Di suatu halaman rumah yang
luas dan rindang, di bawah pohon sana seorang kakek berjubah hijau tampak
berdiri tenang dan santai, sambil berdekap tangan sedang menyaksikan seorang
pemuda di depannya lagi menulis.
Pemuda itu duduk bersila di
depan sebuah meja pendek, pit (Pensil bulu) yang digunakan menulis itu sebesar
lengan bayi, panjangnya kurang lebih setengah meter.
Sebesar itu alat tulisnya,
tapi yang ditulis justeru huruf kecil yang disebut gaya "Siau Kay".
Saat itu dia baru habis menulis seluruh isi kitab Lam-hoa-keng.
Sampai huruf terakhir, sampai
goresan pensil penghabisan, dia tetap menulis dengan tekun dan sungguh-sungguh,
gerak pensilnya juga tidak kacau sedikitpun.
Di tengah kerimbunan pohon
terdengar suara tonggeret yang bising memecahkan kesunyian.
Perlahan-lahan anak muda itu
menaruh pensilnya, mendadak ia menengadah, katanya dengan tertawa terhadap
orang tua tadi: "Pertemuan Hong-ti tidak dikesampingkan oleh setiap
Enghiong (Pahlawan, Ksatria) di dunia ini, masa ayah benar-benar tidak mau
hadir ?"
"Setelah Lam-hoa-keng
selesai kau tulis barulah kau bertanya, dalam hal kesabaran jelas kau sudah ada
kemajuan", ucap si kakek dengan tersenyum.
"Tapi pertanyaanmu ini
mestinya tidak perlu kau ajukan, masa kau masih memandang penting sebutan
"Enghiong" segala ?"
Pemuda itu mendongak,
memandang sekejap pucuk pohon, lalu menunduk pula mengiakan petuah sang ayah.
Rupanya bukan tanpa sebab
pemuda itu mendongak dan memandang pucuk pohon. Terdengar suara kresekan daun
pohon yang pelahan, mendadak sesosok bayangan manusia melayang turun seringan
burung hinggap di tanah.
Kiranya pendatang ini adalah
seorang pendek kecil cekatan berbaju hitam, di balik pakaiannya yang hitam
ketat ringkas itu tampak otot daging yang kekar, sekujur badan penuh sikap kewaspadaan,
seolah-olah anak panah yang sudah siap terpasang pada busurnya, sekali
tersentuh segera akan menjepret.
Namun kedua orang tua dan muda
tadi tetap tenang-tenang saja, dengan tak acuh mereka menandang sekejap tamu
tak diundang ini, juga tanpa bicara dan tidak menegur, seakan-akan si baju
hitam memang sejak tadi sudah berdiri di situ.
Mendadak si baju hitam
bergelak tertawa, serunya; "Sungguh hebat Gak-san-lojin Ji Hong-ho,
ternyata benar tetap tenang biarpun gunung Thay gugur di depannya, tak tersangka
Kongcu juga setenang ini, baru sekarang aku Hek-kap-cu (si merpati hitam)
menyaksikan kehebatannya"
Sambil berbicara iapun memberi
hormat, sikapnya tampak sangat kagum dan sangat hormat.
"O. kiranya Hek-tayhiap
dari ke tujuh tokoh ahli Ginkang," ucap si kakek, Ji Hong ho, dengan
tertawa.
"Mestinya Cianpwe tahu,
diantara Bu lim jit kim (tujuh unggas dunia persilatan), aku si Hek-kap cu
inilah yang paling tidak becus." demikian kata si merpati hitam. "Aku
tidak berani menjadi bandit, juga tidak sanggup menjadi tukang kawal. Terpaksa
kucari sesuap nasi dengan kemampuan dan sifatku yang bisa menjaga rahasia untuk
mengantarkan surat kepada cianpwe."
Ji Hong-ho dengan gembira
berkata: "Saudara Hek tidak mencari nafkah dengan cara yang tidak jujur
dan ini benar-benar kuhormati. Tapi aku menduga-duga, sahabat lama manakah yang
meminta saudara Hek untuk mengantarkan surat?"
Hek Kap-cu menjawab:
"Kalau orang itu tidak mau mengungkapkan jati dirinya, aku berkewajiban
untuk menjaga kerahasiaan jati dirinya. Itu adalah kode etik pekerjaanku, aku
juga tahu bahwa cianpwe bisa memaksaku untuk mengungkapkan jati dirinya. Tapi
aku juga tahu bahwa surat ini mengandung suatu rahasia penting dari
cianpwe". Sesudah mengucapkan kata-kata tersebut, dia mengeluarkan sebuah
surat dan memberikannya kepada Ji Hong-ho.
Ji Hong-ho ragu-ragu sejenak
dan kemudian ia menyerahkan surat itu kembali kepada Hek Kap-cu dan berkata:
"Tolong, bisakah kau membuka dan membaca surat ini keras-keras
untukku?"
Hek Kap-cu berkata:
"Tapi, isi surat ini mengandung rahasia cianpwe...."
Ji Hong-ho tersenyum:
"Oleh karena itu, aku ingin anda membacakannya untukku karena aku sama
sekali tidak mempunyai rahasia. Aku tidak takut siapapun mengetahui isi surat
ini".
Hek Kap-cu sangat terkesan dan
sambil tersenyum: "Tidak ada rahasia sama sekali! Hanya Cianpwe yang bisa
mengucapkan kata-kata ini"
Hek Kap-cu membuka sampul
surat itu dan menemukan lembaran-lembaran suratnya. Lembaran-lembaran surat itu
saling lengket satu sama lain dan Hek kap-cu membasahi jari-jarinya dengan
ludah dan memisahkan lembaran-lembaran suratnya.
Dia mulai membaca surat itu
keras-keras: "Yang terhormat saudara....."
Tiba-tiba Hek Kap-cu jatuh dan
kejang-kejang. Ji Hong-ho sangat terkejut dan segera bergegas menolongnya. Sesudah
memeriksa denyut nadinya, ia segera tahu bahwa Hek Kap-cu tidak akan bertahan
lebih lama lagi, dengan suara keras ia bertanya: "Sesungguhnya siapa yang
menyuruh kau menyampaikan surat ini kesini ? Siapa? Lekas katakan!"
Mulut Hek-kap-cu terpentang,
tapi tak dapat mengucapkan sepatah katapun, air mukanya dari hijau berubah
pucat, dari pucat berubah merah, dari merah lantas berubah menjadi hitam, hanya
sekejap saja air mukanya sudah berubah beberapa warna. Kulit daging mukanya
juga mendadak lenyap secara ajaib, seraut muka yang sesaat sebelumnya masih
segar dan sehat, kini mendadak berubah menjadi sebuah tengkorak yang hitam.
"Racun! Lihay amat racun
ini !" seru pemuda tadi dengan melenggong.
Perlahan Ji Hong-ho berdiri,
ucapnya sambil menghela napas sedih: "Sebenarnya akulah yang hendak
dicelakai dengan surat berbisa ini, tak tersangka dia yang menjadi korban.
Meski bukan aku yang membunuh dia, tapi jelas dia mati lantaran diriku..."
Dilihatnya kulit daging
sekujur badan Hek-kap-cu juga mulai menyusut dan hilang dalam waktu singkat,
dari bagian bajunya menggelinding keluar beberapa potong biji emas. Mungkin
inilah imbalan bagi jasanya menyampaikan surat ini, tapi juga imbalan bagi
jiwanya.
Melihat beberapa potong emas
itu, mendadak Ji Hong-ho malah menjemput kembali surat tadi. Si pemuda
terkesiap, serunya cepat: "He, akan diapakan, ayah?!"
Ji Hong-ho tampak sudah tenang
kembali, katanya dengan perlahan: "Orang ini mati lantaran diriku,
betapapun harus kubalas budinya. Apalagi, begini keji cara orang yang hendak
membunuh diriku ini, kalau cara yang satu gagal, tentu dia masih ada tipu-daya
yang kedua. Jika hal ini sampai terjadi maka hidupku tentu akan menyesal dan
merasa berdosa, kan lebih baik akupun mati agar hatiku bisa tenteram"
"Tapi ... tapi, ayah
tidak ingin mencari tahu sesungguhnya siapa yang hendak mencelakai engkau?.
Selama hidup ayah tiada bermusuhan dengan siapapun, sungguh aneh, siapakah
gerangan..."
Belum habis ucapan pemuda
tadi, sekonyong-konyong terdengar suara "Blang" yang keras, beberapa
potong emas tadi mendadak meledak, semua benda seperti pot air, kertas tulis,
tatakan tinta dan sebagainya yang berada diatas meja pendek tadi sama tergetar
dan jatuh ke tanah.
Ji Hong-ho sendiri tetap
berdiri ditempatnya tanpa bergerak, padahal sebenarnya dia sudah melompat
mundur beberapa meter jauhnya untuk kemudian lantas melayang balik ke tempat
semula. Sorot matanya yang semula tenang-tenang itu kini mengandung rasa marah,
ucapnya sambul mengepal tangannya:
"Keji benar orang ini,
ternyata di dalam lantakan emas juga diberi obat peledak, bahkan sudah
diperhitungkan saat meledaknya setelah Hek-kap-cu menyerahkan surat padaku,
jelas bukan cuma aku saja yang ingin dibunuhnya, malahan orang yang
menyampaikan surat inipun akan dibinasakan agar tutup mulut untuk
selamanya."
Air muka pemuda tadi juga
berubah, katanya dengan gemas: "Orang macam apakah yang berhati keji dan
juga perencana yang rapi ini?. Jika orang ini tidak ditumpas, bukankah dunia
persilatan akan ... "
"Sebenarnya hal inipun
tak dapat menyalahkan dia." Ji Hong-ho memotong ucapan pemuda itu dengan
tersenyum pedih. "Jika secermat ini dia berusaha membunuh diriku, mungkin
karena pernah ku berbuat sesuatu kesalahan, makanya dia sedemikian benci
padaku."
Air mata si pemuda tampak
berlinang-linang di kelopak matanya, katanya dengan suara agak gemetar:
"Tapi engkau orang tua masakah pernah berbuat kesalahan? Engkau sedemikian
baik terhadap siapapun juga, tapi toh ada orang yang berusaha membunuhmu,
dimanakah letak keadilan dunia Kangouw ini ?!"
"Pwe-giok." ucap Ji
Hong-ho dengan tenang "Jangan terburu napsu, jangan kau bilang dunia
Kangouw sudah tiada keadilan lagi. Hidup seseorang betapapun sukar terhindar
dari berbuat salah, akupun tidak terkecuali. Hanya saja... hanya saja seketika
aku tidak ingat kesalahan apa yang pernah kulakukan. "
Pada saat itulah mendadak
dikejauhan sana ada suara orang membentak: "Di mana Ji Hong-ho?... Di mana
ji Hong-ho?..."
Susul menusul suara bentakan
itu dan makin lama makin mendekat, ditengah suara bentakan itu terseling pula
suara jeritan kaget dan takut serta caci maki, lalu ada suara pintu didobrak
dan jatuhnya benda berat, suara itu terus berkumandang, jelas para centeng
keluarga Ji tidak mampu merintangi masuknya penyatron.
"Orang macam apakah
berani menerjang kemari?" kata si pemuda yang bernama Ji Pwe-giok itu
dengan rada terkesiap.
Tapi Ji Hong-ho tetap
tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan: "Sebenarnya mereka tidak
perlu merintangi pengunjung, apalagi tamunya sudah masuk rumah, buat apa kau repot
keluar menyambutnya..." mendadak ia berpaling kesana dan dengan tertawa:
"Silakan kalian masuk saja."
Benar juga, melalui pintu
bundar taman sana lantas menerobos masuk lima orang lelaki kekar berbaju sulam
yang mentereng, semuanya tampak garang dengan wajah napsu membunuh, tapi demi
nampak ji hong-ho dan puteranya menyambut kedatangan mereka dengan
tenang-tanang saja, mereka jadi melengak sendiri.
Lelaki kekar pertama yang
berewok dan bergolok tebal bergelang sembilan lantas membentak dengan beringas:
"Ji-Hong-ho, keparat kau, akhirnya kutemukan juga kau!"
Sambil meraung ia ayun
goloknya yang bergelang hingga berbunyi gemerincing itu, dengan kalap Ji
Hong-ho dibacoknya.
Daun pepohonan sama tergetar
bertebaran oleh guncangan angin bacokan golok yang keras itu, tapi Ji Hong-ho
tetap berdiri tenang tanpa bergerak seakan-akan sengaja menantikan bacokan
golok lawan.
Tanpa mengangkat kepala,
mendadak pemuda Ji Pwe-giok menjentikkan jarinya pelahan, terdengar suara
"crit" sekali, menyusul lantas berbunyi "Trang" golok tebal
si berewok sudah terjatuh ke tanah.
Setengah badan lelaki berewok
itu merasa kaku kesemutan, telingapun mendengung karena suara getaran tadi,
mukanya menjadi pucat, ia pandang anak muda tadi dengan melenggong, tidak
berani maju dan tidak berani mundur.
Perlahan-lahan Ji Pwe giok
mendekati orang itu, tapi mendadak Ji Hong-ho membentak tertahan: "Jangan
melukai orang, Pwe-giok!"
Karena itu, Ji Pwe-giok lantas
berhenti dan tidak melangkah maju pula.
Si berewok lantas bergelak
tertawa, teriaknya: "Betul, Ji Hong-ho suka menganggap dirinya seorang
arif bijaksana, selamanya tidak mau melukai orang. Tapi biarpun kau tidak mau
melukai aku, aku justru ingin membinasakan kau. Bilamana kau berani mengganggu
seujung rambutku, itu berarti kau adalah manusia munafik yang sok jual nama
kosong !"
Dia ternyata memutar balikkan
persoalan dan menjadikan alasan tidak masuk diakal itu untuk menyudutkan Ji
Hong-ho, sungguh manusia yang tidak tahu malu dan berhati keji.
Namun Ji Hong-ho tetap tenang
saja dan menghadapinya dengan tak acuh, ia malah tersenyum dan berkata:
"Jika demikian, jadi apapun juga kalian pasti akan mencabut
nyawaku?!"
"Ucapanmu memang
tepat!" teriak si berewok sambil menyeringai. Mendadak ia jatuhkan diri ke
tanah dan terus menggelinding maju, tahu-tahu goloknya yang jatuh tadi sudah
direbutnya kembali, dengan golok terhunus ia lantas membentak: "Hayo
saudaraku, tunggu kapan lagi!"
Di tengah bentakannya,
serentak lima macam senjata, yaitu golok bergelang sembilan, pedang pencabut
nyawa, gaetan berkepala harimau, Boan-koan-pit dan tombak berantai, terus
menyerang.
Pada saat itu juga mendadak
terdengar seorang tertawa panjang dan berseru: "Haha, melulu kalian inipun
berani menyerang Ji-locianpwe !?"
Menyusul suara itu sesosok
bayangan orang melayang turun dari puncak pohon dan menerjang ke tengah hujan
senjata tadi. Terdengar suara gemerantang, golok bergelang tadi yang pertama
tama mencelat dan menancap di batang pohon sana. Habis itu "krek",
pedang juga patah menjadi dua. Lalu Boan-koan-pit mabur ke udara, gaetan
berbalik merobek perut kawan sendiri yang berpedang tadi, sedangkan rantai
tombak membelit leher orang yang main gaetan, seketika orang itu roboh
terguling.
Orang ini muncul mendadak,
gerak tubuhnya juga sangat cepat, jurus serangannya bahkan secepat kilat dan
sukar ditahan. Keruan Ji Hong-ho dan Ji Pwe-giok melengak.
Baru sekarang mereka dapat
melihat jelas pendatang ini adalah seorang pemuda cakap bertubuh jangkung dan
berbaju sutera ungu tipis, sinar matanya mencorong tajam, gagah berwibawa, cuma
mukanya pucat lesi, dingin kaku tanpa sesuatu tanda perasaan apapun sehingga
kelihatannya rada menyeramkan.
Dia terus menyembah kepada Ji
Hong-ho, katanya dengan sangat hormat: "Di tengah perjalanan hamba sudah
mendengar berita maksud kelima orang ini akan membikin celaka Cianpwe, maka
kukuntit kemari. Setelah menyaksikan Cianpwe memperlakukan mereka sedemikian
baik, tapi mereka malah tidak tahu diri, terdorong oleh rasa penasaran sehingga
cara turun tangan hamba terlalu keras dan membinasakan mereka di kediaman
Cianpwe, untuk ini kumohon Cianpwe sudi memberi ampun."
Dia telah berjasa membantu Ji
Hong-ho, tapi dia malah minta maaf dan mohon ampun.
Ji Hong-ho menghela napas dan
berkata: "Apa yang anda lakukan ini adalah karena membela diriku,
permintaan ampun ini harap jangan disebut lagi. Tentang kelima orang ini ...
Ai, aku sendiri tidak tahu bilakah pernah bermusuhan dengan mereka sehingga
sekarang jiwa mereka harus melayang."
Setelah terdiam sejenak, ia
tertawa sambil membangunkan pemuda baju ungu, katanya: "Anda masih muda
dan cakap, alangkah gembira ku bila anda ini putera seorang sahabatku."
Pemuda itu tetap tidak mau
bangun, ia masih mendekam di atas tanah dan berkata: "Meski Cianpwe tidak
kenal hamba, tapi jiwa hamba sesungguhnya adalah hadiah Cianpwe. Terlalu banyak
kebajikan yang di sebar oleh Cianpwe, tentu Cianpwe sudah melupakan anak kecil
yang pernah mendapat perlindungan dahulu."
Ji Hong-ho menggandeng tangan
pemuda itu dan tarik bangun, katanya dengan tertawa: "Tapi anak itu
sekarang sudah dewasa, bahkan telah menyelamatkan jiwaku, tampaknya Thian
memang maha adil... " sampai di sini, sekonyong-konyong ia menggentak
tangannya sehingga pemuda itu terlempar jauh kesana.
Ji Hong-ho sendiripun
sempoyongan, katanya dengan suara gemetar: "Kau... kau siapa
sesungguhnya?"
Pemuda baju ungu sempat
berjumpalitan di udara, lalu turun ke bawah dengan ringan, mendadak ia
menengadah dan terbahak bahak, katanya: "Ji-loji, telapak tanganmu sudah
terkena To-hon-bu-ceng-ciam (Jarum pencabut nyawa tanpa kenal ampun), biarpun
malaikat dewata juga tidak sanggup menyelamatkan kau, jangan harap lagi kau
akan mengetahui siapa diriku ini ..."
Dalam pada itu Ji Pwe-giok
telah melompat ke samping ayahnya, dilihatnya kedua tangan sang ayah sudah
membengkak satu kali lebih besar hanya dalam sekejap itu warnanya hitam pekat,
panas seperti dibakar. Waktu ia pandang wajah orang tua ini, tubuhnya yang
gemetar sudah tidak kuat berdiri lagi, mulutnya terkancing rapat dan tidak
mampu bicara.
Sedih dan gusar tidak kepalang
hati Ji Pwe-giok, teriaknya dengan suara parau: "Sebenarnya ada permusuhan
apa antara kau dengan kami ? Mengapa kau turun tangan sekeji ini ?"
"Permusuhan? Haha,
selamanya aku tidak ada permusuhan apapun dengan orang she Ji," jawab pemuda
baju ungu dengan tertawa. "Tujuanku tiada lain hanya ingin mencabut nyawa
kalian saja."
Sambil bicara dan tertawa, air
mukanya tetap dingin dan kaku tanpa emosi apapun.
Ji Pwe giok memandang jenazah
sang ayah yang menggeletak di tanah itu, ucapnya pula dengan menggertak gigi:
"Jadi kau yang mengatur semua rencana keji ini ?"
"Betul." jawab
pemuda baju ungu, Demi mencabut nyawa kalian ayah dan anak, yang mengiringi
kematian kalian sudah lebih daripada enam orang ini ..."
Mendadak ia bersiul, serentak
dari luar pagar tembok melompat masuk likuran lelaki berbaju hitam, semuanya
bersenjata pedang atau golok, setiap orang tampak gesit dan tangkas, tampaknya
likuran orang ini adalah jago silat pilihan, semuanya memakai kedok muka dengan
sepotong kain sutera ungu, nyata mereka sengaja menyembunyikan muka aslinya.
"Orang she Ji."
demikian si pemuda baju ungu tadi berseru pula dengan tertawa, "Kukira
lebih baik kau menyerah dan terima nasib saja. Yang kami takutkan adalah
Kim-i-bun-ciang (Pukulan lunak sutera emas) andalan Ji-loji yang tiada
tandingannya di dunia ini, sekarang Ji-loji sudah mampus, lalu apa yang dapat
kau lakukan?"
Sekilas pandang saja Ji
Pwe-giok sudah mengetahui kawanan penyatron ini adalah jago-jago kelas satu
seluruhnya, hatinya tidak kepalang sedihnya, juga gusar tak terkatakan, dengan
sendirinya juga sangat terkejut.
Bilamana orang lain, mungkin
sudah panik dan bingung, jika tidak patah semangat dan ketakutan tentu menjadi
nekat dan mengadu jiwa dengan musuh. Tapi Ji Pwe-giok memang pemuda yang lain
daripada yang lain, mendadak ia membalik badan bagian bajunya diringkaskan pada
pinggang lalu panggul tubuh sang ayah, menyusul pensil besar bergagang besi
yang dibuatnya menulis tadi diraihnya.
Dalam pada itu kawanan lelaki
berbaju hitam tadi sudah mendesak maju. melihat pemuda she Ji ini masih tetap
berdiri di situ dengan tenang dan mantap, mau tak mau mereka jadi melengak.
Habis itu baru mereka mengangkat senjata dan menerjang maju.
Cahaya senjata bertaburan,
berpuluh golok dan pedang menyerang serentak, ada yang membacok, ada yang
menusuk, ada yang menebas, semuanya ditujukan satu sasaran, semuanya teratur
sedikitpun tiada terdengar benturan senjata di antara teman sendiri.
Akan tetapi mendadak angin
puyuh berjangkit, Jian-kin-thi-pit atau pencil besi seribu kati senjata khas Ji
pwe-giok, menyapu dengan keras, terdengar suara gemerantang nyaring, golok dan
pedang musuh sama bengkok dan patah, ada pula yang terlepas dari tangan.
Belasan orang tergetar mundur
dengan bahu pegal dan tangan linu sehingga sukar diangkat untuk seketika.
Sungguh mimpipun mereka tidak menyangka pemuda yang kelihatannya lemah lembut
dan bermuka putih cakap ini ternyata memiliki tenaga sakti sebesar ini.
Namun orang-orang inipun bukan
jago kelas kambing, meski terkejut mereka tidak menjadi gentar, setelah belasan
orang tergetar mundur segera belasan orang menerjang maju pula. Cepat
Jian-kian-pit Ji Pwe-giok berputar lagi.
Sekali ini tiada seorangpun
yang berani keras lawan keras, mereka terus berputar dan mencari peluang untuk
menyerang. Seketika terdengar angin menderu-deru sehingga daun pohon sama
rontok berhamburan.
Likuran orang itu ternyata
dapat bekerja sama dengan rapat, sebagian dari kanan dan sebagian lagi dari
kiri, sebagian mundur, bagian lain lantas ganti maju. Namun sebegitu jauh tiada
seorangpun yang mampu menembus lingkaran pertahanan Ji Pwe-giok.
Cuma, meski jian-kian-thi-pit
andalannya ini sangat lihay, namun bobotnya terlalu berat dan juga agak
panjang, kurang lincah untuk digunakan seperti pedang biasa, tenaga yang harus
dikeluarkan juga lebih banyak. Maka setelah belasan jurus, dahi Ji Pwe-giok
yang putih bersih itu mulai dipenuhi butiran keringat.
"Bagus, beginilah
caranya." seru si pemuda baju ungu tadi dengan tertawa. "Kuras dulu
tenaganya baru nanti bekuk dia. Kalau tikus sudah masuk kaleng, masakan dia
mampu kabur?"
Wajah yang kelihatan kaku
dingin tanpa emosi itu jelas lantaran dia memakai topeng, tapi dari suaranya
dapat diduga usianya memang belum tua.
Meski Ji Pwe-giok sedang
menghadapi kerubutan orang-orang itu, namun pandangannya tidak pernah lalai
memperhatikan pemuda yang keji ini, lebih-lebih Bu-ceng-ciam yang siap
digenggam pemuda itu.
Didengarnya pernapasan ayah
yang berada digendongannya itu semakin lemah sehingga akhirnya hampir tak
terdengar lagi, sedangkan musuh tangguh di depan mata semakin mendesak, bahkan
jarum berbisa yang siap di tangannya itu kelihatannya segera akan ditaburkan.
Hancur hati Pwe giok saking
sedihnya, tenaga pun mulai habis, ia menjadi nekat, dia tahu bila tidak segera
berusaha meloloskan diri, mungkin selanjutnya tidak dapat lagi mengetahui asal
usul dan maksud tujuan sesungguhnya pihak musuh, keadaan memaksanya harus
segera keluar.
Karena itulah, mendadak ia
meraung murka, Jian-kin-pit menyapu dengan gerakan
"Heng-sau-jian-kun" atau menyapu ribuan prajurit, ujung pensil itu
terus menjodoh ke dada seorang lelaki yang berada disamping kanan.
Kejut orang itu tak terhingga,
cepat ia menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana, saking kerasnya tikaman
pensil Ji Pwe-giok itu hingga ujung pensil langsung menancap di tanah, tapi
dengan tenaga pantulan tikaman itu tubuh Ji Pwe-giok juga lantas melayang lewat
di atas kepala orang banyak, melewati pucuk pohon, laksana seekor burung
raksasa ia terus terbang keluar.
Bahwa Jian-kin-thi-pit itu
masih mendatangkan daya guna sebagus itu, tentu saja tiada pernah terpikirkan
oleh orang-orang itu.
"Kejar!" segera si
pemuda baju ungu berteriak. Sekali totol kakinya, secepat anak panah terlepas
dari busurnya iapun melayang keluar.
Namun dia agak ketinggalan,
apalagi Ginkangnya memang juga selisih jauh dibandingkan Ji Pwe giok.
Lebih-lebih daya pantulan tikaman pensilnya itu. Ginkang Ji Pwe-giok tiada
ubahnya bertambah satu kali lipat.
Ketika pemuda baju ungu
melayang keluar pagar tembok taman, di luar hanya tampak pepohonan Yang-liu
melambai pelahan tertiup angin, air sungai mengalir berkilau tertimpa sang
surya.
Seekor anjing kecil berlari
ketakutan ke seberang jembatan sana dengan mencawat ekor.
Sebenarnya Ji Pwe-giok belum
kabur pergi, dia justru bersembunyi di tengah-tengah semak-semak rumput di
bawah jembatan.
Karena menggendong ayahnya,
sisa tenaga Pwe-giok tidak mengijinkan dia berlari lagi, terpaksa ia
menyerempet bahaya dan mengadu kecerdasan, ia gunakan jiwa sendiri untuk
bertaruh dengan pihak musuh.
Didengarnya pemuda baju ungu
tadi sedang membentak perlahan: "Kejar, bagi empat jurusan, lekas!"
Terdengar seorang berkata:
"Jangan-jangan di bawah jembatan ..."
Tapi dengan gusar si pemuda
baju ungu memotong: "orang she Ji bukanlah orang bodoh, masakan dia
menunggu kematian di bawah jembatan ?"
Menyusul lantas terdengar
suara berkibarnya kain baju, satu persatu orang-orang itu melayang lewat
jembatan. "plung", anjing kecil tadi melengking terdepak jatuh ke
sungai. Mungkin si pemuda baju ungu tadi menggunakan anjing sialan itu sebagai
pelampias marahnya.
Setelah riak air tenang
kembali, suasana sekeliling lantas sunyi senyap pula, hati JI Pwe giok juga
merasa lega. Namun begitu ia tetap meringkuk di semak-semak itu dan tidak
berani bergerak.
Dia benar-benar pemuda yang
sabar, ia tunggu sampai sekian lama, setelah yakin benar-benar rombongan orang
tadi tidak kembali lagi barulah ia melompat keluar, tapi ia tidak menuju ke
tempat lain, sebaliknya langsung berlari pulang ke rumahnya sendiri.
Kalau orang lain
memperhitungkan dia pasti tidak berani pulang ke rumah, maka dia justeru
sengaja balik lagi ke situ.
Halaman rumah tetap sunyi
senyap dengan pepohonan yang rimbun, seperti tidak pernah terjadi apapun. Hanya
ke enam sosok mayat itu yang mengingatkan dia pada kejadian sedih tadi.
Pwe-giok langsung berlari
masuk ke ruangan dalam, ia baringkan ayahnya di tempat tidur, lalu dari almari
dikeluarkannya sebotol, seluruhnya ia tuangkan ke mulutnya.
Obat mujarab ini adalah buatan
khusus orang tua itu dan entah sudah berapa kali menyelamatkan jiwa manusia,
tapi sekarang ternyata tidak sanggup menyelamatkan jiwanya sendiri. Baru
sekarang Ji pwe-giok mengucurkan air mata.
Sinar sang surya menyorot
masuk melalui jendela sana, wajah si orang tua kelihatan sudah hitam, pada
dadanya masih tersisa hembusan napasnya yang terakhir, dengan lamat-lamat ia
membuka matanya dan berkata dengan lemah "Apa... apa salahku?... kesalahan
apa yang kulakukan ?...."
Dengan tubuhnya Pwe-giok menghalangi
sinar matahari yang menyilaukan pandangan orang tua itu, ucapnya dengan air
mata meleleh: "Ayah, engkau tidak pernah berbuat salah !"
Orang tua itu seperti mau
tersenyum, namun senyumannya sudah sukar lagi menghias mukanya yang mulai kaku,
hanya ujung mulutnya saja berkerut sedikit, lalu katanya pula dengan lemah,
satu kata demi satu kata: "Aku tidak salah. Kau harus meniru aku, jangan
lupa mengalah, sabar, mengalah, sabar ..." makin lemah suaranya hingga
akhirnya tak terdengar lagi.
Pwe-giok berlutut lemah di
depan pembaringan tanpa bergerak, air mata masih terus bercucuran, sampai lama
dan lama sekali air matanya belum lagi kering.
Sinar matahari sudah tad ada
lagi, di dalam kamar mulai gelap gulita.
DI tengah kegelapan dan
kesunyian itu, sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang.
Langkah kaki orang ini sangat
pelahan dan berat, setiap langkahnya seakan akan menginjak remuk hati orang,
suara tindakan ini berkumandang dari serambi samping sana dan akhirnya sampai
di depan pintu.
Pelahan-lahan pintu kamar
terpentang, didorong orang. Pwe-giok masih tetap berlutut dalam kegelapan tanpa
bergerak.
Sesosok bayangan melangkah
masuk ke dalam kamar, setindak demi setindak, seperti badan halus, begitu
lambat jalannya, padahal perawakannya kelihatan langsing kecil, tapi langkahnya
sedemikian beratnya seakan-akan menyeret benda beribu kati.
Akhirnya Pwe-giok berdiri.
Orang itu terkejut dan
melompat mundur keluar kamar, lalu tegurnya: "Sia ... siapa kau ?"
Seyogyanya yang bertanya
adalah Ji Pwe-giok, tapi dia malah bertanya lebih dulu, namun Pwe-giok hanya
memandangnya dengan tenang, samar-samar kelihatan pinggang orang yang ramping
dan rambutnya yang panjang terurai, jelas seorang perempuan.
Di luar dugaan, mendadak
perempuan itu berteriak kalap: "Bangsat keparat, keji amat caramu, berani
kau ... tetap tinggal di sini?!". Segera ia mencabut pedangnya, sinar
perak gemerdep, ia menubruk maju sekaligus melancarkan tujuh kali tusukan.
Langkahnya tadi begitu berat,
tapi sekarang gerak pedangnya sedemikian enteng dan gesit, cepat dan ganas
pula.
Terpaksa Pwe-giok berkelit
kian kemari untuk menghindarkan tujuh kali serangan maut itu, lalu ucapnya
dengan suara tertahan: "Leng-hoa-kiam ?"
Perempuan tadi melengak, ia
lantas menjengek: "Keparat, kaupun kenal kebesaran ilmu pedang keluarga
Lim? Kau ..."
"Aku Ji Pwe-giok!"
kata anak muda itu dengan menghela napas dan menyurut mundur dua tiga langkah
pula.
Kembali perempuan tadi
melenggong dan menarik pedangnya, akhirnya pedang jatuh ke lantai, ucapnya dengan
menunduk: "Ji... Ji-toako, apakah ... apakah paman..."
Sambil bicara sorot matanya
mengikuti pandangan Pwe-giok ke arah tempat tidur, dan bicara sampai di sini
agaknya samar-samar ia dapat melihat siapa yang berbaring di situ, tanpa terasa
tubuhnya bergetar dan menggigil, akhirnya ia menjatuhkan diri ke lantai dan
menangis: "O, aku tidak percaya ... Sungguh tidak percaya..."
Pwe-giok tetap memandangnya
dengan tenang. Setelah menangis si nona mulai serak barulah ia berkata
mendadak: "Sudahlah, kau sudah cukup menangis, sekarang bicaralah
kau."
Tapi Pwe-giok masih tidak
bersuara, menyalakan lampu sehingga kelihatan baju putih tanda berkabung yang
dipakai si nona. Baru sekarang hati Pwe-giok tergetar, serunya: "Paman
Lim... apakah paman Lim... "
"Ya, enam hari yang lalu
ayahku telah dicelakai orang!" kata si nona dengan suara parau.
"Siap... siapa yang
melakukannya sekeji itu ?" tanya Pwe-giok dengan muka pucat.
"En... entah, aku... aku
tidak tahu..."
Mendadak si nona menoleh, di
bawah cahaya lampu kelihatan wajahnya yang cantik dan juga agak kurus dan lesu,
matanya merah bendul karena terlalu banyak menangis, meski penuh rasa sedih,
tapi masih tetap terbelalak memandang Pwe-giok, sorot matanya menampilkan
keteguhan hatinya.
"Apakah kau heran?"
tanyanya sambil melototi Pwe-giok. "Ayahku terbunuh, tapi aku tidak tahu
siapa pembunuhnya. Waktu itu aku sedang keluar, sepulangku di rumah, jenazah
ayahpun sudah dingin. Di rumahku sekarang tiada lagi terdapat seorang
hidup"
Sungguh tak terbayangkan oleh
Pwe-giok bahwa anak perempuan yang kelihatan lemah lembut ini setelah mengalami
peristiwa menyedihkan itu masih sanggup melakukan perjalanan sejauh ini ke
rumahnya sini dan sekarang masih dapat bicara dengan jelas.
Nyata di dalam tubuh yang
lemah itu terdapat sebuah hati yang teguh dan lebih keras daripada baja. Mau
tak mau Pwe-giok menghela napas dan menunduk, ia tak tahu apa yang harus
diucapkannya.
Si nona lantas menyambung
pula: "Apakah kau heran bahwa aku dapat menyatakan aku sudah cukup
menangis?. Sebab aku memang sudah kenyang menangis, aku tidak ingin menangis
lagi, sedikitnya sudah lima kali aku menangis sepanjang perjalanan"
"Lima kali ?"
Pwe-giok menegas.
"Ya, lima kali."
kata si nona, "Kecuali ayahmu dan ayahku, ada pula paman Ong dari Thay-oh,
paman Sim dari Ih-hin-sia, paman Sebun dari Mo-san dan ..."
"Merekapun menjadi korban
keganasan?" sela Pwe-giok sebelum selesai uraian si nona.
Nona itu tidak menjawab, hanya
pandangannya beralih ke cahaya lampu.
"Paman Ong dari Thay-oh,
si gunting emas, terkenal tiada tandingan selama hidupnya, Paman Sim dari
Ih-hin, si tombak perak berkuda putih, pada waktu mudanya pernah menyapu rata
seluruh Kanglam tanpa tandingan. Paman Sebun dari Mo-san terkenal dengan
Lwekangnya yang maha lihay masa merekapun dicelakai orang?"
"Dan bagaimana pula
dengan Leng-hoa-sin-kiam dan Kim-si-sian-ciang?" tukas si nona dengan
beringas.
"Betul..." kata
Pwe-giok dengan menunduk muram. "Jangan-jangan mereka terbunuh oleh orang
yang sama? Lalu siapakah gerangan orang ini? ..."
"Cuma, aku sendiri tidak
melihat jenazah para paman itu." kata si nona dari keluarga Lim itu.
Mendadak Pwe-giok mengangkat
kepala dan bertanya: "Kalau tidak melihat jenazahnya, darimana kau tahu
mereka sudah meninggal ?"
"Kosong melompong tiada
terdapat seorangpun... rumah mereka sama sekali tidak kelihatan sesosok mayat
pun, tapi juga tidak nampak seorang hidup, rumah mereka seperti kuburan belaka,
kosong dan hening... Rumahmu dan rumahku juga demikian."
Pwe-giok terdiam sejenak,
gumamnya kemudian: "Rumah?... kita tidak punya rumah lagi."
Si nona menatap Pwe-giok
dengan sorot mata tajam, tanyanya mendadak: "Dan kau akan pergi kemana dan
apa yang akan kau lakukan?"
Pelahan Pwe-giok menjawab:
"Jelas, semua ini adalah suatu intrik yang maha besar dan sulit
dipecahkan. Sekarang aku tak dapat menerkanya, tapi pada suatu hari pasti dapat
kuselidiki dengan baik.
"Apabila kau adalah kau
adalah biang keladi dari intrik keji ini, tindakan apa yang akan kau lakukan
atas diriku?"
"babat rumput sampai akar-akarnya!"
jawab si nona tegas.
"Betul, dan bagaimana
jika kau menjadi aku ?"
"Lari... tapi lari
kemana?"
"Dimana terasa aman,
kesanalah ku pergi."
"Aman? ... Sedangkan
siapa musuh kita saja tidak kita ketahui, seumpama dia berada di sampingmu juga
tidak kau ketahui, di seluruh dunia ini, dimana ada tempat aman bagimu?"
"Ada, ada suatu
tempat"
"Mana?" tanya si
nona.
"Hong-ti!" jawab
Pwe-giok.
"Hong-ti?" si nona
menegas.
"Padahal setiap tokoh
Bu-lim saat ini akan pergi kesana..."
"Justeru lantaran para
pahlawan akan pergi kesana, maka ku anggap disanalah tempat yang paling aman.
Betapapun besar nyali jahanam itu tentu juga tidak berani mengganas di
sana."
Si nona mengangguk pelahan,
ucapnya: "Bagus, dalam saat begini engkau masih dapat berpikir secermat
ini, ku yakin engkau tak nanti dicelakai musuh. Baiklah lekas engkau
berangkat."
"Dan kau?..."
"Kau tidak perlu mengurus
diriku!" seru si nona mendadak, ia membalik tubuh dan melangkah keluar.
Pwe-giok tidak merintanginya,
ia hanya mengikuti di belakangnya dengan diam-diam, sekeluarnya di pintu,
mendadak kaki si nona menjadi lemas dan tubuh akan ambruk, namun Pwe-giok
keburu memapahnya dari belakang, katanya sambil menghela napas: "Terlalu
banyak penderitaanmu, kaupun terlalu lelah, lebih baik istirahatlah dulu."
Air mata kelihatan mengembeng
pula di kelopak mata si nona, ia menggigit bibir, katanya: "Untuk apa kau
sengaja berlagak memperhatikan diriku, jauh-jauh ku datang kemari, tapi... tapi
namaku saja tidak kau tanyakan."
"Aku tidak perlu tanya."
jawab Pwe-giok.
Nona itu meronta dan berdiri
tegak sambil berseru: "Lepaskan aku... lepaskan... bila kau menyentuh
diriku lagi segera kubunuh kau."
Pwe-giok menghela napas
pelahan, katanya: "Meski aku tidak pernah berjumpa dengan kau, tapi mustahil
aku tidak tahu namamu."
Nona itu tersenyum, tapi
segera menunduk dan berkata dengan rawan: "Cuma sayang pertemuan kita ini
tidak tepat waktunya..."
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar, suara seorang tua memanggil
dengan pelahan: "Siauya... "
"Siapa itu?" tanya
Pwe-giok sambil mengaling di depan si nona.
"Masa suara Ji tiong saja
tidak Kongcu kenal lagi?" jawab suara itu.
Pwe-giok menghela napas lega,
sebaliknya si nona mencengkeram bahunya dan bertanya: "Siapa dia?"
"Budak tua yang ikut
ayahku sejak kecil," tutur Pwe-giok.
"Tapi … tapi ketika ku
masuk ke sini, tiada seorangpun yang kulihat."
Pwe-giok melengak, katanya
kemudian: "Mungkin … mungkin dia bersembunyi."
Selagi bicara, tampak seorang
tua berbaju hijau dan berambut uban sudah melangkah masuk, dan setelah memberi
hormat ia berkata: "Ong-loyacu dari Leng-cun sedang menunggu di ruang
tamu, beliau ingin bertemu dengan Siauya."
"Apakah Ong-jicek Ong
Ih-lau?" tanya Pwe-giok dengan agak melengak.
"Selain beliau siapa
lagi?" jawab si budak tua Ji-tiong. Belum lenyap suaranya, dengan langkah
lebar Pwe-giok lantas menuju keluar.
Dilihatnya jalan serambi yang
berliku-liku sana entah sejak kapan sudah ada lampu yang dinyalakan, suasana
seperti biasa saja. Dengan heran Pwe-giok melangkah ke ruangan tamu, ternyata
di situ juga terang benderang.
Seorang berjubah ungu dan
bermuka merah, alis tebal, jenggot panjang, duduk di kursi tamu, jelas si
pendekar Kang-lam yang termasyhur berbudi luhur Ong Ih-lau, Ong jiya.
Pwe-giok berlari maju dan
menyembah, ucapnya dengan terguguk: "Jicek, engkau da… datang
terlambat."
"Ai, urusanmu dengan
ayahmu, aku ikut tidak enak setelah mendengarnya," ujar Ong Ih-lau dengan
sedih.
"Sungguh malang,
siautit……" baru berucap sampai di sini, mendadak Pwe-giok mengangkat
kepalanya dan bertanya dengan keheranan: "Eh. Jicek, da… darimana engkau
mengetahui secepat ini?"
Ong Ih-lau mengelus
jenggotnya, dengan tersenyum ia menjawab: "Kan Ji-toako sendiri yang
bilang padaku." Keruan Pwe-giok melenggong, serunya:
"Ayahku? Beliau … Kapan…
"
"Tadi dia berjalan keluar
dengan marah-marah," demikian tutur Ong Ih-lau dengan tertawa,
"sampai kedatanganku juga tidak begitu dihiraukan. Meski aku tidak tahu
apa yang diributkan kalian ayah dan anak, tapi selama 40 tahun ini memang tidak
pernah kulihat dia marah sebesar ini. Terpaksa kuminta In-sahcekmu
mengiringinya keluar berjalan-jalan agar kalian ayah dan anak tidak ……"
Sampai melongo Pwe-giok
mendengar penuturan itu, sampai di sini, ia tidak tahan lagi, mendadak ia
berseru. "Tapi... tapi ayahku tadi telah terbunuh!"
Air muka Ong Ih-lau tampak
kurang senang, katanya sambil berkerut kening: "Anak muda bertengkar
dengan orang tua memang lazim terjadi, tapi janganlah engkau mengutuki ayahmu
sendiri."
"Tapi ……tapi ayah
be……..benar-benar sudah……."
"Tutup mulut !"
bentak Ong Ih-lau. "Jenazah ayah saat ini terbaring di kamar tidurnya,
jika paman tidak percaya, silahkan memeriksanya sendiri," kata Pwe-giok
dengan menggertak gigi.
"Baik, hayo ke
sana!" dengan gusar Ong Ih-lau bangkit.
Dengan langkah cepat kedua
orang lantas menuju ke belakang. Belum lagi sampai di sana, dari jauh sudah
kelihatan kamar tidur yang tadi gelap itu kini telah terang benderang oleh
nyala lampu.
Pwe-giok terus menerjang ke
dalam kamar, dilihatnya selimut bantal di tempat tidur teratur dengan rapi,
sedikitpun tiada tanda-tanda pernah disentuh orang, sedangkan jenazah Ji
Hong-ho sudah tidak kelihatan lagi.
"Di mana jenazah
ayahmu?!" tanya Ong Ih-lau dengan suara bengis. Gemetar tubuh Pwe-giok,
mana dia sanggup bicara lagi. Mendadak ia membentak terus berlari ke halaman
belakang.
Di bawah cahaya lampu yang
bergantungan di serambi sana, terlihat suasana di bawah pohon yang rindang
tadi. Jangankan ke enam mayat, bahkan daun yang rontok oleh getaran pertarungan
sengit tadipun entah sejak kapan sudah disapu bersih.
Jian-koa-pit masih berada di
situ, di atas meja pendek itupun masih lengkap tersedia pot air, tatakan tinta
tulis, samar-samar kertas tulis yang berada di meja juga kelihatan adalah
kertas yang digunakannya untuk menulis Lam-hoa-keng tadi.
Kaki dan tangan Pwe-giok
terasa dingin, halaman yang sunyi ini bagi pandangannya seolah-olah berubah
menjadi neraka yang seram dan penuh misterius. Ong Ih-lau berdiri dengan
berdekap tangan, tanyanya kemudian: "Sekarang apa yang akan kau katakan
lagi?"
Pwe-giok seperti orang
linglung, jawabnya dengan bingung: "Aku…….aku."
Tiba-tiba dilihatnya ada
bayangan orang bergerak di balik semak-semak sana, jelas itulah si nona jelita
tadi. Pwe-giok seperti menemukan bintang penolong, cepat ia memburu maju dan
memegang tangannya sambil berseru: "Tadi nona inipun menyaksikan… Dia
adalah putrid Lim-loyacu Leng-hoa-sim-kiam, namanya Lim Tay-ih, dengan mata
kepala sendiri iapun menyaksikan jenazah ayahku."
Dengan sorot mata tajam Ong
Ih-lau Tanya si nona dengan suara bengis: "Apa betul kau melihatnya?"
"Aku…. Aku. Tadi…."
Belum lanjut ucapan si nona,
mendadak empat orang muncul dari serambi sana sambil menyapa dengan tertawa:
"Wah, bilakah Ong-jiko datang kemari, sungguh sangat kebetulan."
Orang yang berjalan di depan
berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang panjang bergantung di pinggangnya,
meski rambut bagian pelipis sudah kelihatan putih, tapi sikapnya masih tetap
gagah, tiada tanda-tanda sudah tua.
Melihat ke empat orang ini,
seketika Lim Tay-ih berhenti bicara dan tubuh gemetar, terutama orang yang
berjalan paling depan itu, melihat dia, sampai Ji Pwe-giok juga terkejut
seperti melihat setan, teriaknya:" Pa….. paman Lim, bukankah engkau sudah...
sudah meninggal?"
Orang pertama ini memang betul
Leng-hoa-sin-kiam Lim Soh-koan, ayah Lim Tay-ih, seorang hartawan dan juga
tokoh silat terkemuka di Sohciu. Ketiga orang lainnya adalah Ong Kim-liong dari
Thay oh, Sim Gin-jiang dari Ih-hia, Sebun Hong dari Mo-san, yaitu orang-orang
yang dikatakan Lim Tay-ih sudah terbunuh tadi.
Belum lagi Lim Soh-koan
menjawab teguran Pwe-giok, Sebun Hong lantas bergelak tertawa dan berkata:
"Huh, tiga tahun tidak bertemu, sekali bertemu kau lantas menyumpahi ayah mertuamu.
Ai, kelakarmu ini terasa agak keterlaluan."
Mendadak Pwe-giok membalik
tubuh dan memandang Lim Tay-ih tajam-tajam, katanya: "Kan, kau yang bilang
begitu? Mengapa…..mengapa kau berdusta padaku?"
Tay-ih mengangkat kepalanya
perlahan-lahan, sorot matanya tenang dan bening, jawabnya lirih: "Aku yang
bilang? Kapan dan apa yang kukatakan?"
Tubuh Pwe-giok bergetar hebat
dan menyusul mundur beberapa tindak, dilihatnya kelima tokoh Bu lim termasyhur
itu sedang menatapnya dengan dingin, sorot mata mereka mengandung rasa kejut,
heran dan juga kasihan.
Si budak tua Ji Tiong entah
sejak kapan juga sudah berdiri dengan setengah membungkuk tubuh di samping
sana, dengan mengiring tawa ia berkata: "Siauya, seyogyanya engkau
mengundang kelima Loyacu minum dulu ke ruang tamu."
Pwe-giok tidak menjawab,
sebaliknya ia melompat ke sana dan mencengkeram pundak budak tua tiu sambil
berteriak: "Coba katakan! Ceritakan apa yang terjadi tadi."
Budak tua itu tampak
melenggong, jawabnya: "Kejadian tadi? Kejadian apa?"
Keruan muka Pwe-giok tambah
pucat.
"Kecuali kami berlima,
apakah tadi ada kedatangan orang lain?" Tanya Ong Ih-lau.
Ji Tiong menggeleng:
"Tidak ada, tiada orang lain lagi….."
Perlahan Pwe-giok melepaskan
cengkeramannya dan menyurut mundur selangkah demi selangkah, ucapnya dengan
suara gemetar: "Meng …….mengapa kau mem…..memfitnah diriku?"
Ji Tiong menghela napas
panjang dan memandang Pwe-giok lekat-lekat, sorot matanya juga memantulkan rasa
kasihan, katanya kemudian: "Agaknya akhir-akhir ini Siauya terlalu berat
berlatih, mungkin engkau…."
"Mungkin aku sudah gila,
begitu bukan? seru pwe-giok sambil menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Kalian memandangi diriku dengan heran, karena kalian menganggap aku ini
sudah gila, begitu bukan? Kalian sama berharap aku gila, begitu bukan?"
"Ai, anak ini mungkin
terlalu keras dikekang oleh ayahnya," ujar Lim Soh-koan dengan gegetun.
"Hahaha! Memang betul,
aku memang terkekang terlalu keras sehingga gila!" teriak Pwe-giok sambil
tertawa latah. Mendadak ia menghantam sehingga jendela di sebelah sana ambrol
terkena angin pukulannya.
Serentak Ong Ih-lau, Sim
Gin-jiang dan Sebun Hong menubruk maju, secepat kilat mereka memegangi bahu
anak muda itu, sedang Lim Soh-koan lantas mengeluarkan sebuah botol hitam
kecil, katanya dengan suara halus: "Anak Giok, menurut lah padaku,
minumlah obat ini dan tidurlah baik-baik, besok tentu kau akan sehat
kembali."
Segera ia membuka tutup botol
terus dijejalkan ke mulut Pwe-giok, seketika tercium bau harum semerbak dan
memabukkan.
Tapi Pwe giok tutup mulut
serapat-rapatnya, matipun tidak mau pentang mulut.
"Ai, mengapa kau berubah
begini, Pwe-giok," kata Sim Gin jiang dengan gegetun. "Masa ayah
mertuamu sendiri sampai hati membikin susah padamu?"
Mendadak Pwe giok menggertak
keras-keras, sekali kedua tangannya terpentang, kontan tokoh-tokoh kelas tinggi
seperti Sim Gian jiang dan Sebun Hong itupun tidak mampu menahannya, ditengah
suara bentaknya Pwe giok terus melayang ke atas, ujung kaki menutul wuwungan,
secepat burung terbang ia melayang lewat ke balik pepohonan sana.
"Lihai amat anak ini,
biarpun waktu mudanya juga Ji Hong ho tidak sehebat ini !" ujar Sebun
hong.
"Cuma sayang, dia sudah
gila, sungguh sayang...." Ong Ih lau menghela nafas menyesal. Lim Tay ih
terus menjatuhkan diri ditengah dan menangis sedih.
- - -
Bintang berkelip memenuhi
langit, malam sunyi dan dingin.
Sudah lebih tiga jam Ji Pwe
giok berbaring di bawah pohon dan memandangi bintang yang bertaburan di
cakrawala, sama sekali tidak bergerak, sampai berkedip juga tidak. Bintang
berkelip yang memenuhi langit itu seakan-akan sedang mengejeknya:
"Kau sudah gila.......kau
sudah gila........."
Malam tambah larut, bintang
mulai jarang-jarang, ditengah tiupan angin malam yang sepoi-sepoi itu terbawa
suara tangisan orang yang memilukan, makin lama semakin dekat suara tangis
orang itu.
Akhirnya kelihatan lah seorang
tua pendek kecil dengan jenggot yang sangat panjang hingga hampir menyentuh
tanah muncul dengan menangis. Setiba di bawah pohon sana, ia menangis lagi
sejenak, lalu mengumpulkan beberapa potong batu sebagai ganjal kaki, ikat
pinggang dilepaskan dan dilibatkan pada dahan pohon. Melihat gelagatnya kakek
itu jelas hendak gantung diri.
Pwe giok tidak tahan
menyaksikan orang bunuh diri di depannya, cepat ia melompat kesana dan
mendorong si kakek.
Bukannya berterima kasih,
orang tua itu malah duduk di atas tanah, kakinya memancal-mancal dan menangis
seperti anak kecil, serunya:
"Untuk apa kau tolong
diriku? Di dunia ini tiada orang yang lebih malang dari padaku, hidupku sudah
tiada artinya lagi. Ku mohon janganlah engkau merintangi kematianku, mati
rasanya akan lebih baik bagiku."
Pwe-giok menghela nafas,
ucapnya dengan menyengir:
"Apa betul di dunia ini
tiada orang terlebih malang daripadamu ?.... kau tahu dalam satu hari saja aku
kehilangan rumah, kehilangan orang tua, apa yang kukatakan terjadi
sungguh-sungguh, tapi tiada seorangpun yang mau percaya padaku. Di dunia ini
pun tiada seorang lagi yang dapat kupercayai. Pendekar yang biasanya kuhargai
dan kupuja, dalam sehari juga mendadak berubah menjadi penuh intrik dan
misterius, orang yang setiap hari berdekatan denganku juga mendadak berubah
tidak setia lagi padaku dan ingin membuat gila padaku, ingin mencelakai jiwaku,
bukankah diriku ini jauh lebih malang daripada dirimu ?"
Si kakek memandangnya dengan
termangu-mangu hingga sekian lamanya, ucapnya kemudian setengah berguman:
"Jika demikian, kalau
dibandingkan kau, rasanya aku masih jauh lebih mujur. Kau memang lebih pantas
mati daripadaku, biarlah ikat pinggang ini kupinjamkan kepadamu."
Ia terbahak-bahak, lalu
melangkah pergi.
Dengan termangu-mangu Pwe-giok
mengikuti bayangan si kakek yang menghilang di kejauhan. Ia coba memasukkan
leher sendiri ke jiratan tali pinggang, gumamnya:
"Cara demikian memang
sangat mudah. setelah mati, segala kekesalan pun tak terasa pula, tapi apakah
benar aku ini orang yang paling pantas mati di dunia ini ?..."
Mendadak iapun tertawa,
katanya: "Ya, anggaplah aku sudah pernah mati satu kali !"
Ia lepaskan jiratan itu dan
melangkah pergi. Sepanjang jalan, apabila dia berlalu di kolam, dimana banyak
anak gadis sedang memetik lengkak, maka sering-sering ada gadis yang
melemparkan beberapa biji lengkak padanya. Pwe giok lantas menangkap lengkak
itu dan dimakan.
Bila dia melalui hutan murbei,
nona pemetik murbei juga sering melemparkan buah itu kepadanya dan iapun
menerimanya untuk dimakan.
Kalau dia sudah lelah dalam
perjalanan, seadanya dia mencari rumput kering atau onggokan jerami untuk alas
tidur. Bila mendusin, seringkali ada anak gadis yang sedang memandanginya
dengan tersenyum jengah serta memberinya semangkuk telur rebus air gula.
Bilamana diketahui ibu si anak
gadis, sang ibu lantas marah-marah dan mengusir Pwe-giok dengan gagang sapu.
Tapi melihat wajah anak muda itu, kadang-kadang sang ibu malah tambah
memberinya beberapa potong bakpau atau beberapa biji ketela rebus.
Perjalanan sejauh ini entah
cara bagaimana dilaluinya, apa yang dipikirnya juga tidak berani dibicarakan
nya dengan orang lain, dalam batin ia hanya selalu ingat:
"Sabar....mengalah..
sabar..."
Itulah petuah mendiang ayahnya
yang selalu mendengung-dengung dalam benaknya.
Dia seperti tidak perduli lagi
apakah ada orang menguntit jejaknya, padahal sekarang tiada orang yang
mengenalnya lagi, siapapun pasti pangling. Pakaiannya memang sederhana,
ditambah lagi sekarang tubuhnya penuh debu kotoran, bajunya sudah robek di
sana-sini, keadaannya sekarang tiada banyak bedanya dengan kaum pengemis. Dia
tidak cuci muka, juga tidak sisir rambut. tapi keadaannya yang kelihatan
linglung dan harus dikasihani justru makin disukai oleh anak perempuan.
Tapi sekarang Pwe-giok sudah
tidak perduli apakah orang suka atau jemu padanya, ia meneruskan perjalanan
menurut selera sendiri.
Akhirnya ia tiba di wilayah
Holam, ditengah jalan orang yang berdandan sebagai busu atau jago silat semakin
banyak, semuanya bersemangat dan tergesa-gesa. Pertemuan pesilat yang
berlangsung setiap tujuh tahun sekali tentu saja sangat menarik perhatian
setiap tokoh dunia persilatan.
Selewatnya Siangcu, ditengah
jalan bertambah ramai lagi. Bilamana ada tokoh ternama berlalu di tepi jalan
lantas ramai orang berbisik-bisik membicarakannya.
"Lihatlah, yang berjubah
bunga ungu itulah Sin To Kongcu dari Hong-yang, golok yang tergantung di
pinggangnya itulah Giok Liong to yang dapat memotong emas seperti merajang
sayur."
"Dan Nona berbaju kuning
itu, apakah kau kenal ?"
"Kenapa tidak ? kalau Kim
Yan Cu (si walet emas) saja tidak kukenal, apa gunanya aku berkecimpung di
dunia kangouw ? ai, mereka benar-benar suatu pasangan yang setimpal, yang
lelaki ganteng yang perempuan cantik."
"He, itu dia Jian jiu kun
(pukulan seribu tangan) Tio Tayhiap juga datang," demikian seru seorang
lagi. "Siaw lim pay sudah tujuh kali mengetuai pertemuan Hong-ti kedudukannya
dalam pemilihan tahun ini tentu tidak boleh berpindah kepada orang lain. Tio
Tayhiap adalah murid Siau lim pay dari keluarga preman, sudah tentu dia harus
hadir."
Percakapan orang itu dapat
didengar semua oleh Pwe giok, tapi dia tidak memandangnya, dengan sendirinya
orang lainpun tidak memperhatikan seorang jembel semacam dia.
Setiba di Hongciu, malam sudah
larut. Dia tidak masuk ke kota, tapi berbaring seadanya di emper sebuah hotel
kecil di luar kota.
Malam semakin larut, orang
lain sudah tidur semua. namun menghadapi pertemuan Hong Li yang sudah dekat di
depan mata, mana Pwe giok dapat tidur nyenyak, meski matanya terasa sepat, tapi
masih terbelalak dan melamun:
"Apakah Lim Soh koan, Ong
Ih lau dan lain-lain juga akan hadir di Hong-ti? Sesungguhnya apa yang hendak
mereka lakukan ? mengapa mereka berkeras menyatakan ayahku belum meninggal
dunia ? apakah mungkin......"
Mendadak terdengar seorang
berkata: "Ang lian hoa (bunga teratai merah), pek lian ngau (ubi teratai
kecil), sebatang gala bambu menjelajah dunia"
Entah sejak kapan, seorang
pengemis muda kurus kecil dengan mata besar, tangan memegang sebatang bambu,
seang memandangnya dengan tertawa.
Pwe giok balas menyengir
padanya, tapi tidak bicara. hakekatnya dia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Pengemis muda berkedip-kedip,
tegurnya kemudian dengan tertawa:
"kau bukan anggota Kay
pang kami ?"
Pwe giok menggeleng sebagai
tanda bukan.
"Jika kau bukan orang Kay
pang, mengapa dandananmu mirip benar si tukang minta-minta, tidurmu juga ditempat
kaum pengemis," kata si jembel muda itu dengan tertawa.
"sungguh aneh, kalau kau
menyaingi pekerjaan lain masih dapat dimengerti, jasa pekerjaan mengemis juga
ingin kau rebut?"
"O, maaf." jawab Pwe
giok sambil menyengir berbangkit dan melangkah keluar emper rumah, berdiri
termangu-mangu di bawah langit yang penuh bertabur bintang.
Pengemis muda tadi
memandangnya tanpa berkedip, ia merasa orang ini sangat menarik, ia tutul bahu
Pwe giok dengan ujung galanya dan bertanya pula:
"Dari logat suaramu, agaknya
kau datang dari Kang-lam ?" secara singkat Pwe giok mengiakan.
"Siapa namamu ?"
tanya pula pengemis muda itu.
Pwe giok menoleh dan
memandangnya beberapa kejap, ia merasa sepasang mata yang besar itu seperti
kelihatan licin dan nakal, tapi mengandung maksud baik tanpa bermaksud jahat,
dengan tertawa ia lantas menjawab:
"Namaku Ji Pwe
giok."
"Aku Lian Ang ji (Lian si
anak merah)." kata jembel muda dengan tertawa.
"Soalnya baju yang
kupakai meski compang-camping, tapi selalu berwarna merah."
"O, kiranya Lian heng (
saudara Lian)," kata Pwe giok.
"Haha, boleh juga kau
ini, ternyata sudi berbicara dengan si tukang minta nasi," ujar Lian Ang
ji dengan bergelak tertawa.
"Tapi aku sendiri ingin
minta nasi saja tidak kuat", tukas Pwe giok sambil menyengir.
Tambah mencorong sinar mata
Lian Ang ji, katanya perlahan:
"Kulihat dasar ilmu
silatmu tidaklah lemah, kalau bukan anak murid keluarga persilatan tentu tak
dapat terpupuk dasar sekuat ini, tapi mengapa kau menyaru sedemikian
rupa?"
Pwe giok terkejut, jawabnya :
"Aku tidak menyamar, aku
tidak mahir ilmu silat."
Seketika Lian ang ji menarik
muka, jengeknya:
"Kau berani mendustai
aku?"
Mendadak gala bambunya
bergerak, secepat kilat ia tutul Long si hiat di dada Ji Pwe giok, hanya dalam
sekejap saja ujung gala bambunya bergetar, hampir seluruh Hiat to penting di
tubuh Pwe giok terancam di bawah gala bambu.
Karena sedang tertimpa malang,
Pwe giok merasa setiap orang di dunia ini bisa jadi adalah utusan musuh yang
tak kelihatan itu, maka cepat ia ia mendak ke bawah dan menyurut mundur.
Tak tersangka Lian ang ji juga
lantas menarik kembali galanya, ia tatap Pwe giok dengan tajam dan menjengek
pula:
"Masih muda belia sudah
suka berdusta, kalau sudah besar kan lebih celaka !"
Pwe giok menunduk, katanya:
"Sungguh ada... ada
kesukaranku yang tak dapat kujelaskan."
"O, tidak dapat kau
katakan padaku ?" tanya Lian ang ji.
"Jika kaupun mempunyai
sesuatu rahasia, apakah mungkin kau katakan kepada orang yang tak pernah kau
kenal ?" Pwe giok balas bertanya
Lian ang ji memandangnya
dengan melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata pula dengan tertawa:
"Tepat sekali
pertanyaanmu, tampaknya kau lemah lembut, agaknya kau tidak suka banyak bicara.
Tak kusangka sekali bicara lantas begini tajam."
Dengan kemalas-malasan Lian
ang ji merebahkan diri lantas berkata pula dengan kemalas-malasan:
"Cuma, perjalananmu ini
mungkin akan sia-sia belaka, kau tak dapat hadir di pertemuan Hong-ti
nanti."
Kembali pwe giok terkejut,
serunya:
"He, dari… darimana kau
tahu?......"
"Mataku ini adalah kaca
penyorot siluman, siapapun juga asalkan kupandang tiga kejap, pasti kutahu dia
berasal dari apa," demikian jawab Lian ang-ji dengan tertawa.
Pwe-giok pandang mata orang
dengan rasa kejut, heran dan juga kagum.
Lian Ang-ji lantas memandang
ke langit dan berkata pula dengan tak acuh: "Pertemuan Hong-ti bukanlah
tontonan umum dan boleh dihadiri setiap orang, yang boleh hadir adalah anak
murid ke 13 Mui-pay (golongan dan aliran) yang menjadi sponsor pertemuan ini,
orang luar harus membawa kartu undangan. Dan kau?"
"Aku…..aku bukan anak
murid ke 13 Mui-pay itu dan juga…. juga bukan tamu yang diundang," jawab
Pwe-giok dengan menunduk.
"Jika begitu, lebih baik
sekarang juga kau pulang saja," kata Lian Ang-ji.
Pwe-giok terdiam sejenak.
Tiba-tiba ia bertanya: "Apakah Kay-pang termasuk ke 13 Mui-pay itu?"
"Sudah tentu," jawab
Lian Ang-ji dengan tertawa. "Selama lebih 40 tahun ini, meski setiap kali
yang menjadi ketua perserikatan adalah Siau-lim-pay, tapi kalau Kay-pang kami
tidak memberi dukungan, mustahil kedudukan itu tidak sejak dulu-dulu direbut
oleh Bu-tong-pay atau Kun-lun-pay."
"Dan kalau aku dapat
mencampurkan diri di tengah anggota kay-pang, kukira takkan diketahui oleh
orang lain…. " demikian Pwe-giok bergumam sendiri.
"Haha, enak benar
perhitunganmu," ujar Lian Ang-ji sambil tertawa.
Mendadak Pwe-giok berlutut di
depan jembel muda itu dan memohon: "Kuharap Lian-heng sudilah memberi
bantuan sekali ini saja. Tolonglah engkau bicarakan kepada Pangcu kalian,
asalkan Siaute dapat hadir di sana, urusan lain tidak perlu lagi
dikuatirkan."
Lian Ang-ji memandangnya
dengan tertawa, katanya: "Kenal saja baru sekarang, mengapa harus kubantu
kau?"
Pwe-giok melenggong, ucapnya
kemudian: "Sebab…..sebab…. " ia menghela napas panjang dan bangkit.
Sesungguhnya ia memang tidak dapat menjelaskan sebab apa…
Terpaksa ia angkat kaki. Lian
Ang-ji juga tidak memanggilnya kembali, dengan tertawa ia memandangi kepergian
Pwe-giok yang lesu dan menghilang dalam kegelapan, seperti halnya menyaksikan
seorang yang hampir terbenam dan akhirnya tenggelam ke dasar sungai.
Dalam kegelapan, entah sudah
berapa lama dan berapa jauh Ji Pwe-giok berjalan. Di depan masih tetap gelap
gulita.
Sekonyong-konyong di depan ada
gemerlapnya cahaya api, serombongan orang datang sambil bertepuk tangan dan
berdendang: "Ang-lian-hoa (bunga teratai merah) pujaan beta. Orang jahat
ketemu dia merangkak ketakutan, orang baik ketemu dia tepuk tangan memuji. Di
seluruh kolong langit ini hanya ada sekuntum Ang-lian-hoa."
Pwe-giok tidak ingin bertemu
dengan siapa-siapa, maka ia membelok ke arah lain. Tak terduga rombongan orang
ini mendadak berkerumun maju dan mengitari di sekelilingnya. Ada yang bergelak
tertawa, ada yang bertepuk tangan. Di bawah cahaya obor kelihatan orang-orang
ini sama berbaju compang-camping dan telanjang kaki, ada tua ada muda.
Pwe-giok tercengang, belum
sempat bicara. Orang-orang itu lantas bersorak-sorak gembira pula: "Ji
Pwe-giok, orangnya cakap bagai kemala, tengah malam buta, kau mau ke
mana?"
Berubah air muka Pwe-giok
seketika, serunya: "He, bagaimana kalian kenal diriku?"
Seorang pengemis tua lantas
tampil ke depan, ia memberi hormat dan berkata dengan tersenyum: "Pangcu
kami mendengar kedatangan Ji-kongcu, maka kami diperintahkan menyambut…."
"Tapi aku sama sekali
tidak kenal pangcu kalian," seru Pwe-giok bingung.
"Walaupun Kongcu tidak
kenal Pangcu kami, tapi sudah lama Pangcu mendengar nama besar kongcu, sebab
itulah kami sengaja disuruh menunggu kedatangan Kongcu di sini, bahkan kami disuruh
mengantar sesuatu untuk Kongcu," demikian tutur pengemis tua itu dengan
tertawa.
Karena pengalaman kematian
ayahnya yang mengenaskan itu, terhadap segala sesuatu sekarang Pwe-giok selalu
waspada, dengan mengepal tinju ia menjengek: "Baiklah, mana barangnya."
"Harap Kongcu jangan
salah paham," ucap si pengemis tua pula. Yang hendak kami sampaikan ini
bukanlah senjata tajam atau kepalan." Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat
bersampul kuning dan dihaturkan dengan hormat: "Silahkan Kongcu memeriksanya
dan segera akan jelas isinya."
Tanpa terasa Pwe-giok menerima
sampul surat itu, tapi sekilas teringat lagi "surat maut" tempo hari
itu, mendadak ia cengkeram leher baju si pengemis tua, ia sodorkan surat itu ke
depan sambil membentak dengan bengis: "Coba kau jilat dulu surat
ini!"
Pengemis tua itu tidak
melawan, ia pandang Pwe-giok sekejap dengan tersenyum, ucapnya: "Cermat
benar Kongcu ini."
Tanpa ragu ia benar-benar
menjulurkan lidahnya dan menjilat sampul yang dipegang Pwe-giok itu, bahkan
sehelai kartu di dalam sampul juga dijilatnya sekali, lalu berkata pula dengan
tertawa:
"Sekarang Kongcu tidak
perlu sangsi lagi bukan?"
Pwe-giok berbalik merasa rikuh
dan melepaskan cengkeramannya, waktu ia keluarkan kartu di dalam sampul, yang
tertulis ternyata berbunyi: "Mengundang dengan hormat atas kehadiran anda
di pertemuan Hong-ti."
Keruan Pwe-giok terkesiap,
waktu ia berpaling, rombongan kaum jembel itu sudah pergi semua, tertinggal
onggokan obor saja yang masih gemerdep dalam kegelapan.
Memandangi api obor, Pwe-giok
menjadi bingung pula. Siapakah gerangan Pangcu yang dimaksudkan itu? Mengapa
menyampaikan kartu undangan ini kepadanya?
Apa yang dialaminya selama
beberapa hari ini kalau tidak lucu dan sukar dimengerti, tentulah misterius dan
menyeramkan di samping keji dan ganas, tapi setiap kejadian juga sangat aneh
dan sukar dibayangkan.
Entah berapa lama ia termenung
sambil memegang kartu undangan itu. Tiba-tiba dalam kegelapan ada suara
tindakan orang lagi.
Pwe-giok bermaksud pergi saja,
tapi mendadak ada orang membentaknya: "Berhenti!"
Diam-diam Pwe-giok merasa
gegetun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi lagi dan siapa pula yang datang.
Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini tiada satupun yang dapat menduga
sebelumnya, orang yang ditemuinya juga tiada seorangpun yang dapat menerka asal
usul serta maksud tujuannya.
Karena itu ia menjadi malas
untuk memikirkannya. Dilihatnya yang datang sekali ini ada tujuh orang, dua
diantaranya memakai jubah Tosu, seorang berbaju Hweshio, tiga lagi berpakaian
ketat ringkas, orang terakhir adalah perempuan, memakai mantel bersulam.
Meski dandanan ke tujuh orang
ini tidak sama, tapi semuanya tangkas, semuanya masih muda dan gagah,
gerak-geriknya juga sangat gesit.
Seorang pemuda baju hitam
ringkas berada paling depan, sinar matanya tajam mencorong, ia melotot pada
Pwe-giok dan membentak: "Apa yang sahabat lakukan dengan berdiri di
sini?"
"Hm, masa orang berdiri
di sini saja tidak boleh?" jengek Pwe-giok.
Alis pemuda itu berjengkit, si
Hwesio yang berdiri di sebelahnya lantas menyela dengan mengulum senyum:
"Mungkin Sicu tidak tahu, lantaran pertemuan Hong-ti akan berlangsung
besok, kebanyakan tokoh dunia persilatan sama hadir di sini, dalam pada itu
tentu sukar terhindar kemasukan anasir-anasir jahat yang sengaja hendak
mengacau. Maklum akan kemungkinan ini, para Ciangbun dari ke-13 Mui-pay yang
menyelenggarakan pertemuan ini telah menugaskan pada anak muridnya untuk
melakukan perondaan. Pinceng (Paderi miskin) Siong-cui dari Siau-lim, beberapa
Suheng, berasal dari Bu-tong, Kun-lun, Hoa-san, Tiam-joa, Khong-tong, dan
lain-lain"
Air muka Pwe-giok menjadi
cerah, katanya: "Ah, kiranya kalian adalah murid terhormat dari
Jit-toa-kiam-pay (ke tujuh aliran ilmu pedang beras) ..."
Si pemuda baju hitam sejak
tadi terus mengincar kartu undangan yang dipegang Pwe-giok, mendadak ia
bertanya: "Kartu undangan ini apakah milikmu ?"
Pwe-giok mengiakan.
Tak terduga, mendadak sinar
pedang berkelebat, tahu-tahu ujung senjata orang sudah mengancam di depan batok
kepalanya.
Pemuda baju hitam ini memang
tidak malu sebagai murid perguruan ternama, hanya sekejap itu saja pedang sudah
terlolos dan penyerang.
Karena tidak terduga-duga,
sedapatnya Pwe-giok berusaha menghindar, walaupun berhasil, hampir saja daun
telinganya terpapas, keruan ia menjadi gusar dan mendamperat: "Kenapa kau
bertindak sekasar ini?. Apakah kau kira kartu undanganku ini palsu ?"
Pedang si baju hitam tampak
gemerlapan dan mendesak maju pula, jengeknya: "Lihat serangan!"
Gerak serangannya itu
tampaknya tidak ada sangkut pautnya satu sama lain, tapi sejurus demi sejurus
terus dilancarkan, berturut turut Pwe-giok menghindarkan tujuh belas kali
barulah sempat berganti napas, teriaknya gusar: "He, apa-apaan ini ?"
Tiba-tiba si perempuan muda
bermantel berucap dengan dingin: "Tanyai dulu baru bertindak kan belum
lagi terlambat."
Menurut juga pemuda berbaju
hitam itu. segera ia menarik kembali pedangnya, tapi mata juga melotot terlebih
besar, bentaknya dengan bengis: "Baik, coba katakan, darimana kau peroleh
kartu undangan ini ?"
"Pemberian orang,"
jawab Pwe giok.
"Hehehe, kawan-kawan
sudah dengar, katanya pemberian orang!" demikian pemuda baju hitam itu
terkekeh kekeh hina.
"Kenapa kau merasa heran
?" tanya Pwe giok. Siong-cui, si paderi Siau-lim-pay juga menarik muka,
katanya dengan pelahan: "Kartu undanganmu ini tidak palsu, cuma terlalu
tulen sehingga meragukan. Supaya Sicu maklum, dalam pertemuan Hong-ti ini,
kartu undangan yang disebar ada tujuh macam. Kartu warna kuning ini paling
terhormat, kalau bukan ketua sesuatu perguruan ternama, sedikitnya juga kaum
Locianpwe yang disegani barulah mendapat kartu undangan ini. Tapi juga ketua ke
13 Mui-pay penyelenggara saja yang dapat mengirimkan kartu ini, sedangkan anda
..."
"Hehe, sedangkan anda
tampaknya bukan orang yang mempunyai hubungan erat dengan ketua ke-13 Mui-pay
penyelenggara," Sambung si pemuda baju hitam dengan tertawa dingin.
"Jelas kartu undanganmu ini kalau bukannya kau curi tentu kau dapatkan
dengan menipu."
Di tengah bentakannya, segera
pedangnya menusuk pula. Sekali ini perempuan muda tadi tidak mencegahnya, ke
tujuh orang bahkan sudah berdiri dalam posisi mengepung sehingga Pwe-giok
terkurung di tengah.
Sungguh penasaran Pwe-giok tak
terlampiaskan, tapi cara bagaimana dia dapat memberi penjelasan? Si
"Pangcu" sialan yang memberi kartu undangan ini bukankah malah
sengaja hendak membikin celaka padanya?
Serangan pedang si pemuda baju
hitam tambah gencar, yang dimainkan adalah Hui hoa-kiam-hoat (ilmu pedang
merontokkan bunga) dari Tiam jong-pay. Cepat, ganas, inilah keunggulan Tiam
jong-kian-hoat.
Ilmu pedang inipun paling
sukar dihindarkan lantaran Pwe-giok tidak menangkis dan balas menyerang, maka
berulang-ulang ia harus menghadapi serangan berbahaya.
Si Perempuan muda tadi tampak
berkerut kening, katanya: "Masa kau tidak menyerah saja, apakah kau ingin
..."
Belum habis ucapannya,
mendadak terdengar suara tertawa nyaring panjang bergema melayang lewat di
angkasa. Semua orang terkejut dan sama menengadah, tertampak sesosok bayangan
berkelebat lenyap dalam kegelapan, tapi ada sesuatu benda melayang-layang jatuh
ke bawah.
Sekali pedang si pemuda baju
hitam mencungkit, benda itu tersunduk pada ujung pedangnya. Waktu diperiksa,
kiranya sekuntum bunga teratai merah.
"Ang-lian-hoat?"
seru pemuda baju hitam dengan air muka pucat.
Mendadak Siong-oui Hwesio
memberi hormat kepada Ji Pwe-giok, katanya dengan tersenyum: "Kiranya sicu
adalah sahabat baik Ang-lian-pangcu. Tecu tidak tahu sehingga bersikap kurang
hormat, harap anda suka memberi maaf."
Cepat si pemuda baju hitam
menambahkan: "Ai, mengapa engk ... Cianpwe tidak omong sejak tadi."
Pwe-giok sendiri melenggong
sejenak, katanya kemudian: "Sesungguhnya akupun tidak kenal pada
Ang-lian-pangcu ini."
"Ai, jika cianpwe bilang
begini, betapapun Wanpwe menjadi serba susah." kata pemuda baju hitam
dengan menunduk.
Pwe-giok hanya menyengir saja
dan sukar memberi penjelasan.
Si perempuan muda tadi sedang
menatapnya dengan sorot mata yang tajam, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa
manis: "Tecu Ciong Cing dari Hoa-san. Apabila Kongcu sudi, boleh silahkan
istirahat dulu di tempat kami sana"
Segera si pemuda baju hitam
mendukung usulnya: "Bagus sekali, besok pagi-pagi Tian-jong-pay kami pasti
akan mengirim kereta kemari untuk menjemput anda untuk menghadiri pertemuan
besar."
Pwe-giok berpikir sejenak,
akhirnya ia menjawab: "Ya, boleh juga"
Dengan demikian Ji Pwe-giok
lantas diantar ke wisma tamu agung Hoa-san pay yang terang benderang. Tapi
siapakah gerangan Ang-lian-pangcu itu sebenarnya tetap tak diketahuinya.
Ging-pin koan atau wisma tamu
agung sepanjang malam terang benderang, ruang tamu sangat luas, tiada hiasan
apapun kecuali tergantung potret yang besar. Pwe-giok mengamati potret itu satu
persatu, dilihatnya ke - 14 potret orang itu terdiri dari macam-macam jenis,
ada Hwesio ada Tosu, ada orang preman, ada perempuan dan ada pula pengemis,
kedudukan dan usia tidak sama, tapi semuanya tampak kereng, anggun dan
berwibawa.
Ciong Cing masih mengiring
disamping Pwe-giok, dengan tertawa ia menjelaskan: "Inilah potret ke-14
tokoh Cianpwe dari ke-14 Mui-pay yang mensponsori pertemuan Hong-ti sejak
pertama kalinya. Hal ini terjadi 70 tahun yang lalu, ketika itu dunia
persilatan kacau balau, hampir tidak pernah aman dan tenteram. Tapi sejak ke-14
tokoh itu mengikat janji di Hong-ti, dunia Kangouw lantas aman dan damai, maka
jasa ke-14 tokoh besar ini boleh dikatakan tiada taranya."
Pwe-giok entah mendengarkan
tidak uraian Ciong Cing itu, dia hanya memandang termangu-mangu salah sebuah
potret di tengah itu, tokoh yang terlukis di potret itu adalah seorang tua
bermuka lonjong dan cerah dengan sikap yang tenang.
Dengan tertawa Ciong Cing
lantas menyambung lagi ceritanya: "Mungkin kongcu merasa heran potret di
tengah ini bukan Haon-im Taysu dari siau-lim dan juga bukan Thi-koh Tojin dari
Butong. Hendaklah Kongcu maklum bahwa Ji-locianpwe inilah orang pertama yang
menyelenggarakan pertemuan Hong-ti ini, kedudukan Bu-kek-pay pimpinan
Ji-locianpwe di dunia Kangouw pada waktu itu sekali-kali tidak di bawah Siau
lim-pay dan Bu-tong pay."
"Ya, kutahu." kata
Pwe-giok pelahan sambil menghela napas.
"Tiga kali berturut turut
Ji-locianpwe mengetuai perserikatan Hong-ti, meski kemudian beliau mengundurkan
diri, tapi setiap tindak dan ucapannya masih berbobot. Baru 30 tahun yang lalu,
ketika Ji-locianpwe menjabat ketua Bu kek pay, beliau baru sama sekali
mengundurkan diri dari urusan perserikatan, sebab itulah dalam kartu undangan
sekarang hanya tercantum ke 13 Mui-pay saja."
Meski cara bercerita Ciong
Ling yang cantik ini sangat menarik akan tetapi tetap Pwe-giok tetap menunduk
saja dengan wajah sedih.
Malam ini dia bergolek tak
dapat tidur, sampai fajar sudah hampir menyingsing, baru saja dia akan
terpulas, tahu-tahu suara Ciong Ling sudah terdengar di luar pintu kamar:
"Kongcu sudah bangun belum? Nyo Kun-pi, Nyo-suheng dari Tiam jong-pay
sudah datang menjemput anda."
Cepat Pwe-giok bangun dan
menyambut keluar, dilihatnya kerlingan mata si nona masih tetap lembut,
senyumnya tetap menggiurkan. Nyo Kun-pi dari Tiam-jong-pay itu kini tampak
memakai baju kuning di luar bajunya yang hitam ketat, sikapnya masih tetap
sangat menghormat seperti semalam.
"Kereta penyambutan mu
kami sudah menunggu di luar, Ciangbun Cin-suheng kami juga menantikan
kedatangan anda di atas kereta." demikian Nyo Kun-pi bertutur sambil
memberi hormat.
Cepat Pwe-giok membalas hormat
dan mengucapkan terima kasih.
Di wisma tamu agung itu sudah
mulai ramai, banyak yang sedang latihan pagi, tapi Pwe-giok tidak memusingkan
mereka, langsung dia ikut Ciong Ling dan Nyo Kun-pi keluar.
Benar juga, di luar sebuah
kereta besar dengan empat kuda penarik yang tinggi besar sudah menunggu. Kereta
itu sangat mewah dan longgar, di situ sudah berduduk sembilan orang.
Sekilas pandang Pwe-giok
melihat diantara ke sembilan orang itu ada seorang pemuda berbaju kembang ungu,
ada pula seorang nona berbaju kuning dan membawa pedang. Mungkin mereka inilah
Sin-to-kongcu (Kongcu bergolok sakti) serta Kim-yang-cu (si walet emas). Selain
itu ada pula seorang lelaki kekar bermuka ungu dan berbaju mentereng, dua orang
Tosu yang berdandan serupa. Didekat jendela sebelah sana berdiri seorang pemuda
dengan baju sutera kuning dan berpedang sarung hijau sedang melongok keluar dan
bicara dengan seorang lelaki yang menuntun kuda.
Pwe-giok tak dapat melihat
jelas sekaligus seluruh penumpang kereta itu, tapi iapun tidak memandang lebih
lanjut. Orang lain tidak menghiraukan dia, iapun tidak perdulikan orang lain,
dia tetap berduduk dan menunduk.
"Sampai bertemu di tengah
rapat... " seru Ciong Ling sambil melambaikan tangannya kepada Pwe-giok
ketika kereta mulai berangkat.
Setelah pintu kereta ditutup
dan kereta sudah mulai bergerak barulah pemuda baju kuning tadi menarik
kepalanya dan membalik tubuh, tanyanya dengan tertawa: "Yang manakah
sahabat Ang-lian-pangcu?"
Waktu Pwe-giok mengangkat
kepalanya, sungguh kagetnya tidak kepalang. Dilihatnya sorot mata pemuda baju
kuning itu mencorong tajam meski mukanya putih pucat, jelas pemuda inilah yang
membunuh ayahnya, Ji Hong-ho, secara keji itu.
Karena mendengar Pwe-giok
adalah sahabat Ang-lian-pangcu, semua orang lantas berubah sikap dan sama
memandang ke arah Pwe-giok, terlihat mata Pwe-giok melotot dan memandang pemuda
baju kuning dengan beringas.
Tapi pemuda baju kuning lantas
berkata dengan tertawa hampa "Cayhe Cia Thian-pi dari Tiam-jong, juga
sahabat lama Ang-lian-pangcu, entah siapa nama anda yang terhormat?"
Mendadak Pwe-giok berteriak
dengan suara parau: "Meski kau tidak... tidak kenal padaku, tapi... tapi
kukenal kau..." berbareng itu ia terus menubruk maju, kedua tinjunya
menghantam sekaligus, tidak kepalang dahsyat angin pukulannya sehingga para
penumpang kereta sama terkesiap.
Pemuda baju kuning Cia
Thian-pi seperti terkejut juga, sekuatnya ia menghindarkan serangan Pwe-giok
itu, lalu membentak: "Apakah maksudmu ini ?"
Pwe-giok melancarkan pukulan
pula sambil berkata dengan menggertak gigi: "Hari ini jangan kau harap
akan kabur? sudah lama kucari kau!"
Kejut dan dongkol pula Cia
Thian-pi, untung ruangan kereta ini cukup longgar, dia sempat berkelit kian
kemari dengan lincah, setelah mengelak lagi beberapa kali pukulan, dengan gusar
ia membentak: "Selamanya kita belum kenal, mengapa kau..."
"Utang darah yang terjadi
di luar kota Lengcu enam hari yang lalu sekarang harus kau bayar dengan darahmu!"
teriak Pwe-giok murka, tangan bergerak ke atas, tangan kiri terus menonjok
dengan jurus "Ciok-boh-thian-keng" atau batu hancur mengejutkan
langit.
Karena sudah kepepet, terpaksa
Cia Thian-pi menangkis serangan ini. "Blang", dua tangan beradu dan menerbitkan
suara kulit dipukul kayu, Cia Thian-pi tergetar mundur dan menubruk pintu
kereta.
Pwe-giok tidak memberi
kelonggaran, secara berantai kedua kepalan menghantam pula.
"Berhenti!" mendadak
beberapa orang membentak, tahu-tahu tiga batang pedang sudah mengancam di
punggung Pwe-giok, dua gaetan tajam menggantol bahunya, sebilah belati yang
mengkilap juga mengancam didada kirinya, ujung belati terasa sudah menyentuh
kulit, dalam keadaan demikian mana Pwe-giok berani bergerak pula.
Kereta itu masih terus
dilarikan ke depan, wjah Cia Thian-pi bertambah pucat, dengan gusar ia
bertanya: "Apa katamu tadi? Di luar kota Lengcu apa? utang darah apa
maksudmu? sungguh aku tidak mengerti!"
"Kau pasti
mengerti!" teriak Pwe-giok, mendadak ia menjatuhkan tubuhnya ke kiri,
menumbuk Tojin sebelah kiri yang bersenjata gaetan, menyusul tangan kanan
menarik gaetan Tojin itu dan ditangkiskan ke belakang sehingga kedua pedang
yang mengancam punggungnya tersampuk pergi, waktu pedang ketiga hendak menusuk,
ia mendahului menyikut perutnya sehingga orang itu menungging kesakitan.
Akan tetapi golok pendek atau
belati yang mengancam dadanya tadi masih belum bergeser. Rupanya belati inilah
senjata andalan Sin-to Kongcu atau si Kongcu golok sakti, dengan sorot mata
setajam goloknya dia mengejek: "Ketangkasan anda memang harus dipuji, tapi
ada urusan apa, hendaklah dibicarakan dengan baik-baik sambil berduduk
saja?"
Sedikit belatinya bergerak,
baju dada Pwe-giok sudah terobek dan kulit dadanya seperti tertusuk jarum, mau
tak mau ia menurut dan berduduk kembali.
Orang yang disikut perutnya
tadi masih menungging, saking sakitnya, dia belum sanggup berdiri lagi.
Keruan semua orang terkesiap.
Seorang pemuda yang tidak terkenal ternyata sanggup mengadu pukulan dengan
ketua Tiam-jong-pay yang tergolong tokoh terkemuka di kalangan anak muda jaman
ini, lalu merobohkan tokoh ternama "Yu-liong-kiam" Go To, walaupun
caranya rada jahil, namun cukup mengejutkan.
Lelaki kekar bermuka ungu
sejak tadi hanya berduduk saja tanpa bergerak, mendadak ia berkata dengan
bengis: "Tampaknya ilmu silatmu tidak lemah, tapi mengapa tindakanmu
begini sembrono? Selamanya Cia-heng tidak kenal kau, mengapa kau menyerang
orang secara ngawur? Jangan-jangan kau salah mengenali orang?"
"Hm, biarpun dia menjadi
abu juga ku kenal dia" ucap Pwe-giok dengan menggreget. "Eman hari
yang lalu, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia mencelakai ayahku dengan
cara yang licik dan keji..."
"Persetan kau!"
teriak Cia Thian-pi dengan penasaran. "Dari Tiam-jong langsung ku datang
ke sini, jangankan tidak tahu menahu tentang ayahmu, hakekatnya tak pernah
kulewatkan wilayah kota Lengcu"
"Apakah Benar kau tidak
ke sana?" Pwe-giok meraung murka.
"Untuk itu aku bersedia
menjadi saksi," kata salah seorang Tojin berjubah jingga tadi.
"Apa gunanya kau menjadi
saksi?" teriak Pwe-giok.
"Apa yang dikatakan
Sian-he-ji-yu tidak pernah bohong!" jengek si Tojin.
Pwe-giok melengak, nama
"Sian-he-ji-yu atau dua kawan dari Sian -he-nia, sudah pernah didengarnya.
Konon ilmu silat kedua orang bersaudara ini tidak terlalu tinggi, tapi terkenal
jujur dan setia kawan, apa yang diucapkan mereka jauh lebih dapat dipercaya
daripada paku yang kelihatan di dinding.
Walaupun begitu, masa mata
Pwe-giok sendiri tidak dapat dipercaya dan malah harus disangsikan?
"Apa yang dapat kau
katakan lagi sekarang?" ujar Sin-to Kongcu. Pwe-giok hanya menggertak gigi
kencang-kencang dan tidak bicara pula.
Akhirnya si Yu-liong-kiam Go
To dapat berduduk tegak, dengan suara penasaran ia lantas berkata:
"Sebelum pertemuan besar, orang ini sengaja datang mencari perkara kepada
Cia-heng, dia pasti tidak bertindak sendiri, tentu masih ada dalangnya dengan
muslihat tertentu, kita jangan membebaskan dia."
Sejak tadi Kim-yan-cu hanya
menonton saja tanpa bersuara, kini mendadak menjengek: "Betul, kalau
Go-tayhiap ingin membalas sakit hati karena disikut tadi, boleh kau bunuh dia
saja."
Muka Go To menjadi merah,
ingin bermaksud bicara pula, tapi melihat pedang yang tergantung di pinggang si
nona dan Giok-liong-to yang terhunus di tangan Sin-to Kongcu, akhirnya ia urung
buka mulut.
Setelah berpikir sejenak,
kemudian Cia Thian-pi berkata: "Lalu bagaimana baiknya kalau menurut
pendapat nona Kim?"
Tanpa memandang sekejap pun
kepada Ji Pwe-giok, Kim-yan-cu berkata: "Kukira orang ini kurang waras,
lempar dia keluar saja dan habis perkara."
"Kuharap betul dugaan
nona, lantas...."
Belum habis ucapan Cia
Thian-pi, mendadak Sin-to Kongcu berseru: "Tidak, seumpama dia dilepaskan,
sebelumnya harus kita tanyai sejelasnya."
Kim-yan-cu mendengus dan
melengos ke sana dengan mendongkol.
"Kupikir betul,"
segera Go To mendukung usul Sin-to Kongcu. "Melihat ilmu silatnya, dia
jelas bukan sembarang orang, hendaklah Kongcu..."
"Aku sudah mempunyai
perhitungan sendiri, tidak perlu kau repot," jengek Sin-to Kongcu.
Pwe-giok tidak bicara apa-apa,
sesungguhnya memang tidak ada yang perlu dibicarakannya.
Sementara itu kereta sudah
berhenti, terdengar suara ramai di luar seperti pasar.
Dengan tertawa Cia Thian-pi
berkata: "Karena terlalu sibuk, biarlah orang ini kuserahkan kepada
Suma-heng, tapi Ang-lian-pangcu...."
Belum lanjut ucapannya,
tiba-tiba seorang berseru di luar: "Apakah Cia-tayhiap berada di dalam
kereta? Adakah seorang Ji-kongcu ikut datang menumpang kereta ini?"
Menyusul ia lantas melongok ke
dalam kereta melalui jendela. Siapa lagi dia kalau bukan si pengemis tua yang
menyampaikan kartu undangan kepada Ji Pwe-giok itu.
Serentak Sian-he-ji-yu tertawa
dan menyapa: "He, Bwe Su-bong, sekian tahun tidak berjumpa, tampaknya kau
terus sibuk setiap hari tanpa urusan."
"Tapi hari ini aku ada
urusan," jawab si pengemis tua bernama Bwe Su-bong itu dengan tertawa.
"Pangcu kami menugaskan diriku menyambut tamu, selesai pekerjaanku nanti
akan kucari kalian untuk minum tiga ratus cawan."
Pengemis tua itu seperti tidak
melihat golok di tangan Sin-to Kongcu yang masih mengancam di dada Ji Pwe-giok,
segera ia membuka pintu kereta dan menarik Pwe-giok keluar, berbareng ia
menyapa dengan tertawa: "Ji-kongcu, kau tahu, Mui-pay yang paling miskin
di dunia Kangouw ini adalah Kay pay kami, dan paling kaya adalah Tiam jong pay.
Sungguh mujur Kongcu dapat kemari dengan menumpang kereta semewah ini. Eh, Cia
tayhiap, terima kasih banyak-banyak, bilamana ada tempo, lain hari Pangcu kami
akan mengundang engkau minum arak."
Air muka Sin-to Kongcu tampak
sangat buruk, entah menyengir entah meringis, dengan mata terbelalak ia
menyaksikan Bwe Su-bong menarik keluar Ji Pwe-giok tanpa berani bersuara
sepatah kata pun.
Dalam pada itu, Cia Thian-pi
sedang menjawab: "Sampaikan salamku kepada Ang lian Pangcu, katakan aku
pasti akan datang bila diundang."
Di luar suasana hiruk pikuk,
tapi pikiran Pwe-giok terlebih kusut.
Sudah jelas Cia Thian-pi ini
adalah pemuda yang membunuh ayahnya, masa bisa keliru?
Tapi siapa pula gerangan
Ang-lian Pangcu ini? Mengapa berulang-ulang menolongnya?
Didengarnya Bwe Su-bong sedang
membisikinya: "Jangan melamun, coba berpalinglah ke sana."
Tanpa terasa Pwe-giok menoleh,
dilihatnya sepasang mata yang bening di dalam kereta tadi sedang memandangnya
dengan sorot mata yang mesra dan juga dingin.
Bwe Su-bong menepuk pundak
Pwe-giok, katanya dengan tertawa pelahan: "Walet kecil ini berduri,
apalagi selalu dikintil oleh gentong cuka, cukup kau pandang sekejap saja,
sekarang lebih baik memandang keramaian di depan sana."
-o0o-
Hong-ti adalah nama sebuah
tempat yang sudah terkenal sejak jaman Cunciu, terletak di selatan kota Hongciu
di Propinsi Holam.
Tempat ini sejak dahulu sering
menjadi tempat pertemuan orang-orang penting. Maka pertemuan besar Hong-ti
sekarang juga ingin memperlihatkan kebesarannya, nyatanya suasananya sekarang
memang tidak kurang semaraknya daripada jaman dulu.
Bangunan kuno Hong-ti kini
sudah runtuh semua, keadaan tempat ini hanya berwujud tanah lapang belaka seluas
ratusan li.
Di lapangan seluas ratusan li
ini sekarang kepala manusia berjubel-jubel sehingga sukar dihitung berapa
jumlahnya dan juga tidak jelas siapa mereka, tapi setiap orang yang hadir ini
jelas terhormat, kepala mereka sedikitnya bernilai ribuan tahil emas.
Semua orang sama mendongak
memandangi 13 panji besar yang berkibar tertiup angin di atas sebuah panggung
raksasa seluas belasan meter persegi itu, asap tampak mengepul di atas panggung
laksana gumpalan awan.
Sambil menunjuk sehelai panji kuning
dengan tertawa Bwe Su-bong berkata kepada Ji Pwe-giok: "Kuning adalah
warna kebesaran, panji kuning ini hanya boleh digunakan Siau lim pay yang
mengetuai dunia persilatan ini. Agama To suka pada warna ungu, panji ungu itu
adalah tanda pengenal Bu tong pay, sedangkan panji dengan sulaman naga itu
adalah tanda pengenal Kun lun pay, angker benar tampaknya panji
mereka...."
Pwe-giok melihat di antara
panji-panji itu ada sehelai panji yang terbuat dari sepuluh jalur kain yang
berbeda warnanya, ia bertanya: "Panji ini mungkin adalah pengenal Pang
kalian."
Bwe Su-bong mengiakan dengan
tertawa, katanya: "Kay pang kami adalah kumpulan kaum jembel, kami
kumpulkan sisa kain panji orang lain, lalu kami sambung dan jahit menjadi
sebuah panji, satu peser pun tidak perlu keluar, praktis dan hemat."
"Entah berada di mana
Ang-lian Pangcu kalian sekarang, Cayhe sangat ingin menemuinya," kata
Pwe-giok.
"Di bawah setiap panji
pengenal itu ada sebuah tenda, di situlah Pangcu kami beristirahat," tutur
Bwe Su-bong. Segera mereka menyibak kerumunan orang banyak dan menyusur ke
depan, kebanyakan orang yang melihat Bwe Su-bong hampir semuanya memberi hormat
dan menyapa.
Diam-diam Pwe-giok membatin:
"Selama ratusan tahun ini Kay pang tetap bertahan sebagai Pang terbesar di
dunia Kangouw, dengan sendirinya anak muridnya juga lain daripada perguruan
lain. Mengingat anggotanya berjumlah ratusan ribu, harus menjaga kehormatan
perkumpulan dan mempertahankan kedudukan, andaikata Ang-lian Pangcu ini bukan
manusia tiga kepala berenam tangan, paling sedikit dia harus memiliki
kepandaian maha sakti. Padahal, selamanya aku tidak pernah berkecimpung di
dunia Kangouw, bilakah pernah kukenal tokoh semacam ini, mengapa dia mengakui
diriku sebagai sahabatnya?"
Makin dipikir makin bingung.
Sementara itu sebuah tenda besar sudah kelihatan di depan. Di antara satu
dengan tenda lain berjarak puluhan meter dan dijaga oleh berpuluh muda-mudi
yang ronda kian kemari, sikap mereka gagah dan cekatan, dandanan tidak sama,
bisa jadi mereka adalah anak murid pilihan ke-13 Mui-Pay penyelenggara
pertemuan Hong-ti ini.
Belum lagi mereka mendekati
tenda itu, seorang Tosu muda berbaju ungu sudah menyongsong kedatangan mereka,
setelah mengamati Pwe-giok sekejap, Tosu itu memberi hormat dan menyapa:
"Baru sekarang Bwe locianpwe datang? Tuan ini...."
"Supaya To-heng maklum,
saudara ini adalah tamu Pangcu kami, Ji-kongcu," jawab Bwe Su-bong dengan
tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pwe-giok dan berkata: Kartu
undangannya..."
Segera Pwe-giok memperlihatkan
kartu undangannya, lalu Tosu itu menyurut mundur dan memberi tanda:
"Silahkan!"
Penjagaan ternyata sedemikian
ketatnya, benar-benar satu langkah saja sukar dilalui. Baru sekarang Pwe-giok
merasa dirinya memang beruntung. Ia coba memandang ke belakang sana, saat ini
ksatria yang sedang longak-longok di sana dan tidak berdaya hadir di sidang
sedikitnya ada puluhan ribu orang.
Sementara itu, Bwe Su-bong
telah berada di luar kemah, ia memberi hormat ke arah pintu kemah sambil
berseru: "Lapor Pangcu, Ji Kongcu sudah tiba."
Seorang di dalam kemah lantas
berseru dengan tertawa: "Aha, mungkin dia sudah tidak sabar menunggu lagi,
lekas disilahkan masuk."
Pwe-giok memang benar tidak
sabar lagi, sungguh ia ingin lekas-lekas melihat bagaimana macamnya Ang-lian
Pangcu yang misterius ini. Baru saja Bwe Su-bong menyingkap tenda dan
menyilakan, segera ia menerobos masuk dengan langkah lebar.
Dilihatnya di tengah kemah
yang luas ini hanya terdapat sebuah meja rongsokan, dua bangku panjang, sungguh
sangat menyolok perbedaannya dengan kemah yang tampak mewah dari luar ini.
Seorang kelihatan bersidekap
di atas meja, entah sedang menulis atau kerja apa, dari belakang hanya tampak
rambutnya yang kusut dan tidak tahu bagaimana raut wajahnya.
Terpaksa Pwe-giok memberi
hormat dari jauh: "Teecu Ji Pwe-giok menyampaikan sembah hormat kepada
Ang-lian Pangcu."
Baru sekarang orang itu
menoleh, katanya dengan tertawa: "Apakah Ji-heng masih kenal padaku?"
Tertampak tubuhnya yang kurus
kecil dengan baju merah yang compang-camping, kedua matanya justru bening dan
mencorong terang seakan-akan sekali pandang saja dapat menembus isi hatimu.
Pwe-giok melengak dan menyurut
mundur, katanya dengan tergagap: "Jadi an...... anda inilah Ang-lian
Pangcu?"
"Bunga teratai merah, ubi
teratai putih, dengan sebatang gala menjelajah dunia!" orang itu tertawa
dan berdendang pula.
Ang-lian Pangcu yang termashur
ini ternyata bukan lain daripada Lian Ang-ji, si pengemis muda yang cerdik dan
jahil yang ditemui Pwe-giok di emper rumah kemarin malam itu.
Pwe-giok sampai melongo dan
tak dapat bicara.
"Apakah kau heran?"
tanya Ang-lian-hoa atau si bunga teratai merah dengan tertawa. "Padahal,
untuk menjadi Pangcu tidak mutlak harus seorang tua. Misalnya Ketua Tiam-jong
pay sekarang usianya juga belum ada 30, Ketua Pek-hoa-pang juga baru berumur
likuran."
"Cayhe hanya heran,
selama hidup Cayhe tidak kenal Pangcu, sebab apa Pangcu memberi bantuan sebesar
ini?" ujar Pwe-giok.
Ang-lian Pangcu
terbahak-bahak, katanya: "Tidak ada sebab apa-apa, hanya karena merasa
cocok saja. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bahwa di dunia Kangouw ini banyak
sekali orang yang berwatak aneh. Ada orang hendak membikin celaka padamu tanpa
kau tahu apa sebabnya, ada pula orang membantu kau secara membingungkan
kau."
Tergerak hati Pwe-giok mendengar
kata-kata yang penuh arti ini, ia menghela napas dan menjawab: "Ya,
betul......"
Mendadak Ang-lian Pangcu
berhenti tertawa, sorot matanya menatap Pwe-giok tajam-tajam, lalu menambahkan:
"Apalagi, melihat gerak-gerikmu, soal kau dapat menghadiri pertemuan
Hong-ti atau tidak, tampaknya sangat besar sangkut-pautnya dengan dirimu."
"Ya, besar sekali
sangkut-pautnya, menyangkut soal mati dan hidup!" jawab Pwe-giok denga
pedih.
"Itu dia," kata
Ang-lian Pangcu. "Maka kalau banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dapat
menghadiri rapat besar ini, sebaliknya kau tidak dapat, bukankah hal ini sangat
tidak adil? Dan segala apa yang tidak adil di dunia ini, aku justru ingin ikut
campur."
"Sungguh Cayhe sangat
berterima kasih atas kebijaksanaan Pangcu," kata Pwe-giok dengan tunduk
kepala.
Mendadak Ang-lian Pangcu
berkata pula dengan mengulum senyum: "Apalagi tidak lama lagi kau akan
menjadi Ciangbunjin (ketua) Bu-kek pay, tatkala mana sekalipun kami mengundang
kehadiranmu mungkin akan kau tolak."
Seketika Pwe-giok mendongak
dan berseru: "Dari....... darimana kau tahu....."
Belum lanjut ucapannya,
sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras, habis itu di
luar kemah terdengar suara tetabuhan dibunyikan, menyusul seseorang lantas
berteriak: "Pertemuan Hong-ti segera akan dimulai, dengan hormat para
Ciangbunjin dipersilahkan menempati tempatnya masing-masing."
Suara orang itu sangat keras
dan lantang sehingga berkumandang sampai jauh.
Ang-lian Pangcu lantas
menggandeng tangan Ji Pwe-giok dan keluar kemah, katanya dengan tertawa:
"Sudah menjadi kelaziman setiap orang yang menjadi Pangcu kaum jembel ini,
bukan saja harus ikut campur urusan orang lain, bahkan juga harus serba tahu.
Mengenai cara bagaimana aku mengetahui hal-hal sebanyak ini, kukira lain hari
kau akan tahu sendiri."
-o0o-
Dikelilingi ke-13 kemah besar
itu, di tengahnya adalah sebuah panggung raksasa, di seputar panggung sudah
berkumpul para undangan, hampir semua inti ksatria di seluruh jagat telah
berkumpul di sini.
Di atas panggung terdapat
sebuah tungku tembaga ribuan kati, asap tampak mengepul bergulung-gulung dari
tungku tembaga itu, di kedua samping tungku ada 13 buah kursi besar.
Saat itu ke-13 kursi sudah
diduduki delapan atau sembilan orang, seorang Hwesio berjenggot putih dan
berkasa kuning berdiri di depan tungku, meski perawakannya kurus kering, tapi
sikapnya gagah dan kuat.
Di bawah panggung, di bagian
depan, juga terdapat tiga baris kursi, yang duduk di situ rata-rata adalah
tokoh-tokoh Bulim yang terhormat, tapi barisan kursi pertama masih kosong
semua, entah diperuntukkan siapa kursi baris depan ini.
Dengan suara pelahan Ang-lian
Pangcu lantas berkata kepada Pwe-giok: "Aku harus naik panggung untuk
mulai bereaksi, silahkan kau cari suatu tempat duduk. Jika kau sungkan-sungkan,
tentu orang lain yang beruntung."
Pwe-giok mengiakan. Baru saja
ia mendapatkan suatu tempat duduk, dilihatnya Ang-lian Pangcu sudah membawa
enam murid Kay-pang naik ke atas panggung diiringi dengan suara tetabuhan,
orang yang bersuara lantang tadi segera berseru: "Ang-lian Pangcu dari
Kay-pang!"
Suaranya berkumandang jauh,
para hadirin sama mendongak, baru sekarang Pwe-giok melihat jelas wajah si
pembawa acara yang mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya sebesar gundu,
perawakannya tinggi.
Betapa tinggi perawakannya
dapat dibandingkan ketika Ang-lian Pangcu lewat di sampingnya, ketua Kay-pang
itu hanya setinggi pundaknya.
Namun pandangan semua orang
justru terpusat kepada Ang-lian-hoa yang pendek kecil itu, sekalipun si pembawa
acara lebih tinggi satu meter lagi juga tidak diperhatikan orang.
Tanpa terasa Pwe-giok tertawa
senang.
Mendadak seorang di sebelahnya
berkata: "Kawanmu begitu keren, kau pun ikut gembira, bukan?"
Suara itu kedengaran dingin
dan angkuh, tapi nyaring merdu. Waktu Pwe-giok menoleh, dilihatnya sepasang
mata yang bersinar dingin tapi juga mesra itu.
Kiranya tanpa sengaja ia
kebetulan berduduk di sebelah Kim-yan-cu. Terpaksa ia menjawabnya dengan
menyengir saja.
Belum lagi dia buka suara,
mendadak Sin-to Kongcu berbangkit dan berkata kepada Kim-yan-cu: "Adik
Yan, marilah kita pindah tempat duduk saja,"
"Memangnya tempat ini
kenapa?" jengek Kim-yan-cu.
"Tempat ini mendadak
berbau busuk," kata Sin-to Kongcu.
"Kalau kau bilang bau
busuk, boleh kau pindah sendiri saja, aku tetap duduk di sini," ujar
Kim-yan-cu.
Pwe-giok tidak tahan, segera
ia berdiri dan bermaksud melabrak orang, tapi tangan Kim-yan-cu yang halus
sempat menariknya.
Melihat itu Sin-to Kongcu
tambah gregetan, ia melototi Pwe-giok. Lalu berkata dengan gemas: "Baik,
aku akan pindah ...." mulut bicara begitu, tapi pantatnya tetap duduk di
tempat semula.
Diam-diam Pwe-giok tertawa
geli, tapi juga serba runyam. Meski dia belum pernah merasakan pahit getirnya
"cinta", tapi sudah dapat dibayangkannya rasanya pasti manis juga
getir dan memusingkan kepala. Melihat sorot mata Kim-yan-cu yang dingin hangat
itu, entah mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat kepada kerlingan mata Lim
Tay-ih:
Kerlingan mata yang lembut dan
juga keras, begitu bening sorot matanya, tapi entah mengapa selalu mengandung
perasaan rawan dan penuh misteri, seakan-akan rela menyerahkan segalanya
kepadanya, tapi entah sebab apa pula si nona tega menipunya dan mencelakainya
dengan menyangkal keterangan yang pernah dikatakan kepadanya itu.
Selagi dia melamun sendiri,
mendadak terdengar si protokol berteriak pula: "Hay-hong Hujin, Pangcu Pek
hoa pang tiba!"
Pwe giok terkejut dan cepat
menengadah, segera tercium bau harum menusuk hidung, dilihatnya 12 gadis
berbaju sutera dan berhias bunga mutiara di kepalanya menggotong sebuah tandu
penuh hiasan bunga beraneka warna muncul dari sebelah kiri. Bau harum bunga
semerbak itu tersiar jauh, biarpun orang yang berdiri paling belakang juga
pasti dapat menciumnya.
Di dalam tandu yang penuh
bertumpukan bunga itu bersandar seorang perempuan cantik tiada bandingannya
dengan baju sutera tipis, pelahan-lahan ia turun dari tandunya dengan dipapah
oleh dua gadis cantik.
Baju suteranya yang tipis
panjang itu melambai-lambai, tubuhnya meliuk lemas seperti tak bertenaga,
seakan-akan berjalan saja malas, dengan setengah bersandar pada kedua dayang
yang memapahnya itu, pelahan-lahan ia naik ke atas panggung.
Melihat pinggangnya yang
ramping, hampir semua orang sama menahan napas, sampai agak lama baru semua
orang menyadari mereka belum melihat jelas wajah si jelita. Maklum, gayanya
saja sudah membuat sukma mereka melayang ke awang-awang sehingga mereka lupa
untuk melihat wajahnya.
Mendadak Kim-yan-cu menghela
napas pelahan, ucapnya: " Sicantik dipapah lemas tak bertenaga, ratusan
bunga paling indah bunga Hay-hong .... Ai, nyonya Hay-hong-kun ini memang
benar-benar cantik tiada bandingannya."
Ucapannya ini dengan
sendirinya ditujukan kepada Ji Pwe-giok, tapi anak muda itu sama sekali tidak
menggubrisnya, pandangannya masih terus berjelilatan kian kemari untuk mencari,
di antara ke 13 Ciangbunjin penyelenggara pertemuan ini sudah datang 12 orang.
tapi orang yang diharapkannya ternyata tiada seorangpun yang muncul.
Apakah jalan pikirannya yang
keliru, jangan-jangan mereka memang tidak hadir.
Dalam pada itu di tengah
kerumunan orang banyak sudah ramai orang berbisik-bisik: "He, mengapa
Hi-ciangbun dari Hay-lam-kiam-pay belum nampak hadir?"
"Perjalanan dari lautan
selatan terlalu jauh, mungkin dia malas datang."
"Tidak mungkin, kemarin
dulu kulihat dia minum arak di restoran Wat-pinlau di kota Khay-hong, malahan
telah terjadi tontonan yang menarik di sana."
"Wah, apa betul? Tontonan
menarik apa?"
"Kebetulan Kim-si-ngo-hou
(lima harimau keluarga Kim) juga minum arak di restoran itu, cuma lucu, mereka
tergolong kawanan Kangouw, tapi Hi-tay ciangbun yang termasyhur itu ternyata
tidak mereka kenal dan terjadilah pertengkaran. Hui-hi-kiam benar-benar pedang
paling cepat di dunia, sekali sinar pedang berkelebat, tahu-tahu kelima Kim
bersaudara lantas ...."
Mendadak ia berhenti bicara,
suara berisik itupun sirap.
Rupanya mereka terkesiap
ketika mendadak melihat seorang pendek gemuk berbaju hijau dengan perut gendut
telah muncul. Topi yang dipakainya sudah melorot hingga hampir terjatuh, dada
bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, pedang yang tergantung di
pinggangnya sangat panjang hingga menyeret tanah, ujung sarung pedang sudah
pecah tergosok-gosok, ujung pedang yang menongol dari lubang yang pecah itu
kelihatan mengkilap.
Meski dipandang orang sebanyak
itu, tapi si gendut anggap tidak tahu saja, dia tetap berjalan dengan
sempoyongan menuju ke panggung. Dari jauh sana Pwe giok dapat mengendus bau
arak yang memenuhi tubuh si gendut.
Si protokol berkerut kening
melihat kedatangan orang ini, namun tidak urung ia lantas berteriak :
"Hi tayhiap, ciangbunjin
Hay lam kiam pay tiba!"
Mendengar suara ini, ahli
pedang dari ke 18 pulau di lautan selatan yang terkenal dengan julukan
"Hui hi gway kiam" atau pedang kilat ikan terbang ini, baru
membetulkan topinya yang miring itu, lalu naik ke atas panggung dan berseru
sambil tertawa:
"Jangan-jangan
kehadiranku ini agak terlambat, maaf-maaf !"
Ketua Siau lim si, yaitu si
Hwesio kurus kering tadi, masih tetap berduduk tenang dan memberi salam.
Seorang tosu berjubah hitam
dengan mata tajam seperti elang dan bertulang pipi menonjol lantas mendengus:
"Hmm, lambat sih tidak,
biarpun Hi heng minum lebih banyak juga takkan terlambat."
Hui hi kiam berkedip-kedip,
ucapnya dengan tertawa :
"Minum arak adalah suatu
kenikmatan, orang yang tidak biasa minum mana tahu kenikmatannya, Khong tong
pay kalian pantang minum arak, apa yang dapat kukatakan dengan kalian ?"
Mendadak tosu jubah hitam itu
berbangkit, teriaknya dengan bengis:
"Pertemuan Hong yi ini
sekali-kali tidak boleh memberi kelonggaran kepada manusia-manusia pemabukan
dan gila perempuan ini !"
Dengan kemalas-malasan Hui hi
kiam khek Hi soan berduduk di kursinya dan tidak menggubris lagi kepada si
tosu.
Thian in taysu dari Siau lim
pay lantas berkata dengan tersenyum:
"Coat ceng toheng
hendaklah jangan marah dulu...."
"Orang ini menyepelekan
pertemuan besar ini hanya karena minum arak, jika tidak diberi hukuman
setimpal, cara bagaimana kita dapat menegakkan disiplin ?" teriak Coat
ceng cu, si tosu tadi dengan gusar.
Thian in taysu berpaling
memandang Jut tun Totiang dari Bu tong pay. terpaksa tosu yang alim ini berdiri
dan angkat bicara:
"Hi tayhiap memang
bersalah, tapi...."
Mendadak Ang lian pangcu
bergelak tertawa dan menyeletuk:
"Apakah para hadirin
mengira kelambatan Hi tayhiap ini benar-benar lantaran minum arak dan lupa
daratan ?!"
Dengan tersenyum Jut Tun
Totiang menjawab:
"Silahkan Ang Lian pangcu
memberi keterangan, pemberitaan Kay pang dengan sendirinya jauh lebih cepat
daripada orang lain."
Segera Ang lian hoa berseru :
"Semalam Hi tayhiap
berhasil memancing "Hun Lin Jit hong" (tujuh kumbang hutan bedak) ke
Tong Wah siang dan sekaligus membunuh mereka, Hi tayhiap telah menyelamatkan
sanak keluarga perempuan yang ikut menghadiri pertemuan ini dari kemungkinan
diganggu oleh kawanan kumbang itu, untuk mana aku Ang Lian hoa lebih dahulu
mengucapkan terima kasih."
Keterangan ini membuat semua
orang sama melengak.
Hun Lin jit hong adalah
kawanan penjahat yang suka mengganggu kaum wanita, kalau sampai mereka berhasil
menyusup ke tengah-tengah rapat besar ini tanpa ketahuan, apabila ada anggota
keluarga peserta yang tercemar kehormatannya, maka para ketua penyelenggara
tentu akan kehilangan muka. Apalagi Siau lim pay sebagai ketua perserikatan
ini, tanggung jawabnya lebih-lebih sukar terelakkan. Mau tak mau Thian in taysu
terkesiap juga setelah mendapat keterangan Ang lian pangcu.
Tapi Hi soan hanya tersenyum
tak acuh, katanya:
"Cepat amat berita yang
diterima Ang lian pangcu. Padahal urusan sekecil ini untuk apa disebut-sebut
?"
"Mana boleh dikatakan
urusan kecil." kata Thian in taysu dengan prihatin.
"Melulu jasa ini Hi
tayhiap sudah pantas menjabat kedudukan bengcu (ketua perserikatan) ini, bila
perlu Siau lim pay bersedia mengundurkan diri."
Kata-kata ini kalau diucapkan
orang lain mungkin akan dianggap basa-basi saja, tapi ucapan yang keluar dari
ketua Siau lim pay tentu saja lain bobotnya. seketika para hadirin sama
melenggong.
Segera Hi soan menjawab dengan
tegas:
"Jika Ang lian pangcu
sudah tahu peristiwa ini, andaikan aku tidak turun tangan pasti juga Ang lian
pangcu akan membereskan secara diam-diam, maka cayhe sama sekali tidak berani
mengaku berjasa."
"Wah, jika begitu kan
berarti kedudukan bengcu harus diserahkan kepada Kay-pang ?" cepat Ang
Lian hoa menanggapi.
"Haha, kalau si tukang
minta-minta menjadi Bulim bengcu, apakah bukan lelucon yang tidak lucu ? Budi
luhur Thian in taysu cukup diketahui siapapun juga, maka kedudukan bengcu tahun
ini kukira tetap dijabat taysu saja."
Thian in menghela nafas,
katanya:
"Akhir-akhir ini sudah
kurasakan keloyoanku, ku tahu tidak sanggup memikul tugas berat ini lagi, maka
sudah lama ada maksudku mengundurkan diri, andaikan tidak terjadi peristiwa Hi
tayhiap ini, soal ini tetap akan kukemukakan kepada sidang."
Biasanya kalau Siau lim pay
mencalonkan diri, maka Mui pay lain tidak berani berebut lagi dengan dia. Tapi
sekarang Thian in taysu ingin mengundurkan diri secara sukarela, seketika Jut
tun totiang dari butong, Coat ceng cu dari Khong tong, Cia Thian pi dari Tiam
jong, Liu Siok cin dari Hoa san pay, tokoh-tokoh ini menjadi besar harapannya
untuk menjadi ketua.
Lin Siok cin tokoh wanita Hoa
san pay yang cantik segera mendahului berseru dengan suara yang nyaring:
"Bu tong pay sudah
sama-sama kita kenal kemampuannya, jika Thian in taysu ada maksud mengundurkan
diri, Hoa san pay kami tidak sungkan-sungkan untuk mencalonkan Jut tuh toheng
untuk menggantikannya."
"Hm, tidak
sungkan-sungkan," jengek Coat ceng cu "Sayang aku tidak mempunyai
adik perempuan yang menjabat sebagai ketua perguruan ternama dan tidak
sungkan-sungkan untuk mencalonkan kakaknya sendiri."
Kiranya Liu Siok cin ini
adalah adik kandung Jut tun totiang. Kakak beradik ini masing-masing mengetuai
suatu perguruan ternama, sebenarnya biasanya suka dipuji oleh orang-orang
persilatan, tapi sayang sekarang dijadikan bahan cemoohan Coat ceng cu.
Seketika alis Liu Siok cin
menjengkit marah, tapi Jut tun totiang hanya tersenyum saja dan berkata:
"Jika demikian, biarlah
aku mencalonkan Coat ceng toheng saja untuk menjadi bengcu."
Mendadak Cia Thian pi
berteriak:
"Jika orang lain menjadi
ketua, cayhe pasti setuju, kalau Khong tong pay yang menjadi ketua, 731 anggota
Tiam Jong pay kami yang pertama-tama tidak tunduk."
Meski Tiam jong pay jauh
berada di perbatasan propinsi Hualam, tapi akhir-akhir ini anggotanya bertambah
banyak dan pengaruhnya besar, kekuatannya cukup mengimbangi Bu tong pay, dengan
sendiri apa yang diucapkan ketuanya juga berbobot maka perkataan Cia Thian pi
serentak mendapatkan sorak-sorai di bawah panggung.
Dengan mendongkol Coat ceng cu
menjawab:
"Kalau begitu, jadi
kedudukan ketua sekali ini harus kubereskan dulu dengan anda, begitu?"
"Bagus, memang sudah lama
aku ingin belajar kenal dengan Coat-ceng kiam Khong-tong pay," kata Cia
Thian-pi sambil meraba pedangnya.
Mendadak seorang tua berjubah
sulam, berjenggot dan rambut ubanan, wajahnya penuh kudis berbangkit dan
berteriak: "Atas nama 36 pangkalan laut pimpinanku, aku Auyang Liong
mencalonkan Cia tayhiap dari Tiam-jong pay sebagai Bengcu, tentang Coat-ceng
Totiang, kami…"
Belum habis ucapannya, seorang
kakek botak di sebelahnya dengan wajah merah seperti anak muda, mendadak
bergelak tertawa terhadap kakek tegap yang berbicara itu, lalu ia pun berseru:
"Tiam-jong pay jauh terletak di perbatasan selatan sana, apabila Cia
tayhiap menjadi Bengcu, maka Auyang Pangcu akan tambah berpengaruh dan
meraja-lela di pangkalannya sendiri."
"Hm, apa maksudmu?"
teriak Auyang Liong dengan gusar. "Orang lain takut kepada senjata rahasia
berbisa keluarga Tong kalian dari Sujwan, orang she Auyang ini tidak nanti
gentar."
"O, apakah kau ingin
mencobanya?" tanya si kakek botak dengan tertawa. Baru tangannya bergerak,
tahu-tahu Auyang Liong sudah melompat mundur.
"Hahaha, besar amat nyali
Auyang Pangcu?" ejek kakek dengan tertawa.
Melihat suasana menjadi kacau,
Thian-in Taysu tampak sedih, segera ia membuka suara. "Cara bertengkar
kalian ini, bukankah bertentangan dengan maksudku yang sebenarnya?"
Dia berbicara dengan tenang,
suaranya perlahan dan tertahan, tapi sekata demi sekata tetap berkumandang
hingga jauh.
Mau tak mau, semua orang
lantas diam. Mendadak seorang lelaki tinggi besar dengan muka hitam serupa si
pembaca acara tadi tampil ke depan dan mendekati tungku tembaga, ia berjongkok
sambil meludahi telapak tangannya, tungku yang beribu kati itu lantas
diangkatnya tinggi-tinggi ke atas.
Serentak terdengarlah suara
sorakan ramai, tanpa terasa Pwe-giok juga berseru memuji akan tenaga orang.
Segera Kim-yan-cu menanggapi
pujian itu. "Orang ini adalah tokoh utama dunia persilatan di Kwan-gwa,
orang menyebutnya "Bu-tek-thi-pah-ong" (Si raja maha kuat tanpa
tandingan), kedua tangannya memang memiliki tenaga yang sukar diukur. Cuma
sayang, meski anggota badannya berkembang melebihi orang lain, tapi otaknya
terlalu sederhana."
Pwe giok tetap tidak
menghiraukan si walet, dilihatnya Thi pah ong yang mengangkat tungku raksasa
itu berjalan satu keliling di atas panggung lalu menaruh kembali tungku itu
ditempat semula. Ternyata mukanya tidak merah dan napasnya tidak tersenggal,
lalu ia berseru :
"Barang siapa sanggup
mengangkat tungku ini dan berjalan tiga langkah saja, maka aku akan mengakui
dia sebagai bengcu."
Meski yang berduduk di atas panggung
ialah ketua dari berbagai aliran ternama, tapi tenaga sakti pembawaan demikian
memang sukar tertandingi. Seketika suasana menjadi hening dan tiada yang
bersuara.
Selagi Thi pah ong memandang
ke sini dan mengerling kesana dengan bangga, tiba-tiba Hay hong hujin dari Pek
hoa pang, mendekatinya dengan langkah lemah gemulai, dengan kerlingan mata
genit ia berkata dengan tertawa:
"Hari ini dapat
menyaksikan tenaga sakti Thi pah ong di sini, sungguh aku kagum tak
terhingga."
Tidak menjadi soal jika Hay
Hong hujin tidak ketawa, sekali ketawa, maka tidak cuma orangnya saja yang
tertawa, bahkan alisnya, matanya, sampai bunga yang menghiasi sanggulnya
seakan-akan juga tertawa semua.
Biarpun Thi pah ong adalah
seorang lelaki kasar, melihat tertawa yang menggiurkan dan merontokkan sukma
ini, mau tak mau ia terkesima lupa daratan, sejenak kemudian barulah ia
berdehem-dehem, lalu berkata:
"Terima-kasih atas pujian
Hujin."
Hay hong Hujin menengadah
memandang wajah Thi pah ong, katanya pula dengan suara halus :
"Tenagamu yang maha sakti
ini apakah benar timbul dari kedua tanganmu ini ?"
Dipandang dari jauh saja orang
sudah mabuk oleh kecantikannya, apalagi sekarang dia berdiri di depan Thi pah
ong, bau harum tersiar mengikuti suaranya, bau harum yang mirip Lan hoa (bunga
anggrek) tapi bukan lan hoa, rasanya biarpun harum segala bunga di dunia ini
berhimpun menjadi satu masih kalah harumnya daripada bau hay hong hujin ini.
Keruan Thi pah ong menjadi
lemas, berdiri saja hampir tidak sanggup, ia mengangguk dan menjawab :
"Ya, timbul dari kedua
tanganku ini."
"Apakah boleh ku pegang
?" pinta Hay hong hujin dengan lembut.
Muka Thi pah ong menjadi
merah. katanya dengan gelagapan :
"Hu… Hujin..."
Tapi tangan Hay-hong Hujin
yang mulus itu sudah mulai merabai tangan Thi-pah-ong yang kuat seperti besi
itu, Thi-pah-ong terkesima seperti orang hilang ingatan, ia diam saja dan tidak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
Mendadak terdengar
Ang-lian-hoa membentak, "Awas Thi-heng..."
Thi-pah-ong terkejut, seketika
terasa jari Hay-hong Hujin berubah sekeras baja, tahu2 setengah badannya terasa
kaku.
Terdengar suara tertawa
nyaring Hay-hong Hujin, tubuh Thi-pah-ong yang gede seperti kerbau itu telah
diangkatnya.
Seorang lelaki sebesar itu
diangkat begitu saja oleh seorang perempuan cantik yang tampaknya lemah tak
bertenaga, pemandangan ini sungguh sangat berkesan dan sukar untuk dilupakan
oleh siapapun yang melihatnya.
Semua orang menjadi tertegun
dan tidak tahu apakah harus bersorak atau mesti tertawa, yang jelas tertawa
tidak, bersorak juga tidak, menjadi bingung sendiri.
Perlahan-lahan Hay-hong Hujin
menurunkan Thi-pah-ong ke tempatnya tadi, dibetulkannya baju orang yang kusut
serta membenarkan rambutnya, lalu berkata dengan suara lembut, "Sungguh
lelaki yang hebat, bilamana Bengcu harus dijabat oleh orang yang bertubuh
paling besar dan berat, maka aku pasti mencalonkan kau."
Habis berkata dengan tersenyum
manis dan langkah gemulai ia kembali ke tempat duduknya.
Meski tangannya sudah dapat
bergerak, tapi terpaksa Thi-pah-ong menyaksikan si jelita melangkah pergi tanpa
dapat berkutik.
Dilihatnya Hui-hi-kiam-khek
telah menyongsong Hay-hong Hujin dan menyapanya dengan tertawa, "Bunga
yang menghiasi sanggul Hujin ini sungguh sangat indah, bolehkah pinjamkan
padaku sebentar?"
Hay-hong Hujin ber-kedip2,
ucapnya dengan tertawa, "Apabila Hi tocu kurus sedikit, tanpa syarat tentu
akan kuberikan bunga ini..."
Belum lanjut ucapannya,
se-konyong2 sinar pedang berkelebat, angin tajam menyambar lewat di samping
telinganya, tahu2 sekuntum bunga segar yang menghias sanggul Hay-hong Hujin itu
telah dicungkil oleh ujung pedang Hi Soan. Cara bagaimana dia melolos pedang
dan cara bagaimana turun tangannya, ternyata tiada seorangpun yang tahu.
Hay-hong Hujin menyurut mundur
dua tiga langkah dengan wajah berubah pucat.
Ang-lian-hoa lantas bergelak
tertawa dan berseru, "Kalau bunga Hay-hong Hujin itu sudah diberikan
kepada Hi-heng, sebagai gantinya boleh pakai saja bunga terataiku ini!" Di
tengah gelak tertawanya tertampak bayangan berkelebat.
Waktu semua orang memandang
Hay-hong Hujin, ternyata di sanggulnya sekarang sudah bertambah sekuntum bunga
teratai merah.
Ginkang yang diperlihatkan
Ang-lian-hoa ini sungguh luar biasa, biarpun Kun-lun-pay yang terkenal dengan
ginkangnya juga merasa kalah.
Seketika muka Hay-hong Hujin
menjadi pucat, kedua tangannya berselubungkan lengan bajunya yang longgar,
katanya dengan senyum genit, "Dua lelaki besar merecoki seorang perempuan
lemah, apa kalian tidak malu?"
Meski dia tersenyum manis dan
berucap dengan lembut, tapi setiap orang tahu Pek-hoa-pang masih ada ilmu sakti
simpanan yang disebut "Sam-sat jiu" atau tebaran tiga maut, yaitu
berupa bunga, hujan, dan kabut. Saat ini ketiga macam senjata rahasia itu sudah
siap di dalam lengan bajunya dan setiap saat dapat dihamburkannya.
Meski lahirnya Hi Soan dan
Ang-lian-hoa masih bergelak tertawa, tapi diam2 mereka sama siap siaga.
"Siau-hun-hoat" atau
bunga pencabut sukma, "Sit-kun-uh" atau hujan penyusut tulang dan
"Thian-hiang bu" atau kabut harum semerbak, tiga macam senjata
rahasia maut Pek-hoa-pang ini bila dihamburkan, selama ini belum pernah ada
orang yang sanggup lolos dengan selamat.
Sebaliknya semua orang juga
tahu kecepatan pedang kilat Hui-hi-kiam-khek, sekali bergerak hampir tidak pernah
meleset.
Dalam keadaan tegang itu,
semua orang sama menahan nafas.
Syukurlah Thian-in Taysu
lantas menghadang di depan Hay-hong Hujin, katanya sambil menghormat,
"Beribu macam ilmu silat berasal dari sumber yang sama, sedangkan kalian
masing2 memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri2, andaikan benar2 saling
gebrak kalah menang pasti sukar ditentukan, yang jelas kalian pasti akan
ditertawakan dulu oleh setiap ksatria di dunia ini."
Semua orang menjadi bungkam
dan merasa malu.
Jut-tun Totiang lantas berkata,
"Lalu bagaimana menurut pendapat Taysu?"
"Bicara tentang ilmu
silat, jelas kalian mempunyai keistimewaannya masing2, dalam hal nama,
kalianpun pimpinan suatu golongan terkemuka," demikian kata Thian-in
Taysu. "Maka untuk kedudukan Bengcu ini, akan lebih baik..."
"Kedudukan Bengcu ini
akan lebih baik diserahkan saja kepada Bu-kek-pay kami!" mendadak
seseorang menanggapi dengan bergelak tertawa.
Serentak semua orang berpaling
ke sana, tertampak belasan orang muncul dari sebelah kanan, tampaknya sangat
lambat jalannya, tapi baru lenyap ucapan tadi, rombongan mereka pun sudah
berada di depan panggung.
Tentu saja semua orang sama
melengak. Tubuh Ji Pwe-giok juga lantas bergemetar, gumamnya: "Ini dia
baru....... baru datang......"
Belasan orang itu terbagi
menjadi dua baris, jubah yang mereka pakai berwarna hijau seluruhnya, semuanya
berjenggot, usianya rata-rata sudah di atas setengah abad.
Meski wajah belasan orang ini
tidak luar biasa, namun sudah cukup membuat para ksatria terkesiap. Sebab, tiada
satu pun di antara belasan orang ini bukan tokoh kelas wahid, andaikan ada yang
belum pernah melihat muka mereka, paling sedikit juga pernah mendengar nama
kebesaran mereka.
Pada baris pertama dua orang
di kanan dan kiri masing-masing adalah Leng-hoa-kiam Lim soh-koan, satu di
antara kesepuluh ahli pedang jaman ini, yang lain ialah Kanglam tayhiap Ong
Ih-lau. Di belakang mereka mengikuti Sim Cin-jiang si tumbak perak dari
Ih-hian, Sebun Hong dari Mo-san dan raja bajak Thay-oh Kim Liong-ong.
Pendek kata, belasan orang ini
meski bukan sesuatu ketua perguruan ternama seperti ke-13 Mui-pay, tapi nama
mereka sama sekali tidak di bawah ke-13 ketua mui-pay besar yang berada di atas
panggung ini.
Kursi baris terdepan yang
berada di bawah panggung itu justeru disediakan bagi rombongan ini, tapi mereka
malah langsung naik ke atas panggung. Maka cepat Thian-in Taysu menyongsong
mereka dan menyapa: " Kalian datang dari jauh, disilahkan mengikuti
upacara ini di bawah panggung."
"Kedatangan kami ini
bukan cuma sebagai peninjau saja," dengan suara lantang Lim Soh-koan
lantas berkata.
Thian-in rada melengak, ia
tetap bersikap hormat, katanya dengan tersenyum: "Bilakah kalian masuk
menjadi anggota Bu-kek-pay? Ah, janganlah kalian bergurau!"
"Waktu kami masuk
perguruan, tidak sempat mengundang Taysu untuk ikut menyaksikan upacaranya,
untuk ini mohon dimaafkan," kata Lim Soh-koan.
"Ah, tidak soal,"
ujar Thian-in. "Tapi Ji Ciangkun kalian......"
Mendadak di belakang sana
seorang menanggapi dengan tertawa: "Sudah sekian tahun tidak bertemu,
baik-baikkah Taysu selama ini?!"
Cepat Thian-in Taysu
berpaling, dilihatnya seorang tua dengan baju longgar dan berwajah lonjong,
sikapnya tenang dan sabar seperti dewa, siapa lagi dia kalau bukan ketua
Bu-kek-pay, Ji Hong-ho adanya.
Ternyata di depan mata orang
banyak, secara diam-diam ia telah naik ke atas panggung, sampai-sampai
Coat-ceng-cu yang berdiri paling belakang sana juga tidak mengetahuinya.
Mau tak mau Thian-in Taysu
melengak, cepat ia memberi hormat dan menyapa: "Ji-heng laksana dewa yang
hidup di surga-loka, tak tersangka hari ini benar-benar menginjak pula dunia
ramai. Ini benar-benar sangat beruntung bagi dunia Kangouw, pertemuan ini
dihadiri Ji-heng, tak sesuatu lagi yang perlu kukuatirkan."
Di balik ucapannya ini seolah-olah
hendak mengatakan bahwa jabatan ketua Perserikatan Hong-ti ini jelas tak dapat
dijabat orang lain terkecuali Hong-ho Lojin atau si kakek Hong-ho. Padahal
Hong-ho Lojin memang juga tokoh yang paling dihormati dan menjadi pujaan setiap
peserta rapat ini.
Meski Coat-ceng-cu dan
lain-lain tetap merasa berat untuk menarik diri dari pencalonan jabatan ketua
itu, tapi melihat Bu-kek-pay kini telah didukung oleh berbagai tokoh terkemuka
golongan lain, mau tidak mau mereka tidak berani banyak omong lagi.
Segera Jut-tun Totiang
mendahului buka suara: "Apabila Hong-ho Toheng sudi memegang pimpinan
pula, sudah tentu anak murid Bu-tong akan merasa sangat beruntung."
"Anak murid Khong tong
juga sudah lama mengagumi kepribadian Hong-ho Lojin," seru Coat-ceng-cu.
Auyang Liong juga berteriak:
"Mendiang guruku juga sering menyatakan bahwa Ji locianpwe adalah seorang
paling bijaksana, tak tersangka hari ini dapat kutemui di sini. Bilamana Ji
locianpwe sudi memimpin perserikatan ini, para kawan yang hidup di atas air
pimpinanku dengan ini menyatakan akan tunduk di bawah perintah."
Suara Hay-hong Hujin yang
nyaring juga berseru: "Ji-ciangbun luhur budi dan bijaksana tentu bukanlah
manusia yang suka menganiaya anak perempuan. Pek-hoa Pang kami memang tidak
tunduk kepada siapa pun juga terkecuali kepada Ji cianpwe."
Sampai di sini, melihat
gelagatnya jelas jabatan ketua sudah diputuskan dengan suara bulat. Semua
orang, baik di atas maupun di bawah panggung sama bertepuk tangan dan bersorak
gembira. Hanya Ang-lian-hoa saja yang tidak memberi reaksi apa-apa, dengan
pandangan heran dan sangsi ia terus mengawasi sikap Ji Pwe-giok.
Dalam pada itu, terdengar
Hong-ho Lojin sedang berkata dengan tersenyum: "Sebenarnya Losiu (orang
tua lapuk) sudah terbiasa hidup malas dan tiada maksud apa pun, tapi
lantaran....."
Mendengar suara ini, Pwe-giok
tidak tahan lagi, mendadak ia melompat ke atas, seperti orang gila saja dia
menerjang ke atas panggung sambil berteriak dengan suara parau: "Orang ini
bukan ayahku! Dia palsu!"
Seketika senyap suara
sorak-sorai tadi, semua orang sama melenggong kaget.
"Pwe-giok, apa kau sudah
gila?" bentak Lim Soh-koan dengan gusar.
Berbareng Sebun Hong dan Kim
Liong-ong menubruk maju, akan tetapi mereka lantas diseruduk Pwe-giok hingga
tergetar mundur.
Dengan kalap Pwe-giok
menerjang ke depan "Hong-ho Lojin" dan membentak: "Sesungguhnya
siapa kau? Berani kau memalsukan ayahku?!"
Di tengah bentakannya ia terus
menjotos, akan tetapi semacam tenaga lunak dan sukar ditahan telah membuat
tubuhnya terpental. Karena itu, Ong Ih-lau dan lain-lain lantas memburu maju
dan membekuknya.
Dengan suara berat Thian-in
Taysu berkata: "Orang muda mana boleh berlaku sekasar dan tidak sopan
begini, ada persoalan apa hendaklah dibicarakan secara baik-baik saja."
"Kau anak murid
siapa?" Jut-tun Totiang lantas bertanya.
"Tecu Ji Pwe-giok,"
seru Pwe-giok dengan menggertak gigi dan air mata bercucuran.
Sorot mata Thian-in Taysu
beralih ke arah Ji Hong-ho, tanyanya: "Apakah benar dia putramu?"
Ji Hong-ho tersenyum pedih,
katanya sambil mengangguk: "Anak ini.... Ai, dia ....." sampai di
sini dia lantas menghela napas panjang dan tidak melanjutkan.
Jut-tun Totiang lantas
membentak Pwe-giok: "Mengapa kau berani berbuat kasar begini terhadap
orang tua?"
Kedua lengan Pwe-giok terasa
kaku dan tak dapat berkutik lagi, dengan suara parau ia berteriak: "Dia
bukan ayahku! Ayah sudah meninggal, di sampingku beliau meninggal!"
Thian-in dan Jut-tun saling
pandang sekejap dengan air muka berubah.
Oh Ih-lau lantas menyela:
"Anak ini benar-benar sudah gila, masa ngaco-belo tidak keruan."
"Ya, dia memang
gila," tiba-tiba Cia Thian-pi menukas. "Pagi tadi dia datang
menumpang keretaku, tapi dia menuduh aku membunuh ayahnya. Padahal jejakku
selama beberapa hari terakhir ini tentu diketahui oleh kalian, syukur sekarang
Ji Locianpwe berada di sini, kalau tidak....... wah!"
Meski dalam hati orang banyak
timbul rasa curiga, tapi setelah mendengar keterangan ketua Tiam-jong pay ini,
mereka pun sama menggeleng dan menghela nafas gegetun.
Apakah ucapan tokoh-tokoh
angkatan tua yang terhormat dan disegani ini lebih dapat dipercaya atau harus
percaya kepada penuturan seorang pemuda yang tampaknya kurang waras ini? Tanpa
dijawab pun kiranya sudah jelas.
Hancur luluh perasaan Pwe-giok
melihat air muka para hadirin yang merasa tidak senang terhadap tindakannya
itu, air matanya berderai bagaikan hujan. Musibah yang dideritanya dan fitnah
yang diterimanya apakah sejak kini akan tenggelam ke dasar lautan dan tak dapat
dibongkar lagi?
Lim Soh-hoan memandang
sekeliling, dengan sendirinya ia pun dapat melihat sikap orang banyak yang
menguntungkan pihaknya, dengan suara bengis ia lantas membentak: "Berani
kepada atasan dan mengacau di sidang khidmat ini, durhaka kepada orang tua dan
menuduh secara ngawur, dosanya ini harus dihukum mati dan sukar diampuni. Orang
she Lim terpaksa harus mengenyampingkan hubungan keluarga dan melaksanakan
keadilan bagi dunia Kangouw."
Jika ayah mertuanya saja sudah
begitu bicaranya, orang luar mana ada yang berani ikut campur lagi.
Segera Lim Soh-koan melolos
pedangnya terus menusuk.
"Nanti dulu!"
mendadak seseorang membentak.
Tahu-tahu tangan Lim Soh-koan
yang memegang pedang dicengkeram orang seperti terjepit tanggam, sehingga
badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik.
"Ang-lian Pangcu, masa
kau mem... membela anak durhaka ini?" teriak Lim Soh-koan.
Yang mencengkeram tangannya
memang betul Ang-lian-hoa, ia tidak perdulikan ucapan orang, tangan yang lain
menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa: "Memang agak keterlaluan
kelakar ini, tapi rasanya sudah cukuplah sekarang!"
Ucapan ketua Kay pang ini
membikin beribu-ribu orang, baik di atas maupun di bawah panggung, semuanya
sama tercengang.
"Kel.... kelakar apa
maksudmu?" tanya Lim-soh-koan dengan terkesiap.
Ang-lian-hoa bergelak tertawa,
katanya: "Setiap kali sidang pertemuan Hong-ti berlangsung, suasana selalu
terasa sangat tegang, karena itulah Siaute lantas mencari akal ini agar dapat
sekedar mengendurkan urat syaraf para hadirin."
Thian-in saling pandang dengan
Jut-tun Totiang, sedangkan Ong Ih-lau, Lim Soh-koan dan konco-konconya sama
melenggong seperti patung.
Sekali tepuk Ang-lian-hoa
membuka hiat-to Pwe-giok yang tertutuk, lalu katanya pula: "Sekarang kita
mengakhiri kelakar ini dan bolehlah kau bicara dengan sejujurnya."
Pwe-giok menunduk dan
mengiakan, mendadak ia lantas menengadah dan tertawa, ia terus menyembah kepada
Ji Hong-ho dan berseru: "Anak terlalu kurang ajar, mohon ayah sudi memberi
ampun."
Wajah Ji Hong-ho tampak kurang
senang, katanya sambil terbatuk-batuk: "Kau.... hk, hk.... kau terlalu....
terlalu..... hk, hk....."
"Nah sudahlah, ayahmu
sudah memberi ampun padamu, lekas kau bangun!" seru Ang-lian-hoa.
Sampai di sini, ada sementara
orang sudah mulai tertawa, mereka merasa "kelakar" ini sungguh sangat
menarik. Sebaliknya Lim-soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain sama menyengir
bingung mimpi pun mereka tidak menduga akan terjadi perubahan begini.
Cia Thian-pi menghela nafas
lega, ucapnya dengan tertawa: "Memang seharusnya sudah kuduga ini adalah
kelakar yang disutradarai Ang-heng."
Ang-lian-hoa berkedip-kedip
dan menjawab dengan tertawa: "Memang, seharusnya sudah tadi-tadi kau duga,
mustahil di dunia ini ada manusia sembrono begini, masa menuduh kau membunuh
ayahnya tanpa berdasar?"
Cia Thian-pi terbahak-bahak,
agaknya makin dipikir terasa semakin lucu.
"Kelakar ini tidak
ditujukan kepada orang lain, tapi justeru tertuju kepada Ji locianpwe yang
bijaksana dan baik hati, tidak nanti beliau marah hanya karena sedikit urusan
ini."
"Hk, hk,.... anak
ini...... hk, hk,......" selain batuk-batuk saja, memangnya apa yang dapat
dikatakan Ji Hong-ho?
Segera Ang-lian-hoa
membangunkan Pwe-giok dan berkata: "Gara-gara berkelakar, kau yang
terpaksa harus berlutut dan minta ampun, harap aku dimaafkan."
"Nanti dulu,"
mendadak Lim Soh-koan membentak.
"Apakah kaupun ingin dia
menyembah dan minta ampun padamu seperti perbuatannya terhadap ayahnya?"
tanya Ang-lian-hoa.
"Sidang Hong-ti ini masa
kau anggap tempat berkelakar seperti anak kecil begini?" seru Lim Soh-koan
dengan bengis. "Perbuatan yang tidak sopan dan tidak masuk akal begini
apakah cukup dengan menyembah dan minta ampun saja?"
"Habis, mau apalagi kalau
menurut pendapat anda?" tanya Ang-lian-hoa.
"Melulu kesalahan
mempermainkan orang tua sudah harus dihukum dengan memunahkan ilmu silatnya dan
dipecat dari perguruan," bentak Lim Soh-koan.
Ang-lian-hoa tersenyum dan
bertanya: "Apakah anda ketua sidang pertemuan ini?"
"Bu....... bukan,"
jawab Lim Soh-koan.
"Apakah anda ayah Ji
Pwe-giok?" tanya Ang-lian-hoa pula.
"Bukan," jawab Lim
Soh-koan dengan muka merah.
Mendadak Ang-lian-hoa menarik
muka, katanya: "Kalau begitu, lantas anda ini orang macam apa? Dengan hak
apa kau bicara di atas panggung ini?"
Sorot mata Ang-lian-hoa
mendadak berubah tajam sehingga Lim Soh-koan tidak berani menatapnya, ia
menunduk dan tidak berani bicara lagi.
Ang-lian-hoa lantas memberi
hormat kepada segenap hadirin, lalu berkata: "Kelakar ini sama sekali
adalah karena doronganku, jika para hadirin merasa Siaute bersalah, kalau harus
dipukul, Siaute terima dipukul, kalau mesti dihukum, Siaute juga rela
dihukum."
Kay-pang adalah organisasi
Kangouw terbesar selama 80 tahun, anggotanya beratus ribu bahkan jutaan
banyaknya dan tersebar di seluruh negeri, usia Ang-lian-hoa masih sangat muda,
tapi kepribadiannya, kecerdasan dan tinggi ilmu silatnya dipuji oleh setiap
orang kangouw. Sekarang dia bicara blak-blakan begitu, siapa yang berani
bermusuhan dengan dia dengan menyatakan dia harus dipukul atau dihukum.
Apalagi persoalannya tidak
menyangkut kepentingan sendiri, kebanyakan di antaranya lebih suka tidak ikut
campur. Hanya Hui-hi-kiam-khek saja, sambil meraba pedangnya ia berkata dengan
tertawa: "Menurut pendapatku, Ang-lian-pangcu justru telah menghibur kita
di tengah ketegangan ini, bukannya dihukum seharusnya dia harus mendapat
pahala, maka aku mengusulkan dia harus disuguh tiga cawan arak!"
Thian-in Taysu termenung
sejenak, katanya kemudian: "Kukira urusan ini serahkan saja kepada
keputusan Hong-ho Lojin!"
Ji Hong-ho berdiam cukup lama,
belum lagi bicara, tiba-tiba suara seorang tajam melengking terdengar di bawah
panggung sana: "Sebuas-buasnya harimau juga tidak makan anaknya sendiri,
kukira persoalan ini pasti tidak diusut lebih lanjut oleh Ji Locianpwe!"
Air muka Ji Hong-ho tampak
berubah demi mendengar suara itu, segera ia pun berkata dengan tertawa getir:
"Jika Ang-lian Pangcu sudah bicara bagi anak ini, biarlah kuberi ampun
padanya sekali ini."
Serentak terdengarlah suara
sorak-sorai di bawah panggung. Pada kesempatan itu Ang-lian-hoa lantas
mendekati Bwe Su-bong dan membisikinya: "Lekas pergi mencari tahu, siapa
orang yang bicara tadi?"
Diam-diam Bwe Su-bong lantas
melayang turun melalui belakang panggung. Sedang Ang-lian-hoa berlagak seperti
tidak terjadi apa-apa, ia maju pula ke depan panggung dan memberi hormat kepada
segenap hadirin sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia tepuk-tepuk pundak
Pwe-giok dan berkata: "Nah, untuk apalagi kau berdiri di sini? Pergilah
ganti pakaian dan sediakan arak, tunggulah kedatangan ayahmu nanti."
Pwe-giok memandangnya sekejap,
entah betapa rasa terima kasihnya yang terkandung dalam sorot matanya ini.
Lalu, ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berlari meninggalkan
panggung.
Terpaksa Lim Soh-koan, Ong
Ih-lau dan lain-lain hanya memandangi kepergian anak muda itu dengan melongo,
bagaimana perasaan mereka sukar untuk diketahui orang lain.
Tiba-tiba Sin-to Kongcu
mengomel: "Sialan!"
Kim-yan-cu lantas menjengek:
"Huh, orang sekarang resminya adalah putera Bu-lim Bengcu, betapa pun
kedudukannya sudah jauh lebih terhormat daripadamu, kukira janganlah kau
coba-coba merecoki dia."
Tidak kepalang gemas Sin-to
Kongcu, ia hanya melotot dan menggertak gigi, tapi tak sanggup bicara lagi.
-o0o-
Setelah turun dari panggung,
tanpa berpaling Ji Pwe-giok terus berlari meninggalkan perkemahan sidang, di
luar hanya lautan manusia belaka, ia menyelinap ke tengah kerumunan orang
banyak. Orang banyak yang di depan melihat kedatangannya sama memberi jalan
padanya, tapi orang yang di belakang hakekatnya tidak tahu siapa dia sehingga
dia mandi keringat tergencet di sana-sini.
Dengan susah payah tampaknya
dia sudah hampir menyelinap keluar dari berjubelnya lautan manusia,
sekonyong-konyong ia merasa pinggangnya seperti tertutuk oleh sesuatu benda
keras, segera ia mendoyongkan tubuh ke depan dengan sekuatnya, tentu saja orang
lain tidak tahan oleh gentakan tenaganya yang kuat ini, belasan orang sama
tertumbuk jatuh tunggang langgang.
Pada saat yang sama itulah ia
dengar di belakang seperti ada suara orang yang menjerit tertahan, begitu
bersuara lantas berhenti, mirip orang yang baru menjerit dan segera mulutnya
didekap.
Ia pun tidak ingin mencari
tahu apa yang terjadi, cepat ia menyelinap keluar dari kerumunan orang banyak
dan berlari ke depan. Tapi lari kemana? Sungguh kusut pikirannya, mana dia tahu
ke mana akan dituju nya?
Setelah tertiup angin barulah
ia merasa belakang tubuhnya silir-silir perih, seperti ada cairan mengalir, ia
mengira air keringat, tapi ketika dirabanya dengan tangan dan memandangnya,
ternyata tangannya penuh berlepotan darah segar.
Baru sekarang ia menyadari
bilamana tadi dia tidak bertindak cepat dengan mendoyong ke depan, tentu saat
ini dia sudah mati di tengah berjubelnya manusia.
Lalu siapakah yang hendak
membunuhnya? Sudah tentu sukar untuk diselidiki.
Teringat kejadian ini, belum
lagi keringat hangatnya kering, kembali keringat dingin merembes lagi.
Seketika tidak keruan rasa
hati Ji Pwe-giok, ya pahit ya getir, ya benci ya terima kasih, ya gemas ya
sedih. Jelas tadi orang hendak membunuhnya, tapi ada seorang lain telah menjadi
korban karena dia sempat menyelamatkan diri. Hal inilah yang membuatnya sedih.
Ang-lian-hoa boleh dikatakan
baru saja dikenalnya, tapi telah membantunya dengan sepenuh hati tanpa pamrih, hal
inilah yang membuatnya berterima kasih.
Ayahnya dibunuh orang secara
keji, tapi keadaan memaksanya sedemikian rupa, bukan saja dia tidak dapat
menuntut balas, bahkan terpaksa harus mengakui musuh sebagai ayah. Untuk ini
masakan dia tidak pedih dan tidak benci ?
Sekarang keluarganya
berantakan, dikhianati orangnya sendiri, hari depannya tak menentu dan tidak
tahu apa yang harus dilakukannya, semua ini membuatnya sedih.
Teringat kepada kejadian tadi,
ketika dia harus tertawa dan menyembah kepada musuh dan mengaku ayah padanya,
sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dia dapat berlaku tertawa. Bisa jadi
lantaran bencinya sudah merasuk tulang, maka dia harus menuntut balas, dia
harus hidup! sekali kali tidak boleh mati.
Pada saat itulah mendadak di
belakang terdengar suara orang berjalan dengan langkah perlahan, cepat Pwe-giok
berpaling, beberapa bayangan orang segara berkelebat dan sembunyi dibalik pohon
dab batu.
Pwe-giok pura-pura tidak tahu,
ia tetap melangkah ke depan, tapi sengaja dilambatkan jalannya. Baru belasan
langkah, sekonyong-konyong datang serangan, tiga batang golok, dua dari atas
dan satu dari bawah, serentak membacok dan menebas dengan cepat dan kuat.
Secepat kilat Pwe-giok
menjatuhkan diri ke depan, sambil setengah bertiarap, kaki kanan terus mendepak
ke belakang.
Kontan terdengar suara
jeritan, seorang lelaki terdepak terpental. Dua lainnya karena serangan tidak
berhasil, segera bermaksud kabur.
Akan tetapi Pwe-giok bergerak
terlebih cepat, mendadak ia melompat bangun terus menghantam tepat mengenai
punggung salah seorang itu. Lelaki itu sempat berlari beberapa langkah, tapi
tubuh bagian atas terus menekuk ke belakang mirip bambu patah, lalu roboh
terkulai.
Lelaki yang lain merasa tidak
dapat kabur lagi, terpaksa ia mengadu jiwa, goloknya membacok lagi. Tapi sekali
pegang, pergelangan tangannya dapat ditangkap oleh Ji Pwe-giok, segera orang
itu menjotos dengan tangan lain, tapi kepalannya juga kena dihimpit di bawah
ketiak oleh Pwe-giok.
Pada waktu biasa lelaki inipun
tergolong jagoan, tapi ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagi Ji Pwe-giok
jadi seperti permainan anak kecil belaka. Tulang tangannya sama retak, sakitnya
membuatnya hampir kelenger.
Dengan suara bengis Pwe-giok
lantas membentak: "Kau bekerja bagi siapa? Asalkan kau mengaku terus
terang segera kuampuni jiwamu!"
Lelaki itu tertawa pedih,
katanya: "Apakah kau ingin tahu? tapi selamanya kau tak mungkin
tahu..." suaranya semakin lemah dan mendadak berhenti dengan muka pucat.
Waktu Pwe-giok memeriksa
napasnya, hanya sekejap saja lelaki itu ternyata sudah mati. Air mukanya dari
pucat lantas berubah hitam, kulit daging mukanya juga lantas menyusut, sampai
biji mata juga lantas ambles ke dalam dan akhirnya lenyap semua. Hanya sejenak
saja berubah menjadi tengkorak.
Nyata didalam mulut lelaki itu
sudah disiapkan racun. Racun ini serupa dengan racun yang membinasakan
Hek-Kap-cu tempo hari itu. Jelas ketiga lelaki inipun didalangi oleh iblis tak
kelihatan yang membinasakan Hong-ho Lojin itu.
Waktu Pwe-giok memeriksa lagi
kedua orang lain, yang satu tulang dadanya remuk dan yang satu lagi tulang
punggung patah, semuanya sudah mati sejak tadi. Maklum, terlalu berat tendangan
dan hantaman Pwe-giok bagi mereka.
Pwe-giok menghela napas sedih,
ia menunduk, dirasakan tangannya terasa rada gatal. Ia tidak mengacuhkan dan
menggaruk-garuknya. Tak terduga, makin digaruk makin gatal, bahkan akhirnya
rasa gatal itu seakan-akan menggelitik hati.
Tidak kepalang kagetnya, ia
tahu gelagat tidak baik, tapi rasa gatal itu sungguh sukar ditahan dan ingin
menggaruknya lagi. Hanya sekejap saja jarinya sudah bengkak, telapak tangan
juga mulai bersemu hitam, rasa gatal itu dari telapak tangan mulai menjalar ke
lengan.
Kejut dan takut pula Pwe-giok,
ia berusaha menjemput golok orang yang terjatuh di tanah itu, bilamana perlu ia
bermaksud membuntungi tangan sendiri.
Akan tetapi jari tangan sudah
tidak mau menurut perintah lagi, sudah kaku dan mati rasa, golok terpegang dan
terjatuh pula. Dengan menggertak gigi sekuatnya ia pegang pula golok itu,
akhirnya dapatlah golok itu diangkatnya terus hendak menebas lengan sendiri.
Syukurlah pada detik itu mendadak setitik sinar menyambar tiba,
"trang", golok itu tergetar hingga terlepas.
Pada saat yang hampir sama dua
lelaki berjubah panjang dan memakai kedok hitam melayang keluar dari tempat
teduh, yang seorang tinggi kurus, yang lain pendek besar.
Yang jangkung lantas terkekeh
kekeh terhadap Pwe-giok, ucapnya: "Gatal, aduh, gatalnya, nikmat sekali
kalau digaruk." Sambil bicara ia terus berlagak seperti orang yang
menggaruk.
Tanpa terasa Pwe-giok juga
hendak menggaruk pula, tapi mendadak ia tersentak kaget, tangan kanan terus
menghantam tangan kiri sendiri sambil berteriak: "Akhirnya aku
terperangkap juga oleh tipu keji kalian. Jika mau bunuh boleh kalian bunuh saja
diriku."
Dengan terkekeh si jangkung
berkata: "Baru sekarang kau tahu terperangkap? Padahal alangkah tangkasnya
tadi ketika kau main depak dan pukul membinasakan ketiga kawan kami ini"
Si pendek juga mengejek:
"tentunya kau tahu sekarang bahwa ketiga orang ini sengaja kami kirim agar
kau bunuh, kalau tidak, masa pihak kami mengirim orang tak becus seperti mereka
ini."
Si jangkung lantas menyambung:
"Sudah kami perhitungkan, setelah kau bunuh mereka, tentu akan kau periksa
mayat mereka, sebab itulah di baju mereka sudah ditaburi racun, begitu tanganmu
menyentuh bubuk itu, sedikit terasa gatal, segera racun itu akan bekerja
terlebih cepat. Ha ha, bilamana rasa gatal sudah menggelitik, mustahil kau
tidak menggaruknya ?"
"Dan sekarang kedua
tanganmu sudah bengkak seperti kaki babi, jelas tanganmu tiada gunanya lagi,
coba, apakah kau masih bisa berlagak garang dan memukul orang ?"
Begitulah kedua orang, yang
satu jangkung dan yang lain pendek, keduanya bercakap seperti pelawak di atas
panggung, meraka sengaja mengejek dan berolok-olok.
Dengan menggertak gigi Ji
Pwe-giok berkata: "Cara kalian mencelakai orang ternyata tidak sayang
mengorbankan kawan sendiri, hm, apakah cara kalian ini terhitung perbuatan
manusia, hakekatnya melebihi binatang buas."
"Ketiga orang itu rela
mati demi Cukong kami, kematian mereka harus dipuji, bukan saja mereka merasa
bangga, bahkan anggota keluarga yang ditinggalkan mereka juga akan merasa
beruntung." ujar si jangkung.
"Tapi sekarang kematianmu
justeru mati tanpa suara dan tak berbau, bahkan orang lain tiada yang tahu
apakah kau sudah mati atau masih hidup, mungkin ada yang mengira kau telah
melarikan diri karena takut dosamu akan dituntut." sambung si pendek.
Tidak kepalang pedih hati Ji
Pwe-giok, ia merasa kematian sudah menanti dan sukar dihindari, ia tertawa
sedih dan berkata: "Sungguh tak tersangka di dunia ini ada manusia sekeji
dan kejam seperti kalian ini ..." belum habis ucapannya pandangannya
menjadi gelap dan robohlah dia.
"He he he, bagaimana
kalau kita berlomba, kubacok satu kali dan kaupun bacok satu kali, coba siapa
yang lebih dulu membinasakan dia," kata si jangkung dengan terkekeh kekeh.
Si pendek menjawab: "Aha
bagus, usul yang menarik..."
Kedua orang lantas menjemput
sebatang golok kawan mereka yang sudah binasa ini, lalu mendekati Pwe-giok
pula.
"Sebelum ajalku, apakah
kalian tetap tidak mau memberitahukan padaku sesungguhnya bagaimana bentuk
intrik ini dan siapa yang berdiri di belakang semua ini ?" teriak Pwe-giok
dengan parau.
"Hehe, apakah kau ingin
jadi setan yang tahu duduknya perkara?" tanya si jangkung. "Tidak,
tidak boleh, kau ditakdirkan harus menjadi setan penasaran."
"Bukan kami tidak mau
memberitahukan padamu, sebab rahasia di balik urusan ini kami sendiripun tidak
tahu," ujar yang pendek.
Baru habis ucapannya, mendadak
ia melonjak kaget seperti melihat setan, jeritnya dengan ketakutan, "He,
ular! ular!" benar juga, kaki kanannya telah dirambati oleh dua ekor ular
kecil berwarna hijau gelap.
Di atas tanah masih ada dua
ekor ular lagi dan secepat kilat menyambar ke arah si jangkung. Tapi gerak
tubuh si jangkung juga selicin ular, sekali berkelebat dapatlah ia
menghindarkan pagutan ular, berbareng goloknya lantas menabas dan tepat
mengenai muka si pendek, bentaknya dengan bengis:
"Keluargamu pasti akan ku
jaga dengan baik, kau tidak perlu kuatir."
Muka si pendek berlumuran
darah, tapi masih sanggup tertawa pedih, katanya, "Te! terima kasih! aku
dapat mati bagi Cu-siang (majikan) sungguh aku sangat! sangat senang!"
belum habis ucapannya ia terus roboh dan binasa.
Dalam pada itu si jangkung
sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya, sekali berkelebat pula lantas
menghilang.
Mandi keringat dingin Ji
Pwe-giok menyaksikan kejadian itu, pandangannya mulai gelap, tubuhnya terasa
semakin berat dan seolah tenggelam ke lubang gua yang tak terkira dalamnya dan
akhirnya tidak melihat apa2 lagi.
* * *
Sang surya sudah terbenam di
sebelah barat, jagat raya ini diliputi kekelaman, meski di musim panas, angin
malam mengembus silir2 sejuk, suasana sunyi senyap dan terasa mencekam.
Waktu Pwe-giok siuman, ia
merasa tangannya seakan-akan dicocok oleh beribu-ribu jarum, tangannya yang
sudah kaku itu tiba-tiba dapat dirasakan lagi, tapi bukan rasa gatal lagi
melainkan rasa sakit.
Ia membuka mata, dalam keadaan
remang-remang terlihat sesosok bayangan berdiri di depannya tanpa bergerak,
rambut orang sudah memutih perak dan bergoyang-goyang tertiup angin.
Kejut dan girang Pwe-giok.
"Bwe!" belum sempat dia berseru, tahu2 mulutnya sudah didekap oleh
Bwe Su-bong.
"Jangan bergerak,"
kata pengemis tua itu. "Saat ini sedang kusuruh Siau Jing (si hijau), Siau
Pek (si putih), Siau Pan (si loreng) dan Siau Hek (si hitam) menghisap racunmu,
asalkan racun sudah terhisap habis, tentu takkan berbahaya lagi."
Waktu Pwe-giok memandang ke
bawah, dilihatnya empat ekor ular kecil menempel di tangannya, yang seekor
berwarna hijau, satu lagi warna putih, yang lain warna belang dan yang ke empat
berwarna hitam bertutul putih. Mungkin itulah ke empat ekor ular Siau Jing dan lain2
yang disebut Bwe Su-bong tadi.
Memandangi ular2 itu, Bwe
Su-bong tampak sangat kasih sayang seperti seorang ayah terhadap anak-anaknya.
Dengan tersenyum ia berkata, "Coba lihat, mereka sangat menyenangkan
bukan?"
Dengan setulus hati Pwe-giok
mengangguk. Setelah melihat manusia kejam dan keji tadi kini melihat pula ke
empat ekor ular kecil ini, sungguh ia merasa ular terlebih menyenangkan
daripada manusia.
"Sudah lama, mereka bukan
saja menjadi kawan karibku, menjadi anakku, bahkan juga pembantuku yang
setia," tutur Bwe Su-bong dengan tertawa. "Aku sendiri sudah tua,
tangan dan kakiku sudah kaku dan tidak gesit lagi, tapi mereka masih sangat
muda."
Bicara sampai di sini,
tertawalah dia dengan sangat gembira.
Teringat kepada tingkah laku
orang yang digigit ular tadi, mau tak mau timbul juga rasa puas Ji Pwe-giok.
Sudah sekian lamanya, untuk pertama kali inilah hati anak muda ini merasa
senang.
"Tentunya kau tahu
sekarang bahwa namaku juga timbul dari kawanan ular ini," tutur Bwe
Su-bong pula. "Orang Kangouw suka menyebut diriku "Bo-su-bang"
(tidak ada urusan, sibuk selalu)! Haha, padahal namaku Bwe Su-bong (Bwe si
empat ular), Bo Su-bang dan Bwe Su-bong, hehe.. entah keparat siapa yang
mencetuskan olok2 ini padaku."
Tiba2 Pwe-giok teringat kepada
gerak-gerik kedua orang tadi, yaitu si jangkung dan si pendek, jelas kepandaian
mereka tidak lemah dan pasti tokoh ternama dunia Kangouw. Bwe Su-bong sudah
lama berkelana di dunia persilatan, pengalamannya sangat luas, entah dia kenal
mereka tidak?
Agaknya Bwe Su-bong dapat
meraba isi hati Pwe-giok, dengan menyesal dia berkata, "Siapa orang ini
mungkin aku dapat mengenali dia, cuma sayang mukanya telah dihancurkan oleh
bacokan golok temannya. Ai, orang itu bukan saja membunuh kawan untuk tutup
mulut, bahkan menghancurkan mukanya, tindakannya yang keji ini sungguh jarang
ada bandingannya."
Dengan sedih Pwe-giok
memejamkan matanya, nyata garis petunjuk yang diharapkan ini kembali lenyap.
"Orang2 ini tidak saja
kejam dan keji dengan rencana yang rapi, bahkan cara kerja mereka sangat
cekatan dan bersih," tutur Bwe Su-bong pula. "Tadi sudah kugeledah
tubuh mereka dan tiada menemukan sesuatu benda tanda pengenal mereka."
Lalu pengemis tua ini
berjongkok dan memeriksa tangan Pwe-giok, mendadak ia bersuit perlahan,
serentak empat ekor ular kecil itu melepaskan gigitannya dan merambat ke tubuh
Bwe Su-bong, dari kaki merambat ke perut, ke dada dan melintasi pundaknya.
"Anak sayang, tentu
kalian sudah lelah. Pulanglah dan tidur!" kata Bwe Su-bong dengan riang
gembira.
Ke empat ular kecil itu juga
sangat penurut, beramai-ramai mereka lantas menyusup ke dalam karung goni di
punggung Bwe Su-bong.
"Untung racun yang
mengenai dirimu masuknya melalui kulit badan secara tidak langsung, untung juga
tanganmu tiada lubang luka, meski tubuhmu sekarang masih terasa lemah, tapi
pasti tidak beralangan lagi," ujar Bwe Su-bong dengan tertawa.
Pwe-giok tidak mengucapkan
terima kasih, ia merasa budi pertolongan sebesar ini tidak dapat dibalas hanya
dengan ucapan terima kasih saja.
Tampaknya Bwe Su-bong sangat
gembira, ia bangunkan Pwe-giok dan berkata pula, "Pertemuan Hong-ti entah
sudah berakhir belum, jika sudah ditutup, tentu Pangcu kami sedang menantikan
kedatanganmu. Marilah kita pulang untuk menemuinya."
"Aku! aku tidak ingin
kesana," mendadak Pwe-giok berkata.
"Kau tidak! tidak mau
menemui Pangcu?" Bwe Su-bong menegas dengan heran.
"Saat ini di sekitarku
sedang mengintai berbagai setan iblis yang tak terhitung jumlahnya dan setiap
saat akan turun tangan keji kepadaku, jika ku pulang kesana, mungkin Pangcu
akan ikut terembet," kata Pwe-giok dengan tersenyum sedih.
"Aah, kau kira Ang
lian-pangcu itu manusia yang takut urusan?" kata Bwe Su-bong dengan tak
acuh.
Pwe-giok tidak bicara lagi, ia
menunduk dan menghela nafas, lalu ikut pengemis tua itu kesana.
"Tadi waktu kubersihkan
racunmu, kudengar sorak sorai gemuruh di tempat sidang sana, mungkin upacara
sumpah setia perserikatan telah berlangsung dengan memuaskan dan selanjutnya
para kawan Bu-lim boleh hidup dengan aman dan tenang lagi."
"Hah, apakah betul dapat
hidup tenang dan aman?" ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Bwe Su-bong memandangnya
sekejap dan menghela nafas panjang. Katanya dengan tersenyum getir, "Ya,
semoga begitu hendaknya!"
Tidak lama mereka berjalan, terlihat
di tempat sidang sana cahaya api gemerdep dan terdengar suara sorak gembira
yang sayup2 berkumandang terbawa angin. Cahaya api dan suara sorakan itu tidak
terlalu jauh, tapi bagi penglihatan dan pendengaran Ji Pwe-giok rasanya seperti
ter-aling2 oleh sebuah dunia lain, cahaya terang dan sorak gembira tidak berani
lagi diimpikannya.
"Pertemuan tahun ini
tampaknya jauh lebih meriah daripada tahun2 sebelumnya," tutur Bwe Su-bong
dengan gegetun. "Sudah enam kali ku ikut serta pertemuan besar demikian, hanya
sekali ini saja tidak ikut pesta bergembira dengan para kawan peserta rapat!
rasanya aku seperti kurang bersemangat."
"Sehabis pertemuan besar
ini apakah selalu diadakan pesta besar?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu pesta
demikian tidak boleh berkurang."
"Tapi hidangannya!"
"Setiap pertemuan
Hong-ti, para hadirin selalu membawa hidangan dan arak sendiri," tutur Bwe
Su-bong dengan tertawa cerah. "Habis sidang, beramai-ramai lantas duduk di
perkemahan masing-masing atau mengajak beberapa kawan karib untuk makan minum
dengan gembira, biasanya pesta berlangsung semalam suntuk. Esoknya jarang ada
yang dapat berangkat pagi-pagi."
Wajahnya yang sudah tampak
ketuaannya kelihatan bersemangat demi bercerita tentang pengalamannya di masa
lalu, dengan tertawa ia sambung pula, "Beberapa kali pertemuan besar itu
sungguh sukar dilupakan orang, dimana-mana cahaya terang, dimana-mana
berkumandang dendang gembira, di sana-sini mengundang minum, setelah menenggak
beberapa cawan, bisa jadi kau akan jatuh di pangkuan seorang kawan lama yang
sudah belasan tahun tak berjumpa, sekalipun kau tidak sanggup minum lagi dia
masih akan mencekoki kau dengan paksa! Ai, aku sudah tua, hari2 menyenangkan
begitu mungkin takkan kembali lagi."
"Apapun juga, kenangan
demikian tetap sangat menyenangkan," kata Pwe-giok dengan gegetun.
"Betul, manusia harus
mempunyai sedikit kenangan yang manis, kalau tidak, cara bagaimana akan
melewatkan malam2 yang sunyi dan musim dingin yang menyiksa!"
Pwe-giok berusaha mengunyah
betapa rasanya ucapan pengemis tua itu dan coba meresapinya, tetapi sukar
diketahui apakah pahit atau manis.
Tanpa terasa mereka sudah
sampai di depan perkemahan Ang-lian pangcu. Orang2 yang semula berkerumun di
luar kemah sekarang sudah bubar, samar-samar ada cahaya lampu di dalam kemah.
Belum lagi mereka mendekati segera ada orang yang membentak di dalam kemah,
"Siapa itu?"
Suaranya kereng berwibawa,
ternyata bukan suara Ang-lian hoa. Selagi Pwe-giok terkesiap, suara Ang-lian
hoa yang lantang sudah bergema, "Apakah Bwe Su-bong di luar? Sudahkah kau
bawa pulang domba kecil kita yang tersesat itu?"
* * *
Di dalam kemah yang sangat
besar itu hanya menyala sebatang lilin merah. Cahaya lilin gemerdep, bayangan
Ang-lian-hoa kelihatan terseret memanjang di tanah, seorang kakek berjubah
warna jingga dan bertopi besar, wajah kehitam-hitaman dan berjenggot panjang,
alis tebal lurus sehingga kelihatan angker, kakek ini berduduk di samping
Ang-lian-hoa dengan tegak, sorot matanya tajam menatap Ji Pwe-giok.
Tanpa terasa Pwe-giok menunduk
oleh perbawa si kakek yang kereng ini.
"Akhirnya kau datang
juga!." Kata Ang-lian hoa dengan tertawa. "Apakah kau kenal Locianpwe
ini?"
"Ketua Kun-lun pay,"
jawab Pwe-giok.
"Boleh juga
penglihatanmu, sama sekali Thian-kang Totiang tidak bersuara, tapi dapat juga
kau kenali," puji Ang-lian hoa. Mendadak ia berpaling dan tanya Bwe
Su-bong, "Dia terkena racun apa? Siapa yang meracuni dia?"
"Orang yang meracuni dia
belum jelas asal-usulnya, racun yang digunakan juga belum diketahui jenisnya,
untung hanya…!"
Belum habis cerita Bwe
Su-bong, mendadak Thian-kang Totiang melompat ke samping Ji Pwe-giok, secepat
kilat ia tutuk beberapa hiat-to penting di kedua lengan anak muda itu, menyusul
ia jejalkan satu biji obat ke mulutnya dan berkata, "Jangan bergerak dalam
waktu setengah jam."
Sambil bicara ia telah menutuk
12 hiat-to penting di tubuh Pwe-giok, saat itu pula obat sudah ditelan anak
muda itu, lalu Thian-kang Totiang melayang kembali ke tempat duduknya.
Keruan Pwe-giok melenggong,
begitu pula Bwe Su-bong merasa bingung, katanya, "Ini! ini!."
"Memangnya kau kira
racunnya sudah habis kau punahkan?" kata Ang-lian hoa.
"Sudah! sudah kuperiksa
tadi!"
"Jika Kim-kong-ci dan
Hoa-kim-tan terlambat diberikan Thian-kang Totiang, tentu kedua tangan
Ji-kongcu akan cacad untuk selamanya," kata Ang-lian hoa pula.
Tentu saja Pwe-giok terkesiap
dan Bwe Su-bong menunduk malu oleh karena tidak menduga bahwa racun yang
disangkanya sudah tuntas dihisap keluar oleh ularnya ternyata belum bersih sama
sekali.
"Lalu bagaimana dengan
orang yang kusuruh kau selidiki itu?" tanya Ang-lian hoa.
"Hamba sudah menanyai
belasan orang, tapi tiada seorangpun yang memperhatikan siapa yang berteriak
itu," tutur Bwe Su-bong. Hanya ada seorang mengatakan bahwa dia melihat
orang yang bersuara itu seperti berbaju hitam!"
"Berbaju hitam?..."
gumam Ang-lian hoa dengan mengernyitkan kening.
"Setiap pertemuan besar
di sini, orang yang berbaju hitam mulus rasanya tidak banyak," kata Bwe
Su-bong. "Tapi sekali ini menurut penyelidikan hamba, orang berbaju hitam
yang ikut hadir di pertemuan ini ternyata ada ratusan orang, malahan di tengah
kerumunan pengunjung di luar sidang ada pula ribuan orang berseragam hitam.
Orang2 ini ternyata belum dikenal, tampaknya juga tidak lemah ilmu
silatnya."
"Orang berseragam hitam!
ribuan orang!" gumam Ang-lian hoa. Perlahan-lahan sorot matanya beralih
kepada Thian-kang Totiang, tanyanya kemudian, "Bagaimana pendapat Totiang
terhadap kejadian ini?"
"Racun yang tidak dikenal
dan orang yang tidak dikenal, rapi benar perencanaan ini dan sukar
dipecahkan," demikian ucap Thian-kang Totiang dengan suara berat.
"Apakah orang2 berseragam
hitam inipun anak murid Bu-kek-pay?" kata Ang-lian hoa.
"Umpama bukan murid Bu
kek pay, kukira pasti juga ada hubungannya," ujar Thian-kang Totiang.
"Sungguh sukar untuk
dipercaya bahwa tokoh2 angkatan tua yang terhormat dan disegani seperti Ji
Hong-ho, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau, dan lain2 dapat bertindak sekeji ini,"
kata Ang-lian hoa dengan gegetun. "Nama baik mereka selama berpuluh tahun
tentu bukan palsu, jika dikatakan mereka tiada niat jahat dan sesuatu intrik
tertentu, jelas akupun tidak percaya."
"Nama mereka memang tidak
palsu, orangnya yang palsu," seru Pwe-giok dengan parau.
Ang-lian hoa menggeleng,
katanya, "Sudah kuamat-amati mereka dengan teliti, jelas tiada seorangpun
yang menyamar atau merias mukanya, apalagi sekalipun mereka berganti rupa dan
menyamar, tentu gerak-gerik dan senyum-tawa mereka tidak semirip ini. Selain
itu, Thian-in taysu, Jut-tun Totiang juga kenalan lama mereka, mustahil
penyamaran mereka tak ketahuan?"
Dengan sedih Pwe-giok
menunduk. Apa yang diuraikan Ang-lian hoa itu memang betul. Tidak perlu orang
lain, melulu ayahnya saja, orang ini bukan saja wajahnya mirip benar dengan
ayahnya, bahkan setiap gerak-gerik, setiap tutur kata dan senyum tawanya boleh
dikatakan persis sama. Apabila sebelumnya dia tidak menyaksikan sang ayah
meninggal di depannya, mungkin ia sendiripun tidak percaya orang ini adalah
ayahnya yang palsu.
Bwe Su-bong tidak tahan, iapun
menimbrung, "Jangan2 mereka kehilangan kesadarannya dan segala tindak
tanduknya berada di bawah perintah orang. Hamba ingat, puluhan tahun yang lalu
di dunia Kangouw juga pernah terjadi peristiwa demikian."
"Orang yang kesadarannya
terbius, gerak-gerik dan sinar matanya pasti kaku dan berbeda dengan orang
normal," kata Ang-lian hoa. "Sedangkan mereka jelas kelihatan sehat
dan wajar, sorot mata merekapun jernih dan tajam, tiada tanda2 dipaksa orang
atau dibius orang."
Thian-kang Totiang menengadah
dan menghela nafas panjang, katanya, "Sungguh perencanaan yang rapi dan
sukar dipecahkan."
"Hal ini memang serba
aneh," kata Ang-lian hoa pula. "Jika orang2 ini dikatakan palsu,
jelas2 mereka bukan palsu, bila dikatakan mereka ini tulen, justru terjadi
banyak hal2 yang aneh. Apakah mereka itu didalangi orang atau mereka sendiri
mempunyai intrik tertentu, yang pasti setelah mereka mengetuai dunia persilatan
dengan kekuasaan besar, apa yang akan terjadi selanjutnya sungguh sukar
dibayangkan. Sedangkan di dunia sekarang selain kita berempat tiada orang lain
lagi yang menaruh curiga terhadap mereka."
Setelah tertawa getir,
kemudian Ang-lian hoa menyambung pula, "Selama beribu tahun sejarah dunia
persilatan, kukira tiada intrik lain yang terlebih besar dan keji daripada yang
kita hadapi sekarang."
Air muka Thian-kang Totiang
bertambah prihatin, katanya dengan perlahan, "Jika ingin membongkar
rahasia ini, kuncinya terletak pada diri Ji-kongcu ini."
"Ya, justru inilah, maka
jiwanya setiap saat terancam bahaya," kata Ang-lian hoa. "Sebab kalau
dia mati, maka…!"
Tanpa terasa Bwe Su-bong
menimbrung pula, "Bukankah Ji Hong-ho itu sudah mengetahui Ji Kongcu
sebagai putranya, mana dapat membunuhnya lagi?"
"Meski tak dapat
membunuhnya secara terang-terangan, kan dapat turun tangan secara
gelap2an?" ujar Ang-lian hoa. "Lalu dibuat sedemikian rupa
seolah-olah dia mati kecelakaan, dengan demikian kan segala urusan menjadi
beres?"
"Pantas, tadi ketika
kuobati dia, tak kulihat seorangpun yang berani menyergapnya, agaknya mereka tidak
bebas turun tangan bila Ji-kongcu didampingi seseorang," kata Bwe Su-bong.
"Makanya kubilang kalau
sendirian dia hendak pergi dari sini sungguh lebih sulit daripada manjat ke
langit, kecuali…!"
Mendadak Thian-kang Totiang
memotong ucapan Ang-lian hoa, "Apakah kau tahu urusan apa yang paling
menakutkan sekarang?"
Ang-lian hoa berkerut kening,
tanyanya, "Adakah Totiang teringat sesuatu?"
"Apabila hal ini terjadi,
kukira Ji-kongcu pasti tak dapat hidup!"
Belum habis ucapan Thian-kang,
mendadak di luar ada orang berseru, "Apakah Thian-kang Totiang berada di
sini, Bengcu mengundang untuk berunding sesuatu urusan."
Air muka Thian-kang Totiang
rada berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Jangan pergi dulu, tunggu
sampai ku kembali." Segera ia berbangkit dan melangkah keluar.
Ang-lian hoa juga berkerut
kening, katanya kemudian, "Biasanya Thian-kang Totiang tidak suka
sembarangan bicara, apa yang dikatakannya tadi pasti ada dasarnya! sesungguhnya
apa yang terpikir oleh dia? Urusan apa yang dimaksudkan nya?"
Bwe Su-bong garuk2 rambutnya
yang kusut masai itu dan bergumam sendiri, "Menakutkan, menakutkan, apa
yang terjadi memang sudah cukup menakutkan, masa masih ada urusan lain yang
lebih menakutkan? Ai, Ji-kongcu memang…!" dia pandang Pwe-giok sekejap dan
tidak melanjutkan, ia menunduk dan menghela nafas.
Selama hidupnya sudah banyak
menemui orang yang bernasib malang, tapi kalau orang2 itu dibandingkan nasib
Pwe-giok sekarang, mereka masih terhitung orang2 yang mujur.
Pwe-giok tersenyum pedih,
katanya, "Ku tahu diriku sudah terdesak ke jalan buntu, untung ada orang
seperti Pangcu dan sudi pula membantu aku! aku biarpun mati juga takkan
melupakan budi kebaikan Pangcu ini."
Ang-lian hoa hanya
menggeleng-geleng saja dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula.
Mendadak Pwe-giok berkata
pula, "Padahal Pangcu tidak pernah kenal diriku, mengapa engkau menolong
diriku dengan sepenuh hati. Setiap orang menganggap aku sudah gila, mengapa
Pangcu percaya penuh padaku?"
"Dengan sendirinya ada
alasannya!" perlahan Ang-lian hoa mengeluarkan sebuah kantongan kain
berwarna hijau, kantongan kain ini bersulam indah, seperti dompet kaum gadis
bangsawan, siapapun tidak menyangka Ang-lian pangcu, ketua kaum jembel, bisa
menyimpan barang begini.
Setelah membuka kantongan itu,
Ang-lian hoa mengeluarkan secarik kertas dan disodorkan kepada Pwe-giok dan
berkata, "Coba kau lihat sendiri, apa ini?"
Jelas cuma secarik kertas yang
kumal, tapi terlipat dengan rajin. Bahwa Ang-lian hoa menyimpan sebuah
kantongan bersulam begitu sudah cukup aneh, di dalam kantongan itu hanya
tersimpan secarik kertas kumal, hal ini lebih2 mengherankan lagi.
Tanpa terasa Bwe Su-bong ikut
melongok ke depan dan ingin tahu apa yang terdapat pada kertas kumal itu.
Pwe-giok lantas membuka
lipatan kertas itu, ternyata di atasnya tertulis, "Ji Pwe-giok, percayai
dia, bantu dia."
Huruf itu tertulis dengan rada
kabur, tampaknya ditulis dengan tergesa-gesa dengan goresan benda tajam
sebangsa jarum yang ditutulkan pada tanah liat.
Pwe-giok termenung memandangi tulisan
itu, katanya kemudian, "Sia! siapa yang menulis ini?"
"Calon isteri mu,"
jawab Ang-lian hoa.
Seketika air muka Pwe-giok
berubah rada aneh, tapi Ang-lian hoa tidak memperhatikannya. "Lim Tay-ih
maksudmu? Kau kenal dia?" tanya Pwe-giok kemudian.
Ang-lian hoa mengangguk,
jawabnya, "Tiga hari yang lalu pernah kulihat dia di sekitar Siangciu. Dia
berada bersama ayahnya dan Ong Ih-lau. Sudah lama kukenal dia, tapi waktu itu
dia hanya memandang sekejap padaku seakan-akan sama sekali tidak kenal lagi padaku."
"Memangnya kalian sudah…
sudah lama kenal baik?" tanya Pwe-giok.
"Tampaknya kau memang
sebangsa Kongcuya yang jarang keluar pintu, masa urusan Kangouw sama sekali
tidak tahu," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Pada usia 13 Lim
Tay-ih sudah berkelana di dunia Kangouw, seterusnya setiap tahun sekali dia
pasti mengeluyur keluar, bahkan telah melakukan beberapa pekerjaan yang mulia,
namanya sudah cukup terkenal di dunia persilatan."
Terbayang oleh Pwe-giok sorot
mata Lim Tay-ih yang memperlihatkan sifatnya yang keras dan berani serta ilmu
pedangnya yang cepat dan ganas itu. Terbayang pula tubuh si nona yang kelihatan
lemah itu ternyata memiliki watak yang kuat, mau tak mau Pwe-giok menghela
nafas gegetun, katanya, "Ya, dia memang tidak sama seperti diriku, dia
memang jauh lebih kuat daripadaku."
"Sebenarnya Tay-ih adalah
anak perempuan yang lugu dan suka terus terang, tapi hari itu dia telah berubah
sama sekali," ujar Ang-lian hoa. "Ku tahu dalam hal ini pasti ada
sesuatu yang tidak beres. Maka ketika mereka beristirahat, segera kusuruh
anggota Kay-pang di Siangciu untuk menghubungi kuasa hotel tempat mereka
mondok, anggota itu kusuruh menyamar sebagai pelayan hotel. Benar juga, sekali
pandang Tay-ih lantas mengenalinya, dia lantas mencari kesempatan dan diam2
menyerahkan kantongan kain ini kepadanya."
"Pantas kemarin dulu
Song-losi dari Siangciu datang terburu-buru minta bertemu dengan Pangcu,
kiranya ingin menyerahkan kantong bersulam ini kepada Pangcu," sela Bwe
Su-bong.
Pwe-giok jadi melenggong sambil
bergumam, "Kiranya dia sering berkelana di dunia Kangouw, pantaslah pada
hari kejadian itu dia tidak berada di rumah."
Berubah juga air muka Ang-lian
hoa, cepat ia menegas, "Di rumahnya terjadi apa? Jangan2 mengenai
ayahnya?"
"Ya, dengan sendirinya Lim
Soh-koan yang Pangcu lihat itu juga palsu, tapi hari itu…!" dengan
menyesal Pwe-giok lantas menceritakan perubahan sikap Lim Tay-ih yang mendadak
itu ketika berhadapan dengan ayahnya yang palsu, lalu ia melanjutkan ceritanya,
"Waktu itu kukira dia sengaja hendak memfitnah diriku, tak tahulah kalau
waktu itu dia sudah memahami betapa berbahayanya intrik musuh, ia tahu tiada
pilihan lain terkecuali mengakui musuh sebagai ayah. Sedangkan diriku! meski
sudah kutunggu sampai sekarang, agaknya terpaksa akupun harus menempuh jalan
yang sama seperti dia! Ai, dia sesungguhnya anak perempuan yang cerdik."
"Ya, diantara orang2 yang
kukenal, baik lelaki maupun perempuan, bila bicara tentang kecerdikan dan
kegesitan bertindak menurut keadaan, mungkin tiada orang lain yang dapat
melebihi dia," kata Ang-lian hoa.
"Tapi! tapi Lim Soh koan
itu jelas sudah tahu segalanya, mengapa dia tidak membunuh Tay-ih
sekaligus?" kata Pwe-giok. "Melihat gelagatnya sekarang, jelas Tay-ih
telah berada di tahanan mereka, mungkin… Mungkin…!"
Ang-lian hoa memandangi
Pwe-giok dengan tertawa, katanya, "Anak perempuan secantik dan sepintar
dia, dengan sendirinya dia mempunyai akal untuk membikin orang lain tidak dapat
dan tidak tega mencelakai dia. Kukira kita tak perlu berkuatir baginya, sebab
kalau ada urusan yang tak dapat dibereskan oleh dia, maka tiada gunanya orang
lain bergelisah baginya."
Habis berkata Ang-lian hoa
lantas masukkan lagi kertas tadi ke dalam kantong.
Pwe-giok mengira Ang-lian hoa
akan menyerahkan kantong bersulam itu kepadanya, tak tersangka Ang-lian hoa
terus menyimpan kembali kantong itu ke dalam kantong bajunya, lalu berkata
pula, "Apabila kita dapat mengadakan kontak dengan Tay-ih, ku yakin pasti
dapat!" mendadak ia berhenti ketika dilihatnya Thian-kang Totiang telah
kembali dengan langkah lebar.
"Ai, kembali ada
persoalan yang memusingkan lagi," kata ketua Kun-lun-pay itu.
Bwe Su-bong terkejut dan
bertanya, "Urusan memusingkan apalagi?"
"Ji… dia telah menunjuk
diriku sebagai Hou-hoat (pelindung) perserikatan kita ini!" tutur
Thian-kang.
"Hou-hoat?" Pwe-giok
menegas.
"Selain Bengcu,
perserikatan Hong-ti inipun harus mengangkat salah seorang ketua suatu
perguruan ternama sebagai Houhoat," demikian Ang-lian hoa menjelaskan.
"Selama ini, kalau Siau lim-pay menjadi Bengcu, maka yang diangkat menjadi
Hou-hoat adalah Bu-tong-pay."
"Tapi sekali ini kalau
Jut-tun Toheng yang diangkat menjadi Houhoat, tentu tindak tanduk mereka akan
kurang leluasa," kata Thian-kang Totiang dengan tersenyum kecut.
"Sedangkan kediaman ku jauh di Kun-lun-san, selamanya jarang ikut campur
urusan dunia ramai, jelas orang she Ji itu mempunyai maksud tujuan tertentu
dengan mengangkat diriku sebagai Hou-hoat."
"Tapi juga lantaran nama
Totiang yang memang sesuai untuk menjadi Hou-hoat," ujar Ang-lian hoa
dengan tertawa. "Kalau tidak, kan lebih baik mereka mengangkat Thi-pah-ong
saja yang jauh tinggal di Kwan-gwa sana?"
Sampai disini mendadak
senyuman yang menghias wajah Ang-lian hoa lenyap seketika, dengan prihatin dia
bertanya, "Tadi Totiang bicara tentang urusan…"
Dengan sungguh2 Thian-kang
menukas, "Urusan yang kukuatirkan adalah kalau2 terjadi orang she Ji itu
menyuruh Ji-kongcu ikut dia pulang ke rumah, lalu apa yang harus kita
lakukan?"
"Ya, betul juga!."
Ang-lian hoa juga terkesiap.
"Bila Ji-kongcu ikut
pulang bersama dia akan berarti jatuh di dalam cengkeraman mereka dan setiap
saat ada kemungkinan dicelakai," kata Thian-kang. "Dan kalau sang
ayah menyuruh anaknya sendiri ikut pulang, mana bisa si anak membangkang?"
"Ya, bukan saja si anak
tidak boleh membangkang, bahkan orang lainpun tiada hak buat bicara, siapapun
tak dapat merintanginya," ujar Ang-lian hoa. "Ai, urusan segawat ini
seharusnya sudah kupikirkan jauh2 sebelumnya."
Bwe Su-bong ikut gelisah,
keluhnya, "Wah, lantas bagaimana! bagaimana baiknya?"
"Urusan ini hanya ada
satu jalan baik untuk menolongnya," kata Thian-kang.
"Betul, hanya ada satu
jalan untuk menolongnya," tukas Ang-lian hoa.
"Terpaksa Ji-kongcu harus
melarikan diri selekasnya, begitu bukan?" tanya Bwe Su-bong.
Thian-kang Totiang menggeleng.
"Habis bagaimana kalau
tidak lari?" tanya Bwe Su-bong pula dengan gelisah.
"Asalkan Ji-kongcu lekas2
mengangkat seseorang sebagai guru, lalu sang guru minta si murid ikut pulang
untuk belajar, dalam keadaan demikian biarpun ayahnya sendiri juga tak dapat
menolak lagi," tutur Thian-kang dengan perlahan.
"Bagus, bagus sekali,
cara ini sungguh sangat bagus!" seru Bwe Su-bong.
Segera Ang-lian hoa berkata
dengan tertawa, "Kionghi (selamat) Ji-kongcu mendapatkan guru bijaksana
dan Kionghi kepada Totiang yang mendapatkan murid berbakat."
Pwe-giok jadi melengak.
Sedangkan Thian-kang Totiang berkata, "Ah, mana aku sesuai menjadi guru
Ji-kongcu!"
"Di dunia sekarang ini,
kecuali Totiang siapa lagi yang sesuai menjadi guru Ji-kongcu?" ujar
Ang-lian hoa dengan tertawa. "Demi kesejahteraan dunia persilatan
selanjutnya, kuharap Totiang sudi menerimanya."
Akhirnya Pwe-giok berlutut dan
menyembah. Pada saat itu juga di luar kemah ada orang berseru memanggil,
"Ji Pwe-giok, Ji-kongcu diharap keluar. Bengcu ingin bicara
denganmu!"
Ang-lian hoa memandang
Pwe-giok sekejap, ucapnya perlahan, "Nah, apa kataku? Setiap gerak-gerikmu
senantiasa diawasi orang, kemanapun kau pergi pasti sudah diketahui."
Bwe Su-bong melenggong juga,
kaki dan tangan terasa dingin dan hampir saja tidak dapat bergerak.
* * *
Di luar kemah tampak api
unggun menyala di mana2, suasana riang gembira, beribu orang duduk mengelilingi
api unggun di bawah bintang2 yang bertaburan memenuhi langit, silir angin malam
membawa bau harum arak. Kehidupan manusia seyogyanya penuh diliputi gembira dan
bahagia.
Akan tetapi Ji Pwe-giok
berjalan dengan kepala tertunduk, hatipun pedih dan getir. Saat ini dia seolah2
berubah menjadi sebuah boneka, segala urusan harus patuh kepada perintah dan
didalangi orang lain.
Terdengar di sana-sini orang
sama menyapa, "Ang-lian-pangcu, silahkan mampir dan marilah minum tiga
cawan!"
Ada juga yang menegur Bwe
Su-bong, "Hai Bo-su-bong, tampaknya kau masih sibuk selalu. Apakah kau
sudah pantang minum arak?"
Selain itu ada pula yang
berseru heran, "He, bukankah itu Ji-kongcu?"
Di tengah sorak gembira itu,
seorang pemuda baju hitam melangkah tiba dengan cepat dan memberi hormat,
katanya, "Saat ini Bengcu sedang menunggu di perkemahan
Siau-lim-pay."
Ber-turut2 tujuh kali
Siau-lim-pay menjabat Bengcu, tapi perkemahannya juga tiada bedanya dengan
pihak lain, hanya beberapa meter di sekeliling perkemahannya tiada orang berani
bergerombol. Hormat orang terhadap Thian-in juga tidak berkurang lantaran sekali
ini dia tidak terpilih lagi sebagai Bengcu.
Saat ini di depan perkemahan
Siau-lim-pay tiada seorangpun, cuma dibalik kemah yang gelap sana samar2
seperti ada bayangan orang berkelebat. Baru saja mereka sampai di depan kemah,
di dalam Thian-in Taysu sudah lantas menegur dengan tertawa, "Jangan2
Ang-lian-pangcu juga ikut datang?"
"Kesaktian Taysu sungguh
luar biasa, se-akan2 dapat melihat dari tempat yang jauh," puji Ang-lian
hoa dengan tertawa.
Terlihatlah orang yang disebut
Ji Hong ho itu duduk berhadapan dengan Thian-in Taysu dan sedang minum, Lim
Soh-koan, Ong Uh-lau dan lain2 ternyata tidak ikut serta di situ.
Di dalam kemah asap dupa wangi
semerbak, masuk di sini rasanya seakan-akan masuk di suatu dunia lain lagi.
Setelah beramah tamah dan
berduduk, kemudian pandangan Ji Hong ho beralih ke arah Ji Pwe-giok yang
berdiri tertunduk di samping sana, dengan senyum kasih sayang seorang ayah ia
berkata, "Anak Giok, apakah badanmu terasa lebih enak?"
"Terima kasih atas
perhatian ayah," jawab Pwe-giok dengan hormat.
"Biasanya kau jarang
keluar rumah, tidak-tandukmu selanjutnya hendaklah hati2 dan prihatin agar
tidak menjadi buah tertawaan kaum Cianpwe dunia Kangouw," kata Ji Hong-ho
pula.
Pwe-giok mengiakan dengan
menunduk.
Yang satu memberi petuah dan
yang lain mengiakan dengan hormat, tampaknya seperti benar2 seorang ayah yang
kereng dengan seorang anak yang berbakti. Siapa yang menduga bahwa keduanya
sesungguhnya sedang main sandiwara?
Sudah jelas Pwe-giok
mengetahui orang di depan ini adalah musuhnya, hatinya sangat sakit, tapi
lahirnya dia justru harus berlagak hormat dan menganggap orang sebagai ayahnya.
Sebaliknya Ji Hong-ho juga
tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah anaknya, dalam hati iapun ingin
sekali hantam mampuskan Ji Pwe-giok. Tapi lahirnya dia harus berlagak kasih
sayang kepada seorang anak.
Ang-lian hoa dapat mengikuti
semua ini dari samping, dalam hati tak keruan rasanya, entah duka, entah marah
atau merasa geli.
Sejak umur tujuh Ang-lian hoa
sudah terjun di dunia Kangouw, adegan ramai apapun pernah dilihatnya. Tapi
permainan sandiwara yang serba konyol ini sungguh belum pernah ditemuinya.
Kalau orang di luar garis saja demikian perasaannya, apalagi orang yang
bersangkutan seperti Ji Pwe-giok, tentu saja sukar untuk diceritakan.
Begitulah Thian-in Taysu
lantas berkata pula dengan tersenyum, "Ji-kongcu kelihatan halus di luar,
tapi keras di dalam, di tengah ketenangan jelas kelihatan kecerdasannya,
sungguh bakat yang sukar dicari. Bilamana tidak keliru pandanganku, hasil yang
akan dicapai Ji-kongcu di kemudian hari pasti akan di atas Bengcu
sendiri."
Segera Ang-lian hoa berkeplok
tertawa, serunya, "Hendaklah Taysu dan Bengcu maklum, kecuali mempunyai
seorang ayah termashur, kini Ji-kongcu sudah mempunyai pula seorang guru ternama!"
"O, guru ternama?"
Ji Hong-ho seperti melengak.
Thian-kang Totiang lantas
menukas, "Berhubung melihat putera anda mempunyai bakat tinggi dan sukar
dicari, hatiku jadi tergerak dan secara sembrono telah menerima putera anda
sebagai murid. Untuk ini diharap Bengcu suka memberi maaf atas
kelancanganku."
Ang-lian hoa tertawa dan
menambahkan, "Ji-kongcu akan merangkap keunggulan kedua keluarga Bu-kek
dan Kun-lun, kelak pasti akan memancarkan cahaya gilang gemilang bagi dunia
persilatan umumnya. Ku yakin Bengcu pasti akan kegirangan, masa menyalahkan
Totiang malah?"
"Ini… ini memang harus
berterima kasih kepada Totiang," jawab Ji Hong-ho.
Meski tampaknya tersenyum tapi
senyuman kecut atau lebih tepat dikatakan menyengir.
"Besok juga kami akan
berangkat pulang ke Kun-lun-san, putera anda…"
Belum lanjut ucapan Thian-kang
Totiang, segera Ang-lian hoa menyambung dengan tertawa, "Ji-kongcu dengan
sendirinya harus ikut pergi bersama Totiang. Tentu saja Bengcu tidak perlu
kuatir, kungfu Kun-lun-pay sudah termasyhur, bisa selekasnya belajar kan lebih
baik. Apalagi Bengcu baru mulai menjabat tugas berat, tentu banyak pekerjaan
dan tidak sempat memikirkan pelajaran Ji-kongcu."
Lalu ia tarik tangan Ji
Pwe-giok, katanya pula dengan tertawa, "Besok juga kau akan ikut Totiang
ke Kun-lun dan harus belajar dengan giat, jangan harap lagi ada tempo senggang
dan pesiar seperti sekarang ini, andaikan bertemu lagi kelak sedikitnya juga
tiga atau lima tahun pula. Mumpung masih berkumpul sekarang, marilah kita pergi
minum sepuasnya sebelum berpisah."
Habis berkata Ang-lian hoa
lantas menarik Pwe-giok dan diajak pergi.
Ji Hong-ho jadi melenggong dan
tak dapat bersuara.
Dengan tersenyum Thian-in
Taysu lantas berkata, "Putera anda dapat berkawan dengan Ang-lian-pangcu,
rejekinya sungguh tidak kecil."
"Ya, sungguh
beruntung!" ucap Ji Hong-ho sembari menenggak teh untuk menutupi rasa
canggungnya.
* * *
Esok paginya, baru saja
remang2 di ufuk timur, namun sebagian besar para ksatria masih bergelak tertawa
dengan muka merah karena terlalu banyak menenggak arak, ada sebagian lagi yang
tidak dapat tertawa dan sudah roboh tertidur lelap.
Hanya anak murid Kun-lun-pay
saja, baik mabuk atau tidak, saat ini dengan khidmat sama berdiri di depan
perkemahan untuk mengantar keberangkatan sang ketua.
Di dalam kemah Ji Pwe-giok
sedang menyembah kepada sang "ayah" sebagai tanda mohon diri.
Ber-ulang2 "Ji Hong-ho" memberi pesan, kembali keduanya lagi main
sandiwara kasih sayang antara ayah dan anak.
Habis itu delapan Tojin muda
berbaju ungu mengiringi Thian-kang Totiang dan Ji Pwe-giok melangkah keluar
kemah. Di luar tiada kereta atau kuda. Dari Kun-lun-san ke Hongciu, jarak
ribuan li itu ternyata ditempuh kawanan Tojin Kun-lun-pay itu dengan berjalan
kaki.
Ang-lian hoa memegangi tangan
Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Selamat jalan, jangan lupa kepada
kakakmu yang rudin ini."
"Aku… Cayhe…
Siaute…" saking terharunya Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus
berucap, suaranya menjadi ter-sendat2 dan air mata ber-linang2, akhirnya ia
cuma tertunduk belaka.
Se-konyong2 seorang
mendekatinya dan berkata dengan tertawa, "Anak Giok, perpisahan ini kukira
akan makan waktu cukup lama, apakah kau tidak ingin bertemu dulu dengan Tay
ih?"
Cepat Pwe-giok menengadah,
dilihatnya Lim Soh-koan yang berdiri di depannya.
Pagi2 masih diliputi kabut
yang tipis, samar2 disana berdiri bayangan seorang dengan kerlingan mata sayu,
siapa lagi dia kalau bukan Lim Tay-ih?
Melihat bayangan si nona yang
lembut, teringat perpisahan ini entah kapan baru dapat bertemu kembali,
seketika Pwe-giok jadi terkesima.
Memandangi mereka, Ang-lian
hoa sendiri juga tertegun.
Mendadak terdengar Thian-kang
Totiang membentak perlahan, "Kehidupan di pegunungan selalu sunyi,
perasaan laki perempuan janganlah ditumbuhkan! Hayolah!" Segera tangan
Pwe-giok ditariknya terus melangkah pergi.
Lim Tay-ih masih berdiri di
sana dan memandangnya dengan sayu, pada matanya yang jernih itu entah sejak
kapan sudah mengembeng air mata.
"Melihat kepergian
kekasih dan tidak dapat berbicara sepatah dua, apakah hatimu tidak merasa
sedih?" demikian tiba2 suara seorang senyaring genta menegur dengan
tertawa genit disertai bau harum semerbak terbawa angin.
Tay-ih tidak berpaling, sebab
Ong Ih-lau dan Sebun Bu-kut sudah sampai pula disampingnya, dengan sorot mata
tajam dan kereng kedua orang itu berkata, "Tay-ih, hayolah pergi."
Suara nyaring merdu tadi
berkata pula dengan tertawa, "Perempuan bicara dengan perempuan juga
dilarang oleh kalian kaum lelaki?"
Dengan suara berat Ong Ih-lau
menjawab, "Selama ini Bu-kek-pay tiada hubungan apapun dengan murid
Peh-hoa-pang."
"Dulu tidak ada, sekarang
kan sudah ada," ujar suara genit itu.
Lim Tay-ih hanya berdiri diam
saja, rambutnya ber-gerak2 tertiup angin. Sesosok bayangan lemah gemulai tahu2
melayang tiba di depannya dengan baju tipis berkibar laksana dewi kahyangan.
Meski sama2 perempuan, mabuk
juga Tay-ih melihat sepasang mata orang yang baru muncul ini, sungguh sama
sekali tak tersangka olehnya bahwa ketua Pek-hoa-pang yang termasyhur itu
ternyata sedemikian cantiknya.
Berbareng Ong Uh-lau dan Sebun
Bu-kut hendak menghadang di depan Lim Tay-ih, tapi mendadak bau harum menusuk
hidung, se-konyong2 kain tipis seperti kabut menyampuk tiba, tanpa terasa Ong
Uh-lau berdua melompat mundur lagi.
Waktu mereka memandang lebih
jelas, terlihat Hay-hong Hujin telah menggandeng tangan Tay-ih dan melangkah
pergi, terdengar suaranya yang nyaring merdu lagi berkata, "Leng-hoa-kiam,
kan boleh kubawa pergi anak perempuanmu untuk mengobrol sejenak?... Akupun seperti
kaum lelaki, bila melihat anak perempuan cantik lantas terpikat dan ingin
bicara dengan dia."
Lim Soh-koan hanya melongo
bingung di sana tanpa bersuara.
Dari jauh Ang-lian hoa dapat
menyaksikan kejadian ini, tersembul senyumannya yang puas. Di tengah kabut pagi
yang belum buyar itu ke-14 panji besar masih berkibar di udara, tapi pertemuan
besar setiap tujuh tahun satu kali ini sudah berakhir, para ksatria secara
ber-kelompok2 telah mulai berangkat pulang.
Memandangi panji Bu-kek-pay
yang baru saja ikut dikerek, Ang-lian hoa jadi terharu, tanpa terasa ia
menghela nafas panjang.
"Apa yang Pangcu
renungkan di sini?" tiba2 seorang menegurnya. "Apakah sahabat baru
Pangcu si Ji-kongcu sudah ikut berangkat bersama Thian-kang Totiang?"
Kiranya orang ini adalah Cia
Thian-pi, ketua Tiam-jong-pay. Dengan terharu Ang-lian hoa menjawab, "Ya,
sudah berangkat!"
"Wah, mengapa… mengapa
secepat ini berangkatnya?!" seru Cia Thian pi mendadak dengan air muka
berubah.
Melihat adanya kelainan air
muka orang, Ang-lian hoa terkesiap, cepat ia bertanya, "Cepat? Cepat
bagaimana?"
"Maaf Pangcu, ternyata
kedatanganku ini tetap terlambat sejenak," kata Cia Thian-pi dengan muram
dan menunduk.
"Sesungguhnya ada urusan
apa?" tanya Ang-lian hoa sambil pegang pundak orang.
"Pernahkah Pangcu
mendengar nama "Thian-kai-biau-peng-khek" (si kelana kian
kemari)?"
"Sudah tentu
pernah," jawab Ang-lian hoa. "Sesuai namanya, orang ini tidak
tertentu tempat tinggalnya, dimanapun dapat dijadikan rumah olehnya. Jut-tun
Totiang dari Bu-tong menganggap satu2nya tokoh Kangouw saat ini yang pantas
disebut "Yu-hiap (pendekar kelana) hanya dia saja seorang."
"Dan baru saja Siaute
menerima surat merpati dari dia, katanya... Katanya..."
"Katanya apa?"
Ang-lian hoa menegas, makin erat cengkeramannya pada pundak orang.
Cia Thian-pi menghela nafas
panjang dan memejamkan mata, lalu menjawab dengan perlahan, "Katanya
Thian-kang Totiang dari Kun-lun-pay telah wafat pada setengah bulan yang
lalu."
"Apa betul beritanya
ini?" seru Ang-lian hoa terperanjat.
"Demi membuktikan
kebenaran berita ini, dia telah membuang waktu selama setengah bulan, setelah
menyaksikan sendiri jenazah Thian-kang Totiang barulah dia mengirim berita
merpati kepadaku. Yu hiap Ih Eng selamanya bertindak dengan cermat dan hati2,
berita penting begini mana berani dia siarkan secara ngawur jika tidak terbukti
kebenarannya?"
Seketika kaki dan tangan
Ang-lian hoa dingin semua, katanya, "Wah, jika demikian jadi Thian-kang
Totiang inipun palsu?!"
Cia Thian-pi berkata dengan
menyesal, "Ketika dia hadir di atas panggung pertemuan, kulihat dia selalu
diam saja, sebenarnya sudah timbul rasa curigaku, kemudian dia diangkat menjadi
Houhoat pula, tentu saja!"
"Mengapa tidak… tidak kau
katakan waktu itu?" tanya Ang-lian hoa.
"Mana berani Siaute
memastikannya!" ujar Cia Thian-pi.
"Sekarang Ji Pwe-giok
telah dibawa pergi, bukankah ini sama dengan mengantar domba ke mulut
harimau?" kata Ang-lian hoa dengan suara rada gemetar.
"Ya, sebab itulah aku
merasa kuatir," kata Cia Thian-pi.
Butiran keringat memenuhi dahi
Ang-lian hoa, katanya pula, "Dia berangkat hanya membawa Pwe-giok seorang,
anak muridnya masih tertinggal semua di sini, rupanya supaya dia leluasa turun
tangan! Ai, akulah yang membikin celaka dia! akulah yang bersalah!"
"Bisa jadi inilah langkah
yang sudah lama diatur oleh komplotan jahat itu," ujar Cia Thian-pi,
"kalau tidak, biasanya Kun-lun-pay sangat keras dalam hal memilih murid,
mengapa dia mau terima murid secepat dan semudah itu?"
"Sungguh rapi dan cermat
sekali rencana keji mereka dan sukar untuk dibendung," kata Ang-lian hoa
dengan tersenyum pedih. "Tapi!" mendadak ia tarik tangan Cia Thian-pi
dan mendesis, "Untung juga kedatangan Cia-heng ini belum terlalu
terlambat."
"Apakah mereka belum
pergi jauh?!" tanya Thian-pi.
"Dengan kecepatan
berjalan kita, kuyakin dapat menyusulnya!" seru Ang-lian hoa.
Dengan gemas Cia Thian-pi
berkata, "Jahanam yang licik dan keji, baginya tiada soal peraturan
Kangouw lagi, bila bertemu nanti, biarlah kita berlagak tidak tahu, coba kita
lihat bagaimana sikapnya nanti."
"Ya, marilah kita
kejar!" seru Ang-lian hoa.
* * *
Makin sepi tempat yang dilalui
mereka, makin tebal pula kabut yang mengambang di udara.
Pwe-giok berjalan di belakang
Thian-kang Totiang, memandangi jenggot Tojin yang bertebaran tertiup angin
dengan perawakannya yang tegap, teringat pula pertemuan dirinya yang aneh dan
kebetulan, sungguh Pwe-giok tidak tahu mesti bergirang atau bersedih.
Kun-lun-pay cukup termasyhur,
betapa keras caranya menerima murid juga sukar ditandingi perguruan lain,
apabila murid juga sukar ditandingi perguruan lain, apabila dirinya tidak
tertimpa musibah sebanyak ini, mana bisa dalam semalam saja telah berubah
menjadi murid Kun-lun-pay.
Didengarnya Thian-kang Totiang
berkata, "Perjalanan masih jauh, kita harus berjalan dengan lebih
cepat."
Dengan hormat Pwe-giok
mengiakan, "Peraturan perguruan kita selamanya sangat keras, tata tertib
kehidupan se-hari2 sangat prihatin, hidup sederhana dan harus tahan uji, apakah
kau sanggup?"
"Tecu tidak takut
menderita."
"Kau terakhir masuk
perguruan, setiba di gunung, pekerjaan se-hari2 yang harus kau lakukan dengan
sendirinya akan lebih banyak daripada murid lain. Tampaknya badanmu lemah
lembut, entah kau sanggup tidak bekerja berat?"
"Di rumah Tecu juga biasa
bekerja berat."
"Baiklah, di depan sana
ada sumur, timbalah airnya sedikit."
Pwe-giok mengiakan.
Benar juga, tidak jauh di
depan sana ada sebuah sumur yang sangat besar, baru saja Pwe-giok menurunkan
timba ke dalam sumur, mendadak terbayang waktu menimba air di rumah, terkenang
pada taman yang rimbun dan sejuk itu, terbayang wajah sang ayah yang welas
asih! seketika air matanya berderai, timba yang dipegangnya mendadak terlepas
dan jatuh ke dalam sumur.
Ia terkejut dan cepat hendak
meraih tali timba, tapi entah mengapa, mendadak ia terpeleset, tubuhnya ikut
terjerumus ke dalam sumur.
Padahal sumur itu sangat
dalam, biarpun dia memiliki ilmu silat maha tinggi, kalau jatuh ke dalam sumur
mungkin sukar juga manjat ke atas. Sudah banyak musibah yang menimpanya, sudah
sering dia menghadapi bahaya, kalau sekarang ia harus mati di dalam sumur,
apakah bukan permainan nasib?
Padahal sejak kecil ia belajar
silat, kuda2nya terlatih sangat kuat, entah mengapa dia bisa terpeleset.
Air sumur sedingin es, keruan
Pwe-giok menggigil, ia me-ronta2 dan berusaha memanjat ke atas, tapi dinding
sumur penuh lumut tebal dan licin, hakekatnya tiada tempat yang dapat dibuat
pegangan.
Anehnya, mengapa Thian-kang
Totiang tidak datang menolongnya?
Sekuatnya ia bertahan.
Mendadak terdengar kumandang derap kuda lari yang langsung menuju ke tepi
sumur. Lalu suara seorang perempuan berseru, "Siapakah yang jatuh ke dalam
sumur?... Ai, jangan-jangan Ji…"
"Betul, memang dia!"
terdengar suara Thian-kang Totiang.
"Totiang menyaksikan dia
jatuh ke dalam sumur, mengapa engkau tidak menolongnya? Apakah ingin dia mati
di situ?" tanya perempuan itu.
"Dia mengira dirinya
sanggup menderita dan tahan uji, tapi tidak tahu betapa sengsaranya orang hidup
di dunia ini. Demi hari depannya supaya dia dapat menjadi orang yang berguna,
maka sengaja ku gembleng dia mulai sekarang."
"O, jika begitu, maafkan
bila barusan Tecu salah omong, tapi! tapi sekarang ujian baginya apakah belum
cukup?"
"Mengapa kau begitu
memperhatikan dia?" tanya Thian-kang Totiang dengan tersenyum.
Perempuan itu tak dapat
menjawab, seperti merasa kikuk, sejenak kemudian barulah dia berseru,
"Sebabnya Tecu menyusul kemari justeru ingin… ingin bicara beberapa patah
kata dengan dia."
"O, jika demikian,
bolehlah ku naikkan dia!" lalu Thian-kang Totiang melemparkan seutas
tambang ke dalam sumur.
Waktu Pwe-giok naik ke atas,
mukanya tampak merah padam, seluruh tubuhnya basah kuyup, ia merasa malu juga
serba runyam.
Dilihatnya sebuah tangan yang
putih halus mengangsurkan sepotong sapu tangan, pada sapu tangan warna keemasan
itu tersulam pula seekor burung walet emas, terdengar suara merdu itu berkata
padanya, "Lekas mengusap air yang membasahi mukamu!"
Ucapan yang sederhana ini
ternyata mengandung perhatian yang sangat mendalam, kepala Pwe-giok tertunduk
semakin rendah, ia menjadi bingung apakah harus menerima sapu tangan itu atau
tidak.
Didengarnya Thian-kang Totiang
berkata dengan suara bengis, "Seorang lelaki sejati, mengapa mengangkat
kepala saja tidak berani?"
Sudah tentu bukannya Pwe-giok
tidak berani mengangkat kepalanya. Begitu dia angkat kepala, segera dilihatnya
Kim-yan-cu, gadis yang lincah dan cerah ini sedang memandanginya dengan penuh
simpati.
"Ada urusan apa silahkan
bicaralah, segera kami harus melanjutkan perjalanan jauh," kata Thian-kang
Totiang. Biarpun orang pertapaan tulen, agaknya iapun paham hubungan mesra
antara muda-mudi, sambil mengelus jenggotnya ia lantas menyingkir ke sana.
Kim-yan-cu tersenyum manis dan
menyerahkan sapu tangannya kepada Pwe-giok, katanya, "Ambil, takut apa
kau?"
Air yang memenuhi muka
Pwe-giok entah air atau keringat, dia berucap dengan gelagapan, "Te!
terima kasih nona."
"Tentunya kau heran,
selamanya kita belum kenal, mengapa kususul kemari untuk bicara dengan
kau?" kata Kim-yan-cu.
Pwe-giok mengusap air di
mukanya, lalu menjawab, "Entah! entah nona ada petunjuk apa yang harus
dibicarakan padaku?"
"Sebenarnya akupun
heran," kata Kim-yan-cu dengan gegetun. "Entah mengapa, kurasakan
kita tak dapat berpisah dengan begini saja. Maka aku lantas menyusul kemari.
Biasanya memang begitu. Apa yang ingin kukerjakan seketika juga
kulaksanakan."
"Tapi… tapi nona!"
Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya,
sekilas dilihatnya dikejauhan sana ada sesosok bayangan orang berdiri di tengah
kabut bersandar di samping kuda, tampaknya sangat kesepian.
Pwe-giok berdehem, katanya,
"Maksud baik nona cukup kupahami. Sin-to Kongcu sedang menunggu di sana,
le… lekaslah nona kesana, bisa jadi kelak…"
"Jangan pusingkan dia, berapa
lama dia akan menunggu, buat apa kau gelisah baginya?" sela Kim-yan-cu
dengan kurang senang. Mendadak ucapannya berubah lembut, katanya dengan
perlahan dan tandas, "Aku cuma ingin tanya padamu, selanjutnya kau ingin
bertemu lagi denganku atau tidak?"
"Aku…" Pwe-giok
menunduk dan ragu2.
Kim-yan-cu menggigit bibir,
tanyanya pula, "Aku anak perempuan, kalau kuberani tanya masa kau tak
berani menjawab?"
Dengan menggreget Pwe-giok
berkata, "Cayhe adalah orang yang bernasib malang, selanjutnya… selanjutnya
paling baik kita tidak bertemu lagi."
Tergetar tubuh Kim-yan-cu, ia
melenggong sekian lamanya, akhirnya dia berkata dengan suara gemetar,
"Ba.. bagus kau!" mendadak ia mencemplak ke atas kudanya terus
dibedal pergi secepat terbang.
Tangan Pwe-giok masih
memegangi sapu tangan kuning itu dan mengikuti bayangan si nona yang lenyap di
tengah kabut. Bau harum saputangan masih terendus, tanpa terasa Pwe-giok rasa
terkesima.
Pada saat itulah mendadak
seekor kuda menerjang tiba, bayangan golok berkelebat terus membacok!
Serangan ini datangnya teramat
cepat dan keras. Keruan Pwe-giok terkejut, untuk menghindar terasa tidak sempat
lagi, terpaksa Pwe-giok menubruk ke depan malah, terasa punggungnya terserempet
angin tajam, dilihatnya Sin-to Kongcu telah melarikan kudanya ke sana, dengan
gelak tertawa dan mengangkat goloknya Kongcu golok sakti itu lantas berseru,
"Bacokan ini hanya sebagai peringatan saja, jika kau tetap tidak tahu
diri, lain kali kepalamu pasti akan kupenggal!"
Pwe-giok benar2 serba susah.
Setelah berdiri tegak lagi barulah diketahui baju bagian punggung telah robek
tersayat golok lawan, hanya selisih sedikit saja jiwanya bisa melayang di bawah
golok kilat tadi.
Thian-kang Totiang juga sedang
memandang padanya, ucapnya sambil menggeleng, "Jika persoalan demikian
selalu terjadi, cara bagaimana kau bisa hidup tenteram?"
"Tecu… tecu…"
Pwe-giok tertunduk dan tidak sanggup melanjutkan.
"Sudahlah, hayo kita
berangkat, ingin kulihat apakah kau sanggup berjalan sampai Kun-lun-san!"
kata Thian-kang Totiang.
Cara berjalan Thian-kang
Totiang tidak cepat juga tidak lambat, tapi bagi Pwe-giok sudah kepayahan untuk
mengikuti langkahnya. Duka derita selama akhir2 ini benar2 telah menyiksa jiwa
raganya. Ia sudah basah kuyup oleh air keringat, rasanya akan menggigil, tapi
di samping guru yang kereng ini mana dia berani mengeluh.
Kabut sudah mulai buyar, tapi
sinar sang surya belum lagi muncul. Cuaca mendung, lembab dan kelam seperti air
muka Thian-kang Totiang.
Mereka terus jalan dan entah
sudah berapa jauhnya, baju Pwe-giok yang basah oleh air keringat sudah kering,
tapi segera basah lagi. Ia mulai ter-engah2, langkahnya tambah lambat,
kepalapun merasa berat!
Se-konyong2 Thian-kang Totiang
berhenti di depan sebuah kelenteng bobrok, katanya sambil menggeleng,
"Nak, tampaknya kau tidak tahan menderita, marilah masuk dan mengaso
dahulu."
Kelenteng itu sunyi senyap
dengan ruangan yang gelap, patungnya tinggi besar dan beringas menakutkan
se-akan2 sedang mengejek siksa derita yang dialami manusia.
Tanpa terasa Pwe-giok terus
berbaring di depan patung, di luar angin meniup santer, agaknya akan hujan.
Biarkan hujanlah, air hujan mungkin dapat mencuci bersih segala kekotoran
kehidupan manusia.
Thian-kang Totiang berdiri di
depan Pwe-giok, tampaknya iapun angker seperti patung kelenteng itu, dengan
bengis ia berkata, "Berdiri, di depan malaikat pujaan mana boleh
sembarangan berbaring!"
Pwe-giok mengiakan dan meronta
bangun, ia berdiri dengan sikap hormat, dalam hati tiada sedikitpun merasa
menyesal. Tanpa guru yang kereng, mana dapat mengeluarkan anak didik yang baik?
Air muka Thian-kang tampak
ramah kembali, katanya, "Setiap anak murid Kun-lun harus berani menderita,
lebih2 kau, nasibmu berbeda dengan orang lain, kau harus berani menderita
berlipat ganda daripada orang lain."
"Tecu mengerti,"
jawab Pwe-giok dengan muram.
Perlahan Thian-kang berpaling
ke sana, di luar daun rontok gemerisik oleh tiupan angin, ketua Kun-lun-pay
yang termasyhur ini se-akan2 merasakan akan datangnya musim rontok yang senyap,
ia bergumam, "Akan hujan lagi! langit selalu datang awan dan angin yang
sukar diramal, kehidupan manusia tidaklah juga demikian adanya? Nak, sampai
matipun kau harus tetap ingat, tiada seorangpun di dunia ini yang dapat
dipercaya sepenuhnya, kecuali dirimu sendiri."
Tiba2 angin meniup, entah
mengapa Pwe-giok jadi merinding. Suasana sedemikian senyapnya, jangan2 inilah
firasat yang tidak baik.
"Nak, kemarilah
kau," kata Thian-kang pula perlahan.
Dengan sikap hormat dan
prihatin Pwe-giok mendekatinya.
Dari kantongan yang dibawanya
Thian-kang mengeluarkan sepotong bola nasi yang dibuat seperti onde2. Diberi
nya onde2 nasi ini kepada Pwe-giok, air mukanya yang kereng itu tersembul
senyuman yang jarang terlihat, katanya, "Makanlah, pada usia semuda kau,
gurumu juga merasakan cepatnya lapar."
Orang tua yang kereng ini
ternyata juga punya rasa kasih sayang. Memandang onde2 nasi di tangannya,
saking terharu hampir saja Pwe-giok mengucurkan air mata. "Dan suhu
sendiri?" ucapnya kemudian.
Thian kang tertawa, katanya,
"Bola nasi ini tidak sembarangan orang dapat memakannya, setelah kau makan
tentu kau tahu apa sebabnya, gurumu!"
"Jika bola nasi itu
sedemikian bernilai, entah boleh tidak Cayhe ikut minta sebagian?"
mendadak seorang menimbrung dengan tertawa.
Tahu2 seorang muncul di luar,
dengan langkah lebar masuk ke dalam kelenteng, dadanya tampak ter-engah2,
senyuman yang menghiasi mukanya juga rada aneh. Cuma cuaca mendung kelam
sehingga tidak begitu jelas kelihatan.
"Mengapa Pangcu menyusul
kemari?" seru Pwe-giok dengan girang setelah mengetahui siapa pendatang
ini.
Dengan mengelus jenggotnya,
Thian-kang juga menyapa, "Pangcu menyusul kemari dengan tergesa2 begini,
kukira pasti bukan untuk minta bagian makanan ini."
"Totiang memang bijaksana
dan tahu segalanya," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Kedatanganku
ini memang ini memperlihatkan sesuatu kepada Totiang."
Ia lantas mengeluarkan sesuatu
barang dan disodorkan ke depan Thian-kang. Benda itu sangat kecil, di ruangan
kelenteng yang gelap ini tidak terlihat jelas.
Terpaksa Thian-kang Totiang
menunduk untuk memeriksa barang itu sambil berkata, "Barang yang diantar
kemari oleh Ang-lian-pangcu secara tergesa-gesa ini pasti benda yang sangat
menarik!"
Belum habis ucapannya,
se-konyong2 tangan Ang-lian hoa terangkat ke atas dan tepat menghantam mata
Thian-kang Totiang.
Pada saat itu juga mendadak
terdengar guntur menggelegar, hujan turun bagai dituang. Pada saat yang sama
pula sinar pedang lantas berkelebat dan menancap di punggung Thian-kang
Totiang.
Thian-kang meraung sambil
menghantam dengan sebelah tangannya. Tapi Ang-lian hoa sempat melompat mundur,
angin pukulan yang dahsyat menghantam altar patung hingga berantakan, patung
besarpun sama ambruk.
Muka Thian-kang berlumuran
darah, rambut dan jenggotnya se-akan2 kaku berdiri, teriaknya dengan parau,
"Ken! kenapa kau!" belum habis ucapannya, robohlah dia terkapar.
Di luar hujan turun semakin
deras, pedang yang menancap di punggung ketua Kun-lun-pay itu tampak masih
bergetar.
Terkesiap Pwe-giok oleh
kejadian itu, bola nasi yang dipegangnya juga terjatuh. Ang-lian hoa berdiri
mepet dinding sana, dadanya naik-turun dengan napas ter-engah2, air mukanya
juga berubah pucat. Tapi Pwe-giok masih dapat diselamatkan, betapapun
kedatangannya belum terlambat.
Terlihat Cia Thian-pi lantas
melayang masuk, serunya dengan tertawa, "Betapapun kedatangan kita masih
keburu dan sekali turun tangan lantas berhasil."
"Mestinya jangan kau
binasakan dia, harus kita tanyai lebih dulu," ujar Ang-lian hoa dengan
menyesal.
"Tanya apalagi?"
kata Cia Thian-pi. "Kalau ditanyai mungkin akan!"
Mendadak Pwe-giok meraung
murka, teriaknya dengan parau, "Apa2an kalian ini? Mengapa kalian
membunuhnya?"
"Jika dia tidak dibunuh,
dia yang akan membunuh kau!" kata Thian-pi.
Kejut dan kesima Pwe-giok,
ucapnya, "Meng! mengapa?..."
"Kelak kau tentu akan
tahu sendiri," ujar Cia Thian-pi, lalu ia tarik tangan Pwe-giok dan
berkata, "Komplotan jahat ini pasti ada begundalnya di sekitar sini,
siaute akan berangkat dulu bersama dia, harap Pangcu merintangi mereka, nanti
Siaute akan balik lagi untuk membantu."
Karena tangannya dipegang,
tanpa kuasa Pwe-giok ikut terseret pergi.
Ang-lian hoa lantas berdiri di
ambang pintu kelenteng dan bergumam, "Hayolah maju, akan kutunggu kalian
di sini!"
Hujan angin tambah keras,
cuaca tambah kelam. Ang-lian hoa mencabut pedang yang menancap di punggung
Thian-kang Totiang itu.
Kembali guntur menggelegar
pula. Darah menetes dari ujung pedang. Air muka Ang-lian hoa mendadak berubah
pucat, tubuhnya serasa lemas, ia terhuyung-huyung dan menumpahkan darah.
* * *
Dalam pada itu Pwe-giok telah
diseret pergi oleh Cia Thian-pi, mereka berlari di bawah hujan lebat, dengan
langkah agak sempoyongan Pwe-giok bertanya, "Ken… kenapa?"
"Thian-kang Totiang itu
adalah samaran komplotan jahat," kata Cia Thian-pi. "Apa yang
dilakukannya itu ialah ingin mencelakai kau. Bola nasi yang diberikan padamu
itu adalah racun yang tak dapat ditolong!"
"Apa betul?" teriak
Pwe-giok terkejut.
"Sekalipun mungkin aku
menipu kau, apakah Ang-lian pangcu juga akan menipu kau?" kata Cia
Thian-pi.
"Tapi dia… dia…"
mendadak Pwe-giok ingat kejadian jatuh ke dalam sumur tadi, apa benar
Thian-kang Totiang bermaksud mencelakai dia? Tapi sikapnya yang kereng dan
berwibawa itu masa dapat dipalsukan?
Hati Pwe-giok terasa kusut,
tanpa kuasa tubuhnya ikut terseret berlari ke depan. Se-konyong2 ia merasa
tangan Cia Thian-pi yang menariknya itu sangat dingin, sungguh dingin luar
biasa, tanpa terasa ia menggigil dan berkata, "Mengapa tanganmu sedemikian
aneh?"
"Kau bilang apa?"
tanya Cia Thian-pi sambil menoleh.
Pwe-giok pandang wajah orang
dan menjawabnya, "Kubilang! hei!" mendadak ia meraung. "Kau! kau
inilah palsu! kukenal matamu!"
Belum habis ucapannya, ia
merasa beberapa hiat-to pada tangannya sudah tertutuk, tubuhnya lantas
dilemparkan oleh Cia Thian-pi.
"Hehe.. anggaplah kau
memang pintar, tapi orang pintar justeru mati terlebih cepat!" kata Cia
Thian-pi sambil menyeringai, ia angkat kakinya terus menginjak ke dada Pwe-giok
yang jatuh tersungkur di tengah lumpur itu.
Lengan kanan Pwe-giok serasa
kaku semua, ingin mengelak pun tidak sanggup lagi. Untung tangan kirinya masih
dapat bergerak, secepat kilat ia pegang ujung kaki Cia Thian-pi. Walaupun
pembawaan tenaga Ji Pwe-giok sangat kuat, apa daya, saat ini dia seperti anak
panah yang sudah jauh meluncur dan tinggal jatuh lemas ke tanah.
Cia Thian-pi masih menyeringai
dan kakinya tetap ingin menginjak ke bawah, ucapnya, "Hayolah tahan
sekuatnya, ingin kulihat sampai berapa lama kau mampu bertahan!"
Ruas tulang Pwe-giok terasa
gemertak, air hujan berhamburan di mukanya, hampir2 tidak sanggup membentangkan
matanya, sedangkan injakan Cia Thian-pi terasa semakin berat. Ia menggertak
gigi dan bertahan sekuatnya, teriaknya dengan parau, "Kiranya kau yang
membunuh ayahku! Susah payah kucari kau!"
"Hehehe… dan sekarang
sudah kau temukan diriku, bukan?" jawab Cia Thian-pi dengan ter-kekeh2.
"Tapi apa yang dapat kau lakukan? Ayahmu mati di tanganku, sebaliknya kau
akan mati di bawah kakiku!"
Lengan Pwe-giok serasa hampir patah,
sebaliknya kaki Cia Thian-pi semakin berat seperti bukit menindih. Dia bertahan
sekuatnya, tapi jelas tiada harapan lagi. Betapa dia tersiksa oleh injakan kaki
musuh, sungguh ia ingin lepas tangan dan pasrah nasib. Dengan demikian segala
duka nestapa, segala siksa derita, semuanya takkan menimpa dirinya lagi.
"Hayolah tahan yang
kuat!" demikian Cia Thian-pi berteriak sambil tertawa latah. "Apakah
kau sudah kehabisan tenaga? Wahai Ji Pwe-giok, setelah mati janganlah kau
menyesal padaku. Meski kita tiada permusuhan apa2, tapi kematianmu akan membuat
hidup orang lain jauh lebih nikmat dan bahagia!"
Pwe-giok merasa pandangannya
mulai kabur dan gelap, tenggorokan terasa anyir, akhirnya tak tahan lagi, darah
segar tersembur keluar dan mengotori baju Cia Thian-pi.
Sambil menyeringai kaki Cia
Thian-pi terus menginjak sekerasnya, pada saat itulah mendadak terdengar suara
mendenging tajam menyambar dari belakang.
Dengan daya pantulan
injakannya itu cepat Cia Thian-pi meloncat ke atas, ia berjumpalitan di udara,
lalu turun di kejauhan sana.
Terlihat di bawah hujan lebat
sana melayang sesosok bayangan orang seperti badan halus, mukanya kaku tanpa
emosi, tapi sorot matanya merah membara. Siapa lagi dia kalau bukan Ang-lian
hoa.
Suara mendenging tajam tadi
adalah sambaran pedang yang ditimpukkan, pedang itu akhirnya menancap pada
batang pohon dan ambles hampir setengah pedang, dari sini dapat diketahui
betapa pedih dan gemas hati Ang-lian hoa.
Air muka Cia Thian-pi tampak
berubah pucat, tapi ia tetap bersikap tenang dan menyapa, "Kenapa Pangcu
sudah menyusul tiba, apakah kawanan penjahat sudah dihalau pergi?"
Seperti berapi sorot mata
Ang-lian hoa, ia tatap orang dengan tajam, tanyanya sekata demi sekata,
"Siapa kau sebenarnya!?"
"Aku… Siaute…" Cia
Thian-pi menjawab dengan gelagapan dan menyurut mundur setindak demi setindak.
"Hm, mirip benar
penyamaran mu, sungguh teramat mirip, sebentar harus ku sayat mukamu secuil
demi secuil, ingin ku tahu mengapa penyamaranmu bisa begini mirip!" kata
Ang-lian hoa. Suaranya dingin seram, jauh lebih menakutkan daripada suara
raungan murka. Siapapun percaya, apa yang dikatakan Pangcu kaum jembel ini
pasti akan dilaksanakannya.
Keruan Cia Thian-pi merasa
ngeri, tapi mendadak ia bergelak tertawa, serunya, "Hahaha, bagus, Ang-lian
hoa, tak tersangka akhirnya kau tahu juga. Dengan jerih payah tiga tahun
kubelajar merias, kuyakin sudah dapat berlagak serupa benar dengan Cia
Thian-pi. Kukira biarpun dia sendiri juga sukar membedakan mana yang asli dan
mana yang palsu. Tapi kau, cara bagaimana dapat kau pecahkan penyamaranku
ini?"
"Pedangmu itu," kata
Ang-lian hoa. "Setiap anak murid Tiam-jong-pay tidak mungkin menggunakan
pedang begitu, lebih2 tidak nanti membuang pedangnya begitu saja. Mungkin kau
lupa istilah yang dipatuhi setiap anak murid Tiam-jong, yaitu "Pedang ada
orang ada, pedang hilang orang gugur."
Cia Thian-pi melenggong,
serunya kemudian, "Ah, kiranya langkah ini telah kulupakan. Wahai Ang-lian
hoa, engkau memang luar biasa, pantas Cusiang kami bilang engkau ada tokoh
nomor satu yang paling sulit direcoki."
"Si.. siapa Cusiang
kalian?" tanya Ang-lian hoa dengan gregetan.
"Selamanya takkan
diketahui olehmu," jawab Cia Thian-pi sambil tertawa latah. "Bilamana
nanti kau tahu, saat itu pula mungkin jiwamu akan melayang. Biarpun tokoh yang
beribu kali lebih kuat daripadamu juga sukar menandingi satu jari Cusiang
kami."
"Hehe.. memang betul,
selama beratus tahun ini di dunia Kangouw memang tiada seorangpun yang terlebih
licik, licin dan keji seperti dia," kata Ang-lian hoa dengan tersenyum
pedih.
"Dunia Kangouw yang akan
datang akan menjadi dunianya Cusiang kami," teriak Cia Thian-pi dengan
bengis. "Ang-lian hoa, kau adalah orang pintar, coba pikirkan baik2, apa
yang akan kau lakukan?"
Ang Lian-hoa maju beberapa
langkah ke arahnya dan berkata: "Aku ingin membunuhmu. Saat ini, yang aku
ingin lakukan hanyalah membunuhmu."
Cia Thian-pi berkata:
"Tugasku adalah membunuh Ji Pwe-giok, oleh karena itu aku harus membunuh
Thian-kang totiang. Tetapi jangan lupa, engkau adalah komplotanku, kalau kau
ingin membunuhku engkau juga harus menghukum dirimu sendiri."
Ang Lian-hoa berkata dengan
menyesal: "Itu adakah kesalahan terbesar selama hidupku. Begitu bodohnya
aku mempercayaimu. Aku akan menghukum diriku sendiri kelak di kemudian hari.
Tapi engkau...engkau..."
Secepat kilat Ang Lian-hoa
menyerang dengan kepalan 3, 4 jurus. tidak banyak orang di dunia persilatan
yang pernah bertempur dengan Ang Lian-hoa. Sekarang Cia Thian-pi menyadari
bahwa ketua Kay-pang yang masih muda ini mempunyai jurus kepalan dan telapak
tangan yang hebat. Setiap jurusnya dilambari kekuatan tenaga dalam yang penuh.
Terlebih-lebih saat ini dia
menyalurkan kemarahannya ke kepalan dan telapak tangannya. Kekuatannya sangat
menggiriskan hati orang-orang.
Ji Pwe-giok kini berteriak:
"Engkau tidak boleh membunuhnya!"
Ang Lian-hoa dan Cia Thian-pi
sama-sama dikejutkan dengan teriakannya itu. Ang Lian-hoa bertanya dengan
marah: "Mengapa aku tidak boleh membunuhnya?"
Ji Pwe-giok menggunakan tangan
kirinya untuk membebaskan 3 titik jalan darahnya yang tertotok dan berdiri. Dia
nampak sangat pucat dan matanya memancarkan sinar kebencian. Pemuda yang
biasanya nampak rapuh dan lembut ini kini telah berubah menjadi seorang yang
beringas.
Ji Pwe-giok berkata dengan
lantang: "Bangsat licik ini tidak hanya telah membunuh ayahku, dia juga
telah membunuh guruku. Hanya aku yang boleh membunuh bajingan ini!"
Ang Liang-hoa tersenyum
nyengir: "Baiklah, dia milikmu sepenuhnya."
Ji Pwe-giok merangsek ke Cia
Thian-pi. Ang Lian-hoa melihat langkah kakinya tidak stabil dan gerakannya
lambat, jelas pikiran dan tenaganya sangat terganggu.
"Kau masih mengawasi di
samping, kenapa dia harus hati2 segala?!" jengek Cia Thian-pi
Dengan menggertak gigi
Pwe-giok berteriak pula, "Hari ini harus kubunuh kau dengan tanganku
sendiri, siapapun tidak boleh membantuku!"
Semangat Cia Thian-pi
terbangkit, ia tertawa latah dan berkata, "Bagus, jantan sejati! Ucapan
seorang lelaki harus dipegang teguh!"
Sembari bicara sembari
bertempur, berbareng iapun menyurut mundur, pada suatu kesempatan mendadak ia
mencabut pedang yang menancap di batang pohon, "sret" kontan ia
menabas ke depan, ber-turut2 ia menusuk dan menabas tujuh kali.
Serangan mendadak dan secepat
kilat ini jelas bukan ilmu pedang Tiam-jong-pay, tapi keganasan dan kekejiannya
bahkan di atas ilmu pedang Tiam-jong.
Pwe-giok tidak gentar, ia
hadapi serangan musuh dengan serangan yang sama ganasnya, ia bertempur dengan
kalap, betapapun serangan kilat Cia Thian-pi menjadi terdesak oleh terjangan
Pwe-giok yang nekat itu.
"Sret-sret-sret",
tahu-tahu baju Pwe-giok tergores robek tiga tempat, darahpun tampak merembes
keluar dari pundaknya, tapi hanya sekejap saja darah sudah lenyap diguyur air
hujan.
Ang Lian-hoa ikut
berdebar-debar menyaksikan pertarungan sengit itu, butiran keringat memenuhi
dahinya. Sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ada pertarungan
sengit seperti sekarang ini. Mendadak ia menemukan pemuda yang berwatak keras
ini meski setiap hari tutur-katanya lembah lembut tapi dikala bertempur
ternyata gagah perkasa luar biasa, sungguh pahlawan yang belum pernah
dilihatnya.
Setiap orangpun dapat melihat
bahwa meski semangat tempur Ji Pwe-giok belum runtuh, namun apa daya, maksud
ada, tenaga tak sampai.
Tapi dalam keadaan demikian
bilamana ada orang hendak membantunya, pemuda yang berwatak keras itu bisa jadi
akan marah dan mungkin akan membunuh diri malah.
Terpaksa Ang Lian-hoa hanya
menghela napas saja dan diam-diam menyesal. Dilihatnya Cia Thian-pi dari
menyerah sudah berubah menjadi bertahan, jelas dia sengaja hendak menguras
habis dulu tenaga Pwe-giok, habis itu baru melancarkan serangan mematikan.
Daya serangan Pwe-giok masih
tetap dahsyat, namun belum dapat membobol pertahanan lawan, sebaliknya tubuhnya
entah sudah bertambah berapa luka pula.
Hujan semakin deras, angin
bertambah kencang, jagat raya ini diliputi kegelapan melulu, inilah cuaca yang
menyeramkan dan menyedihkan, inipun pertarungan maut yang mengerikan. Melihat
Pwe-giok masih terus bertempur dengan mandi darah, sekalipun Ang Liang-hoa
berhati baja juga tidak tahan mengucurkan air mata.
Sekonyong-konyong langkah Pwe
giok terhuyung, bagian dada jadi terbuka. Pucat wajah Ang Lian-hoa, ia menjerit
kuatir. Dalam keadaan demikian, sekalipun dia ingin menolong juga tidak keburu
lagi.
Terlihat pedang Cia Thian-pi
telah menusuk ke depan, ke dada Pwe-giok yang tak terjaga itu. Serangan cepat
ganas. Remuk redam hati Ang Lian-hoa, seketika ia cuma memejamkan mata saja, ia
tidak sampai hati untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Sinar kilat berkelebat,
tertampak wajah Cia Thian-pi yang pucat itu penuh diliputi napsu membunuh, ia
menyeringai seram, ia yakin tusukannya itu pasti tidak akan meleset. Tapi
cahaya kilat yang gemerdep itu telah membuat matanya ikut berkedip.
Pada saat itu juga lantas
terdengar suara "bluk" satu kali, entah dengan cara bagaimana kedua
tangan Ji Pwe-giok telah dapat menjepit pedangnya.
Seketika Cia Thian-pi
merasakan pedangnya terjepit oleh sesuatu, seperti terjepit oleh tanggam yang
kuat dan tak dapat bergerak lagi. Menyusul Pwe-giok lantas menggeser maju,
sekali menyikut, "brek", dengan tepat dada Cia Thian-pi kena disodok.
Kontan pandangan Cia Thian-pi
menjadi kabur, sakitnya tidak kepalang, pada saat itulah tangan Pwe-giok juga
lantas melayang tiba, "plok", dengan tepat mukanya kena digampar
sehingga dia tergetar setengah lingkaran.
Menjepit menyikut dan
menggampar, tiga gerakan itu se-akan2 dikerjakan sekaligus dalam waktu sekejap.
Begitu sinar kilat tadi habis berkelebat, lalu menggelegarlah bunyi guruh.
Pwe-giok terus menubruk maju
lagi, ia rangkul tubuh Cia Thian-pi, kedua lengannya seperti tanggam kuatnya,
tulang dada Cia Thian-pi tergencet seakan-akan remuk seluruhnya, ingin bersuara
saja tidak mampu.
Air muka Cia Thian-pi dari
pucat berubah menjadi kemerahan dan kembali pucat pula, sedangkan muka Pwe-giok
juga pucat seperti mayat, kedua tangannya mengunci tubuh musuh dengan kuat,
terdengar suara napas Cia Thian-pi mulai megap-megap, lalu menjadi lemah,
menyusul lantas terdengar suara "gemeretak", tulang dadanya sama
patah.
Tidak kepalang kagum dan
girang Ang-lian-hoa, baru sekarang ia sempat berseru: "Jangan dibunuh
dulu, harus kita tanyai sejelasnya."
Pelahan Pwe-giok melepaskan
kedua tangannya, lalu menyurut mundur dengan sempoyongan seakan-akan roboh, ia
menengadah dan tertawa, serunya: "Akhirnya sudah kulaksanakan .... sudah
kulaksanakan..."
Tubuh Cia Thian pi lantas
terkulai dengan lemas dan tak bergerak lagi.
Ang-lian-hoa menarik tangan
Pwe giok, dengan berseri-seri ia berkata: "Apakah jurus ini adalah
kepandaian Ji-locianpwe yang pernah menggetarkan dunia Kangouw di masa lalu,
yaitu jurus Leng-yang-kua-kak (kambing benggala menggaet tanduk), jurus
serangan maut andalan Bu-kek-pay?"
Pwe-giok tersenyum pedih,
jawabnya: "Tapi selama hidup ayah belum pernah mencelakai orang dengan
jurus serangan ini, sebaliknya sekarang Siaute ...." mendadak ia menunduk,
butiran air pun berderai, entah air hujan, entah air mata?
"Sungguh jurus serangan
yang aneh dan lihay!" ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Jurus
serangan ini sungguh sukar dicari cirinya dan timbul dalam keadaan kepepet.
Ilmu sakti kaum Cianpwe sungguh luar biasa, sekarang barulah mataku benar-benar
terbuka."
Dia menepuk pundak Pwe giok,
lalu berseru pula dengan tertawa: "Kau sendiri memiliki ilmu sakti ini,
mengapa tidak sejak tadi kau keluarkan sehingga membikin aku kuatir
bagimu?"
"Siaute . ... Siaute ....
" Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, mendadak ia jatuh mendekap
Ang-lian-hoa, nyata ia telah kehabisan tenaga, sampai berdiri saja tidak kuat.
Cepat Ang-lian-hoa
mengeluarkan sebiji obat dan dijejalkan ke mulut Pwe-giok, katanya:
"Inilah Siau-hoan-tan Kun-lun-pay yang terkenal, khasiatnya menambah
tenaga dan menimbulkan semangat, obat yang tiada bandingannya di dunia ini."
Mulut Pwe giok terasa sedap
dan harum, serunya: "Siau-hoan-tan katamu? Obat yang sukar dicari ini
mengapa .... mengapa kau berikan padaku?"
Ang-lian-hoa terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan sedih: "Obat ini bukan aku yang memberikan padamu,
tapi Thian-kang Totiang . ..."
"Suhu?" Pwe giok
melengak. "Dia..... beliau mengapa . . . . "
"Obat ini kukeluarkan
dari bola nasi yang kau terima dari orang tua itu," tutur Ang-lian-hoa
dengan gegetun. "Semula kukira di dalam bola nasi itu ada racunnya, siapa tahu
. . . siapa tahu . . . ."
Pwe giok tertunduk muram
dengan air mata bercucuran, katanya: "Pantas beliau bilang bola nasi ini
tidak dapat dimakan sembarang orang. Cia Thian-pi, kau jahanam, kau bangsat!. .
.. " Dengan gemas ia berpaling ke sana, tapi mendadak air mukanya berubah
pucat pula.
Mayat Cia Thian-pi masih
terkapar di pecomberan sana, tapi kepalanya sudah tidak kelihatan lagi. Padahal
sejak tadi hujan masih turun dengan lebatnya, di sekitar sini tiada terlihat
bayangan orang lain, lalu ke mana perginya kepala Cia Thian-pi?
Ang-lian-hoa dan Ji Pwe-giok
saling pandang dengan bingung. Kalau kepala Cia Thian-pi dipenggal orang, hal
ini tidak mungkin terjadi. Bila dikatakan kepalanya tidak dipotong orang, lalu
apakah kepalanya dapat terbang sendiri?
Cerdik dan pandai
Ang-lian-hoa, masih muda belia sudah mengetuai sebuah organisasi terbesar di
dunia ini, boleh dikatakan tokoh muda yang tiada taranya di jaman sekarang,
Tapi meski dia sudah peras otak, tetap sukar memecahkan teka-teki ini.
Setelah melenggong sejenak,
ketika ia menunduk dan memandang lagi hanya sekejap itu bagian pundak dan dada
Cia Thian-pi ternyata sudah lenyap pula.
Mendadak Ang-lian-hoa menepuk
pundak Pwe-giok dan berseru: "Aha, tahulah aku!"
"Kau tahu?" Pwe-giok
menegas.
"Coba berjongkok dan
periksalah yang teliti," kata Ang-lian-hoa.
Waktu Pwe-giok melongok pula
ke bawah, dilihatnya mayat Cia Thian-pi itu sedikit demi sedikit telah
membusuk, darah daging yang merah segar itu secara aneh berubah menjadi cairan
kuning, lalu lenyap diguyur air hujan.
Pwe-giok merasa mual dan
hampir saja tumpah-tumpah, cepat ia berpaling ke arah lain dan menarik napas
dalam-dalam, katanya kemudian: "Jangan-jangan inilah Hoa-kut-tan (obat
pemusnah tulang) yang tersiar di dunia Kangouw itu?"
"Ya, betul," jawab
Ang-lian-hoa. "Rupanya dia tahu pasti akan mati, maka dia rela melebur
dirinya menjadi cairan."
"Tapi kedua tangannya
sudah patah tergencet, cara bagaimana dia dapat mengambil obatnya?" tanya
Pwe-giok pula.
"Mungkin sebelumnya
Hoa-kut-tan itu sudah dikulum di dalam mulutnya, setelah menyadari akan
kematiannya, kapsul obat lantas dikunyahnya. Kalau Hoa-kut-tan itu masuk darah,
segera terjadi pembusukan. Ai, dia lebih suka menerima nasib demikian daripada
membocorkan rahasia komplotannya, sebab dia tahu hanya orang mati saja yang
benar-benar tidak dapat membocorkan lagi sesuatu rahasia.
"Tak tersangka, orang ini
pun jantan sejati," kata Pwe-giok.
"Salah besar jika
demikian pendapatmu," ujar Ang-lian-hoa dengan tersenyum getir.
"Yang benar, dia tidak
berani membocorkan rahasia komplotan jahat mereka, sebab kalau sampai
rahasianya diketahui orang luar, maka kematiannya akan jauh lebih mengerikan
daripada sekarang ini."
"Betul, tampaknya mereka
semuanya begitu, lebih baik mati daripada membocorkan rahasia mereka,"
ujar Pwe-giok.
"Tapi siapakah sebenarnya
pimpinan mereka? Mengapa dapat membuat orang-orang ini sedemikian takut
padanya?.....Mati, hal ini sebenarnya cukup menakutkan setiap orang di dunia
ini. Masa pimpinan mereka ini jauh lebih menakutkan daripada soal
"mati" ?"
"Dia memang benar lebih
menakutkan daripada mati," gumam Ang-lian-hoa. "Saat ini aku pun tak
dapat membayangkan betapa menakutkannya dia itu..."
"Ah, betul," seru
Pwe-giok mendadak seperti menemukan sesuatu, "sebabnya Cia Thian-pi ini
bertindak nekat, jelas karena dia tahu bila orang sudah mati, maka tidak
mungkin lagi dapat membocorkan sesuatu rahasia, tapi kalau dia sendiri mati toh
tetap rahasianya bisa terbongkar, kalau tidak, mengapa dia mesti melebur
tubuhnya sendiri hingga menjadi cairan?"
"Orang mati juga dapat
membocorkan rahasia, maksudmu?" gumam Ang-lian-hoa sambil berkerut kening.
"Ya, orang mati terkadang
juga dapat membocorkan rahasia!" ucap Pwe giok tegas, sekata demi sekata.
"Rahasia apa?" tanya
Ang-lian-hoa.
"Rahasia
penyamarannya!" jawab Pwe-giok.
Ang-lian-hoa melenggong,
sejenak kemudian ia menepuk jidat sendiri dan berseru: "Aha, memang betul.
Dia kuatir setelah mati mukanya dapat kita kenali, sebab inilah rahasia mereka
yang terbesar."
"Justeru lantaran kuatir
rahasia mereka ini bocor, maka pimpinan komplotan jahat ini menyiapkan
Hoa-kut-tan bagi mereka, bila perlu, bukan jiwa mereka saja harus melayang,
mayat mereka pun harus dilenyapkan!" seru Pwe-giok dengan menggreget dan
meremas tangan Ang-lian-hoa, lalu sambungnya pula: "Sekarang ku tahu,
sedikitnya ada enam orang yang kuketahui adalah palsu di dunia ini, kecuali
diriku sendiri ternyata tiada orang lain lagi yang mau percaya dan dapat
melihat kepalsuan mereka. Yang mengerikan adalah, kecuali ke enam orang yang
sudah kuketahui itu masih ada berapa orang pula yang dipalsukan? Inilah yang
sulit diketahui dan benar-benar mengerikan."
Air muka Ang-lian-hoa juga
guram seperti cuaca yang mendung ini. Sebenarnya dia seorang tokoh yang
periang, jarang ada persoalan yang dapat membuatnya sedih dan bingung. Tapi
sekarang, hatinya benar-benar tertekan dan agak cemas.
Dengan suara gemetar Pwe-giok
berucap pula: "Umpamanya kalau sanak-kadangmu, sampai ayahmu sendiri pun
bisa jadi anggota komplotan jahat itu, lalu di dunia ini siapa pula yang dapat
kau percayai? Dan kalau di dunia ini sudah tiada seorang pun yang dapat kau
percayai, apakah engkau masib sanggup hidup terus? Bukan .... bukankah
peristiwa ini tidak dapat kau bayangkan?!"
"Cia Thian-pi palsu sudah
mati, sekarang tinggal siapa-siapa saja anak buah komplotan jahat itu yang
palsu?" tanya Ang-lian-hoa dengan tenang.
"Ong Uh-lau, Lim
Soh-koan, Ong Liong-ong dari Thay-oh, Sim Cin-jiang, Sebun Bu-kut dan dan orang
yang mengaku she Ji itu, sebab ku tahu dengan pasti ke enam orang ini
sesungguhnya sudah meninggal semua.""
Ang lian-hoa menghela napas
panjang, katanya: "Kecuali ke enam orang ini, mungkin tidak banyak lagi
yang dipalsukan."
"Cara bagaimana kau
berani memastikannya?" "Sebab hal ini bukan tindakan yang mudah.
Untuk memalsukan pribadi seseorang dan harus dapat mengelabui mata-telinga
orang banyak, sedikitnya diperlukan waktu latihan bertahun-tahun lamanya, kalau
tidak, biarpun mukanya serupa, tapi suaranya, gerak geriknya, sikapnya, tetap
akan diketahui orang. Apalagi ilmu silatnya..."
"Aha, betul, ilmu
silatnya!" seru Pwe-giok.
"Jika mereka hendak
memalsukan pribadi seseorang, mereka juga harus mahir menirukan ilmu
silatnya."
Habis berkata mendadak ia
putar tubuh dan berlari ke sana.
Namun Ang-lian-hoa keburu
melompat dan menghadang di depannya, ucapnya dengan tenang: "Leng yang-koa
kak, betul tidak?"
"Betul, jurus serangan
ini kecuali kami ayah dan anak, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu
memainkannya," seru Pwe-giok.
"Jika orang yang mengaku
she Ji itu tidak mampu memperlihatkan jurus serangan khas ini, maka terbuktilah
kepalsuannya."
"Gagasan ini memang suatu
cara yang bagus," ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun.
"Cuma sayang, perangai
ayahmu membuat gagasanmu ini menjadi tiada gunanya."
"Sebab apa?" tanya
Pwe giok.
"Kau tahu perangai yang
ramah dan sabar, arif dan bijaksana, setiap orang Bu-lim tahu budi ayahmu yang
luhur. Sekarang coba jawab, andaikan beliau masih hidup, adakah orang yang
dapat memaksa beliau mengeluarkan ilmu simpanannya yang khas ini?"
Sampai lama Pwe-giok
melenggong, akhirnya ia jatuh terduduk.
—0O0— —0O0—
Disiram oleh air hujan lebat,
mayat "Cia Thian-pi" itu sudah hilang tak berbekas lagi. Dia telah
lenyap dari muka bumi ini, tapi sesungguhnya siapa dia?
Di dunia ini sebenarnya tiada
Cia Thian pi kedua, jika demikian, yang baru saja lenyap ini kan seharusnya
memang tidak ada. Berpikir demikian, Ang-lian-hoa tidak tahu harus menangis
atau mesti tertawa. Sungguh ia tidak berani memikirkannya lagi, bilamana
hal-hal demikian banyak dipikir, sungguh bisa membikin gila.
Dipandangnya tempat mayat yang
sudah bersih itu, gumamnya: "Pembunuh Thian kang Totiang sudah mati, tapi
kalau dibicarakan, siapakah gerangan pembunuhnya, siapa yang dapat membuktikan
beradanya si pembunuh ini?"
Melihat sikap Ang-lian hoa
yang cemas itu, Pwe-giok jadi merinding, katanya kemudian: "Engkau juga
tidak perlu..."
"Jangan kuatir,"
seru Ang-lian-hoa dengan tertawa, "meski ada maksudku akan menebus dosa
tapi tidak nanti kutebus kesalahanku dengan kematian. Aku masih ingin hidup
terus, tidak nanti kupenuhi kehendak mereka."
Pwe-giok merasa lega, katanya:
"Ya, kutahu engkau bukan manusia biasa, engkau memang lain daripada yang
lain."
Ang-lian-hoa menengadah,
membiarkan air hujan menuang ke mukanya, katanya pula dengan pelahan:
"Sekarang, ada suatu urusan mau-tak mau harus kukerjakan."
"Engkau akan pergi ke
Kun-lun-san?" tanya Pwe-giok dengan tatapan tajam.
"Anak murid Kun-lun
berhak mengetahui berita duka Thian-kang Totiang dan aku berkewajiban
menyampaikan berita ini kepada mereka!"
"Tapi pekerjaan di sini
juga tidak boleh di tinggal pergi olehmu," ujar Pwe-giok dengan suara
berat. "Perjalanan ke Kun-lun biarlah kuwakilkan kau ke sana."
Di antara mereka tiada lagi
kesungkanan, tiada tolak menolak, tiada percakapan yang tidak perlu, juga tidak
ada duka-cita yang tidak perlu, lebih-lebih air mata yang tidak perlu. Sebab
keduanya sama-sama lelaki sejati, sama-sama jantan perkasa. Keduanya berdiri
berhadapan di bawah curahan hujan.
"Baiklah, pergilah
kau," kata Ang lian-hoa kemudian. "Tapi kau harus hati-hati, urusan
yang tidak perlu ikut campur hendaklah jangan ikut campur. Jangan lupa, jiwamu
sekarang jauh lebih bernilai daripada jiwa orang lain."
"Kutahu," jawab
Pwe-giok singkat. Dilihatnya pedang tadi, dijemputnya dan disisipkan pada ikat
pinggang, bisa jadi di tengah jalan pedang itu akan berguna.
Tiba-tiba Ang-lian-hoa tertawa
dan berkata pula: "Ah, lupa kuberitahukan sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya
Pwe-giok dengan nada was-was.
"Urusan baik" kata
Ang lian-hoa "Tentang bakal istrimu, Lim Tay-Ih, kau tidak perlu berkuatir
lagi baginya."
Entah mengapa, bila menyebut
nama Lim Tay-ih, seketika sikap Ang Lian-hoa berubah kikuk, biarpun tertawa
juga tertawa setengah dipaksakan.
Dengan sendirinya Pwe-giok
tidak memperhatikan sikap orang, ia bertanya: "Sebab apa? Adakah
dia...."
"Saat ini dia telah
berada di bawah lindungan seorang tokoh yang paling sulit direcoki di seluruh
dunia ini."
"Ya, di bawah
perlindungan Ang lian pangcu, memangnya apa yang perlu kukuatirkan lagi?"
Sikap Ang Lian-hoa berubah
pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa: "Kau jangan salah tampa,
bukan diriku."
"Orang yang paling sulit
direcoki di dunia ini siapa lagi kalau bukan dirimu? Apa Jut-tun Totiang?"
"Nama orang ini mungkin
tidak lebih terkenal daripada Jut-tun Totiang, tapi orang lain andaikan berani
merecoki Jut-tun Totiang tentu juga tidak berani mengusik orang ini."
"Aha, bunga paling cantik
ialah Hay-hong" seru Pwe-giok.
Ang lian-hoa berkeplok,
katanya: "Betul, memang dia. Agaknya iapun melihat sesuatu yang tidak
beres, maka iapun ikut campur. Kalau dia sudah menangani sesuatu urusan, tidak
nanti ditinggalkannya setengah jalan."
"Wah, tampaknya
persoalannya tidak sederhana sebagaimana kita sangka, masih banyak orang lagi
yang...."
"Wah, celaka! Aku
melupakan sesuatu lagi!" teriak Ang Lian-hoa mendadak.
"He, urusan baik atau
buruk?" tanya Pwe-giok.
"Cia Thian-pi palsu
muncul di sini, jangan-jangan Cia Thian-pi yang tulen telah mengalami nasib
buruk, harus lekas ku pergi menjenguknya!" belum habis ucapannya tahu-tahu
Ang Lian-hoa sudah melayang pergi secepat terbang.
Memandangi kepergian ketua
kaum jembel yang muda dan perkasa itu, Pwe-giok menghela napas panjang, ya
kagum, ya terharu, ya berduka.....
-oOo-
Hujan sudah mereda, tapi belum
berhenti, masih gerimis. Anginpun masih meniup, bahkan tambah dingin.
Dengan langkah berat Pwe giok
meneruskan perjalanan, hari depannya terasa guram, sama seperti cuaca yang
kelam sekarang ini, sekonyong-konyong terdengar derapan kuda lari yang riuh.
Tujuh atau delapan penunggang kuda membedal lewat, air jalanan yang kotor
menciprati tubuh Ji Pwe giok. Namun pemuda itu sama sekali tidak perduli,
mengangkat kepala saja tidak.
Tak terduga, baru saja barisan
pemuda itu lewat seseorang mendadak melayang balik dari kudanya dan menubruk ke
arah Pwe-giok.
Dengan terkejut Pwe-giok
menyurut mundur dan orang itupun turun di depannya. Dilihatnya orang ini
berpakaian hitam ketat dan basah kuyup oleh air hujan. Sorot matanya tajam,
jelas dikenalnya sebagai pemuda anggota Tiam-jong-pay itu.
Tergerak hati Pwe-giok
teringat olehnya ucapan Ang-lian-hoa tadi, tanpa terasa ia berkata:
"Jangan-jangan... jangan-jangan terjadi sesuatu atas diri
Cia-tayhiap"
Murid Tiam-jong-pay itu
sebenarnya sedang memberi hormat, demi mendengar ucapan Pwe-giok itu, mendadak
ia mengangkat kepalanya dan bertanya: "Darimana Ji-kongcu mendapat
tahu?"
"0, aku....aku...."
Pwe giok menjadi gelagapan dan tak dapat menjawab.
Murid Tiam-jong-pay itu
menarik muka, katanya dengan suara bengis: "Waktu melihat Ji-kongcu,
sebenarnya Tecu hendak menyampaikan berita duka, tak tersangka Ji-kongcu
ternyata sudah tahu lebih dulu, bukankah sangat aneh?"
"Ah, Cayhe cuma omong
iseng saja," ujar Pwe-giok dengan tersenyum kecut.
Murid Tiam-jong-pay itu
menjengek: "Semalam Ciangbunjin kami baru lenyap dan hingga kini belum
diketahui jejaknya, kejadian inipun baru dilaporkan kepada Jut-tun Totiang dan
Thian-in Taysu pada siang tadi, sedangkan Ji-kongcu sudah berangkat pagi-pagi,
darimanakah engkau mendapat tahu malah?"
Nadanya ternyata tajam dan
mendesak, seakan-akan menganggap Ji Pwe-giok ada sangkut-pautnya dengan
persoalan ini. Beberapa penunggang kuda tadi juga sudah putar balik, mereka
sama melototi Pwe-giok dengan pandangan sangsi dan benci.
Pwe-giok menghela napas,
katanya kemudian: "Bisa jadi, Cia-taihiap hanya keluar untuk
berjalan-jalan saja. mungkin pula bertemu dengan sahabat dan diajak pergi.
Dengan ilmu silat Cia-tayhiap yang tinggi, kuyakin beliau sanggup menjaga
dirinya sendiri."
Murid Tiam-jong-pay tadi
berkata pula: "Setiap anak murid Tiam-jong, pedang ada orang ada, pedang
hilang orang gugur. Istilah ini tentu Ji-kongcu pernah mendengarnya. Tapi pagi
tadi kami justeru menemukan pedang Ciangbunjin terjatuh di semak-semak rumput
di luar kemah, apabila tiada kejadian yang luar biasa, rasanya tidak mungkin
Ciangbunjin bertindak seceroboh itu dengan meninggalkan pedangnya di sembarang
tempat."
"Kupikir ini.......
ini......" Pwe-giok jadi gelagapan, mendadak ia merasakan banyak rahasia
yang diketahuinya ternyata sukar diuraikan. Andaikan diceritakan juga orang
lain takkan percaya.
Mendadak salah seorang
penunggang kuda itu menegur: "Saat ini mengapa Ji kongcu berada sendirian?
Ke mana perginya Thian-kang Totiang?"
Seorang lagi ikut berteriak
bengis: "Mengapa keadaan Ji-kongcu juga serba kumal begini? Jangan-jangan
habis bergebrak dengan orang?"
"Di sekitar sini tiada
nampak seorang lain, dengan siapakah Ji-kongcu bertempur?" tanya pula seorang
lain.
Pertanyaan anak murid Tiam
jong-pay itu tiada satu pun dapat dijawab Pwe-giok, betapapun dia tidak dapat
menerangkan bahwa Thian-kang Totiang dibunuh oleh "Cia Thian-pi", ia
pun tak bisa mengatakan bahwa "Cia Thian-pi" itu palsu, sebab
"Cia Thian-pi" itu itu sudah musnah, dengan sendirinya tiada terdapat
lagi seorang "Cia Thian-pi".
Dengan meraba pedangnya murid
Tiam jong pay itu bertanya pula dengan gusar; "Mengapa Ji-kongcu tidak
bicara?"
"Bila kalian menyangsikan
hilangnya Cia-tayhiap ada sangkut-pautnya dengan diriku, maka hal ini sungguh
lucu, apalagi yang dapat kukatakan?"
Air muka murid Tiam jong itu
berubah lebih ramah, katanya: "Jika demikian, sebelum urusan ini menjadi
jelas, sebaiknya Ji-kongcu ikut kami pulang dulu, sebab mungkin ada urusan lain
yang tak dapat Ji-kongcu katakan kepada kami, tapi kepada Bengcu tentu dapat
engkau beberkan sejelas-jelasnya."
"Tidak, aku tidak boleh
kembali ke sana," jawab Pwe giok tegas.
"Mengapa tidak
boleh?" bentak para murid Tiam-jong-pay itu.
"Jika tidak berbuat
sesuatu kesalahan, mengapa tidak berani kembali ke sana?" demikian mereka
berteriak-teriak sambil melompat turun dari kuda masing-masing, semuanya
melolos pedang dan siap tempur.
Murid Tiam-jong-pay yang
menjadi kepala rombongan itu membentak; "Ji Pwe-giok, apa pun juga
alasanmu, kau harus ikut pulang ke sana bersama kami!"
Butiran keringat yang memenuhi
dahi Pwe-giok itu berderai ke bawah diguyur oleh air hujan, tangan dan kakinya
terasa dingin. Belum lagi dia menjawab, mendadak dari kejauhan ada seorang
menjengek: "Ji Pwe giok, kau tidak perlu kembali ke sana!"
Tujuh atau delapan Tojin
berbakiak dan membawa payung tampak berlari datang di bawah hujan. Jelas mereka
adalah murid Kun lun pay.
Murid Tiam-jong-pay tadi
menanggapi dengan suara keren: "Meski orang ini terhitung murid
Kun-lun-pay, tapi dia tetap harus ikut kembali ke sana bersama kami. Selamanya
Tiam jong dan Kun-lun bersahabat, tapi persoalan ini menyangkut mati-hidup
Ciangbunjin kami, maka hendaklah para Toheng tidak marah kepada sikapku yang
kurang sopan ini."
Air muka para Tojin
Kun-lun-pay tampak jauh lebih kelam dan menakutkan daripada murid
Tiam-jong-pay, Tojin yang menjadi kepala rombongan berwajah putih dengan
jenggot yang jarang-jarang, dengan sorot mata yang tajam ia tatap Pwe giok,
katanya: "Tidak perlu kau kembali ke sana, bahkan tidak perlu lagi ke
mana-mana."
Pwe-giok menyurut mundur,
murid Tiam jong-pay tadipun heran, tanyanya: "Apa artinya ucapanmu
ini?"
Pek-bin Tojin atau si Tojin
bermuka putih tersenyum pedih, katanya: "Meski jejak Ciangbunjin kalian
tidak diketahui ke mana perginya tapi Ciangbunjin kami justeru...
justeru...." mendadak "krek", payung jatuh ke tanah, batang
payung telah diremasnya hingga hancur.
Murid Tiam-jong-pay terkejut,
serunya; "Apakah... apakah.... Thian-kang Totiang telah.... telah
wafat..."
"Guru kami telah disergap
orang, telah meninggal tertikam pedang dari belakang," seru Pek-bin Tojin
dengan suara parau.
Terperanjat anak murid
Tiam-jong-pay itu, katanya; "Kungfu Thian-kang Totiang luar-dalam sudah
terlatih sempurna, daun jatuh dalam jarak beberapa tombak saja tak dapat
mengelabui beliau, sungguh kami tak percaya bahwa beliau kena disergap
orang."
Dengan menggereget Pek-bin
Tojin menjawab: "Orang yang menyergapnya dengan sendirinya adalah orang
yang berhubungan sangat rapat dengan beliau, seorang yang tidak pernah
dicurigai beliau, sebab beliau tidak percaya bahwa orang ini ternyata manusia
yang berhati binatang."
Belum habis ucapannya,
berpasang-pasang mata yang beringas sudah melototi Ji Pwe giok, semuanya penuh
rasa gemas dan dendam.
Dengan suara serak Pek Bin
Tojin lantas membentak: "Nah, Ji Pwe Giok, cara bagaimana meninggalnya
Suhu, lekas katakan, lekas!"
"Suhu....
beliau...." seluruh tubuh Pwe Giok bergemetar sehingga tidak sanggup
melanjutkan.
"Beliau mati di tanganmu
bukan?" bentak Pek Bin Tojin pula dengan murka.
Mendadak Pwe Giok mendekap
mukanya dan berteriak dengan parau: "Tidak, aku tidak... matipun aku
takkan menyentuh satu jari beliau ..."
"Creng", belum habis
ucapannya, tahu-tahu pedang yang terselip di pinggangnya itu telah dilolos
orang.
Tangan Pek Bin Tojin memegang
pedang rampasan itu, ujung pedang bergetar dan mengarah ke dada Ji Pwe Giok.
Sorot matanya yang merah membara itu menatap anak muda itu, tanyanya pula
dengan beringas: "Katakan, inikah senjata yang kau gunakan untuk membunuh
guru?"
Pedang ini memang betul adalah
senjata yang digunakan membunuh Thian Kang Totiang itu, cuma pemilik pedang ini
sudah tiada terdapat lagi di dunia ini. Tapi pedang ini sekarang berada pada Ji
Pwe Giok. Lalu apa yang dapat dikatakannya. Hancur perasaan Pwe Giok, setindak
demi setindak ia menyurut mundur.
Ujung pedang juga mendesak
maju setindak demi setindak, meski tajam ujung pedang itu, tapi sorot mata
orang-orang itu rasanya berlipat kali lebih tajam daripada tajam pedang
manapun.
Mendadak Pwe Giok menjatuhkan
diri ke tanah, sambil berlutut ia menengadah, air mata bercucuran, ia berteriak
kalap: "O, Thian! Mengapa engkau memperlakukan diriku sedemikian kejam?
Apakah aku memang harus mati?"
"Trang", mendadak
pedang itu dilemparkan Pek Bin Tojin ke depannya, lalu Tojin itu berkata tegas:
"Hanya ada satu jalan bagimu dan inipun jalan yang paling baik
bagimu!"
Betul, memang cuma inilah
jalan satu-satunya bagi Pwe Giok. Sebab segala persoalan tiada mungkin
dibeberkan dan dijelaskan olehnya. Fitnah yang ditanggungnya tiada satupun yang
betul, tapi semuanya itu seakan-akan lebih betul daripada yang
"betul", sedangkan yang "betul" justru tak dipercaya oleh
siapapun.
Kini satu-satunya orang yang
dapat menjadi saksi baginya hanya Ang-lian-hoa saja. Tapi apakah Ang-lian-hoa
dapat membuat semua orang mau percaya padanya? Dengan bukti apa pula
Ang-lian-hoa akan membelanya?
Dalam keadaan biasa sudah
tentu setiap kata Ang lian-pangcu sangat berbobot, betapapun anak murid Kun-lun
dan Tiam-jong pasti percaya padanya. Tapi sekarang persoalannya menyangkut
mati-hidup ketua mereka, menyangkut pula segala kemungkinan yang terjadi pada
kedua perguruan itu, bahkan menyangkut nasib dunia persilatan umumnya. Cara
bagaimana mereka dapat mempercayai perkataan orang lain, sekalipun orang ini
adalah Ang lian-hoa yang disegani dan dihormati?
Setelah dipikir lagi, Pwe-giok
jemput pedang itu, dia memang tiada pilihan lain, sekali pun ....
Mendadak ia meraung murka,
pedang diputar kencang, dia terus menerjang ke depan.
Sudah tentu anak murid Kun-lun
dan Tiam-jong sama berteriak kaget, keadaan menjadi kacau. Tapi mereka tidak
malu sebagai anak murid perguruan ternama, di tengah kekacauan ada sebagian
sempat melolos pedang dan menyerang.
Terdengar suara "trang
tring" beberapa kali, beberapa pedang sama tergetar mencelat, Pwe-giok
telah melampiaskan rasa gemas dan penasaran pada pedang itu, sekali pedangnya
berputar, sukarlah bagi lawan untuk menangkis.
Sungguh anak murid Tiam jong
dan Kun-lun tidak menyangka anak muda ini memiliki tenaga sakti sehebat ini. Di
tengah kaget dan raung gusar orang banyak, seperti kucing gesitnya Pwe-giok
berhasil menerobos keluar kepungan. Hanya beberapa kali lompatan saja, dengan
Ginkangnya yang tinggi, di bawah hujan serta berkelebatnya kilat, dalam sekejap
saja ia sudah melayang berpuluh tombak jauhnya.
Ia terus berlari seperti
kesetanan, ia melupakan segalanya, yang dipikir hanya lari dan lari terus.
Ia tidak takut mati, tapi ia
tidak boleh mati dengan menanggung penasaran.
Suara bentakan orang banyak
masih terdengar di belakang, suara pengejar itu seperti bunyi cambuk yang
memaksanya harus lari terlebih cepat. Ia pun mengerahkan segenap tenaganya
untuk lari di bawah hujan, air hujan berjatuhan di tubuh dan di mukanya seperti
batu kerikil yang menimbulkan sakit pedas, namun semua itu tak dihiraukan lagi.
Suara bentakan orang akhirnya
tak terdengar lagi, tapi langkah Pwe-giok tidak pernah berhenti, hanya sudah
mulai kendur, makin lama makin lambat, ia masih terus lari dan lari lagi,
mendadak ia jatuh tersungkur.
Sekuatnya ia meronta bangun,
ia terjatuh lagi, pandangannya mulai kabur, hujan lebat berubah seperti kabut
baginya, ia kucek-kucek matanya, tetap tidak jelas pandangannya.
Tiba-tiba ada suara roda
kereta di kejauhan dan juga suara kaki kuda. Darimana datangnya kereta kuda
itu?"
Dalam keadaan samar-samar ia
seperti melihat sebuah kereta sedang berlari kemari, ia meronta dan berusaha
menghindar, tapi ia jatuh lagi, sekali ini ia tidak sanggup bangun pula, ia
jatuh pingsan.
oO 0O0 Oo
Cuaca tambah kelam. Terdengar
suara roda kereta yang gemeretak disertai suara kuda meringkik pelahan Pwe-giok
sudah siuman, ia mendapatkan dirinya sudah berada di dalam kereta. Terdengar
rintik hujan memukul kabin kereta laksana derap kuda berpacu di medan tempur,
seperti genderang bertalu-talu menggebu, suara yang mendebarkan jantung.
Ia menjadi ragu, jangan-jangan
dirinya terjatuh dalam cengkeraman musuh?
Ia meronta bangun, cuaca sudah
kelam, di dalam kereta menjadi tambah gelap. Ada sebuah lentera bergantung di
kabin dan bergoyang-goyang mengikuti guncangan kereta, tapi lentera itu tidak
dinyalakan.
Seputar kabin kereta penuh
tertumpuk sapu, pengki, gentong, tampah dan sebangsanya.
Pwe-giok coba menyingkap
terpal kereta dan mengintip ke depan, terlihat di bagian kusir berduduk seorang
tua bermantel ijuk dan bertopi caping, meski tidak jelas mukanya, tapi
kelihatan jenggotnya yang sudah ubanan bergerak-gerak di bawah hujan angin itu.
Jelas seorang tua yang miskin
dan sederhana secara kebetulan menemukan seorang pemuda yang jatuh pingsan di
tengah jalan serta menolongnya. Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Apakah kau sudah siuman,
Ji Pwe-giok?" tiba-tiba terdengar orang tua di luar itu menegur dengan
tertawa.
Pwe-giok terkejut, cepat ia
bertanya: "Dar ....darimana kau tahu namaku?"
Kakek itu menoleh, katanya
dengan menyipitkan mata; "Tadi kudengar di sekitar sana ada orang
berteriak-teriak dan membentak-bentak," katanya: "Ji Pwe-giok, kau
tak dapat lolos."
"Kukira Ji Pwe-giok yang
dimaksudkan itu pasti kau, tapi akhirnya kau kan lolos juga!"
Wajah si kakek penuh keriput,
suatu tanda sudah kenyang asam-garam kehidupan manusia, setiap garis keriputnya
itu, seakan-akan melambangkan suatu masa penderitaan di waktu yang lalu. Sinar
matanya yang penuh mengandung kecerdasan pengalaman hidup itu juga diliputi
perasaan welas asih dan suka ria.
Pwe-giok menunduk, ucapnya
dengan tersendat: "Terima kasih atas pertolongan Lotiang (bapak)."
"Jangan kau berterima
kasih padaku," ujar kakek itu dengan tertawa.
"Ku tolong kau adalah
karena kulihat kau tidak mirip orang jahat. Kalau tidak, mustahil tidak
kuserahkan dirimu kepada mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya
kemudian dengan tersenyum pedih: "Sudah sekian lamanya, mungkin Lotiang
inilah orang pertama yang bilang aku bukan orang jahat!"
"Hahaaha!" kakek itu
tergelak. "Biasa, orang muda kalau mengalami sedikit kesusahan lantas suka
mengomel. Biarlah nanti kalau sudah sampai di gubuk kakek, setelah minum
semangkuk dua mangkuk, tanggung semua rasa penasaranmu akan lenyap."
"Tarrr", ia ayun
cambuknya dan melarikan keretanya terlebih cepat.
Menjelang petang, hujan masih
rintik-rintik. Kereta memasuki sebuah jalan kecil yang tiada orang
berlalu-lalang. Kakek yang miskin ini mungkin tinggal sendirian di rumah
gubuknya. Tapi bagi Pwe-giok hal ini sangat kebetulan malah. Ia lantas
berbaring di dalam kereta dan membayangkan dinding gubuk si kakek yang sudah
berlubang-lubang dan pembaringannya yang penuh daki serta tuak kampung yang
menusuk tenggorokan itu. Ia merasa dirinya sekarang bolehlah tidur dengan
tenteram.
Tiba-tiba terdengar kakek itu
bergumam: "Wahai kudaku sayang, larilah yang cepat, sudah dekat rumah kita,
kau kenal jalan tidak?"
Pwe-giok tidak tahan, ia
merangkak bangun pula dan menyingkap terpal untuk mengintip keluar. Dilihatnya
di depan adalah jalan berbatu yang bersih terguyur air hujan. Di ujung jalan
sana adalah sebuah gedung yang mentereng dengan cahaya lampu yang gemilang.
Dipandang pada petang yang hujan ini tampaknya tiada ubahnya seperti sebuah
istana kaum bangsawan.
Pwe-giok terkejut, tanyanya
dengan ragu-ragu; "Apakah ini . . . ini rumah Lotiang?"
"Betul," jawab si
kakek tanpa menoleh.
Pwe-giok membuka mulut, tapi
segera ditelannya kembali kata-kata yang hendak diucapkannya. Dalam hati
sungguh penuh rasa heran dan sangsi. Jangan-jangan kakek miskin ini adalah
samaran seorang hartawan? Jangan-jangan dia seorang pembesar yang telah pensiun?
Atau mungkin juga seorang bandit yang sengaja menutupi gerak-geriknya dengan
menyamar sebagai kakek rudin? Apa maksud tujuannya membawa pulang Ji Pwe giok?
Terlihat di luar pintu gerbang
yang besar berwarna ungu itu terdapat dua ekor singa batu, di pinggir pagar
bambu sana tertambat beberapa ekor kuda bagus, beberapa lelaki tegap dengan
bergolok dan pakaian ringkas sedang menurunkan pelana kuda.
Siapa yang datang menumpang
kuda-kuda itu?
Meski pertanyaan ini belum
dapat segera dijawab, tapi kakek ini adalah seorang tokoh Bulim, hal ini jelas
tidak perlu disangsikan lagi. Padahal setiap orang Bulim sekarang, siapakah
yang tidak memusuhi Ji Pwe-giok?!
Tangan dan kaki Pwe-giok
terasa dingin, lebih celaka lagi sekujur badan terasa lemas lunglai, ingin kabur
pun tidak dapat. Apalagi, seumpama dia dapat lari kinipun sudah terlambat.
Sebab kereta itu telah masuk ke dalam perkampungan itu.
Pwe-giok menutup kembali
terpal kereta, hanya tersisa sela-sela kecil untuk mengintip. Mendadak terlihat
dua sosok bayangan orang melayang kemari, orang di sebelah kiri dikenalnya
sebagai si Pek-bin Tojin dari Kun-lun-pay itu.
Tidak kepalang kejut Pwe-giok,
tanganpun agak gemetar.
Pek-bin Tojin itu menghadang
di depan kereta dan menegur; "Dalam perjalanan pulang ini, apakah Lotiang
melihat seorang pemuda?"
"Terlalu banyak pemuda
yang kulihat, entah yang mana yang kau maksudkan?" jawab si kakek dengan
tertawa.
"Dia berbaju panjang
warna hijau, cukup gagah dan ganteng, cuma keadaannya agak runyam," tutur
Pek-bin Tojin.
"Aha, kalau pemuda begini
memang ada kulihat," seru si kakek.
"Di mana dia?" tanya
Pek-bin Tojin cepat.
"Bukan saja kulihat,
bahkan telah kutangkap dia ke sini," ujar si kakek sambil tertawa.
Tidak kepalang cemas Pwe-giok,
hampir saja ia jatuh kelengar.
Dengan tajam Pek bin Tojin
menatap si kakek, katanya dengan tegas; "Biarpun pemuda itu dalam keadaan
runyam, meski dia sudah payah untuk kabur, kalau dirimu saja jelas tidak mampu
menangkapnya pulang. Hendaklah Lotiang ingat selanjutnya, Pek-ho Tojin dari Kun-lun
pay biasanya tidak suka berkelakar!"
Habis berkata mendadak ia
membalik tubuh dan melangkah kembali ke sana.
Si kakek menghela napas,
ucapnya: "Jika sudah jelas kau tahu aku tidak mampu menangkapnya, untuk
apa kau tanya pada diriku?"
Dia tarik lagi tali kendalinya
dan menghalau keretanya ke suatu gang kecil, terdengar ia bergumam sendirian:
"Wahai anak muda, sekarang tentunya kau tahu, semakin cerdik seseorang,
semakin mudah pula ditipu. Soalnya hanya dengan cara apa akan kau tipu dia."
Dengan sendirinya ucapan ini
sengaja diperdengarkan kepada Ji Pwe-giok, cuma sayang Pwe-giok tidak dapat
mendengarnya. Waktu Pwe-giok sudah dapat mendengar, sementara itu tahu-tahu ia
sudah berada di dalam rumah si kakek.
Rumah ini memang betul sudah
reyot, dinding sekelilingnya sudah banyak yang rontok dan kotor di atas meja
ada sebuah poci yang telah patah corongnya serta dua mangkuk butut, selain itu
ada pula sedikit sisa kacang goreng.
Sebuah lampu minyak dengan
cahayanya yang guram tampak bergoyang- tertiup angin seolah-olah melambangkan
kehidupan si kakek.
Di belakang pintu menyantel
sehelai selimut lusuh, dari sela-sela pintu air hujan tampak merembes masuk dan
mengalir ke kaki tempat tidur yang terbuat dari bambu. Di tempat tidur inilah
sekarang Pwe-giok berbaring. Bajunya yang basah sudah ditanggalkan, meski
sekarang badannya ditutup dengan sehelai selimut, tapi rasanya masih menggigil.
Si kakek tidak kelihatan
berada di dalam rumah, sekuat tenaga Pwe giok meronta turun dari tempat tidur,
dengan selimut membungkus tubuh ia mendekati jendela, jendela terbuat dari
papan kayu, ia mengintip keluar melalui celah-celah papan. Di luar ternyata
adalah sebuah taman yang sangat luas.
Gelap gulita taman itu, meski
di kejauhan ada berkerlipnya cahaya lampu, tapi sinarnya tidak dapat mencapai
ke sini, pepohonan yang gelap di bawah hujan tampaknya seperti bayangan setan
yang bergerak-gerak. Pwe-giok merinding, diam-diam ia bertanya kepada dirinya
sendiri: "Sesungguhnya tempat apakah ini? Apa yang telah terjadi dengan diriku?"
Tiba-tiba terlihat setitik
sinar lampu melayang ke sana di tengah bayangan pohon, seperti api setan. Kaki
Pwe-giok menjadi lemas, ia berdiri bersandar pada ambang jendela. Di tengah
kegelapan sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang lembut:
Mana ada malam purnama di
tengah kehidupan ini, kecuali dicari di dalam mimpi. Katamu kau pernah melihat
senyuman dewi, adakah itu di dalam mimpi atau nyata?
Suara nyanyian itu hanya
sayup-sayup hampir tak terdengar, membawa semacam perasaan yang hampa, duka dan
misterius yang sukar dilukiskan, adakah ini nyanyian orang, bukankah lebih
tepat dikatakan rintihan arwah halus?
Api setan dan suara nyanyian
itu semakin dekat, sesosok bayangan putih remang-remang muncul dengan tangan
membawa sebuah lampu kristal yang kecil mungil, melayang tiba di bawah hujan.
Bentuk bayangan ini sedemikian
ramping, baju yang basah kuyup melekat pada tubuhnya, rambut yang panjang
terurai juga lengket di atas pundaknya, sinar lampu terpancar menyinari
mukanya. Wajahnya putih pucat pasi, cahaya lampu juga menyinari matanya, sorot
mata yang kelihatan hampa dan bingung, tapi juga sangat cantik. Kehampaan
ditambah cantik menimbulkan semacam perasaan yang sukar diucapkan.
Pwe-giok menjadi lemas dan tak
dapat bergerak menghadapi taman yang luas dan seram itu dengan bayangan yang
menyerupai badan halus . . . .
Sekonyong-konyong pintu
berkeriut dan terbuka, dengan kaget Pwe-giok berpaling, dilihatnya si kakek
dengan mantel ijuk dan bercaping entah sejak kapan sudah berada di situ.
Pwe-giok menubruk maju dan
memegang bahunya sambil berseru: "Sia .... siapa itu di luar?"
Si kakek tersenyum jawabnya:
"Mana ada orang di luar?"
Sudah tentu Pwe-giok tidak
percaya, ia membuka pintu dan melongok keluar, di luar hanya taman yang luas
dan gelap, mana ada bayangan orang segala?
Si kakek kelihatan
tersenyum-senyum, seperti mengejek dan juga merasa kasihan. Pwe-giok
mencengkeram leher bajunya dan berseru dengan suara gemetar: "Sesungguhnya
tempat .... tempat apakah ini? Siapa kau sesungguhnya?"
"Siapa? Kan cuma seorang
kakek yang telah menyelamatkan kau," jawab si kakek dengan tenang.
Pwe giok jadi melenggong dan
melepaskan cengkeramannya, ia menyurut mundur dan jatuh berduduk di atas kursi
bambu, baru sekarang keringat dinginnya menetes.
"Kau lelah, kau terlalu
lelah," kata si kakek, "Janganlah berpikir yang bukan-bukan,
istirahatlah."
Sambil memegangi sandaran
kursi bambu Pwe-giok berseru pula: "Tapi. ... tapi jelas-jelas
kulihat........."
"Kau tidak melihat
apa-apa, bukan? Ya, apapun tidak kau lihat...... "si kakek memandangnya
lekat-lekat.
Tiba-tiba Pwe-giok merasa
sorot mata si kakek ada semacam kekuatan yang sukar dilawan, tanpa terasa ia
menunduk, ia tersenyum pedih, katanya: "Ya, aku memang tidak melihat
apapun."
"Memang begitulah,"
ujar si kakek dengan tertawa, "semakin sedikit yang kau lihat, semakin
sedikit pula rasa kesalmu."
Lalu dia menaruh sebuah kuali
kecil di atas meja di depan Pwe giok, katanya; "Sekarang boleh minumlah
kuah pedas ini dan tidurlah baik-baik. Besok, tentulah hari yang tidak sama,
entah betapa bedanya besok dengan hari ini?"
"Ya, apapun juga, hari
ini pun sudah lalu....." ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
0O0- 000- 0O0
Dalam mimpinya, Pwe-giok
merasa bumi ini makin lama makin gelap, tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh
bumi raya yang gelap ini, ia berkeringat? ia meronta,
mengerang..............Selimut serasa sudah basah, tempat tidur bambu itu
berbunyi keriat-keriut!
Sekonyong-konyong ia membuka
mata di bawah cahaya pelita yang guram dilihatnya sepasang tangan!
Sepasang tangan yang putih
mulus!
Kedua tangan ini sedang
menggeser ke lehernya, seakan-akan hendak mencekiknya,
"Sia.................siapa kau?" jerit Pwe-giok saking kaget dan
takutnya.
Di bawah sinar lampu yang
guram, dilihatnya seraut wajah yang pucat dengan rambut yang panjang serta
sepasang mata yang indah dengan pandangannya yang rawan. Ketika rambut yang
panjang itu tersebar, bayangan putih itupun melayang pergi seperti angin,
tahu-tahu lantas lenyap dalam kegelapan. Bukankah itu badan halus yang
dilihatnya di bawah hujan itu?
Cepat Pwe-giok melompat
bangun, ia meraba leher sendiri dengan napas terengah-engah. Sesungguhnya
bayangan tadi manusia atau setan? Apakah dirinya hendak dibunuhnya tadi? Tapi
sebab apa orang hendak membunuhnya?
Si kakek tidak diketahui ke
mana perginya dan celah-celah papan jendela terlihat cuaca sudah remang-remang,
fajar sudah menyingsing. Daun pintu kelihatan masih bergoyang-goyang.
Sesungguhnya bayangan tadi
manusia atau setan? Jika benar hendak membunuhnya tentu sudah dilakukannya
sejak tadi. Kalau tiada maksud jahat, mengapa dia menyusup datang seperti badan
halus dan melayang pergi puia seperti arwah gentayangan?
Jantung Pwe-giok berdebar
keras, di tepi tempat tidurnya ada seperangkat baju bekas, tanpa pikir
dipakainya dengan tergesa-gesa, lalu ia berlari keluar.
Kabut pagi masih menyelimuti
halaman taman yang sunyi senyap ini. Hujan sudah berhenti, cuaca remang-remang,
lembab, sejuk dan rada-rada menggigilkan. Remang-remang kabut membuat taman
yang sunyi ini menimbulkan semacam keindahan yang misterius.
Diam-diam Pwe-giok menyusuri
jalan berbatu itu, langkahnya sangat perlahan, seakan-akan kuatir memecahkan
kesunyian bumi raya ini.
Tiba-tiba didengarnya suara
kicau burung, semula suara seekor dengan bunyi yang merdu dari pucuk pohon sini
terus berpindah ke pucuk pohon sana.
Menyusul suara lain lantas
berbangkit, lalu seluruh taman seolah-olah pecah suara burung berkicau dengan
nyaringnya.
Pada saat inilah kembali
Pwe-giok melihat si "dia" lagi.
Dia masih mengenakan jubah
panjang warna putih dan berdiri di bawah pohon yang sana. Dia sedang menengadah
dan memandangi pucuk pohon, rambutnya mengkilap, jubah putih dan rambut
panjangnya berkibaran tertiup angin, di tengah remang kabut pagi ini dia bukan lagi
badan halus, tapi serupa dewi kahyangan.
Dengan langkah lebar Pwe-giok
mendekatinya, ia kuatir orang akan menghilang pula seperti badan halus. Namun
si dia masih menengadah tanpa bergerak sedikit pun.
Sesudah dekat, dengan suara
keras Pwe-giok menegur; "He, kau......."
Baru sekarang si dia memandang
Pwe giok sekejap sorot matanya yang indah itu penuh rasa bingung seperti orang
kehilangan ingatan. Sementara itu kabut sudah mulai hilang, sinar sang surya
sudah mulai mengintip di ufuk timur, butiran air hujan atau embun laksana
mutiara menghias dedaunan.
Mendadak Pwe-giok merasa si
dia ini bukan si "dia".
Meski si dia ini juga berjubah
putih dan berambut panjang, juga bermuka pucat, juga bermata indah, tapi
cantiknya terlalu bersahaja. Dari gemerdep matanya dapat terlihat betapa suci
murninya, betapa gemilang dan betapa tenangnya.
Sedangkan si "dia"
yang dilihatnya semalam itu jelas sangat misterius dan juga sangat rumit,
bahkan mengandung semacam hawa yang aneh dan sukar untuk dipahami.
Cepat Pwe giok berkata pula
dengan menyesal; "O, maaf aku salah lihat."
Ia pandang Pwe-giok dengan
tenang, mendadak ia membalik tubuh dan kabur seringan burung.
Tanpa terasa Pwe-giok berseru:
"Nanti dulu, nona! Apakah engkau juga penghuni perkampungan ini?"
Nona itu sempat menoleh dan
tertawa kepada Pwe-giok, tertawa yang cantik, tapi juga mengandung rasa hampa
dan linglung yang sukar dilukiskan. Habis itu lenyaplah dia di tengah kabut.
Sampai lama Pwe giok
termenung, ia ingin membalik ke arah datangnya tadi, tapi langkah kakinya
justeru menggeser ke depan, jalan punya jalan, tiba-tiba ia merasa ada sepasang
mata sedang mengintainya di balik pohon sana. Mata yang begitu jernih, begitu
bening. Pelahan-lahan Pwe-giok menghentikan langkahnya dan berdiri tenang di
situ, sedapatnya ia tidak mau mengejutkan orang.
Akhirnya si dia muncul sendiri
dan memandang Pwe-giok dengan linglung.
Baru sekarang Pwe-giok berani
tertawa padanya dan menyapa: "Nona, apakah boleh kutanya beberapa kata
padamu?"
Dengan tertawa linglung nona itu
mengangguk.
"Tempat apakah ini?"
tanya Pwe-giok.
Nona itu tetap tertawa sambil
menggeleng.
Dengan kecewa Pwe giok
menghela napas, ia tidak tahu mengapa tempat ini sedemikian misterius, mengapa
tidak seorang pun mau memberitahukan padanya?"
Tapi ia tidak putus asa, ia
tanya pula: "Jika nona penghuni perkampungan ini, mengapa tidak tahu
tempat apakah ini?"
"Aku bukan manusia,"
tiba-tiba nona itu bersuara dengan tertawa. Suaranya nyaring merdu seperti
kicauan burung.
Jawaban itu membuat Pwe-giok
terkejut. Jika kata itu diucapkan orang lain paling-paling Pwe-giok cuma
tertawa saja. Tapi nona yang berwajah bingung ini sesungguhnya mempunyai
kecerdasan yang melebihi orang lain.
Dengan tergagap kemudian
Pwe-giok bertanya pula: "Masa kau bukan .. . . "
"Aku seekor burung,"
ucap si nona pula sambil menggigit bibir. Ia menengadah memandangi pucuk pohon,
di mana hinggap beberapa ekor burung kecil yang tak diketahui namanya sedang
berkicau. Dengan tertawa ringan nona itu berkata pula: "Akupun serupa
burung di atas pohon itu, aku adalah saudara mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak,
tanyanya kemudian: "Jadi nona sedang bicara dengan mereka?"
Nona baju putih itu berpaling
dan tertawa. Mendadak matanya terbelalak dan bertanya: "Kau percaya pada
perkataanku?!"
"Sudah tentu
kupercaya," jawab Pwe-giok dengan suara halus.
Sorot mata si nona menampilkan
perasaan hampa, ucapnya dengan menyesal; "Tapi orang lain tidak mau
percaya."
"Bisa jadi mereka orang
tolol semuanya," ujar Pwe giok.
Sampai lama si nona memandangi
Pwe giok dengan tenang, tiba-tiba ia tertawa nyaring, katanya: "Jika
demikian, bolehkah kukatakan padamu bahwa aku ini seekor burung kenari."
Dia tertawa riang, lalu
berlari pergi pula.
Pwe giok tidak merintanginya,
ia termangu-mangu sejenak, timbul semacam perasaan yang belum pernah
dirasakannya selama ini. Perlahan-lahan ia melangkah balik ke rumah kecil tadi.
Baru saja ia melangkah masuk
rumah, sekonyong-konyong dari balik pintu sebatang pedang mengancam
punggungnya. Ujung pedang yang tajam dingin itu seakan-akan menusuk ke dalam
hati Pwe-giok.
Terdengar seorang bersuara
sedingin es; "Jangan bergerak, sekali bergerak segera kutusuk tembus
punggungmu....." Jelas ini suara seorang perempuan, juga nyaring dan
merdu.
Tanpa terasa Pwe giok menoleh,
kembali ia melihat jubah putih dengan rambut panjang terurai dan muka yang
pucat serta mata yang indah. Ini bukanlah badan halus semalam, tapi dewi
kahyangan pagi ini.
Kejut dan heran Pwe-giok,
dengan mendongkol ia berkata sambil menyengir: "Nona kenari, masa kau
tidak kenal lagi padaku?"
"Sudah tentu aku tidak
kenal kau!" kata nona itu dengan suara bengis.
"Tapi .... tapi barusan
kita baru .... baru saja bicara."
"Hm, mungkin kau melihat
setan," jengek si nona.
Pwe giok jadi melenggong dan
tak dapat bersuara. Sorot mata si nona sekarang telah berubah menjadi tajam dan
dingin, tapi alisnya, mulutnya dan hidungnya jelas-jelas si nona cantik tadi.
Mengapa mendadak dia berubah
begini? Mengapa sikapnya berubah ketus begini? Kembali Pwe giok kebingungan,
ucapnya kemudian dengan tersenyum pedih: "Apakah benar kulihat
setan?"
"Siapa kau?" bentak
nona itu dengan bengis.
"Mengapa kau berada di
tempat Ko lothau (kakek Ko)? Ingin mencuri atau ada pekerjaan lain? Lekas
mengaku terus terang, lekas!"
"Begitu ujung pedangnya
didorong sedikit, seketika darah mengucur dari punggung Pwe-giok.
"Aku tidak tahu, apa pun
aku tidak tahu," jawab Pwe-giok sambil menghela napas. Ia merasa setiap
penghuni perkampungan ini seakan-akan orang gila semua, terkadang sedemikian
baik padanya, tapi mendadak bisa berubah menjadi garang.
Sebentar bersikap ramah, lain
saat berubah beringas seperti hendak membunuhnya, "Kau tidak tahu?"
jengek nona itu pula. "Baik, akan kuhitung sampai tiga, jika kau tetap
bilang tidak tahu, segera kutusukkan pedang ini hingga menembus dadamu."
Lalu ia berseru:
"Satu." Pwe-giok hanya berdiri tegak tanpa bersuara. "Dua . . ..
" teriak pula si nona. Pwe-giok tetap berdiri saja tanpa bicara.
Hakekatnya memang tiada apa-apa yang dapat dikatakannya. Si nona seperti
melengak juga, tapi akhirnya ia berseru pula: Tiga!
Pada saat yang sama,
sekonyong-konyong Pwe giok menggeser ke samping selicin belut, berbareng
tangannya menyampuk balik, seketika tangan si nona kaku kesemutan, pedang
mencelat dan menancap di belandar.
Sampukan Pwe-giok ini sangat
kuat. Si nona jadi melenggong. Pwe-giok memandangnya dengan dingin, katanya:
"Nona kenari, sekarang bolehlah kutanyai kau bukan? Tentunya jangan
pura-pura bodoh lagi, sebaiknya kau bicara dengan bahasa manusia, aku tidak paham
bahasa burung."
Nona itu mengerling sekejap,
mendadak ia tertawa nyaring, katanya: "Hihi, aku cuma berkelakar saja
dengan kau. Jika kau ingin belajar bahasa burung biarlah kuajari kau
besok." Dengan enteng ia terus membalik tubuh dan berlari pergi. "Nanti
dulu!" seru Pwe-giok sambil mengejar.
Tapi mendadak dilihatnya si
kakek menghadang di depannya sambil menegur: "Telah kuselamatkan jiwamu,
tapi bukan maksudku membawa kau ke sini untuk menakuti orang."
"Kedatangan Lotiang
sangat kebetulan," jengek Pwe-giok.
"Waktu nona itu mengancam
punggungku dengan pedang, mengapa Lotiang tidak lantas muncul?"
Kakek itu tidak bersuara, ia
masuk ke rumah dan berduduk, diambilnya cangklong tembakaunya, disulutnya
dengan api dan mulai merokok, setelah menghisap tembakaunya satu-dua kali
barulah ia berucap:
"Biarlah kukatakan terus
terang padamu, di perkampungan ini memang banyak hal-hal yang aneh, bila kau
dapat anggap tidak dengar dan tidak lihat, tentu kau takkan dicelakai orang.
Jika sebaliknya, tentu akan mendatangkan musibah bagimu."
"Sekalipun aku berlagak
tidak dengar dan tidak lihat, kan nona tadi juga hendak membunuhku?!" seru
Pwe giok dengan gusar.
Si kakek menghela napas,
katanya: "Persoalan tadi hendaklah jangan kau pikirkan lagi, mereka adalah
anak perempuan yang harus dikasihani, nasib mereka sangat malang, kau harus
memaafkan mereka."
Dan kerut wajahnya dapat
terlihat si kakek jelas sangat berduka ketika membicarakan nona tadi, Pwe-giok
termenung sejenak, tanyanya kemudian: Siapakah mereka?"
"Untuk apa kau ingin tahu
siapa mereka?"
"Dan, mengapa kau tidak
mau memberitahukan padaku?" seru Pwe-giok.
Si kakek menghela napas
panjang, katanya: "Bukannya aku tidak mau memberitahukan padamu, soalnya
akan lebih baik jika kau tidak tahu."
Kembali Pwe-giok termenung
sejenak, ia memberi hormat, lalu berkata pula dengan suara berat: "Terima
kasih banyak-banyak atas pertolongan jiwa Lotiang, kelak pasti akan kubalas
kebaikanmu ini."
"Kau mau pergi?"
tanya si kakek sambil menoleh.
"Kupikir, lebih baik ku
pergi saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir.
"Tapi ratusan anak murid
Kun-lun dan Tiam-jong saat ini masih berkeliaran di sekitar perkampungan ini,
jika kau pergi, dapatkah kau lolos dari pengawasan mereka?"
Pwe-giok jadi ragu-ragu,
tanyanya pula: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara perkampungan ini
dengan Kun-lun dan Tiam-jong-pay?"
Si kakek tersenyum hambar,
katanya: "Jika tempat ini ada hubungannya dengan Kun-lun dan Tiam-jong,
mungkinkah kau diberi kesempatan tinggal di sini?"
Pwe-giok terkesiap dan menyurut
mundur; "Apakah... apakah engkau sudah tahu..."
"Aku sudah tahu
semuanya," ucap si kakek sambil menyipitkan matanya.
Pwe-giok menubruk maju dan
memegang bahu si kakek, serunya dengan parau: "Aku tidak membunuh Cia
Thian-pi, lebih-lebih tidak pernah membunuh Thian-kang Totiang, kau harus
percaya padaku."
"Sekalipun aku percaya,
tapi orang lain apakah juga percaya?" kata si kakek.
Pwe-giok melepaskan tangannya
dan menyurut mundur selangkah demi selangkah hingga bersandar pada dinding.
"Terpaksa kau harus
berdiam di sini, nanti kalau keadaan sudah aman, baru kau kubawa pergi,"
ujar si kakek dengan gegetun.
"Pada kesempatan ini pula
dapat kau istirahat dan memulihkan tenagamu di sini."
Basah mata Pwe-giok, katanya:
"Lotiang, semestinya engkau .... engkau tidak perlu sebaik ini
kepadaku."
Si kakek menghisap lagi
tembakaunya, lalu berkata dengan ikhlas: "Sekali sudah kuselamatkan kau,
tidak nanti kusaksikan lagi kau mati di tangan orang lain."
Sekonyong-konyong seutas tali
menyambar ke atas dan persis menjerat batang pedang yang menancap di belandar,
sedikit ditarik, pedang itu lantas jatuh ke bawah dan tepat diraih oleh sebuah
tangan yang putih halus.
Tahu-tahu si nona telah
berdiri di ambang pintu dan berkata kepada si kakek dengan tertawa; "Ko-lothau,
ibu ingin melihat dia."
Si kakek memandang Pwe-giok
sekejap. Segera Pwe-giok dapat melihat perubahan air muka si kakek, matanya
yang menyipit mendadak terbelalak, katanya dengan berkerut kening: "Ibumu
ingin melihat siapa?"
"Di rumah ini selain kau
dan aku, ada siapa lagi?" ucap si nona baju putih dengan tertawa.
"Untuk...... untuk apa
ibumu ingin melihat dia?" tanya si kakek Ko.
Nona itu melirik Pwe-giok
sekejap, katanya; "Akupun tidak tahu, lekas kau bawa dia ke sana."
Lalu ia memutar tubuh dan
melangkah pergi pula.
Sampai lama si kakek berdiri
termangu.
Pwe-giok tidak tahan,
tanyanya. "Siapakah ibunya?"
"Cengcu-hujin (nyonya
kepala perkampungan)," jawab Ko-lothau sambil mengetuk pipa tembakaunya,
lalu disisipkannya diikat di pinggang dan berkata pula: "Marilah
berangkat, ikut saja di belakangku. Hendaklah hati-hati, saat ini di
perkampungan ini terdapat tidak sedikit anak murid Tiam-jong dan Kun-lun pay.
"Sungguh aku tidak
paham," kata Pwe-giok dengan gegetun, "kalau kalian sudah mau menerima
diriku, mengapa kalianpun menerima mereka di sini. Jika kalian telah menerima
mereka di sini, mengapa kalian kuatir pula diriku dilihat mereka?"
Si kakek tidak menghiraukan
gerundelan Pwe-giok itu, ia membawa anak muda itu menyusur kian kemari di antara
pepohonan yang lebat, di jalan berbatu licin bersih, kabut di tengah pepohonan
itu sudah buyar.
"Kalau sekarang aku harus
menemui Cengcu-hujin, sedikitnya engkau harus memberitahukan padaku
sesungguhnya di sini ini perkampungan apa?" kata Pwe-giok pula.
"Sat jin-ceng!"
jawab Ko-lothau singkat.
"Sat-jin-ceng
(perkampungan membunuh orang)?" seru Pwe giok terkejut dan berhenti
melangkah mendadak.
Sementara itu mereka sudah
sampai di sebuah serambi yang melingkar, bangunan serambi ini sangat indah dan
mentereng, tapi langkan serambi kelihatan tak terawat, catnya yang berwarna
merah sudah banyak yang mengelupas, debu memenuhi lantai.
"Kau heran pada nama
perkampungan ini?" "Ya, mengapa diberi nama seaneh ini?"
"Sebabnya setiap orang
boleh membunuh orang di sini secara bebas, tiada seorangpun yang akan
melarangnya. Setiap orang juga dapat terbunuh di sini dan pasti tiada
seorangpun yang mau menolong dia!" tutur si kakek Ko.
Pwe-giok merasa merinding,
ucapnya dengan ngeri: "Sebab apa, sebab apa begitu?"
"Apa sebabnya kukira
lebih baik jangan kau tanya," jawab Ko lothau.
"Masa......masa selama
ini tiada orang ikut campur?"
"Tidak ada, selamanya
tidak ada yang berani."
"Masa Cengcu kalian juga
tidak ikut campur urusan perkampungan?"
Mendadak Ko-lothau menoleh
dengan senyuman yang misterius, ucapnya sekata demi sekata: "Cengcu kami
selamanya tidak ikut campur urusan, sebab dia..............."
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba terdengar suara langkah orang berkumandang dari ujung serambi sana.
cepat Ko lothau menarik Pwe-giok dan menyelinap ke balik pintu samping yang
berkerai.
Suara langkah orang itu
semakin dekat, pelahan-lahan berlalu ke sana.
Pwe-giok mengintip ke luar,
dilihatnya bayangan dua Tojin berjubah ungu dan menyandang pedang, jelas mereka
murid Kun-lun-pay.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas lega, katanya; "Apakah setiap orang boleh bergerak secara bebas di
perkampungan kalian ini?"
"Siapa yang ingin
membunuh orang dengan sendirinya boleh bebas bergerak, tapi orang yang mungkin
akan terbunuh cara berjalannya harus berhati-hati... berhati-hati sekali."
"Kalau orang di sini
setiap saat mungkin terbunuh, mengapa mereka masih juga datang kemari? Bukankah
tempat lain jauh lebih aman bagi mereka?"
"Bisa jadi dia sudah
kehabisan jalan, atau mungkin dia tidak tahu seluk-beluk tempat ini. Mungkin
pula ia tertipu ke sini, boleh jadi lagi iapun ingin membunuh orang."
Pwe-giok merinding pula,
gumamnya; "Sungguh tepat sekali alasan ini, ke empat alasan ini memang
tepat......" segera ia menyusul ke depan dan bertanya: Tapi Cengcu kalian
mengapa.,.."
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu berkata: "Dia sudah datang,
ibu......" Waktu Pwe-giok memandang ke sana, di ujung serambi ada sebuah
pintu berukir daun pintu kelihatan terbuka sedikit, suara merdu itu
berkumandang dan balik pintu.
Sepasang mata jeli yang semula
mengintip di balik pintu kini mendadak lenyap. Dengan langkah berat Ko lothau
mendekati pintu itu dan mengetuknya pelahan sambil berseru: "Apakah Hujin
ingin bertemu dengan bocah ini?"
"Ya, masuk!" ucap
seorang perempuan dengan suara lirih. Hanya dua kata ini saja yang terdengar,
namun mengandung semacam daya tarik yang aneh luar biasa, rasanya suara ini
seperti tersiar dari suatu dunia yang lain.
Mendadak pintu terbuka, Di
dalam sangat gelap, sinar sang surya pagi cukup benderang, tapi tak dapat
menyorot ke dalam rumah.
Entah mengapa, jantung Pwe
giok berdebar keras, pelahan ia melangkah masuk. Dalam kegelapan sepasang mata
yang terang sedang menatapnya, mata yang indah dan juga hampa, Nyonya rumah
dari Sat-jin ceng ini ternyata tidak-lain-tidak-bukan adalah "badan
halus" yang dilihatnya di bawah hujan itu.
Pwe-giok terkesiap. Segera
dilihatnya pula sepasang tangan yang putih dan halus, jelas itulah tangan yang
hendak mencekiknya waktu dia tidur itu. Butiran keringat terasa mengucur dari
dahinya ....
Sepasang mata yang jeli itu
masih menatapnya lekat-lekat tanpa bergerak. Pwe-giok juga tidak bergerak,
lamat-lamat ia merasa di sampingnya juga ada satu orang. Waktu matanya sudah
terbiasa dalam kegelapan, tiba-tiba dilihatnya orang di samping ini tersenyum
manis, senyuman yang suci dan bersahaja.
Hai, bukankah ini si dewi yang
dilihatnya di tengah pepohonan pagi tadi?
Sekonyong-konyong pintu
tertutup pula, segera Pwe-giok berpaling. Di dekat pintu kembali dilihatnya
sepasang mata yang sudah dikenalnya, mata yang sama jelinya, alis yang sama
lentiknya dan mulut yang sama mungilnya.
Bedanya, sorot mata yang satu
sedemikian halus dan bersahaja, yang satu lagi justeru begitu tajam dan dalam.
Kalau diperumpamakan seorang seperti burung Kenari yang lincah dan riang,
seakan-akan tidak kenal arti susah orang hidup. Yang seorang lagi dapat di
ibaratkan burung elang di padang pasir, garang dan selalu mengincar hati setiap
mangsanya.
Baru sekarang Pwe-giok paham
duduknya perkara. Rupanya si burung Kenari yang ditemuinya di hutan pagi tadi
serta si elang yang mendorongnya dengan pedang itu adalah kakak beradik kembar.
Ia pandang ke depan dan
melihat ke belakang, ia merasa kedua kakak beradik ini benar-benar mirip
seperti pinang yang dibelah dua, sampai-sampai ibu mereka, si badan halus di
tengah hujan itu, arwah dalam mimpi, si Cengcu-hujin yang misterius ini, juga
serupa benar dengan kedua puterinya. Hanya saja, watak di antara ibu dan kedua
puterinya sama sekali berbeda dan terdiri dan tiga jenis watak yang tak sama.
Seketika Pwe-giok tidak tahu
apa yang harus dilakukannya, entah kejut, heran, bingung atau merasa lucu.
Segera terngiang pula ucapan si kakek Ko: "Mereka adalah perempuan yang
harus dikasihani."
Perempuan yang harus
dikasihani? Mengapa....
Cengcu-hujin masih menatapnya
lekat-lekat, mendadak ia tertawa dan berkata: "Di sini sangat gelap,
bukan?"
Pada wajah yang pucat dan
penuh rasa hampa itu bisa menampilkan senyuman, sungguh sesuatu yang hampir
sukar dibayangkan. Pwe-giok merasa terpengaruh oleh semacam daya tarik, yang
aneh, dengan menunduk ia mengiakan.
Dengan rawan Cengcu-hujin
berkata pula: "Aku suka kepada kegelapan dan benci pada sinar matahari.
Sinar matahari hanya mencorong bagi orang yang gembira ria, orang yang berduka
selalu hanya kebagian kegelapan."
Mestinya Pwe-giok ingin tanya
sebab apa si nyonya berduka, mengapa tidak gembira saja? Tapi pertanyaan ini
tidak jadi dilontarkannya.
Sorot mata Cengcu-hujin tidak
pernah bergeser dari muka Pwe-giok, tanyanya kemudian: "Kau she apa dan
siapa namamu?"
"Cayhe she....... "
belum lanjut ucapan Pwe-giok, tiba-tiba Ko-lothau berdehem pelahan, maka
Pwe-giok lantas menyambung: "Yap, namaku Yap Giok-pwe."
"Kau tidak she Ji?"
Cengcu-hujin menegas.
Kembali Pwe-giok terkesiap, ia
tidak menjawab.
"Bagus, kau tidak she
Ji," ucap pula si Cengcu-hujin. "Dahulu seorang she Ji pernah
membunuh seorang yang sangat rapat denganku, maka menurut perasaanku setiap
orang she Ji pasti bukanlah manusia baik-baik."
Pwe-giok tak dapat menjawab
apa-apa, terpaksa ia hanya mengiakan saja, "Aku sangat senang atas
kedatanganmu ke perkampungan kami ini, kuharap kau dapat tinggal beberapa hari
lebih lama di sini, rasanya banyak yang ingin kubicarakan denganmu."
"Terima. . . . . terima
kasih... ." ucap Pwe-giok.
Mendadak si nona elang melolos
pedang dan mengetuk belakang dengkul anak muda itu, keruan Pwe-giok kesakitan
dan tanpa terasa ia berlutut.
Pada saat itu juga tahu-tahu
seorang menerjang masuk, siapa lagi kalau bukan Pek-ho Tojin dari Kun-lun-pay.
Sekilas melirik Pwe-giok
melihat beberapa murid Tiam-jong pay juga ikut masuk bersama Pek-ho Tojin.
Begitu masuk mereka lantas memandang sekitar ruangan, tapi orang-orang yang
berada di situ seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan mereka.
Dengan bertolak pinggang si
nona elang lantas mendamprat: "Selanjutnya kalau kau berani membangkang
dan malas kerja.. pasti akan kupatahkan kaki-anjingmu."
Dengan kepala tertunduk
Pwe-giok mengiakan dengan suara yang dibikin serak, Pek-ho Tojin masih
memandang kian kemari, tapi tidak memperhatikan "tukang kebun" yang
berlutut di sampingnya. Baru sekarang ia memberi hormat kepada Cengcu hujin dan
bertanya: "Apakah Hujin melihat seorang pemuda asing masuk kemari?"
"Satu-satunya orang asing
yang menerobos masuk ke sini ialah anda," jengek Cengcu-hujin. "Tapi
barusan jelas-jelas ada...... . . " Belum lanjut ucapan Pek-ho Tojin,
mendadak si nona elang melompat ke depannya dan menghardik: "Jelas-jelas
apa? Memangnya kau kira kami ibu dan anak main pat-gulipat dengan lelaki di
sini?!"
Pek-ho Tojin melengak, cepat
ia menjawab dengan menyengir: "O, mana berani kumaksudkan demikian."
"Hm, lalu, seorang
pertapa seperti dirimu ini berani sembarangan menerobos ke kamar orang
perempuan, lantas apa maksud tujuanmu? Apakah kau ingin baca kitab di
sini?" jengek si nona elang.
Sama sekali Pek-ho To-jin
tidak menyangka sedemikian lihaynya nona jelita ini, begini tajam kata-katanya
sehingga sukar baginya untuk menjawab. Terpaksa ia berkata: "Pernah
kutanya kepada Ceng-cu, katanya....."
"Betul, jika kalian ingin
membunuh orang, setiap rumah boleh kalian masuki dengan bebas," potong si
nona elang dengan suara bengis. "Tapi rumah ini dikecualikan, betapapun
tempat ini adalah kediaman Cengcu-hujin, kau tahu tidak?"
"Ya,ya...." terpaksa
Pek-ho Tojin memberi hormat dengan munduk-munduk, lalu mengundurkan diri
bersama kawan-kawannya. Meski dia tergolong murid Kun-lun-pay yang paling
cekatan, menghadapi siocia galak begini iapun mati kutu.
Baju Pwe-giok sudah basah oleh
keringat dingin, ia masih berlutut, waktu mengangkat kepala, dilihatnya kedua
tangan Cengcu-hujin yang putih mulus itu, tapi sekarang ia tahu kedua tangan
ini semalam sebenarnya tiada maksud hendak mencekiknya, kalau tidak, barusan
Cengcu hujin tentu akan menyerahkannya kepada Pek-ho Tojin dan tidak perlu
turun tangan membunuhnya.
Cengcu hujin memandangnya
lekat-lekat, tanyanya kemudian: "Tampaknya kau takut. Sebab apa kau
takut?"
"Cayhe....
Cayhe...."
"Sudahlah, tidak perlu
kau katakan padaku." ujar Cengcu hujin dengan tertawa. "Setiap orang
yang datang ke Sat-jin-ceng ini pasti merasa takut. Tapi siapapun tidak perlu
menceritakan alasan takutnya". Tiba-tiba pandangannya beralih kepada
Ko-lothau dan berkata pula: "Kau boleh pergi saja."
Ko-lothau ragu-ragu, katanya:
"Dan dia......"
"Dia tinggal di sini, aku
ingin bicara dengan dia," ujar Cengcu hujin.
Walaupun masih ragu, akhirnya
Ko-lothau memberi hormat dan mengundurkan diri. Kedua nona kembar tadi ternyata
juga ikut keluar. Si nona Kenari seperti tertawa terkikik-kikik, sedangkan si
Nona Elang sama sekali tidak bersuara.
Daun pintu menutup dengan
keras. Kesunyian di dalam rumah mendadak terasa menakutkan, sampai detak
jantung sendiri dapat didengar oleh Pwe-giok.
Cengcu hujin masih
memandangnya lekat-lekat, hanya memandangnya saja. Pwe-giok ingin bicara tapi
sama sekali tidak sanggup buka mulut, terpengaruh oleh pandangan orang yang
berdaya misterius ini.
Jendelapun tertutup oleh
tirai, di dalam rumah semakin gelap, semacam hawa seram dan tua meliputi setiap
sudut ruangan.
Cengcu-hujin tetap tidak
bicara, bahkan bergerakpun tidak. Ia tetap menatap Pwe-giok tanpa berkedip,
seolah-olah juru tembak sedang mengincar sasarannya, seperti nelayan sedang
memandangi kailnya.