Pwe-giok gelagapan dan tak
dapat menjawab, bilang suka terasa tidak tepat, bilang tidak suka juga terasa
tidak betul. Ia menjadi kelabakan, ia merasa untuk menjawab pertanyaan nona ini
jauh lebih sukar daripada berbuat apapun.
Thi Hoa-nio menatapnya tajam-tajam,
katanya pula:
"Kalau suka bilang suka,
kalau tidak jawab saja tidak suka, kenapa tidak berani menjawab ?"
"Sudah.....sudah tentu
suka," akhirnya tercetus juga jawabannya.
"Dan kau menghendaki aku
turut perkataanmu," tanya Thi Hoa-nio pula dengan tersenyum. Nona yang
jahil ini semakin aneh pertanyaannya.
Dengan menyengir Pwe-giok
menjawab:
"Memikirkan diri sendiri
saja tidak sempat, mana berani kuharapkan nona menurut kepada perkataanku
?"
"Asalkan kau menghendaki
demikian, tentu aku akan menurut," ucap Thia Hoa-nio dengan suara lembut.
"Tapi...tapi
aku...." Pwe-giok tergagap-gagap pula.
"Apakah kau menghendaki
aku membunuh orang ?"
"O, aku tidak bermaksud
begitu," jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, kau cuma
ingin ku turut kepada perkataanmu saja ?"
Pwe-giok menghela nafas dan
terpaksa mengiakan.
Mendadak Thi Hoa-nio melonjak
bangun dan mencium satu kali di pipinya, lalu berlari pergi dengan tertawa
genit.
Menyaksikan menghilangnya
bayangan si nona di luar pintu, Pwe-giok berguman sendiri:
"Aneh, mengapa mendadak
dia kegirangan begitu ? Apakah dia menyangka aku telah menyanggupi sesuatu
kepadanya ?"
Teringat kepada Tong Kongcu
yang digoda mereka, tanpa terasa Pwe-giok jadi ngeri sendiri.
Selama beberapa hari ini,
meski keadaannya semakin sehat, tapi tetap dirasakan lemas tak bertenaga, lesu
dan lelah, ia melamun hingga lama dan akhirnya terpulas tanpa terasa.
Entah sudah berapa lama dia
tertidur, ketika mendadak dirasakannya sesosok tubuh yang halus dan lunak
menyusup ke dalam selimutnya, pelahan-lahan orang itu menggigit samping
lehernya serta meniup hawa di telinganya.
Pwe-giok terjaga bangun, namun
lampu sudah padam, apapun tidak kelihatan, hanya dirasakan gumpalan tubuh yang
lunak dalam pelukannya dengan bau yang harum sedap dan membuat jantung berdetak
keras.
"He, sia...siapa kau
?" seru Pwe-giok.
Orang yang berbaring
disampingnya tidak menjawab, tapi lantas membuka bajunya serta merangkulnya,
jari-jemari yang halus itu meraba perlahan sekujur badannya.
Pwe-giok tahu orang yang menyerahkan
diri ke dalam pelukannya ini pasti Thi Hoa-nio adanya dan tidak mungkin orang
lain. Ia merasa detak jantungnya bertambah keras, dengan menahan perasaan ia
berkata:
"Jika kau benar-benar
menurut perkataanku, hendaklah lekas kau keluar !"
Tapi orang di sebelahnya
tertawa genit dan menjawab:
"Siapa mau turut kepada
perkataanmu ? Justru kuharap kau yang turut kepada perkataanku, sayang..."
suara yang setengah tertahan dan rada serak itu penuh daya tarik dan godaan.
"Hei, kau, Gin Hoa-nio
!" seru Pwe-giok kaget.
"Ya, makanya kau harus
turut kepada perkataanku, pasti takkan ku kecewakan kau," kata Gin Hoa-nio
dengan lembut.
Tenaga Pwe-giok saat ini
ternyata lenyap tanpa bekas, ia tertindih di bawah hingga hampir tak dapat
bernapas, jantungnya berdetak-detak keras dan mandi keringat.
"Maukah kau menyalakan
lampu ?" kata Pwe-giok mendadak.
"cara begini saja apakah
kurang baik ?" tanya Gin Hoa-nio
"Aku ingin melihat
dirimu," jawab Pwe-giok.
Gin Hoa-nio tertawa cekikikan,
katanya:
"Sungguh tidak nyana kau
ternyata sudah berpengalaman dan ahli. Baiklah akan kuturuti kehendakmu."
Dengan kaki telanjang Gin
hoa-nio lantas melompat turun dari tempat tidur, digerayanginya batu api untuk
menyalakan lampu. Di bawah cahaya lampu itu tertampak jelas potongan tubuhnya
yang menggiurkan.
"Kau mau lihat, silahkan
lihatlah sepuasmu !" katanya dengan tertawa sambil melirik genit kepada
Pwe-giok.
Tapi anak muda itu lantas
mendengus:
"Hm, memang ingin kulihat
betapa bejatmu, betapa kau tidak kenal malu ? Hm, kau kira kau sangat cantik ?
bagiku justru memualkan !"
Selama hidup Pwe-giok belum
pernah mengucapkan kata-kata sekeji ini, apalagi terhadap seorang perempuan.
Tapi sekarang ia sengaja hendak memancing kemarahan Gin Hoa-nio, maka
dipilihnya kata-kata yang paling menyakitkan hati dan dilontarkan langsung:
Benarlah senyum yang menghiasi
wajah Gin Hoa-nio seketika lenyap, mukanya yang bersemu merah seketika berubah
menjadi kelam, lirikan yang menggoda juga memancarkan sinar buas, teriaknya
dengan suara parau:
"Kau... kau berani
mempermainkan diriku ?!"
Kuatir orang akan menggodanya
lagi, Pwe-giok lantas mencaci maki sekalian:
"Sekalipun kau tidak tahu
malu, seharusnya kau berkaca dulu agar kau tahu.....", makin menyakitkan
hati makiannya, biarpun perempuan yang sedang dirangsang napsu birahi juga
pasti akan dingin seketika.
Bibir Gin Hoa-nio sampai
pucat, teriaknya dengan suara gemetar:
"Memangnya kau kira kau
sendiri ini lelaki cakap ? Hmm, justru ingin kulihat berapa lama kecakapanmu
ini akan bertahan ?"
Mendadak ia menyambar sebilah
golok yang tergantung di dinding dan menerjang ke depan tempat tidur,
dicekiknya leher Pwe-giok sambil menyeringai:
"Sekarang juga akan ku
bikin kau berubah menjadi lelaki yang paling buruk di dunia ini, agar setiap
perempuan di dunia ini akan mual bila melihat tampangmu. Akan kulihat apakah
kau masih bisa jual tampang atau tidak ?"
Segera Pwe-giok merasakan mata
golok yang dingin menggores di pipinya, akan tetapi dia tidak merasakan sakit,
sebaliknya merasakan semacam kesadisan yang menyenangkan, ia malah bergelak
tertawa.
Gin Hoa-nio menyaksikan muka
yang tiada cacat itu telah robek di bawah mata goloknya, darah tertampak
mengucur dari wajah yang pucat itu. Seketika Gin Hoa-nio merasakan tangannya
gemetar, sayatan kedua sukar dilakukannya lagi.
Maklum, bilamana seorang harus
merusak hasil seni yang indah, betapapun memang bukan pekerjaan mudah.
Tapi Pwe-giok lantas melotot,
teriaknya dengan tertawa:
"Hayolah, turun tangan
lagi ? Mengapa berhenti ? Muka ini bukan milikku, jika kau rusak justru
kurasakan sebagai suatu pembebasan bagiku, aku malah berterima kasih padamu dan
takkan sakit hati."
Kulit daging yang tersayat itu
jadi merekah akibat tertawa Pwe-giok itu, darah mengucur lebih deras, tapi
sorot matanya juga mengandung semacam pembebasan yang latah.
Gin Hoa-nio merasa keringat
dinginnya telah membasahi gagang goloknya, dengan suara histeris ia berteriak:
"Biarpun kau tidak sakit
hati, tapi ada orang lain yang akan merasa sakit. Jika tak dapat ku peroleh kau,
biarlah kuhancurkan kau, ingin kulihat apakah dia tetap suka kepada orang gila
bermuka buruk macam kau ?"
Mendadak iapun bergelak
tertawa seperti orang gila, sayatan kedua akhirnya dilakukan pula.
Sekonyong-konyong
"Blang", pintu didobrak orang, Thi Hoa-nio menerjang masuk dan
merangkul pinggang Gin Hoa-nio terus diseretnya mundur sambil berteriak-teriak:
"Toaci, lekas kemari,
jici sudah gila !"
Gin Hoa-nio meronta-ronta dan
menyikut Thi Hoa-nio, teriaknya dengan tertawa:
"Aku tidak gila, tapi kekasihmu
itulah yang gila. Dia bilang mukanya itu bukan miliknya, biarlah kuberikan si
gila ini padamu, sekarang diberikan secara gratis padaku juga aku tidak
mau."
Selagi Pwe-giok, Gin Hoa-nio
dan Thi Hoa-nio berebutan begitu, datanglah Kim Hoa-nio, ia kaget melihat muka
Pwe-giok berdarah, teriaknya: "He.. apa yang kau lakukan?"
Gin-hoa-nio tertawa, teriaknya
parau "Akulah yang melakukannya, apakah.. apakah kau pun merasa
sakit..." Belum habis ucapannya, "plok", mukanya telah digampar
sekali oleh Kim-Hoa-nio.
Mendadak suara tertawanya
berhenti, suasana yang ribut seketika berubah menjadi hening pula.
Thi Hoa-nio melepaskan
pegangannya dan Gin Hoa-nio mundur selangkah sambil meraba pipinya, sorot
matanya memancarkan sinar yang buas, teriaknya gemetar: "Kau pukul aku!
Kau berani pukul aku?"
"Mengapa kau berbuat
demikian?" tanya Kim Hoa-nio.
Gin Hoa-nio berteriak sambil
berjingkrak: "Mengapa aku tidak boleh berbuat begitu? Kau hanya tahu losam
( ketiga, maksudnya Thi Hoa-nio ) suka padanya, tapi apakah kau tahu bahwa
akupun suka pada nya? Kalian sudah mempunyai pilihan sendiri-sendiri, mengapa
aku tidak boleh memilihnya pula?"
"Bu... Bukankah kau benci
padanya?" Tanya Kim Hoa-nio dengan melengak.
"Betul, kubenci dia,
akupun benci padamu," teriak Gin Hoa-nio dengan parau. "Kau hanya
tahu usia losam sudah besar dan perlu mencari lelaki. Tahukah kau bahwa usiaku
lebih tua daripada dia, apakah aku tidak menginginkan lelaki?"
Sejenak Kim Hoa-nio tertegun,
akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Sungguh tak terpikirkan olehku
bahwa kau masih memerlukan bantuanku untuk mencarikan lelaki bagimu. Kan
sudah.. sudah banyak lelakimu. Masa masih perlu dicarikan orang?"
Mendadak Gin Hoa-nio meraung
dan mendadak menerjang keluar.
Terdengar suaranya yang
semakin menjauh. "Kubenci padamu, kubenci kepada kalian.. kubenci semua
orang di dunia ini, kubenci ... hendaklah semua orang di dunia ini mampus
seluruhnya!"
Kim Hoa-nio berdiri
termangu-mangu, sampai lama ia diam saja.
Thi Hoa-nio lantas mendekati
tempat tidur, melihat wajah Pwe-giok yang rusak itu, menangislah dia.
Sebaliknya Pwe-giok malah
bersikap tenang, gumamnya: "Di dunia ini tiada sesuatu yang kekal, tiada
sesuatu yang sempurna, anehnya logika ini kenapa tidak dipahami oleh Ko-lothau?
Saat ini bila dia melihat diriku, entah bagaimana pula perasaannya.."
Mendadak ia merasa geli dan
tertawa terbahak-bahak. Akhirnya ia merasa terbebas dari suatu beban yang
berat, hati terasa lega sekali.
Thi Hoa-nio berhenti menangis,
ia pandang anak muda itu dengan terkesiap, apa yang dipikir Pwe-giok dengan
sendirinya tak diketahuinya, siapapun tak dapat memahaminya.
0000
Tiga hari kemudian, Pwe-giok
merasa sebagian tenaganya sudah pulih, tapi mukanya sekarang penuh terbalut
kain perban, yang kelihatan hanya hidungnya, matanya dan sebagian mukanya.
Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio
memandangi dia dengan penuh rasa menyesal dan pedih.
Akhirnya Kim Hoa-nio berkata:
"Apakah benar kau hendak pergi?"
"Saat kepergianku sudah
lama lalu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
Mendadak Thi Hoa-nio menubruk
maju dan merangkulnya erat-erat sambil berseru: "Kau jangan pergi!
Bagaimanapun kau berubah, tetap… tetap sama baiknya aku terhadapmu."
"Jika betul kau baik
padaku seharusnya kau lepaskan aku pergi," kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Seorang kalau tidak dapat bergerak bebas, lalu apa artinya hidup ini
baginya?"
"Tapi, sedikitnya, harus
kau perlihatkan kepada kami betapa kau telah berubah?" kata Kim Hoa-nio
dengan pedih.
"Betapapun perubahan
diriku, aku tetap aku," kata Pew giok.
Pelahan ia mendorong Thi
Hoa-nio, lalu berbangkit. Katanya pula mendadak dengan tertawa: "Tahukah
kalian, sepergiku dari sini urusan apa yang akan kulakukan pertama-tama?"
"Jangan-jangan akan
mencari Jimoay yang kejam itu?" Kata Kim Hoa-nio.
"Aku memang hendak mencari
satu orang, tapi bukan dia yang kucari," jawab Pwe-giok dengan tertawa.
"Habis siapa yang kau
cari?" Tanya Thi Hoa-nio sambil mengusap air matanya.
"Jika kalian mau berduduk
saja di sini dan membiarkan ku pergi sendiri, inipun sudah cukup sebagai tanda
terima kasih padaku," kata Pwe-giok. Lalu ia melangkah keluar tanpa
menoleh.
Ternyata Kim Hoa-nio dan Thi
Hoa-nio juga tidak menguntitnya, air mata mereka sudah berderai.
Hati Pwe-giok terasa lega.
Tiada sesuatu yang terpikir dan juga tidak perlu menyesal terhadap seseorang,
jika memang tidak pernah merugikan atau mengingkari orang lain, maka air mata
orang lainpun tak dapat mempengaruhi dia.
Dia membuka pintu ruangan di
bawah tanah dan menyingkap lukisan itu, cahaya matahari di waktu senja menyinari
mukanya, meski senja belum tiba, namun sudah dekat magrib.
Agar tidak silau ia angkat
sebelah tangannya untuk mengalingi sinar matahari, tangan yang lain digunakan
merapatkan pintu. Sekonyong-konyong kedua tangannya terjulur lemas ke bawah,
kakipun terasa berat untuk melangkah.
Ternyata di ruangan luar ini
tergantung sebaris orang di belandar, semuanya sudah mati. Darah segar masih
menetes, agaknya darah mereka belum lagi beku. Leher tiap-tiap orang itu sama
tertembus, lalu lubang yang tembus itu dicocok dengan tali dan digantung mirip
ayam panggang. Orang yang paling depan jelas tuan rumah di sini.
Apa yang terjadi ini jelas
baru berlangsung sore tadi, sebab siangnya tuan rumah yang ramah ini pernah
masuk ke ruangan bawah tanah dan mengantar santapan.
Orang sebanyak itu terbunuh
sekaligus, tapi di ruangan dalam sedikitpun tidak mendengar, jelas tindakan si
pembunuh sangat gesit, cekatan dan juga keji.
Pwe-giok berdiri termangu
sejenak, ia ingin masuk kembali ke ruangan dalam, tapi sekilas pikir ia berganti
haluan, segera melangkah keluar ruangan besar itu.
Sekalipun dalam hatinya rada
was-was, tapi orang lain tidak dapat mengetahui perasaannya, waktu ia lalu di
barisan orang mati itu, dia anggap seperti lalu di samping sederetan pohon
saja.
"Siapa itu?
Berhenti!" mendadak seorang membentak.
Seketika Pwe-giok berhenti,
tak terlihat rasa kagetnya sedikitpun, juga tiada tampak rasa gugup atau rasa
terpaksa, seperti sudah tahu sebelumnya bakal dibentak orang begitu.
"Kemari Kau" bentak
orang itu pula.
Segera Pwe-giok berputar dan
melangkah ke sana, maka dapatlah dilihatnya orang yang baru keluar dari pintu
sana adalah Kim yan cu, si walet emas.
Meski dirasakannya agak di
luar dugaan, tapi sikapnya tidak berubah, sebaliknya Kim Yan cu tampak penuh
rasa kejut dan heran, bentaknya pula dengan bengis: "kau keluar dari mana?
Mengapa tadi tidak kulihat kau?"
"Ku keluar dari jalan
keluar tentunya!" Jawab Pwe-giok dengan hambar.
Kim yan cu membentak pula:
"Apakah kau bersembunyi bersama Khing hoa sam-niocu?"
"Benar atau tidak ada
sangkut pautnya apa dengan kau?" jawab Pwe-giok ketus.
Belum habis ucapannya,
tahu-tahu ujung pedang Kim yan cu sudah mengancam di tenggorokannya. Dengan
sendirinya dia tidak kenal lagi yang dihadapinya ialah Ji Pwe-giok.
Maklumlah, saat ini bukan saja
mula Pwe-giok hampir seluruhnya terbalut, bahkan sikapnya yang tenang dan
sewajarnya juga sama sekali berbeda daripada dahulu. Jangankan cuma sebilah
pedang yang mengancam tenggorokannya, sekalipun ada seribu pedang yang sama
menusuk ke dalam dagingnya juga takkan menimbulkan rasa jerinya.
Seorang kalau sudah
menyaksikan sendiri kematian ayahnya secara ngeri, tapi ia sendiri malah
dituduh sebagai orang gila, malahan harus mengakui sebagai ayah orang gila,
malahan harus mengakui musuh sebagai ayah yang jelas-jelas sudah mati, lalu
kejadian apa di dunia ini yang tak dapat ditahannya?
Jika seorang berhadapan dengan
orang yang dicintainya, tapi tidak dapat mengakui dan berbicara, lalu urusan
apa di dunia ini yang dapat membuatnya lebih pedih.
Bila seorang sudah mengalami
beberapa kali ancaman maut dan tidak sampai mati karena kejadian-kejadian yang
ajaib, lalu soal apa di dunia ini yang dapat membuatnya takut?
Apabila seorang dari yang
cakap telah berubah menjadi buruk rupa, lalu hal apalagi di dunia ini yang
dapat membuatnya merasa risau?
Seorang kalau sudah mengalami
berbagai kejadian yang sukar dibayangkan orang lain, maka tidak ada sesuatu
yang dapat mengguncangkan perasaannya.
Ketenangan dan kewajaran
Pwe-giok ini diperolehnya dengan imbalan yang cukup mahal, rasanya di dunia ini
tiada orang lain yang mampu membayar semahal ini. Di dunia ini memang tiada
orang lain lagi yang dapat dibandingkan dengan dia.
000
Begitulah tanpa terasa pedang
Kim yan cu terjulur ke bawah. Nyata ketenangan orang ini telah mempengaruhi
dia.
Pwe-giok menatapnya
tajam-tajam, tanyanya kemudian dengan tertawa:
"Dimana Sin to kongcu
?"
"Kau.....kau kenal padaku
?" seru Kim yan cu dengan melenggong.
"Sekalipun cayhe tidak
kenal nona juga tahu bahwa nona dan Sin to kongcu selamanya berada bersama
seperti tubuh dan bayangan yang tak pernah terpisahkan."
Kim yan cu terbelalak, katanya
kemudian:
"Ya, rasanya aku sudah
seperti sudah kenal kau."
"Orang yang terluka dan
kepalanya terbalut sudah tentu tidak cuma aku saja," kata Pwe-giok.
"Sesungguhnya siapa kau
?" tanya Kim yan cu
"Ji Pwe-giok !"
Wajah Kim yan cu yang cantik
itu seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar:
"Ji Pwe-giok kan sudah
mati, kau....kau..."
"Tahukah nona di dunia
ini ada dua Ji Pwe-giok, yang satunya sudah mati, yang lain masih hidup, syukur
cayhe bukan Ji Pwe-giok yang mati itu, cuma kawannya agaknya memang jauh lebih
banyak dariku."
Kim yan cu menghembus nafas
lega, tanyanya mendadak:
"Apakah kau yang membunuh
orang-orang ini ?"
"Masa bukan nona yang
membunuh orang-orang ini ?" balas Pwe-giok bertanya.
"Kejahatan orang-orang
ini sudah kelewat takaran, mati sepuluh kali juga belum cukup untuk menebus
dosa mereka," ucap Kim yan cu dengan gemas.
"Memang sudah lama ingin
ku bunuh mereka, cuma sayang kedatanganku sekarang ini agak terlambat
sejenak."
"Jadi nona benar-benar
tidak tahu siapa pembunuhnya ?" tanya Pwe-giok
"Aku inilah pembunuhnya
!" sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan pelahan.
Suaranya begitu datar dan hambar,
seolah-olah ucapan demikian sudah sangat biasa baginya, seperti juga membunuh
orang bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan lagi.
Menyusul ucapan tersebut,
seorang mendadak muncul di depan mereka. seorang yang buntung sebelah
tangannya.
Jenggot panjang putih kelabu
berjuntai di depan dada orang itu, pinggangnya juga terikat tali sutera putih
kelabu, sepatunya juga berwarna putih kelabu, rambutnya yang juga kelabu
terikat dengan kopiah perak.
Mukanya juga putih kelabu, di
bawah alisnya yang sama warna, biji matanya yang juga kepucat-pucatan itu
memancarkan sinar yang tajam.
Sudah lama Kim yan-cu malang
melintang di dunia Kangouw, biasanya Ia suka menganggap dirinya adalah
perempuan yang paling berani di dunia ini. Tapi sekarang tidak urung ia
merinding juga melihat orang yang aneh ini, serunya kemudian: "Jadi kau
yang membunuh orang-orang ini?"
Dengan hambar si kakek serba
kelabu itu menjawab: "Kau kira dengan sebelah tanganku saja tak dapat
membunuh? Jika aku tidak dapat membunuh, tentu orang jahat di dunia ini
sekarang bertambah banyak daripada dahulu."
"Cianpwe.....entah
Cianpwe...."
"Tidak perlu kau tanya
namaku," potong si kakek sebelum lanjut ucapan Kim yan-cu. "Kalau kau
memusuhi Thian-can-kau, ini berarti kau sehaluan denganku Kalau tidak, saat ini
tentu kau tidak hidup lagi di dunia ini."
Bila orang lain yang bicara
demikian pada Kim-yan cu, tentu ujung pedang si walet emas sudah mengancam di
ulu hatinya. Tapi sekarang meski hambar saja ucapan si kakek, namun bagi
pendengaran Kim-yan cu rasanya memang tepat dan pantas. Ia lantas bertanya
pula: "Entah Cianpwe sudah menemukan Khing-hoa-sam niocu atau belum?"
"Kau pun bermusuhan
dengan mereka?" tanya si kakek.
"Betapa dalamnya
permusuhan ini sukar diceritakan dalam waktu singkat," jawab Kim-yan-cu
dengan menggreget.
"Kau bertekad akan
menemukan mereka?" tanya si kakek pula.
"Jika dapat menemukan
mereka, tanpa kupikirkan apa imbalannya," jawab Kim-yan cu.
"Baik, bila kau ingin
menemukan mereka, ikutlah padaku," kata si kakek sambil melangkah keluar
ruangan besar itu, setelah menyusuri taman dan keluar dari sebuah pintu kecil,
jalan lebar di pinto belakang sunyi senyap tiada nampak bayangan seorangpun.
Kim-yan-cu ikut di belakang si
kakek dengan penuh semangat. Pwe-giok juga ikut di belakang mereka dengan penuh
rasa sangsi.
Jelas kakek ini tidak tahu di
mana beradanya Khing-hoa-sam niocu mengapa dia bilang hendak membawa Kim yan-cu
pergi mencari mereka. Sekalipun kakek ini dapat membunuh Ma Siau-thian dan
begundalnya, tapi orang yang cuma bertangan satu cara bagaimana menggantung
orang sebanyak itu di belandar? Cukup dengan dua soal ini saja jelas si kakek
telah berdusta. Dan untuk apakah dia berdusta?
Orang yang berdusta kebanyakan
bertujuan membikin celaka orang lain. Tapi melihat kemampuan kakek ini, jika
dia mau membunuh Kim-yan-cu boleh dikatakan sangat mudah, kenapa mesti bersusah
payah mencari jalan lain. Sesungguhnya hendak dibawa ke manakah Kim-yan-cu?
Sejak mula si kakek sama
sekali tidak memandang Pwe-giok, seolah-olah tidak merasa ada seorang Ji
Pwe-giok di sekitarnya.
Pwe-giok juga mengikuti mereka
dengan diam saja tanpa bersuara.
Si kakek dapat menahan
perasaannya, Ji Pwe-giok juga cukup sabar, tapi Kim yan-cu yang tidak tahan
akan gejolak pikirannya.
Sementara itu cuaca sudah
makin gelap, jalan yang mereka tempuh juga semakin terpencil, di bawah sinar
bulan, kakek yang misterius ini mirip badan halus berwarna kelabu.
"Sesungguhnya
Khing-hoa-sam niocu berada di mana?" saking tak tahan akhirnya Kim yan-cu
bertanya.
Si kakek menjawab dengan
hambar tanpa menoleh; "Orang yang jahat dengan sendirinya berada di tempat
yang jahat."
"Tempat yang jahat?"
tukas Kim-yan-cu.
"Ya jika kau tidak berani
ke sana, sekarang juga boleh kau putar balik," kata si kakek.
Kim-yan-cu menggreget dan
tidak bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok
membayangkan kata-kata "tempat yang jahat" tadi, ia merasa maksud
tujuan si kakek lebih-lebih sukar dijajaki.
Lengan baju si kakek yang
longgar itu melambai di tanah, jalannya tampaknya tidak cepat, tapi hanya
sebentar saja mereka sudah berada di luar kota.
Kim yan-cu belum lama muncul
di Kangouw dan namanya sudah cukup terkenal, dia memakai nama julukan
"walet" dengan sendirinya ahli Gin-kang, namun setelah ikut berjalan
sekian lama bersama si kakek, tanpa terasa mulai terengahlah napasnya.
Mendingan Ji Pwe-giok, meski
tenaganya belum pulih seluruhnya, tapi dia belum merasakan lelah, terhadap
kepandaian si kakek diam-diam ia bertambah waspada.
Dilihatnya si kakek berputar
kian kemari di tengah hutan, mendadak mereka berada di sutu lereng bukit yang
tidak terlalu tinggi, namun batu padas aneh berserakan di sana sini, lereng
bukit tandus kering, tampaknya sangat curam dan bahaya.
Di tengah lereng terdapat
sepotong batu padas besar yang mencuat keluar, pada batu padas itu semula
tertatah tiga huruf besar, tapi sekarang penuh dengan bekas bacokan golok,
ketiga huruf itu telah dirusak entah oleh siapa.
"Huruf pada batu padas
itu tentu nama gunung ini," demikian Pwe-giok membatin. "Tapi ada
orang sengaja memanjat ke atas dan merusak ketiga huruf itu, apakah maksud
tujuannya? Memangnya nama gunung inipun mengandung sesuatu rahasia sehingga
tidak boleh dilihat orang, masa cuma nama gunung saja mengandung rahasia?
Rupanya setelah beberapa kali
menghadapi detik antara mati dan hidup, Pwe-giok bertambah matang, ia cukup
memahami betapa keji dan kejamnya orang hidup ini, maka terhadap segala sesuatu
ia selalu lebih hati-hati. Barang sesuatu yang mungkin dipandang sepele oleh
orang lain, baginya justeru dipandang cukup berharga untuk direnungkan dan
dipelajari asalkan ada sesuatu yang menyangsikan tentu diperhatikannya dengan
baik.
Cuma sekarang ia sudah
berhasil belajar dari pengalaman, segala sesuatu tentu dipikirnya lebih
mendalam. Sebab itulah rasa sangsinya sekarang juga bertambah besar, namun dia
tetap bersikap tenang dan tidak menyinggungnya.
Setiba di depan batu padas
yang mencuat keluar di lereng situ, tanpa kelihatan bergerak, tahu-tahu kakek
itu telah melayang ke atas padas itu.
Selagi Kim-yan-cu bermaksud
ikut melayang ke atas, sekonyong-konyong terdengar suara keriat-keriut, batu
raksasa itu mendadak bergeser pelahan dan tertampaklah sebuah gua yang gelap di
balik gua batu.
Perubahan ini sungguh membuat
Pwe-giok terkejut, Kim-yan cu malahan melongo menyaksikan kejadian itu, dia
sudah bergerak mau melompat ke atas, sekarang diurungkan.
"Kenapa kalian tidak ikut
naik ke sini?" terdengar si kakek berseru.
Kim yan-cu berpaling dan
memandang Pwe-giok sekejap, tiba-tiba ia mendesis: "Perjalanan ini sangat
berbahaya, untuk apa kau ikut kemari? Lekas pergi saja!"
Pwe-giok tersenyum, jawabnya:
"Sudah ikut sampai di sini, hendak pergipun terasa terlambat sudah."
"Memangnya kenapa?"
ujar Kim-yan-cu sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya,
segera ia mendahului melayang ke atas. Ia merasakan si kakek sedang
memandangnya dengan sorot mata yang tajam, se-olah2 ingin tahu betapa tinggi
kemampuannya. Tergerak hati Pwe-giok, cepat ia kurangi kekuatannya, hanya
setengah kemampuannya saja dikeluarkannya.
Meski air muka si kakek tidak
berubah, tapi sorot matanya mengunjuk perasaan kurang puas. Sementara itu
Kim-yan-cu sudah melompat ke atas dengan sepenuh tenaga dan si kakek kelihatan
merasa senang.
Kembali Pwe-giok merasa heran,
Jika si kakek bermaksud jahat terhadap mereka, bila kepandaian mereka makin
rendah kan makin mudah baginya untuk turun tangan, jadi seharusnya dia merasa
senang.
Tapi dari sikapnya ini
tampaknya dia mengharapkan ilmu kedua orang muda ini lebih tinggi lebih baik.
Lantas apa maksudnya? Sesungguhnya apa yang dikehendaki?
Saat itu Kim-yan-cu sudah
berada di atas batu padas, dilihatnya gua itu gelap gulita, dalamnya sukar
dijajaki, terasa angin dingin meniup keluar dari dalam gua.
Batu raksasa yang bergeser itu
tepat ambles ke samping tebing yang mendekuk, jadi sudah di-perhitungkan dengan
tepat. Apalagi batu raksasa yang berpuluh ton ini dapat digeser oleh seorang
saja, jelas pesawat rahasianya dibuat sedemikian dan entah betapa banyak
memakan tenaga dan pikiran untuk menciptakan alat rahasia yang hebat ini.
Dan kalau di dalam gua ini
tidak tersembunyi sesuatu rahasia yang maha penting, siapa pula yang sudi
mengorbankan tenaga dan pikiran sebesar ini?
Sampai di sini, mau tak mau
timbul juga rasa curiga Kim-yan-cu, ia berguman: "Apakah mungkin
Khing-hoa-samniocu berada di gua ini?"
"Gua ini sebenarnya
tempat rahasia Thian can-kau, tempat penyimpanan harta karun, apabila
Khing-hoa-samniocu bukan Tancu (kepala seksi) dalam Thian-can-kau, jangan harap
dapat masuk ke sini", kata si kakek
Mendadak Kim-yan-cu bertanya:
"Darimana pula Cianpwe mengetahui rahasia Thian-can-kau?"
Si kakek tertawa hambar,
jawabnya: "hehe, betapa banyak rahasia di dunia ini yang dapat mengelabui
mataku?"
Jika kata2 ini diucapkan orang
lain, andaikata Kim-yan-cu tidak menganggapnya membual tentu akan menganggapnya
omong besar. Tapi di mulut kakek ini ucapan tersebut memang lain bobotnya.
Kim-yan-cu seperti takluk
benar2 lahir batin terhadap kakek itu, setelah berpikir sejenak, ia bergumam:
"Aneh, Thian-can-kau jauh berada di daerah Miau, sebaliknya tempat rahasia
penyimpanan harta pusakanya terletak di sini."
"Kau tidak berani masuk
ke situ?" tanya si kakek dengan sorot mata tajam.
Kim-yan-cu menghela napas
panjang, katanya keras-keras: "Asalkan dapat menemukan Khing-hoa-sam
niocu, ke gunung golok atau masuk lautan api juga bukan soal bagiku."
Seketika sorot mata si kakek
berubah halus lagi, ucapnya: "Bagus, bagus sekali, asalkan kau tabah dan
hati-hati, kujamin kau takkan menghadapi apapun. Kalian boleh masuk saja dan
tidak perlu kuatir."
"Tapi Cayhe tiada maksud
buat masuk ke situ," kata Pwe-giok mendadak.
Baru sekarang ia membuka
suara, mestinya dia hendak bilang: "Ku tahu Khing-hoa-sam niocu tidak
berada di gua ini, kenapa kau berdusta?"
Tapi dia tahu bilamana
kata-kata itu diucapkan, maka si kakek pasti takkan mengampuni dia. Saat ini ia
merasa bukan tandingan si kakek, maka dia sengaja memancingnya dulu dengan
ucapan tadi.
Benar juga, segera sorot mata
si kakek berubah tajam pula, katanya: "Kau tidak mau masuk ke sana?"
"Cayhe kan tidak ingin
mencari Khing-hoa-sam niocu, untuk apa masuk ke situ?" jawab Pwe-giok.
"Ya, persoalan ini
hakekatnya tiada sangkut pautnya dengan dia, sesungguhnya akupun tidak kenal
dia," demikian cepat Kim-yan-cu menyela.
"Jika kau tidak mau masuk
ke sana ya terserah lah, akupun tidak memaksa," kata si kakek dengan tak
acuh.
Seperti tidak sengaja,
mendadak tangannya menepuk pelahan pada dinding tebing itu, tiada terdengar
sesuatu suara, tapi di dinding tebing itu lantas bertambah dekukan cap telapak
tangan seperti pahatan senjata tajam.
Dengan tertawa Pwe-giok lantas
berkata: "Sebenarnya cayhe tidak berniat masuk ke situ, tapi kalau benar
harta pusaka Thian-can-kau disimpan di sini, kesempatan ini biarlah kugunakan
untuk mencari rejeki."
Si kakek tidak menghiraukan
dia lagi, dia mengeluarkan sebuah pedang bersarung perak, panjangnya cuma
setengah meteran, serta sebuah geretan api, semua itu ia serahkan kepada
Kim-yan-cu sambil berkata: "Pedang ini sangat tajam, memotong besi seperti
merajang sayur, Geretan api pun bukan barang sembarangan, boleh kau bawa dan
tentu banyak gunanya. Hendaklah kau jaga dengan baik dan jangan sampai
hilang."
"Terima kasih," kata
Kim-yan-cu.
Begitu dia dan Pwe-giok
melangkah masuk gua batu padas raksasa itu pelahan-lahan lantas bergerak
merapat lagi.
Dengan kaget Kim-yan-cu
berteriak: "He, jika Cianpwe menutup batu ini, bukankah kami tak dapat
keluar lagi?"
Segera ia bermaksud melompat
keluar, siapa tahu mendadak suatu tenaga maha kuat menolaknya dari luar gua
sehingga dia jatuh terjengkang.
Sempat terdengar si kakek
berkata: "Jika nanti kau ingin keluar, gunakan pedang pendek itu mengetuk
dinding batu tujuh kali dan segera ku tahu..." belum habis ucapannya batu
raksasa itu sudah menutup rapat.
Seketika keadaan di dalam gua
gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Mendadak cahaya perak meletik,
Km-yan-cu telah menyalakan api geretan yang diberikan si kakek tadi. Geretan
api ini sangat aneh, lelatu berhamburan seperti bunga api dan cahaya perak yang
tidak begitu terang terus terpancar.
Di bawah cahaya perak itu
tertampak wajah Pwe-giok yang terbalut kain perban itu, tapi sorot matanya
gemerdep, nyata dia tidak menjadi gugup atau kuatir.
Kim-yan-cu tidak tahu orang
ini bodoh atau gendeng, namun jelas nyalinya sangat besar. Ucapnya dengan
menyesal: "Urusan ini kan tiada sangkut-pautnya dengan kau, untuk apa kau
ikut masuk kemari?"
Diam-diam Pwe-giok merasa
gegetun: "Meski watak nona ini suka menang, namun hatinya sangat bajik.
Dalam keadaan demikian dia masih juga berpikir bagi orang lain."
Selama beberapa hari ini
perempuan yang pernah ditemui Pwe-giok kalau tidak berhati keji tentu berwatak
aneh dan jahil, sekarang mendadak melihat kebaikan hati Kim yan-cu, seketika
timbul kesan baiknya, dengan tersenyum ia menjawab: "Dua orang berada
bersama kan jauh lebih baik daripada menempuh bahaya sendirian?"
"Kau .... kau datang ke
sini demi diriku?!" tanya Kim-yan cu dengan melengak.
"Jika nona adalah sahabat
Ji Pwe-giok yang itu, maka engkau sama juga kawanku," kata Pwe-giok dengan
tertawa.
Kim-yan-cu memandanginya
sekejap, mendadak mukanya bersemu merah, untung cahaya perak itu sangat aneh,
air mukanya merah atau putih sukar dibedakan orang lain.
Dia terus melengos ke sana dan
terdiam sejenak, kemudian berkata pula: "Menurut dugaanmu, sesungguhnya
apa maksud tujuan orang tua tadi?"
"Menurut nona,
bagaimana?" Pwe-giok balas bertanya setelah merenung sejenak.
"Jika dia berniat
mencelakai diriku, untuk apa pula dia menyerahkan benda berharga ini
kepadaku," kata Kim-yan cu. "Apalagi kalau melihat tenaga pukulannya
tadi, jika dia tidak bermaksud membunuh kita, kukira bukan sesuatu yang sukar
baginya."
"Betul, tenaga pukulan
orang ini lunak tapi maha kuat, boleh dikatakan sudah terlatih hingga
puncaknya, tampaknya tidak di bawah "Bian-ciang" (pukulan lunak) Jut
tun Totiang dari Bu-tong-pay."
"Tapi bila dia tidak
bermaksud jahat, mengapa dia memaksa kau masuk kemari, lalu menyumbat pula
jalan keluarnya sehingga kita tiada jalan mundur terpaksa kita harus menerjang
ke depan?"
"Jika demikian, marilah
kita menerjang ke depan," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Akhirnya Kim-yan-cu berpaling
memandangnya lagi sekejap, ucapnya: "Berada di sampingmu, sekalipun aku
merasa takut, akhirnya aku menjadi tidak takut lagi."
Di bawah cahaya perak yang
remang-remang, tertawa Kim-yan-cu kelihatan sedemikian cerah, di balik wajah
yang cerah ini tampaknya tiada tersembunyi sesuatu rahasia apa pun.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas gegetun, pikirnya: "Apabila setiap perempuan di dunia ini serupa
dia, tentu dunia ini akan jauh lebih aman...."
Kemudian Pwe-giok mengambil
oper geretan api itu, dia membuka jalan di depan.
Di bawah cahaya perak
tiba-tiba dilihatnya kedua sisi dinding gua ini penuh terukir gambar-gambar
yang halus dan indah, setiap gambar terdiri dari satu lelaki dan satu
perempuan.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu
memandang ukiran dinding itu, seketika mukanya menjadi merah, teriaknya:
"Tempat setan ini benar-benar tempat jahat, menga... mengapa...."
Muka Pwe-giok terasa panas
juga, sungguh tak tersangka olehnya di gua yang misterius ini bisa terukir
gambar-gambar tidak senonoh begini.
Kiranya gambar lelaki dan
perempuan yang memenuhi dinding gua itu rata-rata adalah dalam adegan
"hot" di luar susila.
Mendadak Kim-yan-cu mendekap
mukanya dan berlari ke depan.
Tak tersangka,
sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul dua orang, dua golok besar terus
membacok secepat kilat. "Awas!" bentak Pwe-giok.
Begitu bersuara segera ia pun
menerjang maju, Kim-yan-cu dirangkulnya dan berguling ke sana sehingga mata
golok menyambar lewat di samping mereka.
"Ah, kiranya cuma dua
orang batu saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir setelah melihat jelas
kedua penyerang itu.
"Tapi kalau tiada kau,
bisa jadi aku sudah berubah menjadi orang mati," kata Kim yan-cu.
Pwe-giok merasa bau harum
memabukkan, waktu ia menunduk, baru disadarinya Kim-yan-cu masih berada dalam
pelukannya, mulut si nona yang kecil mungil cuma beberapa inci di bawah
mulutnya.
Berdetak keras jantungnya.
Selagi ia hendak minta maaf, mendadak Kim yan-cu tertawa terkekeh-kekeh,
katanya: "Sin-to Kongcu yang kau katakan itu tentu akan mati kheki bila
melihat keadaan kita sekarang, Sungguh aku berharap dia benar-benar menyaksikan
adegan ini sekarang."
Tadinya Pwe-giok kuatir si
nona akan malu dan menjadi gusar, tak tahunya Kim-yan-cu jauh lebih terbuka
pikirannya daripada nya, bahkan juga tidak pura-pura malu dan berlagak rikuh
segala.
Sungguh mujurlah, seorang
lelaki dalam keadaan demikian dapat bertemu dengan seorang nona yang berhati
terbuka seperti ini. Mau-tak-mau gembira juga Pwe-giok, katanya dengan tertawa:
"Bahwa sekali ini dia tidak mengikuti kau, sungguh kejadian yang
aneh."
Dengan tertawa Kim-yan-cu
menjawab: "Sepanjang hari dia terus mengintil di belakangku, asalkan orang
lain memandang sekejap padaku, dia lantas marah. Sungguh aku pun merasa sebal,
maka kucari kesempatan untuk meninggalkan dia..." mendadak sorot matanya
menatap ke belakang Pwe-giok dan berkata pula: "Eh, coba . .. .coba
lihat..."
Pwe-giok berpaling, dilihatnya
dinding batu di belakangnya seperti berbentuk beberapa daun pintu, di atas
pintu terukir delapan huruf, di bawah cahaya perak itu warnanya kelihatan pucat
kehijau-hijauan.
Ke delapan huruf itu berbunyi:
"Siau-hun-bi-kiong, barang siapa masuk mati."
Terbelalak Kim-yan-cu
memandangi ukiran itu, katanya sambil berkerut kening: "Tempat penyimpanan
benda pusaka Thian-can-kau mengapa disebut Siau-hun-bi-kiong (istana penggetar
sukma)?"
Tapi dari ukiran cabul yang
dilihatnya di dinding gua tadi, lalu melihat lagi nama Siau-hun-bi-kiong ini,
tahulah Pwe-giok bahwa gua ini tidak saja "jahat", bahkan sangat
misterius dan sangat berbahaya, bisa jadi juga tempat yang sangat mengasyikkan,
tempat yang menakutkan tapi juga menarik seperti dalam dongeng itu.
Mendadak ia menatap Kim-yan-cu
dan bertanya: "Kau masih berani masuk ke sana?"
"Apakah dengan kedelapan
huruf ini dapat menggertak mundur kita?" jawab Kim-yan-cu dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, katanya
kemudian; "Tapi kalau Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam
sana?"
Kim-yan-cu juga melengak,
katanya: "Mengapa mereka tidak berada di dalam? Masa kakek itu membohongi
aku?"
"Setahuku, Khing-hoa-sam
niocu tidak berada di dalam," tutur Pwe-giok. "Mengenai sebab apa si
kakek membohongi kau, inipun aku tidak habis mengerti,"
Kim-yan-cu berpikir sejenak,
katanya kemudian pelahan: "Coba, menurut kau, sesudah begini, apakah kita
masih dapat keluar lagi?"
Dia membetulkan rambutnya yang
agak kusut, Ia lalu menyambung pula: "Sekarang biarpun kita mengetuk tiga
ratus kali di dinding batu itu juga si kakek takkan melepaskan kita keluar.
Jika dia telah menipu kita masuk ke sini, betapapun pasti ada maksud
tujuannya."
"Setiap langkah di sini
ada kemungkinan akan menghadapi bahaya," kata Pwe-giok kemudian.
"Kukira lebih baik kau
tunggu di sini saja, biarlah ku masuk lebih jauh untuk memeriksanya."
"Kau sendiri bilang, dua
orang berada bersama jauh lebih baik daripada sendirian," ucap Kim-yan-cu
dengan tersenyum manis.
Dalam keadaan begini, biasanya
watak asli setiap orang akan tertampak, orang yang menggemaskan bisa bertambah
menggemaskan, orang yang menyenangkan bisa pula bertambah menyenangkan.
Tanpa terasa Pwe-giok menarik
tangan Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Marilah kita maju lagi ke
sana, asalkan hati-hati kukira takkan..."
Belum habis ucapannya mendadak
kaki terasa menginjak tempat kosong, lantai batu di bawahnya mendadak merekah
menjadi sebuah lubang, kontan tubuh kedua orang terjeblos ke bawah.
Kim-yan cu menjerit kaget,
tapi segera dirasakan tangan Pwe-giok yang menggandeng tangannya itu menolaknya
dengan kuat, oleh tenaga dorongan yang kuat itu tubuh Kim-yan cu dapat ditolak
ke atas. Sebaliknya Pwe-giok sendiri tetap terjerumus ke bawah.
Berkat tenaga dorongan
Pwe-giok itu, Kim-yan-cu berjumpalitan sekali di udara dan menancapkan kakinya
di tepi lubang itu, teriaknya: "He, kau . . . . kau bagaimana?"
Lubang di bawah tanah itu
ternyata sangat dalam, cahaya perak geretan api yang dipegang Pwe-giok
kelihatan gemerdep jauh di bawah, tapi tidak jelas apakah anak muda itu masih
hidup atau sudah mati.
Saking cemasnya Kim-yan-cu
mengucurkan air mata, teriaknya parau: "Ja... jawablah, kenapa kau diam
saja?"
Tapi tetap tiada suara jawaban
dari bawah.
Kim-yan-cu menjadi nekat, ia
pejamkan mata dan hendak ikut terjun ke bawah.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong seorang telah meraihnya dengan erat. Cepat Kim-yan-cu membuka
mata, cahaya perak kelihatan masih gemerdep di bawah lubang sana, ia terkejut
dan heran siapakah yang menariknya. Waktu ia mengawasi lebih cermat, siapa lagi
orang yang berdiri di sebelahnya dengan tersenyum simpul jika bukan Ji Pwe-giok
adanya?
Kejut dan girang bercampur
aduk, Kim-yan-cu menjerit tertahan terus menubruk ke dalam pelukan Pwe-giok, serunya:
"Ai, kau bikin aku mati kaget, ken .... kenapa tadi kau tidak
bersuara?"
Dengan tersenyum Pwe-giok
menjawab: "Dengan menahan napas tadi ku sempat panjat dinding gua, bila
membuka mulut, tentu akan kehilangan tenaga dan bisa jadi benar-benar terjerumus
ke bawah."
"Kulihat gemerdep nya api
geretan di bawah sana, kukira .... kukira kau sudah tamat, siapa tahu geretan
api itu cuma terjatuh saja ke bawah dan kau.... kau masih hinggap di dinding
gua dan dapat naik ke atas."
Pwe-giok memandangnya lekat-lekat,
ia menghela napas dan berucap: "Dan untuk apa kau bertindak
demikian?"
Yang dimaksudkannya ialah
tindakan Kim-yan-cu yang hendak ikut terjun ke bawah tadi.
Kim-yan-cu menunduk, jawabnya
pelahan: "Bilamana kau mati lantaran menyelamatkan diriku, lalu apakah aku
dapat hidup sendirian?"
Mendadak ia menengadah dan
tertawa cerah, katanya: "Tidak cuma kau saja, siapapun kalau mati demi
menyelamatkan diriku, kukira aku pasti tak dapat hidup lagi sendirian."
"Apa yang kau katakan
terakhir ini sungguh bisa mengecewakan harapanku," Pwe-giok sengaja
menggoda dengan mata berkedip-kedip.
"Ku tahu, orang semacam
kau ini pasti sudah lama mempunyai kekasih," ucap Kim-yan-cu dengan
tersenyum. "Sebab itulah bilamana kukatakan akan mati demi dirimu,
bukankah akan membuat kau serba salah?"
Tanpa terasa Pwe-giok memegang
pula tangan si nona, katanya dengan tertawa: "Haha, sungguh kau ini anak
perempuan satu-satunya yang tidak membikin kesal daripada semua anak perempuan
yang pernah kukenal."
Ia merasa sangat gembira bisa
berada dengan anak perempuan seperti Kim-yan-cu, orangnya lugu, terus terang,
tidak sok, tidak pura-pura dan tidak menonjolkan diri, juga tidak suka membikin
kesal orang. Anak perempuan demikian sungguh terlalu sedikit di dunia ini.
Namun geretan api tadi sudah
jatuh ke bawah, sambil memandangi api geretan yang masih gemerdep itu, kedua
orang menjadi sedih.
Sekilas mendadak Pwe-giok
melihat pedang pendek bersarung perak itu. Segera ia melolos pedang itu, sinar
pedang kemilauan, ia menusuk pelahan dan hampir seluruh pedang itu amblas ka
dalam batu. Sekali pedang diputar, batu itu lantas berlubang.
"Tajam amat pedang
ini," seru Pwe-giok girang. "Untuk menjemput kembaii geretan api itu
terpaksa harus kita andalkan pedang ini."
Lebih dulu ia mengerek Kim-yan-cu
ke bawah, dengan pedang pendek itu Kim-yan-cu membuat sebaris lubang di
dinding, kemudian Pwe-giok merambat ke bawah dengan lubang-lubang di dinding
itu sebagai tangga dan geretan api itu berhasil di jemput kembali.
Dilihatnya di dasar gua itu banyak
terpasang pisau tajam, ujung pisau penuh berserakan kain baju dan tulang
kering, melihat kain baju yang sudah lapuk itu sedikitnya korban-korban itu
sudah jatuh 20 tahun yang lalu, hanya satu di antaranya, yaitu mayat perempuan
berbaju hijau kelihatan pakaiannya masih baru, mayatnya juga belum membusuk.
Diam-diam Pwe-giok membatin:
"Melihat tengkorak-tengkorak ini dan kematian perempuan berbaju hijau ini
jaraknya sedikitnya ada 20 tahun lamanya. Jangan-jangan Siau-hun-bi-kiong ini
sudah 20 tahun tak dikunjungi orang. Jadi rahasia di sini sudah terpendam
antara 20 tahun dan baru akhir-akhir ini ditemukan orang. Dengan sendirinya
tempat ini bukan gudang penyimpan harta pusaka Thian-can-kau segala."
Kim-yan-cu menggosok-gosok
sepatunya di lantai untuk menghilangkan lumut dan kotorannya, maka tertampaklah
lantai batu yang rajin dan licin. Ia berkerut kening dan berkata:
"Sepanjang jalan ini mungkin penuh dengan jebakan, cara bagaimana kita
harus maju lebih lanjut?"
"Kau ikut di belakangku,
jangan terlalu dekat, dengan demikian, andaikan aku terjeblos kan masih ada
yang bisa menolong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
Mendadak Kim-yan-cu berteriak:
"Sebenarnya ini kan urusanku, mestinya aku yang berjalan di depan, tidak
perlu kau anggap aku orang perempuan dan segala sesuatu baru mengalah
padaku!"
Pwe-giok tertawa, katanya:
"Meski aku tidak ingin menganggap kau sebagai perempuan, tapi nyatanya kau
memang perempuan. Di depan orang perempuan kaum lelaki sok berlagak sebagai
pahlawan, kenapa kau tidak mau mengalah padaku?"
Kim-yan-cu memandangnya
tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa: "Sungguh kau ini
satu-satunya lelaki yang tidak menjemukan yang pernah kulihat."
Pwe-giok terus berjalan ke
depan dengan lebih hati-hati, sebelum langkahnya terasa mantap, tentu dia
mencoba-cobanya dulu apakah tiada sesuatu jebakan. Sudah tentu reaksinya juga
jauh lebih peka daripada orang lain.
Sepanjang jalan ternyata tiada
perangkap lagi, sesudah beberapa tombak jauhnya, sekonyong-konyong terlihat dua
patung batu wanita telanjang yang saling rangkul dengan mesra, bukan saja
perawakan patung itu terukir dengan indah dengan garis-garis tubuhnya yang
menyolok, bahkan wajahnya juga terukir dengan mimik yang "hot" dan
penuh daya merangsang. Meski patung telanjang ini sudah penuh debu, tapi
siapapun juga pasti akan berdetak jantungnya bila melihatnya.
Kedua patung batu ini lebih
besar sedikit daripada orang hidup dan tepat menghadang di tengah jalan.
Selagi Pwe-giok hendak mencari
tombol rahasia untuk menyingkirkan patung itu, dengan muka merah mendadak
Kim-yan-cu merampas geretan api yang dipegang Pwe-giok sambil mendengus:
"Hm, di tempat ini penuh barang begini melulu, sungguh memuakkan."
Sembari berkata mendadak ia
mendepak.
Pwe-giok bermaksud
mencegahnya, namun sudah terlambat.
Kontan dari pusar salah satu
patung perempuan telanjang itu menyemburkan kabut bubuk putih, cukup keras
semburan itu dan langsung menyemprot muka Kim-yan-cu.
Cepat Pwe-giok menariknya ke
samping, tanyanya dengan kuatir: "Sudahkah kau cium baunya?"
Karena gugupnya ia sendiripun
lupa menahan napas sehingga hidungnya juga sempat menghisap sedikit bau harum
bedak.
Baru saja Kim-yan-cu
menggeleng, dilihatnya Pwe-giok telah duduk bersila dan sedang mengatur
pernapasan.
"Kau . . . . kau ..."
tanya Kim-yan-cu dengan suara gemetar, ia tahu dirinya yang telah membikin
gara-gara lagi.
Berulang-ulang Pwe-giok
mengedipi si nona agar jangan bicara. Meski Kim-yan-cu sudah tutup mulut, tapi
hatinya tambah gelisah. Selang sejenak, dilihatnya Pwe-giok menghela napas
panjang dan berkata: "Untung jarak waktunya sudah terlalu lama sehingga
khasiat obat ini sudah kurang manjur, kalau tidak . . . . "
"Meski khasiat obat sudah
kurang manjur, tapi kalau sampai mukaku kesemprot, jiwa tetap bisa melayang,
betul tidak?"
"Bisa jadi!" ucap
Pwe-giok. "Kembali kau telah menyelamatkan diriku," kata Kim-yan-cu
dengan menghela napas.
Dengan cahaya geretan Pwe-giok
menyinari patung perempuan telanjang itu dan dipandangnya dengan cermat,
sejenak kemudian, mendadak ia berkata; "Coba, pejamkan matamu?"
"Kenapa aku tidak boleh
melihatnya?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Letak kunci rahasianya
di tempat yang kurang sopan," tutur Pwe-giok dengan menyengir.
Belum habis ucapannya, cepat
Kim-yan-cu memejamkan matanya. Entah di bagian mana Pwe-giok telah meraba dan
memutarnya, lalu terdengarlah suara "Kreek", kedua patung yang saling
rangkul itu mendadak terpisah sehingga bagian tengah terluang jalan lewat
selebar setengah meteran, segera Kim-yan cu lewat ke sana melalui pangkuan
kedua patung telanjang itu.
Ia menghela napas, katanya
dengan gegetun; "Tak tersangka kau pun mahir berbagai macam permainan
setan begini. Tanpa kau, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat lewat
kesini."
"Menurut pendapatku,
daripada masuk ke situ akan lebih baik tidak masuk saja ke sana," kata
Pwe-giok pelahan.
"Sebab apa?" tanya
Kim-yan-cu dengan tertawa. "Setiap tempat di sini, seumpama tiada
persoalan Khing-hoa-sam niocu juga aku ingin masuk ke sana untuk
melihatnya."
"Tempat yang semakin
besar rahasianya, bahaya yang akan timbul juga semakin besar..."
"Ada kau, apa yang
kutakuti?"
Terpaksa Pwe-giok menyengir
pula. Segera ia membuka jalan di depan. Selewatnya rintangan patung telanjang
itu, debu di lantai juga lebih sedikit, di bawah cahaya perak yang gemerdep
samar-samar kelihatan juga penuh gambar dan corat-coret.
Ternyata corat-coret dan
gambar di lantai juga melukiskan adegan mesra antara lelaki dan perempuan.
Pwe-giok mengamatinya sejenak
katanya kemudian: "Hendaklah kau ingat di mana kakiku menginjak dan ke
situ pula kau ikut melangkah, jangan sampai salah."
Dan di mana kakinya menginjak
pertama ternyata adalah bagian tubuh yang paling tidak sopan yang terlukis di
lantai itu.
Sambil ikut melangkah,
berulang-ulang Kim-yan-cu mengomel: "Benar-benar tempat setan dan tidak
boleh didatangi orang baik?"
"Sebabnya tuan rumah
sengaja mengatur begini tempatnya, mungkin tujuannya justeru hendak mencegah
datangnya orang baik-baik. Sekalipun orang tahu rahasianya, tapi sungkan juga
datang ke sini. Kalau tidak, mana bisa dia terlepas dari tuntutan hukum."
"Bagaimana dengan kau?
Kau orang baik-baik bukan?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Terkadang baik,
terkadang juga tidak," jawab Pwe-giok tertawa.
Kim-yan-cu tertawa genit,
katanya: "Kau ternyata tidak menjemukan bahkan rada menyenangkan..."
Belum habis ucapannya,
mendadak suara tertawanya terhenti. Dilihatnya seorang gadis berbaju merah
tergantung terbalik dengan muka yang menyeringai seram.
"He, tampaknya barang
siapa masuk mati, kata-kata ini bukan cuma gertak sambel belaka," seru si
walet emas dengan ketakutan.
Mayat gadis berbaju merah ini
masih utuh, paling-paling baru dua-hari dia mati.
"Tempat yang sudah
terpendam selama puluhan tahun, bilamana diketemukan orang, seketika akan
berbondong-bondong didatangi orang banyak, apakah rahasia yang terdapat di
tempat ini memang betul-betul sedemikian menarik sehingga matipun tak terpikir
oleh orang-orang?" demikian gumam Pwe-giok.
Baru dua-tiga langkah,
dilihatnya pula mayat seorang perempuan berbaju ungu, mati terpantek di dinding
oleh sebatang paku raksasa berbentuk aneh. Kedua tangannya tampak erat
memegangi pangkal paku, jelas sebelum mati dia berusaha mencabut paku itu, tapi
tidak mampu mencabutnya sehingga dia mati terpantek hidup-hidup.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu
memandangnya, ia merasa mual dan hampir saja tumpah-tumpah.
Selanjutnya setiap beberapa
langkah lagi ke depan pasti ditemukan sesosok mayat perempuan, ada yang mati
terbacok golok, ada yang mukanya hancur, ada yang mati terhimpit di tengah
celah-celah batu.
"Jalan ini benar-benar
maut menunggu pada setiap langkah, jika aku tidak mengikuti kau, mungkin
sekarang sudah... sudah mengalami nasib serupa anak-anak perempuan ini,"
kata Kim yan-cu dengan suara gemetar.
"Tapi mereka dapat sampai
di sini, suatu tanda di antara mereka pasti ada orang yang pintar," ujar
Pwe-giok.
"Darimana kau tahu mereka
datang bersama?" tanya Kim-yan-cu.
"Kuyakin mereka pasti
satu rombongan," jawab Pwe-giok.
"Pada masa hidupnya
anak-anak perempuan ini pasti muda dan cantik, tapi untuk apakah mereka datang
ke tempat setan ini dan mengantarkan nyawa," ujar Kim-yan-cu.
"Hanya ada satu
alasan," ujar Pwe-giok, "meski tempat ini bukan gudang penyimpan
pusaka Thian-can-kau, tapi pasti terpendam satu partai harta karun yang tak
ternilai jumlahnya."
Mendadak Kim-yan-cu berhenti
melangkah dan berkata: "Menurut kau, kakek itu sengaja menipu kita masuk
ke sini, mungkinkah kita hanya dijadikan perintis jalan baginya?"
"Kukira memang demikian,
makanya dia berharap lebih tinggi ilmu silat kita akan lebih baik pula, tidak
sayang meminjamkan pedang wasiat kepadamu."
"Wah, kalau begitu,
apabila kita bisa masuk ke sana, hal ini sama saja seperti membuka jalan
baginya," seru Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Dan umpama kita
menemukan benda mestika terpaksa juga harus diserahkan kepadanya. Dan kalau
kita mati, dia sendiri tidak rugi. Hati orang tua ini sungguh keji, padahal
kita tidak pernah kenal dia, namun dia tega menggunakan jiwa kita sebagai
taruhan bagi kepentingannya."
"Di dalam hal ini masih
ada kejadian lain yang aneh," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
"Hal .... hal apa?"
tanya Kim-yan-cu.
"Coba kau lihat, jenazah
ini semuanya adalah perempuan, di dasar lubang tadi, kulihat kerangka tulangnya
juga seluruhnya tulang perempuan, apakah orang yang datang ke sini dan
mengincar harta pusaka ini tiada seorang lelaki pun?"
"Hal ini ada dua alasan,
apakah kalian ingin tahu?" mendadak seorang menanggapi dengan tak acuh.
Mendengar suara yang datar dan
hambar ini, air muka Kim yan-cu seketika berubah, ia tarik tangan Pwe-giok dan
berkata: "Hahh, dia .... dia ikut masuk ke sini."
"Jika kugunakan kalian
sebagai perintis jalan dengan sendirinya aku mesti ikut masuk kemari,"
kata si kakek.
"Setelah kalian menghancurkan
semua perangkap yang terpasang di sini, maka aku pun tidak perlu bersusah payah
lagi."
Di tengah gemerdepnya cahaya
perak, tahu-tahu orang tua itu sudah muncul seperti badan halus.
Dongkol dan gusar pula
Kim-yan-cu, omelnya: "Kuhormati kau sebagai orang tua, tapi kau bertindak
kejam kepada kami malahan tanpa malu-malu kau mengakui perbuatanmu."
"Meski kalian telah
menderita bagiku, tapi juga tidak bekerja percuma, kalianpun akan menarik
keuntungannya," kata si kakek bercahaya perak.
"Apalagi kalian diberi
kesempatan pesiar ke sini, andaikan matipun tidak perlu penasaran."
"Sesungguhnya tempat
apakah ini?" tanya Kim-yan cu.
"Kenapa kalian tidak
melihatnya sendiri, itulah dia!" kata si kakek.
Waktu Kim-yan-cu memandang ke
arah yang ditunjuk, terlihat di samping mayat seorang perempuan berbaju hijau,
di atas dinding terukir 16 huruf besar yang berbunyi: "Un-yu-ci-biang,
bing-lok-ci-kiong" atau surga yang hangat, istana yang gembira. Lalu di
bawahnya: "Siau-hun-si-kut, jik-tok-ji-hiong" atau sukma tergetar
tulang terhapus, selain keji juga ganas.
"Empat puluh tahun yang
lalu, tempat inilah surga yang di impi-impikan oleh setiap pendekar muda di
seluruh dunia ini," demikian tutur si kakek. "Barang siapa dapat
berkunjung ke sini, sekalipun tulang terhapus dan sukma tergetar juga
rela."
"Apa sebabnya?"
tanya Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Sebab kalau sudah berada
di sini barulah diketahui sesungguhnya apa kegembiraan kaum lelaki? Hahaha,
cuma sayang, setelah menikmati kebahagiaan ini, lalu orang itupun harus
mati."
Sampai di sini, si kakek
bergelak tertawa beberapa kali, namun suaranya tetap hambar, tiada
tinggi-rendahnya nada, juga tiada terdengar rasa suka atau duka.
Kim-yan-cu menarik napas
dingin, ucapnya kemudian: "Jika demikian, mengapa di sini tidak terlihat
mayat lelaki seorangpun?"
"Soalnya waktu itu setiap
lelaki harus menunggu setelah masuk istana dan dinilai dulu oleh Siau-hun
Kiongcu (puteri penggetar sukma), habis itu barulah dia akan mati," tutur
Si kakek.
"Jika sudah tahu tempat
setan yang jahat ini mengapa anak perempuan juga sengaja kemari?" tanya
Kim-yan-cu.
"Untuk ini memang banyak
alasannya," tutur pula si kakek. "Ada sementara orang perempuan yang
iri kepada kecantikan Siau-hun-kiongcu dan bertekad akan membunuhnya. Ada lagi
yang dendam karena suami atau kekasih sendiri menjadi korban pikatan sang
Kiongcu dan sengaja datang kemari untuk menuntut balas..."
"Tapi kalau
Siau-hun-kiongcu itu masih hidup sampai sekarang, tentunya dia sudah berwujud
siluman tua, mengapa masih tetap ada anak perempuan sebanyak ini yang mengantar
nyawa ke sini?"
"Meski Siau-hun-kiongcu
sudah mati, tapi harta pusakanya dan kitab wasiat tinggalannya masih berada di
sini," kata si kakek. "Harta pusakanya tidak perlu dipersoalkan,
melulu kitab wasiat pelajaran ilmu silatnya saja selama berpuluh tahun ini
selalu diincar oleh setiap perempuan di dunia ini, tak perduli siapapun,
asalkan bisa memperoleh Bikang (ilmu memikat) Siau hun-kiongcu, maka setiap
lelaki di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di bawah kakinya."
Kim-yan cu memandang Pwe-giok
sekejap, tanpa terasa air mukanya menjadi merah pula, katanya: "Barang
kotor begitu, melihat saja aku tidak sudi."
Si kakek tertawa
terkekeh-kekeh, katanya: "Tapi sekali sudah kau lihat mungkin kau akan merasa
berat untuk melepaskannya."
Sekonyong-konyong sorot
matanya beralih ke arah Pwe-giok, katanya pula; "Meski ilmu silatmu kurang
memadai, tapi pengetahuanmu dalam hal-hal lain ternyata cukup luas, orang
seperti kau ini rasanya sayang jika kubunuh."
Pwe-giok tersenyum, katanya:
"Saat ini kita belum masuk ke istana, dengan sendirinya kau takkan
membunuhku."
Mencorong sinar mata si kakek,
ucapnya: "Jika kau dapat membawaku masuk ke istana ini, bukan saja tidak
kubunuh kau, bahkan akan ku bagi sama rata harta pusaka yang kita temukan
nanti."
"Dan kalau aku tidak
mau?" tanya Pwe-giok.
"Jika kau tidak mau,
sekarangpun jangan kau harap akan bisa hidup lagi," kata si kakek dengan
hambar.
"Tempat ini sudah
didatangi orang, bisa jadi harta pusaka yang terpendam di sini sudah diambil
orang," kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Sampai saat ini belum
pernah ada seorangpun yang dapat keluar dari sini dengan hidup!" ucap si
kakek dengan dingin.
Pwe-giok tertawa, katanya:
"Sering kudengar kata-kata seperti ini. Padahal tempat yang tak dapat
keluar dengan hidup justeru selalu ada orang yang keluar dengan hidup, hanya
keluarnya tidak diketahui orang lain."
Si kakek terbahak-bahak,
katanya; "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ke sembilan perempuan
ini masuk ke sini dan aku sendiri yang menyumbat jalan keluarnya, dua hari pula
ku jaga di luar. Bilamana ada orang keluar di luar tahuku, kedua biji mataku
ini rela kukorek keluar."
Dengan sorot mata gemerdep
Pwe-giok berkata pula dengan pelahan. "Kau membunuh segenap keluarga Ma
Siau-thian, apakah lantaran kau mencurigai dia membocorkan rahasia tempat ini
kepada ke sembilan perempuan ini."
"Hm, kau sudah bertanya
terlalu banyak," jawab si kakek dengan sorot mata tajam.
"Hanya karena mencurigai
seorang, lalu kau bunuh segenap keluarganya, tidakkah caramu ini terlalu keji
dan kejam?" seru Kim-yan-cu.
"Jangan lupa, yang
kubunuh adalah anggota Thian-Can-kau," jawab si kakek dengan tak acuh.
"Lantaran mereka
membocorkan rahasiamu kepada orang lain, makanya kau bunuh mereka,
begitu?" Kim-yan-cu menegas.
"Hm!" si kakek cuma
mendengus saja.
"Tapi dari mana pula
orang Thian-can-kau mengetahui rahasiamu?" teriak Kim-yan-cu.
"Jangan-jangan kau pun
sekomplotan dengan mereka?"
Mendadak si kakek membalik
tubuh dan "plok", tangannya menepuk dinding batu, lalu menjawab
dengan pelahan: "Kaupun sudah terlalu banyak bertanya."
Melihat dekukan cap tangan di
dinding, Kim-yan-cu mencibir dan tidak bersuara pula.
o oO 0O0 Oo o
Cukup lama Pwe-giok meraba dan
mencari dan berulang-ulang bergumam: "Jangan-jangan pintu masuk istananya
tidak terletak di sini?"
"Di depan sudah buntu,
kalau pintunya tidak di sini, lalu di mana?" ujar si kakek.
Pwe-giok berpikir sejenak, ia
menggeser sesosok mayat perempuan berbaju hijau, tiada dilihatnya sesuatu luka
pada mayat ini, tapi kedua tangannya tampak matang biru.
Ia berjongkok, dengan sarung
pedang ia mencungkil jari-jemari mayat itu, dilihatnya jari telunjuk kanan-kiri
masing-masing ada setitik darah kering. Seperti luka yang habis digigit nyamuk
atau seperti bekas dicocok jarum bilamana orang hendak diperiksa darahnya pada
jaman ini. Namun begitu sudah mengakibatkan kematian perempuan ini.
Pwe-giok berdiri dan menghela
napas panjang, gumamnya pula: "Kiranya rahasia untuk masuk ke dalam istana
ini terletak pada kedua titik di huruf "ci" ini."
Huruf yang terukir di dinding
batu itu pun, penuh debu, hanya kedua titik pada huruf "Ci" saja yang
kelihatan licin dan bersih, seolah-olah sering digosok.
Dengan girang Kim-yan-cu
berseru: "Aha, betul, aku pun tahu sekarang. Asalkan kedua titik pada
huruf Ci ini ditekan, seketika akan muncul pintunya, begitu bukan?"
Sambil berkata segera ia
hendak menekan kedua titik itu.
Cepat Pwe-giok mencegahnya dan
berkata: "Apakah kau pun akan meniru perempuan baju hijau ini? Jika setiap
kali hendak membuka pintu istana harus mengorbankan satu nyawa, harga ini
kukira terlalu mahal."
Mendadak sinar perak gemerdep,
si kakek telah merampas pedang pendek dan memotong kedua jari telunjuk mayat
itu, lalu digunakan menekan kedua titik huruf Ci itu.
Seketika dinding yang tadinya
rapat dan rata itu berbunyi keriat-keriut, pelahan-lahan dinding itu bergeser
dan muncul selapis tirai bermutiara yang melambai hingga menyapu lantai.
Cahaya mutiara gemerlapan
menyilaukan mata, di atas juga muncul enam belas huruf yang berbunyi:
"Kegembiraan yang bahagia, dinikmati bersama anda. Masuk ke dalam pintu
ini, sekaligus naik ke surga."
Air muka si kakek yang tadinya
dingin dan hambar itu seketika memperlihatkan rasa gembira dan bersemangat,
sinar matanya mencorong terang, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak; "Hahaha! Rahasia Siau-hun-niocu akhirnya terjatuh juga di
tanganku sekarang!"
Di tengah gelak tertawanya itu
ia lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.
Kim-yan-cu coba memeriksa
kedua potong jari kutung yang di buang ke lantai itu, ternyata pada ujung jari
yang sudah hitam kering itu bertambah lagi dua lubang kecil. Ia pandang
Pwe-giok sekejap, katanya dengan penuh rasa terima kasih: "Kembali kan telah
menyelamatkan diriku. Sungguh tak tersangka pada kedua titik kecil inipun
terpasang perangkap yang dapat membunuh orang."
Kiranya pada kedua titik itu
masing-masing ada sebuah jarum berbisa yang sangat lembut dan hampir sukar
terlihat oleh mata telanjang Bilamana jari itu tercocok jarum, hanya terasa
gatal sedikit dan bilamana mulai merasa sakit, maka tak tertolong lagi
orangnya.
Pwe-giok sedang memandangi
tirai bertabur mutiara itu, seperti sedang menimbang apakah harus ikut masuk
atau tidak. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang pucat terjulur keluar dari
balik tirai dan menarik Kim-yan-cu ke dalam.
Terdengar si kakek berkata:
"Harta pusaka ini ada separuhnya adalah milikmu, kenapa kau tidak ikut
masuk kemari?"
Belum habis ucapannya Kim
yan-cu sudah terseret masuk ke sana.
Diam-diam Pwe-giok merenungkan
apa yang bakal terjadi nanti, pikirnya; "Setelah maksud tujuannya
tercapai, orang tua ini pasti takkan melepaskan diriku..."
Sementara itu didengarnya
suara sorak gembira Kim-yan-cu, akhirnya Pwe-giok ikut melangkah masuk ke sana.
Di balik tirai itu memang
betul terdapat suatu dunia lain. Seketika Pwe-giok merasa silau oleh
gemerlapnya cahaya emas dan sinar perak sehingga tidak jelas keadaan di dalam.
Tiba-tiba Kim-yan-cu
mendekatinya dengan membawa sebuah cangkir kumala, di dalam cangkir penuh
terisi ratna mutu manikam yang kemilauan sehingga wajah si nona yang
berseri-seri itu semakin menarik.
"Lihatlah, betapa indah
benda-benda ini?" seru si nona dengan berjingkrak gembira.
"Kau suka?" tanya
Pwe-giok.
"Anak perempuan mana yang
tidak suka kepada intan permata? Kalau lelaki suka kepada intan permata adalah
karena nilainya yang tinggi, sedangkan perempuan suka kepada intan permata
adalah karena keindahannya. Coba lihat, yang ini bagus atau tidak?"
Dia lantas angkat seuntai
kalung mutiara dan digantung di depan lehernya, cahaya mutiara yang kemilauan
menyinari kerlingan matanya yang redup seperti agak mabuk.
Pwe-giok menjawab dengan
gegetun: "Betapa pun indahnya mutiara ini, mana bisa lebih indah daripada
kerlingan matamu?"
Kim-yan-cu menunduk dan
tertawa, mukanya menjadi merah.
Tapi si kakek bercahaya perak
tadi sama sekali tidak memandang mereka, terhadap ratna mutu manikam yang
memenuhi ruangan itu seolah-olah juga tidak tertarik, ia masih terus mencari
dan menggeledah di segenap pelosok.
Mutiara, jamrud, kumala,
mirah, safir . . .. satu persatu dibuangnya di lantai seperti membuang sampah.
Sungguh aneh, apakah barang yang dicarinya bisa lebih berharga daripada
benda-benda mestika ini?
"Menurut kau, apakah dia
sedang mencari Siau-hun-pit-kip (kitab pusaka penggetar sukma) tinggalan
Siau-hun-kiongcu itu?" tanya Kim-yan cu dengan suara tertahan.
"Kukira begitulah,"
jawab Pwe-giok.
Kim-yan-cu tertawa cekikik,
katanya: "Dia kan bukan perempuan, seumpama berhasil meyakinkan ilmu
memikat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, lalu apa gunanya?"
Pwe-giok berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Bisa jadi Kungfu yang diyakinkan nya sehaluan dengan
ilmu Siau-hun kiongcu ini. Jika keduanya bergabung dan saling menambal kekurangan
masing-masing, dengan sendirinya lantas besar manfaatnya. Atau mungkin juga dia
mempunyai anak perempuan..."
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong terdengar si kakek bergelak tertawa seperti orang gila.
Terlihat tangannya yang pucat itu memegangi beberapa jilid buku tipis warna
jambon, rasa gembiranya itu jauh melebihi Kim-yan-cu ketika menemukan batu
permata tadi.
Tanpa terasa Pwe-giok menghela
napas panjang.
"Cita-citaku telah
terkabul, kau harus ikut bergembira bagiku, kenapa kau menghela napas?"
omel si kakek dengan tertawa.
"Soalnya Cayhe lantas
teringat kepada pepatah "Niau-cin-kiong-cong" (burung habis gendewa
disimpan, kiasan bahwa setelah burung terbidik, gendewa tidak diperlukan lagi),
maka aku menjadi sedih."
"Kan sudah kukatakan
takkan kubunuh kau, masa aku ingkar janji," ujar si kakek dengan tergelak.
Lalu ia menggunakan tangan kiri dan memberi tanda garis tengah ruangan itu dan
berkata pula: "Bukan saja jiwamu takkan kuganggu, bahkan aku tetap pegang
janji dan akan ku bagi separoh harta pusaka ini kepadamu. Di sinilah batasnya,
yang sebelah sana semuanya adalah milikmu, boleh kau ambil saja sesukamu."
"Anda dapat pegang janji,
tidak sia-sia ku sebut engkau sebagai Cianpwe," ujar Kim-yan-cu dengan
tertawa.
Tapi Pwe-giok menanggapi
dengan tak acuh: "Biarpun Cianpwe memberikan kepadaku seluruh harta pusaka
ini, kalau tidak dapat kubawa keluar kan juga percuma dan tiada gunanya,"
Sembari bicara, seperti tidak
sengaja, ia tetap menghadang di depan pintu tanpa bergeser.
Si kakek tertawa, katanya:
"Meski ilmu silatmu kurang tinggi, kukira tenagamu cukup kuat, boleh kau
bungkus saja harta pusaka ini sekantong demi sekantong, kan akhirnya dapat kau
bawa pergi seluruhnya?"
"Sekalipun Cianpwe tidak
mengganggu jiwaku, tapi bila Cayhe sedang meringkasi benda-benda berharga ini,
mungkin Cianpwe terus melayang keluar dan menyumbat pintu keluar, lalu apa
gunanya biarpun Cianpwe memberikan seluruh harta karun ini kepadaku?"
Tak tersangka oleh si kakek
bahwa pemuda yang tampaknya lugu dan tulus itu dapat menerka isi hatinya.
Sejenak ia melenggong, dari malu ia menjadi gusar, segera ia membentak:
"Kau menghadang di depan pintu, apakah kau kira aku tidak mampu
keluar?"
Di tengah bentakannya kelima
jarinya laksana kaitan terus mencengkeram urat nadi pergelangan tangan
Pwe-giok.
Mendadak Pwe-giok memutar
tangannya dan berbalik memotong urat nadi lawan, gerakan cepat dan balas
menyerang secara licin ini membuat si kakek terkejut, cepat telapak tangannya
yang lain juga memukul.
Pwe-giok tidak mengelak juga
tidak menghindar atas serangan si kakek, ia malah sambut pukulan lawan dengan
sebelah tangannya, "plak" kedua tangan beradu, kedua orang sama-sama
tergetar mundur dua-tiga tindak.
Si kakek sama sekali tidak
menyangka Kungfu anak muda ini bisa sedemikian lihai, ia terkejut dan gusar,
katanya dengan menyeringai: "Tak terduga boleh juga kau, akulah yang salah
pandang!"
Belum habis ucapannya,
sekaligus ia sudah menyerang beberapa jurus lagi. Di tengah serangannya yang
aneh itu membawa gerakan keji.
Namun Pwe-giok dapat
mematahkan setiap jurus serangan lawan, cuma dia baru sembuh dari keracunan,
setelah belasan gebrakan, tenaga mulai terasa lemah. Mendadak ia membentak pada
Kim-yan cu: "Kenapa kau tidak lekas terjang keluar?"
Kim yan-cu memang lagi kesima
menyaksikan pertarungan mereka, ia terkesiap oleh bentakan Pwe-giok itu, tapi
ia lantas menjawab dengan tertawa: "Dua lawan satu kan lebih baik daripada
sendirian biarlah akupun maju..."
Cepat Pwe-giok memotong:
"Dengan kepandaianmu, biarpun ikut maju juga tiada gunanya. Terjang keluar
saja dan jangan hiraukan diriku!"
Karena bicara dan sedikit
lengah, kembali dia terdesak mundur dua tiga langkah.
Melihat pertarungan kedua
orang sedemikian rapatnya sehingga dirinya tidak mungkin ikut campur, terpaksa
Kim-yan cu menghela napas, mendadak ia melompat lewat samping si kakek.
Tak terduga punggung si kakek
seakan-akan juga tumbuh mata, sebelah tangannya menghantam ke belakang.
Kim-yan-cu tidak sanggup menangkis, dada terasa sesak, ia terpental dan jatuh
terguling ke belakang.
Pada kesempatan itulah
Pwe-giok juga melancarkan serangan sehingga dapat mendesak maju ke tempat
semula. "Apakah kau terluka?" tanyanya kepada Kim-yan-cu.
Tubuh Kim-yan cu terasa pegal
seluruhnya tapi dia menjawab dengan tersenyum: "Tidak apa-apa jangan kau
pikirkan diriku!"
Melihat senyuman si nona yang
setengah meringis itu, Pwe-giok tahu dalam waktu singkat mungkin Kim-yan-cu
tidak sanggup berbangkit. Pikirannya menjadi kusut, kembali dia terdesak mundur
lagi oleh hantaman si kakek.
Dengan menggertak gigi
Pwe-giok menyambut pula tiga kali pukulan kakek itu. Kedua orang berdiri di
luar dan di dalam tirai, sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, tirai itu pun
robek, mutiara dan batu permatanya berserakan di lantai.
"Mengapa kau tidak
bersuara, apakah kau terluka?" tanya Kim-yau-cu dengan parau.
Terpaksa Pwe-giok berteriak;
"Kau jangan kuatir, aku...." karena bersuara, bawa murni dalam tubuh
tambah lemah, kembali dia terdesak mundur dua langkah, kini ia sudah terdesak ke
luar pintu.
Si kakek terus mendesak
keluar, serunya dengan tertawa: "Kalian berdua boleh dikatakan dua sejoli
yang sehidup semati, sungguh aku menjadi iri."
Pada waktu si kakek bicara,
segera Pwe-giok bermaksud menyerang dan mendesak kembali ke tempat semula, tapi
sayang, tenaga tidak mau menuruti kehendaknya lagi. Kain putih yang membalut
kepalanya juga sudah basah kuyup oleh air keringat. Dalam keadaan demikian
kalau dia mau kabur sendiri mungkin masih ada harapan, tapi mana dia tega
meninggalkan Kim-yan-cu begitu saja?
Agaknya si kakek dapat meraba
jalan pikirannya dengan menyeringai ia berkata pula: "Jika kau tidak
keluar sekarang, segera akan kututup pintu ini, akan kukurung dia di dalam,
dengan demikian jangan harap lagi kalian akan berkumpul kembali."
Pwe-giok menghela napas,
katanya: "Jika demikian, hendaklah kau memberi jalan, biar aku lewat ke
sana."
Si kakek terbahak-bahak, benar
juga ia lantas menyingkir ke samping.
Dengan sedih Pwe giok
melangkah ke sana. Tapi baru saja sampai ambang pintu, Cepat Pwe giok
berteriak: "Sudah kutahan dia, lekas kau lari!"
Dengan terhuyung-huyung Kim
yan cu berlari keluar, katanya dengan suara gemetar: "Dan. . . .dan
kau?"
Tidak kepalang gemas Pwe giok,
sungguh dia ingin mencekik leher si nona dan menghardiknya: "Kenapa kau
tidak lari keluar lebih dulu dan nanti berusaha lagi menolong diriku?"
Tapi ia sendiri sedang
terdesak oleh serangan si kakek sehingga tidak sempat bersuara sama sekali.
Si kakek sinar perak tertawa
terkekeh-kekeh katanya; "Demi keselamatan dirimu, dia rela mengorbankan
dirinya di sini, apakah kau tega pergi sendirian?"
"Sudah tentu tidak
mungkin ku pergi sendiri," jawab Kim-yan-cu tegas.
"Mau mati biarlah kami
mati bersama saja."
"Bagus," ujar si
kakek dengan tertawa. "Dengan demikian barulah dapat dikatakan punya
perasaan, sungguh aku sangat kagum."
Cemas dan gemas Pwe-giok
sungguh kalau bisa ingin ditendangnya keluar Kim-yan-cu. Karena gusarnya itu,
sedikit meleng, dada terasa panas, rupanya telah kena getaran pukulan si kakek.
Sekali ini dia tidak mampu balas menghantam lagi.
"Haha, apakah nona tidak
ingin masuk lagi ke sana?" seru si kakek dengan tertawa.
"Sudah tentu aku akan
masuk ke sana, tidak perlu kau kuatir," teriak Kim-yan cu dengan suara
serak.
Pwe giok hendak membentak
untuk mencegahnya, tapi belum lagi bersuara, tahu-tahu Kim-yan-cu sudah lari
masuk lagi dengan langkah sempoyongan dan menubruk ke dalam pelukannya.
Terdengar si kakek tertawa
latah, katanya: "Sudah kukatakan takkan kubunuh kau, tentu ku pegang teguh
janjiku ini. Tapi kalau kalian mati sesak di sini kan bukan salahku."
Habis berkata,
"krek" pintu batu itu telah tertutup.
Seketika di dalam gua itu
berubah menjadi sunyi senyap, sampai suara tertawa si kakek pun tidak terdengar
lagi.
Kim-yan-cu termangu-mangu
sejenak, akhirnya air mata bercucuran, ucapnya dengan tersendat-sendat:
"Semuanya gara-garaku sehingga kau pun ikut susah. Mengapa... mengapa kau
tidak melarikan diri sendiri tadi?"
"Dan kau sendiri mengapa
tidak mau lari?" jawab Pwe giok dengan menyesal. "Setelah kau keluar,
kau kan dapat berusaha menolong diriku? Dengan begitu kan lebih baik daripada
dua-duanya terkurung mati di sini?"
Kim yan-cu melenggong sejenak,
mendadak ia mengikik tawa.
"Apa yang kau
tertawakan?" tanya Pwe giok dengan berkerut kening. "Apakah salah
ucapanku?"
"Jika kau kira ucapanmu
itu masuk diakal, kenapa kau sendiri tidak lari keluar lebih dulu baru kemudian
berusaha menolong diriku lagi?" jawab Kim-yan-cu.
Sekali ini Pwe giok juga
melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan tersenyum kecut:
"Ya, betul juga. Tadinya kukira kau ini nona bodoh, tak tahunya akulah
yang jauh lebih bodoh daripadamu."
"Kau sama sekali tidak
bodoh," ujar Kim-yan-cu dengan suara lernbut, "hanya karena terlalu
memikirkan diriku, maka kau lupa akan dirinya sendiri."
Tanpa terasa Pwe-giok membelai
rambut si nona, katanya dengan gegetun: "Dan kau sendiri bagaimana?
Bukankah kau pun begitu, demi diriku kau pun lupa pada dirimu sendiri?"
Kim yan-cu bersuara tertahan
terus menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu.
Sejak kecil Pwe-giok sudah
kehilangan ibu, di bawah didikan sang ayah yang keras, meski sejak dulu sudah
mengikat jodoh, namun jari sang tunangan saja tidak pernah disentuhnya, bilakah
dia pernah merasakan kemesraan muda-mudi begini?
Seketika pikirannya menjadi
bingung, entah mesti gembira atau harus sedih. Entah suka entah duka?
Umumnya, orang yang sama-sama
berada dalam kesusahan memang lebih mudah menumbuhkan benih perasaan dengan
cepat, kecepatan yang sukar dibayangkan dan juga sukar dicegah.
Entah selang berapa lama,
mendadak Kim-yan-cu melompat bangun, dengan muka merah ia berkata: "Coba
lihat, kita telah berubah menjadi tolol semua sehingga tidak terpikir kalau
pintu ini dapat di buka dari luar, dengan sendirinya dapat pula dibuka dari
dalam. Kalau tidak, waktu Siau-hun-kiongcu masih hidup, apakah dia juga harus
dibukakan pintu dari luar bilamana dia ingin keluar?"
Merasa jalan pikirannya ini
sangat masuk diakal, tanpa terasa ia menjadi sangat gembira.
Sebaliknya Pwe-giok lantas
menghela napas panjang, ucapnya: "Kakek itu sudah tahu dimana letak kunci
pintu keluar masuk tempat ini, dia membawa pula pedang wasiat setajam itu,
cukup sekali bergerak saja semua alat rahasia dapat dirusaknya. Pintu batu ini
seberat ribuan kati, jika pegasnya rusak, siapa lagi yang sanggup menggesernya?
jika ia sudah berniat mengurung kita di sini, tentu juga sudah dipikirkannya
segala kemungkinannya."
Kim yan-cu melengak, senyumnya
tadi lenyap seketika, katanya dengan ragu-ragu: "Tapi harta... harta benda
yang terdapat di sini, apakah tidak... tidak dikehendakinya lagi?"
"Bila kita mati terkurung
di sini, tentu harta karun inipun takkan lari, lambat atau cepat tetap akan
jadi miliknya, untuk apa dia terburu-buru mengambilnya? apalagi tujuannya
sebenarnya bukan terletak pada harta karun ini."
Dengan lemas Kim-yan cu
berduduk lagi, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia tertawa cerah pula dan
berkata: "Sebelum pagi hari ini, sungguh mimpipun tak terpikir olehku akan
mati bersamamu di sini. Yang aneh adalah sekarang aku tidak merasa takut
sedikitpun. baru sekarang ku tahu, mati ternyata bukan sesuatu yang menakutkan
seperti apa yang pernah kubayangkan. apalagi kalau dapat mati bersamamu, jelas
aku lebih beruntung daripada ke delapan anak perempuan yang telah mati
itu."
Mendadak Pwe-giok terbelalak,
serunya: "Kau bilang ke delapan anak perempuan itu?"
Kim-yan cu bingung karena
tidak tahu apa sebenarnya anak muda itu berteriak, jawabnya dengan tergagap:
"Be... betul"
Pwe-giok memegang tangan si
nona dan menegas: "Apakah sudah kau lihat jelas? Betul-betul delapan dan
bukan sembilan?"
Kim-yan cu berpikir sejenak,
lalu menjawab tegas: "Ya, tidak kurang tidak lebih, persis delapan"
ia merandek, kemudian berkata pula: "Tapi delapan atau sembilan, memangnya
ada sangkut paut apa dengan kita?"
"Tentu saja ada sangkut
pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya!" seru Pwe-giok.
Melihat anak muda itu mendadak
kegirangan, Kim-yan cu menjadi heran, tanyanya: "Ada sangkut paut apa?
Bukankah anak-anak perempuan itu sudah mati semua?"
Pwe-giok menggenggam tangannya
erat-erat dan berkata: "Menurut orang tua tadi, katanya dengan mata kepala
sendiri dia menyaksikan sembilan anak perempuan masuk ke sini dan tiada
seorangpun yang pernah keluar. Berdasar ketajaman matanya kupercaya dia pasti
tidak salah hitung, sebaliknya kau cuma melihat delapan sosok mayat dan juga
tidak keliru lihat."
Dia menghela napas panjang dan
menatap Kim-yan cu tajam-tajam, lalu menyambung pula sekata demi sekata:
"Maka sekarang ingin kutanya padamu, ke mana perginya anak perempuan yang
ke sembilan itu?"
Kim-yan cu melongo bingung
seperti paham dan seperti tidak, gumamnya: "Ya, betul, kemana perginya
anak perempuan ke sembilan itu? Kenapa bisa menghilang?"
"Orang sebesar itu masa
bisa hilang?" ujar Pwe-giok.
"Betul, orang sebesar itu
mustahil bisa hilang?" tukas Kim-yan cu.
Mendadak Pwe-giok berseru:
"Masa kau tidak paham, sebabnya anak perempuan ke sembilan itu bisa
menghilang mendadak tentu karena di sini ada jalan keluar lain, kalau tidak,
memangnya dia dapat menyusup masuk ke dalam bumi?"
Akhirnya Kim-yan cu paham
duduknya perkara, ia melonjak bangun dan merangkul Ji Pwe-giok serunya dengan
tertawa: "Ai, kau memang benar-benar bukan orang bodoh, sebaliknya aku
inilah budak tolol."
Pada saat sudah putus asa
tiba-tiba mendapatkan setitik sinar harapan, sudah tentu mereka kegirangan,
Tapi lantaran kelewat bergirang, mereka menjadi lupa bahwa bilamana anak
perempuan ke sembilan itu datang demi mencari harta karun, kalau betul dia
sudah keluar melalui suatu jalan rahasia lain, mengapa harta karun ini tidak
dibawa pergi sekalian? Setelah mencapai tempat penyimpanan harta karun ini
apakah mungkin dia keluar lagi dengan tangan hampa?
Si kakek tadi menemukan kitab
pusaka Siau-hun-pit-kip pada sebuah almari batu yang berbentuk aneh, sekarang
pintu almari batu itu masih terpentang. Didepan almari batu ada sebuah kasuran
berwarna hijau-kelabu, waktu diperiksa lebih teliti, kasuran ini juga ukiran
dari batu, saking pandainya mengukir sehingga tampaknya seperti kasuran asli.
Bahwa ditengah ruangan hanya
tertaruh sebuah kasuran begini, jelas tampaknya agak janggal, tidak sesuai dan
tidak serasi dengan keadaan di ruangan ini, apalagi kasuran ini ukirannya dari
batu hijau, lebih-lebih menurut ingatan Ji Pwe-giok, di bawah kasuran begini
biasanya tersembunyi sesuatu rahasia. Maka begitu melihat kasuran ini, dia
lantas tertarik, segera ia mendekatinya.
Namun kasuran ini seperti
berakar di tanah, didorong maupun ditarik tidak bergeming sedikitpun, diputar
kesana ke sini juga tidak mau bergetar.
Pwe-giok menghela napas
kecewa. waktu menengadah, mendadak dilihatnya di dinding almari batu itupun
terukir gambar laki perempuan yang tidak senonoh. Anehnya setiap pasangan
manusia ukiran ini secara indah terangkat menjadi satu huruf sehingga
seluruhnya berbunyi: "Barang siapa mendapat kitab pusaka ku, masuklah ke
perguruanku. Terimalah ilmu tinggalan ku dan menyembah kepada arwahku. Baik
buruk atau untung malang, semua itu mesti tunduk kepada perintahku. Yang
melanggar pesan tinggalanku ini akan tertimpa bencana dan mati."
Disamping kedua baris tulisan
yang menyerupai ramalan ini terdapat pula beberapa baris huruf kecil dan
berbunyi: "Barang siapa menemukan harta dan kitab pusakaku, dia harus masuk
ke perguruanku, hendaklah segera berlutut di atas kasuran dan menghadap ke
dinding ini, dengan hati tulus dan bersujud menyembah sembilan kali sembilan
sana dengan 81 kali sebagai penghormatan mengangkat guru, dengan demikian akan
mendapatkan rejeki. Tapi kalau membangkang atas perintahku ini, setelah
mendapatkan harta pusaka ini terus pergi, arwahku pasti akan mengejar dirimu
dan mencabut nyawamu. Camkanlah peringatan ini."
Jelas si kakek cahaya perak
tidak pernah memperhatikan pesan Siau-hun-kongcu ini, dengan sendirinya dia
tidak percaya orang yang sudah mati masih mampu mencabut nyawanya.
Akan tetapi setelah berpikir
sejenak, Pwe-giok benar-benar berlutut di atas kasuran itu dan mulai menyembah.
Kim-yan cu melenggong, katanya
dengan tertawa: "Masa kau benar-benar ingin mengangkat guru kepada orang
mati?"
Sembari menyembah Pwe-giok
menjawab: "Pada masa hidupnya, tindak-tanduk Siau-hun-kongcu ini sudah
sukar diraba orang. Ketika mendekati ajalnya, tentu dia memeras otak dan
mencari akal yang aneh-aneh untuk mengatur segala sesuatu." "Ya,
orang seperti dia itu, kalau mati tentu juga tidak rela barang tinggalannya
dikuras orang dengan begitu saja." ujar Kim-yan cu.
"Sebab itulah, kupikir
pesan yang diukir di sini ini pasti juga ada tujuan tertentu, mungkin disinilah
letak rahasianya yang paling besar," kata Pwe-giok.
Kim-yan cu berkerut kening
katanya: "Tapi orang sudah mati apa yang dapat diperbuat lagi? ..."
Tiba-tiba terpikir sesuatu
olehnya, air mukanya berubah pucat, dengan suara gemetar ia berkata pula:
"Jangan-jangan... jangan-jangan dia belum lagi mati?"
Selesai Kim-yan cu bicara,
Pwe-giok juga sudah habis menyembah 81 kali.
Sekonyong-konyong dinding batu
yang penuh terukir huruf itu terbelah menjadi dua dan bergeser ke samping.
Dibalik dinding tampak cahaya terang gemerlapan menyilaukan mata.
Pada saat itu yang hampir
sama, mendadak kasuran batu itu terus meluncur ke arah lemari batu itu secepat
kilat. Pwe-giok sendiri waktu itu merasa dengkulnya kaku kesemutan setelah
berlutut dan menyembah sekian lama, belum lagi dia sempat berbangkit, tahu-tahu
kasuran tempat dia berlutut itu terus meluncur ke balik dinding yang terbelah
itu.
Tanpa kuasa Pwe-giok terhanyut
oleh kasuran batu itu, seketika ia merasa silau dan tidak melihat apa-apa. Pada
saat itu mendadak kasuran batu itu berganti arah terus meluncur balik ke
belakang.
Karena dibawa meluncur ke
depan dan mendadak membalik lagi ke belakang, tanpa kuasa Pwe-giok terjungkal
ke depan dan jatuh di lantai. "bluk", seperti ada sesuatu barang tertindih
oleh tubuhnya. Menyusul asap tebal lantas muncrat berhamburan.
Kasuran batu tadi telah
meluncur keluar dinding dan dinding itu lantas merapat kembali, semuanya itu
berlangsung dengan cepat, hampir seperti terjadi dalam waktu yang sama.
Apa yang terjadi ini sungguh
terlalu cepat dan terlalu banyak sehingga Pwe-giok tak sempat bertindak apapun,
hidungnya sempat menghisap bau harum bedak. Meski harum baunya, tapi terasa
gelagat tidak menguntungkan.
Sama sekali tak tersangka oleh
Pwe-giok bahwa setelah dia menuruti pesan Siau hun-kiongcu tadi, sebagai
imbalan adalah kejadian yang luar biasa ini dan rejeki nomplok. Segera pula dia
hendak menahan napas, namun bau harum tadi sudah sempat diisapnya sedikit.
Kim yan cu juga mendadak
merasakan cahaya yang menyilaukan tadi sehingga matanya sukar terbuka.
Samar-samar ia sempat melihat
kasuran tadi meluncur ke dalam lemari batu dengan membawa Ji pwe giok, waktu
dia dapat membuka mata dan melihat lebih jelas, tahu-tahu batu itu sudah
meluncur balik ke tempat semula. Waktu dia pandang almari batu itu, keadaannya
masih utuh seperti tadi, sedikitpun tiada perubahan apapun namun Ji Pwe giok
tidak kelihatan lagi, entah menghilang kemana?
Kim yan cu jadi melongo
kesima, sungguh ia tidak percaya kepada pemandangannya sendiri, apakah yang
terjadi sesungguhnya? Mengapa bisa begini?
Hampir saja ia
berteriak-teriak, tapi dalam keadaan demikian, sekalipun sampai pecah
kerongkongannya juga tiada seorangpun yang mendengar suaranya.
Kim yan cu sudah cukup
berpengalaman berkelana di dunia kangouw, sudah sering juga dia menghadapi
saat-saat antara mati dan hidup, betapapun dia bukan anak perempuan biasa,
walaupun dia kelihatan begitu lemah lembut ketika berada disamping Ji we giok.
Tapi anak perempuan mana di
dunia yang tidak kelihatan lemah lembut bila berada bersama seorang lelaki?
Bila berada bersama seorang lelaki, bisa jadi untuk melangkahi selokan yang
setengah meter lebarnya perlu juga dibantu oleh si lelaki Tapi kalau berada
sendirian tanpa didampingi lelaki mungkin sungai yang lebarnya tiga meter akan
dapat dilompatinya.
Kalau berada bersama lelaki,
setiap anak perempuan pasti akan ketakutan setengah mati bilamana kebetulan ada
seekor tikus menerobos, disamping kakinya, tapi kalau berada sendirian, biarpun
tiga puluh ekor tikus muncul sekaligus juga akan dibinasakan semuanya.
Bila tiada orang yang lain
yang dapat diandalkan, setiap anak perempuan bisa mendadak berubah kuat dan
tangkas, apalagi pada dasarnya Kim yan cu memang bukan anak perempuan lemah.
Ia coba membaca tulisan yang
terukir di dinding almari itu dan direnungkan berulang ulang, mendadak ia
berseru : "Aha, paham lah aku!..."
Kiranya di bawah kasuran batu
itu memang ada pesawat rahasianya. Kasuran baru itu tidak dapat terbuka juga
tidak dapat berputar, tapi harus ditindihi oleh bobot tubuh orang, ditambah
lagi orang itu berlutut diatasnya harus menyembah segala, gerakan itu akan
menimbulkan daya tekanan pula, bilamana sudah menyembah hingga 81 kali, daya
tekanan itu sudah cukup untuk membuka pesawat rahasia yang terpasang di bawah
kasuran batu sehingga menggerakan dinding almari, begitu dinding bergerak dan
terpentang, segera segala alat rahasia yang lain akan ikut tertarik dan kasuran
batu itupun terbawa meluncur ke depan, ketika daya kerja pegas itu sampai pada
titik akhirnya, segera kasuran batu itu terpantul balik ke tempat semula dan
dindingpun rapat kembali.
Kalau sudah dijelaskan, apa
yang terjadi ini menjadi kelihatan sederhana, cuma Siau Kun Kiongcu memang
sengaja mengaturnya sedemikian rupa sehingga kelihatan lebih misterius dan
menyeramkan.
Kim yan cu tidak ragu lagi,
segera iapun berlutut di atas kasuran batu itu dan mulai menyembah. Tapi ketika
menyembah 52 kali, mendadak ia melompat turun, ia memandang sekitarnya dan
menemukan sebuah peti besi sebesar satu meteran, tutup peti besi itu
diambilnya, lalu ditaruh di punggung sendiri, habis itu dia berlutut dan mulai
menyembah lagi.
Tak tahunya, sudah 81 kali
menyembah, kasuran itu tetap tidak bergerak. Ia menjadi sangsi, jangan-jangan
pesawat rahasia ini hanya bergerak satu kali saja, lalu tidak mau bekerja lagi?
Tapi dia tidak putus asa, ia ingin mencobanya satu kali lagi, sekali ini dia
baru menyembah lima enam kali dan mendadak kasuran itu meluncur keluar sana
secepat panah.
Rupanya disebabkan perawakan
Kim yan cu yang ramping, bobotnya tidak cukup, mesti ditambah lagi sebuah tutup
peti besi, namun cara menyembahnya menjadi kurang membungkuk ke bawah sehingga
daya tekanannya menjadi berkurang pula. Maka dia perlu menyembah hingga 86-87
kali barulah daya tekanannya cukup kuat untuk menggerakan pesawat rahasianya.
Ketika merasa orangnya ikut
dibawa meluncur masuk ke balik almari batu, sesudah masuk dan kasuran batu itu
terpantul balik lagi kesana. Namun diam-diam Kim yan cu sudah mempunyai perhitungan,
begitu ia terjerembab ke depan, berbareng itu iapun membuang tutup besi tadi
keluar.
Kepandaian menggunakan Am-gi
atau senjata rahasia Kim yan cu terkenal lihai juga di dunia kangouw, dengan
sendirinya cara menyambitkan tutup besi itupun cukup jitu, tutup peti itu
dengan cepat dilemparkan ke tengah-tengah belahan dinding, maka waktu kedua
belah dinding itu akan merapat kembali lantas terhalang oleh tutup peti itu,
meski tutup peti itu tergencet hingga mengeluarkan suara keriat-keriut, namun dinding
itupun tidak dapat rapat sama sekali.
Sementara itu mata Kim yan cu
sudah terbiasa oleh cahaya silau, akhirnya ia dapat melihat jelas rahasia di
dalam gua misterius ini. Kiranya ruangan batu ini berbentuk segi delapan,
dinding sekelilingnya penuh terhias batu permata dan mutiara sebesar gundu, di
belakang mutiara ini semuanya dilapisi sepotong kaca kecil. karena itulah
cahaya mutiara lantas memantulkan sinar yang kemilauan sehingga kamar inipun
gemerlapan dan seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit telah
dipindahkan oleh Siau hun kiongcu ke kamar ini.
Ditengah-tengah kamar batu ini
ada sebuah peti mati batu raksasa, selain peti mati ini sudah tentu masih ada
pula barang lain, tapi Kim yan cu tidak menaruh perhatian lagi, yang
dipikirkannya cuma Pwe giok saja.
Dilihatnya anak muda itu duduk
bersila di sana, sekujur badan tampak menggigil, kain putih yang membalut
kepalanya itu sudah basah kuyup seperti habis disiram air. "He, ken.....
kenapa kau? jerit Kim yan cu. Pwe giok menggertak gigi dan tidak menjawab,
bahkan matapun tetap terpejam.
Kim yan cu terkejut dan
kuatir, baru saja ia bermaksud memegang tangan Pwe giok, mendadak tangan Pwe
giok malah menghantamnya sehingga Kim yan cu terguling. "He, apa-apaan
kau?" jerit Kim yan cu "Jangan ..... jangan kau urus diriku,"
teriak Pwe giok.
"Biarkan ku istirahat
sebentar dan semuanya akan baik lagi" Setiap kata yang diucapkan anak muda
itu seakan akan sangat memakan tenaga, maka Kim yan cu tidak berani bertanya
lagi. Dilihatnya disamping Pwe Giok ada secomot benda yang gemerlapan, benda
sebangsa pecahan kaca berwarna merah muda, entah barang apa.
Waktu ia memandang lagi ke
belakang peti mati, di sana juga ada sebuah almari batu, pintu almari sudah
terbuka. Di dalam almari terdapat berpuluh botol kecil berwarna merah muda dan
bercahaya, tampaknya serupa dengan barang pecah yang terdapat di samping Ji Pwe
giok itu.
Disamping berpuluh botol kecil
itu ada pula beberapa jilid buku berwarna merah, buku ini serupa kitab yang
dibawa pergi si kakek bercahaya perak itu, halaman buku ini tampak tersingkap,
agaknya pernah dibalik-balik orang.
Kim yan cu mengira Pwe giok
yang membalik-balik halaman buku itu, ia jadi tertarik juga dan mendekatinya
untuk melihat, tapi baru dua halaman buku itu dibacanya, seketika mukanya
menjadi merah, jantungnya berdetak keras.
Pada halaman pertama buku itu
tertulis: "Siau hun pit kip, yang mendapatkannya mencapai kenikmatan. Siau
hun pi yok, yang mendapatkannya naik surga."
Disamping kedua belas huruf
besar itu tertulis pula: "Inilah kitab asli Siau hun pit kip, hanya
perempuan yang punya rejeki besar yang akan mendapatkannya. Setelah belajar
satu tahun, cukup untuk membuat setiap lelaki di dunia ini tergiur dan jatuh
hati. Bila belajar tiga tahun, dapatlah mematahkan iman siapapun di dunia ini.
Kitab yang beredar di luar adalah kitab tiruan dan sekali-kali tidak boleh
sembarangan dipelajari, kalau tidak menurut, akibatnya akan terjeblos sendiri
ke laut penderitaan dan sukar tertolong, berbagai macam penyakit akan timbul
dan tersiksa hingga mati. Inilah pesan perguruan yang harus diperhatikan.
Karena kau sudah datang ke sini dan mendapatkan kitab pusaka ini, maka
bahagialah selama hidupmu.
Waktu ia baca pula halaman
kedua, seketika muka Kim yan cu menjadi panas, sungguh mimpipun tak pernah
terpikirkan olehnya di dunia ini ada kejadian begini dan juga ada cara begini.
Kiranya yang diajarkan dalam kitab ini adalah teknik bercinta yang hampir sukar
dibayangkan siapapun juga.
Hampir saja Kim yan cu merobek
kitab itu, tapi entah mengapa, rasanya berat juga untuk menghancurkan kitab
demikian. Selagi ragu-ragu, tiba-tiba tergerak pikirannya, pikirnya:
"Jangan-jangan dia terkena racun yang terisi di botol yang pecah itu?
mungkin di dalam kitab ini ada petunjuk cara menawarkannya..."
Sudah tentu inilah alasan yang
paling baik baginya untuk membaca lagi kitab ajaib itu. Setelah membaca
beberapa halaman pula, ditemuinya di dalam kitab benar-benar ada tulisan yang
berbunyi: "Isi botol ini semuanya adalah obat perangsang cinta, ada yang
berbentuk pil, ada yang berwujud bubuk. Lelaki yang meminum obat di dalam botol
ini, bila tidak mendapatkan pelampiasan tubuh perempuan, akibatnya akan mati
dengan tujuh lubang (mata, telinga, hidung dan mulut) berdarah."
Membaca sampai di sini, tanpa
terasa Kim-yan-cu bersuara kaget. Jantungnya serasa mau melompat keluar dari
rongga dadanya, ya takut ya kuatir, sungguh tidak keruan rasanya.
Didengarnya Pwe-giok sedang
menggertak gigi hingga berbunyi gemertakan, katanya dengan terputus-putus:
"Lekas, ....lekas kau pergi .... lekas pergi saja ..."
Tapi Kim-yan-cu masih tetap
berdiri melenggong di tempatnya. Lantaran membela dirinya sehingga anak muda
itu tersiksa begini, mana dia tega tinggal pergi dan membiarkan orang mati
dengan tujuh lubang berdarah?
Mendadak Kim-yan-cu tertawa
manis sambil mendekati Pwe-giok. Jantungnya berdebar, tubuhpun terasa lemas, ia
sendiri tidak tahu apakah kuatir, takut, malu atau gembira?
Pwe-giok menatapnya dengan
mendelik, teriaknya dengan gemetar: "Jangan kau mendekatiku, jangan,
kumohon dengan sangat, jangan kau mendekat kemari!"
Tapi Kim-yan-cu malah pejamkan
mata terus menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Ji Pwe-giok.
Dia sudah bertekad akan
korbankan dirinya sendiri. Akan tetapi anak perempuan manapun juga tidak nanti mau
berkorban bagi lelaki yang tidak disukanya.
Dengan memejamkan mata
kim-yan-cu sudah merelakan segalanya, dia sudah siap mempersembahkan miliknya,
dan bersedia menerimanya....
Tak terduga, pada saat itu
juga mendadak ia merasakan pinggangnya kaku, ia telah tertutuk oleh Pwe-giok.
menyusul tubuhnya terus dilemparkan keluar oleh anak muda itu. lalu tutup peti
besi tadipun ditendang mencelat dan dinding batu lantas rapat kembali.
Kim-yan-cu terkejut dan
melenggong dan juga berterima kasih. Tapi entah mengapa, rasanya juga rada
kecewa, berbagai macam perasaan itu bercampur aduk.
Ia tahu Pwe-giok masih punya
perasaan, belum hilang akal sehatnya, maka tidak tega membikin susah padanya.
Ia tahu sebabnya anak muda itu
menutuk hiat-tonya adalah karena kuatir dirinya akan masuk lagi ke sana.
Sebabnya dia menutup dinding itu adalah untuk menjaga agar Pwe-giok sendiri
tidak sampai menerjang keluar bilamana tidak tahan oleh rangsangan obat kuat
yang diminumnya.
Dan jelas pintu dinding itu
tidak mungkin dibuka dari dalam. Sekarang tertinggal Pwe-giok saja yang
terkurung di situ untuk menanti kematian.
Air mata Kim-yan-cu
bercucuran, teriaknya dengan suara parau: "Meng.... mengapa kau begitu
bodoh? Memangnya kau kira demi menolong dirimu maka kulakukan seperti tadi itu?
Sesungguhnya aku sendirilah yang rela berbuat begitu, apakah... apakah kau
tidak tahu aku memang suka padamu?..."
Di luar dugaan, suara
Kim-yan-cu itu ternyata bisa tersalur ke dalam kamar batu sana, apa yang
diucapkan Kim-yan-cu itu dapat didengar jelas oleh Pwe-giok. Tapi sekarang
biarpun dia ingin memasukkan lagi si nona ke sana juga tidak dapat lagi,
semuanya sudah terlanjur.
Pwe-giok memukul-mukul dinding
dan berteriak dengan suara gemetar: "Kau tahu, aku tidak boleh berbuat
begitu, aku tidak boleh merusak dirimu?!"
Kim-yan-cu juga dapat
mendengar suaranya, iapun berteriak: "Tapi kalau kau tidak berbuat begitu,
terpaksa kau harus mati!"
"O.., kumohon.....
maafkan..."
"Kubenci padamu,
kubenci...." teriak Kim-yan-cu. "Selamanya takkan kumaafkan kau. Kau
hanya tahu tidak tega mencelakai diriku, tapi tahukah kau dengan penolakanmu
ini kau telah menyakitkan hatiku?"
Sungguh ia tidak tahu mengapa
dirinya bisa mengucapkan kata-kata begitu. Bisa jadi ia sengaja hendak
mendorong semangat Pwe-giok agar berusaha keluar.
Sekujur badan Pwe-giok serasa
mau meledak, ia berteriak-teriak: "Ya, aku salah. Memang aku salah besar!
Sebenarnya akupun suka padamu!"
"Dan mengapa kau tidak
keluar? Apakah sekarang kau tidak dapat keluar?!" teriak Kim-yan-cu,
betapapun dia masih menaruh harapan.
"Sudah terlambat, sudah
terlambat!"
"Tahukah kau, hanya ada
kematian jika kau tidak keluar?"
"Biarpun mati akupun
berterima kasih kepadamu!" teriak Pwe-giok dengan gemetar. Tubuhnya merasa
panas seperti dibakar, keadaannya sungguh payah dan tak tahan lagi.
Ia tidak tahu bahwa pada saat
itu juga peti mati batu itupun terbuka, seorang perempuan yang lebih cantik
daripada bidadari, tapi dingin melebihi hantu telah melangkah keluar dari peti
mati itu.
Sungguh aneh, masakan mayat
perempuan cantik di dalam peti mati itu benar-benar telah hidup kembali? Baju
perempuan itu berwarna putih laksana salju, tapi air mukanya terlebih putih
daripada bajunya.
Dia menyaksikan Ji-Pwe-giok
yang lagi berkelojotan di lantai, mendadak ia menjengek: "Hm, kalian
memang benar dua sejoli yang sehidup semati, setelah kalian mati nanti pasti
akan ku kubur kalian bersama."
Suaranya ternyata juga
sedingin es, sedikitpun tanpa emosi. Melihat gelagatnya, seumpama dia memang
bukan orang mati, tapi hatinya jelas sudah lama mati, sudah lama beku.
Mendengar suara orang,
Pwe-giok terkejut dan cepat berpaling, segera dilihatnya wajah yang cantik ini,
wajah ini membuatnya jauh lebih terkejut daripada melihat setan.
Perempuan yang dingin seperti
badan halus ini ternyata Lim-Tay-ih adanya!
Jadi ke delapan anak perempuan
yang mati dilorong tadi kiranya anak murid Pek-hoa-bun dan Lim-Tay-ih adalah
anak perempuan yang menghilang secara misterius itu.
Saking terkejutnya Pwe-gok
berteriak: "Lim-Tay-ih, ken.... kenapa kau berada di sini?"
Air muka Lim-Tay-ih berubah
hebat, jawabnya dengan terkesiap: "Siapa kau? Darimana kau tahu
namaku?"
"Aku inilah
Ji-Pwe-giok!" teriak Pwe-giok. Lim-Tay-ih melengak, segera ia menjengek:
"Hm, kiranya kau Ji-Pwe-giok itu, kau ternyata belum mau ganti nama!"
"Aku memang Ji-Pwe-giok,
kenapa mesti ganti nama?" jerit Pwe-giok.
"Hm, apakah kau mau ganti
nama atau tidak, sekarang bukan soal lagi," dengus Lim-Tay-ih: "Sebab
kau toh bakal mati, setelah kau tahu rahasia tempat ini, bagimu hanya ada
mati!"
Sekuatnya Pwe-giok meronta
bangun, mendadak dilihatnya di dalam peti mati batu itu masih ada sesosok mayat
perempuan yang sangat cantik dan seperti masih hidup. tanpa terasa ia menjerit
pula: "Se...sesungguhnya bagaimana persoalannya ini?"
"Apakah kau
terkejut?" tanya Lim-Tay-ih
"Supaya kau tahu, yang
membujur di dalam peti mati inilah jenazah asli Siau-hun-niocu. pada waktu
masih hidup setiap lelaki pasti tergiur padanya, sesudah mati iapun sayang pada
wajahnya dan tidak membiarkannya membusuk."
"Dan...dan kau? Mengapa
... mengapa kau berada di situ?" tanya Pwe-giok.
"Ketika kudengar ada
orang masuk kemari cepat ku bersembunyi di dalam peti mati itu. Ku tahu ilmu
silatmu tidak lemah, untuk apa ku buang tenaga percuma untuk bergebrak dengan
kau?"
"O, jadi obat bius itupun
kau yang mengaturnya di sana?"
"Akupun dibawa masuk ke
sini oleh luncuran kasuran batu itu, jadi ku tahu bilamana kasuran batu itu
terpantul balik ke sana, orang yang berada di atasnya pasti akan terjerembab ke
depan, maka lebih dulu ku taruh obat bius itu di sana. Untuk mematikan kau,
buat apa aku mesti turun tangan sendiri?"
Baru sekarang Pwe-giok paham
duduk persoalannya, ucapannya dengan terputus-putus: "Sejak kapan kau
berubah menjadi... menjadi sekeji ini?"
"Orang keji di dunia ini
terlalu banyak," jawab Lim-Tay-ih. "Jika aku tidak keji, tentu aku
yang akan dibinasakan orang."
"Tapi aku ini bakal
suamimu, mana boleh kau...."
"Plok", belum habis
ucapan Pwe-giok, kontan Lim-Tay-ih menamparnya sambil membentak: "Persetan
kau! Bakal suamiku sudah lama mati, tapi kau berani kurang ajar padaku?"
Tamparan ini cukup keji dan
keras, tapi Pwe-giok seperti tidak merasakan apa-apa, ia cuma menatap si nona
dengan matanya yang merah dan bergumam: "Kau tunanganku, kau....kau bakal
istriku!"
Lim-Tay-ih menjadi takut
sendiri melihat sorot mata Pwe-giok yang beringas itu, katanya: "Ap....
apa kehendakmu?"
Tersembul senyuman aneh pada
ujung mulut Pwe-giok, dia masih terus bergumam: "Kau bakal istriku! Kau
inilah...." mendadak ia menubruk ke arah Tay-ih.
Tadinya ia gunakan tenaga
dalamnya untuk mengekang bekerjanya obat perangsang, sebab itulah dia masih
dapat mempertahankan kejernihan pikirannya, tapi sekarang, obat perangsang itu
akhirnya meledak dan tidak tahan lagi.
Apalagi perempuan cantik di
depannya ini adalah bakal isterinya, ia merasa tiada salahnya kalau...
Keruan Lim tay-ih terkejut dan
gusar pula tangannya kembali menggampar muka Pwe-giok sambil membentak:
"Kau gila! kau berani!"
Tapi Pwe-giok sama sekali
tidak mengelak dan tetap membiarkan mukanya dihantam seperti tanpa terasa,
sebaliknya matanya semakin merah dan menakutkan dan terus menubruk maju.
Baru sekarang Lim Tay-ih ingat
muka anak muda itu masih terbalut kain, segera ia ganti menampar dengan satu
pukulan tertuju ke dada Pwe-giok. Tak tersangka hantaman inipun tetap tak dapat
mencegah tindakan buas anak muda itu.
Kini obat perangsang itu sudah
menyebar, seluruh tubuh Pwe-giok serasa mau meledak, betapapun keras pukulan
Lim Tay-ih bagi Pwe-giok rasanya seperti dipijat malah.
Keruan Tay-ih ketakutan,
mendadak ia membalik tubuh terus lari.
Seperti orang gila Pwe-giok
lantas mengejar.
Pemuda yang semula ramah tamah
dan sopan santun ini sekarang sudah berubah seperti seekor binatang buas.
Kim-yan-cu yang berada di luar
juga terkesiap oleh apa yang terjadi di dalam itu, meski sia tidak dapat
melihat keadaan di dalam kamar batu itu, tapi dari suaranya ia dapat berteriak:
"He, Ji Pwe-giok, apa yang kau lakukan?"
Tapi di dalam hanya terdengar
suara dua orang berlari, kejar mengejar, suara napas terengah engah dan tiada
jawaban.
Entah sebab apa, hati
Kim-yan-cu serasa dibakar dan seakan akan meledak, mendadak ia berteriak:
"Ji Pwe-giok, mengapa kau tidak menghendaki diriku dan menginginkan
dia?"
Terdengar Pwe-giok menjawab
dengan napas tersengal-sengal: "Sebab di... dia adalah.."
"Kau sendiri sudah
menyatakan suka padaku, betul tidak?" teriak Kim-yan-cu dengan suara
parau.
"Aku... aku memang... aku
tidak..."
Lim-Tay-ih menjadi murka dan
benci, teriaknya: "Kau orang gila, jika kau suka padanya, mengapa tidak
kau cari dia saja?"
"Tidak, aku suka padamu,
kau... kau adalah isteriku!" seru Pwe-giok
"Kentut! Memangnya siapa
isterimu?" damprat Lim-Tay-ih dengan gusar.
Dalam pada itu Kim-yan-cu
telah menanti di luar.
Keadaan ini sangat ruwet,
siapapun tidak dapat membayangkannya, siapapun sukar menjelaskannya. Hubungan
antara ketiga orang ini memang luar biasa, cinta dan benci memangnya sukar
dijernihkan, tapi pada saat dan keadaan yang paling serba sulit inilah ketiga
orang ini telah berkumpul di suatu tempat.
Apabila dipikir, sungguh di
dunia ini tiada kejadian lain yang lebih gila, lebih aneh, lebih mustahil dan
tidak masuk diakal. Dan semua ini justeru ditimbulkan oleh seorang yang mati.
Jenazah cantik Siau-hun-niocu
didalam peti mati tampaknya lagi tersenyum puas.
Kim-yan-cu sedang menangis, ia
sendiri tidak tahu mengapa dirinya menangis, daripada dikatakan dia berduka,
kecewa, akan lebih baik kalau dikatakan dia merasa penasaran.
Sekonyong-konyong terdengar
suara jeritan kaget Lim Tay-ih, jeritan ini laksana sebatang jarum yang menusuk
ulu hati Kim-yan-cu. Ia tahu akhirnya Lim Tay-ih telah berhasil ditangkap oleh
Ji Pwe-giok.
Habis itu lantas terdengar
suara rontaan, suara caci maki, suara keluhan, suara napas yang ngos-ngosan
serta suara punggung dipukul, mendadak terdengar pula suara "bles" ,
habis itu lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
Keheningan ini membikin
Kim-yan-cu jauh lebih tersiksa daripada suara apapun, ia ingin menangis
terlebih keras, tapi ingin menangispun tidak sanggup lagi.
Entah berapa lama ia
termenung-menung di situ, mendadak terdengar suara kumandangnya orang berjalan.
Kim-yan-cu bergirang, pikirnya: "Nah, jangan-jangan Pwe-giok datang
menolong diriku?" Pada dasarnya Kim-yan-cu bukan perempuan yang berjiwa
sempit, tapi rasa benci itu tidak sampai berlarut-larut.
Tak terduga, suara orang
berjalan itu ternyata bukan datang dari dalam melainkan berkumandang dari luar
gua.
Agaknya pada masa hidupnya
Siau-hun-kiongcu sengaja ingin tahu setiap suara yang timbul dari luar maupun
dalam gua, maka dia telah mengatur alat penyalur suara sedemikian pekanya
sehingga suara yang lirihpun dapat terdengar.
"Giau-jiu-sam-long, kau
memang tidak bernama kosong." demikian terdengar suara seorang perempuan
berseru dengan tertawa genit. "Bilamana tidak ku ajak kau ke sini, mungkin
selama hidupku jangan harap akan dapat masuk ke sini."
Suara perempuan ini terasa
agak serak-serak bagus, tapi kedengaran manis dan memikat, perempuan yang
bicara ini seolah-olah setiap detik, senantiasa bergaya genit dan bersikap
manja.
Lalu suara seorang lelaki
menanggapi dengan tertawa: "Dan tentunya kau tahu bukan aku sengaja
membual bahwa kecuali kedua saudaraku, mungkin terlalu sulit bagi orang lain
untuk masuk ke sini."
"Hihi, lelaki pintar
seperti kau ini pasti sangat disukai oleh anak perempuan," demikian
perempuan tadi berkata pula dengan tertawa genit. "Anehnya mengapa sampai
sekarang kau belum lagi beristeri dan berumah-tangga."
Lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long
itu terbahak-bahak dan menjawab: "Masa perlu tanya lagi, aku kan sedang
menunggu jawabanmu?"
Begitulah sembari bersenda
gurau kedua orang itu lantas main cubit dan colek segala.
Apabila Pwe-giok berada di
sini, tentu segera dapat dikenali suara itu adalah suara Gin-hoa-nio yang kabur
dengan gusar meninggalkan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio.
Tapi Kim-yan-cu tidak tahu
siapa kedua orang ini, dia cuma merasa mereka memuakkan, celakanya dirinya
sendiri justeru tak dapat berkutik, ingin menghindarpun tak bisa. Tentu saja
Kim-yan-cu sekilas dan kuatir, ia berharap semoga pintu batu di luar telah
dirusak oleh si kakek bercahaya perak, dengan demikian kedua orang ini tidak
dapat masuk ke situ.
Didengarnya lelaki yang
disebut Giau-jiu-sam-long itu mendadak bersuara kaget dan suara tertawanya
lantas berhenti, katanya: "He, dinding ini mengapa berlubang, juga alat
rahasianya hanya tertutup oleh pelat besi, apakah karena kuatir ada orang
menerobos keluar dari dalam?"
Terdengar Gin-hoa-nio
menanggapi dengan terkesiap: "Ya, mengapa di dalam bisa ada orang, padahal
rahasia tempat ini oleh ayahku hanya diberitahukan kepada kami bertiga kakak
beradik dan orang lain tidak ada yang tahu."
"Tentu rahasia tempat ini
sudah bocor." ujar Giau-jiu-sam-long. "Tempat ini pasti sudah pernah
didatangi orang. Dan orang yang mampu datang ke sini pasti bukan kaum lemah,
kukira lebih baik kita..."
Dengan tertawa genit Gin-honio
lantas memotong: "Biarpun yang datang ke sini bukan kaum lemah, tapi
sam-siauya kita dari Ji-ih tong masa takut padanya?"
"Mana ku takut
padanya?" ujar Giau-jiu-sam-long dengan tertawa. "Siapapun tidak
kutakuti, aku cuma takut padamu, Apabila beberapa jurus kungfu tinggalan
siau-hun-niocu itu berhasil kau yakinkan, wah, aku bisa keok."
Gin-hoa-nio tertawa
cekakak-cekikik, jawabnya: "Bila Kungfu siau-hun-niocu berhasil
kuyakinkan, tujuanku kan juga untuk memuaskan kau?"
Ditengah suara tertawa kedua
orang itu, "krek", pintu sudah terbuka.
Seorang pemuda berbaju hijau
pupus dan membawa cundrik terus melompat masuk, gerakannya ternyata sangat
gesit, tapi mukanya kelihatan pucat, hidungnya besar membetet, pipinya kempot,
bokongnya tepos, jelas potongan orang yang terlalu bekerja keras di waktu
malam.
Namun begitu, sorot matanya
ternyata tajam ia memandang sekeliling ruangan, lalu terbelalak ke arah
Kim-yan-cu.
Kim-yan-cu juga melotot
padanya, tapi tidak bersuara.
Mendadak Giau-jiu-sam-long
tertawa, serunya: "He, lihatlah, di sini memang benar ada orang, bahkan
seorang nona jelita, tapi entah Hiat tonya ditutuk siapa ?"
Dengan bersorak gembira
Gin-hoa-nio memburu maju, pakaiannya ternyata cukup sopan, tapi kedua matanya
sama sekali tidak kenal sopan, dia melirik genit dan berkata: "Ya, orang
yang menutuk Hiat tonya mengapa tidak kelihatan?" Giau-jiu-sam-long
mendekati Kim-yan-cu, dengan ujung kakinya dia menggelitik pinggang Kim-yan-cu
dengan laku bangor. Keruan Kim-yan-cu gemas setengah mati. Tapi apa daya, sama
sekali ia tak dapat bergerak.
Dengan cengar cengir,
Giau-jiu-sam-long lantas berkata: "Nona cilik, siapakah yang menutuk
Hiat-tomu? ai, orang ini keterlaluan, masa tidak kenal kasih sayang kepada nona
jelita seperti kau ini, Eh, katakan saja kepadaku dimana dia nanti kuhajar dia
untuk melampiaskan dendammu"
Gin-hoa-nio tertawa cekikikan,
katanya: "adik yang baik, lekaslah kau beritahukan padanya, Sam-siauya
(tuan muda ke tiga) kita ini maha pencinta, terutama terhadap anak perempuan
yang cantik, bilamana ada anak perempuan cantik teraniaya, dia terlebih
penasaran daripada siapapun juga"
"Eh, ucapanmu ini kok
terasa berbau cuka (maksudnya cemburu)?" seru Giam-jiu-sam-long dengan
tergelak. Gin-hoa-nio terus merangkul lehernya dan berkata: "Kalau aku
tidak suka padamu apakah mungkin bisa cemburu?"
Hampir saja Giam-jiu-sam-long
jatuh kelenger oleh rayuan itu, ucapnya dengan tertawa: "Sudah memiliki
kau, masa ku perlu lagi mencari yang lain? Kedua pahamu...." Belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong ia jatuh terkulai, sampai menjerit saja tidak
sempat dan tahu sudah putus napasnya, malahan wajahnya masih tersenyum simpul,
cara bagaimana matinya mungkin ia sendiripun tidak tahu.
Sebaliknya Gin-hoa-nio sama
sekali tidak berkedip, ia pandang Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa:
"Lelaki macam begini, bila melihat perempuan matanya lantas hijau, biarpun
matipun tidak perlu disayang. Tapi kalau bukan lantaran dirimu, sesungguhnya
aku rada merasa berat untuk membunuhnya."
"Lantaran diriku?"
Kim-yan-cu menegaskan dengan terbelalak.
"Ai, Cici yang baik,
meski kau tidak kenal diriku, tapi sekali kulihat bajumu ini segera kukenali
kau," ucap Gin-hoa-nio dengan suara lembut. "Bukankah kau ini
pendekar wanita Kim-yan-cu yang termasyhur di dunia Kangouw itu?"
"Dan siapa kau?"
tanya Kim-yan-cu.
Gin-hoa-nio menghela napas,
jawabnya dengan rawan: "Aku adalah seorang anak perempuan yatim piatu yang
sengsara..."
Kim-yan-cu bergelak tertawa
dan menyela: "Kudengar kau bilang mempunyai saudara dan berayah, mengapa
sekarang kau katakan yatim piatu dan sengsara?"
Biji mata Gin-hoa-nio
berputar, tampaknya air matanya akan menetes, katanya: "Meskipun aku
mempunyai ayah bunda dan saudara, tapi mereka... mereka sama benci padaku,
akupun sendiri tidak mampu membuat mereka suka padaku, akupun tidak berani
bertindak keji dan ganas seperti mereka,"
Hati Gin-hoa-nio rada lunak
demi melihat mimik Kim-yan-cu yang memelas itu, namun dia tetap berteriak:
"Dan kau sendiri, caramu membunuh orang barusan ini apakah tidak terhitung
keji dan ganas?"
"O, tahukah betapa aku
tersiksa olehnya hanya karena kuminta dia membawaku ke sini?" tutur Gin
hoa-nio dengan suara gemetar. "Apabila tidak kubunuh dia, selama hidupku
pasti akan selalu dianiaya olehnya." Mendadak ia menjatuhkan diri ke
pangkuan Kim-yan-cu dan menangis, katanya dengan tersendat: "O, Cici yang
baik, coba katakan, apakah ini salahku?"
Hati Kim-yan-cu tambah lunak
lagi, ia menghela napas gegetun, katanya: "Ya, betul, kau memang tidak
dapat disalahkan. Ada sementara lelaki di dunia ini memang pantas kalau
dibunuh."
Sesungguhnya Kim-yan-cu memang
tidak dapat menemukan alasan berdusta si nona jelita ini, sebab kalau orang
bermaksud jahat padanya, bukankah sejak tadi sekali tabas saja sudah dapat
membinasakan dia?
Nyata ia tidak tahu betapa
jelimetnya jalan pikiran Gin-hoa-nio, hakekatnya seumur hidupnya jangan harap
akan dapat menerkanya.
Walaupun sudah cukup
pengalaman berkelana di dunia Kangouw, tapi kalau dibandingkan Gin-hoa-nio,
hakekatnya Kim-yan-cu seperti anak kecil berbanding orang tua.
Sekalipun Gin-hoa-nio telah
menjualnya mungkin dia belum lagi mengetahui apa yang terjadi.
Sementara itu Gin-hoa-nio
telah membuka Hiat-to Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa manis: "Tak
kuduga Cici akan memaklumi diriku secepat ini, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana harus berterima kasih padamu."
"Kau telah menyelamatkan
diriku, akulah yang harus berterima kasih padamu," kata Kim-yan-cu.
Gin-hoa-nio menunduk, mendadak
ia berkata pula: "Ada sesuatu pikiranku, entah mesti kukatakan atau
tidak?"
"Mengapa tidak kau
katakan saja?"
"Aku hidup sengsara
sendirian, entah, ... entah Cici sudi menerima diriku sebagai adik atau
tidak?" ucap Gin-hoa-nio dengan rawan.
Kim-yan-cu melengak, serunya;
"Kita.. kan baru saja kenal?"
Belum habis ucapannya,
bercucuranlah air mata Gin-hoa-nio, katanya: "Kakak kandungku saja tidak
sudi mengakui diriku, orang lain lebih lagi, ai, sungguh aku ini terlalu bodoh,
aku. . .aku ...." sampai di sini, menangislah dia dengan sedihnya.
Tanpa terasa Kim-yan-cu
merangkulnya, ucapnya dengan suara lembut: "O, adik yang baik, siapa
bilang aku tidak sudi mengakui kau sebagai adik? Cuma. . . . cuma kau harus
memberitahukan lebih dulu siapa namamu?"
"Ai, aku ini memang
pikun.,." seru Gin hoa-nio dengan tertawa cerah. "Cici yang baik,
terimalah hormat adikmu, Hoa Gin hong"
Habis berkata ia benar-benar
memberi sembah hormat kepada Kim yan cu.
Cepat Kim yan cu
membangunkannya, katanya dengan tertawa: "Aku Kim yan cu (walet emas) dan
kau Gin hong hong (burung Hong perak), tampaknya kita menjadi seperti kakak
adik sekandung."
Padahal ia sendiri juga
sebatang-kara, tidak punya sanak tidak punya kadang. Sekarang mendadak
mendapatkan seorang adik secantik ini, dengan sendirinya iapun sangat gembira.
Ia tidak tahu bahwa adik
perempuannya ini sesungguhnya bukanlah burung Hong segala, tetapi lebih tepat
dikatakan "serigala betina" dan setiap saat dia bisa dicaploknya
bulat-bulat.
Lantas untuk apakah
sesungguhnya Gin hoa nio memikat Kim yan cu? mengapa dia sengaja mengangkat
saudara dengan Kim yan cu? apa maksud tujuannya?
Semua pertanyaan ini, kecuali
Gin hoa nio sendiri mungkin tiada seorangpun yang dapat menjawab.
0000ooo00
Gin hoa nio lantas
mondar-mandir longak-longok di dalam ruangan ini, tampaknya sangat gembira,
sama sekali ia tidak tanya cara bagaimana Kim yan cu datang ke sini dan siapa
yang menutuknya.
Sebaliknya Kim yan cu sendiri
tidak tahan, ia buka suara lebih dulu: "Meski benda mestika berada di sini
tidaklah sedikit, tapi harta pusaka Siau hun niocu yang sebenarnya justru
tersimpan di dalam sana."
"Oooh di dalam sana masih
ada kamar lain? " tanya Gin hoa nio dengan mata terbelalak. Padahal sejak
tadi dia sudah memperhitungkan di dalam sana pasti masih ada ruangan lain,
kalau tidak, kemana perginya orang yang menutuk hiat-to Kim yan cu itu?
Dengan suara tertahan Kim yan
cu lantas berkat: "Boleh kau ikut padaku, tapi harus hati-hati, tak
perduli bertemu dengan siapa dan mengalami kejadian apa, hendaklah kau jangan
bersuara, dapatkah kau turut kepada perkataanku?"
"Kalau adik tidak turut
kepada perkataan kakak, habis mesti turut perkataan siapa?" jawab Gin hoa
nio dengan tertawa.
Kim yan cu tertawa, di
panggulnya lagi tutup peti besi itu, dia mulai menyembah lagi. Maklum ia merasa
tidak mempunyai akal kecuali mengulangi resep semula.
Gin-hoa-nio hanya memandangi
saja dengan diam, meski dalam hati merasa heran, tapi dia tidak banyak omong.
Dalam keadaan bagaimana harus bicara dan dalam keadaan bagaimana kudu diam,
baginya jauh lebih paham daripada orang lain.
Benar juga, kasuran batu itu
meluncur masuk lagi ke balik dinding sana, sampai Gin-hoa-nio juga terkejut
menyaksikan kejadian tak terduga itu. Didengarnya Kim-yan-cu lagi menjerit
kaget berada di dalam sana.
Kiranya Ji Pwe-giok dan Lim
Tay-ih sudah menghilang.
Pada detik sebelum dinding itu
merapat kembali, secepat kilat Gin-hoa-nio ikut menyelinap masuk ke sana,
melihat harta pusaka yang berserakan di situ, kejut dan girang pula
Gin-hoa-nio. Sebaliknya Kim-yan-cu berdiri ter-mangu2 dan ber-ulang2 bergumam,
"Kemana perginya mereka? Mengapa bisa menghilang?"
"Siapa yang hilang?"
tanya Gin-hoa-nio.
Kim-yan-cu tidak menjawabnya,
ia mengitari peti mati raksasa itu, mendadak dilihatnya lantai di belakang peti
itu bertambah sebuah lubang, dua botol obat di dalam almari batu juga tertindih
hancur lagi.
Meski dia tergolong anak
perempuan yang polos dan masih ke-kanak2an, tidak paham liku2 dan kelicikan
orang hidup, tapi hal ini ia tidak berarti dia orang bodoh. Setelah berpikir
sejenak, segera ia dapat menerka apa yang telah terjadi, yakni tentunya Ji
Pwe-giok berhasil menangkap Lim Tay-ih, keduanya terus bergumul dan Lim Tay-ih
menindih pecah lagi dua botol obat sehingga dia sendiri juga sempat menghisap
obat perangsang cinta itu, lantaran itulah dia tidak meronta dan tidak melawan
lagi kehendak Ji Pwe-giok. Tapi ketika kedua orang itu bergumul, tanpa sengaja
telah menyentuh tombol pesawat rahasia sehingga timbul sebuah lubang di bawah
tanah, dalam keadaan pikiran me-layang2, tanpa sadar kedua orang lantas
terjeblos ke bawah.
Lubang di bawah tanah itu
ternyata gelap gulita, entah berapa dalamnya dan entah tempat apa di bawah
sana.
Kim-yan-cu menjadi kuatir dan
gelisah, mendadak ia berkata, "Kau tunggu di sini, biar ku turun ke bawah
untuk melihatnya."
Gin-hoa-nio melirik sekejap
botol obat dan kitab yang berada di dalam almari batu itu, lalu berkata,
"Hendaklah kau hati2, dengan susah payah aku mendapatkan seorang Cici,
jangan sampai..."
"Jangan kuatir,"
potong Kim-yan-cu, "Cici takkan mati."
Ia mencoba merangkak ke dalam
lubang, diketahuinya lubang ini tidak lurus ke bawah melainkan miring seperti
tangga luncur. Tanpa pikir ia terus pejamkan mata dan membiarkan tubuhnya
meluncur ke bawah.
Ternyata di bawah lubang
inilah benar2 'istana bahagia' yang dimaksudkan dalam pesan Siau-hun-kiongcu
itu.
Inilah sebuah gua batu yang
luas, tampaknya gua alam dan tidak mengalami perubahan oleh tangan manusia.
Mutiara dan batu permata berserakan dan memancarkan cahaya sehingga kelihatan
dinding batu yang berbentuk aneh melebihi ukiran.
Di pojok sana ada sebuah
tempat tidur yang indah dan di samping tempat tidur ada sebuah meja kecil yang
berbentuk aneh dan di atas meja ada sebuah piala emas dan bokor kemala.
Tempat dimana Kim-yan-cu jatuh
itu adalah sebuah kolam yang besar, cuma sekarang kolam itu kering tanpa air
sehingga kelihatan berbagai ukiran di tepi kolam, ukiran yang menggambarkan
adegan main cinta yang merangsang.
Kini di gua ini sunyi senyap,
tapi dapat dibayangkan dahulu tempat ini pasti selalu dalam suasana gembira
ria. Kini meski di tempat tidur itu tiada terdapat seorang pun, tapi dapat
diduga dahulu selalu berbaring sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik. Isi
bokor itu pasti santapan yang paling lezat di dunia ini dan isi piala emas itu
pasti juga arak yang paling sedap.
Seorang kalau meluncur dari
atas ke bawah dan terperosot ke kolam mandi itu serta melihat "pemandangan
indah" di sekitarnya, bukankah sama halnya terjatuh ke surga yang hangat
dan bahagia.
Akan tetapi disinipun
Kim-yan-cu tetap tidak melihat Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih.
Ia coba mengitari ruangan gua
ini, akhirnya ditemukan di balik batu dinding yang menonjol sana samar2 seperti
ada cahaya yang menembus masuk dari luar. Kiranya di sinilah jalan keluarnya.
Jelas Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih telah pergi.
Padahal Ji Pwe-giok sendiri
yang menutuknya dan jelas dia masih terkurung di ruangan sana, tapi sekarang
pemuda itu tinggal pergi begitu saja tanpa menghiraukan dia. Seketika
Kim-yan-cu berdiri terkesima dengan air mata bercucuran.
"Cici, kau baik2
bukan?" terdengar Gin-hoa-nio berseru di atas.
Dengan menahan kesedihannya,
Kim-yan-cu berseru, "Semuanya baik2, boleh kau turun saja kemari!"
Dia mengusap air matanya, ia
bertekad melupakan apa yang terjadi di sini, apa yang dialaminya ini biarkan
seperti mimpi buruk saja dan takkan dipikir lagi, iapun tidak ingin memikirkan
Ji Pwe-giok pula.
Cuma sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa Lim Tay-ih pasti membenci Ji Pwe-giok sampai merasuk tulang, mana
bisa nona itu pergi bersama Ji Pwe-giok, cinta dan benci di antara mereka yang
sukar dijernihkan itu mana bisa terselesaikan semudah itu?
* * *
Di luar gua sang surya yang
baru terbit sedang memancarkan cahayanya yang gemilang, bunga hutan yang tak
diketahui namanya sedang mekar mewangi diembus oleh silir angin pagi.
Gin-hoa-nio lagi sibuk
mengusungi harta karun di dalam gua itu, satu peti demi satu peti diangkutnya
keluar.
Kim-yan-cu menghela nafas
rawan, katanya, "Lihatlah butiran embun di kelopak bunga itu, mana ada
mutiara di dunia ini yang lebih indah dari-padanya?"
"Tapi mutiara dapat
membuat hidup manusia merasa bahagia dan mendatangkan hormat dan tunduknya
orang lain, sedangkan butiran embun mana ada daya tarik sebesar itu?" ujar
Gin-hoa-nio.
Kim-yan-cu menatap jauh ke
langit, memandangi gumpalan awan, katanya pula, "Tapi kau pun jangan lupa,
di dunia inipun ada barang yang tak dapat ditukar dengan mutiara."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya,
"Cici, jangan2 engkau menanggung sesuatu kedukaan?"
Kim-yan-cu menghela nafas dan
tidak bicara lagi.
"Cici, kau tunggu
sebentar di sini, segera ku balik lagi," seru Gin-hoa-nio sambil berlari
pergi.
Kim-yan-cu benar2 menunggunya
dengan melamun di situ. Tidak sampai satu jam, Gin-hoa-nio kelihatan kembali
dengan membawa tiga buah kereta sewaan ditambah dua ekor kuda.
Ketiga sais kereta itu melotot
heran membantu Gin-hoa-nio mengusung semua peti2 itu ke atas kereta, tapi tiada
satupun yang berani tanya. Asalkan lelaki, tentu Gin-hoa-nio punya akal untuk
membuatnya menurut.
Sebuah sungai mengalir ke
bawah melingkari lereng bukit.
Kim-yan-cu menunggang kuda
mengikuti laju kereta menyusur jalan di tepi sungai. Tidak jauh tiba2
dilihatnya di permukaan sungai ada sepotong kain putih yang tersangkut di batu,
masih kelihatan bekas darahnya ketika Kim-yan-cu mengangkat kain itu dengan
sepotong kayu. Jelas itulah kain pembalut kepala Ji Pwe-giok.
Nyata anak muda itu pernah
berhenti di tepi sungai ini untuk membuka kain pembalut dan mencuci muka. Bisa
jadi iapun bercermin pada air sungai untuk melihat wajah sendiri. Setelah
mengetahui muka sendiri yang sudah rusak itu, entah bagaimana perasaannya?
Lalu dimanakah saat itu Lim
Tay-ih? Apakah dia hanya memandanginya di samping? Apakah dia tidak benci lagi
kepada anak muda itu dan telah mengakui dia adalah bakal suaminya? Apakah Ji
Pwe-giok ini sama orangnya dengan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu?
Tapi Ji Pwe-giok yang itu
bukankah jelas2 sudah mati? Banyak orang yang menyaksikan jenazahnya, masa bisa
palsu?
Dengan gemas Kim-yan-cu
membuang kain putih itu dan melompat lagi ke atas kudanya, diam2 ia menggerutu,
"Aku sudah bertekad tidak mau memikirkannya lagi, kenapa sekarang
kupikirkan dia pula?"
Gin-hoa-nio seperti tidak
melihat apapun, iapun tidak tanya Kim-yan-cu. Sebaliknya Kim-yan-cu juga tidak
tanya dia kemana iringan kereta ini akan menuju?
Yang pasti iringan kereta itu
dilarikan ke arah barat daya, agaknya menuju ke provinsi Sujwan.
Banyak juga kawan orang
Kangouw di sepanjang jalan ini, ada yang dari jauh sudah melihat pakaian
Kim-yan-cu yang kuning keemasan dan gemilapan, lalu cepat2 menghindar dengan
membelok ke jalan lain, kalau kepergok paling2 juga cuma menyapa dari jauh.
Seharian sedikitnya ada 40 orang yang kenal Kim-yan-cu, tapi tiada seorangpun
yang berani mendekat untuk mengajaknya bicara.
Terkadang Kim-yan-cu ingin
bertanya kepada mereka apakah melihat seorang pemuda yang mukanya terluka
bersama seorang anak perempuan cantik. Tapi niat itu selalu urung dikemukakan.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio
berkata, "Menempuh perjalanan bersama Cici sungguh sangat senang, siapapun
tak berani mengganggu kita. Coba kalau dua anak perempuan biasa menempuh
perjalanan sejauh ini bersama tiga buah kereta besar, mustahil kalau di tengah
jalan tidak banyak mendapat rintangan."
Belum habis ucapannya, tiba2
dari belakang seorang penunggang kuda memburu datang dengan cepat. Penunggang
kudanya tampak berwajah cakap dan gagah dengan baju perlente, sebilah golok
pendek dengan gagang golok penuh berhias mutiara terselip di tali pinggangnya.
Ternyata Sin to Kongcu adanya.
Hanya memandangnya sekejap
Kim-yan-cu lantas melengos ke arah lain seperti tidak kenal saja. Sebaliknya
Sin-to Kongcu tampak sangat senang melihat si nona, segera ia berucap setengah
mengomel, "Adik Yan, mengapa kau pergi tanpa pamit, susah payah kucari
dirimu."
"Siapa suruh kau cari
diriku?" jawab Kim-yan-cu dengan muka bersungut.
Sin-to Kongcu melengak,
katanya dengan tergagap. "Habis cari... cari siapa kalau aku tidak mencari
kau?"
"Peduli siapa yang akan
kau cari," jengek Kim-yan-cu. "Setiap orang di dunia ini boleh kau
cari, kenapa kau mencari diriku?" "Plak", ia tepuk perut kudanya
dan dilarikan jauh ke depan.
Sama sekali Sin-to Kongcu
tidak menyangka sikap Kim-yan-cu padanya akan berubah 180 derajad, semula ia
kegirangan setengah mati karena dapat menemukan kembali si nona, siapa tahu
kepalanya seperti diguyur air dingin, seketika ia menjadi melenggong.
Gin-hoa-nio mengerling genit
dan mendekati Sin-to Kongcu, desisnya, "Hati Ciciku selama dua hari ini
lagi kesal, ada urusan apa boleh kau bicarakan nanti saja."
"Cicimu?" Sin-to
Kongcu menegas dengan terbelalak.
"Memangnya kenapa? Kau tidak
suka mempunyai adik perempuan seperti diriku?" ucap Gin-hoa-nio dengan
tertawa.
Baru sekarang Sin-to Kongcu
memandangnya lebih seksama dan melihat jelas senyum genitnya yang menggiurkan,
melihat kerlingan matanya yang membetot sukma. Mendadak ia terkesima dan tidak
dapat bicara lagi.
Perlahan Gin-hoa-nio mencubit
pinggang Sin-to Kongcu, katanya dengan tertawa genit, "Jika kau ingin
menjadi Cihuku (kakak iparku), maka perlu kau menyanjung diriku dan turut
kepada perkataanku." Habis berkata ia terus membedal kudanya ke depan,
mendadak ia menoleh dan memicingkan matanya dan berseru: "Hayolah, mengapa
tidak kau ikut kemari?"
Benar Sin to Kongcu lantas
ikut ke sana dengan sangat penurut, rasa gusarnya tadi seketika lenyap tanpa
bekas.
Menjelang lohor sampailah
mereka di Gak keh tin, suatu kota kecil, di sini mereka istirahat dan makan
siang.
Gin hoa nio memesan santapan
dan arah, ditariknya Kim yan cu dan Sin to kongcu agar berduduk bersama,
diam-diam ia bisik-bisik ke sini dan kasak-kusuk kesana sambil tertawa
cekakak-cekikik.
Sin to kongcu yang pecinta itu
seakan-akan melupakan Kim yan cu, kalau Gin hoa nio tertawa iapun ikut tertawa,
bila Gin hoa nio mengerling, sayuran yang disumpitnya hampir kesasar masuk
hidungnya.
Mendadak Gin hoa nio mencabut
golok pendek di pinggang Sin to Kongcu, katanya dengan tertawa: "Wah,
memang engkau tidak malu bernama Sin to Kongcu, golokmu memang golok
pusaka."
Sin to Kongcu menjadi senang,
serunya dengan tertawa: "Kau tahu, berapa banyak golok dan pedang kaum
ahli kangouw yang patah oleh golok pusakaku ini?"
Seperti tidak sengaja Gin hoa
nio memegang tangan Sin to Kongcu, ucapnya dengan lagak manja: "Ai, kenapa
tidak lekas kau katakan, ada berapa banyak seluruhnya?"
Gin hoa nio menatapnya
lekat-lekat seperti tidak kepalang kagumnya dan sangat memujanya, genggamannya
tambah erat seolah-olah tidak mau melepaskannya, katanya dengan tersenyum
menggiurkan: "Didampingi orang seperti kau, sungguh apapun tidak perlu
kutakuti lagi."
Jantung Sin to Kongcu berdetak
keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya, sungguh ia menjadi
bingung dan entah apa pula yang harus diucapkannya.
Meski Kim yan cu tidak
mengacuhkan Sin to Kongcu, tapi melihat sikapnya yang linglung dan lupa daratan
itu, seketika ia naik darah. Maklumlah di dunia ini tiada anak perempuan yang
tidak cemburu bila melihat pemuda yang pernah tergila-gila padanya mendadak
menaruh perhatian kepada anak perempuan lain.
Soal dia sendiri suka atau
tidak terhadap anak muda ini adalah urusan lain, tapi dia tidak tahan bila
lelaki ini membuat malu padanya. Akhirnya Kim-yan-cu berbangkit dan tinggal
pergi dengan gemas.
Mau tak mau Sin-to kongcu
merasakan gelagat tidak baik, cepat ia meng-ada2, katanya dengan tertawa,
"eh, apakah kau masih ingat kepada Ji Pwe-giok itu ?"
Nama "Ji Pwe Giok"
seolah-olah sebuah kaitan yang dapat seketika menyantol kaki Kim-yan-cu dan
membuatnya sukar melangkah lagi. Dia berhenti di ambang pintu, setelah detak
jantungnya agak mereda barulah dia berkata dengan dingin, "Bukankah Ji Pwe-giok
itu sudah mati ?"
"Sudah mati satu,
sekarang muncul satu lagi!" kata Sin-to Kongcu.
Gemetar Kim-yan-cu, ia pegang
cagak pintu dan sedapatnya berlagak tak acuh, namun betapapun air mukanya sukar
menutupi perasaannya. Ia pun tidak berani berpaling, iapun tidak melihat betapa
lebih hebat perubahan air muka Gin-hoa-nio ketika mendengar nama Ji Pwe-giok.
Kim-yan-cu tidak bersuara,
tapi Gin-hoa-nio lantas berteriak, "Jadi kau kenal kedua Ji Pwe Giok itu
?"
"Kedua orang ini memang
seluruhnya pernah kulihat, Hmmm, masa kukenal orang macam begitu ?" jengek
Sin-to Kongcu.
Gin-hoa-nio mengerling genit,
ucapnya dengan tertawa, "Konon Ji Pwe-giok yang mati itu adalah putera
Bu-lim-bengcu sekarang, bukan saja mukanya tampan, perangainya juga halus,
entah Ji Pwe-giok yang hidup ini apakah bisa menandingi dia?!"
Muka Sin-to Kongcu menjadi
merah padam saking genasnya, jengeknya "Hmm, kalau bicara tentang rupa,
memang tampang Ji Pwe-giok yang sudah mati itu tidak secakap yang masih hidup
ini. Tapi soal kehalusan perangai, kukira keduanya tidak banyak berbeda."
Dia sengaja merendahkan Ji
Pwe-giok yang sudah mati itu seolah-olah tidak laku sepeserpun. Ia tidak tahu
bahwa saat ini hati Kim-yan-cu seluruhnya sudah beralih kepada Ji Pwe-giok yang
hidup ini, lebih-lebih mimpipun tak terpikir olehnya bahwa kedua Ji Pwe-giok
itu sebenarnya adalah satu orang yang sama.
Gin Hoa-nio tertawa
terkikik-kikik, katanya, "O, apakah Ji Pwe-giok yang ini juga pemuda
tampan ?"
Sin-to Kongcu melototi
bayangan punggung Kim-yan-cu dan berteriak, "Ji Pwe-giok yang ini memang
tidak perlu malu diberi julukan pemuda tampan. meski entah oleh siapa mukanya
telah disayat, tapi toh masih tetap jauh lebih cakap daripada yang sudah mati
itu."
Ucapan Sin-to kongcu ini
sebenarnya dimaksudkan untuk membikin dongkol Kim-yan-cu, tak tersangka
Gin-hoa-nio yang menjadi gregetan, saking khekinya sampai ia tidak dapat
bersuara dan tidak dapat tertawa pula.
Diam-diam Kim-yan-cu terkesiap
dan juga senang, gumamnya: "Kiranya Ji Pwe-giok yang ini bukan orang yang
sama dengan Ji Pwe-giok yang itu, iapun bukan bakal suami Lim Tay-ih, kiranya
luka di mukanya tidak parah dan tidak menjadi buruk rupa."
Sin-to Kongcu sangat
mendongkol, teriaknya: "Kau bilang apa?"
Dengan tak acuh Kim-yan-cu
menjawab: "Sebenarnya ada beberapa persoalan yang sukar kupahami, terima
kasih atas keteranganmu."
"Aku...aku tidak paham
maksudmu!?" kata Sin-to Kongcu.
"Lebih baik kau tidak
paham," ujar Kim-yan-cu.
"Eh, dimana kau melihat
dia? sungguh kamipun ingin menemuinya," tiba-tiba Gin-hoa-nio bertanya
dengan tertawa.
Sin-to kongcu menarik napas,
jawabnya: "Kemarin malam kulihat dia satu kali, waktu itu aku tidak tahu
iapun bernama Ji Pwe-giok, aku tidak memperhatikan dia, tapi kukenal anak
perempuan yang bersama dia itu."
Mata Gin-hoa-nio terbelalak,
ia menegas: "Hanya seorang anak perempuan yang bersama dia?"
"Memangnya satu tidak
cukup?" jengek Sin-to Kongcu.
"Budak hina, sampai kakak
sendiri juga disingkirkan dan mengangkanginya sendiri," ucap Gin-hoa-nio
dengan gemas. Sudah tentu menurut keyakinannya anak perempuan yang mendampingi
Ji Pwe-giok itu pasti Thi-hoa-nio adanya.
Tak terduga Sin-to Kongcu
lantas berkata pula dengan tertawa: "Sungguh lucu kalau kuceritakan,
perempuan itu sebenarnya adalah bakal isteri Ji Pwe-giok yang sudah mati itu,
setelah Ji Pwe-giok mati, baru sebentar saja ia sudah kecantol oleh Ji Pwe-giok
yang baru ini..."
"Siapakah perempuan yang
kau maksudkan itu?" sela Gin-hoa-nio dengan melengak.
"Dengan sendirinya puteri
Leng-hoa kiam yang bernama Lim Tay-ih itu, memangnya kau kira siapa?"
jawab Sin-to Kongcu.
Mendadak Gin-hoa-nio bergelak
tertawa, serunya: "Ha..ha..ha..., bagus, bagus! Kiranya dia telah berganti
pacar dan juga she Lim. Wah, agaknya orang ini memang seorang maha pecinta, di
mana-mana ada pacar!"
Teringat Thi-hoa-nio juga
telah didepak oleh Ji Pwe-giok, gembira sekali tertawanya.
Sudah tentu Sin-to Kongcu
tidak tahu sebab apa Gin-hoa-nio bergembira dan merasa geli, yang dirasakan
cuma gaya tertawa Gin-hoa-nio yang menggiurkan itu, ia memandangnya dengan
kesima, sampai sekian lamanya barulah ia berkata pula:
"Waktu itu, demi melihat
Lim Tay-ih tidak berkabung, sebaliknya malah sudah bergaul dengan lelaki lain,
sungguh hatiku sangat gemas. Kupikir perempuan ini ternyata seorang munafik,
lahirnya kelihatan dingin dan kereng, se-olah2 puteri suci yang tak boleh
diganggu, nyatanya cuma seorang perempuan yang tidak teguh imannya dan berharga
murah."
Gin-hoa-nio tertawa
ter-kikik2, katanya kemudian, "Berada bersama seorang lelaki kan tidak
berarti perempuan itu suka jual murah. Saat ini bukankah akupun berada
bersamamu?"
Hampir semaput Sin-to Kongcu
oleh lirikan Gin-hoa-nio yang memikat itu, segera ia bermaksud lagi meraba
tangannya, ucapnya dengan menyengir, "Sudah tentu aku dan kau bukan…"
"Kemudian
bagaimana?" mendadak Kim-yan-cu berteriak. "Mengapa tidak kau
sambung?"
Sin-to Kongcu berdehem
perlahan dan menegakkan tubuhnya, tuturnya, "Kemudian kami mondok di suatu
hotel, kulihat mereka tinggal bersama di satu kamar."
"Hm, jadi kau selalu
membuntuti mereka?" jengek Kim-yan-cu.
"Apa maksudmu selalu
membuntuti orang?" tanya Gin-hoa-nio dengan ter-kekeh2. "Barangkali
kau ingin mengintip... mengintip... atau kau sendiri juga ingin ambil
bagian?"
Muka Sin-to menjadi merah,
serunya, "Masa aku ini orang macam begitu? Soalnya di sana hanya ada
sebuah hotel, terpaksa akupun masuk hotel itu supaya tidak tidur di
jalanan."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya,
"Jangan kau marah. Padahal lelaki mana yang tidak mata keranjang. Bilamana
lelaki melihat seorang perempuan yang jual murah, kalau dia tidak ikut
mencicipi, maka akan dirasakan rugi besar. Kukira lelaki umumnya sama saja,
siapa tahu kau... kau ternyata lain daripada lelaki lain."
Andaikata Sin-to Kongcu memang
rada dongkol, setelah mendengar kata2 ini, lenyap juga rasa marahnya.
Biji mata Gin-hoa-nio
berputar, dengan tertawa genit ia berkata pula, "Eh, tapi pada malamnya
kau mengintip juga bukan?"
Cepat Sin-to Kongcu menjawab,
"Hah, masa ku intip orang macam begitu? Soalnya kamarku berada di sebelah
mereka, sampai tengah malam kudengar mereka ribut mulut di kamarnya."
Baru sekarang Kim-yan-cu tidak
tahan dan bertanya, "Sebab apa mereka bertengkar?"
"Waktu kulihat mereka
tampaknya Lim Tay-ih sedang sakit, sampai berjalan saja tidak kuat," tutur
Sin-to Kongcu. "Ji Pwe-giok itu memayangnya dengan penuh kasih mesra, jika
aku jadi dia tentu kikuk dilihat orang banyak. Bila aku tidak tahu seluk beluk
mereka, mungkin akan menyangka mereka itu suami isteri. Ketika kudengar suara
pertengkaran mereka, aku menjadi terheran-heran."
"Hihi... makanya kau
tidak tahan dan ingin melihatnya," tukas Gin-hoa-nio dengan tertawa
ngikik.
"Tapi aku tidak
mengintip," ujar Sin-to Kongcu. "Baru saja ku keluar kamar dan sampai
di halaman, mendadak Lim Tay-ih itu membuka pintu dan menerjang keluar dengan
pedang terhunus."
"Wah, aneh juga nona Lim
itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Baru sembuh sakitnya lantas
mau membunuh orang. Apakah Ji-kongcu yang telah merawatnya itu dianggap
salah?"
"Menurut pengamatanku,
tentu Ji Pwe-giok itu telah menggagahi orang pada waktu orang sedang sakit,
makanya begitu menerjang keluar segera Lim Tay-ih itu berteriak, "Hayo
keluar, Ji Pwe-giok, hari ini kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang
mati!" Pada saat itulah baru ku tahu bocah itu bernama Ji Pwe-giok."
Gin-hoa-nio melirik Kim-yan-cu
sekejap, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, Lim Tay-ih itu se-olah2
benar-benar telah dimakan oleh Ji Pwe-giok itu, makanya dia menjadi dendam dan
ingin mengadu jiwa dengan dia. Bagaimana Cici, menurut kau apakah memang begitu
kepribadian Ji-kongcu?"
Sudah tentu Kim-yan-cu tahu
apa alasan Lim Tay-ih ingin membunuh Ji Pwe-giok, tapi hal ini mana boleh
diceritakan nya kepada orang lain. Bila teringat kepada apa yang terjadi di
tempat Siau-hun-kongcu itu, Kim-yan-cu sendiri merasakan pahit, getir, manis
dan kecut bercampur aduk dan sukar menyatakan bagaimana rasanya.
Terpaksa ia menjawab dengan
dingin, "Dengarkan saja ceritanya, kenapa kau tanya padaku?"
Gin-hoa-nio melelet lidah dan tidak
bersuara pula.
Sin-to Kongcu lantas
menyambung ceritanya, "Mungkin Ji Pwe-giok itu merasa malu, dia sembunyi
di dalam kamar dan tak berani keluar. Sampai lama Lim Tay-ih mencaci maki di
luar, mendadak ia menerjang masuk lagi ke kamar."
"Masa Ji Pwe-giok belum
lagi pergi?" tanya Kim-yan-cu.
"Ji Pwe-giok seolah-olah
terkesima, ia duduk di kursinya dengan termangu-mangu," tutur Sin-to
Kongcu. "Sementara itu tamu hotel menjadi kaget dan be-ramai-ramai
merubung datang untuk menonton, ada yang menyangka suami isteri sedang
bertengkar dan ingin melerai, tapi baru masuk segera orang itu di depak keluar
oleh Lim Tay-ih, keruan yang lain-lain menjadi ketakutan dan tidak berani
mendekat."
"Galak benar nona Lim
itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Setelah menerjang ke
dalam kamar, Ji Pwe-giok didamperatnya habis-habisan," tutur Sin-to Kongcu
lebih lanjut. "Hakikatnya Ji Pwe-giok dimaki se-olah2 manusia yang paling
tidak kenal malu di dunia ini. Tapi Ji Pwe-giok masih tetap duduk mematung dan
tidak menanggapi."
"Kata peribahasa,
bertepuk sebelah tangan takkan berbunyi, kalau orang tidak menjawabnya,
betapapun galaknya nona Lim itu terpaksa tak dapat berbuat apa-apa lagi,"
ujar Gin-hoa-nio.
"Ya, tadinya akupun
anggap begitu," kata Sin-to Kongcu. "Siapa tahu Lim Tay-ih itu
seperti sudah gila, mendadak pedangnya menusuk..."
"Dan dia tidak
membalas?" betapapun Kim-yan-cu menjadi kuatir dan bertanya.
Sin-to Kongcu melototinya
sekejap, lalu menjawab dengan perlahan, "Bukan saja dia tidak membalas,
bahkan berkelit saja tidak. Ketika pedang Lim Tay-ih mengenai badannya,
hakekatnya dia tidak bergerak sama sekali."
"Parah tidak
lukanya?" tanya Kim-yan-cu.
"Tampaknya Lim Tay-ih
tidak ingin sekali tusuk membinasakan dia," jawab Sin-to Kongcu dengan
dingin, "sebab itulah tusukannya itu diarahkan ke bahunya, tusukan yang
kedua juga cuma melukai dadanya..."
"Dia tega menusuk
lagi?!" seru Kim-yan-cu.
"Tidak cuma menusuk lagi,
bahkan sembari memaki dan menangis, pedangnya juga tidak pernah berhenti,"
jengek Sin-to Kongcu.
Hampir menangis Kim-yan-cu,
katanya dengan tersendat, "Masa tidak ada orang yang mencegahnya?"
"Tadi kan sudah ada yang
di depak keluar, siapa lagi yang berani melerainya?" ujar Sin-to Kongcu.
"Dan kau? Kenapa tidak
kau cegah dia? Apakah kaupun takut kepada ilmu silatnya?" tanya
Kim-yan-cu.
Sin-to Kongcu menunduk,
katanya, "Sebenarnya akupun ingin menariknya, tapi begitu mendengar orang
itupun bernama Ji Pwe-giok, entah mengapa, aku menjadi... menjadi marah bila
mendengar nama Ji Pwe-giok."
"Jadi... jadi kau
saksikan dia dibunuh orang di depanmu?" tanya Kim-yan-cu pula dengan suara
gemetar.
"O, kaupun kenal
dia?" tanya Sin-to Kongcu dengan terbelalak. "Mengapa begini besar
perhatianmu kepadanya?"
"Kukenal dia atau tidak,
kuperhatikan dia atau tidak, semua ini ada sangkut paut apa denganmu?"
teriak Kim-yan-cu.
Mata Sin-to Kongcu menjadi
merah, ia angkat cawan arak, tapi tangannya terasa gemetar hingga arak
berceceran membasahi bajunya. "Tapi Ji Pwe-giok itu apakah betul telah
dibunuh oleh Lim Tay-ih?" timbrung Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
"Sudah tentu, masakah
perlu dijelaskan lagi," kata Sin-to Kongcu dengan dingin sambil tetap
menatap Kim-yan-cu.
Se-konyong2 Kim-yan-cu
berbangkit, teriaknya dengan parau, "Dan kau... kau ti..."
Sin-to Kongcu juga berdiri dan
meraung, "Ji Pwe-giok sendiri tidak menghiraukan dirinya diserang, jelas
ia sendiri rela mati di tangan Lim Tay-ih. Kalau dia sendiri sukarela, mengapa
aku mesti ikut campur urusannya?!"
Dengan sinar mata buram
Kim-yan-cu menatap Sin-to Kongcu, selangkah demi selangkah ia menyurut mundur
ke pintu, akhirnya air mata menetes, mendadak ia membalik tubuh terus berlari
pergi dengan mendekap mukanya.
Lama juga Gin-hoa-nio
melenggong, lalu ia tertawa ter-kekeh2, katanya, "Hehe, akhirnya Ji
Pwe-giok mati juga, bahkan mati di tangan orang perempuan... jika Losam (si
ketiga, maksudnya Thi-hoa-nio) mendengar berita ini, kuyakin air mukanya pasti
sangat lucu."
Waktu ia berpaling, dilihatnya
Sin-to Kongcu berdiri kaku seperti patung, air mukanya sebentar hijau sebentar
putih, mendadak "prak", cawan arak yang dipegangnya telah hancur
diremasnya.
* * *
Kim-yan-cu berlari kembali ke
kamarnya dan menjatuhkan diri di ranjang, kepala ditutupnya dengan selimut lalu
menangis ter-gerung2. Ia sendiripun tidak menduga dirinya bisa begini berduka.
Entah sudah berapa lama ia
menangis, ia merasa sebuah tangan meraba bahunya dengan perlahan, ia membuka
selimut, dilihatnya Gin-hoa-nio berduduk di tepi ranjang dan lagi berkata
dengan suara lembut, "Orang mati tak dapat hidup kembali, untuk apa Toaci
sedemikian berduka?"
Melihat dia Kim-yan-cu merasa
seperti bertemu dengan orang yang paling karib di dunia ini, ia menubruk ke
pangkuan Gin-hoa-nio dan menangis lagi sekian lamanya, habis itu barulah ia
berkata dengan tersendat, "Akupun tidak tahu mengapa aku begini berduka,
padahal aku cuma berada bersama dia satu hari saja, bahkan bagaimana bentuknya
sesungguhnya akupun tidak jelas."
"Hah? Kau hanya berkumpul
satu hari dengan dia? Hanya satu hari?" Gin-hoa-nio menegas dengan
tercengang.
"Ya, meski cuma satu
hari, tapi apa yang terjadi selama sehari itu sudah cukup kukenangkan untuk
selama hidup," kata Kim-yan-cu.
Gemerdep sinar mata
Gin-hoa-nio, tanyanya pula dengan perlahan, "Dia sangat baik
padamu?!"
"Ya".
"Tapi Sin-to Kongcu itu
kan juga sangat baik padamu?"
"Itu tidak sama,"
ujar Kim-yan-cu. "Dia baik padaku lantaran ia ingin memiliki diriku, tapi
Ji... Ji Kongcu itu, dia selalu memikirkan kepentinganku, bahkan tidak sayang
mengorbankan dirinya sendiri demi diriku."
"Kukira dia bukan manusia
sebaik itu..."
"Kau tahu," mendadak
Kim-yan-cu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara agak gemetar,
"Sebenarnya dia dapat mendapatkan segalanya dari diriku, aku... aku sudah
rela menyerahkan segalanya kepadanya, tapi dia... dia tidak mau membikin susah
padaku..."
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio,
serunya, "Jadi dia telah menolak dirimu, bisa jadi lantaran dia memandang
rendah dirimu!"
"Tidak, sama sekali bukan
begitu," kata Kim-yan-cu. "Kau tidak tahu..."
"Mengapa aku tidak
tahu," jengek Gin-hoa-nio. "Sudah lama ku tahu dia bukan manusia yang
tahu kebajikan, sepantasnya kau benci padanya, mengapa kau malah berduka
baginya?"
Kim-yan-cu menghela nafas,
jawabnya, "Sebenarnya akupun rada benci padanya, tapi sekarang... sekarang
aku dapat memahami maksudnya, rupanya dia kuatir kebahagiaan hidupku menjadi
korban, maka dia lebih suka membikin kubenci padanya dan tidak mau membikin
susah padaku. Tiada lain melulu ini saja selama... selama hidupku takkan
kulupakan dia."
Gin-hoa-nio melengak, tapi dia
lantas mendengus pula, "Tapi kalau aku sudah ditolak oleh seorang lelaki,
maka aku akan membencinya selama hidup."
Mendadak pintu berkeriut dan
terbuka, dengan kaku Sin-to Kongcu berdiri di depan pintu, wajahnya kelihatan
pucat seperti mayat.
Kim-yan-cu menjadi gusar,
dampratnya, "Siapa suruh kau kemari? Keluar, lekas keluar!"
Sin-to Kongcu tetap berdiri
kesima di situ, mendadak ia menghela nafas panjang, katanya, "Janganlah
kau berduka, Ji Pwe-giok itu tidaklah mati!"
Tercengang Kim-yan-cu,
tanyanya, "Habis tadi mengapa... mengapa kau..."
Sin-to Kongcu menunduk,
jawabnya, "Tadi aku sengaja membikin marah padamu, tapi... tapi sekarang,
setelah melihat kau sedemikian berduka, aku... aku tidak sampai hati berdusta
lebih jauh."
Kim-yan-cu menatapnya dengan
terkesima, seketika ia menjadi tak sanggup bicara.
"Jika tiada orang
menolongnya, bisa jadi Lim Tay-ih benar2 akan membunuhnya," tutur Sin-to
Kongcu lebih lanjut. "Pada saat itulah mendadak seorang melayang masuk dan
menghadang di depan Lim Tay-ih."
"Siapa dia?" tanya
Kim-yan-cu cepat.
"Ang-lian hoa!"
jawab Sin-to Kongcu.
"Ji Pwe-giok itupun kenal
Ang-lian hoa?" seru Kim-yan-cu.
"Meski Ang-lian hoa telah
menyelamatkan dia, tapi Ang-lian hoa juga tidak kenal dia, tampaknya malahan
rada jemu terhadap orang she Ji itu, cuma dia merasa kesalahan orang tidak
perlu dihukum mati, maka dia merintangi Lim Tay-ih."
"Darimana kau tahu?"
tanya Kim-yan-cu.
"Tatkala mana sekujur
badan Ji Pwe-giok sudah mandi darah, siapapun dapat melihat lukanya cukup
parah, tapi Ang-lian hoa sama sekali tidak memandangnya, sebaliknya malah
membujuk dan menghibur Lim Tay-ih, seolah-olah yang terluka bukanlah Ji
Pwe-giok melainkan Lim Tay-ih. Ji Pwe-giok itupun memandangi mereka dengan
termangu-mangu tanpa bicara."
"Kemudian?" tanya
Kim-yan-cu.
"Kemudian Ang-lian hoa
lantas membawa pergi Lim Tay-ih tanpa memperdulikan orang she Ji itu,"
tutur Sin-to Kongcu. "Coba pikir, jika dia sahabat Ji Pwe-giok itu atau
dia bersimpatik padanya, paling tidak ia pasti akan memeriksa lukanya."
Sampai di sini barulah
Gin-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Jika begitu, untuk apa pula Ang-lian
hoa menolongnya. Ang-lian hoa benar2 tidak malu sebagai seorang yang sok ikut
campur urusan tetek bengek. Tapi tidak lambat tidak cepat, justeru pada saat
itulah dia muncul. Jangan-jangan iapun senantiasa menguntit dan mengawasi
gerak-gerik mereka?"
"Tapi baru saja Ang-lian
hoa dan Lim Tay-ih berangkat, segera ada seorang perempuan melayang masuk lagi
dan memandangi Ji Pwe-giok dengan tertawa," tutur Sin-to Kongcu pula.
"Perempuan itu lantas berkata: "Sebelumnya memang ku tahu ada orang
akan menolong kau, maka sebegitu jauh aku tidak turun tangan..." Coba
pikir, kalau dia tidak menguntit mereka, mana bisa dia bicara begitu?"
"Hm, tampaknya banyak
juga pacar Ji Pwe-giok, yang satu menemani dia tidur di hotel, ada lagi yang
diam2 menunggu kesempatan baik untuk menolongnya," jengek Gin-hoa-nio.
"Tapi demi melihat
perempuan itu, Ji Pwe-giok seperti melihat setan saja, tanpa menghiraukan
lukanya yang cukup parah itu, dia melompat bangun terus kabur," tutur
Sin-to Kongcu. "Hebat juga ginkangnya, biarpun dalam keadaan terluka,
perempuan itu belum tentu dapat menyusulnya."
Gin-hoa-nio berkerut kening,
tanyanya, "Siapa pula perempuan itu? Bagaimana bentuknya?"
"Perempuan itu berbaju
putih mulus, tampaknya juga tergolong perempuan cantik, ilmu silatnya juga
tergolong kelas tinggi, tapi aku tidak tahu di Kangouw ada seorang tokoh
semacam dia, bisa jadi baru saja muncul," tutur Sin-to Kongcu pula dengan
wajah pucat dan agak linglung, orang bertanya diapun menjawab, sampai di sini
mendadak ia menatap lagi Kim-yan-cu, katanya dengan perlahan, "Sekarang
apa yang kulihat sudah kuceritakan seluruhnya, meski di balik urusan ini pasti
masih ada hal2 lain yang ter-belit2, tapi aku tidak tahu lagi, akupun tidak
tahu kemana perginya Ji Pwe-giok itu."
Dengan nada yang agak
terangsang kemudian dia menyambung pula, "Tapi kelak bila kulihat dia
pasti akan kusuruh dia mencari dirimu, ku tahu isi hatimu, apapun sikapmu
terhadapku tidak menjadi soal, paling tidak aku sendiri tidak... tidak berbuat
salah padamu!"
Habis berkata segera ia
membalik badan dan melangkah pergi. Padahal biasanya dia se-akan2 lengket
terhadap Kim-yan-cu, tapi kepergiannya ini ternyata cukup ikhlas.
"Orang ini meski
terkadang terasa menjemukan, tak tersangka cukup keras juga kepalanya,"
ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Kim-yan-cu ter-mangu2 sejenak,
katanya kemudian dengan menyesal, "Dia memang tidak bersalah padaku, tapi
aku merasa tidak enak padanya."
"Tadi aku cuma berpikir
bicara dengan Cici dan tidak menyangka dia akan mencuri dengar di luar
pintu," kata Gin-hoa-nio. "Jika dia tidak mendengar perkataan Cici
tadi, tentu dia takkan pergi seperti sekarang ini."
"Sebabnya dia selalu
melengket pada diriku adalah karena dia mengira aku pasti jauh lebih dingin
terhadap orang lain daripada sikap dinginku terhadap dia. Sekarang setelah dia
tahu hatiku sudah terisi orang lain, barulah dia ikhlas melepaskan diriku.
Dengan demikian akupun tidak perlu repot lagi menghadapi dia."
"Tapi mengapa Toaci
membikin dia putus asa? Jika dia selalu masih berharap akan memiliki Toaci,
tentu dia akan senantiasa mengintil di belakang kita, jika kau suruh dia ke
timur, tidak nanti dia berani ke barat. Dengan demikian bukankah akan sangat
menyenangkan. Apalagi anak perempuan seperti kita yang suka berkelana di
Kangouw justeru memerlukan pesuruh semacam dia."
Sama sekali Kim-yan-cu tidak
pernah membayangkan jalan pikiran yang bukan2 seperti apa yang dikatakan
Gin-hoa-nio ini, karena pikiran sendiri sedang kusut, maka iapun tidak
menanggapinya. Ia cuma menghela nafas dan berkata, "Aku sangat lelah dan
ingin istirahat, harap kau keluar saja."
Namun Gin-hoa-nio masih tetap
duduk saja, ia malah berkata lagi dengan mata terbelalak, "Toaci, menurut
kau, sebab apakah nona Lim itu ingin membunuh Ji-kongcu?"
Kim-yan-cu membalik tubuh,
memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi.
"Menurut pendapatku,
belum tentu nona Lim itu hendak membunuh Ji-kongcu," kata Gin-hoa-nio
pula. "Dalam hal ini ada dua titik yang mencurigakan, masa Toaci tidak
dapat membayangkannya?"
Mesti tidak mau menggubrisnya,
tak tahan juga Kim-yan-cu mendengar ucapan tersebut, segera ia bertanya,
"Hal apa yang mencurigakan?"
Gin-hoa-nio tertawa, katanya,
"Melihat sikap Ji-kongcu terhadap nona Lim itu, pasti dia tidak
berprasangka jelek apapun terhadap nona itu, bahkan tidak cuma satu hari saja
mereka berada bersama."
"Ini kan juga tidak perlu
diherankan"
"Jika begitu, kesempatan
bagi nona Lim untuk membunuh Ji-kongcu tentunya sangat banyak, mengapa dia
sengaja menunggu sampai malam itu, di tempat yang banyak orang dan sengaja
ribut2 sehingga ditonton orang?"
"Bisa jadi dia tidak
sengaja mengagetkan orang, mungkin dia tidak sabar lagi dan akhirnya
ribut," ujar Kim-yan-cu setelah berpikir sejenak.
"Seorang perempuan kalau
sudah benci kepada seorang lelaki, bahkan ingin membunuhnya, maka dia pasti
takkan ribut dengan dia secara terbuka, jika sampai ribut2 begitu, tentu dia
tidak bermaksud membunuhnya... Toaci, engkau juga perempuan, kau bilang
uraianku ini masuk di akal atau tidak?"
Setelah termenung sejenak,
akhirnya Kim-yan-cu mengangguk, "Ya, betul juga."
"Selain itu, jika benar
nona Lim itu ingin membunuh Ji-Kongcu, di depan orang banyak kenapa tidak
sekali tusuk dibinasakannya?"
"Mungkin dia ingin
menyiksanya secara perlahan."
"Menurut pendapatku, hati
nona Lim itu pasti tidak sekeji itu, apalagi seumpama benar ia maksud
menyiksanya secara perlahan, tentu serangannya juga tidak seringan itu."
"Darimana kau tahu
serangannya ringan atau berat?"
"Jika serangannya cukup
berat, masakah kemudian Ji-kongcu mampu kabur dengan menggunakan
ginkangnya?"
Kim-yan-cu termenung, tanyanya
kemudian, "Habis kalau menurut kau, sesungguhnya permainan apakah
itu?"
"Menurut pendapatku, apa
yang dilakukan nona Lim itu hanya sekedar dilihat orang lain saja."
"Mengapa dia berbuat
begitu agar dilihat orang lain?"
"Apa sebabnya akupun
tidak tahu, bisa jadi Toaci tahu..."
"Aku cuma tahu dia memang
sangat benci kepada Ji Pwe-giok dan memang ada alasannya untuk membunuhnya. Di
dunia ini jika ada seorang yang benar2 ingin membunuh Ji Pwe-giok, maka orang
itu ialah Lim Tay-ih."
Walaupun di mulut dia bicara
penuh keyakinan, tapi dalam hati lamat2 juga merasakan di balik urusan ini
pasti masih ada persoalan lain yang tersembunyi. Tapi tak terpikir olehnya
bahwa urusan ini sesungguhnya memang sangat ruwet, sangat pelik, berpuluh kali
lebih ruwet dan pelik daripada apa yang pernah dibayangkannya.
* * *
Kereta mereka beristirahat
sehari penuh di kota kecil ini, esok paginya, belum lagi terang tanah
Gin-hoa-nio sudah bangun untuk mendesak kusir kereta agar mengatur segala
sesuatu yang perlu untuk segera berangkat.
Kim-yan-cu semalaman tak dapat
tidur, baru saja ia terpulas sudah dikejutkan lagi oleh suara2 di halaman,
terpaksa ia bangun dan membuka pintu kamar, tanyanya kepada Gin-hoa-nio dengan
dahi berkerut, "Pagi2 begini sudah mau berangkat?"
Gin-hoa-nio menyongsongnya,
katanya dengan mengiring tawa, "Sudah ku pesan mereka agar jangan
mengejutkan Toaci hingga terjaga, dasar orang kasar, sukar diatur."
"Sekalipun mereka tidak
mengejutkan tidurku, toh kau juga akan membangunkan aku," ujar Kim-yan-cu
hambar.
Karena isi hatinya tepat
dibongkar, muka Gin-hoa-nio menjadi merah, baru sekarang ia tahu meski
Kim-yan-cu tampaknya serba gampangan, tapi juga tidak sederhana seperti apa
yang disangkanya.
Kim-yan-cu balik ke dalam
kamar, katanya pula, "Kau ter-gesa2 hendak berangkat, kukira kau pasti
sudah mempunyai tempat tujuan. Sesungguhnya hendak kemana? Mengapa tidak kau
katakan padaku?"
Gin-hoa-nio tertawa dan
menjawab, "Sejauh ini Toaci tidak tanya, maka..."
"Kan sudah kutanyakan
sekarang?"
"Soalnya begini,"
tutur Gin-hoa-nio, "begini banyak harta benda yang kita bawa, rasanya agak
kurang leluasa bila kita menempuh perjalanan jauh, maka kupikir barang2 ini
harus kita titipkan pada suatu tempat yang dapat dipercaya."
"Ingin kau titipkan
dimana?"
"Adik baru saja
berkecimpung di Kangouw dan belum banyak kenalanku, untuk ini dengan sendirinya
mesti minta petunjukmu."
Setelah kejadian kemarin,
meski lamat2 Kim-yan-cu juga merasakan adik angkat yang baru ini tidak
sederhana, tapi iapun tidak menyangka orang ada intrik apa2 terhadap dirinya.
Setelah berpikir, kemudian ia berkata, "Harta benda sebanyak itu memang
tidak leluasa biarpun dititipkan dimana saja. Sekalipun kita percaya penuh
kepada orang yang kita titipi, orang lain belum tentu sanggup menerima resiko
sebesar ini."
"Betul juga ucapan
Toaci," kata Gin-hoa-nio. "Makanya orang yang akan kita titipi selain
harus dapat dipercaya juga harus berani bertanggung jawab, kalau tidak, titipan
harta benda ini jangan2 malah bisa membikin celaka dia."
Kim-yan-cu berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Orang yang kau maksudkan kuingat memang ada satu di
dekat sini."
"Ha, siapa?" seru
Gin-hoa-nio cepat dan girang.
"Keluarga Tong di
Sujwan..."
Belum habis ucapan Kim-yan-cu,
serentak Gin-hoa-nio berkeplok dan berseru, "Aha, nama besar keluarga Tong
di Sujwan memang sudah lama kudengar. Jika peti2 ini dapat dititipkan di sana,
sudah tentu tidak perlu dikuatirkan lagi. Selain itu, dengan nama baik ayah
beranak keluarga Tong itu, tentu orangpun tak berani menyatroni mereka dan
mengincar harta benda ini."
Tiba2 ia berkerut kening dan
menyambung pula, "Cuma orang2 keluarga Tong itu biasanya berwatak aneh,
suka menyendiri dan jarang bergaul. Jika Toaci tidak kenal mereka, kukira
merekapun tak mau menerima titipan ini."
Kim-yan-cu tersenyum, katanya,
"Jika kau tahu seluk beluk dunia Kangouw, mengapa kau tidak tahu aku dan
Tong-bun-su-siu (empat cantik dari Keluarga Tong) juga bersaudara angkat?"
Meski ia merasa rasa girang
Gin-hoa-nio itu rada kelewatan, tapi ia sangka mungkin karena adik angkat ini
terlalu memikirkan keselamatan harta benda itu. Ia tidak tahu sebabnya
Gin-hoa-nio memikat dan bersaudara dengan dia justeru lantaran sebelumnya sudah
diketahui dia adalah saudara angkat dari para nona keluarga Tong. Kalau tidak
tentu sudah lama dia dibunuhnya.
Begitulah terlihat Gin-hoa-nio
sangat gembira dan tertawa terus menerus, katanya, "Toaci dan
Tong-bun-su-siu adalah saudara angkat, wah, kalau begitu adik kan juga ikut2an
menjadi saudara mereka? Biasanya aku sebatang kara dan hidup ter-lunta2, kini
mendadak mendapatkan kakak2 sebanyak ini dan rata2 orang termasyhur, aku sangat
girang."
Melihat kegembiraan orang
Kim-yan-cu juga tertawa, katanya, "Disiplin keluarga Tong biasanya sangat
keras, para nona dan menantunya jarang keluar rumah, mereka selalu merasa
kekurangan teman, bilamana mendapat seorang adik cilik yang menyenangkan
seperti kau, mereka pasti juga akan kegirangan."
Teringat kepada nasib
Gin-hoa-nio yang sebatang kara dan hidup sengsara, sekalipun pandangannya
terhadap harta benda sedemikian penting, hal inipun dianggapnya lumrah. Karena
pikiran ini, rasa was-wasnya terhadap Gin-hoa-nio kemarin lantas tersingkirkan
semua, ia malah menyesal pagi tadi tidak pantas bersikap dingin padanya. Karena
itulah sepanjang jalan kembali ia mengajaknya bersenda gurau lagi.
Perjalanan ke Sujwan cukup
sulit ditempuh sebab pada umumnya jalan daerah Sujwan adalah lereng2 bukit.
Tapi saat ini mereka berada di dataran Sujwan tengah yang jarang lereng
bukitnya, bahkan Sujwan tengah sejak jaman dahulu terkenal sebagai daerah yang
subur dan makmur, sepanjang jalan cukup ramai orang berlalu lalang sehingga
tidak terasakan kesepian.
Setelah melintasi In-yang-to
dan menyusur lembah Tiangkang, jalanan semakin lapang, tapi sepanjang jalan
mulai banyak tertampak kawanan pengemis, kebanyakan berkelompok dalam jumlah
tiga atau lima orang. Kawanan jembel inipun menempuh perjalanan ke depan dengan
teratur, melihat kaum saudagar dan orang lalu, mereka suka memberi jalan dengan
sikap hormat, tapi tidak minta2 seperti biasanya. Bahkan di antara kaum jembel
itu ada yang kelihatan angkuh, se-olah2 memandang rendah kaum awam ini.
Agaknya Gin-hoa-nio tertarik,
ia membisiki Kim-yan-cu, "Tampaknya kawanan pengemis ini sama mahir ilmu
silat dan bukan tukang minta2 biasa... jangan2 mereka inilah anak murid
Kay-pang?"
Suara Gin-hoa-nio sangat
lirih, tapi seorang pengemis yang berjalan sendirian beberapa tombak di depan
mendadak menoleh dan tersenyum padanya dan berkata, "Nona cantik hendaklah
menempuh perjalanannya sendiri dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Pakaian pengemis ini juga
compang-camping dan berlepotan debu kotoran, tapi wajahnya yang agak kurus itu
tampak tercuci bersih, sorot matanya juga gemerdep tajam. Gin-hoa-nio melelet
lidah dan tertawa genit, katanya, "Wah, tajam benar telinga Cianpwe, Anda
tentu Tianglo di dalam Kay pang?"
Mendadak pengemis setengah
umur itu menarik muka, mata alisnya memperlihatkan rasa marah, tapi setelah
memandang sekejap Kim-yan-cu yang berada di sebelah Gin-hoa-nio, dengan dingin
dia berkata, "Aku bukan Cianpwe segala, juga bukan Tianglo apa, mungkin
nona yang salah lihat."
Gin-hoa-nio ingin bicara lagi,
tapi pengemis setengah umur itu sudah melangkah ke sana, ia menuju ke bawah
pohon di tepi jalan, dikeluarkannya sebuah buli2 kayu, isi buli2 tentunya arak,
maka ditenggaklah araknya.
Dalam sekejap saja kereta
sudah lalu di samping pengemis itu, Gin-hoa-nio menggeleng dan bergumam,
sungguh aneh tabiat orang ini, aku tidak bersalah padanya, mengapa dia merasa
marah padaku?"
Kim-yan-cu tidak menjawabnya,
selang tak lama, mendadak ia berkata, "Di depan adalah kota Li-toh-tin,
hendaklah kau tunggu diriku di hotel Li-keh-can sana, sebelum ku datang jangan
pergi dulu."
"Toaci hendak ke
mana?" tanya Gin-hoa-nio dengan tercengang.
"Tiba2 teringat sesuatu
olehku..."
"Bolehkah adik mengiringi
kepergian Toaci?"
Kim-yan-cu seperti tidak
sabar, katanya sambil berkerut kening, "Biar kau tunggu saja di
Li-toh-tin, tidak sampai tiga hari tentu ku datang mencari kau, masa kau takut
ku kabur?"
Cepat Gin-hoa-nio menjawab,
"Baiklah, adik menurut saja."
Melihat Gin-hoa-nio sudah jauh
membawa kedua keretanya, mendadak Kim-yan-cu memutar balik kudanya dan
dilarikan ke tempat tadi. Dilihatnya si pengemis setengah baya itu sudah
tertidur di tepi jalan di bawah pohon.
Kalau pengemis yang lain,
banyak atau sedikit, tentu membawa beberapa karung goni sebagai tanda
tingkatannya, makin banyak karung goni yang dibawanya, makin tinggi
kedudukannya. Jika tidak membawa karung berarti murid yang belum resmi masuk
perkumpulan.
Sikap pengemis setengah baya
ini sangat angkuh, langkahnya cepat enteng, jelas sangat tinggi ilmu silatnya,
tidak mungkin dia murid Kay-pang yang belum resmi, tapi buktinya dia tidak
membawa sebuah karungpun.
Pakaian pengemis yang lain
juga compang camping, tapi kebanyakan tercuci bersih, hanya wajah masing2 jelas
kelihatan sudah kenyang menderita gemblengan kehidupan sebagai tukang minta2.
Sebaliknya meski pakaian pengemis setengah baya ini penuh kotoran, namun
mukanya justeru putih bersih, kulit badannya juga halus, bahkan tiada tampak
garis keriput sama sekali.
Bila pengemis lain sama
berkelompok dan saling menyapa, tapi pengemis aneh ini justeru menempuh
perjalanan sendirian dengan langkah angkuh se-akan2 tidak sudi bergaul dengan
orang lain.
Tujuan Kim-yan-cu sebenarnya
hendak mencari Ang-lian hoa untuk ditanyai apa yang terjadi tempo hari, untuk
ini mestinya ia dapat minta keterangan kepada pengemis yang lain. Tapi dia
merasa heran terhadap pengemis setengah umur ini, timbul rasa ingin tahunya.
Dari kejauhan ia sudah turun dari kudanya, lalu mendekati pohon itu dan
berduduk di situ.
Pengemis2 yang lain sama heran
melihat seorang nona jelita berduduk di samping pengemis setengah umur yang
sedang tidur itu. Ketika lalu di depan mereka, langkah mereka lantas dibikin perlahan,
tampaknya kuatir mengganggu tidur pengemis setengah umur yang nyenyak itu.
Kim-yan-cu juga bersabar
sebisanya dan tidak membangunkan orang.
Terdengar suara dengkuran
perlahan pengemis aneh itu, tidurnya sangat lelap, malahan samar-samar
terdengar ia sedang mengigau.
Kim-yan-cu coba pasang kuping
dengan cermat, didengarnya orang sedang berkata, "Begitu banyak benda
berharga yang termuat di kereta itu, kenapa tidak cepat melanjutkan perjalanan,
untuk apa kau cari si tukang minta2 ini? Apakah hendak memberi sedekah?"
Terkejut Kim-yan-cu, diam-diam
ia mengakui ketajaman pandangan orang.
Kalau barang muatan kereta itu
adalah sebangsa emas-perak yang berat bobotnya, debu yang mengepul yang
ditimbulkan oleh roda kereta itu pasti berbeda, orang Kangouw kawakan sekali
pandang akan segera tahu hal ikhwalnya.
Tapi sekarang barang yang
dimuat kedua kereta itu hanya benda2 berharga yang ringan bobotnya sebangsa
ratna mutu manikam, sungguh luar biasa pengemis aneh inipun dapat
mengetahuinya.
Begitulah semakin kejut dan
heran, semakin bersabar pula Kim-yan-cu, betapapun lama si pengemis aneh ini
akan pura2 tidur tetap akan ditunggunya.
Selang sejenak, mendadak
pengemis aneh bergelak tertawa dan berbangkit, katanya, "Hahaha,
Kang-lam-lihiap Kim-yan-cu yang termasyhur ternyata menunggui tidur seorang
tukang minta2, apakah tidak kuatir dijadikan bahan tertawa orang!"
Kim-yan-cu terkesiap,
"Kiranya Cianpwe kenal Tecu."
"Bukan cuma kau si walet
ini yang kukenal, bahkan kukenal pula si elang," ucap pengemis itu dengan
tertawa.
Supaya diketahui, guru
Kim-yan-cu bernama In Tiat-ih, berjuluk "Sin-eng" atau elang sakti,
seorang pendekar termasyhur pada 30 tahun yang lalu.
Selama hidup In Tiat-ih
melaksanakan tugas mulianya dengan sendirian, musuhnya tersebar di mana2,
sampai tua dia cuma menerima Kim-yan-cu sebagai murid satu2nya. Tapi ketika
Kim-yan-cu tamat belajar dan terjun di dunia Kangouw, tatkala mana In Tiat-ih
sendiri jatuh sakit berat. Ia tahu musuhnya terlalu banyak dan mungkin akan
menimbulkan kesukaran bagi Kim-yan-cu, maka wanti2 dia pesan Kim-yan-cu agar
tidak mengatakan asal-usul perguruannya dan selama ini di dunia Kangouw memang
tiada yang tahu siapa gurunya. Bahkan Ang-lian hoa yang terkenal serba tahu
itupun tidak tahu.
Tapi sekarang pengemis setengah
umur ini kontan dapat membongkar rahasia perguruannya, tentu saja Kim-yan-cu
terkejut dan cepat berdiri, tapi perlahan2 dia lantas duduk lagi, katanya
dengan tersenyum ewa, "Entah siapa nama Cianpwe yang mulia, darimana Anda
tahu nama mendiang guruku."
Pengemis aneh itu ayun tangan
memotong ucapannya, katanya dengan berkerut kening, "Jika ingin orang lain
tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat. Masa kau lupa akan peribahasa
ini? Mengenai namaku, biar kukatakan juga kau tidak kenal."
Kim-yan-cu menjadi bingung
karena tidak tahu sebab apa orang menjadi marah, maka ia tidak berani bertanya
pula.
Pengemis aneh itu melototinya
sejenak, tapi mendadak wajahnya cerah lagi da berkata, "Kau cari padaku,
sesungguhnya ada urusan apa? Apakah sangat penting?"
"Tecu ingin mencari
Ang-lian-pangcu dari Pang kalian," jawab Kim-yan-cu. "Sebab itu mohon
Cianpwe sudi membawa..."
"Jadi maksudmu mencariku
hanya minta aku menjadi penunjuk jalan bagimu?" teriak pengemis itu dengan
gusar.
Waktu bicara biji mata orang
itu se-akan2 memancarkan dua jalur sinar tajam dan membuat orang tidak berani
memandangnya. Tapi dalam sekejap lantas tertawa pula dan membuat orang seperti
ditiup angin sejuk.
Selama hidup Kim-yan-cu tidak
pernah melihat orang marah dan tertawa dapat berubah secepat ini, selagi
ter-heran2, tiba2 pengemis aneh itu menengadah dan bergelak tertawa, katanya,
"Jika aku yang kau minta untuk mencari Ang-lian hoa, baiklah akan kubawa
kau ke sana. Nah, lekas naik kudamu dan ikut berangkat."
Kim-yan-cu tidak tahu mengapa
orang marah2 tadi dan juga heran apa sebabnya orang tertawa te-bahak2 pula dan
begitu aneh cara tertawanya, seketika ia menjadi terkesima bingung.
Sementara itu pengemis itu
sudah berbangkit, ia melangkah dua tiga tindak, tiba2 ia menoleh dan membentak,
"Suruh kau ikut berangkat, mengapa kau malah diam saja?"
Kim-yan-cu menyengir dan
terpaksa berbangkit, ia kuatir membikin marah pengemis yang aneh ini, ia
menuntun kudanya dan mengikuti di belakang orang, ia tidak berani menunggang
kudanya.
Dalam pada itu hari sudah
remang2, orang berlalu lalang sudah mulai jarang2, hanya ada kawanan pengemis
yang ber-kelompok2 masih menempuh perjalanan dengan ter-gesa2. Ketika melihat
pengemis aneh itu mereka lantas memberi jalan, sikap mereka seperti agak segan
dan takut2 tapi tiada seorangpun yang menyapanya.
Pengemis setengah baya itupun
tidak menghiraukan kawanan pengemis itu, tampaknya dia seperti bukan orang
Kay-pang, tapi kalau bukan orang Kay-pang mengapa dia berdandan sebagai
pengemis? Bahkan menempuh perjalanan searah dengan kawanan pengemis itu?
Begitulah Kim-yan-cu semakin
heran, diam2 iapun menyesal. Ia merasa salah alamat bertanya keterangan kepada
pengemis aneh itu. Pikirnya, "Tingkah laku orang aneh ini kelihatan
misterius, jangan2 dia musuh Kay-pang? Yang hendak kucari adalah
Ang-lian-pangcu, untuk apa mesti ku ikuti dia?"
Dilihatnya pengemis aneh itu
makin cepat jalannya dan makin jauh tanpa menoleh. Mendadak Kim-yan-cu
mencemplak ke atas kudanya terus dilarikan dengan cepat, dalam sekejap saja
pengemis setengah umur itu sudah tertinggal jauh di belakang, bahkan bayangan
anggota Kay-pang yang lain juga tidak kelihatan lagi.
Kim-yan-cu menghela nafas
lega, gumamnya, "Sekarang, barulah..." belum habis ucapannya,
tahu-tahu di bawah pohon di tepi jalan sana seorang mendengus, "Hm,
katanya kau ingin mencari Ang-lian hoa, jelas kau telah kesasar!"
Siapa lagi orang itu kalau
bukan si pengemis setengah umur yang misterius itu? Sungguh kejut Kim-yan-cu
tak terkatakan, tanpa bersuara ia memutar kudanya, tanpa membedakan arah ia
larikan kudanya seperti kesetanan.
Setelah membedal kudanya
sekian lama, baru saja ia hendak berhenti, tahu2 pengemis aneh itu sudah
berdiri lagi di depan sana sedang menantikan kedatangannya dan mengejeknya,
"Kau kesasar lagi!"
Gerak-gerik orang ini secepat
hantu, meski biasanya Kim-yan-cu juga bukan orang penakut, tapi memang aneh,
pada pertama kali dia bertemu dengan pengemis ini rasanya dia sudah terpengaruh
oleh daya gaibnya, sebab itulah secara aneh dia tidak mencari orang lain tapi
justeru mencari dia dan secara tidak sadar menunggui dia tidur, kemudian secara
membingungkan ia membedal kudanya berlari tak keruan.
Sekarang ia merasakan kaki dan
tangan lemas semua, ingin melarikan kudanya juga tak bisa bergerak lagi, dengan
suara rada gemetar ia bertanya, "Apa... apa kehendakmu?"
Pengemis itu memandangnya
sekejap dengan tertawa, jawabnya kemudian, "Kan kau sendiri yang minta
kubawa kau pergi mencari Ang-lian hoa, sekarang aku kan cuma memenuhi
permintaanmu dan membawa kau kesana?"
"Sek...sekarang aku
tidak... tidak ingin pergi," jawab Kim-yan-cu.
Seketika pengemis aneh itu
menarik muka, katanya dengan ketus, "Sekali kau minta kubawa kau pergi,
maka tetap kau harus pergi."
Bila orang lain yang bicara
begini kepadanya, mustahil kalau Kim-yan-cu tidak melabraknya, tapi aneh, di
depan pengemis misterius ini sama sekali dia tidak mempunyai keberanian untuk
melawan.
Seketika pengemis itu membalik
tubuh dan berjalan lagi ke depan, sama sekali Kim-yan-cu tidak berani kabur, ia
mengikuti di belakangnya dengan baik2, sampai ia sendiri tidak tahu mengapa dia
menjadi penurut begini.
Didengarnya pengemis itu
berkata dengan perlahan, "Saat ini tentunya kau menyesal karena kau
justeru mencari diriku."
Kim-yan-cu menggreget dan diam
saja.
"Tapi kaupun tidak perlu
menyesal, sebenarnya bukan kau yang mencari diriku melainkan aku yang mencari
dirimu."
Kembali Kim-yan-cu terkejut,
serunya, "Kau yang mencari diriku?"
"Betul, aku yang mencari
kau," mendadak pengemis itu membalik tubuh. "Cuma kau sendiri tidak
tahu."
Memandangi mata orang yang
bercahaya itu, tiba2 Kim-yan-cu ingat sejak dia melihat mata orang secara aneh
dan tanpa terasa lantas timbul keinginannya untuk kembali ke sana untuk
mencarinya sampai Gin-hoa-nio yang mengajak bicara sejenak itupun dirasakan
mengganggu, hatinya terasa gelisah dan tidak tenteram. Tatkala mana ia tidak
tahu apa sebabnya, tapi sekarang ia tahu bahwa segala perubahan yang aneh ini
adalah disebabkan oleh sinar mata orang yang penuh daya tarik aneh dan berpengaruh
ini.
Berpikir demikian, tanpa
terasa Kim-yan-cu berkeringat dingin, tanyanya dengan suara gemetar,
"Sebab apa... sebab apa kau cari diriku?"
"Ada tiga sebab,"
jawab pengemis itu.
"Tiga sebab?"
Kim-yan-cu melenggong.
"Ya, ada tiga
sebab," tukas pengemis itu dengan perlahan. "Pertama karena kau murid
In Tiat-ih..."
"Sesungguhnya ada
hubungan apa antara kau dengan mendiang guruku?"
Pengemis itu tidak menjawabnya
dengan kalem ia menyambung, "Sebab kedua adalah karena kau ingin mencari
Ang-lian hoa!"
"Jangan2 kaupun ada
permusuhan dengan Ang-lian-pangcu?"
Tetap pengemis itu tidak
menjawab, sebaliknya ia tersenyum dan melanjutkan, "Sebab ketiga adalah
karena kau seorang perempuan, bahkan perempuan yang sangat cantik."
Karena tertawa, wajahnya yang
kurus itu mendadak kelihatan sangat jahat, sinar matanya menimbulkan rasa yang
memuakkan. Dipandang oleh mata orang, Kim-yan-cu merasa dirinya se-olah2 sudah
telanjang bulat, ia merasa malu, kalau ada lubang ingin segera diselusupinya.
"Tapi kaupun jangan
takut, aku takkan membikin susah padamu," dengan tersenyum pengemis itu
berkata pula.
"Habis... apa
kehendakmu?" tanya Kim-yan-cu gemetar. Sungguh kalau bisa dia ingin punya
sayap dan segera melarikan diri. Tapi sinar mata orang se-akan2 memancarkan
semacam daya tarik yang aneh, bukan saja dia tidak dapat lari, hakekatnya mata
ingin berkedip saja tidak bisa.
Dengan kalem pengemis itu
berkata pula, "Sebabnya kuinginkan kau cari padaku adalah karena... karena
aku hendak melindungi kau... melindungi kau...," suaranya semakin
perlahan, semakin lirih, juga semakin halus.
Kim-yan-cu merasa pikirannya
mulai kabur, seperti tertidur, tapi juga merasa seperti jauh lebih sadar
daripada biasanya, tanpa terasa ia ikut berkata, "Ya, betul, kau akan
melindungi diriku..."
"Dan sekarang tentunya
kau tahu bahwa di dunia ini hanya aku inilah satu2nya orang yang paling akrab
dengan kau," kata pula pengemis.
"Ya, betul, engkaulah
orang yang paling karib dengan diriku."
"Makanya apapun yang
kutanya harus kau jawab dengan sejujurnya."
"Ya, apapun pertanyaanmu
pasti akan kujawab dengan sejujurnya."
Pengemis itu tertawa dan
berkata pula, "Lebih dulu ingin kutanya padamu, sebelum meninggal In
Tiat-ih pernah menemukan sejilid Bu-kang-pi-kip (kitab pusaka ilmu silat),
apakah kitab itu diberikannya kepadamu?"
"Tidak," jawab
Kim-yan-cu.
"Mengapa tidak?"
tanya pengemis itu.
"Menurut keterangan suhu,
kitab pusaka itu hanya dapat dipahami oleh seorang yang memiliki kecerdasan
paling tinggi, sebab itulah, biarpun beliau menurunkan kitab pusaka itu
kepadaku juga tiada gunanya, sebaliknya mungkin akan membikin celaka padaku
malah."
"Dan setelah dia mati,
kemana perginya kitab pusaka itu?"
"Menurut beliau, bila
kitab pusaka itu tersiar di dunia ini, akibatnya pasti akan menimbulkan
perebutan berdarah, namun beliau juga merasa berat untuk memusnahkan kitab itu,
maka kitab itu telah disembunyikannya di suatu tempat yang sangat rahasia,
kecuali beliau sendiri tiada seorangpun yang tahu tempat itu."
"Kaupun tidak tahu?"
"Ya, akupun tidak tahu.
Meski suhu tidak pernah merahasiakan apa2 kepadaku, hanya urusan inilah
betapapun juga beliau tidak mau memberitahukannya kepadaku, sebab beliau
menganggap tiada seorang perempuan di dunia ini yang dapat menjaga
rahasia."
Dengan gemas pengemis setengah
baya itu berucap, "Sudah sekian tahun kucari dia dan akhirnya kutemukan
kau sebagai muridnya, tak tersangka terhadap murid satu2nya juga tidak
diberitahukannya. Padahal setan tua itu sudah mati, mengapa dia bertindak
demikian?"
"Kata suhu, barang siapa
berhasil meyakinkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu, maka dia akan
malang melintang di dunia ini tanpa tandingan. Beliau kuatir apabila kita itu
jatuh di tangan orang jahat, maka akibatnya sukar dibayangkan. Suhu tahu sudah
ada sementara tokoh Kangouw yang telah mencium bau tentang kitab pusaka yang
ditemukan Suhu itu, orang2 itu sudah mulai mencari jejaknya. Sebab itulah aku
dilarang mengatakan asal-usul perguruanku agar tidak menimbulkan kesulitan
bagiku."
Pengemis itu berkerut kening
dan termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Dan untuk apa pula kau ingin
mencari Ang-lian hoa?"
"Ingin kutanya sesuatu
padanya."
"Urusan apa?"
"Urusan yang menyangkut
Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih."
"Mengapa kau sedemikian
memperhatikan urusan orang lain?"
"Sebab kucinta Ji
Pwe-giok."
Ujung mulut pengemis aneh itu
tersembul secercah senyuman yang jahat, ucapnya, "Tidak, yang kau cintai
bukan Ji Pwe-giok, kau cinta padaku, tahu tidak?"
Se-konyong2 Kim-yan-cu
berteriak, "Tidak, yang kucintai ialah Ji Pwe-giok dan bukan kau, bukan
kau!"
Orang itu tidak menyangka
sedemikian kuat pikiran Kim-yan-cu sehingga dapat melepaskan diri dari pengaruh
ilmu gaibnya. Tapi segera ia mengeluarkan seuntai rantai emas yang sangat
lembut, pada rantai emas itu terikat sebentuk mutiara hitam yang aneh, rantai
emas itu digoyangkan sehingga mutiara hitam itupun ber-putar2 di depan
Kim-yan-cu...
Benarlah, pikiran Kim-yan-cu
yang terangsang tadi lambat laun tenang kembali.
Dengan suara keras pengemis
itu berkata pula, "Tak perduli siapa yang kau cintai, yang jelas aku
inilah orang yang paling karib denganmu, begitu bukan?"
"Ya," jawab
Kim-yan-cu dengan mata setengah terpejam.
"Dan sekarang kuminta kau
menanggalkan pakaianmu."
Tanpa pikir Kim-yan-cu
menuruti permintaan itu, perlahan ia membuka bajunya sehingga kelihatan dadanya
yang putih mulus, buah dadanya yang montok menegak diusap silir angin malam.
Pengemis aneh itu tersenyum
puas, katanya pula, "Bagus, dan sekarang bukalah gaunmu!"
Perlahan Kim-yan-cu membuka
kancing pinggang gaunnya dan...
Pada saat itulah tiba2
terdengar suara berderak, suara bambu di-pukul2kan yang berkumandang dari
kejauhan.
Pengemis aneh itu menghela
nafas, katanya, "Sayang waktunya tidak keburu lagi, bolehlah kau pakai
lagi bajumu."
Waktu Kim-yan-cu selesai
mengenakan kembali pakaiannya, pengemis setengah baya itu berkata pula,
"Dan sekarang bolehlah kau sadar per-lahan2, hendaklah kau lupakan segala
apa yang kutanyakan padamu barusan, cukup kau ingat bahwa aku adalah orang yang
paling karib denganmu, aku adalah kawanmu, suamimu, akupun ayahmu,
gurumu."
Habis berkata ia lantas
menyimpan kembali mutiaranya dan menepuk tangan perlahan.
Serentak Kim-yan-cu membuka
matanya, dengan linglung seperti orang kehilangan semangat ia pandang orang sekejap,
lalu bergumam, "Ya, engkau adalah sahabatku, suamiku, kaupun ayahku,
guruku. Tapi siapakah engkau? Sesungguhnya siapa kau?..."
Pengemis itu tersenyum,
jawabnya, "Jika kau ingin tahu namaku, tiada halangannya kukatakan padamu.
Aku inilah manusia yang serba tahu dan serba bisa, namaku Kwe Pian-sian, aku
inilah kegaibannya manusia, tiada orang lain lagi di dunia ini yang bisa
dibandingkan dengan diriku."
"Kwe Pian-sian?!..."
Kim-yan-cu mengulangi nama itu, agaknya dia tergetar.
Kwe Pian-sian tertawa pongah,
katanya, "Ya, aku pernah menjabat Tianglo Kay-pang, Houhoat Bu-tong-pay,
aku inilah juragan peternakan yang paling besar di daerah barat laut sana,
hartawan yang paling kaya raya di dunia ini, akupun pernah menjadi suami Kun
Hay-hong atau Hay Hong Hujin."
Sampai di sini ia bergelak
tertawa, lalu menyambung pula, "Semua itu hanya beberapa saja di antara
berpuluh macam jabatanku, betapa banyak jabatanku sampai aku sendiri
terkadangpun tidak ingat. Pengalaman hidupku ini jauh lebih kenyang dibandingkan
berpuluh orang lain."
Kim-yan-cu menghela nafas
linglung, gumamnya, "Kwe Pian sian... kegaibannya manusia...
suamiku."
* * *
Tengah malam di pegunungan
yang sunyi kelihatan cahaya lampu terang benderang, di suatu tempat tanah
mangkuk, di sekeliling dinding tebing penuh tertancap obor yang menyala, di
bawah cahaya obor be-ribu2 anggota Kay-pang berduduk tersebar mengelilingi
tanah lapang itu.
Ang-lian hoa berduduk di atas
sepotong batu besar, air mukanya sangat prihatin, siapapun dapat melihat bahwa
Ang-lian hoa yang termasyhur ini sekarang pasti lagi menghadapi suatu urusan
yang maha sulit untuk diselesaikan.
Dengan sendirinya Bwe Su-bong,
si pengemis yang berjuluk "sibuk selalu tanpa pekerjaan", juga
berduduk di sebelahnya, wajahnya juga kelihatan sedih.
Orang sebanyak itu berkumpul
di tanah mangkuk ini, namun suasana tetap sunyi senyap, hanya suara api obor
yang terbakar ditiup angin sehingga mirip lolong kawanan serigala yang serak.
Sampai lama sekali, akhirnya
Ang-lian hoa tidak tahan, ia membuka suara, "Menurut perkiraanmu, apakah
dia betul2 akan datang?"
Dengan suara berat Bwe Su-bong
menjawab, "Menurut anggota kita yang datang dari utara, sepanjang jalan
banyak yang melihat seorang yang mirip dia, dari bentuknya semua orang sama
bilang tidak banyak berbeda daripada orang yang dilukiskan Pangcu itu, sebab
itulah mereka sama mematuhi perintah Pangcu, mereka sama menghindari dia
bilamana melihatnya dari kejauhan."
Ang-lian hoa menghela nafas,
katanya, "Sudah hampir 15 tahun orang ini menghilang tanpa kabar
beritanya, sekarang mendadak muncul lagi, sesungguhnya apa maksud tujuannya,
sungguh sukar untuk diterka."
Terdengar Bwe Su-bong lagi
berkata, "Apakah Pangcu memang tidak dapat menerka maksud tujuan
kedatangannya ini?"
Ang-lian hoa terdiam sejenak,
katanya dengan tersenyum pahit, "Jangan2 dia menghendaki kuserahkan
kedudukan Pangcu ini kepadanya? Tapi melihat tindak tanduknya, agaknya
kedudukan Pangcu ini juga tidak terpandang olehnya. Kupikir mungkin masih ada
intrik lain yang lebih besar."
Air muka Bwe Su-bong tampak
prihatin, ia memandang kejauhan yang gelap sana, ucapnya dengan rawan,
"Tak perduli intrik apa yang diaturnya, yang pasti yang dibawanya kemari
hanya malapetaka belaka!" Mendadak ia menahan suaranya dan menyambung pula,
"Tapi betapapun tinggi ilmu silatnya, berdasarkan kekuatan kita sekarang
kukira masih dapat menumpasnya."
Air muka Ang-lian hoa agak
berubah, katanya dengan parau, "Namun apapun juga dia kan tetap Tianglo
Kaypang kita?"
Setahuku, ia juga masih
menjabat Hou-hoat (pembela agama) Bu-tong-pay," kata Bwe Su-bong.
"Seorang merangkap dua jabatan dari dua aliran yang berbeda, jelas ini
telah melanggar peraturan Pang kita, berdasarkan alasan ini boleh Pangcu
menghukum dia menurut aturan."
"Tapi siapa yang dapat
membuktikan bahwa dia juga merangkap menjadi Houhoat Bu-tong-pay?" ujar
Ang-lian hoa dengan tersenyum getir.
"Ini..." Bwe Su-bong
melengak dan tak dapat menjawab.
"Sekalipun kejahatan
orang ini sudah kelewat takaran, tapi di dunia ini tiada seorangpun yang dapat membuktikan
kejahatannya, kalau tidak, tidak perlu menunggu orang lain, Lo-pangcu (ketua
lama) sendiri pasti tidak mengampuni dia dan tidak mungkin dia hidup sampai
sekarang," demikian tutur Ang-lian hoa dengan menyesal.
"Habis bagaimana menurut
pikiran Pangcu?"
"Begitu menerima
suratnya, mulailah kurenungkan daya upaya untuk menghadapi dia. Tapi sampai
saat ini tetap belum kutemukan akal yang baik, bisa jadi..."
Belum habis ucapannya,
se-konyong2 dari kejauhan berkumandang suara bambu di-ketok2.
"Itu dia sudah
datang!" seru Bwe Su-bong.
Suara gemeretak bambu
dipukulkan semakin gencar dan makin keras.
Kiranya bila kaum jembel ini
berkumpul, di sekeliling tempat rapat pasti dipasang pos pengawas, bilamana
melihat kedatangan orang tak dikenal, segera tongkat bambu di-ketok2 sebagai
tanda waspada.
"Cepat amat
datangnya!" ucap Bwe Su-bong.
Namun para anggota Kay-pang
yang berduduk memenuhi lapangan itu tetap tenang saja meski kelihatan agak
tegang juga.
Sekejap kemudian, terlihatlah
seorang pengemis setengah umur berperawakan jangkung dan bermuka kurus muncul
dengan langkah lebar, di antara sorot matanya yang tajam dan takabur itu jelas
kelihatan lagak angkuhnya se-akan2 dunia ini aku kuasa.
Selain pengemis ini, di
belakangnya mengikuti pula seorang nona cantik berbaju kuning keemasan.
Seketika air muka Ang-lian hoa
berubah, desisnya, "Aneh, mengapa Kim-yan-cu ikut datang bersama
dia?"
"Jangan2 Kim-lihiap telah
jatuh di dalam cengkeramannya?" kata Bwe Su-bong.
Belum selesai ucapannya,
dengan langkah lebar Kwe Pian-sian sudah maju ke depan mereka, sorot matanya
yang tajam memandang Ang-lian hoa dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas,
tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Sekian tahun tidak bertemu, anak
yang berpotongan poni dahulu sekarang sudah tumbuh menjadi pemuda yang ganteng,
bahkan namanya sudah termasyhur, sungguh mengagumkan dan harus diberi
selamat."
"Terima kasih," ucap
Ang-lian hoa sambil merangkap kedua tangannya.
"Dan entah kau masih
kenal padaku atau tidak?" tanya Kwe Pian-sian.
"Meski sudah lama tak
berjumpa, tapi wajah Kwe-tianglo senantiasa terkenang oleh Tecu," jawab
Ang-lian hoa.
Mendadak Kwe Pian-sian menarik
muka dan berkata dengan bengis, "Jika kau belum lupa bahwa aku ini Tianglo
Pang kita, mengapa kau tidak berlutut di depanku?"
Ang-lian hoa melengak,
jawabnya tergagap, "Ini..."
Segera Bwe Su-bong memprotes
dari samping, "Pangcu adalah yang maha agung di dalam Pang kita, sekalipun
Tianglo adalah tokoh angkatan tua, juga Pangcu tidak wajib berlutut dan
menyembah padamu."
Kwe Pian-sian menengadah dan
bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus! Kiranya kau telah menjadi Pangcu,
selamat, selamat!"
Suara tertawanya berkumandang
sehingga menimbulkan suara yang nyaring, anak telinga anak murid Kay-pang
serasa mau pecah, jantung ber-debar2 dan wajah pucat.
Mendadak Kwe Pian-sian
berhenti tertawa, ia tatap Ang-lian hoa dan bertanya dengan bengis, "Siapa
yang menunjuk kau sebagai Pangcu? Siapa?"
"Itu berdasarkan pesan
wasiat Lo-pangcu," seru Bwe Su-bong.
"Pesan wasiat? Dimana, coba
kulihat!"
"Pesan lisan Lo-pangcu
sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan sendirinya tiada sesuatu
bukti."
"Pesan lisan Lo-pangcu,
memangnya siapa yang ikut dengar?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kecuali Pangcu sendiri,
tecu juga ikut mendengarkan," jawab Bwe Su-bong.
"Hm, hanya berdasarkan
pengakuanmu lantas dia didukung ke atas singgasana Pangcu? Hah, apakah tidak
terlalu naif?"
"Apakah Tianglo
menganggap ucapan Tecu tidak benar?"
"Kurang ajar! Berdasarkan
apa kau berani bicara demikian padaku?"
"Tecu bicara menurut
kebenaran!"
"Menurut kebenaran? Hm,
kau sesuai?" bentak Kwe Pian-sian, berbareng itu sebelah tangannya terus
menyambar ke depan.
Belum lagi Bwe Su-bong
menyadari apa yang terjadi, tahu2 mukanya sudah kena digampar dua kali.
Menyusul tubuhnya lantas terlempar jauh ke sana.
Bwe Su-bong berjuluk
"Bo-su-bang" atau tidak ada pekerjaan tapi sibuk selalu, dengan
sendirinya lantaran pribadinya yang simpatik dan suka membantu. Karena itulah
dalam pergaulan dia sangat disenangi kawan2nya.
Meski anak buah Kay-pang
merasa jeri terhadap ilmu silat dan perbawa Kwe Pian-sian, tapi melihat Bwe
Su-bong dianiaya, seketika terjadi kegaduhan.
Sorot mata Kwe Pian-sian
menyapu sekeliling hadirin, lalu katanya dengan bengis, "Lahirnya pangcu
kita selama ini hanya melalui dua jalan, pertama berdasarkan tinggi rendahnya
kedudukan. Kedua, berdasarkan tinggi rendahnya ilmu silat. Sekarang selaku
Tianglo ku datang untuk mengusut perkara ini, apa yang kalian ributkan?"
Meski bengis dan keras
suaranya dan berkumandang jauh di tengah kegaduhan itu, namun anak murid
Kay-pang masih tetap ber-teriak2 dan tidak mau tunduk.
Dengan gusar Kwe Pian-sian
lantas berkata, "Ang-lian hoa, kau ini Pangcu macam apa? Mengapa anak
murid Pang kita makin lama makin tidak tahu aturan?"
Sejak tadi Ang-lian hoa
seperti tidak ikut campur, baru sekarang dia tersenyum, perlahan ia angkat
kedua tangannya dan memberi tanda agar semua orang diam, serunya dengan suara
lantang, "Tenanglah saudara2, ada urusan apa biarlah kita bicarakan dengan
perlahan-lahan."
Meski suaranya tidak senyaring
Kwe Pian-sian, tapi baru selesai ucapannya, kegaduhan di tengah2 anak murid
Kay-pang itu seketika berhenti, suasana menjadi sunyi kembali dan perhatian
setiap orang tertuju pula ke arah Ang-lian hoa.
Dengan tersenyum Ang-lian hoa
memandang Kwe Pian-sian, katanya, "Anak murid Pang kita masih cukup patuh
kepada setiap peraturan dan tata tertib, rupanya mereka sudah agak pangling
terhadap Kwe-tianglo, 15 tahun, kukira bukan waktu yang pendek bagi siapapun
juga."
Air muka Kwe Pian-sian
berubah, katanya, "Memangnya mereka sudah lupa padaku?"
"Bukannya lupa, mereka
cuma mengira Houhoat-tianglo kita di masa dahulu itu sudah mengundurkan diri
pada 15 tahun yang lalu," jawab Ang-lian hoa dengan tenang.
"Siapa yang omong
begitu?" teriak Kwe Pian-sian dengan gusar.
"Mendiang Lo-pangcu sudah
mengumumkan urusan ini pada 15 tahun yang lalu dan setiap anak murid Pang kita
sama mendengar dengan jelas, kuyakin Kwe-tianglo pasti tidak akan menganggap
ucapan Wanpwe ini tidak betul."
Kwe Pian-sian melengong
sejenak, segera ia mendengus, "Hm, dia tidak menyatakan aku telah dipecat,
tapi hanya mengatakan aku mengundurkan diri dari Pang kita, betapapun dia masih
cukup baik padaku."
"Lo-pangcu memang sudah
lama mengetahui cita2 Kwe-tianglo terletak di empat penjuru dan tidak nanti
memikirkan sedikit kedudukan Pang kita yang tidak berarti ini, kalau tidak,
berdasar tingkatan maupun ilmu silat, setelah Lo-pangcu wafat adalah pantas
jika Kwe-tianglo yang mewarisi pimpinan beliau."
"Haha, pantas orang
Kangouw sama bilang Ang-lian-pangcu bukan saja serba pandai dalam segala hal,
bahkan mulutnya juga tajam dan sukar ada bandingannya," seru Kwe Pian-sian
dengan tertawa. "Dan setelah bertemu sekarang, semua itu ternyata terbukti
memang betul."
Tiba2 Ang-lian hoa mendekati
Kim-yan-cu dan menyapa dengan tersenyum, "Kim lihiap berkunjung kemari,
entah adakah sesuatu petunjuk bagiku?"
"Ku datang ikut
dia," jawab Kim-yan-cu.
"Kukira belum terlalu
lama bukan Kim-lihiap kenal Kwe-tianglo?" Ang-lian hoa coba memancing.
"Dia adalah orang yang
paling karib dengan diriku," jawab Kim-yan-cu.
"Oh... sungguh tak
tersangka..." sebenarnya Ang-lian hoa ingin memancing sesuatu pengakuan
Kim-yan-cu mengenai kejahatan Kwe Pian-sian, sekarang ia menjadi kecewa, namun
lahirnya dia tidak memperlihatkan sesuatu tanda apapun. Ia menyadari untuk
melayani Kwe Pian-sian, bilamana salah langkah sedikit tentu urusan bisa
runyam.
Dengan tertawa Kwe Pian-sian
berkata pula, "Tadinya ku kuatir usiamu terlalu muda dan tidak dapat
memikul beban tanggung jawab Pang kita yang besar ini, tapi sekarang setelah
kusaksikan anak murid kita sedemikian hormat dan memuja dirimu, maka akupun
tidak perlu kuatir lagi."
Sedemikian cepat perubahan
nada ucapannya membuat orang ter-heran2, mestinya Ang-lian hoa juga sangsi,
tapi segera terpikir lagi olehnya, "Mungkin karena dukungan para anggota
kepadaku sepenuh hati, ia merasa tiada gunanya andaikan berhasil merebut
kedudukan Pangcu dariku, maka segera ia putar haluan menurut arah angin."
Berpikir demikian, legalah
hati Ang-lian hoa, rasa waspadanya menjadi banyak berkurang, dengan tertawa ia
berkata, "Kwe-tianglo sudah lama berada di luar Pang dan ternyata masih
begini memperhatikan kepentingan Pang kita, sungguh Tecu merasa sangat
berterima kasih."
Ketika ia menyebut
"memperhatikan" tadi, tiba-tiba ia merasa kedua mata Kwe Pian-sian
memancarkan sinar tajam dan aneh, sorot mata sendiri seketika tertarik. Segera
ia bermaksud mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun sudah terlambat.
Dengan sinar mata tajam Kwe
Pian-sian menatapnya dengan tersenyum, katanya, "Satu cagak tidak kuat
menahan sebuah gedung, tenaga satu orang betapapun terbatas, apakah kau
bermaksud minta diriku kembali kepada Pang kita untuk menjadi Houhoat-tianglo?"
"Ya, begitulah,"
tanpa terasa Ang-lian hoa menjawab.
Kwe Pian-sian tersenyum puas,
katanya pula, "Dan kelak bilamana kau merasa tidak sanggup memikul beban
sebagai Pangcu, akan kau serahkan kedudukanmu padaku?"
Kembali Ang-lian hoa mengiakan.
Para anggota Kay-pang sama
melengak melihat Ang-lian hoa hanya mengiakan melulu setiap perkataan Kwe
Pian-sian itu. Tapi tata tertib Kay-pang biasanya sangat keras, maka tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Bwe Su-bong saja, dari
ucapan Kwe Pian-sian itu dia sudah tahu tipu muslihat orang, apalagi sang
Pangcu kelihatan linglung dan tidak seperti biasanya, ia tahu pasti ada sesuatu
yang tidak beres, cepat dia berseru, "Pangcu, setiap persoalan yang
menyangkut kepentingan Pang kita hendaklah engkau pertimbangkan dengan baik2
dan jangan mudah dipengaruhi orang lain."
Kwe Pian-sian menjadi gusar,
dengan suara bengis ia membentak, "Orang ini tidak menghormati orang tua
dan berani terhadap pimpinan, menurut tata tertib harus dihukum mati."
Ang-lian hoa terbelalak dan
menjawab, "Ya, setiap pelanggaran memang harus dihukum."
Bwe Su-bong berlari maju dan
menyembah, ucapnya, "Sekalipun Tecu akan dihukum mati juga Tecu tetap
ingin bicara. Kematian Tecu bukan soal, tapi bila kekuasaan Pang kita jatuh di
tangan orang ini, akibatnya pasti sukar dibayangkan."
Air muka Ang-lian hoa tampak
serba susah dan tidak bicara.
Kwe Pian-sian mengeluarkan
pula jimatnya, yaitu mutiara hitam berantai emas itu, digoyangkannya mutiara
hitam itu dengan perlahan dan berkata, "Dosa orang ini harus dihukum mati,
kenapa tidak lekas kau beri perintah?"
Wajah setiap anggota Kay-pang
sama pucat, dengan berdebar mereka menantikan sang Pangcu membuka mulut.
Bwe Su-bong terus menyembah,
kepalanya mem-bentur2 tanah hingga berdarah, ber-ulang2 ia berseru,
"Kematian Tecu tidak perlu disayangkan, tapi Pangcu hendaklah berpikir dan
menimbangnya se-baik2nya..."
Dengan suara bengis Kwe
Pian-sian berkata pula, "Orang ini bukan saja berani terhadap orang tua,
bahkan ikut campur kekuasaan Pangcu, dia telah melanggar Undang2 Pang kita
nomor satu dan nomor tujuh, dosanya harus dihukum mati, betul tidak?"
"Ya," tiba2
Kim-yan-cu bersuara. Kiranya sorot matanya juga tertarik oleh mutiara hitam
yang ber-goyang2 itu, apapun yang dikatakan Kwe Pian-sian selalu dijawabnya
"ya".
Terdengar Ang-lian hoa juga
menjawab, "Ya, harus dihukum mati."
Bwe Su-bong menjerit saking
cemas dan gemasnya, seketika ia jatuh pingsan.
Para anggota Kay-pang juga
sama terkesiap dan ketakutan, mereka terkesima dan tidak berani bersuara.
Siapapun tidak menyangka sang Pangcu sampai hati menghukum mati Bwe Su-bong.
Hendaklah diketahui bahwa
asal-usul anggota Kay-pang terdiri dari berbagai macam unsur yang campur aduk,
sebab itulah Pangcu memegang kekuasaan tertinggi untuk mengendalikan ber-juta2
anggotanya yang tersebar di seluruh dunia. Andaikan ada kesalahan perintah sang
Pangcu tetap setiap anggota harus tunduk dan menurut, sama sekali tidak boleh
membantah dan melawan, kalau berani membangkang, maka hukuman berat yang akan diterimanya.
Sebab itulah meski keanggotaan Kay-pang sangat ruwet, namun sedikit sekali yang
berani melanggar peraturan.
Lantaran itulah Bwe Su-bong
jatuh pingsan demi mendengar perintah hukuman mati Ang-lian hoa tadi. Sedangkan
Kwe Pian-sian tersenyum puas, segera ia berseru, "Pangcu sudah memberi
perintah, petugas pelaksana hukum kenapa tidak lekas maju?"
Serentak terdengar beberapa
orang mengiakan. Empat orang telah berbangkit dan tampil ke depan dengan kepala
tertunduk. Kebanyakan anggota Kay-pang sama mengucurkan air mata dan tidak tega
menyaksikan Bwe Su-bong dihukum mati.
Mutiara yang dipegang Kwe
Pian-sian masih terus ber-putar2 menimbulkan perasaan yang aneh dan tidak enak.
Dengan tersenyum manis Kwe
Pian-sian berkata, "Ang-lian hoa, sekarang bolehlah kau..."
Belum habis ucapannya,
mendadak terdengar suara "crit", angin tajam terus menyambar ke depan
dari jari Ang-lian hoa, mutiara hitam itu seketika pecah.
Kwe Pian-sian menyurut mundur
beberapa langkah, serunya tertahan, "Kau..."
Ang-lian hoa terbahak-bahak
memutus ucapan orang, serunya, "Hahahaha! Jika kau kira semudah itu dapat
kau pengaruhi diriku dengan ilmu gaib Lian-sim-sut (ilmu pengisap hati,
sebangsa ilmu hipnotis), maka salah besarlah kau."
Pucat wajah Kwe Pian-sian,
teriaknya dengan gemas, "Bagus Ang-lian hoa, mirip benar caramu
ber-pura2."
"Jika tidak mirip caraku
ber-pura2, mana bisa ku pancing semua tipu muslihatmu," ujar Ang-lian hoa
dengan tertawa. "Dan kalau tidak dapat kubongkar kedokmu di depan beribu
anggota Pang kita, lalu kutumpas dirimu, kan bisa jadi orang lain akan mengira
aku lagi berebut kedudukan dengan kau?"
Melihat perubahan itu, anak
murid Kay-pang terkejut dan bergirang pula.
Sementara itu Bwe Su-bong juga
sudah siuman, iapun kegirangan sehingga mengucurkan air mata, ia menengadah dan
berseru, "Thian maha adil! Apa yang dahulu tidak berhasil dilaksanakan
Lo-pangcu, kini dapatlah dibereskan oleh Pangcu muda. Tipu muslihat Kwe
Pian-sian akhirnya terbongkar, arwah Lo-pangcu di alam baka bolehlah merasa tenteram."
Muka Kwe Pian-sian kelihatan
pucat hijau, mendadak ia pun tertawa latah dan berteriak, "Hahahaha..!
Tipu muslihat apa maksud kalian? Lian sim-sut apa katamu? Sungguh aku tidak
paham!"
"Hm, urusan sudah
berlanjut begini dan kau belum lagi mau mengakui kesalahanmu?" bentak
Ang-lian hoa dengan bengis.
"Aku harus mengaku salah
apa?" jengek Kwe Pian-sian. "Jadi kau sendiri yang hendak menghukum
Bwe Su-bong, sekarang kau sendiri pula yang mengingkari segala tindakanmu itu,
semua itu ada sangkut paut apa denganku?"
Dalam keadaan begini dia masih
tetap tenang dan bicara menurut keadaan, nyata dia ingin mengelakkan tanggung
jawab apa yang terjad tadi.
Meski Ang-lian hoa, Bwe
Su-bong dan lain2 tahu jelas orang terlalu licik dan ingin membela diri, tapi
seketika mereka memang tak dapat membantah ucapannya itu.
Kwe Pian-sian menyapu pandang
para hadirin, lalu berteriak pula, "Saudara2 sekalian, dia menuduh aku
menggunakan ilmu gaib Liap-siam-sut segala, coba kalian tanya dia, mana
buktinya? Jika dia tak dapat memberi bukti nyata, maka berarti dia memfitnah
orang. Ketahuilah, fitnah lebih jahat daripada membunuh."
Seketika para anggota Kay-pang
hanya saling pandang saja dan tiada yang membuka suara.
Melihat Ang-lian hoa juga diam
saja dan tak dapat membuktikan dia menggunakan ilmu gaib, segera ia mendengus,
"Ang-lian hoa, bilamana ada yang bisa membuktikan aku menggunakan
Liap-sim-sut segala, segera ku tunduk dan mengaku dosa. Sebaliknya kalau tak
dapat kau buktikan, maka berarti kau sengaja memfitnah orang tua. Selaku
Houhoat Tianglo Pang kita, aku tidak dapat tinggal diam dan terpaksa aku harus
bertindak untuk membersihkan rumah tangga Pang kita dari unsur2 jahat."
Orang ini memang licik dan
licin serta jahat jauh di luar perkiraan Ang-lian hoa, meski nyata2 kedoknya
sudah terbongkar, tapi dengan segala jalan ia tetap berusaha membela diri,
bahkan memutar balik tuduhannya.
Tanpa terasa Ang-lian hoa
menjadi gelisah, pikirnya, "Selama puluhan tahun Lo-pangcu berusaha
membongkar tipu muslihatnya dan tidak berhasil, jelas tidak mudah bagiku untuk
membuka kedoknya dalam waktu sesingkat ini, tampaknya urusan memang sukar
diselesaikan."
Pada saat itulah se-konyong2
seorang berteriak, "He, tempat apakah ini?... mengapa aku berada... berada
di sini?..."
Ang-lian hoa berpaling, yang
berteriak itu kiranya Kim-yan-cu adanya. "Ia menjadi girang, cepat ia
berseru, "Kwe Pian-sian, apakah kaukira di dunia ini benar2 tiada
seorangpun yang dapat membuktikan Liap-sim-sut yang kau gunakan?"
Rupanya setelah mutiara hitam
tadi dihancurkan Ang-lian hoa, segera Kim-yan-cu merasa otaknya tergetar
se-olah2 dipalu orang dengan keras, kontan dia ter-huyung2 dan hampir roboh.
Akan tetapi kemplangan yang
keras itu justeru telah menghancurkan daya gaib yang mempengaruhi pikirannya.
Kiranya mutiara hitam itu adalah lambang penguasa jiwanya, begitu mutiara hitam
itu hancur, segera jiwanya bebas dari pengaruh apapun.
Walaupun begitu, dia masih
harus pingsan sejenak untuk kemudian baru dapat berteriak.
Dilihatnya Ang-lian hoa
melompat ke depannya dan berseru, "Nona Kim, apakah kau benar2 tidak tahu
cara bagaimana kau datang ke sini?"
Kim-yan-cu tidak lantas
menjawab, ia memandang seputarnya, melihat Kwe Pian-sian seketika ia berteriak:
"Dia, ya dia inilah si iblis jahat, dengan ilmu siluman dia memikat
diriku, dia menyuruh aku menjadi kekasihnya, menjadi muridnya, menjadi istri
dan menjadi anaknya"
Sampai di sini barulah meledak
raungan murka anak murid Kay-pang.
"Orang she Kwe"
teriak Bwe Su-bong dengan gusar, "sekarang apa yang dapat kau sangkal
lagi?"
Biji mata Kwe Pian-sian
berputar, benaknya bekerja cepat. Dilihatnya anak murid Kaypang telah mendesak
maju dan sukar dibendung, setiap orang memperlihatkan rasa murka dan benci
padanya.
Mendadak Kwe Pian-sian
membentak: "Berhenti! apa yang hendak kalian lakukan?"
"Menghukum pengkhianat,
membersihkan rumah tangga perguruan!" teriak Bwe Su-bong.
"Hm, kau tidak sesuai
untuk melakukan hal itu," jengek Kwe Pian-sian. Mendadak ia mengeluarkan
sesuatu benda dan diangkat tinggi ke atas sambil membentak: "Coba kau
lihat, apakah ini?"
Yang dipegangnya itu adalah
sepotong kain kuning yang sudah tua dan lusuh, pada kain itu tertulis delapan
huruf besar yang berbunyi: "Di mana Houhat tiba, sama seperti ku datang
sendiri".
Apa yang diperlihatkan Kwe
Pian-sian ini adalah panji tanda pengenal yang berkuasa penuh atas nama sang
Pangcu.
Air muka Bwe Su-bong seketika
berubah pucat, ucapnya dengan gemetar: "Dari....darimana kau peroleh panji
ini?"
Kwe Pian-sian tidak
menghiraukan dia, ia melototi Ang Lian-hoa dan membentak: "Ini tulisan
tangan siapa tentunya kau tahu bukan?"
Ang Lian-hoa menunduk,
jawabnya: "Ku tahu, inilah panji gulung para tetua Pang kita sejak tiga
ratus tahun yang lampau...."
"Jika tahu, kenapa tidak
lekas berlutut dan menyembah?" bentak Kwe Pian-sian.
Ang Lian-hoa menghela napas
sedih, pelahan-lahan ia berlutut.
Kalau sang Pangcu sudah
berlutut, anak murid Kay-pang yang lain siapa pula yang berani berdiri? Dalam
sekejap saja beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut. Dalam sekejap saja
beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut.
Kwe Pian-sian menengadah dan
tertawa latah, katanya: "Sekalipun aku bersalah umpamanya, kecuali pada
tetua angkatan lalu yang sudah mati itu dapat hidup kembali, siapa pula yang
berhak menghukum akan kesalahanku?"
Tapi mendadak suara tertawanya
berhenti, air mukanya juga berubah hebat.
Tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak: "Aku bukan murid Kay-pang, akupun tidak perduli panji gulung
yang kau pegang apa segala!"
Rupanya dengan belatinya
Kim-yan-cu telah menyergap Kwe Pian-sian dari belakang. Setelah belatinya
bersarang di tubuh sasarannya barulah ia berteriak. Lantaran sedang latah dan
lupa daratan, Kwe Pian-sian menjadi lengah, ketika ia merasa apa yang terjadi,
namun sudah terlambat, belati Kim-yan-cu sudah ambles di tulang punggungnya.
Para anggota Kay-pang sama
terkejut dan juga bergirang, terlihat Kwe Pian-sian hendak roboh, serunya
dengan tersenyum pedih: "Bagus, tak tersangka orang she Kwe kena disergap
oleh seorang anak perempuan....." mendadak tangannya membalik dan
menghantam secepat kilat.
Pukulan ini berlangsung dengan
segenap sisa kekuatannya. Kim-yan-cu tidak mampu menghindar, tubuhnya mencelat
dan jatuh beberapa tombak jauhnya, menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu ia
sudah pingsan. Namun belatinya tetap menancap di tubuh Kwe Pian-sian.
Dengan sempoyongan Kwe
Pian-sian menyurut mundur ke belakang dengan tangan masih memegangi panji
gulung tadi, serunya dengan menyeringai: "Panji kebesaran ini masih ku
pegang, siapa di antara kalian yang berani mendekati aku?"
Walaupun tahu dirinya dapat
membekuk pengkhianat itu dengan mudah, tapi terpaksa Ang Lian-hoa tidak dapat
turun tangan, terpaksa dengan mata terbelalak ia saksikan orang mundur ke
tengah-tengah kerumunan orang banyak.
Syukurlah sebelum Kwe
Pian-sian menghilang, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat,
berturut-turut muncul dua orang menghadang jalan pergi Kwe Pian-sian. Orang
yang mendahului adalah seorang To-koh (pendeta perempuan agama To), berambut
hitam dan berjubah kuning, meski usianya sudah setengah baya, tapi masih
kelihatan cantik. Pedang melintang di belakang punggungnya dengan untaian
benang sutera kuning menghiasi gagang pedangnya.
Dia inilah ketua Hoa-san-pay,
Hu-yong-siancu Ji Siok-cin, si dewi cantik.
Seorang lagi di belakangnya
adalah gadis jelita berperawakan jangkung, namanya Ciong Cing, murid tertua
Hoa-san-pay angkatan terakhir.
Melihat munculnya kedua orang
ini, legalah hati Ang Lian-hoa.
Terdengar Ji Siok-cin
mendengus: "Hm, karena dosamu sudah kelewat takaran sehingga sukar bagimu
untuk lolos dari jaringan malaikat. Kwe Pian-sian, akhirnya kutemukan juga kau
di sini!"
Kwe Pian-sian meraung
keras-keras, segera ia membalik tubuh dan bermaksud menerjang pergi.
Namun Ji Siok-cin tidak
memberi kesempatan lari baginya, kesepuluh jarinya bekerja cepat, sekaligus ia
totok beberapa Hiat-to penting Kwe Pian-sian. Betapapun Kwe Pian-sian memang
sudah terluka parah sehingga sama sekali ia tidak sanggup melawan.
"Apakah Siancu juga ada
permusuhan dengan orang ini?" tanya Ang Lian-hoa dengan kejut bercampur
girang.
"Seusai pertemuan
Hong-ti, seterusnya aku lantas membuntuti dia," tutur Ji Siok-cin.
"Permusuhan Hoa-san-pay kami dengan orang ini boleh dikatakan tidak
mungkin hidup bersama."
Lalu ia memberi tanda, Ciong
Cing lantas mengangsurkan panji gulung yang dirampasnya dari Kwe Pian-sian
kepada Ang-lian-hoa.
Menyusul Ji Siok-cin berkata
pula: "Panji sudah kami persembahkan kembali, bagaimana kalau Pangcu
menyerahkan orang ini kepada Hoa-san-pay kami?"
Dengan hormat Ang-lian-hoa
menerima penyerahan panji itu, setelah berpikir sejenak, lalu berkata:
"Jika Siancu tidak kebetulan menyusul tiba, akhirnya orang ini akan kabur
juga."
Ji siok-cin tersenyum dan
menyambung: "Apalagi, pada belasan tahun yang lalu mendiang pangcu kalian
yang dulu sudah mengusirnya keluar dari Pang kalian, jika sekarang kubawa pergi
dia tentunya tidak merugikan nama Pang kalian."
"Betul," jawab Ang
Lian-hoa.
"Terima kasih,
pangcu" ucap Ji Siok-cin sambil memberi hormat. Dari jauh ia pandang
sekejap kepada Kim-yan-cu, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa: "Bila
tidak ada orang ini, kukira tidaklah mudah untuk menangkap Kwe Pian-sian. Mohon
pangcu sampaikan kepada nona ini, kelak bila dia ada sesuatu urusan, pasti
Hoa-san-pay akan memberi balas jasa kepadanya."
"Sungguh beruntung nona
Kim itu bisa mendapat perhatian khusus dari Siancu" ujar Ang Lian-hoa
dengan mengulum senyum.
Ia menyaksikan Ji Siok-cin
membawa pergi Kwe Pian-sian dan baru sekarang perasaannya rada lega, selagi ia
hendak mendekati Kim-yan-cu untuk memeriksa keadaan lukanya, mendadak sesosok
bayangan orang melayang tiba dengan cepat.
Ginkang orang ini tidak
terlalu tinggi tapi gayanya indah, bajunya yang merah tipis berkibar-kibar
tertiup angin laksana gumpalan awan yang meluncur tiba.
"Yang datang apakah
Pek-hoa-sucia (dua seratus bunga)?" tegur Ang Lian-hoa dengan dahi
berkerut.
Seorang gadis cantik dengan
baju sutera merah tipis sudah berada di depan Ang-Lian-hoa dan menyembah
padanya, jawabnya: "Tecu Hoa Sin menyampaikan sembah hormat kepada
pangcu"
"Terima kasih" kata
Ang-lian-hoa dengan tersenyum. "Kedatangan nona ini adakah membawa pesan
Hay-hong Hujin?"
Gadis jelita ini memang betul
anggota Pek-hoa-pang (klik seratus bunga) pimpinan Hay-hong Hujin yang cantik
itu. Dengan hormat ia lantas menjawab: "Betul, Tecu diperintahkan kemari
oleh Hujin, pertama untuk menyampaikan terima kasih pangcu yang telah mengantar
pulang Lim suci, kedua: hamba disuruh memohon sesuatu kepada pangcu."
"Urusan Hay-hong hujin
pasti akan kubantu sekuat tenaga." ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.
Hoa Sin berkedip-kedip
kemudian menutur dengan tertawa: "Kwe Hou-hoat dari pang kalian di masa
lampau yang sudah menghilang dari Kangouw selama 15 tahun, konon sekarang telah
muncul lagi. Menurut laporan Toa-suci Hoa Bwe dari perbatasan Siamsay, katanya
kemunculan Kwe Houhoat telah dilihatnya di sana. Hujin pikir, kalau pangcu
sedang mengadakan pertemuan anggota di sini tentu ada hubungannya dengan
kemunculan Kwe-Houhoat, sebab itulah hamba disuruh kemari untuk memohon kepada
pangcu...."
"Apakah Hujin ada
persoalan dengan dia?" sela Ang-lian-hoa.
Hoa Sin menghela napas,
jawabnya: "Ya, begitulah, sebab itulah Hujin mohon bantuan Pangcu agar
bila Kwe-houhoat datang kemari hendaklah segera Pangcu memberi kabar kepada
Hujin dengan bunga api khas kalian, apabila Hujin berada di sekitar sini tentu
beliau dapat segera memburu kemari.
Ang Lian-hoa terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan tersenyum pahit: "Pesan Hujin sudah tentu akan
kuperhatikan, cuma sayang, kedatangan nona ini agak terlambat satu
langkah."
"Apakah Kwe-Houhoat telah
dihukum mati oleh Pangcu?" seru Hoa Sin kaget.
"Hendaklah nona sampaikan
kepada Hujin, katakan bahwa Kwe Pian-sian sudah lama dipecat oleh Pang
kami." kata Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Saat ini dia.... dia sudah
dibawa pergi oleh Ji-siancu, ketua Hoa-san-pay".
* * *
Cukup lama kemudian barulah
Kim-yan-cu siuman.
Ang-lian-hoa seperti tidak
sabar menunggunya, begitu melihat nona itu sadar segera ia memberi hormat dan berkata:
"Berkat bantuan nona sehingga Pang kami terhindar dari kesukaran,
sebaliknya karena itulah nona terluka, sungguh segenap anggota pang kami tidak
tahu cara bagaimana menyampaikan terima kasih kepada nona."
Kim-yan-cu tertawa hambar:
"Ah, terlalu berat ucapan Pangcu ini bagiku...." dengan cepat
tertawanya berganti menjadi cemas pula, tanyanya: "Dan iblis itu
apakah.... apakah sudah mati?"
"Dia terluka parah dan
telah dibawa pergi oleh Ji-siancu dari Hoa-san" tutur Ang Lian-hoa.
"Hoa-san-pay juga bermusuhan dengan dia, apalagi Ji-siancu terkenal paling
benci kepada kejahatan, kukira iblis itu pasti tak bisa hidup lama lagi."
Kim-yan-cu terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan menyesal: "Terus terang, kalau aku tidak
menyaksikan mayatnya, betapapun aku tetap kuatir."
"Musuh orang ini terdapat
di mana-mana, sekalipun Ji-siancu tidak membunuhnya, tentu Hay-hong Hujin juga
takkan ampuni dia" ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.
"Hay-hong katamu?"
Kim-yan-cu menegas dengan berkerut kening.
"Ya, Hay-hong hujin, baru
saja ia mengirim utusan untuk mencari berita tentang iblis itu" tutur
Ang-lian-hoa.
"Dan sudah kau
beritahukan?" tanya Kim-yan-cu dengan muka pucat.
"Dengan sendirinya
kuberitahukan padanya, mengapa nona merasa cemas?"
"Jika pangcu memberitahukan
apa yang terjadi barusan, maka selanjutnya Hoa-san-pay dan Pek-hoa-pang pasti
akan banyak timbul persoalan."
"Mengapa begitu?"
tanya Ang-lian-hioa dengan terkesiap.
"Apakah Pangcu tahu ada
hubungan apa antara Kwe Pian-sian dengan Hay-hong hujin?"
"Tidak tahu" jawab
Ang-lian-hoa.
"Apakah orang kangouw
tidak ada yang tahu bahwa antara dia dan Hay-hong Hujin adalah
suami-istri?"
"Apa katamu?
Suami-istri?" Ang Lian-hoa menegas dengan terperanjat.
"Ya, makanya seumpama
Hay-hong Hujin mempunyai dendam apa-apa terhadap bekas suaminya itu, betapapun
dia tidak akan membiarkan dia mati di tangan orang lain. Dengan demikian dia
dan Ji-siancu dari Hoa-san tentu akan bermusuhan."
Ang Lian-hoa termangu-mangu
sejenak, dengan menyesal ia berkata: "Pantas, begitu nona Hoa Sin itu
mendengar keteranganku, buru-buru ia lantas permisi pulang lapor kepada
Hay-hong hujin.... Ai, kedua orang ini boleh dikatakan perempuan yang paling
sukar direcoki di dunia Kangouw saat ini, bilamana keduanya saling gempur, maka
akibatnya sukar dibayangkan"
"Urusan sudah terlanjur
begini, berkuatir juga tiada gunanya" ujar Kim-yan-cu sambil meronta
bangun berduduk. Tiba-tiba ia menambahkan pula: "Kedatanganku ini
sebenarnya ingin minta sesuatu keterangan kepada Pangcu."
"Asalkan ku tahu, segala
apapun pasti akan kuberitahukan," jawab Ang-lian-hoa dengan tertawa.
Kim-yan-cu menunduk, katanya
dengan perlahan: "Malam itu, apa yang terjadi antara nona Lim Tay-ih dan
Ji-kongcu di kamar hotel sana, dapatkah pangcu menceritakan kepadaku dengan
jelas?"
Rada berubah air muka Ang
Lian-hoa, ia termenung agak lama, akhirnya ia menghela napas dan berkata:
"Dan entah ada sangkut-paut apa antara nona dengan persoalan ini?"
"Bila Pangcu sudi
memberitahu, untuk apa pula mesti tanya hubunganku dengan mereka?" ujar
Kim-yan-cu tersenyum kecut.
Kembali Ang Lian-hoa terpekur
sejenak, akhirnya ia menutur dengan gegetun: "Hari itu kebetulan akupun
singgah di kota kecil itu, kebetulan kulihat mereka juga masuk ke kota itu, aku
dan nona Lim memang .... memang sudah kenal baik, meski tidak kukenal pemuda
yang mendampingi dia itu, tapi kudekati juga dan menyapanya."
"Pangcu dan Ji Pwe-giok
yang sudah mati itu memang sahabat baik, bila melihat nona Lim berada bersama
lelaki lain, mungkin timbul rasa kurang senang di hati Pangcu"
Ang Lian-hoa melengak,
mendadak ia tertawa dan berkata: "Ha.ha.ha..ha.! Jika nona anggap demikian
sifat pribadiku, maka salah besar nona. Watakku cukup terbuka, tidak suka
memikirkan adat kolot yang terlalu mengikat itu, jangankan nona Lim memang
belum menikah secara resmi dengan Ji Pwe-giok, sekalipun mereka sudah menikah
juga tiada alasan bagiku untuk memaksa Lim Tay-ih harus menjanda selama hidup.
Bila dia mendapatkan teman lelaki baru, aku justru bersyukur dan bergembira
baginya."
Meski dia tertawa dengan
lantang, namun lamat-lamat mengandung perasaan sedih.
Dengan sendirinya Kim-yan-cu
tidak dapat merasakan isi hati ketua Kaypang yang gagah dan muda itu, dengan
tertawa cerah ia berkata: "Pangcu memang berpribadi lain daripada yang lain,
bilamana ucapanku tadi salah, hendaklah pangcu jangan marah."
Ang Lian-hoa tertawa, tapi ia
lantas berkerut kening dan berkata pula: "Namun ketika ku sapa mereka,
pemuda itu tampaknya sangat simpatik, sebaliknya nona Lim tidak mau menggubris
diriku, seakan-akan tidak kenal padaku. Padahal persahabatanku dengan dia bukan
cuma sehari dua hari saja, tidak pantas ia bersikap demikian".
"Bisa jadi.... bisa jadi
dia sedang murung atau ada persoalan lain" ujar Kim-yan-cu.
"Ucapanmu memang
beralasan, tapi mendadak kuingat bulan yang lalu pernah juga satu kali dia
tidak menggubris padaku ketika kami bertemu, kemudian baru ku tahu bahwa waktu
itu dia terancam bahaya, ada kesukaran yang tak dapat dikatakannya padaku"
"Makanya sekarang Pangcu
juga curiga jangan-jangan nona Lim ada kesukaran lain yang tak dapat
diberitahukan kepadamu?" tukas Kim-yan-cu.
"Ya, begitulah" kata
Ang Lian-hoa.
"Lantaran itulah Pangcu
jadi ketarik untuk menyelidiki seluk-beluknya, meski sebenarnya urusan orang
lain. Dan apa yang Pangcu lihat pada malam itu?"
Mendengar ucapan Kim-yan-cu
ini, Bwe Su-bong yang sejak tadi hanya berdiri menunggu di samping mendadak
menyeletuk: "Apa yang dikatakan nona sebenarnya tidak salah. Jika orang
lain melihat sesuatu yang mencurigakan pada siangnya, malamnya tentu akan
menyelidiki hal yang menarik perhatiannya itu, sekalipun tempat yang harus
didatangi adalah kamar perawan juga takkan dihiraukannya...." dia pandang
Kim-yan-cu dengan tersenyum, lalu menyambung pula: "Tapi nona jangan lupa,
seorang kalau sudah menjabat Pangcu Kay-pang, maka kedudukannya akan banyak
berbeda daripada orang lain, setiap tindak tanduknya tidak boleh lagi
gegabah."
Muka Kim-yan-cu menjadi merah,
cepat ia berkata: "Ya, maaf… jika ucapanku tidak pantas tapi.... tapi
apakah Pangcu memang sama sekali tidak tertarik untuk menyelidikinya?"
"Setiap langkah Pangcu
kami selalu hati-hati dan prihatin, meski beliau tidak sudi melakukan sesuatu
yang merosotkan derajatnya, tapi urusan yang menyangkut keselamatan teman pasti
juga takkan dibiarkannya begitu saja" kata Bwe Su-bong.
"Kecermatan bertindak
Ang-lian Pangcu dan keluhuran budinya terhadap teman-teman sudah cukup dikenal
orang, termasuk pula diriku, kukira tidak perlu dijelaskan lagi oleh
Cianpwe!" kata Kim-yan-cu.
Sekali ini muka Bwe Siu-bong
yang agak merah, cepat ia berdehem dan berkata pula: "Demi menyelidiki apa
yang terjadi, Pangcu hanya menyuruh seorang anggota Pang kami menyamar sebagai
pelayan hotel untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi di kamar nona
Lim"
"Oo, bilakah hal itu
terjadi?" tanya Kim-yan-cu.
Bwe Su-bong memandang
Ang-lian-hoa sekejap, sang Pangcu mengangguk, habis itu baru Bwe Su-bong
menyambung lebih lanjut. "Tatkala itu sudah magrib...."
Mendadak Kim-yan-cu memotong
dengan tertawa: "Jika suka, mohon Pangcu sendiri saja yang bercerita.
Kalau tidak, setiap kalimat Bwe cianpwe harus minta izin satu kali kan
repot?"
Bwe Su-bong bergelak tertawa,
katanya; "Pendekar perempuan si walet emas benar-benar tidak boleh
direcoki. Hanya karena kata-kataku tadi agak menyinggung, tampaknya nona
menjadi sakit hati dan tidak dapat mengampuniku."
Sembari tertawa iapun memberi
hormat dan mengundurkan diri.
Kim-yan-cu berkata dengan
gegetun: "Pangcu mempunyai pembantu setia begini, sungguh sangat
mengagumkan orang."
Tanpa menunggu tanggapan
Ang-lian-hoa, segera ia bicara tentang soal pokok pula: "Setelah anggota
Pang kalian menyamar dan masuk ke kamar nona Lim, adakah hal-hal mencurigakan
yang dilihatnya?"
"Keadaan yang dilihatnya
memang agak mencurigakan, dilihatnya nona Lim selalu murung, sejak awal hingga
akhir sama sekali tidak menggubrisnya," tutur Ang-lian-hoa.
Tentu saja, mana mungkin nona
Lim menggubris seorang pelayan, kenapa mesti diherankan?" ujar Kim-yan-cu.
"Soalnya nona Lim
seharusnya kenal anggota kami itu," kata Ang lian hoa.
"Oo . . .. "
Kim-yan-cu melengak.
"Sebelum ini, kira-kira
sebulan yang lalu di sekitar Siang-ciu, waktu itu nona Lim juga terancam
bahaya, tapi dia mencari peluang untuk secara diam-diam mengirimkan berita
kepadaku. Tapi sekali ini dia jejak awal hingga akhir tidak menggubris
penghubung kami itu, bukankah sangat aneh?" "Maka Pangcu
lantas..."
"Makanya aku lantas
menduga keadaan nona Lim sekali ini jauh lebih berbahaya daripada pengalaman
yang dulu sehingga sama sekali tiada peluang baginya untuk mengadakan kontak
denganku.
Kim-yan-cu berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Apakah Pangcu tidak berpikir ada kemungkinan nona Lim
memang tiada terancam bahaya apa-apa sehingga dia memang tidak perlu mengirim
sesuatu berita kepadamu?"
"Sudah tentu kemungkinan
ini pun bisa terjadi cuma . .. . kalau nona Lim tidak terancam bahaya,
sedikitnya dia kan mesti bertegur sapa padaku?"
"Bisa jadi mendadak dia
tidak suka bertegur sapa dengan Pangcu."
"ini jelas tidak
mungkin."
"Masa Pangcu begitu
yakin?" tanya Kim-yan cu dengan tatapan tajam.
"Ya," jawab
Ang-lian-hoa pasti.
Tiba-tiba Kim-yan-cu tertawa,
katanya: "Jika demikian, hubungan Pangcu dengan nona Lim pasti lain
daripada yang lain, pantaslah Pangcu sedemikian memperhatikan urusan nona
Lim."
Air muka Ang-lian-hoa rada
berubah, tapi ia lantas berkata dengan tertawa: Nona juga sangat memperhatikan
utusan ini, bahkan selalu berbicara mengenai Ji kongcu itu. Agaknya nona juga
mempunyai hubungan istimewa dengan Ji-kongcu?"
Kim-yan cu melengak, segera ia
tertawa, katanya: "Ang-lian-pangcu memang betul-betul tidak boleh direcoki
oleh siapapun juga."
Kedua orang saling pandang
dengan tertawa, namun tertawa yang menyerupai menyengir, meski mereka berdua
sama-sama cukup bijaksana terhadap sesuatu, tapi sekarang tertekan juga
perasaan mereka.
Selang sejenak barulah
Ang-lian-hoa berkata lagi: "Anak buah kami yang bernama Seng-losu itu
beberapa kali pura-pura mengantar teh ke kamar nona Lim, dilihatnya nona itu
sedang menangis, waktu dia masuk kamar, nona Lim lantas menutup kepalanya
dengan selimut dan Ji-kongcu itupun melengos ke arah dinding, agaknya tidak
ingin muka mereka dilihat orang.
"Dan Pangcu bertambah
heran tentunya," kata Kim yan-cu.
"Ya, waktu Song-losu
menyampaikan laporan kepadaku, sementara itu hari sudah jauh malam, tatkala
mana meski aku tambah curiga, tapi masih juga ragu-ragu apakah aku harus
langsung menyelidiki ke sana ataukah tidak."
"Entah kemudian mengapa
Pangcu bertekad turun tangan sendiri?"
"Pada saat itulah kulihat
beberapa Ya heng-jin (orang berpakaian piranti malam) yang tinggi sekali
Ginkangnya telah melayang ke arah hotel sana, maka aku tidak ragu lagi dan
segera menyusul ke sana."
"Aha, yang mengikuti
gerak-gerik mereka kiranya masih ada lagi kelompok lain. Siapakah mereka itu,
apakah Pangcu melihatnya?" seru Kim yan-cu.
"Gerak-gerik orang-orang
itu rada misterius, mereka sama memakai kedok kain hitam, hakekatnya aku tidak
tahu siapa mereka. Tapi setiba di hotel itu dari jauh kulihat salah seorang di
antaranya terus menyusup masuk ke cerobong hawa di atap rumah. Padahal cerobong
hawa itu sangat sempit, orang biasa jelas sukar masuk ke situ, kecuali orang
yang memiliki Nui-kang (ilmu kelemasan, badan plastik) yang hebat. Tentunya
nona tahu jarang sekali orang Kangouw yang terkenal mahir Nuikang."
"Jangan-jangan Pangcu
mengira orang itu adalah Sebun Bu Kut?" ucap Kim yan cu.
"Ya, kukira bukan orang
lain."
"Untuk apakah Sebun Bu
kut senantiasa mengawasi mereka?"
"Persoalan ini agak
panjang untuk diceritakan. Yang dapat kuberitahukan kepadamu adalah karena nona
Lim itu adalah bakal istri Ji-hiante yang telah mati itu, sedangkan segala
sesuatu urusan yang menyangkut Ji-hiante tidak pernah terlepas dari pengawasan
mereka."
Kim yan-cu termangu-mangu
sejenak, katanya kemudian dengan berkerut kening: "Wah, urusan ini makin
lama makin ruwet tampaknya."
"Ya, dalam persoalan ini
memang terkandung banyak rahasia, kalau kami tidak utang budi kepada nona,
tidak nanti kuceritakan padamu."
"Tapi Pangcu juga tidak
perlu kuatir, asalkan urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok, baik Ji Pwe-giok yang
hidup ataupun Ji Pwe-giok yang sudah mati, aku berjanji akan menjaga rahasia
baginya."
Ang lian hoa tertawa, ia
menyambung pula: "Malam itu gelap gulita, tiada rembulan dan tanpa
bintang, tamu hotel sudah tidur seluruhnya, suasana di halaman hotel itu sunyi
dan gelap. Kelima Ya heng-jin itu, kecuali Sebun Bu-kut yang sembunyi di dalam
cerobong hawa itu, empat lainnya telah mengepung rapat kamar nona itu."
"Bukankah mereka hanya
mengintai gerak-gerik nona Lim secara diam-diam, mengapa mereka mengepung
tempat tinggal nona Lim, apakah mereka ada maksud jahat lain?"
"Betul, memang ada maksud
jahat lain."
"Mereka.... apa yang
hendak dilakukan mereka?"
Ang lian hoa menatapnya dengan
terbelalak, sampai lama tidak menjawab.
Dengan suara keras Kim yan cu
berkata pula : "Urusan apapun juga, demi Ji Pwe-giok itu, aku rela mati
daripada membocorkan sepatah kata rahasianya."
Ang lian hoa menghela napas
lega, katanya pula dengan pelahan: "Jelas mereka hendak meringkus nona Lim
dan dibawa pulang, kalau tidak dapat meringkusnya dengan hidup, membunuhnya
bukan soal lagi."
"Sebab apa?" seru
Kim yan cu.
"Hal ini kukira tiada
sangkut pautnya lagi dengan persoalan yang ingin diketahui nona, betul
tidak?" tanya Ang lian hoa.
Kim yan cu berpikir sejenak,
akhirnya ia tanya pula: "Sebun bu-kut adalah sahabat baik Leng-hoa kiam
Lim Soh koan, sedangkan Lim Tay-ih adalah puteri tunggal Lim Soh koan, mengapa
Sebun Bu-kut hendak membunuhnya, apakah dia tidak takut dituntut balas oleh Lim
Soh koan?"
"Di dunia ini memang
banyak persoalan yang sukar dimengerti orang," tutur Ang lian hoa dengan
gegetun. "Hanya dapat kukatakan padamu, jauh sebelum itu mereka sudah
bermaksud membekuk Lim Tay-ih, tapi waktu itu nona Lim telah dibawa pergi oleh
Hay-hong Hujin, meski mereka tidak berani merecoki Hay-hong Hujin, tapi demi
melihat Lim Tay-ih berada sendirian, tentu saja mereka tidak mau melepaskan
dia."
"Lalu mengapa mereka
tidak.... tidak cepat turun tangan?"
"Bisa jadi lantaran
mereka pun rada-rada jeri terhadap Ji kongcu ini, mungkin pula mereka ingin
tahu ada hubungan apa antara Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok yang satu ini."
Setelah menghela napas, lalu
ia sambung pula: "Tampaknya mereka rada jeri terhadap Ji-hiante dan masih
sangsi kalau-kalau dia belum mati. Sebab itulah ketika dilihatnya nona Lim
berada pula dengan Ji Pwe-giok baru, mereka menjadi curiga kalau-kalau Ji
Pwe-giok yang baru ini adalah samaran Ji Pwe-giok yang lama, kalau tidak,
menurut sifat Lim Tay-ih yang angkuh itu tidak nanti mau tinggal bersama satu
kamar dengan pemuda yang tidak dikenalnya."
"Mungkin hal ini pula
yang menimbulkan curiga Pangcu?" kata Kim yan cu.
"Tapi ku tahu pasti
Ji-hiante benar-benar sudah mati, apabila Ji-kongcu yang ini adalah samaran
Ji-hianteku itu, mustahil dia tidak menyapa diriku ketika berjumpa."
Kim yan cu terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan perlahan: "Ucapan Pangcu memang tidak salah, Ji
Pwe-giok yang mana pun tidak nanti bersikap dingin begitu."
"Kukenal kelihaian kelima
orang ini, seluruhnya tergolong jago kelas satu, dengan sendirinya aku sangat
kuatir bagi nona Lim. Tapi sebelum mereka bertindak, terpaksa akupun tidak
dapat turun tangan, akupun tak dapat mendekat hingga mengejutkan mereka
terpaksa aku hanya sembunyi di balik atap rumah seberang, dari jauh ku intai
gerak-gerik mereka."
"Dalam pada itu di dalam
kamar nona Lim apakah tiada sesuatu suara?" tanya Kim yan cu.
"Waktu itu di kamarnya
sama sekali tiada sesuatu suara, namun lampunya menyala, kusangka mereka sudah
tidur, siapa tahu pada saat itu juga mendadak nona Lim mendepak pintu kamar,
sambil berteriak-teriak ia terus menerjang keluar."
"Aha, pahamlah aku!"
seru Kim yan cu mendadak sambil berkeplok tangan.
"Nona paham apa?"
tanya Ang lian hoa dengan melengak.
"Mungkin nona Lim tahu
ada orang sedang mengintainya, secara diam-diam maka dia sengaja menerjang
keluar, apabila di sekitarnya terdapat banyak orang, dengan sendirinya Sebun
Bu-kut dan begundalnya itu tidak bebas turun tangan."
Ang lian hoa berpikir sejenak,
katanya: "Nona Lim memang cerdik dan pintar, dari tindak-tanduknya di masa
memang bisa jadi dia sengaja berbuat begitu. Tapi umpama pertengkarannya dengan
Ji-kongcu itu hanya pura-pura saja, beberapa tusukan pedangnya itu jelas-jelas
bukan pura-pura."
"Tapi dia kan tidak
melukai Ji-kongcu itu dengan parah?"
"Biarpun tidak parah,
tapi juga tidak ringan. Apalagi.... seumpama terkaan nona betul, kan salah juga
perbuatan Lim Tay-ih itu?"
"Salah!? Salah
bagaimana?"
"Kau tahu, sebabnya Sebun
Bu-kut tidak segera turun tangan jelas karena dia rada jeri terhadap Ji
Pwe-giok itu, maka Sebun Bu-kut tidak perlu kuatir lagi."
"Tapi di halaman hotel
kan banyak orang?"
"Orang-orang di hotel itu
mana dipandang sebelah mata oleh mereka? Maka waktu Lim Tay-ih menusuk Ji Pwe-giok
untuk kedua kalinya, serentak Ya heng-jin yang siap di atas rumah juga lantas
berdiri dan hendak bertindak."
"Sebab itulah Pangcu
lantas mendahului menerjang ke sana!?"
"Waktu itu akupun tahu
tidak boleh ayal lagi, harus turun tangan lebih dulu secara mendadak, Tay-ih
harus diselamatkan agar mereka kaget dan kelabakan."
"Tatkala mana orang lain
mungkin menyangka orang yang ditolong Pangcu ialah Ji-kongcu, tak tahunya yang
ditolong adalah nona Lim. Dari sini terbuktilah bahwa sesuatu yang disaksikan
sendiri terkadang juga belum pasti betul," Kim Yan cu menghela napas, lalu
berkata pula: "Bukankah apa yang kupikirkan tadipun salah?"
"Salah? Hal apa?"
tanya Ang lian hoa.
"Yaitu, nona Lim
benar-benar ingin membunuh Ji-kongcu dan bukan cuma pura-pura saja, sebab kalau
dia benar-benar tahu ada orang sedang mengincarnya, dengan sendirinya dia
memerlukan bantuan Ji-kongcu untuk menghadapi musuh, mana bisa dia bertengkar
sendiri dengan Ji-kongcu?"
"Kukira belum
tentu," kata Ang lian hoa setelah termenung.
"Oo!..."
"Bisa jadi sebelumnya dia
telah melihat diriku, tahu diam-diam aku pasti akan mencari kesempatan untuk
menolong dia."
"Jika demikian, apa
gunanya dia berlagak begitu?"
"Mungkin disebabkan dia
kuatir Sebun Bu-kut dan begundalnya itu akan salah sangka Ji-kongcu itu sebagai
Ji-hianteku yang sudah meninggal itu, setelah dia melukai Ji-kongcu itu tentu
orang lain takkan menaruh curiga lagi...." sampai di sini, ujung mulut Ang
lian hoa seperti rada gemetar.
Kim yan cu jadi terharu,
katanya: "Jika demikian, apa yang dilakukan nona Lim itu bukan cuma untuk
kepentingan sendiri, tapi juga demi keselamatan Ji-kongcu. Dia menyerang kepada
Ji-kongcu bukan sengaja hendak mencelakainya, tapi sebaliknya ingin
menyelamatkannya."
"Itu pun hanya dugaanku
saja," ujar Ang lian hoa dengan menghela napas.
"Setelah kau selamatkan
nona Lim, apakah tidak kau tanya kepadanya?"
Ang lian hoa memandang jauh ke
depan sana, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Dengan hak apa kutanyai
isi hatinya?"
Kim yan cu menatapnya lekat-lekat,
tiba-tiba dia tertawa dan berkata: "Jangan kau kuatir, dia pasti tidak
benar-benar jauh cinta terhadap Ji-kongcu itu, dia justeru benar-benar sangat
benci padanya, bisa jadi dia benar-benar ingin membunuhnya."
Ang lian hoa melengak, katanya
kemudian dengan tersenyum hambar: "Jangan kuatir? Memangnya apa yang
kukuatirkan?"
"Tidak perlu kau dusta
padaku," ucap Kim Yan cu dengan rawan, "ku tahu isi hatimu, hanya
saja..... hanya saja nona Lim tidak tahu, kuharap semoga dia akan tahu."
Tiba-tiba sorot mata Ang lian
hoa menampilkan perasaan menderita, tapi di mulut ia tergelak tertawa, katanya:
"Apapun yang kau pikir atas diriku pasti keliru seluruhnya, ketahuilah
hubungan Ji Pwe-giok dan aku adalah seperti saudara sekandung."
"Tapi Ji Pwe-giok sudah
mati bukan?"
"Meski dia sudah mati,
tapi di dalam hatiku dia tetap hidup selamanya."
"Apakah demi dia, kau
rela mengorbankan perasaanmu? Jika dia benar-benar sahabatmu yang sejati, di
alam baka juga dia berharap kau yang akan menggantikan dia untuk menghibur nona
Lim."
"Nona Lim tidak perlu
dihibur siapapun!" seru Ang lian hoa.
"Kau salah!" ucap
Kim yan cu. "Ku tahu saat ini nona Lim sangat menderita, orang yang dapat
menghiburnya saat ini mungkin cuma kau saja, hanya Ang lian hoa seorang."
Ang lian hoa memandangnya
tanpa berkedip, sampai lama barulah ia mendengus: "Hm, kau berharap maku
akan menghibur nona Lim, apakah lantaran kau takut dia akan merampas kau punya
Ji-kongcu? Kau berharap dia membenci Ji-kongcu, bahkan membunuhnya daripada mereka
terikat menjadi satu?"
Gemetar tubuh Kim yan cu, ia
menunduk perlahan, ucapnya dengan tersendat: "Be... betul, ucapanmu memang
tidak salah, aku.... aku manusia yang egois.... aku hanya memikirkan
kepentinganku sendiri....." belum habis ucapannya, berderailah air
matanya.
Sinar mata Ang lian hoa
memancarkan cahaya penuh penyesalan, katanya dengan suara halus: "Demi
cinta, siapakah di dunia ini yang tidak egois? Cinta artinya monopoli, tidak
mungkin dibagi."
"Hanya kau!" kata
Kim yan cu sambil menengadah. "Cintamu berarti pengorbanan, meski
mengorbankan dirinya sendiri toh kau berusaha tidak diketahui orang lain. Dan
untuk itu mengapa aku tidak boleh meniru kau? Mengapa tidak boleh...."
Ang lian hoa tidak ingin si
walet emas meneruskan ucapannya itu, maklumlah, kata-kata itu laksana jarum
yang menyakitkan hatinya, ia coba mengalihkan pokok pembicaraan, katanya dengan
tersenyum: Setelah nona bertanya padaku, sekarang akupun ingin tanya beberapa
hal kepadamu."
"Ta....tanya saja,"
jawab Kim-yan-cu.
"Dari mana nona
mengetahui urusan ini?"
Kim-yan-cu mengusap air
matanya, jawabnya: "Malam itu, kau lihat Suma Bun tidak?"
"Sin-to Kongcu Suma Bun,
maksudmu? Malam itupun ia hadir di sana?"
"Dia sendiri yang
memberitahukan peristiwa itu kepadaku, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana, setelah mendengar cerita Pangcu barulah kurasakan persoalan ini
sesungguhnya sangat ruwet dan di luar dugaanku. Meski Pangcu telah menceritakan
kejadian itu secara terperinci dan jelas, tapi sesungguhnya bagaimana latar
belakang persoalan ini tetap tidak jelas bagiku"
"Bukan saja nona tidak
jelas, memangnya aku tahu jelas?" ujar Ang Lian-hoa. "Padahal malam
itu akupun banyak melalaikan hal-hal lain, aku cuma memperhatikan tindak-tanduk
Sebun Bu-kut dan begundalnya, sampai Sin-to Kongcu berada di sana juga tidak
kuperhatikan. Kalau diam-diam ada orang lain lagi tentu aku lebih tidak
tahu."
"Ya, secara diam-diam
memang masih ada lagi satu orang!" kata Kim-yan-cu.
"Siapa?" tanya Ang
Lian-hoa cepat.
"Seorang gadis yang
cantik dan misterius" tutur Kim-yan-cu dengan pelahan. "Konon setelah
melihat dia, seketika Ji-kongcu ketakutan seperti melihat setan dan segera
melarikan diri"
"Siapa pula nona cantik
itu? Mengapa Ji-kongcu sedemikian takut padanya?"
"Rahasia ini kukira
selain Ji Pwe-giok sendiri tiada orang lain lagi yang tahu."
"Ji Pwe-giok, Ji
Pwe-giok!....." Ang Lian-hoa menarik napas panjang sambil menengadah.
"Nama Ji Pwe-giok mengapa selalu menyangkut rahasia sebanyak ini?"
"Mengapa tidak.... tidak
kau tanyakan padaku tentang rahasia apa di balik hubungan nona Lim dengan
Ji-kongcu itu? Bukan mustahil akulah orang yang tahu rahasia mereka."
Ang Lian-hoa tersenyum pedih,
ucapnya: "Makin banyak rahasia yang diketahui seseorang, semakin menderita
pula dia. Sudah cukup banyak rahasia yang kuketahui, lebih baik aku tidak
menambah penderitaan lagi".
ooo oooo
Meski Kim-yan-cu dapat
berbicara panjang lebar, tapi lukanya tidak ringan, untung obat luka Kay-pang
sangat mujarab, sekalipun begitu dia tetap sukar melangkah, masih belum boleh
bergerak.
Ang-lian-hoa menyarankan agar
dia merawat lukanya, setelah sembuh baru berangkat, tapi Kim-yan-cu tidak sabar
lagi, kalau disuruh berbaring di tempat tidur betapapun dia tidak betah.
Terpaksa Ang-lian-hoa menyuruh
Bwe Su-bong mengantar nona itu, bahkan melanggar kebiasaan, Kim-yan-cu
disewakan sebuah kereta. Maklumlah, kaum pengemis terkenal sebagai kaki besi,
selamanya berjalan dan tidak pernah menggunakan kendaraan.
Kebetulan Bwe-su-bong juga
seorang yang tidak sabaran, tanpa didesak Kim-yan-cu ia terus membedal kereta
kudanya dan sekaligus sampai di Li toh-tin. Setiba di kota kecil ini bahkan
masih tengah malam hari kedua.
Bwe-su-bong menghentikan
kereta, ia berpaling dan bertanya: "Apakah adik perempuanmu menunggu nona
di suatu tempat di kota ini?"
"Ya, dahulu pernah
kutinggal semalam di kota ini, tempatku bermalam itu bernama Li-keh-can, di
hotel itulah kusuruh dia menunggu kedatanganku" tutur Kim-yan-cu.
"Baru pertama kali ku
datang ke kota ini, entah Li-keh-can itu terletak di jalan mana?"
Kim-yan-cu melongok keluar dan
memberi tahu dengan tertawa: "Di kota ini hanya ada sebuah jalan raya ini,
hotel itu terletak di....."
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba di dalam kegelapan di sebelah timur sana bergema suara raungan yang
seram, mirip suara raungan macan tutul sebelum keluar rimba.
Menyusul di sebelah selatan
juga bergema dua kali suara aneh, suara seperti tambur dipukul, di sebelah
barat juga berkumandang suara auman seperti bende berbunyi, lalu dari sebelah
utara juga bergema suara siulan nyaring.
Di tengah malam gelap mendadak
timbul suara aneh itu, sampai Kim-yan-cu juga gemetar dan berkerut kening,
katanya: "Suara apakah itu, jelas seperti suara tambur, bende dan
sebagainya, tapi rasanya seperti raungan binatang buas"
Air muka Bwe Su-bong berubah
hebat, ucapnya dengan suara tertahan: "Lekas sembunyi di dalam kereta dan
jangan bersuara". Segera ia melayang turun ke bawah kereta.
Kuda penarik kereta juga
ketakutan oleh suara seram itu hingga kaki lemas dan tak sanggup berjalan,
mulut kuda tampak berbuih, sekuatnya Bwe Su-bong menyeretnya ke bawah pohon.
Pada saat itulah terdengar
suara kain baju berkibar tertiup angin, beberapa sosok bayangan melayang tiba
secepat terbang, dalam kegelapan tidak jelas kelihatan wajah mereka. Tapi jelas
semuanya memakai baju ketat dengan gerakan lincah dan gesit.
Meski diliputi perasaan heran,
tapi demi mendengar suara misterius tadi serta melihat kuda yang lemas
ketakutan, diam-diam tangan Kim-yan-cu berkeringat dingin, ia mendekap di dalam
kereta dan tidak berani bersuara.
Bwe Su-bong berlagak memegang
tali kendali dan berdiri di bawah bayang-bayang pohon tanpa bergerak
seolah-olah kuatir dilihat oleh kawanan Ya-heng-ji itu, tapi orang-orang itu
toh melihatnya juga.
Salah seorang di antaranya
tampak merandek dan mengomel: "Kereta ini sangat menyolok mata, hancurkan
saja!"
"Sudahlah, bos telah
mendesak, untuk apa kita cari gara-gara" kata seorang lagi.
Orang pertama tadi menjengek:
"Jika begitu, untunglah kakek ini."
Baru habis ucapannya beberapa
orang itu sudah melayang lewat beberapa tombak jauhnya.
Kim-yan-cu melongok keluar
lagi dan bertanya kepada Bwe Su-bong: "Malam ini mengapa Cianpwe menjadi
takut perkara?"
Bwe Su-bong menghela napas,
ucapnya sambil menyengir: "Mereka tidak mengganggu kita, buat apa kita
mengganggu mereka?"
"Apakah orang-orang ini
sukar direcoki?" tanya Kim-yan-cu.
"Masa nona tidak tahu
siapakah mereka?"
"Memangnya siapa?"
"Apakah nona tidak pernah
mendengar "Su-ok-siu" (empat binatang buas) yang malang melintang di
wilayah propinsi Sujwan, Kamsiok, Siamsay dan Ohpak?"
"Jadi mereka itulah
Su-ok-siu?"
"Ya, lengkap empat,
semuanya datang"
"Konon Su-ok-siu ini
meski sama terkenalnya, tapi masing-masing berkuasa di wilayahnya
sendiri-sendiri, biasanya jarang berhubungan satu sama lain, mengapa sekarang
mereka berkumpul di sini?"
"Ya, hal ini memang rada
mengherankan, kalau tiada transaksi besar, tidak nanti Su-ok-siu turun tangan
sekaligus bersama, tapi di kota kecil seperti Li-toh-tin ini masa ada transaksi
besar?"
Tiba-tiba air muka Kim-yan-cu
berubah, ia pandang jauh ke depan sana, terlihat jalan raya sepi nyenyak,
kawanan Ya-heng-jin tadi sudah menghilang. Ia menghela napas, katanya:
"Apakah kau memang melihat kemana perginya mereka?"
"Seperti menghilang di
gedung ujung jalan sana" jawab Bwe Su-bong.
"Hah, celaka, disitulah
letak Li-keh-can," seru Kim-yan-cu.
Berubah juga air muka Bwe
Su-bong, tanyanya: "Apakah adik perempuanmu membawa sesuatu benda mestika
yang berharga?"
"Bukan saja membawa benda
mestika, bahkan tidak sedikit jumlahnya," jawab Kim-yan-cu, sembari bicara
ia terus berusaha melompat keluar.
Tapi Bwe Su-bong keburu
mencegahnya, desisnya: "Jangan bergerak, nona, lukamu belum lagi
sembuh."
Kim yan-cu menjadi gelisah,
katanya: "Su-ok-siu ini sedemikian terkenal, tentu ilmu silat merekapun
tidak lemah, adik perempuanku cuma sendirian dan pasti bukan tandingan mereka.
Apakah aku harus berdiam diri menyaksikan dia dicelakai orang?"
Bwe Su-bong tampak prihatin,
katanya pelahan: "Tapi biarpun sekarang nona ikut turun tangan juga tiada
gunanya, malahan cuma mengantar nyawa belaka."
"Habis.... habis
bagaimana baiknya?" Kim yan-cu menjadi kelabakan.
"Jangan kuatir nona"
ujar Bwe Su-bong dengan tertawa, "asalkan ku hadir di sini, tidak boleh mereka
berbuat sesukanya"
Meski begitu ucapannya,
sesungguhnya iapun tidak yakin akan jaminannya itu.
"Kalau begitu lekaslah
kau mencari akal, kalau terlambat mungkin urusan bisa runyam" pinta
Kim-yan-cu.
"Cara turun tangan mereka
takkan terlalu cepat" tutur Bwe Su-bong setelah berpikir sejenak.
"Sebelum turun tangan biasanya Su-ok-siu selalu berhati-hati, makanya
selama ini mereka jarang gagal"
Sembari bicara ia terus
mengamat-amati sekeliling sana, dilihatnya di belakang hotel Li-keh-can itu
terdapat sebuah rumah kecil berloteng sehingga lebih tinggi daripada atap rumah
di sekitarnya.
Tiba-tiba Bwe Su-bong tertawa
dan berkata: "Aku sudah kakek-kakek hampir 70 tahun, kalau nona tidak
merasa tubuhku kotor, marilah ku gendong saja, kita sembunyi dulu di atas
loteng sana untuk mengawasi gerak-gerik mereka"
"Ya, selain jalan ini
kukira tak berdaya lagi" ujar Kim-yan-cu dengan gegetun.
Begitulah Bwe-Su-bong lantas
menggendong Kim-yan-cu dan memutar ke samping rumah kecil berloteng itu, ia
mengeluarkan seutas tali panjang, digantolkan pada emper loteng, lalu merambat
ke atas dengan hati-hati.
Meski gelisah dan wataknya
tidak sabaran, namun jelek-jelek dia tokoh Kangouw yang sudah ulung, dengan
sendirinya dia bisa lebih hati-hati dari pada biasanya, apalagi dia menggendong
seorang, gerak-geriknya kurang leluasa, bila melompat tentu menimbulkan suara,
maka dia tidak berani main loncat ke atas loteng.
Dari atas loteng itu dapat
memandang jelas, keadaan sekitarnya, terutama Li-keh-can di depannya, kecuali
kedua lampu kerudung yang tergantung di depan pintu hotel itu serta samar-samar
ada cahaya lampu di kamar pengurus, suasana sekelilingnya gelap gulita dan
sunyi senyap, hanya keresekan daun pohon yang terkadang tertiup angin memecah
kesunyian malam yang seram.
Di bawah pohon, di ujung
tembok, di balik atap rumah, setiap tempat yang gelap lamat-lamat ada bayangan
orang, namun tidak terdengar sesuatu suara yang mencurigakan.
Kim-yan-cu menjadi kuatir,
gumamnya dengan suara tertahan: "Mengapa tidur Ji-moay seperti babi
mampus, kawanan bandit sudah di depan pintu dan dia belum lagi tahu."
Di tempat gelap terdengar ada
orang menjentik sebagai tanda, empat lelaki serentak melolos golok dan merunduk
ke rumah di depan sana. Dua orang di antaranya menuju ke pintu dan dua lagi
mendekati jendela. Tapi belum lagi dekat, mendadak di dalam rumah cahaya lampu
terang benderang.
Ke empat orang itu terkejut
dan berhenti dengan golok terhunus dan siap tempur. Tak tersangka di dalam
rumah lantas berkumandang suara tertawa orang perempuan yang genit, berbareng
itu pintu lantas terbuka.
Tertampaklah seorang nona
jelita dengan membawa sebuah lampu minyak muncul di ambang pintu. Dia memakai
baju tidur warna ungu tipis, perawakannya yang ramping dan garis tubuhnya yang
samar-samar kelihatan di bawah cahaya lampu.
Terkejut juga Bwe Su-bong
memandangnya dari jauh, pikirnya: "Adik perempuan Kim-yan-cu mengapa
secantik ini?"
Ke empat lelaki tadipun
terkesima berhadapan dengan perempuan cantik itu sampai bernapas saja setengah
ditahan, bahkan orang-orang yang masih bersembunyi di tempat gelap juga sama
melotot.
Perempuan cantik itu memang
betul Gin-hoa-nio adanya, dia mengerling genit, katanya dengan tersenyum
menggiurkan: "Kedatangan para Toako ini apakah hendak mencari
diriku?"
"Iya...." mestinya
ke empat lelaki itu hendak mengucapkan kata-kata yang bengis, tapi aneh, mulut
terasa kering dan jantung berdetak keras, bukan saja tidak dapat memperlihatkan
sikap buas, bahkan kata-kata kasar juga sukar terucapkan.
"Jika kalian ingin mencari
diriku, hayolah silahkan masuk dan minum dulu, mengapa berdiri saja di luar,
kalau masuk angin kan bisa berabe....." demikian ucap Gin-hoa-nio dengan
suara lembut sambil menggeliatkan pinggangnya yang ramping, senyumnya juga
tambah genit.
Dia seperti nyonya rumah yang
simpatik terhadap kunjungan tamunya dari jauh, seperti sama sekali tidak tahu
kedatangan orang-orang ini bermaksud membunuhnya.
Ke empat lelaki tadi menjadi
melenggong bingung. Sesungguhnya mereka sudah cukup berpengalaman, tapi
terhadap nona jelita tanpa senjata ini mereka tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Mendadak salah seorang di
antara ke empat lelaki itu berkata dengan tertawa aneh: "Nyonya rumah
secantik ini mengundang kita minum, mana boleh kita kecewakan kehendaknya.
Biarlah aku "Oh-pa" (harimau tutul hitam) Cin Piao mencicipi dulu
suguhannya"
Di tengah suara tertawa seram,
seorang di antaranya yang berbaju hitam, berbadan tinggi dengan gerak-gerik
gesit segera melangkah maju. Langkahnya kelihatan sangat mantap, namun tidak
terdengar suara sedikitpun.
Dipandang dari jauh, orang itu
seperti sangat gagah, tapi ketika mukanya tersorot cahaya lampu, seketika orang
terperanjat, orang tidur saja mungkin akan terjaga bangun.
Ternyata muka orang gagah itu
hitam pekat, tulang pipinya menonjol, mukanya penuh codet, bekas sayatan pisau,
ketika tertawa mulutnya yang lebar tampak merah menganga seakan-akan sekali
caplok lawan bisa diganyangnya mentah-mentah.
Gin-hoa-nio memandangnya tanpa
gentar, ia malah tersenyum genit dan berkata: "Wah, pahlawan gagah perkasa
begini mana boleh minum teh saja, syukur di sini tersedia beberapa botol arak
simpanan, pahlawan dengan arak, begini barulah setimpal."
Cin Piao si macan tutul hitam
terbahak-bahak.
Belum lagi dia bicara, seorang
lagi sudah berteriak: "Keparat, perempuan ini memang menarik, betapapun
aku juga mau minum satu cawan"
Di tengah gelak tertawa masuk
lagi tiga orang. Orang pertama tinggi besar dan gemuk, mukanya penuh daging
lebih. Orang kedua tinggi kurus, mukanya pucat seperti mayat, hidungnya tinggal
separuh, telinganya juga hilang satu.
Orang ketiga tampaknya tidak
begitu buruk rupa, tapi jalannya yang abnormal, terincat-incut, kedua tangannya
juga terus gemetar, orang bisa muak melihat dia.
Kim-yan-cu saja hampir tumpah
demi melihatnya dari jauh.
Bentuk ketiga orang itu dari
kepala sampai ke kaki hakekatnya sukar dikatakan mirip manusia. Namun
Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan rasa kurang senang, ia tetap tertawa manis
menyambut kedatangan ketiga orang itu, bahkan ia memberikan lirikan yang
menggiurkan kepada setiap orangnya sehingga membikin setiap orang itu berpikir
seolah-olah lirikan si cantik hanya ditujukan kepadanya saja.
Lelaki baju merah yang tinggi
besar dengan muka penuh daging lebih itu terbahak-bahak, teriaknya: "Busyet,
sudah lama ku malang melintang kian kemari, tapi belum pernah aku
"Ang-hou" (harimau merah) Tio Kang melihat perempuan sexy begini,
sungguh ingin sekali ku caplok kau mentah-mentah"
Orang berbaju putih yang
berjalan paling belakang terkekeh-kekeh, katanya: "Nona jangan kaget,
Hou-loji (si harimau kedua) memang suka omong kasar, tapi hatinya sangat
baik....." sembari bicara, tubuhnya terus menggigil tiada hentinya.
Ang-hou Tio Kang berkata
dengan tertawa: "Betul, mukaku sih tidak setampan Pek-coa-longkun (si
bagus ular putih), tapi hatiku lebih baik dari pada dia, bila kau digauli
sekali olehnya, sedikitnya tiga hari kau tak bisa bangun...."
Begitulah sambil
bersenda-gurau beberapa orang itu terus melangkah masuk kamar seperti masuk ke
rumah sendiri, hakekatnya tidak gentar kalau-kalau si cantik menggunakan akal
licik terhadap mereka.
Hanya si baju kelabu yang
hidungnya tinggal separuh itu tetap bersikap acuh tak acuh, memandang sekejap
saja tidak terhadap Gin-hoa-nio, seolah-olah sama sekali tidak berminat
terhadap perempuan.
Tapi ketika dia lalu di
samping Gin-hoa-nio, sekonyong-konyong ia remas pantat Gin-hoa-nio sehingga
nona itu menjerit kesakitan. Tapi segera Gin-hoa-nio tertawa genit dan
membisikinya: "Tadinya kukira kau ini lelaki suci bersih, tak tahunya juga
sama bangornya. Anjing yang suka menggigit orang biasanya memang tidak
menggonggong"
Tanpa menoleh, si baju kelabu
berucap dengan ketus, "Serigala yang makan manusia biasanya juga tidak
menyalak."
"0ooo, kau serigala
?" tanya Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Ya, serigala
kelabu." jawab orang itu.
Sesudah ke empat orang itu
berada di dalam kamar, si Harimau merah Tio Kang lantas menjatuhkan diri di
tempat tidur, ia tarik selimut dan diendusnya lalu tertawa dan berkata,
"Haha, harum amat tubuh perempuan ini, sampai selimutnya juga ketularan
wangi, sungguh aku tidak tahan, ingin ku tindih mampus dia."
"Wah tampaknya Loji sudah
lupa tujuan kedatangan kita ini !" omel si baju kelabu.
Gin-hoa-nio tertawa, katanya,
"Apapun maksud tujuan kedatangan kalian ini, pokoknya minum arak saja
dahulu, kan tidak menjadi soal bukan ?" Segera ia menuang empat cawan arak
dan diaturkan kepada tetamunya.
Pek-coa-longkun
terkekeh-kekeh, katanya, "Ai, tangan nona putih mulus begini, entah arak
yang kau suguhkan ini beracun atau tidak?"
Ang-hoa melompat bangun, ia
tarik tangan Gin-hoa-nio dan di rabanya, katanya dengan tertawa, "Arak
suguhan dari tangan putih halus begini, sekalipun beracun juga akan
kuminum."
Benar juga, tanpa pikir ia
angkat salah satu cawan arak itu terus ditenggaknya hingga habis.
Ob-pah melototi sang kawan, ia
cukup licin, ia tunggu sebentar lagi dan melihat Ang-huo sama sekali tidak ada
tanda-tanda keracunan, bahkan si harimau merah itu bertambah gembira. Maka
tertawalah Oh-pah alias Macan Tutul hitam katanya, "Masa ada orang main
racun di depan kita ? ..... Hehe, kukira nona ini bukan orang bodoh!"
Sambil bicara iapun angkat satu cawan dan di minum habis.
Pada saat itulah, Bwe Su-bong
yang mengintai di rumah seberang sana sedang tanya Kim-yan-cu dengan suara
tertahan, "Kau kira arak itu beracun atau tidak ?"
"Mungkin tidak,"
jawab Kim-yan-cu, "Ai, seharusnya di berinya racun."
"Jika demikian pikiran
nona, kukira kau keliru besar," ujar Bwe Su-bong dengan tersenyum.
"Menaruh racun di dalam arak terlalu mudah di ketahui lawan, tentu saja
sangat berbahaya, jelas adik perempuanmu tidak mau bertindak sebodoh itu."
"Memangnya dia mempunyai
cara lain?" ujar Kim-yan-cu dengan gregetan.
"Menurut pandanganku,
tindakan adikmu mungkin jauh lebih pintar dari pada nona sendiri dan jauh lebih
tinggi daripadaku." kata Bwe Su-bong. "Tampaknya urusan ini tidak
perlu lagi kita ikut campur."
Dalam pada itu terlihat
Gin-hoa-nio sedang menyuguhkan arak ke depan Pek-coa-long-kun, katanya,
"Apakah kongcu tidak sudi minum arak suguhanku?"
Pek-coa-long-kun tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, "Tapi melulu minum arak saja kan kurang
menyenangkan, nona harus memberikan barang pengiring arak sekalian."
Gin-hoa-nio melirik genit,
tanyanya, "Kongcu menghendaki barang pengiring arak apa ?"
"Sepanjang jalan kami
mengikuti nona ke sini apa tujuan kami masakah nona tidak tahu ?" kata
Pek-coa -longkun dengan tertawa misterius.
"O, barang yang tidak
manis juga tidak asin begitu masa dapat digunakan pengiring arak ?" ucap Gin-hoa-nio
dengan menggigit bibir.
"Meski barang-barang itu
tidak manis, juga tidak asin tapi, asalkan ku lihatnya sekejap, sedikitnya ku
sanggup minum tiga cawan arak," ujar Pek-coa-long-kun. "Tapi entah
nona sudi memperlihatkan tidak kepada kami barang tersebut ?"
"Jika Kongcu menghendaki
demikian, mana aku berani menolak," kata GIn-hoa-nio dengan tertawa genit,
Mendadak dia menyingkap kain sprei tempat tidur yang terletak di pojok kamar
sana.
Seketika pandangan semua orang
terasa silau, sinar-sinar lampu seolah-olah menjadi suram oleh cahaya
gemerlapnya ratna mutu manikam. Seketika ke empat orang itu mendelik, tubuh
Pek-coa-longkun menggigil semakin keras.
Segera Ang-hou melompat maju,
diraupnya segenggam batu permata itu, teriaknya dengan gembira, "Sungguh
tak kusangka begini gemuk kambing kita ini, setelah transaksi ini, mungkin
selanjutnya kita tidak perlu susah payah lagi dan dapat hidup tenteram sampai
tua."
Pek-coa-longkun
terkekeh-kekeh, katanya, "Cuma sayang, barang-barang ini kan milik nona jelita
ini, apakah orang sudi menyerahkannya kepada kita kan masih menjadi soal."
"Kita angkut saja dan
habis perkara, perduli dia mau memberi atau tidak?! teriak Ang-hou.
"Kita kan orang sopan,
segala sesuatu harus permisi dulu kepada yang empunya," ujar
Pek-coa-longkun dengan terkekeh-kekeh.
"Baik, biar kutanya dia,
" teriak Ang-hou. "Eh, mestika ratu, boleh tidak ? Hahahaha, kita
bertanya padanya boleh atau tidak, Hahaha..."
Makin keras tertawanya dan
makin geli rasanya, sampai-sampai ia memegangi perut dan menungging.
Gin hoa nio tidak memberi
reaksi-apa-apa, dengan tersenyum ia berkata: "Sebelumnya hamba sudah tahu
kalian akan kemari, maka sudah kusiapkan semua barang yang kalian inginkan
ini."
"Hahaha, memang sudah
kukatakan kau ini perempuan cerdik," seru Ang hou sambil bergelak.
"Bukan cuma batu permata
ini saja akan kupersembahkan kepada kalian, bahkan masih ada barang berharga
lain juga akan kuserahkan kepadamu, entah kalian sudi menerima atau
tidak?"
Ang-hou mendelik, teriaknya:
"Masih ada barang berharga lain lagi? Di mana? Lekas perlihatkan
kepadaku!"
Gin hoa nio mengerling genit,
ucapnya dengan tersenyum: "Barang itu sudah berada di sini. Coba kalian
pikir, benda paling berharga apa yang terdapat pada diriku? Masa kalian tidak
dapat menerkanya?"
Ang-hou garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal dan berteriak-teriak: "Tak dapat kuterka, aku tidak tahu,
benda apa maksudmu?"
"Andaikan kalian tak
dapat menerkanya, biarlah ku perlihatkan saja!" ujar Gin hoa nio dengan
lirikan mautnya.
Perlahan ia menarik baju
tidurnya yang tipis itu sehingga merosot ke lantai, maka tertampaklah dadanya
yang menegak hanya tertutup oleh selapis kutang yang tipis remang-remang,
tubuhnya yang montok dan pahanya yang mulus dengan warna kulit yang putih
bersih.....
Biji mata Su ok siu melotot
seperti mata ikan emas yang akan melompat keluar dari rongga matanya, napas
mereka pun makin kasar dan akhirnya megap-megap, kalau semula ada tiga bagian
mereka masih menyerupai manusia, tapi sekarang hampir seluruhnya berubah menjadi
binatang yang buas dan kelaparan.
Biji leher Ang hou tampak naik
turun, berulang kali ia menelan air liur, gumamnya kemudian: "O, mestika
ratuku, sungguh ini benar-benar mestika ratu nomor satu di dunia ini, jika ada
anak kura-kura yang bilang ini bukan mestika ratu, maka matanya pasti buta dan
akan kuhancurkan mulutnya."
Pek coa longkun juga tambah
gemetar sehingga pinggangnya hampir patah, gumamnya dengan tergagap-gagap:
"Nona.... nona benar-benar .... benar-benar hendak memberikan barangmu
yang berharga ini kepada kami?"
Gin hoa nio bersuara aleman,
ucapnya sambil tersenyum manis. "Pemuda mana yang tidak birahi, gadis mana
yang tidak gairah. Perempuan kalau sudah dewasa yang dikehendakinya bukan lagi
batu permata melainkan lelaki."
Tangannya yang menutupi dada
itu perlahan-lahan mulai merosot ke bawah, lalu ucapnya pula dengan suara yang
menggetar sukma: "Tentunya para Kongcu dapat melihat sendiri, aku tidak
lagi anak kecil bukan?"
Ang hou tertawa dengan
setengah menjerit, teriaknya: "Bilamana ada anak kura-kura yang bilang kau
masih anak kecil, seketika akan ku masukkan lagi dia ke perut biangnya."
Mendadak Oh pah Cin Piau
berkata dengan bengis: "Perempuan cantik dan genit macam kau ini kalau
ingin cari lelaki, sekaligus satu keranjang juga dapat kau dapatkan, sebab apa
kau sengaja menghendaki kami? Sesungguhnya akal bulus apa yang telah kau
atur?"
Gin hoa nio tertawa ngikik,
katanya: "Meski kalian berempat tidak terhitung cakap, tapi kalian adalah
lelaki sejati, jantan cemerlang, hanya anak perempuan yang masih hijau saja
yang suka kepada lelaki sebangsa enak dipandang tak berguna dipakai. Aku
justeru....." ia lantas menunduk dan malu-malu kucing seperti gadis
pingitan, lalu sambungnya dengan tertawa genit: "Yang kusukai adalah lelaki
jantan, jantannya lelaki."
"Plok", Ang hou
berkeplok sambil berteriak: "Keparat, ucapanmu memang tepat, nyata
pandanganmu memang tajam, anak muda yang bermuka putih seperti pupuran itu mana
becus bekerja? Hahaha, cukup kau jepit dengan pahamu saja mungkin seketika
keluar kuning telurnya."
"Tapi.... tapi hamba pun
mempunyai sesuatu kesukaran," tiba-tiba Gin hoa nio menghela napas.
Ang hou jadi mendelik,
tanyanya cepat: "Apa kesukaranmu?"
Gin hoa nio tidak lantas
menjawab, ia mengerling mesra sekeliling kepada keempat orang itu, lalu berkata
dengan menyesal: "Soalnya begini, meski batu permata ini dapat dibagi
menjadi empat, tapi diriku hanya seorang saja...."
"Di antara kami berempat
hanya aku saja yang belum berbini, sudah tentu kau mestika ratu ini adalah
milikku," teriak Ang hou.
Dengan menunduk Gin hoa nio
berkata: "Tio-kongcu gagah perkasa, sudah tentu terhitung lelaki tulen,
bilamana kudapatkan suami seperti dirimu, apa pula yang kuharapkan lagi, hanya
saja...." sembari bicara, matanya diam-diam melirik Cin Piau, si macan
tutul.
Benar saja, belum habis
ucapannya, serentak Cin Piau berteriak: "Tio-loji, barang lain boleh
kuberikan padamu, tapi mestika ratu jelita ini adalah milikku Cin-lotoa."
"Lotoa (si tua)? Hehe,
jika aku tidak mengalah, bisakah kau menjadi Lotoa?" jengek Tio Kang alias
Ang hou atau di harimau merah.
Cin Piau menjadi gusar,
bentaknya: "Jadi kau tidak terima?"
"Terima? Berdasarkan apa
aku mesti mengalah padamu?"
Gemerdep sinar mata Gin hoa
nio, jelas dalam hati sangat senang, tapi di mulut ia berkata: "E-eh,
janganlah kalian bertengkar, apabila kalian bersaudara bertengkar lantaran
diriku, wah, entah bagaimana hamba harus menebus dosaku ini."
Pek coa longkun
terkekeh-kekeh, katanya: "Ucapan nona ini memang tidak salah, jika kita
bersaudara bertengkar mengenai seorang perempuan, bukankah akan dibuat buah
tertawaan orang? Menurut pendapatku, mestika ratu ini akan menjadi milik siapa
boleh ditanyakan langsung kepada dia sendiri."
Si ular putih ini menganggap
dirinya paling cakap dan menarik di antara mereka berempat, jika sang
"mestika ratu" disuruh memilih, jelas dirinya yang akan terpilih.
Tapi harimau merah, serigala
kelabu dan macan tutul hitam juga mengira dirinya masing-masing yang dipenujui
Gin hoa nio, kalau tidak masakah lirikan si cantik yang membetot suka itu
selalu tertuju ke arahnya?
Baru habis ucapan si ular
putih, serentak ketiga rekannya menyatakan setuju: "Ya cara ini memang
paling bagus dan adil!"
Ang hou lantas menyambung pula
dengan tertawa: "Mestika sayang, jadilah kau Ong Po sun dan Aku Sih Peng
kui (Nama-nama peran dalam cerita roman kuno), pilihlah aku!?"
Gin hoa nio menunduk sambil
menggigit bibir, seperti malu dan juga seperti serba salah. Kerlingannya yang
mesra justru mengusap kian kemari secara bergilir di antara ke empat orang itu.
Oh pah Cin Piau bertepuk-tepuk
dada dan berkata: "Siapa yang kau sukai, katakan saja terus terang, tidak
perlu takut!"
"Betul, jangan
takut," tukas Ang hou. "Bila aku yang kau pilih, katakan saja, kalau
ada anak kura-kura yang berani mengganggu seujung rambutmu, lihat saja kalau
tidak kugetok kepalanya hingga gepeng."
Sembari bicara sebelah
tangannya bertolak pinggang dan tangan yang lain memperlihatkan ototnya yang
kuat.
Begitulah ke empat orang itu
sama yakin pasti dirinya yang akan dipilih Gin hoa nio. Sungguh luar biasa.
Memang tidak mudah bagi seorang perempuan untuk membuat setiap lelaki sama
merasa mabuk baginya, dalam hal ini Gin hoa nio harus diberi piala.
Menyaksikan kejadian itu dari
kejauhan, berulang-ulang Bwe Su-bong juga mengurut dada, sungguh mimpi pun dia
tidak menyangka Kim yan cu mempunyai adik perempuan sehebat itu, diam-diam ia
pun membatin: "Untung usiaku sudah hampir 70, kalau tidak, bisa jadi
akupun akan terjun ke sana dan ikut ambil bagian....."
ooo 000 ooo
Dalam pada itu, Gin hoa nio
tampaknya masih ragu-ragu, biji matanya berputar-putar dan tetap tak dapat
mengambil keputusan, lama sekali barulah ia menghela napas dan berkata:
"Kalian semuanya adalah lelaki sejati dan ksatria terpuji, sungguh aku
menjadi bingung, entah siapa yang harus ku pilih. Setelah kupikir pergi-datang,
kukira hanya ada satu cara untuk menentukannya."
Cara bagaimana?" tanya ke
empat orang itu serentak.
"Begini," tutur Gin
hoa nio dengan senyum genit dan lirikan mautnya, "kalian kan tahu,
perempuan adalah kaum lemah, setiap perempuan tentu berharap akan mendapatkan
suami yang berilmu silat tinggi dan bertenaga kuat......"
Air muka si serigala kelabu
yang licin dan licik itu seketika berubah, tapi Gin hoa nio tidak memberi
peluang baginya untuk bicara, cepat ia menyambung: "Tapi kalau kalian
berempat benar-benar saling berhantam sehingga ada yang cedera, tentu hatiku
akan sedih."
Mendengar ini, air muka si
serigala kelabu berubah menjadi tenang kembali.
Sebaliknya si harimau merah
berkerut kening dan berkata: "Tapi kalau tidak saling gebrak, cara
bagaimana membedakan Kungfu siapa yang lebih unggul? Keparat, aku menjadi
bingung apa kehendakmu sesungguhnya."
Gin hoa nio tertawa manis,
ucapnya pula: "Maka hamba cuma ingin kalian memperlihatkan sejurus Kungfu
masing-masing saja, aku yang melihat dan aku yang menilai, sebaliknya takkan
merusak persaudaraan kalian sekaligus juga ketahuan Kungfu siapa yang lebih
unggul."
"Aha, bagus," teriak
Ang hou dengan tertawa. "Tak terduga, kepalamu yang kecil ini berisi akal
sebanyak ini."
Pada saat itulah Kim-yan-cu
mengintip di seberang sana berkata pula kepada Bwe Su-bong:
"Entah akal apa yang
sedang diaturnya sekarang?"
"Sudah tentu akal untuk
memancing agar ke empat orang itu saling membunuh sendiri." ujar Bwe
Su-bong.
"Jika demikian, mengapa
dia tidak berdaya agar mereka lekas saling bergebrak?" kata Kim-yan-cu.
"Di sinilah letak
kecerdikan adikmu" ujar Bwe-Su-bong dengan tertawa. "Serigala kelabu
itu sudah mencurigai adikmu sedang main gila, jika saat ini juga adikmu
menyuruh mereka saling baku hantam, mungkin serigala kelabu itu akan segera
berontak."
"Tapi kalau ke empat
orang itu tidak saling gebrak, cara bagaimana pula bisa terjadi bunuh
membunuh?"
"Agaknya adikmu sudah tahu,
meski ke empat orang itu bersaudara, tapi satu sama lain tidak mau mengalah,
tiada satupun mengakui kungfunya di bawah yang lain, maka akhirnya mereka pasti
akan saling hantam sendiri. Biarkan mereka baku hantam sendiri kan jauh lebih
baik daripada adikmu yang menyuruhnya?"
Kim-yam-cu menghela napas dan
tidak bicara lagi.
Dalam pada itu terlihat si
harimau merah sedang mengulet badan dengan kemalas-malasan sehingga seluruh
ruas tulang badannya sama berbunyi keriat-keriut, habis itu mendadak ia meraung,
sebelah tangannya terus menghantam sebuah bangku batu bulat disampingnya.
Bangku itu berbentuk bulat
tengahnya kosong, tapi biarpun begitu, umpama orang biasa memukulnya dengan
palu besar juga tidak mungkin dapat menghancurkannya dengan sekali hantam.
Sekarang si harimau merah sekali hantam telah dapat membuat bangku batu itu
menjadi berkeping-keping.
Gin-hoa-nio berseru dengan
tersenyum genit:
"Wah, hebat sekali kungfu
Tio-kongcu, sungguh mimpipun tak terpikir olehku tenaga seorang bisa begini
besar dengan kepalan yang begitu keras"
Ang-hoa tertawa latah sambil
melirik hina kesana dan ke sini, teriaknya:
Setelah kuperlihatkan kungfuku
ini, kukira orang lain tidak perlu coba-coba lagi"
"Ya, kungfumu ini memang
sukar dibandingi siapapun," ujar Gin-hoa-nio dengan senyuman menggiurkan,
namun matanya senantiasa melirik ke arah si macan tutul.
Cin-piau, si macan tutul hitam
mendengus:
"Hm, tangan To-loji
memang kuat untuk membelah kayu, tapi kalau digunakan untuk bertempur jelas
tiada gunanya.
Muka Ang-hou menjadi merah,
teriaknya gemas: "Bedebah, tiada gunanya katamu? Memangnya kau lebih kuat
daripadaku?"
Oh-pah atau si macan tutul
hitam mendengus, pelahan ia berduduk di bangku batu yang lain, ia duduk dengan
diam, sampai sekian lama tetap tidak bergerak.
"Hehe, kungfu macam apa
yang kau perlihatkan? kungfu pantat barangkali? ejek si harimau merah dengan
tertawa.
Oh-pah tetap berduduk tanpa
bergerak, jengeknya kemudian: "Seumpama otakmu bebal, apakah matamu juga
buta?"
Baru sekarang Ang-hoa mengamati-amati
rekannya dan seketika ia tidak sanggup tertawa lagi. Tiba-tiba dilihatnya
bangku batu yang diduduki Oh-pah itu makin lama makin pendek, bangku batu yang
berat itu ada sebagian ambles ke dalam tanah.
Nyata, meski kelihatannya
Oh-pah hanya berduduk tanpa bergerak, tapi sesungguhnya dia sudah
memperlihatkan Lwekangnya yang hebat.
Dengan tertawa genit
Gi-hoa-nio berseru: "hih, Cin-lotoa memang tidak malu sebagai orang
pertama, jika bangku ini berujung lancip masih dapat dimengerti, tapi bangku
ini berujung rata, sekarang ada setengahnya tertanam ke dalam tanah, sungguh
hebat tenaga dalamnya betul tidak Kongcu-kongcu yang lain?"
Pek-coa-longkun tertawa
terkekeh kekeh, ucapnya: "Betul, betul! beberapa bulan tidak bertemu, tak
tersangka kungfu Cin-lotoa sudah maju sepesat ini."
Oh-pah tertawa bangga,
katanya: "Jika kungfuku tiada kemajuan, kan bisa di..." mendadak ia
berhenti tertawa, air mukanya juga berubah pucat.
Rupanya entah sejak kapan si
serigala kelabu telah merunduk ke belakang Oh-pah dan menyarangkan belatinya di
punggung rekannya.
Keringat dingin tampak
menghiasi dahi Oh-pah dengan suara gemetar ia berkata: "Losam, ke... keji
amat kau!"
Wajah si serigala tiada
memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya dengan dingin:
"Aku cuma ingin memberitahukan
padamu bahwa Kungfu Tio-loji hanya cocok untuk dipakai memotong kayu,
sebaliknya kungfumu juga belum tentu ada gunanya.
Manusia adalah makhluk hidup,
mungkinkah dia akan kau duduki sesukamu seperti bangku yang kau tanamkan ke
dalam tanah ini?"
Dengan pandangan yang licik ia
melototi Gin-hoa-nio dan berkata pula dengan menyeringai: "Kungfu yang
paling berguna di dunia ini adalah kungfu yang dapat digunakan membunuh orang
betul tidak nona?"
Oh-pah meraung kalap, segera
ia membalik tubuh dan bermaksud mencekik leher si serigala. Namun si serigala
sempat melompat mundur, belati juga dicabutnya sehingga darah lantas mancur
dari tubuh Oh-pah, belum lagi macam tutul hitam itu berdiri seketika ia jatuh
terguling ke lantai dan tidak mampu bangun pula.
Ang-hou meraung gusar:
"Sekalipun Cin-lotoa bukan orang baik, jelek-jelek dia kan saudara kita,
mengapa kau membunuhnya?"
"Setelah ku bunuh dia,
bukankah kau yang menjadi Lotoa?" jawab si serigala.
Ang-hoa mengelak, ia mendengus
dan tidak bicara lagi.
Pek-coa-longkun terkekeh kekeh
katanya: "Ucapan ... memang betul, kungfu apa segala, semuanya palsu,
hanya kungfu yang dapat membunuh orang adalah kungfu sejati. Kungfuku membunuh
orang tentunya juga tidak kurang hebat daripada kungfu si Lo-sam?"
Sambil bicara terus ia terus
mengitar ke belakang Ang-hou, mendadak ia melolos belati terus menikam.
Kecepatan dan kegesitan serta kelihaiannya memang tidak di bawah Hwe-long atau
si serigala kelabu.
Tak tersangka, meski si
harimau merah itu tampaknya gede dan bodoh, sesungguhnya dia malah cukup
cerdik. Baru saja si ular putih turun tangan, secepat itu pula dia membalik
tubuh dan balas menghantam.
Cuma sayang, badannya terlalu
gede, meski tikaman si ular tidak mengenai tempat yang fatal namun tetap
mengenai bahunya, begitu keras tikaman itu sehingga belati itu ambles
seluruhnya ke dalam dagingnya. Begitu kuat tikaman itu sampai si ular
sendiripun tak sempat menahan diri.
Di tengah raungan keras
Ang-hou terus pentang sebelah tangannya, seketika si ular kena didekapnya di
bawah ketiak, Anghou menyeringai: "He he, coba kemana lagi kau akan
lari?"
Si ular ketakutan dan
berteriak: "He, Tio-loji, lepaskan, ampuni aku!"
"Hatiku sih mau
mengampuni kau, tapi sayang tanganku tidak boleh." jawab Ang-hou sambil
tertawa. ia perkeras dekapannya, terdengarlah suara "Krak-krek"
beberapa kali tulang badan si ular tergencet remuk, jeritan ngeri berubah
menjadi rintihan. Sampai akhirnya suara rintihanpun tidak terdengar lagi,
barulah Ang-hou mengangkat tangannya dan Pek-coa-longkun terus jatuh terkapar
seperti bangkai ular.
Diam-diam si serigala kelabu
merasa ngeri, ucapnya kemudian dengan terkekeh: "Wih, hebat benar tenaga
Tio-loji." Ang-hou mencabut belati yang menancap di belakang bahunya,
darah segar kontan menyembur seperti air mancur, namun dia sama sekali tidak
merasa sakit, katanya terhadap Hwe-long sambil menyeringai: "Sekarang
tinggal kau, apa kehendakmu?"