Renjana Pendekar Bagian 4

Baca Cersil Mandarin Online: Renjana Pendekar Bagian 4

Renjana Pendekar Bagian 4

Gin-hoa-nio telah menyingkir ke samping, ia hanya menonton tanpa ikut bicara. Ia tahu api sudah menyala dan tidak perlu diberi minyak lagi.

Dilihatnya Ang-hoa dan Hwe-long lagi saling melotot, sampai lama sekali keduanya tetap diam saja.

Tiba-tiba Hwe-long mendekati meja, kursi ditariknya lalu duduk, katanya dengan tersenyum: "Tio loji, mengapa tidak duduk saja dan marilah kita berbincang-bincang."

"Duduk ya duduk, orang lain takut kepada tipu muslihatmu, masa akupun takut kepadamu?" kata Ang-hoa, segera iapun menarik kursi dan duduk.

Dengan tersenyum Hwe long berkata pula: "Sebuah meja boleh berpasangan dengan dua kursi bukan?"

Ang-hoa tidak tahu untuk apakah lawannya bertanya tentang tetek bengek begitu, ia cuma mengangguk dan menjawab singkat: "Betul!"

Hwe-long mengangkat poci dan menuang dua cangkir the, katanya pula dengan tertawa: "Dan satu poci juga boleh berpasangan dengan dua cangkir, betul tidak?"

"Huh, omong kosong!" omel Ang-hou dengan gusar.

Dengan tertawa Hwe-long menyodorkan secangkir teh yang dituangnya itu dan berkata: "Jika kita sama-sama dapat minum teh, untuk apa mesti berkelahi mati-matian?"

Lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat merasakan maksud tujuan ucapan si serigala kelabu, diam-diam ia berkerut kening.

Didengarnya Ang-hou menjawab dengan aseran: "Sesungguhnya apa arti ucapanmu, aku tidak paham!"

"Tentunya kau pernah membaca, dahulu ada dua ratu bersama mengawini seorang suami dan kisah itu dijadikan cerita yang menarik. Sekarang kita berdua adalah saudara, mengapa kita tidak boleh berkongsi mengawini seorang isteri?"

"Urusan lain boleh berkongsi, hanya isteri yang tidak boleh berkongsi," jawab Ang-hou dengan gusar.

"Sabar, pertimbangkan dulu," kata Hwe-long." Musuh kita tidaklah sedikit, umpama aku kau bunuh dan tersisa kau sendiri, apakah kau takkan kesepian dan kehilangan kawan? Apalagi bila kita bergebrak sungguh-sungguh, siapa yang akan terbunuh kan juga masih suatu tanda tanya, betul tidak?"

Lama juga Ang-hou melototi si serigala, tiba-tiba ia tertawa, katanya: "Betul juga, setengah potong bini rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak punya bini. Apalagi melihat gairahnya yang menyala, sendirian belum tentu ku sanggup melayani dia." Ia angkat cangkir dan berkata pula: "Saudaraku yang baik, usulmu sangat bagus, terimalah hormat satu cangkir ini."

Gin-hoa-nio tertawa terkikit-kikik, ucapnya: "Usulnya memang bagus, setelah kau minum teh ini, tentu kau akan tahu betapa bagus usulnya ini."

Berputar biji mata Ang-hou, cangkir teh yang sudah diangkatnya ditaruhnya lagi. Meski sebodoh kerbau orang ini, betapapun sudah puluhan tahun dia berkecimpung di dunia Kangouw, perbuatan baik mungkin dia tidak paham, tapi perbuatan busuk tidak sedikit yang diketahuinya. Sambil masih memegangi cangkir teh itu, ia melototi Hwe-long dan berkata: "Apakah di dalam air teh ini kau hendak main gila padaku?"

"Lo-ji, jangan kau sembarangan menuduh, kita adalah saudara sendiri, jangan mau diadu domba orang," teriak Hwe-long.

Gin-hoa-nio tertawa dan berkata: "Jika demikian, boleh coba kau minum teh itu." Dengan berlenggak-lenggok dia mendekati Ang-hou dan mengambil cangkir teh itu terus disodorkan ke depan Hwe-long. Di luar tahu orang, ujung kukunya yang bercat merah itu seperti dicelup perlahan ke dalam teh. Lalu ucapnya dengan tertawa genit: "Kau bilang air teh ini beracun, jika kau tidak mau minum juga takkan kusalahkan kau."

"Kalau kau tidak berani minum teh itu, segera kugencet pecah kepalamu!" teriak Ang-hou dengan gusar.

Air muka Hwe-long bertambah pucat, serunya: "Teh ini semula tidak beracun, tapi sekarang telah kau racuni."

"Kau... kau bilang aku yang menaruh racun?" tanya Gin-hoa-nio dengan terbelalak.

"Ya, kau perempuan busuk ini !" teriak Hwe-long, berbareng ia lantas menjotos.

Namun Gin-hoa-nio keburu menyingkir dan bersembunyi di belakang Ang-hou.

Serentak Ang-hou juga melompat bangun sambil meraung: "Bangsat! Jelas-jelas kau yang menaruh racunnya dan sekarang menuduh orang lain? Kau kira Locu ini babi goblok?"

Berbareng itu ia terus menubruk ke sana. Terdengar suara "blak-bluk " dua kali, kedua kepalan Hwe-long dengan tepat menghantam tubuh ang-hou, tapi pukulan itu seperti mengenai karung pasir, sama sekali si harimau merah tidak bergeming.

Keruan Hwe-long terkejut, segera ia hendak mencabut belati lagi, namun Ang-hou tidak memberi kesempatan padanya, kontan ia balas menonjok perut Hwe-long.

Serigala kelabu yang kerempeng itu tidak tahan, ia menungging kesakitan. Menyusul Ang-hou lantas menambahi sekali hantam di kepalanya, seketika kepala pecah dan otak berantakan.

Kedua pukulan Ang-hou itu tidak pakai jurus silat segala, tapi pukulan umum, namun cukup berguna. Barang siapa kalau bertangan kosong sebaiknya jangan berkelahi dengan orang gede semacam Ang-hou ini, sebab dipukul dia tidak bergeming, sebaliknya kalau dia balas memukul, maka celakalah kau.

Gin-hoa-nio kegirangan menyaksikan hasil pertarungan itu, ia berkeplok dan tertawa.

Ang-hou terus meludahi mayat Hwe-long dan mendamprat: "Huh, belum belajar tahan pukul sudah ingin memukul orang, kan cari mampus sendiri!"

Gin-hoa-nio tertawa senang, katanya: "Betul kepandaian Tio-kongcu memukul orang tergolong hebat. Kungfumu tahan pukul terlebih tiada bandingannya. Tapi... tapi barusan apakah keparat ini benar-benar tidak melukaimu?"

Dengan membusungkan dada Ang-hou berkata dengan tertawa: "Kedua cakarnya seperti menggaruk gatal badanku, tidak percaya boleh kau periksa sendiri."

Benar-benar Gin-hoa-nio mendekati Ang-hou, ucapnya dengan suara lembut: "Tapi bahumu masih mengucurkan darah...." Dengan kuku jarinya yang merah ia menggelitik perlahan di bahu Ang-hou yang dilukai si ular putih tadi dan bertanya perlahan: "Sakit tidak?"

"Tidak," jawab Ang-hou dengan tertawa, "tapi rasanya menjadi geli karena digelitik kau."

Sambil bergelak tertawa sehingga tubuhnya yang penuh daging lebih itu berguncang-guncang, berbareng ia terus merangkul pinggang Gin-hoa-nio.

Tapi Gin-hoa-nio lantas menyelinap ke samping dengan tertawa genit, ucapnya sambil tertawa terkikik-kikik. "Bila kau dapat menangkap diriku barulah aku menyerah padamu!"

Begitulah ia lantas lari di depan dan dikejar Ang-hou dengan napas terengah-engah. Gerakan Gin-hoa-nio sangat enteng dan gesit, jangankan menangkapnya, meraih ujung bajunya saja tidak mampu dilakukan Ang-hou.

Sampai akhirnya Ang-hou sendiri tidak tahan, ia megap-megap sambil memegang tepi meja, namun begitu ia masih cengar-cengir dan berseru: "O, mestikaku, kemarilah biar kupeluk cium kau."

Gin-hoa-nio memandangnya dengan tertawa, tiba-tiba ia menggeleng dan menghela napas gegetun, katanya: "Ai, kau ini... jelas kau ini seekor babi goblok, mengapa kau tidak mau mengaku?"

Ang-hou melengak, tanyanya kemudian dengan melotot: "Ap.... Apa maksudmu?"

"Baru saja ku taruh racun pada lukamu, racun yang membinasakan bila masuk ke darah. Kadar racun yang ku taruh itu cukup untuk membunuh sepuluh ekor babi gemuk," tutur Gin-hoa-nio dengan suara halus. "Jika kau tidak bergerak mungkin akan hidup lebih lama beberapa jam, sekarang kau telah berlari-lari, racun sudah mengalir masuk darahmu dan menyebar di seluruh tubuhmu, bila kau gunakan tenaga sedikit seketika jiwamu bisa melayang."

Mendadak Ang hou meraung murka, dengan segenap sisa tenaganya, ia menubruk maju, terdengarlah suara gemuruh, meja ditumbuknya hingga hancur berantakan dan tertindih oleh tubuhnya yang gede.

Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Dengan maksud baik sudah ku peringatkan, mengapa kau tidak mau percaya padaku?"

Lalu ia mengitari meja dan menuju ke ambang pintu, sambil bersandar di depan pintu ia berseru dan tersenyum menggiurkan: "Di dalam rumah ada empat orang mati, maukah para Toako membantuku menggotongnya keluar?"

Sejak tadi anak buah Su ok siu menunggu di luar dengan gelisah, namun disiplin Su ok siu sangat keras, tanpa diperintah, siapa pun tidak berani meninggalkan tempatnya. Mereka cuma mendengar suara kacau di dalam rumah dan tidak tahu apa yang terjadi, setelah mereka dipanggil Gin hoa nio barulah mereka berkerumun maju, mereka jadi melongo kaget setelah melihat keadaan di dalam rumah.

Dengan suara halus Gin hoa nio berkata kepada mereka: "Ku tahu perasaan kalian. Melihat majikan kalian dibunuh orang, takkan kusalahkan kalian bila kalian ingin menuntut balas bagi mereka."

Melihat Gin hoa nio bersikap tenang dan tertawa riang, bajunya sedikit pun tidak terkoyak apalagi robek, sebaliknya majikan yang mereka puja seperti malaikat dewata itu semuanya terkapar seperti anjing mampus, jelas perempuan ini tidak cuma sangat cantik, tapi pasti juga sangat lihai. Belasan orang ini mana berani lagi bicara tentang menuntut balas, serentak mereka membalik tubuh dan lari terbirit-birit, hanya sekejap saja sudah hilang tanpa bekas.

"Ai, jaman ini tampaknya kaum penjahat juga kecil hatinya," gumam Gin hoa nio dengan menghela napas.

ooo 000 ooo

Apa yang terjadi, semua itu dapat diikuti Kim yan cu dan Bwe Su-bong dengan jelas, mereka sama melenggong.

Dengan tersenyum getir Bwe Su bong berkata: "Betapa lihai adik perempuanmu, hakekatnya dapat disejajarkan dengan kelihaiannya Hay hong hujin di masa dahulu. Memang sudah kuduga orang lain tidak perlu turun tangan, adikmu sendiri pasti sanggup membereskan mereka."

Kim yan cu tidak menanggapi, diam-diam ia pun merasa getir.

"Sekarang bolehlah nona turun ke sana dan aku pun akan pulang," kata Bwe Su bong.

"Kau.... kau tidak turun dan berduduk dulu?" tanya Kim yan cu.

"Biarpun aku sudah kakek-kakek, tapi tetap lelaki, maka lebih baik tidak berjumpa dengan adikmu..." belum habis ucapannya dia sudah melayang jauh ke sana.

Kim yan cu menghela napas panjang, dilihatnya Gin hoa nio sedang bersandar pula di pintu dan berkata sambil menengadah ke arahnya: "Tak tersangka di atas loteng juga ada tamu, maaf jika sambutanku kurang baik."

Tidak tahan lagi Kim Yan cu, mendadak ia melayang turun ke depan Gin hoa nio.

Baru saja Gin hoa nio melengak setelah tahu siapa gerangannya, tahu-tahu mukanya sudah tertampar dua kali. Cukup keras gamparan itu sehingga Gin hoa nio jatuh ke dalam rumah sambil berteriak: "He, Toaci.... kau...."

Kim yan cu merasa pukulannya tidak cukup keras, dengan gemas ia mendengus: "Hm, tidak perlu lagi kau panggil Toaci padaku, mana ku berharga menjadi Toacimu? Jiwa manusia bagimu tidak lebih seperti semut, bilamana kau mau, bisa jadi aku pun akan kau bunuh."

Gin hoa nio merabai mukanya yang digampar itu, mendadak ia menangis.

"Dengan mudah sekali kau bunuh empat orang ini, seharusnya kau bergembira, apa yang kau tangisi?" damprat Kim yan cu dengan gusar.

"Apakah Toaci mengira aku sangat senang setelah membunuh orang?" seru Gin hoa nio dengan menangis sedih. "Toaci, jika kau menyaksikan tingkah laku mereka tadi, tentu kau akan paham bagaimana jadinya jika aku tidak berdaya membinasakan mereka."

Dengan menangis ia menubruk ke bawah kaki Kim yan cu dan berkata pula: "Toaci, kau mau memukul aku, mau memaki, semua ini bukan soal bagiku, tapi kalau kau tidak mengakui adik lagi padaku, biarlah sekarang juga ku mati di depanmu."

Setelah memukul dan mendamprat, rasa gusar Kim yan cu sudah hilang sebagian besar, sekarang mendengar ucapan Gin hoa nio yang mengibakan hati ini, akhirnya ia pun mengucurkan air mata dan mengomel pula: "Biarpun kau terpaksa, seharusnya tidak boleh sekeji itu!"

"Ya, Toaci, ku tahu kesalahanku," jawab Gin hoa nio dengan suara gemetar. "Soalnya sejak kecil aku sudah kenyang dianiaya orang, yang kulihat setiap hari adalah orang-orang yang kejam, aku.... aku menjadi takut, maka caraku turun tangan menjadi agak kejam." Sembari menangis ia terus merangkul kaki Kim yan cu dan meratap pula: "O, Toaci, jika kau datang lebih cepat tentu mereka tidak berani mengganggu diriku dan aku pun takkan bertindak demikian."

Hati Kim yan cu terharu pula, ia menghela napas dan berkata: "Betul juga, aku pun salah, seharusnya sejak tadi-tadi ku datang kemari."

Dasar hatinya memang polos, ia merasa kejadian ini tidak dapat menyalahkan orang lain, tapi dirinya ikut bertanggung jawab. Bicara punya bicara, akhirnya ia merangkul Gin hoa nio dan menangislah keduanya.

Meski lahirnya Gin hoa nio menangis tergerung-gerung, tapi di dalam hati sebenarnya lagi tertawa.

ooo 000 ooo

Sekarang ia telah menemukan suatu kenyataan yakni asalkan sifat seseorang dapat kau raba dengan jitu, bukan saja lelaki mudah dihadapi, bahkan perempuan juga tidak sulit dilayani, lebih-lebih perangai anak perempuan seperti Kim yan cu ini.

Dunia Kangouw memang kejam dan berbahaya, tapi juga adil, asalkan manusia yang punya kemahiran tentu akan menanjak ke atas dan kehidupannya seketika juga akan berubah gilang gemilang. Cuma saja, ada kehidupan sementara orang yang meski gilang gemilang, tapi terlalu singkat, seperti meteor saja, hanya sekelebat, lalu lenyap.

Selama beratus tahun sejarah Kangouw entah sudah berapa banyak pahlawan yang baik bintangnya untuk kemudian lantas tenggelam pula. Tapi di antaranya bukan tiada yang tetap berdiri tegak tanpa jatuh.

Ada sementara orang, meski orangnya sudah mati, tapi keturunannya, anak cucunya, masih dapat mempertahankan suatu kekuatan yang tidak pernah runtuh di dunia kangouw, dengan demikian selamanya juga lantas tetap berjaya dan abadi.

Selama 300 tahun ini, kekuatan yang tetap berdiri tegak tanpa ambruk itu, selain Siau-lim pay, Bu tong pay, dan aliran-aliran besar yang mempunyai sejarah gilang gemilang ini, masih ada juga keluarga persilatan ternama dan berpengaruh. Keluarga persilatan ini ada sebagian yang tetap berjaya karena pengorbanan leluhurnya bagi kepentingan dunia persilatan di masa lalu sehingga mendapat penghormatan dari kaum pahlawan dunia Kangouw, tapi kebanyakan adalah karena mereka memang mempunyai Kungfu yang istimewa dan sukar ditandingi, sebab itulah sejarah mereka bisa tetap hidup abadi sepanjang masa.

Di antara keluarga persilatan itu misalnya terdapat keluarga "Thio Kan-cay" di kota-raja yang terkenal dengan ilmu pertabibannya. Ada keluarga "Pi-lik-tong" di Kanglam yang termasyhur karena ahli membuat senjata api. Ada keluarga Lam-kiong dengan ilmu pukulannya yang hebat, ada keluarga "Thian-hi-tong" yang disegani karena kemahirannya menyelam di dalam air, ada pula keluarga Pang di Holam yang merajai dunia persilatan di wilayahnya karena permainan Toan bun to yang lihay.

Dan di antara keluarga-keluarga persilatan yang turun temurun itu, yang paling berkesan dan diketahui setiap orang persilatan kiranya harus ditonjolkan keluarga Tong dari Sujwan yang termasyhur karena Am-gi atau senjata rahasia yang tiada bandingannya selama ini.

Tong keh ceng atau perkampungan keluarga Tong itu terletak di kaki gunung di luar kota Cung king, propinsi Sujwan.

Setelah mengalami perbaikan dan perluasan di sana-sini selama berabad-abad, dari perumahan sederhana dua deret kini telah meluas menjadi sebuah perkampungan yang megah dan sudah menyerupai sebuah kota kecil.

Ini terbukti bilamana orang masuk pintu gerbang yang tiap tahun dicat satu kali itu, maka segala keperluan, dari sandang, pangan sampai tempat tinggal dan sarana lain, sekolahan, hiburan, sampai urusan nikah dan kematian, setiap barang keperluan dapat diperoleh di sini dan tidak perlu berbelanja ke luar.

Hakekatnya, restoran Sujwan yang paling terkemuka, toko cita yang paling mentereng, toko barang kosmetik yang mutakhir, semuanya terdapat di perkampungan ini.

Dengan sendirinya anak murid keluarga Tong masing-masing juga mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka dapat mencari nafkah menurut kemahirannya sendiri-sendiri, lalu dibelanjakan pula kepada toko-toko itu sehingga terjadilah sirkulasi perekonomian yang makmur di perkampungan ini. Bila mereka ingin menikmati kehidupan yang tinggi, cukup asalkan mereka berusaha mencari laba segiatnya, dengan dana dan tenaga yang hanya beredar di lingkungan perkampungan mereka saja, dengan sendirinya makin lama Tong keh ceng bertambah besar dan kuat.

Sampai Gin hoa nio sendiri, begitu memasuki pintu gerbang perkampungan Tong ini seketika ia terkesima dan hampir tidak percaya kepada apa yang dilihatnya.

Dia pernah datang ke Tong keh ceng ini, tapi hanya memandangnya dari luar, sama sekali tidak terbayangkan olehnya bahwa antara luar dan dalam Tong keh ceng terdapat perbedaan sebanyak ini.

Kalau dipandang dari luar, pintu gerbangnya bercat hitam dengan pagar balok kayu sebesar dahan pohon, panji terkerek tinggi di tiangnya, keadaan demikian tiada bedanya dengan perkampungan persilatan lain, hanya formatnya saja yang lebih besaran.

Tapi setibanya di dalam pintu gerbang perkampungan, tiba-tiba ia melihat di dalam perkampungan ini ada sebuah jalan raya, sebuah jalan balok batu yang rajin dan lurus, di kedua tepi jalan terdapat aneka macam toko, cukup ramai toko-toko itu dikunjungi pembeli, cuma saja toko-toko itu tidak pasang merek dagang.

Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa keadaan yang demikian ini akan dilihatnya di dalam suatu "perkampungan", yang lebih mengherankan lagi adalah di dalam perkampungan keluarga persilatan yang termasyhur ini sama sekali tiada terdapat penjagaan dan tanda-tanda siap siaga. Sungguh aneh.

Ketika kuda mereka sampai di depan pintu gerbang, Kim yan cu hanya memberitahukan sekedarnya namanya, lalu mereka disilahkan masuk. Sedangkan penjaga pintu gerbang itu pun cuma dua kakek reyot.

Gin hoa nio menghela napas panjang, saking tak tahan ia coba bertanya dengan suara tertahan: "Apakah benar inilah satu-satunya Tong keh ceng yang termasyhur itu?"

"Memangnya kau tidak percaya?" tanya Kim yan cu dengan tertawa.

"Bukannya aku tidak percaya, aku cuma merasa bingung," kata Gin hoa nio dengan gegetun.

Di jalan raya itu banyak juga orang berlalu lalang, sudah barang tentu kedatangan Kim yan cu dan Gin hoa nio menarik perhatian mereka, tapi mereka pun cuma memandang sekejap saja dan tiada seorang pun yang mendekat dan menegur mereka.

Kembali Gin hoa nio bertanya: "Orang Kangouw suka bilang Siau lim si, Bu tong san dan Tong keh ceng adalah tempat-tempat terlarang di dunia persilatan dan jangan harap akan dapat memasukinya, andaikan dapat masuk, maka jangan mengharapkan akan dapat keluar dengan hidup. Tapi melihat gelagatnya sekarang, tampaknya seperti setiap orang boleh masuk dan keluar lagi dengan bebas."

Kim yan cu tersenyum tak acuh, katanya: "Soalnya lantaran kau datang bersamaku."

"O, jika aku datang sendiri pasti tidak dapat menerobos masuk?" tanya Gin hoa nio.

"Masuk sih tidak sulit, tapi keluar lagi tubuhmu akan membujur," jawab Kim yan cu dengan tertawa. Lalu ia menyambung pula: "Coba kau lihat orang-orang yang berlalu, semuanya kelihatan ramah tamah bukan? Tapi salahlah jika kau pikir demikian. Sebab sedikit kau perlihatkan sesuatu yang tidak beres, dari lengan baju setiap orang itu bisa melayang keluar sesuatu benda untuk mencabut nyawamu."

Diam-diam Gin hoa nio merasa ngeri, tapi di mulut ia menanggapi dengan tertawa: "Tapi kita sudah masuk ke sini, mengapa tiada seorang pun yang melaporkan dan memberi petunjuk jalan?"

"Darimana kau tahu mereka tiada yang melaporkan kedatangan kita?" tanya Kim yan cu. "Hanya caranya mereka melapor itu saja tidak diketahui orang luar. Jika tidak percaya, boleh kau lihat sebentar lagi, segera ada orang keluar menyambut."

"Cujin (majikan, pemilik) perkampungan ini...."

"Maksudmu Bu Siang Lojin? Beliau berdiam di gedung belakang perkampungan sana, tinggal bersama anak-anaknya. Mungkin kau mengira setiap orang juga dapat menerobos masuk dari pintu gerbang hingga ke tempat tinggalnya, orang itu sedikitnya harus punya sayap dan mempunyai beberapa kepala."

Gin hoa nio menghela napas, gumamnya: "Jika dia terus menerus berdiam di tempat aman begini, pantaslah kalau nyalinya makin lama makin kecil."

"Darimana kau tahu nyali beliau makin lama makin kecil?" tanya Kim yan cu sambil berkerut kening.

Gin hoa nio melengak, cepat ia menjawab: "Ah, aku cuma mendengar orang bercerita demikian."

Mestinya Kim yan cu ingin tanya pula, tapi dari ujung jalan sana sudah muncul beberapa perempuan menyongsong kedatangan mereka. Perempuan itu semuanya memakai gaun berwiru banyak, jalannya berlenggang, mungkin itulah gaya berjalan "macan luwah" atau harimau lapar.

Salah seorang perempuan itu, seorang nyonya berbaju putih dan berperawakan semampai, dari jauh lantas berseru kepada Kim yan cu: "Sam-ya thaucu (budak ketiga), kenapa baru sekarang kau kemari, sungguh Cici telah lama merindukan kau."

ooo 000 ooo

Tidak lama kemudian Gin hoa nio lantas tahu bahwa perempuan semampai dan bernas ini dengan wajah bulat telur dan sedikit berjerawat ini bernama Tong Ki, puteri tertua, anak kedua Tong Bu-siang. Dia inilah yang memegang kekuasaan rumah tangga di perkampungan Tong ini.

Kemudian dari Kim yan cu juga diketahui Gin hoa nio bahwa Tong ji-kohnaynay (bibi kedua keluarga Tong) ini memang bernasib malang, meski mukanya tidak jelek, pintar mengurus rumah tangga pula, tapi sudah dua kali bertunangan, belum lagi menikah, dua kali pula bakal suaminya meninggal dunia.

Sebab itulah, di belakangnya orang suka bilang mungkin lantaran Tong ji-kohnaynay terlalu pintar mengurus rumah tangga, tapi membawa sial bagi suami.

Mungkin Tong ji-kohnaynay mendengar desas-desus ini, saking gusarnya ia lantas bersumpah di depan abu leluhur bahwa selama hidup dia tidak mau menikah.

Dan sekarang Tong ji-kohnaynay inilah menyambut kedatangan Kim yan cu dengan gembira, ia pun banyak memberi pujian kepada kecantikan "adik baru" Kim yan cu.

Mungkin sudah menjadi sifatnya yang khas, tangan Tong jikohnaynay selalu membawa sepotong handuk kecil, sepanjang jalan bila melihat ada gulungan kertas tercecer atau kulit buah terbuang, segera dijemputnya dan dibungkus dengan handuknya.

Melihat itu baru Gin hoa nio tahu apa sebabnya Tong keh ceng sedemikian rapi dan bersih. Diam-diam ia pun mentertawai Tong jikohnaynay kita ini, untung nona ini tidak menikah, kalau tidak, bisa jadi suaminya akan repot mempunyai isteri begini.

Di antara perempuan-perempuan yang mendampingi Tong Ki, tapi hanya tersenyum dan tidak bersuara, ialah menantu perempuan tertua Tong Bu-siang, isteri Tong Jan, namanya Li Pwe-ling.

Nyonya menantu ini bermuka bundar, matanya juga bundar, pergelangan tangannya juga bulat seperti lontong. Potongan nyonya menantu inilah model menantu bijaksana dan membawa rejeki.

Sedangkan adik Tong Ki, namanya Tong Lin, adalah gadis yang lemah tidak tahan angin. Matanya yang besar kelam itu seolah-olah orang yang selalu menanggung susah.

Gin hoa nio tahu ketiga perempuan inilah orang penting di Tong keh ceng, selebihnya tidak perlu diperhatikannya.

Setelah melintasi jalan raya dan melalui sebuah jalan berkerikil, tiba-tiba membentang sebidang hutan di depan sana, di balik pepohonan terdapat pagar tembok bercat merah dengan genteng warna hijau, disitulah tempat Bu-siang Lojin menikmati kehidupan bahagia di hari tuanya.

Sementara itu, Tong jikohnaynay telah membuang handuk kecil yang penuh membungkus sampah jemputannya tadi dan dibuang ke keranjang sampah, lalu mencuci tangan pada sungai kecil yang melingkari pagar tembok, kemudian ia berkata dengan tertawa: "Loyacu (tuan tua) sedang tidur siang, kukira kalian tidak perlu menjumpai beliau, boleh langsung ke tempat Toa-so (kakak ipar, isteri kakak) saja, ku tahu di tempatnya ada dua botol Bi kwi lo (arak mawar), biarlah kita gasak saja."

"Wah, dasar tukang gasak, orang menyimpan dua botol arak saja selalu kau incar," demikian Li Pwe-ling berseloroh.

Tong Ki, Tong jikohnaynay tertawa, ucapnya: "Terus terang, memang sudah lama ku incar kedua botol araknya, sekarang mumpung ada tamu, harus kugunakan kesempatan ini untuk menyikatnya, kalau tidak, bila Toako pulang nanti, mungkin berikut botolnya akan dia lalap sama sekali."

Kim yan cu tertawa terpingkal-pingkal, Gin hoa nio juga ikut tertawa.

Diam-diam ia pun heran mengapa nona-nona keluarga Tong di Sujwan ini mahir bicara dengan logat Pakkhia, tapi kemudian diketahuinya bahwa isteri Tong Bu-siang justeru adalah puteri keluarga ternama dari kota raja.

Pendek kata, sejak masuk pintu gerbang perkampungan Tong, segenap panca indera Gin hoa nio tidak pernah menganggur, mata telinga dan mulut terus bekerja. Matanya tidak menyampingkan sesuatu benda yang dilihatnya, telinga juga tidak pernah lalai terhadap sesuatu berita yang dapat didengarnya, malahan mulutnya terus menerus memuji dan menyanjung.

Meski semuanya itu tujuannya cuma satu, yakni ingin mencari kabar, akan tetapi betapa pun dia berusaha, kabar yang ingin didengarnya tetap sukar didapat. Yakni mengenai diri Ji-kongcu atau putera kedua keluarga Tong, kekasih Kim hoa nio, Tong Giok, kemana perginya?

Bahwa dia berusaha mati-matian memikat Kim yan cu dan rela diakui sebagai adiknya, harapannya justeru ingin dibawa Kim yan cu ke Tong keh ceng untuk mencari tahu bagaimana keadaan Tong Giok.

Hanya dua hari saja Gin hoa nio sudah dapat bergaul dengan erat bersama beberapa nona keluarga Tong. Dari peti benda mestika dikeluarkannya beberapa bentuk permata yang paling bagus untuk diberikan kepada Tong Ki, Tong Lin dan Li Pwe-ling, dipilihnya pula beberapa perhiasan lain yang tidak begitu indah, namun juga cukup berharga dan dibagi-bagikannya kepada setiap nona, setiap menantu keluarga Tong yang ditemuinya.

Sebab itulah, setiap orang yang pernah bertemu dengan dia, di depan maupun di belakang, semuanya sama memuji betapa baik hati "adik baru" Kim yan cu yang cantik ini.

Dalam pada itu ia pun sudah bertemu dengan Tong Bu-siang, ia tahu orang tua ini belum tentu dapat mengenalnya.

Maklumlah, kebanyakan orang yang sudah pernah melihat "Khing hoa samniocu", kalau tidak melenggong kaget tentu juga terkesima oleh dandanan mereka yang aneh-aneh atau bisa juga melongo lupa daratan melihat tari bugil mereka, jarang ada yang teringat lagi kepada wajah mereka.

Begitulah, hampir setiap anggota keluarga Tong telah dilihatnya di perkampungan ini, hanya Tong Giok saja yang tidak ditemuinya. Bahkan di Tong keh ceng ini hakekatnya tiada orang lagi berbicara mengenai Ji kongcu yang romantis itu.

Sudah hampir setiap pelosok Tong keh ceng telah didatanginya terkecuali sebuah gua yang terletak di lereng bukit belakang perkampungan, setiap kali dia berpura-pura menyelonong ke sana secara tidak sengaja, setiap kali pula dia dihadang orang dari jauh.

Akhirnya diketahuinya bahwa gua itulah rupanya tempat pembuatan Am-gi atau senjata rahasia keluarga Tong yang termasyhur itu, tempat itu terlarang dikunjungi orang yang tidak berkepentingan.

Malam ini, Tong toaso bergilir pula menjadi nyonya rumah, dengan sendirinya kedua botol Bi kwi lo yang diincar Tong Ki dahulu itu sudah habis terminum, tapi arak enak yang masih tersedia juga lumayan. Sebenarnya arak bukan minuman yang cocok bagi kaum wanita, tapi sifat para nona keluarga Tong ini ternyata tidak kalah daripada lelaki, meski makan sayur sedikit-sedikit, tapi minum arak justeru banyak-banyak.

Cahaya bulan malam ini sangat terang, terendus pula bau harum bunga Kwi di halaman sana, setelah menenggak arak, ucapan Tong Ki semakin banyak, bahkan Li Pwe-ling yang biasanya jarang bicara kini juga banyak omongnya. Pertemuan di antara kenalan lama, mereka dan Kim yan cu seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan bicara.

Hanya Gin hoa nio saja yang tidak banyak minum arak, pertama dia merasa tiada artinya minum arak bersama kaum perempuan. Kedua, ia pikir dirinya harus tetap dalam keadaan sadar. Kedatangannya ini bukan untuk minum arak saja.

Tong Lin juga tidak banyak minum arak, matanya yang besar dan kelam itu seolah-olah menanggung kesedihan yang semakin berat, tampaknya dia selalu bermalas-malasan, berbuat apa pun kurang semangat.

Aneh juga, nona cilik yang belum pernah ke luar rumah ini sebenarnya menanggung pikiran apa.

Tiba-tiba Tong Ki melototi Kim yan cu dan bertanya: "He, Sam-ya-thau, tahun ini berapa umurmu?"

Kim yan cu tertawa, jawabnya: "Untuk apa kau tanya urusan ini? Memangnya ingin pacaran denganku? Cuma sayang kau bukan lelaki, kalau tidak aku ingin menjadi istrimu."

Tong Ki menenggak araknya, lalu berkata pula: "Kau tahu, kau lahir bulan tiga, tahun ini sudah lebih 20, betul tidak?"

"Ehmm..," Kim yan cu bersuara samar-samar.

"Nona berumur likuran belum lagi kawin, kukira ini rada berbahaya," kata Tong Ki.

Muka Kim yan cu menjadi merah, omelnya: "Kau tidak gelisah bagi dirimu sendiri, mengapa malah kuatir bagi diriku?"

Kembali Tong Ki minum araknya, ucapnya dengan menghela napas: "Selama hidupku ini jelas tidak akan menikah, tapi kau.... kau tidak boleh, perempuan harus menikah, bila kau berumur sebaya diriku baru kau akan tahu betapa susahnya kesepian."

Tanpa terasa pandangan Kim yan cu menjadi suram, tapi ia berucap dengan tersenyum: "Eh, koh-naynay kita hari ini bisa juga bicara setulusnya."

Sambil memegang cawan araknya Tong Ki berkata pula dengan rawan: "Untuk apa ku pura-pura di depan kalian? memangnya aku dilahirkan untuk tidak menikah? Tapi sekarang.... kau kira aku mesti menikah dengan siapa...? Yang tinggi tidak sudi padaku, yang rendah aku emoh..." dia angkat cawan araknya dan menenggaknya pula.

"Bicara sesungguhnya, Sam-moay, sampai sekarang apakah kau belum punya pacar?" tanya Li Pwe-ling dengan tertawa. "Bukankah Sinto Kongcu itu....."

"Jangan kau sebut dia lagi, bila menyebut namanya, arak saja tak dapat kuminum," seru Kim yan cu.

"Aneh, mengapa mendadak kau benci padanya, jangan-jangan kau sudah punya yang lain?" kata Li Pwe-ling.

Muka Kim yan cu menjadi merah, jawabnya dengan tertawa: "Huh, mana ada?"

"Aha, tahulah aku," seru Tong Ki mendadak. "Caramu bicara ini mana bisa menipu orang? Hayolah, siapa, lekas katakan. Lekas mengaku terus terang, kalau tidak pasti tidak kuampuni kau."

Habis berkata segera dia hendak menggelitik pinggang Kim yan cu. Dengan tertawa Kim yan cu mengelak dan sembunyi di belakang Tong Lin, ucapnya dengan tertawa: "Usia Simoay juga tidak kecil lagi, mengapa kalian tidak tanya dia apakah sudah punya pacar atau belum?"

Mendadak Tong Lin berdiri, ucapnya dengan hambar: "Aku tidak ada urusan dengan mereka, jangan kalian ikut campurkan diriku."

Sembari bicara ia terus melangkah keluar tanpa berpaling.

Kim yan cu jadi melengak: "He, Simoay marah!" serunya.

"Jangan urus dia," kata Tong Ki. "Akhir-akhir ini tampaknya budak ini seperti kesurupan setan, selalu kurang semangat, entah menanggung pikiran apa?"

Li Pwe-ling tertawa lembut, ucapnya: "Anak perempuan se-usia dia, mana yang tidak menanggung pikiran? Biar ku keluar melihatnya."

Biji mata Gin hoa nio berputar, mendadak ia mendahului berdiri dan berseru: "Toa-so jangan repot, biar aku saja yang keluar melihatnya."

"Boleh juga," ujar Li Pwe-ling. "Kalian dapat bicara dengan cocok, cuma selekasnya hendaklah kembali, sudah ku sediakan ayam goreng untuk makan malam nanti."

Setiba di luar, bau harum bunga terasa semakin semerbak.

Tong Lin kelihatan berdiri di bawah pohon Kwi, bayang-bayang pohon menutupi wajahnya, nona itu berdiri diam saja tanpa bergerak laksana badan halus di malam sunyi.

Gin hoa nio tidak lantas mendekati nona yang kesepian itu, ia pun mondar-mandir di bawah cahaya bulan, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam perlahan: "O, kehidupan manusia sungguh mengecewakan, sinar bulan yang terang, bau harum bunga Kwi, semua ini paling-paling hanya menambah rasa kesunyian orang hidup saja."

Dia memperhitungkan dengan baik pada waktu murung begini Tong Lin pasti malas untuk bicara, maka dia sengaja menguraikan kesepian orang hidup, kekecewaan dan sebagainya, semua ini ternyata tepat mengena di hati Tong Lin.

Ia jadi tertarik dan menoleh, dipandangnya Gin hoa nio hingga sekian lama, akhirnya ia berucap dengan hampa: "Orang semacam kau, ke mana pun kau dapat pergi, kenapa kau pun merasakan kesepian? Rasa kesepian hanya diketahui dengan jelas oleh burung yang terkurung di dalam sangkar."

Gin hoa nio menghela napas dan berkata: "Adik yang baik, usiamu masih belia, kau belum tahu persis sesungguhnya apa kesepian itu. Ada sementara orang meskipun setiap hari dapat pesiar dan bergurau dengan orang lain, tapi hatinya jauh lebih kesepian daripada siapa pun juga. Ada lagi setengah orang meski setiap hari hanya berduduk sendirian, tapi asalkan pikirannya melayang ke tempat yang jauh, di sana pun ada seorang sedang memikirkan dia, maka apa pun juga ia takkan merasa kesepian."

Tong Lin termenung sejenak, ia mengangguk perlahan dan berkata: "Betul, orang yang belum pernah merasakan kesepian tak nanti dapat mengucapkan kata-kata demikian... Tapi waktu pikiranmu melayang ke tempat jauh sana, darimana kau tahu dia juga sedang memikirkan dirimu?"

"Sudah tentu aku tidak tahu, siapa pun tidak tahu soal ini dan inilah penderitaan orang hidup."

"Betul, inilah penderitaan orang hidup," tukas Tong Lin dengan rawan dan menunduk.

"Sudah lama sekali," tutur Gin hoa nio, "ada kukenal seorang pemuda, namanya The Giok long, hanya satu kulihat dia, tapi siang dan malam aku merindukan dia, mungkin.... mungkin namaku saja dia tidak tahu...."

Gin hoa nio tahu kelemahan anak perempuan umumnya, bilamana kau ingin seorang anak perempuan membeberkan rahasia isi hatinya, maka jalan yang paling baik adalah menceritakan dulu rahasia di hatinya sendiri.

Sebab itulah dia lantas membuat suatu nama dan mengarang satu cerita.

Benarlah, tubuh Tong Lin kelihatan rada gemetar, selang sejenak, ia coba bertanya lagi: "Sudah banyak tempat yang kau jelajahi?"

"Ehmm," Gin hoa nio mengangguk.

"Ya, banyak sekali," jawab Gin hoa nio dengan tersenyum getir.

Tong Lin menunduk, jelas hatinya sedang meronta dan bergolak, ia terdiam lagi sebentar barulah mengambil keputusan, mendadak ia mengangkat kepala dan menatap Gin hoa nio, ucapnya sekata demi sekata: "Tahukah kau seorang na... namanya Ji Pwe giok?"

Ji Pwe giok! Kembali Ji Pwe giok!

Jantung Gin hoa nio hampir melompat keluar dari rongga dadanya. Namun air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu tanda sedikit pun, dengan tersenyum ia bertanya: "Kakimu tidak pernah melangkah keluar Tong keh ceng ini, cara bagaimana kau kenal Ji Pwe giok?"

"Beberapa hari yang lalu dia pernah kemari," tutur Tong Lin perlahan.

"Berkunjung kemari? Beberapa hari yang lalu?" tukas Gin hoa nio tanpa terasa.

Tong Lin menggigit bibir, ucapnya pula: "Dia datang mencari ayahku. Hari itu, kebetulan Toako dan Toa-so keluar mengantar keberangkatan Toako, hanya aku saja yang di rumah. Cukup lama dia bicara dengan ayah, tiba-tiba ayah menyatakan mau keluar, seperti akan mencarikan seseorang baginya, maka.... maka aku lantas dipanggil untuk menemani dia..."

Cahaya bulan menembus celah-celah dedaunan yang menyinari wajahnya, menyinari matanya, wajahnya kemerah-merahan, matanya bersinar laksana kerlip bintang di langit.

Dengan tenang Gin hoa-nio mendengarkan dan tidak memutus ceritanya.

Sampai lama Tong Lin termangu-mangu, kemudian disambungnya dengan perlahan: "Sebenarnya aku tidak suka bicara dengan orang yang baru kukenal, tapi di depannya aku merasakan tiada sesuatu kekangan, setiap gerak geriknya kurasakan begitu halus, apa yang diucapkannya terasa penuh rasa simpatik dan pengertian. Tatkala mana dia seperti baru terluka parah, tapi dia tidak memperlihatkan rasa menderita sedikitpun, jelas karena dia tidak ingin ku ikut susah, nyata, setiap urusan apa pun selalu dia pikirkan dulu bagi orang lain."

Dia bercerita dengan perlahan seperti orang yang mengigau dalam mimpi.

"Kemudian bagaimana?" tanya Gin hoa nio tak tahan.

"Kemudian ayahku pulang dan terpaksa ku kembali ke kamarku, kukira esoknya dapat kulihat dia lagi, siapa tahu, pada.... pada malam itu juga dia telah berangkat, ayah pun tidak mau memberitahukan kemana perginya, hanya menyampaikan terima kasihnya atas pembicaraanku dengan dia waktu dia ku ajak ngobrol. Ai, aku.... kukira selama hidup ini takkan melihat dia lag." Dia menunduk dengan air mata bercucuran.

"Kau kan baru melihat dia satu kali, masa dia begitu penting bagimu?" ucap Gin hoa nio dengan perlahan.

"Dan kau sendiri bukankah... bukankah juga baru bertemu satu kali dengan The Giok Long yang kau sebut tadi?"

Baru Gin hoa nio ingat pada bualannya tadi, katanya pula: "Jika benar-benar kau tak dapat melihat dia lagi, lalu bagaimana?"

"Ya, apa boleh buat!?" jawab Tong Lin dengan suara agak gemetar. "Tapi selama... selama hidupku ini mungkin akan selalu.... merana."

Gin hoa jio memandangnya tajam-tajam, tanyanya kemudian: "Bagaimana kalau ada orang yang dapat membuat kau bertemu dengan dia?"

Mendadak Tong Lin memegang tangan Gin hoa nio erat-erat, serunya dengan gemetar: "Jika ada orang dapat mempertemukanku dengan dia, aku bersedia melakukan apapun juga baginya.... Ya, apapun juga akan kulakukannya, selama hidupku ini tidak pernah gila bagi urusan apa pun, tapi sekarang, rasanya aku benar-benar hampir gila."

Gin hoa nio menghela napas, katanya dengan tertawa: "Pikiran anak gadis, ya, inilah pikiran anak gadis."

Sekujur badan Tong Lin gemetar pula, pegangannya bertambah erat, ia menegas: "Dapatkah.... dapatkah kau memper...."

Gin hoa nio menarik tangannya, ia tidak lantas menjawab, ia sengaja jual mahal, sejenak kemudian barulah ia menjawab secara licin: "Aku pun ingin melihat sesuatu, entah kau dapat membantu atau tidak?"

"Urusan apa? katakan saja, katakan!" desak Tong Lin.

"Kudengar cerita orang, konon tempat keluargamu menggembleng am-gi adalah tempat yang paling misterius dan tempat yang paling menarik, mimpi pun aku ingin masuk ke sana untuk melihatnya," jawab Gin hoa nio.

Seketika air muka Tong Lin berubah, katanya: "Ah, tempat itu tiada sesuatu yang menarik."

"Tak apalah jika kau tak dapat membantu keinginanku ini," ucap Gin hoa nio tak acuh. Sejenak kemudian tiba-tiba ia berkata: "O, sebentar, aku akan minum dulu."

Tapi sebelum Gin hoa nio melangkah pergi, cepat Tong Lin menariknya dan berkata: "Jika kubantu keinginanmu ini, apakah kau...."

"Aku pun akan membantu terpenuhi keinginanmu," tukas Gin hoa nio dengan tertawa.

Tong Lin berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab dengan menggreget: "Baik, akan kubawa kau ke sana. Tapi berhasil atau tidak tak berani kujamin. Selain itu, kau mesti berjanji juga padaku, setelah masuk ke sana, tidak boleh kau menyentuh sesuatu barang apa pun."

Dengan girang Gin hoa jio menjawab: "Asalkan melihatnya saja hatiku sudah puas, pasti takkan ku sentuh."

"Baik, sekarang juga kita pergi kesana," kata Tong Lin.

Tapi Gin hoa nio menariknya pula dan berkata: "Biarlah kita kembali dulu ke dalam, agar mereka tidak curiga. Ku tahu di sana ada sebuah gardu kecil, nanti kalau mereka sudah mabuk dan tertidur kita bertemu kembali di gardu itu."

Tong Lin mengangguk setuju, tiba-tiba air matanya bercucuran, ratapnya di dalam hati: "Ji Pwe giok, wahai Joi Pwe giok, sejauh ini kulakukan bagimu, tapi apakah kau tahu....?"

ooo 000 ooo

Tengah malam Gin hoa nio sudah datang ke gardu kecil itu, sebelumnya Tong Lin sudah menunggunya dengan tak sabar, begitu melihat Gin hoa nio muncul dari kejauhan segera ia menggapai dengan tangannya.

Jarak gardu kecil ini dengan gua itu masih cukup jauh, tapi gerak-gerik Tong Lin tampak sangat hati-hati. Gin hoa nio juga tahu di tempat ini tidak boleh sembrono.

Kelihatan dua lelaki baju hitam mondar-mandir di depan gua sana, di dalam gua tampak ada cahaya lampu, selain itu tiada kelihatan bayangan orang lain.

Di kejauhan ada suara air gemercik, Gin hoa nio, tahu itulah sebuah sumber air hangat di tebing bukit sana. Konon sebabnya racun senjata rahasia keluarga Tong tidak dapat ditiru orang lain adalah karena dicampur dengan sumber air yang istimewa ini. Tapi sesungguhnya masih ada sebab lain atau tidak sukar dipastikan.

Gin hoa nio lantas mendesis: "Apakah sekarang kita dapat masuk ke sana?"

Muka Tong Lin tampak lebih pucat daripada kertas, katanya sambil menggeleng: "Tidak, saat ini yang dinas jaga gua ini adalah Si-suhengku, Tong Siu-hong, dia berwatak keras dan kaku, bila kita ingin masuk ke sana sekarang, hakekatnya setitik harapan saja tidak ada."

"Jika demikian, hayolah kita pulang saja!" ucap Gin hoa nio dengan kurang senang.

Tapi Tong Lin lantas mendesis: "Sabar dulu, ketahuilah orang yang dinas jaga di sini akan berganti pada tengah malam tepat, maka boleh kita tunggu lagi sejenak, bila yang dinas jaga nanti adalah Toa suheng atau Jit-suheng, maka bereslah, sebab kedua orang ini paling mudah diajak bicara."

Gin hoa nio tersenyum cerah dan tidak bersuara lagi.

Tidak lama kemudian, Tong Lin tak tahunya ia bertanya: "Apakah kau pun kenal... kenal Ji kongcu?"

Gin hoa nia mengiakan.

Tong Lin menggigit bibir. "Cara bagaimana kau kenal dia?" tanyanya kemudian.

"Jangan kuatir," ujar Gin hoa nio dengan tertawa. "Aku dan dia cuma kawan biasa saja, aku sendiri sudah punya pacar."

Muka Tong Lin yang pucat itu seketika merah semarak, ia menunduk dan tidak bicara lagi.

Lewat sejenak pula, Gin hoa nio juga tidak tahan, ia bertanya: "Konon tidak lama mukanya telah dilukai orang, entah betul atau tidak?"

"Betul," jawab Tong Lin dengan menyesal, "Mukanya memang ada bekas luka, dia bilang padaku, seorang perempuan paling keji dan paling licin di dunia ini yang melukainya."

Tentu saja Gin hoa nio merasa gregetan tapi di mulut ia berkata dengan tertawa: "Jika bukan perempuan yang keji, siapa yang sampai hati melukai dia?"

Tiba-tiba Ton Lin tertawa, katanya: "Bila perempuan ini bermaksud merusak wajahnya, maka dia pasti akan kecewa."

"Oo!? Sebabnya?" tanya Gin hoa nio.

"Sebab setelah mukanya bertambah bekas luka itu, dia bukannya menjadi buruk rupa, tapi malah menambah perbawa kelelakiannya," tutur Tong Lin. "Kupikir pada sebelum terluka begitu tentu wajahnya berbau pupur, pasti tidak sebaik sekarang."

Hampir meledak dada Gin hoa nio saking gemasnya, dia hanya menggreget secara diam-diam saja, tapi menanggapi dengan tertawa: "Kukira itulah yang dinamakan di mata pacar timbul bidadari, biarpun seperti siluman juga tampaknya maha cakap."

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah orang ramai, menyusul dari jalan kecil sana lantas muncul dua baris bayangan orang, jumlahnya ada 20-30 orang, empat orang yang di depan dan di belakang sama memegang lampu kerudung kertas.

Seorang pendek gemuk berjalan paling depan, dia tidak membawa senjata, tapi pinggangnya menonjol, jelas banyak am-gi atau senjata rahasia yang dibawanya.

"Wah, mujur kita, yang ganti dinas jaga memang betul Jit-suko," ucap Tong Lin dengan senang.

"Si gemuk kecil inikah Jit-sukomu?" tanya Gin hoa nio.

"Meski Jit-suko kami ini tampaknya ramah tamah, tapi ilmu silatnya tergolong kelas satu, orang Kangouw memberi julukan "Jian jiu mi to" (Buddha gemuk bertangan seribu) padanya. Di Tong keh ceng sini, kecuali Toako dan Toa-suheng kami, mungkin nama Jitsuko yang paling gemilang."

"Sungguh tidak dinyana, padahal kelihatannya dia seperti kasir di restoran yang berperut buncit," Gin hoa nio berseloroh.

Tong Lin juga tertawa geli, katanya: "Pada waktu tidak dinas jaga, pekerjaannya memang kasir restoran. Setiap orang yang berkunjung ke perkampungan ini seluruhnya dilayani oleh dia, yang bermaksud mengacau ke sini juga harus melalui rintangannya dulu."

Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini sejak merasa ada harapan akan bertemu lagi dengan orang yang dicintainya, hati yang tadinya murung kini mulai cerah dan bergairah hingga kata-katanya juga bertambah banyak. Dalam pada itu Jian jiu mi to Tong Siu jing sudah berhenti di depan gua sana, dari bajunya ia mengeluarkan sebuah pelat hitam dan diserahkan kepada lelaki yang berjaga di luar gua tadi.

Lelaki itu memberi hormat, lalu berlari masuk ke dalam gua. Tidak lama kemudian dia keluar lagi bersama seorang lelaki kekar bermuka lebar dan berjenggot hitam.

"Si-suheng tentu sudah capai!" sapa Tong Siu jing sambil menyongsong ke depan.

Yang baru keluar itu memang Tong Siu hong, ia memandang kedua barisan tadi, lalu berkata dengan kurang senang: "Mengapa yang datang cuma 29 orang?"

Dengan mengiring tawa Tong Siu jing memberi penjelasan: "Isteri Siau hou cu melahirkan, kuberi dia cuti satu hari."

Dengan muka bersungut Tong Siu hong berkata: "Punya anak juga bukan sesuatu yang luar biasa, di Tong keh ceng ini hampir setiap hari ada anak lahir. Waktu susomu (kakak iparmu) melahirkan, bukankah akupun tetap berdinas jaga?"

Tong Siu jing menunduk, jawabnya tetap dengan mengiring tawa: "Ya, inilah kesalahanku..."

"Sekali ini tidak jadi soal, bulan depan dia harus tambah dinas sehari," ucap Tong Siu hong tegas. "Tapi tenaga hari ini tetap tidak boleh berkurang satu."

"Sudah belasan tahun tempat ini selalu aman tenteram, hanya kurang satu orang masa menjadi soal?" ujar Siu jing dengan tertawa.

"Lojit, salah besar ucapanmu ini," kata Siu hong dengan bengis. "Biarpun seribu tahun tidak pernah terjadi apa-apa, tetap penjagaan kita tidak boleh teledor. Sebabnya orang luar tidak berani menerobos masuk ke sini justeru karena ketatnya penjagaan di sini."

Terpaksa Tong Siu jing menunduk dan mengiakan.

Pandangan Siu hong beralih kepada seorang lelaki penjaga tadi dan berkata: "Kemarin waktu istirahat makan, diam-diam kau minum dua ceguk arak, mestinya akan kuhukum kau setelah pulang nanti, tapi sekarang Siu hou cu tidak masuk kerja, bolehlah kau wakilkan dia dinas satu hari lagi."

Lelaki itu tidak berani membantah dan mengiakan dengan hormat.

Habis ini barulah Tong Siu hong memberi tanda, segera Tong Siu jing membawa kedua barisan tadi masuk ke dalam gua.

Menyusul di dalam gua lantas bergema suara bentakan disertai suara nyaring pintu pagar besi dibuka dan ditutup lagi, lalu ada pula 29 orang berjalan keluar dalam dua barisan.

Tong Siu hong memeriksa pula dengan teliti ke 29 orang ini, air mukanya yang keren barulah rada cerah, lalu ia berpaling dan berkata kepada Siu jing: "Besok sesudah pulang dari dinas, datanglah ke rumah Siko, Si-suso kemarin baru saja masak Ang sio tite, dia tahu kegemaranmu dan disediakan bagimu."

"Baik, Si-sute akan datang dengan membawa arak," jawab Siu jing dengan tertawa.

Kemudian Siu hong memberi tanda lagi dan membawa pergi kedua barisan tadi. Beberapa langkah kemudian ia berpaling pula dan berseru: "Jangan terlalu banyak arak yang kau bawa nanti agar tidak sampai mabuk, bisa terlantar pekerjaan kita."

Siu jing tertawa dan mengiakan.

ooo 000 ooo

Tempat yang selalu aman tenteram selama belasan tahun ini sampai sekarang masih tetap dijaga seketat ini, mau tak mau hati Gin hoa nio terkesiap dan kagum juga menyaksikan semua ini.

Baru sekarang ia tahu sebabnya nama Tong keh ceng di Sujwan tetap jaya, sebab memang tak mudah memasukinya. Untung ia tidak sembarangan bertindak, kalau tidak, bisa jadi saat ini dia sudah digotong keluar dalam keadaan tak bernyawa.

Sesudah Tong Siu hong dan kedua barisannya lenyap dari pandangan barulah Tong Lin menghela napas lega, ia tarik lengan baju Gin hoa nio dan berkata: "Hayolah, sekarang kita boleh coba-coba mengadu untung."

Segera ia mengajak Gin hoa nio menuju ke gua sana. Baru sampai di luar gua, segera penjaga membentak: "Siapa itu?"

"Aku, masa tidak kenal?" sahut Tong Lin.

"O, kiranya nona Lin," cepat lelaki itu memberi hormat.

"Ada urusan yang ingin kutemui Jitsuko..." sambil bicara Tong Lin terus hendak menerobos ke dalam.

Siapa tahu lelaki itu lantas menghadang di depan, katanya dengan tertawa: "Maaf nona, tanpa perintah tuan besar, bila hamba membiarkan nona masuk, besok hamba pasti akan mendapat hukuman berat."

Terpaksa Tong Lin berhenti dan berkata: "Jika demikian, kukira boleh kau panggilkan Jitsuko saja."

Orang itu tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengiakan.

Namun Tong Siu jing tidak perlu dipanggil lagi, dengan tertawa ia sudah memapak keluar. Ia memandang Gin hoa nio sekejap, lalu berkata: "Simoay, mengapa kau bawa tamu ke tempat ini, cara bagaimana harus kuladeni kalian?"

Gin hoa nio tersenyum dan memberikan lirikan genit, lalu menunduk malu-malu.

Tong Lin menjawab dengan tertawa: "Kau tahu dia ini tamu, jadi kau sudah tahu siapa dia?"

"Sudah dua hari kudengar nona Kim datang dengan membawa seorang adik perempuan, kudengar juga dua botol bi kwi lo simpanan Toaso telah terminum habis, padahal kedua arak itupun sudah lama ku incar, tapi Jikohnaynay tidak mengundang diriku, tentu saja aku tidak berani nyelonong ke perjamuannya."

"Pantas Jici (kakak kedua) selalu bilang Jit-suko bertelinga panjang, nyatanya segala urusan besar kecil di perkampungan ini tiada satupun dapat mengelabui mata telingamu," ujar Tong Lin dengan tertawa.

"Ah, tidak perlu kau mengumpak diriku, tentu ada yang kau harapkan dariku," kata Tong Siu jing.

"Coba jawab saja, ada tamu, cara bagaimana kau memberi pelayanan?" kata Tong Lin.

"Ai, kan sudah kukatakan, di sini tiada sesuatu yang cocok untuk melayani tamu. Tapi lusa siang pasti akan kusiapkan satu meja perjamuan besar, semoga para nona sudi hadir."

"Huh, perjamuan apa, paling-paling juga cuma Hay hong hi sit (sup sirip ikan dan telur kepiting), Yan oh keh yong (sarang burung masak ayam) dan sebagainya, sudah bosan!" seru Tong Lin. Mendadak ia menarik lengan baju Tong Siu jing dan berkata pula dengan tersenyum manis: "Dia hanya ingin meninjau sejenak saja ke dalam, harap Jitsuko memberi izin. Kan tempo hari Jici juga membawa tamunya kemari dan kaupun membiarkan mereka masuk? Jika Jici kau beri kesempatan, supaya adil akupun mesti diberi kesempatan. Kalau tidak, lain kali takkan kuhiraukan kau lagi, jika ku masak wikeh kuah juga takkan kuberikan padamu."

Tong Siu jing menghela napas, katanya: "Begitu melihat kedatanganmu segera ku tahu maksudmu, kalau tidak, kenapa tidak cepat tidak lambat, begitu aku dinas jaga segera kau muncul?"

Gin hoa nio sengaja mengikik tawa dan berbisik-bisik pada Tong Lin: "Betul tidak, kan sudah kukatakan dia tak dapat dikelabui, kukira lebih baik panggil Jici saja kemari."

Dia seperti bicara terhadap Tong Lin, padahal sengaja diperdengarkan kepada Tong Siu jing, maka meski suaranya kedengarannya lirih, tapi cukup untuk didengar Tong Siu jing.

"Ai, kutakut pada Ji-siocia, memangnya Si-siocia kutakuti?" ujar Tong Siu Jing dengan menyesal.

"Padahal Si-siocia jauh lebih sulit untuk dilayani."

Dia membungkuk tubuh sebagai tanda menyilakan dan berkata pula: "Baiklah, kedua nona silahkan masuk saja, lekas! Cuma kalian harus mengikuti petunjukku, tidak boleh sembarangan bergerak, tidak boleh sembarangan pegang dan aku akan berterima kasih jika semua itu kalian patuhi."

ooo 000 ooo

Dipandang dari jauh hakekatnya gua itu tiada terlihat pintunya, tapi setiba di mulut gua segera akan tertampak tiga lapis pagar besi yang tertanam di dinding batu. Melulu ketiga pagar besi ini saja sukar diterobos oleh segala orang, maklum terali besinya yang sebesar lengan bayi itu jelas tidak mudah digeser orang.

Akan tetapi Tong Siu jing hanya menekan perlahan pada suatu tempat di dinding batu dan pagar besi itu lantas menghilang ke dalam dinding tanpa mengeluarkan suara.

Di balik pintu besi itu sudah kelihatan keadaan gua yang curam dan berbahaya, pada setiap batu yang mencuat keluar pasti ada seorang lelaki berseragam hitam berjaga di situ.

Setelah melintasi ketiga lapis pagar besi itu, hati setiap orang lantas mulai tegang, rasanya seperti masuk ke sebuah biara kuno yang seram, seperti juga masuk ke sebuah hutan purba, secara aneh dirinya sendiri terasa berubah sedemikian kelunya, di segenap penjuru seolah-olah penuh terpendam bahaya yang sukar diraba.

Gin hoa nio menghela napas, desisnya: "Padahal tanpa dipesan, di tempat begini, siapakah yang berani sembarangan bergerak?"

Tong Lin mencibir, katanya: "Jika tidak menemani kau, tidak nanti ku datang ke tempat setan ini."

Meski di mulut dia bilang "tempat setan", tapi aneh, sukar menutupi rasa senangnya. Soalnya tempat ini tidak cuma dipandang sebagai "tanah suci" oleh anak murid Tong, bahkan juga dianggap tempat suci oleh orang Kangouw, justeru inilah yang selalu dibanggakan oleh setiap anggota keluarga Tong.

Gua ini cukup dalam dan berliku-liku, tempat demikian seharusnya terasa gelap dan seram, tapi justeru semakin ke dalam rasanya semakin hangat, menyusul lantas terdengar gemerciknya air mengalir.

Setelah membelok lagi satu tikungan, pandangan Gin hoa nio mendadak terbeliak.

Gua yang semula berliku-liku itu, sampai di sini mendadak terbuka, perut gunung ini ternyata kosong, berwujud sebuah terowongan raksasa, atapnya yang bulat melengkung berpuluh tombak tingginya, luasnya entah berapa ratus tombak, seorang berteriak dari ujung sini umpamanya, waktu dia tutup mulut, barulah suaranya dapat berkumandang sampai di ujung sana.

Anehnya meski tempat ini termasuk di dalam perut gunung, tapi di sini dialiri sebuah sungai kecil. Air sungai berwarna kuning bahkan mengepulkan asap dan berhawa panas.

Di tepi sepanjang sungai kecil itu terdapat berpuluh tungku tembaga antik yang beraneka ragam bentuknya, di antara tungku satu dan tungku lain teraling oleh pintu angin batu setengah alam dan setengah buatan tenaga manusia.

Pada saat ini, di samping setiap tungku terdapat dua lelaki kekar dengan telanjang badan bagian atas, kedua orang sedang memukul dan menggembleng di atas talenan besi, palu yang digunakan mereka tidak terlalu besar, jelas barang yang mereka gembleng itu sangat kecil, tapi air muka mereka sama prihatin, seolah-olah menanggung beban beribu kati, segenap tenaga dan perhatian mereka tidak berani lena sedikit pun.

Setelah orang-orang pada tungku pertama selesai membuat benda itu lalu dilempar ke dalam keranjang bambu yang terikat dan terendam di dalam air sungai, setelah digerujuk dan dicuci oleh air sungai yang mengalir tanpa henti itu, lalu orang-orang yang menunggui tungku kedua akan menggantol keranjang bambu itu, terus digembleng dan ditempa pula.

Begitulah setelah mengalami lima kali gemblengan, hasil produksi itu direndam lagi di dalam air sungai sampai sekian lamanya, akhirnya akan dikumpulkan oleh seorang lelaki berseragam hitam dan diantar ke dalam rumah batu yang terdapat berderet di dinding tebing sana.

Di depan pintu rumah batu terpasang kerai, di dalam terkadang juga bergema suara gemblengan, untuk bisa melihat keadaan di dalam rumah harus menyingkap kerai.

Cara bekerja orang-orang itu sangat tekun dengan sikap prihatin pula, terhadap segala urusan dari luar seolah-olah tidak dilihat dan tidak didengarnya. Dunia mereka, kehidupan mereka seolah-olah sudah tercurahkan pada benda kecil yang mereka pegang, padahal benda-benda kecil itu tidak lebih hanya sepotong besi atau sepotong kawat.

Amgi atau senjata rahasia keluarga Tong dari propinsi Sujwan yang termasyhur selama beratus tahun rupanya berasal dari potongan besi atau kawat kecil melalui proses produksi orang-orang ini.

Sampai kesima Gin hoa nio menyaksikan semua ini. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa pembuatan sepotong senjata rahasia sekecil itu mengalami proses produksi seruwet ini.

Melihat Gin hoa nio kesemsem, Tong Lin tertawa, katanya: "Sudah cukup kau lihat?"

Gin hoa nio memegang tangannya dan berkata: "Adik yang baik, jangan kau tertawakan diriku, aku benar-benar seperti katak baru keluar dari tempurung, aku merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus kukatakan."

"Mana bisa kutertawai kau," kata Tong Lin. "Setiap orang yang berkunjung ke sini semuanya berubah seperti dirimu. Sebab tiada seorang pun yang membayangkan bahwa untuk membuat satu biji senjata rahasia sekecil itu ternyata sedemikian ruwetnya."

"Ya, memang betul, aku benar-benar bingung," kata Gin hoa nio.

Setelah berpikir sejenak, Tong Lin mengeluarkan sepotong amgi yang berwarna hitam, amgi ini kalau dipandang mirip setangkai bunga, kalau diamati lagi barulah kelihatan bukan bunga.

"Kau tahu barang apakah ini?" tanya Tong Lin.

"Entah, aku... aku tidak tahu," jawab Gin hoa nio dengan mata terbelalak.

"Inilah Thi cit le (besi berduri) yang disegani orang Kangouw," tutur Tong Lin. "Sebenarnya Thi cit le bukan senjata rahasia yang lebih lihay dari pada amgi lain, hanya thi cit le buatan keluarga Tong memang lain daripada yang lain dan lebih lihay, sebab proses pembuatannya berbeda jauh daripada Thi cit le biasa."

"Ah, tidak kulihat ada sesuatu perbedaannya," Gin hoa nio sengaja membantah.

"Cara membuat Thi cit le, biasanya orang lain harus membuat cetakan modelnya, lalu menuangkan cairan bajanya ke dalam cetakan, sesudah cairan baja dingin barulah selesai pembuatannya."

"Dan bagaimana cara keluargamu membuatnya?" tanya Gin hoa nio.

Thi cit le keluarga kami dimulai dengan membuat daun-daunnya yang kecil-kecil, habis itu sepotong demi sepotong dibentuk menjadi satu, apabila Thi cit le ini disambitkan dan masuk tubuh manusia, segera daun-daunnya akan mekar, bila senjata rahasia ini hendak dikeluarkan, sedikitnya sebagian kulit daging akan terkoyak."

"Wah, sakitnya pasti setengah mati!" seru Gin hoa nio dengan lagak terperanjat.

"Kalau jiwa dapat tertolong, rasa sakit sih tidak menjadi soal," ujar Tong Lin dengan tersenyum.

"Cuma sayang, ketika senjata rahasia ini dapat dikeluarkan, jiwanya juga tak tertolong lagi"

"Memangnya sebab apa?" tanya Gin-hoa-nio pura-pura bingung.

Sebab Am-gi ini dibentuk dengan 13 sayap, bukan saja setiap sayapnya sudah direndam racun, bahkan jenis racunnya tidak sama, ke-13 macam racun sama lihaynya, asal masuk darah lantas meluas, biarpun malaikat dewata juga tidak mampu menyelamatkan jiwanya"

Diam-diam Gin-hoa-nio merasa ngeri juga setelah mengetahui betapa lihay senjata rahasia keluarga Tong ini. Katanya kemudian: "Pantas orang Kangouw sama bilang, lebih baik ketemu setan daripada ketemu am-gi keluarga Tong"

Tapi Tong Lin lantas bercerita lebih lanjut: "Di antara ke tujuh macam Am-gi keluarga Tong yang paling lihay, Thi-cit-le ini tergolong yang paling umum dan paling sederhana. Thi-cit-le hanya dibentuk dari 13 kepingan besi, masih ada Am-gi lain yang dibentuk dari berpuluh-puluh potong onderdil. Misalnya Kiu-thian-sin-ciam, jarum sakti ini harus disemburkan dengan sebuah bumbung. Untuk merakit bumbung ini sampai saat ini masih merupakan rahasia besar bagi orang Kangouw"

Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, katanya: "Makanya kalian sengaja memisahkan orang-orang yang membuat am-gi ini, tujuannya adalah untuk menjaga rahasia ini agar tidak dibocorkan oleh mereka, betul tidak?"

"Betul, orang yang dipekerjakan di sini, meski semuanya jujur dan setia, tapi bukan mustahil ada juga yang tidak tahan pancingan dan paksaan orang lain", kata Tong Lin. "Dan leluhur keluarga Tong sudah memikirkan hal-hal demikian, sebab itulah hakekatnya tiada seorangpun di antara mereka yang mengetahui rahasia seluruhnya dari proses pembuatan Am-gi ini, jadi, seumpama mereka ingin membocorkannya juga sukar membocorkannya secara lengkap dan jelas."

Dia tuding salah seorang pekerja itu, lalu menyambung pula: "Umpama orang ini, tugasnya hanya membuat salah satu daun Thi-cit-le, maka selama hidupnya juga melulu bekerja menggembleng sayap Thi-cit-le ini, pekerjaan lain tidak pernah tahu, sampai-sampai bagaimana bentuk sayap Thi-cit-le yang lain juga tidak diketahuinya."

"Selama hidup hanya itu-itu saja yang mereka kerjakan, sampai akhirnya dengan sendirinya hasil pekerjaannya semakin sempurna, pantas Am-gi keluarga Tong selamanya tak dapat ditiru orang," ujar Gin hoa nio dengan gegetun.

"Cara demikian juga masih ada kebaikan lain yaitu di luar pekerjaan ini mereka dapat hidup seperti orang biasa, tidak perlu kuatir ada orang luar akan membawa lari mereka dan kita pun tidak perlu mengawasinya."

Gin hoa nio memandang ke deretan rumah batu sana dan bertanya: "Lalu, bagaimana dengan orang-orang di dalam sana?"

"Ya, hanya orang-orang di dalam itulah yang mengetahui rahasia pembuatan amgi, sebab setelah onderdilnya selesai dibuat, semuanya dikumpulkan dan diantar ke tempat mereka untuk dirakit."

"Apakah mereka takkan membocorkan rahasianya?" tanya Gi hoa nio.

"Orang-orang di dalam rumah itu adalah kakek yang telah pensiun, kebanyakan di antaranya juga sebatangkara, maka sukarela bekerja di situ. Sebab, setelah memangku pekerjaan ini, selama hidup tak boleh lagi keluar dari gua ini."

Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Pantas mereka bekerja dengan sepenuh tenaga, kiranya mereka sudah mempersembahkan jiwa raga mereka buat amgi ini, asalkan dapat membuat sebuah amgi yang baik dan sempurna agar sejarah keluarga Tong tetap gemilang, maka itu pun merupakan kebahagiaan mereka."

"Ucapan nona memang tepat," tukas Tong Siu jing mendadak dengan tertawa. Meski kehidupan kakek-kakek itu kesepian, tapi tekad mereka adalah menegakkan dan mempertahankan nama baik keluarga Tong tetap jaya abadi. Setiap anggota keluarga Tong memang sanggup menderita apa pun."

"Eh, silahkan kalian omong-omong dulu, ku pergi ke sana untuk menjenguk seseorang," tiba-tiba Tong Lin berkata.

"He, Simoay, jangan lupa kau...." tapi belum sempat Tong Siu jing mencegah lebih jauh, tahu-tahu Tong Lin sudah melompati sungai kecil itu dan berlari ke sana.

Dengan lagak malu-malu dan menunduk Gin hoa nio melayani pembicaraan Tong Siu jing, tapi perhatiannya sebenarnya selalu mengikuti gerak-gerik Tong Lin.

Dilihatnya nona itu berlari secepat terbang ke dalam deretan rumah batu sana dan langsung masuk ke rumah ketiga dari sebelah kiri. Begitu cepat gerak tubuh nona itu, kerai baru tersingkap segera tertutup kembali lagi.

Akan tetapi cukup sekejap itu lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat melihat ada orang berada di dalam rumah. Orang itu duduk membelakangi pintu dan tanpa bergerak, tapi tidak menyerupai orang yang lagi asyik bekerja melainkan lebih mirip orang yang lagi duduk melamun. Dengan sendirinya mukanya tidak kelihatan, hanya tertampak rambutnya hitam gelap, bahkan Gin-hoa-nio yakin matanya sendiri pasti tidak keliru lihat, usia orang itu pasti sangat muda.

Kalau menurut cerita Tong Lin tadi, bahwa yang bekerja di dalam rumah-rumah batu itu adalah kakek-kakek yang sudah pensiun, mengapa sekarang ada seorang muda di sana? Untuk apa pula Tong Lin sengaja menjenguknya?

Mendadak jantung Gin-hoa-nio berdetak: "Ha..Tong Giok! Orang itu pasti Tong Giok adanya. Kiranya Tong Bu-sian menyembunyikan puteranya yang kedua ini di sini, pantas dicari sekian lamanya tidak bisa ditemukan"

Saking girangnya hampir saja Gin-hoa-nio berjingkrak, tapi ia tetap tidak lupa melayani bicara Tong Siu-jing. Mata Tong Siu-jing memandangnya semakin mencorong dan semakin lengket.

Tentu saja Gin-hoa-nio berlagak semakin malu kucing, mengangkat kepala saja tidak berani.

Tong Siu-jing berkata: "Sudikah nona dan nona Kim makan siang di rumah makanku besok pagi?”. Gin-hoa-nio menjadi merah mukanya: "Kalau cici Kim bersedia aku bersedia juga". Dia berjalan ke arah sungai kecil dan berkata: "Dapatkah aku mencuci tangan di sini?"

Tong Siu-jing menjawab: "Tentu saja"

Gin-hoa-nio mencelupkan dan mencuci tangannya ke dalam air. Tong Siu-jing terpesona melihat tangannya yang anggun dan indah.

Tong Lin kembali dan kelihatan sedikit jengkel, dia berkata: "Dia jadi sangat aneh, dia bahkan tidak mau memandangku"

Tong Siu-jing berkata: "Belakangan ini perasaannya tidak enak, jangan perdulikan dia"

Gin-hoa-nio yakin bahwa orang yang dimaksud adalah Tong Giok, diam-diam dia jatuhkan sapu tangan ungunya ke dalam air. Dia berdiri dan berkata: "Adik ke empat, aku rasa aku sudah cukup melihat semuanya"

Tong Siu-jing berkata: "Kakak ke empat...."

Tong Lin menyela: "Adik ke tujuh, tidak usah kuatir. Kita belum merepotkanmu"

Tong Siu-jing berkata: "Lain kali....."

Tiba-tiba Tong Siu-jing melihat air sungai bergolak dan mengeluarkan asap ungu. Asap itu segera berubah menjadi kabut tebal. Dalam waktu singkat kabut itu menjadi semakin tebal, bahkan orang-orang tidak bisa melihat siapa yang berdiri disampingnya.

Dengan terkejut Tong Siu-jing membentak: "Setiap orang tetap berjaga di tempat masing-masing. Jangan sembarang bergerak!"

"Aku bagaimana?..." seru Tong Lin.

"Kau awasi kawanmu, juga jangan pergi dulu!" bentak Tong Siu-jing dengan bengis.

Ditengah suara bentakannya ia sudah membuat obor, di tengah kabut tebal itu api obor ternyata tiada artinya, hanya remang-remang seperti kunang-kunang.

Tong Lin bermaksud meraih Gin-hoa-nio, tapi ternyata meraih tempat kosong, keruan ia terkejut dan berseru: "He, Hoa-cici, Hoa-cici, di mana kau?"

Meski cukup keras teriakannya, namun sayang selamanya tiada jawaban lagi.

oOo

Kiranya sejak tadi Gin-hoa-nio telah mengincar baik-baik arah rumah batu tadi, begitu kabut ditebarkan, secepat anak panah terlepas dari busurnya ia terus melayang ke sana, langsung ia menerobos ke dalam rumah itu sambil berseru tertahan: "Tong Giok, Tong-kongcu, di mana kau?"

Terdengar seorang menjawab dengan suara serak: "Siapa kau? Untuk apa mencari diriku?"

Belum habis ucapannya, tahu-tahu Gin-hoa-nio telah menarik tangannya terus diseret menerjang ke luar, tidak lupa ia menjawab: "Masa kau tidak kenal suaraku lagi?"

"Hah, kau?!" seru Tong Giok.

"Betul, siapa lagi?" jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Hampir gila Toaci memikirkan dirimu, tanpa menghiraukan bahaya ku datang mencari kau, hayolah lekas lari!"

"Tapi....tapi ayah...." tampaknya anak muda itu masih ragu-ragu, namun tubuhnya sudah tidak berkuasa lagi, ia terseret keluar.

"Ai, kau tidak punya liangsim, masakah kau tidak ingin menemui toaci?" kata Gin-hoa-nio.

Sembari menyeret Tong Giok dengan tangan kiri dan menerobos keluar rumah batu itu, lalu tangan kanan terangkat, kontan sejalur sinar perak terpancar ke depan, seperti meteor yang melintas angkasa gua itu, hanya sekelebat saja sinar perak itu lantas lenyap.

Sekilas itu Gin-hoa-nio sudah dapat membedakan arah mulut gua, segera ia melayang ke sana secepat terbang, baru sekarang ia merasakan bobot tubuh Tong Giok sangat berat, hakekatnya anak muda itu seperti tidak mau ikut pergi kalau tidak diseret.

Dalam pada itu terdengar suara Tong Siu-jing lagi membentak: "Jaga rapat mulut gua, siapapun dilarang meninggalkan tempatnya!"

Gin-hoa-nio menjadi gelisah, katanya: "Tong Giok, bila kau tidak mau ikut pergi, kalau aku kepepet, tentu takkan menguntungkan kita masing-masing."

Entah takut digertak atau mendadak berubah pikiran, segera Tong Giok juga bergerak cepat ke depan, kedua orang menerjang keluar bersama. Dari lengan baju Gin-hoa-nio mendadak terpancar pula selarik sinar perak.

Sekali ini sinar perak itu menyambar ke luar gua, waktu itu para penjaga mulut gua sedang menggeser pintu besi dan ada yang hendak menghadang mereka dengan golok terhunus, tapi senjata rahasia Gin-hoa-nio lantas dihamburkan menyusul dengan terpancarnya sinar perak tadi.

Terdengar serentetan jeritan ngeri, Gin-hoa-nio dan Tong Giok sudah menerjang keluar gua.

Di luar bintang-bintang masih berkelip bertaburan di langit, malam masih sunyi senyap, Kekacauan yang terjadi di dalam gua belum lagi tersiar keluar, hanya seorang penjaga segera memapak mereka dan membacok dengan goloknya, tapi sekali Gin-hoa-nio angkat tangannya, setitik sinar perak menyambar ke depan, kontan orang itu roboh terkapar.

Pada saat itulah di dalam gua baru terdengar suara tanda bahaya, suara bende bertalu-talu, serentak terdengar pula suara bende dimana-mana, perkampungan yang tadinya tenggelam dalam kesunyian malam itu seketika terjaga bangun, hanya sekejap saja dari berbagai penjuru lantas muncul bala bantuan.

Akan tetapi selama beberapa hari ini Gin-hoa-nio sudah mempelajari keadaan perkampungan ini, setiap jalan keluar sudah diperhitungkannya, tanpa pikir ia terus meluncur ke arah tenggara.

Tong Giok sudah berubah seperti boneka saja dan membiarkan dirinya ditarik lari oleh Gin-hoa-nio, ke timur ia ikut ke timur, ke selatan ia turut ke selatan, hanya mulutnya masih melawan: "Penjagaan di sini sangat ketat, tidak nanti kau dapat kabur."

"Mungkin orang lain memandangnya seperti tembok tembaga dan dinding besi, tapi bagiku tiada ubahnya seperti jalan rata, mau datang atau ingin pergi dapat sesukaku," kata Gin-hoa-nio dengan tertawa.

Sementara itu pagar tembok perkampungan Tong sudah kelihatan di depan, memang dengan leluasa ia dapat keluar tanpa halangan. Tapi ucapan Gin-hoa-nio itu agaknya terlalu pagi, sebab mendadak di atas pagar tembok muncul belasan lelaki kekar berseragam hitam, tangan kanan memegang golok dan tangan kiri membawa busur. Yang memimpin barisan ini ternyata Tong Siu-hong adanya.

Terkejut Gin-hoa-nio melihat munculnya Tong Siu-hong secara mendadak ini. Lebih-lebih tangan kirinya kelihatan memakai sarung tangan kulit, entah berapa banyak jiwa orang pernah melayang di bawah hamburan senjata rahasianya.

"Berhenti! Kalau tidak, senjata rahasia kami tidak kenal ampun lagi!" bentak Tong Siu-hong dengan bengis.

"Memangnya senjata rahasia hanya monopoli kalian dan aku tidak mempunyai senjata rahasia?" jengek Gin-hoa-nio dengan tertawa genit. "Kalau perlu, boleh kita coba-coba senjata rahasia siapa yang lebih lihay."

Tangan Tong Siu-hong yang sudah terangkat itu lantas diturunkan. Begitu juga, mestinya Gin-hoa-nio hendak menyerang, tapi telah dicegah Tong Giok.

Mendadak Tong Giok mengacungkan sepotong pelat besi dan berteriak: "Siapa yang berani merintangi diriku?"

Melihat pelat besi itu, Tong Siu-hong tampak tunduk benar-benar, sambil mengiakan ia lantas memberi tanda. Serentak belasan orang berseragam hitam itu menghilang dengan cepat dan mendadak seperti munculnya tadi.

Di tengah tertawa Gin-hoa-nio bersama Tong Giok mereka lantas melayang keluar pagar tembok.

Di luar sana adalah lereng bukit, suasana malam tetap sunyi. Namun langkah Gin-hoa-nio tidak pernah berhenti, ia melintasi lereng bukit, di kaki gunung ada sebuah kelenteng Toa-pekong tanpa penghuni. Ke situlah ia menuju, agaknya sebelumnya tempat ini sudah dipilihnya.

Orang yang cerdik takkan menjadi maling jika tidak lebih dulu mengatur jalan larinya.

Setiba di kelenteng itu barulah Gin-hoa-nio menghela napas lega, ucapnya dengan tersenyum: "Betapapun kau masih punya liangsim dan mau membantuku lari keluar, tidak percuma kami kakak beradik sayang padamu...."

Sambil bicara ia terus membuat api dan menyalakan lampu minyak di atas meja sembahyang. Tiba-tiba ia melenggong setelah lampu menyala.

Di bawah cahaya lampu kelihatan muka Tong Giok coreng-moreng tak keruan seperti muka setan. Setelah dipandang lebih cermat baru diketahui dia memakai kedok tipis yang aneh dan buruk.

Gin-hoa-nio tertawa, katanya: "Mau pakai topeng kan seharusnya pilih topeng yang sedap dipandang, mengapa kau pakai topeng setan begini? Kaget aku, kukira Cihuku yang cakap itu mukanya telah dirusak orang."

"Justeru lantaran ayahku kuatir ku lari dan bertemu dengan orang luar, maka aku diberinya topeng ini," ucap Tong Giok dengan menyesal.

Gin-hoa-nio menjulur lidah, katanya dengan tertawa: "Wah, ketat amat pengawasan bapakmu, tapi sekarang topeng setan ini dapat kau tanggalkan bukan?"

"Topeng ini dipasang dengan lem buatan khusus ayahku, jika ditanggalkan sebelum waktunya, mungkin kulit mukaku bisa ikut terbeset," jawab Tong Giok. Kembali Gin-hoa-nio melenggong, ucapnya kemudian: "Wah, langkah ini ternyata tepat juga, dengan memakai topeng setan ini memang tak dapat dikenali siapapun juga, tapi aku.... tetap kuingat bagaimana bentukmu, biar kau memakai topeng apapun tetap tidak menjadi soal bagiku."

"Masa benar-benar kau masih ingat akan diriku?" tanya Tong Giok.

Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya perlahan: "Meski Toaci selalu menyembunyikan dirimu, walaupun cuma satu kali kulihat kau dan hanya beberapa kalimat saja percakapan kita, tapi.... tapi selamanya takkan kulupakan suaramu!"

Tong Giok termenung sejenak, ia menghela napas panjang dan berkata: "Apakah baik-baik saja Toacimu?"

Mendadak Gin-hoa-nio mengangkat kepalanya, matanya tampak basah, ucapnya dengan suara rada gemetar: "Dengan susah payah ku tolong kau dari penjara maut itu, kau.... kau sama sekali tidak mengucapkan terima kasih padaku, tapi buru-buru tanya tentang Toaci?"

Dengan suara halus Tong Giok berkata: "Aku memang harus berterima kasih padamu. Sungguh tidak mudah kau dapat menemukan diriku."

Gin-hoa-nio menunduk dan memainkan ujung bajunya sambil menggigit bibir, ucapnya malu-malu: "Asal kau tahu saja."

"Sungguh aku tidak tahu dengan cara bagaimana kau dapat menemukan diriku?" tanya Tong Giok.

Gin-hoa-nio tertawa cerah, katanya: "Kau kenal Kim-yan-cu?"

"Sep.... seperti pernah kudengar nama ini," jawab Tong Giok.

"Tidak perlu kau dusta," omel Gin-hoa-nio, "Aku takkan cemburu, masa kau tidak kenal dia, bukankah dia saudara angkat kakak ipar dan kakak perempuanmu?"

"Ya, aku memang kenal dia," kata Tong Giok dengan tertawa.

"Sebelumnya memang sudah kuketahui hubungannya yang erat dengan keluarga Tong, demi menemukan dirimu, maka akupun telah mengangkat saudara dengan dia."

"Kau.... kaupun mengangkat saudara dengan dia?" Tong Giok menegas.

"Tidak perlu kau terkejut," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Dengan sendirinya dia tidak tahu sesungguhnya siapa aku ini. Dia cuma tahu aku ini anak perempuan yang sebatang kara dan memerlukan seorang sahabat atau kakak yang dapat melindunginya."

"Ai, dia ternyata sangat mudah ditipu orang," ujar Tong Giok dengan gegetun.

"Jangan kau remehkan dia," kata Gin-hoa-nio. "Waktu kuminta dia membawaku ke Tong-keh-ceng ini perlu ku bujuk dengan susah payah."

"Oo!" melenggong Tong Giok.

"Semula dia ogah-ogahan, untung aku baru menemukan beberapa peti batu permata, maka sengaja kukatakan hendak mencari suatu tempat penitipan yang dapat dipercaya, benarlah dia lantas mengusulkan titip saja di Tong-keh-ceng ini."

"Dan sekarang kau rela meninggalkan barang-barang berharga itu di Tong-keh-ceng?" tanya Tong Giok.

"Haha, memangnya kau kira aku begitu murah hati dan meninggalkan barang-barang berharga itu bagi orang lain?" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Kau tahu, sepanjang perjalanan hampir sembilan bagian isi peti itu sudah kukeluarkan dan kuganti dengan barang palsu, hanya bagian atas saja ada beberapa potong permata tulen yang memang hendak kuberikan kepada kakak-kakakmu. Selebihnya tidak berharga sama sekali. Mengenai permata yang tulen itu ...."

Dia mengerling genit, lalu menyambung: "Permata yang tulen itu memang tidak sedikit jumlahnya, cara bagaimanapun akan kau gunakan atau dihamburkan, selama hidup juga takkan habis."

"Dan mengapa Tong Lin mau membawa kau ke gua itu?" tanya Tong Giok pula.

"Adik perempuanmu itu sedang birahi," tutur Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Beberapa hari yang lalu konon dia baru kenal seorang lelaki, sekali bertemu dia lantas tergila-gila padanya. Kukatakan dapat kutemukan lelaki itu baginya, maka segala apapun akan dikerjakannya untukku."

Tong Giok termenung-menung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Tampaknya kau telah banyak memeras tenaga bagiku, bilamana diketahui Toacimu, dia pasti sangat berterima kasih padamu."

Tiba-tiba wajah Gin-hoa-nio yang berseri-seri berubah menjadi murung, matanya basah lagi, ucapnya dengan tersendat: "Kembali Toaci dan Toaci lagi, kau.... kau hanya tahu Toaci saja, tapi tahukah kau betapa susah payah usahaku mencari kau, waktu itu dia lagi bekerja apa?"

"Darimana ku tahu?" jawab Tong Giok.

"Dia.... dia.... " belum lanjut ucapannya air matanya lantas berderai.

"Apakah.... apakah terjadi sesuatu atas dirinya?" tanya Tong Giok.

"Tiada terjadi apa-apa atas dirinya," jawab Gin-hoa-nio sambil mendekap mukanya.

"Habis mengapa kau menangis?"

"Tolol, aku tidak menangis baginya, tapi bagimu!" omel Gin-hoa-nio sambil membanting kaki.

"Bagiku? Sebab apa?"

"Sebab.... sebab aku kasihan padamu, sungguh aku tidak tahan dan berduka bagimu."

"Berduka bagiku? Memangnya kenapa?"

Mendadak Gin-hoa-nio mendongak dan berseru dengan parau: "Biarlah kukatakan terus terang padamu, pada.... pada waktu kau menderita baginya, dia sendiri justeru......"

"Dia kenapa?" Tong Giok menegas

"Dia.... dia justeru berada dalam rangkulan lelaki lain," seru Gin-hoa-nio sambil mendekap mukanya.

Tong Giok seperti melenggong, hingga lama ia tidak bersuara.

"Sebenarnya tidak pantas kukatakan padamu, tapi..... tapi akupun tidak tega membohongimu, sungguh aku..... aku ikut sedih," sambil menangis mendadak Gin-hoa-nio menjatuhkan dirinya ke pangkuan Tong Giok.

Sama sekali Tong Giok tidak bergerak, ucapnya sekata demi sekata: "Siapa lelaki itu?"

"Tak dapat kukatakan lagi...." jawab Gin-hoa-nio sambil menangis. "Aku.... aku sudah bersalah kepada Toaci."

"Kan lebih baik jika lebih cepat kau katakan padaku, kalau tidak...."

"Baik, biar kukatakan padamu," kata Gin-hoa-nio dengan parau: "Lelaki itu bernama Ji Pwe-giok!"

"Ji Pwe-giok!?" Tong Giok menegas.

"Betul. Kau kenal dia?"

"Baru sekarang kudengar namanya," jawab Tong Giok perlahan.

"Untung kau tidak kenal dia, kalau tidak, tentu kaupun akan tertipu."

"Oo!?" Tong Giok melongo

"Orang ini sangat culas dan keji, tapi justeru mempunyai seraut wajah yang menyenangkan, wajah yang putih dan cakap, iapun mahir membujuk rayu terhadap perempuan, sebab itulah Toaci ter.... tertipu olehnya."

Kembali Tong Giok termenung agak lama, katanya kemudian dengan muka masam: "Jika hati Toacimu sudah berubah, untuk apa pula kau cari diriku?"

"Masa.... masa kau tidak paham?" kata Gin-hoa-nio sambil membenamkan kepalanya ke rangkulan anak muda itu.

"Aku tidak paham," jawab Tong Giok perlahan

"Ai, kau memang....tolol!" omel Gin-hoa-nio

"Aku memang tolol, kalau tidak masa......"

"Cukup, tidak perlu kau katakan lagi," sela Gin-hoa-nio. "Meski Toaciku membuat salah padamu, tapi aku...." ia bergeliat dalam pangkuan Tong Giok, ia ingin menggunakan tingkah-lakunya sebagai ganti ucapannya.

Perlahan-lahan akhirnya tangan Tong Giok terangkat dan merangkul pinggang si nona.

"Ooo sayang, padamkan dulu lampunya," ucap Gin-hoa-nio sambil berkeluh.

"Jangan dipadamkan, sebab ingin kupandang kau sejelasnya," kata Tong Giok.

"Ai, bu.... busuk amat kau!" omel Gin-hoa-nio.

"Ingin kupandang sejelasnya mengapa di dunia ini ada perempuan sekotor, sekeji dan tidak tahu malu seperti kau ini...."

Tidak kepalang kejut Gin-hoa-nio seperti melihat setan, teriaknya: "Apa katamu?"

Segera ia bermaksud melepaskan diri dari rangkulan Tong Giok, namun sudah terlambat, tangan Tong Giok telah bekerja, sekaligus beberapa Hiat-to di punggungnya sudah tertutuk.

Seketika Gin-hoa-nio menggeletak di lantai dan tak dapat berkutik, serunya kuatir: "He, apa-apaan kau ini?"

Tong Giok menjengek: "Apakah betul suara Tong Giok selama hidup tak terlupakan olehmu?"

Sekujur badan Gin-hoa-nio terasa lemas dan dingin, serunya: "He, masa kau bu...... bukan dia....."

Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa orang yang dibawanya lari keluar dari tempat yang terjaga ketat dan hampir tidak mungkin dimasuki orang luar itu, ternyata bukan Tong Giok, bahkan sampai detik inipun dia tidak pernah meragukannya.

Lantas siapakah orang ini kalau bukan Tong Giok? Mengapa dia sedemikian jelas mengetahui urusan Tong Giok dan Kim-hoa-nio?

"Se...... sesungguhnya siapa kau?" tanya Gin-hoa-nio sambil memandangi orang dengan cemas.

Dengan perlahan "Tong Giok" berkata pula: "Sekalipun kau ini perempuan paling licin di dunia juga tak dapat menerka siapakah diriku ini." - Perlahan ia lantas membuka kedoknya yang berwujud buruk itu dan tertampaklah wajah aslinya.

Sungguh sebuah wajah yang sukar dibayangkan, Wajah yang sukar ditemukan setitik ciripun. Meski pada wajah ini terdapat bekas luka sayatan pisau yang cukup panjang, tapi bekas luka ini tidak membuat orang merasa muak, sebaliknya malah menambah daya tarik kelelakiannya.

Seperti orang gila Gin-hoa-nio menjerit: "Ji Pwe-giok! Kau.... mengapa bisa kau?" - Seketika hatinya terasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan yang tidak ketahuan dasarnya.

Tersembul senyuman mengejek pada ujung mulut Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tak acuh. "Tentu tak kau sangka bukan? Salah mu sendiri, nasibmu yang jelek, masa membuat desas-desus Ji Pwe-giok di depan Ji Pwe-giok. Kalau tidak, cara bagaimana kau memaki Ji Pwe-giok di depan orang pasti akan dipercaya penuh oleh siapa saja yang mendengar."

Gin-hoa-nio seperti terkesima saking kagetnya dan tidak mendengarkan ucapan anak muda itu, Ia memandangnya dengan linglung dan berulang-ulang bergumam: "Mengapa bisa kau.... mengapa bisa kau...."

"Masa tidak pernah kau dengar dari Tong Lin bahwa pernah ku datang ke Tong-keh-ceng sini?" tanya Pwe-giok.

"Ya, tahulah aku," seru Gin-hoa-nio, "Karena kau sudah kepepet dan menghadapi jalan buntu, akhirnya kau minta bantuan Tong Bu-siang agar menyembunyikan kau.... Ai, mengapa sebelum ini tidak pernah kupikirkan hal ini."

Ji Pwe-giok menghela napas, katanya: "Ucapanmu memang tepat, sesungguhnya aku sudah kepepet dan sudah buntu, pula terluka. Tapi Tong Bu-siang tidak menghina diriku, ia malah melanggar kebiasaannya dan menyembunyikan diriku di tempatnya yang paling rahasia."

Kini Gin-hoa-nio sudah mulai tenang kembali, ia lantas menjengek: "Tua bangka itu memang tidak jelek terhadapmu, sampai anak perempuannya juga dikelabuinya dan mengira kau ini Tong Giok yang tulen, bahkan menyesali kau tidak mengajak bicara padanya."

Pwe-giok tersenyum, ucapnya: "Soalnya dia benar-benar tak dapat melupakan suara Tong Giok."

"O, jika memang demikian, jadi Tong Giok tadinya memang betul-betul disembunyikan di rumah batu itu?"

"Ya, bukan saja memang berada di rumah batu itu, bahkan mukanya juga diberi topeng ini. Tong Bu-siang membawa aku ke sana, lalu memindahkan topeng yang dipakai Tong Giok ke mukaku serta menukarkan pakaian kami. Semua anak murid keluarga Tong yang berdinas di sana juga cuma tahu Tong Bu-siang datang dengan membawa seorang pengiring, hanya sebentar saja mereka lantas pergi lagi. Maka tiada seorangpun yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya."

"Apakah Tong Giok yang asli dibawa pergi Tong Bu-siang?"

"Ya, masa perlu ditanya pula?"

"Dibawa kemana?" tanya Gin-hoa-nio.

"Akupun tidak tahu," jawab Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh. "Seumpama tahu, seandainya kuberitahukan kepadamu, mungkin kaupun tak dapat mencarinya lagi untuk selamanya."

Pucat air muka Gin-hoa-nio, tanyanya dengan takut: "Akan.... akan kau apakan diriku?"

Pwe-giok memandangnya tanpa menjawab.

"Aku yang melukai wajahmu, ku tahu kau pasti sangat benci padaku...." tanpa memberi kesempatan bagi Pwe-giok untuk bicara, segera ia berteriak dengan suara parau: "Tapi hanya kusayat mukamu satu kali, sebaliknya orang lain telah menusuk dan menabas kau berkali-kali, mengapa kau tidak benci padanya dan cuma dendam padaku."

Orang lain yang dimaksudkannya jelas Lim Tay-ih adanya.

Dengan pedih Pwe-giok menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya.

Melihat sikap anak muda itu, seketika mata Gin-hoa-nio mencorong terang, serunya pula: "Apalagi, seumpama kulukai dan memaki kau, semua ini hanya karena ku cinta padamu, saking cintanya baru timbul benci. Apakah.... apakah tidak kau pikirkan sampai di sini?"

Akhirnya Pwe-giok bersuara perlahan: "Jangan kuatir, pasti tidak kubunuh kau." - Dia tersenyum pedih, lalu menyambung pula: "Ucapanmu tidak salah, sesungguhnya memang terlalu banyak orang yang pernah mencelakai dan memaki diriku, mengapa aku hanya dendam padamu seorang? Mengapa aku cuma membalas kepadamu saja?"

"Kau tidak benci padaku?" semakin mencorong sinar mata Gin-hoa-nio.

"Tidak, aku tidak benci padamu, akupun tidak bermaksud mengganggu seujung rambutmupun," jawab Pwe-giok. "Aku...... aku hanya akan mengantar kau pulang ke Tong-keh-ceng."

Seketika air muka Gin-hoa-nio berubah pucat lagi, serunya dengan suara serak: "Jika..... jika kau tidak dendam padaku, mengapa kau perlakukan diriku cara begini! Tentunya kau tahu bilamana berada di Tong-keh-ceng, bagiku hanya ada kematian belaka."

"Kan sudah kukatakan, biar kau dusta padaku, memaki padaku, bahkan membunuhku juga tidak menjadi soal dan takkan kupikirkan, tapi tak dapat kubiarkan kau menipu dan mencelakai orang lain lagi."

Baru sekarang Gin-hoa-nio kelabakan, teriaknya dengan suara serak: "Kau binatang, kau pendusta, bicaramu muluk, tapi hatimu terlebih keji dari siapapun. Kau ingin membunuhku, tapi sengaja meminjam tangan orang lain." - Mendadak ia berteriak lebih keras: "Orang she Ji, bila benar kau lelaki sejati, kalau berani, hayolah turun tangan sendiri dan bunuhlah diriku, untuk itu aku akan kagum padamu. Tapi kalau kau bawa diriku ke Tong-keh-ceng, maka kau adalah hewan, hewan yang lebih kotor daripada babi dan anjing."

Pwe-giok memandangnya dengan tenang, ia tidak marah juga tidak bicara, menghadapi lelaki demikianlah Gin-hoa-nio benar-benar mati kutu.

Saking gemas dan cemasnya Gin-hoa-nio benar-benar menangis.

Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika sebelum ini kau tahu menghargai orang dan tidak menganggap orang lain semuanya orang tolol, tentu nasibmu takkan seperti sekarang...."

Mendadak terdengar suara derapan kuda lari, ditengah malam sunyi di angkasa pegunungan, suara derapan kaki kuda terdengar lebih jelas.

Sebelum suara derap kaki kuda mendekat, lebih dulu Pwe-giok telah memadamkan api lampu, Ia tutuk Hiat-to bisu Gin-hoa-nio, iapun sudah meneliti keadaan ruangan kelenteng kecil ini.

Apa yang dilakukan ini bukan lantaran nyalinya kecil, tapi disebabkan dia sudah kenyang pahit-getirnya pengalaman, maka tindakannya sekarang jauh lebih hati-hati daripada orang lain.

Suara derapan kaki kuda tadi sangat cepat dan ramai, sedikitnya ada tiga penunggang kuda yang datang. Jauh malam begini mengapa mereka menempuh perjalanan tergesa-gesa begini? Apalagi menuju ke tempat terpencil ini?

Memangnya Pwe-giok sudah sangsi, apalagi kemudian didengarnya suara kuda lari itu menuju ke kelenteng ini, cepat ia angkat tubuh Gin-hoa-nio, terus melompat ke atas belandar.

Jika orang lain, tempat yang dibuat sembunyi kalau tidak panggung pemujaan tentu adalah kolong meja. Namun tempat-tempat itu diketahui oleh Pwe-giok dalam keadaan bersih, tidak banyak debunya, hal ini menandakan tempat-tempat itu sering digunakan orang.

Hal-hal ini pasti takkan ditemukan orang lain, andaikata diketahui juga takkan diperhatikan, namun Pwe-giok sudah kenyang mengalami mara bahaya sehingga setiap tindak tanduknya sekarang berpuluh kali lebih hati-hati dan lebih cepat daripada orang lain.

Benarlah, beberapa penumpang kuda itu akhirnya berhenti di luar kelenteng kecil ini.

Terdengar seorang diantaranya bertanya: "Apakah di sini?"

"Ya, di sini," jawab seorang lagi. "Silahkan kalian masuk."

Dalam kegelapan Pwe-giok melihat berturut-turut masuk tiga orang, wajah mereka tidak terlihat jelas, hanya perawakan orang pertama kelihatan jangkung, tampaknya sangat hapal terhadap keadaan kelenteng ini.

Selagi heran, orang itu sudah menyalakan lampu minyak di atas meja. Di bawah cahaya lampu dapatlah Pwe-giok melihat jelas muka ketiga orang itu. Betapa kagetnya hampir saja ia jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya.

Orang yang berperawakan jangkung itu adalah seorang pemuda berpakaian perlente, pinggangnya bergantung sebuah kantung kulit beraneka warna, itulah tanda pengenal khas anggota keluarga Tong.

Dua orang yang ikut masuk itu, yang satu berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang bergantung di pinggang, rambutnya sudah mulai ubanan, tapi sikapnya tetap gagah, tiada sedikitpun tanda-tanda ketuaannya.

Seorang lagi berwajah kereng, langkahnya mantap, perbawanya besar.

Kedua orang ini ternyata Leng hoa-kiam Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong dari Thay-oh.

Kedua tokoh yang rapat hubungannya dengan Ji Hong-ho ini datang bersama anak murid keluarga Tong, bahkan tidak menuju ke Tong-keh-ceng sebaliknya datang ke tempat terpencil seperti ini, lalu apakah yang hendak mereka lakukan?

Kejut dan heran Pwe-giok, bahkan juga kesal.

Yang membuatnya kesal ialah Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini, baik gerak-gerik maupun wajahnya sungguh mirip dengan yang asli, tampaknya intrik mereka ini benar-benar sukar untuk dibongkar.

Dilihatnya mata Ong Kim-liong mencorong seperti sinar kilat, ucapnya sambil mengusap jenggot: "Mengapa Bu-siang Lojin mengundang kami ke tempat terpencil dan kotor ini untuk bertemu? Coba kalau Tong-kongcu tidak datang sendiri, tentu kami akan merasa curiga kesungguhan hati Bu-siang Lojin."

Pemuda baju perlente itu menjawab dengan tersenyum: "Demi keamanan agar tidak dilihat orang dengan sendirinya ayahku bertindak sehati-hatinya. Kecuali Wanpwe sendiri, anak murid perguruan kami tiada satupun yang tahu. Bukankah kedua Cianpwe juga menghendaki agar urusan ini jangan terlalu banyak diketahui orang."

"Hahahaha, betul, memang inilah transaksi perdagangan kita sendiri dan tidak perlu diketahui orang lain." ujar Ong Kim-liong dengan bergelak tertawa.

Pwe-giok tambah terkejut. Ia yakin pemuda perlente itu tentu Tong Jan, putera sulung Tong Bu-siang. Sedangkan kedatangan Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini adalah untuk memenuhi janji pertemuan dengan Tong Bu-siang. Sesungguhnya transaksi perdagangan apa yang hendak mereka lakukan? Dan mengapa transaksi ini harus dirahasiakan?

Sejenak kemudian, terdengar Ong Kim-liong berkata pula: "Waktu yang dijanjikan ayahmu apakah betul pada malam ini juga?"

"Betul, urusan sepenting ini masa Wanpwe bisa salah ingat?" jawab Tong Jan dengan tertawa.

Tiba-tiba Lim Soh-koan menyeletuk: "Konon keparat itu sangat tinggi ilmu silatnya, bahkan sangat licin, apakah ayahmu yakin benar-benar dapat menangkapnya?"

Tong Jan tersenyum, "Biarpun keparat ini sangat licin, tapi terhadap ayahku dia percaya penuh dan tidak sangsi sedikitpun. Apalagi ayah sudah menjebloskan dia ke tempat yang terjaga sangat ketat dan dilarang didatangi siapapun juga, sekalipun dia tidak terluka juga jangan harap akan dapat kabur."

Lim Soh-koan tersenyum, ucapnya: "Jahe memang pedas yang tua, cara kerja Bu-siang Lojin sungguh sangat mengagumkan kami."

Ong Kim-liong lantas berkata pula: "Tapi Kongcu perlu tahu, terhadap keparat itu, Bengcu juga tiada maksud jahat, yang dikuatirkan adalah kemungkinan keparat itu akan memperalat nama mendiang putera Bengcu untuk bertindak sewenang-wenang di luaran, sebab itulah Bengcu ingin menemukan dia...."

"Ya, Wanpwe paham," tukas Tong Jan dengan tertawa.

Ong Kim-liong juga tertawa, katanya: "Setelah ayahmu menyelesaikan urusan ini bagi Bengcu, dengan sendirinya Bengcu takkan melupakan kebaikannya. Tapi saat ini Bengcu mengemban tugas pengamanan dunia persilatan, setiap tindakannya tentu akan menarik perhatian orang, beliau kuatir ada anasir-anasir tak bertanggung jawab akan menggunakan kesempatan ini untuk menyiarkan desas-desus, sebab itulah urusan ini perlu dirahasiakan."

"Cianpwe jangan kuatir, Wanpwe pasti takkan membocorkan sedikitpun urusan ini," kata Tong Jan.

Mendengar sampai di sini, kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin seluruhnya.

"Keparat" yang disinggung Lim Soh-koan dan begundalnya itu tidak perlu disangsikan lagi pastilah dirinya. Nyata, iblis yang menyaru sebagai ayahnya, yaitu Ji Hong-ho, masih juga tidak mau mengabaikan dia.

Lalu Tong Bu-siang yang mau melanggar peraturannya dan menerima dia itu ternyata juga jahanam yang bermuka manusia tapi berhati binatang, setelah dia disembunyikan di Tong-keh-ceng, diam-diam ia telah dijualnya.

Untung secara tidak sengaja Gin-hoa-nio telah menyerobotnya keluar, kalau tidak, saat ini mungkin dirinya sudah terjeblos di dalam cengkeraman kawanan iblis ini dan nasibnya sukar untuk dibayangkan.

Berpikir sampai di sini, seketika Pwe-giok bermandi keringat dingin.

Didengarnya Tong Jan berkata pula: "Setelah urusan ini selesai, diharap cianpwe juga jangan lupa kepada urusan yang telah dijanjikan."

"Ucapan Bengcu laksana gunung kukuhnya, masa ingkar janji?" ujar Lim Soh-koan dengan serius.

Ong Kim-liong tertawa dan berkata: "Asalkan ayahmu dapat dipercaya ucapannya, kami menjamin akan menumpas Khing-hoa-samniocu. Bengcu memerintah seluruh dunia persilatan, kekuasaannya tak terbatas, masa cuma Thian-jan-kau yang tiada artinya itu tak dapat membereskannya?"

"Bila Bengcu sudi menumpaskan bibit bencana bagi ayahku, selanjutnya apapun perintah Bengcu, segenap anggota keluarga Tong yang berjumlah beberapa ratus jiwa pasti siap melaksanakannya," kata Tong Jan.

Kiranya Tong Bu-siang takut diganggu oleh "Khing-hoa-samniocu", demi menghilangkan penyakit ini dia rela mengkhianati Ji Pwe-giok.

Dan rupanya inilah transaksi dagang mereka.

Mendengar semua percakapan itu, sungguh Pwe-giok sangat sedih, ingin menangispun tidak keluar air matanya. Tak tersangka olehnya seorang tokoh suatu perguruan besar yang disegani sebagai Tong Bu-siang bisa berubah menjadi pengecut dan rendah begini.

"Krek", mendadak terdengar bunyi sesuatu, tempat patung pemujaan mendadak bergeser, menyusul Tong Bu-siang muncul dari meja sembahyang.

Di bawah meja sembahyang itu ternyata ada sebuah jalan tembus di bawah tanah, kiranya patung Toa-pekong itulah pusat pengendali jalan rahasia ini. Untung sebelumnya Ji Pwe-giok bertindak sangat hati-hati, kalau dia sembarangan mencari tempat sembunyi, saat ini dia tentu sudah kepergok.

Di bawah cahaya lampu kelihatan Tong Bu-siang bermuka pucat dan lesu, ia berusaha menenangkan diri dan memberi hormat serta menyapa: "Anda berdua sungguh orang yang bisa pegang janji, kedatanganku agak terlambat, harap maaf."

Gemerdep sinar mata Ong Kim-liong, ia membalas hormat dan berkata: "Ah, tidak apa-apa. Tentunya Tong-tayhiap telah membawa kemari Ji Pwe-giok itu?"

Tong Bu-siang berdehem beberapa kali, lalu menjawab: "Sebenarnya urusan ini tidak menjadi soal, siapa tahu.... siapa tahu...."

Seketika Ong Kim-liong menarik muka dan berkata: "Adakah sesuatu perubahan mendadak?"

Tong Bu-siang menghela napas panjang, jawabnya kemudian dengan menyengir: "Urusan ini memang betul ada perubahan, sebab Ji Pwe-giok telah.... telah kabur."

"Apa katamu?" Ong Kim-liong menegas dengan melengak.

"Perubahan yang tak terduga ini, sungguh membuatku merasa malu, sekali lagi kuminta maaf," ucap Tong Bu-siang dengan menyesal.

"Perubahan tak terduga bagaimana? Hm, jangan-jangan kau sengaja hendak mempermainkan kami?" tanya Ong Kim-liong dengan gusar.

"Biarlah langit dan bumi menjadi saksi, apa yang kukatakan adalah sejujurnya," jawab Tong Bu-siang sambil menyengir.

"Seumpama betul keteranganmu, masa Tong-keh-ceng yang gilang gemilang dapat dibuat terobosan orang sesukanya?" jengek Lim Soh-koan.

"Anda mungkin tidak tahu bahwa demi membuat tenteram hati Ji Pwe-giok itu, maka waktu ku ajak dia masuk ke gua rahasia kami, secara tidak sengaja telah kuserahkan sebuah Lengpay (pelat besi tanda perintah) yang biasanya dapat digunakan untuk keluar masuk tanpa rintangan," demikian tutur Tong Bu-siang.

"Tanpa sengaja apa?" damperat Ong Kim-liong dengan gusar. "Kukira kau mempunyai tipu muslihat lain?!"

"Ah, sama sekali tiada maksud demikian!" jawab Tong Bu-siang.

"Jika kau tiada mempunyai tipu muslihat lain, maka pastilah kau ini sudah tua dan pikun...." jengek Lim Soh-koan.

Sejak tadi Tong Jan sudah menahan gusar, sekarang mendadak ia menggebrak meja dan membentak: "Kalian ini menganggap dirimu ini apa? Berani bicara sekasar ini kepada ayahku?"

Kalau Tong Bu-siang tambah tua tambah penakut, tidak perkasa lagi seperti waktu mudanya, sedangkan putranya justeru menginjak masa keras dan berani, maka bentakannya tadi membuat Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong terkejut.

Dengan bengis Tong Jan berteriak pula: "Hendaklah kalian jangan lupa tempat apakah sini. cukup orang she Tong memberi aba-aba, mungkin tidaklah mudah bagi kalian untuk pergi dengan selamat!"

Mendadak Ong Kim-liong bergelak tertawa, katanya: "Kenapa Tong-kongcu marah-marah begini? Yang kami sayangkan hanya karena urusan penting ini telah gagal, sekalipun ada ucapan kami yang kurang pantas, masakah kami berani berlaku kasar terhadap Tong-kongcu?"

Mendengar nada orang berubah lunak, Tong Bu-siang lantas membusungkan dada, ucapnya dengan tersenyum sambil mengusap jenggotnya: "Meski urusan kita telah gagal, tapi biarpun Bengcu datang sendiri juga takkan menyalahkan diriku."

"Apakah betul?" ujar Ong Kim-liong dengan tersenyum aneh.

Sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang yang ramai, delapan orang berseragam hitam ringkas dan bercaping dengan golok terhunus menerobos masuk.

Tong Bu-siang terkejut, serunya: "He, ada.... ada apa ini?"

Belum lenyap suaranya, seorang kakek berbaju hijau dengan wajah putih bersih melangkah masuk dengan pelahan, siapa lagi dia kalau bukan Bulim-bengcu sekarang, Ji Hong-ho adanya.

Keringat dingin membasahi tangan Ji Pwe-giok. Dahi Tong Bu-siang juga berkeringat. Terpaksa ia menyapa sambil memberi hormat: "Maaf, hamba tidak tahu Bengcu akan berkunjung kemari sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya, mohon Bengcu memberi ampun."

"Ah, ucapan Tong-heng terlalu sungkan," jawab Ji Hong-ho dengan tak acuh. Ia memandang sekejap ke arah Tong Jan yang masih bersikap marah itu dan menambahkan: "Yang ini tentunya putera Anda bukan?"

"Betul, dia anak sulungku, Tong Jan," jawab Bu-siang dengan mengiring tawa.

Ji Hing-ho mengangguk dan tersenyum, katanya: "Bagus, bagus, benar-benar ksatria muda perkasa, tidak malu sebagai putera dari ayah ternama.... Eh, entah sudah berapa usianya tahun ini?"

"Wanpwe berusia 26 tahun," jawab Tong Jan sambil membungkuk tubuh.

"Wah, orang pemberang begini dapat hidup selama 26 tahun, sungguh tidak mudah," ujar Ji Hong-ho dengan acuh tak acuh.

Setelah Tong Jan melengak, mukanya menjadi pucat.

Pelahan Ji Hong-ho berkata pula: "Di hadapan orang tua bisa jadi orang muda akan bersikap kurang hormat, ini dapat dimengerti, tapi kalau sampai menggebrak meja segala, kukira cara demikian agak keterlaluan."

Tong Jan tidak tahan, ia membantah: "Tapi sikap Tecu itu bukannya mengacau tanpa beralasan."

"Oo, jadi Tong-kongcu tidak terima ucapanku ini? Memangnya tadi orang she Ji yang mengacau tanpa alasan?" kata Ji Hong-ho dengan tersenyum.

Belum Tong Jan menjawab, cepat Tong Bu-siang membentaknya, dengan mengiring tawa ia berkata kepada sang Bengcu: "Maaf, jika anak ini ada kesalahan, biarlah kumohonkan ampun baginya."

Tiba-tiba Ji Hong-ho menarik muka dan berkata: "Yang kutanya ialah putramu, sebaiknya Tong-heng jangan ikut bicara."

Dan Tong Bu-siang benar-benar tidak berani ikut bicara lagi.

Tong Jan menarik napas dalam-dalam, ucapnya kemudian dengan suara berat: "Biarpun Wanpwe orang bodoh, pernah juga kubaca kitab ajaran Nabi, mana berani ku lawan orang tua. Tapi kalau orang lain menghina ayahku, betapapun Wanpwe tidak dapat tinggal diam!!"

"Lalu mau apa kalau tidak dapat tinggal diam?" tanya Ji Hong-ho.

Saking tak tahan Tong Jan berteriak: "Barang siapa menghina ayahku, biarpun mengadu jiwa juga akan ku labrak dia."

Ji Hong-ho tersenyum, katanya: "Oo, apa betul? Sungguh terpuji......" belum lanjut ucapannya, mendadak tangannya menampar ke samping.

Entah karena keder terhadap perbawa sang Bengcu atau memang tak dapat menghindar serangan kilat itu, tahu-tahu "plok", muka Tong Bu-siang tergampar dengan telak.

Lalu Ji Hong-ho berpaling pula kepada Tong Jan dan bertanya dengan tersenyum: "Nah, bagaimana?"

Air muka Tong Jan sebentar pucat sebentar hijau, meski mengepal, tapi tangan terasa gemetar.

Sambil mendekap mukanya yang bengap, dengan suara serak Tong Bu-siang membentak: "Kau binatang yang durhaka, masa kau berani kurang ajar terhadap Bengcu?"

"Sudah tentu ia tidak berani," tukas Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh, "plak", mendadak sebuah tangannya menyampuk pula dan tepat mengenai muka Tong Bu-siang.

Tong Jan tidak tahan lagi, air matanya bercucuran dan menangis sedih, teriaknya: "Ayah, anak tidak berbakti dan tidak..... tidak dapat...." di tengah jerit pilu dan murkanya serentak ia menubruk ke arah Ji Hong-ho.

"Jangan, anak Jan!" Tong Bu-siang menjerit kaget.

Akan tetapi sudah terlambat, pukulan Tong Jan tepat mengenai bahu Ji Hong-ho, "krek", tahu-tahu pergelangan tangan Tong Jan sendiri tergetar patah, tubuhnya juga terpental dan mencelat.

Sebaliknya Ji Hong-ho masih tenang-tenang saja sambil memangku tangan, ucapnya dengan tertawa, "Tong-heng, nyali putramu memang teramat besar."

Tong Bu-siang lantas berjongkok di tanah dengan air mata bercucuran, katanya dengan terputus-putus: "Anak kecil tidak tahu aturan, mohon.... mohon Bengcu memberi ampun padanya...."

Ji Hong-ho menghela napas, katanya: "Sudah tentu tidak kupikirkan perbuatannya, hanya saja..... kaupun peserta pertemuan Hong-ti, masa kau tidak tahu hukuman apa bagi orang yang berani menghina dan menyerang Bengcu?"

Tong Bu-siang menyembah dan berkata pula: "Mohon Bengcu sudi mengampuni jiwanya, biar kupotong sendiri kedua tangannya untuk minta maaf kepada Bengcu."

Ji Hong-ho tidak menjawab, ia berpaling ke arah Ong Kim-liong dan bertanya: "Bagaimana?!"

Dengan suara bengis Ong Kim-liong lantas berseru: "Undang-undang yang ditetapkan dalam pertemuan Hongti mendapat perhatian sepenuhnya di seluruh dunia, apabila undang-undang itu dilanggar, lalu siapa pula yang akan menghargai Bengcu, siapa pula yang menghargai pertemuan Hongti?"

Ji Hong-ho lantas berpaling pula ke arah Tong Bu-siang dan berkata: "Dan bagaimana dengan pendapatmu? Terikat oleh undang-undang, terpaksa aku tak dapat berbuat apa-apa."

Dalam pada itu Ong Kim-liong sudah menggusur Tong Jan keluar, menyusul lantas terdengar jeritan ngeri di luar. Dengan sempoyongan Tong Bu-siang berdiri, hampir saja jatuh terkulai lagi di lantai.

Di tempat sembunyinya Ji Pwe-giok dapat mengikuti adegan dramatis itu, tanpa terasa air matanya berlinang-linang. Kalau saja dia harus bertahan hidup demi perjuangannya yang belum selesai, tentu dia sudah melompat turun untuk mengadu jiwa.

Dilihatnya Ji Hong-ho sedang menatap Tong Bu-siang dengan tajam, lama dan lama sekali, tiba-tiba ia berkata pula: "Kau berduka atas kematian anakmu, tentunya Tong-heng bermaksud menuntut balas bukan?"

Dengan napas terengah-engah Tong Bu-siang menjawab dengan menunduk: "Apa yang terjadi adalah akibat perbuatan anak itu sendiri, mana berani kusalahkan orang lain."

Ji Hong-ho tertawa cerah, katanya: "Bagus, Tong-heng memang orang yang bijaksana."

Makin rendah Tong Bu-siang menunduk, begitu rendah sampai Ji Pwe-giok ikut malu baginya.

Terdengar Ji Hong-ho berkata pula: "Dari jauh ku datang ke sini, tahukah Tong-heng apa tujuanku?"

"Dengan sendirinya untuk Ji Pwe-giok itu," jawab Bu-siang dengan ragu.

"Hahaha, salah kau!" seru Ji Hong-ho dengan tertawa.

"Salah?" Tong Bu-siang melengak.

"Ketahuilah, tujuanku mencari Ji Pwe-giok itu adalah karena ingin kuselidiki asal-usulnya, sebab ku kuatir dia adalah putraku yang durhaka itu, tapi sekarang sudah jelas diketahui bahwa dia memang orang lain. Sebab itulah, selanjutnya tentang orang ini, apakah dia masih hidup atau sudah mampus tidak ku perduli lagi."

Urusan ini sebenarnya suatu rahasia, kini Ji Hong-ho menguraikannya secara blak-blakan, tentu saja Ji Pwe-giok terkesiap, lebih-lebih Tong Bu-siang, ia terkejut dan sangsi pula, tanyanya dengan tergagap-gagap: "Jika demikian, untuk.... untuk keperluan apakah kedatangan Bengcu ini?"

"Kedatanganku ini adalah ingin memperkenalkan beberapa sahabat kepadamu," jawab Ji Hong-ho.

Tong Bu-siang tambah heran, ia berkedip-kedip tanyanya: "Sahabat? Entah siapa-siapa saja?"

"Memang aneh kalau diceritakan," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa. "Terhadap orang ini jelas Tong-heng sudah sangat kenal, sebaliknya orang ini selamanya tidak pernah melihat Tong-heng."

Seketika Bu-siang melongo, sama sekali tak dapat dirabanya siapakah gerangan yang dimaksudkan, iapun tidak tahu untuk maksud apakah Ji Hong-ho hendak memperkenalkannya kepada "sahabat" yang disebut itu.

Tiba-tiba ia merasa wajah Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan menampilkan semacam senyuman yang misterius, seketika timbul rasa ngerinya dari kaki ke ulu hati.

Diam-diam Pwe-giok juga merasa heran. Untuk apakah Ji Hong-ho sengaja membawa seorang "sahabat" untuk dipertemukan kepada Tong Bu-siang, bahkan sebelumnya dengan suatu dan lain alasan dibunuhnya lebih dulu anak lelaki Tong Bu-siang.

Apakah karena orang ini tidak boleh dilihat oleh Tong Jan?

Siapakah orang ini sesungguhnya? Mengapa begini misteriusnya?

Intrik apa yang tersembunyi di balik semua kejadian ini?

Pwe-giok merasa tangan dan kakinya rada dingin, dahinya juga berkeringat dingin.

Dalam pada itu Ji Hong-ho telah memberi tanda, beberapa lelaki berseragam hitam tadi lantas melangkah keluar, menyusul dari kegelapan di luar lantas menyelinap masuk seorang.

Orang ini memakai kopiah dan berjubah hijau. Waktu Pwe-giok mengintai dari atas, tentu saja muka orang ini tidak kelihatan. Tapi Tong Bu-siang dapat melihat dengan jelas wajah orang yang baru masuk ini.

Tiba-tiba Pwe-giok melihat, setelah berhadapan dengan orang yang baru masuk ini, seketika wajah Tong Bu-siang merinding seperti melihat setan, air mukanya penuh rasa takut, tubuhnya berkejang dan mulut melongo....

Pwe-giok terperanjat, ia tidak tahu sesungguhnya terdapat keanehan apa pada wajah orang yang baru datang ini sehingga dapat membuat Tong Bu-siang ketakutan setengah mati.

Dengan tersenyum Ji Hong-ho lantas berkata: "Bagaimana, Tong-heng. Tidak keliru bukan perkataanku, bukankah kau sudah kenal dia?"

"Aku...... aku..... dia....." Tong Bu-siang gelagapan dengan suara parau, kerongkongannya seperti tersumbat dan tak dapat bicara lancar.

"Sudah lama dia ingin bertemu dengan Tong-heng, cuma waktunya yang tepat belum tiba, juga aku tidak menghendaki Tong-heng bertemu dengan dia..... Apakah Tong-heng sudah tahu apa sebabnya?"

"Ti...... tidak tahu." jawab Bu-siang.

"Sebab tidak kuhendaki Tong-heng mati terlalu cepat," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.

Dahi Tong Bu-siang penuh keringat, baru diusap keringat sudah merembes keluar lagi, dengan suara parau ia tanya: "Ap.... apa maksudnya?"

"Sebab pada waktu kalian bertemu, pada saat itu pula ajalmu tiba," jawab Ji Hong-ho dengan tertawa.

Terbelalak lebar mata Tong Bu-siang, ia menatap orang yang misterius itu, butiran keringat berketes-ketes di mukanya dan merembes ke matanya, tapi dia sama sekali tidak berkedip.

"Apakah kau ingin memandangnya dengan lebih jelas? .... Baik!" mendadak Ji Hong-ho menyingkap topi orang itu yang berpinggir lebar dan....

Ternyata wajah orang inipun wajah "Tong Bu-siang", mukanya, alisnya, matanya, hidungnya, semuanya mirip, persis seperti berasal dari satu cetakan.

Baru sekarang Pwe-giok dapat melihatnya dengan jelas, tidak kepalang tegangnya sehingga sekujur badan sama gemetar.

Akhirnya dengan mata kepala sendiri ia dapat menyaksikan rahasia kawanan iblis ini!,

Didengarnya Ji Hong-ho lagi berkata dengan tertawa: "Nah, sekarang Tong-heng sudah melihat jelas bukan? Bukankah ini suatu karya seni yang belum pernah ada sejak dahulu hingga kini. Biarpun seniman paling tersohor dari jaman dulu hingga sekarang banyak yang dapat melukis dengan sedemikian indahnya, tapi semuanya itu adalah benda mati. Dan buah karya kami sekarang, bukan saja terdiri dari darah daging, bahkan juga berjiwa."

Tong Bu-siang sudah mirip sebuah patung yang tak berjiwa dan tidak bergerak.

"Dengan susah payah kami berusaha, dengan pembantu-pembantu mengawasi gerak-gerikmu, akhirnya dapatlah kami ciptakan Tong Bu-siang yang kedua. Untuk ini, Tong-heng, kukira kau harus merasa bangga."

"Tapi..... tapi sesungguhnya apa sebabnya?" tanya Bu-siang.

"Masa sampai sekarang Tong-heng belum lagi paham?" tanya Ji Hong-ho sambil bergelak tertawa.

"Aku benar-benar tidak paham," kata Bu-siang sambil menjilat bibirnya yang kering.

Serentak Ji Hong-ho berhenti tertawa, lalu berucap sekata demi sekata: "Sebab Tong Bu-siang yang pertama sudah hidup cukup lama, sekarang dia boleh istirahat dengan baik-baik dan biarkan Tong Bu-siang yang kedua menggantikan kehidupannya."

Sekonyong-konyong Tong Bu-siang bergelak tertawa, tertawa latah.

Ji Hong-ho memandangnya dengan dingin, sejenak kemudian baru ia berucap pula: "Pada saat demikian Tong-heng masih sanggup tertawa, sungguh peristiwa aneh juga."

"Mengapa aku tidak dapat tertawa, aku justeru tertawa geli," teriak Tong Bu-siang sambil terbahak-bahak. "Hahaha, dengan boneka ciptaan kalian ini akan kalian gunakan untuk menggantikan diriku?"

"Kenapa kau heran? Sudah beberapa kali kami berhasil!" jawab Ji Hong-ho dengan dingin.

"Sekarang percayalah aku kepada perkataan Ji Pwe-giok itu, dengan sendirinya akupun tahu kalian sudah berhasil beberapa kali," kata Tong Bu-siang. "Tapi aku Tong Bu-siang tidaklah sama dengan kau Ji Hong-ho, juga tidak sama dengan orang-orang seperti Cia Thian-pi, Ong Ih-lau, Sebun Bu-kut dan sebagainya."

"Di mana perbedaannya?" tanya Ji Hong-ho dengan sinar mata gemerdep.

"Orang-orang ini andaikan tidak berdiri sendirian, orang yang berdekatan dengan mereka juga tidak banyak, kalian dapat menghancurkan Ji Pwe-giok, dapat memaksa minggat Lim Tay-ih, tapi dapatkah kalian membunuh habis anak murid keluarga Tong? Meski kalian dapat membinasakan anakku, Tong Jan, tapi aku masih banyak anak murid yang lain, pada satu hari rahasia kalian pasti akan terbongkar."

"Begitukah?" ucap Ji Hong-ho dengan tak acuh dan tetap tenang.

"Sekalipun kalian dapat menciptakan orang ini sehingga serupa diriku, bahkan cara bicara dan gerak-geriknya juga serupa, tapi apakah kalian tahu siapa nama kecil putera puteriku dan muridku? Tahukah kalian bilakah hari lahir mereka? Tahukah kalian sifat dan perangai mereka masing-masing?......" Tong Bu-siang terbahak-bahak, lalu menyambung pula: "Suatu keluarga besar seperti keluarga Tong ini tentu terdapat banyak hal yang tidak diketahui orang luar, untuk bisa menjadi kepala keluarga sebesar ini, memangnya semudah perkiraan kalian?"

Ji Hong-ho terdiam sejenak, katanya kemudian: "Betul juga ucapanmu, memang ada sementara hal-hal yang tidak kami ketahui, tapi dengan cepat pasti akan kami ketahui."

"Kukira belum tentu mampu," jengek Bu-siang.

"Tapi aku yakin sanggup, kupercaya kau pasti akan membeberkan segala rahasiamu kepada kami," kata Ji Hong-ho dengan tertawa.

"Tidak, siapapun jangan harap akan dapat memaksa diriku," bentak Bu-siang.

"Orang lain mungkin tidak dapat, tapi kami mempunyai cara tersendiri, mempunyai cara yang aneh, bolehlah Tong-heng mencobanya...."

Belum habis ucapan Ji Hong-ho, mendadak di luar ada suara suitan. Cepat Ong Kim-liong memburu keluar dan cepat pula berlari kembali, dengan suara tertahan ia memberi lapor: "Ada tanda bahaya, seperti kedatangan orang."

"Mundur cepat!" kata Ji Hong-ho. "Segenap penjagaan terang maupun gelap, seluruhnya meninggalkan pegunungan ini."

"Dan orang ini?" tanya Ong Kim-liong sambil memandang Tong Bu-siang.

"Kerudungi kepalanya dan bawa dia!" kata Ji Hong-ho.

Mendadak Tong Bu-siang melompat ke atas, kedua tangannya bekerja sekaligus, terdengar suara mendesing ramai, dalam sekejap saja berpuluh biji senjata rahasia telah berhamburan.

"Semuanya jangan bergerak, biar kubereskan dia!" bentak Ji Hong-ho. Berbareng itu ia telah menanggalkan topinya dan diputar satu lingkaran, seketika senjata rahasia yang bertebaran itu seperti laron menubruk pelita, semuanya hinggap ke dalam topinya. Akan tetapi dengan kalap Tong Bu-siang lantas menerjangnya.

Senjata rahasia keluarga Tong tiada bandingannya di dunia ini, Kungfu lain juga tidak lemah. Rambut dan jenggot putih si kakek ini beterbangan, kedua telapak tangannya serentak menghantam dengan gencar.

Tapi Ji Hong-ho juga bergerak dengan gesit, bentaknya: "Kau berani melawan?"

"Hm, mau apa kalau melawan?" Tong Bu-siang menyeringai. "Memangnya kau berani membunuh aku? Kukira kau masih perlu keterangan-keterangan dariku!"

Dalam sekejap mata sudah belasan pukulan dilontarkan, setiap pukulannya cukup keras dan ganas, bila perlu dia bersedia gugur bersama lawan.

Pertarungan nekat begini benar-benar memusingkan kepala, betapapun tinggi ilmu silat seseorang, bila ketemu serangan kalap demikian pasti akan kewalahan dan terpaksa harus menghindar sedapatnya.

Tong Bu-siang hanya ingin mengulur waktu saja, ia pikir asalkan Ji Hong-ho tidak berani mengadu pukulan, maka dia dapat mengulur tempo sebanyak-banyaknya, dan bila ada yang datang berarti akan tertolonglah dirinya.

Ji Hong-ho memang tidak berani menyambut serangannya dengan keras lawan keras, sudah dua-tiga puluh jurus dan tetap tidak balas menyerang. Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong juga tidak membantu, bahkan memandang saja tidak.

Nyata mereka yakin benar-benar Tong Bu-siang pasti tak tahan sekali hantam oleh Bengcu mereka.

Pwe-giok ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan seru itu, sesungguhnya ia ingin tahu gaya asli ilmu silat "Ji Hong-ho" ini, siapa tahu yang dimainkan "Ji Hong-ho" ini memang gerakan asli "Bu-kek-bun", yakni perguruan Pwe-giok sendiri, bahkan gerakannya sangat gesit dan indah, tiada setitik ciri apapun dapat ditemukan.

Padahal di seluruh jagat ini selain Hong-ho Lojin, ayah Pwe-giok sendiri, siapa lagi yang mampu memainkan Kungfu asli Bu-kek-bun ini?

Seketika Pwe-giok berkeringat dingin dan kebingungan.

Dalam pada itu terdengar Ji Hong-ho sedang berseru dengan tersenyum: "Tong-heng, seranganmu yang nekat ini akhirnya tetap tiada gunanya.... Pergilah kau!" - Disertai bentakan perlahan, sebelah tangannya secepat kilat menghantam.

Pukulan Ji Hong-ho ini tampaknya sukar menembus serangan Tong Bu-siang yang gencar itu, siapa tahu justeru dapat menerobos pada bagian yang sama sekali sukar dipercaya orang.

Begitu terpukul, kontan Tong Bu-siang roboh.

Ji Hong-ho tidak lagi memandangnya, begitu pukulannya dilontarkan, segera ia melompat mundur sambil berseru: "Bawa dia, lekas ikut mundur!"

Hanya sekejap saja sinar lampu di kelenteng kecil ini sudah padam, semua orang juga sudah pergi, hanya tertinggal Ji Pwe-giok saja yang masih termangu-mangu di tempat gelap dengan mandi keringat dingin.

Dimulai sejak munculnya Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan sampai dengan kepergian mereka, jarak waktu itu tidaklah lama, tapi bagi Pwe-giok rasanya seperti sudah selang setahun lamanya.

Dalam jarak waktu ini Ji Pwe-giok benar-benar bernapas diantara mati dan hidup, seperti telur di ujung tanduk. Asalkan tempat sembunyinya diketahui orang, maka tamatlah riwayatnya.

Bila orang lain, bisa jadi akan ketakutan setengah mati dan sedikit badannya bergemetar atau napasnya sedikit keras, bila setitik debu di atas belandar terjatuh, maka selamanya jangan harap lagi akan meninggalkan kelenteng ini dengan hidup.

Untung Gin-hoa-nio dalam keadaan tertutuk Hiat-to seluruh tubuhnya sehingga tak dapat bergerak dan bersuara, Pwe-giok sendiri sejak kecil sudah biasa berlatih duduk bersemedi dan menahan perasaan, sekalipun di bawah panas terik matahari atau di gua es juga dia sanggup bertahan tanpa bergerak sedikitpun. Sebab itulah dia tidak sampai diketahui musuh.

Tapi sekarang, setelah bebas dari ketegangan yang hebat tadi, ia merasa ingin mencari suatu tempat untuk berbaring dan istirahat.

Namun iapun tahu kesempatan yang sukar dicari ini tidak boleh disia-siakan. Asalkan dia dapat mengikuti jejak orang-orang ini secara diam-diam dan berhasil menemukan tempat penyimpanan Tong Bu-siang asli dan palsu itu, maka besar harapannya akan dapat membongkar rahasia mereka.

Namun iapun menyadari, untuk menguntit tokoh-tokoh kelas satu itu sama halnya berjudi dengan jiwanya sendiri, meski kesempatan untuk menang tidaklah banyak, namun resiko ini cukup berharga untuk dihadapi.

Padahal kesempatan ini segera akan lenyap dalam sekejap saja, sungguh peluang untuk bernapas saja terasa tidak ada.

Dilihatnya Gin-hoa-nio sedang menatapnya dengan terbelalak lebar, meski dia tak dapat bergerak dan bersuara, namun dia dapat mendengar segala apa yang terjadi.

Pwe-giok tidak sempat banyak berpikir lagi, segera ia membisiki nona itu: "Sebenarnya hendak ku antar kau ke Tong-keh-ceng agar mereka membuat perhitungan dengan kau, tapi sekarang..... Ai, biarlah suka-duka kita selanjutnya kuhapus seluruhnya, Hiat-to yang kututuk dalam waktu tak lama lagi akan punah dengan sendirinya dan kau dapat bergerak kembali. Semoga selanjutnya jangan kau cari diriku lagi dan akupun takkan mengusik dirimu."

Sesudah memberi pesan ini, segera ia hendak melompat turun dan tinggal pergi.

Siapa tahu, pada saat itu juga dari luar ada suara langkah orang pula disertai berkelebatnya cahaya lampu, ternyata Ong Kim-liong telah masuk pula dengan membawa dua orang berseragam hitam.

Heran dan gelisah Pwe-giok, sudah jelas Ji Hong-ho telah pergi bersama anak buahnya, mengapa Ong Kim-liong dan dua begundalnya kembali lagi ke sini?

Didengarnya Ong Kim-liong lagi berkata: "Lekas kembalikan patung itu dan meja sembahyang pada tempatnya semula, lalu lantai dibersihkan pula, jangan sampai meninggalkan sesuatu tanda agar anak murid keluarga Tong tidak dapat memperkirakan ke mana perginya Tong Bu-siang."

Nyata setiap tindak-tanduk komplotan jahat ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti tanpa meninggalkan sesuatu apapun.

Pwe-giok menjadi kelabakan. Sudah tentu sekarang ia dapat melompat turun dan membinasakan ketiga orang itu. Dengan ilmu silatnya jelas ketiga orang itu bukan tandingannya. Tapi dia kuatir tindakannya ini akan mengejutkan Ji Hong-ho yang pergi belum jauh itu. Sebaliknya bila ditunggu lagi sampai pekerjaan ketiga orang itu selesai, tentu Ji Hong-ho juga sudah pergi jauh dan sukar untuk menyusulnya.

Konyolnya, cara kerja kedua orang berseragam itu justeru adem-ayem saja, alon-alon asal kelakon, sesuatunya dikerjakan dengan sangat cermat. Sudah tentu semuanya ini memakan waktu lebih lama. Keruan Pwe-giok tambah gelisah, tapi apa daya?

Kini dia hanya berharap semoga ketiga orang ini nanti habis bekerja juga akan menyusul kepergian Ji Hong-ho, dengan demikian asalkan dia membuntuti ketiga orang, maka jadinya akan mencapai tujuannya, bahkan penguntitannya nanti akan lebih mudah daripada menguntit Ji Hong-ho.

Karena inilah satu-satunya harapan yang masih ada, maka ia tidak dapat menyerang ketiga orang ini.

Siapa tahu, justeru pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara mendenging nyaring tiga kali, suara sambaran senjata rahasia dari luar. Kontan kedua lelaki berseragam hitam tadi menjerit dan roboh terjungkal.

Dengan sendirinya reaksi Ong Kim-liong lebih cepat dan gesit, dia sempat melompat ke atas, agaknya berhasil dia menghindari serangan senjata rahasia itu, lalu membentak dengan suara bengis: "Siapa itu, berani menyerang petugas Bengcu di sini, apakah sudah bosan hidup kau?!"

Di tengah bentakannya, serentak senjata ruyungnya Kim-liong-pian lantas dilolosnya dan diputar dengan kencang, dia terus menerjang keluar. Dalam kegelapan di luar pintu seperti ada orang tertawa seram dan misterius.

Pwe-giok terkejut dan juga gelisah. Ia tidak tahu siapakah gerangan orang yang menyergap Ong Kim-liong bertiga itu dan apa tujuannya?

Melihat serangan yang keji dan tanpa kenal ampun ini, jelas penyerang ini pasti juga bukan manusia baik-baik. Jangan-jangan anak murid keluarga Tong telah memburu tiba? Meski kedatangan mereka sangat kebetulan, tapi setitik harapan terakhir Pwe-giok menjadi ikut buyar.

Lampu di meja sembahyang tadi sudah dinyalakan, di bawah gemerdepnya cahaya lampu, tiba-tiba terlihat Ong Kim-liong masuk lagi dengan mundur.

Kim-liong-pian atau ruyung naga mas yang dipegangnya tampak terseret di lantai, wajahnya penuh rasa kejut dan takut, keringat dingin memenuhi dahinya, tapi tiada kelihatan mengalami sesuatu luka. Matanya tampak melotot penuh rasa takut, entah apa yang membuatnya setakut ini? Sesungguhnya apa yang dilihatnya?

Terdengar seorang berkata di luar: "Siapa sahabat ini? Kau datang dari mana?"

Suaranya sangat aneh, halus, rendah, tapi membawa semacam nada yang membikin merinding pendengarannya.

Mendengar suara orang itu, seketika Pwe-giok merasa tidak enak. Ia tidak mengerti mengapa suara seorang bisa begitu lembut dan halus, tapi juga begitu aneh dan menyeramkan. Sungguh ia ingin tahu bagaimana macamnya orang yang bicara itu.

Di luar pintu memang kelihatan ada sesosok bayangan manusia. Kelihatan sepasang matanya yang kelam, sama kelamnya seperti kegelapan malam. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong justeru menampilkan perasaan hampa, semacam kesuraman yang sukar diraba. Meski sinar mata itu tidak memandang ke arah Ji Pwe-giok, tapi tanpa terasa Pwe-giok bergidik sendiri.

Terdengar Ong Kim-liong lagi menjawab dengan suara rada gemetar: "Aku she Ong, Ong Kim-liong, dari Thay-oh."

"O, kiranya kau si raja naga dari Thay-oh," ucap suara yang indah tapi aneh itu. "Untuk apa kau datang ke sini?"

"Ku datang ikut Bu-lim-bengcu," jawab Ong Kim-liong.

"Bu-lim-bengcu? Maksudmu Ji Hong-ho?"

"Betul," jawab Ong Kim-liong pula.

"Mau apa dia datang ke sini?"

"Ada janji dengan Tong Bu-siang untuk bertemu di sini."

Begitulah tiap kali suara itu bertanya segera ia menjawabnya dengan sejujurnya. Ong Kim-liong seolah-olah sudah kehilangan pikiran sehatnya, seperti sama sekali sudah tunduk di bawah pengaruh sinar mata yang aneh itu. Tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin menyaksikan kejadian ini.

Suara aneh itu bertanya pula sesudah termenung sejenak: "Ji Hong-ho bertemu dengan Tong Bu-siang, mengapa di sini tempatnya? Yang dirundingkan mereka apakah sesuatu rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?"

"Didalam urusan ini memang betul ada sesuatu rahasia, sebab Bengcu....."

Pwe-giok merasa terkesiap dan bergirang juga karena akan mengetahui rahasia pertemuan Tong Bu-siang dan "Ji Hong-ho" itu, tak terduga, bicara sampai di sini, mendadak sekujur badan Ong Kim-liong menggigil dan tutup mulut rapat-rapat.

Sorot mata orang di luar itu semakin mencorong, dengan suara bengis ia mendesak: "Rahasia apa, kenapa tidak kau ceritakan?"

Ong Kim-liong tetap tutup mulut, keringat dingin tampak berketes-ketes memenuhi dahinya.

Suara itu kembali berubah lunak dan halus sekali, katanya pelahan: "Bicaralah, tidak menjadi soal! Sesudah kau ceritakan, pasti tiada orang menyalahkan kau."

Tubuh Ong Kim-liong tambah gemetar, mukanya berkerut-kerut, tampaknya sangat menderita, jelas sedang bergulat dengan batin sendiri yang bertentangan. Akhirnya tercetus juga ucapannya yang gemetar: "Ti..... tidak, tidak dapat kukatakan."

"Mengapa tidak dapat kau katakan?" ucap suara itu. "Jangan lupa, saat ini tubuhmu, jiwamu, sukmamu, semuanya sudah menjadi milikku, masa kau berani membangkang?"

Sekonyong-konyong Ong Kim-liong berteriak seperti orang gila: "Tidak, segala apa yang ada pada diriku ini milik Bengcu, tidak boleh kukhianati dia, kalau tidak, bagiku hanya..... hanya ada kematian...." mendadak ia angkat ruyungnya terus menghantam kepala sendiri.

Agaknya orang yang berada di luar itu tidak menduga akan tindakan Ong Kim-liong ini, ia berseru kaget, namun Ong Kim-liong sudah terkapar bermandi darah.

Bercucuran keringat dingin Pwe-giok, apa yang terjadi ini sungguh sukar untuk dimengerti, ia hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.

Dalam pada itu dari luar lantas masuk satu orang. Langkahnya enteng, pelahan tanpa suara, seperti badan halus saja.

Di bawah cahaya lampu kelihatan orang ini memakai baju kain kasar sebangsa kain belacu yang biasa dipakai kaum petani. Tangan membawa sebuah caping yang sudah rusak, perawakannya tinggi kurus, wajahnya putih cakap dan agak kurus.

Tampaknya usianya antara 30-an, tapi seperti juga sudah lebih 50. Begitu melangkah masuk, sorot matanya yang kelam kehijau-hijauan itu seketika lenyap, tiada sesuatu yang menyolok, hanya tangannya yang panjang dan kurus itu kelihatan putih indah berkilau.

Sama sekali tak terpikir oleh Pwe-giok bahwa mata yang aneh itu bisa tumbuh pada seorang yang sangat umum ini, lebih-lebih tak terpikir sinar matanya bisa berubah begitu cepat. Lamat-lamat ia merasa orang ini seperti seekor bunglon yang setiap saat dapat berganti warna badan untuk mengelabui musuh demi keselamatan sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda menghela napas dan bergumam: "Ah, sudah mati semua!"

Pandangan Pwe-giok ternyata tertarik sepenuhnya oleh manusia yang aneh ini, baru sekarang ia tahu di belakang orang ini masih ikut seorang perempuan muda bergaun dan baju kain kasar, perawakan gadis ini padat dan indah, kepalanya juga memakai caping bambu yang ditarik rendah ke depan, agaknya tidak suka wajah aslinya dilihat orang. Sungguh aneh, memangnya siapa yang hendak dihindarinya?

Entah mengapa, Pwe-giok merasa perawakan dan suara gadis itu seperti sudah dikenalnya, tapi seketika tidak ingat di mana pernah bertemu.

Sementara itu si baju belacu tadi telah mengitari ruangan itu satu kali, lalu ia berpaling memandang si gadis, dari wajahnya yang bersih itu tiba-tiba menampilkan senyuman yang sangat menarik, ucapnya dengan pelahan: "Pandanganmu memang jitu, orang-orang ini memang betul sudah mati semua."

Si gadis menggigit bibir, katanya kemudian: "Mereka kan tidak mengganggu kita, mengapa engkau membunuh mereka?"

"Ucapanmu memang betul, sesungguhnya tidak perlu kubunuh mereka," ujar si baju belacu dengan tersenyum.

"Jika tidak perlu, mengapa kau bunuh mereka?" kata si gadis.

Orang itu tidak menjawab, ia cuma mengulum senyum dan memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata: "Cantik, sungguh cantik, kerlingan matamu tertampak lebih cantik di bawah sinar lampu ini. cukup kau pandang diriku sekejap dan aku rela mati sepuluh kali bagimu."

Tampaknya dia sangat memanjakan nona itu dan sangat sayang padanya, setiap ucapannya penuh sanjung puji, tapi siapapun dapat mendengar kata-katanya hanya seperti orang tua membikin senang hati anak kecil saja.

Anehnya, gadis itu sedikitpun tidak merasa dimanjakan atau dibujuk, sebaliknya mukanya menjadi merah dan terkesima, kemudian menghela napas dan berkata dengan rawan: "Yang kuharap asalkan selanjutnya jangan kau bunuh orang lagi, asalkan kita dapat meloloskan diri sekali ini, bolehlah kita mencari suatu tempat yang terpencil jauh di sana dan hidup tenteram selama hidup."

"Tepat sekali ucapanmu," kata orang itu dengan tersenyum, "kita akan mencari suatu tempat yang indah, ada gunung ada air, setiap hari akan kuiringi kau pesiar, setiap hari dapat kudengar suara tertawamu yang lebih merdu daripada burung berkicau."

Pikiran nona itu seakan-akan melayang jauh membayangkan adegan bahagia itu, ia memejamkan mata dan bergumam: "O, alangkah bahagianya bilamana tiba pada hari demikian itu, rasanya segala apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia, asalkan datang hari bahagia itu, andaikan matipun aku rela."

Akhirnya Pwe-giok dapat melihat mukanya, seraut muka yang cantik, muka yang polos dan murni penuh membayangkan kebahagiaan yang akan datang, dari matanya terembes butir air mata kegembiraan.

Tiba-tiba Pwe-giok ingat siapa nona ini. Ya, betul, dia inilah Ciong Cing, murid Hoa-san-pay yang menyambut kedatangannya pada waktu Pwe-giok menghadiri pertemuan Hong-ti tempo hari.

Sungguh aneh, murid dari perguruan ternama itu mengapa sekarang bisa berada bersama seorang yang aneh dan misterius ini? Apa saja yang telah diperbuatnya demi orang ini seperti ucapannya tadi?

Seketika Pwe-giok tercengang, sangsi dan juga menyesal.

Si baju belacu tidak memandang lagi si nona, tapi sedang mengamat-amati mayat Ong Kim-liong yang digenangi darah itu, tampaknya dia sedang merenungkan sesuatu sambil bergumam: "Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati orang ini? Mengapa dengan tenaga gaibku tidak mampu menyuruhnya mengaku? Dengan kekuatan gaib apa pula Ji Hong-ho itu dapat membuat anak buahnya lebih rela mati daripada mengkhianatinya?"

Kembali ia mondar-mandir lagi di ruangan itu dan sorot matanya berubah lebih tajam daripada mata elang, setelah menyapu pandang kian kemari, tiba-tiba ia berseru perlahan: "He, lihat, di sini ada sebuah jalan rahasia!"

Ia tepuk patung Toa-pekong dan diputar, segera jalan di bawah tanah itu kelihatan dengan jelas.

Ciong Cing juga berseru: "He, menembus kemanakah jalan di bawah tanah ini?"

Orang itu memejamkan mata dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum cerah: "Ehm, di sini kan bukit di belakang Tong-keh-ceng?"

"Ya, betul, jalan ini pasti menembus ke Tong-keh-ceng," seru Ciong Cing.

"Tepat," kata orang itu dengan tertawa. "Kau benar-benar anak perempuan yang cantik dan cerdik."

Muka Ciong Cing menjadi merah pula, ia menunduk dan memainkan ujung bajunya, sejenak kemudian baru berkata: "Jika tempat ini mengandung rahasia orang lain, lebih baik kita pergi saja."

"Pergi? Mengapa?" ujar orang itu. "Selama hidupku kesenanganku justeru membongkar rahasia orang lain." - Dia mengusap perlahan muka Ciong Cing, lalu berkata pula: "Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang main sembunyi-sembunyi, tentu bukan pekerjaan baik yang mereka lakukan, aku akan memeriksanya melalui jalan rahasia ini, hendaklah kau tunggu saja di sini, mau?"

Ciong Cing lantas memegang tangan orang itu dan menjawab dengan cemas: "Tidak, jangan kau pergi!"

Seketika sorot mata orang itu berubah sedingin es, ucapnya: "Kenapa? Kau kuatir ku pergi dan tak kembali lagi?"

Hakekatnya Ciong Cing tidak memperhatikan perubahan sikap orang itu, dengan suara lembut ia berkata: "Tiada lain, yang kukuatirkan adalah keselamatanmu. Lukamu belum sembuh benar-benar, sedangkan Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho itu adalah tokoh-tokoh yang lihay...."

Pandangan orang yang dingin itu mulai cair lagi, ucapnya dengan tersenyum: "O, kau kuatir mereka mencelakai diriku?"

Mata Ciong Cing tampak merah dan basah, katanya dengan tersendat: "Jika.... jika terjadi apa-apa atas dirimu, lalu.... lalu aku bagaimana?"

Orang itu tertawa, katanya: "Jangan kuatir, masih jauh jika orang semacam Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho itu hendak mencelakai diriku." - Dengan lembut ia membelai rambut si nona, lalu menyambung pula: "Kau tunggu saja di sini, sayang, secepatnya aku akan kembali. Ku berjanji padamu, pasti tiada seorangpun dapat mengusik seujung rambutku."

Habis berkata, sekali berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghilang ke jalan di bawah tanah itu.

Dengan termangu-mangu Ciong Cing menyaksikan kepergian orang itu, ia mendekap mukanya dan menghela napas panjang, gumamnya: "O, apa yang kulakukan ini apakah betul? atau salah? ...."

"Salah!" tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara tertahan.

"Hahh, siapa?" Ciong Cing menjerit kaget sambil melonjak ke atas.

Dilihatnya seorang pemuda dengan tersenyum entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya." Cayhe Ji Pwe-giok!" ucap pemuda itu.

"Ji Pwe-giok?" seru Ciong Cing dengan terbelalak.

Ia tahu "Ji Pwe-giok" sudah mati, di kelenteng kecil yang terpencil di pegunungan sunyi ini mendadak mendengar nama orang yang sudah mati, seketika ia merinding.

Akan tetapi anak muda ini kelihatan sedemikian ramah tamah, ganteng, cakap, sorot matanya yang mengandung senyuman hangat itu sungguh bisa membuat cair gunung es di bumi ini. Tidak mungkin ada perempuan bisa takut kepada lelaki muda demikian ini.

Ciong Cing tidak lagi gugup, dengan suara keras ia menjawab: "Betul, aku memang kenal seorang Ji Pwe-giok, tapi jelas bukan kau. Aku tidak kenal kau!"

"Tapi kukenal nona" kata Pwe-giok.

"Kau kenal aku?" Ciong Cing melengak.

"Ya, nona kan murid Hoa-san dan bernama Ciong Cing?"

Seketika Ciong Cing tegang lagi, dengan suara bengis ia bertanya: "Jadi kedatanganmu ini adalah untuk menangkap kami?"

Dalam hati Pwe-giok jadi terheran-heran, namun lahirnya dia tenang-tenang saja, katanya pelahan: "Memangnya apa kesalahan nona? Kenapa takut akan ditangkap orang?"

Ciong Cing memandangnya sejenak, ia mulai tenang, jawabnya dengan tersenyum ewa: "Sudah tentu aku tidak berbuat salah apa-apa, aku cuma mencoba dirimu saja."

Pwe-giok menghela napas, katanya dengan suara halus:

"Kedatanganku ini bukan hendak menangkap nona, juga tidak untuk menyelidiki rahasiamu, aku hanya ingin memberi nasehat padamu, lebih baik kau pulang saja."

"Pulang? Pulang kemana?" kembali Ciong Cing terkesiap.

"Pulang ke samping gurumu, beliau pasti akan melindungi dirimu agar tidak sampai ditipu orang lain."

"Memangnya aku tertipu oleh siapa? Berdasarkan apa kau campur urusanku?" kata Ciong Cing dengan tidak senang.

Pwe-giok menyengir, ucapnya: "Memikirkan diriku sendiri saja repot, sesungguhnya aku memang tidak pantas ikut campur urusan orang lain. Tapi kata-kata ini seperti duri di tenggorokan, kalau tidak kukeluarkan terasa tidak lega. Soal kau mau menurut atau tidak memang terserah kepada keputusan nona sendiri."

Ia memandang mayat yang menggeletak di lantai itu, lalu menghela napas panjang.

Kalau setitik harapannya tadi kinipun sudah buyar, untuk apa pula dia tinggal lagi di sini? Mengenai Giu-hoa-nio yang masih ditinggalkan di atas belandar itu tidak perlu dikuatirkannya, ia tahu si nona pasti dapat menjaga dirinya sendiri.

Melihat Pwe-giok hendak pergi, Ciong Cing jadi melenggong, seperti mau mencegah, tapi akhirnya urung.

Tapi sebelum Pwe-giok melangkah keluar pintu, tahu-tahu sesosok bayangan orang seperti badan halus saja telah melayang dari belakang dan menghadang jalan keluarnya.

"He, begitu cepat kau sudah kembali?" seru Ciong Cing, kejut dan girang.

"Ya, apakah aku kembali terlalu cepat?" jawab orang itu dengan tersenyum.

Ciong Cing tidak merasakan di dalam kata orang itu berduri, ia bertanya pula: "Sudah kau lihat Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"

"Tidak, Ji Hong-ho tidak ada, Tong Bu-siang juga menghilang," jawab orang itu. Baru sekarang sorot matanya yang tajam beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya pula dengan tersenyum: "Urusan ini memang sangat aneh, betul tidak?"

Meski jalan keluar Pwe-giok terhalang, tapi sedapatnya ia bersabar, ia mengamat-amati orang aneh itu, tapi betapapun dia mengawasinya dengan cermat tetap tak dapat diketahui orang ini baik atau jahat, lebih-lebih tak dapat diketahui bagaimana asal usulnya. Hanya dirasakannya seolah-olah setiap saat timbul semacam tenaga gaib yang berpengaruh dari orang yang dihadapinya ini.

Pada waktu sorot mata orang ini beralih ke arahnya, seketika jantungnya berdetak.

Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya: "Urusan ini memang sangat aneh, bukan?"

"Ya, memang sangat aneh," Pwe-giok hanya tersenyum saja.

"Sesuatu yang aneh, mengapa Anda tidak heran?" kata pula orang itu.

Pwe-giok tahu, menghadapi orang demikian tidak boleh omong sepatahpun. Selagi dia menimbang cara bagaimana menjawabnya, tiba-tiba orang itu tertawa dan berkata pula dengan perlahan: "Jika kau tidak suka menjawab, bolehlah kukatakan bagimu... Sebabnya kau tidak heran atas urusan ini adalah karena sebelumnya rahasia persoalan ini sudah kau ketahui."

Pwe-giok hanya tersenyum sebagai jawabannya.

Tiba-tiba ia merasa mata orang ini meski sangat menakutkan, tapi senyumannya membawa semacam daya tarik yang sukar dilukiskan, semacam daya gaib yang kuat, jangankan anak gadis seperti Ciong Cing sekalipun Pwe-giok sendiripun tanpa terasa terpikat oleh daya tarik yang gaib itu dan sukar memindahkan pandangannya ke arah lain.

Orang itupun terus menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba menghela napas dan berkata: "Lelaki yang maha cakap, ya, Anda boleh disebut lelaki cakap yang tiada bandingannya. Jangankan perempuan, sampai akupun merasa mabuk melihat senyuman Anda."

Dia bicara dengan lambat, suaranya rendah dan juga mengandung daya pikat yang sukar disebutkan.

Sebenarnya bukan Pwe-giok tidak suka, hanya saja setelah mendengarkan dan mendengarkan lagi, akhirnya kata-kata yang ingin diucapkannya jadinya malah lupa dikatakannya.

Dengan tersenyum orang itu berkata pula: "Orang yang mempunyai muka seperti Anda ini, bilamana tidak tahu menggunakannya dengan baik-baik sungguh harus disayangkan. Tapi Anda tidak perlu kuatir, sekalipun Anda tidak tahu cara bagaimana harus mendaya-gunakan ketampanan sendiri, dengan suka hati akan kubantu berusaha bagimu agar Anda tidak sia-sia dilahirkan dengan wajah tampan ini."

Apabila kata-kata ini diucapkan orang lain, andaikan Pwe-giok tidak gusar, sedikitnya juga akan mendongkol. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut orang ini ternyata tidak membuat Pwe-giok naik pitam.

Orang itu tersenyum dan berkata pula dengan suara terlebih halus: "Baiklah, sekarang bolehlah kau lupakan semuanya. Coba beritahukan padaku sesungguhnya rahasia apakah yang kau lihat tadi? Sesungguhnya apa yang dirundingkan Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"

"Kukira lebih baik tidak kukatakan," jawab Pwe-giok hambar.

"Kusuruh kau bicara, maka kau harus bicara, tahu?" ucap orang itu dengan suara tegas, meski wajahnya masih mengulum senyum, tapi sorot matanya yang aneh itu tampak mendesak, menatap Pwe-giok tajam-tajam.

Siapa tahu Pwe-giok tetap menjawab dengan hambar: "Memangnya kenapa harus kukatakan?"

Orang itu lantas mengeluarkan seuntai rantai mutiara dan diayun-ayunkannya di depan Pwe-giok, lalu berkata pula dengan perlahan: "Sebab kau sudah menjadi budakku, setiap perkataanku harus kau taati, sedikitpun tidak boleh melawan."

Ciong Cing tampak lemas dan kuatir, ia tahu kekuatan gaib orang ini, ia tidak ingin dia membikin susah orang lain lagi, tapi iapun tidak berani mencegahnya.

Siapa tahu Pwe-giok tetap tenang-tenang saja, sebaliknya ia malah tertawa dan menjawab: "Selamanya aku adalah orang yang bebas dan merdeka, mengapa tanpa sebab aku harus menjadi budakmu?"

Air muka orang itu berbalik berubah pucat malah, butiran keringatpun menghiasi jidatnya.

Maklumlah, Liam-sim-tay-hoat yang digunakannya sangat keji, tapi kalau tidak dapat menguasai pihak lawan, ia sendiri yang akan celaka. Sekarang ia sudah mengerahkan segenap tenaganya, tapi lawan yang masih muda ini ternyata tiada terpengaruh sedikitpun. Padahal sasaran Liam-sim-tay-hoat ini adalah melunakkan pikiran lawan, peluang itu lantas diselulupi kekuatan gaibnya dan terpengaruhlah orangnya.

Namun sejak kecil Pwe-giok sudah berlatih semedi dan memusatkan pikiran, akhir-akhir ini dia malah tergembleng dengan lebih teguh lagi imannya, hatinya kini boleh dikatakan sekeras baja, semurni emas.

Karena itulah, perasaan orang itu berbalik terguncang dan hampir-hampir saja sukar dikuasai.

Pwe-giok sama sekali tidak tahu mengapa pihak lawan menjadi begitu tegang, dengan tertawa ia malah bertanya: "Barangkali anda hanya bergurau saja denganku, begitu?"

Tanpa terasa orang itu menjawab: "Ya!"

"Siapakah nama Anda?" Pwe-giok coba bertanya.

"Kwe Pian-sian," jawab orang itu, butiran keringat tampak berketes-ketes seperti hujan. Ia merasa sinar mata Pwe-giok makin mencorong, ia sendiri berbalik terpengaruh, setiap pertanyaan Pwe-giok mau-tak-mau harus dijawabnya.

Pwe-giok termenung sejenak, lalu bergumam: "Kwe Pian-sian, nama ini asing bagiku. Apakah ini nama asli anda?"

Dengan suara gemetar orang itu mengiakan.

Dia memang betul Kwe Pian-sian adanya. Sekarang dia tidak dapat menghindari lagi tatapan Pwe-giok, apabila Pwe-giok bertanya lebih lanjut, mungkin segala rahasianya akan dibeberkannya.

Pwe-giok jadi heran sendiri, tak tersangka olehnya setiap pertanyaannya akan dijawab secara jujur oleh lawan. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, ia coba bertanya pula: "Apakah nona Ciong ini melarikan diri bersama anda?"

Kembali Kwe Pian-sian mengiakan.

"Siapakah yang anda hindari?" Tanya Pwe-giok.

Sedapatnya Kwe Pian-sian menggigit bibir agar tidak bersuara, tapi mau tak mau ia berucap juga: "Ji Siok-cin!"

"Ji Siok-cin? Ji lihiap ketua Hoa san-pay?" Pwe-giok menegas.

Kwe Pian-sian mengiakan lagi.

Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Memangnya kau sudah ditawan Ji-lihiap, tapi nona Ciong jatuh hati padamu dan diam-diam melepaskan kau serta minggat bersamamu?"

"Ya, be....begitulah," jawab Kwe Pian-sian dengan suara terputus-putus.

Sekarang ia benar-benar ketakutan setengah mati, namun apa daya ia tidak dapat menguasai dirinya sendiri lagi.

Melihat keadaan Kwe Pian-sian, Ciong-cing juga melenggong.

Pwe-giok menghela napas, ia memandang Ciong-cing, katanya dengan tersenyum getir: "Tak tersangka nona sampai hati mengkhianati guru sendiri, tentunya karena cintamu....." belum habis ucapannya, mendadak berpuluh-puluh bintik sinar perak menyambar ke arahnya.

Kiranya begitu pandangan Pwe-giok beralih, seketika Kwe Pian-sian mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari pengaruh sinar mata lawan, tanpa ayal kalung mutiara terus ditebarkan.

Sama sekali tak terpikir oleh Ji Pwe-giok bahwa orang yang sudah ketakutan dan menjawab setiap pertanyaannya secara jujur ini mendadak bisa melancarkan serangan gelap. Karena kepalanya sudah berpaling ke kiri, sekarang tubuhnya lantas ikut berputar ke arah kiri, kedua tangannya juga mengebas, seperti penari ia terus berputar satu lingkaran. Tahu-tahu berpuluh-puluh bintik sinar perak itu seperti ikan yang terisap ke tengah pusaran air dan ikut berputar mengikuti gerakan Pwe-giok.

Dipandang dari jauh, satu lingkaran sinar perak mengitari seorang penari yang sedang berputar dengan gaya yang indah.

Tanpa terasa Ciong-cing terkesima menyaksikan kejadian itu, terdengar suara gemerincing, seperti dering logam digosok, laksana bunyi kecapi, tahu-tahu berpuluh-pulih bintik sinar perak sudah berserakan di tanah.

Tadi kalau Pwe-giok sengaja menghindar, dalam keadaan kepepet belum tentu dia sanggup menyelamatkan diri oleh hamburan berpuluh-puluh bintik perak yang terpancar dari jarak dekat itu. Tapi tanpa sengaja ia berputar, gerakan ini justeru sangat efektif dan ternyata mendatangkan hasil yang tak terduga.

"Kungfu hebat!" puji Ciong Cing setelah terkesima sejenak.

Dalam pada itu Kwe Pian-sian sudah melancarkan beberapa kali pukulan maut. Walaupun serangannya ganas, gayanya indah, tapi setiap pukulan belum menggunakan tenaga sepenuhnya, ia masih menyimpan tenaga untuk menjaga segala kemungkinan.

Maklum, setelah menyaksikan kelihayan Pwe-giok, betapapun ia tidak berani mempertaruhkan seluruh modalnya. Akan tetapi lebih dulu ia perkuat pertahanannya sehingga tak terkalahkan, habis ini barulah dia melancarkan serangan.

Meski dengan santai Pwe-giok dapat mengelakkan serangan lawan, namun di dalam hati dia tidak merasa santai. Sebab segera diketahuinya serangan lawan ternyata sangat teratur, licin, licik dan cekatan, sungguh kepandaian yang belum pernah dilihatnya selama hidup. Ia menyadari, tidaklah mudah bagi siapapun yang ingin merobohkan orang she Kwe ini.

Dalam pada itu, Kwe Pian-sian sudah melancarkan lagi empat kali pukulan lain, gerakan serangan ini mendadak berubah, dari ringan berubah menjadi berat, dari lunak berubah menjadi keras. Namun daya pukulannya tetap terbatas, belum menggunakan sepenuh tenaganya, masih ada tenaga cadangan.

"Apakah anda bertekad akan membinasakan diriku?" tanya Pwe-giok dengan menyesal.

Selesai ucapannya ini, dengan santai empat kali pukulan musuh sudah dihindarinya.

"Betul," jawab Kwe Pian-sian, kembali empat kali pukulan dilontarkan dengan lebih cepat, selesai ucapannya yang cuma satu kata itu, selesai pula empat kali pukulan.

"Sebab apa?" tanya Pwe-giok pula, begitu cepat serangan lawan, secepat itu pula ia menghindar.

Kwe Pian-sian menjawab: "Sebab kalau anda hidup di dunia ini, maka makan dan tidurku pasti tidak akan tenteram."

Sekali ini pukulannya berubah menjadi lambat, bicara sepanjang ini juga cuma melancarkan empat kali pukulan, akan tetapi pukulan yang berat dan mantap.

Jelas inilah Thay kek kun asli, padahal Thay kek kun dan Bu kek bun ada hubungan yang erat. Cepat Pwe giok melompat mundur dan berseru: "Jangan-jangan Anda ini kaum Cianpwe dari Thay kek bun?"

Dengan tenaga dalam Kwe Pian sian yang tinggi ini, bilamana betul dia adalah orang Thay kek bun, maka kedudukannya pasti sangat tinggi, maka Pwe giok menghormatinya dengan sebutan "Cianpwe".

Siapa tahu Kwe Pian sian malah tertawa dan menjawab: "Apa artinya Thay kek bun bagiku?"

Mendadak pukulan telapak tangannya berubah menjadi kepalan terus menghantam, jurus pertama adalah "Lo han hok hou" atau Buddha menaklukkan harimau, inilah jurus pembukaan Lo han kun dari Siau lim Pay.

Pwe giok dibuat terkejut pula. Dalam pada itu pukulan kedua Kwe Pian sian telah berubah menjadi Tay Hong kun, sampai di tengah jalan, mendadak berubah lagi, sekali ini kedua kepalannya menghantam berbareng.

Gaya pukulan ini sangat aneh dan belum pernah dilihat Pwe giok, jelas-jelas yang diincar adalah pipi kanan dan dagu kiri, siapa tahu ketika kepalan sudah dekat, mendadak berubah lurus menghantam dada.

Kwe Pian sian kelihatan sangat bangga, katanya dengan tertawa: "Dan tahukah kau pukulan ini dari aliran mana...?"

Sebenarnya kata-kata Kwe Pian sian ini belum habis terucap, sebab baru saja dia mengucapkan kata "dari", Pwe giok terpaksa balas menyerang, bahkan dia papak kepalan lawan yang sedang menghantam itu.

Waktu Kwe Pian sian mengucapkan kata "mana" segera dirasakannya tenaga pukulan Pwe giok maha dahsyat, cepat ia bermaksud menarik kembali tangannya, sekalipun dia masih menyimpan tenaga cadangan dan keburu menarik pukulannya, namun kepalannya tetap tersampuk oleh pukulan Pwe giok, seketika ia merasakan ditolak oleh suatu arus tenaga yang maha kuat seolah-olah gugur gunung dahsyatnya, tubuhnya terus mencelat hingga jauh.

Tenaga sakti pembawaan Pwe giok memang maha hebat, biarpun dia mengerahkan segenap tenaganya juga belum tentu sanggup bertahan, apalagi dia masih menyisakan sebagian tenaganya.

"Jangan melukai orang?" seru Ciong Cing kuatir.

Pwe giok tersenyum, katanya: "Tiada maksudku hendak mencelakai orang, jika kalian mau pergi, akupun takkan merintangi!"

Dia sudah kenyang merasakan betapa sengsaranya dibikin celaka orang, maka kalau tidak terpaksa, betapa pun ia tidak mau membikin susah orang lain.

Kwe Pian sian memang tidak terluka apapun, dia berdiri tegak di sana dan menghela napas. Ciong Cing memburu ke sana dan memegang tangannya serta memohon: "Marilah kita pergi, untuk apa kau bergebrak mati-matian dengan dia?"

Sambil menyengir Kwe Pian sian berkata kepada Pwe giok: "Ilmu silat Anda belum nampak terlalu hebat, tapi tenagamu yang maha sakti ini belum pernah kulihat selama ini, tampaknya aku pun tak dapat menjatuhkan kau."

"Jika demikian, mengapa kau tidak lepas pergi?" ujar Pwe giok dengan tersenyum.

"Tampaknya aku memang lebih baik pergi saja," kata Kwe Pian sian dengan gegetun. Dia merangkap kedua tangannya seperti memberi salam dan hendak pergi benar-benar, siapa tahu, pada saat itu juga tangannya bergerak pula, dari lengan bajunya kembali menyambar keluar berpuluh bintik hitam.

"He, kau....." Ciong Cing menjerit kaget.

Tapi belum lanjut ucapannya, tahu-tahu tubuhnya sudah diangkat oleh Kwe Pian sian terus dilemparkan ke arah Pwe giok. Kwe Pian sian sendiri terus menyelinap ke belakang Pwe giok untuk menyerang pula, langkah ini sungguh teramat keji dan jarang ada di dunia ini.

Untuk menghindarkan hujan senjata rahasia itu saja tidak mudah bagi Ji Pwe giok, apalagi seumpama dia sempat mengelakkan senjata rahasia, tahu-tahu tubuh Ciong Cing juga sudah menubruk tiba. Karena nona itu dilemparkan orang, dengan sendirinya kaki dan tangannya meronta-ronta, apabila Pwe giok tidak menghiraukan tubuh si nona dan hanya melayani Kwe Pian sian, bukan mustahil Pwe giok akan terluka oleh rontakan si nona yang ingin cari hidup itu.

Sebaliknya kalau Pwe giok menangkap tubuh si nona, sementara itu Kwe Pian sian sudah menyelinap ke belakangnya, peluang itu pasti akan digunakan orang keji itu untuk menghabisi dia.

Perubahan kejadian ini berlangsung dalam sekejap saja, belum lagi Pwe-giok tahu jelas duduknya perkara, tahu-tahu Am-gi atau senjata rahasia sudah menyambar tiba, bayangan orang yang meronta-ronta juga melayang tiba sekaligus.

Mestinya Pwe-giok bermaksud menyampuk balik senjata rahasia musuh, tapi ketika tiba-tiba diketahuinya bahwa bayangan orang yang ikut melayang tiba itu ialah Ciong Cing, bila senjata rahasia disampuk balik niscaya akan membinasakan nona itu.

Jadi serba susah bagi Pwe-giok, kalau tidak berkelit, jiwa sendiri bisa celaka. Kalau bertindak, jiwa Ciong Cing mungkin melayang. Dan Kwe Pian-sian tampaknya sudah memperhitungkan dia pasti tidak tega membikin celaka Ciong Cing.

Tak terduga, pada detik terakhir tangan Pwe-giok tetap bergerak ke depan secepat kilat, cuma tenaga yang digunakan kedua tangannya sama sekali berlainan, tenaga tangan kiri lunak, tenaga tangan kanan keras, tangan kiri bergerak lebih dulu, dengan tenaga lunak ia mendorong sekaligus tubuh Ciong Cing sehingga meluncur lebih jauh ke sana, sedangkan tenaga tangan kanan yang dahsyat itu digunakan memapak hujan senjata rahasia musuh. Dan pada saat itu pula kedua telapak tangan Kwe Pian-sian juga telah menghantam punggungnya.

Karena segenap tenaga sudah dikerahkan, Pwe-giok tidak mempunyai sisa tenaga untuk menghindar, apalagi sisa tenaga untuk menangkis. Dalam keadaan demikian, siapapun juga pasti akan binasa di bawah pukulan Kwe Pian-sian.

Akan tetapi di sinilah terlihat ketangkasan Ji Pwe-giok yang lain daripada yang lain, mendadak tenaga tangan kanannya yang dahsyat tadi berubah menjadi lunak, telapak tangannya berputar terus ditarik ke belakang, segerombolan senjata rahasia yang tergulung oleh tenaga pukulannya itu ikut berkisar di udara terus menyamber lewat di samping Pwe-giok dan langsung menyerang Kwe Pian-sian yang berada di belakangnya.

Mimpipun Kwe Pian-sian tidak menyangka Am-gi yang dihamburkannya sendiri kini berbalik akan makan tuannya malah. Jika pukulannya diteruskan dan dapat melukai Ji Pwe-giok, tapi tubuh sendiri pasti juga berubah seperti sarang tawon.

Ia menjerit kaget sambil menarik tangan dan mendoyong ke belakang, sekalian ia terus berjumpalitan ke belakang, sekalipun dia selalu menyiapkan jalan mundur, tidak urung sekali ini bajunya terserempet robek oleh senjata rahasia sendiri.

Dalam pada itu tubuh Ciong Cing juga telah menumbuk dinding, tapi tenaga dorongan Pwe-giok juga pas sampai di situ saja, maka tumbukan pada dinding itu hampir tidak ada artinya, tubuhnya memberosot ke bawah dengan air muka pucat, tapi tidak terluka sedikit pun.

Dengan sendirinya Pwe-giok juga tidak cedera, namun gusarnya bukan alang kepalang terhadap manusia keji ini.

Orang ini ternyata tidak segan-segan mengorbankan gadis yang telah menolongnya, bahkan mencintainya dengan sepenuh hati, hati orang ini tidakkah berpuluh kali lebih keji dan lebih ganas daripada binatang buas?

Sambil meraung gusar, Pwe-giok terus menubruk ke arah Kwe Pian-sian.

Saking gemasnya, sekali ini dia tidak sungkan-sungkan lagi, dari bertahan ia mulai menyerang. Tenaga pukulannya bergulung-gulung, tampaknya lunak, namun mendampar dengan dahsyatnya sehingga patung Toa-pekong ikut bergoncang.

Sekali ini Kwe Pian-sian terpaksa harus menandingi pula dengan sepenuh tenaga.

Meski tenaga dalam Kwe Pian-sian sangat kuat, tapi kelihatan sukar bertahan lama. Maklumlah, ia tidak biasa bertempur mati-matian dengan lawan, biasanya musuh sukar menemukan dia, umpama bertemu, dengan tipu akalnya yang licik sudah cukup baginya untuk menghadapinya, hakekatnya dia jarang mengeluarkan tenaga.

Apalagi akhir-akhir ini dia dilukai pula oleh Kim-yan-cu. Tikaman itu hampir mengirimnya ke akhirat. Coba kalau dia tidak selalu membawa obat luka mujarab, tidak nanti dia dapat sembuh dengan cepat, apalagi hendak bertempur dengan Ji Pwe-giok sekarang.

Dengan kekuatannya ini jelas dia bukan tandingan Ji Pwe-giok, tapi jurus serangannya justeru sedemikian aneh, sedemikian cepat, gerakannya berubah-ubah tidak menentu, pukulan pertama digunakannya dengan keras, pukulan berikutnya mendadak berubah lunak. Macam-macam gaya dan ragam jurus serangannya, hampir setiap aliran dan perguruan di daerah Tionggoan dan di luar perbatasan dikuasainya dengan baik.

Diam-diam Pwe-giok terkesiap, beberapa kali ini hampir termakan oleh serangan lawan yang aneh, mau-tak-mau ia harus bertempur dengan penuh kewaspadaan. Setelah beberapa puluh jurus, tanpa terasa Pwe-giok sendiri sudah mandi keringat.

Tiba-tiba terdengar Kwe Pian-sian berseru: "Apakah anda bertekad akan membunuhku?"

Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan Pwe-giok, tapi sekarang malah dipertanyakan olehnya Pwe-giok jadi melengak, jawabnya dengan suara berat: "Betul!"

"Sebab apa?" tanya Kwe Pian-sian pula.

"Sebab kalau anda hidup di dunia ini, makan dan tidurku juga takkan tenteram," kata Pwe-giok.

Dilihatnya waktu bicara napas Kwe Pian-sian sudah rada terengah-engah, jelas keadaannya sudah payah, seperti busur yang sudah terpentang penuh dan sukar ditarik lagi Pwe-giok tidak ayal, serangannya tambah gencar, ia benar-benar hendak membinasakan orang ini untuk menyelamatkan masyarakat.

Butiran keringat tampak memenuhi dahi Kwe Pian-sian, gerak serangannya sudah lemah, semangat ada tenaga kurang, kini serangannya lebih banyak pura-pura belaka, lambat-laun ia sudah terdesak ke pojok ruangan.

Ciong Cing memandanginya dengan termenung, air mata tampak meleleh di pipinya.

"Baik, lebih baik mati saja," ucap Kwe Pian-sian dengan menyesal. "Memangnya apa artinya hidup bagiku jika orang yang paling dekat denganku juga tidak sudi lagi membantuku."

Wajah Ciong Cing tidak nampak sesuatu perasaan, katanya dengan suara parau: "Jika kau mati akan kutemani kau!"

"Untuk apa kau temani diriku, temani dia saja!" ucap orang she Kwe itu.

Pwe-giok menjadi gusar, sepenuh tenaga ia menghantam.

Mendadak dilihatnya kedua tangan Kwe Pian-sian menekuk ke kanan dan menikung ke kiri, seperti lemas tanpa tenaga sedikitpun, akan tetapi gaya pukulannya serupa seratus bunga yang baru mekar serentak. Pukulan Pwe-giok itu ternyata terbendung, betapapun sukar menembus pertahanan lawan.

Nyata itulah kungfu istimewa Pek-hoa-bun!

Hendaklah maklum bahwa Kwe Pian-sian sangat merahasiakan asal-usulnya, ia paling tidak suka ada orang mengetahui hubungannya dengan Hay-hong Hujin. Sebab itulah bila tidak kepepet, tidak nanti dia mengeluarkan ilmu silat Pek-hoa bun atau perguruan seratus bunga, lebih-lebih tidak mau memainkan ilmu pukulan Kay-pang.

Hampir seluruh ilmu silat di dunia ini yang dikuasainya dimainkannya, hanya kedua macam kungfu yang paling menjadi kemahirannya disisakan dan baru dikeluarkan pada waktu kepepet.

Pwe-giok terkesiap melihat Kwe Pian-sian tidak berganti ilmu silat aliran lain lagi. Ia menjadi heran, pikirnya: "Jangan-jangan ilmu silat Pek hoa-bun adalah kungfu perguruannya yang sebenarnya?"

Setelah bergebrak lagi beberapa kali, akhirnya Pwe-giok melompat mundur dan berseru: "Apakah kau murid Pek-hoa-bun?"

Gemerdep sinar mata Kwe Pian-sian, jawabnya perlahan: "Tiada lelaki dalam perguruan Pek-hoa-bun, masa kata-kata ini tidak pernah kau dengar?"

"Jika demikian, mengapa kau sedemikian apal ilmu silat Pek-hoa-bun?"

"Memangnya kungfu aliran lain aku tidak paham?" jawab Kwe Pian-sian dengan angkuh.

Pwe-giok menatapnya pula sejenak, katanya kemudian: "Jadi matipun tidak mau kau katakan hubunganmu dengan Pek-hoa-bun?"

Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, ucapnya: "Biarpun lukaku belum sembuh dan tenaga kurang, kukira kaupun belum tentu dapat membunuh diriku. Memangnya kau kira orang she Kwe ini akan minta ampun padamu?!"

Pwe-giok jadi melengak, tadinya ia mengira orang ini bukan saja keji, bahkan juga takut mati. Tak tersangka orang justeru berwatak angkuh begini. Setelah terdiam sejenak, lalu katanya dengan gegetun: "Jika begini tinggi hati watakmu, mengapa caramu bekerja serendah dan sekotor ini?"

"Hm, selama hidupku, setiap tindak-tandukku hanya ku pertanggung-jawabkan kepada diriku sendiri, untuk apa harus kupikirkan bagi orang lain? Jika kau bermaksud memeras diriku dengan kematianku, jalan pikiranmu ini kan teramat mentertawakan?"

Kembali Pwe-giok melengak, kekejian orang ini di luar dugaannya, keangkuhan orang bahkan lebih-lebih di luar dugaan. Nyata, sejak mula ia sudah salah menilai orang ini.

Tiba-tiba Kwe Pian-sian bertanya: "Kau terus menerus bertanya mengenai hubunganku dengan Pek-hoa-bun, sesungguhnya ada urusan apa?"

"Soalnya aku tidak bergebrak dengan anak murid Pek-hoa-bun," jawab Pwe-giok.

Berubah air muka Kwe Pian-sian, katanya dengan bengis: "Apa sebabnya? Memangnya apa hubunganmu dengan Kun Hay-hong?"

Selagi Pwe-giok merasa heran oleh perubahan sikap Kwe Pian-sian itu, mendadak Ciong Cing melompat maju dan berseru dengan suara terputus-putus: "Kau...kau sudah berjanji padaku bahwa selanjutnya kau tidak akan menyebut namanya lagi, mengapa... sekarang kau tanyakan hubungan orang dengan dia? Apakah... kau tetap tak dapat melupakan dia?"

Kwe Pian-sian melototi nona itu, sorot matanya mencorong gusar.

Seketika Ciong Cing menggigil, ucapnya dengan suara parau: "Mengapa kau ikut campur urusan orang lain dengan dia? Apakah...apakah kau masih cemburu?"

Dengan gusar Kwe Pian-sian mendelik, lama dan lama barulah sorot matanya berubah tenang kembali, katanya dengan menyesal: "Yang cemburu sekarang bukanlah diriku melainkan kau."

Dengan suara serak Ciong Cing berseru: "Caramu perlakukan diriku tadi membuktikan sikapmu padaku hanya tipuan belaka. Apabila dia, tentu takkan kau perlakukan dia seperti caramu tadi. Sekarang kau sangat benci padaku dan lebih suka bila aku mati, begitu bukan?"

Kwe Pian-sian termenung sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Jika aku mati, kau akan mengiringi aku. Bila kau mati, memangnya harus kuiringi kau?"

Ciong Cing mendekap tubuh sendiri erat-erat, sesaat ini, ia merasa hanyutlah harapannya, runtuhlah segalanya, air matanya berderai bagai hujan, akhirnya ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan menangis tergerung-gerung.

Pwe-giok jadi melenggong.

Dengan perlahan Kwe Pian-sian berkata pula: "Sekarang tanpa kujelaskan tentu kau tahu apa hubunganku dengan Pek-hoa-bun bukan?"

"Betul," jawab Pwe-giok sambil menarik napas dalam-dalam.

Perlahan Kwe Pian-sian membelai rambut Ciong Cing, lalu berkata: "Sungguh tak kusangka anak perempuan selembut ini bisa mempunyai rasa cemburu sebesar ini."

Melihat tangan Kwe Pian-sian terletak di atas kepala Ciong Cing, Pwe-giok menjadi kuatir dan berseru: "Kau...kau hendak membunuhnya?"

"Untuk apa kubunuh dia?" ujar Kwe Pian-sian. "Meski dia telah membocorkan rahasia pribadiku, semua ini adalah karena cemburunya yang besar. Kalau dia tidak menyukai diriku dengan sungguh hati masa dia dapat cemburu atas diriku?"

Mendadak ia bergelak tertawa dan menyambung pula: "Hahahaha! Aku dapat membunuh orang dengan seribu alasan, tapi tidak nanti membunuh dia lantaran cemburu atas diriku!"

"Orang...orang macam kau ini juga memperhatikan urusan begini?" ucap Pwe-giok dengan sangsi.

Perlahan Kwe Pian-sian menghentikan tertawanya, di antara mata-alisnya terlihat menampilkan semacam rasa kesepian, katanya kemudian: "Kau tahu, meski selama hidupku mempunyai kekasih yang tak terhitung banyaknya, tapi tiada satu pun yang cemburu atas diriku seperti dia ini."

Pwe-giok termangu-mangu, akhirnya ia berkata: "Semua ini adalah rahasia lubuk hatimu, mengapa kau katakan padaku?"

Kwe Pian-sian tersenyum hambar, ucapnya: "Jika seorang tak dapat kubunuh, maka aku harus menganggap dia sebagai sahabatku. Dengan demikian hatiku akan terasa tenteram, cuma saja..." Dengan sungguh-sungguh ia menyambung:"... dapat kuberi jaminan padamu, sampai saat ini, sahabatku belum ada tiga orang."

Dengan tajam Pwe-giok menatapnya, ia merasa watak orang ini benar-benar sangat ruwet dan sukar dipercaya, dia seolah gabungan dari tiga empat orang yang berwatak paling ekstrim.

Dia mungkin seorang yang takut mati, kalau kau hendak membunuh dia, bisa jadi dia akan lari atau menipu kau, bahkan menggunakan berbagai tipu muslihat yang sukar kau duga, tapi pasti tidak akan mohon belas kasihan dan minta ampun padamu, Jika kau bertekad akan membunuhnya, untuk itu kau harus mengadu jiwa dengan dia.

Kwe Pian-sian juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat dan berucap dengan tersenyum: "Dan sekarang, kau inilah sahabatku yang ketiga."

"Tapi darimana kau tahu aku akan mau menjadi sahabatmu?" jawab Pwe-giok, ia pun tertawa.

Dengan angkuh Kwe Pian-sian berkata: "Diriku ini boleh dikatakan salah seorang tokoh yang paling berkuasa dan berpengaruh di bu-lim, bahkan juga tokoh yang paling kaya raya di dunia ini. Barang siapa dapat bersahabat denganku, maka berbahagialah dia selama hidup."

"Bagimu, alasan yang kau katakan memang cukup kuat," ujar Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh. "Tapi bagiku, jika kuterima kehendakmu, bukankah aku seakan-akan menjadi Siaujin (orang kecil, pengecut) yang suka mengumpak ke atas dan menjilat penguasa?"

Sambil bicara, ia terus membalik tubuh dan melangkah pergi.

"Jangan pergi dulu, sahabat!" bentak Kwe Pian-sian.

Meski tidak berpaling, tapi langkah Pwe-giok lantas berhenti, ucapnya perlahan: "Setelah anda gagal mendapatkan sahabat seperti diriku ini, apakah kau ingin coba-coba lagi membunuhku?"

"Dapatkah aku membunuh seseorang, cukup ku tahu sendiri dan tak perlu pakai coba-coba," kata Kwe Pian-sian. "Hanya saja... Anda sendiri kan belum coba-coba, mengapa kau menolak tawaranku?"

Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Perlu diketahui, hanya karena hubungan erat Anda dengan Pek-hoa-bun, maka sekarang ku pergi dengan hormat, soal bersahabat... orang macam Anda ini, betapapun aku tidak berani menaksir."

"Soalnya karena kau anggap aku ini orang yang berhati keji dan bertangan ganas, begitu?"

"Memangnya Anda tidak mengaku?"

Kwe Pian-sian tersenyum, katanya pula: "Racun meski dapat membunuh orang, kalau digunakan dengan tepat, terkadang juga dapat menolong, betul tidak? Ada semboyan yang menyatakan "menyerang racun dengan racun", tanpa kujelaskan tentu kau pun tahu akan khasiatnya."

Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Menyerang racun dengan racun..."

Mencorong sinar mata Kwe Pian-sian, ucapnya pula dengan suara mantap: "Orang seperti anda ini, apabila dapat bekerja sama denganku, kuberani menjamin, tidak sampai tiga tahun kita pasti dapat menjagoi bu-lim dan merajai dunia."

Pwe-giok tetap belum lagi berpaling, ucapnya dengan tak acuh: "Tidaklah anda terlalu membesar-besarkan ambisimu?!"

"Memangnya terhitung ambisi macam apa ini?" seru Kwe Pian-sian. "Seorang lelaki sejati, hidup di jaman begini, kan seharusnya berbuat sesuatu yang mengguncangkan bumi dan mengejutkan langit. Kalau Ji Hong-ho itu boleh menjadi bengcu dunia persilatan, kenapa kita tidak boleh? Orang she Ji itu, hm, tampangnya saja kelihatan halus dan baik budi, padahal kusangsikan kejujurannya, tindak-tanduknya kelihatan main sembunyi-sembunyi, jelas dia seorang munafik, asalkan kita dapat membongkar kedoknya..."

Belum habis ucapannya, serentak Ji Pwe-giok membalik tubuh, mukanya yang semula agak pucat tampak bersemu merah penuh semangat, ia memburu ke depan Kwe Pian-sian dan berseru: "Baik, cukup satu kata saja persetujuan kita. Selanjutnya kita bersatu-padu untuk menghadapi manusia yang berhati binatang itu! Supaya mereka pun kenal bagaimana pribadi Ji Pwe-giok ini!"

Seorang yang biasanya tenang dan lembut, kini mendadak bersemangat dan sangat emosi, hal ini rada-rada di luar dugaan Kwe Pian-sian, tapi setelah sinar matanya gemerdep, segera ia menjulurkan tangannya dan berkata dengan tertawa: "Baik, satu kata ini sebagai persetujuan dan tidak boleh menyesal!"

Pwe-giok menengadah dan tergelak, katanya: "Apakah kau lihat aku ini mirip orang yang suka ingkar janji?"

Mendadak di atas ruangan terdengar seorang tertawa dan berseru: "Haha, hanya kalian berdua saja ingin malang melintang di dunia ini? Kukira masih selisih sekian jauhnya!"

Orang ini ternyata Gin-hoa-nio adanya.

Tadi Pwe-giok tidak menutuknya dengan tenaga berat, maka sekarang Hiat-to yang tertutuk itu sudah terbuka dengan sendirinya, maka segera ia tahu siapa orang yang bicara ini.

Sudah tentu yang terkejut ialah Kwe Pian-sian, namun orang ini pun cukup tabah dan tenang, bahkan mengangkat kepala saja tidak, ia malah menanggapi dengan tertawa seram: "Hm, selisih apa menurut pendapatmu?!"

"Selisih diriku!" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.

Dia sudah melemaskan otot tulangnya di atas belandar, lalu membersihkan debu kotoran yang menempel bajunya, dikeluarkannya sapu tangan untuk mengusap muka, kemudian baru melompat turun dengan enteng.

Pribadi Gin-hoa-nio dapat digambarkan sebagai berikut: Kalah kau suruh dia membuka baju dan menari telanjang di depan lima ratus pasang mata lelaki, maka dia pasti akan melakukannya dengan muka berseri-seri tanpa malu sedikit pun. Tapi jika menghendaki dia muncul di depan umum dalam keadaan urat nadinya belum lancar, mukanya belum bersih dan bajunya kotor, maka mati pun dia tidak mau, sebab hal ini baginya adalah jauh lebih memalukan daripada perbuatan apa pun.

Kwe Pian-sian hanya memandangnya sekejap, seketika mencorong sinar matanya.

"Hihihi, bagaimana, lumayan bukan aku ini?" ucap Gin-hoa-nio dengan kerlingan yang bisa bikin lelaki jatuh kelengar.

"Ya, lumayan bahkan lebih dari lumayan," jawab Kwe Pian-sian dengan rada gelagapan.

Gin hoa nio menghela napas, ucapnya pula dengan menunduk:" Sayang diatas sana tidak ada cermin, kalau ada, tentu aku akan jauh lebih enak dipandang."

"Begini saja sudah cukup," ujar Kwe Pian-sian dengan tertawa.

Mendadak Ciong Cing memburu maju dan membentak dengan mata melotot: "Kau ini siapa? Mengapa kau mencuri dengar rahasia orang di sini? Apakah kau tidak ingin hidup lagi?"

"Eh, adik cilik," jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa nyaring," jangan kau menakuti diriku, nyaliku biasanya sangat kecil."

"Jika begitu, lekas enyah kau!" bentaknya dengan gusar.

Gin-hoa-nio tertawa ngikik, ucapnya:" Adik cilik yang baik, tidak perlu kau usir diriku, ku tahu kau ini gentong cuka (maksudnya pencemburu), tapi jangan kau salah sangka, perempuan macamku ini, kalau ingin lelaki, cukup jariku bergerak saja dan lelakipun akan datang sendiri, masa perlu kurebut lakimu?"

Sampai pucat muka Ciong Cing saking dongkolnya, tapi tak tahu cara bagaimana melayani orang.

Pwe-giok lantas menyela: "Jika kau ingin merecoki anak perempuan, hendaklah kau cari sasaran yang lain."

Terkial-kial Gin-hoa-nio tertawa, katanya:" Ku tahu Ji-kongcu pasti akan membela keadilan lagi, tapi ......ai, mohon janganlah engkau marah, aku tidak takut terhadap siapa-siapa, hanya takut padamu!"

Dia memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu berkata pula dengan tertawa kenes: "Aku dan dia boleh dikatakan senasib, sama-sama pernah keok di bawah tangan Ji-kongcu. Sekarang kalau Ji-kongcu menyuruh kami berduduk, tidak nanti kami berani berdiri."

Berulang-ulang dia menyebut "senasib" dan "kami" seolah-olah dia dan Kwe Pian-sian sudah menjadi sepasang merpati yang sehidup dan semati tak terpisahkan.

Pwe-giok tahu Gin-hoa-nio mulai lagi main gila, hanya dengan beberapa patah-kata saja Kwe Pian-san sudah digaet ke pihaknya.

"Sesungguhnya apa kehendakmu, boleh cepat kau katakan saja!" ucapnya dengan menghela napas.

Gin-hoa-nio mengerling genit, jawabnya: "Bukankah tadi sudah kukatakan?"

"Tapi aku tidak paham apa maksudmu?" kata Pwe-giok.

"Kan sudah kukatakan, bila kalian ingin merajai dunia, kukira masih selisih sekian jauhnya, tapi kalau diriku ditambahkan...." dia tertawa manis, lalu menyambung: "Dengan tenaga gabungan kita bertiga barulah benar-benar tiada tandingannya lagi di dunia ini."

"Hahahaha!" Kwe Pian-sian terbahak-bahak." Kiranya kaupun ingin bersekutu dengan kami."

"Betul, ingin ku jadi sahabatmu yang ke empat," jawab Gin-hoa-nio dengan main mata.

Kwe Pian-sian memandangnya dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, ucapnya kemudian dengan tersenyum:" Perempuan cantik semacam kau, untuk menjadi selir raja saja melampaui syarat, tapi belum cukup kalau ingin menjadi sahabatku."

Sambil menggerakkan pinggulnya Gin-hoa-nio bertanya dengan tersenyum genit:" Masa aku kalah dibandingkan para kekasihmu itu?"

"Kekasih dan sahabat tidaklah sama," ujar Kwe Pian-sian. "Kekasihku memang jumlahnya sukar dihitung, tapi sahabatku hanya tiga. Malahan yang dua sudah lama mati."

Gin hoa-nio menggigit bibir, katanya kemudian:" Jika demikian, cara bagaimanakah baru dapat ku jadi sahabatmu?"

"Coba katakan dulu syarat apa saja yang kau miliki," kata Kwe Pian-sian.

Dengan kerlingan mautnya, Gin-hoa-nio menjawab dengan tertawa:" Sekalipun aku bukan perempuan tercantik di dunia ini, tapi ku tahu cara bagaimana membikin senang lelaki. Jika kau tidak percaya, selanjutnya lambat laun kau pasti akan tahu."

"Ya, kupercaya selekasnya aku pasti akan tahu," kata Kwe Pian-sian dengan memicingkan mata.

"Tapi ini saja belum cukup."

"Akupun terhitung wanita yang paling berpengaruh di dunia ini, cukup dengan sepatah kataku saja segera dapat kukerahkan beberapa ribu orang di lima propinsi sekitar sini."

Apa yang ditambahkan Gin-hoa-nio ini memang bukan bualan, sebab kekuasaan Thian-can-kau di wilayah propinsi-propinsi yang dimaksud memang sudah tersebar sampai setiap pelosok.

Tapi Kwe Pian-sian tetap menanggapi dengan tertawa hambar:" Kebaikan satu-satunya bila jumlah orang banyak hanya lebih banyak nasi yang harus disediakan."

Gin hoa nio mengerling, katanya pula: "Dan aku pun wanita yang paling kaya di dunia ini, kekayaan ku mungkin setan pun dapat ku beli. Jika kau tidak percaya, sebentar lagi dapat kubuktikan."

Terbeliaklah mata Kwe Pian sian, ucapnya dengan tertawa: "Wah, kalau begitu, rasanya sudah mendekati."

"Tapi ini pun belum cukup," tiba-tiba Pwe giok menimbrung.

Gin hoa nio memelototi anak muda itu sekejap, lalu berkata pula dengan perlahan: "Kekejian hatiku, keganasan caraku, kuyakin tidak di bawah siapa pun juga. Jika kau ingin "menyerang racun dengan racun", maka tiada yang lebih cocok lagi daripada mencari diriku, apalagi ...." dengan tersenyum ia meneruskan: "Aku pun seorang perempuan, ada sementara urusan akan jauh lebih leluasa dilakukan oleh perempuan seperti diriku ini daripada lelaki."

Pwe giok berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa: "Baik, kukira sudah cukup sekarang."

"Dan kau?" tanya Gin hoa nio sambil menatap Kwe Pian sian.

"Kau adalah sahabatku yang ke empat," jawab orang she Kwe itu dengan tertawa.

Gin hoa-nio berkeplok tertawa, katanya: "Bagus, sekarang kalau ada orang yang berani merecoki kita, maka celakalah dia!"

ooo 000 ooo

Pada setengah hari sebelumnya, mimpi pun Pwe giok tidak menyangka dirinya dapat bersekutu dengan seorang lelaki seerti Kwe Pian sian dan seorang perempuan seperti Gin hoa nio. Tapi sekarang jalan pikirannya sudah berubah sama sekali.

Pertemuan Hong ti tempo hari boleh dikatakan sudah menjaring seluruh pahlawan dan ksatria golongan Pek to (golongan baik), setiap orang yang mengaku sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan, kini sudah tunduk dan menurut kepada "Ji Hong ho", seorang diri cara bagaimana Ji Pwe giok mampu melawannya? Dan siapa pula yang mau percaya kepada apa yang dikatakan anak muda ini?

Karena itulah, terpaksa Pwe giok mencari jalan yang lain, satu-satunya jalan yang dapat ditempuhnya, yaitu: "Menyerang raun dengan racun".

Kini ia sudah tahu jelas wajah asli orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pendekar dan ksatria itu. Misalnya Tong Bu siang, itu ketua keluarga Tong yang termasyhur, berapa lebih banyak kebaikannya dibandingkan Gin hoa nio?

Maka kawan yang dicarinya sekarang adalah orang-orang yang biasanya dipandang jahat seperti ular atau kelabang, hanya dengan cara demikian ia dapat menyingkap wajah asli orang-orang yang mengaku sebagai ksatria dan pendekar itu.

Falsafah yang dianut Pwe giok sekarang adalah berdasarkan hati nuraninya sendiri, asalkan dirinya merasa benar, maka cukuplah, perduli pendapat orang lain?

ooo 000 ooo

Di sini adalah sebuah tanah pekuburan yang sepi dan dingin.

Sudah jauh malam, bulan guram bintang suram. Alang-alang tinggi mengelilingi gundukan kuburan yang tak terawat, barangkali tiada tempat lain di dunia yang lebih hening dan rawan dari pada tempat ini.

Yang tertanam di sini rata-rata adalah kaum miskin yang hidup sengsara dan direndahkan, waktu hidup mereka nelangsa, sesudah mati mereka pun kesepian dan kapiran.

Ciong Cing memegangi tangan Kwe Pian sian erat-erat, tapi matanya memelototi Gin hoa nio, katanya dengan mendongkol: "Untuk apa kau bawa kami ke sini? Apa maksudmu?

Gin hoa nio tertawa, jawabnya: "Apakah kau takut, adik yang baik? Sesungguhnya tempat ini tidak menakutkan, bahkan boleh dikatakan sangat menarik."

Terbelalak lebar mata Ciong Cing, teriaknya: "Menarik? Kau bilang tempat begini ini menarik?"

"Pada malam bulan purnama, arwah setan kuburan ini akan bangun dari kuburan masing-masing dan menari di bawah sinar bulan yang terang. Coba lihat, bisa jadi sekarang juga mereka sudah muncul," dengan tertawa Gin hoa nio berkata.

Kebetulan angin meniup dan api setan (posfor) beterbangan, pepohonan sama bergemerisik sehingga mirip bisikan setan.

Ciong Cing merinding dan menggigil, tapi ia berlagak tabah dan mendengus: "Huh, jika benar mereka muncul dan menari di sini, aku akan ikut menari bersama mereka."

Gin hoa nio tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Bagus, melihat anak perempuan cantik seperti kau, tentu saja mereka akan berebut menari dengan kau, bahkan pasti tidak mau melepaskan kau lagi."

Bergidik Ciong Cing, tanpa terasa ia menubruk ke rangkulan Kwe Pian-sian. Maka tertawalah Gin-hoa-nio hingga terpingkal-pingkal.

Dengan tersenyum Kwe Pian-sian lantas berkata: "Boleh juga kau, hanya kau yang dapat menyembunyikan harta pusaka di tempat begini."

Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya: "Apa yang kulakukan ternyata tak dapat mengelabui kau. Isi hatiku juga cuma kau saja yang tahu, apakah kita berdua memang berasal dari sejenis?"

Pwe-giok menghela napas, katanya dengan gegetun: "Moga-moga orang sejenis kalian ini tidak terlalu banyak di dunia ini."

"Orang sejenis kami ini pasti tidak banyak, cukup kami berdua saja," jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa, lalu ia melirik Kwe Pian-sian dan menambahkan: "Betul tidak?"

Baru saja Kwe Pian-sian tertawa dan belum bicara, serentak Ciong Cing melonjak dan menjengek: "Hm, seumpama kau ingin memikat lelaki, kan tidak perlu di tempat begini?"

"Wah, lihatlah, gentong cuka kita pecah lagi," seru Gin-hoa-nio dengan tertawa.

Pwe-giok berkerut kening, katanya: "Apakah benar kau sembunyikan harta bendamu itu di dalam kuburan?"

"Betul," jawab Gin-hoa-nio. "Kutemukan dua orang gelandangan, kuberi minum arak mereka, ketika mereka sudah lebih dari setengah mabuk, kubawa mereka ke sini untuk menggali sebuah kuburan baru, orang mati di dalam peti kubongkar, lalu kuganti dengan harta pusakaku dan peti mati kututup kembali."

Dia tertawa terkikik-kikik, lalu menyambung pula: "Coba, bagus tidak akalku ini? Di sini adalah kuburan setan rudin, maling penggali kuburan juga takkan menaksirnya. Bila kutanam harta karunku di sini, kecuali setan, siapa yang tahu?"

Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Dan kedua orang yang kau suruh menggali itu?"

"Kutahu caraku menyelesaikan mereka tentu tak dapat mengelabui kau," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Setelah mereka membantuku, dengan sendirinya harus kubalas jerih payah mereka, maka kusediakan satu poci arak yang paling enak, kuiringi mereka menghabiskan arak sepoci penuh itu..." dia menghela napas, lalu menyambung lagi dengan tersenyum: "Cuma sayang, dasar orang melarat, diberi arak enak juga tak sanggup menikmatinya, belum habis arak diminum mereka sudah mabuk dan tak pernah bangun lagi."

Perbuatan rendah dan keji ini, andaikan orang lain berani melakukannya, tentu juga tidak berani membicarakannya kepada orang lain. Tapi cara Gin-hoa-nio bicara bukan saja bangga seolah-olah harus diberi piala, bahkan ia berkisah seperti perbuatannya ini harus dicatat dalam sejarah.

Kwe Pian-sian memandang Pwe-giok sekejap lalu berkata: "Jika kedua orang itu mau menggali kuburan bagimu, dengan sendirinya mereka pun bukan manusia baik-baik. Orang semacam mereka itu biarpun sehari mati sepuluh atau seratus juga tidak perlu disayangkan. Betul tidak, Ji-heng?"

Sebenarnya Pwe-giok hendak bicara sesuatu, tapi sekarang dia hanya menghela napas saja.

Begitulah mereka berempat terus berputar kian kemari mengelilingi tanah pekuburan itu, sampai sekian lamanya, mendadak Gin-hoa-nio berhenti dan berkata: "Ini dia, di sini. Dihitung dari sebelah timur, inilah kuburan ke-27. Pohon kecil di atas kuburan ini malah aku sendirilah yang menandurnya.

"Tidak perlu kau jelaskan lagi, kupercaya tidak nanti kau lupakan pekerjaanmu ini," kata Pwe-giok.

"Kuburan ini sudah tidak ada orang matinya melainkan cuma terdiri dari gundukan tanah belaka," kata Gin-hoa-nio pula. "Ku tahu Ji-kongcu kita pasti tidak sudi menggali kuburan, kalau mencangkul tanah tentunya tidak menjadi soal bukan?"

Padahal sebenarnya dia tidak perlu lagi memancing-mancing Ji Pwe-giok, keadaan anak muda ini sekarang sudah jauh lebih terbuka daripada dahulu, segala apa dirasakannya sebagai kejadian biasa saja, mana dia mempersoalkan gali kuburan segala.

Setelah gundukan tanah dibongkar, tertampaknya sebuah peti mati dari kualitas rendah.

"Ini dia, memang peti mati inilah," kata Gin-hoa-nio. "Di atas peti malah sudah kuberi tanda. Isi peti mati ini sebenarnya seorang perempuan muda, konon mati kaku saking gemasnya karena suaminya punya istri muda." Mendadak ia berpaling dan tertawa terhadap Ciong Cing, katanya: "Coba bandingkan, bukankah rasa cemburunya jauh lebih gede daripadamu?"

Muka Ciong Cing tampak pucat pasi, ia menggigit bibir dan tidak menjawab.

Gin-hoa-nio terkikik-kikik, katanya pula: "Konon seorang kalau sudah mati, biarpun mayatnya sudah digotong pergi, tapi kalau malam tiba, arwah setannya tetap akan pulang dan tidur di peti matinya. Karena kalian adalah perempuan sejenis, bila kubuka peti mati ini, dia pasti takkan mencari orang lain, orang pertama yang akan dicarinya pastilah kau. Maka lebih baik lekas kau menyingkir sejauh-jauhnya."

Meski sedapatnya Ciong Cing bikin tabah hatinya, tapi tanpa terasa langkahnya malah menyurut mundur. Ketika angin malam meniup, ia merasa punggungnya dingin, rupanya keringat dingin telah membasahi bajunya.

"Kriuut", tutup peti mati telah dibuka. Gin-hoa-nio sendiri yang bermaksud menakuti orang mendadak menjerit kaget malah.

Suaranya yang parau kedengarannya seperti lengking setan di malam sunyi.

Kwe Pian-sian dan Ji Pwe-giok juga saling pandang belaka, mereka seolah-olah juga melenggong kaget.

Di dalam peti mati ternyata tiada harta karun segala, yang ada hanya sesosok mayat yang mengerikan. Wajahnya yang abu-abu dan setengah menyeringai itu seakan-akan hendak berkata kepada Gin-hoa-nio: "Bukan saja arwah setanku sudah pulang ke sini, bahkan mayatku juga pulang lagi!"

Angin meniup pula dan alang-alang gemerisik, api setan bertaburan di udara.

Saking kejutnya Gin-hoa-nio berteriak: "Jelas-jelas mayatnya telah ku bongkar keluar dan jelas-jelas ku taruh harta pusakaku di dalam peti, mengapa...mengapa sekarang..." ia merasa kedua kakinya lemas, belum habis ucapannya ia lantas jatuh terduduk.

Di bawah cahaya bintang yang remang-remang, tangan orang mati itu tampaknya memegang secarik kertas. Kwe Pian-sian mendapatkan satu ranting kayu dan mencungkit kertas itu, ternyata di situ tertulis: "Waktu hidupku keluargaku berantakan akibat seorang perempuan hina, sesudah mati sekarang kau pun akan merampas lagi rumahku ini?"

Kedua baris huruf itu tertulis dengan tak teratur, kertas itupun terasa seram, Kwe Pian-sian merasa jari sendiripun rada gemetar dan kertas itu pun terjatuh. Betapapun tabahnya, tidak urung merinding juga dia.

Hanya Ji Pwe-giok saja, peristiwa aneh dan sukar dibayangkan ini sudah banyak dialaminya, maka ia tidak kaget juga tidak takut, dengan hambar ia tanya Gin-hoa-nio: "Waktu kau tanam harta karunmu itu, apakah benar tidak dilihat orang lain?"

Gin-hoa-nio sudah berbangkit, tapi tubuh masih gemetar, jawabnya dengan terputus-putus: "Ti...tidak ada!"

"Anehlah kalau begitu," kata Pwe-giok sambil berkerut kening.

"Jika demikian, kecuali kedua orang itu hidup kembali, kalau tidak masa..."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di kejauhan berkumandang suara orang tertawa terkekeh-kekeh sambil berseru:

"Wah, lezat, nikmat, arak enak, arak bagus, tambah satu poci lagi!"

Di tengah suara tertawa aneh itu, sebuah lampu berkerudung warna merah seperti api setan melayang-layang tiba dalam kegelapan. Sesudah dekat baru kelihatan di balik lampu masih ada dua sosok bayangan orang.

Gin-hoa-nio ketakutan dan berteriak: "Itu...itu dia...kedua orang inilah!"

Kwe Pian-sian mencengkeram tangannya dan bertanya dengan suara tertahan: "Racunmu manjur atau tidak?"

"Kenapa tidak?" jawab Gin-hoa-nio dengan suara parau. "Racun Thian-can, tiada obatnya di dunia!"

Tiba-tiba orang yang membawa lampu merah itu terkekeh-kekeh pula dan berkata: "Hehehe, kau kira setelah kami mati kau racuni lantas segala urusan akan beres?!"

Seorang lagi menanggapi dengan suara serak: "Sudah mati kami hidup kembali dan sengaja hendak menagih nyawa padamu!"

Di bawah cahaya lampu yang merah itu, wajah kedua orang samar-samar kelihatan berlepotan darah, mata, telinga, hidung, mulut, semuanya penuh darah yang bertetes-tetes.

Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Orang mati mana bisa hidup kembali? Biarlah kalian mati sekali lagi!" Berbareng itu berpuluh bintik sinar perak terus menyambar ke depan bagai hujan.

Kedua orang itu menjerit satu kali terus roboh terjungkal, lampu merah itu lantas menyala, di tengah gemerdep cahaya api tubuh kedua orang itu tampak berkelojot, lalu tidak bergerak lagi.

"Haha, kiranya setan juga tidak perlu ditakuti, hanya secomot senjata rahasia saja tidak tahan!" seru Kwe Pian-sian sambil tertawa.

"Tapi...tapi mereka jelas-jelas sudah pernah mati... masa seorang bisa mati dua kali?" seru Gin-hoa-nio dengan gemetar.

Mencorong sinar mata Pwe-giok, tanyanya dengan suara tertahan: "Apakah betul racun Thian-can tidak dapat diobati, sampai perguruanmu sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya?"

Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, cepat ia melompat ke depan kedua sosok mayat itu, di bawah cahaya api yang belum padam itu ia memeriksa sejenak, tiba-tiba dia bergelak tertawa pula.

"Apa yang kau tertawakan? Masa cairan yang mengalir di muka mereka itu bukan darah?" tanya Kwe Pian sian.

Gin hoa nio tidak menjawabnya, tapi terus tertawa dan berseru: "Ayah, jika Anda sudah datang, mengapa tidak keluar saja kemari?"

Dalam kegelapan sunyi senyap, mana ada jawaban orang?

Segera Gin hoa nio berkata pula: "Kiranya ayah selalu mengikuti jejakku, harta karun yang kutanam di sini telah engkau gali. Kuracun mati kedua orang ini, engkau pun menghidupkan mereka. Engkau tahu aku pasti akan kembali lagi ke sini, maka engkau lantas menggunakan mereka untuk menakuti diriku?"

Dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu menyambung pula: "Sekarang anak benar-benar hampir mati ketakutan, sekali pun ayah hendak menghukum anak, tapi rasanya anak kan sudah cukup dihukum dan mestinya engkau tidak keberatan untuk keluar dan bertemu dengan anak?"

Di tempat gelap di kejauhan sana akhirnya bergema suara seorang: "Pusaka perguruan kita ternyata akan kau caplok sendiri, dosamu ini sebenarnya pantas dihukum mati, mayat hidup tadi hanya sekedar hukuman kecil saja, bila tidak mengingat kau adalah anakku sendiri, tentu kuhukum kau menurut peraturan perguruan."

Suara itu mengambang terbawa angin, kedengarannya sudah berpuluh tombak jauhnya.

Gin hoa nio menghela napas lega, gumamnya: "Keji amat, satu biji mutiara saja tidak disisakan bagiku."

Kwe Pian sian termenung agak lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Sang ayah ternyata tega menyamar sebagai setan untuk menakuti anak perempuan sendiri, kejadian ini sungguh jarang ada di dunia."

"Apakah kau kira dia benar-benar cuma hendak menakuti aku saja?" tanya Gin hoa nio.

"Masa bukan begitu?" kata Kwe Pian Sian.

"Tadinya dia mengira aku pasti akan datang sendirian, bila aku ketakutan dan jatuh pingsan maka tamatlah riwayatku. Dengan demikian aku akan mati secara konyol, jadi setan pun tidak tahu siapa yang membunuh diriku. Beginilah biasanya cara Thian can kau kami membunuh orang."

"Tapi jangan lupa, betapapun dia kan ayahmu?" ujar Pwe giok sambil berkerut dahi.

"Ayah? Memangnya kenapa kalau ayah?" tukas Gin hoa nio dengan hambar. "Thian can kau hanya kenal peraturan perguruan dan tidak kenal kasih sayang sanak keluarga. Kali ini aku tidak dibunuhnya hanya karena dia merasa tidak sanggup merecoki kalian berdua."

Tiba-tiba ia tertawa terkial-kial lalu menyambung pula: "Coba kalian pikir, bilamana dia seorang yang berperasaan, pantaskah menjadi Thian can kaucu?"

Kwe Pian sian menghela napas panjang, katanya: "Sungguh Thian can kaucu yang tidak bernama kosong! Kekejian hatinya dan keganasan tindakannya sungguh aku pun rada-rada kagum padanya."

"Dan ada ayah demikian barulah ada anak seperti aku ini," tukas Gin hoa nio. "Meski dia ingin membunuhku, tapi aku tidak menyalahkan dia, malahan aku merasa bangga mempunyai ayah seperti dia ini."

"Hm, sekarang kau sepeser saja tidak punya apa yang kau banggakan?" jengek Kwe Pian sian.

Gin hoa nio memandangnya termangu-mangu sejenak, tiba-tiba dia tertawa terkikik-kikik pula, katanya: "Hihihi, kau memang tidak malu sebagai sejenis denganku. Orang kaya memandang hina orang miskin, ini kan lumrah. Aku sendiri pun suka menghina orang rudin. Tapi kalau orang seperti diriku ini sepeser saja tidak punya, bukankah setiap orang di dunia ini akan mati melarat seluruhnya?"

"Memangnya kau...."

Belum lanjut ucapan Kwe Pian sian dengan tertawa Gin hoa nio memotong: "Walaupun aku tidak tahu diam-diam dibuntuti dia, tapi sebelumnya akupun sudah berjaga-jaga akan kemungkinan ini. Sebagian harta pusakaku sudah kusembunyikan di tempat lain."

"Oo, di mana kau sembunyikan?" Kwe Pian Sian jadi tertarik.

"Sudah tentu di tempat yang selamanya takkan kalian temukan," ujar Gin hoa nio dengan tertawa penuh rahasia.

ooo 000 ooo

Bahwa ada orang yang menyimpan harta karun di suatu tanah pekuburan yang sunyi, di dalam peti mati seorang perempuan miskin dari rakyat biasa ini saja tidak pernah dibayangkan orang. Tapi sekarang Gin hoa nio bilang sebagian harta karunnya tersimpan di suatu tempat yang tak mungkin ditemukan orang lain. Lalu tempat ini bukankah lebih-lebih sukar untuk dibayangkan?"

Siapa tahu Gin hoa nio bukannya membawa mereka ke suatu tempat yang terlebih sepi dan lebih seram daripada kuburan, tapi berbalik membawa mereka ke suatu tempat yang ramai, ke suatu kota kecil yang tidak jauh dari tanah pekuburan itu.

Meski suasana kota sudah sunyi, namun kelihatan bangunan kota kecil ini cukup menarik.

Melihat orang-orang itu sama heran dan sangsi, Gin hoa nio lantas berkata dengan tertawa: "Tentunya semula kalian menyangka tempat yang akan kutunjukkan pasti suatu tempat terlebih terpencil dan lebih rahasia, siapa tahu aku malah membawa kalian masuk ke kota yang ramai ini, jadi kalian terheran-heran, begitu bukan?"

"Ya," jawab Pwe giok.

Gin hoa nio menunjuk deretan rumah di dalam kota dan berkata pula: "Kota kecil ini bernama Li toh tin, rumah yang agak tinggi di ujung sana itu adalah sebuah rumah penginapan yang bernama Li keh can. Kira-kira setengah bulan yang lalu pernah kutinggal beberapa hari di hotel itu dengan membawa harta karunku itu."

"Memangnya sebagian harta itu kau sembunyikan di Li keh can itu?" dengus Ciong Cing.

"Betul, tampaknya kau sudah mulai pintar," kata Gin hoa nio dengan tertawa. Lalu ia menyambung: "Lebih dulu kubungkus sebagian batu pertama dengan sepotong kain hitam dan kutaruh bungkusan ini di antara rusuk atap rumah, kemudian ku masukkan sisa harta yang lain ke dalam peti dan kusembunyikan di peti mati itu.

Ciong Cing mencibir, jengeknya: :Huh, kukira kau sembunyikan barangmu di tempat yang luar biasa, tak tahunya cuma kau taruh di atap rumah, anak kecil saja dapat menemukan tempat begini."

"Adik yang baik, meski kau tidak bodoh, bahkan tampaknya mulai pintar, tapi apa yang kau lihat sesungguhnya terlalu sedikit, banyak urusan yang tidak kau pahami," kata Gin hoa nio dengan tertawa. "Meski tempat yang kugunakan ini tampaknya sangat sederhana, tapi sebenarnya tempat yang paling aman, bila kau tidak percaya boleh kau tanya dia... Dia pasti jauh lebih paham daripadamu...." ia melirik ke arah Kwe Pian sian dan bertanya: "Betul tidak?"

"Betul," jawab Kwe Pian sian. "Tempat yang paling mudah diketemukan orang terkadang malah tidak diperhatikan dan takkan dicari ke situ, sebab siapa pun tidak percaya bahwa barang-barang yang begitu berharga akan kau sembunyikan di tempat begitu."

"Apalagi," tukas Gin hoa nio, "dengan tindakanku itu, sekalipun ada orang diam-diam menguntil diriku, ketika melihat kusembunyikan peti harta karun ke dalam peti mati, tentu dia takkan menyangka sebagian dari harta pusaka itu sudah kusembunyikan dulu di atas rumah."

Dia melirik sekejap ke arah Ciong Cing, lalu bertanya dengan tertawa: "Nah, adik cilik, sekarang tentunya kau paham bukan?"

"Hm, aku tidak mempunyai kebiasaan main sembunyi-sembunyi begitu, urusan begini hakekatnya tidak perlu kupahami," jengek Ciong Cing.

"Memang, cukup bagimu asalkan kau paham minum cuka saja," kata Gin hoa nio dengan tertawa genit.

Saking dongkolnya sampai jari Ciong Cing gemetar, tapi tidak sanggup bersuara lagi.

Gin hoa nio berucap pula: "Ku tahu di depan hotel itu ada sebuah rumah kecil berloteng, dari atas loteng dapat melihat jelas setiap gerak-gerik di sekitarnya. Boleh kita ke loteng itu dulu baru nanti memutuskan cara bagaimana kita harus bertindak."

"Tak tersangka caramu bekerja juga secermat ini," ujar Kwe Pian sian dengan tersenyum.

"Orang yang bekerja cermat tentu akan hidup lebih lama sedikit.... Bukankah kita bertiga sama-sama orang yang suka bekerja cermat?" kata Gin hoa nio dengan tertawa.

Di atas loteng kecil itu memang dapat memandang sekelilingnya, bahkan hampir seluruh kota kecil itu dapat terlihat dengan jelas, di atas loteng inilah Kim yan cu menyaksikan Gin hoa nio mengerjai "su ok siu" atau tempat binatang buas itu.

Sekarang Gin hoa nio juga mengajak mereka ke atas loteng ini untuk mengintip orang lain. Mereka mengitar ke belakang rumah, lalu meloncat ke atas loteng.

Baru saja mereka berjongkok dan mengintai ke sana, seketika mereka berempat sama melenggong.

Sudah jauh malam begini, rumah penginapan di depan itu ternyata masih terang benderang, jendela juga masih terbentang, entah sejak kapan di sekeliling rumah itu sudah ditambah beberapa bangku tinggi, di atas bangku tersulut lilin raksasa sebesar lengan sehingga rumah yang paling besar di Li toh tin ini terang benderang seperti di siang hari.

Sebuah meja besar tampak tertaruh di tengah ruangan, dua orang duduk berhadapan sedang main catur. Di samping mereka berdiri beberapa orang dengan berpangku tangan, asyik menonton pertandingan catur itu.

Main catur sampai jauh malam, hal ini jarang terlihat, bahkan yang menonton juga berminat mengikutinya sampai laut malam begini, sungguh kecanduan catur mereka ini jarang terdapat.

Yang paling aneh bukanlah permainan catur dan penontonnya melainkan kedua pemain catur, yakni yang mengejutkan Ji Pwe giok dan lain-lain, karena kedua pemain catur itu adalah Tong Bu siang dan Ji Hong ho.

Yang menonton di samping selain Lim Soh koan yang dikenal Pwe giok itu, yang lain-lain kebanyakan gagah perkasa, jelas semuanya jago silat pilihan.

Ciong Cing juga terkejut, sebab mendadak dilihatnya tokoh Kangouw sebanyak itu, ia menjadi kuatir kalau di antaranya ada yang kenal dia sehingga jejaknya akan ketahuan gurunya itu.

Sedangkan terkejutnya Kwe Pian sian adalah karena semula dia menyangka Tong Bu siang dan Ji Hong ho sedang berbuat sesuatu yang kotor yang tidak boleh diketahui orang lain. Tak tersangka kedua orang ini justeru menuju ke Li toh tin sini untuk main catur.

Ji Pwe giok juga terkejut, ia pun tidak menyangka kedua orang itu bisa main catur di sini, lebih-lebih tidak tahu "Tong Bu siang" yang sedang main catur ini Tong Bu siang tulen atau palsu.

Yang paling terkejut di antara mereka berempat ialah Gin hoa nio. Sampai lama ia melenggong, akhirnya ia menghela napas perlahan dan berkata: "Thian benar-benar tidak mau membantu, orang-orang ini tidak mau ke timur atau ke barat, tapi justeru main catur di sini. Dengan beradanya mereka di situ, untuk mengambil barang, terpaksa kita harus menunggu."

"Marilah pergi saja!" ajak Kwe Pian sian sambil berkerut kening.

"Pergi?" Gin hoa nio menegas.

Kwe Pian sian membisikinya: "Habis kita tidak tahu sampai kapan baru permainan catur mereka akan berakhir. Bahkan habis main catur mereka pun belum tentu akan segera pergi, kan percuma kalau kita hanya menunggu saja di sini."

"Tidak, kita tidak boleh pergi," tiba-tiba Pwe giok menyela. "Betapapun, baik tulen atau palsu "Tong Bu siang" ini, dia harus tetap membayanginya hingga jelas."

Segera Gin hoa nio menyatakan setuju. "Betul, betapa pun kita harus tetap berjaga di sini."

"Tapi fajar sudah hampir menyingsing, apakah kita dapat tinggal lama-lama di sini?" kata Kwe Pian sian.

Gin hoa nio tertawa, katanya: "Di atas sini tentu tidak dapat, tapi di dalam rumah kan boleh?"

Segera ia mengitar ke bagian belakang dan melongok ke bawah, ia coba mendorong daun jendela tingkat bawah, jendela ternyata tidak tertutup, dengan mudah ia membuka daun jendela dan melayang turun ke sana.

Meski Pwe giok tidak suka sembarangan terobosan di rumah orang, tapi dalam keadaan mendesak ia pikir memang tidak jalan lain, terpaksa ia pun ikut melayang masuk ke sana.

Di dalam rumah itu tiada lampu, jendela yang lain juga tertutup rapat, suasana dalam rumah menjadi gelap gulita, sampai jari sendiri pun tidak kelihatan. Gin hoa nio lantas mengeluarkan ketika dan membuat api.

Tadinya ia menyangka di dalam rumah pasti tidak ada orang, andaikan ada tentu juga sudah tidur seperti babi mampus. Siapa tahu, begitu api menyala, tiba-tiba diketahuinya ada dua pasang mata sedang memandangnya dengan diam-diam.

Kedua pasang mata itu terbelalak lebar, sama sekali tidak berkedip.

Keruan Gin hoa nio terkejut pula, hampir saja obornya jatuh.

Terlihat sekarang, di dalam rumah yang terpajang cukup indah dan resik ini ada sebuah tempat tidur yang sangat besar, di situ berbaring satu orang dengan rambut kusut, mukanya pucat dan kurus kering, hampir tidak menyerupai bentuk manusia lagi.

Saat ini belum musim dingin, tapi orang ini memakai beberapa lapis selimut tebal, sekujur badannya terbungkus rapat di dalam selimut, hanya kepalanya saja yang menongol di luar. Di sampingnya berduduk seorang anak perempuan yang tampaknya baru berusia 11 atau 12, anak ini kelihatan ketakutan sehingga tubuhnya meringkuk menjadi satu, hanya kedua matanya yang besar itu sedang memandang pendatang-pendatang yang tidak diundang ini.

Setelah mengetahui siapa-siapa yang menghuni kamar ini, Gin hoa nio tidak banyak pikir lagi, dengan tertawa manis ia menyapa: "Sudah jauh malam begini, apakah kalian belum tidur?"

Nona cilik itu mengiakan sambil manggut-manggut.

"Jika tidak tidur, mengapa tidak menyalakan lampu, seperti kucing saja bersembunyi dalam kegelapan," kata Gin hoa nio pula.

Kembali nona cilik itu hanya terbelalak dan menggeleng.

Orang yang tampaknya sakit sudah sangat parah itu tiba-tiba tersenyum rawan, ucapnya: "Di sini tidak ada lampu."

"Tidak ada lampu?" Gin hoa nio menegas dengan berkerut kening.

Si sakit menghela napas, ucapnya: "Jiwaku sudah tinggal menunggu ajal saja, apa gunanya cahaya lampu? Menanti datangnya ajal dalam kegelapan akan mengurangi rasa takut dan gelisah."

Dia bicara dengan suara lemah, ada hawa tidak ada tenaga, seolah-olah napasnya setiap saat bisa berhenti.

Gin hoa nio memandanginya sejenak, katanya kemudian: "Orang sebanyak ini mendadak menerobos masuk kamarmu, apakah kau tidak takut?"

"Orang yang sudah hampir mati, rasanya tidak ada sesuatu lagi di dunia ini yang perlu ditakuti," ujar si sakit dengan hambar.

"Betul," tukas Gin hoa nio dengan tertawa, "seorang yang sudah hampir mati memang juga ada faedahnya. Misalnya.... mestinya akan kubunuh kau, tapi sekarang aku menjadi tidak tega."

Tiba-tiba ia meraba kepala anak perempuan itu dan bertanya dengan suara halus: "Dan kau.... apakah kau pun tidak takut?"

Anak perempuan itu berpikir sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Sacek (paman ketiga) toh sudah hampir meninggal, maka aku pun tidak ingin hidup lagi."

"Makanya kau tidak takut?" Gin hoa nio menegas.

"Y, tidak takut," jawab anak perempuan itu dengan mata terbelalak lebar.

"Jika kau tidak takut, dengan sendirinya kau tidak akan berseru dan berteriak bukan?" tanya Gin hoa nio.

"Sacek suka ketenangan, selamanya aku tidak pernah bicara dengan suara keras," jawab anak itu.

"Ehm, bagus, jika demikian hidupmu akan bertahan lebih lama," ujar Gin hoa nio dengan tertawa. Ia tidak menghiraukan lagi kedua orang ini, dia mendorong jendela yang di depan itu, hanya sedikit saja daun jendela itu terbuka, lalu ia mengintai ke bawah. Ternyata setiap gerak-gerik di rumah seberang sana dapat terlihat dengan jelas.

Sementara itu obor yang dipegang Gin-hoa-nio sudah padam, keadaan gelap gulita pula, suasana juga sunyi senyap, hanya terkadang terdengar suara "kletak", suara jatuhnya biji catur di luar sana, suaranya nyaring menyentak pendengaran.

Si Sakit telah memejamkan matanya, tapi mata si nona cilik justeru gemerdep di dalam kegelapan. Diam-diam Pwe-giok mendekatinya dan bertanya dengan suara halus:

"Adik cilik, siapa namamu?"

"Ah, pertemuan secara kebetulan, untuk apa anda tahu namaku." jawab anak perempuan itu dengan sayu.

Anak perempuan sekecil ini dapat mengucapkan kata-kata seperti orang tua, Pwe-giok jadi melengak malah.

Siapa tahu anak dara itu bahkan menatap Pwe-giok sekian lama, tiba-tiba ia berkata pula: "Tapi lantaran kau sudah tanya, boleh juga kukatakan padamu. Namaku Cu Liu-ji, Liu artinya air mata, sebab sejak kecil aku memang anak yang suka mengucurkan air mata."

"Dan sekarang kau..."

"Sekarang tidak mengucurkan air mata lagi, mungkin sumber air mataku sudah kering."

Pwe-giok termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan gegetun:

"Apakah Sacekmu sudah lama sakit ?"

"Ya, sudah empat-lima tahun."

"Kau yang merawat dia selama ini ?"

"Ehmm," Cu Lui ji mengangguk.

"Masa tiada ditemani orang lain ?"

"Sacek tidak mempunyai sanak keluarga lain, hanya diriku." tutur Cu Lui-ji dengan pelahan.

Pwe giok menghela nafas panjang, terbayang olehnya empat-lima tahun yang lalu, tatkala mana anak perempuan ini hanya berumur tujuh atau delapan tahun. Itulah usia anak yang lagi nakal dan paling suka bermain, tapi nona cilik ini justru harus menemani seorang sakit yang sudah kempas-kempis dan telah hidup selama empat-lima tahun di loteng kecil yang sunyi dan rawan ini, malahan dimalam haripun tanpa lampu.

Setelah menghela nafas panjang, Pwe giok tidak tahu pula apa yang harus diucapkannya.

Suasana di dalam rumah sunyi senyap seperti kuburan, ditengah keheningan yang mencekam inilah fajar menyingsing dan pelahan-lahan tampak remang-remang menembus kertas jendela, dikejauhan mulai ramai terdengar ayam berkokok.

Ciong Cing sudah tertidur dengan mendekap di atas tubuh Kwe Pian-sian. Sorot mata Kwe Pian sian masih terus menatap lekat-lekat kepada orang sakit yang hampir mati itu dan entah apa pula yang sedang dipikirnya.

Tiba-tiba Gin Hoa nio menguap ngantuk, ucapnya dengan menghela nafas pelahan :

"Setengah malam kedua orang itu main catur, biji catur yang bergeser hanya tiga kali, tampaknya pertandingan mereka ini biarpun sampai lima tahun depan juga belum berakhir...."

Tiba-tiba pula ia mendekati si anak perempuan dan berkata dengan tersenyum :

"Ku tahu kau ini anak perempuan yang pintar, maukah kau turun ke bawah sana, buatkan nasi yang agak lembek serta beberapa macam sayur untuk sarapan para paman dan bibi ini ?"

Cu Lui ji sama sekali tidak bergeser, jawabnya dengan tak acuh:

"Tidak, aku tidak mau pergi, tidak boleh kutinggalkan sacek."

"Pergilah sayang, anak kecil mana boleh membantah kehendak orang tua ?" ujar Gin hoa-nio dengan tertawa.

Cu Lui ji sama sekali tidak memandangnya, jawabnya pula:

"Tidak, aku tidak mau !"

Tertawa Gin hoa-nio tambah lembut, ucapnya dengan suara halus:

"Ku tahu sama sekali kau tidak takut padaku, makanya tidak menurut kepada perkataanku, begitu bukan ?"

Di mulut ia bicara lembut, tapi tangannya telah menampar satu kali di muka Cu Lui ji. Muka nona cilik yang putih pucat itu seketika merah bengkak, namun dia tetap tidak bergerak, bahkan matapun tidak berkedip, seperti tidak mempunyai daya rasa apapun, hanya tetap terbelalak memandang Gin Hoa-nio.

Gin Hoa nio berkerut kening, tanyanya dengan tersenyum:

"Apa yang kau lihat, kau anggap tamparanku kurang keras, begitu ?"

Segera ia hendak memukul pula, tapi tangannya keburu dipegang Pwe-giok.

"Ai. ku tahu kau akan ikut campur lagi," kata Gin hoa nio dengan gegetun.

Pwe-giok berkata dengan dingin:

"Jika kau masih ingin berada bersamaku, selanjutnya hendaknya....."

Belum lanjut ucapannya, mendadak Cu Lui ji mendekap mukanya dan berseru dengan suara gemetar:

"O, sakit...sakit sekali kau pukul diriku !"

Gin Hoa nio jadi melengak, tanyanya:

"Kupukul kau tadi dan baru sekarang kau rasakan sakit ?"

"Oo, sakit...sakit sekali...mati aku!" teriak Cu Lui-ji pula.

Melenggong Gin hoa-nio memandangi anak dara yang aneh itu, seketika ia tidak sanggup bicara pula.

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada manusia yang berdaya rasa selambat ini, orang telah memukulnya sejak tadi, sekian lama kemudian baru dia merasakan sakit. Terlongong Gin Hoa nio memandangi nona cilik itu sehingga urusan makan nasi jadi terlupakan.

Pada saat itulah, si sakit yang seakan-akan sudah tidur itu tiba-tiba menghela nafas dan berkata :

"Jika kau takut sakit, kenapa tidak kau turuti perkataan orang, pergilah ke bawah dan menanak nasi."

Mendadak Cu Lui ji mendelik, katanya sambil melototi Gin Hoa-nio:

"Sacek yang suruh aku maka kuturuti, jika orang lain, biarpun aku mati dipukul juga takkan kukerjakan."

Dengan pelahan ia turun dari tempat tidur dan alon-alon ia turun ke bawah loteng.

Melihat perawakan si nona yang kurus dan lemah dengan wajah yang pucat, diam-diam Pwe giok menghela nafas menyesal.

Baru sekarang Gin Hoa-nio tertawa cerah, katanya:

"Tak tersangka watak anak ini sedemikian keras, tampaknya serupa aku waktu kecil..." mendadak ia berhenti bicara, biji matanya tampak berputar, mungkin teringat sesuatu olehnya, segera ia menyambung pula dengan tertawa :

"Tapi kalau anak ini serupa diriku waktu kecil, setelah kita makan nasinya, maka jangan harap lagi akan dapat pergi dari sini dengan hidup. Rasanya aku harus turun ke bawah untuk mengawasi dia."

"Anak sekecil itu, masa kau takut diracuni olehnya ?" ucap Pwe-giok dengan dahi berkernyit.

"Ketika aku lebih kecil daripada dia, orang yang mati kuracuni sudah lebih dari 80 orang," kata Gin hoa nio sambil menoleh dan tertawa genit.

"O, jadi dia tidak takut padamu, sekarang kau malah takut padanya ?" ujar Pwe-giok dengan tertawa hambar.

Gin hoa-nio melenggong, sungguh ia sendiripun tidak tahu mengapa bisa timbul semacam perasaan jeri yang sukar dilukiskan terhadap anak perempuan yang kurus kecil itu. Padahal menghadapi sorot mata Kwe Pian-sian yang begitu lihai saja tidak merasa takut sedikitpun, tapi ketika anak perempuan itu menatapnya, dalam hati terasa rada ngeri.

Sampai sekian lama ia melenggong, katanya kemudian dengan tersenyum:

"Betapapun kan tiada buruknya jika hati-hati, masa pesan orang tua ini kau lupakan ?"

Pwe-giok menghela nafas, katanya:

"Daripada kau yang turun ke bawah, lebih baik aku saja turun."

Di bawah loteng juga cuma terdiri dari satu ruangan, hampir setengah ruangan tertimbun kayu bakar dan sebagainya, hanya tersisa suatu sudut yang sempit, di situ ada gentong air, rak mangkuk dan tungku.

Cu Lui-ji tampak berjongkok disamping gentong dan sedang mencuci beras, sudah sekian kali ia membilas berasnya, satu biji gabah saja diambilnya dari beras cuciannya dan dikumpulkannya disamping.

Setelah beras masuk kuali, lalu gabah yang dikumpulkannya tadi dibungkusnya dengan secarik kertas, kemudian ia membersihkan lantai sebersih-bersihnya.

Pwe giok melihat ruangan seluas ini terawat dengan sangat resik, bahkan tungku yang setiap hari digunakan juga tiada bekas-bekas minyak setitikpun. Dapur ini ternyata jauh lebih bersih daripada ruangan tamu orang lain.

Tangan yang kurus dan putih kecil itu setiap hari harus melakukan pekerjaan sebanyak dan seberat ini tubuh yang kurus kecil ini masa mampu melaksanakan tugas sebanyak ini ?

Tanpa terasa Pwe-giok menghela nafas pula, katanya kemudian:

"Apakah setiap hari kau bersihkan ruangan ini sebersih ini ?"

"Aku sudah terbiasa hidup serba bersih," ucap Cu Lui-ji dengan tak acuh.

"Karena itulah bila kulihat sesuatu yang kotor, aku lantas mual. Sesungguhnya, kalau tidak terpaksa, memangnya siapa yang mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak bersih ?!"

Mendadak ia berpaling dan menatap Pwe-giok serta bertanya:

"Betul tidak ?"

Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya sambil menyengir:

"Betul, siapapun tidak nanti suka berada bersama orang yang tidak bersih."

Mencorong sinar mata anak dara itu, ucapnya pula dengan pelahan:

"Jika begitu… mengapa kau berada bersama orang yang tidak bersih?"

Seketika Pwe-giok jadi melenggong, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.

Sungguh aneh anak perempuan ini, terkadang dia kelihatan begitu lemah dan harus dikasihani, tapi ada kalanya dia berubah seperti orang dewasa yang sudah kenyang merasakan asam garamnya orang hidup.

Dalam pada itu Cu Lui ji telah menggeser kesana, dia berduduk di satu bangku kecil dan mulai mengipasi api tungku sambil berbicara:

"Meski aku sangat jarang keluar, tapi di atas loteng kecil ini banyak sekali yang dapat kulihat. Bilamana kulihat hal-hal yang menarik lantas kuceritakan kepada Sacek, kalau tidak entah betapa dia akan kesepian."

"Di... di atas loteng ini sering kau lihat hal-hal yang menarik ?" tanya Pwe-giok dengan keheranan.

"Ya, sering…!" jawab Cu Lui ji.

Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berpaling pula dan berkata:

"Satu hari, pernah kulihat seorang perempuan yang sangat cantik, dengan caranya yang sangat aneh dia telah membunuh sekian banyak orang. Coba apakah kau tahu siapa dia ?"

"Ya, ku tahu ialah orang yang memukul kau tadi," jawab Pwe-giok.

"Siapa yang memukul ku tadi ? Aku sudah lupa," kata Cu Lui ji dengan tersenyum hambar.

Tiba-tiba Pwe giok melihat muka si nona yang merah bengkak terpukul tadi kini sudah halus putih lagi, sama sekali tiada meninggalkan bekas setitikpun.

Didengarnya Cu Lui ji berkata pula:

"Bila orang memukulmu, kalau kau tidak mampu membalas, maka jalan paling baik adalah melupakan saja kejadian itu agar hatimu tidak sedih"

"Tapi.... tapi setelah kau dipukul orang, apakah betul harus selang sekian lama barulah kau rasakan sakit?" tanya Pwe-giok.

Cu Lui-ji mencibir dan tertawa, katanya: "Kalau sudah kena pukul kan mesti merasakan sakit, perihal cepat merasakan sakit atau terlambat merasakan sakit tidaklah menjadi soal. Sebab, makin cepat kau rasakan sakit, makin senang orang yang memukul kau itu. Jika selang sekian lama baru kau rasakan sakitnya, maka orang lainpun tidak dapat bergembira lagi." Ia merandek sebentar, lalu menyambung pula: "Kalau aku sudah dipukul, kenapa aku mesti membikin orang bergembira pula?"

Kembali Pwe-giok melenggong. Anak sekecil ini ternyata penuh dengan pikiran-pikiran yang serba aneh, macam-macam jalan pikirannya yang aneh, sungguh sukar untuk diraba orang lain.

Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda, menyusul lantas ramai dengan suara orang, jelas suara-suara itu berkumandang dari rumah di seberang.

ooOoo

Halaman Li-keh-ceng memang sudah berjubel-jubel dengan orang, bahkan makin datang makin banyak. Meski Pwe-giok tidak dapat melihat jelas-jelas siapa mereka, tapi dia dapat memastikan mereka pasti tokoh-tokoh Kangouw.

"Untuk apa orang-orang ini datang ke sini? Apa mau melihat setan?" demikian Gin-hoa-nio menggerundel.

"Jika Bulim-bengcu sekarang sedang main catur dengan ketua keluarga Tong dari Sujwan yang termasyhur, siapa orang Kangouw yang tidak ingin menontonnya?" kata Kwe Pian-sian dengan tenang. "Cukup tiga hari saja berita ini tersiar, maka halaman hotel Li itu pasti akan jebol dibanjiri pengunjung."

"Entah keparat siapa yang menyiarkan berita ini?" kata Gin-hoa-nio dengan gemas.

Sudah tentu tiada yang menjawab pertanyaannya, tapi Pwe-giok lantas paham persoalannya. Dengan sendirinya berita itu sengaja disiarkan oleh Ji Hong-ho sendiri.

Sang "Bulim-bengcu" sengaja menyiarkan berita hangat ini agar orang dunia persilatan menyaksikan dia lagi main catur dengan Tong Bu-siang. Maka anak murid keluarga Tong takkan curiga lagi akan hilangnya Tong Bu-siang secara mendadak.

Sedangkan orang lain menyaksikan Bu-lim-bengcu yang terhormat itu lagi main catur dengan "Tong Bu-siang" maka biarpun Tong Bu siang ini palsu, dengan sendirinya lantas berubah menjadi tulen.

Begitulah saat itu di halaman hotel sana sedang ramai orang memperbincangkan kejadian itu. Ada yang berkata. "Inikah Ji Hong ho yang baru saja diangkat menjadi Bu-lim bengcu? Nyata memang hebat, pantas tokoh semacam Ang lian pangcu juga menyerah padanya."

"Entah dapat tidak kita minta Bengcu keluar untuk berbicara sebentar!" kata seorang lagi.

Maka tampaklah Lim Soh koan muncul keluar, serunya dengan lantang: "Diharap para pengunjung suka tenang dan sabar, babak permainan catur ini tampaknya masih harus berlangsung tiga atau lima hari lagi, kukira lebih baik kalian mencari pondokan dulu, nanti kalau Bengcu sudah menyelesaikan permainan catur ini barulah beliau dapat leluasa berbicara dengan kalian, bila kalian ada kesulitan apa-apa boleh juga dikemukakan nanti agar Bengcu dapat membereskan urusan kalian."

Seketika bergemalah sorak sorai orang banyak. Nyata ketua "Bu-kek-pay" yang menjadi Bu-lim-bengcu ini sangat dihormati dan disegani orang Kangouw. Tapi hal ini membuat perasaan Pwe giok bertambah tertekan.

Terlihat Lim Soh koan masuk ke dalam rumah, di halaman hotel lantas ramai lagi orang berbicara. "Apakah dia ini Leng hoa kiam Lim Soh-koan yang tersohor di utara dan selatan Tiangkang? Konon dia mempunyai seorang puteri kesayangan dan terkenal sebagai wanita tercantik di dunia Kang ouw."

"Ya, tapi sayang sejak dahulu kala hingga kini orang cantik kebanyakan pendek umur dan bernasib buruk. Nona Lim ini mestinya sudah bertunangan dengan putera Bengcu kita, siapa tahu, belum lagi pernikahan berlangsung, lebih dulu Ji kongcu sudah tewas di Su jin ceng."

"Siapa yang membunuhnya, masa Bengcu tidak menuntut balas bagi kematian anaknya?"

"Khabarnya Ji kongcu ini rada-rada tidak beres otaknya sudah lama Bengcu putus asa terhadap putera satu-satunya itu. Sekalipun nona Lim jadi menikah dengan dia juga harus disayangkan."

Begitulah berisik orang ramai itu membicarakan hal ikhwal Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok. Seketika Pwe giok sendiri jadi terkesima. Butiran keringat tampak menghias dahinya.

Mendadak Gin hoa nio menutup daun jendela, katanya dengan menyesal: "Coba, kau dengar tidak, jelas mereka masih akan tinggal di sini dan entah berapa lama lagi kita harus menunggu."

"Kau tidak perlu tunggu lagi" mendadak Pwe giok berbangkit.

Gin ho nio berkejut: "Kau....kau akan....."

"Ada sementara urusan, semakin kau hindari semakin main sembunyi-sembunyi, orangpun semakin mencurigai kau. Akan lebih baik apa bila kita hadapi saja secara terang-terangan.....Lambat laun hal ini sudah mulai kupahami."

Ucapan Pwe giok ini entah ditujukan kepada orang lain atau bicara kepada dirinya sendiri.

Tapi Gin hoa nio lantas tertawa, katanya:" Apa yang kau maksudkan, sungguh aku tidak mengerti?"

Namun sebelum habis perkataan Gin hoa nio, Pwe giok terus turun ke bawah, ia membuka pintu dan keluar.

Cepat Gin hoa-nio menyingkap daun jendela lagi sedikit, selang sejenak kemudian, benarlah di lihatnya Pwe giok telah masuk ke halaman rumah sana, dia menyisihkan orang-orang yang berkerumun itu dan langsung masuk ke dalam.

"Dia mempunyai sahabat seperti diriku, dengan sendirinya nyalinya berubah besar," kata Kwe Pian sian dengan tersenyum.

Gin hoa nio menghela napas, ucapnya dengan perlahan: "Sebelum dia bersahabat dengan kau, dia pun bernyali besar, lahiriah orang ini kelihatan lemah lembut seperti kucing, padahal dia terlebih menakutkan dari pada harimau."

Ketika Pwe giok masuk ke halaman rumah sana, serentak berpuluh pasang mata memandangnya dengan terpesona. Maklum, jejaka setampan ini, biarpun lelaki juga ingin memandangnya beberapa kejap.

Namun pandangan Pwe giok tidak terarah kepada siapapun, dengan tersenyum ia menyisihkan kerumunan orang banyak dan langsung masuk ke ruangan dalam.

Serentak para penonton pertandingan catur sama menoleh dengan melengak, Lim Soh-koan berkerut kening dan menegur: "Siapakah Anda? Bengcu sedang....."

"Cahye Ji Pwe-giok!" jawab Pwe giok sebelum lanjut ucapan orang.

Mendengar nama "Ji Pwe giok" seketika wajah Lim soh-koan berubah pucat pasi. Di luar sayup-sayup juga terjadi kegemparan.

Semula "Ji Hong ho" dan Tong Bu siang sedang memusatkan perhatian pada papan catur, kini tanpa terasa merekapun berpaling dengan terkejut, Pwe giok hanya dipandangnya sekejap saja. Tapi hal inipun sudah cukup bagi Pwe giok untuk memastikan bahwa Ji Hong ho ini tidak mengenal wajah aslinya, "Tong Bu-siang" itu juga pasti tidak mengenalnya, berdasarkan ini dia yakin Tong Bu-siang ini pasti palsu.

Sinar mata "Ji Hong ho" tampak gemerdep, dengan tersenyum ia berucap: "Namamu Ji Pwe giok? Sungguh tidak nyana nama Anda sama dengan nama puteraku yang almarhum, sungguh sangat kebetulan."

Berhadapan dengan orang ini, sungguh hati Pwe giok seolah-olah tertusuk-tusuk dan berdarah. Namun lahirnya dia tetap tenang-tenang saja, dia malah tersenyum dan menjawab: "Aha, sungguh beruntung dan bahagia bahwa aku dapat bernama dengan putera Anda."

"Entah ada keperluan apakah kedatangan Anda ini?" Tanya Ji Hong ho dengan mengulum senyum.

"Aku ingin kembali ke sini untuk mengambil sesuatu barang," jawab Pwe giok.

"Oo, masa di sini terdapat barangmu?" ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.

"Ya. Sebab beberapa hari yang lalu pernah ku mondok di sini, tanpa sengaja sedikit barangku ketinggalan di sini," kata Pwe giok pula.

Tampaknya Ji Hong ho sangat tertarik oleh cerita Pwe giok itu, dengan tertawa ia berkata: "Di dalam hotel sudah tentu banyak tamu yang pergi datang, semoga barang Anda masih terdapat di sini."

Pwe giok memandangnya dengan tenang, sejenak kemudian barulah ia berkata: "Barangku yang ketinggalan ini terletak ditempat yang tidak menyolok, asalkan Bengcu mengizinkan, segera ku......"

"Asalkan barangnya masih ada, silahkan Anda mengambilnya" jawab Ji Hong ho dengan tertawa.

"Jika demikian, maafkan kalau ku berlaku sembrono," ujar Pwe giok.

Mendadak tubuhnya mengapung lurus ke atas, ia melayang ke atas belandar seluruh tubuh kaki maupun tangan, sama sekali tidak memperlihatkan bergerak, bahkan dengkul juga tidak nampak tertekuk sedikitpun, tapi tahu-tahu tubuhnya terapung ke atas.

Inilah "Kan-te-poat-jong" atau membedol bawang di tanah tandus, semacam Gingkang yang paling sukar dilatih.

Hendaklah maklum, di dunia persilatan terdapat macam-macam perguruan, cara berlatih Gingkang setiap perguruan itupun berbeda-beda dan mempunyai cara-cara khas sendiri. Tapi bila mencapai gaya semacam "Kan-te-poat-jong" ini, maka dapat dikatakan Gingkangnya sudah mencapai puncaknya yang paling sempurna.

Anak murid Bu tong pay misalnya, bila sudah mencapai tingkatan "Kan-te-poat-jong" ini, maka gerak dan gayanya akan sama seperti ini, begitu pula aliran lain, biarpun Siau-lim pay Go bi pay atau Tiam jong pai, kalau sudah menguasai Gin-kang hingga tarap Kan-te-poat jong, maka gayanya juga sama, tiada beda sedikitpun.

Sebabnya Pwe giok menggunakan gaya Gin-kang tertinggi ini, maksud tujuannya agar orang lain tidak dapat mengenali asal-usul ilmu silatnya. Malahan supaya orang lain menganggap dia sengaja hendak pamer Gingkangnya yang hebat.

Ji Hong ho lantas berkeplok dan tertawa, katanya: "Wah, Ginkang yang jempol!"

Kalau sang Bengcu sudah berkata demikian dengan sendirinya orang yang berkerumun di halaman hotel itu sama bersorak memuji. Hanya Gin hoa-nio saja yang berada di loteng kecil itu tidak memperhatikan gerakan apa yang dilakukan Pwe-giok. Sebab yang buru-buru ingin diketahuinya hanya harta karunnya yang disembunyikan itu apakah dapat ditemukan kembali atau tidak.

Waktu dilihatnya Pwe giok melompat turun dan tangannya benar-benar sudah memegang sebuah bungkusan kain hitam yang besar dan berat, maka bergiranglah Gin hoa nio, hampir saja ia bersorak gembira.

"Masih ada barangnya?" dengan tersenyum Kwe Pian sian bertanya

"Tentu saja ada" ucap Gin hoa nio dengan tertawa bangga. "Kan sudah kukatakan, barang simpananku tidak nanti dapat ditemukan orang lain."

Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Hebat sekali Ji Pwe giok, bukan saja tabah, bahkan jua punya otak. Dia berani mengambil bungkusanmu itu secara terang-terangan disaksikan orang sebanyak itu. Dalam keadaan demikian, andaikan Ji Hong ho mengincar barangmu juga tidak leluasa untuk turun tangan."

"Aha, sekarang dia sudah hampir keluar...Wah, celaka...." sudah tertawa girang mendadak Gin hoa nio mengeluh pula, air mukanya yang bergembira itupun seketika lenyap.

Sambil berkerut kening Kwe Pian sian bertanya: "Ada apa? Masa Ji Hong ho tidak mau melepaskan dia pergi?"

Mata Gin hoa nio tampak melotot, ucapnya dengan suara parau: "Sialan! Tampaknya rase tua itu (maksudnya Ji Hong-ho yang licin) tidak enak untuk main kekerasan, dia hanya menyatakan ingin bersahabat dengan Ji Pwe giok dan berkeras minta Ji Pwe giok tinggal saja di situ."

"Dan bagaimana sikap Ji Pwe giok?" tanya Kwe Pian sian.

"Tampaknya dia dapat menahan perasaannya. Dia malah tertawa.....Nah, sekarang dia sedang bicara, katanya sehabis Ji Hong ho selesai main catur tentu dia akan datang lagi untuk mohon petunjuk"

"Kau dengar apa yang dibicarakannya?" tanya Kwe Pian sian.

"Berisik sekali di halaman sana, mana bisa ku dengar ucapannya? Hanya dari gerak bibirnya dapat ku terka sebagian besar apa yang diucapkannya"

Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Wah, banyak juga kepandaianmu..."

Mendadak Gin hoa nio berseru tertahan: "Wah, celaka! Rase tua itu mendadak mengaduk biji caturnya, ia malah menyatakan kalau bisa berada bersama dan mengobrol dengan ksatria muda seperti Ji Pwe giok, biarpun tidak main catur juga tidak menjadi soal baginya."

"Wah, jika begitu, kalau Ji Pwe giok tidak ngotot dan main kekerasan, tampaknya tidak mudah baginya untuk keluar," kata Kwe Pian sian sambil berkerut kening.

Gin hoa nio tampak cemas juga, katanya: "Dalam keadaan demikian, mana bisa dia bersikap keras tampaknya dia juga rada gugup...."

Baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar seorang berseru lantang di halaman sana dengan tertawa: "Haha, permainan catur yang menarik ini sukar dicari bandingannya, kalau Bengcu tinggalkan setengah jalan bukankah para penggemar catur seperti kami ini akan sangat kecewa?"

"He, siapa orang itu?" seru Kwe Pian sian.

Wajah Gin hoa nio menampilkan rasa girang, katanya "Ah, orang ini ternyata dapat mengembalikan biji catur pada papannya seperti keadaan sebelum diaduk, bahkan satu biji saya tidak keliru... Wah, nampaknya dia memang hebat..."

Belum habis ucapannya, serentak Kwe Pian sian melompat mendekatnya dan ikut mengintai!.

Terlihat di seberang sana, di dalam ruangan sudah bertambah dengan seorang pengemis muda berbaju berwarna merah tua, kelihatan baru, tapi penuh tambalan. Kiranya dia inilah Ang lian pangcu yang termasyhur.

Terlihat Ji Hong ho sedang tertawa dan berkata: "Tak tersangka Ang lian pangcu juga penggemar catur, tampaknya terpaksa harus kulanjutkan permainan ini"

Kwe Pian sian hanya memandang sekejap saja kesana dan segera menutup rapat-rapat daun jendela, keringat dinginpun berketes-ketes.

Gin hoa nio memandangnya sekejap, katanya dengan tertawa genit:" He, kenapa kau sangat takut padanya?"

Kwe Pian sian mundur kembali ke tempat duduknya tadi, mana dia mampu bersuara lagi.

Gin hoa nio bergumam: "Sungguh aneh, apakah Ang lian hoa sengaja datang untuk membantu Ji Pwe giok? Jika benar kawan baik Ji Pwe giok, kenapa dia diam saja ketika melihat Ji Pwe giok dilukai oleh Lm Tay ih...."

Dalam pada itu terdengarlah suara terbukanya pintu di bawah, serentak Kwe Pian sian melonjak bangun. Ia menghela napas lega ketika dilihatnya yang naik ke atas adalah Ji Pwe giok. Cepat ia bertanya dengan suara parau:" Apakah Ang lian hoa melihat kau masuk ke sini?"

"Untuk apa dia memperhatikan diriku?" jawab Pwe giok dengan perlahan.

"Masa dia tidak kenal kau?" tanya Kwe Pian sian

"Tidak kenal" jawab Pwe giok sambil menghela napas menyesal.

Tentu saja ia sangat menyesal. Baru saja ia berhadapan dengan sahabat baiknya, tapi tidak berani menegur sapa, bahkan harus mengeluyur pergi secara diam-diam. Saat ini hatinya justru terasa sangat pedih.

Meski dia kembali dengan menyesal, tapi kepergiannya tadi bukannya sama sekali tidak membawa hasil. Betapapun dia dapat mengetahui bahwa "Tong Bu-siang" yang senang main catur itu adalah palsu. Maka diharapkannya semoga Tong Bu siang yang asli itu belum lagi terbunuh.

Sementara itu Gin hoa nio sudah lantas mengambil bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe giok itu dan berkata: "Tempat ini tidak boleh ditinggali lama-lama, setelah barang sudah ditemukan, hayo lekas kita berangkat"

"Sebelum Ang lian hoa pergi, betapapun kita juga tak dapat pergi" kata Kwe Pian sian sambil menarik muka.

Gin hoa nio tertawa genit, katanya: "Kau takut dipergoki dia, aku kan tidak perlu takut, kalau aku berkeras harus pergi, lalu bagaimana?"

"Kau takkan pergi" ucap Kwe Pian sian sekata demi sekata.

Gin hoa nio mengerling, tertawa tambah manis, katanya: "Betul, tentu saja aku takkan pergi. Kalau kau masih tinggal di sini, mana dapat ku tinggal pergi?"

Dia masih memegangi bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe giok tadi, ia memandang ke sana dan ke sini mirip orang udik yang kuatir kecopetan, sungguh kalau bisa ia ingin telan bulat-bulat bungkusan itu, dengan demikian barulah aman rasanya.

Sambil memandangi bungkusan yang dipegang Gin hoa nio itu, mendadak Kwe Pian sian mendengus: "Hmm, padahal boleh juga kalau kau ingin pergi, bahkan bungkusan itu boleh kau bawa sekalian!"

Gin hoa nio melengak." Betul?" katanya dengan curiga.

Dengan dingin Kwee Pian sian menjawab: "Kenapa tidak kau periksa dulu isi bungkusanmu itu?"

"Apa isi bungkusan ini?" tukas Gin hoa nio dengan tertawa. "Haha, tanpa melihatnya ku tahu apa isinya."

Tapi iapun merasakan ucapan Kwe Pian sian itu ada sesuatu maksud tertentu, meski begitu ucapannya dimulut, bungkusan yang dipegangnya itu lantas ditimang-timang dan diraba-raba, mendadak ia melonjak kaget dan berteriak:" Wah, celaka!."

Waktu bungkusan itu dibuka, mana ada batu permata atau harta pusaka apa segala, isinya hanya pecahan genteng melulu.

Begitu bungkusan itu terbuka, seketika Gin hoa nio mirip kena dibacok orang satu kali, hampir saja ia jatuh kelenger.

Ji Pwe giok dan Ciong Cing juga terkesiap.

Hanya Kwe Pian sian saja yang tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia malah mengejek: "Nah bagaimana? apa isinya, tidak perlu dibuka kan sudah kau ketahui?"

Dengan suara terputus-putus Gin hoa nio berkata: "Dan dari...darimana kau tahu..."

Kwe Pian sian tersenyum hambar, katanya: "Jika isi bungkusan ini adalah batu permata yang berharga tentu suara langkahnya waktu naik ke atas loteng ini berbobot lain....Memangnya kau kira mata dan telingaku sama tidak bergunanya seperti dirimu?"

Mendelik Gin hoa nio, ucapnya dengan menggigit bibir: "Tapi....tapi siapa pula yang mempermainkan diriku, siapa yang menukar barangku ini? Padahal waktu kusimpan barangku ini telah kulakukan dengan sangat teliti, bukan cuma jendela dan pintu saja kututup rapat, bahkan lampu juga kupadamkan, siapa yang dapat mengetahui rahasiaku?"

Dia mengitari ruangan kamar sambil bergumam pula: "Jangan-jangan Ji Hong-ho...ya, betul hanya rase tua ini yang paling mencurigakan, dia datang ke sini dan menempati kamar yang pernah kutinggali, bisa jadi segenap pelosok kamar itu telah diperiksanya seluruhnya."

"Jika benar harta pusaka itu telah ditemukan dia, mungkin selama hidup ini jangan kau harap akan kau dapatkan kembali." kata Pwe giok.

Kwe Pian sian juga diam saja, ia hanya memandangi si sakit dengan termangu, orang sakit itu sejak tadi tidak pernah bergerak sedikitpun.

Tanpa terasa pandangan Gin hoa nio ikut menjurus ke sana. Tiba-tiba melihat si sakit yang tampaknya kurus kering tinggal kulit membalut tulang itu. ditempat tidurnya yang tertutup selimut itu tampak menonjol tinggi ke atas, di dalam selimut seperti tersembunyi apa-apa.

Saat itu cahaya matahari menyorot miring masuk dan menyinari selimut itu, kelihatan di dalam selimut itu ada sesuatu yang bergerak-gerak.

Gemeredep sinar mata Gin hoa nio, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tak tersangka aku telah berubah menjadi orang buta melek. sampai apa yang terdapat di depan mata tidak kulihat."

Sembari menyeringai segera ia mendekati tempat tidur orang sakit itu.

"He, kau mau apa?" seru Pwe giok dengan dahi berkerut.

Gin hoa nio tertawa terkikik-kikik, katanya: "Di dalam selimut seperti ada permainan yang menarik, ingin kusingkapnya agar kita dapat melihatnya."

Sementara itu ia sudah berada di depan tempat tidur, segera tangannya terjulur.

Siapa tahu orang sakit itu mendadak membuka matanya dan berkata sambil mendelik: "Asal sedikit saja kau singkap selimut ini, mungkin kau akan segera mati tanpa terkubur."

Si sakit yang tampaknya sudah senin-kemis itu mendadak bisa mengucapkan kata-kata begitu, matanya yang semula tampaknya sayu dan guram itu kinipun mendadak memancarkan sinar yang tajam.

Entah mengapa, hati Gin hoa nio merasa ngeri, tangan yang teratur itu tidak jadi meraih selimut, sebaliknya ia malah menyurut mundur.

Perlahan si sakit pejamkan matanya pula, mukanya tersorot cahaya sang surya, tampaknya tidak banyak berbeda dengan mayat. Tidak mungkin sakitnya ini cuma paru-paru belaka.

Setelah tenangkan diri, dengan tertawa. Gin hoa nio berkata pula: "Apakah betul selimut ini tidak boleh disingkap?"

"Ya," jawab si sakit.

"Tapi pembawaanku tidak percaya kepada hal-hal yang mustahil, semakin tidak boleh dilihat, semakin ingin kulihatnya," kata Gin hoa nio

Si sakit menghela napas, katanya kemudian "Jika begitu, Lui ji, boleh kau perlihatkan kepadanya."

Waktu dia bicara begitu jelas." Cu Lui ji masih berada di bawah loteng, tapi baru selesai ucapannya, tahu-tahu Cu Lui ji sudah naik ke atas, katanya sambil melototi Gin hoa nio: "Benar-benar kau ingin melihatnya? Kau tidak akan menyesal?"

"Menyesal apa? Memangnya di dalam selimut ini ada makhluk aneh?" ujar Gin hoa nio dengan tertawa, walaupun begitu, di dalam hati sebenarnya sudah rada ngeri.....

Padahal kedua orang ini, yang satu anak kecil kurus pucat, yang lain sakit keras, jelas tidak mungkin dapat menyerang orang. Gin hoa nio sendiri tidak tahu sesungguhnya apa yang menakutkan dirinya?

Dilihatnya Cu Lui ji lantas turun ke bawah waktu naik lagi ia membawa sebuah mangkuk besar penuh berisi air jernih. Ia keluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam, dengan kuku jari dicukitnya setitik bubuk hitam yang disentilkan ke dalam air, air semangkuk penuh itu seketika berubah menjadi hitam seperti tinta.

Gin hoa nio memandangnya dengan kesima, iapun tidak dapat menerka permainan apa yang sedang dilakukan nona cilik itu.

Lalu Cu Lui ji menaruh mangkok besar itu di sudut kamar. ia pandang Gin hoa-nio dengan, katanya: "Tunggu sebentar lagi hal-hal yang menarik segera akan muncul."

Senyuman, nona itu seakan-akan mengandung sesuatu yang misterius, sampai Ji Pwe giok juga rada tegang. Mata Gin hoa nio juga terbelalak lebar.

Tertampaklah selimut yang menutupi badan si sakit itu mulai bergerak dengan keras, bergolak seperti ombak samudera. Loteng kecil ini meski terang benderang oleh sinar matahari, akan tetapi mendadak seperti berubah dingin menyeramkan.

Saking ketakutan Ciong Cing sudah berjongkok dan meringkuk menjadi satu, kaki dan tangan sudah dingin seluruhnya.

Gin hoa nio tak tahan, katanya:" Apapun yang ter.....terdapat didalam selimut, aku.....aku tidak ingin... tidak lagi ingin melihatnya..."

"Baru sekarang kau tidak ingin melihatnya sudah terlambat" kata Cu Lui ji.

Pada saat itulah dari dalam selimut mulai menongol sesuatu kiranya seekor kelabang.

Kelabang ini tidak besar, bahkan jauh lebih kecil daripada kelabang umumnya, tapi seluruh badannya merah terang mirip mainan buatan dari batu jade. Di belakang kelabang ini mengikat pula dua-tiga puluh ekor kelabang lain yang beraneka warnanya dan besar kecil tidak sama.
Satu persatu seperti berbaris merayap keluar secara teratur. Jelas setiap ekor kelabang ini beracun sangat jahat.

Gin hoa nio tertawa mengikik: "Hihi kukira barang apa yang bisa menakuti orang, kiranya cuma kawanan kelabang saja. Pada waktu berumur tiga tahun sudah biasa ku tangkap dan main-main dengan kelabang yang lebih besar."

Apa yang dikatakannya memang tidak bergurau. Orang Thian-can-kau masa takut pada kelabang? Cuma kawanan kelabang ini bisa merayap keluar dari dalam selimut orang ini betapapun juga satu kejadian yang aneh.

Meskipun Gin hoa nio masih tertawa tapi tertawanya sudah mulai berubah menjadi menyengir.

Di belakang barisan kelabang tadi ternyata mengikuti pula barisan tokek, lalu muncul lagi sejumlah ular berbisa, katak buduk, kalajengking dan macam-macam lagi serangga berbisa yang belum pernah dilihat Gin hoa nio, akan tetapi semuanya seperti mendapat perintah, satu persatu merayap keluar secara teratur.

Akhirnya Gin hoa nio tak bisa tertawa lagi.

Ciong Cing menjerit dan jatuh kelengar.

Sungguh sukar untuk dibayangkan, orang sakit yang sudah hampir mati itu bisa tidur bersama makhluk-makhluk berbisa sebanyak itu di satu tempat tidur dan di dalam satu selimut. Malahan kelihatannya dia dapat tidur dengan aman dan tenang.

Mau tak mau merinding juga Gin hoa nio, meski sejak kecil ia hidup di tengah-tengah gerombolan makhluk berbisa, tapi kalau dia disuruh tidur di sini seperti si sakit ini biarpun dibunuh juga dia tidak berani.

Sementara itu barisan makhluk-makhluk berbisa itu satu persatu mulai merambat turun ke bawah tempat tidur, menuju ke sudut ruangan tempat mangkuk berisi air tadi.

Cu Lui ji lantas memasang dua tangkai sumpit di kanan kiri tepi mangkuk, dengan sumpit sebagai jembatan, kawanan makhluk berbisa itu lantas merayap ke dalam mangkuk besar itu sesudah mandi dalam air, merayap turun melalui jembatan sumpit di sebelahnya. Makhluk berbisa yang tadinya tampak bercahaya dan gesit, sehabis mandi lantas kelihatan lesu dan lemas.

Begitulah beratus ekor binatang berbisa itu bergantian mandi di air mangkuk besar itu, lalu satu persatu menyusup kembali ke dalam selimut.

Sementara itu air mangkuk yang tadinya hitam seperti tinta lambat laun mulai berubah menjadi putih. Ketika beberapa ekor ular berbisa yang tak diketahui namanya habis mandi di air mangkuk, lalu air mangkuk mulai berbuih, malahan terus mengepulkan hawa panas, mirip air yang baru di masak dan mendidih.

Butiran keringat di muka Kwe Pian sian juga mulai berketes-ketes.

Air mangkuk dari hitam kini telah berubah menjadi putih, dari putih lantas jernih dan kembali seperti asalnya. Bedanya air semangkuk penuh itu sekarang seperti air mendidih yang habis di masak.

Sementara itu kawanan makhluk berbisa tadi seluruhnya sudah menyusup kembali ke dalam selimut. Di ruangan loteng kecil ini kembali sunyi senyap seperti tidak pernah terjadi apapun. Yang terdengar hanya suara pernapasan yang berat di sana sini, siapapun tidak ada yang bicara.

Cu Liu ji lantas mengangkat mangkuk besar tadi, dengan tertawa disodorkannya kepada Gin hoa nio, katanya: "Nasi belum selesai di masak, kalau nona lapar, silahkan minum dulu air mukjizat ini. Setelah ditambahi bumbu sebanyak ini, rasa air ini pasti jauh lebih segar daripada kuah ayam."

Kontan Gin hoa nio menyurut mundur sambil menggoyang tangan, katanya sambil menyengir: "O, jang...jangan sungkan, silahkan... nona minum sendiri saja."

Betapa dia memang berasal dari keluarga ahli racun, pengetahuannya banyak dan pengalamannya luas, Sekarang sudah dilihatnya bubuk hitam yang dicampurkan ke dalam air oleh Cu Lui-ji tadi sesungguhnya adalah semacam obat mujarab, dengan obat itulah kawanan makhluk berbisa tadi dipancing keluar agar menuangkan racunnya ke dalam mangkuk.

Kini racun beratus ekor binatang berbisa itu telah tertuang ke dalam air mangkuk, jangankan di minum, tersentuh saja mungkin bisa celaka, tubuh orang biasa kalau kena satu tetes air itu, bisa jadi seluruh badan akan membusuk.

Siapa tahu Cu Lui ji malah tersenyum dan berkata: "Kuah segar dan lezat ini, kalau para tamu tidak sudi minum, terpaksa harus kuminum sendiri saja." Sambil bicara ia terus angkat mangkuknya dan benar-benar diminum seluruhnya, habis itu mulutnya malah berkecap-kecap seperti orang habis merasakan makanan yang paling lezat.

Pwe-giok tidak memperlihatkan perasaan apa-apa menyaksikan perbuatan nona cilik itu, tapi air muka Kwe Pian sian dan Gin hoa nio lantas berubah seketika, sebab mereka tahu betapa hebat kadar racun di dalam air itu, sungguh mimpipun tak terbayangkan oleh mereka ada yang sanggup meminumnya setetes atau dua tetes, tapi sekarang nona cilik ini justeru minum semangkuk penuh, bahkan tidak terlihat terjadi sesuatu. Apakah mungkin isi perut nona ini gemblengan dari baja?

Dengan tenang-tenang Cu Lui ji berkata lagi: "Penyakit Sacek sudah sangat parah hingga merasuk tulang, berkat hawa dingin kawanan makhluk berbisa inilah jiwa sacek dapat dipertahankan hingga kini. Maka kalau kami kiranya bersikap kurang sopan, hendaklah para tamu sudi memberi maaf."

"Penyakit apakah yang menghinggapi Sacekmu?" tanya Gin hoa nio dengan mengiring tawa.

Lui ji menghela nafas, jawabnya dengan rawan; "Penyakit ini tidak diketahui namanya, tapi kalau kalian ingin tahu....."

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba di bawah ada orang mengetuk pintu, habis itu lantas terdengar suara seorang tua berseru: " Ji Pwe-giok, Ji-kongcu apakah berada di atas? Ang lian pangcu kami sengaja berkunjung kemari dan mohon bertemu!"

Itulah suara Bwe Su bong. Kejut dan girang Pwe giok ia tidak tahu untuk apakah Ang lian pangcu mencarinya.

Dalam pada itu air muka Kwe Pian sian menjadi pucat, katanya dengan parau: "Lekas kau turun ke sana dan men...mencegah mereka... aku pergi dulu..."

Pada saat itulah kembali pintu diketuk lagi lebih gencar, suara seorang perempuan muda sedang berteriak: "Buka pintu, Ji-kongcu! Kun hujin kami juga berkunjung padamu!"

Bahwa selain Ang lian hoa, Hay hong Hujin juga datang, keruan wajah Kwe Pian sian bertambah pucat. Cepat ia melompat ke jendela, perlahan ia membuka daun jendela dan mengintip keluar. Ternyata loteng kecil ini sudah penuh dikepung orang, atap rumah disekitar loteng ini dan setiap tempat yang dapat dibuat berdiri sudah penuh dengan orang.

Terdengar orang berteriak lagi ke bawah:" Kun-Hujin dan Ang lian pangcu berkunjung kemari kenapa Ji kongcu tidak lekas membuka pintu?"

Cepat Kwe Pian sian menarik Pwe giok, katanya: "Apakah mereka tahu aku berada di sini?"

"Cara bagaimana ku tahu," jawab Pwe giok.

"Untuk apa mereka mencari kau?" tanya Kwe Pian sian pula.

"Akupun tidak tahu," ujar Pwe giok sambil mengangkat bahu.

"Mereka telah mengepung rapat tempat ini, tampaknya mereka hendak memusuhi kita, menghadapi musuh bersama, jangan...jangan kau buka pintu," kata Kwe Pian sian.

"Pintu tidak ku buka, memangnya mereka tidak dapat mendobrak dan masuk dengan paksa?" ujar Pwe giok sambil menghela nafas.

Dalam pada itu suara perempuan muda tadi sedang berteriak pula: "Ji kongcu, kami sudah minta dibuka pintu dengan sopan, kalau pintu tetap tidak dibuka, terpaksa kami menerjang masuk!"

Biji mata Gin hoa nio berputar, tiba-tiba ia tertawa genit dan berseru: "Ji Kongcu lagi sibuk di kakus, bila sekarang kalian menerobos masuk, tentu akan kebagian bau sedap. Tunggu saja sebentar, bilamana dia habis kuras gudang, pintu tentu akan dibuka, masa kalian terburu-buru?"

Di bawah terdiam sejenak, lalu perempuan muda itupun tertawa ngikik dan berkata: "Baiklah akan kami tunggu sebentar, asalkan dia tidak kecemplung ke dalam jamban, masa pintu takkan dibuka."

Pwe giok berkerut kening memandang Kwe Pian sian, katanya: "Masa kaupun tidak berani bertemu dengan Hay hong Hujin? Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan dia?"

Kwe Pian sian hanya batuk-batuk saja dan tidak menjawab. Dalam pada itu Ciong cing sudah siuman, pelahan ia mengurut punggungnya dengan rasa cemas.

Pwe giok menghela napas, katanya pula dengan perlahan:" Apapun juga akhirnya mereka toh akan naik ke sini, rasanya pintu harus kubuka, sebaiknya kau cari akal saja."

Orang sakit yang sudah kempas-kempis itu mendadak membuka matanya dan berkata: "Aku ada akal! Coba dekatkan telingamu ke sini, akan ku bisiku kau," kata orang itu.

Dengan girang Kwe Pian sian mendekatinya, tapi baru dua tiga langkah mendadak ia berhenti teringat olehnya hal-hal yang misterius pada diri si sakit ini, tanpa terasa ia menyurut mundur lagi.

Rupanya Ciong Cing jauh lebih gelisah daripada Kwe Pian sian, tanpa pikir ia mendekati orang sakit itu dan berkata: "Apabila Cianpwe ada akal yang dapat menolong dia, silahkan beritahukan kepadaku, sungguh Tecu akan sangat berterima kasih."

Orang itu berkerut kening, tanyanya kemudian: "Siapa kau? Anak murid perguruan mana?"

Ciong Cing ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata juga: "Tecu Ciong Cing dari Hoasan."

"Anak murid Hoa-san, terhitung juga golongan murni...." orang itu bergumam, lalu menambahkan:" Baik, coba kemari, akan kuberitahu."

Butiran keringat memenuhi muka Ciong Cing, teringat olehnya makhluk-makhluk berbisa yang memenuhi kolong selimut itu, ia merinding dan kakipun terasa lemas. Tapi demi orang yang dicintainya, betapapun ia tabahkan hati dan mendekat kesana.

Tiba-tiba orang sakit itu bertanya pula: "Sudah berapa lama kau latih Kungfu?"

Meski tidak tahu untuk apa orang bertanya urusan ini, namun Ciong Cing menjawab juga: "Sudah sebelas tahun."

Wajah orang sakit yang kurus dan kuning itu menampilkan secercah senyuman, katanya: "Bagus, bagus....." mendadak sebelah tangannya terjulur, pergelangan tangan Ciong Cing terpegang. Tampaknya ia sudah kempas kempis dan setiap saat bisa menghembuskan napas penghabisan, tapi begitu bergerak ternyata cepatnya luar biasa.

Sampai-sampai orang macam Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok juga tidak jelas cara bagaimana orang sakit itu menjulurkan tangannya, Ciong Cing sendiri bahkan menjerit saja tidak sempat dan tahu-tahu sudah diseret lebih dekat sana.

"Apakah yang hendak Anda lakukan?" tanya Pwe giok dengan was-was.

Setelah orang sakit itu memegang pergelangan tangan Ciong Cing, lalu ia tidak melakukan gerakan lain lagi. Sebaliknya ia lantas memejamkan mata.

Meski merasakan tangan orang sangat dingin, Ciong Cing mulai tenang juga karena orang tidak bertindak lain lagi. Ia lantas bertanya: "Sesungguhnya Cianpwe mempunyai akal apa? Tecu siap mendengarkan."

Sambil tetap memejamkan mata orang itu berkata dengan perlahan: "Kalian tetap tunggu saja di sini dan tidak perlu buka pintu."

"Hanya....hanya begini saja masa terhitung akal?" seru Ciong Cing dengan mendongkol.

Dengan tak acuh orang sakit itu berkata: "Asalkan kalian tidak membuka pintu, di seluruh kolong langit ini tiada seorangpun berani naik ke atas loteng ini."

Meski merasa bualan orang agak terlalu besar, tapi mengingat tindak-tanduk orang ini sangat misterius, mau tak mau iapun percaya separoh-separoh, ia tidak merasakan air muka sendiri kini telah mulai pucat dan makin pucat. Sebaliknya air muka si sakit yang tadinya kuning mayat kini mulai bersemu hawa orang hidup.

Dalam pada itu suara teriakan di bawah loteng bergema pula, maka orang lainpun tidak memperhatikan perubahan air muka mereka berdua. Suara teriakan orang di bawah semakin ramai dan kasar, tapi benar juga, tiada seorangpun berani mendobrak pintu.

Terdengar Bwe Su-bong berteriak pula: "Ji kongcu, Bengcu dan Bu siang Lojin juga berkunjung padamu, masa kau tetap tidak mau turun?"

Semula Pwe giok bermaksud turun, tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu. Untuk apakah orang-orang itu terburu-buru ingin bertemu dengan dirinya?

Perempuan muda tadipun berteriak lagi: "Ji kongcu, jika kau tidak menghendaki kami naik ke atas, boleh kau turun dan bicara sepatah kata saja dengan kami.....Ji-kongcu, sebanyak ini orang yang ingin bertemu denganmu, mengapa engkau menolak maksud baik orang banyak?"

Orang-orang itu ternyata tidak bermaksud naik ke atas, ini menandakan sasaran mereka bukan terhadap Kwe Pian sian. Tapi mereka menghendaki Pwe giok turun ke bawah, apakah memang ada intrik tertentu?

Semakin didesak, semakin ragu Pwe giok. Saat itulah mendadak Ciong Cing menjerit, orang sakit itu telah melepaskan tangannya, kontan Ciong Cing roboh terkulai.

Cepat Kwe Pian sian memayangnya bangun, tapi tubuh Ciong Cin terasa lunak seperti kapas, tanganpun sukar terangkat, waktu Kwe Pian sian memeriksa napasnya, ternyata juga sangat lemah.

"He, kenapa kau?" teriak Kwe Pian sian kaget.

Air muka Ciong Cing tampak ketakutan setengah mati, serunya dengan suara lemah dan gemetar: "Ib...iblis ini bu...bukan manusia dia...." dengan kaku ia memandang ke tempat jauh dan berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama, dia seperti tidak waras lagi saking takutnya, ditanya juga tidak dapat menjawab lagi.

Kwe Pian sian memandangi si sakit air mukanya tampak mulai bersemu merah, nyata tenaga dalam latihan belasan tahun Ciong Cing tanpa terasa telah dihisap oleh orang itu.

Mendadak Kwe Pian sian berbangkit dengan sorot mata yang sangat ketakutan. Sebaliknya si sakit tampaknya sudah terpulas, Cu Lui ji sedang merapikan selimutnya.

Diam-diam Gin hoa nio menarik Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok ke samping sana, katanya dengan suara tertahan: "Sesungguhnya apa yang terjadi ini?"

Keringat nampak memenuhi dahi Kwe Pian sian, dengan suara parau ia mendesis: "Menghisap sari tenaga orang lain untuk menambah kekuatan sendiri, tak tersangka di dunia ini benar-benar ada Kungfu selihai ini. Kalau sekarang kita tidak menggunakan kesempatan ini untuk menumpas dia mungkin kitapun akan mati tak terkubur."

Gin hoa nio menghela nafas, katanya kemudian: "Jika kau berani turun tangan lebih dulu, pasti akan kubantu kau."

Kwe Pian sian jadi melengak dan tak dapat menjawab.

Sunyi seperti kuburan di loteng kecil ini, Pwe giok seperti ingin bertindak sesuatu, tapi pada saat ini juga di bawah telah berkumandang suara Ji Hong-ho: "Kalau dia tidak mau turun, tentu dia sudah ikut berkomplotan dengan mereka. Kini kita sudah berkumpul, bila tidak segera turun tangan mungkin akan terjadi perubahan....."

Tiba-tiba terdengar Hay hong Hujin menyeletuk: "Apakah Bengcu sudah menyelidikinya dengan jelas?"

"Bukti dan saksi sudah lengkap di sini. Ang lian pangcu juga melihat sendiri," kata Ji Hong ho.

Tiada terdengar suara Ang lian hoa, mungkin secara diam-diam ia membenarkan.

Selagi Pwe-giok menerka urusan apa sebenarnya yang dimaksudkan mereka, tiba-tiba terdengar suara deru angin yang keras, beberapa bola hitam sebesar semangka telah menerobos jendela dengan membawa api yang berkobar.

Hakekatnya Pwe giok dan lain-lain tidak tahu benda apakah ini seketika mereka menjadi bingung tidak tahu bagaimana harus menghadapi bola berapi itu, terpaksa mereka menyingkir saja menghindari.

Si orang sakit yang tampaknya tertidur itu mendadak menjulurkan kedua tangannya yang tadinya tertutup selimut, kesepuluh jarinya menyelentik susul menyusul. Terdengar suara "crat-crit" berulang-ulang seperti desing anak panah di udara, belasan bola hitam tadi kontan terjentik kembali keluar.

Kiranya selentikan jari si sakit itu membawa semacam tenaga yang tak berwujud, tapi keras dan tajam seperti senjata.

Apa lagi ia menyelentik susul menyusul sehingga tenaga jari yang tak kelihatan ini terpancar lebih kuat, sekalipun ilmu tenaga jari sakti "Sian-ci-sin-thong" yan terkenal di dunia persilatan juga tidak selihai ini. Keruan semua orang sama terkesiap.

Setelah bola-bola hitam tadi terjentik keluar, lalu terdengarlah suara "blang-blung" yang keras disertai lelatu api yang berhamburan. Suara ledakan menggelegar tiada hentinya. Suasana menjadi kacau, terdengar jeritan di sana sini serta suara orang yang berlari ketakutan. Loteng kecil itupun tergetar seakan-akan ambruk.

"Apakah ini senjata api buatan Pi-lik-tong (nama pabrik mesiu jaman kuno) yang terkenal di daerah Kanglam itu?" kata Gin hoa nio dengan terkejut.

"Betul," jawab Kwe Pian sian dengan gegetun. "Kalau saja bola api tadi meledak di sini, andaikan tubuh kita tidak hancur lebur, sedikitnya akan babak-belur dan mungkin pula cacat selama hidup."

"Makanya tentunya sekarang kalianpun tahu," sela Cu Lui-ji sambil menoleh tertawa. "Meski Sacek telah meminjam pakai kekuatan belasan tahun latihan nona ini, tapi Sacek juga telah menyelamatkan jiwa kalian berempat. Jual beli ini kan tidak merugikan kalian?"

Daun jendela sudah jebol diterjang oleh bola-bola hitam tadi, sembari bicara Cu Lui ji lantas merapatkan tabir jendela agaknya tidak suka kalau keadaan didalam ruangan ini terlihat orang luar.

Kedua tangan si sakit telah disembunyikan kembali ke dalam selimut, air mukanya mulai pucat lagi. Sungguh, kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak percaya orang yang sudah sekarat ini mempunyai kungfu selihai tadi.

Pwe-giok tidak tahan, ia coba bertanya: "sesungguhnya Ji Hong ho itu ada permusuhan apa dengan Anda?"

"Bermusuhan denganku? Hm, dia belum sesuai!" jengek orang sakit itu.

"Jika demikian, untuk apa dia bertindak sekeji ini terhadap Anda?" tanya Pwe giok pula.

"Darimana kau tahu yang dia tuju adalah diriku dan bukan kalian?" ujar orang itu.

"Tapi Ji Hong ho tidak bermain catur ditempat lain, justru datang ke kota kecil yang terpencil dan sepi ini, tadinya aku sangat heran baru sekarang ku tahu tujuan kedatangannya ialah Anda." kata Pwe-giok pula dengan gegetun.

Tapi orang sakit itu tidak menanggapi, ia memejamkan mata pula.

Pwe giok berkata lagi: "Ada lagi, Anda tidak tetirah ditempat lain, tapi justeru datang ke kota kecil ini, inipun kejadian yang maha aneh. Sungguh tidak habis ku terka sesungguhnya dimana terletak daya tarik kota kecil ini?"

Tapi orang sakit itu tetap tidak menggubrisnya, maka Pwe giok tidak dapat bicara lagi.

Selang sejenak, tiba-tiba Cu Lui-ji berkata: "Yang mereka tuju bukanlah Sacek melainkan diriku!"

"Dirimu?" Pwe giok menegas dengan melenggong. "Usiamu sekecil ini, untuk apa mereka mencari kau?"

"Apakah usiaku terhitung masih kecil?" ujar Lui-ji sambil tertawa.

"Biarpun orang she Ji itu manusia berhati binatang, tapi dalam kedudukannya selaku Bu-lim-bengcu, mana bisa dia mengerahkan tenaga sebanyak itu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti dirimu ini?" kata Pwe giok pula.

"Bu-lim-bengcu? Huh!" jengek Cu Lui-ji. "Memangnya berapa harganya satu kati Bu-lim-bengcu begitu? Tidak perlu Sacek, aku saja tidak memandang sebelah mata padanya."

Padahal Hong ti-tayhwe atau pertemuan besar Hong ti adalah suatu sidang paripurna dunia persilatan yang mengikat, Bengcu atau ketua perserikatan yang diangkat didalam sidang itu dihormati dan disegani setiap ksatria dan pendekar di dunia ini. Tapi anak perempuan kecil ini menyatakan tidak pandang sebelah mata terhadap sang Bengcu.

Tentu saja hal ini sangat luar biasa. Memangnya kedudukan anak perempuan ini jauh lebih terhormat dan lebih agung daripada Bu-Lim-bengcu?

Pwe giok jadi semakin heran.

Selagi ia hendak bertanya pula, mendadak Gin hoa-nio bersorak gembira, serunya: "Aha, orang-orang itu sudah pergi semua, bersih tanpa seorang-pun yang ketinggalan!"

Cepat Kwe Pian-sian menyingkap tabir jendela, memang betul, di luar sana tiada nampak bayangan seorangpun.

"Kenapa mesti heran," dengan hambar Cu Lui-ji berkata pula, "setelah orang-orang itu mengetahui kungfu Sacek sudah pulih, memangnya mereka berani tinggal lebih lama lagi di sini untuk menunggu kematian?"

Bahwa orang-orang seperti Ji Hong-ho, Kun Hay-hong dan lain-lain seakan-akan juga sangat jeri terhadap orang yang sakit ini, maka dapat diperkirakan orang sakit ini pasti luar biasa asal-usulnya. Sesungguhnya siapakah dia?

Tentu juga Pwe-giok sangat heran, terkejut dan juga tertarik, namun saat itu juga Kwe Pian-sian sudah memondong Ciong Cing dan berkata:" Hayolah kita berangkat sekarang!"

"Betul, tidak berangkat sekarang mau tunggu kapan lagi?" tukas Cu Lui ji dengan dingin.

Pwe-giok lantas berkata: "Kalau mereka mendadak kembali lagi, apakah kalian...."

"Urusan Sacek tidak perlu kau ikut campur" ucap Lui ji dengan angkuh. "Mengenai diriku.....apakah aku akan hidup atau mati lebih-lebih tidak perlu diresahkan orang lain."

Dengan suara gemetar mendadak Ciong Cing berteriak: "Jika demikian, mengapa.....mengapa kalian men.....mencuri tenagaku?"

"Kan kalian yang dating sendiri ke sini. Kami tidak mencari kau, kenapa kau salahkan orang lain?!", jawab Cu Lui-ji dengan ketus.

Ciong cing melengak, mendadak ia menangis tergerung-gerung.

Tiba-tiba si sakit buka suara dengan perlahan: "Mengingat kedatangan mereka ini tidaklah sia-sia barang itu boleh kau berikan saja kepada mereka."

"Tapi barang-barang ini memang milikku, kenapa harus kuberikan kepada mereka?" ujar Cu Lui-ji.

"Hanya sedikit batu permata begitu apa artinya? Kenapa kau berubah menjadi sebodoh ini?" ujar si sakit sambil berkerut kening.

Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Tanpa bicara lagi ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari almari dinding sana terus dilemparkan ke depan Gin-hoa-nio.

Ketika ujung bungkusan itu terlepas sedikit. Tertampaklah cahaya gemerlapan, nyata itulah harta benda Gin-hoa-nio yang hilang itu.

Meski didalam hati penuh tanda tanya, tapi Gin-hoa-nio tidak berani lagi banyak bicara, setelah tertegun sejenak, mendadak ia angkat bungkusan itu terus lari ke bawah loteng secepat terbang.

oooooooOOOOoooooooo

Sesungguhnya siapakah gerangan si sakit itu? Mengapa Ji Hong-ho dan lain-lain sedemikian takut kepadanya?

Siapa pula sebenarnya Cu Lui-ji dan darimana asal-usulnya? Mengapa sebanyak itu tokoh-tokoh Bu-Lim berkumpul di kota kecil ini hanya untuk menghadapi seorang anak kecil begitu? Bahkan diantara tokoh-tokoh Bu-Lim itu termasuk pula Ang-lian-hoa? Masa Ang-liang-hoa seorang yang suka merecoki seorang anak kecil?

Sesungguhnya penyakit apa yang menghinggapi orang sakit itu? Mengapa dia merawat sakitnya di kota kecil terpencil ini? Jelas tenaganya belum pulih seluruhnya. Sedangkan Ji Hong-ho dan lain-lain pasti tidak pergi begitu saja, seharusnya dia menahan ji Pwe-giok dan lain-lain di situ, mengapa dia melepaskan mereka pergi?

Begitulah didalam benak Pwe-giok penuh tanda tanya yang sukar dipecahkan.

Gin hoa nio juga bergumam terus menerus." Aneh, si tebese itu mengapa mengembalikan harta benda ini kepadaku? Mengapa begini saja dia membebaskan kita pergi? Masa dia benar-benar tidak mengharapkan sesuatu dari kita?"

Sembari menggerundel ia terus berlari ke depan. Kota kecil itu bermandi cahaya sang surya, namun setiap pintu rumah penduduk tampak tertutup rapat, satu bayangan manusia saja tidak kelihatan.

Baru sekian langkah Kwe Pian-sian berlari mendadak ia menghadang di depan Gin-hoa-nio.

Cepat Gin-hoa-nio menyembunyikan bungkusan ke belakang punggungnya, tanyanya dengan was-was: "Kau mau apa?"

"Ai, dasar perempuan," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun. "Sampai perempuan seperti ini juga berpikiran sempit, dalam keadaan demikian masa dapat ku incar harta bendamu ini?"

Gin hoa nio mengerling genit, katanya dengan tersenyum: "Jika kau tahu perempuan berjiwa sempit mengapa kau sengaja merintangi jalan orang? Apakah kau tidak ingin cepat-cepat pergi dan hendak menunggu kedatangan Ang-lian-hoa?"

"Sudah tentu aku ingin lekas-lekas pergi, tapi aku tidak ingin pergi dengan digotong orang," kata Kwe Pian-sian dengan dingin.

Gin hoa nio memandang Ciong Cing sekejap, ucapnya dengan tertawa: "Kamipun ingin pergi dipondong olehmu, tapi sayang, tanganmu tidak ada peluang lagi."

"Kalau kau terus berlari ke depan, masa tidak bakalan ada orang akan menggotong kau?" kata Kwe Pian-sian.

"Maksudmu.....maksudmu kita tidak pergi sekarang?"

"Saat ini, kau dan aku jangan harap akan dapat meninggalkan kota kecil ini selangkahpun!"

"Hihi, memangnya kau sangka aku ini kegirangan karena mendapatkan kembali harta-bendaku sehingga pikiranku sudah keblinger?" kata Gin hoa nio dengan tertawa." Sudah tentu ku tahu Ji Hong-ho dan rombongannya takkan pergi jauh, besar kemungkinan mereka sudah mengepung rapat kota kecil ini, maka bayangan setanpun tidak kelihatan di sini"

"Tapi menurut perhitunganmu, karena kau tidak bermusuhan apapun dengan mereka, tentu kau akan diberi jalan, mak kau sendiri lantas mau kabur begitu saja tanpa memperdulikan orang lain, begitu bukan?"

"Ai. Aku ini kan perempuan yang berjiwa sempit dan tidak bisa apa-apa, memangnya hendak kau suruh aku bertindak bagaimana? Kalian kan lelaki gagah perkasa, masa memerlukan perlindunganku malah?"

"Hahahaha! Teman baik, sahabat karib.....!!" Kwe Pian-sian bergelak tertawa. "Sungguh tidak nyana kau dapat menutupi perbuatannya yang cuma mementingkan diri sendiri ini sebagai tindakan yang menarik, untung kau bukan lelaki, kalau tidak mustahil kalau tidak sejak tadi-tadi kau disembelih orang."

Gin hoa nio tertawa terkekeh, katanya: "Tapi ku tahu kau pasti takkan membunuhku, seumpama kau bermaksud menahanku di sini, Ji kongcu kita yang luhur budi dan bijaksana ini pasti juga tidak tinggal diam dan tentu akan membelaku."

"Jika kau ingin pergi, tidak nanti ku rintangi kau." kata Kwe Pian sian.

"Oya?! Tak tersangka kau juga seorang yang luhur budi dan bijaksana....."

"Tapi dengan membawa satu bungkus mestika begini, apakah orang lain mau membebaskan kau pergi begitu saja?" jengek Kwe Pian sian.

Seketika Gin hoa nio merasa seperti kena depak orang satu kali, sekujur badan terasa lemas lunglai.

Dengan tenang Kwe Pian sian menyambung pula: "Makanya, jika kau ingin pergi, mau tak mau bungkusan ini harus kau tinggalkan di sini dan ini berarti..... seolah-olah menghendaki jiwamu."

Mendadak Gin hoa nio melonjak dan berjingkrak, katanya: "Ah, tahulah aku sekarang, sebabnya si tebese itu mengembalikan harta pusakaku ini, maksudnya justru hendak mengganduli diriku supaya aku tidak pergi. Ai, orang sudah hampir mampus begitu masih juga banyak akal-bulusnya."

Mendadak Pwe giok ikut bicara: "Jika kau sangka dia sengaja hendak membikin susah padamu, mengapa tidak kau kembalikan harta benda ini kepadanya?"

Gin hoa nio mendepakkan kakinya ke tanah dan berkata: "Sudah tentu iapun memperhitungkan aku tidak rela...." Tapi mendadak ia tertawa dan mengerling genit sambungnya: "Apalagi, seumpama tidak ada bungkusan batu permata ini, masa ku-sampai hati meninggalkan kalian di sini? Apa yang ku katakan barusan kan cuma bersenda-gurau saja."

"Hehe, lucu ya guraumu?" jengek Kwe Pian sian. Gin hoa nio memandangnya dengan menengadah, tubuhnya seakan-akan hendak jatuh ke pangkuan orang, dengan suara halus ia berkata: "Eh, coba katakan, apakah sekarang juga kita harus mundur kembali ke sana?"

"Adalah maha beruntung kalau kita dapat keluar dengan selamat, mana boleh balik lagi ke sana" ujar Kwe Pian sian. Nyatanya, ia lebih suka menghadapi Ang lian hoa dari pada bermusuhan dengan si sakit yang misterius itu.

"Maju tidak mau, mundur juga emoh, lalu bagaimana baiknya?" Tanya Gin hoa nio. "Apakah kita perlu mencari lagi sebuah rumah lain untuk sembunyi? Tapi kalau kepergok si tebese lagi, kan bisa celaka."

"Tempat yang kucari sekali ini pasti takkan terdapat orang lain..."

"Dimana?" Tanya Gin hoa nio sebelum ucapan Kwe Pian sian dilanjutkan.

"Di sana, hotel itu!"

"Haha, kau memang pintar" puji Gin hoa nio dengan tertawa genit. "Orang-orang tadi baru saja meninggalkan hotel itu, besar kemungkinan mereka takkan kembali kesana. Hotel itu memang tempat yang paling aman di kota ini, cuma....." dia pandang Pwe giok sekejap, sambil menggigit bibir ia menyambung pula: "Ji-kongcu kita yang terhormat ini apakah kau mau bersembunyi bersama kita?"

"Dia pasti ikut," kata Kwe Pian sian.

"Oo… pasti?" Gin hoa nio merasa sangsi.

"Ya," kata Kwe Pian sian. "setelah sekian lama Ji hong-ho dan rombongannya tidak melihat suatu gerak-gerik di sini, tentu mereka akan balik lagi ke sini. Dan kalau kita sembunyi di hotel itu, kebetulan dapat menjadi penonton tanpa bayar."

Dia tersenyum bangga, lalu menyambung pula: "Saat ini Ji-heng tentu juga penuh diliputi tanda tanya, kalau urusan ini tidak ikut terpecahkan hingga jelas, betapapun Ji-heng pasti tidak rela tinggal pergi. betul tidak Ji-heng?"

Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Apa lagi saat ini aku memang tidak ada tempat tujuan untuk pergi."

Di hotel itu memang benar sunyi senyap tiada bayangan seorangpun, sampai-sampai pengurusnya dan pelayannya juga sudah kabur entah kemana, seakan-akan merekapun sudah tahu di sini bakal tertimpa bencana, maka cepat-cepat cari selamat lebih dulu.

Sebagai pemrakarsa, Kwe Pian sian berjalan di depan, dia tidak mencari kamar tamu biasa, juga tidak menuju ruangan tempat tinggal Ji Hong ho tadi, tapi langsung menuju ke dapur.

Api tungku di dapur hampir padam tapi belum padam, satu wajan nasi tanak sudah hampir hangus. Di atas meja sayur terdapat segebung sayur asin yang sudah dirajang sebagian, di suatu mangkuk juga ada telur ayam yang sudah diaduk, agaknya si koki tadi sedang siap-siap mengolah sayur asin goreng telur, tapi belum selesai dibuat.

Gin hoa nio celingukan kian kemari, dengan tertawa ia berkata: "Penghuni hotel ini mungkin kabur dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat sarapan pagi. Apa lagi mereka diusir oleh Ji Hong ho dan begundalnya?"

"Ji Hong ho tidak perlu mengusir mereka, setelah mengalami kekacauan tadi, masa mereka masih berani tinggal ditempat yang penuh penyakit ini?" kata Kwe Pian sian.

"Mungkin lagi sial juga pemilik hotel ini, akhir-akhir ini penghuni hotel ini kebanyakan orang mati melulu....." sembari bicara Gin hoa nio terus menyembunyikannya ke bawah onggokan kayu bakar. Lalu ia mengambil mangkuk dan mengisi nasi terus dimakannya dengan lauk sayur asin.

Kwe Pian sian juga mengisi satu mangkuk nasi dan disodorkan kepada Ciong Cing, katanya dengan tertawa: "Ini, kaupun makanlah sedikit, meski nasi ini rada sangit, tapi pasti tidak beracun."

Gin ho nio tertawa, katanya: "Selama hidupku sungguh tidak pernah dahar nasi seharum dan sesedap ini, kau...."

Belum habis ucapannya, mendadak mangkuk yang dipegang Kwe Pian sian telah disampuk jatuh Ciong Cing. Nona itu menangis tergerung-gerung sambil meratap: "Aku sudah orang setengah mati, ku tahu nanti pasti kau tinggalkan diriku. Untuk apa pula ku makan nasi segala......Biarlah ku mati kelaparan saja, lebih cepat mati lebih baik!"

Kwe Pian-sian tidak menjadi marah, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu pikiranmu lagi risau tapi kan tidak apalah kalau cuma kehilangan Kungfu saja. Aku toh tidak bakalan minta perlindunganmu, kau mahir ilmu silat atau tidak kan tidak menjadi soal bagiku?"

"Kau.....kau tidak perlu pura-pura di depanku," kata Ciong Cing dengan suara terputus-putus. "Coba jawab sudah tegas-tegas kau katakan padaku bahwa kau sudah putus segala hubungan dengan Kun Hay-hong, sekarang mengapa kau tidak berani bertemu dengan dia, apa yang kau takuti?"

Air muka Kwe Pian-sian tampak berubah.

Pada saat itulah mendadak ada suara orang batuk satu kali, seketika ke empat orang lantas bungkam.

Ditengah keheningan itu sayup-sayup terdengar di luar ada suara langkah orang yang sangat perlahan. Di samping tungku dapur ini terletak pintu belakang hotel, maka suara langkah itu terdengar seperti menuju ke pintu belakang.

Dari celah-celah pintu Kwe Pian sian dapat mengintip keluar, dilihatnya dua orang sedang menuju ke sini, seorang mendekap mulut, jelas orang yang baru saja batuk.

Orang ini tinggi kurus, bermuka putih, sedang melintang tersandang di punggung, untaian benang sutra merah penghias garan pedang berpadu dengan bajunya yang hijau pupus sehingga kelihatan sangat menyolok.

Seorang lagi juga tinggi kurus, sinar matanya tajam. Sekali pandang saja Kwe Pian sian lantas tahu Ginkang kedua orang ini pasti tidak lemah.

Kedua orang ini berjalan dari kanan dan kikir terpisah beberapa kaki jauhnya, langkah mereka sangat hati-hati, agaknya ingin menyelidiki keadaan di sini dan kuatir mengejutkan si sakit yang menakutkan di atas loteng kecil itu.

Gemerdep sinar mata dari Kwe Pian sian, mendadak ia membuka pintu dan tertawa kepada mereka. Tentu saja kedua orang itu melengak. Segera pula Kwe Pian sian menyurut mundur. Dengan sendirinya pintu masih terbuka dan mengeluarkan suara" keriat-keriut" karena tertiup angin.

"Mengapa kalian tidak lekas masuk ke sini?" kata Kwe Pian sian dengan suara tertahan.

Gin hoa nio tahu maksud Kwe Pian sian hendak memancing kedua orang itu masuk ke sini untuk ditanyai gerak-gerik di pihak Ji Hong ho sana. Padahal maksud tujuan kedatangan kedua orang ini adalah untuk menyelidiki keadaan di sini, sekarang mereka malah menjadi sasaran perangkap orang, diam-diam Gin hoa nio tertawa geli.

Rupanya Kwe Pian sian sudah memperhitungkan dengan baik bahwa mengetahui di dapur hotel ini ada orang, biarpun harus menyerempet bahaya juga kedua orang itu akan masuk ke sini untuk melihat apa yang terdapat di tempat ini.

Siapa tahu, meski sudah di tunggu sekian lama orang di luar masih juga tidak masuk kemari, bahkan tiada terdengar suara sedikitpun.

Kembali Gin hoa nio merasa heran, segera ia mendesis: "Sstt, mengapa kedua orang itu sedemikian penakut?"

"Kukenal satu diantaranya, namanya Ko Tiong, anak murid Tiam jong pay, orang ini cukup terkenal di daerah Hunlam dan Kuiciu, tidak nanti dia takut urusan..."

Belum habis ucapannya, "kriuut", daun pintu terpentang tertiup angin ternyata bayangan kedua orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.

"Hah, tampaklah kedua orang itu memang berhati kecil melebihi tikus," Gin hoa nio berolok-olok.

Kwe Pian sian berkerut kening, ia coba melongok lagi keluar, dilihatnya Cu Lui ji entah sejak kapan telah turun dari lotengnya dan sedang memetik bunga di halaman sana.

Rupanya ada setangkai bunga mawar yang menongol keluar pagar halaman sana, seharum semerbak tampaknya bunga mawar itu.

Cu Lui ji sedang menengadah ke atas sambil berjinjit tangannya yang kecil itu meraih tangkai bunga mawar itu, mendadak lengan bajunya merosot ke bawah sehingga kelihatan tangannya yang putih bersih.

Orang yang dikenal bernama Ko Tiong dan lelaki berbaju hijau tadi tampak melangkah ke sana dan berdiri tidak bergerak di belakang Cu Lui-ji, mereka memandangi anak dara itu dengan termangu-mangu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar