Renjana Pendekar Bagian 3

Baca Cersil Mandarin Online: Renjana Pendekar Bagian 3

Renjana Pendekar Bagian 3

Pwe-giok gelagapan dan tak dapat menjawab, bilang suka terasa tidak tepat, bilang tidak suka juga terasa tidak betul. Ia menjadi kelabakan, ia merasa untuk menjawab pertanyaan nona ini jauh lebih sukar daripada berbuat apapun.

Thi Hoa-nio menatapnya tajam-tajam, katanya pula:

"Kalau suka bilang suka, kalau tidak jawab saja tidak suka, kenapa tidak berani menjawab ?"

"Sudah.....sudah tentu suka," akhirnya tercetus juga jawabannya.

"Dan kau menghendaki aku turut perkataanmu," tanya Thi Hoa-nio pula dengan tersenyum. Nona yang jahil ini semakin aneh pertanyaannya.

Dengan menyengir Pwe-giok menjawab:

"Memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, mana berani kuharapkan nona menurut kepada perkataanku ?"

"Asalkan kau menghendaki demikian, tentu aku akan menurut," ucap Thia Hoa-nio dengan suara lembut.

"Tapi...tapi aku...." Pwe-giok tergagap-gagap pula.

"Apakah kau menghendaki aku membunuh orang ?"

"O, aku tidak bermaksud begitu," jawab Pwe-giok.

"Jika begitu, kau cuma ingin ku turut kepada perkataanmu saja ?"

Pwe-giok menghela nafas dan terpaksa mengiakan.

Mendadak Thi Hoa-nio melonjak bangun dan mencium satu kali di pipinya, lalu berlari pergi dengan tertawa genit.

Menyaksikan menghilangnya bayangan si nona di luar pintu, Pwe-giok berguman sendiri:

"Aneh, mengapa mendadak dia kegirangan begitu ? Apakah dia menyangka aku telah menyanggupi sesuatu kepadanya ?"

Teringat kepada Tong Kongcu yang digoda mereka, tanpa terasa Pwe-giok jadi ngeri sendiri.

Selama beberapa hari ini, meski keadaannya semakin sehat, tapi tetap dirasakan lemas tak bertenaga, lesu dan lelah, ia melamun hingga lama dan akhirnya terpulas tanpa terasa.

Entah sudah berapa lama dia tertidur, ketika mendadak dirasakannya sesosok tubuh yang halus dan lunak menyusup ke dalam selimutnya, pelahan-lahan orang itu menggigit samping lehernya serta meniup hawa di telinganya.

Pwe-giok terjaga bangun, namun lampu sudah padam, apapun tidak kelihatan, hanya dirasakan gumpalan tubuh yang lunak dalam pelukannya dengan bau yang harum sedap dan membuat jantung berdetak keras.

"He, sia...siapa kau ?" seru Pwe-giok.

Orang yang berbaring disampingnya tidak menjawab, tapi lantas membuka bajunya serta merangkulnya, jari-jemari yang halus itu meraba perlahan sekujur badannya.

Pwe-giok tahu orang yang menyerahkan diri ke dalam pelukannya ini pasti Thi Hoa-nio adanya dan tidak mungkin orang lain. Ia merasa detak jantungnya bertambah keras, dengan menahan perasaan ia berkata:

"Jika kau benar-benar menurut perkataanku, hendaklah lekas kau keluar !"

Tapi orang di sebelahnya tertawa genit dan menjawab:

"Siapa mau turut kepada perkataanmu ? Justru kuharap kau yang turut kepada perkataanku, sayang..." suara yang setengah tertahan dan rada serak itu penuh daya tarik dan godaan.

"Hei, kau, Gin Hoa-nio !" seru Pwe-giok kaget.

"Ya, makanya kau harus turut kepada perkataanku, pasti takkan ku kecewakan kau," kata Gin Hoa-nio dengan lembut.

Tenaga Pwe-giok saat ini ternyata lenyap tanpa bekas, ia tertindih di bawah hingga hampir tak dapat bernapas, jantungnya berdetak-detak keras dan mandi keringat.

"Maukah kau menyalakan lampu ?" kata Pwe-giok mendadak.

"cara begini saja apakah kurang baik ?" tanya Gin Hoa-nio

"Aku ingin melihat dirimu," jawab Pwe-giok.

Gin Hoa-nio tertawa cekikikan, katanya:

"Sungguh tidak nyana kau ternyata sudah berpengalaman dan ahli. Baiklah akan kuturuti kehendakmu."

Dengan kaki telanjang Gin hoa-nio lantas melompat turun dari tempat tidur, digerayanginya batu api untuk menyalakan lampu. Di bawah cahaya lampu itu tertampak jelas potongan tubuhnya yang menggiurkan.

"Kau mau lihat, silahkan lihatlah sepuasmu !" katanya dengan tertawa sambil melirik genit kepada Pwe-giok.

Tapi anak muda itu lantas mendengus:

"Hm, memang ingin kulihat betapa bejatmu, betapa kau tidak kenal malu ? Hm, kau kira kau sangat cantik ? bagiku justru memualkan !"

Selama hidup Pwe-giok belum pernah mengucapkan kata-kata sekeji ini, apalagi terhadap seorang perempuan. Tapi sekarang ia sengaja hendak memancing kemarahan Gin Hoa-nio, maka dipilihnya kata-kata yang paling menyakitkan hati dan dilontarkan langsung:

Benarlah senyum yang menghiasi wajah Gin Hoa-nio seketika lenyap, mukanya yang bersemu merah seketika berubah menjadi kelam, lirikan yang menggoda juga memancarkan sinar buas, teriaknya dengan suara parau:

"Kau... kau berani mempermainkan diriku ?!"

Kuatir orang akan menggodanya lagi, Pwe-giok lantas mencaci maki sekalian:

"Sekalipun kau tidak tahu malu, seharusnya kau berkaca dulu agar kau tahu.....", makin menyakitkan hati makiannya, biarpun perempuan yang sedang dirangsang napsu birahi juga pasti akan dingin seketika.

Bibir Gin Hoa-nio sampai pucat, teriaknya dengan suara gemetar:

"Memangnya kau kira kau sendiri ini lelaki cakap ? Hmm, justru ingin kulihat berapa lama kecakapanmu ini akan bertahan ?"

Mendadak ia menyambar sebilah golok yang tergantung di dinding dan menerjang ke depan tempat tidur, dicekiknya leher Pwe-giok sambil menyeringai:

"Sekarang juga akan ku bikin kau berubah menjadi lelaki yang paling buruk di dunia ini, agar setiap perempuan di dunia ini akan mual bila melihat tampangmu. Akan kulihat apakah kau masih bisa jual tampang atau tidak ?"

Segera Pwe-giok merasakan mata golok yang dingin menggores di pipinya, akan tetapi dia tidak merasakan sakit, sebaliknya merasakan semacam kesadisan yang menyenangkan, ia malah bergelak tertawa.

Gin Hoa-nio menyaksikan muka yang tiada cacat itu telah robek di bawah mata goloknya, darah tertampak mengucur dari wajah yang pucat itu. Seketika Gin Hoa-nio merasakan tangannya gemetar, sayatan kedua sukar dilakukannya lagi.

Maklum, bilamana seorang harus merusak hasil seni yang indah, betapapun memang bukan pekerjaan mudah.

Tapi Pwe-giok lantas melotot, teriaknya dengan tertawa:

"Hayolah, turun tangan lagi ? Mengapa berhenti ? Muka ini bukan milikku, jika kau rusak justru kurasakan sebagai suatu pembebasan bagiku, aku malah berterima kasih padamu dan takkan sakit hati."

Kulit daging yang tersayat itu jadi merekah akibat tertawa Pwe-giok itu, darah mengucur lebih deras, tapi sorot matanya juga mengandung semacam pembebasan yang latah.

Gin Hoa-nio merasa keringat dinginnya telah membasahi gagang goloknya, dengan suara histeris ia berteriak:

"Biarpun kau tidak sakit hati, tapi ada orang lain yang akan merasa sakit. Jika tak dapat ku peroleh kau, biarlah kuhancurkan kau, ingin kulihat apakah dia tetap suka kepada orang gila bermuka buruk macam kau ?"

Mendadak iapun bergelak tertawa seperti orang gila, sayatan kedua akhirnya dilakukan pula.

Sekonyong-konyong "Blang", pintu didobrak orang, Thi Hoa-nio menerjang masuk dan merangkul pinggang Gin Hoa-nio terus diseretnya mundur sambil berteriak-teriak:

"Toaci, lekas kemari, jici sudah gila !"

Gin Hoa-nio meronta-ronta dan menyikut Thi Hoa-nio, teriaknya dengan tertawa:

"Aku tidak gila, tapi kekasihmu itulah yang gila. Dia bilang mukanya itu bukan miliknya, biarlah kuberikan si gila ini padamu, sekarang diberikan secara gratis padaku juga aku tidak mau."

Selagi Pwe-giok, Gin Hoa-nio dan Thi Hoa-nio berebutan begitu, datanglah Kim Hoa-nio, ia kaget melihat muka Pwe-giok berdarah, teriaknya: "He.. apa yang kau lakukan?"

Gin-hoa-nio tertawa, teriaknya parau "Akulah yang melakukannya, apakah.. apakah kau pun merasa sakit..." Belum habis ucapannya, "plok", mukanya telah digampar sekali oleh Kim-Hoa-nio.

Mendadak suara tertawanya berhenti, suasana yang ribut seketika berubah menjadi hening pula.

Thi Hoa-nio melepaskan pegangannya dan Gin Hoa-nio mundur selangkah sambil meraba pipinya, sorot matanya memancarkan sinar yang buas, teriaknya gemetar: "Kau pukul aku! Kau berani pukul aku?"

"Mengapa kau berbuat demikian?" tanya Kim Hoa-nio.

Gin Hoa-nio berteriak sambil berjingkrak: "Mengapa aku tidak boleh berbuat begitu? Kau hanya tahu losam ( ketiga, maksudnya Thi Hoa-nio ) suka padanya, tapi apakah kau tahu bahwa akupun suka pada nya? Kalian sudah mempunyai pilihan sendiri-sendiri, mengapa aku tidak boleh memilihnya pula?"

"Bu... Bukankah kau benci padanya?" Tanya Kim Hoa-nio dengan melengak.

"Betul, kubenci dia, akupun benci padamu," teriak Gin Hoa-nio dengan parau. "Kau hanya tahu usia losam sudah besar dan perlu mencari lelaki. Tahukah kau bahwa usiaku lebih tua daripada dia, apakah aku tidak menginginkan lelaki?"

Sejenak Kim Hoa-nio tertegun, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Sungguh tak terpikirkan olehku bahwa kau masih memerlukan bantuanku untuk mencarikan lelaki bagimu. Kan sudah.. sudah banyak lelakimu. Masa masih perlu dicarikan orang?"

Mendadak Gin Hoa-nio meraung dan mendadak menerjang keluar.

Terdengar suaranya yang semakin menjauh. "Kubenci padamu, kubenci kepada kalian.. kubenci semua orang di dunia ini, kubenci ... hendaklah semua orang di dunia ini mampus seluruhnya!"

Kim Hoa-nio berdiri termangu-mangu, sampai lama ia diam saja.

Thi Hoa-nio lantas mendekati tempat tidur, melihat wajah Pwe-giok yang rusak itu, menangislah dia.

Sebaliknya Pwe-giok malah bersikap tenang, gumamnya: "Di dunia ini tiada sesuatu yang kekal, tiada sesuatu yang sempurna, anehnya logika ini kenapa tidak dipahami oleh Ko-lothau? Saat ini bila dia melihat diriku, entah bagaimana pula perasaannya.."

Mendadak ia merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya ia merasa terbebas dari suatu beban yang berat, hati terasa lega sekali.

Thi Hoa-nio berhenti menangis, ia pandang anak muda itu dengan terkesiap, apa yang dipikir Pwe-giok dengan sendirinya tak diketahuinya, siapapun tak dapat memahaminya.

0000

Tiga hari kemudian, Pwe-giok merasa sebagian tenaganya sudah pulih, tapi mukanya sekarang penuh terbalut kain perban, yang kelihatan hanya hidungnya, matanya dan sebagian mukanya.

Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio memandangi dia dengan penuh rasa menyesal dan pedih.

Akhirnya Kim Hoa-nio berkata: "Apakah benar kau hendak pergi?"

"Saat kepergianku sudah lama lalu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.

Mendadak Thi Hoa-nio menubruk maju dan merangkulnya erat-erat sambil berseru: "Kau jangan pergi! Bagaimanapun kau berubah, tetap… tetap sama baiknya aku terhadapmu."

"Jika betul kau baik padaku seharusnya kau lepaskan aku pergi," kata Pwe-giok dengan tertawa. "Seorang kalau tidak dapat bergerak bebas, lalu apa artinya hidup ini baginya?"

"Tapi, sedikitnya, harus kau perlihatkan kepada kami betapa kau telah berubah?" kata Kim Hoa-nio dengan pedih.

"Betapapun perubahan diriku, aku tetap aku," kata Pew giok.

Pelahan ia mendorong Thi Hoa-nio, lalu berbangkit. Katanya pula mendadak dengan tertawa: "Tahukah kalian, sepergiku dari sini urusan apa yang akan kulakukan pertama-tama?"

"Jangan-jangan akan mencari Jimoay yang kejam itu?" Kata Kim Hoa-nio.

"Aku memang hendak mencari satu orang, tapi bukan dia yang kucari," jawab Pwe-giok dengan tertawa.

"Habis siapa yang kau cari?" Tanya Thi Hoa-nio sambil mengusap air matanya.

"Jika kalian mau berduduk saja di sini dan membiarkan ku pergi sendiri, inipun sudah cukup sebagai tanda terima kasih padaku," kata Pwe-giok. Lalu ia melangkah keluar tanpa menoleh.

Ternyata Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio juga tidak menguntitnya, air mata mereka sudah berderai.

Hati Pwe-giok terasa lega. Tiada sesuatu yang terpikir dan juga tidak perlu menyesal terhadap seseorang, jika memang tidak pernah merugikan atau mengingkari orang lain, maka air mata orang lainpun tak dapat mempengaruhi dia.

Dia membuka pintu ruangan di bawah tanah dan menyingkap lukisan itu, cahaya matahari di waktu senja menyinari mukanya, meski senja belum tiba, namun sudah dekat magrib.

Agar tidak silau ia angkat sebelah tangannya untuk mengalingi sinar matahari, tangan yang lain digunakan merapatkan pintu. Sekonyong-konyong kedua tangannya terjulur lemas ke bawah, kakipun terasa berat untuk melangkah.

Ternyata di ruangan luar ini tergantung sebaris orang di belandar, semuanya sudah mati. Darah segar masih menetes, agaknya darah mereka belum lagi beku. Leher tiap-tiap orang itu sama tertembus, lalu lubang yang tembus itu dicocok dengan tali dan digantung mirip ayam panggang. Orang yang paling depan jelas tuan rumah di sini.

Apa yang terjadi ini jelas baru berlangsung sore tadi, sebab siangnya tuan rumah yang ramah ini pernah masuk ke ruangan bawah tanah dan mengantar santapan.

Orang sebanyak itu terbunuh sekaligus, tapi di ruangan dalam sedikitpun tidak mendengar, jelas tindakan si pembunuh sangat gesit, cekatan dan juga keji.

Pwe-giok berdiri termangu sejenak, ia ingin masuk kembali ke ruangan dalam, tapi sekilas pikir ia berganti haluan, segera melangkah keluar ruangan besar itu.

Sekalipun dalam hatinya rada was-was, tapi orang lain tidak dapat mengetahui perasaannya, waktu ia lalu di barisan orang mati itu, dia anggap seperti lalu di samping sederetan pohon saja.

"Siapa itu? Berhenti!" mendadak seorang membentak.

Seketika Pwe-giok berhenti, tak terlihat rasa kagetnya sedikitpun, juga tiada tampak rasa gugup atau rasa terpaksa, seperti sudah tahu sebelumnya bakal dibentak orang begitu.

"Kemari Kau" bentak orang itu pula.

Segera Pwe-giok berputar dan melangkah ke sana, maka dapatlah dilihatnya orang yang baru keluar dari pintu sana adalah Kim yan cu, si walet emas.

Meski dirasakannya agak di luar dugaan, tapi sikapnya tidak berubah, sebaliknya Kim Yan cu tampak penuh rasa kejut dan heran, bentaknya pula dengan bengis: "kau keluar dari mana? Mengapa tadi tidak kulihat kau?"

"Ku keluar dari jalan keluar tentunya!" Jawab Pwe-giok dengan hambar.

Kim yan cu membentak pula: "Apakah kau bersembunyi bersama Khing hoa sam-niocu?"

"Benar atau tidak ada sangkut pautnya apa dengan kau?" jawab Pwe-giok ketus.

Belum habis ucapannya, tahu-tahu ujung pedang Kim yan cu sudah mengancam di tenggorokannya. Dengan sendirinya dia tidak kenal lagi yang dihadapinya ialah Ji Pwe-giok.

Maklumlah, saat ini bukan saja mula Pwe-giok hampir seluruhnya terbalut, bahkan sikapnya yang tenang dan sewajarnya juga sama sekali berbeda daripada dahulu. Jangankan cuma sebilah pedang yang mengancam tenggorokannya, sekalipun ada seribu pedang yang sama menusuk ke dalam dagingnya juga takkan menimbulkan rasa jerinya.

Seorang kalau sudah menyaksikan sendiri kematian ayahnya secara ngeri, tapi ia sendiri malah dituduh sebagai orang gila, malahan harus mengakui sebagai ayah orang gila, malahan harus mengakui musuh sebagai ayah yang jelas-jelas sudah mati, lalu kejadian apa di dunia ini yang tak dapat ditahannya?

Jika seorang berhadapan dengan orang yang dicintainya, tapi tidak dapat mengakui dan berbicara, lalu urusan apa di dunia ini yang dapat membuatnya lebih pedih.

Bila seorang sudah mengalami beberapa kali ancaman maut dan tidak sampai mati karena kejadian-kejadian yang ajaib, lalu soal apa di dunia ini yang dapat membuatnya takut?

Apabila seorang dari yang cakap telah berubah menjadi buruk rupa, lalu hal apalagi di dunia ini yang dapat membuatnya merasa risau?

Seorang kalau sudah mengalami berbagai kejadian yang sukar dibayangkan orang lain, maka tidak ada sesuatu yang dapat mengguncangkan perasaannya.

Ketenangan dan kewajaran Pwe-giok ini diperolehnya dengan imbalan yang cukup mahal, rasanya di dunia ini tiada orang lain yang mampu membayar semahal ini. Di dunia ini memang tiada orang lain lagi yang dapat dibandingkan dengan dia.

000

Begitulah tanpa terasa pedang Kim yan cu terjulur ke bawah. Nyata ketenangan orang ini telah mempengaruhi dia.

Pwe-giok menatapnya tajam-tajam, tanyanya kemudian dengan tertawa:

"Dimana Sin to kongcu ?"

"Kau.....kau kenal padaku ?" seru Kim yan cu dengan melenggong.

"Sekalipun cayhe tidak kenal nona juga tahu bahwa nona dan Sin to kongcu selamanya berada bersama seperti tubuh dan bayangan yang tak pernah terpisahkan."

Kim yan cu terbelalak, katanya kemudian:

"Ya, rasanya aku sudah seperti sudah kenal kau."

"Orang yang terluka dan kepalanya terbalut sudah tentu tidak cuma aku saja," kata Pwe-giok.

"Sesungguhnya siapa kau ?" tanya Kim yan cu

"Ji Pwe-giok !"

Wajah Kim yan cu yang cantik itu seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar:

"Ji Pwe-giok kan sudah mati, kau....kau..."

"Tahukah nona di dunia ini ada dua Ji Pwe-giok, yang satunya sudah mati, yang lain masih hidup, syukur cayhe bukan Ji Pwe-giok yang mati itu, cuma kawannya agaknya memang jauh lebih banyak dariku."

Kim yan cu menghembus nafas lega, tanyanya mendadak:

"Apakah kau yang membunuh orang-orang ini ?"

"Masa bukan nona yang membunuh orang-orang ini ?" balas Pwe-giok bertanya.

"Kejahatan orang-orang ini sudah kelewat takaran, mati sepuluh kali juga belum cukup untuk menebus dosa mereka," ucap Kim yan cu dengan gemas.

"Memang sudah lama ingin ku bunuh mereka, cuma sayang kedatanganku sekarang ini agak terlambat sejenak."

"Jadi nona benar-benar tidak tahu siapa pembunuhnya ?" tanya Pwe-giok

"Aku inilah pembunuhnya !" sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan pelahan.

Suaranya begitu datar dan hambar, seolah-olah ucapan demikian sudah sangat biasa baginya, seperti juga membunuh orang bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan lagi.

Menyusul ucapan tersebut, seorang mendadak muncul di depan mereka. seorang yang buntung sebelah tangannya.

Jenggot panjang putih kelabu berjuntai di depan dada orang itu, pinggangnya juga terikat tali sutera putih kelabu, sepatunya juga berwarna putih kelabu, rambutnya yang juga kelabu terikat dengan kopiah perak.

Mukanya juga putih kelabu, di bawah alisnya yang sama warna, biji matanya yang juga kepucat-pucatan itu memancarkan sinar yang tajam.

Sudah lama Kim yan-cu malang melintang di dunia Kangouw, biasanya Ia suka menganggap dirinya adalah perempuan yang paling berani di dunia ini. Tapi sekarang tidak urung ia merinding juga melihat orang yang aneh ini, serunya kemudian: "Jadi kau yang membunuh orang-orang ini?"

Dengan hambar si kakek serba kelabu itu menjawab: "Kau kira dengan sebelah tanganku saja tak dapat membunuh? Jika aku tidak dapat membunuh, tentu orang jahat di dunia ini sekarang bertambah banyak daripada dahulu."

"Cianpwe.....entah Cianpwe...."

"Tidak perlu kau tanya namaku," potong si kakek sebelum lanjut ucapan Kim yan-cu. "Kalau kau memusuhi Thian-can-kau, ini berarti kau sehaluan denganku Kalau tidak, saat ini tentu kau tidak hidup lagi di dunia ini."

Bila orang lain yang bicara demikian pada Kim-yan cu, tentu ujung pedang si walet emas sudah mengancam di ulu hatinya. Tapi sekarang meski hambar saja ucapan si kakek, namun bagi pendengaran Kim-yan cu rasanya memang tepat dan pantas. Ia lantas bertanya pula: "Entah Cianpwe sudah menemukan Khing-hoa-sam niocu atau belum?"

"Kau pun bermusuhan dengan mereka?" tanya si kakek.

"Betapa dalamnya permusuhan ini sukar diceritakan dalam waktu singkat," jawab Kim-yan-cu dengan menggreget.

"Kau bertekad akan menemukan mereka?" tanya si kakek pula.

"Jika dapat menemukan mereka, tanpa kupikirkan apa imbalannya," jawab Kim-yan cu.

"Baik, bila kau ingin menemukan mereka, ikutlah padaku," kata si kakek sambil melangkah keluar ruangan besar itu, setelah menyusuri taman dan keluar dari sebuah pintu kecil, jalan lebar di pinto belakang sunyi senyap tiada nampak bayangan seorangpun.

Kim-yan-cu ikut di belakang si kakek dengan penuh semangat. Pwe-giok juga ikut di belakang mereka dengan penuh rasa sangsi.

Jelas kakek ini tidak tahu di mana beradanya Khing-hoa-sam niocu mengapa dia bilang hendak membawa Kim yan-cu pergi mencari mereka. Sekalipun kakek ini dapat membunuh Ma Siau-thian dan begundalnya, tapi orang yang cuma bertangan satu cara bagaimana menggantung orang sebanyak itu di belandar? Cukup dengan dua soal ini saja jelas si kakek telah berdusta. Dan untuk apakah dia berdusta?

Orang yang berdusta kebanyakan bertujuan membikin celaka orang lain. Tapi melihat kemampuan kakek ini, jika dia mau membunuh Kim-yan-cu boleh dikatakan sangat mudah, kenapa mesti bersusah payah mencari jalan lain. Sesungguhnya hendak dibawa ke manakah Kim-yan-cu?

Sejak mula si kakek sama sekali tidak memandang Pwe-giok, seolah-olah tidak merasa ada seorang Ji Pwe-giok di sekitarnya.

Pwe-giok juga mengikuti mereka dengan diam saja tanpa bersuara.

Si kakek dapat menahan perasaannya, Ji Pwe-giok juga cukup sabar, tapi Kim yan-cu yang tidak tahan akan gejolak pikirannya.

Sementara itu cuaca sudah makin gelap, jalan yang mereka tempuh juga semakin terpencil, di bawah sinar bulan, kakek yang misterius ini mirip badan halus berwarna kelabu.

"Sesungguhnya Khing-hoa-sam niocu berada di mana?" saking tak tahan akhirnya Kim yan-cu bertanya.

Si kakek menjawab dengan hambar tanpa menoleh; "Orang yang jahat dengan sendirinya berada di tempat yang jahat."

"Tempat yang jahat?" tukas Kim-yan-cu.

"Ya jika kau tidak berani ke sana, sekarang juga boleh kau putar balik," kata si kakek.

Kim-yan-cu menggreget dan tidak bicara lagi.

Diam-diam Pwe-giok membayangkan kata-kata "tempat yang jahat" tadi, ia merasa maksud tujuan si kakek lebih-lebih sukar dijajaki.

Lengan baju si kakek yang longgar itu melambai di tanah, jalannya tampaknya tidak cepat, tapi hanya sebentar saja mereka sudah berada di luar kota.

Kim yan-cu belum lama muncul di Kangouw dan namanya sudah cukup terkenal, dia memakai nama julukan "walet" dengan sendirinya ahli Gin-kang, namun setelah ikut berjalan sekian lama bersama si kakek, tanpa terasa mulai terengahlah napasnya.

Mendingan Ji Pwe-giok, meski tenaganya belum pulih seluruhnya, tapi dia belum merasakan lelah, terhadap kepandaian si kakek diam-diam ia bertambah waspada.

Dilihatnya si kakek berputar kian kemari di tengah hutan, mendadak mereka berada di sutu lereng bukit yang tidak terlalu tinggi, namun batu padas aneh berserakan di sana sini, lereng bukit tandus kering, tampaknya sangat curam dan bahaya.

Di tengah lereng terdapat sepotong batu padas besar yang mencuat keluar, pada batu padas itu semula tertatah tiga huruf besar, tapi sekarang penuh dengan bekas bacokan golok, ketiga huruf itu telah dirusak entah oleh siapa.

"Huruf pada batu padas itu tentu nama gunung ini," demikian Pwe-giok membatin. "Tapi ada orang sengaja memanjat ke atas dan merusak ketiga huruf itu, apakah maksud tujuannya? Memangnya nama gunung inipun mengandung sesuatu rahasia sehingga tidak boleh dilihat orang, masa cuma nama gunung saja mengandung rahasia?

Rupanya setelah beberapa kali menghadapi detik antara mati dan hidup, Pwe-giok bertambah matang, ia cukup memahami betapa keji dan kejamnya orang hidup ini, maka terhadap segala sesuatu ia selalu lebih hati-hati. Barang sesuatu yang mungkin dipandang sepele oleh orang lain, baginya justeru dipandang cukup berharga untuk direnungkan dan dipelajari asalkan ada sesuatu yang menyangsikan tentu diperhatikannya dengan baik.

Cuma sekarang ia sudah berhasil belajar dari pengalaman, segala sesuatu tentu dipikirnya lebih mendalam. Sebab itulah rasa sangsinya sekarang juga bertambah besar, namun dia tetap bersikap tenang dan tidak menyinggungnya.

Setiba di depan batu padas yang mencuat keluar di lereng situ, tanpa kelihatan bergerak, tahu-tahu kakek itu telah melayang ke atas padas itu.

Selagi Kim-yan-cu bermaksud ikut melayang ke atas, sekonyong-konyong terdengar suara keriat-keriut, batu raksasa itu mendadak bergeser pelahan dan tertampaklah sebuah gua yang gelap di balik gua batu.

Perubahan ini sungguh membuat Pwe-giok terkejut, Kim-yan cu malahan melongo menyaksikan kejadian itu, dia sudah bergerak mau melompat ke atas, sekarang diurungkan.

"Kenapa kalian tidak ikut naik ke sini?" terdengar si kakek berseru.

Kim yan-cu berpaling dan memandang Pwe-giok sekejap, tiba-tiba ia mendesis: "Perjalanan ini sangat berbahaya, untuk apa kau ikut kemari? Lekas pergi saja!"

Pwe-giok tersenyum, jawabnya: "Sudah ikut sampai di sini, hendak pergipun terasa terlambat sudah."

"Memangnya kenapa?" ujar Kim-yan-cu sambil berkerut kening.

Pwe-giok tidak menjawabnya, segera ia mendahului melayang ke atas. Ia merasakan si kakek sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam, se-olah2 ingin tahu betapa tinggi kemampuannya. Tergerak hati Pwe-giok, cepat ia kurangi kekuatannya, hanya setengah kemampuannya saja dikeluarkannya.

Meski air muka si kakek tidak berubah, tapi sorot matanya mengunjuk perasaan kurang puas. Sementara itu Kim-yan-cu sudah melompat ke atas dengan sepenuh tenaga dan si kakek kelihatan merasa senang.

Kembali Pwe-giok merasa heran, Jika si kakek bermaksud jahat terhadap mereka, bila kepandaian mereka makin rendah kan makin mudah baginya untuk turun tangan, jadi seharusnya dia merasa senang.

Tapi dari sikapnya ini tampaknya dia mengharapkan ilmu kedua orang muda ini lebih tinggi lebih baik. Lantas apa maksudnya? Sesungguhnya apa yang dikehendaki?

Saat itu Kim-yan-cu sudah berada di atas batu padas, dilihatnya gua itu gelap gulita, dalamnya sukar dijajaki, terasa angin dingin meniup keluar dari dalam gua.

Batu raksasa yang bergeser itu tepat ambles ke samping tebing yang mendekuk, jadi sudah di-perhitungkan dengan tepat. Apalagi batu raksasa yang berpuluh ton ini dapat digeser oleh seorang saja, jelas pesawat rahasianya dibuat sedemikian dan entah betapa banyak memakan tenaga dan pikiran untuk menciptakan alat rahasia yang hebat ini.

Dan kalau di dalam gua ini tidak tersembunyi sesuatu rahasia yang maha penting, siapa pula yang sudi mengorbankan tenaga dan pikiran sebesar ini?

Sampai di sini, mau tak mau timbul juga rasa curiga Kim-yan-cu, ia berguman: "Apakah mungkin Khing-hoa-samniocu berada di gua ini?"

"Gua ini sebenarnya tempat rahasia Thian can-kau, tempat penyimpanan harta karun, apabila Khing-hoa-samniocu bukan Tancu (kepala seksi) dalam Thian-can-kau, jangan harap dapat masuk ke sini", kata si kakek

Mendadak Kim-yan-cu bertanya: "Darimana pula Cianpwe mengetahui rahasia Thian-can-kau?"

Si kakek tertawa hambar, jawabnya: "hehe, betapa banyak rahasia di dunia ini yang dapat mengelabui mataku?"

Jika kata2 ini diucapkan orang lain, andaikata Kim-yan-cu tidak menganggapnya membual tentu akan menganggapnya omong besar. Tapi di mulut kakek ini ucapan tersebut memang lain bobotnya.

Kim-yan-cu seperti takluk benar2 lahir batin terhadap kakek itu, setelah berpikir sejenak, ia bergumam: "Aneh, Thian-can-kau jauh berada di daerah Miau, sebaliknya tempat rahasia penyimpanan harta pusakanya terletak di sini."

"Kau tidak berani masuk ke situ?" tanya si kakek dengan sorot mata tajam.

Kim-yan-cu menghela napas panjang, katanya keras-keras: "Asalkan dapat menemukan Khing-hoa-sam niocu, ke gunung golok atau masuk lautan api juga bukan soal bagiku."

Seketika sorot mata si kakek berubah halus lagi, ucapnya: "Bagus, bagus sekali, asalkan kau tabah dan hati-hati, kujamin kau takkan menghadapi apapun. Kalian boleh masuk saja dan tidak perlu kuatir."

"Tapi Cayhe tiada maksud buat masuk ke situ," kata Pwe-giok mendadak.

Baru sekarang ia membuka suara, mestinya dia hendak bilang: "Ku tahu Khing-hoa-sam niocu tidak berada di gua ini, kenapa kau berdusta?"

Tapi dia tahu bilamana kata-kata itu diucapkan, maka si kakek pasti takkan mengampuni dia. Saat ini ia merasa bukan tandingan si kakek, maka dia sengaja memancingnya dulu dengan ucapan tadi.

Benar juga, segera sorot mata si kakek berubah tajam pula, katanya: "Kau tidak mau masuk ke sana?"

"Cayhe kan tidak ingin mencari Khing-hoa-sam niocu, untuk apa masuk ke situ?" jawab Pwe-giok.

"Ya, persoalan ini hakekatnya tiada sangkut pautnya dengan dia, sesungguhnya akupun tidak kenal dia," demikian cepat Kim-yan-cu menyela.

"Jika kau tidak mau masuk ke sana ya terserah lah, akupun tidak memaksa," kata si kakek dengan tak acuh.

Seperti tidak sengaja, mendadak tangannya menepuk pelahan pada dinding tebing itu, tiada terdengar sesuatu suara, tapi di dinding tebing itu lantas bertambah dekukan cap telapak tangan seperti pahatan senjata tajam.

Dengan tertawa Pwe-giok lantas berkata: "Sebenarnya cayhe tidak berniat masuk ke situ, tapi kalau benar harta pusaka Thian-can-kau disimpan di sini, kesempatan ini biarlah kugunakan untuk mencari rejeki."

Si kakek tidak menghiraukan dia lagi, dia mengeluarkan sebuah pedang bersarung perak, panjangnya cuma setengah meteran, serta sebuah geretan api, semua itu ia serahkan kepada Kim-yan-cu sambil berkata: "Pedang ini sangat tajam, memotong besi seperti merajang sayur, Geretan api pun bukan barang sembarangan, boleh kau bawa dan tentu banyak gunanya. Hendaklah kau jaga dengan baik dan jangan sampai hilang."

"Terima kasih," kata Kim-yan-cu.

Begitu dia dan Pwe-giok melangkah masuk gua batu padas raksasa itu pelahan-lahan lantas bergerak merapat lagi.

Dengan kaget Kim-yan-cu berteriak: "He, jika Cianpwe menutup batu ini, bukankah kami tak dapat keluar lagi?"

Segera ia bermaksud melompat keluar, siapa tahu mendadak suatu tenaga maha kuat menolaknya dari luar gua sehingga dia jatuh terjengkang.

Sempat terdengar si kakek berkata: "Jika nanti kau ingin keluar, gunakan pedang pendek itu mengetuk dinding batu tujuh kali dan segera ku tahu..." belum habis ucapannya batu raksasa itu sudah menutup rapat.

Seketika keadaan di dalam gua gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Mendadak cahaya perak meletik, Km-yan-cu telah menyalakan api geretan yang diberikan si kakek tadi. Geretan api ini sangat aneh, lelatu berhamburan seperti bunga api dan cahaya perak yang tidak begitu terang terus terpancar.

Di bawah cahaya perak itu tertampak wajah Pwe-giok yang terbalut kain perban itu, tapi sorot matanya gemerdep, nyata dia tidak menjadi gugup atau kuatir.

Kim-yan-cu tidak tahu orang ini bodoh atau gendeng, namun jelas nyalinya sangat besar. Ucapnya dengan menyesal: "Urusan ini kan tiada sangkut-pautnya dengan kau, untuk apa kau ikut masuk kemari?"

Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun: "Meski watak nona ini suka menang, namun hatinya sangat bajik. Dalam keadaan demikian dia masih juga berpikir bagi orang lain."

Selama beberapa hari ini perempuan yang pernah ditemui Pwe-giok kalau tidak berhati keji tentu berwatak aneh dan jahil, sekarang mendadak melihat kebaikan hati Kim yan-cu, seketika timbul kesan baiknya, dengan tersenyum ia menjawab: "Dua orang berada bersama kan jauh lebih baik daripada menempuh bahaya sendirian?"

"Kau .... kau datang ke sini demi diriku?!" tanya Kim-yan cu dengan melengak.

"Jika nona adalah sahabat Ji Pwe-giok yang itu, maka engkau sama juga kawanku," kata Pwe-giok dengan tertawa.

Kim-yan-cu memandanginya sekejap, mendadak mukanya bersemu merah, untung cahaya perak itu sangat aneh, air mukanya merah atau putih sukar dibedakan orang lain.

Dia terus melengos ke sana dan terdiam sejenak, kemudian berkata pula: "Menurut dugaanmu, sesungguhnya apa maksud tujuan orang tua tadi?"

"Menurut nona, bagaimana?" Pwe-giok balas bertanya setelah merenung sejenak.

"Jika dia berniat mencelakai diriku, untuk apa pula dia menyerahkan benda berharga ini kepadaku," kata Kim-yan cu. "Apalagi kalau melihat tenaga pukulannya tadi, jika dia tidak bermaksud membunuh kita, kukira bukan sesuatu yang sukar baginya."

"Betul, tenaga pukulan orang ini lunak tapi maha kuat, boleh dikatakan sudah terlatih hingga puncaknya, tampaknya tidak di bawah "Bian-ciang" (pukulan lunak) Jut tun Totiang dari Bu-tong-pay."

"Tapi bila dia tidak bermaksud jahat, mengapa dia memaksa kau masuk kemari, lalu menyumbat pula jalan keluarnya sehingga kita tiada jalan mundur terpaksa kita harus menerjang ke depan?"

"Jika demikian, marilah kita menerjang ke depan," kata Pwe-giok dengan tertawa.

Akhirnya Kim-yan-cu berpaling memandangnya lagi sekejap, ucapnya: "Berada di sampingmu, sekalipun aku merasa takut, akhirnya aku menjadi tidak takut lagi."

Di bawah cahaya perak yang remang-remang, tertawa Kim-yan-cu kelihatan sedemikian cerah, di balik wajah yang cerah ini tampaknya tiada tersembunyi sesuatu rahasia apa pun.

Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Apabila setiap perempuan di dunia ini serupa dia, tentu dunia ini akan jauh lebih aman...."

Kemudian Pwe-giok mengambil oper geretan api itu, dia membuka jalan di depan.

Di bawah cahaya perak tiba-tiba dilihatnya kedua sisi dinding gua ini penuh terukir gambar-gambar yang halus dan indah, setiap gambar terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan.

Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandang ukiran dinding itu, seketika mukanya menjadi merah, teriaknya: "Tempat setan ini benar-benar tempat jahat, menga... mengapa...."

Muka Pwe-giok terasa panas juga, sungguh tak tersangka olehnya di gua yang misterius ini bisa terukir gambar-gambar tidak senonoh begini.

Kiranya gambar lelaki dan perempuan yang memenuhi dinding gua itu rata-rata adalah dalam adegan "hot" di luar susila.

Mendadak Kim-yan-cu mendekap mukanya dan berlari ke depan.

Tak tersangka, sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul dua orang, dua golok besar terus membacok secepat kilat. "Awas!" bentak Pwe-giok.

Begitu bersuara segera ia pun menerjang maju, Kim-yan-cu dirangkulnya dan berguling ke sana sehingga mata golok menyambar lewat di samping mereka.

"Ah, kiranya cuma dua orang batu saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir setelah melihat jelas kedua penyerang itu.

"Tapi kalau tiada kau, bisa jadi aku sudah berubah menjadi orang mati," kata Kim yan-cu.

Pwe-giok merasa bau harum memabukkan, waktu ia menunduk, baru disadarinya Kim-yan-cu masih berada dalam pelukannya, mulut si nona yang kecil mungil cuma beberapa inci di bawah mulutnya.

Berdetak keras jantungnya. Selagi ia hendak minta maaf, mendadak Kim yan-cu tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Sin-to Kongcu yang kau katakan itu tentu akan mati kheki bila melihat keadaan kita sekarang, Sungguh aku berharap dia benar-benar menyaksikan adegan ini sekarang."

Tadinya Pwe-giok kuatir si nona akan malu dan menjadi gusar, tak tahunya Kim-yan-cu jauh lebih terbuka pikirannya daripada nya, bahkan juga tidak pura-pura malu dan berlagak rikuh segala.

Sungguh mujurlah, seorang lelaki dalam keadaan demikian dapat bertemu dengan seorang nona yang berhati terbuka seperti ini. Mau-tak-mau gembira juga Pwe-giok, katanya dengan tertawa: "Bahwa sekali ini dia tidak mengikuti kau, sungguh kejadian yang aneh."

Dengan tertawa Kim-yan-cu menjawab: "Sepanjang hari dia terus mengintil di belakangku, asalkan orang lain memandang sekejap padaku, dia lantas marah. Sungguh aku pun merasa sebal, maka kucari kesempatan untuk meninggalkan dia..." mendadak sorot matanya menatap ke belakang Pwe-giok dan berkata pula: "Eh, coba . .. .coba lihat..."

Pwe-giok berpaling, dilihatnya dinding batu di belakangnya seperti berbentuk beberapa daun pintu, di atas pintu terukir delapan huruf, di bawah cahaya perak itu warnanya kelihatan pucat kehijau-hijauan.

Ke delapan huruf itu berbunyi: "Siau-hun-bi-kiong, barang siapa masuk mati."

Terbelalak Kim-yan-cu memandangi ukiran itu, katanya sambil berkerut kening: "Tempat penyimpanan benda pusaka Thian-can-kau mengapa disebut Siau-hun-bi-kiong (istana penggetar sukma)?"

Tapi dari ukiran cabul yang dilihatnya di dinding gua tadi, lalu melihat lagi nama Siau-hun-bi-kiong ini, tahulah Pwe-giok bahwa gua ini tidak saja "jahat", bahkan sangat misterius dan sangat berbahaya, bisa jadi juga tempat yang sangat mengasyikkan, tempat yang menakutkan tapi juga menarik seperti dalam dongeng itu.

Mendadak ia menatap Kim-yan-cu dan bertanya: "Kau masih berani masuk ke sana?"

"Apakah dengan kedelapan huruf ini dapat menggertak mundur kita?" jawab Kim-yan-cu dengan tertawa.

Pwe-giok melengak, katanya kemudian; "Tapi kalau Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam sana?"

Kim-yan-cu juga melengak, katanya: "Mengapa mereka tidak berada di dalam? Masa kakek itu membohongi aku?"

"Setahuku, Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam," tutur Pwe-giok. "Mengenai sebab apa si kakek membohongi kau, inipun aku tidak habis mengerti,"

Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian pelahan: "Coba, menurut kau, sesudah begini, apakah kita masih dapat keluar lagi?"

Dia membetulkan rambutnya yang agak kusut, Ia lalu menyambung pula: "Sekarang biarpun kita mengetuk tiga ratus kali di dinding batu itu juga si kakek takkan melepaskan kita keluar. Jika dia telah menipu kita masuk ke sini, betapapun pasti ada maksud tujuannya."

"Setiap langkah di sini ada kemungkinan akan menghadapi bahaya," kata Pwe-giok kemudian.

"Kukira lebih baik kau tunggu di sini saja, biarlah ku masuk lebih jauh untuk memeriksanya."

"Kau sendiri bilang, dua orang berada bersama jauh lebih baik daripada sendirian," ucap Kim-yan-cu dengan tersenyum manis.

Dalam keadaan begini, biasanya watak asli setiap orang akan tertampak, orang yang menggemaskan bisa bertambah menggemaskan, orang yang menyenangkan bisa pula bertambah menyenangkan.

Tanpa terasa Pwe-giok menarik tangan Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Marilah kita maju lagi ke sana, asalkan hati-hati kukira takkan..."

Belum habis ucapannya mendadak kaki terasa menginjak tempat kosong, lantai batu di bawahnya mendadak merekah menjadi sebuah lubang, kontan tubuh kedua orang terjeblos ke bawah.

Kim-yan cu menjerit kaget, tapi segera dirasakan tangan Pwe-giok yang menggandeng tangannya itu menolaknya dengan kuat, oleh tenaga dorongan yang kuat itu tubuh Kim-yan cu dapat ditolak ke atas. Sebaliknya Pwe-giok sendiri tetap terjerumus ke bawah.

Berkat tenaga dorongan Pwe-giok itu, Kim-yan-cu berjumpalitan sekali di udara dan menancapkan kakinya di tepi lubang itu, teriaknya: "He, kau . . . . kau bagaimana?"

Lubang di bawah tanah itu ternyata sangat dalam, cahaya perak geretan api yang dipegang Pwe-giok kelihatan gemerdep jauh di bawah, tapi tidak jelas apakah anak muda itu masih hidup atau sudah mati.

Saking cemasnya Kim-yan-cu mengucurkan air mata, teriaknya parau: "Ja... jawablah, kenapa kau diam saja?"

Tapi tetap tiada suara jawaban dari bawah.

Kim-yan-cu menjadi nekat, ia pejamkan mata dan hendak ikut terjun ke bawah.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang telah meraihnya dengan erat. Cepat Kim-yan-cu membuka mata, cahaya perak kelihatan masih gemerdep di bawah lubang sana, ia terkejut dan heran siapakah yang menariknya. Waktu ia mengawasi lebih cermat, siapa lagi orang yang berdiri di sebelahnya dengan tersenyum simpul jika bukan Ji Pwe-giok adanya?

Kejut dan girang bercampur aduk, Kim-yan-cu menjerit tertahan terus menubruk ke dalam pelukan Pwe-giok, serunya: "Ai, kau bikin aku mati kaget, ken .... kenapa tadi kau tidak bersuara?"

Dengan tersenyum Pwe-giok menjawab: "Dengan menahan napas tadi ku sempat panjat dinding gua, bila membuka mulut, tentu akan kehilangan tenaga dan bisa jadi benar-benar terjerumus ke bawah."

"Kulihat gemerdep nya api geretan di bawah sana, kukira .... kukira kau sudah tamat, siapa tahu geretan api itu cuma terjatuh saja ke bawah dan kau.... kau masih hinggap di dinding gua dan dapat naik ke atas."

Pwe-giok memandangnya lekat-lekat, ia menghela napas dan berucap: "Dan untuk apa kau bertindak demikian?"

Yang dimaksudkannya ialah tindakan Kim-yan-cu yang hendak ikut terjun ke bawah tadi.

Kim-yan-cu menunduk, jawabnya pelahan: "Bilamana kau mati lantaran menyelamatkan diriku, lalu apakah aku dapat hidup sendirian?"

Mendadak ia menengadah dan tertawa cerah, katanya: "Tidak cuma kau saja, siapapun kalau mati demi menyelamatkan diriku, kukira aku pasti tak dapat hidup lagi sendirian."

"Apa yang kau katakan terakhir ini sungguh bisa mengecewakan harapanku," Pwe-giok sengaja menggoda dengan mata berkedip-kedip.

"Ku tahu, orang semacam kau ini pasti sudah lama mempunyai kekasih," ucap Kim-yan-cu dengan tersenyum. "Sebab itulah bilamana kukatakan akan mati demi dirimu, bukankah akan membuat kau serba salah?"

Tanpa terasa Pwe-giok memegang pula tangan si nona, katanya dengan tertawa: "Haha, sungguh kau ini anak perempuan satu-satunya yang tidak membikin kesal daripada semua anak perempuan yang pernah kukenal."

Ia merasa sangat gembira bisa berada dengan anak perempuan seperti Kim-yan-cu, orangnya lugu, terus terang, tidak sok, tidak pura-pura dan tidak menonjolkan diri, juga tidak suka membikin kesal orang. Anak perempuan demikian sungguh terlalu sedikit di dunia ini.

Namun geretan api tadi sudah jatuh ke bawah, sambil memandangi api geretan yang masih gemerdep itu, kedua orang menjadi sedih.

Sekilas mendadak Pwe-giok melihat pedang pendek bersarung perak itu. Segera ia melolos pedang itu, sinar pedang kemilauan, ia menusuk pelahan dan hampir seluruh pedang itu amblas ka dalam batu. Sekali pedang diputar, batu itu lantas berlubang.

"Tajam amat pedang ini," seru Pwe-giok girang. "Untuk menjemput kembaii geretan api itu terpaksa harus kita andalkan pedang ini."

Lebih dulu ia mengerek Kim-yan-cu ke bawah, dengan pedang pendek itu Kim-yan-cu membuat sebaris lubang di dinding, kemudian Pwe-giok merambat ke bawah dengan lubang-lubang di dinding itu sebagai tangga dan geretan api itu berhasil di jemput kembali.

Dilihatnya di dasar gua itu banyak terpasang pisau tajam, ujung pisau penuh berserakan kain baju dan tulang kering, melihat kain baju yang sudah lapuk itu sedikitnya korban-korban itu sudah jatuh 20 tahun yang lalu, hanya satu di antaranya, yaitu mayat perempuan berbaju hijau kelihatan pakaiannya masih baru, mayatnya juga belum membusuk.

Diam-diam Pwe-giok membatin: "Melihat tengkorak-tengkorak ini dan kematian perempuan berbaju hijau ini jaraknya sedikitnya ada 20 tahun lamanya. Jangan-jangan Siau-hun-bi-kiong ini sudah 20 tahun tak dikunjungi orang. Jadi rahasia di sini sudah terpendam antara 20 tahun dan baru akhir-akhir ini ditemukan orang. Dengan sendirinya tempat ini bukan gudang penyimpan harta pusaka Thian-can-kau segala."

Kim-yan-cu menggosok-gosok sepatunya di lantai untuk menghilangkan lumut dan kotorannya, maka tertampaklah lantai batu yang rajin dan licin. Ia berkerut kening dan berkata: "Sepanjang jalan ini mungkin penuh dengan jebakan, cara bagaimana kita harus maju lebih lanjut?"

"Kau ikut di belakangku, jangan terlalu dekat, dengan demikian, andaikan aku terjeblos kan masih ada yang bisa menolong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.

Mendadak Kim-yan-cu berteriak: "Sebenarnya ini kan urusanku, mestinya aku yang berjalan di depan, tidak perlu kau anggap aku orang perempuan dan segala sesuatu baru mengalah padaku!"

Pwe-giok tertawa, katanya: "Meski aku tidak ingin menganggap kau sebagai perempuan, tapi nyatanya kau memang perempuan. Di depan orang perempuan kaum lelaki sok berlagak sebagai pahlawan, kenapa kau tidak mau mengalah padaku?"

Kim-yan-cu memandangnya tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa: "Sungguh kau ini satu-satunya lelaki yang tidak menjemukan yang pernah kulihat."

Pwe-giok terus berjalan ke depan dengan lebih hati-hati, sebelum langkahnya terasa mantap, tentu dia mencoba-cobanya dulu apakah tiada sesuatu jebakan. Sudah tentu reaksinya juga jauh lebih peka daripada orang lain.

Sepanjang jalan ternyata tiada perangkap lagi, sesudah beberapa tombak jauhnya, sekonyong-konyong terlihat dua patung batu wanita telanjang yang saling rangkul dengan mesra, bukan saja perawakan patung itu terukir dengan indah dengan garis-garis tubuhnya yang menyolok, bahkan wajahnya juga terukir dengan mimik yang "hot" dan penuh daya merangsang. Meski patung telanjang ini sudah penuh debu, tapi siapapun juga pasti akan berdetak jantungnya bila melihatnya.

Kedua patung batu ini lebih besar sedikit daripada orang hidup dan tepat menghadang di tengah jalan.

Selagi Pwe-giok hendak mencari tombol rahasia untuk menyingkirkan patung itu, dengan muka merah mendadak Kim-yan-cu merampas geretan api yang dipegang Pwe-giok sambil mendengus: "Hm, di tempat ini penuh barang begini melulu, sungguh memuakkan."

Sembari berkata mendadak ia mendepak.

Pwe-giok bermaksud mencegahnya, namun sudah terlambat.

Kontan dari pusar salah satu patung perempuan telanjang itu menyemburkan kabut bubuk putih, cukup keras semburan itu dan langsung menyemprot muka Kim-yan-cu.

Cepat Pwe-giok menariknya ke samping, tanyanya dengan kuatir: "Sudahkah kau cium baunya?"

Karena gugupnya ia sendiripun lupa menahan napas sehingga hidungnya juga sempat menghisap sedikit bau harum bedak.

Baru saja Kim-yan-cu menggeleng, dilihatnya Pwe-giok telah duduk bersila dan sedang mengatur pernapasan.

"Kau . . . . kau ..." tanya Kim-yan-cu dengan suara gemetar, ia tahu dirinya yang telah membikin gara-gara lagi.

Berulang-ulang Pwe-giok mengedipi si nona agar jangan bicara. Meski Kim-yan-cu sudah tutup mulut, tapi hatinya tambah gelisah. Selang sejenak, dilihatnya Pwe-giok menghela napas panjang dan berkata: "Untung jarak waktunya sudah terlalu lama sehingga khasiat obat ini sudah kurang manjur, kalau tidak . . . . "

"Meski khasiat obat sudah kurang manjur, tapi kalau sampai mukaku kesemprot, jiwa tetap bisa melayang, betul tidak?"

"Bisa jadi!" ucap Pwe-giok. "Kembali kau telah menyelamatkan diriku," kata Kim-yan-cu dengan menghela napas.

Dengan cahaya geretan Pwe-giok menyinari patung perempuan telanjang itu dan dipandangnya dengan cermat, sejenak kemudian, mendadak ia berkata; "Coba, pejamkan matamu?"

"Kenapa aku tidak boleh melihatnya?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.

"Letak kunci rahasianya di tempat yang kurang sopan," tutur Pwe-giok dengan menyengir.

Belum habis ucapannya, cepat Kim-yan-cu memejamkan matanya. Entah di bagian mana Pwe-giok telah meraba dan memutarnya, lalu terdengarlah suara "Kreek", kedua patung yang saling rangkul itu mendadak terpisah sehingga bagian tengah terluang jalan lewat selebar setengah meteran, segera Kim-yan cu lewat ke sana melalui pangkuan kedua patung telanjang itu.

Ia menghela napas, katanya dengan gegetun; "Tak tersangka kau pun mahir berbagai macam permainan setan begini. Tanpa kau, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat lewat kesini."

"Menurut pendapatku, daripada masuk ke situ akan lebih baik tidak masuk saja ke sana," kata Pwe-giok pelahan.

"Sebab apa?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa. "Setiap tempat di sini, seumpama tiada persoalan Khing-hoa-sam niocu juga aku ingin masuk ke sana untuk melihatnya."

"Tempat yang semakin besar rahasianya, bahaya yang akan timbul juga semakin besar..."

"Ada kau, apa yang kutakuti?"

Terpaksa Pwe-giok menyengir pula. Segera ia membuka jalan di depan. Selewatnya rintangan patung telanjang itu, debu di lantai juga lebih sedikit, di bawah cahaya perak yang gemerdep samar-samar kelihatan juga penuh gambar dan corat-coret.

Ternyata corat-coret dan gambar di lantai juga melukiskan adegan mesra antara lelaki dan perempuan.

Pwe-giok mengamatinya sejenak katanya kemudian: "Hendaklah kau ingat di mana kakiku menginjak dan ke situ pula kau ikut melangkah, jangan sampai salah."

Dan di mana kakinya menginjak pertama ternyata adalah bagian tubuh yang paling tidak sopan yang terlukis di lantai itu.

Sambil ikut melangkah, berulang-ulang Kim-yan-cu mengomel: "Benar-benar tempat setan dan tidak boleh didatangi orang baik?"

"Sebabnya tuan rumah sengaja mengatur begini tempatnya, mungkin tujuannya justeru hendak mencegah datangnya orang baik-baik. Sekalipun orang tahu rahasianya, tapi sungkan juga datang ke sini. Kalau tidak, mana bisa dia terlepas dari tuntutan hukum."

"Bagaimana dengan kau? Kau orang baik-baik bukan?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.

"Terkadang baik, terkadang juga tidak," jawab Pwe-giok tertawa.

Kim-yan-cu tertawa genit, katanya: "Kau ternyata tidak menjemukan bahkan rada menyenangkan..."

Belum habis ucapannya, mendadak suara tertawanya terhenti. Dilihatnya seorang gadis berbaju merah tergantung terbalik dengan muka yang menyeringai seram.

"He, tampaknya barang siapa masuk mati, kata-kata ini bukan cuma gertak sambel belaka," seru si walet emas dengan ketakutan.

Mayat gadis berbaju merah ini masih utuh, paling-paling baru dua-hari dia mati.

"Tempat yang sudah terpendam selama puluhan tahun, bilamana diketemukan orang, seketika akan berbondong-bondong didatangi orang banyak, apakah rahasia yang terdapat di tempat ini memang betul-betul sedemikian menarik sehingga matipun tak terpikir oleh orang-orang?" demikian gumam Pwe-giok.

Baru dua-tiga langkah, dilihatnya pula mayat seorang perempuan berbaju ungu, mati terpantek di dinding oleh sebatang paku raksasa berbentuk aneh. Kedua tangannya tampak erat memegangi pangkal paku, jelas sebelum mati dia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak mampu mencabutnya sehingga dia mati terpantek hidup-hidup.

Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandangnya, ia merasa mual dan hampir saja tumpah-tumpah.

Selanjutnya setiap beberapa langkah lagi ke depan pasti ditemukan sesosok mayat perempuan, ada yang mati terbacok golok, ada yang mukanya hancur, ada yang mati terhimpit di tengah celah-celah batu.

"Jalan ini benar-benar maut menunggu pada setiap langkah, jika aku tidak mengikuti kau, mungkin sekarang sudah... sudah mengalami nasib serupa anak-anak perempuan ini," kata Kim yan-cu dengan suara gemetar.

"Tapi mereka dapat sampai di sini, suatu tanda di antara mereka pasti ada orang yang pintar," ujar Pwe-giok.

"Darimana kau tahu mereka datang bersama?" tanya Kim-yan-cu.

"Kuyakin mereka pasti satu rombongan," jawab Pwe-giok.

"Pada masa hidupnya anak-anak perempuan ini pasti muda dan cantik, tapi untuk apakah mereka datang ke tempat setan ini dan mengantarkan nyawa," ujar Kim-yan-cu.

"Hanya ada satu alasan," ujar Pwe-giok, "meski tempat ini bukan gudang penyimpan pusaka Thian-can-kau, tapi pasti terpendam satu partai harta karun yang tak ternilai jumlahnya."

Mendadak Kim-yan-cu berhenti melangkah dan berkata: "Menurut kau, kakek itu sengaja menipu kita masuk ke sini, mungkinkah kita hanya dijadikan perintis jalan baginya?"

"Kukira memang demikian, makanya dia berharap lebih tinggi ilmu silat kita akan lebih baik pula, tidak sayang meminjamkan pedang wasiat kepadamu."

"Wah, kalau begitu, apabila kita bisa masuk ke sana, hal ini sama saja seperti membuka jalan baginya," seru Kim-yan-cu dengan terkesiap.

"Dan umpama kita menemukan benda mestika terpaksa juga harus diserahkan kepadanya. Dan kalau kita mati, dia sendiri tidak rugi. Hati orang tua ini sungguh keji, padahal kita tidak pernah kenal dia, namun dia tega menggunakan jiwa kita sebagai taruhan bagi kepentingannya."

"Di dalam hal ini masih ada kejadian lain yang aneh," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.

"Hal .... hal apa?" tanya Kim-yan-cu.

"Coba kau lihat, jenazah ini semuanya adalah perempuan, di dasar lubang tadi, kulihat kerangka tulangnya juga seluruhnya tulang perempuan, apakah orang yang datang ke sini dan mengincar harta pusaka ini tiada seorang lelaki pun?"

"Hal ini ada dua alasan, apakah kalian ingin tahu?" mendadak seorang menanggapi dengan tak acuh.

Mendengar suara yang datar dan hambar ini, air muka Kim yan-cu seketika berubah, ia tarik tangan Pwe-giok dan berkata: "Hahh, dia .... dia ikut masuk ke sini."

"Jika kugunakan kalian sebagai perintis jalan dengan sendirinya aku mesti ikut masuk kemari," kata si kakek.

"Setelah kalian menghancurkan semua perangkap yang terpasang di sini, maka aku pun tidak perlu bersusah payah lagi."

Di tengah gemerdepnya cahaya perak, tahu-tahu orang tua itu sudah muncul seperti badan halus.

Dongkol dan gusar pula Kim-yan-cu, omelnya: "Kuhormati kau sebagai orang tua, tapi kau bertindak kejam kepada kami malahan tanpa malu-malu kau mengakui perbuatanmu."

"Meski kalian telah menderita bagiku, tapi juga tidak bekerja percuma, kalianpun akan menarik keuntungannya," kata si kakek bercahaya perak.

"Apalagi kalian diberi kesempatan pesiar ke sini, andaikan matipun tidak perlu penasaran."

"Sesungguhnya tempat apakah ini?" tanya Kim-yan cu.

"Kenapa kalian tidak melihatnya sendiri, itulah dia!" kata si kakek.

Waktu Kim-yan-cu memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di samping mayat seorang perempuan berbaju hijau, di atas dinding terukir 16 huruf besar yang berbunyi: "Un-yu-ci-biang, bing-lok-ci-kiong" atau surga yang hangat, istana yang gembira. Lalu di bawahnya: "Siau-hun-si-kut, jik-tok-ji-hiong" atau sukma tergetar tulang terhapus, selain keji juga ganas.

"Empat puluh tahun yang lalu, tempat inilah surga yang di impi-impikan oleh setiap pendekar muda di seluruh dunia ini," demikian tutur si kakek. "Barang siapa dapat berkunjung ke sini, sekalipun tulang terhapus dan sukma tergetar juga rela."

"Apa sebabnya?" tanya Kim-yan-cu dengan terkesiap.

"Sebab kalau sudah berada di sini barulah diketahui sesungguhnya apa kegembiraan kaum lelaki? Hahaha, cuma sayang, setelah menikmati kebahagiaan ini, lalu orang itupun harus mati."

Sampai di sini, si kakek bergelak tertawa beberapa kali, namun suaranya tetap hambar, tiada tinggi-rendahnya nada, juga tiada terdengar rasa suka atau duka.

Kim-yan-cu menarik napas dingin, ucapnya kemudian: "Jika demikian, mengapa di sini tidak terlihat mayat lelaki seorangpun?"

"Soalnya waktu itu setiap lelaki harus menunggu setelah masuk istana dan dinilai dulu oleh Siau-hun Kiongcu (puteri penggetar sukma), habis itu barulah dia akan mati," tutur Si kakek.

"Jika sudah tahu tempat setan yang jahat ini mengapa anak perempuan juga sengaja kemari?" tanya Kim-yan-cu.

"Untuk ini memang banyak alasannya," tutur pula si kakek. "Ada sementara orang perempuan yang iri kepada kecantikan Siau-hun-kiongcu dan bertekad akan membunuhnya. Ada lagi yang dendam karena suami atau kekasih sendiri menjadi korban pikatan sang Kiongcu dan sengaja datang kemari untuk menuntut balas..."

"Tapi kalau Siau-hun-kiongcu itu masih hidup sampai sekarang, tentunya dia sudah berwujud siluman tua, mengapa masih tetap ada anak perempuan sebanyak ini yang mengantar nyawa ke sini?"

"Meski Siau-hun-kiongcu sudah mati, tapi harta pusakanya dan kitab wasiat tinggalannya masih berada di sini," kata si kakek. "Harta pusakanya tidak perlu dipersoalkan, melulu kitab wasiat pelajaran ilmu silatnya saja selama berpuluh tahun ini selalu diincar oleh setiap perempuan di dunia ini, tak perduli siapapun, asalkan bisa memperoleh Bikang (ilmu memikat) Siau hun-kiongcu, maka setiap lelaki di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di bawah kakinya."

Kim-yan cu memandang Pwe-giok sekejap, tanpa terasa air mukanya menjadi merah pula, katanya: "Barang kotor begitu, melihat saja aku tidak sudi."

Si kakek tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tapi sekali sudah kau lihat mungkin kau akan merasa berat untuk melepaskannya."

Sekonyong-konyong sorot matanya beralih ke arah Pwe-giok, katanya pula; "Meski ilmu silatmu kurang memadai, tapi pengetahuanmu dalam hal-hal lain ternyata cukup luas, orang seperti kau ini rasanya sayang jika kubunuh."

Pwe-giok tersenyum, katanya: "Saat ini kita belum masuk ke istana, dengan sendirinya kau takkan membunuhku."

Mencorong sinar mata si kakek, ucapnya: "Jika kau dapat membawaku masuk ke istana ini, bukan saja tidak kubunuh kau, bahkan akan ku bagi sama rata harta pusaka yang kita temukan nanti."

"Dan kalau aku tidak mau?" tanya Pwe-giok.

"Jika kau tidak mau, sekarangpun jangan kau harap akan bisa hidup lagi," kata si kakek dengan hambar.

"Tempat ini sudah didatangi orang, bisa jadi harta pusaka yang terpendam di sini sudah diambil orang," kata Pwe-giok dengan tertawa.

"Sampai saat ini belum pernah ada seorangpun yang dapat keluar dari sini dengan hidup!" ucap si kakek dengan dingin.

Pwe-giok tertawa, katanya: "Sering kudengar kata-kata seperti ini. Padahal tempat yang tak dapat keluar dengan hidup justeru selalu ada orang yang keluar dengan hidup, hanya keluarnya tidak diketahui orang lain."

Si kakek terbahak-bahak, katanya; "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ke sembilan perempuan ini masuk ke sini dan aku sendiri yang menyumbat jalan keluarnya, dua hari pula ku jaga di luar. Bilamana ada orang keluar di luar tahuku, kedua biji mataku ini rela kukorek keluar."

Dengan sorot mata gemerdep Pwe-giok berkata pula dengan pelahan. "Kau membunuh segenap keluarga Ma Siau-thian, apakah lantaran kau mencurigai dia membocorkan rahasia tempat ini kepada ke sembilan perempuan ini."

"Hm, kau sudah bertanya terlalu banyak," jawab si kakek dengan sorot mata tajam.

"Hanya karena mencurigai seorang, lalu kau bunuh segenap keluarganya, tidakkah caramu ini terlalu keji dan kejam?" seru Kim-yan-cu.

"Jangan lupa, yang kubunuh adalah anggota Thian-Can-kau," jawab si kakek dengan tak acuh.

"Lantaran mereka membocorkan rahasiamu kepada orang lain, makanya kau bunuh mereka, begitu?" Kim-yan-cu menegas.

"Hm!" si kakek cuma mendengus saja.

"Tapi dari mana pula orang Thian-can-kau mengetahui rahasiamu?" teriak Kim-yan-cu.

"Jangan-jangan kau pun sekomplotan dengan mereka?"

Mendadak si kakek membalik tubuh dan "plok", tangannya menepuk dinding batu, lalu menjawab dengan pelahan: "Kaupun sudah terlalu banyak bertanya."

Melihat dekukan cap tangan di dinding, Kim-yan-cu mencibir dan tidak bersuara pula.

o oO 0O0 Oo o

Cukup lama Pwe-giok meraba dan mencari dan berulang-ulang bergumam: "Jangan-jangan pintu masuk istananya tidak terletak di sini?"

"Di depan sudah buntu, kalau pintunya tidak di sini, lalu di mana?" ujar si kakek.

Pwe-giok berpikir sejenak, ia menggeser sesosok mayat perempuan berbaju hijau, tiada dilihatnya sesuatu luka pada mayat ini, tapi kedua tangannya tampak matang biru.

Ia berjongkok, dengan sarung pedang ia mencungkil jari-jemari mayat itu, dilihatnya jari telunjuk kanan-kiri masing-masing ada setitik darah kering. Seperti luka yang habis digigit nyamuk atau seperti bekas dicocok jarum bilamana orang hendak diperiksa darahnya pada jaman ini. Namun begitu sudah mengakibatkan kematian perempuan ini.

Pwe-giok berdiri dan menghela napas panjang, gumamnya pula: "Kiranya rahasia untuk masuk ke dalam istana ini terletak pada kedua titik di huruf "ci" ini."

Huruf yang terukir di dinding batu itu pun, penuh debu, hanya kedua titik pada huruf "Ci" saja yang kelihatan licin dan bersih, seolah-olah sering digosok.

Dengan girang Kim-yan-cu berseru: "Aha, betul, aku pun tahu sekarang. Asalkan kedua titik pada huruf Ci ini ditekan, seketika akan muncul pintunya, begitu bukan?"

Sambil berkata segera ia hendak menekan kedua titik itu.

Cepat Pwe-giok mencegahnya dan berkata: "Apakah kau pun akan meniru perempuan baju hijau ini? Jika setiap kali hendak membuka pintu istana harus mengorbankan satu nyawa, harga ini kukira terlalu mahal."

Mendadak sinar perak gemerdep, si kakek telah merampas pedang pendek dan memotong kedua jari telunjuk mayat itu, lalu digunakan menekan kedua titik huruf Ci itu.

Seketika dinding yang tadinya rapat dan rata itu berbunyi keriat-keriut, pelahan-lahan dinding itu bergeser dan muncul selapis tirai bermutiara yang melambai hingga menyapu lantai.

Cahaya mutiara gemerlapan menyilaukan mata, di atas juga muncul enam belas huruf yang berbunyi: "Kegembiraan yang bahagia, dinikmati bersama anda. Masuk ke dalam pintu ini, sekaligus naik ke surga."

Air muka si kakek yang tadinya dingin dan hambar itu seketika memperlihatkan rasa gembira dan bersemangat, sinar matanya mencorong terang, mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak; "Hahaha! Rahasia Siau-hun-niocu akhirnya terjatuh juga di tanganku sekarang!"

Di tengah gelak tertawanya itu ia lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.

Kim-yan-cu coba memeriksa kedua potong jari kutung yang di buang ke lantai itu, ternyata pada ujung jari yang sudah hitam kering itu bertambah lagi dua lubang kecil. Ia pandang Pwe-giok sekejap, katanya dengan penuh rasa terima kasih: "Kembali kan telah menyelamatkan diriku. Sungguh tak tersangka pada kedua titik kecil inipun terpasang perangkap yang dapat membunuh orang."

Kiranya pada kedua titik itu masing-masing ada sebuah jarum berbisa yang sangat lembut dan hampir sukar terlihat oleh mata telanjang Bilamana jari itu tercocok jarum, hanya terasa gatal sedikit dan bilamana mulai merasa sakit, maka tak tertolong lagi orangnya.

Pwe-giok sedang memandangi tirai bertabur mutiara itu, seperti sedang menimbang apakah harus ikut masuk atau tidak. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang pucat terjulur keluar dari balik tirai dan menarik Kim-yan-cu ke dalam.

Terdengar si kakek berkata: "Harta pusaka ini ada separuhnya adalah milikmu, kenapa kau tidak ikut masuk kemari?"

Belum habis ucapannya Kim yan-cu sudah terseret masuk ke sana.

Diam-diam Pwe-giok merenungkan apa yang bakal terjadi nanti, pikirnya; "Setelah maksud tujuannya tercapai, orang tua ini pasti takkan melepaskan diriku..."

Sementara itu didengarnya suara sorak gembira Kim-yan-cu, akhirnya Pwe-giok ikut melangkah masuk ke sana.

Di balik tirai itu memang betul terdapat suatu dunia lain. Seketika Pwe-giok merasa silau oleh gemerlapnya cahaya emas dan sinar perak sehingga tidak jelas keadaan di dalam.

Tiba-tiba Kim-yan-cu mendekatinya dengan membawa sebuah cangkir kumala, di dalam cangkir penuh terisi ratna mutu manikam yang kemilauan sehingga wajah si nona yang berseri-seri itu semakin menarik.

"Lihatlah, betapa indah benda-benda ini?" seru si nona dengan berjingkrak gembira.

"Kau suka?" tanya Pwe-giok.

"Anak perempuan mana yang tidak suka kepada intan permata? Kalau lelaki suka kepada intan permata adalah karena nilainya yang tinggi, sedangkan perempuan suka kepada intan permata adalah karena keindahannya. Coba lihat, yang ini bagus atau tidak?"

Dia lantas angkat seuntai kalung mutiara dan digantung di depan lehernya, cahaya mutiara yang kemilauan menyinari kerlingan matanya yang redup seperti agak mabuk.

Pwe-giok menjawab dengan gegetun: "Betapa pun indahnya mutiara ini, mana bisa lebih indah daripada kerlingan matamu?"

Kim-yan-cu menunduk dan tertawa, mukanya menjadi merah.

Tapi si kakek bercahaya perak tadi sama sekali tidak memandang mereka, terhadap ratna mutu manikam yang memenuhi ruangan itu seolah-olah juga tidak tertarik, ia masih terus mencari dan menggeledah di segenap pelosok.

Mutiara, jamrud, kumala, mirah, safir . . .. satu persatu dibuangnya di lantai seperti membuang sampah. Sungguh aneh, apakah barang yang dicarinya bisa lebih berharga daripada benda-benda mestika ini?

"Menurut kau, apakah dia sedang mencari Siau-hun-pit-kip (kitab pusaka penggetar sukma) tinggalan Siau-hun-kiongcu itu?" tanya Kim-yan cu dengan suara tertahan.

"Kukira begitulah," jawab Pwe-giok.

Kim-yan-cu tertawa cekikik, katanya: "Dia kan bukan perempuan, seumpama berhasil meyakinkan ilmu memikat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, lalu apa gunanya?"

Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bisa jadi Kungfu yang diyakinkan nya sehaluan dengan ilmu Siau-hun kiongcu ini. Jika keduanya bergabung dan saling menambal kekurangan masing-masing, dengan sendirinya lantas besar manfaatnya. Atau mungkin juga dia mempunyai anak perempuan..."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar si kakek bergelak tertawa seperti orang gila. Terlihat tangannya yang pucat itu memegangi beberapa jilid buku tipis warna jambon, rasa gembiranya itu jauh melebihi Kim-yan-cu ketika menemukan batu permata tadi.

Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.

"Cita-citaku telah terkabul, kau harus ikut bergembira bagiku, kenapa kau menghela napas?" omel si kakek dengan tertawa.

"Soalnya Cayhe lantas teringat kepada pepatah "Niau-cin-kiong-cong" (burung habis gendewa disimpan, kiasan bahwa setelah burung terbidik, gendewa tidak diperlukan lagi), maka aku menjadi sedih."

"Kan sudah kukatakan takkan kubunuh kau, masa aku ingkar janji," ujar si kakek dengan tergelak. Lalu ia menggunakan tangan kiri dan memberi tanda garis tengah ruangan itu dan berkata pula: "Bukan saja jiwamu takkan kuganggu, bahkan aku tetap pegang janji dan akan ku bagi separoh harta pusaka ini kepadamu. Di sinilah batasnya, yang sebelah sana semuanya adalah milikmu, boleh kau ambil saja sesukamu."

"Anda dapat pegang janji, tidak sia-sia ku sebut engkau sebagai Cianpwe," ujar Kim-yan-cu dengan tertawa.

Tapi Pwe-giok menanggapi dengan tak acuh: "Biarpun Cianpwe memberikan kepadaku seluruh harta pusaka ini, kalau tidak dapat kubawa keluar kan juga percuma dan tiada gunanya,"

Sembari bicara, seperti tidak sengaja, ia tetap menghadang di depan pintu tanpa bergeser.

Si kakek tertawa, katanya: "Meski ilmu silatmu kurang tinggi, kukira tenagamu cukup kuat, boleh kau bungkus saja harta pusaka ini sekantong demi sekantong, kan akhirnya dapat kau bawa pergi seluruhnya?"

"Sekalipun Cianpwe tidak mengganggu jiwaku, tapi bila Cayhe sedang meringkasi benda-benda berharga ini, mungkin Cianpwe terus melayang keluar dan menyumbat pintu keluar, lalu apa gunanya biarpun Cianpwe memberikan seluruh harta karun ini kepadaku?"

Tak tersangka oleh si kakek bahwa pemuda yang tampaknya lugu dan tulus itu dapat menerka isi hatinya. Sejenak ia melenggong, dari malu ia menjadi gusar, segera ia membentak: "Kau menghadang di depan pintu, apakah kau kira aku tidak mampu keluar?"

Di tengah bentakannya kelima jarinya laksana kaitan terus mencengkeram urat nadi pergelangan tangan Pwe-giok.

Mendadak Pwe-giok memutar tangannya dan berbalik memotong urat nadi lawan, gerakan cepat dan balas menyerang secara licin ini membuat si kakek terkejut, cepat telapak tangannya yang lain juga memukul.

Pwe-giok tidak mengelak juga tidak menghindar atas serangan si kakek, ia malah sambut pukulan lawan dengan sebelah tangannya, "plak" kedua tangan beradu, kedua orang sama-sama tergetar mundur dua-tiga tindak.

Si kakek sama sekali tidak menyangka Kungfu anak muda ini bisa sedemikian lihai, ia terkejut dan gusar, katanya dengan menyeringai: "Tak terduga boleh juga kau, akulah yang salah pandang!"

Belum habis ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang beberapa jurus lagi. Di tengah serangannya yang aneh itu membawa gerakan keji.

Namun Pwe-giok dapat mematahkan setiap jurus serangan lawan, cuma dia baru sembuh dari keracunan, setelah belasan gebrakan, tenaga mulai terasa lemah. Mendadak ia membentak pada Kim-yan cu: "Kenapa kau tidak lekas terjang keluar?"

Kim yan-cu memang lagi kesima menyaksikan pertarungan mereka, ia terkesiap oleh bentakan Pwe-giok itu, tapi ia lantas menjawab dengan tertawa: "Dua lawan satu kan lebih baik daripada sendirian biarlah akupun maju..."

Cepat Pwe-giok memotong: "Dengan kepandaianmu, biarpun ikut maju juga tiada gunanya. Terjang keluar saja dan jangan hiraukan diriku!"

Karena bicara dan sedikit lengah, kembali dia terdesak mundur dua tiga langkah.

Melihat pertarungan kedua orang sedemikian rapatnya sehingga dirinya tidak mungkin ikut campur, terpaksa Kim-yan cu menghela napas, mendadak ia melompat lewat samping si kakek.

Tak terduga punggung si kakek seakan-akan juga tumbuh mata, sebelah tangannya menghantam ke belakang. Kim-yan-cu tidak sanggup menangkis, dada terasa sesak, ia terpental dan jatuh terguling ke belakang.

Pada kesempatan itulah Pwe-giok juga melancarkan serangan sehingga dapat mendesak maju ke tempat semula. "Apakah kau terluka?" tanyanya kepada Kim-yan-cu.

Tubuh Kim-yan cu terasa pegal seluruhnya tapi dia menjawab dengan tersenyum: "Tidak apa-apa jangan kau pikirkan diriku!"

Melihat senyuman si nona yang setengah meringis itu, Pwe-giok tahu dalam waktu singkat mungkin Kim-yan-cu tidak sanggup berbangkit. Pikirannya menjadi kusut, kembali dia terdesak mundur lagi oleh hantaman si kakek.

Dengan menggertak gigi Pwe-giok menyambut pula tiga kali pukulan kakek itu. Kedua orang berdiri di luar dan di dalam tirai, sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, tirai itu pun robek, mutiara dan batu permatanya berserakan di lantai.

"Mengapa kau tidak bersuara, apakah kau terluka?" tanya Kim-yau-cu dengan parau.

Terpaksa Pwe-giok berteriak; "Kau jangan kuatir, aku...." karena bersuara, bawa murni dalam tubuh tambah lemah, kembali dia terdesak mundur dua langkah, kini ia sudah terdesak ke luar pintu.

Si kakek terus mendesak keluar, serunya dengan tertawa: "Kalian berdua boleh dikatakan dua sejoli yang sehidup semati, sungguh aku menjadi iri."

Pada waktu si kakek bicara, segera Pwe-giok bermaksud menyerang dan mendesak kembali ke tempat semula, tapi sayang, tenaga tidak mau menuruti kehendaknya lagi. Kain putih yang membalut kepalanya juga sudah basah kuyup oleh air keringat. Dalam keadaan demikian kalau dia mau kabur sendiri mungkin masih ada harapan, tapi mana dia tega meninggalkan Kim-yan-cu begitu saja?

Agaknya si kakek dapat meraba jalan pikirannya dengan menyeringai ia berkata pula: "Jika kau tidak keluar sekarang, segera akan kututup pintu ini, akan kukurung dia di dalam, dengan demikian jangan harap lagi kalian akan berkumpul kembali."

Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika demikian, hendaklah kau memberi jalan, biar aku lewat ke sana."

Si kakek terbahak-bahak, benar juga ia lantas menyingkir ke samping.

Dengan sedih Pwe giok melangkah ke sana. Tapi baru saja sampai ambang pintu, Cepat Pwe giok berteriak: "Sudah kutahan dia, lekas kau lari!"

Dengan terhuyung-huyung Kim yan cu berlari keluar, katanya dengan suara gemetar: "Dan. . . .dan kau?"

Tidak kepalang gemas Pwe giok, sungguh dia ingin mencekik leher si nona dan menghardiknya: "Kenapa kau tidak lari keluar lebih dulu dan nanti berusaha lagi menolong diriku?"

Tapi ia sendiri sedang terdesak oleh serangan si kakek sehingga tidak sempat bersuara sama sekali.

Si kakek sinar perak tertawa terkekeh-kekeh katanya; "Demi keselamatan dirimu, dia rela mengorbankan dirinya di sini, apakah kau tega pergi sendirian?"

"Sudah tentu tidak mungkin ku pergi sendiri," jawab Kim-yan-cu tegas.

"Mau mati biarlah kami mati bersama saja."

"Bagus," ujar si kakek dengan tertawa. "Dengan demikian barulah dapat dikatakan punya perasaan, sungguh aku sangat kagum."

Cemas dan gemas Pwe-giok sungguh kalau bisa ingin ditendangnya keluar Kim-yan-cu. Karena gusarnya itu, sedikit meleng, dada terasa panas, rupanya telah kena getaran pukulan si kakek. Sekali ini dia tidak mampu balas menghantam lagi.

"Haha, apakah nona tidak ingin masuk lagi ke sana?" seru si kakek dengan tertawa.

"Sudah tentu aku akan masuk ke sana, tidak perlu kau kuatir," teriak Kim-yan cu dengan suara serak.

Pwe giok hendak membentak untuk mencegahnya, tapi belum lagi bersuara, tahu-tahu Kim-yan-cu sudah lari masuk lagi dengan langkah sempoyongan dan menubruk ke dalam pelukannya.

Terdengar si kakek tertawa latah, katanya: "Sudah kukatakan takkan kubunuh kau, tentu ku pegang teguh janjiku ini. Tapi kalau kalian mati sesak di sini kan bukan salahku."

Habis berkata, "krek" pintu batu itu telah tertutup.

Seketika di dalam gua itu berubah menjadi sunyi senyap, sampai suara tertawa si kakek pun tidak terdengar lagi.

Kim-yan-cu termangu-mangu sejenak, akhirnya air mata bercucuran, ucapnya dengan tersendat-sendat: "Semuanya gara-garaku sehingga kau pun ikut susah. Mengapa... mengapa kau tidak melarikan diri sendiri tadi?"

"Dan kau sendiri mengapa tidak mau lari?" jawab Pwe giok dengan menyesal. "Setelah kau keluar, kau kan dapat berusaha menolong diriku? Dengan begitu kan lebih baik daripada dua-duanya terkurung mati di sini?"

Kim yan-cu melenggong sejenak, mendadak ia mengikik tawa.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe giok dengan berkerut kening. "Apakah salah ucapanku?"

"Jika kau kira ucapanmu itu masuk diakal, kenapa kau sendiri tidak lari keluar lebih dulu baru kemudian berusaha menolong diriku lagi?" jawab Kim-yan-cu.

Sekali ini Pwe giok juga melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan tersenyum kecut: "Ya, betul juga. Tadinya kukira kau ini nona bodoh, tak tahunya akulah yang jauh lebih bodoh daripadamu."

"Kau sama sekali tidak bodoh," ujar Kim-yan-cu dengan suara lernbut, "hanya karena terlalu memikirkan diriku, maka kau lupa akan dirinya sendiri."

Tanpa terasa Pwe-giok membelai rambut si nona, katanya dengan gegetun: "Dan kau sendiri bagaimana? Bukankah kau pun begitu, demi diriku kau pun lupa pada dirimu sendiri?"

Kim yan-cu bersuara tertahan terus menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu.

Sejak kecil Pwe-giok sudah kehilangan ibu, di bawah didikan sang ayah yang keras, meski sejak dulu sudah mengikat jodoh, namun jari sang tunangan saja tidak pernah disentuhnya, bilakah dia pernah merasakan kemesraan muda-mudi begini?

Seketika pikirannya menjadi bingung, entah mesti gembira atau harus sedih. Entah suka entah duka?

Umumnya, orang yang sama-sama berada dalam kesusahan memang lebih mudah menumbuhkan benih perasaan dengan cepat, kecepatan yang sukar dibayangkan dan juga sukar dicegah.

Entah selang berapa lama, mendadak Kim-yan-cu melompat bangun, dengan muka merah ia berkata: "Coba lihat, kita telah berubah menjadi tolol semua sehingga tidak terpikir kalau pintu ini dapat di buka dari luar, dengan sendirinya dapat pula dibuka dari dalam. Kalau tidak, waktu Siau-hun-kiongcu masih hidup, apakah dia juga harus dibukakan pintu dari luar bilamana dia ingin keluar?"

Merasa jalan pikirannya ini sangat masuk diakal, tanpa terasa ia menjadi sangat gembira.

Sebaliknya Pwe-giok lantas menghela napas panjang, ucapnya: "Kakek itu sudah tahu dimana letak kunci pintu keluar masuk tempat ini, dia membawa pula pedang wasiat setajam itu, cukup sekali bergerak saja semua alat rahasia dapat dirusaknya. Pintu batu ini seberat ribuan kati, jika pegasnya rusak, siapa lagi yang sanggup menggesernya? jika ia sudah berniat mengurung kita di sini, tentu juga sudah dipikirkannya segala kemungkinannya."

Kim yan-cu melengak, senyumnya tadi lenyap seketika, katanya dengan ragu-ragu: "Tapi harta... harta benda yang terdapat di sini, apakah tidak... tidak dikehendakinya lagi?"

"Bila kita mati terkurung di sini, tentu harta karun inipun takkan lari, lambat atau cepat tetap akan jadi miliknya, untuk apa dia terburu-buru mengambilnya? apalagi tujuannya sebenarnya bukan terletak pada harta karun ini."

Dengan lemas Kim-yan cu berduduk lagi, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia tertawa cerah pula dan berkata: "Sebelum pagi hari ini, sungguh mimpipun tak terpikir olehku akan mati bersamamu di sini. Yang aneh adalah sekarang aku tidak merasa takut sedikitpun. baru sekarang ku tahu, mati ternyata bukan sesuatu yang menakutkan seperti apa yang pernah kubayangkan. apalagi kalau dapat mati bersamamu, jelas aku lebih beruntung daripada ke delapan anak perempuan yang telah mati itu."

Mendadak Pwe-giok terbelalak, serunya: "Kau bilang ke delapan anak perempuan itu?"

Kim-yan cu bingung karena tidak tahu apa sebenarnya anak muda itu berteriak, jawabnya dengan tergagap: "Be... betul"

Pwe-giok memegang tangan si nona dan menegas: "Apakah sudah kau lihat jelas? Betul-betul delapan dan bukan sembilan?"

Kim-yan cu berpikir sejenak, lalu menjawab tegas: "Ya, tidak kurang tidak lebih, persis delapan" ia merandek, kemudian berkata pula: "Tapi delapan atau sembilan, memangnya ada sangkut paut apa dengan kita?"

"Tentu saja ada sangkut pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya!" seru Pwe-giok.

Melihat anak muda itu mendadak kegirangan, Kim-yan cu menjadi heran, tanyanya: "Ada sangkut paut apa? Bukankah anak-anak perempuan itu sudah mati semua?"

Pwe-giok menggenggam tangannya erat-erat dan berkata: "Menurut orang tua tadi, katanya dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan sembilan anak perempuan masuk ke sini dan tiada seorangpun yang pernah keluar. Berdasar ketajaman matanya kupercaya dia pasti tidak salah hitung, sebaliknya kau cuma melihat delapan sosok mayat dan juga tidak keliru lihat."

Dia menghela napas panjang dan menatap Kim-yan cu tajam-tajam, lalu menyambung pula sekata demi sekata: "Maka sekarang ingin kutanya padamu, ke mana perginya anak perempuan yang ke sembilan itu?"

Kim-yan cu melongo bingung seperti paham dan seperti tidak, gumamnya: "Ya, betul, kemana perginya anak perempuan ke sembilan itu? Kenapa bisa menghilang?"

"Orang sebesar itu masa bisa hilang?" ujar Pwe-giok.

"Betul, orang sebesar itu mustahil bisa hilang?" tukas Kim-yan cu.

Mendadak Pwe-giok berseru: "Masa kau tidak paham, sebabnya anak perempuan ke sembilan itu bisa menghilang mendadak tentu karena di sini ada jalan keluar lain, kalau tidak, memangnya dia dapat menyusup masuk ke dalam bumi?"

Akhirnya Kim-yan cu paham duduknya perkara, ia melonjak bangun dan merangkul Ji Pwe-giok serunya dengan tertawa: "Ai, kau memang benar-benar bukan orang bodoh, sebaliknya aku inilah budak tolol."

Pada saat sudah putus asa tiba-tiba mendapatkan setitik sinar harapan, sudah tentu mereka kegirangan, Tapi lantaran kelewat bergirang, mereka menjadi lupa bahwa bilamana anak perempuan ke sembilan itu datang demi mencari harta karun, kalau betul dia sudah keluar melalui suatu jalan rahasia lain, mengapa harta karun ini tidak dibawa pergi sekalian? Setelah mencapai tempat penyimpanan harta karun ini apakah mungkin dia keluar lagi dengan tangan hampa?

Si kakek tadi menemukan kitab pusaka Siau-hun-pit-kip pada sebuah almari batu yang berbentuk aneh, sekarang pintu almari batu itu masih terpentang. Didepan almari batu ada sebuah kasuran berwarna hijau-kelabu, waktu diperiksa lebih teliti, kasuran ini juga ukiran dari batu, saking pandainya mengukir sehingga tampaknya seperti kasuran asli.

Bahwa ditengah ruangan hanya tertaruh sebuah kasuran begini, jelas tampaknya agak janggal, tidak sesuai dan tidak serasi dengan keadaan di ruangan ini, apalagi kasuran ini ukirannya dari batu hijau, lebih-lebih menurut ingatan Ji Pwe-giok, di bawah kasuran begini biasanya tersembunyi sesuatu rahasia. Maka begitu melihat kasuran ini, dia lantas tertarik, segera ia mendekatinya.

Namun kasuran ini seperti berakar di tanah, didorong maupun ditarik tidak bergeming sedikitpun, diputar kesana ke sini juga tidak mau bergetar.

Pwe-giok menghela napas kecewa. waktu menengadah, mendadak dilihatnya di dinding almari batu itupun terukir gambar laki perempuan yang tidak senonoh. Anehnya setiap pasangan manusia ukiran ini secara indah terangkat menjadi satu huruf sehingga seluruhnya berbunyi: "Barang siapa mendapat kitab pusaka ku, masuklah ke perguruanku. Terimalah ilmu tinggalan ku dan menyembah kepada arwahku. Baik buruk atau untung malang, semua itu mesti tunduk kepada perintahku. Yang melanggar pesan tinggalanku ini akan tertimpa bencana dan mati."

Disamping kedua baris tulisan yang menyerupai ramalan ini terdapat pula beberapa baris huruf kecil dan berbunyi: "Barang siapa menemukan harta dan kitab pusakaku, dia harus masuk ke perguruanku, hendaklah segera berlutut di atas kasuran dan menghadap ke dinding ini, dengan hati tulus dan bersujud menyembah sembilan kali sembilan sana dengan 81 kali sebagai penghormatan mengangkat guru, dengan demikian akan mendapatkan rejeki. Tapi kalau membangkang atas perintahku ini, setelah mendapatkan harta pusaka ini terus pergi, arwahku pasti akan mengejar dirimu dan mencabut nyawamu. Camkanlah peringatan ini."

Jelas si kakek cahaya perak tidak pernah memperhatikan pesan Siau-hun-kongcu ini, dengan sendirinya dia tidak percaya orang yang sudah mati masih mampu mencabut nyawanya.

Akan tetapi setelah berpikir sejenak, Pwe-giok benar-benar berlutut di atas kasuran itu dan mulai menyembah.

Kim-yan cu melenggong, katanya dengan tertawa: "Masa kau benar-benar ingin mengangkat guru kepada orang mati?"

Sembari menyembah Pwe-giok menjawab: "Pada masa hidupnya, tindak-tanduk Siau-hun-kongcu ini sudah sukar diraba orang. Ketika mendekati ajalnya, tentu dia memeras otak dan mencari akal yang aneh-aneh untuk mengatur segala sesuatu." "Ya, orang seperti dia itu, kalau mati tentu juga tidak rela barang tinggalannya dikuras orang dengan begitu saja." ujar Kim-yan cu.

"Sebab itulah, kupikir pesan yang diukir di sini ini pasti juga ada tujuan tertentu, mungkin disinilah letak rahasianya yang paling besar," kata Pwe-giok.

Kim-yan cu berkerut kening katanya: "Tapi orang sudah mati apa yang dapat diperbuat lagi? ..."

Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, air mukanya berubah pucat, dengan suara gemetar ia berkata pula: "Jangan-jangan... jangan-jangan dia belum lagi mati?"

Selesai Kim-yan cu bicara, Pwe-giok juga sudah habis menyembah 81 kali.

Sekonyong-konyong dinding batu yang penuh terukir huruf itu terbelah menjadi dua dan bergeser ke samping. Dibalik dinding tampak cahaya terang gemerlapan menyilaukan mata.

Pada saat itu yang hampir sama, mendadak kasuran batu itu terus meluncur ke arah lemari batu itu secepat kilat. Pwe-giok sendiri waktu itu merasa dengkulnya kaku kesemutan setelah berlutut dan menyembah sekian lama, belum lagi dia sempat berbangkit, tahu-tahu kasuran tempat dia berlutut itu terus meluncur ke balik dinding yang terbelah itu.

Tanpa kuasa Pwe-giok terhanyut oleh kasuran batu itu, seketika ia merasa silau dan tidak melihat apa-apa. Pada saat itu mendadak kasuran batu itu berganti arah terus meluncur balik ke belakang.

Karena dibawa meluncur ke depan dan mendadak membalik lagi ke belakang, tanpa kuasa Pwe-giok terjungkal ke depan dan jatuh di lantai. "bluk", seperti ada sesuatu barang tertindih oleh tubuhnya. Menyusul asap tebal lantas muncrat berhamburan.

Kasuran batu tadi telah meluncur keluar dinding dan dinding itu lantas merapat kembali, semuanya itu berlangsung dengan cepat, hampir seperti terjadi dalam waktu yang sama.

Apa yang terjadi ini sungguh terlalu cepat dan terlalu banyak sehingga Pwe-giok tak sempat bertindak apapun, hidungnya sempat menghisap bau harum bedak. Meski harum baunya, tapi terasa gelagat tidak menguntungkan.

Sama sekali tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa setelah dia menuruti pesan Siau hun-kiongcu tadi, sebagai imbalan adalah kejadian yang luar biasa ini dan rejeki nomplok. Segera pula dia hendak menahan napas, namun bau harum tadi sudah sempat diisapnya sedikit.

Kim yan cu juga mendadak merasakan cahaya yang menyilaukan tadi sehingga matanya sukar terbuka.

Samar-samar ia sempat melihat kasuran tadi meluncur ke dalam lemari batu dengan membawa Ji pwe giok, waktu dia dapat membuka mata dan melihat lebih jelas, tahu-tahu batu itu sudah meluncur balik ke tempat semula. Waktu dia pandang almari batu itu, keadaannya masih utuh seperti tadi, sedikitpun tiada perubahan apapun namun Ji Pwe giok tidak kelihatan lagi, entah menghilang kemana?

Kim yan cu jadi melongo kesima, sungguh ia tidak percaya kepada pemandangannya sendiri, apakah yang terjadi sesungguhnya? Mengapa bisa begini?

Hampir saja ia berteriak-teriak, tapi dalam keadaan demikian, sekalipun sampai pecah kerongkongannya juga tiada seorangpun yang mendengar suaranya.

Kim yan cu sudah cukup berpengalaman berkelana di dunia kangouw, sudah sering juga dia menghadapi saat-saat antara mati dan hidup, betapapun dia bukan anak perempuan biasa, walaupun dia kelihatan begitu lemah lembut ketika berada disamping Ji we giok.

Tapi anak perempuan mana di dunia yang tidak kelihatan lemah lembut bila berada bersama seorang lelaki? Bila berada bersama seorang lelaki, bisa jadi untuk melangkahi selokan yang setengah meter lebarnya perlu juga dibantu oleh si lelaki Tapi kalau berada sendirian tanpa didampingi lelaki mungkin sungai yang lebarnya tiga meter akan dapat dilompatinya.

Kalau berada bersama lelaki, setiap anak perempuan pasti akan ketakutan setengah mati bilamana kebetulan ada seekor tikus menerobos, disamping kakinya, tapi kalau berada sendirian, biarpun tiga puluh ekor tikus muncul sekaligus juga akan dibinasakan semuanya.

Bila tiada orang yang lain yang dapat diandalkan, setiap anak perempuan bisa mendadak berubah kuat dan tangkas, apalagi pada dasarnya Kim yan cu memang bukan anak perempuan lemah.

Ia coba membaca tulisan yang terukir di dinding almari itu dan direnungkan berulang ulang, mendadak ia berseru : "Aha, paham lah aku!..."

Kiranya di bawah kasuran batu itu memang ada pesawat rahasianya. Kasuran baru itu tidak dapat terbuka juga tidak dapat berputar, tapi harus ditindihi oleh bobot tubuh orang, ditambah lagi orang itu berlutut diatasnya harus menyembah segala, gerakan itu akan menimbulkan daya tekanan pula, bilamana sudah menyembah hingga 81 kali, daya tekanan itu sudah cukup untuk membuka pesawat rahasia yang terpasang di bawah kasuran batu sehingga menggerakan dinding almari, begitu dinding bergerak dan terpentang, segera segala alat rahasia yang lain akan ikut tertarik dan kasuran batu itupun terbawa meluncur ke depan, ketika daya kerja pegas itu sampai pada titik akhirnya, segera kasuran batu itu terpantul balik ke tempat semula dan dindingpun rapat kembali.

Kalau sudah dijelaskan, apa yang terjadi ini menjadi kelihatan sederhana, cuma Siau Kun Kiongcu memang sengaja mengaturnya sedemikian rupa sehingga kelihatan lebih misterius dan menyeramkan.

Kim yan cu tidak ragu lagi, segera iapun berlutut di atas kasuran batu itu dan mulai menyembah. Tapi ketika menyembah 52 kali, mendadak ia melompat turun, ia memandang sekitarnya dan menemukan sebuah peti besi sebesar satu meteran, tutup peti besi itu diambilnya, lalu ditaruh di punggung sendiri, habis itu dia berlutut dan mulai menyembah lagi.

Tak tahunya, sudah 81 kali menyembah, kasuran itu tetap tidak bergerak. Ia menjadi sangsi, jangan-jangan pesawat rahasia ini hanya bergerak satu kali saja, lalu tidak mau bekerja lagi? Tapi dia tidak putus asa, ia ingin mencobanya satu kali lagi, sekali ini dia baru menyembah lima enam kali dan mendadak kasuran itu meluncur keluar sana secepat panah.

Rupanya disebabkan perawakan Kim yan cu yang ramping, bobotnya tidak cukup, mesti ditambah lagi sebuah tutup peti besi, namun cara menyembahnya menjadi kurang membungkuk ke bawah sehingga daya tekanannya menjadi berkurang pula. Maka dia perlu menyembah hingga 86-87 kali barulah daya tekanannya cukup kuat untuk menggerakan pesawat rahasianya.

Ketika merasa orangnya ikut dibawa meluncur masuk ke balik almari batu, sesudah masuk dan kasuran batu itu terpantul balik lagi kesana. Namun diam-diam Kim yan cu sudah mempunyai perhitungan, begitu ia terjerembab ke depan, berbareng itu iapun membuang tutup besi tadi keluar.

Kepandaian menggunakan Am-gi atau senjata rahasia Kim yan cu terkenal lihai juga di dunia kangouw, dengan sendirinya cara menyambitkan tutup besi itupun cukup jitu, tutup peti itu dengan cepat dilemparkan ke tengah-tengah belahan dinding, maka waktu kedua belah dinding itu akan merapat kembali lantas terhalang oleh tutup peti itu, meski tutup peti itu tergencet hingga mengeluarkan suara keriat-keriut, namun dinding itupun tidak dapat rapat sama sekali.

Sementara itu mata Kim yan cu sudah terbiasa oleh cahaya silau, akhirnya ia dapat melihat jelas rahasia di dalam gua misterius ini. Kiranya ruangan batu ini berbentuk segi delapan, dinding sekelilingnya penuh terhias batu permata dan mutiara sebesar gundu, di belakang mutiara ini semuanya dilapisi sepotong kaca kecil. karena itulah cahaya mutiara lantas memantulkan sinar yang kemilauan sehingga kamar inipun gemerlapan dan seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit telah dipindahkan oleh Siau hun kiongcu ke kamar ini.

Ditengah-tengah kamar batu ini ada sebuah peti mati batu raksasa, selain peti mati ini sudah tentu masih ada pula barang lain, tapi Kim yan cu tidak menaruh perhatian lagi, yang dipikirkannya cuma Pwe giok saja.

Dilihatnya anak muda itu duduk bersila di sana, sekujur badan tampak menggigil, kain putih yang membalut kepalanya itu sudah basah kuyup seperti habis disiram air. "He, ken..... kenapa kau? jerit Kim yan cu. Pwe giok menggertak gigi dan tidak menjawab, bahkan matapun tetap terpejam.

Kim yan cu terkejut dan kuatir, baru saja ia bermaksud memegang tangan Pwe giok, mendadak tangan Pwe giok malah menghantamnya sehingga Kim yan cu terguling. "He, apa-apaan kau?" jerit Kim yan cu "Jangan ..... jangan kau urus diriku," teriak Pwe giok.

"Biarkan ku istirahat sebentar dan semuanya akan baik lagi" Setiap kata yang diucapkan anak muda itu seakan akan sangat memakan tenaga, maka Kim yan cu tidak berani bertanya lagi. Dilihatnya disamping Pwe Giok ada secomot benda yang gemerlapan, benda sebangsa pecahan kaca berwarna merah muda, entah barang apa.

Waktu ia memandang lagi ke belakang peti mati, di sana juga ada sebuah almari batu, pintu almari sudah terbuka. Di dalam almari terdapat berpuluh botol kecil berwarna merah muda dan bercahaya, tampaknya serupa dengan barang pecah yang terdapat di samping Ji Pwe giok itu.

Disamping berpuluh botol kecil itu ada pula beberapa jilid buku berwarna merah, buku ini serupa kitab yang dibawa pergi si kakek bercahaya perak itu, halaman buku ini tampak tersingkap, agaknya pernah dibalik-balik orang.

Kim yan cu mengira Pwe giok yang membalik-balik halaman buku itu, ia jadi tertarik juga dan mendekatinya untuk melihat, tapi baru dua halaman buku itu dibacanya, seketika mukanya menjadi merah, jantungnya berdetak keras.

Pada halaman pertama buku itu tertulis: "Siau hun pit kip, yang mendapatkannya mencapai kenikmatan. Siau hun pi yok, yang mendapatkannya naik surga."

Disamping kedua belas huruf besar itu tertulis pula: "Inilah kitab asli Siau hun pit kip, hanya perempuan yang punya rejeki besar yang akan mendapatkannya. Setelah belajar satu tahun, cukup untuk membuat setiap lelaki di dunia ini tergiur dan jatuh hati. Bila belajar tiga tahun, dapatlah mematahkan iman siapapun di dunia ini. Kitab yang beredar di luar adalah kitab tiruan dan sekali-kali tidak boleh sembarangan dipelajari, kalau tidak menurut, akibatnya akan terjeblos sendiri ke laut penderitaan dan sukar tertolong, berbagai macam penyakit akan timbul dan tersiksa hingga mati. Inilah pesan perguruan yang harus diperhatikan. Karena kau sudah datang ke sini dan mendapatkan kitab pusaka ini, maka bahagialah selama hidupmu.

Waktu ia baca pula halaman kedua, seketika muka Kim yan cu menjadi panas, sungguh mimpipun tak pernah terpikirkan olehnya di dunia ini ada kejadian begini dan juga ada cara begini. Kiranya yang diajarkan dalam kitab ini adalah teknik bercinta yang hampir sukar dibayangkan siapapun juga.

Hampir saja Kim yan cu merobek kitab itu, tapi entah mengapa, rasanya berat juga untuk menghancurkan kitab demikian. Selagi ragu-ragu, tiba-tiba tergerak pikirannya, pikirnya: "Jangan-jangan dia terkena racun yang terisi di botol yang pecah itu? mungkin di dalam kitab ini ada petunjuk cara menawarkannya..."

Sudah tentu inilah alasan yang paling baik baginya untuk membaca lagi kitab ajaib itu. Setelah membaca beberapa halaman pula, ditemuinya di dalam kitab benar-benar ada tulisan yang berbunyi: "Isi botol ini semuanya adalah obat perangsang cinta, ada yang berbentuk pil, ada yang berwujud bubuk. Lelaki yang meminum obat di dalam botol ini, bila tidak mendapatkan pelampiasan tubuh perempuan, akibatnya akan mati dengan tujuh lubang (mata, telinga, hidung dan mulut) berdarah."

Membaca sampai di sini, tanpa terasa Kim-yan-cu bersuara kaget. Jantungnya serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya, ya takut ya kuatir, sungguh tidak keruan rasanya.

Didengarnya Pwe-giok sedang menggertak gigi hingga berbunyi gemertakan, katanya dengan terputus-putus: "Lekas, ....lekas kau pergi .... lekas pergi saja ..."

Tapi Kim-yan-cu masih tetap berdiri melenggong di tempatnya. Lantaran membela dirinya sehingga anak muda itu tersiksa begini, mana dia tega tinggal pergi dan membiarkan orang mati dengan tujuh lubang berdarah?

Mendadak Kim-yan-cu tertawa manis sambil mendekati Pwe-giok. Jantungnya berdebar, tubuhpun terasa lemas, ia sendiri tidak tahu apakah kuatir, takut, malu atau gembira?

Pwe-giok menatapnya dengan mendelik, teriaknya dengan gemetar: "Jangan kau mendekatiku, jangan, kumohon dengan sangat, jangan kau mendekat kemari!"

Tapi Kim-yan-cu malah pejamkan mata terus menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Ji Pwe-giok.

Dia sudah bertekad akan korbankan dirinya sendiri. Akan tetapi anak perempuan manapun juga tidak nanti mau berkorban bagi lelaki yang tidak disukanya.

Dengan memejamkan mata kim-yan-cu sudah merelakan segalanya, dia sudah siap mempersembahkan miliknya, dan bersedia menerimanya....

Tak terduga, pada saat itu juga mendadak ia merasakan pinggangnya kaku, ia telah tertutuk oleh Pwe-giok. menyusul tubuhnya terus dilemparkan keluar oleh anak muda itu. lalu tutup peti besi tadipun ditendang mencelat dan dinding batu lantas rapat kembali.

Kim-yan-cu terkejut dan melenggong dan juga berterima kasih. Tapi entah mengapa, rasanya juga rada kecewa, berbagai macam perasaan itu bercampur aduk.

Ia tahu Pwe-giok masih punya perasaan, belum hilang akal sehatnya, maka tidak tega membikin susah padanya.

Ia tahu sebabnya anak muda itu menutuk hiat-tonya adalah karena kuatir dirinya akan masuk lagi ke sana. Sebabnya dia menutup dinding itu adalah untuk menjaga agar Pwe-giok sendiri tidak sampai menerjang keluar bilamana tidak tahan oleh rangsangan obat kuat yang diminumnya.

Dan jelas pintu dinding itu tidak mungkin dibuka dari dalam. Sekarang tertinggal Pwe-giok saja yang terkurung di situ untuk menanti kematian.

Air mata Kim-yan-cu bercucuran, teriaknya dengan suara parau: "Meng.... mengapa kau begitu bodoh? Memangnya kau kira demi menolong dirimu maka kulakukan seperti tadi itu? Sesungguhnya aku sendirilah yang rela berbuat begitu, apakah... apakah kau tidak tahu aku memang suka padamu?..."

Di luar dugaan, suara Kim-yan-cu itu ternyata bisa tersalur ke dalam kamar batu sana, apa yang diucapkan Kim-yan-cu itu dapat didengar jelas oleh Pwe-giok. Tapi sekarang biarpun dia ingin memasukkan lagi si nona ke sana juga tidak dapat lagi, semuanya sudah terlanjur.

Pwe-giok memukul-mukul dinding dan berteriak dengan suara gemetar: "Kau tahu, aku tidak boleh berbuat begitu, aku tidak boleh merusak dirimu?!"

Kim-yan-cu juga dapat mendengar suaranya, iapun berteriak: "Tapi kalau kau tidak berbuat begitu, terpaksa kau harus mati!"

"O.., kumohon..... maafkan..."
"Kubenci padamu, kubenci...." teriak Kim-yan-cu. "Selamanya takkan kumaafkan kau. Kau hanya tahu tidak tega mencelakai diriku, tapi tahukah kau dengan penolakanmu ini kau telah menyakitkan hatiku?"

Sungguh ia tidak tahu mengapa dirinya bisa mengucapkan kata-kata begitu. Bisa jadi ia sengaja hendak mendorong semangat Pwe-giok agar berusaha keluar.

Sekujur badan Pwe-giok serasa mau meledak, ia berteriak-teriak: "Ya, aku salah. Memang aku salah besar! Sebenarnya akupun suka padamu!"

"Dan mengapa kau tidak keluar? Apakah sekarang kau tidak dapat keluar?!" teriak Kim-yan-cu, betapapun dia masih menaruh harapan.

"Sudah terlambat, sudah terlambat!"

"Tahukah kau, hanya ada kematian jika kau tidak keluar?"

"Biarpun mati akupun berterima kasih kepadamu!" teriak Pwe-giok dengan gemetar. Tubuhnya merasa panas seperti dibakar, keadaannya sungguh payah dan tak tahan lagi.

Ia tidak tahu bahwa pada saat itu juga peti mati batu itupun terbuka, seorang perempuan yang lebih cantik daripada bidadari, tapi dingin melebihi hantu telah melangkah keluar dari peti mati itu.

Sungguh aneh, masakan mayat perempuan cantik di dalam peti mati itu benar-benar telah hidup kembali? Baju perempuan itu berwarna putih laksana salju, tapi air mukanya terlebih putih daripada bajunya.

Dia menyaksikan Ji-Pwe-giok yang lagi berkelojotan di lantai, mendadak ia menjengek: "Hm, kalian memang benar dua sejoli yang sehidup semati, setelah kalian mati nanti pasti akan ku kubur kalian bersama."

Suaranya ternyata juga sedingin es, sedikitpun tanpa emosi. Melihat gelagatnya, seumpama dia memang bukan orang mati, tapi hatinya jelas sudah lama mati, sudah lama beku.

Mendengar suara orang, Pwe-giok terkejut dan cepat berpaling, segera dilihatnya wajah yang cantik ini, wajah ini membuatnya jauh lebih terkejut daripada melihat setan.

Perempuan yang dingin seperti badan halus ini ternyata Lim-Tay-ih adanya!

Jadi ke delapan anak perempuan yang mati dilorong tadi kiranya anak murid Pek-hoa-bun dan Lim-Tay-ih adalah anak perempuan yang menghilang secara misterius itu.

Saking terkejutnya Pwe-gok berteriak: "Lim-Tay-ih, ken.... kenapa kau berada di sini?"

Air muka Lim-Tay-ih berubah hebat, jawabnya dengan terkesiap: "Siapa kau? Darimana kau tahu namaku?"

"Aku inilah Ji-Pwe-giok!" teriak Pwe-giok. Lim-Tay-ih melengak, segera ia menjengek: "Hm, kiranya kau Ji-Pwe-giok itu, kau ternyata belum mau ganti nama!"

"Aku memang Ji-Pwe-giok, kenapa mesti ganti nama?" jerit Pwe-giok.

"Hm, apakah kau mau ganti nama atau tidak, sekarang bukan soal lagi," dengus Lim-Tay-ih: "Sebab kau toh bakal mati, setelah kau tahu rahasia tempat ini, bagimu hanya ada mati!"

Sekuatnya Pwe-giok meronta bangun, mendadak dilihatnya di dalam peti mati batu itu masih ada sesosok mayat perempuan yang sangat cantik dan seperti masih hidup. tanpa terasa ia menjerit pula: "Se...sesungguhnya bagaimana persoalannya ini?"

"Apakah kau terkejut?" tanya Lim-Tay-ih

"Supaya kau tahu, yang membujur di dalam peti mati inilah jenazah asli Siau-hun-niocu. pada waktu masih hidup setiap lelaki pasti tergiur padanya, sesudah mati iapun sayang pada wajahnya dan tidak membiarkannya membusuk."

"Dan...dan kau? Mengapa ... mengapa kau berada di situ?" tanya Pwe-giok.

"Ketika kudengar ada orang masuk kemari cepat ku bersembunyi di dalam peti mati itu. Ku tahu ilmu silatmu tidak lemah, untuk apa ku buang tenaga percuma untuk bergebrak dengan kau?"

"O, jadi obat bius itupun kau yang mengaturnya di sana?"

"Akupun dibawa masuk ke sini oleh luncuran kasuran batu itu, jadi ku tahu bilamana kasuran batu itu terpantul balik ke sana, orang yang berada di atasnya pasti akan terjerembab ke depan, maka lebih dulu ku taruh obat bius itu di sana. Untuk mematikan kau, buat apa aku mesti turun tangan sendiri?"

Baru sekarang Pwe-giok paham duduk persoalannya, ucapannya dengan terputus-putus: "Sejak kapan kau berubah menjadi... menjadi sekeji ini?"

"Orang keji di dunia ini terlalu banyak," jawab Lim-Tay-ih. "Jika aku tidak keji, tentu aku yang akan dibinasakan orang."

"Tapi aku ini bakal suamimu, mana boleh kau...."

"Plok", belum habis ucapan Pwe-giok, kontan Lim-Tay-ih menamparnya sambil membentak: "Persetan kau! Bakal suamiku sudah lama mati, tapi kau berani kurang ajar padaku?"

Tamparan ini cukup keji dan keras, tapi Pwe-giok seperti tidak merasakan apa-apa, ia cuma menatap si nona dengan matanya yang merah dan bergumam: "Kau tunanganku, kau....kau bakal istriku!"

Lim-Tay-ih menjadi takut sendiri melihat sorot mata Pwe-giok yang beringas itu, katanya: "Ap.... apa kehendakmu?"

Tersembul senyuman aneh pada ujung mulut Pwe-giok, dia masih terus bergumam: "Kau bakal istriku! Kau inilah...." mendadak ia menubruk ke arah Tay-ih.

Tadinya ia gunakan tenaga dalamnya untuk mengekang bekerjanya obat perangsang, sebab itulah dia masih dapat mempertahankan kejernihan pikirannya, tapi sekarang, obat perangsang itu akhirnya meledak dan tidak tahan lagi.

Apalagi perempuan cantik di depannya ini adalah bakal isterinya, ia merasa tiada salahnya kalau...

Keruan Lim tay-ih terkejut dan gusar pula tangannya kembali menggampar muka Pwe-giok sambil membentak: "Kau gila! kau berani!"

Tapi Pwe-giok sama sekali tidak mengelak dan tetap membiarkan mukanya dihantam seperti tanpa terasa, sebaliknya matanya semakin merah dan menakutkan dan terus menubruk maju.

Baru sekarang Lim Tay-ih ingat muka anak muda itu masih terbalut kain, segera ia ganti menampar dengan satu pukulan tertuju ke dada Pwe-giok. Tak tersangka hantaman inipun tetap tak dapat mencegah tindakan buas anak muda itu.

Kini obat perangsang itu sudah menyebar, seluruh tubuh Pwe-giok serasa mau meledak, betapapun keras pukulan Lim Tay-ih bagi Pwe-giok rasanya seperti dipijat malah.

Keruan Tay-ih ketakutan, mendadak ia membalik tubuh terus lari.

Seperti orang gila Pwe-giok lantas mengejar.

Pemuda yang semula ramah tamah dan sopan santun ini sekarang sudah berubah seperti seekor binatang buas.

Kim-yan-cu yang berada di luar juga terkesiap oleh apa yang terjadi di dalam itu, meski sia tidak dapat melihat keadaan di dalam kamar batu itu, tapi dari suaranya ia dapat berteriak: "He, Ji Pwe-giok, apa yang kau lakukan?"

Tapi di dalam hanya terdengar suara dua orang berlari, kejar mengejar, suara napas terengah engah dan tiada jawaban.

Entah sebab apa, hati Kim-yan-cu serasa dibakar dan seakan akan meledak, mendadak ia berteriak: "Ji Pwe-giok, mengapa kau tidak menghendaki diriku dan menginginkan dia?"

Terdengar Pwe-giok menjawab dengan napas tersengal-sengal: "Sebab di... dia adalah.."

"Kau sendiri sudah menyatakan suka padaku, betul tidak?" teriak Kim-yan-cu dengan suara parau.

"Aku... aku memang... aku tidak..."

Lim-Tay-ih menjadi murka dan benci, teriaknya: "Kau orang gila, jika kau suka padanya, mengapa tidak kau cari dia saja?"

"Tidak, aku suka padamu, kau... kau adalah isteriku!" seru Pwe-giok

"Kentut! Memangnya siapa isterimu?" damprat Lim-Tay-ih dengan gusar.

Dalam pada itu Kim-yan-cu telah menanti di luar.

Keadaan ini sangat ruwet, siapapun tidak dapat membayangkannya, siapapun sukar menjelaskannya. Hubungan antara ketiga orang ini memang luar biasa, cinta dan benci memangnya sukar dijernihkan, tapi pada saat dan keadaan yang paling serba sulit inilah ketiga orang ini telah berkumpul di suatu tempat.

Apabila dipikir, sungguh di dunia ini tiada kejadian lain yang lebih gila, lebih aneh, lebih mustahil dan tidak masuk diakal. Dan semua ini justeru ditimbulkan oleh seorang yang mati.

Jenazah cantik Siau-hun-niocu didalam peti mati tampaknya lagi tersenyum puas.

Kim-yan-cu sedang menangis, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya menangis, daripada dikatakan dia berduka, kecewa, akan lebih baik kalau dikatakan dia merasa penasaran.

Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan kaget Lim Tay-ih, jeritan ini laksana sebatang jarum yang menusuk ulu hati Kim-yan-cu. Ia tahu akhirnya Lim Tay-ih telah berhasil ditangkap oleh Ji Pwe-giok.

Habis itu lantas terdengar suara rontaan, suara caci maki, suara keluhan, suara napas yang ngos-ngosan serta suara punggung dipukul, mendadak terdengar pula suara "bles" , habis itu lantas tidak terdengar apa-apa lagi.

Keheningan ini membikin Kim-yan-cu jauh lebih tersiksa daripada suara apapun, ia ingin menangis terlebih keras, tapi ingin menangispun tidak sanggup lagi.

Entah berapa lama ia termenung-menung di situ, mendadak terdengar suara kumandangnya orang berjalan. Kim-yan-cu bergirang, pikirnya: "Nah, jangan-jangan Pwe-giok datang menolong diriku?" Pada dasarnya Kim-yan-cu bukan perempuan yang berjiwa sempit, tapi rasa benci itu tidak sampai berlarut-larut.

Tak terduga, suara orang berjalan itu ternyata bukan datang dari dalam melainkan berkumandang dari luar gua.

Agaknya pada masa hidupnya Siau-hun-kiongcu sengaja ingin tahu setiap suara yang timbul dari luar maupun dalam gua, maka dia telah mengatur alat penyalur suara sedemikian pekanya sehingga suara yang lirihpun dapat terdengar.

"Giau-jiu-sam-long, kau memang tidak bernama kosong." demikian terdengar suara seorang perempuan berseru dengan tertawa genit. "Bilamana tidak ku ajak kau ke sini, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat masuk ke sini."

Suara perempuan ini terasa agak serak-serak bagus, tapi kedengaran manis dan memikat, perempuan yang bicara ini seolah-olah setiap detik, senantiasa bergaya genit dan bersikap manja.

Lalu suara seorang lelaki menanggapi dengan tertawa: "Dan tentunya kau tahu bukan aku sengaja membual bahwa kecuali kedua saudaraku, mungkin terlalu sulit bagi orang lain untuk masuk ke sini."

"Hihi, lelaki pintar seperti kau ini pasti sangat disukai oleh anak perempuan," demikian perempuan tadi berkata pula dengan tertawa genit. "Anehnya mengapa sampai sekarang kau belum lagi beristeri dan berumah-tangga."

Lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu terbahak-bahak dan menjawab: "Masa perlu tanya lagi, aku kan sedang menunggu jawabanmu?"

Begitulah sembari bersenda gurau kedua orang itu lantas main cubit dan colek segala.

Apabila Pwe-giok berada di sini, tentu segera dapat dikenali suara itu adalah suara Gin-hoa-nio yang kabur dengan gusar meninggalkan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio.

Tapi Kim-yan-cu tidak tahu siapa kedua orang ini, dia cuma merasa mereka memuakkan, celakanya dirinya sendiri justeru tak dapat berkutik, ingin menghindarpun tak bisa. Tentu saja Kim-yan-cu sekilas dan kuatir, ia berharap semoga pintu batu di luar telah dirusak oleh si kakek bercahaya perak, dengan demikian kedua orang ini tidak dapat masuk ke situ.

Didengarnya lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu mendadak bersuara kaget dan suara tertawanya lantas berhenti, katanya: "He, dinding ini mengapa berlubang, juga alat rahasianya hanya tertutup oleh pelat besi, apakah karena kuatir ada orang menerobos keluar dari dalam?"

Terdengar Gin-hoa-nio menanggapi dengan terkesiap: "Ya, mengapa di dalam bisa ada orang, padahal rahasia tempat ini oleh ayahku hanya diberitahukan kepada kami bertiga kakak beradik dan orang lain tidak ada yang tahu."

"Tentu rahasia tempat ini sudah bocor." ujar Giau-jiu-sam-long. "Tempat ini pasti sudah pernah didatangi orang. Dan orang yang mampu datang ke sini pasti bukan kaum lemah, kukira lebih baik kita..."

Dengan tertawa genit Gin-honio lantas memotong: "Biarpun yang datang ke sini bukan kaum lemah, tapi sam-siauya kita dari Ji-ih tong masa takut padanya?"

"Mana ku takut padanya?" ujar Giau-jiu-sam-long dengan tertawa. "Siapapun tidak kutakuti, aku cuma takut padamu, Apabila beberapa jurus kungfu tinggalan siau-hun-niocu itu berhasil kau yakinkan, wah, aku bisa keok."

Gin-hoa-nio tertawa cekakak-cekikik, jawabnya: "Bila Kungfu siau-hun-niocu berhasil kuyakinkan, tujuanku kan juga untuk memuaskan kau?"

Ditengah suara tertawa kedua orang itu, "krek", pintu sudah terbuka.

Seorang pemuda berbaju hijau pupus dan membawa cundrik terus melompat masuk, gerakannya ternyata sangat gesit, tapi mukanya kelihatan pucat, hidungnya besar membetet, pipinya kempot, bokongnya tepos, jelas potongan orang yang terlalu bekerja keras di waktu malam.

Namun begitu, sorot matanya ternyata tajam ia memandang sekeliling ruangan, lalu terbelalak ke arah Kim-yan-cu.

Kim-yan-cu juga melotot padanya, tapi tidak bersuara.

Mendadak Giau-jiu-sam-long tertawa, serunya: "He, lihatlah, di sini memang benar ada orang, bahkan seorang nona jelita, tapi entah Hiat tonya ditutuk siapa ?"

Dengan bersorak gembira Gin-hoa-nio memburu maju, pakaiannya ternyata cukup sopan, tapi kedua matanya sama sekali tidak kenal sopan, dia melirik genit dan berkata: "Ya, orang yang menutuk Hiat tonya mengapa tidak kelihatan?" Giau-jiu-sam-long mendekati Kim-yan-cu, dengan ujung kakinya dia menggelitik pinggang Kim-yan-cu dengan laku bangor. Keruan Kim-yan-cu gemas setengah mati. Tapi apa daya, sama sekali ia tak dapat bergerak.

Dengan cengar cengir, Giau-jiu-sam-long lantas berkata: "Nona cilik, siapakah yang menutuk Hiat-tomu? ai, orang ini keterlaluan, masa tidak kenal kasih sayang kepada nona jelita seperti kau ini, Eh, katakan saja kepadaku dimana dia nanti kuhajar dia untuk melampiaskan dendammu"

Gin-hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "adik yang baik, lekaslah kau beritahukan padanya, Sam-siauya (tuan muda ke tiga) kita ini maha pencinta, terutama terhadap anak perempuan yang cantik, bilamana ada anak perempuan cantik teraniaya, dia terlebih penasaran daripada siapapun juga"

"Eh, ucapanmu ini kok terasa berbau cuka (maksudnya cemburu)?" seru Giam-jiu-sam-long dengan tergelak. Gin-hoa-nio terus merangkul lehernya dan berkata: "Kalau aku tidak suka padamu apakah mungkin bisa cemburu?"

Hampir saja Giam-jiu-sam-long jatuh kelenger oleh rayuan itu, ucapnya dengan tertawa: "Sudah memiliki kau, masa ku perlu lagi mencari yang lain? Kedua pahamu...." Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong ia jatuh terkulai, sampai menjerit saja tidak sempat dan tahu sudah putus napasnya, malahan wajahnya masih tersenyum simpul, cara bagaimana matinya mungkin ia sendiripun tidak tahu.

Sebaliknya Gin-hoa-nio sama sekali tidak berkedip, ia pandang Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Lelaki macam begini, bila melihat perempuan matanya lantas hijau, biarpun matipun tidak perlu disayang. Tapi kalau bukan lantaran dirimu, sesungguhnya aku rada merasa berat untuk membunuhnya."

"Lantaran diriku?" Kim-yan-cu menegaskan dengan terbelalak.

"Ai, Cici yang baik, meski kau tidak kenal diriku, tapi sekali kulihat bajumu ini segera kukenali kau," ucap Gin-hoa-nio dengan suara lembut. "Bukankah kau ini pendekar wanita Kim-yan-cu yang termasyhur di dunia Kangouw itu?"

"Dan siapa kau?" tanya Kim-yan-cu.

Gin-hoa-nio menghela napas, jawabnya dengan rawan: "Aku adalah seorang anak perempuan yatim piatu yang sengsara..."

Kim-yan-cu bergelak tertawa dan menyela: "Kudengar kau bilang mempunyai saudara dan berayah, mengapa sekarang kau katakan yatim piatu dan sengsara?"

Biji mata Gin-hoa-nio berputar, tampaknya air matanya akan menetes, katanya: "Meskipun aku mempunyai ayah bunda dan saudara, tapi mereka... mereka sama benci padaku, akupun sendiri tidak mampu membuat mereka suka padaku, akupun tidak berani bertindak keji dan ganas seperti mereka,"

Hati Gin-hoa-nio rada lunak demi melihat mimik Kim-yan-cu yang memelas itu, namun dia tetap berteriak: "Dan kau sendiri, caramu membunuh orang barusan ini apakah tidak terhitung keji dan ganas?"

"O, tahukah betapa aku tersiksa olehnya hanya karena kuminta dia membawaku ke sini?" tutur Gin hoa-nio dengan suara gemetar. "Apabila tidak kubunuh dia, selama hidupku pasti akan selalu dianiaya olehnya." Mendadak ia menjatuhkan diri ke pangkuan Kim-yan-cu dan menangis, katanya dengan tersendat: "O, Cici yang baik, coba katakan, apakah ini salahku?"

Hati Kim-yan-cu tambah lunak lagi, ia menghela napas gegetun, katanya: "Ya, betul, kau memang tidak dapat disalahkan. Ada sementara lelaki di dunia ini memang pantas kalau dibunuh."

Sesungguhnya Kim-yan-cu memang tidak dapat menemukan alasan berdusta si nona jelita ini, sebab kalau orang bermaksud jahat padanya, bukankah sejak tadi sekali tabas saja sudah dapat membinasakan dia?

Nyata ia tidak tahu betapa jelimetnya jalan pikiran Gin-hoa-nio, hakekatnya seumur hidupnya jangan harap akan dapat menerkanya.

Walaupun sudah cukup pengalaman berkelana di dunia Kangouw, tapi kalau dibandingkan Gin-hoa-nio, hakekatnya Kim-yan-cu seperti anak kecil berbanding orang tua.

Sekalipun Gin-hoa-nio telah menjualnya mungkin dia belum lagi mengetahui apa yang terjadi.

Sementara itu Gin-hoa-nio telah membuka Hiat-to Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa manis: "Tak kuduga Cici akan memaklumi diriku secepat ini, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu."

"Kau telah menyelamatkan diriku, akulah yang harus berterima kasih padamu," kata Kim-yan-cu.

Gin-hoa-nio menunduk, mendadak ia berkata pula: "Ada sesuatu pikiranku, entah mesti kukatakan atau tidak?"

"Mengapa tidak kau katakan saja?"

"Aku hidup sengsara sendirian, entah, ... entah Cici sudi menerima diriku sebagai adik atau tidak?" ucap Gin-hoa-nio dengan rawan.

Kim-yan-cu melengak, serunya; "Kita.. kan baru saja kenal?"

Belum habis ucapannya, bercucuranlah air mata Gin-hoa-nio, katanya: "Kakak kandungku saja tidak sudi mengakui diriku, orang lain lebih lagi, ai, sungguh aku ini terlalu bodoh, aku. . .aku ...." sampai di sini, menangislah dia dengan sedihnya.

Tanpa terasa Kim-yan-cu merangkulnya, ucapnya dengan suara lembut: "O, adik yang baik, siapa bilang aku tidak sudi mengakui kau sebagai adik? Cuma. . . . cuma kau harus memberitahukan lebih dulu siapa namamu?"

"Ai, aku ini memang pikun.,." seru Gin hoa-nio dengan tertawa cerah. "Cici yang baik, terimalah hormat adikmu, Hoa Gin hong"

Habis berkata ia benar-benar memberi sembah hormat kepada Kim yan cu.

Cepat Kim yan cu membangunkannya, katanya dengan tertawa: "Aku Kim yan cu (walet emas) dan kau Gin hong hong (burung Hong perak), tampaknya kita menjadi seperti kakak adik sekandung."

Padahal ia sendiri juga sebatang-kara, tidak punya sanak tidak punya kadang. Sekarang mendadak mendapatkan seorang adik secantik ini, dengan sendirinya iapun sangat gembira.

Ia tidak tahu bahwa adik perempuannya ini sesungguhnya bukanlah burung Hong segala, tetapi lebih tepat dikatakan "serigala betina" dan setiap saat dia bisa dicaploknya bulat-bulat.

Lantas untuk apakah sesungguhnya Gin hoa nio memikat Kim yan cu? mengapa dia sengaja mengangkat saudara dengan Kim yan cu? apa maksud tujuannya?

Semua pertanyaan ini, kecuali Gin hoa nio sendiri mungkin tiada seorangpun yang dapat menjawab.

0000ooo00

Gin hoa nio lantas mondar-mandir longak-longok di dalam ruangan ini, tampaknya sangat gembira, sama sekali ia tidak tanya cara bagaimana Kim yan cu datang ke sini dan siapa yang menutuknya.

Sebaliknya Kim yan cu sendiri tidak tahan, ia buka suara lebih dulu: "Meski benda mestika berada di sini tidaklah sedikit, tapi harta pusaka Siau hun niocu yang sebenarnya justru tersimpan di dalam sana."

"Oooh di dalam sana masih ada kamar lain? " tanya Gin hoa nio dengan mata terbelalak. Padahal sejak tadi dia sudah memperhitungkan di dalam sana pasti masih ada ruangan lain, kalau tidak, kemana perginya orang yang menutuk hiat-to Kim yan cu itu?

Dengan suara tertahan Kim yan cu lantas berkat: "Boleh kau ikut padaku, tapi harus hati-hati, tak perduli bertemu dengan siapa dan mengalami kejadian apa, hendaklah kau jangan bersuara, dapatkah kau turut kepada perkataanku?"

"Kalau adik tidak turut kepada perkataan kakak, habis mesti turut perkataan siapa?" jawab Gin hoa nio dengan tertawa.

Kim yan cu tertawa, di panggulnya lagi tutup peti besi itu, dia mulai menyembah lagi. Maklum ia merasa tidak mempunyai akal kecuali mengulangi resep semula.

Gin-hoa-nio hanya memandangi saja dengan diam, meski dalam hati merasa heran, tapi dia tidak banyak omong. Dalam keadaan bagaimana harus bicara dan dalam keadaan bagaimana kudu diam, baginya jauh lebih paham daripada orang lain.

Benar juga, kasuran batu itu meluncur masuk lagi ke balik dinding sana, sampai Gin-hoa-nio juga terkejut menyaksikan kejadian tak terduga itu. Didengarnya Kim-yan-cu lagi menjerit kaget berada di dalam sana.

Kiranya Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih sudah menghilang.

Pada detik sebelum dinding itu merapat kembali, secepat kilat Gin-hoa-nio ikut menyelinap masuk ke sana, melihat harta pusaka yang berserakan di situ, kejut dan girang pula Gin-hoa-nio. Sebaliknya Kim-yan-cu berdiri ter-mangu2 dan ber-ulang2 bergumam, "Kemana perginya mereka? Mengapa bisa menghilang?"

"Siapa yang hilang?" tanya Gin-hoa-nio.

Kim-yan-cu tidak menjawabnya, ia mengitari peti mati raksasa itu, mendadak dilihatnya lantai di belakang peti itu bertambah sebuah lubang, dua botol obat di dalam almari batu juga tertindih hancur lagi.

Meski dia tergolong anak perempuan yang polos dan masih ke-kanak2an, tidak paham liku2 dan kelicikan orang hidup, tapi hal ini ia tidak berarti dia orang bodoh. Setelah berpikir sejenak, segera ia dapat menerka apa yang telah terjadi, yakni tentunya Ji Pwe-giok berhasil menangkap Lim Tay-ih, keduanya terus bergumul dan Lim Tay-ih menindih pecah lagi dua botol obat sehingga dia sendiri juga sempat menghisap obat perangsang cinta itu, lantaran itulah dia tidak meronta dan tidak melawan lagi kehendak Ji Pwe-giok. Tapi ketika kedua orang itu bergumul, tanpa sengaja telah menyentuh tombol pesawat rahasia sehingga timbul sebuah lubang di bawah tanah, dalam keadaan pikiran me-layang2, tanpa sadar kedua orang lantas terjeblos ke bawah.

Lubang di bawah tanah itu ternyata gelap gulita, entah berapa dalamnya dan entah tempat apa di bawah sana.

Kim-yan-cu menjadi kuatir dan gelisah, mendadak ia berkata, "Kau tunggu di sini, biar ku turun ke bawah untuk melihatnya."

Gin-hoa-nio melirik sekejap botol obat dan kitab yang berada di dalam almari batu itu, lalu berkata, "Hendaklah kau hati2, dengan susah payah aku mendapatkan seorang Cici, jangan sampai..."

"Jangan kuatir," potong Kim-yan-cu, "Cici takkan mati."

Ia mencoba merangkak ke dalam lubang, diketahuinya lubang ini tidak lurus ke bawah melainkan miring seperti tangga luncur. Tanpa pikir ia terus pejamkan mata dan membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah.

Ternyata di bawah lubang inilah benar2 'istana bahagia' yang dimaksudkan dalam pesan Siau-hun-kiongcu itu.

Inilah sebuah gua batu yang luas, tampaknya gua alam dan tidak mengalami perubahan oleh tangan manusia. Mutiara dan batu permata berserakan dan memancarkan cahaya sehingga kelihatan dinding batu yang berbentuk aneh melebihi ukiran.

Di pojok sana ada sebuah tempat tidur yang indah dan di samping tempat tidur ada sebuah meja kecil yang berbentuk aneh dan di atas meja ada sebuah piala emas dan bokor kemala.

Tempat dimana Kim-yan-cu jatuh itu adalah sebuah kolam yang besar, cuma sekarang kolam itu kering tanpa air sehingga kelihatan berbagai ukiran di tepi kolam, ukiran yang menggambarkan adegan main cinta yang merangsang.

Kini di gua ini sunyi senyap, tapi dapat dibayangkan dahulu tempat ini pasti selalu dalam suasana gembira ria. Kini meski di tempat tidur itu tiada terdapat seorang pun, tapi dapat diduga dahulu selalu berbaring sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik. Isi bokor itu pasti santapan yang paling lezat di dunia ini dan isi piala emas itu pasti juga arak yang paling sedap.

Seorang kalau meluncur dari atas ke bawah dan terperosot ke kolam mandi itu serta melihat "pemandangan indah" di sekitarnya, bukankah sama halnya terjatuh ke surga yang hangat dan bahagia.

Akan tetapi disinipun Kim-yan-cu tetap tidak melihat Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih.

Ia coba mengitari ruangan gua ini, akhirnya ditemukan di balik batu dinding yang menonjol sana samar2 seperti ada cahaya yang menembus masuk dari luar. Kiranya di sinilah jalan keluarnya. Jelas Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih telah pergi.

Padahal Ji Pwe-giok sendiri yang menutuknya dan jelas dia masih terkurung di ruangan sana, tapi sekarang pemuda itu tinggal pergi begitu saja tanpa menghiraukan dia. Seketika Kim-yan-cu berdiri terkesima dengan air mata bercucuran.

"Cici, kau baik2 bukan?" terdengar Gin-hoa-nio berseru di atas.

Dengan menahan kesedihannya, Kim-yan-cu berseru, "Semuanya baik2, boleh kau turun saja kemari!"

Dia mengusap air matanya, ia bertekad melupakan apa yang terjadi di sini, apa yang dialaminya ini biarkan seperti mimpi buruk saja dan takkan dipikir lagi, iapun tidak ingin memikirkan Ji Pwe-giok pula.

Cuma sama sekali tak terpikir olehnya bahwa Lim Tay-ih pasti membenci Ji Pwe-giok sampai merasuk tulang, mana bisa nona itu pergi bersama Ji Pwe-giok, cinta dan benci di antara mereka yang sukar dijernihkan itu mana bisa terselesaikan semudah itu?

* * *

Di luar gua sang surya yang baru terbit sedang memancarkan cahayanya yang gemilang, bunga hutan yang tak diketahui namanya sedang mekar mewangi diembus oleh silir angin pagi.

Gin-hoa-nio lagi sibuk mengusungi harta karun di dalam gua itu, satu peti demi satu peti diangkutnya keluar.

Kim-yan-cu menghela nafas rawan, katanya, "Lihatlah butiran embun di kelopak bunga itu, mana ada mutiara di dunia ini yang lebih indah dari-padanya?"

"Tapi mutiara dapat membuat hidup manusia merasa bahagia dan mendatangkan hormat dan tunduknya orang lain, sedangkan butiran embun mana ada daya tarik sebesar itu?" ujar Gin-hoa-nio.

Kim-yan-cu menatap jauh ke langit, memandangi gumpalan awan, katanya pula, "Tapi kau pun jangan lupa, di dunia inipun ada barang yang tak dapat ditukar dengan mutiara."

Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Cici, jangan2 engkau menanggung sesuatu kedukaan?"

Kim-yan-cu menghela nafas dan tidak bicara lagi.

"Cici, kau tunggu sebentar di sini, segera ku balik lagi," seru Gin-hoa-nio sambil berlari pergi.

Kim-yan-cu benar2 menunggunya dengan melamun di situ. Tidak sampai satu jam, Gin-hoa-nio kelihatan kembali dengan membawa tiga buah kereta sewaan ditambah dua ekor kuda.

Ketiga sais kereta itu melotot heran membantu Gin-hoa-nio mengusung semua peti2 itu ke atas kereta, tapi tiada satupun yang berani tanya. Asalkan lelaki, tentu Gin-hoa-nio punya akal untuk membuatnya menurut.

Sebuah sungai mengalir ke bawah melingkari lereng bukit.

Kim-yan-cu menunggang kuda mengikuti laju kereta menyusur jalan di tepi sungai. Tidak jauh tiba2 dilihatnya di permukaan sungai ada sepotong kain putih yang tersangkut di batu, masih kelihatan bekas darahnya ketika Kim-yan-cu mengangkat kain itu dengan sepotong kayu. Jelas itulah kain pembalut kepala Ji Pwe-giok.

Nyata anak muda itu pernah berhenti di tepi sungai ini untuk membuka kain pembalut dan mencuci muka. Bisa jadi iapun bercermin pada air sungai untuk melihat wajah sendiri. Setelah mengetahui muka sendiri yang sudah rusak itu, entah bagaimana perasaannya?

Lalu dimanakah saat itu Lim Tay-ih? Apakah dia hanya memandanginya di samping? Apakah dia tidak benci lagi kepada anak muda itu dan telah mengakui dia adalah bakal suaminya? Apakah Ji Pwe-giok ini sama orangnya dengan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu?

Tapi Ji Pwe-giok yang itu bukankah jelas2 sudah mati? Banyak orang yang menyaksikan jenazahnya, masa bisa palsu?

Dengan gemas Kim-yan-cu membuang kain putih itu dan melompat lagi ke atas kudanya, diam2 ia menggerutu, "Aku sudah bertekad tidak mau memikirkannya lagi, kenapa sekarang kupikirkan dia pula?"

Gin-hoa-nio seperti tidak melihat apapun, iapun tidak tanya Kim-yan-cu. Sebaliknya Kim-yan-cu juga tidak tanya dia kemana iringan kereta ini akan menuju?

Yang pasti iringan kereta itu dilarikan ke arah barat daya, agaknya menuju ke provinsi Sujwan.

Banyak juga kawan orang Kangouw di sepanjang jalan ini, ada yang dari jauh sudah melihat pakaian Kim-yan-cu yang kuning keemasan dan gemilapan, lalu cepat2 menghindar dengan membelok ke jalan lain, kalau kepergok paling2 juga cuma menyapa dari jauh. Seharian sedikitnya ada 40 orang yang kenal Kim-yan-cu, tapi tiada seorangpun yang berani mendekat untuk mengajaknya bicara.

Terkadang Kim-yan-cu ingin bertanya kepada mereka apakah melihat seorang pemuda yang mukanya terluka bersama seorang anak perempuan cantik. Tapi niat itu selalu urung dikemukakan.

Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata, "Menempuh perjalanan bersama Cici sungguh sangat senang, siapapun tak berani mengganggu kita. Coba kalau dua anak perempuan biasa menempuh perjalanan sejauh ini bersama tiga buah kereta besar, mustahil kalau di tengah jalan tidak banyak mendapat rintangan."

Belum habis ucapannya, tiba2 dari belakang seorang penunggang kuda memburu datang dengan cepat. Penunggang kudanya tampak berwajah cakap dan gagah dengan baju perlente, sebilah golok pendek dengan gagang golok penuh berhias mutiara terselip di tali pinggangnya. Ternyata Sin to Kongcu adanya.

Hanya memandangnya sekejap Kim-yan-cu lantas melengos ke arah lain seperti tidak kenal saja. Sebaliknya Sin-to Kongcu tampak sangat senang melihat si nona, segera ia berucap setengah mengomel, "Adik Yan, mengapa kau pergi tanpa pamit, susah payah kucari dirimu."

"Siapa suruh kau cari diriku?" jawab Kim-yan-cu dengan muka bersungut.

Sin-to Kongcu melengak, katanya dengan tergagap. "Habis cari... cari siapa kalau aku tidak mencari kau?"

"Peduli siapa yang akan kau cari," jengek Kim-yan-cu. "Setiap orang di dunia ini boleh kau cari, kenapa kau mencari diriku?" "Plak", ia tepuk perut kudanya dan dilarikan jauh ke depan.

Sama sekali Sin-to Kongcu tidak menyangka sikap Kim-yan-cu padanya akan berubah 180 derajad, semula ia kegirangan setengah mati karena dapat menemukan kembali si nona, siapa tahu kepalanya seperti diguyur air dingin, seketika ia menjadi melenggong.

Gin-hoa-nio mengerling genit dan mendekati Sin-to Kongcu, desisnya, "Hati Ciciku selama dua hari ini lagi kesal, ada urusan apa boleh kau bicarakan nanti saja."

"Cicimu?" Sin-to Kongcu menegas dengan terbelalak.

"Memangnya kenapa? Kau tidak suka mempunyai adik perempuan seperti diriku?" ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa.

Baru sekarang Sin-to Kongcu memandangnya lebih seksama dan melihat jelas senyum genitnya yang menggiurkan, melihat kerlingan matanya yang membetot sukma. Mendadak ia terkesima dan tidak dapat bicara lagi.

Perlahan Gin-hoa-nio mencubit pinggang Sin-to Kongcu, katanya dengan tertawa genit, "Jika kau ingin menjadi Cihuku (kakak iparku), maka perlu kau menyanjung diriku dan turut kepada perkataanku." Habis berkata ia terus membedal kudanya ke depan, mendadak ia menoleh dan memicingkan matanya dan berseru: "Hayolah, mengapa tidak kau ikut kemari?"

Benar Sin to Kongcu lantas ikut ke sana dengan sangat penurut, rasa gusarnya tadi seketika lenyap tanpa bekas.

Menjelang lohor sampailah mereka di Gak keh tin, suatu kota kecil, di sini mereka istirahat dan makan siang.

Gin hoa nio memesan santapan dan arah, ditariknya Kim yan cu dan Sin to kongcu agar berduduk bersama, diam-diam ia bisik-bisik ke sini dan kasak-kusuk kesana sambil tertawa cekakak-cekikik.

Sin to kongcu yang pecinta itu seakan-akan melupakan Kim yan cu, kalau Gin hoa nio tertawa iapun ikut tertawa, bila Gin hoa nio mengerling, sayuran yang disumpitnya hampir kesasar masuk hidungnya.

Mendadak Gin hoa nio mencabut golok pendek di pinggang Sin to Kongcu, katanya dengan tertawa: "Wah, memang engkau tidak malu bernama Sin to Kongcu, golokmu memang golok pusaka."

Sin to Kongcu menjadi senang, serunya dengan tertawa: "Kau tahu, berapa banyak golok dan pedang kaum ahli kangouw yang patah oleh golok pusakaku ini?"

Seperti tidak sengaja Gin hoa nio memegang tangan Sin to Kongcu, ucapnya dengan lagak manja: "Ai, kenapa tidak lekas kau katakan, ada berapa banyak seluruhnya?"

Gin hoa nio menatapnya lekat-lekat seperti tidak kepalang kagumnya dan sangat memujanya, genggamannya tambah erat seolah-olah tidak mau melepaskannya, katanya dengan tersenyum menggiurkan: "Didampingi orang seperti kau, sungguh apapun tidak perlu kutakuti lagi."

Jantung Sin to Kongcu berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya, sungguh ia menjadi bingung dan entah apa pula yang harus diucapkannya.

Meski Kim yan cu tidak mengacuhkan Sin to Kongcu, tapi melihat sikapnya yang linglung dan lupa daratan itu, seketika ia naik darah. Maklumlah di dunia ini tiada anak perempuan yang tidak cemburu bila melihat pemuda yang pernah tergila-gila padanya mendadak menaruh perhatian kepada anak perempuan lain.

Soal dia sendiri suka atau tidak terhadap anak muda ini adalah urusan lain, tapi dia tidak tahan bila lelaki ini membuat malu padanya. Akhirnya Kim-yan-cu berbangkit dan tinggal pergi dengan gemas.

Mau tak mau Sin-to kongcu merasakan gelagat tidak baik, cepat ia meng-ada2, katanya dengan tertawa, "eh, apakah kau masih ingat kepada Ji Pwe-giok itu ?"

Nama "Ji Pwe Giok" seolah-olah sebuah kaitan yang dapat seketika menyantol kaki Kim-yan-cu dan membuatnya sukar melangkah lagi. Dia berhenti di ambang pintu, setelah detak jantungnya agak mereda barulah dia berkata dengan dingin, "Bukankah Ji Pwe-giok itu sudah mati ?"

"Sudah mati satu, sekarang muncul satu lagi!" kata Sin-to Kongcu.

Gemetar Kim-yan-cu, ia pegang cagak pintu dan sedapatnya berlagak tak acuh, namun betapapun air mukanya sukar menutupi perasaannya. Ia pun tidak berani berpaling, iapun tidak melihat betapa lebih hebat perubahan air muka Gin-hoa-nio ketika mendengar nama Ji Pwe-giok.

Kim-yan-cu tidak bersuara, tapi Gin-hoa-nio lantas berteriak, "Jadi kau kenal kedua Ji Pwe Giok itu ?"

"Kedua orang ini memang seluruhnya pernah kulihat, Hmmm, masa kukenal orang macam begitu ?" jengek Sin-to Kongcu.

Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya dengan tertawa, "Konon Ji Pwe-giok yang mati itu adalah putera Bu-lim-bengcu sekarang, bukan saja mukanya tampan, perangainya juga halus, entah Ji Pwe-giok yang hidup ini apakah bisa menandingi dia?!"

Muka Sin-to Kongcu menjadi merah padam saking genasnya, jengeknya "Hmm, kalau bicara tentang rupa, memang tampang Ji Pwe-giok yang sudah mati itu tidak secakap yang masih hidup ini. Tapi soal kehalusan perangai, kukira keduanya tidak banyak berbeda."

Dia sengaja merendahkan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu seolah-olah tidak laku sepeserpun. Ia tidak tahu bahwa saat ini hati Kim-yan-cu seluruhnya sudah beralih kepada Ji Pwe-giok yang hidup ini, lebih-lebih mimpipun tak terpikir olehnya bahwa kedua Ji Pwe-giok itu sebenarnya adalah satu orang yang sama.

Gin Hoa-nio tertawa terkikik-kikik, katanya, "O, apakah Ji Pwe-giok yang ini juga pemuda tampan ?"

Sin-to Kongcu melototi bayangan punggung Kim-yan-cu dan berteriak, "Ji Pwe-giok yang ini memang tidak perlu malu diberi julukan pemuda tampan. meski entah oleh siapa mukanya telah disayat, tapi toh masih tetap jauh lebih cakap daripada yang sudah mati itu."

Ucapan Sin-to kongcu ini sebenarnya dimaksudkan untuk membikin dongkol Kim-yan-cu, tak tersangka Gin-hoa-nio yang menjadi gregetan, saking khekinya sampai ia tidak dapat bersuara dan tidak dapat tertawa pula.

Diam-diam Kim-yan-cu terkesiap dan juga senang, gumamnya: "Kiranya Ji Pwe-giok yang ini bukan orang yang sama dengan Ji Pwe-giok yang itu, iapun bukan bakal suami Lim Tay-ih, kiranya luka di mukanya tidak parah dan tidak menjadi buruk rupa."

Sin-to Kongcu sangat mendongkol, teriaknya: "Kau bilang apa?"

Dengan tak acuh Kim-yan-cu menjawab: "Sebenarnya ada beberapa persoalan yang sukar kupahami, terima kasih atas keteranganmu."

"Aku...aku tidak paham maksudmu!?" kata Sin-to Kongcu.

"Lebih baik kau tidak paham," ujar Kim-yan-cu.

"Eh, dimana kau melihat dia? sungguh kamipun ingin menemuinya," tiba-tiba Gin-hoa-nio bertanya dengan tertawa.

Sin-to kongcu menarik napas, jawabnya: "Kemarin malam kulihat dia satu kali, waktu itu aku tidak tahu iapun bernama Ji Pwe-giok, aku tidak memperhatikan dia, tapi kukenal anak perempuan yang bersama dia itu."

Mata Gin-hoa-nio terbelalak, ia menegas: "Hanya seorang anak perempuan yang bersama dia?"

"Memangnya satu tidak cukup?" jengek Sin-to Kongcu.

"Budak hina, sampai kakak sendiri juga disingkirkan dan mengangkanginya sendiri," ucap Gin-hoa-nio dengan gemas. Sudah tentu menurut keyakinannya anak perempuan yang mendampingi Ji Pwe-giok itu pasti Thi-hoa-nio adanya.

Tak terduga Sin-to Kongcu lantas berkata pula dengan tertawa: "Sungguh lucu kalau kuceritakan, perempuan itu sebenarnya adalah bakal isteri Ji Pwe-giok yang sudah mati itu, setelah Ji Pwe-giok mati, baru sebentar saja ia sudah kecantol oleh Ji Pwe-giok yang baru ini..."

"Siapakah perempuan yang kau maksudkan itu?" sela Gin-hoa-nio dengan melengak.

"Dengan sendirinya puteri Leng-hoa kiam yang bernama Lim Tay-ih itu, memangnya kau kira siapa?" jawab Sin-to Kongcu.

Mendadak Gin-hoa-nio bergelak tertawa, serunya: "Ha..ha..ha..., bagus, bagus! Kiranya dia telah berganti pacar dan juga she Lim. Wah, agaknya orang ini memang seorang maha pecinta, di mana-mana ada pacar!"

Teringat Thi-hoa-nio juga telah didepak oleh Ji Pwe-giok, gembira sekali tertawanya.

Sudah tentu Sin-to Kongcu tidak tahu sebab apa Gin-hoa-nio bergembira dan merasa geli, yang dirasakan cuma gaya tertawa Gin-hoa-nio yang menggiurkan itu, ia memandangnya dengan kesima, sampai sekian lamanya barulah ia berkata pula:

"Waktu itu, demi melihat Lim Tay-ih tidak berkabung, sebaliknya malah sudah bergaul dengan lelaki lain, sungguh hatiku sangat gemas. Kupikir perempuan ini ternyata seorang munafik, lahirnya kelihatan dingin dan kereng, se-olah2 puteri suci yang tak boleh diganggu, nyatanya cuma seorang perempuan yang tidak teguh imannya dan berharga murah."

Gin-hoa-nio tertawa ter-kikik2, katanya kemudian, "Berada bersama seorang lelaki kan tidak berarti perempuan itu suka jual murah. Saat ini bukankah akupun berada bersamamu?"

Hampir semaput Sin-to Kongcu oleh lirikan Gin-hoa-nio yang memikat itu, segera ia bermaksud lagi meraba tangannya, ucapnya dengan menyengir, "Sudah tentu aku dan kau bukan…"

"Kemudian bagaimana?" mendadak Kim-yan-cu berteriak. "Mengapa tidak kau sambung?"

Sin-to Kongcu berdehem perlahan dan menegakkan tubuhnya, tuturnya, "Kemudian kami mondok di suatu hotel, kulihat mereka tinggal bersama di satu kamar."

"Hm, jadi kau selalu membuntuti mereka?" jengek Kim-yan-cu.

"Apa maksudmu selalu membuntuti orang?" tanya Gin-hoa-nio dengan ter-kekeh2. "Barangkali kau ingin mengintip... mengintip... atau kau sendiri juga ingin ambil bagian?"

Muka Sin-to menjadi merah, serunya, "Masa aku ini orang macam begitu? Soalnya di sana hanya ada sebuah hotel, terpaksa akupun masuk hotel itu supaya tidak tidur di jalanan."

Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Jangan kau marah. Padahal lelaki mana yang tidak mata keranjang. Bilamana lelaki melihat seorang perempuan yang jual murah, kalau dia tidak ikut mencicipi, maka akan dirasakan rugi besar. Kukira lelaki umumnya sama saja, siapa tahu kau... kau ternyata lain daripada lelaki lain."

Andaikata Sin-to Kongcu memang rada dongkol, setelah mendengar kata2 ini, lenyap juga rasa marahnya.

Biji mata Gin-hoa-nio berputar, dengan tertawa genit ia berkata pula, "Eh, tapi pada malamnya kau mengintip juga bukan?"

Cepat Sin-to Kongcu menjawab, "Hah, masa ku intip orang macam begitu? Soalnya kamarku berada di sebelah mereka, sampai tengah malam kudengar mereka ribut mulut di kamarnya."

Baru sekarang Kim-yan-cu tidak tahan dan bertanya, "Sebab apa mereka bertengkar?"

"Waktu kulihat mereka tampaknya Lim Tay-ih sedang sakit, sampai berjalan saja tidak kuat," tutur Sin-to Kongcu. "Ji Pwe-giok itu memayangnya dengan penuh kasih mesra, jika aku jadi dia tentu kikuk dilihat orang banyak. Bila aku tidak tahu seluk beluk mereka, mungkin akan menyangka mereka itu suami isteri. Ketika kudengar suara pertengkaran mereka, aku menjadi terheran-heran."

"Hihi... makanya kau tidak tahan dan ingin melihatnya," tukas Gin-hoa-nio dengan tertawa ngikik.

"Tapi aku tidak mengintip," ujar Sin-to Kongcu. "Baru saja ku keluar kamar dan sampai di halaman, mendadak Lim Tay-ih itu membuka pintu dan menerjang keluar dengan pedang terhunus."

"Wah, aneh juga nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Baru sembuh sakitnya lantas mau membunuh orang. Apakah Ji-kongcu yang telah merawatnya itu dianggap salah?"

"Menurut pengamatanku, tentu Ji Pwe-giok itu telah menggagahi orang pada waktu orang sedang sakit, makanya begitu menerjang keluar segera Lim Tay-ih itu berteriak, "Hayo keluar, Ji Pwe-giok, hari ini kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!" Pada saat itulah baru ku tahu bocah itu bernama Ji Pwe-giok."

Gin-hoa-nio melirik Kim-yan-cu sekejap, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, Lim Tay-ih itu se-olah2 benar-benar telah dimakan oleh Ji Pwe-giok itu, makanya dia menjadi dendam dan ingin mengadu jiwa dengan dia. Bagaimana Cici, menurut kau apakah memang begitu kepribadian Ji-kongcu?"

Sudah tentu Kim-yan-cu tahu apa alasan Lim Tay-ih ingin membunuh Ji Pwe-giok, tapi hal ini mana boleh diceritakan nya kepada orang lain. Bila teringat kepada apa yang terjadi di tempat Siau-hun-kongcu itu, Kim-yan-cu sendiri merasakan pahit, getir, manis dan kecut bercampur aduk dan sukar menyatakan bagaimana rasanya.

Terpaksa ia menjawab dengan dingin, "Dengarkan saja ceritanya, kenapa kau tanya padaku?"

Gin-hoa-nio melelet lidah dan tidak bersuara pula.

Sin-to Kongcu lantas menyambung ceritanya, "Mungkin Ji Pwe-giok itu merasa malu, dia sembunyi di dalam kamar dan tak berani keluar. Sampai lama Lim Tay-ih mencaci maki di luar, mendadak ia menerjang masuk lagi ke kamar."

"Masa Ji Pwe-giok belum lagi pergi?" tanya Kim-yan-cu.

"Ji Pwe-giok seolah-olah terkesima, ia duduk di kursinya dengan termangu-mangu," tutur Sin-to Kongcu. "Sementara itu tamu hotel menjadi kaget dan be-ramai-ramai merubung datang untuk menonton, ada yang menyangka suami isteri sedang bertengkar dan ingin melerai, tapi baru masuk segera orang itu di depak keluar oleh Lim Tay-ih, keruan yang lain-lain menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat."

"Galak benar nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.

"Setelah menerjang ke dalam kamar, Ji Pwe-giok didamperatnya habis-habisan," tutur Sin-to Kongcu lebih lanjut. "Hakikatnya Ji Pwe-giok dimaki se-olah2 manusia yang paling tidak kenal malu di dunia ini. Tapi Ji Pwe-giok masih tetap duduk mematung dan tidak menanggapi."

"Kata peribahasa, bertepuk sebelah tangan takkan berbunyi, kalau orang tidak menjawabnya, betapapun galaknya nona Lim itu terpaksa tak dapat berbuat apa-apa lagi," ujar Gin-hoa-nio.

"Ya, tadinya akupun anggap begitu," kata Sin-to Kongcu. "Siapa tahu Lim Tay-ih itu seperti sudah gila, mendadak pedangnya menusuk..."

"Dan dia tidak membalas?" betapapun Kim-yan-cu menjadi kuatir dan bertanya.

Sin-to Kongcu melototinya sekejap, lalu menjawab dengan perlahan, "Bukan saja dia tidak membalas, bahkan berkelit saja tidak. Ketika pedang Lim Tay-ih mengenai badannya, hakekatnya dia tidak bergerak sama sekali."

"Parah tidak lukanya?" tanya Kim-yan-cu.

"Tampaknya Lim Tay-ih tidak ingin sekali tusuk membinasakan dia," jawab Sin-to Kongcu dengan dingin, "sebab itulah tusukannya itu diarahkan ke bahunya, tusukan yang kedua juga cuma melukai dadanya..."

"Dia tega menusuk lagi?!" seru Kim-yan-cu.

"Tidak cuma menusuk lagi, bahkan sembari memaki dan menangis, pedangnya juga tidak pernah berhenti," jengek Sin-to Kongcu.

Hampir menangis Kim-yan-cu, katanya dengan tersendat, "Masa tidak ada orang yang mencegahnya?"

"Tadi kan sudah ada yang di depak keluar, siapa lagi yang berani melerainya?" ujar Sin-to Kongcu.

"Dan kau? Kenapa tidak kau cegah dia? Apakah kaupun takut kepada ilmu silatnya?" tanya Kim-yan-cu.

Sin-to Kongcu menunduk, katanya, "Sebenarnya akupun ingin menariknya, tapi begitu mendengar orang itupun bernama Ji Pwe-giok, entah mengapa, aku menjadi... menjadi marah bila mendengar nama Ji Pwe-giok."

"Jadi... jadi kau saksikan dia dibunuh orang di depanmu?" tanya Kim-yan-cu pula dengan suara gemetar.

"O, kaupun kenal dia?" tanya Sin-to Kongcu dengan terbelalak. "Mengapa begini besar perhatianmu kepadanya?"

"Kukenal dia atau tidak, kuperhatikan dia atau tidak, semua ini ada sangkut paut apa denganmu?" teriak Kim-yan-cu.

Mata Sin-to Kongcu menjadi merah, ia angkat cawan arak, tapi tangannya terasa gemetar hingga arak berceceran membasahi bajunya. "Tapi Ji Pwe-giok itu apakah betul telah dibunuh oleh Lim Tay-ih?" timbrung Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.

"Sudah tentu, masakah perlu dijelaskan lagi," kata Sin-to Kongcu dengan dingin sambil tetap menatap Kim-yan-cu.

Se-konyong2 Kim-yan-cu berbangkit, teriaknya dengan parau, "Dan kau... kau ti..."

Sin-to Kongcu juga berdiri dan meraung, "Ji Pwe-giok sendiri tidak menghiraukan dirinya diserang, jelas ia sendiri rela mati di tangan Lim Tay-ih. Kalau dia sendiri sukarela, mengapa aku mesti ikut campur urusannya?!"

Dengan sinar mata buram Kim-yan-cu menatap Sin-to Kongcu, selangkah demi selangkah ia menyurut mundur ke pintu, akhirnya air mata menetes, mendadak ia membalik tubuh terus berlari pergi dengan mendekap mukanya.

Lama juga Gin-hoa-nio melenggong, lalu ia tertawa ter-kekeh2, katanya, "Hehe, akhirnya Ji Pwe-giok mati juga, bahkan mati di tangan orang perempuan... jika Losam (si ketiga, maksudnya Thi-hoa-nio) mendengar berita ini, kuyakin air mukanya pasti sangat lucu."

Waktu ia berpaling, dilihatnya Sin-to Kongcu berdiri kaku seperti patung, air mukanya sebentar hijau sebentar putih, mendadak "prak", cawan arak yang dipegangnya telah hancur diremasnya.

* * *

Kim-yan-cu berlari kembali ke kamarnya dan menjatuhkan diri di ranjang, kepala ditutupnya dengan selimut lalu menangis ter-gerung2. Ia sendiripun tidak menduga dirinya bisa begini berduka.

Entah sudah berapa lama ia menangis, ia merasa sebuah tangan meraba bahunya dengan perlahan, ia membuka selimut, dilihatnya Gin-hoa-nio berduduk di tepi ranjang dan lagi berkata dengan suara lembut, "Orang mati tak dapat hidup kembali, untuk apa Toaci sedemikian berduka?"

Melihat dia Kim-yan-cu merasa seperti bertemu dengan orang yang paling karib di dunia ini, ia menubruk ke pangkuan Gin-hoa-nio dan menangis lagi sekian lamanya, habis itu barulah ia berkata dengan tersendat, "Akupun tidak tahu mengapa aku begini berduka, padahal aku cuma berada bersama dia satu hari saja, bahkan bagaimana bentuknya sesungguhnya akupun tidak jelas."

"Hah? Kau hanya berkumpul satu hari dengan dia? Hanya satu hari?" Gin-hoa-nio menegas dengan tercengang.

"Ya, meski cuma satu hari, tapi apa yang terjadi selama sehari itu sudah cukup kukenangkan untuk selama hidup," kata Kim-yan-cu.

Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, tanyanya pula dengan perlahan, "Dia sangat baik padamu?!"

"Ya".

"Tapi Sin-to Kongcu itu kan juga sangat baik padamu?"

"Itu tidak sama," ujar Kim-yan-cu. "Dia baik padaku lantaran ia ingin memiliki diriku, tapi Ji... Ji Kongcu itu, dia selalu memikirkan kepentinganku, bahkan tidak sayang mengorbankan dirinya sendiri demi diriku."

"Kukira dia bukan manusia sebaik itu..."

"Kau tahu," mendadak Kim-yan-cu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara agak gemetar, "Sebenarnya dia dapat mendapatkan segalanya dari diriku, aku... aku sudah rela menyerahkan segalanya kepadanya, tapi dia... dia tidak mau membikin susah padaku..."

Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, serunya, "Jadi dia telah menolak dirimu, bisa jadi lantaran dia memandang rendah dirimu!"

"Tidak, sama sekali bukan begitu," kata Kim-yan-cu. "Kau tidak tahu..."

"Mengapa aku tidak tahu," jengek Gin-hoa-nio. "Sudah lama ku tahu dia bukan manusia yang tahu kebajikan, sepantasnya kau benci padanya, mengapa kau malah berduka baginya?"

Kim-yan-cu menghela nafas, jawabnya, "Sebenarnya akupun rada benci padanya, tapi sekarang... sekarang aku dapat memahami maksudnya, rupanya dia kuatir kebahagiaan hidupku menjadi korban, maka dia lebih suka membikin kubenci padanya dan tidak mau membikin susah padaku. Tiada lain melulu ini saja selama... selama hidupku takkan kulupakan dia."

Gin-hoa-nio melengak, tapi dia lantas mendengus pula, "Tapi kalau aku sudah ditolak oleh seorang lelaki, maka aku akan membencinya selama hidup."

Mendadak pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaku Sin-to Kongcu berdiri di depan pintu, wajahnya kelihatan pucat seperti mayat.

Kim-yan-cu menjadi gusar, dampratnya, "Siapa suruh kau kemari? Keluar, lekas keluar!"

Sin-to Kongcu tetap berdiri kesima di situ, mendadak ia menghela nafas panjang, katanya, "Janganlah kau berduka, Ji Pwe-giok itu tidaklah mati!"

Tercengang Kim-yan-cu, tanyanya, "Habis tadi mengapa... mengapa kau..."

Sin-to Kongcu menunduk, jawabnya, "Tadi aku sengaja membikin marah padamu, tapi... tapi sekarang, setelah melihat kau sedemikian berduka, aku... aku tidak sampai hati berdusta lebih jauh."

Kim-yan-cu menatapnya dengan terkesima, seketika ia menjadi tak sanggup bicara.

"Jika tiada orang menolongnya, bisa jadi Lim Tay-ih benar2 akan membunuhnya," tutur Sin-to Kongcu lebih lanjut. "Pada saat itulah mendadak seorang melayang masuk dan menghadang di depan Lim Tay-ih."

"Siapa dia?" tanya Kim-yan-cu cepat.

"Ang-lian hoa!" jawab Sin-to Kongcu.

"Ji Pwe-giok itupun kenal Ang-lian hoa?" seru Kim-yan-cu.

"Meski Ang-lian hoa telah menyelamatkan dia, tapi Ang-lian hoa juga tidak kenal dia, tampaknya malahan rada jemu terhadap orang she Ji itu, cuma dia merasa kesalahan orang tidak perlu dihukum mati, maka dia merintangi Lim Tay-ih."

"Darimana kau tahu?" tanya Kim-yan-cu.

"Tatkala mana sekujur badan Ji Pwe-giok sudah mandi darah, siapapun dapat melihat lukanya cukup parah, tapi Ang-lian hoa sama sekali tidak memandangnya, sebaliknya malah membujuk dan menghibur Lim Tay-ih, seolah-olah yang terluka bukanlah Ji Pwe-giok melainkan Lim Tay-ih. Ji Pwe-giok itupun memandangi mereka dengan termangu-mangu tanpa bicara."

"Kemudian?" tanya Kim-yan-cu.

"Kemudian Ang-lian hoa lantas membawa pergi Lim Tay-ih tanpa memperdulikan orang she Ji itu," tutur Sin-to Kongcu. "Coba pikir, jika dia sahabat Ji Pwe-giok itu atau dia bersimpatik padanya, paling tidak ia pasti akan memeriksa lukanya."

Sampai di sini barulah Gin-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Jika begitu, untuk apa pula Ang-lian hoa menolongnya. Ang-lian hoa benar2 tidak malu sebagai seorang yang sok ikut campur urusan tetek bengek. Tapi tidak lambat tidak cepat, justeru pada saat itulah dia muncul. Jangan-jangan iapun senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-gerik mereka?"

"Tapi baru saja Ang-lian hoa dan Lim Tay-ih berangkat, segera ada seorang perempuan melayang masuk lagi dan memandangi Ji Pwe-giok dengan tertawa," tutur Sin-to Kongcu pula. "Perempuan itu lantas berkata: "Sebelumnya memang ku tahu ada orang akan menolong kau, maka sebegitu jauh aku tidak turun tangan..." Coba pikir, kalau dia tidak menguntit mereka, mana bisa dia bicara begitu?"

"Hm, tampaknya banyak juga pacar Ji Pwe-giok, yang satu menemani dia tidur di hotel, ada lagi yang diam2 menunggu kesempatan baik untuk menolongnya," jengek Gin-hoa-nio.

"Tapi demi melihat perempuan itu, Ji Pwe-giok seperti melihat setan saja, tanpa menghiraukan lukanya yang cukup parah itu, dia melompat bangun terus kabur," tutur Sin-to Kongcu. "Hebat juga ginkangnya, biarpun dalam keadaan terluka, perempuan itu belum tentu dapat menyusulnya."

Gin-hoa-nio berkerut kening, tanyanya, "Siapa pula perempuan itu? Bagaimana bentuknya?"

"Perempuan itu berbaju putih mulus, tampaknya juga tergolong perempuan cantik, ilmu silatnya juga tergolong kelas tinggi, tapi aku tidak tahu di Kangouw ada seorang tokoh semacam dia, bisa jadi baru saja muncul," tutur Sin-to Kongcu pula dengan wajah pucat dan agak linglung, orang bertanya diapun menjawab, sampai di sini mendadak ia menatap lagi Kim-yan-cu, katanya dengan perlahan, "Sekarang apa yang kulihat sudah kuceritakan seluruhnya, meski di balik urusan ini pasti masih ada hal2 lain yang ter-belit2, tapi aku tidak tahu lagi, akupun tidak tahu kemana perginya Ji Pwe-giok itu."

Dengan nada yang agak terangsang kemudian dia menyambung pula, "Tapi kelak bila kulihat dia pasti akan kusuruh dia mencari dirimu, ku tahu isi hatimu, apapun sikapmu terhadapku tidak menjadi soal, paling tidak aku sendiri tidak... tidak berbuat salah padamu!"

Habis berkata segera ia membalik badan dan melangkah pergi. Padahal biasanya dia se-akan2 lengket terhadap Kim-yan-cu, tapi kepergiannya ini ternyata cukup ikhlas.

"Orang ini meski terkadang terasa menjemukan, tak tersangka cukup keras juga kepalanya," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.

Kim-yan-cu ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Dia memang tidak bersalah padaku, tapi aku merasa tidak enak padanya."

"Tadi aku cuma berpikir bicara dengan Cici dan tidak menyangka dia akan mencuri dengar di luar pintu," kata Gin-hoa-nio. "Jika dia tidak mendengar perkataan Cici tadi, tentu dia takkan pergi seperti sekarang ini."

"Sebabnya dia selalu melengket pada diriku adalah karena dia mengira aku pasti jauh lebih dingin terhadap orang lain daripada sikap dinginku terhadap dia. Sekarang setelah dia tahu hatiku sudah terisi orang lain, barulah dia ikhlas melepaskan diriku. Dengan demikian akupun tidak perlu repot lagi menghadapi dia."

"Tapi mengapa Toaci membikin dia putus asa? Jika dia selalu masih berharap akan memiliki Toaci, tentu dia akan senantiasa mengintil di belakang kita, jika kau suruh dia ke timur, tidak nanti dia berani ke barat. Dengan demikian bukankah akan sangat menyenangkan. Apalagi anak perempuan seperti kita yang suka berkelana di Kangouw justeru memerlukan pesuruh semacam dia."

Sama sekali Kim-yan-cu tidak pernah membayangkan jalan pikiran yang bukan2 seperti apa yang dikatakan Gin-hoa-nio ini, karena pikiran sendiri sedang kusut, maka iapun tidak menanggapinya. Ia cuma menghela nafas dan berkata, "Aku sangat lelah dan ingin istirahat, harap kau keluar saja."

Namun Gin-hoa-nio masih tetap duduk saja, ia malah berkata lagi dengan mata terbelalak, "Toaci, menurut kau, sebab apakah nona Lim itu ingin membunuh Ji-kongcu?"

Kim-yan-cu membalik tubuh, memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi.

"Menurut pendapatku, belum tentu nona Lim itu hendak membunuh Ji-kongcu," kata Gin-hoa-nio pula. "Dalam hal ini ada dua titik yang mencurigakan, masa Toaci tidak dapat membayangkannya?"

Mesti tidak mau menggubrisnya, tak tahan juga Kim-yan-cu mendengar ucapan tersebut, segera ia bertanya, "Hal apa yang mencurigakan?"

Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Melihat sikap Ji-kongcu terhadap nona Lim itu, pasti dia tidak berprasangka jelek apapun terhadap nona itu, bahkan tidak cuma satu hari saja mereka berada bersama."

"Ini kan juga tidak perlu diherankan"

"Jika begitu, kesempatan bagi nona Lim untuk membunuh Ji-kongcu tentunya sangat banyak, mengapa dia sengaja menunggu sampai malam itu, di tempat yang banyak orang dan sengaja ribut2 sehingga ditonton orang?"

"Bisa jadi dia tidak sengaja mengagetkan orang, mungkin dia tidak sabar lagi dan akhirnya ribut," ujar Kim-yan-cu setelah berpikir sejenak.

"Seorang perempuan kalau sudah benci kepada seorang lelaki, bahkan ingin membunuhnya, maka dia pasti takkan ribut dengan dia secara terbuka, jika sampai ribut2 begitu, tentu dia tidak bermaksud membunuhnya... Toaci, engkau juga perempuan, kau bilang uraianku ini masuk di akal atau tidak?"

Setelah termenung sejenak, akhirnya Kim-yan-cu mengangguk, "Ya, betul juga."

"Selain itu, jika benar nona Lim itu ingin membunuh Ji-Kongcu, di depan orang banyak kenapa tidak sekali tusuk dibinasakannya?"

"Mungkin dia ingin menyiksanya secara perlahan."

"Menurut pendapatku, hati nona Lim itu pasti tidak sekeji itu, apalagi seumpama benar ia maksud menyiksanya secara perlahan, tentu serangannya juga tidak seringan itu."

"Darimana kau tahu serangannya ringan atau berat?"

"Jika serangannya cukup berat, masakah kemudian Ji-kongcu mampu kabur dengan menggunakan ginkangnya?"

Kim-yan-cu termenung, tanyanya kemudian, "Habis kalau menurut kau, sesungguhnya permainan apakah itu?"

"Menurut pendapatku, apa yang dilakukan nona Lim itu hanya sekedar dilihat orang lain saja."

"Mengapa dia berbuat begitu agar dilihat orang lain?"

"Apa sebabnya akupun tidak tahu, bisa jadi Toaci tahu..."

"Aku cuma tahu dia memang sangat benci kepada Ji Pwe-giok dan memang ada alasannya untuk membunuhnya. Di dunia ini jika ada seorang yang benar2 ingin membunuh Ji Pwe-giok, maka orang itu ialah Lim Tay-ih."

Walaupun di mulut dia bicara penuh keyakinan, tapi dalam hati lamat2 juga merasakan di balik urusan ini pasti masih ada persoalan lain yang tersembunyi. Tapi tak terpikir olehnya bahwa urusan ini sesungguhnya memang sangat ruwet, sangat pelik, berpuluh kali lebih ruwet dan pelik daripada apa yang pernah dibayangkannya.

* * *

Kereta mereka beristirahat sehari penuh di kota kecil ini, esok paginya, belum lagi terang tanah Gin-hoa-nio sudah bangun untuk mendesak kusir kereta agar mengatur segala sesuatu yang perlu untuk segera berangkat.

Kim-yan-cu semalaman tak dapat tidur, baru saja ia terpulas sudah dikejutkan lagi oleh suara2 di halaman, terpaksa ia bangun dan membuka pintu kamar, tanyanya kepada Gin-hoa-nio dengan dahi berkerut, "Pagi2 begini sudah mau berangkat?"

Gin-hoa-nio menyongsongnya, katanya dengan mengiring tawa, "Sudah ku pesan mereka agar jangan mengejutkan Toaci hingga terjaga, dasar orang kasar, sukar diatur."

"Sekalipun mereka tidak mengejutkan tidurku, toh kau juga akan membangunkan aku," ujar Kim-yan-cu hambar.

Karena isi hatinya tepat dibongkar, muka Gin-hoa-nio menjadi merah, baru sekarang ia tahu meski Kim-yan-cu tampaknya serba gampangan, tapi juga tidak sederhana seperti apa yang disangkanya.

Kim-yan-cu balik ke dalam kamar, katanya pula, "Kau ter-gesa2 hendak berangkat, kukira kau pasti sudah mempunyai tempat tujuan. Sesungguhnya hendak kemana? Mengapa tidak kau katakan padaku?"

Gin-hoa-nio tertawa dan menjawab, "Sejauh ini Toaci tidak tanya, maka..."

"Kan sudah kutanyakan sekarang?"

"Soalnya begini," tutur Gin-hoa-nio, "begini banyak harta benda yang kita bawa, rasanya agak kurang leluasa bila kita menempuh perjalanan jauh, maka kupikir barang2 ini harus kita titipkan pada suatu tempat yang dapat dipercaya."

"Ingin kau titipkan dimana?"

"Adik baru saja berkecimpung di Kangouw dan belum banyak kenalanku, untuk ini dengan sendirinya mesti minta petunjukmu."

Setelah kejadian kemarin, meski lamat2 Kim-yan-cu juga merasakan adik angkat yang baru ini tidak sederhana, tapi iapun tidak menyangka orang ada intrik apa2 terhadap dirinya. Setelah berpikir, kemudian ia berkata, "Harta benda sebanyak itu memang tidak leluasa biarpun dititipkan dimana saja. Sekalipun kita percaya penuh kepada orang yang kita titipi, orang lain belum tentu sanggup menerima resiko sebesar ini."

"Betul juga ucapan Toaci," kata Gin-hoa-nio. "Makanya orang yang akan kita titipi selain harus dapat dipercaya juga harus berani bertanggung jawab, kalau tidak, titipan harta benda ini jangan2 malah bisa membikin celaka dia."

Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian, "Orang yang kau maksudkan kuingat memang ada satu di dekat sini."

"Ha, siapa?" seru Gin-hoa-nio cepat dan girang.

"Keluarga Tong di Sujwan..."

Belum habis ucapan Kim-yan-cu, serentak Gin-hoa-nio berkeplok dan berseru, "Aha, nama besar keluarga Tong di Sujwan memang sudah lama kudengar. Jika peti2 ini dapat dititipkan di sana, sudah tentu tidak perlu dikuatirkan lagi. Selain itu, dengan nama baik ayah beranak keluarga Tong itu, tentu orangpun tak berani menyatroni mereka dan mengincar harta benda ini."

Tiba2 ia berkerut kening dan menyambung pula, "Cuma orang2 keluarga Tong itu biasanya berwatak aneh, suka menyendiri dan jarang bergaul. Jika Toaci tidak kenal mereka, kukira merekapun tak mau menerima titipan ini."

Kim-yan-cu tersenyum, katanya, "Jika kau tahu seluk beluk dunia Kangouw, mengapa kau tidak tahu aku dan Tong-bun-su-siu (empat cantik dari Keluarga Tong) juga bersaudara angkat?"

Meski ia merasa rasa girang Gin-hoa-nio itu rada kelewatan, tapi ia sangka mungkin karena adik angkat ini terlalu memikirkan keselamatan harta benda itu. Ia tidak tahu sebabnya Gin-hoa-nio memikat dan bersaudara dengan dia justeru lantaran sebelumnya sudah diketahui dia adalah saudara angkat dari para nona keluarga Tong. Kalau tidak tentu sudah lama dia dibunuhnya.

Begitulah terlihat Gin-hoa-nio sangat gembira dan tertawa terus menerus, katanya, "Toaci dan Tong-bun-su-siu adalah saudara angkat, wah, kalau begitu adik kan juga ikut2an menjadi saudara mereka? Biasanya aku sebatang kara dan hidup ter-lunta2, kini mendadak mendapatkan kakak2 sebanyak ini dan rata2 orang termasyhur, aku sangat girang."

Melihat kegembiraan orang Kim-yan-cu juga tertawa, katanya, "Disiplin keluarga Tong biasanya sangat keras, para nona dan menantunya jarang keluar rumah, mereka selalu merasa kekurangan teman, bilamana mendapat seorang adik cilik yang menyenangkan seperti kau, mereka pasti juga akan kegirangan."

Teringat kepada nasib Gin-hoa-nio yang sebatang kara dan hidup sengsara, sekalipun pandangannya terhadap harta benda sedemikian penting, hal inipun dianggapnya lumrah. Karena pikiran ini, rasa was-wasnya terhadap Gin-hoa-nio kemarin lantas tersingkirkan semua, ia malah menyesal pagi tadi tidak pantas bersikap dingin padanya. Karena itulah sepanjang jalan kembali ia mengajaknya bersenda gurau lagi.

Perjalanan ke Sujwan cukup sulit ditempuh sebab pada umumnya jalan daerah Sujwan adalah lereng2 bukit. Tapi saat ini mereka berada di dataran Sujwan tengah yang jarang lereng bukitnya, bahkan Sujwan tengah sejak jaman dahulu terkenal sebagai daerah yang subur dan makmur, sepanjang jalan cukup ramai orang berlalu lalang sehingga tidak terasakan kesepian.

Setelah melintasi In-yang-to dan menyusur lembah Tiangkang, jalanan semakin lapang, tapi sepanjang jalan mulai banyak tertampak kawanan pengemis, kebanyakan berkelompok dalam jumlah tiga atau lima orang. Kawanan jembel inipun menempuh perjalanan ke depan dengan teratur, melihat kaum saudagar dan orang lalu, mereka suka memberi jalan dengan sikap hormat, tapi tidak minta2 seperti biasanya. Bahkan di antara kaum jembel itu ada yang kelihatan angkuh, se-olah2 memandang rendah kaum awam ini.

Agaknya Gin-hoa-nio tertarik, ia membisiki Kim-yan-cu, "Tampaknya kawanan pengemis ini sama mahir ilmu silat dan bukan tukang minta2 biasa... jangan2 mereka inilah anak murid Kay-pang?"

Suara Gin-hoa-nio sangat lirih, tapi seorang pengemis yang berjalan sendirian beberapa tombak di depan mendadak menoleh dan tersenyum padanya dan berkata, "Nona cantik hendaklah menempuh perjalanannya sendiri dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain."

Pakaian pengemis ini juga compang-camping dan berlepotan debu kotoran, tapi wajahnya yang agak kurus itu tampak tercuci bersih, sorot matanya juga gemerdep tajam. Gin-hoa-nio melelet lidah dan tertawa genit, katanya, "Wah, tajam benar telinga Cianpwe, Anda tentu Tianglo di dalam Kay pang?"

Mendadak pengemis setengah umur itu menarik muka, mata alisnya memperlihatkan rasa marah, tapi setelah memandang sekejap Kim-yan-cu yang berada di sebelah Gin-hoa-nio, dengan dingin dia berkata, "Aku bukan Cianpwe segala, juga bukan Tianglo apa, mungkin nona yang salah lihat."

Gin-hoa-nio ingin bicara lagi, tapi pengemis setengah umur itu sudah melangkah ke sana, ia menuju ke bawah pohon di tepi jalan, dikeluarkannya sebuah buli2 kayu, isi buli2 tentunya arak, maka ditenggaklah araknya.

Dalam sekejap saja kereta sudah lalu di samping pengemis itu, Gin-hoa-nio menggeleng dan bergumam, sungguh aneh tabiat orang ini, aku tidak bersalah padanya, mengapa dia merasa marah padaku?"

Kim-yan-cu tidak menjawabnya, selang tak lama, mendadak ia berkata, "Di depan adalah kota Li-toh-tin, hendaklah kau tunggu diriku di hotel Li-keh-can sana, sebelum ku datang jangan pergi dulu."

"Toaci hendak ke mana?" tanya Gin-hoa-nio dengan tercengang.

"Tiba2 teringat sesuatu olehku..."

"Bolehkah adik mengiringi kepergian Toaci?"

Kim-yan-cu seperti tidak sabar, katanya sambil berkerut kening, "Biar kau tunggu saja di Li-toh-tin, tidak sampai tiga hari tentu ku datang mencari kau, masa kau takut ku kabur?"

Cepat Gin-hoa-nio menjawab, "Baiklah, adik menurut saja."

Melihat Gin-hoa-nio sudah jauh membawa kedua keretanya, mendadak Kim-yan-cu memutar balik kudanya dan dilarikan ke tempat tadi. Dilihatnya si pengemis setengah baya itu sudah tertidur di tepi jalan di bawah pohon.

Kalau pengemis yang lain, banyak atau sedikit, tentu membawa beberapa karung goni sebagai tanda tingkatannya, makin banyak karung goni yang dibawanya, makin tinggi kedudukannya. Jika tidak membawa karung berarti murid yang belum resmi masuk perkumpulan.

Sikap pengemis setengah baya ini sangat angkuh, langkahnya cepat enteng, jelas sangat tinggi ilmu silatnya, tidak mungkin dia murid Kay-pang yang belum resmi, tapi buktinya dia tidak membawa sebuah karungpun.

Pakaian pengemis yang lain juga compang camping, tapi kebanyakan tercuci bersih, hanya wajah masing2 jelas kelihatan sudah kenyang menderita gemblengan kehidupan sebagai tukang minta2. Sebaliknya meski pakaian pengemis setengah baya ini penuh kotoran, namun mukanya justeru putih bersih, kulit badannya juga halus, bahkan tiada tampak garis keriput sama sekali.

Bila pengemis lain sama berkelompok dan saling menyapa, tapi pengemis aneh ini justeru menempuh perjalanan sendirian dengan langkah angkuh se-akan2 tidak sudi bergaul dengan orang lain.

Tujuan Kim-yan-cu sebenarnya hendak mencari Ang-lian hoa untuk ditanyai apa yang terjadi tempo hari, untuk ini mestinya ia dapat minta keterangan kepada pengemis yang lain. Tapi dia merasa heran terhadap pengemis setengah umur ini, timbul rasa ingin tahunya. Dari kejauhan ia sudah turun dari kudanya, lalu mendekati pohon itu dan berduduk di situ.

Pengemis2 yang lain sama heran melihat seorang nona jelita berduduk di samping pengemis setengah umur yang sedang tidur itu. Ketika lalu di depan mereka, langkah mereka lantas dibikin perlahan, tampaknya kuatir mengganggu tidur pengemis setengah umur yang nyenyak itu.

Kim-yan-cu juga bersabar sebisanya dan tidak membangunkan orang.

Terdengar suara dengkuran perlahan pengemis aneh itu, tidurnya sangat lelap, malahan samar-samar terdengar ia sedang mengigau.

Kim-yan-cu coba pasang kuping dengan cermat, didengarnya orang sedang berkata, "Begitu banyak benda berharga yang termuat di kereta itu, kenapa tidak cepat melanjutkan perjalanan, untuk apa kau cari si tukang minta2 ini? Apakah hendak memberi sedekah?"

Terkejut Kim-yan-cu, diam-diam ia mengakui ketajaman pandangan orang.

Kalau barang muatan kereta itu adalah sebangsa emas-perak yang berat bobotnya, debu yang mengepul yang ditimbulkan oleh roda kereta itu pasti berbeda, orang Kangouw kawakan sekali pandang akan segera tahu hal ikhwalnya.

Tapi sekarang barang yang dimuat kedua kereta itu hanya benda2 berharga yang ringan bobotnya sebangsa ratna mutu manikam, sungguh luar biasa pengemis aneh inipun dapat mengetahuinya.

Begitulah semakin kejut dan heran, semakin bersabar pula Kim-yan-cu, betapapun lama si pengemis aneh ini akan pura2 tidur tetap akan ditunggunya.

Selang sejenak, mendadak pengemis aneh bergelak tertawa dan berbangkit, katanya, "Hahaha, Kang-lam-lihiap Kim-yan-cu yang termasyhur ternyata menunggui tidur seorang tukang minta2, apakah tidak kuatir dijadikan bahan tertawa orang!"

Kim-yan-cu terkesiap, "Kiranya Cianpwe kenal Tecu."

"Bukan cuma kau si walet ini yang kukenal, bahkan kukenal pula si elang," ucap pengemis itu dengan tertawa.

Supaya diketahui, guru Kim-yan-cu bernama In Tiat-ih, berjuluk "Sin-eng" atau elang sakti, seorang pendekar termasyhur pada 30 tahun yang lalu.

Selama hidup In Tiat-ih melaksanakan tugas mulianya dengan sendirian, musuhnya tersebar di mana2, sampai tua dia cuma menerima Kim-yan-cu sebagai murid satu2nya. Tapi ketika Kim-yan-cu tamat belajar dan terjun di dunia Kangouw, tatkala mana In Tiat-ih sendiri jatuh sakit berat. Ia tahu musuhnya terlalu banyak dan mungkin akan menimbulkan kesukaran bagi Kim-yan-cu, maka wanti2 dia pesan Kim-yan-cu agar tidak mengatakan asal-usul perguruannya dan selama ini di dunia Kangouw memang tiada yang tahu siapa gurunya. Bahkan Ang-lian hoa yang terkenal serba tahu itupun tidak tahu.

Tapi sekarang pengemis setengah umur ini kontan dapat membongkar rahasia perguruannya, tentu saja Kim-yan-cu terkejut dan cepat berdiri, tapi perlahan2 dia lantas duduk lagi, katanya dengan tersenyum ewa, "Entah siapa nama Cianpwe yang mulia, darimana Anda tahu nama mendiang guruku."

Pengemis aneh itu ayun tangan memotong ucapannya, katanya dengan berkerut kening, "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat. Masa kau lupa akan peribahasa ini? Mengenai namaku, biar kukatakan juga kau tidak kenal."

Kim-yan-cu menjadi bingung karena tidak tahu sebab apa orang menjadi marah, maka ia tidak berani bertanya pula.

Pengemis aneh itu melototinya sejenak, tapi mendadak wajahnya cerah lagi da berkata, "Kau cari padaku, sesungguhnya ada urusan apa? Apakah sangat penting?"

"Tecu ingin mencari Ang-lian-pangcu dari Pang kalian," jawab Kim-yan-cu. "Sebab itu mohon Cianpwe sudi membawa..."

"Jadi maksudmu mencariku hanya minta aku menjadi penunjuk jalan bagimu?" teriak pengemis itu dengan gusar.

Waktu bicara biji mata orang itu se-akan2 memancarkan dua jalur sinar tajam dan membuat orang tidak berani memandangnya. Tapi dalam sekejap lantas tertawa pula dan membuat orang seperti ditiup angin sejuk.

Selama hidup Kim-yan-cu tidak pernah melihat orang marah dan tertawa dapat berubah secepat ini, selagi ter-heran2, tiba2 pengemis aneh itu menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Jika aku yang kau minta untuk mencari Ang-lian hoa, baiklah akan kubawa kau ke sana. Nah, lekas naik kudamu dan ikut berangkat."

Kim-yan-cu tidak tahu mengapa orang marah2 tadi dan juga heran apa sebabnya orang tertawa te-bahak2 pula dan begitu aneh cara tertawanya, seketika ia menjadi terkesima bingung.

Sementara itu pengemis itu sudah berbangkit, ia melangkah dua tiga tindak, tiba2 ia menoleh dan membentak, "Suruh kau ikut berangkat, mengapa kau malah diam saja?"

Kim-yan-cu menyengir dan terpaksa berbangkit, ia kuatir membikin marah pengemis yang aneh ini, ia menuntun kudanya dan mengikuti di belakang orang, ia tidak berani menunggang kudanya.

Dalam pada itu hari sudah remang2, orang berlalu lalang sudah mulai jarang2, hanya ada kawanan pengemis yang ber-kelompok2 masih menempuh perjalanan dengan ter-gesa2. Ketika melihat pengemis aneh itu mereka lantas memberi jalan, sikap mereka seperti agak segan dan takut2 tapi tiada seorangpun yang menyapanya.

Pengemis setengah baya itupun tidak menghiraukan kawanan pengemis itu, tampaknya dia seperti bukan orang Kay-pang, tapi kalau bukan orang Kay-pang mengapa dia berdandan sebagai pengemis? Bahkan menempuh perjalanan searah dengan kawanan pengemis itu?

Begitulah Kim-yan-cu semakin heran, diam2 iapun menyesal. Ia merasa salah alamat bertanya keterangan kepada pengemis aneh itu. Pikirnya, "Tingkah laku orang aneh ini kelihatan misterius, jangan2 dia musuh Kay-pang? Yang hendak kucari adalah Ang-lian-pangcu, untuk apa mesti ku ikuti dia?"

Dilihatnya pengemis aneh itu makin cepat jalannya dan makin jauh tanpa menoleh. Mendadak Kim-yan-cu mencemplak ke atas kudanya terus dilarikan dengan cepat, dalam sekejap saja pengemis setengah umur itu sudah tertinggal jauh di belakang, bahkan bayangan anggota Kay-pang yang lain juga tidak kelihatan lagi.

Kim-yan-cu menghela nafas lega, gumamnya, "Sekarang, barulah..." belum habis ucapannya, tahu-tahu di bawah pohon di tepi jalan sana seorang mendengus, "Hm, katanya kau ingin mencari Ang-lian hoa, jelas kau telah kesasar!"

Siapa lagi orang itu kalau bukan si pengemis setengah umur yang misterius itu? Sungguh kejut Kim-yan-cu tak terkatakan, tanpa bersuara ia memutar kudanya, tanpa membedakan arah ia larikan kudanya seperti kesetanan.

Setelah membedal kudanya sekian lama, baru saja ia hendak berhenti, tahu2 pengemis aneh itu sudah berdiri lagi di depan sana sedang menantikan kedatangannya dan mengejeknya, "Kau kesasar lagi!"

Gerak-gerik orang ini secepat hantu, meski biasanya Kim-yan-cu juga bukan orang penakut, tapi memang aneh, pada pertama kali dia bertemu dengan pengemis ini rasanya dia sudah terpengaruh oleh daya gaibnya, sebab itulah secara aneh dia tidak mencari orang lain tapi justeru mencari dia dan secara tidak sadar menunggui dia tidur, kemudian secara membingungkan ia membedal kudanya berlari tak keruan.

Sekarang ia merasakan kaki dan tangan lemas semua, ingin melarikan kudanya juga tak bisa bergerak lagi, dengan suara rada gemetar ia bertanya, "Apa... apa kehendakmu?"

Pengemis itu memandangnya sekejap dengan tertawa, jawabnya kemudian, "Kan kau sendiri yang minta kubawa kau pergi mencari Ang-lian hoa, sekarang aku kan cuma memenuhi permintaanmu dan membawa kau kesana?"

"Sek...sekarang aku tidak... tidak ingin pergi," jawab Kim-yan-cu.

Seketika pengemis aneh itu menarik muka, katanya dengan ketus, "Sekali kau minta kubawa kau pergi, maka tetap kau harus pergi."

Bila orang lain yang bicara begini kepadanya, mustahil kalau Kim-yan-cu tidak melabraknya, tapi aneh, di depan pengemis misterius ini sama sekali dia tidak mempunyai keberanian untuk melawan.

Seketika pengemis itu membalik tubuh dan berjalan lagi ke depan, sama sekali Kim-yan-cu tidak berani kabur, ia mengikuti di belakangnya dengan baik2, sampai ia sendiri tidak tahu mengapa dia menjadi penurut begini.

Didengarnya pengemis itu berkata dengan perlahan, "Saat ini tentunya kau menyesal karena kau justeru mencari diriku."

Kim-yan-cu menggreget dan diam saja.

"Tapi kaupun tidak perlu menyesal, sebenarnya bukan kau yang mencari diriku melainkan aku yang mencari dirimu."

Kembali Kim-yan-cu terkejut, serunya, "Kau yang mencari diriku?"

"Betul, aku yang mencari kau," mendadak pengemis itu membalik tubuh. "Cuma kau sendiri tidak tahu."

Memandangi mata orang yang bercahaya itu, tiba2 Kim-yan-cu ingat sejak dia melihat mata orang secara aneh dan tanpa terasa lantas timbul keinginannya untuk kembali ke sana untuk mencarinya sampai Gin-hoa-nio yang mengajak bicara sejenak itupun dirasakan mengganggu, hatinya terasa gelisah dan tidak tenteram. Tatkala mana ia tidak tahu apa sebabnya, tapi sekarang ia tahu bahwa segala perubahan yang aneh ini adalah disebabkan oleh sinar mata orang yang penuh daya tarik aneh dan berpengaruh ini.

Berpikir demikian, tanpa terasa Kim-yan-cu berkeringat dingin, tanyanya dengan suara gemetar, "Sebab apa... sebab apa kau cari diriku?"

"Ada tiga sebab," jawab pengemis itu.

"Tiga sebab?" Kim-yan-cu melenggong.

"Ya, ada tiga sebab," tukas pengemis itu dengan perlahan. "Pertama karena kau murid In Tiat-ih..."

"Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan mendiang guruku?"

Pengemis itu tidak menjawabnya dengan kalem ia menyambung, "Sebab kedua adalah karena kau ingin mencari Ang-lian hoa!"

"Jangan2 kaupun ada permusuhan dengan Ang-lian-pangcu?"

Tetap pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya ia tersenyum dan melanjutkan, "Sebab ketiga adalah karena kau seorang perempuan, bahkan perempuan yang sangat cantik."

Karena tertawa, wajahnya yang kurus itu mendadak kelihatan sangat jahat, sinar matanya menimbulkan rasa yang memuakkan. Dipandang oleh mata orang, Kim-yan-cu merasa dirinya se-olah2 sudah telanjang bulat, ia merasa malu, kalau ada lubang ingin segera diselusupinya.

"Tapi kaupun jangan takut, aku takkan membikin susah padamu," dengan tersenyum pengemis itu berkata pula.

"Habis... apa kehendakmu?" tanya Kim-yan-cu gemetar. Sungguh kalau bisa dia ingin punya sayap dan segera melarikan diri. Tapi sinar mata orang se-akan2 memancarkan semacam daya tarik yang aneh, bukan saja dia tidak dapat lari, hakekatnya mata ingin berkedip saja tidak bisa.

Dengan kalem pengemis itu berkata pula, "Sebabnya kuinginkan kau cari padaku adalah karena... karena aku hendak melindungi kau... melindungi kau...," suaranya semakin perlahan, semakin lirih, juga semakin halus.

Kim-yan-cu merasa pikirannya mulai kabur, seperti tertidur, tapi juga merasa seperti jauh lebih sadar daripada biasanya, tanpa terasa ia ikut berkata, "Ya, betul, kau akan melindungi diriku..."

"Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa di dunia ini hanya aku inilah satu2nya orang yang paling akrab dengan kau," kata pula pengemis.

"Ya, betul, engkaulah orang yang paling karib dengan diriku."

"Makanya apapun yang kutanya harus kau jawab dengan sejujurnya."

"Ya, apapun pertanyaanmu pasti akan kujawab dengan sejujurnya."

Pengemis itu tertawa dan berkata pula, "Lebih dulu ingin kutanya padamu, sebelum meninggal In Tiat-ih pernah menemukan sejilid Bu-kang-pi-kip (kitab pusaka ilmu silat), apakah kitab itu diberikannya kepadamu?"

"Tidak," jawab Kim-yan-cu.

"Mengapa tidak?" tanya pengemis itu.

"Menurut keterangan suhu, kitab pusaka itu hanya dapat dipahami oleh seorang yang memiliki kecerdasan paling tinggi, sebab itulah, biarpun beliau menurunkan kitab pusaka itu kepadaku juga tiada gunanya, sebaliknya mungkin akan membikin celaka padaku malah."

"Dan setelah dia mati, kemana perginya kitab pusaka itu?"

"Menurut beliau, bila kitab pusaka itu tersiar di dunia ini, akibatnya pasti akan menimbulkan perebutan berdarah, namun beliau juga merasa berat untuk memusnahkan kitab itu, maka kitab itu telah disembunyikannya di suatu tempat yang sangat rahasia, kecuali beliau sendiri tiada seorangpun yang tahu tempat itu."

"Kaupun tidak tahu?"

"Ya, akupun tidak tahu. Meski suhu tidak pernah merahasiakan apa2 kepadaku, hanya urusan inilah betapapun juga beliau tidak mau memberitahukannya kepadaku, sebab beliau menganggap tiada seorang perempuan di dunia ini yang dapat menjaga rahasia."

Dengan gemas pengemis setengah baya itu berucap, "Sudah sekian tahun kucari dia dan akhirnya kutemukan kau sebagai muridnya, tak tersangka terhadap murid satu2nya juga tidak diberitahukannya. Padahal setan tua itu sudah mati, mengapa dia bertindak demikian?"

"Kata suhu, barang siapa berhasil meyakinkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu, maka dia akan malang melintang di dunia ini tanpa tandingan. Beliau kuatir apabila kita itu jatuh di tangan orang jahat, maka akibatnya sukar dibayangkan. Suhu tahu sudah ada sementara tokoh Kangouw yang telah mencium bau tentang kitab pusaka yang ditemukan Suhu itu, orang2 itu sudah mulai mencari jejaknya. Sebab itulah aku dilarang mengatakan asal-usul perguruanku agar tidak menimbulkan kesulitan bagiku."

Pengemis itu berkerut kening dan termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Dan untuk apa pula kau ingin mencari Ang-lian hoa?"

"Ingin kutanya sesuatu padanya."

"Urusan apa?"

"Urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih."

"Mengapa kau sedemikian memperhatikan urusan orang lain?"

"Sebab kucinta Ji Pwe-giok."

Ujung mulut pengemis aneh itu tersembul secercah senyuman yang jahat, ucapnya, "Tidak, yang kau cintai bukan Ji Pwe-giok, kau cinta padaku, tahu tidak?"

Se-konyong2 Kim-yan-cu berteriak, "Tidak, yang kucintai ialah Ji Pwe-giok dan bukan kau, bukan kau!"

Orang itu tidak menyangka sedemikian kuat pikiran Kim-yan-cu sehingga dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu gaibnya. Tapi segera ia mengeluarkan seuntai rantai emas yang sangat lembut, pada rantai emas itu terikat sebentuk mutiara hitam yang aneh, rantai emas itu digoyangkan sehingga mutiara hitam itupun ber-putar2 di depan Kim-yan-cu...

Benarlah, pikiran Kim-yan-cu yang terangsang tadi lambat laun tenang kembali.

Dengan suara keras pengemis itu berkata pula, "Tak perduli siapa yang kau cintai, yang jelas aku inilah orang yang paling karib denganmu, begitu bukan?"

"Ya," jawab Kim-yan-cu dengan mata setengah terpejam.

"Dan sekarang kuminta kau menanggalkan pakaianmu."

Tanpa pikir Kim-yan-cu menuruti permintaan itu, perlahan ia membuka bajunya sehingga kelihatan dadanya yang putih mulus, buah dadanya yang montok menegak diusap silir angin malam.

Pengemis aneh itu tersenyum puas, katanya pula, "Bagus, dan sekarang bukalah gaunmu!"

Perlahan Kim-yan-cu membuka kancing pinggang gaunnya dan...

Pada saat itulah tiba2 terdengar suara berderak, suara bambu di-pukul2kan yang berkumandang dari kejauhan.

Pengemis aneh itu menghela nafas, katanya, "Sayang waktunya tidak keburu lagi, bolehlah kau pakai lagi bajumu."

Waktu Kim-yan-cu selesai mengenakan kembali pakaiannya, pengemis setengah baya itu berkata pula, "Dan sekarang bolehlah kau sadar per-lahan2, hendaklah kau lupakan segala apa yang kutanyakan padamu barusan, cukup kau ingat bahwa aku adalah orang yang paling karib denganmu, aku adalah kawanmu, suamimu, akupun ayahmu, gurumu."

Habis berkata ia lantas menyimpan kembali mutiaranya dan menepuk tangan perlahan.

Serentak Kim-yan-cu membuka matanya, dengan linglung seperti orang kehilangan semangat ia pandang orang sekejap, lalu bergumam, "Ya, engkau adalah sahabatku, suamiku, kaupun ayahku, guruku. Tapi siapakah engkau? Sesungguhnya siapa kau?..."

Pengemis itu tersenyum, jawabnya, "Jika kau ingin tahu namaku, tiada halangannya kukatakan padamu. Aku inilah manusia yang serba tahu dan serba bisa, namaku Kwe Pian-sian, aku inilah kegaibannya manusia, tiada orang lain lagi di dunia ini yang bisa dibandingkan dengan diriku."

"Kwe Pian-sian?!..." Kim-yan-cu mengulangi nama itu, agaknya dia tergetar.

Kwe Pian-sian tertawa pongah, katanya, "Ya, aku pernah menjabat Tianglo Kay-pang, Houhoat Bu-tong-pay, aku inilah juragan peternakan yang paling besar di daerah barat laut sana, hartawan yang paling kaya raya di dunia ini, akupun pernah menjadi suami Kun Hay-hong atau Hay Hong Hujin."

Sampai di sini ia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Semua itu hanya beberapa saja di antara berpuluh macam jabatanku, betapa banyak jabatanku sampai aku sendiri terkadangpun tidak ingat. Pengalaman hidupku ini jauh lebih kenyang dibandingkan berpuluh orang lain."

Kim-yan-cu menghela nafas linglung, gumamnya, "Kwe Pian sian... kegaibannya manusia... suamiku."

* * *

Tengah malam di pegunungan yang sunyi kelihatan cahaya lampu terang benderang, di suatu tempat tanah mangkuk, di sekeliling dinding tebing penuh tertancap obor yang menyala, di bawah cahaya obor be-ribu2 anggota Kay-pang berduduk tersebar mengelilingi tanah lapang itu.

Ang-lian hoa berduduk di atas sepotong batu besar, air mukanya sangat prihatin, siapapun dapat melihat bahwa Ang-lian hoa yang termasyhur ini sekarang pasti lagi menghadapi suatu urusan yang maha sulit untuk diselesaikan.

Dengan sendirinya Bwe Su-bong, si pengemis yang berjuluk "sibuk selalu tanpa pekerjaan", juga berduduk di sebelahnya, wajahnya juga kelihatan sedih.

Orang sebanyak itu berkumpul di tanah mangkuk ini, namun suasana tetap sunyi senyap, hanya suara api obor yang terbakar ditiup angin sehingga mirip lolong kawanan serigala yang serak.

Sampai lama sekali, akhirnya Ang-lian hoa tidak tahan, ia membuka suara, "Menurut perkiraanmu, apakah dia betul2 akan datang?"

Dengan suara berat Bwe Su-bong menjawab, "Menurut anggota kita yang datang dari utara, sepanjang jalan banyak yang melihat seorang yang mirip dia, dari bentuknya semua orang sama bilang tidak banyak berbeda daripada orang yang dilukiskan Pangcu itu, sebab itulah mereka sama mematuhi perintah Pangcu, mereka sama menghindari dia bilamana melihatnya dari kejauhan."

Ang-lian hoa menghela nafas, katanya, "Sudah hampir 15 tahun orang ini menghilang tanpa kabar beritanya, sekarang mendadak muncul lagi, sesungguhnya apa maksud tujuannya, sungguh sukar untuk diterka."

Terdengar Bwe Su-bong lagi berkata, "Apakah Pangcu memang tidak dapat menerka maksud tujuan kedatangannya ini?"

Ang-lian hoa terdiam sejenak, katanya dengan tersenyum pahit, "Jangan2 dia menghendaki kuserahkan kedudukan Pangcu ini kepadanya? Tapi melihat tindak tanduknya, agaknya kedudukan Pangcu ini juga tidak terpandang olehnya. Kupikir mungkin masih ada intrik lain yang lebih besar."

Air muka Bwe Su-bong tampak prihatin, ia memandang kejauhan yang gelap sana, ucapnya dengan rawan, "Tak perduli intrik apa yang diaturnya, yang pasti yang dibawanya kemari hanya malapetaka belaka!" Mendadak ia menahan suaranya dan menyambung pula, "Tapi betapapun tinggi ilmu silatnya, berdasarkan kekuatan kita sekarang kukira masih dapat menumpasnya."

Air muka Ang-lian hoa agak berubah, katanya dengan parau, "Namun apapun juga dia kan tetap Tianglo Kaypang kita?"

Setahuku, ia juga masih menjabat Hou-hoat (pembela agama) Bu-tong-pay," kata Bwe Su-bong. "Seorang merangkap dua jabatan dari dua aliran yang berbeda, jelas ini telah melanggar peraturan Pang kita, berdasarkan alasan ini boleh Pangcu menghukum dia menurut aturan."

"Tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia juga merangkap menjadi Houhoat Bu-tong-pay?" ujar Ang-lian hoa dengan tersenyum getir.

"Ini..." Bwe Su-bong melengak dan tak dapat menjawab.

"Sekalipun kejahatan orang ini sudah kelewat takaran, tapi di dunia ini tiada seorangpun yang dapat membuktikan kejahatannya, kalau tidak, tidak perlu menunggu orang lain, Lo-pangcu (ketua lama) sendiri pasti tidak mengampuni dia dan tidak mungkin dia hidup sampai sekarang," demikian tutur Ang-lian hoa dengan menyesal.

"Habis bagaimana menurut pikiran Pangcu?"

"Begitu menerima suratnya, mulailah kurenungkan daya upaya untuk menghadapi dia. Tapi sampai saat ini tetap belum kutemukan akal yang baik, bisa jadi..."

Belum habis ucapannya, se-konyong2 dari kejauhan berkumandang suara bambu di-ketok2.

"Itu dia sudah datang!" seru Bwe Su-bong.

Suara gemeretak bambu dipukulkan semakin gencar dan makin keras.

Kiranya bila kaum jembel ini berkumpul, di sekeliling tempat rapat pasti dipasang pos pengawas, bilamana melihat kedatangan orang tak dikenal, segera tongkat bambu di-ketok2 sebagai tanda waspada.

"Cepat amat datangnya!" ucap Bwe Su-bong.

Namun para anggota Kay-pang yang berduduk memenuhi lapangan itu tetap tenang saja meski kelihatan agak tegang juga.

Sekejap kemudian, terlihatlah seorang pengemis setengah umur berperawakan jangkung dan bermuka kurus muncul dengan langkah lebar, di antara sorot matanya yang tajam dan takabur itu jelas kelihatan lagak angkuhnya se-akan2 dunia ini aku kuasa.

Selain pengemis ini, di belakangnya mengikuti pula seorang nona cantik berbaju kuning keemasan.

Seketika air muka Ang-lian hoa berubah, desisnya, "Aneh, mengapa Kim-yan-cu ikut datang bersama dia?"

"Jangan2 Kim-lihiap telah jatuh di dalam cengkeramannya?" kata Bwe Su-bong.

Belum selesai ucapannya, dengan langkah lebar Kwe Pian-sian sudah maju ke depan mereka, sorot matanya yang tajam memandang Ang-lian hoa dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Sekian tahun tidak bertemu, anak yang berpotongan poni dahulu sekarang sudah tumbuh menjadi pemuda yang ganteng, bahkan namanya sudah termasyhur, sungguh mengagumkan dan harus diberi selamat."

"Terima kasih," ucap Ang-lian hoa sambil merangkap kedua tangannya.

"Dan entah kau masih kenal padaku atau tidak?" tanya Kwe Pian-sian.

"Meski sudah lama tak berjumpa, tapi wajah Kwe-tianglo senantiasa terkenang oleh Tecu," jawab Ang-lian hoa.

Mendadak Kwe Pian-sian menarik muka dan berkata dengan bengis, "Jika kau belum lupa bahwa aku ini Tianglo Pang kita, mengapa kau tidak berlutut di depanku?"

Ang-lian hoa melengak, jawabnya tergagap, "Ini..."

Segera Bwe Su-bong memprotes dari samping, "Pangcu adalah yang maha agung di dalam Pang kita, sekalipun Tianglo adalah tokoh angkatan tua, juga Pangcu tidak wajib berlutut dan menyembah padamu."

Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus! Kiranya kau telah menjadi Pangcu, selamat, selamat!"

Suara tertawanya berkumandang sehingga menimbulkan suara yang nyaring, anak telinga anak murid Kay-pang serasa mau pecah, jantung ber-debar2 dan wajah pucat.

Mendadak Kwe Pian-sian berhenti tertawa, ia tatap Ang-lian hoa dan bertanya dengan bengis, "Siapa yang menunjuk kau sebagai Pangcu? Siapa?"

"Itu berdasarkan pesan wasiat Lo-pangcu," seru Bwe Su-bong.

"Pesan wasiat? Dimana, coba kulihat!"

"Pesan lisan Lo-pangcu sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan sendirinya tiada sesuatu bukti."

"Pesan lisan Lo-pangcu, memangnya siapa yang ikut dengar?" tanya Kwe Pian-sian.

"Kecuali Pangcu sendiri, tecu juga ikut mendengarkan," jawab Bwe Su-bong.

"Hm, hanya berdasarkan pengakuanmu lantas dia didukung ke atas singgasana Pangcu? Hah, apakah tidak terlalu naif?"

"Apakah Tianglo menganggap ucapan Tecu tidak benar?"

"Kurang ajar! Berdasarkan apa kau berani bicara demikian padaku?"

"Tecu bicara menurut kebenaran!"

"Menurut kebenaran? Hm, kau sesuai?" bentak Kwe Pian-sian, berbareng itu sebelah tangannya terus menyambar ke depan.

Belum lagi Bwe Su-bong menyadari apa yang terjadi, tahu2 mukanya sudah kena digampar dua kali. Menyusul tubuhnya lantas terlempar jauh ke sana.

Bwe Su-bong berjuluk "Bo-su-bang" atau tidak ada pekerjaan tapi sibuk selalu, dengan sendirinya lantaran pribadinya yang simpatik dan suka membantu. Karena itulah dalam pergaulan dia sangat disenangi kawan2nya.

Meski anak buah Kay-pang merasa jeri terhadap ilmu silat dan perbawa Kwe Pian-sian, tapi melihat Bwe Su-bong dianiaya, seketika terjadi kegaduhan.

Sorot mata Kwe Pian-sian menyapu sekeliling hadirin, lalu katanya dengan bengis, "Lahirnya pangcu kita selama ini hanya melalui dua jalan, pertama berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan. Kedua, berdasarkan tinggi rendahnya ilmu silat. Sekarang selaku Tianglo ku datang untuk mengusut perkara ini, apa yang kalian ributkan?"

Meski bengis dan keras suaranya dan berkumandang jauh di tengah kegaduhan itu, namun anak murid Kay-pang masih tetap ber-teriak2 dan tidak mau tunduk.

Dengan gusar Kwe Pian-sian lantas berkata, "Ang-lian hoa, kau ini Pangcu macam apa? Mengapa anak murid Pang kita makin lama makin tidak tahu aturan?"

Sejak tadi Ang-lian hoa seperti tidak ikut campur, baru sekarang dia tersenyum, perlahan ia angkat kedua tangannya dan memberi tanda agar semua orang diam, serunya dengan suara lantang, "Tenanglah saudara2, ada urusan apa biarlah kita bicarakan dengan perlahan-lahan."

Meski suaranya tidak senyaring Kwe Pian-sian, tapi baru selesai ucapannya, kegaduhan di tengah2 anak murid Kay-pang itu seketika berhenti, suasana menjadi sunyi kembali dan perhatian setiap orang tertuju pula ke arah Ang-lian hoa.

Dengan tersenyum Ang-lian hoa memandang Kwe Pian-sian, katanya, "Anak murid Pang kita masih cukup patuh kepada setiap peraturan dan tata tertib, rupanya mereka sudah agak pangling terhadap Kwe-tianglo, 15 tahun, kukira bukan waktu yang pendek bagi siapapun juga."

Air muka Kwe Pian-sian berubah, katanya, "Memangnya mereka sudah lupa padaku?"

"Bukannya lupa, mereka cuma mengira Houhoat-tianglo kita di masa dahulu itu sudah mengundurkan diri pada 15 tahun yang lalu," jawab Ang-lian hoa dengan tenang.

"Siapa yang omong begitu?" teriak Kwe Pian-sian dengan gusar.

"Mendiang Lo-pangcu sudah mengumumkan urusan ini pada 15 tahun yang lalu dan setiap anak murid Pang kita sama mendengar dengan jelas, kuyakin Kwe-tianglo pasti tidak akan menganggap ucapan Wanpwe ini tidak betul."

Kwe Pian-sian melengong sejenak, segera ia mendengus, "Hm, dia tidak menyatakan aku telah dipecat, tapi hanya mengatakan aku mengundurkan diri dari Pang kita, betapapun dia masih cukup baik padaku."

"Lo-pangcu memang sudah lama mengetahui cita2 Kwe-tianglo terletak di empat penjuru dan tidak nanti memikirkan sedikit kedudukan Pang kita yang tidak berarti ini, kalau tidak, berdasar tingkatan maupun ilmu silat, setelah Lo-pangcu wafat adalah pantas jika Kwe-tianglo yang mewarisi pimpinan beliau."

"Haha, pantas orang Kangouw sama bilang Ang-lian-pangcu bukan saja serba pandai dalam segala hal, bahkan mulutnya juga tajam dan sukar ada bandingannya," seru Kwe Pian-sian dengan tertawa. "Dan setelah bertemu sekarang, semua itu ternyata terbukti memang betul."

Tiba2 Ang-lian hoa mendekati Kim-yan-cu dan menyapa dengan tersenyum, "Kim lihiap berkunjung kemari, entah adakah sesuatu petunjuk bagiku?"

"Ku datang ikut dia," jawab Kim-yan-cu.

"Kukira belum terlalu lama bukan Kim-lihiap kenal Kwe-tianglo?" Ang-lian hoa coba memancing.

"Dia adalah orang yang paling karib dengan diriku," jawab Kim-yan-cu.

"Oh... sungguh tak tersangka..." sebenarnya Ang-lian hoa ingin memancing sesuatu pengakuan Kim-yan-cu mengenai kejahatan Kwe Pian-sian, sekarang ia menjadi kecewa, namun lahirnya dia tidak memperlihatkan sesuatu tanda apapun. Ia menyadari untuk melayani Kwe Pian-sian, bilamana salah langkah sedikit tentu urusan bisa runyam.

Dengan tertawa Kwe Pian-sian berkata pula, "Tadinya ku kuatir usiamu terlalu muda dan tidak dapat memikul beban tanggung jawab Pang kita yang besar ini, tapi sekarang setelah kusaksikan anak murid kita sedemikian hormat dan memuja dirimu, maka akupun tidak perlu kuatir lagi."

Sedemikian cepat perubahan nada ucapannya membuat orang ter-heran2, mestinya Ang-lian hoa juga sangsi, tapi segera terpikir lagi olehnya, "Mungkin karena dukungan para anggota kepadaku sepenuh hati, ia merasa tiada gunanya andaikan berhasil merebut kedudukan Pangcu dariku, maka segera ia putar haluan menurut arah angin."

Berpikir demikian, legalah hati Ang-lian hoa, rasa waspadanya menjadi banyak berkurang, dengan tertawa ia berkata, "Kwe-tianglo sudah lama berada di luar Pang dan ternyata masih begini memperhatikan kepentingan Pang kita, sungguh Tecu merasa sangat berterima kasih."

Ketika ia menyebut "memperhatikan" tadi, tiba-tiba ia merasa kedua mata Kwe Pian-sian memancarkan sinar tajam dan aneh, sorot mata sendiri seketika tertarik. Segera ia bermaksud mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun sudah terlambat.

Dengan sinar mata tajam Kwe Pian-sian menatapnya dengan tersenyum, katanya, "Satu cagak tidak kuat menahan sebuah gedung, tenaga satu orang betapapun terbatas, apakah kau bermaksud minta diriku kembali kepada Pang kita untuk menjadi Houhoat-tianglo?"

"Ya, begitulah," tanpa terasa Ang-lian hoa menjawab.

Kwe Pian-sian tersenyum puas, katanya pula, "Dan kelak bilamana kau merasa tidak sanggup memikul beban sebagai Pangcu, akan kau serahkan kedudukanmu padaku?"

Kembali Ang-lian hoa mengiakan.

Para anggota Kay-pang sama melengak melihat Ang-lian hoa hanya mengiakan melulu setiap perkataan Kwe Pian-sian itu. Tapi tata tertib Kay-pang biasanya sangat keras, maka tiada seorangpun berani ikut bicara.

Hanya Bwe Su-bong saja, dari ucapan Kwe Pian-sian itu dia sudah tahu tipu muslihat orang, apalagi sang Pangcu kelihatan linglung dan tidak seperti biasanya, ia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres, cepat dia berseru, "Pangcu, setiap persoalan yang menyangkut kepentingan Pang kita hendaklah engkau pertimbangkan dengan baik2 dan jangan mudah dipengaruhi orang lain."

Kwe Pian-sian menjadi gusar, dengan suara bengis ia membentak, "Orang ini tidak menghormati orang tua dan berani terhadap pimpinan, menurut tata tertib harus dihukum mati."

Ang-lian hoa terbelalak dan menjawab, "Ya, setiap pelanggaran memang harus dihukum."

Bwe Su-bong berlari maju dan menyembah, ucapnya, "Sekalipun Tecu akan dihukum mati juga Tecu tetap ingin bicara. Kematian Tecu bukan soal, tapi bila kekuasaan Pang kita jatuh di tangan orang ini, akibatnya pasti sukar dibayangkan."

Air muka Ang-lian hoa tampak serba susah dan tidak bicara.

Kwe Pian-sian mengeluarkan pula jimatnya, yaitu mutiara hitam berantai emas itu, digoyangkannya mutiara hitam itu dengan perlahan dan berkata, "Dosa orang ini harus dihukum mati, kenapa tidak lekas kau beri perintah?"

Wajah setiap anggota Kay-pang sama pucat, dengan berdebar mereka menantikan sang Pangcu membuka mulut.

Bwe Su-bong terus menyembah, kepalanya mem-bentur2 tanah hingga berdarah, ber-ulang2 ia berseru, "Kematian Tecu tidak perlu disayangkan, tapi Pangcu hendaklah berpikir dan menimbangnya se-baik2nya..."

Dengan suara bengis Kwe Pian-sian berkata pula, "Orang ini bukan saja berani terhadap orang tua, bahkan ikut campur kekuasaan Pangcu, dia telah melanggar Undang2 Pang kita nomor satu dan nomor tujuh, dosanya harus dihukum mati, betul tidak?"

"Ya," tiba2 Kim-yan-cu bersuara. Kiranya sorot matanya juga tertarik oleh mutiara hitam yang ber-goyang2 itu, apapun yang dikatakan Kwe Pian-sian selalu dijawabnya "ya".

Terdengar Ang-lian hoa juga menjawab, "Ya, harus dihukum mati."

Bwe Su-bong menjerit saking cemas dan gemasnya, seketika ia jatuh pingsan.

Para anggota Kay-pang juga sama terkesiap dan ketakutan, mereka terkesima dan tidak berani bersuara. Siapapun tidak menyangka sang Pangcu sampai hati menghukum mati Bwe Su-bong.

Hendaklah diketahui bahwa asal-usul anggota Kay-pang terdiri dari berbagai macam unsur yang campur aduk, sebab itulah Pangcu memegang kekuasaan tertinggi untuk mengendalikan ber-juta2 anggotanya yang tersebar di seluruh dunia. Andaikan ada kesalahan perintah sang Pangcu tetap setiap anggota harus tunduk dan menurut, sama sekali tidak boleh membantah dan melawan, kalau berani membangkang, maka hukuman berat yang akan diterimanya. Sebab itulah meski keanggotaan Kay-pang sangat ruwet, namun sedikit sekali yang berani melanggar peraturan.

Lantaran itulah Bwe Su-bong jatuh pingsan demi mendengar perintah hukuman mati Ang-lian hoa tadi. Sedangkan Kwe Pian-sian tersenyum puas, segera ia berseru, "Pangcu sudah memberi perintah, petugas pelaksana hukum kenapa tidak lekas maju?"

Serentak terdengar beberapa orang mengiakan. Empat orang telah berbangkit dan tampil ke depan dengan kepala tertunduk. Kebanyakan anggota Kay-pang sama mengucurkan air mata dan tidak tega menyaksikan Bwe Su-bong dihukum mati.

Mutiara yang dipegang Kwe Pian-sian masih terus ber-putar2 menimbulkan perasaan yang aneh dan tidak enak.

Dengan tersenyum manis Kwe Pian-sian berkata, "Ang-lian hoa, sekarang bolehlah kau..."

Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "crit", angin tajam terus menyambar ke depan dari jari Ang-lian hoa, mutiara hitam itu seketika pecah.

Kwe Pian-sian menyurut mundur beberapa langkah, serunya tertahan, "Kau..."

Ang-lian hoa terbahak-bahak memutus ucapan orang, serunya, "Hahahaha! Jika kau kira semudah itu dapat kau pengaruhi diriku dengan ilmu gaib Lian-sim-sut (ilmu pengisap hati, sebangsa ilmu hipnotis), maka salah besarlah kau."

Pucat wajah Kwe Pian-sian, teriaknya dengan gemas, "Bagus Ang-lian hoa, mirip benar caramu ber-pura2."

"Jika tidak mirip caraku ber-pura2, mana bisa ku pancing semua tipu muslihatmu," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Dan kalau tidak dapat kubongkar kedokmu di depan beribu anggota Pang kita, lalu kutumpas dirimu, kan bisa jadi orang lain akan mengira aku lagi berebut kedudukan dengan kau?"

Melihat perubahan itu, anak murid Kay-pang terkejut dan bergirang pula.

Sementara itu Bwe Su-bong juga sudah siuman, iapun kegirangan sehingga mengucurkan air mata, ia menengadah dan berseru, "Thian maha adil! Apa yang dahulu tidak berhasil dilaksanakan Lo-pangcu, kini dapatlah dibereskan oleh Pangcu muda. Tipu muslihat Kwe Pian-sian akhirnya terbongkar, arwah Lo-pangcu di alam baka bolehlah merasa tenteram."

Muka Kwe Pian-sian kelihatan pucat hijau, mendadak ia pun tertawa latah dan berteriak, "Hahahaha..! Tipu muslihat apa maksud kalian? Lian sim-sut apa katamu? Sungguh aku tidak paham!"

"Hm, urusan sudah berlanjut begini dan kau belum lagi mau mengakui kesalahanmu?" bentak Ang-lian hoa dengan bengis.

"Aku harus mengaku salah apa?" jengek Kwe Pian-sian. "Jadi kau sendiri yang hendak menghukum Bwe Su-bong, sekarang kau sendiri pula yang mengingkari segala tindakanmu itu, semua itu ada sangkut paut apa denganku?"

Dalam keadaan begini dia masih tetap tenang dan bicara menurut keadaan, nyata dia ingin mengelakkan tanggung jawab apa yang terjad tadi.

Meski Ang-lian hoa, Bwe Su-bong dan lain2 tahu jelas orang terlalu licik dan ingin membela diri, tapi seketika mereka memang tak dapat membantah ucapannya itu.

Kwe Pian-sian menyapu pandang para hadirin, lalu berteriak pula, "Saudara2 sekalian, dia menuduh aku menggunakan ilmu gaib Liap-siam-sut segala, coba kalian tanya dia, mana buktinya? Jika dia tak dapat memberi bukti nyata, maka berarti dia memfitnah orang. Ketahuilah, fitnah lebih jahat daripada membunuh."

Seketika para anggota Kay-pang hanya saling pandang saja dan tiada yang membuka suara.

Melihat Ang-lian hoa juga diam saja dan tak dapat membuktikan dia menggunakan ilmu gaib, segera ia mendengus, "Ang-lian hoa, bilamana ada yang bisa membuktikan aku menggunakan Liap-sim-sut segala, segera ku tunduk dan mengaku dosa. Sebaliknya kalau tak dapat kau buktikan, maka berarti kau sengaja memfitnah orang tua. Selaku Houhoat Tianglo Pang kita, aku tidak dapat tinggal diam dan terpaksa aku harus bertindak untuk membersihkan rumah tangga Pang kita dari unsur2 jahat."

Orang ini memang licik dan licin serta jahat jauh di luar perkiraan Ang-lian hoa, meski nyata2 kedoknya sudah terbongkar, tapi dengan segala jalan ia tetap berusaha membela diri, bahkan memutar balik tuduhannya.

Tanpa terasa Ang-lian hoa menjadi gelisah, pikirnya, "Selama puluhan tahun Lo-pangcu berusaha membongkar tipu muslihatnya dan tidak berhasil, jelas tidak mudah bagiku untuk membuka kedoknya dalam waktu sesingkat ini, tampaknya urusan memang sukar diselesaikan."

Pada saat itulah se-konyong2 seorang berteriak, "He, tempat apakah ini?... mengapa aku berada... berada di sini?..."

Ang-lian hoa berpaling, yang berteriak itu kiranya Kim-yan-cu adanya. "Ia menjadi girang, cepat ia berseru, "Kwe Pian-sian, apakah kaukira di dunia ini benar2 tiada seorangpun yang dapat membuktikan Liap-sim-sut yang kau gunakan?"

Rupanya setelah mutiara hitam tadi dihancurkan Ang-lian hoa, segera Kim-yan-cu merasa otaknya tergetar se-olah2 dipalu orang dengan keras, kontan dia ter-huyung2 dan hampir roboh.

Akan tetapi kemplangan yang keras itu justeru telah menghancurkan daya gaib yang mempengaruhi pikirannya. Kiranya mutiara hitam itu adalah lambang penguasa jiwanya, begitu mutiara hitam itu hancur, segera jiwanya bebas dari pengaruh apapun.

Walaupun begitu, dia masih harus pingsan sejenak untuk kemudian baru dapat berteriak.

Dilihatnya Ang-lian hoa melompat ke depannya dan berseru, "Nona Kim, apakah kau benar2 tidak tahu cara bagaimana kau datang ke sini?"

Kim-yan-cu tidak lantas menjawab, ia memandang seputarnya, melihat Kwe Pian-sian seketika ia berteriak: "Dia, ya dia inilah si iblis jahat, dengan ilmu siluman dia memikat diriku, dia menyuruh aku menjadi kekasihnya, menjadi muridnya, menjadi istri dan menjadi anaknya"

Sampai di sini barulah meledak raungan murka anak murid Kay-pang.

"Orang she Kwe" teriak Bwe Su-bong dengan gusar, "sekarang apa yang dapat kau sangkal lagi?"

Biji mata Kwe Pian-sian berputar, benaknya bekerja cepat. Dilihatnya anak murid Kaypang telah mendesak maju dan sukar dibendung, setiap orang memperlihatkan rasa murka dan benci padanya.

Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Berhenti! apa yang hendak kalian lakukan?"

"Menghukum pengkhianat, membersihkan rumah tangga perguruan!" teriak Bwe Su-bong.

"Hm, kau tidak sesuai untuk melakukan hal itu," jengek Kwe Pian-sian. Mendadak ia mengeluarkan sesuatu benda dan diangkat tinggi ke atas sambil membentak: "Coba kau lihat, apakah ini?"

Yang dipegangnya itu adalah sepotong kain kuning yang sudah tua dan lusuh, pada kain itu tertulis delapan huruf besar yang berbunyi: "Di mana Houhat tiba, sama seperti ku datang sendiri".

Apa yang diperlihatkan Kwe Pian-sian ini adalah panji tanda pengenal yang berkuasa penuh atas nama sang Pangcu.

Air muka Bwe Su-bong seketika berubah pucat, ucapnya dengan gemetar: "Dari....darimana kau peroleh panji ini?"

Kwe Pian-sian tidak menghiraukan dia, ia melototi Ang Lian-hoa dan membentak: "Ini tulisan tangan siapa tentunya kau tahu bukan?"

Ang Lian-hoa menunduk, jawabnya: "Ku tahu, inilah panji gulung para tetua Pang kita sejak tiga ratus tahun yang lampau...."

"Jika tahu, kenapa tidak lekas berlutut dan menyembah?" bentak Kwe Pian-sian.

Ang Lian-hoa menghela napas sedih, pelahan-lahan ia berlutut.

Kalau sang Pangcu sudah berlutut, anak murid Kay-pang yang lain siapa pula yang berani berdiri? Dalam sekejap saja beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut. Dalam sekejap saja beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut.

Kwe Pian-sian menengadah dan tertawa latah, katanya: "Sekalipun aku bersalah umpamanya, kecuali pada tetua angkatan lalu yang sudah mati itu dapat hidup kembali, siapa pula yang berhak menghukum akan kesalahanku?"

Tapi mendadak suara tertawanya berhenti, air mukanya juga berubah hebat.

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak: "Aku bukan murid Kay-pang, akupun tidak perduli panji gulung yang kau pegang apa segala!"

Rupanya dengan belatinya Kim-yan-cu telah menyergap Kwe Pian-sian dari belakang. Setelah belatinya bersarang di tubuh sasarannya barulah ia berteriak. Lantaran sedang latah dan lupa daratan, Kwe Pian-sian menjadi lengah, ketika ia merasa apa yang terjadi, namun sudah terlambat, belati Kim-yan-cu sudah ambles di tulang punggungnya.

Para anggota Kay-pang sama terkejut dan juga bergirang, terlihat Kwe Pian-sian hendak roboh, serunya dengan tersenyum pedih: "Bagus, tak tersangka orang she Kwe kena disergap oleh seorang anak perempuan....." mendadak tangannya membalik dan menghantam secepat kilat.

Pukulan ini berlangsung dengan segenap sisa kekuatannya. Kim-yan-cu tidak mampu menghindar, tubuhnya mencelat dan jatuh beberapa tombak jauhnya, menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu ia sudah pingsan. Namun belatinya tetap menancap di tubuh Kwe Pian-sian.

Dengan sempoyongan Kwe Pian-sian menyurut mundur ke belakang dengan tangan masih memegangi panji gulung tadi, serunya dengan menyeringai: "Panji kebesaran ini masih ku pegang, siapa di antara kalian yang berani mendekati aku?"

Walaupun tahu dirinya dapat membekuk pengkhianat itu dengan mudah, tapi terpaksa Ang Lian-hoa tidak dapat turun tangan, terpaksa dengan mata terbelalak ia saksikan orang mundur ke tengah-tengah kerumunan orang banyak.

Syukurlah sebelum Kwe Pian-sian menghilang, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, berturut-turut muncul dua orang menghadang jalan pergi Kwe Pian-sian. Orang yang mendahului adalah seorang To-koh (pendeta perempuan agama To), berambut hitam dan berjubah kuning, meski usianya sudah setengah baya, tapi masih kelihatan cantik. Pedang melintang di belakang punggungnya dengan untaian benang sutera kuning menghiasi gagang pedangnya.

Dia inilah ketua Hoa-san-pay, Hu-yong-siancu Ji Siok-cin, si dewi cantik.

Seorang lagi di belakangnya adalah gadis jelita berperawakan jangkung, namanya Ciong Cing, murid tertua Hoa-san-pay angkatan terakhir.

Melihat munculnya kedua orang ini, legalah hati Ang Lian-hoa.

Terdengar Ji Siok-cin mendengus: "Hm, karena dosamu sudah kelewat takaran sehingga sukar bagimu untuk lolos dari jaringan malaikat. Kwe Pian-sian, akhirnya kutemukan juga kau di sini!"

Kwe Pian-sian meraung keras-keras, segera ia membalik tubuh dan bermaksud menerjang pergi.

Namun Ji Siok-cin tidak memberi kesempatan lari baginya, kesepuluh jarinya bekerja cepat, sekaligus ia totok beberapa Hiat-to penting Kwe Pian-sian. Betapapun Kwe Pian-sian memang sudah terluka parah sehingga sama sekali ia tidak sanggup melawan.

"Apakah Siancu juga ada permusuhan dengan orang ini?" tanya Ang Lian-hoa dengan kejut bercampur girang.

"Seusai pertemuan Hong-ti, seterusnya aku lantas membuntuti dia," tutur Ji Siok-cin. "Permusuhan Hoa-san-pay kami dengan orang ini boleh dikatakan tidak mungkin hidup bersama."

Lalu ia memberi tanda, Ciong Cing lantas mengangsurkan panji gulung yang dirampasnya dari Kwe Pian-sian kepada Ang-lian-hoa.

Menyusul Ji Siok-cin berkata pula: "Panji sudah kami persembahkan kembali, bagaimana kalau Pangcu menyerahkan orang ini kepada Hoa-san-pay kami?"

Dengan hormat Ang-lian-hoa menerima penyerahan panji itu, setelah berpikir sejenak, lalu berkata: "Jika Siancu tidak kebetulan menyusul tiba, akhirnya orang ini akan kabur juga."

Ji siok-cin tersenyum dan menyambung: "Apalagi, pada belasan tahun yang lalu mendiang pangcu kalian yang dulu sudah mengusirnya keluar dari Pang kalian, jika sekarang kubawa pergi dia tentunya tidak merugikan nama Pang kalian."

"Betul," jawab Ang Lian-hoa.

"Terima kasih, pangcu" ucap Ji Siok-cin sambil memberi hormat. Dari jauh ia pandang sekejap kepada Kim-yan-cu, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa: "Bila tidak ada orang ini, kukira tidaklah mudah untuk menangkap Kwe Pian-sian. Mohon pangcu sampaikan kepada nona ini, kelak bila dia ada sesuatu urusan, pasti Hoa-san-pay akan memberi balas jasa kepadanya."

"Sungguh beruntung nona Kim itu bisa mendapat perhatian khusus dari Siancu" ujar Ang Lian-hoa dengan mengulum senyum.

Ia menyaksikan Ji Siok-cin membawa pergi Kwe Pian-sian dan baru sekarang perasaannya rada lega, selagi ia hendak mendekati Kim-yan-cu untuk memeriksa keadaan lukanya, mendadak sesosok bayangan orang melayang tiba dengan cepat.

Ginkang orang ini tidak terlalu tinggi tapi gayanya indah, bajunya yang merah tipis berkibar-kibar tertiup angin laksana gumpalan awan yang meluncur tiba.

"Yang datang apakah Pek-hoa-sucia (dua seratus bunga)?" tegur Ang Lian-hoa dengan dahi berkerut.

Seorang gadis cantik dengan baju sutera merah tipis sudah berada di depan Ang-Lian-hoa dan menyembah padanya, jawabnya: "Tecu Hoa Sin menyampaikan sembah hormat kepada pangcu"

"Terima kasih" kata Ang-lian-hoa dengan tersenyum. "Kedatangan nona ini adakah membawa pesan Hay-hong Hujin?"

Gadis jelita ini memang betul anggota Pek-hoa-pang (klik seratus bunga) pimpinan Hay-hong Hujin yang cantik itu. Dengan hormat ia lantas menjawab: "Betul, Tecu diperintahkan kemari oleh Hujin, pertama untuk menyampaikan terima kasih pangcu yang telah mengantar pulang Lim suci, kedua: hamba disuruh memohon sesuatu kepada pangcu."

"Urusan Hay-hong hujin pasti akan kubantu sekuat tenaga." ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.

Hoa Sin berkedip-kedip kemudian menutur dengan tertawa: "Kwe Hou-hoat dari pang kalian di masa lampau yang sudah menghilang dari Kangouw selama 15 tahun, konon sekarang telah muncul lagi. Menurut laporan Toa-suci Hoa Bwe dari perbatasan Siamsay, katanya kemunculan Kwe Houhoat telah dilihatnya di sana. Hujin pikir, kalau pangcu sedang mengadakan pertemuan anggota di sini tentu ada hubungannya dengan kemunculan Kwe-Houhoat, sebab itulah hamba disuruh kemari untuk memohon kepada pangcu...."

"Apakah Hujin ada persoalan dengan dia?" sela Ang-lian-hoa.

Hoa Sin menghela napas, jawabnya: "Ya, begitulah, sebab itulah Hujin mohon bantuan Pangcu agar bila Kwe-houhoat datang kemari hendaklah segera Pangcu memberi kabar kepada Hujin dengan bunga api khas kalian, apabila Hujin berada di sekitar sini tentu beliau dapat segera memburu kemari.

Ang Lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pahit: "Pesan Hujin sudah tentu akan kuperhatikan, cuma sayang, kedatangan nona ini agak terlambat satu langkah."

"Apakah Kwe-Houhoat telah dihukum mati oleh Pangcu?" seru Hoa Sin kaget.

"Hendaklah nona sampaikan kepada Hujin, katakan bahwa Kwe Pian-sian sudah lama dipecat oleh Pang kami." kata Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Saat ini dia.... dia sudah dibawa pergi oleh Ji-siancu, ketua Hoa-san-pay".

* * *

Cukup lama kemudian barulah Kim-yan-cu siuman.

Ang-lian-hoa seperti tidak sabar menunggunya, begitu melihat nona itu sadar segera ia memberi hormat dan berkata: "Berkat bantuan nona sehingga Pang kami terhindar dari kesukaran, sebaliknya karena itulah nona terluka, sungguh segenap anggota pang kami tidak tahu cara bagaimana menyampaikan terima kasih kepada nona."

Kim-yan-cu tertawa hambar: "Ah, terlalu berat ucapan Pangcu ini bagiku...." dengan cepat tertawanya berganti menjadi cemas pula, tanyanya: "Dan iblis itu apakah.... apakah sudah mati?"

"Dia terluka parah dan telah dibawa pergi oleh Ji-siancu dari Hoa-san" tutur Ang Lian-hoa. "Hoa-san-pay juga bermusuhan dengan dia, apalagi Ji-siancu terkenal paling benci kepada kejahatan, kukira iblis itu pasti tak bisa hidup lama lagi."

Kim-yan-cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Terus terang, kalau aku tidak menyaksikan mayatnya, betapapun aku tetap kuatir."

"Musuh orang ini terdapat di mana-mana, sekalipun Ji-siancu tidak membunuhnya, tentu Hay-hong Hujin juga takkan ampuni dia" ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.

"Hay-hong katamu?" Kim-yan-cu menegas dengan berkerut kening.

"Ya, Hay-hong hujin, baru saja ia mengirim utusan untuk mencari berita tentang iblis itu" tutur Ang-lian-hoa.

"Dan sudah kau beritahukan?" tanya Kim-yan-cu dengan muka pucat.

"Dengan sendirinya kuberitahukan padanya, mengapa nona merasa cemas?"

"Jika pangcu memberitahukan apa yang terjadi barusan, maka selanjutnya Hoa-san-pay dan Pek-hoa-pang pasti akan banyak timbul persoalan."

"Mengapa begitu?" tanya Ang-lian-hioa dengan terkesiap.

"Apakah Pangcu tahu ada hubungan apa antara Kwe Pian-sian dengan Hay-hong hujin?"

"Tidak tahu" jawab Ang-lian-hoa.

"Apakah orang kangouw tidak ada yang tahu bahwa antara dia dan Hay-hong Hujin adalah suami-istri?"

"Apa katamu? Suami-istri?" Ang Lian-hoa menegas dengan terperanjat.

"Ya, makanya seumpama Hay-hong Hujin mempunyai dendam apa-apa terhadap bekas suaminya itu, betapapun dia tidak akan membiarkan dia mati di tangan orang lain. Dengan demikian dia dan Ji-siancu dari Hoa-san tentu akan bermusuhan."

Ang Lian-hoa termangu-mangu sejenak, dengan menyesal ia berkata: "Pantas, begitu nona Hoa Sin itu mendengar keteranganku, buru-buru ia lantas permisi pulang lapor kepada Hay-hong hujin.... Ai, kedua orang ini boleh dikatakan perempuan yang paling sukar direcoki di dunia Kangouw saat ini, bilamana keduanya saling gempur, maka akibatnya sukar dibayangkan"

"Urusan sudah terlanjur begini, berkuatir juga tiada gunanya" ujar Kim-yan-cu sambil meronta bangun berduduk. Tiba-tiba ia menambahkan pula: "Kedatanganku ini sebenarnya ingin minta sesuatu keterangan kepada Pangcu."

"Asalkan ku tahu, segala apapun pasti akan kuberitahukan," jawab Ang-lian-hoa dengan tertawa.

Kim-yan-cu menunduk, katanya dengan perlahan: "Malam itu, apa yang terjadi antara nona Lim Tay-ih dan Ji-kongcu di kamar hotel sana, dapatkah pangcu menceritakan kepadaku dengan jelas?"

Rada berubah air muka Ang Lian-hoa, ia termenung agak lama, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Dan entah ada sangkut-paut apa antara nona dengan persoalan ini?"

"Bila Pangcu sudi memberitahu, untuk apa pula mesti tanya hubunganku dengan mereka?" ujar Kim-yan-cu tersenyum kecut.

Kembali Ang Lian-hoa terpekur sejenak, akhirnya ia menutur dengan gegetun: "Hari itu kebetulan akupun singgah di kota kecil itu, kebetulan kulihat mereka juga masuk ke kota itu, aku dan nona Lim memang .... memang sudah kenal baik, meski tidak kukenal pemuda yang mendampingi dia itu, tapi kudekati juga dan menyapanya."

"Pangcu dan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu memang sahabat baik, bila melihat nona Lim berada bersama lelaki lain, mungkin timbul rasa kurang senang di hati Pangcu"

Ang Lian-hoa melengak, mendadak ia tertawa dan berkata: "Ha.ha.ha..ha.! Jika nona anggap demikian sifat pribadiku, maka salah besar nona. Watakku cukup terbuka, tidak suka memikirkan adat kolot yang terlalu mengikat itu, jangankan nona Lim memang belum menikah secara resmi dengan Ji Pwe-giok, sekalipun mereka sudah menikah juga tiada alasan bagiku untuk memaksa Lim Tay-ih harus menjanda selama hidup. Bila dia mendapatkan teman lelaki baru, aku justru bersyukur dan bergembira baginya."

Meski dia tertawa dengan lantang, namun lamat-lamat mengandung perasaan sedih.

Dengan sendirinya Kim-yan-cu tidak dapat merasakan isi hati ketua Kaypang yang gagah dan muda itu, dengan tertawa cerah ia berkata: "Pangcu memang berpribadi lain daripada yang lain, bilamana ucapanku tadi salah, hendaklah pangcu jangan marah."

Ang Lian-hoa tertawa, tapi ia lantas berkerut kening dan berkata pula: "Namun ketika ku sapa mereka, pemuda itu tampaknya sangat simpatik, sebaliknya nona Lim tidak mau menggubris diriku, seakan-akan tidak kenal padaku. Padahal persahabatanku dengan dia bukan cuma sehari dua hari saja, tidak pantas ia bersikap demikian".

"Bisa jadi.... bisa jadi dia sedang murung atau ada persoalan lain" ujar Kim-yan-cu.

"Ucapanmu memang beralasan, tapi mendadak kuingat bulan yang lalu pernah juga satu kali dia tidak menggubris padaku ketika kami bertemu, kemudian baru ku tahu bahwa waktu itu dia terancam bahaya, ada kesukaran yang tak dapat dikatakannya padaku"

"Makanya sekarang Pangcu juga curiga jangan-jangan nona Lim ada kesukaran lain yang tak dapat diberitahukan kepadamu?" tukas Kim-yan-cu.

"Ya, begitulah" kata Ang Lian-hoa.

"Lantaran itulah Pangcu jadi ketarik untuk menyelidiki seluk-beluknya, meski sebenarnya urusan orang lain. Dan apa yang Pangcu lihat pada malam itu?"

Mendengar ucapan Kim-yan-cu ini, Bwe Su-bong yang sejak tadi hanya berdiri menunggu di samping mendadak menyeletuk: "Apa yang dikatakan nona sebenarnya tidak salah. Jika orang lain melihat sesuatu yang mencurigakan pada siangnya, malamnya tentu akan menyelidiki hal yang menarik perhatiannya itu, sekalipun tempat yang harus didatangi adalah kamar perawan juga takkan dihiraukannya...." dia pandang Kim-yan-cu dengan tersenyum, lalu menyambung pula: "Tapi nona jangan lupa, seorang kalau sudah menjabat Pangcu Kay-pang, maka kedudukannya akan banyak berbeda daripada orang lain, setiap tindak tanduknya tidak boleh lagi gegabah."

Muka Kim-yan-cu menjadi merah, cepat ia berkata: "Ya, maaf… jika ucapanku tidak pantas tapi.... tapi apakah Pangcu memang sama sekali tidak tertarik untuk menyelidikinya?"

"Setiap langkah Pangcu kami selalu hati-hati dan prihatin, meski beliau tidak sudi melakukan sesuatu yang merosotkan derajatnya, tapi urusan yang menyangkut keselamatan teman pasti juga takkan dibiarkannya begitu saja" kata Bwe Su-bong.

"Kecermatan bertindak Ang-lian Pangcu dan keluhuran budinya terhadap teman-teman sudah cukup dikenal orang, termasuk pula diriku, kukira tidak perlu dijelaskan lagi oleh Cianpwe!" kata Kim-yan-cu.

Sekali ini muka Bwe Siu-bong yang agak merah, cepat ia berdehem dan berkata pula: "Demi menyelidiki apa yang terjadi, Pangcu hanya menyuruh seorang anggota Pang kami menyamar sebagai pelayan hotel untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi di kamar nona Lim"

"Oo, bilakah hal itu terjadi?" tanya Kim-yan-cu.

Bwe Su-bong memandang Ang-lian-hoa sekejap, sang Pangcu mengangguk, habis itu baru Bwe Su-bong menyambung lebih lanjut. "Tatkala itu sudah magrib...."

Mendadak Kim-yan-cu memotong dengan tertawa: "Jika suka, mohon Pangcu sendiri saja yang bercerita. Kalau tidak, setiap kalimat Bwe cianpwe harus minta izin satu kali kan repot?"

Bwe Su-bong bergelak tertawa, katanya; "Pendekar perempuan si walet emas benar-benar tidak boleh direcoki. Hanya karena kata-kataku tadi agak menyinggung, tampaknya nona menjadi sakit hati dan tidak dapat mengampuniku."

Sembari tertawa iapun memberi hormat dan mengundurkan diri.

Kim-yan-cu berkata dengan gegetun: "Pangcu mempunyai pembantu setia begini, sungguh sangat mengagumkan orang."

Tanpa menunggu tanggapan Ang-lian-hoa, segera ia bicara tentang soal pokok pula: "Setelah anggota Pang kalian menyamar dan masuk ke kamar nona Lim, adakah hal-hal mencurigakan yang dilihatnya?"

"Keadaan yang dilihatnya memang agak mencurigakan, dilihatnya nona Lim selalu murung, sejak awal hingga akhir sama sekali tidak menggubrisnya," tutur Ang-lian-hoa.

Tentu saja, mana mungkin nona Lim menggubris seorang pelayan, kenapa mesti diherankan?" ujar Kim-yan-cu.

"Soalnya nona Lim seharusnya kenal anggota kami itu," kata Ang lian hoa.

"Oo . . .. " Kim-yan-cu melengak.

"Sebelum ini, kira-kira sebulan yang lalu di sekitar Siang-ciu, waktu itu nona Lim juga terancam bahaya, tapi dia mencari peluang untuk secara diam-diam mengirimkan berita kepadaku. Tapi sekali ini dia jejak awal hingga akhir tidak menggubris penghubung kami itu, bukankah sangat aneh?" "Maka Pangcu lantas..."

"Makanya aku lantas menduga keadaan nona Lim sekali ini jauh lebih berbahaya daripada pengalaman yang dulu sehingga sama sekali tiada peluang baginya untuk mengadakan kontak denganku.

Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian: "Apakah Pangcu tidak berpikir ada kemungkinan nona Lim memang tiada terancam bahaya apa-apa sehingga dia memang tidak perlu mengirim sesuatu berita kepadamu?"

"Sudah tentu kemungkinan ini pun bisa terjadi cuma . .. . kalau nona Lim tidak terancam bahaya, sedikitnya dia kan mesti bertegur sapa padaku?"

"Bisa jadi mendadak dia tidak suka bertegur sapa dengan Pangcu."

"ini jelas tidak mungkin."

"Masa Pangcu begitu yakin?" tanya Kim-yan cu dengan tatapan tajam.

"Ya," jawab Ang-lian-hoa pasti.

Tiba-tiba Kim-yan-cu tertawa, katanya: "Jika demikian, hubungan Pangcu dengan nona Lim pasti lain daripada yang lain, pantaslah Pangcu sedemikian memperhatikan urusan nona Lim."

Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, tapi ia lantas berkata dengan tertawa: Nona juga sangat memperhatikan utusan ini, bahkan selalu berbicara mengenai Ji kongcu itu. Agaknya nona juga mempunyai hubungan istimewa dengan Ji-kongcu?"

Kim-yan cu melengak, segera ia tertawa, katanya: "Ang-lian-pangcu memang betul-betul tidak boleh direcoki oleh siapapun juga."

Kedua orang saling pandang dengan tertawa, namun tertawa yang menyerupai menyengir, meski mereka berdua sama-sama cukup bijaksana terhadap sesuatu, tapi sekarang tertekan juga perasaan mereka.

Selang sejenak barulah Ang-lian-hoa berkata lagi: "Anak buah kami yang bernama Seng-losu itu beberapa kali pura-pura mengantar teh ke kamar nona Lim, dilihatnya nona itu sedang menangis, waktu dia masuk kamar, nona Lim lantas menutup kepalanya dengan selimut dan Ji-kongcu itupun melengos ke arah dinding, agaknya tidak ingin muka mereka dilihat orang.

"Dan Pangcu bertambah heran tentunya," kata Kim yan-cu.

"Ya, waktu Song-losu menyampaikan laporan kepadaku, sementara itu hari sudah jauh malam, tatkala mana meski aku tambah curiga, tapi masih juga ragu-ragu apakah aku harus langsung menyelidiki ke sana ataukah tidak."

"Entah kemudian mengapa Pangcu bertekad turun tangan sendiri?"

"Pada saat itulah kulihat beberapa Ya heng-jin (orang berpakaian piranti malam) yang tinggi sekali Ginkangnya telah melayang ke arah hotel sana, maka aku tidak ragu lagi dan segera menyusul ke sana."

"Aha, yang mengikuti gerak-gerik mereka kiranya masih ada lagi kelompok lain. Siapakah mereka itu, apakah Pangcu melihatnya?" seru Kim yan-cu.

"Gerak-gerik orang-orang itu rada misterius, mereka sama memakai kedok kain hitam, hakekatnya aku tidak tahu siapa mereka. Tapi setiba di hotel itu dari jauh kulihat salah seorang di antaranya terus menyusup masuk ke cerobong hawa di atap rumah. Padahal cerobong hawa itu sangat sempit, orang biasa jelas sukar masuk ke situ, kecuali orang yang memiliki Nui-kang (ilmu kelemasan, badan plastik) yang hebat. Tentunya nona tahu jarang sekali orang Kangouw yang terkenal mahir Nuikang."

"Jangan-jangan Pangcu mengira orang itu adalah Sebun Bu Kut?" ucap Kim yan cu.

"Ya, kukira bukan orang lain."

"Untuk apakah Sebun Bu kut senantiasa mengawasi mereka?"

"Persoalan ini agak panjang untuk diceritakan. Yang dapat kuberitahukan kepadamu adalah karena nona Lim itu adalah bakal istri Ji-hiante yang telah mati itu, sedangkan segala sesuatu urusan yang menyangkut Ji-hiante tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka."

Kim yan-cu termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan berkerut kening: "Wah, urusan ini makin lama makin ruwet tampaknya."

"Ya, dalam persoalan ini memang terkandung banyak rahasia, kalau kami tidak utang budi kepada nona, tidak nanti kuceritakan padamu."

"Tapi Pangcu juga tidak perlu kuatir, asalkan urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok, baik Ji Pwe-giok yang hidup ataupun Ji Pwe-giok yang sudah mati, aku berjanji akan menjaga rahasia baginya."

Ang lian hoa tertawa, ia menyambung pula: "Malam itu gelap gulita, tiada rembulan dan tanpa bintang, tamu hotel sudah tidur seluruhnya, suasana di halaman hotel itu sunyi dan gelap. Kelima Ya heng-jin itu, kecuali Sebun Bu-kut yang sembunyi di dalam cerobong hawa itu, empat lainnya telah mengepung rapat kamar nona itu."

"Bukankah mereka hanya mengintai gerak-gerik nona Lim secara diam-diam, mengapa mereka mengepung tempat tinggal nona Lim, apakah mereka ada maksud jahat lain?"

"Betul, memang ada maksud jahat lain."

"Mereka.... apa yang hendak dilakukan mereka?"

Ang lian hoa menatapnya dengan terbelalak, sampai lama tidak menjawab.

Dengan suara keras Kim yan cu berkata pula : "Urusan apapun juga, demi Ji Pwe-giok itu, aku rela mati daripada membocorkan sepatah kata rahasianya."

Ang lian hoa menghela napas lega, katanya pula dengan pelahan: "Jelas mereka hendak meringkus nona Lim dan dibawa pulang, kalau tidak dapat meringkusnya dengan hidup, membunuhnya bukan soal lagi."

"Sebab apa?" seru Kim yan cu.

"Hal ini kukira tiada sangkut pautnya lagi dengan persoalan yang ingin diketahui nona, betul tidak?" tanya Ang lian hoa.

Kim yan cu berpikir sejenak, akhirnya ia tanya pula: "Sebun bu-kut adalah sahabat baik Leng-hoa kiam Lim Soh koan, sedangkan Lim Tay-ih adalah puteri tunggal Lim Soh koan, mengapa Sebun Bu-kut hendak membunuhnya, apakah dia tidak takut dituntut balas oleh Lim Soh koan?"

"Di dunia ini memang banyak persoalan yang sukar dimengerti orang," tutur Ang lian hoa dengan gegetun. "Hanya dapat kukatakan padamu, jauh sebelum itu mereka sudah bermaksud membekuk Lim Tay-ih, tapi waktu itu nona Lim telah dibawa pergi oleh Hay-hong Hujin, meski mereka tidak berani merecoki Hay-hong Hujin, tapi demi melihat Lim Tay-ih berada sendirian, tentu saja mereka tidak mau melepaskan dia."

"Lalu mengapa mereka tidak.... tidak cepat turun tangan?"

"Bisa jadi lantaran mereka pun rada-rada jeri terhadap Ji kongcu ini, mungkin pula mereka ingin tahu ada hubungan apa antara Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok yang satu ini."

Setelah menghela napas, lalu ia sambung pula: "Tampaknya mereka rada jeri terhadap Ji-hiante dan masih sangsi kalau-kalau dia belum mati. Sebab itulah ketika dilihatnya nona Lim berada pula dengan Ji Pwe-giok baru, mereka menjadi curiga kalau-kalau Ji Pwe-giok yang baru ini adalah samaran Ji Pwe-giok yang lama, kalau tidak, menurut sifat Lim Tay-ih yang angkuh itu tidak nanti mau tinggal bersama satu kamar dengan pemuda yang tidak dikenalnya."

"Mungkin hal ini pula yang menimbulkan curiga Pangcu?" kata Kim yan cu.

"Tapi ku tahu pasti Ji-hiante benar-benar sudah mati, apabila Ji-kongcu yang ini adalah samaran Ji-hianteku itu, mustahil dia tidak menyapa diriku ketika berjumpa."

Kim yan cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan: "Ucapan Pangcu memang tidak salah, Ji Pwe-giok yang mana pun tidak nanti bersikap dingin begitu."

"Kukenal kelihaian kelima orang ini, seluruhnya tergolong jago kelas satu, dengan sendirinya aku sangat kuatir bagi nona Lim. Tapi sebelum mereka bertindak, terpaksa akupun tidak dapat turun tangan, akupun tak dapat mendekat hingga mengejutkan mereka terpaksa aku hanya sembunyi di balik atap rumah seberang, dari jauh ku intai gerak-gerik mereka."

"Dalam pada itu di dalam kamar nona Lim apakah tiada sesuatu suara?" tanya Kim yan cu.

"Waktu itu di kamarnya sama sekali tiada sesuatu suara, namun lampunya menyala, kusangka mereka sudah tidur, siapa tahu pada saat itu juga mendadak nona Lim mendepak pintu kamar, sambil berteriak-teriak ia terus menerjang keluar."

"Aha, pahamlah aku!" seru Kim yan cu mendadak sambil berkeplok tangan.

"Nona paham apa?" tanya Ang lian hoa dengan melengak.

"Mungkin nona Lim tahu ada orang sedang mengintainya, secara diam-diam maka dia sengaja menerjang keluar, apabila di sekitarnya terdapat banyak orang, dengan sendirinya Sebun Bu-kut dan begundalnya itu tidak bebas turun tangan."

Ang lian hoa berpikir sejenak, katanya: "Nona Lim memang cerdik dan pintar, dari tindak-tanduknya di masa memang bisa jadi dia sengaja berbuat begitu. Tapi umpama pertengkarannya dengan Ji-kongcu itu hanya pura-pura saja, beberapa tusukan pedangnya itu jelas-jelas bukan pura-pura."

"Tapi dia kan tidak melukai Ji-kongcu itu dengan parah?"

"Biarpun tidak parah, tapi juga tidak ringan. Apalagi.... seumpama terkaan nona betul, kan salah juga perbuatan Lim Tay-ih itu?"

"Salah!? Salah bagaimana?"

"Kau tahu, sebabnya Sebun Bu-kut tidak segera turun tangan jelas karena dia rada jeri terhadap Ji Pwe-giok itu, maka Sebun Bu-kut tidak perlu kuatir lagi."

"Tapi di halaman hotel kan banyak orang?"

"Orang-orang di hotel itu mana dipandang sebelah mata oleh mereka? Maka waktu Lim Tay-ih menusuk Ji Pwe-giok untuk kedua kalinya, serentak Ya heng-jin yang siap di atas rumah juga lantas berdiri dan hendak bertindak."

"Sebab itulah Pangcu lantas mendahului menerjang ke sana!?"

"Waktu itu akupun tahu tidak boleh ayal lagi, harus turun tangan lebih dulu secara mendadak, Tay-ih harus diselamatkan agar mereka kaget dan kelabakan."

"Tatkala mana orang lain mungkin menyangka orang yang ditolong Pangcu ialah Ji-kongcu, tak tahunya yang ditolong adalah nona Lim. Dari sini terbuktilah bahwa sesuatu yang disaksikan sendiri terkadang juga belum pasti betul," Kim Yan cu menghela napas, lalu berkata pula: "Bukankah apa yang kupikirkan tadipun salah?"

"Salah? Hal apa?" tanya Ang lian hoa.

"Yaitu, nona Lim benar-benar ingin membunuh Ji-kongcu dan bukan cuma pura-pura saja, sebab kalau dia benar-benar tahu ada orang sedang mengincarnya, dengan sendirinya dia memerlukan bantuan Ji-kongcu untuk menghadapi musuh, mana bisa dia bertengkar sendiri dengan Ji-kongcu?"

"Kukira belum tentu," kata Ang lian hoa setelah termenung.

"Oo!..."

"Bisa jadi sebelumnya dia telah melihat diriku, tahu diam-diam aku pasti akan mencari kesempatan untuk menolong dia."

"Jika demikian, apa gunanya dia berlagak begitu?"

"Mungkin disebabkan dia kuatir Sebun Bu-kut dan begundalnya itu akan salah sangka Ji-kongcu itu sebagai Ji-hianteku yang sudah meninggal itu, setelah dia melukai Ji-kongcu itu tentu orang lain takkan menaruh curiga lagi...." sampai di sini, ujung mulut Ang lian hoa seperti rada gemetar.

Kim yan cu jadi terharu, katanya: "Jika demikian, apa yang dilakukan nona Lim itu bukan cuma untuk kepentingan sendiri, tapi juga demi keselamatan Ji-kongcu. Dia menyerang kepada Ji-kongcu bukan sengaja hendak mencelakainya, tapi sebaliknya ingin menyelamatkannya."

"Itu pun hanya dugaanku saja," ujar Ang lian hoa dengan menghela napas.

"Setelah kau selamatkan nona Lim, apakah tidak kau tanya kepadanya?"

Ang lian hoa memandang jauh ke depan sana, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Dengan hak apa kutanyai isi hatinya?"

Kim yan cu menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba dia tertawa dan berkata: "Jangan kau kuatir, dia pasti tidak benar-benar jauh cinta terhadap Ji-kongcu itu, dia justeru benar-benar sangat benci padanya, bisa jadi dia benar-benar ingin membunuhnya."

Ang lian hoa melengak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar: "Jangan kuatir? Memangnya apa yang kukuatirkan?"

"Tidak perlu kau dusta padaku," ucap Kim Yan cu dengan rawan, "ku tahu isi hatimu, hanya saja..... hanya saja nona Lim tidak tahu, kuharap semoga dia akan tahu."

Tiba-tiba sorot mata Ang lian hoa menampilkan perasaan menderita, tapi di mulut ia tergelak tertawa, katanya: "Apapun yang kau pikir atas diriku pasti keliru seluruhnya, ketahuilah hubungan Ji Pwe-giok dan aku adalah seperti saudara sekandung."

"Tapi Ji Pwe-giok sudah mati bukan?"

"Meski dia sudah mati, tapi di dalam hatiku dia tetap hidup selamanya."

"Apakah demi dia, kau rela mengorbankan perasaanmu? Jika dia benar-benar sahabatmu yang sejati, di alam baka juga dia berharap kau yang akan menggantikan dia untuk menghibur nona Lim."

"Nona Lim tidak perlu dihibur siapapun!" seru Ang lian hoa.

"Kau salah!" ucap Kim yan cu. "Ku tahu saat ini nona Lim sangat menderita, orang yang dapat menghiburnya saat ini mungkin cuma kau saja, hanya Ang lian hoa seorang."

Ang lian hoa memandangnya tanpa berkedip, sampai lama barulah ia mendengus: "Hm, kau berharap maku akan menghibur nona Lim, apakah lantaran kau takut dia akan merampas kau punya Ji-kongcu? Kau berharap dia membenci Ji-kongcu, bahkan membunuhnya daripada mereka terikat menjadi satu?"

Gemetar tubuh Kim yan cu, ia menunduk perlahan, ucapnya dengan tersendat: "Be... betul, ucapanmu memang tidak salah, aku.... aku manusia yang egois.... aku hanya memikirkan kepentinganku sendiri....." belum habis ucapannya, berderailah air matanya.

Sinar mata Ang lian hoa memancarkan cahaya penuh penyesalan, katanya dengan suara halus: "Demi cinta, siapakah di dunia ini yang tidak egois? Cinta artinya monopoli, tidak mungkin dibagi."

"Hanya kau!" kata Kim yan cu sambil menengadah. "Cintamu berarti pengorbanan, meski mengorbankan dirinya sendiri toh kau berusaha tidak diketahui orang lain. Dan untuk itu mengapa aku tidak boleh meniru kau? Mengapa tidak boleh...."

Ang lian hoa tidak ingin si walet emas meneruskan ucapannya itu, maklumlah, kata-kata itu laksana jarum yang menyakitkan hatinya, ia coba mengalihkan pokok pembicaraan, katanya dengan tersenyum: Setelah nona bertanya padaku, sekarang akupun ingin tanya beberapa hal kepadamu."

"Ta....tanya saja," jawab Kim-yan-cu.

"Dari mana nona mengetahui urusan ini?"

Kim-yan-cu mengusap air matanya, jawabnya: "Malam itu, kau lihat Suma Bun tidak?"

"Sin-to Kongcu Suma Bun, maksudmu? Malam itupun ia hadir di sana?"

"Dia sendiri yang memberitahukan peristiwa itu kepadaku, tadinya kukira urusan ini sangat sederhana, setelah mendengar cerita Pangcu barulah kurasakan persoalan ini sesungguhnya sangat ruwet dan di luar dugaanku. Meski Pangcu telah menceritakan kejadian itu secara terperinci dan jelas, tapi sesungguhnya bagaimana latar belakang persoalan ini tetap tidak jelas bagiku"

"Bukan saja nona tidak jelas, memangnya aku tahu jelas?" ujar Ang Lian-hoa. "Padahal malam itu akupun banyak melalaikan hal-hal lain, aku cuma memperhatikan tindak-tanduk Sebun Bu-kut dan begundalnya, sampai Sin-to Kongcu berada di sana juga tidak kuperhatikan. Kalau diam-diam ada orang lain lagi tentu aku lebih tidak tahu."

"Ya, secara diam-diam memang masih ada lagi satu orang!" kata Kim-yan-cu.

"Siapa?" tanya Ang Lian-hoa cepat.

"Seorang gadis yang cantik dan misterius" tutur Kim-yan-cu dengan pelahan. "Konon setelah melihat dia, seketika Ji-kongcu ketakutan seperti melihat setan dan segera melarikan diri"

"Siapa pula nona cantik itu? Mengapa Ji-kongcu sedemikian takut padanya?"

"Rahasia ini kukira selain Ji Pwe-giok sendiri tiada orang lain lagi yang tahu."

"Ji Pwe-giok, Ji Pwe-giok!....." Ang Lian-hoa menarik napas panjang sambil menengadah. "Nama Ji Pwe-giok mengapa selalu menyangkut rahasia sebanyak ini?"

"Mengapa tidak.... tidak kau tanyakan padaku tentang rahasia apa di balik hubungan nona Lim dengan Ji-kongcu itu? Bukan mustahil akulah orang yang tahu rahasia mereka."

Ang Lian-hoa tersenyum pedih, ucapnya: "Makin banyak rahasia yang diketahui seseorang, semakin menderita pula dia. Sudah cukup banyak rahasia yang kuketahui, lebih baik aku tidak menambah penderitaan lagi".

ooo oooo

Meski Kim-yan-cu dapat berbicara panjang lebar, tapi lukanya tidak ringan, untung obat luka Kay-pang sangat mujarab, sekalipun begitu dia tetap sukar melangkah, masih belum boleh bergerak.

Ang-lian-hoa menyarankan agar dia merawat lukanya, setelah sembuh baru berangkat, tapi Kim-yan-cu tidak sabar lagi, kalau disuruh berbaring di tempat tidur betapapun dia tidak betah.

Terpaksa Ang-lian-hoa menyuruh Bwe Su-bong mengantar nona itu, bahkan melanggar kebiasaan, Kim-yan-cu disewakan sebuah kereta. Maklumlah, kaum pengemis terkenal sebagai kaki besi, selamanya berjalan dan tidak pernah menggunakan kendaraan.

Kebetulan Bwe-su-bong juga seorang yang tidak sabaran, tanpa didesak Kim-yan-cu ia terus membedal kereta kudanya dan sekaligus sampai di Li toh-tin. Setiba di kota kecil ini bahkan masih tengah malam hari kedua.

Bwe-su-bong menghentikan kereta, ia berpaling dan bertanya: "Apakah adik perempuanmu menunggu nona di suatu tempat di kota ini?"

"Ya, dahulu pernah kutinggal semalam di kota ini, tempatku bermalam itu bernama Li-keh-can, di hotel itulah kusuruh dia menunggu kedatanganku" tutur Kim-yan-cu.

"Baru pertama kali ku datang ke kota ini, entah Li-keh-can itu terletak di jalan mana?"

Kim-yan-cu melongok keluar dan memberi tahu dengan tertawa: "Di kota ini hanya ada sebuah jalan raya ini, hotel itu terletak di....."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba di dalam kegelapan di sebelah timur sana bergema suara raungan yang seram, mirip suara raungan macan tutul sebelum keluar rimba.

Menyusul di sebelah selatan juga bergema dua kali suara aneh, suara seperti tambur dipukul, di sebelah barat juga berkumandang suara auman seperti bende berbunyi, lalu dari sebelah utara juga bergema suara siulan nyaring.

Di tengah malam gelap mendadak timbul suara aneh itu, sampai Kim-yan-cu juga gemetar dan berkerut kening, katanya: "Suara apakah itu, jelas seperti suara tambur, bende dan sebagainya, tapi rasanya seperti raungan binatang buas"

Air muka Bwe Su-bong berubah hebat, ucapnya dengan suara tertahan: "Lekas sembunyi di dalam kereta dan jangan bersuara". Segera ia melayang turun ke bawah kereta.

Kuda penarik kereta juga ketakutan oleh suara seram itu hingga kaki lemas dan tak sanggup berjalan, mulut kuda tampak berbuih, sekuatnya Bwe Su-bong menyeretnya ke bawah pohon.

Pada saat itulah terdengar suara kain baju berkibar tertiup angin, beberapa sosok bayangan melayang tiba secepat terbang, dalam kegelapan tidak jelas kelihatan wajah mereka. Tapi jelas semuanya memakai baju ketat dengan gerakan lincah dan gesit.

Meski diliputi perasaan heran, tapi demi mendengar suara misterius tadi serta melihat kuda yang lemas ketakutan, diam-diam tangan Kim-yan-cu berkeringat dingin, ia mendekap di dalam kereta dan tidak berani bersuara.

Bwe Su-bong berlagak memegang tali kendali dan berdiri di bawah bayang-bayang pohon tanpa bergerak seolah-olah kuatir dilihat oleh kawanan Ya-heng-ji itu, tapi orang-orang itu toh melihatnya juga.

Salah seorang di antaranya tampak merandek dan mengomel: "Kereta ini sangat menyolok mata, hancurkan saja!"

"Sudahlah, bos telah mendesak, untuk apa kita cari gara-gara" kata seorang lagi.

Orang pertama tadi menjengek: "Jika begitu, untunglah kakek ini."

Baru habis ucapannya beberapa orang itu sudah melayang lewat beberapa tombak jauhnya.

Kim-yan-cu melongok keluar lagi dan bertanya kepada Bwe Su-bong: "Malam ini mengapa Cianpwe menjadi takut perkara?"

Bwe Su-bong menghela napas, ucapnya sambil menyengir: "Mereka tidak mengganggu kita, buat apa kita mengganggu mereka?"

"Apakah orang-orang ini sukar direcoki?" tanya Kim-yan-cu.

"Masa nona tidak tahu siapakah mereka?"

"Memangnya siapa?"

"Apakah nona tidak pernah mendengar "Su-ok-siu" (empat binatang buas) yang malang melintang di wilayah propinsi Sujwan, Kamsiok, Siamsay dan Ohpak?"

"Jadi mereka itulah Su-ok-siu?"

"Ya, lengkap empat, semuanya datang"

"Konon Su-ok-siu ini meski sama terkenalnya, tapi masing-masing berkuasa di wilayahnya sendiri-sendiri, biasanya jarang berhubungan satu sama lain, mengapa sekarang mereka berkumpul di sini?"

"Ya, hal ini memang rada mengherankan, kalau tiada transaksi besar, tidak nanti Su-ok-siu turun tangan sekaligus bersama, tapi di kota kecil seperti Li-toh-tin ini masa ada transaksi besar?"

Tiba-tiba air muka Kim-yan-cu berubah, ia pandang jauh ke depan sana, terlihat jalan raya sepi nyenyak, kawanan Ya-heng-jin tadi sudah menghilang. Ia menghela napas, katanya: "Apakah kau memang melihat kemana perginya mereka?"

"Seperti menghilang di gedung ujung jalan sana" jawab Bwe Su-bong.

"Hah, celaka, disitulah letak Li-keh-can," seru Kim-yan-cu.

Berubah juga air muka Bwe Su-bong, tanyanya: "Apakah adik perempuanmu membawa sesuatu benda mestika yang berharga?"

"Bukan saja membawa benda mestika, bahkan tidak sedikit jumlahnya," jawab Kim-yan-cu, sembari bicara ia terus berusaha melompat keluar.

Tapi Bwe Su-bong keburu mencegahnya, desisnya: "Jangan bergerak, nona, lukamu belum lagi sembuh."

Kim yan-cu menjadi gelisah, katanya: "Su-ok-siu ini sedemikian terkenal, tentu ilmu silat merekapun tidak lemah, adik perempuanku cuma sendirian dan pasti bukan tandingan mereka. Apakah aku harus berdiam diri menyaksikan dia dicelakai orang?"

Bwe Su-bong tampak prihatin, katanya pelahan: "Tapi biarpun sekarang nona ikut turun tangan juga tiada gunanya, malahan cuma mengantar nyawa belaka."

"Habis.... habis bagaimana baiknya?" Kim yan-cu menjadi kelabakan.

"Jangan kuatir nona" ujar Bwe Su-bong dengan tertawa, "asalkan ku hadir di sini, tidak boleh mereka berbuat sesukanya"

Meski begitu ucapannya, sesungguhnya iapun tidak yakin akan jaminannya itu.

"Kalau begitu lekaslah kau mencari akal, kalau terlambat mungkin urusan bisa runyam" pinta Kim-yan-cu.

"Cara turun tangan mereka takkan terlalu cepat" tutur Bwe Su-bong setelah berpikir sejenak. "Sebelum turun tangan biasanya Su-ok-siu selalu berhati-hati, makanya selama ini mereka jarang gagal"

Sembari bicara ia terus mengamat-amati sekeliling sana, dilihatnya di belakang hotel Li-keh-can itu terdapat sebuah rumah kecil berloteng sehingga lebih tinggi daripada atap rumah di sekitarnya.

Tiba-tiba Bwe Su-bong tertawa dan berkata: "Aku sudah kakek-kakek hampir 70 tahun, kalau nona tidak merasa tubuhku kotor, marilah ku gendong saja, kita sembunyi dulu di atas loteng sana untuk mengawasi gerak-gerik mereka"

"Ya, selain jalan ini kukira tak berdaya lagi" ujar Kim-yan-cu dengan gegetun.

Begitulah Bwe-Su-bong lantas menggendong Kim-yan-cu dan memutar ke samping rumah kecil berloteng itu, ia mengeluarkan seutas tali panjang, digantolkan pada emper loteng, lalu merambat ke atas dengan hati-hati.

Meski gelisah dan wataknya tidak sabaran, namun jelek-jelek dia tokoh Kangouw yang sudah ulung, dengan sendirinya dia bisa lebih hati-hati dari pada biasanya, apalagi dia menggendong seorang, gerak-geriknya kurang leluasa, bila melompat tentu menimbulkan suara, maka dia tidak berani main loncat ke atas loteng.

Dari atas loteng itu dapat memandang jelas, keadaan sekitarnya, terutama Li-keh-can di depannya, kecuali kedua lampu kerudung yang tergantung di depan pintu hotel itu serta samar-samar ada cahaya lampu di kamar pengurus, suasana sekelilingnya gelap gulita dan sunyi senyap, hanya keresekan daun pohon yang terkadang tertiup angin memecah kesunyian malam yang seram.

Di bawah pohon, di ujung tembok, di balik atap rumah, setiap tempat yang gelap lamat-lamat ada bayangan orang, namun tidak terdengar sesuatu suara yang mencurigakan.

Kim-yan-cu menjadi kuatir, gumamnya dengan suara tertahan: "Mengapa tidur Ji-moay seperti babi mampus, kawanan bandit sudah di depan pintu dan dia belum lagi tahu."

Di tempat gelap terdengar ada orang menjentik sebagai tanda, empat lelaki serentak melolos golok dan merunduk ke rumah di depan sana. Dua orang di antaranya menuju ke pintu dan dua lagi mendekati jendela. Tapi belum lagi dekat, mendadak di dalam rumah cahaya lampu terang benderang.

Ke empat orang itu terkejut dan berhenti dengan golok terhunus dan siap tempur. Tak tersangka di dalam rumah lantas berkumandang suara tertawa orang perempuan yang genit, berbareng itu pintu lantas terbuka.

Tertampaklah seorang nona jelita dengan membawa sebuah lampu minyak muncul di ambang pintu. Dia memakai baju tidur warna ungu tipis, perawakannya yang ramping dan garis tubuhnya yang samar-samar kelihatan di bawah cahaya lampu.

Terkejut juga Bwe Su-bong memandangnya dari jauh, pikirnya: "Adik perempuan Kim-yan-cu mengapa secantik ini?"

Ke empat lelaki tadipun terkesima berhadapan dengan perempuan cantik itu sampai bernapas saja setengah ditahan, bahkan orang-orang yang masih bersembunyi di tempat gelap juga sama melotot.

Perempuan cantik itu memang betul Gin-hoa-nio adanya, dia mengerling genit, katanya dengan tersenyum menggiurkan: "Kedatangan para Toako ini apakah hendak mencari diriku?"

"Iya...." mestinya ke empat lelaki itu hendak mengucapkan kata-kata yang bengis, tapi aneh, mulut terasa kering dan jantung berdetak keras, bukan saja tidak dapat memperlihatkan sikap buas, bahkan kata-kata kasar juga sukar terucapkan.

"Jika kalian ingin mencari diriku, hayolah silahkan masuk dan minum dulu, mengapa berdiri saja di luar, kalau masuk angin kan bisa berabe....." demikian ucap Gin-hoa-nio dengan suara lembut sambil menggeliatkan pinggangnya yang ramping, senyumnya juga tambah genit.

Dia seperti nyonya rumah yang simpatik terhadap kunjungan tamunya dari jauh, seperti sama sekali tidak tahu kedatangan orang-orang ini bermaksud membunuhnya.

Ke empat lelaki tadi menjadi melenggong bingung. Sesungguhnya mereka sudah cukup berpengalaman, tapi terhadap nona jelita tanpa senjata ini mereka tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Mendadak salah seorang di antara ke empat lelaki itu berkata dengan tertawa aneh: "Nyonya rumah secantik ini mengundang kita minum, mana boleh kita kecewakan kehendaknya. Biarlah aku "Oh-pa" (harimau tutul hitam) Cin Piao mencicipi dulu suguhannya"

Di tengah suara tertawa seram, seorang di antaranya yang berbaju hitam, berbadan tinggi dengan gerak-gerik gesit segera melangkah maju. Langkahnya kelihatan sangat mantap, namun tidak terdengar suara sedikitpun.

Dipandang dari jauh, orang itu seperti sangat gagah, tapi ketika mukanya tersorot cahaya lampu, seketika orang terperanjat, orang tidur saja mungkin akan terjaga bangun.

Ternyata muka orang gagah itu hitam pekat, tulang pipinya menonjol, mukanya penuh codet, bekas sayatan pisau, ketika tertawa mulutnya yang lebar tampak merah menganga seakan-akan sekali caplok lawan bisa diganyangnya mentah-mentah.

Gin-hoa-nio memandangnya tanpa gentar, ia malah tersenyum genit dan berkata: "Wah, pahlawan gagah perkasa begini mana boleh minum teh saja, syukur di sini tersedia beberapa botol arak simpanan, pahlawan dengan arak, begini barulah setimpal."

Cin Piao si macan tutul hitam terbahak-bahak.

Belum lagi dia bicara, seorang lagi sudah berteriak: "Keparat, perempuan ini memang menarik, betapapun aku juga mau minum satu cawan"

Di tengah gelak tertawa masuk lagi tiga orang. Orang pertama tinggi besar dan gemuk, mukanya penuh daging lebih. Orang kedua tinggi kurus, mukanya pucat seperti mayat, hidungnya tinggal separuh, telinganya juga hilang satu.

Orang ketiga tampaknya tidak begitu buruk rupa, tapi jalannya yang abnormal, terincat-incut, kedua tangannya juga terus gemetar, orang bisa muak melihat dia.

Kim-yan-cu saja hampir tumpah demi melihatnya dari jauh.

Bentuk ketiga orang itu dari kepala sampai ke kaki hakekatnya sukar dikatakan mirip manusia. Namun Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan rasa kurang senang, ia tetap tertawa manis menyambut kedatangan ketiga orang itu, bahkan ia memberikan lirikan yang menggiurkan kepada setiap orangnya sehingga membikin setiap orang itu berpikir seolah-olah lirikan si cantik hanya ditujukan kepadanya saja.

Lelaki baju merah yang tinggi besar dengan muka penuh daging lebih itu terbahak-bahak, teriaknya: "Busyet, sudah lama ku malang melintang kian kemari, tapi belum pernah aku "Ang-hou" (harimau merah) Tio Kang melihat perempuan sexy begini, sungguh ingin sekali ku caplok kau mentah-mentah"

Orang berbaju putih yang berjalan paling belakang terkekeh-kekeh, katanya: "Nona jangan kaget, Hou-loji (si harimau kedua) memang suka omong kasar, tapi hatinya sangat baik....." sembari bicara, tubuhnya terus menggigil tiada hentinya.

Ang-hou Tio Kang berkata dengan tertawa: "Betul, mukaku sih tidak setampan Pek-coa-longkun (si bagus ular putih), tapi hatiku lebih baik dari pada dia, bila kau digauli sekali olehnya, sedikitnya tiga hari kau tak bisa bangun...."

Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu terus melangkah masuk kamar seperti masuk ke rumah sendiri, hakekatnya tidak gentar kalau-kalau si cantik menggunakan akal licik terhadap mereka.

Hanya si baju kelabu yang hidungnya tinggal separuh itu tetap bersikap acuh tak acuh, memandang sekejap saja tidak terhadap Gin-hoa-nio, seolah-olah sama sekali tidak berminat terhadap perempuan.

Tapi ketika dia lalu di samping Gin-hoa-nio, sekonyong-konyong ia remas pantat Gin-hoa-nio sehingga nona itu menjerit kesakitan. Tapi segera Gin-hoa-nio tertawa genit dan membisikinya: "Tadinya kukira kau ini lelaki suci bersih, tak tahunya juga sama bangornya. Anjing yang suka menggigit orang biasanya memang tidak menggonggong"

Tanpa menoleh, si baju kelabu berucap dengan ketus, "Serigala yang makan manusia biasanya juga tidak menyalak."

"0ooo, kau serigala ?" tanya Gin-hoa-nio dengan tertawa.

"Ya, serigala kelabu." jawab orang itu.

Sesudah ke empat orang itu berada di dalam kamar, si Harimau merah Tio Kang lantas menjatuhkan diri di tempat tidur, ia tarik selimut dan diendusnya lalu tertawa dan berkata, "Haha, harum amat tubuh perempuan ini, sampai selimutnya juga ketularan wangi, sungguh aku tidak tahan, ingin ku tindih mampus dia."

"Wah tampaknya Loji sudah lupa tujuan kedatangan kita ini !" omel si baju kelabu.

Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Apapun maksud tujuan kedatangan kalian ini, pokoknya minum arak saja dahulu, kan tidak menjadi soal bukan ?" Segera ia menuang empat cawan arak dan diaturkan kepada tetamunya.

Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Ai, tangan nona putih mulus begini, entah arak yang kau suguhkan ini beracun atau tidak?"

Ang-hoa melompat bangun, ia tarik tangan Gin-hoa-nio dan di rabanya, katanya dengan tertawa, "Arak suguhan dari tangan putih halus begini, sekalipun beracun juga akan kuminum."

Benar juga, tanpa pikir ia angkat salah satu cawan arak itu terus ditenggaknya hingga habis.

Ob-pah melototi sang kawan, ia cukup licin, ia tunggu sebentar lagi dan melihat Ang-huo sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan, bahkan si harimau merah itu bertambah gembira. Maka tertawalah Oh-pah alias Macan Tutul hitam katanya, "Masa ada orang main racun di depan kita ? ..... Hehe, kukira nona ini bukan orang bodoh!" Sambil bicara iapun angkat satu cawan dan di minum habis.

Pada saat itulah, Bwe Su-bong yang mengintai di rumah seberang sana sedang tanya Kim-yan-cu dengan suara tertahan, "Kau kira arak itu beracun atau tidak ?"

"Mungkin tidak," jawab Kim-yan-cu, "Ai, seharusnya di berinya racun."

"Jika demikian pikiran nona, kukira kau keliru besar," ujar Bwe Su-bong dengan tersenyum. "Menaruh racun di dalam arak terlalu mudah di ketahui lawan, tentu saja sangat berbahaya, jelas adik perempuanmu tidak mau bertindak sebodoh itu."

"Memangnya dia mempunyai cara lain?" ujar Kim-yan-cu dengan gregetan.

"Menurut pandanganku, tindakan adikmu mungkin jauh lebih pintar dari pada nona sendiri dan jauh lebih tinggi daripadaku." kata Bwe Su-bong. "Tampaknya urusan ini tidak perlu lagi kita ikut campur."

Dalam pada itu terlihat Gin-hoa-nio sedang menyuguhkan arak ke depan Pek-coa-long-kun, katanya, "Apakah kongcu tidak sudi minum arak suguhanku?"

Pek-coa-long-kun tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Tapi melulu minum arak saja kan kurang menyenangkan, nona harus memberikan barang pengiring arak sekalian."

Gin-hoa-nio melirik genit, tanyanya, "Kongcu menghendaki barang pengiring arak apa ?"

"Sepanjang jalan kami mengikuti nona ke sini apa tujuan kami masakah nona tidak tahu ?" kata Pek-coa -longkun dengan tertawa misterius.

"O, barang yang tidak manis juga tidak asin begitu masa dapat digunakan pengiring arak ?" ucap Gin-hoa-nio dengan menggigit bibir.

"Meski barang-barang itu tidak manis, juga tidak asin tapi, asalkan ku lihatnya sekejap, sedikitnya ku sanggup minum tiga cawan arak," ujar Pek-coa-long-kun. "Tapi entah nona sudi memperlihatkan tidak kepada kami barang tersebut ?"

"Jika Kongcu menghendaki demikian, mana aku berani menolak," kata GIn-hoa-nio dengan tertawa genit, Mendadak dia menyingkap kain sprei tempat tidur yang terletak di pojok kamar sana.

Seketika pandangan semua orang terasa silau, sinar-sinar lampu seolah-olah menjadi suram oleh cahaya gemerlapnya ratna mutu manikam. Seketika ke empat orang itu mendelik, tubuh Pek-coa-longkun menggigil semakin keras.

Segera Ang-hou melompat maju, diraupnya segenggam batu permata itu, teriaknya dengan gembira, "Sungguh tak kusangka begini gemuk kambing kita ini, setelah transaksi ini, mungkin selanjutnya kita tidak perlu susah payah lagi dan dapat hidup tenteram sampai tua."

Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Cuma sayang, barang-barang ini kan milik nona jelita ini, apakah orang sudi menyerahkannya kepada kita kan masih menjadi soal."

"Kita angkut saja dan habis perkara, perduli dia mau memberi atau tidak?! teriak Ang-hou.

"Kita kan orang sopan, segala sesuatu harus permisi dulu kepada yang empunya," ujar Pek-coa-longkun dengan terkekeh-kekeh.

"Baik, biar kutanya dia, " teriak Ang-hou. "Eh, mestika ratu, boleh tidak ? Hahahaha, kita bertanya padanya boleh atau tidak, Hahaha..."

Makin keras tertawanya dan makin geli rasanya, sampai-sampai ia memegangi perut dan menungging.

Gin hoa nio tidak memberi reaksi-apa-apa, dengan tersenyum ia berkata: "Sebelumnya hamba sudah tahu kalian akan kemari, maka sudah kusiapkan semua barang yang kalian inginkan ini."

"Hahaha, memang sudah kukatakan kau ini perempuan cerdik," seru Ang hou sambil bergelak.

"Bukan cuma batu permata ini saja akan kupersembahkan kepada kalian, bahkan masih ada barang berharga lain juga akan kuserahkan kepadamu, entah kalian sudi menerima atau tidak?"

Ang-hou mendelik, teriaknya: "Masih ada barang berharga lain lagi? Di mana? Lekas perlihatkan kepadaku!"

Gin hoa nio mengerling genit, ucapnya dengan tersenyum: "Barang itu sudah berada di sini. Coba kalian pikir, benda paling berharga apa yang terdapat pada diriku? Masa kalian tidak dapat menerkanya?"

Ang-hou garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan berteriak-teriak: "Tak dapat kuterka, aku tidak tahu, benda apa maksudmu?"

"Andaikan kalian tak dapat menerkanya, biarlah ku perlihatkan saja!" ujar Gin hoa nio dengan lirikan mautnya.

Perlahan ia menarik baju tidurnya yang tipis itu sehingga merosot ke lantai, maka tertampaklah dadanya yang menegak hanya tertutup oleh selapis kutang yang tipis remang-remang, tubuhnya yang montok dan pahanya yang mulus dengan warna kulit yang putih bersih.....

Biji mata Su ok siu melotot seperti mata ikan emas yang akan melompat keluar dari rongga matanya, napas mereka pun makin kasar dan akhirnya megap-megap, kalau semula ada tiga bagian mereka masih menyerupai manusia, tapi sekarang hampir seluruhnya berubah menjadi binatang yang buas dan kelaparan.

Biji leher Ang hou tampak naik turun, berulang kali ia menelan air liur, gumamnya kemudian: "O, mestika ratuku, sungguh ini benar-benar mestika ratu nomor satu di dunia ini, jika ada anak kura-kura yang bilang ini bukan mestika ratu, maka matanya pasti buta dan akan kuhancurkan mulutnya."

Pek coa longkun juga tambah gemetar sehingga pinggangnya hampir patah, gumamnya dengan tergagap-gagap: "Nona.... nona benar-benar .... benar-benar hendak memberikan barangmu yang berharga ini kepada kami?"

Gin hoa nio bersuara aleman, ucapnya sambil tersenyum manis. "Pemuda mana yang tidak birahi, gadis mana yang tidak gairah. Perempuan kalau sudah dewasa yang dikehendakinya bukan lagi batu permata melainkan lelaki."

Tangannya yang menutupi dada itu perlahan-lahan mulai merosot ke bawah, lalu ucapnya pula dengan suara yang menggetar sukma: "Tentunya para Kongcu dapat melihat sendiri, aku tidak lagi anak kecil bukan?"

Ang hou tertawa dengan setengah menjerit, teriaknya: "Bilamana ada anak kura-kura yang bilang kau masih anak kecil, seketika akan ku masukkan lagi dia ke perut biangnya."

Mendadak Oh pah Cin Piau berkata dengan bengis: "Perempuan cantik dan genit macam kau ini kalau ingin cari lelaki, sekaligus satu keranjang juga dapat kau dapatkan, sebab apa kau sengaja menghendaki kami? Sesungguhnya akal bulus apa yang telah kau atur?"

Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya: "Meski kalian berempat tidak terhitung cakap, tapi kalian adalah lelaki sejati, jantan cemerlang, hanya anak perempuan yang masih hijau saja yang suka kepada lelaki sebangsa enak dipandang tak berguna dipakai. Aku justeru....." ia lantas menunduk dan malu-malu kucing seperti gadis pingitan, lalu sambungnya dengan tertawa genit: "Yang kusukai adalah lelaki jantan, jantannya lelaki."

"Plok", Ang hou berkeplok sambil berteriak: "Keparat, ucapanmu memang tepat, nyata pandanganmu memang tajam, anak muda yang bermuka putih seperti pupuran itu mana becus bekerja? Hahaha, cukup kau jepit dengan pahamu saja mungkin seketika keluar kuning telurnya."

"Tapi.... tapi hamba pun mempunyai sesuatu kesukaran," tiba-tiba Gin hoa nio menghela napas.

Ang hou jadi mendelik, tanyanya cepat: "Apa kesukaranmu?"

Gin hoa nio tidak lantas menjawab, ia mengerling mesra sekeliling kepada keempat orang itu, lalu berkata dengan menyesal: "Soalnya begini, meski batu permata ini dapat dibagi menjadi empat, tapi diriku hanya seorang saja...."

"Di antara kami berempat hanya aku saja yang belum berbini, sudah tentu kau mestika ratu ini adalah milikku," teriak Ang hou.

Dengan menunduk Gin hoa nio berkata: "Tio-kongcu gagah perkasa, sudah tentu terhitung lelaki tulen, bilamana kudapatkan suami seperti dirimu, apa pula yang kuharapkan lagi, hanya saja...." sembari bicara, matanya diam-diam melirik Cin Piau, si macan tutul.

Benar saja, belum habis ucapannya, serentak Cin Piau berteriak: "Tio-loji, barang lain boleh kuberikan padamu, tapi mestika ratu jelita ini adalah milikku Cin-lotoa."

"Lotoa (si tua)? Hehe, jika aku tidak mengalah, bisakah kau menjadi Lotoa?" jengek Tio Kang alias Ang hou atau di harimau merah.

Cin Piau menjadi gusar, bentaknya: "Jadi kau tidak terima?"

"Terima? Berdasarkan apa aku mesti mengalah padamu?"

Gemerdep sinar mata Gin hoa nio, jelas dalam hati sangat senang, tapi di mulut ia berkata: "E-eh, janganlah kalian bertengkar, apabila kalian bersaudara bertengkar lantaran diriku, wah, entah bagaimana hamba harus menebus dosaku ini."

Pek coa longkun terkekeh-kekeh, katanya: "Ucapan nona ini memang tidak salah, jika kita bersaudara bertengkar mengenai seorang perempuan, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang? Menurut pendapatku, mestika ratu ini akan menjadi milik siapa boleh ditanyakan langsung kepada dia sendiri."

Si ular putih ini menganggap dirinya paling cakap dan menarik di antara mereka berempat, jika sang "mestika ratu" disuruh memilih, jelas dirinya yang akan terpilih.

Tapi harimau merah, serigala kelabu dan macan tutul hitam juga mengira dirinya masing-masing yang dipenujui Gin hoa nio, kalau tidak masakah lirikan si cantik yang membetot suka itu selalu tertuju ke arahnya?

Baru habis ucapan si ular putih, serentak ketiga rekannya menyatakan setuju: "Ya cara ini memang paling bagus dan adil!"

Ang hou lantas menyambung pula dengan tertawa: "Mestika sayang, jadilah kau Ong Po sun dan Aku Sih Peng kui (Nama-nama peran dalam cerita roman kuno), pilihlah aku!?"

Gin hoa nio menunduk sambil menggigit bibir, seperti malu dan juga seperti serba salah. Kerlingannya yang mesra justru mengusap kian kemari secara bergilir di antara ke empat orang itu.

Oh pah Cin Piau bertepuk-tepuk dada dan berkata: "Siapa yang kau sukai, katakan saja terus terang, tidak perlu takut!"

"Betul, jangan takut," tukas Ang hou. "Bila aku yang kau pilih, katakan saja, kalau ada anak kura-kura yang berani mengganggu seujung rambutmu, lihat saja kalau tidak kugetok kepalanya hingga gepeng."

Sembari bicara sebelah tangannya bertolak pinggang dan tangan yang lain memperlihatkan ototnya yang kuat.

Begitulah ke empat orang itu sama yakin pasti dirinya yang akan dipilih Gin hoa nio. Sungguh luar biasa. Memang tidak mudah bagi seorang perempuan untuk membuat setiap lelaki sama merasa mabuk baginya, dalam hal ini Gin hoa nio harus diberi piala.

Menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, berulang-ulang Bwe Su-bong juga mengurut dada, sungguh mimpi pun dia tidak menyangka Kim yan cu mempunyai adik perempuan sehebat itu, diam-diam ia pun membatin: "Untung usiaku sudah hampir 70, kalau tidak, bisa jadi akupun akan terjun ke sana dan ikut ambil bagian....."

ooo 000 ooo

Dalam pada itu, Gin hoa nio tampaknya masih ragu-ragu, biji matanya berputar-putar dan tetap tak dapat mengambil keputusan, lama sekali barulah ia menghela napas dan berkata: "Kalian semuanya adalah lelaki sejati dan ksatria terpuji, sungguh aku menjadi bingung, entah siapa yang harus ku pilih. Setelah kupikir pergi-datang, kukira hanya ada satu cara untuk menentukannya."

Cara bagaimana?" tanya ke empat orang itu serentak.

"Begini," tutur Gin hoa nio dengan senyum genit dan lirikan mautnya, "kalian kan tahu, perempuan adalah kaum lemah, setiap perempuan tentu berharap akan mendapatkan suami yang berilmu silat tinggi dan bertenaga kuat......"

Air muka si serigala kelabu yang licin dan licik itu seketika berubah, tapi Gin hoa nio tidak memberi peluang baginya untuk bicara, cepat ia menyambung: "Tapi kalau kalian berempat benar-benar saling berhantam sehingga ada yang cedera, tentu hatiku akan sedih."

Mendengar ini, air muka si serigala kelabu berubah menjadi tenang kembali.

Sebaliknya si harimau merah berkerut kening dan berkata: "Tapi kalau tidak saling gebrak, cara bagaimana membedakan Kungfu siapa yang lebih unggul? Keparat, aku menjadi bingung apa kehendakmu sesungguhnya."

Gin hoa nio tertawa manis, ucapnya pula: "Maka hamba cuma ingin kalian memperlihatkan sejurus Kungfu masing-masing saja, aku yang melihat dan aku yang menilai, sebaliknya takkan merusak persaudaraan kalian sekaligus juga ketahuan Kungfu siapa yang lebih unggul."

"Aha, bagus," teriak Ang hou dengan tertawa. "Tak terduga, kepalamu yang kecil ini berisi akal sebanyak ini."

Pada saat itulah Kim-yan-cu mengintip di seberang sana berkata pula kepada Bwe Su-bong:

"Entah akal apa yang sedang diaturnya sekarang?"

"Sudah tentu akal untuk memancing agar ke empat orang itu saling membunuh sendiri." ujar Bwe Su-bong.

"Jika demikian, mengapa dia tidak berdaya agar mereka lekas saling bergebrak?" kata Kim-yan-cu.

"Di sinilah letak kecerdikan adikmu" ujar Bwe-Su-bong dengan tertawa. "Serigala kelabu itu sudah mencurigai adikmu sedang main gila, jika saat ini juga adikmu menyuruh mereka saling baku hantam, mungkin serigala kelabu itu akan segera berontak."

"Tapi kalau ke empat orang itu tidak saling gebrak, cara bagaimana pula bisa terjadi bunuh membunuh?"

"Agaknya adikmu sudah tahu, meski ke empat orang itu bersaudara, tapi satu sama lain tidak mau mengalah, tiada satupun mengakui kungfunya di bawah yang lain, maka akhirnya mereka pasti akan saling hantam sendiri. Biarkan mereka baku hantam sendiri kan jauh lebih baik daripada adikmu yang menyuruhnya?"

Kim-yam-cu menghela napas dan tidak bicara lagi.

Dalam pada itu terlihat si harimau merah sedang mengulet badan dengan kemalas-malasan sehingga seluruh ruas tulang badannya sama berbunyi keriat-keriut, habis itu mendadak ia meraung, sebelah tangannya terus menghantam sebuah bangku batu bulat disampingnya.

Bangku itu berbentuk bulat tengahnya kosong, tapi biarpun begitu, umpama orang biasa memukulnya dengan palu besar juga tidak mungkin dapat menghancurkannya dengan sekali hantam. Sekarang si harimau merah sekali hantam telah dapat membuat bangku batu itu menjadi berkeping-keping.

Gin-hoa-nio berseru dengan tersenyum genit:

"Wah, hebat sekali kungfu Tio-kongcu, sungguh mimpipun tak terpikir olehku tenaga seorang bisa begini besar dengan kepalan yang begitu keras"

Ang-hoa tertawa latah sambil melirik hina kesana dan ke sini, teriaknya:

Setelah kuperlihatkan kungfuku ini, kukira orang lain tidak perlu coba-coba lagi"

"Ya, kungfumu ini memang sukar dibandingi siapapun," ujar Gin-hoa-nio dengan senyuman menggiurkan, namun matanya senantiasa melirik ke arah si macan tutul.

Cin-piau, si macan tutul hitam mendengus:

"Hm, tangan To-loji memang kuat untuk membelah kayu, tapi kalau digunakan untuk bertempur jelas tiada gunanya.

Muka Ang-hou menjadi merah, teriaknya gemas: "Bedebah, tiada gunanya katamu? Memangnya kau lebih kuat daripadaku?"

Oh-pah atau si macan tutul hitam mendengus, pelahan ia berduduk di bangku batu yang lain, ia duduk dengan diam, sampai sekian lama tetap tidak bergerak.

"Hehe, kungfu macam apa yang kau perlihatkan? kungfu pantat barangkali? ejek si harimau merah dengan tertawa.

Oh-pah tetap berduduk tanpa bergerak, jengeknya kemudian: "Seumpama otakmu bebal, apakah matamu juga buta?"

Baru sekarang Ang-hoa mengamati-amati rekannya dan seketika ia tidak sanggup tertawa lagi. Tiba-tiba dilihatnya bangku batu yang diduduki Oh-pah itu makin lama makin pendek, bangku batu yang berat itu ada sebagian ambles ke dalam tanah.

Nyata, meski kelihatannya Oh-pah hanya berduduk tanpa bergerak, tapi sesungguhnya dia sudah memperlihatkan Lwekangnya yang hebat.

Dengan tertawa genit Gi-hoa-nio berseru: "hih, Cin-lotoa memang tidak malu sebagai orang pertama, jika bangku ini berujung lancip masih dapat dimengerti, tapi bangku ini berujung rata, sekarang ada setengahnya tertanam ke dalam tanah, sungguh hebat tenaga dalamnya betul tidak Kongcu-kongcu yang lain?"

Pek-coa-longkun tertawa terkekeh kekeh, ucapnya: "Betul, betul! beberapa bulan tidak bertemu, tak tersangka kungfu Cin-lotoa sudah maju sepesat ini."

Oh-pah tertawa bangga, katanya: "Jika kungfuku tiada kemajuan, kan bisa di..." mendadak ia berhenti tertawa, air mukanya juga berubah pucat.

Rupanya entah sejak kapan si serigala kelabu telah merunduk ke belakang Oh-pah dan menyarangkan belatinya di punggung rekannya.

Keringat dingin tampak menghiasi dahi Oh-pah dengan suara gemetar ia berkata: "Losam, ke... keji amat kau!"

Wajah si serigala tiada memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya dengan dingin:

"Aku cuma ingin memberitahukan padamu bahwa Kungfu Tio-loji hanya cocok untuk dipakai memotong kayu, sebaliknya kungfumu juga belum tentu ada gunanya.

Manusia adalah makhluk hidup, mungkinkah dia akan kau duduki sesukamu seperti bangku yang kau tanamkan ke dalam tanah ini?"

Dengan pandangan yang licik ia melototi Gin-hoa-nio dan berkata pula dengan menyeringai: "Kungfu yang paling berguna di dunia ini adalah kungfu yang dapat digunakan membunuh orang betul tidak nona?"

Oh-pah meraung kalap, segera ia membalik tubuh dan bermaksud mencekik leher si serigala. Namun si serigala sempat melompat mundur, belati juga dicabutnya sehingga darah lantas mancur dari tubuh Oh-pah, belum lagi macam tutul hitam itu berdiri seketika ia jatuh terguling ke lantai dan tidak mampu bangun pula.

Ang-hou meraung gusar: "Sekalipun Cin-lotoa bukan orang baik, jelek-jelek dia kan saudara kita, mengapa kau membunuhnya?"

"Setelah ku bunuh dia, bukankah kau yang menjadi Lotoa?" jawab si serigala.

Ang-hoa mengelak, ia mendengus dan tidak bicara lagi.

Pek-coa-longkun terkekeh kekeh katanya: "Ucapan ... memang betul, kungfu apa segala, semuanya palsu, hanya kungfu yang dapat membunuh orang adalah kungfu sejati. Kungfuku membunuh orang tentunya juga tidak kurang hebat daripada kungfu si Lo-sam?"

Sambil bicara terus ia terus mengitar ke belakang Ang-hou, mendadak ia melolos belati terus menikam. Kecepatan dan kegesitan serta kelihaiannya memang tidak di bawah Hwe-long atau si serigala kelabu.

Tak tersangka, meski si harimau merah itu tampaknya gede dan bodoh, sesungguhnya dia malah cukup cerdik. Baru saja si ular putih turun tangan, secepat itu pula dia membalik tubuh dan balas menghantam.

Cuma sayang, badannya terlalu gede, meski tikaman si ular tidak mengenai tempat yang fatal namun tetap mengenai bahunya, begitu keras tikaman itu sehingga belati itu ambles seluruhnya ke dalam dagingnya. Begitu kuat tikaman itu sampai si ular sendiripun tak sempat menahan diri.

Di tengah raungan keras Ang-hou terus pentang sebelah tangannya, seketika si ular kena didekapnya di bawah ketiak, Anghou menyeringai: "He he, coba kemana lagi kau akan lari?"

Si ular ketakutan dan berteriak: "He, Tio-loji, lepaskan, ampuni aku!"

"Hatiku sih mau mengampuni kau, tapi sayang tanganku tidak boleh." jawab Ang-hou sambil tertawa. ia perkeras dekapannya, terdengarlah suara "Krak-krek" beberapa kali tulang badan si ular tergencet remuk, jeritan ngeri berubah menjadi rintihan. Sampai akhirnya suara rintihanpun tidak terdengar lagi, barulah Ang-hou mengangkat tangannya dan Pek-coa-longkun terus jatuh terkapar seperti bangkai ular.

Diam-diam si serigala kelabu merasa ngeri, ucapnya kemudian dengan terkekeh: "Wih, hebat benar tenaga Tio-loji." Ang-hou mencabut belati yang menancap di belakang bahunya, darah segar kontan menyembur seperti air mancur, namun dia sama sekali tidak merasa sakit, katanya terhadap Hwe-long sambil menyeringai: "Sekarang tinggal kau, apa kehendakmu?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar