi Ching keluar ciulauw. Anehnya pemilik ciulauw itu tak minta bayaran padanya. Dengan menunggang kuda mereka menuju keluar kota.
“Bunga merah yang locianpwe punya itu adalah milik Bun-suko, bunga itu mempunyai empat buah sumbar,” kata Wi Jun Hwa di tengah jalan.

Ketika Hwi Ching periksa bunga merah yang dipakainya, memang perkataan Jun Hwa itu benar.

Tak berapa lama, tibalah mereka di sebuah biara. Yang menyolok pemandangan, di muka dan di belakang biara itu tumbuh pohon-pohon tua yang menyulang ke langit, sehingga menambah keangkeran tempat itu. Di muka biara tergantung sebuah papan yang tertulis empat buah huruf “Giok-hi-to-wan”. Di muka itu tampak ada dua orang tojin menyaganya. Begitu melihat Wi Jun Hwa, mereka bersikap menghormat sekali.
Oleh Jun Hwa, Hwi Ching dipersilahkan masuk dan satu imam kecil segera membawa teh. Ketika Jun Hwa membisiki telinganya, imam itu kelihatan mengangguk-angguk kepalanya lalu masuk ke dalam, sesaat Hwi Ching mengangkat cawan akan diminum, tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar seseorang berseru, “Liok-toako, betul kau membuat mati rindu.”

Belum kumandang ucapan itu hilang, orangnya sudah muncul. Dia bukan lain ialah kawan seperjuangannya dulu Tio Pan San, sobat lawas saling bertemu, sukar dilukiskan bagaimana kegirangannya.

“Beberapa tahun ini toako bersembunyi dimana, bagaimana bisa datang kemari?” demikian pertanyaan susul-menyusul keluar dari mulut Pan San.

“Tio-hiante, baik kita bicarakan dulu urusan penting yang menyadi tugasku ini,” tiba-tiba Hwi Ching berkata dengan bersungguh-sungguh, kalian punya Bun-su-tangkeh ini berada dalam kesulitan besar.”

Habis ini lantas Hwi Ching ceritakan apa yang sudah terjadi. Dalam pada itu tiba-tiba diluar terdengar suara seseorang yang sedang berteriak, “Suko, kakak keempat dalam bahaya, hayo lekas kita menolongnya, biar aku yang berangkat dulu!”

“Yang an kau begini gegabah, tunggu putusan siautocu dulu,” cegah Wi Jun Hwa.
Tapi orang itu tetap ngotot. Begitu Pan San menarik tangan, Hwi Ching melihat, ternyata orang yang membuat ribut-ribut itu adalah seorang bongkok, seketika itu teringatlah Hwi Ching pada si Bongkok yang memapas ekor kuda Wan Ci dulu itu.
Sementara itu Jun Hwa telah mendorong si Bongkok ke hadapan Hwi Ching dan berkata, “Hayo lekas kau temui Liok-locianpwe!”

Menghampiri ke muka Hwi Ching, si Bongkok mengawasinya dengan tak mengucap apa-apa. Mengira kalau orang masih ingat akan hinaan Wan Ci tempo hari, Hwi Ching akan memintakan maaf. Tapi tiba-tiba si Bongkok membuka mulut, “Kau tempuh jarak enam ratus li dalam sehari hanya karena akan menyampaikan berita dari Bun-suko, sungguh aku oang she Ciang merasa berterima kasih sebesar-besarnya!”

Berbareng dengan ucapannya, si Bongkok segera jatuhkan diri ke tanah dengan berkui sampai empat kali. Karena tak keburu menegahnya, Hwi Ching juga berlutut untuk membalas hormat.

Secepat-cepat habis memberi hormat, si Bongkok lalu bangkit, katanya,
“Tio-samko, Wi-kiauko, aku akan pergi dulu!”

Tio Pan San coba akan mencegahnya, tapi si Bongkok terus menerobos keluar dan sudah berada di pintu bundar yang berada di halaman. Tapi mendadak tangannya dipegang orang.

“Kau akan kemana?” demikian tegur orang itu.

“Menengok suko dan suso, hayo kau ikut aku,” sahut si Bongkok.

Anehnya orang itu betul-betul mengikutinya. Kiranya si Bongkok adalah orang she Ciang nama Cin. Wataknya berterus terang, sejak lahir dia bercacad namun memiliki tenaga luar biasa. Dia seorang murid Siau-lim-pay yang jempolan. Karena cacadnya itu dia paling benci orang memperolokkan bongkoknya. Tapi kalau berbicara dengan orang, selalu ia menyebut dirinya “Ciang-thocu” atau Ciang si bongkok. Namun sekali-kali yang an orang mengatakan “bongkok” dan memperolok-olokkannya, karena dia tentu akan keluar tanduknya betul-betul nanti. Lebih-lebih kalau orang itu bisa bugee, tentu diajaknya pibu (bertanding silat).

Di kalangan Hong-hwa-hwee hanya pada Lou Ping yang dia mau dengar katanya. Karena lain-lain orang selalu menertawakan, adalah Lou Ping yang paling mengerti hatinya, paling mengasihani cacadnya itu. Begitu rupa Lou Ping merawati si Bongkok, sehingga seperti saudaranya sendiri.

Maka begitu mendengar Bun Thay Lay suami-isteri mendapat kecelakaan, meluaplah amarah Ciang bongkok, terus akan pergi menengoki saja. Ciang bongkok dalam Hong-hwa-hwee, jatuh pada urutan no. 10. Yang memegang tadi, yaitu Ci Thian Hong, orang nomor tujuh dalam Hong-hwa-hwe. Meskipun dia orangnya pendek kecil, tapi banyak akal. Dialah kunsu, juru pemikir, dari Hong-hwa-hwee. Di samping itu, lihay juga bugeenya, lwekang maupun gwakang serta segala ilmu senyata. Kalangan kangouw memberi dia sebuah julukan sebagai “Bu-cu-kat” atau si Khong Beng dari Hong-hwa-hwee.

Baru setelah Tio Pan San menutur, tahulah Hwi Ching siapa kedua orang itu. Pada saat itu pun para Tangkeh, pemimpin daerah, sama berturut-turut keluar. Mereka adalah para orang-orang gagah yang sudah ternama. Semuanya banyak yang sudah dilihat Hwi Ching di tengah perjalanan itu. Kepada mereka, Tio Pan San tuturkan perihal Bun Thay Lay.

Ji-tangkeh, pemimpin kedua, yang hanya berlengan satu, yaitu Bu Tin tojin berkata, “Mari kita temui siautocu!”

Segera mereka menuju ke halaman belakang, masuk ke sebuah rumah besar. Tembok di ruangan itu terukir sebuah papan tioki, catur yang besar. Pada jarak dua tombak ada dua orang sedang duduk di atas dipan, tengah minum teh sambil berkelakar. Kiranya mereka tengah main tioki ke arah tembok papan catur yang seperti terpaku itu, biji-biji tioki itu melekat di situ.

Selama ini, belum pernah Hwi Ching melihat orang main tioki dengan cara begitu. Pada saat itu, biji-biji tioki hitam dan putih tengah berpusat pada sebuah lingkaran. Rupanya pada jurus-jurus yang menentukan, dimana putih dalam kedudukan menyerang.

Yang mainkan biji hitam adalah seorang kongcu (pemuda) muda yang mengenakan jubah putih. Wajahnya berseri terang, mengunyukkan masih berdarah bangsawan, sedang yang main biji putih, adalah seorang tua yang dandanannya sebagai seorang desa.

Melihat kedua orang tersebut sedang asyik main tioki, orang-orang Hong-hwa-hwee itu tak berani mengganggunya. Sekali lihat, tahulah Hwi Ching bahwa kepandaian tioki dari kongcu itu di atas si orang tua. Tapi entah karena apa koncu itu main mengalah saja. Tiap kali si orang tua melontarkan biji tiokinya, biji-biji itu menancap dalam-dalam ke papan tembok. Diam-diam Hwi Ching terkejut dalam hati, pikirnya,
“Orang itu entah enghiong ternama siapa, kecepat-cepat annya melempar senyata rahasia belum pernah kulihat ada yang melebihi.”

Berselang beberapa waktu lagi, kini jelaslah Hwi Ching. Ternyata kongcu itu tak terlalu perhatikan posisi ratunya, tetapi diam-diam dia perhatikan cara melempar biji tioki dari si orang tua itu. Pada saat itu kedudukan putih payah sekali, sekali hitam jalan, habislah putih. Dan ini pun diketahui oleh kongcu tersebut. Tapi ternyata lemparan itu tak tepat, biji tiokinya agak miring tak dapat menancap dengan betul.
“Ha, kau mengaku kalah sajalah!” si orang tua tertawa terkekeh-kekeh sembari meletakkan biji tioki terus berbangkit. Nyata ia takut kalah.

Kongcu itu juga tidak mau berbantahan, dengan tersenyum ia berkata, “Besok kalau ada kesempatan, aku main lagi dengan suhu.”

Melihat rombongan orang-orang itu, si orang tua tersebut tak mau menegur atau memberi hormat, hanya dengan langkah lebar terus melangkah keluar pintu. Setelah itu berkatalah Tio Pan San pada si kongcu,“Siautocu, ketua muda, inilah orang yang pernah kukatakan itu, Liok Hwi Ching toako,” habis ini katanya pula pada Hwi Ching, “Liok-toako, inilah siautocu kita, mari sama-sama berkenalan saja.”

“Siaucit she Tan, nama Keh Lok, harap lopeh suka kasih pengunyukan,” pemuda itu berkata dengan merendah.

Tersipu-sipu Hwi Ching membalas juga dengan kata-kata merendah. Diam-diam ia perhatikan siautocu itu jauh berbeda sikapnya dengan rombongan anak-anak buahnya yang kasar-kasar itu.

Tio Pan San lalu tuturkan keadaan Bun Thay Lay dan minta pendapat dari siautocu tersebut. Tapi siautocu hanya berpaling pada Bu Tim tojin dan berkata, “Harap totiang suka memberi keputusan.”

Tiba-tiba dari sebelah belakang Bu Tim, ada seorang gagah yang berseru dengan kerasnya,

“Bun-suko mendapat kesukaran, seorang luar, telah begitu memerlukan memberi warta dari tempat yang begitu jauh. Tapi sebaliknya kita sendiri masih tolak-menolak mengenai siapa yang harus menyadi ketua. Apakah sesudah Bun-suko terlanyur hilang jiwanya, kau orang baru tak main tolak-tolakan lagi? Pesan mendiang lotangkeh, siapa yang berani membantahnya? Siautocu, kalau kau tak mengindahkan pesan gihu, ayah angkatmu, nyata kau tak berbakti pada beliau. Juga sekiranya kau memandang rendah pada kita orang, para hengte sekalian dan tak mau menyadi tocu, biarlah Hong-hwa-hwee yang beranggautakan tujuh puluh ribu orang ini dibubarkan saja.”

Ternyata orang yang bersuara keras ini, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, dia adalah orang yang menduduki kursi ke delapan dari pimpinan Hong-hwa-hwee, yakni Nyo Seng Hiap.

Mendengar itu, sekalian orang pun turut meminta pada si kongcu.

“Kita adalah seumpama ular yang tak punya kepala. Kalau siautocu tetap menolak lagi, kita semua tentu menyesal. Dalam soal Bun-suko, kita menurut perintah siautocu.”

“Dalam tujuh puluh ribu anggauta Hong-hwa-hwee ini, siapa yang tak mau dengar kata siautocu, biar dia rasakan kelihayan pedangku,” seru Bu Tim dengan lantangnya.
Mendengar desakan dari orang banyak, Tan Keh Lok tak enak hati, sepasang alisnya terangkat, seperti tengah memikir sesuatu. Melihat itu, Siang Hek Ci adalah seorang dari Siang-hiap berkata dengan suara berpengaruh pada adiknya,
“Hengte, betul-betul siautocu tak menghargai kita. Mari kita berdua tolong dulu Bun-suko kemari, baru nanti kita pulang ke Sechwan.”

“Koko benar, aku setuju,” balas sang adik Siang Pek Ci.

Sampai di sini terdesaklah Keh Lok. Kalau ia tetap berkeras menolak, pasti akan mengecewakan orang banyak. Apa boleh buat, katanya.

“Bukan aku keras kepala, tapi mengingat umurku begitu muda, kurang pengalaman, kurang pengetahuan, tentu tak pantas memegang jabatan penting itu. Tapi karena kalian semua menghendaki demikian, apalagi marhum gihuku pun telah meninggalkan pesan, apa boleh buat terserah kehendak saudara sekalian.”

Seketika itu orang Hong-hwa-hwee gempar karena girangnya, bahwa siautocu telah menerima angkatan itu.

“Upacara pengangkatan, biar nanti kita langsungkan di paseban Cong-hiang-tong di Thayouw. Sekarang harap congtocu bersembahyang dulu pada couwsu, untuk menerima lenghoa, lencana jabatan,” kata Bu Tim.

Hwi Ching cukup tahu bahwa sesuatu pelantikan tentu mempunyai upacara istimewa. Sebagai orang luar dia tak enak berada di situ. Habis memberi selamat pada Keh Lok, dia undurkan diri. Oleh Tio Pan San dia dibawa ke kamarnya sendiri, supaya beristirahat dulu.

KETIKA bangun dari tidurnya, ternyata hari sudah malam. Berkata Pan San.

“Tadi congtocu bersama sekalian saudaraa sudah berangkat ke Thio-ke-poh. Karena toako masih tidur, aku disuruh mengawani, besok pagi kita berangkat menyusul.”

Hampir lebih sepuluh tahun saling berpisah, malam itu keduanya bicara dengan uplek sekali menuturkan riwajatnya masing-masing selama itu. Berbicara tentang HONG HWA HWE bertanyalah Hwi Ching:

“Kau orang punya congtocu itu masih begitu muda usianya, tak ubah dengan seorang kongcu, bagaimana semua sama tunduk?”

“Urusan itu agak panjang untuk diceritakan. Toako, kau mengasuh lagi dulu, besok dalam perjalanan akan kuceritakan,” sahut Pan Sin.

Sekarang marl kita tengok keadaan rombongan Thio Ciauw Cong yang dibawa ke Thiat-san-chung oleh Tong Siu Ho, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Tiba dimuka chung (desa) itu. Ciauw Cong perintah seorang congteng melapor pada chungcu supaja keluar menyambut utusan pemerintah. Congteng itu tak berani berajal, terus bertindak masuk. Tapi dicegah oleh Ciauw Cong. Rupanya dia insjaf betapa kedudukan tuan rumah itu sebagai pemimpin kaum persilatan daerah barat utara. Karenanya dia tak mau gegabah, katanya pada congteng.

“Sahabat, tahan dulu. Bilanglah pada chungcu bahwa kita datang dari kotaraja, perlu bertemu dengan chungcu (kepala perkampungan) sendiri !”

Mengucap begitu, Ciauw Cong mengerlingkan matanya pada Go Kok Tong, siapa cukup mengerti maksudnya. Dengan membawa membawa beberapa orang polisi dia menuju ke belakang desa itu untuk menyaga apabila Bun Thay Lay sampai lolos.

Mendengar laporan congteng, Kian Hiong segera menge tahui bahwa rombongan kuku garuda itu tentu hendak meng usut tempat persembunyian Bun Thay Lay. Segera dia suruh Song San Beng, sipengurus rumah, untuk menemui dulu, sedang dia sendiri lalu Buru-buru mendapatkan Bun Thay Lay.

“Bun-ya, diluar ada kuku garuda dari golongan liok-san-mui. Apa boleh buat, kuminta samwi lekas-lekas bersembunyi saja,” demikian tuturnya.

Dia lalu memapak Bun Thay Lay menuju ke sebuah thia (paviljon) yang berada di kebun belakang. berdua dengan Ie Hi Tong, Kian Hong menggeser sebuah meja batu yang berada di situ. Segera di bawah situ tampak sebuah papan besi yang diikat dengan rantai. Ketika rantai ditarik, papan besi itu terangkat dan ternyata disitu tampak sebuah gowa dibawah tanah.

Melihat itu Bun Thay Lay marah dan serunya : “Aku Bun Thay -Lay-bukan orang yang takut mati dan temaha hidup. Bersembunyi didalam gowa ini, sekalipun da pat menyelamatkan diri, tapi tentu tak luput akan diterta wakan orang nanti.”

“Mengapa Bun-ya berkata begitu. Taytianghu bisa keras bisa lembek, menurut gelagat. Bun-ya menderita luka parah dan sementara bersembunyi, siapa yang akan menertawakan nya?” ujar Kian Hiong.

“Terima kasih, Beng-heng. Harap saja kau bukakan pintu belakang. Biar kita berlalu dari sini, agar tak merembet-rembet Beng-heng sekalian orang dalam rumah ini,” Bun Thay Lay tetap berkeras.

Pada saat itu, diluar pintu belakang terdengar tereakan orang minta dibukai pintu. Berbareng itu dari depan, ter dengar suara berisik dari rombongan orang yang mengham piri. Ketika mereka akan menobros masuk, San Beng coba akan menghalangi, tapi sia-sia saja. Karena mengindahkan nama dari Ciu Tiong Ing, Ciauw Cong hanya memakai alasan akan melihat-melihat kedalam chung yang dikatakan sangat indah pemandangannya itu.

“Kita hanya ingin menyaksikan sendiri betapa keindahan chung ini yang kesohor bagusnya itu. Harap saudara Song suka mengantai kita,'' kata Ciauw Cong.

Mengetahui bahwa Thiat-tan-chung sudah terkepung rapat, naiklah darah Bun Thay Lay, katanya pada isteri dan saudaranya itu.

“Mari kita bahu membahu menobros keluar!” Lou Ping nyatakan siap, ia terus memegang lengan tangan suaminya yang terluka itu. Kctika itu dengan memegang golok dalam tafigan kiri, Bun Thay Lay siap akan mener yang keluar. Tapi mendadak dia rasakan tubuh isterinya gemetar. Dan ketika dipandangnya, ternyata sepasang mata nya pun berlinang-linang air mata, wayahnya berduka sekali tampaknya. Seketika itu luluhlah hati Bun Thay Lay, dan dengan serentak dia berkata: “Baiklah, kita bersembunyi saja.”

Kian Hiong girang mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Begitu ketiga tamunya itu masuk kedalam gowa, cepat-cepat -cepat-cepat dia tutup papan besi itu dan dengan dua congteng digesernya pula meja batu itu keatas. Ciu Ing Kiat, putera Ciu Tiong Ing yang masih kecil itu, juga turut membantunya.

Setelah tak ada tandas yang mencurigakan, Kian Hiong perintahkan congteng membuka pintu belakang. Tapi ter nyata Go Kok Tong tak mau masuk dan hanya menunggu diluar pintu itu saja. Pada saat itu, rombongan Ciauw Cong pun sudah masuk kesitu.

Melihat Tong Siu Ho juga berada dalam rombongan itu, berkatalah Kian Hiong dengan menyindir :

“Oh, kiranya seorang koan-loya (pembesar negeri), tadi aku sudah berlaku kurang adat.”

“Aku hanyalah seorang piauwtauw dari Tin Wan piauw kok, loheng jangan salah kira,” sahut Siu Ho. Setelah itu dia berpaling pada Ciauw Cong dan berkata :

“Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat mereka masuk kesini. Thio taijin, harap perintahkan menggeledah.”

“Kita adalah penduduk baik-baik, Ciu lochungcu adalah seorang tuan tanah yang menuntut penghidupan halal, mana berani menyembunyikan bangsa bersandal. Tong-ya ini sengaja mempitenah saja,” San Bing Buru-buru memberikan bantahan tegas.

Dia tahu bahwa Bun Thay Lay bersembunyi ditempat yang aman, maka sengaja dia keluarkan kata-kata yang menantang itu. Juga bertanyalah Kian Hiong dengan berlagak pilon :

“Hong Hwa Hwe adalah sebuah perkumpulan di Kang Lam, mengapa mereka berada diperbatasan sebelah barat utara ini? Piauwtauw ini berkata dengan seenaknya sendiri saja, masa taijin sekalian mau mempercayainya?”

Thio Ciauw Cong adalah seorang kangouw kawakan. Dia tahu bahwa Bun Thay Lay tentu sembunyi di Thiat-tan-chung. Kalau menggeledah berhasil, masih mendingan, tapi kalau sampai tak dapat menemukannya, apakah Ciu Tiong Ing akan mau sudah? Jago she Ciu itu luas pengaruhnya dikalangan rimba persilatan, dengan demikian, bukankah akan dapat melakukan pembalasan? Memikir sampai disitu, Ciauw Cong menyadi ragu-ragu.

Sebaliknya Siu Ho berpikir, kalau kali ini gagal, tentu dia akan diejek dan di-kata-katai oleh kawan-kawannya. Tiba-tiba dia ter ingat akan Ciu Ing Kiat. Seorang anak kecil tentu tak dapat berbohong. Cepat-cepat dia tarik lengan Ing Kiat. Tapi anak itu, karena mengerti bahwa Siu Ho itu bukan orang baik-baik, dengan getas segera menarik tangannya.

“Kau tarik aku mau apa?” bentak bocah itu.

’Adik cilik, kau bilanglah, dimanakah adanya ketiga te tamu itu, aku nanti beri ini untuk beli permen,” kata Siu Ho sambil merogoh keluar beberapa biji uang perak.

Ing Kiat jebikan bibir, memperlihatkan muka mengejek, katanya.

“Kau angg'ap aku ini siapa? Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing! Aku tak sudi terima uang'mu yang berbau itu !” Karena malu, Siu Ho menyadi gusar, lalu berteriak : „Ayo kita geledah saja rumah ini, dan ringkus sekali bocah ini !”

“Kau berani dengan ayahku, Thiat-tan Ciu Tiong Ing?” kata Ing Kiat tak gentar.

Pada saat itu berobahlah air muka Thio Ciauw Cong. Dia duga anak itu pasti mengetahui tempat persembunyian Bun Thay Lay. Dia pikir, hanya dari mulut anak itulah akan bisa didapat keterangan. Tapi meskipun kecil, anak itu sangat berani. Tak jerih digertak, tak mempan dibujuk. Tapi akan coba dibujuknya juga.

“Ketiga tamu itu, bukankah sahabat ayahmu?” Ciauw Cong mulai pasang perangkap.

Tapi Ing Kiat tak kena diakali, sahutnya : “Aku tak tahu apa-apa.”

“Kalau sampai kita dapat menemukan ketiga orang itu, t.idak saja ayahmu, juga kau sendiri dan mamahmu semua akan dihukum mati !”

“Ha!” seru Ing Kiat dengan kerutkan alisnya. „Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing, masa dia jerih padamu?”

Ciauw Cong tobat betul-betul. Dia lalu merogoh sakunya, pikirnya akan mengambil uang mas untuk diberikan pada anak itu. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda bundar. Dengan girang, cepat-cepat -cepat-cepat benda itu dikeluarkannya. Ternyata benda itu ialah sebuah cian-li-king (teropong).

Ketika Ciauw Cong meninggalkan kotaraja untuk me nangkap Bun Thay Lay, Hok Gong An, pemimpin Gi-lim-kun (pengawal istana) menghadap padanya, untuk menyampai kan perintah istimewa dari kaisar, bahwa bagaimana juga pesakitan itu harus dapat ditangkap dan dibawa kekota raja. Untuk itu kaisar istimewa menghadiahkan sebuah teropong padanya.

Saat itu Ciauw Cong memasang teropong dimatanya, untuk melihat sekeliling tempat itu, habis itu dia berkata pada Ing Kiat :

“Kau pasanglah benda kemukamu, dan cobalah lihat ke jurusan sana.”

Kuatir orang akan menipunya, Ing Kiat cepat-cepat -cepat-cepat tarik tangannya. Tapi Ciauw Cong kembali melihatnya sendiri, seraja tak putus-putusnya memuji: “Wah, alangkah indahnya, sungguh bagus sekali !”

Biar bagaimana Ing Kiat tetap seorang anak kecil. Hati nya melonyak-loyak ingin melihatnya juga. Maka begitu Ciauw Cong mengangsurkan teropong itu untuk kedua kalinya, cepat-cepat -cepat-cepat Ing Kiat menyambutnya. Begitu dipasang dimatanya, dia berjingkrakjingkrak kaget. Gunung jauh disebelah muka itu seperti pindah dihadapannya. Pohon-pohon jelas tampaknya.

“Kau naik dimeja situ untuk melihat sana,” kata Ciauw Cong dengan ramahnya.

Ing Kiat loncat keatas meja batu, untuk melihat dengan teropong. Orang yang sedang berjalan dijalanan, tampaknya jelas berada dihadapannya. Sampaipun mulut dan mata mereka kelihatan jelas juga. Ketika teropong itu diambil nya, oranga berjalan itu tampaknya keciis dan samar-samar. Bolak-balik dia awasi benda ajaib itu sampai sekian lama. Habis itu dengan merasa sayang , dia kembalikan lagi pada Ciauw Cong.

“Kau inginkan ini?” tanya Ciauw Cong ketika menyam butinya.

Sambil berpaling kesamping memandangi Kian Hiong dan San Beng, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ciauw Cong seketika juga mengetahui bahwa pernyataan itu ber lawanan dengan hatinya, karena takut pada kedua orang itu. Maka cepat-cepat ditariknya Ing Kiat kesamping, lalu tanyanya: „Asal kau kasih tahu ketiga orang itu bersembunyi dimana, benda itu akan menyadi kepunyaanmu !”

“Aku tak tahu,” sahut Ing Kiat dengan berbisik.

“Kaubilanglah, aku tak nanti katakan pada lain orang. Ayahmu pun tentu takkan mengetahuinya,” kata Ciauw Cong dengan berbisik juga.
Hati Ing Kiat nampak guncang tapi dia tetap gelengkan kepalanya.

“Siaosute, masuklah kedalam, jangan main-main ditaman ini,” tiba-tiba kedengaran Kian Hiong berseru keras.

“Baiklah,” sahut Ing Kiat, lalu katanya pula pada Ciauw Cong, “Beng suko panggil aku.”
Namun Ciauw Cong masih pegangi tangan Ing Kiat, dan teropong itu disodorkan dihadapannya. Ing Kiat nampak gi rang sekali dan segera bisiknya lagi: „Kalau aku sampai memberitahu, nanti ayah tentu membunuh aku.”

“Kau tak usah menyahut, kalau kuajukan pertanyaan, cukup kau memberi isjarat dengan manggut atau gelengkan kepala saja”, Ciauw Cong makin mendesak. Dan habis berkata itu, dia serahkan teropong pada Ing Kiat.

Mulanya anak itu agak sangsi sesaat, tapi achirnya dite rimanya benda itu.

“Apakah mereka bersembunyi dikamar mamahmu?” Ciauw Cong terus tak mau buang tempo dan mulai ajukan pertanyaan. Ing Kiat gelengskan kepalanya. “Apakah mereka digudang padi?” Kembali anak itu geleng-gelengkan kepala. “Dikebun sini?”

Kini tampak Ing Kiat manggut2kan kepala dengan pelan-pelan .

Karena nampak Ciauw Cong menyeret sutenya kesebelah samping dan terus tak putus-putusnya menanyai, Kian Hiong kuatir jangana anak itu kelepasan omong, karena itu dia menghampirinya.

Melihat bahwa dalam taman itu yang ada hanya gunung-gunungan palsu, empang dan sebuah rumah kecil, Ciauw Cong segera mendesaknya :
“Dibagian mana mereka bersembunyi?”

Ing Kiat tak menyawab, hanya ekor matanya saja terus melirik kearah rumah gardu disebelah itu.
“Di gardu itu?” tanya Ciauw Cong.

Ing Kiat anggukkan kepalanya.

Nampak itu, Ciauw Cong tak mau bertanya lagi, terus menghampiri gardu itu. Setelah diperiksanya, ternyata gardu itu hanya dikelilingi oleh langkan (pagar jeruji) bercat me rah. Mustahil orang bersembunyi disitu. Loncat keatas langkan, Ciauw Cong memandang kepuncak gardu, tapi disitu tak ada apa-apanya. Karenanya, dia terpaksa loncat turun lagi dan untuk sesaat itu dia kelihatan berpikir. Tiba-tiba : ter gerak pikirannya, segera dengan tersenyum dia berkata pada Kian Hiong :
“Beng-ya, aku yang rendah ini meski berkepandaian rendah, tapi aku memiliki sedikit tenaga, harap Beng-ya suka member! petunyuk !”

Mengira karena tak dapat mencari orang lalu marah dan mengajak berkelahi, walaupun fihak musuh jumlahnya banyak, Kian Hiong tak perlihatkan kelemahan, katanya :
“Sungguh aku tak berani menerima kehormatan itu. Silakan loya memberi pengajaran tentang apa saja, tangan kosong maupun berscnyata.”

Mendadak Ciauw Cong tertawa keras, kemudian katanya: “Kita orang adalah sahabat baik. Dengan senyata maupun tangan kosong, bukanlah akan merusak perhubungan. Biar kita pakai cara begini: lebih dulu aku yang mengangkat meja batu itu, baru nanti Bun-ya juga mencobanya. Ka lau aku sampai tak dapat mengangkatnya, harap Bun-ya tidak buat tertawaan.”

Kian Hiong terkejut bukan kepalang. Tapi dia tak berdaya untuk mencegahnya. Bahkan dari rombongan tetamu itu sendiri, yaitu Swi Tay Lim, Seng Hing dan lain-lain. sama merasa heran mengapa Thio taijin itu akan mengadu kekuatan dengan anak muda itu.

Malah pada saat itu, Ciauw Cong sudah menyingkap lengan bajunya terus memegang meja batu yang berkaki bundar itu. Dengan kerahkan tenaganya, sekali angkat, maka meja yang seberat 400 kati itu segera beralih keatas sebelah tangan dari pembesar kuku garuda itu.

”Thio taijin sungguh mempunyai kekuatan yang luar biasa!” demikian pujian berkumandang diantara rombongan kuku garuda.

Belum lagi sorak pujian itu lenyap kumandangnya, mereka segera bertereak kaget. Meja batu terangkat, maka dibawahnya itu kelihatan sebuah papan besi.

Dalam pada itu Bun Thay Lay bertiga yang berada dalam lobang dibawah tanah itu. Bermula didengarnya suara berisik dari sejumlah orang yang mondar mandir diatasnya. Apa yang diucapkan oleh orang itu tak dapat didengar jelas olehnya. Justeru dia gelisah, tiba- terdengar sebuah benda jatuh yang mengeluarkan suara hebat, dan menyusul dengan itu, sinar terang masuk kedalam gowa tersebut. Nyata papan besi penutup lobang guwa itu telah diangkat orang.

Diantara hiruk pikuk suara orang yang menyatakan keka getannya itu, terdengar seorang telah membentak dengan suara berat: “Sahabat baik, keluarlah !”

Ternyata Ciauw Cong tak berani gegabah masuk kedalam lobang. Karena menaati titan kaisarnya untuk menangkap hidup orang buronan itu, sudah barang tentu tak boleh gu nakan senyata rahasia. Dia hanya menyaga dimulut gowa, sembari siapkan senyatanya dan berseru memerintahkau keluar, Saat itu berkatalah Bun Thay Lay pada isterinya :
”Kita telah dijual oleh orang Thiat-tan-Chung. Maukah kau luluskan permintaanku ?”

”Koko, kau katakanlah,” sahut Lou Ping cemas.

“Nanti apa saja yang kuminta, kau lakukanlah,” kata Thay Lay.

Dengan berlinang-linang air mata, Lou Ping memanggut.

”Aku, Pan-lui-chiu Bun Thay Lay berada disini, kau orang ributi apa?” ben tak Thay Lay segera.

Mendengar suara gagah dari orang tangkapannya, itu, kawanan kuku garuda terdiam sejenak.

”Pahaku terluka, Ayo kau beri tali supaja kau dapat tarik aku keluar!” seru Bun Thay Lay pada orang-orang diatas.

Ciauw Cong akan perintahkan Kian Hiong mengambil tambang, tapi ternyata anak muda itu sudah tak tampak disitu. Maka Buru-buru dia suruh cengteng yang mengambilkan nya.

Oleh Seng Hing sebelah ujung tambang itu dilontarkan kedalam guwa, untuk menarik Bun Thay Lay. Tapi begitu Bun Thay Lay kakinya menginyak tanah diluar guwa, dia segera sentak tambang itu sekeras-kerasnya, hingga terlepas dari tangan Seng Hing. Menyusul dengan bentakan menggeledek, tambang itu dikibaskan kedepan.

Aneh, tambang yang lemas itu, seketika berobah kaku, menyului kemuka. Itulah gerak “lepas membalik jubah,” salah suatu gerakan yang lihay dari ilmu jwan pian. Orang nya berputar kekanan, tapi tambang dari arah kiri menyapu kekanan. Menderu-deru angin samberannya, hebatnya bukan main.

Pian atau jwan-pian, adalah senyata yang paling sukar dijakinkan. Untuk belajar ilmu golok hanya diperlukan waktu setahun, tapi untuk ilmu pian orang harus: belajar sampai enam tahun. Tapi ditangan Pan-lui-chiu Bun Thay Lay, tambang itu seakan-akan merupakan pian yang berbahaja, me layang kearah orang banyak.

Karena tak menduga saraa sekali kawanan kuku garuda itu tak keburu menangkis, dan hanya Buru-buru merundukkan kepalanya untuk mengelit samberan tambang itu.

Si cumi-cumi Tong Siu Ho adalah orang yang pernah merasakan tangan Bun Thay Lay. Dia sudah kapok betul-betul. Maka begitu melihat Bun Thay Lay terangkat naik keatas, dia tersipu-sipumenyelinap kebelakang rombongannya, agar jangan terlihat oleh si Tangan Geledek itu. Pikirnya dia tentu akan aman. Tapi ternyata justeru sebaliknya. Makin berada di belakang, makin celaka. Kawan-kawannya yang berada dimuka begitu melihat tambang menyambar, terus menunyukkan kepala untuk menghindari. Sebaliknya, bagi orang she Tong itu, tahu-tahu tambang sudah berada dimukanya. Untuk me nyingkir terang sudah tak keburu, maka karena gugupnya, dia Buru-buru membalikkan badan untuk lari. Namun sudah terlambat. Tambang itu tepat menghantam punggungnya, dan seketika itu juga robohlah dia.

Jago bayang kari Swi Tay Lim dan ketua cabang Can-khe-kun yaitu Gan Pek Kian, yang satu memegang golok dan yang lain menggenggam sepasang gelangan besi, maju menyerbu Bun Thay Lay.

Nampak suasana sudah genting, Ie Hi Tong segera seru kan Lou Ping untuk loncat keatas. Bagaikan seekor meliwis, dia apungkan badannya keatas titian, terus menyerang pada congpeng Seng Hing. Yang belakangan ini gunakan permai nan tongkat dari Siao Lim Pai. Tapi berhadapan dengan kim-tiok (seruling mas) yang lebih pendek, tongkat congpeng itu tak berdaya.

Lou Ping setindak demi setindak, naik titian yang menuju keatas tanah. Tetapi mulut gowa terjaga oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, Lou Ping segera lepaskan sebuah huito. Orang itu tampak diam saja. Baru ketika huito ham pir tiba dimukanya, dia ulurkan tiga jari tangannya untuk menyumpit tangkai huito. Tepat sekali sumpitannya itu, karena ujung huito hanya terpisah beberapa dim saja dimuka hidungnya.

Menampak bag-aimana orang menyambuti huitonya, Lou Ping terkesiap. Dengan memutar sepasang goloknya ia meno bros keluar untuk menghampiri suaminya. Tapi siorang tadi, begitu nampak pelepas huito itu ternyata ada seorang wanita yang cantik, dia terus maju menghadangnya. Orang itu bukan lain ialah jago Bu Tong Pai yang kosen jakni, Thio Ciauw Cong.

Ciauw Cong beradat tinggi. Dia tak mau gunakan pedang untuk berkelahi dengan seorang wanita. Ia hanya pakai huito Lou Ping tadi untuk menyerangnya tiga kali berturut-turut.
Benar permainan kaki Lou Ping tidak begitu lincah, tetapi permainan sepasang goloknya adalah warisan dari keluarga nya yang telah dijakinkan dengan sempurna. Dalam jurus kelima, pundak Ciauw Cong kelihatan dijulurkan kemuka untuk menyerang lengan lawannya. Dari situ terus disapukan kekiri untuk menahan sepasang golok Lou Ping, lalu dengan sekuat-kuat didorongnya.

”Dalam kedudukan tubuhnya miring”, apalagi didorong oleh kekuatan yang mana dasyat dari Ciauw Cong, seketika itu terlemparlah Lou Ping, jatuh kembali kedalam gowa.

Dilain fihak, menghadapi kedua lawan yang tangguh itu, luka Bun Thay Lay kambuh lagi. Rasa sakit menyerang dengan hebat, sehingga semangatnya serasa terbang. Bagai banteng ketaton ia menyerang kesana-sini dengan kalapnya.

Sedang Hi Tong dengan permainannya kim-tiok, segera berada diatas angin. Melihat jurus-jurus permainan kim-tiok itu mengandung ilmu pedang jwan-hun-kiam, dan jurus-jurus tutuk annya mirip dengan kaumnya, Ciauw Cong merasa heran. Ketika akan ditanyainya, tiba-tiba dengan gerak “pek-hun-jong-kauw” Hi Tong desak mundur Seng Hing terus loncat ke-dalam gowa.

Kiranya waktu bertempur dengan Seng Hing tadi, Hi Tong tujukan perhatiannya pada Lou Ping. Dia kaget ketika nampak Lou Ping jatuh kembali kegowa, sehingga dia Buru-buru loncat menolongnya. Tapi ternyata Lou Ping sudah tegak berdiri tak kurang suatu apa.
„Bagaimana, apa terluka?” tanya Hi Tong kuatir.

”Tidak apa-apa, kau lekas keluar lagi membantu suko,” sahut Lou Ping.

”Mari kupimpin kau keatas,” kata Hi Tong.

Pada saat itu Seng Hing sudah menyaga di mulut gowa. Dengan membolang balingkan tongkat, dia cegah mereka supaja tak bisa keluar. Melihat isterinya tak bisa keluar, sedang tenaganya. rasanya sudah tak tahan lagi, Bun Thay

Lay buang dirinya kebelakang Seng Hing dan secepat-cepat kilat ia ulurkan jarinya menotok pinggang siwi (pahlawan, istana) tersebut. Begitu tubuh Seng Hing lemas ngusruk, Bun Thay Lay barengi menubruk dan mendekap tubuh itu sambil berseru: “Ayo turunlah !”

Dua-duanya, Bun Thay Lay dan Seng Hing sama-sama jatuh kedalam gowa. Seng Hing ternyata tertutuk jalan darahnya “kian-ceng-hiat,” sehingga numprah seluruh kekuatannya. Kini dia terlempar kedalam gowa, apalagi ditindihi Bun Thay Lay, sudah tentu keduanya tak dapat bangun.

Buru-buru Lou Ping mengangkat suaminya bangun. Wayah Bun Thay Lay pucat seperti tak berdarah, keringat mem basahi seluruh kepalanya. Tapi begitu nampak wayah isteri nya, Bun Thay Lay paksakan untuk bersenyum. Namun berbareng dengan suara batuknya, segumpal darah segar muntah dari mulutnya, tepat menyembur kujup dada baju Lou Ping. Hi Tong mengarti maksud Bun Thay Lay, maka dia berkaok keras-keraskesebelah atas : “Kasih kita jalan keatas !”

Ciauw Cong melihat ilmu silat Hi Tong terang adalah dari kaumnya, sedang dengan mata kepala sendiri dia saksi-kan bagaimana dengan menderita luka berat, Bun Thay Lay masih dapat melajani dua lawan yang tangguh, diam-diam timbul rasa sayangnya.
Sehingga setelah mendorong jatuh Lou Ping, dia tak mau turun tangan lagi. Tapi rasa sayang nya itu dibujarkan dengan rasa kaget yang besar, ketika melihat Seng Hing turut terjerumus kedalam gowa. Ketika dia akan terjun kebawah, tiba-tiba terdengar seruan Hi Tong tadi. Apa boleh buat, dia perintahkan orang-orang nya berhenti, untuk mem beri jalan pada orang-orang tangkapannya.

Pertama-tama yang keluar dari gowa, ialah Seng Hing itu pahlawan istana yang istimewa dikirim untuk menangkap Bun Thay lay. Ujung leher bajunya dicengkeram oleh Lou Pin, dengan sebelah tangannya memegang sebatang golok yang ditujukan pada punggung. Baru kemudian Hi Tong yang memayang Bun Thay Lay.

”Siapa berani bergerak, dia akan menyadi majat!” seru Lou Ping sembari mendorong Seng Hing keluar.

Diantara pagar senyata yang lebat, keempat orang itu berjalan kearah pintu belakang. Melihat ada tiga ekor kuda tertambat pada puhun liu disebelah sana, giranglah hati Lou Ping. Diam-diam ia berSyukur pada langit dan bumi. Memang tiga ekor kuda itu adalah kepunyaan Go Kok Tong tadi.

Melihat buronan penting akan dapat meloloskan diri Ciauw Cong segera ambil putusan. Kematian Seng Hing tak men jadi soal baginya, yang terutama Bun Thay Lay harus dapat ditangkap dan dibafwa ke Pakkhia. Tentu dia mendapat pahala besar.

Diam-diam dia pungut tambang yang dilemparkan ketanah oleh Bun Thay Lay tadi.

Dengan gunakan nuikang, dilontarkan nya gulungan tambang itu kemuka, dan tepat menyirat badan Bun Thay Lay. Sekali sentak, tertariklah Bun Thay Lay terlepas dari tangan Hi Tong.

Mendengar suaminya menggeram, Lou Ping sampai lupa untuk menghabiskan jiwa Seng Hing. Cepat-cepat dia balik untuk menolong Bun Thay Lay. Tapi betisnya tadi mendapat luka yang tak enteng. Baru berjalan dua tindak, robohlah dia.

”Lekas lari, lekas lari!” Bun Thay Lay menereaki isterinya.

”Koko, aku akan mati didampingmu saja!” sahut Lou Ping.

Mendengar isterinya membandel, marahlah Bun Thay Lay.

”Bukanlah tadi kau sudah berjanyi akan menurut perintahku?”

Belum sempat dia mengachiri kata-katanya, Swi Tay Lim dan orang-orang nya sudah maju meringkusnya. Hi Tong cepat-cepat loncat memburu, dia pondong Lou Ping terus menobros keluar pintu. Seorang hamba negeri yang coba menghadangnya, telah ditendang roboh oleh Ie Hi Tong.

Nampak suaminya tertangkap, luluhlah semangat Lou Ping, matanya berkunang-kunang dan seketika tak bisa menguasai diri. Hi Tong cepat-cepat mengangkatnya dibawa lari ke arah puhun Liu. Syukur Lou Ping sudah tersedar, maka begitu dinaikkan keatas pelana seekor kuda. Hi Tong menyuruhnya lepaskan huito.

Gan Pek Kian dan dua orang kepala polisi juga sudah memburu sampai keluar pintu taman, justeru pada saat

Lou Ping melepas tiga batang huito. Sekali terdengar jeritan seram, seorang kepala polisi tadi terjungkal roboh. Untuk sejenak, Gan Pek Kian kesima.

Menggunakan kesempatan ini, Hi Tong dengan sebatnya melolos lis kuda yang diikatkan pada puhun. Setelah dia sen diri sudah naik, lalu ketiga ekor kuda itu dilarikan keluar. Lebih dulu yang seekor dia taruh dimuka pintu taman, dengan kepalanya dihadapkan kearah taman. Sekali dia pukul bebokong kuda itu dengan kim-tioknya, kuda itu membinal lari masuk kedalam lagi. Maka ketika Pek Kian hendak mengejar, dia harus terpaksa menyingkir dulu dari ter jangan kuda itu. Pada lain saat dia sudah dapat memburu keluar, Hi Tong dan Lou Ping sudah lari jauh-jauh.

Setelah kira-kira enam tujuh li dan dibelakang tak ada yang mengejarnya, barulah Hi Tong dan Lou Ping mengendorkan lari kudanya. Kira-kira tiga empat li lagi, tiba-tiba tampak tiga empat penunggang kuda mendatangi dari arah muka. Yang dimuka sendiri adalah seorang tua berjenggot putih, yang bukan lain adalah Thiat-tang Ciu Tiong Ing sendiri. Begitu nampak Hi Tong berdua, Tiong Ing segera berseru : ”Liatwi hohan, harap berhenti dulu, aku sudah mengun dang seorang sinshe.”

Sebagai jawaban, Lou Ping menyabitkan sebatang huito. Sudah barang tentu tak terkira kaget Tiong Ing., Karena tak menyangka, dia sudah tak keburu menangkisnya. Syukur dia masih dapat menengkurupkan badannya keatas pelana, hingga huito itu hanya lewat diatas punggungnya saja.

An Kian Kong, murid kedua Tiong Ing yang berada dibelakang, Buru-buru angkat goloknya untuk menangkis. „Trang”, huito itu melayang kesamping, tepat menancap kesebuah puhun liu.

Baru saja Tiong Ing akan bertanya, tiba-tiba ia telah dida hului Lou Ping lagi dengan dampratannya :

“Kau ini memang penyahat tua yang berhati serigala! Kau telah membikin celaka suamiku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu”.

Dengan memaki dan menangis, Lou Ping ajukan kudanya untuk menyerang. Selagi Tiong Ing terlongong-longong tak habis mengerti, adalah muridnya An Kian Kong yang men jadi marah lalu putar goloknya untuk menyambut. Tapi burua dipegang lengannya oleh sang suhu, yang melarangnya tak boleh gegabah dulu.

Juga difihak Sana, Hi Tong mencegah perbuatan Lou Ping itu, katanya :
”Yang perlu ialah mencari jalan untuk menolong suko. Baru setelah itu kita bakar Thiat-tan-chung nanti”.

Rupanya Lou Ping kena diomongi, dan memutar balik ku danya. Sebelum pergi, ia sengaja meludah keras-keras, untuk unyuk kemarahannya.

Selama mengangkat nama dikalangan Sungai Telaga, Tiong Ing selalu mengutamakan budi dan kebajikan. Dia selalu mengalah dan suka bergaul. Maka orang-orang dari golong an hek-to dan pek-to memuji semua pada Tiong Ing. Kini mimpipun tidak, kalau dia sampai dimaki habis-habisan dan di sabit hoeito oleh seorang wanita. Tapi dia dapat berpikir panyang, tentu ada sebab-sebabnya wanita itu sampai berbuat begitu.

Dari congteng yang memanggil sinshe kekota tadi, dia mendapat keterangan bahwa toa-naynay dan Kian Hiong menyambut tetamunya itu dengan baik-baik . Karena tak mendapat jawaban yang memuaskan, Tiong Ing terus keprak kudanya menuju ke Thiat-tan-chung.

Begitu tiba dirumah, seorang conteng cepat-cepat memberi hormat dan menyambut. Nampak sikap dari orang-orang dirumah beda dari biasanya, Tiong Ing segera menduga, tentu dirumah ada terjadi hal2 yang luar biasa.

„Lekas panggll Kian Hiong kemari,” perintah. Tiong Ing pada seorang cengteng.
„Beng-ya sedang melindungi toa-naynay dan siaoya (tuan muda) yang bersembunyi disebuah gunung dibelakang,” ja wab cengteng itu.

Mendengar itu, keheranan Tiong Ing makin merangsang Syukur ada beberapa cengteng yang menuturkan tentang tertangkapnya Bun Thay Lay. Mendengar itu terkejutlah Tiong Ing, tanyanya :

”Siapa yang telah membocorkan tempat persembunyian itu pada orang-orang negeri?”
Centeng-centeng itu terdiam sejenak, tak ada yang berani me nyahut, meluaplah kemarahan Tiong Ing, cambuk diangkat dihajarkan kemuka mereka. Melihat suhunya sedang marah-marah An Kian Kongpun tak berani mencegah. Setelah beberapa cambukan, Tiong Ing lalu jatuhkan diri dikursi. Kedua gembolan thiat-tan, sampai berkerontangan, sedang centeng-centeng itu diam membisu saja.

„Kau orang berada disini perlu apa? Lekas panggil Kian Hiong!” teriak Tiong Ing gusar.
Berbareng ucapan itu, Kian Hiong tampak sudah muncul disitu, dan memberi hormat pada suhunya.

“Siapa yang membocorkan rahasia itu, bilanglah.”

Demikian pertanyaan yang pertama-tama diajukan Tiong Ing dengan penuh kegusaran hingga tak dapat melampiaskan kata-katanya. Menampak itu, Kian Hiong tak berani mengaku terus terang. Setelah berpikir sebentar, berkatalah dia :

”Kawanan kuku garuda itu sendiri yang ' mengetahuinya.”

“Ngaco! Gowa ditanah itu sangat terahasia sekali tem patnya, bagaimana mereka dapat mengetahuinya?

Kian Hiong tak dapat menyawab. Adalah pada saat itu, mendengar suaminya marah-marah, Ciu-naynay dengan memimpin puteranya datang akan menasehatnya. Ketika Tiong Ing melihat puteranya membawa sebuah teropong, timbullah ke curigaannya, terus dipanggilnya anak itu. Dengan takut-takut Ing Kiat menghampiri ayahnya.

“Barang itu kau dapat dari mana?” Ing Kiat tak berani menyahut.

”Ayo, lekas bilang!” seru Tiong Ing seraja mengangkat cambuknya.

Saking takutnya, Ing Kiat mau menangis tapi tak berani. Dia hanya memandang sang ibu, siapa segera maju menghampiri sambil berkata :
”Harap loyacu jangan marah-marah dulu. Puterimu yang mem bikin mendongkol hatimu, mengapa kau hardik anak kecil yang tidak bersalah apa-apa ini?”

Tiong Ing tak ambil mumet kata-kata isterinya itu, dia cam bukkan pecutnya itu keatas, dan berseru keras-keras:
”Kalau kau tak menyahut, tentu kubunuh kau, anak durhaka !”

”Loyacu, kau makin lama makin tak keruan omonganmu. Dia kan anak kandungmu sendiri, mengapa kau maki-maki anak durhaka?” Ciu naynay mulai sengit.

Kian Hiong dan semua orang sama geli mendengarnya, tetapi mereka tak berani tertawa. Tiong Ing mendorong isterinya, disuruh menyingkir, lalu mengulangi pertanyaannya lagi kepada Ing Kiat.

“Anak, kau bilanglah. Kalau kau ambil kepunyaan orang, kembalikanlah, besok kubelikan sendiri,” demikian Ciu nay-nay turut menanyainya.

”Bukan aku mencuri milik orang,” sahut Ing Kiat.

”Jadi diberi orang, ah itu lebih2 tak mengapa. Ayo kau bilang pada ayahmu, siapa yang memberinya?” kata sang ibu.

”Rombongan koanyin (pembesar negeri) tadi yang mem beri,” sahut Ing Kiat dengan suara pelan.

Tiong Ing tahu bahwa teropong adalah benda berharga buatan luar negeri. Kawanan pembesar negeri datang keru mah penduduk, kalau tak merampas binatang ternak atau lain-lain barang, sudah mendingan. Kalau sampai mereka meng hadiahkan benda yang berharga itu, tentu ada maksudnya. Ditilik dari sikap sekalian cengteng dan Kian Hiong tadi, tahulah Tiong Ing sekarang, siapa yang membocorkan ra hasia gowa persembunyian dibawah tanah itu. Seketika kepalanya seperti digujur air dingin, sehingga bulu romanya berdiri. Lalu katanya dengan suara tak lampias :

”Mari kau berikan itu padaku.”

Setelah teropong itu disambutinya, dengan tanpa melihat lagi, Tiong Ing lemparkan teropong itu sekuat-kuatpada tembok, sehingga seketika itu juga, teropong hancur ber keping-keping.

“Mari ikut aku,” katanya sembari menyeret tangan anaknya, terus dibawa ketempat ruangan peranti belajar silat.

Ciu naynay mengikuti dari belakang. Diam-diam ia heran, mengapa kali ini suaminya marah-marah sedemikian besarnya. Setelah terdiam sejurus, bertanyalah Tiong Ing :
”Tetamu kita yang bersembunyi didalam lubang dibawah tanah, bukankah kau yang memberitahukannya ?”

Dihadapan ayahnya, selamanya Ing Kiat tak berani ber bohong. Saat itu diapun menganggukkan kepalanya. Mendengar itu, Tiong Ing berpaling kearah isterinya sambil berkata :

“Kau sulut lilin dimeja tempat arwah leluhur kita dan meja couwsu kita.”

Dengan tak mengerti maksudnya, Ciu naynay mengerja kan perintah suaminya. Ciu Tiong Ing adalah murid Siao Lim Pai, couwsu yang dipujanya ialah Tat Mo couwsu. Didepan meja couwsu, Tiong Ing menyulut hio dan bersem bahyang . Juga puteranya disuruhnya bersembahyang . Dibawah sinar lilin, tampaklah olehnya akan wayah sang putera yang berseri-seri bagaikan rembulan itu, cakap dan menimbul kan rasa kasih. Diam-diam hatinya terasa seperti diiris-iris sembilu.

„Apakah kau masih berhutang uang pada orang, atau meminyam barang orang yang belum kau kembalikan?” tanyanya pada sang putera.

”Tidak.”

“Adakah kau membuat sesuatu janyi pada orang?”

“Aku telah menyanyikan pada adik kecil dari keluarga Beng, untuk memberi telur burung Tadi dibelakang gunung kutelah mendapatkan beberapa biji, masih belum kuberikan padanya.”

Sembari berkata itu, Ing Kiat merogoh keluar sebuah bungkusan diberikan pada ayahnya. Oleh Tiong Ing barang itu diletakkan diatas meja.

”Nanti biarlah aku sendiri yang menyerahkannya, harap kau jangan kuatir.”

Kata-kata Tiong Ing pada, saat itu, sangat lemah lembut. Ma-lah dielus-elusnya kepala puteranya itu dengan penuh kasih sayang, katanya :

”Kau Pai (memberi hormat dengan angkat kedua tangan) pada ibumu, untuk menghaturkan terima kasih bahwa ia telah mengandungmu selama sepuluh bulan dan merawatmu sampai sepuluh tahun.”

Ing Kiat mengerjakan apa yang diperintah ayahnya. Kini Ciu naynay baru insjaf apa yang akan diperbuat oleh suami nya itu. Seketika ia menangis menggerung-gerung. Puteranya segera didekap, biar bagaimana takkan dilepaskannya.

Tiong Ing senderkan diri dikursi. Nampak isterinya me meluk sang putera dengan menangis tersedu-sedu itu, hatinya seperti dibetot. Setelah beberapa waktu, Tiong Ing segera bangkit menghampiri. Melihat itu Ciu naynay makin me meluk kencang-kencang, serunya :

”Kau bunuhlah kita, ibu dan anak berdua saja. Tanpa dia, akupun tak mau hidup lagi.”
Setelah meremkan mata sejenak, berkatalah Tiong Ing dengan suara sember: „Kau lepaskanlah dia.”

Tapi Ciu naynay halangkan badannya kedepan pula.

“Masih sedemikian kecilnya dia sudah temaha keuntungan, lupakan kebajikan. Apakah besok tidak bakal menyadi orang yang melanggar pantangan Tuhan? Anak yang sema cam itu, makin berkurang makin baik bagi kita,” kata Tiong Ing dengan keren.

Sembari. mengucap begitu, dia tarik Ing Kiat, lalu diang katnya naik. Ciu naynay bergulung-gulung terus berkui didepan suaminya, clan meratap :

”Loyacu, kau ampuni dialah. Biarlah dia pergi dari Thiat-tan-chung sini, untuk selama-lamanya.”

Tanpa menyahut apa-apa, Tiong Ing diam-diam kerahkan semangatnya, lalu menamparkan tangannya kearah jalan darah “thian-ling-kay” pada batok kepala puteranya. Berbareng dengan suara “plak,” kedua biji mata anak itu melotot keluar, dan putuslah jiwanya seketika itu.

Melihat putera kandung yang dikasihinya telah meninggal, Ciu naynay bagaikan seekor macan betina yang kehilangan anak, terus menyerang suaminya. Tiong Ing mundur selang kah. Ciu naynay lari ketempat rak senyata, menyembat sebatang golok, lalu dihajarkan kekepala suaminya.

Saat itu hati Tiong Ing penuh dengan rasa sesal dan duka. Dia tak mau berkelit atau menyingkir. Dengan meramkan mata, berserulah ia: “Ya, biarlah. Kita semua mati, ada lebih baik.”

Melihat kelakuan suaminya itu, tangan Ciu naynay ber balik lemas. Golok dilempar, terus lari keluar sambil tekap mukanya.

Sekarang kita tengok keadaan Lou Ping dan Ie Hi Tong yang telah meninggalkan Thiat-tan-chung itu. Karena kuatir kesamplokan dengan kuku garuda, mereka ambil jalan di jalan kecil yang sepi. Kira-kira berjalan sampai sepuluh li, haripun sudah gelap.

Daerah didekat perbatasan situ, memang sunyi senyap. Jangankan rumah penginapan, sedangkan rumah petanipun tak nampak barang sebuah. Syukur keduanya adalah orang-orang kangouw, yang sudah biasa dengan keadaan begitu. Tidak ada rumah, sebuah batu karang yang besarpun, boleh untuk tempat istirahat. Disekitar tempat itu, tumbuh beberapa gundukan rumput. Hi Tong lepaskan kudanya untuk makan rumput, lalu memakai golok Lou Ping untuk memotong beberapa genggam rumput, yang ditumpuknya selaku kasur diatas tanah. Katanya :

”Kini tempat tidur sudah ada, sayang masih kurang ran sumnya, dan tiada air pula. Maka untuk malam ini terpaksa kita harus tidur dengan perut kosong”.

Pikiran dan hati Lou Ping selalu pada suaminya. Sekalipun dihidangkan daharan yang lezat-lezat, juga tak dapat ditelannya. Ia terus menerus menepas air mata. Sedapat mungkin Hi Tong menghiburnya dengan mengatakan, bahwa Liok susiok nya tentu sudah sampai ke Ansee, dan bahw.asanya bala ban tuan Hong Hwa Hwee akan segera tiba untuk merampas kembali Bun Thay Lay.

Lama kelamaan terhibur jugalah hati Lou Ping dan ter tidurlah ia. Malam itu ia bermimpi berjumpa dengan sua minya, yang segera memeluk dan menciumnya dengan kasih mesra. Dengan penuh kegirangan, Lou Ping biarkan suaminya memelukinya dan tanyanya :

“Betapa kuselalu pikirkan dirimu, koko. Bagaimana de ngan lukamu?”
Bun Thay Lay makin memeluknya kencang-kencang dan menciumnya dengan bernapsu. Selagi semangat Lou Ping me layang 2, tiba-tiba ia terkejut dan bangun. Dibawah sinar kelap kelip dari bintang-bintang, yang memeluk badannya ternyata bukan suaminya tetapi Ie Hi Tong.

Bukan main kagetnya Lou Ping, ia meronta se-kuatnya, namun Hi Tong tetap memeluknya kencang-kencang dan katanya :

“0, betapa aku telah merindukan dikau !”

Karena malu dan gusar, Lou Ping segera menamparnya. Seketika itu Hi Tong termangu-mangu. Kembali Lou Ping men jotos dadanya, serta berontak melepaskan diri dari pelukan nya. Dengan gerak „lan-lu-bak-kun” keledai malas mengge lundungkan diri, ia bergelundungan kesamping terus akan melolos sepasang goloknya dari pinggang. Tapi ternyata golok itu telah diambil Hi Tong dan diletakkan disamping.

Kembali ia kaget, dan terus merogoh kantong huitonya, yang untungnya masih ada dua batang. Dengan menggeng gam ujung huito, ia berseru dengan kerennya: „Apakah maksudmu sebenarnya?”

“Suso, kau dengarlah perkataanku,” sahut Hi Tong.

”Siapa yang kau sebut suso itu? Pantangan dalam Hong Hwa Hwe itu bagaimana, coba kau bilang!” bentak Lou Ping.

Hi Tong tundukkan kepala, tak berani menyahut. Lou Ping walaupun biasanya selalu
tertawa riang, namun dia selalu pegang aturan dengan keras. Mana ia mau sudah diperlaku kan begitu macam, maka dengan suara bengis ia mendesak pula: „Locu dari Hong Hwa Hwe orang she apa?”

”Hong Hwa Hwe locu sebenarnya orang she Cu,” sahut Hi Tong.

“Apakah yang dijunyung oleh para saudara-saudara?” tanya pula Lou Ping.

“Pertama, menyunyung azas Tho Wan Kiat Gi (sumpah persaudaraan ditaman) dari Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi. Kedua, memuja pada Ngo-kong-say-siang Ciong-ji-long (sumpah setia kawan). Ketiga, menghormat pada sepuluhdelapan orang gagah dari Liang-san,” sahut Hi Tong.

Kiranya tanya jawab tersebut adalah merupakan anggar2 yang penting dari Hong Hwa Hwe. Setiap ada anggauta baru masuk, mengadakan pengangkatan sumpah atau menyatuh kan hukuman partai, maka datanglah orang pimpinan atas untuk melakukan tanya jawab secara serieus. Orahg-orang sebawahan yang tersangkut, harus menyawabnya.

Dalam HONG HWA HWE Lou Ping menempati kedudukan yang lebih atas dari Hi Tong. Ia bertanya, sekalipun bagaimana rasa hati Hi Tong, tapi dia tak boleh tidak harus memberi ja waban. Kembali Lou Ping bertanya :

”Apakah keempat macam golongan orang yang akan di basmi oleh HONG HWA HWE?”

“Kesatu: kawanan budak pem. Boanciu. Kedua: pembesar rakus pemeras rakjat. Ketiga: segala okpa dan wangwe penindas. Keempat: Orang yang temaha kekajaan dan melu pakan kebajikan.”

Lou Ping kerutkan jidatnya sejenak, lalu serunya kembali :

“Apakah larangan (pantangan) besar dari HONG HWA HWE ?”

“Siapa yang menakluk pada Cengtiau, siapa yang meng hina pada pimpinan atas, siapa yang menghianati kawan, siapa yang kemaruk harta gemar paras cantik
akan. menerima hukuman mati.”

“Kalau kau insjaf, lekas-lekas jalankan „sam-to-liok-tong,” akan kuantarkan kau kepada saothocu. Kalau tidak insjaf, kau melarikan diri saja, agar jangan sampai tertangkap oleh Cap-ji-long Kwi Kian Chiu,” kata Lou Ping kembali.

Menurut peraturan HONG HWA HWE, barang siapa yang berbuat kesalahan besar, dan telah menginsjafinya, dimuka sidang dewan pimpinan boleh menyalankan hukuman: tusuk paha tiga kali. Tusukart itu harus menembus kedaging. Inilah yang dinamakan sam-to-liok-tong, tiga golok enam lubang. Habis itu harus menghaturkan maaf pada tho-cu daerah dan hiang-cu yang menyalankan hukuman itu. Apabila dosanya me mang besar sekali, pun sukar untuk mendapat keampunan.

Kwi Kian Chiu sebenarnya orang she Ciok nama Siang Ing. Dalam HONG HWA HWE dia menduduki tempat ke duabelas. Tugasnya chusus untuk memimpin sidang pemeriksaan hukuman. Hati nya dingin tak kenal kasihan, tangannya kejam. Seorang yang berdosa, takkan lolos dari tangannya, sekalipun dia hendak lari keudiung langit. Karenania berouluh ribu ang gauta HONG HWA HWE (Hong Hwa Hwe) bila mendengar nama Kwi Kian Chiu atau setanpun takut melihatnya, tentu merasa seram.

Boleh dikata anggauta HONG HWA HWE semua adalah orang-orang gagah dari kalangan Sungai Telaga. Kalau mereka tidak mengada

kan aturan-aturan partai yang keras, tentu tak dapat menguasai sekean banyak anggautanya.

Tatkala itu berkatalah Hi Tong dengan serta merta : “Kau bunuh sajalah aku! Aku akan puas mati ditanganmu.”

Mendengar itu, makin meluaplah kemarahan Lou Ping. Ia anggap Hi Tong tetap ngelantur.

”Kau tak meng'etahui bag'aimana dalam lima enam tahun ini, aku selalu menderita karena kau. Pada waktu aku mengangkat sumpah dipeseban Cong-hiang-tong, begitu pertama kali kumelihat kau, hatiku sudah bukan menyadi milikku lagi,” kata Hi Tong, lebih jauh.

”Itu waktu masa kau tak tahu bahwa aku sudah menyadi kepunyaan Bun suko?” tanya Lou Ping.

”Memang benar. Namun aku tak dapat menguasai diriku lagi. Karena itulah maka aku selalu jauhkan diri. Ada apa saja, tentu aku minta cong-tho-cu untuk menyuruh aku saja yang mengerjakan. Lain-lain saudara anggap betuis aku menyual jiwa untuk perkumpulan, karenanya aku mendapat banyak penghargaan. Tapi hal yang sebenarnya, aku hanya berusaha menyauhkan diri darimu. Namun dimana saja kuberada, pikiranku selalu ada padamu.”

Habis berkata itu, Hi Tong menyingkap lengan bajunya yang kiri, sembari maju
selangkah, dia berkata pula :

“Aku benci diriku, mengutuknya pula mengapa hatiku seperti binatang. Pada saat aku marah itu, segera kupaksa badis untuk menusuk lenganku ini. Kau lihatlah.”
Diantara sinar remang-remang dari bintang-bintang, tampak lengan Hi Tong itu penuh dengan bekas luka tusukan. Demi menampak itu, lemaslah hati Lou Ping.

Melihat bagaimana bibir Lou Ping ber-gerak-gerak, seperti sukar untuk mengucap, tahulah Hi Tong bahwa wanita pujaannya itu tergerak hatinya. Dia ulurkan tangan untuk menarik tangan Lou Ping, tapi yang tersebut belakangan ini cepat-cepat mundur selangkah, dan tundukkan kepala tak berkata apa-apa.

„Seringkali aku sesalkan Tuhan, mengapa tak memper temukan kita pada sebelum kau menikah. Dan mengapa kini menitahkan aku bertemu padamu? Baik usia dan rupa, kita berdua sembabat sekali. Kiranya jauh lebih baik kau ikut aku daripada Bun suko,” Hi Tong meraju.

Sebenarnya Lou Ping mengasihani penderitaan anak muda itu, tapi waktu dengar nama suaminya dibawa-bawa, marahlah ia.

”Bun suko? Dalam hal apa kau nempil dengan Bun suko?

Dia adalah seorang hohan yang berambekan tinggi, tidak seperti kau begini “

Lou Ping tak mau lanyutkan kata-kata untuk memaki orang. Dengan perdengarkan suara jemu, dengan berpincangan ia menghampiri kudanya, terus naik keatasnya. Hi Tong Buru-buru menghampiri untuk bantu menaikkannya, tapi dibentak Lou Ping yang menyuruhnya menyingkir.

“Suso, kau hendak kemana ?'“ tanya Hi Tong hampa.

“Tak perlu kau tahu. Suko sudah tertangkap, akupun tak mau hidup lagi kembalikan golokku itu,” kata Lou Ping.

Dengan tundukkan kepala, Hi Tong serahkan golok wan yang-to pada Lou Ping. Melihat sikap Hi Tong yang seperti orang hilang pikiran itu, timbullah rasa kasihan Lou Ping, lalu katanya :

“Asal selanyutnya kau bekerja sungguh-sungguh untuk perkum puian, soal tadi takkan kuceritakan pada siapapun juga. Akupun akan berusaha sekuat-kuat untuk bantu mencarikan seorang nona yang cantik dan kosen untukmu !”

Habis mengucap, dengan perdengarkan ketawanya, Lou Ping terus keprak kudanya. Memang sifat suka ketawa dari Lou Ping sukar dirobah, dan inilah yang membikin celaka Hi Tong. Dia kira, dengan ketawa itu Lou Ping masih memberi kemungkinan harapan. Lama dia awasi bajangan orang yang dipujanya dengan tegak berdiri. Pikirannya me-layang-layangjauh tak keruan.

Setelah berjalan sementara jauhnya, bimbanglah hati Lou Ping. Menuju kebarat untuk menggabungkan diri dengan bala bantuan HONG HWA HWE, atau ketimur untuk menolong suaminya. Dalam keadaan menderita luka, terang ia tak kan dapat menolong suaminya. Tapi kalau ia menuju keba rat, sedang suaminya dibawa makin lama makin jauh kearah timur, hatinya tak tega. Dalam kebimbangannya itu, ia melarikan kudanya tanpa tujuan tertentu. Kira-kira berjalan dapat delapan li jauhnya, karena percaya Hi Tong bakal tak sampai dapat mengganggu, ia lalu cari tempat meneduh dan tidur disitu.

Sejak kecil mengikut ayahnya Lou Gwan Thong, dan setelah menikah turut suaminya Bun Thay Lay, keduanya jago- yang bugenya menggetarkan orang, dan begitu sayang padanya. Karena itu selama di Rimba Persilatan, Lou Ping hanya selalu mengalami pertempuran dan menang, tak per nah ia menderita kekalahan. Kali ini betul-betul ia mengalami kegoncangan hati yang hebat. Suami tertangkap, ia sendiri terluka, tambahan pula dipermainkan Ie Hi Tong. Memikir sampai disitu, ia menangis tersedu-sedu. Sampai sekean lama, barulah ia tertidur. Malam itu badannya panas, dan tak putus-'nya menggigau minta minum.

Keesokan harinya, penyakitnya tambah berat. Ia paksakan diri untuk bangun, tapi rasanya kepala seperti mau pecah, maka terpaksa berbaring lagi. Sampai matahari selam, ia merasa haus dan lapar, namun ia tak kuasa untuk naik keatas kudanya.

Kalau mesti mati disini masih tak mengapa, tapi sungguh kecewa sekali, aku tak dapat berjumpa dengan Bun toako lagi. Demikian ratapnya.

Tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang dan terus jatuh pingsan. Entah sudah berselang berapa lama, ketika tersedar didengarnya orang berkata : “Ah, sudah mendusinlah seka-rang !”

Seorang gadis yang matanya lebar, kehitam-hitaman kulitnya, alisnya tebal dan kira-kira berusia 1delapan tahun nampak girang ketika tahu Lou Ping sudah bangun. Ia suruh seorang buyang nya untuk memberikan bubur pada Lou Ping, siapa pun terus memakannya. Setelah semangatnya sudah banyak segaran, Lou Ping haturkan terima kasih serta menanyakan nama penolongnya.

”Aku she Ciu, kau mengasohlah lagi. nanti kita omong-omong pula,” sahut gadis itu sambil meninggalkan ruangan itu.

Ketika Lou Ping bangun lagi ternyata hari sudah malam. Tiba-tiba didengarnya ada seorang wanita berkata :

“Mereka sangat tak pandang mata pada kita, begitu berani menggeledah Thiat-tan chung, biarlah aku yang memberi hajaran dulu”.

Mendengar itu, terkejutlah Lou Ping. Masa ia berada di Thiat-tan-chung lagi? Saat itu masuklah dua orang, yang ternyata adalah gadis itu dan seorang buyang . Ketika gadis itu menyingkap kelambu, Lou Ping pura-pura meremkan mata. Gadis itu segera menuju ketembok untuk mengambil golok. Lou Ping kaget, tapi segera ia girang setelah mengetahui wan-yang-tonya terletak diatas meja dekat pembaringannya situ. Kalau gadis itu berani menyerang, ia akan dului dengan sebuah tabasan, dan terus akan merat pergi.

”Siocia kau tak boleh meneryang bahaja lagi, loyacu (majikan tua) kini lagi bersusah hati, jangan kau mem buat ia marah”, tiba-tiba buyang itu berkata.

Kini tahulah Lou Ping, bahwa siocia itu adalah puterinya. Ciu Tiong Ing. Memang benar dialah puteri Tiong Ing yang bernama Ciu Ki. Tabiatnya seperti sang ayah, gemar belajar bugee, dan suka memberantas hal2 yang tidak adil. Kalangan bulim (persilatan) daerah barat utara memberinya gelaran sebagai „Kiu Li Kui.” Li Kui adalah salah seorang pahlawan Liangsan yang berangasan adatnya. Hari itu setelah memukul roboh seseorang, ia tak berani pulang. Baru besoknya setelah kemarahan ayahnya sudah reda, pulanglah ia. Ditengah jalan dilihatnya Lou Ping terlantar ditanah, maka terus dibawanya pulang.
Mendengar kata-kata buyang nya itu, Ciu Ki merandek seben tar, tapi ia tak ambil perduli, terus lari keluar, diikuti oleh sang buyang . Lou Ping karena merasa semangatnya sudah pulih kembali, terus bergegas-gegas turun dari pembaringan dan mengenakan pakaian. Lebih dulu ia “gasak” sebiji bahpao yang berada diatas meja, dan dua biji lagi ia masukkan kedalam kantong, lalu menyelinap keluar.

Mengetahui tempat itu berbahaja, Lou Ping mengambil

Thiat-tan-chung sudah akan menghadapi kemusnaan, mengapa masih mau berlagak,” kata Siu Ho dengan tertawa dingin.

Memang sedari Bun Thay Lay tertangkap, hati Beng Kian Hiong selalu kuatirkan Thiat-tan-chung akan terembet. Kini mendengar ucapan Siu Ho itu, dia Buru-buru memberita hukan pada Tiong Ing. Dengan menenteng senyata thiat-tan, keluarlah Tiong Ing dengan gusarnya.

“Siapa yang bilang Thiat-tan-chung akan musna, lohu akan minta pengajaran padanya,” teriak jago tua. itu segera sesudah berhadapan dengan tamunya.

Ban Khing Lan Buru-buru mengeluarkan sehelai surat lalu diletakkan diatas meja, lalu katanya :

“Ciu lounghiong, silahkan baca.”

Sembari berkata itu, orang She Ban tersebut. masih menekan ujung surat itu, seakan-akan dia kuatir Tiong- Ing akan me rampasnya. Begitu melihatnya, ternyata Tiong Ing mengetahui bahwa surat itu adalah surat Liok Hwi Ching kepadanya yang meminta pertolongan supaja sukte. memberi perlindung an pada Bun Thay Lay bertiga. Surat itu didapatinya dari dalam baju Bun Thay Lay, sewaktu dia digeledah.

Swi Tay Lim sebagai orang kangouw kawakan, segera tahu siapa Liok Hwi Ching itu. Dialah” juga seorang pesa kitan negara yang penting. Kini ternyata mempunyai hubung an dengan orang-orang Thiat-tan-chung. Kaki tangan penjajah itu, orang-orang yang termaha uang dan banyak akal, mereka tak mau laporkan pada fihak atasan, tapi akan mendatangi Ciu Tiong Ing untuk memerasnya. Dan uang itu akan dibaginya rata. Mereka jakin tentu Tiong Ing mudah dikeruk uangnya.

Oleh karena Seng Hing, Swi Thay Lim dan lain-lain. adalah orang-orang yang ada nama pada pemerintah, maka mereka segan untuk menonyolkan diri. Dan untuk keperluan itu, disuruhnya Ban Khing Lan dan Tong Siu Ho berdua yang mengerjakan.

Melihat surat itu, agak terkesiap juga Tiong Ing, tanya nya: „Bagaimana maksud kalian ?”

“Kita sangat hargakan akan nama Cioe loenghiong yang harum itu. Apabila surat ini sampai jatuh ketangan fihak atasan, tentunya loenghiong akan maklum sendiri akibatnya.
Kawan-kawan kita berpendapat, akan mengikat tali persahabatan dengan loenghiong. Pertama akan membakar surat ini, ke dua takkan melaporkan pada fihak atasan bahwa loenghiong ternyata bantu melindungi Bun Thay Lay”, Ban Khing Lan mulai mainkan lidahnya.

“Sungguh aku merasa berterima kasih pada saudara-saudara sekalian,” Buru-buru Tiong Ing berkata.
Setelah omong-omong beberapa hal lagi, maka dengan secara tak langsung berkatalah Ban Khing Lan:
„Hanya kali ini kita keluar, telah menggunakan banyak sekali ongkos-ongkos perjalanan sehingga kita tertindih dengan hutang. Kita harap dengan memandang pada sesama golo ngan persilatan, loenghiong suka memberi sedikit bantuan. Untuk itu sungguh kita berSyukur sekali.”

”Hm,” jengek Tiong Ing sembari menangkat alisnya demi mengetahui apa maksud orang.
„ltu tak berjumlah banyak, hanya enam atau tujuh laksa tail perak. Di tempat ini Ciu loenghiong mempunyai sawah dan tanah yang luas sekali. Jumlah yang sedemikian kecil itu, dirasa tentu tak menyadi soal,” demikian Ban Khing Lan menambahi pula.

Mengetahui dirinya akan dipelecet, marahlah Tiong Ing seketika, serunya :

“Jangan lagi memang aku tak punya uang begitu banyak, sekalipun punya juga akan kuperuntukkan mengikat tali persahabatan dengan orang-gagah yang mempunyai ambek perwira.”

Dengan kata-katanya itu, bukau saja menolak, tapi pun ber arti mendamprat orang. Tong Siu Ho hanya tertawa dan katanya :

“Memang kita ini golongan siaojin (kaum rendah) yang tak punya guna. Untuk membangun sebuah daerah semacam

Thiat-tan-chung, terang kita tak mampu. Namun kalau disuruh membumi hanguskan “
Belum habis kata-kata itu diucapkan, seseorang menobros masuk dan membentak nyaring : “Ayolah, nonamu justru ingin melihat cara bagaimana kau hendak menghancurkan Thiat-tan-chung ini.”

Orang ini ternyata adalah Kiao Li-Kui Ciu Ki adanya.. Tiong Ing mengedipkan mata, terus menuju keluar ruangan diikuti oleh puterinya. Dia membisiki beberapa patah kata didekat telinga Ciu Ki :

“Kau bisiki Kian Hiong dan Kian Kong, kedua kuku garuda ini jangan sampai bisa keluar dari Thiat-tan-chung.”

“Bagus, makin mendengarkan pembicaraan mereka, makin menarik,” Ciu Ki tampak gembira karena bakal bisa melabrak orang.

Setelah Tiong Ing kembali kedalam, berkatalah Ban Khing Lan :

“Karena Ciu loenghiong tak menyukai kedatangan kita, maka kitapun akan berlalu.”

Habis berkata begitu, dia segera robek- surat Liok Hwi Ching tadi. Ciu Tiong Ing tertegun dibuatnya, karena tak mengira orang she Ban itu akan berbuat begitu, Malah orang tersebut berkata dengan tenang :

”Ini sebenarnya hanya turunannya saja. Biar kurobek saja, agar jangan dilihat orang. Aselinya berada ditangan Thio taijin.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar