Renjana Pendekar Bagian 1

Baca Cersil Mandarin Online: Renjana Pendekar Bagian 1

Renjana Pendekar Bagian 1

Di suatu halaman rumah yang luas dan rindang, di bawah pohon sana seorang kakek berjubah hijau tampak berdiri tenang dan santai, sambil berdekap tangan sedang menyaksikan seorang pemuda di depannya lagi menulis.

Pemuda itu duduk bersila di depan sebuah meja pendek, pit (Pensil bulu) yang digunakan menulis itu sebesar lengan bayi, panjangnya kurang lebih setengah meter.

Sebesar itu alat tulisnya, tapi yang ditulis justeru huruf kecil yang disebut gaya "Siau Kay". Saat itu dia baru habis menulis seluruh isi kitab Lam-hoa-keng.

Sampai huruf terakhir, sampai goresan pensil penghabisan, dia tetap menulis dengan tekun dan sungguh-sungguh, gerak pensilnya juga tidak kacau sedikitpun.

Di tengah kerimbunan pohon terdengar suara tonggeret yang bising memecahkan kesunyian.

Perlahan-lahan anak muda itu menaruh pensilnya, mendadak ia menengadah, katanya dengan tertawa terhadap orang tua tadi: "Pertemuan Hong-ti tidak dikesampingkan oleh setiap Enghiong (Pahlawan, Ksatria) di dunia ini, masa ayah benar-benar tidak mau hadir ?"

"Setelah Lam-hoa-keng selesai kau tulis barulah kau bertanya, dalam hal kesabaran jelas kau sudah ada kemajuan", ucap si kakek dengan tersenyum.

"Tapi pertanyaanmu ini mestinya tidak perlu kau ajukan, masa kau masih memandang penting sebutan "Enghiong" segala ?"

Pemuda itu mendongak, memandang sekejap pucuk pohon, lalu menunduk pula mengiakan petuah sang ayah.

Rupanya bukan tanpa sebab pemuda itu mendongak dan memandang pucuk pohon. Terdengar suara kresekan daun pohon yang pelahan, mendadak sesosok bayangan manusia melayang turun seringan burung hinggap di tanah.

Kiranya pendatang ini adalah seorang pendek kecil cekatan berbaju hitam, di balik pakaiannya yang hitam ketat ringkas itu tampak otot daging yang kekar, sekujur badan penuh sikap kewaspadaan, seolah-olah anak panah yang sudah siap terpasang pada busurnya, sekali tersentuh segera akan menjepret.

Namun kedua orang tua dan muda tadi tetap tenang-tenang saja, dengan tak acuh mereka menandang sekejap tamu tak diundang ini, juga tanpa bicara dan tidak menegur, seakan-akan si baju hitam memang sejak tadi sudah berdiri di situ.

Mendadak si baju hitam bergelak tertawa, serunya; "Sungguh hebat Gak-san-lojin Ji Hong-ho, ternyata benar tetap tenang biarpun gunung Thay gugur di depannya, tak tersangka Kongcu juga setenang ini, baru sekarang aku Hek-kap-cu (si merpati hitam) menyaksikan kehebatannya"

Sambil berbicara iapun memberi hormat, sikapnya tampak sangat kagum dan sangat hormat.

"O. kiranya Hek-tayhiap dari ke tujuh tokoh ahli Ginkang," ucap si kakek, Ji Hong ho, dengan tertawa.

"Mestinya Cianpwe tahu, diantara Bu lim jit kim (tujuh unggas dunia persilatan), aku si Hek-kap cu inilah yang paling tidak becus." demikian kata si merpati hitam. "Aku tidak berani menjadi bandit, juga tidak sanggup menjadi tukang kawal. Terpaksa kucari sesuap nasi dengan kemampuan dan sifatku yang bisa menjaga rahasia untuk mengantarkan surat kepada cianpwe."

Ji Hong-ho dengan gembira berkata: "Saudara Hek tidak mencari nafkah dengan cara yang tidak jujur dan ini benar-benar kuhormati. Tapi aku menduga-duga, sahabat lama manakah yang meminta saudara Hek untuk mengantarkan surat?"

Hek Kap-cu menjawab: "Kalau orang itu tidak mau mengungkapkan jati dirinya, aku berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan jati dirinya. Itu adalah kode etik pekerjaanku, aku juga tahu bahwa cianpwe bisa memaksaku untuk mengungkapkan jati dirinya. Tapi aku juga tahu bahwa surat ini mengandung suatu rahasia penting dari cianpwe". Sesudah mengucapkan kata-kata tersebut, dia mengeluarkan sebuah surat dan memberikannya kepada Ji Hong-ho.

Ji Hong-ho ragu-ragu sejenak dan kemudian ia menyerahkan surat itu kembali kepada Hek Kap-cu dan berkata: "Tolong, bisakah kau membuka dan membaca surat ini keras-keras untukku?"

Hek Kap-cu berkata: "Tapi, isi surat ini mengandung rahasia cianpwe...."

Ji Hong-ho tersenyum: "Oleh karena itu, aku ingin anda membacakannya untukku karena aku sama sekali tidak mempunyai rahasia. Aku tidak takut siapapun mengetahui isi surat ini".

Hek Kap-cu sangat terkesan dan sambil tersenyum: "Tidak ada rahasia sama sekali! Hanya Cianpwe yang bisa mengucapkan kata-kata ini"

Hek Kap-cu membuka sampul surat itu dan menemukan lembaran-lembaran suratnya. Lembaran-lembaran surat itu saling lengket satu sama lain dan Hek kap-cu membasahi jari-jarinya dengan ludah dan memisahkan lembaran-lembaran suratnya.

Dia mulai membaca surat itu keras-keras: "Yang terhormat saudara....."

Tiba-tiba Hek Kap-cu jatuh dan kejang-kejang. Ji Hong-ho sangat terkejut dan segera bergegas menolongnya. Sesudah memeriksa denyut nadinya, ia segera tahu bahwa Hek Kap-cu tidak akan bertahan lebih lama lagi, dengan suara keras ia bertanya: "Sesungguhnya siapa yang menyuruh kau menyampaikan surat ini kesini ? Siapa? Lekas katakan!"

Mulut Hek-kap-cu terpentang, tapi tak dapat mengucapkan sepatah katapun, air mukanya dari hijau berubah pucat, dari pucat berubah merah, dari merah lantas berubah menjadi hitam, hanya sekejap saja air mukanya sudah berubah beberapa warna. Kulit daging mukanya juga mendadak lenyap secara ajaib, seraut muka yang sesaat sebelumnya masih segar dan sehat, kini mendadak berubah menjadi sebuah tengkorak yang hitam.

"Racun! Lihay amat racun ini !" seru pemuda tadi dengan melenggong.

Perlahan Ji Hong-ho berdiri, ucapnya sambil menghela napas sedih: "Sebenarnya akulah yang hendak dicelakai dengan surat berbisa ini, tak tersangka dia yang menjadi korban. Meski bukan aku yang membunuh dia, tapi jelas dia mati lantaran diriku..."

Dilihatnya kulit daging sekujur badan Hek-kap-cu juga mulai menyusut dan hilang dalam waktu singkat, dari bagian bajunya menggelinding keluar beberapa potong biji emas. Mungkin inilah imbalan bagi jasanya menyampaikan surat ini, tapi juga imbalan bagi jiwanya.

Melihat beberapa potong emas itu, mendadak Ji Hong-ho malah menjemput kembali surat tadi. Si pemuda terkesiap, serunya cepat: "He, akan diapakan, ayah?!"

Ji Hong-ho tampak sudah tenang kembali, katanya dengan perlahan: "Orang ini mati lantaran diriku, betapapun harus kubalas budinya. Apalagi, begini keji cara orang yang hendak membunuh diriku ini, kalau cara yang satu gagal, tentu dia masih ada tipu-daya yang kedua. Jika hal ini sampai terjadi maka hidupku tentu akan menyesal dan merasa berdosa, kan lebih baik akupun mati agar hatiku bisa tenteram"

"Tapi ... tapi, ayah tidak ingin mencari tahu sesungguhnya siapa yang hendak mencelakai engkau?. Selama hidup ayah tiada bermusuhan dengan siapapun, sungguh aneh, siapakah gerangan..."

Belum habis ucapan pemuda tadi, sekonyong-konyong terdengar suara "Blang" yang keras, beberapa potong emas tadi mendadak meledak, semua benda seperti pot air, kertas tulis, tatakan tinta dan sebagainya yang berada diatas meja pendek tadi sama tergetar dan jatuh ke tanah.

Ji Hong-ho sendiri tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak, padahal sebenarnya dia sudah melompat mundur beberapa meter jauhnya untuk kemudian lantas melayang balik ke tempat semula. Sorot matanya yang semula tenang-tenang itu kini mengandung rasa marah, ucapnya sambul mengepal tangannya:

"Keji benar orang ini, ternyata di dalam lantakan emas juga diberi obat peledak, bahkan sudah diperhitungkan saat meledaknya setelah Hek-kap-cu menyerahkan surat padaku, jelas bukan cuma aku saja yang ingin dibunuhnya, malahan orang yang menyampaikan surat inipun akan dibinasakan agar tutup mulut untuk selamanya."

Air muka pemuda tadi juga berubah, katanya dengan gemas: "Orang macam apakah yang berhati keji dan juga perencana yang rapi ini?. Jika orang ini tidak ditumpas, bukankah dunia persilatan akan ... "

"Sebenarnya hal inipun tak dapat menyalahkan dia." Ji Hong-ho memotong ucapan pemuda itu dengan tersenyum pedih. "Jika secermat ini dia berusaha membunuh diriku, mungkin karena pernah ku berbuat sesuatu kesalahan, makanya dia sedemikian benci padaku."

Air mata si pemuda tampak berlinang-linang di kelopak matanya, katanya dengan suara agak gemetar: "Tapi engkau orang tua masakah pernah berbuat kesalahan? Engkau sedemikian baik terhadap siapapun juga, tapi toh ada orang yang berusaha membunuhmu, dimanakah letak keadilan dunia Kangouw ini ?!"

"Pwe-giok." ucap Ji Hong-ho dengan tenang "Jangan terburu napsu, jangan kau bilang dunia Kangouw sudah tiada keadilan lagi. Hidup seseorang betapapun sukar terhindar dari berbuat salah, akupun tidak terkecuali. Hanya saja... hanya saja seketika aku tidak ingat kesalahan apa yang pernah kulakukan. "

Pada saat itulah mendadak dikejauhan sana ada suara orang membentak: "Di mana Ji Hong-ho?... Di mana ji Hong-ho?..."

Susul menusul suara bentakan itu dan makin lama makin mendekat, ditengah suara bentakan itu terseling pula suara jeritan kaget dan takut serta caci maki, lalu ada suara pintu didobrak dan jatuhnya benda berat, suara itu terus berkumandang, jelas para centeng keluarga Ji tidak mampu merintangi masuknya penyatron.

"Orang macam apakah berani menerjang kemari?" kata si pemuda yang bernama Ji Pwe-giok itu dengan rada terkesiap.

Tapi Ji Hong-ho tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan: "Sebenarnya mereka tidak perlu merintangi pengunjung, apalagi tamunya sudah masuk rumah, buat apa kau repot keluar menyambutnya..." mendadak ia berpaling kesana dan dengan tertawa: "Silakan kalian masuk saja."

Benar juga, melalui pintu bundar taman sana lantas menerobos masuk lima orang lelaki kekar berbaju sulam yang mentereng, semuanya tampak garang dengan wajah napsu membunuh, tapi demi nampak ji hong-ho dan puteranya menyambut kedatangan mereka dengan tenang-tanang saja, mereka jadi melengak sendiri.

Lelaki kekar pertama yang berewok dan bergolok tebal bergelang sembilan lantas membentak dengan beringas: "Ji-Hong-ho, keparat kau, akhirnya kutemukan juga kau!"

Sambil meraung ia ayun goloknya yang bergelang hingga berbunyi gemerincing itu, dengan kalap Ji Hong-ho dibacoknya.

Daun pepohonan sama tergetar bertebaran oleh guncangan angin bacokan golok yang keras itu, tapi Ji Hong-ho tetap berdiri tenang tanpa bergerak seakan-akan sengaja menantikan bacokan golok lawan.

Tanpa mengangkat kepala, mendadak pemuda Ji Pwe-giok menjentikkan jarinya pelahan, terdengar suara "crit" sekali, menyusul lantas berbunyi "Trang" golok tebal si berewok sudah terjatuh ke tanah.

Setengah badan lelaki berewok itu merasa kaku kesemutan, telingapun mendengung karena suara getaran tadi, mukanya menjadi pucat, ia pandang anak muda tadi dengan melenggong, tidak berani maju dan tidak berani mundur.

Perlahan-lahan Ji Pwe giok mendekati orang itu, tapi mendadak Ji Hong-ho membentak tertahan: "Jangan melukai orang, Pwe-giok!"

Karena itu, Ji Pwe-giok lantas berhenti dan tidak melangkah maju pula.

Si berewok lantas bergelak tertawa, teriaknya: "Betul, Ji Hong-ho suka menganggap dirinya seorang arif bijaksana, selamanya tidak mau melukai orang. Tapi biarpun kau tidak mau melukai aku, aku justru ingin membinasakan kau. Bilamana kau berani mengganggu seujung rambutku, itu berarti kau adalah manusia munafik yang sok jual nama kosong !"

Dia ternyata memutar balikkan persoalan dan menjadikan alasan tidak masuk diakal itu untuk menyudutkan Ji Hong-ho, sungguh manusia yang tidak tahu malu dan berhati keji.

Namun Ji Hong-ho tetap tenang saja dan menghadapinya dengan tak acuh, ia malah tersenyum dan berkata: "Jika demikian, jadi apapun juga kalian pasti akan mencabut nyawaku?!"

"Ucapanmu memang tepat!" teriak si berewok sambil menyeringai. Mendadak ia jatuhkan diri ke tanah dan terus menggelinding maju, tahu-tahu goloknya yang jatuh tadi sudah direbutnya kembali, dengan golok terhunus ia lantas membentak: "Hayo saudaraku, tunggu kapan lagi!"

Di tengah bentakannya, serentak lima macam senjata, yaitu golok bergelang sembilan, pedang pencabut nyawa, gaetan berkepala harimau, Boan-koan-pit dan tombak berantai, terus menyerang.

Pada saat itu juga mendadak terdengar seorang tertawa panjang dan berseru: "Haha, melulu kalian inipun berani menyerang Ji-locianpwe !?"

Menyusul suara itu sesosok bayangan orang melayang turun dari puncak pohon dan menerjang ke tengah hujan senjata tadi. Terdengar suara gemerantang, golok bergelang tadi yang pertama tama mencelat dan menancap di batang pohon sana. Habis itu "krek", pedang juga patah menjadi dua. Lalu Boan-koan-pit mabur ke udara, gaetan berbalik merobek perut kawan sendiri yang berpedang tadi, sedangkan rantai tombak membelit leher orang yang main gaetan, seketika orang itu roboh terguling.

Orang ini muncul mendadak, gerak tubuhnya juga sangat cepat, jurus serangannya bahkan secepat kilat dan sukar ditahan. Keruan Ji Hong-ho dan Ji Pwe-giok melengak.

Baru sekarang mereka dapat melihat jelas pendatang ini adalah seorang pemuda cakap bertubuh jangkung dan berbaju sutera ungu tipis, sinar matanya mencorong tajam, gagah berwibawa, cuma mukanya pucat lesi, dingin kaku tanpa sesuatu tanda perasaan apapun sehingga kelihatannya rada menyeramkan.

Dia terus menyembah kepada Ji Hong-ho, katanya dengan sangat hormat: "Di tengah perjalanan hamba sudah mendengar berita maksud kelima orang ini akan membikin celaka Cianpwe, maka kukuntit kemari. Setelah menyaksikan Cianpwe memperlakukan mereka sedemikian baik, tapi mereka malah tidak tahu diri, terdorong oleh rasa penasaran sehingga cara turun tangan hamba terlalu keras dan membinasakan mereka di kediaman Cianpwe, untuk ini kumohon Cianpwe sudi memberi ampun."

Dia telah berjasa membantu Ji Hong-ho, tapi dia malah minta maaf dan mohon ampun.

Ji Hong-ho menghela napas dan berkata: "Apa yang anda lakukan ini adalah karena membela diriku, permintaan ampun ini harap jangan disebut lagi. Tentang kelima orang ini ... Ai, aku sendiri tidak tahu bilakah pernah bermusuhan dengan mereka sehingga sekarang jiwa mereka harus melayang."

Setelah terdiam sejenak, ia tertawa sambil membangunkan pemuda baju ungu, katanya: "Anda masih muda dan cakap, alangkah gembira ku bila anda ini putera seorang sahabatku."

Pemuda itu tetap tidak mau bangun, ia masih mendekam di atas tanah dan berkata: "Meski Cianpwe tidak kenal hamba, tapi jiwa hamba sesungguhnya adalah hadiah Cianpwe. Terlalu banyak kebajikan yang di sebar oleh Cianpwe, tentu Cianpwe sudah melupakan anak kecil yang pernah mendapat perlindungan dahulu."

Ji Hong-ho menggandeng tangan pemuda itu dan tarik bangun, katanya dengan tertawa: "Tapi anak itu sekarang sudah dewasa, bahkan telah menyelamatkan jiwaku, tampaknya Thian memang maha adil... " sampai di sini, sekonyong-konyong ia menggentak tangannya sehingga pemuda itu terlempar jauh kesana.

Ji Hong-ho sendiripun sempoyongan, katanya dengan suara gemetar: "Kau... kau siapa sesungguhnya?"

Pemuda baju ungu sempat berjumpalitan di udara, lalu turun ke bawah dengan ringan, mendadak ia menengadah dan terbahak bahak, katanya: "Ji-loji, telapak tanganmu sudah terkena To-hon-bu-ceng-ciam (Jarum pencabut nyawa tanpa kenal ampun), biarpun malaikat dewata juga tidak sanggup menyelamatkan kau, jangan harap lagi kau akan mengetahui siapa diriku ini ..."

Dalam pada itu Ji Pwe-giok telah melompat ke samping ayahnya, dilihatnya kedua tangan sang ayah sudah membengkak satu kali lebih besar hanya dalam sekejap itu warnanya hitam pekat, panas seperti dibakar. Waktu ia pandang wajah orang tua ini, tubuhnya yang gemetar sudah tidak kuat berdiri lagi, mulutnya terkancing rapat dan tidak mampu bicara.

Sedih dan gusar tidak kepalang hati Ji Pwe-giok, teriaknya dengan suara parau: "Sebenarnya ada permusuhan apa antara kau dengan kami ? Mengapa kau turun tangan sekeji ini ?"

"Permusuhan? Haha, selamanya aku tidak ada permusuhan apapun dengan orang she Ji," jawab pemuda baju ungu dengan tertawa. "Tujuanku tiada lain hanya ingin mencabut nyawa kalian saja."

Sambil bicara dan tertawa, air mukanya tetap dingin dan kaku tanpa emosi apapun.

Ji Pwe giok memandang jenazah sang ayah yang menggeletak di tanah itu, ucapnya pula dengan menggertak gigi: "Jadi kau yang mengatur semua rencana keji ini ?"

"Betul." jawab pemuda baju ungu, Demi mencabut nyawa kalian ayah dan anak, yang mengiringi kematian kalian sudah lebih daripada enam orang ini ..."

Mendadak ia bersiul, serentak dari luar pagar tembok melompat masuk likuran lelaki berbaju hitam, semuanya bersenjata pedang atau golok, setiap orang tampak gesit dan tangkas, tampaknya likuran orang ini adalah jago silat pilihan, semuanya memakai kedok muka dengan sepotong kain sutera ungu, nyata mereka sengaja menyembunyikan muka aslinya.

"Orang she Ji." demikian si pemuda baju ungu tadi berseru pula dengan tertawa, "Kukira lebih baik kau menyerah dan terima nasib saja. Yang kami takutkan adalah Kim-i-bun-ciang (Pukulan lunak sutera emas) andalan Ji-loji yang tiada tandingannya di dunia ini, sekarang Ji-loji sudah mampus, lalu apa yang dapat kau lakukan?"

Sekilas pandang saja Ji Pwe-giok sudah mengetahui kawanan penyatron ini adalah jago-jago kelas satu seluruhnya, hatinya tidak kepalang sedihnya, juga gusar tak terkatakan, dengan sendirinya juga sangat terkejut.

Bilamana orang lain, mungkin sudah panik dan bingung, jika tidak patah semangat dan ketakutan tentu menjadi nekat dan mengadu jiwa dengan musuh. Tapi Ji Pwe-giok memang pemuda yang lain daripada yang lain, mendadak ia membalik badan bagian bajunya diringkaskan pada pinggang lalu panggul tubuh sang ayah, menyusul pensil besar bergagang besi yang dibuatnya menulis tadi diraihnya.

Dalam pada itu kawanan lelaki berbaju hitam tadi sudah mendesak maju. melihat pemuda she Ji ini masih tetap berdiri di situ dengan tenang dan mantap, mau tak mau mereka jadi melengak. Habis itu baru mereka mengangkat senjata dan menerjang maju.

Cahaya senjata bertaburan, berpuluh golok dan pedang menyerang serentak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada yang menebas, semuanya ditujukan satu sasaran, semuanya teratur sedikitpun tiada terdengar benturan senjata di antara teman sendiri.

Akan tetapi mendadak angin puyuh berjangkit, Jian-kin-thi-pit atau pencil besi seribu kati senjata khas Ji pwe-giok, menyapu dengan keras, terdengar suara gemerantang nyaring, golok dan pedang musuh sama bengkok dan patah, ada pula yang terlepas dari tangan.

Belasan orang tergetar mundur dengan bahu pegal dan tangan linu sehingga sukar diangkat untuk seketika. Sungguh mimpipun mereka tidak menyangka pemuda yang kelihatannya lemah lembut dan bermuka putih cakap ini ternyata memiliki tenaga sakti sebesar ini.

Namun orang-orang inipun bukan jago kelas kambing, meski terkejut mereka tidak menjadi gentar, setelah belasan orang tergetar mundur segera belasan orang menerjang maju pula. Cepat Jian-kian-pit Ji Pwe-giok berputar lagi.

Sekali ini tiada seorangpun yang berani keras lawan keras, mereka terus berputar dan mencari peluang untuk menyerang. Seketika terdengar angin menderu-deru sehingga daun pohon sama rontok berhamburan.

Likuran orang itu ternyata dapat bekerja sama dengan rapat, sebagian dari kanan dan sebagian lagi dari kiri, sebagian mundur, bagian lain lantas ganti maju. Namun sebegitu jauh tiada seorangpun yang mampu menembus lingkaran pertahanan Ji Pwe-giok.

Cuma, meski jian-kian-thi-pit andalannya ini sangat lihay, namun bobotnya terlalu berat dan juga agak panjang, kurang lincah untuk digunakan seperti pedang biasa, tenaga yang harus dikeluarkan juga lebih banyak. Maka setelah belasan jurus, dahi Ji Pwe-giok yang putih bersih itu mulai dipenuhi butiran keringat.

"Bagus, beginilah caranya." seru si pemuda baju ungu tadi dengan tertawa. "Kuras dulu tenaganya baru nanti bekuk dia. Kalau tikus sudah masuk kaleng, masakan dia mampu kabur?"

Wajah yang kelihatan kaku dingin tanpa emosi itu jelas lantaran dia memakai topeng, tapi dari suaranya dapat diduga usianya memang belum tua.

Meski Ji Pwe-giok sedang menghadapi kerubutan orang-orang itu, namun pandangannya tidak pernah lalai memperhatikan pemuda yang keji ini, lebih-lebih Bu-ceng-ciam yang siap digenggam pemuda itu.

Didengarnya pernapasan ayah yang berada digendongannya itu semakin lemah sehingga akhirnya hampir tak terdengar lagi, sedangkan musuh tangguh di depan mata semakin mendesak, bahkan jarum berbisa yang siap di tangannya itu kelihatannya segera akan ditaburkan.

Hancur hati Pwe giok saking sedihnya, tenaga pun mulai habis, ia menjadi nekat, dia tahu bila tidak segera berusaha meloloskan diri, mungkin selanjutnya tidak dapat lagi mengetahui asal usul dan maksud tujuan sesungguhnya pihak musuh, keadaan memaksanya harus segera keluar.

Karena itulah, mendadak ia meraung murka, Jian-kin-pit menyapu dengan gerakan "Heng-sau-jian-kun" atau menyapu ribuan prajurit, ujung pensil itu terus menjodoh ke dada seorang lelaki yang berada disamping kanan.

Kejut orang itu tak terhingga, cepat ia menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana, saking kerasnya tikaman pensil Ji Pwe-giok itu hingga ujung pensil langsung menancap di tanah, tapi dengan tenaga pantulan tikaman itu tubuh Ji Pwe-giok juga lantas melayang lewat di atas kepala orang banyak, melewati pucuk pohon, laksana seekor burung raksasa ia terus terbang keluar.

Bahwa Jian-kin-thi-pit itu masih mendatangkan daya guna sebagus itu, tentu saja tiada pernah terpikirkan oleh orang-orang itu.

"Kejar!" segera si pemuda baju ungu berteriak. Sekali totol kakinya, secepat anak panah terlepas dari busurnya iapun melayang keluar.

Namun dia agak ketinggalan, apalagi Ginkangnya memang juga selisih jauh dibandingkan Ji Pwe giok. Lebih-lebih daya pantulan tikaman pensilnya itu. Ginkang Ji Pwe-giok tiada ubahnya bertambah satu kali lipat.

Ketika pemuda baju ungu melayang keluar pagar tembok taman, di luar hanya tampak pepohonan Yang-liu melambai pelahan tertiup angin, air sungai mengalir berkilau tertimpa sang surya.

Seekor anjing kecil berlari ketakutan ke seberang jembatan sana dengan mencawat ekor.

Sebenarnya Ji Pwe-giok belum kabur pergi, dia justru bersembunyi di tengah-tengah semak-semak rumput di bawah jembatan.

Karena menggendong ayahnya, sisa tenaga Pwe-giok tidak mengijinkan dia berlari lagi, terpaksa ia menyerempet bahaya dan mengadu kecerdasan, ia gunakan jiwa sendiri untuk bertaruh dengan pihak musuh.

Didengarnya pemuda baju ungu tadi sedang membentak perlahan: "Kejar, bagi empat jurusan, lekas!"

Terdengar seorang berkata: "Jangan-jangan di bawah jembatan ..."

Tapi dengan gusar si pemuda baju ungu memotong: "orang she Ji bukanlah orang bodoh, masakan dia menunggu kematian di bawah jembatan ?"

Menyusul lantas terdengar suara berkibarnya kain baju, satu persatu orang-orang itu melayang lewat jembatan. "plung", anjing kecil tadi melengking terdepak jatuh ke sungai. Mungkin si pemuda baju ungu tadi menggunakan anjing sialan itu sebagai pelampias marahnya.

Setelah riak air tenang kembali, suasana sekeliling lantas sunyi senyap pula, hati JI Pwe giok juga merasa lega. Namun begitu ia tetap meringkuk di semak-semak itu dan tidak berani bergerak.

Dia benar-benar pemuda yang sabar, ia tunggu sampai sekian lama, setelah yakin benar-benar rombongan orang tadi tidak kembali lagi barulah ia melompat keluar, tapi ia tidak menuju ke tempat lain, sebaliknya langsung berlari pulang ke rumahnya sendiri.

Kalau orang lain memperhitungkan dia pasti tidak berani pulang ke rumah, maka dia justeru sengaja balik lagi ke situ.

Halaman rumah tetap sunyi senyap dengan pepohonan yang rimbun, seperti tidak pernah terjadi apapun. Hanya ke enam sosok mayat itu yang mengingatkan dia pada kejadian sedih tadi.

Pwe-giok langsung berlari masuk ke ruangan dalam, ia baringkan ayahnya di tempat tidur, lalu dari almari dikeluarkannya sebotol, seluruhnya ia tuangkan ke mulutnya.

Obat mujarab ini adalah buatan khusus orang tua itu dan entah sudah berapa kali menyelamatkan jiwa manusia, tapi sekarang ternyata tidak sanggup menyelamatkan jiwanya sendiri. Baru sekarang Ji pwe-giok mengucurkan air mata.

Sinar sang surya menyorot masuk melalui jendela sana, wajah si orang tua kelihatan sudah hitam, pada dadanya masih tersisa hembusan napasnya yang terakhir, dengan lamat-lamat ia membuka matanya dan berkata dengan lemah "Apa... apa salahku?... kesalahan apa yang kulakukan ?...."

Dengan tubuhnya Pwe-giok menghalangi sinar matahari yang menyilaukan pandangan orang tua itu, ucapnya dengan air mata meleleh: "Ayah, engkau tidak pernah berbuat salah !"

Orang tua itu seperti mau tersenyum, namun senyumannya sudah sukar lagi menghias mukanya yang mulai kaku, hanya ujung mulutnya saja berkerut sedikit, lalu katanya pula dengan lemah, satu kata demi satu kata: "Aku tidak salah. Kau harus meniru aku, jangan lupa mengalah, sabar, mengalah, sabar ..." makin lemah suaranya hingga akhirnya tak terdengar lagi.

Pwe-giok berlutut lemah di depan pembaringan tanpa bergerak, air mata masih terus bercucuran, sampai lama dan lama sekali air matanya belum lagi kering.

Sinar matahari sudah tad ada lagi, di dalam kamar mulai gelap gulita.

DI tengah kegelapan dan kesunyian itu, sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang.

Langkah kaki orang ini sangat pelahan dan berat, setiap langkahnya seakan akan menginjak remuk hati orang, suara tindakan ini berkumandang dari serambi samping sana dan akhirnya sampai di depan pintu.

Pelahan-lahan pintu kamar terpentang, didorong orang. Pwe-giok masih tetap berlutut dalam kegelapan tanpa bergerak.

Sesosok bayangan melangkah masuk ke dalam kamar, setindak demi setindak, seperti badan halus, begitu lambat jalannya, padahal perawakannya kelihatan langsing kecil, tapi langkahnya sedemikian beratnya seakan-akan menyeret benda beribu kati.

Akhirnya Pwe-giok berdiri.

Orang itu terkejut dan melompat mundur keluar kamar, lalu tegurnya: "Sia ... siapa kau ?"

Seyogyanya yang bertanya adalah Ji Pwe-giok, tapi dia malah bertanya lebih dulu, namun Pwe-giok hanya memandangnya dengan tenang, samar-samar kelihatan pinggang orang yang ramping dan rambutnya yang panjang terurai, jelas seorang perempuan.

Di luar dugaan, mendadak perempuan itu berteriak kalap: "Bangsat keparat, keji amat caramu, berani kau ... tetap tinggal di sini?!". Segera ia mencabut pedangnya, sinar perak gemerdep, ia menubruk maju sekaligus melancarkan tujuh kali tusukan.

Langkahnya tadi begitu berat, tapi sekarang gerak pedangnya sedemikian enteng dan gesit, cepat dan ganas pula.

Terpaksa Pwe-giok berkelit kian kemari untuk menghindarkan tujuh kali serangan maut itu, lalu ucapnya dengan suara tertahan: "Leng-hoa-kiam ?"

Perempuan tadi melengak, ia lantas menjengek: "Keparat, kaupun kenal kebesaran ilmu pedang keluarga Lim? Kau ..."

"Aku Ji Pwe-giok!" kata anak muda itu dengan menghela napas dan menyurut mundur dua tiga langkah pula.

Kembali perempuan tadi melenggong dan menarik pedangnya, akhirnya pedang jatuh ke lantai, ucapnya dengan menunduk: "Ji... Ji-toako, apakah ... apakah paman..."

Sambil bicara sorot matanya mengikuti pandangan Pwe-giok ke arah tempat tidur, dan bicara sampai di sini agaknya samar-samar ia dapat melihat siapa yang berbaring di situ, tanpa terasa tubuhnya bergetar dan menggigil, akhirnya ia menjatuhkan diri ke lantai dan menangis: "O, aku tidak percaya ... Sungguh tidak percaya..."

Pwe-giok tetap memandangnya dengan tenang. Setelah menangis si nona mulai serak barulah ia berkata mendadak: "Sudahlah, kau sudah cukup menangis, sekarang bicaralah kau."

Tapi Pwe-giok masih tidak bersuara, menyalakan lampu sehingga kelihatan baju putih tanda berkabung yang dipakai si nona. Baru sekarang hati Pwe-giok tergetar, serunya: "Paman Lim... apakah paman Lim... "

"Ya, enam hari yang lalu ayahku telah dicelakai orang!" kata si nona dengan suara parau.

"Siap... siapa yang melakukannya sekeji itu ?" tanya Pwe-giok dengan muka pucat.

"En... entah, aku... aku tidak tahu..."

Mendadak si nona menoleh, di bawah cahaya lampu kelihatan wajahnya yang cantik dan juga agak kurus dan lesu, matanya merah bendul karena terlalu banyak menangis, meski penuh rasa sedih, tapi masih tetap terbelalak memandang Pwe-giok, sorot matanya menampilkan keteguhan hatinya.

"Apakah kau heran?" tanyanya sambil melototi Pwe-giok. "Ayahku terbunuh, tapi aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Waktu itu aku sedang keluar, sepulangku di rumah, jenazah ayahpun sudah dingin. Di rumahku sekarang tiada lagi terdapat seorang hidup"

Sungguh tak terbayangkan oleh Pwe-giok bahwa anak perempuan yang kelihatan lemah lembut ini setelah mengalami peristiwa menyedihkan itu masih sanggup melakukan perjalanan sejauh ini ke rumahnya sini dan sekarang masih dapat bicara dengan jelas.

Nyata di dalam tubuh yang lemah itu terdapat sebuah hati yang teguh dan lebih keras daripada baja. Mau tak mau Pwe-giok menghela napas dan menunduk, ia tak tahu apa yang harus diucapkannya.

Si nona lantas menyambung pula: "Apakah kau heran bahwa aku dapat menyatakan aku sudah cukup menangis?. Sebab aku memang sudah kenyang menangis, aku tidak ingin menangis lagi, sedikitnya sudah lima kali aku menangis sepanjang perjalanan"

"Lima kali ?" Pwe-giok menegas.

"Ya, lima kali." kata si nona, "Kecuali ayahmu dan ayahku, ada pula paman Ong dari Thay-oh, paman Sim dari Ih-hin-sia, paman Sebun dari Mo-san dan ..."

"Merekapun menjadi korban keganasan?" sela Pwe-giok sebelum selesai uraian si nona.

Nona itu tidak menjawab, hanya pandangannya beralih ke cahaya lampu.

"Paman Ong dari Thay-oh, si gunting emas, terkenal tiada tandingan selama hidupnya, Paman Sim dari Ih-hin, si tombak perak berkuda putih, pada waktu mudanya pernah menyapu rata seluruh Kanglam tanpa tandingan. Paman Sebun dari Mo-san terkenal dengan Lwekangnya yang maha lihay masa merekapun dicelakai orang?"

"Dan bagaimana pula dengan Leng-hoa-sin-kiam dan Kim-si-sian-ciang?" tukas si nona dengan beringas.

"Betul..." kata Pwe-giok dengan menunduk muram. "Jangan-jangan mereka terbunuh oleh orang yang sama? Lalu siapakah gerangan orang ini? ..."

"Cuma, aku sendiri tidak melihat jenazah para paman itu." kata si nona dari keluarga Lim itu.

Mendadak Pwe-giok mengangkat kepala dan bertanya: "Kalau tidak melihat jenazahnya, darimana kau tahu mereka sudah meninggal ?"

"Kosong melompong tiada terdapat seorangpun... rumah mereka sama sekali tidak kelihatan sesosok mayat pun, tapi juga tidak nampak seorang hidup, rumah mereka seperti kuburan belaka, kosong dan hening... Rumahmu dan rumahku juga demikian."

Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Rumah?... kita tidak punya rumah lagi."

Si nona menatap Pwe-giok dengan sorot mata tajam, tanyanya mendadak: "Dan kau akan pergi kemana dan apa yang akan kau lakukan?"

Pelahan Pwe-giok menjawab: "Jelas, semua ini adalah suatu intrik yang maha besar dan sulit dipecahkan. Sekarang aku tak dapat menerkanya, tapi pada suatu hari pasti dapat kuselidiki dengan baik.

"Apabila kau adalah kau adalah biang keladi dari intrik keji ini, tindakan apa yang akan kau lakukan atas diriku?"

"babat rumput sampai akar-akarnya!" jawab si nona tegas.

"Betul, dan bagaimana jika kau menjadi aku ?"

"Lari... tapi lari kemana?"

"Dimana terasa aman, kesanalah ku pergi."

"Aman? ... Sedangkan siapa musuh kita saja tidak kita ketahui, seumpama dia berada di sampingmu juga tidak kau ketahui, di seluruh dunia ini, dimana ada tempat aman bagimu?"

"Ada, ada suatu tempat"

"Mana?" tanya si nona.

"Hong-ti!" jawab Pwe-giok.

"Hong-ti?" si nona menegas.

"Padahal setiap tokoh Bu-lim saat ini akan pergi kesana..."

"Justeru lantaran para pahlawan akan pergi kesana, maka ku anggap disanalah tempat yang paling aman. Betapapun besar nyali jahanam itu tentu juga tidak berani mengganas di sana."

Si nona mengangguk pelahan, ucapnya: "Bagus, dalam saat begini engkau masih dapat berpikir secermat ini, ku yakin engkau tak nanti dicelakai musuh. Baiklah lekas engkau berangkat."

"Dan kau?..."

"Kau tidak perlu mengurus diriku!" seru si nona mendadak, ia membalik tubuh dan melangkah keluar.

Pwe-giok tidak merintanginya, ia hanya mengikuti di belakangnya dengan diam-diam, sekeluarnya di pintu, mendadak kaki si nona menjadi lemas dan tubuh akan ambruk, namun Pwe-giok keburu memapahnya dari belakang, katanya sambil menghela napas: "Terlalu banyak penderitaanmu, kaupun terlalu lelah, lebih baik istirahatlah dulu."

Air mata kelihatan mengembeng pula di kelopak mata si nona, ia menggigit bibir, katanya: "Untuk apa kau sengaja berlagak memperhatikan diriku, jauh-jauh ku datang kemari, tapi... tapi namaku saja tidak kau tanyakan."

"Aku tidak perlu tanya." jawab Pwe-giok.

Nona itu meronta dan berdiri tegak sambil berseru: "Lepaskan aku... lepaskan... bila kau menyentuh diriku lagi segera kubunuh kau."

Pwe-giok menghela napas pelahan, katanya: "Meski aku tidak pernah berjumpa dengan kau, tapi mustahil aku tidak tahu namamu."

Nona itu tersenyum, tapi segera menunduk dan berkata dengan rawan: "Cuma sayang pertemuan kita ini tidak tepat waktunya..."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar, suara seorang tua memanggil dengan pelahan: "Siauya... "

"Siapa itu?" tanya Pwe-giok sambil mengaling di depan si nona.

"Masa suara Ji tiong saja tidak Kongcu kenal lagi?" jawab suara itu.

Pwe-giok menghela napas lega, sebaliknya si nona mencengkeram bahunya dan bertanya: "Siapa dia?"

"Budak tua yang ikut ayahku sejak kecil," tutur Pwe-giok.

"Tapi … tapi ketika ku masuk ke sini, tiada seorangpun yang kulihat."

Pwe-giok melengak, katanya kemudian: "Mungkin … mungkin dia bersembunyi."

Selagi bicara, tampak seorang tua berbaju hijau dan berambut uban sudah melangkah masuk, dan setelah memberi hormat ia berkata: "Ong-loyacu dari Leng-cun sedang menunggu di ruang tamu, beliau ingin bertemu dengan Siauya."

"Apakah Ong-jicek Ong Ih-lau?" tanya Pwe-giok dengan agak melengak.

"Selain beliau siapa lagi?" jawab si budak tua Ji-tiong. Belum lenyap suaranya, dengan langkah lebar Pwe-giok lantas menuju keluar.

Dilihatnya jalan serambi yang berliku-liku sana entah sejak kapan sudah ada lampu yang dinyalakan, suasana seperti biasa saja. Dengan heran Pwe-giok melangkah ke ruangan tamu, ternyata di situ juga terang benderang.

Seorang berjubah ungu dan bermuka merah, alis tebal, jenggot panjang, duduk di kursi tamu, jelas si pendekar Kang-lam yang termasyhur berbudi luhur Ong Ih-lau, Ong jiya.

Pwe-giok berlari maju dan menyembah, ucapnya dengan terguguk: "Jicek, engkau da… datang terlambat."

"Ai, urusanmu dengan ayahmu, aku ikut tidak enak setelah mendengarnya," ujar Ong Ih-lau dengan sedih.

"Sungguh malang, siautit……" baru berucap sampai di sini, mendadak Pwe-giok mengangkat kepalanya dan bertanya dengan keheranan: "Eh. Jicek, da… darimana engkau mengetahui secepat ini?"

Ong Ih-lau mengelus jenggotnya, dengan tersenyum ia menjawab: "Kan Ji-toako sendiri yang bilang padaku." Keruan Pwe-giok melenggong, serunya:

"Ayahku? Beliau … Kapan… "

"Tadi dia berjalan keluar dengan marah-marah," demikian tutur Ong Ih-lau dengan tertawa, "sampai kedatanganku juga tidak begitu dihiraukan. Meski aku tidak tahu apa yang diributkan kalian ayah dan anak, tapi selama 40 tahun ini memang tidak pernah kulihat dia marah sebesar ini. Terpaksa kuminta In-sahcekmu mengiringinya keluar berjalan-jalan agar kalian ayah dan anak tidak ……"

Sampai melongo Pwe-giok mendengar penuturan itu, sampai di sini, ia tidak tahan lagi, mendadak ia berseru. "Tapi... tapi ayahku tadi telah terbunuh!"

Air muka Ong Ih-lau tampak kurang senang, katanya sambil berkerut kening: "Anak muda bertengkar dengan orang tua memang lazim terjadi, tapi janganlah engkau mengutuki ayahmu sendiri."

"Tapi ……tapi ayah be……..benar-benar sudah……."

"Tutup mulut !" bentak Ong Ih-lau. "Jenazah ayah saat ini terbaring di kamar tidurnya, jika paman tidak percaya, silahkan memeriksanya sendiri," kata Pwe-giok dengan menggertak gigi.

"Baik, hayo ke sana!" dengan gusar Ong Ih-lau bangkit.

Dengan langkah cepat kedua orang lantas menuju ke belakang. Belum lagi sampai di sana, dari jauh sudah kelihatan kamar tidur yang tadi gelap itu kini telah terang benderang oleh nyala lampu.

Pwe-giok terus menerjang ke dalam kamar, dilihatnya selimut bantal di tempat tidur teratur dengan rapi, sedikitpun tiada tanda-tanda pernah disentuh orang, sedangkan jenazah Ji Hong-ho sudah tidak kelihatan lagi.

"Di mana jenazah ayahmu?!" tanya Ong Ih-lau dengan suara bengis. Gemetar tubuh Pwe-giok, mana dia sanggup bicara lagi. Mendadak ia membentak terus berlari ke halaman belakang.

Di bawah cahaya lampu yang bergantungan di serambi sana, terlihat suasana di bawah pohon yang rindang tadi. Jangankan ke enam mayat, bahkan daun yang rontok oleh getaran pertarungan sengit tadipun entah sejak kapan sudah disapu bersih.

Jian-koa-pit masih berada di situ, di atas meja pendek itupun masih lengkap tersedia pot air, tatakan tinta tulis, samar-samar kertas tulis yang berada di meja juga kelihatan adalah kertas yang digunakannya untuk menulis Lam-hoa-keng tadi.

Kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin, halaman yang sunyi ini bagi pandangannya seolah-olah berubah menjadi neraka yang seram dan penuh misterius. Ong Ih-lau berdiri dengan berdekap tangan, tanyanya kemudian: "Sekarang apa yang akan kau katakan lagi?"

Pwe-giok seperti orang linglung, jawabnya dengan bingung: "Aku…….aku."

Tiba-tiba dilihatnya ada bayangan orang bergerak di balik semak-semak sana, jelas itulah si nona jelita tadi. Pwe-giok seperti menemukan bintang penolong, cepat ia memburu maju dan memegang tangannya sambil berseru: "Tadi nona inipun menyaksikan… Dia adalah putrid Lim-loyacu Leng-hoa-sim-kiam, namanya Lim Tay-ih, dengan mata kepala sendiri iapun menyaksikan jenazah ayahku."

Dengan sorot mata tajam Ong Ih-lau Tanya si nona dengan suara bengis: "Apa betul kau melihatnya?"

"Aku…. Aku. Tadi…."

Belum lanjut ucapan si nona, mendadak empat orang muncul dari serambi sana sambil menyapa dengan tertawa: "Wah, bilakah Ong-jiko datang kemari, sungguh sangat kebetulan."

Orang yang berjalan di depan berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang panjang bergantung di pinggangnya, meski rambut bagian pelipis sudah kelihatan putih, tapi sikapnya masih tetap gagah, tiada tanda-tanda sudah tua.

Melihat ke empat orang ini, seketika Lim Tay-ih berhenti bicara dan tubuh gemetar, terutama orang yang berjalan paling depan itu, melihat dia, sampai Ji Pwe-giok juga terkejut seperti melihat setan, teriaknya:" Pa….. paman Lim, bukankah engkau sudah... sudah meninggal?"

Orang pertama ini memang betul Leng-hoa-sin-kiam Lim Soh-koan, ayah Lim Tay-ih, seorang hartawan dan juga tokoh silat terkemuka di Sohciu. Ketiga orang lainnya adalah Ong Kim-liong dari Thay oh, Sim Gin-jiang dari Ih-hia, Sebun Hong dari Mo-san, yaitu orang-orang yang dikatakan Lim Tay-ih sudah terbunuh tadi.

Belum lagi Lim Soh-koan menjawab teguran Pwe-giok, Sebun Hong lantas bergelak tertawa dan berkata: "Huh, tiga tahun tidak bertemu, sekali bertemu kau lantas menyumpahi ayah mertuamu. Ai, kelakarmu ini terasa agak keterlaluan."

Mendadak Pwe-giok membalik tubuh dan memandang Lim Tay-ih tajam-tajam, katanya: "Kan, kau yang bilang begitu? Mengapa…..mengapa kau berdusta padaku?"

Tay-ih mengangkat kepalanya perlahan-lahan, sorot matanya tenang dan bening, jawabnya lirih: "Aku yang bilang? Kapan dan apa yang kukatakan?"

Tubuh Pwe-giok bergetar hebat dan menyusul mundur beberapa tindak, dilihatnya kelima tokoh Bu lim termasyhur itu sedang menatapnya dengan dingin, sorot mata mereka mengandung rasa kejut, heran dan juga kasihan.

Si budak tua Ji Tiong entah sejak kapan juga sudah berdiri dengan setengah membungkuk tubuh di samping sana, dengan mengiring tawa ia berkata: "Siauya, seyogyanya engkau mengundang kelima Loyacu minum dulu ke ruang tamu."

Pwe-giok tidak menjawab, sebaliknya ia melompat ke sana dan mencengkeram pundak budak tua tiu sambil berteriak: "Coba katakan! Ceritakan apa yang terjadi tadi."

Budak tua itu tampak melenggong, jawabnya: "Kejadian tadi? Kejadian apa?"

Keruan muka Pwe-giok tambah pucat.

"Kecuali kami berlima, apakah tadi ada kedatangan orang lain?" Tanya Ong Ih-lau.

Ji Tiong menggeleng: "Tidak ada, tiada orang lain lagi….."

Perlahan Pwe-giok melepaskan cengkeramannya dan menyurut mundur selangkah demi selangkah, ucapnya dengan suara gemetar: "Meng …….mengapa kau mem…..memfitnah diriku?"

Ji Tiong menghela napas panjang dan memandang Pwe-giok lekat-lekat, sorot matanya juga memantulkan rasa kasihan, katanya kemudian: "Agaknya akhir-akhir ini Siauya terlalu berat berlatih, mungkin engkau…."

"Mungkin aku sudah gila, begitu bukan? seru pwe-giok sambil menengadah dan tertawa terbahak-bahak. "Kalian memandangi diriku dengan heran, karena kalian menganggap aku ini sudah gila, begitu bukan? Kalian sama berharap aku gila, begitu bukan?"

"Ai, anak ini mungkin terlalu keras dikekang oleh ayahnya," ujar Lim Soh-koan dengan gegetun.

"Hahaha! Memang betul, aku memang terkekang terlalu keras sehingga gila!" teriak Pwe-giok sambil tertawa latah. Mendadak ia menghantam sehingga jendela di sebelah sana ambrol terkena angin pukulannya.

Serentak Ong Ih-lau, Sim Gin-jiang dan Sebun Hong menubruk maju, secepat kilat mereka memegangi bahu anak muda itu, sedang Lim Soh-koan lantas mengeluarkan sebuah botol hitam kecil, katanya dengan suara halus: "Anak Giok, menurut lah padaku, minumlah obat ini dan tidurlah baik-baik, besok tentu kau akan sehat kembali."

Segera ia membuka tutup botol terus dijejalkan ke mulut Pwe-giok, seketika tercium bau harum semerbak dan memabukkan.

Tapi Pwe giok tutup mulut serapat-rapatnya, matipun tidak mau pentang mulut.

"Ai, mengapa kau berubah begini, Pwe-giok," kata Sim Gin jiang dengan gegetun. "Masa ayah mertuamu sendiri sampai hati membikin susah padamu?"

Mendadak Pwe giok menggertak keras-keras, sekali kedua tangannya terpentang, kontan tokoh-tokoh kelas tinggi seperti Sim Gian jiang dan Sebun Hong itupun tidak mampu menahannya, ditengah suara bentaknya Pwe giok terus melayang ke atas, ujung kaki menutul wuwungan, secepat burung terbang ia melayang lewat ke balik pepohonan sana.

"Lihai amat anak ini, biarpun waktu mudanya juga Ji Hong ho tidak sehebat ini !" ujar Sebun hong.

"Cuma sayang, dia sudah gila, sungguh sayang...." Ong Ih lau menghela nafas menyesal. Lim Tay ih terus menjatuhkan diri ditengah dan menangis sedih.

- - -

Bintang berkelip memenuhi langit, malam sunyi dan dingin.

Sudah lebih tiga jam Ji Pwe giok berbaring di bawah pohon dan memandangi bintang yang bertaburan di cakrawala, sama sekali tidak bergerak, sampai berkedip juga tidak. Bintang berkelip yang memenuhi langit itu seakan-akan sedang mengejeknya:

"Kau sudah gila.......kau sudah gila........."

Malam tambah larut, bintang mulai jarang-jarang, ditengah tiupan angin malam yang sepoi-sepoi itu terbawa suara tangisan orang yang memilukan, makin lama semakin dekat suara tangis orang itu.

Akhirnya kelihatan lah seorang tua pendek kecil dengan jenggot yang sangat panjang hingga hampir menyentuh tanah muncul dengan menangis. Setiba di bawah pohon sana, ia menangis lagi sejenak, lalu mengumpulkan beberapa potong batu sebagai ganjal kaki, ikat pinggang dilepaskan dan dilibatkan pada dahan pohon. Melihat gelagatnya kakek itu jelas hendak gantung diri.

Pwe giok tidak tahan menyaksikan orang bunuh diri di depannya, cepat ia melompat kesana dan mendorong si kakek.

Bukannya berterima kasih, orang tua itu malah duduk di atas tanah, kakinya memancal-mancal dan menangis seperti anak kecil, serunya:

"Untuk apa kau tolong diriku? Di dunia ini tiada orang yang lebih malang dari padaku, hidupku sudah tiada artinya lagi. Ku mohon janganlah engkau merintangi kematianku, mati rasanya akan lebih baik bagiku."

Pwe-giok menghela nafas, ucapnya dengan menyengir:

"Apa betul di dunia ini tiada orang terlebih malang daripadamu ?.... kau tahu dalam satu hari saja aku kehilangan rumah, kehilangan orang tua, apa yang kukatakan terjadi sungguh-sungguh, tapi tiada seorangpun yang mau percaya padaku. Di dunia ini pun tiada seorang lagi yang dapat kupercayai. Pendekar yang biasanya kuhargai dan kupuja, dalam sehari juga mendadak berubah menjadi penuh intrik dan misterius, orang yang setiap hari berdekatan denganku juga mendadak berubah tidak setia lagi padaku dan ingin membuat gila padaku, ingin mencelakai jiwaku, bukankah diriku ini jauh lebih malang daripada dirimu ?"

Si kakek memandangnya dengan termangu-mangu hingga sekian lamanya, ucapnya kemudian setengah berguman:

"Jika demikian, kalau dibandingkan kau, rasanya aku masih jauh lebih mujur. Kau memang lebih pantas mati daripadaku, biarlah ikat pinggang ini kupinjamkan kepadamu."

Ia terbahak-bahak, lalu melangkah pergi.

Dengan termangu-mangu Pwe-giok mengikuti bayangan si kakek yang menghilang di kejauhan. Ia coba memasukkan leher sendiri ke jiratan tali pinggang, gumamnya:

"Cara demikian memang sangat mudah. setelah mati, segala kekesalan pun tak terasa pula, tapi apakah benar aku ini orang yang paling pantas mati di dunia ini ?..."

Mendadak iapun tertawa, katanya: "Ya, anggaplah aku sudah pernah mati satu kali !"

Ia lepaskan jiratan itu dan melangkah pergi. Sepanjang jalan, apabila dia berlalu di kolam, dimana banyak anak gadis sedang memetik lengkak, maka sering-sering ada gadis yang melemparkan beberapa biji lengkak padanya. Pwe giok lantas menangkap lengkak itu dan dimakan.

Bila dia melalui hutan murbei, nona pemetik murbei juga sering melemparkan buah itu kepadanya dan iapun menerimanya untuk dimakan.

Kalau dia sudah lelah dalam perjalanan, seadanya dia mencari rumput kering atau onggokan jerami untuk alas tidur. Bila mendusin, seringkali ada anak gadis yang sedang memandanginya dengan tersenyum jengah serta memberinya semangkuk telur rebus air gula.

Bilamana diketahui ibu si anak gadis, sang ibu lantas marah-marah dan mengusir Pwe-giok dengan gagang sapu. Tapi melihat wajah anak muda itu, kadang-kadang sang ibu malah tambah memberinya beberapa potong bakpau atau beberapa biji ketela rebus.

Perjalanan sejauh ini entah cara bagaimana dilaluinya, apa yang dipikirnya juga tidak berani dibicarakan nya dengan orang lain, dalam batin ia hanya selalu ingat:

"Sabar....mengalah.. sabar..."

Itulah petuah mendiang ayahnya yang selalu mendengung-dengung dalam benaknya.

Dia seperti tidak perduli lagi apakah ada orang menguntit jejaknya, padahal sekarang tiada orang yang mengenalnya lagi, siapapun pasti pangling. Pakaiannya memang sederhana, ditambah lagi sekarang tubuhnya penuh debu kotoran, bajunya sudah robek di sana-sini, keadaannya sekarang tiada banyak bedanya dengan kaum pengemis. Dia tidak cuci muka, juga tidak sisir rambut. tapi keadaannya yang kelihatan linglung dan harus dikasihani justru makin disukai oleh anak perempuan.

Tapi sekarang Pwe-giok sudah tidak perduli apakah orang suka atau jemu padanya, ia meneruskan perjalanan menurut selera sendiri.

Akhirnya ia tiba di wilayah Holam, ditengah jalan orang yang berdandan sebagai busu atau jago silat semakin banyak, semuanya bersemangat dan tergesa-gesa. Pertemuan pesilat yang berlangsung setiap tujuh tahun sekali tentu saja sangat menarik perhatian setiap tokoh dunia persilatan.

Selewatnya Siangcu, ditengah jalan bertambah ramai lagi. Bilamana ada tokoh ternama berlalu di tepi jalan lantas ramai orang berbisik-bisik membicarakannya.

"Lihatlah, yang berjubah bunga ungu itulah Sin To Kongcu dari Hong-yang, golok yang tergantung di pinggangnya itulah Giok Liong to yang dapat memotong emas seperti merajang sayur."

"Dan Nona berbaju kuning itu, apakah kau kenal ?"

"Kenapa tidak ? kalau Kim Yan Cu (si walet emas) saja tidak kukenal, apa gunanya aku berkecimpung di dunia kangouw ? ai, mereka benar-benar suatu pasangan yang setimpal, yang lelaki ganteng yang perempuan cantik."

"He, itu dia Jian jiu kun (pukulan seribu tangan) Tio Tayhiap juga datang," demikian seru seorang lagi. "Siaw lim pay sudah tujuh kali mengetuai pertemuan Hong-ti kedudukannya dalam pemilihan tahun ini tentu tidak boleh berpindah kepada orang lain. Tio Tayhiap adalah murid Siau lim pay dari keluarga preman, sudah tentu dia harus hadir."

Percakapan orang itu dapat didengar semua oleh Pwe giok, tapi dia tidak memandangnya, dengan sendirinya orang lainpun tidak memperhatikan seorang jembel semacam dia.

Setiba di Hongciu, malam sudah larut. Dia tidak masuk ke kota, tapi berbaring seadanya di emper sebuah hotel kecil di luar kota.

Malam semakin larut, orang lain sudah tidur semua. namun menghadapi pertemuan Hong Li yang sudah dekat di depan mata, mana Pwe giok dapat tidur nyenyak, meski matanya terasa sepat, tapi masih terbelalak dan melamun:

"Apakah Lim Soh koan, Ong Ih lau dan lain-lain juga akan hadir di Hong-ti? Sesungguhnya apa yang hendak mereka lakukan ? mengapa mereka berkeras menyatakan ayahku belum meninggal dunia ? apakah mungkin......"

Mendadak terdengar seorang berkata: "Ang lian hoa (bunga teratai merah), pek lian ngau (ubi teratai kecil), sebatang gala bambu menjelajah dunia"

Entah sejak kapan, seorang pengemis muda kurus kecil dengan mata besar, tangan memegang sebatang bambu, seang memandangnya dengan tertawa.

Pwe giok balas menyengir padanya, tapi tidak bicara. hakekatnya dia tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Pengemis muda berkedip-kedip, tegurnya kemudian dengan tertawa:

"kau bukan anggota Kay pang kami ?"

Pwe giok menggeleng sebagai tanda bukan.

"Jika kau bukan orang Kay pang, mengapa dandananmu mirip benar si tukang minta-minta, tidurmu juga ditempat kaum pengemis," kata si jembel muda itu dengan tertawa.

"sungguh aneh, kalau kau menyaingi pekerjaan lain masih dapat dimengerti, jasa pekerjaan mengemis juga ingin kau rebut?"

"O, maaf." jawab Pwe giok sambil menyengir berbangkit dan melangkah keluar emper rumah, berdiri termangu-mangu di bawah langit yang penuh bertabur bintang.

Pengemis muda tadi memandangnya tanpa berkedip, ia merasa orang ini sangat menarik, ia tutul bahu Pwe giok dengan ujung galanya dan bertanya pula:

"Dari logat suaramu, agaknya kau datang dari Kang-lam ?" secara singkat Pwe giok mengiakan.

"Siapa namamu ?" tanya pula pengemis muda itu.

Pwe giok menoleh dan memandangnya beberapa kejap, ia merasa sepasang mata yang besar itu seperti kelihatan licin dan nakal, tapi mengandung maksud baik tanpa bermaksud jahat, dengan tertawa ia lantas menjawab:

"Namaku Ji Pwe giok."

"Aku Lian Ang ji (Lian si anak merah)." kata jembel muda dengan tertawa.

"Soalnya baju yang kupakai meski compang-camping, tapi selalu berwarna merah."

"O, kiranya Lian heng ( saudara Lian)," kata Pwe giok.

"Haha, boleh juga kau ini, ternyata sudi berbicara dengan si tukang minta nasi," ujar Lian Ang ji dengan bergelak tertawa.

"Tapi aku sendiri ingin minta nasi saja tidak kuat", tukas Pwe giok sambil menyengir.

Tambah mencorong sinar mata Lian Ang ji, katanya perlahan:

"Kulihat dasar ilmu silatmu tidaklah lemah, kalau bukan anak murid keluarga persilatan tentu tak dapat terpupuk dasar sekuat ini, tapi mengapa kau menyaru sedemikian rupa?"

Pwe giok terkejut, jawabnya :

"Aku tidak menyamar, aku tidak mahir ilmu silat."

Seketika Lian ang ji menarik muka, jengeknya:

"Kau berani mendustai aku?"

Mendadak gala bambunya bergerak, secepat kilat ia tutul Long si hiat di dada Ji Pwe giok, hanya dalam sekejap saja ujung gala bambunya bergetar, hampir seluruh Hiat to penting di tubuh Pwe giok terancam di bawah gala bambu.

Karena sedang tertimpa malang, Pwe giok merasa setiap orang di dunia ini bisa jadi adalah utusan musuh yang tak kelihatan itu, maka cepat ia ia mendak ke bawah dan menyurut mundur.

Tak tersangka Lian ang ji juga lantas menarik kembali galanya, ia tatap Pwe giok dengan tajam dan menjengek pula:

"Masih muda belia sudah suka berdusta, kalau sudah besar kan lebih celaka !"

Pwe giok menunduk, katanya:

"Sungguh ada... ada kesukaranku yang tak dapat kujelaskan."

"O, tidak dapat kau katakan padaku ?" tanya Lian ang ji.

"Jika kaupun mempunyai sesuatu rahasia, apakah mungkin kau katakan kepada orang yang tak pernah kau kenal ?" Pwe giok balas bertanya

Lian ang ji memandangnya dengan melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata pula dengan tertawa:

"Tepat sekali pertanyaanmu, tampaknya kau lemah lembut, agaknya kau tidak suka banyak bicara. Tak kusangka sekali bicara lantas begini tajam."

Dengan kemalas-malasan Lian ang ji merebahkan diri lantas berkata pula dengan kemalas-malasan:

"Cuma, perjalananmu ini mungkin akan sia-sia belaka, kau tak dapat hadir di pertemuan Hong-ti nanti."

Kembali pwe giok terkejut, serunya:

"He, dari… darimana kau tahu?......"

"Mataku ini adalah kaca penyorot siluman, siapapun juga asalkan kupandang tiga kejap, pasti kutahu dia berasal dari apa," demikian jawab Lian ang-ji dengan tertawa.

Pwe-giok pandang mata orang dengan rasa kejut, heran dan juga kagum.

Lian Ang-ji lantas memandang ke langit dan berkata pula dengan tak acuh: "Pertemuan Hong-ti bukanlah tontonan umum dan boleh dihadiri setiap orang, yang boleh hadir adalah anak murid ke 13 Mui-pay (golongan dan aliran) yang menjadi sponsor pertemuan ini, orang luar harus membawa kartu undangan. Dan kau?"

"Aku…..aku bukan anak murid ke 13 Mui-pay itu dan juga…. juga bukan tamu yang diundang," jawab Pwe-giok dengan menunduk.

"Jika begitu, lebih baik sekarang juga kau pulang saja," kata Lian Ang-ji.

Pwe-giok terdiam sejenak. Tiba-tiba ia bertanya: "Apakah Kay-pang termasuk ke 13 Mui-pay itu?"

"Sudah tentu," jawab Lian Ang-ji dengan tertawa. "Selama lebih 40 tahun ini, meski setiap kali yang menjadi ketua perserikatan adalah Siau-lim-pay, tapi kalau Kay-pang kami tidak memberi dukungan, mustahil kedudukan itu tidak sejak dulu-dulu direbut oleh Bu-tong-pay atau Kun-lun-pay."

"Dan kalau aku dapat mencampurkan diri di tengah anggota kay-pang, kukira takkan diketahui oleh orang lain…. " demikian Pwe-giok bergumam sendiri.

"Haha, enak benar perhitunganmu," ujar Lian Ang-ji sambil tertawa.

Mendadak Pwe-giok berlutut di depan jembel muda itu dan memohon: "Kuharap Lian-heng sudilah memberi bantuan sekali ini saja. Tolonglah engkau bicarakan kepada Pangcu kalian, asalkan Siaute dapat hadir di sana, urusan lain tidak perlu lagi dikuatirkan."

Lian Ang-ji memandangnya dengan tertawa, katanya: "Kenal saja baru sekarang, mengapa harus kubantu kau?"

Pwe-giok melenggong, ucapnya kemudian: "Sebab…..sebab…. " ia menghela napas panjang dan bangkit. Sesungguhnya ia memang tidak dapat menjelaskan sebab apa…

Terpaksa ia angkat kaki. Lian Ang-ji juga tidak memanggilnya kembali, dengan tertawa ia memandangi kepergian Pwe-giok yang lesu dan menghilang dalam kegelapan, seperti halnya menyaksikan seorang yang hampir terbenam dan akhirnya tenggelam ke dasar sungai.

Dalam kegelapan, entah sudah berapa lama dan berapa jauh Ji Pwe-giok berjalan. Di depan masih tetap gelap gulita.

Sekonyong-konyong di depan ada gemerlapnya cahaya api, serombongan orang datang sambil bertepuk tangan dan berdendang: "Ang-lian-hoa (bunga teratai merah) pujaan beta. Orang jahat ketemu dia merangkak ketakutan, orang baik ketemu dia tepuk tangan memuji. Di seluruh kolong langit ini hanya ada sekuntum Ang-lian-hoa."

Pwe-giok tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, maka ia membelok ke arah lain. Tak terduga rombongan orang ini mendadak berkerumun maju dan mengitari di sekelilingnya. Ada yang bergelak tertawa, ada yang bertepuk tangan. Di bawah cahaya obor kelihatan orang-orang ini sama berbaju compang-camping dan telanjang kaki, ada tua ada muda.

Pwe-giok tercengang, belum sempat bicara. Orang-orang itu lantas bersorak-sorak gembira pula: "Ji Pwe-giok, orangnya cakap bagai kemala, tengah malam buta, kau mau ke mana?"

Berubah air muka Pwe-giok seketika, serunya: "He, bagaimana kalian kenal diriku?"

Seorang pengemis tua lantas tampil ke depan, ia memberi hormat dan berkata dengan tersenyum: "Pangcu kami mendengar kedatangan Ji-kongcu, maka kami diperintahkan menyambut…."

"Tapi aku sama sekali tidak kenal pangcu kalian," seru Pwe-giok bingung.

"Walaupun Kongcu tidak kenal Pangcu kami, tapi sudah lama Pangcu mendengar nama besar kongcu, sebab itulah kami sengaja disuruh menunggu kedatangan Kongcu di sini, bahkan kami disuruh mengantar sesuatu untuk Kongcu," demikian tutur pengemis tua itu dengan tertawa.

Karena pengalaman kematian ayahnya yang mengenaskan itu, terhadap segala sesuatu sekarang Pwe-giok selalu waspada, dengan mengepal tinju ia menjengek: "Baiklah, mana barangnya."

"Harap Kongcu jangan salah paham," ucap si pengemis tua pula. Yang hendak kami sampaikan ini bukanlah senjata tajam atau kepalan." Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat bersampul kuning dan dihaturkan dengan hormat: "Silahkan Kongcu memeriksanya dan segera akan jelas isinya."

Tanpa terasa Pwe-giok menerima sampul surat itu, tapi sekilas teringat lagi "surat maut" tempo hari itu, mendadak ia cengkeram leher baju si pengemis tua, ia sodorkan surat itu ke depan sambil membentak dengan bengis: "Coba kau jilat dulu surat ini!"

Pengemis tua itu tidak melawan, ia pandang Pwe-giok sekejap dengan tersenyum, ucapnya: "Cermat benar Kongcu ini."

Tanpa ragu ia benar-benar menjulurkan lidahnya dan menjilat sampul yang dipegang Pwe-giok itu, bahkan sehelai kartu di dalam sampul juga dijilatnya sekali, lalu berkata pula dengan tertawa:

"Sekarang Kongcu tidak perlu sangsi lagi bukan?"

Pwe-giok berbalik merasa rikuh dan melepaskan cengkeramannya, waktu ia keluarkan kartu di dalam sampul, yang tertulis ternyata berbunyi: "Mengundang dengan hormat atas kehadiran anda di pertemuan Hong-ti."

Keruan Pwe-giok terkesiap, waktu ia berpaling, rombongan kaum jembel itu sudah pergi semua, tertinggal onggokan obor saja yang masih gemerdep dalam kegelapan.

Memandangi api obor, Pwe-giok menjadi bingung pula. Siapakah gerangan Pangcu yang dimaksudkan itu? Mengapa menyampaikan kartu undangan ini kepadanya?

Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini kalau tidak lucu dan sukar dimengerti, tentulah misterius dan menyeramkan di samping keji dan ganas, tapi setiap kejadian juga sangat aneh dan sukar dibayangkan.

Entah berapa lama ia termenung sambil memegang kartu undangan itu. Tiba-tiba dalam kegelapan ada suara tindakan orang lagi.

Pwe-giok bermaksud pergi saja, tapi mendadak ada orang membentaknya: "Berhenti!"

Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi lagi dan siapa pula yang datang. Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini tiada satupun yang dapat menduga sebelumnya, orang yang ditemuinya juga tiada seorangpun yang dapat menerka asal usul serta maksud tujuannya.

Karena itu ia menjadi malas untuk memikirkannya. Dilihatnya yang datang sekali ini ada tujuh orang, dua diantaranya memakai jubah Tosu, seorang berbaju Hweshio, tiga lagi berpakaian ketat ringkas, orang terakhir adalah perempuan, memakai mantel bersulam.

Meski dandanan ke tujuh orang ini tidak sama, tapi semuanya tangkas, semuanya masih muda dan gagah, gerak-geriknya juga sangat gesit.

Seorang pemuda baju hitam ringkas berada paling depan, sinar matanya tajam mencorong, ia melotot pada Pwe-giok dan membentak: "Apa yang sahabat lakukan dengan berdiri di sini?"

"Hm, masa orang berdiri di sini saja tidak boleh?" jengek Pwe-giok.

Alis pemuda itu berjengkit, si Hwesio yang berdiri di sebelahnya lantas menyela dengan mengulum senyum: "Mungkin Sicu tidak tahu, lantaran pertemuan Hong-ti akan berlangsung besok, kebanyakan tokoh dunia persilatan sama hadir di sini, dalam pada itu tentu sukar terhindar kemasukan anasir-anasir jahat yang sengaja hendak mengacau. Maklum akan kemungkinan ini, para Ciangbun dari ke-13 Mui-pay yang menyelenggarakan pertemuan ini telah menugaskan pada anak muridnya untuk melakukan perondaan. Pinceng (Paderi miskin) Siong-cui dari Siau-lim, beberapa Suheng, berasal dari Bu-tong, Kun-lun, Hoa-san, Tiam-joa, Khong-tong, dan lain-lain"

Air muka Pwe-giok menjadi cerah, katanya: "Ah, kiranya kalian adalah murid terhormat dari Jit-toa-kiam-pay (ke tujuh aliran ilmu pedang beras) ..."

Si pemuda baju hitam sejak tadi terus mengincar kartu undangan yang dipegang Pwe-giok, mendadak ia bertanya: "Kartu undangan ini apakah milikmu ?"

Pwe-giok mengiakan.

Tak terduga, mendadak sinar pedang berkelebat, tahu-tahu ujung senjata orang sudah mengancam di depan batok kepalanya.

Pemuda baju hitam ini memang tidak malu sebagai murid perguruan ternama, hanya sekejap itu saja pedang sudah terlolos dan penyerang.

Karena tidak terduga-duga, sedapatnya Pwe-giok berusaha menghindar, walaupun berhasil, hampir saja daun telinganya terpapas, keruan ia menjadi gusar dan mendamperat: "Kenapa kau bertindak sekasar ini?. Apakah kau kira kartu undanganku ini palsu ?"

Pedang si baju hitam tampak gemerlapan dan mendesak maju pula, jengeknya: "Lihat serangan!"

Gerak serangannya itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya satu sama lain, tapi sejurus demi sejurus terus dilancarkan, berturut turut Pwe-giok menghindarkan tujuh belas kali barulah sempat berganti napas, teriaknya gusar: "He, apa-apaan ini ?"

Tiba-tiba si perempuan muda bermantel berucap dengan dingin: "Tanyai dulu baru bertindak kan belum lagi terlambat."

Menurut juga pemuda berbaju hitam itu. segera ia menarik kembali pedangnya, tapi mata juga melotot terlebih besar, bentaknya dengan bengis: "Baik, coba katakan, darimana kau peroleh kartu undangan ini ?"

"Pemberian orang," jawab Pwe giok.

"Hehehe, kawan-kawan sudah dengar, katanya pemberian orang!" demikian pemuda baju hitam itu terkekeh kekeh hina.

"Kenapa kau merasa heran ?" tanya Pwe giok. Siong-cui, si paderi Siau-lim-pay juga menarik muka, katanya dengan pelahan: "Kartu undanganmu ini tidak palsu, cuma terlalu tulen sehingga meragukan. Supaya Sicu maklum, dalam pertemuan Hong-ti ini, kartu undangan yang disebar ada tujuh macam. Kartu warna kuning ini paling terhormat, kalau bukan ketua sesuatu perguruan ternama, sedikitnya juga kaum Locianpwe yang disegani barulah mendapat kartu undangan ini. Tapi juga ketua ke 13 Mui-pay penyelenggara saja yang dapat mengirimkan kartu ini, sedangkan anda ..."

"Hehe, sedangkan anda tampaknya bukan orang yang mempunyai hubungan erat dengan ketua ke-13 Mui-pay penyelenggara," Sambung si pemuda baju hitam dengan tertawa dingin. "Jelas kartu undanganmu ini kalau bukannya kau curi tentu kau dapatkan dengan menipu."

Di tengah bentakannya, segera pedangnya menusuk pula. Sekali ini perempuan muda tadi tidak mencegahnya, ke tujuh orang bahkan sudah berdiri dalam posisi mengepung sehingga Pwe-giok terkurung di tengah.

Sungguh penasaran Pwe-giok tak terlampiaskan, tapi cara bagaimana dia dapat memberi penjelasan? Si "Pangcu" sialan yang memberi kartu undangan ini bukankah malah sengaja hendak membikin celaka padanya?

Serangan pedang si pemuda baju hitam tambah gencar, yang dimainkan adalah Hui hoa-kiam-hoat (ilmu pedang merontokkan bunga) dari Tiam jong-pay. Cepat, ganas, inilah keunggulan Tiam jong-kian-hoat.

Ilmu pedang inipun paling sukar dihindarkan lantaran Pwe-giok tidak menangkis dan balas menyerang, maka berulang-ulang ia harus menghadapi serangan berbahaya.

Si Perempuan muda tadi tampak berkerut kening, katanya: "Masa kau tidak menyerah saja, apakah kau ingin ..."

Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara tertawa nyaring panjang bergema melayang lewat di angkasa. Semua orang terkejut dan sama menengadah, tertampak sesosok bayangan berkelebat lenyap dalam kegelapan, tapi ada sesuatu benda melayang-layang jatuh ke bawah.

Sekali pedang si pemuda baju hitam mencungkit, benda itu tersunduk pada ujung pedangnya. Waktu diperiksa, kiranya sekuntum bunga teratai merah.

"Ang-lian-hoat?" seru pemuda baju hitam dengan air muka pucat.

Mendadak Siong-oui Hwesio memberi hormat kepada Ji Pwe-giok, katanya dengan tersenyum: "Kiranya sicu adalah sahabat baik Ang-lian-pangcu. Tecu tidak tahu sehingga bersikap kurang hormat, harap anda suka memberi maaf."

Cepat si pemuda baju hitam menambahkan: "Ai, mengapa engk ... Cianpwe tidak omong sejak tadi."

Pwe-giok sendiri melenggong sejenak, katanya kemudian: "Sesungguhnya akupun tidak kenal pada Ang-lian-pangcu ini."

"Ai, jika cianpwe bilang begini, betapapun Wanpwe menjadi serba susah." kata pemuda baju hitam dengan menunduk.

Pwe-giok hanya menyengir saja dan sukar memberi penjelasan.

Si perempuan muda tadi sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa manis: "Tecu Ciong Cing dari Hoa-san. Apabila Kongcu sudi, boleh silahkan istirahat dulu di tempat kami sana"

Segera si pemuda baju hitam mendukung usulnya: "Bagus sekali, besok pagi-pagi Tian-jong-pay kami pasti akan mengirim kereta kemari untuk menjemput anda untuk menghadiri pertemuan besar."

Pwe-giok berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab: "Ya, boleh juga"

Dengan demikian Ji Pwe-giok lantas diantar ke wisma tamu agung Hoa-san pay yang terang benderang. Tapi siapakah gerangan Ang-lian-pangcu itu sebenarnya tetap tak diketahuinya.

Ging-pin koan atau wisma tamu agung sepanjang malam terang benderang, ruang tamu sangat luas, tiada hiasan apapun kecuali tergantung potret yang besar. Pwe-giok mengamati potret itu satu persatu, dilihatnya ke - 14 potret orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada Hwesio ada Tosu, ada orang preman, ada perempuan dan ada pula pengemis, kedudukan dan usia tidak sama, tapi semuanya tampak kereng, anggun dan berwibawa.

Ciong Cing masih mengiring disamping Pwe-giok, dengan tertawa ia menjelaskan: "Inilah potret ke-14 tokoh Cianpwe dari ke-14 Mui-pay yang mensponsori pertemuan Hong-ti sejak pertama kalinya. Hal ini terjadi 70 tahun yang lalu, ketika itu dunia persilatan kacau balau, hampir tidak pernah aman dan tenteram. Tapi sejak ke-14 tokoh itu mengikat janji di Hong-ti, dunia Kangouw lantas aman dan damai, maka jasa ke-14 tokoh besar ini boleh dikatakan tiada taranya."

Pwe-giok entah mendengarkan tidak uraian Ciong Cing itu, dia hanya memandang termangu-mangu salah sebuah potret di tengah itu, tokoh yang terlukis di potret itu adalah seorang tua bermuka lonjong dan cerah dengan sikap yang tenang.

Dengan tertawa Ciong Cing lantas menyambung lagi ceritanya: "Mungkin kongcu merasa heran potret di tengah ini bukan Haon-im Taysu dari siau-lim dan juga bukan Thi-koh Tojin dari Butong. Hendaklah Kongcu maklum bahwa Ji-locianpwe inilah orang pertama yang menyelenggarakan pertemuan Hong-ti ini, kedudukan Bu-kek-pay pimpinan Ji-locianpwe di dunia Kangouw pada waktu itu sekali-kali tidak di bawah Siau lim-pay dan Bu-tong pay."

"Ya, kutahu." kata Pwe-giok pelahan sambil menghela napas.

"Tiga kali berturut turut Ji-locianpwe mengetuai perserikatan Hong-ti, meski kemudian beliau mengundurkan diri, tapi setiap tindak dan ucapannya masih berbobot. Baru 30 tahun yang lalu, ketika Ji-locianpwe menjabat ketua Bu kek pay, beliau baru sama sekali mengundurkan diri dari urusan perserikatan, sebab itulah dalam kartu undangan sekarang hanya tercantum ke 13 Mui-pay saja."

Meski cara bercerita Ciong Ling yang cantik ini sangat menarik akan tetapi tetap Pwe-giok tetap menunduk saja dengan wajah sedih.

Malam ini dia bergolek tak dapat tidur, sampai fajar sudah hampir menyingsing, baru saja dia akan terpulas, tahu-tahu suara Ciong Ling sudah terdengar di luar pintu kamar: "Kongcu sudah bangun belum? Nyo Kun-pi, Nyo-suheng dari Tiam jong-pay sudah datang menjemput anda."

Cepat Pwe-giok bangun dan menyambut keluar, dilihatnya kerlingan mata si nona masih tetap lembut, senyumnya tetap menggiurkan. Nyo Kun-pi dari Tiam-jong-pay itu kini tampak memakai baju kuning di luar bajunya yang hitam ketat, sikapnya masih tetap sangat menghormat seperti semalam.

"Kereta penyambutan mu kami sudah menunggu di luar, Ciangbun Cin-suheng kami juga menantikan kedatangan anda di atas kereta." demikian Nyo Kun-pi bertutur sambil memberi hormat.

Cepat Pwe-giok membalas hormat dan mengucapkan terima kasih.

Di wisma tamu agung itu sudah mulai ramai, banyak yang sedang latihan pagi, tapi Pwe-giok tidak memusingkan mereka, langsung dia ikut Ciong Ling dan Nyo Kun-pi keluar.

Benar juga, di luar sebuah kereta besar dengan empat kuda penarik yang tinggi besar sudah menunggu. Kereta itu sangat mewah dan longgar, di situ sudah berduduk sembilan orang.

Sekilas pandang Pwe-giok melihat diantara ke sembilan orang itu ada seorang pemuda berbaju kembang ungu, ada pula seorang nona berbaju kuning dan membawa pedang. Mungkin mereka inilah Sin-to-kongcu (Kongcu bergolok sakti) serta Kim-yang-cu (si walet emas). Selain itu ada pula seorang lelaki kekar bermuka ungu dan berbaju mentereng, dua orang Tosu yang berdandan serupa. Didekat jendela sebelah sana berdiri seorang pemuda dengan baju sutera kuning dan berpedang sarung hijau sedang melongok keluar dan bicara dengan seorang lelaki yang menuntun kuda.

Pwe-giok tak dapat melihat jelas sekaligus seluruh penumpang kereta itu, tapi iapun tidak memandang lebih lanjut. Orang lain tidak menghiraukan dia, iapun tidak perdulikan orang lain, dia tetap berduduk dan menunduk.

"Sampai bertemu di tengah rapat... " seru Ciong Ling sambil melambaikan tangannya kepada Pwe-giok ketika kereta mulai berangkat.

Setelah pintu kereta ditutup dan kereta sudah mulai bergerak barulah pemuda baju kuning tadi menarik kepalanya dan membalik tubuh, tanyanya dengan tertawa: "Yang manakah sahabat Ang-lian-pangcu?"

Waktu Pwe-giok mengangkat kepalanya, sungguh kagetnya tidak kepalang. Dilihatnya sorot mata pemuda baju kuning itu mencorong tajam meski mukanya putih pucat, jelas pemuda inilah yang membunuh ayahnya, Ji Hong-ho, secara keji itu.

Karena mendengar Pwe-giok adalah sahabat Ang-lian-pangcu, semua orang lantas berubah sikap dan sama memandang ke arah Pwe-giok, terlihat mata Pwe-giok melotot dan memandang pemuda baju kuning dengan beringas.

Tapi pemuda baju kuning lantas berkata dengan tertawa hampa "Cayhe Cia Thian-pi dari Tiam-jong, juga sahabat lama Ang-lian-pangcu, entah siapa nama anda yang terhormat?"

Mendadak Pwe-giok berteriak dengan suara parau: "Meski kau tidak... tidak kenal padaku, tapi... tapi kukenal kau..." berbareng itu ia terus menubruk maju, kedua tinjunya menghantam sekaligus, tidak kepalang dahsyat angin pukulannya sehingga para penumpang kereta sama terkesiap.

Pemuda baju kuning Cia Thian-pi seperti terkejut juga, sekuatnya ia menghindarkan serangan Pwe-giok itu, lalu membentak: "Apakah maksudmu ini ?"

Pwe-giok melancarkan pukulan pula sambil berkata dengan menggertak gigi: "Hari ini jangan kau harap akan kabur? sudah lama kucari kau!"

Kejut dan dongkol pula Cia Thian-pi, untung ruangan kereta ini cukup longgar, dia sempat berkelit kian kemari dengan lincah, setelah mengelak lagi beberapa kali pukulan, dengan gusar ia membentak: "Selamanya kita belum kenal, mengapa kau..."

"Utang darah yang terjadi di luar kota Lengcu enam hari yang lalu sekarang harus kau bayar dengan darahmu!" teriak Pwe-giok murka, tangan bergerak ke atas, tangan kiri terus menonjok dengan jurus "Ciok-boh-thian-keng" atau batu hancur mengejutkan langit.

Karena sudah kepepet, terpaksa Cia Thian-pi menangkis serangan ini. "Blang", dua tangan beradu dan menerbitkan suara kulit dipukul kayu, Cia Thian-pi tergetar mundur dan menubruk pintu kereta.

Pwe-giok tidak memberi kelonggaran, secara berantai kedua kepalan menghantam pula.

"Berhenti!" mendadak beberapa orang membentak, tahu-tahu tiga batang pedang sudah mengancam di punggung Pwe-giok, dua gaetan tajam menggantol bahunya, sebilah belati yang mengkilap juga mengancam didada kirinya, ujung belati terasa sudah menyentuh kulit, dalam keadaan demikian mana Pwe-giok berani bergerak pula.

Kereta itu masih terus dilarikan ke depan, wjah Cia Thian-pi bertambah pucat, dengan gusar ia bertanya: "Apa katamu tadi? Di luar kota Lengcu apa? utang darah apa maksudmu? sungguh aku tidak mengerti!"

"Kau pasti mengerti!" teriak Pwe-giok, mendadak ia menjatuhkan tubuhnya ke kiri, menumbuk Tojin sebelah kiri yang bersenjata gaetan, menyusul tangan kanan menarik gaetan Tojin itu dan ditangkiskan ke belakang sehingga kedua pedang yang mengancam punggungnya tersampuk pergi, waktu pedang ketiga hendak menusuk, ia mendahului menyikut perutnya sehingga orang itu menungging kesakitan.

Akan tetapi golok pendek atau belati yang mengancam dadanya tadi masih belum bergeser. Rupanya belati inilah senjata andalan Sin-to Kongcu atau si Kongcu golok sakti, dengan sorot mata setajam goloknya dia mengejek: "Ketangkasan anda memang harus dipuji, tapi ada urusan apa, hendaklah dibicarakan dengan baik-baik sambil berduduk saja?"

Sedikit belatinya bergerak, baju dada Pwe-giok sudah terobek dan kulit dadanya seperti tertusuk jarum, mau tak mau ia menurut dan berduduk kembali.

Orang yang disikut perutnya tadi masih menungging, saking sakitnya, dia belum sanggup berdiri lagi.

Keruan semua orang terkesiap. Seorang pemuda yang tidak terkenal ternyata sanggup mengadu pukulan dengan ketua Tiam-jong-pay yang tergolong tokoh terkemuka di kalangan anak muda jaman ini, lalu merobohkan tokoh ternama "Yu-liong-kiam" Go To, walaupun caranya rada jahil, namun cukup mengejutkan.

Lelaki kekar bermuka ungu sejak tadi hanya berduduk saja tanpa bergerak, mendadak ia berkata dengan bengis: "Tampaknya ilmu silatmu tidak lemah, tapi mengapa tindakanmu begini sembrono? Selamanya Cia-heng tidak kenal kau, mengapa kau menyerang orang secara ngawur? Jangan-jangan kau salah mengenali orang?"

"Hm, biarpun dia menjadi abu juga ku kenal dia" ucap Pwe-giok dengan menggreget. "Eman hari yang lalu, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia mencelakai ayahku dengan cara yang licik dan keji..."

"Persetan kau!" teriak Cia Thian-pi dengan penasaran. "Dari Tiam-jong langsung ku datang ke sini, jangankan tidak tahu menahu tentang ayahmu, hakekatnya tak pernah kulewatkan wilayah kota Lengcu"

"Apakah Benar kau tidak ke sana?" Pwe-giok meraung murka.

"Untuk itu aku bersedia menjadi saksi," kata salah seorang Tojin berjubah jingga tadi.

"Apa gunanya kau menjadi saksi?" teriak Pwe-giok.

"Apa yang dikatakan Sian-he-ji-yu tidak pernah bohong!" jengek si Tojin.

Pwe-giok melengak, nama "Sian-he-ji-yu atau dua kawan dari Sian -he-nia, sudah pernah didengarnya. Konon ilmu silat kedua orang bersaudara ini tidak terlalu tinggi, tapi terkenal jujur dan setia kawan, apa yang diucapkan mereka jauh lebih dapat dipercaya daripada paku yang kelihatan di dinding.

Walaupun begitu, masa mata Pwe-giok sendiri tidak dapat dipercaya dan malah harus disangsikan?

"Apa yang dapat kau katakan lagi sekarang?" ujar Sin-to Kongcu. Pwe-giok hanya menggertak gigi kencang-kencang dan tidak bicara pula.

Akhirnya si Yu-liong-kiam Go To dapat berduduk tegak, dengan suara penasaran ia lantas berkata: "Sebelum pertemuan besar, orang ini sengaja datang mencari perkara kepada Cia-heng, dia pasti tidak bertindak sendiri, tentu masih ada dalangnya dengan muslihat tertentu, kita jangan membebaskan dia."

Sejak tadi Kim-yan-cu hanya menonton saja tanpa bersuara, kini mendadak menjengek: "Betul, kalau Go-tayhiap ingin membalas sakit hati karena disikut tadi, boleh kau bunuh dia saja."

Muka Go To menjadi merah, ingin bermaksud bicara pula, tapi melihat pedang yang tergantung di pinggang si nona dan Giok-liong-to yang terhunus di tangan Sin-to Kongcu, akhirnya ia urung buka mulut.

Setelah berpikir sejenak, kemudian Cia Thian-pi berkata: "Lalu bagaimana baiknya kalau menurut pendapat nona Kim?"

Tanpa memandang sekejap pun kepada Ji Pwe-giok, Kim-yan-cu berkata: "Kukira orang ini kurang waras, lempar dia keluar saja dan habis perkara."

"Kuharap betul dugaan nona, lantas...."

Belum habis ucapan Cia Thian-pi, mendadak Sin-to Kongcu berseru: "Tidak, seumpama dia dilepaskan, sebelumnya harus kita tanyai sejelasnya."

Kim-yan-cu mendengus dan melengos ke sana dengan mendongkol.

"Kupikir betul," segera Go To mendukung usul Sin-to Kongcu. "Melihat ilmu silatnya, dia jelas bukan sembarang orang, hendaklah Kongcu..."

"Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tidak perlu kau repot," jengek Sin-to Kongcu.

Pwe-giok tidak bicara apa-apa, sesungguhnya memang tidak ada yang perlu dibicarakannya.

Sementara itu kereta sudah berhenti, terdengar suara ramai di luar seperti pasar.

Dengan tertawa Cia Thian-pi berkata: "Karena terlalu sibuk, biarlah orang ini kuserahkan kepada Suma-heng, tapi Ang-lian-pangcu...."

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seorang berseru di luar: "Apakah Cia-tayhiap berada di dalam kereta? Adakah seorang Ji-kongcu ikut datang menumpang kereta ini?"

Menyusul ia lantas melongok ke dalam kereta melalui jendela. Siapa lagi dia kalau bukan si pengemis tua yang menyampaikan kartu undangan kepada Ji Pwe-giok itu.

Serentak Sian-he-ji-yu tertawa dan menyapa: "He, Bwe Su-bong, sekian tahun tidak berjumpa, tampaknya kau terus sibuk setiap hari tanpa urusan."

"Tapi hari ini aku ada urusan," jawab si pengemis tua bernama Bwe Su-bong itu dengan tertawa. "Pangcu kami menugaskan diriku menyambut tamu, selesai pekerjaanku nanti akan kucari kalian untuk minum tiga ratus cawan."

Pengemis tua itu seperti tidak melihat golok di tangan Sin-to Kongcu yang masih mengancam di dada Ji Pwe-giok, segera ia membuka pintu kereta dan menarik Pwe-giok keluar, berbareng ia menyapa dengan tertawa: "Ji-kongcu, kau tahu, Mui-pay yang paling miskin di dunia Kangouw ini adalah Kay pay kami, dan paling kaya adalah Tiam jong pay. Sungguh mujur Kongcu dapat kemari dengan menumpang kereta semewah ini. Eh, Cia tayhiap, terima kasih banyak-banyak, bilamana ada tempo, lain hari Pangcu kami akan mengundang engkau minum arak."

Air muka Sin-to Kongcu tampak sangat buruk, entah menyengir entah meringis, dengan mata terbelalak ia menyaksikan Bwe Su-bong menarik keluar Ji Pwe-giok tanpa berani bersuara sepatah kata pun.

Dalam pada itu, Cia Thian-pi sedang menjawab: "Sampaikan salamku kepada Ang lian Pangcu, katakan aku pasti akan datang bila diundang."

Di luar suasana hiruk pikuk, tapi pikiran Pwe-giok terlebih kusut.

Sudah jelas Cia Thian-pi ini adalah pemuda yang membunuh ayahnya, masa bisa keliru?

Tapi siapa pula gerangan Ang-lian Pangcu ini? Mengapa berulang-ulang menolongnya?

Didengarnya Bwe Su-bong sedang membisikinya: "Jangan melamun, coba berpalinglah ke sana."

Tanpa terasa Pwe-giok menoleh, dilihatnya sepasang mata yang bening di dalam kereta tadi sedang memandangnya dengan sorot mata yang mesra dan juga dingin.

Bwe Su-bong menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa pelahan: "Walet kecil ini berduri, apalagi selalu dikintil oleh gentong cuka, cukup kau pandang sekejap saja, sekarang lebih baik memandang keramaian di depan sana."

-o0o-

Hong-ti adalah nama sebuah tempat yang sudah terkenal sejak jaman Cunciu, terletak di selatan kota Hongciu di Propinsi Holam.

Tempat ini sejak dahulu sering menjadi tempat pertemuan orang-orang penting. Maka pertemuan besar Hong-ti sekarang juga ingin memperlihatkan kebesarannya, nyatanya suasananya sekarang memang tidak kurang semaraknya daripada jaman dulu.

Bangunan kuno Hong-ti kini sudah runtuh semua, keadaan tempat ini hanya berwujud tanah lapang belaka seluas ratusan li.

Di lapangan seluas ratusan li ini sekarang kepala manusia berjubel-jubel sehingga sukar dihitung berapa jumlahnya dan juga tidak jelas siapa mereka, tapi setiap orang yang hadir ini jelas terhormat, kepala mereka sedikitnya bernilai ribuan tahil emas.

Semua orang sama mendongak memandangi 13 panji besar yang berkibar tertiup angin di atas sebuah panggung raksasa seluas belasan meter persegi itu, asap tampak mengepul di atas panggung laksana gumpalan awan.

Sambil menunjuk sehelai panji kuning dengan tertawa Bwe Su-bong berkata kepada Ji Pwe-giok: "Kuning adalah warna kebesaran, panji kuning ini hanya boleh digunakan Siau lim pay yang mengetuai dunia persilatan ini. Agama To suka pada warna ungu, panji ungu itu adalah tanda pengenal Bu tong pay, sedangkan panji dengan sulaman naga itu adalah tanda pengenal Kun lun pay, angker benar tampaknya panji mereka...."

Pwe-giok melihat di antara panji-panji itu ada sehelai panji yang terbuat dari sepuluh jalur kain yang berbeda warnanya, ia bertanya: "Panji ini mungkin adalah pengenal Pang kalian."

Bwe Su-bong mengiakan dengan tertawa, katanya: "Kay pang kami adalah kumpulan kaum jembel, kami kumpulkan sisa kain panji orang lain, lalu kami sambung dan jahit menjadi sebuah panji, satu peser pun tidak perlu keluar, praktis dan hemat."

"Entah berada di mana Ang-lian Pangcu kalian sekarang, Cayhe sangat ingin menemuinya," kata Pwe-giok.

"Di bawah setiap panji pengenal itu ada sebuah tenda, di situlah Pangcu kami beristirahat," tutur Bwe Su-bong. Segera mereka menyibak kerumunan orang banyak dan menyusur ke depan, kebanyakan orang yang melihat Bwe Su-bong hampir semuanya memberi hormat dan menyapa.

Diam-diam Pwe-giok membatin: "Selama ratusan tahun ini Kay pang tetap bertahan sebagai Pang terbesar di dunia Kangouw, dengan sendirinya anak muridnya juga lain daripada perguruan lain. Mengingat anggotanya berjumlah ratusan ribu, harus menjaga kehormatan perkumpulan dan mempertahankan kedudukan, andaikata Ang-lian Pangcu ini bukan manusia tiga kepala berenam tangan, paling sedikit dia harus memiliki kepandaian maha sakti. Padahal, selamanya aku tidak pernah berkecimpung di dunia Kangouw, bilakah pernah kukenal tokoh semacam ini, mengapa dia mengakui diriku sebagai sahabatnya?"

Makin dipikir makin bingung. Sementara itu sebuah tenda besar sudah kelihatan di depan. Di antara satu dengan tenda lain berjarak puluhan meter dan dijaga oleh berpuluh muda-mudi yang ronda kian kemari, sikap mereka gagah dan cekatan, dandanan tidak sama, bisa jadi mereka adalah anak murid pilihan ke-13 Mui-Pay penyelenggara pertemuan Hong-ti ini.

Belum lagi mereka mendekati tenda itu, seorang Tosu muda berbaju ungu sudah menyongsong kedatangan mereka, setelah mengamati Pwe-giok sekejap, Tosu itu memberi hormat dan menyapa: "Baru sekarang Bwe locianpwe datang? Tuan ini...."

"Supaya To-heng maklum, saudara ini adalah tamu Pangcu kami, Ji-kongcu," jawab Bwe Su-bong dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pwe-giok dan berkata: Kartu undangannya..."

Segera Pwe-giok memperlihatkan kartu undangannya, lalu Tosu itu menyurut mundur dan memberi tanda: "Silahkan!"

Penjagaan ternyata sedemikian ketatnya, benar-benar satu langkah saja sukar dilalui. Baru sekarang Pwe-giok merasa dirinya memang beruntung. Ia coba memandang ke belakang sana, saat ini ksatria yang sedang longak-longok di sana dan tidak berdaya hadir di sidang sedikitnya ada puluhan ribu orang.

Sementara itu, Bwe Su-bong telah berada di luar kemah, ia memberi hormat ke arah pintu kemah sambil berseru: "Lapor Pangcu, Ji Kongcu sudah tiba."

Seorang di dalam kemah lantas berseru dengan tertawa: "Aha, mungkin dia sudah tidak sabar menunggu lagi, lekas disilahkan masuk."

Pwe-giok memang benar tidak sabar lagi, sungguh ia ingin lekas-lekas melihat bagaimana macamnya Ang-lian Pangcu yang misterius ini. Baru saja Bwe Su-bong menyingkap tenda dan menyilakan, segera ia menerobos masuk dengan langkah lebar.

Dilihatnya di tengah kemah yang luas ini hanya terdapat sebuah meja rongsokan, dua bangku panjang, sungguh sangat menyolok perbedaannya dengan kemah yang tampak mewah dari luar ini.

Seorang kelihatan bersidekap di atas meja, entah sedang menulis atau kerja apa, dari belakang hanya tampak rambutnya yang kusut dan tidak tahu bagaimana raut wajahnya.

Terpaksa Pwe-giok memberi hormat dari jauh: "Teecu Ji Pwe-giok menyampaikan sembah hormat kepada Ang-lian Pangcu."

Baru sekarang orang itu menoleh, katanya dengan tertawa: "Apakah Ji-heng masih kenal padaku?"

Tertampak tubuhnya yang kurus kecil dengan baju merah yang compang-camping, kedua matanya justru bening dan mencorong terang seakan-akan sekali pandang saja dapat menembus isi hatimu.

Pwe-giok melengak dan menyurut mundur, katanya dengan tergagap: "Jadi an...... anda inilah Ang-lian Pangcu?"

"Bunga teratai merah, ubi teratai putih, dengan sebatang gala menjelajah dunia!" orang itu tertawa dan berdendang pula.

Ang-lian Pangcu yang termashur ini ternyata bukan lain daripada Lian Ang-ji, si pengemis muda yang cerdik dan jahil yang ditemui Pwe-giok di emper rumah kemarin malam itu.

Pwe-giok sampai melongo dan tak dapat bicara.

"Apakah kau heran?" tanya Ang-lian-hoa atau si bunga teratai merah dengan tertawa. "Padahal, untuk menjadi Pangcu tidak mutlak harus seorang tua. Misalnya Ketua Tiam-jong pay sekarang usianya juga belum ada 30, Ketua Pek-hoa-pang juga baru berumur likuran."

"Cayhe hanya heran, selama hidup Cayhe tidak kenal Pangcu, sebab apa Pangcu memberi bantuan sebesar ini?" ujar Pwe-giok.

Ang-lian Pangcu terbahak-bahak, katanya: "Tidak ada sebab apa-apa, hanya karena merasa cocok saja. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bahwa di dunia Kangouw ini banyak sekali orang yang berwatak aneh. Ada orang hendak membikin celaka padamu tanpa kau tahu apa sebabnya, ada pula orang membantu kau secara membingungkan kau."

Tergerak hati Pwe-giok mendengar kata-kata yang penuh arti ini, ia menghela napas dan menjawab: "Ya, betul......"

Mendadak Ang-lian Pangcu berhenti tertawa, sorot matanya menatap Pwe-giok tajam-tajam, lalu menambahkan: "Apalagi, melihat gerak-gerikmu, soal kau dapat menghadiri pertemuan Hong-ti atau tidak, tampaknya sangat besar sangkut-pautnya dengan dirimu."

"Ya, besar sekali sangkut-pautnya, menyangkut soal mati dan hidup!" jawab Pwe-giok denga pedih.

"Itu dia," kata Ang-lian Pangcu. "Maka kalau banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dapat menghadiri rapat besar ini, sebaliknya kau tidak dapat, bukankah hal ini sangat tidak adil? Dan segala apa yang tidak adil di dunia ini, aku justru ingin ikut campur."

"Sungguh Cayhe sangat berterima kasih atas kebijaksanaan Pangcu," kata Pwe-giok dengan tunduk kepala.

Mendadak Ang-lian Pangcu berkata pula dengan mengulum senyum: "Apalagi tidak lama lagi kau akan menjadi Ciangbunjin (ketua) Bu-kek pay, tatkala mana sekalipun kami mengundang kehadiranmu mungkin akan kau tolak."

Seketika Pwe-giok mendongak dan berseru: "Dari....... darimana kau tahu....."

Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras, habis itu di luar kemah terdengar suara tetabuhan dibunyikan, menyusul seseorang lantas berteriak: "Pertemuan Hong-ti segera akan dimulai, dengan hormat para Ciangbunjin dipersilahkan menempati tempatnya masing-masing."

Suara orang itu sangat keras dan lantang sehingga berkumandang sampai jauh.

Ang-lian Pangcu lantas menggandeng tangan Ji Pwe-giok dan keluar kemah, katanya dengan tertawa: "Sudah menjadi kelaziman setiap orang yang menjadi Pangcu kaum jembel ini, bukan saja harus ikut campur urusan orang lain, bahkan juga harus serba tahu. Mengenai cara bagaimana aku mengetahui hal-hal sebanyak ini, kukira lain hari kau akan tahu sendiri."

-o0o-

Dikelilingi ke-13 kemah besar itu, di tengahnya adalah sebuah panggung raksasa, di seputar panggung sudah berkumpul para undangan, hampir semua inti ksatria di seluruh jagat telah berkumpul di sini.

Di atas panggung terdapat sebuah tungku tembaga ribuan kati, asap tampak mengepul bergulung-gulung dari tungku tembaga itu, di kedua samping tungku ada 13 buah kursi besar.

Saat itu ke-13 kursi sudah diduduki delapan atau sembilan orang, seorang Hwesio berjenggot putih dan berkasa kuning berdiri di depan tungku, meski perawakannya kurus kering, tapi sikapnya gagah dan kuat.

Di bawah panggung, di bagian depan, juga terdapat tiga baris kursi, yang duduk di situ rata-rata adalah tokoh-tokoh Bulim yang terhormat, tapi barisan kursi pertama masih kosong semua, entah diperuntukkan siapa kursi baris depan ini.

Dengan suara pelahan Ang-lian Pangcu lantas berkata kepada Pwe-giok: "Aku harus naik panggung untuk mulai bereaksi, silahkan kau cari suatu tempat duduk. Jika kau sungkan-sungkan, tentu orang lain yang beruntung."

Pwe-giok mengiakan. Baru saja ia mendapatkan suatu tempat duduk, dilihatnya Ang-lian Pangcu sudah membawa enam murid Kay-pang naik ke atas panggung diiringi dengan suara tetabuhan, orang yang bersuara lantang tadi segera berseru: "Ang-lian Pangcu dari Kay-pang!"

Suaranya berkumandang jauh, para hadirin sama mendongak, baru sekarang Pwe-giok melihat jelas wajah si pembawa acara yang mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya sebesar gundu, perawakannya tinggi.

Betapa tinggi perawakannya dapat dibandingkan ketika Ang-lian Pangcu lewat di sampingnya, ketua Kay-pang itu hanya setinggi pundaknya.

Namun pandangan semua orang justru terpusat kepada Ang-lian-hoa yang pendek kecil itu, sekalipun si pembawa acara lebih tinggi satu meter lagi juga tidak diperhatikan orang.

Tanpa terasa Pwe-giok tertawa senang.

Mendadak seorang di sebelahnya berkata: "Kawanmu begitu keren, kau pun ikut gembira, bukan?"

Suara itu kedengaran dingin dan angkuh, tapi nyaring merdu. Waktu Pwe-giok menoleh, dilihatnya sepasang mata yang bersinar dingin tapi juga mesra itu.

Kiranya tanpa sengaja ia kebetulan berduduk di sebelah Kim-yan-cu. Terpaksa ia menjawabnya dengan menyengir saja.

Belum lagi dia buka suara, mendadak Sin-to Kongcu berbangkit dan berkata kepada Kim-yan-cu: "Adik Yan, marilah kita pindah tempat duduk saja,"

"Memangnya tempat ini kenapa?" jengek Kim-yan-cu.

"Tempat ini mendadak berbau busuk," kata Sin-to Kongcu.

"Kalau kau bilang bau busuk, boleh kau pindah sendiri saja, aku tetap duduk di sini," ujar Kim-yan-cu.

Pwe-giok tidak tahan, segera ia berdiri dan bermaksud melabrak orang, tapi tangan Kim-yan-cu yang halus sempat menariknya.

Melihat itu Sin-to Kongcu tambah gregetan, ia melototi Pwe-giok. Lalu berkata dengan gemas: "Baik, aku akan pindah ...." mulut bicara begitu, tapi pantatnya tetap duduk di tempat semula.

Diam-diam Pwe-giok tertawa geli, tapi juga serba runyam. Meski dia belum pernah merasakan pahit getirnya "cinta", tapi sudah dapat dibayangkannya rasanya pasti manis juga getir dan memusingkan kepala. Melihat sorot mata Kim-yan-cu yang dingin hangat itu, entah mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat kepada kerlingan mata Lim Tay-ih:

Kerlingan mata yang lembut dan juga keras, begitu bening sorot matanya, tapi entah mengapa selalu mengandung perasaan rawan dan penuh misteri, seakan-akan rela menyerahkan segalanya kepadanya, tapi entah sebab apa pula si nona tega menipunya dan mencelakainya dengan menyangkal keterangan yang pernah dikatakan kepadanya itu.

Selagi dia melamun sendiri, mendadak terdengar si protokol berteriak pula: "Hay-hong Hujin, Pangcu Pek hoa pang tiba!"

Pwe giok terkejut dan cepat menengadah, segera tercium bau harum menusuk hidung, dilihatnya 12 gadis berbaju sutera dan berhias bunga mutiara di kepalanya menggotong sebuah tandu penuh hiasan bunga beraneka warna muncul dari sebelah kiri. Bau harum bunga semerbak itu tersiar jauh, biarpun orang yang berdiri paling belakang juga pasti dapat menciumnya.

Di dalam tandu yang penuh bertumpukan bunga itu bersandar seorang perempuan cantik tiada bandingannya dengan baju sutera tipis, pelahan-lahan ia turun dari tandunya dengan dipapah oleh dua gadis cantik.

Baju suteranya yang tipis panjang itu melambai-lambai, tubuhnya meliuk lemas seperti tak bertenaga, seakan-akan berjalan saja malas, dengan setengah bersandar pada kedua dayang yang memapahnya itu, pelahan-lahan ia naik ke atas panggung.

Melihat pinggangnya yang ramping, hampir semua orang sama menahan napas, sampai agak lama baru semua orang menyadari mereka belum melihat jelas wajah si jelita. Maklum, gayanya saja sudah membuat sukma mereka melayang ke awang-awang sehingga mereka lupa untuk melihat wajahnya.

Mendadak Kim-yan-cu menghela napas pelahan, ucapnya: " Sicantik dipapah lemas tak bertenaga, ratusan bunga paling indah bunga Hay-hong .... Ai, nyonya Hay-hong-kun ini memang benar-benar cantik tiada bandingannya."

Ucapannya ini dengan sendirinya ditujukan kepada Ji Pwe-giok, tapi anak muda itu sama sekali tidak menggubrisnya, pandangannya masih terus berjelilatan kian kemari untuk mencari, di antara ke 13 Ciangbunjin penyelenggara pertemuan ini sudah datang 12 orang. tapi orang yang diharapkannya ternyata tiada seorangpun yang muncul.

Apakah jalan pikirannya yang keliru, jangan-jangan mereka memang tidak hadir.

Dalam pada itu di tengah kerumunan orang banyak sudah ramai orang berbisik-bisik: "He, mengapa Hi-ciangbun dari Hay-lam-kiam-pay belum nampak hadir?"

"Perjalanan dari lautan selatan terlalu jauh, mungkin dia malas datang."

"Tidak mungkin, kemarin dulu kulihat dia minum arak di restoran Wat-pinlau di kota Khay-hong, malahan telah terjadi tontonan yang menarik di sana."

"Wah, apa betul? Tontonan menarik apa?"

"Kebetulan Kim-si-ngo-hou (lima harimau keluarga Kim) juga minum arak di restoran itu, cuma lucu, mereka tergolong kawanan Kangouw, tapi Hi-tay ciangbun yang termasyhur itu ternyata tidak mereka kenal dan terjadilah pertengkaran. Hui-hi-kiam benar-benar pedang paling cepat di dunia, sekali sinar pedang berkelebat, tahu-tahu kelima Kim bersaudara lantas ...."

Mendadak ia berhenti bicara, suara berisik itupun sirap.

Rupanya mereka terkesiap ketika mendadak melihat seorang pendek gemuk berbaju hijau dengan perut gendut telah muncul. Topi yang dipakainya sudah melorot hingga hampir terjatuh, dada bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, pedang yang tergantung di pinggangnya sangat panjang hingga menyeret tanah, ujung sarung pedang sudah pecah tergosok-gosok, ujung pedang yang menongol dari lubang yang pecah itu kelihatan mengkilap.

Meski dipandang orang sebanyak itu, tapi si gendut anggap tidak tahu saja, dia tetap berjalan dengan sempoyongan menuju ke panggung. Dari jauh sana Pwe giok dapat mengendus bau arak yang memenuhi tubuh si gendut.

Si protokol berkerut kening melihat kedatangan orang ini, namun tidak urung ia lantas berteriak :

"Hi tayhiap, ciangbunjin Hay lam kiam pay tiba!"

Mendengar suara ini, ahli pedang dari ke 18 pulau di lautan selatan yang terkenal dengan julukan "Hui hi gway kiam" atau pedang kilat ikan terbang ini, baru membetulkan topinya yang miring itu, lalu naik ke atas panggung dan berseru sambil tertawa:

"Jangan-jangan kehadiranku ini agak terlambat, maaf-maaf !"

Ketua Siau lim si, yaitu si Hwesio kurus kering tadi, masih tetap berduduk tenang dan memberi salam.

Seorang tosu berjubah hitam dengan mata tajam seperti elang dan bertulang pipi menonjol lantas mendengus:

"Hmm, lambat sih tidak, biarpun Hi heng minum lebih banyak juga takkan terlambat."

Hui hi kiam berkedip-kedip, ucapnya dengan tertawa :

"Minum arak adalah suatu kenikmatan, orang yang tidak biasa minum mana tahu kenikmatannya, Khong tong pay kalian pantang minum arak, apa yang dapat kukatakan dengan kalian ?"

Mendadak tosu jubah hitam itu berbangkit, teriaknya dengan bengis:

"Pertemuan Hong yi ini sekali-kali tidak boleh memberi kelonggaran kepada manusia-manusia pemabukan dan gila perempuan ini !"

Dengan kemalas-malasan Hui hi kiam khek Hi soan berduduk di kursinya dan tidak menggubris lagi kepada si tosu.

Thian in taysu dari Siau lim pay lantas berkata dengan tersenyum:

"Coat ceng toheng hendaklah jangan marah dulu...."

"Orang ini menyepelekan pertemuan besar ini hanya karena minum arak, jika tidak diberi hukuman setimpal, cara bagaimana kita dapat menegakkan disiplin ?" teriak Coat ceng cu, si tosu tadi dengan gusar.

Thian in taysu berpaling memandang Jut tun Totiang dari Bu tong pay. terpaksa tosu yang alim ini berdiri dan angkat bicara:

"Hi tayhiap memang bersalah, tapi...."

Mendadak Ang lian pangcu bergelak tertawa dan menyeletuk:

"Apakah para hadirin mengira kelambatan Hi tayhiap ini benar-benar lantaran minum arak dan lupa daratan ?!"

Dengan tersenyum Jut Tun Totiang menjawab:

"Silahkan Ang Lian pangcu memberi keterangan, pemberitaan Kay pang dengan sendirinya jauh lebih cepat daripada orang lain."

Segera Ang lian hoa berseru :

"Semalam Hi tayhiap berhasil memancing "Hun Lin Jit hong" (tujuh kumbang hutan bedak) ke Tong Wah siang dan sekaligus membunuh mereka, Hi tayhiap telah menyelamatkan sanak keluarga perempuan yang ikut menghadiri pertemuan ini dari kemungkinan diganggu oleh kawanan kumbang itu, untuk mana aku Ang Lian hoa lebih dahulu mengucapkan terima kasih."

Keterangan ini membuat semua orang sama melengak.

Hun Lin jit hong adalah kawanan penjahat yang suka mengganggu kaum wanita, kalau sampai mereka berhasil menyusup ke tengah-tengah rapat besar ini tanpa ketahuan, apabila ada anggota keluarga peserta yang tercemar kehormatannya, maka para ketua penyelenggara tentu akan kehilangan muka. Apalagi Siau lim pay sebagai ketua perserikatan ini, tanggung jawabnya lebih-lebih sukar terelakkan. Mau tak mau Thian in taysu terkesiap juga setelah mendapat keterangan Ang lian pangcu.

Tapi Hi soan hanya tersenyum tak acuh, katanya:

"Cepat amat berita yang diterima Ang lian pangcu. Padahal urusan sekecil ini untuk apa disebut-sebut ?"

"Mana boleh dikatakan urusan kecil." kata Thian in taysu dengan prihatin.

"Melulu jasa ini Hi tayhiap sudah pantas menjabat kedudukan bengcu (ketua perserikatan) ini, bila perlu Siau lim pay bersedia mengundurkan diri."

Kata-kata ini kalau diucapkan orang lain mungkin akan dianggap basa-basi saja, tapi ucapan yang keluar dari ketua Siau lim pay tentu saja lain bobotnya. seketika para hadirin sama melenggong.

Segera Hi soan menjawab dengan tegas:

"Jika Ang lian pangcu sudah tahu peristiwa ini, andaikan aku tidak turun tangan pasti juga Ang lian pangcu akan membereskan secara diam-diam, maka cayhe sama sekali tidak berani mengaku berjasa."

"Wah, jika begitu kan berarti kedudukan bengcu harus diserahkan kepada Kay-pang ?" cepat Ang Lian hoa menanggapi.

"Haha, kalau si tukang minta-minta menjadi Bulim bengcu, apakah bukan lelucon yang tidak lucu ? Budi luhur Thian in taysu cukup diketahui siapapun juga, maka kedudukan bengcu tahun ini kukira tetap dijabat taysu saja."

Thian in menghela nafas, katanya:

"Akhir-akhir ini sudah kurasakan keloyoanku, ku tahu tidak sanggup memikul tugas berat ini lagi, maka sudah lama ada maksudku mengundurkan diri, andaikan tidak terjadi peristiwa Hi tayhiap ini, soal ini tetap akan kukemukakan kepada sidang."

Biasanya kalau Siau lim pay mencalonkan diri, maka Mui pay lain tidak berani berebut lagi dengan dia. Tapi sekarang Thian in taysu ingin mengundurkan diri secara sukarela, seketika Jut tun totiang dari butong, Coat ceng cu dari Khong tong, Cia Thian pi dari Tiam jong, Liu Siok cin dari Hoa san pay, tokoh-tokoh ini menjadi besar harapannya untuk menjadi ketua.

Lin Siok cin tokoh wanita Hoa san pay yang cantik segera mendahului berseru dengan suara yang nyaring:

"Bu tong pay sudah sama-sama kita kenal kemampuannya, jika Thian in taysu ada maksud mengundurkan diri, Hoa san pay kami tidak sungkan-sungkan untuk mencalonkan Jut tuh toheng untuk menggantikannya."

"Hm, tidak sungkan-sungkan," jengek Coat ceng cu "Sayang aku tidak mempunyai adik perempuan yang menjabat sebagai ketua perguruan ternama dan tidak sungkan-sungkan untuk mencalonkan kakaknya sendiri."

Kiranya Liu Siok cin ini adalah adik kandung Jut tun totiang. Kakak beradik ini masing-masing mengetuai suatu perguruan ternama, sebenarnya biasanya suka dipuji oleh orang-orang persilatan, tapi sayang sekarang dijadikan bahan cemoohan Coat ceng cu.

Seketika alis Liu Siok cin menjengkit marah, tapi Jut tun totiang hanya tersenyum saja dan berkata:

"Jika demikian, biarlah aku mencalonkan Coat ceng toheng saja untuk menjadi bengcu."

Mendadak Cia Thian pi berteriak:

"Jika orang lain menjadi ketua, cayhe pasti setuju, kalau Khong tong pay yang menjadi ketua, 731 anggota Tiam Jong pay kami yang pertama-tama tidak tunduk."

Meski Tiam jong pay jauh berada di perbatasan propinsi Hualam, tapi akhir-akhir ini anggotanya bertambah banyak dan pengaruhnya besar, kekuatannya cukup mengimbangi Bu tong pay, dengan sendiri apa yang diucapkan ketuanya juga berbobot maka perkataan Cia Thian pi serentak mendapatkan sorak-sorai di bawah panggung.

Dengan mendongkol Coat ceng cu menjawab:

"Kalau begitu, jadi kedudukan ketua sekali ini harus kubereskan dulu dengan anda, begitu?"

"Bagus, memang sudah lama aku ingin belajar kenal dengan Coat-ceng kiam Khong-tong pay," kata Cia Thian-pi sambil meraba pedangnya.

Mendadak seorang tua berjubah sulam, berjenggot dan rambut ubanan, wajahnya penuh kudis berbangkit dan berteriak: "Atas nama 36 pangkalan laut pimpinanku, aku Auyang Liong mencalonkan Cia tayhiap dari Tiam-jong pay sebagai Bengcu, tentang Coat-ceng Totiang, kami…"

Belum habis ucapannya, seorang kakek botak di sebelahnya dengan wajah merah seperti anak muda, mendadak bergelak tertawa terhadap kakek tegap yang berbicara itu, lalu ia pun berseru: "Tiam-jong pay jauh terletak di perbatasan selatan sana, apabila Cia tayhiap menjadi Bengcu, maka Auyang Pangcu akan tambah berpengaruh dan meraja-lela di pangkalannya sendiri."

"Hm, apa maksudmu?" teriak Auyang Liong dengan gusar. "Orang lain takut kepada senjata rahasia berbisa keluarga Tong kalian dari Sujwan, orang she Auyang ini tidak nanti gentar."

"O, apakah kau ingin mencobanya?" tanya si kakek botak dengan tertawa. Baru tangannya bergerak, tahu-tahu Auyang Liong sudah melompat mundur.

"Hahaha, besar amat nyali Auyang Pangcu?" ejek kakek dengan tertawa.

Melihat suasana menjadi kacau, Thian-in Taysu tampak sedih, segera ia membuka suara. "Cara bertengkar kalian ini, bukankah bertentangan dengan maksudku yang sebenarnya?"

Dia berbicara dengan tenang, suaranya perlahan dan tertahan, tapi sekata demi sekata tetap berkumandang hingga jauh.

Mau tak mau, semua orang lantas diam. Mendadak seorang lelaki tinggi besar dengan muka hitam serupa si pembaca acara tadi tampil ke depan dan mendekati tungku tembaga, ia berjongkok sambil meludahi telapak tangannya, tungku yang beribu kati itu lantas diangkatnya tinggi-tinggi ke atas.

Serentak terdengarlah suara sorakan ramai, tanpa terasa Pwe-giok juga berseru memuji akan tenaga orang.

Segera Kim-yan-cu menanggapi pujian itu. "Orang ini adalah tokoh utama dunia persilatan di Kwan-gwa, orang menyebutnya "Bu-tek-thi-pah-ong" (Si raja maha kuat tanpa tandingan), kedua tangannya memang memiliki tenaga yang sukar diukur. Cuma sayang, meski anggota badannya berkembang melebihi orang lain, tapi otaknya terlalu sederhana."

Pwe giok tetap tidak menghiraukan si walet, dilihatnya Thi pah ong yang mengangkat tungku raksasa itu berjalan satu keliling di atas panggung lalu menaruh kembali tungku itu ditempat semula. Ternyata mukanya tidak merah dan napasnya tidak tersenggal, lalu ia berseru :

"Barang siapa sanggup mengangkat tungku ini dan berjalan tiga langkah saja, maka aku akan mengakui dia sebagai bengcu."

Meski yang berduduk di atas panggung ialah ketua dari berbagai aliran ternama, tapi tenaga sakti pembawaan demikian memang sukar tertandingi. Seketika suasana menjadi hening dan tiada yang bersuara.

Selagi Thi pah ong memandang ke sini dan mengerling kesana dengan bangga, tiba-tiba Hay hong hujin dari Pek hoa pang, mendekatinya dengan langkah lemah gemulai, dengan kerlingan mata genit ia berkata dengan tertawa:

"Hari ini dapat menyaksikan tenaga sakti Thi pah ong di sini, sungguh aku kagum tak terhingga."

Tidak menjadi soal jika Hay Hong hujin tidak ketawa, sekali ketawa, maka tidak cuma orangnya saja yang tertawa, bahkan alisnya, matanya, sampai bunga yang menghiasi sanggulnya seakan-akan juga tertawa semua.

Biarpun Thi pah ong adalah seorang lelaki kasar, melihat tertawa yang menggiurkan dan merontokkan sukma ini, mau tak mau ia terkesima lupa daratan, sejenak kemudian barulah ia berdehem-dehem, lalu berkata:

"Terima-kasih atas pujian Hujin."

Hay hong Hujin menengadah memandang wajah Thi pah ong, katanya pula dengan suara halus :

"Tenagamu yang maha sakti ini apakah benar timbul dari kedua tanganmu ini ?"

Dipandang dari jauh saja orang sudah mabuk oleh kecantikannya, apalagi sekarang dia berdiri di depan Thi pah ong, bau harum tersiar mengikuti suaranya, bau harum yang mirip Lan hoa (bunga anggrek) tapi bukan lan hoa, rasanya biarpun harum segala bunga di dunia ini berhimpun menjadi satu masih kalah harumnya daripada bau hay hong hujin ini.

Keruan Thi pah ong menjadi lemas, berdiri saja hampir tidak sanggup, ia mengangguk dan menjawab :

"Ya, timbul dari kedua tanganku ini."

"Apakah boleh ku pegang ?" pinta Hay hong hujin dengan lembut.

Muka Thi pah ong menjadi merah. katanya dengan gelagapan :

"Hu… Hujin..."

Tapi tangan Hay-hong Hujin yang mulus itu sudah mulai merabai tangan Thi-pah-ong yang kuat seperti besi itu, Thi-pah-ong terkesima seperti orang hilang ingatan, ia diam saja dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Mendadak terdengar Ang-lian-hoa membentak, "Awas Thi-heng..."

Thi-pah-ong terkejut, seketika terasa jari Hay-hong Hujin berubah sekeras baja, tahu2 setengah badannya terasa kaku.

Terdengar suara tertawa nyaring Hay-hong Hujin, tubuh Thi-pah-ong yang gede seperti kerbau itu telah diangkatnya.

Seorang lelaki sebesar itu diangkat begitu saja oleh seorang perempuan cantik yang tampaknya lemah tak bertenaga, pemandangan ini sungguh sangat berkesan dan sukar untuk dilupakan oleh siapapun yang melihatnya.

Semua orang menjadi tertegun dan tidak tahu apakah harus bersorak atau mesti tertawa, yang jelas tertawa tidak, bersorak juga tidak, menjadi bingung sendiri.

Perlahan-lahan Hay-hong Hujin menurunkan Thi-pah-ong ke tempatnya tadi, dibetulkannya baju orang yang kusut serta membenarkan rambutnya, lalu berkata dengan suara lembut, "Sungguh lelaki yang hebat, bilamana Bengcu harus dijabat oleh orang yang bertubuh paling besar dan berat, maka aku pasti mencalonkan kau."

Habis berkata dengan tersenyum manis dan langkah gemulai ia kembali ke tempat duduknya.

Meski tangannya sudah dapat bergerak, tapi terpaksa Thi-pah-ong menyaksikan si jelita melangkah pergi tanpa dapat berkutik.

Dilihatnya Hui-hi-kiam-khek telah menyongsong Hay-hong Hujin dan menyapanya dengan tertawa, "Bunga yang menghiasi sanggul Hujin ini sungguh sangat indah, bolehkah pinjamkan padaku sebentar?"

Hay-hong Hujin ber-kedip2, ucapnya dengan tertawa, "Apabila Hi tocu kurus sedikit, tanpa syarat tentu akan kuberikan bunga ini..."

Belum lanjut ucapannya, se-konyong2 sinar pedang berkelebat, angin tajam menyambar lewat di samping telinganya, tahu2 sekuntum bunga segar yang menghias sanggul Hay-hong Hujin itu telah dicungkil oleh ujung pedang Hi Soan. Cara bagaimana dia melolos pedang dan cara bagaimana turun tangannya, ternyata tiada seorangpun yang tahu.

Hay-hong Hujin menyurut mundur dua tiga langkah dengan wajah berubah pucat.

Ang-lian-hoa lantas bergelak tertawa dan berseru, "Kalau bunga Hay-hong Hujin itu sudah diberikan kepada Hi-heng, sebagai gantinya boleh pakai saja bunga terataiku ini!" Di tengah gelak tertawanya tertampak bayangan berkelebat.

Waktu semua orang memandang Hay-hong Hujin, ternyata di sanggulnya sekarang sudah bertambah sekuntum bunga teratai merah.

Ginkang yang diperlihatkan Ang-lian-hoa ini sungguh luar biasa, biarpun Kun-lun-pay yang terkenal dengan ginkangnya juga merasa kalah.

Seketika muka Hay-hong Hujin menjadi pucat, kedua tangannya berselubungkan lengan bajunya yang longgar, katanya dengan senyum genit, "Dua lelaki besar merecoki seorang perempuan lemah, apa kalian tidak malu?"

Meski dia tersenyum manis dan berucap dengan lembut, tapi setiap orang tahu Pek-hoa-pang masih ada ilmu sakti simpanan yang disebut "Sam-sat jiu" atau tebaran tiga maut, yaitu berupa bunga, hujan, dan kabut. Saat ini ketiga macam senjata rahasia itu sudah siap di dalam lengan bajunya dan setiap saat dapat dihamburkannya.

Meski lahirnya Hi Soan dan Ang-lian-hoa masih bergelak tertawa, tapi diam2 mereka sama siap siaga.

"Siau-hun-hoat" atau bunga pencabut sukma, "Sit-kun-uh" atau hujan penyusut tulang dan "Thian-hiang bu" atau kabut harum semerbak, tiga macam senjata rahasia maut Pek-hoa-pang ini bila dihamburkan, selama ini belum pernah ada orang yang sanggup lolos dengan selamat.

Sebaliknya semua orang juga tahu kecepatan pedang kilat Hui-hi-kiam-khek, sekali bergerak hampir tidak pernah meleset.

Dalam keadaan tegang itu, semua orang sama menahan nafas.

Syukurlah Thian-in Taysu lantas menghadang di depan Hay-hong Hujin, katanya sambil menghormat, "Beribu macam ilmu silat berasal dari sumber yang sama, sedangkan kalian masing2 memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri2, andaikan benar2 saling gebrak kalah menang pasti sukar ditentukan, yang jelas kalian pasti akan ditertawakan dulu oleh setiap ksatria di dunia ini."

Semua orang menjadi bungkam dan merasa malu.

Jut-tun Totiang lantas berkata, "Lalu bagaimana menurut pendapat Taysu?"

"Bicara tentang ilmu silat, jelas kalian mempunyai keistimewaannya masing2, dalam hal nama, kalianpun pimpinan suatu golongan terkemuka," demikian kata Thian-in Taysu. "Maka untuk kedudukan Bengcu ini, akan lebih baik..."

"Kedudukan Bengcu ini akan lebih baik diserahkan saja kepada Bu-kek-pay kami!" mendadak seseorang menanggapi dengan bergelak tertawa.

Serentak semua orang berpaling ke sana, tertampak belasan orang muncul dari sebelah kanan, tampaknya sangat lambat jalannya, tapi baru lenyap ucapan tadi, rombongan mereka pun sudah berada di depan panggung.

Tentu saja semua orang sama melengak. Tubuh Ji Pwe-giok juga lantas bergemetar, gumamnya: "Ini dia baru....... baru datang......"

Belasan orang itu terbagi menjadi dua baris, jubah yang mereka pakai berwarna hijau seluruhnya, semuanya berjenggot, usianya rata-rata sudah di atas setengah abad.

Meski wajah belasan orang ini tidak luar biasa, namun sudah cukup membuat para ksatria terkesiap. Sebab, tiada satu pun di antara belasan orang ini bukan tokoh kelas wahid, andaikan ada yang belum pernah melihat muka mereka, paling sedikit juga pernah mendengar nama kebesaran mereka.

Pada baris pertama dua orang di kanan dan kiri masing-masing adalah Leng-hoa-kiam Lim soh-koan, satu di antara kesepuluh ahli pedang jaman ini, yang lain ialah Kanglam tayhiap Ong Ih-lau. Di belakang mereka mengikuti Sim Cin-jiang si tumbak perak dari Ih-hian, Sebun Hong dari Mo-san dan raja bajak Thay-oh Kim Liong-ong.

Pendek kata, belasan orang ini meski bukan sesuatu ketua perguruan ternama seperti ke-13 Mui-pay, tapi nama mereka sama sekali tidak di bawah ke-13 ketua mui-pay besar yang berada di atas panggung ini.

Kursi baris terdepan yang berada di bawah panggung itu justeru disediakan bagi rombongan ini, tapi mereka malah langsung naik ke atas panggung. Maka cepat Thian-in Taysu menyongsong mereka dan menyapa: " Kalian datang dari jauh, disilahkan mengikuti upacara ini di bawah panggung."

"Kedatangan kami ini bukan cuma sebagai peninjau saja," dengan suara lantang Lim Soh-koan lantas berkata.

Thian-in rada melengak, ia tetap bersikap hormat, katanya dengan tersenyum: "Bilakah kalian masuk menjadi anggota Bu-kek-pay? Ah, janganlah kalian bergurau!"

"Waktu kami masuk perguruan, tidak sempat mengundang Taysu untuk ikut menyaksikan upacaranya, untuk ini mohon dimaafkan," kata Lim Soh-koan.

"Ah, tidak soal," ujar Thian-in. "Tapi Ji Ciangkun kalian......"

Mendadak di belakang sana seorang menanggapi dengan tertawa: "Sudah sekian tahun tidak bertemu, baik-baikkah Taysu selama ini?!"

Cepat Thian-in Taysu berpaling, dilihatnya seorang tua dengan baju longgar dan berwajah lonjong, sikapnya tenang dan sabar seperti dewa, siapa lagi dia kalau bukan ketua Bu-kek-pay, Ji Hong-ho adanya.

Ternyata di depan mata orang banyak, secara diam-diam ia telah naik ke atas panggung, sampai-sampai Coat-ceng-cu yang berdiri paling belakang sana juga tidak mengetahuinya.

Mau tak mau Thian-in Taysu melengak, cepat ia memberi hormat dan menyapa: "Ji-heng laksana dewa yang hidup di surga-loka, tak tersangka hari ini benar-benar menginjak pula dunia ramai. Ini benar-benar sangat beruntung bagi dunia Kangouw, pertemuan ini dihadiri Ji-heng, tak sesuatu lagi yang perlu kukuatirkan."

Di balik ucapannya ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa jabatan ketua Perserikatan Hong-ti ini jelas tak dapat dijabat orang lain terkecuali Hong-ho Lojin atau si kakek Hong-ho. Padahal Hong-ho Lojin memang juga tokoh yang paling dihormati dan menjadi pujaan setiap peserta rapat ini.

Meski Coat-ceng-cu dan lain-lain tetap merasa berat untuk menarik diri dari pencalonan jabatan ketua itu, tapi melihat Bu-kek-pay kini telah didukung oleh berbagai tokoh terkemuka golongan lain, mau tidak mau mereka tidak berani banyak omong lagi.

Segera Jut-tun Totiang mendahului buka suara: "Apabila Hong-ho Toheng sudi memegang pimpinan pula, sudah tentu anak murid Bu-tong akan merasa sangat beruntung."

"Anak murid Khong tong juga sudah lama mengagumi kepribadian Hong-ho Lojin," seru Coat-ceng-cu.

Auyang Liong juga berteriak: "Mendiang guruku juga sering menyatakan bahwa Ji locianpwe adalah seorang paling bijaksana, tak tersangka hari ini dapat kutemui di sini. Bilamana Ji locianpwe sudi memimpin perserikatan ini, para kawan yang hidup di atas air pimpinanku dengan ini menyatakan akan tunduk di bawah perintah."

Suara Hay-hong Hujin yang nyaring juga berseru: "Ji-ciangbun luhur budi dan bijaksana tentu bukanlah manusia yang suka menganiaya anak perempuan. Pek-hoa Pang kami memang tidak tunduk kepada siapa pun juga terkecuali kepada Ji cianpwe."

Sampai di sini, melihat gelagatnya jelas jabatan ketua sudah diputuskan dengan suara bulat. Semua orang, baik di atas maupun di bawah panggung sama bertepuk tangan dan bersorak gembira. Hanya Ang-lian-hoa saja yang tidak memberi reaksi apa-apa, dengan pandangan heran dan sangsi ia terus mengawasi sikap Ji Pwe-giok.

Dalam pada itu, terdengar Hong-ho Lojin sedang berkata dengan tersenyum: "Sebenarnya Losiu (orang tua lapuk) sudah terbiasa hidup malas dan tiada maksud apa pun, tapi lantaran....."

Mendengar suara ini, Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia melompat ke atas, seperti orang gila saja dia menerjang ke atas panggung sambil berteriak dengan suara parau: "Orang ini bukan ayahku! Dia palsu!"

Seketika senyap suara sorak-sorai tadi, semua orang sama melenggong kaget.

"Pwe-giok, apa kau sudah gila?" bentak Lim Soh-koan dengan gusar.

Berbareng Sebun Hong dan Kim Liong-ong menubruk maju, akan tetapi mereka lantas diseruduk Pwe-giok hingga tergetar mundur.

Dengan kalap Pwe-giok menerjang ke depan "Hong-ho Lojin" dan membentak: "Sesungguhnya siapa kau? Berani kau memalsukan ayahku?!"

Di tengah bentakannya ia terus menjotos, akan tetapi semacam tenaga lunak dan sukar ditahan telah membuat tubuhnya terpental. Karena itu, Ong Ih-lau dan lain-lain lantas memburu maju dan membekuknya.

Dengan suara berat Thian-in Taysu berkata: "Orang muda mana boleh berlaku sekasar dan tidak sopan begini, ada persoalan apa hendaklah dibicarakan secara baik-baik saja."

"Kau anak murid siapa?" Jut-tun Totiang lantas bertanya.

"Tecu Ji Pwe-giok," seru Pwe-giok dengan menggertak gigi dan air mata bercucuran.

Sorot mata Thian-in Taysu beralih ke arah Ji Hong-ho, tanyanya: "Apakah benar dia putramu?"

Ji Hong-ho tersenyum pedih, katanya sambil mengangguk: "Anak ini.... Ai, dia ....." sampai di sini dia lantas menghela napas panjang dan tidak melanjutkan.

Jut-tun Totiang lantas membentak Pwe-giok: "Mengapa kau berani berbuat kasar begini terhadap orang tua?"

Kedua lengan Pwe-giok terasa kaku dan tak dapat berkutik lagi, dengan suara parau ia berteriak: "Dia bukan ayahku! Ayah sudah meninggal, di sampingku beliau meninggal!"

Thian-in dan Jut-tun saling pandang sekejap dengan air muka berubah.

Oh Ih-lau lantas menyela: "Anak ini benar-benar sudah gila, masa ngaco-belo tidak keruan."

"Ya, dia memang gila," tiba-tiba Cia Thian-pi menukas. "Pagi tadi dia datang menumpang keretaku, tapi dia menuduh aku membunuh ayahnya. Padahal jejakku selama beberapa hari terakhir ini tentu diketahui oleh kalian, syukur sekarang Ji Locianpwe berada di sini, kalau tidak....... wah!"

Meski dalam hati orang banyak timbul rasa curiga, tapi setelah mendengar keterangan ketua Tiam-jong pay ini, mereka pun sama menggeleng dan menghela nafas gegetun.

Apakah ucapan tokoh-tokoh angkatan tua yang terhormat dan disegani ini lebih dapat dipercaya atau harus percaya kepada penuturan seorang pemuda yang tampaknya kurang waras ini? Tanpa dijawab pun kiranya sudah jelas.

Hancur luluh perasaan Pwe-giok melihat air muka para hadirin yang merasa tidak senang terhadap tindakannya itu, air matanya berderai bagaikan hujan. Musibah yang dideritanya dan fitnah yang diterimanya apakah sejak kini akan tenggelam ke dasar lautan dan tak dapat dibongkar lagi?

Lim Soh-hoan memandang sekeliling, dengan sendirinya ia pun dapat melihat sikap orang banyak yang menguntungkan pihaknya, dengan suara bengis ia lantas membentak: "Berani kepada atasan dan mengacau di sidang khidmat ini, durhaka kepada orang tua dan menuduh secara ngawur, dosanya ini harus dihukum mati dan sukar diampuni. Orang she Lim terpaksa harus mengenyampingkan hubungan keluarga dan melaksanakan keadilan bagi dunia Kangouw."

Jika ayah mertuanya saja sudah begitu bicaranya, orang luar mana ada yang berani ikut campur lagi.

Segera Lim Soh-koan melolos pedangnya terus menusuk.

"Nanti dulu!" mendadak seseorang membentak.

Tahu-tahu tangan Lim Soh-koan yang memegang pedang dicengkeram orang seperti terjepit tanggam, sehingga badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik.

"Ang-lian Pangcu, masa kau mem... membela anak durhaka ini?" teriak Lim Soh-koan.

Yang mencengkeram tangannya memang betul Ang-lian-hoa, ia tidak perdulikan ucapan orang, tangan yang lain menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa: "Memang agak keterlaluan kelakar ini, tapi rasanya sudah cukuplah sekarang!"

Ucapan ketua Kay pang ini membikin beribu-ribu orang, baik di atas maupun di bawah panggung, semuanya sama tercengang.

"Kel.... kelakar apa maksudmu?" tanya Lim-soh-koan dengan terkesiap.

Ang-lian-hoa bergelak tertawa, katanya: "Setiap kali sidang pertemuan Hong-ti berlangsung, suasana selalu terasa sangat tegang, karena itulah Siaute lantas mencari akal ini agar dapat sekedar mengendurkan urat syaraf para hadirin."

Thian-in saling pandang dengan Jut-tun Totiang, sedangkan Ong Ih-lau, Lim Soh-koan dan konco-konconya sama melenggong seperti patung.

Sekali tepuk Ang-lian-hoa membuka hiat-to Pwe-giok yang tertutuk, lalu katanya pula: "Sekarang kita mengakhiri kelakar ini dan bolehlah kau bicara dengan sejujurnya."

Pwe-giok menunduk dan mengiakan, mendadak ia lantas menengadah dan tertawa, ia terus menyembah kepada Ji Hong-ho dan berseru: "Anak terlalu kurang ajar, mohon ayah sudi memberi ampun."

Wajah Ji Hong-ho tampak kurang senang, katanya sambil terbatuk-batuk: "Kau.... hk, hk.... kau terlalu.... terlalu..... hk, hk....."

"Nah sudahlah, ayahmu sudah memberi ampun padamu, lekas kau bangun!" seru Ang-lian-hoa.

Sampai di sini, ada sementara orang sudah mulai tertawa, mereka merasa "kelakar" ini sungguh sangat menarik. Sebaliknya Lim-soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain sama menyengir bingung mimpi pun mereka tidak menduga akan terjadi perubahan begini.

Cia Thian-pi menghela nafas lega, ucapnya dengan tertawa: "Memang seharusnya sudah kuduga ini adalah kelakar yang disutradarai Ang-heng."

Ang-lian-hoa berkedip-kedip dan menjawab dengan tertawa: "Memang, seharusnya sudah tadi-tadi kau duga, mustahil di dunia ini ada manusia sembrono begini, masa menuduh kau membunuh ayahnya tanpa berdasar?"

Cia Thian-pi terbahak-bahak, agaknya makin dipikir terasa semakin lucu.

"Kelakar ini tidak ditujukan kepada orang lain, tapi justeru tertuju kepada Ji locianpwe yang bijaksana dan baik hati, tidak nanti beliau marah hanya karena sedikit urusan ini."

"Hk, hk,.... anak ini...... hk, hk,......" selain batuk-batuk saja, memangnya apa yang dapat dikatakan Ji Hong-ho?

Segera Ang-lian-hoa membangunkan Pwe-giok dan berkata: "Gara-gara berkelakar, kau yang terpaksa harus berlutut dan minta ampun, harap aku dimaafkan."

"Nanti dulu," mendadak Lim Soh-koan membentak.

"Apakah kaupun ingin dia menyembah dan minta ampun padamu seperti perbuatannya terhadap ayahnya?" tanya Ang-lian-hoa.

"Sidang Hong-ti ini masa kau anggap tempat berkelakar seperti anak kecil begini?" seru Lim Soh-koan dengan bengis. "Perbuatan yang tidak sopan dan tidak masuk akal begini apakah cukup dengan menyembah dan minta ampun saja?"

"Habis, mau apalagi kalau menurut pendapat anda?" tanya Ang-lian-hoa.

"Melulu kesalahan mempermainkan orang tua sudah harus dihukum dengan memunahkan ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan," bentak Lim Soh-koan.

Ang-lian-hoa tersenyum dan bertanya: "Apakah anda ketua sidang pertemuan ini?"

"Bu....... bukan," jawab Lim Soh-koan.

"Apakah anda ayah Ji Pwe-giok?" tanya Ang-lian-hoa pula.

"Bukan," jawab Lim Soh-koan dengan muka merah.

Mendadak Ang-lian-hoa menarik muka, katanya: "Kalau begitu, lantas anda ini orang macam apa? Dengan hak apa kau bicara di atas panggung ini?"

Sorot mata Ang-lian-hoa mendadak berubah tajam sehingga Lim Soh-koan tidak berani menatapnya, ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.

Ang-lian-hoa lantas memberi hormat kepada segenap hadirin, lalu berkata: "Kelakar ini sama sekali adalah karena doronganku, jika para hadirin merasa Siaute bersalah, kalau harus dipukul, Siaute terima dipukul, kalau mesti dihukum, Siaute juga rela dihukum."

Kay-pang adalah organisasi Kangouw terbesar selama 80 tahun, anggotanya beratus ribu bahkan jutaan banyaknya dan tersebar di seluruh negeri, usia Ang-lian-hoa masih sangat muda, tapi kepribadiannya, kecerdasan dan tinggi ilmu silatnya dipuji oleh setiap orang kangouw. Sekarang dia bicara blak-blakan begitu, siapa yang berani bermusuhan dengan dia dengan menyatakan dia harus dipukul atau dihukum.

Apalagi persoalannya tidak menyangkut kepentingan sendiri, kebanyakan di antaranya lebih suka tidak ikut campur. Hanya Hui-hi-kiam-khek saja, sambil meraba pedangnya ia berkata dengan tertawa: "Menurut pendapatku, Ang-lian-pangcu justru telah menghibur kita di tengah ketegangan ini, bukannya dihukum seharusnya dia harus mendapat pahala, maka aku mengusulkan dia harus disuguh tiga cawan arak!"

Thian-in Taysu termenung sejenak, katanya kemudian: "Kukira urusan ini serahkan saja kepada keputusan Hong-ho Lojin!"

Ji Hong-ho berdiam cukup lama, belum lagi bicara, tiba-tiba suara seorang tajam melengking terdengar di bawah panggung sana: "Sebuas-buasnya harimau juga tidak makan anaknya sendiri, kukira persoalan ini pasti tidak diusut lebih lanjut oleh Ji Locianpwe!"

Air muka Ji Hong-ho tampak berubah demi mendengar suara itu, segera ia pun berkata dengan tertawa getir: "Jika Ang-lian Pangcu sudah bicara bagi anak ini, biarlah kuberi ampun padanya sekali ini."

Serentak terdengarlah suara sorak-sorai di bawah panggung. Pada kesempatan itu Ang-lian-hoa lantas mendekati Bwe Su-bong dan membisikinya: "Lekas pergi mencari tahu, siapa orang yang bicara tadi?"

Diam-diam Bwe Su-bong lantas melayang turun melalui belakang panggung. Sedang Ang-lian-hoa berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, ia maju pula ke depan panggung dan memberi hormat kepada segenap hadirin sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia tepuk-tepuk pundak Pwe-giok dan berkata: "Nah, untuk apalagi kau berdiri di sini? Pergilah ganti pakaian dan sediakan arak, tunggulah kedatangan ayahmu nanti."

Pwe-giok memandangnya sekejap, entah betapa rasa terima kasihnya yang terkandung dalam sorot matanya ini. Lalu, ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berlari meninggalkan panggung.

Terpaksa Lim Soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain hanya memandangi kepergian anak muda itu dengan melongo, bagaimana perasaan mereka sukar untuk diketahui orang lain.

Tiba-tiba Sin-to Kongcu mengomel: "Sialan!"

Kim-yan-cu lantas menjengek: "Huh, orang sekarang resminya adalah putera Bu-lim Bengcu, betapa pun kedudukannya sudah jauh lebih terhormat daripadamu, kukira janganlah kau coba-coba merecoki dia."

Tidak kepalang gemas Sin-to Kongcu, ia hanya melotot dan menggertak gigi, tapi tak sanggup bicara lagi.

-o0o-

Setelah turun dari panggung, tanpa berpaling Ji Pwe-giok terus berlari meninggalkan perkemahan sidang, di luar hanya lautan manusia belaka, ia menyelinap ke tengah kerumunan orang banyak. Orang banyak yang di depan melihat kedatangannya sama memberi jalan padanya, tapi orang yang di belakang hakekatnya tidak tahu siapa dia sehingga dia mandi keringat tergencet di sana-sini.

Dengan susah payah tampaknya dia sudah hampir menyelinap keluar dari berjubelnya lautan manusia, sekonyong-konyong ia merasa pinggangnya seperti tertutuk oleh sesuatu benda keras, segera ia mendoyongkan tubuh ke depan dengan sekuatnya, tentu saja orang lain tidak tahan oleh gentakan tenaganya yang kuat ini, belasan orang sama tertumbuk jatuh tunggang langgang.

Pada saat yang sama itulah ia dengar di belakang seperti ada suara orang yang menjerit tertahan, begitu bersuara lantas berhenti, mirip orang yang baru menjerit dan segera mulutnya didekap.

Ia pun tidak ingin mencari tahu apa yang terjadi, cepat ia menyelinap keluar dari kerumunan orang banyak dan berlari ke depan. Tapi lari kemana? Sungguh kusut pikirannya, mana dia tahu ke mana akan dituju nya?

Setelah tertiup angin barulah ia merasa belakang tubuhnya silir-silir perih, seperti ada cairan mengalir, ia mengira air keringat, tapi ketika dirabanya dengan tangan dan memandangnya, ternyata tangannya penuh berlepotan darah segar.

Baru sekarang ia menyadari bilamana tadi dia tidak bertindak cepat dengan mendoyong ke depan, tentu saat ini dia sudah mati di tengah berjubelnya manusia.

Lalu siapakah yang hendak membunuhnya? Sudah tentu sukar untuk diselidiki.

Teringat kejadian ini, belum lagi keringat hangatnya kering, kembali keringat dingin merembes lagi.

Seketika tidak keruan rasa hati Ji Pwe-giok, ya pahit ya getir, ya benci ya terima kasih, ya gemas ya sedih. Jelas tadi orang hendak membunuhnya, tapi ada seorang lain telah menjadi korban karena dia sempat menyelamatkan diri. Hal inilah yang membuatnya sedih.

Ang-lian-hoa boleh dikatakan baru saja dikenalnya, tapi telah membantunya dengan sepenuh hati tanpa pamrih, hal inilah yang membuatnya berterima kasih.

Ayahnya dibunuh orang secara keji, tapi keadaan memaksanya sedemikian rupa, bukan saja dia tidak dapat menuntut balas, bahkan terpaksa harus mengakui musuh sebagai ayah. Untuk ini masakan dia tidak pedih dan tidak benci ?

Sekarang keluarganya berantakan, dikhianati orangnya sendiri, hari depannya tak menentu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, semua ini membuatnya sedih.

Teringat kepada kejadian tadi, ketika dia harus tertawa dan menyembah kepada musuh dan mengaku ayah padanya, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dia dapat berlaku tertawa. Bisa jadi lantaran bencinya sudah merasuk tulang, maka dia harus menuntut balas, dia harus hidup! sekali kali tidak boleh mati.

Pada saat itulah mendadak di belakang terdengar suara orang berjalan dengan langkah perlahan, cepat Pwe-giok berpaling, beberapa bayangan orang segara berkelebat dan sembunyi dibalik pohon dab batu.

Pwe-giok pura-pura tidak tahu, ia tetap melangkah ke depan, tapi sengaja dilambatkan jalannya. Baru belasan langkah, sekonyong-konyong datang serangan, tiga batang golok, dua dari atas dan satu dari bawah, serentak membacok dan menebas dengan cepat dan kuat.

Secepat kilat Pwe-giok menjatuhkan diri ke depan, sambil setengah bertiarap, kaki kanan terus mendepak ke belakang.

Kontan terdengar suara jeritan, seorang lelaki terdepak terpental. Dua lainnya karena serangan tidak berhasil, segera bermaksud kabur.

Akan tetapi Pwe-giok bergerak terlebih cepat, mendadak ia melompat bangun terus menghantam tepat mengenai punggung salah seorang itu. Lelaki itu sempat berlari beberapa langkah, tapi tubuh bagian atas terus menekuk ke belakang mirip bambu patah, lalu roboh terkulai.

Lelaki yang lain merasa tidak dapat kabur lagi, terpaksa ia mengadu jiwa, goloknya membacok lagi. Tapi sekali pegang, pergelangan tangannya dapat ditangkap oleh Ji Pwe-giok, segera orang itu menjotos dengan tangan lain, tapi kepalannya juga kena dihimpit di bawah ketiak oleh Pwe-giok.

Pada waktu biasa lelaki inipun tergolong jagoan, tapi ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagi Ji Pwe-giok jadi seperti permainan anak kecil belaka. Tulang tangannya sama retak, sakitnya membuatnya hampir kelenger.

Dengan suara bengis Pwe-giok lantas membentak: "Kau bekerja bagi siapa? Asalkan kau mengaku terus terang segera kuampuni jiwamu!"

Lelaki itu tertawa pedih, katanya: "Apakah kau ingin tahu? tapi selamanya kau tak mungkin tahu..." suaranya semakin lemah dan mendadak berhenti dengan muka pucat.

Waktu Pwe-giok memeriksa napasnya, hanya sekejap saja lelaki itu ternyata sudah mati. Air mukanya dari pucat lantas berubah hitam, kulit daging mukanya juga lantas menyusut, sampai biji mata juga lantas ambles ke dalam dan akhirnya lenyap semua. Hanya sejenak saja berubah menjadi tengkorak.

Nyata didalam mulut lelaki itu sudah disiapkan racun. Racun ini serupa dengan racun yang membinasakan Hek-Kap-cu tempo hari itu. Jelas ketiga lelaki inipun didalangi oleh iblis tak kelihatan yang membinasakan Hong-ho Lojin itu.

Waktu Pwe-giok memeriksa lagi kedua orang lain, yang satu tulang dadanya remuk dan yang satu lagi tulang punggung patah, semuanya sudah mati sejak tadi. Maklum, terlalu berat tendangan dan hantaman Pwe-giok bagi mereka.

Pwe-giok menghela napas sedih, ia menunduk, dirasakan tangannya terasa rada gatal. Ia tidak mengacuhkan dan menggaruk-garuknya. Tak terduga, makin digaruk makin gatal, bahkan akhirnya rasa gatal itu seakan-akan menggelitik hati.

Tidak kepalang kagetnya, ia tahu gelagat tidak baik, tapi rasa gatal itu sungguh sukar ditahan dan ingin menggaruknya lagi. Hanya sekejap saja jarinya sudah bengkak, telapak tangan juga mulai bersemu hitam, rasa gatal itu dari telapak tangan mulai menjalar ke lengan.

Kejut dan takut pula Pwe-giok, ia berusaha menjemput golok orang yang terjatuh di tanah itu, bilamana perlu ia bermaksud membuntungi tangan sendiri.

Akan tetapi jari tangan sudah tidak mau menurut perintah lagi, sudah kaku dan mati rasa, golok terpegang dan terjatuh pula. Dengan menggertak gigi sekuatnya ia pegang pula golok itu, akhirnya dapatlah golok itu diangkatnya terus hendak menebas lengan sendiri. Syukurlah pada detik itu mendadak setitik sinar menyambar tiba, "trang", golok itu tergetar hingga terlepas.

Pada saat yang hampir sama dua lelaki berjubah panjang dan memakai kedok hitam melayang keluar dari tempat teduh, yang seorang tinggi kurus, yang lain pendek besar.

Yang jangkung lantas terkekeh kekeh terhadap Pwe-giok, ucapnya: "Gatal, aduh, gatalnya, nikmat sekali kalau digaruk." Sambil bicara ia terus berlagak seperti orang yang menggaruk.

Tanpa terasa Pwe-giok juga hendak menggaruk pula, tapi mendadak ia tersentak kaget, tangan kanan terus menghantam tangan kiri sendiri sambil berteriak: "Akhirnya aku terperangkap juga oleh tipu keji kalian. Jika mau bunuh boleh kalian bunuh saja diriku."

Dengan terkekeh si jangkung berkata: "Baru sekarang kau tahu terperangkap? Padahal alangkah tangkasnya tadi ketika kau main depak dan pukul membinasakan ketiga kawan kami ini"

Si pendek juga mengejek: "tentunya kau tahu sekarang bahwa ketiga orang ini sengaja kami kirim agar kau bunuh, kalau tidak, masa pihak kami mengirim orang tak becus seperti mereka ini."

Si jangkung lantas menyambung: "Sudah kami perhitungkan, setelah kau bunuh mereka, tentu akan kau periksa mayat mereka, sebab itulah di baju mereka sudah ditaburi racun, begitu tanganmu menyentuh bubuk itu, sedikit terasa gatal, segera racun itu akan bekerja terlebih cepat. Ha ha, bilamana rasa gatal sudah menggelitik, mustahil kau tidak menggaruknya ?"

"Dan sekarang kedua tanganmu sudah bengkak seperti kaki babi, jelas tanganmu tiada gunanya lagi, coba, apakah kau masih bisa berlagak garang dan memukul orang ?"

Begitulah kedua orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, keduanya bercakap seperti pelawak di atas panggung, meraka sengaja mengejek dan berolok-olok.

Dengan menggertak gigi Ji Pwe-giok berkata: "Cara kalian mencelakai orang ternyata tidak sayang mengorbankan kawan sendiri, hm, apakah cara kalian ini terhitung perbuatan manusia, hakekatnya melebihi binatang buas."

"Ketiga orang itu rela mati demi Cukong kami, kematian mereka harus dipuji, bukan saja mereka merasa bangga, bahkan anggota keluarga yang ditinggalkan mereka juga akan merasa beruntung." ujar si jangkung.

"Tapi sekarang kematianmu justeru mati tanpa suara dan tak berbau, bahkan orang lain tiada yang tahu apakah kau sudah mati atau masih hidup, mungkin ada yang mengira kau telah melarikan diri karena takut dosamu akan dituntut." sambung si pendek.

Tidak kepalang pedih hati Ji Pwe-giok, ia merasa kematian sudah menanti dan sukar dihindari, ia tertawa sedih dan berkata: "Sungguh tak tersangka di dunia ini ada manusia sekeji dan kejam seperti kalian ini ..." belum habis ucapannya pandangannya menjadi gelap dan robohlah dia.

"He he he, bagaimana kalau kita berlomba, kubacok satu kali dan kaupun bacok satu kali, coba siapa yang lebih dulu membinasakan dia," kata si jangkung dengan terkekeh kekeh.

Si pendek menjawab: "Aha bagus, usul yang menarik..."

Kedua orang lantas menjemput sebatang golok kawan mereka yang sudah binasa ini, lalu mendekati Pwe-giok pula.

"Sebelum ajalku, apakah kalian tetap tidak mau memberitahukan padaku sesungguhnya bagaimana bentuk intrik ini dan siapa yang berdiri di belakang semua ini ?" teriak Pwe-giok dengan parau.

"Hehe, apakah kau ingin jadi setan yang tahu duduknya perkara?" tanya si jangkung. "Tidak, tidak boleh, kau ditakdirkan harus menjadi setan penasaran."

"Bukan kami tidak mau memberitahukan padamu, sebab rahasia di balik urusan ini kami sendiripun tidak tahu," ujar yang pendek.

Baru habis ucapannya, mendadak ia melonjak kaget seperti melihat setan, jeritnya dengan ketakutan, "He, ular! ular!" benar juga, kaki kanannya telah dirambati oleh dua ekor ular kecil berwarna hijau gelap.

Di atas tanah masih ada dua ekor ular lagi dan secepat kilat menyambar ke arah si jangkung. Tapi gerak tubuh si jangkung juga selicin ular, sekali berkelebat dapatlah ia menghindarkan pagutan ular, berbareng goloknya lantas menabas dan tepat mengenai muka si pendek, bentaknya dengan bengis:

"Keluargamu pasti akan ku jaga dengan baik, kau tidak perlu kuatir."

Muka si pendek berlumuran darah, tapi masih sanggup tertawa pedih, katanya, "Te! terima kasih! aku dapat mati bagi Cu-siang (majikan) sungguh aku sangat! sangat senang!" belum habis ucapannya ia terus roboh dan binasa.

Dalam pada itu si jangkung sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya, sekali berkelebat pula lantas menghilang.

Mandi keringat dingin Ji Pwe-giok menyaksikan kejadian itu, pandangannya mulai gelap, tubuhnya terasa semakin berat dan seolah tenggelam ke lubang gua yang tak terkira dalamnya dan akhirnya tidak melihat apa2 lagi.

* * *

Sang surya sudah terbenam di sebelah barat, jagat raya ini diliputi kekelaman, meski di musim panas, angin malam mengembus silir2 sejuk, suasana sunyi senyap dan terasa mencekam.

Waktu Pwe-giok siuman, ia merasa tangannya seakan-akan dicocok oleh beribu-ribu jarum, tangannya yang sudah kaku itu tiba-tiba dapat dirasakan lagi, tapi bukan rasa gatal lagi melainkan rasa sakit.

Ia membuka mata, dalam keadaan remang-remang terlihat sesosok bayangan berdiri di depannya tanpa bergerak, rambut orang sudah memutih perak dan bergoyang-goyang tertiup angin.

Kejut dan girang Pwe-giok. "Bwe!" belum sempat dia berseru, tahu2 mulutnya sudah didekap oleh Bwe Su-bong.

"Jangan bergerak," kata pengemis tua itu. "Saat ini sedang kusuruh Siau Jing (si hijau), Siau Pek (si putih), Siau Pan (si loreng) dan Siau Hek (si hitam) menghisap racunmu, asalkan racun sudah terhisap habis, tentu takkan berbahaya lagi."

Waktu Pwe-giok memandang ke bawah, dilihatnya empat ekor ular kecil menempel di tangannya, yang seekor berwarna hijau, satu lagi warna putih, yang lain warna belang dan yang ke empat berwarna hitam bertutul putih. Mungkin itulah ke empat ekor ular Siau Jing dan lain2 yang disebut Bwe Su-bong tadi.

Memandangi ular2 itu, Bwe Su-bong tampak sangat kasih sayang seperti seorang ayah terhadap anak-anaknya. Dengan tersenyum ia berkata, "Coba lihat, mereka sangat menyenangkan bukan?"

Dengan setulus hati Pwe-giok mengangguk. Setelah melihat manusia kejam dan keji tadi kini melihat pula ke empat ekor ular kecil ini, sungguh ia merasa ular terlebih menyenangkan daripada manusia.

"Sudah lama, mereka bukan saja menjadi kawan karibku, menjadi anakku, bahkan juga pembantuku yang setia," tutur Bwe Su-bong dengan tertawa. "Aku sendiri sudah tua, tangan dan kakiku sudah kaku dan tidak gesit lagi, tapi mereka masih sangat muda."

Bicara sampai di sini, tertawalah dia dengan sangat gembira.

Teringat kepada tingkah laku orang yang digigit ular tadi, mau tak mau timbul juga rasa puas Ji Pwe-giok. Sudah sekian lamanya, untuk pertama kali inilah hati anak muda ini merasa senang.

"Tentunya kau tahu sekarang bahwa namaku juga timbul dari kawanan ular ini," tutur Bwe Su-bong pula. "Orang Kangouw suka menyebut diriku "Bo-su-bang" (tidak ada urusan, sibuk selalu)! Haha, padahal namaku Bwe Su-bong (Bwe si empat ular), Bo Su-bang dan Bwe Su-bong, hehe.. entah keparat siapa yang mencetuskan olok2 ini padaku."

Tiba2 Pwe-giok teringat kepada gerak-gerik kedua orang tadi, yaitu si jangkung dan si pendek, jelas kepandaian mereka tidak lemah dan pasti tokoh ternama dunia Kangouw. Bwe Su-bong sudah lama berkelana di dunia persilatan, pengalamannya sangat luas, entah dia kenal mereka tidak?

Agaknya Bwe Su-bong dapat meraba isi hati Pwe-giok, dengan menyesal dia berkata, "Siapa orang ini mungkin aku dapat mengenali dia, cuma sayang mukanya telah dihancurkan oleh bacokan golok temannya. Ai, orang itu bukan saja membunuh kawan untuk tutup mulut, bahkan menghancurkan mukanya, tindakannya yang keji ini sungguh jarang ada bandingannya."

Dengan sedih Pwe-giok memejamkan matanya, nyata garis petunjuk yang diharapkan ini kembali lenyap.

"Orang2 ini tidak saja kejam dan keji dengan rencana yang rapi, bahkan cara kerja mereka sangat cekatan dan bersih," tutur Bwe Su-bong pula. "Tadi sudah kugeledah tubuh mereka dan tiada menemukan sesuatu benda tanda pengenal mereka."

Lalu pengemis tua ini berjongkok dan memeriksa tangan Pwe-giok, mendadak ia bersuit perlahan, serentak empat ekor ular kecil itu melepaskan gigitannya dan merambat ke tubuh Bwe Su-bong, dari kaki merambat ke perut, ke dada dan melintasi pundaknya.

"Anak sayang, tentu kalian sudah lelah. Pulanglah dan tidur!" kata Bwe Su-bong dengan riang gembira.

Ke empat ular kecil itu juga sangat penurut, beramai-ramai mereka lantas menyusup ke dalam karung goni di punggung Bwe Su-bong.

"Untung racun yang mengenai dirimu masuknya melalui kulit badan secara tidak langsung, untung juga tanganmu tiada lubang luka, meski tubuhmu sekarang masih terasa lemah, tapi pasti tidak beralangan lagi," ujar Bwe Su-bong dengan tertawa.

Pwe-giok tidak mengucapkan terima kasih, ia merasa budi pertolongan sebesar ini tidak dapat dibalas hanya dengan ucapan terima kasih saja.

Tampaknya Bwe Su-bong sangat gembira, ia bangunkan Pwe-giok dan berkata pula, "Pertemuan Hong-ti entah sudah berakhir belum, jika sudah ditutup, tentu Pangcu kami sedang menantikan kedatanganmu. Marilah kita pulang untuk menemuinya."

"Aku! aku tidak ingin kesana," mendadak Pwe-giok berkata.

"Kau tidak! tidak mau menemui Pangcu?" Bwe Su-bong menegas dengan heran.

"Saat ini di sekitarku sedang mengintai berbagai setan iblis yang tak terhitung jumlahnya dan setiap saat akan turun tangan keji kepadaku, jika ku pulang kesana, mungkin Pangcu akan ikut terembet," kata Pwe-giok dengan tersenyum sedih.

"Aah, kau kira Ang lian-pangcu itu manusia yang takut urusan?" kata Bwe Su-bong dengan tak acuh.

Pwe-giok tidak bicara lagi, ia menunduk dan menghela nafas, lalu ikut pengemis tua itu kesana.

"Tadi waktu kubersihkan racunmu, kudengar sorak sorai gemuruh di tempat sidang sana, mungkin upacara sumpah setia perserikatan telah berlangsung dengan memuaskan dan selanjutnya para kawan Bu-lim boleh hidup dengan aman dan tenang lagi."

"Hah, apakah betul dapat hidup tenang dan aman?" ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.

Bwe Su-bong memandangnya sekejap dan menghela nafas panjang. Katanya dengan tersenyum getir, "Ya, semoga begitu hendaknya!"

Tidak lama mereka berjalan, terlihat di tempat sidang sana cahaya api gemerdep dan terdengar suara sorak gembira yang sayup2 berkumandang terbawa angin. Cahaya api dan suara sorakan itu tidak terlalu jauh, tapi bagi penglihatan dan pendengaran Ji Pwe-giok rasanya seperti ter-aling2 oleh sebuah dunia lain, cahaya terang dan sorak gembira tidak berani lagi diimpikannya.

"Pertemuan tahun ini tampaknya jauh lebih meriah daripada tahun2 sebelumnya," tutur Bwe Su-bong dengan gegetun. "Sudah enam kali ku ikut serta pertemuan besar demikian, hanya sekali ini saja tidak ikut pesta bergembira dengan para kawan peserta rapat! rasanya aku seperti kurang bersemangat."

"Sehabis pertemuan besar ini apakah selalu diadakan pesta besar?" tanya Pwe-giok.

"Sudah tentu pesta demikian tidak boleh berkurang."

"Tapi hidangannya!"

"Setiap pertemuan Hong-ti, para hadirin selalu membawa hidangan dan arak sendiri," tutur Bwe Su-bong dengan tertawa cerah. "Habis sidang, beramai-ramai lantas duduk di perkemahan masing-masing atau mengajak beberapa kawan karib untuk makan minum dengan gembira, biasanya pesta berlangsung semalam suntuk. Esoknya jarang ada yang dapat berangkat pagi-pagi."

Wajahnya yang sudah tampak ketuaannya kelihatan bersemangat demi bercerita tentang pengalamannya di masa lalu, dengan tertawa ia sambung pula, "Beberapa kali pertemuan besar itu sungguh sukar dilupakan orang, dimana-mana cahaya terang, dimana-mana berkumandang dendang gembira, di sana-sini mengundang minum, setelah menenggak beberapa cawan, bisa jadi kau akan jatuh di pangkuan seorang kawan lama yang sudah belasan tahun tak berjumpa, sekalipun kau tidak sanggup minum lagi dia masih akan mencekoki kau dengan paksa! Ai, aku sudah tua, hari2 menyenangkan begitu mungkin takkan kembali lagi."

"Apapun juga, kenangan demikian tetap sangat menyenangkan," kata Pwe-giok dengan gegetun.

"Betul, manusia harus mempunyai sedikit kenangan yang manis, kalau tidak, cara bagaimana akan melewatkan malam2 yang sunyi dan musim dingin yang menyiksa!"

Pwe-giok berusaha mengunyah betapa rasanya ucapan pengemis tua itu dan coba meresapinya, tetapi sukar diketahui apakah pahit atau manis.

Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan perkemahan Ang-lian pangcu. Orang2 yang semula berkerumun di luar kemah sekarang sudah bubar, samar-samar ada cahaya lampu di dalam kemah. Belum lagi mereka mendekati segera ada orang yang membentak di dalam kemah, "Siapa itu?"

Suaranya kereng berwibawa, ternyata bukan suara Ang-lian hoa. Selagi Pwe-giok terkesiap, suara Ang-lian hoa yang lantang sudah bergema, "Apakah Bwe Su-bong di luar? Sudahkah kau bawa pulang domba kecil kita yang tersesat itu?"

* * *

Di dalam kemah yang sangat besar itu hanya menyala sebatang lilin merah. Cahaya lilin gemerdep, bayangan Ang-lian-hoa kelihatan terseret memanjang di tanah, seorang kakek berjubah warna jingga dan bertopi besar, wajah kehitam-hitaman dan berjenggot panjang, alis tebal lurus sehingga kelihatan angker, kakek ini berduduk di samping Ang-lian-hoa dengan tegak, sorot matanya tajam menatap Ji Pwe-giok.

Tanpa terasa Pwe-giok menunduk oleh perbawa si kakek yang kereng ini.

"Akhirnya kau datang juga!." Kata Ang-lian hoa dengan tertawa. "Apakah kau kenal Locianpwe ini?"

"Ketua Kun-lun pay," jawab Pwe-giok.

"Boleh juga penglihatanmu, sama sekali Thian-kang Totiang tidak bersuara, tapi dapat juga kau kenali," puji Ang-lian hoa. Mendadak ia berpaling dan tanya Bwe Su-bong, "Dia terkena racun apa? Siapa yang meracuni dia?"

"Orang yang meracuni dia belum jelas asal-usulnya, racun yang digunakan juga belum diketahui jenisnya, untung hanya…!"

Belum habis cerita Bwe Su-bong, mendadak Thian-kang Totiang melompat ke samping Ji Pwe-giok, secepat kilat ia tutuk beberapa hiat-to penting di kedua lengan anak muda itu, menyusul ia jejalkan satu biji obat ke mulutnya dan berkata, "Jangan bergerak dalam waktu setengah jam."

Sambil bicara ia telah menutuk 12 hiat-to penting di tubuh Pwe-giok, saat itu pula obat sudah ditelan anak muda itu, lalu Thian-kang Totiang melayang kembali ke tempat duduknya.

Keruan Pwe-giok melenggong, begitu pula Bwe Su-bong merasa bingung, katanya, "Ini! ini!."

"Memangnya kau kira racunnya sudah habis kau punahkan?" kata Ang-lian hoa.

"Sudah! sudah kuperiksa tadi!"

"Jika Kim-kong-ci dan Hoa-kim-tan terlambat diberikan Thian-kang Totiang, tentu kedua tangan Ji-kongcu akan cacad untuk selamanya," kata Ang-lian hoa pula.

Tentu saja Pwe-giok terkesiap dan Bwe Su-bong menunduk malu oleh karena tidak menduga bahwa racun yang disangkanya sudah tuntas dihisap keluar oleh ularnya ternyata belum bersih sama sekali.

"Lalu bagaimana dengan orang yang kusuruh kau selidiki itu?" tanya Ang-lian hoa.

"Hamba sudah menanyai belasan orang, tapi tiada seorangpun yang memperhatikan siapa yang berteriak itu," tutur Bwe Su-bong. Hanya ada seorang mengatakan bahwa dia melihat orang yang bersuara itu seperti berbaju hitam!"

"Berbaju hitam?..." gumam Ang-lian hoa dengan mengernyitkan kening.

"Setiap pertemuan besar di sini, orang yang berbaju hitam mulus rasanya tidak banyak," kata Bwe Su-bong. "Tapi sekali ini menurut penyelidikan hamba, orang berbaju hitam yang ikut hadir di pertemuan ini ternyata ada ratusan orang, malahan di tengah kerumunan pengunjung di luar sidang ada pula ribuan orang berseragam hitam. Orang2 ini ternyata belum dikenal, tampaknya juga tidak lemah ilmu silatnya."

"Orang berseragam hitam! ribuan orang!" gumam Ang-lian hoa. Perlahan-lahan sorot matanya beralih kepada Thian-kang Totiang, tanyanya kemudian, "Bagaimana pendapat Totiang terhadap kejadian ini?"

"Racun yang tidak dikenal dan orang yang tidak dikenal, rapi benar perencanaan ini dan sukar dipecahkan," demikian ucap Thian-kang Totiang dengan suara berat.

"Apakah orang2 berseragam hitam inipun anak murid Bu-kek-pay?" kata Ang-lian hoa.

"Umpama bukan murid Bu kek pay, kukira pasti juga ada hubungannya," ujar Thian-kang Totiang.

"Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa tokoh2 angkatan tua yang terhormat dan disegani seperti Ji Hong-ho, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau, dan lain2 dapat bertindak sekeji ini," kata Ang-lian hoa dengan gegetun. "Nama baik mereka selama berpuluh tahun tentu bukan palsu, jika dikatakan mereka tiada niat jahat dan sesuatu intrik tertentu, jelas akupun tidak percaya."

"Nama mereka memang tidak palsu, orangnya yang palsu," seru Pwe-giok dengan parau.

Ang-lian hoa menggeleng, katanya, "Sudah kuamat-amati mereka dengan teliti, jelas tiada seorangpun yang menyamar atau merias mukanya, apalagi sekalipun mereka berganti rupa dan menyamar, tentu gerak-gerik dan senyum-tawa mereka tidak semirip ini. Selain itu, Thian-in taysu, Jut-tun Totiang juga kenalan lama mereka, mustahil penyamaran mereka tak ketahuan?"

Dengan sedih Pwe-giok menunduk. Apa yang diuraikan Ang-lian hoa itu memang betul. Tidak perlu orang lain, melulu ayahnya saja, orang ini bukan saja wajahnya mirip benar dengan ayahnya, bahkan setiap gerak-gerik, setiap tutur kata dan senyum tawanya boleh dikatakan persis sama. Apabila sebelumnya dia tidak menyaksikan sang ayah meninggal di depannya, mungkin ia sendiripun tidak percaya orang ini adalah ayahnya yang palsu.

Bwe Su-bong tidak tahan, iapun menimbrung, "Jangan2 mereka kehilangan kesadarannya dan segala tindak tanduknya berada di bawah perintah orang. Hamba ingat, puluhan tahun yang lalu di dunia Kangouw juga pernah terjadi peristiwa demikian."

"Orang yang kesadarannya terbius, gerak-gerik dan sinar matanya pasti kaku dan berbeda dengan orang normal," kata Ang-lian hoa. "Sedangkan mereka jelas kelihatan sehat dan wajar, sorot mata merekapun jernih dan tajam, tiada tanda2 dipaksa orang atau dibius orang."

Thian-kang Totiang menengadah dan menghela nafas panjang, katanya, "Sungguh perencanaan yang rapi dan sukar dipecahkan."

"Hal ini memang serba aneh," kata Ang-lian hoa pula. "Jika orang2 ini dikatakan palsu, jelas2 mereka bukan palsu, bila dikatakan mereka ini tulen, justru terjadi banyak hal2 yang aneh. Apakah mereka itu didalangi orang atau mereka sendiri mempunyai intrik tertentu, yang pasti setelah mereka mengetuai dunia persilatan dengan kekuasaan besar, apa yang akan terjadi selanjutnya sungguh sukar dibayangkan. Sedangkan di dunia sekarang selain kita berempat tiada orang lain lagi yang menaruh curiga terhadap mereka."

Setelah tertawa getir, kemudian Ang-lian hoa menyambung pula, "Selama beribu tahun sejarah dunia persilatan, kukira tiada intrik lain yang terlebih besar dan keji daripada yang kita hadapi sekarang."

Air muka Thian-kang Totiang bertambah prihatin, katanya dengan perlahan, "Jika ingin membongkar rahasia ini, kuncinya terletak pada diri Ji-kongcu ini."

"Ya, justru inilah, maka jiwanya setiap saat terancam bahaya," kata Ang-lian hoa. "Sebab kalau dia mati, maka…!"

Tanpa terasa Bwe Su-bong menimbrung pula, "Bukankah Ji Hong-ho itu sudah mengetahui Ji Kongcu sebagai putranya, mana dapat membunuhnya lagi?"

"Meski tak dapat membunuhnya secara terang-terangan, kan dapat turun tangan secara gelap2an?" ujar Ang-lian hoa. "Lalu dibuat sedemikian rupa seolah-olah dia mati kecelakaan, dengan demikian kan segala urusan menjadi beres?"

"Pantas, tadi ketika kuobati dia, tak kulihat seorangpun yang berani menyergapnya, agaknya mereka tidak bebas turun tangan bila Ji-kongcu didampingi seseorang," kata Bwe Su-bong.

"Makanya kubilang kalau sendirian dia hendak pergi dari sini sungguh lebih sulit daripada manjat ke langit, kecuali…!"

Mendadak Thian-kang Totiang memotong ucapan Ang-lian hoa, "Apakah kau tahu urusan apa yang paling menakutkan sekarang?"

Ang-lian hoa berkerut kening, tanyanya, "Adakah Totiang teringat sesuatu?"

"Apabila hal ini terjadi, kukira Ji-kongcu pasti tak dapat hidup!"

Belum habis ucapan Thian-kang, mendadak di luar ada orang berseru, "Apakah Thian-kang Totiang berada di sini, Bengcu mengundang untuk berunding sesuatu urusan."

Air muka Thian-kang Totiang rada berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Jangan pergi dulu, tunggu sampai ku kembali." Segera ia berbangkit dan melangkah keluar.

Ang-lian hoa juga berkerut kening, katanya kemudian, "Biasanya Thian-kang Totiang tidak suka sembarangan bicara, apa yang dikatakannya tadi pasti ada dasarnya! sesungguhnya apa yang terpikir oleh dia? Urusan apa yang dimaksudkan nya?"

Bwe Su-bong garuk2 rambutnya yang kusut masai itu dan bergumam sendiri, "Menakutkan, menakutkan, apa yang terjadi memang sudah cukup menakutkan, masa masih ada urusan lain yang lebih menakutkan? Ai, Ji-kongcu memang…!" dia pandang Pwe-giok sekejap dan tidak melanjutkan, ia menunduk dan menghela nafas.

Selama hidupnya sudah banyak menemui orang yang bernasib malang, tapi kalau orang2 itu dibandingkan nasib Pwe-giok sekarang, mereka masih terhitung orang2 yang mujur.

Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Ku tahu diriku sudah terdesak ke jalan buntu, untung ada orang seperti Pangcu dan sudi pula membantu aku! aku biarpun mati juga takkan melupakan budi kebaikan Pangcu ini."

Ang-lian hoa hanya menggeleng-geleng saja dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula.

Mendadak Pwe-giok berkata pula, "Padahal Pangcu tidak pernah kenal diriku, mengapa engkau menolong diriku dengan sepenuh hati. Setiap orang menganggap aku sudah gila, mengapa Pangcu percaya penuh padaku?"

"Dengan sendirinya ada alasannya!" perlahan Ang-lian hoa mengeluarkan sebuah kantongan kain berwarna hijau, kantongan kain ini bersulam indah, seperti dompet kaum gadis bangsawan, siapapun tidak menyangka Ang-lian pangcu, ketua kaum jembel, bisa menyimpan barang begini.

Setelah membuka kantongan itu, Ang-lian hoa mengeluarkan secarik kertas dan disodorkan kepada Pwe-giok dan berkata, "Coba kau lihat sendiri, apa ini?"

Jelas cuma secarik kertas yang kumal, tapi terlipat dengan rajin. Bahwa Ang-lian hoa menyimpan sebuah kantongan bersulam begitu sudah cukup aneh, di dalam kantongan itu hanya tersimpan secarik kertas kumal, hal ini lebih2 mengherankan lagi.

Tanpa terasa Bwe Su-bong ikut melongok ke depan dan ingin tahu apa yang terdapat pada kertas kumal itu.

Pwe-giok lantas membuka lipatan kertas itu, ternyata di atasnya tertulis, "Ji Pwe-giok, percayai dia, bantu dia."

Huruf itu tertulis dengan rada kabur, tampaknya ditulis dengan tergesa-gesa dengan goresan benda tajam sebangsa jarum yang ditutulkan pada tanah liat.

Pwe-giok termenung memandangi tulisan itu, katanya kemudian, "Sia! siapa yang menulis ini?"

"Calon isteri mu," jawab Ang-lian hoa.

Seketika air muka Pwe-giok berubah rada aneh, tapi Ang-lian hoa tidak memperhatikannya. "Lim Tay-ih maksudmu? Kau kenal dia?" tanya Pwe-giok kemudian.

Ang-lian hoa mengangguk, jawabnya, "Tiga hari yang lalu pernah kulihat dia di sekitar Siangciu. Dia berada bersama ayahnya dan Ong Ih-lau. Sudah lama kukenal dia, tapi waktu itu dia hanya memandang sekejap padaku seakan-akan sama sekali tidak kenal lagi padaku."

"Memangnya kalian sudah… sudah lama kenal baik?" tanya Pwe-giok.

"Tampaknya kau memang sebangsa Kongcuya yang jarang keluar pintu, masa urusan Kangouw sama sekali tidak tahu," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Pada usia 13 Lim Tay-ih sudah berkelana di dunia Kangouw, seterusnya setiap tahun sekali dia pasti mengeluyur keluar, bahkan telah melakukan beberapa pekerjaan yang mulia, namanya sudah cukup terkenal di dunia persilatan."

Terbayang oleh Pwe-giok sorot mata Lim Tay-ih yang memperlihatkan sifatnya yang keras dan berani serta ilmu pedangnya yang cepat dan ganas itu. Terbayang pula tubuh si nona yang kelihatan lemah itu ternyata memiliki watak yang kuat, mau tak mau Pwe-giok menghela nafas gegetun, katanya, "Ya, dia memang tidak sama seperti diriku, dia memang jauh lebih kuat daripadaku."

"Sebenarnya Tay-ih adalah anak perempuan yang lugu dan suka terus terang, tapi hari itu dia telah berubah sama sekali," ujar Ang-lian hoa. "Ku tahu dalam hal ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. Maka ketika mereka beristirahat, segera kusuruh anggota Kay-pang di Siangciu untuk menghubungi kuasa hotel tempat mereka mondok, anggota itu kusuruh menyamar sebagai pelayan hotel. Benar juga, sekali pandang Tay-ih lantas mengenalinya, dia lantas mencari kesempatan dan diam2 menyerahkan kantongan kain ini kepadanya."

"Pantas kemarin dulu Song-losi dari Siangciu datang terburu-buru minta bertemu dengan Pangcu, kiranya ingin menyerahkan kantong bersulam ini kepada Pangcu," sela Bwe Su-bong.

Pwe-giok jadi melenggong sambil bergumam, "Kiranya dia sering berkelana di dunia Kangouw, pantaslah pada hari kejadian itu dia tidak berada di rumah."

Berubah juga air muka Ang-lian hoa, cepat ia menegas, "Di rumahnya terjadi apa? Jangan2 mengenai ayahnya?"

"Ya, dengan sendirinya Lim Soh-koan yang Pangcu lihat itu juga palsu, tapi hari itu…!" dengan menyesal Pwe-giok lantas menceritakan perubahan sikap Lim Tay-ih yang mendadak itu ketika berhadapan dengan ayahnya yang palsu, lalu ia melanjutkan ceritanya, "Waktu itu kukira dia sengaja hendak memfitnah diriku, tak tahulah kalau waktu itu dia sudah memahami betapa berbahayanya intrik musuh, ia tahu tiada pilihan lain terkecuali mengakui musuh sebagai ayah. Sedangkan diriku! meski sudah kutunggu sampai sekarang, agaknya terpaksa akupun harus menempuh jalan yang sama seperti dia! Ai, dia sesungguhnya anak perempuan yang cerdik."

"Ya, diantara orang2 yang kukenal, baik lelaki maupun perempuan, bila bicara tentang kecerdikan dan kegesitan bertindak menurut keadaan, mungkin tiada orang lain yang dapat melebihi dia," kata Ang-lian hoa.

"Tapi! tapi Lim Soh koan itu jelas sudah tahu segalanya, mengapa dia tidak membunuh Tay-ih sekaligus?" kata Pwe-giok. "Melihat gelagatnya sekarang, jelas Tay-ih telah berada di tahanan mereka, mungkin… Mungkin…!"

Ang-lian hoa memandangi Pwe-giok dengan tertawa, katanya, "Anak perempuan secantik dan sepintar dia, dengan sendirinya dia mempunyai akal untuk membikin orang lain tidak dapat dan tidak tega mencelakai dia. Kukira kita tak perlu berkuatir baginya, sebab kalau ada urusan yang tak dapat dibereskan oleh dia, maka tiada gunanya orang lain bergelisah baginya."

Habis berkata Ang-lian hoa lantas masukkan lagi kertas tadi ke dalam kantong.

Pwe-giok mengira Ang-lian hoa akan menyerahkan kantong bersulam itu kepadanya, tak tersangka Ang-lian hoa terus menyimpan kembali kantong itu ke dalam kantong bajunya, lalu berkata pula, "Apabila kita dapat mengadakan kontak dengan Tay-ih, ku yakin pasti dapat!" mendadak ia berhenti ketika dilihatnya Thian-kang Totiang telah kembali dengan langkah lebar.

"Ai, kembali ada persoalan yang memusingkan lagi," kata ketua Kun-lun-pay itu.

Bwe Su-bong terkejut dan bertanya, "Urusan memusingkan apalagi?"

"Ji… dia telah menunjuk diriku sebagai Hou-hoat (pelindung) perserikatan kita ini!" tutur Thian-kang.

"Hou-hoat?" Pwe-giok menegas.

"Selain Bengcu, perserikatan Hong-ti inipun harus mengangkat salah seorang ketua suatu perguruan ternama sebagai Houhoat," demikian Ang-lian hoa menjelaskan. "Selama ini, kalau Siau lim-pay menjadi Bengcu, maka yang diangkat menjadi Hou-hoat adalah Bu-tong-pay."

"Tapi sekali ini kalau Jut-tun Toheng yang diangkat menjadi Houhoat, tentu tindak tanduk mereka akan kurang leluasa," kata Thian-kang Totiang dengan tersenyum kecut. "Sedangkan kediaman ku jauh di Kun-lun-san, selamanya jarang ikut campur urusan dunia ramai, jelas orang she Ji itu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan mengangkat diriku sebagai Hou-hoat."

"Tapi juga lantaran nama Totiang yang memang sesuai untuk menjadi Hou-hoat," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Kalau tidak, kan lebih baik mereka mengangkat Thi-pah-ong saja yang jauh tinggal di Kwan-gwa sana?"

Sampai disini mendadak senyuman yang menghias wajah Ang-lian hoa lenyap seketika, dengan prihatin dia bertanya, "Tadi Totiang bicara tentang urusan…"

Dengan sungguh2 Thian-kang menukas, "Urusan yang kukuatirkan adalah kalau2 terjadi orang she Ji itu menyuruh Ji-kongcu ikut dia pulang ke rumah, lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Ya, betul juga!." Ang-lian hoa juga terkesiap.

"Bila Ji-kongcu ikut pulang bersama dia akan berarti jatuh di dalam cengkeraman mereka dan setiap saat ada kemungkinan dicelakai," kata Thian-kang. "Dan kalau sang ayah menyuruh anaknya sendiri ikut pulang, mana bisa si anak membangkang?"

"Ya, bukan saja si anak tidak boleh membangkang, bahkan orang lainpun tiada hak buat bicara, siapapun tak dapat merintanginya," ujar Ang-lian hoa. "Ai, urusan segawat ini seharusnya sudah kupikirkan jauh2 sebelumnya."

Bwe Su-bong ikut gelisah, keluhnya, "Wah, lantas bagaimana! bagaimana baiknya?"

"Urusan ini hanya ada satu jalan baik untuk menolongnya," kata Thian-kang.

"Betul, hanya ada satu jalan untuk menolongnya," tukas Ang-lian hoa.

"Terpaksa Ji-kongcu harus melarikan diri selekasnya, begitu bukan?" tanya Bwe Su-bong.

Thian-kang Totiang menggeleng.

"Habis bagaimana kalau tidak lari?" tanya Bwe Su-bong pula dengan gelisah.

"Asalkan Ji-kongcu lekas2 mengangkat seseorang sebagai guru, lalu sang guru minta si murid ikut pulang untuk belajar, dalam keadaan demikian biarpun ayahnya sendiri juga tak dapat menolak lagi," tutur Thian-kang dengan perlahan.

"Bagus, bagus sekali, cara ini sungguh sangat bagus!" seru Bwe Su-bong.

Segera Ang-lian hoa berkata dengan tertawa, "Kionghi (selamat) Ji-kongcu mendapatkan guru bijaksana dan Kionghi kepada Totiang yang mendapatkan murid berbakat."

Pwe-giok jadi melengak. Sedangkan Thian-kang Totiang berkata, "Ah, mana aku sesuai menjadi guru Ji-kongcu!"

"Di dunia sekarang ini, kecuali Totiang siapa lagi yang sesuai menjadi guru Ji-kongcu?" ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Demi kesejahteraan dunia persilatan selanjutnya, kuharap Totiang sudi menerimanya."

Akhirnya Pwe-giok berlutut dan menyembah. Pada saat itu juga di luar kemah ada orang berseru memanggil, "Ji Pwe-giok, Ji-kongcu diharap keluar. Bengcu ingin bicara denganmu!"

Ang-lian hoa memandang Pwe-giok sekejap, ucapnya perlahan, "Nah, apa kataku? Setiap gerak-gerikmu senantiasa diawasi orang, kemanapun kau pergi pasti sudah diketahui."

Bwe Su-bong melenggong juga, kaki dan tangan terasa dingin dan hampir saja tidak dapat bergerak.

* * *

Di luar kemah tampak api unggun menyala di mana2, suasana riang gembira, beribu orang duduk mengelilingi api unggun di bawah bintang2 yang bertaburan memenuhi langit, silir angin malam membawa bau harum arak. Kehidupan manusia seyogyanya penuh diliputi gembira dan bahagia.

Akan tetapi Ji Pwe-giok berjalan dengan kepala tertunduk, hatipun pedih dan getir. Saat ini dia seolah2 berubah menjadi sebuah boneka, segala urusan harus patuh kepada perintah dan didalangi orang lain.

Terdengar di sana-sini orang sama menyapa, "Ang-lian-pangcu, silahkan mampir dan marilah minum tiga cawan!"

Ada juga yang menegur Bwe Su-bong, "Hai Bo-su-bong, tampaknya kau masih sibuk selalu. Apakah kau sudah pantang minum arak?"

Selain itu ada pula yang berseru heran, "He, bukankah itu Ji-kongcu?"

Di tengah sorak gembira itu, seorang pemuda baju hitam melangkah tiba dengan cepat dan memberi hormat, katanya, "Saat ini Bengcu sedang menunggu di perkemahan Siau-lim-pay."

Ber-turut2 tujuh kali Siau-lim-pay menjabat Bengcu, tapi perkemahannya juga tiada bedanya dengan pihak lain, hanya beberapa meter di sekeliling perkemahannya tiada orang berani bergerombol. Hormat orang terhadap Thian-in juga tidak berkurang lantaran sekali ini dia tidak terpilih lagi sebagai Bengcu.

Saat ini di depan perkemahan Siau-lim-pay tiada seorangpun, cuma dibalik kemah yang gelap sana samar2 seperti ada bayangan orang berkelebat. Baru saja mereka sampai di depan kemah, di dalam Thian-in Taysu sudah lantas menegur dengan tertawa, "Jangan2 Ang-lian-pangcu juga ikut datang?"

"Kesaktian Taysu sungguh luar biasa, se-akan2 dapat melihat dari tempat yang jauh," puji Ang-lian hoa dengan tertawa.

Terlihatlah orang yang disebut Ji Hong ho itu duduk berhadapan dengan Thian-in Taysu dan sedang minum, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau dan lain2 ternyata tidak ikut serta di situ.

Di dalam kemah asap dupa wangi semerbak, masuk di sini rasanya seakan-akan masuk di suatu dunia lain lagi.

Setelah beramah tamah dan berduduk, kemudian pandangan Ji Hong ho beralih ke arah Ji Pwe-giok yang berdiri tertunduk di samping sana, dengan senyum kasih sayang seorang ayah ia berkata, "Anak Giok, apakah badanmu terasa lebih enak?"

"Terima kasih atas perhatian ayah," jawab Pwe-giok dengan hormat.

"Biasanya kau jarang keluar rumah, tidak-tandukmu selanjutnya hendaklah hati2 dan prihatin agar tidak menjadi buah tertawaan kaum Cianpwe dunia Kangouw," kata Ji Hong-ho pula.

Pwe-giok mengiakan dengan menunduk.

Yang satu memberi petuah dan yang lain mengiakan dengan hormat, tampaknya seperti benar2 seorang ayah yang kereng dengan seorang anak yang berbakti. Siapa yang menduga bahwa keduanya sesungguhnya sedang main sandiwara?

Sudah jelas Pwe-giok mengetahui orang di depan ini adalah musuhnya, hatinya sangat sakit, tapi lahirnya dia justru harus berlagak hormat dan menganggap orang sebagai ayahnya.

Sebaliknya Ji Hong-ho juga tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah anaknya, dalam hati iapun ingin sekali hantam mampuskan Ji Pwe-giok. Tapi lahirnya dia harus berlagak kasih sayang kepada seorang anak.

Ang-lian hoa dapat mengikuti semua ini dari samping, dalam hati tak keruan rasanya, entah duka, entah marah atau merasa geli.

Sejak umur tujuh Ang-lian hoa sudah terjun di dunia Kangouw, adegan ramai apapun pernah dilihatnya. Tapi permainan sandiwara yang serba konyol ini sungguh belum pernah ditemuinya. Kalau orang di luar garis saja demikian perasaannya, apalagi orang yang bersangkutan seperti Ji Pwe-giok, tentu saja sukar untuk diceritakan.

Begitulah Thian-in Taysu lantas berkata pula dengan tersenyum, "Ji-kongcu kelihatan halus di luar, tapi keras di dalam, di tengah ketenangan jelas kelihatan kecerdasannya, sungguh bakat yang sukar dicari. Bilamana tidak keliru pandanganku, hasil yang akan dicapai Ji-kongcu di kemudian hari pasti akan di atas Bengcu sendiri."

Segera Ang-lian hoa berkeplok tertawa, serunya, "Hendaklah Taysu dan Bengcu maklum, kecuali mempunyai seorang ayah termashur, kini Ji-kongcu sudah mempunyai pula seorang guru ternama!"

"O, guru ternama?" Ji Hong-ho seperti melengak.

Thian-kang Totiang lantas menukas, "Berhubung melihat putera anda mempunyai bakat tinggi dan sukar dicari, hatiku jadi tergerak dan secara sembrono telah menerima putera anda sebagai murid. Untuk ini diharap Bengcu suka memberi maaf atas kelancanganku."

Ang-lian hoa tertawa dan menambahkan, "Ji-kongcu akan merangkap keunggulan kedua keluarga Bu-kek dan Kun-lun, kelak pasti akan memancarkan cahaya gilang gemilang bagi dunia persilatan umumnya. Ku yakin Bengcu pasti akan kegirangan, masa menyalahkan Totiang malah?"

"Ini… ini memang harus berterima kasih kepada Totiang," jawab Ji Hong-ho.

Meski tampaknya tersenyum tapi senyuman kecut atau lebih tepat dikatakan menyengir.

"Besok juga kami akan berangkat pulang ke Kun-lun-san, putera anda…"

Belum lanjut ucapan Thian-kang Totiang, segera Ang-lian hoa menyambung dengan tertawa, "Ji-kongcu dengan sendirinya harus ikut pergi bersama Totiang. Tentu saja Bengcu tidak perlu kuatir, kungfu Kun-lun-pay sudah termasyhur, bisa selekasnya belajar kan lebih baik. Apalagi Bengcu baru mulai menjabat tugas berat, tentu banyak pekerjaan dan tidak sempat memikirkan pelajaran Ji-kongcu."

Lalu ia tarik tangan Ji Pwe-giok, katanya pula dengan tertawa, "Besok juga kau akan ikut Totiang ke Kun-lun dan harus belajar dengan giat, jangan harap lagi ada tempo senggang dan pesiar seperti sekarang ini, andaikan bertemu lagi kelak sedikitnya juga tiga atau lima tahun pula. Mumpung masih berkumpul sekarang, marilah kita pergi minum sepuasnya sebelum berpisah."

Habis berkata Ang-lian hoa lantas menarik Pwe-giok dan diajak pergi.

Ji Hong-ho jadi melenggong dan tak dapat bersuara.

Dengan tersenyum Thian-in Taysu lantas berkata, "Putera anda dapat berkawan dengan Ang-lian-pangcu, rejekinya sungguh tidak kecil."

"Ya, sungguh beruntung!" ucap Ji Hong-ho sembari menenggak teh untuk menutupi rasa canggungnya.

* * *

Esok paginya, baru saja remang2 di ufuk timur, namun sebagian besar para ksatria masih bergelak tertawa dengan muka merah karena terlalu banyak menenggak arak, ada sebagian lagi yang tidak dapat tertawa dan sudah roboh tertidur lelap.

Hanya anak murid Kun-lun-pay saja, baik mabuk atau tidak, saat ini dengan khidmat sama berdiri di depan perkemahan untuk mengantar keberangkatan sang ketua.

Di dalam kemah Ji Pwe-giok sedang menyembah kepada sang "ayah" sebagai tanda mohon diri. Ber-ulang2 "Ji Hong-ho" memberi pesan, kembali keduanya lagi main sandiwara kasih sayang antara ayah dan anak.

Habis itu delapan Tojin muda berbaju ungu mengiringi Thian-kang Totiang dan Ji Pwe-giok melangkah keluar kemah. Di luar tiada kereta atau kuda. Dari Kun-lun-san ke Hongciu, jarak ribuan li itu ternyata ditempuh kawanan Tojin Kun-lun-pay itu dengan berjalan kaki.

Ang-lian hoa memegangi tangan Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Selamat jalan, jangan lupa kepada kakakmu yang rudin ini."

"Aku… Cayhe… Siaute…" saking terharunya Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus berucap, suaranya menjadi ter-sendat2 dan air mata ber-linang2, akhirnya ia cuma tertunduk belaka.

Se-konyong2 seorang mendekatinya dan berkata dengan tertawa, "Anak Giok, perpisahan ini kukira akan makan waktu cukup lama, apakah kau tidak ingin bertemu dulu dengan Tay ih?"

Cepat Pwe-giok menengadah, dilihatnya Lim Soh-koan yang berdiri di depannya.

Pagi2 masih diliputi kabut yang tipis, samar2 disana berdiri bayangan seorang dengan kerlingan mata sayu, siapa lagi dia kalau bukan Lim Tay-ih?

Melihat bayangan si nona yang lembut, teringat perpisahan ini entah kapan baru dapat bertemu kembali, seketika Pwe-giok jadi terkesima.

Memandangi mereka, Ang-lian hoa sendiri juga tertegun.

Mendadak terdengar Thian-kang Totiang membentak perlahan, "Kehidupan di pegunungan selalu sunyi, perasaan laki perempuan janganlah ditumbuhkan! Hayolah!" Segera tangan Pwe-giok ditariknya terus melangkah pergi.

Lim Tay-ih masih berdiri di sana dan memandangnya dengan sayu, pada matanya yang jernih itu entah sejak kapan sudah mengembeng air mata.

"Melihat kepergian kekasih dan tidak dapat berbicara sepatah dua, apakah hatimu tidak merasa sedih?" demikian tiba2 suara seorang senyaring genta menegur dengan tertawa genit disertai bau harum semerbak terbawa angin.

Tay-ih tidak berpaling, sebab Ong Ih-lau dan Sebun Bu-kut sudah sampai pula disampingnya, dengan sorot mata tajam dan kereng kedua orang itu berkata, "Tay-ih, hayolah pergi."

Suara nyaring merdu tadi berkata pula dengan tertawa, "Perempuan bicara dengan perempuan juga dilarang oleh kalian kaum lelaki?"

Dengan suara berat Ong Ih-lau menjawab, "Selama ini Bu-kek-pay tiada hubungan apapun dengan murid Peh-hoa-pang."

"Dulu tidak ada, sekarang kan sudah ada," ujar suara genit itu.

Lim Tay-ih hanya berdiri diam saja, rambutnya ber-gerak2 tertiup angin. Sesosok bayangan lemah gemulai tahu2 melayang tiba di depannya dengan baju tipis berkibar laksana dewi kahyangan.

Meski sama2 perempuan, mabuk juga Tay-ih melihat sepasang mata orang yang baru muncul ini, sungguh sama sekali tak tersangka olehnya bahwa ketua Pek-hoa-pang yang termasyhur itu ternyata sedemikian cantiknya.

Berbareng Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut hendak menghadang di depan Lim Tay-ih, tapi mendadak bau harum menusuk hidung, se-konyong2 kain tipis seperti kabut menyampuk tiba, tanpa terasa Ong Uh-lau berdua melompat mundur lagi.

Waktu mereka memandang lebih jelas, terlihat Hay-hong Hujin telah menggandeng tangan Tay-ih dan melangkah pergi, terdengar suaranya yang nyaring merdu lagi berkata, "Leng-hoa-kiam, kan boleh kubawa pergi anak perempuanmu untuk mengobrol sejenak?... Akupun seperti kaum lelaki, bila melihat anak perempuan cantik lantas terpikat dan ingin bicara dengan dia."

Lim Soh-koan hanya melongo bingung di sana tanpa bersuara.

Dari jauh Ang-lian hoa dapat menyaksikan kejadian ini, tersembul senyumannya yang puas. Di tengah kabut pagi yang belum buyar itu ke-14 panji besar masih berkibar di udara, tapi pertemuan besar setiap tujuh tahun satu kali ini sudah berakhir, para ksatria secara ber-kelompok2 telah mulai berangkat pulang.

Memandangi panji Bu-kek-pay yang baru saja ikut dikerek, Ang-lian hoa jadi terharu, tanpa terasa ia menghela nafas panjang.

"Apa yang Pangcu renungkan di sini?" tiba2 seorang menegurnya. "Apakah sahabat baru Pangcu si Ji-kongcu sudah ikut berangkat bersama Thian-kang Totiang?"

Kiranya orang ini adalah Cia Thian-pi, ketua Tiam-jong-pay. Dengan terharu Ang-lian hoa menjawab, "Ya, sudah berangkat!"

"Wah, mengapa… mengapa secepat ini berangkatnya?!" seru Cia Thian pi mendadak dengan air muka berubah.

Melihat adanya kelainan air muka orang, Ang-lian hoa terkesiap, cepat ia bertanya, "Cepat? Cepat bagaimana?"

"Maaf Pangcu, ternyata kedatanganku ini tetap terlambat sejenak," kata Cia Thian-pi dengan muram dan menunduk.

"Sesungguhnya ada urusan apa?" tanya Ang-lian hoa sambil pegang pundak orang.

"Pernahkah Pangcu mendengar nama "Thian-kai-biau-peng-khek" (si kelana kian kemari)?"

"Sudah tentu pernah," jawab Ang-lian hoa. "Sesuai namanya, orang ini tidak tertentu tempat tinggalnya, dimanapun dapat dijadikan rumah olehnya. Jut-tun Totiang dari Bu-tong menganggap satu2nya tokoh Kangouw saat ini yang pantas disebut "Yu-hiap (pendekar kelana) hanya dia saja seorang."

"Dan baru saja Siaute menerima surat merpati dari dia, katanya... Katanya..."

"Katanya apa?" Ang-lian hoa menegas, makin erat cengkeramannya pada pundak orang.

Cia Thian-pi menghela nafas panjang dan memejamkan mata, lalu menjawab dengan perlahan, "Katanya Thian-kang Totiang dari Kun-lun-pay telah wafat pada setengah bulan yang lalu."

"Apa betul beritanya ini?" seru Ang-lian hoa terperanjat.

"Demi membuktikan kebenaran berita ini, dia telah membuang waktu selama setengah bulan, setelah menyaksikan sendiri jenazah Thian-kang Totiang barulah dia mengirim berita merpati kepadaku. Yu hiap Ih Eng selamanya bertindak dengan cermat dan hati2, berita penting begini mana berani dia siarkan secara ngawur jika tidak terbukti kebenarannya?"

Seketika kaki dan tangan Ang-lian hoa dingin semua, katanya, "Wah, jika demikian jadi Thian-kang Totiang inipun palsu?!"

Cia Thian-pi berkata dengan menyesal, "Ketika dia hadir di atas panggung pertemuan, kulihat dia selalu diam saja, sebenarnya sudah timbul rasa curigaku, kemudian dia diangkat menjadi Houhoat pula, tentu saja!"

"Mengapa tidak… tidak kau katakan waktu itu?" tanya Ang-lian hoa.

"Mana berani Siaute memastikannya!" ujar Cia Thian-pi.

"Sekarang Ji Pwe-giok telah dibawa pergi, bukankah ini sama dengan mengantar domba ke mulut harimau?" kata Ang-lian hoa dengan suara rada gemetar.

"Ya, sebab itulah aku merasa kuatir," kata Cia Thian-pi.

Butiran keringat memenuhi dahi Ang-lian hoa, katanya pula, "Dia berangkat hanya membawa Pwe-giok seorang, anak muridnya masih tertinggal semua di sini, rupanya supaya dia leluasa turun tangan! Ai, akulah yang membikin celaka dia! akulah yang bersalah!"

"Bisa jadi inilah langkah yang sudah lama diatur oleh komplotan jahat itu," ujar Cia Thian-pi, "kalau tidak, biasanya Kun-lun-pay sangat keras dalam hal memilih murid, mengapa dia mau terima murid secepat dan semudah itu?"

"Sungguh rapi dan cermat sekali rencana keji mereka dan sukar untuk dibendung," kata Ang-lian hoa dengan tersenyum pedih. "Tapi!" mendadak ia tarik tangan Cia Thian-pi dan mendesis, "Untung juga kedatangan Cia-heng ini belum terlalu terlambat."

"Apakah mereka belum pergi jauh?!" tanya Thian-pi.

"Dengan kecepatan berjalan kita, kuyakin dapat menyusulnya!" seru Ang-lian hoa.

Dengan gemas Cia Thian-pi berkata, "Jahanam yang licik dan keji, baginya tiada soal peraturan Kangouw lagi, bila bertemu nanti, biarlah kita berlagak tidak tahu, coba kita lihat bagaimana sikapnya nanti."

"Ya, marilah kita kejar!" seru Ang-lian hoa.

* * *

Makin sepi tempat yang dilalui mereka, makin tebal pula kabut yang mengambang di udara.

Pwe-giok berjalan di belakang Thian-kang Totiang, memandangi jenggot Tojin yang bertebaran tertiup angin dengan perawakannya yang tegap, teringat pula pertemuan dirinya yang aneh dan kebetulan, sungguh Pwe-giok tidak tahu mesti bergirang atau bersedih.

Kun-lun-pay cukup termasyhur, betapa keras caranya menerima murid juga sukar ditandingi perguruan lain, apabila murid juga sukar ditandingi perguruan lain, apabila dirinya tidak tertimpa musibah sebanyak ini, mana bisa dalam semalam saja telah berubah menjadi murid Kun-lun-pay.

Didengarnya Thian-kang Totiang berkata, "Perjalanan masih jauh, kita harus berjalan dengan lebih cepat."

Dengan hormat Pwe-giok mengiakan, "Peraturan perguruan kita selamanya sangat keras, tata tertib kehidupan se-hari2 sangat prihatin, hidup sederhana dan harus tahan uji, apakah kau sanggup?"

"Tecu tidak takut menderita."

"Kau terakhir masuk perguruan, setiba di gunung, pekerjaan se-hari2 yang harus kau lakukan dengan sendirinya akan lebih banyak daripada murid lain. Tampaknya badanmu lemah lembut, entah kau sanggup tidak bekerja berat?"

"Di rumah Tecu juga biasa bekerja berat."

"Baiklah, di depan sana ada sumur, timbalah airnya sedikit."

Pwe-giok mengiakan.

Benar juga, tidak jauh di depan sana ada sebuah sumur yang sangat besar, baru saja Pwe-giok menurunkan timba ke dalam sumur, mendadak terbayang waktu menimba air di rumah, terkenang pada taman yang rimbun dan sejuk itu, terbayang wajah sang ayah yang welas asih! seketika air matanya berderai, timba yang dipegangnya mendadak terlepas dan jatuh ke dalam sumur.

Ia terkejut dan cepat hendak meraih tali timba, tapi entah mengapa, mendadak ia terpeleset, tubuhnya ikut terjerumus ke dalam sumur.

Padahal sumur itu sangat dalam, biarpun dia memiliki ilmu silat maha tinggi, kalau jatuh ke dalam sumur mungkin sukar juga manjat ke atas. Sudah banyak musibah yang menimpanya, sudah sering dia menghadapi bahaya, kalau sekarang ia harus mati di dalam sumur, apakah bukan permainan nasib?

Padahal sejak kecil ia belajar silat, kuda2nya terlatih sangat kuat, entah mengapa dia bisa terpeleset.

Air sumur sedingin es, keruan Pwe-giok menggigil, ia me-ronta2 dan berusaha memanjat ke atas, tapi dinding sumur penuh lumut tebal dan licin, hakekatnya tiada tempat yang dapat dibuat pegangan.

Anehnya, mengapa Thian-kang Totiang tidak datang menolongnya?

Sekuatnya ia bertahan. Mendadak terdengar kumandang derap kuda lari yang langsung menuju ke tepi sumur. Lalu suara seorang perempuan berseru, "Siapakah yang jatuh ke dalam sumur?... Ai, jangan-jangan Ji…"

"Betul, memang dia!" terdengar suara Thian-kang Totiang.

"Totiang menyaksikan dia jatuh ke dalam sumur, mengapa engkau tidak menolongnya? Apakah ingin dia mati di situ?" tanya perempuan itu.

"Dia mengira dirinya sanggup menderita dan tahan uji, tapi tidak tahu betapa sengsaranya orang hidup di dunia ini. Demi hari depannya supaya dia dapat menjadi orang yang berguna, maka sengaja ku gembleng dia mulai sekarang."

"O, jika begitu, maafkan bila barusan Tecu salah omong, tapi! tapi sekarang ujian baginya apakah belum cukup?"

"Mengapa kau begitu memperhatikan dia?" tanya Thian-kang Totiang dengan tersenyum.

Perempuan itu tak dapat menjawab, seperti merasa kikuk, sejenak kemudian barulah dia berseru, "Sebabnya Tecu menyusul kemari justeru ingin… ingin bicara beberapa patah kata dengan dia."

"O, jika demikian, bolehlah ku naikkan dia!" lalu Thian-kang Totiang melemparkan seutas tambang ke dalam sumur.

Waktu Pwe-giok naik ke atas, mukanya tampak merah padam, seluruh tubuhnya basah kuyup, ia merasa malu juga serba runyam.

Dilihatnya sebuah tangan yang putih halus mengangsurkan sepotong sapu tangan, pada sapu tangan warna keemasan itu tersulam pula seekor burung walet emas, terdengar suara merdu itu berkata padanya, "Lekas mengusap air yang membasahi mukamu!"

Ucapan yang sederhana ini ternyata mengandung perhatian yang sangat mendalam, kepala Pwe-giok tertunduk semakin rendah, ia menjadi bingung apakah harus menerima sapu tangan itu atau tidak.

Didengarnya Thian-kang Totiang berkata dengan suara bengis, "Seorang lelaki sejati, mengapa mengangkat kepala saja tidak berani?"

Sudah tentu bukannya Pwe-giok tidak berani mengangkat kepalanya. Begitu dia angkat kepala, segera dilihatnya Kim-yan-cu, gadis yang lincah dan cerah ini sedang memandanginya dengan penuh simpati.

"Ada urusan apa silahkan bicaralah, segera kami harus melanjutkan perjalanan jauh," kata Thian-kang Totiang. Biarpun orang pertapaan tulen, agaknya iapun paham hubungan mesra antara muda-mudi, sambil mengelus jenggotnya ia lantas menyingkir ke sana.

Kim-yan-cu tersenyum manis dan menyerahkan sapu tangannya kepada Pwe-giok, katanya, "Ambil, takut apa kau?"

Air yang memenuhi muka Pwe-giok entah air atau keringat, dia berucap dengan gelagapan, "Te! terima kasih nona."

"Tentunya kau heran, selamanya kita belum kenal, mengapa kususul kemari untuk bicara dengan kau?" kata Kim-yan-cu.

Pwe-giok mengusap air di mukanya, lalu menjawab, "Entah! entah nona ada petunjuk apa yang harus dibicarakan padaku?"

"Sebenarnya akupun heran," kata Kim-yan-cu dengan gegetun. "Entah mengapa, kurasakan kita tak dapat berpisah dengan begini saja. Maka aku lantas menyusul kemari. Biasanya memang begitu. Apa yang ingin kukerjakan seketika juga kulaksanakan."

"Tapi… tapi nona!" Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya, sekilas dilihatnya dikejauhan sana ada sesosok bayangan orang berdiri di tengah kabut bersandar di samping kuda, tampaknya sangat kesepian.

Pwe-giok berdehem, katanya, "Maksud baik nona cukup kupahami. Sin-to Kongcu sedang menunggu di sana, le… lekaslah nona kesana, bisa jadi kelak…"

"Jangan pusingkan dia, berapa lama dia akan menunggu, buat apa kau gelisah baginya?" sela Kim-yan-cu dengan kurang senang. Mendadak ucapannya berubah lembut, katanya dengan perlahan dan tandas, "Aku cuma ingin tanya padamu, selanjutnya kau ingin bertemu lagi denganku atau tidak?"

"Aku…" Pwe-giok menunduk dan ragu2.

Kim-yan-cu menggigit bibir, tanyanya pula, "Aku anak perempuan, kalau kuberani tanya masa kau tak berani menjawab?"

Dengan menggreget Pwe-giok berkata, "Cayhe adalah orang yang bernasib malang, selanjutnya… selanjutnya paling baik kita tidak bertemu lagi."

Tergetar tubuh Kim-yan-cu, ia melenggong sekian lamanya, akhirnya dia berkata dengan suara gemetar, "Ba.. bagus kau!" mendadak ia mencemplak ke atas kudanya terus dibedal pergi secepat terbang.

Tangan Pwe-giok masih memegangi sapu tangan kuning itu dan mengikuti bayangan si nona yang lenyap di tengah kabut. Bau harum saputangan masih terendus, tanpa terasa Pwe-giok rasa terkesima.

Pada saat itulah mendadak seekor kuda menerjang tiba, bayangan golok berkelebat terus membacok!

Serangan ini datangnya teramat cepat dan keras. Keruan Pwe-giok terkejut, untuk menghindar terasa tidak sempat lagi, terpaksa Pwe-giok menubruk ke depan malah, terasa punggungnya terserempet angin tajam, dilihatnya Sin-to Kongcu telah melarikan kudanya ke sana, dengan gelak tertawa dan mengangkat goloknya Kongcu golok sakti itu lantas berseru, "Bacokan ini hanya sebagai peringatan saja, jika kau tetap tidak tahu diri, lain kali kepalamu pasti akan kupenggal!"

Pwe-giok benar2 serba susah. Setelah berdiri tegak lagi barulah diketahui baju bagian punggung telah robek tersayat golok lawan, hanya selisih sedikit saja jiwanya bisa melayang di bawah golok kilat tadi.

Thian-kang Totiang juga sedang memandang padanya, ucapnya sambil menggeleng, "Jika persoalan demikian selalu terjadi, cara bagaimana kau bisa hidup tenteram?"

"Tecu… tecu…" Pwe-giok tertunduk dan tidak sanggup melanjutkan.

"Sudahlah, hayo kita berangkat, ingin kulihat apakah kau sanggup berjalan sampai Kun-lun-san!" kata Thian-kang Totiang.

Cara berjalan Thian-kang Totiang tidak cepat juga tidak lambat, tapi bagi Pwe-giok sudah kepayahan untuk mengikuti langkahnya. Duka derita selama akhir2 ini benar2 telah menyiksa jiwa raganya. Ia sudah basah kuyup oleh air keringat, rasanya akan menggigil, tapi di samping guru yang kereng ini mana dia berani mengeluh.

Kabut sudah mulai buyar, tapi sinar sang surya belum lagi muncul. Cuaca mendung, lembab dan kelam seperti air muka Thian-kang Totiang.

Mereka terus jalan dan entah sudah berapa jauhnya, baju Pwe-giok yang basah oleh air keringat sudah kering, tapi segera basah lagi. Ia mulai ter-engah2, langkahnya tambah lambat, kepalapun merasa berat!

Se-konyong2 Thian-kang Totiang berhenti di depan sebuah kelenteng bobrok, katanya sambil menggeleng, "Nak, tampaknya kau tidak tahan menderita, marilah masuk dan mengaso dahulu."

Kelenteng itu sunyi senyap dengan ruangan yang gelap, patungnya tinggi besar dan beringas menakutkan se-akan2 sedang mengejek siksa derita yang dialami manusia.

Tanpa terasa Pwe-giok terus berbaring di depan patung, di luar angin meniup santer, agaknya akan hujan. Biarkan hujanlah, air hujan mungkin dapat mencuci bersih segala kekotoran kehidupan manusia.

Thian-kang Totiang berdiri di depan Pwe-giok, tampaknya iapun angker seperti patung kelenteng itu, dengan bengis ia berkata, "Berdiri, di depan malaikat pujaan mana boleh sembarangan berbaring!"

Pwe-giok mengiakan dan meronta bangun, ia berdiri dengan sikap hormat, dalam hati tiada sedikitpun merasa menyesal. Tanpa guru yang kereng, mana dapat mengeluarkan anak didik yang baik?

Air muka Thian-kang tampak ramah kembali, katanya, "Setiap anak murid Kun-lun harus berani menderita, lebih2 kau, nasibmu berbeda dengan orang lain, kau harus berani menderita berlipat ganda daripada orang lain."

"Tecu mengerti," jawab Pwe-giok dengan muram.

Perlahan Thian-kang berpaling ke sana, di luar daun rontok gemerisik oleh tiupan angin, ketua Kun-lun-pay yang termasyhur ini se-akan2 merasakan akan datangnya musim rontok yang senyap, ia bergumam, "Akan hujan lagi! langit selalu datang awan dan angin yang sukar diramal, kehidupan manusia tidaklah juga demikian adanya? Nak, sampai matipun kau harus tetap ingat, tiada seorangpun di dunia ini yang dapat dipercaya sepenuhnya, kecuali dirimu sendiri."

Tiba2 angin meniup, entah mengapa Pwe-giok jadi merinding. Suasana sedemikian senyapnya, jangan2 inilah firasat yang tidak baik.

"Nak, kemarilah kau," kata Thian-kang pula perlahan.

Dengan sikap hormat dan prihatin Pwe-giok mendekatinya.

Dari kantongan yang dibawanya Thian-kang mengeluarkan sepotong bola nasi yang dibuat seperti onde2. Diberi nya onde2 nasi ini kepada Pwe-giok, air mukanya yang kereng itu tersembul senyuman yang jarang terlihat, katanya, "Makanlah, pada usia semuda kau, gurumu juga merasakan cepatnya lapar."

Orang tua yang kereng ini ternyata juga punya rasa kasih sayang. Memandang onde2 nasi di tangannya, saking terharu hampir saja Pwe-giok mengucurkan air mata. "Dan suhu sendiri?" ucapnya kemudian.

Thian kang tertawa, katanya, "Bola nasi ini tidak sembarangan orang dapat memakannya, setelah kau makan tentu kau tahu apa sebabnya, gurumu!"

"Jika bola nasi itu sedemikian bernilai, entah boleh tidak Cayhe ikut minta sebagian?" mendadak seorang menimbrung dengan tertawa.

Tahu2 seorang muncul di luar, dengan langkah lebar masuk ke dalam kelenteng, dadanya tampak ter-engah2, senyuman yang menghiasi mukanya juga rada aneh. Cuma cuaca mendung kelam sehingga tidak begitu jelas kelihatan.

"Mengapa Pangcu menyusul kemari?" seru Pwe-giok dengan girang setelah mengetahui siapa pendatang ini.

Dengan mengelus jenggotnya, Thian-kang juga menyapa, "Pangcu menyusul kemari dengan tergesa2 begini, kukira pasti bukan untuk minta bagian makanan ini."

"Totiang memang bijaksana dan tahu segalanya," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Kedatanganku ini memang ini memperlihatkan sesuatu kepada Totiang."

Ia lantas mengeluarkan sesuatu barang dan disodorkan ke depan Thian-kang. Benda itu sangat kecil, di ruangan kelenteng yang gelap ini tidak terlihat jelas.

Terpaksa Thian-kang Totiang menunduk untuk memeriksa barang itu sambil berkata, "Barang yang diantar kemari oleh Ang-lian-pangcu secara tergesa-gesa ini pasti benda yang sangat menarik!"

Belum habis ucapannya, se-konyong2 tangan Ang-lian hoa terangkat ke atas dan tepat menghantam mata Thian-kang Totiang.

Pada saat itu juga mendadak terdengar guntur menggelegar, hujan turun bagai dituang. Pada saat yang sama pula sinar pedang lantas berkelebat dan menancap di punggung Thian-kang Totiang.

Thian-kang meraung sambil menghantam dengan sebelah tangannya. Tapi Ang-lian hoa sempat melompat mundur, angin pukulan yang dahsyat menghantam altar patung hingga berantakan, patung besarpun sama ambruk.

Muka Thian-kang berlumuran darah, rambut dan jenggotnya se-akan2 kaku berdiri, teriaknya dengan parau, "Ken! kenapa kau!" belum habis ucapannya, robohlah dia terkapar.

Di luar hujan turun semakin deras, pedang yang menancap di punggung ketua Kun-lun-pay itu tampak masih bergetar.

Terkesiap Pwe-giok oleh kejadian itu, bola nasi yang dipegangnya juga terjatuh. Ang-lian hoa berdiri mepet dinding sana, dadanya naik-turun dengan napas ter-engah2, air mukanya juga berubah pucat. Tapi Pwe-giok masih dapat diselamatkan, betapapun kedatangannya belum terlambat.

Terlihat Cia Thian-pi lantas melayang masuk, serunya dengan tertawa, "Betapapun kedatangan kita masih keburu dan sekali turun tangan lantas berhasil."

"Mestinya jangan kau binasakan dia, harus kita tanyai lebih dulu," ujar Ang-lian hoa dengan menyesal.

"Tanya apalagi?" kata Cia Thian-pi. "Kalau ditanyai mungkin akan!"

Mendadak Pwe-giok meraung murka, teriaknya dengan parau, "Apa2an kalian ini? Mengapa kalian membunuhnya?"

"Jika dia tidak dibunuh, dia yang akan membunuh kau!" kata Thian-pi.

Kejut dan kesima Pwe-giok, ucapnya, "Meng! mengapa?..."

"Kelak kau tentu akan tahu sendiri," ujar Cia Thian-pi, lalu ia tarik tangan Pwe-giok dan berkata, "Komplotan jahat ini pasti ada begundalnya di sekitar sini, siaute akan berangkat dulu bersama dia, harap Pangcu merintangi mereka, nanti Siaute akan balik lagi untuk membantu."

Karena tangannya dipegang, tanpa kuasa Pwe-giok ikut terseret pergi.

Ang-lian hoa lantas berdiri di ambang pintu kelenteng dan bergumam, "Hayolah maju, akan kutunggu kalian di sini!"

Hujan angin tambah keras, cuaca tambah kelam. Ang-lian hoa mencabut pedang yang menancap di punggung Thian-kang Totiang itu.

Kembali guntur menggelegar pula. Darah menetes dari ujung pedang. Air muka Ang-lian hoa mendadak berubah pucat, tubuhnya serasa lemas, ia terhuyung-huyung dan menumpahkan darah.

* * *

Dalam pada itu Pwe-giok telah diseret pergi oleh Cia Thian-pi, mereka berlari di bawah hujan lebat, dengan langkah agak sempoyongan Pwe-giok bertanya, "Ken… kenapa?"

"Thian-kang Totiang itu adalah samaran komplotan jahat," kata Cia Thian-pi. "Apa yang dilakukannya itu ialah ingin mencelakai kau. Bola nasi yang diberikan padamu itu adalah racun yang tak dapat ditolong!"

"Apa betul?" teriak Pwe-giok terkejut.

"Sekalipun mungkin aku menipu kau, apakah Ang-lian pangcu juga akan menipu kau?" kata Cia Thian-pi.

"Tapi dia… dia…" mendadak Pwe-giok ingat kejadian jatuh ke dalam sumur tadi, apa benar Thian-kang Totiang bermaksud mencelakai dia? Tapi sikapnya yang kereng dan berwibawa itu masa dapat dipalsukan?

Hati Pwe-giok terasa kusut, tanpa kuasa tubuhnya ikut terseret berlari ke depan. Se-konyong2 ia merasa tangan Cia Thian-pi yang menariknya itu sangat dingin, sungguh dingin luar biasa, tanpa terasa ia menggigil dan berkata, "Mengapa tanganmu sedemikian aneh?"

"Kau bilang apa?" tanya Cia Thian-pi sambil menoleh.

Pwe-giok pandang wajah orang dan menjawabnya, "Kubilang! hei!" mendadak ia meraung. "Kau! kau inilah palsu! kukenal matamu!"

Belum habis ucapannya, ia merasa beberapa hiat-to pada tangannya sudah tertutuk, tubuhnya lantas dilemparkan oleh Cia Thian-pi.

"Hehe.. anggaplah kau memang pintar, tapi orang pintar justeru mati terlebih cepat!" kata Cia Thian-pi sambil menyeringai, ia angkat kakinya terus menginjak ke dada Pwe-giok yang jatuh tersungkur di tengah lumpur itu.

Lengan kanan Pwe-giok serasa kaku semua, ingin mengelak pun tidak sanggup lagi. Untung tangan kirinya masih dapat bergerak, secepat kilat ia pegang ujung kaki Cia Thian-pi. Walaupun pembawaan tenaga Ji Pwe-giok sangat kuat, apa daya, saat ini dia seperti anak panah yang sudah jauh meluncur dan tinggal jatuh lemas ke tanah.

Cia Thian-pi masih menyeringai dan kakinya tetap ingin menginjak ke bawah, ucapnya, "Hayolah tahan sekuatnya, ingin kulihat sampai berapa lama kau mampu bertahan!"

Ruas tulang Pwe-giok terasa gemertak, air hujan berhamburan di mukanya, hampir2 tidak sanggup membentangkan matanya, sedangkan injakan Cia Thian-pi terasa semakin berat. Ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, teriaknya dengan parau, "Kiranya kau yang membunuh ayahku! Susah payah kucari kau!"

"Hehehe… dan sekarang sudah kau temukan diriku, bukan?" jawab Cia Thian-pi dengan ter-kekeh2. "Tapi apa yang dapat kau lakukan? Ayahmu mati di tanganku, sebaliknya kau akan mati di bawah kakiku!"

Lengan Pwe-giok serasa hampir patah, sebaliknya kaki Cia Thian-pi semakin berat seperti bukit menindih. Dia bertahan sekuatnya, tapi jelas tiada harapan lagi. Betapa dia tersiksa oleh injakan kaki musuh, sungguh ia ingin lepas tangan dan pasrah nasib. Dengan demikian segala duka nestapa, segala siksa derita, semuanya takkan menimpa dirinya lagi.

"Hayolah tahan yang kuat!" demikian Cia Thian-pi berteriak sambil tertawa latah. "Apakah kau sudah kehabisan tenaga? Wahai Ji Pwe-giok, setelah mati janganlah kau menyesal padaku. Meski kita tiada permusuhan apa2, tapi kematianmu akan membuat hidup orang lain jauh lebih nikmat dan bahagia!"

Pwe-giok merasa pandangannya mulai kabur dan gelap, tenggorokan terasa anyir, akhirnya tak tahan lagi, darah segar tersembur keluar dan mengotori baju Cia Thian-pi.

Sambil menyeringai kaki Cia Thian-pi terus menginjak sekerasnya, pada saat itulah mendadak terdengar suara mendenging tajam menyambar dari belakang.

Dengan daya pantulan injakannya itu cepat Cia Thian-pi meloncat ke atas, ia berjumpalitan di udara, lalu turun di kejauhan sana.

Terlihat di bawah hujan lebat sana melayang sesosok bayangan orang seperti badan halus, mukanya kaku tanpa emosi, tapi sorot matanya merah membara. Siapa lagi dia kalau bukan Ang-lian hoa.

Suara mendenging tajam tadi adalah sambaran pedang yang ditimpukkan, pedang itu akhirnya menancap pada batang pohon dan ambles hampir setengah pedang, dari sini dapat diketahui betapa pedih dan gemas hati Ang-lian hoa.

Air muka Cia Thian-pi tampak berubah pucat, tapi ia tetap bersikap tenang dan menyapa, "Kenapa Pangcu sudah menyusul tiba, apakah kawanan penjahat sudah dihalau pergi?"

Seperti berapi sorot mata Ang-lian hoa, ia tatap orang dengan tajam, tanyanya sekata demi sekata, "Siapa kau sebenarnya!?"

"Aku… Siaute…" Cia Thian-pi menjawab dengan gelagapan dan menyurut mundur setindak demi setindak.

"Hm, mirip benar penyamaran mu, sungguh teramat mirip, sebentar harus ku sayat mukamu secuil demi secuil, ingin ku tahu mengapa penyamaranmu bisa begini mirip!" kata Ang-lian hoa. Suaranya dingin seram, jauh lebih menakutkan daripada suara raungan murka. Siapapun percaya, apa yang dikatakan Pangcu kaum jembel ini pasti akan dilaksanakannya.

Keruan Cia Thian-pi merasa ngeri, tapi mendadak ia bergelak tertawa, serunya, "Hahaha, bagus, Ang-lian hoa, tak tersangka akhirnya kau tahu juga. Dengan jerih payah tiga tahun kubelajar merias, kuyakin sudah dapat berlagak serupa benar dengan Cia Thian-pi. Kukira biarpun dia sendiri juga sukar membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Tapi kau, cara bagaimana dapat kau pecahkan penyamaranku ini?"

"Pedangmu itu," kata Ang-lian hoa. "Setiap anak murid Tiam-jong-pay tidak mungkin menggunakan pedang begitu, lebih2 tidak nanti membuang pedangnya begitu saja. Mungkin kau lupa istilah yang dipatuhi setiap anak murid Tiam-jong, yaitu "Pedang ada orang ada, pedang hilang orang gugur."

Cia Thian-pi melenggong, serunya kemudian, "Ah, kiranya langkah ini telah kulupakan. Wahai Ang-lian hoa, engkau memang luar biasa, pantas Cusiang kami bilang engkau ada tokoh nomor satu yang paling sulit direcoki."

"Si.. siapa Cusiang kalian?" tanya Ang-lian hoa dengan gregetan.

"Selamanya takkan diketahui olehmu," jawab Cia Thian-pi sambil tertawa latah. "Bilamana nanti kau tahu, saat itu pula mungkin jiwamu akan melayang. Biarpun tokoh yang beribu kali lebih kuat daripadamu juga sukar menandingi satu jari Cusiang kami."

"Hehe.. memang betul, selama beratus tahun ini di dunia Kangouw memang tiada seorangpun yang terlebih licik, licin dan keji seperti dia," kata Ang-lian hoa dengan tersenyum pedih.

"Dunia Kangouw yang akan datang akan menjadi dunianya Cusiang kami," teriak Cia Thian-pi dengan bengis. "Ang-lian hoa, kau adalah orang pintar, coba pikirkan baik2, apa yang akan kau lakukan?"

Ang Lian-hoa maju beberapa langkah ke arahnya dan berkata: "Aku ingin membunuhmu. Saat ini, yang aku ingin lakukan hanyalah membunuhmu."

Cia Thian-pi berkata: "Tugasku adalah membunuh Ji Pwe-giok, oleh karena itu aku harus membunuh Thian-kang totiang. Tetapi jangan lupa, engkau adalah komplotanku, kalau kau ingin membunuhku engkau juga harus menghukum dirimu sendiri."

Ang Lian-hoa berkata dengan menyesal: "Itu adakah kesalahan terbesar selama hidupku. Begitu bodohnya aku mempercayaimu. Aku akan menghukum diriku sendiri kelak di kemudian hari. Tapi engkau...engkau..."

Secepat kilat Ang Lian-hoa menyerang dengan kepalan 3, 4 jurus. tidak banyak orang di dunia persilatan yang pernah bertempur dengan Ang Lian-hoa. Sekarang Cia Thian-pi menyadari bahwa ketua Kay-pang yang masih muda ini mempunyai jurus kepalan dan telapak tangan yang hebat. Setiap jurusnya dilambari kekuatan tenaga dalam yang penuh.

Terlebih-lebih saat ini dia menyalurkan kemarahannya ke kepalan dan telapak tangannya. Kekuatannya sangat menggiriskan hati orang-orang.

Ji Pwe-giok kini berteriak: "Engkau tidak boleh membunuhnya!"

Ang Lian-hoa dan Cia Thian-pi sama-sama dikejutkan dengan teriakannya itu. Ang Lian-hoa bertanya dengan marah: "Mengapa aku tidak boleh membunuhnya?"

Ji Pwe-giok menggunakan tangan kirinya untuk membebaskan 3 titik jalan darahnya yang tertotok dan berdiri. Dia nampak sangat pucat dan matanya memancarkan sinar kebencian. Pemuda yang biasanya nampak rapuh dan lembut ini kini telah berubah menjadi seorang yang beringas.

Ji Pwe-giok berkata dengan lantang: "Bangsat licik ini tidak hanya telah membunuh ayahku, dia juga telah membunuh guruku. Hanya aku yang boleh membunuh bajingan ini!"

Ang Liang-hoa tersenyum nyengir: "Baiklah, dia milikmu sepenuhnya."

Ji Pwe-giok merangsek ke Cia Thian-pi. Ang Lian-hoa melihat langkah kakinya tidak stabil dan gerakannya lambat, jelas pikiran dan tenaganya sangat terganggu.

"Kau masih mengawasi di samping, kenapa dia harus hati2 segala?!" jengek Cia Thian-pi

Dengan menggertak gigi Pwe-giok berteriak pula, "Hari ini harus kubunuh kau dengan tanganku sendiri, siapapun tidak boleh membantuku!"

Semangat Cia Thian-pi terbangkit, ia tertawa latah dan berkata, "Bagus, jantan sejati! Ucapan seorang lelaki harus dipegang teguh!"

Sembari bicara sembari bertempur, berbareng iapun menyurut mundur, pada suatu kesempatan mendadak ia mencabut pedang yang menancap di batang pohon, "sret" kontan ia menabas ke depan, ber-turut2 ia menusuk dan menabas tujuh kali.

Serangan mendadak dan secepat kilat ini jelas bukan ilmu pedang Tiam-jong-pay, tapi keganasan dan kekejiannya bahkan di atas ilmu pedang Tiam-jong.

Pwe-giok tidak gentar, ia hadapi serangan musuh dengan serangan yang sama ganasnya, ia bertempur dengan kalap, betapapun serangan kilat Cia Thian-pi menjadi terdesak oleh terjangan Pwe-giok yang nekat itu.

"Sret-sret-sret", tahu-tahu baju Pwe-giok tergores robek tiga tempat, darahpun tampak merembes keluar dari pundaknya, tapi hanya sekejap saja darah sudah lenyap diguyur air hujan.

Ang Lian-hoa ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan sengit itu, butiran keringat memenuhi dahinya. Sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ada pertarungan sengit seperti sekarang ini. Mendadak ia menemukan pemuda yang berwatak keras ini meski setiap hari tutur-katanya lembah lembut tapi dikala bertempur ternyata gagah perkasa luar biasa, sungguh pahlawan yang belum pernah dilihatnya.

Setiap orangpun dapat melihat bahwa meski semangat tempur Ji Pwe-giok belum runtuh, namun apa daya, maksud ada, tenaga tak sampai.

Tapi dalam keadaan demikian bilamana ada orang hendak membantunya, pemuda yang berwatak keras itu bisa jadi akan marah dan mungkin akan membunuh diri malah.

Terpaksa Ang Lian-hoa hanya menghela napas saja dan diam-diam menyesal. Dilihatnya Cia Thian-pi dari menyerah sudah berubah menjadi bertahan, jelas dia sengaja hendak menguras habis dulu tenaga Pwe-giok, habis itu baru melancarkan serangan mematikan.

Daya serangan Pwe-giok masih tetap dahsyat, namun belum dapat membobol pertahanan lawan, sebaliknya tubuhnya entah sudah bertambah berapa luka pula.

Hujan semakin deras, angin bertambah kencang, jagat raya ini diliputi kegelapan melulu, inilah cuaca yang menyeramkan dan menyedihkan, inipun pertarungan maut yang mengerikan. Melihat Pwe-giok masih terus bertempur dengan mandi darah, sekalipun Ang Liang-hoa berhati baja juga tidak tahan mengucurkan air mata.

Sekonyong-konyong langkah Pwe giok terhuyung, bagian dada jadi terbuka. Pucat wajah Ang Lian-hoa, ia menjerit kuatir. Dalam keadaan demikian, sekalipun dia ingin menolong juga tidak keburu lagi.

Terlihat pedang Cia Thian-pi telah menusuk ke depan, ke dada Pwe-giok yang tak terjaga itu. Serangan cepat ganas. Remuk redam hati Ang Lian-hoa, seketika ia cuma memejamkan mata saja, ia tidak sampai hati untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.

Sinar kilat berkelebat, tertampak wajah Cia Thian-pi yang pucat itu penuh diliputi napsu membunuh, ia menyeringai seram, ia yakin tusukannya itu pasti tidak akan meleset. Tapi cahaya kilat yang gemerdep itu telah membuat matanya ikut berkedip.

Pada saat itu juga lantas terdengar suara "bluk" satu kali, entah dengan cara bagaimana kedua tangan Ji Pwe-giok telah dapat menjepit pedangnya.

Seketika Cia Thian-pi merasakan pedangnya terjepit oleh sesuatu, seperti terjepit oleh tanggam yang kuat dan tak dapat bergerak lagi. Menyusul Pwe-giok lantas menggeser maju, sekali menyikut, "brek", dengan tepat dada Cia Thian-pi kena disodok.

Kontan pandangan Cia Thian-pi menjadi kabur, sakitnya tidak kepalang, pada saat itulah tangan Pwe-giok juga lantas melayang tiba, "plok", dengan tepat mukanya kena digampar sehingga dia tergetar setengah lingkaran.

Menjepit menyikut dan menggampar, tiga gerakan itu se-akan2 dikerjakan sekaligus dalam waktu sekejap. Begitu sinar kilat tadi habis berkelebat, lalu menggelegarlah bunyi guruh.

Pwe-giok terus menubruk maju lagi, ia rangkul tubuh Cia Thian-pi, kedua lengannya seperti tanggam kuatnya, tulang dada Cia Thian-pi tergencet seakan-akan remuk seluruhnya, ingin bersuara saja tidak mampu.

Air muka Cia Thian-pi dari pucat berubah menjadi kemerahan dan kembali pucat pula, sedangkan muka Pwe-giok juga pucat seperti mayat, kedua tangannya mengunci tubuh musuh dengan kuat, terdengar suara napas Cia Thian-pi mulai megap-megap, lalu menjadi lemah, menyusul lantas terdengar suara "gemeretak", tulang dadanya sama patah.

Tidak kepalang kagum dan girang Ang-lian-hoa, baru sekarang ia sempat berseru: "Jangan dibunuh dulu, harus kita tanyai sejelasnya."

Pelahan Pwe-giok melepaskan kedua tangannya, lalu menyurut mundur dengan sempoyongan seakan-akan roboh, ia menengadah dan tertawa, serunya: "Akhirnya sudah kulaksanakan .... sudah kulaksanakan..."

Tubuh Cia Thian pi lantas terkulai dengan lemas dan tak bergerak lagi.

Ang-lian-hoa menarik tangan Pwe giok, dengan berseri-seri ia berkata: "Apakah jurus ini adalah kepandaian Ji-locianpwe yang pernah menggetarkan dunia Kangouw di masa lalu, yaitu jurus Leng-yang-kua-kak (kambing benggala menggaet tanduk), jurus serangan maut andalan Bu-kek-pay?"

Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya: "Tapi selama hidup ayah belum pernah mencelakai orang dengan jurus serangan ini, sebaliknya sekarang Siaute ...." mendadak ia menunduk, butiran air pun berderai, entah air hujan, entah air mata?

"Sungguh jurus serangan yang aneh dan lihay!" ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Jurus serangan ini sungguh sukar dicari cirinya dan timbul dalam keadaan kepepet. Ilmu sakti kaum Cianpwe sungguh luar biasa, sekarang barulah mataku benar-benar terbuka."

Dia menepuk pundak Pwe giok, lalu berseru pula dengan tertawa: "Kau sendiri memiliki ilmu sakti ini, mengapa tidak sejak tadi kau keluarkan sehingga membikin aku kuatir bagimu?"

"Siaute . ... Siaute .... " Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, mendadak ia jatuh mendekap Ang-lian-hoa, nyata ia telah kehabisan tenaga, sampai berdiri saja tidak kuat.

Cepat Ang-lian-hoa mengeluarkan sebiji obat dan dijejalkan ke mulut Pwe-giok, katanya: "Inilah Siau-hoan-tan Kun-lun-pay yang terkenal, khasiatnya menambah tenaga dan menimbulkan semangat, obat yang tiada bandingannya di dunia ini."

Mulut Pwe giok terasa sedap dan harum, serunya: "Siau-hoan-tan katamu? Obat yang sukar dicari ini mengapa .... mengapa kau berikan padaku?"

Ang-lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan sedih: "Obat ini bukan aku yang memberikan padamu, tapi Thian-kang Totiang . ..."

"Suhu?" Pwe giok melengak. "Dia..... beliau mengapa . . . . "

"Obat ini kukeluarkan dari bola nasi yang kau terima dari orang tua itu," tutur Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Semula kukira di dalam bola nasi itu ada racunnya, siapa tahu . . . siapa tahu . . . ."

Pwe giok tertunduk muram dengan air mata bercucuran, katanya: "Pantas beliau bilang bola nasi ini tidak dapat dimakan sembarang orang. Cia Thian-pi, kau jahanam, kau bangsat!. . .. " Dengan gemas ia berpaling ke sana, tapi mendadak air mukanya berubah pucat pula.

Mayat Cia Thian-pi masih terkapar di pecomberan sana, tapi kepalanya sudah tidak kelihatan lagi. Padahal sejak tadi hujan masih turun dengan lebatnya, di sekitar sini tiada terlihat bayangan orang lain, lalu ke mana perginya kepala Cia Thian-pi?

Ang-lian-hoa dan Ji Pwe-giok saling pandang dengan bingung. Kalau kepala Cia Thian-pi dipenggal orang, hal ini tidak mungkin terjadi. Bila dikatakan kepalanya tidak dipotong orang, lalu apakah kepalanya dapat terbang sendiri?

Cerdik dan pandai Ang-lian-hoa, masih muda belia sudah mengetuai sebuah organisasi terbesar di dunia ini, boleh dikatakan tokoh muda yang tiada taranya di jaman sekarang, Tapi meski dia sudah peras otak, tetap sukar memecahkan teka-teki ini.

Setelah melenggong sejenak, ketika ia menunduk dan memandang lagi hanya sekejap itu bagian pundak dan dada Cia Thian-pi ternyata sudah lenyap pula.

Mendadak Ang-lian-hoa menepuk pundak Pwe-giok dan berseru: "Aha, tahulah aku!"

"Kau tahu?" Pwe-giok menegas.

"Coba berjongkok dan periksalah yang teliti," kata Ang-lian-hoa.

Waktu Pwe-giok melongok pula ke bawah, dilihatnya mayat Cia Thian-pi itu sedikit demi sedikit telah membusuk, darah daging yang merah segar itu secara aneh berubah menjadi cairan kuning, lalu lenyap diguyur air hujan.

Pwe-giok merasa mual dan hampir saja tumpah-tumpah, cepat ia berpaling ke arah lain dan menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian: "Jangan-jangan inilah Hoa-kut-tan (obat pemusnah tulang) yang tersiar di dunia Kangouw itu?"

"Ya, betul," jawab Ang-lian-hoa. "Rupanya dia tahu pasti akan mati, maka dia rela melebur dirinya menjadi cairan."

"Tapi kedua tangannya sudah patah tergencet, cara bagaimana dia dapat mengambil obatnya?" tanya Pwe-giok pula.

"Mungkin sebelumnya Hoa-kut-tan itu sudah dikulum di dalam mulutnya, setelah menyadari akan kematiannya, kapsul obat lantas dikunyahnya. Kalau Hoa-kut-tan itu masuk darah, segera terjadi pembusukan. Ai, dia lebih suka menerima nasib demikian daripada membocorkan rahasia komplotannya, sebab dia tahu hanya orang mati saja yang benar-benar tidak dapat membocorkan lagi sesuatu rahasia.

"Tak tersangka, orang ini pun jantan sejati," kata Pwe-giok.

"Salah besar jika demikian pendapatmu," ujar Ang-lian-hoa dengan tersenyum getir.

"Yang benar, dia tidak berani membocorkan rahasia komplotan jahat mereka, sebab kalau sampai rahasianya diketahui orang luar, maka kematiannya akan jauh lebih mengerikan daripada sekarang ini."

"Betul, tampaknya mereka semuanya begitu, lebih baik mati daripada membocorkan rahasia mereka," ujar Pwe-giok.

"Tapi siapakah sebenarnya pimpinan mereka? Mengapa dapat membuat orang-orang ini sedemikian takut padanya?.....Mati, hal ini sebenarnya cukup menakutkan setiap orang di dunia ini. Masa pimpinan mereka ini jauh lebih menakutkan daripada soal "mati" ?"

"Dia memang benar lebih menakutkan daripada mati," gumam Ang-lian-hoa. "Saat ini aku pun tak dapat membayangkan betapa menakutkannya dia itu..."

"Ah, betul," seru Pwe-giok mendadak seperti menemukan sesuatu, "sebabnya Cia Thian-pi ini bertindak nekat, jelas karena dia tahu bila orang sudah mati, maka tidak mungkin lagi dapat membocorkan sesuatu rahasia, tapi kalau dia sendiri mati toh tetap rahasianya bisa terbongkar, kalau tidak, mengapa dia mesti melebur tubuhnya sendiri hingga menjadi cairan?"

"Orang mati juga dapat membocorkan rahasia, maksudmu?" gumam Ang-lian-hoa sambil berkerut kening.

"Ya, orang mati terkadang juga dapat membocorkan rahasia!" ucap Pwe giok tegas, sekata demi sekata.

"Rahasia apa?" tanya Ang-lian-hoa.

"Rahasia penyamarannya!" jawab Pwe-giok.

Ang-lian-hoa melenggong, sejenak kemudian ia menepuk jidat sendiri dan berseru: "Aha, memang betul. Dia kuatir setelah mati mukanya dapat kita kenali, sebab inilah rahasia mereka yang terbesar."

"Justeru lantaran kuatir rahasia mereka ini bocor, maka pimpinan komplotan jahat ini menyiapkan Hoa-kut-tan bagi mereka, bila perlu, bukan jiwa mereka saja harus melayang, mayat mereka pun harus dilenyapkan!" seru Pwe-giok dengan menggreget dan meremas tangan Ang-lian-hoa, lalu sambungnya pula: "Sekarang ku tahu, sedikitnya ada enam orang yang kuketahui adalah palsu di dunia ini, kecuali diriku sendiri ternyata tiada orang lain lagi yang mau percaya dan dapat melihat kepalsuan mereka. Yang mengerikan adalah, kecuali ke enam orang yang sudah kuketahui itu masih ada berapa orang pula yang dipalsukan? Inilah yang sulit diketahui dan benar-benar mengerikan."

Air muka Ang-lian-hoa juga guram seperti cuaca yang mendung ini. Sebenarnya dia seorang tokoh yang periang, jarang ada persoalan yang dapat membuatnya sedih dan bingung. Tapi sekarang, hatinya benar-benar tertekan dan agak cemas.

Dengan suara gemetar Pwe-giok berucap pula: "Umpamanya kalau sanak-kadangmu, sampai ayahmu sendiri pun bisa jadi anggota komplotan jahat itu, lalu di dunia ini siapa pula yang dapat kau percayai? Dan kalau di dunia ini sudah tiada seorang pun yang dapat kau percayai, apakah engkau masib sanggup hidup terus? Bukan .... bukankah peristiwa ini tidak dapat kau bayangkan?!"

"Cia Thian-pi palsu sudah mati, sekarang tinggal siapa-siapa saja anak buah komplotan jahat itu yang palsu?" tanya Ang-lian-hoa dengan tenang.

"Ong Uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Liong-ong dari Thay-oh, Sim Cin-jiang, Sebun Bu-kut dan dan orang yang mengaku she Ji itu, sebab ku tahu dengan pasti ke enam orang ini sesungguhnya sudah meninggal semua.""

Ang lian-hoa menghela napas panjang, katanya: "Kecuali ke enam orang ini, mungkin tidak banyak lagi yang dipalsukan."

"Cara bagaimana kau berani memastikannya?" "Sebab hal ini bukan tindakan yang mudah. Untuk memalsukan pribadi seseorang dan harus dapat mengelabui mata-telinga orang banyak, sedikitnya diperlukan waktu latihan bertahun-tahun lamanya, kalau tidak, biarpun mukanya serupa, tapi suaranya, gerak geriknya, sikapnya, tetap akan diketahui orang. Apalagi ilmu silatnya..."

"Aha, betul, ilmu silatnya!" seru Pwe-giok.

"Jika mereka hendak memalsukan pribadi seseorang, mereka juga harus mahir menirukan ilmu silatnya."

Habis berkata mendadak ia putar tubuh dan berlari ke sana.

Namun Ang-lian-hoa keburu melompat dan menghadang di depannya, ucapnya dengan tenang: "Leng yang-koa kak, betul tidak?"

"Betul, jurus serangan ini kecuali kami ayah dan anak, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu memainkannya," seru Pwe-giok.

"Jika orang yang mengaku she Ji itu tidak mampu memperlihatkan jurus serangan khas ini, maka terbuktilah kepalsuannya."

"Gagasan ini memang suatu cara yang bagus," ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun.

"Cuma sayang, perangai ayahmu membuat gagasanmu ini menjadi tiada gunanya."

"Sebab apa?" tanya Pwe giok.

"Kau tahu perangai yang ramah dan sabar, arif dan bijaksana, setiap orang Bu-lim tahu budi ayahmu yang luhur. Sekarang coba jawab, andaikan beliau masih hidup, adakah orang yang dapat memaksa beliau mengeluarkan ilmu simpanannya yang khas ini?"

Sampai lama Pwe-giok melenggong, akhirnya ia jatuh terduduk.

—0O0— —0O0—

Disiram oleh air hujan lebat, mayat "Cia Thian-pi" itu sudah hilang tak berbekas lagi. Dia telah lenyap dari muka bumi ini, tapi sesungguhnya siapa dia?

Di dunia ini sebenarnya tiada Cia Thian pi kedua, jika demikian, yang baru saja lenyap ini kan seharusnya memang tidak ada. Berpikir demikian, Ang-lian-hoa tidak tahu harus menangis atau mesti tertawa. Sungguh ia tidak berani memikirkannya lagi, bilamana hal-hal demikian banyak dipikir, sungguh bisa membikin gila.

Dipandangnya tempat mayat yang sudah bersih itu, gumamnya: "Pembunuh Thian kang Totiang sudah mati, tapi kalau dibicarakan, siapakah gerangan pembunuhnya, siapa yang dapat membuktikan beradanya si pembunuh ini?"

Melihat sikap Ang-lian hoa yang cemas itu, Pwe-giok jadi merinding, katanya kemudian: "Engkau juga tidak perlu..."

"Jangan kuatir," seru Ang-lian-hoa dengan tertawa, "meski ada maksudku akan menebus dosa tapi tidak nanti kutebus kesalahanku dengan kematian. Aku masih ingin hidup terus, tidak nanti kupenuhi kehendak mereka."

Pwe-giok merasa lega, katanya: "Ya, kutahu engkau bukan manusia biasa, engkau memang lain daripada yang lain."

Ang-lian-hoa menengadah, membiarkan air hujan menuang ke mukanya, katanya pula dengan pelahan: "Sekarang, ada suatu urusan mau-tak mau harus kukerjakan."

"Engkau akan pergi ke Kun-lun-san?" tanya Pwe-giok dengan tatapan tajam.

"Anak murid Kun-lun berhak mengetahui berita duka Thian-kang Totiang dan aku berkewajiban menyampaikan berita ini kepada mereka!"

"Tapi pekerjaan di sini juga tidak boleh di tinggal pergi olehmu," ujar Pwe-giok dengan suara berat. "Perjalanan ke Kun-lun biarlah kuwakilkan kau ke sana."

Di antara mereka tiada lagi kesungkanan, tiada tolak menolak, tiada percakapan yang tidak perlu, juga tidak ada duka-cita yang tidak perlu, lebih-lebih air mata yang tidak perlu. Sebab keduanya sama-sama lelaki sejati, sama-sama jantan perkasa. Keduanya berdiri berhadapan di bawah curahan hujan.

"Baiklah, pergilah kau," kata Ang lian-hoa kemudian. "Tapi kau harus hati-hati, urusan yang tidak perlu ikut campur hendaklah jangan ikut campur. Jangan lupa, jiwamu sekarang jauh lebih bernilai daripada jiwa orang lain."

"Kutahu," jawab Pwe-giok singkat. Dilihatnya pedang tadi, dijemputnya dan disisipkan pada ikat pinggang, bisa jadi di tengah jalan pedang itu akan berguna.

Tiba-tiba Ang-lian-hoa tertawa dan berkata pula: "Ah, lupa kuberitahukan sesuatu padamu."

"Urusan apa?" tanya Pwe-giok dengan nada was-was.

"Urusan baik" kata Ang lian-hoa "Tentang bakal istrimu, Lim Tay-Ih, kau tidak perlu berkuatir lagi baginya."

Entah mengapa, bila menyebut nama Lim Tay-ih, seketika sikap Ang Lian-hoa berubah kikuk, biarpun tertawa juga tertawa setengah dipaksakan.

Dengan sendirinya Pwe-giok tidak memperhatikan sikap orang, ia bertanya: "Sebab apa? Adakah dia...."

"Saat ini dia telah berada di bawah lindungan seorang tokoh yang paling sulit direcoki di seluruh dunia ini."

"Ya, di bawah perlindungan Ang lian pangcu, memangnya apa yang perlu kukuatirkan lagi?"

Sikap Ang Lian-hoa berubah pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa: "Kau jangan salah tampa, bukan diriku."

"Orang yang paling sulit direcoki di dunia ini siapa lagi kalau bukan dirimu? Apa Jut-tun Totiang?"

"Nama orang ini mungkin tidak lebih terkenal daripada Jut-tun Totiang, tapi orang lain andaikan berani merecoki Jut-tun Totiang tentu juga tidak berani mengusik orang ini."

"Aha, bunga paling cantik ialah Hay-hong" seru Pwe-giok.

Ang lian-hoa berkeplok, katanya: "Betul, memang dia. Agaknya iapun melihat sesuatu yang tidak beres, maka iapun ikut campur. Kalau dia sudah menangani sesuatu urusan, tidak nanti ditinggalkannya setengah jalan."

"Wah, tampaknya persoalannya tidak sederhana sebagaimana kita sangka, masih banyak orang lagi yang...."

"Wah, celaka! Aku melupakan sesuatu lagi!" teriak Ang Lian-hoa mendadak.

"He, urusan baik atau buruk?" tanya Pwe-giok.

"Cia Thian-pi palsu muncul di sini, jangan-jangan Cia Thian-pi yang tulen telah mengalami nasib buruk, harus lekas ku pergi menjenguknya!" belum habis ucapannya tahu-tahu Ang Lian-hoa sudah melayang pergi secepat terbang.

Memandangi kepergian ketua kaum jembel yang muda dan perkasa itu, Pwe-giok menghela napas panjang, ya kagum, ya terharu, ya berduka.....

-oOo-

Hujan sudah mereda, tapi belum berhenti, masih gerimis. Anginpun masih meniup, bahkan tambah dingin.

Dengan langkah berat Pwe giok meneruskan perjalanan, hari depannya terasa guram, sama seperti cuaca yang kelam sekarang ini, sekonyong-konyong terdengar derapan kuda lari yang riuh. Tujuh atau delapan penunggang kuda membedal lewat, air jalanan yang kotor menciprati tubuh Ji Pwe giok. Namun pemuda itu sama sekali tidak perduli, mengangkat kepala saja tidak.

Tak terduga, baru saja barisan pemuda itu lewat seseorang mendadak melayang balik dari kudanya dan menubruk ke arah Pwe-giok.

Dengan terkejut Pwe-giok menyurut mundur dan orang itupun turun di depannya. Dilihatnya orang ini berpakaian hitam ketat dan basah kuyup oleh air hujan. Sorot matanya tajam, jelas dikenalnya sebagai pemuda anggota Tiam-jong-pay itu.

Tergerak hati Pwe-giok teringat olehnya ucapan Ang-lian-hoa tadi, tanpa terasa ia berkata: "Jangan-jangan... jangan-jangan terjadi sesuatu atas diri Cia-tayhiap"

Murid Tiam-jong-pay itu sebenarnya sedang memberi hormat, demi mendengar ucapan Pwe-giok itu, mendadak ia mengangkat kepalanya dan bertanya: "Darimana Ji-kongcu mendapat tahu?"

"0, aku....aku...." Pwe giok menjadi gelagapan dan tak dapat menjawab.

Murid Tiam-jong-pay itu menarik muka, katanya dengan suara bengis: "Waktu melihat Ji-kongcu, sebenarnya Tecu hendak menyampaikan berita duka, tak tersangka Ji-kongcu ternyata sudah tahu lebih dulu, bukankah sangat aneh?"

"Ah, Cayhe cuma omong iseng saja," ujar Pwe-giok dengan tersenyum kecut.

Murid Tiam-jong-pay itu menjengek: "Semalam Ciangbunjin kami baru lenyap dan hingga kini belum diketahui jejaknya, kejadian inipun baru dilaporkan kepada Jut-tun Totiang dan Thian-in Taysu pada siang tadi, sedangkan Ji-kongcu sudah berangkat pagi-pagi, darimanakah engkau mendapat tahu malah?"

Nadanya ternyata tajam dan mendesak, seakan-akan menganggap Ji Pwe-giok ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini. Beberapa penunggang kuda tadi juga sudah putar balik, mereka sama melototi Pwe-giok dengan pandangan sangsi dan benci.

Pwe-giok menghela napas, katanya kemudian: "Bisa jadi, Cia-taihiap hanya keluar untuk berjalan-jalan saja. mungkin pula bertemu dengan sahabat dan diajak pergi. Dengan ilmu silat Cia-tayhiap yang tinggi, kuyakin beliau sanggup menjaga dirinya sendiri."

Murid Tiam-jong-pay tadi berkata pula: "Setiap anak murid Tiam-jong, pedang ada orang ada, pedang hilang orang gugur. Istilah ini tentu Ji-kongcu pernah mendengarnya. Tapi pagi tadi kami justeru menemukan pedang Ciangbunjin terjatuh di semak-semak rumput di luar kemah, apabila tiada kejadian yang luar biasa, rasanya tidak mungkin Ciangbunjin bertindak seceroboh itu dengan meninggalkan pedangnya di sembarang tempat."

"Kupikir ini....... ini......" Pwe-giok jadi gelagapan, mendadak ia merasakan banyak rahasia yang diketahuinya ternyata sukar diuraikan. Andaikan diceritakan juga orang lain takkan percaya.

Mendadak salah seorang penunggang kuda itu menegur: "Saat ini mengapa Ji kongcu berada sendirian? Ke mana perginya Thian-kang Totiang?"

Seorang lagi ikut berteriak bengis: "Mengapa keadaan Ji-kongcu juga serba kumal begini? Jangan-jangan habis bergebrak dengan orang?"

"Di sekitar sini tiada nampak seorang lain, dengan siapakah Ji-kongcu bertempur?" tanya pula seorang lain.

Pertanyaan anak murid Tiam jong-pay itu tiada satu pun dapat dijawab Pwe-giok, betapapun dia tidak dapat menerangkan bahwa Thian-kang Totiang dibunuh oleh "Cia Thian-pi", ia pun tak bisa mengatakan bahwa "Cia Thian-pi" itu palsu, sebab "Cia Thian-pi" itu itu sudah musnah, dengan sendirinya tiada terdapat lagi seorang "Cia Thian-pi".

Dengan meraba pedangnya murid Tiam jong pay itu bertanya pula dengan gusar; "Mengapa Ji-kongcu tidak bicara?"

"Bila kalian menyangsikan hilangnya Cia-tayhiap ada sangkut-pautnya dengan diriku, maka hal ini sungguh lucu, apalagi yang dapat kukatakan?"

Air muka murid Tiam jong itu berubah lebih ramah, katanya: "Jika demikian, sebelum urusan ini menjadi jelas, sebaiknya Ji-kongcu ikut kami pulang dulu, sebab mungkin ada urusan lain yang tak dapat Ji-kongcu katakan kepada kami, tapi kepada Bengcu tentu dapat engkau beberkan sejelas-jelasnya."

"Tidak, aku tidak boleh kembali ke sana," jawab Pwe giok tegas.

"Mengapa tidak boleh?" bentak para murid Tiam-jong-pay itu.

"Jika tidak berbuat sesuatu kesalahan, mengapa tidak berani kembali ke sana?" demikian mereka berteriak-teriak sambil melompat turun dari kuda masing-masing, semuanya melolos pedang dan siap tempur.

Murid Tiam-jong-pay yang menjadi kepala rombongan itu membentak; "Ji Pwe-giok, apa pun juga alasanmu, kau harus ikut pulang ke sana bersama kami!"

Butiran keringat yang memenuhi dahi Pwe-giok itu berderai ke bawah diguyur oleh air hujan, tangan dan kakinya terasa dingin. Belum lagi dia menjawab, mendadak dari kejauhan ada seorang menjengek: "Ji Pwe giok, kau tidak perlu kembali ke sana!"

Tujuh atau delapan Tojin berbakiak dan membawa payung tampak berlari datang di bawah hujan. Jelas mereka adalah murid Kun lun pay.

Murid Tiam-jong-pay tadi menanggapi dengan suara keren: "Meski orang ini terhitung murid Kun-lun-pay, tapi dia tetap harus ikut kembali ke sana bersama kami. Selamanya Tiam jong dan Kun-lun bersahabat, tapi persoalan ini menyangkut mati-hidup Ciangbunjin kami, maka hendaklah para Toheng tidak marah kepada sikapku yang kurang sopan ini."

Air muka para Tojin Kun-lun-pay tampak jauh lebih kelam dan menakutkan daripada murid Tiam-jong-pay, Tojin yang menjadi kepala rombongan berwajah putih dengan jenggot yang jarang-jarang, dengan sorot mata yang tajam ia tatap Pwe giok, katanya: "Tidak perlu kau kembali ke sana, bahkan tidak perlu lagi ke mana-mana."

Pwe-giok menyurut mundur, murid Tiam jong-pay tadipun heran, tanyanya: "Apa artinya ucapanmu ini?"

Pek-bin Tojin atau si Tojin bermuka putih tersenyum pedih, katanya: "Meski jejak Ciangbunjin kalian tidak diketahui ke mana perginya tapi Ciangbunjin kami justeru... justeru...." mendadak "krek", payung jatuh ke tanah, batang payung telah diremasnya hingga hancur.

Murid Tiam-jong-pay terkejut, serunya; "Apakah... apakah.... Thian-kang Totiang telah.... telah wafat..."

"Guru kami telah disergap orang, telah meninggal tertikam pedang dari belakang," seru Pek-bin Tojin dengan suara parau.

Terperanjat anak murid Tiam-jong-pay itu, katanya; "Kungfu Thian-kang Totiang luar-dalam sudah terlatih sempurna, daun jatuh dalam jarak beberapa tombak saja tak dapat mengelabui beliau, sungguh kami tak percaya bahwa beliau kena disergap orang."

Dengan menggereget Pek-bin Tojin menjawab: "Orang yang menyergapnya dengan sendirinya adalah orang yang berhubungan sangat rapat dengan beliau, seorang yang tidak pernah dicurigai beliau, sebab beliau tidak percaya bahwa orang ini ternyata manusia yang berhati binatang."

Belum habis ucapannya, berpasang-pasang mata yang beringas sudah melototi Ji Pwe giok, semuanya penuh rasa gemas dan dendam.

Dengan suara serak Pek Bin Tojin lantas membentak: "Nah, Ji Pwe Giok, cara bagaimana meninggalnya Suhu, lekas katakan, lekas!"

"Suhu.... beliau...." seluruh tubuh Pwe Giok bergemetar sehingga tidak sanggup melanjutkan.

"Beliau mati di tanganmu bukan?" bentak Pek Bin Tojin pula dengan murka.

Mendadak Pwe Giok mendekap mukanya dan berteriak dengan parau: "Tidak, aku tidak... matipun aku takkan menyentuh satu jari beliau ..."

"Creng", belum habis ucapannya, tahu-tahu pedang yang terselip di pinggangnya itu telah dilolos orang.

Tangan Pek Bin Tojin memegang pedang rampasan itu, ujung pedang bergetar dan mengarah ke dada Ji Pwe Giok. Sorot matanya yang merah membara itu menatap anak muda itu, tanyanya pula dengan beringas: "Katakan, inikah senjata yang kau gunakan untuk membunuh guru?"

Pedang ini memang betul adalah senjata yang digunakan membunuh Thian Kang Totiang itu, cuma pemilik pedang ini sudah tiada terdapat lagi di dunia ini. Tapi pedang ini sekarang berada pada Ji Pwe Giok. Lalu apa yang dapat dikatakannya. Hancur perasaan Pwe Giok, setindak demi setindak ia menyurut mundur.

Ujung pedang juga mendesak maju setindak demi setindak, meski tajam ujung pedang itu, tapi sorot mata orang-orang itu rasanya berlipat kali lebih tajam daripada tajam pedang manapun.

Mendadak Pwe Giok menjatuhkan diri ke tanah, sambil berlutut ia menengadah, air mata bercucuran, ia berteriak kalap: "O, Thian! Mengapa engkau memperlakukan diriku sedemikian kejam? Apakah aku memang harus mati?"

"Trang", mendadak pedang itu dilemparkan Pek Bin Tojin ke depannya, lalu Tojin itu berkata tegas: "Hanya ada satu jalan bagimu dan inipun jalan yang paling baik bagimu!"

Betul, memang cuma inilah jalan satu-satunya bagi Pwe Giok. Sebab segala persoalan tiada mungkin dibeberkan dan dijelaskan olehnya. Fitnah yang ditanggungnya tiada satupun yang betul, tapi semuanya itu seakan-akan lebih betul daripada yang "betul", sedangkan yang "betul" justru tak dipercaya oleh siapapun.

Kini satu-satunya orang yang dapat menjadi saksi baginya hanya Ang-lian-hoa saja. Tapi apakah Ang-lian-hoa dapat membuat semua orang mau percaya padanya? Dengan bukti apa pula Ang-lian-hoa akan membelanya?

Dalam keadaan biasa sudah tentu setiap kata Ang lian-pangcu sangat berbobot, betapapun anak murid Kun-lun dan Tiam-jong pasti percaya padanya. Tapi sekarang persoalannya menyangkut mati-hidup ketua mereka, menyangkut pula segala kemungkinan yang terjadi pada kedua perguruan itu, bahkan menyangkut nasib dunia persilatan umumnya. Cara bagaimana mereka dapat mempercayai perkataan orang lain, sekalipun orang ini adalah Ang lian-hoa yang disegani dan dihormati?

Setelah dipikir lagi, Pwe-giok jemput pedang itu, dia memang tiada pilihan lain, sekali pun ....

Mendadak ia meraung murka, pedang diputar kencang, dia terus menerjang ke depan.

Sudah tentu anak murid Kun-lun dan Tiam-jong sama berteriak kaget, keadaan menjadi kacau. Tapi mereka tidak malu sebagai anak murid perguruan ternama, di tengah kekacauan ada sebagian sempat melolos pedang dan menyerang.

Terdengar suara "trang tring" beberapa kali, beberapa pedang sama tergetar mencelat, Pwe-giok telah melampiaskan rasa gemas dan penasaran pada pedang itu, sekali pedangnya berputar, sukarlah bagi lawan untuk menangkis.

Sungguh anak murid Tiam jong dan Kun-lun tidak menyangka anak muda ini memiliki tenaga sakti sehebat ini. Di tengah kaget dan raung gusar orang banyak, seperti kucing gesitnya Pwe-giok berhasil menerobos keluar kepungan. Hanya beberapa kali lompatan saja, dengan Ginkangnya yang tinggi, di bawah hujan serta berkelebatnya kilat, dalam sekejap saja ia sudah melayang berpuluh tombak jauhnya.

Ia terus berlari seperti kesetanan, ia melupakan segalanya, yang dipikir hanya lari dan lari terus.

Ia tidak takut mati, tapi ia tidak boleh mati dengan menanggung penasaran.

Suara bentakan orang banyak masih terdengar di belakang, suara pengejar itu seperti bunyi cambuk yang memaksanya harus lari terlebih cepat. Ia pun mengerahkan segenap tenaganya untuk lari di bawah hujan, air hujan berjatuhan di tubuh dan di mukanya seperti batu kerikil yang menimbulkan sakit pedas, namun semua itu tak dihiraukan lagi.

Suara bentakan orang akhirnya tak terdengar lagi, tapi langkah Pwe-giok tidak pernah berhenti, hanya sudah mulai kendur, makin lama makin lambat, ia masih terus lari dan lari lagi, mendadak ia jatuh tersungkur.

Sekuatnya ia meronta bangun, ia terjatuh lagi, pandangannya mulai kabur, hujan lebat berubah seperti kabut baginya, ia kucek-kucek matanya, tetap tidak jelas pandangannya.

Tiba-tiba ada suara roda kereta di kejauhan dan juga suara kaki kuda. Darimana datangnya kereta kuda itu?"

Dalam keadaan samar-samar ia seperti melihat sebuah kereta sedang berlari kemari, ia meronta dan berusaha menghindar, tapi ia jatuh lagi, sekali ini ia tidak sanggup bangun pula, ia jatuh pingsan.

oO 0O0 Oo

Cuaca tambah kelam. Terdengar suara roda kereta yang gemeretak disertai suara kuda meringkik pelahan Pwe-giok sudah siuman, ia mendapatkan dirinya sudah berada di dalam kereta. Terdengar rintik hujan memukul kabin kereta laksana derap kuda berpacu di medan tempur, seperti genderang bertalu-talu menggebu, suara yang mendebarkan jantung.

Ia menjadi ragu, jangan-jangan dirinya terjatuh dalam cengkeraman musuh?

Ia meronta bangun, cuaca sudah kelam, di dalam kereta menjadi tambah gelap. Ada sebuah lentera bergantung di kabin dan bergoyang-goyang mengikuti guncangan kereta, tapi lentera itu tidak dinyalakan.

Seputar kabin kereta penuh tertumpuk sapu, pengki, gentong, tampah dan sebangsanya.

Pwe-giok coba menyingkap terpal kereta dan mengintip ke depan, terlihat di bagian kusir berduduk seorang tua bermantel ijuk dan bertopi caping, meski tidak jelas mukanya, tapi kelihatan jenggotnya yang sudah ubanan bergerak-gerak di bawah hujan angin itu.

Jelas seorang tua yang miskin dan sederhana secara kebetulan menemukan seorang pemuda yang jatuh pingsan di tengah jalan serta menolongnya. Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.

"Apakah kau sudah siuman, Ji Pwe-giok?" tiba-tiba terdengar orang tua di luar itu menegur dengan tertawa.

Pwe-giok terkejut, cepat ia bertanya: "Dar ....darimana kau tahu namaku?"

Kakek itu menoleh, katanya dengan menyipitkan mata; "Tadi kudengar di sekitar sana ada orang berteriak-teriak dan membentak-bentak," katanya: "Ji Pwe-giok, kau tak dapat lolos."

"Kukira Ji Pwe-giok yang dimaksudkan itu pasti kau, tapi akhirnya kau kan lolos juga!"

Wajah si kakek penuh keriput, suatu tanda sudah kenyang asam-garam kehidupan manusia, setiap garis keriputnya itu, seakan-akan melambangkan suatu masa penderitaan di waktu yang lalu. Sinar matanya yang penuh mengandung kecerdasan pengalaman hidup itu juga diliputi perasaan welas asih dan suka ria.

Pwe-giok menunduk, ucapnya dengan tersendat: "Terima kasih atas pertolongan Lotiang (bapak)."

"Jangan kau berterima kasih padaku," ujar kakek itu dengan tertawa.

"Ku tolong kau adalah karena kulihat kau tidak mirip orang jahat. Kalau tidak, mustahil tidak kuserahkan dirimu kepada mereka."

Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pedih: "Sudah sekian lamanya, mungkin Lotiang inilah orang pertama yang bilang aku bukan orang jahat!"

"Hahaaha!" kakek itu tergelak. "Biasa, orang muda kalau mengalami sedikit kesusahan lantas suka mengomel. Biarlah nanti kalau sudah sampai di gubuk kakek, setelah minum semangkuk dua mangkuk, tanggung semua rasa penasaranmu akan lenyap."

"Tarrr", ia ayun cambuknya dan melarikan keretanya terlebih cepat.

Menjelang petang, hujan masih rintik-rintik. Kereta memasuki sebuah jalan kecil yang tiada orang berlalu-lalang. Kakek yang miskin ini mungkin tinggal sendirian di rumah gubuknya. Tapi bagi Pwe-giok hal ini sangat kebetulan malah. Ia lantas berbaring di dalam kereta dan membayangkan dinding gubuk si kakek yang sudah berlubang-lubang dan pembaringannya yang penuh daki serta tuak kampung yang menusuk tenggorokan itu. Ia merasa dirinya sekarang bolehlah tidur dengan tenteram.

Tiba-tiba terdengar kakek itu bergumam: "Wahai kudaku sayang, larilah yang cepat, sudah dekat rumah kita, kau kenal jalan tidak?"

Pwe-giok tidak tahan, ia merangkak bangun pula dan menyingkap terpal untuk mengintip keluar. Dilihatnya di depan adalah jalan berbatu yang bersih terguyur air hujan. Di ujung jalan sana adalah sebuah gedung yang mentereng dengan cahaya lampu yang gemilang. Dipandang pada petang yang hujan ini tampaknya tiada ubahnya seperti sebuah istana kaum bangsawan.

Pwe-giok terkejut, tanyanya dengan ragu-ragu; "Apakah ini . . . ini rumah Lotiang?"

"Betul," jawab si kakek tanpa menoleh.

Pwe-giok membuka mulut, tapi segera ditelannya kembali kata-kata yang hendak diucapkannya. Dalam hati sungguh penuh rasa heran dan sangsi. Jangan-jangan kakek miskin ini adalah samaran seorang hartawan? Jangan-jangan dia seorang pembesar yang telah pensiun? Atau mungkin juga seorang bandit yang sengaja menutupi gerak-geriknya dengan menyamar sebagai kakek rudin? Apa maksud tujuannya membawa pulang Ji Pwe giok?

Terlihat di luar pintu gerbang yang besar berwarna ungu itu terdapat dua ekor singa batu, di pinggir pagar bambu sana tertambat beberapa ekor kuda bagus, beberapa lelaki tegap dengan bergolok dan pakaian ringkas sedang menurunkan pelana kuda.

Siapa yang datang menumpang kuda-kuda itu?

Meski pertanyaan ini belum dapat segera dijawab, tapi kakek ini adalah seorang tokoh Bulim, hal ini jelas tidak perlu disangsikan lagi. Padahal setiap orang Bulim sekarang, siapakah yang tidak memusuhi Ji Pwe-giok?!

Tangan dan kaki Pwe-giok terasa dingin, lebih celaka lagi sekujur badan terasa lemas lunglai, ingin kabur pun tidak dapat. Apalagi, seumpama dia dapat lari kinipun sudah terlambat. Sebab kereta itu telah masuk ke dalam perkampungan itu.

Pwe-giok menutup kembali terpal kereta, hanya tersisa sela-sela kecil untuk mengintip. Mendadak terlihat dua sosok bayangan orang melayang kemari, orang di sebelah kiri dikenalnya sebagai si Pek-bin Tojin dari Kun-lun-pay itu.

Tidak kepalang kejut Pwe-giok, tanganpun agak gemetar.

Pek-bin Tojin itu menghadang di depan kereta dan menegur; "Dalam perjalanan pulang ini, apakah Lotiang melihat seorang pemuda?"

"Terlalu banyak pemuda yang kulihat, entah yang mana yang kau maksudkan?" jawab si kakek dengan tertawa.

"Dia berbaju panjang warna hijau, cukup gagah dan ganteng, cuma keadaannya agak runyam," tutur Pek-bin Tojin.

"Aha, kalau pemuda begini memang ada kulihat," seru si kakek.

"Di mana dia?" tanya Pek-bin Tojin cepat.

"Bukan saja kulihat, bahkan telah kutangkap dia ke sini," ujar si kakek sambil tertawa.

Tidak kepalang cemas Pwe-giok, hampir saja ia jatuh kelengar.

Dengan tajam Pek bin Tojin menatap si kakek, katanya dengan tegas; "Biarpun pemuda itu dalam keadaan runyam, meski dia sudah payah untuk kabur, kalau dirimu saja jelas tidak mampu menangkapnya pulang. Hendaklah Lotiang ingat selanjutnya, Pek-ho Tojin dari Kun-lun pay biasanya tidak suka berkelakar!"

Habis berkata mendadak ia membalik tubuh dan melangkah kembali ke sana.

Si kakek menghela napas, ucapnya: "Jika sudah jelas kau tahu aku tidak mampu menangkapnya, untuk apa kau tanya pada diriku?"

Dia tarik lagi tali kendalinya dan menghalau keretanya ke suatu gang kecil, terdengar ia bergumam sendirian: "Wahai anak muda, sekarang tentunya kau tahu, semakin cerdik seseorang, semakin mudah pula ditipu. Soalnya hanya dengan cara apa akan kau tipu dia."

Dengan sendirinya ucapan ini sengaja diperdengarkan kepada Ji Pwe-giok, cuma sayang Pwe-giok tidak dapat mendengarnya. Waktu Pwe-giok sudah dapat mendengar, sementara itu tahu-tahu ia sudah berada di dalam rumah si kakek.

Rumah ini memang betul sudah reyot, dinding sekelilingnya sudah banyak yang rontok dan kotor di atas meja ada sebuah poci yang telah patah corongnya serta dua mangkuk butut, selain itu ada pula sedikit sisa kacang goreng.

Sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram tampak bergoyang- tertiup angin seolah-olah melambangkan kehidupan si kakek.

Di belakang pintu menyantel sehelai selimut lusuh, dari sela-sela pintu air hujan tampak merembes masuk dan mengalir ke kaki tempat tidur yang terbuat dari bambu. Di tempat tidur inilah sekarang Pwe-giok berbaring. Bajunya yang basah sudah ditanggalkan, meski sekarang badannya ditutup dengan sehelai selimut, tapi rasanya masih menggigil.

Si kakek tidak kelihatan berada di dalam rumah, sekuat tenaga Pwe giok meronta turun dari tempat tidur, dengan selimut membungkus tubuh ia mendekati jendela, jendela terbuat dari papan kayu, ia mengintip keluar melalui celah-celah papan. Di luar ternyata adalah sebuah taman yang sangat luas.

Gelap gulita taman itu, meski di kejauhan ada berkerlipnya cahaya lampu, tapi sinarnya tidak dapat mencapai ke sini, pepohonan yang gelap di bawah hujan tampaknya seperti bayangan setan yang bergerak-gerak. Pwe-giok merinding, diam-diam ia bertanya kepada dirinya sendiri: "Sesungguhnya tempat apakah ini? Apa yang telah terjadi dengan diriku?"

Tiba-tiba terlihat setitik sinar lampu melayang ke sana di tengah bayangan pohon, seperti api setan. Kaki Pwe-giok menjadi lemas, ia berdiri bersandar pada ambang jendela. Di tengah kegelapan sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang lembut:

Mana ada malam purnama di tengah kehidupan ini, kecuali dicari di dalam mimpi. Katamu kau pernah melihat senyuman dewi, adakah itu di dalam mimpi atau nyata?

Suara nyanyian itu hanya sayup-sayup hampir tak terdengar, membawa semacam perasaan yang hampa, duka dan misterius yang sukar dilukiskan, adakah ini nyanyian orang, bukankah lebih tepat dikatakan rintihan arwah halus?

Api setan dan suara nyanyian itu semakin dekat, sesosok bayangan putih remang-remang muncul dengan tangan membawa sebuah lampu kristal yang kecil mungil, melayang tiba di bawah hujan.

Bentuk bayangan ini sedemikian ramping, baju yang basah kuyup melekat pada tubuhnya, rambut yang panjang terurai juga lengket di atas pundaknya, sinar lampu terpancar menyinari mukanya. Wajahnya putih pucat pasi, cahaya lampu juga menyinari matanya, sorot mata yang kelihatan hampa dan bingung, tapi juga sangat cantik. Kehampaan ditambah cantik menimbulkan semacam perasaan yang sukar diucapkan.

Pwe-giok menjadi lemas dan tak dapat bergerak menghadapi taman yang luas dan seram itu dengan bayangan yang menyerupai badan halus . . . .

Sekonyong-konyong pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaget Pwe-giok berpaling, dilihatnya si kakek dengan mantel ijuk dan bercaping entah sejak kapan sudah berada di situ.

Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahunya sambil berseru: "Sia .... siapa itu di luar?"

Si kakek tersenyum jawabnya: "Mana ada orang di luar?"

Sudah tentu Pwe-giok tidak percaya, ia membuka pintu dan melongok keluar, di luar hanya taman yang luas dan gelap, mana ada bayangan orang segala?

Si kakek kelihatan tersenyum-senyum, seperti mengejek dan juga merasa kasihan. Pwe-giok mencengkeram leher bajunya dan berseru dengan suara gemetar: "Sesungguhnya tempat .... tempat apakah ini? Siapa kau sesungguhnya?"

"Siapa? Kan cuma seorang kakek yang telah menyelamatkan kau," jawab si kakek dengan tenang.

Pwe giok jadi melenggong dan melepaskan cengkeramannya, ia menyurut mundur dan jatuh berduduk di atas kursi bambu, baru sekarang keringat dinginnya menetes.

"Kau lelah, kau terlalu lelah," kata si kakek, "Janganlah berpikir yang bukan-bukan, istirahatlah."

Sambil memegangi sandaran kursi bambu Pwe-giok berseru pula: "Tapi. ... tapi jelas-jelas kulihat........."

"Kau tidak melihat apa-apa, bukan? Ya, apapun tidak kau lihat...... "si kakek memandangnya lekat-lekat.

Tiba-tiba Pwe-giok merasa sorot mata si kakek ada semacam kekuatan yang sukar dilawan, tanpa terasa ia menunduk, ia tersenyum pedih, katanya: "Ya, aku memang tidak melihat apapun."

"Memang begitulah," ujar si kakek dengan tertawa, "semakin sedikit yang kau lihat, semakin sedikit pula rasa kesalmu."

Lalu dia menaruh sebuah kuali kecil di atas meja di depan Pwe giok, katanya; "Sekarang boleh minumlah kuah pedas ini dan tidurlah baik-baik. Besok, tentulah hari yang tidak sama, entah betapa bedanya besok dengan hari ini?"

"Ya, apapun juga, hari ini pun sudah lalu....." ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.

0O0- 000- 0O0

Dalam mimpinya, Pwe-giok merasa bumi ini makin lama makin gelap, tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh bumi raya yang gelap ini, ia berkeringat? ia meronta, mengerang..............Selimut serasa sudah basah, tempat tidur bambu itu berbunyi keriat-keriut!

Sekonyong-konyong ia membuka mata di bawah cahaya pelita yang guram dilihatnya sepasang tangan!

Sepasang tangan yang putih mulus!

Kedua tangan ini sedang menggeser ke lehernya, seakan-akan hendak mencekiknya, "Sia.................siapa kau?" jerit Pwe-giok saking kaget dan takutnya.

Di bawah sinar lampu yang guram, dilihatnya seraut wajah yang pucat dengan rambut yang panjang serta sepasang mata yang indah dengan pandangannya yang rawan. Ketika rambut yang panjang itu tersebar, bayangan putih itupun melayang pergi seperti angin, tahu-tahu lantas lenyap dalam kegelapan. Bukankah itu badan halus yang dilihatnya di bawah hujan itu?

Cepat Pwe-giok melompat bangun, ia meraba leher sendiri dengan napas terengah-engah. Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan? Apakah dirinya hendak dibunuhnya tadi? Tapi sebab apa orang hendak membunuhnya?

Si kakek tidak diketahui ke mana perginya dan celah-celah papan jendela terlihat cuaca sudah remang-remang, fajar sudah menyingsing. Daun pintu kelihatan masih bergoyang-goyang.

Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan? Jika benar hendak membunuhnya tentu sudah dilakukannya sejak tadi. Kalau tiada maksud jahat, mengapa dia menyusup datang seperti badan halus dan melayang pergi puia seperti arwah gentayangan?

Jantung Pwe-giok berdebar keras, di tepi tempat tidurnya ada seperangkat baju bekas, tanpa pikir dipakainya dengan tergesa-gesa, lalu ia berlari keluar.

Kabut pagi masih menyelimuti halaman taman yang sunyi senyap ini. Hujan sudah berhenti, cuaca remang-remang, lembab, sejuk dan rada-rada menggigilkan. Remang-remang kabut membuat taman yang sunyi ini menimbulkan semacam keindahan yang misterius.

Diam-diam Pwe-giok menyusuri jalan berbatu itu, langkahnya sangat perlahan, seakan-akan kuatir memecahkan kesunyian bumi raya ini.

Tiba-tiba didengarnya suara kicau burung, semula suara seekor dengan bunyi yang merdu dari pucuk pohon sini terus berpindah ke pucuk pohon sana.

Menyusul suara lain lantas berbangkit, lalu seluruh taman seolah-olah pecah suara burung berkicau dengan nyaringnya.

Pada saat inilah kembali Pwe-giok melihat si "dia" lagi.

Dia masih mengenakan jubah panjang warna putih dan berdiri di bawah pohon yang sana. Dia sedang menengadah dan memandangi pucuk pohon, rambutnya mengkilap, jubah putih dan rambut panjangnya berkibaran tertiup angin, di tengah remang kabut pagi ini dia bukan lagi badan halus, tapi serupa dewi kahyangan.

Dengan langkah lebar Pwe-giok mendekatinya, ia kuatir orang akan menghilang pula seperti badan halus. Namun si dia masih menengadah tanpa bergerak sedikit pun.

Sesudah dekat, dengan suara keras Pwe-giok menegur; "He, kau......."

Baru sekarang si dia memandang Pwe giok sekejap sorot matanya yang indah itu penuh rasa bingung seperti orang kehilangan ingatan. Sementara itu kabut sudah mulai hilang, sinar sang surya sudah mulai mengintip di ufuk timur, butiran air hujan atau embun laksana mutiara menghias dedaunan.

Mendadak Pwe-giok merasa si dia ini bukan si "dia".

Meski si dia ini juga berjubah putih dan berambut panjang, juga bermuka pucat, juga bermata indah, tapi cantiknya terlalu bersahaja. Dari gemerdep matanya dapat terlihat betapa suci murninya, betapa gemilang dan betapa tenangnya.

Sedangkan si "dia" yang dilihatnya semalam itu jelas sangat misterius dan juga sangat rumit, bahkan mengandung semacam hawa yang aneh dan sukar untuk dipahami.

Cepat Pwe giok berkata pula dengan menyesal; "O, maaf aku salah lihat."

Ia pandang Pwe-giok dengan tenang, mendadak ia membalik tubuh dan kabur seringan burung.

Tanpa terasa Pwe-giok berseru: "Nanti dulu, nona! Apakah engkau juga penghuni perkampungan ini?"

Nona itu sempat menoleh dan tertawa kepada Pwe-giok, tertawa yang cantik, tapi juga mengandung rasa hampa dan linglung yang sukar dilukiskan. Habis itu lenyaplah dia di tengah kabut.

Sampai lama Pwe giok termenung, ia ingin membalik ke arah datangnya tadi, tapi langkah kakinya justeru menggeser ke depan, jalan punya jalan, tiba-tiba ia merasa ada sepasang mata sedang mengintainya di balik pohon sana. Mata yang begitu jernih, begitu bening. Pelahan-lahan Pwe-giok menghentikan langkahnya dan berdiri tenang di situ, sedapatnya ia tidak mau mengejutkan orang.

Akhirnya si dia muncul sendiri dan memandang Pwe-giok dengan linglung.

Baru sekarang Pwe-giok berani tertawa padanya dan menyapa: "Nona, apakah boleh kutanya beberapa kata padamu?"

Dengan tertawa linglung nona itu mengangguk.

"Tempat apakah ini?" tanya Pwe-giok.

Nona itu tetap tertawa sambil menggeleng.

Dengan kecewa Pwe giok menghela napas, ia tidak tahu mengapa tempat ini sedemikian misterius, mengapa tidak seorang pun mau memberitahukan padanya?"

Tapi ia tidak putus asa, ia tanya pula: "Jika nona penghuni perkampungan ini, mengapa tidak tahu tempat apakah ini?"

"Aku bukan manusia," tiba-tiba nona itu bersuara dengan tertawa. Suaranya nyaring merdu seperti kicauan burung.

Jawaban itu membuat Pwe-giok terkejut. Jika kata itu diucapkan orang lain paling-paling Pwe-giok cuma tertawa saja. Tapi nona yang berwajah bingung ini sesungguhnya mempunyai kecerdasan yang melebihi orang lain.

Dengan tergagap kemudian Pwe-giok bertanya pula: "Masa kau bukan .. . . "

"Aku seekor burung," ucap si nona pula sambil menggigit bibir. Ia menengadah memandangi pucuk pohon, di mana hinggap beberapa ekor burung kecil yang tak diketahui namanya sedang berkicau. Dengan tertawa ringan nona itu berkata pula: "Akupun serupa burung di atas pohon itu, aku adalah saudara mereka."

Pwe-giok terdiam sejenak, tanyanya kemudian: "Jadi nona sedang bicara dengan mereka?"

Nona baju putih itu berpaling dan tertawa. Mendadak matanya terbelalak dan bertanya: "Kau percaya pada perkataanku?!"

"Sudah tentu kupercaya," jawab Pwe-giok dengan suara halus.

Sorot mata si nona menampilkan perasaan hampa, ucapnya dengan menyesal; "Tapi orang lain tidak mau percaya."

"Bisa jadi mereka orang tolol semuanya," ujar Pwe giok.

Sampai lama si nona memandangi Pwe giok dengan tenang, tiba-tiba ia tertawa nyaring, katanya: "Jika demikian, bolehkah kukatakan padamu bahwa aku ini seekor burung kenari."

Dia tertawa riang, lalu berlari pergi pula.

Pwe giok tidak merintanginya, ia termangu-mangu sejenak, timbul semacam perasaan yang belum pernah dirasakannya selama ini. Perlahan-lahan ia melangkah balik ke rumah kecil tadi.

Baru saja ia melangkah masuk rumah, sekonyong-konyong dari balik pintu sebatang pedang mengancam punggungnya. Ujung pedang yang tajam dingin itu seakan-akan menusuk ke dalam hati Pwe-giok.

Terdengar seorang bersuara sedingin es; "Jangan bergerak, sekali bergerak segera kutusuk tembus punggungmu....." Jelas ini suara seorang perempuan, juga nyaring dan merdu.

Tanpa terasa Pwe giok menoleh, kembali ia melihat jubah putih dengan rambut panjang terurai dan muka yang pucat serta mata yang indah. Ini bukanlah badan halus semalam, tapi dewi kahyangan pagi ini.

Kejut dan heran Pwe-giok, dengan mendongkol ia berkata sambil menyengir: "Nona kenari, masa kau tidak kenal lagi padaku?"

"Sudah tentu aku tidak kenal kau!" kata nona itu dengan suara bengis.

"Tapi .... tapi barusan kita baru .... baru saja bicara."

"Hm, mungkin kau melihat setan," jengek si nona.

Pwe giok jadi melenggong dan tak dapat bersuara. Sorot mata si nona sekarang telah berubah menjadi tajam dan dingin, tapi alisnya, mulutnya dan hidungnya jelas-jelas si nona cantik tadi.

Mengapa mendadak dia berubah begini? Mengapa sikapnya berubah ketus begini? Kembali Pwe giok kebingungan, ucapnya kemudian dengan tersenyum pedih: "Apakah benar kulihat setan?"

"Siapa kau?" bentak nona itu dengan bengis.

"Mengapa kau berada di tempat Ko lothau (kakek Ko)? Ingin mencuri atau ada pekerjaan lain? Lekas mengaku terus terang, lekas!"

"Begitu ujung pedangnya didorong sedikit, seketika darah mengucur dari punggung Pwe-giok.

"Aku tidak tahu, apa pun aku tidak tahu," jawab Pwe-giok sambil menghela napas. Ia merasa setiap penghuni perkampungan ini seakan-akan orang gila semua, terkadang sedemikian baik padanya, tapi mendadak bisa berubah menjadi garang.

Sebentar bersikap ramah, lain saat berubah beringas seperti hendak membunuhnya, "Kau tidak tahu?" jengek nona itu pula. "Baik, akan kuhitung sampai tiga, jika kau tetap bilang tidak tahu, segera kutusukkan pedang ini hingga menembus dadamu."

Lalu ia berseru: "Satu." Pwe-giok hanya berdiri tegak tanpa bersuara. "Dua . . .. " teriak pula si nona. Pwe-giok tetap berdiri saja tanpa bicara. Hakekatnya memang tiada apa-apa yang dapat dikatakannya. Si nona seperti melengak juga, tapi akhirnya ia berseru pula: Tiga!

Pada saat yang sama, sekonyong-konyong Pwe giok menggeser ke samping selicin belut, berbareng tangannya menyampuk balik, seketika tangan si nona kaku kesemutan, pedang mencelat dan menancap di belandar.

Sampukan Pwe-giok ini sangat kuat. Si nona jadi melenggong. Pwe-giok memandangnya dengan dingin, katanya: "Nona kenari, sekarang bolehlah kutanyai kau bukan? Tentunya jangan pura-pura bodoh lagi, sebaiknya kau bicara dengan bahasa manusia, aku tidak paham bahasa burung."

Nona itu mengerling sekejap, mendadak ia tertawa nyaring, katanya: "Hihi, aku cuma berkelakar saja dengan kau. Jika kau ingin belajar bahasa burung biarlah kuajari kau besok." Dengan enteng ia terus membalik tubuh dan berlari pergi. "Nanti dulu!" seru Pwe-giok sambil mengejar.

Tapi mendadak dilihatnya si kakek menghadang di depannya sambil menegur: "Telah kuselamatkan jiwamu, tapi bukan maksudku membawa kau ke sini untuk menakuti orang."

"Kedatangan Lotiang sangat kebetulan," jengek Pwe-giok.

"Waktu nona itu mengancam punggungku dengan pedang, mengapa Lotiang tidak lantas muncul?"

Kakek itu tidak bersuara, ia masuk ke rumah dan berduduk, diambilnya cangklong tembakaunya, disulutnya dengan api dan mulai merokok, setelah menghisap tembakaunya satu-dua kali barulah ia berucap:

"Biarlah kukatakan terus terang padamu, di perkampungan ini memang banyak hal-hal yang aneh, bila kau dapat anggap tidak dengar dan tidak lihat, tentu kau takkan dicelakai orang. Jika sebaliknya, tentu akan mendatangkan musibah bagimu."

"Sekalipun aku berlagak tidak dengar dan tidak lihat, kan nona tadi juga hendak membunuhku?!" seru Pwe giok dengan gusar.

Si kakek menghela napas, katanya: "Persoalan tadi hendaklah jangan kau pikirkan lagi, mereka adalah anak perempuan yang harus dikasihani, nasib mereka sangat malang, kau harus memaafkan mereka."

Dan kerut wajahnya dapat terlihat si kakek jelas sangat berduka ketika membicarakan nona tadi, Pwe-giok termenung sejenak, tanyanya kemudian: Siapakah mereka?"

"Untuk apa kau ingin tahu siapa mereka?"

"Dan, mengapa kau tidak mau memberitahukan padaku?" seru Pwe-giok.

Si kakek menghela napas panjang, katanya: "Bukannya aku tidak mau memberitahukan padamu, soalnya akan lebih baik jika kau tidak tahu."

Kembali Pwe-giok termenung sejenak, ia memberi hormat, lalu berkata pula dengan suara berat: "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan jiwa Lotiang, kelak pasti akan kubalas kebaikanmu ini."

"Kau mau pergi?" tanya si kakek sambil menoleh.

"Kupikir, lebih baik ku pergi saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir.

"Tapi ratusan anak murid Kun-lun dan Tiam-jong saat ini masih berkeliaran di sekitar perkampungan ini, jika kau pergi, dapatkah kau lolos dari pengawasan mereka?"

Pwe-giok jadi ragu-ragu, tanyanya pula: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara perkampungan ini dengan Kun-lun dan Tiam-jong-pay?"

Si kakek tersenyum hambar, katanya: "Jika tempat ini ada hubungannya dengan Kun-lun dan Tiam-jong, mungkinkah kau diberi kesempatan tinggal di sini?"

Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur; "Apakah... apakah engkau sudah tahu..."

"Aku sudah tahu semuanya," ucap si kakek sambil menyipitkan matanya.

Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahu si kakek, serunya dengan parau: "Aku tidak membunuh Cia Thian-pi, lebih-lebih tidak pernah membunuh Thian-kang Totiang, kau harus percaya padaku."

"Sekalipun aku percaya, tapi orang lain apakah juga percaya?" kata si kakek.

Pwe-giok melepaskan tangannya dan menyurut mundur selangkah demi selangkah hingga bersandar pada dinding.

"Terpaksa kau harus berdiam di sini, nanti kalau keadaan sudah aman, baru kau kubawa pergi," ujar si kakek dengan gegetun.

"Pada kesempatan ini pula dapat kau istirahat dan memulihkan tenagamu di sini."

Basah mata Pwe-giok, katanya: "Lotiang, semestinya engkau .... engkau tidak perlu sebaik ini kepadaku."

Si kakek menghisap lagi tembakaunya, lalu berkata dengan ikhlas: "Sekali sudah kuselamatkan kau, tidak nanti kusaksikan lagi kau mati di tangan orang lain."

Sekonyong-konyong seutas tali menyambar ke atas dan persis menjerat batang pedang yang menancap di belandar, sedikit ditarik, pedang itu lantas jatuh ke bawah dan tepat diraih oleh sebuah tangan yang putih halus.

Tahu-tahu si nona telah berdiri di ambang pintu dan berkata kepada si kakek dengan tertawa; "Ko-lothau, ibu ingin melihat dia."

Si kakek memandang Pwe-giok sekejap. Segera Pwe-giok dapat melihat perubahan air muka si kakek, matanya yang menyipit mendadak terbelalak, katanya dengan berkerut kening: "Ibumu ingin melihat siapa?"

"Di rumah ini selain kau dan aku, ada siapa lagi?" ucap si nona baju putih dengan tertawa.

"Untuk...... untuk apa ibumu ingin melihat dia?" tanya si kakek Ko.

Nona itu melirik Pwe-giok sekejap, katanya; "Akupun tidak tahu, lekas kau bawa dia ke sana."

Lalu ia memutar tubuh dan melangkah pergi pula.

Sampai lama si kakek berdiri termangu.

Pwe-giok tidak tahan, tanyanya. "Siapakah ibunya?"

"Cengcu-hujin (nyonya kepala perkampungan)," jawab Ko-lothau sambil mengetuk pipa tembakaunya, lalu disisipkannya diikat di pinggang dan berkata pula: "Marilah berangkat, ikut saja di belakangku. Hendaklah hati-hati, saat ini di perkampungan ini terdapat tidak sedikit anak murid Tiam-jong dan Kun-lun pay.

"Sungguh aku tidak paham," kata Pwe-giok dengan gegetun, "kalau kalian sudah mau menerima diriku, mengapa kalianpun menerima mereka di sini. Jika kalian telah menerima mereka di sini, mengapa kalian kuatir pula diriku dilihat mereka?"

Si kakek tidak menghiraukan gerundelan Pwe-giok itu, ia membawa anak muda itu menyusur kian kemari di antara pepohonan yang lebat, di jalan berbatu licin bersih, kabut di tengah pepohonan itu sudah buyar.

"Kalau sekarang aku harus menemui Cengcu-hujin, sedikitnya engkau harus memberitahukan padaku sesungguhnya di sini ini perkampungan apa?" kata Pwe-giok pula.

"Sat jin-ceng!" jawab Ko-lothau singkat.

"Sat-jin-ceng (perkampungan membunuh orang)?" seru Pwe giok terkejut dan berhenti melangkah mendadak.

Sementara itu mereka sudah sampai di sebuah serambi yang melingkar, bangunan serambi ini sangat indah dan mentereng, tapi langkan serambi kelihatan tak terawat, catnya yang berwarna merah sudah banyak yang mengelupas, debu memenuhi lantai.

"Kau heran pada nama perkampungan ini?" "Ya, mengapa diberi nama seaneh ini?"

"Sebabnya setiap orang boleh membunuh orang di sini secara bebas, tiada seorangpun yang akan melarangnya. Setiap orang juga dapat terbunuh di sini dan pasti tiada seorangpun yang mau menolong dia!" tutur si kakek Ko.

Pwe-giok merasa merinding, ucapnya dengan ngeri: "Sebab apa, sebab apa begitu?"

"Apa sebabnya kukira lebih baik jangan kau tanya," jawab Ko lothau.

"Masa......masa selama ini tiada orang ikut campur?"

"Tidak ada, selamanya tidak ada yang berani."

"Masa Cengcu kalian juga tidak ikut campur urusan perkampungan?"

Mendadak Ko-lothau menoleh dengan senyuman yang misterius, ucapnya sekata demi sekata: "Cengcu kami selamanya tidak ikut campur urusan, sebab dia..............."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang berkumandang dari ujung serambi sana. cepat Ko lothau menarik Pwe-giok dan menyelinap ke balik pintu samping yang berkerai.

Suara langkah orang itu semakin dekat, pelahan-lahan berlalu ke sana.

Pwe-giok mengintip ke luar, dilihatnya bayangan dua Tojin berjubah ungu dan menyandang pedang, jelas mereka murid Kun-lun-pay.

Diam-diam Pwe-giok menghela napas lega, katanya; "Apakah setiap orang boleh bergerak secara bebas di perkampungan kalian ini?"

"Siapa yang ingin membunuh orang dengan sendirinya boleh bebas bergerak, tapi orang yang mungkin akan terbunuh cara berjalannya harus berhati-hati... berhati-hati sekali."

"Kalau orang di sini setiap saat mungkin terbunuh, mengapa mereka masih juga datang kemari? Bukankah tempat lain jauh lebih aman bagi mereka?"

"Bisa jadi dia sudah kehabisan jalan, atau mungkin dia tidak tahu seluk-beluk tempat ini. Mungkin pula ia tertipu ke sini, boleh jadi lagi iapun ingin membunuh orang."

Pwe-giok merinding pula, gumamnya; "Sungguh tepat sekali alasan ini, ke empat alasan ini memang tepat......" segera ia menyusul ke depan dan bertanya: Tapi Cengcu kalian mengapa.,.."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu berkata: "Dia sudah datang, ibu......" Waktu Pwe-giok memandang ke sana, di ujung serambi ada sebuah pintu berukir daun pintu kelihatan terbuka sedikit, suara merdu itu berkumandang dan balik pintu.

Sepasang mata jeli yang semula mengintip di balik pintu kini mendadak lenyap. Dengan langkah berat Ko lothau mendekati pintu itu dan mengetuknya pelahan sambil berseru: "Apakah Hujin ingin bertemu dengan bocah ini?"

"Ya, masuk!" ucap seorang perempuan dengan suara lirih. Hanya dua kata ini saja yang terdengar, namun mengandung semacam daya tarik yang aneh luar biasa, rasanya suara ini seperti tersiar dari suatu dunia yang lain.

Mendadak pintu terbuka, Di dalam sangat gelap, sinar sang surya pagi cukup benderang, tapi tak dapat menyorot ke dalam rumah.

Entah mengapa, jantung Pwe giok berdebar keras, pelahan ia melangkah masuk. Dalam kegelapan sepasang mata yang terang sedang menatapnya, mata yang indah dan juga hampa, Nyonya rumah dari Sat-jin ceng ini ternyata tidak-lain-tidak-bukan adalah "badan halus" yang dilihatnya di bawah hujan itu.

Pwe-giok terkesiap. Segera dilihatnya pula sepasang tangan yang putih dan halus, jelas itulah tangan yang hendak mencekiknya waktu dia tidur itu. Butiran keringat terasa mengucur dari dahinya ....

Sepasang mata yang jeli itu masih menatapnya lekat-lekat tanpa bergerak. Pwe-giok juga tidak bergerak, lamat-lamat ia merasa di sampingnya juga ada satu orang. Waktu matanya sudah terbiasa dalam kegelapan, tiba-tiba dilihatnya orang di samping ini tersenyum manis, senyuman yang suci dan bersahaja.

Hai, bukankah ini si dewi yang dilihatnya di tengah pepohonan pagi tadi?

Sekonyong-konyong pintu tertutup pula, segera Pwe-giok berpaling. Di dekat pintu kembali dilihatnya sepasang mata yang sudah dikenalnya, mata yang sama jelinya, alis yang sama lentiknya dan mulut yang sama mungilnya.

Bedanya, sorot mata yang satu sedemikian halus dan bersahaja, yang satu lagi justeru begitu tajam dan dalam. Kalau diperumpamakan seorang seperti burung Kenari yang lincah dan riang, seakan-akan tidak kenal arti susah orang hidup. Yang seorang lagi dapat di ibaratkan burung elang di padang pasir, garang dan selalu mengincar hati setiap mangsanya.

Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara. Rupanya si burung Kenari yang ditemuinya di hutan pagi tadi serta si elang yang mendorongnya dengan pedang itu adalah kakak beradik kembar.

Ia pandang ke depan dan melihat ke belakang, ia merasa kedua kakak beradik ini benar-benar mirip seperti pinang yang dibelah dua, sampai-sampai ibu mereka, si badan halus di tengah hujan itu, arwah dalam mimpi, si Cengcu-hujin yang misterius ini, juga serupa benar dengan kedua puterinya. Hanya saja, watak di antara ibu dan kedua puterinya sama sekali berbeda dan terdiri dan tiga jenis watak yang tak sama.

Seketika Pwe-giok tidak tahu apa yang harus dilakukannya, entah kejut, heran, bingung atau merasa lucu. Segera terngiang pula ucapan si kakek Ko: "Mereka adalah perempuan yang harus dikasihani."

Perempuan yang harus dikasihani? Mengapa....

Cengcu-hujin masih menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa dan berkata: "Di sini sangat gelap, bukan?"

Pada wajah yang pucat dan penuh rasa hampa itu bisa menampilkan senyuman, sungguh sesuatu yang hampir sukar dibayangkan. Pwe-giok merasa terpengaruh oleh semacam daya tarik, yang aneh, dengan menunduk ia mengiakan.

Dengan rawan Cengcu-hujin berkata pula: "Aku suka kepada kegelapan dan benci pada sinar matahari. Sinar matahari hanya mencorong bagi orang yang gembira ria, orang yang berduka selalu hanya kebagian kegelapan."

Mestinya Pwe-giok ingin tanya sebab apa si nyonya berduka, mengapa tidak gembira saja? Tapi pertanyaan ini tidak jadi dilontarkannya.

Sorot mata Cengcu-hujin tidak pernah bergeser dari muka Pwe-giok, tanyanya kemudian: "Kau she apa dan siapa namamu?"

"Cayhe she....... " belum lanjut ucapan Pwe-giok, tiba-tiba Ko-lothau berdehem pelahan, maka Pwe-giok lantas menyambung: "Yap, namaku Yap Giok-pwe."

"Kau tidak she Ji?" Cengcu-hujin menegas.

Kembali Pwe-giok terkesiap, ia tidak menjawab.

"Bagus, kau tidak she Ji," ucap pula si Cengcu-hujin. "Dahulu seorang she Ji pernah membunuh seorang yang sangat rapat denganku, maka menurut perasaanku setiap orang she Ji pasti bukanlah manusia baik-baik."

Pwe-giok tak dapat menjawab apa-apa, terpaksa ia hanya mengiakan saja, "Aku sangat senang atas kedatanganmu ke perkampungan kami ini, kuharap kau dapat tinggal beberapa hari lebih lama di sini, rasanya banyak yang ingin kubicarakan denganmu."

"Terima. . . . . terima kasih... ." ucap Pwe-giok.

Mendadak si nona elang melolos pedang dan mengetuk belakang dengkul anak muda itu, keruan Pwe-giok kesakitan dan tanpa terasa ia berlutut.

Pada saat itu juga tahu-tahu seorang menerjang masuk, siapa lagi kalau bukan Pek-ho Tojin dari Kun-lun-pay.

Sekilas melirik Pwe-giok melihat beberapa murid Tiam-jong pay juga ikut masuk bersama Pek-ho Tojin. Begitu masuk mereka lantas memandang sekitar ruangan, tapi orang-orang yang berada di situ seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan mereka.

Dengan bertolak pinggang si nona elang lantas mendamprat: "Selanjutnya kalau kau berani membangkang dan malas kerja.. pasti akan kupatahkan kaki-anjingmu."

Dengan kepala tertunduk Pwe-giok mengiakan dengan suara yang dibikin serak, Pek-ho Tojin masih memandang kian kemari, tapi tidak memperhatikan "tukang kebun" yang berlutut di sampingnya. Baru sekarang ia memberi hormat kepada Cengcu hujin dan bertanya: "Apakah Hujin melihat seorang pemuda asing masuk kemari?"

"Satu-satunya orang asing yang menerobos masuk ke sini ialah anda," jengek Cengcu-hujin. "Tapi barusan jelas-jelas ada...... . . " Belum lanjut ucapan Pek-ho Tojin, mendadak si nona elang melompat ke depannya dan menghardik: "Jelas-jelas apa? Memangnya kau kira kami ibu dan anak main pat-gulipat dengan lelaki di sini?!"

Pek-ho Tojin melengak, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, mana berani kumaksudkan demikian."

"Hm, lalu, seorang pertapa seperti dirimu ini berani sembarangan menerobos ke kamar orang perempuan, lantas apa maksud tujuanmu? Apakah kau ingin baca kitab di sini?" jengek si nona elang.

Sama sekali Pek-ho To-jin tidak menyangka sedemikian lihaynya nona jelita ini, begini tajam kata-katanya sehingga sukar baginya untuk menjawab. Terpaksa ia berkata: "Pernah kutanya kepada Ceng-cu, katanya....."

"Betul, jika kalian ingin membunuh orang, setiap rumah boleh kalian masuki dengan bebas," potong si nona elang dengan suara bengis. "Tapi rumah ini dikecualikan, betapapun tempat ini adalah kediaman Cengcu-hujin, kau tahu tidak?"

"Ya,ya...." terpaksa Pek-ho Tojin memberi hormat dengan munduk-munduk, lalu mengundurkan diri bersama kawan-kawannya. Meski dia tergolong murid Kun-lun-pay yang paling cekatan, menghadapi siocia galak begini iapun mati kutu.

Baju Pwe-giok sudah basah oleh keringat dingin, ia masih berlutut, waktu mengangkat kepala, dilihatnya kedua tangan Cengcu-hujin yang putih mulus itu, tapi sekarang ia tahu kedua tangan ini semalam sebenarnya tiada maksud hendak mencekiknya, kalau tidak, barusan Cengcu hujin tentu akan menyerahkannya kepada Pek-ho Tojin dan tidak perlu turun tangan membunuhnya.

Cengcu hujin memandangnya lekat-lekat, tanyanya kemudian: "Tampaknya kau takut. Sebab apa kau takut?"

"Cayhe.... Cayhe...."

"Sudahlah, tidak perlu kau katakan padaku." ujar Cengcu hujin dengan tertawa. "Setiap orang yang datang ke Sat-jin-ceng ini pasti merasa takut. Tapi siapapun tidak perlu menceritakan alasan takutnya". Tiba-tiba pandangannya beralih kepada Ko-lothau dan berkata pula: "Kau boleh pergi saja."

Ko-lothau ragu-ragu, katanya: "Dan dia......"

"Dia tinggal di sini, aku ingin bicara dengan dia," ujar Cengcu hujin.

Walaupun masih ragu, akhirnya Ko-lothau memberi hormat dan mengundurkan diri. Kedua nona kembar tadi ternyata juga ikut keluar. Si nona Kenari seperti tertawa terkikik-kikik, sedangkan si Nona Elang sama sekali tidak bersuara.

Daun pintu menutup dengan keras. Kesunyian di dalam rumah mendadak terasa menakutkan, sampai detak jantung sendiri dapat didengar oleh Pwe-giok.

Cengcu hujin masih memandangnya lekat-lekat, hanya memandangnya saja. Pwe-giok ingin bicara tapi sama sekali tidak sanggup buka mulut, terpengaruh oleh pandangan orang yang berdaya misterius ini.

Jendelapun tertutup oleh tirai, di dalam rumah semakin gelap, semacam hawa seram dan tua meliputi setiap sudut ruangan.

Cengcu-hujin tetap tidak bicara, bahkan bergerakpun tidak. Ia tetap menatap Pwe-giok tanpa berkedip, seolah-olah juru tembak sedang mengincar sasarannya, seperti nelayan sedang memandangi kailnya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar