Gin-hoa-nio telah menyingkir
ke samping, ia hanya menonton tanpa ikut bicara. Ia tahu api sudah menyala dan
tidak perlu diberi minyak lagi.
Dilihatnya Ang-hoa dan
Hwe-long lagi saling melotot, sampai lama sekali keduanya tetap diam saja.
Tiba-tiba Hwe-long mendekati
meja, kursi ditariknya lalu duduk, katanya dengan tersenyum: "Tio loji,
mengapa tidak duduk saja dan marilah kita berbincang-bincang."
"Duduk ya duduk, orang
lain takut kepada tipu muslihatmu, masa akupun takut kepadamu?" kata
Ang-hoa, segera iapun menarik kursi dan duduk.
Dengan tersenyum Hwe long
berkata pula: "Sebuah meja boleh berpasangan dengan dua kursi bukan?"
Ang-hoa tidak tahu untuk
apakah lawannya bertanya tentang tetek bengek begitu, ia cuma mengangguk dan
menjawab singkat: "Betul!"
Hwe-long mengangkat poci dan
menuang dua cangkir the, katanya pula dengan tertawa: "Dan satu poci juga
boleh berpasangan dengan dua cangkir, betul tidak?"
"Huh, omong kosong!"
omel Ang-hou dengan gusar.
Dengan tertawa Hwe-long
menyodorkan secangkir teh yang dituangnya itu dan berkata: "Jika kita
sama-sama dapat minum teh, untuk apa mesti berkelahi mati-matian?"
Lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah
dapat merasakan maksud tujuan ucapan si serigala kelabu, diam-diam ia berkerut
kening.
Didengarnya Ang-hou menjawab
dengan aseran: "Sesungguhnya apa arti ucapanmu, aku tidak paham!"
"Tentunya kau pernah
membaca, dahulu ada dua ratu bersama mengawini seorang suami dan kisah itu
dijadikan cerita yang menarik. Sekarang kita berdua adalah saudara, mengapa
kita tidak boleh berkongsi mengawini seorang isteri?"
"Urusan lain boleh
berkongsi, hanya isteri yang tidak boleh berkongsi," jawab Ang-hou dengan
gusar.
"Sabar, pertimbangkan
dulu," kata Hwe-long." Musuh kita tidaklah sedikit, umpama aku kau
bunuh dan tersisa kau sendiri, apakah kau takkan kesepian dan kehilangan kawan?
Apalagi bila kita bergebrak sungguh-sungguh, siapa yang akan terbunuh kan juga
masih suatu tanda tanya, betul tidak?"
Lama juga Ang-hou melototi si
serigala, tiba-tiba ia tertawa, katanya: "Betul juga, setengah potong bini
rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak punya bini. Apalagi melihat
gairahnya yang menyala, sendirian belum tentu ku sanggup melayani dia." Ia
angkat cangkir dan berkata pula: "Saudaraku yang baik, usulmu sangat bagus,
terimalah hormat satu cangkir ini."
Gin-hoa-nio tertawa
terkikit-kikik, ucapnya: "Usulnya memang bagus, setelah kau minum teh ini,
tentu kau akan tahu betapa bagus usulnya ini."
Berputar biji mata Ang-hou,
cangkir teh yang sudah diangkatnya ditaruhnya lagi. Meski sebodoh kerbau orang
ini, betapapun sudah puluhan tahun dia berkecimpung di dunia Kangouw, perbuatan
baik mungkin dia tidak paham, tapi perbuatan busuk tidak sedikit yang
diketahuinya. Sambil masih memegangi cangkir teh itu, ia melototi Hwe-long dan
berkata: "Apakah di dalam air teh ini kau hendak main gila padaku?"
"Lo-ji, jangan kau
sembarangan menuduh, kita adalah saudara sendiri, jangan mau diadu domba
orang," teriak Hwe-long.
Gin-hoa-nio tertawa dan
berkata: "Jika demikian, boleh coba kau minum teh itu." Dengan
berlenggak-lenggok dia mendekati Ang-hou dan mengambil cangkir teh itu terus
disodorkan ke depan Hwe-long. Di luar tahu orang, ujung kukunya yang bercat
merah itu seperti dicelup perlahan ke dalam teh. Lalu ucapnya dengan tertawa genit:
"Kau bilang air teh ini beracun, jika kau tidak mau minum juga takkan
kusalahkan kau."
"Kalau kau tidak berani
minum teh itu, segera kugencet pecah kepalamu!" teriak Ang-hou dengan
gusar.
Air muka Hwe-long bertambah
pucat, serunya: "Teh ini semula tidak beracun, tapi sekarang telah kau
racuni."
"Kau... kau bilang aku
yang menaruh racun?" tanya Gin-hoa-nio dengan terbelalak.
"Ya, kau perempuan busuk
ini !" teriak Hwe-long, berbareng ia lantas menjotos.
Namun Gin-hoa-nio keburu
menyingkir dan bersembunyi di belakang Ang-hou.
Serentak Ang-hou juga melompat
bangun sambil meraung: "Bangsat! Jelas-jelas kau yang menaruh racunnya dan
sekarang menuduh orang lain? Kau kira Locu ini babi goblok?"
Berbareng itu ia terus
menubruk ke sana. Terdengar suara "blak-bluk " dua kali, kedua
kepalan Hwe-long dengan tepat menghantam tubuh ang-hou, tapi pukulan itu
seperti mengenai karung pasir, sama sekali si harimau merah tidak bergeming.
Keruan Hwe-long terkejut,
segera ia hendak mencabut belati lagi, namun Ang-hou tidak memberi kesempatan
padanya, kontan ia balas menonjok perut Hwe-long.
Serigala kelabu yang kerempeng
itu tidak tahan, ia menungging kesakitan. Menyusul Ang-hou lantas menambahi
sekali hantam di kepalanya, seketika kepala pecah dan otak berantakan.
Kedua pukulan Ang-hou itu
tidak pakai jurus silat segala, tapi pukulan umum, namun cukup berguna. Barang
siapa kalau bertangan kosong sebaiknya jangan berkelahi dengan orang gede
semacam Ang-hou ini, sebab dipukul dia tidak bergeming, sebaliknya kalau dia balas
memukul, maka celakalah kau.
Gin-hoa-nio kegirangan
menyaksikan hasil pertarungan itu, ia berkeplok dan tertawa.
Ang-hou terus meludahi mayat
Hwe-long dan mendamprat: "Huh, belum belajar tahan pukul sudah ingin
memukul orang, kan cari mampus sendiri!"
Gin-hoa-nio tertawa senang,
katanya: "Betul kepandaian Tio-kongcu memukul orang tergolong hebat.
Kungfumu tahan pukul terlebih tiada bandingannya. Tapi... tapi barusan apakah
keparat ini benar-benar tidak melukaimu?"
Dengan membusungkan dada
Ang-hou berkata dengan tertawa: "Kedua cakarnya seperti menggaruk gatal
badanku, tidak percaya boleh kau periksa sendiri."
Benar-benar Gin-hoa-nio
mendekati Ang-hou, ucapnya dengan suara lembut: "Tapi bahumu masih
mengucurkan darah...." Dengan kuku jarinya yang merah ia menggelitik
perlahan di bahu Ang-hou yang dilukai si ular putih tadi dan bertanya perlahan:
"Sakit tidak?"
"Tidak," jawab
Ang-hou dengan tertawa, "tapi rasanya menjadi geli karena digelitik
kau."
Sambil bergelak tertawa
sehingga tubuhnya yang penuh daging lebih itu berguncang-guncang, berbareng ia
terus merangkul pinggang Gin-hoa-nio.
Tapi Gin-hoa-nio lantas
menyelinap ke samping dengan tertawa genit, ucapnya sambil tertawa
terkikik-kikik. "Bila kau dapat menangkap diriku barulah aku menyerah padamu!"
Begitulah ia lantas lari di
depan dan dikejar Ang-hou dengan napas terengah-engah. Gerakan Gin-hoa-nio
sangat enteng dan gesit, jangankan menangkapnya, meraih ujung bajunya saja
tidak mampu dilakukan Ang-hou.
Sampai akhirnya Ang-hou
sendiri tidak tahan, ia megap-megap sambil memegang tepi meja, namun begitu ia
masih cengar-cengir dan berseru: "O, mestikaku, kemarilah biar kupeluk
cium kau."
Gin-hoa-nio memandangnya
dengan tertawa, tiba-tiba ia menggeleng dan menghela napas gegetun, katanya:
"Ai, kau ini... jelas kau ini seekor babi goblok, mengapa kau tidak mau
mengaku?"
Ang-hou melengak, tanyanya
kemudian dengan melotot: "Ap.... Apa maksudmu?"
"Baru saja ku taruh racun
pada lukamu, racun yang membinasakan bila masuk ke darah. Kadar racun yang ku taruh
itu cukup untuk membunuh sepuluh ekor babi gemuk," tutur Gin-hoa-nio
dengan suara halus. "Jika kau tidak bergerak mungkin akan hidup lebih lama
beberapa jam, sekarang kau telah berlari-lari, racun sudah mengalir masuk
darahmu dan menyebar di seluruh tubuhmu, bila kau gunakan tenaga sedikit
seketika jiwamu bisa melayang."
Mendadak Ang hou meraung
murka, dengan segenap sisa tenaganya, ia menubruk maju, terdengarlah suara
gemuruh, meja ditumbuknya hingga hancur berantakan dan tertindih oleh tubuhnya yang
gede.
Gin hoa nio menghela napas,
katanya: "Dengan maksud baik sudah ku peringatkan, mengapa kau tidak mau
percaya padaku?"
Lalu ia mengitari meja dan
menuju ke ambang pintu, sambil bersandar di depan pintu ia berseru dan
tersenyum menggiurkan: "Di dalam rumah ada empat orang mati, maukah para
Toako membantuku menggotongnya keluar?"
Sejak tadi anak buah Su ok siu
menunggu di luar dengan gelisah, namun disiplin Su ok siu sangat keras, tanpa
diperintah, siapa pun tidak berani meninggalkan tempatnya. Mereka cuma
mendengar suara kacau di dalam rumah dan tidak tahu apa yang terjadi, setelah
mereka dipanggil Gin hoa nio barulah mereka berkerumun maju, mereka jadi
melongo kaget setelah melihat keadaan di dalam rumah.
Dengan suara halus Gin hoa nio
berkata kepada mereka: "Ku tahu perasaan kalian. Melihat majikan kalian
dibunuh orang, takkan kusalahkan kalian bila kalian ingin menuntut balas bagi
mereka."
Melihat Gin hoa nio bersikap
tenang dan tertawa riang, bajunya sedikit pun tidak terkoyak apalagi robek,
sebaliknya majikan yang mereka puja seperti malaikat dewata itu semuanya
terkapar seperti anjing mampus, jelas perempuan ini tidak cuma sangat cantik,
tapi pasti juga sangat lihai. Belasan orang ini mana berani lagi bicara tentang
menuntut balas, serentak mereka membalik tubuh dan lari terbirit-birit, hanya
sekejap saja sudah hilang tanpa bekas.
"Ai, jaman ini tampaknya
kaum penjahat juga kecil hatinya," gumam Gin hoa nio dengan menghela
napas.
ooo 000 ooo
Apa yang terjadi, semua itu
dapat diikuti Kim yan cu dan Bwe Su-bong dengan jelas, mereka sama melenggong.
Dengan tersenyum getir Bwe Su
bong berkata: "Betapa lihai adik perempuanmu, hakekatnya dapat
disejajarkan dengan kelihaiannya Hay hong hujin di masa dahulu. Memang sudah
kuduga orang lain tidak perlu turun tangan, adikmu sendiri pasti sanggup
membereskan mereka."
Kim yan cu tidak menanggapi,
diam-diam ia pun merasa getir.
"Sekarang bolehlah nona
turun ke sana dan aku pun akan pulang," kata Bwe Su bong.
"Kau.... kau tidak turun
dan berduduk dulu?" tanya Kim yan cu.
"Biarpun aku sudah
kakek-kakek, tapi tetap lelaki, maka lebih baik tidak berjumpa dengan
adikmu..." belum habis ucapannya dia sudah melayang jauh ke sana.
Kim yan cu menghela napas
panjang, dilihatnya Gin hoa nio sedang bersandar pula di pintu dan berkata
sambil menengadah ke arahnya: "Tak tersangka di atas loteng juga ada tamu,
maaf jika sambutanku kurang baik."
Tidak tahan lagi Kim Yan cu,
mendadak ia melayang turun ke depan Gin hoa nio.
Baru saja Gin hoa nio melengak
setelah tahu siapa gerangannya, tahu-tahu mukanya sudah tertampar dua kali.
Cukup keras gamparan itu sehingga Gin hoa nio jatuh ke dalam rumah sambil
berteriak: "He, Toaci.... kau...."
Kim yan cu merasa pukulannya
tidak cukup keras, dengan gemas ia mendengus: "Hm, tidak perlu lagi kau
panggil Toaci padaku, mana ku berharga menjadi Toacimu? Jiwa manusia bagimu
tidak lebih seperti semut, bilamana kau mau, bisa jadi aku pun akan kau
bunuh."
Gin hoa nio merabai mukanya
yang digampar itu, mendadak ia menangis.
"Dengan mudah sekali kau
bunuh empat orang ini, seharusnya kau bergembira, apa yang kau tangisi?"
damprat Kim yan cu dengan gusar.
"Apakah Toaci mengira aku
sangat senang setelah membunuh orang?" seru Gin hoa nio dengan menangis
sedih. "Toaci, jika kau menyaksikan tingkah laku mereka tadi, tentu kau
akan paham bagaimana jadinya jika aku tidak berdaya membinasakan mereka."
Dengan menangis ia menubruk ke
bawah kaki Kim yan cu dan berkata pula: "Toaci, kau mau memukul aku, mau
memaki, semua ini bukan soal bagiku, tapi kalau kau tidak mengakui adik lagi
padaku, biarlah sekarang juga ku mati di depanmu."
Setelah memukul dan
mendamprat, rasa gusar Kim yan cu sudah hilang sebagian besar, sekarang
mendengar ucapan Gin hoa nio yang mengibakan hati ini, akhirnya ia pun mengucurkan
air mata dan mengomel pula: "Biarpun kau terpaksa, seharusnya tidak boleh
sekeji itu!"
"Ya, Toaci, ku tahu
kesalahanku," jawab Gin hoa nio dengan suara gemetar. "Soalnya sejak
kecil aku sudah kenyang dianiaya orang, yang kulihat setiap hari adalah
orang-orang yang kejam, aku.... aku menjadi takut, maka caraku turun tangan
menjadi agak kejam." Sembari menangis ia terus merangkul kaki Kim yan cu
dan meratap pula: "O, Toaci, jika kau datang lebih cepat tentu mereka
tidak berani mengganggu diriku dan aku pun takkan bertindak demikian."
Hati Kim yan cu terharu pula,
ia menghela napas dan berkata: "Betul juga, aku pun salah, seharusnya
sejak tadi-tadi ku datang kemari."
Dasar hatinya memang polos, ia
merasa kejadian ini tidak dapat menyalahkan orang lain, tapi dirinya ikut
bertanggung jawab. Bicara punya bicara, akhirnya ia merangkul Gin hoa nio dan
menangislah keduanya.
Meski lahirnya Gin hoa nio
menangis tergerung-gerung, tapi di dalam hati sebenarnya lagi tertawa.
ooo 000 ooo
Sekarang ia telah menemukan
suatu kenyataan yakni asalkan sifat seseorang dapat kau raba dengan jitu, bukan
saja lelaki mudah dihadapi, bahkan perempuan juga tidak sulit dilayani,
lebih-lebih perangai anak perempuan seperti Kim yan cu ini.
Dunia Kangouw memang kejam dan
berbahaya, tapi juga adil, asalkan manusia yang punya kemahiran tentu akan
menanjak ke atas dan kehidupannya seketika juga akan berubah gilang gemilang.
Cuma saja, ada kehidupan sementara orang yang meski gilang gemilang, tapi
terlalu singkat, seperti meteor saja, hanya sekelebat, lalu lenyap.
Selama beratus tahun sejarah
Kangouw entah sudah berapa banyak pahlawan yang baik bintangnya untuk kemudian
lantas tenggelam pula. Tapi di antaranya bukan tiada yang tetap berdiri tegak
tanpa jatuh.
Ada sementara orang, meski
orangnya sudah mati, tapi keturunannya, anak cucunya, masih dapat
mempertahankan suatu kekuatan yang tidak pernah runtuh di dunia kangouw, dengan
demikian selamanya juga lantas tetap berjaya dan abadi.
Selama 300 tahun ini, kekuatan
yang tetap berdiri tegak tanpa ambruk itu, selain Siau-lim pay, Bu tong pay,
dan aliran-aliran besar yang mempunyai sejarah gilang gemilang ini, masih ada
juga keluarga persilatan ternama dan berpengaruh. Keluarga persilatan ini ada
sebagian yang tetap berjaya karena pengorbanan leluhurnya bagi kepentingan
dunia persilatan di masa lalu sehingga mendapat penghormatan dari kaum pahlawan
dunia Kangouw, tapi kebanyakan adalah karena mereka memang mempunyai Kungfu
yang istimewa dan sukar ditandingi, sebab itulah sejarah mereka bisa tetap
hidup abadi sepanjang masa.
Di antara keluarga persilatan
itu misalnya terdapat keluarga "Thio Kan-cay" di kota-raja yang
terkenal dengan ilmu pertabibannya. Ada keluarga "Pi-lik-tong" di
Kanglam yang termasyhur karena ahli membuat senjata api. Ada keluarga Lam-kiong
dengan ilmu pukulannya yang hebat, ada keluarga "Thian-hi-tong" yang
disegani karena kemahirannya menyelam di dalam air, ada pula keluarga Pang di
Holam yang merajai dunia persilatan di wilayahnya karena permainan Toan bun to
yang lihay.
Dan di antara
keluarga-keluarga persilatan yang turun temurun itu, yang paling berkesan dan
diketahui setiap orang persilatan kiranya harus ditonjolkan keluarga Tong dari
Sujwan yang termasyhur karena Am-gi atau senjata rahasia yang tiada bandingannya
selama ini.
Tong keh ceng atau
perkampungan keluarga Tong itu terletak di kaki gunung di luar kota Cung king,
propinsi Sujwan.
Setelah mengalami perbaikan
dan perluasan di sana-sini selama berabad-abad, dari perumahan sederhana dua
deret kini telah meluas menjadi sebuah perkampungan yang megah dan sudah
menyerupai sebuah kota kecil.
Ini terbukti bilamana orang
masuk pintu gerbang yang tiap tahun dicat satu kali itu, maka segala keperluan,
dari sandang, pangan sampai tempat tinggal dan sarana lain, sekolahan, hiburan,
sampai urusan nikah dan kematian, setiap barang keperluan dapat diperoleh di
sini dan tidak perlu berbelanja ke luar.
Hakekatnya, restoran Sujwan
yang paling terkemuka, toko cita yang paling mentereng, toko barang kosmetik
yang mutakhir, semuanya terdapat di perkampungan ini.
Dengan sendirinya anak murid
keluarga Tong masing-masing juga mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka
dapat mencari nafkah menurut kemahirannya sendiri-sendiri, lalu dibelanjakan
pula kepada toko-toko itu sehingga terjadilah sirkulasi perekonomian yang
makmur di perkampungan ini. Bila mereka ingin menikmati kehidupan yang tinggi,
cukup asalkan mereka berusaha mencari laba segiatnya, dengan dana dan tenaga
yang hanya beredar di lingkungan perkampungan mereka saja, dengan sendirinya
makin lama Tong keh ceng bertambah besar dan kuat.
Sampai Gin hoa nio sendiri,
begitu memasuki pintu gerbang perkampungan Tong ini seketika ia terkesima dan
hampir tidak percaya kepada apa yang dilihatnya.
Dia pernah datang ke Tong keh
ceng ini, tapi hanya memandangnya dari luar, sama sekali tidak terbayangkan
olehnya bahwa antara luar dan dalam Tong keh ceng terdapat perbedaan sebanyak
ini.
Kalau dipandang dari luar,
pintu gerbangnya bercat hitam dengan pagar balok kayu sebesar dahan pohon,
panji terkerek tinggi di tiangnya, keadaan demikian tiada bedanya dengan
perkampungan persilatan lain, hanya formatnya saja yang lebih besaran.
Tapi setibanya di dalam pintu
gerbang perkampungan, tiba-tiba ia melihat di dalam perkampungan ini ada sebuah
jalan raya, sebuah jalan balok batu yang rajin dan lurus, di kedua tepi jalan
terdapat aneka macam toko, cukup ramai toko-toko itu dikunjungi pembeli, cuma
saja toko-toko itu tidak pasang merek dagang.
Sungguh mimpipun tak terpikir
olehnya bahwa keadaan yang demikian ini akan dilihatnya di dalam suatu
"perkampungan", yang lebih mengherankan lagi adalah di dalam
perkampungan keluarga persilatan yang termasyhur ini sama sekali tiada terdapat
penjagaan dan tanda-tanda siap siaga. Sungguh aneh.
Ketika kuda mereka sampai di
depan pintu gerbang, Kim yan cu hanya memberitahukan sekedarnya namanya, lalu
mereka disilahkan masuk. Sedangkan penjaga pintu gerbang itu pun cuma dua kakek
reyot.
Gin hoa nio menghela napas
panjang, saking tak tahan ia coba bertanya dengan suara tertahan: "Apakah
benar inilah satu-satunya Tong keh ceng yang termasyhur itu?"
"Memangnya kau tidak
percaya?" tanya Kim yan cu dengan tertawa.
"Bukannya aku tidak
percaya, aku cuma merasa bingung," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Di jalan raya itu banyak juga
orang berlalu lalang, sudah barang tentu kedatangan Kim yan cu dan Gin hoa nio
menarik perhatian mereka, tapi mereka pun cuma memandang sekejap saja dan tiada
seorang pun yang mendekat dan menegur mereka.
Kembali Gin hoa nio bertanya:
"Orang Kangouw suka bilang Siau lim si, Bu tong san dan Tong keh ceng
adalah tempat-tempat terlarang di dunia persilatan dan jangan harap akan dapat
memasukinya, andaikan dapat masuk, maka jangan mengharapkan akan dapat keluar
dengan hidup. Tapi melihat gelagatnya sekarang, tampaknya seperti setiap orang
boleh masuk dan keluar lagi dengan bebas."
Kim yan cu tersenyum tak acuh,
katanya: "Soalnya lantaran kau datang bersamaku."
"O, jika aku datang
sendiri pasti tidak dapat menerobos masuk?" tanya Gin hoa nio.
"Masuk sih tidak sulit,
tapi keluar lagi tubuhmu akan membujur," jawab Kim yan cu dengan tertawa.
Lalu ia menyambung pula: "Coba kau lihat orang-orang yang berlalu,
semuanya kelihatan ramah tamah bukan? Tapi salahlah jika kau pikir demikian. Sebab
sedikit kau perlihatkan sesuatu yang tidak beres, dari lengan baju setiap orang
itu bisa melayang keluar sesuatu benda untuk mencabut nyawamu."
Diam-diam Gin hoa nio merasa
ngeri, tapi di mulut ia menanggapi dengan tertawa: "Tapi kita sudah masuk
ke sini, mengapa tiada seorang pun yang melaporkan dan memberi petunjuk
jalan?"
"Darimana kau tahu mereka
tiada yang melaporkan kedatangan kita?" tanya Kim yan cu. "Hanya
caranya mereka melapor itu saja tidak diketahui orang luar. Jika tidak percaya,
boleh kau lihat sebentar lagi, segera ada orang keluar menyambut."
"Cujin (majikan, pemilik)
perkampungan ini...."
"Maksudmu Bu Siang Lojin?
Beliau berdiam di gedung belakang perkampungan sana, tinggal bersama
anak-anaknya. Mungkin kau mengira setiap orang juga dapat menerobos masuk dari
pintu gerbang hingga ke tempat tinggalnya, orang itu sedikitnya harus punya
sayap dan mempunyai beberapa kepala."
Gin hoa nio menghela napas,
gumamnya: "Jika dia terus menerus berdiam di tempat aman begini, pantaslah
kalau nyalinya makin lama makin kecil."
"Darimana kau tahu nyali
beliau makin lama makin kecil?" tanya Kim yan cu sambil berkerut kening.
Gin hoa nio melengak, cepat ia
menjawab: "Ah, aku cuma mendengar orang bercerita demikian."
Mestinya Kim yan cu ingin
tanya pula, tapi dari ujung jalan sana sudah muncul beberapa perempuan
menyongsong kedatangan mereka. Perempuan itu semuanya memakai gaun berwiru
banyak, jalannya berlenggang, mungkin itulah gaya berjalan "macan
luwah" atau harimau lapar.
Salah seorang perempuan itu,
seorang nyonya berbaju putih dan berperawakan semampai, dari jauh lantas
berseru kepada Kim yan cu: "Sam-ya thaucu (budak ketiga), kenapa baru
sekarang kau kemari, sungguh Cici telah lama merindukan kau."
ooo 000 ooo
Tidak lama kemudian Gin hoa
nio lantas tahu bahwa perempuan semampai dan bernas ini dengan wajah bulat
telur dan sedikit berjerawat ini bernama Tong Ki, puteri tertua, anak kedua
Tong Bu-siang. Dia inilah yang memegang kekuasaan rumah tangga di perkampungan
Tong ini.
Kemudian dari Kim yan cu juga
diketahui Gin hoa nio bahwa Tong ji-kohnaynay (bibi kedua keluarga Tong) ini
memang bernasib malang, meski mukanya tidak jelek, pintar mengurus rumah tangga
pula, tapi sudah dua kali bertunangan, belum lagi menikah, dua kali pula bakal
suaminya meninggal dunia.
Sebab itulah, di belakangnya
orang suka bilang mungkin lantaran Tong ji-kohnaynay terlalu pintar mengurus
rumah tangga, tapi membawa sial bagi suami.
Mungkin Tong ji-kohnaynay
mendengar desas-desus ini, saking gusarnya ia lantas bersumpah di depan abu
leluhur bahwa selama hidup dia tidak mau menikah.
Dan sekarang Tong ji-kohnaynay
inilah menyambut kedatangan Kim yan cu dengan gembira, ia pun banyak memberi
pujian kepada kecantikan "adik baru" Kim yan cu.
Mungkin sudah menjadi sifatnya
yang khas, tangan Tong jikohnaynay selalu membawa sepotong handuk kecil,
sepanjang jalan bila melihat ada gulungan kertas tercecer atau kulit buah
terbuang, segera dijemputnya dan dibungkus dengan handuknya.
Melihat itu baru Gin hoa nio
tahu apa sebabnya Tong keh ceng sedemikian rapi dan bersih. Diam-diam ia pun
mentertawai Tong jikohnaynay kita ini, untung nona ini tidak menikah, kalau
tidak, bisa jadi suaminya akan repot mempunyai isteri begini.
Di antara perempuan-perempuan
yang mendampingi Tong Ki, tapi hanya tersenyum dan tidak bersuara, ialah
menantu perempuan tertua Tong Bu-siang, isteri Tong Jan, namanya Li Pwe-ling.
Nyonya menantu ini bermuka
bundar, matanya juga bundar, pergelangan tangannya juga bulat seperti lontong.
Potongan nyonya menantu inilah model menantu bijaksana dan membawa rejeki.
Sedangkan adik Tong Ki,
namanya Tong Lin, adalah gadis yang lemah tidak tahan angin. Matanya yang besar
kelam itu seolah-olah orang yang selalu menanggung susah.
Gin hoa nio tahu ketiga
perempuan inilah orang penting di Tong keh ceng, selebihnya tidak perlu
diperhatikannya.
Setelah melintasi jalan raya
dan melalui sebuah jalan berkerikil, tiba-tiba membentang sebidang hutan di
depan sana, di balik pepohonan terdapat pagar tembok bercat merah dengan
genteng warna hijau, disitulah tempat Bu-siang Lojin menikmati kehidupan
bahagia di hari tuanya.
Sementara itu, Tong
jikohnaynay telah membuang handuk kecil yang penuh membungkus sampah
jemputannya tadi dan dibuang ke keranjang sampah, lalu mencuci tangan pada sungai
kecil yang melingkari pagar tembok, kemudian ia berkata dengan tertawa:
"Loyacu (tuan tua) sedang tidur siang, kukira kalian tidak perlu menjumpai
beliau, boleh langsung ke tempat Toa-so (kakak ipar, isteri kakak) saja, ku
tahu di tempatnya ada dua botol Bi kwi lo (arak mawar), biarlah kita gasak
saja."
"Wah, dasar tukang gasak,
orang menyimpan dua botol arak saja selalu kau incar," demikian Li
Pwe-ling berseloroh.
Tong Ki, Tong jikohnaynay
tertawa, ucapnya: "Terus terang, memang sudah lama ku incar kedua botol
araknya, sekarang mumpung ada tamu, harus kugunakan kesempatan ini untuk
menyikatnya, kalau tidak, bila Toako pulang nanti, mungkin berikut botolnya
akan dia lalap sama sekali."
Kim yan cu tertawa
terpingkal-pingkal, Gin hoa nio juga ikut tertawa.
Diam-diam ia pun heran mengapa
nona-nona keluarga Tong di Sujwan ini mahir bicara dengan logat Pakkhia, tapi
kemudian diketahuinya bahwa isteri Tong Bu-siang justeru adalah puteri keluarga
ternama dari kota raja.
Pendek kata, sejak masuk pintu
gerbang perkampungan Tong, segenap panca indera Gin hoa nio tidak pernah
menganggur, mata telinga dan mulut terus bekerja. Matanya tidak menyampingkan
sesuatu benda yang dilihatnya, telinga juga tidak pernah lalai terhadap sesuatu
berita yang dapat didengarnya, malahan mulutnya terus menerus memuji dan
menyanjung.
Meski semuanya itu tujuannya
cuma satu, yakni ingin mencari kabar, akan tetapi betapa pun dia berusaha,
kabar yang ingin didengarnya tetap sukar didapat. Yakni mengenai diri Ji-kongcu
atau putera kedua keluarga Tong, kekasih Kim hoa nio, Tong Giok, kemana
perginya?
Bahwa dia berusaha mati-matian
memikat Kim yan cu dan rela diakui sebagai adiknya, harapannya justeru ingin
dibawa Kim yan cu ke Tong keh ceng untuk mencari tahu bagaimana keadaan Tong
Giok.
Hanya dua hari saja Gin hoa
nio sudah dapat bergaul dengan erat bersama beberapa nona keluarga Tong. Dari
peti benda mestika dikeluarkannya beberapa bentuk permata yang paling bagus
untuk diberikan kepada Tong Ki, Tong Lin dan Li Pwe-ling, dipilihnya pula
beberapa perhiasan lain yang tidak begitu indah, namun juga cukup berharga dan
dibagi-bagikannya kepada setiap nona, setiap menantu keluarga Tong yang
ditemuinya.
Sebab itulah, setiap orang
yang pernah bertemu dengan dia, di depan maupun di belakang, semuanya sama
memuji betapa baik hati "adik baru" Kim yan cu yang cantik ini.
Dalam pada itu ia pun sudah
bertemu dengan Tong Bu-siang, ia tahu orang tua ini belum tentu dapat
mengenalnya.
Maklumlah, kebanyakan orang
yang sudah pernah melihat "Khing hoa samniocu", kalau tidak
melenggong kaget tentu juga terkesima oleh dandanan mereka yang aneh-aneh atau
bisa juga melongo lupa daratan melihat tari bugil mereka, jarang ada yang
teringat lagi kepada wajah mereka.
Begitulah, hampir setiap
anggota keluarga Tong telah dilihatnya di perkampungan ini, hanya Tong Giok
saja yang tidak ditemuinya. Bahkan di Tong keh ceng ini hakekatnya tiada orang
lagi berbicara mengenai Ji kongcu yang romantis itu.
Sudah hampir setiap pelosok
Tong keh ceng telah didatanginya terkecuali sebuah gua yang terletak di lereng
bukit belakang perkampungan, setiap kali dia berpura-pura menyelonong ke sana
secara tidak sengaja, setiap kali pula dia dihadang orang dari jauh.
Akhirnya diketahuinya bahwa
gua itulah rupanya tempat pembuatan Am-gi atau senjata rahasia keluarga Tong
yang termasyhur itu, tempat itu terlarang dikunjungi orang yang tidak
berkepentingan.
Malam ini, Tong toaso bergilir
pula menjadi nyonya rumah, dengan sendirinya kedua botol Bi kwi lo yang diincar
Tong Ki dahulu itu sudah habis terminum, tapi arak enak yang masih tersedia
juga lumayan. Sebenarnya arak bukan minuman yang cocok bagi kaum wanita, tapi
sifat para nona keluarga Tong ini ternyata tidak kalah daripada lelaki, meski
makan sayur sedikit-sedikit, tapi minum arak justeru banyak-banyak.
Cahaya bulan malam ini sangat
terang, terendus pula bau harum bunga Kwi di halaman sana, setelah menenggak
arak, ucapan Tong Ki semakin banyak, bahkan Li Pwe-ling yang biasanya jarang
bicara kini juga banyak omongnya. Pertemuan di antara kenalan lama, mereka dan
Kim yan cu seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan bicara.
Hanya Gin hoa nio saja yang
tidak banyak minum arak, pertama dia merasa tiada artinya minum arak bersama
kaum perempuan. Kedua, ia pikir dirinya harus tetap dalam keadaan sadar.
Kedatangannya ini bukan untuk minum arak saja.
Tong Lin juga tidak banyak
minum arak, matanya yang besar dan kelam itu seolah-olah menanggung kesedihan
yang semakin berat, tampaknya dia selalu bermalas-malasan, berbuat apa pun
kurang semangat.
Aneh juga, nona cilik yang
belum pernah ke luar rumah ini sebenarnya menanggung pikiran apa.
Tiba-tiba Tong Ki melototi Kim
yan cu dan bertanya: "He, Sam-ya-thau, tahun ini berapa umurmu?"
Kim yan cu tertawa, jawabnya:
"Untuk apa kau tanya urusan ini? Memangnya ingin pacaran denganku? Cuma
sayang kau bukan lelaki, kalau tidak aku ingin menjadi istrimu."
Tong Ki menenggak araknya,
lalu berkata pula: "Kau tahu, kau lahir bulan tiga, tahun ini sudah lebih
20, betul tidak?"
"Ehmm..," Kim yan cu
bersuara samar-samar.
"Nona berumur likuran
belum lagi kawin, kukira ini rada berbahaya," kata Tong Ki.
Muka Kim yan cu menjadi merah,
omelnya: "Kau tidak gelisah bagi dirimu sendiri, mengapa malah kuatir bagi
diriku?"
Kembali Tong Ki minum araknya,
ucapnya dengan menghela napas: "Selama hidupku ini jelas tidak akan
menikah, tapi kau.... kau tidak boleh, perempuan harus menikah, bila kau
berumur sebaya diriku baru kau akan tahu betapa susahnya kesepian."
Tanpa terasa pandangan Kim yan
cu menjadi suram, tapi ia berucap dengan tersenyum: "Eh, koh-naynay kita
hari ini bisa juga bicara setulusnya."
Sambil memegang cawan araknya
Tong Ki berkata pula dengan rawan: "Untuk apa ku pura-pura di depan
kalian? memangnya aku dilahirkan untuk tidak menikah? Tapi sekarang.... kau
kira aku mesti menikah dengan siapa...? Yang tinggi tidak sudi padaku, yang
rendah aku emoh..." dia angkat cawan araknya dan menenggaknya pula.
"Bicara sesungguhnya,
Sam-moay, sampai sekarang apakah kau belum punya pacar?" tanya Li Pwe-ling
dengan tertawa. "Bukankah Sinto Kongcu itu....."
"Jangan kau sebut dia
lagi, bila menyebut namanya, arak saja tak dapat kuminum," seru Kim yan
cu.
"Aneh, mengapa mendadak
kau benci padanya, jangan-jangan kau sudah punya yang lain?" kata Li
Pwe-ling.
Muka Kim yan cu menjadi merah,
jawabnya dengan tertawa: "Huh, mana ada?"
"Aha, tahulah aku,"
seru Tong Ki mendadak. "Caramu bicara ini mana bisa menipu orang? Hayolah,
siapa, lekas katakan. Lekas mengaku terus terang, kalau tidak pasti tidak
kuampuni kau."
Habis berkata segera dia
hendak menggelitik pinggang Kim yan cu. Dengan tertawa Kim yan cu mengelak dan
sembunyi di belakang Tong Lin, ucapnya dengan tertawa: "Usia Simoay juga
tidak kecil lagi, mengapa kalian tidak tanya dia apakah sudah punya pacar atau
belum?"
Mendadak Tong Lin berdiri,
ucapnya dengan hambar: "Aku tidak ada urusan dengan mereka, jangan kalian
ikut campurkan diriku."
Sembari bicara ia terus
melangkah keluar tanpa berpaling.
Kim yan cu jadi melengak:
"He, Simoay marah!" serunya.
"Jangan urus dia,"
kata Tong Ki. "Akhir-akhir ini tampaknya budak ini seperti kesurupan
setan, selalu kurang semangat, entah menanggung pikiran apa?"
Li Pwe-ling tertawa lembut,
ucapnya: "Anak perempuan se-usia dia, mana yang tidak menanggung pikiran?
Biar ku keluar melihatnya."
Biji mata Gin hoa nio
berputar, mendadak ia mendahului berdiri dan berseru: "Toa-so jangan
repot, biar aku saja yang keluar melihatnya."
"Boleh juga," ujar
Li Pwe-ling. "Kalian dapat bicara dengan cocok, cuma selekasnya hendaklah
kembali, sudah ku sediakan ayam goreng untuk makan malam nanti."
Setiba di luar, bau harum
bunga terasa semakin semerbak.
Tong Lin kelihatan berdiri di
bawah pohon Kwi, bayang-bayang pohon menutupi wajahnya, nona itu berdiri diam
saja tanpa bergerak laksana badan halus di malam sunyi.
Gin hoa nio tidak lantas
mendekati nona yang kesepian itu, ia pun mondar-mandir di bawah cahaya bulan,
tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam perlahan: "O, kehidupan
manusia sungguh mengecewakan, sinar bulan yang terang, bau harum bunga Kwi,
semua ini paling-paling hanya menambah rasa kesunyian orang hidup saja."
Dia memperhitungkan dengan
baik pada waktu murung begini Tong Lin pasti malas untuk bicara, maka dia
sengaja menguraikan kesepian orang hidup, kekecewaan dan sebagainya, semua ini
ternyata tepat mengena di hati Tong Lin.
Ia jadi tertarik dan menoleh,
dipandangnya Gin hoa nio hingga sekian lama, akhirnya ia berucap dengan hampa:
"Orang semacam kau, ke mana pun kau dapat pergi, kenapa kau pun merasakan
kesepian? Rasa kesepian hanya diketahui dengan jelas oleh burung yang terkurung
di dalam sangkar."
Gin hoa nio menghela napas dan
berkata: "Adik yang baik, usiamu masih belia, kau belum tahu persis
sesungguhnya apa kesepian itu. Ada sementara orang meskipun setiap hari dapat
pesiar dan bergurau dengan orang lain, tapi hatinya jauh lebih kesepian
daripada siapa pun juga. Ada lagi setengah orang meski setiap hari hanya
berduduk sendirian, tapi asalkan pikirannya melayang ke tempat yang jauh, di
sana pun ada seorang sedang memikirkan dia, maka apa pun juga ia takkan merasa
kesepian."
Tong Lin termenung sejenak, ia
mengangguk perlahan dan berkata: "Betul, orang yang belum pernah merasakan
kesepian tak nanti dapat mengucapkan kata-kata demikian... Tapi waktu pikiranmu
melayang ke tempat jauh sana, darimana kau tahu dia juga sedang memikirkan
dirimu?"
"Sudah tentu aku tidak
tahu, siapa pun tidak tahu soal ini dan inilah penderitaan orang hidup."
"Betul, inilah
penderitaan orang hidup," tukas Tong Lin dengan rawan dan menunduk.
"Sudah lama sekali,"
tutur Gin hoa nio, "ada kukenal seorang pemuda, namanya The Giok long,
hanya satu kulihat dia, tapi siang dan malam aku merindukan dia, mungkin....
mungkin namaku saja dia tidak tahu...."
Gin hoa nio tahu kelemahan
anak perempuan umumnya, bilamana kau ingin seorang anak perempuan membeberkan
rahasia isi hatinya, maka jalan yang paling baik adalah menceritakan dulu
rahasia di hatinya sendiri.
Sebab itulah dia lantas
membuat suatu nama dan mengarang satu cerita.
Benarlah, tubuh Tong Lin
kelihatan rada gemetar, selang sejenak, ia coba bertanya lagi: "Sudah
banyak tempat yang kau jelajahi?"
"Ehmm," Gin hoa nio
mengangguk.
"Ya, banyak sekali,"
jawab Gin hoa nio dengan tersenyum getir.
Tong Lin menunduk, jelas
hatinya sedang meronta dan bergolak, ia terdiam lagi sebentar barulah mengambil
keputusan, mendadak ia mengangkat kepala dan menatap Gin hoa nio, ucapnya
sekata demi sekata: "Tahukah kau seorang na... namanya Ji Pwe giok?"
Ji Pwe giok! Kembali Ji Pwe
giok!
Jantung Gin hoa nio hampir
melompat keluar dari rongga dadanya. Namun air mukanya tidak memperlihatkan
sesuatu tanda sedikit pun, dengan tersenyum ia bertanya: "Kakimu tidak
pernah melangkah keluar Tong keh ceng ini, cara bagaimana kau kenal Ji Pwe
giok?"
"Beberapa hari yang lalu
dia pernah kemari," tutur Tong Lin perlahan.
"Berkunjung kemari?
Beberapa hari yang lalu?" tukas Gin hoa nio tanpa terasa.
Tong Lin menggigit bibir,
ucapnya pula: "Dia datang mencari ayahku. Hari itu, kebetulan Toako dan
Toa-so keluar mengantar keberangkatan Toako, hanya aku saja yang di rumah.
Cukup lama dia bicara dengan ayah, tiba-tiba ayah menyatakan mau keluar,
seperti akan mencarikan seseorang baginya, maka.... maka aku lantas dipanggil
untuk menemani dia..."
Cahaya bulan menembus celah-celah
dedaunan yang menyinari wajahnya, menyinari matanya, wajahnya kemerah-merahan,
matanya bersinar laksana kerlip bintang di langit.
Dengan tenang Gin hoa-nio
mendengarkan dan tidak memutus ceritanya.
Sampai lama Tong Lin
termangu-mangu, kemudian disambungnya dengan perlahan: "Sebenarnya aku
tidak suka bicara dengan orang yang baru kukenal, tapi di depannya aku
merasakan tiada sesuatu kekangan, setiap gerak geriknya kurasakan begitu halus,
apa yang diucapkannya terasa penuh rasa simpatik dan pengertian. Tatkala mana
dia seperti baru terluka parah, tapi dia tidak memperlihatkan rasa menderita
sedikitpun, jelas karena dia tidak ingin ku ikut susah, nyata, setiap urusan
apa pun selalu dia pikirkan dulu bagi orang lain."
Dia bercerita dengan perlahan
seperti orang yang mengigau dalam mimpi.
"Kemudian
bagaimana?" tanya Gin hoa nio tak tahan.
"Kemudian ayahku pulang
dan terpaksa ku kembali ke kamarku, kukira esoknya dapat kulihat dia lagi,
siapa tahu, pada.... pada malam itu juga dia telah berangkat, ayah pun tidak
mau memberitahukan kemana perginya, hanya menyampaikan terima kasihnya atas
pembicaraanku dengan dia waktu dia ku ajak ngobrol. Ai, aku.... kukira selama
hidup ini takkan melihat dia lag." Dia menunduk dengan air mata
bercucuran.
"Kau kan baru melihat dia
satu kali, masa dia begitu penting bagimu?" ucap Gin hoa nio dengan
perlahan.
"Dan kau sendiri
bukankah... bukankah juga baru bertemu satu kali dengan The Giok Long yang kau
sebut tadi?"
Baru Gin hoa nio ingat pada
bualannya tadi, katanya pula: "Jika benar-benar kau tak dapat melihat dia
lagi, lalu bagaimana?"
"Ya, apa boleh
buat!?" jawab Tong Lin dengan suara agak gemetar. "Tapi selama...
selama hidupku ini mungkin akan selalu.... merana."
Gin hoa jio memandangnya
tajam-tajam, tanyanya kemudian: "Bagaimana kalau ada orang yang dapat
membuat kau bertemu dengan dia?"
Mendadak Tong Lin memegang
tangan Gin hoa nio erat-erat, serunya dengan gemetar: "Jika ada orang
dapat mempertemukanku dengan dia, aku bersedia melakukan apapun juga baginya....
Ya, apapun juga akan kulakukannya, selama hidupku ini tidak pernah gila bagi
urusan apa pun, tapi sekarang, rasanya aku benar-benar hampir gila."
Gin hoa nio menghela napas,
katanya dengan tertawa: "Pikiran anak gadis, ya, inilah pikiran anak
gadis."
Sekujur badan Tong Lin gemetar
pula, pegangannya bertambah erat, ia menegas: "Dapatkah.... dapatkah kau
memper...."
Gin hoa nio menarik tangannya,
ia tidak lantas menjawab, ia sengaja jual mahal, sejenak kemudian barulah ia
menjawab secara licin: "Aku pun ingin melihat sesuatu, entah kau dapat
membantu atau tidak?"
"Urusan apa? katakan
saja, katakan!" desak Tong Lin.
"Kudengar cerita orang,
konon tempat keluargamu menggembleng am-gi adalah tempat yang paling misterius
dan tempat yang paling menarik, mimpi pun aku ingin masuk ke sana untuk
melihatnya," jawab Gin hoa nio.
Seketika air muka Tong Lin
berubah, katanya: "Ah, tempat itu tiada sesuatu yang menarik."
"Tak apalah jika kau tak
dapat membantu keinginanku ini," ucap Gin hoa nio tak acuh. Sejenak kemudian
tiba-tiba ia berkata: "O, sebentar, aku akan minum dulu."
Tapi sebelum Gin hoa nio
melangkah pergi, cepat Tong Lin menariknya dan berkata: "Jika kubantu
keinginanmu ini, apakah kau...."
"Aku pun akan membantu
terpenuhi keinginanmu," tukas Gin hoa nio dengan tertawa.
Tong Lin berpikir sejenak,
akhirnya ia menjawab dengan menggreget: "Baik, akan kubawa kau ke sana.
Tapi berhasil atau tidak tak berani kujamin. Selain itu, kau mesti berjanji
juga padaku, setelah masuk ke sana, tidak boleh kau menyentuh sesuatu barang
apa pun."
Dengan girang Gin hoa jio
menjawab: "Asalkan melihatnya saja hatiku sudah puas, pasti takkan ku
sentuh."
"Baik, sekarang juga kita
pergi kesana," kata Tong Lin.
Tapi Gin hoa nio menariknya
pula dan berkata: "Biarlah kita kembali dulu ke dalam, agar mereka tidak
curiga. Ku tahu di sana ada sebuah gardu kecil, nanti kalau mereka sudah mabuk
dan tertidur kita bertemu kembali di gardu itu."
Tong Lin mengangguk setuju,
tiba-tiba air matanya bercucuran, ratapnya di dalam hati: "Ji Pwe giok,
wahai Joi Pwe giok, sejauh ini kulakukan bagimu, tapi apakah kau
tahu....?"
ooo 000 ooo
Tengah malam Gin hoa nio sudah
datang ke gardu kecil itu, sebelumnya Tong Lin sudah menunggunya dengan tak
sabar, begitu melihat Gin hoa nio muncul dari kejauhan segera ia menggapai
dengan tangannya.
Jarak gardu kecil ini dengan
gua itu masih cukup jauh, tapi gerak-gerik Tong Lin tampak sangat hati-hati.
Gin hoa nio juga tahu di tempat ini tidak boleh sembrono.
Kelihatan dua lelaki baju
hitam mondar-mandir di depan gua sana, di dalam gua tampak ada cahaya lampu,
selain itu tiada kelihatan bayangan orang lain.
Di kejauhan ada suara air
gemercik, Gin hoa nio, tahu itulah sebuah sumber air hangat di tebing bukit
sana. Konon sebabnya racun senjata rahasia keluarga Tong tidak dapat ditiru
orang lain adalah karena dicampur dengan sumber air yang istimewa ini. Tapi
sesungguhnya masih ada sebab lain atau tidak sukar dipastikan.
Gin hoa nio lantas mendesis:
"Apakah sekarang kita dapat masuk ke sana?"
Muka Tong Lin tampak lebih
pucat daripada kertas, katanya sambil menggeleng: "Tidak, saat ini yang
dinas jaga gua ini adalah Si-suhengku, Tong Siu-hong, dia berwatak keras dan
kaku, bila kita ingin masuk ke sana sekarang, hakekatnya setitik harapan saja
tidak ada."
"Jika demikian, hayolah
kita pulang saja!" ucap Gin hoa nio dengan kurang senang.
Tapi Tong Lin lantas mendesis:
"Sabar dulu, ketahuilah orang yang dinas jaga di sini akan berganti pada
tengah malam tepat, maka boleh kita tunggu lagi sejenak, bila yang dinas jaga
nanti adalah Toa suheng atau Jit-suheng, maka bereslah, sebab kedua orang ini
paling mudah diajak bicara."
Gin hoa nio tersenyum cerah
dan tidak bersuara lagi.
Tidak lama kemudian, Tong Lin
tak tahunya ia bertanya: "Apakah kau pun kenal... kenal Ji kongcu?"
Gin hoa nia mengiakan.
Tong Lin menggigit bibir.
"Cara bagaimana kau kenal dia?" tanyanya kemudian.
"Jangan kuatir,"
ujar Gin hoa nio dengan tertawa. "Aku dan dia cuma kawan biasa saja, aku
sendiri sudah punya pacar."
Muka Tong Lin yang pucat itu
seketika merah semarak, ia menunduk dan tidak bicara lagi.
Lewat sejenak pula, Gin hoa
nio juga tidak tahan, ia bertanya: "Konon tidak lama mukanya telah dilukai
orang, entah betul atau tidak?"
"Betul," jawab Tong
Lin dengan menyesal, "Mukanya memang ada bekas luka, dia bilang padaku,
seorang perempuan paling keji dan paling licin di dunia ini yang
melukainya."
Tentu saja Gin hoa nio merasa
gregetan tapi di mulut ia berkata dengan tertawa: "Jika bukan perempuan
yang keji, siapa yang sampai hati melukai dia?"
Tiba-tiba Ton Lin tertawa,
katanya: "Bila perempuan ini bermaksud merusak wajahnya, maka dia pasti
akan kecewa."
"Oo!? Sebabnya?"
tanya Gin hoa nio.
"Sebab setelah mukanya
bertambah bekas luka itu, dia bukannya menjadi buruk rupa, tapi malah menambah
perbawa kelelakiannya," tutur Tong Lin. "Kupikir pada sebelum terluka
begitu tentu wajahnya berbau pupur, pasti tidak sebaik sekarang."
Hampir meledak dada Gin hoa
nio saking gemasnya, dia hanya menggreget secara diam-diam saja, tapi
menanggapi dengan tertawa: "Kukira itulah yang dinamakan di mata pacar
timbul bidadari, biarpun seperti siluman juga tampaknya maha cakap."
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara langkah orang ramai, menyusul dari jalan kecil sana lantas
muncul dua baris bayangan orang, jumlahnya ada 20-30 orang, empat orang yang di
depan dan di belakang sama memegang lampu kerudung kertas.
Seorang pendek gemuk berjalan
paling depan, dia tidak membawa senjata, tapi pinggangnya menonjol, jelas
banyak am-gi atau senjata rahasia yang dibawanya.
"Wah, mujur kita, yang
ganti dinas jaga memang betul Jit-suko," ucap Tong Lin dengan senang.
"Si gemuk kecil inikah
Jit-sukomu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski Jit-suko kami ini
tampaknya ramah tamah, tapi ilmu silatnya tergolong kelas satu, orang Kangouw
memberi julukan "Jian jiu mi to" (Buddha gemuk bertangan seribu)
padanya. Di Tong keh ceng sini, kecuali Toako dan Toa-suheng kami, mungkin nama
Jitsuko yang paling gemilang."
"Sungguh tidak dinyana,
padahal kelihatannya dia seperti kasir di restoran yang berperut buncit,"
Gin hoa nio berseloroh.
Tong Lin juga tertawa geli,
katanya: "Pada waktu tidak dinas jaga, pekerjaannya memang kasir restoran.
Setiap orang yang berkunjung ke perkampungan ini seluruhnya dilayani oleh dia,
yang bermaksud mengacau ke sini juga harus melalui rintangannya dulu."
Gadis yang baru pertama kali
jatuh cinta ini sejak merasa ada harapan akan bertemu lagi dengan orang yang
dicintainya, hati yang tadinya murung kini mulai cerah dan bergairah hingga
kata-katanya juga bertambah banyak. Dalam pada itu Jian jiu mi to Tong Siu jing
sudah berhenti di depan gua sana, dari bajunya ia mengeluarkan sebuah pelat
hitam dan diserahkan kepada lelaki yang berjaga di luar gua tadi.
Lelaki itu memberi hormat,
lalu berlari masuk ke dalam gua. Tidak lama kemudian dia keluar lagi bersama
seorang lelaki kekar bermuka lebar dan berjenggot hitam.
"Si-suheng tentu sudah
capai!" sapa Tong Siu jing sambil menyongsong ke depan.
Yang baru keluar itu memang
Tong Siu hong, ia memandang kedua barisan tadi, lalu berkata dengan kurang
senang: "Mengapa yang datang cuma 29 orang?"
Dengan mengiring tawa Tong Siu
jing memberi penjelasan: "Isteri Siau hou cu melahirkan, kuberi dia cuti
satu hari."
Dengan muka bersungut Tong Siu
hong berkata: "Punya anak juga bukan sesuatu yang luar biasa, di Tong keh
ceng ini hampir setiap hari ada anak lahir. Waktu susomu (kakak iparmu)
melahirkan, bukankah akupun tetap berdinas jaga?"
Tong Siu jing menunduk,
jawabnya tetap dengan mengiring tawa: "Ya, inilah kesalahanku..."
"Sekali ini tidak jadi
soal, bulan depan dia harus tambah dinas sehari," ucap Tong Siu hong
tegas. "Tapi tenaga hari ini tetap tidak boleh berkurang satu."
"Sudah belasan tahun
tempat ini selalu aman tenteram, hanya kurang satu orang masa menjadi soal?"
ujar Siu jing dengan tertawa.
"Lojit, salah besar
ucapanmu ini," kata Siu hong dengan bengis. "Biarpun seribu tahun
tidak pernah terjadi apa-apa, tetap penjagaan kita tidak boleh teledor.
Sebabnya orang luar tidak berani menerobos masuk ke sini justeru karena
ketatnya penjagaan di sini."
Terpaksa Tong Siu jing
menunduk dan mengiakan.
Pandangan Siu hong beralih
kepada seorang lelaki penjaga tadi dan berkata: "Kemarin waktu istirahat
makan, diam-diam kau minum dua ceguk arak, mestinya akan kuhukum kau setelah
pulang nanti, tapi sekarang Siu hou cu tidak masuk kerja, bolehlah kau wakilkan
dia dinas satu hari lagi."
Lelaki itu tidak berani
membantah dan mengiakan dengan hormat.
Habis ini barulah Tong Siu
hong memberi tanda, segera Tong Siu jing membawa kedua barisan tadi masuk ke
dalam gua.
Menyusul di dalam gua lantas
bergema suara bentakan disertai suara nyaring pintu pagar besi dibuka dan
ditutup lagi, lalu ada pula 29 orang berjalan keluar dalam dua barisan.
Tong Siu hong memeriksa pula
dengan teliti ke 29 orang ini, air mukanya yang keren barulah rada cerah, lalu
ia berpaling dan berkata kepada Siu jing: "Besok sesudah pulang dari
dinas, datanglah ke rumah Siko, Si-suso kemarin baru saja masak Ang sio tite,
dia tahu kegemaranmu dan disediakan bagimu."
"Baik, Si-sute akan
datang dengan membawa arak," jawab Siu jing dengan tertawa.
Kemudian Siu hong memberi
tanda lagi dan membawa pergi kedua barisan tadi. Beberapa langkah kemudian ia
berpaling pula dan berseru: "Jangan terlalu banyak arak yang kau bawa
nanti agar tidak sampai mabuk, bisa terlantar pekerjaan kita."
Siu jing tertawa dan
mengiakan.
ooo 000 ooo
Tempat yang selalu aman
tenteram selama belasan tahun ini sampai sekarang masih tetap dijaga seketat
ini, mau tak mau hati Gin hoa nio terkesiap dan kagum juga menyaksikan semua
ini.
Baru sekarang ia tahu sebabnya
nama Tong keh ceng di Sujwan tetap jaya, sebab memang tak mudah memasukinya.
Untung ia tidak sembarangan bertindak, kalau tidak, bisa jadi saat ini dia
sudah digotong keluar dalam keadaan tak bernyawa.
Sesudah Tong Siu hong dan
kedua barisannya lenyap dari pandangan barulah Tong Lin menghela napas lega, ia
tarik lengan baju Gin hoa nio dan berkata: "Hayolah, sekarang kita boleh
coba-coba mengadu untung."
Segera ia mengajak Gin hoa nio
menuju ke gua sana. Baru sampai di luar gua, segera penjaga membentak:
"Siapa itu?"
"Aku, masa tidak
kenal?" sahut Tong Lin.
"O, kiranya nona
Lin," cepat lelaki itu memberi hormat.
"Ada urusan yang ingin
kutemui Jitsuko..." sambil bicara Tong Lin terus hendak menerobos ke
dalam.
Siapa tahu lelaki itu lantas
menghadang di depan, katanya dengan tertawa: "Maaf nona, tanpa perintah
tuan besar, bila hamba membiarkan nona masuk, besok hamba pasti akan mendapat
hukuman berat."
Terpaksa Tong Lin berhenti dan
berkata: "Jika demikian, kukira boleh kau panggilkan Jitsuko saja."
Orang itu tampak ragu sejenak,
tapi kemudian mengiakan.
Namun Tong Siu jing tidak
perlu dipanggil lagi, dengan tertawa ia sudah memapak keluar. Ia memandang Gin
hoa nio sekejap, lalu berkata: "Simoay, mengapa kau bawa tamu ke tempat
ini, cara bagaimana harus kuladeni kalian?"
Gin hoa nio tersenyum dan
memberikan lirikan genit, lalu menunduk malu-malu.
Tong Lin menjawab dengan
tertawa: "Kau tahu dia ini tamu, jadi kau sudah tahu siapa dia?"
"Sudah dua hari kudengar
nona Kim datang dengan membawa seorang adik perempuan, kudengar juga dua botol
bi kwi lo simpanan Toaso telah terminum habis, padahal kedua arak itupun sudah
lama ku incar, tapi Jikohnaynay tidak mengundang diriku, tentu saja aku tidak
berani nyelonong ke perjamuannya."
"Pantas Jici (kakak
kedua) selalu bilang Jit-suko bertelinga panjang, nyatanya segala urusan besar
kecil di perkampungan ini tiada satupun dapat mengelabui mata telingamu,"
ujar Tong Lin dengan tertawa.
"Ah, tidak perlu kau
mengumpak diriku, tentu ada yang kau harapkan dariku," kata Tong Siu jing.
"Coba jawab saja, ada
tamu, cara bagaimana kau memberi pelayanan?" kata Tong Lin.
"Ai, kan sudah kukatakan,
di sini tiada sesuatu yang cocok untuk melayani tamu. Tapi lusa siang pasti
akan kusiapkan satu meja perjamuan besar, semoga para nona sudi hadir."
"Huh, perjamuan apa,
paling-paling juga cuma Hay hong hi sit (sup sirip ikan dan telur kepiting),
Yan oh keh yong (sarang burung masak ayam) dan sebagainya, sudah bosan!"
seru Tong Lin. Mendadak ia menarik lengan baju Tong Siu jing dan berkata pula
dengan tersenyum manis: "Dia hanya ingin meninjau sejenak saja ke dalam,
harap Jitsuko memberi izin. Kan tempo hari Jici juga membawa tamunya kemari dan
kaupun membiarkan mereka masuk? Jika Jici kau beri kesempatan, supaya adil
akupun mesti diberi kesempatan. Kalau tidak, lain kali takkan kuhiraukan kau
lagi, jika ku masak wikeh kuah juga takkan kuberikan padamu."
Tong Siu jing menghela napas,
katanya: "Begitu melihat kedatanganmu segera ku tahu maksudmu, kalau
tidak, kenapa tidak cepat tidak lambat, begitu aku dinas jaga segera kau
muncul?"
Gin hoa nio sengaja mengikik
tawa dan berbisik-bisik pada Tong Lin: "Betul tidak, kan sudah kukatakan
dia tak dapat dikelabui, kukira lebih baik panggil Jici saja kemari."
Dia seperti bicara terhadap
Tong Lin, padahal sengaja diperdengarkan kepada Tong Siu jing, maka meski
suaranya kedengarannya lirih, tapi cukup untuk didengar Tong Siu jing.
"Ai, kutakut pada
Ji-siocia, memangnya Si-siocia kutakuti?" ujar Tong Siu Jing dengan
menyesal.
"Padahal Si-siocia jauh
lebih sulit untuk dilayani."
Dia membungkuk tubuh sebagai
tanda menyilakan dan berkata pula: "Baiklah, kedua nona silahkan masuk
saja, lekas! Cuma kalian harus mengikuti petunjukku, tidak boleh sembarangan
bergerak, tidak boleh sembarangan pegang dan aku akan berterima kasih jika
semua itu kalian patuhi."
ooo 000 ooo
Dipandang dari jauh hakekatnya
gua itu tiada terlihat pintunya, tapi setiba di mulut gua segera akan tertampak
tiga lapis pagar besi yang tertanam di dinding batu. Melulu ketiga pagar besi
ini saja sukar diterobos oleh segala orang, maklum terali besinya yang sebesar
lengan bayi itu jelas tidak mudah digeser orang.
Akan tetapi Tong Siu jing
hanya menekan perlahan pada suatu tempat di dinding batu dan pagar besi itu
lantas menghilang ke dalam dinding tanpa mengeluarkan suara.
Di balik pintu besi itu sudah
kelihatan keadaan gua yang curam dan berbahaya, pada setiap batu yang mencuat
keluar pasti ada seorang lelaki berseragam hitam berjaga di situ.
Setelah melintasi ketiga lapis
pagar besi itu, hati setiap orang lantas mulai tegang, rasanya seperti masuk ke
sebuah biara kuno yang seram, seperti juga masuk ke sebuah hutan purba, secara
aneh dirinya sendiri terasa berubah sedemikian kelunya, di segenap penjuru
seolah-olah penuh terpendam bahaya yang sukar diraba.
Gin hoa nio menghela napas,
desisnya: "Padahal tanpa dipesan, di tempat begini, siapakah yang berani
sembarangan bergerak?"
Tong Lin mencibir, katanya:
"Jika tidak menemani kau, tidak nanti ku datang ke tempat setan ini."
Meski di mulut dia bilang
"tempat setan", tapi aneh, sukar menutupi rasa senangnya. Soalnya
tempat ini tidak cuma dipandang sebagai "tanah suci" oleh anak murid
Tong, bahkan juga dianggap tempat suci oleh orang Kangouw, justeru inilah yang
selalu dibanggakan oleh setiap anggota keluarga Tong.
Gua ini cukup dalam dan
berliku-liku, tempat demikian seharusnya terasa gelap dan seram, tapi justeru
semakin ke dalam rasanya semakin hangat, menyusul lantas terdengar gemerciknya
air mengalir.
Setelah membelok lagi satu
tikungan, pandangan Gin hoa nio mendadak terbeliak.
Gua yang semula berliku-liku
itu, sampai di sini mendadak terbuka, perut gunung ini ternyata kosong,
berwujud sebuah terowongan raksasa, atapnya yang bulat melengkung berpuluh
tombak tingginya, luasnya entah berapa ratus tombak, seorang berteriak dari
ujung sini umpamanya, waktu dia tutup mulut, barulah suaranya dapat
berkumandang sampai di ujung sana.
Anehnya meski tempat ini termasuk
di dalam perut gunung, tapi di sini dialiri sebuah sungai kecil. Air sungai
berwarna kuning bahkan mengepulkan asap dan berhawa panas.
Di tepi sepanjang sungai kecil
itu terdapat berpuluh tungku tembaga antik yang beraneka ragam bentuknya, di
antara tungku satu dan tungku lain teraling oleh pintu angin batu setengah alam
dan setengah buatan tenaga manusia.
Pada saat ini, di samping
setiap tungku terdapat dua lelaki kekar dengan telanjang badan bagian atas,
kedua orang sedang memukul dan menggembleng di atas talenan besi, palu yang
digunakan mereka tidak terlalu besar, jelas barang yang mereka gembleng itu
sangat kecil, tapi air muka mereka sama prihatin, seolah-olah menanggung beban
beribu kati, segenap tenaga dan perhatian mereka tidak berani lena sedikit pun.
Setelah orang-orang pada
tungku pertama selesai membuat benda itu lalu dilempar ke dalam keranjang bambu
yang terikat dan terendam di dalam air sungai, setelah digerujuk dan dicuci
oleh air sungai yang mengalir tanpa henti itu, lalu orang-orang yang menunggui
tungku kedua akan menggantol keranjang bambu itu, terus digembleng dan ditempa
pula.
Begitulah setelah mengalami
lima kali gemblengan, hasil produksi itu direndam lagi di dalam air sungai
sampai sekian lamanya, akhirnya akan dikumpulkan oleh seorang lelaki berseragam
hitam dan diantar ke dalam rumah batu yang terdapat berderet di dinding tebing
sana.
Di depan pintu rumah batu
terpasang kerai, di dalam terkadang juga bergema suara gemblengan, untuk bisa
melihat keadaan di dalam rumah harus menyingkap kerai.
Cara bekerja orang-orang itu
sangat tekun dengan sikap prihatin pula, terhadap segala urusan dari luar
seolah-olah tidak dilihat dan tidak didengarnya. Dunia mereka, kehidupan mereka
seolah-olah sudah tercurahkan pada benda kecil yang mereka pegang, padahal
benda-benda kecil itu tidak lebih hanya sepotong besi atau sepotong kawat.
Amgi atau senjata rahasia
keluarga Tong dari propinsi Sujwan yang termasyhur selama beratus tahun rupanya
berasal dari potongan besi atau kawat kecil melalui proses produksi orang-orang
ini.
Sampai kesima Gin hoa nio
menyaksikan semua ini. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa pembuatan sepotong
senjata rahasia sekecil itu mengalami proses produksi seruwet ini.
Melihat Gin hoa nio kesemsem,
Tong Lin tertawa, katanya: "Sudah cukup kau lihat?"
Gin hoa nio memegang tangannya
dan berkata: "Adik yang baik, jangan kau tertawakan diriku, aku
benar-benar seperti katak baru keluar dari tempurung, aku merasa bingung dan
tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Mana bisa kutertawai
kau," kata Tong Lin. "Setiap orang yang berkunjung ke sini semuanya
berubah seperti dirimu. Sebab tiada seorang pun yang membayangkan bahwa untuk
membuat satu biji senjata rahasia sekecil itu ternyata sedemikian ruwetnya."
"Ya, memang betul, aku
benar-benar bingung," kata Gin hoa nio.
Setelah berpikir sejenak, Tong
Lin mengeluarkan sepotong amgi yang berwarna hitam, amgi ini kalau dipandang
mirip setangkai bunga, kalau diamati lagi barulah kelihatan bukan bunga.
"Kau tahu barang apakah
ini?" tanya Tong Lin.
"Entah, aku... aku tidak
tahu," jawab Gin hoa nio dengan mata terbelalak.
"Inilah Thi cit le (besi
berduri) yang disegani orang Kangouw," tutur Tong Lin. "Sebenarnya
Thi cit le bukan senjata rahasia yang lebih lihay dari pada amgi lain, hanya
thi cit le buatan keluarga Tong memang lain daripada yang lain dan lebih lihay,
sebab proses pembuatannya berbeda jauh daripada Thi cit le biasa."
"Ah, tidak kulihat ada
sesuatu perbedaannya," Gin hoa nio sengaja membantah.
"Cara membuat Thi cit le,
biasanya orang lain harus membuat cetakan modelnya, lalu menuangkan cairan
bajanya ke dalam cetakan, sesudah cairan baja dingin barulah selesai
pembuatannya."
"Dan bagaimana cara
keluargamu membuatnya?" tanya Gin hoa nio.
Thi cit le keluarga kami
dimulai dengan membuat daun-daunnya yang kecil-kecil, habis itu sepotong demi
sepotong dibentuk menjadi satu, apabila Thi cit le ini disambitkan dan masuk
tubuh manusia, segera daun-daunnya akan mekar, bila senjata rahasia ini hendak
dikeluarkan, sedikitnya sebagian kulit daging akan terkoyak."
"Wah, sakitnya pasti
setengah mati!" seru Gin hoa nio dengan lagak terperanjat.
"Kalau jiwa dapat
tertolong, rasa sakit sih tidak menjadi soal," ujar Tong Lin dengan
tersenyum.
"Cuma sayang, ketika
senjata rahasia ini dapat dikeluarkan, jiwanya juga tak tertolong lagi"
"Memangnya sebab
apa?" tanya Gin-hoa-nio pura-pura bingung.
Sebab Am-gi ini dibentuk
dengan 13 sayap, bukan saja setiap sayapnya sudah direndam racun, bahkan jenis
racunnya tidak sama, ke-13 macam racun sama lihaynya, asal masuk darah lantas
meluas, biarpun malaikat dewata juga tidak mampu menyelamatkan jiwanya"
Diam-diam Gin-hoa-nio merasa
ngeri juga setelah mengetahui betapa lihay senjata rahasia keluarga Tong ini.
Katanya kemudian: "Pantas orang Kangouw sama bilang, lebih baik ketemu
setan daripada ketemu am-gi keluarga Tong"
Tapi Tong Lin lantas bercerita
lebih lanjut: "Di antara ke tujuh macam Am-gi keluarga Tong yang paling
lihay, Thi-cit-le ini tergolong yang paling umum dan paling sederhana.
Thi-cit-le hanya dibentuk dari 13 kepingan besi, masih ada Am-gi lain yang
dibentuk dari berpuluh-puluh potong onderdil. Misalnya Kiu-thian-sin-ciam,
jarum sakti ini harus disemburkan dengan sebuah bumbung. Untuk merakit bumbung
ini sampai saat ini masih merupakan rahasia besar bagi orang Kangouw"
Gemerdep sinar mata
Gin-hoa-nio, katanya: "Makanya kalian sengaja memisahkan orang-orang yang
membuat am-gi ini, tujuannya adalah untuk menjaga rahasia ini agar tidak
dibocorkan oleh mereka, betul tidak?"
"Betul, orang yang
dipekerjakan di sini, meski semuanya jujur dan setia, tapi bukan mustahil ada
juga yang tidak tahan pancingan dan paksaan orang lain", kata Tong Lin.
"Dan leluhur keluarga Tong sudah memikirkan hal-hal demikian, sebab itulah
hakekatnya tiada seorangpun di antara mereka yang mengetahui rahasia seluruhnya
dari proses pembuatan Am-gi ini, jadi, seumpama mereka ingin membocorkannya
juga sukar membocorkannya secara lengkap dan jelas."
Dia tuding salah seorang
pekerja itu, lalu menyambung pula: "Umpama orang ini, tugasnya hanya
membuat salah satu daun Thi-cit-le, maka selama hidupnya juga melulu bekerja
menggembleng sayap Thi-cit-le ini, pekerjaan lain tidak pernah tahu,
sampai-sampai bagaimana bentuk sayap Thi-cit-le yang lain juga tidak diketahuinya."
"Selama hidup hanya
itu-itu saja yang mereka kerjakan, sampai akhirnya dengan sendirinya hasil
pekerjaannya semakin sempurna, pantas Am-gi keluarga Tong selamanya tak dapat
ditiru orang," ujar Gin hoa nio dengan gegetun.
"Cara demikian juga masih
ada kebaikan lain yaitu di luar pekerjaan ini mereka dapat hidup seperti orang
biasa, tidak perlu kuatir ada orang luar akan membawa lari mereka dan kita pun
tidak perlu mengawasinya."
Gin hoa nio memandang ke
deretan rumah batu sana dan bertanya: "Lalu, bagaimana dengan orang-orang
di dalam sana?"
"Ya, hanya orang-orang di
dalam itulah yang mengetahui rahasia pembuatan amgi, sebab setelah onderdilnya
selesai dibuat, semuanya dikumpulkan dan diantar ke tempat mereka untuk
dirakit."
"Apakah mereka takkan
membocorkan rahasianya?" tanya Gi hoa nio.
"Orang-orang di dalam
rumah itu adalah kakek yang telah pensiun, kebanyakan di antaranya juga
sebatangkara, maka sukarela bekerja di situ. Sebab, setelah memangku pekerjaan
ini, selama hidup tak boleh lagi keluar dari gua ini."
Gin hoa nio menghela napas,
katanya: "Pantas mereka bekerja dengan sepenuh tenaga, kiranya mereka
sudah mempersembahkan jiwa raga mereka buat amgi ini, asalkan dapat membuat
sebuah amgi yang baik dan sempurna agar sejarah keluarga Tong tetap gemilang,
maka itu pun merupakan kebahagiaan mereka."
"Ucapan nona memang
tepat," tukas Tong Siu jing mendadak dengan tertawa. Meski kehidupan
kakek-kakek itu kesepian, tapi tekad mereka adalah menegakkan dan
mempertahankan nama baik keluarga Tong tetap jaya abadi. Setiap anggota
keluarga Tong memang sanggup menderita apa pun."
"Eh, silahkan kalian
omong-omong dulu, ku pergi ke sana untuk menjenguk seseorang," tiba-tiba
Tong Lin berkata.
"He, Simoay, jangan lupa
kau...." tapi belum sempat Tong Siu jing mencegah lebih jauh, tahu-tahu
Tong Lin sudah melompati sungai kecil itu dan berlari ke sana.
Dengan lagak malu-malu dan
menunduk Gin hoa nio melayani pembicaraan Tong Siu jing, tapi perhatiannya
sebenarnya selalu mengikuti gerak-gerik Tong Lin.
Dilihatnya nona itu berlari
secepat terbang ke dalam deretan rumah batu sana dan langsung masuk ke rumah
ketiga dari sebelah kiri. Begitu cepat gerak tubuh nona itu, kerai baru
tersingkap segera tertutup kembali lagi.
Akan tetapi cukup sekejap itu
lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat melihat ada orang berada di dalam rumah.
Orang itu duduk membelakangi pintu dan tanpa bergerak, tapi tidak menyerupai
orang yang lagi asyik bekerja melainkan lebih mirip orang yang lagi duduk
melamun. Dengan sendirinya mukanya tidak kelihatan, hanya tertampak rambutnya
hitam gelap, bahkan Gin-hoa-nio yakin matanya sendiri pasti tidak keliru lihat,
usia orang itu pasti sangat muda.
Kalau menurut cerita Tong Lin
tadi, bahwa yang bekerja di dalam rumah-rumah batu itu adalah kakek-kakek yang
sudah pensiun, mengapa sekarang ada seorang muda di sana? Untuk apa pula Tong
Lin sengaja menjenguknya?
Mendadak jantung Gin-hoa-nio
berdetak: "Ha..Tong Giok! Orang itu pasti Tong Giok adanya. Kiranya Tong
Bu-sian menyembunyikan puteranya yang kedua ini di sini, pantas dicari sekian
lamanya tidak bisa ditemukan"
Saking girangnya hampir saja
Gin-hoa-nio berjingkrak, tapi ia tetap tidak lupa melayani bicara Tong
Siu-jing. Mata Tong Siu-jing memandangnya semakin mencorong dan semakin lengket.
Tentu saja Gin-hoa-nio
berlagak semakin malu kucing, mengangkat kepala saja tidak berani.
Tong Siu-jing berkata:
"Sudikah nona dan nona Kim makan siang di rumah makanku besok pagi?”.
Gin-hoa-nio menjadi merah mukanya: "Kalau cici Kim bersedia aku bersedia
juga". Dia berjalan ke arah sungai kecil dan berkata: "Dapatkah aku
mencuci tangan di sini?"
Tong Siu-jing menjawab:
"Tentu saja"
Gin-hoa-nio mencelupkan dan
mencuci tangannya ke dalam air. Tong Siu-jing terpesona melihat tangannya yang
anggun dan indah.
Tong Lin kembali dan kelihatan
sedikit jengkel, dia berkata: "Dia jadi sangat aneh, dia bahkan tidak mau
memandangku"
Tong Siu-jing berkata:
"Belakangan ini perasaannya tidak enak, jangan perdulikan dia"
Gin-hoa-nio yakin bahwa orang
yang dimaksud adalah Tong Giok, diam-diam dia jatuhkan sapu tangan ungunya ke
dalam air. Dia berdiri dan berkata: "Adik ke empat, aku rasa aku sudah
cukup melihat semuanya"
Tong Siu-jing berkata:
"Kakak ke empat...."
Tong Lin menyela: "Adik
ke tujuh, tidak usah kuatir. Kita belum merepotkanmu"
Tong Siu-jing berkata:
"Lain kali....."
Tiba-tiba Tong Siu-jing
melihat air sungai bergolak dan mengeluarkan asap ungu. Asap itu segera berubah
menjadi kabut tebal. Dalam waktu singkat kabut itu menjadi semakin tebal,
bahkan orang-orang tidak bisa melihat siapa yang berdiri disampingnya.
Dengan terkejut Tong Siu-jing
membentak: "Setiap orang tetap berjaga di tempat masing-masing. Jangan
sembarang bergerak!"
"Aku bagaimana?..."
seru Tong Lin.
"Kau awasi kawanmu, juga
jangan pergi dulu!" bentak Tong Siu-jing dengan bengis.
Ditengah suara bentakannya ia
sudah membuat obor, di tengah kabut tebal itu api obor ternyata tiada artinya,
hanya remang-remang seperti kunang-kunang.
Tong Lin bermaksud meraih
Gin-hoa-nio, tapi ternyata meraih tempat kosong, keruan ia terkejut dan
berseru: "He, Hoa-cici, Hoa-cici, di mana kau?"
Meski cukup keras teriakannya,
namun sayang selamanya tiada jawaban lagi.
oOo
Kiranya sejak tadi Gin-hoa-nio
telah mengincar baik-baik arah rumah batu tadi, begitu kabut ditebarkan,
secepat anak panah terlepas dari busurnya ia terus melayang ke sana, langsung
ia menerobos ke dalam rumah itu sambil berseru tertahan: "Tong Giok,
Tong-kongcu, di mana kau?"
Terdengar seorang menjawab
dengan suara serak: "Siapa kau? Untuk apa mencari diriku?"
Belum habis ucapannya,
tahu-tahu Gin-hoa-nio telah menarik tangannya terus diseret menerjang ke luar,
tidak lupa ia menjawab: "Masa kau tidak kenal suaraku lagi?"
"Hah, kau?!" seru
Tong Giok.
"Betul, siapa lagi?"
jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Hampir gila Toaci memikirkan dirimu,
tanpa menghiraukan bahaya ku datang mencari kau, hayolah lekas lari!"
"Tapi....tapi
ayah...." tampaknya anak muda itu masih ragu-ragu, namun tubuhnya sudah
tidak berkuasa lagi, ia terseret keluar.
"Ai, kau tidak punya
liangsim, masakah kau tidak ingin menemui toaci?" kata Gin-hoa-nio.
Sembari menyeret Tong Giok
dengan tangan kiri dan menerobos keluar rumah batu itu, lalu tangan kanan
terangkat, kontan sejalur sinar perak terpancar ke depan, seperti meteor yang
melintas angkasa gua itu, hanya sekelebat saja sinar perak itu lantas lenyap.
Sekilas itu Gin-hoa-nio sudah
dapat membedakan arah mulut gua, segera ia melayang ke sana secepat terbang,
baru sekarang ia merasakan bobot tubuh Tong Giok sangat berat, hakekatnya anak
muda itu seperti tidak mau ikut pergi kalau tidak diseret.
Dalam pada itu terdengar suara
Tong Siu-jing lagi membentak: "Jaga rapat mulut gua, siapapun dilarang
meninggalkan tempatnya!"
Gin-hoa-nio menjadi gelisah,
katanya: "Tong Giok, bila kau tidak mau ikut pergi, kalau aku kepepet,
tentu takkan menguntungkan kita masing-masing."
Entah takut digertak atau
mendadak berubah pikiran, segera Tong Giok juga bergerak cepat ke depan, kedua
orang menerjang keluar bersama. Dari lengan baju Gin-hoa-nio mendadak terpancar
pula selarik sinar perak.
Sekali ini sinar perak itu
menyambar ke luar gua, waktu itu para penjaga mulut gua sedang menggeser pintu
besi dan ada yang hendak menghadang mereka dengan golok terhunus, tapi senjata
rahasia Gin-hoa-nio lantas dihamburkan menyusul dengan terpancarnya sinar perak
tadi.
Terdengar serentetan jeritan
ngeri, Gin-hoa-nio dan Tong Giok sudah menerjang keluar gua.
Di luar bintang-bintang masih
berkelip bertaburan di langit, malam masih sunyi senyap, Kekacauan yang terjadi
di dalam gua belum lagi tersiar keluar, hanya seorang penjaga segera memapak
mereka dan membacok dengan goloknya, tapi sekali Gin-hoa-nio angkat tangannya,
setitik sinar perak menyambar ke depan, kontan orang itu roboh terkapar.
Pada saat itulah di dalam gua
baru terdengar suara tanda bahaya, suara bende bertalu-talu, serentak terdengar
pula suara bende dimana-mana, perkampungan yang tadinya tenggelam dalam
kesunyian malam itu seketika terjaga bangun, hanya sekejap saja dari berbagai
penjuru lantas muncul bala bantuan.
Akan tetapi selama beberapa
hari ini Gin-hoa-nio sudah mempelajari keadaan perkampungan ini, setiap jalan
keluar sudah diperhitungkannya, tanpa pikir ia terus meluncur ke arah tenggara.
Tong Giok sudah berubah seperti
boneka saja dan membiarkan dirinya ditarik lari oleh Gin-hoa-nio, ke timur ia
ikut ke timur, ke selatan ia turut ke selatan, hanya mulutnya masih melawan:
"Penjagaan di sini sangat ketat, tidak nanti kau dapat kabur."
"Mungkin orang lain
memandangnya seperti tembok tembaga dan dinding besi, tapi bagiku tiada ubahnya
seperti jalan rata, mau datang atau ingin pergi dapat sesukaku," kata
Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Sementara itu pagar tembok
perkampungan Tong sudah kelihatan di depan, memang dengan leluasa ia dapat
keluar tanpa halangan. Tapi ucapan Gin-hoa-nio itu agaknya terlalu pagi, sebab
mendadak di atas pagar tembok muncul belasan lelaki kekar berseragam hitam,
tangan kanan memegang golok dan tangan kiri membawa busur. Yang memimpin
barisan ini ternyata Tong Siu-hong adanya.
Terkejut Gin-hoa-nio melihat
munculnya Tong Siu-hong secara mendadak ini. Lebih-lebih tangan kirinya
kelihatan memakai sarung tangan kulit, entah berapa banyak jiwa orang pernah
melayang di bawah hamburan senjata rahasianya.
"Berhenti! Kalau tidak,
senjata rahasia kami tidak kenal ampun lagi!" bentak Tong Siu-hong dengan
bengis.
"Memangnya senjata
rahasia hanya monopoli kalian dan aku tidak mempunyai senjata rahasia?"
jengek Gin-hoa-nio dengan tertawa genit. "Kalau perlu, boleh kita
coba-coba senjata rahasia siapa yang lebih lihay."
Tangan Tong Siu-hong yang
sudah terangkat itu lantas diturunkan. Begitu juga, mestinya Gin-hoa-nio hendak
menyerang, tapi telah dicegah Tong Giok.
Mendadak Tong Giok
mengacungkan sepotong pelat besi dan berteriak: "Siapa yang berani
merintangi diriku?"
Melihat pelat besi itu, Tong
Siu-hong tampak tunduk benar-benar, sambil mengiakan ia lantas memberi tanda.
Serentak belasan orang berseragam hitam itu menghilang dengan cepat dan
mendadak seperti munculnya tadi.
Di tengah tertawa Gin-hoa-nio
bersama Tong Giok mereka lantas melayang keluar pagar tembok.
Di luar sana adalah lereng
bukit, suasana malam tetap sunyi. Namun langkah Gin-hoa-nio tidak pernah
berhenti, ia melintasi lereng bukit, di kaki gunung ada sebuah kelenteng
Toa-pekong tanpa penghuni. Ke situlah ia menuju, agaknya sebelumnya tempat ini
sudah dipilihnya.
Orang yang cerdik takkan
menjadi maling jika tidak lebih dulu mengatur jalan larinya.
Setiba di kelenteng itu
barulah Gin-hoa-nio menghela napas lega, ucapnya dengan tersenyum:
"Betapapun kau masih punya liangsim dan mau membantuku lari keluar, tidak
percuma kami kakak beradik sayang padamu...."
Sambil bicara ia terus membuat
api dan menyalakan lampu minyak di atas meja sembahyang. Tiba-tiba ia
melenggong setelah lampu menyala.
Di bawah cahaya lampu
kelihatan muka Tong Giok coreng-moreng tak keruan seperti muka setan. Setelah
dipandang lebih cermat baru diketahui dia memakai kedok tipis yang aneh dan
buruk.
Gin-hoa-nio tertawa, katanya:
"Mau pakai topeng kan seharusnya pilih topeng yang sedap dipandang,
mengapa kau pakai topeng setan begini? Kaget aku, kukira Cihuku yang cakap itu
mukanya telah dirusak orang."
"Justeru lantaran ayahku
kuatir ku lari dan bertemu dengan orang luar, maka aku diberinya topeng
ini," ucap Tong Giok dengan menyesal.
Gin-hoa-nio menjulur lidah,
katanya dengan tertawa: "Wah, ketat amat pengawasan bapakmu, tapi sekarang
topeng setan ini dapat kau tanggalkan bukan?"
"Topeng ini dipasang
dengan lem buatan khusus ayahku, jika ditanggalkan sebelum waktunya, mungkin
kulit mukaku bisa ikut terbeset," jawab Tong Giok. Kembali Gin-hoa-nio
melenggong, ucapnya kemudian: "Wah, langkah ini ternyata tepat juga,
dengan memakai topeng setan ini memang tak dapat dikenali siapapun juga, tapi
aku.... tetap kuingat bagaimana bentukmu, biar kau memakai topeng apapun tetap
tidak menjadi soal bagiku."
"Masa benar-benar kau
masih ingat akan diriku?" tanya Tong Giok.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya
perlahan: "Meski Toaci selalu menyembunyikan dirimu, walaupun cuma satu
kali kulihat kau dan hanya beberapa kalimat saja percakapan kita, tapi.... tapi
selamanya takkan kulupakan suaramu!"
Tong Giok termenung sejenak,
ia menghela napas panjang dan berkata: "Apakah baik-baik saja Toacimu?"
Mendadak Gin-hoa-nio
mengangkat kepalanya, matanya tampak basah, ucapnya dengan suara rada gemetar:
"Dengan susah payah ku tolong kau dari penjara maut itu, kau.... kau sama
sekali tidak mengucapkan terima kasih padaku, tapi buru-buru tanya tentang Toaci?"
Dengan suara halus Tong Giok
berkata: "Aku memang harus berterima kasih padamu. Sungguh tidak mudah kau
dapat menemukan diriku."
Gin-hoa-nio menunduk dan
memainkan ujung bajunya sambil menggigit bibir, ucapnya malu-malu: "Asal
kau tahu saja."
"Sungguh aku tidak tahu
dengan cara bagaimana kau dapat menemukan diriku?" tanya Tong Giok.
Gin-hoa-nio tertawa cerah,
katanya: "Kau kenal Kim-yan-cu?"
"Sep.... seperti pernah
kudengar nama ini," jawab Tong Giok.
"Tidak perlu kau
dusta," omel Gin-hoa-nio, "Aku takkan cemburu, masa kau tidak kenal
dia, bukankah dia saudara angkat kakak ipar dan kakak perempuanmu?"
"Ya, aku memang kenal
dia," kata Tong Giok dengan tertawa.
"Sebelumnya memang sudah
kuketahui hubungannya yang erat dengan keluarga Tong, demi menemukan dirimu,
maka akupun telah mengangkat saudara dengan dia."
"Kau.... kaupun
mengangkat saudara dengan dia?" Tong Giok menegas.
"Tidak perlu kau
terkejut," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Dengan sendirinya dia
tidak tahu sesungguhnya siapa aku ini. Dia cuma tahu aku ini anak perempuan
yang sebatang kara dan memerlukan seorang sahabat atau kakak yang dapat
melindunginya."
"Ai, dia ternyata sangat
mudah ditipu orang," ujar Tong Giok dengan gegetun.
"Jangan kau remehkan
dia," kata Gin-hoa-nio. "Waktu kuminta dia membawaku ke Tong-keh-ceng
ini perlu ku bujuk dengan susah payah."
"Oo!" melenggong
Tong Giok.
"Semula dia ogah-ogahan,
untung aku baru menemukan beberapa peti batu permata, maka sengaja kukatakan
hendak mencari suatu tempat penitipan yang dapat dipercaya, benarlah dia lantas
mengusulkan titip saja di Tong-keh-ceng ini."
"Dan sekarang kau rela
meninggalkan barang-barang berharga itu di Tong-keh-ceng?" tanya Tong
Giok.
"Haha, memangnya kau kira
aku begitu murah hati dan meninggalkan barang-barang berharga itu bagi orang
lain?" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Kau tahu, sepanjang
perjalanan hampir sembilan bagian isi peti itu sudah kukeluarkan dan kuganti
dengan barang palsu, hanya bagian atas saja ada beberapa potong permata tulen
yang memang hendak kuberikan kepada kakak-kakakmu. Selebihnya tidak berharga
sama sekali. Mengenai permata yang tulen itu ...."
Dia mengerling genit, lalu
menyambung: "Permata yang tulen itu memang tidak sedikit jumlahnya, cara
bagaimanapun akan kau gunakan atau dihamburkan, selama hidup juga takkan
habis."
"Dan mengapa Tong Lin mau
membawa kau ke gua itu?" tanya Tong Giok pula.
"Adik perempuanmu itu
sedang birahi," tutur Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Beberapa hari yang
lalu konon dia baru kenal seorang lelaki, sekali bertemu dia lantas
tergila-gila padanya. Kukatakan dapat kutemukan lelaki itu baginya, maka segala
apapun akan dikerjakannya untukku."
Tong Giok termenung-menung
sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Tampaknya kau telah
banyak memeras tenaga bagiku, bilamana diketahui Toacimu, dia pasti sangat
berterima kasih padamu."
Tiba-tiba wajah Gin-hoa-nio
yang berseri-seri berubah menjadi murung, matanya basah lagi, ucapnya dengan
tersendat: "Kembali Toaci dan Toaci lagi, kau.... kau hanya tahu Toaci
saja, tapi tahukah kau betapa susah payah usahaku mencari kau, waktu itu dia
lagi bekerja apa?"
"Darimana ku tahu?"
jawab Tong Giok.
"Dia.... dia.... "
belum lanjut ucapannya air matanya lantas berderai.
"Apakah.... apakah
terjadi sesuatu atas dirinya?" tanya Tong Giok.
"Tiada terjadi apa-apa
atas dirinya," jawab Gin-hoa-nio sambil mendekap mukanya.
"Habis mengapa kau
menangis?"
"Tolol, aku tidak
menangis baginya, tapi bagimu!" omel Gin-hoa-nio sambil membanting kaki.
"Bagiku? Sebab apa?"
"Sebab.... sebab aku
kasihan padamu, sungguh aku tidak tahan dan berduka bagimu."
"Berduka bagiku?
Memangnya kenapa?"
Mendadak Gin-hoa-nio mendongak
dan berseru dengan parau: "Biarlah kukatakan terus terang padamu, pada....
pada waktu kau menderita baginya, dia sendiri justeru......"
"Dia kenapa?" Tong
Giok menegas
"Dia.... dia justeru
berada dalam rangkulan lelaki lain," seru Gin-hoa-nio sambil mendekap
mukanya.
Tong Giok seperti melenggong,
hingga lama ia tidak bersuara.
"Sebenarnya tidak pantas
kukatakan padamu, tapi..... tapi akupun tidak tega membohongimu, sungguh
aku..... aku ikut sedih," sambil menangis mendadak Gin-hoa-nio menjatuhkan
dirinya ke pangkuan Tong Giok.
Sama sekali Tong Giok tidak
bergerak, ucapnya sekata demi sekata: "Siapa lelaki itu?"
"Tak dapat kukatakan
lagi...." jawab Gin-hoa-nio sambil menangis. "Aku.... aku sudah
bersalah kepada Toaci."
"Kan lebih baik jika
lebih cepat kau katakan padaku, kalau tidak...."
"Baik, biar kukatakan
padamu," kata Gin-hoa-nio dengan parau: "Lelaki itu bernama Ji
Pwe-giok!"
"Ji Pwe-giok!?" Tong
Giok menegas.
"Betul. Kau kenal
dia?"
"Baru sekarang kudengar
namanya," jawab Tong Giok perlahan.
"Untung kau tidak kenal
dia, kalau tidak, tentu kaupun akan tertipu."
"Oo!?" Tong Giok
melongo
"Orang ini sangat culas
dan keji, tapi justeru mempunyai seraut wajah yang menyenangkan, wajah yang
putih dan cakap, iapun mahir membujuk rayu terhadap perempuan, sebab itulah
Toaci ter.... tertipu olehnya."
Kembali Tong Giok termenung
agak lama, katanya kemudian dengan muka masam: "Jika hati Toacimu sudah
berubah, untuk apa pula kau cari diriku?"
"Masa.... masa kau tidak
paham?" kata Gin-hoa-nio sambil membenamkan kepalanya ke rangkulan anak
muda itu.
"Aku tidak paham,"
jawab Tong Giok perlahan
"Ai, kau memang....tolol!"
omel Gin-hoa-nio
"Aku memang tolol, kalau
tidak masa......"
"Cukup, tidak perlu kau
katakan lagi," sela Gin-hoa-nio. "Meski Toaciku membuat salah padamu,
tapi aku...." ia bergeliat dalam pangkuan Tong Giok, ia ingin menggunakan
tingkah-lakunya sebagai ganti ucapannya.
Perlahan-lahan akhirnya tangan
Tong Giok terangkat dan merangkul pinggang si nona.
"Ooo sayang, padamkan
dulu lampunya," ucap Gin-hoa-nio sambil berkeluh.
"Jangan dipadamkan, sebab
ingin kupandang kau sejelasnya," kata Tong Giok.
"Ai, bu.... busuk amat
kau!" omel Gin-hoa-nio.
"Ingin kupandang
sejelasnya mengapa di dunia ini ada perempuan sekotor, sekeji dan tidak tahu
malu seperti kau ini...."
Tidak kepalang kejut
Gin-hoa-nio seperti melihat setan, teriaknya: "Apa katamu?"
Segera ia bermaksud melepaskan
diri dari rangkulan Tong Giok, namun sudah terlambat, tangan Tong Giok telah
bekerja, sekaligus beberapa Hiat-to di punggungnya sudah tertutuk.
Seketika Gin-hoa-nio
menggeletak di lantai dan tak dapat berkutik, serunya kuatir: "He,
apa-apaan kau ini?"
Tong Giok menjengek:
"Apakah betul suara Tong Giok selama hidup tak terlupakan olehmu?"
Sekujur badan Gin-hoa-nio
terasa lemas dan dingin, serunya: "He, masa kau bu...... bukan
dia....."
Sungguh mimpipun tak terpikir
olehnya bahwa orang yang dibawanya lari keluar dari tempat yang terjaga ketat
dan hampir tidak mungkin dimasuki orang luar itu, ternyata bukan Tong Giok,
bahkan sampai detik inipun dia tidak pernah meragukannya.
Lantas siapakah orang ini
kalau bukan Tong Giok? Mengapa dia sedemikian jelas mengetahui urusan Tong Giok
dan Kim-hoa-nio?
"Se...... sesungguhnya
siapa kau?" tanya Gin-hoa-nio sambil memandangi orang dengan cemas.
Dengan perlahan "Tong
Giok" berkata pula: "Sekalipun kau ini perempuan paling licin di
dunia juga tak dapat menerka siapakah diriku ini." - Perlahan ia lantas
membuka kedoknya yang berwujud buruk itu dan tertampaklah wajah aslinya.
Sungguh sebuah wajah yang
sukar dibayangkan, Wajah yang sukar ditemukan setitik ciripun. Meski pada wajah
ini terdapat bekas luka sayatan pisau yang cukup panjang, tapi bekas luka ini
tidak membuat orang merasa muak, sebaliknya malah menambah daya tarik
kelelakiannya.
Seperti orang gila Gin-hoa-nio
menjerit: "Ji Pwe-giok! Kau.... mengapa bisa kau?" - Seketika hatinya
terasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan yang tidak ketahuan dasarnya.
Tersembul senyuman mengejek
pada ujung mulut Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tak acuh. "Tentu tak kau
sangka bukan? Salah mu sendiri, nasibmu yang jelek, masa membuat desas-desus Ji
Pwe-giok di depan Ji Pwe-giok. Kalau tidak, cara bagaimana kau memaki Ji
Pwe-giok di depan orang pasti akan dipercaya penuh oleh siapa saja yang
mendengar."
Gin-hoa-nio seperti terkesima
saking kagetnya dan tidak mendengarkan ucapan anak muda itu, Ia memandangnya
dengan linglung dan berulang-ulang bergumam: "Mengapa bisa kau.... mengapa
bisa kau...."
"Masa tidak pernah kau
dengar dari Tong Lin bahwa pernah ku datang ke Tong-keh-ceng sini?" tanya
Pwe-giok.
"Ya, tahulah aku,"
seru Gin-hoa-nio, "Karena kau sudah kepepet dan menghadapi jalan buntu,
akhirnya kau minta bantuan Tong Bu-siang agar menyembunyikan kau.... Ai,
mengapa sebelum ini tidak pernah kupikirkan hal ini."
Ji Pwe-giok menghela napas,
katanya: "Ucapanmu memang tepat, sesungguhnya aku sudah kepepet dan sudah
buntu, pula terluka. Tapi Tong Bu-siang tidak menghina diriku, ia malah
melanggar kebiasaannya dan menyembunyikan diriku di tempatnya yang paling
rahasia."
Kini Gin-hoa-nio sudah mulai
tenang kembali, ia lantas menjengek: "Tua bangka itu memang tidak jelek
terhadapmu, sampai anak perempuannya juga dikelabuinya dan mengira kau ini Tong
Giok yang tulen, bahkan menyesali kau tidak mengajak bicara padanya."
Pwe-giok tersenyum, ucapnya:
"Soalnya dia benar-benar tak dapat melupakan suara Tong Giok."
"O, jika memang demikian,
jadi Tong Giok tadinya memang betul-betul disembunyikan di rumah batu
itu?"
"Ya, bukan saja memang
berada di rumah batu itu, bahkan mukanya juga diberi topeng ini. Tong Bu-siang
membawa aku ke sana, lalu memindahkan topeng yang dipakai Tong Giok ke mukaku
serta menukarkan pakaian kami. Semua anak murid keluarga Tong yang berdinas di
sana juga cuma tahu Tong Bu-siang datang dengan membawa seorang pengiring,
hanya sebentar saja mereka lantas pergi lagi. Maka tiada seorangpun yang tahu
apa yang terjadi sesungguhnya."
"Apakah Tong Giok yang
asli dibawa pergi Tong Bu-siang?"
"Ya, masa perlu ditanya
pula?"
"Dibawa kemana?"
tanya Gin-hoa-nio.
"Akupun tidak tahu,"
jawab Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh. "Seumpama tahu, seandainya
kuberitahukan kepadamu, mungkin kaupun tak dapat mencarinya lagi untuk
selamanya."
Pucat air muka Gin-hoa-nio,
tanyanya dengan takut: "Akan.... akan kau apakan diriku?"
Pwe-giok memandangnya tanpa
menjawab.
"Aku yang melukai
wajahmu, ku tahu kau pasti sangat benci padaku...." tanpa memberi
kesempatan bagi Pwe-giok untuk bicara, segera ia berteriak dengan suara parau:
"Tapi hanya kusayat mukamu satu kali, sebaliknya orang lain telah menusuk
dan menabas kau berkali-kali, mengapa kau tidak benci padanya dan cuma dendam
padaku."
Orang lain yang dimaksudkannya
jelas Lim Tay-ih adanya.
Dengan pedih Pwe-giok menghela
napas panjang, lalu memejamkan matanya.
Melihat sikap anak muda itu,
seketika mata Gin-hoa-nio mencorong terang, serunya pula: "Apalagi,
seumpama kulukai dan memaki kau, semua ini hanya karena ku cinta padamu, saking
cintanya baru timbul benci. Apakah.... apakah tidak kau pikirkan sampai di
sini?"
Akhirnya Pwe-giok bersuara
perlahan: "Jangan kuatir, pasti tidak kubunuh kau." - Dia tersenyum
pedih, lalu menyambung pula: "Ucapanmu tidak salah, sesungguhnya memang
terlalu banyak orang yang pernah mencelakai dan memaki diriku, mengapa aku
hanya dendam padamu seorang? Mengapa aku cuma membalas kepadamu saja?"
"Kau tidak benci
padaku?" semakin mencorong sinar mata Gin-hoa-nio.
"Tidak, aku tidak benci
padamu, akupun tidak bermaksud mengganggu seujung rambutmupun," jawab
Pwe-giok. "Aku...... aku hanya akan mengantar kau pulang ke
Tong-keh-ceng."
Seketika air muka Gin-hoa-nio
berubah pucat lagi, serunya dengan suara serak: "Jika..... jika kau tidak
dendam padaku, mengapa kau perlakukan diriku cara begini! Tentunya kau tahu
bilamana berada di Tong-keh-ceng, bagiku hanya ada kematian belaka."
"Kan sudah kukatakan,
biar kau dusta padaku, memaki padaku, bahkan membunuhku juga tidak menjadi soal
dan takkan kupikirkan, tapi tak dapat kubiarkan kau menipu dan mencelakai orang
lain lagi."
Baru sekarang Gin-hoa-nio
kelabakan, teriaknya dengan suara serak: "Kau binatang, kau pendusta,
bicaramu muluk, tapi hatimu terlebih keji dari siapapun. Kau ingin membunuhku,
tapi sengaja meminjam tangan orang lain." - Mendadak ia berteriak lebih
keras: "Orang she Ji, bila benar kau lelaki sejati, kalau berani, hayolah
turun tangan sendiri dan bunuhlah diriku, untuk itu aku akan kagum padamu. Tapi
kalau kau bawa diriku ke Tong-keh-ceng, maka kau adalah hewan, hewan yang lebih
kotor daripada babi dan anjing."
Pwe-giok memandangnya dengan
tenang, ia tidak marah juga tidak bicara, menghadapi lelaki demikianlah
Gin-hoa-nio benar-benar mati kutu.
Saking gemas dan cemasnya
Gin-hoa-nio benar-benar menangis.
Pwe-giok menghela napas,
katanya: "Jika sebelum ini kau tahu menghargai orang dan tidak menganggap
orang lain semuanya orang tolol, tentu nasibmu takkan seperti sekarang...."
Mendadak terdengar suara
derapan kuda lari, ditengah malam sunyi di angkasa pegunungan, suara derapan
kaki kuda terdengar lebih jelas.
Sebelum suara derap kaki kuda
mendekat, lebih dulu Pwe-giok telah memadamkan api lampu, Ia tutuk Hiat-to bisu
Gin-hoa-nio, iapun sudah meneliti keadaan ruangan kelenteng kecil ini.
Apa yang dilakukan ini bukan
lantaran nyalinya kecil, tapi disebabkan dia sudah kenyang pahit-getirnya
pengalaman, maka tindakannya sekarang jauh lebih hati-hati daripada orang lain.
Suara derapan kaki kuda tadi
sangat cepat dan ramai, sedikitnya ada tiga penunggang kuda yang datang. Jauh
malam begini mengapa mereka menempuh perjalanan tergesa-gesa begini? Apalagi
menuju ke tempat terpencil ini?
Memangnya Pwe-giok sudah
sangsi, apalagi kemudian didengarnya suara kuda lari itu menuju ke kelenteng
ini, cepat ia angkat tubuh Gin-hoa-nio, terus melompat ke atas belandar.
Jika orang lain, tempat yang
dibuat sembunyi kalau tidak panggung pemujaan tentu adalah kolong meja. Namun
tempat-tempat itu diketahui oleh Pwe-giok dalam keadaan bersih, tidak banyak
debunya, hal ini menandakan tempat-tempat itu sering digunakan orang.
Hal-hal ini pasti takkan
ditemukan orang lain, andaikata diketahui juga takkan diperhatikan, namun
Pwe-giok sudah kenyang mengalami mara bahaya sehingga setiap tindak tanduknya
sekarang berpuluh kali lebih hati-hati dan lebih cepat daripada orang lain.
Benarlah, beberapa penumpang
kuda itu akhirnya berhenti di luar kelenteng kecil ini.
Terdengar seorang diantaranya
bertanya: "Apakah di sini?"
"Ya, di sini," jawab
seorang lagi. "Silahkan kalian masuk."
Dalam kegelapan Pwe-giok
melihat berturut-turut masuk tiga orang, wajah mereka tidak terlihat jelas,
hanya perawakan orang pertama kelihatan jangkung, tampaknya sangat hapal
terhadap keadaan kelenteng ini.
Selagi heran, orang itu sudah
menyalakan lampu minyak di atas meja. Di bawah cahaya lampu dapatlah Pwe-giok
melihat jelas muka ketiga orang itu. Betapa kagetnya hampir saja ia jatuh
terjungkal dari tempat sembunyinya.
Orang yang berperawakan
jangkung itu adalah seorang pemuda berpakaian perlente, pinggangnya bergantung
sebuah kantung kulit beraneka warna, itulah tanda pengenal khas anggota
keluarga Tong.
Dua orang yang ikut masuk itu,
yang satu berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang bergantung di pinggang,
rambutnya sudah mulai ubanan, tapi sikapnya tetap gagah, tiada sedikitpun
tanda-tanda ketuaannya.
Seorang lagi berwajah kereng,
langkahnya mantap, perbawanya besar.
Kedua orang ini ternyata Leng
hoa-kiam Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong dari Thay-oh.
Kedua tokoh yang rapat
hubungannya dengan Ji Hong-ho ini datang bersama anak murid keluarga Tong,
bahkan tidak menuju ke Tong-keh-ceng sebaliknya datang ke tempat terpencil
seperti ini, lalu apakah yang hendak mereka lakukan?
Kejut dan heran Pwe-giok,
bahkan juga kesal.
Yang membuatnya kesal ialah
Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini, baik gerak-gerik maupun wajahnya sungguh
mirip dengan yang asli, tampaknya intrik mereka ini benar-benar sukar untuk
dibongkar.
Dilihatnya mata Ong Kim-liong
mencorong seperti sinar kilat, ucapnya sambil mengusap jenggot: "Mengapa
Bu-siang Lojin mengundang kami ke tempat terpencil dan kotor ini untuk bertemu?
Coba kalau Tong-kongcu tidak datang sendiri, tentu kami akan merasa curiga
kesungguhan hati Bu-siang Lojin."
Pemuda baju perlente itu
menjawab dengan tersenyum: "Demi keamanan agar tidak dilihat orang dengan
sendirinya ayahku bertindak sehati-hatinya. Kecuali Wanpwe sendiri, anak murid
perguruan kami tiada satupun yang tahu. Bukankah kedua Cianpwe juga menghendaki
agar urusan ini jangan terlalu banyak diketahui orang."
"Hahahaha, betul, memang
inilah transaksi perdagangan kita sendiri dan tidak perlu diketahui orang
lain." ujar Ong Kim-liong dengan bergelak tertawa.
Pwe-giok tambah terkejut. Ia
yakin pemuda perlente itu tentu Tong Jan, putera sulung Tong Bu-siang.
Sedangkan kedatangan Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini adalah untuk memenuhi
janji pertemuan dengan Tong Bu-siang. Sesungguhnya transaksi perdagangan apa
yang hendak mereka lakukan? Dan mengapa transaksi ini harus dirahasiakan?
Sejenak kemudian, terdengar
Ong Kim-liong berkata pula: "Waktu yang dijanjikan ayahmu apakah betul
pada malam ini juga?"
"Betul, urusan sepenting
ini masa Wanpwe bisa salah ingat?" jawab Tong Jan dengan tertawa.
Tiba-tiba Lim Soh-koan
menyeletuk: "Konon keparat itu sangat tinggi ilmu silatnya, bahkan sangat
licin, apakah ayahmu yakin benar-benar dapat menangkapnya?"
Tong Jan tersenyum,
"Biarpun keparat ini sangat licin, tapi terhadap ayahku dia percaya penuh
dan tidak sangsi sedikitpun. Apalagi ayah sudah menjebloskan dia ke tempat yang
terjaga sangat ketat dan dilarang didatangi siapapun juga, sekalipun dia tidak
terluka juga jangan harap akan dapat kabur."
Lim Soh-koan tersenyum,
ucapnya: "Jahe memang pedas yang tua, cara kerja Bu-siang Lojin sungguh
sangat mengagumkan kami."
Ong Kim-liong lantas berkata
pula: "Tapi Kongcu perlu tahu, terhadap keparat itu, Bengcu juga tiada
maksud jahat, yang dikuatirkan adalah kemungkinan keparat itu akan memperalat
nama mendiang putera Bengcu untuk bertindak sewenang-wenang di luaran, sebab
itulah Bengcu ingin menemukan dia...."
"Ya, Wanpwe paham,"
tukas Tong Jan dengan tertawa.
Ong Kim-liong juga tertawa,
katanya: "Setelah ayahmu menyelesaikan urusan ini bagi Bengcu, dengan
sendirinya Bengcu takkan melupakan kebaikannya. Tapi saat ini Bengcu mengemban
tugas pengamanan dunia persilatan, setiap tindakannya tentu akan menarik
perhatian orang, beliau kuatir ada anasir-anasir tak bertanggung jawab akan menggunakan
kesempatan ini untuk menyiarkan desas-desus, sebab itulah urusan ini perlu
dirahasiakan."
"Cianpwe jangan kuatir,
Wanpwe pasti takkan membocorkan sedikitpun urusan ini," kata Tong Jan.
Mendengar sampai di sini, kaki
dan tangan Pwe-giok terasa dingin seluruhnya.
"Keparat" yang
disinggung Lim Soh-koan dan begundalnya itu tidak perlu disangsikan lagi
pastilah dirinya. Nyata, iblis yang menyaru sebagai ayahnya, yaitu Ji Hong-ho,
masih juga tidak mau mengabaikan dia.
Lalu Tong Bu-siang yang mau
melanggar peraturannya dan menerima dia itu ternyata juga jahanam yang bermuka
manusia tapi berhati binatang, setelah dia disembunyikan di Tong-keh-ceng,
diam-diam ia telah dijualnya.
Untung secara tidak sengaja
Gin-hoa-nio telah menyerobotnya keluar, kalau tidak, saat ini mungkin dirinya
sudah terjeblos di dalam cengkeraman kawanan iblis ini dan nasibnya sukar untuk
dibayangkan.
Berpikir sampai di sini,
seketika Pwe-giok bermandi keringat dingin.
Didengarnya Tong Jan berkata
pula: "Setelah urusan ini selesai, diharap cianpwe juga jangan lupa kepada
urusan yang telah dijanjikan."
"Ucapan Bengcu laksana
gunung kukuhnya, masa ingkar janji?" ujar Lim Soh-koan dengan serius.
Ong Kim-liong tertawa dan
berkata: "Asalkan ayahmu dapat dipercaya ucapannya, kami menjamin akan
menumpas Khing-hoa-samniocu. Bengcu memerintah seluruh dunia persilatan,
kekuasaannya tak terbatas, masa cuma Thian-jan-kau yang tiada artinya itu tak
dapat membereskannya?"
"Bila Bengcu sudi
menumpaskan bibit bencana bagi ayahku, selanjutnya apapun perintah Bengcu,
segenap anggota keluarga Tong yang berjumlah beberapa ratus jiwa pasti siap
melaksanakannya," kata Tong Jan.
Kiranya Tong Bu-siang takut
diganggu oleh "Khing-hoa-samniocu", demi menghilangkan penyakit ini
dia rela mengkhianati Ji Pwe-giok.
Dan rupanya inilah transaksi
dagang mereka.
Mendengar semua percakapan
itu, sungguh Pwe-giok sangat sedih, ingin menangispun tidak keluar air matanya.
Tak tersangka olehnya seorang tokoh suatu perguruan besar yang disegani sebagai
Tong Bu-siang bisa berubah menjadi pengecut dan rendah begini.
"Krek", mendadak
terdengar bunyi sesuatu, tempat patung pemujaan mendadak bergeser, menyusul
Tong Bu-siang muncul dari meja sembahyang.
Di bawah meja sembahyang itu
ternyata ada sebuah jalan tembus di bawah tanah, kiranya patung Toa-pekong
itulah pusat pengendali jalan rahasia ini. Untung sebelumnya Ji Pwe-giok
bertindak sangat hati-hati, kalau dia sembarangan mencari tempat sembunyi, saat
ini dia tentu sudah kepergok.
Di bawah cahaya lampu
kelihatan Tong Bu-siang bermuka pucat dan lesu, ia berusaha menenangkan diri
dan memberi hormat serta menyapa: "Anda berdua sungguh orang yang bisa
pegang janji, kedatanganku agak terlambat, harap maaf."
Gemerdep sinar mata Ong
Kim-liong, ia membalas hormat dan berkata: "Ah, tidak apa-apa. Tentunya
Tong-tayhiap telah membawa kemari Ji Pwe-giok itu?"
Tong Bu-siang berdehem
beberapa kali, lalu menjawab: "Sebenarnya urusan ini tidak menjadi soal,
siapa tahu.... siapa tahu...."
Seketika Ong Kim-liong menarik
muka dan berkata: "Adakah sesuatu perubahan mendadak?"
Tong Bu-siang menghela napas
panjang, jawabnya kemudian dengan menyengir: "Urusan ini memang betul ada
perubahan, sebab Ji Pwe-giok telah.... telah kabur."
"Apa katamu?" Ong
Kim-liong menegas dengan melengak.
"Perubahan yang tak
terduga ini, sungguh membuatku merasa malu, sekali lagi kuminta maaf,"
ucap Tong Bu-siang dengan menyesal.
"Perubahan tak terduga
bagaimana? Hm, jangan-jangan kau sengaja hendak mempermainkan kami?" tanya
Ong Kim-liong dengan gusar.
"Biarlah langit dan bumi
menjadi saksi, apa yang kukatakan adalah sejujurnya," jawab Tong Bu-siang
sambil menyengir.
"Seumpama betul
keteranganmu, masa Tong-keh-ceng yang gilang gemilang dapat dibuat terobosan
orang sesukanya?" jengek Lim Soh-koan.
"Anda mungkin tidak tahu
bahwa demi membuat tenteram hati Ji Pwe-giok itu, maka waktu ku ajak dia masuk
ke gua rahasia kami, secara tidak sengaja telah kuserahkan sebuah Lengpay
(pelat besi tanda perintah) yang biasanya dapat digunakan untuk keluar masuk
tanpa rintangan," demikian tutur Tong Bu-siang.
"Tanpa sengaja apa?"
damperat Ong Kim-liong dengan gusar. "Kukira kau mempunyai tipu muslihat
lain?!"
"Ah, sama sekali tiada
maksud demikian!" jawab Tong Bu-siang.
"Jika kau tiada mempunyai
tipu muslihat lain, maka pastilah kau ini sudah tua dan pikun...." jengek
Lim Soh-koan.
Sejak tadi Tong Jan sudah
menahan gusar, sekarang mendadak ia menggebrak meja dan membentak: "Kalian
ini menganggap dirimu ini apa? Berani bicara sekasar ini kepada ayahku?"
Kalau Tong Bu-siang tambah tua
tambah penakut, tidak perkasa lagi seperti waktu mudanya, sedangkan putranya
justeru menginjak masa keras dan berani, maka bentakannya tadi membuat Lim
Soh-koan dan Ong Kim-liong terkejut.
Dengan bengis Tong Jan
berteriak pula: "Hendaklah kalian jangan lupa tempat apakah sini. cukup
orang she Tong memberi aba-aba, mungkin tidaklah mudah bagi kalian untuk pergi
dengan selamat!"
Mendadak Ong Kim-liong
bergelak tertawa, katanya: "Kenapa Tong-kongcu marah-marah begini? Yang
kami sayangkan hanya karena urusan penting ini telah gagal, sekalipun ada
ucapan kami yang kurang pantas, masakah kami berani berlaku kasar terhadap
Tong-kongcu?"
Mendengar nada orang berubah
lunak, Tong Bu-siang lantas membusungkan dada, ucapnya dengan tersenyum sambil
mengusap jenggotnya: "Meski urusan kita telah gagal, tapi biarpun Bengcu
datang sendiri juga takkan menyalahkan diriku."
"Apakah betul?" ujar
Ong Kim-liong dengan tersenyum aneh.
Sekonyong-konyong terdengar
suara langkah orang yang ramai, delapan orang berseragam hitam ringkas dan
bercaping dengan golok terhunus menerobos masuk.
Tong Bu-siang terkejut,
serunya: "He, ada.... ada apa ini?"
Belum lenyap suaranya, seorang
kakek berbaju hijau dengan wajah putih bersih melangkah masuk dengan pelahan,
siapa lagi dia kalau bukan Bulim-bengcu sekarang, Ji Hong-ho adanya.
Keringat dingin membasahi
tangan Ji Pwe-giok. Dahi Tong Bu-siang juga berkeringat. Terpaksa ia menyapa
sambil memberi hormat: "Maaf, hamba tidak tahu Bengcu akan berkunjung
kemari sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya, mohon Bengcu memberi
ampun."
"Ah, ucapan Tong-heng
terlalu sungkan," jawab Ji Hong-ho dengan tak acuh. Ia memandang sekejap
ke arah Tong Jan yang masih bersikap marah itu dan menambahkan: "Yang ini
tentunya putera Anda bukan?"
"Betul, dia anak
sulungku, Tong Jan," jawab Bu-siang dengan mengiring tawa.
Ji Hing-ho mengangguk dan
tersenyum, katanya: "Bagus, bagus, benar-benar ksatria muda perkasa, tidak
malu sebagai putera dari ayah ternama.... Eh, entah sudah berapa usianya tahun
ini?"
"Wanpwe berusia 26
tahun," jawab Tong Jan sambil membungkuk tubuh.
"Wah, orang pemberang
begini dapat hidup selama 26 tahun, sungguh tidak mudah," ujar Ji Hong-ho
dengan acuh tak acuh.
Setelah Tong Jan melengak,
mukanya menjadi pucat.
Pelahan Ji Hong-ho berkata
pula: "Di hadapan orang tua bisa jadi orang muda akan bersikap kurang
hormat, ini dapat dimengerti, tapi kalau sampai menggebrak meja segala, kukira
cara demikian agak keterlaluan."
Tong Jan tidak tahan, ia
membantah: "Tapi sikap Tecu itu bukannya mengacau tanpa beralasan."
"Oo, jadi Tong-kongcu
tidak terima ucapanku ini? Memangnya tadi orang she Ji yang mengacau tanpa
alasan?" kata Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Belum Tong Jan menjawab, cepat
Tong Bu-siang membentaknya, dengan mengiring tawa ia berkata kepada sang
Bengcu: "Maaf, jika anak ini ada kesalahan, biarlah kumohonkan ampun
baginya."
Tiba-tiba Ji Hong-ho menarik
muka dan berkata: "Yang kutanya ialah putramu, sebaiknya Tong-heng jangan
ikut bicara."
Dan Tong Bu-siang benar-benar
tidak berani ikut bicara lagi.
Tong Jan menarik napas
dalam-dalam, ucapnya kemudian dengan suara berat: "Biarpun Wanpwe orang
bodoh, pernah juga kubaca kitab ajaran Nabi, mana berani ku lawan orang tua.
Tapi kalau orang lain menghina ayahku, betapapun Wanpwe tidak dapat tinggal
diam!!"
"Lalu mau apa kalau tidak
dapat tinggal diam?" tanya Ji Hong-ho.
Saking tak tahan Tong Jan
berteriak: "Barang siapa menghina ayahku, biarpun mengadu jiwa juga akan
ku labrak dia."
Ji Hong-ho tersenyum, katanya:
"Oo, apa betul? Sungguh terpuji......" belum lanjut ucapannya,
mendadak tangannya menampar ke samping.
Entah karena keder terhadap
perbawa sang Bengcu atau memang tak dapat menghindar serangan kilat itu,
tahu-tahu "plok", muka Tong Bu-siang tergampar dengan telak.
Lalu Ji Hong-ho berpaling pula
kepada Tong Jan dan bertanya dengan tersenyum: "Nah, bagaimana?"
Air muka Tong Jan sebentar
pucat sebentar hijau, meski mengepal, tapi tangan terasa gemetar.
Sambil mendekap mukanya yang
bengap, dengan suara serak Tong Bu-siang membentak: "Kau binatang yang
durhaka, masa kau berani kurang ajar terhadap Bengcu?"
"Sudah tentu ia tidak
berani," tukas Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh, "plak",
mendadak sebuah tangannya menyampuk pula dan tepat mengenai muka Tong Bu-siang.
Tong Jan tidak tahan lagi, air
matanya bercucuran dan menangis sedih, teriaknya: "Ayah, anak tidak
berbakti dan tidak..... tidak dapat...." di tengah jerit pilu dan murkanya
serentak ia menubruk ke arah Ji Hong-ho.
"Jangan, anak Jan!"
Tong Bu-siang menjerit kaget.
Akan tetapi sudah terlambat,
pukulan Tong Jan tepat mengenai bahu Ji Hong-ho, "krek", tahu-tahu
pergelangan tangan Tong Jan sendiri tergetar patah, tubuhnya juga terpental dan
mencelat.
Sebaliknya Ji Hong-ho masih
tenang-tenang saja sambil memangku tangan, ucapnya dengan tertawa,
"Tong-heng, nyali putramu memang teramat besar."
Tong Bu-siang lantas
berjongkok di tanah dengan air mata bercucuran, katanya dengan terputus-putus:
"Anak kecil tidak tahu aturan, mohon.... mohon Bengcu memberi ampun
padanya...."
Ji Hong-ho menghela napas,
katanya: "Sudah tentu tidak kupikirkan perbuatannya, hanya saja.....
kaupun peserta pertemuan Hong-ti, masa kau tidak tahu hukuman apa bagi orang
yang berani menghina dan menyerang Bengcu?"
Tong Bu-siang menyembah dan
berkata pula: "Mohon Bengcu sudi mengampuni jiwanya, biar kupotong sendiri
kedua tangannya untuk minta maaf kepada Bengcu."
Ji Hong-ho tidak menjawab, ia
berpaling ke arah Ong Kim-liong dan bertanya: "Bagaimana?!"
Dengan suara bengis Ong
Kim-liong lantas berseru: "Undang-undang yang ditetapkan dalam pertemuan
Hongti mendapat perhatian sepenuhnya di seluruh dunia, apabila undang-undang
itu dilanggar, lalu siapa pula yang akan menghargai Bengcu, siapa pula yang
menghargai pertemuan Hongti?"
Ji Hong-ho lantas berpaling
pula ke arah Tong Bu-siang dan berkata: "Dan bagaimana dengan pendapatmu?
Terikat oleh undang-undang, terpaksa aku tak dapat berbuat apa-apa."
Dalam pada itu Ong Kim-liong
sudah menggusur Tong Jan keluar, menyusul lantas terdengar jeritan ngeri di
luar. Dengan sempoyongan Tong Bu-siang berdiri, hampir saja jatuh terkulai lagi
di lantai.
Di tempat sembunyinya Ji
Pwe-giok dapat mengikuti adegan dramatis itu, tanpa terasa air matanya
berlinang-linang. Kalau saja dia harus bertahan hidup demi perjuangannya yang
belum selesai, tentu dia sudah melompat turun untuk mengadu jiwa.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang
menatap Tong Bu-siang dengan tajam, lama dan lama sekali, tiba-tiba ia berkata
pula: "Kau berduka atas kematian anakmu, tentunya Tong-heng bermaksud
menuntut balas bukan?"
Dengan napas terengah-engah
Tong Bu-siang menjawab dengan menunduk: "Apa yang terjadi adalah akibat
perbuatan anak itu sendiri, mana berani kusalahkan orang lain."
Ji Hong-ho tertawa cerah,
katanya: "Bagus, Tong-heng memang orang yang bijaksana."
Makin rendah Tong Bu-siang
menunduk, begitu rendah sampai Ji Pwe-giok ikut malu baginya.
Terdengar Ji Hong-ho berkata
pula: "Dari jauh ku datang ke sini, tahukah Tong-heng apa tujuanku?"
"Dengan sendirinya untuk
Ji Pwe-giok itu," jawab Bu-siang dengan ragu.
"Hahaha, salah kau!"
seru Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Salah?" Tong
Bu-siang melengak.
"Ketahuilah, tujuanku
mencari Ji Pwe-giok itu adalah karena ingin kuselidiki asal-usulnya, sebab ku
kuatir dia adalah putraku yang durhaka itu, tapi sekarang sudah jelas diketahui
bahwa dia memang orang lain. Sebab itulah, selanjutnya tentang orang ini,
apakah dia masih hidup atau sudah mampus tidak ku perduli lagi."
Urusan ini sebenarnya suatu
rahasia, kini Ji Hong-ho menguraikannya secara blak-blakan, tentu saja Ji
Pwe-giok terkesiap, lebih-lebih Tong Bu-siang, ia terkejut dan sangsi pula,
tanyanya dengan tergagap-gagap: "Jika demikian, untuk.... untuk keperluan
apakah kedatangan Bengcu ini?"
"Kedatanganku ini adalah
ingin memperkenalkan beberapa sahabat kepadamu," jawab Ji Hong-ho.
Tong Bu-siang tambah heran, ia
berkedip-kedip tanyanya: "Sahabat? Entah siapa-siapa saja?"
"Memang aneh kalau
diceritakan," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa. "Terhadap orang ini
jelas Tong-heng sudah sangat kenal, sebaliknya orang ini selamanya tidak pernah
melihat Tong-heng."
Seketika Bu-siang melongo,
sama sekali tak dapat dirabanya siapakah gerangan yang dimaksudkan, iapun tidak
tahu untuk maksud apakah Ji Hong-ho hendak memperkenalkannya kepada
"sahabat" yang disebut itu.
Tiba-tiba ia merasa wajah Ong
Kim-liong dan Lim Soh-koan menampilkan semacam senyuman yang misterius,
seketika timbul rasa ngerinya dari kaki ke ulu hati.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa
heran. Untuk apakah Ji Hong-ho sengaja membawa seorang "sahabat"
untuk dipertemukan kepada Tong Bu-siang, bahkan sebelumnya dengan suatu dan
lain alasan dibunuhnya lebih dulu anak lelaki Tong Bu-siang.
Apakah karena orang ini tidak
boleh dilihat oleh Tong Jan?
Siapakah orang ini sesungguhnya?
Mengapa begini misteriusnya?
Intrik apa yang tersembunyi di
balik semua kejadian ini?
Pwe-giok merasa tangan dan
kakinya rada dingin, dahinya juga berkeringat dingin.
Dalam pada itu Ji Hong-ho
telah memberi tanda, beberapa lelaki berseragam hitam tadi lantas melangkah
keluar, menyusul dari kegelapan di luar lantas menyelinap masuk seorang.
Orang ini memakai kopiah dan
berjubah hijau. Waktu Pwe-giok mengintai dari atas, tentu saja muka orang ini
tidak kelihatan. Tapi Tong Bu-siang dapat melihat dengan jelas wajah orang yang
baru masuk ini.
Tiba-tiba Pwe-giok melihat,
setelah berhadapan dengan orang yang baru masuk ini, seketika wajah Tong
Bu-siang merinding seperti melihat setan, air mukanya penuh rasa takut,
tubuhnya berkejang dan mulut melongo....
Pwe-giok terperanjat, ia tidak
tahu sesungguhnya terdapat keanehan apa pada wajah orang yang baru datang ini
sehingga dapat membuat Tong Bu-siang ketakutan setengah mati.
Dengan tersenyum Ji Hong-ho
lantas berkata: "Bagaimana, Tong-heng. Tidak keliru bukan perkataanku,
bukankah kau sudah kenal dia?"
"Aku...... aku.....
dia....." Tong Bu-siang gelagapan dengan suara parau, kerongkongannya
seperti tersumbat dan tak dapat bicara lancar.
"Sudah lama dia ingin
bertemu dengan Tong-heng, cuma waktunya yang tepat belum tiba, juga aku tidak
menghendaki Tong-heng bertemu dengan dia..... Apakah Tong-heng sudah tahu apa
sebabnya?"
"Ti...... tidak
tahu." jawab Bu-siang.
"Sebab tidak kuhendaki
Tong-heng mati terlalu cepat," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Dahi Tong Bu-siang penuh
keringat, baru diusap keringat sudah merembes keluar lagi, dengan suara parau
ia tanya: "Ap.... apa maksudnya?"
"Sebab pada waktu kalian
bertemu, pada saat itu pula ajalmu tiba," jawab Ji Hong-ho dengan tertawa.
Terbelalak lebar mata Tong
Bu-siang, ia menatap orang yang misterius itu, butiran keringat berketes-ketes
di mukanya dan merembes ke matanya, tapi dia sama sekali tidak berkedip.
"Apakah kau ingin
memandangnya dengan lebih jelas? .... Baik!" mendadak Ji Hong-ho
menyingkap topi orang itu yang berpinggir lebar dan....
Ternyata wajah orang inipun
wajah "Tong Bu-siang", mukanya, alisnya, matanya, hidungnya, semuanya
mirip, persis seperti berasal dari satu cetakan.
Baru sekarang Pwe-giok dapat
melihatnya dengan jelas, tidak kepalang tegangnya sehingga sekujur badan sama
gemetar.
Akhirnya dengan mata kepala
sendiri ia dapat menyaksikan rahasia kawanan iblis ini!,
Didengarnya Ji Hong-ho lagi
berkata dengan tertawa: "Nah, sekarang Tong-heng sudah melihat jelas
bukan? Bukankah ini suatu karya seni yang belum pernah ada sejak dahulu hingga
kini. Biarpun seniman paling tersohor dari jaman dulu hingga sekarang banyak
yang dapat melukis dengan sedemikian indahnya, tapi semuanya itu adalah benda
mati. Dan buah karya kami sekarang, bukan saja terdiri dari darah daging,
bahkan juga berjiwa."
Tong Bu-siang sudah mirip
sebuah patung yang tak berjiwa dan tidak bergerak.
"Dengan susah payah kami
berusaha, dengan pembantu-pembantu mengawasi gerak-gerikmu, akhirnya dapatlah
kami ciptakan Tong Bu-siang yang kedua. Untuk ini, Tong-heng, kukira kau harus
merasa bangga."
"Tapi..... tapi
sesungguhnya apa sebabnya?" tanya Bu-siang.
"Masa sampai sekarang
Tong-heng belum lagi paham?" tanya Ji Hong-ho sambil bergelak tertawa.
"Aku benar-benar tidak paham,"
kata Bu-siang sambil menjilat bibirnya yang kering.
Serentak Ji Hong-ho berhenti
tertawa, lalu berucap sekata demi sekata: "Sebab Tong Bu-siang yang
pertama sudah hidup cukup lama, sekarang dia boleh istirahat dengan baik-baik
dan biarkan Tong Bu-siang yang kedua menggantikan kehidupannya."
Sekonyong-konyong Tong
Bu-siang bergelak tertawa, tertawa latah.
Ji Hong-ho memandangnya dengan
dingin, sejenak kemudian baru ia berucap pula: "Pada saat demikian
Tong-heng masih sanggup tertawa, sungguh peristiwa aneh juga."
"Mengapa aku tidak dapat
tertawa, aku justeru tertawa geli," teriak Tong Bu-siang sambil
terbahak-bahak. "Hahaha, dengan boneka ciptaan kalian ini akan kalian
gunakan untuk menggantikan diriku?"
"Kenapa kau heran? Sudah
beberapa kali kami berhasil!" jawab Ji Hong-ho dengan dingin.
"Sekarang percayalah aku
kepada perkataan Ji Pwe-giok itu, dengan sendirinya akupun tahu kalian sudah
berhasil beberapa kali," kata Tong Bu-siang. "Tapi aku Tong Bu-siang
tidaklah sama dengan kau Ji Hong-ho, juga tidak sama dengan orang-orang seperti
Cia Thian-pi, Ong Ih-lau, Sebun Bu-kut dan sebagainya."
"Di mana
perbedaannya?" tanya Ji Hong-ho dengan sinar mata gemerdep.
"Orang-orang ini andaikan
tidak berdiri sendirian, orang yang berdekatan dengan mereka juga tidak banyak,
kalian dapat menghancurkan Ji Pwe-giok, dapat memaksa minggat Lim Tay-ih, tapi
dapatkah kalian membunuh habis anak murid keluarga Tong? Meski kalian dapat
membinasakan anakku, Tong Jan, tapi aku masih banyak anak murid yang lain, pada
satu hari rahasia kalian pasti akan terbongkar."
"Begitukah?" ucap Ji
Hong-ho dengan tak acuh dan tetap tenang.
"Sekalipun kalian dapat
menciptakan orang ini sehingga serupa diriku, bahkan cara bicara dan
gerak-geriknya juga serupa, tapi apakah kalian tahu siapa nama kecil putera
puteriku dan muridku? Tahukah kalian bilakah hari lahir mereka? Tahukah kalian
sifat dan perangai mereka masing-masing?......" Tong Bu-siang
terbahak-bahak, lalu menyambung pula: "Suatu keluarga besar seperti
keluarga Tong ini tentu terdapat banyak hal yang tidak diketahui orang luar,
untuk bisa menjadi kepala keluarga sebesar ini, memangnya semudah perkiraan
kalian?"
Ji Hong-ho terdiam sejenak,
katanya kemudian: "Betul juga ucapanmu, memang ada sementara hal-hal yang
tidak kami ketahui, tapi dengan cepat pasti akan kami ketahui."
"Kukira belum tentu
mampu," jengek Bu-siang.
"Tapi aku yakin sanggup,
kupercaya kau pasti akan membeberkan segala rahasiamu kepada kami," kata
Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Tidak, siapapun jangan
harap akan dapat memaksa diriku," bentak Bu-siang.
"Orang lain mungkin tidak
dapat, tapi kami mempunyai cara tersendiri, mempunyai cara yang aneh, bolehlah
Tong-heng mencobanya...."
Belum habis ucapan Ji Hong-ho,
mendadak di luar ada suara suitan. Cepat Ong Kim-liong memburu keluar dan cepat
pula berlari kembali, dengan suara tertahan ia memberi lapor: "Ada tanda
bahaya, seperti kedatangan orang."
"Mundur cepat!" kata
Ji Hong-ho. "Segenap penjagaan terang maupun gelap, seluruhnya
meninggalkan pegunungan ini."
"Dan orang ini?"
tanya Ong Kim-liong sambil memandang Tong Bu-siang.
"Kerudungi kepalanya dan
bawa dia!" kata Ji Hong-ho.
Mendadak Tong Bu-siang
melompat ke atas, kedua tangannya bekerja sekaligus, terdengar suara mendesing
ramai, dalam sekejap saja berpuluh biji senjata rahasia telah berhamburan.
"Semuanya jangan
bergerak, biar kubereskan dia!" bentak Ji Hong-ho. Berbareng itu ia telah
menanggalkan topinya dan diputar satu lingkaran, seketika senjata rahasia yang
bertebaran itu seperti laron menubruk pelita, semuanya hinggap ke dalam
topinya. Akan tetapi dengan kalap Tong Bu-siang lantas menerjangnya.
Senjata rahasia keluarga Tong
tiada bandingannya di dunia ini, Kungfu lain juga tidak lemah. Rambut dan
jenggot putih si kakek ini beterbangan, kedua telapak tangannya serentak
menghantam dengan gencar.
Tapi Ji Hong-ho juga bergerak
dengan gesit, bentaknya: "Kau berani melawan?"
"Hm, mau apa kalau
melawan?" Tong Bu-siang menyeringai. "Memangnya kau berani membunuh
aku? Kukira kau masih perlu keterangan-keterangan dariku!"
Dalam sekejap mata sudah
belasan pukulan dilontarkan, setiap pukulannya cukup keras dan ganas, bila
perlu dia bersedia gugur bersama lawan.
Pertarungan nekat begini
benar-benar memusingkan kepala, betapapun tinggi ilmu silat seseorang, bila
ketemu serangan kalap demikian pasti akan kewalahan dan terpaksa harus
menghindar sedapatnya.
Tong Bu-siang hanya ingin
mengulur waktu saja, ia pikir asalkan Ji Hong-ho tidak berani mengadu pukulan,
maka dia dapat mengulur tempo sebanyak-banyaknya, dan bila ada yang datang
berarti akan tertolonglah dirinya.
Ji Hong-ho memang tidak berani
menyambut serangannya dengan keras lawan keras, sudah dua-tiga puluh jurus dan
tetap tidak balas menyerang. Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong juga tidak
membantu, bahkan memandang saja tidak.
Nyata mereka yakin benar-benar
Tong Bu-siang pasti tak tahan sekali hantam oleh Bengcu mereka.
Pwe-giok ikut berdebar-debar
menyaksikan pertarungan seru itu, sesungguhnya ia ingin tahu gaya asli ilmu
silat "Ji Hong-ho" ini, siapa tahu yang dimainkan "Ji
Hong-ho" ini memang gerakan asli "Bu-kek-bun", yakni perguruan
Pwe-giok sendiri, bahkan gerakannya sangat gesit dan indah, tiada setitik ciri
apapun dapat ditemukan.
Padahal di seluruh jagat ini
selain Hong-ho Lojin, ayah Pwe-giok sendiri, siapa lagi yang mampu memainkan
Kungfu asli Bu-kek-bun ini?
Seketika Pwe-giok berkeringat
dingin dan kebingungan.
Dalam pada itu terdengar Ji
Hong-ho sedang berseru dengan tersenyum: "Tong-heng, seranganmu yang nekat
ini akhirnya tetap tiada gunanya.... Pergilah kau!" - Disertai bentakan
perlahan, sebelah tangannya secepat kilat menghantam.
Pukulan Ji Hong-ho ini
tampaknya sukar menembus serangan Tong Bu-siang yang gencar itu, siapa tahu
justeru dapat menerobos pada bagian yang sama sekali sukar dipercaya orang.
Begitu terpukul, kontan Tong
Bu-siang roboh.
Ji Hong-ho tidak lagi
memandangnya, begitu pukulannya dilontarkan, segera ia melompat mundur sambil
berseru: "Bawa dia, lekas ikut mundur!"
Hanya sekejap saja sinar lampu
di kelenteng kecil ini sudah padam, semua orang juga sudah pergi, hanya
tertinggal Ji Pwe-giok saja yang masih termangu-mangu di tempat gelap dengan
mandi keringat dingin.
Dimulai sejak munculnya Ong
Kim-liong dan Lim Soh-koan sampai dengan kepergian mereka, jarak waktu itu
tidaklah lama, tapi bagi Pwe-giok rasanya seperti sudah selang setahun lamanya.
Dalam jarak waktu ini Ji
Pwe-giok benar-benar bernapas diantara mati dan hidup, seperti telur di ujung
tanduk. Asalkan tempat sembunyinya diketahui orang, maka tamatlah riwayatnya.
Bila orang lain, bisa jadi
akan ketakutan setengah mati dan sedikit badannya bergemetar atau napasnya
sedikit keras, bila setitik debu di atas belandar terjatuh, maka selamanya
jangan harap lagi akan meninggalkan kelenteng ini dengan hidup.
Untung Gin-hoa-nio dalam
keadaan tertutuk Hiat-to seluruh tubuhnya sehingga tak dapat bergerak dan
bersuara, Pwe-giok sendiri sejak kecil sudah biasa berlatih duduk bersemedi dan
menahan perasaan, sekalipun di bawah panas terik matahari atau di gua es juga
dia sanggup bertahan tanpa bergerak sedikitpun. Sebab itulah dia tidak sampai
diketahui musuh.
Tapi sekarang, setelah bebas
dari ketegangan yang hebat tadi, ia merasa ingin mencari suatu tempat untuk
berbaring dan istirahat.
Namun iapun tahu kesempatan yang
sukar dicari ini tidak boleh disia-siakan. Asalkan dia dapat mengikuti jejak
orang-orang ini secara diam-diam dan berhasil menemukan tempat penyimpanan Tong
Bu-siang asli dan palsu itu, maka besar harapannya akan dapat membongkar
rahasia mereka.
Namun iapun menyadari, untuk
menguntit tokoh-tokoh kelas satu itu sama halnya berjudi dengan jiwanya
sendiri, meski kesempatan untuk menang tidaklah banyak, namun resiko ini cukup
berharga untuk dihadapi.
Padahal kesempatan ini segera
akan lenyap dalam sekejap saja, sungguh peluang untuk bernapas saja terasa
tidak ada.
Dilihatnya Gin-hoa-nio sedang
menatapnya dengan terbelalak lebar, meski dia tak dapat bergerak dan bersuara,
namun dia dapat mendengar segala apa yang terjadi.
Pwe-giok tidak sempat banyak
berpikir lagi, segera ia membisiki nona itu: "Sebenarnya hendak ku antar
kau ke Tong-keh-ceng agar mereka membuat perhitungan dengan kau, tapi
sekarang..... Ai, biarlah suka-duka kita selanjutnya kuhapus seluruhnya,
Hiat-to yang kututuk dalam waktu tak lama lagi akan punah dengan sendirinya dan
kau dapat bergerak kembali. Semoga selanjutnya jangan kau cari diriku lagi dan
akupun takkan mengusik dirimu."
Sesudah memberi pesan ini,
segera ia hendak melompat turun dan tinggal pergi.
Siapa tahu, pada saat itu juga
dari luar ada suara langkah orang pula disertai berkelebatnya cahaya lampu,
ternyata Ong Kim-liong telah masuk pula dengan membawa dua orang berseragam
hitam.
Heran dan gelisah Pwe-giok,
sudah jelas Ji Hong-ho telah pergi bersama anak buahnya, mengapa Ong Kim-liong
dan dua begundalnya kembali lagi ke sini?
Didengarnya Ong Kim-liong lagi
berkata: "Lekas kembalikan patung itu dan meja sembahyang pada tempatnya
semula, lalu lantai dibersihkan pula, jangan sampai meninggalkan sesuatu tanda
agar anak murid keluarga Tong tidak dapat memperkirakan ke mana perginya Tong
Bu-siang."
Nyata setiap tindak-tanduk
komplotan jahat ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti tanpa
meninggalkan sesuatu apapun.
Pwe-giok menjadi kelabakan.
Sudah tentu sekarang ia dapat melompat turun dan membinasakan ketiga orang itu.
Dengan ilmu silatnya jelas ketiga orang itu bukan tandingannya. Tapi dia kuatir
tindakannya ini akan mengejutkan Ji Hong-ho yang pergi belum jauh itu.
Sebaliknya bila ditunggu lagi sampai pekerjaan ketiga orang itu selesai, tentu
Ji Hong-ho juga sudah pergi jauh dan sukar untuk menyusulnya.
Konyolnya, cara kerja kedua
orang berseragam itu justeru adem-ayem saja, alon-alon asal kelakon, sesuatunya
dikerjakan dengan sangat cermat. Sudah tentu semuanya ini memakan waktu lebih
lama. Keruan Pwe-giok tambah gelisah, tapi apa daya?
Kini dia hanya berharap semoga
ketiga orang ini nanti habis bekerja juga akan menyusul kepergian Ji Hong-ho,
dengan demikian asalkan dia membuntuti ketiga orang, maka jadinya akan mencapai
tujuannya, bahkan penguntitannya nanti akan lebih mudah daripada menguntit Ji
Hong-ho.
Karena inilah satu-satunya
harapan yang masih ada, maka ia tidak dapat menyerang ketiga orang ini.
Siapa tahu, justeru pada saat
itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara mendenging nyaring tiga kali, suara
sambaran senjata rahasia dari luar. Kontan kedua lelaki berseragam hitam tadi
menjerit dan roboh terjungkal.
Dengan sendirinya reaksi Ong
Kim-liong lebih cepat dan gesit, dia sempat melompat ke atas, agaknya berhasil
dia menghindari serangan senjata rahasia itu, lalu membentak dengan suara
bengis: "Siapa itu, berani menyerang petugas Bengcu di sini, apakah sudah
bosan hidup kau?!"
Di tengah bentakannya,
serentak senjata ruyungnya Kim-liong-pian lantas dilolosnya dan diputar dengan
kencang, dia terus menerjang keluar. Dalam kegelapan di luar pintu seperti ada
orang tertawa seram dan misterius.
Pwe-giok terkejut dan juga
gelisah. Ia tidak tahu siapakah gerangan orang yang menyergap Ong Kim-liong
bertiga itu dan apa tujuannya?
Melihat serangan yang keji dan
tanpa kenal ampun ini, jelas penyerang ini pasti juga bukan manusia baik-baik.
Jangan-jangan anak murid keluarga Tong telah memburu tiba? Meski kedatangan
mereka sangat kebetulan, tapi setitik harapan terakhir Pwe-giok menjadi ikut
buyar.
Lampu di meja sembahyang tadi
sudah dinyalakan, di bawah gemerdepnya cahaya lampu, tiba-tiba terlihat Ong
Kim-liong masuk lagi dengan mundur.
Kim-liong-pian atau ruyung
naga mas yang dipegangnya tampak terseret di lantai, wajahnya penuh rasa kejut
dan takut, keringat dingin memenuhi dahinya, tapi tiada kelihatan mengalami
sesuatu luka. Matanya tampak melotot penuh rasa takut, entah apa yang
membuatnya setakut ini? Sesungguhnya apa yang dilihatnya?
Terdengar seorang berkata di
luar: "Siapa sahabat ini? Kau datang dari mana?"
Suaranya sangat aneh, halus,
rendah, tapi membawa semacam nada yang membikin merinding pendengarannya.
Mendengar suara orang itu,
seketika Pwe-giok merasa tidak enak. Ia tidak mengerti mengapa suara seorang
bisa begitu lembut dan halus, tapi juga begitu aneh dan menyeramkan. Sungguh ia
ingin tahu bagaimana macamnya orang yang bicara itu.
Di luar pintu memang kelihatan
ada sesosok bayangan manusia. Kelihatan sepasang matanya yang kelam, sama
kelamnya seperti kegelapan malam. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong
justeru menampilkan perasaan hampa, semacam kesuraman yang sukar diraba. Meski
sinar mata itu tidak memandang ke arah Ji Pwe-giok, tapi tanpa terasa Pwe-giok
bergidik sendiri.
Terdengar Ong Kim-liong lagi
menjawab dengan suara rada gemetar: "Aku she Ong, Ong Kim-liong, dari
Thay-oh."
"O, kiranya kau si raja
naga dari Thay-oh," ucap suara yang indah tapi aneh itu. "Untuk apa
kau datang ke sini?"
"Ku datang ikut
Bu-lim-bengcu," jawab Ong Kim-liong.
"Bu-lim-bengcu? Maksudmu
Ji Hong-ho?"
"Betul," jawab Ong
Kim-liong pula.
"Mau apa dia datang ke
sini?"
"Ada janji dengan Tong
Bu-siang untuk bertemu di sini."
Begitulah tiap kali suara itu
bertanya segera ia menjawabnya dengan sejujurnya. Ong Kim-liong seolah-olah
sudah kehilangan pikiran sehatnya, seperti sama sekali sudah tunduk di bawah
pengaruh sinar mata yang aneh itu. Tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin
menyaksikan kejadian ini.
Suara aneh itu bertanya pula
sesudah termenung sejenak: "Ji Hong-ho bertemu dengan Tong Bu-siang,
mengapa di sini tempatnya? Yang dirundingkan mereka apakah sesuatu rahasia yang
tidak boleh diketahui orang lain?"
"Didalam urusan ini
memang betul ada sesuatu rahasia, sebab Bengcu....."
Pwe-giok merasa terkesiap dan
bergirang juga karena akan mengetahui rahasia pertemuan Tong Bu-siang dan
"Ji Hong-ho" itu, tak terduga, bicara sampai di sini, mendadak
sekujur badan Ong Kim-liong menggigil dan tutup mulut rapat-rapat.
Sorot mata orang di luar itu
semakin mencorong, dengan suara bengis ia mendesak: "Rahasia apa, kenapa
tidak kau ceritakan?"
Ong Kim-liong tetap tutup
mulut, keringat dingin tampak berketes-ketes memenuhi dahinya.
Suara itu kembali berubah
lunak dan halus sekali, katanya pelahan: "Bicaralah, tidak menjadi soal!
Sesudah kau ceritakan, pasti tiada orang menyalahkan kau."
Tubuh Ong Kim-liong tambah
gemetar, mukanya berkerut-kerut, tampaknya sangat menderita, jelas sedang
bergulat dengan batin sendiri yang bertentangan. Akhirnya tercetus juga
ucapannya yang gemetar: "Ti..... tidak, tidak dapat kukatakan."
"Mengapa tidak dapat kau
katakan?" ucap suara itu. "Jangan lupa, saat ini tubuhmu, jiwamu,
sukmamu, semuanya sudah menjadi milikku, masa kau berani membangkang?"
Sekonyong-konyong Ong
Kim-liong berteriak seperti orang gila: "Tidak, segala apa yang ada pada
diriku ini milik Bengcu, tidak boleh kukhianati dia, kalau tidak, bagiku
hanya..... hanya ada kematian...." mendadak ia angkat ruyungnya terus
menghantam kepala sendiri.
Agaknya orang yang berada di luar
itu tidak menduga akan tindakan Ong Kim-liong ini, ia berseru kaget, namun Ong
Kim-liong sudah terkapar bermandi darah.
Bercucuran keringat dingin
Pwe-giok, apa yang terjadi ini sungguh sukar untuk dimengerti, ia hampir-hampir
tidak percaya pada matanya sendiri.
Dalam pada itu dari luar
lantas masuk satu orang. Langkahnya enteng, pelahan tanpa suara, seperti badan
halus saja.
Di bawah cahaya lampu
kelihatan orang ini memakai baju kain kasar sebangsa kain belacu yang biasa
dipakai kaum petani. Tangan membawa sebuah caping yang sudah rusak,
perawakannya tinggi kurus, wajahnya putih cakap dan agak kurus.
Tampaknya usianya antara
30-an, tapi seperti juga sudah lebih 50. Begitu melangkah masuk, sorot matanya
yang kelam kehijau-hijauan itu seketika lenyap, tiada sesuatu yang menyolok,
hanya tangannya yang panjang dan kurus itu kelihatan putih indah berkilau.
Sama sekali tak terpikir oleh
Pwe-giok bahwa mata yang aneh itu bisa tumbuh pada seorang yang sangat umum
ini, lebih-lebih tak terpikir sinar matanya bisa berubah begitu cepat.
Lamat-lamat ia merasa orang ini seperti seekor bunglon yang setiap saat dapat
berganti warna badan untuk mengelabui musuh demi keselamatan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang perempuan muda menghela napas dan bergumam: "Ah, sudah mati
semua!"
Pandangan Pwe-giok ternyata
tertarik sepenuhnya oleh manusia yang aneh ini, baru sekarang ia tahu di
belakang orang ini masih ikut seorang perempuan muda bergaun dan baju kain
kasar, perawakan gadis ini padat dan indah, kepalanya juga memakai caping bambu
yang ditarik rendah ke depan, agaknya tidak suka wajah aslinya dilihat orang.
Sungguh aneh, memangnya siapa yang hendak dihindarinya?
Entah mengapa, Pwe-giok merasa
perawakan dan suara gadis itu seperti sudah dikenalnya, tapi seketika tidak
ingat di mana pernah bertemu.
Sementara itu si baju belacu
tadi telah mengitari ruangan itu satu kali, lalu ia berpaling memandang si
gadis, dari wajahnya yang bersih itu tiba-tiba menampilkan senyuman yang sangat
menarik, ucapnya dengan pelahan: "Pandanganmu memang jitu, orang-orang ini
memang betul sudah mati semua."
Si gadis menggigit bibir,
katanya kemudian: "Mereka kan tidak mengganggu kita, mengapa engkau
membunuh mereka?"
"Ucapanmu memang betul,
sesungguhnya tidak perlu kubunuh mereka," ujar si baju belacu dengan
tersenyum.
"Jika tidak perlu,
mengapa kau bunuh mereka?" kata si gadis.
Orang itu tidak menjawab, ia
cuma mengulum senyum dan memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia menghela napas
dan berkata: "Cantik, sungguh cantik, kerlingan matamu tertampak lebih
cantik di bawah sinar lampu ini. cukup kau pandang diriku sekejap dan aku rela
mati sepuluh kali bagimu."
Tampaknya dia sangat
memanjakan nona itu dan sangat sayang padanya, setiap ucapannya penuh sanjung
puji, tapi siapapun dapat mendengar kata-katanya hanya seperti orang tua
membikin senang hati anak kecil saja.
Anehnya, gadis itu sedikitpun
tidak merasa dimanjakan atau dibujuk, sebaliknya mukanya menjadi merah dan
terkesima, kemudian menghela napas dan berkata dengan rawan: "Yang kuharap
asalkan selanjutnya jangan kau bunuh orang lagi, asalkan kita dapat meloloskan
diri sekali ini, bolehlah kita mencari suatu tempat yang terpencil jauh di sana
dan hidup tenteram selama hidup."
"Tepat sekali
ucapanmu," kata orang itu dengan tersenyum, "kita akan mencari suatu
tempat yang indah, ada gunung ada air, setiap hari akan kuiringi kau pesiar,
setiap hari dapat kudengar suara tertawamu yang lebih merdu daripada burung
berkicau."
Pikiran nona itu seakan-akan
melayang jauh membayangkan adegan bahagia itu, ia memejamkan mata dan bergumam:
"O, alangkah bahagianya bilamana tiba pada hari demikian itu, rasanya
segala apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia, asalkan datang hari bahagia
itu, andaikan matipun aku rela."
Akhirnya Pwe-giok dapat
melihat mukanya, seraut muka yang cantik, muka yang polos dan murni penuh
membayangkan kebahagiaan yang akan datang, dari matanya terembes butir air mata
kegembiraan.
Tiba-tiba Pwe-giok ingat siapa
nona ini. Ya, betul, dia inilah Ciong Cing, murid Hoa-san-pay yang menyambut
kedatangannya pada waktu Pwe-giok menghadiri pertemuan Hong-ti tempo hari.
Sungguh aneh, murid dari
perguruan ternama itu mengapa sekarang bisa berada bersama seorang yang aneh
dan misterius ini? Apa saja yang telah diperbuatnya demi orang ini seperti
ucapannya tadi?
Seketika Pwe-giok tercengang,
sangsi dan juga menyesal.
Si baju belacu tidak memandang
lagi si nona, tapi sedang mengamat-amati mayat Ong Kim-liong yang digenangi
darah itu, tampaknya dia sedang merenungkan sesuatu sambil bergumam:
"Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati orang ini?
Mengapa dengan tenaga gaibku tidak mampu menyuruhnya mengaku? Dengan kekuatan
gaib apa pula Ji Hong-ho itu dapat membuat anak buahnya lebih rela mati
daripada mengkhianatinya?"
Kembali ia mondar-mandir lagi
di ruangan itu dan sorot matanya berubah lebih tajam daripada mata elang,
setelah menyapu pandang kian kemari, tiba-tiba ia berseru perlahan: "He,
lihat, di sini ada sebuah jalan rahasia!"
Ia tepuk patung Toa-pekong dan
diputar, segera jalan di bawah tanah itu kelihatan dengan jelas.
Ciong Cing juga berseru:
"He, menembus kemanakah jalan di bawah tanah ini?"
Orang itu memejamkan mata dan
berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum cerah: "Ehm, di sini
kan bukit di belakang Tong-keh-ceng?"
"Ya, betul, jalan ini
pasti menembus ke Tong-keh-ceng," seru Ciong Cing.
"Tepat," kata orang
itu dengan tertawa. "Kau benar-benar anak perempuan yang cantik dan
cerdik."
Muka Ciong Cing menjadi merah
pula, ia menunduk dan memainkan ujung bajunya, sejenak kemudian baru berkata:
"Jika tempat ini mengandung rahasia orang lain, lebih baik kita pergi
saja."
"Pergi? Mengapa?"
ujar orang itu. "Selama hidupku kesenanganku justeru membongkar rahasia
orang lain." - Dia mengusap perlahan muka Ciong Cing, lalu berkata pula:
"Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang main sembunyi-sembunyi, tentu bukan
pekerjaan baik yang mereka lakukan, aku akan memeriksanya melalui jalan rahasia
ini, hendaklah kau tunggu saja di sini, mau?"
Ciong Cing lantas memegang
tangan orang itu dan menjawab dengan cemas: "Tidak, jangan kau
pergi!"
Seketika sorot mata orang itu
berubah sedingin es, ucapnya: "Kenapa? Kau kuatir ku pergi dan tak kembali
lagi?"
Hakekatnya Ciong Cing tidak
memperhatikan perubahan sikap orang itu, dengan suara lembut ia berkata:
"Tiada lain, yang kukuatirkan adalah keselamatanmu. Lukamu belum sembuh
benar-benar, sedangkan Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho itu adalah tokoh-tokoh yang
lihay...."
Pandangan orang yang dingin
itu mulai cair lagi, ucapnya dengan tersenyum: "O, kau kuatir mereka
mencelakai diriku?"
Mata Ciong Cing tampak merah
dan basah, katanya dengan tersendat: "Jika.... jika terjadi apa-apa atas
dirimu, lalu.... lalu aku bagaimana?"
Orang itu tertawa, katanya:
"Jangan kuatir, masih jauh jika orang semacam Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho
itu hendak mencelakai diriku." - Dengan lembut ia membelai rambut si nona,
lalu menyambung pula: "Kau tunggu saja di sini, sayang, secepatnya aku
akan kembali. Ku berjanji padamu, pasti tiada seorangpun dapat mengusik seujung
rambutku."
Habis berkata, sekali
berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghilang ke jalan di bawah tanah itu.
Dengan termangu-mangu Ciong
Cing menyaksikan kepergian orang itu, ia mendekap mukanya dan menghela napas
panjang, gumamnya: "O, apa yang kulakukan ini apakah betul? atau salah?
...."
"Salah!" tiba-tiba
seorang menanggapi dengan suara tertahan.
"Hahh, siapa?" Ciong
Cing menjerit kaget sambil melonjak ke atas.
Dilihatnya seorang pemuda
dengan tersenyum entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya." Cayhe Ji
Pwe-giok!" ucap pemuda itu.
"Ji Pwe-giok?" seru
Ciong Cing dengan terbelalak.
Ia tahu "Ji
Pwe-giok" sudah mati, di kelenteng kecil yang terpencil di pegunungan
sunyi ini mendadak mendengar nama orang yang sudah mati, seketika ia merinding.
Akan tetapi anak muda ini
kelihatan sedemikian ramah tamah, ganteng, cakap, sorot matanya yang mengandung
senyuman hangat itu sungguh bisa membuat cair gunung es di bumi ini. Tidak
mungkin ada perempuan bisa takut kepada lelaki muda demikian ini.
Ciong Cing tidak lagi gugup,
dengan suara keras ia menjawab: "Betul, aku memang kenal seorang Ji
Pwe-giok, tapi jelas bukan kau. Aku tidak kenal kau!"
"Tapi kukenal nona"
kata Pwe-giok.
"Kau kenal aku?"
Ciong Cing melengak.
"Ya, nona kan murid Hoa-san
dan bernama Ciong Cing?"
Seketika Ciong Cing tegang
lagi, dengan suara bengis ia bertanya: "Jadi kedatanganmu ini adalah untuk
menangkap kami?"
Dalam hati Pwe-giok jadi
terheran-heran, namun lahirnya dia tenang-tenang saja, katanya pelahan: "Memangnya
apa kesalahan nona? Kenapa takut akan ditangkap orang?"
Ciong Cing memandangnya
sejenak, ia mulai tenang, jawabnya dengan tersenyum ewa: "Sudah tentu aku
tidak berbuat salah apa-apa, aku cuma mencoba dirimu saja."
Pwe-giok menghela napas, katanya
dengan suara halus:
"Kedatanganku ini bukan
hendak menangkap nona, juga tidak untuk menyelidiki rahasiamu, aku hanya ingin
memberi nasehat padamu, lebih baik kau pulang saja."
"Pulang? Pulang
kemana?" kembali Ciong Cing terkesiap.
"Pulang ke samping
gurumu, beliau pasti akan melindungi dirimu agar tidak sampai ditipu orang
lain."
"Memangnya aku tertipu
oleh siapa? Berdasarkan apa kau campur urusanku?" kata Ciong Cing dengan
tidak senang.
Pwe-giok menyengir, ucapnya:
"Memikirkan diriku sendiri saja repot, sesungguhnya aku memang tidak
pantas ikut campur urusan orang lain. Tapi kata-kata ini seperti duri di
tenggorokan, kalau tidak kukeluarkan terasa tidak lega. Soal kau mau menurut
atau tidak memang terserah kepada keputusan nona sendiri."
Ia memandang mayat yang
menggeletak di lantai itu, lalu menghela napas panjang.
Kalau setitik harapannya tadi
kinipun sudah buyar, untuk apa pula dia tinggal lagi di sini? Mengenai
Giu-hoa-nio yang masih ditinggalkan di atas belandar itu tidak perlu
dikuatirkannya, ia tahu si nona pasti dapat menjaga dirinya sendiri.
Melihat Pwe-giok hendak pergi,
Ciong Cing jadi melenggong, seperti mau mencegah, tapi akhirnya urung.
Tapi sebelum Pwe-giok
melangkah keluar pintu, tahu-tahu sesosok bayangan orang seperti badan halus
saja telah melayang dari belakang dan menghadang jalan keluarnya.
"He, begitu cepat kau
sudah kembali?" seru Ciong Cing, kejut dan girang.
"Ya, apakah aku kembali
terlalu cepat?" jawab orang itu dengan tersenyum.
Ciong Cing tidak merasakan di
dalam kata orang itu berduri, ia bertanya pula: "Sudah kau lihat Ji
Hong-ho dan Tong Bu-siang?"
"Tidak, Ji Hong-ho tidak
ada, Tong Bu-siang juga menghilang," jawab orang itu. Baru sekarang sorot
matanya yang tajam beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya pula dengan tersenyum:
"Urusan ini memang sangat aneh, betul tidak?"
Meski jalan keluar Pwe-giok
terhalang, tapi sedapatnya ia bersabar, ia mengamat-amati orang aneh itu, tapi
betapapun dia mengawasinya dengan cermat tetap tak dapat diketahui orang ini
baik atau jahat, lebih-lebih tak dapat diketahui bagaimana asal usulnya. Hanya
dirasakannya seolah-olah setiap saat timbul semacam tenaga gaib yang
berpengaruh dari orang yang dihadapinya ini.
Pada waktu sorot mata orang
ini beralih ke arahnya, seketika jantungnya berdetak.
Orang itu mengulangi lagi
pertanyaannya: "Urusan ini memang sangat aneh, bukan?"
"Ya, memang sangat
aneh," Pwe-giok hanya tersenyum saja.
"Sesuatu yang aneh,
mengapa Anda tidak heran?" kata pula orang itu.
Pwe-giok tahu, menghadapi
orang demikian tidak boleh omong sepatahpun. Selagi dia menimbang cara
bagaimana menjawabnya, tiba-tiba orang itu tertawa dan berkata pula dengan
perlahan: "Jika kau tidak suka menjawab, bolehlah kukatakan bagimu...
Sebabnya kau tidak heran atas urusan ini adalah karena sebelumnya rahasia
persoalan ini sudah kau ketahui."
Pwe-giok hanya tersenyum
sebagai jawabannya.
Tiba-tiba ia merasa mata orang
ini meski sangat menakutkan, tapi senyumannya membawa semacam daya tarik yang
sukar dilukiskan, semacam daya gaib yang kuat, jangankan anak gadis seperti
Ciong Cing sekalipun Pwe-giok sendiripun tanpa terasa terpikat oleh daya tarik
yang gaib itu dan sukar memindahkan pandangannya ke arah lain.
Orang itupun terus menatapnya
lekat-lekat, tiba-tiba menghela napas dan berkata: "Lelaki yang maha
cakap, ya, Anda boleh disebut lelaki cakap yang tiada bandingannya. Jangankan
perempuan, sampai akupun merasa mabuk melihat senyuman Anda."
Dia bicara dengan lambat,
suaranya rendah dan juga mengandung daya pikat yang sukar disebutkan.
Sebenarnya bukan Pwe-giok
tidak suka, hanya saja setelah mendengarkan dan mendengarkan lagi, akhirnya
kata-kata yang ingin diucapkannya jadinya malah lupa dikatakannya.
Dengan tersenyum orang itu
berkata pula: "Orang yang mempunyai muka seperti Anda ini, bilamana tidak
tahu menggunakannya dengan baik-baik sungguh harus disayangkan. Tapi Anda tidak
perlu kuatir, sekalipun Anda tidak tahu cara bagaimana harus mendaya-gunakan
ketampanan sendiri, dengan suka hati akan kubantu berusaha bagimu agar Anda
tidak sia-sia dilahirkan dengan wajah tampan ini."
Apabila kata-kata ini
diucapkan orang lain, andaikan Pwe-giok tidak gusar, sedikitnya juga akan
mendongkol. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut orang ini ternyata tidak
membuat Pwe-giok naik pitam.
Orang itu tersenyum dan
berkata pula dengan suara terlebih halus: "Baiklah, sekarang bolehlah kau
lupakan semuanya. Coba beritahukan padaku sesungguhnya rahasia apakah yang kau
lihat tadi? Sesungguhnya apa yang dirundingkan Ji Hong-ho dan Tong
Bu-siang?"
"Kukira lebih baik tidak
kukatakan," jawab Pwe-giok hambar.
"Kusuruh kau bicara, maka
kau harus bicara, tahu?" ucap orang itu dengan suara tegas, meski wajahnya
masih mengulum senyum, tapi sorot matanya yang aneh itu tampak mendesak,
menatap Pwe-giok tajam-tajam.
Siapa tahu Pwe-giok tetap
menjawab dengan hambar: "Memangnya kenapa harus kukatakan?"
Orang itu lantas mengeluarkan
seuntai rantai mutiara dan diayun-ayunkannya di depan Pwe-giok, lalu berkata
pula dengan perlahan: "Sebab kau sudah menjadi budakku, setiap perkataanku
harus kau taati, sedikitpun tidak boleh melawan."
Ciong Cing tampak lemas dan
kuatir, ia tahu kekuatan gaib orang ini, ia tidak ingin dia membikin susah
orang lain lagi, tapi iapun tidak berani mencegahnya.
Siapa tahu Pwe-giok tetap
tenang-tenang saja, sebaliknya ia malah tertawa dan menjawab: "Selamanya
aku adalah orang yang bebas dan merdeka, mengapa tanpa sebab aku harus menjadi
budakmu?"
Air muka orang itu berbalik
berubah pucat malah, butiran keringatpun menghiasi jidatnya.
Maklumlah, Liam-sim-tay-hoat
yang digunakannya sangat keji, tapi kalau tidak dapat menguasai pihak lawan, ia
sendiri yang akan celaka. Sekarang ia sudah mengerahkan segenap tenaganya, tapi
lawan yang masih muda ini ternyata tiada terpengaruh sedikitpun. Padahal sasaran
Liam-sim-tay-hoat ini adalah melunakkan pikiran lawan, peluang itu lantas
diselulupi kekuatan gaibnya dan terpengaruhlah orangnya.
Namun sejak kecil Pwe-giok
sudah berlatih semedi dan memusatkan pikiran, akhir-akhir ini dia malah
tergembleng dengan lebih teguh lagi imannya, hatinya kini boleh dikatakan
sekeras baja, semurni emas.
Karena itulah, perasaan orang
itu berbalik terguncang dan hampir-hampir saja sukar dikuasai.
Pwe-giok sama sekali tidak
tahu mengapa pihak lawan menjadi begitu tegang, dengan tertawa ia malah
bertanya: "Barangkali anda hanya bergurau saja denganku, begitu?"
Tanpa terasa orang itu
menjawab: "Ya!"
"Siapakah nama
Anda?" Pwe-giok coba bertanya.
"Kwe Pian-sian,"
jawab orang itu, butiran keringat tampak berketes-ketes seperti hujan. Ia
merasa sinar mata Pwe-giok makin mencorong, ia sendiri berbalik terpengaruh,
setiap pertanyaan Pwe-giok mau-tak-mau harus dijawabnya.
Pwe-giok termenung sejenak,
lalu bergumam: "Kwe Pian-sian, nama ini asing bagiku. Apakah ini nama asli
anda?"
Dengan suara gemetar orang itu
mengiakan.
Dia memang betul Kwe Pian-sian
adanya. Sekarang dia tidak dapat menghindari lagi tatapan Pwe-giok, apabila
Pwe-giok bertanya lebih lanjut, mungkin segala rahasianya akan dibeberkannya.
Pwe-giok jadi heran sendiri,
tak tersangka olehnya setiap pertanyaannya akan dijawab secara jujur oleh
lawan. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, ia coba bertanya pula: "Apakah
nona Ciong ini melarikan diri bersama anda?"
Kembali Kwe Pian-sian
mengiakan.
"Siapakah yang anda
hindari?" Tanya Pwe-giok.
Sedapatnya Kwe Pian-sian
menggigit bibir agar tidak bersuara, tapi mau tak mau ia berucap juga: "Ji
Siok-cin!"
"Ji Siok-cin? Ji lihiap
ketua Hoa san-pay?" Pwe-giok menegas.
Kwe Pian-sian mengiakan lagi.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya
kemudian: "Memangnya kau sudah ditawan Ji-lihiap, tapi nona Ciong jatuh
hati padamu dan diam-diam melepaskan kau serta minggat bersamamu?"
"Ya,
be....begitulah," jawab Kwe Pian-sian dengan suara terputus-putus.
Sekarang ia benar-benar
ketakutan setengah mati, namun apa daya ia tidak dapat menguasai dirinya
sendiri lagi.
Melihat keadaan Kwe Pian-sian,
Ciong-cing juga melenggong.
Pwe-giok menghela napas, ia
memandang Ciong-cing, katanya dengan tersenyum getir: "Tak tersangka nona
sampai hati mengkhianati guru sendiri, tentunya karena cintamu....." belum
habis ucapannya, mendadak berpuluh-puluh bintik sinar perak menyambar ke
arahnya.
Kiranya begitu pandangan
Pwe-giok beralih, seketika Kwe Pian-sian mendapat kesempatan untuk melepaskan
diri dari pengaruh sinar mata lawan, tanpa ayal kalung mutiara terus
ditebarkan.
Sama sekali tak terpikir oleh
Ji Pwe-giok bahwa orang yang sudah ketakutan dan menjawab setiap pertanyaannya
secara jujur ini mendadak bisa melancarkan serangan gelap. Karena kepalanya sudah
berpaling ke kiri, sekarang tubuhnya lantas ikut berputar ke arah kiri, kedua
tangannya juga mengebas, seperti penari ia terus berputar satu lingkaran.
Tahu-tahu berpuluh-puluh bintik sinar perak itu seperti ikan yang terisap ke
tengah pusaran air dan ikut berputar mengikuti gerakan Pwe-giok.
Dipandang dari jauh, satu
lingkaran sinar perak mengitari seorang penari yang sedang berputar dengan gaya
yang indah.
Tanpa terasa Ciong-cing
terkesima menyaksikan kejadian itu, terdengar suara gemerincing, seperti dering
logam digosok, laksana bunyi kecapi, tahu-tahu berpuluh-pulih bintik sinar
perak sudah berserakan di tanah.
Tadi kalau Pwe-giok sengaja
menghindar, dalam keadaan kepepet belum tentu dia sanggup menyelamatkan diri
oleh hamburan berpuluh-puluh bintik perak yang terpancar dari jarak dekat itu.
Tapi tanpa sengaja ia berputar, gerakan ini justeru sangat efektif dan ternyata
mendatangkan hasil yang tak terduga.
"Kungfu hebat!" puji
Ciong Cing setelah terkesima sejenak.
Dalam pada itu Kwe Pian-sian sudah
melancarkan beberapa kali pukulan maut. Walaupun serangannya ganas, gayanya
indah, tapi setiap pukulan belum menggunakan tenaga sepenuhnya, ia masih
menyimpan tenaga untuk menjaga segala kemungkinan.
Maklum, setelah menyaksikan
kelihayan Pwe-giok, betapapun ia tidak berani mempertaruhkan seluruh modalnya.
Akan tetapi lebih dulu ia perkuat pertahanannya sehingga tak terkalahkan, habis
ini barulah dia melancarkan serangan.
Meski dengan santai Pwe-giok
dapat mengelakkan serangan lawan, namun di dalam hati dia tidak merasa santai.
Sebab segera diketahuinya serangan lawan ternyata sangat teratur, licin, licik
dan cekatan, sungguh kepandaian yang belum pernah dilihatnya selama hidup. Ia
menyadari, tidaklah mudah bagi siapapun yang ingin merobohkan orang she Kwe
ini.
Dalam pada itu, Kwe Pian-sian
sudah melancarkan lagi empat kali pukulan lain, gerakan serangan ini mendadak
berubah, dari ringan berubah menjadi berat, dari lunak berubah menjadi keras.
Namun daya pukulannya tetap terbatas, belum menggunakan sepenuh tenaganya,
masih ada tenaga cadangan.
"Apakah anda bertekad
akan membinasakan diriku?" tanya Pwe-giok dengan menyesal.
Selesai ucapannya ini, dengan
santai empat kali pukulan musuh sudah dihindarinya.
"Betul," jawab Kwe
Pian-sian, kembali empat kali pukulan dilontarkan dengan lebih cepat, selesai
ucapannya yang cuma satu kata itu, selesai pula empat kali pukulan.
"Sebab apa?" tanya
Pwe-giok pula, begitu cepat serangan lawan, secepat itu pula ia menghindar.
Kwe Pian-sian menjawab:
"Sebab kalau anda hidup di dunia ini, maka makan dan tidurku pasti tidak
akan tenteram."
Sekali ini pukulannya berubah
menjadi lambat, bicara sepanjang ini juga cuma melancarkan empat kali pukulan,
akan tetapi pukulan yang berat dan mantap.
Jelas inilah Thay kek kun asli,
padahal Thay kek kun dan Bu kek bun ada hubungan yang erat. Cepat Pwe giok
melompat mundur dan berseru: "Jangan-jangan Anda ini kaum Cianpwe dari
Thay kek bun?"
Dengan tenaga dalam Kwe Pian
sian yang tinggi ini, bilamana betul dia adalah orang Thay kek bun, maka
kedudukannya pasti sangat tinggi, maka Pwe giok menghormatinya dengan sebutan
"Cianpwe".
Siapa tahu Kwe Pian sian malah
tertawa dan menjawab: "Apa artinya Thay kek bun bagiku?"
Mendadak pukulan telapak
tangannya berubah menjadi kepalan terus menghantam, jurus pertama adalah
"Lo han hok hou" atau Buddha menaklukkan harimau, inilah jurus
pembukaan Lo han kun dari Siau lim Pay.
Pwe giok dibuat terkejut pula.
Dalam pada itu pukulan kedua Kwe Pian sian telah berubah menjadi Tay Hong kun,
sampai di tengah jalan, mendadak berubah lagi, sekali ini kedua kepalannya
menghantam berbareng.
Gaya pukulan ini sangat aneh
dan belum pernah dilihat Pwe giok, jelas-jelas yang diincar adalah pipi kanan
dan dagu kiri, siapa tahu ketika kepalan sudah dekat, mendadak berubah lurus
menghantam dada.
Kwe Pian sian kelihatan sangat
bangga, katanya dengan tertawa: "Dan tahukah kau pukulan ini dari aliran
mana...?"
Sebenarnya kata-kata Kwe Pian
sian ini belum habis terucap, sebab baru saja dia mengucapkan kata
"dari", Pwe giok terpaksa balas menyerang, bahkan dia papak kepalan
lawan yang sedang menghantam itu.
Waktu Kwe Pian sian
mengucapkan kata "mana" segera dirasakannya tenaga pukulan Pwe giok
maha dahsyat, cepat ia bermaksud menarik kembali tangannya, sekalipun dia masih
menyimpan tenaga cadangan dan keburu menarik pukulannya, namun kepalannya tetap
tersampuk oleh pukulan Pwe giok, seketika ia merasakan ditolak oleh suatu arus
tenaga yang maha kuat seolah-olah gugur gunung dahsyatnya, tubuhnya terus
mencelat hingga jauh.
Tenaga sakti pembawaan Pwe
giok memang maha hebat, biarpun dia mengerahkan segenap tenaganya juga belum
tentu sanggup bertahan, apalagi dia masih menyisakan sebagian tenaganya.
"Jangan melukai
orang?" seru Ciong Cing kuatir.
Pwe giok tersenyum, katanya:
"Tiada maksudku hendak mencelakai orang, jika kalian mau pergi, akupun
takkan merintangi!"
Dia sudah kenyang merasakan
betapa sengsaranya dibikin celaka orang, maka kalau tidak terpaksa, betapa pun
ia tidak mau membikin susah orang lain.
Kwe Pian sian memang tidak
terluka apapun, dia berdiri tegak di sana dan menghela napas. Ciong Cing
memburu ke sana dan memegang tangannya serta memohon: "Marilah kita pergi,
untuk apa kau bergebrak mati-matian dengan dia?"
Sambil menyengir Kwe Pian sian
berkata kepada Pwe giok: "Ilmu silat Anda belum nampak terlalu hebat, tapi
tenagamu yang maha sakti ini belum pernah kulihat selama ini, tampaknya aku pun
tak dapat menjatuhkan kau."
"Jika demikian, mengapa
kau tidak lepas pergi?" ujar Pwe giok dengan tersenyum.
"Tampaknya aku memang
lebih baik pergi saja," kata Kwe Pian sian dengan gegetun. Dia merangkap
kedua tangannya seperti memberi salam dan hendak pergi benar-benar, siapa tahu,
pada saat itu juga tangannya bergerak pula, dari lengan bajunya kembali menyambar
keluar berpuluh bintik hitam.
"He, kau....." Ciong
Cing menjerit kaget.
Tapi belum lanjut ucapannya,
tahu-tahu tubuhnya sudah diangkat oleh Kwe Pian sian terus dilemparkan ke arah
Pwe giok. Kwe Pian sian sendiri terus menyelinap ke belakang Pwe giok untuk
menyerang pula, langkah ini sungguh teramat keji dan jarang ada di dunia ini.
Untuk menghindarkan hujan
senjata rahasia itu saja tidak mudah bagi Ji Pwe giok, apalagi seumpama dia
sempat mengelakkan senjata rahasia, tahu-tahu tubuh Ciong Cing juga sudah
menubruk tiba. Karena nona itu dilemparkan orang, dengan sendirinya kaki dan
tangannya meronta-ronta, apabila Pwe giok tidak menghiraukan tubuh si nona dan
hanya melayani Kwe Pian sian, bukan mustahil Pwe giok akan terluka oleh
rontakan si nona yang ingin cari hidup itu.
Sebaliknya kalau Pwe giok
menangkap tubuh si nona, sementara itu Kwe Pian sian sudah menyelinap ke
belakangnya, peluang itu pasti akan digunakan orang keji itu untuk menghabisi
dia.
Perubahan kejadian ini
berlangsung dalam sekejap saja, belum lagi Pwe-giok tahu jelas duduknya
perkara, tahu-tahu Am-gi atau senjata rahasia sudah menyambar tiba, bayangan
orang yang meronta-ronta juga melayang tiba sekaligus.
Mestinya Pwe-giok bermaksud
menyampuk balik senjata rahasia musuh, tapi ketika tiba-tiba diketahuinya bahwa
bayangan orang yang ikut melayang tiba itu ialah Ciong Cing, bila senjata
rahasia disampuk balik niscaya akan membinasakan nona itu.
Jadi serba susah bagi
Pwe-giok, kalau tidak berkelit, jiwa sendiri bisa celaka. Kalau bertindak, jiwa
Ciong Cing mungkin melayang. Dan Kwe Pian-sian tampaknya sudah memperhitungkan
dia pasti tidak tega membikin celaka Ciong Cing.
Tak terduga, pada detik
terakhir tangan Pwe-giok tetap bergerak ke depan secepat kilat, cuma tenaga
yang digunakan kedua tangannya sama sekali berlainan, tenaga tangan kiri lunak,
tenaga tangan kanan keras, tangan kiri bergerak lebih dulu, dengan tenaga lunak
ia mendorong sekaligus tubuh Ciong Cing sehingga meluncur lebih jauh ke sana,
sedangkan tenaga tangan kanan yang dahsyat itu digunakan memapak hujan senjata
rahasia musuh. Dan pada saat itu pula kedua telapak tangan Kwe Pian-sian juga
telah menghantam punggungnya.
Karena segenap tenaga sudah
dikerahkan, Pwe-giok tidak mempunyai sisa tenaga untuk menghindar, apalagi sisa
tenaga untuk menangkis. Dalam keadaan demikian, siapapun juga pasti akan binasa
di bawah pukulan Kwe Pian-sian.
Akan tetapi di sinilah
terlihat ketangkasan Ji Pwe-giok yang lain daripada yang lain, mendadak tenaga
tangan kanannya yang dahsyat tadi berubah menjadi lunak, telapak tangannya
berputar terus ditarik ke belakang, segerombolan senjata rahasia yang tergulung
oleh tenaga pukulannya itu ikut berkisar di udara terus menyamber lewat di
samping Pwe-giok dan langsung menyerang Kwe Pian-sian yang berada di
belakangnya.
Mimpipun Kwe Pian-sian tidak
menyangka Am-gi yang dihamburkannya sendiri kini berbalik akan makan tuannya
malah. Jika pukulannya diteruskan dan dapat melukai Ji Pwe-giok, tapi tubuh
sendiri pasti juga berubah seperti sarang tawon.
Ia menjerit kaget sambil
menarik tangan dan mendoyong ke belakang, sekalian ia terus berjumpalitan ke
belakang, sekalipun dia selalu menyiapkan jalan mundur, tidak urung sekali ini
bajunya terserempet robek oleh senjata rahasia sendiri.
Dalam pada itu tubuh Ciong
Cing juga telah menumbuk dinding, tapi tenaga dorongan Pwe-giok juga pas sampai
di situ saja, maka tumbukan pada dinding itu hampir tidak ada artinya, tubuhnya
memberosot ke bawah dengan air muka pucat, tapi tidak terluka sedikit pun.
Dengan sendirinya Pwe-giok
juga tidak cedera, namun gusarnya bukan alang kepalang terhadap manusia keji
ini.
Orang ini ternyata tidak
segan-segan mengorbankan gadis yang telah menolongnya, bahkan mencintainya
dengan sepenuh hati, hati orang ini tidakkah berpuluh kali lebih keji dan lebih
ganas daripada binatang buas?
Sambil meraung gusar, Pwe-giok
terus menubruk ke arah Kwe Pian-sian.
Saking gemasnya, sekali ini
dia tidak sungkan-sungkan lagi, dari bertahan ia mulai menyerang. Tenaga
pukulannya bergulung-gulung, tampaknya lunak, namun mendampar dengan dahsyatnya
sehingga patung Toa-pekong ikut bergoncang.
Sekali ini Kwe Pian-sian
terpaksa harus menandingi pula dengan sepenuh tenaga.
Meski tenaga dalam Kwe
Pian-sian sangat kuat, tapi kelihatan sukar bertahan lama. Maklumlah, ia tidak
biasa bertempur mati-matian dengan lawan, biasanya musuh sukar menemukan dia,
umpama bertemu, dengan tipu akalnya yang licik sudah cukup baginya untuk
menghadapinya, hakekatnya dia jarang mengeluarkan tenaga.
Apalagi akhir-akhir ini dia
dilukai pula oleh Kim-yan-cu. Tikaman itu hampir mengirimnya ke akhirat. Coba
kalau dia tidak selalu membawa obat luka mujarab, tidak nanti dia dapat sembuh
dengan cepat, apalagi hendak bertempur dengan Ji Pwe-giok sekarang.
Dengan kekuatannya ini jelas
dia bukan tandingan Ji Pwe-giok, tapi jurus serangannya justeru sedemikian
aneh, sedemikian cepat, gerakannya berubah-ubah tidak menentu, pukulan pertama
digunakannya dengan keras, pukulan berikutnya mendadak berubah lunak. Macam-macam
gaya dan ragam jurus serangannya, hampir setiap aliran dan perguruan di daerah
Tionggoan dan di luar perbatasan dikuasainya dengan baik.
Diam-diam Pwe-giok terkesiap,
beberapa kali ini hampir termakan oleh serangan lawan yang aneh, mau-tak-mau ia
harus bertempur dengan penuh kewaspadaan. Setelah beberapa puluh jurus, tanpa
terasa Pwe-giok sendiri sudah mandi keringat.
Tiba-tiba terdengar Kwe
Pian-sian berseru: "Apakah anda bertekad akan membunuhku?"
Pertanyaan ini sebenarnya
adalah pertanyaan Pwe-giok, tapi sekarang malah dipertanyakan olehnya Pwe-giok
jadi melengak, jawabnya dengan suara berat: "Betul!"
"Sebab apa?" tanya
Kwe Pian-sian pula.
"Sebab kalau anda hidup
di dunia ini, makan dan tidurku juga takkan tenteram," kata Pwe-giok.
Dilihatnya waktu bicara napas
Kwe Pian-sian sudah rada terengah-engah, jelas keadaannya sudah payah, seperti
busur yang sudah terpentang penuh dan sukar ditarik lagi Pwe-giok tidak ayal,
serangannya tambah gencar, ia benar-benar hendak membinasakan orang ini untuk
menyelamatkan masyarakat.
Butiran keringat tampak
memenuhi dahi Kwe Pian-sian, gerak serangannya sudah lemah, semangat ada tenaga
kurang, kini serangannya lebih banyak pura-pura belaka, lambat-laun ia sudah
terdesak ke pojok ruangan.
Ciong Cing memandanginya
dengan termenung, air mata tampak meleleh di pipinya.
"Baik, lebih baik mati
saja," ucap Kwe Pian-sian dengan menyesal. "Memangnya apa artinya
hidup bagiku jika orang yang paling dekat denganku juga tidak sudi lagi
membantuku."
Wajah Ciong Cing tidak nampak
sesuatu perasaan, katanya dengan suara parau: "Jika kau mati akan kutemani
kau!"
"Untuk apa kau temani
diriku, temani dia saja!" ucap orang she Kwe itu.
Pwe-giok menjadi gusar,
sepenuh tenaga ia menghantam.
Mendadak dilihatnya kedua
tangan Kwe Pian-sian menekuk ke kanan dan menikung ke kiri, seperti lemas tanpa
tenaga sedikitpun, akan tetapi gaya pukulannya serupa seratus bunga yang baru
mekar serentak. Pukulan Pwe-giok itu ternyata terbendung, betapapun sukar
menembus pertahanan lawan.
Nyata itulah kungfu istimewa
Pek-hoa-bun!
Hendaklah maklum bahwa Kwe
Pian-sian sangat merahasiakan asal-usulnya, ia paling tidak suka ada orang
mengetahui hubungannya dengan Hay-hong Hujin. Sebab itulah bila tidak kepepet,
tidak nanti dia mengeluarkan ilmu silat Pek-hoa bun atau perguruan seratus
bunga, lebih-lebih tidak mau memainkan ilmu pukulan Kay-pang.
Hampir seluruh ilmu silat di
dunia ini yang dikuasainya dimainkannya, hanya kedua macam kungfu yang paling
menjadi kemahirannya disisakan dan baru dikeluarkan pada waktu kepepet.
Pwe-giok terkesiap melihat Kwe
Pian-sian tidak berganti ilmu silat aliran lain lagi. Ia menjadi heran,
pikirnya: "Jangan-jangan ilmu silat Pek hoa-bun adalah kungfu perguruannya
yang sebenarnya?"
Setelah bergebrak lagi
beberapa kali, akhirnya Pwe-giok melompat mundur dan berseru: "Apakah kau
murid Pek-hoa-bun?"
Gemerdep sinar mata Kwe
Pian-sian, jawabnya perlahan: "Tiada lelaki dalam perguruan Pek-hoa-bun,
masa kata-kata ini tidak pernah kau dengar?"
"Jika demikian, mengapa
kau sedemikian apal ilmu silat Pek-hoa-bun?"
"Memangnya kungfu aliran
lain aku tidak paham?" jawab Kwe Pian-sian dengan angkuh.
Pwe-giok menatapnya pula
sejenak, katanya kemudian: "Jadi matipun tidak mau kau katakan hubunganmu
dengan Pek-hoa-bun?"
Kwe Pian-sian menengadah dan
bergelak tertawa, ucapnya: "Biarpun lukaku belum sembuh dan tenaga kurang,
kukira kaupun belum tentu dapat membunuh diriku. Memangnya kau kira orang she
Kwe ini akan minta ampun padamu?!"
Pwe-giok jadi melengak,
tadinya ia mengira orang ini bukan saja keji, bahkan juga takut mati. Tak
tersangka orang justeru berwatak angkuh begini. Setelah terdiam sejenak, lalu
katanya dengan gegetun: "Jika begini tinggi hati watakmu, mengapa caramu
bekerja serendah dan sekotor ini?"
"Hm, selama hidupku,
setiap tindak-tandukku hanya ku pertanggung-jawabkan kepada diriku sendiri,
untuk apa harus kupikirkan bagi orang lain? Jika kau bermaksud memeras diriku
dengan kematianku, jalan pikiranmu ini kan teramat mentertawakan?"
Kembali Pwe-giok melengak,
kekejian orang ini di luar dugaannya, keangkuhan orang bahkan lebih-lebih di
luar dugaan. Nyata, sejak mula ia sudah salah menilai orang ini.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian
bertanya: "Kau terus menerus bertanya mengenai hubunganku dengan
Pek-hoa-bun, sesungguhnya ada urusan apa?"
"Soalnya aku tidak
bergebrak dengan anak murid Pek-hoa-bun," jawab Pwe-giok.
Berubah air muka Kwe
Pian-sian, katanya dengan bengis: "Apa sebabnya? Memangnya apa hubunganmu
dengan Kun Hay-hong?"
Selagi Pwe-giok merasa heran
oleh perubahan sikap Kwe Pian-sian itu, mendadak Ciong Cing melompat maju dan
berseru dengan suara terputus-putus: "Kau...kau sudah berjanji padaku
bahwa selanjutnya kau tidak akan menyebut namanya lagi, mengapa... sekarang kau
tanyakan hubungan orang dengan dia? Apakah... kau tetap tak dapat melupakan
dia?"
Kwe Pian-sian melototi nona
itu, sorot matanya mencorong gusar.
Seketika Ciong Cing menggigil,
ucapnya dengan suara parau: "Mengapa kau ikut campur urusan orang lain
dengan dia? Apakah...apakah kau masih cemburu?"
Dengan gusar Kwe Pian-sian
mendelik, lama dan lama barulah sorot matanya berubah tenang kembali, katanya
dengan menyesal: "Yang cemburu sekarang bukanlah diriku melainkan
kau."
Dengan suara serak Ciong Cing
berseru: "Caramu perlakukan diriku tadi membuktikan sikapmu padaku hanya
tipuan belaka. Apabila dia, tentu takkan kau perlakukan dia seperti caramu
tadi. Sekarang kau sangat benci padaku dan lebih suka bila aku mati, begitu
bukan?"
Kwe Pian-sian termenung
sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Jika aku mati, kau akan
mengiringi aku. Bila kau mati, memangnya harus kuiringi kau?"
Ciong Cing mendekap tubuh
sendiri erat-erat, sesaat ini, ia merasa hanyutlah harapannya, runtuhlah
segalanya, air matanya berderai bagai hujan, akhirnya ia menjatuhkan diri ke
atas tanah dan menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok jadi melenggong.
Dengan perlahan Kwe Pian-sian
berkata pula: "Sekarang tanpa kujelaskan tentu kau tahu apa hubunganku
dengan Pek-hoa-bun bukan?"
"Betul," jawab
Pwe-giok sambil menarik napas dalam-dalam.
Perlahan Kwe Pian-sian
membelai rambut Ciong Cing, lalu berkata: "Sungguh tak kusangka anak
perempuan selembut ini bisa mempunyai rasa cemburu sebesar ini."
Melihat tangan Kwe Pian-sian
terletak di atas kepala Ciong Cing, Pwe-giok menjadi kuatir dan berseru:
"Kau...kau hendak membunuhnya?"
"Untuk apa kubunuh
dia?" ujar Kwe Pian-sian. "Meski dia telah membocorkan rahasia
pribadiku, semua ini adalah karena cemburunya yang besar. Kalau dia tidak
menyukai diriku dengan sungguh hati masa dia dapat cemburu atas diriku?"
Mendadak ia bergelak tertawa
dan menyambung pula: "Hahahaha! Aku dapat membunuh orang dengan seribu
alasan, tapi tidak nanti membunuh dia lantaran cemburu atas diriku!"
"Orang...orang macam kau
ini juga memperhatikan urusan begini?" ucap Pwe-giok dengan sangsi.
Perlahan Kwe Pian-sian
menghentikan tertawanya, di antara mata-alisnya terlihat menampilkan semacam
rasa kesepian, katanya kemudian: "Kau tahu, meski selama hidupku mempunyai
kekasih yang tak terhitung banyaknya, tapi tiada satu pun yang cemburu atas
diriku seperti dia ini."
Pwe-giok termangu-mangu,
akhirnya ia berkata: "Semua ini adalah rahasia lubuk hatimu, mengapa kau
katakan padaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum
hambar, ucapnya: "Jika seorang tak dapat kubunuh, maka aku harus
menganggap dia sebagai sahabatku. Dengan demikian hatiku akan terasa tenteram,
cuma saja..." Dengan sungguh-sungguh ia menyambung:"... dapat kuberi
jaminan padamu, sampai saat ini, sahabatku belum ada tiga orang."
Dengan tajam Pwe-giok
menatapnya, ia merasa watak orang ini benar-benar sangat ruwet dan sukar
dipercaya, dia seolah gabungan dari tiga empat orang yang berwatak paling
ekstrim.
Dia mungkin seorang yang takut
mati, kalau kau hendak membunuh dia, bisa jadi dia akan lari atau menipu kau,
bahkan menggunakan berbagai tipu muslihat yang sukar kau duga, tapi pasti tidak
akan mohon belas kasihan dan minta ampun padamu, Jika kau bertekad akan
membunuhnya, untuk itu kau harus mengadu jiwa dengan dia.
Kwe Pian-sian juga sedang
memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat dan berucap dengan tersenyum: "Dan
sekarang, kau inilah sahabatku yang ketiga."
"Tapi darimana kau tahu
aku akan mau menjadi sahabatmu?" jawab Pwe-giok, ia pun tertawa.
Dengan angkuh Kwe Pian-sian
berkata: "Diriku ini boleh dikatakan salah seorang tokoh yang paling
berkuasa dan berpengaruh di bu-lim, bahkan juga tokoh yang paling kaya raya di
dunia ini. Barang siapa dapat bersahabat denganku, maka berbahagialah dia
selama hidup."
"Bagimu, alasan yang kau
katakan memang cukup kuat," ujar Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh.
"Tapi bagiku, jika kuterima kehendakmu, bukankah aku seakan-akan menjadi
Siaujin (orang kecil, pengecut) yang suka mengumpak ke atas dan menjilat
penguasa?"
Sambil bicara, ia terus
membalik tubuh dan melangkah pergi.
"Jangan pergi dulu,
sahabat!" bentak Kwe Pian-sian.
Meski tidak berpaling, tapi
langkah Pwe-giok lantas berhenti, ucapnya perlahan: "Setelah anda gagal
mendapatkan sahabat seperti diriku ini, apakah kau ingin coba-coba lagi
membunuhku?"
"Dapatkah aku membunuh seseorang,
cukup ku tahu sendiri dan tak perlu pakai coba-coba," kata Kwe Pian-sian.
"Hanya saja... Anda sendiri kan belum coba-coba, mengapa kau menolak
tawaranku?"
Pwe-giok menghela napas
panjang, katanya: "Perlu diketahui, hanya karena hubungan erat Anda dengan
Pek-hoa-bun, maka sekarang ku pergi dengan hormat, soal bersahabat... orang
macam Anda ini, betapapun aku tidak berani menaksir."
"Soalnya karena kau
anggap aku ini orang yang berhati keji dan bertangan ganas, begitu?"
"Memangnya Anda tidak mengaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum,
katanya pula: "Racun meski dapat membunuh orang, kalau digunakan dengan
tepat, terkadang juga dapat menolong, betul tidak? Ada semboyan yang menyatakan
"menyerang racun dengan racun", tanpa kujelaskan tentu kau pun tahu
akan khasiatnya."
Pwe-giok terdiam sejenak,
gumamnya kemudian: "Menyerang racun dengan racun..."
Mencorong sinar mata Kwe
Pian-sian, ucapnya pula dengan suara mantap: "Orang seperti anda ini,
apabila dapat bekerja sama denganku, kuberani menjamin, tidak sampai tiga tahun
kita pasti dapat menjagoi bu-lim dan merajai dunia."
Pwe-giok tetap belum lagi
berpaling, ucapnya dengan tak acuh: "Tidaklah anda terlalu
membesar-besarkan ambisimu?!"
"Memangnya terhitung
ambisi macam apa ini?" seru Kwe Pian-sian. "Seorang lelaki sejati,
hidup di jaman begini, kan seharusnya berbuat sesuatu yang mengguncangkan bumi
dan mengejutkan langit. Kalau Ji Hong-ho itu boleh menjadi bengcu dunia
persilatan, kenapa kita tidak boleh? Orang she Ji itu, hm, tampangnya saja
kelihatan halus dan baik budi, padahal kusangsikan kejujurannya,
tindak-tanduknya kelihatan main sembunyi-sembunyi, jelas dia seorang munafik,
asalkan kita dapat membongkar kedoknya..."
Belum habis ucapannya,
serentak Ji Pwe-giok membalik tubuh, mukanya yang semula agak pucat tampak
bersemu merah penuh semangat, ia memburu ke depan Kwe Pian-sian dan berseru:
"Baik, cukup satu kata saja persetujuan kita. Selanjutnya kita
bersatu-padu untuk menghadapi manusia yang berhati binatang itu! Supaya mereka
pun kenal bagaimana pribadi Ji Pwe-giok ini!"
Seorang yang biasanya tenang
dan lembut, kini mendadak bersemangat dan sangat emosi, hal ini rada-rada di
luar dugaan Kwe Pian-sian, tapi setelah sinar matanya gemerdep, segera ia
menjulurkan tangannya dan berkata dengan tertawa: "Baik, satu kata ini
sebagai persetujuan dan tidak boleh menyesal!"
Pwe-giok menengadah dan
tergelak, katanya: "Apakah kau lihat aku ini mirip orang yang suka ingkar
janji?"
Mendadak di atas ruangan
terdengar seorang tertawa dan berseru: "Haha, hanya kalian berdua saja
ingin malang melintang di dunia ini? Kukira masih selisih sekian jauhnya!"
Orang ini ternyata Gin-hoa-nio
adanya.
Tadi Pwe-giok tidak menutuknya
dengan tenaga berat, maka sekarang Hiat-to yang tertutuk itu sudah terbuka
dengan sendirinya, maka segera ia tahu siapa orang yang bicara ini.
Sudah tentu yang terkejut
ialah Kwe Pian-sian, namun orang ini pun cukup tabah dan tenang, bahkan
mengangkat kepala saja tidak, ia malah menanggapi dengan tertawa seram:
"Hm, selisih apa menurut pendapatmu?!"
"Selisih diriku!"
kata Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
Dia sudah melemaskan otot
tulangnya di atas belandar, lalu membersihkan debu kotoran yang menempel
bajunya, dikeluarkannya sapu tangan untuk mengusap muka, kemudian baru melompat
turun dengan enteng.
Pribadi Gin-hoa-nio dapat
digambarkan sebagai berikut: Kalah kau suruh dia membuka baju dan menari
telanjang di depan lima ratus pasang mata lelaki, maka dia pasti akan
melakukannya dengan muka berseri-seri tanpa malu sedikit pun. Tapi jika menghendaki
dia muncul di depan umum dalam keadaan urat nadinya belum lancar, mukanya belum
bersih dan bajunya kotor, maka mati pun dia tidak mau, sebab hal ini baginya
adalah jauh lebih memalukan daripada perbuatan apa pun.
Kwe Pian-sian hanya
memandangnya sekejap, seketika mencorong sinar matanya.
"Hihihi, bagaimana,
lumayan bukan aku ini?" ucap Gin-hoa-nio dengan kerlingan yang bisa bikin
lelaki jatuh kelengar.
"Ya, lumayan bahkan lebih
dari lumayan," jawab Kwe Pian-sian dengan rada gelagapan.
Gin hoa nio menghela napas,
ucapnya pula dengan menunduk:" Sayang diatas sana tidak ada cermin, kalau
ada, tentu aku akan jauh lebih enak dipandang."
"Begini saja sudah
cukup," ujar Kwe Pian-sian dengan tertawa.
Mendadak Ciong Cing memburu
maju dan membentak dengan mata melotot: "Kau ini siapa? Mengapa kau
mencuri dengar rahasia orang di sini? Apakah kau tidak ingin hidup lagi?"
"Eh, adik cilik,"
jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa nyaring," jangan kau menakuti diriku,
nyaliku biasanya sangat kecil."
"Jika begitu, lekas enyah
kau!" bentaknya dengan gusar.
Gin-hoa-nio tertawa ngikik,
ucapnya:" Adik cilik yang baik, tidak perlu kau usir diriku, ku tahu kau
ini gentong cuka (maksudnya pencemburu), tapi jangan kau salah sangka,
perempuan macamku ini, kalau ingin lelaki, cukup jariku bergerak saja dan
lelakipun akan datang sendiri, masa perlu kurebut lakimu?"
Sampai pucat muka Ciong Cing
saking dongkolnya, tapi tak tahu cara bagaimana melayani orang.
Pwe-giok lantas menyela:
"Jika kau ingin merecoki anak perempuan, hendaklah kau cari sasaran yang
lain."
Terkial-kial Gin-hoa-nio
tertawa, katanya:" Ku tahu Ji-kongcu pasti akan membela keadilan lagi,
tapi ......ai, mohon janganlah engkau marah, aku tidak takut terhadap
siapa-siapa, hanya takut padamu!"
Dia memandang Kwe Pian-sian
sekejap, lalu berkata pula dengan tertawa kenes: "Aku dan dia boleh
dikatakan senasib, sama-sama pernah keok di bawah tangan Ji-kongcu. Sekarang
kalau Ji-kongcu menyuruh kami berduduk, tidak nanti kami berani berdiri."
Berulang-ulang dia menyebut "senasib"
dan "kami" seolah-olah dia dan Kwe Pian-sian sudah menjadi sepasang
merpati yang sehidup dan semati tak terpisahkan.
Pwe-giok tahu Gin-hoa-nio
mulai lagi main gila, hanya dengan beberapa patah-kata saja Kwe Pian-san sudah
digaet ke pihaknya.
"Sesungguhnya apa
kehendakmu, boleh cepat kau katakan saja!" ucapnya dengan menghela napas.
Gin-hoa-nio mengerling genit,
jawabnya: "Bukankah tadi sudah kukatakan?"
"Tapi aku tidak paham apa
maksudmu?" kata Pwe-giok.
"Kan sudah kukatakan,
bila kalian ingin merajai dunia, kukira masih selisih sekian jauhnya, tapi
kalau diriku ditambahkan...." dia tertawa manis, lalu menyambung:
"Dengan tenaga gabungan kita bertiga barulah benar-benar tiada
tandingannya lagi di dunia ini."
"Hahahaha!" Kwe
Pian-sian terbahak-bahak." Kiranya kaupun ingin bersekutu dengan
kami."
"Betul, ingin ku jadi
sahabatmu yang ke empat," jawab Gin-hoa-nio dengan main mata.
Kwe Pian-sian memandangnya
dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, ucapnya kemudian dengan
tersenyum:" Perempuan cantik semacam kau, untuk menjadi selir raja saja
melampaui syarat, tapi belum cukup kalau ingin menjadi sahabatku."
Sambil menggerakkan pinggulnya
Gin-hoa-nio bertanya dengan tersenyum genit:" Masa aku kalah dibandingkan
para kekasihmu itu?"
"Kekasih dan sahabat
tidaklah sama," ujar Kwe Pian-sian. "Kekasihku memang jumlahnya sukar
dihitung, tapi sahabatku hanya tiga. Malahan yang dua sudah lama mati."
Gin hoa-nio menggigit bibir,
katanya kemudian:" Jika demikian, cara bagaimanakah baru dapat ku jadi
sahabatmu?"
"Coba katakan dulu syarat
apa saja yang kau miliki," kata Kwe Pian-sian.
Dengan kerlingan mautnya,
Gin-hoa-nio menjawab dengan tertawa:" Sekalipun aku bukan perempuan
tercantik di dunia ini, tapi ku tahu cara bagaimana membikin senang lelaki.
Jika kau tidak percaya, selanjutnya lambat laun kau pasti akan tahu."
"Ya, kupercaya selekasnya
aku pasti akan tahu," kata Kwe Pian-sian dengan memicingkan mata.
"Tapi ini saja belum
cukup."
"Akupun terhitung wanita
yang paling berpengaruh di dunia ini, cukup dengan sepatah kataku saja segera
dapat kukerahkan beberapa ribu orang di lima propinsi sekitar sini."
Apa yang ditambahkan
Gin-hoa-nio ini memang bukan bualan, sebab kekuasaan Thian-can-kau di wilayah
propinsi-propinsi yang dimaksud memang sudah tersebar sampai setiap pelosok.
Tapi Kwe Pian-sian tetap
menanggapi dengan tertawa hambar:" Kebaikan satu-satunya bila jumlah orang
banyak hanya lebih banyak nasi yang harus disediakan."
Gin hoa nio mengerling,
katanya pula: "Dan aku pun wanita yang paling kaya di dunia ini, kekayaan
ku mungkin setan pun dapat ku beli. Jika kau tidak percaya, sebentar lagi dapat
kubuktikan."
Terbeliaklah mata Kwe Pian
sian, ucapnya dengan tertawa: "Wah, kalau begitu, rasanya sudah
mendekati."
"Tapi ini pun belum
cukup," tiba-tiba Pwe giok menimbrung.
Gin hoa nio memelototi anak
muda itu sekejap, lalu berkata pula dengan perlahan: "Kekejian hatiku,
keganasan caraku, kuyakin tidak di bawah siapa pun juga. Jika kau ingin
"menyerang racun dengan racun", maka tiada yang lebih cocok lagi
daripada mencari diriku, apalagi ...." dengan tersenyum ia meneruskan:
"Aku pun seorang perempuan, ada sementara urusan akan jauh lebih leluasa
dilakukan oleh perempuan seperti diriku ini daripada lelaki."
Pwe giok berpikir sejenak, kemudian
berkata dengan tertawa: "Baik, kukira sudah cukup sekarang."
"Dan kau?" tanya Gin
hoa nio sambil menatap Kwe Pian sian.
"Kau adalah sahabatku
yang ke empat," jawab orang she Kwe itu dengan tertawa.
Gin hoa-nio berkeplok tertawa,
katanya: "Bagus, sekarang kalau ada orang yang berani merecoki kita, maka
celakalah dia!"
ooo 000 ooo
Pada setengah hari sebelumnya,
mimpi pun Pwe giok tidak menyangka dirinya dapat bersekutu dengan seorang
lelaki seerti Kwe Pian sian dan seorang perempuan seperti Gin hoa nio. Tapi
sekarang jalan pikirannya sudah berubah sama sekali.
Pertemuan Hong ti tempo hari
boleh dikatakan sudah menjaring seluruh pahlawan dan ksatria golongan Pek to
(golongan baik), setiap orang yang mengaku sebagai pendekar pembela kebenaran
dan keadilan, kini sudah tunduk dan menurut kepada "Ji Hong ho",
seorang diri cara bagaimana Ji Pwe giok mampu melawannya? Dan siapa pula yang
mau percaya kepada apa yang dikatakan anak muda ini?
Karena itulah, terpaksa Pwe
giok mencari jalan yang lain, satu-satunya jalan yang dapat ditempuhnya, yaitu:
"Menyerang raun dengan racun".
Kini ia sudah tahu jelas wajah
asli orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pendekar dan ksatria itu.
Misalnya Tong Bu siang, itu ketua keluarga Tong yang termasyhur, berapa lebih
banyak kebaikannya dibandingkan Gin hoa nio?
Maka kawan yang dicarinya
sekarang adalah orang-orang yang biasanya dipandang jahat seperti ular atau
kelabang, hanya dengan cara demikian ia dapat menyingkap wajah asli orang-orang
yang mengaku sebagai ksatria dan pendekar itu.
Falsafah yang dianut Pwe giok
sekarang adalah berdasarkan hati nuraninya sendiri, asalkan dirinya merasa
benar, maka cukuplah, perduli pendapat orang lain?
ooo 000 ooo
Di sini adalah sebuah tanah
pekuburan yang sepi dan dingin.
Sudah jauh malam, bulan guram
bintang suram. Alang-alang tinggi mengelilingi gundukan kuburan yang tak
terawat, barangkali tiada tempat lain di dunia yang lebih hening dan rawan dari
pada tempat ini.
Yang tertanam di sini
rata-rata adalah kaum miskin yang hidup sengsara dan direndahkan, waktu hidup
mereka nelangsa, sesudah mati mereka pun kesepian dan kapiran.
Ciong Cing memegangi tangan
Kwe Pian sian erat-erat, tapi matanya memelototi Gin hoa nio, katanya dengan
mendongkol: "Untuk apa kau bawa kami ke sini? Apa maksudmu?
Gin hoa nio tertawa, jawabnya:
"Apakah kau takut, adik yang baik? Sesungguhnya tempat ini tidak
menakutkan, bahkan boleh dikatakan sangat menarik."
Terbelalak lebar mata Ciong
Cing, teriaknya: "Menarik? Kau bilang tempat begini ini menarik?"
"Pada malam bulan
purnama, arwah setan kuburan ini akan bangun dari kuburan masing-masing dan
menari di bawah sinar bulan yang terang. Coba lihat, bisa jadi sekarang juga
mereka sudah muncul," dengan tertawa Gin hoa nio berkata.
Kebetulan angin meniup dan api
setan (posfor) beterbangan, pepohonan sama bergemerisik sehingga mirip bisikan
setan.
Ciong Cing merinding dan
menggigil, tapi ia berlagak tabah dan mendengus: "Huh, jika benar mereka
muncul dan menari di sini, aku akan ikut menari bersama mereka."
Gin hoa nio tertawa
terkekeh-kekeh, katanya: "Bagus, melihat anak perempuan cantik seperti
kau, tentu saja mereka akan berebut menari dengan kau, bahkan pasti tidak mau
melepaskan kau lagi."
Bergidik Ciong Cing, tanpa
terasa ia menubruk ke rangkulan Kwe Pian-sian. Maka tertawalah Gin-hoa-nio
hingga terpingkal-pingkal.
Dengan tersenyum Kwe Pian-sian
lantas berkata: "Boleh juga kau, hanya kau yang dapat menyembunyikan harta
pusaka di tempat begini."
Gin-hoa-nio mengerling genit,
ucapnya: "Apa yang kulakukan ternyata tak dapat mengelabui kau. Isi hatiku
juga cuma kau saja yang tahu, apakah kita berdua memang berasal dari
sejenis?"
Pwe-giok menghela napas,
katanya dengan gegetun: "Moga-moga orang sejenis kalian ini tidak terlalu
banyak di dunia ini."
"Orang sejenis kami ini
pasti tidak banyak, cukup kami berdua saja," jawab Gin-hoa-nio dengan
tertawa, lalu ia melirik Kwe Pian-sian dan menambahkan: "Betul
tidak?"
Baru saja Kwe Pian-sian
tertawa dan belum bicara, serentak Ciong Cing melonjak dan menjengek: "Hm,
seumpama kau ingin memikat lelaki, kan tidak perlu di tempat begini?"
"Wah, lihatlah, gentong
cuka kita pecah lagi," seru Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok berkerut kening,
katanya: "Apakah benar kau sembunyikan harta bendamu itu di dalam kuburan?"
"Betul," jawab
Gin-hoa-nio. "Kutemukan dua orang gelandangan, kuberi minum arak mereka,
ketika mereka sudah lebih dari setengah mabuk, kubawa mereka ke sini untuk
menggali sebuah kuburan baru, orang mati di dalam peti kubongkar, lalu kuganti
dengan harta pusakaku dan peti mati kututup kembali."
Dia tertawa terkikik-kikik,
lalu menyambung pula: "Coba, bagus tidak akalku ini? Di sini adalah
kuburan setan rudin, maling penggali kuburan juga takkan menaksirnya. Bila
kutanam harta karunku di sini, kecuali setan, siapa yang tahu?"
Kwe Pian-sian tersenyum,
katanya: "Dan kedua orang yang kau suruh menggali itu?"
"Kutahu caraku
menyelesaikan mereka tentu tak dapat mengelabui kau," ujar Gin-hoa-nio
dengan tertawa. "Setelah mereka membantuku, dengan sendirinya harus
kubalas jerih payah mereka, maka kusediakan satu poci arak yang paling enak,
kuiringi mereka menghabiskan arak sepoci penuh itu..." dia menghela napas,
lalu menyambung lagi dengan tersenyum: "Cuma sayang, dasar orang melarat,
diberi arak enak juga tak sanggup menikmatinya, belum habis arak diminum mereka
sudah mabuk dan tak pernah bangun lagi."
Perbuatan rendah dan keji ini,
andaikan orang lain berani melakukannya, tentu juga tidak berani
membicarakannya kepada orang lain. Tapi cara Gin-hoa-nio bicara bukan saja
bangga seolah-olah harus diberi piala, bahkan ia berkisah seperti perbuatannya
ini harus dicatat dalam sejarah.
Kwe Pian-sian memandang
Pwe-giok sekejap lalu berkata: "Jika kedua orang itu mau menggali kuburan
bagimu, dengan sendirinya mereka pun bukan manusia baik-baik. Orang semacam
mereka itu biarpun sehari mati sepuluh atau seratus juga tidak perlu
disayangkan. Betul tidak, Ji-heng?"
Sebenarnya Pwe-giok hendak
bicara sesuatu, tapi sekarang dia hanya menghela napas saja.
Begitulah mereka berempat
terus berputar kian kemari mengelilingi tanah pekuburan itu, sampai sekian
lamanya, mendadak Gin-hoa-nio berhenti dan berkata: "Ini dia, di sini.
Dihitung dari sebelah timur, inilah kuburan ke-27. Pohon kecil di atas kuburan
ini malah aku sendirilah yang menandurnya.
"Tidak perlu kau jelaskan
lagi, kupercaya tidak nanti kau lupakan pekerjaanmu ini," kata Pwe-giok.
"Kuburan ini sudah tidak
ada orang matinya melainkan cuma terdiri dari gundukan tanah belaka," kata
Gin-hoa-nio pula. "Ku tahu Ji-kongcu kita pasti tidak sudi menggali
kuburan, kalau mencangkul tanah tentunya tidak menjadi soal bukan?"
Padahal sebenarnya dia tidak
perlu lagi memancing-mancing Ji Pwe-giok, keadaan anak muda ini sekarang sudah
jauh lebih terbuka daripada dahulu, segala apa dirasakannya sebagai kejadian
biasa saja, mana dia mempersoalkan gali kuburan segala.
Setelah gundukan tanah
dibongkar, tertampaknya sebuah peti mati dari kualitas rendah.
"Ini dia, memang peti
mati inilah," kata Gin-hoa-nio. "Di atas peti malah sudah kuberi
tanda. Isi peti mati ini sebenarnya seorang perempuan muda, konon mati kaku
saking gemasnya karena suaminya punya istri muda." Mendadak ia berpaling
dan tertawa terhadap Ciong Cing, katanya: "Coba bandingkan, bukankah rasa
cemburunya jauh lebih gede daripadamu?"
Muka Ciong Cing tampak pucat
pasi, ia menggigit bibir dan tidak menjawab.
Gin-hoa-nio terkikik-kikik,
katanya pula: "Konon seorang kalau sudah mati, biarpun mayatnya sudah
digotong pergi, tapi kalau malam tiba, arwah setannya tetap akan pulang dan
tidur di peti matinya. Karena kalian adalah perempuan sejenis, bila kubuka peti
mati ini, dia pasti takkan mencari orang lain, orang pertama yang akan
dicarinya pastilah kau. Maka lebih baik lekas kau menyingkir
sejauh-jauhnya."
Meski sedapatnya Ciong Cing
bikin tabah hatinya, tapi tanpa terasa langkahnya malah menyurut mundur. Ketika
angin malam meniup, ia merasa punggungnya dingin, rupanya keringat dingin telah
membasahi bajunya.
"Kriuut", tutup peti
mati telah dibuka. Gin-hoa-nio sendiri yang bermaksud menakuti orang mendadak
menjerit kaget malah.
Suaranya yang parau
kedengarannya seperti lengking setan di malam sunyi.
Kwe Pian-sian dan Ji Pwe-giok
juga saling pandang belaka, mereka seolah-olah juga melenggong kaget.
Di dalam peti mati ternyata
tiada harta karun segala, yang ada hanya sesosok mayat yang mengerikan.
Wajahnya yang abu-abu dan setengah menyeringai itu seakan-akan hendak berkata
kepada Gin-hoa-nio: "Bukan saja arwah setanku sudah pulang ke sini, bahkan
mayatku juga pulang lagi!"
Angin meniup pula dan
alang-alang gemerisik, api setan bertaburan di udara.
Saking kejutnya Gin-hoa-nio
berteriak: "Jelas-jelas mayatnya telah ku bongkar keluar dan jelas-jelas
ku taruh harta pusakaku di dalam peti, mengapa...mengapa sekarang..." ia
merasa kedua kakinya lemas, belum habis ucapannya ia lantas jatuh terduduk.
Di bawah cahaya bintang yang
remang-remang, tangan orang mati itu tampaknya memegang secarik kertas. Kwe
Pian-sian mendapatkan satu ranting kayu dan mencungkit kertas itu, ternyata di
situ tertulis: "Waktu hidupku keluargaku berantakan akibat seorang
perempuan hina, sesudah mati sekarang kau pun akan merampas lagi rumahku
ini?"
Kedua baris huruf itu tertulis
dengan tak teratur, kertas itupun terasa seram, Kwe Pian-sian merasa jari
sendiripun rada gemetar dan kertas itu pun terjatuh. Betapapun tabahnya, tidak
urung merinding juga dia.
Hanya Ji Pwe-giok saja,
peristiwa aneh dan sukar dibayangkan ini sudah banyak dialaminya, maka ia tidak
kaget juga tidak takut, dengan hambar ia tanya Gin-hoa-nio: "Waktu kau
tanam harta karunmu itu, apakah benar tidak dilihat orang lain?"
Gin-hoa-nio sudah berbangkit,
tapi tubuh masih gemetar, jawabnya dengan terputus-putus: "Ti...tidak
ada!"
"Anehlah kalau
begitu," kata Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Jika demikian, kecuali
kedua orang itu hidup kembali, kalau tidak masa..."
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong di kejauhan berkumandang suara orang tertawa terkekeh-kekeh
sambil berseru:
"Wah, lezat, nikmat, arak
enak, arak bagus, tambah satu poci lagi!"
Di tengah suara tertawa aneh
itu, sebuah lampu berkerudung warna merah seperti api setan melayang-layang
tiba dalam kegelapan. Sesudah dekat baru kelihatan di balik lampu masih ada dua
sosok bayangan orang.
Gin-hoa-nio ketakutan dan
berteriak: "Itu...itu dia...kedua orang inilah!"
Kwe Pian-sian mencengkeram
tangannya dan bertanya dengan suara tertahan: "Racunmu manjur atau
tidak?"
"Kenapa tidak?"
jawab Gin-hoa-nio dengan suara parau. "Racun Thian-can, tiada obatnya di
dunia!"
Tiba-tiba orang yang membawa
lampu merah itu terkekeh-kekeh pula dan berkata: "Hehehe, kau kira setelah
kami mati kau racuni lantas segala urusan akan beres?!"
Seorang lagi menanggapi dengan
suara serak: "Sudah mati kami hidup kembali dan sengaja hendak menagih nyawa
padamu!"
Di bawah cahaya lampu yang
merah itu, wajah kedua orang samar-samar kelihatan berlepotan darah, mata,
telinga, hidung, mulut, semuanya penuh darah yang bertetes-tetes.
Mendadak Kwe Pian-sian
membentak: "Orang mati mana bisa hidup kembali? Biarlah kalian mati sekali
lagi!" Berbareng itu berpuluh bintik sinar perak terus menyambar ke depan
bagai hujan.
Kedua orang itu menjerit satu
kali terus roboh terjungkal, lampu merah itu lantas menyala, di tengah gemerdep
cahaya api tubuh kedua orang itu tampak berkelojot, lalu tidak bergerak lagi.
"Haha, kiranya setan juga
tidak perlu ditakuti, hanya secomot senjata rahasia saja tidak tahan!"
seru Kwe Pian-sian sambil tertawa.
"Tapi...tapi mereka
jelas-jelas sudah pernah mati... masa seorang bisa mati dua kali?" seru
Gin-hoa-nio dengan gemetar.
Mencorong sinar mata Pwe-giok,
tanyanya dengan suara tertahan: "Apakah betul racun Thian-can tidak dapat
diobati, sampai perguruanmu sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya?"
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, cepat
ia melompat ke depan kedua sosok mayat itu, di bawah cahaya api yang belum
padam itu ia memeriksa sejenak, tiba-tiba dia bergelak tertawa pula.
"Apa yang kau tertawakan?
Masa cairan yang mengalir di muka mereka itu bukan darah?" tanya Kwe Pian
sian.
Gin hoa nio tidak menjawabnya,
tapi terus tertawa dan berseru: "Ayah, jika Anda sudah datang, mengapa
tidak keluar saja kemari?"
Dalam kegelapan sunyi senyap,
mana ada jawaban orang?
Segera Gin hoa nio berkata
pula: "Kiranya ayah selalu mengikuti jejakku, harta karun yang kutanam di
sini telah engkau gali. Kuracun mati kedua orang ini, engkau pun menghidupkan
mereka. Engkau tahu aku pasti akan kembali lagi ke sini, maka engkau lantas
menggunakan mereka untuk menakuti diriku?"
Dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu
menyambung pula: "Sekarang anak benar-benar hampir mati ketakutan, sekali
pun ayah hendak menghukum anak, tapi rasanya anak kan sudah cukup dihukum dan
mestinya engkau tidak keberatan untuk keluar dan bertemu dengan anak?"
Di tempat gelap di kejauhan
sana akhirnya bergema suara seorang: "Pusaka perguruan kita ternyata akan
kau caplok sendiri, dosamu ini sebenarnya pantas dihukum mati, mayat hidup tadi
hanya sekedar hukuman kecil saja, bila tidak mengingat kau adalah anakku
sendiri, tentu kuhukum kau menurut peraturan perguruan."
Suara itu mengambang terbawa
angin, kedengarannya sudah berpuluh tombak jauhnya.
Gin hoa nio menghela napas
lega, gumamnya: "Keji amat, satu biji mutiara saja tidak disisakan
bagiku."
Kwe Pian sian termenung agak
lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Sang ayah ternyata tega menyamar
sebagai setan untuk menakuti anak perempuan sendiri, kejadian ini sungguh
jarang ada di dunia."
"Apakah kau kira dia
benar-benar cuma hendak menakuti aku saja?" tanya Gin hoa nio.
"Masa bukan begitu?"
kata Kwe Pian Sian.
"Tadinya dia mengira aku
pasti akan datang sendirian, bila aku ketakutan dan jatuh pingsan maka tamatlah
riwayatku. Dengan demikian aku akan mati secara konyol, jadi setan pun tidak
tahu siapa yang membunuh diriku. Beginilah biasanya cara Thian can kau kami
membunuh orang."
"Tapi jangan lupa,
betapapun dia kan ayahmu?" ujar Pwe giok sambil berkerut dahi.
"Ayah? Memangnya kenapa
kalau ayah?" tukas Gin hoa nio dengan hambar. "Thian can kau hanya
kenal peraturan perguruan dan tidak kenal kasih sayang sanak keluarga. Kali ini
aku tidak dibunuhnya hanya karena dia merasa tidak sanggup merecoki kalian
berdua."
Tiba-tiba ia tertawa
terkial-kial lalu menyambung pula: "Coba kalian pikir, bilamana dia
seorang yang berperasaan, pantaskah menjadi Thian can kaucu?"
Kwe Pian sian menghela napas
panjang, katanya: "Sungguh Thian can kaucu yang tidak bernama kosong!
Kekejian hatinya dan keganasan tindakannya sungguh aku pun rada-rada kagum
padanya."
"Dan ada ayah demikian
barulah ada anak seperti aku ini," tukas Gin hoa nio. "Meski dia
ingin membunuhku, tapi aku tidak menyalahkan dia, malahan aku merasa bangga
mempunyai ayah seperti dia ini."
"Hm, sekarang kau sepeser
saja tidak punya apa yang kau banggakan?" jengek Kwe Pian sian.
Gin hoa nio memandangnya
termangu-mangu sejenak, tiba-tiba dia tertawa terkikik-kikik pula, katanya:
"Hihihi, kau memang tidak malu sebagai sejenis denganku. Orang kaya
memandang hina orang miskin, ini kan lumrah. Aku sendiri pun suka menghina
orang rudin. Tapi kalau orang seperti diriku ini sepeser saja tidak punya,
bukankah setiap orang di dunia ini akan mati melarat seluruhnya?"
"Memangnya kau...."
Belum lanjut ucapan Kwe Pian
sian dengan tertawa Gin hoa nio memotong: "Walaupun aku tidak tahu
diam-diam dibuntuti dia, tapi sebelumnya akupun sudah berjaga-jaga akan
kemungkinan ini. Sebagian harta pusakaku sudah kusembunyikan di tempat
lain."
"Oo, di mana kau
sembunyikan?" Kwe Pian Sian jadi tertarik.
"Sudah tentu di tempat
yang selamanya takkan kalian temukan," ujar Gin hoa nio dengan tertawa
penuh rahasia.
ooo 000 ooo
Bahwa ada orang yang menyimpan
harta karun di suatu tanah pekuburan yang sunyi, di dalam peti mati seorang
perempuan miskin dari rakyat biasa ini saja tidak pernah dibayangkan orang.
Tapi sekarang Gin hoa nio bilang sebagian harta karunnya tersimpan di suatu
tempat yang tak mungkin ditemukan orang lain. Lalu tempat ini bukankah
lebih-lebih sukar untuk dibayangkan?"
Siapa tahu Gin hoa nio
bukannya membawa mereka ke suatu tempat yang terlebih sepi dan lebih seram
daripada kuburan, tapi berbalik membawa mereka ke suatu tempat yang ramai, ke
suatu kota kecil yang tidak jauh dari tanah pekuburan itu.
Meski suasana kota sudah
sunyi, namun kelihatan bangunan kota kecil ini cukup menarik.
Melihat orang-orang itu sama
heran dan sangsi, Gin hoa nio lantas berkata dengan tertawa: "Tentunya
semula kalian menyangka tempat yang akan kutunjukkan pasti suatu tempat
terlebih terpencil dan lebih rahasia, siapa tahu aku malah membawa kalian masuk
ke kota yang ramai ini, jadi kalian terheran-heran, begitu bukan?"
"Ya," jawab Pwe
giok.
Gin hoa nio menunjuk deretan
rumah di dalam kota dan berkata pula: "Kota kecil ini bernama Li toh tin,
rumah yang agak tinggi di ujung sana itu adalah sebuah rumah penginapan yang
bernama Li keh can. Kira-kira setengah bulan yang lalu pernah kutinggal
beberapa hari di hotel itu dengan membawa harta karunku itu."
"Memangnya sebagian harta
itu kau sembunyikan di Li keh can itu?" dengus Ciong Cing.
"Betul, tampaknya kau
sudah mulai pintar," kata Gin hoa nio dengan tertawa. Lalu ia menyambung:
"Lebih dulu kubungkus sebagian batu pertama dengan sepotong kain hitam dan
kutaruh bungkusan ini di antara rusuk atap rumah, kemudian ku masukkan sisa
harta yang lain ke dalam peti dan kusembunyikan di peti mati itu.
Ciong Cing mencibir,
jengeknya: :Huh, kukira kau sembunyikan barangmu di tempat yang luar biasa, tak
tahunya cuma kau taruh di atap rumah, anak kecil saja dapat menemukan tempat
begini."
"Adik yang baik, meski
kau tidak bodoh, bahkan tampaknya mulai pintar, tapi apa yang kau lihat
sesungguhnya terlalu sedikit, banyak urusan yang tidak kau pahami," kata
Gin hoa nio dengan tertawa. "Meski tempat yang kugunakan ini tampaknya
sangat sederhana, tapi sebenarnya tempat yang paling aman, bila kau tidak
percaya boleh kau tanya dia... Dia pasti jauh lebih paham daripadamu...."
ia melirik ke arah Kwe Pian sian dan bertanya: "Betul tidak?"
"Betul," jawab Kwe
Pian sian. "Tempat yang paling mudah diketemukan orang terkadang malah
tidak diperhatikan dan takkan dicari ke situ, sebab siapa pun tidak percaya
bahwa barang-barang yang begitu berharga akan kau sembunyikan di tempat
begitu."
"Apalagi," tukas Gin
hoa nio, "dengan tindakanku itu, sekalipun ada orang diam-diam menguntil
diriku, ketika melihat kusembunyikan peti harta karun ke dalam peti mati, tentu
dia takkan menyangka sebagian dari harta pusaka itu sudah kusembunyikan dulu di
atas rumah."
Dia melirik sekejap ke arah
Ciong Cing, lalu bertanya dengan tertawa: "Nah, adik cilik, sekarang tentunya
kau paham bukan?"
"Hm, aku tidak mempunyai
kebiasaan main sembunyi-sembunyi begitu, urusan begini hakekatnya tidak perlu
kupahami," jengek Ciong Cing.
"Memang, cukup bagimu
asalkan kau paham minum cuka saja," kata Gin hoa nio dengan tertawa genit.
Saking dongkolnya sampai jari
Ciong Cing gemetar, tapi tidak sanggup bersuara lagi.
Gin hoa nio berucap pula:
"Ku tahu di depan hotel itu ada sebuah rumah kecil berloteng, dari atas
loteng dapat melihat jelas setiap gerak-gerik di sekitarnya. Boleh kita ke
loteng itu dulu baru nanti memutuskan cara bagaimana kita harus
bertindak."
"Tak tersangka caramu
bekerja juga secermat ini," ujar Kwe Pian sian dengan tersenyum.
"Orang yang bekerja
cermat tentu akan hidup lebih lama sedikit.... Bukankah kita bertiga sama-sama
orang yang suka bekerja cermat?" kata Gin hoa nio dengan tertawa.
Di atas loteng kecil itu
memang dapat memandang sekelilingnya, bahkan hampir seluruh kota kecil itu
dapat terlihat dengan jelas, di atas loteng inilah Kim yan cu menyaksikan Gin hoa
nio mengerjai "su ok siu" atau tempat binatang buas itu.
Sekarang Gin hoa nio juga
mengajak mereka ke atas loteng ini untuk mengintip orang lain. Mereka mengitar
ke belakang rumah, lalu meloncat ke atas loteng.
Baru saja mereka berjongkok
dan mengintai ke sana, seketika mereka berempat sama melenggong.
Sudah jauh malam begini, rumah
penginapan di depan itu ternyata masih terang benderang, jendela juga masih
terbentang, entah sejak kapan di sekeliling rumah itu sudah ditambah beberapa
bangku tinggi, di atas bangku tersulut lilin raksasa sebesar lengan sehingga
rumah yang paling besar di Li toh tin ini terang benderang seperti di siang
hari.
Sebuah meja besar tampak
tertaruh di tengah ruangan, dua orang duduk berhadapan sedang main catur. Di
samping mereka berdiri beberapa orang dengan berpangku tangan, asyik menonton
pertandingan catur itu.
Main catur sampai jauh malam,
hal ini jarang terlihat, bahkan yang menonton juga berminat mengikutinya sampai
laut malam begini, sungguh kecanduan catur mereka ini jarang terdapat.
Yang paling aneh bukanlah
permainan catur dan penontonnya melainkan kedua pemain catur, yakni yang
mengejutkan Ji Pwe giok dan lain-lain, karena kedua pemain catur itu adalah
Tong Bu siang dan Ji Hong ho.
Yang menonton di samping
selain Lim Soh koan yang dikenal Pwe giok itu, yang lain-lain kebanyakan gagah
perkasa, jelas semuanya jago silat pilihan.
Ciong Cing juga terkejut,
sebab mendadak dilihatnya tokoh Kangouw sebanyak itu, ia menjadi kuatir kalau
di antaranya ada yang kenal dia sehingga jejaknya akan ketahuan gurunya itu.
Sedangkan terkejutnya Kwe Pian
sian adalah karena semula dia menyangka Tong Bu siang dan Ji Hong ho sedang
berbuat sesuatu yang kotor yang tidak boleh diketahui orang lain. Tak tersangka
kedua orang ini justeru menuju ke Li toh tin sini untuk main catur.
Ji Pwe giok juga terkejut, ia
pun tidak menyangka kedua orang itu bisa main catur di sini, lebih-lebih tidak
tahu "Tong Bu siang" yang sedang main catur ini Tong Bu siang tulen
atau palsu.
Yang paling terkejut di antara
mereka berempat ialah Gin hoa nio. Sampai lama ia melenggong, akhirnya ia
menghela napas perlahan dan berkata: "Thian benar-benar tidak mau
membantu, orang-orang ini tidak mau ke timur atau ke barat, tapi justeru main
catur di sini. Dengan beradanya mereka di situ, untuk mengambil barang,
terpaksa kita harus menunggu."
"Marilah pergi
saja!" ajak Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
"Pergi?" Gin hoa nio
menegas.
Kwe Pian sian membisikinya:
"Habis kita tidak tahu sampai kapan baru permainan catur mereka akan
berakhir. Bahkan habis main catur mereka pun belum tentu akan segera pergi, kan
percuma kalau kita hanya menunggu saja di sini."
"Tidak, kita tidak boleh
pergi," tiba-tiba Pwe giok menyela. "Betapapun, baik tulen atau palsu
"Tong Bu siang" ini, dia harus tetap membayanginya hingga
jelas."
Segera Gin hoa nio menyatakan
setuju. "Betul, betapa pun kita harus tetap berjaga di sini."
"Tapi fajar sudah hampir
menyingsing, apakah kita dapat tinggal lama-lama di sini?" kata Kwe Pian
sian.
Gin hoa nio tertawa, katanya:
"Di atas sini tentu tidak dapat, tapi di dalam rumah kan boleh?"
Segera ia mengitar ke bagian
belakang dan melongok ke bawah, ia coba mendorong daun jendela tingkat bawah,
jendela ternyata tidak tertutup, dengan mudah ia membuka daun jendela dan
melayang turun ke sana.
Meski Pwe giok tidak suka
sembarangan terobosan di rumah orang, tapi dalam keadaan mendesak ia pikir
memang tidak jalan lain, terpaksa ia pun ikut melayang masuk ke sana.
Di dalam rumah itu tiada
lampu, jendela yang lain juga tertutup rapat, suasana dalam rumah menjadi gelap
gulita, sampai jari sendiri pun tidak kelihatan. Gin hoa nio lantas
mengeluarkan ketika dan membuat api.
Tadinya ia menyangka di dalam
rumah pasti tidak ada orang, andaikan ada tentu juga sudah tidur seperti babi
mampus. Siapa tahu, begitu api menyala, tiba-tiba diketahuinya ada dua pasang
mata sedang memandangnya dengan diam-diam.
Kedua pasang mata itu
terbelalak lebar, sama sekali tidak berkedip.
Keruan Gin hoa nio terkejut
pula, hampir saja obornya jatuh.
Terlihat sekarang, di dalam
rumah yang terpajang cukup indah dan resik ini ada sebuah tempat tidur yang
sangat besar, di situ berbaring satu orang dengan rambut kusut, mukanya pucat
dan kurus kering, hampir tidak menyerupai bentuk manusia lagi.
Saat ini belum musim dingin,
tapi orang ini memakai beberapa lapis selimut tebal, sekujur badannya
terbungkus rapat di dalam selimut, hanya kepalanya saja yang menongol di luar.
Di sampingnya berduduk seorang anak perempuan yang tampaknya baru berusia 11
atau 12, anak ini kelihatan ketakutan sehingga tubuhnya meringkuk menjadi satu,
hanya kedua matanya yang besar itu sedang memandang pendatang-pendatang yang
tidak diundang ini.
Setelah mengetahui siapa-siapa
yang menghuni kamar ini, Gin hoa nio tidak banyak pikir lagi, dengan tertawa
manis ia menyapa: "Sudah jauh malam begini, apakah kalian belum
tidur?"
Nona cilik itu mengiakan
sambil manggut-manggut.
"Jika tidak tidur,
mengapa tidak menyalakan lampu, seperti kucing saja bersembunyi dalam kegelapan,"
kata Gin hoa nio pula.
Kembali nona cilik itu hanya
terbelalak dan menggeleng.
Orang yang tampaknya sakit
sudah sangat parah itu tiba-tiba tersenyum rawan, ucapnya: "Di sini tidak
ada lampu."
"Tidak ada lampu?"
Gin hoa nio menegas dengan berkerut kening.
Si sakit menghela napas,
ucapnya: "Jiwaku sudah tinggal menunggu ajal saja, apa gunanya cahaya
lampu? Menanti datangnya ajal dalam kegelapan akan mengurangi rasa takut dan
gelisah."
Dia bicara dengan suara lemah,
ada hawa tidak ada tenaga, seolah-olah napasnya setiap saat bisa berhenti.
Gin hoa nio memandanginya
sejenak, katanya kemudian: "Orang sebanyak ini mendadak menerobos masuk
kamarmu, apakah kau tidak takut?"
"Orang yang sudah hampir
mati, rasanya tidak ada sesuatu lagi di dunia ini yang perlu ditakuti,"
ujar si sakit dengan hambar.
"Betul," tukas Gin
hoa nio dengan tertawa, "seorang yang sudah hampir mati memang juga ada
faedahnya. Misalnya.... mestinya akan kubunuh kau, tapi sekarang aku menjadi
tidak tega."
Tiba-tiba ia meraba kepala anak
perempuan itu dan bertanya dengan suara halus: "Dan kau.... apakah kau pun
tidak takut?"
Anak perempuan itu berpikir
sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Sacek (paman ketiga) toh
sudah hampir meninggal, maka aku pun tidak ingin hidup lagi."
"Makanya kau tidak
takut?" Gin hoa nio menegas.
"Y, tidak takut,"
jawab anak perempuan itu dengan mata terbelalak lebar.
"Jika kau tidak takut,
dengan sendirinya kau tidak akan berseru dan berteriak bukan?" tanya Gin
hoa nio.
"Sacek suka ketenangan,
selamanya aku tidak pernah bicara dengan suara keras," jawab anak itu.
"Ehm, bagus, jika
demikian hidupmu akan bertahan lebih lama," ujar Gin hoa nio dengan
tertawa. Ia tidak menghiraukan lagi kedua orang ini, dia mendorong jendela yang
di depan itu, hanya sedikit saja daun jendela itu terbuka, lalu ia mengintai ke
bawah. Ternyata setiap gerak-gerik di rumah seberang sana dapat terlihat dengan
jelas.
Sementara itu obor yang
dipegang Gin-hoa-nio sudah padam, keadaan gelap gulita pula, suasana juga sunyi
senyap, hanya terkadang terdengar suara "kletak", suara jatuhnya biji
catur di luar sana, suaranya nyaring menyentak pendengaran.
Si Sakit telah memejamkan
matanya, tapi mata si nona cilik justeru gemerdep di dalam kegelapan. Diam-diam
Pwe-giok mendekatinya dan bertanya dengan suara halus:
"Adik cilik, siapa
namamu?"
"Ah, pertemuan secara
kebetulan, untuk apa anda tahu namaku." jawab anak perempuan itu dengan
sayu.
Anak perempuan sekecil ini
dapat mengucapkan kata-kata seperti orang tua, Pwe-giok jadi melengak malah.
Siapa tahu anak dara itu
bahkan menatap Pwe-giok sekian lama, tiba-tiba ia berkata pula: "Tapi
lantaran kau sudah tanya, boleh juga kukatakan padamu. Namaku Cu Liu-ji, Liu
artinya air mata, sebab sejak kecil aku memang anak yang suka mengucurkan air
mata."
"Dan sekarang
kau..."
"Sekarang tidak
mengucurkan air mata lagi, mungkin sumber air mataku sudah kering."
Pwe-giok termangu-mangu
sejenak, katanya kemudian dengan gegetun:
"Apakah Sacekmu sudah
lama sakit ?"
"Ya, sudah empat-lima
tahun."
"Kau yang merawat dia
selama ini ?"
"Ehmm," Cu Lui ji
mengangguk.
"Masa tiada ditemani
orang lain ?"
"Sacek tidak mempunyai
sanak keluarga lain, hanya diriku." tutur Cu Lui-ji dengan pelahan.
Pwe giok menghela nafas
panjang, terbayang olehnya empat-lima tahun yang lalu, tatkala mana anak
perempuan ini hanya berumur tujuh atau delapan tahun. Itulah usia anak yang
lagi nakal dan paling suka bermain, tapi nona cilik ini justru harus menemani
seorang sakit yang sudah kempas-kempis dan telah hidup selama empat-lima tahun
di loteng kecil yang sunyi dan rawan ini, malahan dimalam haripun tanpa lampu.
Setelah menghela nafas
panjang, Pwe giok tidak tahu pula apa yang harus diucapkannya.
Suasana di dalam rumah sunyi
senyap seperti kuburan, ditengah keheningan yang mencekam inilah fajar
menyingsing dan pelahan-lahan tampak remang-remang menembus kertas jendela,
dikejauhan mulai ramai terdengar ayam berkokok.
Ciong Cing sudah tertidur
dengan mendekap di atas tubuh Kwe Pian-sian. Sorot mata Kwe Pian sian masih
terus menatap lekat-lekat kepada orang sakit yang hampir mati itu dan entah apa
pula yang sedang dipikirnya.
Tiba-tiba Gin Hoa nio menguap
ngantuk, ucapnya dengan menghela nafas pelahan :
"Setengah malam kedua
orang itu main catur, biji catur yang bergeser hanya tiga kali, tampaknya
pertandingan mereka ini biarpun sampai lima tahun depan juga belum
berakhir...."
Tiba-tiba pula ia mendekati si
anak perempuan dan berkata dengan tersenyum :
"Ku tahu kau ini anak
perempuan yang pintar, maukah kau turun ke bawah sana, buatkan nasi yang agak
lembek serta beberapa macam sayur untuk sarapan para paman dan bibi ini ?"
Cu Lui ji sama sekali tidak
bergeser, jawabnya dengan tak acuh:
"Tidak, aku tidak mau
pergi, tidak boleh kutinggalkan sacek."
"Pergilah sayang, anak
kecil mana boleh membantah kehendak orang tua ?" ujar Gin hoa-nio dengan
tertawa.
Cu Lui ji sama sekali tidak
memandangnya, jawabnya pula:
"Tidak, aku tidak mau
!"
Tertawa Gin hoa-nio tambah
lembut, ucapnya dengan suara halus:
"Ku tahu sama sekali kau
tidak takut padaku, makanya tidak menurut kepada perkataanku, begitu bukan
?"
Di mulut ia bicara lembut,
tapi tangannya telah menampar satu kali di muka Cu Lui ji. Muka nona cilik yang
putih pucat itu seketika merah bengkak, namun dia tetap tidak bergerak, bahkan
matapun tidak berkedip, seperti tidak mempunyai daya rasa apapun, hanya tetap
terbelalak memandang Gin Hoa-nio.
Gin Hoa nio berkerut kening,
tanyanya dengan tersenyum:
"Apa yang kau lihat, kau
anggap tamparanku kurang keras, begitu ?"
Segera ia hendak memukul pula,
tapi tangannya keburu dipegang Pwe-giok.
"Ai. ku tahu kau akan
ikut campur lagi," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Pwe-giok berkata dengan
dingin:
"Jika kau masih ingin
berada bersamaku, selanjutnya hendaknya....."
Belum lanjut ucapannya,
mendadak Cu Lui ji mendekap mukanya dan berseru dengan suara gemetar:
"O, sakit...sakit sekali
kau pukul diriku !"
Gin Hoa nio jadi melengak,
tanyanya:
"Kupukul kau tadi dan
baru sekarang kau rasakan sakit ?"
"Oo, sakit...sakit
sekali...mati aku!" teriak Cu Lui-ji pula.
Melenggong Gin hoa-nio
memandangi anak dara yang aneh itu, seketika ia tidak sanggup bicara pula.
Sungguh tak terpikir olehnya
bahwa di dunia ini ada manusia yang berdaya rasa selambat ini, orang telah
memukulnya sejak tadi, sekian lama kemudian baru dia merasakan sakit.
Terlongong Gin Hoa nio memandangi nona cilik itu sehingga urusan makan nasi
jadi terlupakan.
Pada saat itulah, si sakit
yang seakan-akan sudah tidur itu tiba-tiba menghela nafas dan berkata :
"Jika kau takut sakit,
kenapa tidak kau turuti perkataan orang, pergilah ke bawah dan menanak
nasi."
Mendadak Cu Lui ji mendelik,
katanya sambil melototi Gin Hoa-nio:
"Sacek yang suruh aku
maka kuturuti, jika orang lain, biarpun aku mati dipukul juga takkan kukerjakan."
Dengan pelahan ia turun dari
tempat tidur dan alon-alon ia turun ke bawah loteng.
Melihat perawakan si nona yang
kurus dan lemah dengan wajah yang pucat, diam-diam Pwe giok menghela nafas
menyesal.
Baru sekarang Gin Hoa-nio
tertawa cerah, katanya:
"Tak tersangka watak anak
ini sedemikian keras, tampaknya serupa aku waktu kecil..." mendadak ia
berhenti bicara, biji matanya tampak berputar, mungkin teringat sesuatu
olehnya, segera ia menyambung pula dengan tertawa :
"Tapi kalau anak ini
serupa diriku waktu kecil, setelah kita makan nasinya, maka jangan harap lagi
akan dapat pergi dari sini dengan hidup. Rasanya aku harus turun ke bawah untuk
mengawasi dia."
"Anak sekecil itu, masa
kau takut diracuni olehnya ?" ucap Pwe-giok dengan dahi berkernyit.
"Ketika aku lebih kecil
daripada dia, orang yang mati kuracuni sudah lebih dari 80 orang," kata
Gin hoa nio sambil menoleh dan tertawa genit.
"O, jadi dia tidak takut
padamu, sekarang kau malah takut padanya ?" ujar Pwe-giok dengan tertawa
hambar.
Gin hoa-nio melenggong,
sungguh ia sendiripun tidak tahu mengapa bisa timbul semacam perasaan jeri yang
sukar dilukiskan terhadap anak perempuan yang kurus kecil itu. Padahal
menghadapi sorot mata Kwe Pian-sian yang begitu lihai saja tidak merasa takut
sedikitpun, tapi ketika anak perempuan itu menatapnya, dalam hati terasa rada
ngeri.
Sampai sekian lama ia
melenggong, katanya kemudian dengan tersenyum:
"Betapapun kan tiada
buruknya jika hati-hati, masa pesan orang tua ini kau lupakan ?"
Pwe-giok menghela nafas,
katanya:
"Daripada kau yang turun
ke bawah, lebih baik aku saja turun."
Di bawah loteng juga cuma
terdiri dari satu ruangan, hampir setengah ruangan tertimbun kayu bakar dan
sebagainya, hanya tersisa suatu sudut yang sempit, di situ ada gentong air, rak
mangkuk dan tungku.
Cu Lui-ji tampak berjongkok
disamping gentong dan sedang mencuci beras, sudah sekian kali ia membilas
berasnya, satu biji gabah saja diambilnya dari beras cuciannya dan
dikumpulkannya disamping.
Setelah beras masuk kuali,
lalu gabah yang dikumpulkannya tadi dibungkusnya dengan secarik kertas,
kemudian ia membersihkan lantai sebersih-bersihnya.
Pwe giok melihat ruangan
seluas ini terawat dengan sangat resik, bahkan tungku yang setiap hari
digunakan juga tiada bekas-bekas minyak setitikpun. Dapur ini ternyata jauh
lebih bersih daripada ruangan tamu orang lain.
Tangan yang kurus dan putih
kecil itu setiap hari harus melakukan pekerjaan sebanyak dan seberat ini tubuh
yang kurus kecil ini masa mampu melaksanakan tugas sebanyak ini ?
Tanpa terasa Pwe-giok menghela
nafas pula, katanya kemudian:
"Apakah setiap hari kau
bersihkan ruangan ini sebersih ini ?"
"Aku sudah terbiasa hidup
serba bersih," ucap Cu Lui-ji dengan tak acuh.
"Karena itulah bila
kulihat sesuatu yang kotor, aku lantas mual. Sesungguhnya, kalau tidak
terpaksa, memangnya siapa yang mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak
bersih ?!"
Mendadak ia berpaling dan
menatap Pwe-giok serta bertanya:
"Betul tidak ?"
Tergerak hati Pwe-giok,
jawabnya sambil menyengir:
"Betul, siapapun tidak
nanti suka berada bersama orang yang tidak bersih."
Mencorong sinar mata anak dara
itu, ucapnya pula dengan pelahan:
"Jika begitu… mengapa kau
berada bersama orang yang tidak bersih?"
Seketika Pwe-giok jadi
melenggong, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.
Sungguh aneh anak perempuan
ini, terkadang dia kelihatan begitu lemah dan harus dikasihani, tapi ada
kalanya dia berubah seperti orang dewasa yang sudah kenyang merasakan asam
garamnya orang hidup.
Dalam pada itu Cu Lui ji telah
menggeser kesana, dia berduduk di satu bangku kecil dan mulai mengipasi api
tungku sambil berbicara:
"Meski aku sangat jarang
keluar, tapi di atas loteng kecil ini banyak sekali yang dapat kulihat.
Bilamana kulihat hal-hal yang menarik lantas kuceritakan kepada Sacek, kalau
tidak entah betapa dia akan kesepian."
"Di... di atas loteng ini
sering kau lihat hal-hal yang menarik ?" tanya Pwe-giok dengan keheranan.
"Ya, sering…!" jawab
Cu Lui ji.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia
berpaling pula dan berkata:
"Satu hari, pernah
kulihat seorang perempuan yang sangat cantik, dengan caranya yang sangat aneh
dia telah membunuh sekian banyak orang. Coba apakah kau tahu siapa dia ?"
"Ya, ku tahu ialah orang
yang memukul kau tadi," jawab Pwe-giok.
"Siapa yang memukul ku
tadi ? Aku sudah lupa," kata Cu Lui ji dengan tersenyum hambar.
Tiba-tiba Pwe giok melihat
muka si nona yang merah bengkak terpukul tadi kini sudah halus putih lagi, sama
sekali tiada meninggalkan bekas setitikpun.
Didengarnya Cu Lui ji berkata
pula:
"Bila orang memukulmu,
kalau kau tidak mampu membalas, maka jalan paling baik adalah melupakan saja
kejadian itu agar hatimu tidak sedih"
"Tapi.... tapi setelah
kau dipukul orang, apakah betul harus selang sekian lama barulah kau rasakan
sakit?" tanya Pwe-giok.
Cu Lui-ji mencibir dan
tertawa, katanya: "Kalau sudah kena pukul kan mesti merasakan sakit,
perihal cepat merasakan sakit atau terlambat merasakan sakit tidaklah menjadi
soal. Sebab, makin cepat kau rasakan sakit, makin senang orang yang memukul kau
itu. Jika selang sekian lama baru kau rasakan sakitnya, maka orang lainpun
tidak dapat bergembira lagi." Ia merandek sebentar, lalu menyambung pula:
"Kalau aku sudah dipukul, kenapa aku mesti membikin orang bergembira pula?"
Kembali Pwe-giok melenggong.
Anak sekecil ini ternyata penuh dengan pikiran-pikiran yang serba aneh,
macam-macam jalan pikirannya yang aneh, sungguh sukar untuk diraba orang lain.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong di luar terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda,
menyusul lantas ramai dengan suara orang, jelas suara-suara itu berkumandang
dari rumah di seberang.
ooOoo
Halaman Li-keh-ceng memang
sudah berjubel-jubel dengan orang, bahkan makin datang makin banyak. Meski
Pwe-giok tidak dapat melihat jelas-jelas siapa mereka, tapi dia dapat
memastikan mereka pasti tokoh-tokoh Kangouw.
"Untuk apa orang-orang
ini datang ke sini? Apa mau melihat setan?" demikian Gin-hoa-nio
menggerundel.
"Jika Bulim-bengcu
sekarang sedang main catur dengan ketua keluarga Tong dari Sujwan yang
termasyhur, siapa orang Kangouw yang tidak ingin menontonnya?" kata Kwe
Pian-sian dengan tenang. "Cukup tiga hari saja berita ini tersiar, maka
halaman hotel Li itu pasti akan jebol dibanjiri pengunjung."
"Entah keparat siapa yang
menyiarkan berita ini?" kata Gin-hoa-nio dengan gemas.
Sudah tentu tiada yang
menjawab pertanyaannya, tapi Pwe-giok lantas paham persoalannya. Dengan
sendirinya berita itu sengaja disiarkan oleh Ji Hong-ho sendiri.
Sang "Bulim-bengcu"
sengaja menyiarkan berita hangat ini agar orang dunia persilatan menyaksikan
dia lagi main catur dengan Tong Bu-siang. Maka anak murid keluarga Tong takkan
curiga lagi akan hilangnya Tong Bu-siang secara mendadak.
Sedangkan orang lain
menyaksikan Bu-lim-bengcu yang terhormat itu lagi main catur dengan "Tong
Bu-siang" maka biarpun Tong Bu siang ini palsu, dengan sendirinya lantas
berubah menjadi tulen.
Begitulah saat itu di halaman
hotel sana sedang ramai orang memperbincangkan kejadian itu. Ada yang berkata.
"Inikah Ji Hong ho yang baru saja diangkat menjadi Bu-lim bengcu? Nyata
memang hebat, pantas tokoh semacam Ang lian pangcu juga menyerah padanya."
"Entah dapat tidak kita
minta Bengcu keluar untuk berbicara sebentar!" kata seorang lagi.
Maka tampaklah Lim Soh koan
muncul keluar, serunya dengan lantang: "Diharap para pengunjung suka
tenang dan sabar, babak permainan catur ini tampaknya masih harus berlangsung
tiga atau lima hari lagi, kukira lebih baik kalian mencari pondokan dulu, nanti
kalau Bengcu sudah menyelesaikan permainan catur ini barulah beliau dapat
leluasa berbicara dengan kalian, bila kalian ada kesulitan apa-apa boleh juga
dikemukakan nanti agar Bengcu dapat membereskan urusan kalian."
Seketika bergemalah sorak
sorai orang banyak. Nyata ketua "Bu-kek-pay" yang menjadi
Bu-lim-bengcu ini sangat dihormati dan disegani orang Kangouw. Tapi hal ini
membuat perasaan Pwe giok bertambah tertekan.
Terlihat Lim Soh koan masuk ke
dalam rumah, di halaman hotel lantas ramai lagi orang berbicara. "Apakah
dia ini Leng hoa kiam Lim Soh-koan yang tersohor di utara dan selatan
Tiangkang? Konon dia mempunyai seorang puteri kesayangan dan terkenal sebagai
wanita tercantik di dunia Kang ouw."
"Ya, tapi sayang sejak
dahulu kala hingga kini orang cantik kebanyakan pendek umur dan bernasib buruk.
Nona Lim ini mestinya sudah bertunangan dengan putera Bengcu kita, siapa tahu,
belum lagi pernikahan berlangsung, lebih dulu Ji kongcu sudah tewas di Su jin
ceng."
"Siapa yang membunuhnya,
masa Bengcu tidak menuntut balas bagi kematian anaknya?"
"Khabarnya Ji kongcu ini
rada-rada tidak beres otaknya sudah lama Bengcu putus asa terhadap putera
satu-satunya itu. Sekalipun nona Lim jadi menikah dengan dia juga harus
disayangkan."
Begitulah berisik orang ramai
itu membicarakan hal ikhwal Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok. Seketika Pwe giok
sendiri jadi terkesima. Butiran keringat tampak menghias dahinya.
Mendadak Gin hoa nio menutup
daun jendela, katanya dengan menyesal: "Coba, kau dengar tidak, jelas
mereka masih akan tinggal di sini dan entah berapa lama lagi kita harus
menunggu."
"Kau tidak perlu tunggu
lagi" mendadak Pwe giok berbangkit.
Gin ho nio berkejut:
"Kau....kau akan....."
"Ada sementara urusan,
semakin kau hindari semakin main sembunyi-sembunyi, orangpun semakin mencurigai
kau. Akan lebih baik apa bila kita hadapi saja secara
terang-terangan.....Lambat laun hal ini sudah mulai kupahami."
Ucapan Pwe giok ini entah
ditujukan kepada orang lain atau bicara kepada dirinya sendiri.
Tapi Gin hoa nio lantas
tertawa, katanya:" Apa yang kau maksudkan, sungguh aku tidak
mengerti?"
Namun sebelum habis perkataan
Gin hoa nio, Pwe giok terus turun ke bawah, ia membuka pintu dan keluar.
Cepat Gin hoa-nio menyingkap
daun jendela lagi sedikit, selang sejenak kemudian, benarlah di lihatnya Pwe
giok telah masuk ke halaman rumah sana, dia menyisihkan orang-orang yang
berkerumun itu dan langsung masuk ke dalam.
"Dia mempunyai sahabat
seperti diriku, dengan sendirinya nyalinya berubah besar," kata Kwe Pian
sian dengan tersenyum.
Gin hoa nio menghela napas, ucapnya
dengan perlahan: "Sebelum dia bersahabat dengan kau, dia pun bernyali
besar, lahiriah orang ini kelihatan lemah lembut seperti kucing, padahal dia
terlebih menakutkan dari pada harimau."
Ketika Pwe giok masuk ke
halaman rumah sana, serentak berpuluh pasang mata memandangnya dengan
terpesona. Maklum, jejaka setampan ini, biarpun lelaki juga ingin memandangnya
beberapa kejap.
Namun pandangan Pwe giok tidak
terarah kepada siapapun, dengan tersenyum ia menyisihkan kerumunan orang banyak
dan langsung masuk ke ruangan dalam.
Serentak para penonton
pertandingan catur sama menoleh dengan melengak, Lim Soh-koan berkerut kening
dan menegur: "Siapakah Anda? Bengcu sedang....."
"Cahye Ji Pwe-giok!"
jawab Pwe giok sebelum lanjut ucapan orang.
Mendengar nama "Ji Pwe
giok" seketika wajah Lim soh-koan berubah pucat pasi. Di luar sayup-sayup
juga terjadi kegemparan.
Semula "Ji Hong ho"
dan Tong Bu siang sedang memusatkan perhatian pada papan catur, kini tanpa
terasa merekapun berpaling dengan terkejut, Pwe giok hanya dipandangnya sekejap
saja. Tapi hal inipun sudah cukup bagi Pwe giok untuk memastikan bahwa Ji Hong
ho ini tidak mengenal wajah aslinya, "Tong Bu-siang" itu juga pasti
tidak mengenalnya, berdasarkan ini dia yakin Tong Bu-siang ini pasti palsu.
Sinar mata "Ji Hong
ho" tampak gemerdep, dengan tersenyum ia berucap: "Namamu Ji Pwe
giok? Sungguh tidak nyana nama Anda sama dengan nama puteraku yang almarhum,
sungguh sangat kebetulan."
Berhadapan dengan orang ini,
sungguh hati Pwe giok seolah-olah tertusuk-tusuk dan berdarah. Namun lahirnya
dia tetap tenang-tenang saja, dia malah tersenyum dan menjawab: "Aha,
sungguh beruntung dan bahagia bahwa aku dapat bernama dengan putera Anda."
"Entah ada keperluan
apakah kedatangan Anda ini?" Tanya Ji Hong ho dengan mengulum senyum.
"Aku ingin kembali ke
sini untuk mengambil sesuatu barang," jawab Pwe giok.
"Oo, masa di sini
terdapat barangmu?" ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Ya. Sebab beberapa hari
yang lalu pernah ku mondok di sini, tanpa sengaja sedikit barangku ketinggalan
di sini," kata Pwe giok pula.
Tampaknya Ji Hong ho sangat
tertarik oleh cerita Pwe giok itu, dengan tertawa ia berkata: "Di dalam
hotel sudah tentu banyak tamu yang pergi datang, semoga barang Anda masih
terdapat di sini."
Pwe giok memandangnya dengan
tenang, sejenak kemudian barulah ia berkata: "Barangku yang ketinggalan
ini terletak ditempat yang tidak menyolok, asalkan Bengcu mengizinkan, segera
ku......"
"Asalkan barangnya masih
ada, silahkan Anda mengambilnya" jawab Ji Hong ho dengan tertawa.
"Jika demikian, maafkan
kalau ku berlaku sembrono," ujar Pwe giok.
Mendadak tubuhnya mengapung
lurus ke atas, ia melayang ke atas belandar seluruh tubuh kaki maupun tangan,
sama sekali tidak memperlihatkan bergerak, bahkan dengkul juga tidak nampak
tertekuk sedikitpun, tapi tahu-tahu tubuhnya terapung ke atas.
Inilah
"Kan-te-poat-jong" atau membedol bawang di tanah tandus, semacam
Gingkang yang paling sukar dilatih.
Hendaklah maklum, di dunia
persilatan terdapat macam-macam perguruan, cara berlatih Gingkang setiap
perguruan itupun berbeda-beda dan mempunyai cara-cara khas sendiri. Tapi bila
mencapai gaya semacam "Kan-te-poat-jong" ini, maka dapat dikatakan
Gingkangnya sudah mencapai puncaknya yang paling sempurna.
Anak murid Bu tong pay misalnya,
bila sudah mencapai tingkatan "Kan-te-poat-jong" ini, maka gerak dan
gayanya akan sama seperti ini, begitu pula aliran lain, biarpun Siau-lim pay Go
bi pay atau Tiam jong pai, kalau sudah menguasai Gin-kang hingga tarap
Kan-te-poat jong, maka gayanya juga sama, tiada beda sedikitpun.
Sebabnya Pwe giok menggunakan
gaya Gin-kang tertinggi ini, maksud tujuannya agar orang lain tidak dapat
mengenali asal-usul ilmu silatnya. Malahan supaya orang lain menganggap dia
sengaja hendak pamer Gingkangnya yang hebat.
Ji Hong ho lantas berkeplok
dan tertawa, katanya: "Wah, Ginkang yang jempol!"
Kalau sang Bengcu sudah
berkata demikian dengan sendirinya orang yang berkerumun di halaman hotel itu
sama bersorak memuji. Hanya Gin hoa-nio saja yang berada di loteng kecil itu
tidak memperhatikan gerakan apa yang dilakukan Pwe-giok. Sebab yang buru-buru
ingin diketahuinya hanya harta karunnya yang disembunyikan itu apakah dapat
ditemukan kembali atau tidak.
Waktu dilihatnya Pwe giok
melompat turun dan tangannya benar-benar sudah memegang sebuah bungkusan kain
hitam yang besar dan berat, maka bergiranglah Gin hoa nio, hampir saja ia
bersorak gembira.
"Masih ada
barangnya?" dengan tersenyum Kwe Pian sian bertanya
"Tentu saja ada"
ucap Gin hoa nio dengan tertawa bangga. "Kan sudah kukatakan, barang
simpananku tidak nanti dapat ditemukan orang lain."
Kwe Pian sian tertawa,
katanya: "Hebat sekali Ji Pwe giok, bukan saja tabah, bahkan jua punya
otak. Dia berani mengambil bungkusanmu itu secara terang-terangan disaksikan orang
sebanyak itu. Dalam keadaan demikian, andaikan Ji Hong ho mengincar barangmu
juga tidak leluasa untuk turun tangan."
"Aha, sekarang dia sudah
hampir keluar...Wah, celaka...." sudah tertawa girang mendadak Gin hoa nio
mengeluh pula, air mukanya yang bergembira itupun seketika lenyap.
Sambil berkerut kening Kwe
Pian sian bertanya: "Ada apa? Masa Ji Hong ho tidak mau melepaskan dia
pergi?"
Mata Gin hoa nio tampak
melotot, ucapnya dengan suara parau: "Sialan! Tampaknya rase tua itu
(maksudnya Ji Hong-ho yang licin) tidak enak untuk main kekerasan, dia hanya
menyatakan ingin bersahabat dengan Ji Pwe giok dan berkeras minta Ji Pwe giok
tinggal saja di situ."
"Dan bagaimana sikap Ji
Pwe giok?" tanya Kwe Pian sian.
"Tampaknya dia dapat
menahan perasaannya. Dia malah tertawa.....Nah, sekarang dia sedang bicara,
katanya sehabis Ji Hong ho selesai main catur tentu dia akan datang lagi untuk
mohon petunjuk"
"Kau dengar apa yang
dibicarakannya?" tanya Kwe Pian sian.
"Berisik sekali di
halaman sana, mana bisa ku dengar ucapannya? Hanya dari gerak bibirnya dapat ku
terka sebagian besar apa yang diucapkannya"
Kwe Pian sian tertawa,
katanya: "Wah, banyak juga kepandaianmu..."
Mendadak Gin hoa nio berseru
tertahan: "Wah, celaka! Rase tua itu mendadak mengaduk biji caturnya, ia
malah menyatakan kalau bisa berada bersama dan mengobrol dengan ksatria muda
seperti Ji Pwe giok, biarpun tidak main catur juga tidak menjadi soal
baginya."
"Wah, jika begitu, kalau
Ji Pwe giok tidak ngotot dan main kekerasan, tampaknya tidak mudah baginya
untuk keluar," kata Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
Gin hoa nio tampak cemas juga,
katanya: "Dalam keadaan demikian, mana bisa dia bersikap keras tampaknya
dia juga rada gugup...."
Baru bicara sampai di sini,
mendadak terdengar seorang berseru lantang di halaman sana dengan tertawa:
"Haha, permainan catur yang menarik ini sukar dicari bandingannya, kalau
Bengcu tinggalkan setengah jalan bukankah para penggemar catur seperti kami ini
akan sangat kecewa?"
"He, siapa orang
itu?" seru Kwe Pian sian.
Wajah Gin hoa nio menampilkan
rasa girang, katanya "Ah, orang ini ternyata dapat mengembalikan biji
catur pada papannya seperti keadaan sebelum diaduk, bahkan satu biji saya tidak
keliru... Wah, nampaknya dia memang hebat..."
Belum habis ucapannya,
serentak Kwe Pian sian melompat mendekatnya dan ikut mengintai!.
Terlihat di seberang sana, di
dalam ruangan sudah bertambah dengan seorang pengemis muda berbaju berwarna
merah tua, kelihatan baru, tapi penuh tambalan. Kiranya dia inilah Ang lian
pangcu yang termasyhur.
Terlihat Ji Hong ho sedang
tertawa dan berkata: "Tak tersangka Ang lian pangcu juga penggemar catur,
tampaknya terpaksa harus kulanjutkan permainan ini"
Kwe Pian sian hanya memandang
sekejap saja kesana dan segera menutup rapat-rapat daun jendela, keringat
dinginpun berketes-ketes.
Gin hoa nio memandangnya
sekejap, katanya dengan tertawa genit:" He, kenapa kau sangat takut
padanya?"
Kwe Pian sian mundur kembali
ke tempat duduknya tadi, mana dia mampu bersuara lagi.
Gin hoa nio bergumam:
"Sungguh aneh, apakah Ang lian hoa sengaja datang untuk membantu Ji Pwe
giok? Jika benar kawan baik Ji Pwe giok, kenapa dia diam saja ketika melihat Ji
Pwe giok dilukai oleh Lm Tay ih...."
Dalam pada itu terdengarlah
suara terbukanya pintu di bawah, serentak Kwe Pian sian melonjak bangun. Ia
menghela napas lega ketika dilihatnya yang naik ke atas adalah Ji Pwe giok.
Cepat ia bertanya dengan suara parau:" Apakah Ang lian hoa melihat kau
masuk ke sini?"
"Untuk apa dia
memperhatikan diriku?" jawab Pwe giok dengan perlahan.
"Masa dia tidak kenal
kau?" tanya Kwe Pian sian
"Tidak kenal" jawab
Pwe giok sambil menghela napas menyesal.
Tentu saja ia sangat menyesal.
Baru saja ia berhadapan dengan sahabat baiknya, tapi tidak berani menegur sapa,
bahkan harus mengeluyur pergi secara diam-diam. Saat ini hatinya justru terasa
sangat pedih.
Meski dia kembali dengan
menyesal, tapi kepergiannya tadi bukannya sama sekali tidak membawa hasil.
Betapapun dia dapat mengetahui bahwa "Tong Bu-siang" yang senang main
catur itu adalah palsu. Maka diharapkannya semoga Tong Bu siang yang asli itu
belum lagi terbunuh.
Sementara itu Gin hoa nio
sudah lantas mengambil bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe giok itu dan
berkata: "Tempat ini tidak boleh ditinggali lama-lama, setelah barang
sudah ditemukan, hayo lekas kita berangkat"
"Sebelum Ang lian hoa
pergi, betapapun kita juga tak dapat pergi" kata Kwe Pian sian sambil
menarik muka.
Gin hoa nio tertawa genit,
katanya: "Kau takut dipergoki dia, aku kan tidak perlu takut, kalau aku
berkeras harus pergi, lalu bagaimana?"
"Kau takkan pergi"
ucap Kwe Pian sian sekata demi sekata.
Gin hoa nio mengerling,
tertawa tambah manis, katanya: "Betul, tentu saja aku takkan pergi. Kalau
kau masih tinggal di sini, mana dapat ku tinggal pergi?"
Dia masih memegangi bungkusan
hitam yang dibawa pulang Pwe giok tadi, ia memandang ke sana dan ke sini mirip
orang udik yang kuatir kecopetan, sungguh kalau bisa ia ingin telan bulat-bulat
bungkusan itu, dengan demikian barulah aman rasanya.
Sambil memandangi bungkusan
yang dipegang Gin hoa nio itu, mendadak Kwe Pian sian mendengus: "Hmm,
padahal boleh juga kalau kau ingin pergi, bahkan bungkusan itu boleh kau bawa
sekalian!"
Gin hoa nio melengak."
Betul?" katanya dengan curiga.
Dengan dingin Kwee Pian sian
menjawab: "Kenapa tidak kau periksa dulu isi bungkusanmu itu?"
"Apa isi bungkusan
ini?" tukas Gin hoa nio dengan tertawa. "Haha, tanpa melihatnya ku
tahu apa isinya."
Tapi iapun merasakan ucapan
Kwe Pian sian itu ada sesuatu maksud tertentu, meski begitu ucapannya dimulut,
bungkusan yang dipegangnya itu lantas ditimang-timang dan diraba-raba, mendadak
ia melonjak kaget dan berteriak:" Wah, celaka!."
Waktu bungkusan itu dibuka,
mana ada batu permata atau harta pusaka apa segala, isinya hanya pecahan
genteng melulu.
Begitu bungkusan itu terbuka,
seketika Gin hoa nio mirip kena dibacok orang satu kali, hampir saja ia jatuh
kelenger.
Ji Pwe giok dan Ciong Cing
juga terkesiap.
Hanya Kwe Pian sian saja yang
tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia malah mengejek: "Nah bagaimana?
apa isinya, tidak perlu dibuka kan sudah kau ketahui?"
Dengan suara terputus-putus
Gin hoa nio berkata: "Dan dari...darimana kau tahu..."
Kwe Pian sian tersenyum
hambar, katanya: "Jika isi bungkusan ini adalah batu permata yang berharga
tentu suara langkahnya waktu naik ke atas loteng ini berbobot lain....Memangnya
kau kira mata dan telingaku sama tidak bergunanya seperti dirimu?"
Mendelik Gin hoa nio, ucapnya
dengan menggigit bibir: "Tapi....tapi siapa pula yang mempermainkan
diriku, siapa yang menukar barangku ini? Padahal waktu kusimpan barangku ini
telah kulakukan dengan sangat teliti, bukan cuma jendela dan pintu saja kututup
rapat, bahkan lampu juga kupadamkan, siapa yang dapat mengetahui rahasiaku?"
Dia mengitari ruangan kamar
sambil bergumam pula: "Jangan-jangan Ji Hong-ho...ya, betul hanya rase tua
ini yang paling mencurigakan, dia datang ke sini dan menempati kamar yang
pernah kutinggali, bisa jadi segenap pelosok kamar itu telah diperiksanya seluruhnya."
"Jika benar harta pusaka
itu telah ditemukan dia, mungkin selama hidup ini jangan kau harap akan kau
dapatkan kembali." kata Pwe giok.
Kwe Pian sian juga diam saja,
ia hanya memandangi si sakit dengan termangu, orang sakit itu sejak tadi tidak
pernah bergerak sedikitpun.
Tanpa terasa pandangan Gin hoa
nio ikut menjurus ke sana. Tiba-tiba melihat si sakit yang tampaknya kurus
kering tinggal kulit membalut tulang itu. ditempat tidurnya yang tertutup
selimut itu tampak menonjol tinggi ke atas, di dalam selimut seperti
tersembunyi apa-apa.
Saat itu cahaya matahari
menyorot miring masuk dan menyinari selimut itu, kelihatan di dalam selimut itu
ada sesuatu yang bergerak-gerak.
Gemeredep sinar mata Gin hoa
nio, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tak tersangka aku
telah berubah menjadi orang buta melek. sampai apa yang terdapat di depan mata
tidak kulihat."
Sembari menyeringai segera ia
mendekati tempat tidur orang sakit itu.
"He, kau mau apa?"
seru Pwe giok dengan dahi berkerut.
Gin hoa nio tertawa
terkikik-kikik, katanya: "Di dalam selimut seperti ada permainan yang
menarik, ingin kusingkapnya agar kita dapat melihatnya."
Sementara itu ia sudah berada
di depan tempat tidur, segera tangannya terjulur.
Siapa tahu orang sakit itu
mendadak membuka matanya dan berkata sambil mendelik: "Asal sedikit saja
kau singkap selimut ini, mungkin kau akan segera mati tanpa terkubur."
Si sakit yang tampaknya sudah
senin-kemis itu mendadak bisa mengucapkan kata-kata begitu, matanya yang semula
tampaknya sayu dan guram itu kinipun mendadak memancarkan sinar yang tajam.
Entah mengapa, hati Gin hoa
nio merasa ngeri, tangan yang teratur itu tidak jadi meraih selimut, sebaliknya
ia malah menyurut mundur.
Perlahan si sakit pejamkan
matanya pula, mukanya tersorot cahaya sang surya, tampaknya tidak banyak
berbeda dengan mayat. Tidak mungkin sakitnya ini cuma paru-paru belaka.
Setelah tenangkan diri, dengan
tertawa. Gin hoa nio berkata pula: "Apakah betul selimut ini tidak boleh
disingkap?"
"Ya," jawab si
sakit.
"Tapi pembawaanku tidak
percaya kepada hal-hal yang mustahil, semakin tidak boleh dilihat, semakin
ingin kulihatnya," kata Gin hoa nio
Si sakit menghela napas,
katanya kemudian "Jika begitu, Lui ji, boleh kau perlihatkan
kepadanya."
Waktu dia bicara begitu
jelas." Cu Lui ji masih berada di bawah loteng, tapi baru selesai
ucapannya, tahu-tahu Cu Lui ji sudah naik ke atas, katanya sambil melototi Gin
hoa nio: "Benar-benar kau ingin melihatnya? Kau tidak akan menyesal?"
"Menyesal apa? Memangnya
di dalam selimut ini ada makhluk aneh?" ujar Gin hoa nio dengan tertawa,
walaupun begitu, di dalam hati sebenarnya sudah rada ngeri.....
Padahal kedua orang ini, yang
satu anak kecil kurus pucat, yang lain sakit keras, jelas tidak mungkin dapat
menyerang orang. Gin hoa nio sendiri tidak tahu sesungguhnya apa yang
menakutkan dirinya?
Dilihatnya Cu Lui ji lantas
turun ke bawah waktu naik lagi ia membawa sebuah mangkuk besar penuh berisi air
jernih. Ia keluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam, dengan kuku jari
dicukitnya setitik bubuk hitam yang disentilkan ke dalam air, air semangkuk
penuh itu seketika berubah menjadi hitam seperti tinta.
Gin hoa nio memandangnya
dengan kesima, iapun tidak dapat menerka permainan apa yang sedang dilakukan
nona cilik itu.
Lalu Cu Lui ji menaruh mangkok
besar itu di sudut kamar. ia pandang Gin hoa-nio dengan, katanya: "Tunggu
sebentar lagi hal-hal yang menarik segera akan muncul."
Senyuman, nona itu seakan-akan
mengandung sesuatu yang misterius, sampai Ji Pwe giok juga rada tegang. Mata
Gin hoa nio juga terbelalak lebar.
Tertampaklah selimut yang
menutupi badan si sakit itu mulai bergerak dengan keras, bergolak seperti ombak
samudera. Loteng kecil ini meski terang benderang oleh sinar matahari, akan
tetapi mendadak seperti berubah dingin menyeramkan.
Saking ketakutan Ciong Cing
sudah berjongkok dan meringkuk menjadi satu, kaki dan tangan sudah dingin
seluruhnya.
Gin hoa nio tak tahan,
katanya:" Apapun yang ter.....terdapat didalam selimut, aku.....aku tidak
ingin... tidak lagi ingin melihatnya..."
"Baru sekarang kau tidak
ingin melihatnya sudah terlambat" kata Cu Lui ji.
Pada saat itulah dari dalam
selimut mulai menongol sesuatu kiranya seekor kelabang.
Kelabang ini tidak besar,
bahkan jauh lebih kecil daripada kelabang umumnya, tapi seluruh badannya merah
terang mirip mainan buatan dari batu jade. Di belakang kelabang ini mengikat
pula dua-tiga puluh ekor kelabang lain yang beraneka warnanya dan besar kecil
tidak sama.
Satu persatu seperti berbaris
merayap keluar secara teratur. Jelas setiap ekor kelabang ini beracun sangat
jahat.
Gin hoa nio tertawa mengikik:
"Hihi kukira barang apa yang bisa menakuti orang, kiranya cuma kawanan
kelabang saja. Pada waktu berumur tiga tahun sudah biasa ku tangkap dan
main-main dengan kelabang yang lebih besar."
Apa yang dikatakannya memang
tidak bergurau. Orang Thian-can-kau masa takut pada kelabang? Cuma kawanan
kelabang ini bisa merayap keluar dari dalam selimut orang ini betapapun juga
satu kejadian yang aneh.
Meskipun Gin hoa nio masih
tertawa tapi tertawanya sudah mulai berubah menjadi menyengir.
Di belakang barisan kelabang
tadi ternyata mengikuti pula barisan tokek, lalu muncul lagi sejumlah ular
berbisa, katak buduk, kalajengking dan macam-macam lagi serangga berbisa yang
belum pernah dilihat Gin hoa nio, akan tetapi semuanya seperti mendapat
perintah, satu persatu merayap keluar secara teratur.
Akhirnya Gin hoa nio tak bisa
tertawa lagi.
Ciong Cing menjerit dan jatuh
kelengar.
Sungguh sukar untuk
dibayangkan, orang sakit yang sudah hampir mati itu bisa tidur bersama
makhluk-makhluk berbisa sebanyak itu di satu tempat tidur dan di dalam satu
selimut. Malahan kelihatannya dia dapat tidur dengan aman dan tenang.
Mau tak mau merinding juga Gin
hoa nio, meski sejak kecil ia hidup di tengah-tengah gerombolan makhluk
berbisa, tapi kalau dia disuruh tidur di sini seperti si sakit ini biarpun
dibunuh juga dia tidak berani.
Sementara itu barisan
makhluk-makhluk berbisa itu satu persatu mulai merambat turun ke bawah tempat
tidur, menuju ke sudut ruangan tempat mangkuk berisi air tadi.
Cu Lui ji lantas memasang dua
tangkai sumpit di kanan kiri tepi mangkuk, dengan sumpit sebagai jembatan,
kawanan makhluk berbisa itu lantas merayap ke dalam mangkuk besar itu sesudah
mandi dalam air, merayap turun melalui jembatan sumpit di sebelahnya. Makhluk
berbisa yang tadinya tampak bercahaya dan gesit, sehabis mandi lantas kelihatan
lesu dan lemas.
Begitulah beratus ekor
binatang berbisa itu bergantian mandi di air mangkuk besar itu, lalu satu
persatu menyusup kembali ke dalam selimut.
Sementara itu air mangkuk yang
tadinya hitam seperti tinta lambat laun mulai berubah menjadi putih. Ketika
beberapa ekor ular berbisa yang tak diketahui namanya habis mandi di air
mangkuk, lalu air mangkuk mulai berbuih, malahan terus mengepulkan hawa panas,
mirip air yang baru di masak dan mendidih.
Butiran keringat di muka Kwe
Pian sian juga mulai berketes-ketes.
Air mangkuk dari hitam kini
telah berubah menjadi putih, dari putih lantas jernih dan kembali seperti
asalnya. Bedanya air semangkuk penuh itu sekarang seperti air mendidih yang
habis di masak.
Sementara itu kawanan makhluk
berbisa tadi seluruhnya sudah menyusup kembali ke dalam selimut. Di ruangan
loteng kecil ini kembali sunyi senyap seperti tidak pernah terjadi apapun. Yang
terdengar hanya suara pernapasan yang berat di sana sini, siapapun tidak ada
yang bicara.
Cu Liu ji lantas mengangkat
mangkuk besar tadi, dengan tertawa disodorkannya kepada Gin hoa nio, katanya:
"Nasi belum selesai di masak, kalau nona lapar, silahkan minum dulu air
mukjizat ini. Setelah ditambahi bumbu sebanyak ini, rasa air ini pasti jauh
lebih segar daripada kuah ayam."
Kontan Gin hoa nio menyurut
mundur sambil menggoyang tangan, katanya sambil menyengir: "O,
jang...jangan sungkan, silahkan... nona minum sendiri saja."
Betapa dia memang berasal dari
keluarga ahli racun, pengetahuannya banyak dan pengalamannya luas, Sekarang
sudah dilihatnya bubuk hitam yang dicampurkan ke dalam air oleh Cu Lui-ji tadi
sesungguhnya adalah semacam obat mujarab, dengan obat itulah kawanan makhluk
berbisa tadi dipancing keluar agar menuangkan racunnya ke dalam mangkuk.
Kini racun beratus ekor
binatang berbisa itu telah tertuang ke dalam air mangkuk, jangankan di minum,
tersentuh saja mungkin bisa celaka, tubuh orang biasa kalau kena satu tetes air
itu, bisa jadi seluruh badan akan membusuk.
Siapa tahu Cu Lui ji malah
tersenyum dan berkata: "Kuah segar dan lezat ini, kalau para tamu tidak
sudi minum, terpaksa harus kuminum sendiri saja." Sambil bicara ia terus
angkat mangkuknya dan benar-benar diminum seluruhnya, habis itu mulutnya malah
berkecap-kecap seperti orang habis merasakan makanan yang paling lezat.
Pwe-giok tidak memperlihatkan
perasaan apa-apa menyaksikan perbuatan nona cilik itu, tapi air muka Kwe Pian
sian dan Gin hoa nio lantas berubah seketika, sebab mereka tahu betapa hebat
kadar racun di dalam air itu, sungguh mimpipun tak terbayangkan oleh mereka ada
yang sanggup meminumnya setetes atau dua tetes, tapi sekarang nona cilik ini
justeru minum semangkuk penuh, bahkan tidak terlihat terjadi sesuatu. Apakah
mungkin isi perut nona ini gemblengan dari baja?
Dengan tenang-tenang Cu Lui ji
berkata lagi: "Penyakit Sacek sudah sangat parah hingga merasuk tulang,
berkat hawa dingin kawanan makhluk berbisa inilah jiwa sacek dapat
dipertahankan hingga kini. Maka kalau kami kiranya bersikap kurang sopan,
hendaklah para tamu sudi memberi maaf."
"Penyakit apakah yang
menghinggapi Sacekmu?" tanya Gin hoa nio dengan mengiring tawa.
Lui ji menghela nafas, jawabnya
dengan rawan; "Penyakit ini tidak diketahui namanya, tapi kalau kalian
ingin tahu....."
Belum lanjut ucapannya,
tiba-tiba di bawah ada orang mengetuk pintu, habis itu lantas terdengar suara
seorang tua berseru: " Ji Pwe-giok, Ji-kongcu apakah berada di atas? Ang
lian pangcu kami sengaja berkunjung kemari dan mohon bertemu!"
Itulah suara Bwe Su bong.
Kejut dan girang Pwe giok ia tidak tahu untuk apakah Ang lian pangcu
mencarinya.
Dalam pada itu air muka Kwe
Pian sian menjadi pucat, katanya dengan parau: "Lekas kau turun ke sana
dan men...mencegah mereka... aku pergi dulu..."
Pada saat itulah kembali pintu
diketuk lagi lebih gencar, suara seorang perempuan muda sedang berteriak:
"Buka pintu, Ji-kongcu! Kun hujin kami juga berkunjung padamu!"
Bahwa selain Ang lian hoa, Hay
hong Hujin juga datang, keruan wajah Kwe Pian sian bertambah pucat. Cepat ia
melompat ke jendela, perlahan ia membuka daun jendela dan mengintip keluar.
Ternyata loteng kecil ini sudah penuh dikepung orang, atap rumah disekitar loteng
ini dan setiap tempat yang dapat dibuat berdiri sudah penuh dengan orang.
Terdengar orang berteriak lagi
ke bawah:" Kun-Hujin dan Ang lian pangcu berkunjung kemari kenapa Ji
kongcu tidak lekas membuka pintu?"
Cepat Kwe Pian sian menarik
Pwe giok, katanya: "Apakah mereka tahu aku berada di sini?"
"Cara bagaimana ku
tahu," jawab Pwe giok.
"Untuk apa mereka mencari
kau?" tanya Kwe Pian sian pula.
"Akupun tidak tahu,"
ujar Pwe giok sambil mengangkat bahu.
"Mereka telah mengepung
rapat tempat ini, tampaknya mereka hendak memusuhi kita, menghadapi musuh
bersama, jangan...jangan kau buka pintu," kata Kwe Pian sian.
"Pintu tidak ku buka,
memangnya mereka tidak dapat mendobrak dan masuk dengan paksa?" ujar Pwe
giok sambil menghela nafas.
Dalam pada itu suara perempuan
muda tadi sedang berteriak pula: "Ji kongcu, kami sudah minta dibuka pintu
dengan sopan, kalau pintu tetap tidak dibuka, terpaksa kami menerjang
masuk!"
Biji mata Gin hoa nio
berputar, tiba-tiba ia tertawa genit dan berseru: "Ji Kongcu lagi sibuk di
kakus, bila sekarang kalian menerobos masuk, tentu akan kebagian bau sedap.
Tunggu saja sebentar, bilamana dia habis kuras gudang, pintu tentu akan dibuka,
masa kalian terburu-buru?"
Di bawah terdiam sejenak, lalu
perempuan muda itupun tertawa ngikik dan berkata: "Baiklah akan kami
tunggu sebentar, asalkan dia tidak kecemplung ke dalam jamban, masa pintu
takkan dibuka."
Pwe giok berkerut kening
memandang Kwe Pian sian, katanya: "Masa kaupun tidak berani bertemu dengan
Hay hong Hujin? Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan dia?"
Kwe Pian sian hanya
batuk-batuk saja dan tidak menjawab. Dalam pada itu Ciong cing sudah siuman,
pelahan ia mengurut punggungnya dengan rasa cemas.
Pwe giok menghela napas,
katanya pula dengan perlahan:" Apapun juga akhirnya mereka toh akan naik
ke sini, rasanya pintu harus kubuka, sebaiknya kau cari akal saja."
Orang sakit yang sudah
kempas-kempis itu mendadak membuka matanya dan berkata: "Aku ada akal!
Coba dekatkan telingamu ke sini, akan ku bisiku kau," kata orang itu.
Dengan girang Kwe Pian sian
mendekatinya, tapi baru dua tiga langkah mendadak ia berhenti teringat olehnya
hal-hal yang misterius pada diri si sakit ini, tanpa terasa ia menyurut mundur
lagi.
Rupanya Ciong Cing jauh lebih
gelisah daripada Kwe Pian sian, tanpa pikir ia mendekati orang sakit itu dan
berkata: "Apabila Cianpwe ada akal yang dapat menolong dia, silahkan
beritahukan kepadaku, sungguh Tecu akan sangat berterima kasih."
Orang itu berkerut kening,
tanyanya kemudian: "Siapa kau? Anak murid perguruan mana?"
Ciong Cing ragu-ragu sejenak,
akhirnya ia berkata juga: "Tecu Ciong Cing dari Hoasan."
"Anak murid Hoa-san,
terhitung juga golongan murni...." orang itu bergumam, lalu
menambahkan:" Baik, coba kemari, akan kuberitahu."
Butiran keringat memenuhi muka
Ciong Cing, teringat olehnya makhluk-makhluk berbisa yang memenuhi kolong
selimut itu, ia merinding dan kakipun terasa lemas. Tapi demi orang yang
dicintainya, betapapun ia tabahkan hati dan mendekat kesana.
Tiba-tiba orang sakit itu bertanya
pula: "Sudah berapa lama kau latih Kungfu?"
Meski tidak tahu untuk apa
orang bertanya urusan ini, namun Ciong Cing menjawab juga: "Sudah sebelas
tahun."
Wajah orang sakit yang kurus
dan kuning itu menampilkan secercah senyuman, katanya: "Bagus,
bagus....." mendadak sebelah tangannya terjulur, pergelangan tangan Ciong
Cing terpegang. Tampaknya ia sudah kempas kempis dan setiap saat bisa menghembuskan
napas penghabisan, tapi begitu bergerak ternyata cepatnya luar biasa.
Sampai-sampai orang macam Kwe
Pian sian dan Ji Pwe giok juga tidak jelas cara bagaimana orang sakit itu
menjulurkan tangannya, Ciong Cing sendiri bahkan menjerit saja tidak sempat dan
tahu-tahu sudah diseret lebih dekat sana.
"Apakah yang hendak Anda
lakukan?" tanya Pwe giok dengan was-was.
Setelah orang sakit itu
memegang pergelangan tangan Ciong Cing, lalu ia tidak melakukan gerakan lain
lagi. Sebaliknya ia lantas memejamkan mata.
Meski merasakan tangan orang
sangat dingin, Ciong Cing mulai tenang juga karena orang tidak bertindak lain
lagi. Ia lantas bertanya: "Sesungguhnya Cianpwe mempunyai akal apa? Tecu
siap mendengarkan."
Sambil tetap memejamkan mata
orang itu berkata dengan perlahan: "Kalian tetap tunggu saja di sini dan
tidak perlu buka pintu."
"Hanya....hanya begini
saja masa terhitung akal?" seru Ciong Cing dengan mendongkol.
Dengan tak acuh orang sakit
itu berkata: "Asalkan kalian tidak membuka pintu, di seluruh kolong langit
ini tiada seorangpun berani naik ke atas loteng ini."
Meski merasa bualan orang agak
terlalu besar, tapi mengingat tindak-tanduk orang ini sangat misterius, mau tak
mau iapun percaya separoh-separoh, ia tidak merasakan air muka sendiri kini
telah mulai pucat dan makin pucat. Sebaliknya air muka si sakit yang tadinya
kuning mayat kini mulai bersemu hawa orang hidup.
Dalam pada itu suara teriakan
di bawah loteng bergema pula, maka orang lainpun tidak memperhatikan perubahan
air muka mereka berdua. Suara teriakan orang di bawah semakin ramai dan kasar,
tapi benar juga, tiada seorangpun berani mendobrak pintu.
Terdengar Bwe Su-bong
berteriak pula: "Ji kongcu, Bengcu dan Bu siang Lojin juga berkunjung
padamu, masa kau tetap tidak mau turun?"
Semula Pwe giok bermaksud
turun, tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu. Untuk apakah orang-orang itu
terburu-buru ingin bertemu dengan dirinya?
Perempuan muda tadipun
berteriak lagi: "Ji kongcu, jika kau tidak menghendaki kami naik ke atas,
boleh kau turun dan bicara sepatah kata saja dengan kami.....Ji-kongcu,
sebanyak ini orang yang ingin bertemu denganmu, mengapa engkau menolak maksud
baik orang banyak?"
Orang-orang itu ternyata tidak
bermaksud naik ke atas, ini menandakan sasaran mereka bukan terhadap Kwe Pian
sian. Tapi mereka menghendaki Pwe giok turun ke bawah, apakah memang ada intrik
tertentu?
Semakin didesak, semakin ragu
Pwe giok. Saat itulah mendadak Ciong Cing menjerit, orang sakit itu telah
melepaskan tangannya, kontan Ciong Cing roboh terkulai.
Cepat Kwe Pian sian
memayangnya bangun, tapi tubuh Ciong Cin terasa lunak seperti kapas, tanganpun
sukar terangkat, waktu Kwe Pian sian memeriksa napasnya, ternyata juga sangat
lemah.
"He, kenapa kau?"
teriak Kwe Pian sian kaget.
Air muka Ciong Cing tampak
ketakutan setengah mati, serunya dengan suara lemah dan gemetar:
"Ib...iblis ini bu...bukan manusia dia...." dengan kaku ia memandang
ke tempat jauh dan berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama, dia seperti
tidak waras lagi saking takutnya, ditanya juga tidak dapat menjawab lagi.
Kwe Pian sian memandangi si
sakit air mukanya tampak mulai bersemu merah, nyata tenaga dalam latihan
belasan tahun Ciong Cing tanpa terasa telah dihisap oleh orang itu.
Mendadak Kwe Pian sian
berbangkit dengan sorot mata yang sangat ketakutan. Sebaliknya si sakit
tampaknya sudah terpulas, Cu Lui ji sedang merapikan selimutnya.
Diam-diam Gin hoa nio menarik
Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok ke samping sana, katanya dengan suara tertahan:
"Sesungguhnya apa yang terjadi ini?"
Keringat nampak memenuhi dahi
Kwe Pian sian, dengan suara parau ia mendesis: "Menghisap sari tenaga
orang lain untuk menambah kekuatan sendiri, tak tersangka di dunia ini
benar-benar ada Kungfu selihai ini. Kalau sekarang kita tidak menggunakan
kesempatan ini untuk menumpas dia mungkin kitapun akan mati tak terkubur."
Gin hoa nio menghela nafas,
katanya kemudian: "Jika kau berani turun tangan lebih dulu, pasti akan
kubantu kau."
Kwe Pian sian jadi melengak
dan tak dapat menjawab.
Sunyi seperti kuburan di
loteng kecil ini, Pwe giok seperti ingin bertindak sesuatu, tapi pada saat ini
juga di bawah telah berkumandang suara Ji Hong-ho: "Kalau dia tidak mau
turun, tentu dia sudah ikut berkomplotan dengan mereka. Kini kita sudah
berkumpul, bila tidak segera turun tangan mungkin akan terjadi
perubahan....."
Tiba-tiba terdengar Hay hong
Hujin menyeletuk: "Apakah Bengcu sudah menyelidikinya dengan jelas?"
"Bukti dan saksi sudah
lengkap di sini. Ang lian pangcu juga melihat sendiri," kata Ji Hong ho.
Tiada terdengar suara Ang lian
hoa, mungkin secara diam-diam ia membenarkan.
Selagi Pwe-giok menerka urusan
apa sebenarnya yang dimaksudkan mereka, tiba-tiba terdengar suara deru angin
yang keras, beberapa bola hitam sebesar semangka telah menerobos jendela dengan
membawa api yang berkobar.
Hakekatnya Pwe giok dan
lain-lain tidak tahu benda apakah ini seketika mereka menjadi bingung tidak
tahu bagaimana harus menghadapi bola berapi itu, terpaksa mereka menyingkir
saja menghindari.
Si orang sakit yang tampaknya
tertidur itu mendadak menjulurkan kedua tangannya yang tadinya tertutup
selimut, kesepuluh jarinya menyelentik susul menyusul. Terdengar suara
"crat-crit" berulang-ulang seperti desing anak panah di udara,
belasan bola hitam tadi kontan terjentik kembali keluar.
Kiranya selentikan jari si
sakit itu membawa semacam tenaga yang tak berwujud, tapi keras dan tajam
seperti senjata.
Apa lagi ia menyelentik susul
menyusul sehingga tenaga jari yang tak kelihatan ini terpancar lebih kuat,
sekalipun ilmu tenaga jari sakti "Sian-ci-sin-thong" yan terkenal di
dunia persilatan juga tidak selihai ini. Keruan semua orang sama terkesiap.
Setelah bola-bola hitam tadi
terjentik keluar, lalu terdengarlah suara "blang-blung" yang keras
disertai lelatu api yang berhamburan. Suara ledakan menggelegar tiada hentinya.
Suasana menjadi kacau, terdengar jeritan di sana sini serta suara orang yang
berlari ketakutan. Loteng kecil itupun tergetar seakan-akan ambruk.
"Apakah ini senjata api
buatan Pi-lik-tong (nama pabrik mesiu jaman kuno) yang terkenal di daerah
Kanglam itu?" kata Gin hoa nio dengan terkejut.
"Betul," jawab Kwe
Pian sian dengan gegetun. "Kalau saja bola api tadi meledak di sini,
andaikan tubuh kita tidak hancur lebur, sedikitnya akan babak-belur dan mungkin
pula cacat selama hidup."
"Makanya tentunya
sekarang kalianpun tahu," sela Cu Lui-ji sambil menoleh tertawa.
"Meski Sacek telah meminjam pakai kekuatan belasan tahun latihan nona ini,
tapi Sacek juga telah menyelamatkan jiwa kalian berempat. Jual beli ini kan
tidak merugikan kalian?"
Daun jendela sudah jebol
diterjang oleh bola-bola hitam tadi, sembari bicara Cu Lui ji lantas merapatkan
tabir jendela agaknya tidak suka kalau keadaan didalam ruangan ini terlihat
orang luar.
Kedua tangan si sakit telah
disembunyikan kembali ke dalam selimut, air mukanya mulai pucat lagi. Sungguh,
kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak percaya
orang yang sudah sekarat ini mempunyai kungfu selihai tadi.
Pwe-giok tidak tahan, ia coba
bertanya: "sesungguhnya Ji Hong ho itu ada permusuhan apa dengan
Anda?"
"Bermusuhan denganku? Hm,
dia belum sesuai!" jengek orang sakit itu.
"Jika demikian, untuk apa
dia bertindak sekeji ini terhadap Anda?" tanya Pwe giok pula.
"Darimana kau tahu yang
dia tuju adalah diriku dan bukan kalian?" ujar orang itu.
"Tapi Ji Hong ho tidak
bermain catur ditempat lain, justru datang ke kota kecil yang terpencil dan
sepi ini, tadinya aku sangat heran baru sekarang ku tahu tujuan kedatangannya
ialah Anda." kata Pwe-giok pula dengan gegetun.
Tapi orang sakit itu tidak
menanggapi, ia memejamkan mata pula.
Pwe giok berkata lagi:
"Ada lagi, Anda tidak tetirah ditempat lain, tapi justeru datang ke kota
kecil ini, inipun kejadian yang maha aneh. Sungguh tidak habis ku terka
sesungguhnya dimana terletak daya tarik kota kecil ini?"
Tapi orang sakit itu tetap
tidak menggubrisnya, maka Pwe giok tidak dapat bicara lagi.
Selang sejenak, tiba-tiba Cu
Lui-ji berkata: "Yang mereka tuju bukanlah Sacek melainkan diriku!"
"Dirimu?" Pwe giok
menegas dengan melenggong. "Usiamu sekecil ini, untuk apa mereka mencari
kau?"
"Apakah usiaku terhitung
masih kecil?" ujar Lui-ji sambil tertawa.
"Biarpun orang she Ji itu
manusia berhati binatang, tapi dalam kedudukannya selaku Bu-lim-bengcu, mana
bisa dia mengerahkan tenaga sebanyak itu untuk menghadapi seorang anak kecil
seperti dirimu ini?" kata Pwe giok pula.
"Bu-lim-bengcu?
Huh!" jengek Cu Lui-ji. "Memangnya berapa harganya satu kati
Bu-lim-bengcu begitu? Tidak perlu Sacek, aku saja tidak memandang sebelah mata
padanya."
Padahal Hong ti-tayhwe atau
pertemuan besar Hong ti adalah suatu sidang paripurna dunia persilatan yang
mengikat, Bengcu atau ketua perserikatan yang diangkat didalam sidang itu
dihormati dan disegani setiap ksatria dan pendekar di dunia ini. Tapi anak
perempuan kecil ini menyatakan tidak pandang sebelah mata terhadap sang Bengcu.
Tentu saja hal ini sangat luar
biasa. Memangnya kedudukan anak perempuan ini jauh lebih terhormat dan lebih
agung daripada Bu-Lim-bengcu?
Pwe giok jadi semakin heran.
Selagi ia hendak bertanya
pula, mendadak Gin hoa-nio bersorak gembira, serunya: "Aha, orang-orang
itu sudah pergi semua, bersih tanpa seorang-pun yang ketinggalan!"
Cepat Kwe Pian-sian menyingkap
tabir jendela, memang betul, di luar sana tiada nampak bayangan seorangpun.
"Kenapa mesti
heran," dengan hambar Cu Lui-ji berkata pula, "setelah orang-orang
itu mengetahui kungfu Sacek sudah pulih, memangnya mereka berani tinggal lebih
lama lagi di sini untuk menunggu kematian?"
Bahwa orang-orang seperti Ji
Hong-ho, Kun Hay-hong dan lain-lain seakan-akan juga sangat jeri terhadap orang
yang sakit ini, maka dapat diperkirakan orang sakit ini pasti luar biasa
asal-usulnya. Sesungguhnya siapakah dia?
Tentu juga Pwe-giok sangat
heran, terkejut dan juga tertarik, namun saat itu juga Kwe Pian-sian sudah
memondong Ciong Cing dan berkata:" Hayolah kita berangkat sekarang!"
"Betul, tidak berangkat
sekarang mau tunggu kapan lagi?" tukas Cu Lui ji dengan dingin.
Pwe-giok lantas berkata:
"Kalau mereka mendadak kembali lagi, apakah kalian...."
"Urusan Sacek tidak perlu
kau ikut campur" ucap Lui ji dengan angkuh. "Mengenai
diriku.....apakah aku akan hidup atau mati lebih-lebih tidak perlu diresahkan
orang lain."
Dengan suara gemetar mendadak
Ciong Cing berteriak: "Jika demikian, mengapa.....mengapa kalian
men.....mencuri tenagaku?"
"Kan kalian yang dating
sendiri ke sini. Kami tidak mencari kau, kenapa kau salahkan orang
lain?!", jawab Cu Lui-ji dengan ketus.
Ciong cing melengak, mendadak
ia menangis tergerung-gerung.
Tiba-tiba si sakit buka suara
dengan perlahan: "Mengingat kedatangan mereka ini tidaklah sia-sia barang
itu boleh kau berikan saja kepada mereka."
"Tapi barang-barang ini
memang milikku, kenapa harus kuberikan kepada mereka?" ujar Cu Lui-ji.
"Hanya sedikit batu permata
begitu apa artinya? Kenapa kau berubah menjadi sebodoh ini?" ujar si sakit
sambil berkerut kening.
Lui-ji mengiakan dengan
menunduk. Tanpa bicara lagi ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari almari
dinding sana terus dilemparkan ke depan Gin-hoa-nio.
Ketika ujung bungkusan itu
terlepas sedikit. Tertampaklah cahaya gemerlapan, nyata itulah harta benda
Gin-hoa-nio yang hilang itu.
Meski didalam hati penuh tanda
tanya, tapi Gin-hoa-nio tidak berani lagi banyak bicara, setelah tertegun
sejenak, mendadak ia angkat bungkusan itu terus lari ke bawah loteng secepat
terbang.
oooooooOOOOoooooooo
Sesungguhnya siapakah gerangan
si sakit itu? Mengapa Ji Hong-ho dan lain-lain sedemikian takut kepadanya?
Siapa pula sebenarnya Cu
Lui-ji dan darimana asal-usulnya? Mengapa sebanyak itu tokoh-tokoh Bu-Lim
berkumpul di kota kecil ini hanya untuk menghadapi seorang anak kecil begitu?
Bahkan diantara tokoh-tokoh Bu-Lim itu termasuk pula Ang-lian-hoa? Masa
Ang-liang-hoa seorang yang suka merecoki seorang anak kecil?
Sesungguhnya penyakit apa yang
menghinggapi orang sakit itu? Mengapa dia merawat sakitnya di kota kecil
terpencil ini? Jelas tenaganya belum pulih seluruhnya. Sedangkan Ji Hong-ho dan
lain-lain pasti tidak pergi begitu saja, seharusnya dia menahan ji Pwe-giok dan
lain-lain di situ, mengapa dia melepaskan mereka pergi?
Begitulah didalam benak
Pwe-giok penuh tanda tanya yang sukar dipecahkan.
Gin hoa nio juga bergumam
terus menerus." Aneh, si tebese itu mengapa mengembalikan harta benda ini
kepadaku? Mengapa begini saja dia membebaskan kita pergi? Masa dia benar-benar
tidak mengharapkan sesuatu dari kita?"
Sembari menggerundel ia terus
berlari ke depan. Kota kecil itu bermandi cahaya sang surya, namun setiap pintu
rumah penduduk tampak tertutup rapat, satu bayangan manusia saja tidak
kelihatan.
Baru sekian langkah Kwe
Pian-sian berlari mendadak ia menghadang di depan Gin-hoa-nio.
Cepat Gin-hoa-nio
menyembunyikan bungkusan ke belakang punggungnya, tanyanya dengan was-was:
"Kau mau apa?"
"Ai, dasar
perempuan," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun. "Sampai perempuan
seperti ini juga berpikiran sempit, dalam keadaan demikian masa dapat ku incar
harta bendamu ini?"
Gin hoa nio mengerling genit,
katanya dengan tersenyum: "Jika kau tahu perempuan berjiwa sempit mengapa kau
sengaja merintangi jalan orang? Apakah kau tidak ingin cepat-cepat pergi dan
hendak menunggu kedatangan Ang-lian-hoa?"
"Sudah tentu aku ingin
lekas-lekas pergi, tapi aku tidak ingin pergi dengan digotong orang," kata
Kwe Pian-sian dengan dingin.
Gin hoa nio memandang Ciong
Cing sekejap, ucapnya dengan tertawa: "Kamipun ingin pergi dipondong
olehmu, tapi sayang, tanganmu tidak ada peluang lagi."
"Kalau kau terus berlari
ke depan, masa tidak bakalan ada orang akan menggotong kau?" kata Kwe
Pian-sian.
"Maksudmu.....maksudmu
kita tidak pergi sekarang?"
"Saat ini, kau dan aku
jangan harap akan dapat meninggalkan kota kecil ini selangkahpun!"
"Hihi, memangnya kau
sangka aku ini kegirangan karena mendapatkan kembali harta-bendaku sehingga
pikiranku sudah keblinger?" kata Gin hoa nio dengan tertawa." Sudah
tentu ku tahu Ji Hong-ho dan rombongannya takkan pergi jauh, besar kemungkinan
mereka sudah mengepung rapat kota kecil ini, maka bayangan setanpun tidak
kelihatan di sini"
"Tapi menurut
perhitunganmu, karena kau tidak bermusuhan apapun dengan mereka, tentu kau akan
diberi jalan, mak kau sendiri lantas mau kabur begitu saja tanpa memperdulikan
orang lain, begitu bukan?"
"Ai. Aku ini kan
perempuan yang berjiwa sempit dan tidak bisa apa-apa, memangnya hendak kau
suruh aku bertindak bagaimana? Kalian kan lelaki gagah perkasa, masa memerlukan
perlindunganku malah?"
"Hahahaha! Teman baik,
sahabat karib.....!!" Kwe Pian-sian bergelak tertawa. "Sungguh tidak
nyana kau dapat menutupi perbuatannya yang cuma mementingkan diri sendiri ini
sebagai tindakan yang menarik, untung kau bukan lelaki, kalau tidak mustahil
kalau tidak sejak tadi-tadi kau disembelih orang."
Gin hoa nio tertawa terkekeh,
katanya: "Tapi ku tahu kau pasti takkan membunuhku, seumpama kau bermaksud
menahanku di sini, Ji kongcu kita yang luhur budi dan bijaksana ini pasti juga
tidak tinggal diam dan tentu akan membelaku."
"Jika kau ingin pergi,
tidak nanti ku rintangi kau." kata Kwe Pian sian.
"Oya?! Tak tersangka kau
juga seorang yang luhur budi dan bijaksana....."
"Tapi dengan membawa satu
bungkus mestika begini, apakah orang lain mau membebaskan kau pergi begitu
saja?" jengek Kwe Pian sian.
Seketika Gin hoa nio merasa
seperti kena depak orang satu kali, sekujur badan terasa lemas lunglai.
Dengan tenang Kwe Pian sian
menyambung pula: "Makanya, jika kau ingin pergi, mau tak mau bungkusan ini
harus kau tinggalkan di sini dan ini berarti..... seolah-olah menghendaki
jiwamu."
Mendadak Gin hoa nio melonjak
dan berjingkrak, katanya: "Ah, tahulah aku sekarang, sebabnya si tebese
itu mengembalikan harta pusakaku ini, maksudnya justru hendak mengganduli
diriku supaya aku tidak pergi. Ai, orang sudah hampir mampus begitu masih juga
banyak akal-bulusnya."
Mendadak Pwe giok ikut bicara:
"Jika kau sangka dia sengaja hendak membikin susah padamu, mengapa tidak
kau kembalikan harta benda ini kepadanya?"
Gin hoa nio mendepakkan
kakinya ke tanah dan berkata: "Sudah tentu iapun memperhitungkan aku tidak
rela...." Tapi mendadak ia tertawa dan mengerling genit sambungnya:
"Apalagi, seumpama tidak ada bungkusan batu permata ini, masa ku-sampai
hati meninggalkan kalian di sini? Apa yang ku katakan barusan kan cuma
bersenda-gurau saja."
"Hehe, lucu ya
guraumu?" jengek Kwe Pian sian. Gin hoa nio memandangnya dengan
menengadah, tubuhnya seakan-akan hendak jatuh ke pangkuan orang, dengan suara
halus ia berkata: "Eh, coba katakan, apakah sekarang juga kita harus
mundur kembali ke sana?"
"Adalah maha beruntung
kalau kita dapat keluar dengan selamat, mana boleh balik lagi ke sana"
ujar Kwe Pian sian. Nyatanya, ia lebih suka menghadapi Ang lian hoa dari pada
bermusuhan dengan si sakit yang misterius itu.
"Maju tidak mau, mundur
juga emoh, lalu bagaimana baiknya?" Tanya Gin hoa nio. "Apakah kita
perlu mencari lagi sebuah rumah lain untuk sembunyi? Tapi kalau kepergok si
tebese lagi, kan bisa celaka."
"Tempat yang kucari
sekali ini pasti takkan terdapat orang lain..."
"Dimana?" Tanya Gin
hoa nio sebelum ucapan Kwe Pian sian dilanjutkan.
"Di sana, hotel
itu!"
"Haha, kau memang
pintar" puji Gin hoa nio dengan tertawa genit. "Orang-orang tadi baru
saja meninggalkan hotel itu, besar kemungkinan mereka takkan kembali kesana.
Hotel itu memang tempat yang paling aman di kota ini, cuma....." dia
pandang Pwe giok sekejap, sambil menggigit bibir ia menyambung pula:
"Ji-kongcu kita yang terhormat ini apakah kau mau bersembunyi bersama
kita?"
"Dia pasti ikut,"
kata Kwe Pian sian.
"Oo… pasti?" Gin hoa
nio merasa sangsi.
"Ya," kata Kwe Pian
sian. "setelah sekian lama Ji hong-ho dan rombongannya tidak melihat suatu
gerak-gerik di sini, tentu mereka akan balik lagi ke sini. Dan kalau kita
sembunyi di hotel itu, kebetulan dapat menjadi penonton tanpa bayar."
Dia tersenyum bangga, lalu
menyambung pula: "Saat ini Ji-heng tentu juga penuh diliputi tanda tanya,
kalau urusan ini tidak ikut terpecahkan hingga jelas, betapapun Ji-heng pasti
tidak rela tinggal pergi. betul tidak Ji-heng?"
Pwe giok tersenyum hambar,
jawabnya: "Apa lagi saat ini aku memang tidak ada tempat tujuan untuk pergi."
Di hotel itu memang benar
sunyi senyap tiada bayangan seorangpun, sampai-sampai pengurusnya dan
pelayannya juga sudah kabur entah kemana, seakan-akan merekapun sudah tahu di
sini bakal tertimpa bencana, maka cepat-cepat cari selamat lebih dulu.
Sebagai pemrakarsa, Kwe Pian
sian berjalan di depan, dia tidak mencari kamar tamu biasa, juga tidak menuju
ruangan tempat tinggal Ji Hong ho tadi, tapi langsung menuju ke dapur.
Api tungku di dapur hampir
padam tapi belum padam, satu wajan nasi tanak sudah hampir hangus. Di atas meja
sayur terdapat segebung sayur asin yang sudah dirajang sebagian, di suatu
mangkuk juga ada telur ayam yang sudah diaduk, agaknya si koki tadi sedang
siap-siap mengolah sayur asin goreng telur, tapi belum selesai dibuat.
Gin hoa nio celingukan kian
kemari, dengan tertawa ia berkata: "Penghuni hotel ini mungkin kabur
dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat sarapan pagi. Apa lagi mereka diusir
oleh Ji Hong ho dan begundalnya?"
"Ji Hong ho tidak perlu
mengusir mereka, setelah mengalami kekacauan tadi, masa mereka masih berani
tinggal ditempat yang penuh penyakit ini?" kata Kwe Pian sian.
"Mungkin lagi sial juga
pemilik hotel ini, akhir-akhir ini penghuni hotel ini kebanyakan orang mati
melulu....." sembari bicara Gin hoa nio terus menyembunyikannya ke bawah
onggokan kayu bakar. Lalu ia mengambil mangkuk dan mengisi nasi terus
dimakannya dengan lauk sayur asin.
Kwe Pian sian juga mengisi
satu mangkuk nasi dan disodorkan kepada Ciong Cing, katanya dengan tertawa:
"Ini, kaupun makanlah sedikit, meski nasi ini rada sangit, tapi pasti
tidak beracun."
Gin ho nio tertawa, katanya:
"Selama hidupku sungguh tidak pernah dahar nasi seharum dan sesedap ini,
kau...."
Belum habis ucapannya,
mendadak mangkuk yang dipegang Kwe Pian sian telah disampuk jatuh Ciong Cing.
Nona itu menangis tergerung-gerung sambil meratap: "Aku sudah orang
setengah mati, ku tahu nanti pasti kau tinggalkan diriku. Untuk apa pula ku
makan nasi segala......Biarlah ku mati kelaparan saja, lebih cepat mati lebih
baik!"
Kwe Pian-sian tidak menjadi
marah, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu pikiranmu lagi risau tapi kan
tidak apalah kalau cuma kehilangan Kungfu saja. Aku toh tidak bakalan minta
perlindunganmu, kau mahir ilmu silat atau tidak kan tidak menjadi soal bagiku?"
"Kau.....kau tidak perlu
pura-pura di depanku," kata Ciong Cing dengan suara terputus-putus.
"Coba jawab sudah tegas-tegas kau katakan padaku bahwa kau sudah putus
segala hubungan dengan Kun Hay-hong, sekarang mengapa kau tidak berani bertemu
dengan dia, apa yang kau takuti?"
Air muka Kwe Pian-sian tampak
berubah.
Pada saat itulah mendadak ada
suara orang batuk satu kali, seketika ke empat orang lantas bungkam.
Ditengah keheningan itu
sayup-sayup terdengar di luar ada suara langkah orang yang sangat perlahan. Di
samping tungku dapur ini terletak pintu belakang hotel, maka suara langkah itu
terdengar seperti menuju ke pintu belakang.
Dari celah-celah pintu Kwe
Pian sian dapat mengintip keluar, dilihatnya dua orang sedang menuju ke sini,
seorang mendekap mulut, jelas orang yang baru saja batuk.
Orang ini tinggi kurus,
bermuka putih, sedang melintang tersandang di punggung, untaian benang sutra
merah penghias garan pedang berpadu dengan bajunya yang hijau pupus sehingga
kelihatan sangat menyolok.
Seorang lagi juga tinggi
kurus, sinar matanya tajam. Sekali pandang saja Kwe Pian sian lantas tahu
Ginkang kedua orang ini pasti tidak lemah.
Kedua orang ini berjalan dari
kanan dan kikir terpisah beberapa kaki jauhnya, langkah mereka sangat
hati-hati, agaknya ingin menyelidiki keadaan di sini dan kuatir mengejutkan si
sakit yang menakutkan di atas loteng kecil itu.
Gemerdep sinar mata dari Kwe
Pian sian, mendadak ia membuka pintu dan tertawa kepada mereka. Tentu saja
kedua orang itu melengak. Segera pula Kwe Pian sian menyurut mundur. Dengan
sendirinya pintu masih terbuka dan mengeluarkan suara" keriat-keriut"
karena tertiup angin.
"Mengapa kalian tidak
lekas masuk ke sini?" kata Kwe Pian sian dengan suara tertahan.
Gin hoa nio tahu maksud Kwe
Pian sian hendak memancing kedua orang itu masuk ke sini untuk ditanyai
gerak-gerik di pihak Ji Hong ho sana. Padahal maksud tujuan kedatangan kedua
orang ini adalah untuk menyelidiki keadaan di sini, sekarang mereka malah
menjadi sasaran perangkap orang, diam-diam Gin hoa nio tertawa geli.
Rupanya Kwe Pian sian sudah
memperhitungkan dengan baik bahwa mengetahui di dapur hotel ini ada orang,
biarpun harus menyerempet bahaya juga kedua orang itu akan masuk ke sini untuk
melihat apa yang terdapat di tempat ini.
Siapa tahu, meski sudah di
tunggu sekian lama orang di luar masih juga tidak masuk kemari, bahkan tiada
terdengar suara sedikitpun.
Kembali Gin hoa nio merasa
heran, segera ia mendesis: "Sstt, mengapa kedua orang itu sedemikian
penakut?"
"Kukenal satu diantaranya,
namanya Ko Tiong, anak murid Tiam jong pay, orang ini cukup terkenal di daerah
Hunlam dan Kuiciu, tidak nanti dia takut urusan..."
Belum habis ucapannya,
"kriuut", daun pintu terpentang tertiup angin ternyata bayangan kedua
orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.
"Hah, tampaklah kedua
orang itu memang berhati kecil melebihi tikus," Gin hoa nio berolok-olok.
Kwe Pian sian berkerut kening,
ia coba melongok lagi keluar, dilihatnya Cu Lui ji entah sejak kapan telah
turun dari lotengnya dan sedang memetik bunga di halaman sana.
Rupanya ada setangkai bunga
mawar yang menongol keluar pagar halaman sana, seharum semerbak tampaknya bunga
mawar itu.
Cu Lui ji sedang menengadah ke
atas sambil berjinjit tangannya yang kecil itu meraih tangkai bunga mawar itu,
mendadak lengan bajunya merosot ke bawah sehingga kelihatan tangannya yang
putih bersih.
Orang yang dikenal bernama Ko
Tiong dan lelaki berbaju hijau tadi tampak melangkah ke sana dan berdiri tidak
bergerak di belakang Cu Lui-ji, mereka memandangi anak dara itu dengan
termangu-mangu.